Anda di halaman 1dari 101

KEMATIAN AKIBAT PENGANIAYAAN OLEH ANAK

DIBAWAH UMUR (TINJAUAN FIQH JINAYAH TERHADAP


PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BUKITTINGGI NOMOR
3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum


(S.H.) Pada Jurusan Hukum Pidana Islam (Jinayah)

Oleh:
Rita Purnama Sari
NIM. 1418014

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH)


FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BUKITTINGGI
TAHUN 2022M/1443H
i
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rita Purnama Sari

NIM : 1418014

Tempat/ Tanggal Lahir : Bukittinggi, 23 Januari 1999

Program Studi : Hukum Pidana Islam (Jinayah)

Fakultas : Syariah

Judul Skripsi : Kematian Akibat Penganiayaan Oleh Anak di Bawah

Umur (Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-

Anak/2021/PN.BKT)

Menyatakan dengan ini sesungguhnya bahwa karya ilmiah (skripsi) penulis

dengan judul di atas adalah benar asli karya penulis. Apabila di kemudian hari

terbukti bahwa skripsi ini bukan karya sendiri, maka penulis bersedia diproses

sesuai hukum yang berlaku dan gelar kesarjanaan penulis dicopot hingga batas

waktu yang tidak ditentukan.

Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sesungguhnya untuk dipergunakan

sebagaimana mestinya.

Bukittinggi, 25 Juli 2022


Penulis

Rita Purnama Sari


NIM. 1418014

ii
ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Kematian Akibat Penganiayaan Oleh Anak Di Bawah


Umur (Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi
Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT)” yang ditulis oleh Rita Purnama Sari,
NIM. 1418014, Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah
UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi.
Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh adanya Putusan Pengadilan
Negeri Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai seorang anak
yang melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian di daerah
hukum Pengadilan Negeri Kelas I B Bukittinggi. Dalam hukum positif pelaku
memang termasuk anak di bawah umur sehingga hakim menjatuhkan hukuman
ta’zir kepada anak berupa pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam)
bulan di LPKA Tanjung Pati. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih jauh lagi
mengenai bagaimana tinjauan hukum pidana islam terhadap putusan hakim pada
kasus tersebut apakah sudah sesuai dengan hukum islam baik dari segi tindak
pidana, batas usia dewasa serta sanksi dari tindak pidana yang dilakukan oleh
anak di bawah umur.
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah kepustakaan (Library
Research) yaitu mengumpulkan data-data dari literature kepustakaan. Sumber data
primer dalam penelitian ini adalah dokumen Putusan Pengadilan Negeri
Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT, sedangkan sumber data sekunder
adalah berupa literatur-literatur buku dan karya ilmiah yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji. Kemudian data yang sudah didapatkan dianalisis
menggunakan metode deskriptif dan induktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, Pertimbangan hakim
mengenai kematian akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur dalam Putusan
Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT
telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan hakim dari hal-hal yang memberatkan
dan meringankan bagi terdakwa yang mencakup pertimbangan yuridis dan non
yuridis. Hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan anak telah
menyebabkan keresahan di masyarakat dan perbuatan anak dilakukan terhadap
anak dengan latar belakang masalah yang tidak prinsip. Dan hal-hal yang
meringankan terdakwa adalah terdakwa Anak menyesali perbuatannya, Anak
bersikap sopan dipersidangan, Anak masih dapat dibina, Anak mengakui terus
terang perbuatannya sehingga memperlancar proses persidangan, dan Anak masih
berstatus sebagai pelajar. Kedua, Menurut tinjauan Fiqh Jinayah terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai
kematian akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur tidak sesuai dengan
Hukum Pidana Islam karena anak tersebut sudah termasuk kategori dewasa
(baligh) mengingat batas usia baligh bagi seseorang menurut Jumhur Ulama
adalah 15 (lima belas) tahun sementara anak sudah berusia 17 (tujuh belas tahun).
Dengan demikian hukuman dalam putusan ini tidak sesuai dengan ketentuan
hukum pidana islam, sebab hukuman yang seharusnya diberikan untuk anak
tersebut adalah qishas/diyat bukan hukuman ta’zir.

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi Rabbil’aalamiin. Ucapan dan ungkapan syukur tiada

henti-hentinya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, nikmat

serta kasih sayang-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menjalani

kehidupan ini. Shalawat beserta salam tak bosan-bosannya penulis hadiahkan

kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam

rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada

Program Studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan

dan peran serta berbagai pihak baik berupa ide, kritik, saran dan lainnya. Oleh

karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Kedua orang tua saya Ayahanda Aris Irawan dan ibunda Eli Murni, yang telah

membesarkan saya dari saya kecil sampai saat ini, yang selalu mendoakan

keberhasilan saya dan kasih sayangnya untuk saya yang membuat saya selalu

ingin memberikan yang terbaik untuk beliau. Semoga Allah SWT memberikan

kemulian di dunia maupun di akhirat untuk kedua orang tua saya. selanjutnya saya

ucapkan terima kasih kepada kakak saya Sinta Purnama Sari, abang saya Rahmat

Hidayat dan Adik Saya Putri Wilda Yanti serta keluarga besar saya yang saya

banggakan dan sayangi, karena kalian saya bisa bersemangat, banyak belajar serta

bercanda tawa. Selanjutnya penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

iv
1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, DR. Ridha Ahida,

M.Hum beserta Bapak-bapak Wakil Rektor, Bapak Dr. Asyari, M.Si, Bapak

Dr. Novi Hendri, M.Ag, dan Bapak Dr. Miswardi, M.Hum yang telah

memberikan fasilitas kepada penulis selama menjalani pendidikan di IAIN

Bukittinggi.

2. Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi,

Bapak Dr. H. Ismail, M.Ag beserta Bapak-bapak Wakil Dekan, Bapak Dr.

Nofiardi, M.Ag, Bapak Dr. Busyro, M.Ag dan Bapak Fajrul Wadi, S.Ag,

M.Hum, serta Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Bapak H.

M.Ridha Lc, MA yang telah menfasilitasi penulis dalam menjalani bimbingan

skripsi ini.

3. Pembimbing skripsi penulis, Bapak Fauzan, M.Ag yang telah menyediakan

waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan

skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan motivasi serta saran-saran dari

bimbingan tersebut. penulis tidak dapat membalas keikhlasan dan jasa dari

bapak. Hanya ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas waktu yang

diluangkan buat penulis.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi terima kasih yang tak

terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini.

5. Pimpinan beserta staf perpustakaan yang telah mengijinkan penulis untuk

mengakses buku-buku dan referensi yang dibutuhkan dalam pengumpulan

v
data-data dan informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat saya yang selalu memberikan saya semangat agar cepat

menyelesaikan skripsi ini, yang selalu menemani saya dalam keadaan apapun

serta menjadikan hari-hari yang saya lalui lebih berwarna dengan canda tawa

kalian semua.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya setu persatu yang

telah membantu penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Bukittinggi, 25 Juli 2022


Penulis

Rita Purnama Sari


NIM 1418014

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i

PERNYATAAN ORISINALITAS................................................................ ii

ABSTRAK ...................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................. 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................... 9

D. Tinjauan Kepustakaan dan Penelitian Terdahulu ................... 11

E. Penjelasan Judul ..................................................................... 13

F. Metode Penelitian................................................................... 14

G. Sistematikan Penelitian .......................................................... 16

BAB II KEMATIAN AKIBAT PENGANIAYAAN OLEH ANAK

DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN

HUKUM POSITIF

A. Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian

Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif ................ 18

B. Teori Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif 34

vii
BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

BUKITTINGGI NOMOR 3/PID.SUS-ANAK/2021/PN.BKT

MENGENAI KEMATIAN AKIBAT PENGANIAYAAN OLEH

ANAK DIBAWAH UMUR

A. Deskripsi Putusan ................................................................... 54

B. Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri

Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT Mengenai

Kematian Akibat Penganiayaan Oleh Anak di Bawah Umur 60

C. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan ....................... 68

D. Amar Putusan ......................................................................... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT

Mengenai Kematian Akibat Penganiayaan Oleh Anak di Bawah

Umur ...................................................................................... 71

B. Analisis Fiqh Jinayah Terhadap Putusan Pengadilan Negeri

Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT Mengenai

Kematian Akibat Penganiayaan Oleh Anak di Bawah Umur 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 88

B. Saran ....................................................................................... 88

DAFTAR KEPUSTAKAAN

LAMPIRAN

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan adanya suatu aturan hukum

agar terciptanya ketentraman, kenyamanan dan ketertiban. Penerapan hukum

islam di Indonesia hanya diterapkan di wilayah aceh saja sekalipun mayoritas

warga Indonesia beragama islam, namun pengaruh hukum islam tidak terlalu

menonjol dalam sistem hukum Indonesia baik secara substansi, struktur

maupun budaya hukum itu sendiri. Bahkan menurut Abdul Jamil penegakan

hukum islam di Indonesia hanya berlaku di Pengadilan Agama walaupun

mayoritas penduduknya beragama islam.1

Hukum pidana Islam atau Fiqh Jinayah merupakan syari’at Allah yang

mengatur segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan

kriminal yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah mukallaf (orang yang

dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil

hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits.2 Dikalangan fuqaha jinayah

disebut juga dengan jarimah yaitu larangan-larangan hukum yang diberikan

Allah yang pelanggarnya dikenakan hukum baik berupa had atau ta’zir.

Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan

dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, menggugurkan

1
Yesmil Anwar dan Adang, “Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana”,
(Jakarta: Grasindo, 2008), hal. 102.
2
Zainuddin Ali, “Hukum Pidana Islam”, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.1.

1
2

kandungan dan lain-lain. 3 Adapun pembunuhan atau melukai seseorang

menurut pandangan Hukum Islam tergolong dalam jarimah qishas/diyat yaitu

jarimah (tindak pidana) yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat yang

ketentuan hukumannya telah ditentukan oleh syara’.4

Dasar hukum pemberlakuan sanksi qishas dan diyat terdapat dalam firman

Allah surat al-Baqarah ayat 178 berikut:

‫اص فِى الْ َقْت لى أَلْ ُحُّر بِالْ ُح ِرَو الْ َعْب ُد بِالْ َعْب ِد َو ْاْلُنْثى بِ ْاْلُنْثى فَ َم ْن‬
ُ ‫ص‬
ِ
َ ‫ب َعلَْي ُك ُم الْق‬
ِ ِ َّ
َ ‫يَآأَيُّ َها الذيْ َن أ َمنُ ْوا ُكت‬
‫ف ِم ْن َّربِ ُك ْم َوَر ْح َمةٌ فَ َم ِن‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫عُف َي لَهُ ِم ْن أ َِخْي ِه َش ْيءٌ فَاتِبَاعٌ بِالْ َم ْع ُرْوف َوأ ََدآءٌ إِلَْي ِه بِِإ ْح َسان ٰل‬
ٌ ‫ك تَ ْخفْي‬

﴾٨٧١﴿ ‫اب أَلِْي ٌم‬


ٌ ‫ك فَلَهُ َع َذ‬
َ ْ‫ْاعتَدى بَ ْع َد ٰل‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
(melaksanakan) qishas berkenaan dengan orang yang dibunuh.
Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan
hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang
siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia
mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan)
kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah
keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui
batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat
pedih”.5(Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 178).

Ayat diatas berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuhan sengaja dan

pihak korban tidak memaafkan pelaku. Apabila keluarga korban ternyata

memaafkan pelaku, maka sanksi qishash tidak berlaku dan diganti menjadi

hukuman diyat.6 Diyat adalah uang tebusan sebagai ganti rugi akibat kasus

Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 54.
3
4
Ibid., hal. 58.
5
Departemen Agama RI, “Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah”, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2010), hal. 27.
6
Abdul Qadir Audah, “at-Tasyri’ al-Jinai al-Islam”, (Beirut: Dar al-kitab al-‘Arabi, tt),
hal. 622.
3

pembunuhan dan atau penganiayaan yang mendapatkan pemaafan dari

keluarga korban dan wajib dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban.7

Hukuman (uqubah) adalah pembalasan (al-jaza’) atas pelanggaran

perintah syara’ yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan. Sementara

maksud ditetapkannya hukuman atas pelanggaran perintah syara’ adalah untuk

kemaslahatan manusia, menjerakan perbuatan dari maksiat, dan memotivasi

mereka untuk taat kepada Allah. 8 Secara umum, tujuan syara’ menetapkan

hukum adalah untuk kemaslahatan9 manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di

dunia maupun di akhirat. Namun, apabila dilihat lebih spesifik tujuan

hukuman dalam hukum syara’ ada lima macam yang dikenal dengan al-

maqasid asy-syariah yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara

akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta benda.10

Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa hukum adalah alat untuk

mencegah dan membalas kejahatan agar tidak terjadi kerusakan di muka bumi.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104:


ۤ
‫ك ُه ُم الْ ُم ْفلِ ُح ْو َن‬ ِ
َ ِ‫َولْتَ ُك ْن ِمْن ُك ْم أ َُّمةٌ يَّ ْدعُ ْو َن إِلَى الْ َخْي ِر َويَأْ ُم ُرْو َن بْالْ َم ْع ُرْوف َويَْن َه ْو َن َع ِن الْ َمْن َك ِر َوأ ُْولئ‬

﴾٨۰٤﴿
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Mengajarkan agar manusia melaksanakan amar ma’ruf nahi

Nurul Irfan, “Hukum Pidana Islam, cet. I”, (Jakarta: Amzah, 2016), hal. 41.
7

Abdul Qadir Audah, “at-Tasyri’ al-Jinai al-Islam”, hal. 702.


8
9
Kemaslahatan dapat diartikan mengambil manfaat dan menolak mudharat (bahaya)
dalam rangka memelihara tujuan syara’ (hukum islam) dalam Harun, “Pemikiran Najmuddin at-
Thuli Tentang Konsep Maslahah Sebagai Teori Istinbath Hukum Islam” Jurnal Digital Ishaqi, Vol.
5, 1 (Januari-Juni, 2009), hal. 24.
10
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 91.
4

mungkar demi kemaslahatan bersama”.11(Al-Qur’an Surat Ali Imran


ayat 104)

Secara yuridis, yang dimaksud dengan kekerarasan tidak dijelaskan oleh

undang-undang melainkan hanya menyamakan dengan melakukan kekerasan

dalam Pasal 89 KUHP yaitu perbuatan membuat dalam keadaan pingsan atau

tidak berdaya, dengan kata lain yang dimaksud dengan menggunakan

kekerasan adalah penggunaan tenaga atau pengerahan daya fisik yang tidak

ringan secara tidak sah kepada orang atau barang tertentu.12

Mengenai delik penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan

kematian diatur dalam Pasal 76 C yaitu “Setiap orang dilarang menempatkan,

membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan

kekerasan terhadap anak”.13 Adapun mengenai hukuman bagi pelaku tindak

pidana ini diatur dalam Pasal 80 ayat (3): “Dalam hal anak sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

3.000.000.000,00 (Miliyar)”.14

Dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia, telah diberlakukan Undang-

Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sehingga

anak tidak lagi diadili sesuai pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP ketika

melakukan tindak pidana. Maka dalam memutuskan perkara anak sesuai

dengan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mulai

11
Departemen Agama RI, “Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah”, hal. 63
12
Made Darma Weda, “Kriminologi”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 108.
13
UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Pasal 76 C.
14
UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Pasal 35 ayat (3).
5

dari tahap penyidikan hingga pembimbingan setelah menjalani pidana. Hal ini

sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa “sistem peradilan pidana anak

adalah setiap proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan

hukum, mulai dari tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan

setelah menjalani pidana”. Dan dalam Pasal 20 disebutkan “ Dalam hal tindak

pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun

dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan

melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.” 15 Dengan

demikian penanganan anak berhadapan dengan hukum berbeda dengan

penanganan terhadap orang dewasa yang berhadapan dengan hukum karena

ada Undang-Undang Khusus yang mengatur mengenai Sistem Peradilan

Pidana Anak yang sangat mengutamakan keadilan restoratif dalam

penanganan perkara anak.

Seperti kasus yang penulis teliti mengenai kekerasan terhadap anak yang

mengakibatkan kematian dengan pelaku yang masih berusia 17 (tujuh belas)

tahun, dalam Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-

Anak/2021/PN.BKT terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan

terhadap anak yang mengakibatkan mati”, sebagaimana diatur dan diancam

15
Ibid.
6

pidana dalam Pasal 80 ayat (3) Jo Pasal 76 C Undang-Undang No. 35 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak Jo Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

Oleh karena anak dikategorikan di bawah umur berdasarkan pada Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-

Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

menyatakan bahwa “anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya

disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana”.16

Dalam hukum positif Indonesia sanksi bagi anak yang melakukan pidana

dimuat berbeda sanskinya dengan orang dewasa yang melakukan tindak

pidana. Hal ini tercantum dalam Pasal 81 ayat (2) dan (6) Undang-Undang No.

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Ayat (2): “Pidana Penjara dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½
(satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa”.17
Ayat (6): “Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun”.18

Berdasarkan Pasal 81 ayat (2) dan (6) diatas dapat dilihat perbedaan sanksi

hukum bagi anak dibawah umur dengan sanksi orang dewasa. Pasal tersebut

16
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
17
UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 81 ayat (2).
18
UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 81 ayat (6).
7

menetapkan hukuman bagi anak adalah setengah dari orang dewasa. Jika anak

diancam pidana 15 (lima belas) tahun penjara maka hukuman bagi anak 7

(tujuh) tahun 6 (lima) bulan penjara. Dan jika anak diancam hukuman mati

maka pidana yang dijatuhkan berupa hukuman penjara 10 (sepuluh) tahun.

