Anda di halaman 1dari 8

Qawanin Jurnal Ilmu Hukum

Vol. 1, No. 1 (Agustus 2020) 1 – 40


e-ISSN: xxxx-xxxx || p-ISSN: xxxx-xxxx

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


65/PUU-VIII/2010 Tentang Testimonium de
Auditu Pada Perkara Pidana
(Studi Kasus Putusan Nomor
1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS)
Annisa Nurul Sakinah 1 , Hasbuddin Khalid 2,
Muhammad Ilyas 2
1 Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia
2 Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia
Annisakinah3@gmail.com

Abstract:
This study aims to determine and analyze the legal consequences of
Testimonium de Auditu in Decision Number 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS and
to identify and analyze the strength of evidence and the tendency of judges in
determining the position of Testimonium de Auditu in Decision Number
1310/Pid. Sus/2021/PN.MKS. This research uses empirical normative
method.The results of the study indicate that law enforcement officers are
obliged to consider the expansion of meaning in accordance with the
Constitutional Court Decision Number 65/PUU-VIII/2010 in finding the
material truth of a criminal event as well as the strength of proof and the
position of Testimonium de Auditu in a criminal case is determined based on
the relevance of proving it to the case in question. currently receiving in this
case case number 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS. For law enforcement officers to
consider expanding the meaning of witnesses according to the Constitutional
Court Decision Number 65/PUU-VIII/2010 in identifying the material truth in
a case and identifying factors that determine the strength of evidence and the
tendency of judges in determining the position of Testimonium de Auditu in
criminal cases.
Keywords: Testimonium de Auditu; Constitutional Court Decision Number
65/PUU-VIII/2010.

Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui dan menganalisa
bagaimana akibat hukum Testimonium de Auditu dalam Putusan Nomor
1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS serta untuk mengetahui dan menganalisa
kekuatan pembuktian dan kecenderungan hakim dalam menentukan
kedudukan Testimonium de Auditu pada Putusan Nomor
1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS. Penelitian ini menggunakan metode normatif-
empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aparat penegak hukum wajib
mempertimbangkan perluasan makna saksi sesuai Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 dalam mencari kebenaran materiil suatu
peristiwa pidana serta kekuatan pembuktian dan kedudukan Testimonium de
Auditu pada perkara pidana ditentukan berdasarkan relevansi kesaksiannya
terhadap perkara yang sedang diproses dalam hal ini perkara nomor
1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS. Kepada aparat penegak hukum agar
mempertimbangkan perluasan makna saksi sesuai Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 dalam mengidentifikasi kebenaran
materiil pada suatu perkara sertamengidentifikasi faktor-faktor yang
menentukan kekuatan pembuktian dan kecenderungan hakim dalam
menentukan kedudukan Testimonium de Auditu pada perkara pidana.

Lisensi CC BY-4.0
1
Qawanin, Vol. 1, No. 1 (Agustus 2020)

Kata Kunci: Testimonium de Auditu; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


65/PUU-VIII/2010

Submit : hh-bb-tttt Accept : hh-bb-tttt


Doi: http://~

PENDAHULUAN

Dalam penjatuhan hukuman pidana dalam peradilan pidana setidaknya ada


dua alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan Pasal 184 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bukti terpenting dalam hukum
pidana adalah saksi, dimana saksi berada di urutan pertama dalam hal kekuatan
pembuktiannya, hal ini dikarenakan dalam melakukan suatu tindak pidana pelaku
selalu berusaha menghilangkan alat yang digunakan untuk melakukan pidana,
sehingga dibutuhkannya keterangan saksi yang berada disekitar tempat kejadian
pidana.

Namun perlu diketahui bahwa tidak semua keterangan saksi memiliki nilai
sebagai alat bukti yang sah. Sebagaimana Pasal 1 angka 27 KUHAP menyebutkan
bahwa: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.”.

Perihal saksi yang tidak mendengar sendiri, melihat sendiri, atau mengalami
sendiri kejadian tersebut, dalam hukum pidana dikenal seb agai saksi de auditu
dimana kesaksian yang disampaikan di muka persidangan oleh saksi diperoleh dari
informasi yang didapatkan dari orang lain.

