Anda di halaman 1dari 117

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana ("KUHAP") adalah pengadilan mengadili menurut hukum

dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Asas yang juga dikenal

sebagai asas presumption of innocence ini adalah paham yang menyatakan bahwa

seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan memutus bahwa

tersangka tersebut memang bersalah.1Berkaitan dengan asas tersebut, KUHAP

juga menjamin adanya asas perlindungan terhadap menjalankan upaya paksa,

secara khusus penangkapan dan penahanan.

Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum

merupakanpengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka,

tindakan ituharus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum

dan undang-undangyang berlaku (due process of law).Tindakan upaya paksa yang

dilakukanbertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perkosaan

terhadaphak asasi tersangka.2

Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang dalam undang-undang mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti ini membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna

menemukan tersangkanya.3Proses penyidikan ini sangat penting dalam kerangka

1
Darwin Prints, Tinjauan Umum tentang Praperadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
Cet. 1, 1993), hlm. 3.
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kasasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm.
3.
3
Pasal 1 angka (2) KUHAP.

1
hukum acara pidana di Indonesia, karena dalam tahap ini pihak penyidik 4

berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak

pidana serta menemukan tersangka5 pelaku tindak pidana tersebut.

Pada tahapan ini seseorang ditetapkan sebagai tersangka hanya

berdasarkan "bukti permulaan yang cukup"6 yang didapat dari hasil penyelidikan

yang dilakukan oleh penyelidik.Pada dasarnya fungsi bukti permulaanyang

cukupdapat diklasifikasikan atas 2 (dua) buahkategori, yaitu merupakan prasyarat

untuk: (i) melakukan penyidikan7 dan (ii) menetapkan status tersangka terhadap

seseorangyang diduga telah melakukan suatu tindak pidana8.

Pembagian atas 2 (dua) buah kategori tersebut bukannyatanpa

arti.Terhadap kategori pertama, maka fungsi buktipermulaan yang cukup adalah

bukti permulaan untukmenduga adanya suatu tindak pidana dan selanjutnya

dapatditidak lanjuti dengan melakukan suatu penyidikan.Sedangkanterhadap

kategori kedua, selain sebagai bukti permulaanuntuk menduga adanya suatu

tindak pidana, fungsi buktipermulaan yang cukupadalah bukti permulaan

bahwa(dugaan) tindak pidana tersebut diduga dilakukan olehseseorang.

Pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh penyidik.KUHAP merumuskan

yang dimaksud dengan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang

terdiri dari pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia ("POLRI")atau

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
4
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.Lihat Pasal
1 angka (1) KUHAP.
5
Pasal 1 angka (14) KUHAP.
6
Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk
menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.Pasal ini menentukan bahwa
perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada
mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Lihat Penjelasan Pasal 17 KUHAP.
7
Penjelasan Pasal 17 KUHAP jo. Pasal 1 butir 5 KUHAP. Lihat juga Pasal 43A ayat (1)
UU Pajak, Pasal 44 ayat (1) jo. Ayat (4) UU KPK.
8
Pasal 1 angka 14 jo. Penjelasan Pasal 17 KUHAP.

2
untuk melakukan penyidikan.9 Kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk

melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16

tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ("UU Kejaksaan"). Di bidang

pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan

tertentu terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.10Tindak

pidana tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak

asasi manusia.

Selain melaksanakan penyidikan, penyidik juga dapat menghentikan

penyidikan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan ("SP3")

karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut, ternyata bukan

merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, dan oleh

karenanya penyidikmemberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka

atau keluarganya.11

Sebuah permasalahan yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan

kepastian hukum adalah dalam hal proses penegakan hukum, khususnya dalam

proses hukum acara pidana, dimana seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka

tidak diberikan batas waktu yang pasti kapan status tersangkanya itu berakhir. Hal

ini tentu membawa konsekuensi hukum tersendiri bagi tersangka tersebut, karena

walaupun secara yuridis belum ada kepastian dinyatakan bersalah, akan tetapi

secara sosial orang tersebut sudah dianggap bersalah dan menanggung rasa malu

di masyarakat. Bahkan dalam hal-hal tertentu, di satu sisi tersangka tidak bisa

menggunakan hak-hak hukumnya secara maksimal, sehingga dinilai sangat

merugikan dan tidak memberikan rasa keadilan. Pada sisi yang lain, tidak pastinya

9
Pasal 1 angka 1 KUHAP.
10
Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan.
11
Lihat Pasal 109 ayat (2) KUHAP.

3
kapan status tersangka itu akan berakhir sangat berpotensi terjadinya pelanggaran

hak asasi manusia.

Ketika seseorang merasa telah dirugikan dalam proses peradilan

sepertipenangkapan, penahanan, atau penyidikan, maka mereka berhak untuk

menuntutdan mendapatkan keadilan melalui Praperadilan, yaitu salah satu

lembaga untukmenguji suatu proses perkara sampai pada tahap beracara dalam

PengadilanNegeri. Menurut Hartono yang disebut lembaga Praperadilan adalah

prosespersidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan.12

Munculnya Praperadilan ini disebabkan karena dalam

menjalankankewenangannya, aparat penegak hukum tidak terlepas dari

kemungkinan untukmelakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undanganyang berlaku.13

Praperadilanmerupakan suatu pemeriksaan perkara di sidangpengadilan

bidang hukum pidana yang dilakukanoleh hakim tunggal.Pemeriksaan itu tidak

padapokok perkara, tetapi hanya pada prosedur yangdilakukan oleh aparat

penegak hukum sebelumberkas dilimpahkan ke pengadilan.14

Pengaturan tentang praperadilan dicantumkan dalam Pasal 1 angka 10 dan

dipertegas dalam Bab X Bagian Kesatu, yaitu: Pasal 77 sampai dengan Pasal 83

KUHAP. Menurut Hamzah dan Surachman, kelahiran praperadilan dalam

KUHAP merupakan adaptasi atas lembaga habeas corpus dari sistem peradilan

pidana anglo-saxon.Wewenang yang diberikan kepada hakim dalam proses


12
Agung Hidayat Mazkuri & Bakri Iskandar, Lembaga Praperadilan Dalam
Memutuskan Penetapan Tersangka, diakses melalui https://www.academia.edu/12506263, diakses
pada tanggal 27 September 2019.
13
Abi Hikmoro, Peranan dan Fungsi Praperadilan Dalam Penegakan Hukum Pidana Di
Indonesia, 2014, diakses melalui http://e-journal.uajy.ac.id/4932/1/0HK10212.pdf . Terakhir
diakses pada tanggal 27 September 2019.
14
M. Y Harahap, Pembahasan Permasalahan & Penerapan KUHAP: Penyidikan &
penuntutan,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 1.

4
peradilan ini jauh lebih terbatas dibandingkan dengan wewenang hakim komisaris

di negara-negara dengan tradisi civil law di Eropa Daratan (rechter-commissaris,

judge d’instruction, juezde intrucion, juiz intrucao, dan sebagainya).15

Kewenangan secara spesifik Praperadilan sesuai dengan KUHAP adalah

memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan) serta

memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan.16Kewenangan tersebut ditambah dengan kewenangan untuk

memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi.Ganti kerugian dalam hal

ini bukan hanya semata-mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan

maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan

rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah.17Dalam keputusan Menteri

Kehakiman Republik Indonesia No. M.01.PW.07.03 tahun 1982, Praperadilan

disebutkan dapat pula dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak

termasuk alat bukti, atau seseorang yang dikenankan tindakan lain tanpa alasan

yang berdasarkan undang-undang karena kekeliruan orang atau hukum yang

diterapkan.

Mahkamah Konstitusi ("MK") dalam putusannya bernomor 21/PUU-

XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang mengabulkan sebagian permohonan

terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT. Chevron Bachtiar Abdul Fatah

yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. MK menyatakan

inkonstitusional bersyarat terhadap frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan

yang cukup", dan "bukti yang cukup" dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal

15
Hamzah, A., & Surachman, R. M, Pre-trial Justice & Discretionary Justice dalam
KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 106.
16
Lihat Pasal 77-88 KUHAP.
17
Lihat Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP.

5
21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184

KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat

sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan

("Putusan MK").

Putusan MK ini hanya menetapkan bahwa frasa "bukti permulaan", "bukti

permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" dalam Pasal 1 angka 14, Pasal

17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti

sesuai Pasal 184 KUHAP dan menambah objek praperadilan, yaitu penetapan

tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Mahkamah beralasan KUHAP tidak

memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa "bukti

permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup". MK

menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka

untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang

ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara

seimbang.Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik

terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

Berkaitan dengan penjelasan latar belakang diatas, penulisan Tesis ini

akan membahas suatu putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe No.

2/Pid.Pra/2019/PN Kbj atas Ir. Edy Perin Sebayang selaku wakil direktur CV.

Askonas Konstruksi Utama melawan Kepala Kejaksaan Negeri Karo terkait

dengan status tersangka Ir. Edy Perin Sebayang yang ditetapkan kepadanya dalam

kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi atas laporan masyarakat pada Pekerjaan

Pembuatan Tanda Batas/Tugu Mejuah-juah pada Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Kabupaten Karo Tahun Anggaran 2016 ("Putusan Prapid"). Hakim

6
Praperadilan memutuskan status tersangka adalah tidak sah dan tidak berkekuatan

hukum serta memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Karo untuk segera

menghentikan proses penyidikan terhadap diri Pemohon dalam Pekerjaan

Pembuatan Bangunan Tugu/Tanda Batas (Pembuatan Tugu Menjua-juah Tahun

2016) dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Putusan Prapid ini penting untuk diteliti dalam kerangka untuk melihat

bagaimana hakim menerapkan hukum acara pidana yang berlaku berdasarkan

KUHAP dan sesuai perkembangannya dengan adanya Putusan MK. Oleh

karenanya Penulis mengambil judul "KEWAJIBAN PENYIDIK UNTUK

MENGHENTIKAN PROSES PENYIDIKAN YANG BERASAL DARI

PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG PENETAPAN TERSANGKA

YANG TIDAK SAH DAN TIDAK BERKEKUATAN HUKUM (STUDI

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KABANJAHE NO.

2/PID.PRA/2019/PN-KBJ)".

B. Permasalahan

Permasalahan merupakan hal yang sangat penting di dalam penyusunan

suatu penulisan hukum. Perumusan masalah di dalam suatu penelitian

dimaksudkan untuk menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga tujuan yang

akan dicapai menjadi lebih jelas dan sistematis. Dengan demikian diperoleh hasil

yang diharapkan.

Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya

peneliti mengindentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur dan dasar hukum penghentian penyidikan?

7
2. Bagaimana pengaturan hukum lembaga praperadilan sebagai lembaga

pengawasan terhadap upaya paksa?

3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara penghentian

proses penyidikan pada putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe No.

2/PID.PRA/2019/PN-KBJ?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti agar penelitian

tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan penelitian pada

prinsipnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti sebagai solusi

dari permasalahan yang dihadapi.18

Adapun Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum pidana terkait dengan

proses penyidikan serta dasar penghentian penyidikan oleh penyidik.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum acara praperadilan

berikut dengan perkembangannya yang berlaku di negara Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum suatu perkara

praperadilan terkait dengan pembatalan status tersangka dan perintah untuk

menerbitkan SP3 berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe No.

2/PID.PRA/2019/PN-KBJ.

18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2006), hlm. 1.

8
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dalam penulisan ini penelitian ini agar dapat menambah

bahan pustaka yang berkenaan dengan permasalahan

penyidikan,penetapan status tersangka dan dasar penghentian penyidikan

oleh penyidik.Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk menambah bahan

pustaka yang berkenaan dengan praperadilan dalam hukum acara pidana.

Kemudian penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi penelitian yang

akan dilakukan selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penulisan ini adalah agar masyarakat khususnya

mereka yang terjerat kasus pidana dapat mengetahui tentang

penyidikan,penetapan status tersangka dan dasar penghentian penyidikan

oleh penyidik. Selanjutnya dapat bermanfaat untuk menjadi referensi

aparat penegak hukum dalam melaksanakan proses penyidikan.Selain itu,

bermanfaat menjadi referensi pemerintah dalam membuat peraturan-

peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan fenomena yang ada di

masyarakat sekarang.

E. Keaslian Penelitian

Adapun judul penelitian ini memiliki kaitan judul dengan beberapa tesis

yang sudah diteliti oleh Mahasiswa Terdahulu pada Pascasarjana Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Penelitian oleh Bambang Rulianto (NIM. 117005), dengan judul tesis:

9
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Penyidikan di Polresta Medan dan

Kejari Medan, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimanakah kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan

oleh Polresta Medan dan Kejari Medan?

b. Apa hambatan-hambatan penyidikan tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh Polresta Medan dan Kejari Medan?

c. Bagaimanakan penyidikan tindak pidana korupsi pada masa akan datang

di Polresta dan Kejari Medan?

2. Penelitian oleh Rasyid Hartanto (NIM. 127005146), dengan judul tesis:

Analisis Perma No. 02 tahun 2012 pada Tahap Penyidikan di Kepolisian

terhadap Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan (Studi di Wilayah

Hukum Polres Langkat) dengan pokok permasalahan dalam penelitian

tersebut adalah:

a. Bagaimana pengaruh Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012

dengan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang

dilakukan oleh penyidik Kepolisian?

b. Apa hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penyidik Kepolisian Resor

Langkat dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pencurian

dengan pemberatan terkait dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 02

tahun 2012?

c. Apa solusi bagi penyidik Kepolisian Resor Langkat terkait dengan

hambatan-hambatan yang dihadapi terhadap tindak pidana pencurian

dengan pemberatan dihubungkan dengan Peraturan Mahkamah Agung No.

02 tahun 2012?

10
3. Penelitian oleh Yoyok Adi Syah, dengan judul tesis: Penegakan Hukum

Penetapan Tersangka yang berasal dari Putusan Praperadilan (Studi Kasus

Putusan No. 24/Pid.Pra/2018/PN.JKT.Sel) dengan pokok permasalahan dalam

penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimana pertimbangan hukum terhadap perintah melakukan penyidikan

dan menetapkan tersangka dalam tindak pidana korupsi terhadap

seseorang berdasarkan Putusan Pra-peradilan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan No. 24/Pid.Pra/2018/PN.JKT.Sel, dikaitkan dengan kewenangan

lembaga pra peradilan?

b. Bagaimana kewajiban penyidik terhadap perintah untuk melakukan

penyidikan dan menetapkan tersangka berdasarkan putusan praperadilan

dalam tindak pidana korupsi?

c. Apakan putusan pra peradilan yang menyatakan seseorang terlibat dalam

suatu tindak pidana korupsi dapat dijadikan bukti permulaan bahwa

seseorang tersebut dapat dijadikan sebagai tersangka dalam tindak pidana

korupsi?

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

Teori merupakan bagian yang sangat penting dari penelitian ini, dengan

demikian tentunya memudahkan penulis dalam menyusun arah dan tujuannya.

Teori bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.19 Dalam penelitian

19
Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2012),hlm. 56.

11
ilmiah kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori, tesis,

mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan

pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui atau tidak disetujuinya.

Teori digunakan untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik

untuk proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.20Kerangka teori

adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu

kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan penulis dibidang

hukum.21Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk

mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan

menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.22 Kata lain dari

kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis,

tentang suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau

pegangan teoritis dalam penelitian.23

Teori berfungsi sebagai pisau analisis dalam penelitian dan teori

merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus sesuai dengan

obyek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta atas

permasalahan yang diteliti agar dapat diuji kebenarannya. 24 Dengan pedoman

tersebut diharapkan akan memberi wawasan berpikir untuk menemukan

kebenaran dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian.Penelitian hukum harus berpijak pada teori hukum, karena teori hukum

adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenan dengan sistem


20
JJ M. Wuismen, Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2006), hlm. 203.
21
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 27.
22
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 23.
23
M.Solly Lubis, Op.Cit.,hlm. 23.
24
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2012), hlm. 6.

12
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut

untuk sebagian yang penting dipositifkan.25

Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang menganalisis secara kritis

dalam perspektif interdisipliner, dari berbagai aspek perwujudan (fenomena)

hukum secara tersendiri atau menyeluruh, baik dalam konsepsi teoritis maupun

dalam pelaksanaan praktis dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang lebih

baik dan uraian yang lebih jelas tentang bahan-bahan yuridis ini. 26 Kerangka teori

yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau

ketetapan.Hukum secara hakiki harus pasti dan adil.Pasti sebagai pedoman

kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan

yang dinilai wajar.Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti

hukum dapat menjalankan fungsinya.Kepastian hukum merupakan pertanyaan

yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.27

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah

pernyataan yang menekankan aspek "seharusnya" atau das sollen, dengan

menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma

adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.Undang-undang yang berisi

aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku

dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungannya dengan masyarakat.Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi

25
HR Otje Salman, Teori Hukum, (Jakarta: Refika Aditama, 2012), hlm. 60.
26
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm.
87.
27
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, (Yogyakarta:
Laksbang Pressindo, 2010), hlm. 59.

13
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.Adanya

aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.28

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.29

Kepastian hukum digambarkan adanya kesesuaian antara apa yang diatur

dengan kompensasi jika ada pelanggaran terhadap aturan tersebut. Kepastian

hukum berbicara mengenai keadilan dan moral.Selain itu berbicara kepastian

hukum, pasti berbicara dengan penegakan hukum serta siapa yang memberi

kepastian hukum itu sendiri.30Dalam hal ini, seseorang mendapatkan sesuatu yang

pasti dalam keadaan tertentu.Kepastian disini diartikan sebagai adanya kejelasan

tentang sesuatu. Hukum dengan demikian merupakan norma yang dapat dipegang

oleh individu, masyarakat, institusi atau sebagai suatu pedoman yang pakem jika

terjadi pelanggaran atau permasalahan.

Dalam teori kepastian hukum juga berarti bahwa terdapat jaminan hukum

yang dijalankan sebagaimana mestinya.Maka, dalam putusan yang dilaksanakan,

seseorang memperoleh hak-haknya sesuai dengan hukum yang berlaku. Kepastian

hukum merupakan perlindungan legal terhadap kesewenang-wenangan yang

28
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 158.
29
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), hlm. 23.
30
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2008), hlm. 158.

14
dilakukan oleh pihak lain. Dalam hal ini yang dilaksanakan adalah tujuan hukum,

yaitu melalui kepastiannya akan tercipta ketertiban dalam kehidupan sosial.31

b. Teori Kewenangan

Seiring dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas, maka

berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari

peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah

dari peraturan perundang-undangan.

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata

Negara dan Hukum Administrsi Negara, begitu pentingnya kedudukan

kewenangan ini, sehingga F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek menyebutnya sebagai

konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi

Negara.Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban, menurut

P. Nicolai adalah sebagai berikut: kemampuan untuk melakukan tindakan hukum

tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat

hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi

kebebasan untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat

keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.32

Philipus M. Hadjonmenjelaskan bahwa karakter wewenang dapat

dibedakan ataswewenang terikat dan wewenang diskresi.Wewenang terikat adalah

wewenang daripejabat atau badan pemerintah yang wajibdilaksanakan atau tidak

dapat berbuat lainselain dari apa yang tercantum dalam isisebuah peraturan.

Wewenang ini sudahditentukan isinya secara rinci, kapan dan dalamkeadaan yang

31
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, cet ke-24, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1990),
hlm. 24-25.
32
Bintoro Tjokroamidjojo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: CV. Haji
Mas Agung, 1998) hlm 12.

