Anda di halaman 1dari 32

BAB 6

Alasan Penghapusan Pidana

Oleh: Anjarlea Mukti Sabrina, M.H.


A. Teori Alasan Penghapusan Pidana
George P. Fletcher dalam Rethinking
Criminal Law mengemukakan ada tiga
teori terkait alasan penghapusan pidana,
yaitu :
1. Theory of pointless punishment
 Menurut teori ini tidak ada gunanya menjatuhkan
pidana pada orang gila atau orang yang menderita
sakit jiwa.
 Teori ini tidak terlepas dari ajaran Jeremy Bentham
yang menyatakan bahwa pemidanaan haruslah
bermanfaat.
 Ada tiga kemanfaatan yaitu:
a. Pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat
meningkatkan perbaikan diri pada pelakunya.
b. Pemidanaan harus menghilangkan kemampuan
untuk melakukan kejahatan.
c. Pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada
pihak yang dirugikan.
 Sebagai contoh seorang gila yang berada ditengah
keramaian kemudian melempari orang-orang di
sekelilingnya dengan batu sehingga beberapa orang
di antara mereka menderita luka-luka. Orang gila
tersebut tidak mengisyafi bahkan tidak mengerti apa
yang dilakukannya.
 Dengan demikian orang gila tersebut tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban yang membawa
konsekuensi tidak dapat dipidana. Kalaupun orang
gila tersebut dijatuhi pidana, maka tidak akan
mendatangkan manfaat sedikitpun terhadapnya.
2. Theory of lesser evils (teori peringkat
kejahatan yang lebih ringan)
 Menurut teori ini suatu perbuatan dapat dibenarkan
atas dua alasan:
a. Meskipun perbuatan tersebut melanggar aturan, namun
perbuatan tersebut harus dilakukan untuk mengamankan
kepentingan yang lebih besar. Tegasnya, tingkat bahaya
yang harus dihindari lebih besar daripada sekedar
penyimpangan dari suatu aturan.
b. Perbuatan yang melanggar aturan tersebut hanya
merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan secara
cepat dan paling mudah untuk menghindari bahaya atau
ancaman yang akan timbul.
 Contoh: mobil pemadam kebakaran yang melaju
dengan kencangnya melebihi kecepatan maksimum
yang dibolehkan. Bahkan mobil tersebut melanggar
rambu-rambu lalu lintas termasuk lampu pengatur
lalu lintas karena segera harus memadamkan api
akibat kebakaran yang terjadi di suatu tempat.
Disini kepentingan memadamkan api termasuk
penyelamatan nyawa beserta harta benda yang
mungkin timbul akibat kebakaran tersebut lebih
besar dibandingkan dengan pelanggaran yang
dilakukan mobil pemadam kebakaran terhadap
rambu-rambu lalu lintas.
3. Theory of necessary defense (teori pembelaan
yang diperlukan)
 Dalam teori ini ada empat hal yang menjadi perdebatan
mendasar:
a. Terkait penggunaan kekuatan yang dibolehkan dalam situasi
tertentu. Artinya, kekuatan yang digunakan harus sebanding
dengan serangan tersebut.
b. Kewajiban untuk menghindari. Dalam hal ini jika dapat
menghindari dari serangan tersebut, maka jalan yang demikian
haruslah ditempuh.
c. Hak pihak ketiga untuk campur tangan. Artinya, dapat saja
pihak ketiga menghalangi atau menghentikan suatu serangan
tersebut.
d. Membolehkan melawan untuk membebaskan diri dari
serangan tersebut.
Dalam Memorie van Toelichting alasan tidak
dapat dipertanggungjawabkan pidana kepada
pelaku dibedakan menjadi dua:
1. Alasan yang berada di dalam diri pelaku
(inwendige orrzaken van ontoerekenbaarheid)
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP
perihal kemampuan bertanggungjawab yang
dirumuskan secara negatif.
2. Alasan yang berada di luar diri pelaku (uitwendige
oorzaken van ontoerekenbaarheid) sebagaimana
yang tertuang dalam Pasal 48 sampai Pasal 51
KUHP.
B. Alasan Penghapusan Pidana Umum
Alasan Penghapusan Pidana Umum Menurut
Undang-Undang.
1. Alasan penghapusan pidana umum menurut
undang-undang terdapat dalam Pasal 44,
Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51
KUHP. Masing-masing alasan penghapusan
pidana umum menurut undang-undang
adalah sebagai berikut:
a. Tidak mampu bertanggungjawab.
 Pasal 44 KUHP yang menyatakan bahwa tidak
mampu bertanggungjawab, yaitu:
1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena
jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggung karena
penyakit tidak dipidana.
2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena
jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena
penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri.
 Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP dapat
ditarik kesimpulan:
1) Kemampuan bertanggungjawab dilihat dari sisi
pelaku berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat
dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit.
Menurut sejarahnya istilah jiwanya cacat dalam
tubuhnya dimunculkan karena istilah gangguan
penyakit terlalu sempit sehingga tidak mencakup
situasi kejiwaan abnormal yang merupakan sifat
bawaan dari lahir. Dalam sejarah perundang-
udangan dan keilmuan, cacat mental bawaan atau
idiot diilustrasikan sebagai cacat dalam tubuhnya
demikian pula retardasi mental atau imbecilitas.
2) Penentuan kemampuan bertanggungjawab dalam
konteks yang pertama harus dilakukan oleh
seorang psikiater.
3) Ada hubungan kausal antara keadaan jiwa dan
perbuatan yang dilakukan.
4) Penilaian terhadap hubungan tersebut merupakan
otoritas hakim yang mengadili perkara.
5) Sistem yang dipakai dalam KUHP adalah diskriptif
normatif karena disatu sisi menggambarkan
keadaan jiwa oleh psikiater, namun di sisi lain
secara normatif hakim akan menilai hubungan
antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan.
b. Daya Paksa
 Daya paksa adalah terjemahan dari overmacht.
Pasal 48 KUHP menyatakan, “Barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa,
tidak dipidana.” Dalam KUHP tidak dijelaskan apa
yang dimaksud dengan daya paksa. Tidak ada
kesatuan pendapat di antara para ahli hukum pidana
untuk menggolongkan daya paksa apakah sebagai
alasan pembenar ataukah alasan pemaaf.
 Ada beberapa postulat terkait daya paksa tersebut
adalah:
1) Quod alias non fuit licitum necessitas licitum
facit. Artinya keadaan terpaksa
memperbolehkan apa yang tadinya dilarang
oleh hukum.
2) In casu extremae necessitates omnia sunt
communia. Artinya keadaan terpaksa,
tindakan yang diambil dipandang perlu.
3) Necessitas quod cogit defendit. Artinya
keadaan terpaksa melindungi apa yang harus
diperbuat.
4) Necessitas sub lege non non continetur,
quia quod alias non est licitum necessitas
facit licitum. Artinya keadaan terpaksa
tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang
dilarang oleh hukum, namun dilakukan
dalam keadaaan terpaksa maka perbuatan
tersebut dianggap sah.
◦ Menurut Utrecht dalam MvT sebab paksa atau daya
paksa berarti suatu kekauatan, suatu dorongan, suatu
paksaaan yang tidak dapat dilawan.
◦ Van Bemmelen dan Van Hattum menyatakan bahwa
paksaan disini berarti tekanan fisik atau tekanan psikis,
paksaan itu dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan atau cara-cara yang
lain atau paksaan itu terletak dalam kodrat alam atau hal-
hal disekitar kita.
◦ Jan Remmelink dengan mengutip pendapat filsuf Jerman,
Immanuel Kant menyatakan bahwa dalam pandangan
hukum alam, perbuatan yang dilakukan dalam keadaan
overmacht dianggap tercakup dalam hukum.
◦ Jonkers membagi daya paksa menjadi tiga:
1) Daya paksa absolut, maksudnya seseorang tidak
dapat berbuat lain sebagai ilustrasi A dihipnotis
oleh B untuk membunuh C. Artinya A membunuh
C dalam keadaan dihipnotis oleh B.
2) Daya paksa relatif. Artinya kekuasaan dan kekuatan
yang memaksa orang itu tidak mutlak. Orang yang
dipaksa masih ada kesempatan untuk memulihkan
perbuatan yang mana. Sudarto memberi contoh
sorang kasir bank yang ditodong kawanan perampok
dipaksa untuk menyerahkan uang. Disini, paksaan
tersebut sebenarnya dapat dilawan, namun dari orang
yang berada dalam paksaaan itu tidak dapat
diharapkan bahwa ia akan melakukan perlawanan.
Dalam keadaan demikian berlaku adagium ignoscitur
ei qui sanguine suum qualiter redemptum voluit
artinya apapun yang dilakukan oleh seseorang karena
ketakutan akan kehilangan hidupnya, tidak akan
dihukum.
3) Keadaan darurat. Keadaan ini seseorang berada
dalam dua pilihan untuk melakukan perbuatan
pidana yang mana berdasarkan keadaan-keadaan
tertentu. Menurut Jonkers, baik daya paksa
maupun keadaan darurat merupakan alasan
pembenar dan bukan alasan pemaaf.
c. Keadaan Darurat
 Menurut Van Bemmelen dan Van Hattum perbedaan daya
paksa dan keadaan darurat adalah:
 Tipe pada daya paksa dalam arti sempit, si pelaku berbuat
atau tidak berbuat disebabkan satu tekanan psikis oleh orang
lain atau keadaan. Bagi si pelaku, tidak ada penentuan
kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psikis dari
luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan
perbuatan yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan. Dalam
keadaan darurat, sipelaku ada dalam suatu keadaan yang
berbahaya yang memaksa atau mendorong pelaku untuk
melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.
 Dalam keadaan darurat ada tiga kemungkinan yaitu:
1) Pertentangan antara dua kepentingan, tegasnya
ada konflik antara kepentingan yang satu dengan
kepentinan yang lain. Contoh klasik berasal dari
cerita Cicero tentang papan Carneades, ketika
kapal tenggelam, Carneades seorang Yunani di
zaman kuno menyelamatkan diri dengan
berpegang pada sebuah papan yang terapung di
air, namun pada saat yang sama terdapat juga
orang lain yang berpegang pada papan tersebut.
Sayangnya, papan itu hanya cukup untuk
satu orang saja. Carneades kemudian mendorong
orang tadi lepas dari papan sehingga tenggelam di
laut. Dalam konteks ini Carneades
mengorbankan kepentingan orang lain untuk
kepentingan diri sendiri, yakni menyelematkan
nyawanya. Contoh lain A dikejar oleh seekor
anjing gila. A kemudian melompat pagar
halaman B dan menginjak halaman orang lain
tanpa izin, disini kepentingan privasi B
terlanggar oleh kepentingan A yang ingin
menyelamatkan diri.
2) Pertentangan antara kepentingan dan kewajiban.
Contoh. Seseorang mencuri sebuah roti karena
sudah tidak makan selama beberapa hari.
Menurut Moeljatno disatu sisi ada kepentingan
yang mendesak untuk mendapatkan makanan,
namun sisi lain ada kewajiban untuk mentaati
aturan larangan mencuri.
3) Pertentangan antara dua kewajiban. Misalnya
seseorang dipanggil sebagai saksi di Pengadilan
X, namun pada saat yang sama orang tersebut
juga mendapat penggilan sebagai saksi di
Pengadilan Y. Tidak terpenuhinya suatu
kewajiban untuk memenuhi kewajiban yang lain.
Menurut Pompe dalam keadaan darurat hanya
ada dua kemungkinan yaitu pertentangan antara
kepentingan dan kewajiban serta pertentangan
kewajiban yang satu dengan kewajiban yang
lain.
d. Pembelaan Terpaksa
 Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP ada
beberapa persyaratan pembelaan terpaksa
yaitu:
1) Ada serangan seketika. Pengertian serangan
dalam pasal a quo adalah serangan nyata yang
berlanjut baik terhadap badan, martabat atau
kesusilaan dan harta benda.
2) Serangan tersebut bersifat melawan hukum.
Maksudnya serangan yang bertentangan atau
melanggar undang-undang.
3) Pembelaan merupakan kaharusan.
Artinya sudah tidak ada jalan lain untuk
menghindari dari serangan tersebut.
Misalnya dalam sebuah ruangan tertutup
S yang berniat membunuh T, tiba-tiba
masuk dan mengunci pintu kemudian S
dengan pisau yang terhunus mendekati T
untuk menusuknya. T kemudian
memberikan perlawanan atas tindakan S
dengan menggunakan ilmu bela diri yang
dikuasainya. Tindakan T termasuk dalam
pembelaan terpaksa karena ada serangan
seketika yang melawan hukum dan
pembelaan tersebut merupakan suatu
keharusan.
4) Cara pembelaan adalah patut. Hal ini
berkaitan erat dengan prinsip-prinsip
dalam alasan penghapusan pidana pada
umumnya termasuk juga pembelaan
terpaksa. Pertama prinsip subsidaritas
yaitu tidak ada kemungkinan yang lebih
baik atau jalan lain sehingga pembelaan
tersebut harus dilakukan, tegasnya
pembelaan tidak menjadi keharusan
selama bisa menghindar.
Kedua prinsip proporsionalitas,
artinya harus ada keseimbangan antara
kepentingan yang dilindungi dengan
kepentingan yang dilanggar. Dalam
konteks pembelaan terpaksa delik
yang dilakukan untuk pembelaan diri
harus seimbang dengan serangan
yang dihadapi.
Ketiga prinsip culpa in causa. Artinya
seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang
oleh orang lain secara melawan hukum, tidak
dapat membela diri karena pembelaan terpaksa,
contoh A menghina B secara lisan kemudian
B menghampiri A dan hendak menamparnya.
Ketika B hendak menampar A dengan seketika
A memukul B sehingga terjatuh. Tindakan A
tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa
karena ulah A sendiri yang mengakibatkan
B menamparnya.

Anda mungkin juga menyukai