Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum Islam merupakan perintah dari Allah SWT, yang ditaati oleh
seluruh umat Islam dan harus dilaksanakan oleh setiap muslim, agar kehidupan
manusia menjadi aman, tertib dan selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Tujuan ini adalah melaksanakan seluruh perintah-perintah Allah SWT dan
menjauhi segala larangan-laranganNya.
Salah satu segi dari kehidupan sehari-hari adalah setiap orang harus
merasa terlindungi. Agar dapatmemenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan aman
tentram dan damai tanpa adanya gangguan, maka bagi setiap manusia perlu
adanya suatu tata kehidupan.
Dalam Islam, seluruh aktivitas manusia diatur berdasarkan syari‟at Allah
SWT yang terkandung dalam Kitab suci Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Setiap orang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh
hidup dan kehidupannya berdasarkan syari‟at yang termasuk dalam Al-Qur‟an
dan Sunnah ini.
Tujuan umum syar‟i dalam mensyari‟atkan hukum-hukumnya adalah
mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang
dharuri (kebutuhan pokok) dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka (hajiyat)
serta kebaikan-kebaikan mereka (tahsiniyat). Setiap hukum syar‟i tidaklah
dikehendaki padanya kecuali salah satu dari tiga hal tersebut yang menjadi
penyebab terwujudnya kebutuhan manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari tidak selamanya manusia menjalani
kehidupan yang wajar. Pada tempat dan masa tertentu dia bisa mengalami hal-hal
yang berada di luar kemampuannya untuk menolak, menghindar dan
menguasainya. Maksudnya keadaan yang membahayakan hidupnya, seperti
adanya hasutan dan ajakan diri orang lain, dalam keikut sertaannya untuk
melakukan tindak pidana atau kejahatan lainnya dan sebagainya.

1
Dalam hukum Islam hal ini disebut dengan tindak pidana penyertaan atau
istilah lainnya keikut sertaan dalam melakukan suatu jarimah. Dalam hal yang
demikian itu, yang dengan berdasarkan prinsip keadilan dan kemaslahatan, Islam
menawarkan jalan keluar berupa pemberian pembelajaran dan sanksi pada pelaku
kejahatannya dalam suatu tindak pidana.

B. Rumusan Masalah
1. Apa arti dan dasar pertanggungjawaban pidana?
2. Siapa yang dibebankan pertanggungjawaban pidana?
3. Apa saja tingkatan pertanggungjawaban pidana?
4. Apa yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana?
5. Apa yang menyebabkan terhapusnya pertanggungjawaban pidana?

2
BAB II
PEMBAHASAN
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA ISLAM

A.    Arti dan Dasar Pertanggungjawaban Pidana


Pengertian pertanggungjawaban dalam pidana islam adalah pembebanan
terhadap seseorang atas hasil perbuatan yang ia lakukan dengan kemauannya
sendiri, dimana ia sendiri mengetahui maksud dan akibat yang ditimbulkan dari
perbuatannya itu.
Dari pengertian ini ada tiga asas untuk mewujudkan pertanggungjawaban
pidana dalam syari’at islam yaitu :
               1)      Adanya perbuatan yang dilarang.
               2)      Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri.
               3)      Pelaku mengetahui akibat yang muncul dari perbuatan tersebut.[1]
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud
disebutkan:
Dari Aisyah ra berkata: telah bersabda Rasulullah saw: Dihapuskan
ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang gila
sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa.

B.    Siapa yang Dibebani Pertanggungjawaban


Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang
yang melakukan kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain. Hal itu didasarkan
kepada firman Allah dalam Alquran.

‫وال تزروا زرة وزر اخرى‬


Seseorang tidak menanggung  dosa orang lain. (QS. Faathir: 18)
‫وان ليس لال نسان اال ماسعى‬
Dan tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan. (QS. An-Najm: 39)

1 Nuraisyah, Hukum Pidana Islam, (Bukittinggi : STAIN M. Djamil Djambek Bukittinggi, 2004) hal.
173-175

3
‫من عمل صلحا فلنفسه ومن اساء فعليه وما ربك بظلم للعبد‬
Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya dan barangsiapa yang
berbuatkejahatan maka akibatnyaatas dirinya sendiri. (QS. Fushilat: 46)
Mengenai pertanggungjawaban badan hukum, syariat islam tidak tidak
dibebani pertanggungjawaban pidana, karena sebagaimana telah dikemukakan,
pertanggungjawaban didasarkan pada pengetahuan dan pilihan, sedangkan badan
hukum tidak memiliki kedua hal tersebut, sehingga ketika terjadi pelanggaran,
maka yang dihukum adalah orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum
tersebut (pengurusnya). Jadi bukan Syakhsiyah ma’nawiyah yang
bertanggungjawab melainkan syakhsiyah haqiqiyah.

