SURAT EDARAN
NOMOR: SE-001/E/EJP/11/2018
TENTANG
TEKNIS PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM
DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI
1. Latar Belakang
Selama abad keduapuluh, peran Korporasi dalam kehidupan
masyarakat semakin berkembang sehingga pemikiran tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi lebih maju.
Pertanggungjawaban pidana korporasi telah memperluas
pertanggungjawaban pidana individu atau orang alamiah (natuurlijke
persoon) sehingga korporasi juga dianggap dapat melakukan tindak
pidana dan diakui sebagai subjek yang dapat dipidana.
Pertanggungjawaban pidana korporasi berbeda dengan
pertanggungjawaban pidana individu atau pertanggungjawaban pidana
konvensional, yang hanya mengenal pertanggungjawaban pidana bagi
orang yang berbuat (pelaku fisik). Pada pertanggungjawaban pidana
korporasi, perbuatan pidana (actus reus) mungkin saja dilakukan oleh
orang-orang yang bekerja dalam korporasi atau mungkin juga
dilakukan oleh orang yang berada di luar korporasi namun keuntungan
dan manfaatnya ditujukan kepada korporasi, sehingga
pertanggungjawaban pidana dan niat batin (mens rea) tidak diletakkan
pada orang-orang tersebut namun pada orang yang paling bertanggung
1
jawab mengendalikan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
serta Korporasi itu sendiri.
Banyaknya undang-undang di luar KUHP yang mengatur
pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat menjadi potensi bidang
tindak pidana umum untuk berkiprah lebih banyak dalam proses
pembangunan, khususnya dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) yang dihasilkan dari penjatuhan pidana denda. Apalagi bidang
tindak pidana umum kini memiliki kewenangan baru bahwa Penuntut
Umum juga melakukan penyidikan melengkapi berkas perkara
terhadap tindak pidana perusakan hutan.
Peluang itu tampaknya belum dapat dimanfaatkan secara
maksimal, karena terhalang pengaturan substansi hukum acara dalam
penanganan perkara subjek hukum Korporasi. Selama ini sudah cukup
banyak persidangan yang mengangkat korporasi sebagai subjek tindak
pidana, namun berbagai kendala muncul, mengingat tidak adanya
standar beracara dalam memeriksa dan menyidangkan korporasi serta
sulitnya mentransformasikan perbuatan pidana dan kesalahan yang
dilakukan subjek individu kepada subjek korporasi. Peraturan Jaksa
Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan
Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi sudah diterbitkan,
namun dalam praktek masih terdapat beberapa ketentuan yang masih
menimbulkan perbedaan pemahaman, sehingga dapat menghambat
proses beracara dalam peradilan. Mengingat bidang tindak pidana
umum memiliki tugas dan fungsi penuntutan tindak pidana umum
berbagai undang-undang yang ketentuan pidananya mengatur
pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk dalam melaksanakan
kewenangan baru penyidikan melengkapi berkas perkara tindak pidana
perusakan hutan dengan subjek hukum Korporasi maka dipandang
perlu menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
2
Umum tentang Teknis Penanganan Perkara Dengan Subjek Hukum
Korporasi.
3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
tentang teknis penanganan perkara tindak pidana umum dengan
subjek hukum korporasi meliputi ketentuan umum, prapenuntutan,
bentuk surat dakwaan, pemanggilan orang yang mewakili korporasi,
penuntutan dan pelaksanaan pidana tambahan pembubaran,
pembekuan, pencabutan izin dan/atau menyatakan sebagai korporasi
terlarang.
4. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209);
3
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4401);
3. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
4. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme;
5. Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 tentang
Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum
Korporasi (Berita Negara Tahun 2014 Nomor 1492);
6. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (Berita
Negara Tahun 2016 Nomor 2058);
7. Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-006/A/JA/07/2017 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia (Berita
Negara Tahun 2017 Nomor 1069).
5. Isi Edaran
5.1 Pengertian
(1) Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau
perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik,
mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil
penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan
petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat
menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat
4
dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
(2) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
(3) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim serta melakukan
penyidikan tindak pidana perusakan hutan.
(4) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(5) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai negeri sipil tertentu atau penuntut umum
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan melengkapi berkas perkara terhadap
tindak pidana perusakan hutan.
(6) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya
(7) Penyidikan tindak pidana perusakan hutan adalah
penyidikan yang dilakukan oleh pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan dalam hal
Penuntut Umum belum menyatakan lengkap kemudian
meminta penyerahan tersangka berikut berkas perkara
setelah memenuhi syarat, maka dilanjutkan oleh Penuntut
5
Umum paling lama 50 (lima puluh) hari untuk dilengkapi.
(8) Perusakan Hutan adalah proses, cara atau perbuatan
merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar,
penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan
izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan
pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah
ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang
diproses penetapannya oleh pemerintah.
(9) Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum atau organisasi dalam bentuk apapun
sepanjang diatur di dalam undang-undang dapat
dipersamakan dengan korporasi.
(10) Orang yang mengendalikan tindak pidana dalam korporasi
adalah orang yang perbuatannya secara materiil telah
menyebabkan tindak pidana terjadi namun tidak terbatas
pada pengurus, personil pengendali, pemilik manfaat atau
orang lain sepanjang perbuatannya telah berkontribusi
terhadap terjadinya tindak pidana, membiarkan, tidak
mencegah atau menghentikan tindak pidana padahal
memiliki kewenangan untuk itu.
(11) Pengurus adalah organ korporasi yang mempunyai
kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi
yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau
bertindak demi kepentingan korporasi, yang berdasarkan
hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkup usaha
atau kegiatan korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama.
(12) Personil pengendali adalah setiap orang yang memiliki
kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan
Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan
6
kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus mendapat
otorisasi dari atasannya.
(13) Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat
menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris,
pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi,
memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi,
berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi
baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik
sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Presiden ini.
(14) Tindak Pidana Korporasi adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana baik kepada korporasi, orang
yang mengendalikan tindak pidana dalam korporasi atau
kepada korporasi dan orang yang mengendalikan tindak
pidana korporasi secara bersama-sama sesuai dengan
undang-undang yang mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi.
(15) Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh
penuntut umum yang berisi perumusan tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari
hasil penyidikan.
(16) Instansi Berwenang adalah instansi pemerintah baik di
pusat maupun di daerah yang memiliki kewenangan
pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan,
perizinan usaha, atau pembubaran Korporasi, atau lembaga
yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan
bidang usaha Korporasi.
7
5.2. Prapenuntutan
Penanganan perkara tindak pidana umum dengan subjek
hukum korporasi pada tahap prapenuntutan meliputi langkah-
langkah sebagai berikut:
(1) Penelitian kelengkapan formil dan materiil berkas perkara hasil
penyidikan dengan subjek Korporasi atau Orang Yang
Mengendalikan tindak pidana dalam korporasi dituangkan
dalam Formulir Penelitian Berkas Perkara Tahap
Prapenuntutan (check list) dan Berita Acara Pendapat
Penelitian Berkas Perkara.
(2) Penelitian kelengkapan formil berkas perkara dilakukan
dengan cara meneliti surat, berita acara dan dokumen yang
dapat mendukung kelengkapan dan keabsahan administrasi
tahap penyidikan
(3) Kelengkapan formil yang perlu diteliti dalam mendukung
pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain:
a. Akta Pendirian Korporasi yang dapat menunjukkan
identitas korporasi, orang yang ditunjuk atau secara
yuridis formal mewakili korporasi dan/atau jenis usaha
korporasi disesuaikan dengan tindak pidana yang terjadi
serta susunan organisasi apabila korporasi berbentuk
badan hukum;
b. Susunan organisasi dalam peraturan internal perusahaan
yang dapat menunjukkan:
a) pengurus korporasi apabila korporasi tidak
berbentuk badan hukum atau organisasi dalam
bentuk lain yang dapat dipersamakan dengan
korporasi sesuai peraturan perundang-undangan;
b) pimpinan manajemen operasional masing-masing
bidang yang terkait dengan tindak pidana
8
c. Akta Perubahan Korporasi yang dapat menunjukkan
perubahan susunan pengurus korporasi maupun
perubahan lainnya;
d. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pengesahan
Badan Hukum dan Perubahannya dimana dokumen ini
antara lain menunjukkan keabsahan status badan hukum
berdasarkan tanggal terbitnya Keputusan Menteri
Kehakiman atau perubahan anggaran dasar
e. Tanda Daftar Perusahaan terakhir yang dapat memberi
informasi instansi yang berwenang yang memberikan daftar,
pengesahan, persetujuan, pemberitahuan, perizinan,
pembubaran atau kewenangan pengawasan dan dapat
membantu Jaksa untuk meminta rujukan dalam
pelaksanaan eksekusi pembubaran, pembekuan,
pencabutan izin, menyatakan sebagai korporasi terlarang
maupun ketika korporasi ditempatkan di bawah
pengampuan;
f. Laporan aset tentang daftar aset tetap dengan harga
perolehan awal, akumulasi penyusutan, hingga nilai aset di
masa sekarang (apabila ada);
g. Laporan keuangan perusahaan yang dapat menunjukkan
apakah korporasi memperoleh manfaat/keuntungan dari
tindak pidana atau apakah korporasi telah melakukan
pencegahan dengan menempatkan anggaran yang cukup
untuk mencegah tindak pidana terjadi;
h. Rencana kerja tahunan yang dapat menunjukkan apakah
tindak pidana yang sudah terjadi ada hubungannya dengan
rencana kerja tahunan korporasi;
i. Dokumen yang harus dipenuhi/menjadi kewajiban
korporasi dalam menjalankan aktivitas usaha terkait tindak
pidana yang terjadi, sebagai contoh: pada tindak pidana
9
lingkungan hidup berupa Analisis mengenai dampak
lingkungan hidup (Amdal), Upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL),
Audit lingkungan hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan
Hidup/RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan) dan
sebagainya;
j. Minuta Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/RUPS Luar
Biasa, Risalah Rapat (Minutes of Meeting) yang dapat
membuktikan:
a) apakah hal/kewajiban korporasi sudah pernah dibahas
atau diambil keputusan untuk menghentikan akibat,
resiko atau tindak pidana (komisi);
b) apakah hal/kewajiban korporasi sudah pernah dibahas
tetapi tidak diambil keputusan untuk menghentikan
akibat, resiko atau tindak pidana (omisi); atau
c) apakah hal/kewajiban korporasi tidak pernah dibahas
sehingga keputusan untuk menghentikan akibat, resiko
atau tindak pidana (omisi) tidak pernah diambil.
k. Dokumen tentang aktivitas prosedur operasional yang
menunjukkan masing-masing tugas dan fungsi masing-
masing orang alamiah yang bekerja dalam korporasi;
l. Surat kuasa, tugas atau keputusan yang dapat
menunjukkan orang-orang alamiah tertentu yang mendapat
pendelegasian wewenang atau tugas terkait tindak pidana
yang terjadi;
m. Perjanjian/Kontrak Kerja yang dapat menunjukkan adakah
perjanjian atau pembagian tugas/keuntungan dengan
orang-orang alamiah yang ada dalam korporasi atau di luar
korporasi yang melakukan pekerjaan bagi korporasi;
n. Pembayaran gaji/upah/insentif kepegawaian, dokumen
yang menunjukan hak-hak sebagai tenaga kerja dari
10
korporasi atau presensi (daftar hadir pegawai) untuk melihat
hubungan korporasi dengan orang-orang alamiah tertentu
dalam atau di luar korporasi;
o. Dokumen/surat/nota yang diterbitkan oleh Korporasi dan
ditandatangani oleh orang alamiah yang bekerja di dalam
atau di luar korporasi;
p. Informasi elektronik berupa riwayat (log) surat elektronik
(email) korporasi;
q. Dokumen peralihan hak atau jual beli perusahaan, asset,
modal atau alat korporasi yang menjelaskan adanya
hubungan hukum antara korporasi dengan orang alamiah
atau korporasi yang lain untuk menilai perbuatan materiil
yang menyebabkan tindak pidana terjadi; dan/atau
r. Dokumen lain yang dapat membuktikan adanya keterkaitan
dalam membangun unsur delik
(4) Penuntut Umum dalam meneliti pertanggungjawaban pidana
korporasi melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mempunyai keyakinan bahwa tindak pidana itu dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi
b. Melakukan pemenuhan terhadap unsur delik melalui uraian
aktivitas/kegiatan/pekerjaan yang dilakukan orang-orang
alamiah yang bekerja di dalam/di luar korporasi dan delik
itu terpenuhi untuk memberi manfaat atau keuntungan bagi
korporasi
c. Pemenuhan unsur delik akan mengarahkan Penuntut
Umum pada identifikasi orang yang menjadi pengendali
tindak pidana dalam korporasi. Uraian aktivitas orang-orang
alamiah di dalam/di luar korporasi akan mengarahkan
kepada pemenuhan unsur delik dimana orang yang menjadi
pengendali tindak pidana dalam korporasi memenuhi
kriteria sebagai orang yang:
11
a) menerima tanggung jawab berdasarkan surat
kuasa/tugas/perintah/keputusan dari
korporasi/pengurus korporasi;
b) menerima laporan;
c) membuat persetujuan/keputusan, dimana persetujuan
itu tidak memerlukan persetujuan lagi dari pejabat di
atasnya;
dimana atas kriteria dimaksud orang tersebut seharusnya
dapat mencegah, melakukan pengelolaan/pengurusan,
mengawasi, menjamin tindak pidana atau memastikan agar
tindak pidana itu terjadi
d. Menentukan subjek yang hendak didakwa orang yang
mengendalikan tindak pidana, korporasi atau keduanya.
