Anda di halaman 1dari 14

PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP DELIK... (Louisa Y.

Krisnalita dan Dinda Wigrhalia)

PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP DELIK BIASA ATAU


LAPORAN BERDASARKAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Louisa Yesami Krisnalita


Dinda Wigrhalia
Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
email: dolcevitacielo@gmail.com

Naskah diterima: 2 November 2020, direvisi: 12 November 2020, disetujui: 17 November 2020

ABSTRAK
Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan
bahwa jika penyidik ​​tidak menemukan cukup bukti atau suatu peristiwa bukan merupakan
tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik berwenang
​​ untuk
menghentikan penyidikan yang ditandai dengan dikeluarkannya Perintah Penghentian
Penyidikan atau disingkat SP3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep hukum
progresif merupakan rangkaian tindakan dengan mengubah sistem hukum (termasuk
mengubah peraturan perundang-undangan bila perlu) agar hukum lebih bermanfaat,
terutama dalam meningkatkan harga diri dan menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan
manusia, melaksanakan pembebasan, baik dalam berfikir maupun bertindak dalam
hukum, sehingga hukum mampu menyelesaikan tugasnya untuk mengabdi pada manusia.
Karena hukum bukan hanya sebagai bangunan regulasi, tetapi juga sebagai bangunan
pemikiran, budaya dan cita-cita penegakan hukum. Sebagian penegakan hukum oleh
Polri masih berorientasi pada positivisme legalistik, seperti menjabarkan undang-undang
tanpa menemukan hukum formal dalam undang-undang, namun sebagian sudah bergeser
ke arah hukum progresif dengan model penyelesaian restoratif keadilan.

Kata Kunci: penghentian penyidikan, teori hukum progresif, perintah penghentian


penyidikan.

ABSTRACT
Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code (KUHAP) states that if the
investigator does not find sufficient evidence or an event is not a criminal act or the
investigation is terminated for the sake of law, then the investigator has the authority to
stop the investigation which is marked by the issuance of Order for Termination of the
Investigation or abbreviated as SP3. The results show that the concept of progressive law
is a series of actions by changing the legal system (including changing legal regulations
if necessary) so that the law is more useful, especially in raising self-esteem and ensuring
human happiness and welfare, carrying out liberation, both in thinking and action in law,
so that the law can complete its duties to serve humans. Because the law is not only a
building of regulations but also a building of ideas, culture and ideals of law enforcement.
Part of the law enforcement by the Police is still oriented towards legalistic positivism,
such as spelling outlaws without finding any formal law in the law, but some have shifted
towards progressive law using the Restorative of Justice settlement model.

Keywords: termination of the investigation, progressive legal theory, order for termination
of the investigation.

93
Binamulia Hukum Vol 9 No 2 Desember 2020 (93-106)
https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.124

PENDAHULUAN Penghentian Penyidikan. Yang dalam Pasal


Latar Belakang 80 KUHAP memberikan kewenangan bagi
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu kedua institusi tersebut untuk mengajukan
sistem yang dibangun dan dibentuk dan permohonan praperadilan.
merupakan bagian dari sub sistem hukum, Kewenangan Penuntut Umum dalam
memiliki tujuan dalam penanggulangan Pasal 80 KUHAP tersebut, bertitik tolak
kejahatan yaitu salah satunya adalah dari ditariknya Surat Perintah Dimulainya
menyelesaikan kasus kejahatan yang Penyidikan (SPDP) berdasarkan Pasal
terjadi sehingga masyarakat puas bahwa 109 ayat (1) KUHAP. Sehingga, Penuntut
keadilan telah ditegakkan dan yang Umum berwenang untuk melakukan
bersalah dipidana.1 pengawasan secara horizontal melalui
Proses peradilan pidana yang terdiri instrumen praperadilan.
dari serangkaian tahapan mulai dari Dengan demikian, keputusan untuk
penyelidikan, penyidikan, penangkapan, menaikkan status pemeriksaan dari proses
penahanan, penuntutan, pemeriksaan penyelidikan menjadi proses penyidikan
di persidangan, hingga pemidanaan, telah memunculkan hubungan hukum
merupakan kegiatan yang sangat antara Penyidik Polri dengan Penuntut
kompleks.2 Sehingga untuk mencapai Umum dalam melaksanakan pemeriksaan
tujuan dari Sistem Peradilan Pidana pada tahapan pra-adjudikasi. Hal ini
tersebut membutuhkan keterkaitan dan tentunya merupakan konsekuensi logis
keterpaduan dalam membangun sistem dari kewenangan Penyidik Polri dalam
bekerjanya aparat penegak hukum. melakukan penilaian baik berdasarkan
Program keadilan restoratif peraturan perundang-undangan maupun
didasarkan pada keyakinan bahwa berdasarkan diskresinya berkaitan dengan
pihak yang terlibat konflik harus secara amanah dari Pasal 1 angka 2 KUHAP.
aktif terlibat dalam menyelesaikan dan Berdasarkan hal tersebut, Penyidik
mengurangi konsekuensi negatif. Mereka Polri berhadapan dengan kepentingan-
juga didasarkan, dalam beberapa kasus, kepentingan masyarakat yang memosisikan
pada kemauan untuk kembali ke bangunan dirinya sebagai korban suatu tindak
pengambilan keputusan dan masyarakat pidana. Permasalahan dalam berjalannya
setempat. Pendekatan-pendekatan suatu proses pemeriksaan perkara pidana
ini juga dilihat sebagai sarana untuk dalam tahapan pra-adjudikasi berawal
mendorong ekspresi damai konflik, untuk dari penafsiran terhadap Pasal 5 ayat
mempromosikan toleransi dan inklusivitas (1) huruf a angka 1 KUHAP jo. Pasal
(hal-hal yang berkaitan dengan toleransi), 7 ayat (1) huruf a KUHAP khususnya
membangun penghargaan atas keragaman pada redaksional “Karena kewajibannya
dan mempromosikan praktik masyarakat mempunyai wewenang menerima laporan
yang bertanggung jawab.3 atau pengaduan dari seseorang tentang
Adapun yang dapat dijadikan contoh adanya tindak pidana.”
adalah bagaimana KUHAP menciptakan Walaupun berdasarkan Pasal 7 ayat
mekanisme kontrol terhadap produk hukum (1) huruf j KUHAP, seorang Penyidik
dari Penyidik Polri dan Penuntut Umum Polri dapat melakukan tindakan lain atau
dalam hal diterbitkannya Surat Perintah diskresi, namun bila dikaitkan dengan

1. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994)
hlm. 84-85.
2. Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Suatu Pengantar (Malang: Setara Pres, 2015) hlm. 2.
3. Yvon Dandurand dan Curt Taylor Griffiths, Handbook on Restorative Justice Programmes (Austria: UN New
York, 2006) hlm. 5.