15
bagaimana wewenang tersebutdapat digunakan.Sedangkan wewenangdiskresi

(beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen) adalah wewenang

yangdiberikan beserta kebebasan dari pejabatuntuk mengatur secara lebih konkret

dan rinci,sedangkan peraturan perundang-undanganhanya memberikan hal-hal

yang pokok saja.33

Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering

disejajarkan dengan istilah Belanda "bevoegdheid" (yang berarti wewenang atau

berkuasa).Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata

Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat

menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya.Keabsahan

tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan.Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi

Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara

dalam menjalankan fungsinya.Wewenang adalah kemampuan bertindak yang

diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan

perbuatan hukum.34

Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah

sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan

pemerintahan.Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan

mandat. Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam

kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut:

"Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang


berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari

33
Philipus M. Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan,
(Surabaya: Djumali, 1985), hlm. 12–13.
34
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 154.

16
Kekuasaan Eksekutif/Administratif.Kewenangan adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat,
sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.Di
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang.Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik."35

Teori ini penting guna menjadi landasan menjelaskan kewenangan jaksa dalam

kerangka penyidikan.

2. Kerangka Konseptual

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep adalah suatu

konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan

dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis.36 Konsepsi diterjemahkan

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang

disebut dengan operational definition. Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari

salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam

penelitian ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep

dasar atau istilah, agar dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang

sesuai dengan tujuan yang telah di tentukan, yaitu;

a. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipiltertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang untuk melakukan penyidikan.37

b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang

terjadi dan guna menemukan tersangkanya.38


35
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981),
hlm. 29.
36
Sacipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2000),hlm. 21.
37
Pasal 1 angka 1 KUHAP.
38
Pasal 1 angka 2 KUHAP.

17
c. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang

untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain

berdasarkan undang-undang..39 Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas

dan wewenang:40

a) melakukan penuntutan;

b) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

e) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

d. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan

memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:41

a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka

b) atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

c) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

39
Pasal 1 UU Kejaksaan.
40
Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan.
41
Pasal 1 angka 10 KUHAP.

18
d) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan

ke pengadilan.

e. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.42

G. Metode Penelitian

Metode (Inggris: Method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta)berarti

sesudah, diatas, sedangkan hodos, berarti suatu jalan, suatu cara. Mula-mula

metode diartikan secara harfiah sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi

penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencanatertentu.43

Metodologi penelitian merupakan penelitian yang menyajikan bagaimana cara

atau prosedur maupun langkah-langkah yang harus diambil dalam suatu penelitian

secara sistematis dan logis sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Dalam penelitian metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan pada

fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu

kebenaran. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis

normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-

kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Yuridis Normatif, yaitu

pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang

hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh

lembaga atau pejabat yang berwenang.Konsepsi ini memandang hukum sebagai

42
Pasal 1 angka 14 KUHAP.
43
Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, (Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2005), hlm. 15.

19
suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan

masyarakat yang nyata.44

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

aproach) dan pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan perundang-undangan

digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum

pidana di Indonesia.Pendekatan kasus bertujuan untuk mepelajari penerapan

norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Adapun

perundang-undangan yang menjadi rujukan antara lain:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

("KUHAP");

c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun

2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ("UU KPK");

d) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan

Keempat Atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undangundang ("UU Pajak");

e) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;

44
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 13-14.

20
f) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

("UU Kejaksaan");

g) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ("UU Tipikor");

h) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan

Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan ("Perma 4/2016");

i) Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola

Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus

sebagaimana diubah dengan Peraturan Jaksa Agung No: PER-

017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung No: PER-

039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan

Perkara Tindak Pidana Khusus ("Perja PER-039/A/JA/10/2010").

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,

dimana penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan pengadilan.45Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum

doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai

apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku

manusia yang dianggap pantas.

45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 14

21
Pada penelitian hukum jenis ini, sebagai sumber datanya hanyalah data

sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, atau data

tersier, dan karena penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data

sekunder (bahan kepustakaan), penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif

(skema) dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak

diperlukan.46 Penelitian hukum doktrinal dapat dibagi 7 (tujuh) jenis, sebagai

berikut:47

a. Penelitian inventarisasi hukum positif.

b. Penelitian asas-asas hukum.

c. Menemukan hukum untuk suatu perkara in concreto.

d. Penelitian terhadap sistematik.

e. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi.

f. Penelitian perbandingan hukum.

g. Penelitian sejarah hukum.

Berdasarkan uraian penelitian hukum doktrinal di atas, maka penelitian

pada tesis ini yaitu menggunakan penelitian yang menemukan hukum untuk suatu

perkara in concreto.Penelitian ini dikenal sebagai legal research yang mana tujuan

pokoknya adalah hendak menguji apakah ketentuan hukum normatif tertentu

memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah-

masalah hukum tertentu in concreto.48

Penelitian ini juga disebut sebagai penelitian hukum klinis (clinical legal

research), yaitu diawali dengan mendeskripsikan fakta hukum, kemudian mencari

46
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 118-119.
47
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1997), hlm. 81 – 99.
48
Ibid, hlm. 91

22
pemecahannya melalui analisis yang kritis terhadap norma-norma positif yang ada

dan selanjutnya menemukan hukum in concreto untuk menyelesaikan suatu

perkara hukum tertentu.Penelitian hukum klinis, tujuannya bukan untuk

menemukan hukum in asbstracto, tetapi untuk menguji apakah postulat-postulat

normatif tertentu dapat atau tidak dapat dipergunakan memecahkan suatu masalah

hukum tertentu in concreto.49

Penelitian hukum normatif ini adalah untuk menghasilkan ketajaman

analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan norma-norma yang telah

ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai bahan hukum

maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna memecahkan problema hukum

faktual yang dihadapi oleh masyarakat, maka tidak ada jalan lain hanya

berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu hukum praktis normologis

dan mengandalkan penelitian hukum normatif.50

Spesifikasi yang digunakan adalah spesifikasi penelitian deskriptif yaitu

suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau penjelasan

secara konkrit tentang keadaan objek atau masalah yang diteliti tanpa mengambil

kesimpulan secara umum. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono

Soekanto51 dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai

berikut: Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-

gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa

bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.

49
Amiruddin, dan H. Zainal Asikin, Op. Cit., hlm. 125–126
50
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu
Media Publishing, Cet. Ke - 2, 2006), hlm. 73.
51
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hlm. 10.

23
2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan pada penulisan ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari penelitian kepustakaan atau literatur yang berkaitan dengan objek

penelitian. Sumber bahan data hukum dalam penelitian ini, antara lain:

a. Bahan hukum primer yaitu: bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan

mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan.52 Adapun peraturan

perundang-undangan yang dijadikan rujukan dalam penulisan ini antara

lain:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

b) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

c) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum

Pidana;

d) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia;

e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan

yang relevan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer, seperti buku-buku, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,

52
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2014), hlm. 84.

24
majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah

lainnya yang relevan dengan penelitian ini

c. Bahan hukum tersier yang mencakup bahan yang dapat memberikan

petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta bahan-bahan primer,

sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat

dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.53 Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data yang dilakukan maka, peneliti tidak akan

dapat memperoleh data yang dibutuhkannya. Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian adalah studi kepustakaan (library research), yaitu

dengan mengumpulkan data dan informasi yang baik berupa buku, karangan

ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkenaan

dengan penelitian, yaitu dengan cara mencari, mempelajari, dan mencatat serta

menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan obyek penelitian.54

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori, dan suatu uraian dasar sehingga, dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.55 Metode

analisis yang akan digunakan untuk penelitian hukum normatif ini adalah dengan
53
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013),
hlm. 62.
54
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994), Cet.Ke-5, hlm. 225.
55
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitaif, (Bandung:Remaja Rosdakarya,
1991), hlm. 103.

25
menggunakan metode analisis kualitatif. Perolehan data dari analisis kualitatif ini

ialah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan

data yang bermacam-macam (triangulasi).56Data kualitatif adalah data yang

nonangka, yaitu berupa kata, kalimat, pernyataan dan dokumen. Dalam penelitian

kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan

dengan pengumpulan data.57

Data yang sudah terhimpun melalui metode-metode tersebut diatas,

pertama-tama diklarifikasikan secara sitematis.Selanjutnya data tersebut disaring

dan disusun dalam kategori-kategori untuk pengujian saling dihubungkan. Dalam

istilah teknisnya, metode analisis data seperti yang disebutkan adalah metode

deskriptif-analisis, yakni metode analisis data yang proses kerjanya meliputi

penyusunan dan penafsiran data,58 atau menguraikan secara sistematis sebuah

konsep atau hubungan antar konsep.

56
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung:Alfabeta, 2013), hlm. 87.
57
Ibid., hlm. 90.
58
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
116.

26
H. Jadwal Penelitian

Estimasi Waktu Pelaksanaan

No. Kegiatan Oktober November Desember Januari Februari

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Persiapan
01
Penelitian

Penyusunan
02 Proposal
Penelitian

Konsultasi dan
03
Perbaikan

Kolokium
04
Proposal

Perbaikan
05
Proposal

Pelaksanaan
06 Penelitian
Tesis

Konsultasi dan
07
Perbaikan

08 Seminar Hasil

Konsultasi dan
09
Perbaikan

10 Ujian Tesis

27
BAB II
PROSEDUR DAN DASAR HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN

A. Prosedur Penyidikan

Dalam sistem hukum Indonesia, hukum pidana dapat diartikan secara

sempit dan dapat diartikan secara luas.Hukum pidana dalam arti sempit hanya

merupakan hukum pidana materiil saja yakni berisi norma-norma yang mengatur

mengenai tindakan-tindakan yang merupakan tindakan pidana dan

pidananya.Sedangkan hukum pidana dalam arti luas terdiri dari hukum pidana

(substantif atau materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal). 59

Mengenai hukum acara pidana, perlu dikemukakan pendapat Moelijatno sebagai

berikut:

"bagaimana cara mempertahankan prosedurnya untuk menuntut ke muka


pengadilan orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana. Oleh
karena itu bagian hukum pidana ini dinamakan hukum pidana formil
(criminal procedure, hukum acara pidana)."60

Dalam memproses seseorang yang diduga melakukan tindak pidana,

proses hukum dimulai dari tahap penyelidikan, dalam proses penyelidikan orang

yang berwenang melakukan hal tersebut adalah penyelidik, tugas dan wewenang

dari penyelidik salah satunya adalah menerima laporan atau pengaduan dari

seseorang tentang adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 5 KUHAP.

Penyelidik dalam hal ini polisi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP,

atas laporan atau pengaduan tersebut mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan. Selanjutnya setelah proses penyelidikan selesai, dapat

59
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 9.
60
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 6.

28
dilakukan penyidikan. Penyidikan didasarkan pada Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah

"Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya."

Penyidikan yang dimaksud di dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP tersebut

sesuai dengan pengertian opsporingatau interrogation. Menurut de Pinto,

menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang

untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan

apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi sesuatu

pelanggaran hukum.61

Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan atau awal

(vooronderzoek) yang seyogyanya dititik beratkan pada upaya pencarian atau

pengumpulan bukti faktual penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu

dapat di ikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan

terhadap barang atau bahan yang diduga erat kaitannya dengan tindak pidana yang

terjadi.62

Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan

adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa

setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu

peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.63

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Jo Pasal 6 ayat (1) KUHAP, ada dua badan

yang dibebani wewenang penyidikan, yaitu:

61
R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2000), hlm. 72.
62
Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana),
(Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega, 2002), hlm. 15.
63
Ibid, hlm. 16.

29
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh

undang-undang.

Untuk melaksanakan tugasnya dalam proses penyidikan, penyidik

diberikan wewenang oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan Penyidik

tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHAP yang terdiri dari :

a. Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempatkejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

diritersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, danpenyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaansurat.

f. Mengambil sidik jari dan memotretseseorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaanperkara.

i. Mengadakan penghentianpenyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yangbertanggungjawab.

Di dalam rumusan Pasal 7 ayat 1 tersebut disampaikan bahwa penyidik

memiliki wewenang tersebut karena kewajibannya.Klausula demikian itu

menunjukkan bahwa lahirnya wewenang tersebut karena adanya kewajiban

sehingga wewenang tersebut diatas juga merupakan kewajiban.64 Di samping itu,

penyidik juga memiliki kewajiban-kewajiban antara lain :14

64
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 50.

30
1. Wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Ini mengandung arti bukan

hanya hukum tertulis, tetapi juga harus mengindahkan norma agama

kesusilaan, kepatutan, kewajaran, kemanusiaan, dan adat istiadat yang

dijunjung tinggi bangsa Indonesia (Pasal 7 ayat (3)KUHAP).

2. Wajib membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan (Pasal 8ayat (1) jo.

Pasal 75KUHAP).

3. Wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal

106KUHAP).

4. Wajib memberitahukan dimulainya penyidikan, wajib memberitahukan

penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum. Bahkan penghentian

penyidikan tersebut diberitahukan pula kepada tersangka atau keluarganya

(Pasal 109KUHAP).

5. Wajib segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut

Umum (vide Pasal 110 ayat (1)KUHAP).

6. Wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk Penuntut

Umum, apabila Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan untuk

dilengkapi (Pasal 110 ayat(3)).

Selain penyidik, juga terdapat penyidik pembantu dalam proses

penyidikan. Pengertian penyidik pembantu sebagaimana diatur dalam Pasal 10

ayat (1) KUHAP yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat

kepangkatan. Dalam penjelasan pasal tersebut, selain POLRI penyidik pembantu

juga termasuk pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

31
Berdasarkan Pasal 11 KUHAP, penyidik pembantu memiliki wewenang

yang sama dengan dengan penyidik, kecuali mengenai penahanan. Mengenai

penahanan, harus ada pelimpahan wewenang dari penyidik.Dari penjelasan Pasal

11 KUHAP menyatakan bahwa pelimpahan wewenang penahanan kepada

penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak

dimungkinkan. Hal itu dikarenakan dlam keadaan yang sangat diperlukan, atau

karena terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil, atau ditempat yang

belum ada petugas penyidik, dan/atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut

kewajiban.

Dalam proses penyidikan, Penyidik setelah menerima laporan atau

pengaduan tentang telah terjadi suatu tindak pidana maka ia melakukan

pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP).65 Berdasarkan Pasal 75 KUHAP,

hasil pemeriksaan di TKP dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan. Pada berita acara

dimuat segala sesuatu yang dilihat, dialami atau didengar.Berita Acara

Pemeriksaan di TKP merupakan alat bukti sah, yakni “surat”. 66Setelah Berita

Acara Pemeriksaan di TKP dibuat, selanjutnya penyidik membuat Berita Acara

Pemeriksaan Saksi Pelapor atau Saksi Pengadu. Setelah itu penyidik atau penyidik

pembantu dapat membuat dapat membuat "rencana penyidikan" yang mencakup

"jadwal" dan "kegiatan"67

Dalam Proses Penyidikan, pada saat pemeriksaan saksi-saksi, pada

prinsipnya semua orang dapat menjadi saksi dan merupakan suatu kewajiban jika

dipanggil oleh Penyidik yang diberi kewenangan untuk itu hal ini berdasarkan

65
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan),
(Jakarta: Sinar Grafika), 2009 hlm. 80.
66
Ibid, hlm. 81.
67
Ibid.

32
Pasal 112 KUHAP. Untuk itu penyidik menerbitkan surat panggilan dengan

mencantumkan alasan pemanggilan secara jelas dengan memperhatikan tenggang

waktu yang wajar.68 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP disebutkan

bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu.

Keterangan saksi tidak perlu harus mengenai semua kejadian.Sebagian

dari kejadian/peristiwa tersebut, asal dilihat sendiri atau didengar/ dialami sendiri,

merupakan keterangan saksi.Keterangan saksi diberikan tanpa tekanan dari

siapapun dan dalam bentuk apapun.69Dalam pemeriksaan saksi, penyidik harus

memperhatikan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Penyidik yang melakukan

pemeriksaan terhadap para saksi perlu menyadari bahwa keterangan saksi yang

akan diberikan kemungkinan dapat membantunya. Dengan kesadaran demikian,

harus dicegah perilaku penyidik yang menyudutkan saksi.

Keterangan ahli merupakan urutan kedua sebagai alat bukti yang sah

sebagaimana tercantum pada Pasal 184 KUHAP. 70Pendapat ahli merupakan

pendapat orang yang memiliki Keahlian Khusus yang memberi keterangan

dengan mengangkat sumpah kecuali jabatannya mewajibkannya menyimpan

rahasia. Ini tidak berarti bahwa ahli lain dalam pembuktian tidak diperlukan.

Seorang ahli dapat memberikan keterangan berbentuk tertulis yang dapat

68
Ibid, hlm. 82.
69
Ibid, hlm. 84.
70
Ibid, hlm. 88.

33
digunakan sebagai alat bukti surat. Ahli tersebut dapat dipergunakan sebagai saksi

jika memberikan keterangan didalam sidang.71

Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang merupakan petunjuk adalah

perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang

satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Mr. M.H

Tirtaamidjaja mengutarakan bahwa dengan petunjuk-petunjuk itu pada

hakekatnya dimaksud kesimpulan-kesimpulan, yang diambil oleh Hakim dari

suatu kejadian atau keadaan yang telah terbukti hingga menjelaskan suatu

kejadian atau keadaan yang tidak terbukti.72

Selanjutnya adalah mengenai penyitaan. Arti dari penyitaan dicantumkan

pada Pasal 1 butir 16 yang berbunyi sebagai berikut

"Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih


dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak dan atau
tidak bergerak berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan dalam
penyidikan, penuntutan, dan peradilan."

Penyitaan tersebut dapat dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara RI, PPNS,

Komandan Sektor (Dansek), Penyidik Pembantu, dan Penyidik berdasarkan

Undang-Undang tertentu yang dapat dilakukan pada tahap penuntutan bahkan

pada pemeriksaan di persidangan, dapat dilakukan berdasarkan

PenetapanPengadilan.

Untuk melakukan penyitaan, penyidik mengajukan permintaan izin Ketua

Pengadilan Negeri setempat. Permintaan izin penyitaan tersebut dilampiri resume

71
Ibid, hlm. 92.
72
Ibid, hlm.92, dikutip dari Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Jaksa, (Jakarta: Fasco),
1995), hlm. 92.

34
dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sehinggamjelas hubungan langsung

barang yang akan disita dengan tindak pidana yang sedangdisidik.73

Selanjutnya adalah mengenai penggeledahan.Penggeledahan terdiri dari

penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Baik penggeledahan rumah

maupun penggeledahan badan hanya dapat dilakukan penyidik. Khusus untuk

penggeledahan badan hanya dapat dilakukan atas diritersangka.74

Dalam proses penyidikan di dalamnya juga termasuk penangkapan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 20 KUHAP, yang dimaksud dengan penangkapan

adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan

tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 17 KUHAP perintah

penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak

pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.Penangkapan sebagaimana diatur

dalam Pasal 17 KUHAP, dapat dilakukan paling lama satu hari.

Selain itu, dalam proses penyidikan juga terdapat penahanan. Dalam

bahasa Inggris, kata penahanan adalah "arrest" yang dalam "The Lexicon

Webster’s Dictionary" Volume I mencakup arti antara lain to remain, to rest, to

stop. Dalam bahasa Indonesia, yakni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang

dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tercakup arti

"penahanan" : proses, perbuatan, cara menahan, penghambatan, yang berarti

hakikat pada penahanan adalah penghambatan atas kebebasan seseorang.75

73
Ibid, hlm. 95.
74
Ibid, hlm. 106.
75
Ibid, hlm. 117.

35
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP diatur bahwa perintah penahanan

atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang

diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal

adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa

akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau

mengulangi tindak pidana. Penahanan ini tidak hanya dilakukan pada proses

penyidikan saja tapi juga saat proses penuntutan dan pemeriksaan perkara di

pengadilan. Sehingga yang memiliki wewenang untuk melakukan penahanan

adalah penyidik, penuntut umum dan hakim.

