Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS DAYA PAKSA (OVERMACHT) DALAM PUTUSAN


NOMOR 161/PID.B/2014/PN. MKS DAN PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 238 K/PID.SUS/2015

DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI PENILAIAN MATA KULIAH


PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

ALIFIA INDAH NUR LESTARI (2106630933)


GERRY JORDAN HADINATA (2106734070)
M. IRFAN DWI PUTRA (2106712201)
MELYANA SAPUTRI (2006579951)
LILY BERLIANA ZAHIRAH (2106638942)
OLIVIANA MAGDALENA (2106734814)
YASMIN HANA AZIZAH (2006580575)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
2023
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam hukum pidana, seseorang dinyatakan dapat dipersalahkan
atas sebuah tindak pidana dan dapat mempertanggungjawabkan
tindakannya jika orang tersebut memiliki kemampuan bertanggung jawab,
terdapat kesalahan berbentuk dolus dan culpa, serta tidak memiliki alasan
penghapus pidana. Syarat-syarat tersebut harus ada untuk seseorang dapat
dikatakan mampu mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana. Terkait
tidak memiliki dasar penghapus pidana, dikenal dua alasan penghapus
pidana, yakni alasan pembenar dan alasan pemaaf. Jika seseorang yang
melakukan tindakan yang melawan hukum, tetapi orang tersebut memiliki
dasar pembenar atau pemaaf, orang tersebut dapat dikatakan tidak dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya. Oleh karena itu, terlihat jelas di
sini bahwasannya dalam hukum pidana alasan pembenar atau pemaaf
memiliki konsekuensi yang besar, yakni untuk menentukan apakah
seseorang dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang
telah dilakukannya.
Lebih lanjut, alasan penghapus pidana ini diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari Pasal 44, Pasal
48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51. Alasan pembenar adalah dasar-dasar
yang mengakibatkan suatu perbuatan tidak memenuhi unsur melawan
hukum, sedangkan dalam alasan pemaaf unsur melawan hukum telah
nyata terpenuhi, tetapi dengan dasar-dasar tertentu unsur melawan hukum
tersebut dihapuskan pada diri pelaku. Walaupun alasan penghapus pidana
seperti akses khusus keluar dari hukuman pidana, tetapi dalam terdapat
syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi, tidak serta merta dapat
dianggap dimiliki oleh setiap orang.
Adapun hakim dalam suatu perkara memiliki kewenangan untuk
mempertimbangkan dan menentukan memiliki alasan penghapus pidana
atau tidak.1 Penulis melihat adanya ketidaktepatan pengaplikasian alasan
penghapus pidana dalam perkara Putusan Nomor 161/Pid.B/2014/PN. Mks
jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2015. Oleh karena

1 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 42.
itu, dalam penulisan ini penulis berupaya untuk melakukan analisis
mengenai penerapan yang seharusnya dilakukan dengan menggunakan
syarat dan ketentuan alasan penghapus pidana, khususnya daya paksa
sebagai salah satu bentuk alasan pemaaf.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah berlandaskan uraian dalam latar
belakang di atas adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana pengaturan dan konsep daya paksa (overmacht)
yang dikenal dalam hukum di Indonesia?
2) Bagaimana penerapan daya paksa dalam Putusan Nomor
161/Pid.B/2014/PN. Mks dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 238 K/Pid.Sus/2015?

