Anda di halaman 1dari 10

Tindakan Pembelaan Diri dalam keadaan terpaksa ( noodweer)

(konseptualisasi Hukum Pidana Islam dan hukum positif)

Abdul hakim r
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM IAIN PAREPARE
hakimhakim0706@gmail.com

Abstrak
Hukum merupakan tolak ukur dalam menentukan berat ringannya suatu hukuman hal ini
sangat mempengaruhi kehidupan seseorang yang berkaitan dengan suatu masalah. Terkhusus
bagi orang yang merasa sebagai korban menjadi tersalah dalam suatu kejadian karena
tindakan yang dilakukan sangat berlebihan disebabkan keadaan yang memaksa. Sehinggah
dalam penentuan hukum bagi tindakan tersebut menjadi suatu hal yang tidak menguntukan
bagi sikorban dan disisi lain menjadi penyelamat bagi sikorban. Dalam hal ini kami
menyesuaikan dengan hukum yang berlaku, dan kami ingin mengetahui bagaimana
perbandingan Hukum Pidana islam dan hukum positif bagi seseorang yang melakukan
tindakan pembelaan diri dalam keadaan terpaksa, hal ini merujuk pada hukum positif
sebagaima yang diatur dalam KUHP 49 ayat 1, ketika pembelaan terpaksa yang dilakukan
demi diri sendiri maupun untuk orang lain,baik untuk kehormatan kesusilaan atau harta benda
yang dianggap perlu untuk dilindungi ,maka ini dijadikan sebagai sebuah alasan pembenaran
dan pemaaf yang dapat menghapuskan pidana. Begitu pula dengan hukum pidana islam
seseorang yang melakukan pembelaan diri tidak dapat dihukum akan tetapi jika melampaui
batas maka ia harus bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya.

Kata Kunci: Pembelaan Diri, noodweer, KUHP 49 ayat 1

Abstract

The law is a benchmark in determining the severity of a sentence this greatly affects a
person's life related to an issue. Especially for people who feel as victims to be blamed in an
incident because the actions taken are very excessive due to forceful circumstances. So long
as the legal determination for the action becomes a matter that does not apply to the victim
and on the other hand becomes the savior for the victim. In this case we adjust to the
applicable law, and we want to know how the comparison of Islamic Criminal Law and
positive law for someone who performs an act of self-defense under compulsion, this refers
to the positive law as stipulated in the Criminal Code 49 paragraph 1, when the defense
forced to do for oneself or for others, both for the honor of decency or property deemed
necessary to protect, then this is used as a reason for justification and forgiveness that can
eliminate the criminal. Likewise with Islamic criminal law, a person who defends himself
cannot be punished, but if he crosses the line, he must be responsible for his actions.
PENDAHULUAN
Dalam suatu negara tidak dapat dipisahkan oleh aturan, dimana aturan meciptakan
suatu negara yang aman dan tentram, akan tetapi tidak dapat kita memalingkan wajah bahwa
dibalik aturan dan hukum terdapat hal yang tidak dapat dipisahkan yakni penyimpangan –
penyimpangan sosial, atau kejahatan yang diakibatkan hukum yang terlalu kaku, Di
Indonesia kekerasan dengan beragam bentuk silih berganti muncul. Munculnya kekerasan
dengan beragam bentuknya initidak sesuai dengan konsep ideal Indonesia sebagai negara
hukum dan sekaligus juga menggugat konsep ideal tentang suatu bangsa yang
berprikemanusiaan, berkeadilan dan beradab. Beragam bentuk kekerasan yang selama ini
terjadi, oleh sebagian masyarakat seolah-olah sudah dianggap sebagai hal yang biasa
sehingga kekerasan seringkali digunakan sebagai alat oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan alasan - alasan dan tujuan- tujuan tertentu dan mengenyampingkan hukum yang
seharusnya menjadi principle guiding.

Buka itu saja dalam negara kita yang berlandaskan pancasila sangat mengutamakan
asas kemanusia dibandingakan yang lain demi menciptakan negara yang damai, sehinggah
hukum yang dibentuk oleh pemerintahan negara indonesia menyusun sedemikia rupa hukum
bagi tidakan kekerasan baik dari yang terkeci hingga tindakan yang dianggap berat.
Meskipun hukum yang ditegakkan saat ini, masih ada saja kekerasan yang sering kali terjadi
dihadapan kita dan tidak menutup kemungkina terjadi pada diri kita sehinggah dalam situasi
tersebut kadang kala kita terasah terpojokan akan kekerasan yang menimpah kita, sehingga
para pelaku kekerasan menggap halyang iya lakukan hanya perbuatan biasa – biasa saja.

