Anda di halaman 1dari 119

JAKSA AGUNG MUDA

TINDAK PIDANA UMUM

Yth. Kepala Kejaksaan Tinggi


Se-Indonesia

SURAT EDARAN
NOMOR: SE-001/E/EJP/11/2018

TENTANG
TEKNIS PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM
DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI

1. Latar Belakang
Selama abad keduapuluh, peran Korporasi dalam kehidupan
masyarakat semakin berkembang sehingga pemikiran tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi lebih maju.
Pertanggungjawaban pidana korporasi telah memperluas
pertanggungjawaban pidana individu atau orang alamiah (natuurlijke
persoon) sehingga korporasi juga dianggap dapat melakukan tindak
pidana dan diakui sebagai subjek yang dapat dipidana.
Pertanggungjawaban pidana korporasi berbeda dengan
pertanggungjawaban pidana individu atau pertanggungjawaban pidana
konvensional, yang hanya mengenal pertanggungjawaban pidana bagi
orang yang berbuat (pelaku fisik). Pada pertanggungjawaban pidana
korporasi, perbuatan pidana (actus reus) mungkin saja dilakukan oleh
orang-orang yang bekerja dalam korporasi atau mungkin juga
dilakukan oleh orang yang berada di luar korporasi namun keuntungan
dan manfaatnya ditujukan kepada korporasi, sehingga
pertanggungjawaban pidana dan niat batin (mens rea) tidak diletakkan
pada orang-orang tersebut namun pada orang yang paling bertanggung

1
jawab mengendalikan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
serta Korporasi itu sendiri.
Banyaknya undang-undang di luar KUHP yang mengatur
pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat menjadi potensi bidang
tindak pidana umum untuk berkiprah lebih banyak dalam proses
pembangunan, khususnya dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) yang dihasilkan dari penjatuhan pidana denda. Apalagi bidang
tindak pidana umum kini memiliki kewenangan baru bahwa Penuntut
Umum juga melakukan penyidikan melengkapi berkas perkara
terhadap tindak pidana perusakan hutan.
Peluang itu tampaknya belum dapat dimanfaatkan secara
maksimal, karena terhalang pengaturan substansi hukum acara dalam
penanganan perkara subjek hukum Korporasi. Selama ini sudah cukup
banyak persidangan yang mengangkat korporasi sebagai subjek tindak
pidana, namun berbagai kendala muncul, mengingat tidak adanya
standar beracara dalam memeriksa dan menyidangkan korporasi serta
sulitnya mentransformasikan perbuatan pidana dan kesalahan yang
dilakukan subjek individu kepada subjek korporasi. Peraturan Jaksa
Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan
Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi sudah diterbitkan,
namun dalam praktek masih terdapat beberapa ketentuan yang masih
menimbulkan perbedaan pemahaman, sehingga dapat menghambat
proses beracara dalam peradilan. Mengingat bidang tindak pidana
umum memiliki tugas dan fungsi penuntutan tindak pidana umum
berbagai undang-undang yang ketentuan pidananya mengatur
pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk dalam melaksanakan
kewenangan baru penyidikan melengkapi berkas perkara tindak pidana
perusakan hutan dengan subjek hukum Korporasi maka dipandang
perlu menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana

2
Umum tentang Teknis Penanganan Perkara Dengan Subjek Hukum
Korporasi.

2. Maksud dan Tujuan


a. Maksud
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum tentang
teknis penanganan perkara tindak pidana umum dengan subjek
hukum korporasi ini dimaksudkan untuk menjabarkan lebih detail
tata cara penanganan perkara tindak pidana umum dengan subjek
hukum korporasi; dan
b. Tujuan
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum tentang
teknis penanganan perkara tindak pidana umum dengan subjek
hukum korporasi ini bertujuan sebagai acuan penanganan perkara
terhadap subjek hukum korporasi.

3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
tentang teknis penanganan perkara tindak pidana umum dengan
subjek hukum korporasi meliputi ketentuan umum, prapenuntutan,
bentuk surat dakwaan, pemanggilan orang yang mewakili korporasi,
penuntutan dan pelaksanaan pidana tambahan pembubaran,
pembekuan, pencabutan izin dan/atau menyatakan sebagai korporasi
terlarang.

4. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209);

3
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4401);
3. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
4. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme;
5. Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 tentang
Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum
Korporasi (Berita Negara Tahun 2014 Nomor 1492);
6. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (Berita
Negara Tahun 2016 Nomor 2058);
7. Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-006/A/JA/07/2017 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia (Berita
Negara Tahun 2017 Nomor 1069).

5. Isi Edaran
5.1 Pengertian
(1) Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau
perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik,
mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil
penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan
petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat
menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat

4
dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
(2) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
(3) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim serta melakukan
penyidikan tindak pidana perusakan hutan.
(4) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(5) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai negeri sipil tertentu atau penuntut umum
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan melengkapi berkas perkara terhadap
tindak pidana perusakan hutan.
(6) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya
(7) Penyidikan tindak pidana perusakan hutan adalah
penyidikan yang dilakukan oleh pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan dalam hal
Penuntut Umum belum menyatakan lengkap kemudian
meminta penyerahan tersangka berikut berkas perkara
setelah memenuhi syarat, maka dilanjutkan oleh Penuntut

5
Umum paling lama 50 (lima puluh) hari untuk dilengkapi.
(8) Perusakan Hutan adalah proses, cara atau perbuatan
merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar,
penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan
izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan
pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah
ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang
diproses penetapannya oleh pemerintah.
(9) Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum atau organisasi dalam bentuk apapun
sepanjang diatur di dalam undang-undang dapat
dipersamakan dengan korporasi.
(10) Orang yang mengendalikan tindak pidana dalam korporasi
adalah orang yang perbuatannya secara materiil telah
menyebabkan tindak pidana terjadi namun tidak terbatas
pada pengurus, personil pengendali, pemilik manfaat atau
orang lain sepanjang perbuatannya telah berkontribusi
terhadap terjadinya tindak pidana, membiarkan, tidak
mencegah atau menghentikan tindak pidana padahal
memiliki kewenangan untuk itu.
(11) Pengurus adalah organ korporasi yang mempunyai
kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi
yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau
bertindak demi kepentingan korporasi, yang berdasarkan
hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkup usaha
atau kegiatan korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama.
(12) Personil pengendali adalah setiap orang yang memiliki
kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan
Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan

6
kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus mendapat
otorisasi dari atasannya.
(13) Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat
menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris,
pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi,
memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi,
berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi
baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik
sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Presiden ini.
(14) Tindak Pidana Korporasi adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana baik kepada korporasi, orang
yang mengendalikan tindak pidana dalam korporasi atau
kepada korporasi dan orang yang mengendalikan tindak
pidana korporasi secara bersama-sama sesuai dengan
undang-undang yang mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi.
(15) Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh
penuntut umum yang berisi perumusan tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari
hasil penyidikan.
(16) Instansi Berwenang adalah instansi pemerintah baik di
pusat maupun di daerah yang memiliki kewenangan
pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan,
perizinan usaha, atau pembubaran Korporasi, atau lembaga
yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan
bidang usaha Korporasi.

7
5.2. Prapenuntutan
Penanganan perkara tindak pidana umum dengan subjek
hukum korporasi pada tahap prapenuntutan meliputi langkah-
langkah sebagai berikut:
(1) Penelitian kelengkapan formil dan materiil berkas perkara hasil
penyidikan dengan subjek Korporasi atau Orang Yang
Mengendalikan tindak pidana dalam korporasi dituangkan
dalam Formulir Penelitian Berkas Perkara Tahap
Prapenuntutan (check list) dan Berita Acara Pendapat
Penelitian Berkas Perkara.
(2) Penelitian kelengkapan formil berkas perkara dilakukan
dengan cara meneliti surat, berita acara dan dokumen yang
dapat mendukung kelengkapan dan keabsahan administrasi
tahap penyidikan
(3) Kelengkapan formil yang perlu diteliti dalam mendukung
pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain:
a. Akta Pendirian Korporasi yang dapat menunjukkan
identitas korporasi, orang yang ditunjuk atau secara
yuridis formal mewakili korporasi dan/atau jenis usaha
korporasi disesuaikan dengan tindak pidana yang terjadi
serta susunan organisasi apabila korporasi berbentuk
badan hukum;
b. Susunan organisasi dalam peraturan internal perusahaan
yang dapat menunjukkan:
a) pengurus korporasi apabila korporasi tidak
berbentuk badan hukum atau organisasi dalam
bentuk lain yang dapat dipersamakan dengan
korporasi sesuai peraturan perundang-undangan;
b) pimpinan manajemen operasional masing-masing
bidang yang terkait dengan tindak pidana

8
c. Akta Perubahan Korporasi yang dapat menunjukkan
perubahan susunan pengurus korporasi maupun
perubahan lainnya;
d. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pengesahan
Badan Hukum dan Perubahannya dimana dokumen ini
antara lain menunjukkan keabsahan status badan hukum
berdasarkan tanggal terbitnya Keputusan Menteri
Kehakiman atau perubahan anggaran dasar
e. Tanda Daftar Perusahaan terakhir yang dapat memberi
informasi instansi yang berwenang yang memberikan daftar,
pengesahan, persetujuan, pemberitahuan, perizinan,
pembubaran atau kewenangan pengawasan dan dapat
membantu Jaksa untuk meminta rujukan dalam
pelaksanaan eksekusi pembubaran, pembekuan,
pencabutan izin, menyatakan sebagai korporasi terlarang
maupun ketika korporasi ditempatkan di bawah
pengampuan;
f. Laporan aset tentang daftar aset tetap dengan harga
perolehan awal, akumulasi penyusutan, hingga nilai aset di
masa sekarang (apabila ada);
g. Laporan keuangan perusahaan yang dapat menunjukkan
apakah korporasi memperoleh manfaat/keuntungan dari
tindak pidana atau apakah korporasi telah melakukan
pencegahan dengan menempatkan anggaran yang cukup
untuk mencegah tindak pidana terjadi;
h. Rencana kerja tahunan yang dapat menunjukkan apakah
tindak pidana yang sudah terjadi ada hubungannya dengan
rencana kerja tahunan korporasi;
i. Dokumen yang harus dipenuhi/menjadi kewajiban
korporasi dalam menjalankan aktivitas usaha terkait tindak
pidana yang terjadi, sebagai contoh: pada tindak pidana

9
lingkungan hidup berupa Analisis mengenai dampak
lingkungan hidup (Amdal), Upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL),
Audit lingkungan hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan
Hidup/RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan) dan
sebagainya;
j. Minuta Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/RUPS Luar
Biasa, Risalah Rapat (Minutes of Meeting) yang dapat
membuktikan:
a) apakah hal/kewajiban korporasi sudah pernah dibahas
atau diambil keputusan untuk menghentikan akibat,
resiko atau tindak pidana (komisi);
b) apakah hal/kewajiban korporasi sudah pernah dibahas
tetapi tidak diambil keputusan untuk menghentikan
akibat, resiko atau tindak pidana (omisi); atau
c) apakah hal/kewajiban korporasi tidak pernah dibahas
sehingga keputusan untuk menghentikan akibat, resiko
atau tindak pidana (omisi) tidak pernah diambil.
k. Dokumen tentang aktivitas prosedur operasional yang
menunjukkan masing-masing tugas dan fungsi masing-
masing orang alamiah yang bekerja dalam korporasi;
l. Surat kuasa, tugas atau keputusan yang dapat
menunjukkan orang-orang alamiah tertentu yang mendapat
pendelegasian wewenang atau tugas terkait tindak pidana
yang terjadi;
m. Perjanjian/Kontrak Kerja yang dapat menunjukkan adakah
perjanjian atau pembagian tugas/keuntungan dengan
orang-orang alamiah yang ada dalam korporasi atau di luar
korporasi yang melakukan pekerjaan bagi korporasi;
n. Pembayaran gaji/upah/insentif kepegawaian, dokumen
yang menunjukan hak-hak sebagai tenaga kerja dari

10
korporasi atau presensi (daftar hadir pegawai) untuk melihat
hubungan korporasi dengan orang-orang alamiah tertentu
dalam atau di luar korporasi;
o. Dokumen/surat/nota yang diterbitkan oleh Korporasi dan
ditandatangani oleh orang alamiah yang bekerja di dalam
atau di luar korporasi;
p. Informasi elektronik berupa riwayat (log) surat elektronik
(email) korporasi;
q. Dokumen peralihan hak atau jual beli perusahaan, asset,
modal atau alat korporasi yang menjelaskan adanya
hubungan hukum antara korporasi dengan orang alamiah
atau korporasi yang lain untuk menilai perbuatan materiil
yang menyebabkan tindak pidana terjadi; dan/atau
r. Dokumen lain yang dapat membuktikan adanya keterkaitan
dalam membangun unsur delik
(4) Penuntut Umum dalam meneliti pertanggungjawaban pidana
korporasi melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mempunyai keyakinan bahwa tindak pidana itu dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi
b. Melakukan pemenuhan terhadap unsur delik melalui uraian
aktivitas/kegiatan/pekerjaan yang dilakukan orang-orang
alamiah yang bekerja di dalam/di luar korporasi dan delik
itu terpenuhi untuk memberi manfaat atau keuntungan bagi
korporasi
c. Pemenuhan unsur delik akan mengarahkan Penuntut
Umum pada identifikasi orang yang menjadi pengendali
tindak pidana dalam korporasi. Uraian aktivitas orang-orang
alamiah di dalam/di luar korporasi akan mengarahkan
kepada pemenuhan unsur delik dimana orang yang menjadi
pengendali tindak pidana dalam korporasi memenuhi
kriteria sebagai orang yang:

11
a) menerima tanggung jawab berdasarkan surat
kuasa/tugas/perintah/keputusan dari
korporasi/pengurus korporasi;
b) menerima laporan;
c) membuat persetujuan/keputusan, dimana persetujuan
itu tidak memerlukan persetujuan lagi dari pejabat di
atasnya;
dimana atas kriteria dimaksud orang tersebut seharusnya
dapat mencegah, melakukan pengelolaan/pengurusan,
mengawasi, menjamin tindak pidana atau memastikan agar
tindak pidana itu terjadi
d. Menentukan subjek yang hendak didakwa orang yang
mengendalikan tindak pidana, korporasi atau keduanya.
e. Korporasi dapat didakwa apabila kriteria pemidanaan
terhadap korporasi dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a) syarat prosedural meliputi penilaian apakah
korporasi telah memperhatikan jalannya korporasi
secara sungguh-sungguh dengan selalu mencari
informasi yang lengkap (well informed) atas segala
kebijakan korporasi yang dapat mempengaruhi
terjadinya tindak pidana;
b) syarat substantif meliputi penilaian apakah dalam
pengambilan keputusan oleh korporasi, korporasi
sudah melakukan tindakan atau memberi respon
yang wajar atas laporan permasalahan yang terjadi
atau memicu tindak pidana berdasarkan
pertimbangan rasional yang diharapkan diterima oleh
hukum dalam menghadapi setiap situasi yang terjadi;
c) standar perilaku kehati-hatian tinggi (standard of
care) yang diharapkan dilakukan oleh Pengurus
Korporasi manapun sebagai konsekuensi dari

12
kewenangannya dalam memegang amanah
kepercayaan mengelola perusahaan (manajemen)
dengan selalu menjalankan tugas didasari itikad yang
baik, berhati-hati dalam menjalankan Korporasi
seolah-olah menjalankan perusahaan miliknya
sendiri serta mengambil keputusan secara logis
(reasonable believe) demi kepentingan terbaik
Korporasi;
d) penilaian bahwa sekalipun Korporasi berwenang
ternyata tidak melakukan pencegahan, tidak
melakukan pengawasan dan/atau tidak menjamin
untuk memastikan agar tindak pidana tidak terjadi;
e) ditujukan untuk mendapat keuntungan atau
memberi manfaat kepada korporasi
(5) Dalam hal kelengkapan formil dan materiil belum terpenuhi atau
subjek pada berkas perkara hasil penyidikan tidak sesuai dengan
arah penentuan subjek dakwaan atau pembuktian Penuntut
Umum maka Penuntut Umum memberi petunjuk kepada
Penyidik untuk melakukan pemeriksaan tambahan, pemeriksaan
terhadap subjek dakwaan yang lain atau pemisahan pemeriksaan
terhadap subjek dakwaan (splitzing)
(6) Dalam hal subjek yang disangkakan adalah orang yang
mengendalikan tindak pidana dalam korporasi maka berita acara
pemeriksaan tersangka adalah orang yang mengendalikan tindak
pidana dalam korporasi
(7) Dalam hal subjek yang disangkakan adalah korporasi maka
berita acara pemeriksaan tersangka adalah korporasi yang
diwakili oleh orang yang mewakili korporasi
(8) Penelitian kelengkapan materiil dilakukan dengan cara
meneliti terpenuhinya alat bukti dalam membuktikan
perbuatan materiil baik berbuat (commission) atau tidak

13
berbuat sesuatu (omission) yang mengakibatkan terjadinya
tindak pidana dan kesalahan korporasi yang tidak mengacu
pada keadaan psikologis pikiran manusia tetapi pada penilaian
terhadap perilaku atau apa yang dilakukan oleh korporasi,
sehingga memenuhi kriteria pemidanaan terhadap korporasi
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir (3), (4), (5), (6) (7)
dan (8) berlaku pula dalam hal Penuntut Umum melakukan
Penyidikan tindak pidana Perusakan Hutan dalam
menentukan kesalahan Korporasi.

5.3. Bentuk Surat Dakwaan


Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan selain
mempedomani ketentuan yang telah ada, juga memperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
(1) Pasal 19 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
Oleh Korporasi mengatur, pemeriksaan pada tahap penyidikan
dan penuntutan terhadap Korporasi dan/atau Pengurus dapat
dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(2) Penuntut Umum memisahkan surat dakwaan terhadap subjek
Korporasi dan Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana
Dalam Korporasi.
(3) Pemisahan Surat Dakwaan sebagaimana dimaksud meskipun
secara materiil perbuatan yang diuraikan untuk subjek
Korporasi dan Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana
Dalam Korporasi sama, tidak berimplikasi pada pelanggaran
azas Nebis in Idem karena pada dasarnya subjek hukum
korporasi merupakan perluasan subjek hukum individu
(natuurlijke persoon).
(4) Dalam hal bentuk korporasi bukan badan hukum, dakwaan
hanya ditujukan kepada orang yang mengendalikan tindak

14
pidana dalam korporasi mengingat korporasi bukan badan
hukum tidak memiliki harta tersendiri untuk dieksekusi,
meskipun pidana tambahan dapat diterapkan.
(5) Contoh surat dakwaan pada lampiran I terkait penuntutan
terhadap subjek korporasi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.
(6) Contoh surat dakwaan pada lampiran II terkait penuntutan
terhadap subjek orang yang mengendalikan tindak pidana
dalam korporasi.

