Skripsi
Oleh:
DIMAS PRATAMA PUTRA
NPM. 18211181
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG
2022
Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU
TINDAK PIDANA KEPEMILIKAN SENJATA
PENIKAM ATAU PENUSUK BERUPA BADIK
(Studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)
NPM : 18211181
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
ii
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
iii
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA
KEPEMILIKAN SENJATA PENIKAM ATAU PENUSUK
BERUPA BADIK
(Studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)
ABSTRAK
Oleh
DIMAS PRATAMA PUTRA
NPM. 18211181
Setiap orang yang yang membawa senjata tajam tanpa hak menguasai dapat
dikenakan ancaman pidana, oleh sebab itu jika tidak untuk keperluan pekerjaan,
ataupun tugas jabatan lebih baik tidak perlu membawa senjata tajam ketika
berpergian adapun alas untuk jaga diri, tidak dapat diterima sebagai alasan
pembenaran apabila suatu ketika tertangkap membawa senjata tajam, dengan
demikian kiranya setiap orang dapat bersikap bijak agar tidak terjerat ancaman
pidana membawa senjata tajam tanpa hak. Salah contoh kasus yang terjadi dalam
hubungannya dengan tindak pidana kepemilikan senjata penikam terdapat dalam
studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt dimana terdakwa Cipto Waluyo
Bin Dul Basir (Alm).
iv
Dimas Pratama Putra
sebagai berikut hal yang memberatkan adalah perbuatan pelaku meresahkan
masyarakat dan mengancam keselamatan orang lain, sedangkan hal yang
meringankan adalah terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana,
terdakwa menyesali perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan
berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Saran, pihak penuntut umum dan majelis hakim harus lebih jeli dalam hal
memeriksa perkara sehingga dapat mengurai dengan tegas unsur-unsur tindak
pidana tanpa hak membawa, menguasai senjata penikam atau penusuk, sehingga
dapat dengan menjerat pelaku tindak pidana tanpa hak membawa, menguasai
senjata penikam atau penusuk lainnya serta lebih jeli dalam menentukan
pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana, serta harus
memperhatikan adanya kesalahan yang dilakukan, kemampuan bertanggung
jawab serta tidak adanya alasan pembenar atau alasan yang menghapus
pertanggungjawaban bagi terdakwa dalam menerapan Pasal 2 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12/Drt/1951.LN Nomor 78/1951. Putusan yang ringan yang
dijatuhkan oleh Majelis Hakim bisa saja membuat pelaku tidak merasakan efek
jera dan dapat sewaktu-waktu mengulangi perbuatannya kembali. Oleh karena itu,
diperlukan keseriusan dan kehati-hatian oleh penegak hukum baik oleh jaksa
sebagai penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan agar dapat
menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, maupun bagi
hakim agar putusan tersebut dapat mengandung nilai-nilai keadilan dan
kemanfaatan hukum
v
MOTO
Bersyukurlah karna kegagalan adalah cara tuhan mengajari kita arti kesungguhan.
(Penulis)
vi
PERSEMBAHAN
Teriring Doa dan terucap syukur kepada-Mu Ya Allah Tuhan yang maha
mengetahui dan berkehendak.
Penulis persembahkan skripsi ini teruntuk Orang tua tercinta.Terimakasih
Ayahanda Sugianto dan Ibunda Darmi yang selalu memberikan suplai dan
dukungan sehingga penulis mendapatkan gelar Sarjana.
Kepada ibu/bapak dosen pembimbing
Kepada kawan kawan seperjuangan HIMATOL18 terutama penghunni kost
ismiyati terimakasih untuk 3,5 Tahun canda dan tawanya
Kepada Trabas Mlehoy dan Ezy Esport telah menemani menghilangkan
kejenuhaan dan me refresh pikiran di saat mengerjakan skripsi
Teruntuk perempuan yang selalu memberi semangat, motivasi, dukungan dan
dorongan kepada saya
Agar cepat menyelesaikan skripsi ini
Motto jangan membenci dirimu sendiri karena itu sudah tugas orang lain.
vii
RIWAYAT HIDUP PENULIS
2000 dan merupakan anak pertama dari Bapak Sugianto dan Ibu Darmi . Adapun
Pendidikan Formal yang telah ditempuh penulis sebagai berikut: Sekolah Dasar
Kartika II-5 di Kota Bandar Lampung, Lampung, pada Tahun 2006 sampai
dengan Tahun 2012. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kartika II-2 di Kota
Bandar Lampung, Lampung, pada Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2015.
pada Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2018. Pada Tahun 2018, penulis
Penulis
viii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas
karunia dan rahmat yang tiada terhitung yang telah dilimpahkan kepada seluruh
Pada pembuatan skripsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan dari berbagai
1. Ibu Dra. Hj. Sri Hayati Barusman selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan
Administrasi Lampung.
2. Bapak Dr. Andala Rama Putra, S.E., M.Ac selaku Ketua Yayasan
Administrasi Lampung
3. Prof. Dr. Ir. M. Yusuf Sulfarano, MBA, selaku Rektor Universitas Bandar
Lampung.
4. Bapak Dr. Bambang Hartono, S.H, M.Hum, selaku Wakil Rektor III
5. Ibu Dr. Erlina B, S.H, M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
6. Ibu Recca Ayu Hapsari, S.H, M.H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
ix
7. Bapak Anggalana, S.H, M.H. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
8. Bapak Dr. Lukmanul Hakim, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama Skripsi
skripsi ini.
