Anda di halaman 1dari 9

Lex Crimen Vol. X/No.

12/Nov/2021

KAJIAN YURIDIS ALASAN PENGHAPUS PIDANA A. Latar Belakang


KARENA PERINTAH JABATAN (Ambtelijk Bevel) Alasan-alasan penghapus pidana telah
MENURUT PASAL 51 AYAT (1) KITAB UNDANG- diletakkan dalam Buku I tentang Aturan Umum
UNDANG HUKUM PIDANA”1 pada Bab III yang berkepala Halhal Yang
Oleh : Jhony Kaluase2 Menghapuskan, Menguangi atau Memberatkan
Olga Pangkerego3 Pidana. Alasan-alasan penghapus pidana dalam
Daniel F. Aling4 Buku I Bab III ini terdiri atas: gangguan jiwa
(Pasal 44), daya paksa (Pasal 48), pembelaan
ABSTRAK terpaksa (Pasal 49 ayat (1)), pembelaan yang
Tujuan dilakukannya penelitianuntuk melampaui batas (Pasal 49 ayat (2)),
mengetahui bagaimanakah pemberlakuan melaksanakan ketentuan undang-Undang
alasan Penghapus Pidana karena perintah (Pasal 50), perintah jabatan oleh penguasa yang
jabatan (Ambtelijk Bevel) menurut Pasal 51 ayat berwenang (Pasal 51 ayat (1), dan perintah
(1) KUHP danbagaimanakah pengaturan alasan jabatan yang tanpa wenang (Pasal 51 ayat (2).5
Penghapus Pidana karena perintah jabatan
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang B. Perumusan Masalah
Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang dengan 1. Bagaimanakah pemberlakuan alasan
mertode penelitian hukum normatif Penghapus Pidana karena perintah
disimpulkan: 1. Pemberlakuan alasan jabatan (Ambtelijk Bevel) menurut Pasal
Penghapus Pidana karena perintah jabatan 51 ayat (1) KUHP?
(Ambtelijk Bevel) menurut Pasal 51 ayat (1) 2. Bagaimanakah pengaturan alasan
KUHP tersebut tidak sedikitpun disebutkan Penghapus Pidana karena perintah
pejabaran tentang ketentuan imunitas jabatan dalam Rancangan Kitab Undang-
tersebut. Namun bilamana kita sependapat Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional)?
dengan asumsi publik tersebut terkait
pemaham bahwa disitu terdapat ketentuan C. Metode Penelitian
kekebalan hukum dan sebagainya, jika Metode penelitian yang digunakan adalah
seseoarang melakukan suatu tindakan atau metode pendekatan yuridis normative.
perbuatan yang di mana perbuatannya tersebut
dalam rangka melaksanakan perintah jabatan PEMBAHASAN
yang diberikan oleh penguasa yang berwenag A.Pemberlakuan alasan Penghapus Pidana
atau memiliki kapasitas terhadap perintah karena perintah jabatan (Ambtelijk Bevel)
tersebut, maka seseorang yang melakukan menurut Pasal 51 ayat (1) KUHP.
perintah tersebut tidak dapat dipidana. 2. Hukum pidana mengenal beberapa alasan
Pertanggungjawaban pidana yang merupakan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk
salah satu pilar pembaharuan hukum pidana tidak menjatuhkan hukuman atau pidana
yang dikristalisasi dalam Rancangan Kitab kepada pelaku atau terdakwa yang diajukan ke
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Pengadilan karena telah melakukan suatu
didalamnya mempertegas kategori alasan tindak atau perbuatan pidana. Alasan-alasan
pembenar dan alasan pemaaf yang sebelumnya tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.
tidak dikategorikan dalam KUHP dan Perintah Alasan penghapus pidana adalah peraturan
Jabatan termasuk dalam kategori alasan yang terutama ditujukan kepada hakim.
pembenar dengan uraian unsur yang masih Peraturan ini menetapkan berbagai
sama dengan yang ada dalam KUHP. keadaan pelaku, yang telah memenuhi
Kata kunci: perintah jabatan; perumusan delik sebagaimana yang telah diatur
dalam Undang-undang yang seharusnya
PENDAHULUAN dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim
dalam hal ini, menempatkan wewenang dalam
1
dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret)
Artikal Skripsi
2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM.
sebagai pelaku penentu apakah telah terdapat
16071101131
3 Fakultas Hukum Unsrat, Doktor Ilmu Hukum 5 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, cet.2, Bina Aksara,
4 Fakultas Hukum Unsrat, Magister Ilmu Hukum Jakarta, 1984, Hlm. 138.