Menurut Yahya Harahap, Keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri
dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam
peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran,
penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi,
“tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”.

2
Judul Jurnal 3 suku kata…

Namun melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tentang


Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
memberikan interpretasi baru mengenai saksi dalam KUHAP yakni diakuinya saksi
testimonium de auditu dalam peradilan pidana.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “arti penting saksi bukan terletak pada
apakah dia melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana,
melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses”

Saksi Testimonium de Auditu dapat dijumpai pada perkara persetubuhan karena


umumnya persetubuhan dilakukan di tempat tertutup sehingga tidak ada saksi yang
melihat, mendengar dan merasakan tindak pidana tersebut selain korban itu sendiri.
Maka biasanya korban menceritakan peristiwa pidana tersebut kepada orang lain yang
dalam hukum acara pidana dikenal dengan Testimonium de Auditu.

Perkara Nomor 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS adalah Tindak Pidana Persetubuhan


Terhadap Anak Kandung. Artinya korban pada perkara a quo adalah anak kandung dari
Terdakwa, serta yang menjadi Testimonium de Auditu pada perkara a quo adalah Istri dan
Anak Kandung dari Terdakwa.

Berdasarkan hal tersebut, suatu pertanyaan besar terkait akibat hukum serta
kekuatan pembuktian dan kecenderungan hakim dalam menentukan kedudukan
Testimonium de Auditu pada perkara pidana dalam hal ini putusan nomor
1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian normatif-empiris, yaitu penelitian hukum mengenai


pemberlakukan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau
kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.
Sumber data yang digunakan yaitu data primer yang merupakan hasil penelitian lapangan dengan
cara mengajukan pertanyaan secara lisan (wawancara) maupun dengan mengajukan pertanyaan
secara tertulis dan data sekunder yang berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi,
artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, dan sebagainya yang diperoleh melalui
media-media cetak maupun media elektronik. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
penelitian Pustaka yakni mempelajari literatur-literatur untuk menganalisa dari bahan, catatan
atau dokumen yang berhubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitiusi Nomor 65/PUU-

3
Qawanin, Vol. 1, No. 1 (Agustus 2020)

VIII/2010 khususnya Testimonium de Auditu Pada Perkara Pidana yang ada kaitannya dengan
pembahasan penelitian ini serta penelitian lapangan yakni penelitian yang dilakukan
dengan mendatangi lokasi penelitian untuk mengumpulkan data melalui wawancara
dengan Ketua Majelis Hakim perkara nomor 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS pada
Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA Khusus. Metode analisis data yang digunakan adalah
metode kualitatif dimana data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis selanjutnya
dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah.

HASIL

A. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010


Tentang Testimonium de Auditu Dalam Putusan Nomor
1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS
Kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur di dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a, b, c dan d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Terdapat empat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur di dalam pasal tersebut,
yaitu:

1. Menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi memiliki keistimewaan
tersendiri yakni bersifat final dan mengikat; dan putusan bersifat erga omnes.

Putusan bersifat final dan mengikat menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat.

Putusan bersifat erga omnes berarti putusan Mahkamah Konstitusi yang


mempunyai kekuatan mengikat yang berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak
yang bersengketa.1

1
Steven Suprantio, (2014) Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang “testimonium de auditu”
dalam Peradilan Pidana, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1, hlm 40

4
Judul Jurnal 3 suku kata…

Perluasan makna alat bukti keterangan saksi yang dijabarkan pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010 dilakukan setelah adanya permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra pada tahun 2010 atas kasus tindak pidana
korupsi “Biaya Akses Fee dan Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Sistem
Administrasi Badan Hukum Departemen Hukum dan HAM RI”.2

Mahkamah berpendapat bahwa mengenai pengertian “saksi” sebagaimana


dimaksud oleh Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat
(4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, berdasarkan penafsiran menurut bahasa
(gramatikal) dan memperhatikan kaitannya dengan pasal-pasal lain dalam KUHAP,
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat
sendiri, dan dia alami sendiri. Secara ringkas, Mahkamah menilai yang dimaksud saksi
oleh KUHAP tersebut adalah hanya orang yang mendengar, melihat dan mengalami
sendiri peristiwa yang disangkakan atau didakwakan.