C.    Sebab dan Tingkatan Pertanggungjawaban Pidana


Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah
perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau
meninggalakan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’. Jadi sebab
pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya
pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan
ikhtiar.
Perbuatan melawan hukum bertingkat-tingkat, begitu pula
pertanggungjawabannya bertngkat-tingkat. Perbuatan yang melawan hukum
adakalanya disengaja dan adakalanya karena kekeliruan. Sengaja terbagi menjadi
dua bagian, yaitu sengaja semata-mata dan menyerupai sengaja. Sedangkan
kekeliruan juga ada dua macam, yaitu keliru semata-mata dan perbuatan yang
disamakan dengan kekeliruan. Dengan demikian maka pertanggungjawaban itu
juga ada empat tingkatan sesuai dengan tingkatan perbuatan melawan hukum tadi,
yaitu sengaja, semi sengaja, keliru dan yang disamakan dengan keliru.

a.    Sengaja (Al-‘Amdu)


Dalam tindak pidana pembunuhan, sengaja berarti pelaku sengaja
melakukan perbuatan berupa pembunuhan dan ia menghendaki akibatnya berupa

4
kematian korban. Tentu saja pertanggungjawaban pidana dalam tingkat ini lebih
berat dibandingkan dengan tingkat dibawahnya.
b.      Menyerupai Sengaja (Syibhul ‘Amdi)
Pengertian syibhul ‘ambdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan
maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam
tindak pidana pembunuhan, ukuran syibhul ‘amdi ini dikaitkan dengan alat yang
digunakan. Kalau yang digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk
membunuh makaperbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai
sengaja. Dalam pertanggungjawabannya menyerupai sengaja berada di bawah
sengaja.
c.       Keliru (Al Khata’)
Pengertian keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak
pelaku, tanpa ada maksud melawan hukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut
terjadi karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Kekeliruan ada dua macam.
1)      Keliru dalam perbuatan, seperti seorang pemburu yang menembak burung,
tetapi pelurunya menyimpang mengenai orang.
2)      Keliru dalam dugaan, seperti seseorang tentara yang menembak seseorang
yang disangkanya anggota pasukan musuh, tetapi setelah diteliti ternyata pasukan
sendiri.
d.      Keadaan yang Disamakan dengan Keliru
Ada dua bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan.
1)      Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang dilarang,
tetapi hal itu terjadi di luar pengetahuannya dan sebagai akibat kelalaiannya,
seperti seseorang yang tidur disamping seorang bayi di suatu barak penampungan
dan ia menindih itu sehingga bayi tersebut mati.
2)      Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang diarang karena
kelalaiannya tetapi tanpa dikehendakinya, seperti seseorang yang menggali parit
di tengah jalan untuk mengalirkan air tetapi ia tidak memberi tanda bahaya
sehingga pada malam hari terjadi kecelakaan atas kendaraan yang lewat.

5
Dalam segi pertanggungjawabannya, keadaan ini lebih ringan daripada keliru
karena pelaku dalam keadaan ini sama sekali tidak punya maksud untuk
melakukan perbuatan, melainkan perbuatan terjadi karena semata-mata akibat
keteledorannya dan kelalaiannya. Sedangkan dalam hal keliru pelaku sangaja
melakukan perbuatan, walaupun akibatnya karena kurang hati-hati.[2]
D.    Beberapa Hal yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana
a.    Pengaruh Tidak Tahu
Ketentuan yang berlaku dalam syariat islam adalah bahwa pelaku tidak
dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali ia mengetahui dengan
sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut. Dengan demikian, apabila
seseorang tidak tahu tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka ia tidak
dibebani pertanggungjawaban pidana.
Akan tetapi, pengertian mengetahui di sini bukan pengetahuan secara
hakiki, melainkan cukup dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui. Apabila
seseorang telah dewasa dan berakal sehat serta memperoleh kesempatan untuk
mengetahui perbuatan-perbuatan yang dilarang, baik dengan jalan belajar maupun
bertanya kepada orang yang pandai maka orang tersebut dianggap mengetahui
perbuatan yang dilarang, dan ia tidak dapat beralasan tidak tahu. Oleh karena itu,
para fuqaha menyatakan bahwa di dalam negeri islam tidak dapat diterima alasan
tidak mengetahui ketentuan-ketentuan hukum.

b.      Pengaruh Lupa


Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syariat
islam lupa disejajarkan dengan keliru seperti yang tercantum dalam hadist Nabi:
Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan
atasnya.
Dalam membicarakan hukum dan pengaruh lupa para fuqaha terbagi
menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa lupa adalah
alasan yang umum, baik dalam urusan ibadah maupun urusan pidana. Mereka
berpegang kepada prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang

2 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan bintang, 1971) hal. 134-135

