Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL

KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEADILAN


RESTORATIF SEBAGAI DASAR PENGHENTIAN
PENYIDIKAN

PATRESIA MOLLE

202021341

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA


AMBON
2023
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asas legalitas merupaskan dasar dari penegakan hukum yang

mengharuskan aparat penegak hukum di Indonesia dalam penyelesaian setiap

perkara pidana harus berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan sejarah sebelum adanya pendekatan sistem, dikenal apa yang

disebut pendekatan hukum dan ketertiban atau “law and order apparoach”

yang bertumpu pada asas legalitas. Hukum Acara Pidana Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 adalah Undang-undang

yang mengatur tegas tentang penyelidikan, pennyidikan, penangkapan, dan

hal-hal lain yang menjadi prosedur dari tindak pidana, merupakan Criminal

Justice System Model, yang menjadi dasar hukum utama dalam

penyelenggaraan peradilan pidana secara terpadu. Rencana tentang sistem

peradilan pidana terpadu ini sudah lama mengemuka. Bahkan dapat

dikatakan seiring dengan pembentukan UU No.8 Thaun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).1 Secara termonologi

sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu istilah yang

mana merujuk pada mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan

dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.2

1
Ali Said, Dalam Memberikan Kata Pengantar Pembentukan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Jakarta, hal iv.
2
Lilik Muliadi, Komplikasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik Dan Praktik Peradilan,
Madar maju, Bandung 2007, hal.38.
2

Sistem peradilan pidana yang digariskan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tahun 1981 merupakan sistem peradila

pidana terpadu yang diletakan diatas prinsip “diferensial fungsional” anatara

aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan “tahap dan proses

kewanangan” yang diberikan undang-undang.3

Berdasarkan Pasal 1 Ke 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang

dimaksud dengan penyidik adalah :

Pasal 1 ke 1 UU No.8 Tahun 1981


1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Dimana penyidik adalah bagian penting dari sistem peradilan pidana

Indonesia yang memiliki kewenangan diskresioner luar biasa.4 Selanjutnya

yang dimaksud dengan penyidikan tertuang adalam Pasal 1 ke 2 UU N0.8

Tahun 1981 yang berbunyi :

2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan


menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.

Proses penyidikna menurut UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitan Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan tetap dipatuhi dan dijadikan

sebagai fundamental. Tujuannya adalah agar proses tersebut sifatnya mutlak,

normatif dan adil dalam penyelenggaraannya.5

3
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan Dan
Penuntutan, Jilid II (2nd ad), Sinar Grafika, Jakarta, hal 90.
4
Anne Safrina dkk, Pengertian Penyidikan Tinjauan Hukum Administrasi Dan Hukum
Acara, Bandung, 2017, hal.17.
5
Redaksi Justika (16 Desember 2021), Proses Penyidikan Menurut KUHAP Yang Berlaku,
15 Maret 2023, Proses Penyidikan Menurut KUHAP yang Berlaku (justika.com).
3

Seiring dengan perkembangan hukum di Indonesia Keadilan Restoratif

(restorative justice) hadir sebagai alternatif dalam penyelesaian perkara

tindak pidana dimana dalam mekanisme tata cara peradilan pidana lebih

berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog, mediasi yang

melibatkan korban, pelaku, keluarga korban/pelaku dan seluruh pihak lain

yang terkait dengan perkara tersebut untuk bersama-sama menciptakan

kesepakatan dalam penyelesaian perkara pidana yang adil bagi pihak korban

maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan Kembali pada keadaan

semula dan mengembalikan hubungan yang baik dalam masyarakat.

Seperti pada kasus tindak pidana yang terjadi pada Tanggal 05 Juni

Tahun 2022 Sekitar Pukul 20. 15 WIT berlokasi di Jln. Philip Latumahina

Fardeis Tenga Kec. Sirimau Kota – Ambon telah terjadi tindang pidana

Penganiayaan terhadap saudara Febrian Dumatubun yang dilakukan oleh

Saudara Dynno Leasilolo. Denga laporan polisi Nomor:

LP/B/278/SPKT/Polresrta Ambon/ Polda Maluku, pelapor Saudari Ama

Maria Dumatubun. Serta Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.