Di persidangan Jaksa Penuntut Umum menuntut anak agar dijatuhi pidana

penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan di LPKA Tanjung Pati,

sedangkan hakim menjatuhkan hukuman lebih ringan dari tuntutan Jaksa

tersebut dengan menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam)

bulan di LPKA Tanjung Pati. Penempatan anak di LPKA Tanjung Pati oleh

Hakim berdasarkan ketentuan Pasal 3 Huruf b dan n Undang-Undang No. 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa setiap anak dalam

proses peradilan pidana berhak untuk dipisahkan dari orang dewasa dan

memperoleh pendidikan.19

Sedangkan Dalam hukum islam tidak ada istilah dibawah umur karena

dalam hukum islam hanya mengenal istilah baligh (dewasa) dan belum baligh

atau mumayiz. Mengenai batas usia baligh, terjadi perbedaan pendapat

dikalangan para ulama fiqh, tetapi sepakat Jumhur Ulama bahwa seseorang

yang telah mecapai usia 15 (lima belas) tahun baik bagi laki-laki ataupun bagi

perempuan dapat dikategorikan sudah baligh atau ada tanda-tanda baligh pada

dirinya seperti mengalami ihtilam (telah bermimpi sampai mengeluarkan

mani) bagi laki-laki dan datangnya haid bagi perempuan.20

19
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
20
Al Imam Jalaluddin al Mahaly dan Jalaluddin as Suyuthi, “Tafsir al Qur’an al Karim”,
Juz, I, (Beirut: Daar al Fikr, 1998), hal. 98.
8

Dalam kitab-kitab Fiqh dijelaskan bahwa hukuman bagi anak yang belum

dewasa (baligh) apabila melakukan suatu perbuatan jarimah had atau qishas

maka anak tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah-jarimah

yang dilakukannya, namun tetap dikenakan hukuman ta’zir berupa pengajaran

(ta’dib), dan mengenai batasan hukuman pengajaran diserahkan kepada

penguasa untuk memutuskannya.21

Dari uraian di atas, penulis menganggap hal ini penting untuk diteliti

karena perbedaan umur dan penjatuhan hukuman dalam Hukum Positif dan

Hukum Pidana Islam sangat berbeda jauh. Dalam hukum islam usia baligh

dibatasi minimal umur 15 (lima belas) tahun, sedangkan dalam hukum positif

adalah 18 (delapan belas) tahun. Dari sini bertolak belakang mengenai

hukuman yang pantas diberikan pelaku yang melakukan tindak pidana

penganiayaan yang mengakibatkan kematian tersebut. seharusnya jika dilihat

dari usia pelaku yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun, maka pelaku

haruslah dihukum qishas atau diyat. Sementara dalam hukum positif

pelakutermasuk anak di bawah umur sehingga hakim menjatuhkan hukuman

penjara (ta’zir) kepada anak. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih jauh lagi

mengenai tinjauan hukum pidana islam terhadap putusan hakim pada kasus

tersebut apakah sudah sesuai dengan hukum islam baik dari segi tindak pidana,

batas usia dewasa serta sanksi dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak di

bawah umur.

21
Abdurrahman al-Jazari, “Kitab Al-Fiqh Ala MazdahibAl-Arba’ah”, (Beirut: Dar al-Fikr,
t. th), hal. 11.
9

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik dan merasa perlu

untuk mengadakan sebuah penelitian dengan judul: “Kematian Akibat

Penganiayaan Oleh Anak Di Bawah Umur (Tinjauan Fiqh Jinayah

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-

Anak/2021/PN. BKT)”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Batasan masalah yang akan diteliti supaya lebih terarah penulisan karya

ilmiah ini, yaitu Kematian Akibat Penganiayaan Oleh Anak Di Bawah Umur

(Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi No.

3/Pid.Sus-Anak/2021/PN. BKT)

Masalah-masalah yang muncul dari pembatasan masalah tersebut dibuat

untuk mengarahkan pembahasan lebih terfokus, tidak kabur dan sesuai dengan

tujuan penelitian. Permasalahan dibahas dalam pembahasan ini dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim mengenai kematian akibat penganiayaan

oleh anak di bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi

No. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT?

2. Bagaimana tinjauan hukum pidana islam terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai kematian

akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:
10

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim mengenai kematian akibat

penganiayaan oleh anak dibawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri

Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT.

2. Untuk mengetahui pandangan hukum islam terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai kematian

akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur.

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:

1. Manfaat teoritis

Diharapkan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan

perkembangan ilmu hukum pidana anak khususnya hukum pidana islam

dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan sebagai bahan informasi dan bahan referensi bagi UIN Sjech

M. Djamil Djambek Bukittinggi, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum

Pidana Islam (Jinayah).

2. Manfaat praktis

a. Bagi pembaca

Sebagai masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses peradilan

terhadap anak, dan juga sebagai bahan informasi atau masukan bagi

proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat untuk mencegah

agar tidak terulang lagi peristiwa yang serupa.

b. Bagi penulis

1) Mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari selama kuliah di UIN

Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi Bukittinggi.


11

2) Memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar kesarjanaan

pada jurusan Hukum Pidana Islam di UIN Sjech M. Djamil Djambek

Bukittinggi Bukittinggi.

D. Tinjauan Kepustakaan dan Penelitian Terdahulu

Untuk mendukung karya tulis ini, penulis mengambil beberapa karya tulis

terdahulu dan mencoba melihat perbandingan yang menjadi fokus penelitian

terdahulu yang dilakukan orang lain sebelumnya yang berkaitan dengan judul

penulis.

1. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Hasanuddin

Makassar yang bernama Samsahril, NIM B11112638, program studi Ilmu

Hukum, dengan judul skripsi yaitu: “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak

Pidana Kekerasan yang Menyebabkan Kematian yang Dilakukan Oleh

Anak Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2015/PN. Mrs”. Skripsi yang ditulis

membahas mengenai penerapan hukum pidana materil dan pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara tindak pidana kekerasan

yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak dalam putusan

Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2015/PN. Mrs.

2. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi dari Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara Medan yang bernama Annisa Aura, NPM

1606200057, program studi Ilmu Hukum, dengan judul skripsi yaitu;

“Pertanggungjawaban Pidana Oleh Anak Pelaku Kekerasan Fisik yang

Mengakibatkan Kematian (Analisis Putusan PN Kabanjahe Nomor:

4/Pid.Sus-Anak/2019/PN. Kbj”. Skripsi yang ditulis membahas mengenai


12

faktor penyebab anak melakukan tindak pidana kekerasan fisik yang

mengakibatkan kematian, pertanggungjawaban pidana oleh anak pelaku

kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian, serta penerapan sanksi

kepada anak pelaku tindak pidana kekerasan fisik yang mengakibatkan

kematian dalam Putusan PN Kabanjahe Nomor: 4/Pid.Sus-Anak/2019/PN.

Kbj.

3. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dari Universitas Batanghari

Jambi yang bernama Muhammad Revaldi Maulana, NIM 1700874201061,

program studi Ilmu Hukum, dengan judul skripsi yaitu; “Kajian

Kriminologis Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan yang

Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia di Wilayah Hukum Kepolisian

Sektor Telanaipura”. Skripsi ini membahas tentang faktor-faktor penyebab

anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan

korban meninggal dunia, dan kendala yang dihadapi serta upaya

penyelesaian dalam penyelesaian kasus anak sebagai pelaku tindak pidana

penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Wilayah

Hukum Kepolisian Sektor Telanaipura.

Jika dilihat dari beberapa penelitian terdahulu mengenai tindak pidana

penganiayaan/kekerasan yang mengakibatkan kematian oleh anak dibawah

umur memiliki tema yang hampir sama dengan yang akan peneliti bahas.

Namun secara prinsip dan pembahasan akan menemui titik perbedaan.

Perbedaannya dengan skripsi yang saya tulis adalah dalam skripsi ini saya

membahas permasalahan bagaimana tinjauan hukum islam terhadap Putusan


13

Pengadilan Negeri Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai

kematian akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur, apakah sudah sesuai

dengan hukum islam baik dari segi tindak pidana, batas usia dewasa serta

sanksi dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

E. Penjelasan Judul

Untuk bisa mengerti tentang judul yang penulis angkatkan, maka perlu

dijelaskan mengenai judul tersebut:

1. Kematian akibat penganiayaan

Penganiayaan dalam hukum pidana Islam disebut dengan al-jinayah

‘ala ma duna al-nafs (jinayah terhadap selain jiwa) yaitu perbuatan

menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai

menghilangkan nyawanya. Perbuatan melukai atau menganiaya tersebut

bisa sengaja, semi sengaja, dan kesalahan. Para fuqaha’ mengistilahkan

jinayah terhadap selain jiwa dengan kata al-dharb (memukul) dan al-jarh

(melukai). 22 Maksud dari jinayah terhadap selain jiwa sebagaimana yang

dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa

adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa

memotong anggota badan, melukai, maupun memukul serta

menghilangkan fungsinya. Sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya

masih tetap tidak terganggu.23

22
Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqih”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal.
269.
23
Ahmad Wardi Muslich, “Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hal. 179.
14

Ketika penganiyaan itu menghilangkan nyawa seseorang maka

perbuatan itu termasuk jarimah pembunuhan yang dikenal dengan istilah

al-jinayat ala al-nafs (jinayah terhadap jiwa). Pembunuhan adalah suatu

perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

2. Anak dibawah umur

Setiap manusia yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun

dan belum menikah, termasuk anak yang ada di dalam kandungan apabila

hak tersebut adalah untuk kepentingan anak. Di dalam putusan No.

3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT yang dikaji dalam skripsi ini, anak tersebut

berusia 17 tahun.

3. Hukum pidana islam (fiqh jinayah)

Hukum pidana islam adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak

pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang yang

sudah mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari

pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan

Hadits.24 Dalam penelitian ini, hukum pidana islam yang diterapkan adalah

hukuman ta’zir untuk anak yang telah melakukan penganiayaan yang

mengakibatkan kematian dalam Putusan PN Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-

Anak/2021/PN. BKT.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian

Dede Rosyada, “Hukum Islam dan Pranata Sosial”, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
24

Kemasyarakatan, 1992), hal. 86.


15

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,

dan konsisten.25

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis

penelitian library research yaitu penelitian studi kepustakaan atau

terhadap data seperti perundang-undangan, jurnal dan buku-buku yang

berkaitan dengan penganiayaan yang mengakibatkan kematian oleh anak

dibawah dalam perspektif hukum pidana islam.

2. Sumber Data

a. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dari subjek penelitian yaitu

dokumen Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-

Anak/2021/PN. BKT.

b. Data sekunder

Data sekunder yaitu data tidak langsung diperoleh dari penelaahan

studi kepustakaan berupa literatur-literatur buku, karya ilmiah dan

jurnal yang berkaitan dengan penelitian tindak pidana penganiayaan

yang mengakibatkan kematian oleh anak dibawah umur.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan dokumentasi, yakni dengan

mengumpulkan data-data dari sumber-sumber. Maka dalam tahap ini

pengumpulan data menggunakan bahan pustaka. Sumber data primer dan

25
Zainuddin Ali, “Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 17.
16

sekunder penelitian ini adalah dokumen Putusan Pengadilan Negeri

Bukittinggi dan beberapa karya ilmiah (hasil penelitian) jurnal-jurnal dan

buku yang berkaitan dengan permasalahan penganiayaan yang

mengakibatkan kematian oleh anak dibawah umur.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik pengolahan data

induktif, yaitu teknik yang digunakan dalam menganalisis terhadap

informasi yang sudah dikumpulkan secara tertulis untuk menarik

kesimpulan dari informasi yang dianalisis tersebut.

G. Sistematika Penelitian

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai pembahasan

ini, maka penulis membagi laporan ini menjadi empat bab sebagai berikut:

Pada bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembahasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan

penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Pada bab II penulis akan membahas mengenai kematian akibat

penganiayaan oleh anak di bawah umur menurut hukum pidana islam dan

hukum positif. Pembahasan ini berisi tentang tindak pidana penganiayaan

yang mengakibatkan kematian menurut hukum pidana islam dan hukum

positif dan teori anak menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif

.Pada bab III merupakan bab yang memuat tentang deskripsi Putusan

Pengadilan Negeri Bukittinggi No. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai

kematian akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur. Pembahasan ini


17

berupa deskripsi putusan, pertimbangan Hakim terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai kematian

akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur, hal-hal yang memberatkan dan

meringankan, dan amar putusan.

Pada bab IV Merupakan bab yang memuat tentang hasil penelitian. Pada

bab ini akan dibahas analisis pertimbangan Hakim terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT

mengenai kematian akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur dan analisis

Fiqh Jinayah terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor

3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai kematian akibat penganiayaan oleh

anak di bawah umur.

Pada bab V, bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan

sebagai jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dan juga saran-saran

yang berhubungan dengan topik pembahasan dalam penelitian ini secara

menyeluruh.
BAB II

KEMATIAN AKIBAT PENGANIAYAAN OLEH ANAK DI BAWAH

UMUR MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian Menurut

Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif

1. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

Jinayah secara etimologi berasal dari kata jana yang berarti berbuat

salah atau dosa, sedangkan jinayah dapat diartikan perbuatan dosa atau

salah.26 Kata jana juga berarti “memetik” seperti dalam kalimat jana as-

samarat artinya “memetik buah dari pohonnya”. Pengertian ini didukung

oleh pendapat Imam al-San’any bahwa al-jinayah itu merupakan bentuk

jamak dari jinayah masdar dari jana (dia mengerjakan kejahatan).27

Secara terminologi kata jinayah memiliki beberapa pengertian, seperti

yang dikemukakan oleh Abd al-Qadir Awdah dalam bukunya yang

berjudul at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami yang mendefinisikan jinayah sebagai

perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa,

harta benda, atau lainnya. 28 Sejalan dengan pendapat tersebut, Sayyid

Sabiq dalam bukunya yang berjudul Fiqh al-Sunnah juga mengemukakan

definisi jinayah menurut tradisi syariat islam adalah segala perbuatan yang

dilarang oleh hukum syariat melakukannya. Perbuatan yang dilaran adalah

26
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam) Memahami Tindak
Pidana Dalam Hukum Islam”, ( Palembang: Rafah Press, 2020), hal. 53.
27
Ibid.
28
Abd al-Qadir Awdah, “at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami”, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub,
1963), hal. 67.

18
19

setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus dihindari, karena

perbuatan tersebut dapat menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama,

jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.29

Dikalangan fuqaha jinayah disebut juga dengan jarimah yaitu

larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang pelanggarnya

dikenakan hukum baik berupa had atau ta’zir. Sebagian fuqaha

menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa

atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, menggugurkan

kandungan dan lain sebagainya. 30

Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau

tindak pidana. Istilah jarimah yang digunakan oleh para fuqaha

mengandung pengertian yang sama dengan jinayah baik secara bahasa

maupun istilah. Secara bahasa jarimah berasal dari kata jarama yang

berarti berbuat salah sehingga jarimah dapat diartikan berbuat salah. 31

Sedangkan secara istilah, Imam al-Mawardi dalam bukunya berjudul al-

Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah mengemukakan bahwa

jarimah yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang

diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta’zir.32

Adapun arti dari al-Ahkam al-Jinayah adalah hukum pidana atau

hukum publik. Tujuan dari adanya al-Ahkam al-Jinayah untuk melindungi

kepentingan dan keselamatan umat manusia dari ancaman tindak kejahatan

29
Sayyid Sabiq, “Fiqh al-Sunnah”, Juz III, (Kairo: Maktabah Dar al-Turast, 1970), hal. 5.
30
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 54.
31
Ibid., hal. 56.
32
Imam al-Mawardiy, “al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah”, (Beirut: al-
Maktab al-Islami, 1996), hal. 219.
20

atau pelanggaran sehingga terciptanya kehidupan yang aman, damai dan

tertib.33

Menurut pendapat penulis jinayah atau jarimah adalah segala

perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang berkaitan dengan jiwa atau

anggota badan yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir bagi

pelanggarnya karena dapat membahayakan jiwa, agama, akal, keturunan

dan harta benda.

Di dalam hukum islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum kecuali

jika terpenuhi semua unsur unsurnya, baik unsur umum maupun unsur

khusus. Unsur umum adalah sebagai berikut:

a. Unsur formal (Al-Rukn Al-Syar’i) yaitu adanya nash syara’ yang jelas

melarang perbuatan itu dilakukan dan jika dilakukan akan dikenai

hukuman. Nash syara’ ini menempati posisi yang sangat penting

sebagai azaz legalitas dalam hukum pidana islam, sehingga dikenal

suatu prinsip la hukma li af’al al-uqala’ qal wurud an-nass (tidak ada

hukum bagi perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nash).34

b. Unsur materil (Al-Rukn Al-Mad’i) yaitu seseorang dapat dijatuhi pidana

apabila tebukti melakukan perbuatan pidana baik yang bersifat positif

(aktif dalam melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif

dalam melakukan sesuatu).35

33
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 56.
34
Ibid., hal. 57.
35
H.M. Nurul Irfan dan Masyrofah, “Fiqh Jinayah”, Ed. I, Cet.I (Jakarta: Amzah, 2013),
hal. 2.
21

c. Unsur moril (Al- Rukn Al-Adabi) yaitu seseorang dapat dinyatakan

bersalah apabila ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang

berada di bawah ancaman.36

Ketiga unsur umum diatas harus terpenuhi sehingga dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana dalam Hukum Pidana Islam.

mengenai unsur khusus adalah unsur-unsur tersebut berbeda-beda sesuai

dengan tindak pidananya. Unsur yang terkandung di dalam pencurian tidak

sama dengan unsur yang terkandung di dalam perzinahan.37

Macam-macam jarimah dari segi berat ringannya hukuman dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Jarimah Qishas dan Diyat

Jarimah qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan

hukuman qishas atau diyat yang ketentuan hukumannya telah

ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah

bahwa hukuman had merupakan hak Allah, sedangkan hukuman qishas

dan diyat adalah hak manusia (individu).38

Mahmud Syaltut mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan

hak manusia adalah hak tersebut berhubungan dengan kepentingan

pribadi seseorang dan dinamakan begitu karena kepentingannya khusus

untuk mereka.39

36
Ibid.
37
Ibid.
38
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 58.
39
Syeikh Mahmud Syaltut, “al-Islam Aqidah wa Syari’ah”, jilid 2, Alih bahasa,
Fachruddin HS, “Akidah dan Syari’ah Islam “, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hal. 34.
22

Pengertian hak manusia disini jika dikaitkan dengan hukuman

qishas dan diyat adalah hukuman tersebut dapat dihapuskan jika

dimaafkan oleh korban atau keluarganya. 40 Jarimah qishas dan diyat

memiliki kekhususan tersendiri, yaitu:

1) Hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan telah ditetapkan

batasan minimal dan maksimal hukuman tersebut.