Tenggang waktu penahanan ini berdasarkan KUHAP berbeda-beda tiap

tingkatan. Pada proses penyidikan berdasarkan Pasal 24 KUHAP adalah selama

20 hari dan dapat diperpanjang selama 40 hari apabila proses pemeriksaan belum

selesai. Jenis penahanan ada tiga yaitu penahanan rumah tahanan negara,

penahanan rumah, dan penahanankota.

Di dalam KUHAP, polisi ditempatkan sebagai penyidik utama dan tunggal

diatur di dalam Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 284 ayat (2) KUHAP.Ketentuan tersebut

sangat berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam HIR, bahwa disamping polisi

sebagai penyidik juga jaksa ditentukan sebagai penyidik lanjutan. Tetapi bila

melihat pada peraturan peralihan KUHAP yaitu Pasal 284 ayat (2) KUHAP, maka

tugas jaksa sebagai penuntut umum dan sebagai penyidik masih tetap dan sama

sekali tidak dikurangi yaitu jaksa yang diatur di dalam undang-undang tertentu

yang mempunyai acara pidana sendiri seperti Undang-undang Tindak Pidana

Korupsi.76

76
Oemar Seno Adji, Mass Media & Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1977), hlm. 14.

36
Berdasarkan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No. B-

845/F/Fjp/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Perihal: Petunjuk Teknis Pola

Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang Berkualitas ("Surat JAM

Pidsus"), tahapan penanganan perkara tindak pidana khusus diawali dengan tahap

penerimaan laporan/pengaduan.77Terhadap laporan/pengaduan dapat

ditindaklanjuti ke tahap telaahan apabila hasil identifikasi, verifikasi dan

klasifikasi atas laporan/pengaduan dimaksud menunjukkan adanya indikasi telah

terjadi tindak pidana korupsi.78

Setelah tahap penerimaan telaahan laporan/pengaduan dilanjutkan dengan

penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan. Dalam tahap ini penyelidik

proaktif membangun komunikasi dan koordinasi dengan Auditor (BPK/BPKP dan

auditor lain) untuk mendapat gambaran kerugian keuangan negara, sehingga

apabila penanganan perkara ditingkatkan ke penyidikan prosesnya bisa lebih

cepat.79

Hasil ekspose menjadi dasar pertimbangan bagi pejabat teknis untuk

memutuskan apakah hasil penyelidikan dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan

atau tidak. Hasil penyelidikan harus memberikan gambaran yang jelas sehingga

pimpinan dapat secara tepat menentukan pihak yang akan menindaklanjuti dengan

penyidikan, apakah dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi,

Kejaksaan Negeri atau Cabang Kejaksaan Negeri dengan memperhatikan Surat

Edara Jaksa Agung No. SE-001/A/JA/10.2010 tanggal 13 Januari 2010.80

77
Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No. B-845/F/Fjp/05/2018 tanggal 4
Mei 2018, Perihal: Petunjuk Teknis Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang
Berkualitas, hlm. 3.
78
Ibid.
79
Ibid, hlm. 5.
80
Ibid.

37
Setelah serah terima hasil penyelidikan, maka diterbitkan Surat Perintah

Penyidikan. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-

XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, penyidik paling lambat dalam waktu 7 (tujuh)

hari wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan/SPDP

kepada penuntut umum, terlapor dan pelapor serta mengirimkan Pemberitahuan

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi kepada Ketua KPK. Dalam tahapan ini Jaksa

Penyidik wajib mengkonstruksikan secara jelas dan akurat disertai alat bukti

cukup mengenai peristiwa pidana yang disangkakan.Selanjutnya penyidik wajib

mengidentifikasi dan memperoleh barang bukti yang diperlukan untuk

memperkuat pembuktian.81

Penetapan tersangka merupakan objek praperadilan sebagaimana

dimaksud dalam Putuan MK, oleh karena itu agar penetapan tersangka dilakukan

secara hati-hati dengan mempertimbangkan syarat formil dan materil, serta

kecukupan alat bukti yaitu minimal adanya 2 (dua) alat bukti dan Calon

Tersangka terlebih dahulu wajib diperiksa sebagai saksi, kecuali apabila calon

tersangka tersebut telah dipanggil secara patut sesuai Pasal 227 KUHAP tidak

memenuhi panggilan. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, Tim Jaksa

Penyidik mengajukan Laporan Perkembangan Penyidikan (P-12) yang terlebih

dahulu diuji melalui forum gelar perkara (ekspose) dan mengusulkan penetapan

tersangka.82

Apabila usul penetapan tersangka disetujui, segera diterbitkan surat

penetapan tersangka. Apabila tersangka yang ditetapkan lebih dari 1 (satu) orang

dan pemberkasannya akan dipisah (splitzing), selanjutnya terhadap tersangka

81
Ibid, hlm. 6-7.
82
Ibid, hlm. 7-8.

38
kedua dan seterusnya diterbitkan surat perintah penyidikan atas nama tersangka

(surat penyidikan khusus). Sedangkan khusus untuk tersangka pertama, tidak

perlu diterbitkan surat perintah penyidikan khusus karena berkas penyidikannya

mengacu pada surat penyidikan umum.83

Dalam hal terdapat saksi dan/atau tersangka mengajukan diri sebagai

Justice Collaborator dalam tahap penyidikan,penyidik memproses permohonan

tersebut dengan memberikan reward berupa perlakuan khusus diantaranya

penundaan pelaksanaan upaya paksa penahanan dan penundaan pelimpahan ke

tahap penuntutan, dengan prioritas memberikan kesempatan kepada tersangka

tersebut untuk memberikan keterangan sebagai saksi di pengadilan terlebih

dahulu.84

B. Alasan-alasan Penghentian Penyidikan

Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada

penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang

telah dimulainya.85Penghentian penyidikan suatu kasus pidana merupakan

kewenangan yang dimiliki oleh penyidik dalam menghadapi sebuah kasus yang

dianggap tidak perlu lagi diteruskan pada tahapan penegakan hukum

selanjutnya.Dalam hal ini penghentian penyidikan biasa juga disebut sepoonering.

Yahya Harahap mengatakan bahwa wewenang penghentian penyidikan

yang sedang berjalan yang diberikan kepada penyidik dengan rasio atau alasan:86

1. Untuk menegakkan prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan

sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika

83
Ibid, hlm. 8.
84
Ibid, hlm. 10.
85
Anonimous, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hlm. 150.
86
Ibid.

39
penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan

tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan,

untuk apa berlarutlarut menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik

penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar

segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada

tersangka dan masyarakat.

2. Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntut ganti kerugian, sebab

kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk

menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada

tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP.

Undang-undang telah menyebutkan secara limitatif alasan yang dapat

digunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan.

Penyebutan atau penggarisan alasan-alasan tersebut penting, guna

menghindari kecenderungan negatif pada diri pejabat penyidik.Dengan

penggarisan ini, undang-undang mengharapkan supaya didalam menggunakan

wewenang penghentian penyidikan, penyidik mengujinya kepada alasan-alasan

yang telah ditentukan. Tidak semaunya tanpa alasan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi

landasan perujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya

penghentian penyidikan menurut hukum. Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) menyebutkan secara terbatas alasan yang dipergunakan

penyidik untuk melakukan penghentian penyidikan yang diatur dalam Pasal 109

ayat (2) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

"Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat


cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau

40
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidikan memberitahukan hal
itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya."
Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP di atas, terdapat

beberapa keadaan dimana sebuah penyidikan terhadap kasus pidana dapat

dihentikan. Keadaan tersebut adalah:

a. Tidak Terdapat Cukup Bukti

Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka

atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan

kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan, maka penyidik

berwenang melakukan penghentian penyidikan.

Untuk dapat mengetahui bahwa dalam suatu penyidikan tidak terdapat

cukup bukti, maka harus diketahui kapankah hasil penyidikan dipandang

sebagai cukup bukti.Untuk dapat dinyatakan sebagai cukup bukti ialah

tersedianya minimal dua alat bukti yang sah untuk membuktikan bahwa benar

telah suatu tindak pidana dan tersangkalah sebagai pelaku yang bersalah

melakukan tindak pidana tersebut.

Untuk memahami pengertian "cukup bukti" sebaiknya penyidik

memperhatikan dan berpedoman kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang

menegaskan prinsip “batas minimal pembuktian” (sekurang-kurangnya ada

dua alat bukti), dihubungkan dengan Pasal 184 dan seterusnya, yang berisi

penegasan dan penggaraisan tentang alat-alat bukti yang sah di depan sidang

pengadilan. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dimaksud dengan alat

bukti yang sah adalah:

a) Keterangan saksi;

b) Keterangan ahli;

41
c) Surat;

d) Petunjuk;

e) Keterangan terdakwa.

Kepada ketentuan Pasal 184 KUHAP inilah penyidik berpijak menentukan

apakah alat bukti yang ada di tangan benar-benar cukup untuk membuktikan

kesalahan tersangka dimuka persidangan.Kalau alat bukti tidak cukup dan

memadai, penyidikan perkara tersebut haruslah dihentikan.Tetapi apabila di

kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan bukti yang lengkap dan

memadai, dapat lagi kembali memulai penyidikan terhadap tersangka yang

telah pernah dihentikan pemeriksaan perkaranya.

Menurut Marfuatul Latifaah, ketentuan ‘tidak cukup bukti’ merupakan

ketentuan yang dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda di antara

penyidik. Karena dalam peraturan hukum terkait dengan hukum acara pidana

di Indonesia, tidak ditentukan syarat yang tegas dalam keadaan bagaiaman

keadaan tidak cukup bukti tersebut.87Ketentuan ini berpotensi sebagai celah

hukum bagi pelaksanaan penyidikan di Indonesia, karena pengaturan

normanya yang sangat umum dan membuka peluang bagi penyidik untuk

menjalankan kewenangan menghentikan penyidikan hanya berdasarkan

subyektifitas penyidik.

Menurut Taufik Rachman sepatutnya jika dalam peroses penyidikan

maupun prapenuntutan jika tidak diketemukan minimum alat bukti, Polisi atau

Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus menghentikan perkara pidana, karena akan

percuma jika dihadapakan ke Majelis.88 Alasan yang dapat diajukan ketika

87
Yahya Harahap, Op-Cit, hlm. 151.
88
Marfuatul Latifah, Kasus Penghentian Penyidikan dan Penegakan Hukum di Indonesia,
Info Singkat vol V, No. 11/1/P3DI/Juni/2013, Jakarta, hlm. 3.

42
menggunakan dasar bahwa dalam suatu perkara tidak terdapat cukup bukti

adalah dibebaskannya terdakwa menurut ketentuan Pasal 191 ayat (1)

KUHAP yang berbunyi:

"Jika pengadilan bependapat bahwa kepadanya tidak terbukti secara sah


dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas."

b. Peristiwa Ternyata Bukan Tindak Pidana

Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat

bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan

pidana seperti yang diatur dalam KUHP, maka penyidik berwenang untuk

menghentikan penyidikan. Memang diakui, kadang-kadang sangat sulit untuk

menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang dilakukan oleh

seseorang termasuk dalam lingkup tindak pidana baik itu kejahatan atau

pelanggaran.Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwa-peristiwa yang

dekat hubungannya dengan ruang lingkup hukum perdata. 89Misalnya, antara

perjanjian utang-piutang dengan penipuan.

Penyidik dalam menentukan sebuah peristiwa merupakan tindak pidana

atau bukan, harus berpegang pada unsur delik dari tindak pidana yang

disangkakan.Karena dalam sebuah definisi tindak pidana terdapat unsur delik

yang harus dipenuhi, sehingga penyidik dapat memutuskan sebuah peristiwa

sebagai tindak pidana.90Terhadap penghentian penyidikan dengan alasan

bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka penyidik

tidak dapat mengadakan penyidikan ulang, karena perkara tersebut bukan

merupakan lingkup hukum pidana, kecuali bila ditemukan indikasi yang kuat

89
Yahya Harahap, Op-cit, hlm. 152.
90
Marfuatul Latifah, Op-cit, hlm. 3.

43
membuktikan sebaliknya. Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP

yang berbunyi:

"Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada


terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum."

Dengan pertimbangan bahwa tidak adanya prospek untuk penjatuhan

pidana dan hanya akan mengahabiskan sumberdaya peradilan, maka Polisi

ataupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) jika menjumpai kondisi semacam ini

dapat menghentikan perkara. Menurut Marfuatul Latifah, penyidik dalam

menentukan sebuah peristiwa pidana merupakan tindak pidana atau bukan,

harus berpegang pada unsur delik dari tindak pidana yang disangkakan.

Karena dalam sebuah definisi tindak pidana terdapat unsur delik yang harus

dipenuhi sehingga penyidik dapat memutuskan sebuah peristiwa sebagai

tindak pidana.91

c. Perkara ditutup Demi Hukum

Apabila suatu perkara ditutup demi hukum berarti perkara tersebut tidak

bisa dituntut atau dijatuhkan pidana. Ketentuan tersebut dicantumkan dalam

Bab VIII Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 76 sampai

dengan Pasal 85 yang mengatur tentang ‘hapusnya kewenangan menuntut

pidana dan menjalankan pidana,92 diantaranya:

a) Nebis in idem

Seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar

perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang

bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim

91
Ibid.
92
Yahya Harahap, Op-Cit, hlm. 152.

44
atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.93

Azas nebis in idem ini termasuk salah satu hak asasi manusia yang

harus dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya

kepastian hukum.Bahwa seseorang tidak diperkenankan mendapat

beberapa kali hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya.

Apabila terhadapnya telah pernah diputus suatu tindak pidana baik putusan

itu berupa pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan

hukum, dan putusan itu telah memeperoleh keputusan hukum yang tetap,

terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemeriksaan,

penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang

bersangkutan.

b) Tersangka Meninggal Dunia

Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus

dihentikan.Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal

pada abad modern, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang

bersangkutan.Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggungjawaban

dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang

dalam hukum pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak

pidananya.Tanggung jawab itu tidak dapat dialihkan kepada ahli

waris.Dengan meninggalnya tersangka, penyidikan dengan sendirinya

93
Ibid., hlm. 153.

45
berhenti dan hapus menurut hukum.Penyidikan dan pemeriksaan tidak

dapat dialihkan kepada ahli waris.94

c) Kadaluarsa

Berdasarkan pasal 78 KUHAP, Setelah melampaui tenggang waktu

tertentu, terhadap suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan penuntutan

dengan alasan tindak pidana tersebut telah melewati batas waktu atau

daluwarsa.Jika terhadap seseorang pelaku tindak pidana telah hapus

wewenang untuk menuntut di muka sidang pengadilan, tentu percuma

melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang itu.Karena itu, jika

penyidik menjumpai keadaan seperti ini, harus segera menghentikan

penyidikan dan pemeriksaan. Tenggang waktu kedaluwarsa yang disebut

pada Pasal 78 KUHP, antara lain:

1) Lewat waktu satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi

kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan;

2) Lewat masa enam tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum

dengan pidana denda, kurungan atau penjara yang tidk lebih dari

hukuman penjara selama tiga tahun;

3) Lewat tenggang waktu dua belas tahun bagi semua kejahatan yang

diancam dengan hukuman pidana penjara lebih dari tiga tahun;

4) Lewat delapan belas tahun bagi semua kejahatan yang dapat diancam

dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup;

5) Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum

mencapai umur delapan belas tahun, tenggang waktu kedaluwarsa

94
Djisman Samosir, Segenggam tetang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Nuansa Aulia,
2013), hlm. 108.

46
yang disebut pada point 1 sampai 4, dikurangi sehingga menjadi

sepertiganya.

Mengenai cara penghitungan tenggang waktu kedaluwarsa,

mulai dihitung dari keesokan harinya sesudah perbuatan tindak pidana

dilakukan.

d) Tersangka Menderita Sakit Jiwa

Seorang penderita sakit jiwa, baik yang terus menerus maupun yang

kumatkumatan secara hukum tidak mampu untuk

mempertanggungjawabakan perbuatannya. Tidak dapat diketahui dengan

pasti apakah perbuatannya itu dilakukan secara sadar stau apakah ia paham

akibat dari perbuatan yang akan dilakukannya. Mengenai hal ini diatur

dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi:

"(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat


dipertanggunjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama
satu tahun sebagai waktu percobaan."
C. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3)
Menurut Barda Nawawi Arief95, Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya

identik dengan sistem penegakan hukum pidana dan juga diidentikkan dengan

sistem kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana yang diwujudkan dalam

empat sub sistem, yaitu :

a. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik;

b. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut;


95
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang System Peradilan Pidana
Terpadu, (Semarang: BP Undip, 2007), hlm. 19.

47
c. Kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan, dan;

d. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.

Keempat tahap/sub sistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegak

hukum pidana yang integral, dan sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan

Pidana Terpadu (Integrated criminal justice system).96 Pemahaman terhadap

sistem peradilan pidana terpadu atau SPPT yang sesungguhnya, bukan saja

pemahaman dalam konsep "integrasi"itu sendiri, tetapi sistem peradilan pidana

yang terpadu juga mencakup makna substansial dari urgensitas simbolis prosedur

yang terintegrasi tetapi juga menyentuh aspek filosofis mengenai makna keadilan

dan kemanfaatan secara terintegrasi. Sehingga dengan demikian penegakan

hukum pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh norma peraturan

perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat lebih

didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus

menegakkan keadilan dan penegakan hukum yang bermartabat.97

Dalam sistem peradilan pidana, lembaga penyidik yaitu lembaga yang

melaksanakan kekuasaan penyidikan, adapun Pejabat yang diberi wewenang

sebagai penyidik oleh undang-undang adalah antara lain:

1. Pejabat Polri (Pasal 6 KUHAP);

2. PPNS/Pejabat Pegawai Negeri Sipil (pasal 6 KUHAP) dan Undang-Undang

Khusus terkait yaitu Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar

Modal, Undang-Undang Kepabeanan, Undang- Undang Cukai, Undang-

Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perikanan;

96
Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum Di
Indonesia), (Semarang: BP Undip, cet. 2, 2011), hlm. 7.
97
Edi Setiadi, Kristian, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum
di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, edisi pertama, 2017), hlm. 31.

48
3. Perwira TNI AL (Pasal 14 Undang-Undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia, Pasal 73 ayat 1 Undang-Undang No. 31 tahun

2004 tentang Perikanan 98, Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1990

tentang Konversi Hayati99, Pasal 99 ayat 1 Undang-Undang No. 21 tahun 1992

tentang Pelayaran100.

Kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan

khusus terhadap perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. 101 Dalam

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 284 ayat

(2)disebutkan:

"dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka


terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini,
dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada
perubahan dan/ atau dinyatakan tidak berlaku lagi."

Penjelasan Pasal 284 ayat (2) KUHAP tersebut adalah:

"(a) Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah
dilimpahkan kepengadilan;
(b). Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada undang-undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain :
1. Undang-Undang tentang pengusutan penuntutan dan peradilan
tindak pidana ekonomi (Undang- Undang Nomor 7 tahun 1955);
2. Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
(Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971);"

Dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana

tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah, atau dicabut

dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sementara dalam Peraturan Pemerintah

98
Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyebut tiga
pejabat penyidik yaitu PPNS, Perwira TNI AL dan Pejabat Polri.
99
Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konversi Hayati
menyebut tiga pejabat penyidik yaitu Pejabat Polri, PPNS, Perwira TNI AL.
100
Pasal 99 Undang-Undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran menyebut tiga pejabat
penyidik yaitu Pejabat Polri, PPNS, Perwira TNI AL.
101
Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan.