Sidik/113/VI/2022 Reskrim. Kejadian tersebut pada hari, tanggal, tahun, jam,

serta tempat kejadian yang telah disebutkan diatas berawal pada saat Saudari

pelapor sedang mencari korban Febrian Dumatubun yang merupakan suami

pelapor. Dan pada saat pelapor meneliti Tempat Kejadian Perkara (TKP),

pelapor diberitahukan leh warga setempat bahwa suami korban telah dianiaya

oleh terlapor dengan benda tajam yaitu parang dan telah dibawa kerumah

sakit Dr. Latumeten Ambon., Setelah pelapor mendengar keterangan tersebut


4

pelapor langsung ke rumah sakit tempat korban dirawat. Setibahnya pelapor

di rumah sakit ternyata benar korban telah dirawat dirumah sakit dengan luka

Robek pada bagian dada dan luka robek pada bagian jari kiri korban.

Menidak lanjuti perbuatan pidana tersebut kemudian pada hari Selasa tanggal

7 Juni 2022 pihak Resor Kota P. Ambon dan P. P. Lease menyampaikan

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan

Negeri Ambon Nomor: SPDP/105/VI/2022/Reskrim bahwa telah

dilakukannya proses penyidikan terhadap Saudara Dynno Leasilolo sebagai

tersangka dalam tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang dimaksud

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dalam Pasal 351 ayat (1).

Pada hari Sabtu tanggal 11 Juli 2022 Resor Koa Ambon Pulau Ambon

dan P. P. Lease melakukan penghentian penyidikan terhadap perkara tersebut

melaalui Surat Ketetapan Nomor: SK. Sidik/18/VII/2022/Reskrim tentang

Penghentian Penyidikan dengan alasan Demi Hukum Keadilan Restorative.

Penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat (2) Hukum Acara

Piadana Undanng-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang berbunyi :

(1) Dalam hak penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup


buikti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau penyidikan dihentukan demi hukum, naka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.

Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan dan penghentian

penyidikan yang telah dilakukan oleh pihak Kepolisian Resor Kota Ambon
5

Pulau Ambon dan P.P Lease apakah telah sesuai dengan Pasal 109 UU N0 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang mana di dalam pasal tersebut

menyatakan adanya 3 syarat mutlak, yang harus dipenuhi salah satu dari

syarat tersebut untuk melakukan penghentian penyidikan. Tiga syarat yang

dimaksud dalam pasal tersebut adalah :

1. Tidak Cukup Bukti.

Tidak cukup bukti adalah penyidik tidak memiliki dua (2) alat bukti

yang sah untuk menetepkan seseorang sebagai tersangka dalam suatu

perbuatan pidana. Dimana dua (2) alat bukti yang sah dijadikan sebagai

bukti permulaan yang cukup untuk menentukan bahwa benar dugaan

tindak pidana tersebut telah dilakukan oleh seseorang. Yang mana alat

bukti merupakan segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan

perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka, dimana alat bukti

tersebut nantinya akan digunakan oleh penuntut umum sebagai bahan

pembuktian didalam persidangan guna mayakinkan yang mulia majelis

hakim atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa.6 Di dalam

UU No.8 Tahun 1981 menyatakan dalam Pasal 184 bahwa terdapat 5 alat

bukti yang sah yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,

keterangan terdawa. Bila dikaikan dengan peristiwa pidana yang terjadi

pihak penyidik telah memenughi 2 (dua) alat bukti yang sah dimana

Terdapat Surat Pemeriksaan dan Rawat Nginap Saudari Febrian

Dumatubun dari rumah sakit Dr. Latumeten Ambon, Keterangan saksi

6
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia,
Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, 2002, hal 23.
6

