Anda di halaman 1dari 5

Alasan yang menghapuskan pidana umum menurut uu

dengan mengutip pendapat


filsuf Jerman, Immanuel Kant
menyatakan bahwa dalam
pandangan
hukum alam, perbuatan yang
dilakukan dalam keadaan
overmacht dianggap tercakup
dalam
hukum.
J
dengan mengutip pendapat
filsuf Jerman, Immanuel Kant
menyatakan bahwa dalam
pandangan
hukum alam, perbuatan yang
dilakukan dalam keadaan
overmacht dianggap tercakup
dalam
hukum.
J
dengan mengutip pendapat
filsuf Jerman, Immanuel Kant
menyatakan bahwa dalam
pandangan
hukum alam, perbuatan yang
dilakukan dalam keadaan
overmacht dianggap tercakup
dalam
hukum.
J
Alasan penghapusan pidana umum dibagi menjadi dua yaitu penghapusan pidana umum menurut UU
yang terdapat didalam KUHP
Alasan penghapusan pidana umum menurut undang-undang
Alasan penghapusan pidana umum menurut undang- udang terdapat dalam pasal 44 ,pasal 48, pasal 49,
pasal 50 dan pasal 51 KUHP, masing-masing alasan penghapusan pidana umum menurut undang-undang
sebagai berikut.
a. Tidak mampu bertanggung jawab
Perihal bertanggung jawab menurut KUHP tidak dirumuskan secara positif, melainkan secara
negatif, pasal 44 KUHP yang dinyatakan bertanggung jawab sebagai berikut :
1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu maka tidak dipidana

2. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan


padanya,disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu maka hakim wajib
memerintahkan orang itu kerumah sakit jiwa selama satu tahun sebagai percobaan

3. Ketentuan tersebut terdapat dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah agung, Pengadilan
tinggi dan Pengadilan Negeri

b. Daya paksa

Adanya daya paksa menjadi alasan tidak dipidananya seseorang yang melakukan perbatan pidana. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP.

Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak dapat dijumpai dalam KUHP penafsiran bisa dilakukan
dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika KUHP Belanda dibuat.

Dalam MvT (KUHP Penjelasan Belanda) dilukiskan sebagai “setiap kekuatan, setiap paksaan atau
tekanan yang tak dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, “yang tak dapat ditahan”, memberi sifat
kepada tekanan atau paksaan itu

Yang dimaksud dengan paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si
pembuat menentukan kehendaknya.

c. Keadaan darurat ( Noodtoestand)


Noodtoestand atau keadaan darurat tidak diatur dengan tegas di dalam Pasal 48 KUHP, namun
soal ini oleh doktrin juga dimasukkan dalam pengertian overmacht.
Dalam Vis compulsiva (daya paksa relatif) ada yang membedakan menjadi daya paksa dalam arti
sempit (atau paksaan psychis) dan keadaan darurat.

Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang, sedang pada keadaan darurat, paksaan itu
datang dari hal di luar perbuatan orang. K.U.H.P. kita tidak mengadakan pembedaan tersebut .

Adapun yang dimaksud dengan noodtoestand atau keadaan darurat itu adalah keadaan, dimana suatu
kepentingan hukum dalam keadaan bahaya, dan untuk menghindarkan bahaya itu terpaksa dilanggar
kepentingan hukum yang lain.

d. Pembelaan terpaksa ( noodwerr)

Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP. Pasal 49 ayat (1) berbunyi:
“tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk
membela dirinya sendiri atau orang lain, membela perikesopanan sendiri atau orang lain terhadap
serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”.

Dikatakan oleh Sudarto bahwa perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari
seseorang yang main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti tersebut dalam Pasal 49,
maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum.

Disini orang seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari
seorang warga negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan
kepada dirinya.

e. Perbelaan terpaksa melampai batas

Pembelaan terpaksa melampai batas terdapat pada pasal 49 KUHP yang berbunyi “ Pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan olehkegoncangan jiwa yang hebat
karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu: Pertama, orang
yang menghadapi serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian
mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan. Ilustrasi penulis sebagai berikut: Seorang
wanita dalam ruangan tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria tersebut berhasil
menangkap badan wanita, namun dengan sekuat tenaga wanita tersebut mendang alat vital pria
hingga terjatuh. Kemudian wanita tersebut memukulnya dengan benda-benda diskelilingnya
sampai pria tersebut tidak berdaya.

Dalam konteks tersebut Wanita melakukan dua pembelaan: pertama noodwerr dan yang kedua
noodwer exces

f. Menjalankan peraturan Undang-Undang


Pasal 50 KUHP menentukan bahwa; “Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk
melaksanakan peraturan undang-undang” Dalam kalimat ini, mula-mula H.R.. menafsirkan
secara sempit, ialah undang-undang dalam arti formil, yakni hasil perundang-undangan dari DPR
saja. Namun kemudian pendapat H.R., berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap
peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum.

Dalam hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa peraturan undang-undang itu
menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal ini
umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam
melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.

Misalnya pejabat polisi yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar
peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung di bawah
pasal 50 ini, kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya.

Jadi, perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum,
sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar.

g. Melaksanakan perintah jabatan

Pasal 51 ayat (1) dikatakan “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang sah”.

Orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain
untuk melaksanakannya.

Maka jika seseorang melakukan perintah yang sah ini, maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan
hukum.

Id damnum dat qui iubet dare ; eous vero nulla culpa est, cui parre necesse sit. Yang berarti pertanggung
jawaban tidak akan diminta terhadap mereka yang patuh melaksanakan printah, melainkan akan diminta
kepada pihak yang memberikan perintah.

Anda mungkin juga menyukai