5.4. Pemanggilan Orang Yang Mewakili Korporasi


Pemanggilan orang yang mewakili korporasi dilakukan
Penuntut Umum dalam rangka:
a. Prapenuntutan dalam tindak pidana perusakan hutan;
b. Penuntutan
Tata cara pemanggilan orang yang mewakili korporasi pada tahap
prapenuntutan tindak pidana perusakan hutan, meliputi:
(1) Pemeriksaan terhadap korporasi sebagai tersangka pada tingkat
penyidikan diwakili oleh seorang Pengurus yang tercantum
dalam AD/ART untuk mewakili di dalam atau di luar pengadilan.
(2) Penuntut Umum yang melakukan pemeriksaan terhadap
korporasi, memanggil korporasi yang diwakili Pengurus
sebagaimana dimaksud pada butir (1) dengan surat panggilan
yang sah dan patut.
(3) Pengurus yang mewakili korporasi dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada butir (1) dan butir (2) wajib hadir
dalam pemeriksaan Korporasi.
(4) Dalam hal Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART)
korporasi sebagaimana butir (1) tidak mengatur pengurus yang
mewakili korporasi di dalam atau di luar pengadilan, penuntut
umum meminta pengurus korporasi untuk menunjuk orang

15
atau pengurus lain yang mewakili Korporasi dengan surat
penunjukan atau surat kuasa yang sah.
(5) Dalam hal Pengurus sebagaimana butir (4) tidak menunjuk
orang yang mewakili korporasi maka Penuntut Umum
menentukan pengurus lain yang ada dalam susunan pengurus
pada AD/ART atau menentukan orang yang secara materiil
mengendalikan Korporasi atau orang yang relevan dengan
tindak pidana untuk mewakili Korporasi dan memanggil orang
tersebut dengan surat panggilan yang sah dan patut.
(6) Dalam hal Korporasi telah dipanggil secara patut tidak hadir,
menolak hadir atau tidak menunjuk pengurus untuk mewakili
Korporasi dalam pemeriksaan atau orang yang ditentukan
Penuntut Umum tidak hadir, maka Penuntut Umum memanggil
sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa
kepadanya.
(7) Dalam hal pengurus atau orang yang mewakili korporasi setelah
dipanggil dengan surat perintah membawa sebagaimana butir (6)
tidak ditemukan, maka Penuntut Umum melakukan penyidikan
untuk melengkapi berkas perkara tanpa dihadiri tersangka (in
absentia), sepanjang undang-undang mengatur persidangan in
absentia
Tata cara pemanggilan orang yang mewakili korporasi pada tahap
penuntutan meliputi:
(1) Pengurus yang mewakili Korporasi pada tingkat penyidikan wajib
pula hadir pada pemeriksaan Korporasi dalam sidang Pengadilan.
(2) Jika Pengurus sebagaimana dimaksud pada butir (1) tidak hadir
karena berhalangan sementara atau tetap, dan Hakim/Ketua
Sidang memerintahkan Penuntut Umum untuk menentukan dan
menghadirkan pengurus lainnya untuk mewakili Korporasi
sebagai terdakwa dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, maka

16
Penuntut Umum memanggil pengurus lain tersebut dengan surat
panggilan yang sah dan patut.
(3) Pengurus lain sebagaimana dimaksud pada butir (2) merupakan
pengurus lain yang ada dalam susunan pengurus pada AD/ART
atau Penuntut Umum menentukan orang yang secara materiil
mengendalikan korporasi atau orang yang relevan dengan tindak
pidana untuk mewakili Korporasi.
(4) Dalam hal pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana butir
(3) telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir dalam
pemeriksaan tanpa alasan yang sah, dan Hakim/ketua Sidang
menunda persidangan serta memerintahkan kembali kepada
Penuntut Umum untuk memanggil Pengurus yang mewakili
Korporasi untuk hadir pada hari sidang berikutnya, Penuntut
Umum memanggil kembali dengan surat panggilan yang sah dan
patut untuk kedua kalinya.
(5) Dalam hal Pengurus setelah dipanggil secara sah dan patut untuk
kedua kalinya sebagaimana pada butir (4), tidak hadir dan
Hakim/Ketua Sidang dengan penetapan Hakim memerintahkan
Penuntut Umum supaya pengurus tersebut dihadirkan dengan
paksa pada persidangan berikutnya, Penuntut Umum
berkoordinasi dengan Kepolisian untuk menghadirkan pengurus
yang mewakili Korporasi secara paksa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(6) Dalam hal pengurus/orang yang mewakili Korporasi setelah
dihadirkan dengan paksa melalui penetapan Hakim sebagaimana
dimaksud pada butir (5), tidak ditemukan, maka Penuntut Umum
melakukan persidangan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia)
sepanjang undang-undang mengatur persidangan in absentia.

5.5. Penuntutan

17
(1) Subjek yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana Korporasi
adalah:
a. Korporasi;
b. Orang yang mengendalikan tindak pidana dalam korporasi;
atau
c. Korporasi dan Orang yang mengendalikan tindak pidana
dalam korporasi.
(2) Kesengajaan diwujudkan oleh perbuatan orang-orang alamiah
yang mengendalikan tindak pidana, dimana sekalipun Ia
berwenang dan secara masuk akal dapat melakukan tindakan
pencegahan, justru tidak melakukan langkah-langkah untuk
mencegah tindakan terlarang, baik dengan berbuat (comissie)
ataupun tidak berbuat sesuatu (omissie) serta secara sadar
menerima kesempatan yang muncul agar tindakan terlarang
tersebut terlaksana. Dalam situasi tersebut Korporasi dianggap:
a. sengaja mendukung dilakukannya tindakan terlarang
tersebut
b. secara sadar menerima resiko untuk menghadapi akibat
yang dilarang dalam tindak pidana tersebut.
(3) Tindak pidana yang diwujudkan dari perbuatan oleh orang
alamiah yang mengendalikan tindak pidana sebagaimana diatur
pada butir (2) disebut juga sebagai tindak pidana fungsional.
(4) Dalam hal kesengajaan tidak terpenuhi namun pengurus
korporasi atau orang-orang alamiah yang mengendalikan
korporasi tidak ada sifat penghati-hati atau penduga-duga dalam
mengelola perusahaan, sedangkan yang bersangkutan dapat
menduga akibat yang dilarang undang-undang akan timbul
sementara langkah-langkah pencegahan tidak dilakukan, maka
elemen kelalaian terpenuhi.

18
5.6 Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembubaran, Pembekuan,
Pencabutan Izin dan/atau Menyatakan sebagai Korporasi Terlarang
Dalam pelaksanaan pidana tambahan pembubaran, pembekuan
atau pencabutan izin dan/atau menyatakan sebagai korporasi terlarang,
Jaksa melaksanakan langkah sebagai berikut:
(1) Membuat surat permintaan pembubaran, pembekuan,
pencabutan izin dan/atau menyatakan sebagai korporasi
terlarang kepada instansi yang berwenang dengan melampirkan
petikan putusan pengadilan atau salinan putusan pengadilan
setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde).
(2) Dalam hal korporasi yang akan dibubarkan, dibekukan, dicabut
izinnya dan/atau dinyatakan sebagai korporasi terlarang tidak
pernah terdaftar, disahkan, disetujui, diberitahukan, memiliki
izin atau amar putusan pengadilan tidak menyebutkan tempat
pengumuman pembubaran pembekuan, pencabutan izin
dan/atau menyatakan sebagai korporasi terlarang, maka Jaksa
meminta panitera pengadilan untuk mengumumkan pada papan
pengumuman pengadilan negeri dan/atau kantor pemerintahan
daerah pada pengadilan negeri tingkat pertama dimana perkara
tersebut diputus.

6. Penutup
Surat Edaran Jaksa Agung Muda ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.

19
Ditetapkan : di Jakarta
pada tanggal : 19 Nopember 2018

JAKSA AGUNG MUDA


TINDAK PIDANA UMUM,

NOOR ROCHMAD

20
Memori Penjelasan

Penjelasan Umum
Sebelum pertanggungjawaban pidana korporasi diterima dalam
hukum pidana, terdapat periode dimana pemikiran hukum di negara-negara
Eropa terkonsentrasi pada individu atau orang alamiah (natuurlijke persoon).
Pada saat itu sesuai dengan kemajuan ilmu fisika, konsep tindakan manusia
hanyalah dimaknai secara fisik. Sebuah tindakan (perbuatan pidana)
dianggap sebagai gerakan otot para aktor (pelaku fisik). Gagasan tindakan
seperti itu tentu tidak sesuai apabila disandingkan dengan perusahaan ketika
melakukan perbuatan, terlebih lagi tindak pidana. Oleh karena itu selama
berabad-abad hukum pidana menerima konsep bahwa suatu badan/entitas
tidak dapat dipidana (universitas delinquere non potest), dimana pidana hanya
dijatuhkan berdasarkan niat (hati nurani) pelaku dan penjatuhan pidana
berfungsi untuk membersihkan jiwa yang berdosa. Selama berabad-abad
pemikiran tersebut membuat perusahaan tidak dapat dijatuhi pidana, karena
mereka tidak memiliki tubuh untuk dihukum dan tidak ada jiwa yang
disalahkan (dikutuk) sebagai balasan atas dosa atau kesalahannya. Namun
kemudian hukum pidana terus berkembang seiring perkembangan tujuan
pemidanaan yang tidak lagi mengutamakan teori pembalasan dalam hukum
pidana, namun lebih kepada upaya agar pelaku kembali ke jalan yang benar
(reparatif)
Seiring dengan pergeseran tujuan pemidanaan, konsep
pertanggungjawaban pidana juga mengalami perkembangan, dan korporasi
sebagai entitas dianggap mampu berbuat jahat apalagi di saat modus dan
tipologi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi telah begitu massive
menimbulkan kerusakan serta memakan korban dibandingkan dengan
tipologi kejahatan konvensional. Konvensi internasional kemudian mengakui
bahwa korporasi sebagai entitas dianggap mampu melakukan kejahatan dan
dijatuhi pidana. Perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi
kemudian berkembang dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, perusahaan
dianggap fiksi hukum (subjek hukum) dimana individu di dalam perusahaan

21
dianggap sebagai pelaku fisik. Pada tahap kedua, korporasi dianggap setara
dengan manusia dimana dewan direksi dianggap sebagai kepala dan para
pelaku fisik dianggap sebagai tangan. Pada tahap ketiga, akhirnya korporasi
diakui memiliki kehidupan sendiri, mempunyai hak, kewajiban dan dapat
melakukan perbuatan hukum, yang dikendalikan oleh orang (natural persoon)
yang terlibat di dalamnya.
Model pertanggungjawan pidana korporasi yang berkembang sejak
pertengahan abad ke sembilan belas yakni menerima bahwa perilaku
korporasi tidak selalu dapat dijabarkan oleh perilaku orang perseorangan.
Korporasi bertindak untuk dirinya sendiri, sehingga baik Korporasi maupun
orang yang mengendalikan tindak pidana secara materiil dapat dipidana,
bahkan dalam tindak pidana tertentu yang dapat diatribusikan kepada
korporasi, tidak perlu mengidentifikasi orang-orang alamiah yang
mengendalikan tindak pidana secara materiil sehingga Korporasi itu dapat
dituntut dan dijatuhi pidana karena Korporasi itu dianggap mengendalikan
tindak pidana itu sendiri.

Penjelasan Isi Surat Edaran


5.1 Pengertian
Cukup Jelas
5.2 Prapenuntutan
(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas
(3) Cukup jelas
(4) Penuntut Umum dalam meneliti pertanggungjawaban pidana
Korporasi melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Yang dimaksud dengan mempunyai keyakinan bahwa tindak
pidana itu dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi
adalah Penuntut Umum memiliki keyakinan bahwa tindak
pidana dilakukan dalam ruang lingkup korporasi, sebagai
contoh dalam suatu tindak pidana pemalsuan vaksin, bukan

22
hanya orang yang melakukan pemalsuan vaksin yang diproses
pidana tetapi ketika sebuah rumah sakit menyuplai
penyuntikan vaksin kepada pasien rumah sakit dan ternyata
vaksin itu palsu, maka tindak pidana kemudian diarahkan
kepada korporasi. Rumah sakit dianggap bertanggung jawab
ketika proses pengadaan vaksin justru menghasilkan
persediaan vaksin yang ternyata palsu. Penuntut Umum
kemudian mencari perbuatan materiil yang dilakukan
korporasi. Dalam hal pengadaan itu dilakukan tidak sesuai
dengan prosedur maka korporasi harus dianggap berbuat
salah, namun apabila prosedur pengadaan vaksin sudah
dilakukan dengan benar atau prosedur pengadaan vaksin
sudah benar namun distributor yang resmi justru menyuplai
vaksin palsu, maka korporasi dapat berlepas tanggung jawab,
demikian pula dalam hal yang melakukan tugas penyuntikan
didelegasikan kepada klinik khusus yang dianggap sebagai
subsidiary dari Rumah Sakit, dan Rumah Sakit sudah
melakukan pengawasan terhadap klinik khusus yang
melakukan penyuntikan vaksin, dimana berdasarkan
dokumen atau berita acara pengawasan prosedur pengadaan,
distribusi maupun penyimpanan vaksin sudah sesuai dengan
prosedur namun tindak pidana tetap terjadi, maka tanggung
jawab itu hanya dikenakan kepada perusahaan subsidiary
b. Untuk mengidentifikasi pelaku tindak pidana dalam
pertanggungjawaban pidana korporasi, maka identifikasi tidak
semata-mata mencari:
a) kesalahan orang-orang alamiah yang melakukan tindakan
tertentu;
b) kesalahan pengurus korporasi; dan/atau
c) adakah hubungan kerja atau hubungan lain antara orang
alamiah yang bekerja di dalam/di luar korporasi

23
kecuali apabila hal itu menjadi unsur delik yang harus ikut
dibuktikan. Di dalam pendekatan hukum baru, semua itu
ditinggalkan karena perkembangan hukum dan penilaian
hakim lebih mencari siapa yang sesungguhnya “melakukan”
tindak pidana. Di negeri Belanda konsep ini disebut sebagai
“legal reality model”. Untuk mencari siapa orang yang secara
materiil mengendalikan tindak pidana dalam korporasi maka
Penuntut Umum tidak hanya perlu mencari hubungan kerja
atau hubungan lain antara orang alamiah yang bekerja di
dalam/di luar korporasi tetapi mencari uraian
aktivitas/kegiatan/pekerjaan yang dilakukan oleh orang
alamiah yang bekerja di dalam/di luar korporasi, dimana
rangkaian aktivitas itu mewujudkan unsur delik
c. Cukup jelas
d. Ketika Penuntut Umum meneliti berkas perkara, maka
Penuntut Umum sudah dapat menentukan sikap siapa yang
hendak didakwa, orang yang mengendalikan tindak pidana
dalam korporasi, korporasi atau kedua-duanya. Hal ini karena
ketika unsur delik sudah terpenuhi melalui aktivitas orang
alamiah yang bekerja di dalam/di luar korporasi, maka pada
umumnya orang yang mengendalikan tindak pidana dalam
korporasi lebih dahulu teridentifikasi oleh Penuntut Umum,
meskipun dalam hal tertentu, legal reality model memberitahu,
ada tindak pidana yang pasti dapat dilakukan/diatribusikan
kepada korporasi, contohnya tindak pidana yang merupakan
perbuatan melanggar perizinan usaha/tata kelola/pengadaan
dan sebagainya. Artinya korporasi mempunyai kewajiban
sebelum melakukan aktivitasnya melalui izin namun
kewajiban tidak dilakukan atau dilaksanakan tetapi tidak
sesuai dengan persyaratan, konten atau tujuan izinnya.

24
e. Kriteria pemidanaan terhadap Korporasi didasarkan pada
pemikiran bahwa kesalahan korporasi tidak sama dengan
kesalahan atau “schuld” pada orang alamiah (natuurlijke
persoon). Pada konsep “schuld” keadaan psikis diletakkan
pada pemikiran orang yang melakukan tindak pidana dan
adanya hubungan antara keadaan psikis dengan perbuatan
pelaku, sehingga pelaku dapat dicela karena melakukan
perbuatan tersebut. Pada pertanggungjawaban pidana
korporasi kesalahan korporasi tidak perlu dinilai dari apakah
ada “niat batin” atau keadaan psikologis tertentu dari orang-
orang alamiah yang mengendalikan tindak pidana dalam
Korporasi, tetapi mengacu pada perilaku atau apa yang
dilakukan oleh Korporasi. Oleh karena itu penilaian atas
kesalahan Korporasi diganti dengan istilah “kriteria
pemidanaan terhadap Korporasi”.
(5) Yang dimaksud dengan pemenuhan kriteria pemenuhan
kesalahan terhadap korporasi adalah penilaian yang dilakukan
Penuntut Umum dalam membuktikan kesalahan korporasi,
meskipun pembuktian atas kesalahan korporasi diserahkan
kepada Hakim. Salah satu doktrin yang cukup terkenal untuk
membantu Penuntut Umum membuktikan kesalahan korporasi
adalah doktrin power and acceptance vide putusan tanggal 16
Desember 1986, NJ 1987, 321. Doktrin power and acceptance
menjelaskan mengapa korporasi dapat
dipertanggungjawabpidanakan sebagaimana disampaikan dalam
putusan dimaksud. Majelis hakim memberikan pertimbangan
yang menyatakan, “dikatakan memimpin faktual apabila
fungsionari atau pejabat yang bersangkutan sekalipun berwenang
dan secara masuk akal dapat melakukannya justru tidak
melakukan langkah-langkah untuk mencegah tindakan terlarang
dan secara sadar menerima kesempatan yang kemudian muncul

25
agar tindakan terlarang tersebut terlaksana”. Dalam situasi
tersebut, Pengadilan menganggap Korporasi sengaja mendukung
dilakukannya tindakan terlarang itu. Dalam kasus yang diperiksa,
penerimaan atas tindak pidana tersebut dianggap terjadi, jika yang
bersangkutan mengetahui bahwa dilakukannya tindak pidana
secara faktual oleh korporasi berkaitan langsung dengan apa yang
didakwakan”.
(6) Cukup jelas
(7) Cukup jelas
(8) Cukup jelas
(9) Cukup jelas
5.3 Bentuk Surat Dakwaan
(1) Cukup Jelas
(2) Pemisahan dakwaan dilakukan dengan mengingat ketentuan
penggabungan dakwaan dalam KUHAP tidak mungkin
dilakukan untuk subjek hukum korporasi karena KUHAP hanya
mengenal pertanggungjawaban individu. Selain itu apabila
subjek Korporasi dan Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana
Dalam Korporasi digabung dalam satu surat dakwaan, maka
seolah-olah berlaku konsep “penyertaan tindak pidana”
(deelneming). Padahal teori deelneming mensyaratkan, ada lebih
dari 1 (satu) subjek bersama-sama melakukan tindak pidana,
adanya keinsyafan bersama untuk mewujudkan akibat serta
masing-masing peserta tidak harus memenuhi unsur delik.
Teori itu menyebabkan sulit melakukan formulasi fakta hukum
dalam surat dakwaan yang menguraikan adanya kerjasama
secara sadar (insyaf) antara korporasi dengan orang yang
mengendalikan tindak pidana dalam korporasi untuk
mewujudkan tindak pidana ataupun menguraikan peran
masing-masing peserta (korporasi dan orang yang
mengendalikan tindak pidana) untuk mewujudkan suatu anasir

26
delik. Kesulitan dalam melakukan formulasi fakta hukum dalam
satu surat dakwaan dan belum adanya “lompatan” konsep atau
teori hukum yang dapat menjembatani ke dalam surat dakwaan
yang menggabungkan kedua subjek menyebabkan pendekatan
yang paling logis dalam penyusunan surat dakwaan adalah
dengan melakukan pemisahan surat dakwaan. Namun dalam
hal korporasi dengan korporasi lain bekerjasama demi
keuntungan/kepentingan salah satu atau masing-masing
korporasi atau orang yang mengendalikan tindak pidana dalam
korporasi melakukan kerjasama dengan orang lain baik di dalam
maupun di luar korporasi dan kerjasama itu ditujukan dengan
maksud menguntungkan korporasi, maka konsep penyertaan
(deelneming) tetap berlaku.
(3) Tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi seringkali disebut
sebagai tindak pidana fungsional dimana perbuatan Korporasi
secara fisik diwujudkan dari perbuatan organ perusahaan atau
orang-orang yang mengendalikan tindak pidana. Hal ini
menyebabkan uraian fakta yang mendukung unsur delik baik
dalam dakwaan dengan subjek Korporasi maupun dalam
dakwaan subjek Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana
Dalam Korporasi memiliki uraian fakta yang kurang lebih sama.
Akibatnya ada kekhawatiran dianggap sebagai satu perbuatan
pidana, sehingga jika dituntut secara bersamaan, Pengadilan
akan menganggap sebagai penuntutan atas fakta yang sama
yang dilakukan oleh subjek yang sama (nebis in idem). Secara
konseptual, pertanggungjawaban pidana korporasi tidak
memandang bahwa Korporasi dan Orang Yang Mengendalikan
Tindak Pidana Dalam Korporasi sekalipun melakukan
perbuatan dengan fakta yang sama, dianggap sebagai 1 (satu)
subjek pelaku yang sama sehingga dipandang sebagai
penuntutan untuk kedua kalinya berdasarkan fakta yang sama

27
(nebis in idem). Bagaimanapun Korporasi telah menjadi
“perluasan subjek” dari orang alami (natuurlijke persoon) yang
mengatur bahwa penuntutan dalam membuktikan
pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dilakukan
terhadap 2 (dua) subjek, yaitu Korporasi dan/atau Orang Yang
Mengendalikan Tindak Pidana Yang Dilakukan Korporasi. Azas
nebis in idem baru terjadi, jika Orang Yang Mengendalikan
Tindak Pidana Dalam Korporasi dituntut lagi secara pribadi atas
fakta yang sama.
(4) Dalam hal Penuntut Umum menuntut Korporasi maka Penuntut
Umum menguraikan fakta bahwa Korporasi telah gagal
mencegah terjadinya tindak pidana
(5) Dalam hal Penuntut Umum menuntut Orang Yang
Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi, maka Penuntut
Umum menguraikan fakta bahwa ketika tindak pidana terjadi
orang tersebut telah melakukan perbuatan dimana Ia telah gagal
mencegah sehingga tindak pidana terjadi atau ketika Ia memiliki
kewenangan untuk itu telah gagal mencegahnya. Bahkan ketika
Korporasi tidak terbukti melakukan perbuatan pidana, Orang
Yang Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi masih
dapat dituntut pidana karena telah mengendalikan tindak
pidana yang terjadi.
(6) Cukup Jelas
5.4 Pemanggilan Orang Yang Mewakili Korporasi
Cukup Jelas
5.5 Penuntutan
(1) Subjek yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana
korporasi
a. Cukup Jelas
b. Yang termasuk orang yang mengendalikan tindak pidana
dalam korporasi, adalah:

28
a) orang itu tidak harus punya jabatan atau kedudukan
tertentu dalam korporasi, bahkan seorang
bawahan/karyawan biasa dapat menjadi pengendali
tindak pidana
b) pengurus atau pemilik manfaat korporasi yang
kebijakannya telah menyebabkan tindak pidana
terjadi
c) orang yang mempunyai inisiatif atau perbuatannya
telah berkontribusi terhadap terjadinya tindak
pidana
d) orang yang pasif namun tidak mencegah atau
menghentikan tindak pidana padahal ia punya
kewenangan untuk itu
c. Cukup Jelas
(2) Cukup Jelas
(3) Cukup Jelas
(4) Cukup Jelas
5.6 Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembubaran, Pembekuan,
Pencabutan Izin dan/atau Menyatakan Sebagai Korporasi Terlarang
Cukup Jelas

29
Lampiran I
Nomor : SE-001/E/EJP/11/2018
Tentang : Teknis Penanganan Perkara Tindak
Pidana Umum Dengan Subjek Hukum
Korporasi

Kejaksaan .………………. P-29


“Untuk Keadilan”

CONTOH SURAT DAKWAAN TERHADAP SUBJEK KORPORASI

SURAT DAKWAAN
No.Reg.Perkara: PDM- /kode Satuan Kerja Kejaksaan/ Bulan/Tahun

a. Identitas Terdakwa (Formil Dakwaan)


I. Nama Korporasi : PT JAGAT SETALI
Tempat, tanggal pendirian : Jakarta Selatan, 2 Agustus
2008 (sesuai dengan Akta
Pernyataan Keputusan Di Luar
Rapat Umum Pemegang Saham
PT Jagat Setali No. 06 tanggal 17
Mei 2011, yang dibuat oleh
Maharani, SH, Notaris yang
berkedudukan di Jakarta Pusat.
SK Men.Keh Nomor AHU-
49385.AH.01.02 Tahun 2011
tentang Persetujuan Perubahan
Anggaran Dasar Perseroan
tanggal 29 Sept 2011)
Nomor anggaran : No.8, 10 Juni 2008 SK Menkeh
dasar/akta No. AHU-54321.AH.08.02 Tahun
pendirian/peraturan/dokumen/ 2008, 26 Agst 2008
perjanjian
Nomor akta perubahan terakhir : Nomor 2 tanggal 12 April 2012,
SK Menkeh 19 Mei 2012
Kebangsaan Korporasi : Indonesia
Jenis Korporasi : Perseroan Terbatas
Bentuk Kegiatan/Usaha : Badan Hukum
Alamat Perseroan : Gedung The East Tower Lantai
16, Jalan Lingkar Mega
Kuningan Kav. E.3.2 Nomor 5,
Kuningan Timur, kec. Setiabudi,
Jakarta Selatan.
NPWP : 01.326.181.3-078.000
Nomor Akta Pendirian : No.8, 10 Juni 2008 SK Menkeh
No. AHU-54321.AH.08.02 Tahun
2008, 26 Agst 2008

30
Nomor Wajib Daftar Perusahaan : AHU-0076928.AH.01.09 Tahun
2010 tanggal 22 Oktober 2010

Identitas Orang Yang Mewakili Korporasi


Nama : BALIT PUJA
Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 16 Februari 1968
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Direktur
Pendidikan : S-2

b. Isi Dakwaan (Materiil Dakwaan)


i. Pendahuluan
 Dokumen formal yang menjadi dasar berdirinya korporasi
(syarat dakwaan cermat)
 ----------------- Bahwa terdakwa PT JAGAT SETALI di dalam
kedudukannya sebagai badan hukum berdasarkan Akta
Pendirian PT Jagat Setali No.5, 2 Juni 2008, yang dibuat oleh
……. Notaris yang berkedudukan di Bogor dan telah disahkan
dengan Keputusan Menteri Kehakiman SSK Menkeh No. AHU-
54321.AH.01.02 Tahun 2008, 26 Agst 2008, kemudian yang
diubah dengan Akta Perubahan AD No. 6, 4 Maret 2010, SK
Menkeh No. AHU-15137.AH.01.02 Tahun 2010, 4 Maret 2010;
No. 7, 31 Sept. 2010 SK. Menkeh.Nomor AHU-AH.01.10-26876,
22 Okt 2010, No. 51, 27 Okt 2010, SK.Menkeh No.AHU-
AH.01.10-31369, 3 Des 2010; No. 6, 7 Mei 2011.SK Menkeh
no.AHU-47385.AH.09.02 tahun 2011, 29 Sept 2011

 Tempus delictie atau waktu tindak pidana dilakukan (syarat


dakwaan jelas)
 Pada tanggal 18 Maret sampai dengan 26 Maret 2012 dan pada
tanggal 17 Juni sampai dengan 26 Juni 2012 atau setidak-
tidaknya pada waktu dalam tahun 2012 (tempus delictie antara
korporasi dengan Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana

31
bisa berbeda, dalam hal korporasi biarpun ada pergantian
pengurus tetapi ada bukti-bukti yang menunjukkan sejak
tahun….s/d……telah melakukan tindak pidana, seperti dalam
bukti data ilmiah dan saksi-saksi menunjukkan telah ada
aktivitas yang melanggar, maka tempus delictie korporasi bisa
saja menunjukkan periode waktu tindak pidana yang lebih
lama. Sedangkan untuk tempus delictie Orang Yang
Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi, apabila Ia juga
sekaligus Pengurus Korporasi, lebih tepat ketika Ia menjabat di
suatu periode waktu terjadi tindak pidana, sehingga pembuktian
pada kebenaran materiil lebih mudah dilakukan.
Catatan: Untuk tindak pidana Informasi dan Teknologi
Elektronik (Cyber Crime) berkembang teori Cyber Crime yaitu:
 Teori Kapan diunggah (Theory of The Uploader)
 Teori Kapan diunduh (Theory of The Downloader)
 Teori Hukum Peladen (Theory of The Law of the Server)
Server adalah sebuah sistem komputer yang menyediakan jenis
layanan (service) tertentu dalam sebuah jaringan komputer.
Server digunakan untuk menyimpan berbagai data/informasi
elektronik yang dapat diakses serta mengkoneksikan komputer
ke jaringan internet. Oleh karena itu teori Server membantu
menentukan tempus kapan Penyidik mengakses data/informasi
elektronik berdasarkan tanggal diakses oleh Penyidik melalui
server pada halam web yang menjadi objek tindak pidana.

 Locus delicitie atau tempat perbuatan pidana dilakukan (syarat


dakwaan jelas) (PU dapat menggunakan alternatif dari 3 (tiga) teori
locus delicitie)
 Ajaran perbuatan fisik/materiil dilakukan
 Ajaran bekerjanya alat/instrumen yang digunakan
 Ajaran akibat
 Ajaran berbagai tempat tindak pidana (gabungan dari ajaran
1, 2 dan/atau 3. Biasa digunakan untuk negara yang luas)

32
 bertempat di kebun pengembangan (Seunaam) PT JAGAT
SETALI Afdeling F (Fanta), E (Echo), D (Delta), G (Golf) dan
Afdeling I (India) kebun Afdeling, Desa Suak Bahung,
Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi
Aceh, di dalam koordinat: 96˚14'43" - 96˚26'58" BT dan 5˚44'53"
- 3˚42'30" LU atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Meulaboh yang
berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,
Catatan:
Pada tindak pidana Kehutanan /Penerbangan / Kelautan /
Perikanan atau yang terkait dengan hal tersebut, seringkali
lokasi dilihat dari titik koordinat, sehingga titik koordinat tempat
terjadinya tindak pidana dihubungkan dengan peta geografi
wilayah.

 Kompetensi relatif (syarat dakwaan cermat)


atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Meulaboh yang berwenang memeriksa
dan mengadili perkara ini

 Inti delik /unsur delik (syarat dakwaan cermat)


melakukan pembakaran lahan untuk membuka lahan dengan
cara membakar

 Delik kualifikasi (bila ada yang merupakan syarat dakwaan


cermat & lengkap)
dan antara perbuatan yang satu dengan yang lain ada
hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
satu perbuatan berlanjut
 Ciri khas tindak pidana dalam ruang lingkup
pertanggungjawaban pidana korporasi dimana motif tindak
pidana ditujukan untuk kepentingan korporasi (syarat dakwaan
jelas)

33
dimana perbuatan itu dilakukan oleh untuk atau atas nama badan
usaha, yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut

ii. Fakta hukum yang mendukung unsur delik


 Menguraikan kegiatan korporasi yang ada hubungannya dengan
tindak pidana yang terjadi
 Bahwa PT JAGAT SETALI bergerak di bidang usaha pertanian
atau perkebunan kelapa sawit berdasarkan 2 (dua) Hak Guna
Usaha (HGU) dari BPN Kabupaten Aceh Barat, yaitu HGU
nomor: 86/HGU/BPN/1998, tanggal 11 Desember 1998 seluas
5.080 ha yang berlaku sampai dengan 18 April 2034 , dan HGU
nomor: 82/HGU/BPN/97, tanggal 22 Juli 1997, seluas 7.877
ha yang berlaku sampai 2 Desember 2032.
 PT JAGAT SETALI terdiri dari Afdeling F (Fanta), E (Echo), D
(Delta), G (Golf) dan Afdeling I (India)
 Bahwa tipe lahan kebun sawit PT. JAGAT SETALI adalah
mayoritas gambut, sebagaimana tercantum dalam dokumen
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) PT JAGAT SETALI
dimana dalam RPL pada tahap konstruksi menyatakan
pembukaan areal kebun sawit akan memiliki dampak terhadap
hilangnya individu-individu jenis vegetasi (komunitas flora),
sehingga PT JAGAT SETALI tidak boleh membuka habis lahan
gambut, tetapi harus meninggalkan lahan gambut sebesar 40%
atau 5000 ha dari lahan yang dimiliki, terutama yang
berkedalaman lebih dari 3 meter.

 Pada tindak pidana lingkungan hidup apabila ada sumber


pencemar yang dihasilkan dan proses kegiatan yang
menghasilkan sumber pencemar diuraikan secara singkat.
 Maksud dari ketentuan ini adalah tindak pidana lingkungan
hidup seringkali terkait parameter untuk mengukur apakah
kegiatan yang dilakukan terdakwa melanggar parameter
dimaksud

34
 Parameter yang digunakan untuk mengukur pencemaran
atau kerusakan lingkungan hidup adalah baku mutu
pencemaran lingkungan hidup atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.

 Sumber pencemar dalam tindak pidana lingkungan hidup


yang dihasilkan suatu proses kegiatan usaha terkait tindak
pidana dapat menjelaskan causalitas dengan tindak pidana
yang terjadi, sehingga membantu membentuk keyakinan
hakim dan memudahkan pembuktian meskipun pada delik
formil, causalitas tidak perlu dibuktikan.

 Uraian peran orang-orang yang mengendalikan tindak pidana


(untuk memenuhi syarat dakwaan jelas & lengkap).
Uraian peran menguraikan perbuatan orang-orang yang
mengendalikan tindak pidana secara kolektif mewujudkan
pertanggungjawaban pidana koporasi (pemenuhan kriteria
pemidanaan korporasi)
 Bahwa api membakar lahan kebun PT JAGAT SETALI afdeling
F pada tanggal 19 Maret 2012 dan kejadian kebakaran baru
diketahui oleh Kepala Kebun saksi JATARA pada jam 11.00
WIB. Saksi JATARA adalah Asisten Kebun yang tugas sehari-
harinya melakukan pengelolaan operasional kebun terhadap
Afdeling D, E, F, G dan I mulai dari persiapan lahan, panen,
hingga perawatan tanaman, dimana asal titik api berasal dari
afdeling Fanta-3 (F-3).

 Bahwa kemudian saksi JATARA memerintahkan Asisten


Afdeling Kebun D (Delta) yaitu saksi TAMBUN BULU untuk
melakukan pemadaman, namun karena saksi TAMBUN BULU
juga tidak memiliki pengetahuan ataupun pernah mengikuti
pelatihan/training untuk mengendalikan kebakaran lahan
saksi TAMBUN BULU kembali ke kantor dan seperti biasa

35
mengurusi pekerjaan administrasi kantor (menunjukkan
tidak ada kebijakan korporasi untuk melakukan
pelatihan pengendalian kebakaran padahal di dalamUKL-
UPL, hal tersebut merupakan kewajiban bagi korporasi
yang membuka usaha perkebunan kelapa sawit apalagi di
sekitar lahan gambut)

 Pada jam 14.00 WIB sekitar 4 (empat) jam kemudian, ketika


saksi JATARA hendak mengecek kembali kebakaran di lahan
kebun, saksi JATARA melihat asap di areal sekitar afdeling I
dan melihat api sudah membakar pinggiran rumpukan pada
blok I-13 dan I-18, namun tidak melihat seorang pun yang
berupaya untuk memadamkan api.

 saksi JATARA kemudian kembali ke kantor, menghubungi


saksi TAMOR Asisten Afdeling I (Indian) untuk mengecek
kebakaran lahan di afdeling I tersebut, sedangkan JATARA
kembali melanjutkan pekerjaannya di kantor. (ada pembiaran
dari Kepala Kebun serta tidak adanya kebijakan
korporasi yang menyusun langkah-langkah pengendalian
kebakaran, padahal korporasi itu bergerak di bidang
perkebunan kelapa sawit di sekitar lahan gambut)

 Sekitar jam 17.00 WIB saksi JATARA mendapat laporan melalui


telepon dari WENDI asisten afdeling E (Echo), bahwa api dari
Afdeling F3 telah melompat dan membakar lahan kebun
Afdeling E. Mendengar laporan itu saksi JATARA kemudian
meluncur ke lokasi kebakaran di Afdeling E 11/13 dan
memerintahkan karyawan untuk melakukan pemadaman,
namun pada malam hari api sudah mencapai perbatasan
antara afdeling E dengan afdeling D (Delta) dan keesokan
harinya api sudah membakar di D-25. (saksi JATARA sebagai
Kepala Kebun yang seharusnya memiliki kewenangan
untuk mencegah api membesar ternyata memenuhi syarat
substantif dalam penilaian kriteria pemidanaan

36
korporasi. Artinya betul Ia menerima laporan dari
bawahannya namun tidak memiliki tindakan cepat dan
efektif untuk memadamkan api, sehingga dianggap
menerima resiko kebakaran lahan terjadi di
perusahaanya.)

 Bahwa pada tanggal 20 Maret 2012 malam api dari Afdeling I


telah membakar ke Afdeling G (Golf) dan api menjadi tidak
terkendali (akibat dari ketidaksigapan JATARA sebagai
kepala kebun dan tidak adanya pencegahan berrupa
peraturan internal tentang pengendalian kebakaran yang
tidak diatur dalam kebijakan korporasi)

 Bahwa kejadian ini diketahui oleh atasan JATARA yakni


MARPI’I yang menjabat sebagai Kepala Proyek (Administratur)
PT JAGAT SETALI dan Ir MARZUKI Direktur operasional PT.
Amara dari perusahaan induk yang membawahi PT JAGAT
SETALI (PT JAGAT SETALI merupakan perusahaan subsdiari
PT AMARA karena perusahaan merupakan holding company)
dimana yang bersangkutan juga sehari-hari memerintahkan
MARPI’I dalam menjalankan operasional kebun serta
menetapkan kebijakan untuk operasional semua kebun
(adanya pengetahuan dari pengurus korporasi tetapi
ketika ia seharusnya memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan pencegahan, tidak Ia lakukan,
sehingga dianggap Ia menyadari untuk menerima resiko
membuka lahan dengan cara membakar yang dilarang
oleh undang-undang. Kesengajaan menurut hukum pada
diri korporasi, mulai tampak terbangun. Meskipun
pengetahuan korporasi tidak selalu harus ada, dan
kesengajaan korporasi diarahkan pada apa atau perilaku
apa yang dilakukan oleh orang-orang yang
mengendalikan tindak pidana)

37
Catatan: Holding company adalah kerja sama antara beberapa
perusahaan dimana salah satu perusahaan bertujuan untuk
memiliki saham dari perusahaan yang lain. Perusahaan Induk
bisa mengatur jalannya perusahaan yang dimiliki sahamnya
tersebut (perusahaan subsidiary). Holding Company
merupakan suatu penciptaan perseroan yang secara khusus
dipersiapkan untuk memegang saham perseroan lain dengan
tujuan investasi baik dengan kontrol nyata maupun tidak.

 Bahwa Ir MARZUKI yang semula merupakan direktur PT


AMARA, kemudian menjabat sebagai Direktur Utama pada PT
JAGAT SETALI sejak tanggal 27 Maret 2012, bedasarkan
keputusan RUPS PT. JAGAT SETALI tanggal 27 Maret 2012 dan
tertuang dalam akta notaris (Budi Handrio SH) nomor 2 tanggal
12 April 2012 (menunjukkan adanya pergantian pengurus
korporasi masih dalam rentang waktu tempus delictie dan
baik pengurus lama maupun pengurus baru tidak
mengambil tindakan untuk menghentikan dengan
perbaikan sehingga dianggap berkehendak untuk
menerima resiko terjadinya tindak pidana. Kesengajaan
menurut hukum pada diri korporasi, mulai terus
terbangun)

 Bahwa ketika masih menjabat sebagai Direktur PT AMARA,


saksi Ir MARZUKI pernah menghubungi melalui telpon kepada
Direktur PT JAGAT SETALI yang merupakan perusahaan
subsdiari dari PT AMARA, yakni saksi BAMBANG ALI atas
kejadian kebakaran lahan di lahan yang dibuka (land clearing)
pada lahan kebun Seunaam, Afdeling F (Fanta), E (Echo), D
(Delta), G (Golf) dan Afdeling I (India) setelah mendapatkan
kabar melalui telpon dari Ir MARZUKI (pengetahuan pengurus
korporasi yang lain yang sama-sama tidak mengambil
tindakan, sehingga kesengajaan menurut hukum terus
terbangun)

38
 Pada tanggal 3 April 2012, saksi ZULKIFLI selaku Kepala
Urusan Penyidikan dan Pengamanan Hutan, Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA), Provinsi Aceh bersama dengan
Tim antara lain KHAIDIR selaku Kepala Urusan Pengendalian
Kebakaran Hutan, BKSDA, saksi AZANUDDIN selaku teknisi
lapangan GIS, BKSDA dan saksi SUPRIADI selaku Operator
GIS, BKSDA mendapat perintah melakukan pengecekan titik
api berdasarkan data hotspot sekitar bulan Maret 2012 yang
terjadi di lahan kebun PT. JAGAT SETALI, Kabupaten Nagan
Raya, Provinsi Aceh.

 Bahwa saksi ZULKIFLI dan Tim serta Kepala Bidang


Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Nagan Raya berikut 2 (dua) orang staf yakni saksi IBRAHIM dan
saksi SAID EFENDI bersama-sama menemui bagian HRD
(personalia) PT. JAGAT SETALI, mengajak melakukan
pengecekan lokasi titik api di areal kebun PT. JAGAT SETALI
dan melihat titik api berikut asap tebal sedang membakar lahan
kebun PT. JAGAT SETALI. Kemudian saksi AZANUDDIN dan
saksi SUPRIYADI melakukan tugas teknis mengambil titik
koordinat lokasi yang sedang terbakar, di areal kebun PT
JAGAT SETALI yaitu X 96,502880, Y 3,834090; lokasi kebun
sawit (besar) yaitu X 96,518540, Y 3,835210; areal sisa
terbakar yaitu X 96,518290, Y 3,829070; dan lokasi titik api
(masih ada api yang terlihat) pada posisi X 96,532810,
Y3,834390. (Berita Acara Pengambilan Titik Koordinasi
yang dibuat Tim Teknis akan sangat membantu Penuntut
Umum kelak dalam mendukung pembuktian locus delictie)

 Bahwa sejak Tim ZULKIFLI bersama-sama dengan pihak


JAGAT SETALI melihat adanya api hingga sore hari, sama
sekali tidak ada upaya dari pihak PT JAGAT SETALI untuk
melakukan pemadaman api dan pada jam 17.00 WIB Tim
ZULKIFLI mendatangi kantor PT. JAGAT SETALI meminta

39
pihak perusahaan melakukan pemadaman api. (Tim Teknis
dapat menjadi saksi “pembiaran” yang dilakukan
korporasi)

 PT. JAGAT SETALI tidak merespon dengan baik untuk


memadamkan api sehingga Tim ZULKIFLI meminta PT JAGAT
SETALI membuat surat perjanjian tertulis untuk memadamkan
api, namun ditolak oleh pihak PT. JAGAT SETALI dengan
alasan pimpinan kebun tidak ada di tempat. (Tim Teknis
dapat menjadi saksi “pembiaran” yang dilakukan
korporasi)

 Kemudian saksi ZULKIFLI menyatakan agar pihak PT. JAGAT


SETALI meminta bantuan MANGGALA AGNI, baru pihak PT.
JAGAT SETALI bersedia untuk memadamkan api dengan
kawalan dari tim ZULKIFLI dimana dilakukan pemadaman api
dari jam 19.00 WIB hingga api dapat dipadamkan sekitar jam
23.00 WIB menggunakan alat berupa 2 unit pompa air. (Tim
teknis dapat menjadi saksi “pembiaran” yang dilakukan
korporasi)

 Bahwa ketika MANGGALA AGNI membawa mobil pemadam


kebakaran, mobil pemadam tidak bisa masuk ke areal lahan PT
JAGAT SETALI yang terbakar, karena PT JAGAT SETALI tidak
membuat akses jalan masuk ke dalam kebun PT JAGAT
SETALI, sehingga akses jalan masuk hanya bisa dilalui dengan
berjalan kaki melewati log kayu yang dibentangkan antar blok
hingga hutan sisa, yang menjadi pinggiran lahan kebun
terbakar. Tidak adanya akses jalan masuk menyulitkan
pemadaman api. (tidak adanya akses jalan masuk, sekali
lagi merupakan ketiadaan kebijakan korporasi dalam
pengendalian kebakaran lahan)
 Dst.................

40
 Uraian tidak adanya upaya pencegahan yang dilakukan oleh
korporasi sehingga korporasi dianggap menerima atau
menyetujui tindak pidana itu terjadi.

 Bahwa setiap kegiatan usaha perkebunan dalam pasal 15


huruf k Permentan nomor: 26/Permentan/OT.140/2/2007,
tanggal 28 Februari 2007 wajib membuat pernyataan
kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk
melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta
pengendalian kebakaran, dimana kesanggupan itu
seharusnya diwujudkan oleh PT JAGAT SETALI dengan
menyediakan peralatan pemadam kebakaran yang
memadai, memiliki tenaga pemadam kebakaran yang telah
mendapat pelatihan/keterampilan di bidang pengendalian
kebakaran, memiliki akses jalan yang mudah dilalui dalam
mobilisasi, memiliki petugas serta melaksanakan tugas
pemantauan dan pengawas terhadap kemungkinan
timbulnya kebakaran lahan yang rawan terjadi kebakaran,
termasuk penyediaan biaya yang cukup dalam program
pencegahan/pengendalian kebakaran lahan. Namun semua
sarana dan prasarana tersebut tidak tersedia pada PT
JAGAT SETALI (kesemua kewajiban ini dilanggar oleh
korporasi karena ketiadaan kebijakan, SOP, anggaran
yang disediakan untuk melaksanakan peraturan tersebut)

 Bahwa baik setiap Asisten Afdeling maupun Kepala Kebun yang


melakukan kegiatan operasional penanaman kelapa sawit pada
PT JAGAT SETALI mengetahui tipe lahan kebun yang dibuka
(land clearing) untuk ditanami sawit adalah lahan gambut,
namun tidak tahu berapa pH (keasamannya), ketebalan, dan
jenis gambutnya karena pihak perusahaan menyatakan selama
ini belum pernah meneliti maupun melakukan pengukuran.
(ketidakpedulian, ketiadaan kebijakan pengawasan yang

41
secara kolektif diwujudkan membentuk kesalahan
korporasi)

 Bahwa di dalam sub-bab 3.2.1.2. pembukaan areal kebun sawit


dari dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) PT.
JAGAT SETALI pada tahap konstruksi, pada dampak terhadap
hilangnya individu-individu jenis vegetasi (komunitas flora),
pada bagian tujuan rencana pengelolaan lingkungan diketahui
bahwa tujuan rencana pengelolaan lingkungan terkait dengan
hilangnya jenis tanaman dan lokasi areal kebun kelapa sawit
PT JAGAT SETALI salah satu diantaranya adalah tidak
membuka habis lahan gambut (ditinggalkan sebesar 40% atau
5000 ha dari lahan yang dimiliki terutama yang berkedalaman
lebih dari 3 meter.

 Bahwa PT JAGAT SETALI memiliki Rapat Umum Pemegang


Saham (RUPS) sebagai organ perseroan sebagaimana
dinyatakan dalam Akta Pendirian JAGAT SETALI dalam Akta
Nomor 5 tanggal 2 Juni 2008 yang disahkan dengan SK Menkeh
No. AHU-55321.AH.01.02 Tahun 2008, 26 Agst 2008, tetapi
forum RUPS tidak pernah digunakan untuk melakukan
pembahasan mengenai pengendalian kebakaran lahan

 Bahwa dokumen UKL dan UPL PT Jagat Setali yang disahkan


oleh Bupati Nagan Raya No.120.3/93/SK/2009 tanggal 8 Maret
2009, tidak memuat pembahasan tentang perlunya upaya
pengendalian kebakaran di areal usahanya baik pada masa
pra-konstruksi, kontruksi dan operasional

 Bahwa PT JAGAT SETALI tidak menerapkan SOP


kesiapsiagaan tanggap darurat kebakaran lahan, tidak
memiliki tenaga terlatih, tidak memiliki sarana dan
prasarana yang memadai untuk mengendalikan kebakaran
lahan atau bahkan melakukan penelitian ilmiah mengenai

42
kedalaman lahan gambut yang dibuka (land clearing) untuk
kebun tanaman sawit, bahkan setelah terjadinya kebakaran
Menara Pemantau Kebakaran baru dibangun dan petugas
pemantau api di afdeling F hanya direkrut 1 orang hanya
dengan dibekali HT, teropong, timba/ember, sepatu,
parang, uang BBM, dan buku laporan operasional afdeling F,
karena perusahaan PT JAGAT SETALI selama ini tidak
memiliki budget (biaya operasional) untuk tiap afdeling dan
hanya menganggarkan biaya operasional rutin tanaman
sawit di kebun. (begitu banyak kebijakan korporasi yang
tidak dilakukan sehingga membangun anasir kesalahan
korporasi. PU perlu mengidentifikasi hal ini, untuk
kemudian mengumpulkan alat bukti yang mendukung
ketiadaan kebijakan korporasi tersebut)

 dalam hal tindak pidana lingkungan hidup perlu ada uraian


narasi mengenai pengolahan bukti-bukti ilmiah (adanya chain
of evidence / mata rantai pembuktian tidak terputus dalam
tipid Sumber Daya Alam)
 Bahwa berdasarkan data foto satelit hotspot Modis tahun 2012
yang dikeluarkan oleh NASA (kelengkapan formal yuridis)
didapatkan data telah terjadi:
 5 titik panas terdeteksi pada bulan Januari tepatnya tgl.2
Januari
 82 titik pada bulan Maret dengan rincian:
 1 titik tgl. 19 Maret;
 3 titik tgl. 20 Maret,
 14 titik tgl.21 Maret,
 23 titik tgl.22 Maret,
 10 titik tgl.23 Maret,
 21 titik tgl.24 Maret,
 9 titik tgl.26 Maret,
 titik tgl.27 Maret;
 31 titik pada bulan Juni dengan rincian:

43
 tgl.17 Juni 6 titik,
 tgl.19 Juni 7 titik,
 tgl.20 Juni 4 titik,
 tgl.21 Juni 3 titik,
 tgl.22 Juni 4 titik,
 tgl.26 Juni 3 titik.
 Dimana data foto satelit hotspot Modis tahun 2012 yang
dikeluarkan oleh data NASA juga ditegaskan dalam Surat
Keterangan Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan Prof Dr. Baruna
Sejati yang juga menunjukkan bahwa areal yang terbakar
cenderung memiliki hotspot yang mengelompok pada periode
tententu, sebagai berikut:

 Bahwa hasil pengamatan terhadap beberapa titik sampel


yang dianalisa dilapangan sebagaimana tercantum dalam
Tabel Pengambilan Sampel yang dibuat oleh Ahli kebaran
Hutan dan Lahan Prof Dr. Baruna Sejati tanggal 23 Juli
2012 menunjukkan bahwa kebakaran telah merusak
lapisan permukaan tanah dengan ketebalan yang
berkisar antara 5-10 cm. Lapisan permukaan gambut
yang rusak karena terbakar di lahan perkebunan sawit
PT. JAGAT SETALI tersebut sulit dikembalikan lagi seperti
kondisi awal karena telah rusak, dan tidak kembali lagi
sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem di
lahan bekas terbakar tersebut.

 Bahwa berdasarkan hasil penghitungan emisi yang dibuat


oleh Ahli kebakaran Hutan dan Lahan Prof Dr. Baruna
Sejati dalam Surat Keterangan Ahli tanggal 23 Juli 2013
akibat terjadinya kebakaran maka telah berhasil
dilepaskan Gas Rumah Kaca selama berlangsungnya
kebakaran yaitu 16.200 ton karbon; 5670 ton CO2; 58.97
ton CH4; 26.08 ton Nox; 72.58 ton NH3; 60.10 ton O3;
60.10 ton CO serta 1260 ton partikel, maka bila

44
dibandingkan dengan standar baku mutu yang ada maka
gas yang dilepaskan selama kebakaran berlangsung telah
melewati batas ambang yang Peraturan Gubernur Nomor
41/Per/XII/2010 Tentang Penetapan Baku Mutu Udara
Ambien

iii. Penutup
Mencantumkan pasal perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana
Catatan
 Dalam hal ancaman pidana diatur dalam pasal
tersendiri ancaman pidana dijuntokan dengan pasal
perbuatan pidana
 Dalam hal subjek tindak pidana korporasi diatur dalam
pasal tersendiri atau ketentuan pemberatan pidana,
maka ketentuan yang mengatur dijunctokan dengan
pasal perbuatan/ketentuan pemberatan pidana
 Dalam hal ada ancaman pidana pemberatan, maka
ketentuan yang mengatur dijuntokan pasal perbuatan
pidana

------- Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam


Pasal 108 jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a jo. Pasal 118 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ---
----------------

tempat diterbitkannya dakwaan, tanggal, bulan dan tahun

………………- ttd -………………


Nama Penuntut Umum/Tim Penuntut Umum,
Pangkat Penuntut Umum

45
Ditetapkan : di Jakarta
pada tanggal : 19 Nopember 2018

JAKSA AGUNG MUDA


TINDAK PIDANA UMUM,

NOOR ROCHMAD

46
Lampiran II
Nomor : SE-001/E/EJP/11/2018
Tentang : Teknis Penanganan Perkara Tindak
Pidana Umum Dengan Subjek Hukum
Korporasi

CONTOH SURAT DAKWAAN TERHADAP SUBJEK ORANG YANG MENGENDALIKAN


TINDAK PIDANA DALAM KORPORASI

Kejaksaan…………………………….. P-29
“Untuk Keadilan”

SURAT DAKWAAN
No.Reg.Perkara: PDM- /Kode Satuan Kerja Kejaksaan/ Bulan/Tahun

a. Identitas Terdakwa (Formil Dakwaan)


Nama Terdakwa : Ir MARZUKI
Tempat/Tanggal Lahir : Malang/11 November 1952
Umur : 52 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jalan Kair No. 1. Kav. 5 RT/RT 002/0001,
Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu,
Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Presiden Direktur PT Jagat Setali
Pendidikan : S-1 Teknik Mesin

i. Pendahuluan
 Legal persona standi in judicio Korporasi/Orang Mengendalikan Tindak
Pidana Dalam Korporasi atau dokumen formal yang menjadi dasar
sebagai Pengurus Korporasi
o ---------------- Bahwa Terdakwa Ir MARZUKI, di dalam
kedudukannya sebagai orang yang memberi perintah (apabila
Pengurus yang menjadi subjek tindak pidana dibedakan antara
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan

47
dalam tindak pidana tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 116
ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), yakni Terdakwa
sebagai Direktur PT Jagat Setali, berdasarkan Akta Notaris PT
JAGAT SETALI Nomor 51 Tanggal 27 Oktober 2010 yang disahkan
dengan SK.Menkeh No. AHU-AH.01.10-31369, 15 Des 2010 dan
Akta Perubahan nomor 6 tanggal 9 Mei 2011, yang disahkan
dengan SK Menkeh No. AHU-47385.AH.01.02 tahun 2011 tanggal
29 September 2011
 tempus delictie atau waktu tindak pidana dilakukan (syarat dakwaan
jelas)
o Pada tanggal 18 Maret sampai dengan 26 Maret 2012 dan pada
tanggal 17 Juni sampai dengan 26 Juni 2012 atau setidak-
tidaknya pada suatu waktu di sekitar bulan Maret dan bulan Juni
dalam tahun 2012 (tempus delictie dalam perkara ini diambil darbis
titik hot spot dan kejadian kebakaran lahan di PT JAGAT SETALI).
o Tempus delictie pada subjek Orang yang mengendalikan tindak
pidana dalam korporasi bisa saja berbeda dengan tempus delictie
terdakwa Korporasi. Tempus Delictie bisa berada dalam jangka
waktu ketika tindak pidana terjadi pada saat Korporasi itu
menjalankan usaha/kegiatannya terkait tindak pidana, namun
tempus delictie untuk subjek Orang Yang Mengendalikan Tindak
Pidana tidak selalu sama yaitu pada saat tindak pidana terjadi
tetapi pada saat tindak pidana terjadi dan pada saat yang sama
ketika Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi
pada fakta hukum melakukan perbuatan untuk dan/atau atas
nama korporasi atau pada saat Ia memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan pencegahan telah gagal mencegah tindak
pidana itu terjadi atau pada saat tindak pidana terjadi dan Ia
sedang menjabat sebagai Pengurus Korporasi.
o Pada fakta hukum perkara contoh surat dakwaan ini sebenarnya
ada tempus delictie lain yang dapat diambil ketika fakta hukum
menunjukkan terdakwa Ir MARZUKI yang semula merupakan
Direktur pada PT AMARA, perusahaan induk (parent company) dari

48
PT JAGAT SETALI, dan dalam masa kedudukan fungsionalnya di
PT AMARA telah mengetahui laporan adanya kebakaran lahan dari
Kepala Proyek PT JAGAT SETALI sebagai perusahaan subsidiary
yaitu saksi MARPI’I yang bertanggungjawab dan melapor kepada
Terdakwa, namun Terdakwa telah gagal mencegah, memadamkan
atau memastikan agar kebakaran tidak terjadi. Selanjutnya ketika
Terdakwa menjabat sebagai Direktur pada PT JAGAT SETALI, lagi-
lagi Terdakwa telah gagal mencegah tindak pidana tidak terjadi,
sehingga tempus delictie dikaitkan dengan waktu ketika terdakwa
menjabat sebagai Direktur di PT AMARA dan PT JAGAT SETALI)
Catatan:
Dalam membuktikan tempus delictie, Penuntut Umum perlu
melengkapi berkas perkara dengan saksi atau alat bukti yang lain
yang menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
 Hubungan tanggung jawab perusahaan antara PT AMARA
sebagai induk perusahaan (parent company) dengan PT JAGAT
SETALI sebagai perusahaan subsidiari untuk membuktikan PT
AMARA sebagai holding company menerima laporan, mengurus
operasional PT JAGAT SETALI atau melakukan kontrol yang
nyata terhadap PT JAGAT SETALI serta yang terpenting
menerima keuntungan atau manfaat dari usaha perkebunan
PT JAGAT SETALI. Dalam hal perusahaan itu tidak memiliki
perusahaan afiliasi, tempus delictie dapat berada pada waktu-
waktu dimana Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana
menjabat sebagai Perngurus Korporasi di perusahaan
dimaksud atau waktu-waktu dimana orang tersebut secara
nyata/materiil melakukan perbuatan yang mengendalikan
tindak pidana untuk dan/atau atas nama korporasi sehingga
memberi manfaat bagi korporasi
 Akta Notaris yang menunjukkan terdakwa sebagai susunan
pengurus/jajaran dewan direksi pada PT AMARA
 Akta Notaris yang menunjujjan terdakwa sebagai susunan
pengurus/jajaran dewan direksi pada PT JAGAT SETALI

49
 locus delicitie atau tempat perbuatan pidana dilakukan (syarat
dakwaan jelas) (PU dapat menggunakan alternatif dari 3 (tiga) teori
locus delicite)
 Ajaran perbuatan fisik/materiil dilakukan
 Ajaran bekerjanya alat/instrumen yang digunakan
 Ajaran akibat
 Ajaran berbagai tempat tindak pidana (gabungan ajaran 1, 2
dan/atau 3. Biasa digunakan untuk Negara yang luas)

o bertempat di kebun pengembangan (Seunaam) PT JAGAT SETALI


Afdeling F (Fanta), E (Echo), D (Delta), G (Golf) dan Afdeling I (India)
kebun Afdeling, Desa Suak Bahung, Kecamatan Darul Makmur,
Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, di dalam koordinat:
96˚14'43" - 96˚26'58" BT dan 5˚44'53" - 3˚42'30" LU atau setidak-
tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Meulaboh yang berwenang memeriksa dan mengadili
perkara ini,
Catatan:
o Pada tindak pidana Kehutanan/Penerbangan/Kelautan/Perikanan
atau yang terkait dengan hal tersebut, seringkali lokasi dilihat dari
titik koordinat, sehingga titik koordinat tempat terjadinya tindak
pidana dihubungkan dengan peta geografi wilayah.

 kompetensi relatif (syarat dakwaan cermat)


atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Meulaboh yang berwenang memeriksa dan mengadili
perkara ini
 inti delik /unsur delik (syarat dakwaan cermat)
melakukan pembakaran lahan yang merujuk pada pembukaan
lahan dengan cara membakar
 delik kualifikasi (bila ada dan hal ini yang merupakan syarat dakwaan
cermat & lengkap)

50
dan antara perbuatan yang satu dengan yang lain ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut
 ciri khas tindak pidana yang dillakukan dalam ruang lingkup
pertanggungjawaban pidana korporasi dimana motif tindak pidana
yang terjadi ditujukan untuk kepentingan korporasi (syarat
dakwaan jelas)
dimana perbuatan itu dilakukan oleh untuk atau atas nama badan
usaha, yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut

ii Fakta Hukum Yang Mendukung Unsur Delik


 Menguraikan Jenis Kegiatan Usaha Korporasi yang ada
hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi
 Bahwa Terdakwa sebagai Direktur Utama PT JAGAT SETALI
memiliki kewenangan mengelola, mengatur pelaksanaan tugas
sehari-hari karyawan PT JAGAT SETALI dalam menjalankan
perusahaan di bidang usaha pertanian atau perkebunan kelapa
sawit yang berdiri atas 2 (dua) alas hak yaitu Hak Guna Usaha
(HGU) dari BPN Kabupaten Aceh Barat, yaitu HGU nomor:
86/HGU/BPN/1998, tanggal 11 Desember 1998 seluas 5.080 ha
yang berlaku sampai dengan 18 April 2034 , dan HGU nomor:
82/HGU/BPN/97, tanggal 22 Juli 1997, seluas 7.877 ha yang
berlaku sampai 2 Desember 2032
 Bahwa PT JAGAT SETALI di dalam mengusahakan perkebunan
kelapa sawit memiliki kebun pengembangan (Seunaam) PT
JAGAT SETALI yang terdiri dari Afdeling F (Fanta), E (Echo), D
(Delta), G (Golf) dan Afdeling I (India)
 Bahwa tipe lahan kebun sawit PT. JAGAT SETALI adalah
mayoritas gambut, sebagaimana tercantum dalam dokumen
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) PT JAGAT SETALI pada
tahap konstruksi, yang menyatakan bahwa pembukaan areal
kebun sawit akan memiliki dampak terhadap hilangnya
individu-individu jenis vegetasi (komunitas flora), dan PT JAGAT
SETALI tidak boleh membuka habis lahan gambut, tetapi harus

51
meninggalkan lahan gambut sebesar 40% atau 5000 ha dari
lahan yang dimiliki, terutama yang berkedalaman lebih dari 3
meter
 Bahwa PT JAGAT SETALI merupakan perusahaan subsidiary
(anak perusahaan) dari PT AMARA (Induk Perusahaan) yang
berkedudukan di Jakarta Selatan
(Keterangan dalam hukum Korporasi terkait Holding Company)
o “Perseroan Anak” atau Subsidiary menjalankan bisnis
“Perseroan Induk” (Parent Company). Dengan demikian,
sesuai dengan prinsip keterpisahan (separation) dan
perbedaan (distinction) yang dikenal dengan istilah separate
entity, maka aset Perseroan Induk dengan Perseroan Anak
“terisolasi” terhadap kerugian potensial (potential losses)
yang akan dialami oleh satu di antara perseroan tersebut.

 Pada tindak pidana lingkungan hidup apabila ada sumber pencemar


yang dihasilkan dan proses kegiatan yang menghasilkan sumber
pencemar diuraikan secara singkat.

 Maksud dari ketentuan ini adalah tindak pidana lingkungan hidup


seringkali terkait dengan parameter untuk mengukur apakah usaha
atau kegiatan yang dilakukan terdakwa melanggar parameter
dimaksud

 Parameter yang digunakan untuk mengukur pencemaran atau


kerusakan lingkungan hidup adalah dengan menggunakan
baku mutu pencemaran lingkungan hidup atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.

 Sumber pencemar dalam tindak pidana lingkungan hidup


dihasilkan oleh suaru proses kegiatan usaha yang seringkali
merupakan sumber dari terjadinya tindak pidana. Munculnya
sumber pencemar dan aktivitas yang menghasilkan sumber
pencemar dapat memberikan pemahaman dan causalitas

52
dengan tindak pidana yang terjadi sehingga membantu
terbentuknya keyakinan hakim dan memudahkan pembuktian
meskipun pada delik formil causalitas tidak perlu dibuktikan.

 Uraian peran orang-orang yang bekerja di bawah kendali korporasi,


dimana perbuatan orang-orang tersebut pada akhirnya mengarah
pada tanggung jawab dan kewenangan Terdakwa namun dengan
kewenangan tersebut Terdakwa telah gagal mencegah tindak
pidana (untuk memenuhi syarat dakwaan jelas & lengkap)
 Uraian peran ini juga membantu membangun menguraikan
perbuatan orang-orang di bawah kendali Korporasi yang secara
kolektif mewujudkan pertanggungjawaban pidana koporasi
(memenuhi kriteria pemidanaan korporasi)

a. Bahwa api membakar lahan kebun PT JAGAT SETALI afdeling


F pada tanggal 19 Maret 2012 dan kejadian kebakaran baru
diketahui oleh Kepala Kebun saksi JATARA pada jam 11.00
WIB. Saksi JATARA adalah Asisten Kebun yang tugas sehari-
harinya melakukan pengelolaan operasional kebun terhadap
Afdeling D, E, F, G dan I mulai dari persiapan lahan, panen,
hingga perawatan tanaman, dimana asal titik api berasal dari
afdeling Fanta-3 (F-3).

b. Bahwa kemudian saksi JATARA memerintahkan Asisten


Afdeling Kebun D (Delta) yaitu saksi TAMBUN BULU untuk
melakukan pemadaman, namun karena saksi TAMBUN BULU
juga tidak memiliki pengetahuan ataupun pernah mengikuti
pelatihan/training untuk mengendalikan kebakaran lahan
saksi TAMBUN BULU kembali ke kantor dan seperti biasa
mengurusi pekerjaan administrasi kantor (menunjukkan
tidak ada kebijakan korporasi untuk melakukan
pelatihan pengendalian kebakaran padahal di dalam
UKL-UPL, hal tersebut merupakan kewajiban bagi

53
korporasi yang membuka usaha perkebunan kelapa sawit
apalagi di sekitar lahan gambut)

c. Pada jam 14.00 WIB sekitar 4 (empat) jam kemudian, ketika


saksi JATARA hendak mengecek kembali kebakaran di lahan
kebun, saksi JATARA melihat asap di areal sekitar afdeling I
dan melihat api sudah membakar pinggiran rumpukan pada
blok I-13 dan I-18, namun tidak melihat seorang pun yang
berupaya untuk memadamkan api.

d. saksi JATARA kemudian kembali ke kantor, menghubungi


saksi TAMOR Asisten Afdeling I (Indian) untuk mengecek
kebakaran lahan di afdeling I tersebut, sedangkan JATARA
kembali melanjutkan pekerjaannya di kantor. (ada pembiaran
dari Kepala Kebun serta tidak adanya kebijakan
korporasi yang menyusun langkah-langkah pengendalian
kebakaran, padahal korporasi itu bergerak di bidang
perkebunan kelapa sawit di sekitar lahan gambut)

e. Sekitar jam 17.00 WIB saksi JATARA mendapat laporan melalui


telepon dari WENDI asisten afdeling E (Echo), bahwa api dari
Afdeling F3 telah melompat dan membakar lahan kebun
Afdeling E. Mendengar laporan itu saksi JATARA kemudian
meluncur ke lokasi kebakaran di Afdeling E 11/13 dan
memerintahkan karyawan untuk melakukan pemadaman,
namun pada malam hari api sudah mencapai perbatasan
antara afdeling E dengan afdeling D (Delta) dan keesokan
harinya api sudah membakar di D-25. (saksi JATARA sebagai
Kepala Kebun yang seharusnya memiliki kewenangan
untuk mencegah api membesar ternyata memenuhi syarat
substantif dalam penilaian kriteria pemidanaan
korporasi. Artinya betul Ia menerima laporan dari
bawahannya namun tidak memiliki tindakan cepat dan
efektif untuk memadamkan api, sehingga dianggap

54
menerima resiko kebakaran lahan terjadi di
perusahaanya)

f. Bahwa pada tanggal 20 Maret 2012 malam api dari Afdeling I


telah membakar ke Afdeling G (Golf) dan api menjadi tidak
terkendali (akibat dari ketidaksigapan JATARA sebagai
kepala kebun dan tidak adanya pencegahan berrupa
peraturan internal tentang pengendalian kebakaran yang
tidak diatur dalam kebijakan korporasi)

g. Bahwa kejadian ini diketahui oleh atasan JATARA yakni


MARPI’I yang menjabat sebagai Kepala Proyek (Administratur)
PT JAGAT SETALI dan terdakwa Ir MARZUKI yang pada kurun
waktu bulan Januari 20Direktur operasional PT. Amara dari
perusahaan induk yang membawahi PT JAGAT SETALI (PT
JAGAT SETALI merupakan perusahaan subsdiari PT AMARA
karena perusahaan merupakan holding company) dimana yang
bersangkutan juga sehari-hari memerintahkan MARPI’I dalam
menjalankan operasional kebun serta menetapkan kebijakan
untuk operasional semua kebun (adanya pengetahuan dari
pengurus korporasi tetapi ketika ia seharusnya memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan,
tidak Ia lakukan, sehingga dianggap Ia menyadari untuk
menerima resiko membuka lahan dengan cara membakar
yang dilarang oleh undang-undang. Kesengajaan menurut
hukum pada diri korporasi mulai tampak terbangun.
Meskipun pengetahuan korporasi tidak selalu harus ada,
dan kesengajaan korporasi diarahkan pada apa atau
perilaku apa yang dilakukan oleh orang-orang yang
mengendalikan tindak pidana)
Catatan: Holding company adalah kerja sama antara beberapa
perusahaan dimana salah satu perusahaan bertujuan untuk
memiliki saham dari perusahaan yang lain. Perusahaan Induk

55
bisa mengatur jalannya perusahaan yang dimiliki sahamnya
tersebut (perusahaan subsidiary). Holding Company
merupakan suatu penciptaan perseroan yang secara khusus
dipersiapkan untuk memegang saham perseroan lain dengan
tujuan investasi baik dengan kontrol nyata maupun tidak.

h. Bahwa Ir MARZUKI yang semula merupakan direktur PT


AMARA, kemudian menjabat sebagai Direktur Utama pada PT
JAGAT SETALI sejak tanggal 27 Maret 2012, bedasarkan
keputusan RUPS PT. JAGAT SETALI tanggal 27 Maret 2012 dan
tertuang dalam akta notaris (Budi Handrio SH) nomor 2 tanggal
12 April 2012 (menunjukkan adanya pergantian pengurus
korporasi masih dalam rentang waktu tempus delictie dan
baik ketika Terdakwa menjabat sebagai pengurus
perusahaan induk maupun pengurus subsidiary tidak
mengambil tindakan untuk menghentikan dengan
perbaikan sehingga dianggap berkehendak untuk
menerima resiko terjadinya tindak pidana. Kesengajaan
menurut hukum pada diri korporasi, mulai terus
terbangun)

 Uraian kewajiban hukum Orang Yang Mengendalikan Tindak


Pidana yang tidak dilakukan sebagai pemenuhan terhadap kriteria
pemidanaan korporasi
a. Bahwa secara formal Terdakwa Ir MARZUKI bertanggung
jawab terhadap seluruh kegiatan dan pengelolaan
perusahaan, menerima laporan terkait pengelolaan
perusahaan baik melalui pertemuan atau rapat perusahaan
maupun secara lisan dari para karyawan atau bawahannya
untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang jalannya
perusahaan

b. Bahwa oleh karena menjabat sebagai Presiden Direktur pada


PT JAGAT SETALI, pada diri Terdakwa melekat kewajiban

56
hukum untuk mengarahkan kehendak korporasi agar tidak
bertentangan dengan hukum objektif maupun hukum
subjektif

c. Bahwa oleh karena menjabat sebagai Presiden Direktur pada


PT JAGAT SETALI, Terdakwa memiliki kewenangan sah
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang
mengikat korporasi, memutuskan dan oleh karenanya
berkehendak atas segala kebijakan dan operasional
perusahaan, menyetujui segala tindakan serta menjamin
atau mengawasi jalannya perusahaan termasuk
pencegahan kebakaran yang sangat besar potensinya
pada kebun kelapa sawit khususnya pada tipe lahan
gambut sebagaimana kebun milik PT JAGAT SETALI

d. Pada tanggal 3 April 2012, saksi ZULKIFLI selaku Kepala


Urusan Penyidikan dan Pengamanan Hutan, Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA), Provinsi Aceh bersama dengan
Tim antara lain KHAIDIR selaku Kepala Urusan Pengendalian
Kebakaran Hutan, BKSDA, saksi AZANUDDIN selaku teknisi
lapangan GIS, BKSDA dan saksi SUPRIADI selaku Operator
GIS, BKSDA mendapat perintah melakukan pengecekan titik
api berdasarkan data hotspot sekitar bulan Maret 2012 yang
terjadi di lahan kebun PT. JAGAT SETALI, Kabupaten Nagan
Raya, Provinsi Aceh.

e. Bahwa saksi ZULKIFLI dan Tim serta Kepala Bidang


Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Nagan Raya berikut 2 (dua) orang staf yakni saksi IBRAHIM dan
saksi SAID EFENDI bersama-sama menemui bagian HRD
(personalia) PT. JAGAT SETALI, mengajak melakukan
pengecekan lokasi titik api di areal kebun PT. JAGAT SETALI
dan melihat titik api berikut asap tebal sedang membakar lahan
kebun PT. JAGAT SETALI. Kemudian saksi AZANUDDIN dan

57
saksi SUPRIYADI melakukan tugas teknis mengambil titik
koordinat lokasi yang sedang terbakar, di areal kebun PT
JAGAT SETALI yaitu X 96,502880, Y 3,834090; lokasi kebun
sawit (besar) yaitu X 96,518540, Y 3,835210; areal sisa
terbakar yaitu X 96,518290, Y 3,829070; dan lokasi titik api
(masih ada api yang terlihat) pada posisi X 96,532810,
Y3,834390. (Berita AcaraPengambilan Titik Koordinasi
yang dibuat Tim Teknis akan sangat membantu Penuntut
Umum kelak dalam mendukung pembuktian locus delictie)

f. Bahwa sejak Tim ZULKIFLI bersama-sama dengan pihak


JAGAT SETALI melihat adanya api hingga sore hari, sama
sekali tidak ada upaya dari pihak PT JAGAT SETALI untuk
melakukan pemadaman api dan pada jam 17.00 WIB Tim
ZULKIFLI mendatangi kantor PT. JAGAT SETALI meminta
pihak perusahaan melakukan pemadaman api. (Tim Teknis
dapat menjadi saksi “pembiaran” yang dilakukan
korporasi)

g. PT. JAGAT SETALI tidak merespon dengan baik untuk


memadamkan api sehingga Tim ZULKIFLI meminta PT JAGAT
SETALI membuat surat perjanjian tertulis untuk memadamkan
api, namun ditolak oleh pihak PT. JAGAT SETALI dengan
alasan pimpinan kebun tidak ada di tempat. (Tim Teknis
dapat menjadi saksi “pembiaran” yang dilakukan
korporasi)

h. Kemudian saksi ZULKIFLI menyatakan agar pihak PT. JAGAT


SETALI meminta bantuan MANGGALA AGNI, baru pihak PT.
JAGAT SETALI bersedia untuk memadamkan api dengan
kawalan dari tim ZULKIFLI dimana dilakukan pemadaman api
dari jam 19.00 WIB hingga api dapat dipadamkan sekitar jam
23.00 WIB menggunakan alat berupa 2 unit pompa air. (Tim
teknis dapat menjadi saksi “pembiaran” yang dilakukan
korporasi)

58
i. Bahwa ketika MANGGALA AGNI membawa mobil pemadam
kebakaran, mobil pemadam tidak bisa masuk ke areal lahan PT
JAGAT SETALI yang terbakar, karena PT JAGAT SETALI tidak
membuat akses jalan masuk ke dalam kebun PT JAGAT
SETALI, sehingga akses jalan masuk hanya bisa dilalui dengan
berjalan kaki melewati log kayu yang dibentangkan antar blok
hingga hutan sisa, yang menjadi pinggiran lahan kebun
terbakar. Tidak adanya akses jalan masuk menyulitkan
pemadaman api. (tidak adanya akses jalan masuk, sekali
lagi merupakan ketiadaan kebijakan korporasi dalam
pengendalian kebakaran lahan)
j. Dst.................

 Uraian tidak adanya upaya pencegahan yang dilakukan oleh


korporasi sehingga korporasi dianggap menerima atau
menyetujui tindak pidana itu terjadi.
a. Bahwa setiap kegiatan usaha perkebunan dalam pasal 15
huruf k Permentan nomor: 26/Permentan/OT.140/2/2007,
tanggal 28 Februari 2007 wajib membuat pernyataan
kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk
melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta
pengendalian kebakaran, dimana kesanggupan itu
seharusnya diwujudkan oleh PT JAGAT SETALI dengan
menyediakan peralatan pemadam kebakaran yang
memadai, memiliki tenaga pemadam kebakaran yang telah
mendapat pelatihan/keterampilan di bidang pengendalian
kebakaran, memiliki akses jalan yang mudah dilalui dalam
mobilisasi, memiliki petugas serta melaksanakan tugas
pemantauan dan pengawas terhadap kemungkinan
timbulnya kebakaran lahan yang rawan terjadi kebakaran,
termasuk penyediaan biaya yang cukup dalam program
pencegahan/pengendalian kebakaran lahan. Namun semua
sarana dan prasarana tersebut tidak tersedia pada PT

59
JAGAT SETALI (kesemua kewajiban ini dilanggar oleh
korporasi karena ketiadaan kebijakan, SOP, anggaran
yang disediakan untuk melaksanakan peraturan tersebut

b. Bahwa terdakwa Ir MARZUKI tidak pernah mengarahkan,


membuat kebijakan serta mengelola sumber daya manusia di
perusahaan PT JAGAT SETALI kepada para Asisten Afdeling
maupun Kepala Kebun yang melakukan kegiatan operasional
penanaman kelapa sawit pada PT JAGAT SETALI untuk
melakukan penelitian dan pengukuran lahan gambut yang ada
pada kebu PT JAGAT SETALI meskipun mengetahui tipe lahan
kebun yang dibuka (land clearing) untuk ditanami sawit adalah
lahan gambut (ketidakpedulian, ketiadaan kebijakan
pengawasan yang secara kolektif diwujudkan membentuk
kesalahan korporasi)

c. Bahwa di dalam Sub-Bab 3.2.1.2. pembukaan areal kebun


sawit dari dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
PT. JAGAT SETALI pada tahap konstruksi, pada dampak
terhadap hilangnya individu-individu jenis vegetasi (komunitas
flora), pada bagian tujuan rencana pengelolaan lingkungan
diketahui bahwa tujuan rencana pengelolaan lingkungan
terkait dengan hilangnya jenis tanaman dan lokasi areal kebun
kelapa sawit PT. JAGAT SETALI salah satu diantaranya adalah
tidak membuka habis lahan gambut (ditinggalkan sebesar 40%
atau 5000 ha dari lahan yang dimiliki terutama yang
berkedalaman lebih dari 3 meter, namun dari data yang
diperoleh (……uraikan data pembukaan lahan PT JAGAT
SETALI) telah dibuka lahan …..lebih dari ………..
d. Bahwa PT JAGAT SETALI memiliki Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) sebagai organ perseroan sebagaimana
dinyatakan dalam Akta Pendirian JAGAT SETALI dalam Akta
Nomor 5 tanggal 2 Juni 2008 yang disahkan dengan SK Menkeh
No. AHU-55321.AH.01.02 Tahun 2008, 26 Agst 2008, tetapi

60
forum RUPS tidak pernah digunakan terdakwa Ir MARZUKI
yang memiliki kewenangan sebagai Presdien Direktur untuk
menggunakan forum RUPS untuk mencegah, melakukan
pemadaman dan menjamin agar kebakaran lahan tidak
terjadi

e. Bahwa dokumen UKL dan UPL PT JAGAT SETALI yang


disahkan oleh Bupati Nagan Raya No.120.3/93/SK/2009
tanggal 8 Maret 2009, tidak memuat pembahasan tentang
perlunya upaya pengendalian kebakaran di areal usahanya
baik pada masa pra-konstruksi, kontruksi dan operasional

f. Bahwa Terdakwa Ir MARZUKI sebagai Presiden Direktur PT


JAGAT SETALI yang dengan kewenangannya itu seharusnya
dapat melakukan pencegahan dengan membuat dan
menginternalisasi peraturan internal pencegahan
kebakaran pada jenis usaha yang memiliki potensi besar
terjadi kebakaran, ternyata tidak menerapkan SOP
kesiapsiagaan tanggap darurat kebakaran lahan, tidak
memiliki tenaga terlatih, tidak memiliki sarana dan
prasarana yang memadai untuk mengendalikan kebakaran
lahan atau bahkan melakukan penelitian ilmiah mengenai
kedalaman lahan gambut yang dibuka (land clearing) untuk
kebun tanaman sawit, bahkan setelah terjadinya kebakaran
Menara Pemantau Kebakaran baru dibangun dan petugas
pemantau api di afdeling F hanya direkrut 1 orang hanya
dengan dibekali HT, teropong, timba/ember, sepatu,
parang, uang BBM, dan buku laporan operasional afdeling F,
karena perusahaan PT JAGAT SETALI selama ini tidak
memiliki budget (biaya operasional) untuk tiap afdeling dan
hanya menganggarkan biaya operasional rutin tanaman
sawit di kebun. (begitu banyak kewajiban hukum Orang
Yang Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi
dimana seharusnya mampu mencegah namun tidak

61
melakukan tindakan apapun untuk mencegah tindak
pidana terjadi. Penuntut Umum perlu mengidentifikasi hal
ini, untuk kemudian mengumpulkan alat bukti yang
mendukung ketiadaan kebijakan korporasi tersebut)

 dalam hal tindak pidana lingkungan hidup perlu ada uraian


narasi mengenai pengolahan bukti-bukti ilmiah (adanya chain
of evidence / mata rantai pembuktian tidak terputus dalam
tipid Sumber Daya Alam)
a. Bahwa berdasarkan data foto satelit hotspot Modis tahun 2012
yang dikeluarkan oleh NASA (kelengkapan formal yuridis)
didapatkan data telah terjadi:
i. 5 titik panas terdeteksi pada bulan Januari tepatnya tgl.2
Januari
ii. 82 titik pada bulan Maret dengan rincian:
1. 1 titik tgl. 19 Maret;
2. 3 titik tgl. 20 Maret,
3. 14 titik tgl.21 Maret,
4. 23 titik tgl.22 Maret,
5. 10 titik tgl.23 Maret,
6. 21 titik tgl.24 Maret,
7. 9 titik tgl.26 Maret,
8. titik tgl.27 Maret;
iii. 31 titik pada bulan Juni dengan rincian:
1. tgl.17 Juni 6 titik,
2. tgl.19 Juni 7 titik,
3. tgl.20 Juni 4 titik,
4. tgl.21 Juni 3 titik,
5. tgl.22 Juni 4 titik,
6. tgl.26 Juni 3 titik.

b. Dimana data foto satelit hotspot Modis tahun 2012 yang


dikeluarkan oleh data NASA juga ditegaskan dalam Surat
Keterangan Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan Prof Dr Baruna

62
Sejati yang juga menunjukkan bahwa areal yang terbakar
cenderung memiliki hotspot yang mengelompok pada periode
tententu, sebagai berikut:
i. Bahwa hasil pengamatan terhadap beberapa titik sampel
yang dianalisa dilapangan sebagaimana tercantum dalam
Tabel Pengambilan Sampel yang dibuat oleh Ahli kebaran
Hutan dan Lahan Prof Dr. Baruna Sejati tanggal 23 Juli
2012 menunjukkan bahwa kebakaran telah merusak
lapisan permukaan tanah dengan ketebalan yang
berkisar antara 5-10 cm. Lapisan permukaan gambut
yang rusak karena terbakar di lahan perkebunan sawit
PT. JAGAT SETALI tersebut sulit dikembalikan lagi seperti
kondisi awal karena telah rusak, dan tidak kembali lagi
sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem di
lahan bekas terbakar tersebut.

ii. Bahwa berdasarkan hasil penghitungan emisi yang dibuat


oleh Ahli kebakaran Hutan dan Lahan Prof Dr. Baruna
Sejati dalam Surat Keterangan Ahli tanggal 23 Juli 2013
akibat terjadinya kebakaran maka telah berhasil
dilepaskan Gas Rumah Kaca selama berlangsungnya
kebakaran yaitu 16.200 ton karbon; 5670 ton CO2; 58.97
ton CH4; 26.08 ton Nox; 72.58 ton NH3; 60.10 ton O3;
60.10 ton CO serta 1260 ton partikel, maka bila
dibandingkan dengan standar baku mutu yang ada maka
gas yang dilepaskan selama kebakaran berlangsung telah
melewati batas ambang yang Peraturan Gubernur Nomor
41/Per/XII/2010 Tentang Penetapan Baku Mutu Udara
Ambien

ii. Penutup
Mencantumkan pasal perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana
Catatan

63
i. Dalam hal ancaman pidana diatur dalam pasal
tersendiri ancaman pidana dijuntokan dengan pasal
perbuatan pidana
ii. Dalam hal subjek Orang Yang Mengendalikan Tindak
Pidana Dalam Korporasi diatur dalam pasal tersendiri,
atau ketentuan pemberatan pidana, maka ketentuan
yang mengatur dijunctokan dengan pasal
perbuatan/ketentuan pemberatan pidana
iii. Dalam hal ada ancaman pidana pemberatan, maka
ketentuan yang mengatur dijuntokan pasal perbuatan
pidana

------- Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam


Pasal 108 jo. Pasal 116 ayat (1) huruf b jo. Pasal 117 Undang-UndangNomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ---
----------------

tempat diterbitkannya dakwaan, tanggal, bulan dan tahun,

………………- ttd -………………

Nama Penuntut Umum/Tim Penuntut Umum,


Pangkat Penuntut Umum

Ditetapkan : di Jakarta
pada tanggal : 19 Nopember 2018

JAKSA AGUNG MUDA


TINDAK PIDANA UMUM,

NOOR ROCHMAD

64
65
www.hukumonline.com/pusatdata

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 13 TAHUN 2018
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENALI PEMILIK MANFAAT DARI KORPORASI DALAM RANGKA
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN TINDAK PIDANA
PENDANAAN TERORISME

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat mengancam
stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, serta membahayakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, perlu adanya pengaturan dan mekanisme
untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi guna memperoleh informasi mengenai pemilik
manfaat yang akurat, terkini, dan tersedia untuk umum;
c. bahwa korporasi dapat dijadikan sarana baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak
pidana yang merupakan pemilik manfaat dari hasil tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme, selama ini belum ada pengaturannya sehingga perlu mengatur penerapan prinsip
mengenali pemilik manfaat dari korporasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Presiden tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi
Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.

Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENALI PEMILIK MANFAAT DARI
KORPORASI DALAM RANGKA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANG DAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME.

66
www.hukumonline.com/pusatdata

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi,
dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk
mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung
maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini.
3. Instansi Berwenang adalah instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang memiliki
kewenangan pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan, perizinan usaha, atau
pembubaran Korporasi, atau lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan
bidang usaha Korporasi.
4. Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi adalah sistem administrasi yang diselenggarakan oleh
Instansi Berwenang dalam pemberian pelayanan pendaftaran, pengesahan, persetujuan,
pemberitahuan, perizinan usaha, atau pembubaran Korporasi, baik secara elektronik maupun
nonelektronik.

Pasal 2
(1) Pengaturan dalam Peraturan Presiden ini melingkupi penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat
dari Korporasi.
(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perseroan terbatas;
b. yayasan;
c. perkumpulan;
d. koperasi;
e. persekutuan komanditer;
f. persekutuan firma; dan
g. bentuk korporasi lainnya.

BAB II
PENETAPAN PEMILIK MANFAAT KORPORASI

Pasal 3
(1) Setiap Korporasi wajib menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi.
(2) Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit merupakan 1
(satu) personil yang memiliki masing-masing kriteria sesuai dengan bentuk Korporasi.

67
www.hukumonline.com/pusatdata

Pasal 4
(1) Pemilik Manfaat dari perseroan terbatas merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki saham lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perseroan terbatas sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar;
b. memiliki hak suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perseroan terbatas
sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar;
c. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau
laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun;
d. memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi
dan anggota dewan komisaris;
e. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan
terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
f. menerima manfaat dari perseroan terbatas; dan/atau
g. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, huruf f,
dan huruf g merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.

Pasal 5
(1) Pemilik Manfaat dari yayasan merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki kekayaan awal lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada yayasan sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar;
b. memiliki kewenangan untuk mengangkat atau memberhentikan pembina, pengurus, dan
pengawas yayasan;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan yayasan
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
d. menerima manfaat dari yayasan; dan/atau
e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kekayaan lain atau penyertaan pada yayasan.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.

Pasal 6
(1) Pemilik Manfaat dari perkumpulan merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki sumber pendanaan lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perkumpulan
sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar;
b. menerima hasil kegiatan usaha lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau
laba yang diperoleh perkumpulan per tahun;
c. memiliki kewenangan untuk mengangkat atau memberhentikan pengurus dan pengawas
perkumpulan;
d. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perkumpulan
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
e. menerima manfaat dari perkumpulan; dan/atau

68
www.hukumonline.com/pusatdata

f. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas sumber pendanaan perkumpulan.


(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e,
dan huruf f merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c.

Pasal 7
(1) Pemilik Manfaat dari koperasi merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. menerima sisa hasil usaha lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau laba
yang diperoleh koperasi per tahun;
b. memiliki kewenangan baik langsung maupun tidak langsung, dapat menunjuk atau
memberhentikan pengurus dan pengawas koperasi;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan koperasi
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
d. menerima manfaat dari koperasi; dan/atau
e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas modal koperasi.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.

Pasal 8
(1) Pemilik Manfaat dari persekutuan komanditer merupakan orang perseorangan yang memenuhi
kriteria:
a. memiliki modal dan/atau nilai barang yang disetorkan lebih dari 25% (dua puluh lima persen)
sebagaimana tercantum dalam perikatan pendirian persekutuan komanditer;
b. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau
laba yang diperoleh persekutuan komanditer per tahun;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan persekutuan
komanditer tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
d. menerima manfaat dari persekutuan komanditer; dan/ atau
e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas modal dan/atau nilai barang yang disetorkan
pada persekutuan komanditer.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.

Pasal 9
(1) Pemilik Manfaat dari persekutuan firma merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki modal yang disetorkan lebih dari 25% (dua puluh lima persen) sebagaimana tercantum
dalam perikatan pendirian persekutuan firma;
b. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau
laba yang diperoleh persekutuan firma per tahun;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan persekutuan
firma tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;

69
www.hukumonline.com/pusatdata

d. menerima manfaat dari persekutuan firma; dan/atau


e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas modal pada persekutuan firma.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.

Pasal 10
(1) Pemilik Manfaat dari bentuk korporasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf g
merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki modal, baik dalam bentuk uang atau aset lainnya yang bernilai lebih dari 25% (dua
puluh lima persen) sebagaimana tercantum dalam perikatan pendirian korporasi;
b. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) atau laba yang
diperoleh korporasi per tahun;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan korporasi
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
d. menerima manfaat dari korporasi; dan/atau
e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas modal yang disetorkan pada korporasi.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.

Pasal 11
Korporasi menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi berdasarkan informasi yang diperoleh melalui:
a. anggaran dasar termasuk dokumen perubahan anggaran dasar, dan/atau akta pendirian Korporasi;
b. dokumen perikatan pendirian Korporasi;
c. dokumen keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS), dokumen keputusan rapat organ
yayasan, dokumen keputusan rapat pengurus, atau dokumen keputusan rapat anggota;
d. informasi Instansi Berwenang;
e. informasi lembaga swasta yang menerima penempatan atau pentransferan dana dalam rangka
pembelian saham perseroan terbatas;
f. informasi lembaga swasta yang memberikan atau menyediakan manfaat dari Korporasi bagi Pemilik
Manfaat;
g. pernyataan dari anggota direksi, anggota dewan komisaris, pembina, pengurus, pengawas, dan/atau
pejabat/pegawai Korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya;
h. dokumen yang dimiliki oleh Korporasi atau pihak lain yang menunjukkan bahwa orang perseorangan
dimaksud merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas;
i. dokumen yang dimiliki oleh Korporasi atau pihak lain yang menunjukkan bahwa orang perseorangan
dimaksud merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kekayaan lain atau penyertaan pada
Korporasi; dan/atau
j. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Pasal 12

70
www.hukumonline.com/pusatdata

(1) Korporasi menentukan kategori penetapan Pemilik Manfaat dari Korporasi sesuai dengan informasi
yang telah disampaikan oleh Korporasi kepada Instansi Berwenang.
(2) Penentuan kategori penetapan Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
menilai tingkat kualitas informasi Pemilik Manfaat.
(3) Kategori penetapan Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagai berikut:
a. teridentifikasinya Pemilik Manfaat;
b. belum teridentifikasinya Pemilik Manfaat; atau
c. belum terverifikasinya Pemilik Manfaat.
(4) Teridentifikasinya Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan kategori
Korporasi yang telah menetapkan Pemilik Manfaat setelah dilakukan identifikasi dan verifikasi Pemilik
Manfaat dari Korporasi.
(5) Belum teridentifikasinya Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan
kategori Korporasi yang telah menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi, namun belum dilakukan
identifikasi dan verifikasi.
(6) Belum terverifikasinya Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan
kategori Korporasi yang telah menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi setelah identifikasi
dilakukan, namun verifikasi belum dilakukan.

Pasal 13
(1) Selain Pemilik Manfaat yang telah ditetapkan oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Instansi Berwenang dapat menetapkan Pemilik Manfaat lain.
(2) Penetapan Pemilik Manfaat lain oleh Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas dasar penilaian Instansi Berwenang yang bersumber dari:
a. hasil audit terhadap Korporasi yang dilakukan oleh Instansi Berwenang berdasarkan Peraturan
Presiden ini;
b. informasi instansi pemerintah atau lembaga swasta yang mengelola data dan/ atau informasi
Pemilik Manfaat, dan/atau menerima laporan dari profesi tertentu yang memuat informasi
Pemilik Manfaat; dan/atau
c. informasi lain yang dapat dipertanggungiawabkan kebenarannya.
(3) Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum untuk perseroan
terbatas, yayasan, dan perkumpulan;
b. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dan usaha kecil
dan menengah untuk koperasi;
c. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk
persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya; dan
d. lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan bidang usaha Korporasi.

BAB III
PENERAPAN PRINSIP MENGENALI PEMILIK MANFAAT

Pasal 14
(1) Korporasi wajib menerapkan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.

71
www.hukumonline.com/pusatdata

(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjuk pejabat atau pegawai untuk:
a. melaksanakan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi; dan
b. menyediakan informasi mengenai Korporasi dan Pemilik Manfaat dari Korporasi atas dasar
permintaan Instansi Berwenang dan instansi penegak hukum.

Pasal 15
(1) Prinsip mengenali Pemilik Manfaat oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 meliputi:
a. identifikasi Pemilik Manfaat; dan
b. verifikasi Pemilik Manfaat.
(2) Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat oleh Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat:
a. permohonan pendirian, pendaftaran, pengesahan, persetujuan, atau perizinan usaha Korporasi;
dan/ atau
b. Korporasi menjalankan usaha atau kegiatannya.

Pasal 16
(1) Korporasi melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a melalui
pengumpulan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi.
(2) Pengumpulan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit mencakup:
a. nama lengkap;
b. nomor identitas kependudukan, surat izin mengemudi, atau paspor;
c. tempat dan tanggal lahir;
d. kewarganegaraan;
e. alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas;
f. alamat di negara asal dalam hal warga negara asing;
g. Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor identitas perpajakan yang sejenis; dan
h. hubungan antara Korporasi dengan Pemilik Manfaat.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan dokumen pendukung.

Pasal 17
(1) Korporasi melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b melalui
penelitian kesesuaian antara informasi Pemilik Manfaat dengan dokumen pendukung.
(2) Dalam hal diperlukan, Instansi Berwenang dapat melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf b.

Pasal 18
(1) Korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai Pemilik Manfaat kepada Instansi
Berwenang.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan surat pernyataan dari

72
www.hukumonline.com/pusatdata

Korporasi mengenai kebenaran informasi yang disampaikan kepada Instansi Berwenang.


(3) Pihak yang dapat menyampaikan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi meliputi:
a. pendiri atau pengurus Korporasi;
b. notaris; atau
c. pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri atau pengurus Korporasi untuk menyampaikan
informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi.

Pasal 19
(1) Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi pada saat permohonan pendirian,
pendaftaran, pengesahan, persetujuan, atau perizinan usaha Korporasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dilakukan melalui:
a. penyampaian informasi Pemilik Manfaat dalam hal Korporasi telah menetapkan Pemilik
Manfaat; atau
b. penyampaian surat pernyataan kesediaan Korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik
Manfaat kepada Instansi Berwenang dalam hal Korporasi belum menetapkan Pemilik Manfaat.
(2) Korporasi yang belum menyampaikan informasi Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b wajib menetapkan dan menyampaikan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi
Berwenang paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Korporasi mendapat izin usaha/tanda terdaftar dari
instansi/lembaga berwenang.
(3) Korporasi menyampaikan informasi atau surat pernyataan Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) melalui Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi.

Pasal 20
(1) Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi pada saat Korporasi menjalankan usaha
atau kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, dilakukan dengan cara
Korporasi menyampaikan setiap perubahan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang
melalui Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi.
(2) Penyampaian perubahan informasi Pemilik Manfaat oleh Korporasi kepada Instansi Berwenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
terjadinya perubahan informasi Pemilik Manfaat.

Pasal 21
Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi Pemilik Manfaat secara berkala setiap 1 (satu) tahun.

Pasal 22
(1) Korporasi, notaris, atau pihak lain yang menerima kuasa dari Korporasi wajib menatausahakan
dokumen terkait Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun
sejak tanggal pendirian atau pengesahan Korporasi.
(2) Dalam hal Korporasi bubar, likuidator wajib menatausahakan dokumen terkait Pemilik Manfaat dari
Korporasi dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sejak pembubaran Korporasi.
(3) Dokumen terkait Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
meliputi:
a. dokumen perubahan Pemilik Manfaat dari Korporasi;

73
www.hukumonline.com/pusatdata

b. dokumen pengkinian informasi Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan
c. dokumen lain terkait informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi.

BAB IV
PENGAWASAN

Pasal 23
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dilakukan oleh
Instansi Berwenang.
(2) Dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Berwenang
memiliki kewenangan:
a. menetapkan regulasi atau pedoman sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden ini sesuai
dengan kewenangannya;
b. melakukan audit terhadap Korporasi; dan
c. mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai
dengan ketentuan Peraturan Presiden ini.
(3) Pengawasan oleh Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
hasil penilaian risiko tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Berwenang bekerja
sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
(5) Dalam hal diperlukan untuk kepentingan pengawasan, Instansi Berwenang dapat berkoordinasi
dengan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 24
Korporasi yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 14, dan pasal
18 sampai dengan Pasal 22 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
KERJA SAMA DAN PERMINTAAN INFORMASI PEMILIK MANFAAT

Bagian Kesatu
Kerja Sama Informasi Pemilik Manfaat

Pasal 25
Instansi Berwenang mengelola informasi mengenai Pemilik Manfaat yang disampaikan oleh Korporasi dalam
Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi.

Pasal 26
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana
pendanaan terorisme oleh Korporasi, Instansi Berwenang dapat melaksanakan kerja sama pertukaran
informasi Pemilik Manfaat dengan instansi peminta, baik dalam lingkup nasional maupun

74
www.hukumonline.com/pusatdata

internasional.
(2) Pelaksanaan kerja sama pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup
nasional dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan kerja sama pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup
internasional dilakukan oleh Instansi Berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang hubungan luar negeri dan perjanjian internasional.

Pasal 27
(1) Kerja sama pertukaran informasi Pemilik Manfaat antara Instansi Berwenang dengan instansi peminta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) berupa permintaan atau pemberian informasi Pemilik
Manfaat secara elektronik atau non elektronik.
(2) Instansi peminta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. instansi penegak hukum;
b. instansi pemerintah; dan
c. otoritas berwenang negara atau yurisdiksi lain.
(3) Pemberian informasi Pemilik Manfaat secara elektronik oleh Instansi Berwenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian hak akses kepada instansi peminta.
(4) Pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada kerja sama antara
Instansi Berwenang dan instansi peminta.

Pasal 28
(1) Selain dengan instansi peminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Instansi Berwenang
dapat melaksanakan kerja sama pertukaran informasi Pemilik Manfaat dengan pihak pelapor.
(2) Pihak pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan setiap orang yang menurut peraturan
perundang-undangan mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
wajib menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
(3) Pemberian informasi Pemilik Manfaat kepada pihak pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Instansi Berwenang dalam rangka penerapan prinsip mengenali pengguna jasa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Permintaan Informasi Pemilik Manfaat

Pasal 29
(1) Setiap orang dapat meminta informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang.
(2) Permintaan informasi mengenai Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan
informasi publik.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

75
www.hukumonline.com/pusatdata

Pasal 30
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, Korporasi yang telah mendapatkan atau masih dalam
proses pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan, dan perizinan usaha berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, wajib mengikuti penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Peraturan Presiden ini paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak
Peraturan Presiden ini berlaku.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31
Peraturan Presiden ini mulai berlaku diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 5 Maret 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 23

76
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan.
Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman.

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR PER-028/A/JA/10/2014
TENTANG
PEDOMAN PENANGANAN PERKARA PIDANA
DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa subjek hukum korporasi telah diatur dalam


berbagai perundang-undangan pidana;
b. bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
modus operandinya cenderung meningkat dan kompleks,
sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan
pertanggungjawaban pidananya;
c. bahwa untuk itu diperlukan adanya pedoman
penanganan perkara tindak pidana dengan subjek
hukum korporasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Jaksa Agung tentang pedoman
penanganan perkara pidana dengan subjek hukum
Korporasi;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia

77
2014, No.1492

Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 3209);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
Republik Indonesia;
4. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-
009/A/JA/01/2011 tanggal 24 Januari 2011
sebagimana telah diubah dengan Peraturan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor PER-006/A/JA/3/2014
tentang Perubahan atas PER-009/A/JA/01/2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia tanggal 24 Januari 2011 (Berita Negara Tahun
2014, Nomor 857);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN JAKSA AGUNG TENTANG PEDOMAN
PENANGANAN PERKARA PIDANA DENGAN SUBJEK
HUKUM KORPORASI.
Pasal 1
Pedoman penanganan perkara pidana dengan subjek hukum korporasi
adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Jaksa Agung ini.
Pasal 2
Pedoman penanganan perkara pidana dengan subjek hukum korporasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan pedoman bagi
Jaksa/Penuntut Umum dalam menangani perkara pidana dengan subjek
hukum korporasi sebagai tersangka/terdakwa/terpidana.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Jaksa Agung ini berlaku, segala ketentuan atau
petunjuk yang berkaitan penanganan perkara pidana dengan subjek
hukum korporasi, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Jaksa Agung ini.

78
2014, No.1492

Pasal 4
Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Jaksa Agung ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2014
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BASRIEF ARIEF

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

79
2014, No.1492

LAMPIRAN
PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 028/ A/JA/09/2014
TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PERKARA TINDAK
PIDANA DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI
PEDOMAN PENANGANAN PERKARA PIDANA
DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini, peran korporasi sudah sedemikian luasnya. Hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat melibatkan korporasi di
dalamnya. Dapat dilihat bahwa korporasi bergerak di berbagai bidang
seperti industri, pertanian, perbankan, kehutanan, pertambangan dan
sebagainya. Perkembangan masyarakat dalam bentuk korporasi juga
diikuti dengan perkembangan tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi.
Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi biasanya berbentuk
kejahatan kerah putih (white collar crime), umumnya dilakukan oleh
suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang
bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum
pidana yang berlaku. Selama ini sangat sulit dilakukan pengungkapan
Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi oleh karena
kompleksitas kerumitannya.
Menindak pelaku kejahatan secara konvensional atas kejahatan yang
dilakukan merupakan hal penting namun tidak kalah pentingnya
adalah menindak pelaku Tindak Pidana dengan subjek hukum
Korporasi sekaligus memberikan perlindungan dan keadilan kepada
korban kejahatan korporasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, penanganan perkara pidana dengan
subjek hukum korporasi oleh aparat penegak hukum khususnya
Jaksa/Penuntut Umum masih mengalami kesulitan dan hambatan
dalam menindak pelaku pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Pedoman penanganan perkara pidana dengan subjek hukum korporasi
yang diberlakukan dalam kegiatan penyidikan, penuntutan dan
pelaksanaan putusan pengadilan perkara pidana yang melibatkan
korporasi perlu segera ditetapkan dalam Peraturan Jaksa Agung.

