Anda di halaman 1dari 14

Nama : Beni Aulia Abdilah

NIM : E3117032

Mata Kuliah : Hukum Pidana

A. KESALAHAN
1. Pemidanaan perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah. Disini berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan
atau yang terdapat dalam pasal 6 ayat 2 Undang-undang kekuasaan kehakiman (UU.
No.14/1970) berbunyi : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah
atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”. Asas kesalahan itu dahulu tidak diakui
secara umum, pidana dijatuhkan hanya melihat kepada perbuatan yang merugikan
atau yang tidak dikehendaki, tanpa memperhatikan sikap batin si pembuat. Soal
kesalahan ada hubungannya dengan kebebasan kehendak ada 3 pendapat dari :

a. kaum indeterminis : manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab
dari segala keputusan kehendak
b. kaum determinis : bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas, keputusan
kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak
c. golongan ketiga : kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidaknya
kehendak bebas

2. kesalahan sebagai pengertian hukum yaitu bahwa kesalahan itu mengandung


unsure pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana
3. Arti kesalahan dapat disamakan dengan pertanggung jawaban dalam hokum
pidana. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan
kealpaan
Unsure unsur dari kesalahan terdapat beberapa unsur yaitu :

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab


b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya
c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan
Kalau ketiga unsure ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah
atau mempunyai pertanggungan jawab pidana sehingga bisa dipidana. Dua
pasangan dalam syarat pemidanaan ialah adanya :
1. Dapat dipidananya perbuatan
2. Dapat dipidananya orangnya atau pembuatnya

B. KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB


1. Pengertian Kemampuan bertanggung jawab

Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis
sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat
dari sudut umum maupun dari orangnya.” Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu
bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yakni apabila:

a. ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertantangan dengan


hukum.

b. ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan
kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan:

a. mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.

b. mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak
dibolehkan.

c. mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu.


KUHP tidak memuat perumusan mengenai kapan seseorang mampu bertanggung jawab. Di
situ dimuat ketentuan yang menujuk kearah itu, ialah dalam buku I bab III pasal 44 yang
berbunyi : “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu jiwanya karena penyakit,
tidak dipidana.

2. Isi pasal 44

Jika pasal 44 itu diteliti, maka terlihat 2 hal:

a. penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat.

b. adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa sipembuat dengan perbuatannya.

Tidak dapat dimasukkan dalam pasal 44 tersebut cacat kemasyarakatan, misalnya keadaan
seseorang yang karena kurang pendidikan atau terlantar menjadi liar atau kejam. Tidak dapat
dimasukkan pula keadaan seseorang yang mempunyai watak yang sangat perasa dan mudah
tersinggung.

3. Tidak mampu bertanggung jawab untuk sebagian

Jenis tidak mampu bertanggung jawab untuk sebagian, missal:

a. kleptomanie, ialah penyakit jiwa yang berujud dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk
mengambil barang orang lain, tetapi tak sadar bahwa perbuatannya terlarang.

b. pyromie, ialah penyakit jiwa yang berupa kesukaan untuk melakukan pembakaran tanpa
alasan sama sekali.

c. claustrophobie, ialah penyakit jiwa yang berupa ketakutan untuk berada di ruang yang
sempit.

d. penyakit yang berupa perasaan senantiasa dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.

Kalau antara penyakit dan perbuatannya tidak ada hubungannya, maka mereka tetap dapat
pidana.
4. Kekurangan kemampuan untuk bertanggung jawab.

Terdakwa yang dianggap “kurang mampu bertanggung jawab” tetap dianggap mampu
bertanggung jawab dan dapat dipidana, akan tetapi faktor itu dipakai sebagai faktor untuk
memberikan keringanan dalam pemidanaan.

5. Tempat unsur kemampuan bertanggung jawab dalam rangka pembicaraan


tentang tindak pidana.