Padahal konteks pembuktian sangkaan atau dakwaan bukan hanya untuk


membuktikan apakah tersangka atau terdakwa melakukan atau terlibat
perbuatan/tindak pidana tertentu; melainkan meliputi juga pembuktian bahwa suatu
perbuatan/tindak pidana adalah benar-benar terjadi. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, arti penting saksi bukan terletak apakah dia melihat, mendengar, atau
mengalami sendiri suatu peristiwa tindak pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya
dengan perkara pidana yang sedang diproses.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah menjadi sumber


hukum yang bersifat final, mengikat dan erga omnes. Maka Penyidik, Penuntut Umum,
Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya wajib mengetahui dan mematuhi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

Aparat penegak hukum dalam memeriksa, menuntut dan mengadili suatu perkara
pidana selalu berdasarkan hukum yang belaku, sehingga implikasi yuridisnya adalah
aparat penegak hukum wajib mempertimbangkan perluasan makna saksi sesuai Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 dalam mencari kebenaran materiil
suatu peristiwa pidana.

Untuk membuktikan mengenai penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


65/PUU-VIII/2010 dalam hal ini diakuinya Testimonium de Auditu pada perkara pidana,
penulis meneliti sebuah perkara persetubuhan dengan Nomor
1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS.

2
Namira Delima, (2019), Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Testimonium de
Auditu Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, Jurnal Fakultas Hukum
Universtitas Riau Vol. 6 No. 1, hlm 10.

5
Qawanin, Vol. 1, No. 1 (Agustus 2020)

Pada Perkara Nomor 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS, terdapat 3 orang Testimonium


de Auditu, diantaranya adalah NUR CAHYA MEYLANI Alias BEBY BINTI RAIS, SUWARSIH
SUPRIADI BINTI H. SUPRIADI KALA, dan ALFINA ABDULLAH Alias FINA. Ketiga
Testimonium de Auditu tersebut memperoleh informasi dari saksi korban P (17 Tahun).

B. Kedudukan dan Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu Pada

Putusan Nomor 1310/Pi.Sus/2021/PN.MKS

Melalui permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang


Hukum Acara Pidana yang diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra pada tahun 2010,
melahirkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang telah
memperluas makna saksi dan menjadi pedoman untuk memberlakukan Testimonium de
Auditu dalam pemeriksaan perkara pidana.

Keterangan dari saksi de Auditu umum digunakan pada pemeriksaan persidangan,


utamanya pada perkara-perkara yang tidak terdapat saksi fakta. Hakim cenderung
menerima Testimonium de Auditu apabila kesaksiannya memiliki keterkaitan erat
terhadap perkara yang sedang di proses.3

Pada perkara persetubuhan Nomor 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS terdapat 3


Testimonium de Auditu, diantaranya adalah NUR CAHYA MEYLANI Alias BEBY BINTI RAIS,
SUWARSIH SUPRIADI BINTI H. SUPRIADI KALA, dan ALFINA ABDULLAH Alias FINA.
Ketiga Testimonium de Auditu tersebut memperoleh informasi dari saksi korban P (17
Tahun).

Dalam tindak pidana asusila sangat sulit menemukan saksi sesuai kriteria Pasal 1
angka 26 dan 27 KUHAP yakni saksi yang melihat, mendengarkan dan mengalami
langsung peristiwa pidana tersebut, sehingga Testimonium de Auditu dapat digunakan
sebagai alat bukti

saksi karena sudah memiliki landasan yuridis yang jelas yakni Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.4

Terhadap perkara nomor 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS, Penasihat Hukum


terdakwa tidak mengajukan keberatan terkait dihadirkannya Testimonium de Auditu,
mengingat dalam tindak pidana asusila khususnya persetubuhan Testimonium de Auditu
menjadi petunjuk penting yang mendukung bukti visum et repertum yang saling
bersesuaian.5

Majelis hakim pada perkara nomor 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS menggolongkan


Testimonium de Auditu bukan lagi sebagai bukti petunjuk, melainkan sebagai saksi.
Adapun kecenderungan hakim dalam menentukan kedudukan Testimonium de Auditu

3
Nurmala Gita Sari, Panitera Pengganti, Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 14 Maret 2022.
4
Faisal A. Taqwa, Hakim, Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 9 Februari 2022.
5
Vhivy Arida Bayangkara, Penasihat Hukum, Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 11 Maret 2022.

