Anda di halaman 1dari 3

NAMA : PUTU MYA ARYASTUTY

KLS: D4

NPM : 1810121115

UTS HUKUM ACARA PIDANA

1. Pada dasarnya asas dalam hukum acara pidana terdiri dari :


1. Asas legalitas.  Asas legalitas dalam hukum pidana dan hukum acara pidana adalah
sesuatu yang berbeda. Dalam hukum pidana, asas legalitas dapat diartikan “tidak ada
suatu perbuatan yang dapat dipidana tanpa ada peraturan yang mengaturnya (nullum
delictum nulla poena sine lege poenali). Namun, dalam hukum acara pidana, asas
legalitas memiliki makna setiap Penuntut Umum wajib segera mungkin menuntut
setiap perkara. Artinya, asas legalitas lebih dimaknai setiap perkara hanya dapat
diproses di pengadilan setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya. Sedangkan
penyimpangan terhadap asas ini dikenal dengan asas oportunitas yang berarti bahwa
demi kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara
pidana.
2. Asas diferensiasi fungsional. Asas ini menyatakan setiap aparat penegak hukum
dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah
antara satu dengan yang lain;
3. Asas lex scripta. Asas ini  berarti hukum acara pidana yang mengatur proses
beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis. Selain itu, asas ini juga
mengajarkan bahwa aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat.
2. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Kegunaan
peyelidikan adalah  Masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang tertib dan damai dalam
hidup bermasyarakat terus diupayakan, apalagi sekarang dalam sistim penegakan hukum.
Dengan penegakan hukum yang baik itu diharapkan akan menimbulkan tata tertib, keamanan
dan ketentraman ditengah-tengah masyarakat. Kejahatan dalam kehidupan manusia
merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan
bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan
dikurangi tetapi sulit di berantas secara tuntas. Proses pemeriksaan tentang benar tidaknya
suatu perbuatan pidana terjadi dapat diketahuimelalui proses penyidikan, tetapi sebelum
dilakukan penyidikan terlebih dahulu dilakukan proses penyelidikan yang dilakukan oleh
penyelidik. Bagaimana tindakan penyelidikan adanya dugaan peristiwa terjadinya tindak
pidana dan bagaimana fungsi dari penyelidik polri dalam  penyelesaian perkara pidana. 
Dalam BAB I pasal 1 ayat 5 KUHP, serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.  Sedangkan
fungsi penyelidikan tindak pidana proses/tahapan proyurikasi yakni sebagai proses
pemeriksaan pendahuluan guna untuk persiapan penangkapan dan penuntutan dan
pemeriksaan sidang pengadilan.
3.Berita Acara Pemeriksaan
Menurut Pasal 75 ayat (1) KUHAP berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a.   pemeriksaan tersangka;
b.   penangkapan;
c.   penahanan;
d.   penggeledahan;
e.   pemasukan rumah;
f.    penyitaan benda;
g.  pemeriksaan surat;
h.  pemeriksaan saksi;
i.    pemeriksaan di tempat kejadian;
j.    pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k.   pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang.
 
Berita acara dibuat oleh pejabat (penyidik) yang bersangkutan dalam melakukan tindakan di atas dan
dibuat atas kekuatan sumpah jabatan. Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat,
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan-tindakan di atas.
 
Kemudian Pasal 117 ayat (2) KUHAP mengatur bahwa dalam hal tersangka memberikan keterangan
tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan
kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang
dipergunakan oleh tersangka sendiri.
 
4.Syarat penahanan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau
mengulangi tindak pidana.”
Syarat penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP di atas dikenal dengan syarat penahanan
subjektif artinya terdakwa bisa ditahan apabila penyidik menilai atau khawatir tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak
pidana.
Dengan kata lain jika penyidik menilai tersangka/terdakwa tidak akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana maka si tersangka/terdakwa tidak perlu
ditahan.
Sementara Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyatakan, “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan
terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1),
Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454,
Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan
Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah
dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak
Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor
8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9
Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3086).”
Pasal 21 ayat (4) KUHAP ini dikenal dengan syarat penahanan objektif. Artinya ada ukuran jelas
yang diatur dalam undang-undang agar tersangka atau terdakwa itu bisa ditahan misalnya tindak
pidana yang diduga dilakukan tersangka/terdakwa diancam pidana penjara lima tahun atau lebih, atau
tersangka/terdakwa ini melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal-Pasal sebagaimana
diatur dalam huruf b di atas.
Berdasarkan uraian di atas, bisa dipahami bahwa yang namanya tersangka/terdakwa tidak wajib
ditahan. Penahanan dilakukan jika memenuhi syarat penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21
ayat (4) KUHAP (syarat objektif) dan memenuhi keadaan-keadaan sebagaimana dalam Pasal 21
ayat (1) KUHAP (syarat subjektif).

5.1. Surat dakwaan harus memuat / merumuskan unsur – unsur dalik dalam pasal pidana yang
didakwakan ;
2.Menyebutkan cara tindak pidana dilakukan ;
3.Menyebutkan keadaan – keadaan yang melekat pada tindak pidana yang didakwakan ;
–          Bahwa tentang waktu dan tempat tindak pidana dapat dicantumkan secara
alternatif :
–          Bahwa surat dakwaan dari jaksa penuntut umum menurut pendapat
Mahkamah Agung telah memenuhi syarat materil dari Pasal 143 Ayat (1) huruf b,
Kitab Undang-Undang hukum acara pidana, dan tidak dapat dinyatakan batal
demi hukum, berdasarkan alasan – alasan sebagai berikut
A. Bahwa surat dakwaan tersebut telah merumuskan semua unsur – unsur tindak pidana
yang di dakwakan ;
B. Bahwa surat dakwaan telah secara lengkap dan jelas mencantumkan cara – cara tindak
pidana dilakukan ;
C. Bahwa surat dakwaan telah mencantumkan keadaan – keadaan yang melekat pada
tindak pidana yang di dakwakan ;
D. Bahwa surat dakwaan telah mencantumkan waktu dan tempat tindak pidana yang
didakwakan ;

Anda mungkin juga menyukai