39
Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021

keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti yang terletak di luar dari diri orang
dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.6 tersebut.8
Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau Dari kedua alasan yang ada dalam MvT
terdakwa sudah memenuhi semua unsur tindak (Memorie van Toelichting) tersebut,
pidana yang dirumuskan dalam peraturan menimbulkan kesan bahwa pembuat Undang-
hukum pidana, akan tetapi ada beberapa alasan Undang dengan tegas merujuk pada penekanan
yang dapat menyebabkan pelaku tidak tidak dapat dipertanggungjawabkannya
dipidana, atau dikecualikan dari penjatuhan seseorang, tidak dapat dipidananya pelaku atau
sanksi pidana. Dengan demikian alasan-alasan pembuat, bukan tidak dapat dipidananya
penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang tindakan atau perbuatan. Hal ini dipertegas lagi
memungkinkan orang yang melakukan dalam Pasal 58 KUHP yang menyatakan bahwa
perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi “keadaan diri yang menyebabkan penghapusan,
rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini pengurangan, atau penambahan hukumannya
merupakan kewenangan yang diberikan hanya boleh dipertimbangkan terhadap yang
Undang-Undang kepada hakim.7 mengenai diri orang yang melakukan perbuatan
Berbeda halnya dengan alasan yang dapat itu atau diri si pelaku saja.”
menghapuskan penuntutan, alasan penghapus Alasan penghapus pidana dapat dilihat
pidana itu diputuskan oleh hakim dengan dari sudut unsur-unsur delik, yaitu unsur-unsur
menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya subjektif dan unsur objektif. Dari unsur
perbuatan hapus atau kesalahan pembuat subjektif, yaitu dari dalam diri pribadi si pelaku
tersebut hapus, karena ada ketentuan undang- itu sendiri, karena alasan penghapus pidana
undang dan hukum yang membenarkan yang merupakan alasan pemaaf adalah
peraturan atau yang memaafkan pembuat. merupakan alasan yang menghapuskan
Pembentuk undang-undang telah kesalahan dari si pelaku. Oleh karena hal ini
menetapkan sejumlah alasan penghapus menyangkut dari dalam diri pribadi atau pelaku,
pidana umum dalam Buku I Kitab Undang- maka alasan penghapus pidana ini termasuk
Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP sendiri alasan penghapus pidana sebagai unsur
tidak memberikan pengertian yang jelas subjektif.
tentang makna dari alasan penghapus pidana Sedangkan dari sudut unsur objektif, yaitu
itu. unsur yang berada di luar diri pribadi pelaku
Di dalam KUHP, pada buku kesatu bab III yang menyangkut tentang perbuatan, yang
terdapat beberapa pasal yang mengatur merupakan alasan pembenar. Dalam hal ini
tentang hal-hal yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan pelaku yang
pemidanaan terhadap seorang terdakwa. dihapuskan. Oleh karena hal ini menyangkut
Menurut sejarahnya yaitu melalui M.v.T keadaan di luar diri pribadi pelaku, maka alasan
(Memorie van Toelichting) mengenai alasan penghapus pidana ini termasuk alasan
penghapus pidana,menyebutkan apa yang penghapus pidana sebagai unsur objektif.9
disebut dengan alasan- alasan tidak dapat Keberadaan Pasal 51 KUHP ini sebagai
dipertanggungjawabkannya seseorang atau suatu pasal imunitas bagi pejabat negara yang
alasan-alasan tidak dapat dipidananya di mana seorang pejabat yang menjadikan
seseorang. Hal ini berdasarkan dua alasan ketentuan pasal ini sebagai alasan pembenar
sebagai berikut : ketika mereka terjerat kasus hukum seperti
a. Alasan tidak dapat disamapaikan dimuka terhadap pembelaan
dipertanggungjawabkannya seseorang yang dilakukan oleh terdakwa Oentarto, pada
yang terletak pada diri orang tersebut. dasarnya berangkat dari suatu fakta bahwa
b. Alasan tidak dapat dalam hal kewenangan yang dimiliki seorang
dipertanggungjawabkannya seseorang pejabat seringkali dihadapkan dengan
peraturan normatif atau ketentuan regulasi
yang begitu rumit, sehingga diberikanlah
kebebasan berpendapat dan bertindak seorang
6 M. Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana Teori dan
Studi Kasus, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm.28 8 Ibid, hlm. 28
7 Ibid.Hlm.27. 9 Ibid, Hlm.28

40
Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021

pejabat tersebut yang tertuang dalam Pasal 51 tersebut. Namun bilamana kita sependapat
KUHP yang kemudian lahirnya anggapan dengan asumsi publik tersebut terkait
adanya kekebalan hukum atau ketentuan hak pemaham bahwa disitu terdapat ketentuan
imunitas yang dimiliki oleh10 pejabat negara. kekebalan hukum dan sebagainya, maka secara
Padahal jika melihat sebelumnya pada Pasal 50. tidak langsung dapat kita jadikan ketentuan
Pasal 51 KUHP barangkali anggapan pada pasal lainnya dalam KUHP tersebut
tentang kekebalan hukum bagi pejabat itu tidak sebagai batasan kepada para pejabat dalam
akan pernah kita dengar, terlebih lagi jika kita menjadikan ketentuan 51 Ayat (1) KUHP
memahami dengan mendalam ketentuan Pasal tersebut sebagai alasan ketika dihadapkan oleh
51 Ayat (1) KUHP tersebut. Di sisi lain untuk suatu perkara tindak pidana yang berkaitan
mengatakan kekebalan hukum seperti yang dengan perintah jabatan atau kewenangan
diasumsikan oleh publik tersebut tidaklah lainnya.
semudah yang diasumsikan. Sebagaimana batasan-batasan itu dapat
Sebagaimana bahwa Pasal 51 KUHP itu penulis sampaikan melalui penjabaran baik
memang secara ketentuan penjabarannya yang berangkat dari asumsi publik maupun
disebutkan kurang lebih bahwa tidak dapatnya menurut hemat penulis dalam memahami
dituntut seorang pejabat baik secara perdata ketentuan yang terkandung dalam Pasal, 51
maupun pidana apabila yang telah Ayat (1) KUHP tersebut. Sebagaimana
dilakukannya berdasarkan ketentuan disebutkan sebelumnya bahwa menurut hemat
perundang-undangan atau dengan adanya penulis asumsi tersebut pada dasarnya muncul
itikad baik. Jika sekilas kita melihat ataupun karena pemaknaan atau penafsiran bunyi
memaknai ketentuan pasal yang disebut- sebut redaksi bahasa terhadap keberadaan Pasal 51
sebagai pasal imunitas atau kekebalan hukum Ayat (1) KUHP yang diasumsikan sebagai
bagi pejabat, maka tidaklah keliru sebab redaksi ketentuan perundang-undangan yang
secara bahasa memang bisa menggiring opini memberikan kekebalan hukum bagi seorang
dengan penafsiran yang beragam. pejabat.
Namun meski demikian pemankanaan Disebutkan dalam Pasal 51 Ayat (1) bahwa
ketentuan Pasal 51 KUHP tersebut yang disebut jika seseoarang melakukan suatu tindakan atau
sebagai pasal imunitas juga seharusnya kita perbuatan yang di mana perbuatannya tersebut
dapat memaknainya dengan bijak, ‘’tindakan dalam rangka melaksanakan perintah jabatan
yang dilakukan oleh pejabat dengan yang diberikan oleh penguasa yang berwenag
mengedepankan itikad baik sesuai dengan atau memiliki kapasitas terhadap perintah
perintah atau amanat undang-undang’’, tersebut, maka seseorang yang melakukan
pernyataan atau redaksi bahasa dalam pasal ini perintah tersebut tidak dapat dipidana.
saja sudah jelas-jelas bahwa perbuatan yang Adapun berbedaan yang mendasar
dilakukan oleh pejabat negara tersebut tidak terhadap melakukan suatu perintah
semerta sebagaimana kepentingan atau berdasarkan perundang-undangan dengan
keinginan pribadinya, melainkann harus suatu perintah atas perintah atau instruksi
melihat juga ketentuan perundang-undangan jabatan yang berwenang adalah suatu perintah
dalam tindakan yang menurutnya itu jabatan memiliki suatu hubungan antara
merupakan tindakan itikad baik. seseorang yang diberikan perintah dan
Dari pemaparan di atas mengenai anggapan seseorang yang memiliki jabatan atas
adanya ketentuan pasal imunitas pada wewenangnya dalam memberikan perintah,
dasarnya secara langsung tidak disebutkan atau dengan kata lain adanya hubungan publik.
dalam peraturan perundang-undangan Yang di mana perintah atas wewenang jabatan
manapun, sebagaimana dalam Pasal 51 Ayat (1) tersebut juga harus berdasarkan peraturan
KUHP tersebut tidak sedikitpun disebutkan perundang-undangan. Sedangkan menjalankan
pejabaran tentang ketentuan imunitas perintah undang-undang sudah jelas bahwa
akan menjadi benar terhadap apa yang akan
10Di Akses Dari, Atang Irawan, Hak Imunitas Pejabat
kita perbuat ketika hal tersebut diamanatkan
Negara, https://rmol.id/amp.2020/05/01/432808/ https- oleh undang-undang yang ada.
rmol- read-2020-05-01-432808-hak-imunitas-prjabat-
negara. Pada tanggal 5 Januari 2021, Pukul 12.02 Wita.

41
Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021

Sebagai gambaran apa yang dimaksud diberi tugas, yang merupakan sebagian dari
sebagai perintah jabatan adalah, antara tugas pemerintah, dan yang melakukan
Presiden dan Menteri yang di mana kedua pekerjaan yang bersifat atau untuk umum”.
jabatan tersebut memiliki hubungan publik. Di Indonesia, semula pegawai negeri
Akibat adanya hubungan publik antara Presiden diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
dan Menteri tersebut, maka seorang menteri 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, tetapi
dapat dibenarkan melakukan sesuatu tindakan sekarang undang-udnang ini sudah digantikan
atas perintah seorang presiden yang di mana oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
perintah presiden tersebut sejauh kapasitas tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam Undang-
atau wewenangnya yang disebutkan dalam Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) ini dikenal
perundang-undangan. istilah Pegawai Aparatur Sipil Negara. Pasal 1
Perintah jabatan (ambtelijk bevel) angka 2 Undang-Undang ASN diberikan bataan
berkaitan erat dengan perintah yang diberikan pengertian sebagai berikut,
oleh seorang pejabat atau pegawai negeri (Bld.: Pegawai Aparatur Sipil Negara yang
ambtenaar). Apakah yang dimaksudkan dengan selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah
istilah pejabat? KUHP tidak memberikan pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah
perumusan tentang apa yang dimaksudkan dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh
dengan pejabat (ambtenaar). Dalam Pasal 92 pejabat pembina kepegawaian dan diserahi
KUHP hanya dikemukakan suatu rumusan yang tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau
merupakan perluasan dari arti pejabat. Pasal 92 diserahi tugas negara lainnya dan digaji
ayat (1) KUHP menentukan bahwa yang disebut berdasarkan peraturan perundang-undangan.11
pejabat, termasuk juga: Pengertian Aparatur Sipil Negara (ASN)
a. orang-orang yang dipilih dalam menjadi pengertian pokok untuk istilah
pemilihan yang diadakan berdasarkan ambtenaar (pejabat) sedangkan perluasan
aturan- aturan umum, begitu juga pengertiannya untuk KUHP dapat ditemukan
orang-orang yang bukan karena dalam Pasal 92 KUHP yang terletak dalam Buku
pemilihan, menjadi anggota badan I Bab IX tentang Arti Bebrapa Istilah Yang
pembentuk undang- undang, badan Dipakai Dalam Kitab Undang-Undang.
pemerintahan, atau badan perwakilan Apakah antara yang memberi perintah dan
rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah yang diperintah harus ada hubungan atasan-
atau atas nama pemerintah; bawahan dan yang diperintah harus juga
b. begitu juga semua anggota dewan seorang pejabat (pegawai negeri)? Hoge Raad
subak, dan semua kepala rakyat (Mahkamah Agung Negara Belanda) dalam
Indonesia asli dan kepala golongan putusannya tanggal 21 Mei 1918 memberikan
Timur Asing, pertimbangan bahwa, “di sini tidak hanya
yang menjalankan kekuasaan yang sah. dimaksudkan sifat membawah dalam jabatan,
Selanjutnya, dalam Pasal 92 ayat (2) KUHP akan tetapi setiap kewajiban untuk patuh dari
ditentukan bahwa yang disebut pejabat dan penduduk terhadap perintah-perintah dari
hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut organ-organ dari kekuasaan negara”.12
hakim termasuk juga orang-orang yang Dengan demikian menurut putusan Hoge
menjalankan peradilanadministratif, serta Raad ini, untuk perintah jabatan tidak perlu aa
ketia-ketua dan anggota-anggota pengadilan hubungan atasan-bawahan antara yang
agama. memberi perintah dan yang diperintah. Setiap
Kemudian menurut Pasal 92 ayat (3) penduduk memiliki kewajiban hukum untuk
KUHP, semua anggota Angkata Perang juga mentaati perintah dari pejabat dan ini menjadi
dianggap sebagai pejabat. Karena KUHP tidak alasan openghapus pidana bagi yang
memberikan suatu tafsiran otentik tentang apa diperintah. Yang penting yang memberi
yang dimaksudkan dengan pejabat, maka Hoge perintah aalah seorang pejabat.
Raad (Mahkamah Agung Negara Belanda) telah
memberikan pertimbangannya bahwa yang 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
dimaksudkan dengan pejabat adalah “setiap Sipuil Negara
orang yang diangkat oleh pemerintah dan 12 Lamintang, P.A.F. dan C.D. Samosir, Hukum Pidana

Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983.Hlm.34

42
Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021

Mengenai apakah suatu perintah bahwa kita tidak dapat menerima apa yang
merupakan perintah yang sah atau tidak, dinamakan disiplin bangkai. Suatu perintah
menurut Satochid Kartanegara “harus ditinjau tidak boleh langsung dijalankan, melainkan
dari sudut undang-undang yang mengatur harus dipikirkan terlebih dahulu jika dirasakan
kekuasaan pegawai negeri itu, sebab untuk tiap benar-benar bertentangan dengan hukum dan
pegawai negeri ada peraturannya sendiri”.13 Di kemanusiaan.
samping itu cara melaksanakan perintah Untuk lebih memperjelas pengertian
tersebut harus juga “seimbang, patut dan tidak peruintah jabatan dalam Pasal 51 ayat (1)
boleh melampaui batas-batas keputusan KUHP, perlu untuk sekedarnya melihat
perintah”. Satochid Kartanegara memberikan perbandingannya dengan perintah jabatan
contoh mengenai seorang polisi yang tanpa wewenang dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP.
diperintah oleh atasannya untuk menangkap Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menurut Tim
seorang yang telah melakukan suatu kejahatan. Penerjemah BPHN, berbunyi sebagai berikut,
Dalam melaksanakan perintah itu, cukup ia “Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak
menangkapnya dan membawanya, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika
diperkenankan untuk memukulnya, dan yang diperintah, dengan itikad baik mengira
sebagainya.14 Dengan demikian, menjalankan bahwa perintah diberikan dengan wewenang
perintah secara berlebihan, misalnya diberi dan pelaksanaannya termasuk dalam
perintah untuk menangkap orang tetapi yang lingkungan pekerjaannya”.
diperintah melakukan penangkapan dengan Berdasarkan rumusan pasal ini, pada
memberikan pukulan dan tendangan yang tidak dasarnya, hanya perintah jabatan yang
diperlukan karena yang ditangkap tidak diberikan oleh pejabat yang berwenang, jadi
melakukan perlawanan. hanya suatu perintah jabatan yang sah semata-
Para penulis hukum pidana sepakat mata, yang dapat melepaskan orang yang
bahwa perintah jabatan yang diatur dalam diperintah dari terkena sanksi pidana. Suatu
Pasal 51 ayat (1) KUHP merupakan suatu alasan perintah jabatan yang tanpa wewenang, atau
pembenar (rechtsvaardigingsgrond). Dengan suatu perintah jabatan yang tidak sah, pada
demikian semua orang yang turut membantu dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang
orang yang diperintah itu juga tidak dapat diperintah dari pidana.
dihukum karena perbuatan menurut perintah
jabatan itu merupakan perbuatan yang benar. B. Pengaturan alasan Penghapus Pidana
Berkenaan dengan substansi dari perintah karena perintah jabatan dalam Rancangan
jabatan (ambtelijk bevel) sebagai suatu alasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
penghapus pidana, penting dikemukakan (KUHP Nasional).
pendapat Moeljatno yang menulis bahwa, ... Untuk mencapai tujuan nasional melalui
gagasan penting yaitu bahwa tidak tiap- tiap hukum pidana, secara bertahap telah
pelaksanaan perintah jabatan melepaskan dilaksanakan kebijakan legislasi nasional.
orang yang diperintah dari tanggungjawab atas Berbagai Rancangan Undang-Undang baru atau
perbuatan yang dilakukan. Dengan lain kata, di revisi yang di dalamnya mengatur aspek
situ termaktub pengutukan daripada apa yang pemidanaan telah dilakukan. Hanya saja
dinamakan: disiplin bangkai (kadaver disiplin). problem utama yang dihadapi bangsa Indonesia
Pemerintah kita mengutuk orang yang secara adalah masih belum digantinya hukum pidana
membuta tanpa dipikir-pikir lebih dahulu, induk (kodifikasi) yang dimuat dalam Kitab
menjalankan begitu saja perintah dari Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
atasannya. Pemerintah kita seyogyanya jangan khususnya Buku I yang memuat Ketentuan
terdiri dari pejabat- pejabat yang hanya bisa Umum, sebagai instrumen dan barometer
bilang: “sendiko, semuhun dawuh” atau “yes- hukum pidana nasional Indonesia. Seiring
man” saja.15Oleh Moeljatno dikemukakan dengan perkembangan masyarakat Indonesia
yang begitu cepat dan tuntutan akan keadilan
13 Ibid, Hlm.285
begitu kuat, rumusan hukum pidana yang
14 Ibid, Hlm.486 dimuat dalam KUHP tidak lagi mampu dijadikan
15 Tim Penerjemah BPHN, Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.Hlm.67

43
Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021

dasar hukum untuk mengatasi problem merumuskan kebijakan legislasi dalam bidang
kejahatan dan tuntutan keadilan.16 hukum pidana.
Kebijakan yang ditempuh adalah Dalam konteks inilah seakan-akan terjadi
melakukan kebijakan legislasi hukum pidana dualisme „sistem hukum pidana ‟,yaitu sistem
yang terkesan cenderung di luar kendali asas- hukum pidana yang dibangun berdasarkan
asas hukum pidana Buku I KUHP, melalui KUHP, dan sistem hukum pidana yang dibangun
undang-undang yang secara khusus mengatur berdasarkan undang-undang yang tersebar di
tentang hukum pidana dan undang-undang di luar KUHP. Keadaan yang sama juga terjadi
bidang hukum administrasi (administrative dalam lapangan hukum acara pidana, yaitu
penal law) atau cabang hukum lain yang perkembangan hukum acara pidana dalam
memuat ketentuan pidana. Perkembangan undang-undang di luar KUHAP telah
hukum pidana di luar KUHP tersebut semakin menyimpang dari norma hukum acara pidana
banyak dan ada kecenderungan untuk sesuai standar menurut KUHAP.
meninggalkan kaedah atau prinsip-prinsip Perkembangan hukum pidana tersebut
hukum pidana yang dimuat dalam Ketentuan secara perlahan-lahan telah menimbulkan
Umum Hukum Pidana (Buku I KUHP). problem yang serius dalam penegakan hukum
Kencenderungan ini mengarah pada upaya pidana yaitu: (1) adanya pengkaplingan hukum
kriminalisasi norma. pidana yang terlalu ketat yang kurang
Perkembangan pengaturan aspek mempertimbangkan politik pembentukan
kriminalisasi baru ini diakibatkan oleh: (1) hukum pidana; (2) terjadinya duplikasi norma
adanya tuntutan masyarakat terhadap hukum pidana antara norma hukum pidana
kepentingan hukum baru yang harus dilindungi dalam KUHP dengan norma hukum pidana
hukum pidana, (2) kebutuhan bidang hukum dalam undang- undang di luar KUHP; (3)
lain (hukum perdata dan hukum perumusan ancaman sanksi pidana sebagai
administrasi/hukum tata usaha negara) yang parameter keadilan dalam penjatuhan pidana
membutuhkan sanksi hukum pidana untuk tidak terstruktur dan tidak sistematik; dan (4)
memperkuat norma-norma dan nilai-nilainya, terlalu banyak undang- undang yang membuat
(3) adaptasi terhadap kemerdekaan dan proses ketentuan pidana termasuk terlalu sering
demokratisasi, dan harmonisasi terhadap mengubah norma hukum pidana dalam KUHP.18
perkembangan internasional dalam bentuk Kondisi ini dapat tidak terjadi apabila
konvensi baik yang sudah atau belum pembuat undang- undang mentaati asas-asas
diratifikasi.17 hukum pengendali kodifikasi dalam ketentuan
Sebaliknya ada pula yang berupa umum Buku I KUHP. Ketentuan Buku I
dekriminalisasi atau depenalisasi. Berdasarkan seyogyanya berlaku juga bagi perbuatan yang
pencermatan terhadap perkembangan hukum dapat dipidana menurut peraturan perundang-
pidana tersebut, menunjukkan bahwa KUHP undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut
atau Wetboek van Strafrecht voor peraturan perundang-undangan tersebut.
Nederlandsch-Indie (S.1915 No. 732) yang Keadaan hukum pidana tersebut telah
dinyatakan berlaku di Indonesia berdasarkan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
UU. Nomor 1 Tahun 1946 Jo. UU. Nomor 73 akan arti pentingnya pembaruan hukum pidana
Tahun 1958 baik pada bagian Ketentuan Umum secara komprehensif, yang di dalamnya
(“general rules”/algemmene deel) yang dimuat mengandung misi “konsolidasi” untuk mentaati
dalam Buku I KUHP maupun bagian rumusan asas-asas yang tersurat dan tersirat dalam buku
Kejahatan (misdrijven) yang dimuat dalam Buku I KUHP guna membangun sistem hukum pidana
II KUHP, dan rumusan Pelanggaran nasional Indonesia yang solid, di samping misi
(overtredingen) yang dimuat dalam Buku III dekolonialisasi, harmonisasi, demokratisasi dan
KUHP, tidak lagi dijadikan rujukan utama dalam aktualisasi.
Usaha untuk mewujudkan keinginan
tersebut telah dimulai sejak Tahun 1963
16 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
dengan disusunnya Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2015, Jakarta:
BPHN, Hlm.5
17 Ibid, Hlm.6. 18 Ibid, Hlm.8

44
Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021

Hukum Pidana dalam suatu kitab hukum pidana pidananya, hanya dikenakan kepada terdakwa
atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana apabila ia sepatutnya tidak dapat menduga
Indonesia (KUHP). Kebijakan pembentukan kemungkinan terjadinya akibat itu apabila
KUHP Nasional Indonesia tersebut dapat sekurang-kurangnya ada kealpaan. Jadi tidak
menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum menganut doktrin menanggung akibat secara
pidana nasional Indonesia sebagai perwujudan murni, namun tetap diorientasikan pada asas
dari keinginan untuk mewujudkan misi kesalahan.
dekolinisasi KUHP peninggalan/warisan Pertanggungjawaban pidana merupakan
kolonial, demokratisasi hukum pidana, substansi yang sangat penting beriringan
konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi dan dengan masalah pengaturan tindak pidana.
harmonisasi terhadap berbagai perkembangan Pertanggungjawaban pidana adalah
hukum yang terjadi baik sebagai akibat implementasi ide keseimbangan, antara lain
perkembangan di bidang ilmu pengetahuan sebagai berikut: Adanya asas tiada pidana
hukum pidana maupun perkembangan nilai- tanpa kesalahan (asas culpabilitas/asas geen
nilai, standar-standar serta norma yang hidup straf zonder schuld) yang merupakan asas
dan berkembangan dalam kehidupan kemanusiaan sebagai pasangan dari asas
masyarakat hukum Indonesia dan dunia legalitas (principle of legality) yang merupakan
internasional, sekaligus sebagai refleksi asas kemasyarakatan.
kedaulatan nasional yang bertanggungjawab Kedua syarat atau asas itu tidak
(privilege, control and responsibility).19 memandang sebagai syarat yang kaku dan
Berkaitan dengan pertanggungjawaban bersifat absolut. Dalam hal-hal tertentu dapat
pidana yang merupakan salah satu pilar memberi kemungkinan untuk menerapkan asas
pembaharuan hukum pidana, bertolak dari strict liability, asas vicarious liability, dan asas
pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, pemberian maaf atau pengampunan oleh
bahwa asas kesalahan (asas culpabilitas) hakim (rechterlijk pardon atau judicial pardon).
merupakan pasangan dari asas legalitas yang Adanya asas judicial pardon dilatarbelakangi
harus dirumuskan secara eksplisit oleh UU. oleh ide atau pokok pemikiran :21
Secara eksplisit asas tiada pidana tanpa 1) menghindari kekakuan/absolutisme
kesalahan (geen straf zonder schuld), yang di pemidanaan;
dalam KUHP tidak ada. 2) menyediakan klep/katup pengaman
Dengan adanya asas ini, maka seseorang (veiligheidsklep);
tidak boleh dipidana, kecuali apabila ia terbukti 3) bentuk koreksi judisial terhadap asas
bersalah telah melakukan tindak pidana, baik legalitas (judicial corrective to the
secara melakukan perbuatan (aktif) maupun legality principle);
tidak melakukan (pasif) yang diancam dengan 4) pengimplementasian/pengintegrasian
pidana dalam Undang-Undang. Seseorang nilai atau paradigma hikmah
dikatakan bersalah melakukan perbuatan kebijaksanaan dalam Pancasila;
pidana, jika ia melakukannya dengan sengaja 5) pengimplementasian/pengintegrasian
(dolus) atau karena alpa (culpa) dengan segala tujuan pemidanaan ke dalam syarat
jenisnya. Jadi rumusan yang berkaitan dengan pemidanaan (karena dalam
pertanggungjawaban pidana merupakan memberikan permaafan/pengampunan
pertanggungjawaban pidana yang berdasarkan hakim harus mempertimbangkan
kesalahan terutama dibatasi pada perbuatan tujuan pemidanaan);
yang dilakukan dengan sengaja (dolus).20 6) jadi syarat atau justifikasi pemidanaan
Dapat dipidananya delik culpa hanya tidak hanya didasarkan pada adanya
bersifat perkecualian (eksepsional) apabila tindak pidana (asas legalitas) dan
ditentukan secara tegas oleh undang-undang, kesalahan (asas culpabilitas), tetapi
sedang pertanggungjawaban terhadap akibat juga pada tujuan pemidanaan.
tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh Kewenangan hakim untuk memberi
undang-undang diperberat ancaman maaf (rechterlijk pardon)

19 ICISS, The Responsibility to Protect, 2001, hlm. 7.


20 Ibid, Hlm.33 21 Ibid,Hlm. 34.

45
Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021

dengan tidak menjatuhkan sanksi Apabila ia dapat dicela atas perbuatannya,


pidana/tindakan apa pun, diimbangi pula maka ia dapat dipidana. Demikian terlihat
dengan adanya asas culpa in causa (atau asas bahwa asas kesalahan merupakan asas yang
actio libera in causa) yang memberi fundamental dalam hukum pidana. Selain
kewenangan kepada hakim untuk tetap bahwa tidak dipidananya pelaku tindak pidana
mempertanggungjawabkan si pelaku tindak karena tidak adanya kesalahan padanya, maka
pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, juga terdapat alasan-alasan lain sebagai alasan
jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas untuk tidak dipidananya seseorang meskipun ia
terjadinya keadaan yang menjadi alasan melakukan tindak pidana.
penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan Perintah Jabatan dalam Rancangan KUHP
hakim untuk memaafkan (tidak mempidana) secara eksplisit termasuk dalam kategori alasan
diimbangi dengan kewenangan untuk tetap pembenar yang termuat dalam Paragraf 8 Pasal
mempidana sekalipun ada alasan penghapus 32 “Setiap Orang yang melakukan perbuatan
pidana. yang dilarang tidak dipidana jika perbuatan
Dengan dimasukkannya rumusan asas tersebut dilakukan untuk melaksanakan
perbuatan dan perbuatannya/pelakunya, yaitu perintah jabatan dari Pejabat yang
asas yang mendasarkan kepada apa yang berwenang.”22
dilakukan dan siapa yang melakukannya dalam
RUU KUHP, maka tindak pidana dan PENUTUP
pertanggunganjawab memperoleh konter yang A. Kesimpulan
jelas. Adapun yang dimaksud dengan 1. Pemberlakuan alasan Penghapus Pidana
pertanggunganjawab pidana adalah karena perintah jabatan (Ambtelijk Bevel)
diteruskannya celaan yang secara objektif ada menurut Pasal 51 ayat (1) KUHP tersebut
pada tindak pidana berdasarkan ketentuan tidak sedikitpun disebutkan pejabaran
hukum yang berlaku, dan secara subjektif tentang ketentuan imunitas tersebut.
kepada pembuat yang memenuhi syarat dalam Namun bilamana kita sependapat dengan
Undang-Undang (pidana) untuk dapat dikenai asumsi publik tersebut terkait pemaham
pidana karena perbuatannya. bahwa disitu terdapat ketentuan
Dengan diteruskannya celaan yang kekebalan hukum dan sebagainya, jika
objektif ada pada tindak pidana berdasarkan seseoarang melakukan suatu tindakan
ketentuan yang berlaku dan yang secara atau perbuatan yang di mana
subjektif kepada pelaku yang memenuhi syarat- perbuatannya tersebut dalam rangka
syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk melaksanakan perintah jabatan yang
dapat dipidana karena perbuatannya itu, maka diberikan oleh penguasa yang berwenag
timbullah hal pertanggungjawaban pidana. atau memiliki kapasitas terhadap perintah
Masalahnya, apakah pelaku dapat dicela tersebut, maka seseorang yang melakukan
dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang perintah tersebut tidak dapat dipidana.
tersebut? Apabila dapat, maka berarti ia dapat 2. Pertanggungjawaban pidana yang
dipidana, dalam hal dapat dibuktikan merupakan salah satu pilar pembaharuan
kesalahannya, baik dalam arti sengaja atau hukum pidana yang dikristalisasi dalam
tidak karena kealpaannya. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Kapan seseorang dikatakan bersalah, ialah Pidana (RKUHP), didalamnya mempertegas
bilamana ia dapat dicela dipandang dari sudut kategori alasan pembenar dan alasan
kemasyarakatan, sebab ia dianggap semestinya pemaaf yang sebelumnya tidak
dapat berbuat lain jika ia memang tidak ingin dikategorikan dalam KUHP dan Perintah
berbuat demikian, sedang yang dimaksud Jabatan termasuk dalam kategori alasan
dengan kesalahan ialah keadaan jiwa seseorang pembenar dengan uraian unsur yang
yang melakukan perbuatan itu dalam masih sama dengan yang ada dalam KUHP.
hubungannya dengan perbuatannya, dan
hubungan itu sedemikian hingga ia dapat dicela B. Saran
atas perbuatan tersebut.
22Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Hlm.10

46
Lex Crimen Vol. X/No. 12/Nov/2021

1. Pemaknaan pasal Perintah Jabatan Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari
harus secara objektif agar tidak Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
digunakanan sebagai pasal impunitas Jakarta, 1983
pejabat agar tidak terjerat tindak Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
pidana dan penggunaan pasal tersebut Kencana Prenada Media Group,
oleh aparat harus didasarkan pada teori Jakarta, 2005.
hukum pidana yang kredibel. R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana
2. Perlu adanya penjelasan lebih rinci Peraturan Umum dan Delik-Delik
terkait unsur perintah jabatan dalam Khusus, Politea, Bogor, 1979.
Rancangan Kitab Undang-Undang Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji,
Hukum Pidana (KUHP Nasional) seperti “Penelitian Hukum Normatif Suatu
dengan memuatnya dalam aturan Tinjauan Singkat”, Raja Grafindo
penjelasan untuk memperjelas ranah Persada,Jakarta, 2008.
perintah jabatan dalam hukum pidana. Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas
Hukum Pidana sampai dengan Alasan
DAFTAR PUSTAKA Peniadaan Pidana, Armico, Bandung,
Buku 1996
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Van Bemmelen“Hukum Pidana 1 Hukum Pidana
Bagian 2, Penafsiran hukum pidana, Material Bagian Umum”,Bandung:
Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Bina Cipta,1984
Peringatan Pidana, Kejahatan Aduan, Jurnal/Karya Ilmiah
Cetakan 1, PT.RajaGrafindo, Jakarta, Sulistyowati Irianto,2002, Metode Penelitian
2002 Kualitatif dalam Metodologi Penelitian
Bambang Poernomo “Asas-asas Hukum Ilmu Hukum, Jurnal Hukum dan
Pidana”, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, Pembangunan, Volume 32 Nomor 2.
1993. Pearturan Perundang-Undangan
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dasar Penghapus, Peringan, dan
Pemberat Pidana, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2010.
Frans Maramis “Hukum Pidana Umum dan
Tertulis di Indonesia”, Rajawali Pers.
Jakarta, 2013.
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Lamintang“Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia”, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997.
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum
Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori
dan Studi Kasus, PT. Refika Aditama,
Bandung, 2012.
Moeljatno “Asas-asas Hukum Pidana”, Rineka
Cipta,Jakarta, 2008.
Muhaimin, “Metode Penelitian Hukum”,
Mataram University Press, Mataram,
2020.
M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori
dan Studi Kasus, PT. Refika Aditama,
Bandung,2012.

47

Anda mungkin juga menyukai