Anda di halaman 1dari 116

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA

DALAM PENGUNAAN ARUS LISTRIK


ANTARA PLN (PERSERO) DENGAN KONSUMEN
(STUDI PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN KOTA MEDAN NOMOR 10 TAHUN 2019)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ANNA MARIA BR MANIK


170200536

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Anna Maria Br. Manik

NIM : 170200536

Departemen : Hukum Perdata

Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN


SENGKETA DALAM PENGUNAAN ARUS LISTRIK
ANTARA PLN (PERSERO) DENGAN KONSUMEN
(STUDI PUTUSAN ARBITRASE BPSK MEDAN
NOMOR 10 TAHUN 2019)

Dengan ini saya menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan

ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau

tekanan dari pihak manapun.

Medan, Maret 2021

Anna Maria Br. Manik


Nim. 170200536

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

penyertaan dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih

gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul

“Analisis Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Pengunaan Arus

Listrik Antara Pln (Persero) Dengan Konsumen (Studi Putusan Arbitrase

Bpsk Medan Nomor 10 Tahun 2019).”

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, Penulis juga banyak mendapat

bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung guna

memperoleh bahan-bahan yang diperlukan oleh penulis, serta senantiasa dengan

ikhlas memberikan bimbingan, motivasi, dan doa sehingga penulisan skripsi ini

dapat diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Univeritas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. O.K. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen

Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Syamsul Rizal, S.H, M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan di Fakultas Hukum USU sekaligus Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan waktunya dan arahan selama proses penulisan skripsi ini.

7. Ibu Aflah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah sabar

membimbing dan mengajari penulis, serta memberikan waktunya selama

proses penyusunan skripsi ini.

8. Bapak Yusrin, S.H., M.Hum selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah

memberikan arahan dan nasihat kepada penulis selama masa perkuliahan.

9. Kepada Bapak Syaiful Anwar selaku Kepala UPT BPSK Kota Medan yang

membantu penulis dalam memberikan kebutuhan data dalam penulisan

skripsi ini.

10. Kepada Saudara Kandung yang sangat Penulis sayangi yaitu Kakak Penulis,

Intan Natalya Manik, S.I.P, dan Letda Irene Novita Manik, S.Tr.Han, yang

selalu mencurahkan kasih sayang, memotivasi dan membantu penulis baik

dari segi moral maupun materil, serta mengajarkan semangat berjuang

kepada penulis. Kedua Adik penulis yaitu Josua Putra Manik dan Andreas

Manik yang juga senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.

11. Kepada saudara yang dikasihi penulis yaitu Monica Sitorus, Michelle

Simaremare, Yulliza Salwa, Kevin Nathanael yang telah menjadi tempat

bertukar pikiran penulis dan selalu ada disaat penulis dalam keadaan suka

maupun duka.

ii

Universitas Sumatera Utara


12. Kepada Jeremias Ginting yang berperan membantu penulis dalam proses

pembuatan skripsi ini dengan segala kesabaran dan motivasinya untuk

penulis.

13. Kepada Sahabat yang penulis kasihi yaitu Olivia Harefa, Ombi, Regitta,

Rivaldi, Geraldo Silitonga, Kevin Siregar, Golda Manurung, Canvita

Hutabalian dan Febby Lombogia yang selalu menyemangati penulis, sedia

membantu dan mendengarkan keluh kesah penulis.

14. Kepada teman-teman seperjuangan dari awal perkuliahan yang selalu setia

menemani penulis yaitu Ruth, Randyta, Dinda, Glory, Nakita, Aldi, Zulfa,

Theo, Akram, Jackson, Rivaldo, Johannes. Tterima kasih karena sudah

menemani Penulis sehari-hari selama menempuh pendidikan di Fakultas

Hukum dan senantiasa memberikan bantuan dan dukungan. Serta kepada

Teman Klinis Penulis yang juga sangat membantu dan selalu memberikan

informasi kepada penulis selama perkuliahan yaitu Muhammad Fadhli dan

Perdi Kurniawan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada yang teristimewa dan terkasih, kedua orangtua penulis selaku

motivator terbesar dalam hidup penulis, yaitu Bapak Bosman Manik, S.H dan Ibu

Faridawaty, S.pd. yang telah memberikan doa, kasih sayang yang tak terbatas, serta

setia mendukung penulis dengan ikhlas, mendidik, membimbing, dan memenuhi

segala kebutuhan moril maupun materil kepada penulis, hingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dan dapat menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu

(S1).

iii

Universitas Sumatera Utara


Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, Penulis menyadari bahwa

skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, dikarenakan keterbatasan ilmu

pengetahuan, waktu, tenaga serta literatur bacaan. Oleh karena itu, penulis akan

menerima segala saran dan kritikan yang sifatnya membangun. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum dan berguna bagi masyarakat.

Medan, Maret 2021

Penulis

Anna Maria Manik

170200536

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .......................................................... 7
D. Keaslian Penulisan ............................................................................ 8
E.Tinjauan Kepustakaan……….……………………………………..10
F. Metode Penelitian ............................................................................ 15
G. Sistematika Penulisan....................................................................... 18

BAB II PERJANJIAN PENGGUNAA N ARUS LISTRIK ANTARA PT


PLN (PERSERO) DENGAN KONSUMEN .................................. 20

A. Hak dan Kewajiban Konsumen Sebagai Pengguna Arus Listrik .. 20

B. Hak Hak dan Kewajiban PT PLN (persero) Sebagai Pelaku Usaha


............................................................................................................ 28

C. Tanggung Jawab Konsumen dan PT PLN (Persero) di Dalam


Perjanjian Penggunaan Arus Listrik................................................... 33

D. Pelaksanaan Perjanjian Penggunaan arus listrik antara Konsumen


dan PT PLN (Persero) ........................................................................ 43

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE BPSK


ANTARA PT PLN (PERSERO) DENGAN KONSUMEN .......... 49

A. Pengertian dan Sumber Hukum Arbitrase BPSK.......................... 49

Universitas Sumatera Utara


B. Jenis-Jenis Sengketa yang Diselesaikan Melalui Arbitrase BPSK 56

C. Prosedur penyelesaian sengketa melalui Arbitrase BPSK ............ 59

D. Peran dan Fungsi Arbiter BPSK dalam penyelesaian Sengketa


Konsumen...................................................................................... 67

BAB IV PENYELESAIAN TERHADAP KONSUMEN YANG


MENDERITA KERUGIAN DALAM PENGGUNAAN ARUS
LISTRIK AKIBAT PT PLN PERSERO (STUDI PUTUSAN
NOMOR 10/ARBITRASE/2019/BPSK.MDN) .............................. 70

A. Kasus Posisi Dalam Putusan NOMOR


10/ARBITRASE/2019/BPSK.MDN .................................................. 70

B. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Arbitrase Nomor


10/Arbitrase/2019/BPSK.MDN ......................................................... 75

C. Putusan BPSK NOMOR 10/ARBITRASE/2019/BPSK.MDN..... 82

D. ANALISA PUTUSAN BPSK NOMOR


10/ARBITRASE/2019/BPSK.MDN. ................................................. 83

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 92

A. KESIMPULAN ............................................................................. 92

B. SARAN.......................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 96

LAMPIRAN..........................................................................................................99

vi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Anna Maria Manik*


Syamsul Rizal**
Aflah***

Tim Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) dibentuk PT PLN untuk


melakukan pemeriksaan dan melakukan penertiban pemakaian tenaga listrik yang
tidak sesuai dengan standar pemasangan dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga
Listrik (SPJBTL) dan sebenarnya mengantisipasi agar tidak terjadinya kerugian
kehilangan atau susut daya listrik yang sifatnya non teknis. Dalam hal melakukan
pemeriksaan, terjadi kesewenangan yang dilakukan oleh oknum PT PLN (Persero)
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis
normatif dan deskriptif analitis. Penelitian yuridis normatif dengan cara
menekankan pada norma hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku melalui
studi kepustakaan. Penelitian deskriptif analitis dilakukan dengan menguraikan
keadaan atau fakta-fakta yang ada tentang kasus konsumen dalam perjanjian
penggunaan arus listrik. Analisis data yang digunakan dalam penelitian penulisan
skripsi ini adalah menggunakan analisis data kualitatif dimulai dengan menyusun
asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian. Analisa
data bermaksud untuk mengorganisasikan data. Data yang terkumpul terdiri dari
Studi Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan
Nomor 10 Tahun 2019.
Hasil penelitian skripsi ini menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen dalam penggunaan arus listrik yang melibatkan konsumen dan PT PLN
(Persero) diselesaikan melalui proses arbitrase yang ditangani oleh BPSK Kota
Medan. Setelah dilakukan kajian yang mendalam, dapat diketahui bahwa PT PLN
(Perseo) bersalah karena melakukan perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH
Per) berupa adanya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen yang diatur dalam
pasal 4 UUPK, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri dengan melakukan pemeriksaan yang tidak sesuai dengan SOP
Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) yang diatur dalam Peraturan Direksi
PT PLN (Persero), serta melakukan pemutusan arus listrik secara sepihak dengan
menuduhkan konsumen mengambil daya tanpa dapat membuktikan kebenaran
tersebut, sehingga konsumen selaku pihak yang dirugikan dibebaskan dari tagihan
denda sebesar Rp.19.590.894 (Sembilan belas juta lima ratus sembilan puluh ribu
delapan ratus semblan puluh empat rupiah).
Kata Kunci: Penyelesaian, Penggunaan, Arus Listrik, Sengketa
*
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

vii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

PT PLN (Persero) dalam menjalankan tujuan dan meningkatkan

pelayanannya, membentuk Tim Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL)

untuk melakukan pemeriksaan dan melakukan penertiban pemakaian tenaga listrik

yang tidak sesuai dengan standar pemasangan dalam Surat Perjanjian Jual Beli

Tenaga Listrik (SPJBTL), yang dibentuk berdasarkan SK Direksi PT PLN (Persero)

Nomor : 088‐ZP DIIV 2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik. Dasar

utama PT PLN (Persero) mengeluarkan kebijakan P2TL sebenarnya merupakan

antisipasi atas kerugian kehilangan atau susut daya listrik yang diakibatkan faktor

yang sifatnya non-teknis

Lingkup penelitian ini adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) Kota Medan nomor 10 tahun 2019 dengan memilih alternatif

penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Perkara ini berawal dari konsumen selaku

pihak yang dirugikan mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada

BPSK. Dalam hal ini, konsumen sangat keberatan dengan kesewenangan Tim

Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) melakukan pemutusan arus listrik

secara sepihak.

Tanpa alasan yang jelas, petugas PT. PLN (Persero) langsung melakukan

pemutusan arus listrik secara sepihak dan menyatakan seseorang itu bersalah,

karena dugaan penggunaan arus ilegal maupun tuduhan telah merusak segel

instalasi listrik dengan cara menyambung kumparan arus terminal 1 dan 3 dengan

Universitas Sumatera Utara


2

kabel NYAF 1X2 mm2 sehingga mempengaruhi pembatas daya yang sudah

dipasang yang semula 2.200 V menjadi 4.400 V.

Dilihat dari putusan Arbitrase BPSK Kota Medan nomor 10 tahun 2019

tersebut, bahwa tidak dapat dibuktikan konsumen menyambung langsung

kumparan arus terminal 1 dan 3 dengan kabel NYAF 1X2 mm2. Dapat dilihat dari

segel instalasi listrik tidak ada kerusakan. Dengan demikian, patut diduga bahwa

pemeriksaan Tim P2TL dilaksanakan dengan tidak jujur. Dalam melakukan

pemeriksaan, Tim P2TL juga melanggar SOP dalam menjalankan tugasnya, yakni

melakukan tindakan penertiban pemakaian tenaga listrik pelanggan dengan berlaku

tidak sopan memanjat rumah konsumen dan menyentuh atau mendekat APP (Alat

Pembatas dan Pengukur) tanpa disaksikan oleh konsumen listrik dan tanpa

didampingi oleh penyidik baik dari aparatur kelurahan maupun pihak berwajib.

Berdasarkan pasal 10 peraturan Direksi PT PLN (Persero) mengenai

pemeriksaan P2TL, dikatakan bahwa “sebaiknya petugas P2TL tidak menyentuh

atau mendekat APP (Alat Pembatas dan Pengukur) sebelum disaksikan oleh

penghuni atau saksi, untuk menghindari dugaan merusak segel sebelum diadakan

pemeriksaan”.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Petugas Pelaksana Lapangan

P2TL pada tahap pelaksanaan P2TL adalah dengan cara :1

1. Pada saat memasuki persil (tanah) Pemakai Tenaga Listrik, Tim P2TL harus

bersikap sopan dengan menunjukkan surat tugas dan menjelaskan maksud

1
Tim YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Bersikap Kritis Bertindak Cermat
: Panduan Konsumen Menghadapi P2TL, YLKI, Jakarta, 2010, hal 9-12.

Universitas Sumatera Utara


3

serta tujuan pelaksanaan P2TL kepada Pemakai Tenaga Listrik atau yang

mewakili dan kepada Pemakai Tenaga Listrik atau yang mewakili diminta

untuk menyaksikan pelaksanaan pemeriksaan P2TL

2. Petugas Pelaksana Lapangan P2TL sebelum dan sesudah pemeriksaan

dilakukan pengambilan dokumentasi dengan kamera foto non digital

dan/atau video kamera dalam memeriksa dan meneliti APP (Alat Pembatas

dan Pengukur) elektro mekanik atau elektronik dan kelengkapannya baik

pengukuran secara langsung maupun tidak langsung (menggunakan current

transformer/potential transformer) secara visual maupun dengan peralatan

elektrik/ elektronik dan alat bantu lainnya;

3. Melakukan pemutusan sementara atau pembongkaran rampung pada

pelanggan yang melakukan pelanggaran;

4. Dalam hal P2TL dilaksanakan bersama Penyidik dan Berita acara hasil

pemeriksaan P2TL ditandatangani oleh Tim P2TL, Pemakai Tenaga Listrik

atau yang mewakilinya, serta penyidik. Bila pelaksanaan P2TL tidak

disertai oleh penyidik dan atau Konsumen maka penandatanganannya

dimintakan kepada Ketua RT/RW/Aparat Desa, Pemuka Masyarakat, atau

pihak yang mengenal Konsumen sebagai saksi; dan

5. Sebelum meningalkan lokasi, Petugas Pelaksana P2TL menjelaskan hasil

pelaksanaan P2TL kepada Konsumen atau yang mewakili.

Dalam kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi ketidakadilan

dalam implementasinya. Tim P2TL telah melanggar peraturan yang dibuat sendiri.

Adanya kebijakan P2TL ternyata membuka peluang bagi oknum-oknum yang

Universitas Sumatera Utara


4

memanfaatkan kesempatan untuk melakukan tindakan kurang terpuji. Adanya

oknum PLN yang melakukan kejahatan dalam pemriksaan arus listrik tidak hanya

merugikan PT PLN (Persero) sebagai pemasok tenaga listrik, tetapi juga sangat

merugikan pelanggan. Hal ini jelas dapat membahayakan keamanan pengguna

listrik.2 Kondisi demikian menyebabkan konsumen semakin lemah dan terpojok

dalam menghadapi masalah tersebut.

Dengan tuduhan tersebut, konsumen diwajibkan untuk membayar denda

sejumlah jutaan bahkan belasan juta rupiah tanpa mengetahui secara pasti kesalahan

yang telah dibuatnya. Tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri, PT PLN

(Persero) dengan leluasa mengeluarkan sanksi yang berupa pemutusan meteran

listrik dan harus membayar tagihan denda listrik tersebut agar meteran konsumen

dipasang kembali. Penertiban tersebut dapat dikatakan tebang pilih untuk

kepentingan yang sifatnya komersial.

Pemutusan arus listrik ke pelanggan termasuk kedalam pemadaman

terencana menurut PT PLN (Persero) yang berarti pemadaman listrik yang memang

sudah direncanakan oleh PLN. Ini disebabkan karena diduga adanya pengaruh

terhadap pembatas daya. Pemadaman listrik terencana dilakukan PT PLN (Persero)

sebagai upaya dari PLN untuk menghindari terjadinya mati listrik secara total pada

suatu sistem jaringan listrik. Hal ini dilakukan untuk menghindari situasi sewaktu-

waktu permintaan listrik melebihi kapasitas suplai daya dari jaringan dan

pemakaian peralatan yang melebihi umur standar pemakaian.3

2
Ibid., hal 8.
3
Awang Bayu, Siti Maliakhatun & Aminah, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Terhadap Pemadaman Listrik Oleh PT PLN (Persero) Wilayah Jawa Tengah Area Salatiga,

Universitas Sumatera Utara


5

Dalam hal ini, PT PLN (Persero) melakukan pengingkaran kewajiban yang

diatur dalam Pasal 28 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 yaitu

menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan dan keandalan yang

berlaku. Permasalahan dalam penelitian ini adalah adanya perbuatan melawan

hukum (1365 KUH Per) dengan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok, salah satunya

berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Dalam hal ini juga sangat jelas

terlihat hak konsumen listrik sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK) tidak terpenuhi akibat kurangnya sosialisi, yaitu tidak

terpenuhinya hak atas informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa. Dalam ketentuan tersebut, konsumen berhak untuk

mendapatkan hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan yang mengandung

pengertian bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan produk maupun jasa yang

nyaman, aman, dan selamat. Masyarakat Indonesia sebagai penerima jasa layanan

publik sering mengalami kesulitan akibat ketiadaan standar pelayanan yang jelas,

sehingga masyarakat atau konsumen akan mudah secara sepihak dijatuhi sanksi.4

Kondisi dan fenomena tersebut di atas merupakan salah satu pelanggaran

yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dan dapat mengakibatkan kedudukan PT

PLN (Persero) dan konsumen menjadi tidak seimbang. Masyarakat sebagai

konsumen harus mendapat pengayoman atau perlindungan dari penegak hukum.

Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen dapat timbul dari akibat adanya

hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen (perjanjian jual beli) atau

Diponegoro Law Journal, Vol. 5, no. 3, hal 5, http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dir/,


15 juli 2016. Diakses pada 30 november 2020 pukul 22.00 wib.
4
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2006, hal 173.

Universitas Sumatera Utara


6

melalui akibat perbuatan melawan hukum (tidak ada perjanjian jual beli). Dua hal

ini sebagai bentuk tuntutan yang dapat dilakukukan oleh konsumen kepada pelaku

usaha. 5 Kondisi konsumen yang dirugikan memerlukan perlindungan untuk

mendapat ganti kerugian atas dasar kesalahan PT PLN (Persero) ataupun

membebaskan konsumen dari tagihan denda.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka Penulis tertarik untuk

melakukan studi untuk menemukan kepastian hukum terkait fenomena yang terjadi

di masyarakat ini, khususnya terhadap Konsumen sebagai Pengguna Arus Listrik.

Maka dari itu penulis membuat skripsi ini dengan judul “Analisis Yuridis

terhadap Penyelesaian Sengketa dalam Penggunaan Arus Listrik antara PT

PLN (PERSERO) dengan Konsumen (Studi Putusan Arbitrase BPSK Medan

Nomor 10 Tahun 2019)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka yang menjadi

Permasalahan dalam skripsi ini yaitu :

1. Bagaimana proses pelaksanaan perjanjian penggunaan arus listrik antara PT

PLN (PERSERO) dengan konsumen?

2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase BPSK antara PT

PLN (PERSERO) dengan Konsumen?

5
Aulia Muthiah, Hukum Perlindungan Konsumen Dimensi Hukum Positif dan Ekonomi
Syariah, Pustaka Baru Press, Yogyakata, 2018, Hal 15.

Universitas Sumatera Utara


7

3. Bagaimana penyelesaian terhadap Konsumen yang menderita kerugian

dalam penggunaan arus listrik akibat perbuatan PT PLN (PERSERO) dalam

pemutusan arus listrik sepihak?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui proses pelaksanaan perjanjian penggunaan arus listrik

antara PT PLN (Persero) dengan Konsumen.

b) Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase BPSK

antara PT PLN (PERSERO) dengan Konsumen.

c) Untuk mengetahui penyelesaian terhadap Konsumen yang menderita

kerugian dalam penggunaan arus listrik akibat PT PLN (PERSERO).

2. Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai suatu bahan bagi :

a) Secara praktis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

masyarakat yang bersengketa di bidang arbitrase khususnya dalam

pemakaian arus listrik.

2) Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan

bagi PT PLN (Persero) dalam memberikan pengawasan dan pencatatan

yang lebih ketat lagi terhadap Konsumen agar untuk kedepannya tidak

terulang kembali kasus serupa.

b) Secara Teoritis

Universitas Sumatera Utara


8

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang besar bagi

penulis sendiri serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam

mengembangkan kajian ilmu dalam bidang Keperdataan khususnya mengenai

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam penggunaan arus listrik antara PT

PLN (Persero) dan Konsumen.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Analisis Yuridis terhadap Penyelesaian Sengketa

dalam Penggunaan Arus Listrik antara PT PLN (PERSERO) dengan Konsumen

(Studi Putusan Arbirase BPSK Medan Nomor 10 Tahun 2019)”. Didalam penulisan

skripsi ini, dilakukan peneliti atas ide dan pemikiran sendiri serta dibantu oleh

masukan dari keluarga. Dimulai dengan mengumpulkan bahan yang berkaitan

dengan penyelesaian sengketa dalam penggunaan arus listrik antara PT PLN

(Persero) dengan Konsumen, baik melalui literatur yang diperoleh dari Putusan

Arbitrase BPSK Medan Nomor 10 Tahun 2019, perpustakaan, media cetak maupun

elektronik.

Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dilakukan pemeriksaan pada

perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan

bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun penulisan skripsi ini

berkenaan dengan skripsi lain yang sudah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, diantaranya:

1. Nama : Ade Rizki Syahputra Siregar

Nim : 110200588

Universitas Sumatera Utara


9

Judul : Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Melalui

Arbitrase Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik Negara Dengan Pelanggan

Akibat Wanprestasi (Studi PT. PLN (Persero) Area Medan).

Rumusan Masalah :

1) Bagaimana proses pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase

antara perusahaan listrik negara dengan pelanggan dalam perjanjian

pemakaian arus listrik akibat wanprestasi?

2) Apa kendala dan upaya dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase

dalam perjanjian pemakaian arus listrik antara perusahaan listrik negara

dengan pelanggan akibat wanprestasi?

2. Nama : Ade Irma Andayani S

Nim : 040200044

Judul :Tinjauan Yuridis Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian

Pemakaian Arus Listrik Pada PLN Cabang Medan.

Rumusan Masalah :

1) Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian?

2) Bagaimana perjanjian baku dalam pemakaian arus listrik antara PLN dan

pelanggan?

3) Bagaimana wanprestasi dan tanggung jawab para pihak dalam terjadinya

kelalaian?

4) Bagaimana alternatif penyelesaian sengketa antara PLN dengan pelanggan?

Jika dilihat dari judul diatas, dan dari setiap permasalahan yang ada, serta

berdasar pada Arsip Perpustakaan USU cabang Fakultas Hukum, maka penelitian

Universitas Sumatera Utara


10

ini merupakan karya ilmiah penulis sendiri karena tidak terdapat kesamaan judul,

permasalahan, objek, tempat penelitian, dan lainnya. Apabila ditemukan judul yang

sama, dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tinjauan Umum Perjanjian Arus Listrik

Sebelum membahas mengenai Perjanjian Arus Listrik, Penulis akan

membahas tentang pengertian perjanjian secara umum. Menurut Subekti,

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada orang lain atau

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan satu hal”,6 sedangkan menurut R.

Setiawan “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih”.7

Sementara itu, menurut M. Yahya Harahap, Suatu perjanjian adalah suatu

hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan

hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada

pihak lain untuk melaksanakan prestasi. Dari pengertian Yahya Harahap diatas

menegaskan tentang hubungan hak dan juga kewajiban bagi orang yang

melaksanakan perjanjian. Jadi, ketika melakukan suatu perjanjian, ada hak &

kewajiban yang melekat masing-masing pihak yang harus dilaksanakan supaya

perjanjian tersebut terlaksana. 8 Sedangkan dari pengetian R. Subekti perjanjian

6
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2010, hal 1.
7
P.N.H Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2015, hal 285.
8
Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2006, hal 8.

Universitas Sumatera Utara


11

tersebut berisi janji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu, dimana janji itu

harus ditepati.

Selain dirumuskan oleh para ilmuwan, pengertian perjanjian juga dapat

ditemukan dalam peraturan hukum. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, suatu perjanjian (Overeenkomst) pada hakikatnya telah terjadi dengan

adanya sepakat (consensus) dari kedua belah pihak dan mengikat mereka yang

membuatnya, layaknya mengikatnya suatu undang-undang.

Pengertian perikatan berbeda dengan pengertian perjanjian. Perikatan

adalah suatu pengertian yang abstrak yang mengandung janji-janji atau

kesanggupan yang diucapkan atau ditulis, sedangkan perjanjian lebih mengacu

pada hal yang konkrit atau lebih mengacu pada suatu peristiwa. Kita tidak dapat

melihat dengan mata kita sendiri suatu perikatan, kita hanya dapat

membayangkannya dalam alam pikiran kita, tetapi kita dapat melihat atau membaca

isi dari perjanjian. Apabila dua orang melakukan suatu perjanjian maka

sesungguhnya mereka atau para pihak yang bermaksud supaya diantara mereka

timbul suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu

prestasi.9

Perjanjian Penggunaan Arus Listrik ialah perjanjian jual-beli arus yang

dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan konsumen. Perjanjian jual-beli secara

umum diatur dalam Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan “Jual-beli adalah

suatu perjanjian, dengan nama pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

9
Subekti, op.cit., hal 6.

Universitas Sumatera Utara


12

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah diperjanjikan.”

Dalam hal tersebut calon pelanggan datang mengajukan permohonan dan

telah bersedia membayar sejumlah uang kepada PT PLN (Persero) untuk dicatat

sebagai pelanggan PLN. Dalam pengajuan tersebut, PT PLN (Persero) selaku

penyedia listrik memberikan tawaran terkait besaran daya listrik yang diperlukan.

Dengan demikian, karena calon pelanggan telah setuju maka timbullah suatu

keterikatan tersebut. Karena perjanjian dapat dilakukan dengan tertulis maupun

lisan, perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara 2 (dua) orang yang

membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa rangkaian perikatan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang telah diucapkan atau ditulis.10

2. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang

menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, ataupun konflik11.

Menurut Schyut, konflik berarti suatu situasi yang di dalamnya terdapat dua pihak

atau lebih yang mengejar tujuan-tujuan, yang satu dengan yang lain tidak dapat

diserasikan dan mereka dengan daya upaya mencoba dengan sadar menentang

tujuan-tujuan pihak lain. Dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi ketika para pihak

bersaing untuk dapat mencapai tujuannya masing-masing. Para pihak dibatasi oleh

10
HR Daeng Naja, Contrant Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 6.
11
Tim Redaksi KBBI, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Pendidikan Nasional,
Jakarta, 2008, hal 1315.

Universitas Sumatera Utara


13

aturan-aturan ataupun prosedur-prosedur yang terkadang tidak sesuai dengan

kemauan dan kehendak dari para pihak.12

Suyud Margono mengartikan bahwa Sengketa biasanya bermula dari suatu

situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang diawali oleh

perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami

oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke

permukaan apabila terjadi konflik kepentingan. Proses sengketa terjadi karena tidak

adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara potensial, dua pihak

yang mempunyai pendirian atau pendapat yang berbeda berpotensi beranjak ke

situasi sengketa.13

Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa,

yaitu :14

1) Kepentingan (interest)

2) Hak-hak (rights) dan

3) Status kekuasaan (power)

Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai,

hak-haknya dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan

dpertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa

lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor tersebut.

3. Tinjauan Umum Arbitrase

12
Jimmy Joses, Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan : Negosiasi, Mediasi,
Konsiliasi, & Arbitrase, Visimedia, Jakarta, 2011, hal 4.
13
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution)& Arbitrase Proses Pelembagaan
dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal 34.
14
Ibid., hal 35.

Universitas Sumatera Utara


14

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud Arbitrase adalah

cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang

didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

yang bersengketa.

Arbitrase berasal dari bahasa Latin, yaitu arbitrare, yang mempunyai arti

kebijaksanaan. Oleh karena itu, R. Subekti dalam bukunya yang berjudul Arbitrase

Perdagangan mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk penyelesaian

sengketa yang prosesnya dibantu oleh seorang pihak ketiga dengan menggunakan

kebijaksanaannya. Pengertian tersebut di atas dapat menimbulkan kesalahpahaman

pengertian tentang arbitrase itu sendiri. Hal ini dikarenakan pengertian yang

demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis

arbitrase dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa tidak akan mengindahkan

norma-norma hukum lagi dan hanya menyandarkan pada kebijaksanaannya saja.15

Pengertian ini keliru karena seorang arbiter atau majelis arbitrase dalam

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu sengketa terikat dengan norma-norma

hukum perundang-undangan vang ada. Dengan kata lain, arbiter dalam memutus

suatu sengketa tidak hanya didasarkan pada kebebasan arbiter semata. Oleh sebab

itu, R. Subekti kemudian memberikan pengertian tentang arbitrase yakni Arbitrase

adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakinm

berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati

15
Suleman Batubara & Orinton Purba, Arbitrase Internasional : Penyelesaian Sengketa
Investasi Asing, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2013, Hal 8.

Universitas Sumatera Utara


15

keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim vang mereka pilih atau

tunjuk tersebut.16

H.M.N Poerwosujtipto menggunakan istilah perwasiatan untuk arbitrase

yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat

agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya

diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak

sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga apabila suatu

sengketa telah diputuskan oleh seorang hakim atau dalam arbitrase disebut arbiter

maka diharapkan para pihak dapat menerima serta melaksanakan hasil putusan

tersebut.17

Hal yang membedakan pengadilan dan arbitrase bila jalur pengadilan

menggunakan satu peradilan permanen, sedangkan arbitrase menggunakan forum

tribunal yaitu forum yang dibentuk khusus untuk kegiatan menyelesaikan sengketa

yang terjadi.

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.

Bahan-bahan atau data yang diperlukan dalam skripsi ini, penulis peroleh

dengan melakukan penelitian hukum dengan menggunakan cara-cara atau metode-

metode tertentu sebagai berikut:

16
Ibid., Hal 9.
17
H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan
dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, Djambatan, Jakarta, 1992, hal 1.

Universitas Sumatera Utara


16

1. Jenis Penelitian

Adapun Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif, yang merupakan suatu metode pendekatan yang menekankan pada

norma hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku melalui studi kepustakaan.18

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang

menggambarkan dan menguraikan keadaan atau fakta-fakta yang ada tentang kasus

konsumen dalam perjanjian penggunaan arus listrik. Kemudian gambaran umum

tersebut dianalisis dengan bertitik tolak dari ketentuan perundang-undangan, teori-

teori yang ada, dan pendapat-pendapat para ahli yang bertujuan untuk mendapatkan

jawaban atas pokok masalah yang teridentifikasi untuk dibahas lebih lanjut.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi adalah

data sekunder, yang terdiri atas :

a) Bahan Hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan dan putusan hakim.19 Peraturan perundang-undangan

terdiri dari :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

18
Amirudin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Radja
Grafindo Persada, 2004, hal 118.
19
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 141.

Universitas Sumatera Utara


17

4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2017 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang

terkait dengan Penyaluran Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik

Negara (PERSERO).

5) Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor : 088‐ZP DIIV 2016 tentang

Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik.

6) Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Tugas dan

Wewenag Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Putusan Hakim merupakan konkretisasi (law in action) dari perundang-

undangan.20 Putusan hakim ini berupa :

1) Putusan Nomor 10/Arbitrase/2019/BPSK.Mdn

b) Bahan hukum sekunder, antara lain berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk

buku ataupun jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, dan tulisan-

tulisan hukum yang berisi tentang perkembangan atau isu-isu yang aktual.21

c) Bahan hukum tertier, antara lain berupa bahan-bahan yang bersifat

penunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan

kamus bahasa.

4. Teknik Pengumpulan Data

20
Ibid., hal. 142.
21
Ibid., hal. 141..

Universitas Sumatera Utara


18

Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah

dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari

informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang

berkaitan dengan materi penelitian guna memperoleh gambaran secara teoritis dan

sistematis.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu penelitian

yang tidak menggunakan model-model matematik, statistik ataus komputer. Proses

penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan

digunakan dalam penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini disusun secara sistematis dalam bentuk skripsi yang

terdiri dari 5 (lima) bab yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran secara umum,

menyeluruh, dan sistematis yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, keaslian

penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PERJANJIAN PENGGUNAAN ARUS LISTRIK ANTARA PT PLN

(PERSERO) DENGAN KONSUMEN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang peraturan-peraturan

yang mengatur tentang hak, kewajiban serta tanggung jawab PT PLN (Persero)

maupun konsumen. Kemudian penulis juga akan memaparkan pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara


19

perjanjian yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan konsumen dalam

penggunaan arus listrik.

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE BPSK

ANTARA PT PLN (PERSERO) DENGAN KONSUMEN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang penyelesaian sengketa

melalui arbitrase BPSK, Jenis-jenis Sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase

BPSK, prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase BPSK dan peran dan

Fungsi Arbiter BPSK dalam penyelesaian Sengketa Konsumen.

BAB IV PENYELESAIAN TERHADAP KONSUMEN YANG MENDERITA

KERUGIAN DALAM PENGGUNAAN ARUS LISTRIK AKIBAT

PERBUATAN PT PLN (PERSERO) DALAM PEMUTUSAN ARUS LISTRIK

SEPIHAK (STUDI PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN

SENGKETA KONSUMEN KOTA MEDAN NOMOR 10 TAHUN 2019)

Dalam bab ini penulis akan membahas tentang duduk perkara,

pertimbangan hukum, serta Putusan BPSK Nomor 10 tahun 2019. Kemudian

penulis juga akan memaparkan hasil analisa yang berisi tentang seperti apa arbiter

memutuskan penyelesaian sengketa arbitrase konsumen.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini yang

berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan juga berisi saran dari hasil

penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang telah diidentifikasi

sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PERJANJIAN PENGGUNAA N ARUS LISTRIK ANTARA PT PLN

(PERSERO) DENGAN KONSUMEN

A. Hak dan Kewajiban Konsumen Sebagai Pengguna Arus Listrik

Konsumen selaku orang atau badan yang memakai dan membeli tenaga

listrik dari Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang digunakan

sebagai pemanfaatan akhir dan tidak untuk diperdagangkan memiliki hubungan jual

beli tenaga listrik yang diatur dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik.

