Anda di halaman 1dari 26

BAB V

DASAR-DASAR PENIADAAN, PEMBERATAN


PERINGANAN DAN HAPUSNYA HAK UNTUK MENUNTUT DAN
MENJALANKAN PIDANA

Tujuan Umum Pembelajaran


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami hal-hal
yang menjadi dasar peniadaan, pemberatan, peringanan, hapusnya hak untuk menuntut dan
menjalankan pidana.

Tujuan Khusus Pembelajaran


Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan perbedaan antara alasan pemaaf dan pembenar dari peniadaan pidana
2. Menjelaskan dasar tidak dipidananya seseorang karena adanya ketidakmampuan
bertanggung jawab si pembuat, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer),
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess), menjalankan perintah
Undang-undang, melaksanakan perintah jabatan yang sah dan karena menjalankan
perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik
3. Menerangkan hal-hal apa saja yang meyebabkan diperberatnya hukuman
4. Menerangkan dasar-dasar yang menyebabkan diperingannya pidana umum
5. Mengungkapkan dasar-dasar peniadaan pidana yang terdapat di luar KUHP
6. Menjelaskan dasar-dasar hapusnya hak untuk menuntut dan menjalankan pidana oleh
negara
A. DASAR DASAR PENIADAAN PIDANA
Pembentuk undang-undang dalam beberapa rumusan delik merumuskan alasan
penghapus pidana yaitu keadaan khusus yang jika dipenuhi menyebabkan tidak dapat
dijatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana.
Menurut Adami Chazawi, dasar-dasar peniadaan atau penghapusan pidana
(strafuitslutingsgronden) di dalam KUHP dibedakan antara yang bersifat umum dan
khusus.1

1. Dasar-dasar Peniadaan Pidana yang bersifat umum


Tidak dipidananya seseorang atas pelanggaran ketentuan pidana yang bersifat umum
disebabkan tidak dapat dituntutnya si pembuat (vervolgingsuitslutingsgronden) karena alasan
pemaaf dan dihapuskannya perbuatan si pembuat karena alasan pembenar.
Pada hal yang disebutkan pertama (strafuitslutingsgronden), jaksa penuntut umum telah
mengajukan surat dakwaan. Terdakwa telah diperiksa dalam sidang pengadilan, bahkan telah
diajukannya requisitoir (tuntutan) oleh Jaksa Penuntut, dan telah terbukti terwujudnya tindak
pidana itu oleh si pembuat. Namun, karena terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
dipidananya si pembuat, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana (veroordering) kepadanya,
1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 16.
melainkan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtvervolging). Putusan itu dijatuhkan terhadap pokok perkaranya atau terhadap tindak
pidana yang didakwakan.2
Bab III KUHP menentukan tujuh alasan (dasar) yang menyebabkan tidak dapat
dipidananya si pembuat ini, ialah:
a. adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat, (Pasal 44 ayat (1))
b. adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48)
c. adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat (1)
d. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexcess, Pasal 49 ayat
(2))
e. karena sebab menjalankan perintah UU (Pasal 50)
f. karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1))
g. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik (Pasal 51
ayat (2))
Dari tujuh alasan tersebut di atas, kemudian dibagi menjadi dua alasan, yaitu:
1. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden)
Alasan ini bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai
sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Alasan pemaaf ini terdiri dari:
a. ketidakmampuan bertanggung jawab
b. pembelaan terpaksa yang melampaui batas
c. menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik
2. Alasan pembenar (rechtsvaardingingsgronden)
Alasan ini bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar
batin si pembuat. Alasan pembenar ini terdiri dari:
a. adanya daya paksa
b. adanya pembelaan terpaksa
c. sebab menjalankan perintah UU
d. sebab menjalankan perintah jabatan yang sah
Ada beberapa perbedaan antara alasan pemaaf dengan alasan pembenar yaitu: pada
alasan pemaaf si pelaku tidak dipidana meskipun perbuatannya terbukti melanggar undang-
undang. Artinya perbuatannya itu tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau
hapusnya kesalahan pada diri si pelaku, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya atau si pelaku dimaafkan atas perbuatannya tersebut. Contohnya orang gila yang
melakukan pembunuhan atau perkosaan.
Sedangkan pada alasan pembenar, tidak dipidananya si pelaku karena perbuatannya
dibenarkan atau perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya, meskipun
kenyataannya perbuatan si pelaku telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana tetapi karena
hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pelaku tidak dapat dipidana.
Contohnya, seorang algojo yang mengeksekusi mati terhukum pidana mati karena
menjalankan perintah jabatan.

2
Ibid. hal. 17.
Lebih lanjut akan dijelaskan alasan-alasan pemaaf dan pembenar menurut undang-
undang di bawah ini.
1. Alasan pemaaf karena kemampuan bertanggung jawab
Pasal 44 KUHP merumuskan:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pembuatnya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit,
maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam
rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1), jelas ada dua penyebab tidak dipidananya
karena tidak mampunya bertanggung jawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak
pidana, yaitu:
1) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya
2) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit
Apakah yang dimaksud dengan tidak mampu bertanggung jawab? Undang-undang
sendiri tidak memberi tidak memberi keterangan yang lebih jelas tentang tidak mampu
bertanggung jawab. Di dalam Memorie van Toelighting (MvT), ada keterangan mengenai
ketidakmampuan bertanggung jawab, yaitu:
1) apabila si pembuat tidak memiliki kebebasan untuk memilih antara berbuat dan
tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.
2) Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga dia
tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan
tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
Pasal 44 ayat (1) tidak merumuskan arti tidak mampu bertanggung jawab, melainkan
sekadar menyebut tentang dua macam keadaan jiwa orang yang tidak mampu bertanggung
jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu tidak dijelaskan mengenai kapan
keadaan orang yang mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya.
Sementara itu, tidak dijelaskan mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung
jawab. Berpikir sebaliknya dari ketentuan Pasal 44 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa orang
mampu bertanggung jawab atas perbuatannya ialah bila dalam berbuat itu, tidak terdapat dua
keadaan sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut.
Alasan undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara negatif,
artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab dan bukan
mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk undang-undang yang
menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab. Dengan berpijak pada
prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim maka dalam hal kemampuan
bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa
seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana karena melakukan
perbuatan. Dalam praktik hukum, sepanjang si pembuat tidak memperlihatkan gejala-gejala
kejiwaan abnormal, keadaan jiwa tidak dipermasalahkan. Sebaliknya, ketika tampak gejala-
gejala abnormal, gejala-gejala itu akan diselidiki apakah gejala-gejala yang tampak itu benar
dan merupakan alasan pemaaf sebagimana dimaksudkan oleh Pasal 44 (1).3
Keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab seperti yang sudah diuraikan
diatas adalah bersifat umum (permanent insanity). Sedangkan yang sifatnya khusus
(temporary insanity) berkaitan erat dengan perbuatan itu sendiri serta keadaan-keadaan
objektif dan atau subjektif tertentu ketika seorang itu berbuat. Orang yang tidak mampu
bertanggung jawab secara khusus ini, ialah:
a) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak bebas untuk
menentukan kehendaknya terhadap perbuatan apa yang dia lakukan;
b) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak mengerti, tidak
menginsyafi atas suatu perbuatan yang dilakukannya itu sebagai perbuatan yang
tercela;
Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat
untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggung
jawabm yaitu:
1) dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan
yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmampuan bertanggung
jawab.
2) Dengan metode psikologis, artinya dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada
yang kemudian dari ciri-ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu
mampu bertanggung jawab ataukah tidak;
3) Dengan metode gabungan, kedua cara tersebut di atas digunakan secara bersama-
sama. Di samping menyelidiki tentang gejala gejala abnormal juga dengan meneliti
ciri-ciri psikologis orang itu untuk menarik kesimpulan apakah dia mampu
bertanggung jawab ataukah tidak.

