Anda di halaman 1dari 37

BAB III

ANALISIS KASUS DAN PUTUSAN

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Bebas Terdakwa dalam

Putusan Pengadilan Nomor 74/PID.SUS/TPK/2019/PN.JKT.PST.

Secara konstitusional, putusan hakim di Indonesia diatur dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini

menunjukkan bahwa putusan hakim sendiri adalah putusan yang memiliki

kedudukan yang tinggi, sehingga menurut UUD 1945, putusan hakim haruslah

diatur lebih lanjut didalam undang-undang.

“Melalui putusannya, hakim akan menentukan berat ringannya pidana

atau hukuman yang dijatuhkan. Sedangkan pada bagian lain, melalui

putusannya pula hakim akan memastikan hukumnya atas sesuatu haka tau

sesuatu benda, hukumnya pula atas sesuatu perbuatan atau tindakan.” 1 Tertulis

dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman:

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Sedangkan dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:

Segala putusan hakim selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-

1
Rudi Suparmono, Peran Serta Hakim dalam Pembelajaran Hukum, Majalah Hukum
Varia Peradilan Tahun XX Nomor 246 Mei 2006, Hlm. 10
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
Dalam Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Kitab-Undang-

Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang alat bukti yang

diperlukan dalam penyelesaian suatu perkara pidana terutama dalam masalah

pembuktian. Pembuktian adalah merupakan penyajiaan alat-alat bukti yang sah

menurut hukum yang diperlukan pada saat perkara pidana disidangkan di

pengadilan. Dari pembuktian di persidangan itulah hakim dapat memutus suatu

perkara. Dalam Pasal 183 KUHAP dijelaskan bahwa:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dari penjelasan yang ada dalam KUHAP, maksud dan tujuan

pembuktian adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan

kepastian hukum bagi seseorang.

Jenis alat bukti yang sah tertulis jelas dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP, yang terdiri dari:

a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa

Salah satu dari alat bukti yang sah adalah keterangan terdakwa. Hal itu

berarti, hakim memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk menggunakan

haknya yaitu memberikan kesaksiannya dalam persidangan, walaupun


keterangan terdakwa ini tidak terlalu mempengaruhi putusan hakim

dikarenakan alat bukti yang paling utama adalah keterangan saksi.

Hakim yang mengadili suatu perkara diharapkan dapat memberikan


putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan
memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari diri terdakwa, sehingga
putusan yang dijatuhkan setimpal dengan kesalahannya. 2
Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, terdapat
sekelumit hukum acara yang harus diterapkan bagi penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
korupsi. Pemeriksaan delik korupsi harus memperoleh prioritas yang
tinggi, dalam arti bahwa persidangannya harus didahulukan dari
perkara-perkara yang lain.3
Walaupun sudah memiliki undang-undang khusus yang mengatur

tentang tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, akan tetapi untuk hukum acara

dari pidana khusus ini masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) yang berarti walau delik korupsi ini adalah delik

khusus, tetapi hukum acara yang digunakan masih hukum acara yang sama

seperti delik-delik pidana lainnya.

Dalam Putusan Pengadilan Nomor 74/PID.SUS/TPK/2019/

PN.JKT.PST. tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa

Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT. PLN (Persero), majelis hakim

memutus bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme seperti yang didakwakan oleh

penuntut umum.
2
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan dan Permasalahan), PT. Citra Adi Bakti, Bandung, 2002, hlm. 119.
3
Kusmariansyah, Dasar Pertimbangan Hakim Menyatakan Surat Dakwaan Batal Demi
Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Palembang, 2014, Hlm. 31
Penuntut umum mendakwa terdakwa Sofyan Basir dengan dua

dakwaan, yaitu:

1. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56

ke-2 KUHP.

2. Pasal 11 jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2

KUHP.

Alat bukti yang dihadirkan oleh penuntut umum antara lain:

1. Keterangan Saksi Abdul Malik Rudy Herlambang, Ir. Iwan

Agung Firstantara, Dwi Hartono, ST, Suwarno, Supangkat Iwan

Santoso, Ir. Mimin Insani, Audrey Ratna Justianty alias Ine, Tahta

Maharaya, Johannes Budisutrisno Kotjo, Eni Maulani Saragih,

Muhammad Ahsin Shidqi, Muhammad Ali, Sarwono Sudarto, dan

Setya Novanto.
2. Keterangan Ahli Dr. Rocky Marbun, S.H., M.H. dan Abdul Ficar

Hadjar, S.H., M.H.

3. Barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum dalam

persidangan sebanyak 581.

4. Alat bukti surat sebanyak 85.

5. Alat bukti petunjuk sebanyak 6.

Terhadap surat dakwaan dan alat bukti yang dihadirkan oleh penuntut

umum, advocat beserta terdakwa memberi pelawanan berupa mengajukan

beberapa alat bukti. Alat bukti yang dihadirkan terdakwa diantaranya adalah:

1. Saksi a de charge Dr. Fahmi Radi MBA dan Sunarsip M.E., A.k.

2. Saksi Ahli a de charge Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, S.H.,

M.Hum, Dr. Mudzakkir S.H., M.H., Dr. Chairul Huda, S.H., M.H

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, barang bukti

surat dan keterangan terdakwa serta barang bukti lainnya, maka diperoleh fakta

hukum sebagai berikut :

 Bahwa Terdakwa Sofyan Basir adalah Direktur Utama PT PLN (Persero)

yang telah menanda tangani Kesepakatan Proyek Independent Power

Producer (IPP) Pembangkit Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU

MT Riau-1) antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan

BNR dan Cina Huadian Engeneering Company Limited (Chec ltd).

 Bahwa Terdakwa Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero)

membawahi Direktur-Direktur lainnya yaitu Direktur Pengadaan Strategis-


2 dijabat oleh Supangkat Iwan Santoso dan Direktur Perencanaan Korporat

Nicke Widyawati dan PT PLN Persero adalah merupakan mitra kerja

Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi, Riset dan Teknologi serta

Lingkungan Hidup.

 Bahwa dalam kaitanya dengan kesepakatan yang di tanda tangani oleh

Terdakwa Sofyan Basir mengenai Kesepatan Proyek Independent Power

Producer (IPP) dengan Pihak BNR, dimana Johanes Budisutrisno Kotjo

yang merupakan pemilik saham di BNR sebesar 4,3 % yaitu sebanyak

40.045,552 (empat puluh juta empat puluh lima ribu lima ratus lima puluh

dua) lembar saham dan juga memiliki anak Perusahaan PT Samantha Batu

Bara yang bergerak dibidang Pertambangan Batubara.

