Anda di halaman 1dari 87

PERBANDINGAN JUAL BELI KONVENSIONAL DENGAN

JUAL BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK


(STUDI KASUS PADA FASHION HOUSE 10 DI MEDAN)

Skripsi

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh :

JeannyferOnoLuoDachi

Nim: 140200113

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Jeannyfer Ono Luo Dachi*
Edy Ikhsan**
Sinta Uli***

Perjanjian jual beli merupakan bentuk transaksi umum yang sering dilakukan
oleh masyarakat. Pada umumnya jual beli dilakukan dengan bertatap muka secara
langsung, namun dengan berkembangnya zaman jual beli pun dapat dilakukan
dengan melalui internet yang sering juga disebut dengan istilah e-commerce. Jual
beli atau perdagangan melalui internet ini sangat pesat kemajuannya,
perkembangannya sendiri bukan hanya saja terdapat pada apa yang
diperdagangkan tetapi juga pada tata cara dari perdagangan itu sendiri. Peraturan
tentang e-commerce di Indonesia diatur dalam beberapa perangkat hukum yang
terdiri dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Judul dari skripsi ini adalah “Perbandingan antara Jual Beli
Konvensional dengan Jual Beli melalui Media Elektronik”. Penulisan ini akan
menjelaskan bagaimana pelaksanaan jual beli konvensional yang mana penjual
dan pembeli bertatap muka sedangkan jual beli melalui internet hanya melalui
media elektronik, bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen
baik yang melakukan jual beli secara langsung maupun dengan melalui internet,
dan membahas beberapa perbandingan antara jual beli konvensional dengan jual
beli melalui media elektronik yang perlu untuk dikaji.
Adapun metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode
Normatif Empiris, yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan
menggabungkan antara penelitian hukum normatif (penelitian perpustakaan)
dengan penelitian hukum empiris yang berdasarkan data primer yang diperoleh
melalui penelitian lapangan melalui wawancara kepada pemilik toko Fashion
House 10 di Medan.
Berdasarkan penelitian ini, proses terjadinya transaksi jual beli melalui media
elektronik sama halnya dengan jual beli pada umumnya, yaitu karena adanya
kesepakatan para pihak. Jual beli konvensional dengan jual beli melalui media
elektronik terdapat persamaan yaitu dari sisi apa yang menjadi kewajiban penjual
maupun pembeli, sedangkan perbedaannya terletak pada bagaimana pelaku usaha
menjalankan bisnisnya dan terdapat beberapa perbedaan dalam proses jual beli
yang dilakukan. Fashion House 10 sebagai pelaku usaha bertanggung jawab
dengan apa yang merugikan konsumen, dalam hal kerusakan dan ketidaksesuaian
pesanan melalui proses jual beli dilakukan melalui internet.

Kata Kunci : Jual Beli, Transaksi E-Commerce


—————————————————
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul “Perbandingan Jual Beli Konvensional dengan Jual Beli Melalui Media

Elektronik (Studi Kasus pada Fashion House 10 di Medan)”. Skripsi ini membahas

mengenai bagaimana perbandingan antara jual beli konvensional dengan jual beli

melalui media elektronik, bagaimana proses jual beli secara konvensional dengan jual

beli melalui media elektronik, dan bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap

konsumen dalam hal kerusakan dan ketidaksesuaian pesanan. Skripsi ini disusun

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orang tua tercinta, Asli Dachi. SH.,M.H

dan Kapten (Purn) Tuti Juniati D yang telah tulus ikhlas memberikan doa, dukungan,

perhatian, cinta dan kasih sayang yang tak terhingga agar penulis dapat menggapai cita-

citanya. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih karena selama

proses penulisan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan, saran, motivasi dan

doa dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. OK.Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

ii

Universitas Sumatera Utara


4. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

5. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

6. Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum, selaku sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Dr. Edy Ikhsan, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membantu penulis dan berkenan meluangkan waktunya dalam memberikan

bimbingan, memberi arahan, nasehat, dan memotivasi penulis dalam proses

penulisan skripsi ini.

9. Ibu Sinta Uli, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

membantu penulis dan berkenan meluangkan waktunya dalam memberikan

bimbingan, memberi arahan, nasehat, dan memotivasi penulis dalam proses

penulisan skripsi ini.

10. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik

selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

mendidik dan memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan

yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

12. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

banyak membantu selama masa perkuliahan.

iii

Universitas Sumatera Utara


13. Kepada kakak penulis Angela Caesaristika Dachi, S.P., M.M, dr.Putri Satriani

Dachi, dan adik penulis Sotano Niha Dachi terima kasih banyak atas doa,

dukungan dan kasih sayang yang kalian berikan selama ini kepada penulis.

14. Kepada orang terdekat yang teristimewa Derry Aulia Rahman, A.Md., terima

kasih atas dukungan, doa maupun semangatnya selama ini, dan selalu

menemani selama penulis menjalani proses kegiatan kuliah serta

terselesaikannya pengerjaan skripsi ini.

15. Kepada sahabat penulis, yang teristimewa Meutia Jasmine, terima kasih selalu

menemani dari awal perkuliahan serta memberikan dukungan, doa dan

semangat kepada penulis.

16. Kepada sahabat penulis semenjak SMP, Amira, Maulida, Cut, dan Divha,

terima kasih selalu memberikan semangat, dukungan, serta doa kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

17. Kepada sahabat penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Afifah

Mutiara L., Dina Handayani, Maya H.Saragih, dan Hasiba Zahra Pulungan,

terima kasih selalu memberikan dukungan dan selalu memberikan canda dan

tawa selama masa perkuliahan.

18. Kepada teman-teman penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

Hanif, Wikye, Mahdi, Aldrian, Kibot, dan Eki, terima kasih selalu memberikan

canda dan tawa selama masa perkuliahan dan memberikan dukungan kepada

penulis.

19. Kepada sahabat penulis semenjak SMA, keke, dea, amel, najla, mahadhir,

auzan, dan rehan, terima kasih telah memberikan dukungan kepada penulis.

iv

Universitas Sumatera Utara


20. Kepada kak Reni Hardianti Tanjung, SH, terima kasih telah banyak membantu

memberikan masukan dan arahan serta semangat kepada penulis.

21. Terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah dengan skripsi ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh

karenanya, penulis dengan kerendahan hati mengharapkan adanya kritik dan saran

untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bukan hanya untuk penulis tetapi juga untuk masyarakat.

Medan, April 2018

Penulis,

Jeannyfer Ono Luo Dachi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
E. Metode Penelitian...................................................................... 10
F. Keaslian Penulisan .................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan................................................................ 14
BAB II : PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli ................... 16


B. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian dan Unsur-
Unsur Perjanjian ................................................................... 24
C. Subjek dan Objek dalam Perjanjian Jual Beli ........................... 29
D. Asas-asas dan Jenis Perjanjian .................................................. 32
BAB III : PERJANJIAN JUAL BELI MELALUI MEDIA
ELEKTRONIK

A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli Online......................... 40


B. Proses Terjadinya Transaksi Jual Beli Online .......................... 43
C. Pihak-Pihak dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Jual
Beli Online ................................................................................ 45
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen Dalam
Transaksi Jual Beli Secara Online............................................. 49

vi

Universitas Sumatera Utara


BAB IV : PERBANDINGAN JUAL BELI KONVENSIONAL
DENGAN JUAL BELI MELALUI MEDIA
ELEKTRONIK PADA FASHION HOUSE 10 DI MEDAN
A. Proses Jual Beli secara Konvensional dan Jual Beli melalui
Media Elektronik pada Fashion House 10 ............................... 54
B. Perbandingan Jual Beli Konvensional dengan Jual Beli
melalui Media Elektronik ......................................................... 59
C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen dalam
Hal Kerusakan dan Ketidaksesuaian Pesanan ........................... 68
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................... 73
B. Saran.......................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN :

A. Surat Pelaksanaan Riset di Fashion House 10 di Medan

B. Wawancara dengan Pemilik Fashion House 10 di Medan

vii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini termasuk ke dalam lingkup studi hukum perjanjian yang

dikenal dalam Buku III KUHPerdata. Studi ini memfokuskan pada perbandingan

jual beli konvensional yang termasuk kedalam perjanjian bernama (nominnat)

dengan perjanjian jual beli melalui media elektronik yang mana termasuk

perjanjian tidak bernama (innominat). Perjanjian jual beli merupakan bentuk

transaksi umum yang sering dilakukan oleh masyarakat.Jual beli pada dasarnya

adalah sebuah perjanjian untuk mencapai suatu harga tertentu

(kesepakatan).Pengertian perjanjian pada umumnya adalah proses interaksi atau

hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu

dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk

menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.Pasal 1313

KUHPerdata terdapat pengertian mengenai perjanjian, bahwa perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih.