Dalam tindakan kekerasa sering terjadi kontak fisik antara pelaku dan korban
sehingga terjadi penafsiran hukum yang berbeda yang diakibatkan tindakan yang dilakukan
korban terhadap pelaku kekerasan tersebut, dengan kata lain pelaku dengan tindakan
pembelaan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa demi melindungi sesuatu yang ia miliki
agar tidak dimiliki oleh pelaku tersebut sehinggah menybabkan pelaku tersebut dalam
keadaan fatal. Sehinggah dalam penentuaan hukum bagi tindakan pembelaan diri dalam
keadaan terpaksa ini menjadi salah satu permasalahana dalam penentuan hukum terkhusus
dalam hukum positif. Dimana dalam hukum positif terdapat peraturan peraturan mengenai
penetapan sanksi – sanksi hukum pelaku kejahatan sebagaimana yang termuat dalam
Undang- undang Nomor 1 tahun 1946 tentan kitab Undang- undang Hukum Pidana
(KUHP). Dalam KUHP tidak hanya terbatas pada penjatuhan pidana akan tetapi juga
mengatur tentang tindakan – tindakan yang tidak dapat dipidana atau disebut dengan
penghapusan pidana. Sebagaimana dalam peraturan penghapusan pidana menetapkan
berbagai keadaan pelaku yang memenuhi delik sesuai yang telah diatur di dalam Undang –
undang seharusnya dipidana akan tetapi tidak dipidana.1

1
Dwi putri nofrela and Widia Edorita, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan Karena Membela Diri Yang melampaui batas (Noodweer Excess)”(Riau University,2016),h.2.
ter bentuk tindakan yang mendapatkan penghapusan pidana ialah tindakan yang dilakukan
oleh seseorang dalam rangka melindungi diri sendiri ataupun orang lain dari suatu ancaman
yang bersifat darurat. Pembelaan diri dalam keadaan darurat

(noodweer) ini diatur dalam pasal 49 KUHP ayat (1) yang berbunyi: “Barang siapa
melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri
orang lain mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain
dari kepada seorang yang melawan hak dan merancang dengan segera pada saat itu juga tidak
boleh di hukum” Ayat (2) berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana” Pasal 49 KHUP di atas menjelaskan bahwa perbuatan yang
memenuhi unsur

unsur pidana tidak semuanya dapat dijatuhkan hukuman pidana, dalam beberapa kondisi
hakim dapat memberikan keputusan bebas kepada pelaku. Pembelaan diri dalam keadaan
darurat (Noodweer) berdasarkan KUHP pasal 49 menjadi sebuah alasan pembenar tapi bukan
alasan yang membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan seseoarang yang dalam
kondisi darurat melakukan tindak pidana dapat dapat diampuni disebabkan karena adanya
pelanggaran hukum yang mendahului perbuatannya. Kejadian noodweer, meskipun dalam
tindakannya merugikan penyerang, tetapi dalam hal ini tujuannya adalah untuk membela diri
dari tindakan yang merugikan pihak penyerang. Dalam Hukum Pidana Islam, pembelaan diri
disebut dengan istilah daf’u al shail. Hukum Islam tentunya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
syariah (maqashid syariah).

Imam Asy-Syatiby yang telah mengembangkan maqashid syariah dalam pembahasan


tersendiri membagi maqashid syariah ke dalam 5 bentuk atau biasa disebut kulliyat al
khamsah yaitu: (1) Hifdzu din (menjaga agama), (2) Hifdzu nafs (menjaga jiwa), (3) Hifdzu
aql (menjaga pikiran), (4) Hifdzu mal (menjaga harta), (5) Hifdzu nasab (menjaga
keturunan)8. Kelima maqashid di atas wajib dijaga, ketika seseorang berusaha mengusik
kelima hal tersebut, maka pihak yang terusik dibenarkan untuk melakukan pembelaan. Sudah
menjadi kewajiban manusia untuk menjaga jiwanya dan jiwa orang lain, begitupula telah
menjadi hak seseorang untuk hartanya dari pelanggaran yang tidak sah. Pembelaan diri yang
dilakukan untuk menolak serangan atau pelanggaran dapat menghapuskan pidana bagi pihak
yang melakukan pembelaan.2

Maka dengan ini kami akan menyajikan hasil penilitian kami guna mengetahui pnetapan
hukum terhadap tindakan pembelaan diri dalam situasi darurat atau keadaan terpaksa dalam
hukum positif serta hukum pidana islam dan yang menjadi titik acuan dalam menentukan
putusan atau yang menjadi alasan tidak terpidananya tidakan pembelaan diri dalam keadaan
terpaksa yang mengakibatkan keadaan yang dialami pelaku. Dan untuk memenuhi tugas
matakuliah yang diberikan .

2
Haq, I., Wahidin, W., & Saidah, S. MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM MEMBELA DIRI (Studi
Perbandingan Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif). Mazahibuna, 2(1).
Pembahasan

Pembelaan diri dalam keadaan terpaksa (Noodweer) dalam penetapan Hukum positif

Pembelaan diri dalam keadaan terpaksa atau pembelaan terpaksa ini diatur dalam KHUP
termasuk dalam kategori hal hal yang menghapuskan ,mengurangi, atau memberatkan pidana
sebagaimaa diatur dalam pasal 49 ayat 1 yang berbunyi :

(1) “Barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk


mempertahankan dirinya atau diri orang lain mempertahankan kehormatan atau harta
benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari kepada seorang yang melawan hak dan
merancang dengan segera pada saat itu juga tidak boleh di hukum”

Dan keadaan terpaksa yang melampaui batas diatur dalam ayat ke-2 yang berbunyi:

(2) “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana”

Sebagaimana Badan Pembinaan Hukum Nasional menerjemahkannya sebagai berikut:


“Tindak pidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri
maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain karena
ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu melawan hukum”.

Perkataan “nood” artinya “darurat”, sedangkan perkataan “weer” artinya


“pembelaan”, hingga secara harafiah perkataan “noodweer” itu dapat diartikan sebagai suatu
pembelaan yang dilakukan di dalam keadaan darurat”. Lebih lanjut, sebagaimana dalam
penjelasan bahwa pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak
boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya
pada tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan
kebebasan bergerak badan. Kehormatan kesusilaan meliputi perasaan malu seksual. Terkait
pembelaan terpaksa, ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dengan
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan
adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan
kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain3.

Sebagaimana dalam KUHP pasal 49 tersebut telah menguraikan syarat syarat bagi
orang yang melakukan tindakan melawan hukum , namun tidak dipidana. Dan sesuai dengan
KUHP pasal 49 , seseorang yang dianggap melakukan pembelaan dan tidak dipidana jika
memenuhi syarat syarat antara lain :
3
Dumgair, W. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dan Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer
Axces) Sebagai Alasan Penghapus Pidana. Lex Crimen, 5(5). 2016. Hlm.62
1. Adanya serangan (aanranding)

Tidak semua serangan dapat dilakukan noodweer, terdapat pula syarat syarat serangan
sehinggah dapat dilakukan pembelaan diri yaitu :

a. Serangan mengancam dengan tiba tiba atsu serangan itu terjadi ketika
(ogenblikkelijk ofonmid delijk dreigen).
b. Serangan yang datang harus bersifat melawan hukum (wederrech- telijk
aanranding)
2. Perlunya pembela diri terhadap serangan yang datang ttapi perlu diketahui bahwa
pembelaan diri tidak semua merupakan noodweer, pembelaan diri yang merupakan
noodweer harus memenuhi syarat – syarat beriku:
a. Pembelaan diri merupakan keharusan (de verdediginc, moet geboden zijkn);
b. Pembelaan diri tersebut merupakan pembelaan terpaksa (nood zakelijk
verdidiging),pembelaan diri harus dilakukan karena adanya keterpaksaan atau tidak
ada pilihan lain. Jika masih ada pilihan atau kesempatan maka sebaiknya dianjurkan
untuk menghindari atau melarikan diri dan meminta tolong4.
c. Pembelaan itu harus merupakan pembelaan terhadap diri sendiri atau diri orang
lsin , kehormatan dan benda.

Adapun teori hukum pidana untuk mengenal bentuk alasan-alasan yang menghapuskan
pidana ini dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut:5

1. Alasan pembenar; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya


perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
yang patut dan benar.

2. Alasan pemaaf; yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan


yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.

3. Alasan penghapus penuntutan, disini bukan Karen a alasan pembenar maupun alasan
pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya orang yang melakukan perbuatan,
tetapi pemerintahan menganggap bahwa atas dasar kemanfaatannya kepada
masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.

Dalam kondisi normal menghindari serangan yang dilakuka oleh orang lain harus
memnta bantuan kepada pihak yang berwajib atau berwenang namun dalam kondisi darurat
sebagaimana maksud dari pasal 49 ayat 1 KUHP, seseorang tidak memiliki kesempatan untuk
meminta bantuan, maka iya dbenarkan untuk menghindar atau meniadakan serangan tampah
bantuan pihak yang berwenang6. Maka dapat saya katakan pembelaan terpaksa tidak dapat
dilakukan sesuai kehendak kita akan tetapi pembelaan terpaksa hanya dapat kita lakukan
apabilah kita sudah terpojokan oleh keadaan karena usaha untuk meminta bantuan tidak dapat
4
Eric Manurung, “praktik Penerapan Aturan Pembelaan diri dalam Hukum pidana “oleh
Www.Hukumoline.com,October 2017
5
Moeljatno,Asas Asas Hukum Pidana,(Jakarta:PT Rineka Cipta,2015), hlm.148.
6
P A F Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Di Indonesia (Sinar Grafika,2019),hlm,442.
lagi duharapkan karna keadaan yang tidak lagi memihak maka pada saat itu ketika kekerasan
akan dilakukan terhadap kita maka kita dapat melakukan tindakan pembelaan.

Adapun dalam permasalahan yang lainya adalah jika keadaan pembelaan diri secara
terpaksa noodweer, dimana dalam keadaan tertentu orang mengira ada serangan, atau
mengira bahwa serangannya itu melawan hukum padahal kenyataannya tidak, dan
mengadakan pembelaan menurut pasal 49 KUHP ayat 1 maka pembelaan terpaksa ini
dinamakan pembelaan terpaksa yang putatif ,7

Pembelaan terpaksa (Noodweer ) dalam Hukum Islam

Pembelaan terpaksa atau pembelaan yang dilakukan dalam keadaan yang darurat yang
mengharuskan diri untuk melakukannya demi menyelamatkan hal yang berharga bagi diri ,
juga diatur dala hukum islam. Pembelaan diri dalam hukum pidana islam dikenal dengan
istilah dafau al shail. Merupakan kalimat yan terdiri atas dua kata yakni daf’u dan shail. Kata
daf’u dalam bahasa arab melindungi sesuatu. Dan kata al shail menurut bahsa zhamil yakni
melampai batas. Sehinggah dapat kita tarik bahwa daf’u al shail adalah upaya pembelaan diri
demi mempertahankan hal yang berharga terhadap penyerangan secara dzalim terhadap jiwa
atau harta. Dalam syariat Islam kepentingan-kepentingan hukum yang merupakan objek
pembelaan terpaksa dari serangan yang melawan hukum adalah jiwa, harta benda, dan
kehormatan atau baik kepunyaan sendiri maupun orang lain.

Kewajiban setiap individu atau manusia untuk mempertahankan jiwa dan hartanya dari
serangan orang lain disebut didalam nash. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Quran
surat Al- Baqarah [2:194].

{‫صاصٌ فَ َم ِن ا ْعتَدَى َعلَ ْي ُك ْم فَا ْعتَدُوا َعلَ ْي ِه بِ ِم ْث ِل َما ا ْعتَدَى َعلَ ْي ُك ْم َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا‬ ُ ‫ال َّش ْه ُر ْال َح َرا ُم بِال َّشه ِْر ْال َح َر ِام َو ْال ُح ُر َم‬
َ ِ‫ات ق‬
194( َ‫َأ َّن هَّللا َ َم َع ْال ُمتَّقِين‬
Artinya:

“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum
qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertakwa”.

QS Al-baqarah [2:190]

َ‫َو قَاتِلُ ۡوا فِ ۡی َسبِ ۡی ِل ہّٰللا ِ الَّ ِذ ۡینَ یُقَاتِلُ ۡونَ ُکمۡ َو اَل ت َۡعتَد ُۡوا ؕ اِ َّن ہّٰللا َ اَل یُ ِحبُّ ۡال ُم ۡعتَ ِد ۡین‬

Terjemahnya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas”.

7
Bela paksa atau putatif, putatif noodweer adalah keterpaksaan melakukan delik sebagai pembelaan karena
disangkanya mendapat serangan, ancaman serangan, yang seketika itu atau segera tidak dapat dielakkan dan
melawan hukum terhadap diri, kehormatan, kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain: misalnya, orang
yang melakukan pembunuhan karena ia mengira mendapat serangan yang membahayakan dirinya.
Sebagaimana dari kedua ayat diata masih bersifat umum sehinggah dapat kita pahami ayat
tersebut sebagai dasar bahwa pembelan diri diperbolehkan, serta dalam surat Al- syurah lebih
mengspesifikan mengenai pembelaan diri sebagai mana telah dijelaskan pada ayat ke 39 yang
berbunyi:

ِ َ‫صابَہُ ُم ۡالبَ ۡغ ُی ہُمۡ یَ ۡنت‬


َ‫ص ُر ۡون‬ َ َ‫َو الَّ ِذ ۡینَ اِ َذ ۤا ا‬

“Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka
membela diri”.

Dari ketiga ayat diatas , Ayat tersebut mengandung perintah yang menunjukan adanya
kewajiban untuk membela diri melakukan perlawanan yang seimbang terhadap serangan
yang melawan hukum. Dalam kepentingan-kepentingan yang harus dibela dan dibenarkan
untuk melakukan pembelaan dalam hukum Islam, baik pembelaan khusus atau menolak
penyerang terhadap suatu hak dan kewajiban setiap orang untuk mempertahankan atau
membela dirinya atau orang lain, harta benda dengan cara-cara memakai kekuatankekuatan
yang diperlakukan dengan seimbang dari setiap serangan- serangan yang nyata yang hendak
(bersifat) melawan hukum.8

Selain dari ayat diata terdapat pula hadis yang menjelaskan dasar hukum bagi
seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa.

‫سو َل هَّللا ِ َأ َرَأيْتَ ِإنْ َجا َء َر ُج ٌل يُ ِري ُد َأ ْخ َذ َمالِى‬


ُ ‫ فَقَا َل يَا َر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ول هَّللا‬ ِ ‫س‬ ُ ‫عَنْ َأبِى ُه َر ْي َرةَ قَا َل َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى َر‬
ُ‫ قَا َل َأ َرَأيْتَ ِإنْ قَتَ ْلتُه‬.» ‫ش ِهي ٌد‬
َ َ‫ قَا َل َأ َرَأيْتَ ِإنْ قَتَلَنِى قَا َل « فََأ ْنت‬.» ُ‫ قَا َل َأ َرَأيْتَ ِإنْ قَاتَلَنِى قَا َل « قَاتِ ْله‬.» ‫قَا َل « فَالَ تُ ْع ِط ِه َمالَ َك‬
‫ قَا َل « ُه َو فِى النَّار‬.

Artinya: “Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata: Wahai
Rasulullah, apa pendapat engkau jika datang seseorang ingin mengambil hartaku? Beliau menjawab:
"Jangan kamu berikan hartamu!", dia bertanya lagi: Apa pendapat engkau jika dia memerangiku?
Beliau menjawab: "Perangi dia!", dia bertanya lagi: "Apa pendapat engkau jika dia membantaiku?
Beliau menjawab: "Kamu mati syahid." Dia bertanya lagi: Apa pendapat engkau kalau (ternyata) aku
yang membunuhnya? Beliau menjawab: "Dia di dalam neraka”

َ ‫ث قَا َل َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى النَّبِ ِّي‬


‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ ِ ‫ِّث بِ َه َذا ا ْل َح ِدي‬
ُ ‫ي يُ َحد‬ َّ ‫س ْفيَانَ الثَّ ْو ِر‬ُ ُ‫س ِمعْت‬ َ ‫ق عَنْ َأبِي ِه قَا َل َو‬ٍ ‫وس ْب ِن ُم َخا ِر‬ َ ُ‫عَنْ قَاب‬
‫سلِ ِمينَ قَا َل فَِإنْ لَ ْم‬ْ ‫ستَ ِعنْ َعلَ ْي ِه َمنْ َح ْولَ َك ِمنْ ا ْل ُم‬ ْ ‫سلَّ َم فَقَا َل ال َّر ُج ُل َيْأتِينِي فَيُ ِري ُد الِي قَا َل َذ ِّك ْرهُ بِاهَّلل ِ قَا َل فَِإنْ لَ ْم يَ َّذ َّك ْر قَا َل فَا‬
َ ‫َو‬
ْ‫س ْلطَانُ َعنِّي قَا َل قَاتِ ْل دُونَ َمالِكَ َحتَّى تَ ُكونَ ِمن‬ ُّ ‫س ْلطَا ِن قَا َل فَِإنْ نََأى ال‬ ُّ ‫ستَ ِعنْ َعلَ ْي ِه بِال‬ ْ ‫يَ ُكنْ َح ْولِي َأ َح ٌد ِمنْ ا ْل ُم‬
ْ ‫سلِ ِمينَ قَا َل فَا‬
‫ش َهدَا ِء اآْل ِخ َر ِة َأ ْو تَ ْمنَ َع َمالَ َك‬ ُ

Dari Qabus bin Mukhariq, dari bapaknya, dari ayahnya, ia berkata bahwa ia mendengar
Sufyan Ats Tsauri mengatakan hadits berikut ini,

8
MASRIFIN, A. STUDI KOMPERATIF PEMBELAAN TERPAKSA ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM
PIDANA POSITIF (Doctoral dissertation, IAIN SURAKARTA). 2019. Hlm. 23.
Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ada
seseorang datang kepadaku dan ingin merampas hartaku.”

Beliau bersabda, “Nasehatilah dia supaya mengingat Allah.”Orang itu berkata, “Bagaimana
kalau ia tak ingat?”Beliau bersabda, “Mintalah bantuan kepada orang-orang muslim di
sekitarmu.”Orang itu menjawab, “Bagaimana kalau tak ada orang muslim di sekitarku yang
bisa menolong?”Beliau bersabda, “Mintalah bantuan penguasa (aparat berwajib).”Orang itu
berkata, “Kalau aparat berwajib tersebut jauh dariku?”Beliau bersabda, “Bertarunglah demi
hartamu sampai kau tercatat syahid di akhirat atau berhasil mempertahankan hartamu.” (HR.
An Nasa’i no. 4086 dan Ahmad 5: 294. Hadits ini shahih menurut Al Hafizh Abu Thohir)9.

Para fukaha bersepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk
mempertahankan diri sendiri atau orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan
harta10. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang hukumannya. apabila ia merupakan
suatu kewajiban atau suatu hak. Konsekuensinya apabila membela diri itu merupakan suatu
hak maka seseorang boleh memilih antara mengerjakannya atau meninggalkannya dan iatidak
berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila membela diri merupakansuatu
kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan ia berdosa ketika ia
meninggalkannya.
Untuk membela jiwa para fukaha berbeda pendapat mengenai
hukumnya.Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih (kuat) dalam mazhab Maliki
dan mazhab Syafii membela jiwa hukumnya wajib.Sedangkan menurut pendapat yang
marjuh (lemah) di dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i serta pendapat yang rajih
(kuat)didalam mazhab Hanbali membela jiwa itu hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib.

para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad,
orang yang diserang berada dalam posisi membela diri, bukan dalam keadaan yang
memaksa. Dengan demikian, apabila untuk menangkis serangan tersebut tidak ada
jalan lain kecuali dengan membunuh mereka maka orang yang membela diri tidak
dibebani pertanggungjawaban, baik pidana maupun perdata sebab korban hanya
menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap jiwanya . Sedangkan
11

menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya kecuali Imam Abu Yusuf, apabila
orang yang diserang sampai membunuh anak kecil, orang gila, atau hewan maka ia
berada dalam keadaan yang memaksa. Meskipun ia bebas dari hukuman pidana, tetapi
ia tetap dibebani pertanggungjawaban perdata. Sedangkan menurut Imam Abu
Yusuf, orang yang diserang hanya diwajibkan membayar harta sebagai pengganti
hewan yang terbunuh.Adapun untuk anak kecil, orang gila yang terbunuh, tidak ada

9
Yahya bin Syarf An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama,
tahun 1433 H
10
Muhayati Muhayati, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas
(Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana Pembunuhan” (IAIN Walisongo, 2012).
11
Marsum, Fiqih Jinayah (HPI).(Yogyakarta, Perpustakaan Fak.Hukum),1989,hlm.168
kewajiban membayar diat, dihapuskan karena keduanya tidak memiliki pengetahuan
(kecakapan bertindak)12.

Sehinggah dapat kita ketahui tidakan pembelaan diri dalam konseptualisasi hukum
pidana islam diperbolehkan meskipun dalam penetuan hukumnya berbeda dari pandanga atau
pemikiran para ulama, ketika kita berlandaskan dasar hukum dari ayat diatas dan beberapa
hadis dapat kita tarik pembelaan diri itu dapat dilakukan ketika seseorang dalam keadaan
tidak berdaya sehingga pembelaan terpaksa dapat dilakukan atau ketika terjadi kontak fisik
dengan menggunakan alat atau sebagainya,

KESIMPULAN

Pembelaan terpaksa merupakan pembelaan yang dilakukan pada saat keadaan tidak
memungkinkan untuk meminta bantuan atau meminta pertolongan, dan telah terjadi kekerasa
yang dilakukan pihak pelaku maka orang tersebut dapat melakukan pembelaan diri demi
melindungi diri atau sesuatu hal yang ia anggap penting yang ingin direbut. Mengenai
konsekuensi dari tidakan pembelaan terpaksa ini dalam hukum positif telah diatur dalam
KHUP pasal 49 ayat 1 dan apabilah tindakan kekerasan yang dilakukan melampaui batas
tercantum dalam ayat ke 2 pasal 49 KHUP. Dan dalam pandangan hukum islam atau dalam
penetapannya dalam hukum pidana islam tindakan pembelaan diri diperbolehkan dalam
menjaga dan melindungi hak hak yang kita miliki akan tetapi tindakan pembelaan dalam
keadaan terpaksa itu melampaui batas maka terjadi perbedaan penetapan hukumnya serta
konsekuensi yang akan dihadapi korban tersebut akibat tindakan yang melampaui batas,
dimana konsekuensi yang harus dihadapi adalah bertanggungj awab atas besar kecilnya
kerusakan yang ia lakukan terhadap pelaku sekaligus sebagai korban akibat dari tindakan
yang melampaui batas.

DAFTAR PUSTAKA

Ayunigtyas, D. (2018). Tinjauan hukum Islam tentang pembelaan terpaksa (noodweer)


dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Doctoral dissertation, UIN
Walisongo).

Dwi Putri Nofrela and Widia Edorita. “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Pembunuhan Karena Membela Diri Yang Melampaui Batas (Noodweer
Excess)”. (Riau University:2016).

Haq, I., Wahidin, W., & Saidah, S. MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES)
DALAM MEMBELA DIRI (Studi Perbandingan Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif). Mazahibuna, 2(1).
Dumgair, W. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dan Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui
Batas (Noodweer Axces) Sebagai Alasan Penghapus Pidana. Lex Crimen, 5(5). 2016.

12
Ayunigtyas, DTinjauan hukum Islam tentang pembelaan terpaksa (noodweer) dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) (Doctoral dissertation, UIN Walisongo).2018. Hlm 43
Eric Manurung, “praktik Penerapan Aturan Pembelaan diri dalam Hukum pidana “oleh
Www.Hukumoline.com,October 2017
Moeljatno,Asas Asas Hukum Pidana,(Jakarta:PT Rineka Cipta).2015.

P A F Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Di Indonesia (Sinar Grafika).2019.

MASRIFIN, A. STUDI KOMPERATIF PEMBELAAN TERPAKSA ANTARA HUKUM


PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF (Doctoral dissertation, IAIN
SURAKARTA). 2019.

Yahya bin Syarf An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, terbitan Dar Ibnul Jauzi,
cetakan pertama, tahun 1433 H

Muhayati Muhayati, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang
Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana Pembunuhan” (IAIN
Walisongo, 2012).
Marsum, Fiqih Jinayah (HPI).(Yogyakarta: Perpustakaan Fak.Hukum).1989.

Anda mungkin juga menyukai