Anda di halaman 1dari 74

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA

KEPEMILIKAN SENJATA PENIKAM ATAU PENUSUK


BERUPA BADIK
(Studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG

Oleh:
DIMAS PRATAMA PUTRA
NPM. 18211181

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG
2022
Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU
TINDAK PIDANA KEPEMILIKAN SENJATA
PENIKAM ATAU PENUSUK BERUPA BADIK
(Studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)

Nama Mahasiswa : Dimas Pratama Putra

NPM : 18211181

Program Studi : Ilmu Hukum

Konsentrasi : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Lukmanul Hakim, S.H., M.H. Okta Ainita, S.H., M.H.

2. Ketua Program Studi Hukum

Recca Ayu Hapsari, S.H., M.H.

ii
MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua Penguji : Dr. Lukmanul Hakim, S.H., M.H. ........................

Penguji Utama : Dr. S. Endang Prasetyawati, S.H., M.H. ........................

Penguji : Aprinisa, S.H., M.H. ........................

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Erlina B, S.H., M.H.

Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 4 Maret 2022

iii
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA
KEPEMILIKAN SENJATA PENIKAM ATAU PENUSUK
BERUPA BADIK
(Studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)

ABSTRAK

Oleh
DIMAS PRATAMA PUTRA
NPM. 18211181

Setiap orang yang yang membawa senjata tajam tanpa hak menguasai dapat
dikenakan ancaman pidana, oleh sebab itu jika tidak untuk keperluan pekerjaan,
ataupun tugas jabatan lebih baik tidak perlu membawa senjata tajam ketika
berpergian adapun alas untuk jaga diri, tidak dapat diterima sebagai alasan
pembenaran apabila suatu ketika tertangkap membawa senjata tajam, dengan
demikian kiranya setiap orang dapat bersikap bijak agar tidak terjerat ancaman
pidana membawa senjata tajam tanpa hak. Salah contoh kasus yang terjadi dalam
hubungannya dengan tindak pidana kepemilikan senjata penikam terdapat dalam
studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt dimana terdakwa Cipto Waluyo
Bin Dul Basir (Alm).

Permasalahan dalam penelitian adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana


pelaku tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik
berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt dan bagaimana
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana
kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik berdasarkan Putusan
Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt.

Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris.


Sumber data normatif dan empiris. Pengumpulan data melalui penelitian
kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Analisis
data yang digunakan adalah yuridis kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa Pertanggungjawaban


pidana pelaku tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa
badik berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt adalah dengan
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan dan menetapkan masa
penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangi
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Pertimbangan hukum Hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau
penusuk berupa badik berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt

iv
Dimas Pratama Putra
sebagai berikut hal yang memberatkan adalah perbuatan pelaku meresahkan
masyarakat dan mengancam keselamatan orang lain, sedangkan hal yang
meringankan adalah terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana,
terdakwa menyesali perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan
berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

Saran, pihak penuntut umum dan majelis hakim harus lebih jeli dalam hal
memeriksa perkara sehingga dapat mengurai dengan tegas unsur-unsur tindak
pidana tanpa hak membawa, menguasai senjata penikam atau penusuk, sehingga
dapat dengan menjerat pelaku tindak pidana tanpa hak membawa, menguasai
senjata penikam atau penusuk lainnya serta lebih jeli dalam menentukan
pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana, serta harus
memperhatikan adanya kesalahan yang dilakukan, kemampuan bertanggung
jawab serta tidak adanya alasan pembenar atau alasan yang menghapus
pertanggungjawaban bagi terdakwa dalam menerapan Pasal 2 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12/Drt/1951.LN Nomor 78/1951. Putusan yang ringan yang
dijatuhkan oleh Majelis Hakim bisa saja membuat pelaku tidak merasakan efek
jera dan dapat sewaktu-waktu mengulangi perbuatannya kembali. Oleh karena itu,
diperlukan keseriusan dan kehati-hatian oleh penegak hukum baik oleh jaksa
sebagai penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan agar dapat
menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, maupun bagi
hakim agar putusan tersebut dapat mengandung nilai-nilai keadilan dan
kemanfaatan hukum

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana; Pelaku; Tindak Pidana; Senjata


Penikam atau Penusuk; Badik.

v
MOTO

Bersyukurlah karna kegagalan adalah cara tuhan mengajari kita arti kesungguhan.

(Penulis)

vi
PERSEMBAHAN

Teriring Doa dan terucap syukur kepada-Mu Ya Allah Tuhan yang maha
mengetahui dan berkehendak.
Penulis persembahkan skripsi ini teruntuk Orang tua tercinta.Terimakasih
Ayahanda Sugianto dan Ibunda Darmi yang selalu memberikan suplai dan
dukungan sehingga penulis mendapatkan gelar Sarjana.
Kepada ibu/bapak dosen pembimbing
Kepada kawan kawan seperjuangan HIMATOL18 terutama penghunni kost
ismiyati terimakasih untuk 3,5 Tahun canda dan tawanya
Kepada Trabas Mlehoy dan Ezy Esport telah menemani menghilangkan
kejenuhaan dan me refresh pikiran di saat mengerjakan skripsi
Teruntuk perempuan yang selalu memberi semangat, motivasi, dukungan dan
dorongan kepada saya
Agar cepat menyelesaikan skripsi ini
Motto jangan membenci dirimu sendiri karena itu sudah tugas orang lain.

vii
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Dimas Pratama Putra, dilahirkan di Bandar Lampung 27 April

2000 dan merupakan anak pertama dari Bapak Sugianto dan Ibu Darmi . Adapun

Pendidikan Formal yang telah ditempuh penulis sebagai berikut: Sekolah Dasar

Kartika II-5 di Kota Bandar Lampung, Lampung, pada Tahun 2006 sampai

dengan Tahun 2012. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kartika II-2 di Kota

Bandar Lampung, Lampung, pada Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2015.

Sekolah Menengah Atas (SMA) YP UNILA di kota Bandar Lampung, Lampung,

pada Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2018. Pada Tahun 2018, penulis

melanjutkan Pendidikan Program Sarjana (S1) di Program Studi Ilmu Hukum,

Fakultas Hukum, Universitas Bandar Lampung (UBL) di Bandar Lampung,

Lampung, dengan mengambil Konsentrasi Hukum Pidana.

Bandar Lampung, Maret 2022

Penulis

viii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas

karunia dan rahmat yang tiada terhitung yang telah dilimpahkan kepada seluruh

umat-Nya di dunia ini. Atas kehendak-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi

ini, yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana

Kepemilikan Senjata Penikam atau Penusuk Berupa Badik (Studi Putusan

Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)”.

Pada pembuatan skripsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan dari berbagai

pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dra. Hj. Sri Hayati Barusman selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan

Administrasi Lampung.

2. Bapak Dr. Andala Rama Putra, S.E., M.Ac selaku Ketua Yayasan

Administrasi Lampung

3. Prof. Dr. Ir. M. Yusuf Sulfarano, MBA, selaku Rektor Universitas Bandar

Lampung.

4. Bapak Dr. Bambang Hartono, S.H, M.Hum, selaku Wakil Rektor III

Universitas Bandar Lampung.

5. Ibu Dr. Erlina B, S.H, M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Bandar Lampung dan selaku Ketua Penguji Skripsi.

6. Ibu Recca Ayu Hapsari, S.H, M.H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung.

ix
7. Bapak Anggalana, S.H, M.H. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung.

8. Bapak Dr. Lukmanul Hakim, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama Skripsi

yang telah banyak memberikan motivasi dan masukan dalam penyusunan

skripsi ini.

9. Ibu Okta Ainita, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi yang telah banyak

memberikan motivasi dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

10. Ibu Dr. S. Endang Prasetyawati, S.H., M.H., selaku Penguji Utama Skripsi.

11. Ibu Aprinisa, S.H., M.H., selaku Penguji Skripsi.

12. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Bandar Lampung

Akhirnya dengan penuh harapan, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Terimakasih

Bandar Lampung, Maret 2022

Penulis

x
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
ASBTRAK ...................................................................................................... iv
MOTO ............................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN........................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ............................... 7
1. Permasalahan Penelitian .......................................................... 7
2. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 7
1. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
2. Kegunaan Penelitian ................................................................ 8
D. Kerangka Konsepsional ................................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ................................................................... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian dan Jenis-Jenis Pidana................................................. 19
B. Pertanggungjawaban Pidana ......................................................... 24
C. Faktor Penyebab Tindak Pidana.................................................... 25
D. Teori Pertimbangan Hakim ........................................................... 27
E. Dasar Hukum Tindak Pidana Kepemilikan Benda Tajam ............ 32

BAB III METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Masalah ....................................................................... 34
1. Pendekatan Yuridis Normatif .................................................. 34
2. Pendekatan Empiris ................................................................. 34

xi
B. Sumber dan Jenis Data ................................................................... 34
1. Sumber Data ............................................................................ 34
2. Jenis Data................................................................................. 35
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................... 36
1. Prosedur Pengumpulan Data ................................................... 36
2. Prosedur Pengolahan Data ....................................................... 37
D. Analisis Data .................................................................................. 38

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK


PIDANA KEPEMILIKAN SENJATA PENIKAM ATAU
PENUSUK BERUPA BADIK (Studi Putusan Nomor:
88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)

A. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kepemilikan


Senjata Penikam atau Penusuk Berupa Badik Berdasarkan
Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt ..................................... 39
B. Pertimbangan hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Terhadap Tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau
penusuk berupa badik Berdasarkan Putusan Nomor:
88/Pid.Sus/2021/PN Gdt ................................................................ 47

BAB V PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................ 57
B. Saran ............................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum bukan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan atau alat yang akan

membawa kita kepada ide yang dicita-citakan, dengan demikian, hukum

seyogianya harus senantiasa mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa. Hukum

harus dibangun untuk tujuan-tujuan mengakhiri suatu tatanan sosial yang tidak

adil dan menindas hak-hak asasi manusia. Untuk mencapai cita-cita hukum yang

demikian, hukum tidak dapat dilepaskan dari pemahaman dan pengetahuan

terhadap masyarakat bagaimana yang dicita-citakan dan politik hukum yang

bagaimana yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang dicita-

citakan itu.

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan


barang siapa yang melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar undang- undang
maka ia akan dihukum. Selain itu tindak pidana juga merupakan suatu bentuk dari
pelanggaran kaidah sosial. Pelanggaran ditentukan dalam batas nilai-nilai yang
dijunjung tinggi pada suatu masyarakat.1

Berdasarkan uraian di atas, tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan dengan

sepenuhnya. Hukum sendiri merupakan sebuah peraturan atau tata tertib guna

menjaga serta mengatur tingkah laku masyarakat, menjaga ketertiban serta

menghindari terjadinya kekacauan dalam suatu negara, hukum sendiri biasanya

berbentuk norma dan juga sanksi.

Hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial


bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian, layak jika dikatakan, bahwa hukum

1
Yulies Tiena Masriani. 2014. Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60
adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat. tetapi hukum bukanlah bangunan
sosial yang statis, melainkan ia bisa berubah dan perubahan itu terjadi karena
fungsinya untuk melayani masyarakat. Perubahan yang paling nyata
terjadimanakala diikuti sejarah sosial suatu masyarakat dan bagaimana
dampaknya terhadap hukum yang berlaku di situ.2

Berdasarkan uraian di atas, maka hukum melindungi kepentingan seseorang

dengan cara mengalokasikan suatu kekuasan kepadanya untuk bertindak dalam

rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara

terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang

demikian itulah yang disebut hak.

Maraknya tingkat kriminalitas yang berkaitan dengan senjata akhir-akhir ini bisa
dikatakan sudah mencapai tingkat meresahkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti kurangnya pengawasan oleh aparat yang berwenang terhadap
peredaran senjata ilegal di kalangan masyarakat sipil. Selain itu bagi masyarakat
sipil yang ingin memiliki senjata, proses kepemilikan bisa dilakukan dengan
proses yang relatif mudah dan juga dengan biaya yang terbilang murah. Aksi-aksi
kekerasan massa dan tindak kriminal yang disertai kekerasan sepertinya telah
menjadi tren di negeri ini.3

Tindak pidana terkait senjata yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah

pelanggaran terhadap hukum positif yaitu hukum pidana. Kejahatan dan

pelanggaran yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa dilihat

sebagai hukum pidana objektif yaitu suatu tindak pidana yang digolongkan

menurut ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri dan hukum pidana subjektif yaitu

ketentuan-ketentuan di dalam hukum mengenai hak penguasa menerapkan hukum.

2
Recca Ayu Hapsari. 2016. Pertanggungjawaban Negara terhadap Pengingkaran
Keadilan dalam Arbritase Internasional, Journal Pranata Hukum, Vol. 11, No, 1, hlm. 20.
3
Dedy Djunaedy. 2019. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Tanpa Hak Memiliki Senjata Api
oleh Warga Sipil Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951; (Studi
Kasus Perkara Nomor: 11/Pid.Sus/2014/PN.JktTim.). Jurnal Tesis Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya.
2
Kejahatan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah pelanggaran terhadap

hukum positif yaitu hukum pidana. Kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa dilihat sebagai hukum pidana objektif

yaitu suatu tindak pidana yang digolongkan menurut ketentuan-ketentuan hukum

itu sendiri dan hukum pidana subjektif yaitu ketentuan-ketentuan di dalam hukum

mengenai hak penguasa menerapkan hukum.

Menyikapi perkembangan kebutuhan akan rasa aman dan tenteram tersebut,

pemerintah Indonesia dalam hal ini Polri mempunyai kewenangan memberikan

izin kepada warga sipil yang ingin memiliki senjata, namun pemegang izin

kepemilikan senjata seringkali mengingkari dan menyalahgunakan kepercayaan

yang diberikan aparat yang berwenang dengan cara menggunakan senjata tidak

sesuai dengan fungsinya, yaitu tidak digunakan untuk kepentingan

mempertahankan diri dari segala bahaya yang mengancam keamanan diri.

Secara umum bahwa kejahatan telah mengakibatkan kesengsaraan, penderitaan,


serta keresahan masyarakat berbagai negara di dunia ini. Hal ini bukan saja
terdapat di negara-negara miskin atau negara-negara berkembang, tetapi juga
negara-negara maju. Oleh karena itu masalah kejahatan ini telah mengundang
perhatian dari berbagai kalangan,seperti yang dikemukakan oleh Ninik
Widiyanti bahwa: “Kejahatan itu yang melanda masyarakat dunia boleh
dikatakan telah menjadi penyakit yang sangat perlu mandapatkan perawatan
segera yang menantang para pemimpin, para ahli hukum, para psikolog,
pemerintah dan lain-lain terutama orang tua untuk mencegah jangan sampai
menular pada generasi penerus yaitu anak-anak”.4

Kejahatan selalu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Walaupun kita


banyak mengetahui banyak pendapat tentang faktor penyebab terjadinya
kejahatan dalam masyarakat, namun satu hal yang pasti bahwa kejahatan

4
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita. 2017. Kejahatan dalam Masyarakat dan
Pencegahannya. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 29.
3
merupakan suatu tingkah laku manusia yang mengalami perkembangan
sejajar dengan perkembangan baik secara sosial maupun teknologi.5

Maraknya tindak pidana terutama disebabkan keinginan-keinginan manusia yang

tidak terbatas dan tidak dapat mengendalikan diri untuk menjalani kehidupan

sesuai dengan norma-norma yang wajar, sehingga terdapat dorongan yang kuat

untuk memenuhi keinginan dengan menghalalkan berbagai cara, termasuk dengan

melakukan tindak pidana.

Salah satu tindak pidana yang perlu mendapat perhatian adalah tindak pidana

membawa senjata penikam atau senjata tajam. Penguasan atau membawa senjata

penikam pada tempat dan waktu yang tidak tepat sering menjadi pertanda bahwa

akan terjadi tindak pidana lain yang akan dilakukan oleh pembawa, karena

biasanya pada kondisi tersebut fungsi sejata tajam atau untuk mempertahankan

diri atau untuk menyerang orang lain secara fisik.

Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan pertumbuhan yang


sangat pesat, tidak hanya di dunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga
dalam dunia hukum. Secara statistikal, kuantitas tindak kriminal di Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun, salah satunya kejahatan mengenai senjata.
Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup berat ketat
menerapkan aturan kepemilikan senjata untuk kalangan sipil. Ada sejumlah dasar
hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Ordonnantiettijdelije
Bijzondere Straf Bepalingen (STBL 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang
Republik Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948.6

5
Rakyu Swanabumi. 2020. Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku
Penyalahgunaan Senjata Tajam. Jurist-Diction Vol. 3 (5) Universitas Airlangga, hlm. 25.
6
Astrid Maretha. 2018. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Memiliki Senjata Api Ilegal Pada Pengadilan Negeri Bangko Jambi (Studi Putusan Nomor
177/PID.B/2017/PN.BKO dan Putusan Nomor 174/PID.B/2017/PN.BKO), Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, hlm. 14.
4
Pelarangan terhadap senjata penikam diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun

1951 tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl.

1948 No.17) dan Undang-Undang Dahulu Nomor 8 Tahun 1948. Pada Pasal 2

Ayat (1) dinyatakan:

“Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,


mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan
dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk
(slag, steek of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya
sepuluh tahun”.

Setiap orang yang yang membawa senjata tajam tanpa hak menguasai dapat

dikenakan ancaman pidana, oleh sebab itu jika tidak untuk keperluan pekerjaan,

ataupun tugas jabatan lebih baik tidak usah membawa senjata tajam ketika

berpergian adapun alas untuk jaga diri, tidak dapat diterima sebagai alasan

pembenaran apabila suatu ketika tertangkap membawa senjata tajam, dengan

demikian kiranya setiap orang dapat bersikap bijak agar tidak terjerat ancaman

pidana membawa senjata tajam tanpa hak.

Salah contoh kasus yang terjadi dalam hubungannya dengan tindak pidana

kepemilikan senjata penikam terdapat dalam studi Putusan Nomor:

88/Pid.Sus/2021/PN Gdt dimana terdakwa Cipto Waluyo Bin Dul Basir (Alm)

pada hari Jumat, Tanggal 26 Februari 2021, sekira pukul 00.30 WIB atau setidak-

tidaknya pada waktu lain di bulan Februari 2021 atau masih dalam tahun 2021

yang bertempat di Desa Lumbirejo Kecamatan Negeri Katon Kabupaten

Pesawaran atau setidak-tidaknya pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Gedong

Tataan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara telah, tanpa hak

5
memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya,

menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai

persedian padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,

menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu

senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk.

Pada Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt dimana menyatakan terdakwa

Cipto Waluyo bin Dul Basir (alm) tersebut di atas, terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak menguasai dan

membawa senjata penikam atau senjata penusuk sebagaimana dalam dakwaan

tunggal, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan, menetapkan masa penangkapan

dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, dikurangi seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan, menetapkan Terdakwa tetap ditahan serta menetapkan

barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda motor Honda Beat putih nopol BE 4650

RJ dikembalikan kepada Terdakwa Cipto Waluyo bin Dul Basir (alm.), 1 (satu)

buah senjata tajam jenis badik dengan 2 (dua) bilah mata pisau berkerangka coklat

dan panjang bilah 30 cm, 2 (dua) liter minuman keras jenis tuak dirampas untuk

dimusnahkan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana

Kepemilikan Senjata Penikam Atau Penusuk Berupa Badik (Studi Putusan

Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)

6
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kepemilikan

senjata penikam atau penusuk berupa badik berdasarkan Putusan Nomor:

88/Pid.Sus/2021/PN Gdt?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik

berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kepemilikan senjata

penikam atau penusuk berupa badik berdasarkan Putusan Nomor:

88/Pid.Sus/2021/PN Gdt.

b. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana

kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik berdasarkan

Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku

tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik

berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt.

7
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana kepemilikan senjata penikam

atau penusuk berupa badik berdasarkan Putusan Nomor:

88/Pid.Sus/2021/PN Gdt.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan

kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu

pengetahuan dan dalam bidang hukum pada umumnya, dan khususnya

Hukum Pidana.

b. Kegunaan Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

kepada praktisi hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya

untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam kasus penegakan

hukum terhadap tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau

penusuk berupa badik.

2) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di

Universitas Bandar Lampung.