Ama Maria Dumatubun sebagai pelapor, keterangan Saksi Korban

Febrian Dumatubun, keterangan tersangka Dynno Leasilolo dan juga

disertai barang bukti Parang yang dignakan oleh Saudari tersangka

sebagai alat untuk melakukan perbuatan pidana tersebut yang mana jika

dikaitkan ketrangn saksi korban, saksi, tersangka dan barang bukti maka

akan merujuk pada petunjuk perbuatan pidana yang dilakuka oleh Saudara

Dynno Leasilolo yang nantinya akan di tetapkan sebagai terdakwa.

2. Peristiwa tersebut ternyata Bukan Peristiwa Pidana.

Menurut Simson yang merumuskan tidak pidana sebagai berikut:

tindak pidana adalah perbuatan manusian yang bertentangan dengan

hukum, diancam dengan pidana oleh Undang-unang perbuatan mana yang

dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjaweabkan dan dapat

dipersalahkan pada si pembuat.7 Sedangkan menurut Yulies Tiena

Mariani memberikan artiu peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang

mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang,

sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dekenakan oleh

sanksi pidana.8 Maka dalam proses penyidikan jika perbuatan tersebut

tidak bertantangan dengan hukum tidak dapat diancam pidana dengan

Undang-undantg dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh sipembuat

maka peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana. Telah jelas bahwa

peristiwa tersebut adalah tidak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh

Saudara Dynno Leasilolo yang jelas dari perbuatan pidana tersebut telah
7
Taufik Yanuar Chandra, Hukum Pidana, PT. Sangir Multi Usaha, Jakarta, 2022, hal.43
8
Bambang Purnomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Yogyakarta,
2001, hlm.120.
7

melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 351 ayat (1).

3. Dihentikan Demi Hukum.

Dalam UU No. 8 Tahun 1981 tidak menjelaskan secara tegas tentang

penyidikan dihentikan demi hukum. Tetapi mengacu pada UU No. 1

Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 76, Pasal 77 dan Pasal 78 Tentang Hukum Acara Pidana

bahwasannya Demi Hukum adalah nebis in iderm (seseorang tidak dapat

diadili untuk keduakalinya dalam suatu perkara yang sama), tersangka

meninggal dunia dan perkara tersebut daluwarsa (habis masanya).

Dalam pengaturan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 1 Tahun 1946

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan dan

mengatur bahwa Keadilan Restoratif bukan merupakan dasar penghentian

penyidikan demi hukum yang mana tidak dapat dijadikan sebagai suatu

syarat mutlak untuk dihentikannya suatu penyidikan tindak pidana. Bila di

kaitkan dengan peristiwa pidana yang telah diuraikan diatas berdasarkan

Surat Ketetapan Nomor: SK. Sidik/18/VII/2022/Reskrim tentang

Penghentian Penyidikan, pihak Kepolisian Resor Kota Ambon Pulau

Ambon dan P. P. Lease melakukan penghentian penyidikan berdasarakan

Demi Hukum Keadilan Restoratif. Maka telah jelas bahwa penhentian

penyidikan berdasarkan keadilan restorative yang dilakukan oleh pihak

Kepolisian Resor Kota Ambon Pulau Ambon dan P. P. Lease berdasarkan


8

pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan

Tindak Pidana Berdasarkan Keadila Restoratif.