2. Daya Paksa (Overmacht)


Alasan peniadaan pidana karena adanya daya paksa (Overmacht) dirumuskan dalam
Pasal 48 KUHP yang menyatakan, bahwa “barangsiapa yang melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.”
Pada umumnya pakar hukum lebih banyak menggunakan istilah daya paksa untuk
menerjemahkan istilah overmacht. Namun ada juga pakar hukum yang menggunakan
istilah lain seperti Surjanatamihardja dengan “berat lawan” atau Jusuf Ismail dengan
kalimat yang agak panjang yakni “terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak
dihindarkan” (Roeslan Saleh, 1963:77), atau “hal memaksa (Wirjono Prodjodikoro,
1981:75), “kekuatan yang tidak dapat dihindarkan” (Schravendijk, 1955:143), “paksaan
yang menimbulkan keadaan tak berdaya (Satochid: 446).4
1) Pengertian Daya Paksa
3
Ibid. hal. 21.
4
Dalam Adami Chazawi, Ibid. hal. 28.
Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang daya paksa.
Menurut Memorie van Toelichting (MvT) daya paksa adalah “setiap kekuatan, setiap
dorongan, setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”. Dalam daya paksa ini bukan
merupakan suatu dorongan yang menyebabkan pelaku secara fisik tidak bisa memilih
selain apa yang harus dia lakukan melainkan suatu tekanan yang menyebabkan sifat
suatu perbuatan dari perbuatannya menjadi hilang karena dibawah paksaan sehingga
dia tidak bisa berbuat lain kecuali apa yang harus dia lakukan.
Jadi overmacht adalah suatu pengertian yang normatif dimana seseorang karena
ancaman bahaya dipaksa melakukan suatu perbuatan pidana walaupun dia tidak
menghendaki melakukan perbuatan tersebut. Contohnya seorang teller yang diancam
oleh seorang perampok bersenjata untuk menyerahkan uang yang ada padanya tidak
ada pilihan lain selain menyerahkan uang tersebut. Contoh klasik dapat kita temukan
pada kasus tenggelamnya sebuah kapal dimana terdapat sebuah papan yang
diperebutkan oleh dua orang dimana papan tersebut hanya bisa menyelamatkan satu
orang saja. Oleh karena itu salah satu dari mereka harus membunuh yang lainnya agar
bisa selamat. Pembunuhan tersebut tidak dapat dipidana.
Dari keterangan dalam MvT tentang daya paksa, dapatlah diketahui bahwa daya
paksa dapat terjadi karena tekanan psychis dan tekanan fisik. Istilah dorongan
(gedrongen) menunjuk pada tekanan psychis, dan paksaan (dwang) menunjuk pada
tekanan yang bersifat fisik.5 Namun, orang tidak mengetahui dasar penghapus pidana
tersebut apakah terletak atau melekat pada perbuatannya atau pada sipembuatnya,
salah satu hal yang penting dalam keadaan daya paksa ini.
2) Macam Daya Paksa
Dalam doktrin hukum dapat dibedakan antara 2 macam daya paksa, ialah:
a) daya paksa absolut
b) daya paksa relatif
Apabila dilihat dari segi dari mana asalnya tekanan dan paksaan itu maka
masing-masing bentuk daya paksa tersebut diatas dapat dibedakan lagi, antara:
a) daya paksa dari sebab perbuatan manusia
b) daya paksa dari sebab diluar perbuatan manusia, ialah sebab alam atau binatang
Apabila dilihat dari sifatnya tekanan dan paksaan, maka baik daya paksa absolut
maupun relatif dapat dibedakan:
a) daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat pisik
b) daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat psychis
Contoh daya paksa absolut yang berupa paksaan fisik (oleh perbuatan manusia),
ialah seorang yang kuat menerjang seorang anak yang berdiri dekat kaca, membuat
anak itu terpental dan mengenai kaca dan pecahlah kaca itu. Contoh daya paksa
absolut oleh adanya paksaan psychis dari perbuatan manusia, seorang yang berada
dalam keadaan dihipnotis diperintah oleh hypnotiseur untuk berbuat membakar
sebuah mobil milik musuhnya. Contoh daya paksa absolut karena alam ialah
5
Jonkers, J.E., Hukum Pidana Hindia Belanda, (Judul asli: Handboek van het Nederlandsch Indische
Strafrecht), Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 261.
seseorang dipanggil sebagi ahli untuk memberikan keteranngan di sidang pengadilan
pidana, tidak dapat hadir karena pada saat sebelum berangkat hendak memenuhi
panggilan itu rumahnya disambar petir dan dia tak sadarkan diri akibat luka bakar
yang dideritanya.
Sedangkan daya paksa yang dimaksud oleh Pasal 48 adalah daya paksa relatif
baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat psychis baik yang karena perbuatan
manusia maupun yang bukan. Daya paksa relatif yang bersifat fisik disebut dengan
noodstand atau keadaan darurat, suatu daya paksa yang disebabkan oleh alam. 6 Daya
paksa relatif sebagaimana tersebut dalam Pasal 48 adalah suatu paksaan yang
sedemikian rupa menekan seorang sehingga ia berada dalam suatu keadaan yang
serba salah, suatu keadaan mana memaksa dia mengambil suatu sikap dan berbuat
yang pada kenyataannya melanggar undang-undang, yang bagi setiap orang normal
tidak akan mengambil sikap dan berbuat lain berhubung dengan resiko dari pilihan
perbuatan lain itu lebih besar terhadap dirinya. Mengorbankan kepentingan hukum
yang lebih kecil demi untuk melindungi atau mempertahankan kepentingan hukum
yang lebih besar, inilah prinsip dari daya paksa menurut arti Pasal 48.
Bahwa apa yang sudah diterangkan diatas, kiranya senada dengan apa yang
dikemukakan oleh Hoge Raad dalam arrestnya (12-6-1951) yang menyatakan bahwa
“overmacht terdapat bilaman paksaan itu menjadi begitu kuat dan dijalankan terhadap
suatu kepentingan tertentu, sehingga dari pembuat tidak dapat diharapkan
mengadakan suatu perlawanan, yaitu apbila jalan keluar lain tidak terbuka atau
pelanggaran terhadapnya secara patut dapat diharapkan dan selanjutnya, jikalau dalam
meyelamatkan kepentingan sendiri tidak menghasilkan korban yang lebih besar”.7
Dengan demikian daya paksa adalah sebagi setiap daya, setiap dorongan atau
setiap paksaan yang tidak dapat dilawan baik secara fisik maupun psikis.
3) Keadaan Darurat (Noodtoestand)
Keadaan darurat adalah suatu daya paksa relatif dari sebab di luar perbuatan
manusia, jadi bagian dari daya paksa relatif. Namun menurut Jonkers keadaan darurat
itu adalah berdiri sendiri, di mana daya paksa menurut beliau adalah (1) daya paksa
absolut, (2) daya paksa relatif dan (3) noodtoestand.
Keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum
terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan
perbuatan yang pada kenyataannya melanggar kepentingan hukum yang lain.
Contohnya untuk menolong anak kecil yang terperangkap api dalam sebuah rumah
yang sedang terbakar (kepentingan hukum atas anak itu sedang terancam), maka
seorang merusak sebuah pintu rumah (melanggar kepentingan hukum atas hak milik
orang) untuk menolong anak itu.
Keadaan terpaksa dapat dibagi tiga macam:
a. dalam hal terjadi pertentangan antara dua kepentingan hukum

6
Soedarto, Op.Cit. hal. 42.
7
Zainal Abidin, Op.Cit., hal. 194.
b. dalam hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum dengan kepentingan
hukum
c. dalam hal terjadinya pertentangan antara dua kewajiban hukum.

3. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)


Perihal pembelaan terpaksa (noodweer) dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP
sebagi berikut:
“ tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri atau orang lain , kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun
orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum
pada ketika itu juga.”
Berdasarkan rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan ada dua unsur
pembelaan terpaksa, yaitu:
a. Unsur syarat adanya pembelaan terpaksa, terdiri dari:
1) pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa;
2) untuk mengatasi daya serangan atau ancaman serangan seketika yang
bersifat melawan hukum;
3) serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada (tiga) kepentingan
hukum, ialah kepentingan hukum atas; badan, kehormatan kesusilaan dan
harta benda sendiri atau orang lain;
4) harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya
serangan atau bahaya masih mengancam;
5) perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam.
Kelima syarat itu adalah suatu kebulatan yang tidak terpisahkan,
dan berkaitan sangat erat satu dengan yang lain.

b. Unsur bentuk-bentuk pembelaan terpaksa, terdiri dari:


1) membela dirinya sendiri atau orang lain artinya juga ialah serangan itu
bersifat dan ditujukan pada fisik atau badan manusia;
2) membela kehormatan kesusilaan, artinya ialah serangan itu tertuju pada
kehormatan kesusilaan; dan
3) membela harta benda sendiri atau harta benda lain, artinya ialah serangan
itu tertuju pada harta atau kebendaan.
Perbuatan orang yang memenuhi unsur-unsur Pasal 49 ayat (1) tersebut di atas,
pada kenyataannya memenuhi rumusan tindak pidana tertentu, bisa penganiayaan (351)
misalnya berwujud memukul seorang pria yang sedang berusaha memperkosa seorang
perempuan, bahkan bisa berwujud pembunuhan (338), misalnya polisi menembak mati
seorang perampok di sebuah bank yang dengan menggunakan senjata api telah
memberondong petugas yang hendak menangkapnya dengan tembakan yang dapat
mematikan. Akan tetapi dengan dasar pembelaan terpaksa, perbuatan yang pada
kenyataannya bertentangan dengan undang-undang itu telah kehilangan sifat melawan
hukum, oleh sebab itu kepada pembuatnya tidak dipidana karena perbuatannya dapat
dibenarkan.
Dalam hal untuk membela diri, adalah terhadap serangan fisik oleh orang lain,
sebagimana contoh diatas. Terhadap serangan yang boleh dilakukan perbuatan pembelaan
terpaksa, hanyalah serangan oleh perbuatan (fisik, aktif) manusia, dan tidak dibenarkan
oleh binatang, misalnya dikejar anjing kemudian anjingnya dibunuh.
Dalam hal kehormatan kesusilaan adalah kesusilaan yang berkaitan erat dengan
masalah seksual misalnya laki-laki hidung belang meraba buah dada seorang perempuan
yang duduk di sebelah di sebuah taman, maka dibenarkan apabila ketika serangan
berlangsung memukul laki-laki itu.
Dalam hal pembelaan terhadap harta benda, ialah terhadap benda-benda yang
bergerak dan berwujud dan yang melekat bak kebendaan, sama dengan pengertian benda
pada pencurian (362). Perbedaan Daya Paksa (Overmacht) dengan Pembelaan
Terpaksa (Noodweer) adalah sebagai berikut:
1. Dari segi serangan yang bersifat melawan hukum.
• Daya paksa terjadi:
Apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh orang yang diserang (korban) adalah
berupa perbuatan yang memang dimaksudkan dan diinginkan si penyerang.
Misalnya, dengan todongan pistol seorang memaksa orang lain untuk
menandatangani akta palsu, kemudian korban menandatanganinya. Di sini orang
yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang in casu dikehendaki si
penyerang, karena dia tidak berdaya untuk melawan serangan yang memaksa itu.
• Tidaklah ditentukan bidang kepentingan hukum apa dalam hal penyerangan yang
dapat dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa
• Pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal
konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara dua kewajiban hukum dan
konflik antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum.

Pada pembelaan terpaksa adalah sebaliknya ialah:


• perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan
yang tidak menjadi tujuan atau maksud si penyerang. Misalnya si majikan, laki-
laki hidung belang sedang berusaha memperkosa pembantu rumah tangganya
dengan telah menindih tubuh perempuan itu, kepergok oleh suaminya dan dengan
kuat sang suami menendang kepala majikannya itu. Pilihan perbuatan suami
pembantu berupa menendang kepala majikannya itu adalah suatu pilihan
perbuatan yang tidak dikehendaki oleh sang majikan.
• pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada
kemampuan berbuat untuk melawan serangan oleh si penyerang.
• pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang
bersifat melawan hukum dalam tiga bidang ialah; tubuh, kehormatan kesusilaan,
dan harta benda.
• pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat.
4. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces)
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2),
yang rumusannya adalah pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan
itu, tidak dipidana.
Adapun persamaan antara pembelaan terpaksa dan pembelaan melampaui batas
adalah:
• keduanya terdapat serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum, yang
ditujukan pada tiga kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta
benda) dan adanya kesamaan pada melakukan perbuatan pembelaan memang dalam
keadaan terpaksa dalam usaha untuk mempertahankandan melindungi suatu
kepentingan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang
melawan hukum.
• pembelaan itu ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum
diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.

Adapun perbedaannya yaitu:


• Pertama, bahwa perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa
haruslah perbuatan seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan,
perbuatannya haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak
diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi pada
pembelaan terpaksa yang melampaui batas, ialah perbuatan apa yang menjadi
pilihannya sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas
kepentingan hukum yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak
seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman
serangan. Misalnya seorang menyerang lawannya dengan pecahan botol, yang
sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu, tetapi karena kegoncangan jiwa
yang hebat dilawan dengan menembaknya.
• Kedua, bahwa dalam hal pembelaan terpaksa, perbuatan pembelaan hanya dapat
dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung,
dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi pada
pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perbuatan pembelaan itu masih boleh
dilakukan sesudah serangan terhenti.
• Ketiga, tidak dipidanya si pembuat pembelaan terpaksa oleh karena kehilangan sifat
melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar
peniadaann pidana karena pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan
tidak dipidanya si pembuat pembelaan terpaksa yang melampaui batas oleh karena
adanya alasan penghapus kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan
pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat dalamm pembelaan yang melampaui
batas terletak pada diri orangnya, dan bukan pada perbuatannya.
Melampaui batas dapat diartikan sebagai (1) melampaui batas apa yang perlu, dan
(2) boleh dilakukan walaupun serangan telah tiada. Keistimewaan ini pada dasarnya
merupakan perkecualian dari pembelaan darurat pada ayat pertama, yang terletak pada
kegoncangan jiwa yang hebat.
5. Menjalankan Perintah Undang-undang (Wettelijk Voorschrift)
Pasal 50 KUHP menentukan, bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan peraturan undang-undang, tidak dapat dipidana”. Berdasarkan rumusan
tersebut di atas, ada beberapa yang perlu diterangkan ialah:
1) perbuatan;
2) ketentuan undang-undang; dan
3) pelaksanaan perintah undang-undang.
Perbuatan yang dimaksudkan pada poin pertama ialah perbuatan mana yang pada
dasarnya jika tidak ada undang-undang yang memberi kewenangan untuk melakukannya
adalah berupa suatu tindak pidana. Contohnya Polisi yang telah memenuhi syarat dan
prosedurnya melakukan penangkapan seorang tersangka dan menahannya, yang jika tidak
ada ketentuan peraturan undang-undang yang memberi kewenangannya adalah berupa
tindak pidana.
Mengenai ketentuan undang-undang dalam arti formal terbatas pada peraturan dari
undang-undang negara dan peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh undang-undang
negara. Peraturan perundang-undangan (wettelijk voorschrift) adalah semua peraturan-
peraturan yang dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut
undang-undang”.8 Jadi dalam pengertian luas di sini adalah peraturan undang-undang
yang dibuat oleh Parlemen (DPR) bersama pemerintah, dan termasuk segala peraturan
yang ada di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Daerah/Qanun
karena semua peraturan itu dibentuk oleh kekuasaan berdasarkan undang-undang.
Sedangkan mengenai hal yang ketiga, ketentuan Pasal 50 pada dasarnya bukan
sekadar mengenai melaksanakan perbuatan yang sesuai dengan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang saja, akan tetapi termasuk juga segala perbuatan-perbuatan
yang dilakukan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang tersebut.
Hoge Raad dalam pertimbangan suatu arrestnya (28-10-1985) menyatakan bahwa
“menjalankan undang-undang tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang
diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi lebih luas lagi, ialah meliputi pula
perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-
undang.9

6. Menjalankan Perintah Jabatan


Alasan peniadaan pidana karena menjalankan perintah jabatan dirumuskan dalam
Pasal 51 ayat (1) yang bunyinya:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”
8
Lamintang, P.A.F., Op.Cit, hal. 489.
9
Soesilo, Op.Cit., hal. 57.
Alasan peniadaan pidana ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab
menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50) yang telah diterangkan di atas,
dalam arti kedua alasan peniadaan pidana itu menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan. Pada kedua alasan tersebut juga berupa perbuatan yang boleh dilakukan
sepanjang menjalankan kewenangan berdasarkan perintah undang-undang maupun
perintah jabatan.
Sedangkan perbedaannya ialah pada perintah jabatan ada hubungan publik antara
orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintah yang in casu melakukan
suatu perbuatan tertentu. Kewenangan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada
perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang. Sedangkan pada menjalankan
perintah undang-undang keabsahan menjalankan perintah itu ada pada undang-undang.
Contoh menjalankan perintah jabatan yang dimaksud, ialah seorang penyelidik
mendapat perintah dari penyidik untuk menangkap seorang tersangka (Pasal 16 ayat (1)
KUHAP). Antara penyelidik dan penyidik ada hubungan publik yang berdasarkan
undang-undang, hubungan inilah yang memberi dasar bagi penyelidik boleh melakukan
perbuatan sepanjang perlu dan layak dalam upaya menjalankan perintah jabatan itu,
misalnya dengan kekerasan memaksa memborgol (sifatnya serangan) terhadap si
tersangka yang tidak menurut dan melawan, dan jika perlu dan layak dapat melumpuhkan
dengan tembakan pada kakinya apabila yang bersangkutan menggunakan pisau melawan
penyelidik yang hendak menjalankan tugas penangkapan tersebut.

7. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah dengan Itikad Baik


Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (een onbevoged ambtelijk bevel)
dengan itikad baik sebagai dasar peniadaan pidana, dirumuskan pada Pasal 51 ayat (2)
yang bunyinya:
“perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali apabila
yang menerima perintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan
wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”
Sejalan dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, pada menjalankan
perintah jabatan tanpa wewenang/tidak sah dengan itikad baik ini, mengenai apa yang
dilakukan itu pada dasarnya adalah terlarang oleh undang-undang, namun karena sesuatu
hal yang menjadi alasan luar biasa, maka perbuatan itu menjadi tidak dipidana. Tidak
dipidananya si pembuat karena alasan noodweer exces terletak pada kegoncangan jiwa
yang hebat, tetapi pada pelaksanaan perintah tanpa wewenang adalah pada “itikad baik
dan pelaksanaan dari apa yang menjadi isi perintah itu adalah memang menjadi tugas
pekerjaannya.”
Dari apa yang dirumuskan pada Pasal 51 ayat (2) tersebut, ada syarat yang wajib
dipenuhi agar orang yang menjalankan perintah yang tidak sah dengan itikad baik itu
tidak dipidana, ialah syarat subjektif dan syarat objektif yang bersifat kumulatif-imperatif.
1) Syarat subjektif, ialah dengan itikad baik dia mengira bahwa perintah itu
adalah sah;
2) Syarat objektif, ialah pada kenyataannya perintah itu masuk dalam bidang
tugas pekerjaannya.

B. DASAR PENIADAAN PIDANA DI LUAR UNDANG-UNDANG


Segala sesuatu yang telah dibicarakan perihal peniadaan pidana di atas, adalah menurut
undang-undang. Diluar undang-undang terdapat pula alasan peniadaan pidana, ialah:
1) apa yang disebut dengan kehilangan sifat tercelanya secara materiil (melawan hukum
materiil) dari suatu perbuatan atau melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
negatif
2) didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld)
Dasar peniadaan pidana di luar undang-undang yang berhubungan dengan sifat
melawan hukum materiil dari suatu perbuatan dalam fungsinya yang negatif, dalam arti
mencari ketiadaan unsur melawan hukum di luar undang-undang untuk tidak mempidana
suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dan bukan mencari adanya unsur melawan
hukum di luar undang-undang dalam rangka untuk mempidana suatu pelaku perbuatan
tertentu.

Ad.1. Hilangnya Sifat Tercela dari Perbuatan Melawan Hukum


Sebagimana diketahui bahwa undang-undang hanya mempidana seseorang yang
melakukan perbuatan, apabila perbuatan itu telah dicantumkan dalam peraturan
perundang-undangan, sebagai perbuatan yang dilarang (artinya mengandung sifat
tercela/melawan hukum). Hanya perbuatan yang diberi label tercela atau terlarang saja
yang pelakunya dapat dipidana. Pengertian sifat melawan hukum tersebut dinamakan
melawan hukum formil, karena semata-mata sifat terlarangnya perbuatan didasarkan pada
pemuatannya dalam undang-undang. Perbuatan lain yang diluar apa yang ditentukan
sebagi dilarang oleh undang-undang, walaupun tercela menurut masyarakat atau menurut
asas-asas umum maasyarakat atau melawan hukum materiil, sepanjang tidak dilarang
menurut peraturan perundang-undangan, tidak lah dapat dipidana. Hal ini telah ditentukan
secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang apa yang dikenal dengan asas legalitas.
Perbutan yang mengandung sifat tercela menurut masyarakat yang tidak tercela
menurut undang-undang tidaklah dapat dipidana. Tetapi sebaliknya pada perbuatan yang
secara nyata terlarang menurut undang-undang, yang karena sesuatu faktor atau sebab
tertentu boleh jadi tidak mengandung sifat tercela atau kehilangan sifat tercelanya
menurut masyarakat, maka terhadap si pembuatnya tidak dipidana. Inilah yang dimaksud
dengan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.

ad.2. Dasar Peniadaan Pidana karena Ketiadaan Unsur Kesalahan pada si Pembuat
Asas tiada pidana tampa kesalahan telah dianut sejak tahun 1930, hanya si pembuat
yang terbukti bersalah saja yang dapat dijatuhi pidana. Kesalahan adalah bagian penting
dalam tindak pidana dan demikian juga halnya untukmenjatuhkan pidana. Jika kesalahan
itu tidak ada pada si pembuat dalam suatu perbuatan tertentu, maka berdasrkan asas ini si
pembuatnya tidak boleh dipidana.
Ketiadaan kesalahan si pembuat atas perbuatannya terjadi karena ketidaktahuan atau
kekeliruan tentang keadaan nyata atau fakta yang ada ketika perbuatan dilakukan. Contoh
pada kasus pengusaha susu, dimana si pengusaha susu mencampur susu dengan air, yang
oleh liveransirnya dikirim pada pelanggannya yang menurut ketentuan hukum pidana
dilarang. Liveransirnya tersebut tidak dipdana oleh Hoge Raad dikarenakan dia tidak
mengetahui tentang susu yang dikirimkannya ke pelanggannya itu ternyata telah
dicampur dengan air oleh si pengusaha. Sesungguhnya arrest HR inilah yang menjiwai
asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Mengenai penegakan hukum pidana berlaku prediksi bahwa setiap orang dianggap
mengetahui hukum, sehingga si pembuat tidak dapat membela diri dengan alasan bahwa
dia tidak mengetahui hukum. Tetapi dalam praktik ketidaktahuan atau kekeliruan
mengenai hukum kadang dapat dijadikan alasan peniadaan pidana. Contohnya adalah
pada kasus seorang pengendara sepeda motor yang sebelum mengendarai motornya itu
dia telah datang menghadap pejabat kepolisian yang berwenang untuk mendapatkan
informasi selengkapnya tentang surat-surat yang diperlukan untuk mengendarai
kendaraan bermotor, yang ternyata pejabat itu tidak memberikan informasi yang
sempurna, karena polisi itu tidak memberikan keterangan bahwa diperlukan juga surat
bukti kewarganegaraan, tidak dipersalahkan dan karenanya tidak dipidana oleh Hoge
Raad atas dakwaan mengendarai kendaraan bermotor tanpa kelengkapan surat-surat.10

C. DASAR-DASAR YANG MENYEBABKAN DIPERBERAT-NYA PIDANA

a. Dasar Pemberatan Pidana Umum


Undang-undang mengatur tentang tiga dasar (alasan) yang menyebabkan
diperberatnya pidana umum, ialah:
1. karena jabatan
2. karena menggunakan bendera kebangsaan
3. karena pengulangan (recidive)

ad.1. Alasan karena Jabatan


Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusan
lengkapnya adalah: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana
melanaggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak
pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.”
Dasar pemberat pidana tersebut dalam Pasal 52 ini adalah terletak pada keadaan
jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai empat hal ialah
dalam melakukan tindak pidana dengan:

10
Schaffmeister, D. dkk., Sahetapy (ed), Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 71 dan
147.
a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya
Dalam hal ini, yang dilanggar dilakukan oleh pegawai negeri dalam melakukan
tindak pidana itu adalah kewajiban khusus dari jabatan, dan bukan kewajiban umum
jabatan.
Dalam suatu jabatan in casu jabatan publik yang dipangku oleh seorang pegawai
negeri terdapat suatu kewajiban khusus di dalamnya. Suatu kewajiban khusus adalah
suatu kewajiban yang berhubungan erat dengan tugas pekerjaan tertentu dari suatu
jabatan. Seorang polisi yang diperintah bertugas di Pos Keamanan sebuah Bank, maka
dia dibebani tugas khusus yaitu untuk menjaga keamanan dan keselamtan bank beserta
seluruh orang yang berhubungan dan berkepentingan dengan bank tersebut dimana dia
bertugas. Akan tetapi kewajiban khusus tersebut dapat pula dilanggarnya dengan
melakukan tindak pidana yang justru menyerang keselamatan dan keamanan bank itu
sendiri, misalnya dia berkomplotan dengan orang lain untuk merampok bank tersebut,
dia memberi informasi dan merancang kejahatan itu serta berlaku pasif untuk memberi
kesempatan pada teman-temannya tadi dalam menjalankan aksi perampokan tersebut.

b. memakai kekuasaan jabatannya


Suatu jabatan in casu jabatan publik disamping membeban kewajiban khusus
dan kewajiban umum dari jabatannya, juga memiliki suatu kekuasaan jabatan, suatu
kekuasaan yang melekat dan timbul dari jabatan yang dipangku. Kekuasaan yang
dimilikinya dapat disalahgunakan pemangkunya untuk melakukan suatu kejahatan
tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan itu. Contohnya seorang Penyidik karena
jabatannya itu dia memiliki kekuasaan untuk menangkap dan menahan seorang
tersangka. Dengan kekuasaan ini dia menangkap seorang musuh pribadi yang
dibencinya dan menahannya tanpa memperdulikan ada atau tidaknya alasan
penahanannya atau merekayasa alasan dari tindakannya itu. Oknum polisi ini dapat
diperberat pidananya dengan ditambah sepertiga dari 8 tahun penjara (333 ayat 1).

c. menggunakan kesempatan karena jabatannya


Pegawai negeri dalam melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan hak dan
kewajiban jabatan yang dipangkunya kadangkala memiliki suatu waktu yang tepat
untuk melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang, apabila kesempatan ini
disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana itu, maka dia dipidana pemberatan
sepertiganya dari ancaman pidana maksimum yang ditentukan dalam tindak pidana
yang dilakukannnya tadi. Misalnya, seorang penyidik pembantu dalam melaksanakan
penyitaan barang-barang perhiasan di toko perhiasan, ketika itu dia mempunyai
kesempatan untuk mengambil dengan melawan hukum sebagian dari perhiasan yang
disita, maka pada kesempatan yang demikian dia melakukan perbuatan terlarang
tersebut.
d. menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya
Seorang pegawai negeri dalam menjalankan kewajiban dan tugas jabatannya
diberikan sarana-sarana tertentu, dan sarana mana dapat digunakan untuk melakukan
tindak pidana tertentu. Di sini dapat diartikan menyalahgunakan sarana dari jabatannya
untuk melakukan suatu tindak pidana. Misalnya, seorang polisi yang diberi hak
menguasai senjata api, dan dengan senjata api itu dia menembak mati musuh pribadi
yang dibencinya. Maka dapat diperberat pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya
dengan ditambah sepertiga dari 15 tahun (338) atau sampai maksimum 20 tahun.
Pemberat pidana yang didasarkan pada 4 (empat) macam keadaan yang melekat
atau timbul dari jabatan adalah wajar, mengingat keadaan-keadaan dari jabatan itu dapat
memperlancar atau mempermudah terjadinya tindak pidana (segi objektif), dan juga
dari orang itu membuktikan niat buruknya yang lebih kuat untuk mewujudkan tindak
pidana, yang keadaan-keadaan mana diketahuinya atau disadarinya dapat
mempermudah dalam mewujudkan apa yang dilarang undang-undang (segi subjektif).
Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah sepertiga, adalah
bagi seorang pejabat atau epgawai negeri yang melakukan tindak pidana dengan
melanggar dan atau menggunakan 4 keadaan tersebut diatas. Walaupun kualitas pegawai
negeri dalam Pasal ini sama dengan kulitas subjek hukum pada kejahatan-kejahatan
jabatan dalam BAB XXXVIII Buku II dan pelanggaran jabatan dalam BAB VIII Buku
III, tetapi pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini tidak berlaku pada kejahatan-
kejahatan Jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut, melainkan berlakunya pada
kejahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana yang diancamkan pada
kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena dari kualitasnya sebagai pegawai negeri
itu telah diperhitungkan.
Jadi pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini berlaku umum seluruh jenis dann
bentuk tindak pidana, kecuali pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang
diterangkan diatas. Walaupun subjek tindak pidana Pasal 52 dengan subjek hukum
kejahatan dan pelanggaran jabatan adalah sama yakni pegawai negeri, tetapi ada
perbedaan antara tindak pidana dengan memperberat atas dasar Pasal 52 ini dengan
kejahatan dan pelanggaran jabatan, yaitu:
• tindak pidana yang dapat diperberat dengan menggunakan Pasal 52 ini pada dasarnya
adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang
• sedangkan tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran jabatan hanyalah dapat
dilakukan oleh subjek hukum yang berkualitas pegawai negeri saja.
Tentang siapa atau dengan syarat-syarat apa yang dimaksud dengan pegawai
negeri tidaklah dijelaskan lebih jauh dalam undang-undang. Pasal 92 KUHP tidaklah
menerangkan tentang siapa pegawai negeri, tetapi sekedar menyebut tentang beberapa
macam pegawai negeri, yaitu:
• orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum
• orang-orang yang dipilih bukan karena pemilihan menjadi anggota badan
pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat
yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah
• semua anggota dewan subak
• semua kepala rakyat indonesia asli
• semua kepala golongan Timur Asing yang menjalankan kekuasaan yang sah.
Sedangkan tentang pengertian pegawai negeri ada diterangkan dalam
yurisprudensi, seperti dalam pertimbangan-pertimbangan putusan Hoge Raad masing-
masing tanggal 30-1-1911, 25-10-1915 dan 26-5-1911, yang pada dasarnya
menerangkan bahwa pegawai negeri itu adalah: “barangsiapa yang oleh kekuasaan
umum diangkat untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian dari tugas
pemerintahan atau alat perlengkapannya”. Jadi pengertian pegawai negeri menurut
Hoge Raad mengandung 3 unsur pokok, ialah:
• dia diangkat oleh kekuasaan umum
• untuk menjabat pekerjaan umum dan
• melaksanakan sebagian tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya
Menurut Hoge Raad, gaji tidaklah merupakan syarat penting dari pengertian
pegawai negeri. Pengertian pegawai negeri menurut Hoge Raad ini ternyata dianut pula
oleh Mahkamah Agung R.I sebagaimana ternyata dalam pertimbangan dari putusan-
putusannya (22-11-953, 1-12-1962) yang pada pokoknya menyatakan bahwa pegawai
negeri adalah setiap orang yang diangkat oleh penguasa yang dibebani dengan jabatan
umum untuk melaksanakan sebagian tugas negara.

ad.2. Dasar Pemberatan Pidana dengan Menggunakan Sarana Bendera Kebangsaan


Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan
dirumuskan dalam Pasal 52 a, KUHP yang bunyi lengkapnya adalah:
“Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik
Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga.”
Dalam Pasal tersebut tidak menentukan tentang bagaimana caranya dalam
menggunakan bendera kebangsaan pada waktu melakukan kejahatan itu, oleh sebab itu
dapat dengan menggunakan cara apapun , yang penting kejahatan itu terwujud.
Oleh karena dalam Pasal 52 a ini disebutkan secara tegas penggunaan bendera
kebangsaan itu adalah waktu melakukan kejahatan, maka disini tidak berlaku pada
pelanggaran. Disini berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut
perundang-undangan di luar KUHP.

ad.3. Dasar Pemberatan Pidana karena Pengulangan (Recidive)


Mengenai pengulangan KUHP mengatur:
a. Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu
dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan
hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan
dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP; dan
b. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 486, 487 dan 488 itu, KUHP juga
menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi
pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat
(2), 512 ayat (3).
Pada tindak pidana yang lain yang tidak masuk pada yang diterangkan pada butir a
dan b tersebut di atas, tidak dapat terjadi pengulangan. Oleh karena tidak mengenal
general recidive inilah, maka pengaturannya tidak dimuat dalam buku pertama, melainkan
dikelompokkan pada ketiga Pasal tersebut dalam Buku II dan Pasal-pasal tertentu lainnya
dalam Buku II (kejahatan) maupun Buku III (pelanggaran).
Menurut Pasal 486, 487, dan 488 pemberatan pidana ialah dapat ditambah dengan
dengan sepertiga dari ancaman maksimum pidana (penjara menurut Pasal 486 dan 487,
dan semua jenis pidana menurut Pasal 488) yang diancamkan pada kejahatan yang
bersangkutan. Sedangkan pada recidive yang ditentukan lainnya di luar kelompok tindak
pidana yang termasuk dan disebut dalam ketiga pasal ini ada juga yang diperberat-dapat
ditambah dengan sepertiga dari ancaman maksimum, tetapi banyak yang tidak menyebut
“dapat ditambah dengan sepertiga, melainkan diperberat dengan menambah lamanya saja,
misalnya dari 6 hari kurungan menjadi dua minggu kurungan (492 ayat 2) atau mengubah
jenis pidananya dari denda diganti dengan kurungan (495 ayat 2, 501 ayat 2).
Alasan pemberatan pidana pada pengulangan ini ialah terletak pada 3 (tiga) faktor:
a. faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana
b. faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana
yang pertama
c. pidana itu telah dijalankannya pada yang besangkutan
Pada faktor yang pertama sebenarnya sama dengan faktor pemberat pada
perbarengan. Perbedaannya dengan perbarengan, ialah pada faktor kedua dan ketiga,
sebab pada perbarengan si pembuat karena melakukan tindak pidana pertama kali belum
diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Pemberatan pada pengulangan, yang lebih penting ialah pada faktor kedua dan
ketiga. Penjatuhan pidana karena melakukan suatu tindak pidana, dapat dianggap suatu
peringatan oleh negara tentang tentang kelakuan yang tidak dibenarkan. Dengan
melakukan tindak pidana kedua kalinya, dinilai bahwa yang bersangkutan tidak
mengindahkan peringatan negara tersebut, menunjukkan bahwa orang itu benar-benar
mempunyai perangai yang sangat buruk, yang tidak cukup peringatan dengan mempidana
sebagimana yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan.
Pemberatan pidana dengan dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimum dari
tindak pidana yang dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 486, 487 dan 488
harus memenuhi dua syarat essensial, yaitu:
a. Orang itu harus telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah
dijatuhkan hakim, atau ia dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia
melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak negara untuk menjalankan
pidananya belum daluarsa.
b. Melakukan kejahatan penanggulangannya adalah dalam waktu belum lewat 5
(lima) tahun sejak terpidana menjalani sebagian atau seluruh pidana yang
dijatuhkan.
Pada syarat yang pertama, disitu disebutkan 4 (empat) kemungkinan, ialah:
1) telah menjalani seluruh pidana yang dijatuhkan
2) telah menjalani sebagian pidana yang dijatuhkan
3) ditiadakan dari menjalani pidana; atau
4) hak negara untuk menjalankan pidana terhadapnya belum lampaui waktu.
Dalam hal pengulangan, si pembuatnya harus sudah dipidana karena melakukan
tindak pidana yang pertama kali, karena dalam Pasal 486, 487 dan 488 disebutkan telah
menjalani pidana yang dijatuhkan. Walaupun tidak disebut perihal syarat telah dijatuhkan
pidana, tetapi dengan menyebut syarat telah menjalani pidana, maka sudah pasti
didalamnya mengandung syarat telah dijatuhi pidana. Bahwa mengenai pelaksanaan
pidana yang telah dijatuhkan terdapat beberapa kemungkinan, ialah:
a) pertama dilaksanakan seluruhnya
b) kedua dilaksanakan sebagian
c) ketiga pelaksnaannya ditiadakan
d) keempat tidak dapat dilaksanakan berhubung sesuatu halangan yang tidak dapat
dihindarkan, misalnya sebelum putusan yang mempidanaya in kracht van gewijsde
atau sebelum putusan itu dieksekusi narapidana melarikan diri.

D. DASAR-DASAR DIPERINGANNYA PIDANA BAGI PEMBUAT


1. Dasar-dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Umum
a. Menurut KUHP: Belum Berumur 16 Tahun
Bab III Buku I KUHP mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan,
mengurangkan atau memberatkan pidana. Tentang hal yang memperingan pidana
dimuat dalam Pasal 45, 46 dan 47. akan tetapi sejak berlakunya Undang-undang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ketiga pasal itu telah tidak berlaku lagi (Pasal
67). Kini penting hanya dari segi sejarah hukum pidana, khususnya pidana anak.
Sebelum membicarakan tentang hal yang memperingan pidana bagi anak menurut
Undang-undang No.3 Tahun 1997.
Menurut Undang-undang Pengadilan anak, anak yang disebut anak adalah
manusia yang umurnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah
kawin. Sedangkan anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dan belum
berumur 8 tahun tidak dapat diajukan ke pengadilan tetapi dapat dilakukan penyidikan
(Pasal 5 UU No.3 Tahun 1997), dan dalam hal ini terdapat dua kemungkinan:
a. jika penyidik berpendapat anak itu masih dapat dibina oleh orang tua, walinya
atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak itu kepada
orang tua, wali atau orangtua asuhnya.
b. jika penyidik berpendapat anak itu tidak dapat dibina lagi oleh orang tua,
walinya atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan anak itu kepada
Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
Dasar peringanan pidana menurut UU No. 3 Tahun 1997, terdapat 2 (dua)
unsur kumulatif yang menjadi syaratnya, ialah: pertama mengenai: umurnya (telah
8 tahun tapi belum 18 tahun)dan yang kedua mengenai: belum pernah menikah.
Dalam sistem hukum kita, selain umur juga perkawinan adalah menjadi sebab
kedewasaan seseorang.
Sama dengan KUHP, UU No.3 Tahun 1997 ini juga terhadap anak (KUHP:
belum berumur 16 Tahun, UU ini telah berumur 8 tahun tapi belum 18 tahun dan
belum pernah kawin) yang terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana,
hakim dapat menjatuhkan satu diantara dua kemungkinan, ialah menjatuhkan
pidana atau menjatuhkan tindakan. (Pasal 21).
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal yang melakukan tindak
pidana ialah pidana pokok dan pidana tambahan (23 ayat 1). Pidana Pokoknya ada
4 macam (23 ayat 2), ialah:
a. pidana penjara
b. pidana kurungan
c. pidana denda
d. pidana pengawasan
Sedangkan pidana tambahan bagi Anak Nakal (23 ayat 3) ialah:
a. pidana perampasan barang-barang tertentu dan atau
b. pembayaran ganti rugi
c. menyerahkannya kepada Departemen Sosial, Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja (Pasal 24 ayat 1)
Dalam hal pidana penjara, dibedakan menjadi dua kategori (Pasal 26), yaitu:
a. Untuk tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan ialah paling lama ½
(satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan pada tindak
pidana yang bersangkutan bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat 1)
b. Sedangkan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup dapat dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya 10
tahun ialah hanya terhadap Anak Nakal yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun tapi belum 18 (delapan belas) tahun (Pasal 23 ayat 2).