D. Kerangka Konsepsional

Menurut Barda Nawawi menyatakan bahwa pengertian tindak pidana adalah


perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut
dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga
bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

8
Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenaran.7

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

menurut P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua

unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur

objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:


1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan
3. Macam-macam maksud atau oogmerk
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad
5. Perasaan takut atau vress
Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:
a. Sifat melanggar hukum
b. Kualitas dari si pelaku
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.8

Sedangkan menurut Leden Marpaung unsur tindak pidana yang terdiri dari 2 (dua)
unsur pokok, yakni:
Unsur pokok subjektif:
1) Sengaja (dolus)
2) Kealpaan (culpa)
Unsur pokok objektif:
1) Perbuatan manusia
2) Akibat (result) perbuatan manusia
3) Keadaan-keadaan
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum9

Kesalahan pelaku tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro berupa 2 (dua)


macam yakni:
a) Kesengajaan (Opzet)
Dalam Teori Kesengajaan (Opzet) yaitu mengkehendaki dan mengetahui
(willens en wettens) perbuatan yang dilakukan. Sebagian besar tindak pidana

7
Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya
Bhakti, Bandung, hlm. 152-153.
8
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 2012. Delik-Delik Khusus. Tarsito, Bandung,
hlm.193.
9
Leden Marpaung. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
295.
9
mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai 3
(tiga) macam jenis yaitu:
(1) Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)
Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai
akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.
(2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids-
Bewustzinj)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia
tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
(3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-
Bewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai
bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi
hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
b) Culpa
Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si
pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang
berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.10

Berdasarkan uraian di atas, maka semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan

dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada akan menyebabkan tersangka

tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus cermat dalam meneliti tentang

adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.

Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam
arti konkret, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan
diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses
peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau
pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang
dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan
akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau
kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan
pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai
tujuan hukum pidana.11

10
Wirjono Prodjodikoro. 2013. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika
Aditama, Bandung, hlm. 65-72.
11
Zainab Ompu Jainah. 2018. Kapita Selekta Hukum Pidana. Tsmart. Bandar Lampung,
hlm. 2.
10
Tindak pidana umum adalah tindak pidana tindak pidana dan pelanggaran yang
diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan
menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus
adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang Undang Bea Cukai,
Undang-Undang Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh
Polri, Kejaksaan, dan Pejabat Penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan
khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu
adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana
khusus, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Keimigrasian,
Peraturan Daerah, dan sebagainya.12

Menurut Teguh Prasetyo berbagai pembagian jenis delik adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana dan Pelanggaran
KUHP menempatkan tindak pidana di dalam Buku Kedua dan pelanggaran
dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan megenai apa yang disebut
tindak pidana dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu
pengetahuan untuk membiarkan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang
sepenuhnya memuaskan. Dicoba membedakan bahwa tindak pidana
merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan
wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum
yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti
pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik
undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya
saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang menngendarai kendaraan
bermotor di jalan umum, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda
motor. Di sini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.
2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan
delik dengan perumusan secara materiil)
a. Delik formil itu adalah delik yang dianggap selesai dengan
dilakukakannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya
berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah
perbuatanya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentalia (hal
yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian), Pasal
160 (penghasutan), Pasal 209- Pasal 210 (penyuapan). Jika seseorang telah
melakukan perbuatan mengambil dan seterusnya, dalam delik pencurian
sudah cukup. Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah
yang dihasut benar-benar mengikuti hastuan itu.
b. Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada akibat yang
dialarang, delik ini dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi,
bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah.
Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan) yang terpenting adalah
matinya seseoarang. Caranya boleh dengan mencekik, menusuk,
menembak, dan sebagainya.

12
Wirjono Prodjodikoro. Op. Cit , hlm. 73.
11
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen
commissa
a. Delik commisionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya
berbuat mengambil, menganiaya, menembak, mengancam, dan
sebagainya.
b. Delik ommisionis dapat dijumpai pada Pasal 552 (tidak datang menghadap
ke pengadilan sebagai saksi), Pasal 164 (tidak melaporkan adanya
pemufakatan jahat).
c. Delik per ommisionen commissa misalnya seorang ibu yang sengaja tidak
memberikan air susu terhadap anaknya yang masih bayi dengan maksud
agar anak itu meninggal (Pasal 338), tetapi dengan cara tidak melakukan
sesuatu yang seharusnya dilakukan. Keharusan menyusui bayi tidak
terdapat dalam hukum pidana. Juga seorang penjaga pintu lintasan kereta
api yang tidak menutup pintu itu sehingga menjadi kecelakaan (Pasal 164).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
a. Delik dolus: delik yang memuat unsur kesengajaan, misal: Pasal 162,
Pasal 197, Pasal 310, Pasal 338 KUHP
b. Delik culpa: delik yang memuat unsur kealpaan dengan kata karena
kealpaannya, misal: Pasal 359, Pasal 360, Pasal 195 KUHP. Di dalam
beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah “karena
kesalahannya”.
5. Delik aduan dan delik biasa (Bukan Aduan)
Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntunanya hanya
dilakukan atas dasar adanya pengadaan dari pihak yang berkepentingan atau
terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini
tidak banyak terdapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan,
tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinahan
misalnya, yang berkepentingan adalah istri dan suami yang bersangkutan.
Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang
perumpamaannya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relatif di sini
karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya
pencurian dalam keluarga (Pasal 367 Ayat (2) dan (3). Beberapa waktu lalu
ada usul agar delik perzinahan tidak lagi dimasukan sebagai delik aduan,
tetapi sebagai delik biasa. Ternyata banyak yang menantang, sebab hal itu
dapat berakibat lebih parah. Di dalam proses penangkapan, orang awam dapat
melakukan terhadap pelaku tindak pidana jika dalam keadaan tertangkap
tangan. Yaitu tertangkap ketika sedang berbuat.
6. Delik berturut-turut (voortgezet) yaitu tindak pidana yang dilakukan berturut-
turut, misalnya mencuri uang satu juta rupiah, tetapi dilakukan setiap kali
seratus ribu rupiah.
7. Delik politik yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan Negara sebagai
keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepada negara dan sebagainya (Bab
I – IV Buku II KUHP), dan juga tindak pidana subversi.13

13
Teguh Prasetyo, 2017, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan. Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi (Cetakan II). Pustaka Pelajar, Jogjakarta, hlm. 62.
12
Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam perundang-undangan tindak pidana

sering disebut dengan berbagai istilah seperti: perbuatan pidana, peristiwa pidana

dan dalam ilmu pengetahuan hukum sering disebut dengan "delik". Istilah lain

menunjuk kepada pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perkara

hukuman pidana dan lain sebagainya.

Menurut Leden Marpaung hukuman pokok telah ditentukan dalam Pasal 10


KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok:
1) Pidana Mati
2) Pidana penjara
3) Kurungan
4) Denda
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim.14

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang

dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu hukuman pokok telah ditentukan dalam

Pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Pidana terdiri atas:

a. Pidana Pokok:
1) Pidana Mati
2) Pidana penjara
3) Kurungan
4) Denda
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim.

Delik penguasaan tanpa hak senjata penikam/penusuk diatur dalam Pasal 2 Ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah
Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 No.17) dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 serta Undang-Undang yang berkaitan

14
Leden Marpaung. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 108
13
dengannya. Dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12
Tahun 1951 menegaskan:
Pasal 2
(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai
dalam miliknya, menyimpan, mengankut, menyembunyikan, mengunakan,
atau mengeluarkan dari indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam,
atau senjata penusuk (Slag, steek of stoot wapen), di hukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sepuluh tahun
(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk
dalam Pasal ini, tidak termasuk barangbarang yang nyata-nyata dimasukkan
untuk dipergunakan guna pertanian atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang
nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau
barang ajaib (merkwaardigheid).15

Setelah melihat dasar hukum Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Darurat
Nomor 12 tahun 1951 tentang Delik Penguasaan Tanpa Hak Senjata Api, Amunisi
atau Sesuatu Bahan Peledak, Senjata Pemukul, Senjata Penikam, atau Senjata
Penusuk dapat diuraikan unsur-unsurnya:
a. Barang siapa.
Di dalam setiap rumusan pasal-pasal KUHPidana maupun tindak pidana,
unsur “barang siapa” merupakan sebuah kata yang penting di dalam melihat
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Sebagai sebuah kata “barang
siapa” maka memerlukan kajian yang cukup serius dalam asas kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana dalam upaya pembuktian. Sebagai contoh pasal
362 KUHP tindak pidana pencurian, adanya kata-kata “barang siapa…”.
Sedangkan tindak pidana diluar KUHP dikenal istilah “setiap orang…”.
Kedua istilah ini baik “barang siapa” maupun “setiap orang” mempunyai
konotasi yang sama di dalam melihat kesalahan dan pertanggungjawaban.
Artinya langsung menunjuk kepada perseorangan seseorang dalam konotasi
biologis. Atau dengan kata lain adalah pertanggungjawaban manusia sebagai
person (naturalijk persoon). Namun dalam upaya pembuktian, unsur “barang
siapa/setiap orang” tidak serta merta langsung menunjuk kepada
perseorangan (naturalijk persoon). Apabila meninjau pada Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek
hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang
alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas
“sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi
dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.16

15
Gunawan. 2018. Tinjauan Yuridis Sanksi Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Tajam
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Tajam. Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan, hlm. 21.
16
Reko Gustiono. 2019. Penegakan Hukum Terhadap Kepemilikan Senjata Api Ilegal
Menurut Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 dan Hukum Islam (Studi Kasus Di
14
b. Tanpa hak.
Dengan melihat rumusan kata-kata tanpa hak dalam delik ini, tersirat suatu
pengertian bahwa tindakan/perbuatan sipelaku/Terdakwa adalah bersifat
melawan hukum, walaupun di dalam delik ini tidak dirumuskan unsur”bersifat
melawan hukum”. Namun dari kata-kata”Tanpa hak dalam perumusan delik
ini, sudah dipastikan bahwa tindakan seseorang (baik militer atau non militer)
sepanjang menyangkut masalah-masalah senjata api, munisi atau bahan
peledak harus ada izin dari pejabat yang berwenang untuk itu. Yang
dimaksudkan dengan “Tanpa Hak” berarti pada diri seseorang (si
Pelaku/Terdakwa) tidak ada kekuasaan, kewenangan, pemilikan, kepunyaan
atas sesuatu (dalam hal ini senjata, munisi atau bahan peledak). Dengan
demikian bahwa kekuasaan, kewenangan, pemilikan, kepunyaan itu baru ada
pada diri seseorang (si Pelaku/Terdakwa) setelah ada izin (sesuai Undang-
undang yang membolehkan untuk itu).17