94
PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP DELIK... (Louisa Y. Krisnalita dan Dinda Wigrhalia)

proses pemeriksaan perkara yang telah Nomor STR/583/VIII/2012 tertanggal


masuk dalam tahapan penyidikan, maka 8 Agustus 2012 tentang Penanganan
memunculkan hak dan kewenangan Kasus Yang Berkaitan Dengan Konsep
institusi lain dan pihak ketiga yang Restorative Justice adalah merupakan
berkepentingan ketika dugaan tindak Surat yang dikirim dari Kabareskrim
pidana yang dilaporkan tersebut dihentikan. kepada Dir Reskrimum, Dir Reskrimsus
Berkaitan dengan hal tersebut pula, dan Dir Resnarkoba.5
seorang penyidik Polri yang melaksanakan Surat Telegram Bareskrim Polri
hak dan kewajibannya berdasarkan Nomor STR/583/VIII/2012 tertanggal
kewenangan untuk menghentikan 8 Agustus 2012 tersebut, justru tidak
pemeriksaan atas laporan pidana tersebut disandarkan kepada Pasal 7 ayat (1) huruf
terbentur dengan syarat formil yang a KUHAP, melainkan disandarkan kepada
telah ditetapkan dalam Pasal 109 ayat (2) Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
KUHAP, yaitu: 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
1. Karena tidak terdapat cukup bukti; Indonesia yang menegaskan “Melakukan
atau tindakan atas penilaian sendiri didasarkan
2. Peristiwa tersebut ternyata bukan kepada pertimbangan manfaat serta risiko
merupakan tindak pidana; atau dari tindakan tersebut dan betul-betul untuk
3. Penyidikan dihentikan demi hukum. kepentingan umum”, termasuk kepada
Pada ranah doktrinal, berjalannya perkara yang didasarkan kepada Delik
proses pemeriksaan perkara pidana pada Laporan/Delik Biasa. Sehingga, penerapan
tahapan pra-adjudikasi berkaitan dengan restorative justice tersebut bukan hanya
2 (dua) jenis perbuatan pidana/delik, yaitu dapat diterapkan kepada perbuatan pidana
delik biasa (gewone delichten) dan delik yang didasarkan kepada pengaduan, namun
aduan (klacht delicten). dapat pula diterapkan kepada perbuatan
Menurut PAF. Lamintang, delik pidana biasa atau dikenal dengan istilah
biasa adalah delik yang pelakunya dapat “Delik Biasa/Delik Laporan”.
dituntut menurut hukum pidana tanpa perlu Dengan demikian, penyidik Polri
adanya pengaduan. Sedangkan delik aduan dapat saja melakukan serangkaian tindakan
adalah delik yang hanya dapat dituntut penyidikan terhadap perbuatan pidana
karena adanya pengaduan dari pihak yang yang diklasifikasikan sebagai Delik Aduan
dirugikan. Adapun delik aduan dibagi dan Delik Biasa/Laporan, walaupun telah
menjadi 2 (dua) yaitu delik aduan absolut terjadi pencabutan yang didasarkan kepada
dan delik aduan relatif.4 adanya suatu perdamaian antara Pelapor
Bertitik tolak dari perkembangan dengan Terlapor.
hukum pidana secara internasional, dengan Namun, dengan adanya perdamaian
disebarluaskannya program restorative dan pencabutan laporan tersebut berujung
justice dalam ranah common law dan kepada konsekuensi yuridis terhadap
program mediasi penal dalam ranah kewenangan Kejaksaan untuk tetap
civil law, Polri telah bertindak secara melakukan penuntutan terhadap perbuatan
progresif dan responsif dalam mencermati pidana yang diklasifikasikan sebagai
perkembangan sosial kemasyarakatan. Delik Biasa/Laporan. Oleh karena itulah,
Melalui Surat Telegram Bareskrim Polri KUHAP bertitik tolak kepada landasan

4. PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013) hlm. 207.
5. Kabareskrim pada hakikatnya, pernah menerbitkan Surat Telegram Rahasia Kabareskrim Polri No. ST/110/V/2011
tanggal 18 Mei 2011 tentang Pedoman Penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) di jajaran Reskrim Polri.
Namun kemudian, surat tersebut ditangguhkan/ditunda penerapannya melalui Surat Telegram Kabareskrim Polri
No. ST/209/IX/2011 tanggal 6 September 2011 tentang Penangguhan Penerapan Alternative Dispute Resolution
(ADR) di jajaran Reskrim Polri.