2. Dasar-dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Khusus


Disebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan dasar peringanan
tertentu, yang hanya berlaku khusus terhadap tindak pidana yang disebutkan itu saja,
dan tidak berlaku umum untuk segala macam tindak pidana. Dasar peringan pidana
khusus ini tersebar di dalam pasal-pasal KUHP.
Untuk dapatnya dinyatakan suatu tindak pidana sebagai lebih ringan tentu ada
pembandingnya. Dalam tindak pidana lebih ringan, inilah ada unsur yang
menyebabkan diperingannya pidana terhadap si pembuatnya. Tindak pidana
bandingannya atau pembandingnya itu ada dua, yaitu:
1. biasanya pada tindak pidana dalam bentuk pokok, disebut juga bentuk biasa atau
bentuk standard
2. pada tindak pidana lainnya (bukan termasuk bentuk pokok), tapi perbuatannya
serta syarat-syarat lainnya sama
Pertama, ada macam tindak pidana tertentu yang dapat dibedakan atau
dikelompokkan ke dalam bentuk pokok, yang lebih berat dan yang lebih ringan. Pada
tindak pidana bentuk ringan (sama jenisnya), di dalamnya terdapat unsur tertentu yang
menyebabkan tindak pidana tersebut menjadi lebih ringan dari pada bentuk
pokoknya . unsur penyebab ringannya inilah yang dimaksud dengan “dasar
diperingannya pidana khusus.
Contoh tindak pidana dalam bentuk pokok: pembunuhan (338), penganiayaan
(351 ayat 1), pencurian (362), penggelapan (372), penipuan (378). Pada beberapa
tindak pidana dalam jenis yang sama, ada dalam bentuk yang lebih ringan (kadang
disebut tindak pidana ringan), yaitu pembunuhan dalam hal yang meringankan (341),
penganiayaan ringan (352), pencurian ringan (364), penggelapan ringan (373),
penipuan ringan (379).
Dasar penyebab diperingannya tindak pidana tersebut yaitu:
 pada pembunuhan Pasal 341 ialah pembuatnya adalah seorang ibu, dan objeknya
adalah bayinya sendiri
 pada penganiayaan ringan ialah akibat perbuatan berupa tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan pekerjaan jabatan atau
pencairan (352)
 pada pencurian ringan ialah (1) tidak dilakukan dalam sebuah kediaman atau
pekarangan yang tertutup yang didalamnya ada tempat kediaman, dan (2)
nilai/harga benda (objek) kurang dari Rp.250,- (364)
 penggelapan ringan ialah: (1) objeknya bukan ternak, dan (2) nilai benda/objek
kejahatan kurang dari Rp. 250,- (373)
 penipuan ringan ialah (1) objek kejahatan bukan ternak, dan (2) nilai benda-objek
kejahatan kurang dari Rp. 250,-(379)
Kedua, disebut tindak pidana yang lebih ringan, yang pembanding lebih
ringannya itu bukan pada bentuk pokok, tetapi pada perbuatan serta syarat-syarat
lainnya yang sama. Contohnya, kejahatan meninggalkan bayi karena takut diketahui
melahirkan pada Pasal 308 jika dibandingkan kejahatan meninggalkan anak pada
Pasal 305.

E. HAL-HAL YANG MENYEBABKAN HAPUSNYA HAK UNTUK MENUNTUT


DAN MENAJALANI HUKUMAN
1. Hapusnya Hak Negara untuk Menuntut Pidana
Penuntut Umum dalam hal-hal tertentu tidak mempunyai hak untuk menuntut
pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana dikarenakan beberapa
hal yaitu:
1. Ne bis in idem (Pasal 76)
2. Meninggalnya si pembuat (Pasal 77)
3. Lampau waktu atau kadaluarsa (Pasal 78-80)
4. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda maksimum dan
biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (Pasal 82: bagi pelanggaran yang hanya
diancam pidana denda)

Ad.a. Ne bis in idem


Pasal 76 ayat (1) KUHP menentukan: ”Kecuali dalam hal keputusan hakim
masih boleh diubah lagi, maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran
perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Negara Indonesia, dengan
keputusan yang tidak boleh diubah lagi. Yang dimaksudkan disini dengan hakim
Negara Indonesia, ialah juga hakim dalam negeri yang rajanya atau penduduk
Indonesianya berhak memerintah sendiri, demikian juga di negeri yang penduduk
Indonesianya, dibiarkan memakai ketentuan pidana sendiri”. Asas ini ne bis in idem
ini berarti orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan (peristiwa) yang
baginya telah diputuskan oleh hakim.11
Ne bis in idem melarang negara untuk menuntut kedua kalinya terhadap si
pembuat yang perbuatannya telah diputus oleh pengadilan yang putusan mana telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.12 Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewiwijsde) ialah putusan yang tidak dapat lagi dilawan dengan
upaya hukum biasa, upaya tersebut yaitu perlawanan (verzet), banding, dan kasasi.
Sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu seperti yang disebut dalam Pasal 76 ayat (1)
dengan kalimat: ”...putusan hakim masih mungkin diulangi” ini dikenal dengan
peninjauan kembali (Pasal 263-269) KUHAP). Kasasi untuk kepentingan hukum
termasuk juga upaya hukum luar biasa (259-262 KUHAP).
Tujuan dari larangan bagi negara untuk menuntut lagi si pelaku setelah ada
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu untuk tercapainya kepastian
hukum atas suatu kasus pidana baik bagi si pelaku, negara maupun masyarakat atau
pihak pihak lain yang berhub dengan dengan kasus tersebut. 13 Pasal 76 ayat (1)
mensyaratkan dua hal penting untuk dapat diberlakukannya asas ne bis in idem
tersebut yaitu: pertama, perbuatannya harus sama, termasuk di dalamnya ialah
mengenai waktunya dan tempatnya yang sama; dan kedua si pelaku haruslah orang
yang sama.14

Ad.b. Meninggalnya si pelaku


11
Soesilo, Op.Cit., hal. 89.
12
Adami Chazawi, hal. 152.
13
Ibid., hal. 153.
14
Ibid., hal. 161.
Pasal 77 menentukan bahwa ”kewenangan menuntut pidana hapus jika
terdakwa meninggal dunia”. Aturan ini berdasarkan alasan sifat personal dari
pertanggung jawab pidana dan pembalasan dari suatu pidana, sehingga tidak
diperlukannya lagi pidana bagi pelaku pidana yang sudah meninggal. Hal ini berarti
bahwa jika si pelaku meninggal dunia sebelum dijatuhkan pidana maka tidak
diperlukan lagi tindakan penuntutan yang bertujuan menjatuhkan pidana bagi si
pelaku.
Hal ini didasarkan bahwa tidak ada manfaat apa-apa hukuman bagi si pelaku
pidana yang sudah meninggal tersebut. Walaupun demikian, Pasal 77 tersebut dapat
disimpangi, hal ini dapat dilihat misalnya dalam tindak pidana ekonomi Undang-
undang Darurat No 7 tahun 1955. Pasal 16 undang-undang tersebut merumuskan ”jika
cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atau
perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana
ekonomi maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:
a. memutus perampasan barang-barang yang telah disita. Dalam hal itu Pasal 10
undang-undang darurat ini berlaku sepadan;
b. memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada Pasal 8 sub c dan dilakukan
dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia tersebut.
Demikian juga halnya Pasal 33 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa ”apabila tersangka pada
saat dilakukan penyidikan meninggal dunia, yang secara nyatatelah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara yang
bersangkutan kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada Instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
Selanjutnya, Pasal 33 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tersebut juga menentukan bahwa apabila kematian itu terjadi pada saat proses
pemeriksaan pengadilan sedang berlangsung, dan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka Jaksa Penuntut Umum segera menyerahkan salinan berkas
berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yangdirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”. Pasal 38 ayat (5) undang-undang
ini juga merupakan pengecualian Pasal 77 KUHP yaitu ”dalam hal terdakwa
meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat alat bukti yang cukup kuat
bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas
tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita”.

Ad.c. Lampau Waktu atau Kadaluarsa (Verjaring)


Hak negara untuk menuntut si pelaku tindak pidana menjadi hapus karena
lampau waktu. Tujuan dari penghapusan hak negara untuk menuntut dikarenakan
lewatnya waktu yang sudah ditentukan KUHP yaitu untuk memberikan kepastian
hukum bagi setiap kasus pidana, agar si pelaku tidak selama-lamanya ketentraman
hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara yang
tidak mengenal daluarsa. Hal ini didasarkan pada Pasal 78 ayat (1), yang menentukan
bahwa kewenangan menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang waktu tertentu,
yaitu:
a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan, sesudah satu tahun;
b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun,, sesudah enam tahun;
c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga
tahun, sesudah dua belas tahun;
d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh
tahun, sesudah dua belas tahun.
e. bagi pelaku yang masih anak-anak saat melakukan tindak pidana yang umurnya
belum delapan belas tahun, menurut Pasal 78 ayat (2) maka daluarsa hapusnya
penuntutan pidana adalah dikurangi sepertiga dari ketentuan pada ayat pertama
Pasal 78 ayat (1)
Tenggang daluarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana itu berdasarkan
Pasal 79 menentukan bahwa secara umum tenggang daluarsa tersebut dihitung pada
hari sesudah dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga hal, yaitu:
a. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah barang
yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan;
b. mengenai kejahatan dalam Pasal-pasal: 328, 329, 330 dan 333, dimulainya adalah
pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban) dibebaskan atau
meninggal dunia;
c. mengenai pelanggaran dalam Pasal 556 sampai dengan Pasal 558a, adalah dimulai
pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu telah
disampaikan atau diserahkan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan.

Ad.d. Penyelesaian di Luar Pengadilan


Pasal 82 memungkinkan suatu perkara pidana tertentu dengan cara tertentu
dapat diselesaikan tanpa harus menyidangkan si pembuatnya dan menjatuhkan pidana
kepadanya. (Chazawi, 2002:182). Adapun perkara yang dapat diselesaikan diluar
pengadilan yaitu hanya terbatas pada perkara pidana pelanggaran yang diancam
dengan pidana denda saja, dengan cara ”secara sukarela si pembuat membayar
maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah
dimulai”. Pembayaran denda maksimum dan biaya-biaya tersebut maka hapuslah
kewenangan negara untuk melakukan penuntutan pidana terhadap si pelaku. Lembaga
ini disebut afkoop atau penebusan tuntutan pidana. Pasal 82 KUHP yang
memperkenalkan lembaga ini adalah bertujuan untuk alasan praktis-ekonomis belaka.

2. Hapusnya Hak Negara untuk Menjalankan Hukuman


Meskipun suatu putusan pemidanaan telah mempunyai kekuatan hukum, ada dua
hal yang menyebabkan hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana dalam KUHP.
Pertama, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 83 KUHP yaitu karena meninggalnya si
terpidana dan kedua, karena daluarsa yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 84 KUHP.
Sedangkan dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP adalah grasi
yang diberikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
(Pasal 14 UUD 1945 jo UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
a. Meninggalnya Terpidana
Pasal 83 KUHP menentukan bahwa ”kewenangan menjalankan pidana hapus jika
terpidana meninggal dunia”. Sama halnya dengan sebab hapusnya hak negara untuk
menuntut si pelaku karena alasan kematian si pelaku, kematian sebagai dasar peniadaan
pelaksanaan pidana berpijak pada sifat pribadi dari pertanggungan jawab dalam hukum
pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Orang yang harus menanggung akibat hukum
dari tindak pidana yang diperbuatnya adalah si pembuatnya sendiri, dan tidak pada orang
lain. Setelah si pembuat yang harus memikul segal akibat hukum itu meninggal dunia,
maka secara praktis pidana tidak dapat dijalankan.
b. Kadaluarsa
Pasal 84 ayat (1) menentukan bahwa ”kewenangan menjalankan pidana hapus
karena daluarsa”. Dengan demikian kewajiban terpidana untuk menjalani atau
melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setetlah lewatnya
waktu tertentu. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi
terpidana maupun bagi negara.
Lamanya tenggang waktu untuk menjadi kadaluarsa hapusnya kewenangan
negara menjalankan pidana tidak lah sama untuk semua tindak pidana. Pasal 84 ayat (2)
menetapkan tenggang daluarsa sebagai berikut:
a. mengenai semua pelanggaran lamanya adalah 2 (dua) tahun
b. mengenai kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana percetakan lamanya
adalah 5 (lima) tahun
c. mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluarsa bagi
hapusnya kewenangan dalam hal penuntutan pidana, ditambah dengan sepertiganya.
Artinya bagi kejahatan-kejahatan lainnya ini ialah:
1) mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan,
atau pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, sesudah 8 (delapan) tahun (6 tahun
ditambah 1/3nya)
2) mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga)
tahun, sesudah 16 (enam belas) tahun ( 12 tahun ditambah 1/3nya)
3) Sedangkan mengenai hak negara dalam menjalankan pidana mati tidak
dibatasi oleh lampaunya waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 ayat (4)
KUHP. Dengan demikian, negara memiliki hak untuk menghukum si terpidana
mati sepanjang si terpidana masih hidup namun apabila ia telah meninggal maka
hak menjalankan pidana akan hapus.
Pasal 85 ayat (3) menentukan saat mulai berlakunya tenggang daluarsa
hapusnya hak negara menjalankan pidana, yaitu:
a. dalam hal keadaan biasa, mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim
dapat dijalankan
b. dalam hal terpidana sedang menjalani pidana, kemudian dia melarikan diri, maka
pada esok harinya dari melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluarsa yang
baru
c. dalam hal diberikan pelepasan bersyarat yang kemudian pelepasan bersyarat itu
dicabut, maka keesokan harinya setelah pencabutan itu mulai berlaku tenggang
daluarsa yang baru
d. dalam hal majelis Hakim menjatuhkan pidana dengan ketetapan bersyarat.
Apabila terpidana terbukti melanggar syarat yang telah ditentukan, maka
pengadilan akan mengeluarkan surat ketetapan untuk menjalankan pidana.
Tenggang daluarsa dihitung mulai keesokan harinya sesudah surat ketetapan itu
dikeluarkan.
Berjalannya tenggang daluarsa hak negara untuk menjalankan pidana ada
kemungkinan dapat dilakukan penundaan karena perintah undang-undang, misalnya
dalam hal terpidana melakukan upaya hukum grasi (Pasal 3 ayat (1) UU No. 3 Tahun
1950). Demikian juga dalam hal terpidana selama dirampas kemerdekaannya (ditahan
sementara), meskipun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan
lain sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (3).
d. Pemberian Grasi
Dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP adalah grasi yang
diberikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
(Pasal 14 UUD 1945 jo UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Pemberian grasi ialah
diberikan kepada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Pengajuan grasi oleh pemohon dari segi hukum yang telah
dinyatakan bersalah mengandung makna bahwa pemohon memohon ampun dengan
mengakui kesalahannya karena jika dia tidak mengajukan grasi maka ia akan
mengajukan permohonan peninjauan kembali.

RANGKUMAN
Dalam KUHP terdapat 7 (tujuh) alasan yang menyebabkan tidak dapat dipidananya si
pembuat, yaitu: karena kemampuan bertanggung jawab, daya paksa (overmacht), pembelaan
terpaksa (noodweer), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess),
menjalankan perintah undang-undang dan karena melaksanakan perintah jabatan yang sah
serta menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik. Dasar peniadaan
pidana diluar undang-undang yaitu apa yang disebut dengan kehilangan sifat tercelanya
secara materiil dari suatu perbuatan atau melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
negatif dan didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan. (geen straft zonder schuld).
Tiga dasar (alasan) yang menyebabkan diperberatnya pidana umum, ialah:
1. karena jabatan
2. karena menggunakan bendera kebangsaan
3. karena pengulangan (recidive)
Adapun dasar-dasar dari peringanan pidana yaitu karena pelakunya yang masih dibawah
umur atau anak. Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak maka Pasal 45, 46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan
undang-undang tersebut peringanan pidana terhadap anak nakal yaitu sepertiga dari ancaman
hukuman orang dewasa dan apabila diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup maka
terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun penjara.
Penuntut Umum dalam hal-hal tertentu tidak mempunyai hak untuk menuntut pidana
terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana dikarenakan beberapa hal yaitu: Ne
bis in idem, meninggalnya si pembuat, lampau waktu atau kadaluarsa dan penyelesaian di
luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan
telah dimulai.
Hal-hal yang menyebabkan hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana yaitu karena
meninggalnya si terpidana, daluarsa dan grasi.

GLOSSARIUM
overmacht adalah daya paksa
noodweer adalah pembelaan terpaksa
noodweer excess adalah pembelaan terpaksa yang melampaui batas
strafuitslutingsgrondena adalah alasan penghapus pidana
requisitoir adalah tuntutan Jaksa Penuntut Umum
veroordering adalah putusan pemidanaan
onslag van alle rechtvervolging adalah putusan pelepasan dari tuntutan hukum
geen straft zonder schuld adalah tiada pemidanaan tanpa kesalahan
ne bis in idem adalah asas yang melarang menuntut seorang pelaku kejahatan karena
perkaranya sudah pernah diputus oleh hakim pidana.
Recidive adalah pengulangan tindak pidana

Anda mungkin juga menyukai