Anda di halaman 1dari 21

ALASAN PENGHAPUS PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN DAN GUGURNYA MENJALANI

PIDANA
Marcus Priyo Gunarto

Kitab Undang-undang Hukum Pidana selain menetapkan perbuatan yang diancam dengan
pidana juga menetapkan beberapa perbuatan yang mengurangi pidana (Pasal 47 diubah berdasar
Pasal 81 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 53 ayat (2) (3), pasal 57
ayat (1) (2); yang memberatkan pidana ( Pasal 52, 63-71 KUHP) dan yang mengecualikan dari ancaman
pidana. Pada kesempatan ini yang akan dibicarakan adalah hal yang terakhir, yaitu menyangkut
perbuatan yang mencocoki rumusan delik, tetapi tidak dipidana, meliputi alasan penghapus pidana,
alasan penghapus penuntutan dan gugurnya menjalani pidana.
I. ALASAN PENGHAPUS PIDANA (strafuitsluitingsgronden).
Selain istilah alasan penghapus pidana, didalam literatur ada yang menyebut dengan istilah
dasar-dasar penghapus pidana. Keadaan-keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan pidana tidak
dipidana ada yang terletak:

di dalam Undang-Undang; dan

di luar Undang-Undang.

Keadaan yang mengakibatkan seseorang melakukan perbuatan pidana tidak dipidana yang
terletak di dalam Undang-Undang dapat dijelaskan melalui pendapat Memorie van Toelichting
(MvT), Ilmu Pengetahuan, atau doktrin dalam hukum pidana.
A. Alasan Penghapus Pidana Yang Terletak Didalam Undang Undang
Memorie van Toelichting (MvT) atau risalah penjelasan KUHP Belanda mengenai alasan
penghapus pidana, mengemukakan apa yang disebut "alasan-alasan tidak dapat di
pertanggungawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang"di
dasarkan pada dua hal yaitu :

Alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri


orang itu (inwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid), dan

Alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar


orang itu (uit wendige oorzaken van ontoerekenbaarheid).

Termasuk alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri
orang ialah karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit
sebagaimana dimaksud pada Pasal 44, dan alasan karena umur yang masih muda, sedangkan
alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu adalah
keadaaan-keadaan yang dimuat pada Pasal 48 sampai dengan Pasal 51, yaitu daya paksa,
pembelaan terpaksa, melaksanakan perintah UU, dan melaksanakan perintah jabatan. Di negeri
Belanda sejak tahun 1905 tidak Iagi merupakan alasan penghapus pidana1.
Alasan penghapus pidana berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu alasan penghapus pidana yang umum dan alasan penghapus pidana yang
khusus.
1

Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, hlm. 138.

Alasan penghapus pidana yang umum merupakan alasan penghapus pidana yang
berlaku untuk tiap-tiap delik pada umumnya sebagaimana disebut dalam pasal
44, 48 s/d 51 KUHP; sedangkan

Alasan penghapus pidana yang khusus, merupakan alasan yang hanya berlaku
untuk delik- delik tertentu saja, seperti misalnya pasal 166 KUHP, Pasal 221 ayat
2 dan Pasal Pasal 310 ayat (3).
Pasal 166 KUHP menentukan bahwa "Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165
KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya
untuk dituntut sendiri dst ...........................berarti pasal ini mengecualikan
keadaan sebagaimana ditentukan Pasal 164 (mengetahui ada permufakatan jahat)
dan Pasal 165 (mengetahui ada niat melakukan perbuatan 104, 106-108, dst).
Demikian pula ketentuan Pasal 221 ayat 2, yaitu perbuatan menyimpan orang
melakukan kejahatan . Disini tidak dituntut
jika ia hendak
menghindarkan penuntutan terhadap
istri, suami, dan orang-orang yang
masih mempunyai hubungan darah.
Pasal 310 ayat (3) yang menentukan bahwa tidak merupakan pencemaran atau
pencemaran tertulis, bila perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau
karena terpaksa untuk membela diri.

Selain pembedaan menurut MvT dan Ilmu pengetahuan, berdasarkan doktrin juga
dibedakan alasan penghapus pidana menurut sifatnya, yaitu karena adanya alasan pembenar
(rechtvaardigingsgronden) dan karena alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Menurut
Sudarto pembedaan ini sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan
dapat dipidananya pembuat2.
Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun
perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik. Oleh karena sifat melawan hukumnya perbuatan
dihapuskan, maka si pembuat tidak dapat dipidana. Kalau tidak ada unsure melawan hukum
maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam K.U.H,P. ialah pasal
49 ayat 1 (pembelaan terpaksa), pasal 50 (melaksanakan peraturan undang-undang dan pasal
51 ayat 1 (melaksanakan perintah jabatan).
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si-pembuat, dalam arti si-pembuat tidak dapat
dicela, dengan perkataan lain si-pembuat tidak dapat dipersalahkan, atau tidak dapat
dipertanggung jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Dengan demikian
di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si-pembuat, sehingga tidak mungkin ada
pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KU.H.P ialah pasal 44 (tidak mampu
bertanggung-jawab), pasal 49 ayat 2 (noodweer exces), pasal 51 ayat 2 (dengan iktikad baik
melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan
alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
Alasan penghapus pidana menurut Van Hamel dibedakan antara alasan yang
menghapus sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden) dan alasan yang menghapus sifat
dapat dipidana (strafwaardigheiduitsluiten), namun pembagian itu tidak banyak dianut3. Para
2
3

Ibid, hlm. 139.


Bambang Purnomo , azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 193.

penulis hukum pidana lebih banyak mengikuti pendapat VOS yang membedakan kedalam alasan
pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).
Berturut-turut dalam sub bab alasan penghapus pidana ini akan dibicarakan pasal 44,
48, 49, 50 dan 51 KUHP.
a. Tidak Mampu Bertanggung Jawab (Pasal 44).
Tidak mampu bertanggung jawab datur pada Pasal 44. Disitu ditentukan bahwa
tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit.
Mv.T sebagaimana telah disebut di muka menyebutkan tak dapat dipertanggung-jawabkan
karena sebab yang terletak di dalam diri si-pembuat.
Apa yang diatur dalam pasal tersebut juga merupakan sikap dari KUHP
terhadap mampu bertanggungjawab,
akan tetapi KUHP tidak menyatakan
dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan mampu bertanggungjawab. Dalam
pasal tersebut KUHP hanya menyatakan secara negatif, kapan seseorang tidak
dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannja. Pasal 44 sama sekali tidak
memberikan pengertian kemampuan bertanggungjawab.
Pasal 44 tersebut mempunyai syarat bahwa harus ada hubungan kausal
antara perbuatan yang dilakukan dengan cacat pertumbuhan/ penyakit jiwa yang
diderita oleh pembuat. Sampai saat ini hubungan kausal dengan penyakit jiwa ini
menimbulkan persoa lan karena ada berbagai penyakit jiwa dan sifat-sifatnya
dalam ilmu psikiatri 4. Sehubungan dengan jenis-jenis penyakit jiwa itu didalam
praktek ada beberapa jenis penyakit jiwa yang penderitanya hanya dapat
dipertanggungjawab sebagian, seperti penderita penyakit kleptomanie,
pyromania, claustophobie, mani depressi dan lain sebagainya. Terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena dorongan jiwanya yang sakit, yang
bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan perbuatan lain yang
tidak karena penyakit jiwa yang dideritanya tetap dipertanggungjawabkan.
Untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap perbuatannya itu, dikenal adanya tiga metode, yaitu:
Metode biologis;
Metode psikologis; dan
Metode campuran (metode biologis-psikologis)5;
Metode yang pertama psikiater akan menyatakan terdakwa sakit jiwa atau tidak.
Apabila psikiater menyatakan terdakwa sakit jiwa, maka terdakwa tidak dapat dipidana.
Metode kedua menunjukkan hubungan antara keadaan jiwa yang abnormal dengan
perbuatannya. Metode ini mementingkan akibat jiwa terhadap perbuatannya sehingga
dapat dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana, sedangkan
metode yang ketiga di samping memperhatikan keadaan jiwanya, kemudian keadaan jiwa
ini dipernilai dengan perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu bertanggung jawab.
KUHP menganut metode gabungan (biologis-psikologis) dan dalam penetapan pidana
menggunakan sistim deskriptif normatif, artinya ahli akan mendiskripsikan keadaan jiwanya,