Kemampuan bertanggung jawab itu merupakan syarat untuk pertanggungan jawab


pidana; jadi menurut pandangan yang dualistis tentang syarat-syarat pemidanaan, bukannya
unsur dari tindak pidana.

6. Keadaan mabok (intoxication, dronkenschap).

Alkohol dapat menyebabkan intoksikasi (keracunan, kebiusan) dari otak. Minuman


itu seolah-olah mengakibatkan psychoseacuut, dengan tanda cirinya antara lain
euphorie,gembira,kehilangan rem-rem moril,kurang kritik terhadap diri sendiri,merasa
dirinya hebat,memandang sepele terhadap bahaya,konsentrasi yang sedikit,pendek kata
keadaan jiwa (psychis),yang menjurus ketidak mampuan bertanggung jawab atau kekurangan
kemampuan untuk itu. Tingkat kemabokan sukar ditentukan secara pasti, oleh karena itu
tidak dapat dijadikan ukuran untuk menetapkan mampu dan tidak mampunya bertanggung
jawab seseorang.

7. Batas mampu dan tidak mampu bertanggung jawab.

Dari apa yang diuraikan di atas, maka tidaklah mudah untuk menentukan batas yang
tegas antara mampu bertanggung jawab dan tidak mampu beratnggung jawab,sebab
beralihnya keadaan yang satu ke-keadaan yang lain itu “berangsur-angsur”.

8. Bagaimanakah apabila ada keragu-raguan tentang kemampuan bertanggung


jawab dari seorang tersangka ?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
a. Si-pembuat tetap dapat dipidana.
b. Si-pembuat tidak dipidana,karena dianggap tidak mampu bertanggung jawab.
9. Menurut pasal 44 ayat 2 KUHP

Apabila tersangka ternyata tidak mampu bertanggung jawab karena keadaan-keadaan


yang disebut dalam ayat (1) maka Hakim dapat memerintahkan agar ia dimasukkan dalam
rumah sakit jiwa selama suatu masa percobaan, yang tidak melebihi waktu satu tahun.

C. KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)


1. unsur kedua dari kesalahan
dalam arti yang seluas-luasnya adalah hubungan batin antara sipembuat terhadap
perbuatan, yang dilecehkan kepada sipembuat itu. Hubungan batin ini bisa berupa sengaja
atau alpa.
2. Teori-teori kesengajaan.

Berhubungan dengan keadaan batin seorang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi
menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut
2 teori sebagai berikut:

a. Teori kehendak
b. Teori pengetahuan atau membayangkan

3. Corak kesengajaan

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 2 corak
sikap batin yaitu:

a. Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan


b. Kesengajaan dengan sadar kepastian
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan
Corak kesengejaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana.
Perbuatan sipembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau
akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian.

4. Teori apa boleh buat


Diatas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan bagaiman sikap batin seseorang
yang melakukan perbuatan tidak disengaja. Bagaimanakah menerangkan adanya kesengajaan
dengan sadar kemungkinan

Dalam teori ini keadaan batin sipembuat terhadap pembuatanya adalah sebagai berikuit:

a. Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan
kemungkinan timbulnya akibat itu.
b. Akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan/akibat itu
timbul, apa boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti berani memikul resiko.

5. Kesengajaan yang di “objektif” kan


Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang kesengajaan sipembuat adalah dengan
melihat bagaimana sikap batinya terhadap perbuatan ataupun akibat perbuatanya. Maka sikap
batinya harus disimpukan dari kelahiran, yang tampak dari luar.

6. Kesengajaan berwarna dan tidak berwarna


Apakah itu sipembuat harus menyadari bahwa perbuatanya itu dilarang?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat yaitu:
a. Sifat kesengajaan itu berwarna
b. Tidak berwarna

 Pendirian yang pertama mengatakan, bahwa kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan


mencakup pengetahuan sipembuat bahwa perbuatanya melawan hukum, harus ada
hubungna antara keadaan batin sipembuat dengan melawan hukumnya perbuatan
 Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka ini berarti bahwa untuk
adanya kesengajaan cukuplah bahwa sipembuat itu menghendaki perbuatan yang
dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatanya terlarang/sifat melawan hukum.