80
2014, No.1492

B. Maksud dan Tujuan


1. Maksud
Pedoman penanganan perkara pidana dengan subjek hukum
korporasi dimaksudkan sebagai pedoman penanganan perkara pada
tahap penyidikan, penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan
dalam penanganan perkara pidana dengan subjek hukum korporasi
terhadap Pengurus, Korporasi dan/atau Pengurus dan Korporasi.
2. Tujuan
a. Menjadi panduan dalam penanganan perkara pidana dengan
subjek hukum korporasi;
b. Mengupayakan penyelesaian penanganan perkara pidana dengan
subjek hukum korporasi;
c. Mengoptimalkan tuntutan pidana tambahan terhadap subjek
hukum korporasi, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
C. Sasaran
a. Tersusunnya pedoman penanganan perkara pidana dengan subjek
hukum korporasi.
b. Tersedianya informasi dan persepsi yang sama bagi Jaksa/Penuntut
Umum dalam penanganan perkara pidana dengan subjek hukum
korporasi.
c. Tersedianya standar kriteria penuntutan pidana bagi korporasi.

D. Asas
a. Kepastian hukum, kebenaran, keadilan dan kemanfaatan;
b. Profesionalitas dan proporsionalitas;
c. Cepat, sederhana dan biaya ringan;

E. Ruang Lingkup
1. Dalam hal undang-undang mengatur subjek hukum korporasi,
maka tuntutan pidana diajukan kepada:
a. Korporasi;
b. Pengurus Korporasi;
c. Korporasi dan Pengurus Korporasi.
2. Dalam hal undang-undang tidak mengatur subjek hukum korporasi,
maka tuntutan diajukan kepada pengurus.

81
2014, No.1492

3. Terhadap korporasi bukan berbadan hukum, pertanggungjawaban


pidananya dibebankan kepada pengurus serta dapat dikenakan
pidana tambahan dan/atau tindakan tata tertib terhadap korporasi.

F. Pengertian Umum
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum;
2. Pengurus Korporasi adalah Pengurus Korporasi sesuai undang-
undang yang berlaku, termasuk personil pengendali korporasi,
pemberi perintah, pemimpin baik yang masuk dalam struktur
organisasi maupun yang tidak masuk struktur organisasi korporasi
tetapi dapat mengendalikan secara efektif;
3. Aset adalah harta kekayaan korporasi baik benda bergerak atau
benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak
langsung.

BAB II
KRITERIA PERBUATAN DALAM PENANGANAN PERKARA PIDANA
DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI

A. Perbuatan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban


pidana
1. Kriteria perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana terhadap Korporasi adalah sebagaimana diatur dalam
undang-undang yang berlaku.
2. Kriteria sebagaimana dimaksud angka (1) apabila memenuhi
kualifikasi sebagai berikut:
a. Segala bentuk perbuatan yang didasarkan pada keputusan
Pengurus Korporasi yang melakukan maupun turut serta
melakukan;
b. Segala bentuk perbuatan baik berbuat atau tidak berbuat yang
dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan korporasi baik
karena pekerjaannya dan/atau hubungan lain;
c. Segala bentuk perbuatan yang menggunakan sumber daya
manusia, dana dan/atau segala bentuk dukungan atau fasilitas
lainnya dari korporasi;

82
2014, No.1492

d. Segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga atas


permintaan atau perintah korporasi dan /atau pengurus
korporasi;
e. Segala bentuk perbuatan dalam rangka melaksanakan kegiatan
usaha sehari-hari korporasi;
f. Segala bentuk perbuatan yang menguntungkan korporasi;
g. Segala bentuk tindakan yang diterima/biasanya diterima
(accepted) oleh korporasi tersebut;
h. Korporasi yang secara nyata menampung hasil tindak pidana
dengan subjek hukum korporasi, dan/atau
i. Segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada korporasi menurut undang-undang.

B. Perbuatan Pengurus Korporasi yang dapat dimintakan


pertanggungjawaban pidana
1. Setiap orang yang melakukan, turut serta melakukan, menyuruh
melakukan, menganjurkan melakukan, atau membantu melakukan
tindak pidana;
2. Setiap orang yang memiliki kendali dan wewenang untuk mengambil
langkah pencegahan tindak pidana tersebut namun tidak
mengambil langkah yang seharusnya dan menyadari akan
menerima resiko yang cukup besar apabila tindak pidana tersebut
terjadi;
3. Setiap orang yang mempunyai pengetahuan akan adanya risiko
yang cukup besar cukuplah apabila ia tahu bahwa tindak pidana
tersebut dilakukan oleh korporasi; dan/atau
4. Segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada Pengurus Korporasi menurut undang-
undang

83
2014, No.1492

BAB III
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

1. Jaksa dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap


korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, tindak
pidana pencucian uang dan tindak pidana lain berdasarkan undang-
undang.
2. Penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dan
tindak pidana lain berdasarkan undang-undang terhadap korporasi
dapat dilakukan secara bersama-sama dengan subjek hukum
perseorangan.
3. Kedudukan korporasi sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi,
tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya berdasarkan
undang-undang tidak meniadakan pertanggungjawaban pidana para
pengurusnya.
4. Apabila Pengurus Korporasi menolak untuk mewakili korporasi sebagai
tersangka maka penyidik membuat Berita Acara Penolakan.
5. Penyidik wajib melakukan penyitaan terhadap Anggaran Dasar
(AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) korporasi atau akta lain dalam
hal korporasi sebagai tersangka.
6. Penyidikan terhadap subjek hukum korporasi dilakukan secara
terpisah dengan subjek hukum orang perseorangan.
7. Aset korporasi dan aset pengurus korporasi yang terkait tindak pidana
dilakukan penyitaan.
8. Penyitaan terhadap aset dan pengelolaan korporasi dapat dilakukan di
setiap tingkat pemeriksaan, bekerjasama dengan pihak terkait.

84
2014, No.1492

BAB IV
PENUNTUTAN

A. Pra Penuntutan
Penuntut Umum yang ditunjuk, meneliti kelengkapan berkas perkara
antara lain :
1. Akta Pendirian Korporasi;
2. Akte Perubahan Korporasi;
3. Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengenai pengesahan Akta Pendirian/Perubahan Korporasi;
4. Bentuk Korporasi;
5. Hubungan Korporasi dan Pengurus yang mewakili Korporasi;
6. Surat Kuasa Korporasi kepada yang mewakili ;
7. Surat, dokumen, pembukuan dan barang bukti yang terkait
dengan tindak pidana yang disangkakan;
8. Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
serta keuntungan yang diperoleh Korporasi;
9. Data keuangan dan perpajakan baik Korporasi maupun Pengurus
Korporasi;
10. Keterangan Ahli apabila diperlukan; dan
11. Hal-hal lain yang berhubungan dengan perkara.

B. Penyusunan Surat Dakwaan


1. Surat Dakwaan terhadap korporasi mencantumkan identitas
korporasi yaitu :
a. Nama Korporasi
b. Nomor dan tanggal Akta Pendirian Korporasi beserta
perubahannya;
c. Nomor dan tanggal Akta Korporasi pada saat peristiwa pidana;
d. Tempat kedudukan
e. Kebangsaan Korporasi;
f. Bidang usaha;
g. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan

85
2014, No.1492

h. Identitas yang mewakili Korporasi sesuai Pasal 143 ayat (2)


huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Dalam hal tersangka korporasi bukan merupakan badan hukum,
maka identitas disesuaikan dengan bentuk korporasinya.
3. Surat Dakwaan terhadap Korporasi, Pengurus Korporasi, Korporasi
dan Pengurus Korporasi disusun sesuai ketentuan yang berlaku
sebagaimana contoh Formulir 1, Formulir 2 dan Formulir 3.

C. Pelimpahan Berkas Perkara


Berkas perkara terhadap terdakwa dengan subjek hukum Korporasi,
Pengurus Korporasi, Korporasi dan Pengurus Korporasi,
pelimpahannya dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.

D. Tuntutan Pidana
1. Korporasi yang dapat dituntut meliputi :
a. Korporasi;
b. Korporasi yang dipindahtangankan atau diambilalih;
c. Korporasi kelompok (group) yang merupakan kumpulan orang
atau badan yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal
kepemilikan, kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan;
dan/atau
d. Korporasi yang masih dalam proses kepailitan.
2. Terhadap Korporasi hanya dapat dituntut pidana denda dan pidana
tambahan dan/atau tindakan tata tertib.
3. Tuntutan pidana tambahan atau tindakan tata tertib sebagaimana
dimaksud pada angka 2, dikenakan terhadap Korporasi dan
Pengurus Korporasi berdasarkan ketentuan yang menjadi dasar
pemidanaan antara lain berupa:
a. Pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara;
b. Perampasan atau penghapusan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana;
c. Perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana;
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan untuk jangka
waktu tertentu;
f. Penutupan atau pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan
perusahaan untuk jangka waktu tertentu;

86
2014, No.1492

g. Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak tertentu;


h. Pencabutan izin usaha;
i. Perampasan barang bukti atau harta kekayaan/aset korporasi;
dan/atau
j. Tindakan lain sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku
4. Tuntutan pidana tambahan berupa uang pengganti dalam perkara
tindak pidana korupsi yang dikenakan terhadap korporasi, apabila
korporasi tidak mampu membayar dalam jangka waktu 30 hari,
harta kekayaan/aset korporasi disita untuk memenuhi pembayaran
uang pengganti, apabila korporasi tidak memiliki harta
kekayaan/aset maka korporasi tersebut dituntut dengan pidana
tambahan sebagaimana tercantum pada angka 3.
5. Dalam hal tuntutan pidana denda tidak dibayar maka harta
kekayaan/aset korporasi dirampas sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6. Tuntutan terhadap Korporasi yang tidak berbentuk badan hukum,
Pengurusnya dituntut pidana penjara, denda dan pidana tambahan.
7. Tuntutan terhadap Korporasi, Pengurus Korporasi, Korporasi
dan/atau Pengurus Korporasi disusun sesuai ketentuan yang
berlaku sebagaimana contoh Formulir 4.

87
2014, No.1492

BAB V
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

1. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap


dilaksanakan oleh Jaksa setelah menerima salinan/petikan putusan
dari panitera.
2. Dalam hal terpidana hanya membayar sebagian dari jumlah pidana
denda, maka sisanya diganti dengan pidana kurungan pengganti denda
secara berimbang.
3. Tenggang waktu pembayaran denda paling lama 1 (satu) bulan dan
dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan, dan apabila tidak
dibayar diganti dengan perampasan harta kekayaan/aset milik
korporasi untuk dijual lelang melalui kantor lelang negara sesuai
ketentuan perundang-undangan.
4. Dalam tindak pidana pencucian uang, apabila korporasi tidak mampu
membayar pidana denda, diganti dengan perampasan harta
kekayaan/aset milik korporasi atau pengurus korporasi yang nilainya
sama dengan pidana denda yang dijatuhkan dan apabila tidak
mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan kepada
pengurusnya dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
5. Dalam hal harta kekayaan/aset korporasi yang terkait dengan tindak
pidana tidak dirampas karena tidak disebutkan dalam putusan, maka
wajib diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk
ditindaklanjuti.
6. Dalam hal dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang
bukti atau harta kekayaan/aset korporasi, sepanjang mengenai benda
bergerak sudah harus dilaksanakan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
salinan/petikan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap diterima oleh Jaksa.

88
2014, No.1492

BAB VI
PENANGANAN HARTA KEKAYAAN/ASET

1. Dalam hal penanganan harta kekayaan/aset terkait subjek hukum


korporasi pada setiap tingkat pemeriksaan dan pelaksanaan putusan
dilaksanakan melalui kerjasama dan koordinasi dengan Pusat
Pemulihan Aset Kejaksaan RI.
2. Seluruh jenis harta kekayaan/aset Korporasi dan Pengurus Korporasi
yang menjadi objek penanganan harta kekayaan/aset dalam rangka
program pemulihan harta kekayaan/aset adalah benda bergerak dan
tidak bergerak melingkupi pula harta kekayaan/aset lancar, investasi
jangka panjang, harta kekayaan/aset tetap, harta kekayaan/aset tidak
berwujud, harta kekayaan/aset pajak tangguhan, dan/atau harta
kekayaan/aset jenis lain.

BAB VII
PENUTUP
Pedoman Penanganan Perkara pidana dengan subjek hukum Korporasi ini
merupakan pedoman Jaksa/Penuntut Umum dalam menangani perkara.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2014
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BASRIEF ARIEF

89
2014, No.1492

FORMULIR 1
(Dakwaan terhadap Korporasi)

KEJAKSAAN …………………………..
“UNTUK KEADILAN”
SURAT DAKWAAN
NO.REG.PERKARA: .......- ..../.../ ..../.....

A. IDENTITAS TERDAKWA
1. Terdakwa 1
Nama : PT/CV/Yayasan………
Nomor dan Tanggal Akta Pendirian Korporasi beserta perubahannya:
………………………...
Nomor dan Tanggal Akta Korporasi pada saat peristiwa pidana :
………………………...
Tempat Kedudukan : ………………………...
Kebangsaan* : ………………………...
Jenis/Bidang Usaha : ………………………...
NPWP : ………………………...
*Tempat kedudukan Perusahaan induk apabila korporasinya
berbentuk Holding Company
Yang diwakili oleh Pengurus/Kuasa, bertindak untuk dan atas nama
Terdakwa , yaitu :
Nama : ………………………...
Tempat Lahir : ………………………...
Umur/Tanggal Lahir : ………………………...
Tempat tinggal : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...

90
2014, No.1492

B. DAKWAAN :
1. Status/Kedudukan terdakwa;
2. Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, termasuk delik
perbuatan berlanjut (Voorgesette handeling) dan/atau perbarengan
(Concurusus Realis);
3. Apabila terdapat penyertaan maka dimasukan bentuk penyertaan.
4. Rumusan pasal-pasal dari tindak pidana yang didakwakan;
5. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan,
kejadian, keadaaan yang mendukung/ terkait dengn masing-masing
unsur tindak pidana yang didakwakan, dengan memperhatikan
kriteria berupa perbuatan atau kejadian tersebut sebagaimana
kriteria pemidanaan.
6. Uraian mengenai antara lain kerusakan, keuntungan, kerugian
dan/atau akibat lain sepanjang merupakan unsur delik.
7. Hindari uraian yang bersifat pembuktian atas fakta dalam dakwaan.
Pembuktian apakah fakta itu benar akan dianalisis dalam surat
tuntutan.

Tempat dikeluarkannya dakwaan, tanggal, bulan dan tahun


Nama dan Pangkat Penuntut Umum

91
2014, No.1492

FORMULIR 2
(Dakwaan terhadap pengurus korporasi)

KEJAKSAAN …………………………..
“UNTUK KEADILAN”

SURAT DAKWAAN
NO.REG.PERKARA: ......- ..... /...../...../......

A. IDENTITAS TERDAKWA :
Nama : ………………………...
Tempat Lahir : ………………………...
Umur/Tanggal Lahir : ………………………...
Tempat Tinggal : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...

B. STATUS PENANGKAPAN DAN PENAHAN


Khusus Pengurus : Sebutkan sejak kapan ditangkap/ditahan; oleh
siapa,ditahan dimana, jenis penahanan, penangguhan penahanan
(disesuaikan dengan pasal 22 ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum
Aacara Pidana (KUHAP)).

C. DAKWAAN :
.................................... ISI FORMAT
DAKWAAN..............................................

92
2014, No.1492

FORMULIR 3
(Dakwaan terhadap korporasi dan pengurus korporasi)

KEJAKSAAN …………………………..
“UNTUK KEADILAN”
SURAT DAKWAAN
NO.REG.PERKARA: .....- .... /....../...../......

C. IDENTITAS TERDAKWA
1. Terdakwa 1
Nama : PT/CV/Yayasan………
Nomor dan tanggal akta pendirian korporasi beserta perubahannya
: ………………………...
Nomor dan tanggal akta korporasi pada saat peristiwa pidana :
………………………...
Tempat Kedudukan : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Jenis/Bidang Usaha : ………………………...
NPWP : ………………………...
Yang diwakili dan bertindak untuk dan atas nama terdakwa oleh
pengurus korporasi, yaitu :
Nama : ………………………...
Tempat/Tanggal Lahir : ………………………...
Umur : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...

93
2014, No.1492

2. Terdakwa Pengurus
Nama : ………………………...
Tempat/Tanggal Lahir : ………………………...
Umur : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...

D. STATUS PENANGKAPAN DAN PENAHANAN


Khusus Pengurus: Sebutkan sejak kapan ditangkap/ditahan, oleh
siapa, ditahan dimana, jenis penahanan, dan penangguhan penahanan
(disesuaikan dengan pasal 22 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana RI (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76).

E. DAKWAAN 1 (KORPORASI):

F. DAKWAAN 2 (PENGURUS KORPORASI)

Tempat dikeluarkannya dakwaan, tanggal, bulan dan tahun


Nama, Pangkat Penuntut Umum

94
2014, No.1492

FORMUL IR 4

KEJAKSAAN …………………………..
“UNTUK KEADILAN”
SURAT TUNTUTAN
NO. REG. PERKARA ............................

I. PENDAHULUAN
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri ........................................
dengan memperhatikan memperhatikan hasil Pemeriksaan sidang
dalam perkara atas nama terdakwa.
A. IDENTITAS TERDAKWA
Nama : PT/CV/Yayasan………
Nomor dan tanggal akta pendirian korporasi beserta perubahannya :
………………………...
Nomor dan tanggal akta korporasi pada saat peristiwa pidana :
………………………...
Tempat Kedudukan : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Jenis/Bidang Usaha : ………………………...
NPWP : ………………………...
Yang diwakili dan bertindak untuk dan atas nama terdakwa oleh
pengurus korporasi, yaitu :
Nama : ………………………...
Tempat/Tanggal Lahir : ………………………...
Umur : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...

95
2014, No.1492

B. DAKWAAN (LENGKAP)

C. NOMOR, TANGGAL PENETAPAN HAKIM

D. FAKTA SIDANG
1) Keterangan Saksi di Pengadilan di bawah sumpah baik saksi a
charge maupun a de charge;
2) Keterangan Ahli di Pengadilan di bawah sumpah atau laporan
keterangan Ahli yang dibacakan di sidang pengadilan baik diajukan
Penuntut umum maupun diajukan oleh Terdakwa dan/atau
Penasehat Hukum;
3) Surat/ Dokumen/ Pembukuan termasuk surat elektronik yang
diajukan di sidang pengadilan;
4) Barang Bukti baik bergerak, tidak bergerak, berwujud, maupun
tidak berwujud yang diajukan di sidang pengadilan;
5) Keterangan Terdakwa baik berupa pengakuan atau penyangkalan;
dan
6) Pembuktian kriteria pemidanaan sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Jaksa Agung ini yang diperoleh dari alat-alat bukti
sebagaimana tersebut di atas.

E. ANALISIS FAKTA
1) Nilai masing-masing alat bukti termasuk pememenuhan syarat dan
sebagai alat bukti dari tindakan tertentu serta waktu keterangan
saksi, surat, keterangan terdakwa serta barang bukti sebagai alat
bukti petunjuk;
2) Berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan sesuai antara satu dengan
yang lain. Hal tersebut didasarkan pada fakta hukum; dan
3) Fakta hukum yang sesuai dengan fakta dalam surat dakwaan
termasuk pemenuhan kriteria pemidanaan pada Pasal 5 ayat (2)
Peratutan Jaksa Agung ini.

F. ANALISIS YURIDIS
1) Melakukan analisis terlebih dahulu terhadap bentuk dakwaan;
2) Melakukan analisis setiap unsur tindak pidana yang didakwakan
dengan mengkaitkan fakta hukum yang diperoleh dari alat bukti
yang sah;

96
2014, No.1492

3) Setelah semua unsur delik terbukti, menyimpulkan bahwa


terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan
tindak pidana tertentu (sebutkan kualifikasi deliknya);
4) Analisis pertanggungjawaban pidana terdakwa, bahwa ia harus
dipertanggungjawaban karena pada dirinya tidak terdapat alasan
pembenar maupun alasan pemaaf;
5) Menegaskan bahwa terdakwa telah terbukti melakukan tindak
pidana tertentu (sesuai kualifikasinya) dan tidak ada hal-hal yang
menghapuskan pertanggungjawaban pidana terdakwa maka
terakwa harus dijatuhkan pidana;
6) Analisis jenis pidana yang harus dijatuhkan. Apabila terhadap
pengurus kenapa harus dijatuhkan pidana penjara dan denda;
7) Melakukan analisis apakah terdakwa (pengurus) ditahan atau
tetap ditahan dan alasan Korporasi harus dijatuhkan pidana denda
dan pidana tambahan dan/atau tindakan tata tertib (Analisis jenis
pidana tambahan tindakan tata tertib yang akan dijatuhkan);
8) Melakukan analisis terhadap Korporasi berbadan hukum yang
dijatuhkan pidana denda dan pidana tambahan. Khusus terhadap
pidana tambahan diuraikan secara khusus mengenai tindakan
yang harus dilakukan oleh terpidana;
9) Terhadap korporasi bukan badan hukum, pengurusnya dijatuhkan
pidana penjara dan denda dan dapat juga dikumulasikan dengan
pidana tambahan dan/atau tindakan tata tertib terhadap
korporasi bukan badan hukum yang terdakwa menjadi
pengurusnya tersebut sebagaimana Pasal 14 ayat (2) Peraturan
Jaksa Agung ini. (misalnya : pencabutan izin Firma/CV,
penempatan Firma/CV pada pengampuan selama waktu tertentu,
pemulihan kerugian negara serta pemulihan lingkungan hidup);
10) Melakukan analisis Status Surat dan barang bukti apakah perlu
dirampas untuk Negara atau dimusnahkan serta dikembalikan
kepada orang tertentu (Sebutkan orangnya/ badan hukumnya),
dilampirkan dalam berkas perkara atau dikembalikan kepada
penuntut umum untuk dipergunakan dalam perkara lain;
11) Terhadap korporasi dan benda tidak bergerak seperti tersebut
pada Pasal 14 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung ini dilakukan
analisis tentang perlakuan terhadap aset tersebut, termasuk tetapi
tidak terbatas pada penggunaan dan pemanfaatan;
12) Analisis mengapa dibebani membayar biaya perkara dengan
merujuk pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Hukum Acara Pidana RI (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 );

97
2014, No.1492

13) Pertimbangkan mengenai hal/faktor yang memperberat dan


memperingan, apabila ada sebutkan pasal-pasal dan undang-
undang yang merupakan dasar melakukan penuntutan.
14) Memasukan dasar melakukan penuntutan sesuai dengan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana
RI (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76)
dan UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan serta ketentuan
perudang-undangan lain yang terkait.

G. AMAR TUNTUTAN
1) Menyatakan terdakwa (sebutkan namanya korporasi dan/atau
pengurus korporasi) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan menyebutkan kualifikasinya
tanpa menyebut pasal lagi
2) Jenis pidana pokok dan pidana tambahan dan tata tertib yang
dijatuhkan.
3) Terhadap Korporasi dijatuhkan pidana denda dan pidana tambahan
sebagaimana tersebut pada angka 8 (delapan) dan 9 (sembilan)
analisis yuridis.
4) Dalam hal Pengurus Korporasi yang dituntut, sebutkan supaya
masa penangkapan/penahanan dikurangi sepenuhnya selama ia
ditahan dan supaya ditahan atau apabila ditahan tetap ditahan.
5) Sebukan status surat dan barang bukti
6) Sebutkan biaya perkaranya.

Ditutup dengan diberi tanggal dibacakan dan ditanda tangani penuntut


umum
Tempat dikeluarkannya tuntutan, tanggal, bulan dan tahun
Nama, Pangkat Penuntut Umum

Catatan :
Tuntutan terhadap a) Pengurus Korporasi; dan b) Pengurus Korporasi dan
Korporasi menyesuaikan.

98
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.2058, 2016 MA. Tindak Pidana oleh Korporasi. Penanganan
Perkara.

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2016
TENTANG
TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa korporasi sebagai suatu entitas atau subjek


hukum yang keberadaannya memberikan kontribusi
yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya
korporasi ada kalanya juga melakukan pelbagai tindak
pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian
terhadap negara dan masyarakat;
b. bahwa dalam kenyataannya korporasi dapat menjadi
tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil
tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam
pertanggungjawaban pidana (criminal liability);
c. bahwa banyak undang-undang di Indonesia
menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana
yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun
perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan
dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu
penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan
korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum
jelas, oleh karena itu dipandang perlu adanya pedoman

99
2016, No.2058

bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara


pidana yang dilakukan oleh korporasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang


Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG TATA CARA
PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud
dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisir, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
2. Korporasi Induk (parent company) adalah perusahaan
berbadan hukum yang memiliki dua atau lebih anak

100
2016, No.2058

perusahaan yang disebut perusahaan subsidairi yang


juga memiliki status badan hukum tersendiri.
3. Perusahaan Subsidairi (subsidairy company) atau
perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang
mempunyai hubungan (sister company) adalah
perusahaan yang dikontrol atau dimiliki oleh satu
perusahaan induk.
4. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan
diri dengan perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada
perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya
status badan hukum perseroan yang menggabungkan
diri berakhir karena hukum.
5. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan
cara mendirikan satu perseroan baru yang karena
hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan
yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan
yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
6. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan
beralih karena hukum kepada dua perseroan atau lebih
atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena
hukum kepada satu perseroan atau lebih.
7. Pembubaran adalah bubarnya perusahaan karena
keputusan RUPS/RUPS LB, atau jangka waktu
berdirinya yang ditetapkan anggaran dasar telah
berakhir, atau berdasarkan putusan Pengadilan, atau
karena dicabut izin usaha perseroan sehingga
mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
8. Tindak Pidana oleh Korporasi adalah tindak pidana yang
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada

101
2016, No.2058

korporasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur


tentang korporasi.
9. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau
benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud, yang diperoleh, baik secara langsung
maupun tidak langsung dari hasil tindak pidana.
10. Pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan
pengurusan korporasi sesuai anggaran dasar atau
undang-undang yang berwenang mewakili korporasi,
termasuk mereka yang tidak memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan, namun dalam kenyataannya
dapat mengendalikan atau turut mempengaruhi
kebijakan korporasi atau turut memutuskan kebijakan
dalam korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana.
11. Hubungan Kerja adalah hubungan antara korporasi
dengan pekerja/pegawainya berdasarkan perjanjian yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan/atau perintah.
12. Hubungan Lain adalah hubungan antara pengurus
dan/atau korporasi dengan orang dan/atau korporasi
lain sehingga menjadikan pihak lain tersebut bertindak
untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan
perikatan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
13. Lingkungan Korporasi adalah lingkup korporasi atau
lingkup usaha korporasi atau lingkup kerja yang
termasuk dan/atau mendukung kegiatan usaha
korporasi baik langsung maupun tidak langsung.
14. Keterangan Korporasi adalah keterangan pengurus yang
mewakili korporasi.
15. Restitusi adalah pemberian ganti kerugian oleh korporasi
kepada korban atau keluarganya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008.
16. Satu hari adalah dua puluh empat jam.
17. Satu bulan adalah tiga puluh hari.

102
2016, No.2058

BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2
Maksud dan tujuan pembentukan tata cara penanganan
perkara tindak pidana oleh Korporasi adalah untuk:
a. menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam
penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi
dan/atau Pengurus;
b. mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara
pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku
Korporasi dan/atau Pengurus; dan
c. mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan
perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau
Pengurus.

BAB III
TATA CARA PENANGANAN PERKARA

Bagian Kesatu
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Pengurus

Pasal 3
Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau
berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama
Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.

Pasal 4
(1) Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
sesuai dengan ketentuan pidana Korporasi dalam
Undang-Undang yang mengatur tentang Korporasi.
(2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim
dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1)
antara lain:

103
2016, No.2058

a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau


manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak
pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan
Korporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana;
atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk melakukan pencegahan,
mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku
guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Pasal 5
Dalam hal seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti,
atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya
pertanggungjawaban Korporasi.

Bagian Kedua
Pertanggungjawaban Grup Korporasi

Pasal 6
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi dengan
melibatkan induk Korporasi dan/atau Korporasi subsidiari
dan/atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan peran
masing-masing.

Bagian Ketiga
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Penggabungan,
Peleburan, Pemisahan dan Pembubaran Korporasi

Pasal 7
(1) Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan
Korporasi maka pertanggungjawaban pidana dikenakan
sebatas nilai harta kekayaan atau aset yang ditempatkan
terhadap Korporasi yang menerima penggabungan atau
Korporasi hasil peleburan.

104
2016, No.2058

(2) Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi, maka


pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap
Korporasi yang dipisahkan dan/atau Korporasi yang
melakukan pemisahan dan/atau kedua-duanya sesuai
dengan peran yang dilakukan.
(3) Dalam hal Korporasi sedang dalam proses pembubaran,
maka pertanggungjawaban pidana tetap dikenakan
terhadap Korporasi yang akan dibubarkan.

Pasal 8
(1) Korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak
pidana tidak dapat dipidana, akan tetapi terhadap aset
milik Korporasi yang diduga digunakan untuk melakukan
kejahatan dan/atau merupakan hasil kejahatan maka
penegakkan hukumnya dilaksanakan sesuai dengan
mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
(2) Gugatan terhadap aset yang dimaksud ayat (1) dapat
diajukan terhadap mantan pengurus, ahli waris atau
pihak ketiga yang menguasai aset milik Korporasi yang
telah bubar tersebut.

Bagian Keempat
Pemeriksaan Korporasi

Pasal 9
(1) Pemanggilan terhadap Korporasi ditujukan dan
disampaikan kepada Korporasi ke alamat tempat
kedudukan Korporasi atau alamat tempat Korporasi
tersebut beroperasi.
(2) Dalam hal alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diketahui, pemanggilan ditujukan kepada Korporasi
dan disampaikan melalui alamat tempat tinggal salah
satu Pengurus.
(3) Dalam hal tempat tinggal maupun tempat kediaman
Pengurus tidak diketahui, surat panggilan disampaikan
melalui salah satu media massa cetak atau elektronik

105
2016, No.2058

dan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung


pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut.

Pasal 10
Isi surat panggilan terhadap Korporasi setidaknya memuat:
a. nama Korporasi;
b. tempat kedudukan;
c. kebangsaan Korporasi;
d. status Korporasi dalam perkara pidana (saksi/
tersangka/terdakwa);
e. waktu dan tempat dilakukannya pemeriksaan; dan
f. ringkasan dugaan peristiwa pidana terkait pemanggilan
tersebut.

Pasal 11
(1) Pemeriksaan terhadap Korporasi sebagai tersangka pada
tingkat penyidikan diwakili oleh seorang Pengurus.
(2) Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap
Korporasi memanggil Korporasi yang diwakili Pengurus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan surat
panggilan yang sah.
(3) Pengurus yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
hadir dalam pemeriksaan Korporasi.
(4) Dalam hal Korporasi telah dipanggil secara patut tidak
hadir, menolak hadir atau tidak menunjuk Pengurus
untuk mewakili Korporasi dalam pemeriksaan maka
penyidik menentukan salah seorang Pengurus untuk
mewakili Korporasi dan memanggil sekali lagi dengan
perintah kepada petugas untuk membawa Pengurus
tersebut secara paksa.

Pasal 12
(1) Surat dakwaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Bentuk surat dakwaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merujuk pada ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab

106
2016, No.2058

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan


penyesuaian isi surat dakwaan sebagai berikut:
a. nama Korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau
nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/
dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir,
tempat kedudukan, kebangsaan Korporasi, jenis
Korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas
pengurus yang mewakili; dan
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.

Pasal 13
(1) Pengurus yang mewakili Korporasi pada tingkat
penyidikan wajib pula hadir pada pemeriksaan Korporasi
dalam sidang Pengadilan.
(2) Jika Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
hadir karena berhalangan sementara atau tetap,
hakim/ketua sidang memerintahkan penuntut umum
agar menentukan dan menghadirkan Pengurus lainnya
untuk mewakili Korporasi sebagai terdakwa dalam
pemeriksaan di sidang Pengadilan.
(3) Dalam hal Pengurus yang mewakili Korporasi sebagai
terdakwa telah dipanggil secara patut tidak hadir dalam
pemeriksaan tanpa alasan yang sah, hakim/ketua sidang
menunda persidangan dan memerintahkan kepada
penuntut umum agar memanggil kembali Pengurus yang
mewakili Korporasi tersebut untuk hadir pada hari
sidang berikutnya.
(4) Dalam hal Pengurus tidak hadir pada persidangan
dimaksud pada ayat (3), hakim/ketua sidang
memerintahkan penuntut umum supaya Pengurus
tersebut dihadirkan secara paksa pada persidangan
berikutnya.

107
2016, No.2058

Pasal 14
(1) Keterangan Korporasi merupakan alat bukti yang sah.
(2) Sistem pembuktian dalam penanganan tindak pidana
yang dilakukan oleh Korporasi mengikuti Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan
hukum acara yang diatur khusus dalam undang-undang
lainnya.

Pasal 15
(1) Dalam hal Korporasi diajukan sebagai tersangka atau
terdakwa dalam perkara yang sama dengan Pengurus,
maka Pengurus yang mewakili Korporasi adalah
Pengurus yang menjadi tersangka atau terdakwa.
(2) Pengurus lainnya yang tidak menjadi tersangka atau
terdakwa dapat mewakili Korporasi dalam perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 16
(1) Dalam hal ada kekhawatiran Korporasi membubarkan
diri dengan tujuan untuk menghindari
pertanggungjawaban pidana, baik yang dilakukan
sesudah maupun sebelum penyidikan, Ketua Pengadilan
Negeri atas permintaan penyidik atau penuntut umum
melalui suatu penetapan dapat menunda segala upaya
atau proses untuk membubarkan Korporasi yang sedang
dalam proses hukum sampai adanya putusan
berkekuatan hukum tetap.
(2) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat diberikan sebelum permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang atau
permohonan pailit didaftarkan.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat diajukan terhadap Korporasi yang bubar
karena berakhirnya jangka waktu sebagaimana
ditentukan dalam dokumen pendirian.

108
2016, No.2058

Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan
Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
maka pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan
perkara adalah Pengurus saat dilakukan pemeriksaan
perkara.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi, maka pihak yang
mewakili Korporasi dalam pemeriksaan perkara
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) adalah
Pengurus dari Korporasi yang menerima peralihan
setelah pemisahan dan/atau yang melakukan
pemisahan.
(3) Dalam hal Korporasi dalam proses pembubaran maka
pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan
perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (3)
adalah likuidator.
(4) Tata cara pemanggilan dan pemeriksaan terhadap
Korporasi yang diwakili oleh Pengurus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengikuti
tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 sampai dengan Pasal 16.

Bagian Kelima
Pemeriksaan Pengurus

Pasal 18
Pemanggilan dan pemeriksaan Pengurus yang diajukan
sebagai saksi, tersangka dan/atau terdakwa dilaksanakan
sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan peraturan perundang-undangan lain.

109
2016, No.2058

Bagian Keenam
Pemeriksaan Korporasi dan Pengurus

Pasal 19
(1) Pemeriksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan
terhadap Korporasi dan/atau Pengurus dapat dilakukan
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(2) Dalam hal pemeriksaan pada tahap penyidikan dan
penuntutan terhadap Korporasi dan Pengurus dilakukan
bersama-sama, tata cara pemanggilan dan pemeriksaan
mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 sampai
dengan Pasal 18.

Bagian Ketujuh
Gugatan Ganti Rugi dan Restitusi

Pasal 20
Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui
mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata.

Bagian Kedelapan
Penanganan Harta Kekayaan Korporasi

Pasal 21
(1) Harta kekayaan Korporasi yang dapat dikenakan
penyitaan adalah benda sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat
lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak
mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan
terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh
kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan
benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi atau dapat
mengalami penurunan nilai ekonomis, sejauh mungkin
dengan persetujuan tersangka atau kuasanya benda

110
2016, No.2058

tersebut dapat diamankan atau dilelang sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Harta kekayaan yang dilelang, sebagaimana dimaksud
ayat (2), tidak dapat dibeli oleh tersangka atau terdakwa
dan/atau pihak yang mempunyai hubungan keluarga
sedarah sampai derajat kedua, hubungan semenda,
hubungan keuangan, hubungan kerja/manajemen,
hubungan kepemilikan dan/atau hubungan lain dengan
tersangka atau terdakwa tersebut.
(4) Dalam hal benda sitaan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), telah dilelang dan penetapan
tersangka terhadap Korporasi dinyatakan tidak sah oleh
putusan praperadilan atau penyidikan maupun
penuntutan terhadap Korporasi dihentikan berdasarkan
surat penetapan penghentian penyidikan atau
penuntutan, maka uang hasil penjualan lelang barang
sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan praperadilan
berkekuatan hukum tetap atau sejak surat penetapan
penghentian penyidikan atau penuntutan berlaku.
(5) Dalam hal benda sitaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan pada ayat (3) telah dilelang, namun
berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap
dinyatakan benda sitaan tersebut tidak dirampas untuk
negara, maka uang hasil penjualan lelang barang sitaan
harus dikembalikan kepada yang berhak paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak putusan berkekuatan hukum
tetap.
(6) Dalam hal dari penyimpanan uang hasil lelang benda
sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau
ayat (3) terdapat bunga keuntungan maka perampasan
atau pengembalian uang hasil lelang benda sitaan juga
disertai dengan bunga keuntungan yang diperoleh dari
penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan tersebut.

111
2016, No.2058

Bagian Kesembilan
Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan
Menjalankan Pidana

Pasal 22
Kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana
terhadap Korporasi hapus karena daluwarsa sebagaimana
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).

BAB IV
PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Bagian Kesatu
Penjatuhan Pidana

Pasal 23
(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi
atau Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus.
(2) Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada masing-masing undang-undang
yang mengatur ancaman pidana terhadap Korporasi
dan/atau Pengurus.
(3) Penjatuhan pidana terhadap Korporasi dan/atau
Pengurus sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak menutup
kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain
yang berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti
terlibat dalam tindak pidana tersebut.

Bagian Kedua
Putusan

Pasal 24
(1) Putusan pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan
terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

112
2016, No.2058

(2) Putusan pemidanaan dan bukan pemidanaan terhadap


Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencantumkan identitas sebagai berikut:
a. nama Korporasi;
b. tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran
dasar/akta pendirian/peraturan/dokumen/
perjanjian serta perubahan terakhir;
c. tempat kedudukan;
d. kebangsaan Korporasi;
e. jenis Korporasi;
f. bentuk kegiatan/usaha; dan
g. identitas Pengurus yang mewakili.

Pasal 25
(1) Hakim menjatuhkan pidana terhadap Korporasi berupa
pidana pokok dan/atau pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi
sebagaimana ayat (1) adalah pidana denda.
(3) Pidana tambahan dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26
Dalam hal Korporasi dan Pengurus diajukan bersama-sama
sebagai terdakwa, putusan pemidanaan dan bukan
pemidanaan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 24 dan Pasal 25.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Putusan

Pasal 27
(1) Pelaksanaan putusan dilakukan berdasarkan putusan
Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Petikan putusan dapat digunakan sebagai dasar dalam
pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

113
2016, No.2058

Pasal 28
(1) Dalam hal pidana denda yang dijatuhkan kepada
Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk
membayar denda tersebut.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Jika terpidana Korporasi tidak membayar denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka
harta benda Korporasi dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk membayar denda.

Pasal 29
(1) Dalam hal pidana denda dijatuhkan kepada Pengurus,
Pengurus diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar
denda tersebut.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Jika denda tidak dibayar sebagian atau seluruhnya,
Pengurus dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda
yang dihitung secara proposional.
(4) Pidana kurungan pengganti denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah
berakhirnya hukuman pidana pokok.

Bagian Keempat
Pelaksanaan Pidana Tambahan atau Tata Tertib
Terhadap Korporasi

Pasal 30
Pidana tambahan atau tindakan tata tertib atau tindakan lain
terhadap Korporasi dilaksanakan berdasarkan putusan
Pengadilan.

114
2016, No.2058

Pasal 31
(1) Dalam hal Korporasi dijatuhkan pidana tambahan
berupa perampasan barang bukti, maka perampasan
barang bukti dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan
sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (2) dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal terdapat keuntungan berupa harta kekayaan
yang timbul dari hasil kejahatan maka seluruh
keuntungan tersebut dirampas untuk negara.

Pasal 32
(1) Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa uang
pengganti, ganti rugi dan restitusi, tata cara
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal pidana tambahan berupa uang pengganti,
ganti rugi dan restitusi dijatuhkan kepada Korporasi,
Korporasi diberikan jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk
membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
(3) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (2) dapat diperpanjang
untuk paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Jika terpidana Korporasi tidak membayar uang
pengganti, ganti rugi dan restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.

Pasal 33
Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa perbaikan
kerusakan akibat dari tindak pidana, tata cara
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

115
2016, No.2058

BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 34
Peraturan Mahkamah Agung ini tidak dapat menjadi dasar
bagi upaya hukum terhadap perkara pidana oleh Korporasi
yang telah diputus sebelum Peraturan Mahkamah Agung ini
diundangkan.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 35
Perkara pidana dengan terdakwa Korporasi yang telah
dilimpahkan ke pengadilan tetap dilanjutkan sampai
memperoleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum adanya
Peraturan Mahkamah Agung ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 36
Pada saat Peraturan Mahkamah ini mulai berlaku, ketentuan
penanganan perkara pidana oleh Korporasi mengikuti
Peraturan Mahkamah Agung ini.

Pasal 37
Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

116
2016, No.2058

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Mahkamah Agung ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2016

KETUA MAHKAMAH AGUNG


REPUBLIK INDONESIA

ttd

MUHAMMAD HATTA ALI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2016

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

117

Anda mungkin juga menyukai