Penggunaan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 sebagai dasar

untuk dilakukannya penghentian penyidikan berdasarkan Keadilan Restoratif

maka telah terjadinya pertantangan aturan dan ketidak sesuaian penjelasan

yang dimaksud dengan penghentian penyidikan demi hukum berdasarkan UU

No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dan UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Berdasarkan pada Asas Lex Superior Derogat Legi Inferior

bermakna Undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih tinggi

meniadakan keberlakuan Undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih

rendah.9 Oleh karena itu dalam pelaksanaan penghentian penyidikan apakah

pihak kepolisian harus tetap berpatokan pada Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mana secara

hirarki peraturan perundang-undangan jelas kedudukannya lebih tinggi dari

pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Kepolisian Negara

9
Nurfaqih Irfani, Asas Superior Lex Especialis dan Lex Posterior Pemaknaan Probelmatika
dan Penggunaan Dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum, Jakarta, 17 Agustus 2020, Hlm
311.
9

Republik Indonesia No 8 Tahun 2021 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

Berdasarkan Keadilan Restoratif, demi menghindari adanya petentangan

aturan hukum.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka penulis kemudian mengangkat

judul “Kajian Yuridis Terhadap Keadilan Restoratif Sebagai Dasar

Penghentian Penyidikan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan dalam latar belakang

diatas maka permaslahan yang penulis rumuskan adalah

1. Apakah Keadilan Restoratif Dapat Dijadikan Sebagai Dasar Penghentian

Penyidikan ?

2. Bagaimana perbandingan dasar penghentian penyidikan dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

2019 Tentang Penyidikan Tiundak Pidana.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji dan menganalisis apakah Keadilan Restoratif dapa dilakukan

seagai Dasar Penghentian Penyidikan.

2. Mengkaji dan menganalisis prosedur dan tata cara penghentian

penyidikan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara


10

Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tiundak

Pidana dengan dilakukannya perbandingan.

D. Kegunaan penelitian

Kegunaan penelitian dari penulis melakukan penelitian ini adalah :

1. Memahami serta Mengetahui penerapan keadilan rstoratif dalam

penangan perkara tindak pidana dan Pengaturan Hukum serta Syarat-

syarat Dalam Pelaksanaan Penghentian Penyidikan.

2. Hasil penulisan proposal ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan

masukan bagi pihak-pihak yang berkaitan guna memberikan pemahaman

dan sumbangsi pemikiran bagi aparat penegak hukum, mengenai proses

palaksaan penghentian penyidikan dalam penangan perkara tindak pidana.

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Kepolisian

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah lembaga hukum resmi

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi

Kewenangan untuk melakakukan penyidikan berdasar pada Pasal 14 ayat

(1) huruf g yang berbunyi :

(1). Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
g. penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang
undangan lainnya ;
11

Dalam melaksanakan penyidikan Kepolisian Negara Republik

Indonesia juga berwenang untuk menghentikamn proses penyidikan yang

berdasar pada Pasal 7 ayat (1) huruf i UU No. 8 Tahun 1981 dan Pasal 16

ayat (1) huruf h UU N0. 2 Tahun 2002 yang berbunyi :

Pasal 7 ayat (1) huruf i UU. No. 8 Tahun 1981


(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajibannya mempunya wewenang :
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 2 Tahun 2002
(1) Dalam rangka penyelenggaraan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan 14 dibidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia Berwenang untuk :
h. Mengadakan penghentian penyidikan ;

Jonlar Purba mengatakan polisi merupakan gerbang dari sistem

peradilan pidana.10 Seperti yang dikatakan oleh Donald Black,

peranannya sebagai penyelidik dan penyidik tindak pidana,

memenempatkan polisi berhubungan dengan berbagai tindak pidana

umum atau ordinary of common crimes.11

Selannjutnya KUHAP mengisyaratkan bahwa penyidik kepolisoan

negara Republik Indonesia dapat melakukan penghentian penyidikan jika,

tidak cukup bukti, peristiwa tersebut bukan peristiwa pidana, dan

dihetiakan demi hukum yaitu tersangka meningal dunia, perkara daluarsa

dan nebies in idem.

