FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
2023
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam hukum pidana, seseorang dinyatakan dapat dipersalahkan
atas sebuah tindak pidana dan dapat mempertanggungjawabkan
tindakannya jika orang tersebut memiliki kemampuan bertanggung jawab,
terdapat kesalahan berbentuk dolus dan culpa, serta tidak memiliki alasan
penghapus pidana. Syarat-syarat tersebut harus ada untuk seseorang dapat
dikatakan mampu mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana. Terkait
tidak memiliki dasar penghapus pidana, dikenal dua alasan penghapus
pidana, yakni alasan pembenar dan alasan pemaaf. Jika seseorang yang
melakukan tindakan yang melawan hukum, tetapi orang tersebut memiliki
dasar pembenar atau pemaaf, orang tersebut dapat dikatakan tidak dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya. Oleh karena itu, terlihat jelas di
sini bahwasannya dalam hukum pidana alasan pembenar atau pemaaf
memiliki konsekuensi yang besar, yakni untuk menentukan apakah
seseorang dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang
telah dilakukannya.
Lebih lanjut, alasan penghapus pidana ini diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari Pasal 44, Pasal
48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51. Alasan pembenar adalah dasar-dasar
yang mengakibatkan suatu perbuatan tidak memenuhi unsur melawan
hukum, sedangkan dalam alasan pemaaf unsur melawan hukum telah
nyata terpenuhi, tetapi dengan dasar-dasar tertentu unsur melawan hukum
tersebut dihapuskan pada diri pelaku. Walaupun alasan penghapus pidana
seperti akses khusus keluar dari hukuman pidana, tetapi dalam terdapat
syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi, tidak serta merta dapat
dianggap dimiliki oleh setiap orang.
Adapun hakim dalam suatu perkara memiliki kewenangan untuk
mempertimbangkan dan menentukan memiliki alasan penghapus pidana
atau tidak.1 Penulis melihat adanya ketidaktepatan pengaplikasian alasan
penghapus pidana dalam perkara Putusan Nomor 161/Pid.B/2014/PN. Mks
jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2015. Oleh karena
1 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 42.
itu, dalam penulisan ini penulis berupaya untuk melakukan analisis
mengenai penerapan yang seharusnya dilakukan dengan menggunakan
syarat dan ketentuan alasan penghapus pidana, khususnya daya paksa
sebagai salah satu bentuk alasan pemaaf.
2. Pembahasan
2.1. Pengaturan dan Konsep Daya Paksa dalam Hukum di Indonesia
Menurut Memorie van Toelichting (MvT) bahwasanya alasan
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana dapat dibedakan
menjadi dua, yakni alasan yang melekat di dalam diri pelaku (inwendige
orrzaken van ontoerekenbaarheid) dan alasan yang berada di luar diri
pelaku (uitwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid).2 Alasan yang
melekat pada di dalam diri pelaku dikenal sebagai alasan pemaaf
(schulduitsluitingsgronden). Lebih lanjut, menurut Van Bemmelen bahwa
alasan pemaaf ini menghapuskan unsur kesalahan (schuld) dalam diri
pelaku, sehingga dalam memutus perkara hakim akan selalu
mengeluarkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van
Alle Recht svervolging).3 Adanya alasan pemaaf dalam lingkup hukum
pidana sejatinya memberikan konsekuensi hukum, yakni apabila suatu
tindak pidana dilakukan oleh pelaku yang memenuhi persyaratan alasan
pemaaf, pada nyatanya tindak pidana tersebut tetap mempunyai sifat
2 Matheus Nathanael Siagian, ”Daya Paksa (Overmacht) dalam Hukum Pidana Indonesia
(Studi Kasus Putusan Pengadilan),” (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2020), hlm. 80.
3Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Bina Cipta, 1984), hlm. 177-178.
melawan hukum (wederrechtelijk), namun pelaku yang melakukan tindak
pidana tersebut dimaafkan karena hapusnya unsur kesalahan pada
dirinya.4 Dengan demikian, pelaku yang memenuhi unsur dalam alasan
pemaaf pidana tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman karena
pertanggungjawaban pidana lahir dari ‘gabungan’ sifat melawan hukum
dari perbuatan dan sifat kesalahan yang ada dalam diri pelaku.
Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang dikategorikan sebagai
alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan dalam diri pelaku
(subjek hukum). Pertama, Tidak Mampu Bertanggung Jawab dalam Pasal
44 KUHP. Menurut Van Hamel bahwasanya ukuran yang menjadi dasar
dalam menentukan kemampuan bertanggungjawab, yaitu pelaku dapat
memahami akibat yang timbul dari perbuatannya, pelaku dapat
menginsyafi bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan ketertiban
masyarakat, dan pelaku dapat menentukan kehendak dalam melakukan
perbuatan.5
Kedua, Daya Paksa (overmacht). Dalam KUHP, ketentuan
mengenai daya paksa ini diatur dalam Pasal 48 KUHP. Menurut Utrecht
yang dirumuskan dalam MvT bahwa adanya sebab paksa atau daya
memaksa ini karena suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang
tidak dapat dilawan.6 Lebih lanjut, daya paksa terbagi atas daya paksa
absolut yakni orang yang menggunakan kekuasaan atau kekuataannya itu
dan daya paksa relatif yakni orang yang dipaksa (pelaku) yang mana
apabila dalam hal ini pelaku yang melakukan tindak pidana sama sekali
tidak mempunyai kehendak maka dianggap tidak melakukan perbuatan
apapun sehingga dapat dikatakan sebagai alat belaka (manus ministra).
Ketiga, Pembelaan Lampau Batas (Noodweer Excess) yang diatur
dalam Pasal 49 ayat 2 KUHP. Adanya pembelaan melampaui batas
dilakukan apabila pelaku yang melakukan tindakan untuk menghindari
adanya kejahatan yang lebih besar atau bahaya yang sekiranya dapat
7Routledge, Criminal Law, (London: Routledge Taylor & Francis Group, 2011), hlm. 19.
8Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.
247.
9H.M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana, Teori dan Studi Kasus, (Bandung: Refika
Aditama, 2012), him. 85.
10Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, ed. Revisi (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2016), hlm. 276.
11Ibid.
secara fisik maupun psikis yang tidak dapat dilawan sehingga membuat
seseorang melakukan tindak pidana.
Secara doktrinal, daya paksa terbagi menjadi dua, yaitu vis
absoluta (daya paksa absolut) dan vis compulsiva (daya paksa relatif). Vis
absoluta merupakan daya paksa yang tidak dapat dilawan sama sekali
karena pelaku tindak pidana hanya menjadi alat belaka (manus ministra)
bagi pihak yang memaksa (manus domina). Dalam hal ini, pelaku tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban karena telah jelas secara hukum
bahwa perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak yang memaksa. Maka
demikian, vis absoluta bukanlah daya paksa yang dimaksud dalam Pasal
48 KUHP.12 Daya paksa yang dimaksud dalam Pasal 48 KUHP adalah vis
compulsiva atau daya paksa yang sifatnya relatif. Artinya, paksaan
tersebut sebenarnya dapat ditahan, tetapi orang yang berada dalam
paksaan tersebut tidak dapat melakukan perlawanan. Maka dengan
demikian, paksaan yang dimaksud dalam konteks ini hanya mengacu pada
paksaan secara psikis.
Ada dua asas penting yang menjadi syarat dalam daya paksa
(overmacht), yaitu asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas. Asas
subsidiaritas berarti bahwa paksaan yang dihadapi oleh pelaku tindak
pidana merupakan paksaan yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada
jalan lain yang dapat dilakukan oleh pelaku selain melakukan paksaan
yang diterimanya tersebut karena bisa saja pelaku terancam
keselamatannya apabila tidak melakukan paksaan tersebut. Sementara itu,
asas proporsionalitas berarti harus ada keseimbangan antara paksaan yang
diterima dengan konsekuensi apabila paksaan tersebut tidak dituruti.
Artinya, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku haruslah seimbang dengan
akibat terhadap pelaku apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan.
Tidak ada suatu ukuran objektif atau pasti untuk menentukan
apakah suatu perbuatan yang berada di bawah daya paksa memenuhi asas
subsidiaritas dan asas proporsionalitas. Hal ini karena situasi atau kondisi
yang dihadapi oleh pelaku tindak pidana yang berada di bawah daya
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bemmelen, Van. Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, 1984. Hlm. 177-178.
Hamdan, H.M. Alasan Penghapus Pidana, Teori dan Studi Kasus. Bandung:
Refika Aditama, 2012. Hlm. 85.
Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Ed. Revisi. Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2016. Hlm. 276.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Hlm. 247.
Routledge. Criminal Law.London: Routledge Taylor & Francis Group, 2011.
Hlm. 19.
Schafmeister, D, et.al, Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007. Hlm.
69.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.
Utrecht, Ernst. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta
Mas, 1958. Hlm. 350.
Skripsi
Siagian, Matheus Nathanael. ”Daya Paksa (Overmacht) dalam Hukum Pidana
Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan),” Skripsi Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2020.