2. Pembahasan
2.1. Pengaturan dan Konsep Daya Paksa dalam Hukum di Indonesia
Menurut Memorie van Toelichting (MvT) bahwasanya alasan
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana dapat dibedakan
menjadi dua, yakni alasan yang melekat di dalam diri pelaku (inwendige
orrzaken van ontoerekenbaarheid) dan alasan yang berada di luar diri
pelaku (uitwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid).2 Alasan yang
melekat pada di dalam diri pelaku dikenal sebagai alasan pemaaf
(schulduitsluitingsgronden). Lebih lanjut, menurut Van Bemmelen bahwa
alasan pemaaf ini menghapuskan unsur kesalahan (schuld) dalam diri
pelaku, sehingga dalam memutus perkara hakim akan selalu
mengeluarkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van
Alle Recht svervolging).3 Adanya alasan pemaaf dalam lingkup hukum
pidana sejatinya memberikan konsekuensi hukum, yakni apabila suatu
tindak pidana dilakukan oleh pelaku yang memenuhi persyaratan alasan
pemaaf, pada nyatanya tindak pidana tersebut tetap mempunyai sifat
2 Matheus Nathanael Siagian, ”Daya Paksa (Overmacht) dalam Hukum Pidana Indonesia
(Studi Kasus Putusan Pengadilan),” (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2020), hlm. 80.
3Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Bina Cipta, 1984), hlm. 177-178.
melawan hukum (wederrechtelijk), namun pelaku yang melakukan tindak
pidana tersebut dimaafkan karena hapusnya unsur kesalahan pada
dirinya.4 Dengan demikian, pelaku yang memenuhi unsur dalam alasan
pemaaf pidana tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman karena
pertanggungjawaban pidana lahir dari ‘gabungan’ sifat melawan hukum
dari perbuatan dan sifat kesalahan yang ada dalam diri pelaku.
Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang dikategorikan sebagai
alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan dalam diri pelaku
(subjek hukum). Pertama, Tidak Mampu Bertanggung Jawab dalam Pasal
44 KUHP. Menurut Van Hamel bahwasanya ukuran yang menjadi dasar
dalam menentukan kemampuan bertanggungjawab, yaitu pelaku dapat
memahami akibat yang timbul dari perbuatannya, pelaku dapat
menginsyafi bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan ketertiban
masyarakat, dan pelaku dapat menentukan kehendak dalam melakukan
perbuatan.5
Kedua, Daya Paksa (overmacht). Dalam KUHP, ketentuan
mengenai daya paksa ini diatur dalam Pasal 48 KUHP. Menurut Utrecht
yang dirumuskan dalam MvT bahwa adanya sebab paksa atau daya
memaksa ini karena suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang
tidak dapat dilawan.6 Lebih lanjut, daya paksa terbagi atas daya paksa
absolut yakni orang yang menggunakan kekuasaan atau kekuataannya itu
dan daya paksa relatif yakni orang yang dipaksa (pelaku) yang mana
apabila dalam hal ini pelaku yang melakukan tindak pidana sama sekali
tidak mempunyai kehendak maka dianggap tidak melakukan perbuatan
apapun sehingga dapat dikatakan sebagai alat belaka (manus ministra).
Ketiga, Pembelaan Lampau Batas (Noodweer Excess) yang diatur
dalam Pasal 49 ayat 2 KUHP. Adanya pembelaan melampaui batas
dilakukan apabila pelaku yang melakukan tindakan untuk menghindari
adanya kejahatan yang lebih besar atau bahaya yang sekiranya dapat

4Matheus Nathanael Siagian,”Daya Paksa (Overmacht) dalam Hukum Pidana Indonesia


(Studi Kasus Putusan Pengadilan),” hlm. 80.
5D. Schaffmeister, et.al, Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 69.
6Ernst Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas,
1958), hlm. 350.
mengancam dirinya.7 Lebih lanjut, menurut Jan Remmelink bahwasanya
pembelaan lampau batas ini dilakukan apabila orang yang menghadapi
suatu serangan tersebut mengalami goncangan batin yang hebat sehingga
mengubah pembelaan diri yang dilakukannya menjadi sebuah serangan
dan orang yang mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat tersebut
melakukan upaya bela diri yang berlebihan.8
Keempat, Itikad Baik dalam Menjalankan Perintah Jabatan Tidak
Sah yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. Kemudian terdapat syarat
yakni adanya perintah yang dipandang sebagai perintah sah, perintah
tersebut dilakukan oleh pelaku dengan itikad baik, dan pelaksanaan dari
perintah tersebut sejatinya harus benar-benar dalam lingkup
pekerjaannya.9 Syarat-syarat tersebut oleh Moeljatno digolongkan sebagai
syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif dimaknai sebagai
batin dari orang yang menerima perintah harus mengira bahwasanya
perintah tersebut sebagai perintah yang sah dan dilaksanakan dengan
itikad baik, sedangkan syarat objektif tersebut diartikan bahwa perintah
tersebut masih berada dalam lingkungan pekerjaan yang diperintahkan.10
Berkaitan dengan daya paksa (overmacht), para ahli hukum sampai
hari ini sebenarnya belum sampai pada suatu kesepakatan apakah daya
paksa termasuk ke dalam alasan pemaaf atau alasan pembenar. 11 Di dalam
hukum pidana Indonesia, daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP yang
berbunyi, “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya
paksa, tidak dipidana.” KUHP sendiri tidak memberikan definisi terkait
apa yang dimaksud dengan daya paksa. Akan tetapi, doktrin hukum
pidana mengemukakan bahwa yang dimaksud daya paksa adalah suatu
kekuatan, dorongan, atau paksaan yang berasal dari pihak ketiga baik