4
5

Bambang Poernomo, ibid, hlm 203.


Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai lektur mahasiwa, halm. 248-249

sedangkan untuk menentukan apakah pelaku patut dipidana atau tidak menjadi kewenangan
hakim.6
Tidak adanya kemampuan bertanggung-jawab menghapuskan kesalahan, tetapi
perbuatannya tetap bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan alasan penghapus
kesalahan berdasarkan alasan pemaaf.

b. Daya Paksa (Overmacht) (pasal 48).


Pasal 48 KUHP menentukan "Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan
yang didorong oleh daya paksa". Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak dapat
dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat MvT atau risalah penjelasan
yang diberikan oleh pemerintah ketika Kitab Undang-undang (Belanda) itu dibuat. Dalam
M.v.T. dilukiskan sebagai : "setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat
ditahan. Hal terakhir ini, yaitu "yang tak dapat di tahan, memberi sifat kepada tekanan
atau paksaan itu. Paksaan di sini bukan paksaan yang mutlak, bukan paksaan yang tidak
memberi kesempatan kepada si-pembuat menentukan kehendaknya. Pengertian "tidak
dapat ditahan" menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari sipembuat untuk mengadakan perlawanan.
Sehubungan dengan adanya paksaan yang mutlak dan paksaan yang tidak mutlak,
maka daya paksa (overmacht) dapat dibedakan dalam dua hal yaitu vis absoluta (paksaan
yang absolut) dan vis compulsiva (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolut (vis absoluta) dapat disebabkan oleh kekuatan manusia
atau karena disebabkan alam. Dalam vis absoluta paksaan sama sekali tak dapat di tahan.
Contoh :

Tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan serta merta dipukulkan pada
kaca, sehingga kaca pecah. Apabila yang terjadi demikian, maka orang yang
dipegang tangannya tadi tak dapat dikatakan telah melakukan pengrusakan
benda berdasarkan pasal 406 KUHP.

Seseorang yang berada di bawah pengaruh hipnotis melakukan pembunuhan,


maka orang yang berada dibawah hipnotis tadi tak dapat di katakan telah
melakukan perbuatan yang disebut pada Pasal 388 KUHP. Perbuatan yang
dilakukan
di luar kehendak si-pembuat. Namun hakim harus tetap
memperhatikan keadaan si-pembuat yang sebenarnya. , Dalam hal hypnose ini
harus dilihat bagaimana keadaan sebenarnya dari si pembuat itu. Kalau ia
hanya dalam pengaruh yang kuat belaka, maka tak ada vis absoluta tetapi vis
compulsiva. Jadi harus dilihat sampai berapajauh pengaruh hypnose itu pada
orang yang bersangkutan.

Pengertian vis absoluta seperti contoh-contoh di atas tidak termasuk dalam


pengertian daya paksa dari pasal 48 KUHP. Daya paksa Pasal 48 ialah daya paksa relatif (vis
compulsiva), Istilah " didorong " (gedrongen) menunjukkan bahwa paksaan itu sebenarnya
dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalam paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia
akan dapat mengadakan perlawanan. (Prof. Muljatno hanya menyebut "karena pengaruh
daya paksa").
6

Soedarto, ibid, hlm. 95

Contoh : seorang kasir Bank tiba-tiba


ditodong oleh seseorang dengan
menempelkan pisau didada agar kasir bank menyerahkan uang yang ada di
Brankas. Kasir bank masih ada kesempatan berpikir apakah ia akan memenuhi
kewajibannya atau akan menyerahkan uangnya. Disini ada paksaan, tetapi tidak
absolute. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang
tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat
diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan.
Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh
si-pembuat di lain pihak harus ada keseimbangan. Pada daya paksa (overmacht) orang ada
dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada di tengah-tengah dua hal yang sulit
yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa
ialah bahwa ia datang dari luar diri si-pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada
kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam keadaan lain tak
akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.

c.

Keadaan Darurat (Noodtoestand)


Noodtoestand atau keadaan darurat tidak diatur dengan tegas di dalam Pasal 48
KUHP, namun soal ini oleh doktrin juga dimasukkan dalam pengertian overmacht. Dalam
Vis compulsiva (daya paksa relatif) ada yang membedakan menjadi daya paksa dalam arti
sempit (atau paksaan psychis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit
ditimbulkan oleh orang, sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar
perbuatan orang. K.U.H.P. kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Adapun yang
dimaksud dengan noodtoestand atau keadaan darurat itu adalah keadaan, dimana suatu
kepentingan hukum dalam keadaan bahaya, dan untuk menghindarkan bahaya itu terpaksa
dilanggar kepentingan hukum yang lain. Keadaan itu dapat terjadi dalam bentuk:
1. Perbenturan antara dua kepentingan hokum;
Contoh klasiknya adalah kasus "Papan dari Carneades". Ada dua orang yang
karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada
sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau
kedua-duanya tetap berpengangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan
tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang di antaranya mendorong
temannya sehingga yang didorong itu mati tenggelam dan yang mendorong
terhindar dari maut. (Cerita ini berasal dari CICERO dalam bukunya De Republic
et de officio)7.

Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat.
Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu tidak susila, namun menurut hukum
perbuatan itu dapat difahami, karena adalah naluri setiap orang untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Dibeberapa negara (Rusia dan Inggris) orang yang mendorong
temannya itu tetap dipidana, meskipun pidananya diringankan.

Schaffmeister, Nico Keizer, PH Sutorus., 1995, Hukum Pidana, penerjemah YE Sahetapy, liberty, Yogyakarta, hlm.
153.

2. Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.

Contoh klasiknya adalah Arrest optician. Seorang pemilik toko kaca mata yang
menjual kaca mata kepada seorang yang kehilangan kaca matanya. Padahal pada
saat itu menurut Peraturan Daerah, sudah saatnya jam penutupan took,
sehingga pemilik toko dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli
itu ternyata tanpa kaca mata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam
keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kaca mata dapat
dikatakan bertindak dalam kedaan memaksa dan khususnya dalam keadaan
darurat.
Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa
terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala
tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R. (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa
ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai
kewajiban untuk menolong sesama.

Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau
melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang- barangnya. Disini ada
perbenturan antara kepentingan hukum untuk menyelamatkan barang-barang
miliknya dengan kewajiban hukum menghormati hak orang lain.
3. Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum :
Contoh klasiknya adalah putusan dokter tentara. Seorang perwira kesehatan
(dokter angkatan laut) diperintahkan oleh atasannya untuk memeriksa dan
melaporkan apakah para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung
ke darat (kota pelabuhan) kejangkitan penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau
melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia
berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan
semua penyakit dari para pasiennya.
Di sini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :
a) melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara).
b) memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.

Dokter tersebut tidak melaporkan kepada atasannya dan


memilih tetap
merahasiakan penyakit pasiennya. Dokter tersebut memilih patuh pada sumpah
dokter. Oleh Pengadilan Tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter
tadi naik banding, dan Mahkamah Tentara Tinggi membebaskannya karena ia ada
di dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 Nopember 1916).

Dalam satu hari yang sama seseorang dipanggil menjadi saksi di dua tempat saling
berjauhan. Dalam hal ini yang bersangkutan tidak mungkin menghadiri
6

persidangan di dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Disini terdapat


perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hokum.

Menurut VAN HATTUM, daya paksa (overmacht) dengan keadaan darurat (noodtoestand)
terdapat perbedaan. Pada daya paksa dalam arti sempit si-pembuat berbuat atau tidak
berbuat dikarenakan satu tekanan psychis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si-pembuat tak
ada penentuan kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psychis dari luar yang
sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan.
Pada keadaan darurat si-pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa
atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap Undang-undang.

Sehubungan daya paksa, di antara para penulis tidak ada kesatuan pendapat apakah daya
paksa pada Pasal 48 ini merupakan alasan pembenar atau alasan pemaaf8.
MOELJATNO, yang diikuti oleh muridnya (Mr.Ruslan Saleh) daya paksa dipandang sebagai
alasan pemaaf.
JONKERS : Setelah mengemukakan daya memaksa yang ada pada optician (penjual
kacamata), dengan mensitir apa yang dimuat dalam arrest itu, suatu kewajiban yang
mendorong terdakwa sedemikian hebatnya sehingga menghapuskan patut dipidananya
pelanggaran menjadi akibatnya, maka Jonkers menganggap pasal 48 itu sebagai alasan
pembenar.
UTRECHT
Seperti halnya pendirian H.R. tahun 1923 dalam arrestnya mengenai penjual kacamata,
UTRECHT mengikuti pendapat VOS. Daya memaksa dalam arti yang sempit (psychische
dwang) adalah alasan pemaaf, sedang keadaan darurat dapat merupakan alasan pemaaf
atau alasan pembenar. Penentuan mengenai apakah keadaan darurat itu merupakan alasan
pemaaf atau alasan pembenar harus diadakan secara kasuistis. Dalam halaman 365 ia
menyatakan "apabila kita hendak menentukan apakah keadaan darurat itu suatu alasan
pemaaf atau alasan pembenar, maka selalu terlebih dahulu kita harus menentukan apakah
perbuatan yang dilakukan itu bukan suatu perbuatan yang tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Apabila ternyata bahwa perbuatan yang bersangkutan adalah tidak dapat
diterima oleh masyarakat tetapi si-pembuat tidak boleh dianggap bertanggungjawab atas
perbuatan itu, maka keadaan darurat itu alasan pemaaf, karena keadaan darurat bertujuan
menghapuskan pertanggungjawaban pidana si-pembuat.
Bila ternyata bahwa perbuatan yang bersangkutan adalah bukannya tidak diterima (jadi
diterima) oleh masyarakat, maka keadaan darurat itu adalah alasan pembenar. karena
keadaan darurat tersebut bertujuan menghapuskan anasir melawan hukum .
VAN HATTUM:
Overmacht sebagai alasan pemaaf (Verontschuldigingsgrond) halaman 346 :

Soedarto. Ibid, hlm. 145-147.

"menurut perasaan saya alasan penghapus pidana tersebut dalam pasal 48 KUHP, hanya
terpakai, jika perbuatan tetap bersifat melawan hukum. Perbuatan, yang terpaksa dilakukan
karena keadaan, patut dimaafkan.
Demikian halnya dengan seorang sopir taksi yang takut hilang nyawanya,karena ditodong
oleh seorang yang berpistol di belakangnya, melanggar undang-undang (mengendarai mobil
dengan kecepatan yang melebihi batas maksimal).
Perbuatan sopir itu melawan hukum, tetapi patut dimaafkan karena padanya tidak dapat
diharapkan untuk mempertaruhkan nyawanya".
Selanjutnya Van Hattum menyatakan '. hanya mereka yang menolak ajaran sifat melawan
hukum yang materiil terpaksa meluaskan alasan penghapus pidana dalam overmacht
hingga meliputi perbuatan yang tidak melawan hukum".

SIMONS :
Dalam melihat apakah overmacht itu adalah alasan pembenar atau alasan pemaaf maka ia
memandang:
1. overmacht sebagai alasan penghapus kesalahan.
2. keadaan darurat sebagai alasan pembenar.
Ad 1.
Kalau perbuatan orang yang dipaksa itu, masuk dalam rumusan delik maka perbuatannya
bersifat melawan hukum; (Simons berpendirian sifat melawan hukum formil) maka itu patut
dipidana, tapi ia tidak dapat di pertanggung-jawabkan atas perbuatannya itu. Keadaanlah
yang membuat atau menyebabkan si-pembuat tidak dapat dicela. sehingga padanya tidak
ada kesalahan.
Ad 2.
Yang termasuk alasan penghapus sifat melawan hukumnya perbuatan dan patut
dipidananya perbuatan itu ialah perbuatan yang dilakukan dalam keadaan darurat. Artinya,
dalam keadaan yang memaksa untukk melindungi jiwa dan harta si-pembuat sendiri tidak
dapat dihindarkan lagi dan terpaksa menyerang kepentingan hukum orang Iain.

HAZEWINKEL - SURINGA:
Dalam halaman 171, tidak menyetujui pemisahan dari sebab daya memaksa dan juga tidak
setuju orang yang melihat overmacht dalam arti sempit sebagai suatu alasan pemaaf dan
keadaan darurat sebagai alasan pembenar. Beliau berpendirian bahwa karena sifat dari
keadaan-keadaan overmacht itu sangat bermacam-macam maka tidak dapat dikatakan
sebagai alasan pemaaf atau sebagai alasan pembenar. Hal ini tergantung pada sifat
kejadiannya apakah itu dimasukkan dalam salah satu golongan tersebut.
d. Pembelaan Darurat (Noodweer).
Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ditemukan di dalam KUHP. Istilah
noodweer atau pembelaan darurat berasal dari doktrin. Pasal 49 (1) berbunyi : "tidak dapat
dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela
8

dirinya sendiri atau orang lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap
serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga".
Nampaklah di dalam noodweer itu yang dibela tidak perlu kepentingan hukum sendiri, tetapi
dapat pula untuk membela kepentingan orang lain9.
Seolah-olah perbuatan orang yang melakukan pembelaan darurat itu merupakan
eigenrichting atau main hakim sendiri, tetapi perbuatan itu tidak dipidana sepanjang
memenuhi atau sesuai dengan syarat-syarat yang disebut dalam pasal 49. Perbuatan yang
dilakukan dianggap tidak melawan hukum. Dalam pembelaan darurat harus dipenuhi dua hal
yang pokok, yaitu :
1). ada serangan. Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan
pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. seketika;
b. yang langsung mengancam;
c. melawan hokum;
d. sengaja ditujukan pada badan, peri-kesopanan dan harta benda.
2). ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Tindakan pembelaannya
harus memenuhi syarat-syarat :
a. pembelaan harus dan perlu diadakan;
b. pembelaan harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut
dalam undang-undang yakni adanya serangan pada badan (lijf), perikesopanan (eerbaarheid) dan harta-benda (goed) kepunyaan sendiri atau
orang lain.