6
mengerjakan perbuatan yang dilarang karena perbuatan yang dilarang karena lupa,
ia tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata, apabila perbuatannya itu
menimbulkan kerugian kepada orang lain.
Kedua, kelompok yang berpendapatbhwa lupa hanya menjadi alasan
hapusnya hukuman akhirat didasarkan atas kesengajaan, sedangkan pada orang
lupakesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa
tidak bisa menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal
yang berhubungan dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk
melakukan perbuatannya itu dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama
sekali.
c.       Pengaruh Keliru
Pengertian keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku.
Dalam jarimah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan
tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian dan
kurang hati-hati.
Dalam segi pertanggungjawaban pidana, orang yang keliru dipersamakan dengan
orang yang berbuat, apabila perbuatan yang dilakukannya itu merupakan yang
dilarang oleh syara’. Hanya saja sebab pertanggungjawabannya berbeda. Dalam
perbuatan sengaja sebabnya adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang,
sedangkan dalam perbuatan karena kekeliruan sebabnya adalah melanggar
ketentuan syara’ bukan karena sengaja, melainkan karena kelalaian dan kurang
hati-hati.
Nabi bersabda:
Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan
atasnya.
Akan tetapi, dalam keadaan tertentu syara’ membolehkan dijatuhkannya
hukuman atas kekeliruan sebagai pengecualian dari ketentuan pokok tersebut.
Misalnya tindak pidana pembunuhan, sebagaimana disebutkan dalam Surah An
Nisa ayat 93
Dan tidaklah boleh bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang
lain kecuali karena keliru. Barangsiapa yang membunuh orang mukmin karena

7
keliru maka hukumannya memerdekakan hamba yang mukmin dan membayar
diat kepada keluarganya ....(Q9S. An Nisaa:93)
Dengan adanya dua ketentuan diatas, yang satu merupakan ketentuan
pokok maka kelanjutannya untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena
kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara’. Dengan demikian,
apabila syara’ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena
kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok, yaitu bahwa perbuatan tersebut
tidak dikenakan hukuman.[3]

E. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena hal-hal yang bertalian


dengan perbuatan atau karena hal-hal yang bertalian dengan keadaan pelaku.
Dalam keadaan yang pertama perbuatan yang dilakuakn adalah mubah (tidak
dilarang) sedangkan dalam keadaan yang keduaperbuatan yang dilakukan tetap
dilarang tetapi pelakunya dijatuhi hukuman. Sebab-sebab yang berkaitan dengan
perbuatan disebut asbab al-ibahah atau sebab dibolehkannya perbuatan yang
dilarang. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan denagn keadaan pelaku disebut
asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang
dilarang itu ada enam macam, yaitu
1)      Pembelaan Yang Sah (Ad dafi’ As Syar’iyyu)
2)      Pendidikan dan pengajaran (At ta’dibu)
3)      Pengobatan (At Tathbiibu)
4)      Hapusnya jaminan keselamatan (Ihdarul Ashkhas)
5)      Permainan olah raga (Al ‘aab Al Furusiyah)
6)      Menggunakan wewenang dan nmelaksanakan kewajiban bagi pihak yang
berwajib (Huquq Al Hukam wa Waajibatuhum)

3 Makhrus Munajat, Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta, Pesantren Nawesea Press,
2010) hal. 98-100

8
Asbab rof’il ‘uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan
perbuatan yang dilakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu
dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan
dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Sebab – sebab hapusnya
hukuman ini ada 4 macam, yaitu:
1.    Paksaan (Al Ikrah)
2.    Mabuk (Assyukru)
3.    Gila (Al Junun)
4.    Dibawah umur (Shikhrus sinni)[4]

4 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006)
hal. 145

9
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga


denganteorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak.

Pertanggung jawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang
berkaitan dengan perbuatan sipelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan
dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggung jawaban pidana karena
perbuatan itu sendiri disebabkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan
menurut syarat.

Beberapa hal yang dapat membatalkan hukum:

a. meninggalnya sipembuat jarimah.


b. Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman.
c. Bertobat.
d. Korban dan wali/ahli waris, memaafkannya atau ulul amri dalam kasus
ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan.
e. Adanya upaya damai antara pelaku denga korban atau wali/ahli waristnya
dalam kasus jarimah qishash/diyat.
f. Lewatnya waktu tertentu dalam pelaksanaan hukuman.

B. Saran

Penulis meyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dalam penulisan


makalah ini jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, untuk dapat menuliskan makalah lebih baik lagi kedepannya.

10
Dengan adanya makalah ini penulis dapat mengetahui secara mendalam tentang
penyusunan karangan ilmiah, serta penulis berharap dengan adanya makalah ini
juga dapat berguna bagi pelajar, mahasiswa dan semua kalanganserta semua
pihak.

11

Anda mungkin juga menyukai