95
Binamulia Hukum Vol 9 No 2 Desember 2020 (93-106)
https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.124

filosofis dan landasan yuridis pada Penelitian ini menggunakan metode


konsideran menimbang huruf a KUHAP6 jo. yuridis normatif dengan studi kasus normatif
konsideran menimbang huruf c KUHAP,7 yang mengkaji sumber perundang-undang.
memberikan wewenang kepada Penuntut Penelitian hukum normatif berfokus pada
Umum bahkan diberikan pula kepada pihak pencatatan berupa hukum positif, asas-
yang berkepentingan, untuk melakukan asas dan doktrin hukum, penemuan hukum
koreksi dan pengawasan berupa hak untuk dalam perkara in concreto, sistematik
mengajukan permohonan praperadilan
hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan
melalui pengadilan negeri berdasarkan
hukum, dan sejarah hukum. Pokok kajian
Pasal 80 KUHAP yang merupakan sarana
pengawasan secara horizontal. hukum yang digambarkan sebagai norma
Rumusan Masalah atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat
Berdasarkan uraian di atas, maka dan menjadi acuan bagi setiap orang.8
penulis mengemukakan rumusan masalah
sebagai berikut, yaitu: PEMBAHASAN
1. Bagaimanakah proses keluarnya Surat Teori Hukum Progresif
Perintah Penghentian Penyidikan Satjipto Rahardjo sebagai pencetus
(SP3) dalam tahapan pra-adjudikasi gagasan hukum progresif, memberikan
atau penyidikan? penjelasan terkait dengan model paradigma
2. Bagaimanakah penerapan teori hukum “hukum untuk manusia” sebagai berikut:9
progresif dalam kaitannya dengan “Apabila sistem hukum Indonesia
keputusan menerbitkan Surat Perintah didasarkan pada Pancasila, maka
Penghentian Penyidikan (SP3)
pada hemat saya itu sama saja
berdasarkan asas restorative justice?
dengan mengatakan, bahwa landasan
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah dan fundamental hukum Indonesia
di atas, maka penelitian ini bertujuan adalah hidup dan perilaku yang
sebagai berikut: baik. Kelima sila Pancasila sebagai
1. Untuk mengetahui bagaimanakah bahasa konstitusi dapat dijabarkan
proses keluarnya Surat Perintah ke dalam bahasa kehidupan sehari-
Penghentian Penyidikan (SP3) hari, seperti: bertauhid kepada Allah
dalam tahapan pra-adjudikasi atau YME; mengasihi sesama manusia;
penyidikan; dan tidak segera memaksa dan melakukan
2. Untuk mengetahui bagaimanakah kekerasan, tetapi dibicarakan
penerapan teori hukum progresif bersama-sama secara baik-baik
dalam kaitannya dengan keputusan dan mengutamakan kepentingan
menerbitkan Surat Perintah bersama.”
Penghentian Penyidikan (SP3)
Berdasarkan landasan filosofis
berdasarkan asas restorative justice.
terhadap Pancasila tersebut, Satjipto

6. Konsideran Menimbang huruf a KUHAP yang menegaskan “bahwa negara Republik Indonesia adalah negara
hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib men-
junjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
7. Konsideran Menimbang huruf c KUHAP yang menegaskan “bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian
itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk mening-
katkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke
arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian
hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.”
8. Muhammad Abdulkadir, Hukum Dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004) hlm. 52.
9. Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perilaku: Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2009) hlm. 154.

96
PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP DELIK... (Louisa Y. Krisnalita dan Dinda Wigrhalia)

Rahardjo mengatakan:10 makna lebih dalam (to very meaning)


“…., baik faktor peranan manusia, dari undang-undang atau hukum.”
maupun masyarakat, ditampilkan Hukum progresif dimulai dari asumsi
ke depan, sehingga hukum lebih dasar bahwa hukum adalah untuk manusia,
tampil sebagai medan pergulatan bukan sebaliknya. Hukum progresif
dan perjuangan manusia. Hukum dan tidak menerima hukum sebagai institusi
bekerjanya hukum seyogianya dilihat yang mutlak serta final melainkan sangat
dalam konteks hukum itu sendiri. ditentukan oleh kemampuannya untuk
Hukum tidak ada untuk diri dan mengabdi kepada manusia.12
keperluannya sendiri, melainkan untuk Hukum progresif muncul sebagai
manusia, khususnya kebahagiaan bentuk keprihatinan terhadap praktik
manusia.” keadilan hukum di Indonesia. Pengadilan
Namun di dalam realita kehidupan pelan-pelan berubah peran dari institusi
masyarakat, hukum mengalami sebuah hukum yang sempit terisolasi menjadi
masalah krusial yang mengaburkan makna pengadilan (untuk) rakyat. Pengadilan yang
dari hukum tersebut. Hukum dijadikan terisolasi juga dinyatakan dalam ungkapan
alat untuk melindungi kepentingan- pengadilan sebagai corong undang-undang
kepentingan tertentu dan hukum dijadikan tidak kurang-tidak lebih yang terkesan
sebuah alat untuk melegalkan tindakan- liberal dan positivistik.13 Keadaan ini
tindakan yang menistakan nilai-nilai kemudian mengundang asosiasi ke arah
keadilan ditengah-tengah masyarakat. kediktatoran pengadilan yang memutus
Hukum hanya dijadikan alat dan bukan semata-mata menurut tafsirannya dengan
tujuan. tanpa memperhatikan atau mendengarkan
Sehingga tak salah jika kiranya hukum dinamika masyarakat.
progresif menyampaikan kritikannya Proses Keluar Surat Perintah
terhadap aliran positivisme hukum, yang Penghentian Penyidikan (SP3)
masih sangat mendominasi studi hukum, Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g Kitab
di mana Satjipto Raharjo menegaskan Undang-Undang Hukum Acara Pidana
pendapatnya sebagai berikut:11 (KUHAP), memanggil orang untuk
“Bahwa positivisme hukum telah gagal didengar dan diperiksa sebagai tersangka
untuk menyajikan gambar hukum yang atau saksi merupakan salah satu wewenang
lebih benar. Hal ini dibuktikan dengan penyidik di dalam melakukan penyidikan.
kemunculan dari berbagai disiplin Jadi, memeriksa tersangka merupakan
yang mengisyaratkan, bahwa objek bagian dari penyidikan (tentunya sebelum
studi hukum itu tidaklah sesempit penyidikan tersebut dihentikan).
seperti yang dipahami oleh para Mengenai mengapa seseorang perlu
ilmuwan hukum di abad ke-19.” ditetapkan statusnya sebagai tersangka
Sedangkan hukum progresif menurut jika pada akhirnya penyidik menghentikan
Satjipto Rahardjo, berpendapat bahwa: penyidikan dengan alasan tidak terdapat
“Penegakan hukum progresif adalah cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
menjalankan hukum tidak hanya merupakan tindak pidana; hal ini berkaitan
sekadar kata-kata hitam-putih dari dengan proses penyelidikan dan penyidikan
peraturan (according to the letter), itu sendiri.
melainkan menurut semangat dan

10. Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia Dan Hukum (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2007) hlm. ix.
11. Faisal, Menerobos Positivisme Hukum (Jakarta: Gamata Publishing, 2012) hlm. 91.
12. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009)
hlm. 1.
13. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006) hlm. 38.

97
Binamulia Hukum Vol 9 No 2 Desember 2020 (93-106)
https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.124

Pasal 1 angka 2 KUHAP Alasan-alasan dilakukannya


“Penyidikan adalah serangkaian penghentian penyidikan yang terdapat
tindakan penyidik dalam hal dan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu:
menurut cara yang diatur dalam 1. Tidak terdapat cukup bukti;
undang-undang ini untuk mencari 2. Peristiwa yang disidik oleh penyidik
serta mengumpulkan bukti yang ternyata bukan merupakan tindak
dengan bukti itu membuat terang pidana; dan
tentang tindak pidana yang terjadi dan 3. Penyidikan dihentikan demi hukum.
guna menemukan tersangkanya.”14 Alasan ini dapat dipakai apabila ada
Pasal 1 angka 5 KUHAP alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan
“Penyelidikan adalah serangkaian hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu
tindakan penyelidik untuk mencari antara lain karena nebis in idem, tersangka
dan menemukan suatu peristiwa yang meninggal dunia, atau karena perkara
diduga sebagai tindak pidana guna pidana telah kedaluwarsa.
menentukan dapat atau tidaknya Mengenai penetapan tersangka,
dilakukan penyidikan menurut cara perlu diketahui bahwa penetapan sebagai
yang diatur dalam undang-undang tersangka itu berdasarkan bukti permulaan
ini.”15 yang cukup. Hal Ini dapat dilihat dari
Mengenai ketentuan tersebut pengertian tersangka dalam Pasal 1 angka
penyelidikan bukan tindakan yang berdiri 14 KUHAP, menyatakan “Tersangka
sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. adalah seorang yang karena perbuatannya
Penyelidikan merupakan bagian yang atau keadaannya, berdasarkan bukti
tak terpisah dari fungsi penyidikan. Jadi, permulaan patut diduga sebagai pelaku
fungsi penyelidik adalah menemukan tindak pidana.”
apakah atas suatu peristiwa (yang diduga Adapun yang dimaksud dengan bukti
sebagai tindak pidana) bisa dilakukan permulaan cukup itu diatur berdasarkan
penyidikan lebih lanjut oleh penyidik. Keputusan Bersama Mahkamah Agung,
Karena itulah diperlukan proses penyidikan Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung,
guna mengumpulkan bukti yang membuat dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No.
terang suatu tindak pidana. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-
Jika ternyata dari hasil penyidikan, 076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/
penyidik tidak memperoleh cukup bukti III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi
untuk menuntut tersangka atau bukti yang dalam Penanganan Perkara Pidana
diperoleh penyidik tidak memadai untuk (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri
membuktikan kesalahan tersangka, maka No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang
penyidik dapat melakukan penghentian Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak
penyidikan.16 Pidana yang menyatakan bahwa bukti
SP3 atau Surat Perintah Penghentian permulaan yang cukup merupakan alat
Penyidikan merupakan surat pemberitahuan bukti untuk menduga adanya suatu tindak
dari penyidik kepada penuntut umum pidana dengan mensyaratkan minimal satu
bahwa perkara dihentikan penyidikannya. laporan polisi ditambah dengan satu alat
Penghentian penyidikan merupakan bukti yang sah sebagaimana diatur dalam
kewenangan dari penyidik yang diatur Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i jo. Pasal 109 ialah:
ayat (2) KUHAP.

14. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.


15. Ibid., Pasal 1 angka 5.
16. Ibid., Pasal 109 ayat (2).

98
PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP DELIK... (Louisa Y. Krisnalita dan Dinda Wigrhalia)

1. Keterangan saksi; 1. Tindakan yang bersifat jamak


2. Keterangan ahli; (serangkaian);
3. Surat; 2. Hanya dapat dilakukan oleh seseorang
4. Petunjuk; dan yang memiliki jabatan sebagai
5. Keterangan terdakwa. Penyelidik;
Ini dipertegas kembali dalam Pasal 3. Memiliki dua tujuan, yaitu:
1 angka 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 a. Mencari dan menemukan peristiwa
Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan pidana yang diduga sebagai tindak
Tindak Pidana yang menyebutkan bahwa pidana; dan
yang dimaksud dengan bukti permulaan b. Hasil penyelidikan untuk
itu sendiri adalah alat bukti berupa laporan menentukan dapat tidaknya
polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, dilakukan penyidikan;
yang digunakan untuk menduga bahwa 4. Ruang lingkup dan tata caranya diatur
seseorang telah melakukan tindak pidana dalam KUHAP.
sebagai dasar untuk dapat dilakukan Kalau dihubungkan dengan doktrin
penangkapan. hukum acara pidana seperti yang
Untuk lebih mempermudah dikemukakan oleh van Bemmelen, maka
pemahaman terhadap Surat Perintah penyelidikan ini maksudnya ialah tahap
Penghentian Penyidikan (SP3), maka pertama dalam tujuh tahap hukum acara
perlu kiranya penulis memaparkan terlebih pidana, yang berarti mencari kebenaran.18
dahulu mengenai proses keluarnya Surat Kebenaran yang dimaksud adalah
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) munculnya suatu keyakinan dari penyidik
tersebut. Maka, dengan masuknya perkara berdasarkan laporan penyelidik bahwa
tindak pidana ke dalam pemeriksaan di memang benar terdapat peristiwa pidana
kepolisian, maka proses penyelidikan dan yang diduga sebagai tindak pidana.
penyidikan dimulai dengan dikeluarkannya Adapun mengenai penyidikan,
Surat Perintah Penyidikan kepada Penyidik. memperoleh konsep hukumnya, dengan
Dalam proses pemeriksaan tersebut, disandarkan kepada Pasal 1 angka 2
pihak penyidik berdasarkan kegiatan KUHAP yang menegaskan:
penyelidikan sebelumnya, pihak penyidik “Penyidikan adalah serangkaian
mencari korelasi antara bukti-bukti yang tindakan penyidik dalam hal dan
ada dengan pihak pelaku. Berdasarkan menurut cara yang diatur dalam
Pasal 1 angka 5 KUHAP yang menegaskan: undang-undang ini untuk mencari
“Penyelidikan adalah serangkaian serta mengumpulkan bukti yang
tindakan penyelidik untuk mencari dengan bukti itu membuat terang
dan menemukan suatu peristiwa yang tentang tindak pidana yang terjadi
di duga sebagai tindak pidana guna dan guna menemukan tersangkanya.”
menentukan dapat atau tidaknya Interelasi antara bukti-bukti dengan
dilakukan penyidikan menurut cara pelaku tindak pidana dalam proses
yang diatur dalam undang-undang pemeriksaan harus menimbulkan suatu
ini.” bentuk kesalahan sehingga pihak penyidik
Berdasarkan rangkaian dan rumusan kemudian dapat menyampaikan kesimpulan
pengertian tersebut, maka Rocky Marbun penyidikan yang untuk kemudian dapat
melakukan pengelompokan tindakan diteruskan ke dalam proses penuntutan di
sebagai berikut:17 kejaksaan.

17. Rocky Marbun, Telaah Kritis-Filosofis Praktik Peradilan Pidana: Membongkar Oposisi Biner Antara Kekuasaan
Dan Kewenangan (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2019) hlm. 233.
18. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm. 118.

99
Binamulia Hukum Vol 9 No 2 Desember 2020 (93-106)
https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.124

Bahwa penyidik dalam mengeluarkan Dengan uraian yang dijelaskan diatas


atau menetapkan Surat Perintah tentang penanganan penyidikan terhadap
Penghentian Penyidikan Sementara (SP3) suatu peristiwa pidana maka proses
terhadap suatu tindak pidana yang sedang diterbitkan atau dikeluarkan Surat Perintah
diproses didasarkan pada kewenangan Penghentian Penyidikan Sementara (SP3)
penyidik yang diatur dalam Undang- oleh penyidik dapat terjadi karena:
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang 1. Karena keberanian penyidik
KUHAP karena perkara yang dilaporkan berdasarkan aturan-aturan hukum
bukan merupakan tindak pidana, tidak yang ada setelah berupaya semaksimal
cukup bukti untuk dilakukan penyidikan mungkin untuk mengungkap peristiwa
atau dihentikan demi hukum. pidana tetapi memang peristiwa
Seorang penyidik yang profesional yang disidik tersebut ternyata bukan
dan proporsional setelah mengumpulkan tidak pidana, atau tidak cukup bukti
barang bukti, mendengarkan saksi pelapor atau memang harus dihentikan demi
maupun saksi-saksi yang lain serta hukum;
mempelajari beberapa petunjuk yang ada 2. Karena permintaan pelapor, karena
dalam suatu proses penyidikan tindak setelah diproses oleh penyidik
pidana, harus dapat mempelajari dan pihak pelapor memahami betul
menganalisa apakah peristiwa yang disidik kalau peristiwa yang dilaporkan
tersebut menjadi tindak pidana atau bukan. ternyata tidak dapat dilanjutkan
Mungkin karena ketidakmampuan penyelidikannya; dan
penyidik dalam mendalami peristiwa yang 3. Karena permintaan terlapor, karena
diduga sebagai tindak pidana atau mungkin waktu yang relatif lama dan panjang
tidak mau menyelesaikan prosesnya, atau pemeriksaannya serta dirasakan sangat
mungkin tidak tahu bagaimana seharusnya mengganggu privasi dan kredibilitas
melaksanakan proses penyelidikan terlapor ditengah-tengah masyarakat
terhadap peristiwa tersebut, atau lebih untuk segera mendapatkan kepastian
ironis lagi kalau penyelidikan mau tahu hukum terhadap perlindungan hak
terhadap peristiwa yang sedang disidik. pribadinya.

Bagan 1
Proses Terbit Surat Perintah Penghentian Penyidikan Sementara (SP3)

Sprindik

Melaporkan
Melakukan
Penyidik Perkembangan
Penyidikan
Hasil Sidik

Melaporkan
Gelar
Hasil Gelar
Perkara
Perkara

100
PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP DELIK... (Louisa Y. Krisnalita dan Dinda Wigrhalia)

Penerapan Teori Hukum Progresif lain atas kuasa tersangka;


Dalam Kaitannya Dengan Keputusan 2. Sah atau tidaknya penghentian
Menerbitkan Surat Perintah penyelidikan dan/atau penghentian
Penghentian Penyidikan (SP3) penuntutan atas permintaan demi
Berdasarkan Asas Restorative Justice tegaknya hukum dan keadilan; dan
Dalam pemeriksaan perkara pidana 3. Permintaan ganti kerugian atau
pada setiap tingkatan pemeriksaan, rehabilitasi oleh tersangka atau
KUHAP memberikan jaminan atau keluarganya atau pihak lain atas
perlindungan hukum bagi tersangka kuasanya yang perkaranya tidak
ataupun terdakwa, sebagai konsekuensi diajukan ke pengadilan.
dari sistem accuisatoir yang dianut dalam Namun, berdasarkan Putusan
sistem hukum di Indonesia, termasuk pula Mahkamah Konstitusi Nomor 021/
dilandasi akan adanya asas praduga tak PUU-XII/2014 telah memperluas objek
bersalah. praperadilan dengan menambahkan
Berkaitan dengan keluarnya Surat penetapan tersangka, penggeledahan dan
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), penyitaan. Dengan demikian, persoalan
bila hal tersebut merugikan salah satu praperadilan telah menjadi wewenang
pihak yang bersengketa, maka KUHAP Pengadilan Negeri seperti kewenangan
memberikan upaya hukum yang dapat yang lainnya dalam memeriksa dan
ditempuh oleh pihak yang merasa memutuskan perkara pidana dan perdata.
dirugikan, yaitu dapat kita lihat dalam Persoalan praperadilan telah menjadi bagian
Pasal 77 KUHAP yang menerangkan dari tugas-tugas dan wewenang Pengadilan
bahwa Pengadilan Negeri berwenang Negeri yang tidak boleh ditangani oleh
untuk memeriksa dan memutus tentang: pengadilan dalam lingkungan pengadilan
1. Sah atau tidaknya penangkapan, lain.19
penahanan, penghentian penyidikan Praperadilan adalah merupakan inovasi
atau penghentian penuntutan; dan dalam KUHAP. Bersamaan dengan inovasi-
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi inovasi yang lain seperti limitasi atas
bagi seorang yang perkara pidananya pross penangkapan/penahanan, membuat
dihentikan pada tingkat penyidikan KUHAP disebut sebagai karya agung
atau penuntutan. (master piece). Praperadilan ini merupakan
Proses ini biasa disebut dengan tempat mengadukan pelanggaran hak asasi
praperadilan, menurut ketentuan Kitab manusia. Tampaknya proses mengadukan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP dengan referensi hak-hak asasi
(KUHAP), yang dimaksud dengan manusia merupakan kesengajaan. Dan
praperadilan dalam pengertian umum akhirnya memang soal-soal mengenai
telah dicantumkan dalam Bab I Ketentuan hak asasi manusia seperti perampasan
Umum, Pasal 1 butir 10, yaitu, praperadilan kemerdekaan mendapat peraturan lebih
adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk rinci dan limitatif.20 Berikut contoh kasus
memeriksa dan memutuskan menurut cara mengenai Surat Perintah Penghentian
yang diatur dalam undang-undang ini, Penyidikan (SP3) sebagai berikut:
tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan
dan/atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak

19. R Suparmono, Praperadilan Dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP (Bandung:
Mandar Maju, 2003) hlm. 2.
20. Luhut M P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana (Jakarta: Djambatan, 2002) hlm. 13.

101
Binamulia Hukum Vol 9 No 2 Desember 2020 (93-106)
https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.124

Tabel 1
Kasus Mengenai Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

No Perkara Pasal Tahap Penyidikan Alasan SP3


1. LP: 1196/K/ Pasal 44 UU RI Pelapor atau korban mencabut Perkara demi
VII/2013/SPKT/ No. 23 tahun laporannya dan memberikan hukum
Restra Bks Kota 2004 (KDRT) keterangan tidak datang ke
Pelapor: Lisa persidangan apabila perkara
Lestari dilanjutkan ke pengadilan
Tsk: M. Angga
Wijaya
2. LP: 2232/K/XI/ Pasal 351 Pelapor atau korban mencabut -) Tidak cukup
SPKT/2015/ KUHP laporan pengaduan dan bukti
Restra Bks Kota (Penganiayaan) korban tidak menuntut sampai
Pelapor: ke pengadilan
Annevasthi S.O.
Pasaribu
Tsk: Josua
Thomas
3. LP/2294/K/ Pasal 352 Pelapor atau korban mencabut -) Tidak cukup
VIII/2012/ KUHP laporannya dan memberikan bukti
SPKT/Resta Bks (Penganiayaan pernyataan tidak akan
Kota Ringan) melanjutkan lagi sampai ke
Pelapor: Retti Pengadilan
Herawati
Terlapor: M.
Faris
4. LP/1386/K/ Pasal 351 Pelapor telah mencabut -) Tidak cukup
VIII/2015/ KUHP laporan pengaduan, bukti
SPKT/Resta Bks (Penganiayaan) selanjutnya korban
Kota menyatakan tidak akan
Pelapor: Yolanda melanjutkan lagi sampai ke
Rumengan pengadilan
dengan terlapor
Firman Cahyadi
Sumber: Restra Bekasi Kota, 2020

Berdasarkan kronologis tersebut di Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012


atas, maka Penyidik Polres Bekasi telah tentang Manajemen Penyidikan Tindak
menggunakan diskresinya berdasarkan Pidana (PERKAP No. 14/2012).
asas restorative justice sebagaimana Pada Pasal 12 PERKAP No. 6/2019
dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Kepala tersebut memberikan persyaratan formil
Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu adanya Berita Acara Pemeriksaan
Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan yang bersifat tambahan oleh pihak yang
Tindak Pidana (PERKAP No. 6/2019) yang berperkara khususnya oleh Pelapor/
menegaskan “Dalam proses penyidikan Korban, setelah diadakannya penyelesaian
dapat dilakukan keadilan restoratif….”. melalui mekanisme restorative justice.
Walaupun, pada hakikatnya, penghentian Namun demikian, kemudian muncul
penyidikan tersebut di atas, merujuk kepada permasalahan mengenai alasan-alasan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian

102
PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP DELIK... (Louisa Y. Krisnalita dan Dinda Wigrhalia)

Penyidikan (SP3) oleh Penyidik. Secara dalam sumber hukum formil selain
normatif, melalui Pasal 109 KUHAP yang undang-undang, mengakui pula kebiasaan,
menegaskan: yurisprudensi, doktrin dan perjanjian,
“Dalam hal penyidik menghentikan sebagai landasan penalaran dan argumentasi
penyidikan karena tidak terdapat cukup hukum dengan mengelaborasikan kepada
bukti atau peristiwa tersebut ternyata jenis-jenis interpretasi hukum yang ada.
bukan merupakan tindak pidana atau Berdasarkan doktrin, M. Yahya
penyidikan dihentikan demi hukum, Harahap, yang dimaksud dengan alasan
maka penyidik memberitahukan hal ‘Demi Hukum’ adalah sebagai berikut:21
itu kepada penuntut umum, tersangka 1. Nebis in idem;
atau keluarganya.” 2. Tersangka meninggal dunia; atau
Artinya, Pasal 109 KUHAP tersebut 3. Kedaluarsa.
memuat alasan dalam mengeluarkan Adapun melalui interpretasi futuristik
keputusan SP3, yaitu: terhadap Rancangan KUHAP draft 2012
1. Tidak terdapat cukup bukti; Pasal 14 ayat (1) yang menegaskan alasan-
2. Peristiwa bukan tindak pidana; dan alasan SP3—terkait dengan alasan ‘Demi
3. Demi Hukum. Hukum’ sebagai berikut:
Sehingga, alasan penghentian 1. Nebis in idem;
penyidikan tersebut dapat merujuk kepada 2. Apabila tersangka meninggal dunia;
salah satu alasan tersebut. Adapun alasan 3. Sudah lewat waktu;
yang dipergunakan dalam mengeluarkan 4. Tidak ada pengaduan pada tindak
SP3 pada kasus di atas, adalah ‘Demi pidana aduan;
Hukum’. Permasalahannya adalah konsep 5. Undang-undang atau pasal yang
‘Demi Hukum’ tersebut tidak memiliki menjadi dasar tuntutan sudah dicabut
makna konstitutif baik dalam KUHAP atau dinyatakan tidak mempunyai daya
maupun dalam PERKAP No. 6/2019. laku berdasarkan putusan pengadilan;
Bahkan, dalam Pasal 30 PERKAP No. atau
6/2019 menegaskan “Penghentian 6. Bukan tindak pidana, atau terdakwa
penyidikan dilaksanakan sesuai dengan masih di bawah umur 8 (delapan)
ketentuan peraturan perundang- tahun pada waktu melakukan tindak
undangan.” pidana.
Berdasarkan hal tersebut, maka Apabila penulis mengacu kepada
Penyidik Polri kembali tidak memiliki locus dari keluarnya SP3 pada kasus
makna konstitutif dari alasan ‘Demi di atas, maka SP3 tersebut disandarkan
Hukum’, oleh karena jika frasanya argumentasinya kepada Pasal 76 ayat (1)
berbunyi “… sesuai dengan ketentuan PERKAP No. 14/2012, yang menyebutkan
peraturan perundang-undangan.” Artinya, alasan SP3 terkait dengan alasan ‘Demi
ketika Penyidik Polri hendak menggunakan Hukum’ adalah sebagai berikut:
alasan ‘Demi Hukum’ untuk mengeluarkan 1. Tersangka meninggal dunia;
SP3 harus dikembalikan kepada KUHAP, 2. Perkara telah kedaluarsa;
sedangkan KUHAP sendiri tidak 3. Pengaduan dicabut (khusus delik
menerangkan makna konstitutif dari ‘Demi aduan); dan
Hukum’. 4. Tindak pidana tersebut telah
Namun demikian, dalam memperoleh putusan hakim yang
mengkonstruksikan argumentasi hukum, mempunyai kekuatan hukum tetap
hendaknya tidak hanya mengacu kepada (nebis in idem).
teks-teks otoritatif semata. Oleh karena,

21. Djisman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana (Bandung: Nuansa Aulia, 2013) hlm. 108.

103
Binamulia Hukum Vol 9 No 2 Desember 2020 (93-106)
https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.124

Selain alasan-alasan tersebut di e. Pelaku tidak keberatan dan


atas, upaya menerbitkan SP3 tersebut dilakukan secara sukarela atas
pula harus memenuhi persyaratan teknis tanggung jawab dan ganti rugi.
yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal Apabila persyaratan tersebut di
12 PERKAP No. 6/2019 walaupun atas, telah terpenuhi, maka mekanisme
sebenarnya bukan merupakan alasan- selanjutnya adalah mengacu kepada Pasal
alasan menerbitkan SP3 namun sebagai 30 ayat (1) PERKAP No. 6/2019, yang
dasar penyidikan berbasis kepada asas menegaskan “Penghentian penyidikan
restorative justice, yaitu sebagai berikut: dilakukan melalui Gelar Perkara.”
1. Syarat Materiil, yaitu: Adapun bentuk dari Gelar Perkara tersebut
a. Tidak menimbulkan keresahan adalah Gelar Perkara Biasa yang mengacu
masyarakat atau penolakan kepada Pasal 31 huruf a jo. Pasal 32 ayat
masyarakat; (1) huruf c PERKAP No. 6/2019, dengan
b. Tidak berdampak konflik sosial; mengundang—walaupun sifatnya optional,
c. Adanya pernyataan dari semua fungsi pengawasan dan fungsi hukum Polri
pihak yang terlibat dari semua pihak berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PERKAP
yang terlibat untuk tidak keberatan, No. 6/2019.
dan melepaskan hak menuntutnya Mengacu kepada uraian di atas, maka
di hadapan hukum; dengan masuknya asas restorative justice
d. Prinsip pembatas, yaitu: dalam proses penyidikan melalui PERKAP
1) Pada pelaku: No. 6/2019 merupakan suatu progresivitas
a) Tingkat kesalahan pelaku dari pola penalaran hukum Polri terhadap
relatif tidak berat, yakni fenomena penyidikan selama ini. Sifat
kesalahan dalam bentuk progresivitas PERKAP No. 6/2019
kesengajaan; dan tersebut diawali dengan munculnya
b) pelaku bukan residivis; melalui Surat Telegram Bareskrim Polri
2) Pada tindak pidana dalam proses: Nomor STR/583/VIII/2012 tertanggal 8
a) Penyelidikan; dan Agustus 2012 (STR No. 583/2012) dan
b) Penyidikan, sebelum SPDP kemudian diperkuat secara internal melalui
dikirim ke Penuntut Umum; Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara
2. Syarat Formil, yaitu: Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2018
a. Surat permohonan perdamaian tentang Penerapan Keadilan Restoratif
kedua belah pihak (pelapor dan (restorative justice) Dalam Penyelesaian
terlapor); Perkara Pidana (SE Kapolri No. 08/2018),
b. Surat pernyataan perdamaian dan Surat Edaran Kepala Kepolisian
(akta dading) dan penyelesaian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
perselisihan para pihak yang 2018 tentang Penghentian Penyelidikan
berperkara (pelapor, dan/atau (SE Kapolri No. 07/2018).
keluarga pelapor, terlapor dan/atau Progresivitas dari PERKAP No. 6/2019
keluarga terlapor dan perwakilan tersebut justru tampak pada landasan
dari tokoh masyarakat) diketahui filosofis dari SE Kapolri No. 8/2018 yang
oleh atasan Penyidik; menegaskan sebagai berikut:
c. Berita acara pemeriksaan tambahan “Bahwa perkembangan sistem dan
pihak yang berperkara setelah metode penegakan hukum di Indonesia
dilakukan penyelesaian perkara menunjukkan adanya kecenderungan
melalui keadilan restoratif; mengikuti perkembangan keadilan
d. Rekomendasi gelar perkara khusus masyarakat terutama berkembangnya
yang menyetujui penyelesaian prinsip keadilan restoratif (restoratif
keadilan restoratif; dan justice) yang merefleksikan keadilan

104
PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP DELIK... (Louisa Y. Krisnalita dan Dinda Wigrhalia)

sebagai bentuk keseimbangan terhadap suatu tindak pidana yang sedang


hidup manusia, sehingga perilaku diproses didasarkan pada kewenangan
menyimpang dari pelaku kejahatan penyidik yang diatur dalam Undang-
dinilai sebagai perilaku yang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
menghilangkan keseimbangan. KUHAP karena perkara yang dilaporkan
Dengan demikian model penyelesaian bukan merupakan tindak pidana, tidak
perkara yang dilakukan adalah cukup bukti untuk dilakukan penyidikan
upaya mengembalikan keseimbangan atau dihentikan demi hukum.
tersebut, dengan membebani kewajiban Kedua, penerapan dari teori hukum
terhadap pelaku kejahatan dengan progresif dalam kaitannya dengan
kesadarannya mengakui kesalahan, keputusan menerbitkan Surat Perintah
meminta maaf, dan mengembalikan Penghentian Penyidikan (SP3) adalah
kerusakan dan kerugian korban seperti dengan menjadikan asas restorative
semula atau setidaknya menyerupai justice sebagai dasar dari tindakan hukum.
kondisi semula, yang dapat memenuhi Dengan masuknya asas restorative justice
keadilan korban.” dalam proses penyidikan melalui PERKAP
Dengan demikian, Polri telah No. 6/2019 merupakan suatu progresivitas
melakukan refleksi diri mengenai fungsi dari pola penalaran hukum Polri terhadap
umum dari hukum itu sendiri sebagai fenomena penyidikan selama ini. Sifat
upaya pengembalian keadaan semula progresivitas PERKAP No. 6/2019
terhadap religius magis dari masyarakat tersebut diawali dengan munculnya
dan melakukan restorasi terhadap fungsi melalui Surat Telegram Bareskrim Polri
hukum pidana yaitu ultimum remidium. Nomor STR/583/VIII/2012 tertanggal 8
Agustus 2012 (STR No. 583/2012) dan
PENUTUP kemudian diperkuat secara internal melalui
Berdasarkan uraian-uraian di atas, Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara
maka penulis berkesimpulan sebagai Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2018
berikut. Pertama, proses keluarnya Surat tentang Penerapan Keadilan Restoratif
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di (restorative justice) Dalam Penyelesaian
dahului dengan masuknya perkara tindak Perkara Pidana (SE Kapolri No. 08/2018),
pidana ke dalam pemeriksaan di Kepolisian, dan Surat Edaran Kepala Kepolisian
maka proses penyelidikan dan penyidikan Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
dimulai dengan dikeluarkannya Surat 2018 tentang Penghentian Penyelidikan
Perintah Penyidikan kepada Penyidik. (SE Kapolri No. 07/2018).
Dalam proses pemeriksaan tersebut,
pihak penyidik berdasarkan kegiatan DAFTAR PUSTAKA
penyelidikan sebelumnya, pihak penyidik Buku
mencari korelasi antara bukti-bukti yang Abdulkadir, Muhammad. Hukum Dan
ada dengan pihak pelaku. Keterkaitan Penelitian Hukum. Bandung: Citra
antara bukti-bukti dengan pelaku tindak Aditya Bakti, 2004.
pidana dalam proses pemeriksaan harus Dandurand, Yvon, dan Curt Taylor
menimbulkan suatu bentuk kesalahan Griffiths. Handbook on Restorative
sehingga pihak penyidik kemudian dapat Justice Programmes. Austria: UN
menyampaikan kesimpulan atau resume New York, 2006.
penyidikan yang untuk kemudian dapat Faisal. Menerobos Positivisme Hukum.
diteruskan ke dalam proses penuntutan Jakarta: Gamata Publishing, 2012.
di kejaksaan. Bahwa penyidik dalam Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana
mengeluarkan atau menetapkan Surat Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) 2012.

105
Binamulia Hukum Vol 9 No 2 Desember 2020 (93-106)
https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.124

Lamintang, PAF. Dasar-Dasar Hukum


Pidana Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2013.
Marbun, Rocky. Sistem Peradilan Pidana
Indonesia: Suatu Pengantar. Malang:
Setara Pres, 2015.
———. Telaah Kritis-Filosofis Praktik
Peradilan Pidana: Membongkar
Oposisi Biner Antara Kekuasaan Dan
Kewenangan. Yogyakarta: Arti Bumi
Intaran, 2019.
Pangaribuan, Luhut M P. Hukum Acara
Pidana. Jakarta: Djambatan, 2002.
Rahardjo, Satjipto. Biarkan Hukum
Mengalir: Catatan Kritis Tentang
Pergulatan Manusia Dan Hukum.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.
———. Hukum Dan Perilaku: Hidup Baik
Adalah Dasar Hukum Yang Baik.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.
———. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009.
———. Membedah Hukum Progresif.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi
Manusia Dalam Sistem Peradilan
Pidana: Kumpulan Karangan Buku
Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum
Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, 1994.
Samosir, Djisman. Segenggam Tentang
Hukum Acara Pidana. Bandung:
Nuansa Aulia, 2013.
Suparmono, R. Praperadilan Dan
Penggabungan Perkara Gugatan
Ganti Kerugian Dalam KUHAP.
Bandung: Mandar Maju, 2003.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.

106

Anda mungkin juga menyukai