2. Konsep Keadilan Restoratif

10
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradya Pramita,
Jakarta 1991, hal.69.
11
Kuriniawan Tri Wibowo Dan Erri Gunrahati Yuni, Restorative Justice Dalam Peradilan
Pidana Di Indonesia, CV Pena Indis, Makasar, Januari 2021, hal. 55-56.
12

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia No 8 Tahun 2021 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

Berdasarkan Keadilan Restoratif, memberikan kewenangan Kepada

Penyidik Kepolisian Negara Repuublik Indonesia untuk melakukan

keadilan restoratif. Restorative Justice adalah “pergeseran pemidanaan

dalam sistem peradilan pidana yang mengutamakan keadilan bagi korban

dan pelaku tindak pidana serta pemidanaan alternatif seperti pekerja sosial

dan lain-lai. Bagir Manan menyatakan bahwa substansi Restorative

Justice mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: membangun

partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat

dalam menyelesaikan satu peristiwa atau tindak pidana; menempatkan

pelaku, korban, dan masyarakat sebagai “Stakeholders” yang bekerja

sama dan segera berusaha mencari solusi yang dianggap adil bagi semua

pihak (win-win solution).12

Pelaksanaan Keadilan Restoratif sendiri harus memenuhi persyaratan

senbagaimana yang diatur dalam Peratutan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak

Pidana Pasal 12 huruf a dan b mengisyaratakan bahwa, dalam proses

penyidikan tindak pidana dapat dilakukannya keadilan restoratif apabila

memenuhi persayatan materil dan formil sebagai mana dimaksud dalam

pasal tersebut yang berbunyi :


12
Jesylia Hillary Lawalata dkk, Pendekatan Restorative Justice Dalam Penyelesaian
Perkara Tindak Pidana Narkotika Pada Tahap Penyidikan, Tatohi Jurnal Hukum, Maret 222,
hal 95.
13

Pasal 12 Peratutan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Yang berbunyi:

Dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila


terpenuhi syarat:
a. materiel, meliputi :
1. tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada
penolakan masyarakat;
2. tidak berdampak konflik sosial;
3. adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak
keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan
hukum;
4. prinsip pembatas:
a) pada pelaku:
1) tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni
kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan
2) pelaku bukan residivis;
b) pada tindak pidana dalam proses:
1) penyelidikan; dan
2) penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut
Umum;
b. formil, meliputi :
1. surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan
terlapor);
2. surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian
perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau
keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan
perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan
Penyidik ;
3. berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara
setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan
restoratif;
4. rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui
penyelesaian keadilan restoratif; dan
5. pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas
tanggung jawab dan ganti rugi

3. Konsep Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi

kejahatan secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna

dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai


14

reaksi yang dapat diberikann kepada pelaku kejahatan, merupakan sarana

pidana maupun non hukum pidana, yang dapat di integrasikan satu

dengan yang lainnya.13 Gustav Radbruch mengatakan hukum adalah

pengembangan dari nilai keadilan, dimana keadilan memiliki sifat

normatif dan konstitutif untuk hukum. Bersifat nomatif karena untuk

keadilan, hukum positid bertumpu dan bersifat konstitutif kerena

keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum, dimana tanpa keadilan

maka sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.14 Penegakan hukum

memiliki fungsi perlindungan terhadap kepentingan manusia, sehingga

kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan.

Dalam menegakan hukum yang ada 3 unsur yang harus diperhatikan,

yaitu:15 asas prioritas yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa

untuk memerapkan hukum secara tepat dan adil untuk memenuhi tujuan

hukum maka yang diutamakan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan

setelah itu kepastian hukum.16

1. Kepastian Hukum (rechtssicherheit).

Hukum wajib dilaksanakan dan ditegakan. Setiap orang dapat

ditegakan hukum dalam berbagai berbagai peristiwa konkrit.