6
Judul Jurnal 3 suku kata…

sebagai saksi ialah karena keterangan-keterangan para saksi de Auditu dapat membentuk
suatu rangkaian kesaksian yang relevan satu sama lain.6 Hal ini selaras dengan
pernyataan Mahkamah Konstitusi pada Putusan Mahkamah Konstitusi a quo bahwa arti
penting saksi bukan terletak apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri
suatu peristiwa tindak pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara
pidana yang sedang diproses.

Apabila merujuk pada Pasal 184 KUHAP derajat kekuatan pembuktian tiap-tiap
alat bukti telah disusun secara sistematis, di mana alat bukti saksi berada di urutan
pertama. Karena Testimonium de Auditu dalam perkara nomor
1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS memiliki kedudukan yang setara dengan saksi, sehingga
kekuatan pembuktiannya lebih tinggi daripada bukti petunjuk.7

Faktor utama yang menentukan kekuatan pembuktian dan kecenderungan hakim


dalam menentukan kedudukan Testimonium de Auditu dalam perkara pidana ialah
relevansi kesaksiannya terhadap perkara yang sedang diproses.

Hakim sebagai corong keadilan mengemban tanggungjawab besar dalam menilai


relevansi kesaksian Testimonium de Auditu dengan perkara yang sedang diproses, dan
dari penilaian relevansi itu pula hakim dapat menentukan kedudukan dan kekuatan
pembuktian Testimonium de Auditu pada suatu perkara pidana.

KESIMPULAN DAN SARAN

Faktor utama yang menentukan kedudukan dan kekuatan pembuktian Testimonium de


Auditu dalam perkara pidana ialah relevansi kesaksiannya terhadap perkara yang sedang
diproses. Dalam perkara nomor 1310/Pid.Sus/2021/PN.MKS, Testimonium de Auditu
berkedudukan sebagai alat bukti saksi, sehingga derajat kekuatan pembuktiannya berada
diatas alat bukti petunjuk. Diharapkan agar aparat penegak hukum mampu
mempertimbangkan perluasan makna saksi sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010 dalam mengidentifikasi kebenaran materiil suatu peristiwa pidana
dan diharapkan agar aparat penegak hukum mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang
menentukan kekuatan pembuktian dan kecenderungan hakim dalam menentukan
kedudukan Testimonium de Auditu pada perkara pidana.

UNGKAPAN TERIMAKASIH

Bersyukur kepada Allah SWT atas ridha yang diberikan kepada saya untuk
menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih kepada Mama, Emme, Fira dan Almarhum
Bapak yang telah memberi dukungan dan kasih sayang hingga saya mampu
menyelesaikan penelitian ini. Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Bapak
Hasbuddin Khalid dan Bapak Muhammad Ilyas atas kritik dan saran yang diberikan
terhadap penelitian ini. Terimakasi pula kepada teman-teman yang penulis tidak bisa

6
Faisal A. Taqwa, Hakim, Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 9 Februari 2022.
7
Faisal A. Taqwa, Hakim, Pengadilan Negeri Makassar, tanggal 9 Februari 2022.

7
Qawanin, Vol. 1, No. 1 (Agustus 2020)

sebutkan satu-persatu. Semoga ke semuanya senantiasa diberikan kesehatan dan


kemudahan urusan. Aamiin allahumma aamiin.

REFERENSI

Namira Delima, (2019), Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi


Testimonium de Auditu Pasca Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010, Jurnal Fakultas Hukum Universtitas Riau, 6(1), hlm 1-15.

Suprantio, Steven. 2014. ‘Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang “testimonium
de auditu” dalam Peradilan Pidana’ dalam Jurnal Yudisial, 7(1), hlm 34-52)

Anda mungkin juga menyukai