49
Republik Indonesia nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Pasal 17

disebutkan:

"Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut


pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat
(2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang
berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan."

Mengacu pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan Pasal 17 PP No. 27 tahun

1983 tentang pelaksanaan KUHAP tersebut, itulah yang menjadi dasar hukum

bagi Kejaksaan untuk menjadi penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi.

Kemudian diperkuat lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan RI.

Philipus M Hadjon menjelaskan bahwa karakter wewenang dapat

dibedakan atas:102

1. Wewenang terikat: wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib

dilaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum

dalam isi sebuah peraturan. Wewenang ini sudah ditentukan isinya secara

rinci, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat

digunakan.

2. Wewenang diskresi: wewenang yang diberikan beserta kebebasan dari pejabat

untuk mengatur secara lebih konkrit dan rinci, sedangkan peraturan

perundang-undangan hanya memberikan hal-hal yang pokok saja.

Berdasarkan penjelasan mengenai karakter kewenangan di atas, Surat

Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) merupakan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh penyidik atau Jaksa Penuntut Umum (JPU) jika menemui

kondisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
102
Philipus M Hadjon, Pengertian-Pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan,
(Surabaya: Djumali, 1985), hlm. 12-13.

50
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP 3) diberikan dengan merujuk

pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:

1. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik Polri, pemberitahuan

penghentian penyidikan disampaikan pada penuntut umum dan

tersangka/keluarganya;

2. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik PNS, maka

pemberitahuan penyidikan disampaikan kepada:

1) Penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi

atas penyidikan; dan

2) Penuntut umum.

Penghentian penyidikan kasus pidana merupakan kewenangan yang

dimiliki oleh penyidik dalam menghadapi sebuah kasus yang dianggap tidak perlu

lagi diteruskan pada tahapan penegakan hukum selanjutnya.Dalam hal ini

penghentian penyidikan biasa juga disebut dengan ‘sepoonering’.103Berdasarkan

ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, terdapat beberapa keadaan dimana sebuah

penyidikan terhadap kasus pidana dapat dihentikan, sebagaimana sudah diuraikan

pada pembahasan bagian B di atas. Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana

akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum

pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya.

Undang-undang memberikan wewenang kepada penyidik untuk

menghentikan penyidikannya dan hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 109 ayat

(2) KUHAP.Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani

kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada

penuntut umum.Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya


103
Marfuatul Latifah, Op-Cit, hlm. 3.

51
pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian

penyidikan.Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak

penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian

Penyidikan (SP 3).104

SP 3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut umum

bahwa perkara dihentikan penyidikannya. Surat Perintah Penghentian Penyidikan

(SP 3) menggunakan formulir yang telah ditentukan dalam Keputusan Jaksa

Agung No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan

Keputusan Jaksa agung Republik Indonesia No. 231/JA/11/1994 tentang

Adminitrasi Perkara Tindak Pidana.105

Jika kejaksaan melakukan penghentian penyidikan tindak pidana korupsi,

wewenang penghentian penyidikan dapat didelegasikan kepada Kepala Kejaksaan

Negeri.106Penghentian penyidikan dilakukan setelah mendapat.persetujuan dari

pimpinan. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh Kepala Kejaksaan

Negeri maka harus mendapat persetujuan dari Kepala Kejaksaan Tinggi,

penghentian penyidikan dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi persetujuan dari

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan apabila penghentian dilakukan

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus maka harus dengan persetujuan Jaksa

Agung. Demikian pula pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan

kepada pimpinan secara berjenjang.107Penghentian penyidikan tindak pidana

korupsi dilakukan sesuai ketentuan KUHAP sepanjang tidak diatur dalam undang-
104
Dewa Gede Dana Sugama, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP 3) Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal, Universitas Udayana, Bali, 2014, hlm. 4.
105
Ibid, hlm. 5.
106
Petunjuk Teknis Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
Kejaksaan Agung RI, (Jakarta, 2004), hal.181.
107
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-518/A/J.A/11/2001
tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-
132/A/J.A/11/1994 tentang Administrasi Perkara TindakPidana.

52
undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian syarat-syarat

maupun tata cara penghentian penyidikan tindak pidana korupsi tidak berbeda

dengan perkara tindak pidana lainnya, namun terdapat sedikit perbedaan

sebagaimana diatur dalampasal32ayat(1)danpasal33UUNomor31Tahun1999joUU

Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 32 Ayat (1) :

"Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih
unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara
nyata telah terjadi kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
nenyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau
diserahkankepadainstansiyangdirugikanuntukmengajukangugatan."

Pasal 33:
"Dalam hal tersangka meninggal dunia saat dilakukan penyidikan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahliwarisnya."

Dengan demikian dalam tindak pidana korupsi meskipun penyidikan telah

dihentikan tetapi bila dari hasil penyidikan telah ditemukan secara nyata terdapat

kerugian negara, yaitu kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya

berdasar temuan instansi yang berwenang (BPK/ BPKP) atau akuntan publik,

maka penyidik melimpahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada jaksa

pengacara negara untuk selanjutnya dilakukan gugatan perdata atau diserahkan

kepada instansi yang dirugikan untuk diselesaikan. Begitupula dalam hal

dihentikannya penyidikan disebabkan tersangka meninggal dunia pada saat

tahappenyidikan.

53
BAB III
PRAPERADILAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWASAN TERHADAP
UPAYA PAKSA

A. Sejarah dan Urgensi Lahirnya Praperadilan

Pada dasarnya lahirnya KUHAP dilandasi pada dua alasan, yaitu alasan

untuk menciptakan suatu ketentuan yang dapat mendukung terselenggaranya

suatu peradilan pidana yang adil (fair trial) dan alasan adanya kepentingan

mendesak untuk menggantikan produk hukum acara pidana yang bersifat

kolonialistik yang terdapat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement ("HIR").5

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa sebagai produk kolonial,

HIR belum memberikan jaminan dan perlindungan yang cukup terhadap hak-hak

asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana

harusnya dimiliki oleh suatu negarahukum.108

Keberadaan KUHAP sebagai suatu instrumen umum (lex generalis)

berfungsi untuk mendukung pelaksanaan dan penerapan hukum pidana materiil

menempati posisi sentral dan determinan dalam penegakan hukum yang bersandar

pada due process of law.Mardjono Reksodiputro mengingatkan bahwa istilah due

proses of law yang dalam bahasa Indonesia kiranya dapat diterjemahkan dengan

istilah proses hukum yang adil. Lawannya adalah arbitrary process atau proses

yang sewenang-wenang (berdasarkan kuasa aparat penegak hukum) sering

diartikan secara keliru.109Sebab menurut Mardjono makna dan hakekat proses

108
___________, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982
tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam,
KUHAP Lengkap: Pelaksanaan KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Tambahan
Pedoman Pelaksanaan KUHAP, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 205-206.
109
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007), hlm. 27

54
hukum yang adil tidaksajaberupa penerapan hukum atau perundang-undangan

(yang diasumsikan adil) secara formal tetapi juga mengandung jaminan hak atas

kemerdekaan dari seorang warga negara.110

Hukum Acara pidana sebagai dasar penyelenggaraan peradilan pidana

yang adil dan manusiawi dalam negara hukum perlu mengatur perangkat

perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum (pidana)

sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing aparatur penegak hukum

kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia,

ketertiban dan kepastianhukum.111

Salah satu lembaga baru yang diatur dalam KUHAP adalah praperadilan.

Praperadilan merupakan lembaga yang diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah

kehidupan penegakan hukum, dengan tujuan dasar adalah merupakan satu

cerminan dari asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) sehingga

tiap orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang wajar

dan mendapatkan perlindungan harkat dan martabatnya sebagai manusia

walaupun statusnya sebagai tersangka/terdakwa. Salah satu usaha untuk mencapai

tujuan sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara.

Dicantumkannya ketentuan tentang praperadilan merupakan hal baru yang

menambah perbedaan prinsipil antara HIR dengan KUHAP.Yang menjadi

inspirasi lahirnya lembaga praperadilan adalah habeas corpus. Gagasan untuk

mengadopsiprinsiphabeascorpusdiusulkanolehYapThianHienagarperlu segera

dibuat Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru yang diantaranya

memuatmateritentang“writofhabeascorpus”darihakimuntukmemeriksa legalitas

110
Ibid, hlm. 49.
111
Al Wisnubroto dan G Widiantara, Pembaharuan hukum Acara Pidana, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 2.

55
penahanan seseorang.112Prinsip dari habeas corpus menciptakan gagasan untuk

memberikan hak dan kesempatan kepada orang yang sedang dibatasi atau

dirampas kemerdekaannya untuk menguji kebenaran dari penggunaan upaya

paksa yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaanataupun kekuasaan lainnya.113

Secara konseptual habeas corpus adalah pranata hukum praperadilan

untuk mengimbangi kewenangan dari penegak hukum khususnya dalam kaitanya

dengan tindakan yang mempengaruhi perlindungan hak asasi manusia termasuk

upaya paksa sebagaimana disebutkan dalam hukum acara pidana. 114 Perlindungan

hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum yang

melakukan upaya paksa tersebut akan diberikan oleh lembaga praperadilan dalam

KUHAP.

Menurut Indrianto Seno Adji dari tinjauan historis pembentukan institusi

praperadilan di Indonesia sebenarnya didasarkan pada visioner prespektif dari

Rechter Commissaris (Hakim Komisaris) di Belanda maupun Eropa Tengah yang

bertujuan bagi perlindungan hak asasi tersangka dalam proses yang dahulu

disebut sebagai pemeriksaan pendahuluan. Begitupula dikenal institusi sejenis ini

yang di Prancis dinamakan juge d” instruction. Menurut Andi Hamzah, seperti

halnya Rechter Commissaris institusi ini mempunyai wewenang yang luas dalam

pemeriksaan pendahuluan. namun tidak semua perkara harus melalui institusi ini.

112
H. Harris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat dalam HIR, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Binacipta, Cet. l November 1978), hlm. 191.
113
Adnan Buyung Nasution, Praperadilan vs Hakim Komisaris, Komisi Hukum
Nasional, (Jakarta: edisi April 2002), hlm.11.
114
Luhut MP Pangaribuan, Interpretasi Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam
Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, LeIP, Edisi 2, (Jakarta: 2004),
hlm. 29.

56
Hanya perkara besar dan sulit pembuktianya yang ditangani olehnya.selebihnya

yang tidak sulit diserahkan kepada polisi melalui perintah petunjukjaksa.115

Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diajukan

ke depan DPR RI tahun 1974 memperkenalkan lembagapraperadilan yang

berperan dalam tahap pemeriksaan pendahuluan yang dinamakan hakim komisaris

yang berasal dari ide Prof. Oemar Seno Adji. Ide tersebut bermaksud untuk

memberi perlindungan hak asasi manusia kepada setiap orang yang menghadapi

proses pemeriksaan pendahuluan peradilanpidana.

Hakim komisaris mempunyai fungsi pengawasan dan bertindak aktif

dalam pelaksanaan upaya paksa, sebagaimana tersebut sebagai berikut:116

1. melakukan pengawasan upaya paksa (dwang middelen) apakah telah

dilaksanakansesuaidenganhukumataubertentangandenganhukum;

2. menetapkan siapa yang akan melanjutkan penyidikan jika terjadi sengketa

antara polisi dan jaksa perihal penyidikan tersebut;

3. bertindak secara eksekutif, antara lain turutserta memimpin pelaksanaan upaya

paksa;

4. mengambil keputusan atas pengaduan-pengaduan yang diajukan oleh

pencarikeadilan.

Hal tersebut menggambarkan hakim komisaris berwenang selaku

examinating judge (pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa olehpenyidik)

maupun investigating judge (penangkapan, penahanan, penggeledahan badan dan

pemeriksaansuratataspermintaanpenyidikmaupunmenentukanpenyidikmanayang

115
Oemar Seno Adji, dan Indriyanto Seno Adji, Peradilan Bebas & Countem of
Court, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 135.
116
Loebby Loqman, Pra-Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990),
hlm.29-30.

57
paling berwenang melakukakan penyidikan), sehingga

lembagainisangatdibutuhkan pada proses yang disebut sebagai initial

phasesinvestigation(tahapawal penyidikan) dimana seringkali ditemukan

pelanggaran hakasasitersangka.117

Lembaga hakim komisaris ini ketika diperkenalkan menimbulkan prodan

kontra diantara kalangan ahli hukum.Ada pendapat yang menyetujui dan ada pula

yang menolak ide hakim komisaris tersebut. Pendapat yang menyetujui

mengatakan bahwa sering terjadinya pelanggaran pelaksanaan upaya paksadalam

pemeriksaan pendahuluan, tidak cukup hanya dilakukan pengawasan vertikal

yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian sebagaimana diatur dalam

HIR, namun masih diperlukan pengawasan horisontal oleh hakim komisaris.

Pihak yang tidak menyetujui mengatakan bahwa telah banyak instansi yang

berperan dalam pemeriksaan pendahuluan, dengan ditambahnya hakim komisaris

akan menambah hambatan birokratis. Selain itu adanya keberatan dari Kejaksaan

dimana dalam pemeriksaan pendahuluan pengawasan ada ditangankejaksaan.118

Pada saat Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana diajukan oleh

pemerintah melalui Menteri Kehakiman ke DPR pada akhir tahun 1979 muncul

reaksi dari masyarakat terutama kalangan pengacara melalui LBH/YLBHI,

Persatuan Advokat Indonesia, maupun dari kalangan pers dan akademisi. Mereka

bersatu menolak Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan meminta

pemerintah mencabutnya.Komite dan Peradin selanjutnya mengajukan usulan

RUU. Dalam pertemuan antara Komite, Peradin dengan Pemerintah yang diwakili

Menteri Kehakiman Mudjono,SH pemerintah menolak mencabut Rancangan

117
Oemar Seno Adji dan Indrianto Seno Adji, Op.cit, hlm. 136.
118
Loebby Logman, Op.Cit., hlm. 30-31.

58
Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun menyetujui membuat draft baru

RUU dengan rnengakomodir usulan dan masukan dari masyarakat, termasuk dari

Komite, Peradin maupun lembaga lainnya. Maka, KUHAP sebenarnya merupakan

draft baru yang dibuat langsung di DPR oleh Pansus DPR bersama Pemerintah

dengan mengakomodir masukan-masukan dari masyarakat, sehingga benar-benar

merupakan undang-undang yangdemokratis.119

Pada tahun 1979 muncul konsep Rancangan Undang-Undang Hukum

Acara Pidana yang tidak mencantumkan hakim komisaris, namun lebih mengarah

kepada pengawasan dan ganti rugi atau rehabilitasi dalam melindungi hak-hak

tersangka dan terdakwa terutama dalam hal penangkapan dan penahanan.

Lembaga baru ini disebut praperadilan.Wewenang praperadilan tidak seluas

wewenang hakim komisaris dalam rancangan tahun 1974 yang meliputi

pengawasan ataupun pelaksanaan terhadap upaya paksa namun hanya memiliki

fungsi pengawasan.Tidak dijelaskan tentang pengawasan keseluruhan upaya

paksa tetapi hanya sebagian dari upaya paksa yaitu tentang penangkapan serta

penahanansaja.

Praperadilan yang tercantum dalam KUHAP merupakan hasil kompromi

antara konsep tahun 1974 dengan konsep tahun 1979,120 dimana konsep tahun

1974 menggunakan lembaga hakim komisaris dengan fungsi danwewenang

yangsedemikian luas dalam pemeriksaan pendahuluan, sedangkan konsep

1979memberikan pengawasan pada penangkapan dan penahanan disertai

penetapanganti rugi dan rehabilitasi serta penghentian penyidikan atau

penghentianpenuntutan dalam rangka perlindungan terhadap hak-hak tersangka

119
Adnan Buyung Nasution, Op.Cit., hlm. 10.
120
Ibid., hlm. 40-41.

59
atau terdakwa.Praperadilan diatur dalam Bab I Pasal 1 angka 10 dan Bab X

BagianKesatu Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.

Andi Hamzah berpendapatbahwa makna praperadilan berbeda antara

maksud dan arti harfiahnya. Pra artinya sebelum atau mendahului, berarti

praperadilan sama dengan sebelum pemeriksaan di pengadilan.121Dapat

disimpulkan bahwa praperadilan adalah proses

pemeriksaanyangdilakukansebelumpemeriksaan terhadap pokok perkara

dilakukan di pengadilan. Yang dimaksud pokok perkara adalah suatu dakwaan

tentang telah terjadinya suatu tindak pidana yang sedang dalam tahap penyidikan

atau penuntutan.122

Pengertian praperadilan menurut KUHAP adalah wewenang pengadilan

negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-

undang tentang, sah tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi

tegaknya hukum dan keadilan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi

oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya

tidak diajukan kepengadilan.123

Ditinjau dari segi struktur dan susunannya praperadilan adalah lembaga

yang melekat pada pengadilan negeri yang merupakan bagian dari pengadilan

negeri yang administrasi, personal, peralatan dan keuangan menjadi satu dan

121
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ed. Kedua, (Jakarta:Sinar Grafika,
2008), hlm. 187.
122
Darwan Prinst, Praperadilan dan Perkembangannya di dalam Praktek, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 1.
123
Pasal 1 butir 10 KUHAP.

60
berada di bawah pimpinan, binaan serta pengawasan ketua pengadilan negeri

dimanatatafungsiyustisialnyaadalahbagiandarifungsiyustisialpengadilan negeri.124

Praperadilan secara tidak langsung melakukan pengawasan atas

pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan

maupun penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada

instansi yang bersangkutan.Melalui lembaga ini juga maka dimungkinkan adanya

pengawasan antara kepolisian dan kejaksaan dalam hal penghentian penyidikan

dan penuntutan.Sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga praperadilan

merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal yang diakomodir oleh

KUHAP.HalinitergambardaridalamPasal80KUHAPmenyebutkanbahwa:

"Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian


penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut
umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dengan menyebutkan alasannya."

Sebagai lembaga yang telah berperan dalam pemeriksaan sebelum sidang

pengadilan maka praperadilan sama dengan tiga lembaga di Amerika Serikat yang

juga berperan sebelum persidangan, yaitu arraignment, preliminary hearing serta

pretrial conference.125Arraignment merupakan sidang yang dilakukan setelah

orang ditahan dan tuduhan dibacakan, kepada tersangka ditanyakan sikapnya

bersalah atau tidak, apabila menyatakan tidak bersalah maka akan dilanjutkan

persidangan dengan juri. Dalam preliminary hearing penyidik akan menghadap

hakim untuk mendapat penilaian apakah ada alasan kuat untuk meyakini

seseorang melakukan tindak pidana sehingga ada alasan kuat untuk ditahan dan

diadili. Sedangkan pretrial conference lebih ditujukan untuk perencanaan sidang

124
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan SidangPengadilan,Banding,Kasasi,danPeninjauanKembali,
(Jakarta:SinarGrafika,2000), hlm.1.
125
Loebby Loqman, Op. Cit., hlm. 50.