Bagaimana hukum itu tetap berlaku dan harus sesuai dengan

aturan hukum. Kepastian hukum adalah perlindungan yustisiable

terhadap tindakan yang sewenang-wenang, berarti seseorang yang


13
Barda Nawari Arief, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 109.
14
Bernard L Tanya Dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib manusia Lintas Ruang Dan
Generasi, Genta Publising, Yogyakarta, 2013, hal.117.
15
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Maha Karya Pustaka, Yogyakarta, 1999, hal
145.
16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2012, hlm.20.
15

memperoleh sesuatu diharapkan dalam keadaan tertentu.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab

secara normatif bukan sosiologis.17

2. Manfaat (zweckmassigkeit).

Hukum diperuntukan bagi manusia, sehingga penerapan dan

penegakannya wajib memberikan manfaat bagi masyarakat.

3. Keadilan (grechtigkeit).

Hukum sendiri bersifat umum dan mengikat, sebaliknya

keadilan sendiri bersifat individualistis dan subjektif. Dimana

masyarakat sangat memperhatikan keadilan didalam penegakan

hukum. Keadilan sendiri merupakan salah satu tujuan hukum yang

paling banyak di bicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat

hukum.18

F. Metode Penelitian.

1. Tipe Penelitian

17
Dominikus Rato, Filsafat Hukum: Memahami Hukum, Laksbang Perssindo, Yogyakarta ,
2010, hlm.59.
18
Dardjid Darmohardjo Shindarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2016, hal.155.
16

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, yaitu penelitian yang meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.19 Penelitian hukum normatif juga disebut sebagai penelitian

dokmatik yang mengkaji, memelihara dan mengembangkan bangunan

hukum positif dengan pemahaman secara logika. 20 Selain dari pada itu

penelitian ini juga memiliki ruang lingkup dan cakupannya, menurut

oerjono Soekanto dan Sri Mudji, menguraikan jenis penelitian hukum

normatif atau kepustakaan mencakup;

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horisontal.

d. Penelitian perbandingan hukum dan

e. Penelitian sejarah hukum.21

Dari penjelasan diatas bagi asas hukum adalah penelitian terhadap

unsur-unsur hukum yaitu unsur ideal yang menghasilkan kaidah-kaidah

hukum melalui filsafat hukum dan unsur yang nyata dimana

menghasilkan tata hukum tertentu dan sistematika hukum adalah

mengidentifikasi pngertian pokok dalam hukum yaitu subjek hukum, hak

dan kewajiban, serta peristiwa hukum dalam peraturan perundang-

undangan.
19
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafiando Persada, Jakarta 2003, hlm.13.
20
E.Seafullah Wiradipradja, 1015, Penuntutan Praktik Metode Penelitian Dan Penulisan
Karya Ilmiah Hukum, Keni Media, Bandung, 2010, hal 34.
21
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo, Jakarta, hal 14.
17

2. Pendekatan masalah

Pendekatan diartikan sebagai usaha untuk mengadakan hubungan

dengan orang atau metode untuk mecapai pengertian tentang masalah

penelitian.22 Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-

undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan konseptual (conceptual approach). Dimana pendekatan-

pendekatan diatas dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-

undangan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti,

selanjutnya menganalisis dan mempelajari penerapan norma atau kaidah

yang dilakukan dalam praktik hukum. Dan pendekatan konseptual yang

mana beranjak dari perundang-undangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum

primer, sekunder dan tersier yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat,

dimana meliputi undang-undang dan peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan masalah hukum yang diteliti dalam penelitian ini

yaitu :

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan

Hukum Pidana.

22
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Juni 2020, hal 55.
18

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

4. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

5. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2021 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Berdasarkan

Keadilan Restoratif.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang terdiri dari atas;

buku hukum, jurnal hukum yang berisi prinsip-prinsip dasar (asas

hukum), pandangan para ahli hukum (doktrin), hasil penelitian

hukum, kamus hukum, ensiklopedia hukum.23

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier sebagai bahan hukum yang memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus maupun ensiklopedi.24

4. Prosedur Studi Kdpustakaan Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

penelusuran terhadap bahan hukum yang bersifat relevan bagi isu hukum
23
Ibid, hal. 60.
24
I Ketut Suardati, Pengenalan Bahan Hukum (PBH), Bahan Ajar, Universitas Undayana,
Bali, 2017, hal 2.
19

yang dipakai oleh penulis. Baik itu berupa buku, kamus, jurnal dan literasi

lainnya yang diperoleh melalui tokoh buku, perpustakaan, studi

dokumentasi maupun media internet, seerta tempat atau lembaga penegak

hukum yang memiliki dokumen yang merupakan sumber penelitian ini.

5. Pengolahan Dan Analisis Kwalitatif

Pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini yaitu menggunakan

cara editing dan rekonstruks bahan hukum dengan cara menganalisis

bahan hukum yang didapatkan terutama relevansinya, kejelasan makna

dan kesesuaian antara bahan hukum. Selanjutnya setelah pengolahan

bahan hukum maka penulis melakukan, content analysis menunjukkan

pada metode analisis yang integratif dan secara konseptual cendrung

diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah dan

menganalisis bahan hukum untuk memahami makna, siknifikan, dan

reolevansinya.25

DAFTAR BACAAN

BUKU :

25
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kwalitatif: Akualisasi Metodologi, Ke Arah Regam
Varian Kontoporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 203.
20

Alfitra, 2002, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan


Korupsi Di Indonesia, Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup),
Jakarta.

Bambang Purnomo, 2001, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta


Yogyakarta.

Bernard L Tanya Dkk, 2013, Teori Hukum: Strategi Tertib manusia Lintas
Ruang Dan Generasi, Genta Publising, Yogyakarta.

Barda Nawari Arief, 2002, Kebijakan Huklum Pidana, Sinar Grafik, Jakarta.

Burhan Bungin, 2007, Metode Penelitian Kwalitatif: Akualisasi Metodologi,


Ke Arah Regam Varian Kontoporer, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Dardjid Darmohardjo Shindarto, 2016, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa


dan bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum: Memahami Hukum, Laksbang


Perssindo, Yogyakarta.

E. Saefullah Waradipradi, 2010, Penuntutan Praktik Penelitian Karya Ilmiah


Hukum, Keni Media, Bandung

Kuriniawan Tri Wibowo Dan Erri Gunrahati Yuni, 2021, Restorative Justice
Dalam Peradilan Pidana Di Indonesia, CV Pena Indis, Makasar.

Lilik Muliadi, 2007, Komplikasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritik


Dan Praktik Peradilan, Madar maju, Bandung.

M. Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi


Kepolisian), Pradya Pramita, Jakarta.

M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan


KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan, Cet.2. Sinar Grafik, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudikno Mertokusuma, 1999, Mengenal Hukum, Maha Karya Pustaka,


Yogyakarta.

Taufik Yanuar, 2022, Hukum Pidana,, PT. Singir Multi Usaha, Jakarta.
21

PERATURAN PERUNDANG-UNDANG :

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum


Acara Pidana (KUHAP).

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun


2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021
Tentang Penyidikan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

LAIN-LAIN :

Ali Said, Dalam Memberikan Kata Pengantar Pembentukan Pedoman


Pelaksanaan KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Jakarta, hal iv.
Anne Safrina dkk, Pengertian Penyidikan Tinjauan Hukum Administrasi
Dan Hukum Acara, Bandung, 2017, hal.17.
Jesylia Hillary Lawalata, Juan Alfaromona Sumarez Titahelu, Julianus
Edwin Latuperissa, Pendekatan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana Narkotika Pada Tahap Penyidikan, Tatohi Jurnal Hukum, Vol.2,
No. 1, Maret 2022.
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Juni
2020, hal 55.
I Ketut Suardati, Pengenalan Bahan Hukum (PBH), Bahan Ajar,
Universitas Undayana, Bali, 2017, hal 2.
Redaksi Justika (16 Desember 2021), Proses Penyidikan Menurut
KUHAP Yang Berlaku, 15 Maret 2023, Proses Penyidikan Menurut KUHAP yang
Berlaku (justika.com).

Anda mungkin juga menyukai