Anda di halaman 1dari 24

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SURAT DAKWAAN SEBAGAI DASAR

BAGI PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN DAN PENGAMBILAN


KEPUTUSAN OLEH HAKIM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan Guna memperoleh Gelar Sarjana

(Stara-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta

Oleh :

IDHAM M. N. LATUCONSINA

No. Mahasiswa : 04410262

Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2008
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus atau perkara pidana merupakan perkara publik, yang

proses pengaturannya adalah diatur oleh negara sebagai puncak dari

pengaturan terhadap publik. Dalam kasus pidana ada beberapa tahap

yang harus dilalui dalam proses penyelesaiannya.

Kasus pidana melibatkan orang atau subyek hukum yang

melawan negara yang dalam hal ini dijalankan oleh lembaga

penegak hukum baik kepolisisan dan kejaksaan sekaligus hakim

sebagai tongak keadilan dalam memberikan putusan dalam

penyelesaian kasus pidana.

Proses penyelesaian kasus pidana diatur dalam KUHAP (Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang merupakan hasil karya

pertama anak bangsa yang telah di dituangkan dalam aturan No. 8

tahun 1981 yang mengatur proses beracara tersebut.

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,

ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara


2

pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara secara jujur dan

tepat. 1

Surat dakwaan merupakan suatu akta yang dikenal dalam proses

penuntutan perkara pidana dan merupakan bagian dari hukum acara

pidana.

Proses penuntutan terhadap perkara pidana merupakan tindak

lanjut dari proses penyidikan terhadap dugaan terjadinya suatu

tindak pidana oleh seseorang atau suatu badan hukum.

Di dalam pasal 140 ayat (1) KUHAP sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, dinyatakan oleh pembuat

Undang-Undang bahwa: “dalam hal Penuntut Umum berpendapat

bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam

waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”

Didalam pasal 143 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa

“Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan

permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan

surat dakwaan”.

Hampir tidak ada literatur yang dapat dipakai sebagai acuan

tentang pengertian surat dakwaan. Pada umumnya surat dakwaan

diartikan oleh para ahli hukum berupa pengertian surat akta yang

memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada

terdakwa,perumusan maupun ditarik atau disimpulkan dari hasil


1
Ramdlon Naning, Himpunan Perangkat Peraturan Perundang-undangan Pelaksanaan KUHAP,
Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm. 28.
3

pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan pasal tindak pidana

yang dilanggar dan didakwakan kepada terdakwa, dan surat dakwaan

tersebutlah yang menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam

sidang pengadilan”. 2

Menurut pendapat Rusli Muhammad, 3 KUHAP tidak

menyebutkan pengertian surat dakwaan . KUHAP hanya

menyebutkan ciri dan isi surat dakwaan itu seperti disebutkan dalam

pasal 143 ayat (2), yakni:

“.... surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani

serta berisi:

1. nama lengkap, tempat lahir, umur dan tenggal lahir,

jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan

pekerjaan tersangka;

2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai

tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan

waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Di dalam KUHAP tidak dijalaskan bahwa surat dakwaan

merupakan dasar dari pemeriksaan oleh hakim dipersidangan, tetapi

dari rumusan pasal 140 ayat (1), 141 ayat (1), 143 ayat (1) dan (2),

2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasaalahan dan penerapan KUHAP, Jilid I, Sinar grafika,

Jakarta 1997, hlm. 414

3
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm.
83.
4

144 dan pasal 155 ayat (2) maupun pengertian surat dakwaan yang

dikemukakan oleh M. yahya Harahap, SH, dan praktek persidangan

pidana yang selama ini berlaku di Indonesia, dapat disimpulkan

bahwa surat dakwaan merupakan dasar bagi pemeriksaan oleh hakim

dalam sidang pengadilan. Selain berfungsi sebagai dasar bagi

pemeriksaan di persidangan, surat dakwaan juga berfungsi sebagai

dasar bagi Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan pidana

terhadap terdakwa, sebagai dasar bagi terdakwa untuk membela

dirinya dan sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan

putusannya.

Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut di atas dapat juga

disimpulkan bahwa surat dakwaan merupakan suatu rumusan dari

tindak pidana, hasil dari proses penyidikan yang dibuat dalam

bentuk suatu akta guna membawa hasil penyidikan tersebut ke dalam

pemeriksaan pengadilan untuk memperoleh putusan hakim tentang

perbuatan terdakwa yang disangkakan atasnya. Tanpa surat dakwaan

penyidikan tentang tindak pidana tidak dapat diperiksa dan diputus

oleh pengadilan.

Hakim pada prinsipnya tidak dapat memeriksa dan mengadili

keluar dari lingkup yang didakwakan, ini berarti hakim tidak dapat

memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara pidana diluar

yang tercantum dalam surat dakwaan. 4 Dengan demikian surat


4
Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum, Djambatan,

Jakarta 1991
5

dakwaan berfungsi sentral dalam persidangan pengadilan dalam

perkara-perkara pidana. Konsekuensinya adalah jika terjadi

kesalahan dalam penyusunan surat dakwaan dapat berakibat

seseorang dapat dibebaskan oleh pengadilan walaupun orang

tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Di dalam proses

pengadilan pidana di Indonesia, sudah banyak terjadi seorang

terdakwa dibebaskan oleh pengadilan --walaupun terbukti bersalah --

karena kesalahan yang dibuat dalam penyusunan surat dakwaan.

Pasal 140 ayat (1) KUHAP memberikan petunjuk bahwa yang

berwenang membuat surat dakwaan adalah Jaksa Penuntut Umum.

Dengan fungsi surat dakwaan seperti demikian maka seorang Jaksa

Penuntut Umum dituntut untuk memiliki kapabilitas dalam me mbuat

surat dakwaan sehingga kesalahan membuat surat dakwaan yang

mengakibatkan seorang terdakwa yang benar-benar bersalah dapat

dibebaskan dari dakwaan tidak perlu terjadi.

Walaupun di dalam KUHAP tidak diatur tentang bentuk-bentuk

surat dakwaan tetapi pembuatan suatu dakwaan terkait dengan

tindak pidana secara materiil, misalnya kejadiannya seperti yang

diatur dalam pasal 65 ayat (1)KUHAP yaitu gabungan dari beberapa

perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan

yang berdiri sendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi

kejahatan yang terancam denagn hukuman utama yang sejenis

(concursus realis), dimana dakwaannya harus berbentuk kumulatif,


6

atau jika ada beberapa perbuatan yang diduga dilakukan oleh

terdakwa tetapi Penuntut Umum ragu-ragu perbuatan mana yang

tepat didakwakan terhadap terdakwa maka Penuntut Umum membuat

dakwaan secara alternati f. 5

Di dalam praktek, surat dakwaan dibuat dalam beberapa bentuk

sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya, yaitu:

1. Dakwaan tunggal

2. Dakwaan kumulatif

3. Dakwaan subsidair

4. Dakwaan alternatif

5. Dakwaan kombinasi

Bentuk surat dakwaan ini merupakan gabungan antara hukum

acara pidana dan hukum pidana, Sedang bentuk subsidair, alternatif

dan kombinasi tidak ditemukan dalam hukum pidana maupun hukum

acara pidana. Ketiga bentuk dakwaan tersebut lahir dari praktek

yang kemudian yang diterima didalam persidangan sehingga menjadi

kebiasaan yang diterima sebagai hukum. 6

5
Osman Simanjuntak, Teknik Penerapan Surat Dakwaan, Ctk. Pertama, Sumber Ilmu Jaya,

Jakarta 1999

6
Osman Simanjuntak, Ibid.
7

Alasan adanya dakwaan dengan bentuk subsidair dan alternati f

adalah apabila penuntut umum ragu-ragu pasal mana yang paling

tepat diterapkan terhadap perbuatan yang didakwakan terhadap

terdakwaan (apakah penipuan atau penggelapan, apakah

pembunuhan berencana atau pembunuhan biasa).¹ Oesman

simanjuntak berpendapat dakwaan alternati f berbeda dengan

dakwaan subsidair, tetapi M.yahya harahap berpendapat bahwa

kedua bentuk dakwaan tersebut sama. Pendapat bahwa kedua bentuk

dakwaan tersebut sama mengakibatkan sering dipersidangan kedua

bentuk dakwaan tersebut (alternati f dan subsidair) diperiksa didalam

pengertian yang sama, yaitu jika dakwaan pertama tidak terbukti,

maka hakim akan menyatakan bahwa dakwaan pertama tidak terbukti

secara sah menurut hukum dan oleh karena itu terdakwa harus

dibebaskan dari dakwaan tersebut. Selanjutnya hakim akan

memeriksa dakwaan kedua dan jika terbukti maka terdakwa akan

diputuskan dipidana berdasarkan kedua dakwaan tersebut.

