Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

DASAR HUKUM PEMIDANAAN DAN TEORI


PERCOBAAN

Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu : Najichah, S.H.I.,M.H

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Kurlian Puspa Dwi Dharma Yanti 2102046007
2. Muhammad Aqil Khrisna 2102046044
3. Muhammad Aniq Athoillah 2102046082

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARI`AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan kemudahan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
membahas tentang ”Dasar Hukum Pemidanan dan Teori Percobaan” tepat pada waktunya.
Sholawat serta salam tak lupa selalu terpanjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang karena
atas jasa beliaulah kita dapat meresakannya manisnya kehidupan seperti sekarang ini.

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari ibu Dosen Najichah,
S.H.I.,M.H pada mata kuliah Hukum Pidana, serta untuk memberikan wawasan kepada para
pembaca mengenai pengertian, dasar hukum pemidanaan, syarat-syarat pidananya, macam
dan teori mengenai percobaan . Semoga makalah kami ini dapat berguna bagi pembaca dan
bagi kita semua di hari esok, Aamiin.

Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan juga penjelasan di dalam
makalah ini, kami menyadari, makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini untuk kedepannya. Cukup sekian, terima kasih.

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... II

DAFTAR ISI……….......................................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 5

A. Pengertian Hukum Pidana ....................................................................................... 5


B. Dasar Pemidanaan ................................................................................................... 6
C. Syarat Pidana dan Percobaan .................................................................................. 6
D. Macam-Macam Percobaan ..................................................................................... 8
E. Teori Percobaan ..................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 11

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 11
B. Saran ...................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 12

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menganut hukum
perdata, hukum pidana, dan hukum adat/agama. Hukum pidana dan perdata yang
diberlakukan di Indonesia merupakan hasil cetak dari hukum Belanda yang berlaku pada
masa kolonialisme.
Hukum pidana membahas mengenai perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan
konsekuensinya sebagai kewajiban pemerintah. Hukum pidana bersumber dari Wetboek
van Strafrecht milik Belanda. Pemidanaan suatu kasus kejahatan tidak lepas dari dasar-
dasarnya dan syarat-syarat pidananya. Dalam hukum pidana tercakup asas-asas
pemidanaan, jenis-jenis delik yang muncul dalam pidana, serta mengenai bagaimana
pemidanaan tersebut dilakukan.
Salah satu delik yang menjadi pembahasan adalah delik percobaan. Dalam hukum
pidana, dibahas teori maupun pandangan mengenai apa dasar suatu delik percobaan patut
dipidanakan dan bagaimana syarat delik tersebut dapat dipidana.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi lebih lanjut dari hukum pidana?
2. Hal apa yang mendasari dipidananya suatu delik?
3. Apa syarat dipidananya suatu delik, khususnya delik percobaan?
4. Apa saja macam-macam delik percobaan dan teori atas pemidanaan delik tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan lebih lanjut mengenai
hukum pidana serta dasar-dasar pemidanaan. Selain itu, diharapkan pula pembaca
memahami syarat-syarat dipidananya suatu kasus kejahatan, terutama delik percobaan,
serta berbagai pandangan dalam pemidanaan delik percobaan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan
mana yang tidak boleh dilakukan atau dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Hukum ini juga
menentukan kapan dan dalam hal-hal apa saja kepada mereka yang telah melanggar
larangan tersebut dan dapat dijatuhi pidana sebagaimana konsekuensinya. Hukum ini
juga menentukan dengan cara apa pengenaan pidana tersebut dapat dilaksanakan apabila
ada tersangka yang telah melanggar larangan tersebut1.

Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud atau sifatnya adalah bertentangan


dengan tata atau ketertiban yang dikendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan yang
melawan atau melanggar hukum. Adapun ukurannya, perbuatan yang melawan hukum
hukum yang mana telah ditentukan sebagai perbuatan pidana, hal itu termasuk
kebijaksanaan pemerintah, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Biasanya perbuatan-
perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian yang besar dalam masyarakat diberi
sanksi pidana. Selain dari pada kewajiban pemerintah untuk bijaksana menyesuaikan apa
yang ditentukan sebagai perbuatan pidana itu dengan perasaan hukum yang hidup di
dalam masyarakat, maka penentuan tersebut juga tergantung pada pandangan, apakah
ancaman dan penjatuhan pidana itu adalah hal jalan yang utama untuk mencegah
pelanggarang aturan atau larangan tersebut 2.

Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana,


kita menganut azas yang dinamakan azaz legalitas (principle of legality), yakni azas
yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian
oleh suatu aturan undang-undang (pasal 1 ayat 1 KUHP3) atau setidak-tidaknya oleh

1
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, hal 1
2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, hal 3-4
3
Pasal 1 Ayat 1 KUHP menentukan bahwa tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan

5
suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa (pasal 14 ayat 2 UUDS 4
dahulu) sebelum orang dapat dituntut atau dipidana karena perbuatannya.

