Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS JAYABAYA

ALASAN PENGHAPUSAN, PERINGANAN, DAN PEMBERAT PIDANA


(GROUNDS FOR EXONERATION, MITIGATION, AND
AGGRAVATION OF CRIMINAL)

MAKALAH
Disusun Sebagai Pemenuhan Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Pidana

KELOMPOK VI
AMANAH MUNADI : 2022330050076
GARRY JULIAN : 2022330050077

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI S1 HUKUM
JAKARTA TIMUR
19 MEI 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ranah hukum pidana di Indonesia, penentuan hukuman pidana atas kejahatan yang
dilakukan merupakan suatu proses yang kompleks dan beragam. Konsep alasan untuk
penghapusan, peringanan, dan pemberat pidana merupakan faktor-faktor yang berperan dalam
membentuk suatu hasil kasus pidana, faktor-faktor ini menyelaraskan hukuman dengan prinsip-
prinsip keadilan.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang alasan-alasan penghapusan,
peringanan, dan pemberat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia.
KUHP memberikan wawasan tentang keadaan khusus yang dapat mengarah pada penghapusan,
peringanan, dan pemberat pidana dalam sistem peradilan pidana. Penjelasan perihal alasan
penghapusan, peringanan, dan pemberat pidana memberikan panduan untuk menilai kesalahan
individu yang dituduh melakukan kejahatan, menentukan hukuman yang tepat, dan memastikan
prinsip keadilan ditegakkan.
Alasan penghapusan pidana memberikan perlindungan terhadap keyakinan yang salah,
alasan peringanan pidanan memungkinkan penentuan hukuman yang disesuaikan berdasarkan
keadaan individu, dan pemberat pidana memastikan bahwa pelanggaran serius akan diberikan
hukuman yang berat. Dengan memahami konsep-konsep ini, dapat membantu kita untuk mengulas
seluk-beluk kasus pidana dan berkontribusi pada sistem peradilan pidana yang adil dan efektif di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian “Alasan Penghapusan, Peringanan, dan Pemberat Pidana”?
2. Studi kasus alasan penghapusan, peringanan, dan pemberat pidana?

C. Metode Penelitian
Pendekatan metode penelitian kuantitatif bersifat deduktif, artinya proses penelitian
diawali observasi, membuat hipotesis dan mengumpulkan data. Proses penalaran yang dilakukan
berdasarkan fakta-fakta secara umum (general) menjadi khusus (particular).

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA (Grounds for Exoneration of Criminal)
Alasan penghapusan pidana adalah alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan
perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Alasan ini
mengacu pada penghapusan tanggung jawab pidana bagi seseorang yang telah dituduh melakukan
kejahatan. Alasan penghapus pidana dalam KUHP meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Ini termasuk tidak adanya niat, pembelaan diri, paksaan, dan pembenaran hukum. Beban
pembuktian ada pada terdakwa untuk menetapkan alasan-alasan ini, yang menunjukkan bahwa
tindakan mereka harus dibenarkan atau dimaafkan karena keadaan luar biasa atau keadaan-
keadaan diluar kendali terdakwa seputar pelanggaran tersebut. Alasan penghapusan pidana
berfungsi sebagai dasar keyakinan untuk melakukan perlindungan terhadap hukuman yang salah
dari individu yang mungkin telah bertindak karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan dan
dimaafkan oleh ketentuan KUHP.

B. ASAS-ASAS ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA


1. Asas Subsidiaritas
- Adanya benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum.
- Adanya benturan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum.
- Adanya benturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.
2. Asas Proporsionalitas
- Ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela.
- Ada keseimbangan antara kewajiban hukum yang dilakukan.
3. Asas “Culpa in Causa”
Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang semula mengambil resiko bahwa dia akan
melakukan perbuatan pidana.

