Anda di halaman 1dari 69

ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN TERHADAP

KEABSAHAN SURAT PENETAPAN TERSANGKA


(Studi Kasus Putusan Nomor: 04/Pid.Pra/2022/PN.TJK)

(Proposal)

Oleh
M.KA
SROZI

NIM : 21741010018

`UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA


JURAI
BANDAR LAMPUNG
2023
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................Hal

DAFTAR ISI.......................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................6

C. Tujuan Penelitian.....................................................................................6

D. Manfaat Penelitian...................................................................................7
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA FIKIR........................................8
A. Kajian Teori..............................................................................................8
1. Teori Negara Hukum..........................................................................8
2. Teori Kepstian Hukum......................................................................12
3. Teori Hak Asasi Manusia..................................................................15
B. Konsep
Praperadilan.............................................................................................18
1. Pengertian Praperadilan.....................................................................18
2. Praperadilan Pasca Putusan MK no. 21/PUUXII/2014.....................22
3. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengajuan Praperadilan.....27
4. Acara Pemeriksaan Praperadilan........................................................28
5. Gugurnya Praperadilan.......................................................................32
C. Penelitian terdahulu..................................................................................33
D. Kerangka Pikir..........................................................................................35
E. Defenisi Operasional.................................................................................36
BAB III METODE PENELITIAN......................................................................38
A. Jenis Penelitian........................................................................................38
B. Pendekatan Peneltian...............................................................................38
C. Bahan Hukum..........................................................................................39
D. Pengumpulan Bahan Hukum..................................................................40
E. Analisis Bahan Hukum...........................................................................40

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas

hukum, bukan berdasarkan kekuasaan belaka, maka Masyarakat

Indonesia dalam Perlindungan hukum merupakan kewajiban mutlak

bagi Negara Indonesia, Penyelenggaraan kekuasaan haruslah

bertumpuh atas sendi-sendi negara hukum dan demokrasi. Dengan

landasan negara hukum, penyelenggaraan kekuasaan harus

memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat.

Namun hukum tidak dapat bergerak sendiri untuk tercapainya

tujuan keadilan dan pemenuhan hak bagi masyarakat, untuk itu

diperlukan peratana hukum dari Negara yang menegakan hukum

guna mencapai tujuan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan

pengadilan. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya,

pranata-pranata hukum itu dalam melakukan segala tindakan sudah

diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dalam suatu proses

hukum, aparat penegak hukum diberikan kewenangan umtuk

menegakkan hukum kepada siapa saja yang disangka melanggar

hukum.

Sistem peradilan pidana menuntut adanya keselarasan

hubungan antara subsistem secara administrasi dalam implementasi

sistem peradilan pidana yang terpadu. Secara pragmatis, persoalan

3
administrasi peradilan dalam sistem peradilan pidana menjadi

faktor yang signifikan dalam prinsip penegakan hukum dan keadilan

melalui subsistem sistem peradilan pidana yang terpadu. Jika

masalah administrasi peradilan pidana tidak bagus dalam konsep

dan implementasinya maka tujuan yang ingin dicapai sistem

peradilan pidana yang terpadu tidak mungkin bisa terwujud dan

yang terjadi justru sebaliknya, yakni kegagalan dari prinsip-prinsip

dan asas hukum yang menjadi dasar dari kerangka normatif sistem

peradilan pidana terpadu1

Salah satu bentuk wujud pelaksanaan dari perlindungan

hukum adalah dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP)

sebagai hukum formil yang mengatur tata cara pelaksanaan hukum

pidana. Pengaturan dalam KUHAP berisi tentang kewenangan

negara untuk memidana atau membebaskan seseorang, hak-hak dan

kewajiban-kewajiban dari pelaku tindak pidana, korban, pihak

ketiga dan aparat penegak hukum dalam menerapkan acara pidana.

Kedudukan seorang yang menjadi tersangka dalam proses peradilan

merupakan pihak yang lemah, mengingat yang bersangkutan

menghadapi pihak yang lebih tegas yaitu negara lewat aparatur

penegak hukumnya. Kedudukan lemah tersebut menjadikan

kedudukannya tidak seimbang dan melahirkan suatu upaya untuk

mencapai keadilan bahwa tersangka harus memperoleh keadilan

hukum yang sebenarnya.

4
Praperadilan merupakan perkembangan hukum di Indonesia

berkaitan khusus dengan penegakan hak asasi manusia dalam sistem

peradilan pidana yang menerapkan asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocent) sehingga setiap orang yang diajukan

sebagai terdakwa mendapat perlindungan hak asasi manusia.2

Praperadilan merupakan hak tersangka untuk melakukan

pengawasan secara horizontal melalui kewenangan yang diberikan

kepada Hakim dalam proses penyidikan dan atau penuntutan dari

kesewenang-wenangan penegak hukum. Pasal 82 ayat (1) huruf d

mengatur bahwa Praperadilan yang dimohonkan dapat dinyatakan

gugur apabila perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri.

Menurut Yahya Harahap mengenai pengertian praperadilan

yakni sebagai tugas tambahan yang diberikan kepada Pengadilan

Negeri selain tugas pokoknya mengadili dan memutus perkara

pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan,

penyitaan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan,

penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik. Tujuan

utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP yaitu untuk

melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang

dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan

penyidikan atau penuntutan agar benar-benar tindakan itu tidak

bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang.3

Praperadilan adalah lembaga yang mengawasi dan menguji

atas tindakan- tindakan yang dilakukan penyidik atau penuntut

1 Ruslan Renggong, 2014. Memahami perlindungan ham dalam proses penahanan di Indonesia.
umum sebagai sarana pengawasan horizontal atas segala upaya

paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk

kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar tindakan aparat

penegak hukum tersebut tidak bertentangan dengan peraturan

perundang- undangan;

2
Syprianus Aristeus, Penelitian Hukum Tentang Perbandingan
Antara Penyelesaian Putusan Praperadilan Dengan Kehadiran
Hakim Komisaris Dalam Peradilan Pidana (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM
Republik Indonesia, 2007), hlm. 16
3
M. Yahya Harahap, 2012 Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakart.
hlm.
Lingkup kewenangan Praperadilan secara limitative telah
ditentukan dalam Pasal 1 Angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUUXII/2014 tanggal 28 April 2015 lingkup kewenangan
mencakup juga praperadilan mengenai sah atau tidaknya penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan;

Tujuan utama praperadilan dalam KUHAP maupun

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

21/PUU-XII/2014 adalah untuk melakukan pengawasan secara

horizontal, pengujian atas segala tindakan upaya paksa (melanggar

hak asasi) yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum

kepada tersangka selama dalam pemeriksaan penyidikan atau

penuntutan, agar benarbenar tindakan tersebut tidak bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan hukum dan undang-undang yang

berlaku. Hal ini dikarenakan aparat penegak hukum (polisi, jaksa

dan KPK) sebagai manusia biasa yang tidak luput dari salah, hilaf,

keterbatasan, dan pengaruh baik secara internal maupun eksternal.