Prof. Pompe, Utrcht, Netherland dalam Handboek Nederlands Strafrecht 4e dr.


1953. “ Hukum pidana adalah semua hukum yang menentukan terhadap perbuatan-
perbuatan apa seharunya dijatuhi pidana, dan apakah macam-macamnya pidana itu”. Prof.
Van Hamel dalam bukunya Inleiding Studie Ned. Strafrecht 1927. “ Hukum pidana
adalah semua dasar-dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam menyelenggarakan
ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan
hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan
tersebut”5.

B. Dasar Pemidanaan

Salah satu cara alat alat untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah memidana
seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Persoalannya apakah dasar dari
pemidanaan?.Apakah alasan membenarkan penjatuhan pidana oleh penguasa?. Hal ini
tentunya bertitik tolak dari filsafat hukum pidana yang termasuk dalam ilmu filsafat pada
umumnya. Ajaran mengenai dasar pembenaran pemidanaan berkembang pada abad ke 18
dan 19. Contoh: seseorang mengatakan bahwa ia mempunyai hak atas sesuatu benda, ia
harus dapat memberikan dasar hak itu. Misalnya dari penyerahan orang lain sebagai akibat
dari jual beli, warisan dari orang tua, dan lain-lain. Sehubungan dengan itu dipersoalkan
apa dasar hak penguasa untuk menjatuhkan pidana?. Jelas yang menjadi persoalan adalah
dasar pembenaran dari adanya hak penguasa untuk menjatuhkan pidana. Oleh karena itu,
ada beberapa ajaran yang menjadi dasar-dasar pemikiran penjatuhan pidana. Ajaran
tersebut adalah:

1. Berpijakan pada Ketuhanan

Menurut ajaran ini dalam mencari dasar pemidanaan didasarkan pada ajaran
kedaulatan Tuhan sebagaimana tercantum dalam kitab suci, penguasa adalah abdi
Tuhan untuk melindungi yang baik dan mengecutkan penjahat dengan penjatuhan
pidana. Pidana adalah tuntutan keadilan dan kebenaran Tuhan. Demikian juga Thomas
Van Aquino bertolak pangkal bahwa negara sebagai pembuat undang-undang dimana

4
Pasal 14 Ayat 2 UUDS “Tiada seorang diucapkan boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman,
kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya”
5
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, hal 7-8

6
hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Oleh karena itu
kebutuhan negara untuk mencapai tujuannya berupa kesejahteraan umum, maka negara
selain berhak menentukan hukum, negara juga berhak memaksa untuk mentaati hukum
dengan ancaman pidana.

2. Berpijakan pada Falsafah Sebagai Dasar Pemidanaan

Ajaran ini berpijakan pada perjanjian masyarakat (du contrat social


maatschappelijke verdrag) artinya adanya perjanjian fiktif antara rakyat dengan negara,
dimana rakyatlah yang berdaulat dan menentukan betuk pemerintahan. Kekuasaan
negara tidak lain dari pada kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Setiap warga negara
menyerahkan sebahagian dari hak asasinya (kemerdekaannya) sebagai imbalannya
mereka menerima perlindungan kepentingan hukum dari negara. Dan negara
memperoleh hak untuk mempidana. Dilandasari oleh ajaran J.J Rousseau.

3. Berijakan pada Perlindungan Hukum Sebagai Dasar Pemidanaan

Ajaran ini dipelopori oleh Bentham dan juga Van Hamel dan Simons. Mereka
mecari dasar hukum pemidanaan berpijakan pada kegunaan dan kepentingan.
Penerapan pemidanaan bertujuan sebagai perlindungan hukum maka dengan kata lain
penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin ketertiban hukum6.

KUHP Indonesia yang sekarang ada merupakan warisan dari Pemerintah Kolonial
Belanda, aslinya disebut wetboek van strafrecht voor nederlandsch-indie"s. 1915 No. 732,
jika dikaitkan dengan perkembangan zaman sekarang ini maka dianggap sangat perlu
untuk melakukan penyesuaian. Perubahan dilakukan dengan didasari pada pertimbangan
filosofis, sosiologi dan yuridis, yang dilakukan pada 3 (tiga) aspek utama, yaitu:
Perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum, Pertanggungjawaban pidana dan
Pidana dan tindakan yang dapat diterapkan. Walaupun pengundangan KUHP Nasional
mengalami beberapa kendala karena adanya pro-kontra dalam masyarakat, tetapi sebagai
sebuah produk hukum pidana yang bercirikan Bangsa Indonesia, KUHP Nasional harus
tetap diundangkan. Kesempatan yang ada sekarang harus dimanfaatkan untuk melakukan

6
Fitri Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, hal 12-13

7
pengkajian yang lebih intens berkaitan dengan rumusan pasal yang dianggap masih ada
kelemahan atau bermasalah 7.