7. Kekliruan atau kesesatan

Kebalikan dari sengaja adalah tidak sengaja, dan dalam tidak sengaja ini ada keadaan
batin yang disebut kesesatan atau salah kira.
8. Error in objecto dan in persona

Kekeliruan mengenai objeknya dan mengenai orangnya. Kalau objek itu


“gleichwertig” atau nilainya/sifat, sama maka kekeliruan itu tak menguntungkan tersangka
tetapi kalau objeknya berbeda secara hakiki maka tersangka tidak dapat dipidana.

9. Aberratio

1. A menembak B tapi B mengelak dan kena C sehingga mati

Kualifikasi: a.Percobaan pembunuhan terhadap B

b.menyebabkan matinya C karena kealpaanya atau mungkin juga dolus eventualis terhadap
matinya C

2. lempar pisau meleset, pisau berobah arah lalu mengenai B

10. Delik putatif

Kebaikan dari kesesatan tersebut diatas ialah apabila sesorang mengira bahwa ia
melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan dapat dipidana. Ini disebut delik putatif

11. Unsur kesengajaan dalam rumusan delik

Dalam KUHP. Kita tidak ada ketentuan tentang makna kesengajaan Rumusan delik
dalam undang-undang ada yang memuat unsur kesengajaan dengan tegas-tegas dan memakai
perkataan “dengan sengaja” atau istilah lain dan ada pula yang tidak mencantumkanya
dengan tegas-tegas, namun dari perkataan-perkataan yang digunakan itu dapat ditarik
kesimpulan keharusan adanya kesengajaan pada sipembuat.

12. Unsur melawan hukum yang subjektif

Pada delik-delik yang membuat unsur-unsur, misalnya delik pencurian, pemalsuan


surat, ialah yang disebut “Tenden-delikte” atau “Absicht delikte” pendapat bahwa unsur
tersebut bukanya unsur kesengajaan melainkan ”unsur melawan hukum yang subjektif”.
13. Hal-hal apakah yang diliputi oleh unsur kesengajaan?

Kesengajaan sipembuat harus ditujukan kepada unsur yang manakah dari rumusan
undang-undang itu? Sampai dimanakah luas kehendak antara lain, bahwa “unsur unsur delik
yang terletak dibelakang perkataan opzettelijk dikuasai atau diliputi olehnya”

14. Bagaimana kalau KUHP menggunakan synonim dari kesengajaan?

Kenyataan ialah bahwa KUHP. Yang ada sekarang adalah terjemahan dari W.v.S oleh
karena itu pedoman yang diberikan oleh M.v.T tidak bisa diabaikan begitu saja

Persoalan lain adalah: bagiamana jika pembentuk undang-undang menggunakan synoniem


(perkataan pengganti) dari opzet? Misalnya yang ia ketahui dan sebagainya?

Dalam hal ini bisa dipakai pedoman yang sama seperti pada perkataan “sengaja” jadi
perkataan tersebut meliputi unsur-unsur yang terletak dibelakangnya.

15. Bagaimana kalau tidak digunakan perkataan sengaja?

Soal yang membawa kesukaran ialah jika pembentuk undang-undang tidak


menggunakanperkataan senagaja, melankan kata kerja yang memuat perbuatan dimana
tersimpul adanya kesengajaan misalnya pada fasal-fasal:

160: penghasutan

167: mengganggudengan kekerasan rumah

175: mengganggu dengan kekerasan peremuan keagamaan yang telah mendapat izin

212: daga

16. Dalam KUHP. (Teks belanda), dalam merumuskan sesuatu delik, terdapat penyebutan
unsur melawan hukum disamping unsur kesengajaan, tetapi ada yang tepat berdampingan,
ialah sengaja melawan hukum dan ada yang menyisipkan perkataan dan diantara perkataan
sengaja dan perkataan melawan hukum, jadi dirumuskan sebagai sengaja dan melawan
hukum.
17. Bagaimanakah sikap Prof. Muljanto dalam menterjemahkan wetboek van strafrech
it?

Dari kedua terjemhan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Prof. Muljanto perkataan
sengaja dan perkataan melawan hukum tidak mempunyai arti.

Lalu dapat diajukan pertanyaan dalam hal tersebut kesengajaan si pembuat harus
meliputi unsur sifat melawan hukum?

Mengingat bahwa Prof. Muljanto berpendeirian bahwa kesengajaan itu berwarna, maka
dengan sendirinya unsur sifat melawan hukum itu harus dikuasai oleh unsur kesengajaan.
Pembuat harus tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan hukum.

18. Macam-macam kesengajaan.

Dalam ilmu pengtahuan dikenal beberapa macam kesengejaan.

a . Dolus premeditatus

Ini terdapat dalam delik-delik yang dirumuskan dalam fasal 353,340,342 K.U.H.P.
Dalam delik-delik ini terdapat usnur-unsur dengan rencana lebih dahulu istilah tersebut
meliputi bagaimana terbentuknya “kesengajaan” dan bukan merupakan corak atau tingkat
kesengajaan.

b. Dolus determinatus dan indeterminatus

unsurnya ialah pemdirian bahwa kesengajaan dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus
determinatus, pembuat misalnya menghendaki matinya orang tertentu, sedang pada dolus
inderteminatus pembuat misalnya menembak kaerah grombolan orang, atau menembak
penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak mau disuruh berhenti, atau meracun
reservoir air minum dan sebagainya.

c. Dolus alternativus

Dalam hal ini, sipembuat menghendaki atau A atau B, akibat yang satu atau yang lain.

d. Dolus indirectus, Versari in re illicita


Ajaran tentang dolus indirctus mengatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang
disengaja dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang
ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang.

e. Dolus directus

Ini berarti bahwa kesengajaan sipembuat tidak hanya ditujukan kepada perbuatanya,
melainkan juga akibat perbuatanya.

f. Dolus generalis

Pada delik ini materiil harus ada hubungan kasual antara perbuatan terdakwa dan
akibat yang tidak dikehendaki undang-undang.misalkan sesorang yang bermaksud untuk
membunuh orang lain telah melakukan serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan
kemdian melemparkanya kedalam sungai. Menurut otopsi matiny aorang ini disebabkan
karena tenggelam, jadi pada waktu di lempar kae air belum mati. Menurut ajaran kuno disiini
ada dolus generalis, ialah harapan dari terdakwa secara umum agar orang yang dituju itu
mati, bagaimanapun telah tercapai.

g. KEALPAAN

1. Syarat utyama untuk dapat di pidananya sesorang ialah adanya kesalahan pada orang
itu. Kesalaham disini mempunyai arti seluas luasnya, ialah dapat dicelanya pembuat tersebut.

2. dalam buku ke II K.U.H.P. terdapat beberapa fasal yang memuat usur kealpaan. Ini
adalah delik delik culpa. Delik delik itu dimuat antara lain:

188: karena kealpaanya menimbuulkan peletusan, kebakaran,dst

231(4): karena kealpaanya sipenyimpan menyebabkan hilangnya dan sebagianya barang yang
disita

359: karena kealpaanya menyebabkan matinya orang

360: karena kealpaanya menyebabkan orang luka berat dsb

409: karena kealpaanya menyebabkan alat-alat perlengkapan (jalan kereta api dsb) hancur.
3. Apakah alasan pembentuk undang-undang mengncam pidana perbuatan yang
mengandung unsur kealpaan disamping unsur kesengajaan?

Menurut M.v.T adalah sebagai berikut:

Ada keadaan yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang atau
mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat
diperbaiki lagi.

4. Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)

K.U.H.P tidak memberi definisi seperti juga halnya pada kesengajaan. Menurut M.v.T
kealpaan di satu fihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan di fihak lain dnegan
hal yang kebetulan. Kealpaan merupakan bentuk kesalhan yang lebih ringan daripada
kesengajaan akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan.

5. Menetapkan adanya kealpaan seseorang

Kealpaan seseorang harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis.

6. Beberapa keputusan hakim

a. putusan (Hukum 1952 no.2) Pengadilan Negeri Pontianak

satu kapal motor sungai diberi muatan terlalu penuh.

b.Kasus yang dibicarakan dalam bab kausalitas (I.T.R.147,halaman 865)

seorang pengendara sepeda sekonyong-konyong memotong jalan sehingga pengemudi


mobil yang hendak menghindari tabrkan mengerem mobil dengan tiba-tiba pula.

7. Kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari.

Pada dasarnya orang berfikir dan berbuat secara sadar. Pada delik colpus kesadaran
dipembuat tidak berjalan secara tepat. Dan akibatnya berupa hal yang tidak dihendaki oleh
pembentuk undang-undang, maka dapat terjadi apa yang disebut

a. Kealpaan yang disadari


b. Kealpaan yang tidak disadari

8. Delik “pro parte dolus, pro parte cuipa”

Delik-delik yang dirumuskan dalam fasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik delik
culpoos dalam arti yang sesungguhnya.

Disamping itu ada delik-delik yang didalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan
kealpaan sekaligus, sedang pidananya sama misalnya: fasal 480, fasal 483, 484, fasal 287 288
292.

9. Apakah kealpaan orang lain dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa?

Tidak dapat. Karena dalam kasus inipun tidak boelh dilihat kealpaan orang lain, akan tetapi
tetap harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan.

10. Persoalan kesalahan pada tindak pidana berupa pelanggaran.

Pada tindak pidana berupa kejahatan diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan.
Dalam undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas atau dapat tersimpul dari kata
kerja dalam rumusan tindak pidana itu

11. Suatu yurisprudensi yang penting untuk perkembangan hukum pidana

Arrest H.R tanggal 14 februari 1916 (arrest air dan susu).

12.Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum pidana

Dengan arrest itu, maka Ajaran fait materiel pada pelanggaran ditinggalkan.

13. Fasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU no 7 th 1955).

Dalam hukum positif kita ada ketentuan yang unik yag terdapat dalam undang-undang
tindak pidana ekonomi. Disini sikap batin pembuat dijadikan ukuran untuk menentukan
apakah sesuatu tindak pidana yang dilakukanya itu berupa kejahatan atau pelanggaran.

D. ALASAN PENGHAPUS PIDANA

K.U.H.P memuat dalam nuku I Bab III alasan alasan yang menghapuskan,
mengurangkan dan memberatkan pidana. Pembicaraan selanjutnya akan mengenai alasan
penghapus pidana, ialah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan
yang memnuhi rumusan tindak pidana.

I. ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM K.U.H.P

1. TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB

Pasal 44 KUHP. Memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana sesorang yang
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang
sempurna akal jiwanya atau terganggu karena sakit.

2. DAYA PAKSA (OVERMACHT)

Pasal 48: 48: tidak dipidana sesorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya
paksa

Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa
dilakukan dengan meliat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika Kitab Undang
Undang itu dibuat.

3. KEADAAN DARURAT

Dalam Vis compulsiva kita bedakan daya paksa dalam arti sempit dan keadaan
darurat. Daya paksa dalamDalam Vis compulsiva kita bedakan daya paksa dalam arti sempit
dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada
keadaan darurat paksaan itu datang dari hal diluar perbuatan orang. K.U.H.P kita tidak
mengadakan pembeaksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan
darurat paksaan itu datang dari hal diluar perbuatan orang. K.U.H.P kita tidak mengadakan
pembedaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai