Anda di halaman 1dari 84

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA


KORUPSI DANA BANTUAN SOSIAL DI KABUPATEN
PINRANG
(Studi Kasus Putusan Nomor : 27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks)

OLEH:

ADE MITA IRIANY


B111 14 611

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DANA

BANTUAN SOSIAL DI KABUPATEN PINRANG

(Studi Kasus Putusan Nomor 27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks)

OLEH:

ADE MITA IRIANY

B111 14 611

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana

Departemen Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

i
PENGESAHAN SKRIPSI

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi dari mahasiswa:

Nama : Ade Mita Iriany

Nomor Pokok : B 111 14 611

Bagian : Hukum Pidana

Judul :Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana

Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang (Studi Kasus

Putusan Nomor 27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks)

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan dalam ujian

Skripsi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Makassar, Januari 2018

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.H. M. Said Karim, S.H.,M.H.,M.Si.,CLA Dr. Amir Ilyas, S.H.,M.H.


NIP. 19620711 198703 1 001 NIP. 19800710 200604 1 001

iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN

iv
ABSTRAK

Ade Mita Iriany (B11114611), Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak


Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang Putusan
Nomor 27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks, dibawah bimbingan Prof. Dr.
Muhammad Said Karim, SH, MH, M.Si selaku pembimbing I dan Dr. Amir
Ilyas, SH, MH selaku pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dua hal, yaitu yang pertama
untuk mengetahui konsep penyalahgunaan wewenang dan konsep melawan
hukum pada kasus tindak pidana korupsi dan yang kedua untuk mengetahui
penerapan hukum pidana materiil terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana
Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang dalam Putusan Nomor
27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks

Lokasi penelitian dilakukan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


pada Pengadilan Negeri Makassar dan dalam penelitian ini penulis
melakukan studi kepustakaan dengan cara menelaah buku-buku, literatur
dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah-masalah
yang dibahas dalam skripsi ini.
Dari penelitian yang dilakukan, penulis mendapatkan hasil sebagai
berikut: (1) konsep penyalahgunaan wewenang dan konsep melawan hukum
pada kasus tindak pidana korupsi telah sesuai dalam Undang – Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang –
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. (2) penerapan hukum pidana materiil terhadap Tindak Pidana
Korupsi Dana Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang dalam Putusan Nomor
27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks yang telah sesuai dan memenuhi unsur delik.

v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan tiada hentinya kepada Allah

SWT yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya berupa

nikmat iman dan kesehatan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana

Bantuan sosial Di Kabupaten Pinrang (Studi kasus Putusan Nomor :

27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks)”. penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Strata satu (S1)

pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini, disusun atas segala keterbatasan

yang dimiliki sehingga masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu segala

saran dan kritik penulis harapkan sebagai sebuah masukan dan pelajaran

bagi Penulis.

Dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak hal yang menjadi

hambatan dan kesulitan yang dihadapi oleh Penulis, namun semua itu dapat

dilewati penulis berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Oleh karena

itu, dengan segala kerendahan hati Penulis ucapkan banyak terima kasih

kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini.

vi
Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini

terutama kepada:

1. Ayahanda Alm. Muchtar dan Ibunda Hasnah, yang tercinta dan

juga serta saudaraku Ade Irma Irianty,S.KM dan adikku Ahmad

Dani Febrian, serta kakak iparku Junandar Wahab,S.SIT yang

selama ini selalu memberikan kasih sayang, bantuan, motivasi dan

doa restunya selama Penulis menuntut ilmu.

2. Ibu Prof. Dr. Hj. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A selaku Rektor

Universitas Hasanuddin beserta staf dan jajarannya.

3. Ibu Prof. Dr. Farida Patittinggi, S.H.,M.Hum selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Ahmadi

Miru, S.H,.M.H selaku Wakil Dekan I, Dr. Syamsuddin Mukhtar,

S.H,.M.H selaku Wakil Dekan II, dan Dr. Hamzah Halim,S.H,.M.H

selaku Wakil Dekan III

4. Bapak Prof. Dr. H. M. Said Karim SH.,MH.,M.Si.,CLA selaku

Pembimbing I dan Dr. Amir Ilyas SH,. MH selaku Pembimbing II

yang telah meluangkan waktu membagi ilmu yang berharga dalam

membimbing Penulis menyusun skripsi ini.

vii
5. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad sofyan, S.H,.M.H ibu

Dr.Haerana,S.H,.M.H dan Bapak Dr. Abd. Asis,S.H,.M.H selaku

dosen penguji penulis

6. Seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,

seluruh staf pengajar (Dosen), dan staf akademik yang banyak

membantu.

7. Pegawai Pengadilan Negeri Makassar, terkhusus pada pada

pegawai Pengadilan Tipikor Makassar yang telah membantu

penulis selama masa penelitian.

8. Seluruh keluargaku yang telah memberikan motivasi, telah

menemani Penulis ke tempat penelitian.

9. Sahabat seperjuangan selama kuliah di Fakultas Hukum UNHAS

Andi Nur Rahmah, Suhaema, Adliah Nur Fadillah, Salsa fariza

yang telah memberikan bantuan, motivasi, dukungan. Terimakasih

atas kebersamaannya selama ini, semoga kalian tetap eksis di

kemudian hari.

10. Buat teman – teman Konco: Akbal, Ari, surya, Oji, Agung, Ikram,

Ismail, tri, Ingky, haerul dan Deni atas semua kebersamaan, canda,

tawa, suka dan duka yang pernah kita lalui selama ini.

11. Sahabat - sahabatku Isni safirah, Endah Handayani, Wahida, arfian

dan Abdul Herriz

viii
12. Teman – teman Diplomasi 2014 terima kasih telah banyak berbagi

ilmu, pengalaman dan persaudaraan.

13. Rekan – rekan seperrjuanganku selama KKN Reguler Gel. 96 Kab.

Takalar, Khususnya Kec. Camba Desa Benteng. Terima Kasih atas

persaudaraan, Kebersamaan dan kerjasamanya.

14. Guru dan Alumni TK Kartika VIII – 9 Merauke, SD No 6 INP

Bontoa, SD INP Seringgu Merauke, SMP Negeri 1 Mandai dan

SMA Negeri 1 Mandai

15. Serta semua pihak yang tidak dapan penulis sebutkan satu –

persatu yang telah memberikan motivasi, dukungan, sumbangan

pemikiran, bantuan materi dan non materi, penulis ucapkan terima

kasih.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas pengorbanan tulus yang

telah diberikan dengan segala limpahan rahmat dan hidayah dari-Nya.

Akhir kata penulis persembahkan karya ini dan semoga dapat

bermanfaat bagi kita semua. Amin

Makassar, Januari 2018

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………i

PENGESAHAN SKRIPSI ………………………………………………………….ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………………….....iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ………………………………iv

ABSTRAK …………………………………………………………………………..v

KATA PENGANTAR …….………………………………………………………..vi

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..….x

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………...……1

A. Latar Belakang ……………………………………………………………...1

B. Rumusan Masalah …………………………………………………………6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……………………………….6

BAB II Tinjauan Pustaka …………………………………………………………8

A. Tindak Pidana ………………………………………………………………8

1. Pengertian Tindak Pidana ……………………………………………..8

2. Subjek Tindak Pidana ………………………………………………..10

3. Unsur – unsur Tindak Pidana ………………………………………..11

x
4. Jenis – Jenis Tindak Pidana …………………………………………13

B. Tindak Pidana Korupsi …………………………………………………...19

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ………………………………….19

2. Unsur – unsur Tindak Pidana Korupsi ……………………………...20

3. Subjek Tindak Pidana Korupsi ………………………………………22

4. Jenis – jenis Tindak Pidana Korupsi ………………………………..24

5. Penyalahgunaan Kewenangan ……………………………………...29

C. Bantuan Sosial ……………………………………………………………30

BAB III Metode Penelitian ………………………………………………….......33

A. Lokasi Penelitian ………………………………………………………….33

B. Jenis dan Sumber Data …………………………………………………..33

C. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………………34

D. Teknik Analisis Data …………...…………………………………………34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………………….37

A. Konsep Penyalahgunaan Wewenang dan Konsep Melawan Hukum

Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi …………………………………..37

B. Penerapan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak Pidana Korupsi

Dana Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang Pada Putusan Nomor

27/Pid.Sus.TPk/2016/PN.Mks …………………………………………...40

BAB V Penutup ……………………………………………………….………….67

xi
A. Kesimpulan ………………………………………………………………...67

B. Saran ……………………………………………………………………….68

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….……..69

LAMPIRAN

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang sedang krisis dan

jumlah kemiskinan yang semakin meningkat, yang dipicu akibat dari

korupsi. Korupsi seperti sebuah kanker parah yang telah melibatkan

pejabat tinggi hingga birokrasi bawah. Korupsi dapat membahayakan

stabilitas dan keamanan masyarakat, ekonomi, politik serta dapat

merusak nilai – nilai demokrasi dan moralitas dari suatu negara.

Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia

berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan

belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Repiblik Indonesia adalah negara

hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,

menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya.

Dalam negara – negara berkembang korupsi merupakan masalah

besar termasuk di Indonesia karena akibat yang ditimbulakan oleh para

koruptor. Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia

1
berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan

belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Repiblik Indonesia adalah negara

hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,

menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. 1

Dalam pandangan hukum, korupsi merupakan kejahatan luar biasa

(extraoredinary crimes) dan juga ada pendapat yang mengatakan bahwa

korupsi juga merupakan kejahatan kemanusiaan (crimes againts

humanity) yang sampai sekarang pendaoat tersebut hanya menjadi Ius

Constituendum.

Korupsi dianggap melanggar hak – hak asasi manusia, hal ini

berkaitan dengan hak – hak atas kehidupan yang layak bagi masyarakat

namun terabaikan karena negara tidak memiliki cukup anggaran untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat akibat korupsi.2

Korupsi juga dapat di kategorikan sebagai kejahatan yang lebih

tinggi dibandingan dengan terorisme. Korupsi bahkan merupakan suatu

budaya yang berkembang pada pejabat negara yang sulit untuk

dihilangkan atau dimusnahkan, hal ini menunjukkan menurunnya atau

1
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi edisi kedua, Semarang. 2008, hal. 1
2
Hariman Satria, Anatomi Hukum Pidana Khusus, Yogyakarta, 2014, hal. 50

2
lemahnya nilai moral suatu individu yang mudah terpengaruh akan

kenikmatan duniawi yang hanya sementara. Tidak adanya etika dan

aturan hukum yang berlaku dalam diri seorang individu yang membuat

semakin meningkatnya korupsi. Tanpa disadari perilaku korupsi muncul

dari kebiasaan lumrah dan wajar oleh masyarakat, sehingga kebiasaan –

kebiasaan ini dapat menjadi bibit – bibit nyata korupsi di masa depan.

“Korupsi dalam diri” ini bisa juga berarti alienasi terhadap diri. Hal

ini terjadi antara lain karena diri membiasakan adanya pembiaran.

Pembiaran adalah kebungkaman dan tuna-refleksi dalam masyarakat.3

Berdasarkan survey Transparency International (TI) Indonesia

beradapa pada urutan ke – 90 dari 176 negara dalam setahun terakhir ini,

sementara survey menurut Global Corruption Barometer (GCP)

memperlihatkan 65% menganggap level korupsi meningkat dalam 12

bulan terkahir. GCB Indonesia meliputi 1.000 responden yang tersebar di

31 provinsi yang hasilnya sebagian besar menempatkan DPR di peringkat

pertama lembaga negara yang dianggap korup dan diikuti birokrasi

pemerintah dan DPRD.

Dalam kasus korupsi di Indonesia kasus korupsi yang telah di

putus oleh Mahkamah Agung (MA) dari 2014 – 2015 sebanyak 803 kasus.

3
Al. Andang Binawan, Korupsi Kemanusiaan Menafsirkan korupsi (dalam) Masyarakat, Jakarta, 2006,
hal. xx

3
Jumlah ini meningkat jauh disbanding tahun sebelumnya. Jika

dikalkulasikan dari tahun 2001 hingga 2015, kasus korupsi pada tingkat

kasasi maupun peninjauan kembali mencapai 2.321 kasus dilain pihak,

jumlah koruptor yang dihukum pada periode itu berjumlah 3.109 dalam

jumlah tersebut pegawai negeri sipil (PNS) sebagai pelaku korupsi

mecapai 1.115 terpidana.4

Sekalipun telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah,

namun korupsi di Indonesia tetap saja meningkat, baik dari segi kuantitas

kasus yang terjadi dan kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan

pelakupun cenderung semakin sistematis, semakin meluas, dan semakin

merusak setiap lini kehidupan masyarakat. Peningkatan tindak pidana

korupsi terjadi karena telah merambah berbagai institusi negara baik

eksekutif, legislative dan yudikatif. Salah satu tipe tindak pidana korupsi

yang banyak dilakukan oleh pejabat negara adalah penyalahgunaan

kewenangan, yang dimana pejabat negara seharusnya melayani

masyarakat dengan baik karena merupakan tanggungjawab mereka

sebagai pejabat yang membantu segala urusan yang dibutuhkan

masyarakat.

4
Rita Ayuningtiyas, Kasus Korupsi di Indonesia Menggila,
http://news.liputan6.com/read/2477341/kasus-korupsi-di-indonesia-menggila, 2016, Diakses 16
Oktober 2017

4
Penyalahgunaan kewenangan bukan hanya dilakukan oleh pejabat

negara yang mempunyai kedudukan tinggi atau jabatan yang strategis

tetapi juga menjalar hingga ke plosok – plosok daerah yang dilakukan

oleh pejabat daerah. Orang yang karena memiliki jabatan atau

kedudukan, yang karena jabatan atau kedudukannya itu mempunyai

peluang atau waktu yang sebaik – baiknya untuk melakukan perbuatan –

perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu. 5

Penyalahgunaan kewenangan tercantum pada pasal 3 UU No. 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No.

20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Masyarakat merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari

korupsi, salah satunya seperti dampak pelayanan publik dalam bantuan

sosial, yang sangat merugikan masyarakat terutama masyarakat miskin.

Bahkan terdapat beberapa kasus pejabat negara/ pegawai negeri yang

seharusnya malayani masyarakat dengan baik, tetapi menyalahgunakan

kewenangannya seperti penyalahgunaan kewenangan dalam

menyalurkan bantuan dana bedah rumah kepada masyarakat miskin di

Kabupaten Pinrang, yang melibatkan Pegawai Dinas Sosial Pinrang Bpk

JAMALLUDIN, SE yang mengkorupsi dana bantuan sosial bedah rumah

5
Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta, 2016, hal. 69

5
sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 388.838.250,- ( Tiga

ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu

dua ratus lima puluh rupiah ). Penanganan kasus tersebut di Pengadilan

Negeri Makassar.

Dengan demikian berdasarkan pembahasan di atas penulis


memilih penelitian yang berjudul : “ Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak
Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang (Studi
Kasus Putusan Nomor 27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks)”

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka garis besar yang

menjadi rumusan masalahnya adalah :

1. Bagaimanakah konsep penyalahgunaan wewenang dan konsep

melawan hukum pada kasus tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materiil terhadap Tindak

Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang dalam

Putusan Nomor.27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks?

B. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1) Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dan

berdasarkan rumusan masalah di atas, adalah sebagai berikut:

6
1. Untuk mengetahui konsep penyalahgunaan wewenang dan

konsep melawan hukum pada kasus tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materiil

terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial Di

Kabupaten Pinrang dalam Putusan

Nomor.27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks.

2) Manfaat Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai referensi, kepustakaan serta bahan kajian lebih lanjut

dalam penelitian yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu tindak

pidana korupsi dana bantuan sosial.

2. Dapat menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa fakultas hukum dan

dari kalangan lainnya yang membutuhkan informasi yang berkaitan

dengan materi yang penulis bahas.

3. Bagi penulis kegunaan penelitian ini dapat digunakan untuk

menambah wawasan yang berkaitan tentang tindak pidana korupsi

dana bantuan sosial.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dipakai sebagai terjemahan dari istilah dari

strafbaar feit atau delict, tetapi di dalam berbagai perundang –

undangan yang berlaku di Indonesia, dikenal dengan istilah – istilah

yang tidak seragam dalam menerjemahkan strafbaar feit.6

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari

peristiwa – peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana,

sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang ilmiah dan

ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang

dipakai sehari – hari dalam kehidupan masyarakat.

Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah Tindak

Pidana, perbuatan, pidana atau peristiwa pidana dengan istilah:

1. Strafbaar feit adalah peristiwa pidana

2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan “perbuatan pidana”,

yang digunakan oleh para Sarjana Hukum Pidana Jerman

6
Mulyati Pawennei, Hukum Pidana, Bekasi, 2015, hal. 5

8
3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah “perbuatan Kriminal”

Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri

atas tiga kata, yaitu straf,baar dan feit. Yang masing – masing memiliki

arti:

1) Straf diartikan sebagai pidana dan hukum

2) Baar diartikan sebagai dapat dan boleh

3) Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan

perbuatan

Jadi istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana

atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa

asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenakan hukuman (pidana). Beberapa pendapat mengenai

definisi tindak pidana, Menurut Moeljatno,7 “tindak pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut”

Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan tindak pidana adalah

“Perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu, yang dilakukan

oleh orang – orang yang memungkinkan pemberian pidana”.

7
Ibid hal.10

9
Sementara menurut Utrech, yang dimaksud dengan peristiwa pidana

adalah “suatu peristiwa hukum (rechfeit), yaitu suatu peristiwa

kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. 8

H.J Van Schravendiik mengartikan delik sebagai perbuatan

yang boleh di hukum, sedangkan Utrecht lebih menganjurkan

pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah pidana menurut

beliau meliputi perbuatan andelen atau doen positif atau melainkan

visum atau nabetan atau metdoen,negative/maupun akibatnya.9

S.R Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana jelasnya

memberikan perumusan sebagai berikut:10

“Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan


pada,tempat,waktu,dan keadaan tertentu yang dilarang (atau
diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang – undang
bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan
oleh seseorang (yang bertanggungjawab)”

2. Subjek Tindak Pidana

Rumusan tindak pidana di dalam Buku Kedua dan Ketiga KUHP

biasanya dimulai dengan kata barang siapa. Ini mengandung arti

bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau subjek tindak pidana

pada umumnya adalah manusia. Juga dari ancaman pidana yang

8
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Instrumen internasional Perlindungan
Anak serta penerapannya, Yogyakarta, 2013, hal.10
9
Mulyati Op.Cit Hal.10
10
Amir Ilyas, Asas – Asas Hukum Pidana, Makassar, 2012, hal.22

10
dijatuhkan sesuai dengan Pasal 10 KUHP, seperti pidana mati, pidana

penjara, pidana kurungan, denda dan pidana tambahan mengenai

pencabutan hak, dan sebagainya menunjukkan bahwa yang dapat

dikenai pada umumnya manusia atau person.11

3. Unsur – unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam kitab Undang –

Undang hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke

dalam unsur – unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua

macam unsur, yakni unsur – unsur subjektif dan unsur – unsur objektif.

Yang dimaksud unsur subjektif itu adalah unsur yang melekat

pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan

termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di

dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur objektif itu

adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam

keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur

subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 12

1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

11
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, 2010, hal. 54
12
P.A.F Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Di Indonesia,Jakarta,2005, hal.192

11
3. Macam – macam maksud atau oogmer seperti yang terdapat

misalnya didalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan dan lain – lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan

menurut pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut atau verss seperti yang antara lain terdapat di

dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 30 KUHP;

Unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang

pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415

KUHP

Menurut Simons, unsur – unsur tindak pidana ( strafbaar feit )

adalah:13

1. Perbuatan manusia ( positif atau negative, berbuat atau

tidak berbuat atau membiarkan).

2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

3. Melawan hukum (onrechtmatig)

13
Mulyati Pawennei, Loc. Cit.

12
4. Dilakukan dengan kesalahan ( met schuld in verband stand )

oleh orang yang mampu bertanggungjawab

(werekeningsvatoaar person)

Sementara menurut Moeljatno, unsure tindak pidana adalah:

1. Perbuatan

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar )

Sedangkan menurut E.Y Kanter dan S.R. Sianturi bahwa tindak

pidana tersebut mempunyai 5 (lima) unsur yaitu:14 Subjek;

a. Kesalahan;

b. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan

c. Suatu undang – undang dan terhadap pelanggarannya

diancam dengan pidana; dan

d. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya)

4. Jenis – jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibeda – bedakan atas dasar – dasar tertentu,

yaitu sebagai berikut:15

1. Kejahatan dan Pelanggaran

14
Amir Ilyas, Op.Cit hal. 26
15
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Malang, 2001, hal. 122

13
Dalam WvS Belanda (1886), telah terdapat pembagian tindak

pidana antara kejahatan dan pelanggaran, yang berdasarkan

asas concordantie dioper kedalam WvS Hindia Belanda (1918),

kini KUHP. Dasar pembedaan antara kejahatan dan

pelanggaran dapat disimpulkan dari keterangan MvT bahwa

pembagian itu didasarkan pada alasan bahwa pada

kenyataannya di dalam masyarakat terdapat perbuatan –

perbuatan yang pada dasarnya memang sudah tercela dan

pantas untuk dipidana, bahkan sebelum dinyatakan demikian

oleh UU, dan juga ada perbuatan yang baru bersifat melawan

hukum dan dipidana setelah UU menyatakan demikian.16

2. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan

yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan 17

tertentu. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materiil, inti

larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh

karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah

yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.18

3. Tindak Pidana Sengaja dan Tindak Pidana Kelalaian

16
Ibid hal. 123
17
Ibid hal. 125
18
Ibid hal. 126

14
Tindak pidana sengaja ( doleus delicten ) adalah tindak pidana

yang dalam rumusannya dilakukan dangan kesengajaan atau

mengandung unsure kesengajaan. Sementara itu tindak pidana

culpa (culpose delicten) adalah tindak pidana yang dalam

rumusannya mengandung unsur culpa.19

4. Tindak Pidana Aktif ( Delik Commisionis) dan Tindak Pidana

Pasif (Delik Omisionis)

Tindak pidana aktif ( delicta commissionis ) adalah tindak

pidana yang perbuatannya berupa perbuata aktif ( positif ).

Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah

perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya

gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.20 Sementara

itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana

yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat

dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana

yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan

dengan tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu

benar – benar timbul.21

19
Ibid hal. 127
20
Ibid hal. 129
21
Ibid hal. 130

15
5. Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana Berlangsung

Terus

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga

untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau

waktu singkat, disebut juga dengan aflopende delicten.

Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian

rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama,

yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih

berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende

delicten.22

6. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat

dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil ( Buku II

dan Buku III KUHP). Sementara itu, tindak pidana khusus

adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi

tersebut.23

7. Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propria

Dilihat dari sudut subjek hukum tindak pidana, tindak pidana itu

dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan

oleh semua orang (delicta communia) dan tindak pidana yang

22
Ibid
23
Ibid 131

16
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu

(delicta propia).24

8. Tindak Pidana Biasa ( Gewone Delicten) dan Tindak Pidana

Aduan ( Klacht Delicten )

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana

yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap

pembuatannya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang

berhak. Sebagian besar tindak pidana adalah tindak pidana

biasa yang dimaksudkan ini. Sementara itu, tindak pidana

aduan adalahtindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan

penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya

pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni

korban atau wakilnya dalam perkara perdata (pasal 72) atau

keluarga tertentu dalam hal – hal tertentu (pasal 73) atau orang

yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang

berhak.25

9. Tindak Pidana Dalam Bentuk Pokok, Yang Diperberat dan Yang

Diperingan

24
Ibid hal. 131
25
Ibid hal. 132

17
Pada bentuk yang diperberat dan atau yang diperingan, tidak

mengulang kembali unsur – unsur bentuk pokok itu,26

melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau

pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan

unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara

tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau

faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana

terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu

menjadi lebih berat atau lebih ringan daripada bentuk

pokoknya.27

10. Jenis Tindak Pidana Berdasarkan Kepentingan Hukum Yang

Dilindungi28

Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi ini tidak

terbatas jenis tindak pidana, dan akan terus berkembang

mengikuti perkembangan dan kemajuan manusia, dan untuk

mengikuti perkembangan itu, peranan hukum pidana khusus

menjadi sangat penting sebagai wadah tindak pidana diluar

kodifikasi.29

11. Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berangkai

26
Ibide hal.133
27
Ibid hal. 134
28
Ibid hal. 135
29
Ibid hal.136

18
Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak

pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

dipandang selesainya tindak pidana dan dapat di pidananya

pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Bagian

terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak

pidana tunggal. Sementara itu, yang dimaksud dengan tindak

pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan

dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan secara

berulang.30

A. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin “corrupti” (Fockema

Andrea : 1951) atau “Corruptus” ( Webster Student Dictionary : 1960 ).

Selanjutnya dikatakan bahwa corruption berasal dari kata corrumpere,

suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin tersebut kemudian

dikenal istilah “corruption,corrupt” (inggris), “corruption” (prancis) dan

“corruptive/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah

30
Ibid

19
kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

penyimpangan dari kesucian.31

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi”(dari bahasa

latin : corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana

para pejabat, badan – badan negara menyalahgunakan wewenang

dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan

lainnya.32

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,

menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang

menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan

manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang

kepentingan umum. Kesimpulan ini di ambil dari definisi yang

dikemukakan salah satunya berbunyi:33

“Disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment,


favors to relatives, social influence, or any relationship that
sacrifices the public and welfare, with or without the implied
payment of money, is usually considered corrupt. ( pembayaran
terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos
administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak
keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja
yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan
atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai
perbuatan korupsi).”

31
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pendidikan Anti
Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Jakarta, 2011, ha.23
32
Evi Hartani, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Semarang, 2005, hal. 8
33
Ibid hal.9

20
Dalam sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia, istilah

korupsi pertama kali digunakan di dalam Peraturan Penguasa Militer

Nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum.

Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada

bagian konsideranya, yang antara lain menyebutkan, bahwa

perbuatan – perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian

negara yang oleh khalayak ramai di namakan korupsi.34

2. Unsur – unsur Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang – undang No. 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Undang – undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

pidana Korupsi, yang memberikan gambaran mengenai unsur – unsur

suatu perbuatan yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi,

yaitu:35

Pasal 2 Ayat (1):

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan


perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

34
Elwi Danil, Korupsi,Konsep,Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Padang, 2011, hal. 5
35
Undang – undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

21
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Berdasarkan bunyi Pasal 2 Ayat (1) ini, maka unsur – unsur

tindak pidana korupsi yaitu:

1. Setiap orang

2. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi

3. Dengan cara melawan hukum

4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara

Pasal 2 Ayat (2), yang berbunyi,Dalam hal tindak pidana korupsi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan

tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan

“keadaan tertentu” ialah keadaan yang dapat dijadikan sebagai alasan

pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Pasal 3:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri


atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan nedara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”

Berdasarkan bunyi Pasal 3 ini maka unsur tindak pidana korupsi yaitu:

22
1. Setiap orang

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi

3. Menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau sarana

4. Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

5. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

3. Subjek Tindak Pidana Korupsi

Pemidanaan dijatuhkan hanya terhadap orang bersumber

kepada hukum Romawi yang dibawa Prancis ke Belanda kemudian

tiba di Indonesia pula. Sebelum itu di Belanda ketika berlakunya

hukum kuno (oudvaderlandsrecht) dikenal lembaga

pertanggungjawaban kolektif sesuai dengan sifat masyarakat yang

masih bersifat kolektifitas.