6
Pengadilan Negeri Tanjung Karang menerbitkan putusan

praperadilan Nomor: 06/Pid. Pra/2020/PN-MKS yang intinya,

mengabulkan permohonan praperadilan terkait kasus dugaan pelaku

tindak pidana penggelapan. Pemohon praperadilan yakni Hi.

Darussalam SH yang dilaporkan oleh Hi. Nuryadin, SH terhadap

termohon Kepala kepolisian Resor Kota Bandar Lampung Cq

KASAT RESKRIM Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung di

Jalan MT. Haryono No 15 Bandar Lampung

7
Akibat dari putusan Nomor: 04/Pid. Pra/2022/PN. Tjk,

penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh

Termohon adalah tidak sah, sehingga untuk menjalankan putusan

tersebut Polresta Bandar Lampung menerbitkan Surat Perintah

Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor:SP3/146/XII/2022/Reskrim

tertanggal 28 Desember 2022 sehingga surat penetapan Tersangka

atas Pemohon yang diterbitkan oleh Termohon batal atau tidak sah;

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat ditarik

postulat hukum mengenai permasalahan hukum (legal issue) yang

ada karena berkaitan dengan kekaburan hukum. Oleh karna itu

guna menjawab permasalahan hukum yang ada, penulis mengajukan

penelitian yang berjudul : “ANALISIS PUTUSAN

PRAPERADILAN TERHADAP KEABSAHAN SURAT

PENETAPAN TERSANGKA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas penulis akan meneliti

dalam rumusan masalah

1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutus

keabsahan surat penetapan tersangka berdasarkan

peradilan pidana di Indonesia?

2. Bagaimanakah penerapan pengawasan horizontal oleh

Hakim Praperadilan pada Putusan Nomor: 04/Pid.

Pra/2022/PN.Tjk?

8
3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam

memutus keabsahan Surat Penetapan Tersangka

berdasarkan sistem peradilan pidana di Indonesia.

b. Untuk mengetahui penerapan pengawasan

horizontal oleh Hakim Praperadilan pada Putusan

Nomor: 04/Pid. Pra/2022/PN.Tjk

4. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan,

memperluas wacana dan sebagai kontribusi teoritis terhadap

ilmu hukum khususnya pada wilayah preperadilan.

2. Secara Praktis
a. Bagi Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar-dasar,

pedoman serta informasi riil terkait keabsahan putusan

praperadilan;

b. Bagi Masyarakat

Penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan

pemahaman terhadap masyarakat mengenai keabsahan

putusan praperadilan, penelitian ini pula dapat memberi

pengetahuan tentang pengawasan horizontal hakim

terhadap putusan praperadilan

9
BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA FIKIR

A. Kajian Teori

1. Teori Negara Hukum

Konsep negara hukum ditandai dengan adanya

pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara, yaitu

kekuasaan membentuk undang- undang (legislatif), kekuasaan

menjalankan undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan

kehakiman (yudikatif). Pada abad ke-17 dan 18, pandangan

John Locke melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties of

Government“ mengenai pembagian kekuasaan negara kepada

organ-organ negara yang berbeda ke dalam tiga macam

kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif

dan kekuasaan federatif, agar pemerintah tidak sewenang-

wenang.

Asas pemisahan kekuasaan semakin diperkuat oleh

pemikiran Montesquieu yang menghendaki pemisahan

kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ legislatif,

eksekutif dan yudisial. Terkait dengan teori pemisahan

kekuasaan, baik John Locke maupun Montesquieu sama-sama

membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang, tetapi ada

perbedaannya, John Locke mengatakan bahwa kegiatan

10
negara bersumber dari tiga kekuasaan negara, yaitu kekuasaan

legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive

power), dan kekuasaan federatif (federative power).

Montesquieu melalui ajaran Trias Politica membelah

seluruh kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of

power; separation du pouvoir) dalam tiga bidang

(tritochomy), yakni bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Kegagalan ide negara hukum liberal untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi masyarakat mendorong kalahiran ide

negara hukum lain yaitu ide negara hukum formal. Pelopor

ide negara hukum formal adalah Julius Stahl, menurut Julius

Stahl4 ada empat unsur negara hukum formal, yaitu:

a. Perlindungan terhadap hak asasi manusia


b. Pemisahan kekuasaan
c. Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
peraturan perundang- undangan
d. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

Dalam ide negara hukum formal, negara atau

pemerintah diperbolehkan campur tangan dalam aspek

kehidupan individu termasuk dalam bidang perekonomian

yang dianggap sebagai salah satu aspek kehidupan individu

sepanjang campur tangan tersebut diperbolehkan oleh undang-

undang.5 Bentuk campur tangan pemerintah yang demikian

merupakan campur tangan yang bersifat terbatas. Pembatasan

campur tangan pemerintah dalam kehidupan individu

sepanjang diperbolehkan oleh undang-undang dimaksudkan

11
untuk mencegah potensi kemungkinan pemerintah melanggar

hak-hak asasi manusia.

Sesuai dengan asas legalitas sebagai salah satu unsur negara


hukum

formal, fungsi undang-undang sangatlah penting dan strategis

serta sangat menonjol. Undang-undang menjadi jantung

segala aktivitas pemerintah sebab tanpa undang-undang,

pemerintah tidak boleh melakukan suatu perbuatan (tindakan).

Meskipun ada undang-undang sebagai sebagai landasan

bertindak pemerintah untuk masuk dalam kehidupan

individu, tetap tidak menutup kemungkinan konflik akan

terjadi ketika pemerintah menjalankan kewenangannya.

Dengan demikian, potensi pelanggaran penguasa terhadap

hak-hak individu juga juga akan sangat terbuka. Untuk

menyelesaikan konflik tersebut dibutukna badan peradilan

yaitu peradilan administrasi.


Ide negara hukum formal telah gagal dalam mengikuti

perkembangan masyarakat yang berkembang dengan sangat

cepat sebab ide negara hukum formal sesuai dengan asas

legalitas yang sempit (wetmatig)sangat terikat kepada undang-

undang. Jika pembentuk undang-undang terlambat

membentuk undang-undang sesuai dengan perkembangan

masyarakat, pemerintah akan mengalami kesulitan dalam

menanggapi perkembangan- perkembangan baru tersebut.

Pemerintah menjadi tidak memiliki legalitas dalam

12
menanggapi dan menanggulangi masalah-masalah baru yang

timbul dan berkembang dalam masyarakat. Karena hal

tersebut maka muncul ide negara hukum material, dimana

dalam negara hukum material pemerintah tidak terikat secara

kaku kepada undang-undang berdasarkan asas legalitas.

Namun tidak berarti bahwa pemerintah dapat melanggar atau

mengabaikan undang-undang begitu saja tanpa dasar atau

alasan yang kuat.6 Negara hukum material disebut dengan

istilah “welvaarstaats” yang kemudian

6
Ibid., h. 39.

13
dikenal dengan nama “verzorgingsstaats”7 Konsepsi Negara

Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya

“Methaphysiche Ansfanggrunde der Rechtstaats”, paham

negara hukum dalam arti sempit, menempatkan fungsi recht

dan staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual

dan kekuasaan negara yang diartikan secara pasif, bertugas

sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.

Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan

nachtwachkerstaats (negara jaga malam) bertugas menjamin

ketertiban dan keamanan masyarakat, urusan kesejahteraan

didasarkan pada persaingan bebas (free fight), laisez faire,

laisez ealler, siapa yang kuat dia yang menang.8

Pemikiran Immanuel Kant memberi inspirasi dan

mengilhami F.J. Stahl dengan lebih memantapkan prinsip

liberalism bersamaan dengan lahirnya kontrak sosial dari Jean

Jacques Rousseau, yang memberi fungsi negara menjadi dua

bagian yaitu pembuat Undang-Undang (the making of law)

dan pelaksana Undang-Undang (the executing of law).9 Sri

Soemantri berpandangan bahwa suatu negara hukum harus

memenuhi beberapa unsur yaitu:10

a. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan

perundang-undangan;

14
b. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga
negara);

7
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di
Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1997. H. 37.
8
Ibid, h. 114
9
Nimatul Huda, Ilmu Negara,Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 90.
10
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia
( Bandung: Alumni, 1992), hlm. 29.

15
c. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

d. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.

Di dalam negara hukum, aturan perundangan-

undangan yang tercipta harus berisi nilai-nilai keadilan bagi

semua orang. Seperti yang dikutip oleh Jimly, Wolfgang

Friedman dalam bukunya “Law in a Changing Society”

membedakan antara organized public power (the rule of law

dalam arti formil) dengan the rule of just law (the rule of law

dalam arti materiel).11 Negara hukum dalam arti formil

(klasik) menyangkut pengertian hukum dalam arti sempit,

yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan

belum tentu menjamin keadilan substanstif. Negara hukum

dalam arti materiel (modern) atau the rule of just law

merupakan perwujudan dari negara hukum dalam luas yang

menyangkut pengertian keadilan di dalamnya, yang menjadi

esensi daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-

undangan dalam arti sempit.

2. Teori Kepastian Hukum

Jika dihubungkan antara adanya dilema dalam putusan-

putusan praperadilan yang menjadi objek dalam penelitian ini

dapat terlihat bahwa permasalahan disini berkaitan dengan

salah satu tujuan hukum yaitu kepastian hukum. Perbedaan

pandangan hakim yang menghasilkan putusan- putusan

16
berbeda-beda terkait dengan permohonan praperadilan

tersebut, tidak mencerminkan kepastian hukum.

11
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, Jakarta Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
hlm. 152.

17
Seorang filsuf hukum Jerman yang bernama Gustav

Radbruch mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum, yang

oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum,

juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.12

Menurut aliran normatif-dogmatik yang dianut oleh

John Austin dan van Kan, menganggap bahwa pada asasnya

hukum adalah semata- mata untuk menciptakan kepastian

hukum. Bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom atau

hukum dalam bentuk peraturan tertulis. Artinya, karena

hukum itu otonom sehingga tujuan hukum semata-mata untuk

kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan

kewajian seseorang.13

Munculnya hukum modern membuka pintu bagi

masuknya permasalahan yang tidak ada sebelumnya yang

sekarang kita kenal dengan nama kepastian hukum itu sendiri.

Kepastian hukum merupakan sesuatu yang baru, tetapi nilai-

nilai keadilan dan kemanfaatan secara tradisional sudah ada

sebelum era hukum modern.

Menurut pendapat Gustav Radbruch, kepastian hukum

adalah “Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian hukum

tentang hukum itu sendiri). Adapun 4 (empat) hal yang

berhubungan dengan makna kepastian hukum, diantaranya:14

18
a. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah
perundangundangan (gesetzliches Recht).

12
Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) &
Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal. 288.
13
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004,
hlm. 74.
14
Ibid, hal. 292-293

19
b. Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta
(Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang
penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim,
seperti ”kemauan baik”, “kesopanan”.
c. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara
yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam
pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan.
d. Hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.

Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum

diungkapkan oleh Roscoe Pound, seperti yang dikutip di

dalam buku yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum oleh Peter

Mahmud Marzuki dimana kepastian hukum mengandung dua

pengertian, diantaranya:15

a. Pertama, adanya aturan yang bersifat umum


membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan.
b. Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenagan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal
dalam Undang-Undang, melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim antara putusan
yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk
kasus serupa yang telah diputus.

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum

merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus

dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum

menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam

perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang

dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek

yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum

20
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.16

15
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prana
Media Group, Jakarta, 2008, hal. 137
16
Asikin zainal, 2012, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press,
Jakarta

21
3. Teori Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) sering didefinisikan sebagai

hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga

tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat

sebagai manusia (inherent dignity). Oleh karenanya dikatakan

pula bahwa hak-hak tersebut adalah tidak boleh dicabut

(inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable). HAM

pada individu menimbulkan kewajiban pada

pemerintah/negara untuk melindungi individu tersebut

terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk

pelanggaran dari negara atau aparat pemerintah sendiri. HAM

itu pula sifatnya universal, karena hak-hak ini melekat pada

manusia dan karena manusia itu pada dasarnya tidaklah sama

tidak boleh ada pembedaan dalam jaminan pemberian jaminan

atau perlindungan HAM tersebut.17

Senada apa yang dikutip dalam pernyataan Frederich

Julius Stahl mengenai suatu negara hukum harus ada

perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia (HAM).18

HAM merupakan hak-hak yang dimiliki setiap manusia secara

alamiah sejak ia dilahirkan, dan hak tersebut tidak dapat

diganggu gugat oleh siapapun. Bila hak-hak tersebut

dilanggar, maka akan menyebabkan penderitaan dan penistaan

terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.19

22
Menurut pasal 1 The Universal Declaration of Human Right
(UDHR)

17
Mardjono Reksodiputro, “Pemantauan Pelaksanaan (Monitoring)
Hukum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Human Rights Law)”
dalam Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h
Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007), hlm. 7-8.
18
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. 151-152
19
Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2016), hlm.3

23
konsepsi dasar HAM adalah pengakuan bahwa semua

manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hal hak dan

martabatnya. Semua manusia dikaruniai akal budi dan hati

nurani untuk saling berhubungan dalam semangat

persaudaraan. Konsep ini melahirkan 3 (tiga) prinsip; pertama,

HAM bersifat universal yang melekat pada diri setiap insan

manusia tanpa memandang perbedaan etnis, ras, gender, usia,

agama, keyakinan, politik maupun bentuk pemerintahan.

Kedua, HAM dibantah karena bukan pemberian Negara

sehingga tidak dpaat dihilangkan atau ditolak oleh otoritas

politik apapun. Ketiga, HAM bersifat subyektif yang dimiliki

secara individual karena kapasitasnya sebagai manusia

rasional dan otonom.

Konsepsi HAM pada Abad XVII berasal dari hak kodrat

(natural rights) yang mengalir dari hukum kodrat (natural

law). 20Hak-hak kodrat tersebut dirasionalkan melalui konsep-

konsep kontrak sosial, dan membuat hak-hak tersebut

menjadi; sekular, rasional, universal, individual, demokratik

dan radikal. Pikiran-pikiran ini yang timbul di zaman revolusi

Amerika dan Perancis. Pemikir pemikir terkenal pada masa

ini, antara lain : John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rousseau.

Cikal bakal lahirnya konsep tentang perlindungan dan

pengakuan terhadap HAM sebenarnya sudah ada sejak

24
dicetuskannya Magna Charta di Inggris pada tahun 1215.

Magna Charta merupakan kompromi antara raja John dengan

para bangsawan

20
ibid

25
tentang pembagian kekuasaan raja dan memperjuangkan

kepentingan para bangsawan walaupun di dalamnya menuat

hak dan kebebasan rakyat.21

Hak Asasi Manusia (HAM) didefinisikan sebagai hak-

hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga

tanpa adanya hak-hak tersebut, kita tidak akan mendapatkan

fitrahnya sebagai manusia. Hak tersebut tidak boleh dicabut

dan tidak boleh dilanggar. Selain itu, manusia harus

diperlakukan secara setara (equal) dan tidak boleh ada

diskriminasi dalam perlindungan negara atau jaminan atas

hak-hak individu tersebut.

Hak Asasi Manusia itu universal karena melekat dan

tidak boleh ada pembedaan dalam pemberian jaminan atau

perlindungan HAM. Penggunaan hak seseorang dalam

konteks HAM tentu saja tidak boleh disalahgunakan. Oleh

karena itu, penggunaan hak seseorang tidak boleh melanggar

hak individu lain. Dalam hukum selalu dikatakan, “dimana

ada hak, maka harus ada kemungkinan memperbaikinya”.

Seseorang dapat menuntut dan memperolehnya apabila

dilanggar : ubi jus ibi remedium. Kelanjutan logis dari asas ini

adalah penafsiran, adanya hak yang bersangkutan (ubi

remedium ibi jus). Dapat dikatakan sebagai suatu hak yang

mempunyai kemungkinan untuk dipertahankan, dalam arti

26
meminta untuk dilindungi apabila dilanggar, bukanlah suatu

hak yang efektif.22

Dalam konteks perlindungan HAM, Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana telah mengangkat dan

menempatkan tersangka atau terdakwa

21
Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila : Prespektif
Sejarah Perjuangan Bangsa, edisi keempat (Jakarta :
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 113.
22
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem
Peradilan Pidana, Buku Ketiga (Jakarta : Pusat Pelayanan dan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, 2007), hlm.43.

27
dalam kedudukan yang “berderajat”, sebagai makhluk Tuhan

yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh.

Tersangka dan terdakwa telah ditempatkan oleh Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam posisi his entity

and dignity as human being, yang harus diperlakukan sesuai

dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.23

B. Konsep Praperadilan

1. Pengertian Praperadilan

Kehadiran lembaga praperadilan dalam Hukum Acara

Pidana di Indonesia merupakan babak baru dalam rangka

menciptakan dan mewujudkan peradilan pidana yang lebih

baik dan lebih manusiawi. Salah satu hukum positif yang

berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Hukum acara pidana dibuat dengan tujuan untuk

mencari kebenaran dan keadilan melalui pedoman-pedoman

yang tertulis dan memberikan jaminan terhadap penegakan

hukum pidana materil untuk mendapatkan kepastian hukum.

Hal ini tentu saja merupakan amanat yang sangat

berkesesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia

adalah Negara Hukum, yang berarti bahwa hukum di negara

ini ditempatkan pada posisi strategis di dalam konstelasi

28
ketatanegaraan. Penjelasan umum KUHAP telah

menyebutkan bahwa KUHAP adalah “bersifat nasional

sehingga wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup

bangsa dan dasar negara.” Maka

23
Andi Sofyan dan Abd Asis, Hukum Acara Pidana. Suatu
Pengantar (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 55.

29
sudah seharusnya ketentuan materi pasal atau ayat dalam

undang-undang ini mencerminkan perlindungan terhadap hak

asasi manusia. 24

Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana

Indonesia menyatakan bahwa “Hukum Acara Pidana memiliki

ruang lingkup yang lebih sempit yaitu dimulai dari mencari

kebenaran, penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada

pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh Jaksa.”25 Berdasarkan

pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa antara

KUHP dan KUHAP memiliki perbedaan, yakni KUHAP

adalah hukum pidana formal atau Hukum Acara Pidana yang

berisi bagaimana cara untuk menegakkan hukum pidana

materiil. Tegasnya, KUHAP berisi tata cara atau prosedur

diprosesnya seseorang yang melakukan tindak pidana,

sedangkan KUHP merupakan hukum pidana materiil yang

berisikan aturan atau kaidah hukum yang bersifat mengikat

pada setiap orang.

Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian

yuridis tentang Hukum Acara Pidana, namun pada hakikatnya

Hukum Acara Pidana memuat kaidah-kaidah yang mengatur

tentang penerapan ataupun tata cara antara lain mengenai

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan

dipersidangan, pengambilan keputusan pengadilan, upaya

30
hukum dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan

didalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil.

24
Dinda, C. P., & Munandar, T. I. (2020). Praperadilan Terhadap
Penetapan Status Tersangka Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. PAMPAS: Journal of Criminal Law, 1(2),
H 82-103.
25
Andi Hamzah, 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 2.

31
Belumlah cukup apabila hukum acara pidana yang telah

memberikan keserasian antara hak asasi seseorang dengan

kepentingan suatu proses pidana, akan tetapi juga diperhatikan

hubungannya dengan sistem peradilan pidana dalam

keseluruhannya. Hukum acara pidana adalah “Sebagian dari

komponen dalam suatu sistem peradilan pidana dalam suatu

negara, dan setiap negara mempunyai sistem yang berbeda

sehingga berbeda pula efektivitas pencegahan

kejahatannya.”26

Terkait praperadilan telah diatur sedemikian rupa dalam

KUHAP pada Bab ke-X mengenai kewenangan pengadilan

untuk mengadili, bagian kesatu yang memuat pasal-pasal

tentang Praperadilan, yakni dimulai dari Pasal 77 sampai

dengan Pasal 83. Selain itu, Pasal 1 butir 10 KUHAP juga

menegaskan bahwa:

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk

memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini, tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau


penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.

32
Berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP tersebut

disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap upaya paksa

(enforcement) dalam penegakan hukum mengandung nilai hak

asasi manusia yang sangat kental. Oleh karenanya, hak asasi

tersebut harus dilindungi dengan seksama dan juga hati-hati,

26
M. Yahya Harahap, Op. Cit. h 14-15

33
sehingga perampasan atasnya tetap sesuai dengan aturan yang

berlaku dan juga tentu tetap sesuai dengan teori perlindungan

hukum yang sangat mengedepankan hak asasi manusia dalam

setiap proses penegakan hukum termasuk dalam hal

pelaksanaan upaya paksa.

Seperti dinyatakan dalam KUHAP bahwa:27

Praperadilan dimaksudkan untuk kepentingan pengawasan

terhadap perlindungan hak- hak tersangka/terdakwa, maka

tentunya hak yang dilindungi tersebut bukan saja terhadap

suatu penangkapan dan penahanan saja, melainkan

keseluruhan dari upaya paksa, karena upaya paksa adalah

suatu tindakan yang akan mengurangi hak dari

tersangka/terdakwa, sehingga perlu dilakukan suatu

pengawasan terhadap pelaksanaannya.

Oleh sebab itu, apabila ditinjau dari maksud

diselenggarakannya praperadilan dalam KUHAP, maka

semestinya lembaga Praperadilan inipun berwenang untuk

mengawasi bukan saja terhadap penangkapan serta penahanan

saja, akan tetapi meliputi keseluruhan dari upaya paksa.

Praperadilan berfungsi sebagai kontrol bagi penegakan hukum

atas aparat penegakan hukum itu sendiri guna melindungi

hak-hak dari tersangka atau terdakwa. Pada implementasi,

fungsi adanya lembaga Praperadilan adalah sebagai media

34
kontrol atau sebagai pengingat bagi aparat penegak hukum

dalam menjalankan kewenangannya sehingga tidak

melakukan tugas dan fungsinya dengan sewenang-wenang

atau diluar kesewenangannya. Sedangkan peranan

praperadilan adalah dalam rangka penegakan aturan

27
Ibid, h. 41.

35
yang ada untuk melindungi hak dari tersangka. Tidak terlalu

berbeda antara fungsi dan peranan Praperadilan. Jika fungsi

dari praperadilan adalah sebagai kontrol bagi penegakan

hukum atas aparat penegakan hukum itu sendiri untuk

melindungi hak-hak dari tersangka atau terdakwa, peranan

Praperadilan justru muncul dalam rangka penegakan aturan

yang ada untuk melindungi hak dari tersangka.

Praperadilan diatur oleh KUHAP untuk menjamin

perlindungan hak asasi manusia dan agar para aparat penegak

hukum menjalankan tugasnya secara konsekwen, efektif dan

efisien. Dengan bekerja secara efisien untuk menanggulangi

kejahatan tidak berarti dengan demikian harus mengurangi

hak tersangka.

2. Praperadilan Pasca Putusan MK no. 21/PUUXII/2014

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam Bab

1, bahwa praktek praperadilan saat ini telah mengalami

perkembangan kontemporer pasca terbitnya putusan MK no.

21/PUU-XII/2014. Pasca putusan MK aquo, kini yang

menjadi obyek gugatan praperadilan bukan saja mengenai sah

atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan (Pasal 77 huruf a

KUHAP), atau ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi

seseorang yang perkaranya pidananya dihentikan pada tingkat

36
penyidikan atau penuntutan (sebagaimana diatur dalam Pasal

77 huruf b KUHAP), tetapi telah diperluas dengan mencakup

pula hal-hal sebagai berikut: sah atau tidaknya penetapan

tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Dalam angka 1.3.

diktum putusannya, MK menyebutkan bahwa:

37
“Pasal 77 huruf a Undang-undang no. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan dan penyitaan.”28
Disamping memperluas obyek gugatan praperadilan,

MK dalam putusan aquo juga telah memberikan definisi atau

pemahaman terhadap frase “bukti permulaan” (pada Pasal 1

butir 14 KUHAP), “bukti permulaan yang cukup” (pada Pasal

17 KUHAP) dan “bukti yang cukup” (pada Pasal 21 ayat (1)

KUHAP) adalah sebagai “minimal dua alat bukti yang

termuat dalam Pasal 184 KUHAP”. Jelasnya, berikut ini

adalah kutipan putusan MK angka 1.1. dan angka 1.2.:

1) “Frase “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang


cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
bertentangan dengan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti
permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan
“bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti
yang termuat dalam Pasal 184 Undang-undang
nomor 8 Tahun 1945 tentang Hukum Acara
Pidana”
2) “Frase “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

38
tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”
adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 Undang-undang nomor 8 Tahun 1945
tentang Hukum Acara Pidana”29

28
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,
Diktum Putusan No. 1.3., hlm. 110. (huruf tebal oleh penulis)
29
Diktum Putusan Angka 1.1. dan 1.2., hlm. 109

39
Terkait dengan dua diktum putusan MK yang disebut

terakhir tadi, Juneadi menyebutkan bahwa MK dalam

putusannya tersebut telah menegaskan mengambil alih

pengertian Pasal 183 KUHAP, dari yang semula untuk

kepentingan majelis hakim dalam memutus perkara pidana

kemudian redaksinya digunakan untuk kepentingan penyidik

dalam menetapkan tersangka.30 Yang menjadi soal, meskipun

MK dalam putusan yang disebut terakhir ini telah

memberikan kepastikan hukum mengenai definisi frase “bukti

permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang

cukup”, tetapi Indriyanto Seno Adji di sisi lain menilai bahwa

putusan ini menimbulkan persoalan bagi penegak hukum

(bukan saja bagi KPK, tetapi juga Polri dan Kejaksaan) dalam

mempersiapkan arus praperadilan dengan “wajah baru berdua

sisi”, yakni praperadilan di satu sisi sebagai alas hak

perlindungan dan penghargaan hak asasi tersangka dan di sisi

lain praperadilan juga dapat memberikan resiko besar dalam

upaya pemberantasan kejahatan (korupsi).31

Kekhawatiran Indriyanto Seno Adji terhadap

perkembangan praperadilan dengan “wajah baru berdua sisi”

ini terutama didasarkan atas alasan- alasan sebagai berikut:

pertama, Pasal 9 ICCPR32 sama sekali tidak

40
30
Junaedi, “Mekanisme Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi (Penetapan Tersangka)” dalam Disriani Latifah Soroinda
(ed). et.al, Prosiding Praperadilan dan Perkembangannya Dalam
Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Indonesia, 2016), hlm. 25-26
31
Indriyanto Seno Adji, Pra Peradilan dan KUHAP (Catatan
Mendatang), (Jakarta: Diadit Media, 2015), hlm. 5.
32
ICCPR sendiri merupakan semacam perjanjian internasional atau
kovenan yang mengatur mengenai hak-hak sipil dan politik. ICCPR
adalah singkatan dari International Covenant on Civil and Political
Rights. Terhadap ICCPR, Indonesia telah meratifikasi ketentuan
tersebut ke dalam sistem hukum nasional, yakni dengan telah
disahkannya Undang-undang no. 12 Tahun 2005

41
memberikan suatu tindakan bahwa bukti permulaan yang

cukup, dengan dua alat bukti (sebagai dasar penetapan

tersangka) adalah imperatif ditujukan kepada hakim

praperadilan, apalagi bila dua alat bukti ini dikaitkan dengan

unsur-unsur delik; kedua, kewajiban menunjukan dua alat

bukti dihadapan sidang pengadilan praperadilan merupakan

suatu “reversal of evidence processing” hal mana jelas

bertentangan dengan prosesual pidana yang hanya bisa

dilakukan pengujiannya dihadapan hakim pada pemeriksaan

perkara pokok; ketiga, kewajiban menunjukan dua alat bukti

dihadapan hakim praperadilan justru riskan dan

membahayakan penegakan hukum terhadap pemberantasan

kejahatan, sehingga membuka peluang besar bagi pihak terkait

untuk menyamarkan dua alat bukti, baik dengan cara

menghilangkan, mengaburkan maupun merusak alat bukti;

keempat, dalam proses pra-adjudikasi (penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan), pengujian dua alat bukti di

hadapan hakim praperadilan dipandang bertentangan dengan

dasar dan filosofi tertutup dan bersifat rahasia suatu alat-alat

bukti yang dikumpulkan pada fase pra-adjudikasi. Ditambah

lagi bahwa dalam hal menentukan adanya “bukti permulaan

yang cukup” merupakan diskresi penuh penyidik. Sedang

pengujian alat bukti secara terbuka adalah menjadi otoritas

42
penuh dari hakim yang memeriksa pokok perkara; kelima,

perbuatan yang menimbulkan potensi kerugian negara yang

sangat signifikan, dalam kasus per kasus, tidak seharusnya

diabaikan dengan sekedar adanya alasan prosesual sah

tidaknya dua alat bukti yang bahkan

tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political


Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik)

43
bukan menjadi domain hakim praperadilan, karena itu dalam

putusan MK halaman 106 menegaskan bahwa perlindungan

terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa

tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan

dugaan adanya tindak pidana, sehingga terhadapnya dapat

dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum

yang berlaku.33

Lantas terakhir, bila dikaitkan dengan asas legalitas

dalam hukum acara pidana, maka terbitnya putusan MK ini

sebaiknya dimaknai bahwa “putusan MK tersebut berlaku

dihitung pada saat proses atau pelaksanaan hukum acara

pidana dilakukan.” Seperti dikatakan oleh Junaedi, dalam hal

terdapat perubahan hukum acara, maka hukum acara yang

berlaku adalah hukum acara yang berlaku pada saat proses

hukum tersebut dilakukan atau pada saat proses pemeriksaan

peradilan tersebut dilakukan. Dimana dalam hal demikian,

proses hukum haruslah dipandang secara keseluruhan.

Sehingga teori locus dan tempus dalam hal ini bukanlah

terletak pada dimana atau kapan perbuatan pidana tersebut

dilakukan, tetapi dimana atau kapan proses hukum atau

peradilan dilakukan.34 Jadi misalnya, meskipun proses

penyidikan telah mulai dilakukan sebelum putusan MK aquo,

tetapi apabila permohonan praperadilan dilakukan setelahnya,

44
maka hal tersebut masih termasuk dalam lingkup legalitas

sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana.35

33
Indriyanto Seno Adji, Op.Cit hlm. 5-7.
34
Junaedi, Op. Cit., hlm. 11.
35
Ibid.

45
3. Pihak-pihak yang Berkepentingan dalam Pengajuan
Praperadilan

Berdasarkan Pasal 79, Pasal 80, Pasal 95 ayat (2), dan Pasal
97 ayat

(3) ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan

permohonan praperadilan yaitu:

 Tersangka, keluarganya, atau kuasanya


 Penuntut Umum
 Penyidik
 Pihak ketiga yang berkepentingan

Pasal 79 KUHAP menyebutkan bahwa permintaan

untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penangkapan atau

penahanan dapat diajukan tersangka, keluarga, atau kuasanya

kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang dengan

menyebutkan alasannya. Pada Pasal 80 KUHAP menyebutkan

bahwa permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya

penghentian penyidikan dapat diajukan oleh penuntut umum,

sedangkan terkait penghentian penuntutan dapat diajukan oleh

penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua

pengadilan negeri dengan menyebukan alasannya.

Siapa penyidik dan siapa penuntut umum telah diatur

dalam KUHAP sedangkan mengenai pihak ketiga yang

berkepentingan belum diatur secara jelas dalam KUHAP. Hal

ini tentu saja menimbulkan berbagai penafsiran dalam

penerapannya. Akan tetapi pada dasarnya yang dimaksud

46
dengan pihak ketiga meliputi seluruh pihak yang secara

langsung maupun tidak

47
langsung menderita kerugian karena dihentikannya

penyidikan dan penuntutan, maupun dalam permintaan ganti

rugi dan rehabilitasi.36

4. Acara Pemeriksaan Praperadilan

Sebelum suatu permohonan praperadilan dapat diperiksa

oleh pengadilan negeri maka terlebih dahulu pemohon

praperadilan atau surat kuasanya harus mendaftarkan surat

permohonan pemeriksaan praperadilan kepada Ketua

Pengadilan Negeri melalui bagian kepaniteraan pengadilan

negeri yang bersangkutan untuk mendapatkan nomor register

perkara. Ketua Pengadilan Negeri kemudian menunjuk

seorang hakim untuk memimpin sidang praperadilan yang

dibantu oleh seorang panitera.37 Dihitung sejak diterimanya

permohonan maka dalam waktu tiga hari hakim yang ditunjuk

oleh Ketua Pengadilan Negeri harus menetapkan hari sidang. 38

Pada saat menetapkan hari sidang, hakim sekaligus

menyampaikan panggilan kepada para pihak pada sidang

pertama yang telah ditetapkan itu. Berdasarkan Pasal 82 ayat

(1) butir c KUHAP pemeriksaan dilakukan dengan acara cepat

dimana selambat-lambatnya dalam tujuh hari hakim sudah

menjatuhkan putusannya. Acara pemeriksaan praperadilan

dalam praktek adalah sebagai berikut:

1) Pembukaan sidang oleh hakim praperadilan.

48
Pembukaan sidang ini dilakukan dengan ketukan
palu dan dinyatakan bahwa sidang terbuka untuk
umum.

36
Setiyono, “Kajian Yuridis Mengenai Interpretasi Pihak Ketiga
yang Berkepenntingan dalam Praktek Praperadilan”

http://www.m2sconsulting.com/main/index.php/publication/artikel/
5- kajian-yuridis-mengenai-interpretasi-pihakketiga-yang-
berkepentingan-dalam-praktek- praperadilan, Diunduh 9 November
2021.
37
Indonesia, Op.Cit., Ps. 78 ayat (2)
38
Ibid., Ps. 82 ayat (1) huruf a.

49
2) Memeriksa kelengkapan pihak-pihak yang terkait
dalam praperadilan.
3) Pembacaan surat tuntutan praperadilan yang
dilakukan oleh Penuntut Umum dan/ atau oleh
kuasa hukumnya.
4) Pemohon praperadilan didengar keterangannya.
5) Termohon praperadilan didengar keterangannya.
6) Penyampaian alat-alat bukti yang dapat berupa
bukti tertulis maupun saksi-saksi.
7) Kesimpulan tuntutan praperadilan.
8) Putusan praperadilan. Terkait dengan
permasalahan apakah hakim dalam memeriksa
permintaan.
Pemeriksaan praperadilan berwenang memeriksa berkas

perkara atau memeriksa materi dari perkara tersebut KUHAP

tidak mengatur secara jelas mengenai hal tersebut. Akan tetapi

dalam Pasal 77 KUHAP ditentukan bahwa pemohon

menjelaskan duduk perkara sebagai alasan dan dasar

permohonan tersebut kemudian baru mencantumkan

mengenai petitumnya, yaitu hal-hal apa saja yang diinginkan

pemohon untuk diperintahkan, ditetapkan, atau diputus oleh

hakim yang memeriksa permintaan praperadilan tersebut. Jadi

dalam hal ini perlu atau tidaknya hakim yang bersangkutan

memeriksa kelengkapan berkas perkara tergantung pada

keadaan perkaranya.39

1) Bentuk dan Isi Putusan Praperadilan

Menurut sifatnya dikenal tiga macam putusan:40

a) Putusan declaratoir, adalah putusan yang isinya

50
bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang
sah menurut hukum;

39
Afiah, Op. Cit., hlm. 91.
40
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Alumni,
1980), hlm. 95.

51
b) Putusan constitutive, adalah putusan yang
meniadakan atau menciptakan suatu keadaan
hukum baru;
c) Putusan condemnatoir, adalah putusan yang
bersifat menghukum pihak kalah, atau yang berisi
penghukuman
Isi putusan praperadilan tercantum dalam Pasal 82 ayat

(2) dan (3) KUHAP. Pada Pasal 82 ayat (2) KUHAP

menyatakan bahwa putusan hakim dalam acara pemeriksaan

praperadilan harus memuat secara jelas dasar dan alasannya.

Selanjutnya dalam ayat (3) KUHAP menyebutkan bahwa isi

putusan juga memuat hal sebagai berikut:

a) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu


penangkapan atau penahanan tidak sah, maka
penyidik atau penuntut umum pada tingkat
pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka.
b) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,
penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan.
c) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu
penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam
putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian
dan rehabilitasi yang diberikan sedangkan dalam hal
suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka
dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
d) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang
disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka
dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut
harus segera dikembalikan kepada tersangka atau
dari siapa benda itu disita.
Berdasarkan ketentuan mengenai isi putusan

52
praperadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 83 ayat (2)

dan (3) KUHAP dapat dikatakan bahwa putusan

praperadilan bersifat declaratoir,41 yang pada

41
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara
Perdata di Indonesia, menyatakan bahwa putusan yang bersifat
declaratoir yaitu apabila putusan yang diminta itu mempunyai
akibat hukum. Meskipun putusan yang bersifat declaratoir artinya
menentukan sifat suatu keadaan dengan tidak mengandung perintah
kepada suatu pihak untuk berbuat ini dan itu, tetapi pemohon

53
dasarnya merupakan suatu putusan yang menegaskan bahwa

seseorang memiliki hak. Secara lengkap putusan praperadilan

harus memuat hal-hal sebagai berikut:42

a. Judul dan nomor perkara;


b. Irah-irah: DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA;
c. Identitas pihak Pemohon;
d. Identitas pihak Termohon;
e. Ringkasan mengenai dasar dan alasan permohonan
Pemohon dan jawaban Termohon;
f. Dasar dan alasan yang dipergunakan sebagai dasar putusan
Hakim;
g. Putusan Hakim;
h. Putusan biaya perkara;
i. Keterangan tentang kapan putusan dijatuhkan dan nama
Hakim Pengadilan Negeri setempat yang menjatuhkan
putusan praperadilan, Panitera Pengganti, dan
disebutkan pula tentang kedua belah pihak, apakah
mereka hadir pada waktu Hakim mengucapkan putusan;
j. Tanda tangan Hakim dan Panitera Pengganti yang ikut
bersidang.

Adapun isi dari suatu putusan praperadilan dapat berupa:

a. Tuntutan praperadilan tidak dapat diterima dalam hal:


a) Tuntutan tersebut tidak berdasarkan hukum;

b) Tuntutan salah atau kabur;


c) Tuntutan tidak memenuhi persyaratan;
d) Objek tuntutan tidak jelas;

e) Subjek tuntutan tidak lengkap;


f) Tuntutan nebis in idem;
g) Tuntutan daluwarsa;

h) dan lain-lain.
b. Tuntutan praperadilan ditolak

54
terang mempunyai kepentingan atas adanya ini, oleh karena ada
akibat hukum yang nyata dan penting dari putusan ini.
42
Afiah, Op. Cit., hlm. 97.

55
Tuntutan ditolak apabila pemohon praperadilan

tidak dapat membuktikan dalil-dalil tuntutannya.

Penolakan dapat juga terjadi untuk seluruhnya atau

sebagian. Dengan kata lain sebagian tuntutan

dikabulkan sedangkan sebagian lagi ditolak

c. Tuntutan praperadilan dikabulkan

d. Tidak berwenang mengadili; karena menyangkut

kompetensi absolut maupun kompetensi relatif.

5. Gugurnya Praperadilan

Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP

ditegaskan bahwa “Dalam hal suatu perkara sudah mulai

diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan

mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai,

maka permintaan tersebut gugur”. Ketentuan tersebut

membatasi wewenang praperadilan karena proses

pemeriksaan praperadilan dihentikan dan perkaranya menjadi

gugur pada saat pokok perkara pidana mulai diperiksa oleh

Pengadilan Negeri.

Apabila proses praperadilan yang belum selesai lalu

dihentikan dan perkara yang sedang diajukan dianggap gugur

atas dasar alasan teknis tersebut dan bukan merupakan alasan

yang prinsipil maka tujuan praperadilan menjadi kabur dan

hilang. Tujuan praperadilan seharusnya menjamin adanya

56
keputusan hukum yang tuntas dan sistem gugur dalam

praperadilan tersebut tentu saja tidak sesuai dengan asas due

process of law dimana proses peradilan dijamin harus

dilakukan sampai selesai hingga terdapat keputusan yang

tidak dapat diganggu gugat lagi. Seharusnya

57
pemeriksaan pidana pokok oleh pengadilan tersebut dilakukan

setelah selesainya proses pemeriksaan praperadilan sehingga

permasalahan hukum dalam pemeriksaan pendahuluan dapat

terselesaikan dan tidak merugikan tersangka/ terdakwa.

C. Kerangka Pikir

UUD NRI
1945
UU NO 8 TAHUN 1981 KUHAP
Analisis Putusan Praperadilan Terhadap Keabsahan Surat Penetapan Tersangka Dan Surat Penghentian
PUTUSAN MK NO

Ruang Lingkup
Praperadilan Pengawasan Horizontal
1. Kewenangan
hakim 1. Alat bukti
2. Objek 2. Pertimbangan hakim
praperadilan
3. Putusan Hakim
3. Subjek
praperadilan

58
Terwujudnya penanganan perkara pidana yang mencerminkan
kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia

59
D. Definisi Operasional

1. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga

sebagai pelaku tindak pidana.

2. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

3. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk

memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini (KUHAP), tentang: a. sah atau tidaknya

penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka

atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah

Atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan

keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya

yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

4. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang

diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat

berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini.

5. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di

tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

60
hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini.20

6. Pengawasan Horizontal adalah suatu pengawasan antar tiap

tingkat pelaksana dalam proses pidana.

61
7. Subjek praperadilan setiap orang yang dirugikan akibat dari

tindakan penegak hukum

62
BA

B III

METODE

PENELITI

AN

A. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode

penelitian normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

penelitian hukum normative dapat disebut juga penelitian

kepustakaan, yaitu yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka

atau data sekunder belaka.43 Di dalam penelitian ini berangkat dari

adanya satu fenomena atau isu hukum yang terjadi yang kemudian

dilakukan upaya penemuan hukum apakah yang mengatur hal

tersebut, bagaimana hukum tersebut mengaturnya dan diharapkan

pula dapat menemukan pemecahan atas masalah yang sedang

dihadapi.

B. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa jenis

pendekatan untuk menganalisa permasalahan yang ada agar dapat

menjawab permasalahan secara komprehensif, antara lain:

1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)

Hal pokok dalam pendekatan perundang-undangan yang

diperlukannya pemahaman dalam memahami hirarki dalam

63
peraturan perundang-undangan. Salah satu yang paling penting

dalam pendekatan ini adalah pemahaman terhadap asas-asas

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)

43
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum
Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-13, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 13-14.

64
Yang dimaksud dengan pendekatan konseptual adalah peneliti

dalam mengkaji isu pokok permasalahan dalam penelitian ini

bertitik tolak dari pandangan-pandangan dan teori-teori.

3. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-

kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-

kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh

putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang

dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim

untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan

sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang

dihadapi

C. Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif penelitian ini tidak

mengenal istilah data, tetapi menggunakan istilah bahan hukum.

Penggunaan bahan hukum untuk menganalisa dan membahas

permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan sumber

bahan hukum anatara lain:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas atau memiliki sifat

mengikat. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri atas:

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

65
b. UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana

c. Dan Peraturan-peraturan lain yang terkait dalam penelitian ini.

2. Bahan Hukum Sekunder

66
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi

tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi. Bahan hukum sekunder meliputi buku-buku teks, kamus-

kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.

3. Bahan Non-Hukum

Bahan non-hukum merupakan bahan lain diluar dari bahan

hukum primer dan sekunder berupa buku-buku mengenai ilmu

politik, social, ekonomi, sosiologi, filsafat serta tulisan-tulisan lain

yan memiliki relevansi dengan isu permasalahan penelitian,

sehingga dapat memperluas wawasan penulis.

D. Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah

studi kepustakaan. Studi kepustakaan digunakan dengan cara

mengumpulkan bahan- bahan hukum seperti peraturan perundang-

undangan serta bahan bacaan yang relevan untuk memperoleh data

yang objektif terkait dengan permasalahan data penelitian ini.

E. Analisis Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum akan diolah dan dianalisa secara

prepektif dengan metode deduktif, yaitu dengan cara menganalisa

bahan-bahan hukum kemudian dirangkai secara sistematis sebagai

susunan fakta-fakta hukum yang kemudian digunakan sebagai dasar

dalam mengkaji pemecahan permasalahan dalam penelitian ini guna

untuk menjawab analisis putusan praperadilan terhadap keabsahan

67
surat penetapan tersangka dan surat penghentian penyidikan.

68
69

Anda mungkin juga menyukai