Unsur memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya,


menyerahkan, atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
persediaan padanya, atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengankut,
menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu
senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk, yang dimaksud dengan
memasukan ke Indonesia adalah membawa masuk, mendatangkan sesuatu (dalam
hal ini senjata api, munisi atau bahan peledak) dari luar wilayah (dari negara
asing) kedalam wilayah negara RI.18

Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam
pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata. Dimaksudkan untuk
dipergunakan guna pertanian atau untuk pekerjaan rumah tangga atau untuk
kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai
tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib.19

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, dapat dilihat pengecualian yang diberikan

undang-undang ini. Senjata tajam yang dipergunakan guna pertanian atau untuk

Kepolisian Resort Tanjung Jabung Timur). Jurnal Program Studi Hukum Pidana Islam Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, hlm. 17
17
Andi Achmad Faridz Subhan. 2013. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Tanpa
Hak Membawa Menguasai Senjata Penikam Atau Penusuk (Studi Kasus Putusan Nomor
733/Pid.B/2013/PN.MKS). Jurnal Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar, hlm. 65.
18
Panji Nugraha. 2019. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Penyalahgunaan Airsoft
Gun (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun). Jurnal Tesis Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan, hlm. 14.
19
Pramudia Gilang Mahesa, 2020. Analisa Hukum Terhadap Tindak Pidana
Penyalahgunaan Senjata Tajam Tradisional. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Mataram, Mataram, hlm. 27.
15
pekerjaan rumah tangga atau melakukan pekerjaan lainnya. Jika dicontohkan

secara sederhana, seorang petani yang membawa celurit untuk membersihkan

rumput di sawah, tidak bisa dikenakan ancaman pidana membawa senjata tajam

tanpa hak, karena dalam hal ini senjata tajam tersebut digunakan untuk pertanian

dan pekerjaan si petani tersebut.

Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek yang sangat penting untuk
mewujudkan nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo
et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping itu terdapat juga manfaat
bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus
disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Jika pertimbangan hakim tidak teliti, baik,
dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut
akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.20

Dalam pemeriksaan perkara hakim harus memperhatikan terkait pembuktian,


karena hasil dari pembuktian tersebut nantinya akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk memutus perkara. Pembuktian adalah tahap yang sangat
penting dalam pemeriksaan di persidangan. Tujuan pembuktian adalah untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/ fakta yang diajukan itu benar-benar
terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak akan
bisa menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa / fakta
tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak
adanya hubungan hukum antara para pihak.21

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses
penegakan hukum. Hakim dalam mnjatuhkan putusan harus mempertimbangkan
banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat
perbuatan dankesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban,
keluarganya dan rasa keadilan.22

20
Mukti Aro. 2014. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, hlm.140.
21
Nurhafifah dan Rahmiati. 2015. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terkait
Hal yang Memberatkan dan Meringankan Putusan. Jurnal Ilmu Hukum No. 66 Fakultas Hukum
Unsyiah, Banda Aceh, hlm. 344.
22
LH Permana. 2016. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Pidana di
Bawah Minimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan. Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Lampung, Bandar Lampung hlm. 9.
16
E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan di dalam pemahaman proposal ini dibuat sistematika

penulisan sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan, Bab ini yang di dalamnya membahas tentang Latar

Belakang Masalah, Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan

Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran dan Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Pustaka, Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat

dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari

pengertian dan jenis-jenis pidana, pertanggungjawaban pidana, faktor penyebab

tindak pidana, teori pertimbangan hakim dan dasar hukum tindak pidana

kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik.

Bab III. Metode Penelitian, Bab ini berisi tentang Pendekatan masalah, sumber

dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

Bab IV. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kepemilikan

Senjata Penikam atau Penusuk Berupa Badik (Studi Putusan Nomor:

88/Pid.Sus/2021/PN Gdt), Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil

penelitian dari pokok permasalahan yaitu faktor penyebab pelaku melakukan

tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik,

pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kepemilikan senjata penikam

atau penusuk berupa badik berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt

dan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana

kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik berdasarkan Putusan

Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt.


17
Bab V Penutup, Bab ini berisikan kesimpulan yang merupakan hasil pembahasan

pada bab-bab sebelumnya yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan

hasil penelitian dan saran yang merupakan sumbangan pemikiran sehubungan

dengan hasil penelitian sebagai salah satu alternatif penyelesaian permasalahan

demi perbaikan di masa mendatang.

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Pidana

1. Pengertian Pidana

Setiap manusia adalah makhluk Tuhan yang tak pernah luput dari kesalahan,
kesalahan yang dilakukan dapat berupa perbuatan yang merugikan diri sendiri
maupun orang lain, hal tersebut tak jarang yang mengganggu ketentraman hidup
bermasyarakat. Seseorang yang melakukan kesalahan yang diatur dalam
perundang-undangan hukum pidana dapat diberikan sanksi berupa pidana.
Menurut Andi Hamzah, pidana adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap orang
yang terbukti bersalah melakukan delik berdasarkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.23

Pidana adalah penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan
kesalahan dan menjalani proses pembuktian sehingga hukuman ditentukan oleh
majelis hakim dalam sebuah putusan di pengadilan. Pidana memiliki pengertian
perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan
bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.24

Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah dihukum yang berasal
dari perkataan “wordt gestraf” , menurut Mulyatno merupakan istilah-istilah yang
konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam dengan
pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Jika “straf” diartikan sebagai
hukuman, maka “strafrecht” seharusnya diartikan hukuman-hukuman. Hukuman
adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum yang maknanya lebih luas daripada
pidana, karena mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan Hukum
Perdata.25

Pidana adalah makna sempit dari hukuman, yang mana hukuman mencakup
segala sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat, namun pidana adalah hukuman yang
diberikan pada seseorang yang melakukan tindak pidana sesuai yang diatur dalam
Hukum Pidana.26

23
Andi Hamzah. 2014. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 114.
24
JCT Simorangkir. et.al. 2013. Kamus Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114.
25
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2015. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Cetakan
Ketiga. Alumni, Bandung, hlm 1.
26 Tri Andrisman. 2017. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana

Indonesia. Unila, Bandar Lampung, hlm 8


19
Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

menurut P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua

unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur

objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan.27

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana menurut P.A.F Lamintang dkk adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan
c. Macam-macam maksud atau oogmerk
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad
e. Perasaan takut atau vress.
Unsur objektif dari suatu tindak pidana menurut P.A.F Lamintang dkk adalah:
a. Sifat melanggar hukum
b. Kualitas dari si pelaku
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.28

Menurut Moeljatno pidana sendiri mengandung unsur-unsur sebagai berikut


a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang).
c. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.29

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pidana merupakan

suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang

berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung

jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata

karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus

ditegakkan oleh negara.

27
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 2012. Op.Cit, hlm.193.
28
Ibid, hlm.194.
29
Moeljatno. 2013. Asas Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta, hlm, 93.
20
2. Jenis-jenis Pidana

Menurut Leden Marpaung, hukuman pokok telah ditentukan dalam Pasal 10

KUHP yang menyatakan sebagai berikut:

“Pidana terdiri atas:

a. Pidana Pokok:
1) Pidana Mati
2) Pidana penjara
3) Kurungan
4) Denda
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim. 30

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang

dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.

a. Pidana Mati
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap
berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana,
pencurian dengan kekerasan, pemberontakan yang diatur dalam Pasal 124
KUHP.
b. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa
hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan
karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih
ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimum satu hari dan
maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHP yang
menyatakan:
a) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
b) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan
paling lama lima belas Tahun berturut-turut.
c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
Tahun berturut-turut dalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih
antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu
tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu. begitu juga dalam
hal batas lima belas Tahun dapat dilampaui karena pembarengan
(concursus), pengulangan (residive) atau Karena yang telah ditentukan
dalam Pasal 52.
30
Leden Marpaung. 2012. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta,
hlm. 108.
21
d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua
puluh tahun.
c. Kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain,
dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa
peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur,
selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP
yang menyatakan:
1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama
satu Tahun.
2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu Tahun empat
bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan
kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada Pasal 52 dan 52 a.
d. Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan
terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif.
Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua
puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan. Mengenai
hukuman denda diatur dalam Pasal 30 KUHP, yang menyatakan:
1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti
dengan hukuman kurungan.
3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-
kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
4) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga
setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih
tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari,
akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.
5) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan
dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan
kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan Pasal 52
dan 52a.
6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.

Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau

kenalan dapat melunasinya.

1) Pencabutan hak-hak tertentu

Hal ini diatur dalam Pasal 35 KUHP yang menyatakan:


a) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang
ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang
umum lainnya, adalah:
(1) Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu.
(2) Masuk balai tentara.

22
(3) Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena
undang-undang umum.
(4) Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau
pengampu pengawas atas orang lain yang bukan anaknya sendiri.
(5) Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri.
(6) Melakukan pekerjaan tertentu.
b) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila
dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-
mata berkuasa melakukan pemecatan itu.

2) Perampasan Barang Tertentu

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang

dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang

dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang

digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 39

KUHP yang menyatakan:

1. Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau


dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh
dirampas.
2. Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak
dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan
perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-
undang.
3. Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang bersalah
yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas
barang yang telah disita.

3) Pengumuman Putusan Hakim

Menurut Pasal 43 KUHP hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk

mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian

masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya

ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang

semuanya atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman

putusan hakim dimuat dalam putusan.

23
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua jenis

pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat

jenis pidana, dan pidana tambahan terdiri atas tiga jenis pidana.

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi


falsafah hukum, seorang filosof besar Abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan
bahwa : Use simple word liability for the situation whereby one may exact legally
and other is legally subjeced to the exaction.” Pertangungjawaban pidana
diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan
yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, menurutnya juga
bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut
masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral
ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.31

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toereken-


baarheid, criminal reponsibilty, criminal liability, pertanggungjawaban pidana
disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang
dilakukannya itu.32

Dalam konsep KUHP Tahun 2012, pada Pasal 27 menyatakan bahwa


pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat
yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena
perbuatanya. 33

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci


ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para
sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu
bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu : (1) dapat
menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam tindak pidana, (2) dapat
menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan
masyarakat, (3) mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap
perbuatan tadi. 34

31
Romli Atmasasmita. 2012. Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung, hlm.
65.
32
S.R Sianturi. 2015. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
Ahaem-Petehaem, Jakarta, hlm. 25.
33
Ibid, hlm. 246
34
Ibid, hlm. 247-248
24
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

pertangungjawaban pidana merupakan suatu kewajiban untuk membayar

pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,

pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah

hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun

kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

C. Faktor Penyebab Tindak Pidana

Kejahatan dapat dikatakan sebagai suatu perilaku manusia yang menyimpang,

bertentangan dengan hukum, dan merugikan masyarakat, untuk itulah maka maka

para penegak hukum berupaya untuk menanggulanginya. Untuk menaggulangi

kejahatan maka harus diketahui penyebab timbulnya kejahatan, Adapun sebab-

sebab timbulnya kejahatan dapat dijumpai dalam berbagai faktor, dimana suatu

faktor dapat menimbulkan kejahatan tertentu, sedangkan faktor lain dapat

menimbulkan jenis kejahatan yang lain pula.