Ini berarti didalam dakwaan yang sama terdakwa diadili 2 (dua)

kali. Hal ini terlihat bertentangan dengan azas hukum ne bis in

idem, dan juga bertentangan dengan hak azasi manusia (HAM) dari

terdakwa. Penerapan dan penerimaan bentuk dakwaan subsidair dan

alternatif ini menunjukan adanya ketidak dilan dan kontradiksi

dalam hukum pidana dan hukum acara pidana karena :


8

1. Hanya untuk memberikan perlindungan hukum bagi ketidak

mamapuan penuntut umum untuk memastikan kesalahan

terdakwa dan menempatkan posisi terdakwa sebagai obyek yang

harus disalahkan.

2. Kontradiktif dengan azas hukum yang berlaku yaitu azas ne bis

in idem.

Surat dakwaan harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam

pasal 143 ayat (2) huruf a (syarat formil) dan huruf b (syarat

materiil) KUHAP.

Kesalahan dalam membuat atau menyusun surat dakwaan baik

bentuknya maupun syarat-syarat yang ditentukan bagi materinya

dapat mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum atau surat

dakwaan dianggap tidak terbukti secara sah dan menurut hukum,

walaupun secara faktual dan secara yuridis terdapat cukup alasan

adanya kesalahan terdakwa seperti yang didakwakan.

Sering terjadi berkas perkara tindak pidana umum yang

diserahkan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum, ditemukan

didalam proses terjadinya tindak pidana umum tersebut tersangkut

perbuatan atau akibat perbuatan yang bersifat tindak pidana khusus

misalanya tindak pidana korupsi. Contohnya, tindak pidana umum

melanggar pasal 50 ayat (3) huruf h jo pasal 78 ayat (7) UU. No. 41

tahun 1999 tentang kehutanan.


9

Pasal 50 ayat (3) huruf h menyatakan “setiap orang dilarang

mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak

dilengkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil

Hutan “. Pasal 78 ayat (7) menyatakan “barang siapa dengan sengaja

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3)

huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar

rupiah)”.

Untuk mendapatkan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

(SKSHH) tersebut, harus dapat menunjukan bukti pembayaran:

1. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH).

2. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).

3. Dana Roboisasi (DR), sesuai dengan PP. No. 6 Tahun 1999

tentang pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan pada

hutan Produksi.

Ketiga jenis pembayaran ini merupakan pungutan negara bukan

pajak. Jumlah ketiga ketiga jenis pungutan bukan pajak tersebut

cukup berat terutama Dana Reboisasi (DR), sehingga seorang

pengusaha kayu yang hendak melakukan pengangkutan kayu sering

melakukan pelanggaran terhadap pasal 50 ayat (3) UU. No. 41 tahun

1999 tersebut dalam melakukan pengangkutan kayu, guna

menghindari pungutan-pungutan tersebut yaitu mengangkut kayu

(hasil hutan) yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan SKSHH.


10

Ketika ia ditangkap dan diperiksa dokumen-dokumen

pengangkutan hasil hutan tersebut ternyata ia tidak memiliki

SKSHH. Oleh karena itu tersangka pengangkut illegal logging

tersebut diperiksa oleh penyidik yang berwenang (Polri atau

Penyidik PNS Kehutanan) dengan fokus melanggar pasal 50 ayat (3)

huruf h UU. No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang merupakan

tindak pidana umum. Tersirat didalam perbuatan tersebut tersangka

juga berusaha menghindari kewajibannya membayar IHPH, PSDH

dan DR kepada negara sehingga oleh perbuatan tersebut tersangka

menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

karena tidak membayar pungutan-pungutan tersebut sekaligus

merugikan keuangan negara karena ketiga jenis pungutan tersebut

merupakan pungutan yang harus disetor ke kas negara sebagai

kekayaan negara.

Didalam berkas perkara penyidikan yang diserahkan oleh

penyidik, terhadap tersangka hanya diterapkan pasal 50 ayat (3)

huruf h UU. No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang merupakan

tindak pidana umum.ketika berkas perkara tersebut dipelajari oleh

Penuntut Umum dan melihat adanya tindak pidana korupsi yang juga

dilakukan oleh tersangka, maka Penuntut Umum terpengaruh untuk

membuat surat dakwaan secara komulatif atau alternatif dengan

menerapkan pasal undang-undang korupsi yang merupakan tindak

pidana khusus bersama-sama dengan pasa 50 ayat (3) huruf h UU.


11

No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang merupakan tindak

pidana umum dan telah ada dalam berkas perkara, dengan pengertian

bahwa Undang-undang Korupsi lebih berat ancaman hukumannya

dan dapat diterapkan tuntutan pidana tambahan berupa pembayaran

uang pengganti sebanyak uang pungutan yang tidak dibayar (harta

benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut).

Pasal-pasal pidana umum yang didalamnya mengandung tindak

pidana korupsi juga dapat ditemukan didalam Undang-undang

Minyak dan Gas Bumi seperti pasal 53 huruf b jo pasal 23 jo pasal

32 uu. No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 53

huruf b UU. No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi

menyatakan “setiap orang yang melakukan pengangkutan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 tanpa izin usaha

pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

tahun dan denda paling tinggi Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh

miliar rupiah)”. Pasal 32 UU. No. 22 tahun 2001 tersebut

menyatakan “badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha hilir

sebagaimana dimaksud pasal 23 wajib membayar pajak, bea masuk,

pajak daerah dan retribusi daerah, serta kewajiban lain sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ini

berarti jika orang tersebut minyak atau gas bumi tanpa memiliki izin

usaha pengangkutan maka ia juga akan terhindar dari kewajiban-

kewajiban yang dimaksud dalam pasal 32 tersebut dan sebagai


12

akibatnya akan memperoleh keuntungan dan merugikan keuangan

negara.

Menggabungkan beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang yang sama dalam satu surat dakwaan memang dibolehkan

sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum acara pidana

(lihat pasal 141 KUHAP). Namun Pununtut Umum harus berhati-

hati jika penggabungan demikian dilakukan terhadap dua jenis

tindak pidana yang berbeda seperti tindak pidana umum dan tindak

pidana khusus, dimana berkas perkara tersebut merupakan hasil

penyidikan penyidik Polri atau penyidik PNS tertentu, yang tidak

mencantumkan sangkaan terhadap pasla-pasal tindak pidana khusus

(korupsi) seperti diuraikan diatas. Dalam hal demikian, Penuntut

Umum tidak dapat menggabungkan dakwaan melanggar Undang-

undang tindak pidana korupsi dan Undang-undang tindak pidana

umum didalam satu surat dakwaan baik dalam bentuk komulatif,

subsidair atau alternatif, karena didalam berkas perkara yang

diterima dari Penyidik Polri atau penyidik PNS, tersengka hanya

didakwa melanggar Undang-undang tentang tindak pidana umum

(misalnya pasal 50 ayat (3) huruf h UU. No. 41 tahun 1999 tentang

kehutanan). Ketika Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang

jega memasukan dakwaan yang melanggar Undang-undang tindak

pidana korupsi untuk digabungkan dengan tindak pidana umum

tentang kehutanan yang telah ada dalam berkas perkara hasil


13

penyidikan didalam satu surat dakwaan, maka surat dakwaan

tersebut merupakan surat dakwaan yang salah karena telah

mendakwakan suatu perbuatan yang tidak termasuk didalam berkas

perkara hasil penyidikan. Didalam KUHAP sudah ditetapkan bahwa

surat dakwaan harus didasarkan pada berkas perkara hasil

penyidikan yang sah. Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 138,

139, 140, 141, 142, 143 KUHAP.