61
terutama mengenai pembuktian dan pihak-pihak yang berperkara untuk

memperoleh pembuktian dari pihaklain.126

Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan antara lembagaPraperadilan,

rechter commissaris, habeas corpus, judge d' instruction dapat dilihatdalam

uraian yang penulis gambarkan dalam table 1 dibawah ini:

Tabel 1
Perbedaan Praperadilan, Rechter Commissaris, Habeas Corpus, dan Judge d”Instruction
Judge d'
Praperadilan Rechter Commisariss Habeas Corpus
Instruction
Memerikasa dan Melakukan Pengawasan Melakukan Melakukan
memutus sebagian semua upaya paksa Pengawasan pemeriksaan
upaya paksa: terhadapsemua pendahuluan:
a. Pengawasan terhadap
upaya paksa. sah a. Terhadapterdakwa
a. sah tidaknya, semua upaya paksa; sah
tidaknya
penangkapan tidaknya, penyitaan, , saksi- saksi, dan
penangkapan,
penahanan, penggeledahan, alat bukti lain,
penahanan,
penghentian penangkapan
penyitaan, b. Membuat BAP
penyidkan, penahanan,penghentian
penggeledahan penggeledahan,
penghentian penyidkan, penghentian
sebelum penyitaan, dan
penuntutan; penuntutan;
dilakukan upaya menutup tempat
b. ganti kerugian atau b. Memanggil,memeriksa paksa. tertentu,
rehabilitasi dan melakukan c. menentukansuatu
seseorang yang penahanan terhadap perkara
perkara pidanya seseorang.(saksi/ dilanjutkan atau
dihentikan secara tersangka); tidak,
sah, atau akibat c. Menetapkan apakah
tidak sahnya d. sebelum
perkara dapat diteruskan
penangkapanatau dilakukanupaya
ke Pengadilan Negeriatau
penahanan; paksa.
tidak;
c. Setelahdilakukan d. Melakukan pengawasan
upayapaksa thdp tugas jaksa;
e. Sebelumdilakukanupaya
paksa.
Dari uraian di atas ternyata pengertian praperadilan dalam hukum acara

pidana Indonesia sama dengan lembaga semacam di negara lain karena

menyangkut pemeriksaan pendahuluan. Namun pengertian dalam arti ruang

126
Ibid.

62
lingkup praperadilan ternyata lebih sempit dibandingkan rechter commissaris,

judge d' instruction, maupun habeas corpus.Lembaga–lembaga tersebut

mempunyai arti yang sama sebagai sebuah lembaga yang berperan sebelum

persidangan dimulai, namun ruang lingkup praperadilan lebih sempit karena tidak

mencakup semua upaya paksa dalam pemeriksaanpendahuluan.

B. Perkembangan Ruang Lingkup Kewenangan Praperadilan

Praperadilan sebagai bagian integral dari KUHAP mempunyai tujuan yang

sama dengan tujuan dibentuknya KUHAP. Menurut Yahya Harahap tujuan yang

ingin dicapai oleh praperadilan adalah untuk melakukan pengawasan horisontal

terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum

terhadap tersangka maupun terdakwa supaya tindakan tersebut tidak bertentangan

dengan ketentuan hukum dan undang-undang.127 Tujuan dari KUHAP tercantum

dalam konsiderans huruf c adalah :

"bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum


acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya
dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum
sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya
hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum
sesuai dengan Undang-Undang Dasar1945."

Dari bunyi konsiderans di atas dijumpai beberapa tujuan yang hendak

dicapai oleh KUHAP, antara lain: peningkatan kesadaran hukum masyarakat,

meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum, tegaknya hukum dan keadilan,

melindungi harkat dan martabat manusia, dan menegakkan ketertiban dan

kepastianhukum.128

127
Ibid.
128
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan, Op.Cit., hlm. 59-80.

63
Sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan maka nilai-nilai tersebut

dalam tataran operasional dituangkan dalam bentuk asas-asas untuk dijabarkan

lebih lanjut dalam norma hukum.129 Sebagai bentuk perlindungan terhadap harkat

dan martabat manusiamaka KUHAP menegaskan asas-asas yang mencerminkan

perlindungan terhadap hak asasi manusia, asas-asas tersebut adalah:130

a. Asas equality before thelaw;

b. Asas legalitas dalam upayapaksa;

c. Asas presumption ofinnocence;

d. Asas remedy andrehabilitation;

e. Asas fair, impartial, impersonal, andobjective;

f. Asas legalassistance;

g. Asas pemberitahuan yang jelas mengenai dakwaan terhadap terdakwa dan hak-

hak yang dimiliki tersangka/terdakwa;

h. Asaspresentasi;

i. Asasketerbukaan;

j. Asaspengawasan.

Menurut Yahya Harahap tujuan yang ingin dicapai oleh praperadilan

adalah untuk melakukan pengawasan horisontal terhadap tindakan upaya paksa

yang dilakukan penyidik dan penuntut umum terhadap tersangka maupun

terdakwa supaya tindakan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum

dan undang-undang.131

129
Al Wisnubroto dan G. Widiantara, Op.Cit., hlm.11-12
130
Ibid.
131
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan SidangPengadilan,Banding,Kasasi,danPeninjauanKembali,Op.Cit, hlm. 4.

64
Wewenang praperadilan diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dan diatur

lebih lanjut, dalam pasal 77 KUHAP serta Pasal 95 KUHAP. Pasal 1 butir 10

menyatakan:

"Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan


memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasatersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaandemi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan kepengadilan."

Pasal 77 KUHAP menyatakan:


"Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentianpenuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan ataupenuntutan."

Pasal 95 KUHAP menyatakan:


"(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti
kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau
dikenakantindakanlain,tanpaalasanyangberdasarkanundang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yangditerapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orang atau hukum yangditerapkan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya
kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian
tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk
hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana

65
yangbersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana pada ayat (4)
mengikuti acarapraperadilan."

Dari ketentuan Pasal 1 butir 10, Pasal 77 dan Pasal 95 di atas dapat

diketahui bahwa praperadilan memiliki wewenang yang bersifat limitatif untuk:132

a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan;

b. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan;

c. Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang

yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

d. Memeriksa dan memutus tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka

atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa

alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

orang atau hukum yangditerapkan;

e. Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh

tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan

berdasarkanundang-undangataukekeliruanmengenaiorangatau hukum yang

diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur bahwa hakim

praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim

praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan,

penyitaan dan tindakan lain yang bersifat pemeriksaan pendahuluan serta tidak

berwenang menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk

diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. 133Untuk menentukan apakah suatu

132
S. Tanubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung:
Alumni, 1983), hlm. 74.
133
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ed. Kedua, Op. Cit., hlm. 189.

66
perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan

sidangpengadilan.

Pada bulan April tahun 2015 terdapat suatu putusan Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disingkat MK) dengan Nomor Putusan 21/PUU-XII/2014 yang

diajukan oleh seseorang yang bernama Bachtiar Abdul Fatah, yang merupakan

Karyawan PT. Chevron Pasific Indonesia, beralamat di Bengkalis, Provinsi Riau.

Dalam hal ini, yang bersangkutan mengajukan permohonan Pengujian Undang–

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang–

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ("Putusan MK"). Adapun

amar putusan MK, pada pokoknyamenyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; Frasa "bukti

permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup"

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang

tidak dimaknai bahwa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan

"bukti yang cukup" adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal

184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum AcaraPidana;

2. Frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang

cukup" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal

21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76,

67
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa

"bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup"

adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan,

danpenyitaan;

4. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk

penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mahkamah Konstiusi secara resmi memasukkan norma keabsahan

penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan guna terciptanya suatu

perlakuan yang adil bagi seseorang yang sedang menjalani proses pidana. Dengan

memperhatikan kenyataan bahwa tersangka adalah subjek hukum dengan memliki

harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian

pula, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa dalil Pemohon mengenai penetapan

tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan

menurut hukum. Secara lengkap, pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi,

68
ketentuan Pasal 77 huruf a Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) berdasarkan Undang–Undang Dasar Tahun 1945 menjadi

demikian: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan; termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan

penyitaan.134

C. Tata Cara Permohonan dan Proses Pemerikasaan dalam

Praperadilan

Lembaga Praperadilan merupakan lembaga yang menjadi satu kesatuan

tugas dan fungsi dengan pengadilan negeri.Kegiatan dan tata laksana yustisial

praperadilan tidak terlepas dari struktur dan administrasi pengadilan

negeri.135Segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan

praperadilanberadadibawahruanglingkupketuaPengadilan Negeri.136Pengajuan

permohonan praperadilan tidak terlepas dari tubuh pengadilan negeri dan harus

atas izinketua pengadilan negeri yangbersangkutan.

Praperadilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di

pengadilan negeri, jika perkara pokok sudah mulai diperiksa maka perkara

Praperadilan gugur.137

Permohonan praperadilan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri

yang berwenang memeriksa perkara sesuai dengan Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP.

KUHAP tidakmengatur tentang kompetensi relatif pengadilan negeri yang

berwenang memeriksa.Praktik yang selalu dilakukan adalahdiajukan kepada

134
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5540aa81ad5fb/npts/lt53b27d9b4702c/
putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-21-puu-xii-2014Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 (diakses pada tanggal 3 Januari 2020).
135
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan
GantiKerugiandalamKUHAP,(MandarMaju:Bandung,2003)hlm. 46.
136
Ibid.
137
Pasal 2 ayat (5) Perma 4/2016.

69
pengadilan negeri di wilayah hukum orang yang diduga melakukan tindak pidana

(tersangka atau tersangka) atau di wilayah hukum tempat tinggal termohon

(penyidik atau polisi).KUHAP juga tidak mengatur tentang bentuk permohonan

praperadilan yang harus disampaikan kepada Pengadilan Negeri. Permohonan

praperadilan dapat dilakukan secara lisan atau tulisan karena tidak ada ketentuan

yang baku untuk hal tersebut. 138Praktik yang terjadi, pendaftaran permohonan

praperadilan dilakukan pada kepaniteraan pidanaPengadilan Negeri dengan

penomoran yang khusus.Pada prinsipnya KUHAP tidak mengatur dengan tegas

mengenai tata cara/prosedur pengajuan permohonan praperadilan.Hal itu hanya

diketahui dan dilakukan berdasarkan kebiasaan yang ada di dalam pengadilan

negeri setempat.Pembiayaan terhadap permohonan praperadilan juga tidak diatur

secara spesifik dalam KUHAP.Praperadilan yang merupakan bagian dari sistem

perkara pidana merupakan tanggungan negara.Hal ini menyatakan bahwa biaya

permohonan praperadilan menjadi tanggung jawabnegara.

Setelah permohonan praperadilan tersebut didaftarkan di kepaniteraan,

maka permohonan tersebut akan di register dalam perkara

praperadilan.139Langkah selanjutnya adalah permohonan tersebut akan diteruskan

kepada ketua pengadilan negeri untuk dilakukan penunjukkan hakim praperadilan.

Tiga hari setelah menerima berkas pemeriksaan penyidikan, hakim praperadilan

akan menetapkan hari sidang.140 Setelahnya akan dilakukan

pemanggilansecarapatutolehpengadilannegeriyang berwenang. Proses-proses

138
DarwanPrints, TinjauanUmumTentangPraperadilan, (Bandung:Citra Aditya Bakti,
cet.1, 1993), hlm. 47.
139
Ibid.
140
Pasal 82 ayat (1) butir (a) KUHAP.

70
tersebut adalah tata cara/prosedur yang berlaku dan dikerjakan dalam praktik yang

terjadi selamaini.

Pasal 79 KUHAP menyatakan bahwa permohonan praperadilan dapat

dimintakan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya.Pasal 80 KUHAP menyatakan

bahwa permohonan untuk melakukan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya

suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan oleh penyidik

atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan.Pasal 81 KUHAP

menyatakan bahwa permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak

sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan oleh tersangka

atau pihak ketiga yang berkepentingan.Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyatakan

bahwa tuntutan ganti kerugian diputus di sidang praperadilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal77.

Pejabat yang dapat diajukan sebagai termohon praperadilan adalah

penyidik dan atau penuntut umum berdasarkan Pasal 82 butir (3)

KUHAP.Sementara itu, menurut R. Soeparmono, pihak yang dapat mengajukan

praperadilanadalahsetiaporangyangdirugikan,yangdapat meliputi keluarga

tersangka.141 Berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya, Darwan

Prints mengkategorikan pihak-pihak yang berhak mengajukan

permohonanpraperadilan dalam tabel sebagai berikut:142

TUNTUTAN
PENUNTUT PASAL DALAM
PRAPERADILAN
PRAPERADILAN KUHAP
DALAM HAL
Sah atau tidaknya - Tersangka;
79 KUHAP
penangkapan/penahanan - Keluarga Tersangka.
- PenuntutUmum;
Penghentian Penyidikan - pihak ketiga yang 79 KUHAP
berkepentingan
141
R.Soeparmono, Op.cit.,hlm 35.
142
Darwan Prints, Op.cit.,hlm. 5-7.

71
- Tersangka;
- pihak ketiga yang
Penghentian penuntutan 80 KUHAP
berkepentingan;
- Penyidik.
Tuntutan ganti kerugian
yang:
- Tersangka;
a. perkaranya tidak 95 ayat (1) dan(2)
- Terpidana;
sampai ke pengadilan KUHAP
- Ahli waris.
- Tersangka;
b. perkaranya sampai ke
- Terpidana; 97 ayat (3) KUHAP
pengadilan
- Ahli waris.

Pihak ketiga yang berkepentingan menurut Darwan Prints adalah orang

yang mempunyai kepentingan dengan dianjutkan atau tidaknya suatu perkara

pidana.143Pihak ketiga tersebut adalah saksi korban dari suatu tindak pidana, saksi

pelapor/pengadu, ataukeluarganya.

Acara pemeriksaan praperadilan diatur dalam Pasal 82 KUHAP dan diatur

lebih lanjut dalam Pedoman Pelaksanaan- KUHAP.144Acara pemeriksaan

praperadilan secara bertahap adalah sebagaiberikut:

1. Permohonan praperadilan ditujukan kepada ketua PengadilanNegeri.

2. Pada hari itu juga permohonan tersebut setelah dicatat dalam buku register

perkara praperadilan diajukan oleh pejabat pengadilan negeri yang diserahi

tugas kepada ketua/wakil ketua untuk menunjuk hakim yang menangani

perkaratersebut.

3. Praperadilan diperiksa oleh hakim tunggal atas penunjukkan ketua

PengadilanNegeri.

4. Segera setelah menerima penunjukkan perkaranya, dalam waktu 3 hari setelah

dicatatnya perkara, hakim praperadilan harus menetapkan hari sidangnya,

143
Ibid, hlm. 7.
144
HariSasangka,Penyidikan,Penahanan,Penuntutan,danPraperadilan
dalamTeoridanPraktek,(Bandung:MandarMaju,cetke-1,2007), hlm. 201.

72
dengan memanggil pula tersangka, tersangka atau pemohon maupun pejabat

yang berwenang untuk didengar di persidangan.

5. Di dalam pemeriksaan persidangan praperadilan didengar keterangan

tersangka atau tersangka atau pemohon serta pejabat yangberwenang.

6. Berita acara sidang praperadilan dibuat seperti untuk pemeriksaansingkat.

7. Dalam waktu 7 (tujuh) hari, perkara praperadilan sudah harus diputus.

8. Dalam hal suatu pemeriksaan praperadilan sedang berlangsung, tetapi pokok

perkaranya sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, maka pemeriksaan

praperadilan dinyatakan gugur, dengan dibuatkan penetapan.

9. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan dapat diajukan lagi pada tingkat

penuntutan dengan diajukan permohonanbaru.

Jalannya proses pemeriksaan persidangan praperadilan menurut Hari

Sasangkahampir sama atau mengadopsi pemeriksaan dalam hukum acara perdata.

Jalannya pemeriksaan praperadilan adalah sebagaiberikut:145

1. Pembukaan sidang oleh hakim praperadilan. Pembukaan sidang dilakukan

dengan ketokan palu, dan sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum

oleh hakim praperadilan.

2. Memeriksa kelengkapan para pihak yang terdapat dalam perkara tersebut.

Hakim Praperadilan memeriksa apakah para pihak yakni pemohon ataupun

termohon praperadilan sudah hadir atau belum. Misalnya belum hadir apakah

sudah dipanggil secara sah atau belum. Jika para pihak diwakili oleh kuasanya

maka diperiksa keabsahan suratkuasanya.

3. Pembacaan permohonan praperadilan daripemohon.

4. Pembacaan jawaban termohonpraperadilan.


145
Ibid, hlm. 203-204

73
5. Replik dari pemohonpraperadilan.

6. Duplik dari termohonpraperadilan

7. Pemohon praperadilan didengarketerangannya

8. Termohon praperadilan didengarketerangannya.

9. Pemeriksaan alat bukti baik dari pemohon maupun termohon

10. Kesimpulan para pihak.

11. Putusanpraperadilan.

Ketentuan tentang Praperadilan yang diatur dalam Buku-IIMA-

RIdicantumkandalamPasal24butir1sampaibutirke 8. Hal-hal yang berkaitan

dengan proses pemeriksaan praperadilan antaralain:146

"a. Permohonan Praperadilan diajukan kepada pengadilan negeri,


memohon agar penyidikan tentang kasus/perkara pidana
berdasarkan pasal 83 butir-1 KUHAP harus berbentuk putusan
dan bukan penetapan,
b. Terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan banding,
c. Permohonan banding yang diajukan terhadap putusan tersebut
harus dinyatakan tidak dapat diterima,
d. pemeriksaan praperadilan berlangsung cepat sehingga tidak
dimungkinkan juga mengajukan kasasi terhadap
putusanpraperadilan,
e. mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan bentuk
keputusan praperadilan adalah: "putusan"."

Selain hal-hal yang diuraikan tersebut, Buku-II MA-RI tidak mengatur

lebih lanjut tentang teknis pemeriksaan praperadilan dan sepenuhnya

menggunakan pengaturan dalam KUHAP.

146
___________, PedomanPelaksanaanTugasdanAdministrasiPengadilanBukuIIMA-
RI, (Jakarta: MA-RI, cet ke-4, 2003), hlm.193-194.

74
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KABANJAHE
NO. 2/PID.PRA/2019/PN-KBJ TERKAIT DENGAN PERINTAH
MENGHENTIKAN PROSES PENYIDIKAN MELALUI PRAPERADILAN

A. Posisi Kasus

Pada tanggal 28 Oktober 2016 CV. Askonas Konstruksi Utama ditunjuk

oleh Pemerintah Kabupaten Karo c.q Dinas Kebersihan dan Pertamanan

Kabupaten Karo ("Pemkab Karo") untuk mengerjakan pembuatan tugu Mejuah-

Juah yang terletak di Penatapan Doulu, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo

("Proyek"). Untuk kepentingan pelaksanaan pekerjaan tersebut, Pemkab Karo

dengan CV. Askonas Konstruksi Utama membuat kesepakatan yang tertuang

dalam Surat Perjanjian Kontrak No. 39/BID-/KBR/PPK/DKP/2016 tanggal 28

Oktober 2016 ("Perjanjian").147

Bahwa karena ada kendala teknis berupa faktor atau gangguan cuaca,

pengerjaan Proyek menjadi terhambat dan selanjutnya Pemkab Karo dan CV.

Askonas Konstruksi Utama sepakat untuk menandatangani perubahan Perjanjian

guna memperpanjang jangka waktu pekerjaan, sebagaimana tertuang dalam

addendum atau perubahan kontrak tanggal 18 Desember 2016 sampai dengan 5

Februari 2017.