9. Ibu Okta Ainita, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi yang telah banyak
10. Ibu Dr. S. Endang Prasetyawati, S.H., M.H., selaku Penguji Utama Skripsi.
12. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Akhirnya dengan penuh harapan, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Terimakasih
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ............................... 7
1. Permasalahan Penelitian .......................................................... 7
2. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 7
1. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
2. Kegunaan Penelitian ................................................................ 8
D. Kerangka Konsepsional ................................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ................................................................... 17
xi
B. Sumber dan Jenis Data ................................................................... 34
1. Sumber Data ............................................................................ 34
2. Jenis Data................................................................................. 35
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................... 36
1. Prosedur Pengumpulan Data ................................................... 36
2. Prosedur Pengolahan Data ....................................................... 37
D. Analisis Data .................................................................................. 38
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................ 57
B. Saran ............................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum bukan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan atau alat yang akan
harus dibangun untuk tujuan-tujuan mengakhiri suatu tatanan sosial yang tidak
adil dan menindas hak-hak asasi manusia. Untuk mencapai cita-cita hukum yang
citakan itu.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan dengan
sepenuhnya. Hukum sendiri merupakan sebuah peraturan atau tata tertib guna
1
Yulies Tiena Masriani. 2014. Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60
adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat. tetapi hukum bukanlah bangunan
sosial yang statis, melainkan ia bisa berubah dan perubahan itu terjadi karena
fungsinya untuk melayani masyarakat. Perubahan yang paling nyata
terjadimanakala diikuti sejarah sosial suatu masyarakat dan bagaimana
dampaknya terhadap hukum yang berlaku di situ.2
Maraknya tingkat kriminalitas yang berkaitan dengan senjata akhir-akhir ini bisa
dikatakan sudah mencapai tingkat meresahkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti kurangnya pengawasan oleh aparat yang berwenang terhadap
peredaran senjata ilegal di kalangan masyarakat sipil. Selain itu bagi masyarakat
sipil yang ingin memiliki senjata, proses kepemilikan bisa dilakukan dengan
proses yang relatif mudah dan juga dengan biaya yang terbilang murah. Aksi-aksi
kekerasan massa dan tindak kriminal yang disertai kekerasan sepertinya telah
menjadi tren di negeri ini.3
pelanggaran yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa dilihat
sebagai hukum pidana objektif yaitu suatu tindak pidana yang digolongkan
menurut ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri dan hukum pidana subjektif yaitu
2
Recca Ayu Hapsari. 2016. Pertanggungjawaban Negara terhadap Pengingkaran
Keadilan dalam Arbritase Internasional, Journal Pranata Hukum, Vol. 11, No, 1, hlm. 20.
3
Dedy Djunaedy. 2019. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Tanpa Hak Memiliki Senjata Api
oleh Warga Sipil Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951; (Studi
Kasus Perkara Nomor: 11/Pid.Sus/2014/PN.JktTim.). Jurnal Tesis Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya.
2
Kejahatan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah pelanggaran terhadap
hukum positif yaitu hukum pidana. Kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa dilihat sebagai hukum pidana objektif
itu sendiri dan hukum pidana subjektif yaitu ketentuan-ketentuan di dalam hukum
izin kepada warga sipil yang ingin memiliki senjata, namun pemegang izin
yang diberikan aparat yang berwenang dengan cara menggunakan senjata tidak
4
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita. 2017. Kejahatan dalam Masyarakat dan
Pencegahannya. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 29.
3
merupakan suatu tingkah laku manusia yang mengalami perkembangan
sejajar dengan perkembangan baik secara sosial maupun teknologi.5
tidak terbatas dan tidak dapat mengendalikan diri untuk menjalani kehidupan
sesuai dengan norma-norma yang wajar, sehingga terdapat dorongan yang kuat
Salah satu tindak pidana yang perlu mendapat perhatian adalah tindak pidana
membawa senjata penikam atau senjata tajam. Penguasan atau membawa senjata
penikam pada tempat dan waktu yang tidak tepat sering menjadi pertanda bahwa
akan terjadi tindak pidana lain yang akan dilakukan oleh pembawa, karena
biasanya pada kondisi tersebut fungsi sejata tajam atau untuk mempertahankan
5
Rakyu Swanabumi. 2020. Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku
Penyalahgunaan Senjata Tajam. Jurist-Diction Vol. 3 (5) Universitas Airlangga, hlm. 25.
6
Astrid Maretha. 2018. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Memiliki Senjata Api Ilegal Pada Pengadilan Negeri Bangko Jambi (Studi Putusan Nomor
177/PID.B/2017/PN.BKO dan Putusan Nomor 174/PID.B/2017/PN.BKO), Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, hlm. 14.
4
Pelarangan terhadap senjata penikam diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun
1948 No.17) dan Undang-Undang Dahulu Nomor 8 Tahun 1948. Pada Pasal 2
Setiap orang yang yang membawa senjata tajam tanpa hak menguasai dapat
dikenakan ancaman pidana, oleh sebab itu jika tidak untuk keperluan pekerjaan,
ataupun tugas jabatan lebih baik tidak usah membawa senjata tajam ketika
berpergian adapun alas untuk jaga diri, tidak dapat diterima sebagai alasan
demikian kiranya setiap orang dapat bersikap bijak agar tidak terjerat ancaman
Salah contoh kasus yang terjadi dalam hubungannya dengan tindak pidana
88/Pid.Sus/2021/PN Gdt dimana terdakwa Cipto Waluyo Bin Dul Basir (Alm)
pada hari Jumat, Tanggal 26 Februari 2021, sekira pukul 00.30 WIB atau setidak-
tidaknya pada waktu lain di bulan Februari 2021 atau masih dalam tahun 2021
Tataan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara telah, tanpa hak
5
memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya,
Cipto Waluyo bin Dul Basir (alm) tersebut di atas, terbukti secara sah dan
tunggal, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan, menetapkan masa penangkapan
dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, dikurangi seluruhnya dari
barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda motor Honda Beat putih nopol BE 4650
RJ dikembalikan kepada Terdakwa Cipto Waluyo bin Dul Basir (alm.), 1 (satu)
buah senjata tajam jenis badik dengan 2 (dua) bilah mata pisau berkerangka coklat
dan panjang bilah 30 cm, 2 (dua) liter minuman keras jenis tuak dirampas untuk
dimusnahkan.
6
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan Penelitian
sebagai berikut:
88/Pid.Sus/2021/PN Gdt?
88/Pid.Sus/2021/PN Gdt.
1. Tujuan Penelitian
7
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim dalam
88/Pid.Sus/2021/PN Gdt.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Hukum Pidana.
b. Kegunaan Praktis
D. Kerangka Konsepsional
8
Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenaran.7
Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
menurut P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua
unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur
Sedangkan menurut Leden Marpaung unsur tindak pidana yang terdiri dari 2 (dua)
unsur pokok, yakni:
Unsur pokok subjektif:
1) Sengaja (dolus)
2) Kealpaan (culpa)
Unsur pokok objektif:
1) Perbuatan manusia
2) Akibat (result) perbuatan manusia
3) Keadaan-keadaan
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum9
7
Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya
Bhakti, Bandung, hlm. 152-153.
8
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 2012. Delik-Delik Khusus. Tarsito, Bandung,
hlm.193.
9
Leden Marpaung. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
295.
9
mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai 3
(tiga) macam jenis yaitu:
(1) Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)
Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai
akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.
(2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids-
Bewustzinj)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia
tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
(3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-
Bewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai
bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi
hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
b) Culpa
Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si
pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang
berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.10
Berdasarkan uraian di atas, maka semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan
dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada akan menyebabkan tersangka
tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus cermat dalam meneliti tentang
Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam
arti konkret, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan
diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses
peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau
pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang
dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan
akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau
kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan
pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai
tujuan hukum pidana.11
10
Wirjono Prodjodikoro. 2013. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika
Aditama, Bandung, hlm. 65-72.
11
Zainab Ompu Jainah. 2018. Kapita Selekta Hukum Pidana. Tsmart. Bandar Lampung,
hlm. 2.
10
Tindak pidana umum adalah tindak pidana tindak pidana dan pelanggaran yang
diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan
menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus
adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang Undang Bea Cukai,
Undang-Undang Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh
Polri, Kejaksaan, dan Pejabat Penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan
khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu
adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana
khusus, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Keimigrasian,
Peraturan Daerah, dan sebagainya.12
Menurut Teguh Prasetyo berbagai pembagian jenis delik adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana dan Pelanggaran
KUHP menempatkan tindak pidana di dalam Buku Kedua dan pelanggaran
dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan megenai apa yang disebut
tindak pidana dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu
pengetahuan untuk membiarkan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang
sepenuhnya memuaskan. Dicoba membedakan bahwa tindak pidana
merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan
wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum
yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti
pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik
undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya
saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang menngendarai kendaraan
bermotor di jalan umum, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda
motor. Di sini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.
2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan
delik dengan perumusan secara materiil)
a. Delik formil itu adalah delik yang dianggap selesai dengan
dilakukakannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya
berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah
perbuatanya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentalia (hal
yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian), Pasal
160 (penghasutan), Pasal 209- Pasal 210 (penyuapan). Jika seseorang telah
melakukan perbuatan mengambil dan seterusnya, dalam delik pencurian
sudah cukup. Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah
yang dihasut benar-benar mengikuti hastuan itu.
b. Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada akibat yang
dialarang, delik ini dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi,
bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah.
Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan) yang terpenting adalah
matinya seseoarang. Caranya boleh dengan mencekik, menusuk,
menembak, dan sebagainya.
12
Wirjono Prodjodikoro. Op. Cit , hlm. 73.
11
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen
commissa
a. Delik commisionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya
berbuat mengambil, menganiaya, menembak, mengancam, dan
sebagainya.
b. Delik ommisionis dapat dijumpai pada Pasal 552 (tidak datang menghadap
ke pengadilan sebagai saksi), Pasal 164 (tidak melaporkan adanya
pemufakatan jahat).
c. Delik per ommisionen commissa misalnya seorang ibu yang sengaja tidak
memberikan air susu terhadap anaknya yang masih bayi dengan maksud
agar anak itu meninggal (Pasal 338), tetapi dengan cara tidak melakukan
sesuatu yang seharusnya dilakukan. Keharusan menyusui bayi tidak
terdapat dalam hukum pidana. Juga seorang penjaga pintu lintasan kereta
api yang tidak menutup pintu itu sehingga menjadi kecelakaan (Pasal 164).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
a. Delik dolus: delik yang memuat unsur kesengajaan, misal: Pasal 162,
Pasal 197, Pasal 310, Pasal 338 KUHP
b. Delik culpa: delik yang memuat unsur kealpaan dengan kata karena
kealpaannya, misal: Pasal 359, Pasal 360, Pasal 195 KUHP. Di dalam
beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah “karena
kesalahannya”.
5. Delik aduan dan delik biasa (Bukan Aduan)
Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntunanya hanya
dilakukan atas dasar adanya pengadaan dari pihak yang berkepentingan atau
terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini
tidak banyak terdapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan,
tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinahan
misalnya, yang berkepentingan adalah istri dan suami yang bersangkutan.
Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang
perumpamaannya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relatif di sini
karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya
pencurian dalam keluarga (Pasal 367 Ayat (2) dan (3). Beberapa waktu lalu
ada usul agar delik perzinahan tidak lagi dimasukan sebagai delik aduan,
tetapi sebagai delik biasa. Ternyata banyak yang menantang, sebab hal itu
dapat berakibat lebih parah. Di dalam proses penangkapan, orang awam dapat
melakukan terhadap pelaku tindak pidana jika dalam keadaan tertangkap
tangan. Yaitu tertangkap ketika sedang berbuat.
6. Delik berturut-turut (voortgezet) yaitu tindak pidana yang dilakukan berturut-
turut, misalnya mencuri uang satu juta rupiah, tetapi dilakukan setiap kali
seratus ribu rupiah.
7. Delik politik yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan Negara sebagai
keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepada negara dan sebagainya (Bab
I – IV Buku II KUHP), dan juga tindak pidana subversi.13
13
Teguh Prasetyo, 2017, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan. Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi (Cetakan II). Pustaka Pelajar, Jogjakarta, hlm. 62.
12
Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam perundang-undangan tindak pidana
sering disebut dengan berbagai istilah seperti: perbuatan pidana, peristiwa pidana
dan dalam ilmu pengetahuan hukum sering disebut dengan "delik". Istilah lain
dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu hukuman pokok telah ditentukan dalam
a. Pidana Pokok:
1) Pidana Mati
2) Pidana penjara
3) Kurungan
4) Denda
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim.
Delik penguasaan tanpa hak senjata penikam/penusuk diatur dalam Pasal 2 Ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah
Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 No.17) dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 serta Undang-Undang yang berkaitan
14
Leden Marpaung. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 108
13
dengannya. Dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12
Tahun 1951 menegaskan:
Pasal 2
(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai
dalam miliknya, menyimpan, mengankut, menyembunyikan, mengunakan,
atau mengeluarkan dari indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam,
atau senjata penusuk (Slag, steek of stoot wapen), di hukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sepuluh tahun
(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk
dalam Pasal ini, tidak termasuk barangbarang yang nyata-nyata dimasukkan
untuk dipergunakan guna pertanian atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang
nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau
barang ajaib (merkwaardigheid).15
Setelah melihat dasar hukum Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Darurat
Nomor 12 tahun 1951 tentang Delik Penguasaan Tanpa Hak Senjata Api, Amunisi
atau Sesuatu Bahan Peledak, Senjata Pemukul, Senjata Penikam, atau Senjata
Penusuk dapat diuraikan unsur-unsurnya:
a. Barang siapa.
Di dalam setiap rumusan pasal-pasal KUHPidana maupun tindak pidana,
unsur “barang siapa” merupakan sebuah kata yang penting di dalam melihat
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Sebagai sebuah kata “barang
siapa” maka memerlukan kajian yang cukup serius dalam asas kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana dalam upaya pembuktian. Sebagai contoh pasal
362 KUHP tindak pidana pencurian, adanya kata-kata “barang siapa…”.
Sedangkan tindak pidana diluar KUHP dikenal istilah “setiap orang…”.
Kedua istilah ini baik “barang siapa” maupun “setiap orang” mempunyai
konotasi yang sama di dalam melihat kesalahan dan pertanggungjawaban.
Artinya langsung menunjuk kepada perseorangan seseorang dalam konotasi
biologis. Atau dengan kata lain adalah pertanggungjawaban manusia sebagai
person (naturalijk persoon). Namun dalam upaya pembuktian, unsur “barang
siapa/setiap orang” tidak serta merta langsung menunjuk kepada
perseorangan (naturalijk persoon). Apabila meninjau pada Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek
hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang
alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas
“sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi
dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.16
15
Gunawan. 2018. Tinjauan Yuridis Sanksi Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Tajam
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Tajam. Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan, hlm. 21.
16
Reko Gustiono. 2019. Penegakan Hukum Terhadap Kepemilikan Senjata Api Ilegal
Menurut Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 dan Hukum Islam (Studi Kasus Di
14
b. Tanpa hak.
Dengan melihat rumusan kata-kata tanpa hak dalam delik ini, tersirat suatu
pengertian bahwa tindakan/perbuatan sipelaku/Terdakwa adalah bersifat
melawan hukum, walaupun di dalam delik ini tidak dirumuskan unsur”bersifat
melawan hukum”. Namun dari kata-kata”Tanpa hak dalam perumusan delik
ini, sudah dipastikan bahwa tindakan seseorang (baik militer atau non militer)
sepanjang menyangkut masalah-masalah senjata api, munisi atau bahan
peledak harus ada izin dari pejabat yang berwenang untuk itu. Yang
dimaksudkan dengan “Tanpa Hak” berarti pada diri seseorang (si
Pelaku/Terdakwa) tidak ada kekuasaan, kewenangan, pemilikan, kepunyaan
atas sesuatu (dalam hal ini senjata, munisi atau bahan peledak). Dengan
demikian bahwa kekuasaan, kewenangan, pemilikan, kepunyaan itu baru ada
pada diri seseorang (si Pelaku/Terdakwa) setelah ada izin (sesuai Undang-
undang yang membolehkan untuk itu).17
Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam
pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata. Dimaksudkan untuk
dipergunakan guna pertanian atau untuk pekerjaan rumah tangga atau untuk
kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai
tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib.19
undang-undang ini. Senjata tajam yang dipergunakan guna pertanian atau untuk
Kepolisian Resort Tanjung Jabung Timur). Jurnal Program Studi Hukum Pidana Islam Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, hlm. 17
17
Andi Achmad Faridz Subhan. 2013. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Tanpa
Hak Membawa Menguasai Senjata Penikam Atau Penusuk (Studi Kasus Putusan Nomor
733/Pid.B/2013/PN.MKS). Jurnal Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar, hlm. 65.
18
Panji Nugraha. 2019. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Penyalahgunaan Airsoft
Gun (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun). Jurnal Tesis Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan, hlm. 14.
19
Pramudia Gilang Mahesa, 2020. Analisa Hukum Terhadap Tindak Pidana
Penyalahgunaan Senjata Tajam Tradisional. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Mataram, Mataram, hlm. 27.
15
pekerjaan rumah tangga atau melakukan pekerjaan lainnya. Jika dicontohkan
rumput di sawah, tidak bisa dikenakan ancaman pidana membawa senjata tajam
tanpa hak, karena dalam hal ini senjata tajam tersebut digunakan untuk pertanian
Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek yang sangat penting untuk
mewujudkan nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo
et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping itu terdapat juga manfaat
bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus
disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Jika pertimbangan hakim tidak teliti, baik,
dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut
akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.20
Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses
penegakan hukum. Hakim dalam mnjatuhkan putusan harus mempertimbangkan
banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat
perbuatan dankesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban,
keluarganya dan rasa keadilan.22
20
Mukti Aro. 2014. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, hlm.140.
21
Nurhafifah dan Rahmiati. 2015. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terkait
Hal yang Memberatkan dan Meringankan Putusan. Jurnal Ilmu Hukum No. 66 Fakultas Hukum
Unsyiah, Banda Aceh, hlm. 344.
22
LH Permana. 2016. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Pidana di
Bawah Minimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan. Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Lampung, Bandar Lampung hlm. 9.
16
E. Sistematika Penulisan
Bab II. Tinjauan Pustaka, Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat
dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari
tindak pidana, teori pertimbangan hakim dan dasar hukum tindak pidana
Bab III. Metode Penelitian, Bab ini berisi tentang Pendekatan masalah, sumber
dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Pidana
Setiap manusia adalah makhluk Tuhan yang tak pernah luput dari kesalahan,
kesalahan yang dilakukan dapat berupa perbuatan yang merugikan diri sendiri
maupun orang lain, hal tersebut tak jarang yang mengganggu ketentraman hidup
bermasyarakat. Seseorang yang melakukan kesalahan yang diatur dalam
perundang-undangan hukum pidana dapat diberikan sanksi berupa pidana.
Menurut Andi Hamzah, pidana adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap orang
yang terbukti bersalah melakukan delik berdasarkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.23
Pidana adalah penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan
kesalahan dan menjalani proses pembuktian sehingga hukuman ditentukan oleh
majelis hakim dalam sebuah putusan di pengadilan. Pidana memiliki pengertian
perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan
bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.24
Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah dihukum yang berasal
dari perkataan “wordt gestraf” , menurut Mulyatno merupakan istilah-istilah yang
konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam dengan
pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Jika “straf” diartikan sebagai
hukuman, maka “strafrecht” seharusnya diartikan hukuman-hukuman. Hukuman
adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum yang maknanya lebih luas daripada
pidana, karena mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan Hukum
Perdata.25
Pidana adalah makna sempit dari hukuman, yang mana hukuman mencakup
segala sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat, namun pidana adalah hukuman yang
diberikan pada seseorang yang melakukan tindak pidana sesuai yang diatur dalam
Hukum Pidana.26
23
Andi Hamzah. 2014. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 114.
24
JCT Simorangkir. et.al. 2013. Kamus Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114.
25
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2015. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Cetakan
Ketiga. Alumni, Bandung, hlm 1.
26 Tri Andrisman. 2017. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana
menurut P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua
unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur
Unsur subjektif dari suatu tindak pidana menurut P.A.F Lamintang dkk adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan
c. Macam-macam maksud atau oogmerk
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad
e. Perasaan takut atau vress.
Unsur objektif dari suatu tindak pidana menurut P.A.F Lamintang dkk adalah:
a. Sifat melanggar hukum
b. Kualitas dari si pelaku
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.28
suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang
jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata
karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
27
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 2012. Op.Cit, hlm.193.
28
Ibid, hlm.194.
29
Moeljatno. 2013. Asas Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta, hlm, 93.
20
2. Jenis-jenis Pidana
a. Pidana Pokok:
1) Pidana Mati
2) Pidana penjara
3) Kurungan
4) Denda
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim. 30
a. Pidana Mati
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap
berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana,
pencurian dengan kekerasan, pemberontakan yang diatur dalam Pasal 124
KUHP.
b. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa
hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan
karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih
ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimum satu hari dan
maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHP yang
menyatakan:
a) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
b) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan
paling lama lima belas Tahun berturut-turut.
c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
Tahun berturut-turut dalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih
antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu
tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu. begitu juga dalam
hal batas lima belas Tahun dapat dilampaui karena pembarengan
(concursus), pengulangan (residive) atau Karena yang telah ditentukan
dalam Pasal 52.
30
Leden Marpaung. 2012. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta,
hlm. 108.
21
d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua
puluh tahun.
c. Kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain,
dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa
peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur,
selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP
yang menyatakan:
1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama
satu Tahun.
2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu Tahun empat
bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan
kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada Pasal 52 dan 52 a.
d. Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan
terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif.
Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua
puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan. Mengenai
hukuman denda diatur dalam Pasal 30 KUHP, yang menyatakan:
1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti
dengan hukuman kurungan.
3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-
kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
4) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga
setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih
tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari,
akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.
5) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan
dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan
kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan Pasal 52
dan 52a.
6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.
Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau
22
(3) Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena
undang-undang umum.
(4) Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau
pengampu pengawas atas orang lain yang bukan anaknya sendiri.
(5) Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri.
(6) Melakukan pekerjaan tertentu.
b) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila
dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-
mata berkuasa melakukan pemecatan itu.
Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang
dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang
dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang
ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang
23
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua jenis
pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat
jenis pidana, dan pidana tambahan terdiri atas tiga jenis pidana.
B. Pertanggungjawaban Pidana
31
Romli Atmasasmita. 2012. Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung, hlm.
65.
32
S.R Sianturi. 2015. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
Ahaem-Petehaem, Jakarta, hlm. 25.
33
Ibid, hlm. 246
34
Ibid, hlm. 247-248
24
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,
hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun
bertentangan dengan hukum, dan merugikan masyarakat, untuk itulah maka maka
sebab timbulnya kejahatan dapat dijumpai dalam berbagai faktor, dimana suatu
Secara garis besar faktor-faktor penyebab kejahatan dapat dibagi dalam dua
bagian, yang pertama faktor yang bersumber dari dalam diri individu (intern) yang
mana dibagi lagi menjadi faktor intern yang bersifat umum dan faktor intern yang
bersifat khusus.Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor yang bersumber dari
luar individu (ekstern). Faktor intern yang bersifat khusus berkaitan dengan
keadaan psikologis (masalah kepribadian sering menimbulkan perilaku
menyimpang). Sifat khusus yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan adalah
mental dan daya inlegensi yang rendah, faktor intern yang bersifat umum meliputi
pendidikan sedangkan faktor yang bersumber dari luar luar diri individu adalah
faktor lingkungan. 35
Orang yang memiliki mental rendah apabila terus mengalami tekanan dari luar
35
Soedarto. 2009. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung, hlm. 56,
25
mental berhubungan erat dengan daya intelegensi, intelegensi yang tajam dapat
akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, sehingga orang itu akan
merasa semakin jauh dari kehidupan masyarakat, dan tidak sanggup melakukan
sesuatu, sehingga orang tersebut akan merasa tertekan dan mencari jalan sendiri
Faktor intern sebab timbulnya kejahatan yang bersifat umum adalah rendahnya
norma dan aturan membuat orang tersebut tidak dapat membedakan mana yang
benar dan mana yang salah dari persepektif norma yang ada di masyarakat.
bisa didapat melalui interaksi dengan masyarakat disekitarnya atau melalui sarana
belajar yang lain. Dengan menguasai kemampuan khusus, maka individu akan
26
Minimnya mata pencaharian sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan,
Individu yang memiliki keahlian dalam hal ini menggunakan keahliannya untuk
pencaharian dengan cara menyimpang dari aturan yang ada, misalnya pencurian
dengan kekerasan atau biasa disebut dengan begal, individu tersebut memiliki
Hal ini sesuai dengan pendapat Soejono yang merumuskan tindak pidana sebagai
perbuatan yang sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat
itu juga, maka masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan
ketertibannya, masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama badan yang
berwenang menanggulangi tindak pidana. 36
terjadinya tindak pidana, maka kepada masyarakat juga di bebankan untuk turut
semaksimal mungkin.
D. Pertimbangan Hakim
36
Soedjono D. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Grafindo Persada. Jakarta, hlm. 26.
37
Mukti Arto. 2016. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm.140.
27
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian,
dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam
pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan
suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar
terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak. Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya
juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut
semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/ diadili
secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang
terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/ tidaknya tuntutan tersebut dalam amar
putusan. 38
teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil
penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah
merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak
(impartial jugde) Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Istilah
tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan
putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak
berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1): “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. 41
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak
memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu
yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap
peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak
kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
40
Andi Hamzah. 2015. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta, hlm.94.
41
Ibid, hlm.95.
29
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin
pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim
dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
putusan harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang
tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat juga faktor lain yang
Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu
mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat
Dalam menjatuhkan hukuman, hakim terikat oleh aturan hukum yang dijadikan
hukum berkisar antara straf minimal dan straf maksimal. Kekuatan hukum ini
tidak memiliki dasar hukum artinya putusan tersebut tidak sesuai dengan aturan
hukum, dan bila ada kejanggalan dalam putusan yang dijatuhkan hakim
putusan bila ada kekeliruan baik dari hakim maupun dari terdakwa, serta
untuk mengulang agar dicapai yang namanya kebenaran substansi, dengan begitu
putusan dapat batal demi hukum bila terdakwa mengajukan upaya hukum ke
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan
pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum
itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan
hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan semata-mata untuk kepastian. 44
42
Andi Hamzah. 2015. Op. Cit, hlm.102.
43
Riduan Syahrani. 2016. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung,
hlm.23.
44
Achmad Ali. 2015. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Gunung Agung. Jakarta, hlm.82-83.
31
E. Dasar Hukum Tindak Pidana Kepemilikan Benda Tajam
Delik penguasaan tanpa hak senjata penikam/penusuk diatur dalam Pasal 2 Ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 serta Undang-Undang
yang berkaitan dengannya. Dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Pasal 2
(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai
dalam miliknya, menyimpan, mengankut, menyembunyikan, mengunakan,
atau mengeluarkan dari indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam,
atau senjata penusuk (Slag, steek of stoot wapen), di hukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sepuluh tahun
(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk
dalam Pasal ini, tidak termasuk barangbarang yang nyata-nyata dimasukkan
untuk dipergunakan guna pertanian atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang
nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau
barang ajaib (merkwaardigheid)
Setelah melihat dasar hukum Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Darurat
Nomor 12 tahun 1951 tentang delik penguasaan tanpa hak senjata api, amunisi
atau sesuatu bahan peledak, senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata
penusuk dapat diuraikan unsur-unsurnya:
(1) Barang siapa.
Di dalam setiap rumusan pasal-pasal KUHPidana maupun tindak pidana,
unsur “barang siapa” merupakan sebuah kata yang penting di dalam melihat
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Sebagai sebuah kata “barang
siapa” maka memerlukan kajian yang cukup serius dalam asas kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana dalam upaya pembuktian.
(2) Tanpa hak.
Dengan melihat rumusan kata-kata tanpa hak dalam delik ini, tersirat suatu
pengertian bahwa tindakan/perbuatan sipelaku/Terdakwa adalah bersifat
melawan hukum, walaupun di dalam delik ini tidak dirumuskan unsur”bersifat
melawan hukum”(dalam hal ini menganut bersifat melawan hukum militer
materiil).
mengenai sanksi yang akan diberikan tergantung pada hakim yang memutuskan
32
perkara tersebut. Sanksi yang diberikan juga pengaruhi dari jenis senjata tajam
dan kegunaan senjata tajam yang dibawa oleh pelaku. Karna dalam hal ini jenis
jenis serta kegunaan dari senjata tajam yang beragam dan budaya yang di miliki
oleh Indonesia. Dalam hal ini kepemilikan senjata tajam yang digunakan oleh
petani tidak terkena sanksi selama tidak ada dukungan tindakan pidana lain
hukum. Dalam hal ini sanki yang diberikan merupakan salah satu alat untuk
membuat efek jera terhadap pada pelaku kepemilikan senjata tajam yang dapat
meresahkan warga lain atau rasa terancamnya masyarakat lain, karena dalam hal
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
penikam atau penusuk berupa badik dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur
2. Pendekatan Empiris
1. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari penulisan kepustakaan
45
Achmad Yulianto dan Mukti Fajar. 2015. Dualisme Penelitian hukum Normatif Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 76.
34
2. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data
Sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan (library
Amandemen.
1948.
Indonesia (KUHP).
Republik Indonesia.
Indonesia.
Indonesia.
46
Amirudin dan Zainal Asikin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 58.
35
g) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah
2) Bahan Hukum Sekunder yaitu terdiri dari karya ilmiah, jurnal penelitian,
makalah dan tulisan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan masalah yang
3) Bahan Hukum Tersier merupakan data pendukung yang berasal dari informasi
dari media masa, Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum maupun data-
data lainnya.
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung terhadap objek penelitian
47
Abdulkadir Muhammad. 2014. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya, Bakti,
Bandung, hlm. 151.
36
peraturan hukum dan bahan hukum lain yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.48
Jumlah : 3 orang
Setelah data diperoleh baik data primer maupun data sekunder, kemudian data
48
Zainuddin Ali. 2016. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika Offset, Jakarta, hlm. 69..
49
Burhanudin Ashofa. 2016. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 58.
37
D. Analisis Data
secara yuridis kualitatif yaitu setelah data didapat diuraikan secara sistematis dan
50
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim. 2018. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan
Empiris. Prenada Media, Jakarta, hlm. 90.
38
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA
KEPEMILIKAN SENJATA PENIKAM ATAU PENUSUK
BERUPA BADIK
(Studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)
Senjata penikam yang lazimnya terpikir tentang benda atau yang digunakan untuk
mempertahankan diri atau menyerang pihak lain. Benda atau alat yang dapat
difungsikan sebagai senjata tapi tak digunakan untuk keperluan pertahanan diri
atau menyerang, memiliki sebutan sendiri yang bermakna netral. Misalnya, pisau
atau parang/golok adalah nama netral untuk alat pemotong. Namun kalau
digunakan untuk menyerang orang lain maka pisau atau parang/golok tersebut
berubah sebutan menjadi senjata tajam, akan halnya pistol, apa lagi mortir tetaplah
senjata karena memang dari awal mula dibuat untuk kegunaan menyerang pihak
Pedang dan samurai adalah senjata, karena dibuat untuk keperluan menyerang.
Jadi, alat-alat atau benda yang dibuat untuk kegunaan menyerang pihak lain oleh
upaya membela diri atau untuk melumpuhkan dan membunuh. Tindak kriminal
menarik dikaji oleh karena kuantitasnya, akan tetapi juga termasuk nilai peran
dominan norma hukum substansi siri’ dalam kaitannya dengan kewajiban setiap
39
Beda halnya dengan kejahatan, telah diakui secara umum bahwa kejahatan telah
negara di dunia ini. Hal ini bukan saja terdapat di negra-negara berkembang,
tajam bagi para pelakunya. Hal ini menimbulkan akibat yang lebih parah bagi
korbannya akibat dari penggunaan senjata tajam dalam suatu kejahatan tidak
senjata api dan bahan peledak di dalamnya juga mengatur masalah senjata tajam.
Oleh karena itu usaha preventif yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal
Berdasarkan hal tersebut maka perlu ada pengawasan khusus dalam hal
40
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kurniawan Fadly, selaku Jaksa di
dalam wujud tanggapnya terhadap perlindungan warga negara. Hal ini juga
hukum pidana dimana perbuatan dan tindakkan yang nyata-nyata telah dilarang
dalam hukum pidana serta mempunyai sanksi pidana yang cukup berat namun
mempunyai keadaan sosial, budaya, dan kultur yang berbeda-beda, hal itu
menyebabkan kejahatan disatu tempat berbeda dengan tempat lainnya. Maka dari
itu negara harus menegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya
yaitu: pertama faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi
pada undang-undang saja, kedua faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga faktor sarana atau fasilitas yang
dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, kelima faktor kebudayaan, yakni
41
sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
Senjata tajam tidak hanya digunakan untuk melindungi diri dari hewan buas
namun juga digunakan untuk berperang melawan musuh. Senjata juga bisa
sebagai tanda adanya sebuah perkembangan kebudayaan suatu kaum yang juga
mengalami pergeseran nilai-nilai, seperti keris sudah bergeser nilainya dari alat
berperang menjadi collector item dan benda pusaka. Pisau, golok, kampak, celurit
dari yang tadinya perkakas pada saat-saat tertentu dapat menjadi alat untuk
sosial primitif dan modern antar kelompok adalah salah satu faktor terjadinya
Senjata tajam, lazimnya gambaran tentang benda atau yang digunakan untuk
mempertahankan diri atau menyerang pihak lain. Benda atau alat yang dapat
difungsikan sebagai senjata tapi tak digunakan untuk keperluan pertahanan diri
atau menyerang, memiliki sebutan sendiri yang bermakna netral. Misalnya, pisau
atau parang/golok adalah nama netral untuk alat pemotong. Namun kalau
digunakan untuk menyerang orang lain maka pisau atau parang/golok tersebut
berubah sebutan menjadi senjata tajam. Begitu pun dengan pedang dan samurai
adalah senjata tajam atau penikam, karena dibuat untuk keperluan menyerang.
Jadi, alat-alat atau benda yang dibuat untuk kegunaan menyerang pihak lain oleh
42
Pelarangan dalam penguasaan senjata tajam telah menjadi masalah klasik yang
sudah sangat lama diterapkan mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan dari
sejata tajam atau sejenisnya yang dapat mendorong niat atau keinginan seseorang
untuk melakukan tindak pidana lain seperti tindak pidana kekerasan terhadap
orang lain. Terdapat banyak tindak kriminal dalam bentuk kekerasan dengan
menyerang orang lain, dimana niat jahat tersebut akan mudah timbul jika terdapat
Adat istiadat biasanya berkembang lama dalam masyarakat dan karena sudah
berkembang lama dalam masyarakat, maka dengan sendirinya menjadi suatu sulit
diubah atau ditinggalkan. Selain itu, kenyataan sosial dalam masyarakat terdapat
pula pola-pola perilaku kelompok masyarakat tertentu yang tidak sejalan dengan
wilayah atau daerah tertentu, bahkan merupakan ciri khas serta identitas bagi
tanpa melalui prosedur penanggulangan yang terpadu dari aparat penegak hukum
1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia dahulu Nomor 8 Tahun
43
yang dijadikan Undang-Undang atas dasar Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
menjadi sulit akan tetapi semakin hari kepemilikan senjata tajam dan peredaran
senjata tajam semakin marak dan bebas, contoh dari bebasnya peredaran senjata
tajam ialah siapa saja dan dimana saja dapat membeli ataupun menjual senjata
tajam tanpa pengawasan, dan senjata tajam dapat pula dijumpai di media online.
banyak sekali terjadi di Indonesia yang dimana senjata tajam tersebut digunakan
membegal, dan kejahatan lainnya. Razia terkait penyalahgunaan senjata tajam ini
44
terkait senjata api dan senjata tajam, senjata api diatur pada Pasal 1 dan senjata
88/Pid.Sus/2021/PN Gdt menyatakan terdakwa Cipto Waluyo bin Dul Basir (alm)
tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana tanpa hak menguasai dan membawa senjata penikam atau senjata penusuk
karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan,
menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa,
ditahan serta menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda motor Honda
Beat putih nopol BE 4650 RJ dikembalikan kepada Terdakwa Cipto Waluyo bin
Dul Basir (alm.), 1 (satu) buah senjata tajam jenis badik dengan 2 (dua) bilah mata
pisau berkerangka coklat dan panjang bilah 30 cm, 2 (dua) liter minuman keras
Alasan selanjutnya yang dapat membuat senjata tajam diperbolehkan ialah dengan
hukum ialah bangunan gedung yang berfungsi sebgai tempat tinggal yang layak
huni, sarana pembinaan keluarga, cermin harkat dan martabat penghuninya, serta
aset bagi pemiliknya. kemudian pekerjaan rumah tangga ini sendiri ialah segala
kegiatan pekerjaan yang dimana dilakukan di dalam rumah itu sendiri. dari
pengertian tersebut dapat dilihat bahwa senjata tajam yang dimana alasannya
45
digunakan untuk menunjang pekerjaan di rumah maka senjata tajam tersebut
diperbolehkan dengan alasan bahwa senjata tersebut sesuai dengan Pasal 2 Ayat
Senjata tajam dalam penelitian ini ialah senjata tajam yang diartikan dalam arti
yang lebih spesifik yaitu senjata tajam yang dimana senjata tajam tersebut ialah
senjata tajam yang dapat digunakan untuk memotong atau menyayat bukan
sekedar senjata tajam yang digunakan untuk bertahan ataupun hanya sekedar
mengatur dua subjek hukum yaitu orang (Natuurlijk person) dan Korporasi atau
badan hukum. Seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku atau subjek tindak
subjek tindak pidana sebenarnya terlihat dari rumusan-rumusan pidana yang ada
di KUHP yang dimana pidana atau sanksi yang ada dalam KUHP yaitu berupa
hukuman penjara, kurungan dan denda yang ke semua sanksi tersebut hanya dapat
Sanksi yang dijatuhkan pada pelaku penyalahgunaan senjata tajam dapat dilihat
salah satu perbuatan yang diatur pada pasal tersebut dapat diancam pidana penjara
12/Drt/1951.
46
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban
pidana pelaku tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan dan menetapkan masa
penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangi
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
pidana atau hukuman yang akan diberikan kepada terdakwa. Pertimbangan hakim
maka hakim harus mengambil keputusan yang sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat.
terdakwa, alat bukti, syarat subjektif dan objektif seseorang dapat dipidana, hasil
memberatkan.
47
1. Pertimbangan Yuridis
Hakim secara yuridis, tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila
terdakwalah yang bersalah melakukan (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah
yang dimaksud adalah : (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d)
petunjuk, (e) keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184). Selain itu dipertimbangkan pula
penahanan yang dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
2. Pertimbangan Filosofis
kepada nilai keadilan terdakwa dan korban. Sedangkan menurut Bagir Manan,
mencerminkan nilai filosofis atau nilai yang terdapat dalam cita hukum
48
(rechtsidee) diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan. Keadilan secara
umum diartikan sebagai perbuatan atau pelaku yang adil, sementara adil
adalah tidak berat sebelah, tidak memihak yang benar. Keadilan dalam filsafat
sebagaimana yang tertuang dalam nilai-nilai dasar Negara, hal ini dapat
3. Pertimbangan Sosiologis
pidana. Selain latar belakang dari terdakwa, pertimbangan yang tidak bisa
pidana yang dilakukan dan keadaan masyarakat pada saat tindak pidana ini
49
dilakukan. Pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang
samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan
sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.
Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim
yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi/Mahkamah Agung.
perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu
yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang
benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata
50
Berdasarkan hasil wawancara dengan Suryanti, selaku Hakim di Pengadilan
sebagai berikut:
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang
putusan.
hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan
51
dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para
pihak.
teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil
penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah
merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur
yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan
Pasal 24 Ayat (1) dan penjelasan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
52
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah mahkamah konstitusi.51
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak
Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan
putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak
memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu
yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap
peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak
kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
51
Andi Hamzah. 2015. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta, Jakarta, hlm.94.
53
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin
pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim
dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
putusan harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan
yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat juga faktor lain yang
Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu
mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
54
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
undangan yang berlaku dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.
Dalam menjatuhkan hukuman, hakim terikat oleh aturan hukum yang dijadikan
hukum berkisar antara straf minimal dan straf maksimal. Dalam perkara anak
penjatuhan pidana denda yang dikenakan paling banyak ½ (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Kekuatan hukum ini tidak
memiliki dasar hukum artinya putusan tersebut tidak sesuai dengan aturan
hukum, dan bila ada kejanggalan dalam putusan yang dijatuhkan hakim
putusan bila ada kekeliruan baik dari hakim maupun dari terdakwa, seta untuk
putusan dapat batal demi hukum bila terdakwa mengajukan upaya hukum ke
55
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.52
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan
pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum
itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan
hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan semata-mata untuk kepastian.53
Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang
Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.
putusan terhadap tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa
mengulangi perbuatannya.
52
Riduan Syahrani. 2016. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.23.
53
Achmad Ali. 2015. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Gunung Agung, Jakarta, hlm.82-83.
56
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
tersebut di atas oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan 3 (tiga) bulan dan menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan
yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
mengulangi perbuatannya.
57
B. Saran
1. Pihak penuntut umum dan majelis hakim harus lebih jeli dalam hal memeriksa
dapat dengan menjerat pelaku tindak pidana tanpa hak membawa, menguasai
senjata penikam atau penusuk lainnya serta lebih jeli dalam menentukan
jawab serta tidak adanya alasan pembenar atau alasan yang menghapus
2. Putusan yang ringan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim bisa saja membuat
hatian oleh penegak hukum baik oleh jaksa sebagai penuntut umum dalam
menyusun surat dakwaan dan tuntutan agar dapat menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam memutus suatu perkara, maupun bagi hakim agar putusan
58
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
A. Josias Simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti. 2015. Senjata Api dan
Penanganan Tindak Kriminal, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Achmad Yulianto dan Mukti Fajar. 2015. Dualisme Penelitian hukum Normatif
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Amirudin dan Zainal Asikin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra
Aditya Bhakti, Bandung.
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim. 2018. Metode Penelitian Hukum: Normatif
dan Empiris. Prenada Media, Jakarta.
Mukti Aro. 2014. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita. 2017. Kejahatan dalam Masyarakat dan
Pencegahannya. Bina Aksara, Jakarta.
Yulies Tiena Masriani. 2014. Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
59
Zainab Ompu Jainah. 2018. Kapita Selekta Hukum Pidana. Tsmart. Bandar
Lampung.
Zainuddin Ali. 2016. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika Offset, Jakarta.
C. SUMBER LAINNYA
Andi Achmad Faridz Subhan. 2013. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana
Tanpa Hak Membawa Menguasai Senjata Penikam Atau Penusuk (Studi
Kasus Putusan Nomor 733/Pid.B/2013/PN.MKS). Jurnal Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
Refa Gianza Hearviano. 2019. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana
Kepemilikan Senjata Api Ilegal (Studi putusan Nomor 853/Pid.B/2017/PN
Pdg dan putusan Nomor 129/Pid.Sus/2016/PN Kag), Jurnal Penelitian
Hukum Universitas Andalas, Padang.
61
Reko Gustiono. 2019. Penegakan Hukum Terhadap Kepemilikan Senjata Api
Ilegal Menurut Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 dan Hukum
Islam (Studi Kasus Di Kepolisian Resort Tanjung Jabung Timur). Jurnal
Program Studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
62