7Routledge, Criminal Law, (London: Routledge Taylor & Francis Group, 2011), hlm. 19.
8Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.
247.
9H.M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana, Teori dan Studi Kasus, (Bandung: Refika
Aditama, 2012), him. 85.
10Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, ed. Revisi (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2016), hlm. 276.
11Ibid.
secara fisik maupun psikis yang tidak dapat dilawan sehingga membuat
seseorang melakukan tindak pidana.
Secara doktrinal, daya paksa terbagi menjadi dua, yaitu vis
absoluta (daya paksa absolut) dan vis compulsiva (daya paksa relatif). Vis
absoluta merupakan daya paksa yang tidak dapat dilawan sama sekali
karena pelaku tindak pidana hanya menjadi alat belaka (manus ministra)
bagi pihak yang memaksa (manus domina). Dalam hal ini, pelaku tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban karena telah jelas secara hukum
bahwa perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak yang memaksa. Maka
demikian, vis absoluta bukanlah daya paksa yang dimaksud dalam Pasal
48 KUHP.12 Daya paksa yang dimaksud dalam Pasal 48 KUHP adalah vis
compulsiva atau daya paksa yang sifatnya relatif. Artinya, paksaan
tersebut sebenarnya dapat ditahan, tetapi orang yang berada dalam
paksaan tersebut tidak dapat melakukan perlawanan. Maka dengan
demikian, paksaan yang dimaksud dalam konteks ini hanya mengacu pada
paksaan secara psikis.
Ada dua asas penting yang menjadi syarat dalam daya paksa
(overmacht), yaitu asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas. Asas
subsidiaritas berarti bahwa paksaan yang dihadapi oleh pelaku tindak
pidana merupakan paksaan yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada
jalan lain yang dapat dilakukan oleh pelaku selain melakukan paksaan
yang diterimanya tersebut karena bisa saja pelaku terancam
keselamatannya apabila tidak melakukan paksaan tersebut. Sementara itu,
asas proporsionalitas berarti harus ada keseimbangan antara paksaan yang
diterima dengan konsekuensi apabila paksaan tersebut tidak dituruti.
Artinya, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku haruslah seimbang dengan
akibat terhadap pelaku apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan.
Tidak ada suatu ukuran objektif atau pasti untuk menentukan
apakah suatu perbuatan yang berada di bawah daya paksa memenuhi asas
subsidiaritas dan asas proporsionalitas. Hal ini karena situasi atau kondisi
yang dihadapi oleh pelaku tindak pidana yang berada di bawah daya

12Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah, hlm. 350.


paksa pun berbeda-beda. Termasuk juga karena adanya ukuran-ukuran
yang bersifat subjektif yang melekat dalam diri pelaku. Oleh karena itu,
hakimlah yang memiliki tugas untuk menguji dan memutuskan terpenuhi
atau tidaknya asas subsidiaritas dan proporsionalitas ini.

2.2. Penerapan Konsep Daya Paksa dalam Putusan Nomor


161/Pid.B/2014/PN Mks dan Putusan Mahkamah Agung 238
K/Pid.Sus/2015
Dalam Putusan No. 161/Pid.B/2014/PN Mks, Penuntut Umum
mendakwa Terdakwa dengan dakwaan alternatif Pasal 114 ayat (1) UU
Narkotika atau Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika. Adapun dalam
tuntutannya, Penuntut Umum menuntut Terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana dalam dakwaan kedua dengan pidana penjara
selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp800.000,00 (delapan
ratus ribu rupiah) subsidair pidana penjara 1 (satu) bulan. Oleh karena
dakwaan dibuat secara alternatif, Majelis Hakim dalam putusan ini
mempertimbangkan dakwaan pertama lebih dulu.
Terkait pemenuhan unsur tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara jual-beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I,
Majelis Hakim berpendapat unsur ini tidak terpenuhi oleh Terdakwa. Hal
ini dikarenakan dalam perbuatan yang disebutkan dalam unsur ini,
terdapat aksi dua pihak, yakni penjual dan pembeli, pemberi dan
penerima, perantara jual-beli, penukar, serta penyerahan. Oleh karena itu,
harus terdapat pihak kedua yang secara nyata ada untuk dapat memenuhi
unsur actus reus ini. Sedangkan, berdasarkan fakta di persidangan hal
tersebut dinilai tidak terjadi. Fakta di persidangan yang dimaksud adalah
karena Terdakwa hanya disuruh mertuanya untuk mengantarkan saja,
tanpa pengetahuan kepada siapa narkotika tersebut diserahkan. Terdakwa
ditangkap petugas yang sudah melakukan pemantauan sesaat Terdakwa
sampai di rumah mertua Terdakwa dan rumah dalam keadaan kosong.
Oleh karena dakwaan pertama tidak terpenuhi, maka Majelis
Hakim lebih lanjut mempertimbangkan dakwaan kedua. Terkait
pemenuhan unsur tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman,
Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur ini telah terpenuhi oleh
Terdakwa, tetapi terdapat alasan pembenar dan alasan pemaaf yang
menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatannya sehingga
tuntutan Penuntut Umum menjadi tidak dapat diterima. Hal ini didasari
pada fakta di persidangan bahwa Terdakwa bukanlah orang yang
memiliki narkotika tersebut melainkan dimiliki oleh mertua Terdakwa.
Selain itu, Terdakwa menyimpan dan menguasai narkotika sejak dititipi
oleh mertua Terdakwa dan yang menyediakannya adalah mertua
Terdakwa. Selain dari actus reus yang dikaitkan dengan fakta di
persidangan, Majelis Hakim menilai Terdakwa melakukan apa yang
disuruh oleh mertuanya karena dasar rasa hormat dan pengabdian kepada
orang yang lebih tua karena anak atau menantu tidak mungkin mau
menolak apa yang diperintahkan oleh mertuanya. Selain itu, Majelis
Hakim mengamati Terdakwa yang sangat lugu, polos, dan apa adanya.
Hanya dengan dasar ini, Majelis Hakim berpendapat bahwa ada alasan
pembenar dan alasan pemaaf dalam diri Terdakwa.
Sedangkan dalam Putusan Nomor 238 K/Pid.Sus/2015, penuntut
Umum sebagai pihak yang mengajukan Kasasi tidak sependapat dengan
pertimbangan Judex Facti dalam beberapa pertimbangannya. Pertama,
terkait Terdakwa saat menerima titipan sabu-sabu dari mertuanya sempat
kaget, tetapi tetap mengantarkan sabu-sabu tersebut ke rumah mertua
terdakwa karena rasa hormat dan pengabdian kepada orang yang lebih
tua, tidak mungkin menolak apa yang diperintahkan mertua, serta
menurut pengamatan Majelis, terdakwa merupakan orang yang lugu,
polos, apa adanya, dan tidak terlihat tampang kriminal. Kedua, terkait
Terdakwa melakukan perbuatan tersebut karena ada tekanan psikis dari
mertuanya sehingga tidak berdaya menolak perintah. Penuntut Umum
dalam hal ini menyatakan bahwa kedua pertimbangan tersebut tidak
termasuk ke dalam alasan pembenar dan pemaaf yang dapat
menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan.
Apabila dihubungkan dengan uraian mengenai alasan pembenar
dan pemaaf, Penuntut Umum berpendapat bahwa terdakwa masih
memiliki peluang untuk menolak atau menghindar dari perintah
mertuanya, sehingga dalam hal ini asas subsidiaritas yang merupakan
salah satu syarat dari overmacht tidak terpenuhi. Penuntut Umum dalam
hal ini melihat bahwa, terdakwa tidak terjepit di antara dua kepentingan,
dua kewajiban, maupun antar kepentingan dan kewajiban. Tindakan
terdakwa yang mengikuti perintah tersebut menunjukkan bahwa terdakwa
menginsafi dan mengetahui akibat dari perbuatan tersebut.
Terhadap alasan kasasi Penuntut Umum tersebut, Majelis Hakim
membenarkan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Terdakwa belum
dapat dikatakan mengalami tekanan kejiwaan atau psikis. Permintaan
mertua terdakwa untuk membawa sabu-sabu tersebut ke rumah mertua
terdakwa yang terletak di Jalan Rappokalling, tidak dilakukan dengan
ancaman fisik maupun psikis. Hal tersebut terungkap dalam fakta hukum
yang menerangkan bahwa mertua terdakwa tidak pernah mengeluarkan
kata-kata ancaman, gerakan fisik yang bersifat menakut-nakuti, ataupun
mengancam terdakwa sehingga permintaan tersebut dilaksanakan. Kedua,
Majelis Hakim berpendapat, alasan perbuatan Terdakwa yang semata-
mata merupakan rasa hormat kepada mertuanya, bentuk pengabdian
kepada orang yang lebih tua, serta sebagai menantu yang baik, tidak dapat
dijadikan dasar bahwa Terdakwa mengalami tekanan kejiwaan atau
psikis. Ketiga, mengingat tidak adanya ancaman fisik maupun psikis,
Majelis Hakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa Terdakwa
pada kondisi tersebut masih memiliki pilihan lain untuk menolak atau
menghindari permintaan mertua Terdakwa untuk membawa sabu-sabu
tersebut ke rumah mertua terdakwa yang terletak di Jalan Rappokaling.
Keempat, Majelis Hakim pun mempertimbangkan konsekuensi hukum
dari pertimbangan judex facti yang menyatakan bahwa Terdakwa
mengalami tekanan kejiwaan atau psikis akibat hal-hal sebagaimana
tersebut di atas, dapat mengakibatkan banyak perkara lepas dari segala
tuntutan. Hal ini kemudian berimplikasi pada penggunaan alasan tersebut
sebagai dasar para pelaku tindak pidana untuk melepaskan diri dari
jeratan tindak pidana.
Menyikapi perbedaan pendapat dalam putusan tingkat pertama dan
kasasi ini, penulis menganalisis pertimbangan kedua Majelis Hakim. Pada
amar putusan pengadilan tingkat pertama, Terdakwa dinyatakan tidak
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, sedangkan
pada amar putusan pengadilan tingkat kasasi Terdakwa dinyatakan
terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Atas hal tersebut, penulis
menilai bahwa pertimbangan-pertimbangan terkait daya paksa dalam
putusan MA lebih tepat daripada dalam putusan PN. Menurut hemat
penulis, fakta-fakta yang dinyatakan dalam pertimbangan majelis hakim
pada tingkat kasasi sudah jelas terlihat tidak adanya daya paksa dalam diri
Terdakwa untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, pertimbangan
judex facti tidak berdasar dan tidak memiliki relevansi dengan daya paksa
(overmacht).
Secara lebih lanjut, judex facti seyogyanya tidak
mempertimbangkan keadaan pribadi terdakwa di persidangan (watak
yang lugu, polos dan apa adanya, tidak terlihat tampang kriminal, terlihat
sebagai orang yang bertanggung jawab) sebagai dasar untuk menentukan
ada atau tidaknya daya paksa. Hal tersebut dirasa lebih tepat jika
dipertimbangkan sebagai dasar untuk memutus berat atau ringannya
pidana, bukan sebagai dasar penghapus pidana. Selain itu, judex facti juga
menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terjadi akibat adanya tekanan
psikis, yang mana terdakwa tidak berdaya menolak perintah mertuanya
karena rasa hormat dan pengabdian pada orang yang lebih tua.
Selanjutnya di akhir pertimbangan, judex facti terlihat jelas memiliki
kekeliruan berpikir dalam mengklasifikasikan alasan pembenar dan alasan
pemaaf dengan menyatakan tidak dapat dipersalahkannya terdakwa
karena adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf yang menghilangkan
sifat melawan hukum.
Atas dasar kekeliruan pertimbangan tersebut, penulis sependapat
dengan pertimbangan hakim pada tingkat kasasi yang menyatakan
keadaan pribadi seperti orang yang lugu, polos, dan tidak terlihat seperti
tampang kriminal serta ketidakberdayaan Terdakwa dalam menolak
perintah mertua akibat adanya tekanan psikis, yakni rasa hormat dan
pengabdian merupakan kekeliruan dalam menentukan dasar penghapus
pidana. Penulis juga menilai bahwa keadaan demikian memang tidak
dapat menjadi dasar penghapus pidana karena pada faktanya mertua
Terdakwa tidak melakukan ancaman atau tekanan dalam bentuk apapun
terhadap Terdakwa. Oleh karena itu, Terdakwa seharusnya masih dapat
memilih untuk tidak mengikuti perintah atau permintaan dari mertua
Terdakwa.