Pada tanggal 4 Januari 2017, bangunan tugu yang tengah dibangun oleh

CV. Askonas Konstruksi Utama yang pada saat itu telah mencapai kurang lebih

80% (delapan puluh persen) dari target penyelesaian rubuh diterpa angin

147
Lihat Putusan Pengadilan Negeri No. 2/PID.PRA/2019/PN-KBJ tanggal 14 Februari
2019, hlm. 2.

75
kencang.Pada tanggal 5 Januari 2017 CV. Askonas Konstruksi Utama melaporkan

kejadian tersebut kepada Pemkab Karo.148

Sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Dalam Rangka

Penghitungan Kerugian Negara Atas Pekerjaan Pembuatan Bangunan Tugu/Tanda

Batas (Tugu Mejuah-Juah) dari BPK RI Nomor : 48/LHP/XXI/07/2018 tanggal

13 Juli 2018 Pemkab Karo telah mengalami kerugian sebesar Rp. 605.437.766,00

(enam ratus lima juta empat ratus tiga puluh tujuh ribu tujuh ratus enam puluh

enam sen) dengan perhitungan sebagai berikut:

1. Nilai Kontrak (Dua Kontrak) Rp 679.573.000,00

2. Potongan Pembayaran:

1) Pajak Pertambahan Nilai Rp 61.779.363,00

2) Pajak Penghasilan Pasal 4 (2) Rp 12.355.871,00

Jumlah Potongan Rp 74.135.234,00

3. Kerugian Keuangan Negara (poin 1) – (poin 2) = Rp 605.437.766,00

Kejaksaan Negeri Karo telah menerima Pengaduan Masyarakat tentang

adanya Indikasi/dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Pembuatan Tanda

Batas/Tugu Mejuah-juah pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Karo

Tahun Anggaran 2016 oleh karenanya dikeluarkan Surat Perintah Penyelidikan

Nomor : Print-03/N.2.17/Fd.1/06/2017 tanggal 02 Juni 2017.Selanjutnya melalui

forum ekspose atau gelar perkara internal berkesimpulan telah ditemukan bukti

permulaan yang cukup atau setidak-tidaknya Jaksa Penyelidik telah memperoleh

sekurang-kuranya atau minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal

184 KUHAP antara lain keterangan saksi, surat, dan petunjuk. Sehingga Jaksa

Penyelidik memutuskan untuk ditingkatkan ke tahap Penyidikan dengan


148
Ibid.

76
dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Karo Nomor

Print -01/N.2.17/Fd.1/07/2017 tanggal 18 Juli 2017.149

B. Putusan Praperadilan dan Pertimbangan Hakim

Setelah membaca dan meneliti dengan seksama surat

permohonanPemohon dan jawaban Termohon serta bukti surat-surat dan saksi-

saksi dan ahli yang diajukan ke persidangan oleh Pemohon dan Termohon, maka

selanjutnya Hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut ("Pertimbangan

Hakim"):150

1. Menimbang, bahwa sebagaimana didalilkan oleh kuasa Pemohon praperadilan

bahwa pada intinya Termohon telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku

dalam penetapan Pemohon sebagai tersangka, terkait dengan perkara tindak

pidana korupsi pengerjaan bangunan tugu/tanda batas (pembuatan Tugu

Mejuah-Juah)sebagaimana surat perintah penyidikan Kepala Kejaksaan

Negeri Karo No: Print- 01/N.2.17/Fd.1/07/2017 tanggal 10 Maret 2016, Surat

Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-

05/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31 Juli 2018, Surat Penetapan Tersangka

Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-03/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31

Juli 2018;

2. Menimbang, bahwa Termohon selaku penyidik dalam menetapkan seseorang

sebagai tersangka, harus melalui beberapa rangkaian tindakan yang dilakukan

oleh Termohon berdasarkan kewenangan dan tugasnya sebagai penyelidik dan

penyidik pada Kejaksaan Karo;

149
Ibid, hlm. 10.
150
Ibid, hlm. 32-55.

77
3. Menimbang, bahwa adapun tindakan yang harus dilakukan oleh termohon

adanya dugaan terjadinya tindak pidana diantaranya adalah penyelidikan dan

penyidikan;

4. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian

tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang

diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1angka

5 Kitab Undang Undang Acara Hukum Pidana/ Undang-Undang No.8 tahun

1981);

5. Menimbang, bahwa yang dimaksudkan dengan penyidikan adalah serangkaian

Tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya (Pasal 1 angka 2 Kitab Undang Undang Acara Hukum Pidana/

Undang undang No.8 tahun 1981);

6. Menimbang, bahwa yang dimaksud Tersangka adalah seorang yang karena

perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga

sebagai pelaku tindak pidana. (Pasal 1 angka 14 Kitab Undang Undang Acara

Hukum Pidana). Menimbang, bahwa dalam Undang-Undang Republik

Indonesia No.8 tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara tidak

memberikan batasan dan pengertian serta makna mengenai frasa "Bukti

permulaan" (Pasal 1 angka 14 Kitab Undang Undang Acara Hukum Pidana),

namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No:

21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, memberikan batasan dan pengertian

78
tentang apa yang dimaksudkan dengan frasa "Bukti Permulaan" yaitu harus

ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184

Kitab Undang Undang Acara Hukum Pidana dan disertai dengan pemeriksaan

calon tersangka;

7. Menimbang, bahwa dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia No: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dapat

dimaknai bahwa untuk menentukan dan menetapkan seseorang menjadi

tersangka oleh Penyidik dalam Penyidikan perbuatannya harus memenuhi dua

alat bukti dalam pasal 184 Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana

ditambah pemeriksaan calon tersangka.

8. Menimbang, bahwa bilamana seseorang dengan dugaan melakukan suatu

tindak pidana dan untuk meningkatkan status seseorang menjadi tersangka,

terlebih dahulu penyidik dalam penyidikan harus menemukan sekurang-

kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam pasal 184 Kitab Undang

Undang Acara Hukum Pidana, hal ini dapat dimaknai bahwa apabila dalam

proses penyidikan tidak ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti

maka Penyidik berwenang untuk menghentikan penyidikannya berdasarkan

pasal 109 Kitab Undang Undang Acara Hukum Pidana;

9. Menimbang, bahwa ada perbedaan yang prinsip praperadilan sebelum dan

sesudah putusan MKNo.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Sebelum

putusan Mahkamah Konstitusi memang tidak dapat dinafikkan bahwa Kitab

Undang-Undang Acara Hukum Pidana lebih menitikberatkan control model.

Crime Control Model mengutamakan tiga hal. Pertama, kecepatan dalam

beracara; kedua, kuantitas; ketiga, adalah berdasarkan presumption of

79
guilty,asas praduga bersalah. Oleh karena itu keputusan dalam Kitab Undang-

Undang Acara Hukum Pidana pasal 77 dikatakan bahwa penangkapan kepada

seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan

yang cukup. Jadi yang dimaksud disini adalah presumption of guilty. Mengapa

demikian? Karena kita tidak bisa menafikkan bahwa Kitab Undang-Undang

Acara Hukum Pidana disusun tahun 1970 – 1980 dan disahkan dengan

undang-undang, kita tahu persis bahwa rezim yang berkuasa pada saat itu

tidak memberi penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, oleh karena itu

boleh dikatakan bahwa crime control model tersebut lebih menekan hak asasi

manusia. Dalam perkembangan, dari berbagai instrumen internasional yang

telah kita ratifikasi termasuk di dalamnya pasal 38 konvensi PBB mengenai

anti korupsi, dikatakan bahwa proses peralihan terhadap seseorang yang

diduga melakukan tindak pidana korupsi haruslah berdasarkan prinsip-prinsip

due process of law. Due process of law adalah asas umum dalam hukum

pidana yang berlaku secara universal. Oleh karena itu, dapat sepenuhnya

memahami putusan Mahkamah Konstitusi dan sepenuhnya menyetujui

putusan Mahkamah Konstitusi karena dia merubah paradigma dari crime

control model menjadi due process model. Oleh karena itu yang menjadi objek

praperadilan tidak hanya seperti saat Kitab Undang-Undang Acara Hukum

Pidana disahkan tapi diperluas dengan adanya penggeledahan, penyitaan,

pemeriksaan surat, bahkan penetapan tersangka. Jadi apa yang ada dalam due

process of law?, yang ada dalam due process of law ada tiga, pertama, bahwa

dia menolak kecepatan dalam beracara. Kedua, Karena dia menolak kecepatan

dalam beracara maka yang diutamakan adalah kualitas bukan kuantitas.

80
Ketiga, dia menitikberatkan pada presumption of innocence. Due process of

law berdasarkan landasan filosofis jangan sampai menghukum orang yang

tidak bersalah. Inipun Mahkamah Konstitusi melakukan interpretasi futuristik

terhadap rancangan Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana yang

sekarang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesa.

Jadi kalau kita mengikuti interpretasi futuristik dari Kitab Undang-Undang

Acara Hukum Pidana yang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia, ada kewenangan praperadilan yang diperluas dan perlindungan

individu dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum mendapat

perhatian secara maksimal;

10. Menimbang, bahwa tentang fundamental pembuktian. Hukum pembuktian

berlaku universal. Keberlakuan universal itu membawa fundamental

pembuktian. Pertama, relevan. Relevan artinya bukti yang dihadirkan

berkaitan dengan perkara yang sedang disidangkan. Yang kedua, dapat

diterima. Suatu bukti relevan belum tentu bisa diterima tetapi bukti yang

diterima sudah pasti bukti yang relevan. Ketiga, exclusionary rules, adalah

cara memperoleh bukti sesuai dengan prosedur yang ditentukan undang-

undang. Exclusionary rules ini membawa suatu dampak, kalau pada akhirnya

bukti ini diperoleh dengan jalan yang tidak sah maka secara teoritik ini

menjadi unlawful legal evidence. Keempat, kekuatan pembuktian. Kekuatan

pembuktian adalah otoritatif dari hakim. Yang menilai bukti kuat atau tidak

adalah hakim. Secara teoritik dapat dijelaskan oleh ahli namun secara subtansi

semua adalah otoritatif dari hakim;

81
11. Menimbang, bahwa oleh karena dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia No: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, disyaratkan

untuk sampai kepada penetapan Tersangka penyidik di haruskan mempunyai

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti sesuai pasal 184 Kitab Undang-Undang

Acara Hukum Pidana, ditambah dengan pemeriksaan calon tersangka, dengan

mengacu pada keterangan ahli tersebut dapat dimaknai untuk menguji apakah

telah diperoleh sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti terkadang harus

memasuki substansi pokok perkaranya;

12. Menimbang, bahwa lahirnya kitab undang undang acara hukum pidana

diantaranya, adalah untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia sehingga

lahir lembaga kontrol/ alat filter yang dinamakan Lembaga Praperadilan untuk

menguji apakah Penyelidik dan penyidik dalam menangani suatu tindak

pidana, telah melakukan tugas dan kewenangannya berdasarkan azas legalitas,

profesional, proporsional, prosedural, transparan, akuntabel, efektif dan efisien

oleh karena itu menjadi kewajiban bagi Hakim praperadilan untuk menguji

tindakan-tindakan termohon dalam perkara aquo;

13. Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil pemohon dan termohon tersebut di

atas, maka yang harus dipertanyakan selanjutnya apakah dalam perkara yang

dikenal dengan pengerjaan bangunan tugu/tanda batas (pembuatan Tugu

Mejuah-Juah)dapat dilakukan penyidikan?;

14. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang dipersidangan

praperadilan aquo lewat alat bukti yang diajukan pihak pemohon dan

termohon yakni bukti P-1 sampai dengan P-4 dan T-1 sampai dengan T-50

bahwa benar perkara yang dikenal dengan kasus pengerjaan bangunan

82
tugu/tanda batas (pembuatan Tugu Mejuah-Juah)telah dilakukan penyelidikan

dan penyidikan;

15. Menimbang, bahwa setelah meneliti dengan cermat alat bukti pemohon dan

termohon tersebut di atas tentang kasus dalam perkara yang dikenal dengan

pengerjaan bangunan tugu/tanda batas (pembuatan Tugu Mejuah-Juah), disana

secara gamblang telah diuraikankan oleh pemohon didalam permohonannya;

16. Menimbang, bahwa Pemohon adalah Wakil Direktur dari CV. Askonas

Konstruksi Utama, sebuah perusahaan yang bergerak pada usaha di bidang

konstruksi, beralamat di Jalan Sisingamangaraja, Gg. Angkir, No. 7, Kel.

Teladan Barat, Kota Medan. Pada tanggal 28 Oktober 2016 Pemohon dalam

kapasitas sebagai Wakil Direktur CV. Askonas Konstruksi Utama

ditunjuk/menang tender untuk mengerjakan bangunan tugu/tanda batas

(pembuatan Tugu Mejuah-Juah) tahun 2016 pada Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Kabupaten Karo tahun anggaran 2016 yang terletak di Penatapan

Doulu, Kec. Berastagi, kesepakatan tersebut tertuang dalam Surat Perjanjian

Kontrak No: 39/BID-KBR/PPK/DKP/2016 pada tanggal 28 Oktober 2016;

17. Menimbang, bahwa addendum atau perubahan kontrak tanggal 18 Desember

2016 sampai dengan 5 Februari 2017, dimana perubahan perjanjian semacam

ini dibenarkan oleh Peraturan Presiden No: 54 tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang dan Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dalam Peraturan

Presiden No: 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan

Presiden No: 54 tahun 2010, yang pada intinya menyatakan bahwa kontraktor

seperti Pemohon ini bisa diberi kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan

83
melewati Tahun Anggaran berjalan selama maksimal 50 (lima puluh) hari

kalender;

18. Menimbang, bahwa pada tanggal 4 Januari 2017, bangunan tugu yang tengah

dibangun oleh Pemohonrubuh lalu dengan surat Pemohon tanggal 5 Januari

2016 melaporkan kejadian tersebut kepada pihak Dinas Kebersihan dan

Pertamanan. Selanjutnya pada tanggal 17 Januari 2017, Pemohon memperoleh

surat kembali dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan dengan No: 01/PPK-

KBR/STOP-TGPRJ/DKP/2017 tertanggal 17 Januari 2017perihal Penyetopan

Sementara Pekerjaan Pembuatan Tugu Mejuah-Juah(bukti P-8), surat mana

ditandatangani oleh Bapak Radius Tarigan, ST, selaku Pejabat Pembuat

Komitmen (PPK) yang isinya menghentikan sementara waktu pekerjaan

pembangunan tugu dimaksud, sampai selesainya proses audit yang dilakukan

oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Wilayah

Sumatera Utara;

19. Menimbang, bahwa Pada tanggal 6 Februari 2017, Bapak Radius Tarigan

selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah menyurati Bupati Karo

dengan surat No: 90/BID-KBR/PPK/DKP/2017, perihal Permohonan Audit

Pekerjaan Pembuatan Tugu Menjuah-Juahdan juga menyurati Pemohon

dengan surat No.:91/BID-KBR/PPK/DKP/2017 perihal Penghentian

Pelaksanaan Pekerjaan Pembuatan Tugu Mejuah-Juah Pada tanggal 6 Juni

2017;

20. Menimbang, bahwa Bupati Karo dengan surat No: 700/533/Hkab/2017telah

mengeluarkan surat perintah kepada Kepala Dinas Kebersihan dan

Pertamanan untuk menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan Badan

84
Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara No:

51.C/LHP/XVIII.MDN/05.2017 tanggal 19 Mei 2017 (Bukti T-5) dan

selanjutnya Dinas Kebersihan Dan Pertamanan Kabupaten Karo pada tanggal

8 Juni 2017 telah memerintahkan Pemohon untuk membayar sejumlah uang

ke Kas Umum Daerah Kabupaten Karo dengan Surat No: 03/PPK-KBR/PHP-

TGPRJ/DKP/2017 tertanggal 8 Juni 2017, perihal Perintah, agar Pemohon

segera membayarkan sejumlah uang kepada Dinas Kebersihan dan

Pertamanan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal

6 Juni 2017 (Bukti T-7), yang mana diperhitungkan dari kekurangan volume

pekerjaan pembuatan Tugu Mejuah-Juah, yaitu sejumlah Rp 571.720.387,15

(lima ratus tujuh puluh satu juta tujuh ratus dua puluh ribu tiga ratus delapan

puluh tujuh koma lima belas rupiah);

21. Menimbang, bahwa Pemohon menandatangani Surat Keterangan

Pertanggungjawaban Mutlak dengan No: 01/TP-TGR/SKTJM/2017 tertanggal

18 Juli 2017, yang pada intinya menyatakan bertanggung jawab atas kerugian

yang telah timbul dalam pekerjaan pembuatan Tugu Mejuah-Juah (Bukti T-

8);

22. Menimbang, bahwa tanggal 18 Juli 2017 Pemohon menyetor sejumlah Rp

423.806.436,00 (empat ratus dua puluh tiga juta delapan ratus enam ribu

empat ratus tiga puluh enam rupiah) ke rekening Kas Umum Daerah

Kabupaten Karo. (Bukti T-8);

23. Menimbang, bahwa sisa pembayaran dari total sejumlah Rp 571.720.387,15

(lima ratus tujuh puluh satu juta tujuh ratus dua puluh ribu tiga ratus delapan

85
puluh tujuh koma lima belas rupiah), dicicil per 2 (dua) bulan, dan telah

dilunaskan oleh Pemohon pada tanggal 9 Agustus 2018 (Bukti T-8);

24. Menimbang, bahwa 6 Juni 2017 Pemohon menerima Surat Panggilan dari

Termohon melalui surat No: B-34/N.2.17/Fd.1/07/2017 tertanggal 11 Juli

2017 untuk hadir di kantor Termohon guna dimintai keterangan dan pada

tanggal 8 Agustus 2017 Pemohon kembali dipanggil oleh Termohon melalui

surat No: SP-66/N.2.17/Fd.1/08/2017 untuk dimintai keterangannya sebagai

Saksi;

25. Menimbang, bahwa Pemohon dipanggil sebagai Tersangka melalui surat No:

SP-103/N.2.17/Fd.1/09/2018 tertanggal 24 September 2018,berdasarkan Surat

Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-

03/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31 Juli 2018 (Bukti T-37). dan Surat Perintah

Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-05/N.2.17/Fd.1/07/2018

tanggal 31 Juli 2018 (Bukti T-38);

26. Menimbang, bahwa berdasarkan Nota Kesepahaman antara Kementerian

Dalam Negeri Republik Indonesia (pihak pertama) dengan Kejaksaan Agung

Republik Indonesia (pihak kedua) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

(pihak ketiga)No: 700/8929/SJ, No KEP.694/A/JA/11/2017, No

B/108/XI/2017 tanggal 30 November 2017 tentang Koordinasi Aparat

Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Dengan Aparat Penegak Hukum (APH)

Terkait Penanganan Laporan Atau Pengaduan Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerahjo. Perjanjian Kerja Sama Antara

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Dengan Kejaksaan Republik

Indonesia Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Koordinasi

86
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) Dengan Aparat Penegak

Hukum (APH) Dalam Penanganan Laporan Atau Pengaduan Masyarakat

Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Pada Penyelenggaraan Pemerintah

Daerah No: 119.49 tahun 2018, No: B-369/F/Fjp/02/2018, No: B/9/B/2018:

Pasal 7

"(1) Para Pihak menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat sesuai


kewenangannya.
(2) Pihak pertama menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat yang
diterima secara langsung melalui pemeriksaan investigatif untuk
menentukan laporan atau pengaduan tersebut berindikasi kesalahan
administrasi atau pidana;
(5) Kesalahan administrasi yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah;
b. terdapat kerugian keuangan negara/daerah dan telah diproses melalui
tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK
diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan
selesai oleh APIP atau BPK;
c. merupakan bagian dari diskriminsai, sepanjang terpenuhi tujuan dan
syarat-syarat digunakannya diskresi; atau
d. merupakan penyelenggaraan administrasi pemerintah sepanjang
sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik."

27. Menimbang, bahwa dari uraian tersebut pemerintah daerah apabila

mendapatlaporan atau pengaduan masyarakat yang diterima secara langsung

melalui pemeriksaan investigatif untuk menentukan laporan atau pengaduan

tersebut berindikasi kesalahan administrasi atau pidana dan apabila kesalahan

administrasi mempunyai kriteria sebagai berikut:

a. tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah;

b. terdapat kerugian keuangan negara/daerah dan telah diproses melalui

tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 (enam

puluh) hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh

87
pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau

BPK;

c. merupakan bagian dari diskriminsai, sepanjang terpenuhi tujuan dan

syarat-syarat digunakannya diskresi; atau

d. merupakan penyelenggaraan administrasi pemerintah sepanjang sesuai

dengan asas umum pemerintahan yang baik.

28. Menimbang, bahwa apabila terjadi kerugian keuangan negara/daerah dan telah

diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling

lambat 60 (enam puluh) hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK

diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh

APIP atau BPK.

29. Menimbang, bahwa definisi kerugian negarayang terdapat dalam beberapa

undang-undang tersebut di atas, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 15 Undang-undang No 15 tahun 20016 tentang Badan

Pemeriksa Keuangan (UU BPK):

"Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan


barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai."

b. Pasal 1 angka 22 Undang-undang No 1 tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan):

"Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan


barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai."

c. Penjelasan pasal 32 ayat (1) Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

88
"Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk."

30. Menimbang, bahwa dari uraian definisi kerugian negara tersebut di atas dapat

disimpulkan apabila ada pegawai negeri/pejabat negara atau pengelola

keuangan yang melakukan tindakan berupa perbuatan melawan hukum baik

sengaja atau karena kelalaiannya yang mengakibatkan kerugian Negara, maka

yang bersangkutan harus bertanggung jawab untuk mengembalikan kekayaan

negara yang hilang atau berkurang tersebut.

31. Menimbang, bahwapengembalian atau penggantian kerugian negara/daerah itu

dilakukan melalui proses penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yaitu

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu :

a. Pasal 35 ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

"setiap pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar
hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang
merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud."

b. Pasal 59 UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara:


"(1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera
diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku;
(2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan
kewajibannya yang dibebankan kepadanya secara langsung
merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut;
(3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja
perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi,
setelah mengetahui bahwa dalam kementerian
negara/lembaga/SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat
perbuatan dari pihak manapun."

c. penjelasan umum angka 6 "penyelesaian kerugian negara" Undang-

Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah

89
diamanatkan penyelesaian kerugian negara/daerah dengan cara

mengembalikan/mengganti kerugian negara/daerah;

d. untuk menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/daerah akibat

tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang, dalam UU

Perbendaharaan Negara ini diatur ketentuan mengenai penyelesaian

kerugian negara/daerah. oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan negara

ini ditegaskan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan

tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh

pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian tersebut negara/daerah

dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi. Sehubungan dengan itu,

setiap pimpinan Kementerian negara/lembaga/kepala SKPD wajib segera

melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam

kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang

bersangkutan terjadi kerugian;

e. penjelasan pasal 59 ayat (1) UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara ditegaskan perlunya pengembalian/penggantian kerugian

negara/daerah melalui proses penyelesaian ganti kerugian negara/daerah:

"penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk


mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta
meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat
negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya."

32. Menimbang, bahwa pengembalian/penggantian kerugian negara/daerah

melalui penyelesaian ganti kerugian negara/daerah tersebut dilaksanakan oleh

suatu lembaga yaitu:

a. Tim Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah (TPKN/D) dan Majelis

Tuntutan Perbendaharaan untuk memproses ganti kerugian negara

90
terhadap bendahara(pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 2004

tentang Perbendaharaan negara jo. Pasal 41 peraturan BPK No 3 tahun

2007 tentang tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap

bendahara);

b. Majelis Pertimbangan Tuntutan Ganti Rugi (MP-TGR) untuk memproses

ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara

(pasal 63 ayat (1) UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara);

33. Menimbang, bahwa Kerugian Negara/Daerah Berdasarkan ketentuan dalam

Undang-Undang No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU

BPK) didefinisikan sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang,

yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum

baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 15 UU BPK);

34. Menimbang, bahwa dalam hal terjadi kerugian negara/daerah, maka harus

dilaksanakan ganti kerugian yakni sejumlah uang atau barang yang dapat

dinilai dengan uang yang harus dikembalikan kepada negara/daerah oleh

seseorang atau badan yang telah melakukan perbuatan melawan hukum baik

sengaja maupun lalai. (Pasal 1 angka 16 UU BPK);

35. Menimbang, bahwa Terhadap kerugian negara/daerah, berdasarkan Pasal 10

UU BPK, BPK memiliki kewenangan sebagai berikut :

a. BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang

diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai

yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga

atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara;

91
b. Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang

berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan dengan keputusan BPK;

c. Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK

berwenang memantau:

a) penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh

Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;

b) pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada

bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain

yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan

pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap;

d. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan

secara tertulis kepada DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya;

36. Menimbang, bahwa Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dalam Pasal

22 dan Pasal 23 mengatur mengenai pengenaan ganti kerugian negara sebagai

berikut:

Pasal 22

"(1) BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu


pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi,
setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang
merugikan keuangan negara/daerah;
(2) Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada
BPK dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

92
(3) Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya
ditolak, BPK menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian
kerugian negara/daerah kepada bendahara yang bersangkutan;
(4) Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah;
(5) Tata cara penyelesaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berlaku pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan
perseroan yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh
Negara Republik Indonesia, sepanjang tidak diatur dalam undang-
undang tersendiri."

Pasal 23
"(1) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan
negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara
melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian
negara/daerah dimaksud;

(2) BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah


terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah."

37. Menimbang, bahwa lebih lanjut, berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa

Keuangan No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian

Negara Terhadap Bendahara, BPK mempunyai kewenangan-kewenangan

dalam penyelesaian ganti kerugian negara antara lain:

a. Menetapkan Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) yakni

surat keterangan yang menyatakan kesanggupan dan/atau pengakuan

bahwa yang bersangkutan bertanggung jawab atas kerugian negara yang

terjadi dan bersedia mengganti kerugian negara dimaksud;

b. Menetapkan Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu (SKPBW) yakni

surat keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

tentang pemberian kesempatan kepada bendahara untuk mengajukan

keberatan atau pembelaan diri atas tuntutan penggantian kerugian negara;

93
c. Menetapkan Surat Keputusan Pembebanan yakni surat keputusan yang

dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang mempunyai kekuatan

hukum final tentang pembebanan penggantian kerugian negara terhadap

bendahara;

38. Menimbang, bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan tindak lanjut atas

rekomendasi hasil pemeriksaan BPK diatur dalam Peraturan Badan Pemeriksa

Keuangan No 2 tahun 2010 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut

Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai berikut:

Pasal 3:
"(1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam hasil pemeriksaan
setelah hasil pemeriksaan diterima;
(2) Tindak lanjut atas rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa jawaban atau penjelasan atas pelaksanaan tindak lanjut;
(3) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan
kepada BPK paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil
pemeriksaan diterima."

Pasal 4:
"(1) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
dilampiri dengan dokumen bukti pendukung;
(2) Jawaban atau penjelasan yang disampaikan oleh Pejabat kepada BPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda terima
dari BPK;"

Pasal 5:
"(1) Apabila sebagian atau seluruh rekomendasi tidak dapat dilaksanakan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3),
Pejabat wajib memberikan alasan yang sah;
(2) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kondisi:
a. force majeur, yaitu suatu keadaan peperangan, kerusuhan, revolusi,
bencana alam, pemogokan, kebakaran dan gangguan lainnya yang
mengakibatkan tindak lanjut tidak dapat dilaksanakan;
b. subjek atau objek rekomendasi dalam proses peradilan:
1. pejabat menjadi tersangka dan ditahan;
2. pejabat menjadi terpidana; atau
3. objek yang direkomendasikan dalam sengketa di peradilan;
c. rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti secara efektif, efisien, dan
ekonomis antara lain, yaitu:
1. perubahan struktur organisasi; dan/atau

94
2. perubahan regulasi."
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)

Pejabat tidak menindaklanjuti rekomendasi tanpa adanya alasan yang sah,

BPK dapat melaporkan kepada instansi yang berwenang.

39. Menimbang, bahwa berdasarkan SuratBupati KaroNo: 700/533/H.Kab/2017

tertanggal 6 Juni 2017 kepada Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan

Kabupaten Karo (bukti P-5) menindaklanjuti atas temuan BPK-RI No

51.c/LHP/XVIII.MDN/05.2017 tanggal 19 Mei 2017tentang hasil

Pemeriksaan atas kepatuhan peraturan perundang-undangandisebutkan bahwa

kekurangan volume pekerjaan pembangunan Tugu Mejuah-Juah pada Dinas

Kebersihan dan Pertamanan sebesar Rp.571.720.387,15 dan Jaminan

Pelaksanaan belum dicairkan sebesar Rp. 33.978.650,00;

40. Menimbang, bahwa menindaklajuti Surat Bupati Karo No:

700/533/H.Kab/2017 tertanggal 6 Juni 2017 Dinas Kebersihan Dan

Pertamanan Kabupaten Karo (bukti P-5) , Dinas Kebersihan dan Pertamanan

dengan Surat No: 03/PPK-KBR/PHP-TGPRJ/DKP/2017 tertanggal 8 Juni

2017 (Bukti T-6), dan Surat No: 04/PPK-KBR/PHP-TGPRJ/DKP/2017

tertanggal 21 Juni 2017 (Bukti T-7), telah memerintahkan Pemohon untuk

membayar sejumlah uang ke Kas Umum Daerah Kabupaten Karo dengan,

perihal Perintah, agar Pemohon segera membayarkan sejumlah uang kepada

Dinas Kebersihan dan Pertamanan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari

terhitung sejak tanggal 6 Juni 2017,yang mana diperhitungkan dari

kekurangan volume pekerjaan pembuatan Tugu Mejuah-Juah, yaitu sejumlah

95
Rp 571.720.387,15 (lima ratus tujuh puluh satu juta tujuh ratus dua puluh ribu

tiga ratus delapan puluh tujuh koma lima belas rupiah);

41. Menimbang, bahwa pengerjaan bangunan tugu/tanda batas (pembuatan Tugu

Mejuah-Juah)telah dikembalikan secara bertahap kepada kepada pihak

Pemerintah Kabupaten Karo, dengan cara Pemohon menandatangani Surat

Keterangan Pertanggungjawaban Mutlak dengan No: 01/TP-

TGR/SKTJM/2017 tertanggal 18 Juli 2017, yang pada intinya menyatakan

bertanggung jawab atas kerugian yang telah timbul dalam pekerjaan

pembuatan Tugu Mejuah-Juah(bukti T-8) dan tanggal 18 Juli

2017Pemohonmenyetor sejumlah Rp 423.806.436,00 (empat ratus dua puluh

tiga juta delapan ratus enam ribu empat ratus tiga puluh enam rupiah) ke

rekening Kas Umum Daerah Kabupaten Karo (bukti T-8). Adapun sisa

pembayaran dari total sejumlah Rp 571.720.387,15,00 (lima ratus tujuh puluh

satu juta tujuh ratus dua puluh ribu tiga ratus delapan puluh tujuh koma lima

belas rupiah), akan dicicil per 2 (dua) bulan, dan telah dilunaskan oleh

Pemohon pada tanggal 9 Agustus 2018 (bukti T-8);

42. Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut di atas mekanisme ganti

kerugian keuangan daerah pemerintah daerah kabupaten karo ataspengerjaan

bangunan tugu/tanda batas (pembuatan Tugu Mejuah-Juah) telah sesuai

dengan Peraturan yang berlaku, oleh karena itu prosedur Penyidikan dan

Penetapan Tersangka terhadap Pemohon pada saat berlangsungnya proses

ganti kerugian keuangan pemerintah daerah atas pengerjaan bangunan

tugu/tanda batas (pembuatan Tugu Mejuah-Juah) harus dinyatakan tidak sah

dan melanggar Hukum;

96
43. Menimbang, bahwa dengan demikian surat perintah penyidikan Kepala

Kejaksaan Negeri Karo No: Print-01/N.2.17/Fd.1/07/2017 tanggal 10 Maret

2016, Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-

05/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31 Juli 2018, Surat Penetapan Tersangka

Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-03/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31

Juli 2018 yang diterbitkan oleh Termohon haruslah dinyatakan tidak sah, dan

Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon pun

harus dinyatakan tidak sah;

44. Menimbang, bahwa oleh karena Penyidikan tersebut tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat, demikian pula dengan Penetapan Pemohon

sebagai Tersangka serta segala keputusan atau Penetapan yang dikeluarkan

Termohon berkenaan dengan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh

Termohon termasuk tindakan (pemeriksaan saksi) dan Penyitaan (bukti yang

disita) oleh Termohon terhadap Pemohon, serta barang bukti lainya juga

dinyatakan tidak sah;

45. Menimbang, bahwa oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon untuk

menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala

Kejaksaan Negeri Karo No: Print-05/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31 Juli

2018, Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-

03/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31 Juli 2018;

46. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di

atas,maka petitum pemohon pada angka 2, 3 dan 4 telah berhasil dibuktikan

oleh pemohon sehingga harus dikabulkan;

97
47. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka alasan-alasan

permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon harus dinyatakan

beralasan menurut hukum dan patut dikabulkan sebagian;

48. Menimbang, bahwa walaupun dengan demikian tujuan akhir dari proses

Penegakan hukum dan proses peradilan adalah untuk menemukan keadilan,

kebenaran, dan manfaat dari Penegakan hukum tersebut sehingga oleh karena

itu penegakan hukum harus didasarkan dengan tetap memperhatikan

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang dan berbagai

peraturan lain yang mengatur dalam rangka mewujudkan rasa keadilan

masyarakat (social justice), rasa keadilan moral (moral justice), dan keadilan

menurut undang-undang itu sendiri (legal justice) sehingga pada akhirnya

diperoleh suatu keadilan total (total justice).

49. Menimbang, bahwa dengan adanya lembaga Praperadilan adalah sebagai

kontrolyang bersifat horisontal dari lembaga yudikatif terhadap proses

penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sehingga pada akhirnya

diharapkan aparat penegak hukum tersebut tetap bekerja pada ruang lingkup

yang ditentukan peraturan hukum dan perundang-undangan.

50. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan praperadilan yang diajukan oleh

Pemohon dikabulkan sebagian maka biaya yang timbul dalam perkara ini

haruslah dibebankan kepada Termohon.

51. Memperhatikan, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No:

21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Undang undang No.1 tahun 2004

tentang perbendaharaan negara), Undang-Undang No 15 Tahun 2004 Tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-

98
Undang No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK),

Nota Kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia

(pihak pertama) dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (pihak kedua)

dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (pihak ketiga)No: 700/8929/SJ, No

KEP.694/A/JA/11/2017, No B/108/XI/2017 tanggal 30 November 2017

tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Dengan

Aparat Penegak Hukum (APH) Terkait Penanganan Laporan Atau Pengaduan

Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerahjo. Perjanjian

Kerja Sama Antara Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Dengan

Kejaksaan Republik Indonesia Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Tentang Koordinasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) Dengan

Aparat Penegak Hukum (APH) Dalam Penanganan Laporan Atau Pengaduan

Masyarakat Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Pada Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah No: 119.49 tahun 2018, No: B-369/F/Fjp/02/2018, No:

B/9/B/2018, peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan

perkara ini terutama Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman jo Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang

Undang Acara Hukum Pidana dan Undang-Undang No. 49 tahun 2009 tentang

Peradilan Umum serta peraturan lainnya yang bersangkutan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka Hakim

mengeluarkan putusan yaitu:151

1. Mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;

151
Ibid, hlm. 56.

99
2. Menyatakantindakan Termohon yang telah menetapkan status Tersangka

terhadap diri Pemohon dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Pekerjaan

Pembuatan Bangunan Tugu/Tanda Batas (Pembuatan Tugu Menjua-juah

Tahun 2016) dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 679.573.000,- (enam ratus

tujuh puluh sembilan juta lima ratus tujuh puluh tiga ribu rupiah) pada Dinas

Kebersihan Dan Pertamanan Kabupaten Karo Tahun Anggaran 2016 adalah

tidak sah dan tidak berkekuatan hukum;

3. Menyatakan Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Karo No:

Print-03/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31 Juli 2018 berikut Surat Perintah

Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-05/N.2.17/Fd.1/07/2018

tanggal 31 Juli 2018 adalah tidak sah dan tidak berkekuatan hukum;

4. Memerintahkan Termohon untuk segera menghentikan proses penyidikan

terhadap diri Pemohon dalam Pekerjaan Pembuatan Bangunan Tugu/Tanda

Batas (Pembuatan Tugu Menjua-juah Tahun 2016) dengan menerbitkan Surat

Perintah Penghentian Penyidikan (SP3);

5. Membebankan biaya perkara kepada Termohon sejumlah Nihil.

C. Analisa Yuridis Putusan Pengadilan Negeri No. 2/PID.PRA/2019/PN-

KBJ

Pokok perkara penghentian pembangunan Tugu Mejuah-Juah adalah

adanya temuan BPK-RI nomor 51.c/LHP/XVIII.MDN/05.2017 tanggal 19 Mei

2017tentang hasil Pemeriksaan atas kepatuhan peraturan perundang undangan

disebutkan bahwa kekurangan volume pekerjaan pembangunan Tugu Mejuah-

Juah pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan sebesar Rp.571.720.387,15 (lima

ratus tujuh puluh satu juta tujuh ratus dua puluh ribu tiga ratus delapan puluh

100
tujuh koma lima belas rupiah) dan Jaminan Pelaksanaan belum dicairkan sebesar

Rp. 33.978.650,00 (tiga puluh tiga juta sembilan ratus tujuh puluh delapan ribu

enam ratus lima puluh rupiah) yang mana harus dibayarkan oleh Pemohon

selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal 6 Juni 2017.

Adapun sisa pembayaran dari total sejumlah Rp 571.720.387,15,00(lima ratus

tujuh puluh satu juta tujuh ratus dua puluh ribu tiga ratus delapan puluh tujuh

koma lima belas rupiah), akan dicicil per 2 (dua) bulan, dan telah dilunaskan oleh

Pemohon pada tanggal 9 Agustus 2018.

Bahwa Hakim sesungguhnya telah melakukan pemeriksaan terhadap

pokok perkara, hal ini terlihat dari keseluruhan Pertimbangan Hakim, terlebih

kesimpulan yang diambil oleh Hakim dalam Pertimbangan Hakim poin 42 yang

menyatakan bahwa:

"……… mekanisme ganti kerugian keuangan daerah pemerintah daerah


kabupaten karo ataspengerjaan bangunan tugu/tanda batas (pembuatan
Tugu Mejuah-Juah) telah sesuai dengan Peraturan yang berlaku, oleh
karena itu prosedur Penyidikan dan Penetapan Tersangka terhadap
Pemohon pada saat berlangsungnya proses ganti kerugian keuangan
pemerintah daerah atas pengerjaan bangunan tugu/tanda batas (pembuatan
Tugu Mejuah-Juah) harus dinyatakan tidak sah dan melanggar Hukum."

Lembaga praperadilan sejak awal di desain untuk mengontrol pelaksanaan

hukum pidana formil dengan waktu yang terbatas dan bukan melakukan

eksaminasi terhadap hukum pidana materiil.152 Penegakan hukum akan menjadi

kacau dan tidak pasti jika uji terhadap pencarian kebenaran materiil yang menjadi

tujuan utama hukum acara pidana dalam acara pemeriksaan biasa juga dipaksakan

untuk dijalankan oleh hakim tunggal pra peradilan. Fungsi praperadilan sebagai

152
Fachrizal Afandi, Memeriksa Keabsahan Penetapan Tersangka atau Menguji Pokok
Perkara, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt574e7c88a8193/memeriksa-keabsahan-
penetapan-tersangka-atau-menguji-pokok-perkara-broleh--fachrizal-afandi-/. Terakhir diakses
pada tanggal 10 Januari 2020.

101
examinating judge sering dimaknai hanya sebatas pemeriksaan aspek administratif

atau formil dari upaya paksa.153

Terkait dengan pemeriksaan praperadilan, Mahkamah Agung telah

membuat panduan dimana permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka

hanya menilai aspek formal, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti

yang sah dan tidak memasuki perkara. 154 Lebih lanjut, Mahkamah Agung

menggariskan persidangan perkara Praperadilan tentang tidak sahnya penetapan

tersangka, penyitaan dan penggeledahan dipimpin oleh Hakim Tunggal karena

sifat pemeriksaannya yang tergolong singkat dan pembuktiannya yang hanya

memeriksa aspek formil.155

Penetapan status seseorang menjaditersangka merupakan salah satu

bagiandalam tahap penyidikan.Tersangka adalahseorang yang karena

perbuatannyaatau keadaannya, berdasarkan bukti permulaanpatut diduga sebagai

pelaku tindak pidana.156Alat bukti yang diatur dalam KUHAP yaitu keterangan

saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.157

Dalam berbagai peraturan tercantum pengertianbukti permulaan yang

cukupantara lain:

a) Penjelasan Pasal 17 KUHAP:

"Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir
14.Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul
melakukan tindak pidana."

153
Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris”,
http://jodisantoso.blogspot.com/2008/02/praperadilan-versus-hakim-komisaris.html. Terakhir
diakses pada tanggal 10 Januari 2020.
154
Lihat Pasal 2 ayat (2) Perma 4/2016.
155
Lihat Pasal 2 ayat (4) Perma 4/2016.
156
Penjelasan Pasal 1 angka 14 KUHAP.
157
Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

102
b) Pasal 44 ayat (2) UU KPK:

"Buktipermulaan yang cukuptelah ada apabila ditemukannya sekurang-


kurangnya 2 alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara biasa maupun
elektronik atau optik."

c) Rapat Kerja Gabungan Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian

tahun 1984 pada halaman 14 dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan bukti

permulaan yang cukup, seyogyanya minimal laporan polisi ditambah dengan

salah satu alat bukti lainnya.158

Bahwa dalam hal perkara Pembuatan Tugu Menjua-juah Tahun 2016,

penetapan Ir. Edy Perin Sebayang (pemohon praperadilan) sebagai tersangka telah

didasarkan dengan proses penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan

Nomor : Print-03/N.2.17/Fd.1/06/2017 tanggal 02 Juni 2017 ("Penyidikan"). Dari

proses Penyidikan, Termohon melakukan pengumpulan data-data dokumen,

memanggil dan memintai keterangan para pihak terkait proses Penyelidikan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 5 KUHAP.159

Selanjutnya setelah proses penyelidikan dianggap selesai sebagaimana

ketentuan Pasal 1 ayat 5 KUHAP, melalui forum ekspose atau gelar perkara

internal berdasarkan Perja PER-039/A/JA/10/2010 berkesimpulan telah

ditemukan bukti permulaan yang cukup atau setidak-tidaknya Jaksa Penyelidik

telah memperoleh sekurang-kuranya atau minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana

ketentuan Pasal 184 KUHAP antara lain keterangan saksi, surat, dan petunjuk.

Sehingga Jaksa Penyelidik memutuskan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan

158
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana,(Jakarta: Rineka
Cipta, 1991), hlm. 112.
159
Putusan, Op. Cit, hlm. 10.

103
dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Karo

Nomor Print -01/N.2.17/Fd.1/07/2017 tanggal 18 Juli 2017.160

Bahwa sebelum penyidik menetapkan Ir. Edy Perin Sebayang (pemohon

pra peradilan) sebagai tersangka, penyidik telah memiliki alat bukti berupa alat

bukti saksi-saksi yang terdiri dari:161

Tanggal
No Nama Pemeriksaan (BA
1)
1 Radius Tarigan, ST 02-08-2017;
(PPK Pekerjaan Pembuatan Tugu Mejuah-juah 10-04-2018
pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kab.
Karo)
2 Nesron Yanta Sukatendel 02-08-2017;
(Bendahara Pengeluaran pada Dinas Kebersihan 27-04-2018
dan Pertamanan Kab. Karo Tahun 2016)
3 Erguna Samuel Sinukaban, ST 02-08-2017;
(Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan I Bid. 11-04-2018;
Kebersihan TA 2016)\ 27-04-2018
4 Chandra Tarigan, ST 11-08-2017;
(Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kab. 16-04-2018
Karo tahun 2016 / Pengguna Anggaran)
5 Ir. Edy Perin Sebayang 02-08-2017;
(Wakil Direktur I CV. Askonas Konstruksi 03-10-2017;
Utama) 22-09-2017;
13-04-2018
6 Hardiansyah Putra Ginting 11-08-2017;
(Pengawas Lapangan) 24-04-2018
7 Amri Ginting 15-08-2017
(Kuasa BUD Kab. Karo) 25-04-2018
8 Erma Julita, S.Si 03-11-2017;
(Ketua LPSE/ POKJA XV) 10-04-2018
9 JUNI ANTOMI KEMIT, SSTp., M.Si 02-11-2017;
(anggota LPSE/ POKJA XV) 11-04-2018
10 Vovo Dosvana Lingga, ST 03-11-2017;
(Anggota LPSE/ POKJA XV) 11-04-2018
12 Maimun Saleh 12-04-2018
(Pimpinan Seksi Pelayanan Nasabah Bank
Sumut)

160
Ibid, hlm. 11.
161
Ibid, hlm. 12.

104
13 Lely Junita Br. Ginting 16-04-2018
(Anggota LPSE/ POKJA XV)
14 Anthoni Bangun 16-04-2018
(Anggota LPSE/ POKJA XV)
15 Sugianto 16-04-2018
(KA PT Asuransi Recapital Cab. Medan)
16 Rosminda Br. Ginting 25-04-2018
(PPK-SKPD Dinas Kebersihan & Pertamanan
Kab. Karo TA 2016)
17 Evan Deflin Samuel Siahaan 27-04-2018
(Wakil Dir CV. Nasora Maridi 14)
18 Roy Hefry Simorangkir 06-06-2018
(Dirut CV. Askonas Konstruksi Utama)
19 Mirton Ketaren, S.Sos 15-09-2017
(Camat Berastagi)

Selanjutnya alat bukti surat yang terdiri dari:162

1. Laporan Pemeriksaan Ahli Pemeriksaan Fisik atas Pekerjaan Pembuatan

Tugu Mejuah-juah oleh Ahli Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik

Universitas Sumatera Utaratanggal 16 Oktober 2018 yang ditandatangani

oleh Sdr. Indra Jaya Pandia, M.T dan Ir. Indra Jaya, M.T.;

2. Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Dalam Rangka Perhitungan

Kerugian Negara atas Pekerjaan Pembuatan Bangunan Tugu/Tanda Batas

(Tugu Mejuah-juah) pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten

Karo Tahun Anggaran 2016 Nomor : 48/LHP /XXI/ 07/2018 tanggal 13

Juli 2018 yang ditandatangani oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan

Najmatuzzahrah dengan surat pengantar Nomor: 103/S/IX-XXI/07/2018

tanggal 13 Juli 2018 yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Eddy Mulyadi

Soepardi, CFrA., CA Selaku Koordinator Pemeriksaan Investigatif;

3. Beserta dokumen-dokumen pelaksanaan pembangunan Tugu Mejuah-juah

yang mendukung telah terjadinya tindak pidana korupsi.


162
Ibid, hlm. 13.

105
Pada Pertimbangan Hakim tidak satupun membahas tentang keabsahan

dari pengumpulan alat-alat bukti yang telah dikumpulkan oleh Termohon dalam

menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.Pada poin 7 Pertimbangan Hakim

menyinggung tentang acuan Putusan MK yang pada pokoknya menyinggung

penetapan tersangka:

"……… terlebih dahulu Penyidik dalam penyidikan harus menemukan


sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam pasal 184 Kitab
Undang Undang Acara Hukum Pidana, hal ini dapat dimaknai bahwa
apabila dalam proses penyidikan tidak ditemukan sekurang-kurangnya 2
(dua) alat bukti maka Penyidik berwenanguntuk menghentikan
Penyidikannya berdasarkan pasal 109 Kitab Undang Undang Acara
Hukum Pidana."

Selanjutnya pada poin 11 Pertimbangan Hakim:

"……… dengan mengacu pada keterangan ahli tersebut dapat dimaknai


untuk menguji apakah telah diperoleh sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti terkadang harus memasuki substansi pokok perkaranya."

Dalam pengujian alat bukti, hakim seharusnya berpegang pada beberapa

parameter pembuktian yang sudah ada. Paling tidak ada enam hal yang menjadi

parameter di dalam pembuktian, antara lain:163

1. Bewijstheorie, adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar

pembuktian oleh hakim di pengadilan. Dalam konteks perkara pidana di

Indonesia, teori pembuktian yang dipakai adalah negatief wettelijk

bewijstheorie dimana dasar pembuktian itu menurut pada keyakinan hakim

yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif.

2. Bewijsmiddelen, adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan

telah terjadi suatu peristiwa hukum. Apa saja yang merupakan alat bukti yang

163
Eddy O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta, Erlangga, 2012), hlm.15–
26.

106
sah di pengadilan, semuanya diatur dalam hukum acara yang dalam konteks

perkara pidana diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

3. Bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana alat-alat bukti diperoleh,

dikumpulkan, dan disampaikan di depan sidang pengadilan. Apakah

perolehan, pengumpulan, dan penyampaian alat bukti tersebut dilakukan

dengan sah atau tidak.

4. Bewijslast atau burden of proof, adalah pembagian beban pembuktian yang

diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum.

Dalam perkara pidana berlaku asas actori incumbit onus probandi yang berarti

siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan sehingga jaksa penuntut

umumlah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa.

5. Bewijskracht, adalah kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim yang menilai dan menentukan

kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

6. Bewijsminimmum, adalah alat bukti minimum yang diperlukan dalam

pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim.

Apabila Hakim konsisten dan memeriksa proses pemeriksaan perkara dari

aspek formal, maka sesungguhnya Termohon yang telah melaksanakan seluruh

proses pengumpulan alat-alat bukti secara sah diukur denganparameter hukum

pembuktian berdasarkan KUHAP,Perja PER-039/A/JA/10/2010, Surat JAM

Pidsus sertatelah sesuai dengan Putusan MK. Oleh karena itu Putusan Hakim

tidak bersesuaian dengan Pertimbangan Hakim. Seharusnya Putusan Hakim

adalah menolak permohonan praperadilan dan menyatakan Surat Penetapan

Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Karo No: Print-03/N.2/17/Fd.1/07/2018

107
tanggal 31 Juli 2018 berikut Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri

Karo No: Print-05/N.2.17/Fd.1/07/2018 tanggal 31 Juli 2018 adalah Sah menurut

Hukum.

Atas kekeliruan Hakim ini Termohon dapat tidak dapat mengajukan upaya

hukum apapun termasuk peninjauan kembali.164 Namun, Putusan Hakim ini tidak

menggugurkan kewenangan Penyidik untuk menetapkan kembali yang

bersangkutan sebagai tersangka dengan ketentuan pemenuhan paling sedikit dua

alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan

dengan materi perkara.165

164
Lihat Pasal 3 Perma 4/2016.
165
Lihat Pasal 2 ayat (3) Perma 4/2016.

108
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan

tertentu terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-

undang.Kejaksaan dalam kapasitasnya sebagai penyidik juga dapat

menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan Surat Perintah

Penghentian Penyidikan ("SP3") dengan alasan karena tidak terdapat

cukup bukti atau peristiwa tersebut, ternyata bukan merupakan tindak

pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, dan oleh karenanya

penyidikmemberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau

keluarganya.

2. Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan

memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah

atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasatersangka; sah atau

tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas

permintaandemi tegaknya hukum dan keadilan; permintaan ganti kerugian

atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas

kuasanya yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan. Pada

perkembangannya, Putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 21/PUU-

XII/2014 secara resmi memasukkan norma keabsahan penetapan tersangka

sebagai objek pranata praperadilan guna terciptanya suatu perlakuan yang

109
adil bagi seseorang yang sedang menjalani proses pidana. Dengan

memperhatikan kenyataan bahwa tersangka adalah subjek hukum dengan

memliki harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.

3. Putusan Hakim pada dasarnya telah keliru karena memeriksa aspek materil

dari permohonan praperadilan dan tidak mengukur 2 (dua) alat bukti yang

cukup yang telah dikumpulkan Termohon untuk menetapkan Pemohon

sebagai tersangka, dengan demikian Putusan Hakim telah melanggar

panduan yang digariskan oleh Mahkamah Agung yaitu Pasal 2 ayat (2)

dan (4) Perma 4/2016. Putusan ini tidak dapat diajukan upaya hukum

apapun termasuk peninjauan kembali.Namun demikian putusan tersebut

tidak menutup kelanjutan perkara.Putusan Praperadilan yang mengabulkan

permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak

menggugurkan kewenangan Penyidik untuk menetapkan kembali yang

bersangkutan sebagai tersangka dengan ketentuan pemenuhan paling

sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya

yang berkaitan dengan materi perkara.

B. SARAN

1. Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya

penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik, oleh

karenanya disarankan kepada Penyidik untuk terus berusaha menemukan

paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti

sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara agar pelaku dugaan

tindak pidana tetap diproses berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

110
2. Hakim harus mematuhi pedoman yang telah digariskan oleh Mahkamah

Agung terkait dengan permohonan praperadilan tentang pengujian sah atau

tidaknya penetapan tersangka sebagaimana diatur dalam Perma 4/2016

yaitu pengujian formal dengan parameter pembuktian yang tepat sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku.

3. Dalam jangka panjang dengan adanya pembahasan RUU KUHAP, maka

merekomendasikan kepada Pemerintah RI dan DPR RI untuk segera

membahas dan mengesahkan R.KUHAP dengan terlebih dahulu

menambahkan ketentuan mengenai pembuktian yang bersifat formalitas

bagi Hakim Komisaris dalam melakukan penilaian jalannya penyidikan.

111
DAFTAR PUSTAKA

___________,

2003.PedomanPelaksanaanTugasdanAdministrasiPengadilanBukuIIM

A- RI. Jakarta: MA-RI.

___________, 2004.Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.01.PW.07.03


Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, dalam, KUHAP Lengkap: Pelaksanaan
KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Tambahan Pedoman
Pelaksanaan KUHAP. Jakarta: Bumi Aksara.

Adji, Seno, Oemar. 1977. Mass Media & Hukum. Jakarta: Erlangga.

Adji, Seno, Oemar dan Indriyanto Seno Adji. 2007. Peradilan Bebas &

Countem of Court. Jakarta: Diadit Media.

Al Wisnubroto dan G Widiantara. 2005. Pembaharuan hukum Acara Pidana,

(Bandung: Citra Aditya Bakti

Arief, Nawawi, Barda. 2007Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang System

Peradilan Pidana Terpadu. Semarang: BP Undip.

Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.

Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Atmosudirdjo, Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Ashshofa, Burhan. 2008. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta Timur: Sinar

Grafika.

112
Edi Setiadi, Kristian. 2007. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem

Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group.

J M. Wuismen.2006. Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia.

Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at.2012. Teori Hans Kelsen tentang Hukum.

Jakarta: Konstitusi Press.

Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,


Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kasasi, Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2012. Pembahasan permasalahan & penerapan KUHAP:

Penyidikan & penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

H. Harris. 1978. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat dalam

HIR, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Binacipta.

Hamzah, A. 2005.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, A., & Surachman, R. M. 2015.Pre-trial Justice & Discretionary Justice

dalam KUHAP Berbagai Negara.Jakarta: Sinar Grafika.

Hiariej, Eddy O. S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.

HR Otje Salman. 2012. Teori Hukum. Jakarta: Refika Aditama.

Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.

Surabaya: Bayu Media Publishing, Cet. Ke – 2.

Loqman, Loebby. 1990. Pra-Peradilan di Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Lubis, M. Solly.2004. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju.

Marpaung, Leiden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan

Penyidikan). Jakarta: Sinar Grafika.

Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana.

113
Marzuki, Peter Mahmud. 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Mertokusumo, Sudikno. 2012. Teori Hukum. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Moeljatno.1983. Perbuatan Pidana dan PertanggungJawaban

Pidana.Jakarta :Bina Aksara.

Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitaif. Bandung:Remaja

Rosdakarya.

Pangaribuan, MP. Luhut.2004. Interpretasi Pihak Ketiga Yang


Berkepentingan Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Kajian
Putusan Pengadilan.Jakarta: LeIP.

Prints, Darwin. 1993. Tinjauan Umum tentang Praperadilan, Bandung: Citra

Aditya Bakti, Cet. 1.

Prints, Darwin. 1993. Praperadilan dan Perkembangannya di dalam Praktek.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Nata, Abuddin. 2003. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasution, Buyung, Adnan. 2002. Praperadilan vs Hakim Komisaris. Jakarta:

Komisi Nasional.

Rahardjo, Sacipto. 2001.Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rato, Dominikus. 2010. Filsafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum.

Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Reksodiputro, Mardjono. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan


Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)
Universitas Indonesia.

Sasangka, Hari. 2007.Penyidikan,Penahanan,Penuntutan,danPraperadilan

dalamTeoridanPraktek. Bandung:MandarMaju.

114
Samosir, Djisman. 2013. Segenggam tetang Hukum Acara Pidana. Bandung:

Nuansa Aulia.

Siregar, Tampil Anshari. 2005. Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi.

Medan: Pustaka Bangsa Press.

Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:Alfabeta.

Sunggono, Bambang. 1997. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo

Persada.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2004. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta :

RajaGrafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 2006.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1994. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

SF. Marbun. 1997. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di

Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1998. Teori dan Strategi Pembangunan Nasional.

Jakarta: CV. Haji Mas Agung.

Tresna, R. 2000. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita.

Van Apeldoorn. 1990. Pengantar Ilmu Hukum, cet ke-24. Jakarta: Pradiya

Paramita.

Waluyo, Bambang. 2008. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Wisnubroto, Ali. 2002. Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara

Pidana). Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega.

115
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undangundang.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan

Kembali Putusan Praperadilan.

Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola


Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus
sebagaimana diubah dengan Peraturan Jaksa Agung No: PER-
017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung No:
PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis
Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.

C. INTERNET

_____________, Lembaga Praperadilan Dalam Memutuskan Penetapan


Tersangka, Diakses melalui https://www.academia.edu/1250626.Terakhir
diakses pada tanggal 27 September 2019.

Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris”,


http://jodisantoso.blogspot.com/2008/02/praperadilan-versus-hakim-
komisaris.html. Terakhir diakses pada tanggal 10 Januari 2020.

116
Fachrizal Afandi, Memeriksa Keabsahan Penetapan Tersangka atau Menguji
Pokok Perkara,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt574e7c88a8193/memeriksa-
keabsahan-penetapan-tersangka-atau-menguji-pokok-perkara-broleh--
fachrizal-afandi-/Terakhir diakses pada tanggal 10 Januari 2020.

Hikmoro, Abi. Peranan dan Fungsi Praperadilan Dalam Penegakan Hukum


Pidana Di Indonesia, 2014, diakses melalui http://e-
journal.uajy.ac.id/4932/1/0HK10212.pdf.Terakhir diakses pada tanggal 27
September 2019.

117

Anda mungkin juga menyukai