e. Korporasi dapat didakwa apabila kriteria pemidanaan
terhadap korporasi dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a) syarat prosedural meliputi penilaian apakah
korporasi telah memperhatikan jalannya korporasi
secara sungguh-sungguh dengan selalu mencari
informasi yang lengkap (well informed) atas segala
kebijakan korporasi yang dapat mempengaruhi
terjadinya tindak pidana;
b) syarat substantif meliputi penilaian apakah dalam
pengambilan keputusan oleh korporasi, korporasi
sudah melakukan tindakan atau memberi respon
yang wajar atas laporan permasalahan yang terjadi
atau memicu tindak pidana berdasarkan
pertimbangan rasional yang diharapkan diterima oleh
hukum dalam menghadapi setiap situasi yang terjadi;
c) standar perilaku kehati-hatian tinggi (standard of
care) yang diharapkan dilakukan oleh Pengurus
Korporasi manapun sebagai konsekuensi dari
12
kewenangannya dalam memegang amanah
kepercayaan mengelola perusahaan (manajemen)
dengan selalu menjalankan tugas didasari itikad yang
baik, berhati-hati dalam menjalankan Korporasi
seolah-olah menjalankan perusahaan miliknya
sendiri serta mengambil keputusan secara logis
(reasonable believe) demi kepentingan terbaik
Korporasi;
d) penilaian bahwa sekalipun Korporasi berwenang
ternyata tidak melakukan pencegahan, tidak
melakukan pengawasan dan/atau tidak menjamin
untuk memastikan agar tindak pidana tidak terjadi;
e) ditujukan untuk mendapat keuntungan atau
memberi manfaat kepada korporasi
(5) Dalam hal kelengkapan formil dan materiil belum terpenuhi atau
subjek pada berkas perkara hasil penyidikan tidak sesuai dengan
arah penentuan subjek dakwaan atau pembuktian Penuntut
Umum maka Penuntut Umum memberi petunjuk kepada
Penyidik untuk melakukan pemeriksaan tambahan, pemeriksaan
terhadap subjek dakwaan yang lain atau pemisahan pemeriksaan
terhadap subjek dakwaan (splitzing)
(6) Dalam hal subjek yang disangkakan adalah orang yang
mengendalikan tindak pidana dalam korporasi maka berita acara
pemeriksaan tersangka adalah orang yang mengendalikan tindak
pidana dalam korporasi
(7) Dalam hal subjek yang disangkakan adalah korporasi maka
berita acara pemeriksaan tersangka adalah korporasi yang
diwakili oleh orang yang mewakili korporasi
(8) Penelitian kelengkapan materiil dilakukan dengan cara
meneliti terpenuhinya alat bukti dalam membuktikan
perbuatan materiil baik berbuat (commission) atau tidak
13
berbuat sesuatu (omission) yang mengakibatkan terjadinya
tindak pidana dan kesalahan korporasi yang tidak mengacu
pada keadaan psikologis pikiran manusia tetapi pada penilaian
terhadap perilaku atau apa yang dilakukan oleh korporasi,
sehingga memenuhi kriteria pemidanaan terhadap korporasi
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir (3), (4), (5), (6) (7)
dan (8) berlaku pula dalam hal Penuntut Umum melakukan
Penyidikan tindak pidana Perusakan Hutan dalam
menentukan kesalahan Korporasi.
14
pidana dalam korporasi mengingat korporasi bukan badan
hukum tidak memiliki harta tersendiri untuk dieksekusi,
meskipun pidana tambahan dapat diterapkan.
(5) Contoh surat dakwaan pada lampiran I terkait penuntutan
terhadap subjek korporasi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.
(6) Contoh surat dakwaan pada lampiran II terkait penuntutan
terhadap subjek orang yang mengendalikan tindak pidana
dalam korporasi.
15
atau pengurus lain yang mewakili Korporasi dengan surat
penunjukan atau surat kuasa yang sah.
(5) Dalam hal Pengurus sebagaimana butir (4) tidak menunjuk
orang yang mewakili korporasi maka Penuntut Umum
menentukan pengurus lain yang ada dalam susunan pengurus
pada AD/ART atau menentukan orang yang secara materiil
mengendalikan Korporasi atau orang yang relevan dengan
tindak pidana untuk mewakili Korporasi dan memanggil orang
tersebut dengan surat panggilan yang sah dan patut.
(6) Dalam hal Korporasi telah dipanggil secara patut tidak hadir,
menolak hadir atau tidak menunjuk pengurus untuk mewakili
Korporasi dalam pemeriksaan atau orang yang ditentukan
Penuntut Umum tidak hadir, maka Penuntut Umum memanggil
sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa
kepadanya.
(7) Dalam hal pengurus atau orang yang mewakili korporasi setelah
dipanggil dengan surat perintah membawa sebagaimana butir (6)
tidak ditemukan, maka Penuntut Umum melakukan penyidikan
untuk melengkapi berkas perkara tanpa dihadiri tersangka (in
absentia), sepanjang undang-undang mengatur persidangan in
absentia
Tata cara pemanggilan orang yang mewakili korporasi pada tahap
penuntutan meliputi:
(1) Pengurus yang mewakili Korporasi pada tingkat penyidikan wajib
pula hadir pada pemeriksaan Korporasi dalam sidang Pengadilan.
(2) Jika Pengurus sebagaimana dimaksud pada butir (1) tidak hadir
karena berhalangan sementara atau tetap, dan Hakim/Ketua
Sidang memerintahkan Penuntut Umum untuk menentukan dan
menghadirkan pengurus lainnya untuk mewakili Korporasi
sebagai terdakwa dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, maka
16
Penuntut Umum memanggil pengurus lain tersebut dengan surat
panggilan yang sah dan patut.
(3) Pengurus lain sebagaimana dimaksud pada butir (2) merupakan
pengurus lain yang ada dalam susunan pengurus pada AD/ART
atau Penuntut Umum menentukan orang yang secara materiil
mengendalikan korporasi atau orang yang relevan dengan tindak
pidana untuk mewakili Korporasi.
(4) Dalam hal pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana butir
(3) telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir dalam
pemeriksaan tanpa alasan yang sah, dan Hakim/ketua Sidang
menunda persidangan serta memerintahkan kembali kepada
Penuntut Umum untuk memanggil Pengurus yang mewakili
Korporasi untuk hadir pada hari sidang berikutnya, Penuntut
Umum memanggil kembali dengan surat panggilan yang sah dan
patut untuk kedua kalinya.
(5) Dalam hal Pengurus setelah dipanggil secara sah dan patut untuk
kedua kalinya sebagaimana pada butir (4), tidak hadir dan
Hakim/Ketua Sidang dengan penetapan Hakim memerintahkan
Penuntut Umum supaya pengurus tersebut dihadirkan dengan
paksa pada persidangan berikutnya, Penuntut Umum
berkoordinasi dengan Kepolisian untuk menghadirkan pengurus
yang mewakili Korporasi secara paksa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(6) Dalam hal pengurus/orang yang mewakili Korporasi setelah
dihadirkan dengan paksa melalui penetapan Hakim sebagaimana
dimaksud pada butir (5), tidak ditemukan, maka Penuntut Umum
melakukan persidangan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia)
sepanjang undang-undang mengatur persidangan in absentia.
5.5. Penuntutan
17
(1) Subjek yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana Korporasi
adalah:
a. Korporasi;
b. Orang yang mengendalikan tindak pidana dalam korporasi;
atau
c. Korporasi dan Orang yang mengendalikan tindak pidana
dalam korporasi.
(2) Kesengajaan diwujudkan oleh perbuatan orang-orang alamiah
yang mengendalikan tindak pidana, dimana sekalipun Ia
berwenang dan secara masuk akal dapat melakukan tindakan
pencegahan, justru tidak melakukan langkah-langkah untuk
mencegah tindakan terlarang, baik dengan berbuat (comissie)
ataupun tidak berbuat sesuatu (omissie) serta secara sadar
menerima kesempatan yang muncul agar tindakan terlarang
tersebut terlaksana. Dalam situasi tersebut Korporasi dianggap:
a. sengaja mendukung dilakukannya tindakan terlarang
tersebut
b. secara sadar menerima resiko untuk menghadapi akibat
yang dilarang dalam tindak pidana tersebut.
(3) Tindak pidana yang diwujudkan dari perbuatan oleh orang
alamiah yang mengendalikan tindak pidana sebagaimana diatur
pada butir (2) disebut juga sebagai tindak pidana fungsional.
(4) Dalam hal kesengajaan tidak terpenuhi namun pengurus
korporasi atau orang-orang alamiah yang mengendalikan
korporasi tidak ada sifat penghati-hati atau penduga-duga dalam
mengelola perusahaan, sedangkan yang bersangkutan dapat
menduga akibat yang dilarang undang-undang akan timbul
sementara langkah-langkah pencegahan tidak dilakukan, maka
elemen kelalaian terpenuhi.
18
5.6 Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembubaran, Pembekuan,
Pencabutan Izin dan/atau Menyatakan sebagai Korporasi Terlarang
Dalam pelaksanaan pidana tambahan pembubaran, pembekuan
atau pencabutan izin dan/atau menyatakan sebagai korporasi terlarang,
Jaksa melaksanakan langkah sebagai berikut:
(1) Membuat surat permintaan pembubaran, pembekuan,
pencabutan izin dan/atau menyatakan sebagai korporasi
terlarang kepada instansi yang berwenang dengan melampirkan
petikan putusan pengadilan atau salinan putusan pengadilan
setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde).
(2) Dalam hal korporasi yang akan dibubarkan, dibekukan, dicabut
izinnya dan/atau dinyatakan sebagai korporasi terlarang tidak
pernah terdaftar, disahkan, disetujui, diberitahukan, memiliki
izin atau amar putusan pengadilan tidak menyebutkan tempat
pengumuman pembubaran pembekuan, pencabutan izin
dan/atau menyatakan sebagai korporasi terlarang, maka Jaksa
meminta panitera pengadilan untuk mengumumkan pada papan
pengumuman pengadilan negeri dan/atau kantor pemerintahan
daerah pada pengadilan negeri tingkat pertama dimana perkara
tersebut diputus.
6. Penutup
Surat Edaran Jaksa Agung Muda ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
19
Ditetapkan : di Jakarta
pada tanggal : 19 Nopember 2018
NOOR ROCHMAD
20
Memori Penjelasan
Penjelasan Umum
Sebelum pertanggungjawaban pidana korporasi diterima dalam
hukum pidana, terdapat periode dimana pemikiran hukum di negara-negara
Eropa terkonsentrasi pada individu atau orang alamiah (natuurlijke persoon).
Pada saat itu sesuai dengan kemajuan ilmu fisika, konsep tindakan manusia
hanyalah dimaknai secara fisik. Sebuah tindakan (perbuatan pidana)
dianggap sebagai gerakan otot para aktor (pelaku fisik). Gagasan tindakan
seperti itu tentu tidak sesuai apabila disandingkan dengan perusahaan ketika
melakukan perbuatan, terlebih lagi tindak pidana. Oleh karena itu selama
berabad-abad hukum pidana menerima konsep bahwa suatu badan/entitas
tidak dapat dipidana (universitas delinquere non potest), dimana pidana hanya
dijatuhkan berdasarkan niat (hati nurani) pelaku dan penjatuhan pidana
berfungsi untuk membersihkan jiwa yang berdosa. Selama berabad-abad
pemikiran tersebut membuat perusahaan tidak dapat dijatuhi pidana, karena
mereka tidak memiliki tubuh untuk dihukum dan tidak ada jiwa yang
disalahkan (dikutuk) sebagai balasan atas dosa atau kesalahannya. Namun
kemudian hukum pidana terus berkembang seiring perkembangan tujuan
pemidanaan yang tidak lagi mengutamakan teori pembalasan dalam hukum
pidana, namun lebih kepada upaya agar pelaku kembali ke jalan yang benar
(reparatif)
Seiring dengan pergeseran tujuan pemidanaan, konsep
pertanggungjawaban pidana juga mengalami perkembangan, dan korporasi
sebagai entitas dianggap mampu berbuat jahat apalagi di saat modus dan
tipologi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi telah begitu massive
menimbulkan kerusakan serta memakan korban dibandingkan dengan
tipologi kejahatan konvensional. Konvensi internasional kemudian mengakui
bahwa korporasi sebagai entitas dianggap mampu melakukan kejahatan dan
dijatuhi pidana. Perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi
kemudian berkembang dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, perusahaan
dianggap fiksi hukum (subjek hukum) dimana individu di dalam perusahaan
21
dianggap sebagai pelaku fisik. Pada tahap kedua, korporasi dianggap setara
dengan manusia dimana dewan direksi dianggap sebagai kepala dan para
pelaku fisik dianggap sebagai tangan. Pada tahap ketiga, akhirnya korporasi
diakui memiliki kehidupan sendiri, mempunyai hak, kewajiban dan dapat
melakukan perbuatan hukum, yang dikendalikan oleh orang (natural persoon)
yang terlibat di dalamnya.
Model pertanggungjawan pidana korporasi yang berkembang sejak
pertengahan abad ke sembilan belas yakni menerima bahwa perilaku
korporasi tidak selalu dapat dijabarkan oleh perilaku orang perseorangan.
Korporasi bertindak untuk dirinya sendiri, sehingga baik Korporasi maupun
orang yang mengendalikan tindak pidana secara materiil dapat dipidana,
bahkan dalam tindak pidana tertentu yang dapat diatribusikan kepada
korporasi, tidak perlu mengidentifikasi orang-orang alamiah yang
mengendalikan tindak pidana secara materiil sehingga Korporasi itu dapat
dituntut dan dijatuhi pidana karena Korporasi itu dianggap mengendalikan
tindak pidana itu sendiri.
22
hanya orang yang melakukan pemalsuan vaksin yang diproses
pidana tetapi ketika sebuah rumah sakit menyuplai
penyuntikan vaksin kepada pasien rumah sakit dan ternyata
vaksin itu palsu, maka tindak pidana kemudian diarahkan
kepada korporasi. Rumah sakit dianggap bertanggung jawab
ketika proses pengadaan vaksin justru menghasilkan
persediaan vaksin yang ternyata palsu. Penuntut Umum
kemudian mencari perbuatan materiil yang dilakukan
korporasi. Dalam hal pengadaan itu dilakukan tidak sesuai
dengan prosedur maka korporasi harus dianggap berbuat
salah, namun apabila prosedur pengadaan vaksin sudah
dilakukan dengan benar atau prosedur pengadaan vaksin
sudah benar namun distributor yang resmi justru menyuplai
vaksin palsu, maka korporasi dapat berlepas tanggung jawab,
demikian pula dalam hal yang melakukan tugas penyuntikan
didelegasikan kepada klinik khusus yang dianggap sebagai
subsidiary dari Rumah Sakit, dan Rumah Sakit sudah
melakukan pengawasan terhadap klinik khusus yang
melakukan penyuntikan vaksin, dimana berdasarkan
dokumen atau berita acara pengawasan prosedur pengadaan,
distribusi maupun penyimpanan vaksin sudah sesuai dengan
prosedur namun tindak pidana tetap terjadi, maka tanggung
jawab itu hanya dikenakan kepada perusahaan subsidiary
b. Untuk mengidentifikasi pelaku tindak pidana dalam
pertanggungjawaban pidana korporasi, maka identifikasi tidak
semata-mata mencari:
a) kesalahan orang-orang alamiah yang melakukan tindakan
tertentu;
b) kesalahan pengurus korporasi; dan/atau
c) adakah hubungan kerja atau hubungan lain antara orang
alamiah yang bekerja di dalam/di luar korporasi
23
kecuali apabila hal itu menjadi unsur delik yang harus ikut
dibuktikan. Di dalam pendekatan hukum baru, semua itu
ditinggalkan karena perkembangan hukum dan penilaian
hakim lebih mencari siapa yang sesungguhnya “melakukan”
tindak pidana. Di negeri Belanda konsep ini disebut sebagai
“legal reality model”. Untuk mencari siapa orang yang secara
materiil mengendalikan tindak pidana dalam korporasi maka
Penuntut Umum tidak hanya perlu mencari hubungan kerja
atau hubungan lain antara orang alamiah yang bekerja di
dalam/di luar korporasi tetapi mencari uraian
aktivitas/kegiatan/pekerjaan yang dilakukan oleh orang
alamiah yang bekerja di dalam/di luar korporasi, dimana
rangkaian aktivitas itu mewujudkan unsur delik
c. Cukup jelas
d. Ketika Penuntut Umum meneliti berkas perkara, maka
Penuntut Umum sudah dapat menentukan sikap siapa yang
hendak didakwa, orang yang mengendalikan tindak pidana
dalam korporasi, korporasi atau kedua-duanya. Hal ini karena
ketika unsur delik sudah terpenuhi melalui aktivitas orang
alamiah yang bekerja di dalam/di luar korporasi, maka pada
umumnya orang yang mengendalikan tindak pidana dalam
korporasi lebih dahulu teridentifikasi oleh Penuntut Umum,
meskipun dalam hal tertentu, legal reality model memberitahu,
ada tindak pidana yang pasti dapat dilakukan/diatribusikan
kepada korporasi, contohnya tindak pidana yang merupakan
perbuatan melanggar perizinan usaha/tata kelola/pengadaan
dan sebagainya. Artinya korporasi mempunyai kewajiban
sebelum melakukan aktivitasnya melalui izin namun
kewajiban tidak dilakukan atau dilaksanakan tetapi tidak
sesuai dengan persyaratan, konten atau tujuan izinnya.
24
e. Kriteria pemidanaan terhadap Korporasi didasarkan pada
pemikiran bahwa kesalahan korporasi tidak sama dengan
kesalahan atau “schuld” pada orang alamiah (natuurlijke
persoon). Pada konsep “schuld” keadaan psikis diletakkan
pada pemikiran orang yang melakukan tindak pidana dan
adanya hubungan antara keadaan psikis dengan perbuatan
pelaku, sehingga pelaku dapat dicela karena melakukan
perbuatan tersebut. Pada pertanggungjawaban pidana
korporasi kesalahan korporasi tidak perlu dinilai dari apakah
ada “niat batin” atau keadaan psikologis tertentu dari orang-
orang alamiah yang mengendalikan tindak pidana dalam
Korporasi, tetapi mengacu pada perilaku atau apa yang
dilakukan oleh Korporasi. Oleh karena itu penilaian atas
kesalahan Korporasi diganti dengan istilah “kriteria
pemidanaan terhadap Korporasi”.
(5) Yang dimaksud dengan pemenuhan kriteria pemenuhan
kesalahan terhadap korporasi adalah penilaian yang dilakukan
Penuntut Umum dalam membuktikan kesalahan korporasi,
meskipun pembuktian atas kesalahan korporasi diserahkan
kepada Hakim. Salah satu doktrin yang cukup terkenal untuk
membantu Penuntut Umum membuktikan kesalahan korporasi
adalah doktrin power and acceptance vide putusan tanggal 16
Desember 1986, NJ 1987, 321. Doktrin power and acceptance
menjelaskan mengapa korporasi dapat
dipertanggungjawabpidanakan sebagaimana disampaikan dalam
putusan dimaksud. Majelis hakim memberikan pertimbangan
yang menyatakan, “dikatakan memimpin faktual apabila
fungsionari atau pejabat yang bersangkutan sekalipun berwenang
dan secara masuk akal dapat melakukannya justru tidak
melakukan langkah-langkah untuk mencegah tindakan terlarang
dan secara sadar menerima kesempatan yang kemudian muncul
25
agar tindakan terlarang tersebut terlaksana”. Dalam situasi
tersebut, Pengadilan menganggap Korporasi sengaja mendukung
dilakukannya tindakan terlarang itu. Dalam kasus yang diperiksa,
penerimaan atas tindak pidana tersebut dianggap terjadi, jika yang
bersangkutan mengetahui bahwa dilakukannya tindak pidana
secara faktual oleh korporasi berkaitan langsung dengan apa yang
didakwakan”.
(6) Cukup jelas
(7) Cukup jelas
(8) Cukup jelas
(9) Cukup jelas
5.3 Bentuk Surat Dakwaan
(1) Cukup Jelas
(2) Pemisahan dakwaan dilakukan dengan mengingat ketentuan
penggabungan dakwaan dalam KUHAP tidak mungkin
dilakukan untuk subjek hukum korporasi karena KUHAP hanya
mengenal pertanggungjawaban individu. Selain itu apabila
subjek Korporasi dan Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana
Dalam Korporasi digabung dalam satu surat dakwaan, maka
seolah-olah berlaku konsep “penyertaan tindak pidana”
(deelneming). Padahal teori deelneming mensyaratkan, ada lebih
dari 1 (satu) subjek bersama-sama melakukan tindak pidana,
adanya keinsyafan bersama untuk mewujudkan akibat serta
masing-masing peserta tidak harus memenuhi unsur delik.
Teori itu menyebabkan sulit melakukan formulasi fakta hukum
dalam surat dakwaan yang menguraikan adanya kerjasama
secara sadar (insyaf) antara korporasi dengan orang yang
mengendalikan tindak pidana dalam korporasi untuk
mewujudkan tindak pidana ataupun menguraikan peran
masing-masing peserta (korporasi dan orang yang
mengendalikan tindak pidana) untuk mewujudkan suatu anasir
26
delik. Kesulitan dalam melakukan formulasi fakta hukum dalam
satu surat dakwaan dan belum adanya “lompatan” konsep atau
teori hukum yang dapat menjembatani ke dalam surat dakwaan
yang menggabungkan kedua subjek menyebabkan pendekatan
yang paling logis dalam penyusunan surat dakwaan adalah
dengan melakukan pemisahan surat dakwaan. Namun dalam
hal korporasi dengan korporasi lain bekerjasama demi
keuntungan/kepentingan salah satu atau masing-masing
korporasi atau orang yang mengendalikan tindak pidana dalam
korporasi melakukan kerjasama dengan orang lain baik di dalam
maupun di luar korporasi dan kerjasama itu ditujukan dengan
maksud menguntungkan korporasi, maka konsep penyertaan
(deelneming) tetap berlaku.
(3) Tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi seringkali disebut
sebagai tindak pidana fungsional dimana perbuatan Korporasi
secara fisik diwujudkan dari perbuatan organ perusahaan atau
orang-orang yang mengendalikan tindak pidana. Hal ini
menyebabkan uraian fakta yang mendukung unsur delik baik
dalam dakwaan dengan subjek Korporasi maupun dalam
dakwaan subjek Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana
Dalam Korporasi memiliki uraian fakta yang kurang lebih sama.
Akibatnya ada kekhawatiran dianggap sebagai satu perbuatan
pidana, sehingga jika dituntut secara bersamaan, Pengadilan
akan menganggap sebagai penuntutan atas fakta yang sama
yang dilakukan oleh subjek yang sama (nebis in idem). Secara
konseptual, pertanggungjawaban pidana korporasi tidak
memandang bahwa Korporasi dan Orang Yang Mengendalikan
Tindak Pidana Dalam Korporasi sekalipun melakukan
perbuatan dengan fakta yang sama, dianggap sebagai 1 (satu)
subjek pelaku yang sama sehingga dipandang sebagai
penuntutan untuk kedua kalinya berdasarkan fakta yang sama
27
(nebis in idem). Bagaimanapun Korporasi telah menjadi
“perluasan subjek” dari orang alami (natuurlijke persoon) yang
mengatur bahwa penuntutan dalam membuktikan
pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dilakukan
terhadap 2 (dua) subjek, yaitu Korporasi dan/atau Orang Yang
Mengendalikan Tindak Pidana Yang Dilakukan Korporasi. Azas
nebis in idem baru terjadi, jika Orang Yang Mengendalikan
Tindak Pidana Dalam Korporasi dituntut lagi secara pribadi atas
fakta yang sama.
(4) Dalam hal Penuntut Umum menuntut Korporasi maka Penuntut
Umum menguraikan fakta bahwa Korporasi telah gagal
mencegah terjadinya tindak pidana
(5) Dalam hal Penuntut Umum menuntut Orang Yang
Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi, maka Penuntut
Umum menguraikan fakta bahwa ketika tindak pidana terjadi
orang tersebut telah melakukan perbuatan dimana Ia telah gagal
mencegah sehingga tindak pidana terjadi atau ketika Ia memiliki
kewenangan untuk itu telah gagal mencegahnya. Bahkan ketika
Korporasi tidak terbukti melakukan perbuatan pidana, Orang
Yang Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi masih
dapat dituntut pidana karena telah mengendalikan tindak
pidana yang terjadi.
(6) Cukup Jelas
5.4 Pemanggilan Orang Yang Mewakili Korporasi
Cukup Jelas
5.5 Penuntutan
(1) Subjek yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana
korporasi
a. Cukup Jelas
b. Yang termasuk orang yang mengendalikan tindak pidana
dalam korporasi, adalah:
28
a) orang itu tidak harus punya jabatan atau kedudukan
tertentu dalam korporasi, bahkan seorang
bawahan/karyawan biasa dapat menjadi pengendali
tindak pidana
b) pengurus atau pemilik manfaat korporasi yang
kebijakannya telah menyebabkan tindak pidana
terjadi
c) orang yang mempunyai inisiatif atau perbuatannya
telah berkontribusi terhadap terjadinya tindak
pidana
d) orang yang pasif namun tidak mencegah atau
menghentikan tindak pidana padahal ia punya
kewenangan untuk itu
c. Cukup Jelas
(2) Cukup Jelas
(3) Cukup Jelas
(4) Cukup Jelas
5.6 Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembubaran, Pembekuan,
Pencabutan Izin dan/atau Menyatakan Sebagai Korporasi Terlarang
Cukup Jelas
29
Lampiran I
Nomor : SE-001/E/EJP/11/2018
Tentang : Teknis Penanganan Perkara Tindak
Pidana Umum Dengan Subjek Hukum
Korporasi
SURAT DAKWAAN
No.Reg.Perkara: PDM- /kode Satuan Kerja Kejaksaan/ Bulan/Tahun
30
Nomor Wajib Daftar Perusahaan : AHU-0076928.AH.01.09 Tahun
2010 tanggal 22 Oktober 2010
31
bisa berbeda, dalam hal korporasi biarpun ada pergantian
pengurus tetapi ada bukti-bukti yang menunjukkan sejak
tahun….s/d……telah melakukan tindak pidana, seperti dalam
bukti data ilmiah dan saksi-saksi menunjukkan telah ada
aktivitas yang melanggar, maka tempus delictie korporasi bisa
saja menunjukkan periode waktu tindak pidana yang lebih
lama. Sedangkan untuk tempus delictie Orang Yang
Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi, apabila Ia juga
sekaligus Pengurus Korporasi, lebih tepat ketika Ia menjabat di
suatu periode waktu terjadi tindak pidana, sehingga pembuktian
pada kebenaran materiil lebih mudah dilakukan.
Catatan: Untuk tindak pidana Informasi dan Teknologi
Elektronik (Cyber Crime) berkembang teori Cyber Crime yaitu:
Teori Kapan diunggah (Theory of The Uploader)
Teori Kapan diunduh (Theory of The Downloader)
Teori Hukum Peladen (Theory of The Law of the Server)
Server adalah sebuah sistem komputer yang menyediakan jenis
layanan (service) tertentu dalam sebuah jaringan komputer.
Server digunakan untuk menyimpan berbagai data/informasi
elektronik yang dapat diakses serta mengkoneksikan komputer
ke jaringan internet. Oleh karena itu teori Server membantu
menentukan tempus kapan Penyidik mengakses data/informasi
elektronik berdasarkan tanggal diakses oleh Penyidik melalui
server pada halam web yang menjadi objek tindak pidana.
32
bertempat di kebun pengembangan (Seunaam) PT JAGAT
SETALI Afdeling F (Fanta), E (Echo), D (Delta), G (Golf) dan
Afdeling I (India) kebun Afdeling, Desa Suak Bahung,
Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi
Aceh, di dalam koordinat: 96˚14'43" - 96˚26'58" BT dan 5˚44'53"
- 3˚42'30" LU atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Meulaboh yang
berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,
Catatan:
Pada tindak pidana Kehutanan /Penerbangan / Kelautan /
Perikanan atau yang terkait dengan hal tersebut, seringkali
lokasi dilihat dari titik koordinat, sehingga titik koordinat tempat
terjadinya tindak pidana dihubungkan dengan peta geografi
wilayah.
33
dimana perbuatan itu dilakukan oleh untuk atau atas nama badan
usaha, yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut
34
Parameter yang digunakan untuk mengukur pencemaran
atau kerusakan lingkungan hidup adalah baku mutu
pencemaran lingkungan hidup atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.
35
mengurusi pekerjaan administrasi kantor (menunjukkan
tidak ada kebijakan korporasi untuk melakukan
pelatihan pengendalian kebakaran padahal di dalamUKL-
UPL, hal tersebut merupakan kewajiban bagi korporasi
yang membuka usaha perkebunan kelapa sawit apalagi di
sekitar lahan gambut)
36
korporasi. Artinya betul Ia menerima laporan dari
bawahannya namun tidak memiliki tindakan cepat dan
efektif untuk memadamkan api, sehingga dianggap
menerima resiko kebakaran lahan terjadi di
perusahaanya.)
37
Catatan: Holding company adalah kerja sama antara beberapa
perusahaan dimana salah satu perusahaan bertujuan untuk
memiliki saham dari perusahaan yang lain. Perusahaan Induk
bisa mengatur jalannya perusahaan yang dimiliki sahamnya
tersebut (perusahaan subsidiary). Holding Company
merupakan suatu penciptaan perseroan yang secara khusus
dipersiapkan untuk memegang saham perseroan lain dengan
tujuan investasi baik dengan kontrol nyata maupun tidak.
38
Pada tanggal 3 April 2012, saksi ZULKIFLI selaku Kepala
Urusan Penyidikan dan Pengamanan Hutan, Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA), Provinsi Aceh bersama dengan
Tim antara lain KHAIDIR selaku Kepala Urusan Pengendalian
Kebakaran Hutan, BKSDA, saksi AZANUDDIN selaku teknisi
lapangan GIS, BKSDA dan saksi SUPRIADI selaku Operator
GIS, BKSDA mendapat perintah melakukan pengecekan titik
api berdasarkan data hotspot sekitar bulan Maret 2012 yang
terjadi di lahan kebun PT. JAGAT SETALI, Kabupaten Nagan
Raya, Provinsi Aceh.
39
pihak perusahaan melakukan pemadaman api. (Tim Teknis
dapat menjadi saksi “pembiaran” yang dilakukan
korporasi)
40
Uraian tidak adanya upaya pencegahan yang dilakukan oleh
korporasi sehingga korporasi dianggap menerima atau
menyetujui tindak pidana itu terjadi.
41
secara kolektif diwujudkan membentuk kesalahan
korporasi)
42
kedalaman lahan gambut yang dibuka (land clearing) untuk
kebun tanaman sawit, bahkan setelah terjadinya kebakaran
Menara Pemantau Kebakaran baru dibangun dan petugas
pemantau api di afdeling F hanya direkrut 1 orang hanya
dengan dibekali HT, teropong, timba/ember, sepatu,
parang, uang BBM, dan buku laporan operasional afdeling F,
karena perusahaan PT JAGAT SETALI selama ini tidak
memiliki budget (biaya operasional) untuk tiap afdeling dan
hanya menganggarkan biaya operasional rutin tanaman
sawit di kebun. (begitu banyak kebijakan korporasi yang
tidak dilakukan sehingga membangun anasir kesalahan
korporasi. PU perlu mengidentifikasi hal ini, untuk
kemudian mengumpulkan alat bukti yang mendukung
ketiadaan kebijakan korporasi tersebut)
43
tgl.17 Juni 6 titik,
tgl.19 Juni 7 titik,
tgl.20 Juni 4 titik,
tgl.21 Juni 3 titik,
tgl.22 Juni 4 titik,
tgl.26 Juni 3 titik.
Dimana data foto satelit hotspot Modis tahun 2012 yang
dikeluarkan oleh data NASA juga ditegaskan dalam Surat
Keterangan Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan Prof Dr. Baruna
Sejati yang juga menunjukkan bahwa areal yang terbakar
cenderung memiliki hotspot yang mengelompok pada periode
tententu, sebagai berikut:
44
dibandingkan dengan standar baku mutu yang ada maka
gas yang dilepaskan selama kebakaran berlangsung telah
melewati batas ambang yang Peraturan Gubernur Nomor
41/Per/XII/2010 Tentang Penetapan Baku Mutu Udara
Ambien
iii. Penutup
Mencantumkan pasal perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana
Catatan
Dalam hal ancaman pidana diatur dalam pasal
tersendiri ancaman pidana dijuntokan dengan pasal
perbuatan pidana
Dalam hal subjek tindak pidana korporasi diatur dalam
pasal tersendiri atau ketentuan pemberatan pidana,
maka ketentuan yang mengatur dijunctokan dengan
pasal perbuatan/ketentuan pemberatan pidana
Dalam hal ada ancaman pidana pemberatan, maka
ketentuan yang mengatur dijuntokan pasal perbuatan
pidana
45
Ditetapkan : di Jakarta
pada tanggal : 19 Nopember 2018
NOOR ROCHMAD
46
Lampiran II
Nomor : SE-001/E/EJP/11/2018
Tentang : Teknis Penanganan Perkara Tindak
Pidana Umum Dengan Subjek Hukum
Korporasi
Kejaksaan…………………………….. P-29
“Untuk Keadilan”
SURAT DAKWAAN
No.Reg.Perkara: PDM- /Kode Satuan Kerja Kejaksaan/ Bulan/Tahun
i. Pendahuluan
Legal persona standi in judicio Korporasi/Orang Mengendalikan Tindak
Pidana Dalam Korporasi atau dokumen formal yang menjadi dasar
sebagai Pengurus Korporasi
o ---------------- Bahwa Terdakwa Ir MARZUKI, di dalam
kedudukannya sebagai orang yang memberi perintah (apabila
Pengurus yang menjadi subjek tindak pidana dibedakan antara
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
47
dalam tindak pidana tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 116
ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), yakni Terdakwa
sebagai Direktur PT Jagat Setali, berdasarkan Akta Notaris PT
JAGAT SETALI Nomor 51 Tanggal 27 Oktober 2010 yang disahkan
dengan SK.Menkeh No. AHU-AH.01.10-31369, 15 Des 2010 dan
Akta Perubahan nomor 6 tanggal 9 Mei 2011, yang disahkan
dengan SK Menkeh No. AHU-47385.AH.01.02 tahun 2011 tanggal
29 September 2011
tempus delictie atau waktu tindak pidana dilakukan (syarat dakwaan
jelas)
o Pada tanggal 18 Maret sampai dengan 26 Maret 2012 dan pada
tanggal 17 Juni sampai dengan 26 Juni 2012 atau setidak-
tidaknya pada suatu waktu di sekitar bulan Maret dan bulan Juni
dalam tahun 2012 (tempus delictie dalam perkara ini diambil darbis
titik hot spot dan kejadian kebakaran lahan di PT JAGAT SETALI).
o Tempus delictie pada subjek Orang yang mengendalikan tindak
pidana dalam korporasi bisa saja berbeda dengan tempus delictie
terdakwa Korporasi. Tempus Delictie bisa berada dalam jangka
waktu ketika tindak pidana terjadi pada saat Korporasi itu
menjalankan usaha/kegiatannya terkait tindak pidana, namun
tempus delictie untuk subjek Orang Yang Mengendalikan Tindak
Pidana tidak selalu sama yaitu pada saat tindak pidana terjadi
tetapi pada saat tindak pidana terjadi dan pada saat yang sama
ketika Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana Dalam Korporasi
pada fakta hukum melakukan perbuatan untuk dan/atau atas
nama korporasi atau pada saat Ia memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan pencegahan telah gagal mencegah tindak
pidana itu terjadi atau pada saat tindak pidana terjadi dan Ia
sedang menjabat sebagai Pengurus Korporasi.