Perlambang bahwa hanya orang yang menjadi subjek hukum

pidana dalam KUHP pada setiap pasal yang berisi perumusan delik

selalu mulai dengan “barang siapa” (Hij die,) atau kata – kata lain yang

menunjuk orang sebagai subjek seperti “ibu” (de moeder) dalam Pasal

341 dan 342 KUHP, “panglima tentara” (bevelhebber) dalam Pasal 413

KUHP, “pegawai negeri” atau “orang lain yang diwajibkan untuk

seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum”

Oleh karena itu, pasal – pasal tersebut ditarik masuk menjadi

delik korupsi, maka pengertian “pegawai negeri” di dalam pasal itu

23
perlu dikupas berhubung dengan adanya perluasan pengertian

pegawai negeri menurut Pasal 2 UU PTPK 1971 yang mengatakan

sebagai berikut.36

“pegawai negeri yang dimaksud oleh undang – undang ini

meliputi juga orang – orang yang menerima gaji atau upah dari

keuangan negara atau daerah atau menerima gaji atau upah dari

suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan

negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan

modal dan kelonggaran – kelonggaran dari negara atau masyarakat”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1),(2) dan (3) Undang –

undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo. Undang – undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Atas Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak pidana Korupsi, yang menjadi subjek tindak pidana korupsi

yaitu:37

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum.

2. Pegawai negeri adalah meliputi;

36
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan internasional, Jakarta,
2007, hal.81
37
Undang – undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

24
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang – undang

tentang kepegawaian

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang –

undang Hukum Pidana

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau

daerah

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah: atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau

masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

4. Jenis – jenis Tindak Pidana Korupsi

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang

telah dijelaskan dalam tiga belas buah pasal dalam undang – undang

nomor 31 tahun 1999 jo. Undang – undang nomor 20 tahun 2001

berdasarkan pasal – pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga

puluh bentuk/jenis tindakan pidana korupsi. Pasal – pasal tersebut

menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa

dikenakan pidana penjara karena korupsi.38

38
KPK, Memahami Untuk Membasmi,Jakarta, 2006, hal.19

25
Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada

dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:39

1. Kerugian keuangan negara

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

terdapat pada:

- Pasal 2

- Pasal 3

2. Suap menyuap

Setiap orang yang member atau menjanjikan sesuatu kepada

pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya

pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau

tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya.

Terdapat pada:

- Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b

- Pasal 5 ayat (2)

39
Ibid hal.20,25,31,57,68,77,91,95,

26
- Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b

- Pasal 6 ayat (2)

- Pasal 11

- Pasal 12 huruf a, b, c dan d

- Pasal 13

3. Penggelapan dalam jabatan

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat

berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang

atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain

atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut

Terdapat pada:

- Pasal 8

- Pasal 9

- Pasal 10 huruf a, b, dan c

4. Pemerasan

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,

atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang

memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran

27
dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatubagi dirinya

sendiri.

Terdapat pada:

- Pasal 12 huruf e, f, dan g

5. Perbuatan curang

Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,

atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan

bahan bangunan, melakukan keamanan orang atau barang, atau

keselamatan negara dalam keadaan perang.

Terdapat pada:

- Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c dan d

- Pasal 7 ayat (2)

- Pasal 12 huruf h

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

Pegawai negeri atau penyelenggara negarabaik langsung maupun

tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,

pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,

untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau

mengawasinya.

Terdapat pada:

- Pasal 12 huruf i

7. Gratifikasi

28
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan

jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Terdapat pada:

- Pasal 12B jo. Pasal 12C

Selain tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas,

masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana

korupsi. Jenis tindak pidana lain itu tertuang pada Pasal 21, Pasal 22,

Pasal 23 dan Pasal 24 Bab III UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana

korupsi terdiri atas:40

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.

- Pasal 21

2. Tidak memberi keterangan atau member keterangan yang tidak

benar.

- Pasal 22 jo. Pasal 28

3. Bank yang tidak memeberikan keterangan rekening tersangka.

- Pasal 22 jo. Pasal 29

4. Saksi atau ahli yang tidak member keterangan atau member

keterangan palsu.

40
KPK, Loc.Cit

29
- Pasal 22 jo. Pasal 35

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak member keterangan

atau member keterangan palsu.

- Pasal 22 jo. Pasal 36

6. Saksi yang membuka identitas pelapor.

- Pasal 24 jo. Pasal 31

5. Penyalahgunaan Kewenangan

Makna “menyalahgunakan kekuasaan (kewenangan)” dalam

ketentuan ini tidak diberikan penjelasan secara eksplisit, karena

pemahaman makna tersebut harusla diartikan melalui yurisprudensi

ataupun doktrin yang hidup yang dapat memberikan penjelasan hal

tersebut.

Berdasarkan doktrin universal mengenai makna

“menyalahgunakan kewenangan (kekuasaan)” diartikan oleh Prof.

Jean Rivero dan Prof. Jean Waline, sebagai berikut:41

1. Perbuatan melakukan tindakan – tindakan yang bertentangan

dengan kepentingan pribadi kelompok atau golongan.

2. Perbuatan dari pejabat adalah benar ditujukan untuk kepentingan

umum tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut

diberikan oleh UU atau peraturan – peraturan lain.

41
O.C Kaligis, Korupsi Bibit dan Chandra,Jakarta,2010, hal. 135

30
3. Menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk

mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain

agar terlaksana.

Dengan demikian menyalahgunakan kewenangan diartikan

sedemikian rupa yaitu :42

1. Memiliki kewenangan, tetapi menggunakan kewenangannya lain

daripada kewenangan yang ada.

2. Tidak memiliki kewenangan, tetapi melakukan tindakan – tindakan

seolah memiliki kewenangan.

3. Melakukan perbuatan atau tindakan dengan menyalahgunakan

prosedur untuk mencapai tujuan tertentu.

B. Bantuan Sosial (BANSOS)

1. Pengertian Bantuan Sosial (BANSOS)

Menurut Pasal 1 Ayat 15 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.

14 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan

Sosial Yang Bersumber Dari APBD43

“Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang


dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok
dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus
dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan
terjadinya resiko sosial.”

42
Ibid hal.136
43
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan
Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari APBD

31
2. Subjek Penerima Bantuan Sosial

Berdasarkan Pasal 4 Ayat (4) dan (5) Peraturan Menteri

Keuangan Republik Indonesia No. 81/PMK.05/2012 Tentang Belanja

Bantuan Sosial Pada Kementerian Negara/Lembaga, yaitu:44

(4). Penerima Bantuan Sosial sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf c terdiri dari perorangan, keluarga, kelompok,

dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak

stabil sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi,

politik, bencana dan fenomena alam agar dapat memenuhi

kebutuhan hidup minimum.

(5) Penerima Bantuan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) termasuk juga lembaga Non Pemerintah bidang

pendidikan, kesehatan, keagamaan dan bidang lain yang

berperan untuk melindungi individu, kelompok dan/atau

masyarakat dari kemungkinan terjadinya Risiko Sosial,

meningkatkan kemampuan ekonomi, dan/atau

kesejahteraan masyarakat.

Sehingga berdasarkan penjelasan pasal tersebut, maka subjek

penerima dana bantuan sosial adalah:

1. Perorangan

44
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 81/PMK.05/2012 Tentang Belanja Bantuan
Sosial Pada Kementerian Negara/Lembaga

32
2. Keluarga

3. Kelompok

4. Masyarakat yang mengalami keadaan tidak stabil

Sementara menurut Pasal 22 dan 23 Peraturan Menteri dalam Negeri


Nomor 32 tahun 2011, menjelaskan subjek penerima bantuan sosial
adalah:45

Pasal 22:

(1) Pemerintah daerah dapat memberikan bantuan sosial kepada


anggota/kelompok masyarakat sesuai kemampuan keuangan
daerah.
(2) Pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan
wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.
Pasal 23:
Anggota/kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (1) meliputi:
a. individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan
yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik,
bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup minimum;
b. lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan
bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok,
dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

45
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

33
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Dalam proses pengumpulan data sebagai penunjang penelitian,

maka penulis mengambil lokasi penelitian di Makassar lebih tepatnya di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Makassar.

Hal ini didasarkan berdasarkan kasus yang dikaji yaitu Putusan Nomor:

27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks yang telah diputus incracht oleh

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Makassar

tanpa adanya upaya hukum oleh terdakwa.

B. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini Penulis menggunakan data yang memiliki

kaitan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, data–data tersebut

berupa data primer dan data sekunder, berikut penjelasannya :

1. Data Primer

Menurut Peter Mahmud Marzuki:46

“Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan – bahan hukum

primer terdiri atas perundang – undangan, catatan – catatan resmi

46
Suratman,Metode Penelitian Hukum,Malang,2010, hal.67

34
atau risalah dalam pembuatan perundang – undangan dan putusan

hakim”

Sehingga berdasarkan pendapat tersbut data primer di dapat

melalui perundang – undangan yang berkaitan dengan masalah yang

dikaji.

2. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari telaah pustaka yakni buku-buku

hukum, jurnal hukum, dan dokumen yang telah ada serta relevan

dengan masalah yang Penulis kaji.

C. Teknik Pengumpulan Data

Agar dapat memperoleh data yang relevan terkait masalah yang

dikaji oleh Penulis, maka teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah

1. Penelitian Pustaka

Dalam penelitian pustaka, Penuis melakukan pengumpulan data

melalui berbagai literature baik berupa buku, jurnal, Koran,

majalah dan beberapa literature lainnya

D. Teknik Analisis Data

Dalam teknik penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis

kualitatif mecakup mengumpulkan semua data yang diperlukan, kemudian

diolah sehingga membentuk deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan,

35
dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya

dengan penelitian ini.

36
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Penyalahgunaan Wewenang Dan Konsep Melawan

Hukum Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi

1. Konsep Penyalahgunaan Wewenang

Korupsi adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan

kepercayaan dalam suatu masalah atau organisasi untuk

mendapatkan keuntungan. Tindakan korupsi ini terjadi karena

beberapa faktor – faktor yang terjadi di dalam masyarakat

Salah satu pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi

yang mengatur mengenai penyalahgunaan wewenang yaitu Pasal 3

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20

Tahun 2001 yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau


orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.”
Unsur menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dari Pasal 3 ini

berbeda dengan unsur Pasal 2, perbedaannya keduanya dalam dalam

37
Pasal 3 tidak dicantumkan unsur melawan hukum secara berdiri

sendiri atau bukan merupakan bestanddeel.

Di atas telah diketahui bahwa wewenang adalah kemampuan

bertindak yang diberikan undang-undang yang berlaku untuk

melakukan hubungan hukum, maka kewenangan yang dimaksud

Pasal 3 tersebut, tentunya adalah kewenangan yang ada pada jabatan

atau kedudukan yang dipangku Pegawai Negeri berdasarkan

peraturan perundang-undangan dalam undang-undang korupsi.

Konsep penyalahgunaan kewenangan berdasarkan Pasal 3 undang-

undang korupsi, terdapat jurisprudensi Mahkamah Agung Nomor

572K/Pid/2003 yang berkaitan dengan hal tersebut.

2. Konsep Melawan Hukum

Setiap tindak pidana yang dibentuk dengan dirumuskan dalam

Undang – Undang mengandung sifat melawan hukum

(wederrechtelijkheid). Meskipun sifat melawan hukum merupakan

unsur mutlak tindak pidana. Hanya perlu dibuktikan jika sifat tercela

tersebut dicantumkan dalam rumusan. Prinsip pembuktian untuk

menjatuhkan pidana adalah hanya terhadap unsur yang dicantumkan

saja. Kecuali pembuktian untuk membuktikan sebaliknya, ialah tidak

adanya sifat melawan hukum perbuatan atau tidak ada kesalahan

pada diri terdakwa.

38
Melawan hukum melekat secara inheren dalam keseluruhan

perumusan, dengan menyalahgunakan kewenangan berarti melawan

hukum. Konsekuensi dari keyakinan bahwa “melawan hukum” selalu

menjadi unsur mutlak setiap tindak pidana, seperti pada umummnya

selalu dianut para ahli hukum pidana. Dalam konteks hukum pidana

formil, “melawan hukum” baru harus dibuktikan apabila menjadi

“bagian inti” dari tindak pidana yang didakwakan. Dengan kata lain,

baru dibuktikan melawan hukum jika perkataan tersebut disebutkan

dalam rumusan tindak pidana. Apabila tidak disebutkan maka,

dipandang melawan hukum sepanjang dapat dibuktikan unsur – unsur

lain dari suatu tindak pidana, keculi dapat dibuktikan sebaliknya oleh

terdakwa atau penasihat hukumnya.

Dalam tindak pidana korupsi melawan hukum hanya menjadi

bagian inti yang harus dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang –

Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan kata lain, dalam Pasal 2 ayat

(1) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 sifat melawan hukum

perbuatan itu direpresentasikan dengan kata secara melawan hukum

itu sendiri, sedangkan dalam pasal yang lain digunakan istilah yang

lain lagi. Misalnya dalam Pasal 3 ayat (1) Undang – Undang Nomor 31

Tahun 1999, sifat melawan hukumnya termaksud dari istilah

menyalahgunakan kewenangan,sarana atau kesempatan yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan. Pada Pasal 5 ayat (1) huruf

39
a Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sifat melawan

hukum direpresentasikan dengan perkataan dengan maksud supaya

pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Melawan hukum menjadi sifat umum dari suatu delik, maka

tidak terpenuhinya unsure melawan hukum dalam suatu perbuatan

menunjukkan perbuatan itu bukan tindak pidana. Apabila suatu

perbuatan bukan tindak pidana, maka dengan kriteria apapun

perbuatan tidak akan menjadi suatu tindak pidana

B. Penerapan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak Pidana

Korupsi Dana Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang Pada

Putusan Nomor 27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks

1. Posisi Kasus

Terdakwa bernama JAMALUDDIN, SE bekerja pada Dinas

Sosial Kabupaten Pinrang menjabat sebagai Kepala Bidang

Rehabilitasi Sosial dan Penyandang Cacat tanggungjawab terdakwa

selaku Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial dan Penyandang Cacat

berdasarkan SK Bupati No: 821.23/015/2012 tanggal 20-2-2012

adalah menyelennggarakan Rehabilitasi Sosial dan Penyandang

Cacat, Pelayanan bantuan Sosial dan Korban Bencana,

40
Menyelenggarakan Pembinaan Keluarga Fakir Miskin, Anak terlantar

dan lanjut usia.

Setelah Surat Keputusan Nomor 26 Tahun 2013 tanggal 27

Agustus 2013 tentang penetapan Lokasi dan Kepala Kelurga penerima

bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) pada Dinas Sosial

Kabupaten Pinrang TA. 2013 dikirim ke Kementerian Sosial RI. Dinas

Bantuan Sosial Kabupaten Pinrang menerima bantuan dana yang

berasal dari Kementerian Sosial RI yang digunakan untuk program

Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni program Kementerian Sosial RI

tahun 2013 di Kabupaten Pinrang sebesar Rp. 1.000.000.000,- ( Satu

Milyar Rupiah), kemudian dana tersebut dimasukkan ke masing –

masing rekening kelompok penerima bantuan yang terdiri dari 10 (

sepuluh ) Kelompok Penerima.

Panduan dari masing – masing Ketua Kelompok yang terdiri

dari 8 (delapan) kelompok Penerima Bantuan untuk melakukan

pembelian material/bahan bangunan di Toko Himalaya yaitu Rencana

Anggaran Belanja (RAB) Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

Kab. Pinrang T.A 2013.

Kebutuhan material tiap kelompok adalah sebesar Rp.

100.000.000,- (seratus juta rupiah) tetapi tiap kelompok hanya

membayar sebesar Rp.90.000.000,- (Sembilan puluh juta rupiah) ke

Toko Himalaya sehingga pembelian material tidak sesuai dengan

41
RAB, karena tiap kelompok meminta ongkos tukang sebesar

Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)per kelompok

Laporan pelaksanaan tersebut tidak dibuat tetapi disusun oleh

Pak Jamaluddin dengan cara mengumpulkan bukti – bukti kwitansi dari

Toko Himalaya, foto – foto dokumentasi dari ketua kelompok dan Surat

Pernyataan Penyelesaian dari ketua kelompok dan Surat Pernyataan

Penyelesaian dari masing – masing Ketua Kelompok kemudian

Laporan Pelaksanaan tersebut terdakwa mengantarkannya sendiri

bersama Kepala Dinas Sosial kab. Pinrang ke Kementerian Sosial

Jakarta sesuai dengan tanda terima yang ditanda tangani oleh Dody

A. Huda SST (Staf Kementerian Sosial RI)

Kepala Dinas Sosial Kab.Pinrang tidak membuatkan SK khusus

tentang Pengawasan Pelaksanaan RS-RTLH TA. 2013 hanya saja

perintah secara lisan saja untuk mengawasi Pelaksanaan RS-RTLH.

Namun secara otomatis karena jabatan terdakwa sebagaian Kepala

Bidang Rehabilitasi dan Bantuan Sosial maka program RS-RTLH

tersebut menjadi tanggung jawab dan tugas terdakwa, serta

berdasarkan buku pedoman pelaksanaan kegiatan tersebut yang

bertanggungjawab dalam pengawasan pelaksanaan kegiatan tersebut

adalah Dinas Sosial.

Berdasarkan dari Laporan Hasil Audit BPKB Propinsi Sulawesi

Selatan No. LAPKN-544/PW21/5/2014 tanggal 22 Agustus 2014

42
jumlah kerugian Negara akibat perbuatan penyimpangan yang

dilakukan Terdakwa adalah sebesar Rp. 89.915.333,- (Delapan puluh

Sembilan juta Sembilan ratus lima belas ribu tiga ratus tiga puluh tuga

rupiah)

2. Dakwaan

Surat Dakwaan Penuntut Umum yaitu dakwaan yang disusun

dalam bentuk dakwaan tunggal yaitu jenis dakwaan yang terdakwanya

didakwa dengan satu perbuatan saja tanpa diberikan dakwaan –

dakwaan lainnya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa

JAMALUDDIN, SE sebagaimana tercantum dalam putusan perkara

Nomor : 27/Pid.SUS.TPK/2016/PN.Mks, berdasarkan Surat Dakwaan

Penuntut Umum Terdakwa telah didakwa sebagai berikut:

Primair

Melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang – Undang RI Nomor :


31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang – Undang RI
Nomor : 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang – Undang RI
Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Subsidair

Melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang – Undang RI Nomor : 31


Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang – Undang RI
Nomor : 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang – Undang RI
Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

43
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Tuntutan pidana penuntut umum pada tanggal 14 juni 2016 ,

yang pada pokonya menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan

putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa JAMALUDDIN, SE tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Korupsi

secara bersama – sama “ sebagaimana diatur dan diancam pidana

menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1) Undang –

Undang RI Nomor :31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

Undang – Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang – Undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke –1

KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Primair

2. Membebaskan Terdakwa sebagaimana dalam Dakwaan Primair

tersebut.

3. Menyatakan Terdakwa JAMALUDDIN, SE terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Korupsi Secara

Bersama – Sama” sebagaimana diatur dan diancam pidana

menurut ketentuan pasal 3 Jo. Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang

RI Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

44
Undang – Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang – Undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1

KUHP. Sebagaimana dalam Dakwaan Subsidair

4. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa JAMALUDDIN, SE

dengan pidana selama 2 (dua) tahun

5. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh

juta rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan

6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar uang engganti

sebesar Rp. 51.740.000,- (lima puluh satu juta tujuh ratus empat

puluh ribu) dan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti

tersebut selama 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan

mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik

terdakwa disita oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dilelang dan

hasilnya digunakan untuk menutupi uang pengganti tersebut dan

bila terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti tersebut pidana dengan pidana penjara

selama 1 (satu) tahun

45
4. Pertimbangan Hakim

Dalam Skripsi ini Penulis mengambil putusan pemidanaan

terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial di Kabupaten

Pinrang berdasarkan putusan di Pengadilan Negeri Makassar,

terdakwa Jamaluddin,SE terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana ‘’Korupsi yang dilakukan secara bersama-

sama’’ sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo

Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU

No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP.

Adapun pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan

terhadap terdakwa yaitu sebagai berikut:

Menimbang, bahwa karena semua unsur – unsur Pasal 3 jo

Pasal 18 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah

dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

atas Undang – Undang RI Nomor. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHPidana

46
telah terpenuhi maka Terdakwa JAMALUDDIN telah terbukti

melakukan tindak pidana KORUPSI sebagaimana didakwakan pada

dakwaan Subsidair;

Menimbang, bahwa karena Terdakwa terbukti melakukan tindak

pidana sebagaimana didakwakan pada dakwaan Kesatu Subsidair,

hal mana dalam diri Terdakwa tidak ada alas an yang dapat

menghapus pemidanaan maka Terdakwa harus dihukum;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga mempertimbangkan

alas an pembelaan Terdakwa pada pokoknya memohon redho Allah

SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa agar Bapak hakim yang mulia tetap

bijaksana dalam memutuskan perkara ini dan kita setap dalam

lindungan-Nya

Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan hal – hal

yang memberatkan dan meringankan Terdakwa yaitu:

Hal –hal yang memberatkan:


 Terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang sedang
gencar – gencarnya melakukan pemberantasan korupsi
 Bahwa pemberantasan korupsi dapat menyengsarakan
masyarakat
Hal – hal yang meringankan

 Terdakwa di depan persidangan bersikap soan dalam


persidangan
 Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga
 Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya

47
Menimbang bahwa karena Terdakwa telah ditahan berdasarkan

perintah penahanan yang sah maka lamanya Terdakwa ditahan

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

Menimbang bahwa mengenai uang pengganti sesuai ketentuan

Pasal 18 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka berdasarkan Laporan

Hasil Audit BPKP Propinsi Sulawesi Selatan No.LAPKN-

544/PW21/5/2014 tanggal 22 Agustus 2014 jumlah kerugian Negara

akibat perbuatan penyimpangan yang dilakukan Terdakwa adalah

sebesar Rp. 89.915.333,- (Delapan Puluh Sembilan Juta Sembilan

Ratus Lima Belas Ribu Tiga Ratus Tiga Puluh Tiga Rupiah), hal mana

Terdakwa telah membayar atau tela mengganti kerugianNegara

tersebut maka pembayaran Terdakwa tersebut sebagai pengganti

kerugian Negara:

Menimbang bahwa mengenai barang bukti yang berupa foto

copy maka tetap terlampir dalam berkas perkara:

Menimbang Pasal 3 jo Pasal 18 Undang – Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Udang

48
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo Pasal 65 KUHP ayat (1) KUHP, pasal – pasal dalam

KUHAP dan ketentuan hukum lainnya yang bersangkutan

5. Amar Putusan

MENGADILI

1. Menyatakan Terdakwa JAMALUDDIN, SE tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi

sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan

Primair;

2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Primair;

3. Menyatakan Terdakwa JAMALUDDIN, SE terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi yang

dilakukan secara bersama – sama“. Sebagaimana dalam

dakwaan Subsidair;

4. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa JAMALUDDIN, SE

tersebut dengan pidana penjara selama 1 ( satu ) tahun serta

pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar diganti

dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;

49
5. Menetapkan seluruh masa penangkapan dan penahanan yang

telah dijalani Terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan;

6. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

7. Memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum agar

mengembalikan uang sisa pengganti kerugian Keuangan Negara

sebagai kelebihan pengembalian kepada terdakwa yaitu Rp.

25.278.000,- dikurangi dengan uang titipan terdakwa sebesar Rp.

30.000.000,- menjadi Rp. 4.722.000,- dibebankan kepada Penuntut

Umum;

8. Memerintahkan agar barang bukti berupa:

1) 1 (satu) buah Buku Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan

Perdesaan Kementerian Sosial RI Direktorat Jendral

Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan kemiskinan

Direktorat Penanggulanan Kemiskinan Perdesaan Tahun 2013;

2) 1 (satu) rangkap Fotocopy Keputusan Menteri Sosial Republik

Indonesia Nomor:: 10/HUK/2013 tanggal 23 Januari 2013

tentang Penunjukan Kuasa Pengguna Anggaran pada Kantor

Pusat dan unit Pelaksanaan Teknis Kementerian Sosial

Republik Indonesia

3) 1 (satu) rangkap Fotocopy Keputusan Kuasa Pengguna

Anggaran Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Perdesaan

50
Melalui Keluarga Penerima Program Penanggulangan

Kemiskinan Perdesaan Melalui Bantuan Rehabilitasi Sosial

Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) Tahun 2013;

4) 1 (satu) rangkap Fotocopy Keputusan Kuasa Pengguna

Anggaran Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Perdesaan

Nomor: 001/PKPD/KPTS/09/2013 tanggal 25 Januari 2013

tentang Penunjukan Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat

Penandatanganan Surat Perintah Membayar dan Bendahara

Pengeluaran Pada Lingkup Direktorat Penanggulangan

Kemiskinan Perdesaan Tahun 2013

5) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Tugas Nomor :

768/PDKD/ST/12/2013 tanggal 16 Desember 2013

6) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Tugas Nomor :

1674/400/Bid.1/PMM/ST/13

7) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Tugas Nomor :

445/PKPD/ST/8/2013 tanggal 28 Agustus 2013

8) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Tugas Nomor :

400/Bid.I/PMM/2013 tanggal Agustus 2013

9) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Pernyataan Tanggung Jawab

Mutlak Nomor : 456.63/305/SKP tanggal 30 Agustus 2013

10) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Pernyataan Nomor :

456.63/304/SKP tanggal 30 Agustus 2013

51
11) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Perintah Pencairan Dana

Nomor : 295687E/019/110 tanggal 01-10-2013 senilai Rp.

1.300.000.000,- ( satu milyar tiga ratus juta rupiah ) yaitu

Penyaluran Dana bantuan stimulasi RS-RTLH Program PKPD

di Kab. Pinrang Prov. Sulawesi Selatan dan Kab. Pasaman

Prov. Sumatera Barat sesuai dengan SK Penggunaan

Anggaran No. 212/PKPD/KPT/09/2013 tanggal 02 september

2013

12) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Perintah Membayar Nomor :

00150/PKPD/2013 tanggal 30-09-2013 TA 2013 seniali Rp.

1.300.000.000,- ( satu milyar tiga ratus juta rupiah ) yaitu

Penyaluran Dana bantuan stimulasi RS- RTLh Program PKPD

di Kab. Pinrang Prov.Sulawesi Selatan dan Kab. Pasaman

Prov. Sumatera Barat sesuai dengan SK Kuasa Pengguna

Anggaran No. 212/PKPD/PKTS/09/2013 tanggal 02 september

2013

13) 1 (satu) rangkap Fotocopy Surat Permintaan Pembayaran

Nomor : 00150/682029/2013 tanggal 30-09-2013 TA 2013

senilai Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta rupiah)

yaitu Penyaluran Dana bantuan stimulasi RS-RTLH Program

PKPD di Kab.Pinrang Prov.Sulawesi Selatan dan Kab.Pasaman

Prov.Sumatera Barat sesuai dengan SK Kuasa Pengguna

52
Anggaran No.212/PKPD/KPTS/09/2013 tanggal 02 september

2013

14) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Pernyataan Pertanggung

Jawab Belanja Nomor : 0150/SPP-LS/PKPD/9/2013 tanggal 30

september 2013

15) 1 (satu) lembar Fotocopy Daftar rincian Permintaan

Pembayaran (Lembar B) tanggal 30 September 2013

16) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Pengesahan Daftar Isian

Pelaksanaan Anggaran Petikan Tahun Anggaran 2013 Nomor :

DIPA-027.03.1.682029/2013 tanggal 05 Desember 2012

17) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Pengesahan Daftar Isian

Pelaksanaan Anggaran Petikan Tahun Anggaran 2013 Nomor :

DIPA-027.03.1.682029/2013 tanggal 05 Desember 2012 Revisi

ke 05 tanggal 20 Desember 2013

18) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Pernyataan pelantikan Nomor :

821.23/040/BKD tanggal 22 Februari 2012

19) 2 (dua) lembar Fotocpy Petikan Keputusan Bupati Pinrang

Nomor : 821.23/015/2012 tanggal 20 Februari 2012 beserta

lampirannya

20) 1 (satu) bundle Asli Rencana Anggaran Biaya (RAB)

Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Kab.Pinrang

Tahun Anggaran 2013

53
21) 1 (satu) buah Fotocopy Pedoman Rehabilitasi Sosial Rumah

Tidak Layak Huni dan Sarana Lingkungan Hidup

22) 1 (satu) bundel Fotocopy Daftar Rumah Tidak Layak Huni

Kab.Pinrang Tahun 2013 Dinas Sosial Kebudayaan dan

Pariwisata Kab.Pinrang

23) 1 (satu) bundel Fotocopy Berkas Permohonan Bantuan Rumah

Tidak Layak Huni No:978.2/1988/DINSOS tanggal 01 April 2013

24) 1 (satu) rangkap Fotocopy SK Kepala Dinas Sosial No:26

Tahun Anggaran 2013 tgl 07 Agustus 2013 Tentang Penetapan

Lokasi dan Kepala Keluarga Penerima Bantuan Rumah Tidak

Layak Huni pada Dinas Sosial, kebudayaan dan Pariwisata

Kab.Pinrang TA. 2013

25) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok I

RS-RTLH Padangloang No. Rek BRI Unit Teppo : 5030-01-

014790-53-2

26) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok II

RS-RTLH Padangloang No. Rek BRI Unit Teppo : 5030-01-

014791-53-8

27) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok III

RS-RTLH Sipatuo No Rek BRI Unit Teppo : 5030-01-014803-

53-9

54
28)1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok IV

RS-RTLH Sipatuo No Rek BRI Unit Teppo : 5030-01-014804-

53-5

29) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok V

RS-RTLH Mattiro Ade No Rek BRI Unit Leppangang : 5021-01-

009244-53-9

30) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok VI

RS-RTLH Masulowalie No Rek BRI Unit Langa : 5020-01-

007046-53-3

31) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok VII

RS-RTLH Padakkalawa No Rek BRI Unit Manarang : 5023-01-

011430-53-0

32) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok VIII

RS-RTLH Pananrang No. Rek BRI unit Manarang : 5023-01-

011429-53-9

33) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok IX

RS-RTLH Pananrang No. Rek BRI Unit Manarang : 5023-01-

011428-53-3

34) 1 (satu) buah buku Tabungan BRI Simpedes an. Kelompok X

RS-RTLH Makkawaru No. Rek BRI Unit Manarang : 5023-01-

011426-53-1

55
35) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok I Padangloang sebesar Rp.100.000.000,- (seratus

juta rupiah)

36) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok II Padangloang sebesar Rp.100.000.000,- (seratus

juta rupiah)

37) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok III Sipatuo sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta

rupiah)

38) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok IV Sipatuo sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta

rupiah)

39) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok V Mattiro Ade sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta

rupiah)

40) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok VI Masulowalie sebesar Rp.100.000.000,- (seratus

juta rupiah)

41) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok VII Padakkalawa sebesar Rp.100.000.000,- (seratus

juta rupiah)

56
42) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok VIII Pananrang sebesar Rp.100.000.000,- (seratus

juta rupiah)

43) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok IX Pananrang sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta

rupiah)

44) 1 (satu) lembar Asli Bukti Penerimaan Bantuan RS-RTLH bagi

kelompok X Makkawaru sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta

rupiah)

45) 1 (satu) bundel Fotocopy Laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok I Desa Padangloang Kec.Patampanua

Kab.pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2013

46) 1 (satu) bundel Fotocopy Laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok II Padangloang Kec. Patampanua Kab.

Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2013

47) 1 (satu) bundel Fotocopy Laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok III Desa Sipatuo Kec. Patampanua Kab.

Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2013

48) 1 (satu) bundel Fotocopy Laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok IV Desa Padangloang Kec. Patampanua Kab.

Pinrang Sulawesi Selatan

57
49) 1 (satu) bundel Fotocopy Laporan Pelaksanaan bantuan RS-

RTLH Kelompok V Desa padangloang Kec.Patampanua Kab.

Pinrang Sulawesi Selatan 2013

50) 1 (satu) bundel Fotocopy laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok VI Desa Masulowalie Kec. Mattiro Kab.

Pinrang Sulawesi Selatan 2013

51) 1 (satu) bundel Fotocopy Laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok VII Desa Padakkalawa Kec.Mattiro Bulu

Kab.Pinrang Sulawesi Selatan 2013

52) 1 (satu) bundel Fotocopy laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok VIII Desa Pananrang Kec. Mattiro Bulu Kab.

Pinrang Sulawesi Selatan 2013

53) 1 (satu) bundel Fotocopy Laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok IX Desa Pananrang Kec. Mattiro Bulu Kab.

Pinrang Sulawesi Selatan 2013

54) 1 (satu) bundel Fotocopy Laporan Pelaksanaan Bantuan RS-

RTLH Kelompok X Desa Makkawaru Kec. Mattiro Bulu Kab.

Pinrang Sulawesi Selatan 2013

55) 1 (satu) rangkap Fotocopy Dokumentasi Rumah Tidak Layak

Huni Dinas Sosial,Kebudayaan dan Priwisata Kab. Pinrang

Tahun 2013

58
56) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Tanda Terima Laporan RS-

RTLH Februari 2014

57) 1 (satu) lembar Foto – foto Pencairan dana dan penyerahan ke

Toko Himalaya

58) 1 (satu) rangkap Foto – foto pencairan dana dan penyerahan

ke Toko Himalaya; 2 (dua) lembar Fotocopy Petikan Keputusan

Bupati Pinrang No: 821.24/116/2012 tanggal 10 september

2012

59) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Pernyataan pelantikan Nomor :

82122/199/BKD tanggal 13 september 2012

60) 2 (dua) lembar Fotocopy Petikan keputusan Bupati Pinrang No:

821/425/2012 tanggal 07 Desember 2012

61) 1 (satu) lembar Fotocopy Surat Pernyataan Pelantikan Nomor :

821. 22/018/BKD tanggal 10 Desember 2012

62) Laporan Hasil Monitoring RD-RTLH Kab. Pinrang Prov.

Sulawesi selatan Tahun 2013

Terlampir dalam berkas perkara

9. Membebankan biaya perkara ini kepada Terdakwa, sebesar Rp.

5.000,- (lima ribu rupiah)

59
6. Analisis Penulis

Untuk membuktikan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum

terhadap Terdakwa dalam Putusan Nomor :

27/Pid.SUS.TPK/2016/PN.Mks dengan Dakwaan Subsidair bahwa

Terdakwa terbukti secara sah melakukan Tindak Pidana Korupsi

Secara Bersama – sama sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang – Undang RI Nomor : 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dan ditambah dengan Undang – Undang RI Nomor : 20

Tahun 2001 tentang perubahan Undang – Undang RI Nomor : 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal

55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Hakim berpendapat bahwa dakwaan Primair tidak dapat

diterapkan pada Terdakwa karena perbuatan Terdakwa tidak terbukti

selaku staf Dinas Bantuan Sosial menjabat sebagai Kepala Bidang

rehabilitasi Sosial dan Penyandang Cacat, yang karena jabatannya

melakukan penyalahgunaan wewenang, bukan perbuatan melawan

hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang

Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah denga Undang – Undang

Nomor 20 tahun 2001, akan tetapi perbuatan penyalahgunaan

wewenang Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka unsur – unsur terkait

60
tindak pidana tersebut harus terpenuhi seluruhnya. Adapun unsur –

unsurnya yaitu:

1. Unsur setiap orang

Bahwa unsur “setiap orang” menurut Pasal 1 UU No.31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah

perseorangan, pegawai negeri dan korporasi. Dalam putusan

pengadilan No : 27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks yang dalam putusan

tersebut Penuntut Umum telah menghadapkan seorang yang

bernama JAMALUDDIN,SE yang telah dihadapkan dalam

persidngan sebagai terdakwa berdasarkan keterangan saksi –

saksi, alat bukti dan serta keterangan terdakwa. Sehingga dapat

disimpulkan menurut penulis berdasarkan unsur tersebut maka

terdakwa telah memenuhi unsur tersebut karena jabatan terdakwa

yang merupakan seorang pegawai negeri sipil sebagaimana yang

tertera dalam identitas terdakwa dalam surat dakwaan, dengan

demikian unsur setiap orang telah terpenuhi

2. Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi

61
Bahwa kata “Dengan Tujuan” dalam perumusan unsur Pasal

tersebut diatas mengandung pengertian adanya niat, kesengajaan,

atau kehendak agar tercapai sesuatu yang diinginkan atau dengan

kata lain perbuatan tersebut dilakukan untuk suatu tujuan tertentu,

dalam hal ini menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi. Dalam hukum pidana “niat” atau “kehendak” untuk

melakukan suatu tindak pidana belumlah merupakan straafbaarfeit

atau perbuatan yang dapat dihukum. Ia merupakan straafbaarfeit

jika telah dilaksanakan oleh yang punya niat atau kehendak itu,

terlepas apakah pelaksanaan itu selesai atau tidak.

Pengertian unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain yaitu suatu sikap batin seseorang yang sempurna

yang diproyeksikan keluar menjadi rangkaian tingkah laku dan

perbuatan – perbuatan tertentu, meskipun disini tidak secara tegas

(eksplisit) dirumuskan unsur melawan hukum akan tetapi unsur itu

ada secara diam – diam karena setiap perbuatan delik selalu ada

unsur melawan hukum, yang berarti menguntungkan diri sendiri

atau orang lain tanpa hak.

Pada kasus ini Terdakwa Jamaluddin,SE yang menjadi

persoalan pada kasus ini apakah terdakwa mendapatkan

keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

62
yang dilakukan dengan cara menyalahgunakan kewenangan.

Berdasarkan keterangan saksi ahli melakukan audit mengenai

perhitungan Kerugian Negara atas dugaan tindak pidana korupsi

pada Program Bantuan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak

Huni tahun anggaran 2013 pada Dinas Sosial Kabupaten Pinrang

ditemukan kerugian Negara Rp. 388.38.250.00,- ( tiga ratus

delapan puluh delapan juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu

dua ratus lima puluh rupiah ) dengan demikian perbuatan

Terdakwa telah menguntungkan diri Terdakwa Drs. Mustamin

(Dalam Putusan berbeda) yang kemudian diterima oleh Terdakwa

Jamaluddin,SE sebesar Rp. 89.915.333,- (Delapan Puluh Sembilan

Juta Sembilan Ratus Lima Belas Ribu Tiga Ratus Tiga Puluh Tiga

Rupiah). Sehingga dengan demikian perbuatan Terdakwa telah

memenuhi secara sah unsur menguntungkan diri sendiri atau telah

terpenuhi unsur tersebut.

3. Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

Bahwa kata “kewenangan” dapat diartikan sebagai suatu

hak yang melekat dan dimiliki seseorang dalam hubungannya

dengan jabatan atau kedudukan , sedangkan dengan kata

63
“kesempatan” berarti peluang yang ada karena kewenangan

tersebut dan kata “sarana” sebagai suatu alat, cara atau media.

Terdawa jabatannya selaku Kepala Bidang Rehabilitasi dan

Bantuan Sosial yang berarti merupakan PNS, yang dimana dalam

rumusan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tersebut di atas maka dapat

ditegaskan pelaku tindak pidana korupsi dalam delik Pasal 3 UU

No. 31 Tahun 1999 sebagai mana telah diubah dengan UU No. 20

Tahun 2001 yaitu:

a. Pegawai Negeri yang melakukan tindak pidana korupsi dengan

“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

yang ada karena jabatannya”

b. Pelaku tindak pidana korupsi yang bukan Pegawai Negeri atau

perseorangan swasta yang melakukan tindak pidana korupsi

dengan cara “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada karena kedudukannya saja”.

Terdakwa telah menyalahgunakan kewenangan karena tidak

melaksanakan tugas yang tidak sesuai fungsinya yaitu tidak

mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Kepala Dinas Sosial

Kabupaten Pinrang selaku serta tidak tidak mendapatkan Surat

64
Keputusan (SK) dari Bupati Pinrang selaku Pimpinan Terdakwa,

sehingga tidak jelas kedudukan Terdakwa dalam program ini.

Sehingga dengan demikian perbuatan Terdakwa telah memenuhi

unsur menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

4. Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara

Arti kata dari “merugikan” adalah menjadi rugi atau menjadi

berkurang, sehingga yang dimaksudkan “merugikan keuangan

negara” sama artinya dengan keuangan negara menjadi rugi atau

berkurangnya keuangan negara akibat perbutan tertentu.

Berdasarkan fakta – fakta yang terungkap dalam persidangan dari

keterangan saksi – saksi, surat, keterangan Ahli dan keterangan

Terdakwa sehingga telah terjadi kerugian negara sebesar Rp.

388.838.250.00,- (tiga ratus delapan puluh delapan juta delapan

ratus tiga puluh delapan ribu dua ratus lima puluh rupiah) yang

dikuasai oleh Terdakwa lain Drs. Mustamin (berkas perkara

terpisah) dan Terdakwa Jamaluddin, SE mendapatkan Rp.

89.915.333,- (Delapan puluh Sembilan juta Sembilan ratus lima

belas ribu tiga ratus tiga puluh tiga rupiah) berdasarkan

65
perhitungan hasil audit yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan

Provinsi Sulawesi Selatan.

Dengan fakta hukum tersebut maka unsur dapat merugikan

keuangan negara atau perekonpmian negara telah terpehuni

5. Pasal 18 Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah

dengan Undang – Undang Nomor 20 tahun 2011, mengenai pidana

tambahan berupa “pembayaran uang pengganti”

Tujuan dijatuhkannya pidana tambahan berupa pembayaran

uang pengganti sebenarnya karena pelaku tindak pidana korupsi

tidak layak mendapatkan kekayaan atau keuntungan yang

diperoleh dari hasil kejahatan, sehingga untuk itu negara dapat

merampas kekayaan atau keuntungan yang merupakan hasil dari

kejahatan tersebut. Namun dalam kasus ini Majelis Hakim tidak

memberikan pidana tambahan berupa uang pengganti,

dikarenakan terdakwa tidak menikmati keuntungan dari Tindak

Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial Di Kabupaten Pinrang Tahun

Anggaran 2013 yang menimbulkan kerugian negara.

66
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis

menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep perbuatan melawan hukum yang terdapat pada Pasal 2

UU No. 31 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan yang berdiri

sendiri, maka tidak terpenuhinya unsur melawan hukum

menunjukkan perbuatan itu bukan tindak pidana. Sementara

konsep melawan hukum yang terdapat pada Pasal 3 UU No. 31

Tahun 1999 bahwa memiliki pemahaman yang sama dengan

konsep penyalahgunaan wewenang, yang dimana unsur melawan

hukum pada Pasal 3 yang terbenih (inheren) disebut elemen atau

dengan kata lain apabila pada Pasal 3 unsur penyalahgunaan

wewenang telah terpenuhi maka secara tiak langsung unsur

perbuatan melawan hukum juga telah terpenuhi.

2. Penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku tindak pidana

korupsi dana bantuan sosial pada perkara putusan nomor:

27/Pid.Sus.TPK/2016/PN.Mks telah sesuai karena perbuatan

terdakwa telah terbukti memenuhi unsur – unsur tindak pidana

pada dakwaan subsidair Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang

67
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001

Tentang perubahan atas UU. No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

B. Saran

1. Sebagai penegak hukum harus memiliki wawasan dan ilmu yang

luas terutama dalam kasus korupsi agar dalam menangani kasus

korupsi dapat menerapkan hukum pidana yang baik dan tepat,

sehingga sesuai dengan yang telah di amanatkan pada peraturan

perundang – undangan pemberantasan tindak pidana korupsi

dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang – Undang

Nomor 20 Tahun 2001

2. Sebagai pegawai negeri sipil (PNS), seharusnya melakukan segala

hal sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014

Tentang Aparatur Sipil Negara dan melakukan segala hal sesuai

dengan SK (Surat Keputusan) dan tanggungjawab yang diberikan

sehingga tidak melanggar peraturan hukum yang ada.

68
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adami Chazawi. 2016. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. PT. Raja


Grafindo Persada: Jakarta

,2014. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT. Raja Grafindo Persada:


Jakarta

Al. Andang. 2006. Korupsi Kemanusiaan. PT. Kompas Media Nusantara:


Jakarta

Amir Ilyas. 2012. Asas – Asas Hukum Pidana. Rangkang: Yogyakarta

Andi Hamzah. 2015. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana


Nasional dan Internasional. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Elwi Danil. 2014. KORUPSI Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya.


PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Evi Hartani. 2016. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Jakarta

Hariman satria. 2014. Anatomi Hukum Pidana Khusus. UII Pers: Yogyakarta

Kementarian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2011. Pendidikan Anti Korupsi


untuk Perguruan Tinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi: Jakarta

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami Untuk Membasmi. Komisi


Pemberantasan Korupsi: Jakarta

Mulyati Pawennei. 2015. Hukum Pidana. Mitra Wacana Media: Bekasi

O.C Kaligis. 2010. Korupsi Bibit dan Chandra. PT. Yarsif Watampone:Jakarta

P.A.F. Lamintang. 2014. Dasar – Dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Sinar


Grafika: Jakarta

69
Teguh Prasetyo. 2014. Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Suratman. 2015. Metode penelitian Hukum. Alfabeta: Bandung

Perundang - Undangan

Undang – undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 2016 Tentang Pedoman


Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari APBD

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 81/PMK.05/2012


Tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian Negara/Lembaga

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman


Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah

Website:

http://news.liputan6.com/read/2477341/kasus-korupsi-di-indonesia-menggila.
Kasus Korupsi di Indonesia Menggila. Diakses 16 Oktober 2017. Pukul 20.00
WITA

70
LAMPIRAN

71

Anda mungkin juga menyukai