Dengan demikian menggabungkan dakwaan tindak pidana

korupsi (yang tidak termasuk dalam berkas perkara) dengan tindak

pidana umum (misalnya pasal 50 ayat (3) huruf h UU. No. 41 tahun

1999 tentang kehutanan atau pasal 53 huruf b UU. No. 22 tahun

2001 tantang minyak dan gas bumi) dari berkas perkara yang

diserahkan dari penyidik adalah dakwaan yang salah, karena

bertentangn dengan hukum acara pidana.

Sebaliknya jika Penuntut Umum mebuat suatu surat dakwaan

tentang perkara tindak pidana korupsi yang berasal illegal logging

atau pengangkutan minyak dan gas bumi sebgai akibat

menghindarkan diri dari pembayaran pungutan pajak dan/atau

pungutan bukan pajak, yang berasal dari berkas perkara hasil

penyidikan Kejasaan. Karena ragu-ragu dan tindakan berjaga-jaga

terhadap kemungkinan gagalnya dakwaan tindak pidana korupsi

maka Penuntut Umum menggabungkan (melapisi) dakwaan

melanggar tindak pidana korusi (khusus) tersebut dengan dakwaan


14

melanggar pasal-pasal dalam Undang-undang kehutanan atau

Undang-undang minyak dan gas bumi tersebut diatas yang

merupakan tindak pidana umum, yang jelas tidak ada dalam berkas

perkara karena wewenang penyidikannya hanya ada pada penyidik

Polri atau pentidik PNS tertentu. Kesalahan penggabungan dalam

satu surat dakwaan demikian adalah karena pelanggaran terhadap

tindak pidana umumnya tidak ada dalam berkas perkara. Kalaupun

dalam berkas perkara dimasukan pelanggaran terhadap Undang-

undang kehutana ata Undang-undang minyak dan gas bumi maka

berkas perkara hasil penyidikan tersebut tidak sah menurut hukum

karena Kejaksaan tidak memiliki kewenangan penyidikan terhadap

tindak pidana umum. Kejaksaan hanya diberi wewenang penyidikan

oleh KUHAP terhadap tindak pidana khusus.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas maka

dapat diambil rumusan masalah pokok yang dapat ditarik secara

garis besar sebagai berikut:

1. Bagaimana peran, fungsi dan kedudukan surat dakwaan didalam

penyelesaian perkara pidana?

2. Bagaimana dengan penerapan bentuk dakwaan subsidair dan

dakwaan alternatif apakah sesuai dengan azas hukum yang


15

berlaku atau bertentangan dengan azas hukum ne bis in idem

dan bagaimana cara pemeriksaannya?

3. Apakah dari suatu berkas perkara hasil penyidikan terhadap

suatu tindak pidana umum yang didalamnya terdapat kerugian

keuangan Negara, penuntut umum boleh membuat surat

dakwaan yang selain mendakwakan perbuatan yang bersifat

tindak pidana umum juga memasukan dakwaan melanggar

tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab pokok

permasalahan sebagaimana telah dirumuskan diatas, yakni:

a. Bagaimanakah peran, fungsi dan kededukan surat dakwaan

dalam proses penyelesaian perkara pidana?

b. Bagaimana dengan penerapan bentuk dakwaan subsidair dan

dakwaan alternative apakah sesuai dengan azas hukum yang

berlaku atau bertentangan dengan azas hukum ne bis in idem

dan bagaimana cara pemeriksaaannya?


16

c. Apakah dari suatu berkas perkara hasil penyidikan terhadap

suatu tindak pidana umum yang didalamnya terdapat kerugian

keuangan Negara, penuntut umum boleh membuat surat

dakwaan yang selain mendakwakan perbuatan yang bersifat

tindak pidana umum juga memasukan dakwaan melanggar

tindak pidana korupsi?

2. Manfaat yang diharapkan oleh penulis agar skripsi ini dap at

menambah khasanah keilmuan penulis dan para pihak yang

membaca skripsi ini, dan khususnya bagi Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia semoga skripsi ini dapat menambah

referensi dalam bidang ilmu acara pidana.