C. Syarat-Syarat Pidana dan Percobaan

Pada hakekatnya, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir
karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya
adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Maka syarat pidananya seseorang harus
memenuhi unsunr-unsur tersebut, diantaranya:

a. Kelakuan dan akibat (untuk adanya perbuatan pidana bisanya diperlukan juga adanya
pidana tersebut)
b. Hal ikhwal atau keadaaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal tersebut
digolongkan oleh Van Hamel menjadi dua, yaitu yang mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pembuat
c. Adanya keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang obyektif
e. Unsur yang melawan hukum subyektif 8.

Dari rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHPidana tersebut tampak bahwa syarat-syarat
untuk dapat dipidananya percobaan tindak pidana kejahatan, yaitu:

a. Adanya niat untuk melakukan kejahatan


b. Niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan
c. Pelaksanaan itu tidak selesai
d. Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri9.
D. Macam-Macam Percobaan
a. Percobaan yang Tidak Wajar (Ondeugdelijke Poging)

Dikatakan percobaan yang tidak wajar, bilamana niat pelaku telah dinyatakan
dengan adanya permulaan pelaksanaan tindakan, tetapi tidak selesai pelaksanaan

7
I Nyoman Gede Remaja, Rancangan KUHP Nasional Sebagai Rancangan Pembaharuan Hukum Pidana Yang
Perlu Dikritisi, hal 1
8
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, hal 58-63
9 Astri C. Montolalu, Tindak Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Hal 77

8
tindakan itu, karena tidak mungkin terjadi dan di luar kehendaknya. Tegasnya ada
keadaan yang di luar kehendak pelaku, yang tidak memungkinkan penyelesaian-
tindakan itu, walaupun ia telah melakukan tindakan tindakan ke arah penyelesaian itu.
Keadaan itu bukan merupakan halangan/rintangan yang dilakukan oleh manusia,
makhluk lainnya atau alam, melainkan karena alat untuk menyelesaikan tindakan itu,
atau sasaran dari tindakan itu tidak wajar, yang tidak diketahui oleh pelaku. Jadi bukan
percobaannya yang tidak wajar, tetapi ditujukan kepada alat atau sasarannya. Untuk
memudahkan memahami percobaan yang tidak wajar dalam hubungannya dengan
ajaran-ajaran subjektif dan objektif, di bawah ini diberikan beberapa contoh.

b. Percobaan Dikualifisir, Sempurna Selesai, dan Tercegat

Ada beberapa ajaran lainnya yang sering dibicarakan sehubungan dengan


percobaan. Kendati ajaran ini hingga saat ini belum penting karena sistem hukum
pidana kita tidak mengenalnya, akan tetapi perlu juga sekadar diketahui. Ajaran/
pengertian tersebut adalah apa yang dinamakan: "percobaan yang dikualifisir"
Percobaan yang dikualifisir adalah, bilamana pelaku membatalkan lanjutan tindakan
yang diniatinya secara sukarela, untuk melakukan suatu tindak-pidana (kejahatan)
tertentu, tetapi telah memenuhi unsur-unsur dari tindak-pidana lainnya. Dalam hal ini
pelaku dapat dituntut pidana berdasarkan tindak-pidana lainnya itu.

c. Percobaan Terhadap Makar dan Mufakat Jahat

Ketentuan-ketentuan lain yang mirip dengan percobaan yang diatur dalam


KUHP adalah makar dan mufakat jahat. Menurut Pasal 87 KUHP, dikatakan ada
makar terhadap suatu tindakan, jika niat pelaku telah dinyatakan dengan adanya
permulaan-pelaksanaan-tindakan, seperti dimaksud dalam Pasal 53 KUHP10.

E. Teori-Teori Mengenai Percobaan

Dalam kasus percobaan tindak kejahatan, terdapat dua teori yang membahas
mengenai pemidanaan suatu percobaan. Teori tersebut ialah teori percobaan yang subjektif
dan teori percobaan yang objektif. Menurut J.E. Jonkers, ajaran subjektif condong kepada
subjek (maksud individu) dan ajaran objektif condong kepada objek (perbuatan pelaku).

1. Teori Subjektif (Subjectieve Pogingstheori)

10
Lukman Hakim, Asas-Asas Hukum Pidana, hal 69-72

9
Teori ini didukung oleh G. A. van Hamel. Menurut teori ini, yang menjadi dasar
dapat dipidananya pelaku yang mencoba melakukan kejahatan adalah watak dari pelaku
yang berbahaya. Jan Remmelink dalam bukunya, Hukum Pidana, mengungkapkan bahwa
teori ini berfokus kepada niatan pelaku 11. Van Hammel turut mendukung teori ini karena
ia memandang bahwa teori ini sesuai dengan berlakunya pidana untuk memberantas
kejahatan sampai ke akar-akarnya, yaitu watak jahat dari manusia (demisdegage mens).
Selain itu, menurutnya, teori ini juga sesuai karena pada dasarnya unsur kesengajaan (niat)
turut menjadi pegangan dalam pemidanaan.

Dari teori ini ditarik garis kesimpulan bahwa dasar pemidanaan bagi percobaan
adalah karena niat seseorang untuk berbuat jahat termasuk hal-hal yang dapat mengganggu
kepentingan hukum12.

2. Teori Objektif (Objectieve Pogingstheori)

Teori ini didukung oleh D. Simons. Menurut teori ini, tindak percobaan dapat
dipidanakan karena hal tersebut membahayakan kepentingan hukum meskipun hal
tersebut belum melanggar hukum. Penganut teori ini menganggap tindakan pelaku
sebagai dasar peninjauan. Menurut Simons, teori subjektif tidaklah tepat untuk
mendasari pemidanaan delik percobaan. Teori subjektif mengabaikan syarat akan
adanya permulaan kejadian dalam kasus kejahatan serta membuat penilaian dari suatu
kasus tergantung terhadap pandangan subjektif dari hakim. Simons berpandangan
bahwa permulaan kasus kejahatan telah terjadi segera setelah kejahatan tersebut
diperbuat.

Dua teori tersebut melahirkan konsekuensi yang berbeda dalam pendefinisian


batas perbuatan persiapan dan permulaan pelaksanaan serta konsekuensi atas percobaan
tidak mampu. Dalam pandangan teori subjektif, meskipun objek dan sarana yang
digunakan pelaku bersifat absolut tidak mampu, maka tindak percobaan tersebut tetap
dipidanakan. Hal ini berbeda dalam pandangan teori objektif. Dipandang dari teori
objektif, kasus percobaan dengan objek maupun sarana pelaku yang bersifat absolut
tidak mampu, tidak dipidanakan13.

11
Astri C. Montolalu, Tindak Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Hal 75
12
Ekaputra, Mohammad, and Abul Khair. "Percobaan dan penyertaan."
13
Astri C. Montolalu, Tindak Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Hal 75

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum pidana membahas mengenai kasus-kasus hukum yang dikenai pidana
serta konsekuensinya berdasarkan aturan yang dibuat oleh negara sebagai bentuk
penegakan hukum. Hukum pidana di Indonesia mewarisi kitab hukum pidana Belanda:
Wetboek van Strectraaf. Syarat pemidanaan suatu kasus antara lain adanya keluhan dan
akibat, hal ihwal yang menyertai perbuatan, munculnya kondisi tambahan yang
memberatkan pidana, dan adanya perlawanan atas hukum objektuf maupun subjektif.
Delik percobaan merupakan salah satu bagian dari pembahasan hukum pidana.
Kasus percobaan dapat dipidanakan apabila ada niat dan telah ternyata dari permulaan
pelaksanaan dan tidak rampungnya pelaksanaan bukan semata kehendak pelaku. Delik
percobaan dibagi menjadi percobaan tak wajar, percobaan makar dan mufakat jahat, serta
percobaan dikualifisir, sempurna selesai, dan tercegat. Dasar pemidanaan delik
percobaan terbagi atas dua pandangan, yaitu teori subjektif dan teori objektif. Teori
subjektif memandang delik percobaan dapat dipidana karena watak berbahaya yang
mengganggu kepentingan hukum. Sedangkan teori objektif memandang pemidanaan
percobaan didasarkan atas tindakan pelaku yang membahayakan kepentingan hukum.

B. Saran
Hukum pidana memiliki posisi penting dalam mewujudkan masyarakat yang
adil, aman, dan sejahtera. Literasi mengenai delik-delik yang kerap terjadi di
masyarakat, terutama delik percobaan, perlu dikaji secara lebih lanjut. Hukum pidana
juga tidak menutup pintu atas pemikiran-pemikiran baru yang perlu digali lebih dalam
dan didiskusikan guna mencapai tujuan hukum bagi masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ekaputra, Mohammad, and Abul Khair. (2009). "Percobaan dan penyertaan". USU Press

Hakim, Lukman. (2020). Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Deepublish.

Moeljatno. (1993). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:PT Rineka Cipta.

Remaja, I. N. G. (2019). Rancangan KUHP Nasional Sebagai Rancangan Pembaharuan


Hukum Pidana yang Perlu Dikritisi. Kertha Widya, 7

Tomalili, R. (2019). Hukum Pidana. Deepublish

Wahyuni, F. (2017). Dasar-dasar hukum pidana di Indonesia. PT Nusantara Utama Persada,


Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai