Anda di halaman 1dari 18

REFORMULASI KEWENANGAN PENYITAAN OLEH PENUNTUT

UMUM DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA


PADA PROSES PERSIDANGAN

Roy Rovalino Herudiansyah


Instansi:
Alamat:
Email: royrovalino@gmail.com

Abstract

Confiscation of evidence as colaborating evidence is a forced effort to strengthen


the proof of the public prosecutor's indictment which is strengthened by testimony
before being considered by the judge. The provisions of Article 38 paragraph (1)
of the Criminal Procedure Code which confirms that confiscation can only be
carried out by investigators at the level of investigation is indeed an absolute
matter. Then what about the authority of the public prosecutor to make seizures at
the level of examination of the court hearing, whether it is allowed or not. The
purpose of the study was to analyze the reformulation of confiscation authority in
handling criminal acts in the confiscation process. The research method used is
normative juridical. The results of this study are that public prosecution efforts
can confiscate criminal goods at the examination trial level, evidence in Perja
Number 36 of 2011 and KMA Number: 32 of 2006 as part of the legislation, and
as a spirit of reformulation of demands for public works in confiscation, although
then Perja Number 36 of 2011 has been revoked. A legal breakthrough is needed
by the prosecutor to carry out a confiscation, thus law enforcement actions are
more emphasis on action than regulations.

Keywords: Confiscation, Crime, Public Prosecutor, Reformulation

Abstrak

Penyitaan terhadap barang bukti sebagai coraborating evidence merupakan upaya


paksa guna memperkuat pembuktian dakwaan penuntut umum yang diperkuat
oleh kesaksian sebelum dipertimbangkan hakim. Ketentuan Pasal 38 ayat (1)
KUHAP yang menegaskan penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik pada
tingkat penyidikan memang menjadi hal yang mutlak. Kemudian bagaimana
dengan kewenangan penuntut umum melakukan penyitaan di tingkat pemeriksaan
sidang pengadilan, apakah diperbolehkan atau tidak. Tujuan penelitian adalah
untuk menganalisis upaya reformulasi kewenangan penyitaan dalam penanganan
tindak pidana pada proses penyitaan. Metode penelitian yang digunakan adalah
yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa upaya penuntut umum dapat

1
melakukan kewenangan penyitaan barang bukti tindak pidana pada tingkat
pemeriksaan persidangan ditemukan dalam Perja Nomor 36 Tahun 2011 maupun
KMA Nomor: 32 Tahun 2006 sebagai bagian dari peraturan perundangan-
undangan dan sebagai semangat reformulasi tentang kewenangan penuntut umum
dalam hal penyitaan, walau kemudian Perja Nomor 36 Tahun 2011 telah dicabut.
Diperlukan terobosan hukum oleh jaksa untuk melakukan penyitaan, dengan
demikian tindakan penegak hukum yang lebih menekankan pada tindakan
daripada peraturan.

Kata kunci: Penuntut Umum, Penyitaan, Reformulasi, Tindak Pidana

A. Pendahuluan
Penegakan hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan hukum, sedangkan pembangunan hukum itu sendiri adalah
komponen integral dari pembangunan nasional. Penegakan hukum adalah
penyelenggaraan hukum oleh aparat penegak hukum melakukan penindakan
hukum terhadap tiap pelanggaran yang terjadi. 1 Penegakan hukum sebagai
landasan tegaknya supremasi hukum, tidak hanya menghendaki komitmen
ketaatan dan kesadaran seluruh komponen bangsa terhadap hukum, tetapi
mewajibkan aparat penegak hukum menegakkan dan menjamin kepastian
hukum.
Upaya pembangunan hukum, terutama di bidang hukum pidana di
antaranya telah dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hal ini dimaksudkan
supaya masyarakat dapat menghayati dan mampu tercapai hak dan
kewajibannya, serta peningkatan pembinaan sikap para pelaksana penegak
hukum yang sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing, demi
keadilan dan perlindungan hukum yang merupakan pengayom terhadap
keseluruhan harkat dan martabat manusia, untuk ketertiban dan kepastian
hukum.
Kewenangan penyidik dan penuntut umum, telah diatur di dalam
KUHAP, yang menjelaskan tentang penyidikan adalah serangkaian tindakan

1
Theodorus Yosep Parera, Advokat dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama,
(Yogyakarta: Genta Press, 2016), hlm. 15.

2
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini,
untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,
sedangkan penuntutan adalah sebuah proses menyerahkan atau memberikan
berkas perkara terdakwa kepada hakim, kemudian dilakukan permohonan
terhadap hakim dan hakim melakukan pemutusan terhadap terdakwa. Dengan
demikian suatu penuntutan dapat dimulai sejak adannya proses pemberian
berkasa dan diproses dan dengan kata lain proses ini sesuai dengan apa yang
terdapat dalam perundang-undangan. Hakikat penuntutan dapat dipahami
secara materiil, sebagai berikut: 2
Penuntutan adalah suatu tindakan penuntut umum untuk membuktikan
terpenuhinya unsur-unsur ketentuan pidana yang dilanggar oleh
terdakwa akibat perbuatan yang telah dilakukan, atau konkretisasi
aturan pidana yang bersifat abstrak pada fakta perbuatan yang telah
dilakukan oleh terdakwa, sehingga memberikan keyakinan kepada
hakim bahwa perbuatan terdakwa telah melanggar ketentuan pidana
yang didakwakan kepadanya.

Pembuktian merupakan tujuan dari Hukum Acara Pidana dan bagian


dari tahapan penyidikan. Menurut Yahya Harahap, bahwa pembuktian adalah
upaya meyakinkan Hakim akan hubungan hokum yang sebenarnya antara para
pihak dalam perkara, dalam hal ini antara bukti-bukti dengan tindak pidana
yang didakwakan. Dalam mengkonstruksikan hubungan hukum ini, masing-
masing pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan
menyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil para pihak (jaksa ataupun
terdakwa) tanpa harus dikekang oleh batasan alat-alat bukti sepanjang dalil
menerima dalil-dalil para pihak (jaksa ataupun terdakwa) tanpa harus
dikekang oleh batasan alat-alat bukti sepanjang dalil tersebut memenuhi
prinsip-prinsip logika.3
Pembuktian adalah suatu proses yang memberikan kejelasan apakah

2
IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya
Keadilan Melawan Mafia Hukum, Cetakan Kesatu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 175.
3
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), hlm. 273.

3
terdakwa bersalah atau tidak. KUHAP menguraikan sistem bagaimana
menyajikan alat bukti pada hakim di pengadilan dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan persidangan, serta upaya hukum, dengan
mengedepankan perlindungan hak seseorang bagian dari due process of law.
Sesuai postulat nullum crimen sine poena legali, bermakna "semua perbuatan
pidana harus dipidana menurut undang-undang".
Pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok Sistem Hukum Pidana
Formil (Acara), yakni Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981). Apabila dikaji mengenai makna “sistem” (hukum pembuktian), maka
menurut Martiman Prodjohamidjojo, dapat diartikan sebagai suatu
keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan
berhubungan satu dengan yang lain, serta saling pengaruh-mempengaruhi
dalam suatu keseluruhan atau kebulatan.4

Sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana


disebut secara limitatif di dalam Undang-undang. Undang-undang telah
menentukan mengenai alat-alat bukti apa saja yang dapat digunakan oleh
hakim, cara hakim menggunakan alat-alat bukti tersebut, kekuatan pembuktian
alat-alat bukti tersebut dan bagaimana ceranya hakim harus memutus terbukti
atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Apabila dalam hal pembuktian,
jaksa mengalami kesulitan, hal ini akan sangat mempengaruhi proses
selanjutnya dalam sistem peradilan pidana, yakni penuntutan.
KUHAP sebagai the rule mengandung 3 (tiga) prinsip utama, yaitu
prinsip legalitas, yakni lex certa artinya tertulis, lex scripta artinya jelas, serta
lex stricta artinya tidak bisa ditafsirkan lain. Akibat prinsip legalitas, dalam
mencari kebenaran materiil, penegak hukum, penyidik, penuntut umum,
hakim, penasihat hukum patut menggunakan cara ketentuan KUHAP.
Tidak sesuai KUHAP sebagai due process of law, merupakan
exclusinary of rule, unlawfull legal evidence, maupun illegally acquired
evidence, berimplikasi dibebaskannya terdakwa. Guna pembuktian, kehadiran
physical evidence atau real evidence atau dikenal sebagai barang bukti,
diperlukan menjelaskan kejadian tindak pidana. Guna memperoleh barang

4
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, S.H. & Rekan, 2006), hlm. 83.

4
bukti, bisa dilakukan upaya paksa, yakni penyitaan.
Penyitaan mutlak dalam proses penyidikan. Pada penyidikan, titik
berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan
bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar
dapat menemukan dan menentukan pelakunya.5
Penyitaan berfungsi menunjukan barang bukti merupakan hal utama
dalam pembuktian di muka persidangan, barang bukti bersifat mutlak dapat
atau tidaknya, perkara dilanjutkan atau tidak ke pengadilan. Penyitaan yaitu
tindakan hukum yang dilakukan pada penyidikan.
Pasal 38 ayat (1) KUHAP, penyitaan hanya dilakukan oleh penyidik.
Pasal tersebut menegaskan, hanya penyidik yang berwenang melakukan
penyitaan. Faktanya, penuntut umum selaku pihak yang dikenai kewajiban
membuktikan tindak pidana (actori incumbit onus probandi) pada saat
pemeriksaan persidangan menemukan fakta adanya barang bukti yang
memiliki keterkaitan menunjukan kesalahan terdakwa. Barang bukti tersebut
belum disita oleh penyidikan sehingga tidak menjadi barang bukti yang dapat
memperkuat alat bukti dalam pembuktian.
Pasal 38 ayat (1) KUHAP the rule dalam beracara, tegas menyatakan
kewenangan penyitaan hanya pada penyidik dan pada penuntut umum, maka
tindakan apakah yang dilakukan oleh penuntut umum menghadapi situasi
tersebut. Apakah prosedur hukum yang baku dibarengi mindset legal
positivistik tersebut menghentikan penuntut umum untuk pembuktian
kebenaran materiil terhadap kesalahan terdakwa. Bagaimanakah penuntut
umum untuk membebaskan diri dari the rule tersebut. Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan tersebut, maka fokus pada penelitian ini adalah
bagaimana reformulasi kewenangan penyitaan dalam penanganan tindak
pidana pada proses penyitaan.

5
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 109.

5
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
yuridis normatif, yang mengkaji secara mendalam aturan perundang-undangan,
asas hukum, prinsip hukum yang berkaitan dengan kewenangan penyitaan
dalam penanganan tindak pidana pada proses penyitaan perspektif reformulasi
penegakan hukum.

C. Hasil dan Pembahasan


Dalam menegakkan dan menjamin terwujudnya suatu kepastian
hukum, tindakan para aparatur penegak hukum secara formal harus ada
pengaturannya, agar tindakannya tidak kontradiktif dengan undang-undang.
Artinya tidak saja harus mengacu kepada ketentuan hukum pidana materiil,
tetapi juga mengacu kepada hukum pidana formil, yang lazim disebut hukum
acara pidana.
Hukum acara pidana atau hukum pidana formil dalam bahasa Belanda
disebut dengan “Strafvordering”, dan dalam bahasa Inggris “Criminal
Procedure Law”, dalam bahasa Perancis “Code d’instruction Criminelle”, di
Amerika Serikat “Criminal Procedure Rules” yaitu bagian dari hukum pidana
dalam pengertian luas. Menurut Simon lingkupnya mengatur tentang
bagaimana negara melalui perangkatnya melaksanakan haknya untuk me-
nerapkan hukum pidana”.6 Hukum acara pidana menurut Andi Hamzah ruang
lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran,
penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi)
oleh jaksa.7

KUHAP tidak memberikan definisi secara yuridis tentang hukum acara


pidana. Hukum acara pidana dapat dirumuskan sebagai hukum yang mengatur
tentang kaidah-kaidah dalam beracara di seluruh proses peradilan pidana,
sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan
persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum dan
pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan di dalam upaya mencari dan

6
Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa Per-
kembangan Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi, 2012), hlm. 18-19.
7
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, Edisi Revisi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hlm. 2.