Namun, PT PLN (Persero) cenderung lalai dalam menjalankan tugasnya dan

mengabaikan hak-hak konsumen dengan melakukan pencopotan meteran.

Pencopotan tersebut menyebabkan kerugian, baik secara material dan immaterial

bagi konsumen yang terikat di dalam perjanjian. Dalam hal ini, menyebabkan

lahirnya hak dan kewajiban konsumen listrik.

1. Hak Konsumen sebagai Pengguna Arus Listrik

Perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak

konsumen. Walaupun sangat beragam, secara garis besar hak-hak konsumen dapat

dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu : 22

a) Hak yang dimaksud untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik

kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.

b) Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar.

22
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Raja
Grafindo, Depok, 2017, hal 111.

20

Universitas Sumatera Utara


21

c) Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

yang dihadapi.

Ketiga hak yang menjadi prinsip dasar tersebut sangat esensial bagi

konsumen sehingga dapat dijadikan sebagai prinsip perlindungan hukum bagi

Konsumen di Indonesia. Hal ini merupakan himpunan hak-hak konsumen

sebagaimana diatur dalam UUPK, sehingga berbeda dengan asas perlindungan

konsumen dalam Pasal 2 UUPK yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

Hak-hak yang merupakan hak dasar konsumen, untuk pertama kali

dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy di depan kongres

pada 15 Maret 1962, yaitu mengemukakan adanya empat hak dasar konsumen,

terdiri atas:23

a) The Right to Safe Product (Hak untuk memperoleh keamanan).

b) The Right to be Informed about Product (Hak untuk mendapatkan

informasi).

c) The Right to be Definite Choices in Selecting Product (Hak

untuk memilih).

d) The Right to be Heard Regarding Consumer Interest (Hak untuk didengar).

Empat hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tersebut

merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh

23
Ibid., hal 103.

Universitas Sumatera Utara


22

PBB. Selain dari empat hak dasar yang dikemukakan di atas, dalam literatur hukum

terkadang hak-hak dasar tersebut digandeng dengan hak untuk mendapatkan

lingkungan hidup yang bersih sehingga kelima-limanya disebut dengan Panca Hak

Konsumen.24

Sedangkan dalam pasal 4 Undang-Undang No 8 tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak konsumen, antara lain:

a) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan atau jasa.

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan dalam

penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat

terhindar dari kerugian baik fisik maupun psikis dalam mengonsumsi suatu produk.

b) Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan.

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat

permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam kedaan tertentu konsumen dapat

saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau

kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. 25

24
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis : Menata bisnis Modern di Era Global, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 228.
25
Ahmadi Miru, op.cit., hal 109.

Universitas Sumatera Utara


23

c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan atau jasa.

Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya adalah

mengenai manfaat/kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk,

tanggal kadaluwarsa, serta identitas prosuden dari produk tersebut. Informasi

tersebut dapat disampaikan baik secara lisan , maupun secara tertulis, baik yang

dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk,

maupun mengenai iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media

cetak maupun media elektronik.26

d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang

digunakan.

Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan

produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut

kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah

dialami akibat penggunaan suatu produk, atau berupa pernyataan/pendapat tentang

suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini

dapat disampaikan secara perorangan, maupun secara kolektif baik yang

disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu Lembaga tertentu.27

e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

26
Ibid., hal 105.
27
Ibid., hal 107.

Universitas Sumatera Utara


24

Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah

dirugikan akibat penggunaan suatu produk dengan melalui jalur hukum.

f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

Hak ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun

keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan

produk, karena dengan Pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat

menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.28

g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

Hak ini dimaksudkan untuk konsumen untuk mendapatkan pelayanan yang

benar, jujur tanpa membeda-bedakan satu sama lainnya.

h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian,

apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya;

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang

telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa

yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan

penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian

materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian)

konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu,

28
Ibid., hal 109.

Universitas Sumatera Utara


25

baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan

melalui pengadilan.29

i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Hak-hak konsumen yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen

tersebut lebih luas dibandingkan dengan hak-hak dasar konsumen yang

dikemukakan oleh John F. Kennedy. Akan tetapi, hak untuk mendapatkan

lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh tentang informasi tentang

lingkungan ini tidak dimasukkan kedalam UU Perlindungan Konsumen melainkan

diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain dalam ketentuan diatas, hak hak konsumen sebagai Pengguna Arus

Listrik juga diatur dalam UU Ketenaga listrikan. Dalam Pasal 29 ayat (1)

Konsumen berhak untuk:

a) Mendapat pelayanan yang baik.

b) Mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan

yang baik.

c) Memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar.

d) Mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik,

dan

29
Ibid., hal 108.

Universitas Sumatera Utara


26

e) Mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan

dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan

tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga

listrik.

Pada dasarnya listrik dapat dikategorikan sebagai produk yang bersifat

barang tidak berwujud (intangible goods). Sebagaimana dinyatakan bahwa

berkaitan dengan kewajiban produk (product liability), produk bukan hanya berupa

barang berwujud (tangible goods), tapi juga yang bersifat intangible goods seperti

listrik 30 . Perlindungan konsumen listrik dalam konteks UUPK, pada umumnya

berhubungan dengan persoalan product liability. Sebab berkaitan dengan masalah

kualitas pelayanan listrik. Bagaimanapun juga hubungan antara PT PLN (persero)

dengan pelanggan/konsumen didasarkan pada kewajiban kontrak (contract

liability).

2. Kewajiban Konsumen sebagai Pengguna Arus Listrik

Selain mengatur tentang hak-hak konsumen Undang-undang Perlindungan

Konsumen juga mengatur tentang kewajiban konsumen yang harus diperhatikan

pula oleh konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No 8

Tahun 1999, antara lain :

a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

30
Erman Radjagukguk, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000,
hal 46.

Universitas Sumatera Utara


27

b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.

c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati

Kewajiban dari konsumen pengguna listrik adalah membayar tagihan

pemakaian tenaga listrik yang mana kewajiban tersebut tentu harus dilakukan agar

mendapat suplai listrik di rumah konsumen masing-masing.

d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Kewajiban Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik diatur

dalam UU Ketenagalistrikan pasal 29 ayat (2). Konsumen wajib :

a) Melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat

pemanfaatan tenaga listrik.

b) Menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen.

c) Memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya.

d) Membayar tagihan pemakaian tenaga listrik.

Adapun mengenai Harga jual tenaga listrik untuk konsumen, terdiri dari: 31

1) Biaya beban (Rp/kVA)

2) Biaya pemakaian(Rp/kWh).

3) Khusus untuk konsumen industri dan komersial, selain biaya beban dan

biaya pemakaian, dapat mencakup biaya pemakaian daya reaktif

31
Irpan, Tinjauan Hukum Tentang PT. Pln (Persero) Sebagai Pelaku Usaha Didalam
Penyediaan Listrik Bagi Konsumen, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, vol. 1 edisi 1, hal 7,
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/404419, 1 april 2013,Diakses pada 25 november
2020 pukul 20.35.

Universitas Sumatera Utara


28

(Rp/kVArh) dan biaya kVA maksimum (Pasal 38, Ayat (1) UU

Ketenagalistrikan).

e) Menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.

B. Hak Hak dan Kewajiban PT PLN (persero) Sebagai Pelaku Usaha

1. Hak PT PLN (persero) Sebagai Pelaku Usaha

Hak pelaku usaha dalam hal ini PT PLN (Persero) secara umum diatur

dalam pasal 6 Undang-undang no 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Hak pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut adalah:

a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang

diperdagangkan.

b) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik.

c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen.

d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang

diperdagangkan.

e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Universitas Sumatera Utara


29

Selain dalam ketentuan diatas, pemegang izin usaha penyediaan tenaga

listrik dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (1) berhak untuk :

a) Melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan.

b) Melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan.

c) Melintasi jalan umum dan jalan kereta api.

d) Masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk

sementara waktu.

e) Menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah.

f) Melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di

bawah tanah, dan

g) Memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.

2. Kewajiban PT PLN (persero) Sebagai Pelaku Usaha

Untuk kewajiban pelaku usaha secara umum diatur dalam pasal 7 Undang-

undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku

usaha, yaitu :

a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha

merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Asas sikap

berhati-hati merupakan perkembangan asas itikad baik. Sehingga dapat

disimpulkan adanya beberapa kewajiban seperti kewajiban meneliti, memberikan

keterangan, membatasi kerugian, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


30

b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan, dan pemeliharaan.

c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

d) Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa

yang berlaku.

e) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau barang yang diperdagangkan.

f) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang

diperdagangkan.

g) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Kewajiban PT.PLN (Persero) sendiri tercantum dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Pada Pasal 28 dijelaskan

kewajiban dari Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik, yaitu :

a) Menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan

yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara


31

b) Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan

masyarakat.

c) Memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; dan

d) Mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

Selain pada ketentuan diatas, Kewajiban PT PLN (Persero) diatur dalam

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2017 tentang

Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang Terkait dengan Penyaluran Tenaga Listrik

oleh PLN pada pasal 3, yakni :

a) PT PLN (Persero) wajib mengumumkan besaran tingkat mutu pelayanan

tenaga listrik dan realisasinya pada masing-masing unit pelayanan dan

tempat yang mudah diketahui Konsumen untuk setiap awal triwulan.

b) PT PLN (Persero) wajib memenuhi dan meningkatkan tingkat mutu

pelayanan tenaga listrik.

Kewajiban PLN juga diatur dalam pasal 9 yang mengatakan bahwa PT PLN

(Persero) wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada Konsumen apabila

realisasi tingkat mutu pelayanan tenaga listrik melebihi 10% (sepuluh persen) di

atas besaran tingkat mutu pelayanan tenaga listrik yang ditetapkan, untuk indikator:

a) Lama gangguan;

b) Jumlah gangguan;

c) Kecepatan pelayanan perubahan daya tegangan rendah;

d) Kesalahan pembacaan kWh meter;

e) Waktu koreksi kesalahan rekening; dan/atau

Universitas Sumatera Utara


32

f) Kecepatan pelayanan sambungan baru tegangan rendah.

Penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi tenaga listrik dilakukan

secara bertahap disesuaikan dengan kesiapan sistem tenaga listrik yang

bersangkutan dan syarat-syarat kompetisi lain yang ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah.

Tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum

sebagaimana dimaksud,dalam Pasal 68 UU Ketenagalistrikan, meliputi:

a) Menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum dan sekaligus

memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

b) Mengusahakan penyediaan tenaga listrik dalam jumlah dan mutu yang

memadai dengan tujuan untuk :

1) Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata

serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi.

2) Mengusahakan keuntungan agar dapat membiayai pengembangan tenaga

listrik untuk melayani kebutuhan masyarakat

c) Merintis kegiatan-kegiatan untuk penyediaan listrik.

d) Menyelenggarakan usaha-usaha lain yang menunjang usaha penyediaan

tenaga listrik sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

PT. PLN (Persero) didalam menyuplai ketenagalistrikan secara

lancar, akan memacu mempercepat kegiatan ekonomi masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


33

C. Tanggung Jawab Konsumen dan PT PLN (Persero) di Dalam

Perjanjian Penggunaan Arus Listrik

Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian

dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh

tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.32 Tanggung jawab

para pihak dapat dikaji dari Aspek Hukum Perdata terhadap Tanggung Jawab dalam

Hukum Perlindungan Konsumen.

Menurut hukum perdata, setiap tuntutan pertanggung jawaban wajib

memiliki dasar, yaitu perihal yang menyebabkan timbulnya hak hukum seseorang

untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum

orang lain itu untuk memberi pertanggung jawabannya. Secara teoritis, pertanggung

jawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut

pertanggung jawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab. Oleh

karena itu berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada,

maka dapat dibedakan :33

a) Pertanggung jawaban atas dasar kesalahan adalah tanggung jawab yang

dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan

hukum atau karena tindakan yang kurang hati-hati.

32
Shidarta, op.cit., hal 59.
33
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014,
hal 90-91.

Universitas Sumatera Utara


34

b) Pertanggung jawaban atas dasar risiko adalah tanggung jawab yang harus

dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pelaku usaha atas

kegiatan usahanya.

Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen khususnya menentukan

tanggung jawab pelaku usaha dengan konsumen yang menderita kerugian karena

produk cacat, maka fakta-fakta sekitar peristiwa yang menimbulkan kerugian itu

terlebih dahulu dikualifisir menjadi suatu perbuatan melawan hukum. Artinya dapat

ditunjukkan bahwa perbuatan pelaku usaha adalah perbuatan yang melanggar

hukum, baik itu berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, atau pelaku usaha

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,

melanggar kesusilaan, ataupun telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

kepatutan dan pergaulan hidup masyarakat dalam menjalankan usahanya,

khususnya kepatutan dalam hal berproduksi dan mengedarkan produknya.34

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan

konsumen dapat dibedakan sebagai berikut :

a) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan/kelalaian (liability

based on fault)

Negligence yang biasa diartikan sebagai kelalaian, kurang hati-hati, atau

kurang cermat ini terjadi apabila suatu perilaku tidak sesuai dengan standar

kelakukan yang ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan anggota

masyarakat terhadap resiko yang tidak masuk akal (unreasonable risk). Dengan

34
Ibid, hal 89.

Universitas Sumatera Utara


35

demikian, tampak bahwa Negligence dapat pula digolongkan sebagai perbuatan

melawan hukum. Negligence ini dapat dijadikan dasar gugatan, manakala

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 35

1) Suatu tingkah yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai dengan sikap hati-

hati yang normal.

2) Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-hati

terhadap penggugat.

3) Perilaku tersebut merupakan penyebab nyata dari kerugian yang timbul

Prinsip pada ketiga pasal ini dipegang secara mutlak dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata khususnya pasal 1365 dan 1367. Dalam Pasal 1365 KUH

Perdata, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum jika

terpenuhi empat unsur pokok, yaitu adanya perbuatan, unsur kesalahan, kerugian

yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian. Asas

tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi korban yang berbuat salah untuk

mengganti kerugian bagi pihak korban. Mengenai beban pembuktiannya, asas ini

mengikuti ketentuan Pasal 163 HIR atau Pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUH

Perdata, yang mengatur bahwa barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak

maka harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu36

b) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

35
Ahmadi Miru, op.cit., hal 45.
36
Shidarta, op.cit., hal 59-64.

Universitas Sumatera Utara


36

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada

pada si tergugat. Dasar teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang

dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal

ini tentunya bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah (presumption of

innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Ketika asas ini diterapkan dalam

kasus konsumen maka akan tampak bahwa teori ini sangatlah relevan di mana yang

berkewajiban untuk membuktikan kesalahan ada di pihak pelaku usaha yang

digugat.37

c) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of

nonliability)

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung

jawab. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat

terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan, di

mana kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin yang biasa diawasi oleh si

penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang (konsumen).38

d) Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak ini sering diidentikkan dengan prinsip

tanggung jawab absolut (absolute liability). Namun demikian, ada juga ahli yang

mengatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak ini tidak selamanya sama

37
Ibid., hal 61-62.
38
Ibid., hal 62-63.

Universitas Sumatera Utara


37

dengan prinsip tanggung jawab absolut. Dalam tanggung jawab mutlak, kesalahan

tidak ditetapkan sebagai faktor yang menentukan, terdapat pengecualian-

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab seperti

force majeur. Di pihak lain, tanggung jawab absolut merupakan prinsip tanggung.

jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya39. Prinsip tanggung jawab

mutlak ini, digunakan dalam hukum perlindungan konsumen untuk menjerat pelaku

usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan

konsumen. Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability.

Gugatan product liability. ini dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu: melanggar

jaminan, ada unsur kelalaian dan menerapkan tanggung jawab mutlak.

e) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)

Prinsip ini disenangi oleh pelaku usaha untuk dimuat dalam perjanjian

standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen

jika ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, misalnya saja dalam perjanjian

binatu, di mana ditentukan bahwa jika baju rusak karena kesalahan petugas, maka

konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali biaya mencuci

baju tersebut. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha tidak

boleh secara sepihak menetapkan klausula yang merugikan konsumen, termasuk di

dalamnya mengenai pembatasan maksimal tanggung jawabnya. 40

39
Ibid., hal 63.
40
Ibid., hal 65.

Universitas Sumatera Utara


38

1. Tanggung Jawab Konsumen di dalam Perjanjian Penggunaan Arus

Listrik

Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan

kerugian pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. Hal ini diatur di dalam

pasal 29 ayat (3) UU Ketenagalistrikan. Konsumen dan bukan Konsumen yang

melakukan pelanggaran pemakaian tenaga listrik harus bertanggung jawab dalam

membayar tagihan susulan dan mendapatkan sanksi berupa pemutusan sementara

dan/atau pembongkaran rampung. Hal ini diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 27 Tahun

2017 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang terkait dengan Penyaluran

Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO).

