PIDANA
Marcus Priyo Gunarto
Kitab Undang-undang Hukum Pidana selain menetapkan perbuatan yang diancam dengan
pidana juga menetapkan beberapa perbuatan yang mengurangi pidana (Pasal 47 diubah berdasar
Pasal 81 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 53 ayat (2) (3), pasal 57
ayat (1) (2); yang memberatkan pidana ( Pasal 52, 63-71 KUHP) dan yang mengecualikan dari ancaman
pidana. Pada kesempatan ini yang akan dibicarakan adalah hal yang terakhir, yaitu menyangkut
perbuatan yang mencocoki rumusan delik, tetapi tidak dipidana, meliputi alasan penghapus pidana,
alasan penghapus penuntutan dan gugurnya menjalani pidana.
I. ALASAN PENGHAPUS PIDANA (strafuitsluitingsgronden).
Selain istilah alasan penghapus pidana, didalam literatur ada yang menyebut dengan istilah
dasar-dasar penghapus pidana. Keadaan-keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan pidana tidak
dipidana ada yang terletak:
di luar Undang-Undang.
Keadaan yang mengakibatkan seseorang melakukan perbuatan pidana tidak dipidana yang
terletak di dalam Undang-Undang dapat dijelaskan melalui pendapat Memorie van Toelichting
(MvT), Ilmu Pengetahuan, atau doktrin dalam hukum pidana.
A. Alasan Penghapus Pidana Yang Terletak Didalam Undang Undang
Memorie van Toelichting (MvT) atau risalah penjelasan KUHP Belanda mengenai alasan
penghapus pidana, mengemukakan apa yang disebut "alasan-alasan tidak dapat di
pertanggungawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang"di
dasarkan pada dua hal yaitu :
Termasuk alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri
orang ialah karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit
sebagaimana dimaksud pada Pasal 44, dan alasan karena umur yang masih muda, sedangkan
alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu adalah
keadaaan-keadaan yang dimuat pada Pasal 48 sampai dengan Pasal 51, yaitu daya paksa,
pembelaan terpaksa, melaksanakan perintah UU, dan melaksanakan perintah jabatan. Di negeri
Belanda sejak tahun 1905 tidak Iagi merupakan alasan penghapus pidana1.
Alasan penghapus pidana berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu alasan penghapus pidana yang umum dan alasan penghapus pidana yang
khusus.
1
Alasan penghapus pidana yang umum merupakan alasan penghapus pidana yang
berlaku untuk tiap-tiap delik pada umumnya sebagaimana disebut dalam pasal
44, 48 s/d 51 KUHP; sedangkan
Alasan penghapus pidana yang khusus, merupakan alasan yang hanya berlaku
untuk delik- delik tertentu saja, seperti misalnya pasal 166 KUHP, Pasal 221 ayat
2 dan Pasal Pasal 310 ayat (3).
Pasal 166 KUHP menentukan bahwa "Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165
KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya
untuk dituntut sendiri dst ...........................berarti pasal ini mengecualikan
keadaan sebagaimana ditentukan Pasal 164 (mengetahui ada permufakatan jahat)
dan Pasal 165 (mengetahui ada niat melakukan perbuatan 104, 106-108, dst).
Demikian pula ketentuan Pasal 221 ayat 2, yaitu perbuatan menyimpan orang
melakukan kejahatan . Disini tidak dituntut
jika ia hendak
menghindarkan penuntutan terhadap
istri, suami, dan orang-orang yang
masih mempunyai hubungan darah.
Pasal 310 ayat (3) yang menentukan bahwa tidak merupakan pencemaran atau
pencemaran tertulis, bila perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau
karena terpaksa untuk membela diri.
Selain pembedaan menurut MvT dan Ilmu pengetahuan, berdasarkan doktrin juga
dibedakan alasan penghapus pidana menurut sifatnya, yaitu karena adanya alasan pembenar
(rechtvaardigingsgronden) dan karena alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Menurut
Sudarto pembedaan ini sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan
dapat dipidananya pembuat2.
Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun
perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik. Oleh karena sifat melawan hukumnya perbuatan
dihapuskan, maka si pembuat tidak dapat dipidana. Kalau tidak ada unsure melawan hukum
maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam K.U.H,P. ialah pasal
49 ayat 1 (pembelaan terpaksa), pasal 50 (melaksanakan peraturan undang-undang dan pasal
51 ayat 1 (melaksanakan perintah jabatan).
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si-pembuat, dalam arti si-pembuat tidak dapat
dicela, dengan perkataan lain si-pembuat tidak dapat dipersalahkan, atau tidak dapat
dipertanggung jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Dengan demikian
di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si-pembuat, sehingga tidak mungkin ada
pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KU.H.P ialah pasal 44 (tidak mampu
bertanggung-jawab), pasal 49 ayat 2 (noodweer exces), pasal 51 ayat 2 (dengan iktikad baik
melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan
alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
Alasan penghapus pidana menurut Van Hamel dibedakan antara alasan yang
menghapus sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden) dan alasan yang menghapus sifat
dapat dipidana (strafwaardigheiduitsluiten), namun pembagian itu tidak banyak dianut3. Para
2
3
penulis hukum pidana lebih banyak mengikuti pendapat VOS yang membedakan kedalam alasan
pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).
Berturut-turut dalam sub bab alasan penghapus pidana ini akan dibicarakan pasal 44,
48, 49, 50 dan 51 KUHP.
a. Tidak Mampu Bertanggung Jawab (Pasal 44).
Tidak mampu bertanggung jawab datur pada Pasal 44. Disitu ditentukan bahwa
tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit.
Mv.T sebagaimana telah disebut di muka menyebutkan tak dapat dipertanggung-jawabkan
karena sebab yang terletak di dalam diri si-pembuat.
Apa yang diatur dalam pasal tersebut juga merupakan sikap dari KUHP
terhadap mampu bertanggungjawab,
akan tetapi KUHP tidak menyatakan
dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan mampu bertanggungjawab. Dalam
pasal tersebut KUHP hanya menyatakan secara negatif, kapan seseorang tidak
dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannja. Pasal 44 sama sekali tidak
memberikan pengertian kemampuan bertanggungjawab.
Pasal 44 tersebut mempunyai syarat bahwa harus ada hubungan kausal
antara perbuatan yang dilakukan dengan cacat pertumbuhan/ penyakit jiwa yang
diderita oleh pembuat. Sampai saat ini hubungan kausal dengan penyakit jiwa ini
menimbulkan persoa lan karena ada berbagai penyakit jiwa dan sifat-sifatnya
dalam ilmu psikiatri 4. Sehubungan dengan jenis-jenis penyakit jiwa itu didalam
praktek ada beberapa jenis penyakit jiwa yang penderitanya hanya dapat
dipertanggungjawab sebagian, seperti penderita penyakit kleptomanie,
pyromania, claustophobie, mani depressi dan lain sebagainya. Terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena dorongan jiwanya yang sakit, yang
bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan perbuatan lain yang
tidak karena penyakit jiwa yang dideritanya tetap dipertanggungjawabkan.
Untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap perbuatannya itu, dikenal adanya tiga metode, yaitu:
Metode biologis;
Metode psikologis; dan
Metode campuran (metode biologis-psikologis)5;
Metode yang pertama psikiater akan menyatakan terdakwa sakit jiwa atau tidak.
Apabila psikiater menyatakan terdakwa sakit jiwa, maka terdakwa tidak dapat dipidana.
Metode kedua menunjukkan hubungan antara keadaan jiwa yang abnormal dengan
perbuatannya. Metode ini mementingkan akibat jiwa terhadap perbuatannya sehingga
dapat dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana, sedangkan
metode yang ketiga di samping memperhatikan keadaan jiwanya, kemudian keadaan jiwa
ini dipernilai dengan perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu bertanggung jawab.
KUHP menganut metode gabungan (biologis-psikologis) dan dalam penetapan pidana
menggunakan sistim deskriptif normatif, artinya ahli akan mendiskripsikan keadaan jiwanya,
4
5
sedangkan untuk menentukan apakah pelaku patut dipidana atau tidak menjadi kewenangan
hakim.6
Tidak adanya kemampuan bertanggung-jawab menghapuskan kesalahan, tetapi
perbuatannya tetap bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan alasan penghapus
kesalahan berdasarkan alasan pemaaf.
Tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan serta merta dipukulkan pada
kaca, sehingga kaca pecah. Apabila yang terjadi demikian, maka orang yang
dipegang tangannya tadi tak dapat dikatakan telah melakukan pengrusakan
benda berdasarkan pasal 406 KUHP.
c.
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat.
Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu tidak susila, namun menurut hukum
perbuatan itu dapat difahami, karena adalah naluri setiap orang untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Dibeberapa negara (Rusia dan Inggris) orang yang mendorong
temannya itu tetap dipidana, meskipun pidananya diringankan.
Schaffmeister, Nico Keizer, PH Sutorus., 1995, Hukum Pidana, penerjemah YE Sahetapy, liberty, Yogyakarta, hlm.
153.
Contoh klasiknya adalah Arrest optician. Seorang pemilik toko kaca mata yang
menjual kaca mata kepada seorang yang kehilangan kaca matanya. Padahal pada
saat itu menurut Peraturan Daerah, sudah saatnya jam penutupan took,
sehingga pemilik toko dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli
itu ternyata tanpa kaca mata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam
keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kaca mata dapat
dikatakan bertindak dalam kedaan memaksa dan khususnya dalam keadaan
darurat.
Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa
terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala
tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R. (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa
ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai
kewajiban untuk menolong sesama.
Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau
melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang- barangnya. Disini ada
perbenturan antara kepentingan hukum untuk menyelamatkan barang-barang
miliknya dengan kewajiban hukum menghormati hak orang lain.
3. Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum :
Contoh klasiknya adalah putusan dokter tentara. Seorang perwira kesehatan
(dokter angkatan laut) diperintahkan oleh atasannya untuk memeriksa dan
melaporkan apakah para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung
ke darat (kota pelabuhan) kejangkitan penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau
melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia
berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan
semua penyakit dari para pasiennya.
Di sini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :
a) melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara).
b) memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.
Dalam satu hari yang sama seseorang dipanggil menjadi saksi di dua tempat saling
berjauhan. Dalam hal ini yang bersangkutan tidak mungkin menghadiri
6
Menurut VAN HATTUM, daya paksa (overmacht) dengan keadaan darurat (noodtoestand)
terdapat perbedaan. Pada daya paksa dalam arti sempit si-pembuat berbuat atau tidak
berbuat dikarenakan satu tekanan psychis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si-pembuat tak
ada penentuan kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psychis dari luar yang
sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan.
Pada keadaan darurat si-pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa
atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap Undang-undang.
Sehubungan daya paksa, di antara para penulis tidak ada kesatuan pendapat apakah daya
paksa pada Pasal 48 ini merupakan alasan pembenar atau alasan pemaaf8.
MOELJATNO, yang diikuti oleh muridnya (Mr.Ruslan Saleh) daya paksa dipandang sebagai
alasan pemaaf.
JONKERS : Setelah mengemukakan daya memaksa yang ada pada optician (penjual
kacamata), dengan mensitir apa yang dimuat dalam arrest itu, suatu kewajiban yang
mendorong terdakwa sedemikian hebatnya sehingga menghapuskan patut dipidananya
pelanggaran menjadi akibatnya, maka Jonkers menganggap pasal 48 itu sebagai alasan
pembenar.
UTRECHT
Seperti halnya pendirian H.R. tahun 1923 dalam arrestnya mengenai penjual kacamata,
UTRECHT mengikuti pendapat VOS. Daya memaksa dalam arti yang sempit (psychische
dwang) adalah alasan pemaaf, sedang keadaan darurat dapat merupakan alasan pemaaf
atau alasan pembenar. Penentuan mengenai apakah keadaan darurat itu merupakan alasan
pemaaf atau alasan pembenar harus diadakan secara kasuistis. Dalam halaman 365 ia
menyatakan "apabila kita hendak menentukan apakah keadaan darurat itu suatu alasan
pemaaf atau alasan pembenar, maka selalu terlebih dahulu kita harus menentukan apakah
perbuatan yang dilakukan itu bukan suatu perbuatan yang tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Apabila ternyata bahwa perbuatan yang bersangkutan adalah tidak dapat
diterima oleh masyarakat tetapi si-pembuat tidak boleh dianggap bertanggungjawab atas
perbuatan itu, maka keadaan darurat itu alasan pemaaf, karena keadaan darurat bertujuan
menghapuskan pertanggungjawaban pidana si-pembuat.
Bila ternyata bahwa perbuatan yang bersangkutan adalah bukannya tidak diterima (jadi
diterima) oleh masyarakat, maka keadaan darurat itu adalah alasan pembenar. karena
keadaan darurat tersebut bertujuan menghapuskan anasir melawan hukum .
VAN HATTUM:
Overmacht sebagai alasan pemaaf (Verontschuldigingsgrond) halaman 346 :
"menurut perasaan saya alasan penghapus pidana tersebut dalam pasal 48 KUHP, hanya
terpakai, jika perbuatan tetap bersifat melawan hukum. Perbuatan, yang terpaksa dilakukan
karena keadaan, patut dimaafkan.
Demikian halnya dengan seorang sopir taksi yang takut hilang nyawanya,karena ditodong
oleh seorang yang berpistol di belakangnya, melanggar undang-undang (mengendarai mobil
dengan kecepatan yang melebihi batas maksimal).
Perbuatan sopir itu melawan hukum, tetapi patut dimaafkan karena padanya tidak dapat
diharapkan untuk mempertaruhkan nyawanya".
Selanjutnya Van Hattum menyatakan '. hanya mereka yang menolak ajaran sifat melawan
hukum yang materiil terpaksa meluaskan alasan penghapus pidana dalam overmacht
hingga meliputi perbuatan yang tidak melawan hukum".
SIMONS :
Dalam melihat apakah overmacht itu adalah alasan pembenar atau alasan pemaaf maka ia
memandang:
1. overmacht sebagai alasan penghapus kesalahan.
2. keadaan darurat sebagai alasan pembenar.
Ad 1.
Kalau perbuatan orang yang dipaksa itu, masuk dalam rumusan delik maka perbuatannya
bersifat melawan hukum; (Simons berpendirian sifat melawan hukum formil) maka itu patut
dipidana, tapi ia tidak dapat di pertanggung-jawabkan atas perbuatannya itu. Keadaanlah
yang membuat atau menyebabkan si-pembuat tidak dapat dicela. sehingga padanya tidak
ada kesalahan.
Ad 2.
Yang termasuk alasan penghapus sifat melawan hukumnya perbuatan dan patut
dipidananya perbuatan itu ialah perbuatan yang dilakukan dalam keadaan darurat. Artinya,
dalam keadaan yang memaksa untukk melindungi jiwa dan harta si-pembuat sendiri tidak
dapat dihindarkan lagi dan terpaksa menyerang kepentingan hukum orang Iain.
HAZEWINKEL - SURINGA:
Dalam halaman 171, tidak menyetujui pemisahan dari sebab daya memaksa dan juga tidak
setuju orang yang melihat overmacht dalam arti sempit sebagai suatu alasan pemaaf dan
keadaan darurat sebagai alasan pembenar. Beliau berpendirian bahwa karena sifat dari
keadaan-keadaan overmacht itu sangat bermacam-macam maka tidak dapat dikatakan
sebagai alasan pemaaf atau sebagai alasan pembenar. Hal ini tergantung pada sifat
kejadiannya apakah itu dimasukkan dalam salah satu golongan tersebut.
d. Pembelaan Darurat (Noodweer).
Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ditemukan di dalam KUHP. Istilah
noodweer atau pembelaan darurat berasal dari doktrin. Pasal 49 (1) berbunyi : "tidak dapat
dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela
8
dirinya sendiri atau orang lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap
serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga".
Nampaklah di dalam noodweer itu yang dibela tidak perlu kepentingan hukum sendiri, tetapi
dapat pula untuk membela kepentingan orang lain9.
Seolah-olah perbuatan orang yang melakukan pembelaan darurat itu merupakan
eigenrichting atau main hakim sendiri, tetapi perbuatan itu tidak dipidana sepanjang
memenuhi atau sesuai dengan syarat-syarat yang disebut dalam pasal 49. Perbuatan yang
dilakukan dianggap tidak melawan hukum. Dalam pembelaan darurat harus dipenuhi dua hal
yang pokok, yaitu :
1). ada serangan. Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan
pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. seketika;
b. yang langsung mengancam;
c. melawan hokum;
d. sengaja ditujukan pada badan, peri-kesopanan dan harta benda.
2). ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Tindakan pembelaannya
harus memenuhi syarat-syarat :
a. pembelaan harus dan perlu diadakan;
b. pembelaan harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut
dalam undang-undang yakni adanya serangan pada badan (lijf), perikesopanan (eerbaarheid) dan harta-benda (goed) kepunyaan sendiri atau
orang lain.
Sifat dari keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada
penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pernaaf dan ada
sebagai alasan pembenar; sedang dalam pembelaan darurat para penulis
memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat
melawan hukum10.
10
Soedarto, 150-151
10
Pasal 49 ayat (2) menyatakan Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang
langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana. Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus
memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :
f.
kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan
kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada
hubungan kausal. Kegoncangan jiwa yang hebat itu harus dikarenakan adanya
penyerangan dan bukan karena sifatnya yang mudah tersinggung. Di sini juga
yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat
kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya. Sifat dari
noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungan-jawab
pidana), jadi sebagai alasan pemaaf. Perbuatannya tetap bersifat melawan
hukum. Di sini pembelaannya tidak seimbang dengan serangannya.
11
Kejengkelan
Bilamanakah perintah itu dikatakan sah? Ialah bila perintah itu berdasarkan tugas,
wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada sesuatu peraturan. Antara orang yang
diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan
sub-ordinasi, meskipun sifatnya sementara. Hal ini juga harus ditinjau dari sudut UU yang
mengatur kekuasaan pejabat yang diperintah dan yang memerintah. Polisi adalah bertugas
menjaga keamanan, apabila Polisi itu diperintah untuk memungut pajak, maka perintah itu
adalah tidak syah.
Dalam melaksanakan perintah itupun harus patut dan wajar. Seimbang dan tidak
boleh melampaui batas kepatutan . Polisi diperintah oleh atasannya untuk menangkap
seseorang yang telah melakukan kejahatan, dalam melaksanakan perintah itu cukup ia
menangkap dan membawanya saja, tidak boleh polisi itu melakukan pemukulan atau
penganiayaan lainnya. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.
Selanjutnya Pasal 51 ayat 2 menentukan Perintah jabatan tanpa wenang, tidak
menghapuskan pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya.
Suatu perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang.
Perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana,
apabila memenuhi syarat-syarat:
Jika perintah yang pada kenyataanya tidak sah itu, dikiranya perintah yang sah, atau
secara patut ia mengira bahwa perintah itu adalah sah (ia mengira dengan iktikad
baik jujur hati bahwa perintah itu sah);
Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.
Contoh : Seorang Komisaris Besar Polisi memerintahkan Ajun Inspektur Polisi untuk
menangkap seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata
perintah tidak beralasan atau tidak sah. Di sini Ajun Inspektur Polisi itu tidak dapat
dipidana karena :
a. ia patut menduga bahwa perintah itu sah.
12
hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan
dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie, yaitu suatu perbuatan yang
dilakukan dengan tujuan untuk memberantas suatu penyakit. Guna mencapai
tujuan itu seringkali dilakukan percobaan- percobaan terhadap hewan. Perbuatan
menyakiti atau menyiksa hewan itu dirumuskan sebagai perbuatan pidana Pasal
302, namun perbuatan ini tidak dipidana berdasarkan hak yang timbul dari
pekerjaan) ;
3. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai suatu
perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan
(consent of the victim) ;
4. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming) ;
5. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang meteriil ( contoh klasiknya arrest
dokter hewan) ;
6. tidak adanya kesalahan sama sekali (taksi atau avas).
13
II.
Sedangkan dasar aturan yang di luar KUHP terdiri atas: (1) abolisi dan (2) amnesti yang
diatur dalam Undang-undang Dasar atau Undang-Undang. Di samping itu dalam ilmu pengetahuan
hukum acara atau praktek hukum telah berkembang berbagai alasan tidak menuntut perkara
antara lain penyampingan perkara serba ringan (dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undangundang No. 13/1961), tidak menuntut perkara demi Kepentingan umum berdasarkan asas
11
12
14
opportun itas, tidak menuntut perkara dengan bersyarat atau voorwaarde like niet ve rvolging
dan beberapa alasan tidak menuntut yang lainnya oleh pejabat yang berwenang.
1. Alasan ne bis in idem (Pasal 76 KUHP)
Wewenang menuntut dalam perkara pidana akan hapus untuk selama-lamanya,
apabila terhadap perkara tersebut telah diperiksa dan diputus dan terhadap keputusan itu telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, karena orang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan
yang sama oleh hakim Indonesia. Pengertian putusan hakim Indonesia termasuk juga dalam
pengertia hakim pengadilan adat.
Pelaksanaan Asas ne bis in idem dikandung maksud untuk menjaga keluhuran hakim
pengadilan sebagai alat perlengkapan negara, dan mengandung jaminan kepastian hukum.
Apabila putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap berupa dibebaskan dari
tuduhan karena ketika perkara itu diajukan tidak cukup bukti, dituntut lagi karena ditemukan
alat bukti baru maka satu perkara akan mendapat beberapa keputusan yang kemungkinannya
berlainan satu sama lainnya. Keputusan yang demikian akan menimbulkan rasa tidak percaya
masyarakat terhadap pengadilan dan orang yang telah diputus bebas akan tetap khawatir
karena ada kemungkinan dituntut lagi. Tanpa ada ketentuan Pasal 76 KUHP, maka tidak ada
kepastian hukum terhadap putusan pengadilan.
Berlakunya asas ne bi in idem mengandung dua pokok aturan sebagai syarat
penggunaan pasa 76 KUHP yaitu:
(1) orang yang sama dituntut melakukan satu perbuatan, dan
(2) mengenai perkara yang sama itu telah diputus oleh hakim dengan mempunyai
kekuatan yang tetap.
Persoalan tentang arti perbuatan yang dilakukan untuk memenuhi syarat pasal 76
KUHP itu sama dengan arti perbuatan yang menjadi persoalan dalam pasal 63 - 66 KUHP. Paling
sedikit terdapat tiga pendapat dalam memberikan arti perbuatan (feit) menurut hokum.
1. perbuatan dalam arti sempit yakni perbuatan materiil sebagaimana diajarkan oleh
pandangan materieele feit yang menitikberatkan kepada "kelakuan" saja. Apabila
pandangan tentang arti perbuatan yang disempitkan ini diikuti akan membawa
konsekuensi bahwa bekerjanya asas ne bis in idem akan menjadi luas, karena tiaptiap perkara yang didakwakan atas dasar inti kelakuan yang sama dengan putusan
perkara yang terdahulu, maka akan tertutup kemungkinan dituntut lagi sekalipun
perbuatan itu menjurus perbuatan pidana lain yang memenuhi unsur-unsur delik
tidak boleh diajukan ke pengadilan oleh aturan pasal 76 KUHP.
2. perbuatan dalam arti luas yang menjurus pengertian suatu perbuatan pidana atau
delik sebagaimana masuk dalam rumusan formal undang-undang, sehingga asalkan
tuntutan yang berikutnya itu secara formal masuk dalam rumusan delik yang lain
berarti bukan lagi menuntut kedua kalinya terhadap perkara terdahulu. Apabila
pandangan yang kedua ini diikuti berarti bekerjanya asas ne bis in idem menjadi
sempit, karena setiap suatu komplek kejadian merupakan beberapa perbuatan yang
dapat dimasukkan dalam rumusan beberapa perbuatan pidana atau beberapa delik
sehingga masing-masing delik dapat saja diadili sendiri-sendiri sehingga mungkin
boleh diajukan ke pengadilan lagi berhubung tidak bertentangan dengan aturan
pasal 76 KUHP.
15
3. perbuatan merupakan kelakuan dan akibat atau keadaan tertentu yang menyertai
kelakuan yang bersangkutan sehingga masing-masing dapat dipikirkan sebagai
perbuatan pidana berdiri sendiri yang merupakan perbuatan-perbuatan jahat untuk
diadili terlepas satu sama lain. Apabila mengikuti pandangan yang ketiga ini berarti
tuntutan perkara yang kedua merupakan tuduhan delik lain yang dimungkinkan
untuk dituntut lagi sebagai perkara lain dan tidak bertentangan dengan aturan
pasal 76 KUHP. Putusan H.R. tahun 1932 termasuk mengikuti pandangan yang
ketiga ini.
Pendirian H.R. tahun 1932 berdasarkan pertimbangan bahwa komplek kejadian
mengenai seorang yang dalam keadaan mabuk mengemudikan motor pada waktu malam hari
tanpa penerangan lampu itu, dianggap melakukan dua perbuatan pidana karena ciri yang
melekat pada perbuatan memiliki dua ciri yang berlainan yaitu ciri yang pertama melekat pada
perbuatannya atau orangnya dalam keadaan mabok mengendarai motor, dan ciri yang kedua
melekat pada sarananya sepeda motor yang tidak dinyalakan lampunya dikendarai di jalan
umum. Terdakwa melakukan perbuatan concorsus realis (meerdaadse samenloop) untuk diadili
dengan penerapan pemberatan pidana. Menurut Pompe tentang penafsiran feit yang
didasarkan atas pendapat H.R. tahun 1932 dapat dipergunakan terhadap persoalan pasal 76
KUHP (Pompe 1959 : 551).
Pendapat Pompe yang demikian itupun belum dapat memecahkan persoalan pada
pasal 76 KUHP. Pertentangan penafsiran perbuatan dari pasal 63 - 66 KUHP masih tetap menjadi
persoalan perbarengan dalam praktek, dengan demikian berarti memindahkan saja kesulitan
serupa di bidang lain. Persoalan hukum mengenai perbarengan mempunyai titik kesamaan
dengan persoalan ne bis in idem dalam kemungkinan "tuntutan berulang-ulang" atas perbuatan
yang dianggap masuk kualifikasi rumusan delik atau peraturan hukum pidana lebih dari satu
tuduhan. Penyusunan tuduhan kumulatif atau alternatif mengurangi persoalan.
Suatu tuduhan terhadap perbuatan pencurian dengan kekerasan, jelas tidak mungkin
dipecah menjadi tuduhan pertama berupa perbuatan pencurian dan tuduhan kedua berupa
penganiayaan. Demikian pula suatu tuduhan penipuan dengan surat, juga jelas tidak dapat
dipecah dengan tuduhan pertama berupa tuduhan penipuan dan tuduhan pemalsuan surat.
Tuduhan yang kedua dari contoh-contoh ini akan terhalang oleh aturan ne bis in idem dalam
pasal 76 KUHP. Selain persoalan mengenai bentuk tuduhan alternatif seperti contoh tersebut di
atas, juga sama persoalannya mengenai waktu terjadinya perbuatan pidana (tempus delicti) dan
tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti) dalam arti kegagalan tuntutan mengenai
syarat tempat/waktu yang tidak terbukti dengan putusan 'bebas, tidak boleh diulang untuk
tuntutan kedua kalinya mengenai tempat/waktu yang lain.
2. Alasan terdakwa meninggal dunia menurut pasal 77 KUHP.
Alasan menghentikan penuntutan karena terdakwa meninggal dunia dikarenakan
adanya pandangan kesalahan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Pada masa dahulu
hak untuk menuntut perkara pidana terhadap orang yang sudah meninggal dunia masih
dapat diteruskan, dan apabila mendapat keputusan pidana denda atau perampasan
barang, dapat dibebankan kepada ahli warisnya.
Pandangan tentang dapat diteruskannya penuntutan bagi terdakwa yang telah
meninggal dunia kemungkinan masih ada gunanya apabila pemeriksaan perkara
memperoleh keputusan yang berisi "bebas dari tuduhan", dan bukan putusan berupa
pidana atau tindakan. Pokok pikiran yang demikian ini didasarkan alasan bahwa dalam
16
proses perkara pidana mempunyai landasan utama untuk mencari kebenaran hukum
secara materiel. Putusan pembebasan mempunyai arti penting memulihkan nama baik dari
persangkaan terhadap seseorang yang didakwa melanggar hukum.
Wewenang menuntut pidana menjadi hapus karena terdakwa meninggal dunia
menurut pasal 77 KUHP juga berlaku apabila penuntutan telah dimulai ketika terdakwa
masih hidup tetapi kemudian meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir perkara
pidana itu, termasuk pula terdakwa yang meninggal dunia setelah mengajukan
permohonan banding atau kasasi.
3. Alasan daluwarsa ( 78 - 81 KUHP).
Latar belakang yang mendasari daluwarsa sebagai alasan yang menghapuskan
wewenang penuntutan digantungkan pada kemampuan daya ingat manusia dan keadaan
alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak mempunyai nilai untuk
hukum pembuktian. Sejalan dengan melemahnyadaya ingat seseorang terhadap peristiwa
yang terjadi di masa yang lalu, maka kepentingan untuk melakukan penuntutan dari sisi
preverensi general juga semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut pembentuk
UU lebih memilih tidak menuntut karena daluwarsa dengan tenggang waktu tertentu,
seperti rumusan pasal 78 KUHP.
Tenggang waktu tertentu yang menjadi alasan daluwarsa penuntutan dibedakan
menurut jenisnya atau berat-ringannya perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang
terlibat perkara pidana. Semakin berat perbuatan pidana yang dilakukan semakin lama
hilangnya kesan dalam ingatan manusia, sehingga sudah sepatutnya semakin panjang
tenggang waktu daluwarsa yang diperlukan. Menurut ketentuan undang-undang
daluwarsa dibedakan kedalam empat golongan berdasarkan sifat perbuatan pidana yang
dilakukan.
1. tenggang waktu satu tahun apabila mengenai kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukan dengan percetakan;
2. tenggang waktu enam tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam pidana
denda, kurungan atau penjara paling lama tiga tahun;
3. tenggang waktu dua belas tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, dan
4. tenggang waktu delapan belas tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.
Dalam KUHP tidak ada ketentuan mengenai saat kapan tenggang waktu daluwarsa
mulai berlaku, melainkan diserahkan pada teori atau perkembangan ilmu pengetahuan
hokum. Berdasarkan teori hukum pidana tentang penentuan tempus delicti pada
umumnya diikuti pandangan bahwa perbuatan pidana ditentukan dari waktu kelakuan dan
waktu akibat, tergantung pada rumusannya' sebagai delik yang formal ataukah delik yang
materiel, atau jika tidak dapat ditentukan jenis rumusan deliknya ditentukan oleh waktu
kelakuan dimulai sampai waktu berakhirnya akibat terjadi.
Menurut pasal 79 KUHP dapat ditarik kesimpulan bahwa mulai berlakunya tentang
tenggang waktu daluwarsa dihitung pada hari berikutnya sesudah perbuatan pidana dilakukan
sesuai dengan teori tempus delicti tersebut di atas, kecuali mengenai tiga hal, yaitu:
17
pengadilan dari perkara lain. Ketentuan pasal 81 KUHP memberikan kemungkinan perkara
pidana ditangguhkan sehubungan dengan penyelesaian lebih dahulu pada perkara lain yang
menurut hukum harus diputuskan oleh pengadilan tersendiri. Kemungkinan penundaan
perkara pidana tersebut, antara lain mengenai perkara jinah pasal 284 ayat (5) KUHP
menunggu putusan cerai oleh hakim perdata, atau mengenai perkara penghinaan dengan
fitnah pasal 314 ayat (1) KUHP masih menunggu putusan penghinaan dengan
pencemaran/nista oleh hakim pidana. Demikian pula untuk perkara pasal 311 ayat (3), pasal
332 ayat (4), pasal 385 KUHP.
4. Penyelesaian di luar acara (Pasal 82 KUHP)
Wewenang menuntut perkara pidana gugur atau hapus `karena penyelesaian di luar
acara. Ketentuan Pasa 182 KUHP seringkali disebut lembaga penebusan (afkoop) atau juga
disebut lembaga hukum perdamaian (schikking) hanya dimungkinkan pada perkara tertentu
yaitu:
a. perkara pelanggaran yang diancam dengan pidana denda secara tunggal;
b. pembayaran denda harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda beserta
dengan biaya lain yang harus dikeluarkan, atau penebusan harga tafsiran bagi
barang yang terkena perampasan; dan
c. harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudah cukup, umur.
Penggunaan lembaga penebusan atau perdamaian tersebut tidak berlaku bagi orang
yang belum cukup umur pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.
Di negara Belanda pada tahun 1921 diadakan stelse transactie yang menambahkan
penyelesaian di luar acara datam pasal 74 WvS Belanda dengan pengertian yang luas
dibandingkan dengan "afkoop". Stelsel transactie harus berupa pembayaran denda yang
ditentukan tersendiri oleh penuntut umum, jadi bukan suatu pembayaran maksimum
ancaman dendanya. Penentuan pembayaran denda oleh penuntut umum inilah yang dianggap
tidak sesuai dengan kewenangan hakim memutus perkara di Hindia Belanda, sehingga tidak
masuk dalam KUHP.
5. Alasan tidak adanya' pengaduan pada delik aduan.
Beberapa delik dalam KUHP ada yang menentukan hanya dapat dituntut apabila
orang yang terkena membuat pengaduan. Sistimatika beberapa pasal KUHP tersebut memang
tidak ditempatkan dalam bab VIII buku I KUHP, namun seringkali dalam praktek keluarga
korban melaporkan kepada polisi dan pihak kepolisian segera mengadakan penyidikan agar
cukup bahan bukti, akan tetapi perkara yang cukup bahan buktinya itu setelah diajukan
penuntutan ke pengadilan dilupakan syarat permohonan pengaduan. Perkara delik aduan
yang tidak dipenuhi syarat pengaduan menjadi alasan wewenang penuntutan hapus atau
gugur.
Pembatasan penuntutan terhadap delik aduan dimungkinkan dalam hal syarat
pengaduan yang telah diajukan oleh pihak yang berkepentingan berhadapan dengan
kewenangan tidak menuntut perkara berdasarkan asas opportunitas yang diatur oleh hukum
acara pidana, karena pertimbangan untuk kepentingan umum oleh penuntut umum atau atas
nama Jaksa Agung berhak mendeponer perkara.
Delik aduan dibedakan menjadi delik aduan yang absolut dan delik aduan yang relatif.
Delik aduan yang absolut jika ada suatu, pengaduan yang bersifat umum dan dengan demikian
19
pengaduan tidak terbatas pada orang tertentu yang diadukan saja, seperti ketentuan delik
aduan pasal 284 KUHP harus diartikan pengaduan terhadap pelaku laki-laki berarti pula
pengaduan terhadap pelaku perempuan. Jurisprudensi mengenai pasal 284 KUHP kemungkinan
dipergunakan kewenangan asas opportunitas oleh penuntut umum untuk melakukan
penuntutan kepada salah satu dari peserta perjinahan berdasarkan kepentingan umum. Dalam
hukum Romawi kejahatan perjinahan hanya diajukan penuntutannya terhadap pihak pelaku
perempuan. Delik aduan yang relatif ada jika syarat pengaduan harus ditujukan kepada orang
tertentu, seperti kejahatan pencurian di kalangan keluarga menurut pasal 367 KUHP.
Menurut peraturan hukum pidana pihak yang berhak mengadu tidak selalu harus pihak
(korban) yang terkena kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasa172 - 75 KUHP kecuali
ketentuan khusus dalam pasal 284 dan pasai 332 KUHP.
6. Abolusi dan amnesti.
Pemberian abolusi menghentikan penuntutan berhubung pernyataan Presiden
terhadap orang tertentu atau segolongan tertentu yang menjadi terdakwa tentang
dihapuskannya penuntutan sebelum ada keputusan pengadilan. Pemberian amnesti adalah
pernyataan Presiden terhadap semua terdakwa dan terhukum baik yang dikenal ataupun tidak
dikenal untuk dihapuskan penuntutan dan pelaksanaan putusan pidana serta semua akibat
hukumnya.
Kewenangan amnesti dan abolusi serta rehabilitasi diberikan oleh Presiden berdasarkan
Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Drt. No. 11 tahun 1954 L.N. 1954 No.
146.
III.
Bahan Bacaan:
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Balai lektur mahasiwa.
20
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Citra Aditya Bakti, Bandung.
-------------, Djisman Samosir, 1979, Hukum Pidana Indonesia, Sinarbaru, Bandung.
Moeljatno, 1969, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan jawab dalam Pidana Pidana, Seksi Kepidanaan
Fakultas Hukum UGM.
---------------, 1996, KUHP, Bumi Aksara
---------------, 2008, Azas-Asas hukum Pidana (edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta.
Purnomo , Bambang azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,.
Schaffmeister, Nico Keizer, PH Sutorus., 1995, Hukum Pidana, penerjemah YE Sahetapy, liberty,
Yogyakarta.
Soedarto, 1987, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang.
21