o Pada fakta hukum perkara contoh surat dakwaan ini sebenarnya
ada tempus delictie lain yang dapat diambil ketika fakta hukum
menunjukkan terdakwa Ir MARZUKI yang semula merupakan
Direktur pada PT AMARA, perusahaan induk (parent company) dari
48
PT JAGAT SETALI, dan dalam masa kedudukan fungsionalnya di
PT AMARA telah mengetahui laporan adanya kebakaran lahan dari
Kepala Proyek PT JAGAT SETALI sebagai perusahaan subsidiary
yaitu saksi MARPI’I yang bertanggungjawab dan melapor kepada
Terdakwa, namun Terdakwa telah gagal mencegah, memadamkan
atau memastikan agar kebakaran tidak terjadi. Selanjutnya ketika
Terdakwa menjabat sebagai Direktur pada PT JAGAT SETALI, lagi-
lagi Terdakwa telah gagal mencegah tindak pidana tidak terjadi,
sehingga tempus delictie dikaitkan dengan waktu ketika terdakwa
menjabat sebagai Direktur di PT AMARA dan PT JAGAT SETALI)
Catatan:
Dalam membuktikan tempus delictie, Penuntut Umum perlu
melengkapi berkas perkara dengan saksi atau alat bukti yang lain
yang menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Hubungan tanggung jawab perusahaan antara PT AMARA
sebagai induk perusahaan (parent company) dengan PT JAGAT
SETALI sebagai perusahaan subsidiari untuk membuktikan PT
AMARA sebagai holding company menerima laporan, mengurus
operasional PT JAGAT SETALI atau melakukan kontrol yang
nyata terhadap PT JAGAT SETALI serta yang terpenting
menerima keuntungan atau manfaat dari usaha perkebunan
PT JAGAT SETALI. Dalam hal perusahaan itu tidak memiliki
perusahaan afiliasi, tempus delictie dapat berada pada waktu-
waktu dimana Orang Yang Mengendalikan Tindak Pidana
menjabat sebagai Perngurus Korporasi di perusahaan
dimaksud atau waktu-waktu dimana orang tersebut secara
nyata/materiil melakukan perbuatan yang mengendalikan
tindak pidana untuk dan/atau atas nama korporasi sehingga
memberi manfaat bagi korporasi
Akta Notaris yang menunjukkan terdakwa sebagai susunan
pengurus/jajaran dewan direksi pada PT AMARA
Akta Notaris yang menunjujjan terdakwa sebagai susunan
pengurus/jajaran dewan direksi pada PT JAGAT SETALI
49
locus delicitie atau tempat perbuatan pidana dilakukan (syarat
dakwaan jelas) (PU dapat menggunakan alternatif dari 3 (tiga) teori
locus delicite)
Ajaran perbuatan fisik/materiil dilakukan
Ajaran bekerjanya alat/instrumen yang digunakan
Ajaran akibat
Ajaran berbagai tempat tindak pidana (gabungan ajaran 1, 2
dan/atau 3. Biasa digunakan untuk Negara yang luas)
50
dan antara perbuatan yang satu dengan yang lain ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut
ciri khas tindak pidana yang dillakukan dalam ruang lingkup
pertanggungjawaban pidana korporasi dimana motif tindak pidana
yang terjadi ditujukan untuk kepentingan korporasi (syarat
dakwaan jelas)
dimana perbuatan itu dilakukan oleh untuk atau atas nama badan
usaha, yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut
51
meninggalkan lahan gambut sebesar 40% atau 5000 ha dari
lahan yang dimiliki, terutama yang berkedalaman lebih dari 3
meter
Bahwa PT JAGAT SETALI merupakan perusahaan subsidiary
(anak perusahaan) dari PT AMARA (Induk Perusahaan) yang
berkedudukan di Jakarta Selatan
(Keterangan dalam hukum Korporasi terkait Holding Company)
o “Perseroan Anak” atau Subsidiary menjalankan bisnis
“Perseroan Induk” (Parent Company). Dengan demikian,
sesuai dengan prinsip keterpisahan (separation) dan
perbedaan (distinction) yang dikenal dengan istilah separate
entity, maka aset Perseroan Induk dengan Perseroan Anak
“terisolasi” terhadap kerugian potensial (potential losses)
yang akan dialami oleh satu di antara perseroan tersebut.
52
dengan tindak pidana yang terjadi sehingga membantu
terbentuknya keyakinan hakim dan memudahkan pembuktian
meskipun pada delik formil causalitas tidak perlu dibuktikan.
53
korporasi yang membuka usaha perkebunan kelapa sawit
apalagi di sekitar lahan gambut)
54
menerima resiko kebakaran lahan terjadi di
perusahaanya)
55
bisa mengatur jalannya perusahaan yang dimiliki sahamnya
tersebut (perusahaan subsidiary). Holding Company
merupakan suatu penciptaan perseroan yang secara khusus
dipersiapkan untuk memegang saham perseroan lain dengan
tujuan investasi baik dengan kontrol nyata maupun tidak.
56
hukum untuk mengarahkan kehendak korporasi agar tidak
bertentangan dengan hukum objektif maupun hukum
subjektif
57
saksi SUPRIYADI melakukan tugas teknis mengambil titik
koordinat lokasi yang sedang terbakar, di areal kebun PT
JAGAT SETALI yaitu X 96,502880, Y 3,834090; lokasi kebun
sawit (besar) yaitu X 96,518540, Y 3,835210; areal sisa
terbakar yaitu X 96,518290, Y 3,829070; dan lokasi titik api
(masih ada api yang terlihat) pada posisi X 96,532810,
Y3,834390. (Berita AcaraPengambilan Titik Koordinasi
yang dibuat Tim Teknis akan sangat membantu Penuntut
Umum kelak dalam mendukung pembuktian locus delictie)
58
i. Bahwa ketika MANGGALA AGNI membawa mobil pemadam
kebakaran, mobil pemadam tidak bisa masuk ke areal lahan PT
JAGAT SETALI yang terbakar, karena PT JAGAT SETALI tidak
membuat akses jalan masuk ke dalam kebun PT JAGAT
SETALI, sehingga akses jalan masuk hanya bisa dilalui dengan
berjalan kaki melewati log kayu yang dibentangkan antar blok
hingga hutan sisa, yang menjadi pinggiran lahan kebun
terbakar. Tidak adanya akses jalan masuk menyulitkan
pemadaman api. (tidak adanya akses jalan masuk, sekali
lagi merupakan ketiadaan kebijakan korporasi dalam
pengendalian kebakaran lahan)
j. Dst.................
59
JAGAT SETALI (kesemua kewajiban ini dilanggar oleh
korporasi karena ketiadaan kebijakan, SOP, anggaran
yang disediakan untuk melaksanakan peraturan tersebut
60
forum RUPS tidak pernah digunakan terdakwa Ir MARZUKI
yang memiliki kewenangan sebagai Presdien Direktur untuk
menggunakan forum RUPS untuk mencegah, melakukan
pemadaman dan menjamin agar kebakaran lahan tidak
terjadi
61
melakukan tindakan apapun untuk mencegah tindak
pidana terjadi. Penuntut Umum perlu mengidentifikasi hal
ini, untuk kemudian mengumpulkan alat bukti yang
mendukung ketiadaan kebijakan korporasi tersebut)
62
Sejati yang juga menunjukkan bahwa areal yang terbakar
cenderung memiliki hotspot yang mengelompok pada periode
tententu, sebagai berikut:
i. Bahwa hasil pengamatan terhadap beberapa titik sampel
yang dianalisa dilapangan sebagaimana tercantum dalam
Tabel Pengambilan Sampel yang dibuat oleh Ahli kebaran
Hutan dan Lahan Prof Dr. Baruna Sejati tanggal 23 Juli
2012 menunjukkan bahwa kebakaran telah merusak
lapisan permukaan tanah dengan ketebalan yang
berkisar antara 5-10 cm. Lapisan permukaan gambut
yang rusak karena terbakar di lahan perkebunan sawit
PT. JAGAT SETALI tersebut sulit dikembalikan lagi seperti
kondisi awal karena telah rusak, dan tidak kembali lagi
sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem di
lahan bekas terbakar tersebut.
ii. Penutup
Mencantumkan pasal perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana
Catatan
63
i. Dalam hal ancaman pidana diatur dalam pasal
tersendiri ancaman pidana dijuntokan dengan pasal
perbuatan pidana
ii. Dalam hal subjek Orang Yang Mengendalikan Tindak
Pidana Dalam Korporasi diatur dalam pasal tersendiri,
atau ketentuan pemberatan pidana, maka ketentuan
yang mengatur dijunctokan dengan pasal
perbuatan/ketentuan pemberatan pidana
iii. Dalam hal ada ancaman pidana pemberatan, maka
ketentuan yang mengatur dijuntokan pasal perbuatan
pidana
Ditetapkan : di Jakarta
pada tanggal : 19 Nopember 2018
NOOR ROCHMAD
64
65
www.hukumonline.com/pusatdata
Menimbang:
a. bahwa tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat mengancam
stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, serta membahayakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, perlu adanya pengaturan dan mekanisme
untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi guna memperoleh informasi mengenai pemilik
manfaat yang akurat, terkini, dan tersedia untuk umum;
c. bahwa korporasi dapat dijadikan sarana baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak
pidana yang merupakan pemilik manfaat dari hasil tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme, selama ini belum ada pengaturannya sehingga perlu mengatur penerapan prinsip
mengenali pemilik manfaat dari korporasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Presiden tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi
Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENALI PEMILIK MANFAAT DARI
KORPORASI DALAM RANGKA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANG DAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME.
66
www.hukumonline.com/pusatdata
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi,
dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk
mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung
maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini.
3. Instansi Berwenang adalah instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang memiliki
kewenangan pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan, perizinan usaha, atau
pembubaran Korporasi, atau lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan
bidang usaha Korporasi.
4. Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi adalah sistem administrasi yang diselenggarakan oleh
Instansi Berwenang dalam pemberian pelayanan pendaftaran, pengesahan, persetujuan,
pemberitahuan, perizinan usaha, atau pembubaran Korporasi, baik secara elektronik maupun
nonelektronik.
Pasal 2
(1) Pengaturan dalam Peraturan Presiden ini melingkupi penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat
dari Korporasi.
(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perseroan terbatas;
b. yayasan;
c. perkumpulan;
d. koperasi;
e. persekutuan komanditer;
f. persekutuan firma; dan
g. bentuk korporasi lainnya.
BAB II
PENETAPAN PEMILIK MANFAAT KORPORASI
Pasal 3
(1) Setiap Korporasi wajib menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi.
(2) Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit merupakan 1
(satu) personil yang memiliki masing-masing kriteria sesuai dengan bentuk Korporasi.
67
www.hukumonline.com/pusatdata
Pasal 4
(1) Pemilik Manfaat dari perseroan terbatas merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki saham lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perseroan terbatas sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar;
b. memiliki hak suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perseroan terbatas
sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar;
c. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau
laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun;
d. memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi
dan anggota dewan komisaris;
e. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan
terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
f. menerima manfaat dari perseroan terbatas; dan/atau
g. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, huruf f,
dan huruf g merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
Pasal 5
(1) Pemilik Manfaat dari yayasan merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki kekayaan awal lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada yayasan sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar;
b. memiliki kewenangan untuk mengangkat atau memberhentikan pembina, pengurus, dan
pengawas yayasan;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan yayasan
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
d. menerima manfaat dari yayasan; dan/atau
e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kekayaan lain atau penyertaan pada yayasan.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
Pasal 6
(1) Pemilik Manfaat dari perkumpulan merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki sumber pendanaan lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perkumpulan
sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar;
b. menerima hasil kegiatan usaha lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau
laba yang diperoleh perkumpulan per tahun;
c. memiliki kewenangan untuk mengangkat atau memberhentikan pengurus dan pengawas
perkumpulan;
d. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perkumpulan
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
e. menerima manfaat dari perkumpulan; dan/atau
68
www.hukumonline.com/pusatdata
Pasal 7
(1) Pemilik Manfaat dari koperasi merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. menerima sisa hasil usaha lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau laba
yang diperoleh koperasi per tahun;
b. memiliki kewenangan baik langsung maupun tidak langsung, dapat menunjuk atau
memberhentikan pengurus dan pengawas koperasi;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan koperasi
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
d. menerima manfaat dari koperasi; dan/atau
e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas modal koperasi.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
Pasal 8
(1) Pemilik Manfaat dari persekutuan komanditer merupakan orang perseorangan yang memenuhi
kriteria:
a. memiliki modal dan/atau nilai barang yang disetorkan lebih dari 25% (dua puluh lima persen)
sebagaimana tercantum dalam perikatan pendirian persekutuan komanditer;
b. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau
laba yang diperoleh persekutuan komanditer per tahun;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan persekutuan
komanditer tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
d. menerima manfaat dari persekutuan komanditer; dan/ atau
e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas modal dan/atau nilai barang yang disetorkan
pada persekutuan komanditer.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
Pasal 9
(1) Pemilik Manfaat dari persekutuan firma merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki modal yang disetorkan lebih dari 25% (dua puluh lima persen) sebagaimana tercantum
dalam perikatan pendirian persekutuan firma;
b. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau
laba yang diperoleh persekutuan firma per tahun;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan persekutuan
firma tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
69
www.hukumonline.com/pusatdata
Pasal 10
(1) Pemilik Manfaat dari bentuk korporasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf g
merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki modal, baik dalam bentuk uang atau aset lainnya yang bernilai lebih dari 25% (dua
puluh lima persen) sebagaimana tercantum dalam perikatan pendirian korporasi;
b. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) atau laba yang
diperoleh korporasi per tahun;
c. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan korporasi
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun;
d. menerima manfaat dari korporasi; dan/atau
e. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas modal yang disetorkan pada korporasi.
(2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
dan huruf e merupakan orang perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
Pasal 11
Korporasi menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi berdasarkan informasi yang diperoleh melalui:
a. anggaran dasar termasuk dokumen perubahan anggaran dasar, dan/atau akta pendirian Korporasi;
b. dokumen perikatan pendirian Korporasi;
c. dokumen keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS), dokumen keputusan rapat organ
yayasan, dokumen keputusan rapat pengurus, atau dokumen keputusan rapat anggota;
d. informasi Instansi Berwenang;
e. informasi lembaga swasta yang menerima penempatan atau pentransferan dana dalam rangka
pembelian saham perseroan terbatas;
f. informasi lembaga swasta yang memberikan atau menyediakan manfaat dari Korporasi bagi Pemilik
Manfaat;
g. pernyataan dari anggota direksi, anggota dewan komisaris, pembina, pengurus, pengawas, dan/atau
pejabat/pegawai Korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya;
h. dokumen yang dimiliki oleh Korporasi atau pihak lain yang menunjukkan bahwa orang perseorangan
dimaksud merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas;
i. dokumen yang dimiliki oleh Korporasi atau pihak lain yang menunjukkan bahwa orang perseorangan
dimaksud merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kekayaan lain atau penyertaan pada
Korporasi; dan/atau
j. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pasal 12
70
www.hukumonline.com/pusatdata
(1) Korporasi menentukan kategori penetapan Pemilik Manfaat dari Korporasi sesuai dengan informasi
yang telah disampaikan oleh Korporasi kepada Instansi Berwenang.
(2) Penentuan kategori penetapan Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
menilai tingkat kualitas informasi Pemilik Manfaat.
(3) Kategori penetapan Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagai berikut:
a. teridentifikasinya Pemilik Manfaat;
b. belum teridentifikasinya Pemilik Manfaat; atau
c. belum terverifikasinya Pemilik Manfaat.
(4) Teridentifikasinya Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan kategori
Korporasi yang telah menetapkan Pemilik Manfaat setelah dilakukan identifikasi dan verifikasi Pemilik
Manfaat dari Korporasi.
(5) Belum teridentifikasinya Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan
kategori Korporasi yang telah menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi, namun belum dilakukan
identifikasi dan verifikasi.
(6) Belum terverifikasinya Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan
kategori Korporasi yang telah menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi setelah identifikasi
dilakukan, namun verifikasi belum dilakukan.
Pasal 13
(1) Selain Pemilik Manfaat yang telah ditetapkan oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Instansi Berwenang dapat menetapkan Pemilik Manfaat lain.
(2) Penetapan Pemilik Manfaat lain oleh Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas dasar penilaian Instansi Berwenang yang bersumber dari:
a. hasil audit terhadap Korporasi yang dilakukan oleh Instansi Berwenang berdasarkan Peraturan
Presiden ini;
b. informasi instansi pemerintah atau lembaga swasta yang mengelola data dan/ atau informasi
Pemilik Manfaat, dan/atau menerima laporan dari profesi tertentu yang memuat informasi
Pemilik Manfaat; dan/atau
c. informasi lain yang dapat dipertanggungiawabkan kebenarannya.
(3) Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum untuk perseroan
terbatas, yayasan, dan perkumpulan;
b. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dan usaha kecil
dan menengah untuk koperasi;
c. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk
persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya; dan
d. lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan bidang usaha Korporasi.
BAB III
PENERAPAN PRINSIP MENGENALI PEMILIK MANFAAT
Pasal 14
(1) Korporasi wajib menerapkan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.
71
www.hukumonline.com/pusatdata
(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjuk pejabat atau pegawai untuk:
a. melaksanakan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi; dan
b. menyediakan informasi mengenai Korporasi dan Pemilik Manfaat dari Korporasi atas dasar
permintaan Instansi Berwenang dan instansi penegak hukum.
Pasal 15
(1) Prinsip mengenali Pemilik Manfaat oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 meliputi:
a. identifikasi Pemilik Manfaat; dan
b. verifikasi Pemilik Manfaat.
(2) Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat oleh Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat:
a. permohonan pendirian, pendaftaran, pengesahan, persetujuan, atau perizinan usaha Korporasi;
dan/ atau
b. Korporasi menjalankan usaha atau kegiatannya.
Pasal 16
(1) Korporasi melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a melalui
pengumpulan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi.
(2) Pengumpulan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit mencakup:
a. nama lengkap;
b. nomor identitas kependudukan, surat izin mengemudi, atau paspor;
c. tempat dan tanggal lahir;
d. kewarganegaraan;
e. alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas;
f. alamat di negara asal dalam hal warga negara asing;
g. Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor identitas perpajakan yang sejenis; dan
h. hubungan antara Korporasi dengan Pemilik Manfaat.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan dokumen pendukung.
Pasal 17
(1) Korporasi melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b melalui
penelitian kesesuaian antara informasi Pemilik Manfaat dengan dokumen pendukung.
(2) Dalam hal diperlukan, Instansi Berwenang dapat melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf b.
Pasal 18
(1) Korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai Pemilik Manfaat kepada Instansi
Berwenang.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan surat pernyataan dari
72
www.hukumonline.com/pusatdata
Pasal 19
(1) Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi pada saat permohonan pendirian,
pendaftaran, pengesahan, persetujuan, atau perizinan usaha Korporasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dilakukan melalui:
a. penyampaian informasi Pemilik Manfaat dalam hal Korporasi telah menetapkan Pemilik
Manfaat; atau
b. penyampaian surat pernyataan kesediaan Korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik
Manfaat kepada Instansi Berwenang dalam hal Korporasi belum menetapkan Pemilik Manfaat.
(2) Korporasi yang belum menyampaikan informasi Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b wajib menetapkan dan menyampaikan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi
Berwenang paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Korporasi mendapat izin usaha/tanda terdaftar dari
instansi/lembaga berwenang.
(3) Korporasi menyampaikan informasi atau surat pernyataan Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) melalui Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi.
Pasal 20
(1) Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi pada saat Korporasi menjalankan usaha
atau kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, dilakukan dengan cara
Korporasi menyampaikan setiap perubahan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang
melalui Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi.
(2) Penyampaian perubahan informasi Pemilik Manfaat oleh Korporasi kepada Instansi Berwenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
terjadinya perubahan informasi Pemilik Manfaat.
Pasal 21
Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi Pemilik Manfaat secara berkala setiap 1 (satu) tahun.
Pasal 22
(1) Korporasi, notaris, atau pihak lain yang menerima kuasa dari Korporasi wajib menatausahakan
dokumen terkait Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun
sejak tanggal pendirian atau pengesahan Korporasi.
(2) Dalam hal Korporasi bubar, likuidator wajib menatausahakan dokumen terkait Pemilik Manfaat dari
Korporasi dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sejak pembubaran Korporasi.
(3) Dokumen terkait Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
meliputi:
a. dokumen perubahan Pemilik Manfaat dari Korporasi;
73
www.hukumonline.com/pusatdata
b. dokumen pengkinian informasi Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan
c. dokumen lain terkait informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 23
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dilakukan oleh
Instansi Berwenang.
(2) Dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Berwenang
memiliki kewenangan:
a. menetapkan regulasi atau pedoman sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden ini sesuai
dengan kewenangannya;
b. melakukan audit terhadap Korporasi; dan
c. mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai
dengan ketentuan Peraturan Presiden ini.
(3) Pengawasan oleh Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
hasil penilaian risiko tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Berwenang bekerja
sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
(5) Dalam hal diperlukan untuk kepentingan pengawasan, Instansi Berwenang dapat berkoordinasi
dengan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 24
Korporasi yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 14, dan pasal
18 sampai dengan Pasal 22 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
KERJA SAMA DAN PERMINTAAN INFORMASI PEMILIK MANFAAT
Bagian Kesatu
Kerja Sama Informasi Pemilik Manfaat
Pasal 25
Instansi Berwenang mengelola informasi mengenai Pemilik Manfaat yang disampaikan oleh Korporasi dalam
Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi.
Pasal 26
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana
pendanaan terorisme oleh Korporasi, Instansi Berwenang dapat melaksanakan kerja sama pertukaran
informasi Pemilik Manfaat dengan instansi peminta, baik dalam lingkup nasional maupun
74
www.hukumonline.com/pusatdata
internasional.
(2) Pelaksanaan kerja sama pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup
nasional dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan kerja sama pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup
internasional dilakukan oleh Instansi Berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang hubungan luar negeri dan perjanjian internasional.
Pasal 27
(1) Kerja sama pertukaran informasi Pemilik Manfaat antara Instansi Berwenang dengan instansi peminta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) berupa permintaan atau pemberian informasi Pemilik
Manfaat secara elektronik atau non elektronik.
(2) Instansi peminta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. instansi penegak hukum;
b. instansi pemerintah; dan
c. otoritas berwenang negara atau yurisdiksi lain.
(3) Pemberian informasi Pemilik Manfaat secara elektronik oleh Instansi Berwenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian hak akses kepada instansi peminta.
(4) Pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada kerja sama antara
Instansi Berwenang dan instansi peminta.
Pasal 28
(1) Selain dengan instansi peminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Instansi Berwenang
dapat melaksanakan kerja sama pertukaran informasi Pemilik Manfaat dengan pihak pelapor.
(2) Pihak pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan setiap orang yang menurut peraturan
perundang-undangan mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
wajib menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
(3) Pemberian informasi Pemilik Manfaat kepada pihak pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Instansi Berwenang dalam rangka penerapan prinsip mengenali pengguna jasa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Permintaan Informasi Pemilik Manfaat
Pasal 29
(1) Setiap orang dapat meminta informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang.
(2) Permintaan informasi mengenai Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan
informasi publik.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
75
www.hukumonline.com/pusatdata
Pasal 30
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, Korporasi yang telah mendapatkan atau masih dalam
proses pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan, dan perizinan usaha berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, wajib mengikuti penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Peraturan Presiden ini paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak
Peraturan Presiden ini berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Peraturan Presiden ini mulai berlaku diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 5 Maret 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
76
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan.
Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman.
77
2014, No.1492
78
2014, No.1492
Pasal 4
Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Jaksa Agung ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2014
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
BASRIEF ARIEF
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
79
2014, No.1492
LAMPIRAN
PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 028/ A/JA/09/2014
TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PERKARA TINDAK
PIDANA DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI
PEDOMAN PENANGANAN PERKARA PIDANA
DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini, peran korporasi sudah sedemikian luasnya. Hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat melibatkan korporasi di
dalamnya. Dapat dilihat bahwa korporasi bergerak di berbagai bidang
seperti industri, pertanian, perbankan, kehutanan, pertambangan dan
sebagainya. Perkembangan masyarakat dalam bentuk korporasi juga
diikuti dengan perkembangan tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi.
Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi biasanya berbentuk
kejahatan kerah putih (white collar crime), umumnya dilakukan oleh
suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang
bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum
pidana yang berlaku. Selama ini sangat sulit dilakukan pengungkapan
Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi oleh karena
kompleksitas kerumitannya.
Menindak pelaku kejahatan secara konvensional atas kejahatan yang
dilakukan merupakan hal penting namun tidak kalah pentingnya
adalah menindak pelaku Tindak Pidana dengan subjek hukum
Korporasi sekaligus memberikan perlindungan dan keadilan kepada
korban kejahatan korporasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, penanganan perkara pidana dengan
subjek hukum korporasi oleh aparat penegak hukum khususnya
Jaksa/Penuntut Umum masih mengalami kesulitan dan hambatan
dalam menindak pelaku pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Pedoman penanganan perkara pidana dengan subjek hukum korporasi
yang diberlakukan dalam kegiatan penyidikan, penuntutan dan
pelaksanaan putusan pengadilan perkara pidana yang melibatkan
korporasi perlu segera ditetapkan dalam Peraturan Jaksa Agung.
80
2014, No.1492
D. Asas
a. Kepastian hukum, kebenaran, keadilan dan kemanfaatan;
b. Profesionalitas dan proporsionalitas;
c. Cepat, sederhana dan biaya ringan;
E. Ruang Lingkup
1. Dalam hal undang-undang mengatur subjek hukum korporasi,
maka tuntutan pidana diajukan kepada:
a. Korporasi;
b. Pengurus Korporasi;
c. Korporasi dan Pengurus Korporasi.
2. Dalam hal undang-undang tidak mengatur subjek hukum korporasi,
maka tuntutan diajukan kepada pengurus.
81
2014, No.1492
F. Pengertian Umum
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum;
2. Pengurus Korporasi adalah Pengurus Korporasi sesuai undang-
undang yang berlaku, termasuk personil pengendali korporasi,
pemberi perintah, pemimpin baik yang masuk dalam struktur
organisasi maupun yang tidak masuk struktur organisasi korporasi
tetapi dapat mengendalikan secara efektif;
3. Aset adalah harta kekayaan korporasi baik benda bergerak atau
benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak
langsung.
BAB II
KRITERIA PERBUATAN DALAM PENANGANAN PERKARA PIDANA
DENGAN SUBJEK HUKUM KORPORASI
82
2014, No.1492
83
2014, No.1492
BAB III
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
84
2014, No.1492
BAB IV
PENUNTUTAN
A. Pra Penuntutan
Penuntut Umum yang ditunjuk, meneliti kelengkapan berkas perkara
antara lain :
1. Akta Pendirian Korporasi;
2. Akte Perubahan Korporasi;
3. Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengenai pengesahan Akta Pendirian/Perubahan Korporasi;
4. Bentuk Korporasi;
5. Hubungan Korporasi dan Pengurus yang mewakili Korporasi;
6. Surat Kuasa Korporasi kepada yang mewakili ;
7. Surat, dokumen, pembukuan dan barang bukti yang terkait
dengan tindak pidana yang disangkakan;
8. Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
serta keuntungan yang diperoleh Korporasi;
9. Data keuangan dan perpajakan baik Korporasi maupun Pengurus
Korporasi;
10. Keterangan Ahli apabila diperlukan; dan
11. Hal-hal lain yang berhubungan dengan perkara.
85
2014, No.1492
D. Tuntutan Pidana
1. Korporasi yang dapat dituntut meliputi :
a. Korporasi;
b. Korporasi yang dipindahtangankan atau diambilalih;
c. Korporasi kelompok (group) yang merupakan kumpulan orang
atau badan yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal
kepemilikan, kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan;
dan/atau
d. Korporasi yang masih dalam proses kepailitan.
2. Terhadap Korporasi hanya dapat dituntut pidana denda dan pidana
tambahan dan/atau tindakan tata tertib.
3. Tuntutan pidana tambahan atau tindakan tata tertib sebagaimana
dimaksud pada angka 2, dikenakan terhadap Korporasi dan
Pengurus Korporasi berdasarkan ketentuan yang menjadi dasar
pemidanaan antara lain berupa:
a. Pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara;
b. Perampasan atau penghapusan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana;
c. Perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana;
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan untuk jangka
waktu tertentu;
f. Penutupan atau pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan
perusahaan untuk jangka waktu tertentu;
86
2014, No.1492
87
2014, No.1492
BAB V
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
88
2014, No.1492
BAB VI
PENANGANAN HARTA KEKAYAAN/ASET
BAB VII
PENUTUP
Pedoman Penanganan Perkara pidana dengan subjek hukum Korporasi ini
merupakan pedoman Jaksa/Penuntut Umum dalam menangani perkara.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2014
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
BASRIEF ARIEF
89
2014, No.1492
FORMULIR 1
(Dakwaan terhadap Korporasi)
KEJAKSAAN …………………………..
“UNTUK KEADILAN”
SURAT DAKWAAN
NO.REG.PERKARA: .......- ..../.../ ..../.....
A. IDENTITAS TERDAKWA
1. Terdakwa 1
Nama : PT/CV/Yayasan………
Nomor dan Tanggal Akta Pendirian Korporasi beserta perubahannya:
………………………...
Nomor dan Tanggal Akta Korporasi pada saat peristiwa pidana :
………………………...
Tempat Kedudukan : ………………………...
Kebangsaan* : ………………………...
Jenis/Bidang Usaha : ………………………...
NPWP : ………………………...
*Tempat kedudukan Perusahaan induk apabila korporasinya
berbentuk Holding Company
Yang diwakili oleh Pengurus/Kuasa, bertindak untuk dan atas nama
Terdakwa , yaitu :
Nama : ………………………...
Tempat Lahir : ………………………...
Umur/Tanggal Lahir : ………………………...
Tempat tinggal : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...
90
2014, No.1492
B. DAKWAAN :
1. Status/Kedudukan terdakwa;
2. Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, termasuk delik
perbuatan berlanjut (Voorgesette handeling) dan/atau perbarengan
(Concurusus Realis);
3. Apabila terdapat penyertaan maka dimasukan bentuk penyertaan.
4. Rumusan pasal-pasal dari tindak pidana yang didakwakan;
5. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan,
kejadian, keadaaan yang mendukung/ terkait dengn masing-masing
unsur tindak pidana yang didakwakan, dengan memperhatikan
kriteria berupa perbuatan atau kejadian tersebut sebagaimana
kriteria pemidanaan.
6. Uraian mengenai antara lain kerusakan, keuntungan, kerugian
dan/atau akibat lain sepanjang merupakan unsur delik.
7. Hindari uraian yang bersifat pembuktian atas fakta dalam dakwaan.
Pembuktian apakah fakta itu benar akan dianalisis dalam surat
tuntutan.
91
2014, No.1492
FORMULIR 2
(Dakwaan terhadap pengurus korporasi)
KEJAKSAAN …………………………..
“UNTUK KEADILAN”
SURAT DAKWAAN
NO.REG.PERKARA: ......- ..... /...../...../......
A. IDENTITAS TERDAKWA :
Nama : ………………………...
Tempat Lahir : ………………………...
Umur/Tanggal Lahir : ………………………...
Tempat Tinggal : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...
C. DAKWAAN :
.................................... ISI FORMAT
DAKWAAN..............................................
92
2014, No.1492
FORMULIR 3
(Dakwaan terhadap korporasi dan pengurus korporasi)
KEJAKSAAN …………………………..
“UNTUK KEADILAN”
SURAT DAKWAAN
NO.REG.PERKARA: .....- .... /....../...../......
C. IDENTITAS TERDAKWA
1. Terdakwa 1
Nama : PT/CV/Yayasan………
Nomor dan tanggal akta pendirian korporasi beserta perubahannya
: ………………………...
Nomor dan tanggal akta korporasi pada saat peristiwa pidana :
………………………...
Tempat Kedudukan : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Jenis/Bidang Usaha : ………………………...
NPWP : ………………………...
Yang diwakili dan bertindak untuk dan atas nama terdakwa oleh
pengurus korporasi, yaitu :
Nama : ………………………...
Tempat/Tanggal Lahir : ………………………...
Umur : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...
93
2014, No.1492
2. Terdakwa Pengurus
Nama : ………………………...
Tempat/Tanggal Lahir : ………………………...
Umur : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...
E. DAKWAAN 1 (KORPORASI):
94
2014, No.1492
FORMUL IR 4
KEJAKSAAN …………………………..
“UNTUK KEADILAN”
SURAT TUNTUTAN
NO. REG. PERKARA ............................
I. PENDAHULUAN
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri ........................................
dengan memperhatikan memperhatikan hasil Pemeriksaan sidang
dalam perkara atas nama terdakwa.
A. IDENTITAS TERDAKWA
Nama : PT/CV/Yayasan………
Nomor dan tanggal akta pendirian korporasi beserta perubahannya :
………………………...
Nomor dan tanggal akta korporasi pada saat peristiwa pidana :
………………………...
Tempat Kedudukan : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Jenis/Bidang Usaha : ………………………...
NPWP : ………………………...
Yang diwakili dan bertindak untuk dan atas nama terdakwa oleh
pengurus korporasi, yaitu :
Nama : ………………………...
Tempat/Tanggal Lahir : ………………………...
Umur : ………………………...
Jenis Kelamin : ………………………...
Kebangsaan : ………………………...
Agama : ………………………...
Pekerjaan : ………………………...
Pendidikan : ………………………...
95
2014, No.1492
B. DAKWAAN (LENGKAP)
D. FAKTA SIDANG
1) Keterangan Saksi di Pengadilan di bawah sumpah baik saksi a
charge maupun a de charge;
2) Keterangan Ahli di Pengadilan di bawah sumpah atau laporan
keterangan Ahli yang dibacakan di sidang pengadilan baik diajukan
Penuntut umum maupun diajukan oleh Terdakwa dan/atau
Penasehat Hukum;
3) Surat/ Dokumen/ Pembukuan termasuk surat elektronik yang
diajukan di sidang pengadilan;
4) Barang Bukti baik bergerak, tidak bergerak, berwujud, maupun
tidak berwujud yang diajukan di sidang pengadilan;
5) Keterangan Terdakwa baik berupa pengakuan atau penyangkalan;
dan
6) Pembuktian kriteria pemidanaan sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Jaksa Agung ini yang diperoleh dari alat-alat bukti
sebagaimana tersebut di atas.
E. ANALISIS FAKTA
1) Nilai masing-masing alat bukti termasuk pememenuhan syarat dan
sebagai alat bukti dari tindakan tertentu serta waktu keterangan
saksi, surat, keterangan terdakwa serta barang bukti sebagai alat
bukti petunjuk;
2) Berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan sesuai antara satu dengan
yang lain. Hal tersebut didasarkan pada fakta hukum; dan
3) Fakta hukum yang sesuai dengan fakta dalam surat dakwaan
termasuk pemenuhan kriteria pemidanaan pada Pasal 5 ayat (2)
Peratutan Jaksa Agung ini.
F. ANALISIS YURIDIS
1) Melakukan analisis terlebih dahulu terhadap bentuk dakwaan;
2) Melakukan analisis setiap unsur tindak pidana yang didakwakan
dengan mengkaitkan fakta hukum yang diperoleh dari alat bukti
yang sah;
96
2014, No.1492
97
2014, No.1492
G. AMAR TUNTUTAN
1) Menyatakan terdakwa (sebutkan namanya korporasi dan/atau
pengurus korporasi) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan menyebutkan kualifikasinya
tanpa menyebut pasal lagi
2) Jenis pidana pokok dan pidana tambahan dan tata tertib yang
dijatuhkan.
3) Terhadap Korporasi dijatuhkan pidana denda dan pidana tambahan
sebagaimana tersebut pada angka 8 (delapan) dan 9 (sembilan)
analisis yuridis.
4) Dalam hal Pengurus Korporasi yang dituntut, sebutkan supaya
masa penangkapan/penahanan dikurangi sepenuhnya selama ia
ditahan dan supaya ditahan atau apabila ditahan tetap ditahan.
5) Sebukan status surat dan barang bukti
6) Sebutkan biaya perkaranya.