C. JENIS-JENIS ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA


1. Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgrond)
Alasan pembenar adalah alasan-alasan yang membenarkan tindakan pelaku, dengan
menghapus sifat melawan hukum dari tindakannya. Alasan pembenar merupakan suatu kondisi

2
3

seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tidak di pidana karena perbuatan
tersebut dianggap sah atau dibenarkan oleh hukum. Terdapat beberapa alasan pembenar yang
diatur dalam KUHP, antara lain:
a. Keadaan Darurat (Noodtoestand);1
Seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam keadaan
darurat yang memaksa dan tidak terduga untuk melindungi diri sendiri atau orang lain
dari bahaya serius tidak dapat dipidana. Contoh, seorang supir mobil mengalami rem
blong secara tiba-tiba, sehingga mobilnya kehilangan kendali dan menabrak orang lain
hingga orang tersebut luka berat atau meninggal. Dalam situasi keadaan kahar (force
majeure) seperti rem blong yang tidak terduga dapat menjadi alasan penghapusan
pidana karena perbuatan tersebut diakibatkan oleh keadaan yang tidak dapat dihindari
dan diatasi dengan segera.
b. Pembelaan Terpaksa (Noodweer);2
Seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena tidak dapat
menghindari keadaan yang mengancam keselamatannya sendiri atau orang lain tidak
dapat dipidana. Contoh, seorang warga yang sedang berada di dalam rumah lalu tiba-
tiba ada maling yang masuk ke dalam rumahnya. Untuk membela diri, ia memukul
kepala maling tersebut dengan benda disekitarnya hingga maling tersebut tidak
sadarkan diri atau bahkan meninggal dunia.
c. Menjalankan Undang-Undang;3
Seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dalam rangka
menjalankan hak yang sah yang diatur dalam UU atau Peraturan Perundang-Undangan
tidak dapat dipidana. Contoh, tentara yang bertugas dalam penjagaan perbatasan
melakukan penembakan terhadap orang atau sekelompok orang yang melanggar
perbatasan negara dan/atau berusaha melakukan serangan. Tindakan penembakan yang
dilakukan oleh tentara tersebut dilakukan dalam batas-batas yang ditentukan oleh UU

1 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 48 KUHP.
2 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 49 Ayat (1) KUHP.
3 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 50 KUHP.
4

dan bertujuan melindungi keamanan negara. Dalam konteks ini, tentara tidak dapat
dipidana karena kemanan perbatasan negara diatur oleh UU.
d. Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah;4
Seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam rangka
menjalankan tugas yang sah sesuai dengan perintah jabatan yang diatur oleh UU tidak
dapat dipidana. Contoh, petugas regu tembak yang menjadi eksekutor penembakan
terhadap eksekusi terpidana hukuman mati. Tindakan penembakan yang dilakukan
petugas tersebut dilakukan sesuai perintah jabatan yang ditentukan oleh UU dan
bertujuan melaksanakan putusan pengadilan demi keadilan penegakan hukum. Dalam
konteks ini, petugas regu penembak tidak dapat dipidanan karena melakukan
pelaksanaan perintah jabatan yang sah.
2. Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgrond)
Alasan pemaaf adalah alasan yang menghilangkan unsur kesalahan (dalam arti luas) pada
tindakan pelaku dan memafkan pelaku atas tindakannya itu. Terdapat beberapa alasan pemaaf
yang diatur dalam KUHP, antara lain:
a. Tidak Sehat Jiwanya;5
Adalah ketidakmampuan pelaku untuk menyadari tindakan, dalam kondisi seperti
itu, pelaku dianggap tidak memiliki kesalahan karena tidak dapat disalahkan secara
hukum atas tindakannya. Untuk mengkonfirmasi kondisi itu, pengadilan biasanya akan
meminta pendapat dari ahli kejiwaan atau psikiater yang berkualifikasi untuk menilai
kondisi kejiwaan pelaku. Konsekuensi hukum, jika kondisi tidak sehat jiwanya terbukti,
pengadilan akan menghapuskan pidana terhadap pelaku. Namun, dalam beberapa kasus,
pengadilan dapat memutuskan untuk menempatkan pelaku di lembaga rehabilitasi atau
rumah sakit jiwa guna melindungi masyarakat dan memastikan pemulihan pelaku.
b. Daya Paksa (Overmacht);6
Pengertian alasan penghapusan pidana karena daya paksa adalah ketika pelaku
tindak pidana melakukan perbuatan melawan hukum sebagai akibat dari tekanan atau

4 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 50 Ayat (1) KUHP.
5
Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 44 KUHP.
6 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 48 KUHP.
5

ancaman yang sedemikian rupa sehingga ia berada dalam keadaan serba salah,
sehingga ia mengambil suatu sikap yang melanggar UU. Dalam situasi seperti itu,
pelaku dianggap tidak memiliki kesalahan karena terpaksa bertindak di bawah
pengaruh daya paksa yang tidak dapat dihindari. Contoh, Seorang menggunakan sabu-
sabu dalam keadaan dipaksa oleh tiga temannya yang lain, sehingga seseorang yang
berada dalam pengaruh daya paksa secara fisik tidak dapat melawan kekuatan besar,
maka ada alasan pemaaf yang dapat menghapus dari tanggung jawab pidananya.
c. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Excess);7
Pengertian alasan penghapusan pidana karena Pembelaan Terpaksa Melampaui
Batas adalah ketika seseorang melakukan tindakan untuk membela diri sendiri atau
orang lain dalam situasi yang memaksa, tetapi dalam prosesnya, pelaku menggunakan
kekerasan atau tindakan yang melampaui batas-batas yang wajar yang diperlukan untuk
melindungi diri atau orang lain. Contoh, seseorang terpaksa harus keluar saat malam
hari dan melewati jalan yang sepi dan rawan perampokan. Untuk menjaga diri, ia
membawa pisau kecil di sakunya. Di pertengahan perjalanan, ia dicegat oleh perampok.
Lalu orang ini, membela diri dengan menusukkan pisau kepada perampok tersebut
hingga meninggal dunia. “Necessitas Quod Cogit Defendit”, artinya keadaan terpaksa
melindungi apa yang harus diperbuat.
d. Menjalankan Perintah Yang Dianggap Sah;8
Alasan penghapusan pidana karena “Menjalankan Perintah Jabatan” yang dianggap
sah atau tanpa wewenang (Ambtelijk Bevel Door / Onbevoegd Gezag), yaitu merujuk
pada situasi di mana seseorang melakukan tindakan pidana karena mereka dipaksa
untuk melakukannya, melalui perintah atau instruksi yang diberikan oleh atasan atau
otoritas jabatan mereka, tanpa mereka ketahui batasan kewenangan atas tindakan itu.
Konsep ini sering terkait dengan kejahatan perintah atau "kejahatan yang dijalankan di
bawah perintah" di mana pelaku tidak dipidana karena mereka hanya menjalankan
perintah yang mereka anggap sah. Misalnya, seorang pegawai pemerintah yang tidak
memiliki wewenang atau kompetensi hukum yang memadai diperintahkan oleh atasan

7
Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 49 Ayat (2) KUHP.
8 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 51 Ayat (2) KUHP.
6

untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang. Jika pegawai itu mengikuti


perintah tanpa mengetahui wewenang hukum untuk melakukan penangkapan tersebut,
tindakan penangkapan yang dilakukan oleh pegawai tersebut dapat menjadi alasan
penghapusan pidana. Dalam kasus ini, pegawai tersebut telah mengikuti perintah
jabatannya tanpa memiliki pengetahuan atau pemahaman yang cukup mengenai
ketentuan hukum yang mengatur wewenang penangkapan terhadap seseorang. Oleh
karena itu, penghapusan pidana dapat diberikan sebagai bentuk pengakuan bahwa
pegawai tersebut bertindak berdasarkan perintah yang dianggap sah. “Id Damnum Dat
Qui Iubet Dare; Eius Vero Nulla Culpa Est, Cui Parere Necesse Sit”.
Pertanggungjawaban tidak akan diminta dari mereka yang patuh melaksanakan
perintah, melainkan kepada mereka yang memberi perintah.

D. ALASAN PERINGANAN PIDANA (Grounds for Mitigation of Criminal)


Alasan ini dapat memberikan pengurangan hukuman bagi pelaku kejahatan
berdasarkan faktor-faktor tertentu. KUHP mengenal berbagai alasan untuk meringankan,
seperti percobaan, membantu, dan usia. Faktor-faktor ini memungkinkan aparat penegak
hukum untuk mempertimbangkan keadaan dan karakteristik pelaku untuk menentukan
hukuman yang lebih proporsional dan adil. “Alasan peringanan pidana berfungsi sebagai
landasan untuk mengakui keadaan individu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan untuk
memberikan proporsionalitas dalam hukuman. Keringanan hukuman diatur dengan cara
dikurangi sepertiga dari ancaman maksimum tindak pidana, atau jika kejahatan diancaman
hukuman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, hukuman dapat diringankan
melalui pidana penjara maksimal 15 tahun.9
Adapun putusan-putusan hakim terdahulu yang meringankan pidana dapat
dipelajari diantaranya meliputi nilai atau harga benda yang menjadi objek tindak pidana
pencurian tidak terlalu tinggi, terdakwa melakukan tindak pidana karena himpitan ekonomi,
terdakwa adalah tulang punggung keluarga, terdakwa belum sempat menikmati hasil
tindak pidana, terdakwa menyesali perbuatannya dan bersikap sopan juga terus terang

9 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 53 KUHP.
7

dalam persidangan, terdakwa masih di bawah umur, dan terdakwa belum pernah dihukum
atau bukan residivis.