Pengertian mengancam dan dan seketika berarti serangan itu sedang


berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sedang berlangsung berarti serangan sudah
dimulai , dan belum diakhiri. Berhubung dengan rumusan tersebut, maka jika serangan
belum dimulai atau sudah diakhiri, maka tidak boleh dilakukan pembelaan. Selanjutnya
serangan tersebut, haruslah bersifat melawan hokum. Serangan yang tidak melawan
hukum tidak mungkin ada pembelaan darurat.
Misalnya Polisi mensita sepeda motor yang diduga hasil pencurian, jika
tersangka tersebut melakukan pembelaan terhadap perbuatan (serangan)
Polisi, maka Tersangka tidak dapat menyatakan melakukan pembelaan
terpaksa.
Bagaimana jika yang melakukan serangan adalah binatang ? apakah disitu
terdapat pembelaan darurat ? dalam hal serangan itu dilakukan oleh binatang tidak
dapat dikatakan serangan yang yang melawan hokum, karena binatang tidak mungkin
tunduk pada hokum, tetapi perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan membela diri,
sehingga disitu terdapat keadaan darurat. Dalam serangan oleh binatang itu perlu
dibedakan pula :
a). apakah binatang itu menyerang atas kehendaknya sendiri, atau
9

Satochid Kartanegara, hlm. 462.

b). apakah binatang itu diusik seseorang untuk menyerang.


Apabila binatang diusik seseorang untuk menyerang, maka binatang itu adalah
alat belaka.
Selanjutnya menyangkut pembelaan yang harus dilakukan atau yang harus
diadakan. Ini berarti bahwa tidak ada jalan lain untuk menghindarkan diri dari serangan.
Kata-kata ini tidak boleh diartikan secara sempit, sebab jika diartikan sempit, menurut
Jonkers Pasal 49 tidak banyak artinya. Hampir tidak ada suatu pembelaan yang perlu
dan harus diadakan. Pada umumnya orang dapat menghindarkan diri dengan jalan
melarikan diri atau menerima saja serangan itu.
Maksud dari pada frasa pembelaan yang harus dilakukan atau yang harus
diadakan adalah disitu terdapat keseimbangan antara penyerangan dan pembelaan atau
keseimbangan antara perbuatan pembelaan dan kepentingan yang diserang. Apabila
seseorang sakunya dirogoh oleh pencopet, kemudian memegang tangannya dan
menmbak hingga mati, maka disitu tidak ada pembelaan terpaksa. Perbuatan
menembak sehingga mati bukanlah pembelaan yang harus dilakukan.
Didalam pembelaan darurat terdapat azas subsidiaritas dan asas proporsional.
Asas susidiaritas berhubungan dengan alat atau cara dalam melakukan perbuatan
pembelaan. Pembelaan dilakukan dengan menempuh jalan yang seringan-ringannya,
sehingga tidak merugikan orang lain. Sedangkan azas proporsionalitas berhubungan
dengan keseimbangan antara penyerangan dan pembelaan atau keseimbangan antara
perbuatan pembelaan dan kepentingan yang diserang.
Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat?

Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara


kepentingan hukum dan kepentingan hukum, kepentingan hukum dan
kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum.

Dalam pembelaan darurat situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya


perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan
perkataan lain dalam keadaan darurat : hak berhadapan dengan hak,
sedang dalam pembelaan darurat : hak berhadapan dengan bukan hak.

Dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam


pembelaan darurat harus ada serangan.

Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai


kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan damrat, pembelaan itu
syarat-syaratnya sudah ditentukan secara limitatif (pasal 49 ayat 1).

Sifat dari keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada
penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pernaaf dan ada
sebagai alasan pembenar; sedang dalam pembelaan darurat para penulis
memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat
melawan hukum10.

e. Noodweer Exces (Pelampauan Batas Pembelaan Darurat)

10

Soedarto, 150-151

10

Pasal 49 ayat (2) menyatakan Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang
langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana. Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus
memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :

f.

kelampauan batas pembelaan yang diperlukan. Syarat pembelaan yang


tersebut dalam pasal 49 ayat 1 disebut juga sebagai syarat dalam pasal 49 ayat
2. Di sini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain
untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.

pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa


yang hebat; Termasuk di sini adalah rasa takut, bingung, dan mata gelap.

kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan
kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada
hubungan kausal. Kegoncangan jiwa yang hebat itu harus dikarenakan adanya
penyerangan dan bukan karena sifatnya yang mudah tersinggung. Di sini juga
yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat
kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya. Sifat dari
noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungan-jawab
pidana), jadi sebagai alasan pemaaf. Perbuatannya tetap bersifat melawan
hukum. Di sini pembelaannya tidak seimbang dengan serangannya.

Menjalankan Peraturan Undang-Undang (pasal 50).


Menjalankan Peraturan Undang-Undang tidak dipidana. Pasal 50 KUHP
menyatakan Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan UndangUndang, tidak dipidana. Pada awalnya yang diartikan Undang-Undang hanyalah dalam arti
sempit atau formil, yaitu hanya produk peraturan yang dibuat oleh DPR/dan Raja.
Pandangan itu lama-kelamaan berubah, kemudian H.R. mengartikan secara materiil, yaitu
setiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dengan
demikian tidak hanya UU, tetapi dalam perundang-undangan Indonesia bisa meliputi Perpu,
peraturan pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, dan lain sebagainya. Dalam
hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undang itu
menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal
ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut,
dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban. Dengan perkataan
lain kewajiban/tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang.
Dalam Hukum dapat dijumpai adanya kewajiban dan tugas-tugas atau wewenang
yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari
tuntutan. Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara
patut, wajar dan masuk akal. Dalam menjalankan peraturan perundang-undangan, seperti
halnya dalam daya paksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara
tujuan yang hendak dicapai dengan cara melaksanakannya.
Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang
melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti sesuai dengan tanda
peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 ini. Pejabat polisi itu tidak
melaksanakan kewajiban atau tugasnya itu secara patut, wajar dan masuk akal

11

sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.


pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya.

Kejengkelan

Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat


melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar.
g. Melaksanakan Perintah Jabatan (pasal 51 ayat 1 dan 2).
Pasal 51 ayat 1 : barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Apa yang
dirumuskan pada Pasal 51 ayat 1 ini merupakan alasan penghapus pidana yang bersandarkan
pada perintah yang sah.
Misal : Seorang Ajun Inspektur Polisi diperintah oleh Kombes Polisi untuk
menangkap
penjahat.
Kombes
Polisi
tersebut
berwenang
untuk
memerintahkannya. Jadi dalam hal ini Ajun Inspektur
Polisi tersebut
melaksanakan perintah jabatan yang sah.

Bilamanakah perintah itu dikatakan sah? Ialah bila perintah itu berdasarkan tugas,
wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada sesuatu peraturan. Antara orang yang
diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan
sub-ordinasi, meskipun sifatnya sementara. Hal ini juga harus ditinjau dari sudut UU yang
mengatur kekuasaan pejabat yang diperintah dan yang memerintah. Polisi adalah bertugas
menjaga keamanan, apabila Polisi itu diperintah untuk memungut pajak, maka perintah itu
adalah tidak syah.
Dalam melaksanakan perintah itupun harus patut dan wajar. Seimbang dan tidak
boleh melampaui batas kepatutan . Polisi diperintah oleh atasannya untuk menangkap
seseorang yang telah melakukan kejahatan, dalam melaksanakan perintah itu cukup ia
menangkap dan membawanya saja, tidak boleh polisi itu melakukan pemukulan atau
penganiayaan lainnya. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.
Selanjutnya Pasal 51 ayat 2 menentukan Perintah jabatan tanpa wenang, tidak
menghapuskan pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya.
Suatu perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang.
Perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana,
apabila memenuhi syarat-syarat:

Jika perintah yang pada kenyataanya tidak sah itu, dikiranya perintah yang sah, atau
secara patut ia mengira bahwa perintah itu adalah sah (ia mengira dengan iktikad
baik jujur hati bahwa perintah itu sah);

Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.
Contoh : Seorang Komisaris Besar Polisi memerintahkan Ajun Inspektur Polisi untuk
menangkap seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata
perintah tidak beralasan atau tidak sah. Di sini Ajun Inspektur Polisi itu tidak dapat
dipidana karena :
a. ia patut menduga bahwa perintah itu sah.
12

b. pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.


Sebaliknya, jika seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk
mengeluarkan sejumlah uang untuk pembelian sebuah mobil, yang tidak masuk
dalam mata anggaran, maka jika bendaharawan itu melaksanakan perintah tersebut
bendaharawan itu dapat dipidana, karena perintah tersebut tidak sah. Pembelian
mobil itu tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan, pengeluaran dari
pemerintah sudah ditentukan dalam pos-pos tertentu. Di sini, sepatutnya
bendaharawan dapat menduga bahwa perintah itu tidak sah.
Seorang bawahan tidak dapat berkilah bahwa apa yang dilakukan itu merupakan
bentuk ketaatan seorang bawahan. Hazewinkel- Suringa (dalam balaman 189) mengatakan,
bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeeit" (tidak menghapuskan patut di
pidananya perbuatan).
Misal: Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang
tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu
sah maka ia_tetap dapat dipidana, karena rnemukul seorang tahanan tidak termasuk
wewenang dari seorang anggota polisi.
Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah Jabatan
yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi berhubung
dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat di pidana. Keadaan tersebut adalah
merupakan alasan pemaaf.
B. ALASAN PENGHAPUS PIDANA YANG ADA DI LUAR UNDANG - UNDANG
Selain karena hal-hal atau keadaan yang diatur di dalam UU seseorang yang
melakukan perbuatan pidana tidak di pidana, diluar UU juga terdapat alasa-alasan yang
menyebabkan seseorang yang melakukan perbuatan yang mencocoki lukisan UU tidak dipidana,
misalnya:
1. hak orang tua mendidik anaknya dan hak guru untuk menertibkan anak-anak
didiknya. Hak-hak ini disandarkan pada hak orang tua untuk mengajar anak/ anak
didiknya (tuchtrecht van de ouders), yang harus dilakukan secara patut dan layak;
2.

hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan
dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie, yaitu suatu perbuatan yang
dilakukan dengan tujuan untuk memberantas suatu penyakit. Guna mencapai
tujuan itu seringkali dilakukan percobaan- percobaan terhadap hewan. Perbuatan
menyakiti atau menyiksa hewan itu dirumuskan sebagai perbuatan pidana Pasal
302, namun perbuatan ini tidak dipidana berdasarkan hak yang timbul dari
pekerjaan) ;

3. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai suatu
perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan
(consent of the victim) ;
4. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming) ;
5. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang meteriil ( contoh klasiknya arrest
dokter hewan) ;
6. tidak adanya kesalahan sama sekali (taksi atau avas).
13

Alasan penghapus pidana yang tersebut nomor 1 - 5 merupakan alasan pembenar,


yaitu menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan, sedang yang tersebut nomor 6 adalah
alasan pemaaf yaitu menghapus kesalahannya11.
C. ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF
Alasan penghapus pidana putative terjadi apabila seseorang mengira telah berbuat
sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan
undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya
ialah tidak ada alasan penghapus pidana tersebut. Dalam hal ini ada alasan penghapus pidana
yang putatief. Apakah orang tersebut dapat dipidana ? Bemmelen berpendapat bahwa orang
tersebut tidak dapat dipidana apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat
seperti itu. Ia dapat berlindung pada "taksi" (avas). Ia tidak dapat dicela atas perbuatannya.
Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf).
Di pihak lain ada yang berpendapat semua bentuk putative merupakan hal yang mengurangi
pidana12

II.

ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN


Seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana pada asasnya dapat dituntut di
muka pengadilan untuk diadili. Apabila persidangan dapat membuktikan perbuatan pidana
yang didakwakan, yang bersangkutan akan mendapat putusan bersalah untuk dapat dijatuhi
pidana. Putusan pidana itu harus dijalankan setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Pada kenyataannya hukum tidak selalu berproses demikian, di dalam hukum terdapat
hal-hal yang menurut hokum, hak menuntut menjadi gugur. Dasar aturan hapusnya hak
menuntut dengan maksud adanya kepastian hukum bagi seseorang agar terhindar dari keadaan
tidak menentu dalam menghadapi perkara pidana.
Peraturan hukum pidana menetapkan aturan tentang hal-hal yang menghapus
penuntutan baik yang diatur di dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP (dalam peraturan
hukum yang lain). Dasar hukum yang mengatur gugurnya hak menuntut di dalam KUHP terdiri
atas alasan:
1. ne bis in idem,
2. terdakwa meninggal dunia,
3. daluwarsa,
4. penyelesaian di luar acara, dan
5. tidak adanya aduan pada delik-delik aduan.

Sedangkan dasar aturan yang di luar KUHP terdiri atas: (1) abolisi dan (2) amnesti yang
diatur dalam Undang-undang Dasar atau Undang-Undang. Di samping itu dalam ilmu pengetahuan
hukum acara atau praktek hukum telah berkembang berbagai alasan tidak menuntut perkara
antara lain penyampingan perkara serba ringan (dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undangundang No. 13/1961), tidak menuntut perkara demi Kepentingan umum berdasarkan asas
11
12

Soedarto, hlm. 155


Bambang Poernomo, Ibid, hlm. 203.

14

opportun itas, tidak menuntut perkara dengan bersyarat atau voorwaarde like niet ve rvolging
dan beberapa alasan tidak menuntut yang lainnya oleh pejabat yang berwenang.
1. Alasan ne bis in idem (Pasal 76 KUHP)
Wewenang menuntut dalam perkara pidana akan hapus untuk selama-lamanya,
apabila terhadap perkara tersebut telah diperiksa dan diputus dan terhadap keputusan itu telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, karena orang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan
yang sama oleh hakim Indonesia. Pengertian putusan hakim Indonesia termasuk juga dalam
pengertia hakim pengadilan adat.
Pelaksanaan Asas ne bis in idem dikandung maksud untuk menjaga keluhuran hakim
pengadilan sebagai alat perlengkapan negara, dan mengandung jaminan kepastian hukum.
Apabila putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap berupa dibebaskan dari
tuduhan karena ketika perkara itu diajukan tidak cukup bukti, dituntut lagi karena ditemukan
alat bukti baru maka satu perkara akan mendapat beberapa keputusan yang kemungkinannya
berlainan satu sama lainnya. Keputusan yang demikian akan menimbulkan rasa tidak percaya
masyarakat terhadap pengadilan dan orang yang telah diputus bebas akan tetap khawatir
karena ada kemungkinan dituntut lagi. Tanpa ada ketentuan Pasal 76 KUHP, maka tidak ada
kepastian hukum terhadap putusan pengadilan.
Berlakunya asas ne bi in idem mengandung dua pokok aturan sebagai syarat
penggunaan pasa 76 KUHP yaitu:
(1) orang yang sama dituntut melakukan satu perbuatan, dan
(2) mengenai perkara yang sama itu telah diputus oleh hakim dengan mempunyai
kekuatan yang tetap.
Persoalan tentang arti perbuatan yang dilakukan untuk memenuhi syarat pasal 76
KUHP itu sama dengan arti perbuatan yang menjadi persoalan dalam pasal 63 - 66 KUHP. Paling
sedikit terdapat tiga pendapat dalam memberikan arti perbuatan (feit) menurut hokum.
1. perbuatan dalam arti sempit yakni perbuatan materiil sebagaimana diajarkan oleh
pandangan materieele feit yang menitikberatkan kepada "kelakuan" saja. Apabila
pandangan tentang arti perbuatan yang disempitkan ini diikuti akan membawa
konsekuensi bahwa bekerjanya asas ne bis in idem akan menjadi luas, karena tiaptiap perkara yang didakwakan atas dasar inti kelakuan yang sama dengan putusan
perkara yang terdahulu, maka akan tertutup kemungkinan dituntut lagi sekalipun
perbuatan itu menjurus perbuatan pidana lain yang memenuhi unsur-unsur delik
tidak boleh diajukan ke pengadilan oleh aturan pasal 76 KUHP.
2. perbuatan dalam arti luas yang menjurus pengertian suatu perbuatan pidana atau
delik sebagaimana masuk dalam rumusan formal undang-undang, sehingga asalkan
tuntutan yang berikutnya itu secara formal masuk dalam rumusan delik yang lain
berarti bukan lagi menuntut kedua kalinya terhadap perkara terdahulu. Apabila
pandangan yang kedua ini diikuti berarti bekerjanya asas ne bis in idem menjadi
sempit, karena setiap suatu komplek kejadian merupakan beberapa perbuatan yang
dapat dimasukkan dalam rumusan beberapa perbuatan pidana atau beberapa delik
sehingga masing-masing delik dapat saja diadili sendiri-sendiri sehingga mungkin
boleh diajukan ke pengadilan lagi berhubung tidak bertentangan dengan aturan
pasal 76 KUHP.

15

3. perbuatan merupakan kelakuan dan akibat atau keadaan tertentu yang menyertai
kelakuan yang bersangkutan sehingga masing-masing dapat dipikirkan sebagai
perbuatan pidana berdiri sendiri yang merupakan perbuatan-perbuatan jahat untuk
diadili terlepas satu sama lain. Apabila mengikuti pandangan yang ketiga ini berarti
tuntutan perkara yang kedua merupakan tuduhan delik lain yang dimungkinkan
untuk dituntut lagi sebagai perkara lain dan tidak bertentangan dengan aturan
pasal 76 KUHP. Putusan H.R. tahun 1932 termasuk mengikuti pandangan yang
ketiga ini.
Pendirian H.R. tahun 1932 berdasarkan pertimbangan bahwa komplek kejadian
mengenai seorang yang dalam keadaan mabuk mengemudikan motor pada waktu malam hari
tanpa penerangan lampu itu, dianggap melakukan dua perbuatan pidana karena ciri yang
melekat pada perbuatan memiliki dua ciri yang berlainan yaitu ciri yang pertama melekat pada
perbuatannya atau orangnya dalam keadaan mabok mengendarai motor, dan ciri yang kedua
melekat pada sarananya sepeda motor yang tidak dinyalakan lampunya dikendarai di jalan
umum. Terdakwa melakukan perbuatan concorsus realis (meerdaadse samenloop) untuk diadili
dengan penerapan pemberatan pidana. Menurut Pompe tentang penafsiran feit yang
didasarkan atas pendapat H.R. tahun 1932 dapat dipergunakan terhadap persoalan pasal 76
KUHP (Pompe 1959 : 551).
Pendapat Pompe yang demikian itupun belum dapat memecahkan persoalan pada
pasal 76 KUHP. Pertentangan penafsiran perbuatan dari pasal 63 - 66 KUHP masih tetap menjadi
persoalan perbarengan dalam praktek, dengan demikian berarti memindahkan saja kesulitan
serupa di bidang lain. Persoalan hukum mengenai perbarengan mempunyai titik kesamaan
dengan persoalan ne bis in idem dalam kemungkinan "tuntutan berulang-ulang" atas perbuatan
yang dianggap masuk kualifikasi rumusan delik atau peraturan hukum pidana lebih dari satu
tuduhan. Penyusunan tuduhan kumulatif atau alternatif mengurangi persoalan.
Suatu tuduhan terhadap perbuatan pencurian dengan kekerasan, jelas tidak mungkin
dipecah menjadi tuduhan pertama berupa perbuatan pencurian dan tuduhan kedua berupa
penganiayaan. Demikian pula suatu tuduhan penipuan dengan surat, juga jelas tidak dapat
dipecah dengan tuduhan pertama berupa tuduhan penipuan dan tuduhan pemalsuan surat.
Tuduhan yang kedua dari contoh-contoh ini akan terhalang oleh aturan ne bis in idem dalam
pasal 76 KUHP. Selain persoalan mengenai bentuk tuduhan alternatif seperti contoh tersebut di
atas, juga sama persoalannya mengenai waktu terjadinya perbuatan pidana (tempus delicti) dan
tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti) dalam arti kegagalan tuntutan mengenai
syarat tempat/waktu yang tidak terbukti dengan putusan 'bebas, tidak boleh diulang untuk
tuntutan kedua kalinya mengenai tempat/waktu yang lain.
2. Alasan terdakwa meninggal dunia menurut pasal 77 KUHP.
Alasan menghentikan penuntutan karena terdakwa meninggal dunia dikarenakan
adanya pandangan kesalahan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Pada masa dahulu
hak untuk menuntut perkara pidana terhadap orang yang sudah meninggal dunia masih
dapat diteruskan, dan apabila mendapat keputusan pidana denda atau perampasan
barang, dapat dibebankan kepada ahli warisnya.
Pandangan tentang dapat diteruskannya penuntutan bagi terdakwa yang telah
meninggal dunia kemungkinan masih ada gunanya apabila pemeriksaan perkara
memperoleh keputusan yang berisi "bebas dari tuduhan", dan bukan putusan berupa
pidana atau tindakan. Pokok pikiran yang demikian ini didasarkan alasan bahwa dalam
16

proses perkara pidana mempunyai landasan utama untuk mencari kebenaran hukum
secara materiel. Putusan pembebasan mempunyai arti penting memulihkan nama baik dari
persangkaan terhadap seseorang yang didakwa melanggar hukum.
Wewenang menuntut pidana menjadi hapus karena terdakwa meninggal dunia
menurut pasal 77 KUHP juga berlaku apabila penuntutan telah dimulai ketika terdakwa
masih hidup tetapi kemudian meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir perkara
pidana itu, termasuk pula terdakwa yang meninggal dunia setelah mengajukan
permohonan banding atau kasasi.
3. Alasan daluwarsa ( 78 - 81 KUHP).
Latar belakang yang mendasari daluwarsa sebagai alasan yang menghapuskan
wewenang penuntutan digantungkan pada kemampuan daya ingat manusia dan keadaan
alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak mempunyai nilai untuk
hukum pembuktian. Sejalan dengan melemahnyadaya ingat seseorang terhadap peristiwa
yang terjadi di masa yang lalu, maka kepentingan untuk melakukan penuntutan dari sisi
preverensi general juga semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut pembentuk
UU lebih memilih tidak menuntut karena daluwarsa dengan tenggang waktu tertentu,
seperti rumusan pasal 78 KUHP.
Tenggang waktu tertentu yang menjadi alasan daluwarsa penuntutan dibedakan
menurut jenisnya atau berat-ringannya perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang
terlibat perkara pidana. Semakin berat perbuatan pidana yang dilakukan semakin lama
hilangnya kesan dalam ingatan manusia, sehingga sudah sepatutnya semakin panjang
tenggang waktu daluwarsa yang diperlukan. Menurut ketentuan undang-undang
daluwarsa dibedakan kedalam empat golongan berdasarkan sifat perbuatan pidana yang
dilakukan.
1. tenggang waktu satu tahun apabila mengenai kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukan dengan percetakan;
2. tenggang waktu enam tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam pidana
denda, kurungan atau penjara paling lama tiga tahun;
3. tenggang waktu dua belas tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, dan
4. tenggang waktu delapan belas tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.
Dalam KUHP tidak ada ketentuan mengenai saat kapan tenggang waktu daluwarsa
mulai berlaku, melainkan diserahkan pada teori atau perkembangan ilmu pengetahuan
hokum. Berdasarkan teori hukum pidana tentang penentuan tempus delicti pada
umumnya diikuti pandangan bahwa perbuatan pidana ditentukan dari waktu kelakuan dan
waktu akibat, tergantung pada rumusannya' sebagai delik yang formal ataukah delik yang
materiel, atau jika tidak dapat ditentukan jenis rumusan deliknya ditentukan oleh waktu
kelakuan dimulai sampai waktu berakhirnya akibat terjadi.
Menurut pasal 79 KUHP dapat ditarik kesimpulan bahwa mulai berlakunya tentang
tenggang waktu daluwarsa dihitung pada hari berikutnya sesudah perbuatan pidana dilakukan
sesuai dengan teori tempus delicti tersebut di atas, kecuali mengenai tiga hal, yaitu:

17

1. saat hasil kejahatan pemalsuan/pengrusakan uang dipergunakan dari kejahatan


pasal 244, 253, 263 KUHP,
2. saat sesudah dibebaskan/meninggal dunia orang yang langsung menjadi korban
perampasan kemerdekaan dari kejahatan pasal 328, 329, 330, 333 KUHP, dan
3. saat penyerahan daftar Burgerlijke Stand ke panitera pengadilan sebagai
pelanggaran pasal 556, 558a KUHP.
Sepanjang perjalanan masa daluwarsa dapat terjadi penghentian daluwarsa oleh
karena tindakan penuntutan (stuiting van de verjaring, pasal 80 KUHP) dan oleh karena
penundaan daluwarsa berhubung adanya perselisihan prae-judiciil (schorsing van de verjaring,
pasal 81 KUHP).
Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asalkan tindakan itu
diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan menurut cara yang ditentukan
oleh aturan umum. Penafsiran tiap tindakan penuntutan dianggap telah jelas, namun
perkembangan doktrin masih ada perbedaan pendapat yang menyangkut pejabat penuntut
dan batasan tindakan penuntutan itu sendiri.
Pejabat penuntut diartikan jaksa selaku penuntut umum sehingga pejabat pengusut
dalam penyidikan tidak termasuk tindakan penuntutan, namun sekalipun pejabat itu jaksa jika
masih dalam urusan pengusutan untuk melengkapi penyidikan dianggap tidak termasuk
tindakan penuntutan. Tinjauan dari sudut pemikiran hukum acara pidana dan hukum pidana
materiel dapat diartikan bahwa tindakan penuntutan merupakan permintaan jaksa untuk
diadakan pemeriksaan dan putusan oleh hakim, sehingga apabila jaksa atau hakim
memandang orang yang terlibat sebagai terdakwa bukan sebagai terpidana, maka disitu masih
dalam fase tindakan penuntutan yang dimulai dari pemberitahuan oleh jaksa tentang adanya
perkara pidana kepada hakim, penahanan atau perpanjangannya yang dilakukan oleh jaksa
dan sebelum hakim mengambil keputusannya.
Tindakan penuntutan secara konkrit dalam perkara pidana ialah:
1. apabila jaksa memberitahukan kepada hakim mengenai adanya perkara pidana
yang antara lain mengirimkan daftar perkara,
2. terdakwa ditahan oleh jaksa atau perpanjangan penahanan yang dimintakan
kepada hakim, dan
3. apabila semua tindakan itu diberitahukan/diketahui oleh terdakwa, maka hal itu
ada tindakan penuntutan sebagaimana ditentukan dalam pasal 80 KUHP.
Pada masa dahulu sebelum berlaku Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pengertian tindakan penuntutan oleh jaksa itu disempitkan lagi sehubungan dengan
adanya delik aduan yang mengharuskan adanya pernyataan pengaduan. Sejak berlakunya
KUHAP yang menentukan - semua perkara pidana umum mulai tingkat awal harus melalui
wewenang Polri, sehingga dalam hal delik aduan juga harus mengikuti ketentuan itu berarti
tidak ada pengaruhnya terhadap pengertian tindakan penuntutan lagi.
Selanjutnya penundaan penuntutan yang dapat menunda jalannya daluwarsa
merupakan suatu keadaan istimewa; karena pada umumnya perkara pidana tidak mutlak
dipengaruhi oleh perkara lain yang akan diajukan kepada pengadilan. Perselisihan prae judisiil
merupakan pengecualian dalam perkara pidana karena adanya beberapa pasal tertentu dalam
KUHP yang mengisyaratkan pada perkara pidana masih membutuhkan hasil keputusan
18

pengadilan dari perkara lain. Ketentuan pasal 81 KUHP memberikan kemungkinan perkara
pidana ditangguhkan sehubungan dengan penyelesaian lebih dahulu pada perkara lain yang
menurut hukum harus diputuskan oleh pengadilan tersendiri. Kemungkinan penundaan
perkara pidana tersebut, antara lain mengenai perkara jinah pasal 284 ayat (5) KUHP
menunggu putusan cerai oleh hakim perdata, atau mengenai perkara penghinaan dengan
fitnah pasal 314 ayat (1) KUHP masih menunggu putusan penghinaan dengan
pencemaran/nista oleh hakim pidana. Demikian pula untuk perkara pasal 311 ayat (3), pasal
332 ayat (4), pasal 385 KUHP.
4. Penyelesaian di luar acara (Pasal 82 KUHP)
Wewenang menuntut perkara pidana gugur atau hapus `karena penyelesaian di luar
acara. Ketentuan Pasa 182 KUHP seringkali disebut lembaga penebusan (afkoop) atau juga
disebut lembaga hukum perdamaian (schikking) hanya dimungkinkan pada perkara tertentu
yaitu:
a. perkara pelanggaran yang diancam dengan pidana denda secara tunggal;
b. pembayaran denda harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda beserta
dengan biaya lain yang harus dikeluarkan, atau penebusan harga tafsiran bagi
barang yang terkena perampasan; dan
c. harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudah cukup, umur.
Penggunaan lembaga penebusan atau perdamaian tersebut tidak berlaku bagi orang
yang belum cukup umur pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.
Di negara Belanda pada tahun 1921 diadakan stelse transactie yang menambahkan
penyelesaian di luar acara datam pasal 74 WvS Belanda dengan pengertian yang luas
dibandingkan dengan "afkoop". Stelsel transactie harus berupa pembayaran denda yang
ditentukan tersendiri oleh penuntut umum, jadi bukan suatu pembayaran maksimum
ancaman dendanya. Penentuan pembayaran denda oleh penuntut umum inilah yang dianggap
tidak sesuai dengan kewenangan hakim memutus perkara di Hindia Belanda, sehingga tidak
masuk dalam KUHP.
5. Alasan tidak adanya' pengaduan pada delik aduan.
Beberapa delik dalam KUHP ada yang menentukan hanya dapat dituntut apabila
orang yang terkena membuat pengaduan. Sistimatika beberapa pasal KUHP tersebut memang
tidak ditempatkan dalam bab VIII buku I KUHP, namun seringkali dalam praktek keluarga
korban melaporkan kepada polisi dan pihak kepolisian segera mengadakan penyidikan agar
cukup bahan bukti, akan tetapi perkara yang cukup bahan buktinya itu setelah diajukan
penuntutan ke pengadilan dilupakan syarat permohonan pengaduan. Perkara delik aduan
yang tidak dipenuhi syarat pengaduan menjadi alasan wewenang penuntutan hapus atau
gugur.
Pembatasan penuntutan terhadap delik aduan dimungkinkan dalam hal syarat
pengaduan yang telah diajukan oleh pihak yang berkepentingan berhadapan dengan
kewenangan tidak menuntut perkara berdasarkan asas opportunitas yang diatur oleh hukum
acara pidana, karena pertimbangan untuk kepentingan umum oleh penuntut umum atau atas
nama Jaksa Agung berhak mendeponer perkara.
Delik aduan dibedakan menjadi delik aduan yang absolut dan delik aduan yang relatif.
Delik aduan yang absolut jika ada suatu, pengaduan yang bersifat umum dan dengan demikian
19

pengaduan tidak terbatas pada orang tertentu yang diadukan saja, seperti ketentuan delik
aduan pasal 284 KUHP harus diartikan pengaduan terhadap pelaku laki-laki berarti pula
pengaduan terhadap pelaku perempuan. Jurisprudensi mengenai pasal 284 KUHP kemungkinan
dipergunakan kewenangan asas opportunitas oleh penuntut umum untuk melakukan
penuntutan kepada salah satu dari peserta perjinahan berdasarkan kepentingan umum. Dalam
hukum Romawi kejahatan perjinahan hanya diajukan penuntutannya terhadap pihak pelaku
perempuan. Delik aduan yang relatif ada jika syarat pengaduan harus ditujukan kepada orang
tertentu, seperti kejahatan pencurian di kalangan keluarga menurut pasal 367 KUHP.
Menurut peraturan hukum pidana pihak yang berhak mengadu tidak selalu harus pihak
(korban) yang terkena kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasa172 - 75 KUHP kecuali
ketentuan khusus dalam pasal 284 dan pasai 332 KUHP.
6. Abolusi dan amnesti.
Pemberian abolusi menghentikan penuntutan berhubung pernyataan Presiden
terhadap orang tertentu atau segolongan tertentu yang menjadi terdakwa tentang
dihapuskannya penuntutan sebelum ada keputusan pengadilan. Pemberian amnesti adalah
pernyataan Presiden terhadap semua terdakwa dan terhukum baik yang dikenal ataupun tidak
dikenal untuk dihapuskan penuntutan dan pelaksanaan putusan pidana serta semua akibat
hukumnya.
Kewenangan amnesti dan abolusi serta rehabilitasi diberikan oleh Presiden berdasarkan
Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Drt. No. 11 tahun 1954 L.N. 1954 No.
146.
III.

GUGURNYA MENJALANI PIDANA


Putusan hakim pidana yang mempunyai kekuatan tetap wajib dijalankan, namun
karena alasan tertentu sebelum dijalankan putusan tersebut dapat menjadi gugur. Dasar hukum
yang mengatur gugurnya hak menjalankan putusan pidana yang diatur dalam KUHP karena
alasan:
(1) terpidana telah meninggal dunia,
(2) daluwarsa, dan yang diatur di luar KUHP karena putusan.
(3) grasi.
Menurut ketentuan pasal 84 KUHP daluwarsa kewenangan menjalankan putusan pidana
untuk semua pelanggaran dalam tenggang waktu 2 tahun, kejahatan percetakan dalam tenggang
waktu 5 tahun, kejahatan lainnya sama dengan ketentuan pasal 78 KUHP, kecuali untuk pidana
mati tidak ada daluwarsa. Mengenai penghentian dan peniandaan daluwarsa serta tenggang
waktu menjalani putusan pidana diatur dalam pasal 85 KUHP.
Pemberian grasi pada masa yang lalu merupakan anugerah raja, tetapi sekarang harus
diartikan sebagai pernyataan masyarakat melalui Kepala Negara berdasarkan pertimbangan
terpidana pernah berjasa bagi negara, suatu penyakit yang tidak dapat sembuh, kepentingan
keluarga dan kelakuan baik dari terpidana. Keputusan hakim tidak dapat dihapuskan, akan tetapi
melalui grasi menghapus pelaksanaan pidana untuk seluruhnya/sebagian atau mengganti jenis
pidana yang lain.

Bahan Bacaan:
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Balai lektur mahasiwa.
20

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Citra Aditya Bakti, Bandung.
-------------, Djisman Samosir, 1979, Hukum Pidana Indonesia, Sinarbaru, Bandung.
Moeljatno, 1969, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan jawab dalam Pidana Pidana, Seksi Kepidanaan
Fakultas Hukum UGM.
---------------, 1996, KUHP, Bumi Aksara
---------------, 2008, Azas-Asas hukum Pidana (edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta.
Purnomo , Bambang azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,.
Schaffmeister, Nico Keizer, PH Sutorus., 1995, Hukum Pidana, penerjemah YE Sahetapy, liberty,
Yogyakarta.
Soedarto, 1987, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang.

21

Anda mungkin juga menyukai