D.Tinjauan Pustaka

Setiap Negara memiliki aturan hukum tersendiri untuk

mengatur para warga negaranya dalam kehidupan bermasyarakat

dimana banyak perbedaan kepentingan-kepentingan sosial dan

masing-masing individu memiliki hak serta kewajiban yang berbeda-

beda pula, dengan demikian untuk menghindari benturan-benturan

sosial dalam masyarakat maka adanya semacam rule of law yaitu

aturan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, dan

untuk mengimplementasikan atau melaksanakannya di dalam


17

masyarakat agar adanya kekuatan pengikat atau daya paksa yang

bertujuan untuk keefektifan pemberlakuan aturan hukum itu maka

adanya sistem peradilan di Indonesia ini untuk menata sebuah

sistem atau pengkualifikasian terhadap ranah mana yang menjadi

wilayah kewenangan suatu peradilan untuk memeriksa dan memutus

suatu perkara.

Salah satu implikasi diterapkannya konsep kedaulatan hukum

dalam suatu Negara ialah adanya suatu badan peradilan yang bebas

dari segala intervensi dan mampu secara mandiri memberikan

putusan yang adil, artinya adanya kekuasaan kehakiman merupakan

suatu konsekwensi dari penerapan paham Negara hukum.

Contoh paling nyata adanya kekuasaan kehakiman dalam

konsep Negara hukum Eropa continental yang sebgaimana

ditegaskan oleh Immanuel Kant salah satunya mensyaratkan akan

adanya peradilan administrasi untuk menyelesaikan perselisihan

berkenan sengan administrasi Negara, peradilan tersebut harus

memenuhi dua persyaratan, yaitu:

1. Tidak memihak atau berat sebelah walaupun pemerintah

menjadi salah satu pihak.

2. Orang-orangnya atau petugas-petugasnya haruslah terdiri dari

ahli-ahli dalam bidang tersebut.

Hal tersebut kiranya dapat menunjukan bahwa kekuasaan

kehakiman yang bebas dari intervensi adalah salah satu elemen dari
18

Negara hukum dimana putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang

oleh Hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk

diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak, bukan

hanya diucapkan saja yang disebutr putusan melainkan juga

pernyataan tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di

persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai

kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan

(uitspraak) dan tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis) .

Dalam sistem peradilan yang dianut di negara kita pengadilan

hanya memeriksa dan memutus perkara pidana atas dasar surat

dakwaan penuntut umum. Tidak ada perkara pidana yang dapat

diadili pengadilan tanpa perkara itu diajukan penentut umum ke

pengadilan dan hanya penuntut umumlah satu-satunya pejabat yang

diberi wewenang oleh undang-undang berbuat demikian.

Mengenai dasar wewenang untuk membuat surat dakwaan

diatur dalam pasal 14 huruf d KUHAP yang berbunyi “Penuntut

Umum mempunyai wewenang membuat surat dakwaan”.

Surat dakwaan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi bagi

penuntut umum sebagai objek (materi) yang diperdebatkan di sidang

pengadilan, melalui pemeriksaan diperiksa sejauhmana kebenaran

dakwaan penuntut umum mengambil kesimpulan apakah yang

didakwakan itu terbukti, atau tidak terbukti. Fungsi kedua bagi


19

hakim surat dakwaan menjadi bahan pemeriksaan di persidangan

yang akan memberi corak dan warna terhadap putusan hakim. Dan

fungsi bagi terdakwa untuk pembelaan dirinya dalam pemeriksaan di

pengadilan.

Walaupun di dalam KUHAP tidak diatur tentang bentuk-bentuk

surat dakwaan tetapi pembuatan suatu dakwaan terkait dengan

tindak pidana secara materiil, misalnya kejadiannya seperti yang

diatur dalam pasal 65 ayat (1) KUHP yaitu gabungan dari beberapa

perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan

yang berdiri sendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi

kejahatan yang terancam denagn hukuman utama yang sejenis

(concursus realis), dimana dakwaannya harus berbentuk kumulatif,

atau jika ada beberapa perbuatan yang diduga dilakukan oleh

terdakwa tetapi Penuntut Umum ragu-ragu perbuatan mana yang

tepat didakwakan terhadap terdakwa maka Penuntut Umum membuat

dakwaan secara alternati f.

Di dalam praktek, surat dakwaan dibuat dalam beberapa bentuk

sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya, yaitu:

1. Dakwaan tunggal

2. Dakwaan kumulatif

3. Dakwaan subsidair

4. Dakwaan alternatif

5. Dakwaan kombinasi
20

Dakwaan tunggal bisa disusun berdasarkan:

a. Terdakwa hanya melakukan satu perbuatan pidana saja, dan ia

melakukannya sendiri.

b. Beberapa orang (terdakwa) secara bersama-sama melakukan

satu perbuatan pidana saja.

Dakwaan kumulatif disusun berdasakan keadaan atau kenyataan

bahwa dengan hanya melakukan satu perbuatan terdakwa telah

melanggar beberapa ketentuan pidana atau melakukan beberapa

perbuatan pidana. Hal perbuatan demikian di dalam hukum pidana

dinamakan concursus realis atau gabungan beberapa perbuatann

yang masing-masing merupakan perbuatan yang berdiri sendiri-

sendiri, yang masing-masing menjadi kejahatan yang diancam

dengan hukuman utama yang sejenis atau dengan hukuman utama

yang tidak sejenis.

Dakwaan subsidair atau dakwaan pengganti disusun dalam

bentuk subsidair karena Penuntut Umummerasa ragu-ragu tentang

perbuatan mana yang paling tepat didakwakan terhadap terdakwa.

Perbuatan-perbuatan yang kualifikasi deliknya sejenis yang disusun

secara berurutan dari yang paling berat ancaman pidananya sampai

yang paling ringan ancaman pidananya. Bentuk susunannya dimulai

dari primair, subsidair, lebih subsidair, lebih subsidair lagi dan

seterusnya secara bergantian apabila yang sebelumnya tidak


21

terbukti. Apabila salah satu dakwaan sudah terbukti maka dakwaan

yang selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Dakwaan alternatif atau dakwaan pilihan disusun apabila ada

dua atau lebih dakwaan yang diajukan oleh Penuntu t Umum tetapi

perbuatan-perbuatan yang didakwakan kualifikasi deliknya tidak

sejenis malahan saling mengecualikan. Disini juga Penuntut Umum

ragu-ragu perbuatan mana yang paling tepat didakwakan, misalnya,

apakah penggelapan (pasal 372 KUHP) atau penipuan (pasal378

KUHP). Dalam hal tersebut Penuntut Umum hanya boleh dakwakan

yang diajukan secara alternatif (pilihan) untuk diperiksa dalam

persidangan. Jika dakwaan yang diperiksa tersebut tidak terbukti

maka dakwaan lainnya dan selebihnya tidak dapat diperiksa lagi.

Dakwaan kombinasi adalah bentuk dakwaan kumulatif yang

dikombinasikan dengan dakwaan subsidair dan atau dakwaan

alternatif.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasaalahan yang

terdapat dalam perumusan masalah tersebut diatas adalah sebagai

berikut:

1. Objek penelitian ini


22

Surat dakwaan baik perkara pidana umum maupun perkara

pidana khusus

2. Subyek penelitian

a. Kantor Kejaksaan Negeri Sleman

b. Kantor Kejaksaan Negeri Jogja

c. Kantor Kejasaan Tinggi Yogyakarta

3. Sumber data

a. Sumber data Primer

Data yang diperoleh secara langsung melalui kepustakaan

(library research), seperti dari buku-buku, peraturan

perundang-undangan, kamus, putusan pengadilan, bahan

internet, dan atau hasil penelitian.

b. Sumber data sekunder Sekunder

Data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subyek

penelitian yang dapat diwawancara (field research)

4. Teknik pengumpulan data

a. Data primer

1. Studi kepustakaan

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum,

litertur, tulisan-tulisan ilmiah dalam majalah, peraturan


23

perundang-undangan dan bacaan lainnya yang ada

kaitannya dengan penelitian ini.

2. Studi dokumen

Dokumen yang diteliti adalah surat dakwaan baik dalam

perkara pidana umum amupun pidana khusus.

b. Data sekunder

Wawancara dengan cara mengajukan pertanyaan secara

langsung kepada Jaksa Penuntut Umum mengenai

permasalahan yang diteliti.

5. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini

adalah:

Yuridis normatif : yaitu mengkaji dari sudut pandang

ketentuan kaidah peraturan perundang-undangan dan hukum

yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai