Anda di halaman 1dari 79

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK


DITINJAU DARI UU NO. 35 TAHUN 2014 JO UU
NO. 17 TAHUN 2016 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
(STUDI PUTUSAN NOMOR : 398/Pid.Sus/2018/PN Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Darma Agung

Oleh :
Nama : Candra Hutagalung
NPM : 17021111043
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Pidana

UNIVERSITAS DARMA AGUNG


FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2021
TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU
KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DITINJAU DARI UU NO.
35 TAHUN 2014 JO UU NO. 17 TAHUN 2016 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
(STUDI PUTUSAN NOMOR : 398/Pid.Sus/2018/PN Mdn)

Diajukan Untuk Ujian Meja Hijau Skripsi Pada Fakultas Hukum Universitas
Darma Agung

Oleh:
Nama : Candra Hutagalung
NPM : 17021111043
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Pidana

Pembimbing I,

Dr. Mhd. Ansori Lubis, S.H, M.M., M,Hum

Pembimbing II,

Lestari Victoria Sinaga, S.H., M.H

Mengetahui,
Ketua Program Ilmu Hukum

Dr. Muhammad Yasid, S.H., M.H.

I
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan sebagai berikut:

1. Skripsi saya, adalah asli dan sepengetahuan penulis belum pernah dibuat

untuk mendapatkan gelar akademik Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Darma Agung atau di Perguruan Tinggi lain.

2. Skripsi saya, didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan

dicantumkan dalam daftar pustaka.

3. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran pernyataan ini, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang saya

peroleh karena karya tulis ini, dan sanksi lainnya sesuai dengan norma yang

berlaku diperguruan tinggi ini.

Medan, Agustus 2021

Yang Membuat Pernyataan

CANDRA HUTAGALUNG
NPM : 17021111043

II
ABSTRAK

Lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Jo Undang-Undang


Nomor 17 Tahun 2016 Tentang perlindungan Anak membawa angin segar
terhadap Pertanggunggungjawaban pidana perlindungan anak di Indonesia.
Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak, sehingga pemilihan judul
skripsi“Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Kekerasan
Seksual Terhadap Anak Ditinjau Dari UU No. 35 Tahun 2014 jo UU No. 17
Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak (Studi Putusan :
398/Pid.Sus/2018/PN Mdn)”. Rumusan masalah dalam skripsi ini pertama
bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan
seksual menurut UU No. 35 Tahun 2014 jo UU No. 17 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Anak?, kedua bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku
kekerasan seksual terhadap anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 Jo UU No.
17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak?, ketiga bagaimana pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Pelaku dalam Studi Putusan
Nomor : 398/PId.Sus/2018/PN Mdn?.

Jenis Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif,


menggunkan data sekunder, sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif. Pengumpulan data menggunakan metode studi kepustakaan,
tulisan ilmiah serta peraturan perundang-undangan.

Hasil dari penelitian ini bahwa perlindungan anak diatur pada pasal 59A
yakni penanganan yang cepat, pendampingan psikososial , pemberian
bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu, dan
pemberian perlindungan setiap proses pengadilan.

Pertanggungjawaban Pidana mengandung asas kesalahan (asas


culpabilitas), bahwa asas kesalahan yang dilandasi pada nilai keadilan harus
disertakan secara berpasangan dengan asas legalitas yang dilandasi kepada
nilai kepastian. Pertanggungjawaban pidana pelaku terhadap kekerasan
seksual anak menurut undang-undang perlindungan anak sesuai pasal 81 ayat
2 jo 76D dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa M. Ryansyah Otto
Alias Gogon dengan pidana penjara 9 tahun dan denda sebesar Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Perlindungan Anak

III
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat pertolongan-Nyalah akhirnya penulis dengan segala keterbatasannya dapat

berhasil menyelesaikan penulisan tugas akhir skripsi yang berjudul:

“ TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DITINJAU DARI UU NO.

35 TAHUN 2014 JO UU NO. 17 TAHUN 2016 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK” (STUDI PUTUSAN NOMOR :

398/Pid.Sus/2018/PN Mdn).

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan,

bimbingan, pengarahan, serta dorongan dari berbagai pihak baik berbentuk moril,

maupun materil, oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan

terimakasih, penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada Bapak/Ibu

Dosen:

1. Bapak Dr. Jaminuddin Marbun, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas

Darma Agung.

2. Bapak Dr. Mhd. Ansori Lubis, S.H., M.M, M.Hum selaku wakil Rektor I

Universitas Darma Agung dan sekaligus Pembimbing I yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam

penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Ria Sintha Devi, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Darma Agung.

IV
4. Ibu Lestari Victoria Sinaga, S.H., M.H, selaku Pembimbing II yang telah

membantu dan menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing

penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Muhammad Yasid Nasution, S.H.,M.H, selaku ketua Program

studi Fakultas Hukum Universitas Darma Agung.

6. Kepada Dosen dan staff karyawan yang mengabdikan diri di Fakultas

Hukum Universitas Darma Agung.

7. Secara khusus penulis juga ingin mengungkapkan penghargaan dan

penghormatan serta menghaturkan ribuan terimakasih kepada seluruh

keluargaku: Ayahanda tercinta Joel Hatta Hutagalung, Ibunda terkasih

Rismawani Panggabean yang senantiasa mendoakan, memberikan penulis

motivasi, nasehat serta pengarahan dalam keberhasilan penulis menyelesaikan

skripsi ini.

8. Saudara-saudara penulis, Putri Marina Valentin Hutagalung (adik kandung

penulis), Uli Novita Sari Hutagalung ( Adik kandung penulis) yang telah

memberi semangat dan doa kepada penulis dalam pengerjaan skripsi.

9. Keluarga Oppung Tulus Panggabean, keluarga ini yang selalu mendukung

penuh dan membantu proses penulisan skripsi penulis, Terimaka Kasih

Oppung, Tulang, Nantulang dan semuanya.

10. Sahabat seperjuangan di Komunitas Yayasan Giving Indonesia (YGI), Juanda

Mendrova, Aster Leirin Manullang, Firdaus Simanjuntak, Aprianus Tafonao,

Agus Siregar, Agus, Rut, Ellen Angelina dan kawan-kawan lainnya

dikomunitas ini. Terimakasih telah menjadi sahabat yang ada dalam suka dan

V
duka, teman yang mau membantu segala keperluan dan pemahaman tentang

penulisan skripsi ini.

11. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Darma

Agung, Terimakasih atas organisasi yang membuat penulis semakin aktif dan

kritis dalam menyampaikan segala pendapat disetiap rapat-rapat BEM.

12. NHKBP Padang Bulan, Terima Kasih buat pelayanan bersamanya

teman-teman, buat dukungan dan doa semua rekan-rekan yang tidak bisa

penulis ucapkan satu persatu.

13. Gojek dan Grab, kedua aplikasi ini yang menjadi sumber mata pencaharian

penulisdemi membiayai segala keperluan baik uang kuliah dan biaya hidup

selama menuntut ilmu di Univeristas Darma Agung Medan.

14. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan, Jonathan, Abdiayah, Fita, Ayu, Tomi,

Jedijah, Toro. Silfanus, Sandra, Gebi, Mega dan yang lain yang tidak bisa

penulis sebut satu persatu. Semoga keberhasilan dan kesuksesan menghampiri

kita.

Tidaklah cukup kata-kata yang penulis sampaikan, kiranya Tuhan Yang Maha

Esa berkenaan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu.

Akhirnya kiranya skripsi ini bermanfaat secara khusus bagi penulis dan juga bagi

pembaca serta dunia pendidikan pada umumnya. Amin.

Medan, Agustus 2021

Penulis

CANDRA HUTAGALUNG
NPM : 17021111043

VI
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………...I

PERNYATAAN…………………………………………………………………II

ABSTRAK……………………………………………………………………....III

KATA PENGANTAR………………………………………………………… IV

DAFTAR ISI…………………………………………………………………...VII

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………....1

B. Rumusan Masalah…………………………………………..…….6

C. Tujuan penelitian………………………………………….…...….6

D. Manfaat Penelitian…………………………………………..……7

E. Tinjauan Pustaka…………………………………………….…....7

F. Metode Penelitian……………………………………………..…12

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

KORBAN KEKERASAN SEKSUAL MENURUT UU NO. 35

TAHUN 2014 JO UU NO. 17 TAHUN 2017 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

A. Pengertian Perlindungan Anak………………………………..…15

B. Asas-asas dan Tujuan Perlindungan Anak……………………....19

C. Hak-Hak dan Kewajiban Anak……………………………….…21

D. Upaya Hukum Terhadap Anak Tindak Pidana Kekerasan

Seksual……………………………………………………….….24

VII
E. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan

Seksual Dalam sistem Hukum Pidana Di

Indonesia……………………………………………………...…27

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU KEKERASAN

SEKSUAL TERHADAP ANAK MENURUT UU NO. 35 TAHUN

2014 JO UU NO. 17 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN

ANAK

A. Prinsip Pertanggungajawaban………………………………..….34

B. Faktor-Faktor terjadinya Kekerasan Seksual ………………..….38

C. Teori-Teori Pemidanaan Di Indonesia………………………..…41

D. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Kekerasan Seksual Menurut

UU Perlindungan Anak……………………………………….…47

BAB IV BAGAIMANA PERTIMBANGAN HAKIM DALAM

MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU DALAM

STUDI PUTUSAN NOMOR : 398/PID.SUS/2018/PN MDN

A. Kronologi Kasus……………………………………………..…..53

B. Pertimbangan Majelis Halim………………………………..…...55

C. Amar Putusan………………………………………………..…..59

D. Analisis penulis terhadap Pertimbangan hakim Dalam Putusan

Majelis Hakim…………………………………………………….…60

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………..………….…64
B. Saran……………………………………………………………..65

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...67

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

VIII
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan

anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan

kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus

senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat

dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak dalam UUD 1945

dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi

kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret

masa depan bangsa dimasa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga

setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,

berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan

diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.1 Realitas keadaan anak dimuka peta

dunia ini masih belum menggembirakan. Nasib mereka belum seindah ungkapan

verbal yang kerapkali memposisikan anak bernilai, penting, penerus masa depan

bangsa dan sejumlah simbolik lainnya. “Tondiki”, “Anakkonhi do hamoraon di

au”. kata orang Tapanuli, atau “buah hati sibiran tulang” tutur orang Melayu.2

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa. Mereka

memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa

yang akan datang. Agar anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya

1
Kamil H. Ahmad dan H.M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, Depok; RajaGrafindo Persada, 2008, hal.vii
2
Muhammad Joni dan Zulchaina Z, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, Bandung; Citra Aditya Bakti, 1999. Hal. 1

1
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial

maupun spritual. Mereka perlu mendapat hak-haknya, perlu dilindungi dan

disejahterakan. Karenanya, segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak perlu

dicegah dan diatasi.3

Perlindungan anak sebagai korban tindak pidana diatur dalam Buku II KUHP

tentang kejahatan. Disini perlindungan diberikan berupa pemberatan hukuman

terhadap pelaku tindak pidana yang korbannya adalah anak-anak. Hal ini misalnya

erat dengan tindak pidana kesusilaan. Pasal-pasal dalam KUHP yang melindungi

anak sebagai korban tindak pidana adalah : pasal 283, 287,290, 292, 293, 294, 295,

297, 330, 332, 314, 342, 346, 347 (1), dan 384. 4

Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan

kewajiban anak, Hukum perlindungan anak berupa : hukum adat, hukum perdata,

hukum pidana, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak.

Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan, agar

anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak

asasinya. Bismar Siregar mengatakan bahwa: “ Masalah perlindungan hukum

bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak

Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu

pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya”.5

Pertanggungjawaban tindak pidana dengan maksud untuk menentukan

apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu

tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Kemampuan bertanggungjawab dapat

3
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung; Nuansa,2005, Hal.9
4
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan; USU Press, 1998, hal 59-60.
5
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung; Refika Aditama, 2006,
hal. 43-44

2
diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat yang mempunyai akal

seseorang dalam membedakan hal-hal yang baik dan hal yang buruk.

Unsur-unsur pertanggungjawaban tindak pidana lebih lanjut segi psikologis

kesalahan yang harus dicari didalam batin pelaku yang menunjukkan adanya

hubungan dengan perbuatannya. Seseorang yang mengalami kelainan jiwa tidak

dapat dikatakan memiliki hubungan batin antara dirinya dengan perbuatannya

yang dilakukan karena orang tersebut tidak menyadari akibat perbuatan yang

dilakukannya.6

Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan tugas

pokok badan peradilan menurut undang-undang. Peradilan tidak hanya

mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan

anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh peradilan pidana anak. Filsafat

peradilan pidana anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga

terdapat hubungan erat antara peradilan pidana anak dengan Undang-Undang

Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979. Usaha mewujudkan kesejahteraan

anak adalah bagian dari meningkatkan pembinaan bagi semua anggota

masyarakat , yang tidak terlepas dari kelanjutan dan kelestarian peradaban bangsa,

yang penting bagi masa depan bangsa dan negara.

Kesejahteraan anak itu penting karena:

1. Anak merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa yang landasannya

telah diletakkan oleh generasi sebelumnya.

2. Agar setiap anak mampu memikul tanggungjawab, ia mendapat

kesempatan tumbuh dan berkembang secara wajar.

6
http://e-journal.uajy.ac.id, terakhir diakses tanggal 29 April 2021, Pkl 23.24 Wib

3
3. Dalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami hambatan

kesejahteraan rohani, jasmani, sosial, dan ekonomi.

4. Anak belum mampu memlihara dirinya sendiri

5. Menghilangkan hambatan tersebut hanya dapat dilaksanakan dan

diperoleh apabila usaha kesejahteraan anak terjamin.7

Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan

sexual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan

dengan cara-cara kekerasan, diluar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan

dengan ajaran Islam. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya

memiliki kelakuan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk

memperlancar usaha-usaha jahatnya.

Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjukkan pada perilaku

seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang,merugikan pihak

korban dan merusak kedamaian ditengah masyarakat8 Tindak pidana kekerasan

seksual terhadap anak merupakan masalah yang sangat serius. Kekerasan seksual

terhadap anak tidak hanya akan menimbulkan dampak yang secara fisik tetapi

juga dampak secara mental.

Dampak secara fisik tidak membutuhkanwaktu yang terlalu lama untuk

mengobatinya, tetapi dampak secara mental bisa membutuhkan waktu

bertahun-tahun agar dapat pulih seperti sediakala. Bahkan, ada juga yang sampai

mengalami masalah kejiwaan atau depresibahkan sampai memutuskan bunuh diri

7
Ibid, hal.78
8
Abdul Wahid dan Muhammad irfan, Korban Kekerasan Seksual , Malang; Refika Aditama,
2001, Hal. 32

4
karena tidak kuat menahan penderitaan dan rasa malu akibat pelecehan seksual

yang dialaminya.9

Berdasarkan data yang ada pada aplikasi Simfoni Perlindungan perempuan

dan Anak (Simfoni PPA) Tahun 2019 kondisi Februari 2020, dimana jumlah

korban kekerasan terhadap anak di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 737 orang,

yang terdiri dari anak laki-laki korban kekerasan sebanyak 252 orang dan anak

perempuan korban kekerasan sebanyak 485 orang.

Adapun jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak adalah

kekerasan seksual sebanyak 381 kasus yang terdiri dari anak laki-laki korban

kekerasan seksual sebanyak 68 orang dan anak perempuan korban kekerasan

seksual sebanyak 313 orang. Jika dilihat anak yang menjadi korban kekerasan

seksual, maka yang paling banyak mengalami adalah anak perempuan sebesar

82%, sedangkan anak laki-laki sebesar 18%10

Di Indonesia sendiri memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang

dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.

Namun hukuman yang ada didalam Undang-Undang tersebut tetap saja dinilai

masih ringan dan belum maksimal dalam menekan angka kekerasan seksual

terhadap anak. Oleh karena itu masih diperlukannya pembaharuan hukum yang

dapat memberikan efek jera kepada pelaku serta penanggulangan agar bisa

menekan atau bahkan dapat menghapuskan kekerasan seksual terhadap anak.

Adilkah hukum di Indonesia apabila pelaku yang menghancurkan kehidupan

9
Ibid, hal 87-88
10
http://disppa.sumutprov.go.id, diakses tanggal 16 April 2021 pkl 11.29 Wib

5
seorang anak yang masih memiliki masa depan yang masih sangat panjang

dihukum dengan hukuman ringan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti permasalahan

kekerasan seksual terhadap anak dengan Judul “TINJAUAN YURIDIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL

TERHADAP ANAK DITINJAU DARI UU NO. 35 TAHUN 2014 JO UU NO.

17 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK . (STUDI PUTUSAN

NOMOR : 398/Pid.Sus/2018/PN Mdn).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis merumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban

kekerasan seksual menurut UU No. 35 Tahun 2014 Jo UU No. 17 Tahun

2016 Tentang Perlindungan Anak?

2. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana pelaku kekerasan seksual

terhadap anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 Jo UU No. 17 Tahun

2016 Tentang Perlindungan Anak?

3. Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Pidana terhadap

Pelaku dalam Studi Putusan Nomor : 398/PId.Sus/2018/PN Mdn?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok masalah diatas maka tujuan dari penelitian yang akan

dicapai, sebagai berikut:

6
1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap anak

sebagai korban kekerasan seksual menurut UU No. 35 Tahun 2014 Jo

UU No. 17 Tahun 2016 Tentang perlindungan Anak.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku

kekerasan seksual terhadap anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 Jo UU

No. 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis Pertimbangan Hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku dalam Studi Putusan Nomor :

398/Pid.Sus/2018/PN Mdn.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu

hukum pidana, UU Perlindungan Anak khususnya terhadap mahasiswa

fakultas hukum Universitas Darma Agung.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan Memberi sumbangan ilmu pengetahuan

terhadap Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman tentang pelaku kekerasan

seksual dan memberi pengetahuan tentang KUHAP.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pengertian Pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya

menyangkut soal hukum semata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai

7
moral dan kesusilaan umum yang dianut oleh suatu masyarakat. Bertitik tolak

dari pertanggungjawaban inilah diaharapkan aparat penegak hukum memiliki

justifikasi teoritis untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang yang telah

terbukti melakukan tindak pidana. Bertitik tolak dari pertanggungjawaban

pidana ini pula diharapkan terdapat keseimbangan individu (pelaku delik)

dengan kepentingan masyarakat sehingga dapat dicapai keadilan yang sejati

dan kesejahteraan sosial.11

2. Pengertian kekerasan dan Pembagiannya

Kekerasan merupakan suatu tindakan yang mengacu pada sikap dan

perilaku yang tidak manusiawi, sehingga dapat menyakiti orang lain yang

menjadi korban kekerasan tersebut dan juga tentu merugikan orang yang

berbuat kekerasan karena pasti akan mendapatkan hukuman sesuai hukum

yang berlaku. Berikut jenis-jenis Kekerasan.

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,

jatuh sakit, atau luka berat. Berdasarkan Pasal 6 UU No. 23 Tahun

2004 tentang P-KDRT Sebagaimana tersebut diatas, kekerasan fisik

dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1) Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti

menendang, memukul, membenturkan kebenda yang lain,

bahkan sampai melakukan percobaan pembunuhan atau

melakukan pembunuhan dan semua perbuatan yang dapat

mengakibatkan, antara lain :

11
Hanawi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan
dan Penerapan, Yogyakarta; Raja Grafindo Persada, 2015, Hal.2-3

8
a). Sakit yang menimbulkan ketidakmapuan menjalankan

kegiatan sehari.

b). Luka berat pada tubuh korban, luka yang sulit

disembunyikan atau yang menimnbulkan kematian.

c). Kehilangan salah satu panca indera.

d). Luka yang mengakibatkan cacat

e). Kematian Korban.

2) Kekerasan fisik ringan, seperti menampar, menarik rambut,

mendorong, dan perbuatan lain yang mengakibatkan, antara lain:

a). Cidera ringan

b). Rasa sakit atau luka fisik yang tidak termasuk kategori

berat.

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan prikis atau kekerasan mental adalah kekerasan yang

mengarah pada serangan terhadap mental/psikis seseorang, bisa

berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan nada yang

tinggi, penghinaan, dan ancaman. Sedangkan dalam pasal 7 UU

No.23 Tahun 2004 tentang P-KDRT dijelakan bahwa, “ Kekerasan

psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak

berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang”

c. Kekerasan Seksual

Meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap

orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut,

9
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau

tujuan tertentu ( pasal 8 UU No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT )

d. Kekerasan Ekonomi

Kondisi dimana seseorang dibatasi kebebasannya, diintimidiasi, dan

dikendalikan lewat hal-hal yang berhubungan dengan finansial.12

3. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU No. 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.13 Sedangkan

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM

menyebut bahwa “ Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18

(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal tersebut adalah kepentingannya.14 Sedangkan

berdasarkan pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menyebut “ Anak ialah seseorang yang belum mencapai 16 (enambelas)

tahun”.15

Anak bukanlah manusia dewasa dalam bentuk mini. Anak mempunyai

alam fikiran, perasaan, kemauan, dan angan-angan, cara hidup yang berbeda

dengan orang dewasa. Dunia anak berbeda dengan dunia orang dewasa.

Dengan demikian sikap dan perlakuan serta harapan-harapan dan

12
https://kelasips.com/jenis-jenis-kekerasan/, diakses terakhir tanggal 05/04/2021, Pkl
22.00
13
Indonesia , Undang-undang tentang Perlindungan Anak , UU No. 35 Tahun 2014,
Pasal 1
14
Indonesia, Undang-Undang Tentang HAM, UU No. 39 Tahun 1999, pasal 1
15
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 45

10
tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepada anak harus berbeda dengan sikap,

perlakuan, harapan, dan tuntutan yang ditujukan kepada orang dewasa.16

4. Pengertian Anak sebagai Korban dalam Sistem Pidana Anak

a. Anak Sebagai Pelaku

Berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak disebut “ Anak yang berkonflik

dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang

telah berumur 12 (dua belas) Tahun, tetapi belum berumur 18 Tahun

yang diduga melakukan tindak pidana”.

b. Anak Sebagai Saksi

Berdasarkan Pasal 1 angka (5) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak disebut “ Anak yang menjadi saksi

tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang

berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan

disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar,

dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”.

c. Anak Sebagai Korban

Berdasarkan Pasal 1 angka (4) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak disebut “ Anak yang menjadi

korban adalah anak yang berumur 18 (delapan belas) tahun yang

16
Aminah Aziz, Op. Cit, hal. 5

11
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi

yang disebabkan oleh tindak pidana”.17

F. Metode Penelitian

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran yang

bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan

jalan menganalisanya.18 Dalam melakukan metode penelitian hukum, maka

dilakukan konstruksi dan pengkajian secara mendetail suatu komponen data yang

telah diperoleh dan diolah, dengan tujuan mengungkapkan kebenaran secara

sistematis, metodologis dan konsisten.19

Dengan demikian berikut upaya pengumpulan data dan analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini :

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum memiliki dua jenis pendekatan yang diantaranya

pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis

empiris adalah upaya untuk mengenal hukum yang tidak tertulis berdasarkan

hukum yang di praktikkan dalam masyarakat.20

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam

skrispsi ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian mengenai

17
Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun
2012, Pasal 1
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981, hal.43.
19
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu tinjauan singkat,
Jakarta: Raja Grafindo, 2007, hal. 1
20
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 30

12
norma-norma serta ketentuan hukum yang telah ada atau telah berlaku baik secara

tertulis maupun tidak tertulis.21

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan hukum dengan melakukan

penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder atas permasalahan yang

hendak diteliti.22 Penelitian ini akan menggunakan peraturan perundang-undangan

di Indonesia serta peraturan-peraturan dan norma hukum yang terdapat dalam

hukum perlindungan anak.

2. Sumber Data

Data yang diperoleh sebagai bahan penelitian ini didapat melalui data

sekunder yang pengumpulan data dilakukan dengan memperoleh data yang dalam

keadaan siap terbuat, yang mana isi data sekunder telah dibentuk dan di isi oleh

peneliti-peneliti terdahulu.23 Data sekunder dari penulisan ini terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang ada diantaranya adalah dokumen peraturan

yang berlaku serta dokumen dari pihak terkait dengan masalah penelitian ini,

yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, Undang-Undang lainnya, dan Peraturan lainnya yang berkaitan

dengan masalah penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

21
Bambang Sunggono . Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003, hal.
71
22
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Op. Cit., hal. 13-14.
23
Burhan Ashofa, Metode Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 2010, hal. 24

13
Bahan hukum sekunder berupa karya-karya tulisan ahli hukum, jurnal,

media massa, media cetak, internet dan lain-lain yang berhubungan dengan

masalah penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier atau penunjang merupakan badan yang memiliki

konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum

primer dan sekunder diantaranya kamus bahasa, kamus hukum dan lain-lain

yang ada didalam bidang hukum ataupun diluar bidang hukum yang

digunakan atas permasalahan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka

(library research), yang ditujukan untuk memperoleh bahan-bahan dan

informasi-informasi sekunder yang diperlukan atas penelitian, yang bersumber

dari data-data yang terdokumentasi melalui situs-situs internet, buku-buku, jurnal,

media massa, dan sumber-sumber lainnya sebagai media untuk mengumpulkan

data yang hendak digunakan dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Metode penulisan data sesuai dengan metode penelitian hukum dengan cara

deskriptif dan kualitatif, merupakan suatu analisis data yang mengungkapkan dan

mengambil kebenaran dari kepustakaan, yaitu dengan menggabungkan antara

informasi yang didapat dari perundang-undangan, peraturan-peraturan dan serta

tulisan-tulisan ilmiah yang ada kaitannya dengan kajian hukum pidana tentang

pertanggungjawaban pidana kekerasan seksual anak.

14
BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

KEKERASAN SEKSUAL MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2014 JO UU NO.

17 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

A. Pengertian Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak

membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun

hukumn tidak tertulis.24

Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan

memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri,

sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negatif.

Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang

mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha perlindungan anak

tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreatifitas, dan hal-hal lain yang

menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali,

sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan

hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.25

24
Maidin Gultom, Op.Cit, hal 33
25
Ibid, Hal 33-34

15
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak

langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada

anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat

berupa antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar

dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara,

mencegah anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara ,

menyediakan sarana pengembangan diri, dan sebagainya.26

Menurut Resna dan Darmawan , tindakan penganiayaan seksual dibagi atas

tiga kategori yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi :

a. Perkosaan, pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Perkosaan biasanya

terjadi pada suatu saat dimana pelaku lebih dulu mengancam dengan

memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak dengan segera

setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata,

darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari

penemuan akut suatu penganiayaan.

b. Incest, sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara

individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara

mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi

dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatun proses terkondisi.

c. Eksploitasi, meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup karena

sering meliputi suatu kelompok secara wajar berpasrtisipasi. Hal ini dapat

terjadi sebagai sebuah keluarga atau diluar rumah bersama seberapa

26
Ibid, Hal 37-38

16
orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan

suatu lingkungan seksual.

Pasal 1 angka 2 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

menentukan bahwa perlindungan anak adalah kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak

juga dapat diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah,

rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah

(child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan

hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya.27

Perlindungan anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat

perhatian, yaitu:

1. Luas lingkungan perlindungan:

a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan,

pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.

b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah

c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder

yang berakibat pada prioritas pemenuhannya.

2. Jaminan pelaksanaan perlindungan:

a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan

terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat

27
Ibid, hal 34

17
diketahui, dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan

perlindungan.

b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik

dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah, yang

perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan

serta disebarluaskan secara merata dalam masyarakat.

c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di

Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan

dinegara lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru.28

Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak yaitu:

1. Anak tidak dapat berjuang sendiri

Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah:

Anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa, dan

keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat

melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi

kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk

mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

2. Kepentingan Terbaik Anak

Agar perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik, dianut

prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus

dipandang sebagai of paramount importence ( memperoleh prioritas

tinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini

perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyaki batu

28
Ibid, hal 35-36

18
sandungan. Prinsip ini digunakan karena dalam banyak hal anak

“korban”, disebabkan ketidaktahuan karena usia perkembangannya.

3. Ancangan Daur Kehidupan

Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus

dimulai sejak dinidan terus menerus. Janin yang dalam kandugan perlu

dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik melalui

ibunya. Jik ia telah lahir , maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan

kesehatan primer dengan memberikan pelayanan imunisasi dan lain-;ain,

sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan cacat dan penyakit.

4. Lintas Sektoral

Nasiba anak tergantung dari berbagai faktor makro dan mikro yang

langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan

segala penggusuran, sistem pendidikan yang menekankan hapalan dan

bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan

ketidakadilan , dan sebagainya tidak dapat ditangani oleh sektor , terlebih

keluarga atau anak itu sendiri.Perlindungan terhadap anak adalah

perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang disemua

tingkatan29.

B. Asas-Asas dan Tujuan Perlindungan Anak

Berdasarkan Pasal 2 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila


29
Maidin Gultom, Op.Cit, Hal 39-40

19
dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak

meliputi:

a. Non diskriminasi

Yang dimaksud dengan non diskriminasi yaitu menghargai persamaan

derajat tidak membeda-bedakan, baik para pihak, atas dasar agama, ras, etnis,

suku bangsa, warna kulit, status sosial, afiliasi atau ideology dan sebagainya.

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah

bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh

pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka

kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan

Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan

perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang

dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah

penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan

pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal

yang mempengaruhi kehidupannya.

Adapun tujuan perlindungan anak yang terdapat didalam pasal 3 UU

perlindungan anak itu ialah bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak

agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

20
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,

berakhlak mulia, dan sejahtera.30

C. Hak-Hak dan Kewajiban Anak

Hak merupakan suatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima

oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang yang memengaruhi korban

baik yang sifatnya internal maupun eksternal31. Didalam Undang-Undang

Perlindungan Anak, hak-hak anak diatur dalam pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,

13, 14, 15, 16, 17, dan 18. Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mensahkan deklarasi hak-hak anak,

yaitu:

1. Anak berhak menikmati semua hak-haknya sesuai ketentuan yang terkandung

dalam deklarasi ini. Setiap anak tanpa pengecualian harus dijamin

hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis

kelamin,bahasa, agama, pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya

miskin, kelahiran atau status lai, baik yang ada pada dirinya maupun pada

keluarganya.

2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh

kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya

mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spritual,

dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan

kebebasan dan harkatnya.

3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.

Indonesia, UU Tentang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, pasal 2 dan 3


30

Gomgom T.P Siregar dan Rudolf Silaban, Hak-hak Korban Dalam Penegakan Hukum
31

Pidana, Medan; Cv. Manhaji 2020, hal. 43

21
4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh

kembang secaras sehat. Untuk ini baik sebelum maupun setelah kelahirannya

harus ada perawatan dan perlindungan khusus bagi anak dan ibunya. Anak

berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan

kesehatan.

5. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat

keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan, dan perlakuan

khusus.

6. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia

memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia

harusdibesarkan dibawah asuhan dan tanggungjawab orangtuanya sendiri,

dan bagaimanapun harus diusahakan agar tetap berada dalam suasana yang

penuh kasih sayang, sehat jasmani dan rohani. Anak dibawah usia lima

tahun tidak dibenarkan terpisah dari ibunya. Masyarakat dan pemerintah

yang berwenang berkewajibanmemberikan perawatan khusus kepada anak

yang tidak memiliki keluarga dan kepada anak yang tidak mampu.

Diharapkan agar pemerintah atau pihak lain memberikan bantuan

pembiayaan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga besar.

7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma

sekurang-kurangnya ditingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat

perlindungan yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, dan yang

memungkinkan, atas dasar kesempatan yang sama untuk mengembangkan

kemampuannya, pendapat pribadinya, dan perasaan tanggungjawab moral dan

sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.

22
Kepentingan anak haruslah dijadikan pedoman oleh mereka yang

bertanggungjawab terhadap pendidikan dan bimbingan anak yang

bersangkutan: Pertama-tama tanggungjawab tersebut terletak pada orangtua

mereka. Anak harus mempunyai kesempatan yang leluasa untuk bermain dan

berekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan

pemerintah yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanaan hak

ini.

8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima

perlindungan dan pertolongan.

9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan.

Ia tidak boleh dijadikan subjek perdagangan. Anak tidak boleh bekerja

sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat

merugikan kesehatan atau pendidikannya, maupun yang dapat mempengaruhi

perkembangan tubuh, jiwa, dan akhlaknya.

10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah kedalam bentuk

diskriminasi sosial, agaman maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.

Mereka harus dibesarkan didalam semangat penuh pengertian, toleransi,

dan persahabatan antarbangsa, perdamaian, serta persaudaraan semesta

dengan penuh kesadaran bahwa tenaga dan bakatnya harus diabdikan kepada

sesama manusia.32

D. Upaya Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual

1. Upaya Preventif

32
Maidin Gultom, Op.Cit, Hal. 45-46

23
Upaya preventif adalah suatu tindakan yan harus dikendalikan terhadap

masalah sosial, untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya

hal-hal tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak. Tindakan preventif

(pencegahan) yang dilakukan secara pribadi maupun suatu organisasi untuk

melindungi setiap anak dari hal buruk yang mungkin terjadi didalam

lingkungannya. Adapun tujuan dari upaya preventif ini untuk pencegahan dan

mengurangi kemungkinan timbulnya kekerasan seksual yang tak diinginkan

dan biasanya lebih murah ketimbang biaya penanggulangan atau mengurangi

dampak dari suatu peristiwa buruk yang sudah terjadi.

Preventif banyak digunakan dalam beberapa bidang, misalnya bidang

sosial dan kesehatan. Namun, pada penjelasan kali ini kita membahas upaya

preventif terhadap pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa

terhadap anak dibawah umur. Beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan

untuk mencegah sebelum terjadinya pelecehan seksual terhadap anak yaitu:

a. Penyuluhan disekolah

KPAI bersama dengan para guru bekerjasama untuk memberikan

penyuluhan berupa tindakan yang harus dilakukan apabila orang yang

tidak dikenal berusaha untuk memegang/menyentuh tubuh sensitive

( kemaluan, dada, bibir ), maka anak diajarkan untuk menolak ataupun

melaporkan kejadian tersebut kepada orang dewasa terdekat.

Mengajarkan anak juga mengenai hal-hal negatif mengenai pelecehan

seksual agar anak lebih mengerti dan berhati-hati dari tindakan orang

yang mencurigakan.

b. Konseling

24
Secara umum layanan bimbingan ditaman kanak-kanak bertujuan

untuk membantu anak didik supaya dapat mengenal dirinya dan

lingkungan terdekatnya sehingga dapat menyesuiakn diri melalui tahap

perahlian dari kehidupan disekolah dan masyarakat sekitar anak.

Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga.

Dalam lingkungan sekolah guru merupakan unsur yang penting dan

posisinya sangat menentukan dalam diri anak.

c. Interaksi anak dengan Orangtua

Orangtua berkewajiban untuk memberikan kesempatan dalam

penyerapan peraturan ataupun pemikiran konflik, tetapi teman sebaya

memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Orangtua sama

dengan teman sebaya, dapat berkontribusi terhadap kematangan moral

anak jika mereka mendatangkan pendapat anak mengecek pemahaman

mereka.

2. Upaya Represif

Represif adalah suatu tindakan pengendalian sosial yang dilakukan

setelah terjadinya suatu pelanggaran atau peristiwa buruk. Dengan kata lain,

tindakan dilakukan setelah peristiwa terjadi. Tindakan represif, yaitu berupa

tindakan tegas untuk menindas dan menahan perbuatan pelecehan seksual

yang dilakukan kepada anak dibawah umur, tindakan ini dilakukan secepat

mungkin agar tidak menambah korban pelecehan seksual terhadap anak-anak

lainnya.

Baik pelecehan yang terjadi disekolah-sekolah dasar maupun

dilingkungan masyarakat sekita, para orangtua dan guru harus memperhatikan

25
kegiatan setiap anak agar tidak adanya kesempatan bagi para pelaku

pelecehan seksual untuk melaksanakan aksi bejatnya. Apabila setiap orangtua,

guru, dan masyarakat sekitar melihat para pelaku pelecehan seksual

melakukan aksinya, maka langsung melaporkan kepada pihak kepolisian agar

segera untuk ditindaklanjuti.

3. Upaya Kuratif

Upaya kuratif ini dilakukan untuk mengenal dan mengetahui penyakit

yang dialami oleh pelaku pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur,

agar dilakukan pengobatan secepa-cepatnya seperti rehabilitasi, yang

bertujuan agar pelaku yang telah ditangani tidak lagi melakukan (mengulangi)

tindakan pelecehan yang dilakukan terhadap anak dibawah umur.

Salah satu bentuk upayan pencegahan yang dapat dilakukan adalah

dengan memberikan pendidikan agama bagi anak agar pemahaman tentang

konsikuensi dari apa yang tidak baik dimiliki oleh anak tersebut. Upaya yang

dapat dilakukan setelah terjadi tindakan pelecehan seksual dapat berupa

hukuman, pengasiangan, dan sebagainya, agar anak dapat menjadi untuk

melakukan tindakan serupa. Peran orangtua sangat penting bagi pengelolaan

gairah seksual anak. Orangtua harus senantiasa mengontrol apa yang anak

lakukan, bahkan cek sedetail mungkin apa yang anak lakukan agar tidak

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.33

33
Veny Melisa Marbun, dkk “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pelecehan Seksual
Kepada Anak Dibawah Umur”, jurnal Hukum Vol.11 No 1 (2019)

26
E. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan

Seksual Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia.

Dalam Sistem hukum pidana telah mengatur perlindungan terhadap anak

melalui undang-undang. Undang-undang di Indonesia telah mengatur

perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual, yaitu melalui:

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang perlindungan Anak ,

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014

Tentang Perlindungan saksi dan korban, serta Undang-Undang No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 17 Tahun 2016 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016.

1. Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Jo Undang-Undang No 17 Tahun

2016 Tentang perlindungan Anak

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan

seksual ialah diatur dalam:

a. Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 jo pasal 81 ayat 7 UU No. 17

Tahun 2016 Tentang Perrlindungan dikatakan bahwa “ Terhadap

Pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan Ayat (5) dapat

dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat

pendeteksi elektronik” .

b. Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 jo pasal 82 ayat (6) UU no. 17

Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak dikatakan bahwa

“ Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai

dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan

pemasangan alat pendeteksi elektronik”

27
Didalam UU No 17 Tahun 2016 ada 2 pasal yang direvisi, yakni pasal 81

dan pasal 82, namun diantara pasal 81 dan pasal 82 disisipkan 1 pasal yakni

pasal 81A, dan diantara pasal 82 dan pasal 83 disisipkan 1 pasal yakni pasal

82A. Didalam Pasal 81 ayat 7 inilah penambahan hukuman terhadap pelaku

tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yakni berupa tindakan berupa

kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Didalam Pasal 59A juga mengatur mengenai perlindungan khusus bagi

anak dilakukan melalui upaya:

a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi

secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan

gangguan kesehatan lainnya.

b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

c. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga yang

tidak mampu

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses

pengadilan.

Didalam Pasal 67B juga diatur mengenai perlindungan khusus bagi

anak yang menjadi korban pornografi melalui upaya pembinaan,

pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental yang

dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan. Pasal 69A diatur

mengenai perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual

dilakukan melalui upaya:

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai

kesusilaan

28
b. Rehabilitasi sosial

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat

pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan

pemeriksaan disidang pengadilan.

2. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 jo. Undang-undang No. 31 Tahun

2014 Tentang Perlindungan saksi dan korban

a. Pasal 5 mengenai hak saksi dan korban termasuk saksi

pelaku,pelapor dan ahli, termasuk pula orang yang dapat

memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara

pidana meskipuntidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan

tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu

berhubungan dengan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai

dengan keputusan LPSK:

a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan

harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan

dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk

perlindungan dan dukungan keamanan

c) Memberikan keterangan tanpa tekanan

d) Mendapat penerjemah

e) Bebas dari pertanyaan yang menjerat

f) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus

29
g) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan

h) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan

i) Dirahasiakan identitasnya

j) Mendapat identitas baru

k) Mendapat kediaman tempat sementara

l) Mendapat tempat kediaman baru

m) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan

n) Mendapat nasihat hukum

o) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir

p) Mendapat pendampingan.

b. Pasal 6 mengenai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan

orang, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban

penganiayaan berat, selain mendapat hak yang sudah ditentukan

dalam pasal 5 juga berhak mendapatkan (pasal 6):

a) Bantuan medis,

b) Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis

c. Pasal 10 mengenai saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor

tidak dapat dituntut secara hukum kecuali laporan atau kesasaksian

yang diberikan tidak dengan itikad baik. Apabila terdapat penuntutan

30
terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tuntutan

tersebut wajib ditunda hingga kasus yang diberi kesaksian diputus

oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.34

Secara tegas dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak menyebutkan bahwa:

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:

a. Penyalagunaan dalam kegiatan politik

b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan

e. Kejahatan seksual

Kejahatan seksual merupakan salah satu kejahatan yang benar-benar

mendapatkan perhatian khusus dalam masalah perlindungan anak. Hal ini terlihat

jelas pada pasal 15 undang-undang perlindungan anak yang memberikan

ketegasan agar setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kejahatan

seksual, penyebabnya adalah semakin banyaknya kejahatan tindak kekerasan

seksual yang menimpa anak-anak Indonesia, dikarenakan anak-anak mudah untuk

diancam dan dilukai oleh pelaku kejahatan seksual untuk melakukan kekerasan

seksual mengingat anak-anak tidak mampu untuk melawan atau menjaga dirinya

terhadap bahaya yang akan menimpanya. Untuk menghindari terjadinya

kejahatan-kejahatan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual maka

Undang-Undang No.35 Tahun 2014 jo Undang-Undang No. 17 Tahun 2016

Tentang Perlindungan Anak menitikberatkan serta memberikan kewajiban dan

34
Anggar Kurniawati , “ Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di
kota Surakarta”, jurnal Vol 3 No. 2 (2014)

31
tanggungjawab kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,

keluarga dan orangtua atau wali. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang

diatur dalam pasal 20 Bab IV Kewajiban dan Tanggungjawab dan selanjutnya

dalam pasal 21-26 Undang-undang perlindungan ini menjelaskan secara terperinci

masing-masing peran dan tugas negara, pemerintah dan pemerintah daerah,

masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali dalam penyelenggaraan

perlindungan anak.

Dalam pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

menjelaskan bahwa:

Pasal 54 Ayat (1) berbunyi:

Anak didalam dan dilingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan

perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan

lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta

pendidik, dan/atau pihak lain.

Pasal 54 Ayat (2) berbunyi:

Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik,

tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Perlindungan yang diberikan yang dimaksud bahwa setiap anak dalam

lingkungan pendidikan yaitu sekolah berhak mendapatkan perlindungan dari

pihak yang terkait dengan masalah perlindungan anak. Pada hakikatnya sekolah

merupakan tempat anak-anak untuk mendapatkan haknya untuk belajar dan

menuntut ilmu setinggi-tingginya, dengan demikian demi tercapainya hak anak

disekolah atau lingkungan pendidikan maka anak-anak perlu dilindungi dari

berbagai tindak kekerasan khususnya tindak kekerasan seksual.

32
Selanjutnya dalam hal anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan

seksual, dalam hal ini UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

memberikan perlindungan khusus dalam hal pemulihan korban yang diatur dalam

Pasal 64A serta pengajuan ganti rugi (restitusi) terhadap diri korban secara

langsung yang ditanggungkan kepada pelaku tindak kekerasan seksual yang diatur

dalam pasal 71D.35

35
Anastasia Hana Sitompul, “Kajian Hukum Tentang Tindak Kekerasan Seksual Terhadap
Anak Di Indonesia”, Jurnal Vol. 4 (2015)

33
BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL

TERHADAP ANAK MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2014 JO UU NO. 17

TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

A. Prinsip Pertanggungjawaban

Tanggung jawab dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dari kata

“Responnsibility” atau “Liability” sedangkan dalam Bahasa Belanda yaitu

“Vereentwoodelijk”. Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia

adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga

bertanggungjawab menurut kamus Bahasa Indonesia adalah berkewajiban

menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan

jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai

perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab juga berarti berbuat

sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat

kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia

pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab,

maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian

tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat

dan dari sisi kepentingan pihak lain.

Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab (berbudaya). Manusia merasa

bertanggungjawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu,

dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengabdian atau

pengorbanannya. Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung

34
jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan

takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.36

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan orang

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu

mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap

pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.37

Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan

penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan

sepanjang pembuat tidak memiliki defence ketika melakukan sesuatu tindak

pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang

bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat

membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak

pidana.38 Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat

memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas tiada

pertanggungjawabkan pidana tanpa kesalahan, maka pembuat dapat

dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin pembuat yang

normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan

36
Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta: 2017. Hal. 27
37
Chairul Huda, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Kencana Prenada Media, Jakarta: 2005. Hal.68
38
Ibid, Hal 62

35
dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab,

merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan .39

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat tidaknya ia

dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut:

1. Mampu bertanggungjawaban

2. Kesalahan

3. Tidak ada alasan pemaaf

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya tiga

unsur pokok, yaitu:

a. Unsur Perbuatan

Perbuatan atau tindakan seseorang adalah titik penghubung dan dasar

untuk pemberian pidana pada perbuatan orang tersebut.

b. Unsur orang atau Pelaku

Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana atau seorang manusia.

Maka hubungan ini mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan sipelaku

tindak pidana. Hanya dengan hubungan batin ini, perbuatan yang

dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada sipelaku dan baru akan

tercapai apabila ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi

hukuman.

c. Unsur Pidana melihat dari sipelaku

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu ini.

39
Ibid, Hal 89

36
Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus

mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu

kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (Opzet)

Kesengajaan terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat

dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak

ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si

pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya

kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar

menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan

diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak

bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia

tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu

kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya

dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya

mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang

menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan

seseorang yang dilakukannya.

37
2. Kelalaian (Culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun

juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu,

delik culpa merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan

pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik

kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi

yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri,

perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang

menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik

kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu

sendiri sudah diancam dengan pidana.

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

a. Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum,

adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan

terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar.

Kekeliruan terletak pada salah pikir/pandang yang seharusnya disingkirkan.

Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang

mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak

mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana

sikap berbahaya.

b. Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum,

mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan,

kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam

caranya melakukan perbuatan.

38
B. Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual

Perkosaan merupakan kejahatan kesusilaan yang bisa disebkan oleh berbagai

faktor. Berbagai faktor itu terkait dengam posisi korban dalam hubungannya

dengan pelakunya. Artinya sudah ada relasi lebih dulu antara korban dengan

pelakunya. Menurut Lydia Suryani W dan Sri Wurdani bahwa “ Perkosaan dapat

terjadi karena berbagai macam sebab, seperti adanya rasa rendam pelaku pada

korban, karena rasa dendam pelaku pada seseorang wanita sehingga wanita lain

menjadi sasaran kemarahannya, korban sebagai kompensasi perasaan tertekan

atau stress pelaku atas berbagai permasalahan yang dihadapinya, karena pengaruh

rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno, dan karena ingin

pelaku menyalurkan dorongan seksualnya yang sudah tidak dapat ditahannya,

juga karena didukung oleh situasi dan lingkungan maupun pelaku dan korban

yang memungkinkan dilakukan perkosaan. Dalam kasus perkosaan yang tidak

melibatkan tiga hal , yakni: pelaku, korban, dan situasi serta kondisi40.

Selain itu, terjadinya perkosaan juga didukung oleh peran pelaku, posisi

korban dan pengaruh lingkungan. Pelaku menjadi gambaran sosok manusia yang

gagal mengendalikan emosi dan naluri seksualnya secara wajar, sementara korban

juga memrankan dirinya sebagai faktor kriminogen, artinya sebagai pendorong

langsung maupun tidak langsung terhadap terjadinya perkosaan. Posisi pelaku

dengan korban ini pun didukung oleh peran lingkungan (seperti jauh dari

keramaian, sepi dan ruang tertutup) yang memungkinkan pelaku dapat leluasa

menjalankan aksinya-aksi jahatnya.

40
Abdul wahid dan Muhammad Irfan, Op. Cit, Hal. 66

39
Kedekatan hubungan antara lawan jenis yang bukan istrinya atau mahramnya

merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap terjadinya perkosaan. Pihak

pelaku memang bersalah, namun kesalahan yang diperbuat itu bisa disebabkan

oleh kesalahan-kesalahan yang secara tidak langsung diperbuat oleh korban.

Pelaku memanfaatkan kelengahan, kelemahan dan barangkali kesalahan korban

yang secara lansgung maupun tidak perilakunya telah mendorong pelaku yang

berbuat jahat. Perempuan (korban) cepat percaya dengan bujuk rayu, penampilan

dan kedekatan hubungan, yang mengakibatkannya berada dalam posisi tergantung

atau membutuhkan keberadaan pelaku41.

Perkosaan menjadi salah satu tolak ukur pelanggaran HAM yang cukup parah

terhadap perempuan. Apa yang diperbuat pelaku merupakan bukti

kesewenang-wenangan dan kekejian yang bertentangan dengan watak diri

manusia yang seharusnya menghormati hak-hak sesamanya, apalagi terhadap

perempuan yang seharusnya dilindungi. Potensi dalam dirinnya yangs seharusnya

ditujukan untuk mengasihi dan menyayangi sesama ternyata dikalahkan oleh

potensi yang cenderung mengajak pada perbuatan menindas dan menganiaya

sesamanya. Potensi dalam dirinya yangs seharusnya difungsikan untuk

melindungi dan membela perempuan dari perbuatan-perbuatan tidak terpuji,

justru dikalahkan oleh potensi yang menghancurkan

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkosaan/pelecehan seksual

ialah:

41
Ibid, Hal .70

40
1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika

berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk

berbuat tidak senonoh dan jahat.

2. Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang

semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang

seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya

dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.

3. Rendahnya pengamalan dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan

yang terjadi ditengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin

terkikis dimasyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin

meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang

berbuat jahat dan merugikan orang lain.

4. Tingkat kontrol masyarakat yang rendah,artinya berbagai perilaku yang

diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum, dan norma keagamaan

kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.

5. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang

dijatuhkan pada pelaku. Hal ini memungkinkan dapat mendorong

anggota-anggota msyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya

mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi

hukum yang akan diterimanya.

6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya.

Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan

kompensasi pemuasnya.

41
7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap

sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan

merugikannya42

C. Teori-Teori Pemidanaan Di Indonesia

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga

golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),

teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan

(verenigings theorien).

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan

kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar

pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti

dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut

teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh

yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya

absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of

Law, bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana

untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri

maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya

karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap

42
Ibid, Hal.72

42
orang seharunya menerima ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas

dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarkat. Itu sebabnya teori ini

disebut juga teori pembalasan.

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai

berikut:

Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk

yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang

mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada,

karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat

penjatuhan pidana.

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan

sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan

ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam.

Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang

pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai

kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana

membina si pelaku kejahatan. Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas

pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah

pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan

terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.

Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan

narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk

membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana

yang ringan pun kadang-kadang dapat merangsang narapidana untuk

43
melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan

narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah

pelaku tindak pidana itu mempunyai lapangan kerja atau tidak. Apabila

pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan

tetap menjadi lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada

kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali.

Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan

oleh Karl O. Cristiansen, yaitu:

a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana

untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;

e. Pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan

tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan

kembali pelanggar.

2. Teori Relatif Atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai

reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori

relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan

ketertiban di dalam masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari

pemidanaan yaitu :

44
a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de

maatschappelijke orde);

b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai

akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad

onstane maatschappelijke nadeel);

c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

d. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de

misdadiger);

e. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad)

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan,

bahwa:

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi

mempunyai tujuan tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori

ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar

pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada

tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang

membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan

melakukan kejahatan).

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar

ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana

yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas

kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu:

45
a. prevensi umum (generale preventie),

b. prevensi khusus (speciale preventie).

Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan

sebagai berikut: “Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya

orang pada umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan

menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar”.

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk

mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan

memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak

akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan

bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi

perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan

memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan

berguna.

3. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas

kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan

mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas

(teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan

pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan

yaitu :

a. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena

dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti

46
yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang

melaksanakan.

b. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan

karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat;

kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki

masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit

dilaksanakan.

Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

a) Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak

boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat

mempertahankan tata tertib masyarakat.

b) Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib

masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang

beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh

narapidana.

c) Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara

kedua hal di atas. 43

D. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Kekerasan Seksual Menurut UU

Perlindugan Anak

Setiap orang yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual akan

mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya baik itu perbuatan yang tergolong

43
https://media.neliti.com, diakses pada tanggal 5 Juli 2021, Pukul 19.00 wib

47
ringan, maupun tergolong berat. Undang-Undang No 35 tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak pada BAB XIA telah mengatur larangan-larangan kejahatan

anak terutama tentang kejahatan seksual. Pada bab ini setiap orang yang

melakukan tindak pidana kejahatan anak telah diatur ketentuan pidana penjara

dan besaran dendanya berdasarkan pasal-pasal untuk mempertanggungjawabkan

tindakan siterduga pelaku.

Pertanggungjawaban Pidana mengandung asas kesalahan (asas

culpabilitas), bahwa asas kesalahan yang dilandasi pada nilai keadilan harus

disertakan secara berpasangan dengan asas legalitas yang dilandasi kepada nilai

kepastian. Walaupun cara berfikir bahwa pertanggungjawaban pidana yang dinilai

berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal dapat dilakukan dengan

pertanggungjawaban pengganti dan dapat pula pertanggungjawaban yang ketat.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah

seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan

pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan

bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah

ditentukan dalam Undang-Undang.

Didalam hukum pidana harus adanya pertanggungjawaban untuk

mewujudkan kehidupan ditengah-tengah masyarakat adanya suatu keadaan yang

bersifat adil dan sejahtera baik secara materil dan spritual. Hukum pidana ini

bertujuan untuk mencegah dan mengurangi tindak pidana yang tidak diinginkan.

Dan juga pengguna sarana hukum pidana dengan sanksi dan hukuman harus

memperhatikan biaya dan kemampuan kerja dari institusi terkait, sehingga jangan

sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya.

48
Pertanggungjawaban tindak pidana dengan maksud untuk menentukan apakah

seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan

pidana yang terjadi atau tidak. Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi

syarat dalam undang-undang pidana untuk dapat dikenai pidana karena

perbuatannya, sedangkan syarat untuk adanyan pertanggungjawaban pidana atau

dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan

atau kealpaan.

Dalam hal menentukan kemampuan untuk bertanggungjawab ada dua faktor,

yaitu:

1. Akal, yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang

diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

2. Kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah kelakuannya dengan

keinsafan atas nama diperbolehkan dan dimana yang tidak.

Ketentuan tentang sanksi pidana bagi pelaku (orang dewasa) pelecehan

seksual anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah

sebagai berikut:

1. Pasal 285 KUHP yang menentukan bahwa:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena

memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”

2. Pasal 286 KUHP yang menentukan bahwa:

“Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang

diketahuinya, bahwa perempuan itu pingsan dan tidak berdaya, pelaku

dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

49
3. Pasal 287 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa:

“Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang

diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu

belum cukup umur 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa

perempuan itu belum masanya untuk kawin , dihukum penjara

selama-lamanya sembilan tahun”.

Ketentuan pidana sanksi terhadap anak sebagai pelaku diatur dalam pasal

45, 46 dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

1. Pasal 47 ayat (1) menentukan bahwa:

“ Jika Hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok

terhadap perbuatan pidananya dikurangi sepertiga”

2. Pasal 47 ayat (2) menentukan bahwa:

“ Jika perbuatan merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati

atau pidana seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama

lima belas tahun”

Ketentuan tentang tindak pidana pelecehan seksual terdapat pada pasal 82

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang No. 17 Tahun 2016

Tentang Perlindungan Anak yang merupakan sebagai berikut:

“(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun dan dengan denda paling banyak Rp.

5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”

50
“(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,

pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani

perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara

bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)”

“(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

penambahan 1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang

pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam pasal 76E”.

Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu tindakan yang menyiksa dan

menghilangkan mental anak yang dilakukan oleh orang dewasa untuk memuaskan

nafsu dan seksualitas pada dirinya. Kekerasan seksual tersebut berbentuk suatu

permintaan kepada anak untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas, seperti

memegang alat kelamin pelaku, meraba-raba tubuh anak tersebut, memutar video

pornografi. Melakukan hubungan seksual, melihat alat kelamin anak juga

termasuk walaupun tidak melakukan hubungan seksual (akan menimbulkan rasa

trauma yang panjang bagi masa depan anak) dan bahkan memperalat anak untuk

melakukan video pornografi.

Untuk melindungi anak yang menjadi korban tindak kejahatan yaitu

berbentuk pelecehan seksual, haruslah diberikan berupa penggantian kerugian,

dapat berupa kompensasi dan/atau restitusi harus diperhatikan penuh oleh

pembuat kebijakan. Dalam bukunya “The Victim and His Criminal”,

51
mengemukakan 5 (lima) sistem pemberian kompensasi dan restitusi kepada

korban kejahatan, yaitu:

1) Walaupun restitusinya bersifat bercampurnya pidana dan perdata, tetapi

harus diselesaikan denga proses pidana.

2) Prosedur khusus hanya dapat diberikan kepada kompensasi yang bersifat

netral.

3) Kompensasi yang bersifat keperdataan, diberi melalui proses pidana dan

mendapat dukungan dari berbagai sumber penghasil negara.

4) Melalui jalur proses pidana maka diberikan kompensasi yang bersifat

keperdataan.

5) Penggantian rugi keperdataan, dan diselesaikan dengan proses acara

perdata.44

44
Veny Melisa Marbun, Op.Cit

52
BAB IV

BAGAIMANA PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

PIDANA TERHADAP PELAKU DALAM STUDI PUTUSAN NOMOR :

398/PID.SUS/2018/PN MDN

A. Kronologi Kasus

Bahwa sejak tahun 2013 Anak korban Intan Fitria kenal dengan terdakwa M.

Ryansyah Otto Alias Gogon dan resmi memiliki hubungan pacaran sejak tanggal

06 November 2016.

Bahwa pada hari sabtu tanggal 09 Desember 2017 sekira pukul 02.00 wib,

terdakwa mendatangi rumah anak korban Intan Fitria yang beralamat di Jalan

Karyaa Gang Wonosobo No.22 Lk. I Kelurahan Karang Berombak Kecamatan

Medan Barat dan masuk melalui pintu belakang rumah anak korban Intan Fitria

yang sengaja tidak dikunci oleh anak korban kemudian terdakwa masuk kedalam

rumah dan langsung masuk kedalam kamar tidur anak korban dimana Anak saksi

Putri Ashari ( yang merupakan adik kandung saksi korban) sedang berada didalam

kamar tidur tersebut sedang tidur diatas kasur bawah kemudian terdakwa dan anak

korban rebahan diatas kasur atas, selanjutnya terdakwa memeluk tubuh anak

korban dan menciumi pipi dan karena birahinya naik, terdakwa membuka baju

dan celana yang dikenakan terdakwa pada saat itu hingga telanjang dan dengan

ucapan terdakwa yang meyakinkan anak korban Intan Fitria yang akan

bertanggungjawab dan karena terdakwa ada mengatakan “ sayang kalin aku

samamu, nggak mau aku kehilangan kau dan janji akan menikahi kamu..’ maka

anak korban bersedia disetubuhi oleh terdakwa dimana terdakwa membuka

53
pakaian yang dikenakan anak korban pada saat itu sehingga sama-sama telanjang,

terdakwa menindih badan anak korban lalu menciumi pipi, bibir, dan kening anak

korban kemudian terdakwa langsung memeras kedua payudara sambil menghisap

puting payudara anak korban, kemudian terdakwa memasukkan alat kelamin

terdakwa yang sedang keras/menegang kedalam lubang alat kelamin (vagina)

anak korban lalu terdakwa menggoyangkan pinggul sekitar 5 (lima) menit dan

terdakwa mengeluarkan spermanya diatas perut.

Kemudian setelah selesai bersetubuh, terdakwa dan anak korban tidur diatas

kasur dalam keadaan posisi tidak berbusana (telanjang) sambil memeluk tubuh

anak korban dan karena anak saksi Putri Ashari mendengar suara dari atas kasur

maka anak saksi Putri Ashari terbangun dan membuka lampu kamar serta melihat

terdakwa dan anak korban sedang berada diatas kasur dalam keadaan telanjang

kemudian anak saksi Putri Ashari pergi memanggil saksi Farida Hanim (orangtua)

kekamar tidur yang tidak jauh dari kamar tidur anak korban dan atas ketahuan

tersebut maka terdakwa pergi keluar kamar dan meninggalkan rumah dan dengan

dibantu dengan saksi Sri Juliati Astuti (kepala lingkungan) berhasil mengamankan

terdakwa.

Bahwa sebelumnya, terdakwa sudah sering melakukan perbuatan cabul dan

persetubuhan terhadap anak korban, dengan cara yang sama didalam kamar anak

korban.

Berdasarkan Surat Kartu keluarga No. 1271050506070029 tertanggal 28

April 2009 yang ditandatangani oleh Drs. Sutan Radja Hutagalung selaku Kepala

Dinas Kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa Intan Fitria lahir

pada tanggal 26 Desember 2000, yang mana sepatutnya terdakwa mengetahui

54
bahwa anak korban Intan Fitria masih dibawah umur yaitu berusia 16 Tahun 11

bulan.

Berdasarkan Visum et Repertum dari RSUD Dr. Pirngadi No. 194/OBG?2017

tertanggal 09 Desember 2017 yang ditandatangani oleh Dr. Muldjadi Affendy m.

Ked (OG), SpOG.K selaku dokter pemeriksa, memberi keterangan bahwa Intan

Fitria pada pemeriksaan kedapatan luka robek sampai kedasar pada jam 1 dan 6

dan disimpulkan bahwa selaput darah tidak utuh.

B. Pertimbangan Majelis Hakim

Menimbang, bahwa terdakwa didakwa dalam persidangan dengan Dakwaan

Alternatif:

1. Melanggar Pasal 81 ayat (1) UU RI No.35/2014 tentang Perubahan atas UU

RI No.23 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

2. Melanggar Pasal 81 ayat (2) jo 76 D UU RI No.35/2014 tentang Perubahan

atas UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3. Melanggar Pasal 82 ayat (1) jo 76 E UU RI No.35/2014 tentang perubahan

atas UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Menimbang, bahwa Surat Dakwaan disusun secara Alternatif, maka

berdasarkan fakta-fakta dipersidangan bahwa perbuatan terdakwa mengarah

kepada Dakwaan kedua, Pasal 81 ayat (2) jo 76 D UU RI No.35/2014 tentang

Perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sehingga

dipertimbangkan Dakwaan Kesatu dengan usulan-usulan berikut:

55
Ad. 1. Setiap Orang;

Menimbang, bahwa yang dimaksud “barang siapa” adalah setiap orang

atau subjek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Unsur barang siapa disini menunjuk kepada terdakwa M.RYANSYAH OTTO

Alias GOGON yang identitasnya telah dibenarkan sebagaimana dalam surat

dakwaan kami. Benar bahwa terdakwa adalah orang yang sehat jasmani dan

rohaninya dan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan dipersidangan,

sehingga dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selaku subjek

hukum. Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “ setiap orang “ telah

terpenuhi.

Ad. 2. Mengenai unsur dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan orang lain;

Menimbang, bahwa dipersidangan telah terungkap fakta bahwa pada hari

Sabtu tanggal 09 Desember 2017 sekira pukul 02.00 wib, terdakwa

mendatangi rumah anak korban Intan Fitria yang beralamat di Jalan Karya

Gang Wonosobo No. 22 Lk. I Kelurahan Karang Berombak kecamatan

Medan Barat dan masuk melalui pintu belakang rumah anak korban Intan

Fitria yang sengaja tidak dikunci oleh anak korban kemudian terdakwa masuk

kedalam rumah dan langsung masuk kedalam kamar tidur anak korban

dimana anak saksi Putri Ashari (adik kandung korban) sedang berada didalam

kamar tidur tersebut sedang tidur diatas kasur bawah kemudian terdakwa dan

anak korban rebahan diatas kasur atas, selanjutnya terdakwa memeluk tubuh

anak korban dan menciumi pipi dan karena birahinya naik, terdakwa

56
membuka baju dan celana yang dikenakan terdakwa pada saat itu hingga

telanjang dan dengan ucapan terdakwa yang meyakinkan anak korban Intan

Fitria yang akan bertanggungjawab dan karena terdakwa ada mengatakan

“ sayang kali aku samamu, nggak mau aku kehilangan kau dan janji akan

menikahi kamu…” maka anak korban bersedia disetubuhi oleh terdakwa

dimana terdakwa membuka pakaian yang dikenakan anak korban pada saat

itu hingga sama-sama telanjang, terdakwa menindih badan anak korban lalu

menciumi pipi, bibir dan kening anak korban kemudian terdakwa langsung

memeras kedua payudara anak korban, kemudian terdakwa memasukkan alat

kelamin terdakwa yang sedang keras/menegang kedalam lubang alat kelamin

(vagina) anak korban lalu terdakwa menggoyangkan pinggul sekitar 5 (lima)

menit dan terdakwa mengeluarkan spermannya diatas perut.

Menimbang, bahwa kemudian setelah selesai bersetubuh, terdakwa dan

anak korban tidur diatas kasur dalam keadaan posisi tidak berbusana

(telanjang) sambil memeluk tubuh anak korban dan karena anak saksi Putri

Ashari mendengar suara dari atas kasur maka anak saksi Putri Ashari

terbangun dan memnbuka lampu kamar serta melihat terdakwa dan anak

korban sedang berada diatas kasur dalam keadaan telanjang kemudian anak

saksi Putri Ashari pergi memanggil saksi Farida Hanim (orangtua) kekamar

tidur yang tidak jauh dari kamar tidur anak korban dan atas ketahuan tersebut

maka terdakwa pergi keluar melalui kamar dan meninggalkan rumah dan

dengan dibantu dengan saksi Sri Juliati Astuti (kepala lingkungan) berhasil

mengamankan terdakwa. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian

pertimbangan tersebut diatas maka unsur kedua ini telah terpenuhi.

57
Menimbang, bahwa keseluruhan delik dalam dakwaan kedua melanggar

pasal 81 ayat (2) jo 76 D UU RI No. 35/2014 tentang perubahan atas UU RI

No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi secara sah dan

meyakinkan menurut hukum maka telah terbuktilah dakwaan kesatu tersebut

sehingga terdakwa dinyatakana bersalah melanggar pasal tersebut;

Menimbang, bahwa dalam pemeriksaan persidangan pada terdakwa tidak

ternyata adanya alasan pemaaf ataupun pembenar menurut hukum atas

perbuatannya. Oleh karenanya terdakwa harus dinyatakan bersalah dan

dihukum dengan hukuman pidana penjara yang setimpal dengan

perbuatannya.

Menimbang, bahwa sebelum dijatuhkan putusan dipertimbangkan pula

hal yang memberatkan dan yang meringankan yang ada pada diri dan atau

perbuatan terdakwa yaitu sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

- Bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat

- Bahwa perbuatan terdakwa telah merusak masa depan anak korban Intan

Fitria

Hal-hal yang meringankan:

- Bahwa terdakwa belum pernah dihukum

- Bahwa terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya

- Bahwa terdakwa bersikap sopan dipersidangan

- Bahwa terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya

Menimbang, bahwa adil kepada terdakwa dijatuhi pidna penjara

sebagaimana tersebut dalam amar putusan dan oleh karena sebelum putusan

58
dijatuhkan terdakwa berada dalam tahanan maka waktu selama terdakwa

berada dalam tahanan haruslah dikurangkan seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan.

Menimbang, bahwa pidana yang dijatuhkan lebih lama dari waktu

penahanannya maka kepada terdakwa ditetapkan untuk tetap berada dalam

tahanan.

Menimbang, bahwa terhadap barang bukti dalam perkara ini statusnya

ditentukan sebagiman dalam amar putusan perkara a quo.

Menimbang, bahwa terdakwa bersalah maka dibebani untuk membayar

biaya perkara.

C. Amar Putusan

Adapun Pengadilan Negeri Medan memberikan amar putusan sebagai

berikut:

1. Menyatakan terdakwa M.RYANSYAH OTTO Alias GOGON telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Dengan

sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain “.

2. Menjatuhkan pidana terdakwa M.RYANSYAH OTTO Alias GOGON

tersebut dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan denda sebesar

Rp. 60.000.000,- (enam puluh jutah rupiah) yang apabila denda tidak dibayar

oleh terdakwa maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh

terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

59
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan.

5. Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) buah celana dalam warna abu-abu

dan 1 (satu) buah kaos dalam (sonket) warna putih. Dirampas untuk

dimusnahkan.

6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sejumlah Rp. 5.000,00 (lima

ribu rupiah).

D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Majelis

Hakim

Ketika kita membahas tentang putusan pengadilan maka kita tidak bisa lepas

dari kedudukan seorang hakim dalam mengadili suatu perkara dan

pertimbangan-pertimbangan yang digunakan olehnya di dalam membuat suatu

putusan di dalam perkara yang di adili tersebut.

Dasar petimbangan merupakan argumen yang menjadi dasar/bahan untuk

menyusun pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa

hukum yang kemudian digunakan untuk menjatuhkan putusan kepada terdakwa,

dasar pertimbangan hakim itu sendiri memiliki kedudukan yang penting di dalam

suatu putusan yang dibuat oleh hakim sebab semakin baik dan tepat pertimbangan

yang di gunakan oleh hakim dalam sebuah putusan, akan mencerminkan sejauh

mana rasa keadilan yang ada di dalam diri sihakim yang membuat putusan

tersebut. Selain itu berkaitan dengan keadilan itu sendiri kedudukan seorang

hakim yang memiliki tugas mengadili dan memutus perkara haruslah benar-benar

bisa di percaya, adil dan tidak memihak di dalam mengadili dan memutus suatu

perkara. Oleh sebab itu, maka keobyektifan hakim dalam mengadili perkara,

60
tanggung jawab hakim terhadap putusanya, serta kebebasan hakim dalam

mengadili dan memutus perkara menjadi faktor-faktor yang perlu diperhatikan

juga.

Berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa dakwaan penuntut umum, tuntutan penuntut umum dan

pertimbangan hukum dalam pengadilan dalam amar putusannya telah memenuhi

unsur dan syarat dipidananya seseorang terdakwa, hal ini didasarkan pada

pemeriksaan dalam persidangan, dimana keterangan saksi-saksi dan barang bukti

yang bersesuain satu sama lain yang diajukan oleh penuntut umum ditambah

dengan keterangan terdakwa yang membenarkan dan mengakui secara jujur

perbuatan yang dia lakukan.

Putusan Nomor: 398/Pid.Sus/2018/PN Mdn, menyatkan bahwa terdakwa M.

RYANSYAH OTTO Alias GOGON telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain.

Putusan Majelis Hakim ini juga menurut penulis cukup tepat yakni pasal 81

ayat (2) jo 76D UU RI No.35/2014 tentang Perlindungan Anak yang dimana

unsur-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Hal ini sudah sesuai dengan

dakwaan alternatif yang didakwakan oleh penuntut umum.

Jika melihat dari keputusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara selama 9

(sembilan) tahun kepada terdakwa. Penulis melihat keputusan hakim ini terlalu

ringan, seharusnya hakim menurut penulis menjatuhkan pidana maksimal sesuai

dalam Undang-Undang Perlindungan Anak . Dikarenakan perbuatan pelaku sudah

61
berulangkali dilakukan kepada anak korban. Menurut Penulis Pidana Maksimal

yakni 15 tahun penjara yang dijatuhkan hakim akan memberikan efek jera kepada

pelaku, mengingat perbuatan pelaku telah merusak masa depan anak, dan merusak

nilai-nilai kesopanan. Penulis juga melihat kasus ini berpotensi terulang kembali

jika sipelaku divonis hukuman 9 tahun penjara. Anak adalah generasi bangsa yang

sangat perlu dijaga, dilindungi bukan malah dirusak masa depannya.

Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan

pertimbangan yuridisnya tetapi terdapat juga pertimbangan psikologis dan

sosiologinya, yang mengarah pada latar belakang terjadinya tindak pidana. Hakim

dituntut mempunyai keyakinan dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara

alat-alat bukti yang sah serta menciptakan hukum itu sendiri yang bersendikan

keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan pancasila sebagai sumber dari

segala hukum.

Pertimbangan hakim adalah hal yang sangat penting dalam menjatuhkan

sanksi terhadap para pelaku tindak pidana, seorang hakim dituntut arif bijaksana

dan pertimbangan yang berasal dari hati nuraninya lalu memutuskan dengan

seadil-adilnya , adil untuk penegak hukum, adil untuk korban, adil untuk terdakwa

dan adil untuk masyarakat.

Majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan melakukan

pertimbangan-pertimbangan baik itu dari aspek yuridis maupun pertimbangan dari

aspek psikologis dan sosiologis. Pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap

tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks yang paling penting dalam

putusan hakim dan merupakan unsur-unsur dari suatu delik apakah perbuatan

62
terdakwa telah memeunihi dan sesuai dengan rumusan delik yang didakwakan

oleh jaksa penuntut umum.

Maka terlebih dahulu Majelis Hakim akan menarik fakta-fakta dalam

persidangan yang timbul dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, alat bukti,

dan barang bukti yang ditujukan dan diperiksa dipersidangan. Pada dasarnya yang

dimaksud dengan fakta-fakta yaitu bagaimanakah tindak pidana itu dilakukan,

penyebab serta latar belakang mengapa pelakum melakukan perbuatan tersebut.

Apakah karena Hawa nafsu, keterbatasan ekonomi, hanya ingin bersenag-senang,

atau memang untuk memperoleh sebuah keuntungan.

63
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan dari atas adalah

sebagai berikut:

1. Perlindungan Hukum Anak Sebagai Korban diatur dalam pasal 59A UU No.

35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang dilakukan melalui upaya :

a. Penanganan yang cepat termasuk pengobatan/rehabilitasi secara fisik,

psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan

lainnya.

b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan.

c. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga yang tidak

mampu.

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses

pengadilan.

2. Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan yang dilandasi pada

nilai keadilan yang disertakan secara berpasangan dengan asas legalitas yang

dilandasi dengan nilai kepastian. Pertanggungjawaban pidana kekerasan

seksual pada anak diatur dipasal 81 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan anak yang menyebutkan “ Setiap orang yang melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun

dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

64
3. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan adalah dengan mengenakan

pasal 81 ayat (2) Jo 76D Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang

perlindungan anak dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa M.

RYANSYAH OTTO Alias GOGON dengan pidana penjara 9 tahun dan

denda sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) yang apabila

denda tidak dibayar oleh terdakwa maka akan diganti dengan pidana penjara

selama 3 (tiga) bulan dan menetapkan masa penangkapan dan masa

penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan

B. SARAN

1. Bahwa melihat perlindungan hukum terhadap anak diatas ialah belumlah

berjalan dengan baik, perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban

tindak pidana kekerasan seksual haruslah benar-benar terarah dan

memberikan efek jera kepada si pelaku. Perlindungan anak juga tidak cukup

hanya dari pemerintah saja, namun kehadiran orangtua, tenaga pendidik, guru,

dan masyarakat dalam mendidik dan menjaga anak sangat dibutuhkan dalam

perlindungan anak, disamping itu juga lingkungan juga sangat mempengaruhi

tumbuh kembang anak dari tindakan-tindakan kejahatan seksual disekitarnya.

Anak juga harus dibekali dengan pemahaman tentang bahayanya kejahatan

seksual yang merusak masa depan anak itu sendiri. Selain merusak masa

depan anak itu sendiri, juga meninggalkan trauma yang berkepanjangan.

Undang-Undang perlindungan anak itu perlu direvisi supaya ada peraturan

65
khusus yang mengatur tentang anak sebagai korban itu bisa melapor kejadian

yang terjadi.

2. Seharusnya pertanggungjawaban pidana didalam pasal 81 ayat 1 UU

Perlindungan Anak lebih diberatkan hukumannya dengan maksimal 20 tahun

penjara atau hukuman seumur hidup agar adanya efek jera kepada pelaku

kejahatan seksual pada anak mengingat anak ialah generasi penerus bangsa

yang harus dan wajib dilindungi dan dibina.

3. Bahwa melihat putusan hakim diatas, hakim melihat kasus tersebut antara

pelaku dan korban melakukan kejahatan seksual tidak dengan paksaan

melainkan dengan bujuk rayuan mau bersetubuh dan tipu muslihat dengan

berjanji akan menikahi sikorban. Namun, pidana kurungan 9 tahun menurut

penulis terlalu ringan, dikarenakan perbuatan pelaku sudah berulangkali

dilakukan bukan hanya sekali. Penulis melihat kasus diatas pelaku berpotensi

mengulangi perbuatannya jika telah bebas, maka dalam hal ini sepatutnya

hakim menjatuhkan pidana maksimal kepada pelaku dikarenakan perbuatan

pelaku telah merusak masa depan anak korban dimana anak korban

seharusnya dilindungi dan dijaga.

66
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Kamil H. Ahmad dan H.M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan

Anak di Indonesia, Depok; RajaGrafindo Persada, 2008

Joni Muhammad dan Zulchaina Z, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam

Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung; Citra Aditya Bakti,1999

Huraerah Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung; Nuansa, 2005

Aziz, Aminah. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan; USU Press, 1998.

Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung; Refika

Aditama, 2006.

Huda Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap

Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:

Prenada Media, 2006, hal 68

Amrani, Hanawi dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Perkembangan dan Penerapan , Yogyakarta; Rajagrafindo Persada, 2015.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981.

Soekanto, Soerjono. dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

tinjauan singkat, Jakarta: Raja Grafindo, 2007.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Grafindo Persada,

2003.

Ashofa, Burhan. Metode Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.

67
Siregar Gomgom T.P dan Rudolf Silaban, Hak-hak Korban Dalam

Penegakan Hukum Pidana, Medan; Cv. Manhaji 2020.

Tri Siwi Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta: 2017.

Wahid Abdul, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual, Refika Aditama, Malang: 2001.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor .23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

C. JURNAL

Marbun Veny Melisa , dkk “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana

Pelecehan Seksual Kepada Anak Dibawah Umur”, jurnal Hukum Vol.11 No 1

(2019).

Kurniawati Anggar , “ Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban

Kekerasan Seksual di kota Surakarta”, jurnal Vol 3 No. 2 (2014).

Sitompul Anastasia Hana , “Kajian Hukum Tentang Tindak Kekerasan


Seksual Terhadap Anak Di Indonesia”, Jurnal Vol. 4 (2015)

68
D. INTERNET

https://kelasips.com/jenis-jenis-kekerasan/, diakses terakhir tanggal 05 April 2021,


Pkl 22.00
http://disppa.sumutprov.go.id, diakses tanggal 16 April 2021 pkl 11.29 Wib
http://e-journal.uajy.ac.id, diakses terakhir tanggal 29 April 2021, Pkl 23.24 Wib
https://media.neliti.com, diakses terakhir pada tanggal 5 Juli 2021, Pukul 19.00
wib

69
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(CURRICULUM VITAE)

A. DATA PRIBADI (PERSONAL DETAIL)

1. Nama Lengkap : Candra Hutagalung

2. Tempat lahir : Palembang

3. Tgl-Bln-Thn-Lahir : 31 Maret 1998

4. Jenis Kelamin : Laki-Laki

5. Agama : Kristen Protestan

6. Status : Mahasiswa

7. Alamat Rumah : Lk.III, Kel.Nauli, Kec. Sitahuis

Kab. Tapanuli Tengah

8. Telepon/HP WA : 0813 6432 5710

9. Email : candraharis44@gmail.com

B. PENDIDIKAN (FORMAL EDUCATION)

Nama Sekolah/Pendidikan Tahun Lulus

SD N 152990 NAULI I 2010

SMP Sw. ARION AEK RAISAN 2013

SMK PGRI 04 SIBOLGA 2016

Anda mungkin juga menyukai