2) Hukuman tersebut merupakan hak individu dimana korban atau

keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.

Jarimah qishas atau diyat terdiri dari dua macam yaitu

pembunuhan dan penganiayaan, tetapi jika diuraikan lagi terdiri dari

lima macam sebagai berikut:

1) Pembunuhan sengaja.

2) Pembunuhan semi sengaja.

3) Pembunuhan tersalah.

4) Penganiayaan sengaja.

5) Penganiayaan tidak sengaja.41

Untuk melaksanakan hukuman qishas, harus terpenuhi beberapa

syarat, antara lain:

1) Syarat pelaku (pembunuh)

Menurut Ahmad Wardi Muslich ada syarat yang harus terpenuhi

oleh pelaku untuk diterapkannya hukuman qishas. Syarat tersebut

adalah pelaku harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, pelaku

40
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 58.
41
Ibid., hal. 59.
23

melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku harus orang yang

mempunyai kebebasan.42

2) Syarat korban (yang dibunuh)

Untuk diterapkannya hukuman qishas kepada pelaku harus

memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat

tersebut adalah korban harus orang-orang yang ma’shum ad-dam

artinya korban merupakan orang yang dijamin keselamatannya oleh

negara islam, korban bukan bagian dari pelaku artinya bahwa

keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya keseimbangan

antara pelaku dan korban (tetapi para jumhur ulama saling berbeda

pendapat dalam keseimbangan ini).

3) Perbuatan pembunuhannya

Dalam hal perbuatan menurut hanafiyah disyaratkan perbuatan

pelaku langsung bukan tidak langsung. Apabila perbuatannya tidak

langsung maka hukumannya bukan qishas melainkan diyat. Akan

tetapi, ulama-ulama selain hanafiyah tidak mensyaratkan hal ini,

mereka berpendapat bahwa pembunuhan tidak langsung juga dapat

dikenakan hukuman qishas.

4) Wali (keluarga) dari korban.

Wali korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban tidak

diketahui keberadaannya, maka qishas tidak bisa dilaksanakan. Akan

tetapi ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.

42
Ahmad Wardi Muslich, “Hukum Pidana Islam”, hal. 151.
24

Ada beberapa sebab yang dapat menggugurkan hukuman qishas,

yaitu:43

1) Meninggalnya pelaku tindak pidana

2) Hilangnya tempat melakukan qishas

3) Tobatnya pelaku tindak pidana

4) Perdamaian

5) Pengampunan

6) Diwariskannya qishas

7) Kadaluarsa (al-taqdum)

b. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman

had. Hukuman had ialah hukuman yang ketentuannya telah ditetapkan

oleh syara’ dan menjadi hak Allah.44

Pengertian hudud yang lebih tepat seperti yang diungkapkan oleh

Nawawi Al-Bantani yaitu sanksi yang telah ditentukan dan

diberlakukan terhadap seseorang yang melanggar suatu pelanggaran

yang akibatnya sanksi itu dituntut, baik dengan tujuan untuk

memberikan peringatan kepada pelaku maupun untuk

memaksanya. 45 Jarimah hudud ini memiliki kekhususan tersendiri,

yaitu:

1) Hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batasan

minimal dan maksimal hukuman ini.

43
Sudarsono, “Pokok-pokok Hukum Islam”, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 52.
44
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 60.
45 45
H.M. Nurul Irfan dan Masyrofah, “Fiqh Jinayah., hal. 14.
25

2) Hukuman tersebut merupakan hak Allah, jika pada jarimah tersebut

terdapat hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang

lebih menonjol.46

Mahmud Syaltut mengemukakan bahwa yang dimaksud hak Allah

adalah hak tersebut tidak tertentu pada kepentingan individu melainkan

berhubungan dengan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama.47

Pengertian hak Allah ini jika dikaitkan dengan hukuman hudud

adalah hukuman tersebut tidak dapat dihapuskan oleh korban atau

keluarganya bahkan tidak dapat pula dihapuskan oleh masyarakat yang

diwakili oleh negara.48

Jarimah hudud ini terdiri atas tujuh macam, diantaranya sebagai

berikut:

1) Jarimah zina.

2) Jarimah qadzaf (menuduh zina).

3) Jarimah syurbul khamr (meminum minuman keras).

4) Jarimah sariqah (pencurian).

5) Jarimah hirabah (perampokan).

6) Jarimah riddah (keluar dari agama islam).

7) Jarimah al-baghyu (pemberontakan).49

Pada jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah , dan al-baghyu

yang dilanggar merupakan hak Allah saja, sedangkan pada jarimah

46
Ibid.
47
Syeikh Mahmud Syaltut, “al-Islam Aqidah wa Syari’ah”..., hal. 14.
48
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)..., hal. 61.
49
Makhrus Munajat, “Dekontruksi Hukum Pidana Islam”, (Yogyakarta: Logung, 2004),
hal. 12.
26

sariqah dan qadzaf yang dilanggar bukan hanya hak Allah tetapi juga

hak manusia namun yang lebih menonjol adalah hak Allah.50

c. Jarimah Ta’zir

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman

ta’zir. Menurut bahasa ta’zir ialah ta’dib yang berarti memberi

pelajaran. Ta’zir dapat juga diartikan ar rad wa al man’u (menolak

dan mencegah).51

Menurut istilah pengertian ta’zir sebagaimana yang dikemukakan

oleh Al Mawardi yaitu hukuman dari tindak pidana pelanggaran dan

kriminalitas yang mana hukuman tersebut tidak diatur dalam hukuman

had. Hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kasus dan pelakunya.

Ta’zir ini sejalan dengan hukuman had karena tujuan dari hukuman ini

adalah untuk memperbaiki perilaku manusia dan untuk mencegah orang

lain tidak melakukan perbuatan yang sama.52

Hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh

syara’, akan tetapi hukuman tersebut dapat diserahkan kepada ulil amri

baik dalam penentuannya maupun pelaksanaannya. Penguasa dalam hal

ini tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir

melainkan hanya menetapkan serangkaian hukuman dari hukuman yang

paling ringan hingga hukuman yang paling berat.53

50
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 61.
51
Ibid., hal. 61-62.
52
Imam al-Mawardiy, “al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah”, (Beirut: al-
Maktab al-Islami, 1996), hal. 236.
53
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 62.
27

Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan

hukumannya diserahkan kepada penguasa adalah agar mereka dapat

mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya

serta menghadapi sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat

mendadak.

Tidak semua jarimah ta’zir diserahkan penentuan sepenuhnya

kepada ulil amri, seperti riba dan suap yang telah ditentukan oleh

syara’. Ada juga jarimah hudud yang masuk dalam kelompok jarimah

ta’zir tetapi syarat untuk dilaksanakan hukuman tersebut belum

terpenuhi seperti mencuri barang yang kurang dari nisab pencurian

yaitu seperempat dinar.54

2. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan

definisi tindak pidana karena sistem hukum pidana Indonesia mengadopsi

hukum pidana Belanda, maka istilah asal dari “tindak pidana” berasal dari

kata “straf Baar Feit” yang berarti “perbuatan pidana, peristiwa pidana,

tindak pidana atau perbuatan yang dapat dihukum”.55

Menurut Moeljatno strafbaar feit adalah perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan ancaman pidana apabila dilanggar.56Pengertian strafbaar

feit menurut Simons adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan

pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan

54
Ibid., hal. 63.
55
Dr. Lukman Hakim, “Asas-asas Hukum Pidana Buku Ajar bagi Mahasiswa”, (Sleman:
Deepublish, 2020), hal. 3-4.
56
Moeljatno, “Asas-asas Hukum Pidana”, cet. IX, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hal. 56-
57.
28

kesalahan yang dilakukan oleh orang dapat mempertanggung jawakan

perbuatannya.57

Van Hamel merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang

(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet dan bersifat melawan

hukum yang patut dipidana (strafwaardig) serta dilakukan dengan

kesalahan. 58 Sedangkan menurut Roeslan Saleh, melakukan suatu tindak

pidana tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat

mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan

syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya karena

melakukan tindak pidana tersebut.59

Menurut pendapat penulis yang dimaksud tindak pidana adalah

perbuatan melawan hukum yang telah diatur oleh aturan hukum dan dapat

dipidana apabila melanggar aturan tersebut.

Unsur-unsur tindak pidana menurut P.A.F Lamintang terdiri dari dua

unsur yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur-unsur tersebut

sebagai berikut:60

a. Unsur subjektif ialah unsur yang melekat pada diri pelaku atau

berhubungan dengan diri pelaku dan termasuk ke dalamnya segala

sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Unsur-unsur ini diantaranya:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa).

57
Dr. Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 7.
58
Ibid.
59
Ibid., hal. 5.
60
P.A.F Lamintang, “Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia”, (Jakarta: Citra Adity
Bakti, 2014), hal. 192.
29

2) Maksud atau niat (voornemen) pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP

3) Berbagai maksud (oogmerk) seperti yang terdapat dalam kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte rade) seperti yang

terdapat dalam Pasal 340 KUHP mengenai pembunuhan yang

direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut (vrees) seperti yang terdapat dalam rumusan Pasal

308 KUHP mengenai pembuangan anak sendiri.

b. Unsur objektif adalah unsur di luar perbuatan pelaku dimana unsur-

unsur perbuatan ini harus dilakukan. Unsur-unsur ini adalah:

1) Memenuhi rumusan undang-undang

2) Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid)

3) Ada hubungan antara penyebab dan akibat dari perbuatan pelaku

Menurut E,Y Kanter dan S.R. Sianturi yang merupakan ahli hukum

berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:61

a. Subyek

b. Kesalahan

c. Bersifat melawan hukum

d. Suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang dan bagi diancam

pidana bagi pelanggarnya.

e. Waktu, keadaan dan tempat.

61
E,Y Kanter dan S.R. Sianturi dalam Amir Ilyas, “Asas-asas Hukum Pidana”,
(Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta &PuKAP-Indonesia), hal. 26.
30

Berdasarkan sistem hukum yang berlaku di Indonesia (KUHP), tindak

pidana terdiri dari dua jenis yaitu kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran

(oventredingen). Pembagian ini tidak dijelaskan secara tegas oleh KUHP

melainkan hanya dirumuskan masing-masingnya dalam buku II dan buku

III KUHP. Mengenai kejahatan terdapat dalam buku II dan pelanggaran.

3. Penganiayaan yang Mengakibatkan kematian dan Sanksinya Menurut

Hukum Pidana Islam

Penganiayaan dalam hukum pidana islam dijelaskan dalam

pembahasan jarimah pelukaan. Pengelompokan jarimah pelukaan dalam

hukum pidana islam bersamaan dengan jarimah pembunuhan yaitu

dibahas dalam jarimah qishas diyat. Penganiayaan ini dikenal juga sebagai

al-jinayah ‘ala ma duna al-nafs (jinayah terhadap selain jiwa) yaitu

perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak

sampai menghilangkan nyawanya. Perbuatan tersebut dapat berupa

melukai, memotong, mendorong, menarik, mencekik, dan lain

sebagainya.62

Maksud dari jinayah terhadap selain jiwa sebagaimana yang

dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah: “Setiap perbuatan menyakiti

orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menimbulkan

kematian atau menghilangkan nyawa”. Definisi ini sejalan dengan definisi

yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain

jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik

62
Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqih”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal.
269.
31

berupa memotong anggota badan, melukai, maupun memukul serta

menghilangkan fungsinya. Sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya

masih tetap tidak terganggu.63

Jarimah penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang dilarang

dalam islam yang telah ditetapkan sanksinya yaitu berupa hukuman qishas.

Dasar hukum diberlakukannya hukuman qishas bagi tindak pidana ini

terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 45 yang berbunyi:

ِ ‫ف و ْاْلُُٰ َن بِ ْاْلُُٰ ِن و‬ ِ ْ‫ف بِ ْاْلَن‬ ِ‫س والْعْين ب‬ ِ‫َن النَّ ْفس ب‬ ۤ ِ ِ


‫الس َّن‬ َ َ َ ْ‫ن‬َ‫اْل‬
ْ ‫و‬َ ِ
‫ن‬ ‫ي‬
ْ ‫ع‬
َ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ َ ََ ِ ‫ف‬
ْ َّ
‫الن‬ َّ ‫أ‬ ‫ا‬‫َوَكتَ ْب نَا َعلَْيه ْم فْي َه‬
َ
ۤ ِِ َ ‫الس ِن والْجروح قِصاص ۗ فَمن تَصد‬ ِ ِ‫ب‬
ُ‫َّارةٌ لَهُ ۗ َوَم ْن لَّ ْم يَ ْح ُك ْم بِ َما أَنْ َزَل الله‬
َ ‫َّق به فَ ُه َو َكف‬ َ ْ َ ٌ َ َ ُْ ُ َ
ۤ
ِ ِ
﴾٤۵﴿ ‫ك ُه ُم الظل ُم ْو َن‬ َ ‫فَأُولئ‬
Artinya: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di didalamnya
(Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada qishasnya”. 64 (Al-Qur’an Surat Al-
Maidah ayat 45).

Larangan berbuat penganiayaan juga terdapat dalam hadits Rasulullah

SAW yang berbunyi:

‫احد َع ْن ُم َوِرقِعِ َّن أَبِ ْي َٰر‬


ِ ‫الرا ِزي حدَّثَنَا ج ِري ر عن مْنضور عن مج‬
َ ُ ْ َ ْ ُ َ ْ َ ٌْ َ َ ْ َّ ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّم ُد بْ ُم َع ْمر َو‬
‫صلَّى اللهُ َعلَْي ِه َو َسلَّم َم ْن ََل ئَ َم ُك ْم ِم ْن َّم ْملُ ْوكِْي ُك ْم فَأَطْعِ ُم ْوهُ ِم َّما‬
َ ‫ال َر ُس ْو ُل الله‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
ِ ‫تَأْ ُكلُو َن وأَ ْكسه ِم َّما تَ ْلبسو َن ومن لَّم ي ََلئِم ُكم ِمْن هم فَبِعوه وََل تُع ِذب وا خلَق‬
‫الله (رواه‬ َ َ ُْ َ َ ُ ْ َ ْ ُ ْ ُ ُ ْ ْ َ َ ْ ُ َ ُُ َ ْ
)‫أبوداود‬

63
Ahmad Wardi Muslich, “Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hal. 179.
64
Departemen Agama RI, “Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah”, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2010), hal. 115.
32

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Amr Ar-Razi


berkata; ‘telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur
dari Mujahid dari Muwarriq dari Abu Dzar ia berkata;
Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa saja dari budak kalian
berlaku baik, maka berilah makan sesuai dengan yang kalian
makan, dan berilah pakaian sesuai dengan yang kalian pakai.
Dan siapa saja dari budak kalian yang tidak berlaku baik
kepada kalian, maka juallah ia dan jangan kalian menyiksa
makhluk Allah”.65 (H.R Abu Dawud Nomor 4494).

Adapun unsur-unsur dari jarimah penganiayaan yaitu:

a. Adanya pelaku pidana penganiayaan

b. Adanya kesengajaan, adanya perbuatan

c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju) rasa sakit pada tubuh atau luka

pada tubuh

d. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya

e. Adanya perencanaan penganiayaan sehingga mengakibatkan luka

berat.66

Ada dua klasifikasi dalam menentukan pembagian tindak pidana

penganiayaan, yaitu:

a. Ditinjau dari segi niatnya, maka penganiayaan dapat terbagi atas dua

macam:

1) Penganiayaan sengaja

Menurut Abdul Qadir Audah penganiayaan disengaja adalah

setiap perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan perbuatan

65
Abu Dawud, “Sunan Abu Dawud”., Hadits No. 4494.
66
Ahmad Wardi Muslich, “Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam”, hal. 179.
33

67
dengan maksud melawan hukum. Pelaku dengan sengaja

melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud supaya

perbuatannya itu mengenai dan menyakiti orang lain.

2) Penganiayaan tidak sengaja

Penganiayaan tidak sengaja yaitu perbuatan dimana pelaku

sengaja melakukannya, namun tidak ada maksud menganiaya dan

melawan hukum. 68 Pelaku memang sengaja melakukan perbuatan,

tetapi perbuatan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk

menyakiti orang lain namun pada kenyataannya ada korban akibat

dari perbuatannya.

b. Ditinjau dari segi objeknya/sasarannya, maka penganiayaan dapat

dibagi menjadi:69

1) Ibanat Al-Atraf

Penganiayaan ini ditujukan ke anggota badan dan semacamnya.

Maksud dari penganiayaan seperti ini adalah perusakan anggota

badan atau anggota lainnya yang disertai dengan anggota badan, baik

berupa pemotongan ataupun pelukaan. Dalam hal ini pemotongan

berupa tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji, pelir, telinga,

bibir, pencongkelan mata, merontokkan gigi, pemotongan rambut,

alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan

lidah.

67
Muhammad Ahsin Sekho, “Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Terjemahan Tasyri’
Jina’i Al-Islam Muqoronan Bil Qanunil Wad’i”, jilid. 3, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007), hal.
82.
68
Ibid.,
69
Ibid., hal. 84-86.
34

2) Izhab Ma’a Al-Atraf

Penganiayaan ini bertujuan untuk merusak manfaat dari anggota

badan, sedangkan jenis anggota badannya masih utuh. Penganiayaan

dalam bentuk ini berupa penghilangan daya pendengaran,

penglihatan, penciuman, perasa lidah, kemampuan berbicara,

bersetubuh, dan sebagainya.

3) Asy-Syajjaj

Penganiayaan ini khusus pelukaan pada bagian muka dan

kepala. Imam Abu Hanifah memberikan batasan khusus pada

bagian-bagian tulang saja seperti dahi. Imam Abu Hanifah membagi

syajjaj atas sebelas macam, antara lain:

a) Al-Kharishah yaitu pelukaan atas kulit, namun tidak sampai

mengeluarkan darah

b) Ad-Dami’ah yaitu pelukaan yang mengakibatkan pendarahan,

tetapi darahnya tidak sampai mengalir melainkan seperti air mata

c) Ad-Damiyah yaitu pelukaan yang berakibat mengalirkan darah

d) Al-Badi’ah yaitu pelukaan yang sampai memotong daging

e) Al-Mutalahimah yaitu pelukaan yang memotong daging lebih

dalam dari pada al-badi’ah

f) As-Simhaq yaitu pelukaan yang memotong daging hingga terlihat

selaput tipis antara daging dan tulang

g) Al-mudihah yaitu luka yang memotong kulit yang melindungi

tulang dan menampakkan tulang walau hanya seujung jarum


35

h) Al-Hasyimah yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi yaitu sampai

memotong atau memecahkan tulang

i) Al-Munqilah yaitu pelukaan yang tidak hanya sebatas memotong

tulang tetapi sampai memindahkan posisi tulang dari asalnya

j) Al-Ammah yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai

pada ummud dimagh yaitu selaput antara tulang dan otak

k) Ad-Damighah yaitu luka yang menembus lapisan bawah tulang

sampai ke otak

4) Al-Jarh

Penganiayaan ini berupa pelukaan pada anggota badan selain

wajah, kepala, dan athraf. Adapun yang termasuk ke dalam jenis

pelukaan ini adalah leher, dada, perut, sampai batas pinggul.

5) Penganiayaan lainnya

Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam beberapa jenis yang

telah disebutkan sebelumnya adalah pemukulan pada bagian muka,

tangan, kaki, atau badan, tetapi tidak sampai menimbulkan atau

mengakibatkan luka melainkan hanya memar, merah atau muka

terasa sakit.

Hukuman (uqubah) adalah pembalasan (al-jaza’) atas pelanggaran

perintah syara’ yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan. Sementara

maksud ditetapkannya hukuman atas pelanggaran perintah syara’ adalah

untuk kemaslahatan manusia, sebagai pembalasan atas perbuatan jahat,

pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus serta


36

perlindungan terhadap hak-hak si korban. 70 Secara umum, tujuan syara’

menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik

kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.71 Namun, apabila dilihat lebih

spesifik tujuan hukuman dalam hukum syara’ ada lima macam yang

dikenal dengan al-maqasid asy-syariah yaitu memelihara agama,

memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan

memelihara harta benda.72

Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa hukum adalah alat

untuk mencegah dan membalas kejahatan agar tidak terjadi kerusakan di

muka bumi. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran

ayat 104:
ۤ ِ
َ ‫َولْتَ ُك ْن ِمْن ُك ْم أ َُّمةٌ يَّ ْدعُ ْو َن إِلَى الْ َخْي ِر َويَأْ ُم ُرْو َن بْالْ َم ْع ُرْوف َويَْن َه ْو َن َع ِن الْ َمْن َك ِر َوأ ُْو‬
‫ك ُه ُم‬ ِ
‫ئ‬ ‫ل‬

﴾٨۰٤﴿ ‫الْ ُم ْفلِ ُح ْو َن‬


Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang
beruntung. Mengajarkan agar manusia melaksanakan amar
ma’ruf nahi mungkar demi kemaslahatan bersama”. 73 (Al-
Qur’an Surat Ali Imran ayat 104)

Sanksi bagi pelaku tindak pidana penganiayaan dalam hukum pidana

islam terbagi menjadi dua, yaitu hukuman pokok (qishas) dan hukuman

pengganti (diyat).

70
Abdul Qadir Audah, “at-Tasyri’ al-Jinai al-Islam”, hal. 702.
71
Kemaslahatan dapat diartikan mengambil manfaat dan menolak mudharat (bahaya)
dalam rangka memelihara tujuan syara’ (hukum islam) dalam Harun, “Pemikiran Najmuddin at-
Thuli Tentang Konsep Maslahah Sebagai Teori Istinbath Hukum Islam” Jurnal Digital Ishaqi, Vol.
5, 1 (Januari-Juni, 2009), hal. 24.
72
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam)., hal. 91.
7373
Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, hal. 63
37

a. Hukuman pokok (qishas)

Menurut Ibnu Manzur di dalam Lisan Al-Arab menyebutkan

bahwa qishas adalah suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara

mengikuti bentuk tindak pidana yang dilakukan.74

b. Hukuman pengganti (diyat)

Diyat adalah hukuman pengganti dari hukuman qishas jika tidak

mungkin dilaksanakan. 75 Apabila wali pembunuh memberikan harta

sebagai tebusan nyawa atau selainnya. Dan menurut istilah syariat,

diyat adalah harta yang wajib dibayarkan kepada korban atau walinya

karena disebabkan oleh tindak pidana penganiayaan.76 Ketentuan dalam

hukuman diyat adalah dengan unta, jika penganiayaan berat maka

pelaku harus memberikan 100 ekor unta, dan jika tidak dapat unta maka

beralih dengan harga unta, atau membayar 100 dinar atau 12.500

dirham.77

Menurut pendapat penulis dari pemaparan di atas dapat disimpulkan

bahwa apabila tindak pidana penganiayaan adalah penganiayaan yang

dilakukan secara sengaja dan sasaran yang dituju berupa wajah, kepala,

dada. Jika akibat dari penganiayaan itu menimbulkan kematian, maka

termasuk pada pembunuhan sengaja yang diancam dengan hukuman

qishas. Dan jika penganiayaan itu dilakukan bukan karena kesengajaan

74
Paisol Burlian, “Implementasi Konsep Hukum Qishas di Indonesia”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), hal. 28.
75
Makrus Munajat, “Dekontruksi Hukum Pidana Islam”., hal. 129-130
76
Abdul Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, “Shahih Fiqh Sunnah” (Jakarta: Pustaka At-
Tazkia, 2006), hal. 342.
77
Faisal Amidin dkk, “Menyingkap Sejuta Permasalahan dalam Fath Al-Qarib”, (Kediri:
Lirboyo Pers, 2015), hal. 597.
38

dan objek yang dituju selain wajah, kepala dan dada, maka termasuk pada

pembunuhan semi sengaja yang hukumannya berupa diyat.

4. Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian dan Sanksinya Menurut

Hukum Positif

Penganiayaan adalah tindak kejahatan yang merupakan perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai ancaman

berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. 78

Secara yuridis, yang dimaksud dengan penganiayaan tidak dijelaskan

oleh undang-undang melainkan hanya menyamakan dengan melakukan

kekerasan dalam Pasal 89 KUHP yaitu perbuatan membuat dalam keadaan

pingsan atau tidak berdaya, dengan kata lain yang dimaksud dengan

menggunakan kekerasan adalah penggunaan tenaga atau pengerahan daya

fisik yang tidak ringan secara tidak sah kepada orang atau barang

tertentu.79

Penganiayaan menurut Tirtamidjaja adalah perbuatan atau tindakan

dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Namun

perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak

dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk

menambah keselamatan badan.80

Definisi sanksi menurut Ted Honderich ialah “Punishment is an

authority’s infliction of penalty (something involving deprivation or

78
Prof. Hermin Hadiati Koeswadji, “Kejahatan Terhadap Nyawa Serta Penyelesaiannya”,
cet. ke-I (Bandung: Sinar Wijaya, 1984), hal. 9
79
Made Darma Weda, “Kriminologi”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 108.
80
M. Tirtamidjaja, “Pokok-pokok Hukum Pidana”, (Jakarta: Fresco, 1955), hal. 74.
39

distress) on an offenderfor an offence”. Artinya sanksi adalah suatu

penderitaan dari pidana yang berwenang sebagai hukuman (sesuatu yang

meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan kepada seorang

pelaku karena sebuah pelanggaran.81

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia

sanksi penganiayaan diatur dalam Pasal 351 KUHP yang berbunyi:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua

tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling

lama tujuh tahun

(4) Dengan penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

mengatur secara khusus larangan melakukan penganiayaan terhadap anak.

Hal ini terdapat dalam Pasal 76 C menyatakan “Setiap orang dilarang

81
Muhammad Taufik Makarao, “Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang
Bentuk-bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan”,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 18.
40

menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut

serta melakukan kekerasan terhadap anak”.82

Adapun mengenai hukuman bagi pelaku tindak pidana ini diatur

dalam Pasal 80 ayat (3): “Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama

15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00

(Miliyar)”.83

B. Teori Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif

1. Menurut Hukum Pidana Islam

Kriteria anak dalam Hukum Pidana Islam adalah anak yang belum

akhil baligh (belum mukallaf), baik karena akalnya belum matang atau

karena yang lainnya. Ia harus diawasi dan dijaga oleh walinya. Kata baligh

berasal dari fi’il madhi yang asal katanya balagha, yablughu, bulughan

yang berarti sampai, menyampaikan, mendapat baligh, masak. 84 Usia

baligh merupakan suatu istilah yang banyak digunakan oleh ahli fiqh

maupun ahli psikolog karena itu adalah sebutan yang erat kaitannya

dengan usia seseorang. Dalam fiqh usia baligh ini dijadikan sebagai syarat

untuk menjadi seseorang mukallaf yaitu seseorang yang sudah dikenai

hukum.85

82
UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Pasal 76 C.
83
UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Pasal 35 ayat (3).
84
Mahmud Syaltut, “Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah”, (Beirut: Dar Al-Qur’an, 1996), hal.
71.
85
Rasyid Rhidha, “Fiqh Islam”, (Jakarta: At-Thahiriyah,1999), cet.XVII, hal. 75.
41

Yang dimaksud baligh ialah anak yang sudah sempurna keahliannya

(akalnya), sehingga ia menanggung kewajiban secara penuh dan

mempunyai hak yang sempurna, kecuali ada hal-hal yang menghalangi

keahliannya menjadikan anak tersebut tidak cakap bertindak dalam

hukum.86

Islam mempunyai satu pemahaman dalam menetapkan usia seseorang

yang dikategorikan akhil-baligh. Dalam suatu hadits Rasulullah disebutkan

bahwa seseorang yang telah baligh apabila telah berumur lima belas tahun.

Apabila belum mencapai umur lima belas tahun, seseorang itu masih

disebut anak-anak.

َ َ‫ال َح َّدثَنِ ْي نَافِع ق‬


‫ال‬ ِ ‫ال ح َّدثَنِي عيِي ِد‬
َ َ‫الله ق‬ ْ َ ْ َ َ َ‫ُس َامة ق‬
ِ ِِ ِ
َ ‫َحدَّثَنَا َعبْيد الله بن َسعْيد َحدَّثَنَا أَبُ ْو أ‬
ِ َّ ‫َح َّدثَنِ ْي إِبْن عُ َمر َر ِضي اللهُ َعْن ُه َما أ‬
‫َحد َوُه َو‬ َ ‫صلَّى الله َعلَْيه َو َسلَّم َعَر‬
ُ ‫ضهُ يَ ْوََ أ‬ َ ُ‫َن َر ُس ْو َل الله‬ َ
‫َج ُارهُ قَا َل‬ ِ
َ ‫س َع ْشَرَة َسنَةً فَأ‬
َ ‫بن َخ ْم‬
ُ ‫ضهُ يَ ْوََ الْ َخْن َدق َوُه َو ا‬
َ ‫ابن أ َْربَ َع َع ْشَرَة َسنَةً فَلَ ْم يُج ْزهُ َو َعَر‬
ُ
‫ال إِ َّن َه َذا‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ْ‫ت َعلَى ُع َمَر بْ ِن َعْبد الْ َع ِزيْ ِز َوُه َو َخلْي َفةٌ فَ َح َدثَْتهُ َه َذا الْ َحدي‬
َ ‫ُ فَ َق‬ ُ ‫نَاف ُع فَ َقد ْم‬

ً‫س َع ْشَرَة َسنَة‬ ِ ‫الصغِي ِر والْ َكبِي ِر فَ َكتب إِلَى عمالِِه أَ ْن يَّ ْف ِر‬
َ ‫ض ْوا ل َم ْن َكا َن ابْ ُن َخ ْم‬
ُ َُ ْ َ ْ َ ْ َّ ‫الْ َح ُد بَْي َن‬
Artinya: “Dia menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW untuk ikut
berperang dalam perang uhud, waktu itu dia berumur empat
belas tahun, tetapi Rasulullah tidak memperkenankan dirinya.
Dan dia kembali menawarkan diriku pada waktu perang
khandaq sedangkan dia (pada saat itu) berumur lima belas
tahun, maka Rasulullah SAW memperkenankan dirinya. Nafi’
menceritakan, “Lalu aku datang kepada Umar Ibnu Abdul Aziz
yang pada saat itu menjabat sebagai khalifah, dan menceritakan
kepadanya hadits ini, maka ia berkata: ‘Sesungguhnya hal ini
merupakan batas antara usia anak-anak dan usia dewasa’.

86
Khudari Beik, “Ushul Fiqh”, cet. 8(Mesir: , Al-Maktabah Al-Tijariah Al-Kubra, tt.),
hal. 177.
42

Kemudian ia menginstruksikan kepada semua gubernur agar


mereka menetapkan kepada orang-orang yang telah mencapai
usia lima belas tahun (sebagaimana layaknya orang dewasa)”.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas baligh,

beberapa pendapat dari sebagian para ulama mazhab, yaitu:

a. Menurut Ulama Hanafiyah, batas usia baligh bagi laki-laki adalah

ihtilam (mimpi basah dan keluar mani) dan menghamili perempuan.

Sementara bagi perempuan ditandai dengan haid dan hamil. Jika tidak

dijumpai tanda-tanda tersebut, maka balighnya diketahui dengan

umurnya. Menurut Ulama Hanafiyah umur baligh bagi laki-laki adalah

delapan belas tahun dan bagi perempuan umur tujuh belas tahun.87

b. Menurut Ulama Malikiyah, batas usia baligh bagi laki-laki yaitu keluar

mani secara mutlak, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam mimpi,

dan bagi perempuan yaitu haid dan hamil.

c. Menurut Ulama Syafi’iyah, batas baligh bagi laki-laki maupun

perempuan dengan sempurnanya usia lima belas tahun dan keluar mani,

bila keluar mani sebelum usia itu maka mani yang keluar itu merupakan

penyakit bukan baligh, maka tidak dianggap baligh. Dan haid bagi

perempuan dimungkinkan mencapai umur sembilan tahun.

d. Menurut Ulama Hanabilah, batas baligh bagi laki-laki maupun

perempuan ada tiga hal, yaitu:

87
Abdul Qadir Audah, “at-Tasyri’ al-Jinai al-Islam”, (Beirut: Dar al-kitab al-‘Arabi, tt),
hal. 71.
43

1) Keluar mani dalam keadaan terjaga ataupun belum mimpi, dengan

bersetubuh, dan lain sebagainya

2) Mencapai usia genap lima belas tahun.

3) Bagi perempuan ditambahkan adanya tanda haid dan hamil. Dan

bagi khuntsa diberi batasan usia lima belas tahun.88

Menurut Waryono Abdul Ghafur dalam bukunya Tafsir Sosial

Mendialogkan Teks dengan Konteks, anak adalah jika belum mencapai

umur baligh dimana batas umur baligh bagi laki-laki apabila sudah

mengalami mimpi basah dan mengeluarkan air mani dan bagi anak

perempuan apabila sudah datang haid. Salah satu mengenai usia anak

adalah ketika Nabi Muhammad SAW menikahi ‘Aisyah binti Abu Bakar

dimana ‘Aisyah dinikahi Nabi tidak lama setelah Nabi Muhammad SAW

menikahi Saudah. Ketika itu ‘Aisyah masih berusia enam atau tujuh

tahun.89

Pendapat para ahli fiqh mengenai kedudukan anak berbeda-beda

menurut masa yang dilaluinya, yaitu90:

a. Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak)

Masa ini dimulai sejak seseorang dilahirkan dan berakhir pada usia

tujuh tahun. Pada masa ini seorang anak dianggap tidak mempunyai

kemampuan berpikir dan ia disebut dengan anak yang belum tamyiz.

Sebenarnya tamyiz atau masa seseorang mulai bisa membedakan antara

88
Abdurrahman Al-Jaziri, “Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arbaah” (Beirut: Al-Maktabah Al-
Tijariyah Al-Kubra, 1972), hal. 350-352).
89
Waryono Abdul Ghafur, “Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks”,
(Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), hal. 82.
90
Ahmad Hanafi, Op.cit,. hal. 370.
44

benar dan salah, tidak dibatasi dengan usia tertentu karena tamyiz

tersebut kadang-kadang terlambat sesuai dengan perbedaan orang,

lingkungan, kondisi kesehatan akal, dan mentalnya. Dengan demikian

para Fuqaha’ menetapkan umur tujuh tahun itu sebagai ketetapan

ketamyizan seorang anak agar bisa berlaku bagi semua orang.

Bagi anak yang belum tamyiz, jika melakukan jarimah, maka tidak

dijatuhi hukuman baik sebagai hukuman pidana ataupun pengajaran.

Karena anak tersebut dibebaskan secara murni dari sanksi hukuman.

Hal ini disebabkan anak tersebut belum mempunyai kesadaran berpikir

yang sempurna, belum bisa membedakan mana yang baik dan mana

yang buruk.

b. Masa kemampuan berpikir yang lemah

Masa ini dimulai sejak seorang anak memasuki usia tujuh tahun

dan berakhir pada usia dewasa (baligh). Menurut Jumhur Ulama bahwa

usia baligh (dewasa) itu adalah apabila seseorang telah mencapai usia

lima belas tahun bagi laki-laki dan perempuan atau telah mengalami

mimpi basah sehingga mengeluarkan air mani (ihtilam) bagi laki-laki

dan datangnya haid bagi perempuan. 91 Apabila seorang anak telah

mencapai usia lima belas tahun maka ia telah dianggap dewasa menurut

ukuran hukum, meskipun mungkin saja ia belum dewasa dalam arti

yang sebenarnya.

91
Al-Imam Jalaluddin al Mahaly dan Jalaluddin as Suyuthi, “Tafsir al Qur’an al Karim,
Juz. I”, (Beirut: Dar al Fikr, 1998), hal. 98.
45

Imam Abu Hanifah menetapkan usia dewasa delapan belas tahun.

Menurut satu riwayat Abu Hanifah menetapkan usia sembilan belas

tahun untuk laki-laki dan tujuh belas tahun untuk perempuan. Pendapat

yang masyhur dikalangan Ulama Malikiyah sama dengan pendapat

Imam Abu Hanifah.92 Pada periode yang kedua ini seorang anak tidak

dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang

dilakukannya baik jarimah hudud, qishas, maupun ta’zir. tetapi, anak

dapat dikenakan hukuman pengajaran (ta’dibiyah). Adapun mengenai

batasan hukuman pengajaran diserahkan kepada penguasa, yang sesuai

dengan jarimah yang dilakukan. Tetapi dari sudut pandang Fuqaha’,

hukuman tersebut adalah berupa caci maki dan pukulan. 93Oleh karena

itu, jika anak tersebut berkali-kali melakukan jarimah, berkali-kali pula

dijatuhi pengajaran tapi tidak dianggap sebagai residivis atau pengulang

kejahatan.

c. Masa kemampuan berpikir penuh

Masa ini dimulai sejak seorang anak mencapai usia dewasa yaitu

usia lima belas tahun menurut Jumhur Ulama atau delapan belas tahun

menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari

Mazhab Maliki. Pada periode ini seorang anak dikenakan

pertanggungjawaban pidana atas semua jarimah yang dilakukannya

apapun jenis dan macamnya.

92
Abdul Qadir Audah, Op.cit.

93
Ibid., hal. 604.
46

Pada umumnya, Hukum Positif sama pendiriannya dengan syariat

islam yaitu mengadakan perbedaan pertanggungjawaban pidana menurut

perbedaan umur anak-anak dibawah umur. Adapun teori tentang

pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena hal-hal berikut94:

a. Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan (asbab al-ibadah)

Pengertiannya adalah suatu sebab dibolehkannya perbuatan yang

dilarang pada umumnya berkaitan dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban. Dengan demikian perbuatan yang dilarang pada masyarakat

umumnya, terkadang pada orang-orang tertentu dibolehkan sebab hal

itu dilakukan dengan tujuan untuk melaksanakan hak dan kewajiban.

b. Sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku (asbab raf’i al-uqubah)

Yaitu sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan

yang dilakukan itu dibolehkan melainkan tetap pada asalnya bahwa

perbuatan itu dilarang. Namun karena keadaan pelaku tidak

memungkinkan untuk dilaksanakannya hukuman, maka ia dibebaskan

dari hukuman.

Sebab-sebab hapusnya hukuman ini ada 4 macam, yaitu95:

a. Paksaan

Paksaan memiliki beberapa arti, yakni Pertama, paksaan adalah

perbuatan yang dilakukan seseorang karena orang lain, oleh sebab

itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Kedua,

paksaan adalah perbuatan yang keluar dari orang yang memaksa dan

94
Ahmad Wardi Muslich, “Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hal. 85-86.
95
Ibid., hal. 117.
47

menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang

mendorong dirinya untuk melakukan perbuatan yang diperintahkan.

Ketiga, paksaan adalah ancaman atas seseorang dengan sesuatu yang

tidak disenangi untuk mengerjakannya. Dan keempat, paksaan

adalah sesuatu yang diperintahkan seseorang kepada orang lain yang

membahayakan dan menyakitkan.

b. Hilang kesadaran

Syariat islam melarang seseorang meminum minuman khamar

baik yang membuat hilangnya kesadaran atau tidak. meminum

minuman khamar merupakan perbuatan yang termasuk dalam

jarimah hudud dan pelakunya dihukum dengan delapan puluh kali

dera sebagai hukuman pokok. Mengenai pertanggungjawaban pidana

bagi orang yang mabuk yaitu tidak dijatuhi hukuman atas jarimah

yang dilakukannya apabila ia dipaksa atau terpaksa atau atas

kemauan sendiri tapi tidak mengetahui bahwa yang diminumnya itu

bisa mengakibatkan mabuk.

c. Gila

Seseorang yang dipandang mukallaf dalam syari’at islam berarti

orang tersebut dibebani pertanggungjawaban pidana ketika ia

mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih. sekiranya

salah satu dari kedua hal tersebut tidak ada, maka gugurlah

pertanggungjawaban tersebut. maka dari itu, orang gila tidak

mempunyai kekuatan berpikir dan memilih


48

d. Dibawah umur

Anak yang belum mukallaf tidak ada kewajiban hukum atasnya

dan tidak ada pertanggungjawaban atas perbuatan sampai anak

mencapai usia dewasa.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa anak yang belum

tamyiz, jika melakukan jarimah tidak dijatuhi hukuman, baik yang bersifat

pidana hukuman maupun pendidikan/pengajaran (ta’dibiyah). Demikian

juga bagi anak yang belum mencapai usia baligh (mukalaf), baik usia anak

belum mencapai lima belas tahun menurut Jumhur Ulama atau delapan

belas tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang

masyhur dari Mazhab Maliki. Apabila melakukan jarimah hudud, qishas,

maupun ta’zir, maka anak tesebut tidak dikenakan pertanggungjawaban

pidana atas jarimah-jarimah yang dilakukannya baik jarimah hudud,

qishas, maupun ta’zir. tetapi, anak dapat dikenakan hukuman pengajaran

(ta’dibiyah). Sedangkan bagi anak yang telah mencapai usia baligh

(mukallaf), tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana atas semua

jarimah yang dilakukannya apapun jenis dan macamnya.

Keberadaan anak dalam peradilan islam sudah berlaku sejak zaman

Rasulullah SAW masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits

bahwa Rasulullah SAW telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan

oleh Imam Ahmad, sebagai berikut:


49

‫ َع ِن النَّئِ ِم َحتَّى‬: ‫ ُرفِ َع الْ َقلَ ُم َع ْن ثَََلثَة‬:‫ال‬ ِ ‫َن رسو َل‬


َ َ‫الله ص َ ق‬ ِ ِ
ْ ُ َ َّ ‫َع ْن َعائ َش َة َرض َي اللهُ َعْن َها أ‬
َّ ‫يَ ْستَ ْي ِقظََو َع ِن الْ ُمْب تَ لَى َحتَّى يَْب َرأَ َو َع ِن‬
‫الصبِ ِي َحتَّى يَكْبُ َر(رواه أحمد وأبو داود والنسائى‬

)‫وإبن ماجه زإبن جرير والحاكم والترمذى‬


Artinya: “Dari Aisyah ra. Ia berkata: ‘Telah bersabda Rasulullah SAW:
‘Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga hal: dari orang yang
tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sembuh, dan
dari anak kecil sampai ia dewasa”.(H.R Ahmad).96

Menurut pendapat Abu Zahrah bahwa anak dibawah umur baik yang

belum tamyiz maupun sudah tamyiz diserupakan hukumannya dengan

hukum orang gila apabila ia melakukan perbuatan melanggar hukum

pidana sehingga bila anak tersebut membunuh seseorang kerabatnya

dengan sengaja maupun tidak sengaja maka anak tersebut tidak

diharamkan untuk mengambil pusakanya, karena perbuatannya itu tidak

dihalalkan untuk dipidana. Pembunuhan yang bisa menyebabkan

terhalangnya hak waris adalah pembunuhan yang bisa dipidana. Sementara

anak yang dibawah umur belum berhak dipidana.97

Anak dibawah umur yang belum mumayiz dengan dihukum ta’zir

sebagai hukumannya, jika dilihat dari pengajarannya adalah sebagai upaya

preventif agar tidak mengulangi perbuatannya. Abdul Qadir Audah lebih

jauh mengatakan bahwa anak yang belum mumayiz melakukan jarimah

hukumannya adalah murni hukuman. Pengajaran bukan merupakan

hukuman jinayat karena anak yang belum mumayiz belum memenuhi

96
Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr as-Sayuti, “Al-Jami’ us-Sagir”. (Beirut: Dar al-
Fikr.t.th), Juz 2, hal. 24.
97
Ahmad Fath’i Bahisny, “ Al-Qishas fi Al-Fiqhi Al-Islami”, (Mesir: Syirkah Arabiyah,
1964), hal. 64.
50

syarat untuk dihukum. 98 Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW yang

berbunyi:

‫ ُم ُرْوا ِصْب يَانَ ُك ْم‬:‫صلَّى اللهُ َعلَْي ِه َو َسلَّم‬ ِ ُ ‫ال رس‬


َ ‫ول الله‬ َ َ‫َع ْن َع ْم ُرو بْ ُن ُش َعْيب َع ْن َج ِد ِه ق‬
ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
ِ ‫الصَلَِة لِسب ِع ِسنِين واض ِرب وهم علَي ها لِع ْش ِر ِسنِين وفَ َّرقُوا ب ي ن هم فِى الْمض‬
‫اج ِع (رواه أحمد‬ ِ
َ َ ْ ُ َ َْ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ َ ْ ْ َ َّ ‫ب‬
)‫وأبو داود‬
Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata:
‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Suruhlah anak-anak kecil kamu
melakukan shalat pada (usia) tujuh tahun, dan pukullah mereka
(bila lalai) atasnya pada (usia) sepuluh tahun, dan pisahkanlah
mereka di tempat-tempat tidur”. (H.R Ahmad dan Abu Daud).99

Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa jika anak sudah tamyiz

(berumur tujuh tahun) maka hendaklah disuruh untuk menjalankan

perintah Allah SWT, tetapi pekerjaan-pekerjaan tersebut belum diberatkan

bagi dirinya. Maka apabila ia shalat, tidak harus menyesuaikan shalatnya.

Andaikata shalatnya rusak, ia tidak wajib mengulang shalatnya. Kemudian

apabila ia telah sampai usia sepuluh tahun maka jika ia tidak mau

melaksanakan perintah Allah SWT boleh dipukul sehingga ia

melakukannya. Hal ini berlaku pula dalam hal melakukan perbuatan

pidana. Jika ia telah melakukan perbuatan pidana, maka ia boleh dihukum

dengan hukuman pengajaran sehingga ia tidak melakukan perbuatan

pidana lagi.

Penjatuhan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak

sebenarnya tidak ada nashnya, namun menggunakan qiyas dalam

98
Abdul Qadir Audah, Op.cit., hal. 604.
99
Abu Dawud, “Sunan Abu Dawud”, (Beirut: Maktabah Al-‘Isriyah, t.th), Hadits No. 417
51

mengistinbatkan hukum, tujuannya untuk mengetahui hukum yang tidak

mempunyai nash.

2. Menurut Hukum Positif

Dalam pengertian umum anak secara etimologi dapat diartikan

sebagai manusia yang masih kecil atau manusia yang belum dewasa. 100

Sedangkan secara terminologi pengertian anak dapat dirujuk dari pendapat

yang dikemukakan oleh R.A. Kosnan dalam bukunya yang berjudul

“Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia” mengatakan “Anak-

anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan perjalanan

hidupnya karena terpengaruh dengan keadaan sekitarnya”. 101 Maka dapat

dikatakan bahwa pada dasarnya anak dapat dipandang dari pertimbangan

dan pertumbuhan emosional dan cara berfikir yang dilalui seseorang.

Sebagai dasar hukum bagi peradilan anak, Undang-Undang No. 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa

yang dimaksud anak yaitu “anak yang berkonflik dengan hukum yang

selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)

tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana”.102 Sejalan dengan pasal tersebut, dalam Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU

No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa

100
W.J.S Poerwadarminta, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, (Balai Pustaka: Amirko,
1984), hal. 25.
101
R.A. Kosnan, “Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia”, (Bandung: Sumur,
2005), hal. 113.
102
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
52

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan”.103

Hukuman untuk jarimah qishash dan diyat tidak bisa disertakan

dengan hukuman dalam perspektif Hukum Positif. Qishash adalah

hukuman yang setara dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang,

seperti membunuh hukumannya juga harus dibunuh. Sedangkan dalam

Hukum Pidana Positif tidak melegalkan hukuman cambukan, rajam dan

potong tangan serta qishash dan diyat, namun hukumannya berupa penjara

dan denda (ta’zir).

Dalam hukum positif, perbuatan anak yang melakukan penganiayaan

mengakibatkan kematian diatur dalam Pasal 80 ayat (3) UU No. 35 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

“Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00
(Miliyar)”.104

Dalam proses peradilannya, pelaku yang masih dibawah umur

dihukum dengan hukuman pidana setengah dari ancaman pidana orang

dewasa, ini didasarkan pada bunyi Pasal 81 ayat (1) UU No. 11 Tahuan

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu “Pidana Penjara dapat

103
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
104
UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
53

dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum

ancaman pidana penjara bagi orang dewasa”.105

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, penanganan anak yang

berhadapan dengan hukum berbeda dengan penanganan terhadap orang

dewasa yang berhadapan dengan hukum karena ada Undang-Undang

Khusus yang mengatur mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yang

sangat mengutamakan keadilan restoratif dalam penanganan perkara anak.

Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak yang menangani anak mulai dari tahap

penyidikan hingga pembimbingan setelah menjalani pidana. Hal ini sesuai

dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa “sistem peradilan pidana anak

adalah setiap proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan

hukum, mulai dari tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan

setelah menjalani pidana”. Dan dalam Pasal 20 disebutkan “ Dalam hal

tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan

belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang

bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke

sidang anak.”106

105
UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
106
Ibid.
BAB III

DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BUKITTINGGI NOMOR

3/PID.SUS-ANAK/2021/PN. BKT MENGENAI PENGANIAYAAN YANG

MENGAKIBATKAN KEMATIAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

A. Deskripsi Putusan

1. Kronologi Kasus

Kasus yang sangat memprihatinkan yang tengah terjadi di kalangan

masyarakat saat ini ialah anak dibawah umur yang melakukan tindak

pidana penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan kematian. Anak

yang semestinya mendapatkan pendidikan yang baik di sekolah maupun

dilingkungannya malah melakukan hal yang melanggar hukum.

Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang

mengakibatkan kematian dan korbannya ialah anak yang dibawah umur

dianggap sebagai perbuatan yang tidak baik dan merupakan perbuatan

yang melanggar hukum. Sebagaimana kasus yang terjadi pada Sabtu

tanggal 06 Februari 2021 sekira pukul 12.00 WIB yang bertempat di

pinggir jalan di depan Rumah Dinas Bupati Agam yang terletak di

seberang rumah dinas Walikota Bukittinggi yang beralamat di Jl. Perwira

Belakang Balok Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh Kota Bukittinggi atau

setidak-tidaknya pada suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan

Negeri Klas I B Bukittinggi, dilarang menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan

54
55

terhadap anak yang mengakibatkan mati, bahwa perbuatan terdakwa anak

yang bernama Ananda Risky Ola Wuan Pgl Nanda dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

Berawal dari korban Fito Khair Khalis Pgl Fito memasang foto

rekaman pelaku pada histori WhatsApp korban yang bertuliskan

“Welcome Kawan dengan emot cium” kemudian pelaku diberitahu perihal

rekaman tersebut oleh temannya sehingga setelah melihat dan mendengar

hal tersebut membuat pelaku tidak senang lalu pelaku mencari tahu nomor

handphone korban dan setelah pelaku mendapatkan nomr handphone

korban, pelaku langsung mengirimkan pesan kepada korban dengan

bahasa “bg sambil mengirimkan foro screenshot pelaku kepada korban”

dan pada saat itu korban menjawab “ada apa” kemudian pelaku

menyampaikan kepada korban kenapa foto pelaku dijadikan histori WA

sementara kita tidak kenal, kemudian terjadi balas balasan pesan melalu

whatsapp dan akhirnya antara korban dan pelaku sepakat bertemu di

Belakang Balok Kota Bukittinggi untuk berkelahi. Setelah itu pelaku

langsung pergi ke Belakang Balok Kota Bukittinggi bersama dengan

temannya yaitu saksi Muhammad Fauzan Pgl Fauzan dengan

menggunakan sepeda motor milik nenek pelaku yaitu honda beat warna

hitam No. Pol 3582 LR, sesampai pelaku di depan rumah Dinas Bupati

Agam pelaku turun dari sepeda motor dan berdiri di dekat sepeda motor

sedangkan saksi Fauzan tetap duduk di atas sepeda motor, tidak lama

kemudian datang korban berboncengan dengan saksi Arkan Rasyid Pgl


56

Rasyid dan sebelum sepeda motor tersebut diberhentikan oleh saksi Rasyid

korban langsung lompat turun dari sepeda motor tersebut dan berjalan

kearah pelaku dan ketika korban sampai dihadapan pelaku, langsung

pelaku memukulkan helm merek KYT yang bertuliskan “anjay is big”

dengan tangan kanannya yang sebelumnya sudah pelaku pegang ke bagian

kepala korban sebanyak 1 (satu) kali sehingga korban oleng dan terjatuh

ke jalan aspal, setelah korban terjatuh di jalan aspal tersebut pelaku

langsung menginjak kepala korban dengan menggunakan kaki kanan

sebanyak lebih kurang 3 (tiga) kali dan setelah itu pelaku jongkok dan

kembali meninju kepala korban dengan menggunakan tangan kanan pelaku

sebanyak 1 (satu) kali. Akibat pukulan tersebut korban sudah tidak

sadarkan diri dengan hidunh mengeluarkan darah dan tidak lama kemudian

datang warga sekitar tempat kejadian dan mengangkat korban ke pinggir

jalan dekat trotoar, selanjutnya warga menyuruh untuk membawa korban

ke Rumah Sakit, selanjutnya saksi Rasyid dan saksi Habibil Qalby Pgl Bil

mengangkat dan menaikkan korban ke atas sepeda motor, setelah korban

naik ke atas motor langsung dipegang oleh pelaku naik ke boncengan

belakang sepeda motor untuk memegang korban dan membawa korban ke

Rumah Sakit Yarsi Ibnu Sina. Korban sempat dirawat dan akhirnya

meninggal dunia.107

2. Pembuktian

107
Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT, hal.4-
6.
57

Selama proses persidangan yang dilakukan di Pengadilan pasti

tersusun secara bertahap dan dengan urutan yang sistematis. Dalam

membuktikan bahwa perkara tersebut masuk pidana atau tidak maka

diperlukan alat bukti yang sah. Dalam Pasal 184 KUHAP menjelaskan

bahwa alat bukti yang sah antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli,

surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan fakta yang terjadi

dalam kasus ini selama proses persidangan secara berurut antara lain:

a. Keterangan saksi-saksi

Bahwa dalam persidangan, ada 6 (enam) orang saksi yang diajukan

oleh Penuntut umum yaitu Shinta Puspita Sari, Arkaan Rasyid pgl

Rasyid,Habibil Qalby pgl Bil, Auravqano Dwitama pgl Rafqy,

Muhammad Fauzan, Efrida Emran pgl Bud. Yang telah memberikan

keterangan dibawah sumpah pengadilan dan dibacakan di depan

persidangan, dimasukkan sebagai fakta persidangan oleh Hakim

Pengadilan Negeri Bukittinggi. Selain itu, PenuntutUmum juga

mengajukan saksi ahli dr. Romawaty, M.Ked (For) Sp.FM pgl Ros

yang telah memberikan keterangan dibawah sumpah dan dibacakan di

depan persidangan. Bahwa berdasarkan keterangan saksi yang diajukan

oleh Penuntut Umum diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut:

Bahwa benar pada hari Sabtu tanggal 06 Februari 2021 sekira

pukul 12.00 WIB bertempat di pinggir jalan di depan Rumah Dinas

Bupati Agam yang terletak di seberang Rumah Dinas Walikota

Bukittinggi yang beralamat di Jl. Perwira Belakang Balok Kecamatan


58

Aur Birugo Tigo Baleh Kota Bukittinggi anak Nanda telah

memukulkan helm anak yang sebelumnya sudah anak pegang kebagian

kepala korban Fito Khair Khalis pgl Fito sebanyak 1 (satu) kali

sehingga korban terjatuh ke jalan aspal. Kemudian setelah korban

terjatuh di jalan aspal tersebut anak langsung menginjak kepala korban

dengan menggunakan kaki kanan anak sebanyak 1 (satu) kali dan

setelah itu anak jongkok dan kembali meninju kepala korban bagian

depan dengan menggunakan tangan kanan anak sebanyak 1 (satu) kali.

Adapun penyebab anak melakukan kekerasan tersebut terhadap korban

berawal jumat tanggal 05 Februari 2021 anak potong rambut dan

setelah itu anak merekam wajah anak dengan menggunakan hp anak

dan mengirimkan rekaman tersebut kepada pacar anak yang bernama

Ivena Anisa. Kemudian Ivena Anisa menjadikan tersebut sebagai status

di Histori Whats Appnya Ivena Anisa, kemudian rekaman status di

Histori Whats App pacar anak Ivena Anisa diambil korban dan

disimpan di Hpnya, kemudian korban memasang rekaman anak tersebut

pada Histori Whats App korban yang bertuliskan “Welcome Kawan

dengan emot cium”. Pada hari Sabtu tanggal 06 Februari 2021 sekira

pukul 09.00 WIB anak mendapatkan pesan suara korban dan

Screenshoot foto anak di Histori WA korban dari teman anak bernama

Paulin, setelah anak meminta nomor korban kepada pacar anak yang

bernama Ivena Anisa, kemudian pacar anak memberikan nomor korban

kepada anak. Setelah anak mendapatkan nomor korban anak langsung


59

mengirimkan pesan kepada korban dengan bahasa “bg sambil

mengirimkan foto screenshoot anak tersebut kepada korban” dan pada

saat itu korban menjawab “ada apa” kemudian anak menyampaikan

kepada korban kenapa foto anak dijadikan Histori WA sementara kita

tidak kenal, kemudian korban menantang anak dan menyuruh anak

menunggu korban di Belakang Balok Kota Bukittinggi. Setelah

kejadian itu anak melihat korban sudah tidak sadarkan diri dan tidak

lama kemudian warga sekitar tempat kejadian berteriak sambil

mengatakan “ang pangakan anak urang tu” (kamu apakan anak orang

itu) setelah itu teman korban mengangkat korban dan menaikkan

korban ke atas sepeda motor namun pada saat anak melihat teman

korban kesusahan untuk membawa korban sehingga anak membantu

teman korban dan membawa korban ke Rumah Sakit Yarsi Bukittinggi.

Dan pada sore harinya anak korban meninggal dunia.108

b. Bukti petunjuk

1) Visum Et Repertum No. 02/VER/ISBT/II/2021

Berdasarkan hasil Visum pada hari Sabtu tanggal 06 Februari

2021 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Sintia Mardhasafitri

dokter jaga IGD pada Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Bukittinggi

Yarsi Sumatera Barat telah melakukan pemeriksaan luar atas diri

korban Fito Khair Khalis dengan Nomor Rekam Medis 36 19 19,

dengan kesimpulan hasil pemeriksaan: korban berjenis kelamin laki-

108
Ibid., hal. 42-43.
60

laki yang menurut surat keterangan pemeriksaan visum et repertum

berusia 17 (tujuh belas) tahun ini terdapat bengkak pada kepala kiri,

perbedaan besar teleng mata kiri, luka lecet pada pelipis kiri, cuping

hidung kiri, lengan atas kiri, luka memar pada kadua kelopak mata

akibat kekerasan tumpul. Cidera ini menimbulkan kematian pada

korban.109

2) Visum Et Repertum No. 06/VER/II/2021/Rs Bhayangkara

Berdasarkan hasil pemeriksaan luar dan dalam (autopsy) di Rs

Bhayangkara Padang tanggal 09 Februari 2021 dengan kesimpulan

hasil pemeriksaan: telah diperiksa sesosok mayat dikenal, jenis

kelamin laki-laki berumur 17 (tujuh belas) tahun, panjang badan 165

cm, WNI, warna kulit sawo matang dan rambut berwarna hitam dan

tidak mudah dicabut. Dari hasil pemeriksaan luar dan dalam diambil

kesimpulan penyebab kematian korban adalah pendarahan hebat

pada kepala disebabkan trauma tumpul.110

B. Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi

Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai Penganiayaan yang

Mengakibatkan Kematian Oleh Anak Di Bawah Umur.

Dalam kasus penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh terdakwa

Anak Ananda Risky Ola Wuan Pgl Nanda dalam Putusan Pengadilan Negeri

Bukittinggi dengan Nomor Perkara: 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT, anak telah

didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk Primair

109
Ibid., hal. 6.
110
Ibid., hal. 7-8.
61

Subsidair. Anak dituntut dengan dakwaan Subsidair yaitu sebagaimana diatur

dan diancam dengan pidana dalam Pasal Pasal 80 Ayat (2) jo Pasal 76 C

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh

karena anak didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk

Subsidiaritas, Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan Primair

sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Ayat (3) jo Pasal 76 C Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa

perbuatan Anak Ananda Risky Ola Wuan Pgl Nanda telah memenuhi unsur-

unsur yang didakwakan oleh Penuntut Umum yaitu dakwaan Primair. yang

unsur-unsurnya adalah:

1. Setiap orang

Yang dimaksud dengan setiap orang sama dengan pengertian barang

siapa adalah subjek hukum pendukung hak dan kewajiban, yang dalam

dakwaan Penuntut Umum diposisikan sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam hal ini, Penuntut Umum memposisikan pelaku tindak pidana adalah

sebagai kategori anak sebagaimana Undang-Undang Sistem Peradilan

Pidana Anak. Dengan demikian, maka Majelis Hakim akan

mempertimbangkan terlebih dahulu apakah anak yang dihadapkan di


62

persidangan dapat dikategorikan sebagai anak sebagaimana Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut dan tidak terdapat

kekeliruan terhadap orang yang diposisikan sebagai pelaku tindak pidana

dalam dakwaan Penuntut Umum.

Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak

sebagaimana Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, adalah anak

yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun yanng diduga melakukan tindak pidana.

Berdasarkan fakta yang timbul dipersidangan, bahwa benar anak

adalah orang yang identitasnya secara lengkap telah disebutkan di dalam

dakwaan Penuntut Umum dan masih berumur 17 (tujuh belas) tahun,

sebagaimana pengakuan anak sendiri. Dan berdasarkan Kutipan Akta

Kelahiran Nomor 5313-LU-19122012 tanggal 19 Desember 2012 yang

diterbitkan oleh Kantor Dinas Kependudukan Kabupaten Lembata dan

Kartu Keluarga Nomor 1306142402083847 atas nama Kepala Keluarga

Nursimah tanggal 5 Mei 2015, anak adalah benar bernama Ananda Risky

Ola Wuan Pgl Nanda yang merupakan anak kandung dari Ambeng

Lambelawa, lahir pada tanggal 28 Desember 2003 oleh sebab itu, pada

saat melakukan perbuatannya sebagaimana dakwaan Penuntut Umum

yaitu pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 2021, anak masih berusia 17

(tujuh belas) tahun.

Dengan demikian, menurut majelis hakim, anak dapat dikategorikan

sebagai anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Sistem Peradilan


63

Pidana Anak, serta tidak terdapat kekeliruan terhadap orang yang diajukan

sebagai pelaku tindak pidana dalam dakwaan Penuntut Umum.

Anak yang diajukan dalam persidangan selalu dalam keadaan sehat

jasmani dan rohani, dan dapat memberikan keterangan secara lancar serta

tidak menunjukkan kelainan fisik maupun mental, sehingga terhadap anak

dapat dikenakan pertanggungjawaban atas perbuatannya dan Majelis

Hakim tidak melihat adanya alasan yang dapat melepas

pertanggungjawaban pidana pada diri anak.

Maka berdasarkan uraian tersebut diatas maka unsur “setiap orang”

telah terpenuhi.111

2. Menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut

serta melakukan kekerasan terhadap anak

Unsur ini terdiri atas beberapa perbuatan/sub unsur yang bersifat

alternatif maka dengan terbuktinya salah satu sub unsur maka terbukti pula

unsur pasal ini.

Undang-undang sendiri tidak memberikan penjelasannya tentang apa

yang dimaksudkan dengan kekerasan, melainkan dala Pasal 89 KUHP

“hanya menyamakan” dengan melakukan kekerasan yaitu perbuatan

“membuat dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya” dengan kata lain

bahwa yang dimaksud dengan menggunakan kekerasan adalah

penggunaan tenaga, atau pengerahan daya fisik yang tidak ringan secara

tidak sah kepada orang atau barang tertentu.

111
Ibid., hal. 43-44.
64

Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan sebagai

berikut:

a. Bahwa pada hari Sabtu tanggal 06 Februari 2021 sekira pukul 12.00

WIB bertempat di pinggir jalan di depan Rumah Dinas Bupati Agam

yang terletak di seberang rumah Dinas Walikota Bukittinggi yang

beralamat di Jl. Perwira Belakang Balok Kecamatan Aur Birugo Tigo

Baleh Kota Bukittinggi anak telah memukulkan helm anak yang

sebelumnya sudah anak pegang kebagian kepala korban Fito Khair

Khalis Pgl Fito sebanyak 1 (satu) kali sehingga korban terjatuh ke jalan

aspal.

b. Bahwa kemudian setelah korban terjatuh di jalan aspal tersebut anak

langsung menginjak kepala korban dengan menggunakan kaki kanan

anak sebanyak 1 (satu) kali dan setelah itu anak jongkok dan kembali

meninju kepala korban bagian depan dengan menggunakan tangan

kanan anak sebanyak 1 (satu) kali.

Perbuatan yang dilakukan oleh anak sebagaimana fakta yang

diuraikan diatas adalah penggunaan tenaga, atau pengerahan daya fisik

yang tidak ringan secara tidak sah kepada orang lain dalam hal ini Fito

Khair Khalis yang berdasarkan Kutipan Akta Kelahiran Nomor.

51.A/KCS-BKT/2004 yang dikeluarkan oleh Kantor Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Bukittinggi tanggal 13 Januari 2004 serta Kartu

Keluarga Nomor 1375022809110004 atas nama Kepala Keluarga Usep

Rahman tanggal 13 Juni 2017 yang lahir pada tanggal 8 Januari 2004
65

dalam tempus delicti dalam dakwaan Penuntut Umum masih pula berusia

17 (tujuh belas) tahun, maka dengan demikian unsur melakukan kekerasan

terhadap anak telah terpenuhi pula dalam perbuatan anak.112

3. Yang mengakibatkan mati

Akibat dari perbuatan anak terhadap anak Fito Khair Khalis telah

mengakibatkan anak Fito Khair Khalis berdasarkan Visum Et Repertum

No. 02/VER/ISBT/II/2021 dari Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Yarsi

Sumbar mengalami bengkak pada kepala kiri, perbedaan besar teleng mata

kiri, luka lecet pada pelipis kiri, cuping hidung kiri, lengan atas kiri luka

memar pada kedua kelopak mata akibat kekerasan tumpul dimana

selanjutnya berdasarkan Visum et Repertum 06/VER/II/2021/ Rs

Bhayangkara dari Rs Bhayangkara Padang dengan kesimpulan hasil

pemeriksaan yaitu telah diperiksa sesosok mayat dikenal, jenis kelamin

laki-laki, berumur 17 tahun, panjang badan 165 cm, WNI, warna kulit

sawo matang dan rambut berwarna hitam dan tidak mudah dicabut. Dari

hasil pemeriksaan luar dan dalam diambil kesimpulan penyebab kematian

korban adalah pendarahan hebat pada kepala disebabkan trauma tumpul.

Terdapat hubungan sebab akibat antara perbuatan anak yang memukul

anak Fito Khair Khalis yang menimbulkan adanya luka yang diterima oleh

Anak Fito Khair Khalis seta akibatnya yang mengakibatkan kematian

berdasarkan sertifikat kematian Nomor: SK/06/II/2021/Rumkit tanggal 7

112
Ibid., hal. 44-45.
66

Februari 2021 sehingga unsur mengakibatkan mati ini pun telah terpenuhi

pada perbuatan anak.113

Oleh karena semua unsur dari dakwaan Primair yaitu Pasal 80 Ayat (3) jo

Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak telah terpenuhi, maka anak harus dinyatakan telah terbukti secara sah

dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan

dalam dakwaan Primair, maka hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan

dakwaan subsidair yang diajukan oleh Jaksan Penuntut Umum.

Dalam hal ini hakim juga mempertimbangkan Tuntutan Jaksa Penuntut

Umum Khusus terhadap poin/angka 2 (dua) yaitu menjatuhkan pidana oleh

karena itu kepada anak dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6

(enam) bulan di LPKA Tanjung Pati serta permintaan Penasihat Hukum Anak

dan orangtua/wali anak agar anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakat

Biaro.

Selain itu hakim mempertimbangkan pula Laporan Penelitian

Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan

putusan perkara An. Ananda Risky Ola Wuan Pgl Nanda No Register

Litmas:078/Lit.A/XI/2020 tanggal 15 Februari 2021 dari Pembimbing

Kemasyarakatan Balai Permasyarakatan kelas II Bukittinggi terhadap diri

113
Ibid., hal. 46
67

terdakwa Anak dengan Rekomendasi agar Klien Anak diputuskan dengan

Pidana Penjara sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.

Selanjutnya hakim mempertimbangkan barang bukti berupa 1 (satu) buah

helm SNI merk KYT ciri khusus tulisan “Anjay Is Big” pada bagian belakang

helm warna hitam dengan kaca depan helm warna hijau stabilo, 1 (satu)

pasang sendal jepit swallow warna hitam, dan 1(satu) buah Handphone merek

Realme warna hitam dongker dengan layar depan LCD retak yang diakui oleh

terdakwa anak dan dirampas untuk dimusnahkan. Dengan adanya barang bukti

tersebut dan terdakwa anak mengakui perbuatannya di persidangan sehingga

terdakwa anak dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana Melakukan Kekerasan Terhadap anak yang

Mengakibatkan Kematian.

Dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan Nomor 3/Pid.Sus-

Anak/2021/PN.BKT, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat

menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar

atau alasan pemaaf, maka anak harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya. Dan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 3 Huruf b dan n bahwa

setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak untuk dipisahkan dari orang

dewasa dan memperoleh pendidikan maka hakim perlu menetapkan

pelaksanaan pidana dijalani pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)

Kelas II B Tanjung Pati.


68

C. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan

Untuk menjatuhkan pidana terhadap diri anak, maka Majelis Hakim perlu

mempertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang meringankan dan

memberatkan anak.

Keadaan yang meringankan:

1. Anak menyesali perbuatannya

2. Anak bersikap sopan dipersidangan

3. Anak masih dapat dibina

4. Anak mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar proses

persidangan

5. Anak masih berstatus sebagai pelajar

Keadaan yang memberatkan:

1. Perbuatan anak telah menyebabkan keresahan di masyarakat

2. Perbuatan anak dilakukan terhadap anak dengan latar belakang masalah

yang tidak prinsip

D. Amar Putusan

Pada kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan

anak dibawah umur dengan Nomor Perkara: 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT,

Majelis Hakim telah mempertimbangkan segala aspek dalam persidangan.

Dari aspek hukum, Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa

anak Nanda sebagaimana dakwaan primair yaitu Pasal 80 Ayat (3) jo Pasal 76

C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-


69

Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dari

aspek Sosiologis yang meringankan adalah terdakwa anak Nanda masih

berstatus sehingga terdakwa dapat di didik untuk kelak menjadi anak yang

lebih baik dan dapat diterima dimasyarakat, serta terdakwa anak mengakui dan

menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Dan dari

aspek Sosiologis yang memberatkan ialah perbuatan anak menyebabkan

keresahan dimasyarakat sehingga masyarakat takut suatu saat terdakwa anak

mengulangi perbuatannya dan juga perbuatan anak dilakukan terhadap anak

dengan latar belakang yang tidak prinsip.

Setelah melihat fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, berupa

keterangan saksi, keterangan Ahli, barang bukti, serta keterangan terdakwa

yang saling bersesuaian, Majelis Hakim menjatuhkan sanksi kepada terdakwa

sebagai berikut:

1. Menyatakan Anak atas nama Ananda Risky Ola Wuan Pgl Nanda tersebut

diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana Melakukan Kekerasan Terhadap Anak yang Mengakibatkan

Mati sebagaimana dakwaan primair

2. Menjatuhkan pidana kepada Anak oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan di Lembaga Pembinaan Khusus

Anak di Tanjung Pati.

3. Menetapkan masa Penangkapan dan Penahanan yang telah dijalani Anak

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Menetapkan Anak tetap ditahan


70

5. Menetapkan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) buah buah helm SNI merk KYT ciri khusus tulisan “Anjay Is

Big” pada bagian belakang helm warna hitam dengan kaca depan helm

warna hijau stabilo

b. 1 (satu) pasang sendal jepit swallow warna hitam

c. 1(satu) buah Handphone merek Realme warna hitam dongker dengan

layar depan LCD retak

Dirampas untuk dimusnahkan

a. 1 (satu) helai baju seragam sekolah pramuka lengan pendek yang telah

digunting pada bagian tangan baju hingga kerah baju

b. 1 (satu) helai celana panjang seragam sekolah pramuka

c. 1 (satu) helai singlet warna putih yang telah digunting lepas pada

bagian samping singlet

d. 1 (satu) helai celana dalam warna dongker merk champiro yang telah

digunting lepas pada bagian samping kiri dan kanan

e. 1 (satu) pasang kaos kaki warna abu-abu merek Rebook

f. 1 (satu) pasang sepatu warna dasar hitam bis putih bahan kain merek

kodachi

g. 1 (satu) buah kalung warna hitam dengan liontin taring hitam.

Dikembalikan kepada yang berhak melalui saksi Shinta Puspita Sari Pgl

Shinta.

6. Membebankan Anak membayar biaya perkara sejumlah Rp. 2.000,00 (dua

ribu rupiah).
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri

Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT Mengenai

Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian Oleh Anak Di Bawah

Umur.

Penerapan hukum positif oleh hakim harus mengindahkan nilai-nilai dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan sebaik-baiknya, sehingga

putusan yang dihasilkan oleh hakim dapat diterima oleh para pihak, oleh

karena itu hakim dalam menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin

tergaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. 114 Jadi,

hakim sebelum menjatuhkan pidana wajib memperhatikan dua hal pokok yaitu

hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana. Hal ini mengacu pada

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman yaitu hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dan dalam Pasal 8 ayat (2) juga disebutkan dalam mempertimbangkan

ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat

dari terdakwa. Hal-hal yang memberatkan adalah suatu yang menjadi alasan

sehingga sanksi yang dijatuhkan harus menimbulkan efek jera ataupun

menambahkan pidana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum kepada

terdakwa dikarenakan terdakwa tidak adanya alasan yang meringankan.

114
Bambang Waluyo, “Pidana dan Pemidanaan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 33.

71
72

Sedangkan hal yang meringankan adalah setiap hal yang menjadi alasan hakim

agar sanksi yang didakwakan dikurangi oleh Majelis Hakim dikarenakan

terdakwa banyak hal yang meringankan baginya.115

Pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terkait hal-hal yang

meringankan dan memberatkan mencakup dua hal yaitu pertimbangan yang

bersifat yuridis dan pertimbangan non yuridis.

1. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang

didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap di dalam persidangan

dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat

dalam putusan.116 Adapun pertimbangan hakim yang digolongkan sebagai

pertimbangan yuridis secara sistematis antara lain:117

a. Dakwaan jaksa penuntut umum

b. Keterangan terdakwa

c. Keterangan saksi

d. Barang-barang bukti

e. Pasal-pasal peraturan hukum pidana

2. Pertimbangan non yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan

pada suatu keadaan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan, namun keadaan tersebut baik melekat pada diri pembuat tindak

pidana maupun berkaitan dengan masalah-masalah sosial dan struktur

masyarakat.118

115
Nurhafifah dan Rahmiati, “Pertimbangan Hakim., hal. 357.
116
Ibid., hal. 347
117
Ibid.
118
Ibid.
73

a. Latar belakang perbuatan terdakwa

b. Akibat perbuatan terdakwa

c. Kondisi terdakwa

d. Keadaan sosial ekonomi terdakwa

e. Faktor agama terdakwa.

Setelah mempertimbangkan dua hal diatas, maka hakim sebelum

memutus perkara suatu tindak pidana harus mempertimbangkan setiap hal-hal

penting dalam persidangan. Hakim memeriksa tindak pidana yang dilakukan

seseorang dengan memperhatikan syarat subjektifnya yaitu dengan adanya

kesalahan, kemampuan bertanggung jawab seseorang dan tidak ada alasan

pemaaf baginya. Selain itu, hakim juga harus memperlihatkan syarat

objektifnya, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan telah sesuai dengan

rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar.

Apabila hal tersebut terpenuhi, selanjutnya hakim mempertimbangkan hal-hal

yang dapat meringankan dan memberatkan terdakwa.119

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-

Anak/2021/PN.BKT, Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan berdasarkan

surat dakwaan agar terdakwa anak dijatuhi pidana penjara. Dasar

pertimbangan Jaksa dalam melakukan penuntutan pidana terhadap anak, yaitu

perbuatan terdakwa melanggar Pasal 80 ayat (3) Jo Pasal 76 C Undang-

Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-Undang No. 11 Tahun

119
Leden Merpaung, “Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 130.
74

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Serta pertimbangan mengenai

hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa. Atas dasar

pertimbangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum menuntut anak agar dijatuhi

pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan di LPKA Tanjung

Pati.

Mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa

dalam putusan ini antara lain:

Hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa yaitu:

1. Perbuatan anak telah menyebabkan keresahan di masyarakat.

2. Perbuatan anak dilakukan terhadap anak dengan latar belakang masalah

yang tidak prinsip.

Adapun hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu:

1. Anak menyesali perbuatannya

2. Anak bersikap sopan dipersidangan

3. Anak masih dapat dibina

4. Anak mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar proses

persidangan

5. Anak masih berstatus sebagai pelajar

Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak dalam putusan ini, Hakim

telah mempertimbangkan alat bukti baik dari keterangan saksi, keterangan

saksi ahli, keterangan terdakwa maupun barang bukti yang diajukan di

persidangan. Dan setelah diperoleh fakta-fakta hukum di persidangan, anak


75

dinyatakan telah terbukti melakukan tindak pidana yang di dakwakan oleh

Penuntut Umum terhadapnya.

Oleh karena putusan hakim sangat berkaitan dengan bagaimana hakim

dalam mengemukakan pendapat atau pertimbangan berdasarkan fakta-fakta

serta alat bukti di persidangan serta keyakinan hakim atas suatu perkara, maka

hakim memiliki peran sentral dalam menjatuhkan putusan pengadilan. Dalam

putusan pengadilan haruslah terdapat pertimbangan-pertimbangan mengenai

hal-hal yang memberatkan dan meringankan putusan, pertimbangan tersebut

dijadikan alasan oleh hakim dalam menjatuhkan putusannya baik itu berupa

putusan pemidanaan dan lain sebagainya.120

Hakim dalam putusan ini akan mempertimbangkan berdasarkan fakta-

fakta hukum, terdakwa anak dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana

yang di dakwakan Jaksa Penuntut Umum terhadap anaknya. Terdakwa Anak

telah di dakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan primair sebagaimana

diatur dalam Pasal 80 Ayat (3) jo Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dan dakwaan subsidiaritas

sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Ayat (2) jo Pasal 76 C Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

120
Ibid., hal. 344
76

Karena dalam hal ini terdakwa anak didakwa dengan dakwaan berbentuk

subsidiaritas, maka hakim akan mempertimbangkan dengan memilih salah

satu dakwaan yang paling sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan dan menurut hakim, dakwaan yang paling sesuai adalah dakwaan

primair sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Ayat (3) jo Pasal 76 C Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang unsur-

unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang

2. Menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut

serta melakukan kekerasan terhadap anak

3. Yang mengakibatkan mati.

Dengan terpenuhinya semua unsur dalam dakwaan ini, hakim sependapat

dengan Penuntut Umum mengenai penjatuhan pidana terhadap pelaku berupa

pidana penjara, karena hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat

menghapuskan pertanggungjawaban pidana baik sebagai alasan pembenar atau

alasan pemaaf. Maka anak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Akan tetapi, hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana lebih ringan dari

tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu pidana penjara selama 3 tahun dan 6

bulan di LPKA Tanjung Pati. Hakim memandang bahwa hukuman yang

dijatuhkan bukan sebagai pembalasan atas perbuatan anak. Hakim berpendapat

bahwa putusan yang dijatuhkan telah memenuhi rasa keadilan baik secara
77

moral (moral justice) maupun secara hukum positif (legal justice) terhadap

korban dan keluarga korban serta masyarakat pada umumnya (social justice).

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman lebih ringan

dari tuntutan Jaksa karena anak berlaku sopan di persidangan dan sebagai

pendidikan terhadap anak agar kelak menjadi anak yang lebih baik dan dapat

diterima di masyarakat serta memberi kesempatan kepada anak melalui

pembinaan agar memperoleh jati dirinya sehingga menjadi manusia yang

mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat,

bangsa dan negara.

Putusan hakim dalam hal memberatkan dan meringankan pada

hakikatnya berpengaruh terhadap pelaku. Dalam hal memberatkan bertujuan

untuk memberikan pelajaran agar kelak terdakwa tidak melakukan lagi

perbuatannya dan agar terdakwa menyadari dan menyesali perbuatannya. Dan

pengaruh hal-hal yang meringankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim

semata-mata untuk mendidik, membimbing dan membina terdakwa agar

terdakwa setelah selesai menjalani pidana dapat kembali ke masyarakat dan

diterima dalam masyarakat.121

Menurut analisis penulis, putusan hakim yang menjatuhkan hukuman

penjara bagi pelaku meskipun pelaku masih di bawah umur telah sesuai.

Sebab, jika tidak dipenjara maka pelaku tidak akan mendapatkan efek jera dan

kemungkinan pelaku akan melakukan kejahatan lagi bahkan kejahatan yang

121
Ibid., hal. 358.
78

lebih kejam. Hukuman ini telah sesuai dengan tujuan pemidanaan

sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 54 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

Ayat (1): “Pemidanaan bertujuan; mencegah dilakukannya tindak pidana


dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta membebaskan rasa
bersalah pada terpidana”.122
Ayat (2): “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia”123

Dan mengenai putusan hakim yang menetapkan anak ditempatkan di

LPKA sesuai dengan tuntutan jaksa telah benar dan tepat karena berdasarkan

Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa anak dijatuhi pidana penjara di

LPKA apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan

masyarakat. 124 Apabila hakim menempatkan anak di Lapas Biaro tempat

pembinaan orang dewasa akan bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 Huruf b

dan n Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak untuk

dipisahkan dari orang dewasa dan memperoleh pendidikan.125

Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pertimbangan

hakim mengenai kematian akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur

dalam Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-

122
Rancangan KUHP Pasal 54 ayat (1).
123
Rancangan KUHP Pasal 54 ayat (2).
124
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 81
ayat (1).
125
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 3
Huruf b dan n.
79

Anak/2021/PN.BKT telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan hakim dari

hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa yang mencakup

pertimbangan yuridis dan non yuridis. Hal-hal yang memberatkan terdakwa

adalah perbuatan anak telah menyebabkan keresahan di masyarakat dan

perbuatan anak dilakukan terhadap anak dengan latar belakang masalah yang

tidak prinsip. Dan hal-hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa Anak

menyesali perbuatannya, Anak bersikap sopan dipersidangan, Anak masih

dapat dibina, Anak mengakui terus terang perbuatannya sehingga

memperlancar proses persidangan, dan Anak masih berstatus sebagai pelajar.

Tujuan hakim menjatihkan pidana lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut

Umum yaitu pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan karena adalah semata-

mata untuk mendidik, membimbing dan membina terdakwa agar terdakwa

setelah selesai menjalani pidana dapat kembali ke masyarakat dan diterima

dalam masyarakat.

B. Analisis Fiqh Jinayah Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi

Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT Mengenai Penganiayaan yang

Mengakibatkan Kematian Oleh Anak Di Bawah Umur.

Dalam hukum positif pelaku telah terbukti melakukan tindak pidana

sesuai dengan hasil Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT dan telah

dijatuhi pidana penjara (ta’zir). Maka perlu dikaji lebih dalam lagi mengenai

tinjauan hukum pidana islam terhadap putusan hakim pada kasus tersebut

apakah sudah sesuai dengan hukum islam baik dari segi tindak pidana, batas
80

usia dewasa serta sanksi dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah

umur.

Di dalam hukum islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum kecuali jika

terpenuhi semua unsur unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus.

Unsur umum adalah sebagai berikut:126

d. Unsur formal (Al-Rukn Al-Syar’i) yaitu adanya nash syara’ yang jelas

melarang perbuatan itu dilakukan dan jika dilakukan akan dikenai

hukuman. Nash syara’ ini menempati posisi yang sangat penting sebagai

azaz legalitas dalam hukum pidana islam, sehingga dikenal suatu prinsip la

hukma li af’al al-uqala’ qal wurud an-nass (tidak ada hukum bagi

perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nash).

e. Unsur materil (Al-Rukn Al-Mad’i) yaitu adanya perbuatan pidana yang

dilakukan.

f. Unsur moril (Al- Rukn Al-Adabi) yaitu pelaku perbuatan itu dapat diminta

pertanggungjawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila atau orang

terpaksa tidak dapat dihukum.

Ketiga unsur umum diatas harus terpenuhi sehingga dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana dalam Hukum Pidana Islam. mengenai unsur khusus

adalah unsur-unsur tersebut berbeda-beda sesuai dengan tindak pidananya.

Unsur yang terkandung di dalam pencurian tidak sama dengan unsur yang

terkandung di dalam perzinahan.127

126
Dr. H. Marsaid, M.A, “Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam) Memahami Tindak
Pidana Dalam Hukum Islam”, ( Palembang: Rafah Press, 2020), hal. 57.
127
Ibid.
81

Berdasarkan pada Putusan Nomor. 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT bahwa

perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Unsur setiap orang

2. Unsur menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau

turut serta melakukan kekerasan terhadap anak

3. Yang mengakibatkan mati.

Jika dikaitkan unsur dalam putusan di atas dengan unsur tindak pidana

dalam hukum islam, maka perbuatan pelaku telah memenuhi semua unsur

tersebut dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana diantaranya:

1. Unsur moril (Al-Rukn Al-Syar’i) bahwa perbuatan pelaku sudah ada

ketentuannya baik dalam nash maupun dalam perundang-undangan

Indonesia

2. Unsur materil (Al-Rukn Al-Mad’i) bahwa pelaku melakukan penganiayaan

yang mengakibatkan korban meninggal

3. Unsur moril (Al- Rukn Al-Adabi) bahwa pelaku sudah dapat

mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan terhadap anak yang

mengakibatkan kematian dalam Hukum Pidana Islam termasuk pada perbuatan

penganiayaan dan pembunuhan yang hukumannya adalah hukuman qishas.

Dasar pemberlakuan hukuman qishas ini berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-

Maidah ayat 45 yang berbunyi:


82

ِ ‫ف و ْاْلُُٰ َن بِ ْاْلُُٰ ِن و‬
ِ ْ‫ف بِ ْاْلَن‬ ِ ِ ۤ ِ ِ
‫الس َّن‬ َ َ ‫ن‬
ْ ‫اْل‬
َ ْ ‫و‬ ِ
‫ن‬ ‫ي‬
َ َ َْ َ َْ َ ‫ع‬‫ل‬
ْ ‫ا‬‫ب‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ع‬‫ل‬
ْ ‫ا‬
‫و‬ ِ
‫س‬ ‫ف‬
ْ َّ
‫الن‬ ‫ب‬ ‫س‬ ‫ف‬
ْ َّ
‫الن‬ َّ
‫َن‬ ‫أ‬ ‫ا‬‫َوَكتَ ْب نَا َعلَْيه ْم فْي َه‬
َ
ۤ ِ ِِ َ ‫الس ِن والْجروح قِصاص ۗ فَمن تَصد‬ ِ ِ‫ب‬
ُ َ ‫َّارةٌ لَهُ ۗ َوَم ْن لَّ ْم يَ ْح ُك ْم ب َم‬
‫الله‬ ‫ل‬َ‫ز‬ ‫َن‬
ْ ‫أ‬ ‫ا‬ َ ‫َّق به فَ ُه َو َكف‬ َ ْ َ ٌ َ َ ُْ ُ َ
ۤ
ِ ِ
﴾٤۵﴿ ‫ك ُه ُم الظل ُم ْو َن‬ َ ‫فَأُولئ‬
Artinya: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di didalamnya (Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka
(pun) ada qishasnya”.128(Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 45).

Dan juga terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 178 berikut:

‫اص فِى الْ َقْت لى أَلْ ُحُّر بِالْ ُح ِرَو الْ َعْب ُد بِالْ َعْب ِد َو ْاْلُنْثى‬
ُ ‫ص‬
ِ
َ ‫ب َعلَْي ُك ُم الْق‬
ِ ِ َّ
َ ‫يَآأَيُّ َها الذيْ َن أ َمنُ ْوا ُكت‬
‫ف ِم ْن‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫بِ ْاْلُنْثى فَ َم ْن ُعف َي لَهُ ِم ْن أ َِخْي ِه َش ْيءٌ فَاتِبَاعٌ بِالْ َم ْع ُرْوف َوأ ََدآءٌ إِلَْي ِه بِِإ ْح َسان ٰل‬
ٌ ‫ك تَ ْخفْي‬

﴾٨٧١﴿ ‫اب أَلِْي ٌم‬ َ ْ‫َّربِ ُك ْم َوَر ْح َمةٌ فَ َم ْن ْاعتَدى بَ ْع َد ٰل‬


ٌ ‫ك فَلَهُ َع َذ‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
(melaksanakan) qishas berkenaan dengan orang yang dibunuh.
Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan
hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang
siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia
mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan)
kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah
keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui
batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat
pedih”.(Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 178).129

Ayat diatas menegaskan tentang kewajiban melaksanakan hukuman

qishas bagi pelaku pembunuhan secara sengaja dan pihak keluarga tidak

128
Departemen Agama RI, “Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah”, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2010), hal. 115.
129
Departemen Agama RI, “Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah”, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2010), hal. 27.
83

memaafkan pelaku. Kalau keluarga korban ternyata memaafkan pelaku, maka

hukuman qishas tidak berlaku dan diganti dengan hukuman diyat.130

Dalam Hukum Pidana Islam, hukuman qishas bukanlah sebagai

pembalasan untuk menyakiti, bukan pula untuk melampiaskan sakit hati.

Tetapi tujuan qishas adalah untuk kelangsungan kehidupan, di jalan

kehidupan, bahkan merupakan jaminan kehidupan. Hal ini sesuai dengan

firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 179 yang berbunyi:

ِ ‫اص حيوةٌ ۤيأٌولِى ِاْلَلْب‬


﴾٨٧۹﴿ ‫اب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّ ُق ْو َن‬ ِ ِ
َ َ ِ ‫ص‬َ ‫َولَ ُك ْم فى الْق‬
Artinya: “Dan dalam Qishas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai
orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa”. (Al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 179).

Sedangkan dalam Putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT hakim

menjatuhkan hukuman ta’zir terhadap pelaku padahal perbuatan pelaku

termasuk pada pembunuhan dan penganiayaan yang sanksinya adalah diqishas

bahkan ketentuan mengenai hukuman qishas ini terdapat pada Al-Qur’an dan

Hadits Nabi SAW.

Dalam islam, seorang hakim memiliki kewenangan yang tinggi dalam

memutuskan sebuah perkara, hakim harus menerapkan prinsip keadilan dan

tidak memandang kepada siapa hukum itu diputuskan. Sebagaimana firman

Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 8:

ۤ
‫يَآاَيُّ َها الَّ ِذيْ َن ا َمنُ ْوا ُكونُ ْوا قَ َّو ِامْي َن لِل ِه ُش َه َدآءَ بِْل ِق ْس ِط َوَلَ يَ ْج ِرَمنَّ ُك ْم َشناَ ُن قَ ْوَ َعلى َّأَل‬
﴾١﴿ ‫الله َخبِْي ٌر بِ َما تَ ْع َملُ ْو َن‬ ِ ‫تَع ِدلُواۗ إِع ِدلُواۗ هو أَقْ ر‬
َ ‫ب للتَّقوى َواتَّ ُقوا اللهَ ۗ إِ َّن‬ ُ َ َُ ْ ْ ْ ْ

130
Abdul Qadir Audah, “at-Tasyri’ al-Jinai al-Islam”, (Beirut: Dar al-kitab al-‘Arabi, tt),
hal. 622.
84

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak


keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah
Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-
Maidah:8)

Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa penegakan hukum harus

dilaksanakan dengan benar dan seadil-adilnya. Hukum harus ditegakkan tanpa

memandang siapa pelakunya. Hukum tidak boleh tebang pilih karena semua

sama dihadapan hukum. Hukum harus berlandaskan pada keadilan. Siapapun

yang menjadi saksi harus memberikan kesaksian dengan benar, adil tanpa

memandang siapapun, serta sifat kebencian terhadap yang lain tidak boleh

dijadikan alasan untuk tidak berlaku adil.

Menurut hukum positif Indonesia, pelaku dalam Putusan Nomor

3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT termasuk anak dibawah umur sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang berbunyi: “anak yang berkonflik dengan hukum yang

selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)

tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan

tindak pidana”.131

Sedangkan menurut Hukum Islam pelaku sudah termasuk kategori

dewasa (baligh) sebab pelaku telah memasuki usia 17 (tujuh belas) tahun. Hal

ini didasarkan pada pendapat Jumhur Ulama menetapkan kebalighan

seseorang ditandai dengan ihtilam (telah bermimpi sampai mengeluarkan

131
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
85

mani) bagi laki-laki dan datangnya haid bagi perempuan dan anak telah

mencapai umur 15 (lima belas) tahun.132 Hal ini diperkuat dengan hadits Nabi

SAW yang berbunyi:

َ َ‫ال َح َّدثَنِ ْي نَافِع ق‬


‫ال‬ ِ ‫ال ح َّدثَنِي عيِي ِد‬
َ َ‫الله ق‬ ْ َ ْ َ َ َ‫ُس َامة ق‬
ِ ِِ ِ
َ ‫َحدَّثَنَا َعبْيد الله بن َسعْيد َحدَّثَنَا أَبُ ْو أ‬
ِ َّ ‫َح َّدثَنِ ْي إِبْن عُ َمر َر ِضي اللهُ َعْن ُه َما أ‬
‫َحد َوُه َو‬ َ ‫صلَّى الله َعلَْيه َو َسلَّم َعَر‬
ُ ‫ضهُ يَ ْوََ أ‬ َ ُ‫َن َر ُس ْو َل الله‬ َ
‫َج ُارهُ قَا َل‬ ِ
َ ‫س َع ْشَرَة َسنَةً فَأ‬
َ ‫بن َخ ْم‬
ُ ‫ضهُ يَ ْوََ الْ َخْن َدق َوُه َو ا‬
َ ‫ابن أ َْربَ َع َع ْشَرَة َسنَةً فَلَ ْم يُج ْزهُ َو َعَر‬
ُ
‫ال إِ َّن َه َذا‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ْ‫ت َعلَى ُع َمَر بْ ِن َعْبد الْ َع ِزيْ ِز َوُه َو َخلْي َفةٌ فَ َح َدثَْتهُ َه َذا الْ َحدي‬
َ ‫ُ فَ َق‬ ُ ‫نَاف ُع فَ َقد ْم‬

ً‫س َع ْشَرَة َسنَة‬ ِ ‫الصغِي ِر والْ َكبِي ِر فَ َكتب إِلَى عمالِِه أَ ْن يَّ ْف ِر‬
َ ‫ض ْوا ل َم ْن َكا َن ابْ ُن َخ ْم‬
ُ َُ ْ َ ْ َ ْ َّ ‫الْ َح ُد بَْي َن‬
Artinya: “Dia menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW untuk ikut
berperang dalam perang uhud, waktu itu dia berumur empat belas
tahun, tetapi Rasulullah tidak memperkenankan dirinya. Dan dia
kembali menawarkan diriku pada waktu perang khandaq
sedangkan dia (pada saat itu) berumur lima belas tahun, maka
Rasulullah SAW memperkenankan dirinya. Nafi’ menceritakan,
“Lalu aku datang kepada Umar Ibnu Abdul Aziz yang pada saat itu
menjabat sebagai khalifah, dan menceritakan kepadanya hadits ini,
maka ia berkata: ‘Sesungguhnya hal ini merupakan batas antara
usia anak-anak dan usia dewasa’. Kemudian ia menginstruksikan
kepada semua gubernur agar mereka menetapkan kepada orang-
orang yang telah mencapai usia lima belas tahun (sebagaimana
layaknya orang dewasa)”.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa dasar hukum hakim menjatuhkan

hukuman ta’zir terhadap pelaku karena didasarkan pada perundang-undangan

Indonesia yang tidak memberlakukan hukuman qishas. Penjatuhan sanksi

ta’zir bagi pelaku pembunuhan memang dibenarkan dalam Hukum Pidana

Islam jika pelaku pembunuhan belum mencapai usia baligh karena dalam

132
Al Imam Jalaluddin al Mahaly dan Jalaluddin as Suyuthi, “Tafsir al Qur’an al Karim”,
Juz, I, (Beirut: Daar al Fikr, 1998), hal. 98.
86

hukum pidana islam anak yang belum baligh tidak dapat dikenakan hukuman

had atau qishas apabila melakukan jarimah pembunuhan. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yang mengatakan bahwa anak yang

belum mumayiz melakukan jarimah hukumannya adalah hukuman ta’zir.

Hukuman ta’zir ini bukan hukuman jinayat namun sebagai pengajaran karena

anak yang belum mumayiz belum memenuhi syarat untuk dihukum.133

Sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas bahwa pembunuhan

sengaja diancam dengan hukuman qishas/diyat, jika hukuman qishas dan diyat

tersebut dimaafkan oleh korban atau keluarga korban, maka ulil amri berhak

menjatuhkan hukuman ta’zir apabila itu dipandang maslahat. Adapun sanksi

ta’zir kepada pelaku pembunuhan sengaja yang dimaafkan dari hukuman

qishas dan diyat adalah aturan yang baik dan membawa kemaslahatan, karena

pembunuhan itu tidak hanya melanggar hak individu tetapi juga melanggar

hak masyarakat. Dengan demikian ta’zir dapat dijatuhkan terhadap pembunuh

dimana sanksi qishas tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi

syarat. 134 Walaupun dalam sistem hukum Indonesia tidak memberlakukan

hukuman qishas tetapi harusnya hakim menjatuhkan hukuman diyat (denda)

kepada pelaku sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-

Qur’an dan Hadits karena itulah sebaik-baik hukuman yang diberikan.

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa menurut tinjauan Fiqh Jinayah

terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-

Anak/2021/PN.BKT mengenai kematian akibat penganiayaan oleh anak di

Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jinai al-Islam., hal. 604.


133

A. Jazuli, “Kaidah-kaidah Fiqh, Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan


134

Masalah-masalah yang Praktis”, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 177.


87

bawah umur tidak sesuai dengan Hukum Pidana Islam karena anak tersebut

sudah termasuk kategori dewasa (baligh) mengingat batas usia baligh bagi

seseorang menurut Jumhur Ulama adalah 15 (lima belas) tahun sementara

anak sudah berusia 17 (tujuh belas tahun). Dengan demikian hukuman dalam

putusan ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum pidana islam, sebab

hukuman yang seharusnya diberikan untuk anak tersebut adalah qishas/diyat

bukan hukuman ta’zir.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian dan analisis yang telah penulis jelaskan diatas, maka dapat

penulis simpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim mengenai kematian akibat penganiayaan oleh anak di

bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor

3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan

hakim dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa

yang mencakup pertimbangan yuridis dan non yuridis. Hal-hal yang

memberatkan terdakwa adalah perbuatan anak telah menyebabkan

keresahan di masyarakat dan perbuatan anak dilakukan terhadap anak

dengan latar belakang masalah yang tidak prinsip. Dan hal-hal yang

meringankan terdakwa adalah terdakwa Anak menyesali perbuatannya,

Anak bersikap sopan dipersidangan, Anak masih dapat dibina, Anak

mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar proses

persidangan, dan Anak masih berstatus sebagai pelajar.

2. Menurut tinjauan Fiqh Jinayah terhadap Putusan Pengadilan Negeri

Bukittinggi Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT mengenai kematian

akibat penganiayaan oleh anak di bawah umur tidak sesuai dengan Hukum

Pidana Islam karena anak tersebut sudah termasuk kategori dewasa

(baligh) mengingat batas usia baligh bagi seseorang menurut Jumhur

88
89

Ulama adalah 15 (lima belas) tahun sementara anak sudah berusia 17

(tujuh belas tahun). Dengan demikian hukuman dalam putusan ini tidak

sesuai dengan ketentuan hukum pidana islam, sebab hukuman yang

seharusnya diberikan untuk anak tersebut adalah qishas/diyat bukan

hukuman ta’zir.

B. Saran

1. Untuk penegak hukum khususnya kepada hakim agar lebih tegas lagi

dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku baik tindak pidana yang

dilakukan itu ringan atau berat agar dapat memberikan keadilan baik bagi

korban dan keluarga korban khususnya atau bagi masyarakat umumnya.

2. Diharapkan kepada hakim dalam menjatuhkan hukuman ada korelasi

antara hukum islam dengan hukum positif agar terciptanya keadilan,

ketertiban dan ketentraman bagi seluruh rakyat Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

al-Jazari, Abdurrahman. Kitab Al-Fiqh Ala MazdahibAl-Arba’ah. Beirut: Dar al-


Fikr, t. th.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Anwar, Yesmil dan Adang. Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum


Pidana. Jakarta: Grasindo, 2008.

Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri’ al-Jinai al-Islam. Beirut: Dar al-kutub al-‘Arabi,
1963.

Bahisny, Ahmad Fath’i. Al-Qishas fi Al-Fiqhi Al-Islami. Mesir: Syirkah Arabiyah,


1964

Beik, Khudari. Ushul Fiqh. cet. 8. Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariah Al-Kubra, tt.

Dawud, Abu. Sunan Abu Dawud. Beirut: Maktabah Al-‘Isriyah, t.th.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah. Bandung: CV Penerbit


Diponegoro, 2010

Dr. H. Marsaid, M.A. Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam) Memahami


Tindak Pidana Dalam Hukum Islam. Palembang: Rafah Press, 2020.

E. Y Kanter dan S.R. Sianturi dalam Amir Ilyas. Asas-asas Hukum Pidana.
Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta &PuKAP-Indonesia.

Ghafur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks.


Yogyakarta: elSAQ Press, 2005.

Halim, Ridwan. Hukum Pidana dalam Tanya Jawab. Jakarta: Gralia Indonesia,
1986.

Hakim, Dr. Lukman. Asas-asas Hukum Pidana Buku Ajar bagi Mahasiswa.
Sleman: Deepublish, 2020.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.
Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Irfan, Nurul. Hukum Pidana Islam. cet. I. Jakarta: Amzah, 2016.

Irfan, H.M. Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Ed. I. Cet.I. Jakarta: Amzah,
2013.

Jazuli, Ahmad. Kaidah-kaidah Fiqh, Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam


Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2006.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Koeswadji, Prof. Hermin Hadiati. Kejahatan Terhadap Nyawa Serta


Penyelesainnya. cet. ke-I. Bandung: Sinar Wijaya, 1984.

Mawardiy, Imam al-. al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah. Beirut:


al-Maktab al-Islami, 1996.

Merpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan


Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi. Jakarta: Sinar Grafika,
2011.

Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. cet. IX. Jakarta: Rineka Cipta, 2015.

Moelyanto. KUHP. cet. Ke XIII. Jakarta: Bina Aksara, 1982.

M. Tirtamidjaja. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fresco, 1955.

Munajat, Makhrus. Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung,


2004.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.

Nurhafifah dan Rahmiati. Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana terkait


Hal yang Memberatkan dan Meringankan. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum No.
66, Th XVII (Agustus, 2015. Pp. 341-362.
P.A.F Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Citra Adity
Bakti, 2014.

Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2021/PN.BKT.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi Islam
dan Kemasyarakatan, 1992.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Juz III. Kairo: Maktabah Dar al-Turast, 1970.

Sayuti, Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr as-. Al-Jami’ us-Sagir. Juz 2.
Beirut: Dar al-Fikr.t.th.

Suyuthi, Al Imam Jalaluddin al Mahaly dan Jalaluddin as-. Tafsir al Qur’an al


Karim. Juz, I. Beirut: Daar al Fikr, 1998.

Syaltut, Syeikh Mahmud. al-Islam Aqidah wa Syari’ah. jilid 2. Alih bahasa.


Fachruddin HS. Akidah dan Syari’ah Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media, 2003.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23


Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Anda mungkin juga menyukai