Secara garis besar faktor-faktor penyebab kejahatan dapat dibagi dalam dua
bagian, yang pertama faktor yang bersumber dari dalam diri individu (intern) yang
mana dibagi lagi menjadi faktor intern yang bersifat umum dan faktor intern yang
bersifat khusus.Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor yang bersumber dari
luar individu (ekstern). Faktor intern yang bersifat khusus berkaitan dengan
keadaan psikologis (masalah kepribadian sering menimbulkan perilaku
menyimpang). Sifat khusus yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan adalah
mental dan daya inlegensi yang rendah, faktor intern yang bersifat umum meliputi
pendidikan sedangkan faktor yang bersumber dari luar luar diri individu adalah
faktor lingkungan. 35

Orang yang memiliki mental rendah apabila terus mengalami tekanan dari luar

maka cenderung akan melakukan penyimpangan atau kejahatan, rendahnya

35
Soedarto. 2009. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung, hlm. 56,
25
mental berhubungan erat dengan daya intelegensi, intelegensi yang tajam dapat

menilai realitis, maka semakin mudah dalam menyesuaikan diri dengan

masyarakat, sebaliknya apabila seseorang memiliki intelegensi yang rendah maka

akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, sehingga orang itu akan

merasa semakin jauh dari kehidupan masyarakat, dan tidak sanggup melakukan

sesuatu, sehingga orang tersebut akan merasa tertekan dan mencari jalan sendiri

yang menyimpang dari norma yang ada di masyarakat.

Faktor intern sebab timbulnya kejahatan yang bersifat umum adalah rendahnya

pendidikan, seseorang yang memiliki pendidikan rendah kurang memahami

norma dan aturan yang berlaku di masyarakat, minimnya pengetahuan mengenai

norma dan aturan membuat orang tersebut tidak dapat membedakan mana yang

benar dan mana yang salah dari persepektif norma yang ada di masyarakat.

Rendahnya tingkat pendidikan berbanding terbalik dengan intelegensi seseorang

yang mana terkadang menjadi faktor pendukung individu dalam melakukan

kejahatan, dalam beberapa jenis kejahatan tertentu dibutuhkan intelegensi yang

tinggi untuk melakukannya, contoh begal, keterampilan yang dimiliki individu

untuk melakukan kejahatan tersebut terkadang memang tidak berkaitan dengan

tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan untuk melakukan kejahatan tersebut

bisa didapat melalui interaksi dengan masyarakat disekitarnya atau melalui sarana

belajar yang lain. Dengan menguasai kemampuan khusus, maka individu akan

tergoda untuk melakukan kejahatan, dikarenakan keterampilan yang dimilikinya

dapat dengan mudah digunakan untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut.

26
Minimnya mata pencaharian sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan,

Individu yang memiliki keahlian dalam hal ini menggunakan keahliannya untuk

melakukan kejahatan, individu tersebut menggunakan keahliannya untuk mencari

pencaharian dengan cara menyimpang dari aturan yang ada, misalnya pencurian

dengan kekerasan atau biasa disebut dengan begal, individu tersebut memiliki

keahlian dan memiliki konsep perencanaan dalam melakukan kejahatan. Oleh

karena kejahatan digunakan sebagai mata pencaharian maka faktor ekonomilah

yang memiliki dampak besar sebab terjadinya tindak kejahatan

Hal ini sesuai dengan pendapat Soejono yang merumuskan tindak pidana sebagai
perbuatan yang sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat
itu juga, maka masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan
ketertibannya, masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama badan yang
berwenang menanggulangi tindak pidana. 36

Berdasarkan uraian di atas maka usaha-usaha untuk menanggulangi dan mencegah

terjadinya tindak pidana, maka kepada masyarakat juga di bebankan untuk turut

serta bersama-sama aparat penegak hukum guna menanggulangi tindak pidana

semaksimal mungkin.

D. Pertimbangan Hakim

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan


terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo
et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung
manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini
harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak
teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan
hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.37

36
Soedjono D. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Grafindo Persada. Jakarta, hlm. 26.
37
Mukti Arto. 2016. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm.140.
27
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian,
dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam
pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan
suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar
terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak. Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya
juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut
semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/ diadili
secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang
terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/ tidaknya tuntutan tersebut dalam amar
putusan. 38

2. Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada

teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil

penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah

satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, dimana hakim

merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur

tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX


Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009.
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman
yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan
Pasal 24 Ayat (1) dan penjelasan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun
1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.39

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini


mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur
38
Ibid, hlm.142.
39
Ibid, hlm.142.
28
tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang
yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 Ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah mahkamah konstitusi.40

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak
(impartial jugde) Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Istilah
tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan
putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak
berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1): “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. 41

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak

memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu

tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi

penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum

yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap

peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak

boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak

boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan

dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya.

40
Andi Hamzah. 2015. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta, hlm.94.
41
Ibid, hlm.95.
29
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin

pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim

dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”

Hakim dalam putusannya harus memberikan rasa keadilan, menelaah terlebih

dahulu kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian

menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Hakim dalam menjatuhkan

putusan harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang

tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat juga faktor lain yang

mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, dan politik.

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu

menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa

yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum. Pengertian lain

mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat

dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang

pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang

diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan

atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Berdasarkan undang-undang, hakim dalam mengajukan perkara penjatuhan pidana


denda yang melampaui ketentuan ketentuan undang-undang harus berdasarkan
hukum materil maupun hukum formil. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
30
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan badan
yang menentukan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim
melalui putusan-putusannya. 42

Dalam menjatuhkan hukuman, hakim terikat oleh aturan hukum yang dijadikan

landasan hakim dalam menjatuhkan hukuman, dan hakim dalam menjatuhkan

hukum berkisar antara straf minimal dan straf maksimal. Kekuatan hukum ini

tidak memiliki dasar hukum artinya putusan tersebut tidak sesuai dengan aturan

hukum, dan bila ada kejanggalan dalam putusan yang dijatuhkan hakim

terhadap terdakwa, terdakwa dapat mengajukan yang namanya upaya hukum.

Upaya hukum dilakukan untuk memeriksa kembali putusan, untuk meneliti

putusan bila ada kekeliruan baik dari hakim maupun dari terdakwa, serta

untuk mengulang agar dicapai yang namanya kebenaran substansi, dengan begitu

putusan dapat batal demi hukum bila terdakwa mengajukan upaya hukum ke

Pengadilan Negeri Tinggi.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,


adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.43

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan
pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum
itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan
hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan semata-mata untuk kepastian. 44

42
Andi Hamzah. 2015. Op. Cit, hlm.102.
43
Riduan Syahrani. 2016. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung,
hlm.23.
44
Achmad Ali. 2015. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Gunung Agung. Jakarta, hlm.82-83.
31
E. Dasar Hukum Tindak Pidana Kepemilikan Benda Tajam

Delik penguasaan tanpa hak senjata penikam/penusuk diatur dalam Pasal 2 Ayat

(1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 serta Undang-Undang

yang berkaitan dengannya. Dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Darurat Nomor 12 Tahun 1951 menegaskan:

Pasal 2
(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai
dalam miliknya, menyimpan, mengankut, menyembunyikan, mengunakan,
atau mengeluarkan dari indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam,
atau senjata penusuk (Slag, steek of stoot wapen), di hukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sepuluh tahun
(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk
dalam Pasal ini, tidak termasuk barangbarang yang nyata-nyata dimasukkan
untuk dipergunakan guna pertanian atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang
nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau
barang ajaib (merkwaardigheid)

Setelah melihat dasar hukum Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Darurat
Nomor 12 tahun 1951 tentang delik penguasaan tanpa hak senjata api, amunisi
atau sesuatu bahan peledak, senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata
penusuk dapat diuraikan unsur-unsurnya:
(1) Barang siapa.
Di dalam setiap rumusan pasal-pasal KUHPidana maupun tindak pidana,
unsur “barang siapa” merupakan sebuah kata yang penting di dalam melihat
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Sebagai sebuah kata “barang
siapa” maka memerlukan kajian yang cukup serius dalam asas kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana dalam upaya pembuktian.
(2) Tanpa hak.
Dengan melihat rumusan kata-kata tanpa hak dalam delik ini, tersirat suatu
pengertian bahwa tindakan/perbuatan sipelaku/Terdakwa adalah bersifat
melawan hukum, walaupun di dalam delik ini tidak dirumuskan unsur”bersifat
melawan hukum”(dalam hal ini menganut bersifat melawan hukum militer
materiil).

Sanksi dalam kepemilikan senjata tajam sebagaimana yang terdapat dalam

Undang-Undang Darurat yaitu penjara maksimal 10 tahun, namun keputusan

mengenai sanksi yang akan diberikan tergantung pada hakim yang memutuskan
32
perkara tersebut. Sanksi yang diberikan juga pengaruhi dari jenis senjata tajam

dan kegunaan senjata tajam yang dibawa oleh pelaku. Karna dalam hal ini jenis

jenis serta kegunaan dari senjata tajam yang beragam dan budaya yang di miliki

oleh Indonesia. Dalam hal ini kepemilikan senjata tajam yang digunakan oleh

petani tidak terkena sanksi selama tidak ada dukungan tindakan pidana lain

seperti, penyerangan, pembunuhan dan lain sebagainya yang perbuatan melawan

hukum. Dalam hal ini sanki yang diberikan merupakan salah satu alat untuk

membuat efek jera terhadap pada pelaku kepemilikan senjata tajam yang dapat

meresahkan warga lain atau rasa terancamnya masyarakat lain, karena dalam hal

ini kepemilikan senjata tajam dapat menjadi faktor kejahatan lainnya.

33
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau

kaidah hukum, asas-asas pertanggungjawaban tindak pidana kepemilikan senjata

penikam atau penusuk berupa badik dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur

yang berhubungan peradilan pidana. Khususnya yang terkait dengan

pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kepemilikan senjata penikam

atau penusuk berupa badik.

2. Pendekatan Empiris

Pendekatan yang dilakukan melalui penelitian secara langsung terhadap objek

penelitian dengan cara observasi dan wawancara dengan narasumber terkait

dengan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kepemilikan senjata

penikam atau penusuk berupa badik.

B. Sumber dan Jenis Data

1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari penulisan kepustakaan

(library research) dan penelitian lapangan (field research).45

45
Achmad Yulianto dan Mukti Fajar. 2015. Dualisme Penelitian hukum Normatif Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 76.
34
2. Jenis Data

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data

Sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan (library

research) dengan cara membaca, mengutip dan menelaah berbagai kepustakaan,

asas-asas hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti.46

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:

1) Bahan Hukum Primer dimaksud, antara lain yaitu:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil

Amandemen.

b) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951

tentang tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere

Strafbepalingen (Stbl. 1948 No.17) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1948.

c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di Seluruh

Indonesia (KUHP).

d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

f) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik

Indonesia.
46
Amirudin dan Zainal Asikin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 58.
35
g) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2) Bahan Hukum Sekunder yaitu terdiri dari karya ilmiah, jurnal penelitian,

makalah dan tulisan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti yaitu pertanggungjawaban tindak pidana kepemilikan senjata penikam

atau penusuk berupa badik.

3) Bahan Hukum Tersier merupakan data pendukung yang berasal dari informasi

dari media masa, Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum maupun data-

data lainnya.

a. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung terhadap objek penelitian

yaitu pertanggungjawaban tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau

penusuk berupa badik dengan cara pengamatan (observation) dan wawancara

(interview) kepada nara sumber penelitian.47

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Pustaka (Library Research)

Mempelajari literatur-literatur untuk memperoleh data sekunder yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti berupa asas-asas hukum, peraturan-

47
Abdulkadir Muhammad. 2014. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya, Bakti,
Bandung, hlm. 151.
36
peraturan hukum dan bahan hukum lain yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.48

b. Studi Lapangan (Field Research)

1) Pengamatan (observation) atau pengamatan, dilaksanakan dengan jalan

mengamati tentang pertanggungjawaban tindak pidana kepemilikan senjata

penikam atau penusuk berupa badik yang dilakukan di Polres Pesawaran,

Kejaksaan Negeri Pesawaran dan Pengadilan Negeri Gedong Tataan.

2) Wawancara (interview), wawancara ini dilakukan untuk mengumpulkan data

primer yaitu dengan cara wawancara langsung secara terarah (directive

interview) terhadap narasumber yang terkait dengan perkara tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan tentang putusan terhadap narasumber, yaitu:

a) Penyidik Polres Pesawaran : 1 orang

b) Jaksa Kejaksaan Negeri Pesawaran : 1 orang

c) Hakim Pengadilan Negeri Gedong Tataan : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data diperoleh baik data primer maupun data sekunder, kemudian data

tersebut diperiksa kelengkapan dan relevansinya sesuai dengan permasalahan.

Setelah data tersebut diperiksa mengenai kelengkapannya dapat diketahui dari

data tersebut yang mana dipergunakan untuk dianalisis.49

48
Zainuddin Ali. 2016. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika Offset, Jakarta, hlm. 69..
49
Burhanudin Ashofa. 2016. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 58.
37
D. Analisis Data

Setelah diperoleh data kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis

secara yuridis kualitatif yaitu setelah data didapat diuraikan secara sistematis dan

disimpulkan dengan cara pikir deduktif sehingga menjadi gambaran umum

jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.50

50
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim. 2018. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan
Empiris. Prenada Media, Jakarta, hlm. 90.
38
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA
KEPEMILIKAN SENJATA PENIKAM ATAU PENUSUK
BERUPA BADIK
(Studi Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt)

A. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Kepemilikan Senjata


Penikam atau Penusuk Berupa Badik Berdasarkan Putusan Nomor:
88/Pid.Sus/2021/PN Gdt

Senjata penikam yang lazimnya terpikir tentang benda atau yang digunakan untuk

mempertahankan diri atau menyerang pihak lain. Benda atau alat yang dapat

difungsikan sebagai senjata tapi tak digunakan untuk keperluan pertahanan diri

atau menyerang, memiliki sebutan sendiri yang bermakna netral. Misalnya, pisau

atau parang/golok adalah nama netral untuk alat pemotong. Namun kalau

digunakan untuk menyerang orang lain maka pisau atau parang/golok tersebut

berubah sebutan menjadi senjata tajam, akan halnya pistol, apa lagi mortir tetaplah

senjata karena memang dari awal mula dibuat untuk kegunaan menyerang pihak

lain oleh penggunanya.

Pedang dan samurai adalah senjata, karena dibuat untuk keperluan menyerang.

Jadi, alat-alat atau benda yang dibuat untuk kegunaan menyerang pihak lain oleh

penggunanya, inilah yang disebut sebagai senjata penikam. Menyerang sebagai

upaya membela diri atau untuk melumpuhkan dan membunuh. Tindak kriminal

dalam bentuk kekerasan dengan menggunakan senjata penikam, tidak saja

menarik dikaji oleh karena kuantitasnya, akan tetapi juga termasuk nilai peran

dominan norma hukum substansi siri’ dalam kaitannya dengan kewajiban setiap

individu mempertahankan diri, harga diri atau pun martabat keluarga.

39
Beda halnya dengan kejahatan, telah diakui secara umum bahwa kejahatan telah

mengakibatkan kesengsaraan penderitaan serta keresahan masyarakat berbagi

negara di dunia ini. Hal ini bukan saja terdapat di negra-negara berkembang,

tetapi juga negara maju. Dalam perkembangan kejahatan-kejahatan tersebut

terutama kejahatan terhadap nyawa dan tubuh manusia seperti penganiayaan,

mengancam bahkan pembunuhan dewasa ini cenderung menggunakan senjata

tajam bagi para pelakunya. Hal ini menimbulkan akibat yang lebih parah bagi

korbannya akibat dari penggunaan senjata tajam dalam suatu kejahatan tidak

jarang menimbulkan luka-luka berat dan bahkan kematian bagi seseorang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi Prayoga, selaku Penyidik di Polres

Pesawaran menyatakan bahwa dalam hal peningkatan kejahatan dengan

menggunakan senjata tajam/penikam, maka pemerintah telah mengeluarkan

Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 sebagai usaha preventif untuk

mencegah atau mengurangi penggunaan senjata tajam/penikam dalam suatu

kejahatan. Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 ini selain mengatur

senjata api dan bahan peledak di dalamnya juga mengatur masalah senjata tajam.

Oleh karena itu usaha preventif yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal

penyalahgunaan senjata tajam perlu diapresiasi sebagai bahan acuan dasar

perkembangan kejahatan dengan menggunakan senjata tajam dewasa ini.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu ada pengawasan khusus dalam hal

kepemilikan senjata tajam secara ilegal.

40
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kurniawan Fadly, selaku Jaksa di

Kejaksaan Negeri Pesawaran menyatakan bahwa banyaknya senjata tajam yang

berada di masyarakat menunjukkan bahwa kurangnya rasa kepedulian negara

dalam wujud tanggapnya terhadap perlindungan warga negara. Hal ini juga

memperlihatkan bahwa tidak sinkronnya antara perbuatan dan sanksi dalam

hukum pidana dimana perbuatan dan tindakkan yang nyata-nyata telah dilarang

dalam hukum pidana serta mempunyai sanksi pidana yang cukup berat namun

masih juga terdapat pelanggaran. Setiap wilayah memiliki masyarakat yang

mempunyai keadaan sosial, budaya, dan kultur yang berbeda-beda, hal itu

menyebabkan kejahatan disatu tempat berbeda dengan tempat lainnya. Maka dari

itu negara harus menegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya

merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak

secara ketat diatur oleh kaidah hukum.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Suryanti, selaku Hakim di Pengadilan

Negeri Gedong Tataan menyatakan bahwa dapat dikatakan bahwa dalam

penegakan hukum bukan semata-mata berarti melaksanakan perundang-

undangannya walaupun di dalam pengertian law enforcement begitu sangat

terkenal. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi suatu penegakan hukum

yaitu: pertama faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi

pada undang-undang saja, kedua faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang

membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga faktor sarana atau fasilitas yang

mendukung penegakan hukum, keempat faktor masyarakat, yakni lingkungan

dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, kelima faktor kebudayaan, yakni

41
sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam

pergaulan hidup.

Senjata tajam tidak hanya digunakan untuk melindungi diri dari hewan buas

namun juga digunakan untuk berperang melawan musuh. Senjata juga bisa

sebagai tanda adanya sebuah perkembangan kebudayaan suatu kaum yang juga

berkembang dalam metode kegunaan dan bentuk dari senjata khususnya di

Indonesia, senjata seiring perkembangan zaman, senjata tajam tradisional

mengalami pergeseran nilai-nilai, seperti keris sudah bergeser nilainya dari alat

berperang menjadi collector item dan benda pusaka. Pisau, golok, kampak, celurit

dari yang tadinya perkakas pada saat-saat tertentu dapat menjadi alat untuk

melukai orang lain. Pengaruh fisik terhadap manusia, bentuk-bentuk organisasi

sosial primitif dan modern antar kelompok adalah salah satu faktor terjadinya

pergeseran nilai yang terjadi pada peradaban manusia.

Senjata tajam, lazimnya gambaran tentang benda atau yang digunakan untuk

mempertahankan diri atau menyerang pihak lain. Benda atau alat yang dapat

difungsikan sebagai senjata tapi tak digunakan untuk keperluan pertahanan diri

atau menyerang, memiliki sebutan sendiri yang bermakna netral. Misalnya, pisau

atau parang/golok adalah nama netral untuk alat pemotong. Namun kalau

digunakan untuk menyerang orang lain maka pisau atau parang/golok tersebut

berubah sebutan menjadi senjata tajam. Begitu pun dengan pedang dan samurai

adalah senjata tajam atau penikam, karena dibuat untuk keperluan menyerang.

Jadi, alat-alat atau benda yang dibuat untuk kegunaan menyerang pihak lain oleh

penggunanya, inilah yang disebut sebagai senjata penikam.