3. Kesimpulan dan Saran


Telah diketahui bahwasanya agar seseorang dapat dinyatakan tidak
bersalah dan tidak dapat bertanggung jawab atas tindak pidana yang
dilakukannya jika memiliki alasan penghapus pidana yang terdiri dari alasan
pemaaf dan alasan pembenar. Adapun alasan pemaaf dapat bersumber pada
diri pelaku maupun dari luar diri pelaku. Dalam Putusan Nomor
161/Pid.B/2014/PN. Mks jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 238
K/Pid.Sus/2015 terdapat perbedaan pendapat dalam penerapan konsep daya
paksa dalam diri Terdakwa, yakni dalam hal kepemilikan narkoba atas
perintah mertua. Daya paksa sebagai alasan pemaaf tindak pidana dari diri
pelaku memerlukan adanya suatu kekuatan, dorongan, atau paksaan yang
tidak dapat dilawan. Asas yang menjadi syarat dalam daya paksa adalah asas
subsidiaritas dan asas proporsionalitas. Pada putusan tingkat pertama, syarat-
syarat ini tidak digali dan tidak dipertimbangkan, sedangkan dalam putusan
tingkat kasasi, majelis hakim menilai bahwa asas subsidiaritas tidak terpenuhi
pada diri Terdakwa. Keadaan pribadi seperti watak dan tampang bukan
merupakan bagian dari ketentuan yang dapat menghapus pidana. Dengan
demikian, pemenuhan ketentuan dan syarat dalam alasan perkara serupa
sangat diharapkan lebih berhati-hati karena kekeliruan penerapan dapat
melepaskan jeratan pidana dari seseorang yang seharusnya
mempertanggungjawabkan tindakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bemmelen, Van. Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, 1984. Hlm. 177-178.
Hamdan, H.M. Alasan Penghapus Pidana, Teori dan Studi Kasus. Bandung:
Refika Aditama, 2012. Hlm. 85.
Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Ed. Revisi. Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2016. Hlm. 276.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Hlm. 247.
Routledge. Criminal Law.London: Routledge Taylor & Francis Group, 2011.
Hlm. 19.
Schafmeister, D, et.al, Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007. Hlm.
69.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.
Utrecht, Ernst. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta
Mas, 1958. Hlm. 350.
Skripsi
Siagian, Matheus Nathanael. ”Daya Paksa (Overmacht) dalam Hukum Pidana
Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan),” Skripsi Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2020.

Anda mungkin juga menyukai