Catatan :
Tuntutan terhadap a) Pengurus Korporasi; dan b) Pengurus Korporasi dan
Korporasi menyesuaikan.
98
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.2058, 2016 MA. Tindak Pidana oleh Korporasi. Penanganan
Perkara.
99
2016, No.2058
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG TATA CARA
PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud
dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisir, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
2. Korporasi Induk (parent company) adalah perusahaan
berbadan hukum yang memiliki dua atau lebih anak
100
2016, No.2058
101
2016, No.2058
102
2016, No.2058
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Maksud dan tujuan pembentukan tata cara penanganan
perkara tindak pidana oleh Korporasi adalah untuk:
a. menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam
penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi
dan/atau Pengurus;
b. mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara
pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku
Korporasi dan/atau Pengurus; dan
c. mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan
perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau
Pengurus.
BAB III
TATA CARA PENANGANAN PERKARA
Bagian Kesatu
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Pengurus
Pasal 3
Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau
berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama
Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.
Pasal 4
(1) Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
sesuai dengan ketentuan pidana Korporasi dalam
Undang-Undang yang mengatur tentang Korporasi.
(2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim
dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1)
antara lain:
103
2016, No.2058
Pasal 5
Dalam hal seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti,
atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya
pertanggungjawaban Korporasi.
Bagian Kedua
Pertanggungjawaban Grup Korporasi
Pasal 6
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi dengan
melibatkan induk Korporasi dan/atau Korporasi subsidiari
dan/atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan peran
masing-masing.
Bagian Ketiga
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Penggabungan,
Peleburan, Pemisahan dan Pembubaran Korporasi
Pasal 7
(1) Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan
Korporasi maka pertanggungjawaban pidana dikenakan
sebatas nilai harta kekayaan atau aset yang ditempatkan
terhadap Korporasi yang menerima penggabungan atau
Korporasi hasil peleburan.
104
2016, No.2058
Pasal 8
(1) Korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak
pidana tidak dapat dipidana, akan tetapi terhadap aset
milik Korporasi yang diduga digunakan untuk melakukan
kejahatan dan/atau merupakan hasil kejahatan maka
penegakkan hukumnya dilaksanakan sesuai dengan
mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
(2) Gugatan terhadap aset yang dimaksud ayat (1) dapat
diajukan terhadap mantan pengurus, ahli waris atau
pihak ketiga yang menguasai aset milik Korporasi yang
telah bubar tersebut.
Bagian Keempat
Pemeriksaan Korporasi
Pasal 9
(1) Pemanggilan terhadap Korporasi ditujukan dan
disampaikan kepada Korporasi ke alamat tempat
kedudukan Korporasi atau alamat tempat Korporasi
tersebut beroperasi.
(2) Dalam hal alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diketahui, pemanggilan ditujukan kepada Korporasi
dan disampaikan melalui alamat tempat tinggal salah
satu Pengurus.
(3) Dalam hal tempat tinggal maupun tempat kediaman
Pengurus tidak diketahui, surat panggilan disampaikan
melalui salah satu media massa cetak atau elektronik
105
2016, No.2058
Pasal 10
Isi surat panggilan terhadap Korporasi setidaknya memuat:
a. nama Korporasi;
b. tempat kedudukan;
c. kebangsaan Korporasi;
d. status Korporasi dalam perkara pidana (saksi/
tersangka/terdakwa);
e. waktu dan tempat dilakukannya pemeriksaan; dan
f. ringkasan dugaan peristiwa pidana terkait pemanggilan
tersebut.
Pasal 11
(1) Pemeriksaan terhadap Korporasi sebagai tersangka pada
tingkat penyidikan diwakili oleh seorang Pengurus.
(2) Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap
Korporasi memanggil Korporasi yang diwakili Pengurus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan surat
panggilan yang sah.
(3) Pengurus yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
hadir dalam pemeriksaan Korporasi.
(4) Dalam hal Korporasi telah dipanggil secara patut tidak
hadir, menolak hadir atau tidak menunjuk Pengurus
untuk mewakili Korporasi dalam pemeriksaan maka
penyidik menentukan salah seorang Pengurus untuk
mewakili Korporasi dan memanggil sekali lagi dengan
perintah kepada petugas untuk membawa Pengurus
tersebut secara paksa.
Pasal 12
(1) Surat dakwaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Bentuk surat dakwaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merujuk pada ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab
106
2016, No.2058
Pasal 13
(1) Pengurus yang mewakili Korporasi pada tingkat
penyidikan wajib pula hadir pada pemeriksaan Korporasi
dalam sidang Pengadilan.
(2) Jika Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
hadir karena berhalangan sementara atau tetap,
hakim/ketua sidang memerintahkan penuntut umum
agar menentukan dan menghadirkan Pengurus lainnya
untuk mewakili Korporasi sebagai terdakwa dalam
pemeriksaan di sidang Pengadilan.
(3) Dalam hal Pengurus yang mewakili Korporasi sebagai
terdakwa telah dipanggil secara patut tidak hadir dalam
pemeriksaan tanpa alasan yang sah, hakim/ketua sidang
menunda persidangan dan memerintahkan kepada
penuntut umum agar memanggil kembali Pengurus yang
mewakili Korporasi tersebut untuk hadir pada hari
sidang berikutnya.
(4) Dalam hal Pengurus tidak hadir pada persidangan
dimaksud pada ayat (3), hakim/ketua sidang
memerintahkan penuntut umum supaya Pengurus
tersebut dihadirkan secara paksa pada persidangan
berikutnya.
107
2016, No.2058
Pasal 14
(1) Keterangan Korporasi merupakan alat bukti yang sah.
(2) Sistem pembuktian dalam penanganan tindak pidana
yang dilakukan oleh Korporasi mengikuti Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan
hukum acara yang diatur khusus dalam undang-undang
lainnya.
Pasal 15
(1) Dalam hal Korporasi diajukan sebagai tersangka atau
terdakwa dalam perkara yang sama dengan Pengurus,
maka Pengurus yang mewakili Korporasi adalah
Pengurus yang menjadi tersangka atau terdakwa.
(2) Pengurus lainnya yang tidak menjadi tersangka atau
terdakwa dapat mewakili Korporasi dalam perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
(1) Dalam hal ada kekhawatiran Korporasi membubarkan
diri dengan tujuan untuk menghindari
pertanggungjawaban pidana, baik yang dilakukan
sesudah maupun sebelum penyidikan, Ketua Pengadilan
Negeri atas permintaan penyidik atau penuntut umum
melalui suatu penetapan dapat menunda segala upaya
atau proses untuk membubarkan Korporasi yang sedang
dalam proses hukum sampai adanya putusan
berkekuatan hukum tetap.
(2) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat diberikan sebelum permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang atau
permohonan pailit didaftarkan.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat diajukan terhadap Korporasi yang bubar
karena berakhirnya jangka waktu sebagaimana
ditentukan dalam dokumen pendirian.
108
2016, No.2058
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan
Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
maka pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan
perkara adalah Pengurus saat dilakukan pemeriksaan
perkara.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi, maka pihak yang
mewakili Korporasi dalam pemeriksaan perkara
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) adalah
Pengurus dari Korporasi yang menerima peralihan
setelah pemisahan dan/atau yang melakukan
pemisahan.
(3) Dalam hal Korporasi dalam proses pembubaran maka
pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan
perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (3)
adalah likuidator.
(4) Tata cara pemanggilan dan pemeriksaan terhadap
Korporasi yang diwakili oleh Pengurus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengikuti
tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 sampai dengan Pasal 16.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Pengurus
Pasal 18
Pemanggilan dan pemeriksaan Pengurus yang diajukan
sebagai saksi, tersangka dan/atau terdakwa dilaksanakan
sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan peraturan perundang-undangan lain.
109
2016, No.2058
Bagian Keenam
Pemeriksaan Korporasi dan Pengurus
Pasal 19
(1) Pemeriksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan
terhadap Korporasi dan/atau Pengurus dapat dilakukan
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(2) Dalam hal pemeriksaan pada tahap penyidikan dan
penuntutan terhadap Korporasi dan Pengurus dilakukan
bersama-sama, tata cara pemanggilan dan pemeriksaan
mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 sampai
dengan Pasal 18.
Bagian Ketujuh
Gugatan Ganti Rugi dan Restitusi
Pasal 20
Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui
mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata.
Bagian Kedelapan
Penanganan Harta Kekayaan Korporasi
Pasal 21
(1) Harta kekayaan Korporasi yang dapat dikenakan
penyitaan adalah benda sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat
lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak
mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan
terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh
kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan
benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi atau dapat
mengalami penurunan nilai ekonomis, sejauh mungkin
dengan persetujuan tersangka atau kuasanya benda
110
2016, No.2058
111
2016, No.2058
Bagian Kesembilan
Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan
Menjalankan Pidana
Pasal 22
Kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana
terhadap Korporasi hapus karena daluwarsa sebagaimana
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
BAB IV
PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Bagian Kesatu
Penjatuhan Pidana
Pasal 23
(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi
atau Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus.
(2) Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada masing-masing undang-undang
yang mengatur ancaman pidana terhadap Korporasi
dan/atau Pengurus.
(3) Penjatuhan pidana terhadap Korporasi dan/atau
Pengurus sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak menutup
kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain
yang berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti
terlibat dalam tindak pidana tersebut.
Bagian Kedua
Putusan
Pasal 24
(1) Putusan pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan
terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
112
2016, No.2058
Pasal 25
(1) Hakim menjatuhkan pidana terhadap Korporasi berupa
pidana pokok dan/atau pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi
sebagaimana ayat (1) adalah pidana denda.
(3) Pidana tambahan dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Dalam hal Korporasi dan Pengurus diajukan bersama-sama
sebagai terdakwa, putusan pemidanaan dan bukan
pemidanaan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 24 dan Pasal 25.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Putusan
Pasal 27
(1) Pelaksanaan putusan dilakukan berdasarkan putusan
Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Petikan putusan dapat digunakan sebagai dasar dalam
pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
113
2016, No.2058
Pasal 28
(1) Dalam hal pidana denda yang dijatuhkan kepada
Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk
membayar denda tersebut.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Jika terpidana Korporasi tidak membayar denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka
harta benda Korporasi dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk membayar denda.
Pasal 29
(1) Dalam hal pidana denda dijatuhkan kepada Pengurus,
Pengurus diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar
denda tersebut.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Jika denda tidak dibayar sebagian atau seluruhnya,
Pengurus dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda
yang dihitung secara proposional.
(4) Pidana kurungan pengganti denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah
berakhirnya hukuman pidana pokok.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Pidana Tambahan atau Tata Tertib
Terhadap Korporasi
Pasal 30
Pidana tambahan atau tindakan tata tertib atau tindakan lain
terhadap Korporasi dilaksanakan berdasarkan putusan
Pengadilan.
114
2016, No.2058
Pasal 31
(1) Dalam hal Korporasi dijatuhkan pidana tambahan
berupa perampasan barang bukti, maka perampasan
barang bukti dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan
sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (2) dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal terdapat keuntungan berupa harta kekayaan
yang timbul dari hasil kejahatan maka seluruh
keuntungan tersebut dirampas untuk negara.
Pasal 32
(1) Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa uang
pengganti, ganti rugi dan restitusi, tata cara
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal pidana tambahan berupa uang pengganti,
ganti rugi dan restitusi dijatuhkan kepada Korporasi,
Korporasi diberikan jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk
membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
(3) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (2) dapat diperpanjang
untuk paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Jika terpidana Korporasi tidak membayar uang
pengganti, ganti rugi dan restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
Pasal 33
Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa perbaikan
kerusakan akibat dari tindak pidana, tata cara
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
115
2016, No.2058
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 34
Peraturan Mahkamah Agung ini tidak dapat menjadi dasar
bagi upaya hukum terhadap perkara pidana oleh Korporasi
yang telah diputus sebelum Peraturan Mahkamah Agung ini
diundangkan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
Perkara pidana dengan terdakwa Korporasi yang telah
dilimpahkan ke pengadilan tetap dilanjutkan sampai
memperoleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum adanya
Peraturan Mahkamah Agung ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Pada saat Peraturan Mahkamah ini mulai berlaku, ketentuan
penanganan perkara pidana oleh Korporasi mengikuti
Peraturan Mahkamah Agung ini.
Pasal 37
Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
116
2016, No.2058
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2016
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
117