 Bahwa kemudian Johanes Budisutrisno Kotjo pada tahun 2015 membuat

kesepakatan dengan Chec, Ltd untuk memberikan fee sebagai agen dalam

Proyek Pembangunan PLTU MT Riau-1 yang diperkirakan sebesar USD

900.000.000,00 (sembilan ratus juta dollar Amerika Serikat) dengan fee

sebesar 2,5 % yang totalnya diperkirakan menjadi sebesar USD

25.000.000,00 (dua puluh lima juta dollar Amerika Serikat), dengan

rencana fee tersebut akan dibagikan oleh Johanes Budisutrisno Kotjo

kepada:

a. JK yaitu Johanes Budisutrisno Kotjo akan mendapatkan 24% dari

2,5 % sebesar USD6.000.000,00 (enam juta dollar Amerika

Serikat)
b. SN yaitu Setya Novanto akan mendapatkan 24% dari 2,5 %

sebesar USD6.000.000,00 (enam juta dolar Amerika Serikat).

c. AR (Andreas Rinaldi) sebesar 24 % dari 2,5 % sebesar

USD6.000.000,00 (enam juta dolar Amerika Serikat).

d. PR (Philip Cecile Rickard) selaku Ceo PT Samantaka Batubara

sebesar 12 % dari 2,5 % USD3.125.000,00 (tiga juta seratus dua

puluh lima dolar Amerika Serikat).

e. Rudy (Rudy Herlambang) selaku Direktur PT Samantaka

Batubara) sebesar 4% dari 2,5 % USD1.000.000,00 (satu juta

dolar Amerika Serikat).

f. IK (Intekhab Khan) selaku Chairman BNR sebesar 4% dari 2,5 %

USD1.000.000,00 (satu juta dolar Amerika Serikat).

g. James (James Rijanto) sebesar 4% dari 2,5% USD1.000.000,00

(satu juta dolar Amerika Serikat).

h. Other (pihak-pihak lain yang membantu) sebesar 3,5 % dari 2,5%

USD875.000,00 (delapan ratus tujuh puluh lima dolar Amerika

Serikat).

 Bahwa Rudy Herlambang pada tangga 1 Oktober 2015 dengan diketahui

oleh Johanes Budisutrisno Kotjo mengirimkan surat ke PT Perusahaan

Listrik Negara (Persero) Nomor 225/SBJKTADM/X/ 2015 tentang

Pengajuan Proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut

tambang 2 x 300 MW di Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau yang

pada pokoknya memohon agar PT PLN (Persero) untuk memasukkan


proyek dimaksud ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik

(RUPTL) PT PLN (Persero).

 Bahwa Permohonan tersebut diajukan oleh Rudy Herlambang belum ada

tanggapan, maka pada Tahun 2016 Johanes Budisutrisno Kotjo melakukan

pertemuan dengan Setya Novanto meminta bantuan agar diberikan jalan

untuk berkoordinasi dengan Pihak PT PLN (Persero), kemudian Johanes

Budisutrisno Kotjo dipertemukan dengan Eny Maulani Saragih anggota

Komisi VII DPR RI di ruangan Ketua Fraksi Golongan Karya Gedung

Nusantara DPR RI, dan pada kesempatan tersebut Setya Novanto meminta

kepada Eny Maulani Saragih untuk mengawal Johanes Budisutrisno Kotjo

dalam Proyek PLTU Riau, dan Johanes Budisutrisno Kotjo menjanjikan

untuk memberikan hadiah atau uang kepada Terdakwa Eni Maulani

Saragih yang akan diambilkan dari fee agen yang diperolehnya sebesar 2,5

%.

 Bahwa kemudian Eni Maulani Saragih pada tahun 2016 mengajak

Terdakwa Sofyan Basir (Direktur Utama PT PLN Persero) untuk menemui

Setya Novanto dan pada kesempatan tersebut hadir Supangkat Iwan

Santoso selaku Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) dirumah

Setya Novanto dalam petemuan tersebut Setya Novanto meminta kepada

Sofyan Basir Proyek PLTGU Jawa III, akan tetapi dijawab oleh Sofyan

Basir bahwa Proyek PLTGU Jawa III sudah ada kandidat pemenangnya,

dan meminta Setya Novanto untuk Proyek Pembangkit Listrik lainnya,


kemudian untuk Proyek PLTU MT-Riau-1 Eni Maulani Saragih

berkoordinasi dengan Supangkat Iwan Santoso.

 Bahwa pada awal tahun 2017 Eny Maulani Saragih dan Joanes

Budisutrisno Kotjo menemu Terdakwa Sofyan Basir diruang kerjanya

dengan membawa proposal penawaran Proyek Pembangunan PLTU MT

Riau-1, dan memintanya untuk disampaikan ke Supangkat Iwan Santoso,

dan dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya di Hotel Fairmont Jakarta,

dimana pada pertemuan tersebut Terdakwa Sofyan Basir mengajak

Supangkat Iwan Santoso dan Nicke Widyawati melakukan pertemuan

dengan Eny Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo dan pada

kesempatan tersebut Eny Maulani Saragih dan Johanes Budisutriano Kotjo

meminta kepada Terdakwa Sofyan Basir supaya Proyek PLTU MT Riau-1

tetap mencantumkan RUPTL PT LPN (Persero) tahun 2017 sampai

dengan tahun 2026 dan Terdakwa Sofyan Basir meminta Nicke Widyawati

untuk melanjutkannya.

 Bahwa pada tanggal 29 Maret 2017 Eny Maulani Saragih dan Johanes

Budisutrisno Kotjo meminta IPP PLTU Mulut tambang 2X 300 MW di

Peranap Kabupaten Indragiri Hulu Riau masuk dalam Rencana Kerja dan

Anggaran Perusahaan (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PT PJB) sesuai

dengan permohonan Direktur PT Samantaka Batubara tanggal 1 Oktober

2015 yang diajukan kepada PT PLN Persero dan sesuai dengan Perpres

Nomor 4 tahun 2016, tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan

dimana pada tanggal 15 Mei 2017 PT PLN (Persero) menunjuk anak


perusahaan PT PJB untuk melaksanakan 9 (sembilan) proyek IPP

termasuk diantaranya proyel PLTU MT. Riau-1, dimana listrik yang akan

dihasilkan nantinya oleh Perusahaan IPP akan dijual kepada PT PLB

(Persero) yaitu PT PJB wajib memiliki saham 51 % Perusahaan

Konsorsium.

 Bahwa kemudian dilakukan pertemuan pada bulan juli 2017 bertempat di

ruang kerja Terdakwa Sofyan Basir yang didampingi ole Supangkat Iwan

Santoso dengan Eny Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo

pada kesempatan tersebut Terdakwa Sofyan Basir mengarahkan supaya

Supangkat Iwan Santoso menjelaskan mengenai mekanisme pembangunan

IPP sesuai dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2016 sebagai acuan dari PT

PLN (Persero) untuk menugaskan anak Perusahaannya untuk bermitra

dengan Perusahaan Swasta dengan syarat anak Perusahaan PT PLN

(Persero) memiliki saham sebesar 51 % pada kesempatan tersebut

Supangkat Iwan Santoso menyampaikan agar yang menjadi mitra nantinya

bekerjasama dapat menyediakan pendanaan modal untuk anak Perusahaan

PT PLN (Persero) dari penjelasan tersebut Johanes Budisutrisno Kotjo

menyatakan keseiapannya untuk bekerja sama dengan anak Perusahaan PT

PLN (Persero) serta akan bekerjasama juga dengan Chec, Ltd. untuk

menjadi penyedia modal dalam pelaksanaan proyek PLTU MT Riau-1.

 Bahwa Terdakwa Sofyan Basir masih dalam tahun 2017 melakukan

pertemuan dengan Eny Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo

di Lounge Bank Rakyat Indonsia bahwa Johanes Budisutrisno Kotjo bisa


mendapatkan Proyek PLTU MT Riau-1 dengan cara penunjukan langsung

dengan bekerjasama dengan anak Perusahaan PT PLN (Persero) yaitu PT

PJB dan akan memiliki saham minimal 51 % sesuai dengan ketentuan

Perpres No. 4 Tahun 2016.

 Bahwa selanjutnya Johanes Budisutrisno Kotjo meminta Rudy

Herlambang Direktur Samantaka Batubara untuk menyiapkan dokumen

teknis dan administrasi untuk dilakukan proses due dilligence oleh pihak

PT PLN (Persero) dan pada tanggal 18 Agustus 2017 PT PLN Batubara

memutuskan untuk bekerjasama dengan PT Samantaka Batubara sebagai

mitra untuk memasuk Batubara terhadap Proyek PLTU MT Riau-1 dengan

menerbitkan nota kesepahaman kerjasama pertambangan batubara Nomor

001/SBB/MOU-PLNBB/2017.

 Bahwa Terdakwa Sofyan Basir Supangkat Iwan Santoso melakukan

pertemuan dengan Eny Maulani Saragaih dan Johanes Budisutrisno Kotjo

pada bulan September 2017 di Restoran Arkadia Palza Senayan Jakarta

Selatan dan pada pertemuan tersebut Terdakwa Sofyan Basir

memerintahkan Supangkat Iwan Santoso untuk mengawasi proses kontrak

Proyek PLTU MT Riau-1 dan Eny Maulani Saragih menginginkan

Johanes Budisutrisno Kotjo segera memdapatkan Proyek PLTU MT Riau-

1 dan pada tanggal 14 September 2017 dilakukan penandatanganan

bertempat dikantor Pusat PT PLN (Persero) Kontrak Induk (head of

agreement) antara Iwan Agung Firsantara Direktur Utama PT PJB,

Suwarno Plt Direktur Utama PT PLN Batubara, Wang Kun perwakilan


dari Chec, Ltd., Philip Cecile Rickard selaku Ceo BNR, Ltd dan Rudy

Herlambang Direktur Utama PT Samantaka Batubara intinya masing-

masing pihak dalam kontrak induk akan bekerjasama dalam bentuk

konsorsium untuk mengembangkan proyek pembangunan PLTU MT

Riau-1 dengan komposisi kepemilikan saham yaitu PT PJBI 51 %, Chec,

Ltd., 37 % dan BNR, Ltd., 12 % sedangkan sebagai penyedia Batubara PT

Samantaka Batubara, kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan

perjanjian konsorsium (cosortium agreement) oleh Gunawan Yusi

Hariyanto Direktur Utama PT PJBI, Wang Kun Authorized Signatory

Chec, Ltd., dan Philip Cecile Rickard Direktur Utama BNR, Ltd., yang inti

perjanjiannya bahwa PT PJBI, Chec, Ltd., dan BNR, Ltd., sepakat untuk

mengajukan proposal kepada PT PLN Persero untuk mengembangkan

mengoperasikan dan memelihara proyek PLTU MT Riau-1.

 Bahwa tanggal 25 September 2017 dilakukan pertemuan di Kantor

Perwakilan PT PJB antara Yusri Febianto Manajer Senior PT PJB., Dwi

Hartono Direktur Operasi PT PJBI, Rudy Herlambang dan Wang Kun,

dimana terjadi kesepakatan bahwa kepemilikan saham konsorsium yang

nantinya mengerjakan Proyek PLTU MT Riau-1 saham mayoritas dimiliki

oleh PT PJBI dengan komposisi 51 % dengan setoran tunai modal hanya

10 %, Chec, Ltd., dengan komposisi saham 37 % dengan setoran tunai

modal sebesar 37 % ditambah 41 % kewajiban PT PJBI yang seluruhnya

berjumlah 78 % dan untuk BNR, Ltd., dengan komposisi saham 12 %

dengan setoran tunai modal sebesar 12 %.


 Bahwa sesuai dengan arahan dari Terdakwa Sofyan Basir agar Power

Purchased Agreemnet (PPA) Proyek PLTU Mulut Tambang Riau

ditandatangani, maka tanggal 22 September 2017 sampai dengan tanggal

23 September 2017 bertempat di Surabaya, Supangkat Iwan Santoso

melakukan konsinyering dengan beberapa pengurus anak perusahaan dari

PT PLN (Persero) seperti Direktur Utama PT PJB dan Direktur Utama

PLN Batubara sebagai pihak terkait dalam proyek pembangunan PLTU

MT Riau-1 sehingga menghasilkan kesepakatan PPA akan dilakukan

terhadap anak perusahaan PT PLN (Persero) terlebih dahulu seperti PT

PJB dan PLN Batubara yang bertujuan untuk menaikkan posisi tawar anak

perusahaan dalam mencari rekanan dan hasil konsinyering tersebut

Supangkat Iwan Santoso melaporkannya kepada Terdakwa Sofyan Basir.

 Bahwa Terdakwa Sofyan Basir terlebih dahulu menandatangani PPA

Proyek PLTU MT Riau-1 dengan mencantumkan tanggal maju yaitu

tanggal 6 Oktober 2017 dalam kenyataan LOI Nomor

1958/DAN.02.04/DITDAN-2/2017 tentang Letter of Intent (LOI) For the

Development or Riau-1 MM OFSPP (2x300 MW) IPP Projek baru

ditandatangai oleh Supangkat Iwn Santoso Direktur Pengadaan Strategis 2

PT PLN (Persero) dan Dwi Hartono perwakilan perusahaan konsorsium

tanggal 17 Januari 2018 dengan menggunakan tanggal mundur (back date)

yaitu tanggal 6 Oktober 2017 berisi tentang masa kontrak 25 tahun dengan

tarif dasar USD5,4916 (lima koma empat sembilan satu enam dollar
Amerika Serikat) per kwh dan segera membentuk perusahaan proyek yang

akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.

 Bahwa setelah Setya Novanto menjadi Tersangka, kemudia Eny Maulani

Saragih tidak lagi melaporkan perkembangan proyek PLTU MT Ria-1 dan

melaporkannya ke Idrus Marham yang pada saat itu menjabat Sekjen Parta

Golkar dan pada tanggal 25 September 2017 Eny Maulani Saragih

berkomunikasi memakai hendpon dengan Idrus Marham dan mengarahkan

Eny Maulani Saragih untuk meminta uang kepada Johanes Budisutrisno

Kotjo sebesar USD2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu dollar Amerika

Serikat) untuk keperluan Munaslub Golkar .

 Bahwa Terdakwa Sofyan Basir tanggal 6 Juni 2018 melakukan pertemuan

dengan Eny Maulani Saragih, Idrus Marham dan Johanes Budisutrisno

Kotjo dan ada kesepakatan untuk mendorong PT PLN (persero) PT PJBI

untuk menandatangani amandemen perjanjian konsorsium yang

direncakan untuk ditandatangai keesokan harinya.

 Bahwa Eny Maulani Saragih tanggal 7 Juni 2018 bertempat di Kantor PT

PLN (Persero) memfasilitasi pertemuan antara Rudy Herlambang Direktur

Utama PT Samantaka Batubara dengan Supangkat Iwan Santoso dan pada

pertemuan tersebut ditandatangani amandemen perjanjian konsorsium oleh

PT PJBI, Chec, Ltd., dan BNR, Ltd., dan dimasukkan ketentuan tambahan

dalam Pasal 3.3 yaitu para pihak sepakat dan memahami bahwa

pengelolaan perusahaan proyek harus dilaksanakan dalam bentuk


pengendalian bersama dan tunduk kepada hal-hal yang khusus (reserved

matters).

 Bahwa setelah ada kesepakatan Proyek PLTU MT Riau-1 antara PT PJBI

dengan BNR, Ltd., dan Chec, Ltd., dan untuk kepentingan Munaslub

Golkar dan kampanye Pilkada suami Eny Maulani Saragih yang

mencalonkan diri sebagai Bupati Temanggung, maka Eny Maulani

Saragih telah menerima imbalan berupa uang secara bertahap sebesar

Rp4.750.000.000,00 (empat milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan

setelah Eny Maulani menerima pemberian sebesar Rp500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah) pada tanggal 13 Juli 2018, kemudian Petugas KPK

mengamankan Eny Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo

beserta uang yang Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 Bahwa dari keseluruhan uang yang diterima oleh Eny Maulani Saragih

dari Johanes Budisutrisno Kotjo tersebut, kemudian sebesar

Rp713.000.000,00 (tujuh ratus tiga belas juta rupiah) diserahkan kepada

Muhammad Sarmudji yang pada saat itu sebagai Wakil Sekretaris Steering

Committe Munaslub Parta Golkar Tahun 2017.

Setelah medengarkan keterangan saksi dan alat bukti lain yang

dihadirkan oleh penuntut umum maupun advocat, majelis hakim akan

mempertimbangkan segala sesuatu yang terungkap dalam persidangan, baik

keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, dan keterangan terdakwa.

Sedangkan untuk barang bukti dan petunjuk akan dihubungkan satu sama lain

untuk menentukan sejauh manakah fakta hukum yang terungkap di dalam


persidangan dapat menjadi penilaian hukum dari majelis hakim dalam

menentukan perbuatan terdakwa.

Pertimbangan majelis hakim dalam memutus bebas terdakwa dalam

Putusan Nomor 74/PID.SUS/TPK/2019/PN.JKT.PST adalah sebagai berikut:

Menimbang bahwa rumusan yang terdapat dalam Pasal 12 a Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penghapusan Tindak Pidana Korupsi,

unsur-unsurnya adalah:

Ad.1. Unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara:

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Menurut

ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

“Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

tentang Kepegawaian;

b. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari Keuangan Negara atau

Daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari satu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau,

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.


Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 1999 menentukan ”Penyelenggara Negara adalah

Pejabat Negara yang menjalankan fungsi Eksekutif, Legislatif, atau Yudikatif

dan pejabat lain yang berfungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”.

Menimbang, bahwa sedangkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 1999 menentukan bahwa Penyelenggara Negara meliputi :

a. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;

b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

c. Menteri;

d. Gubernur;

e. Hakim;

f. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang- undangan yang berlaku;

g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

Penyelenggara Negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang- undangan yang berlaku.

Menimbang, bahwa dari pengertian unsur Pegawai Negeri atau

Penyelengga tersebut, dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi, keterangan

Terdakwa, barang bukti surat serta barang bukti lainnya, bahwa Terdakwa

Sofyan Basir adalah Direktur Utama PT PLN (Persero) yang telah menanda
tangani Kesepakatan Proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit

Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) antara PT Pembangkit

Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan BNR dan Cina Huadian Engeneering

Company Limited (Chec ltd) dan telah memberikan keterangan dipersidangan

dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan apa yang didakwakan kepada

Terdakwa Sofyan Basir adalah berkaitan dengan perkara Tindak Pidana

Korupsi atas nama Eny Maulani Saragih yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap sebagai anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (DPR R.I.) periode tahun 2014 s.d. tahun 2019 berdasarkan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 92/ P Tahun 2014 tanggal 30

September 2014, dan kedudukan Eny Maulani Saragih dalam perkara a quo

adalah sebagai Penyelenggara Negara, maka dengan demikian unsur pasal

“pegawai negeri atau penyelenggara negara” telah terpenuhi menurut hukum.

Ad.2. Unsur Menerima Hadiah atau Janji;

Menimbang bahwa unsur perbuatan menerima telah terkandung unsur


kesengajaan secara diam/ terselubung. Namun oleh karena tidak
dicantumkan kesengajaan terhadap perbuatan dalam rumusan, maka
kesengajaan atau kehendak untuk mewujudkan perbuatan menerima
tidak perlu dibuktikan secara khusus, yang harus dibuktikan cukup
adanya perbuatan menerima saja, maka dengan terbuktinya perbuatan
menerima, maka dianggap terbukti pula akan adanya kesengajaan
yang diarahkan pada perbuatan itu.4
Menimbang, bahwa selanjutnya Adami Chazawi menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan “Hadiah” adalah menurut tata bahasa lebih mengacu

pada pengertian benda atau kebendaan yang bernilai uang;

4
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia Cetakan
kedua, Penerbit Bayumedia, 2005, Hlm.173-174 dan 198-199.
Menimbang, bahwa menurut R. Wiyono yang dimaksud dengan
hadiah adalah sesuatu yang mempunyai nilai, sedangkan yang
dimaksud dengan janji adalah tawaran sesuatu yang diajukan dan akan
dipenuhi oleh si pemberi tawaran. Sesuatu adalah baik berupa benda
berwujud, misalnya uang, mobil, televisi atau tiket pesawat terbang
atau benda tidak berwujud misalnya hak yang termasuk dalam hak
atas kekayaan intelektual (HAKI) maupun fasilitas untuk bermalam di
suatu hotel berbintang, sedangkan janji adalah tawaran sesuatu yang
diajukan dan akan dipenuhi oleh si pemberi tawaran. Hal ini sejalan
dengan Putusan Hoge Raad tanggal 25 April 1916, yang menyatakan
hadiah adalah segala sesuatu yang mempunyai arti.5

Menimbang, bahwa dari pengertian Unsur Menerima Hadiah atau

Janji tersebut dihubungkan dengan fakta hukum yang terungkap dipersidangan

yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa barang bukti

surat dan barang bukti lainnya, bahwa terkait dengan belum ditanggapinya

surat yang diajukan oleh PT Samantaka Nomor 255/ SBJKTADM/ X/ 2015

kepada PT PLN (Persero) tentang Permohonan Pengajuan Proyek IPP PLTU

Mulut tambang 2 x 300 MW di Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau

tersebut, kemudian Johanes Budisutrisno Kotjo menemui Setya Novanto pada

tahun 2016 untuk meminta bantuan agar diberikan jalan untuk berkoordinasi

dengan PT PLN (Persero), dan sebagai tindak lanjutnya bertempat di ruangan

kerja Ketua Fraksi Golongan Karya (Golkar) Gedung Nusantara DPR R.I.,

Setya Novanto memperkenalkannya dengan Eni Maulani Saragih yang pada

saat itu selaku anggota Komisi VII DPR R.I. yang membidangi energi, riset

dan teknologi, dan lingkungan hidup yang merupakan mitra kerja dari PT PLN

(Persero). Dan Setya Novanto menyampaikan kepada Eni Maulani Saragih

untuk mengawal Johanes Budisutrisno Kotjo dalam proyek PLTU, dan Johanes

5
R. Wijono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
cetakan Pertama, Penerbit Sinar Grafika, 2005, Hlm.46-47 dan 86.
Budisutrisno menjanjikan untuk memberikan hadiah berupa uang kepada Eni

Maulani Saragih yang rencananya akan diambilkan dari bagian fee agen yang

akan diperoleh dari China Huadian Engineering Company, Ltd. (CHEC, Ltd.)

sebesar 2,5% dan hal ini disanggupi oleh Eni Maulani Saragih;

Menimbang, bahwa rencana pemberian fee agen sebesar 2,5% tersebut

diperkirakan nilainya sebesar USD900.000.000,00 (sembilan ratus juta dolar

Amerika Serikat) sehingga berjumlah USD25.000.000,00 (dua puluh lima juta

dolar Amerika Serikat), yang rinciannya yaitu : JK yaitu Johanes Budisutrisno

Kotjo mendapatkan 24% dari 2,5% sejumlah USD6.000.000,00 (enam juta

dolar Amerika Serikat), SN yaitu Setya Novanto mendapatkan 24% dari 2,5%

sejumlah USD6.000.000,00 (enam juta dolar Amerika Serikat), AR yaitu

Andreas Rinaldi mendapatkan 24% dari 2,5% sejumlah USD6.000.000,00

(enam juta dolar Amerika Serikat), PR yaitu Philip Cecile (CEO PT Samantaka

Batubara) akan mendapatkan 12% dari 2,5% sejumlah USD3.125.000,00 (tiga

juta seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), Rudy yaitu Rudy

Herlembang (Direktur Utama PT Samantaka Batubara) mendapatkan 4% dari

2,5% sejumlah USD1.000.000,00 (satu juta dolar Amerika Serikat), IK yaitu

Intekhab (Chairman BNR, Ltd.) mendapatkan 4% dari 2,5% sejumlah

USD1.000.000,00 ( satu juta dolar Amerika Serikat), James yaitu James

Rijanto (Direktur PT Samantaka Batubara) akan mendapatkan 4% dari 2,5%

sejumlah USD1.000.000,00 (satu juta dolar Amerika Serikat); dan Other yaitu

pihak-pihak lain yang membantu akan mendapatkan 3,5% dari 2,5% sejumlah

USD875.000,00 (delapan ratus tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat);
Menimbang, bahwa terkait dengan janji untuk memberikan fee atau

hadiah dari Johanes Budisutisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih yang total

jumlahnya yang telah diterima baik untuk kepentingan Munaslub Partai Golkar

dan kampanye pilkada suaminya sebagai calon Bupati Temanggung yang

diusung oleh Partai Golkar, berupa uang secara bertahap seluruhnya sejumlah

Rp4.750.000.000,00 (empat miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang

diterimanya melalui Tahta Maharaya yang merupakan tenaga ahli dari Eni

Maulani Saragih di kantor Johannes Budisutrisno Kotjo di Graha BIP Jakarta;

Menimbang, bahwa rincian uang yang diterima oleh Eni Maulani

Saragih adalah pada tanggal 18 Desember 2017 sebesar Rp2.000.000.000,00

( dua miliar rupiah), tanggal 14 Maret 2018 sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah), tanggal 8 Juni 2018 sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah) dan tanggal 13 Juli 2018 uang sejumlah Rp500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah);

Menimbang, bahwa dari total jumlah uang yang diterima oleh Eni

Maulani Saragih Rp4.750.000.000,00 (empat miliar tujuh ratus lima puluh juta

rupiah), dimana sejumlah Rp713.000.000,00 (tujuh ratus tiga belas juta rupiah)

diserahkan kepada Muhammad Sarmudji yang pada saat itu menjabat wakil

sekretaris steering committe Munaslub Partai Golkar Tahun 2017 dan sisanya

dipergunakan untuk kepentingan kampanye suaminya dalam Pilkada Calon

Bupati Temanggung di Jawa Tengah;


Menimbang, bahwa dari uraian-uraian pertimbangan Majelis Hakim

tersebut diatas dengan diterima uang sebesar Rp4.750.000.000,00 (empat

miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) oleh Eni Maulani Saragih, dan

sebesar Rp713.000.000,00 (tujuh ratus tiga belas juta rupiah) diserahkan

kepada Muhammad Sarmudji yang pada saat itu menjabat wakil sekretaris

steering committe Munaslub Partai Golkar Tahun 2017, maka dengan demikian

unsur menerima hadiah oleh Eni Maulani Saragih sebagaimana Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, sehingga unsur delik “menerima hadiah atau janji” telah

terpenuhi menurut hukum.

Ad.3. Unsur padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya:

Menimbang, bahwa dari pengertian unsur padahal diketahui atau patut

diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan

dengan kewajibannya dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi, keterangan

Terdakwa alat bukti surat dan barang bukti lainnya, maka diperoleh fakta

hukum bahwa sebagaimana yang telah Majelis Hakim pertimbangkan dalam

pertimbangan unsur menerima Hadiah atau Janji yaitu Eni Maulani Saragih

yang merupakan Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia periode 2014 sampai dengan 2019 telah menerima pemberian dari
Johanes Budisutrisno Kotjo yang totalnya berjumlah Rp4.750.000.000,00

(empat miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah);

Menimbang, bahwa selanjutnya untuk membuktikan apakah

Terdakwa Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero) mempunyai

perananan atau membantu terjadinya tindak pidana korupsi pemberian terhadap

Eni Maulani Saragih yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut,

maka Majelis Hakim menguraikan unsur Pasal 56 KUHP yang didakwakan

kepada Terdakwa Sofyan Basiir.

Ad.4. Unsur Pasal 56 ke-2 KUHP, dengan sengaja memberi kesempatan,

sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan:

Menimbang, bahwa sesuai dengan bunyi Pasal 56 KUHP yaitu“

Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan;

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan”;

Menimbang, bahwa menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab

Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal Penerbit Politeia Bogor halaman 75-76 yaitu

“Orang salah, membantu melakukan” (medeplichtig), jika ia sengaja

memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak

sesudahnya) kejahatan itu dilakukan, jika sesudahnya maka orang salah


melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” (heling) melanggar Pasal 480,

atau peristiwa pidana Pasal 221;

Menimbang, bahwa lebih jauh R. Soesilo mengatakan bahwa Elemen

sengaja harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak

mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk

melakukan kejahatan itu tidak dihukum, sedangkan Niat untuk melakukan

kejahatan harus timbul dari orang yang diberi bantuan , kesempatan, daya

upaya, atau keterangan itu, jika niat nya timbul dari orang memberi bantuan

sendiri, maka orang itu salah berbuat “membujuk melakukan (uitlokking);

Menimbang, bahwa dari uraian pengertian atau penjelasan Pasal 56

KUHP dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli,

keterangan Terdakwa dan barang bukti surat serta barang bukti lainnya, maka

diperleh fakta hukum bahwa Terdakwa Sofyan Basir adalah Direktur Utama

PT PLN (Persero) yang telah menanda tangani Kesepakatan Proyek

Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Tenaga Uap Mulut Tambang

Riau-1 (PLTU MT Riau-1) antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi (PT

PJBI) dengan BNR dan Cina Huadian Engineering Company Limited (Chec

ltd);

Menimbang, Johanes Budisutrisno Kotjo pada sekitar tahun 2016,

menemui Setya Novanto yang memperkenalkannya dengan Eni Maulani

Saragih yang merupakan anggota komisi VII DPR R.I. dan memiliki mitra

kerja dengan PT PLN (Persero) guna membantu mengawal Johanes


Budisutrisno Kotjo untuk mendapatkan proyek pembangunan PLTU MT Riau-

1 dan menjanjikan akan memberikan fee kepada Eni Maulani Saragih untuk

mendapatkan proyek pembangunan PLTU MT Riau-1, berasal dari 2,5% fee

agent yang akan diterima oleh Johanes Budisutrisno Kotjo dari perusahaan

Chec, Ltd.

Menimbang, bahwa terhadap adanya kesepakatan dari Johanes

Budissutrisno Kotjo untuk memberikan Fee kepada Eni Maulani Saragih yang

akan diambilkan dari fee agent sebesar 2,5 % yang diterima Johanes

Budisutrisno Kotjo dari Pihak China Huadian Enginering Company Ltd.,

sebagaimana yang rincian atau catatan dari Johanes Budisutrisno Kotjo yang

sudah menjadi Fakta Hukum sebesar USD25.000.000,00 (dua puluh lima juta

dolar Amerika Serikat) dari nilai proyek USD900.000.000,00 (sembilan ratus

juta dolar Amerika Serikat).

Menimbang, bahwa terhadap catatan fee tersebut yang merupakan

catatan sendiri dari Johanes Budisutrisno Kotjo, sebagaimana yang diterangkan

oleh Setya Novanto tidak mengetahui tentang adanya catatan tersebut dan

dirinya mendapat bagian sesuai yang disebutkan diatas, sedangkan Terdakwa

Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero) sebagai Pihak yang

menandatangi Kesepakatan Proyek Independent Power Producer (IPP)

Pembangkit Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) antara PT

Pembangkit Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan BNR dan Cina Huadian

Engeneering Company Limited (Chec ltd) tidak tercantum atau bukan sebagai

pihak yang menerima fee, dan Terdakwa Sofyan Basir tidak mengetahui dan
tidak memahami akan adanya fee yang akan diterima oleh Johanes

Budisutrisno Kotjo serta kepada siapa saja fee tersebut akan diberikan, hal ini

sesuai dengan apa yang disampaikan baik oleh Eni Maulani Saragih maupun

oleh Johanes Budisutrisno Kotjo bahwa uang yang diterima oleh Eni Maulani

Saragih yang berasal dari Johanes Budisutrisno Kotjo, Terdakwa Sofyan Basir

sama sekali tidak mengetahuinya;

Menimbang, bahwa sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Eni

Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo yang juga perkaranya sudah

diputus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tentang bahwa Terdakwa

Sofyan Basir tidak mengetahui adanya penerimaan fee secara bertahap

tersebut, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang mengatakan Keterangan saksi sebagai alat

bukti ialah apa yang apa yang saksi;

Terkait dengan pemberian uang yang diterima oleh Eni Maulani

Saragih dari Johanes Budisutrisno secara bertahap sebesar Rp4.750.000.000,00

(empat milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) adalah tanpa sepengetahuan

Terdakwa Sofyan Basir dan tidak ada kaitan dengan Proyek PLTU MT Riau-1,

karena Proyek PLTU MT Riau-1 telah sesuai dengan ketentuan Peraturan

Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur

Ketenagalistrikan yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 14

Tahun 2017, dan hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Eni Maulani
Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo bahwa Terdakwa Sofyan Basir tidak

tahu menahu tentang pemberian uang kepada Eni Maulani Saragih;

Menimbang bahwa dengan demikian Terdakwa Sofyan Basir tidak

terbukti melakukan perbantuan sebagaimana dakwaan Pertama Pasal 12 huruf

a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP;

Menimbang, bahwa oleh karena Majelis berpendapat bahwa Terdakwa

Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak

pidana perbantuan sebagaimana dakwaan pertama, maka Terdakwa Sofyan

Basir juga tidak terbukti melakukan tindak pidana perbantuan sebagaiman

dalam Dakwaan Kedua Pasal 11 jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.

Setelah penulis menganalisis pertimbangan majelis hakim dalam

memutus bebas terdakwa Sofyan Basir dalam Putusan Pengadilan Nomor

74/PID.SUS/TPK/PN.JKT.PST, penulis berpendapat bahwa putusan tersebut

sudah tepat.
Jika dilihat dari kronologi atau kasus posisi yang di tulis oleh penuntut

umum, setelah terdakwa Sofyan Basir dikenalkan oleh saksi Eni Mauliani

Saragih kepada saksi Johanes Budisutrisno Kotjo memang terdakwa bersalah

karena dengan jabatannya sebagai Direktur Utama PT. PLN (Persero) ia sudah

sudah memberi sarana agar saksi Johanes Budisutrisno Kotjo (diputus bersalah

dalam perkara berbeda) mendapatkan proyek PLTU MT Riau-1 dan karena

sudah mendapatkan proyek PLTU MT Riau-1, saksi Eni Mauliani Saragih

mendapatkan imbalan dari saksi Johanes Budisutrisno Kotjo.

Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas mengacu pada Pasal 191

ayat (1) KUHAP, yang berbunyi:

Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,


kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Dasar pertimbangan hakim dalam memutus bebas terdakwa Sofyan

Basir adalah tidak terpenuhinya unsur keempat dari unsur-unsur dalam Pasal

12 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, yaitu unsur Pasal 56 ke-2 KUHP : dengan sengaja

memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Selain itu dalam fakta persidangan diketahui bahwa kesepakatan fee

sebesar 2,5% yang akan diberi oleh saksi Johanes Budisutrisno Kotjo kepada

Eni Mauliani Saragih didapat dari pihak China Huadian Enginering Company

Ltd., tidak diketahui oleh terdakwa Sofyan Basir. Begitu pula dengan

pembagian fee yang lainnya yang merupakan catatan pribadi dari saksi Johanes
Budisutrisno Kotjo tanpa sepengetahuan terdakawa Sofyan Basir. Dengan kata

lain, proyek yang diberikan oleh terdakwa Sofyan Basir kepada saksi Johanes

Budisutrisno Kotjo itu tanpa adanya fee apapun.

Hal ini sejalan dengan tidak adanya alat bukti lain yang menunjukkan

adanya unsur bahwa terdakwa Sofyan Basir menerima pemberian hadiah atau

janji diberikan untuk menggerakkan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya. “Menggerakkan sesuatu dalam

jabatannya” yang dimaksud disini adalah pemberian proyek PLTU MT Riau-1

oleh terdakwa Sofyan Basir kepada saksi Johanes Budisutisno Kotjo.

Sehingga jika dilihat dari fakta-fakta persidangan terhadap alat bukti

yang dihadirkan oleh penuntut umum dan advocat terdakwa, sudah tepat jika

majelis hakim memutus bebas terdakwa Sofyan Basir karena unsur Pasal 12

huruf a yang didakwakan tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya alat bukti yang

menunjukkan tindakan yang dilakukan oleh terdakwa itu salah dan

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Walau terlihat tidak

mungkin suatu proyek besar diberikan secara cuma-cuma tanpa adanya hadiah

atau janji apapun, namun pembuktian dalam persidangan (alat bukti dan

keyakinan hakim) yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutus

suatu perkara.

Seorang hakim harus mempertimbangkan faktor-faktor yang ada


dalam diri terdakwa, yaitu apakah terdakwa benar-benar melakukan
perbuatan yang telah dituduhkan kepada dirinya, apakah terdakwa
mengetahui perbuatannya yang dilakukannya itu melanggar hukum
sehinga dilakukan dengan adanya persaan takut dan bersalah, apakah
terdakwa pada waktu melakukan perbuatan tersebut dianggap mampu
untuk bertanggung jawab atau tidak. Sehingga hakim harus membuat
keputusan-keputusan yang adil dan bijaksana dengan
mempertimbangkan implikasi hukum dan dampak yang akan terjadi.6
Implikasi hukum inilah yang menjadi pedoman hakim dalam memutus

suatu perkara. Putusan hakim tidak boleh terlepas dari unsur hukum yang

berlaku dan dakwaan yang didakwakan oleh penuntut umum. Artinya dakwaan

penuntut umum sangat penting dalam suatu putusan, karena putusan hakim

sendiri harus sesuai dengan dakwaan dari penuntut umum, tidak boleh diluar

dari apa yang didakwakan di surat dakwaan.

Rumusan Pasal 197 huruf e KUHAP menyatakan:

Salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan.
Pasal-pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Terdapat dua kategori pertimbangan hakim dalam memutus suatu


perkara, yaitu pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan
pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis.7
a. Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan
pada faktor-faktor yang telah terungkap di dalam persidangan dan
oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus
dimuat dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis tersebut
diantaranya:
1. Dakwaan penuntut umum;
2. Tuntutan pidana;
3. Keterangan saksi;
4. Keterangan terdakwa;
5. Barang bukti;
6. Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Pertimbangan non yuridis yang terdiri dari latar belakang
perbuatan terdakwa, kondisi ekonomi terdakwa, ditambah hakim

6
Syarifah Dewi Indawati S, Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Menjatuhkan Putusan Lepas dari
Segala Tuntutan Hukum Terdakwa dalam Perkara Penipuan (Studi Putusan Pengadilan Tinggi
Denpasar Nomor 24/PID/2015/PT.DPS), Jurnal Verstek Volume 5 Nomor 2 Bagian Hukum
Universitas Sebelas Maret, 2015, Hlm. 268.
7
Praditha Rika Negara, Pertimbangan Hukum Oleh Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap
Anak yang Melakukan Penyalahgunaan Narkotika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014,
Hlm. 5.
haruslah meyakini apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana
atau tidak sebagaimana yang termuat dalam unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan kepadanya.

Sebelum memutus suatu perkara pidana, hakim tentu sudah sunguh-

sungguh memperhatikan persesuaian antara keterangan satu saksi dengan saksi

lainnya, begitu juga persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang

dihadirkan di persidangan. Dalam pembuktian perkara pidana, keterangan saksi

merupakan alat bukti yang pertama dan paling utama, sehingga jika dilihat dari

keterangan saksi Johanes Budisutrisno Kotjo dan Eni Mauliani Saragih yang

menyatakan bahwa terdakwa tidak tahu mengenai uang fee dan tidak menerima

apapun dari kedua saksi tersebut, maka wajar jika hakim memutus bebas

terdakwa, selain daripada tidak terpenuhinya unsur dalam dakwaan penuntut

umum yaitu Pasal 56 ke-2 KUHP.

B. Analisis Putusan Bebas terhadap Terdakwa dalam Putusan Pengadilan

Nomor 74/PID.SUS/TPK/2019/PN.JKT.PST. Sesuai Dengan Hukum yang

Berlaku

Putusan hakim merupakan putusan akhir dari persidangan perkara

pidana tingkat satu atau tahap pemeriksaan di pengadilan negeri. Pada Bab I

tentang ketentuan umum, dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP, dikatakan bahwa :

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam


siding pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.

Dari penjelasan Pasal 1 butir 11 tersebut, dapat disimpulkan bahwa

putusan dalam perkara pidana terbagi menjadi 3, yaitu:

1. Putusan bebas (vrijspraak);
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht
vervolging); dan
3. Putusan pemidanaan (veroordeling).8

Dapat dikualifikasikan bahwa Putusan Nomor

74/PID.SUS/TPK/2019/ PN.JKT.PST. tersebut termasuk dalam putusan bebas

yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 11 KUHAP. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa Putusan Bebas Nomor

74/PID.SUS/TPK/2019/PN.JKT.PST. termasuk dalam jenis putusan yang

diatur dalam undang-undang. Sebenarnya jenis putusan bukan hanya putusan

akhir yang terbagi menjadi tiga saja. Dalam praktik peradilan, manifestasi

Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa:

1. Penetapan; dan
2. Putusan yang berupa:
a. Putusan sela; dan
b. Putusan akhir.9

Namun dalam Putusan Nomor 74/PID.SUS/TPK/2019/PN.JKT.PST

tidak ditemukan putusan selanya, karena dalam putusan tersebut tidak

ditemukan eksepsi dari advocat terdakwa. Pada dasarnya putusan sela tidak

wajib, sama seperti eksepsi dari advocat terdakwa. Sehingga setelah dakwaan,

langsung dilakukan pembuktian di persidangan dan setelah pembuktian

tersebut barulah hakim dapat menilai bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas

suatu tindak pidana.

Dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP berbunyi:

8
Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pos, Jakarta, 2012, hlm.
149.
9
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Pengadilan), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 142-
143
Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Jika terdakwa dalam pemeriksaan persidangan tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, maka putusan bebas dapat

dijatuhkan. Tahap pemeriksaan di persidangan sangat penting dilakukan,

karena keseluruhan alat bukti akan dilihat korelasinya dengan alat bukti yang

lain. Sehingga sebanyak apapun alat bukti yang dihadirkan di persidangan,

tidak akan berarti jika tidak ditemukan korelasinya dengan alat bukti lain dan

perbuatan terdakwa.

Selain daripada diperlukannya minimal 2 alat bukti, dasar hakim

memutus suatu perkara adalah keyakinan hakim bahwa terdakwa melakukan

atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hal ini merupakan salah satu kebebasan

hakim yang tidak boleh ada campur tangan pihak lain. “Kebebasan hakim tidak

bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur tanggung

jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas yang

cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan.”10

Dalam Putusan Nomor 74/PID.SUS/TPK/2019/PN.JKT.PST terhadap

terdakwa Sofyan Basir, unsur-unsur tindak pidana sesuai dakwaan penuntut

umum, yaitu Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

10
Menurut Kees Bertens dikutip oleh Firman Floranta Adonara, “Prinsip Kebebasan
Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 12,
Nomor 2, Juni 2015, hlm. 221.
Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP, unsur-unsurnya adalah :

1. Unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2. Unsur menerima hadiah atau janji;

3. Unsur padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya;

4. Unsur Pasal 56 ke-2 KUHP, dengan sengaja memberi kesempatan,

sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Jika dibedah berdasarkan hukum yang berlaku, unsur pertama dan

unsur kedua sudah terpenuhi. Pertama karena pekerjaan terdakwa Sofyan Basir

sebagai Direktur PT. PLN (Persero) yang merupakan karyawan BUMN atau

penyelenggara negara. Kedua unsur menerima hadiah atau janji oleh Eni

Maulani Saragih telah terpenuhi, bukan terdakwa Sofyan Basir yang menerima

hadiah atau janji. Sehingga selanjutnya terdakwa Sofyan Basir diperiksa untuk

unsur ketiga dan keempat.

Menurut majelis hakim, unsur ketiga haruslah dibuktikan dengan

unsur keempat, yaitu peran terdakwa Sofyan Basir sebagai yang memberikan

kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Berdasarkan

uraian pengertian atau penjelasan Pasal 56 KUHP dihubungkan dengan

keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan barang bukti


surat serta barang bukti lainnya, maka diperleh fakta hukum bahwa terdakwa

Sofyan Basir adalah Direktur Utama PT. PLN (Persero) yang telah menanda

tangani Kesepakatan Proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit

Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) antara PT Pembangkit

Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan BNR dan Cina Huadian Engineering

Company Limited (Chec ltd).

Walau terdakwa tahu persis mengenai proyek PLTU MT Riau-1 dan

membantu saksi Johanes Budisutrisno Kotjo dalam mendapatkan proyek PLTU

MT Riau-1, namun menurut keterangan saksi Eni Maulani Saragih dan Johanes

Budisutrisno Kotjo yang juga perkaranya sudah diputus Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap tentang bahwa terdakwa Sofyan Basir tidak mengetahui

adanya penerimaan fee secara bertahap tersebut, hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di siding pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Dilakukannya pembuktian untuk mengetahui apakah terdakwa telah
bersalah atau sebaliknya, maka dilakukan adanya pembuktian dalam
persidangan yang kemudian hakim dapat memeriksa dan memutus
perkara tersebut. Sistem pembuktian dalam perkara pidana mengacu
pada KUHAP. Sistem pembuktian ini menganut sistem pembuktian
negatif dimana salah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakum yang didasarkan dengan cara dan alat-alat bukti
yang sah menurut Undang-Undang.11
11
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, Hlm. 280
Mengacu pada KUHAP, setelah peneliti menganalisis putusan tersebut

dan membaca pada bagian keterangan saksi dan alat bukti lainnya, memang

tidak ada alat bukti yang secara spesifik memojokkan terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum.

Alat bukti lain selain daripada keterangan saksi, merupakan alat bukti yang

digunakan dalam Putusan saksi Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno

Kotjo. Sehingga setelah diteliti oleh majelis hakim, tidak ditemukan korelasi

antara keterangan saksi dan alat bukti lainnya yang meyakinkan hakim bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

Keterangan saksi merupakan alat bukti pertama dan paling utama

dalam perkara pidana, sehingga setelah didengarkan keterangan saksi Eni

Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo yang menyatakan bahwa

terdakwa Sofyan Basir tidak mengetahui mengenai fee yang diberikan oleh

Johanes Budisutrisno Kotjo kepada beberapa orang. Selain itu terdakwa Sofyan

Basir tidak menerima sepeserpun fee dari Johanes Budisutrisno Kotjo dan tidak

ada alat bukti lain yang dapat menyangkal kesaksian saksi Eni Maulani Saragih

dan Johanes Budisutrisno Kotjo.

Sehingga sudah tepat jika putusan terhadap terdakwa Sofyan Basir

merupakan putusan bebas dan sudah berdasarkan hukum yang berlaku, yaitu

ketentuan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 15 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP dan telah sesuai

dengan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP karena tidak ditemukan korelasi

antara keterangan saksi dengan alat bukti lainnya yang menyatakan bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah

didakwakan oleh penuntut umum.

Anda mungkin juga menyukai