Pelanggaran yang sering terjadi ialah pencurian listrik. Deputi Manajer

Komunikasi dan Bina Lingkungan PT PLN Distribusi Jakarta Raya (Disjaya)

Mambang Hartadi mengungkapkan PT PLN akan memberikan hukuman perdata

bagi pelanggan listrik berupa denda dan mengganti kerugian selama kelalaian itu

dilakukan. PLN telah memiliki perhitungan tersendiri untuk menetapkan besaran

biaya penggantian dan denda sedangkan pencuri listrik yang tidak berstatus sebagai

pelanggan PLN akan mendapat hukuman pidana berupa kurungan 7 tahun dan

denda hingga Rp 2,5 miliar.41

41
Pebrianto Eko Wicaksono, Ketahuan Curi Listrik, Apa Hukumannya,
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2542797/ketahuan-curi-listrik-apa-hukumannya, 12 Juli
2016, Diakses pada 27 november 2020 pukul 10.15 wib.

Universitas Sumatera Utara


39

Besaran penetapan biaya penggantian pemakaian tenaga listrik secara tidak

sah diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Permen ESDM Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2017 yang terdiri atas:

a) Pelanggaran Golongan I (P I) merupakan pelanggaran yang mempengaruhi

batas daya tetapi tidak mempengaruhi pengukuran energi;

1) Untuk Konsumen yang dikenakan biaya beban TS1 = 6 x (2 x Daya

Tersambung (kVA)) x Biaya Beban (Rp/kVA);

2) Untuk Konsumen yang dikenakan rekening minimum TS1 = 6 x (2 x

Rekening Minimum (Rupiah) Konsumen sesuai Tarif Tenaga Listrik);

b) Pelanggaran Golongan II (P II) merupakan pelanggaran yang

mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya;

1) Pelanggaran Golongan II (P II): TS2 = 9 x 720 jam x Daya Tersambung

(kVA) x 0,85 x harga per kWh yang tertinggi pada golongan tarif konsumen

sesuai Tarif Tenaga Listrik;

c) Pelanggaran Golongan III (P III) merupakan pelanggaran yang

mempengaruhi batas daya dan mempengaruhi pengukuran energi;

1) Pelanggaran Golongan III (P III): TS3 = TS1 + TS2;

d) Pelanggaran Golongan IV (P IV) merupakan pelanggaran yang dilakukan

oleh bukan Konsumen.

1) Untuk Daya Kedapatan sampai dengan 900 VA: TS4 = {9 x (2 x Daya

Kedapatan (kVA) x Biaya Beban (Rp/kVA))} + {(9 x 720 jam x Daya

Kedapatan (kVA) x 0,85 x Tarif tertinggi pada golongan tarif sesuai Tarif

Tenaga Listrik yang dihitung berdasarkan Daya Kedapatan)};

Universitas Sumatera Utara


40

2) Untuk Daya Kedapatan lebih besar dari 900 VA: TS4 = {9 x (2 x 40 jam

nyala x Daya Kedapatan (kVA) x Tarif tertinggi pada golongan tarif sesuai

Tarif Tenaga Listrik yang dihitung berdasarkan Daya Kedapatan)} + {(9 x

720 jam x Daya Kedapatan (kVA) x 0,85 x Tarif tertinggi pada golongan

tarif sesuai Tarif Tenaga Listrik yang dihitung berdasarkan Daya

Kedapatan)}.

Modus yang biasa dilakukan oleh oknum untuk mencuri arus listrik, berupa:

a) Menyambung langsung dari tiang.

Biasanya sambungan tersebut langsung masuk instalasi listrik pencuri tanpa

melewati meteran PLN.

b) Mempengaruhi alat pembatas penggunaan listrik atau sekering.

Pencurian ini dengan mengganti batasan daya listrik ke yang lebih tinggi

sehingga bisa menggunakan listrik dengan daya lebih besar tanpa izin resmi dari

PLN

c) Mempengaruhi alat pembatas kWh meter.

Selain mencuri listrik langsung dari tiang dan mempengaruhi alat

pembatas, pencurian listrik juga dilakukan dengan mempengaruhi meteran

mencatat konsumsi listrik, dengan begitu dapat memperlambat pencatatan

konsumsi listrik.

2. Tanggung Jawab PT PLN (Persero) di Dalam Perjanjian Penggunaan

Arus Listrik

Universitas Sumatera Utara


41

Mengenai tanggung jawab PT. PLN (Persero) dalam penyediaan aliran

listrik kepada konsumen karena adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan

oleh PT.PLN (Persero) berupa adanya kesalahan, berlawanan dengan hak orang lain

dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat. Pasal 1365 KUH Perdata mengatakan

bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang dalam hal ini PT PLN yang karena kesalahannya

menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Selanjutnya menurut Pasal

1366 KUH Per, setiap orang bertanggun jawab tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian

atau kurang hati-hatinya. Adapun menurut pasat 1367 ayat (1) KUH Per, seseorang

tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya

sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang

menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah

pengawasannya.42

Sejalan dengan ketentuan tersebut, di dalam Pasal 6 Peraturan Menteri

ESDM Nomor 27 Tahun 2017 menjelaskan secara rinci mengenai tanggung jawab

ganti rugi berupa pengurangan tagihan listrik kepada konsumen apabila realisasi

Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) melebihi 10% diatas besaran TMP yang

ditetapkan. Pengurangan tagihan listrik yang dimaksud ini diberikan sebesar 35%

dari biaya beban atau rekening minimum untuk konsumen golongan tarif

42
P.N.H Simanjuntak, op.cit., hal 303-304.

Universitas Sumatera Utara


42

adjustment. Serta 25% dari biaya beban atau rekening minimum untuk konsumen

pada golongan tarif yang tidak dikenakan tarif adjustment.

Ketika terjadi pencopotan meteran listrik terhadap konsumen tentu saja

konsumen berhak untuk mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang

diakibatkan kesalahan dan/ atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha

penyediaan tenaga listrik yang disebutkan pada ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e

Undang-Undang Ketenagalistrikan.

Selain itu, pertanggungjawaban pelaku usaha dalam hal ini PT PLN

(Persero) didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, yakni : Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau

kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan

atau diperdagangkan. Dapat dikatakan bahwa substansi pasal 19 ayat (1) mengatur

mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang meliputi : Ganti kerugian atas

kerusakan, tanggung jawab atas pengembalian uang atau penggantian barang

dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau

pemberian santunan terhadap konsumen .

Pasal 27 yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab untuk

memberikan ganti rugi kepada konsumen, apabila barang tersebut terbukti

seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan, cacat barang

timbul pada kemudian hari, cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai

kualifikasi barang, kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen, lewatnya jangka

Universitas Sumatera Utara


43

waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu

yang diperjanjikan.

D. Pelaksanaan Perjanjian Penggunaan arus listrik antara Konsumen dan PT

PLN (Persero)

Menyangkut sahnya perjanjian jual beli tenaga listrik dapat dikatakan

bahwa perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata,

yaitu adanya pihak yang membuat perjanjian tersebut dan pihak- pihak yang

membuat perjanjian tersebut telah bersepakat dan para yang membuat perjanjian

jual beli tenaga listrik adalah mereka yang sudah mempunyai kecakapan untuk itu,

tentang suatu hal tertentu jelas dalam perjanjian jual beli tenaga listrik yang

dimaksudkan disini adalah perjanjian untuk memperoleh tenaga listrik sesuai

dengan besarnya daya yang dimintakan oleh pelanggan, suatu sebab yang halal

disini terlihat apabila tenaga listrik dapat dialirkan kerumah pelanggan dan

pelanggan dapat menggunakan tenaga listrik tersebut guna kebutuhan penerangan

dan lain-lain. 43

Didalam Pasal 1338 kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang

yang berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya, bahwa pada

43
Riry Elizabeth & Sri Redjeki, Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik,
Lex Jurnalica, Vol. 12, no. 1, hal 37, https://www.neliti.com/publications/147618/wanprestasi-
dalam-perjanjian-jual-beli-tenaga-listrik, April 2015, diakses pada 2 Desember 2020 pukul 22.00
wib.

Universitas Sumatera Utara


44

prinsipnya perjanjian yang telah disepakati merupakan hukum bagi yang

membuatnya dan kepada hukum itulah mereka tunduk dan mematuhinya.

Perjanjian jual beli tenaga listrik mempunyai perbedaan dengan perjanjian

jual beli pada umumnya, karena dalam perjanjian jual beli tenaga listrik tidak terjadi

peralihan hak milik atas barang yang di perjual belikan. Barang yang diperjual

belikan (tenaga listrik) secara keseluruhan masih tetap menjadi milik daripada

penjual dan penjual hanya menyerahkan tenaga listrik sesuai besar tenaga yang

dibutuhkan kepada pelanggan secara terus-menerus sampai pelanggan

menghentikan perjanjiannya. Dengan demikian yang menjadi perbedaan antar

perjanjian jual beli tenaga listrik dengan perjanjian jual beli pada umumnya ialah

teknis pelaksanaan penyerahan kebendaan yang menjadi objek perjanjian itu sendiri

dan tidak serta merta mengalihkan hak milik kepada si pembeli, dalam hal ini

pelanggan.44

Di dalam pelaksanaan jual beli arus listrik terjadinya hubungan antara PT.

PLN (Persero) dengan pelanggan diawali dengan permohonan pelanggan untuk

memakai/menggunakan tenaga listrik pada PT. PLN (Persero). Pemohon/calon

pelanggan agar dapat menjadi pelanggan PT. PLN (Persero) dapat mengajukan

permohonan dengan cara-cara :45

44
Ibid.
45
Rifan Aditya, 3 Cara Pasang Sambungan Listrik Baru PLN dan Biayanya, Bisa Via
Online, https://www.suara.com/news/2020/10/20/205513/3-cara-pasang-sambungan-listrik-baru-
pln-dan-biayanya-bisa-via-online?page=all, 20 Oktober 2020, diakses pada 05 desember 2020 pukul
20.30 wib.

Universitas Sumatera Utara


45

a) Langsung

Pemohon/calon pelanggan dapat mendatangi loket-loket Unit Pelayanan

(UP) PT. PLN (Persero) di Lokasi tenaga listrik yang akan disalurkan dengan

membawa dokumen persyaratan (fotokopi kartu identitas, denah atau peta lokasi

rumah untuk memudahkan tim survei lapangan, dan surat kuasa apabila pengurusan

diwakilkan orang lain) Selanjutnya, tim PLN datang ke rumah untuk melakukan

survey dan mengukur jarak tiang listrik dan pemeriksaan teknis lainnya. Setelah

survei lapangan, pelanggan harus membayar proses administrasi dengan datang

langsung ke kantor PLN dan menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga

Listrik (SPJBTL) yang disediakan oleh pihak PLN. PLN akan memasang

sambungan listrik baru di rumah pelanggan setelah surat perjanjian ditandatangani.

b) Via Telepon

Sama halnya dengan cara langsung, hanya saja calon pelanggan awalnya

menghubungi call center PLN di nomor 123 dengan menyampaikan permintaan

memasang sambungan listrik baru.

c) Via Online

Mengisi formulir perrnohononan penyambungan baru di situs

www.pln.co.id. Pada situs PT. PLN (Persero) tersedia formutir-formulir yang dapat

diisi oleh calon pelanggan dan mengisi data pemohon, setelah itu akan tertera

berapa nominal yang harus dibayar oleh calon pelanggan untuk membuat

Universitas Sumatera Utara


46

sambungan baru. Pelanggan dapat membayar tagihan tersebut langsung di kantor

PLN atau melalui ATM.

Dari laman resmi PLN, ada 12 golongan tarif baru yang telah diberlakukan,

yaitu tarif adjustment. Hal itu merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 31

dan 33 Tahun 2014. Selain itu, ditetapkan pula biaya lain-lain, seperti Biaya Guna

Penyambungan (BP), Uang Jaminan sebagai Langganan (UJL), Biaya Materai.

Sedangkan biaya lain seperti bagian instalasi akan diserahkan kepada pihak PT

Perintis Perlindungan Instalasi Listrik Nasional (PPILN).

Setelah instalasi terpasang, maka pelanggan sudah bisa menerima haknya

yaitu memakai tenaga listrik. Setelah pelanggan menerima haknya, ia harus

melaksanakan kewajibannya membayar jumlah tagihan yang digunakannya dengan

tarif dasar listrik yang dimuat dalam Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2011 tentang

Tarif Tenaga Listrik yang Disesuaikan dengan Perusahaan Perseroan (Persero).

Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero) dinyatakan

dalam Tarif Dasar Listrik berdasarkan Golongan Tarif Dasar Listrik diatur dalam

Pasal 2 Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2011 tentang Tarif Tenaga Listrik yang

Disesuaikan dengan Perusahaan Perseroan (Persero) yang terdiri atas:

a) Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Pelayanan Sosial, terdiri atas:

1) Golongan tarif untuk keperluan pemakaian sangat kecil pada tegangan

rendah, dengan daya 220 VA (S-l ITR);

2) Golongan tarif untuk keperluan pelayanan sosial kecil sampai dengan

sedang pada tegangan rendah, dengan daya 450 VA s.d. 200 kVA (S-2/TR);

Universitas Sumatera Utara


47

3) Golongan tarif untuk keperluan pelayanan sosial besar pada tegangan

menengah, dengan daya di atas 200 kVA (S-3/TM).

b) Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Rumah Tangga, terdiri atas:

1) Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga keeil pada tegangan rendah,

dengan daya 450 VA s.d. 2.200 VA (R-1/TR);

2) Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga menengah pada tegangan

rendah, dengan daya 3.500 VA s.d. 5.500 VA (R-2/TR);

3) Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga besar pada tegangan rendah,

dengan daya 6.600 VA ke atas (R-3/TR).

c) Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Bisnis, terdiri atas:

1) Golongan tarif untuk keperluan bisnis keeil pada tegangan rendah, dengan

daya 450 VA s.d. 5. 500 VA (B-1 ITR);

2) Golongan tarif untuk keperluan bisnis menengah pada tegangan rendah,

dengan daya 6.600 VA s.d. 200 kVA (B-2/TR);

3) Golongan tarif untuk keperluan bisnis besar pada tegangan menengah,

dengan daya di atas 200 kVA (B-3/TM).

d) Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Industri, terdiri atas:

1) Golongan tarif untuk keperluan industri keeill industri rumah tangga pada

tegangan rendah, dengan daya 4 50 VA s.d. 14 kV A (I-1/TR);

2) Golongan tarif untuk keperluan industri sedang pada tegangan rendah,

dengan daya di atas14 kVA s.d. 200 kVA (I-2/TR);

3) Golongan tarif untuk keperluan industri menengah pada tegangan

menengah, dengan daya di atas 200 kVA (I-3/TM);

Universitas Sumatera Utara


48

4) Golongan tarif untuk keperluan industri besar pada tegangan tinggi, dengan

daya 30.000 kVA ke atas (I-4/TT).

e) Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Kantor Pemerintah dan Penerangan

Jalan Umum, terdiri atas:

1) Golongan tarif untuk keperluan kantor pemerintah kedl dan sedang pada

tegangan rendah, dengan daya 450 VA s.d. 200 kVA (P-1/TR);

2) Golongan tarif untuk keperluan kantor pemerintah besar pada tegangan

menengah, dengan daya di atas 200 kVA (P-2/TM);

3) Golongan tarif untuk keperluan penerangan jalan umum pada tegangan

rendah (P-3/TR).

d) Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Traksi pada tegangan menengah,

dengan daya di atas 200 kV A (T /TM) diperuntukkan bagi Perusahaan

Perseroan (Persero) PT Kereta Api Indonesia.

e) Tarif Dasar Listrik untuk keperluan penjualan Curah (bulk) pada tegangan

menengah, dengan daya di atas 200 kVA (C/TM) diperuntukkan bagi

Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.

f) Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Layanan Khusus pada tegangan rendah,

tegangan menengah, dan tegangan tinggi (L/TR,TM,IT), diperuntukkan

hanya bagi pengguna listrik yang memerlukan pelayanan dengan kualitas

khusus dan yang karena berbagai hal tidak tennasuk dalam ketentuan

golongan tarif Sosial, Rumah Tangga, Bisnis, Industri, dan Pemerintah.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE BPSK ANTARA

PT PLN (PERSERO) DENGAN KONSUMEN

A. Pengertian dan Sumber Hukum Arbitrase BPSK

1. Pengertian Arbitrase

Arbitrase adalah salah satu bentuk adjudikasi privat. Dalam beberapa hal,

arbitrase mirip dengan adjudikasi publik dan memiliki beberapa keuntungan dan

kelemahan. Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim yang mereka

inginkan berbeda dengan sistem pengadilan yang telah menetapkan hakim yang

akan berperan. Hal ini dapat menjamin kenetralan dan keahlian yang mereka

anggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hukum yang

akan diterapkan pada sengketa tersebut sehingga akan melindungi pihak yang

merasa takut atau tidak yakin dengan hukum substantif dari yurisdiksi tertentu.46

Kerahasiaan arbitrase membantu melindungi para pihak dari penyingkapan

kepada umum yang merugikan mereka atau pengungkapan informasi dalam proses

adjudikasi. Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandingkan dengan adjudikasi

publik karena para pihak secara efektif memilih hakim mereka. Meraka tidak perlu

antri menunggu pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan. Pada sebagian besar

yurisdiksi, hal tersebut betul-betul merupakan suatu penantian yang panjang.

Arbitrase juga tidak sering mengalami penundaan dan prosedur pada umumnya

46
Suyud Margono, Op.cit.,hal 25.

49

Universitas Sumatera Utara


50

lebih sederhana, arbitrase mengurangi biaya-biaya berhubungan dengan adjudikasi

publik. 47

Pasal 9 UU Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa satu sengketa arbitrase wajib diputuskan

sesuai dengan ketentuan "hukum yang telah dipilih" oleh para pihak dalam

Perjanjian Arbitrase. Jika ada kesepakatan dari para pihak maka dapat diberikan

putusan "Ex aequo et bono" atau sebagai "Amiable compositeur". Artinya, menurut

kaidah Keadilan dan Kepatutan dan tidak hanya berdasarkan kaidah-kaidah hukum

yang formal dan kaku.48

Menjelang akhir Abad ke-19 arbitrase telah diakui sebagai suatu

penyelesaian dengan proses hukum, keputusan yang didasarkan pada pertimbangan

yang disampaikan oleh ahli hukum menjadi suatu norma. seorang Arbitrase lebih

fleksibel dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan, di mana didalam

arbitrase para pihak dapat menentukan di mana perwasitan itu akan berlangsung,

prosedur yang akan diterapkan, kekuatan dari keputusannya melalui perumusan

terms of referencenya (yang juga disebut hasil kompromi antar para pihak).

Kelebihan selanjutnya bahwa proceding arbitrase tetap konfidensial sifatnya.49

Para pihak yang bersepakat bahwa sengketanya akan diselesaikan melalui

arbitrase dapat dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian yang dibuat antara para

pihak dapat dibuat sebelum sengketa tersebut timbul atau setelah sengketa timbul.

47
Ibid., hal 26.
48
Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia yang
Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 19.
49
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta, 2006, hal 40-41.

Universitas Sumatera Utara


51

Jika dibuat setelah sengketa timbul maka perjanjian arbitrase itu hanya berlaku

untuk sengketa bersangkutan. Perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum sengketa

timbul disebut arbitrase wajib.50

2. Sumber Hukum Arbitrase

Sebelum membicarakan permasalahan arbitrase, terlebih dahulu harus

mengetahui sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase itu sendiri dalam

sistem tata hukum Indonesia. Dengan demikian, kita akan tahu persis titik tolak

pemikiran dalam mengupas arbitrase. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa

di kalangan praktisi hukum, apalagi dikalangan masyarakat awam, masih banyak

yang tidak mengetahui rujukan ketentuan yang menyangkut arbitrase dalam tata

hukum Indonesia. 51

a) Pasal 317 HIR

Tata hukum Indonesia memiliki aturan mengenai arbitrase. Landasan

hukumnya bertitik tolak dari Pasal 377 HIR (Herzien Inlandsch Reglement yang

sering diterjemahkan menjadi Reglemen Indonesia yang berlaku di pulau Jawa dan

Madura) atau Pasal 705 RBG (Rechtreglement voor de Buitengewesten yang sering

diterjemahkan Reglemen Hukum Daerah Seberang (di luar jawa Madura), yang

menyatakan bahwa jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki

perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti

peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.

50
Ibid., hal 42.
51
Suyud Margono, Op.cit., hal 110-114.

Universitas Sumatera Utara


52

Pasal 377 HIR di ataslah yang menjadi titik tolak keberadaan arbitrase dalam

kehidupan dan praktek hukum. Pasal ini menegaskan hal-hal sebagai berikut :52

1) Pihak-pihak yang bersangkutan diperbolehkan menyelesaikan sengketa

melalui juru pisah atau arbitrase.

2) Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam

bentuk keputusan.

3) Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter "wajib" tunduk menuruti

peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.

Jelas terlihat, Pasal 377 HIR memberi kemungkinan bagi para pihak yang

bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur

kekuasaan pengadilan apabila mereka menghendakinya. Penyelesaian dan

keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim

dikenal dengan nama “arbitrase”. Dalam Undang-Undang tersebut, arbitrase

dilimpahi fungsi dan kewenangan untuk memutuskan persengketaan.

b) Pasal 615 - 651 Rv

Sebagaimana sudah dijelaskan, landasan aturan keberadaan arbitrase

berpijak pada ketentuan pasal 377 HIR. Akan tetapi, HIR maupun RBG tidak

memuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan aturan

tentang arbitrase, Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBG langsung menunjuk aturan

pasal-pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata

(Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering, disingkat Rv, S 1847 - 52 jo 1849

52
Ibid., hal 111.

Universitas Sumatera Utara


53

– 63). Hal itu jelas terbaca dalam kalimat "wajib memenuhi peraturan pengadilan

perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa".

Bertitik tolak dari sejarah politik hukum yang digariskan dalam Pasal 75 RR

dan lebih lanjut diatur dalam Pasal 131 IS, di zaman pemerintahan Belanda dikenal

pembagian tiga kelompok penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan

peradilan yang bercorak "pluralistik". Bagi golongan penduduk Bumiputra, hukum

materil yang diberlakukan di bidang hukum perdata pada dasarnya diterapkan

dalam hukum Adat. Peradilannya tunduk pada Pengadilan Landraad sebagai

peradilan tingkat pertama, sedangkan hukum acara yang dipergunakan adalah HIR

untuk daerah pulau Jawa-Madura dan RBG untuk daerah tanah seberang. 53

Bagi golongan penduduk Timur Asing dan Eropa, hukum perdata materil

yang diberlakukan adalah KUH Perdata (BW) dan KUH Dagang (WvK),

sedangkan hukum acara perdatanya adalah Reglement Acara Perdata (Rv). Dalam

buku ketiga Reglemen Acara Perdata tentang Aneka Acara, pada Bab I diatur

ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) yang terdiri atas Pasal 615 sampai

Pasal 651. Pasal-pasal inilah yang wajib dituruti dan diterapkan sebagai landasan

hukum umum kearbitrasean sejak dulu sampai sekarang, baik untuk golongan

penduduk Bumiputra, Timur Asing, dan Eropa. Dengan demikian, keberadaan

hukum acara mengenai arbitrase dalam KV adalah "wajib" apabila para pihak

hendak menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase. Dengan kata lain,

penerapan pasal-pasal ketentuan arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara

53
Ibid., Hal 112.

Universitas Sumatera Utara


54

Perdata (Rv) wajib dituruti oleh siapa pun jika mereka ingil menyelesaikan

persengketaan yang timbul melalui badan arbitrase.

Sebagai pedoman umum aturan arbitrase Reglemen Acara Perdata meliputi

lima bagian pokok berikut :

1) Bagian pertama (615 - 623) : Persetujuan arbitrase dan pengangkatan

arbiter.

2) Bagian kedua (624 - 630) : Pemeriksaan di muka badan arbitrase.

3) Bagian ketiga (631 - 6400) : Putusan arbitrase.

4) Bagian keempat (641 - 647) : Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase.

5) Bagian kelima (647 - 651) : Berakhirnya acara-acara arbitrase.

Sistematika tersebut pada saat pembuatannya di tahun 1849 mungkin sudah

memenuhi kebutuhan praktek. Akan tetapi, memperhatikan laju pertumbuhan dan

perkembangan yang makin cepat dan beraneka ragam, sudah saatnya dipikirkan dan

diusahakan pembangunan dan pembaharuan hukum di bidang arbitrase yang lebih

utuh dan terpadu, meliputi juga segala segi yang menyangkut arbitrase "asing" yang

diputus di luar negeri. Hal ini disebabkan ketentuan arbitrase yang diatur dalam

Reglemen Acara Perdata belum meliputi hal-hal yang berkenaan dengan pengakuan

dan eksekusi putusan arbitrase asing. Arbitrase asing pada saat sekarang sudah

merupakan kebutuhan yang tak dapat dihindari, terutama dalam era globalisasi dan

interdependensi kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam kegiatan penanaman

modal asing maupun dalam lalu lintas dunia perdagangan. 54 Lebih ironis lagi,

54
Ibid., Hal 113.

Universitas Sumatera Utara


55

bentuk klausul pactum compromittende yang diatur dalam Pasal 615 Ayat 3, boleh

dikatakan tidak ielas dan sudah ketinggalan zaman.

Demikian pula mengenai masalah upaya banding atas putusan arbitrase

yang diatur dalam Pasal 641, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Mengenai

masalah pemeriksaan yang diatur dalam Pasal 632, tidak tegas diungkapkan apakah

harus bersifat audi et alteram partem (mendengar kedua belah pihak) sehingga

sering menimbulkan selisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa audi et alteram

partem merupakan asas yang bersifat imperatif. Sifat imperatifnya meliputi

keharusan para pihak harus hadir atau diwakili dalam forum arbitrase sehingga

benar-benar tercipta suatu forum yang memberi kesempatan yang pantas dan layak

kepada masing- masing pihak untuk membela dan mempertahankan

kepentingannya

c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Di dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-undan Nomor 14 Tahun 1970

antara lain disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar

perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi, putusan

arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau

perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan.

Penggunaan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata

(Reglement op de Rechtvordering, Staadblad 1847:52), Pasal 377 Reglemen

Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staadblad

1941:44), dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura

(Rechtsreglement Buistengewesten, staatsblad 1927:227) sebagai pedoman

Universitas Sumatera Utara


56

arbitrase sudah tidak memadai lagi dengan kondisi ketentuan dagang yang bersifat

internasional. Pembaharuan pengaturan mengenai arbitrase sudah merupakan

conditio sine qua non dan perlu perubahan secara substantif dan filosofis atas

pengaturan mengenai arbitrase yang ada.

Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-

Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah

tidak memadai lagi dengan tuntutan perdagangan internasional. Ketentuan arbitrase

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara

Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staadblad 1847:52), Pasal 377

Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indcnesisch Reglement

Staadblad 1941:44), dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan

Madura (Rechtsreglement Buistengewesten, staatsblad 1927:227), sudah tidak

berlaku." 55

B. Jenis-Jenis Sengketa yang Diselesaikan Melalui Arbitrase BPSK

Menurut Pasal 5 angka (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa ialah sengketa yang dapat diselesaikan melalui

arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut

hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa. Menurut Abdul Bari Azed yang dimaksud dengan sengketa

55
Ibid., Hal 115.

Universitas Sumatera Utara


57

perdagangan adalah sengketa yang ruang lingkupnya adalah hukum perdagangan,

dan yang ruang lingkup hukum perdagangan adalah sebagai berikut:56

a) Perniagaan

Perniagaan adalah kegiatan tukar menukar barang dan jasa atau keduanya.

b) Perbankan

Perbankan adalah kegiatan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau

bentuk lainnya yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

c) Keuangan

Keuangan adalah mempelajari bagaimana individu, bisnis, dan organisasi

meningkatkan, mengalokasi dan menggunakan sumber daya moneter sejalan

dengan waktu dan juga menghitung resiko dalam menjalankan proyek mereka.

d) Penanaman modal

Penanaman modal adalah suatu yang berhubungan dengan keuangan dan

ekonomi, berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan

mendapatkan keuntungan di masa depan.

e) Industri

Industri adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode

yang sama dalam menghasilkan laba.

56
Suleman Batubara & Orinton Purba, op.cit., hal 206.

Universitas Sumatera Utara


58

f) Hak kekayaan intelektual.

Hak kekayaan intelektual (HaKI) adalah hak yang timbul bagi hasil olah

pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk

manusia. Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil

dari suatu kreativitas intelektual. Ruang lingkup HaKI mencakup, hak cipta, hak

merek, hak paten, hak rahasia dagang, hak desain industri, hak desain tata letak

sirkuit terpadu, dan hak perlindungan varietas tanaman.

Tidak semua sengketa-sengketa arbitrase yang dapat diselesaikan oleh

arbitrase. Menurut Pasal 5 angka (2) UU No. 30 Tahun 1999, Sengketa yang tidak

dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan

perundang-undangan tidak dapat di diadakan perdamaian. Apabila suatu perjanjian

arbitrase menetapkan sengketa-sengketa yang sebetulnya tidak dapat diselesaikan

oleh arbitrase menurut hukum perjanjian tersebut atau menurut hukum tempat

arbitrase dilaksanakan, maka pada prinsipnya perjanjian tersebut menjadi tidak

efektif. Karena, putusan arbitrase yang dikeluarkan tidak dapat dilaksanakan atau

bahwa pelaksanaan suatu putusan arbitrase akan ditolak jika sengketa atau pokok

perkaranya tidak dapat diselesaikan oleh arbitrase menurut hukum nasional di mana

putusan tersebut diminta untuk dilaksanakan. Karena itu pula, para pihak perlu,

sebelum menandatangani perjanjian arbitrase, untuk mengetahui terlebih dahulu

bentuk-bentuk sengketa yang bisa dan tidak bisa diselesaikan oleh arbitrase di

negaranya atau pihak lawannya. Sengketa-sengketa yang umumnya tidak dapat

Universitas Sumatera Utara


59

diselesaikan oleh arbitrase adalah hukum persaingan (competitive law/antitrust

law), status perkawinan, kepailitan dan hak-hak milik intelektual tertentu.57

C. Prosedur penyelesaian sengketa melalui Arbitrase BPSK

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Jo. Permendag No 6 Tahun 2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan dengan suasana yang

informal. Pasal 45 Ayat (4) UUPK menentukan apabila telah dipilih upaya

penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan

hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah

satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Dan sesuai dengan Pasal 47

UUPK, Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk

mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai

tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan

terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Dalam hal menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, Prosedur

arbitrase juga ditentukan dengan kesepakatan para pihak. Jika para pihak telah

menyetujui suatu prosedur untuk mengangkat arbitrator ini, maka prosedur dipilih

para pihak itulah yang dipakai. yang Akan tetapi jika Dewan Arbitrase belum

dibentuk, setelah jangka waktu yang telah ditentukan para pihak atau 45 hari setelah

57
Adolf Huala, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Ed. 1, Cet. 1, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1994, hal 25.

Universitas Sumatera Utara


60

dimulai arbitrase dengan dimajukannya permohonan arbitrase maka oleh Centerlah

akan diangkat atau dilengkapi arbitrator ini.58

Jadi, para pihak dapat membina sendiri suatu tim arbitrase atau hanya

seorang arbiter yang akan memutus sengketa mereka ini. Arbiter ini dapat diangkat

sendiri oleh para pihak atau apabila tidak ada kesepakatan antara mereka ini dapat

dimintakan melalui Pengadilan Negeri. Jadi dengan lain perkataan pihak

Pengadilan Negeri, dianggap sebagai instansi yang mengangkat atau “appointing

authority”.59

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat

secara benar dan lengkap mengenai:

1) Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai

bukti diri;

2) Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;

3) Barang atau jasa yang diadukan;

4) Bukti perolehan (bon, faktur, wkitansi dan dokumen bukti lain)

5) Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut;

6) Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;

7) Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, jika ada.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 16 Kepmenperindag Nomor

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Tugas dan Wewenag Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen.

58
Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia yang
Baru, op.cit., hal 112.
59
Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, hal 38.

Universitas Sumatera Utara


61

Prosedur atau Tahap-tahap penyelesaikan sengketa konsumen tersebut

dimulai dari tahap pengajuan gugatan sampai pada tahap putusan ialah : 60

1. Tahap pengajuan gugatan

Konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan

penyelesaian sengketa konsumen kepada Badan penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) yang berdekatan dengan wilayah tempat tinggal Konsumen. Permohonan

dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan sendiri atau kuasanya atau ahli

waris yang bersangkutan jika konsumen telah meninggal dunia, sakit atau telah

berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara

tertulis maupun lisan, atau konsumen belum dewasa sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Permohonan secara tertulis disampaikan

kepada sekretariat BPSK, maka secretariat BPSK akan memberikan tanda terima

kepada pemohon, dan jika permohonan diajukan secara lisan, maka sekretariat

BPSK akan mencatat permohonan tersebut dalam bentuk formulir yang disediakan

secara khusus, dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Apabila permohonan

ternyata tidak lengkap berdasarkan ketentuan yang ada dalam Pasal 16

Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 atau permohonan bukan

merupakan wewenang BPSK, maka Ketua BPSK menolak permohonan tersebut.

Jika permohonan memenuhi persyaratan dan diterima, maka Ketua BPSK harus

60
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, kencana, Jakarta, 2008, hal 104.

Universitas Sumatera Utara


62

memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan permohonan dari

konsumen, selambat – lambatnya 3 hari kerja sejak diterimanya peromohonan.61

Jika pada hari yang ditentukan pelaku usaha tidak hadir memenuhi

panggilan, maka sebelum melampaui 3 hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha

dapat dipanggil sekali lagi. Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang

sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 52 huruf i Kepmenperindag Nomor

350/MPP/Kep/12/2001, BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk

menghadirkan pelaku usaha tersebut. Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen

memilih cara penyelesaian sengketanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha.

Pasal 32 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menyatakan bahwa jika

cara yang dipilih para pihak adalah arbitrase, maka prosedurnya adalah para pihak

memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan

konsumen sebagai anggota majelis. Arbiter yang terpilih oleh para pihak, memilih

arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal unsur pemerintah sebagai ketua

majelis. Persidangan pertama dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7

sejak diterimanya permohonan.62

2. Tahap Persidangan

a) Acara persidangan pertama

Pada Persidangan Pertama ketua majelis wajib mendamaikan kedua belah

pihak yang bersengketa. Jika terjadi perdamaian antara kedua belah pihak yang

61
Ibid
62
Ibid., hal 106-118

Universitas Sumatera Utara


63

bersengketa, maka majelis wajib membuat keputusan dalam bentuk penetapan

perdamaian. Menurut Susanti Adi Nugroho bahwa bentuk penetapan perdamaian

yang diputus oleh majelis BPSK, lebih tepat jika dituangkan dalam bentuk putusan

perdamaian, bukan penetapan. Karena putusan yang telah fiat eksekusinya kepada

pengadilan negeri lebih mempunyai daya paksa daripada penetapan. Hal ini adalah

untuk menghindari kemungkinan ingkar janji setelah putusan diucapkan.

Sebaliknya, jika tidak tercapai perdamaian maka persidangan dimulai dengan

membacakan isi gugatan konsumen, dengan surat jawaban dari pelaku usaha. Ketua

majelis BPSK harus memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak

yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan. Pada

persidangan pertama sebelum pembacaan surat jawaban dari pelaku usaha,

konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan

pencabutan perkara. Dalam hal demikian, maka majelis wajib mengumumkan

bahwa gugatan dicabut. Apabila pelaku usaha dan atau konsumen tidak hadir dalam

persidangan pertama, maka majelis memberikan kesempatan terakhir pada

persidangan kedua dengan membawa alat bukti yang diperlukan.63

b) Acara persidangan kedua

Persidangan kedua diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu 5

(lima) hari kerja terhitung sejak persidangan pertama dan diberitahukan kepada

konsumen dan pelaku usaha dengan panggilan sekretariat BPSK. Sesuai dengan

ketentuan pasal Pasal 36 Ayat (3) Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001,

63
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


64

Bilamana pada persidangan ke II (kedua) konsumen tidak hadir, maka

gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang

tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran

pelaku usaha. Selama proses penyelesaian sengketa, alat-alat bukti barang atau jasa,

surat dan dokumen keterangan para pihak, keterangan saksi dan atau saksi ahli, dan

bukti-bukti lain yang mendukung dapat diajukan kepada majelis. Dalam proses

penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK beban pembuktian ada pada pelaku

usaha tetapi pihak konsumen juga harus mengajukan bukti-bukti untuk mendukung

gugatannya. Setelah mempertimbangkan pernyataan dari kedua belah pihak

mengenai hal yang dipersengketakan dan mempertimbangkan hasil pembuktian

serta permohonan yang diinginkan para pihak, maka majelis BPSK memberikan

putusan.

Alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen menurut Pasal 21

Kepemenperindag Nomor 350 Tahun 2001 berupa:

1) Barang dan/atau jasa;

2) Keterangan para pihak yang bersengketa;

3) Keterangan saksi dan/atau saksi ahli;

4) Surat dan/atau dokumen;

5) Bukti-bukti lain yang mendukung.

3. Tahap Putusan

Putusan BPSK dengan cara arbitrase seperti halnya putusan perkara perdata,

dengan memuat duduknya perkara dan pertimbangan hukumnya. Dikatakan pada

Universitas Sumatera Utara


65

Pasal 39 Kepmenperidag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 bahwa putusan Majelis

BPSK didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, tetapi jika setelah

diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat mencapai mufakat, maka

putusan diambil dengan suara terbanyak. Hasil penyelesaian sengketa konsumen

dengan cara arbitrase dibuat dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua

dan anggota majelis. Keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi

administrative (Pasal 37 ayat (5) kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001).

Dikatakan pada pasal 40 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, Sanksi

administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,-

(dua ratus juta rupiah).

Gugatan ganti kerugian secara perdata, tidak menutup kemungkinan adanya

tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur

kesalahan dari pelaku usaha. Ganti kerugian yang dapat digugat oleh konsumen

maupun yang dapat dikabulkan oleh majelis BPSK adalah ganti kerugian yang

nyata atau riil yang dialami oleh konsumen. UUPK tidak mengenal gugatan

immaterial, yaitu gugatan ganti kerugian atas hilangnya kesempatan untuk

mendapatkan keuntungan, kenikmatan, nama baik dan sebaiknya. Oleh sebab itu,

majelis BPSK dilarang mengabulkan gugatan immaterial yang diajukan konsumen.

Sebaliknya dalam upaya melindungi konsumen, UUPK memberi wewenang

kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administratif yang dibebankan kepada

pelaku usaha untuk dibayarkan kepada konsumen.64

64
Ibid., hal. 120-122.

Universitas Sumatera Utara


66

Ganti kerugian berupa sanksi administratif adalah berbeda dengan ganti

kerugian yang nyata atau riil yang dialami konsumen yang digugat melalui BPSK.

Majelis BPSK selain mengabulkan gugatan ganti kerugian yang nyata, yang dialami

konsumen juga berwenang menambahkan ganti kerugian tersebut tergantung pada

nilai kerugian konsumen akibat memakai, menggunakan, atau memanfaatkan

barang dan/atau jasa produsen atau pelaku usaha. Sesuai ketentuan

Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, BPSK berwenang menjatuhkan

ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif ini, hanya dapat dibebankan kepada

pelaku usaha jika penyelesaian sengketanya dilakukan secara administratif saja. 65

Pasal 40 kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas dan

Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, mengatakan bahwa Putusan

BPSK dapat berupa :

a) Perdamaian

b) Gugatan ditolak

c) Gugatan dikabulkan

Berdasarkan Pasal 41 kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001,

dikatakan bahwa Ketua BPSK memberitahukan putusan Majelis secara tertulis

kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-

lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Apabila

konsumen dan/atau pelaku usaha menolak putusan BPSK, maka mereka dapat

65
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


67

mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri Dalam waktu 14 (empat belas)

hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan. Sebaliknya, apabila

Konsumen dan Pelaku usaha menyatakan menerima putusan BPSK, wajib

melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari

kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK.

Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK

dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat

konsumen yang dirugikan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak

mengajukan keberatan setelah melampaui batas waktu untuk menjalankan putusan,

maka dianggap menerima putusan. Dan apabila selambat-lambatnya 5 (lima) hari

kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui, pelaku usaha tidak

menjalankan kewajiban sebagaimana tertuang dalam putusan BPSK, maka BPSK

meenyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai

dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku.

D. Peran dan Fungsi Arbiter BPSK dalam penyelesaian Sengketa Konsumen

Para Arbiter berperan sebagai “Hakim Partikulir” yang artinya orang yang

mengadili perkara “harus dibayar” oleh pihak yang kalah nantinya, dan telah

dipilih sendiri atau dipercaya oleh para pihak yang berperkara karena para pihak

yang memilih menganggap arbiter yang mereka pilih akan bertindak lebih jujur,

Universitas Sumatera Utara


68

adil dan obyektif serta lebih menguasai permasalahannya, karena expertise atau

pengalaman mereka ini, dibandingkan hakim pengadilan biasa. 66

Para pihak akan menerima putusannya secara final serta mengikat dan

arbiter yang bersangkutan tidak bisa menarik diri, kecuali atas persetujuan para

pihak. Bila penarikan dirinya tersebut di atas disetujui oleh para pihak, maka arbiter

tersebut dibebas tugaskan dari kewajibannya. Namun, apabila pengunduran dirinya

tersebut nyatanya tidak menemukan persetujuan dari para pihak, maka arbiter harus

meneruskan pemeriksaanya. Pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua

Pengadilan Negeri. 67

Sesuai dengan ketentuan pasal Pasal 20-21 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Dalam hal

arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan

dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti

biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para pihak.

Namun, Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab

hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan

berlangsung untuk menjalankan fungsinya, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad

tidak baik dari tindakan tersebut.

66
Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru, 1999, op.cit., hal 7.
67
Aryani Witasari, Konsekuensi Hukum Bagi Seorang Arbiter Dalam Memutus Suatu
Perkara Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1, hal
12,https://media.neliti.com/media/publications/12323-ID-konsekuensi-hukum-bagi-seorang-
arbiter-dalam-memutus-suatu-perkara-berdasarkan-u.pdf ,April 2011, diakses pada 26 Januari 2021
pukul 22.00 wib.

Universitas Sumatera Utara


69

Arbitrator yang ditunjuk harus bersikap tidak memihak, baik kepada para

pihak maupun kepada pokok persoalan Arbitrase. Sikap netral dari Arbiter sangat

penting untuk dapat mencapai suksesnya pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 12

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus

memenuhi syarat:

a) Cakap melakukan tindakan hukum;

b) Berumur paling rendah 35 tahun;

c) Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan

derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

d) Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan

arbitrase; dan

e) Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling

sedikit 15 tahun.

Terdapat pengecualian dalam pengangkatan Arbiter, yakni Hakim, jaksa,

panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai

arbiter.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENYELESAIAN TERHADAP KONSUMEN YANG MENDERITA

KERUGIAN DALAM PENGGUNAAN ARUS LISTRIK

AKIBAT PERBUATAN PT PLN (PERSERO) DALAM PEMUTUSAN

ARUS LISTRIK SEPIHAK

(STUDI PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA


KONSUMEN KOTA MEDAN NOMOR 10 TAHUN 2019)
A. Kasus Posisi Dalam Putusan NOMOR 10/ARBITRASE/2019/BPSK.MDN

Bahwa Konsumen/Penggugat yang bernama Naintan Nasution, perempuan,

umur 65 tahun, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, beralamat di Jalan Karya Kasih No.

75 kel. Pangkalan Mansyur, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan.

Selanjutnya ialah kedudukan Pelaku Usaha/Tergugat yaitu Pimpinan PT.

PLN (Perusahaan Listrik Negara) Wilayah Sumatera Utara Area Medan/Up 3

Medan-ULP Johor, beralamat di Jalan Namorambe, Kab. Deli Serdang, Sumut.

Adapun duduk perkara berdasarkan keterangan penggugat dan jawaban

tergugat yaitu:

Keterangan Konsumen

Pada hari Rabu tanggal 09/01/2019, datang 3 orang masuk kedalam pekarangan

rumah konsumen mengaku dari Tim P2TL PLN. Saat memasuki tanah (persil)

konsumen, Tim P2TL tidak ada permisi dan langsung memanjat meteran listrik

dari rumah konsumen. Saat saksi I (keponakan konsumen) pulang kuliah dan

melihat ada orang yang memanjat meteran rumah, lantas Saksi I memanggil

Penggugat selaku pemilik rumah dan mendapati Tim P2TL sudah memanjat

70

Universitas Sumatera Utara


71

meteran tersebut. Kemudian Tim P2TL meminta kwitansi bukti bayar tagihan

setiap bulannya kepada Penggugat.

Selama hampir 30 menit Tim P2TL memanjat meteran listrik, konsumen

menanyakan “apa yang anda lakukan terhadap meteran listrik tersebut?”. Lalu

Tim P2TL mengatakan bahwa konsumen melakukan pelanggaran dengan

menambah daya yang semula 2.200 V menjadi 4.400 V. Kenyataannya,

konsumen tidak ada menambah daya, tetapi Tim P2TL tetap memutuskan

meteran konsumen sambil mendokumentasikan meteran tersebut sebagai barang

bukti. Dalam melaksanakan pemutusan listrik konsumen, Tim P2TL

melakukannya tanpa ada saksi dan tanpa permisi.

Konsumen meminta surat tugas Tim P2TL tersebut, lalu mereka pergi menuju

mobil yang diparkirkan sejauh 50 M untuk mengambil surat tugas. Ketika Tim

P2TL menunjukan surat perintah tugasnya, konsumen melihat perintah tugasnya

ada pada PT PLN dan dibalik suratnya ada kuasa PLN ULP Medan Johor.

Pada Tanggal 11/1/2019 konsumen mendatangi kantor PLN dan menemui

petugas PLN. Konsumen menyampaikan keberatan dan menceritakan kronologi

kejadian hingga dipaksa untuk menandatangani surat agar mengetahui kemana

meteran konsumen akan dibawa. Namun, konsumen tidak mendapat respon yang

baik dan diberikan kertas tagihan susulan sebesar Rp. 19.590.894,-

Pada Tanggal 14/1/2019 Konsumen membuat laporan ke 123 Call Center PLN

untuk mengkonfirmasi prosedur kebijakan PT PLN Medan Johor tentang tagihan

susulan yang diberikan petugas PLN.

Universitas Sumatera Utara


72

Menimbang, bahwa pada persidangan yang telah ditetapkan pada hari

Kamis tanggal 31 Januari 2019 Konsumen dan pelaku usaha hadir, maka sidang

dilanjutkan Tanggal 07 Februari 2019 dengan agenda pemeriksaan pengaduan.

Menimbang, pada sidang berjalan Majelis mempertemukan Konsumen dan

Pelaku Usaha dipersidangan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang

bersengketa sebagaimana pasal 34 ayat (1) KepmenPerindag RI No.

350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen. Majelis memberi waktu kepada para pihak

untuk mencapai kesepakatan tetapi tidak tercapai perdamaian dan para pihak

memilih upaya hukum melalui Arbitrase. Maka persidangan dimulai dengan

pengajuan surat jawaban oleh pelaku usaha.

Adapun Pelaku Usaha telah mengajukan Jawabannya sebagaimana

Kronologinya adalah sebagai berikut :

Jawaban Pelaku Usaha

Pada hari Rabu, tanggal 09 Januari 2019 petugas P2TL PTPLN ( Pesero ) ULP

Medan Johor dengan nomor surat tugas 017.STG/PT.EJS/I/MED/2019 dengan

data sebagai berikut :

Ketua Regu: M. IHSAN

Anggota-I : ADE HENDRA SULAIMAN

Anggota-II : AHMAD MAULANA

Melakukan pemeriksaan pemakaian tenaga listrik pelanggan dengan data sebagai

berikut :

Nama : Supyanto

Universitas Sumatera Utara


73

ID Pelanggan: 126150270957

Tarik/Daya : R1/2200 VA

Alamat : Jalan Karya Kasih No. 75 kel. Pangkalan Mansyur,

….Kecamatan Medan Johor, Kota Medan.

Pada saat Tim P2TL melakukan pemeriksaan, pemilik rumah berada ditempat

kejadian dan pemeriksaan dilanjutkan Tim P2TL dengan disaksikan oleh pemilik

rumah dengan data sebagai berikut :

Nama : Naintan Nasution

Alamat : JI. Karya kasih

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Hasil pemeriksaan petugas, ditemukan adanya pelanggaran yang mempengaruhi

pengukuran energi dengan cara menyambung langsung terminal (Kumparan

arus) dari terminal 1 dan 3 dengan kabel NYAF 1x2 mm2 dan mempengaruhi

pembatas daya dengan cara memakai MCB 20 A yang tidak sesuai daya kontrak.

(Dokumentasi hasil pemeriksaan P2TL terlampir)

Petugas P2TL menuliskan hasil pemeriksaan tenaga listrik pada Berita Acara

(BA) P2TL dengan nomor Berita Acara 003203-B yang ditanda tangani oleh

petugas P2TL dan Konsumen Listrik.

Pada saat akan dilakukan pemutusan sementara, Petugas P2TL berkomunikasi

dengan pemilik rumah untuk meminta izin melakukan pemutusan sementara.

Lalu pemilik rumah menanda tangani berita acara (BA) P2TL hasil pemeriksaan.

Petugas P2TL membawa alat pengukur & pembatas (APP) sebagai barang bukti

ke PT.PLN ( pesero ) ULP Medan Johor, jl. Karya jaya-Namorambe.

Universitas Sumatera Utara


74

Pada hari jumat, tanggal 11 Januari 2019, pelanggan selaku pemilik rumah

datang ke kantor PT.PLN (Pesero) ULP Johor untuk meminta penjelasan terkait

hasil pemeriksaan P2TL tersebut.

Pada hari Kamis tanggal 14 Januari 2019 pelanggan kembali datang kekantor PT

PLN (Pesero) ULP Medan Johor untuk meminta penjelasan kembali terkait hasil

pemeriksaan P2TL. Petugas PLN menjelaskan bahwa pemeriksaan P2TL

tersebut sudah sesuai SOP & Petugas P2TL pada saat itu merupakan petugas

resmi dari PLN.

PT PLN ULP Johor secara prinsip tetap, berdasarkan Peraturan Direksi PT PLN

nomor : 088- Z.P/DIR/2016 pada BAB VII pasal 13 ayat ke-4 yang mengatur

tentang Jenis Dan Golongan Pelanggaran Pemakaian Tenaga Listrik, bahwa

pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi dengan cara menyambung

langsung terminal (kumparan arus) dari terminal 1 dan 3 dengan kabel NYAF 1

x 2 mm2 dan mempengaruhi pembatas daya dengan cara memakai MCB 20 A

adalah tidak sesuai daya kontrak yang termasuk pada jenis pelanggaran P-III

(Analisa & Evaluasi terlampir).

Berdasarkan Peraturan Direksi PT PLN Nomor : 088- Z.P/DIR/2016 pada Bab

IX Bagian ke-3 ayat ke-1 yang mengatur tentang Perhitungan Tagihan Susulan,

maka besarnya tagihan susulan yang ditetapkan adalah sebesar Rp 19.590.894,-

Pada hari Kamis, 24 Januari 2019 pelanggan mendatangi PT PLN ULP Medan

Johor dan bersedia menandatangani penetapan Tagihan Susulan :

00001/Tagsus/01/2019 beserta pengakuan hutang nomor: 00001/SPH/01/2019

yang akan dibayarkan lewat rekening listrik secara angsuran sebanyak dua belas

Universitas Sumatera Utara


75

kali mulai bulan Februari 2019, dengan uang muka angsuran Rp. 1.000.000,-

(BA Tagihan Susulan & SPH terlampir).

Pada hari yang sama pada tanggal 24 Januari 2019 Petugas PLN ULP Medan

Johor telah melakukan pemasangan kembali Kwh meter & MCB yang sesuai

dengan daya kontrak pelanggan sesuai dengan Berita Acara Pemasangan Nomor

002053 (BA pemasangan terlampir ).

Sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) yang berlaku, maka terhadap

Tagihan Susulan & SPH yang telah ditetapkan menggunakan sistem aplikasi

terpusat yang berlaku di PLN, serta uang muka yang telah dibayarkan tersebut

tidak dapat dilakukan pembatalan ataupun Restitusi.

B. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Arbitrase Nomor

10/Arbitrase/2019/BPSK.MDN

Dari hasil permasalahan di atas antara Konsumen dengan Pelaku Usaha,

maka dengan ini Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan

menimbang dan memutuskan perkara Nomor 10/Arbitrase/2019/BPSK.Mdn

dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Menimbang, bahwa Adapun maksud dan tujuan pengaduan konsumen seperti

yang dimaksud diatas.

2. Menimbang, bahwa Pengadu adalah Konsumen sebagaimana dimaksud pasal

1 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu

"Setiap orang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain makhluk hidup lain

dan tidak diperdagangkan”.

Universitas Sumatera Utara


76

3. Menimbang, bahwa konsumen sangat keberatan atas perbuatan P2TL yang

datang kerumah tanpa permisi padahal saat itu konsumen sedang berada

didalam rumah. Hingga saat keponakan konsumen pulang kuliah dan

memanggil pemilik rumah, Tim P2TL masih memanjat meteran Konsumen.

4. Menimbang, bahwa setelah 30 Menit anggota P2TL memanjat meteran

konsumen, anggota P2TL tersebut turun dan mengatakan adanya pencurian

arus listrik atau menyambung langsung antara arus terminal (kumparan arus)

dari terminal 1 dan 3 dengan kabel NYAF 1 x 2 mm2 dan mempengaruhi

pembatas daya dengan cara memakai MCB 20 A.

5. Menimbang, bahwa pelaku usaha telah melanggar SOP dengan memasuki

rumah Konsumen untuk tindakan penertiban pemakaian tenaga listrik tanpa

memanggil Kepling atau Lurah dan tidak didampingi oleh Penyidik baik dari

pihak kepolisian ataupun Polisi Angkatan Darat serta pada saat

menyentuh/memeriksa meteran tersebut tidak didampingi atau disaksikan

langsung oleh pelanggan guna mengatasi kejujuran cara bekerja P2TL apakah

Konsumen ada melakukan pencurian arus listrik dengan cara menyambung

kabel yang dimaksud.

6. Menimbang, bahwa dapat diduga adanya pencurian arus listrik apabila

disaksikan langsung oleh konsumen jika ada penyambungan diluar meteran

atau diluar dari APP (alat pengukur dan pembatas arus listrik) yang tidak

dapat dibaca oleh meteran tersebut.

7. Menimbang, bahwa Tim P2TL melanggar SOP dengan memanjat meteran

konsumen tanpa permisi apalagi sampai menurunkan meteran tersebut.

Universitas Sumatera Utara


77

Sehingga dalam menjalankan pemeriksaan tidak berjalan secara fair (tidak

seimbang). Oleh karena itu, Konsumen berontak merasa dirinya tidak

melakukan pencurian arus listrik.

8. Menimbang, bahwa Tim P2TL dalam melakukan pemeriksaan dengan

membawa meteran Konsumen seharusnya disaksikan oleh Kepling karena

pemeriksaan tersebut adalah diwilayahnya. Dikarenakan penerangan atau

listrik adalah kebutuhan warga negara demi kemakmuran bangsa, maka setiap

warga negara harus diperlakukan secara adil.

9. Menimbang, bahwa dalam bukti PU-No. 6 yaitu Photo hasil temuan P2TL an.

Supriyanto, konsumen membantah hal tersebut dipersidangan. Karena

pengakuannya MCB 20 A miliknya sudah sangat tua warnanya dan sudah

kabur, tetapi didalam Bukti PU-6 tersebut, MCB 20 A kelihatan masih baru.

Maka diduga yang di photo Pihak PLN tersebut bukan milik Konsumen.

10. Menimbang, bahwa konsumen membantah tidak ada menyambung

langsung terminal 1 dan 3 dengan kabel NYAF 1x2 mm2. Berdasarkan photo

yang diperlihatkan tersebut tidaklah mungkin hal itu dilakukan konsumen,

karena jika ada sambungan kabel yang dibuat konsumen maka segel tersebut

harus dirusak. Ternyata berdasarkan Berita Acara pemeriksaan P2TL, tidak

dijumpainya Segel tersebut rusak. Dengan demikian pemeriksaan Tim P2TL

patut diduga tidak jujur dan dicurigai apakah harus mengejar Target dari

Perusahaan.

Universitas Sumatera Utara


78

11. Menimbang, bahwa setelah diperiksa Tim P2TL langsung membawa

Meteran konsumen tersebut sambil mengatakan adanya pelanggaran dan

menyuruh konsumen keesokan harinya datang ke kantor PLN ULP Johor.

12. Menimbang, bahwa setelah konsumen datang ke kantor PLN ULP Johor,

konsumen diharuskan membayar denda sebesar Rp 19.590.894,-

Oleh karena Tim P2TL membawa meteran konsumen, menimbulkan

kekhawatiran bagi konsumen karena arus listrik tidak ada pembatasnya dan

dapat mengakibatkan kebakaran. Konsumen meminta memasang kembali

meteran tersebut dengan membayar panjar atas denda dimaksud yaitu Bukti

pengakuan hutang (PU-1), bukti surat pengakuan hutang (PU-12) dan bukti

berita acara pemasangan/pembongkaran sambungan tenaga listrik (PU-13).

13. Menimbang, bahwa pelaku usaha tidak membawa meteran atau APP

sebagai bukti dipersidangan. Yang ditunjukkan dipersidangan hanya

gambar atau photo saja. Dalam hal ini tidak dapat dibuktikan kesalahan

konsumen, apalagi konsumen membantah bahwa meteran di photo tersebut

bukan miliknya karena MCB dalam photo tersebut kelihatan masih baru

sementara MCB Konsumen sudah tua dan warna putihnya sudah pudar.

14. Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut diatas maka mejelis

berpendapat denda sebesar Rp. 19.590.894,- dibebaskan karena Pelaku

Usaha tidak dapat membuktikan kesalahan konsumen. konsumen

membantah adanya penyambungan kabel dan penyambungan kabel itu

sendiri tidak dapat dibuktikan dipersidangan oleh Tim P2TL. Tim P2TL

hanya membuktikan dengan Berita Acara penertiban P2TL yaitu hanya

Universitas Sumatera Utara


79

Bukti PU-3 (Berita acara hasil pemeriksaan P2TL) saja, Meteran beserta

kabel sambungan tersebut tidak dibuktikan atau tidak diperlihatkan

dipersidangan.

15. Menimbang, bahwa masalah yang terjadi adalah dilapangan berdasarkan

surat tugas tersebut, Bukti PU-1 (fotocopy surat tugas) dan bukti PU-2

(fotocopy surat kuasa). Penertiban P2TL yang dilakukan hanya disaksikan

para petugas Tim P2TL. Seharusnya Pihak PT.PLN harus ikut dilapangan

dan didampingi oleh penyidik Polri serta Tim P2TL. Maka Pelaku Usaha

telah melanggar SOP-nya sendiri dan jelas terlihat bahwa Penertiban

tersebut adalah tebang pilih bukan Razia Penertiban P2TL secara Program

Pemerintah melainkan bersifat Komersil.

16. Menimbang, bahwa Konsumen membantah adanya pencurian arus listrik

karena konsumen mempunyai daya listrik sebesar 2.200 Va. Daya listrik

tersebut sudah melebihi arus listrik yang dipakai dan setiap bulannya rata-

rata konsumen membayar listrik sebesar Rp 800.000,- (delapan ratus ribu

rupiah). Maka sesuai dengan pemakaiannya adalah telah sesuai berat daya

dan temuan yang dilakukan oleh Tim P2TL tersebut patut dikaji Ulang.

17. Menimbang, bahwa dalam hal ini Pelaku Usaha tidak hati-hati dan

melanggar SOP nya maka denda tersebut merupakan kerugian konsumen.

Dengan demikian pengaduan konsumen adalah benar sengketa konsumen.

Maka berdasarkan Kepmenperindag RI No. 350/Kep/12/2001 Tentang

Wewenang dan Tugas Badan dimana dalam pasal 1 ayat (8) disebutkan

sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen maka yang

Universitas Sumatera Utara


80

menyelesaikannya adalah BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

jo. Pasal 1 ayat (11) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan

Konsumen, untuk itu pengaduan konsumen dapat diterima.

18. Menimbang, bahwa benar Termohon adalah pelaku Usaha sebagaimana

pelaku Usaha yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (3) UU No.8 Tahun 1999

Tentang perlindungan Konsumen. Pelaku usaha telah mengecewakan

konsumen dalam pelayanannya dan tidak merespon keluhan konsumen,

sehingga penanganannya berlarut-larut hingga konsumen mengadukan ke

BPSK Kota Medan.

19. Menimbang, bahwa Perlindungan konsumen dilakukan untuk

meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen dalam

melindungi diri dan menuntut haknya sebagai konsumen serta

menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen dengan harapan adanya sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam melakukan kegiatan usahanya.

20. Menimbang, berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen kepentingan Pelaku usaha (PT. PLN) haruslah diseimbangkan

dengan kepentingan konsumen (Naintan Nasution) yang mana konsumen

dan pelaku usaha harus diberi kesempatan untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

21. Menimbang, bahwa keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

sebagai Piranti Hukum yang melindungi konsumen tidaklah dimaksudkan

untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya,

Universitas Sumatera Utara


81

perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang

mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh serta menumbuh

kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab dalam

menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang

berkualitas.

22. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas oleh karena Pelaku

Usaha tidak dapat membuktikan kesalahan konsumen, maka berdasarkan

pasal 40 ayat (1) huruf (C) 2 KepmenPerindag RI No.

350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka Majelis Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen Kota Medan berpendapat bahwa gugatan konsumen

dikabulkan.

MENGINGAT

1. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2. Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksana Tugas

dan Wewenang BPSK

3. Keputusan Presiden RI No. 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK

Kota Medan

4. Peraturan lain yang berhubungan dengan itu.

Analisis terhadap pertimbangan hukum atas Putusan Arbitrase No.

10/Arbitrase/2019/BPSK.MDN adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


82

1. Bahwa benar pengadu adalah konsumen sebagai mana diatur dalam UU

Perlindungan Konsumen, karena pengadu merupakan perorangan yang

memakai barang berupa listrik.

2. Bahwa benar, Tim P2TL selaku pihak yang bertanggung jawab atas teknis

pelaksaan penggunaan listrik di lapangan tidak menunjukkan suatu itikat

baik dalam hal pelayanan di masyarakat sesuai dengan yang diamanatkan

dalam UU Perlindungan Konsumen dan SOP di instansi PLN itu sendiri.

Hal ini dibuktikan oleh berdasarkan pertimbangan hukum poin 3, 5, 7, 8,

15, 17.

3. Bahwa benar, Tim P2TL tidak mengakui kesalahannya, dan menuduh

konsumen mencuri arus listrik serta tidak dapat membuktikan apa saja yang

dituduhkan kepada konsumen. Hal ini dibuktikan oleh pertimbangan hukum

poin 9, 10, 13, 14.

C. Putusan BPSK NOMOR 10/ARBITRASE/2019/BPSK.MDN

Suatu perkara yang diajukan ke BPSK harus berakhir dengan adanya suatu

putusan Majelis BPSK atau Arbiter. Putusan arbiter adalah suatu pernyataan yang

diberikan oleh majelis BPSK yang berwewenang. Untuk itu, diucapkan di

persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara

antara pihak.

Dan akhirnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Medan mengadili

perkara ini dengan putusan :

1. Menerima Pengaduan konsumen.

Universitas Sumatera Utara


83

2. Membebaskan Konsumen dari Tagihan denda sebesar Rp 19.590.894,-

(sembilan belas juta lima ratus sembilan puluh ribu delapan ratus sembilan

puluh empat rupiah)

3. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

D. ANALISA PUTUSAN BPSK NOMOR 10/ARBITRASE/2019/BPSK.MDN.

Dalam kasus ini penulis berpendapat bahwa PT PLN ULP Johor bersalah

dan telah melanggar hak-hak Konsumen. Hal ini didasarkan karena adanya

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Tim P2TL yang tidak sesuai dengan

SOP.

1. Pada Tahap Pelaksanaan P2TL

a) Tata cara memasuki persil (tanah) dan melakukan pengamanan lokasi

Berdasarkan pasal 10 ayat (2) huruf (a) Peraturan Direksi PT PLN

dinyatakan bahwa pada saat memasuki persil Pemakai Tenaga Listrik harus

bersikap sopan, menunjukkan surat tugas dan tanda pengenal lainnya, selanjutnya

petugas P2TL menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan P2TL tersebut kepada

Pemakai Tenaga Listrik atau yang mewakili. Akan tetapi pada kasus ini, Tim P2TL

memasuki persil tanpa permisi dengan cara memanjat meteran konsumen dan tanpa

menunjukkan surat tugas terlebih dahulu. Tim P2TL menunjukkan surat tugas saat

diminta oleh Konsumen dan surat tugas tersebut diambil di mobil. Hal ini tentu

melanggar ketentuan dalam pasal tersebut, dan perlu dipertanyakan legalitas

petugas P2TL tersebut.

b) Petugas melakukan P2TL tanpa disaksikan pihak berwajib.

Universitas Sumatera Utara


84

Berdasarkan pasal 3 ayat (4) Petugas Pelaksana Lapangan P2TL merupakan

regu yang terdiri dari pejabat/petugas-petugas PLN yang melaksanakan

pemeriksaan P2TL di lapangan. Dalam kasus ini, Tim P2TL dalam melaksanakan

tugasnya tidak didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Dalam ketentuan pasal pasal 10 ayat (1) huruf (b) sebaiknya petugas P2TL

tidak menyentuh atau mendekat (Alat Pembatas dan pengukur) APP sebelum

disaksikan oleh penghuni atau saksi, untuk menghindari dugaan merusak segel

sebelum diadakan pemeriksaan. Dalam kasus ini, Tim P2TL sudah menyentuh APP

tanpa disaksikan oleh Konsumen. Hal ini tentu melanggar ketentuan pasal tersebut

yang menuntut petugas P2TL berbentuk tim dan tidak menyentuh APP semena-

mena dimana dalam hal ini diragukan kejujuran PT PLN.

c) Melakukan Pemberkasan Hasil Pemeriksaan

Berdasarkan kesaksian Naintan Nasution, pada saat pengisian berita acara,

Tim P2TL memaksa Konsumen menandatangani surat. Pada pasal 10 ayat (5) huruf

(d) dinyatakan bahwa dalam hal Pemakai Tenaga Listrik atau yang mewakilinya

tidak bersedia menandatangani formulir dan Berita Acara, maka petugas P2TL

mencatat bahwa Pemakai Tenaga Listrik atau yang mewakilinya tidak bersedia

menandatangani dan selanjutnya petugas P2TL atau Penyidik yang mendampingi

memintakan kepada Pengurus RT/RW/Aparat Desa/Kelurahan/Pemuka

Masyarakat Pihak yang mengenal Pemakai Tenaga Listrik sebagai saksi. Pada

kasus pelaksanaan P2TL, tidak dilakukan bersama penyidik, akan tetapi tidak juga

disaksikan oleh saksi sebagaimana diatur dalam pasal tersebut. Maka seharusnya

berita acara dalam pemeriksaan tersebut tidak sah.

Universitas Sumatera Utara


85

d) Pengambilan Barang Bukti

Dalam ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf (b) dinyatakan bahwa dalam hal

P2TL dilaksanakan tidak bersama Penyidik, pengamanan barang bukti dilakukan

oleh Petugas P2TL, disaksikan oleh Pengurus RT/RW/Aparat

Desa/Kelurahan/Pemuka MasyarakavPihak yang mengenal Pemakai Tenaga

Listrik, kemudian disegel dan diserahkan/dilaporkan kepada penyidik. Kemudian

berita acara pengamanan barang bukti tersebut dibuat berita acara dan

ditandatangani oleh petugas P2TL, Konsumen, dan para saksi.

Pada saat pengambilan barang bukti berupa meteran, tidak disaksikan oleh

saksi dan berita acara pengambilan barang bukti tidak ditandatangani oleh penyidik

ataupun saksi. Karena tidak dipenuhnya ketentuan pasal tersebut diatas, maka

pengambilan barang bukti dan berita acara tidak dapat diterima.

2. Tahap Pasca Pemeriksaan

Pada tahap ini, PT PLN dengan sewenang-wenang memberikantagihan

susulan berupa denda sebesar RP. 19.590.894,- atas tuduhan yang dituduhkan PT

PLN kepada Konsumen yakni pencurian arus listrik atau menyambung langsung

arus terminal, padahal tidak dijumpainya Segel MCB rusak. Kemudian Naintan

Nasution terpaksa membayar panjar atas denda agar PT PLN memasang Kembali

meteran karena konsumen khawatir adanya kebakaran karena arus listrik tidak ada

pembatasnya. Besaran tagihan susulan tersebut ditetapkan secara sepihak oleh PT

PLN tanpa menjelaskan bagaimana perhitungannya. Berdasarkan pasal 11 ayat (5)

dinyatakan bahwa Pembuatan perhitungan Tagihan susulan serta usulan

penyelesaian P2TL berdasarkan pemeriksaan administrasi dan laboratorium yang

Universitas Sumatera Utara


86

disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Dalam kasus ini telah terjadi

kesepakatan, dengan Tim P2TL membawa meteran konsumen, maka konsumen

meminta memasang Kembali meteran tersebut dengan membayar panjar tagihan

susulan tersebut.

Jika dilihat dalam pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya suatu

perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Hal ini dimaksudkan,

bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu

setuju ataupun sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan

diadakan. Kata sepakat tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan apabila kata

sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau

penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata).

Dalam pasal 1324 KUH Perdata dinyatakan bahwa Paksaan terjadi, bila

tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan

ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau

kekayaannya terancam dengan suatu kerugian. Dalam kasus ini, Pihak PLN telah

memutus aliran listrik dan langsung membawa meteran. Karena ancaman tersebut,

Konsumen merasa takut akan terjadi hal hal yang tidak diinginkan yakni adanya

kebakaran karena arus listrik tidak ada pembatas dan terpaksa menyepakati

pembayaran tagihan susulan tersebut.

Jika dianalisis dalam pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan

melawan hukum yang berbunyi : “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan

Universitas Sumatera Utara


87

kerugian itu karena kesalahannya untu menggantikan kerugian tersebut.” Dikatakan

sebagai perbuatan melawan hukum, apabila terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

a) Unsur perbuatan melawan hukum

Dalam kasus ini dapat ditunjukkan bahwa perbuatan pelaku usaha adalah

perbuatan yang melanggar hukum, berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen

yang dijamin oleh hukum, Tim P2TL melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan kewajiban hukumnya sendiri baik secara tertulis maupun tidak tertulis, Tim

P2TL juga melanggar kesusilaan yang berkaitan dengan sikap ataupun moral dalam

melakukan pemeriksaan arus listrik di rumah konsumen, dan telah melakukan

sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dan pergaulan hidup masyarakat

dalam menjalankan tugasnya dengan berlaku tidak sopan, pemutusan listrik secara

sepihak dan memaksa konsumen menandatangani surat tugas yang diberikan Tim

P2TL.

b) Unsur kesalahan

Dalam hal ini Tim P2TL melakukan kesalahan/kelalaian yang menimbulkan

kerugian bagi konsumen dengan membawa meteran konsumen. Hal ini dapat

menyebabkan kebakaran akibat arus listrik tidak ada pembatasnya. Hal ini jelas

membuktikan bahwa Tim P2TL lalai dalam kewajiban berhati-hati dan kurang

cermat yang tidak sesuai dengan standar kelakuan yang ditetapkan dalam undang-

undang demi perlindungan konsumen.

c) Unsur adanya kerugian yang diderita

Kerugian disini dibagi jadi 2 (dua) yaitu Materil dan Immateril. Tim P2TL

menyebabkan kerugian materil karena perbuatannya menyebabkan kerusakan pada

Universitas Sumatera Utara


88

meteran listrik. Tim P2TL juga menyebabkan kerugian Immateril terhadap

konsumen. Perbuatan Tim P2TL menyebabkan kekhawatiran bagi konsumen

karena pencabutan meteran listrik dapat menyebabkan kebakaran akibat arus listrik

tidak ada pembatasnya, sehingga konsumen membayar panjar atas denda agar Tim

P2TL memasang kembali meteran tersebut.

d) Unsur adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.

Dalam hal ini, terdapat hubungan sebab akibat antara perbuatan yang

dilakukan Tim P2TL dengan akibat yang muncul.

Penetapan konsumen sebagai pelanggaran pemakaian tenaga listrik dan

perhitungan besarnya tagihan susulan harus sesuai dengan petunjuk pasal 15

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 27

Tahun 2017 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang terkait dengan

Penyaluran Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO).

Sedangkan dalam kasus ini, Naintan Nasution tidak pernah menerima penetapan

seperti yang dimaksud. Oleh karena itu, maka penetapan Naintan Nasution sebagai

pelanggar adalah tidak sah sehingga dibebaskan dari tagihan denda susulan

tersebut.

3. Pelanggaran Terhadap Hak Konsumen

Pelanggaran yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) Johor, selaku penyedia

arus listrik antara lain :

a) Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Konsumen

1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan atau jasa.

Universitas Sumatera Utara


89

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kenyamanan, keamanan dan

keselamatan dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya. Namun,

dengan dilakukannya pemutusan sementara dan dipasang kembali apabila

konsumen membayar tagihan susulan, maka dalam kondisi seperti ini menyebabkan

kenyamanan dan keamanan Konsumen terganggu. Dalam hal ini PT PLN sebagai

pelaku usaha telah melanggar pasal 4 ayat (1) UUPK.

2) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan atau jasa.

PT PLN Johor tidak memberikan informasi yang jelas terkait asal usul

besaran nilai tagihan susulan kepada Naintan Nasution dan pemeriksaan APP tidak

disaksikan oleh pemilik rumah dan pihak berwajib, sehingga diragukan kejujuran

pelaku usaha. Maka PT PLN Johor melanggar ketentuan pasal 4 ayat (3) UUPK.

3) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang

digunakan.

PT PLN Johor menuduh Naintan Nasution melakukan perbuatan melawan

hukum yaitu pencurian arus listrik, atas tuduhan tersebut Konsumen mengeluarkan

pendapat dan melakukan pembelaan. Dalam kasus ini, PT PLN Johor enggan

mendengarkan pendapat dan pembelaan daripada Konsumen dan langsung

menuntut Konsumen bertanggung jawab secara penuh. Naintan Nasution juga

sudah membuat laporan ke Call Center PLN, tetapi tidak menemui titik terang.

Berdasarkan hal tersebut, PLN telah melanggar pasal 4 ayat (4) UUPK.

Universitas Sumatera Utara


90

4) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Pihak PT PLN Johor tidak memberikan perlindungan dan upaya

penyelesaian kepada Naintan Nasution. Pihak PLN hanya memberikan satu solusi

yaitu membayar tagihan susulan tersebut jika ingin meteran Konsumen dipasang

kembali. Seharusnya pihak PLN berkomunikasi terlebih dahulu kepada konsumen

untuk mengambil kebijakan sehingga mencapai tujuan dan hak konsumen tetap

terlindungi. Dengan dilakukannya pemutusan listrik sepihak, PT PLN telah

melanggar pasal 4 ayat (5) UUPK.

5) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

Hak ini telah dilanggar oleh PT PLN Johor. Pada saat melakukan

pemeriksaan persil, Tim P2TL tidak melakukan rangkaian Tindakan sesuai

prosedur yang telah ditentukan dalam Keputusan Direksi PLN tentang P2TL. Pihak

PLN juga memiliki indikasi merekayasa barang bukti pada saat persidangan dengan

memberikan photo hasil MCB 20 A milik konsumen dalam kondisi baru, padahal

kenyataanya MCB 20 A milik Konsumen sudah tua dan warnanya sudah kabur.

Berdasarkan hal tersebut, pihak PLN telah melanggar pasal 4 ayat (7) UUPK.

BPSK telah melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penyelesaian

sengketa konsumen tersebut. Dari kasus tersebut, putusan majelis Arbiter menerima

pengaduan konsumen, membebaskan konsumen dari tagihan denda, dan

berdasarkan Keppres no 90 Tahun 2001 tentang pembentukan BPSK Kota Medan,

Universitas Sumatera Utara


91

biaya pelaksanaan BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara

dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Proses pelaksanaan perjanjian penggunaan arus listrik antara PT PLN

(PERSERO) dengan konsumen diawali dengan permohonan konsumen

listrik untuk memakai/menggunakan tenaga listrik pada PT. PLN (Persero)

agar dapat menjadi pelanggan. Selain itu, ditetapkan pula biaya lain-lain,

seperti Biaya Guna Penyambungan (BP), Uang Jaminan sebagai Langganan

(UJL), Biaya Materai. Sedangkan biaya lain seperti bagian instalasi akan

diserahkan kepada pihak PT Perintis Perlindungan Instalasi Listrik Nasional

(PPILN). Setelah instalasi terpasang, maka pelanggan sudah bisa menerima

haknya yaitu memakai tenaga listrik. Setelah pelanggan menerima haknya,

ia harus melaksanakan kewajibannya membayar jumlah tagihan yang

digunakannya dengan tarif dasar listrik yang dimuat dalam Peraturan

Presiden No. 8 Tahun 2011 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disesuaikan

dengan Perusahaan Perseroan (Persero). Penjual hanya menyerahkan tenaga

listrik sesuai besar tenaga yang dibutuhkan kepada pelanggan secara terus-

menerus sampai pelanggan menghentikan perjanjiannya.

2. Proses penyelesaian sengketa yang dipilih oleh konsumen dan pelaku usaha

melalui arbitrase ditangani oleh BPSK Kota Medan. Yang dimaksud dengan

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat

92

Universitas Sumatera Utara


93

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Arbitrase, para

pihak dapat memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur

pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Atau apabila tidak ada

kesepakatan antara mereka, dapat dimintakan melalui Pengadilan Negeri.

Para pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa

tersebut sehingga akan melindungi pihak yang merasa takut atau tidak

yakin.

3. Penyelesaian terhadap Konsumen yang menderita kerugian dalam

penggunaan arus listrik akibat ulah PT PLN (PERSERO) tertuang dalam

Putusan BPSK Kota Medan Nomor 010/Arbitrase/2019/BPSK.Mdn. BPSK

Kota Medan menerima pengaduan konsumen dan menyatakan pihak PT

PLN ULP Johor terbukti bersalah karena telah melakukan pemeriksaan

yang tidak sesuai dengan SOP Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL)

yang diatur dalam Peraturan Direksi PT PLN (Persero), melakukan

pemutusan arus listrik secara sepihak dengan menuduhkan konsumen

mengambil daya tanpa dapat membuktikan kebenaran tersebut, serta Tim

P2TL melakukan perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Per) dengan

terpenuhinya empat unsur pokok, berupa adanya perbuatan melawan hukum

berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen yang diatur dalam pasal 4

UUPK, serta Tim P2TL melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

kewajiban hukumnya sendiri dan melanggar kesusilaan yang berkaitan

dengan sikap ataupun moral dalam melakukan pemeriksaan arus listrik

memutus meteran secara sepihak, melakukan penertiban secara tidak jujur

Universitas Sumatera Utara


94

dan telah melanggar SOP dengan memasuki rumah Konsumen melakukan

pemeriksaan tanpa disaksikan oleh konsumen langsung, dan tanpa

didampingi aparatur kelurahan dan aparatur kepolisian. Adanya unsur

kesalahan berupa Tim P2TL lalai dalam kewajiban berhati-hati dan kurang

cermat yang tidak sesuai dengan standar kelakuan. Adanya kerugian yang

diderita dalam hal ini adalah kerugian Materil dan kerugian Immateril. Tim

P2TL menyebabkan kerugian materil karena perbuatannya menyebabkan

kerusakan pada meteran listrik, sedangkan kerugian immaterial berupa

perbuatan Tim P2TL menyebabkan kekhawatiran bagi konsumen karena

pencabutan meteran listrik dapat menyebabkan kebakaran akibat arus listrik

tidak ada pembatasnya, sehingga konsumen membayar panjar atas denda

agar Tim P2TL memasang kembali meteran tersebut. Adanya hubungan

kausalitas antara perbuatan dan kerugian adalah terdapat hubungan sebab

akibat antara perbuatan yang dilakukan Tim P2TL dengan akibat yang

muncul dari perbuatan tersebut. Sehingga melihat dasar hukum tersebut,

Konsumen selaku pihak yang dirugikan dibebaskan dari tagihan denda

sebesar Rp. 19.590.894 (sembilan belas juta lima ratus

sembilan puluh ribu delapan ratus sembilan puluh empat rupiah) oleh

Majelis BPSK.

B. SARAN

1. Peran Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) PLN di Kota Medan

patut menjadi perhatian serius oleh pihak PLN dengan memperketat

pengawasan secara internal agar bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara


95

oleh oknum PLN tidak terjadi lagi, serta menindak secara tegas oknum yang

melakukan pelanggaran.

2. Pemerintah perlu mensosialisasikan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) sebagai lembaga yang menangani penyelesaian

sengketa konsumen untuk melindungi konsumen dari pelanggaran yang

dilakukan pelaku usaha.

3. Masyarakat selaku konsumen diharapkan berperan aktif dalam mencari

informasi, khususnya mengenai hak-haknya sebagai konsumen dan

diharapkan juga lebih kritis terhadap pelayanan yang diterimanya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adi Nugroho, Susanti, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau


Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, kencana, Jakarta.

Amirudin & Asikin, Zainal, 2004,Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta,


Radja Grafindo Persada.

Batubara, Suleman & Purba, Orinton, 2013, Arbitrase Internasional : Penyelesaian


Sengketa Investasi Asing, Raih Asa Sukses, Jakarta.

Daeng Naja, H,R, 2006, Contrant Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuady, Munir, 2005, Pengantar Hukum Bisnis : Menata bisnis Modern di Era
Global, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gautama, Sudargo, 1996, Aneka Hukum Arbitrase Ke Arah Hukum Arbitrase


Indonesia yang Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________. 1999, Undang-Undang Arbitrase Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Huala, Adolf, 1994, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Ed. 1, Cet. 1, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Joses, Jimmy, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan :


Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase, Visimedia, 2011.

Margono, Suyud, 2004, ADR (Alternative Dispute Resolution)& Arbitrase Proses


Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Miru, Ahmadi, 2017, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di


Indonesia, Raja Grafindo, Depok.

Muthiah, Aulia, 2018, Hukum Perlindungan Konsumen Dimensi Hukum Positif dan
Ekonomi Syariah, Pustaka Baru Press, Yogyakata.

Poerwosutjipto, H.M.N, 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan,


Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, Djambatan, Jakarta.

Radjagukguk, Erman, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,


Bandung.

96

Universitas Sumatera Utara


97

Setianingsih, Sri, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas


Indonesia (UI-Press), Jakarta.

Sidabalok, Janus, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti,


Bandung.

Sidharta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana


Indonesia, Jakarta.

Simanjuntak, P.N.H , 2015, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta.

Syahmin, 2006, Hukum Perjanjian Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tim Redaksi KBBI, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Pendidikan
Nasional, Jakarta.

Tim YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), 2010, Bersikap Kritis


Bertindak Cermat : Panduan Konsumen Menghadapi P2TL, YLKI, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2011 tentang Tarif Tenaga Listrik yang
Disesuaikan dengan Perusahaan Perseroan (Persero).
Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor : 088‐ZP DIIV 2016 tentang
Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.
C. JURNAL

Bayu, Awang, Maliakhatun, Siti & Aminah, 2016, Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Terhadap Pemadaman Listrik Oleh PT PLN (Persero) Wilayah
Jawa Tengah Area Salatiga, Diponegoro Law Journal, Vol. 5, no. 3, h. 5,
Dilihat 30 november 2020,
<http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dir/>

Universitas Sumatera Utara


98

Elizabeth, Riry & Redjeki, Sri, 2015, Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik, Lex Jurnalica, Vol. 12, no. 1, h. 37, Dilihat 2 Desember
2020,<https://www.neliti.com/publications/147618/wanprestasi-dalam-
perjanjian-jual-beli-tenaga-listrik>
Irpan, 2013, Tinjauan Hukum Tentang PT. Pln (Persero) Sebagai Pelaku Usaha
Didalam Penyediaan Listrik Bagi Konsumen, Jurnal Ilmu Hukum Legal
Opinion, Vol. 1, h. 7, Dilihat 25 november 2020,
<http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/404419>
Witasari, Aryani, 2011, Konsekuensi Hukum Bagi Seorang Arbiter Dalam
Memutus Suatu Perkara Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun
1999, Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1, hal 12, Dilihat pada 26 Januari
2021 <https://media.neliti.com/media/publications/12323-ID-konsekuensi-
hukum-bagi-seorang-arbiter-dalam-memutus-suatu-perkara-berdasarkan-
u.pdf>
D. WEBSITE

Pebrianto Eko Wicaksono, 2016, Ketahuan Curi Listrik, Apa Hukumannya,


Dilihat 27 november 2020,
<https://www.liputan6.com/bisnis/read/2542797/ketahuan-curi-listrik-apa-
hukumannya>

Rifan Aditya, 2020, 3 Cara Pasang Sambungan Listrik Baru PLN dan Biayanya,
Bisa Via Online, Dilihat 05 desember 2020,
<https://www.suara.com/news/2020/10/20/205513/3-cara-pasang
sambungan listrik-baru-pln-dan-biayanya-bisa-via-online?page=all>

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN

99

Universitas Sumatera Utara


100

Universitas Sumatera Utara


101

Universitas Sumatera Utara


102

Universitas Sumatera Utara


103

Universitas Sumatera Utara


104

Universitas Sumatera Utara


105

Universitas Sumatera Utara


106

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai