Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

DASAR-DASAR HUKUM ACARA PIDANA

DOSEN PENGAMPU :
Indar Dewi, S.H.,M.H

DISUSUN OLEH :
LAODE IBNU MAS’UD (20156122010)
MUH. NABHAN (20156122011)
NUR BASRAH (20156122014)

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI BISNIS ISLAM


STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘Alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kita senantiasa panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan
kita rahmat dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tanpa
ada suatu halangan apa pun.
Shalawat serta salam tak lupa pula kita kirimkan kepada jujungan kita yakni
baginda Rasulullah Saw. Yang telah membawa ummat nya dari alam yang gelap
gulita menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini. Mudah-
mudahan dengan shalawat yang kita kirimkan bisa menjadi syafa’at di akhirat kelak.
Aamiin ya rabbal alamiin.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang
telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini yang berjudul
“DASAR-DASAR HUKUM ACARA PIDANA” untuk memenuhi tugas semester 2
matakuliah Pengantar Hukum Indonesia.
Kami juga meminta maaf bila masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, baik secara materi atau pun dari segi penyampaian. Kami juga menerima
kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi
di kesempatan berikutnya.
Pambusuang, 21 maret 2023

penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Masalah............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................2
A. Pengertian Hukum Acara Pidana................................................................2
B. Sumber-Sumber Hukum Acara Pidana......................................................3
C. Asas-Asas Hukum Acara Pidana.................................................................3
BAB III PENUTUP....................................................................................................11
A. Kesimpulan....................................................................................................11
B. Saran..............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yang dimaksud hukum acara pidana yaitu keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana.
Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur
tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan hukum materiil.
Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan
hukum materiil melalui satu proses dengan berpedoman kan kepada peraturan
yang dicantumkan dalam hukum acara.1
Tujuan acara pidana telah ditentukan di dalam KUHAP yang telah dijelaskan
sebagai berikut :”Tujuan dari hukum adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku siapakah pelaku
yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hukum acara pidana ?
2. Apa sumber-sumber hukum acara pidana ?
3. Apa asas-asas hukum acara pidana ?

C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui lebih jauh lagi apa itu Hukum Acara Pidana, dan
mengetahui apa sebenarnya Hukum Acara Pidana itu.

1
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT Raja Grafindopersada, 2011, hal. 193.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud hukum acara pidana yaitu keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana.
Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur
tentang bagaimana cara mempertahankan dan menjalankan hukum materiil.
Fungsi dari hukum acara pidana adalah untuk menyelesaikan masalah yang
memenuhi norma-norma larangan hukum materiil melalui suatu proses dengan
berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan dalam hukum acara.
Berbicara tentang pengertian dan maksud hukum acara pidana, banyak para
tokoh serta pakar hukum yang mengartikannya, di antaranya:
a. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro
Hukum acara pidana adalah peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara
alat-alat perlengkapan pemerintahan melaksanakan tuntutan, memperoleh
Keputusan Pengadilan, oleh siapa Keputusan Pengadilan itu harus
dilaksanakan, jika ada seseorang atau kelompok orang yang melakukan
perbuatan pidana.
b. Menurut Van Bemellen
Hukum acara pidana yaitu kumpulan ketetapan hukum yang mengatur negara
terhadap adanya dugaan terjadinya pelanggaran pidana, dan untuk mencari
kebenaran melalui alat-alatnya dengan cara diperiksa di persidangan dan di
putus hakim dengan menjalankan putusan tersebut.
c. Menurut Bambang Poernomo
Dalam arti sempit, hukum acara pidana yaitu kumpulan peraturan tentang
proses pelaksanaan hukum acara pidana, dan dalam arti luasnya yaitu
kumpulan peraturan pelaksanaan hukum acara pidana ditambah dengan
peraturan lain yang berkaitan dengan itu. Dalam arti sangat luas, ditambah
lagi dengan peraturan tentang alternatif jenis pidana.2

B. Sumber-Sumber Hukum Acara Pidana


2
Dr. Riadi Asra Rahmad, S.H., M.H., HUKUM ACARA PIDANA EDISI I, Depok, RAJAWALI PERS, 2019. Hal. 1-2.

2
Setelah kita memahami apa itu hukum acara pidana, selanjutnya kita akan
membahas apa saja yang menjadi sumber hukum acara pidana. Berikut beberapa
sumber-sumber hukum acara pidana.
1. UUD 1945
Yang sangat penting dari ketentuan UUD 1945 yang langsung mengenai
hukum acara pidana ialah: pasal 24 ayat (1): kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang. Ayat (2): susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman
itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25: syarat-syarat untuk menjadi dan
untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Penjelasan kedua pasal ini mengatakan, kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintahan. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-
undang kedudukannya para hakim.
Pasal II Aturan peralihan UUD 1945; segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang dasar ini.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981,
LN 1981 Nomor 76.
3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970, LN
1970 Nomor 74).
4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.3

C. Asas-Asas Hukum Acara Pidana


Setelah mengetahui sumber-sumber hukum acara pidana, selanjutnya kita
akan membahas tentang asas-asas hukum acara pidana.
1. Asas Legalitas
Legalitas berasal dari kata legal (Latin), aslinya legalitas, artinya sah
menurut undang-undang. Asas legalitas ini dikenal sebagai berikut.
a. Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat
dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang
3
Mohammad Taufik Makarao, S.H., M.H., HUKUM ACARA PIDANA, GHALIA INDONESIA,2004,hal. 2.

3
telah ada. Asas ini tercantum dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHAP).
b. Asas dalam hukum acara pidana, bahwa setiap perkara pidana harus
diajukan ke depan hakim. Dalam KUHAP, konsideran huruf a mengatakan,
“bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali nya.
Bertolak belakang dengan asas legalitas adalah asas oportunitas yang
berarti sekalipun seorang tersangka telah terang cukup bersalah menurut
pemeriksaan penyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat dijatuhi
hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang
pengadilan oleh penuntut umum. Kasus perkara itu di “deponer”
(dikesampingkan) oleh pihak kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi
kepentingan umum”. kejaksaan berpendapat, akan lebih bermanfaat bagi
kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di muka sidang
pengadilan. Dengan demikian, perkaranya, dikesampingkan saja (dideponer).
cara penyampingan seperti inilah yang disebut dengan asas oportunitas. Pasal
8 UU Pokok Kejaksaan Nomor 15/1961, yang memberi wewenang kepada
Kejaksaan Agung untuk mendeponer suatu perkara berdasarkan alasan “demi
kepentingan umum”. hal ini dipertegas lagi oleh penjelasan pasal 77
KUHAP, yang berbunyi: yang dimaksud penghentian penuntutan tidak
termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yan gmenjadi
wewenang Jaksa Agung.
Kedua asas ini ada dalam KUHAP, namun titik beratnya cenderung lebih
mengutamakan asas legalitas. Sedang asas oportunitas hanyalah merupakan
pengecualian yang dapat dipergunakan secara terbatas sekali. Dan mungkin
dalam sejarah penegakan hukum yang akan datang, bangsa kita akan semakin
memahami betapa adilnya mempergunakan asas legalitas secara mutlak dan
menyeluruh, tanpa diskriminasi (perbedaan) atas alasan kepentingan umum.
2. Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum (Equality
Before the Law)

4
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi:
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang. Penjelasan umum butir 3 a KUHAP berbunyi: perlakuan yang sama
atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan
perlakuan.
3. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent)
Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP.
Asas ini juga telah dirumuskan dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi: “Setiap orang
yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap”.4
Menurut M. Yahya Harahap, asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi
teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator”. prinsip akusator
menempatkan kedudukan tersangka / terdakwa dalam setiap tingkat
pemerintahan.
a. Adalah subjek; bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka
atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan
manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.
b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.
Dengan asas praduga tak bersalah yang dimiliki oleh KUHAP, dengan
sendirinya memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk
mempergunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat
penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang
inkuisatoir, yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam setiap
pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-
wenang. Prinsip inkuisatoir inilah yang dulu dijadikan landasan pemeriksaan
dalam periode HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement). HIR sama sekali
tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka atau terdakwa

4
Mohammad Taufik Makario, S.H., M.H., HUKUM ACARA PIDANA, GHALIA INDONESIA, 2004, Hal. 3

5
untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya. Sebab sejak
semula aparat penegak hukum:
a. Sudah apriori menganggap tersangka atau terdakwa bersalah. Seolah-
olah si tersangka sudah divonis sejak saat pertama dia diperiksa di
hadapan pejabat penyidik;
b. Tersangka atau terdakwa dianggap dan dijadikan sebagai onjek
pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi kemanusiaannya dan
haknya untuk membela dan mempertahankan martabat serta kebenaran
yang dimilikinya. Akibatnya, sering terjadi dalam praktik penegakan
hukum, seorang yang benar-benar tak bersalah terpaksa menerima nasib
sial, meringkuk dalam penjara. Masih ingat barangkali kasus karta dan
sengkon, yang telah meringkuk menjalani hukuman beberapa tahun, tapi
pembunuhan yang dihukumkan kepadanya ternyata pelakunya adalah
orang lain(M. Yahya Harahap, 1993;39).5
Sebagai perbandingan, dalam konteks permasalahan sistem peradilan
pidana, di Amerika Serikat dikenal dua macam model sebagaimana
dikemukakan oleh Herbert L. Packer, secara garis besar, yaitu:
a. Crime Control Model (CCM)
b. Due Process model (DPM)
Pemikiran yang berkembang dalam CCM dan DPM sangat baik kita
gunakan sebagai dasar yang berkembang dalam melihat permasalahan
didalam pertengkaran dan para advokat, khususnya mengenai hak-hak
tersangka dan terdakwa.
Di Indonesia, masalah ini terus menerus terjadi perbedaan paham antara
penegak hukum (polisi dan jaksa) dan para advokat (para penasihat hukum)
yang berusaha memberi gambaran atau mempertahankan hak-hak tersangka.
Dan benturan ini tidak pernah selesai karena tidak pernah dipahami tentang
dasar berpijak dari kedua belah pihak.
Untuk itulah kita berusaha melihat persoalan ini dari sudut CCM dan DPM.
Walaupun keduanya berbeda, namun nilai-nilai hukumnya adalah sama.,
yakni:
a. Kedua-duanya mengakui adanya asas legalitas.

5
M. Yahya Harahap, 1993;39

6
b. Keduanya mengakui bahwa aparat penegak hukum tunduk pada aturan
yang berlaku.
c. Keduanya menuju kepada “Due Process of Law (Proses Hukum yang
Adil) ketiga nilai-nilai hukum ini terdapat dalam CCM dan PDM, sehingga
tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa CCM adalah buruk, DPM adalah
baik atau sebaliknya.6
4. Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan Dilakukan
Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat yang Berwenang.
Asas ini terdapat dalam penjelasan KUHAP butir 3 b. secara rinci dalam
hal penangkapan diatur dalam pasal 15 sampai 19 KUHAP. Sedangkan
dalam peradilan militer diatur dalam pasal 75 sampai dengan 77 UU No. 31
Tahun 1997.
Penahanan diatur dalam pasal 20 sampai dengan 31 KUHAP. Dalam
peradilan militer diatur dalam pasal 78 sampai dengan 80, dan pasal 137 dan
138 UU No. 31 Tahun 1997. Selain perintah penahanan dilakukan secara
tertulis, yang lebih prinsip lagi dalam KUHAP dan peradilan militer diatur
pembatasan penahanan. Hal ini yang membedakan dengan ketentuan HIR.
Dalam HIR, dulu tidak memberi batasan minimum masa penahanan pada
setiap tingkat pemeriksaan oleh aparat penegak hukum yang bersangkutan.
Setiap kali habis masa perpanjangan, setiap kali itu pula dapat diminta
perpanjangan untuk 20 hari berikutnya tanpa berkesudahan. Administrasi
perpanjangan tahanan tidak di pelihara dengan teliti, sehingga bisa kejadian
orangnya berada dalam tahanan, tetapi status tahanan nya tidak diketahui
apakah ia tahanan jaksa atau hakim.
Menyangkut penggeledahan diatur dalam pasal 32 sampai dengan pasal
37 KUHAP. Dalam peradilan militer diatur dalam pasal 82 sampai dengan
pasal 86 UU No. 31 Tahun 1997.
Sedangkan penyitaan diatur dalam pasal 38 sampai dengan pasal 46
KUHAP. Dalam peradilan militer diatur dalam pasal 87 sampai dengan pasal
95 UU No. 31 tahun 1997.
5. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi

6
Mohammad Taufik Makarao, S.H., M.H., HUKUM ACARA PIDANA, GHALIA INDONESIA,2004,hal. 6.

7
Asas ini terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 d. Pasal 9 UU
Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970 yang juga mengatur ketentuan
ganti rugi secara rinci pasal yang mengatur tentang ganti kerugian dan
rehabilitasi adalah pasal 95 sampai dengan pasal 101 KUHAP.
Dan kepada siapa ditunjuk ganti rugi? Apakah kepada pejabat yang
melakukan kesalahan atau langsung kepada instansi ataupun kepada negara?
Memang tentang hal ini tidak diatur secara tegas dalam pasal KUHAP. Akan
tetapi, pada tanggal 1 Agustus 1983 telah dikeluarkan peraturan
pelaksanaannya pada bab IV PP No. 27/1983. dengan peraturan ini telah
ditegaskan bahwa ganti kerugian dibebankan kepada negara c.q. Departemen
Keuangan. Dengan tata cara pembayarannya, Menteri Keuangan pada
tanggal 31 Desember 1983 telah mengeluarkan keputusan Menteri Keuangan
No. 983/KMK.01/1983.
Selain itu, dalam KUHAP terdapat hal baru yaitu penggabungan pidana
dengan ganti rugi. Pasal yang mengatur hal tersebut adalah pasal 98 sampai
dengan 101 KUHAP. Pasal 98 ayat (1) berbunyi: jika suatu perbuatan yang
menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh
pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan itu dapat menetapkan untuk menggabung perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
Jadi KUHAP, memberi prosedur hukum bagi seorang “korban” tindak
pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa
bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung.
Misalnya, kerugian yang timbul akibat pelanggaran lalu lintas dan jumlah
besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya terbatas sebesar kerugian
material yang diderita si korban. Penggabungan masalah ini dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana
(requisitur).7
6. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Apalagi jika kelambatan
penyelesaian kasus peristiwa pidana itu disengaja, sudah barang tentu

7
Mohammad Taufik Makarao, S.H., M.H., HUKUM ACARA PIDANA, GHALIA INDONESIA,2004,hal. 6-7.

8
kesengajaan yang seperti itu merupakan perkosaan terhadap hukum dan
martabat manusia.
Dalam KUHAP dapat kita lihat beberapa ketentuan sebagai penjabaran dari
asas peradilan cepat, pasal 50: Tersangka atau terdakwa berhak segera
mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan kepada penuntut umum
oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, segera
diadili oleh pengadilan.
Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan hal ini adalah pasal 102 ayat (1);
pasal 106; pasal 107 ayat (3); dan pasal 140 ayat (1).
7. Tersangka Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum
Dalam KUHAP pasal 69 sampai dengan 74 diatur Bantuan Hukum, dimana
tersangka mendapat kebebasan yang sangat luas. Asas bantuan hukum bagi
tersangka ini telah menjadi ketentuan universal di negara-negara demokrasi
dan beradab. Dalam “International Covenant on Civil dan Political Rights
article 14 sub 3d kepada tersangka diberikan jaminan: To be in his presence,
and to difend himself in person or through legal assistance of his own
choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of this right, and
to have legal assistance assigned to him, in any case where the interest
justice so require, and without payment by him in any such case if he dose
not have suffient means to pay for it (Andi Hamzah, 1985; 31). diadili dengan
kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan
penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya
ini jika ia tidak mempunyai untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar
penasihat hukum, ia dibebaskan dari pembayaran.
8. Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Hadirnya Terdakwa
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam pasal 154, 155, dan seterusnya
dalam KUHAP. Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah
kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan
verstek atau in absentia. Tetapi ini hanya merupakan pengecualian yaitu
dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Pasal 213
KUHAP berbunyi, terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk
mewakilinya di sidang. Begitu pula ketentuan dalam pasal 214 yang
mengatur acara pemeriksaan verstek itu.

9
Dalam hukum acara pidana khusus, seperti Undang-Undang Nomor 11
(PNPS) tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dikenal dengan pemeriksaan pengadilan secara in absentia atau
tanpa hadirnya terdakwa.
9. Prinsip Peradilan Terbuka untuk Umum
Pasal yang mengaur tetnang asas ini adalah pasal 153 ayat (3) dan (4)
KUHAP yang berbunyi: Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua
membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwannya anak-anak. Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) mengakibatkan batalnya
putusan demi hukum.
Berkaitan dengan peradilan terbuka untuk umum ini, tentunya bagi yang
mengikuti persidangan selayaknya memperhatikan tata tertib persidangan
yang antara lain dalam pasal 217 berbunyi: (1) Hakim ketua sidang
memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib persidangan, (2) Segala
sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata
tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.
Adapaun pasal lain yang masih berkaitan dengan ini yakni: pasal 218 dan
219; dan pasal 232 KUHAP.8

8
Mohammad Taufik Makarao, S.H., M.H., HUKUM ACARA PIDANA, GHALIA INDONESIA,2004,hal. 9-10.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi sebagai kesimpulan, yang dimaksud hukum acara pidana yaitu
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya alat-alat
penegak hukum melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana. Fungsinya
menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum materiil
melalui satu proses dengan berpedoman kan kepada peraturan yang dicantumkan
dalam hukum acara.
Adapun sumber-sumber Hukum Acara Pidana, yaitu:
1. UUD 1945;
2. KUHAP UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76;
3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman;
4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983, tentang pelaksanaan
KUHAP;
5. UU No. 5 Tahun 1986, tentang Mahkamah Agung.
Kemudian asas-asas dalam Hukum Acara Pidana, sebagai berikut: Asas
legalitas, Asas perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum, Asas
praduga tak bersalah, Asas penahanan,pengeledahan, penangkapan, dan penyitaan
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang, Asas ganti
rugi dan rehabilitasi, Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, Asas
tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum, Asas pengadilan memeriksa
perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, dan Asas prinsip peradilan terbuka
untuk umum.

B. Saran
Mudah-mudahan dengan makalah ini bisa membawa sedikit pemahaman
terkait Hukum Acara Pidana walaupun pada makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karenanya, kami sangat antusias atas masukan dan kritikan dari
para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA
Djamali, R. A., 2011. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: PT Raja
Grafindopersada.
Dr. Riadi Asra Rahmad, S. M., 2019. HUKUM ACARA PIDANA. KE1 penyunt.
Depok: RAJAWALI PERS.
Mohammad Taufik Makarao, S. M., 2004. HUKUM ACARA PIDANA.
TANGGERANG: GHALIA INDONESIA.
M. Yahya Harahap, 1993. Sejarah Hukum Indonesia. KE3 penyunt. Balikpapan: PT
Sinar Bersama.

12

Anda mungkin juga menyukai