6
menemukan kebenaran materiil.8
KUHAP menganut asas spesialisasi, diferensiasi dan
kompartemenisasi. Spesialisasi berarti pengkhususan, diferensiasi berarti
pembedaan, sedangkan kompartemenisasi berarti pembagian dalam golongan-
golongan. Artinya, KUHAP menerapkan pembagian kewenangan masing-
masing institusi. Pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan agar
pelaksanaan tugas penegakan hukum dapat menjadi fokus, sehingga tidak
terjadi duplikasi kewenangan, namun tetap terintegrasi karena antara institusi
penegak hukum yang satu dengan lainnya secara fungsional ada hubungan
sedemikian rupa di dalam proses penyelesaian perkara pidana. Pola ini dikenal
dengan integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu).9

Salah satu tahapan dalam sistem peradilan pidana yang diatur dalam
KUHAP adalah penyidikan, termasuk di dalamnya adalah proses penyitaan.
Secara umum, penyitaan yang terkandung dalam KUHAP, yaitu: Pertama,
penyitaan merupakan tindakan penyidik. Kedua, penyitaan dilakukan dengan
mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak
atau tak bergerak, berwujud atau tak berwujud. Ketiga, objek yang dapat
dilakukan penyitaan adalah benda bergerak atau tak bergerak, berwujud atau
tak berwujud. Keempat, penyitaan dilakukan guna pembuktian penyidikan,
penuntutan, dan peradilan.
Tujuan dari penyitaan untuk kepentingan pembuktian, tujuan penyitaan
agak berbeda dengan penggeledahan. Seperti yang sudah dijelaskan, tujuan
penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau
kepentingan pemeriksaan penyidikan. Lain halnya dengan penyitaan. Tujuan
penyitaan, untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai
barang bukti di muka sidang peradilan.
Berdasarkan Pasal 1 butir ke-16 KUHAP, menegaskan bahwa
penyitaan merupakan rangkaian tindakan penyidik guna mengambil alih dan
atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tak bergerak,
berwujud atau tak berwujud, untuk kepentingan pembuktian penyidikan,
penuntutan, dan peradilan.

8
Marwan Effendy, loc.cit., hlm. 19.
9
Ibid.

7
Pertama, penyitaan adalah tindakan penyidik. Sebagaimana disebutkan
Pasal 1 butir ke-1 KUHAP, mendefinisikan penyidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu, yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Dalam KUHAP terkait profesi penyidik adalah profesi penyidik ditempatkan
sebagai norma pertama KUHAP.
Penyidikan dalam sistem peradilan pidana berperan vital. Penyidik
melakukan penyidikan adalah langkah pertama dimulainya peradilan pidana.
Sebagaimana Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, menyebutkan kewenangan
penyidik adalah melakukan penyitaan. Ditegaskan Pasal 38 ayat (1) KUHAP,
penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua
pengadilan negeri. Serangkaian norma, penyitaan dalam KUHAP hanya dapat
dilakukan oleh penyidik.
Sesuai perumusan Pasal 1 angka 2 KUHAP, maka sasaran/ target
tindakan penyidikan adalah mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana
yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang/jelas dan sekaligus
menemukan siapa tersangka pelakunya. Adapun yang dimaksud dengan pem-
buktian adalah upaya menyajikan/mengajukan alat-alat bukti yang sah dan
barang bukti/benda sitaan di depan sidang peng-adilan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa sesuai dengan surat dakwaan penuntut umum. Upaya
pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu
dengan melakukan kegiatan/tindakan mencari/menemukan/mengumpulkan/
menyita alat-alat bukti yang sah (Pasal 184 KUHAP) dan benda/barang bukti
(KUHAP BAB V Bagian Keempat dan Bagian Kelima Pasal 38 sampai
dengan Pasal 49). Untuk selanjutnya melalui proses penuntutan alat-alat bukti
tersebut oleh penuntut umum disajikan/diajukan di depan sidang pengadilan.10

Kedua, penyitaan dengan cara mengambil alih di bawah


penguasaannya benda bergerak atau tak bergerak, berwujud atau tak berwujud.
Tindakan penyitaan adalah tindak pro justisia dilakukan berdasarkan surat
perintah atau penetapan pengadilan. Tindakan mengambil alih dan / atau
menyimpan di bawah penguasaannya barang bukti merupakan upaya
perampasan terhadap hak milik. Penyitaan dilakukan guna kepentingan acara
pidana dilakukan dengan cara yang telah ditentukan oleh undang-undang.

10
H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press,
2004), hlm. 55-56.

8
Ketiga, objek yang dapat dilakukan penyitaan yaitu benda bergerak
atau tak bergerak, berwujud atau tak berwujud. Pasal 39 KUHAP secara tegas
barang yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda hasil tindak pidana,
benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana, benda yang digunakan untuk menghalangi penyidikan tindak pidana,
benda khusus dibuat atau dipakai untuk melakukan tindak pidana, benda lain
yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
Terkadang barang yang disita bukan milik tersangka. Tetapi milik
orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti perkara pidana
pencurian, atau barang tersangka tetapi yang diperolehnya dengan cara
melawan hukum atau tanpa izin yang sah menurut peraturan. Penyitaan barang
bukti tahap penyidikan merupakan hal yang penting jika barang bukti yang
dipakai guna pembuktian, barang bukti tersebut memperkuat kedudukan alat
bukti lainnya.
Faktanya tingkat pemeriksaan di persidangan terungkap barang bukti
yang belum disita, tetapi memiliki implikasi terkait dengan peristiwa tindak
pidana dibuktikan penuntut umum. Pasal 38 KUHAP, menyebutkan bahwa
penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik di tingkat penyidikan dan tidak
dapat dilakukan oleh penuntut umum sebagai bentuk dari penerapan asas
diferensiasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum.
KUHAP sebagai dasar hukum menyesuaikan dengan realitas dinamika
masyarakat. Penegakan hukum tidak lagi menerapkan KUHAP secara kaku
berujung tidak terwujudnya keadilan subtantif. Kaitannya tindakan penyitaan,
tidak dapat dipungkiri sewaktu-waktu, barang bukti yang lepas dari penelitian
penuntutan umum pada tahap pra penuntutan kemudian terungkap pada saat
pemeriksaan persidangan.
Surat dakwaan yang disusun Jaksa hanya berdasar fakta yang
terungkap dalam berkas. Diferensiasi fungsional yang dianut dalam KUHAP
membuat penuntut umum yang dikenai kewajiban pembuktian di persidangan
tidak pernah melihat fakta penyidikan utuh, melainkan pada lembaran-
lembaran berkas. Barang bukti yang muncul dalam fakta persidangan

9
memenuhi pembuktian kesalahan terdakwa. Apabila tidak dilakukan penyitaan,
barang bukti tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian.
Secara sistematis dalam KUHAP, hanya mengatur tata cara penyitaan
untuk kepentingan pembuktian pada tingkat penyidikan, akan tetapi belum
mengatur tata cara penyitaan untuk kepentingan pembuktian pada tingkat
penuntutan maupun peradilan atau pemeriksaan di persidangan. Akan tetapi,
norma tersebut telah memberi gambaran bahwa penyitaan sebagai upaya paksa
dilakukan bukan hanya untuk kepentingan penyidikan, namun juga untuk
kepentingan penuntutan dan peradilan.
Kewenangan penyitaan tidak secara tegas tertulis dalam KUHAP, akan
tetapi dalam aktualisasi penuntut umum dapat melakukan penyitaan pada saat
pemeriksaan di persidangan, sebagai dasar hukum penuntut umum melakukan
penyitaan adalah Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Perja Republik
Indonesia No PER-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur
Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, serta KKMA Republik Indonesia
No KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan tanggal 4 April 2006.
KMA Nomor: 32 Tahun 2006 pada penyitaan perkara tindak pidana,
“Apabila dalam persidangan hakim memandang perlu dilakukan penyitaan
atas suatu barang, maka perintah hakim guna melakukan penyitaan ditujukan
kepada penyidik melalui penuntut umum”. Dalam KMA Nomor: 32 Tahun
2006 membuka peluang penuntut umum melakukan penyitaan pada
pemeriksaan di persidangan melalui penyidik.
Berbeda dengan ketentuan KMA Nomor: 32 Tahun 2006, dalam Pasal
23 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Perja Nomor 36 Tahun 2011 mengatur
rumusan tersendiri tentang konsep penyitaan yang tidak sekedar pada tingkat
pemeriksaan di persidangan, melainkan termasuk pada tingkat penuntutan
yakni pemeriksaan tambahan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 23 ayat
(1) Perja Nomor 36 Tahun 2011, bahwa: “Dalam hal dilakukan pemeriksaan
tambahan atau pemeriksaan di persidangan untuk kepentingan penyelesaian
perkara, penuntut umum dapat melakukan penyitaan”. Penyitaan yang

10
dilakukan penuntut umum tanpa melalui penyidik tersebut dapat dilakukan
mengingat penuntut umum merupakan jaksa berdasarkan Pasal 30 ayat (1)
huruf Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan bertindak
selaku penyidik berwenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu.
Pencabutan Perja Nomor 36 Tahun 2011 dengan adanya Peraturan
Jaksa Agung Nomor 13 Tahun 2019, senada dengan asas legalitas dalam
Hukum Acara Pidana yang disebutkan dalam Pasal 3, yaitu: “Peradilan
dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Termasuk
tindakan penyitaan harus kembali ke KUHAP yang merupakan kewenangan
penyidik. Sumber hukum tertinggi dalam hukum acara pidana adalah KUHAP,
maka sudah tepat bila kemudian Perja Nomor 36 Tahun 2011 dihapuskan
karena terdapat beberapa kewenangan dari aparat penegak hukum yang
bertentangan dengan KUHAP, seperti penuntut umum dapat melakukan
penyitaan. Hal ini dilakukan agar mengembalikan ruh dari asas legalitas dalam
hukum acara pidana dan tidak menciderai prinsip-prinsip yang telah diatur
dalam hukum acara pidana kita.
Upaya reformulasi kewenangan penuntut umum dalam melakukan
penyitaan pada proses persidangan dari adanya Perja Nomor 36 Tahun 2011
dan KMA Nomor: 32 Tahun 2006 ternyata tidak bisa diharmonisasikan
dengan KUHAP sebab bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum acara
pidana. Persamaan dan perbedaan kedua peraturan tersebut perlu disinkronkan,
sehingga tidak saling berlawanan dengan KUHAP.
Kewenangan penuntut umum melakukan penyitaan pada tingkat
pemeriksaan persidangan diperlukan karena penyitaan terhadap barang bukti
yang memiliki relevansi dengan pembuktian, yang seharusnya memperkuat
kedudukan alat bukti lainnya, secara mutatis mutandis menguatkan
persangkaan hakim. Jika penuntut umum tidak bisa membuktikan dakwaannya,
terdakwa harus dibebaskan sebagaimana postulat actore non probante reus
absolvitur.
Melihat hal tersebut, maka diperlukan terobosan penyelenggaraan
hukum yang membutuhkan keberanian penegak hukum, terutama jaksa dan

11
hakim, yang lebih menekankan pada tindakan daripada hukum murni. Bagi
para penegak hukum harus menyadari bahwa dirinya adalah sebagai aktor
yang memiliki kewenangan untuk menggali nilai keadilan yang tidak
tercermin hanya dalam peraturan perundang-undangan saja.
Setiap penegak hukum, baik polisi, jaksa maupun hakim adalah aktor
yang memiliki kebebasan untuk memilih alternatif tindakan yang tepat dalam
mencapai rasa keadilan bagi masyarakat, alih-alih lebih mengutamakan
keadilan substantif. Beberapa teori yang dapat dianalogikan untuk mendukung
dilakukannya penyitaan oleh jaksa (dan penegak hukum lain) dalam rangka
melakukan terobosan hukum, yakni :11
1. Teori Voluntarism oleh Talcot Parson, kemampuan individu untuk
melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah
alternative yang tersedia untuk mencapai tujuan;
2. Teori Psikologi Humanistik oleh Abraham Maslow, bahwa manusia
dipandang sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat yang selalu
bergerak untuk mengungkap eksistensinya dengan segala potensinya,
aktualisasinya, kreativitasnya, potensinya, individualitasnya, ego, dan
keinginannya.

Penegak hukum dapat menentukan mana hal yang benar dan mana
yang salah melalui intuisi dan pengalaman mereka selama beracara menangani
berbagai kasus yang menuntunnya untuk menggali nilai-nilai keadilan yang
dibutuhkan. Dalam memutus dan menangani perkara, maka undang-undang
hanya sebagai rujukan, tetapi tidak selamanya harus diikuti dalam kondisi
apapun. Bahkan pada situasi tertentu, hakim dapat melihat dari sudut pandang
yang lain untuk menemukan apa yang dibutuhkan para pencari keadilan.12
Tindakan inovasi hukum sangat membutuhkan keberanian para
penegak hukum, sebagaimana konsep hukum progresif yang menekankan
bukan pada peraturan melainkan kepada manusia. Hukum progresif dimaksud-
kan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman,
mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta

11
Ade Mahmud, Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pendekatan Hukum
Progresif, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), hlm. 166.
12
Ibid., hlm. 167.

12
dapat melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari
sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.13
Dalam rangka penegakan hukum progresif, maka pada pelaksanaannya
akan memberikan perhatian yang lebih terhadap peranan dari faktor manusia.
Manusia sebagai pembuat dan sekaligus pelaksana hukum. Mentaati hukum
merupakan kewajiban demi terciptanya keamanan serta ketertiban.14
Penegakan hukum yang digadang-gadangkan di era reformasi masih
jalan di tempat, belum membawa perubahan yang berarti bagi rakyat, sebab
dalam penegakan hukum ini, unsur-unsur yang menopang jalannya penegakan
hukum yang harusnya jalan beriringan mengalami kemunduran bahkan jauh
menyimpang. Banyaknya kritik terhadap penyelesaian perkara dalam sistem
peradilan pidana merupakan fakta. Beberapa fakta yang merugikan, seperti
peradilan yang acapkali memakan waktu yang lama, berbiaya mahal, rumit,
dan dianggap kurang bisa memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.15Secara
konkretnya, kegagalan proses penegakan hukum kita bersumber dari substansi
peraturan perundang-undangan yang tidak berkeadilan, aparat penegak hukum
yang korup, dan budaya masyarakat yang buruk, dan lemahnya kelembagaan
hukum kita.16

Karakteristik hukum progresif berupa rule breaking, lompatan hukum


yang ditujukan kepada penegak hukum untuk menghadirkan keadilan kepada
masyarakat (bringing justice to the people) melalui 3 (tiga) kegiatan pokok,
yaitu: 17
1. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan
hukum memberikan pesan penting bagi kita untuk berani mencari jalan
baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama,
men-jalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih
banyak melukai rasa keadilan;
2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam
menjalankan hukum dan bernegara hukum. Masing-masing pihak yang

13
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. ix.
14
Jawade Hafidz Arsyad dan Dian Karisma, Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang &
Jasa Pemerintah, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 23.
15
Bambang Waluyo, Penyelesaian Perkara Pidana, Penerapan Keadilan Restoratif dan
Transformatif, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), hlm. 2.
16
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara,
Cetakan Pertama, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. ix dan x.
17
. Suteki, Perkembangan Ilmu Hukum dan Implikasi Metodologinya dalam Metodologi
Penelitian Hukum, Bahan Ajar, (Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,
2014), hlm. 15

13
terlibat dalam proses penegakan hukum didorong untuk selalu bertanya
kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam;
3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi
dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (commpassion) kepada
kelompok yang lemah.

Penegak hukum harus berani dalam mencari kebenaran untuk


menegakkan keadilan, meskipun harus melanggar undang-undang, karena
tidak selamanya undang-undang yang telah dibuat dapat memberikan keadilan
bagi masyarakat. Sebagaimana pada proses penyitaan, yang hanya dapat
dilakukan oleh pihak kepolisian, maka kejaksaan jika hal itu sangat diperlukan,
maka penyitaan dapat dilakukan meskipun harus melanggar ketentuan
undang-undang.
Apa yang menjadi fungsi penegak hukum dari lembaga pelaksana ke-
kuasaan kehakiman seperti kejaksaan, kepolisian, Komisi Pemberantasan
Korupsi, di bidang penyidikan dan penuntutan merupakan jaminan negara
hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 untuk
menegakkan hukum dan keadilan bagi tegaknya supremasi hukum melalui
proses hukum yang adil.18

Berkaitan dengan penegakan hukum progresif ini, maka penegak


hukum dan masyarakat semua harus berani keluar dari alur tradisi penegak
hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan,
karena hukum bukanlah semata-mata bekerja di ruang hampa yang steril dari
konsep-konsep non-hukum. Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial,
perilaku yang senyatanya dan dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang
ada di dalamnya.

D. Simpulan dan Saran


1. Simpulan
Sistem peradilan pidana pada proses pemeriksaan persidangan
mempunyai peranan yang sangat penting untuk menemukan kebenaran
materiil. Pembuktian diwujudkan guna meyakinkan hakim bahwa benar
18
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Cetakan
Kesatu, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm. 169-171.

14
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Meski demikian, masing-masing dari subjek sistem peradilan pidana
mengambil kewenangan sesuai porsinya sendiri-sendiri sesuai yang diatur
di dalam KUHAP. Keberadaan Perja Nomor 36 Tahun 2011 mau-pun
KMA Nomor: 32 Tahun 2006, yang tadinya mengatur bahwa penuntut
umum boleh melakukan penyitaan pada proses persidangan, memberikan
semangat reformulasi dalam hal kewenangan penuntut umum, namun
tidaklah kemudian dibiarkan dengan menabrak asas legalitas dalam hukum
acara pidana kita, yang diperlukan di sini adalah bagaimana upaya
harmonisasi dari kewenangan tersebut agar tidak tumpang tindih dalam hal
pelaksanaan kewenangan, sehingga tidak melanggar hak orang lain.
Diperlukan tindakan terobosan hukum yang membutuhkan keberanian
penegak hukum, terutama jaksa dan hakim, yang lebih menekankan pada
tindakan daripada peraturan. Setiap penegak hukum, baik polisi, jaksa
maupun hakim adalah aktor yang memiliki kebebasan untuk memilih
alternatif tindakan yang tepat dalam mencapai rasa keadilan bagi masya-
rakat. Dalam memutus dan menangani perkara, maka undang-undang
hanya sebagai rujukan, tetapi tidak selamanya harus di-ikuti dalam kondisi
apapun. Hal itu membutuhkan keberanian penegak hukum sebagaimana
dalam konsep hukum progresif.
2. Saran
Perlunya pengaturan mengenai proses penyitaan yang dilakukan
oleh pihak kejaksaan, dalam hal terdapat barang bukti yang ditemukan
ketika persidangan, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam
menyelesaian perkara pidana, sehingga mewujudkan keadilan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta:


Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, S.H. &
Rekan, 2006.

Arsyad, Jawade Hafidz dan Dian Karisma. Sentralisasi Birokrasi Pengadaan


Barang & Jasa Pemerintah. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika,
2018.

Effendy, Marwan. Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa Per-


kembangan Hukum Pidana. Jakarta: Referensi, 2012.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Cetakan Ketiga. Edisi Revisi.
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan


Sidang Pengadilan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Edisi
Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,


Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Kuffal, H.M.A. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press,
2004.

Latif, Abdul. Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi.


Cetakan Kesatu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.

Mahmud Ade. Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pendekatan Hukum


Progresif. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2020.

Nurdjana, IGM, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “Perspektif
Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”. Cetakan Kesatu. Yogya-
karta: Pustaka Pelajar, 2010.

Parera, Theodorus Yosep. Advokat dan Penegakan Hukum. Cetakan Pertama.


Yogyakarta: Genta Press, 2016.

Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2007.

Suteki. Perkembangan Ilmu Hukum dan Implikasi Metodologinya dalam


Metodologi Penelitian Hukum. Bahan Ajar. Semarang: Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2014.
Syamsuddin, Amir. Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan
Pengacara. Cetakan Pertama. Jakarta: Kompas, 2008.

Waluyo, Bambang. Penyelesaian Perkara Pidana, Penerapan Keadilan Restoratif


dan Transformatif. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2020.

Anda mungkin juga menyukai