E. JENIS-JENIS ALASAN PERINGAN PIDANA


1. Percobaan (Poging);10
Alasan peringanan pidana unsur percobaan didasarkan pada Pasal 53 KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia. Pasal ini menyatakan bahwa jika suatu tindak pidana
terdapat unsur percobaan, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku dapat diperlunak. Berikut
adalah penjelasan mengenai tiga unsur percobaan:
a. Adanya Niat: Untuk dapat dikategorikan sebagai percobaan, pelaku harus memiliki niat
atau kesengajaan untuk melakukan tindak pidana yang tercantum dalam undang-undang.
Niat ini dapat terlihat dari perbuatan atau tindakan pelaku yang menunjukkan maksud atau
tujuan untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Niat disini muncul dalam semua bentuk
kesengajaan, termasuk juga sengaja sebagai kemungkinan /bersyarat (dolus eventualis).
Contoh: Seseorang berencana merampok sebuah toko dengan membawa senjata, dan dia
sengaja memasuki toko tersebut dengan niat untuk mencuri uang dari kasir. Namun,
rencananya digagalkan oleh kehadiran polisi sebelum dia dapat mencuri uang tersebut.
b. Adanya Perbuatan Permulaan Pelaksanaan: Ini berarti pelaku telah melakukan
tindakan konkret atau langkah-langkah awal untuk melaksanakan tindak pidana yang
dimaksud, meskipun tindakan tersebut belum mencapai tahap penyelesaian atau
keberhasilan. “Cogitationis Poenam Nemo Patitur”, yaitu tidak seorangpun dapat
dipidananya atas apa yang semata-mata hanya ada dalam pikirannya. Jadi, niat itu harus
diwujudkan keluar dalam wujud suatu sikap fisik tertentu.
Contoh: Seseorang yang memiliki niat untuk membakar rumah seseorang, memasukkan
bahan bakar ke dalam rumah tersebut dan menyiapkan korek api untuk menyalakan api.
Namun, sebelum dia berhasil menyalakan api, tetangga yang curiga melaporkan kejadian
tersebut kepada polisi, sehingga rencana pembakaran rumah digagalkan.
c. Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Karena Kehendak Sendiri: Unsur ini menyatakan
bahwa pelaksanaan tindak pidana tidak selesai atau tidak berhasil bukan karena kehendak

10 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 53 Ayat (1) KUHP.
8

atau kemauan pelaku sendiri, melainkan karena faktor-faktor eksternal yang menghalangi
kelanjutan atau penyelesaian tindak pidana tersebut. Jika ia berhenti karena tertangkap
tangan maka terhentinya pelaksanaan kejahatan terjadi diluar kemauan pelaku atau karena
terpaksa dan bukan karena kehendak sukarela pelaku.
Contoh: Seseorang yang berencana untuk melakukan pencurian di sebuah toko, tetapi dia
terjatuh dan terluka ketika mencoba memanjat dinding toko. Luka yang dideritanya
membuatnya tidak dapat melanjutkan tindakan pencurian tersebut. Pelaksanaan tidak
selesai bukan karena keputusan atau niatnya sendiri, melainkan karena kejadian yang tidak
terduga.

Dalam kasus-kasus di mana terdapat unsur percobaan yang memenuhi ketiga kriteria di
atas, hakim dapat memberikan peringatan atau hukuman yang lebih ringan kepada pelaku tindak
pidana. Hal ini mengakui bahwa tindakan pelaku belum mencapai tahap penyelesaian dan mungkin
ada harapan untuk rehabilitasi atau perbaikan perilaku di masa depan.
2. Membantu (Medeplichtigheid);11
Suatu tindak pidana yang mempermudah terjadinya atau memperlancar
terlaksananya suatu delik. Tindak pidana “Membantu” merujuk pada peran seseorang
dalam membantu pelaku utama dalam melaksanakan tindak pidana. Contoh, seorang
pemilik mobil yang meminjamkan mobilnya kepada pelaku kejahatan sebagai sarana
utama dalam melakukan kejahatan, misalnya membawa atau memindahkan hasil kejahatan.
Dalam hal ini, jika pemilik mobil tersebut diadili dan dinyatakan bersalah, pengadilan
dapat mempertimbangkan alasan peringan pidana, yaitu “Membantu” pelaku utama dalam
melakukan kejahatannya.
3. Belum Dewasa (Minderjarigheid);12
Jika seseorang yang melakukan tindak pidana masih berstatus sebagai anak-anak
atau belum mencapai usia dewasa, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak
pidananya dikurangi sepertiga. Pidana yang dijatuhkan terhadapnya dapat diperingan
dengan pertimbangan bahwa mereka belum memiliki kapasitas mental dan pemahaman

11
Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 56 dan 57 KUHP.
12 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 47 KUHP.
9

yang sepenuhnya dewasa. Anak bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana jika
sudah berusia 12 tahun dan belum berusia 18 tahun. Hal tersebut sesuai dengan pengertian
anak yang berkonflik dengan hukum.13

F. ALASAN PEMBERAT PIDANA (Grounds for Aggravation of Criminal)


Alasan ini mengacu pada keadaan yang membenarkan pengenaan hukuman yang lebih
berat daripada kisaran standar untuk pelanggaran tertentu. Dalam KUHP, faktor yang
memberatkan adalah penggunaan kekerasan, perencanaan, pengulangan, penyalahgunaan
wewenang, dan melakukan kejahatan terhadap korban yang rentan. Faktor-faktor ini menafsirkan
beratnya kejahatan yang mencerminkan besarnya kerugian yang ditimbulkan atau sifat berbahaya
dari tindakan tersebut. Alasan pemberat pidana bertujuan untuk mencegah pelaku potensial,
melindungi masyarakat, dan memastikan bahwa hukuman sejalan dengan keseriusan kejahatan
yang dilakukan. Pemberatan hukuman adalah penambahan 1/3 dari maksimum ancaman pidana.14
Dalam kategori “Kejahatan Luar Biasa” (Extra-Ordinary Crime), ancaman pidana diatur melalui
UU Pidana Khusus yang dapat mengabaikan ketentuan umum KUHP (Lex Specialis Derogat Legi
Generalis), contoh tindak pidana khusus diantaranya adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia (HAM), aksi terorisme, korupsi, pencucian uang, dan narkotika.15

G. JENIS-JENIS ALASAN PEMBERAT PIDANA


1. Membawa Bendera Kebangsaan Pada Waktu Melakukan Tindak Pidana
Yakni melakukan suatu tindakan pidana dengan menggunakan sarana bendera dirumuskan
dalam Pasal 52 a KUHP yang berbunyi: “Bilamana pada waktu melakukan kejahatan
digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah
sepertiga”. Contoh seorang perampok bank yang menggunakan bendera kebangsaan pada
kendaraannya yang digunakan sebagai sarana melakukan kejahatan, hal ini dapat memperberat
karena merkea membawa bendera kebangsaan pada waktu mereka melakukan tindak pidana.

13 Indonesia. 2012. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 Butir 3 UU NO.11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
14
Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 135 KUHP.
15 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 103 KUHP.
10

2. Kedudukan Sebagai Pejabat (Ambelitjke Hoedanigheid);16


Alasan pemberat pidana karena Kedudukan Sebagai Pejabat atau pegawai negeri diatur
dalam Pasal 52 KUHP, berikut adalah penjelasannya:
a. Melanggar Suatu Kewajiban Khusus Dari Jabatannya: Ini berarti bahwa pejabat
tersebut memiliki tanggung jawab yang besar karena jabatannya, dan pelaksanaannya
diatur oleh UU, jika pejabat tersebut melanggar ketentuan-ketentuannya, mereka akan
dikenai pemberatan pidana.
Contoh: Seorang Polisi yang diatur oleh UU memiliki kewenangan melakukan
penangkapan terhadap seseorang pelaku kejahatan, ternyata menyalahgunakan
wewenang dengan menangkap dan menahan seseorang tanpa alasan yang sah, hal itu
sekaligus melanggar hak asasi manusia yang juga dilindungi oleh UU.
b. Memakai Kekuasaan Jabatannya Untuk Kejahatan: Jika seorang pejabat atau
pegawai negeri menggunakan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki dalam
jabatannya untuk melakukan tindak pidana, hal ini dapat menjadi alasan pemberat
pidana.
Contoh: Seorang Jaksa yang menggunakan posisinya untuk memeras terduga pelaku
tindak pidana korupsi, dengan iming-iming imbalan penghentian penyelidikan atau
penuntutan terhadap terduga pelaku tindak pidana korupsi tersebut.
c. Menggunakan Kesempatan Berbuat Kejahatan Karena Jabatannya: Jika seorang
pejabat atau pegawai negeri memanfaatkan kesempatan yang diperoleh dari jabatannya
untuk melakukan tindak pidana, hal ini merupakan alasan penerapan pemberat pidana.
Contoh: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memanfaatkan kesempatan
akses pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara, misalnya Anggota DPR Komisi
III, yang befungsi sebagai pengawas lembaga hukum negara, bisa dimanfaatkan
kesempatan jabatannya oleh anggotanya untuk mendapatkan keuntungan bagi
kepentingan pribadi, seperti meminta penghentian proses kasus pidana yang terjadi
kepada keluarga atau koleganya yang sedang berjalan di Kepolisian atau Kejaksaan.
d. Menggunakan Sarana Yang Diberikan Jabatannya Untuk Berbuat Kejahatan:
Jika seorang pejabat atau pegawai negeri menggunakan sarana yang diberikan oleh

16 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 52 KUHP.
11

jabatannya, seperti fasilitas, informasi, atau sumber daya lainnya, untuk melakukan
tindak pidana, hal ini dapat menjadi alasan pemberat pidana.
Contoh: Pejabat Pemerintah yang menyalahgunakan penggunaan rumah dinasnya,
dengan melakukan tindakan perjudian atau penggunaan narkotika didalam rumah
dinasnya.

Dalam kasus-kasus di mana terdapat salah satu atau beberapa faktor yang memenuhi
kriteria di atas, hakim dapat memberikan hukuman yang lebih berat kepada pejabat atau
pegawai negeri yang terbukti melanggar kewajiban, menyalahgunakan kekuasaan, atau
memanfaatkan posisi jabatan untuk melakukan tindak pidana. Pemberatan pidana ini bertujuan
untuk menunjukkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat memiliki dampak yang
lebih merugikan dan memerlukan penalti yang lebih berat untuk menjaga integritas sistem
pemerintahan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
3. Pengulangan Tindak Pidana (Recidive);17
Alasan pemberat pidana faktor perulangan diatur dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP,
berikut adalah penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut, yaitu:
a. Faktor Lebih Dari Satu Kali Melakukan Tindak Pidana: Artinya, pelaku telah
terlibat dalam beberapa kegiatan kriminal sebelumnya sebelum melakukan tindak
pidana yang sedang diadili. Contoh, seseorang yang sebelumnya pernah dihukum
karena pencurian dan kemudian melakukan pencurian lagi setelah keluar dari penjara.
b. Faktor Telah Dijatuhkan Pidana Penjara Karena Tindak Pidana Yang Pertama
Telah Dijatuihi Putusan Hakim Dan Antara Perbuatannya Tidak Lebih Dari
Lima Tahun: Ini menunjukkan bahwa pelaku telah diberikan kesempatan sebelumnya
untuk memperbaiki perilaku atau menjalani hukuman sebagai konsekuensi dari tindak
pidana sebelumnya. Contoh, Seseorang yang sebelumnya telah dijatuhi hukuman
penjara karena penipuan dan kemudian melakukan tindak pidana serupa, dalam waktu
tidak lebih dari lima tahun setelah bebas dari penjara.
c. Pidana Itu Sedang Dijalankannya Oleh Yang Bersangkutan: Faktor ini
menunjukkan bahwa pelaku sedang menjalani hukuman yang dijatuhkan terkait dengan

17 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 486, 487, dan 488 KUHP.
12

tindak pidana sebelumnya. Contoh, seseorang yang sedang dihukum karena narkotika
dan telah menjalani hukuman penjara, namun dia kembali terlibat dalam perdagangan
narkotika.
4. Gabungan Tindak Pidana (Samenloop);
Alasan ini mengacu pada peningkatan hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak
pidana yang melakukan dua atau lebih tindak pidana yang berbeda secara bersamaan atau dalam
rentang waktu yang sama. Penerapan alasan pemberat pidana "Gabungan Tindak Pidana" dapat
terlihat dalam kasus seseorang yang melakukan pencurian dengan kekerasan dan pemerkosaan
terhadap korban dalam satu peristiwa. Dalam kasus ini, pelaku melakukan dua tindak pidana yang
berbeda secara bersamaan, yaitu pencurian dengan kekerasan dan pemerkosaan. Sesuai dengan
Pasal 63 KUHP, hukuman yang dijatuhkan akan didasarkan pada hukuman paling berat di antara
kedua tindak pidana tersebut. Penerapan alasan pemberat pidana "Gabungan Tindak Pidana"
bertujuan untuk memberikan sanksi yang lebih berat terhadap pelaku yang melakukan beberapa
tindak pidana secara bersamaan atau dalam rentang waktu yang sama. Prinsip ini mendukung
keadilan dan memastikan bahwa pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan
yang mereka lakukan.

H. STUDI KASUS
1. Kasus Penghapusan Pidana
Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya dengan memperhatikan perbuatan
terdakwa dalam kasus ini menyatakan bahwa terdakwa III tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika karena dalam
menggunakan sabu-sabu dalam keadaan dipaksa oleh tiga terdakwa yang lain, sehingga seseorang
yang berada dalam pengaruh daya paksa secara fisik tidak dapat melawan kekuatan besar, maka
ada alasan pemaaf yang dapat menghapus dari tanggung jawab pidana sesuai dengan Pasal 48
KUHP. Untuk itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusan
membebaskan terdakwa III dari segala dakwaan.18

18 Indonesia. 2011. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya. Nomor:4072/Pid.B/2011/PN.Sby.


13

2. Kasus Peringanan Pidana


Alpin Andrian (AA) mulai menjalani sidang kasus dugaan penusukan Syekh Ali Jaber.
Alpin didakwa dengan pasal percobaan pembunuhan berencana.19 "Dakwaan pidana dalam Pasal
340 KUHP (pembunuhan berencana) juncto Pasal 53 KUHP (unsur percobaan).20 Terdakwa AA
dijatuhi vonis 4 tahun penjara. Vonis ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Dalam sidang
tuntutan, jaksa menuntut AA dihukum 10 tahun penjara.21
Adapun alasan kesopanan menjadi Putusan Mahkamah Agung yang menjadi yurisprudensi
terkait sikap sopan dapat meringankan hukuman pidana:22
- Terdakwa berlaku sopan di persidangan
- Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya
- Terdakwa belum pernah dihukum
- Terdakwa menyesali perbuatannya.
3. Kasus Pemberat Pidana
Putusan pidana mati tindak pidana pembunuhan berencana. Putusan tersebut memuat
pertimbangan keadaan memberatkan sebagai berikut:23
- Perbuatan Terdakwa sadis, keji dan tidak berperikemanusiaan;
- Perbuatan Terdakwa diikuti dengan perbuatan lain, mengambil uang korban,
membakar mayat korban dan memenggal kepala korban;
- Perbuatan Terdakwa menimbulkan kesedihan mendalam pada keluarga korban; dan
- Motivasi Terdakwa menunjukan sikap atau karakter kurang dapat memberi
penghargaan terhadap kehidupan manusia.

Berdasarkan studi kasus yang disebutkan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan
terkait alasan penghapusan pidana, peringanan pidana, dan pemberatan pidana:
1. Kasus Penghapusan Pidana: Terdakwa III dalam kasus penyalahgunaan narkotika
dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana karena menggunakan narkotika dalam

19 Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) UU NO.1
Tahun 1946. Pasal 340 KUHP.
20 Indonesia. 2020. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Nomor:1316/Pid.B/2020/PN Tjk.
21 News.Detik.Com. 2021. Jejak Perkara Penusuk Syekh Ali Jaber hingga Divonis 4 Tahun Penjara. Diakses dari:
https://news.detik.com/berita/d-5517312/jejak-perkara-penusuk-syekh-ali-jaber-hingga-divonis-4-tahun-
penjara
22 Indonesia. 2006. Putusan Mahkamah Agung. Nomor:572 K/PID/2006.
23 Indonesia. 2013. Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli. Nomor:08/Pid.B/2013/PNGS.
14

keadaan dipaksa. Alasan pemaaf (daya paksa) digunakan untuk menghapus tanggung
jawab pidana terhadap terdakwa III.
2. Kasus Peringanan Pidana: Terdakwa AA dalam kasus percobaan penusukan Syekh Ali
Jaber dijatuhi hukuman penjara 4 tahun, yang lebih rendah dari tuntutan jaksa. Unsur
percobaan menjadi alasan peringanan pidana.
3. Kasus Pemberatan Pidana: Dalam kasus pembunuhan berencana dengan kekejaman dan
keji, terdakwa dijatuhi hukuman mati. Faktor-faktor seperti kekejaman perbuatan, tindakan
tambahan yang dilakukan, dampak emosional yang mendalam pada keluarga korban, dan
motivasi yang menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap kehidupan manusia menjadi
alasan pemberatan pidana.

Dalam penanganan kasus pidana, pengadilan mempertimbangkan berbagai alasan


penghapusan, peringanan, atau pemberatan pidana untuk mencapai keadilan yang sesuai dengan
keadaan dan fakta kasus yang bersangkutan.
BAB III
KESIMPULAN
Penghapusan, peringanan, dan pemberatan pidana adalah konsep-konsep yang diatur
dalam KUHP untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Alasan
penghapusan pidana melibatkan pembenar dan pemaaf, yang memungkinkan seseorang
dibebaskan dari tanggung jawab pidana meskipun perbuatan mereka memenuhi rumusan delik.
Beban pembuktian ada pada terdakwa untuk menunjukkan alasan-alasan ini.
Asas-asas yang terkait dengan penghapusan pidana adalah asas subsidiaritas,
proporsionalitas, dan "Culpa in Causa". Asas subsidiaritas menegaskan bahwa hukuman pidana
harus digunakan hanya jika kepentingan hukum tidak dapat dipenuhi dengan cara lain. Asas
proporsionalitas menuntut keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela dan kewajiban
hukum yang dilakukan. Asas "culpa in causa" mempertanggungjawabkan seseorang yang secara
sadar mengambil risiko melakukan tindakan pidana.
Alasan peringanan pidana memberikan pengurangan hukuman berdasarkan faktor-faktor
tertentu, seperti percobaan, bantuan, dan usia. Hal ini memungkinkan aparat penegak hukum untuk
mempertimbangkan keadaan dan karakteristik pelaku untuk menentukan hukuman yang lebih
proporsional dan adil.
Sementara itu, alasan pemberatan pidana melibatkan keadaan yang membenarkan
pengenaan hukuman yang lebih berat daripada standar untuk kejahatan tertentu. Faktor-faktor
seperti penggunaan kekerasan, perencanaan, pengulangan, penyalahgunaan wewenang, dan
kejahatan terhadap korban yang rentan dapat menjadi pertimbangan untuk memberatkan hukuman.
Alasan penghapusan, peringanan, dan pemberatan pidana adalah prinsip-prinsip yang
digunakan dalam sistem hukum untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang
dilakukan. Penghapusan pidana memungkinkan seseorang tidak dipidana meskipun perbuatannya
memenuhi rumusan delik. Peringanan pidana mempertimbangkan faktor-faktor tertentu untuk
mengurangi hukuman, sementara pemberatan pidana mengakui kejahatan yang lebih serius dengan
memberikan hukuman yang lebih berat. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk mencapai keadilan dan
proporsionalitas dalam sistem peradilan pidana.

15
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Chandra, T.Y. 2023. Hukum Pidana. Hal.139-141. Jakarta: Sangir Multi Usaha.

Perundang-Undangan:
Indonesia. 1946. Undang-Undang Tentang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP); UU NO.1 Tahun 1946.
Indonesia. 2012. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 Butir 3 UU NO.11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Putusan Pengadilan:
Indonesia. 2006. Putusan Mahkamah Agung. Nomor:572 K/PID/2006.
Indonesia. 2011. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya. Nomor:4072/Pid.B/2011/PN.Sby.
Indonesia. 2013. Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli. Nomor:08/Pid.B/2013/PNGS.
Indonesia. 2020. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Nomor:1316/Pid.B/2020/PN Tjk.

Naskah Internet:
News.Detik.Com. 2021. Jejak Perkara Penusuk Syekh Ali Jaber hingga Divonis 4 Tahun Penjara.
Diakses Dari: https://news.detik.com/berita/d-5517312/jejak-perkara-penusuk-syekh-ali-
jaber-hingga-divonis-4-tahun-penjara Pada Tanggal 16 Mei 2023.

Anda mungkin juga menyukai