42
Pelarangan dalam penguasaan senjata tajam telah menjadi masalah klasik yang

sudah sangat lama diterapkan mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan dari

sejata tajam atau sejenisnya yang dapat mendorong niat atau keinginan seseorang

untuk melakukan tindak pidana lain seperti tindak pidana kekerasan terhadap

orang lain. Terdapat banyak tindak kriminal dalam bentuk kekerasan dengan

menggunakan senjata tajam baik untuk mempertahankan diri ataupun untuk

menyerang orang lain, dimana niat jahat tersebut akan mudah timbul jika terdapat

senjata tajam yang melekat di badan seseorang.

Adat istiadat biasanya berkembang lama dalam masyarakat dan karena sudah

berkembang lama dalam masyarakat, maka dengan sendirinya menjadi suatu sulit

diubah atau ditinggalkan. Selain itu, kenyataan sosial dalam masyarakat terdapat

pula pola-pola perilaku kelompok masyarakat tertentu yang tidak sejalan dengan

budaya tertentu. Kebiasaan membawa senjata tajam tradisional timbul karena

lingkungan sosial yang membentuk kepribadian atau karakter masyarakat pada

wilayah atau daerah tertentu, bahkan merupakan ciri khas serta identitas bagi

masyarakat yang menganutnya, sehingga sangat sulit untuk menghilangkannya

tanpa melalui prosedur penanggulangan yang terpadu dari aparat penegak hukum

dan semua pihak

Senjata tajam di Indonesia sebenarnya diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan. Senjata tajam diatur dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951

Tentang Mengubah “Ordonantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen”(STBL.

1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia dahulu Nomor 8 Tahun

1948. Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 merupakan Udang-Undang Darurat

43
yang dijadikan Undang-Undang atas dasar Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1961 Tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada sebelum

Tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang atas dasar Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1961.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi Prayoga, selaku Penyidik di Polres

Pesawaran menyatakan bahwa pengawasan yang diatur oleh Undang-Undang

Nomor 12/Drt/1951 tidak membuat peredaran dan kepemilikan senjata tajam

menjadi sulit akan tetapi semakin hari kepemilikan senjata tajam dan peredaran

senjata tajam semakin marak dan bebas, contoh dari bebasnya peredaran senjata

tajam ialah siapa saja dan dimana saja dapat membeli ataupun menjual senjata

tajam tanpa pengawasan, dan senjata tajam dapat pula dijumpai di media online.

Dari bebasnya peredaran tersebut dewasa ini penyalahgunaan senjata tajam

banyak sekali terjadi di Indonesia yang dimana senjata tajam tersebut digunakan

untuk kegiatan yang melawan hukum seperti halnya mengancam, tawuran,

membegal, dan kejahatan lainnya. Razia terkait penyalahgunaan senjata tajam ini

kerap dilakukan oleh penegak hukum guna mengurangi intensitas

disalahgunakannya senjata tajam.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kurniawan Fadly, selaku Jaksa di

Kejaksaan Negeri Pesawaran menyatakan bahwa senjata tajam di Indonesia

pengaturannya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951, yang dimana

Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 mengatur dua pokok permasalahan yaitu

44
terkait senjata api dan senjata tajam, senjata api diatur pada Pasal 1 dan senjata

tajam diatur pada Pasal 2.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Suryanti, selaku Hakim di Pengadilan

Negeri Gedong Tataan menyatakan bahwa pada Putusan Nomor:

88/Pid.Sus/2021/PN Gdt menyatakan terdakwa Cipto Waluyo bin Dul Basir (alm)

tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana tanpa hak menguasai dan membawa senjata penikam atau senjata penusuk

sebagaimana dalam dakwaan tunggal, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh

karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan,

menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa,

dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, menetapkan Terdakwa tetap

ditahan serta menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda motor Honda

Beat putih nopol BE 4650 RJ dikembalikan kepada Terdakwa Cipto Waluyo bin

Dul Basir (alm.), 1 (satu) buah senjata tajam jenis badik dengan 2 (dua) bilah mata

pisau berkerangka coklat dan panjang bilah 30 cm, 2 (dua) liter minuman keras

jenis tuak dirampas untuk dimusnahkan.

Alasan selanjutnya yang dapat membuat senjata tajam diperbolehkan ialah dengan

alasan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Rumah menurut kamus

hukum ialah bangunan gedung yang berfungsi sebgai tempat tinggal yang layak

huni, sarana pembinaan keluarga, cermin harkat dan martabat penghuninya, serta

aset bagi pemiliknya. kemudian pekerjaan rumah tangga ini sendiri ialah segala

kegiatan pekerjaan yang dimana dilakukan di dalam rumah itu sendiri. dari

pengertian tersebut dapat dilihat bahwa senjata tajam yang dimana alasannya

45
digunakan untuk menunjang pekerjaan di rumah maka senjata tajam tersebut

diperbolehkan dengan alasan bahwa senjata tersebut sesuai dengan Pasal 2 Ayat

(2) Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951.

Senjata tajam dalam penelitian ini ialah senjata tajam yang diartikan dalam arti

yang lebih spesifik yaitu senjata tajam yang dimana senjata tajam tersebut ialah

senjata tajam yang dapat digunakan untuk memotong atau menyayat bukan

sekedar senjata tajam yang digunakan untuk bertahan ataupun hanya sekedar

membuat memar ataupun mematahkan. Undang-Undang Nomor12/Drt/1951

mengatur dua subjek hukum yaitu orang (Natuurlijk person) dan Korporasi atau

badan hukum. Seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku atau subjek tindak

pidana adalah manusia (naturlijk person). Manusia (natuurlijk person) sebagai

subjek tindak pidana sebenarnya terlihat dari rumusan-rumusan pidana yang ada

di KUHP yang dimana pidana atau sanksi yang ada dalam KUHP yaitu berupa

hukuman penjara, kurungan dan denda yang ke semua sanksi tersebut hanya dapat

dilakukan oleh manusia (natuurlijk person).

Sanksi yang dijatuhkan pada pelaku penyalahgunaan senjata tajam dapat dilihat

pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 yang dimana jika melanggar

salah satu perbuatan yang diatur pada pasal tersebut dapat diancam pidana penjara

selama-lamanya sepuluh tahun. Selain menentukan pidana pokok untuk pelaku

penyalahgunaan senjata tajam yaitu pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun

Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 juga mengatur mengenai sanksi pidana

tambahan. pidana tambahan ini diatur pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor

12/Drt/1951.

46
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban

pidana pelaku tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa

badik berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt adalah dengan

menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas oleh karena itu dengan

pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan dan menetapkan masa

penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangi

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

B. Pertimbangan hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap


Tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik
Berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh hakim dalam menjatuhkan

pidana atau hukuman yang akan diberikan kepada terdakwa. Pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan pidana setelah proses pemeriksaan dan persidangan selesai,

maka hakim harus mengambil keputusan yang sesuai dengan rasa keadilan

masyarakat.

Hakim sebelum memutuskan suatu perkara memperhatikan dakwaan jaksa

penuntut umum, keterangan saksi yang hadir dalam persidangan, keterangan

terdakwa, alat bukti, syarat subjektif dan objektif seseorang dapat dipidana, hasil

laporan pembimbing kemasyarakatan, serta hal-hal meringankan dan

memberatkan.

47
1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim berdasarkan

putusannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan secara formil.

Hakim secara yuridis, tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila

dengan sekurang-kuranganya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

terdakwalah yang bersalah melakukan (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah

yang dimaksud adalah : (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d)

petunjuk, (e) keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui

sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184). Selain itu dipertimbangkan pula

bahwa perbuatan terdakwa melawan hukum formil dan memenuhi unsur-unsur

tindak pidana yang dilakukan.

Pertimbangan hakim alasan yuridis yang diuraikan diatas menjadi pertanyaan

hukum bagi majelis hakim, apakah terdakwa dapat dipersalahkan melakukan

perbuatan pidana sebagai mana yang didakwakan oleh penuntut umum di

dalam dakwaannya. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana

penjara selama 7 (tujuh) bulan dan menetapkan masa penangkapan dan

penahanan yang dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan.

2. Pertimbangan Filosofis

Pertimbangan filosofis yakni pertimbangan atau unsur yang menitikberatkan

kepada nilai keadilan terdakwa dan korban. Sedangkan menurut Bagir Manan,

mencerminkan nilai filosofis atau nilai yang terdapat dalam cita hukum

48
(rechtsidee) diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan. Keadilan secara

umum diartikan sebagai perbuatan atau pelaku yang adil, sementara adil

adalah tidak berat sebelah, tidak memihak yang benar. Keadilan dalam filsafat

sebagaimana yang tertuang dalam nilai-nilai dasar Negara, hal ini dapat

dicontohkan apabila dipenuhinya dua prinsip, pertama tidak merugikan

seseorang dan kedua perlukan kepada hak tiap-tiap manusia.

Pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang

dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum

yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang

bersumber dari Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negera

Republik Indoenesia Tahun 1945.

3. Pertimbangan Sosiologis

Putusan yang memenuhi pertimbangan sosiologis yaitu putusan tidak

bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (kebiasaan

masyarakat). Pertimbangan sosiologis mencerminkan tuntutan atau kebutuhan

masyarakat yang memerlukan penyelesaian diperlukan sebagai sarana

menjamin kemanfaatan. Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar

belakang sosial seperti pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan,

serta mengetahui motif terdakwa mengapa terdakwa melakukan suatu tindak

pidana. Selain latar belakang dari terdakwa, pertimbangan yang tidak bisa

diabaikan adalah seberapa dampak yang dialami masyarakat akibat tindak

pidana yang dilakukan dan keadaan masyarakat pada saat tindak pidana ini

49
dilakukan. Pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan

yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi Prayoga, selaku Penyidik di Polres

Pesawaran menyatakan bahwa pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek

terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang

mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di

samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan

sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.

Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim

yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi/Mahkamah Agung.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kurniawan Fadly, selaku Jaksa di

Kejaksaan Negeri Pesawaran menyatakan bahwa hakim dalam pemeriksaan suatu

perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu

akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian

merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan.

Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta

yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang

benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata

baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan

kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

50
Berdasarkan hasil wawancara dengan Suryanti, selaku Hakim di Pengadilan

Negeri Gedong Tataan menyatakan bahwa pertimbangan hukum Hakim dalam

menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau

penusuk berupa badik berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt

sebagai berikut hal yang memberatkan adalah perbuatan pelaku meresahkan

masyarakat dan mengancam keselamatan orang lain, sedangkan hal yang

meringankan adalah terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana,

terdakwa menyesali perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan

berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

Pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal

sebagai berikut:

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.

b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut

semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/ diadili

secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang

terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/ tidaknya tuntutan tersebut dalam amar

putusan.

Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di

persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu

peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan

hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan

sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni

51
dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para

pihak.

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada

teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil

penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah

satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, dimana hakim

merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur

tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX

Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.

Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman

yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan

Pasal 24 Ayat (1) dan penjelasan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia

tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini


mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur
tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang
yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 Ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

52
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah mahkamah konstitusi.51

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak

(impartial jugde) Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan

putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak

berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1): “Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak

memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu

tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi

penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum

yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap

peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak

boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak

boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan

dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya.

51
Andi Hamzah. 2015. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta, Jakarta, hlm.94.
53
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin

pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim

dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”

Hakim dalam putusannya harus memberikan rasa keadilan, menelaah terlebih

dahulu kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian

menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Hakim dalam menjatuhkan

putusan harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan

yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat juga faktor lain yang

mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, dan politik.

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu

menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa

yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum. Pengertian lain

mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat

dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang

pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim

yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

54
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, hakim dalam mengajukan perkara penjatuhan pidana denda yang

melampaui ketentuan ketentuan undang-undang harus berdasarkan hukum

materil maupun hukum formil. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan

ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan badan

yang menentukan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim

melalui putusan-putusannya. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman

adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.

Dalam menjatuhkan hukuman, hakim terikat oleh aturan hukum yang dijadikan

landasan hakim dalam menjatuhkan hukuman, dan hakim dalam menjatuhkan

hukum berkisar antara straf minimal dan straf maksimal. Dalam perkara anak

penjatuhan pidana denda yang dikenakan paling banyak ½ (satu perdua) dari

maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Kekuatan hukum ini tidak

memiliki dasar hukum artinya putusan tersebut tidak sesuai dengan aturan

hukum, dan bila ada kejanggalan dalam putusan yang dijatuhkan hakim

terhadap terdakwa, terdakwa dapat mengajukan yang namanya upaya hukum.

Upaya hukum dilakukan untuk memeriksa kembali putusan, untuk meneliti

putusan bila ada kekeliruan baik dari hakim maupun dari terdakwa, seta untuk

mengulang agar dicapai yang namanya kebenaran substansi, dengan begitu

putusan dapat batal demi hukum bila terdakwa mengajukan upaya hukum ke

Pengadilan Negeri Tinggi.

55
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.52

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan
pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum
itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan
hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan semata-mata untuk kepastian.53

Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian

terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku.

Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

putusan terhadap tindak pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa

badik berdasarkan Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt sebagai berikut hal

yang memberatkan adalah perbuatan pelaku meresahkan masyarakat dan

mengancam keselamatan orang lain, sedangkan hal yang meringankan adalah

terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana, terdakwa menyesali

perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan berjanji tidak akan

mengulangi perbuatannya.

52
Riduan Syahrani. 2016. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.23.
53
Achmad Ali. 2015. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Gunung Agung, Jakarta, hlm.82-83.
56
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kepemilikan senjata

penikam atau penusuk berupa badik berdasarkan Putusan Nomor:

88/Pid.Sus/2021/PN Gdt adalah dengan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa

tersebut di atas oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun

dan 3 (tiga) bulan dan menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan

yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan.

2. Pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak

pidana kepemilikan senjata penikam atau penusuk berupa badik berdasarkan

Putusan Nomor: 88/Pid.Sus/2021/PN Gdt sebagai berikut hal yang

memberatkan adalah perbuatan pelaku meresahkan masyarakat dan

mengancam keselamatan orang lain, sedangkan hal yang meringankan adalah

terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana, terdakwa menyesali

perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan berjanji tidak akan

mengulangi perbuatannya.

57
B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran antara lain:

1. Pihak penuntut umum dan majelis hakim harus lebih jeli dalam hal memeriksa

perkara sehingga dapat mengurai dengan tegas unsur-unsur tindak pidana

tanpa hak membawa, menguasai senjata penikam atau penusuk, sehingga

dapat dengan menjerat pelaku tindak pidana tanpa hak membawa, menguasai

senjata penikam atau penusuk lainnya serta lebih jeli dalam menentukan

pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana, serta harus

memperhatikan adanya kesalahan yang dilakukan, kemampuan bertanggung

jawab serta tidak adanya alasan pembenar atau alasan yang menghapus

pertanggungjawaban bagi terdakwa dalam menerapan Pasal 2 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951.LN Nomor 78/1951.

2. Putusan yang ringan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim bisa saja membuat

pelaku tidak merasakan efek jera dan dapat sewaktu-waktu mengulangi

perbuatannya kembali. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan kehati-

hatian oleh penegak hukum baik oleh jaksa sebagai penuntut umum dalam

menyusun surat dakwaan dan tuntutan agar dapat menjadi dasar pertimbangan

hakim dalam memutus suatu perkara, maupun bagi hakim agar putusan

tersebut dapat mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan hukum.

58
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

A. Josias Simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti. 2015. Senjata Api dan
Penanganan Tindak Kriminal, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.

Abdulkadir Muhammad. 2014. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya,


Bakti, Bandung.

Achmad Yulianto dan Mukti Fajar. 2015. Dualisme Penelitian hukum Normatif
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Amirudin dan Zainal Asikin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra
Aditya Bhakti, Bandung.

Burhanudin Ashofa. 2016. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta.

Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim. 2018. Metode Penelitian Hukum: Normatif
dan Empiris. Prenada Media, Jakarta.

Leden Marpaung. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika,


Jakarta.

M.Tito Karnavian. 2018. Indonesia Top Secret Membongkar Konflik Poso,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mukti Aro. 2014. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita. 2017. Kejahatan dalam Masyarakat dan
Pencegahannya. Bina Aksara, Jakarta.

P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 2012. Delik-Delik Khusus. Tarsito,


Bandung.

Teguh Prasetyo, 2017, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan. Kriminalisasi


dan Dekriminalisasi (Cetakan II). Pustaka Pelajar, Jogjakarta.

Wirjono Prodjodikoro. 2013. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika


Aditama, Bandung.

Yulies Tiena Masriani. 2014. Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.

59
Zainab Ompu Jainah. 2018. Kapita Selekta Hukum Pidana. Tsmart. Bandar
Lampung.

Zainuddin Ali. 2016. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika Offset, Jakarta.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil


Amandemen.

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang


tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl.
1948 No.17) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun


1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di Seluruh Indonesia
(KUHP).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 92


Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).

C. SUMBER LAINNYA

Ananda P.H. Sipayung. 2021. Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana


Kepemilikan Senjata Api Dan Amunisi Tanpa Izin Serta Melawan Pejabat
Yang Menjalankan Tugas Dengan Kekerasan Yang Mengakibatkan Luka
Berat (Studi Putusan No. 75/Pid.Sus/2018/PN Plk), Jurnal Hukum
Universitas Sumatera Utara.

Andi Achmad Faridz Subhan. 2013. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana
Tanpa Hak Membawa Menguasai Senjata Penikam Atau Penusuk (Studi
Kasus Putusan Nomor 733/Pid.B/2013/PN.MKS). Jurnal Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

Astrid Maretha. 2018. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak


Pidana Memiliki Senjata Api Ilegal Pada Pengadilan Negeri Bangko Jambi
(Studi Putusan Nomor 177/PID.B/2017/PN.BKO dan Putusan Nomor
174/PID.B/2017/PN.BKO), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
60
Dedy Djunaedy. 2019. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Tanpa Hak Memiliki
Senjata Api oleh Warga Sipil Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12/Drt/1951; (Studi Kasus Perkara Nomor:
11/Pid.Sus/2014/PN.JktTim.). Jurnal Tesis Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya.

Erlina B dan Anggalana. 2021. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku


Penganiayaan Secara Bersama-Sama Terhadap Orang di Muka Umum
yang Menyebabkan Luka (Studi Perkara Nomor 6/Pid. B/2018/Pn Sdn
Tahun 2018), Jurnal Pro Justitia (JPJ), Volume 2 Issue 2.

Gunawan. 2018. Tinjauan Yuridis Sanksi Tindak Pidana Kepemilikan Senjata


Tajam Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang
Kepemilikan Senjata Tajam. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam
Kalimantan.

Hardianti. 2021. Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan Senjata


Tajam Tanpa Hak Oleh Anak (Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor
6/PID.SUS-ANAK/2020/PN.MKS), Jurnal Hukum Universitas Bosowa,
Makassar.

Jeremy E. Sumampouw. 2019. Tindak Pidana Terhadap Pelaku Penganiayaan


Menggunakan Senjata Tajam Berdasarkan Pasal 351 KUHP dan UU
NO.12/DRT 1951, Jurnal Lex Crimen.

LH Permana. 2016. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan


Pidana di Bawah Minimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan.
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Melisa Safitri. 2021. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak


Pidana Penipuan Dalam Jual Beli, Jurnal Hukum IAIN Jember.

Panji Nugraha. 2019. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Penyalahgunaan


Airsoft Gun (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun). Jurnal Tesis
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan.

Pramudia Gilang Mahesa, 2020. Analisa Hukum Terhadap Tindak Pidana


Penyalahgunaan Senjata Tajam Tradisional. Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Mataram, Mataram.

Recca Ayu Hapsari. 2016. Pertanggungjawaban Negara terhadap Pengingkaran


Keadilan dalam Arbritase Internasional, Journal Pranata Hukum, Januari
2016. ISSN 1907-560X.

Refa Gianza Hearviano. 2019. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana
Kepemilikan Senjata Api Ilegal (Studi putusan Nomor 853/Pid.B/2017/PN
Pdg dan putusan Nomor 129/Pid.Sus/2016/PN Kag), Jurnal Penelitian
Hukum Universitas Andalas, Padang.
61
Reko Gustiono. 2019. Penegakan Hukum Terhadap Kepemilikan Senjata Api
Ilegal Menurut Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 dan Hukum
Islam (Studi Kasus Di Kepolisian Resort Tanjung Jabung Timur). Jurnal
Program Studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Nurhafifah dan Rahmiati. 2015. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana


Terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan Putusan. Jurnal Ilmu
Hukum No. 66 Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh.

Rakyu Swanabumi. 2020. Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana


Pelaku Penyalahgunaan Senjata Tajam. Jurist-Diction Vol. 3 (5)
Universitas Airlangga.

62

Anda mungkin juga menyukai