Dimana syarat sahnya suatu perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-

Undang hukum perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) dalam buku ke III

pasal 1320 BW (KUHPerdata) yaitu :

1. Kesepakatan para pihak

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu, dan

1
Universitas Sumatera Utara
2

4. Suatu sebab yang halal

Dari syarat-syarat diatas maka dapat disimpulkan bahwa apabila semua

unsur atau syarat dalam pasal 1320 KUHPerdata tersebut terpenuhi berarti suatu

perjanjian atau jual beli adalah sah dan mengikat bagi para pihak.Pasal 1457

KUHPerdata menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan jual beli adalah

persetujuan dari dua pihak yang saling mengikatkan diri, dimana pihak yang satu

menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain menerima kebendaan itu

dengan ketentuan; pihak yang menerima membayar harga kepada pihak yang

menyerahkan kebendaan tersebut.

Ketentuan diatas menjelaskan bahwa dimana antara pihak penjual dan pihak

pembeli membuat suatu persetujuan terlebih dahulu lalu disitulah ada saling

mengikatkan diri untuk yang satu menyerahkan suatu benda dan yang lain

membayar.

Tetapi perjanjian jual beli sendiri sudah lahir dengan adanya kesepakatan.

Bahkan pembuat undang-undang merasa perlu untuk menegaskannya dalam pasal

berikutnya yaitu Pasal 1458 KUHPerdata dengan mengatakan :

“Jual beli itu dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak, seketika

setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya,

meskipun benda itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.” 1

Jual beli menjadi hal yang sangat sering sekali ditemui dan dilakukan

banyak orang-orang untuk memenuhi kebutuhan yang mereka butuhkan mulai dari

1
R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,
2000, hal.39.

Universitas Sumatera Utara


3

kebutuhan primer hingga kebutuhan tersier. Jual beli dilakukan dengan cara

bertatap muka antara penjual dan pembeli, dimana pembeli dapat melihat langsung

barang yang ditawarkan oleh penjual, dan di sinilah terjadi transaksi yang

melibatkan kedua belah pihak untuk sepakat bertransaksi. Dengan berkembangnya

zaman jual beli pun dapat dilakukan dengan melalui internet (e-commerce).

Pada perjanjian jual beli secara langsung, kesepakatan dapat langsung

diberikan secara lisan maupun tulisan.Tetapi dalam transaksi melalui e-

commercekesepakatan dalam perjanjian tersebut tidak diberikan secara langsung

melainkan melalui media elektronik dalam hal ini adalah internet.2

Internet adalah jaringan komputer yang telah menjadi sarana teknologi

terpopuler yang banyak digunakan oleh masyarakat diberbagai kalangan, tidak

hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia, dan telah menjadi salah satu

kebutuhan utama bagi masyarakat dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, baik

untuk kegiatan sosial maupun berbisnis. Tanpa disadari, internet telah menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dunia, karena internet

dapat digunakan untuk berbagai kegiatan, mulai dari berinteraksi dengan keluarga,

kerabat dan rekan kerja, mencari informasi, dan melalui internet kitapun bisa

berbelanja. Di era yang serba digital ini, teknologi informasi berkembang sangat

pesat sehingga mempermudah semua kegiatan yang kita ingin lakukan.Teknologi

informasi yang satu ini, pada saat ini dapat membuka mata semua orang di dunia,

yaitu adanya interaksi baru, tempat pemasaran baru, dan jaringan bisnis kelas dunia

tanpa batas.Internet mampu memberikan kontribusi sangat besar bagi masyarakat,

2
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hal.234.

Universitas Sumatera Utara


4

industri atau perusahaan maupun pemerintah.Perkembangan teknologi informasi

internet ini telah menambahkan dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat

Indonesia. Teknologi internet mampu mengubah gaya hidup pada masyarakat

Indonesia yang tertinggal menuju pada masyarakat modern.

Internet membawa pengaruh yang besar bagi pelaku bisnis di

Indonesia.Indonesia adalah Negara berkembang yang juga semuanya sudah serba

online. Bahkan media sosial seperti facebook dan instagram yang sebelumnya

hanya account pribadi untuk berinteraksi dengan orang namun sekarang sudah

menjadi tempat berjualan online.

Pengaruh dan peranan teknologi informasi secara tidak langsung telah

membuat bisnis online di Indonesia berkembang.Mereka yang mengerti bisnis

dapat melihat peluang yang baik pada dunia bisnis online.Karena banyak

keunggulan atau keuntungan di dalam bisnis secara online.Jual beli secara online

ini tidak saja memudahkan konsumen, namun juga memudahkan produsen dalam

memasarkan produknya yang berpengaruh pada penghematan biaya maupun

waktu, jual beli melalui internet ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan

waktu sehingga seseorang dapat melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang

kapanpun dan dimanapun orang tersebut berada.Transaksi yang biasanya dilakukan

dengan cara konvensional atau dengan cara pembeli dan penjual bertemu langsung

kini beralih ke cara lain yaitu penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung

namun dapat menilai dengan melihat tampilan gambar barang ataupun tulisan

spesifikasi barang yang akan diperjualbelikanpada media elektronik seperti

komputer ataupun handphone. Dampaknya transaksi dapat dilakukan setiap saat

Universitas Sumatera Utara


5

dengan mudah dan cepat dengan mengakses sistem produk pada jaringan internet.

Transaksi melalui media elektronik ini dikatakan praktis, tidak harus

berkomunikasi empat mata antara pihak penjual dan pembeli dalam suatu transaksi,

namun metode transaksi ini cenderung menimbulkan ketidakjelasan mengenai

barang yang ditawarkan, terlebih jika barang yang ditawarkan membutuhkan

pengenalan secara fisik. Barang yang nantinya dikirim oleh penjual lalu diterima

pembeli tidak dapat dipastikan apakah sesuai dengan apa yang telah dipesan.

Dalam penulisan skripsi ini mengapa membahas mengenai perbandingan

jual beli konvensional dengan jual beli melalui media elektronik, karena dalam jual

beli melalui media elektronik terdapat beberapa dampak negatif yaitu seperti

kedekatan para pihak dalam bertransaksi renggang karena masing-masing pihak

tidak mengenal dekat satu sama lain dan hal tersebut dapat menyebabkan posisi

konsumen menjadi lebih lemah daripada pelaku usaha yang bisa mengakibatkan

kekecewaan maupun kerugian karena adanya ketidakjelasan mengenai barang yang

ditawarkan, dan kepastian bahwa barang yang akan konsumen terima sesuai

dengan apa yang telah dipesan. Sedangkan apabila melakukan transaksi jual beli

secara langsung para pihak dapat mengenal satu sama lain, hubungan antara

konsumen dengan pelaku usaha dapat terjalin dengan baik, dan konsumen

mengetahui bagaimana kejelasan terhadap barang yang akan di beli tersebut.

Maka dari beberapa hal diatas terdapat peluang menimbulkan masalah,

seperti bagaimana pelaksanaan jual beli konvensional yang mana penjual dan

pembeli bertatap muka sedangkan jual beli melalui internet hanya melalui media

elektronik, bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen baik yang

Universitas Sumatera Utara


6

melakukan jual beli secara langsung maupun dengan melalui internet, dan terdapat

beberapa perbandingan antara jual beli konvensional dengan jual beli melalui

media elektronik yang perlu untuk dikaji.

Jual beli atau perdagangan melalui internet ini sangat pesat kemajuannya,

perkembangannya sendiri bukan hanya saja terdapat pada apa yang diperdagangkan

tetapi juga pada tata cara dari perdagangan itu sendiri. Dan kegunaan internet

sebagai sarana transaksi kini terus berkembang dari tahun ketahun karena manfaat

yang diterima produsen maupun konsumen sangatlah besar.Manfaat yang diterima

produsen seperti produk dapat dijual dengan mudah kepada lebih banyak orang/

menjangkau pasar lebih luas. Produsen tidak perlu banyak membuka cabang

distribusi, pengurangan biaya iklan dan tidak membuka cabang distribusi dapat

mengurangi biaya produsen sehingga harga barang dapat dijual lebih rendah.

Barang yang dijual lebih rendah akan meningkatkan daya saing produsen.

Berdasarkan kelebihan di atas tidak memungkiri pula adanya risiko yang

timbul dalam transaksi ini karena dilakukan tanpa ada pertemuan antara para

pihaknya. Mereka hanya mendasarkan transaksi jual beli ini atas rasa

kepercayaansatu sama lain karena bagaimanapun transaksi jual beli tidak lepas dari

masalah perjanjian.3

Transaksi jual beli e-commerce sama dengan jual beli konvensional yang

biasa dilakukan masyarakat. Hanya terdapat perbedaan pada media yang

digunakan.Pada transaksi e-commerce, yang dipergunakan adalah media elektronik

3
Asril Sitompul, Hukum Internet, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal.55.

Universitas Sumatera Utara


7

yaitu internet.Sehingga kesepakatan ataupun perjanjian yang tercipta adalah

melalui online.4

Jual beli melalui internet yang sering juga di sebut dengan istilah e-

commerce, jual beli ini menimbulkan dampak tersendiri terhadap perkembangan

hukum di Indonesia, termasuk pengaturan mengenai wanprestasi dalam jual beli

secara elektronik karena hal tersebut menyangkut kepastian hukum dan

kenyamanan bertransaksi melalui media elektronik. Oleh karena itu, perlu adanya

aturan yang jelas mengenai transaksi jual beli secara elektronik tersebut, dan aturan

tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (UUITE) jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Adapun perlindungan hukum

terhadap konsumen dalam transaksi elektronik, sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Dalam Undang-Undang dan Peraturan diatas mencakup segala aturan hukum dan

ketentuan-ketentuan yang mengakomodasi tentang perdagangan elektronik.

Dengan adanya pengaturan khusus yang mengatur perjanjian melalui dunia maya

ini, maka secara otomatis perjanjian-perjanjian yang dilakukan melalui internet

tunduk pada UU ITE, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan hukum perjanjian yang berlaku.

4
Edmon Makarim, Op.cit, hal.228.

Universitas Sumatera Utara


8

Para pihak yang melakukan jual beli online hanya dapat berkomunikasi

melalui media internet, mereka melakukan sebuah persetujuan tanpa bertatap muka

satu dengan yang lainnya.Pihak-pihak tersebut membuat suatu persetujuan tertentu

berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan antara kedua

belah pihak.Namun setelah para pihak melaksanakan persetujuan itu tanpa bertatap

muka, maka akan timbullah bermacam-macam persoalan. Maka dari itu tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengkaji beberapa masalah yang timbul dalam

pelaksanaan jual beli konvensional maupun secara online.

Maka dari hal-hal yang telah diuraikan diatas telah menimbulkan rasa

ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

perbandingan antara perjanjian jual beli konvensional dengan perjanjian jual beli

melalui internet, yang diangkat dalam sebuah penulisan Karya Ilmiah berbentuk

Skripsi dengan judul : “Perbandingan Jual Beli Konvensional dengan Jual Beli

Melalui Media Elektronik (Studi Kasus pada Toko Fashion House 10)”

B. Rumusan Masalah

Banyak sekali orang yang ingin berbisnis dengan caramembuka toko agar

pembeli bisa melihat dan membeli secara langsung barang yang diperdagangkan.

Selain membuka dan memiliki toko sendiri, sekarang para pebisnis juga sangat

ingin berjualan melalui internet (online). Dengan cara produk yang ingin mereka

dagangkan tersebut difoto dan disebarluaskan melalui internet. Agar barang

tersebut juga dapat dibeli oleh konsumen yang tidak bisa bertransaksi dengan cara

bertatap muka langsung.

Universitas Sumatera Utara


9

Tetapi dalam jual beli yang dimana dapat dilakukan secara langsung dengan

jual beli melalui internet memiliki sedikit perbedaan.Maka yang menjadi

permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perbandingan jual beli konvensional dengan jual beli melalui

media elektronik ?

2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen dalam hal

kerusakandan ketidaksesuaian pesanan ?

3. Bagaimana proses jual beli secara konvensional dan jual beli melalui media

elektronik pada Fashion House 10 ?

C. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan yang dilakukan seseorang, tentunya akan memiliki tujuan-

tujuan yang hendak dicapai. Demikian pula tujuan pembahasan dalam penulisan

skripsi penulis yang berjudul “Perbandingan Jual Beli Konvensional dengan Jual

Beli Melalui Media Elektronik (Studi Kasus pada Toko Fashion House 10

diMedan)” adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selain itu adapun tujuan dari penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain adalah

1. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara jual beli konvensional dan

jual beli melalui media elektronik

2. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap

konsumen dalam hal kerusakan dan ketidaksesuaian pesanan

Universitas Sumatera Utara


10

3. Untuk mengetahui bagaimana proses jual beli konvensional dan jual beli

melalui media elektronik

D. Manfaat Penelitian

Setelah menguraikan tujuan dari penulisan skripsi ini, penulis menemukan

beberapa manfaat dalam pembahasan Skripsi ini, yaitu :

1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan dalam bidang hukum umumnya,

khususnya dalam perjanjian jual beli

2. Secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

mahasiswa sebagai bahan bacaan dan merupakan informasi dalam memahami

tinjauan aspek hukum perjanjian perdata yang terkait mengenai jual beli secara

langsung maupun jual beli melalui internet

3. Menambah ilmu pengetahuan bagi masyarakat luas sebagai bahan bacaan dan

sumber informasi untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya perjanjian

jual beli secara langsung maupun perjanjian jual beli melalui internet

4. Bagi pembaca, agar penulisan skripsi ini dapat dijadikan bahan informasi bagi

pihak yang memerlukan informasi, yang dapat digunakan untuk penelitian

lanjutan yang berkaitan dengan jual beli secara langsung maupun melalui

internet.

E. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, dengan tujuan agar dapat lebih

terarah dan dapat dipertanggung jawabkan sebagai Karya Ilmiah, maka dalam

penulisannya digunakan metode penelitian hukum. Adapun metode yang

digunakan oleh penulis dalam penulisan Skripsi ini, antara lain :

Universitas Sumatera Utara


11

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini disesuaikan

dengan permasalahan yang ada.Untuk mendapatkan data yang diperlukan sesuai

dengan masalah yang diteliti, maka dalam hal ini penulis menggunakan metode

penulisan yang bila dilihat dari jenisnya, maka dapat digolongkan kedalam

penelitian normatif empiris. Penelitian normatif adalah adalah penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau

bisa juga disebut dengan penelitian hukum kepustakaan.5

Penelitian empiris merupakan penelitan berupa studi lapangan dengan

melakukan wawancara pada responden yang berkaitan dengan Fashion House 10 di

Medan. Penelitian hukum sosiologis atau empiris dilakukan dengan carameneliti

data primer yang diperoleh dilapangan selain juga meneliti data sekunder dari

perpustakaan.6

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yaitu sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari

sumbernya, dapat melalui wawancara, observasi maupun berupa opini

secara individual atau kelompok.

Data ini diperoleh melalui wawancara kepada pemilik toko Fashion

House 10 di Medan.

5
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.13.
6
Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi,
Medan, 2005, hal.23.

Universitas Sumatera Utara


12

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen

resmi dan buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian.

Data sekunder dapat terbagi menjadi :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

seperti peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

pembahasan skripsi ini.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu hasil karya para ahli hukum berupa

buku-buku dan pendapat para sarjana yang berhubungan dengan

pembahasan skripsi ini.

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum

yang merupakan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum

primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus

hukum, ensiklopedia, majalah, dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini menggunakan dua

cara, yaitu :

a. Studi kepustakaan (Library Research), yaitu metode pengumpulan data

yang digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan melalui

penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-

Universitas Sumatera Utara


13

undangan, buku-buku, literatur-literatur, dan sebagainya yang

berhubungan dengan masalah penelitian skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu metode pengumpulan data

secara langsung mengunjungi objek penelitian dan berinteraksi dengan

responden.Penelitian dilakukan di Fashion House 10 di Medan, yang

mana dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hasil pengumpulan data. Analisis data adalah

proses pengelolahan data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Adapun analisis data

yang penulis lakukan yaitu secara kualitatif yang digambarkan secara

deskriptif.Analisis deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan secara lengkap

karakteristik dari data-data yang sudah terkumpul.Rangkaian kegiatan analisis data

tersebut dimulai setelah data primer dan data sekunder telah lengkap, dan

selanjutnya dianalisis dengan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti dan kemudian dibuat kesimpulan.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran

penulis secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penelitian di

perpustakaan.Setelah melakukan penelitian di perpustakan Universitas Sumatera

Utara berdasarkan data yang diperoleh, belum ada yang melakukan penelitian

mengenai “Perbandingan Jual Beli Konvensional dengan Jual Beli Melalui Media

Elektronik (Studi Kasus pada Toko Fashion House 10 di Medan)”.

Universitas Sumatera Utara


14

Apabila terdapat pendapat atau kutipan dalam skripsi ini, semata-mata

dijadikan pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat

dibutuhkan dalam menyempurnakan skripsi ini dan apabila terdapat kesamaan

tentunya dilakukan dengan pendekatan masalah yang berbeda.Oleh karena itu dapat

dinyatakan bahwa karya ilmiah ini asli dan belum ada yang melakukan penelitian

sebelumnya.

G. Sistematika Penulisan

Penulis dalam memudahkan penyusunan dan pemahaman skripsi ini,

membuat suatu sistematika penulisan secara teratur. Sistematika penulisan tersebut

dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub-sub bab

yang disesuaikan dengan isi dari penulisan skripsi ini. Adapun sistematika

penulisan skripsi ini secara singkat, sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan kerangka yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA

Dalam bab ini membahas tentang pengertian dan dasar hukum

perjanjian jual beli, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan unsur-

unsur perjanjian, subjek dan objek dalam perjanjian jual beli, serta asas

dan jenis jual beli.

Universitas Sumatera Utara


15

BAB III : PERJANJIAN JUAL BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

Dalam bab ini membahas pengertian dan dasar hukum jual beli online,

proses terjadinya transaksi jual beli online, pihak-pihak dan

perlindungan hukum bagi para pihak jual beli online, serta hak dan

kewajiban pelaku usaha dan konsumen dalam transaksi jual beli secara

online.

BAB IV: PERBANDINGAN JUAL BELI KONVENSIONAL DENGAN

JUAL BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK PADA

FASHION HOUSE 10 DI MEDAN

Dalam bab ini membahas proses jual beli secara konvensional dan jual

beli melalui media elektronikpada fashion house 10, perbandingan

mengenai persamaan dan perbedaan jual beli konvensional dengan jual

beli melalui media elektronik, serta tanggung jawab pelaku usaha

terhadap konsumen dalam hal kerusakan dan ketidaksesuaian pesanan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan rangkuman seluruh pembahasan pada bab-bab

sebelumnya menjadi suatu kesimpulan dan sekaligus memuat saran-

saran dari penulis yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan

masyarakat maupun pemerintah serta penulis sendiri, sesuai dengan

kemampuan dan pengentahuan yang penulis miliki.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PERJANJIAN JUAL BELI DAN JUAL BELI MELALUI INTERNET

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli

1. Pengertian Perjanjian Jual Beli

Pengertian perjanjian jual beli, sebelumnya kita perlu memperhatikan

pengertian dari perjanjian. Defenisi perjanjian terdapat pada Pasal 1313

KUHPerdata yaitu :“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti perjanjian adalah sebagai berikut :

“Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.7

Hal yang diperjanjikan untuk dilakukan itu dikenal dengan istilah „prestasi‟.

Prestasi tersebut dapat berupa :

a. Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga lalu menyerahkan barang

yang telah diperjanjikan.

b. Berbuat sesuatu, ini ialah memberikan jasa, misalnya membangun rumah.

c. Tidak berbuat sesuatu, maksudnya ialah tidak melakukan perbuatan seperti apa

yang telah diperjanjikan. Misalnya tidak mendirikan suatu bangunan di dalam

komplek rumah.

Hukum perjanjian berperan untuk mengatur hubungan pihak-pihak dalam

perjanjian, akibat-akibat hukumnya, dan menetapkan bila pelaksanaan

7
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hal.1.

16
Universitas Sumatera Utara
17

perjanjiandapat dituntut secara hukum.Hukum perjanjian dikeluarkan dengan

tujuan untuk mengurangi resiko terjadinya hal yang merugikan salah satu pihak.

Untuk mengetahui pengertian perjanjian jual beli ada berbagai macam

pendapat di kalangan para ahli hukum, diantaranya :

1) Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa jual beli adalah “suatu

persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk wajib menyerahkan

suatu barang dan pihak lain wajib membayar harga yang dimufakati

mereka berdua.8

2) Abdulkadir Muhammad, perjanjian jual beli adalah perjanjian dengan

mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas

barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut

harga.9

3) R.M.Suryodiningrat, mengatakan jual beli adalah perjanjian/

persetujuan/ kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikatkan dirinya

untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda/barang kepada pihak

lainnya (pembeli), mengikatkan dirinya untuk membayar harganya

berupa uang kepada penjual.10

4) M. Yahya Harahap, mengatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujan

yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu

8
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan
Tertentu, Sumur, Bandung, 1991, hal.17.
9
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2010, hal.24.
10
R.M.Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito,
Bandung, 1978, hal.14.

Universitas Sumatera Utara


18

barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli

mengikatkan dirinya berjanji untuk membayar harga. 11

Dari beberapa pengertian jual beli diatas, maka dapat dilihat dalam jual beli

terdapat hak dan kewajiban yang dibebankan kepada para pihak.Hak dan kewajiban

tidak hanya timbul dari apa yang telah dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian.

Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat

untuk hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

undang-undang.Maka hak dan kewajiban para pihak yang timbul termasuk juga

segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian. Yang merupakan hak dan kewajiban

penjual maupun pembeli, yaitu :

1. Hak dan Kewajiban Penjual

Pasal 1513 KUHPerdata menjelaskan bahwa kewajiban utama pembeli

adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang

ditetapkan dalam persetujuan, maka dari hal tersebutlah yang merupakan

hak yang harus diterima oleh penjual.

Sedangkan kewajiban penjual terdapat dalam Pasal 1474 KUHPerdata,

yang menurut pasal tersebut, ada dua kewajiban penjual, yaitu :

1) Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada

pembeli,

2) Kewajiban penjual untuk menanggung atau menjamin (vrijwaring) atas

barang yang dijual.

11
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986

Universitas Sumatera Utara


19

Pasal 1491 KUHPerdata menegaskan bahwa penanggungan yang menjadi

kewajiban penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu :

1) Penjual menjamin penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan

tentram,

2) Penjual menjamin tidak adanya cacat yang tersembunyi pada barang

tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan

untuk pembatalan pembelian.

Selanjutnya Pasal 1492 KUHPerdata menjelaskan bahwa walaupun tidak

ada kesepakatan/janji, namun demi hukum si penjual berkewajiban untuk menjaga

barangnya sampai penyerahan kepada pembeli dan penjual dilarang menjual barang

itu kepada pihak ketiga. Kewajiban penjual terhadap tanggung jawab mengenai

barang yang diperjual belikan terdapat dalam Pasal 1497 KUHPerdata yang

menyatakan jika pada saat penyerahan barang ternyata barang rusak maka penjual

berkewajiban untuk mengembalikan uang pembeli secara utuh.

2. Hak dan Kewajiban Pembeli

Hak pembeli dalam pelaksanaan jual beli, yaitu :

1) Hak Menerima Barang

Pembeli memiliki hak untuk menerima barang pada saat bertransaksi

jual beli, sebagaimana Pasal 1481 KUHPerdata yang menyatakan :

“Barang yang bersangkutan harus diserahkan dalam keadaan seperti

pada waktu penjualan. Sejak saat penyerahan, segala hasil menjadi

kepunyaan pembeli”

Universitas Sumatera Utara


20

Pasal 1475 KUH Perdata menyatakan bahwa penyerahan adalah

pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan hak milik

si pembeli.

2) Hak Membatalkan Pembelian

a. Pasal 1480 KUH Perdata telah menegaskan bahwa pembeli dapat

menuntut pembatalan pembelian jika penyerahan barang tidak dapat

dilaksanakan karena kelalaian penjual.

b. Apabila pembeli memberikan alasan untuk menaikkan harga maka

pembeli berhak memilih untuk membatalkan pembelian atau membayar

harga barang yang telah dinaikkan sebagaimana yang terdapat dalam

Pasal 1487KUH Perdata.

c. Pasal 1502 KUH Perdatajuga menyatakan pembeli berhak untuk

menuntut pembatalan pembelian jika benda yang dibeli dibebani

dengan beban-beban lain dan tidak diberitahukan kepada pembeli

kecuali jika pembeli menerima suatu ganti rugi.

d. Apabila barang yang diterima oleh pembeli terdapat cacat yang

tersembunyi maka pembeli berhak untuk mengembalikan harga

pembelian dan meminta ganti biaya yang dikeluarkan pembeli dalam

rangka pembelian dan penyerahan sebagaimana yang tedapat dalam

Pasal 1509 KUH Perdata.

Dan yang merupakan kewajiban pembeli, yaitu :

1. Pasal 1513 KUH Perdata menjelaskan bahwa kewajiban utama si

pembeli adalah membayar pembelian, pada waktu dan di tempat

sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.

Universitas Sumatera Utara


21

2. Selanjutnya Pasal 1514 KUH Perdata menyatakan jika pada waktu

membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang itu, si pembeli harus

membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan harus

dilakukan.

Berdasarkan kewajiban para pihak diatas, maka yang menjadi unsur

pokoknya adalah mengenai barang dan harga barang yang akan dialihkan

tersebut.Oleh karena itu, pengertian jual beli pada intinya adalah tindakan

mengalihkan hak milik atas suatu barang berdasarkan adanya suatu harga yang

telah disepakati bersama.

Perjanjian jual beli telah diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.Pasal 1457 KUH Perdatamenyebutkan “jual beli adalah

suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu

barang / benda (zaak), dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri

berjanji untuk membayar harga.”

Maka berdasarkan rumusan pada pasal diatas dapat kita lihat bahwa jual beli

merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan

untuk memberikan sesuatu, yang mana terwujud dalam bentuk penyerahan

kebendaaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada

penjual.12

Perjanjian jual beli sudah lahir apabila sudah tercapainya kesepakatan

mengenai barang dan harga tersebut.Pada saat kedua pihak telah setuju dengan

12
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004, hal.7

Universitas Sumatera Utara


22

barang dan harga, maka telah terjadi perjanjian jual beli yang sah. 13Dalam Pasal

1458 KUH Perdata telah ditegaskan “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua

belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga,

meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

Maka karena kedua pihak telah mencapai kesepakatan untuk mengikatkan

diri yang satu terhadap yang lain untuk memberikan prestasi tertentu, maka

diantara kedua pihak ada perikatan, dimana pihak satu memiliki hak dan pihak

yang lainnya memiliki kewajiban.14

Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga.Tetapi

perjanjian jual beli sudah lahir apabila sudah tercapainya kesepakatan mengenai

barang dan harga tersebut.Pada saat kedua pihak telah setuju dengan barang dan

harga, maka telah terjadi perjanjian jual beli yang sah. 15

Jual beli tidak lain dari persesuaian kehendak antara penjual dan pembeli

mengenai barang dan harga. Barang dan harga hanya merupakan unsur-unsur

pokok (essentialia) dalam perjanjian jual beli, karena tanpa ada barang yang

hendak dijual, tidak mungkin terjadi jual beli, demikian juga apabila suatu barang

objek jual beli tidak dibayarkan dengan harga yang disepakati, jual beli dianggap

tidak ada.

13
R.Subekti, Aneka Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 2
14
J.Satrio, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal. 39
15
R.Subekti, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


23

2. Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli

Perihal hukum perjanjian sebagaimana yang termuat dalam Buku III KUH

Perdata yang berjudul tentang perikatan, yang keseluruhannya terdiri atas delapan

belas Bab. Yang mana Bab I sampai dengan Bab IV mengatur tentang :

Bab I :Tentang perikatan pada umumnya

Bab II : Tentang perikatan yang lahir dari perjanjian

Bab III : Tentang perikatan

Bab IV : Tentang hapusnya perikatan

Sedangkan Bab V sampai dengan Bab XVII mengatur tentang perjanjian-

perjanjian khusus yang merupakan jenis-jenis perjanjian yang lazim disebut dengan

perjanjian bernama.Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perbuatan yang dimaksud dalam Pasal

tersebut dapat diartikan sebagai perbuatan hukum yang bertujuan untuk

menimbulkan suatu akibat hukum bagi pihak-pihak yang saling mengikatkan

dirinya dalam suatu perjanjian, yang mana perbuatan tersebut harus memenuhi

syarat sahnya perjanjian.

Perjanjian jual beli diatur dalampasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya

undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan

secara khusus terhadap perjanjian ini.Pasal 1457 KUH Perdata telah menegaskan

bahwa jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk

membayar harga yang telah diperjanjikan. Yang menjadi syarat terjadinya

Universitas Sumatera Utara


24

perjanjian jual beli terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat ini ialah

merupakan dasar hukum dari perjanjian jual beli.Pasal tersebut menetapkan bahwa

setiap perjanjian harus mencakup hal-hal seperti sepakat mereka yang mengikatkan

diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab

(causa) yang halal.

Untuk mengetahui kapan terjadinya jual beli dapat dilihat dalam Pasal 1458

KUH Perdata yang menyatakan jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah

pihak apabila telah mencapai kesepakatan tentang barang dan harga, meskipun

barang tersebut belum diserahkan dan harga belum dibayar.Pasal inilah yang

merupakan asas konsensual, yaitu karena jual beli itu dilahirkan sebagai suatu

perjanjian, jual beli yang sah yang mengikat pihak-pihak dan mempunyai kekuatan

hukum pada saat tercapainya kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai

unsur pokok dari perjanjian jual beli yaitu barang dan harga.

B. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian dan Unsur-unsur Perjanjian

1. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Perjanjian berisi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan pada syarat-syarat itu

perjanjian dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh pihak-pihak karena dari syarat-

syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak dan cara

melaksanakannya.

Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan empat syarat yang harus ada

pada setiap perjanjian, yang dimana apabila dengan dipenuhinya syarat-syarat ini

suatu perjanjian itu berlaku sah. Syarat yang terdapat pada pasal tersebut adalah :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;

Universitas Sumatera Utara


25

Maksudnya ialah pihak yang mengadakan perjanjian telah sepakat

mengenai hal-hal pokok atau materi yang telah diperjanjikan.Suatu

kesepakatan dalam hal ini ialah persesuaian kehendak yang mana telah

terjadi karena bertemunya antara penawaran dan penerimaan.Awal

terjadinya perjanjian karena adanya kesepakatan, maka dari itu perlu untuk

mengetahui bagaimana kesepakatan dapat dilakukan. Kesepakatan ini

dapat dilakukan dengan cara tertulis maupun tidak tertulis. 16

Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan :

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis


b. Bahasa yang sempurna secara lisan
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak
lawannya.
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan17

Pasal 1321 KUH Perdatamenegaskan kesepakatan dianggap tidak sah

karena beberapa hal, yaitu apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian ;

Kecakapan dalam hal ini ialah kewenangan untuk melakukan perbuatan

hukum (perjanjian).Pada dasarnya setiap orang adalah cakap menurut

hukum apabila sudah dewasa dan sehat pikirannya.Ketentuan mengenai

kecakapan seseorang diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331

KUH Perdata.

16
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, 2016,
hal.68
17
Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, 2003, hal.49

Universitas Sumatera Utara


26

Pasal 1330 KUH Perdataditegaskan bahwa yang tidak cakap untuk

melakukan perjanjian adalah :

1. Orang yang belum dewasa

Menurut Pasal 330 KUH Perdata orang yang belum dewasa adalah

yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum kawin

sebelumnya.

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

Dalam hal ini yang ditaruh di bawah pengampuan adalah orang

yang gila, kalap mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang

boros.18

3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh

undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian-perjanjian

tertentu.

Namun perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-

undang pada saat ini tidak diberlakukan lagi, sehingga perempuan

yang telah menikah pun juga dianggap cakap menurut hukum untuk

membuat perjanjian.Dan untuk orang-orang yang dilarang membuat

perjanjian sebenarnya bukan tergolong orang yang tidak cakap,

melainkan orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan

hukum.

3) Suatu hal tertentu ;

18
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


27

Suatu hal tertentu ini merupakan pokok perjanjian, maksud dalam hal ini

mengacu pada objek yang diperjanjikan.Mengenai objek perjanjian

terdapat pada Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata.Objek

yang diperjanjikan harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan sehingga

hak dan kewajiban para pihak dapat ditetapkan.Dengan demikian

perjanjian yang objeknya tidak jelas dan tidak dapat ditentukan maka

dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah.

4) Suatu sebab yang halal ;

Suatu sebab yang halal menyangkut objek dari perjanjian, maksud dari

sebab yang halal adalah objek yang diperjanjikan bukanlah hal yang

terlarang melainkan diperbolehkan oleh hukum, perjanjian tersebut tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan

ketertiban umum.19

Apabila perjanjian bercausa tidak halal maka berakibat perjanjian

tersebut batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

Maka apabila ingin membuat perjanjian yang sah harus memenuhi keempat

syarat pokok diatas.Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena

berkaitan dengan para pihak yang melakukan perjanjian.Apabila syarat pertama

dan kedua tidak dapat terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta agar dibatalkan

oleh salah satu pihak.Sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif

karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perjanjian yang dilakukan,

bila syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi atau secara hukum

sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian.


19
https://www.legalakses.com/perjanjian/ diakses pada tanggal 7 Januari 2018

Universitas Sumatera Utara


28

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat tersebut

mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam batal, baik

dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap syarat subjektif)

maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat objektif).20

2. Unsur-Unsur Perjanjian

Syarat perjanjian telah diuraikan di atas dan apabila diamati maka dapat

dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung didalamnya, unsur-unsur yang

mendukung terjadinya suatu perjanjian tersebut. Dalam dataran teori, unsur-unsur

itu dapat dikelompok menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

a. Unsur Esensialia

Unsur yang mutlak dalam suatu perjanjian, dan merupakan unsur yang

harus ada berisi hal pokok sebagai syarat dari perjanjian tersebut agar

perjanjian itu sah dan ini merupakan syarat sahnya perjanjian.Tidak

terpenuhinya unsur ini maka perjanjian menjadi tidak sah dan tidak

mengikat para pihak.

b. Unsur Naturalia

Unsur Naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu

unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara

diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian.Misalnya

dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti akan

terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung

kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

20
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal.93

Universitas Sumatera Utara


29

c. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang

merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur oleh para pihak sesuai

dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang

ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.

C. Subjek dan Objek dalam Perjanjian Jual Beli

1. Subjek Perjanjian Jual Beli

Perjanjian jual beli ialah merupakan perbuatan hukum.Subjek dari

perbuatan hukum adalah subjek hukum.Subjek hukum terdiri dari manusia dan

badan hukum.Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa subjek hukum adalah

orang, yaitu pendukung hak dan kewajiban.Orang dalam pengertian hukum

dapatterdiri dari manusia pribadi dan badan hukum.Manusia pribadi adalah subjek

hukum dalam arti biologis sebagai makhluk sosial. 21

Adapun alasan manusia sebagai subjek hukum, yaitu:

1. Manusia mempunyai hak-hak subjektif;

2. Kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk

menjadi subjek hukum.22

Pada dasarnya manusia sebagai subjek hukum berlaku sejak ia lahir dan

berakhir dengan kematian. Pengecualian diadakan oleh Pasal 2 KUH Perdata, yaitu

sebagai berikut :

21
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (cetakan ke-1), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.26
22
Danang Sunyoto dan Wika Harisa Putri, Hukum Bisnis, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2016, hal.27

Universitas Sumatera Utara


30

1. Anak yang dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak

menghendaki.

2. Apabila anak meninggal pada saat dilahirkan atau sebelumnya maka

dianggap tidak pernah ada.

Setiap manusia memiliki kewenangan dan kecakapan untuk melakukan

perbuatan hukum, namun tidak semua manusia mempunyai hal tersebut, orang

yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (berumur

21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan

perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah

pengampuan, dan seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata).

Selain manusia badan hukum juga termasuk subjek hukum. Badan hukum

sebagai subjek hukum timbul karena kebutuhan pergaulan hidup yang

membutuhkan subyek hukum lain selain manusia. Manusia yang mempunyai

kepentingan yang sama akan berkumpul membentuk organisasi/ perkumpulan.23

Badan hukum adalah subjek hukum ciptaan manusia berdasarkan hukum,

yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia sebagai subjek hukum.Badan

hukum dapat menjalankan perbuatan hukum layaknya manusia, dapat melakukan

perbuatan hukum seperti mengadakan perjanjian, melakukan jual beli, dan

sebagainya.

Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat

menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu pihak pertama disebut sebagai

penjual dan pihak kedua disebut pembeli, karena dalam istilah jual beli menyatakan

23
http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=48693 diakses pada tanggal 5 Februari
2018

Universitas Sumatera Utara


31

bahwa terdapat dua pihak yang saling membutuhkan sesuatu melalui proses tawar

menawar, yang mana pihak tersebut disebut penjual dan pembeli.

2.Objek Perjanjian Jual Beli

Objek hukum adalah sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat

menjadi objek dalam suatu hubungan hukum.Segala sesuatu yang dapat menjadi

“objek hukum” disebut “benda” dalam pengertian yuridis.Benda yang menjadi

objek jual beli adalah benda tertentu atau dapat ditentukan, baik bentuk (wujud),

jenis, jumlah, maupun harganya dan benda tersebut memang benda yang tidak

dilarang menurut hukum yang berlaku untuk diperjual belikan. Adapun yang tidak

diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah :

a. Benda atau barang orang lain;

b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang;

c. Bertentangan dengan ketertiban, dan kesusilaan yang baik.24

Apabila hal tersebut diatas tetap diperjual belikan maka jual beli tersebut

batal demi hukum. Kepada penjual akan dituntut penggantian biaya, kerugian, dan

bunga.

Pasal 1457 KUH Perdata memakai istilah barang (zaak) untuk menentukan

apa yang dapat menjadi objek jual beli. Pasal 499 KUH Perdata menyatakan bahwa

yang menurut Undang-undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat

menjadi objek dari hak milik.Dari hal tersebut berarti bahwa yang dapat diperjual

belikan tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu

barang yang bukan hak milik.Mengenai yang berkaitan dengan objek perjanjian

terdapat dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata. Objek
24
Salim H.S.,Op.cit, hal. 51

Universitas Sumatera Utara


32

perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334

KUH Perdataadalah :.

1. Objek yang akan ada, asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung

2. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk

kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).25

D. Asas-asas dan Jenis-Jenis Perjanjian

1. Asas-asas Perjanjian

Asas-asas hukum dalam perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo adalah

pikiran dasar yang umum sifatnya dan merupakan latar belakang dari peraturan

hukum yang konkrit, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan

mencari sifat-sifat dalam peraturan konkrit tersebut.26

1. Asas kebebasan berkontrak atau sistem terbuka

Dikatakan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya

hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas luasnya kepada

masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisikan apa saja, sepanjang

tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum.

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya”. Kebebasan berkontrak adalah salah satu

25
Marian Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Alumni, Bandung, 2006, hal.104.
26
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1991, hal.97.

Universitas Sumatera Utara


33

asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian.Kebebasan ini adalah

perwujudan dari kehendak bebas, gambaran hak asasi.

Dalam asas ini para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan

mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan. Kebebasan

berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara

bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, yang

diantaranya :

1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak,

2. Bebas menentukan dengan siapa ia melakukan perjanjian,

3. Bebas menentukan isi klausul perjanjian,

4. Bebas menentukan bentuk perjanjian,

5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Dalam hal kebebebasan para pihak dalam membuat perjanjian perlu

memperhatikan hal-hal seperti, memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, untuk

mencapai tujuan para pihak, perjanjian harus memiliki suatu hal tertentu yang tidak

bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan ketertiban umum, serta

harus dilakukan dengan itikad baik.

2. Asas konsensualisme

Asas konsensualisme diartikan bahwa lahirnya perjanjian ialah pada

saat terjadinya kesepakatan.Dengan demikian, apabila tercapai

kesepakatan antara para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian

itu belum dilaksanakan pada saat itu juga, karena suatu perjanjian

merupakan persetujuan, berarti dua belah pihak sudah setuju mengenai

Universitas Sumatera Utara


34

sesuatu hal.Asas ini dapat ditemukan melalui Pasal 1320 ayat (1) KUH

Perdata.Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya

kesepakatan kedua belah pihak.Dengan adanya kesepakatan oleh para

pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga

disebut bahwa perjanjian tersebut telah bersifat obligatoir yakni

melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian

tersebut.Asas ini menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara

dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan

kewajiban bagi pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut.Pada

prinsipnya perjanjian ini mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi

para pihak yang berjanji.

3. Asas Mengikatnya Suatu Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Asas pacta sunt servanda atau disebut sebagai asas pengikatnya suatu

perjanjian, yang berarti para pihak yang membuat perjanjian terikat

pada kesepakatan dalam perjanjian yang telah mereka perbuat. Asas ini

terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata

yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-

perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua

belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-

undang”.

Dari Pasal diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian mengikat para

pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik

kembali tanpa persetujuan dari pihak lainnya. Maka dari itu para pihak

Universitas Sumatera Utara


35

harus menaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Pelanggaran

terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan pihak lain

dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lain.

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik menurut Subekti merupakan salah satu sendi terpenting

dalam hukum perjanjian dan berpendapat bahwa perjanjian dengan

itikad baik adalah melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan

norma-norma kepatutan dan kesusilaan.27

Asas ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang

berbunyi “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.Asas ini

merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian

yang artinya bahwa setiap orang yang membuat suatu perjanjian jual

beli harus dilakukan dengan itikad baik.Asas itikad baik ini dapat

dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif.

Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai

kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu

apa yang terletak pada sikap bathin seseorang pada saat diadakan suatu

perbuatan hukum. Sedangkan Itikad baik dalam pengertian yang

obyektif adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan

pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu

masyarakat.

5. Asas Kepribadian (Personalitas)

27
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1996., hal.41

Universitas Sumatera Utara


36

Asas ini sering disebut juga dengan asas kepribadian, yang artinya asas

ini yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau

membuat suatu perjanjian adalah hanya untuk kepentingan

perseorangan. Asas ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340

KUH Perdata.Pasal 1315 menegaskan pada umumnya seseorang tidak

dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya

sendiri.Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu

perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.Dan

Pasal 1340 KUH Perdata menegaskan perjanjian hanya berlaku antara

pihak yang membuatnya.Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian

yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang

membuatnya.

Namun terdapat pengecualian sebagaimana yang terdapat pada Pasal

1317 dan Pasal 1318 KUH Perdata. Pasal 1317 KUH Perdata yang

menyatakan :

“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila

suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian

kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mengadakan

perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat

yang ditentukan.Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak

hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk

kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak

daripadanya.

Universitas Sumatera Utara


37

Dari pasal-pasal diatas dapat disimpulkan bahwa pada Pasal 1317 KUH

Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan

Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.

2. Jenis-Jenis Perjanjian

Banyak pakar hukum yang memberikan pembagian jenis perjanjian secara

berbeda-beda. Namun jenis-jenis perjanjian yang dikenal secara umum sebagai

berikut:

1. Perjanjian Timbal Balik

Jenis perjanjian ini diartikan sebagai perjanjian yang dibuat dengan

meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat

perjanjian.Jadi, hak dan kewajiban berada di kedua pihak.

2. Perjanjian Sepihak

Suatu perjanjian yang mana meletakkan/membebani hak maupun

kewajiban hanya ada pada salah satu pihak saja.

3. Perjanjian dengan Percuma dan dengan Alas Hak Membebani

Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya

memberi keuntungan pada satu pihak, misalnya perjanjian pinjam

pakai.Sedangkan perjanjian atas beban atau alas hak yang membebani,

adalah suatu perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang

satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua

prestasi ini ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat

berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif

(imbalan). Misalnya adalah kesanggupan memberikan sejumlah uang jika

pihak lain sudah menyerahkan suatu barang.

Universitas Sumatera Utara


38

4. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama (nominnat) adalah perjanjian yang mempunyai nama

sendiri, maksudnya bahwa perjanjian itu memang ada diatur dan diberi

nama oleh undang-undang. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, perjanjian

pertanggungan, tukar-menukar dan lain-lain.Sedangkan perjanjian tidak

bernama (innominat) adalah merupakan suatu perjanjian yang munculnya

berdasarkan praktek sehari-hari. Contohnya perjanjian jual beli melalui

media elektronik, bentuk perjanjian ini pada dasarnya sama dengan jual

beli pada umumnya akan tetapi berbeda pada proses dan media yang

digunakan.

5. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik

dalam perjanjian jual beli.Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan

perjanjian obligatoir.Perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang

menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian timbullah hak

dan kewajiban pihak-pihak. Perjanjian obligatoir merupakan perjanjian

yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang

membuat perjanjian tersebut. Yaitu bahwa sejak adanya perjanjian,

timbullah hak dan kewajiban mengadakan sesuatu.

6. Perjanjian Konsensuil, Riil, dan Formil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah

terjadi kesepakatan dari kedua belah pihak.Contohnya jual beli dan sewa

menyewa.Sedangkan Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan

kata sepakat disertai dengan penyerahan barang. Dan perjanjian formil

Universitas Sumatera Utara


39

adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga dibutuhkan

formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-

undang. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual

beli harus dibuat dengan akta PPAT. 28

Masih banyak lagi jenis-jenis perjanjian dari sudut pandang ahli hukum

yang mengklasifikasikannya tergantung dari sumbernya, akibatnya, sifatnya,

maupun isinya.Namun menurut Salim H.S, jenis atau pembagian yang paling asasi

adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu perjanjian nominaat dan

innominaat.Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian-perjanjian jenis

lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan

kewajiban.29

28
Danang Sunyoto dan Wika Harisa Putri,Op.cit., hal.83.
29
Salim H.S., Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.27.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PERJANJIAN JUAL BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli Online

1. Pengertian Jual Beli Online

Jual beli online adalah aktifitas jual beli berupa transaksi penawaran

barang oleh penjual dan permintaan barang oleh pembeli secara online dengan

memanfaatkan teknologi internet.Jual beli online ini juga biasa disebut dengan

perdagangan elektronik (e-commerce).Secara singkat e-commerce dapat dipahami

sebagai jenis transaksi perdagangan baik barang maupun jasa lewat media

elektronik dalam hal ini yaitu melalui internet. Dengan kata lain, para pihak yang

melakukan kegiatan perdagangan hanya berhubungan melalui media internet.

Menurut Pasal 1 angka (2) UU ITE berbunyi “Transaksi elektronik adalah

perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan

computer, dan/ atau media elektronik lainnya”. Dan dalam Pasal 1Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga memberikan pengertian

mengenai perdagangan melalui sistem elektronik adalah perdagangan yang

transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.

Suatu transaksi online juga merupakan suatu perjanjian jual beli yang

sama halnya dengan jual beli konvensional pada umumnya. Dalam transaksi

online juga mengandung suatu asas konsensualisme, yang berarti suatu

kesepakatan dari kedua belah pihak.Transaksi e-commerce juga mengacu kepada

syarat sahnya suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata,

karena syarat ini ialah merupakan dasar hukum dari perjanjian jual beli.

40
Universitas Sumatera Utara
41

Transaksi e-commerce tidak ada proses tawar menawar seperti pada

transaksi jual beli di toko secara langsung. Barang dan harga yang ditawarkan

terbatas dan telah ditentukan oleh penjual, jika pembeli tidak setuju atau tidak

sepakat maka pembeli bebas untuk tidak meneruskan transaksinya.Kesepakatan

dihasilkan dalam transaksi e-commerce jika pembeli menyepakati barang dan

harga yang ditawarkan oleh penjual (merchant).30

2. Dasar Hukum Jual Beli Online

Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUH

Perdata, sedangkan E-Commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-

beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai

media transaksi.Jika pengaturan e-commerce dilakukan dengan menerapkan KUH

Perdata secara analogimaka terhadap electronic commerceini akan diterapkan

ketentuan-ketentuan dari KUH Perdata Buku III (tiga) tentang Perikatan dan

KUHDagang dalam kaitan itu maka secara garis besar dikemukakan beberapa

ketentuan yang terpenting di dalam hukum perjanjian. Analogi yang dimaksud

adalah mencari persamaan di dalam sebuah perjanjian yang baru dengan arti

perjanjian yang terdapat di dalam KUH Perdata, jadi yang terpenting adalah jika

lahir sebuah perjanjian baru maka haruslah terbit Undang-Undang baru yang lebih

sesuai dengan bentuk perjanjian baru tersebut.Dengan demikian selama tidak

diperjanjikan lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-

beli yang diatur dalam Buku III KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum

aktifitas e-commerce di Indonesia.

30
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, hal.234.

Universitas Sumatera Utara


42

Peraturan tentang e-commerce di Indonesia diatur dalam beberapa

perangkat hukum yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jo Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2014 tentang Perdagangan, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP STE), dan apabila terjadi

salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen pengaturannya dapat kita lihat

dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar pengaturan di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah resmi berubah menjadi

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 1 angka (2) UU ITE berbunyi “Transaksi elektronik adalah

perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan

computer, dan/ atau media elektronik lainnya”.Dan dalam Pasal 17 ayat (1) UU

ITE yang berbunyi “Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam

lingkup publik ataupun privat”. Dalam penjelasan Pasal 17 ayat (1) dijelaskan

bahwa Undang-Undang ITE memberikan peluang terhadap pemanfaatan

Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau

Universitas Sumatera Utara


43

masyarakat untuk melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi

informasi tersebut. Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagai

mana yang dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) wajib beritikad baik dalam

melakukan interaksi pertukaran Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik

selama transaksi berlangsung.

Ruang lingkup keberlakuan UU ITE ini, diatur dalam Pasal 2, yang mana

undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum

Indonesia, maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum

di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan

kepentingan Indonesia.

B. Proses Terjadinya Transaksi Jual Beli Online

Transaksi jual beli e-commerce juga merupakan suatu perjanjian jual beli

sama dengan jual beli konvensional yang biasa dilakukan masyarakat.

Perbedaannya hanya terletak pada media yang digunakan.Pada transaksi e-

commerce, yang dipergunakan adalah media elektronik yaitu internet.Sehingga

kesepakatan ataupun perjanjian yang tercipta adalah melalui online.Seperti yang

terdapat pada Pasal 1 angka (17) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi elektronik, kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat

melalui sistem elektronik.

E-commerce memiliki banyak tipe dan variasi, yang manamenurut

Santiago Cavanillas dan A.Martines Nadal, yaitu sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


44

1. Kontrak melalui chatting dan video conference.


Chatting adalah alat komunikasi yang disediakan oleh internet yang biasa
digunakan untuk dialog interaktif secara langsung. Sedangkan video
conference adalah alat untuk berbicara dengan beberapa pihak dengan
melihat gambar dan mendengar suara secara langsung pihak yang dihubungi
dengan alat ini.
2. Kontrak melalui e-mail.
Kontrak melalui email adalah salah satu kontrak online yang sangat populer
karena pengguna e-mail saat ini sangat mendunia. Untuk memperoleh alamat
e-mail, dapat dilakukan dengan cara mendaftarkan diri sebagai subscriber
pada server atau ISP (internet service provider) tertentu. Kontrak berupa e-
mail dapat berupa penawaran yang dikirim kepada seseorang atau banyak
orang yang tergabung dalam sebuah mailing list (daftar kirim), serta
penerimaan dan pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan
melalui e-mail.
3. Kontrak melalui web atau situs.
Kontrak melalui web dapat dilakukan dengan cara situs web seorang supplier
(baik yang berlokasi di server supplier maupun diletakkan pada server pihak
ketiga) memiliki deskripsi produk atau jasa dan satu seri halaman yang
bersifat self contraction, yaitu dapat digunakan untuk membuat kontrak
sendiri, yang memungkinkan pengunjung web untuk memesan produk atau
jasa tersebut.31

Dalam Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012,

menyatakan bahwa, “Kontrak elektronik dianggap sah apabila :

a. Terdapat kesepakatan para pihak;


b. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau berwenang mewakili sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Terdapat hal tertentu; dan
d. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.”32

Dari beberapa variasi mengenai e-commerce diatas memunculkan

pertanyaan bagaimana proses dan pelaksanaan transaksi jual beli secara

elektronik. Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara e-commerce tidak jauh

berbeda dengan proses transaksi jual beli secara konvensional.

Proses terjadinya jual beli online dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
31
Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2010,
hal.64
32
Pasal 47 PP No.82 Tahun 2012

Universitas Sumatera Utara


45

1. Penawaran, yang dilakukan oleh pihak penjual (merchant) yang


memanfaatkan website untuk memasarkan barang atau jasa yang
ditawarkannya, kecuali apabila penawaran yang dilakukan melalui e-mail
yang merupakan penawaran khusus kepada pemegang e-mail yang dituju.
Pihak penjual menyediakan semacam etalase yang memuat katalog tentang
barang atau jasa yang ditawarkan, termasuk tentang harga dan spesifikasi
barang yang ditawarkan.
2. Penerimaan, jika pembeli setuju untuk membeli barang-barang yang
ditawarkan oleh penjual, pembeli menyatakan persetujuannya melalui
website, e-mail, atau electronic data interchange, tergantung pada
sybersystem tersebut.
3. Pembayaran, pembayaran akan lakukan apabila para pihak telah setuju
dengan jual beli tersebut.33

Dan klasifikasi mengenai mekanisme pembayaran dapat dibagi menjadi lima

mekanisme utama, yaitu :

1. Transaksi model ATM, transaksi ini hanya melibatkan institusi finansial dan
pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit
uangnya dari account masing-masing.
2. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, transaksi dilakukan langsung antara
dua pihak tanpa perantara.
3. Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya proses pembayaran
yang menyangkut debit, kredit maupun cek masuk dalam kategori ini. Ada
beberapa metode pembayaran yang dapat digunakan, yaitu :
a. sistem pembayaran kartu kredit online
b.sistem pembayaran check online
4. Pengiriman, dengan selesainya pembayaran, maka barang yang telah dibeli
akan diantarkan oleh penjual, baik diantar sendiri ataupun melalui jasa pihak
ketiga, dan biaya pengiriman ini biasanya sudah diperhitungkan dalam
komponen harga sehingga pihak pembeli tidak perlu lagi untuk mengeluarkan
uang untuk pengiriman barang tersebut.34

C. Pihak-Pihak dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Jual Beli Online

1. Pihak-pihak dalam Jual Beli Online

Adanya suatu perjanjian adalah karena adanya para pihak yang sepakat

untuk mengikatkan dirinya untuk melakukan perbuatan hukum.Para pihak

33
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2007, hal.144
34
Onno W.Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenal E-commerce, PT Elex
Media Komputindo, Jakarta, 2001, hal.92

Universitas Sumatera Utara


46

masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus di penuhi dalam suatu

perjanjian.

Pada transaksi jual-beli secara elektronik, para pihak yang terkait di

dalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk

perjanjian atau kontrak yang dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan

Pasal 1 angka 17 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

disebut sebagai Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat

melalui Sistem Elektronik. Pada transaksi jual-beli secara elektronik, sama halnya

dengan transaksi jual-beli biasa yang dilakukan di dunia nyata, dilakukan oleh

para pihak yang terkait, walaupun dalam jual-beli secara elektronik ini pihak-

pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan

melalui internet.

Dalam transaksi jual-beli secara elektronik, pihak-pihak yang terkait antara lain :

1. Penjual atau merchant atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk


melalui internet sebagai pelaku usaha;
2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-
undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan
berkeinginan untuk melakukan transaksi jual-beli produk yang ditawarkan
oleh penjual pelaku usaha atau merchant;
3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada
penjual atau pelaku usaha, karena pada transaksi jual-beli secara elektronik,
penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada
lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara
dalam hal ini Bank;
4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet. Provider merupakan
pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik.35

35
Edmon Makarim, Op.cit.,hal. 314

Universitas Sumatera Utara


47

2. Perlindungan Hukum bagi Para Pihak Jual Beli Online

Para pihak dalam jual beli online yaitupenjual (pelaku usaha) dan pembeli

(konsumen) memiliki perlindungan hukum.Perlindungan hukum bagi para pihak

pada intinya sama, yaitu adanya peran pemerintah untuk melindungi kepentingan

produsen dan konsumen dalam kerangka perdagangan. Namun pengaturan

mengenai perlindungan terhadap konsumen lebih banyak diatur dibandingkan

dengan pelaku usaha, hal ini beralasan karena mengingat bahwa lemahnya tingkat

kesadaran konsumen akan haknya karena tidak memiliki pengetahuan akan hal

tersebut. Perlindungan hukum bagi para pihak pada intinya sama, yaitu adanya

peran pemerintah untuk melindungi kepentingan penjual dan pembeli dalam

kerangka perdagangan.

Perlindungan terhadap pelaku usaha/penjual dalam hal ini didasari pada

hak-hak pelaku usaha dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan apa yang menjadi hak-hak dari

pelaku usaha, yaitu hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan jasa yang diperdagangkan, hak untuk

mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak

baik, hak untuk membela diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa konsumen,

hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

yang konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan, dan

hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan perlindungan terhadap konsumen telah memiliki landasan

hukum mengenai perlindungan konsumen yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Universitas Sumatera Utara


48

1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan

konsumen itu sendiri.36

Tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 3

adalah:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk


melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.37

36
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal.9
37
Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


49

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen Dalam Transaksi Jual

Beli secara Online

1. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha terdapat dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

“ Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak pelaku usaha,

dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyebutkan bahwa hak pelaku usaha adalah :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai


kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.38
Dan mengenai kewajiban pelaku usaha terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, menyebutkan kewajiban

pelaku usaha, yaitu :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;

38
Pasal 6 Undang-Undang No.8 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


50

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.39

Adapun Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang terdapat dalam Pasal 49

menyebutkan beberapa kewajiban usaha, yaitu :

1. Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib


menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan;
2. Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran
kontrak atau iklan;
3. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk
mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian
atau terdapat cacat tersembunyi;
4. Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah
dikirim;
5. Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban
membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.40
Mengenai kewajiban mengenai pelaku usaha diatas dapat disimpulkan yang

merupakan konsep tanggung jawab pelaku usaha, yaitu :

1. Tanggung jawab atas informasi

2. Tanggung jawab mengenai produk/barang yang ditawarkan

3. Tanggung jawab atas keamanan.

39
Pasal 7 Undang-Undang No.8 Tahun 1999
40
Pasal 49 PP No.82 Tahun 2012

Universitas Sumatera Utara


51

Tanggung jawab dalam hukum perdata berupa tanggung jawab akibat

perbuatan melanggar hukum dan tanggung jawab akibat perbuatan ingkar janji

(wanprestasi).Maka segala kesalahan atau kelalaian penjual yang dapat

menimbulkan kerugian kepada pembeli, haruslah bertanggung jawab atas

kerugian yang ditimbulkannya.Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar

hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa tiap

perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut.

Sedangkan tanggung jawab akibat perbuatan wanprestasi sendiri

merupakan tanggung jawab berdasarkan perjanjian itu dibuat.Wanprestasi adalah

tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam

perjanjian.Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :

1. Kesengajaan;

2. Kesalahan;

3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).41

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 1 angka 2 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyatakan “konsumen adalah setiap orang pemakai

barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”.

41
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal.88.

Universitas Sumatera Utara


52

Pengaturan mengenai hak-hak konsumen terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa

hak konsumen adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi


barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.42

Dan kewajiban konsumen terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa

kewajiban konsumen adalah :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau


pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.43

Mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen telah diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.Tetapi Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini hanya mengatur


42
Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999
43
Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara


53

hak dan kewajiban konsumen yang masih terbatas pada perdagangan yang

dilakukan secara konvensional. Sedangkan mengenai hak dan kewajiban

konsumen dalam transaksi online belum secara tegas diatur dalam undang-

undang, namun untuk saat ini hak-hak serta kewajiban pelaku usaha dan

konsumen mengacu ke Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini, meskipun di

dalam Undang-undang ini tidak mengatur secara khusus mengenai hak dan

kewajiban pelaku usaha dan konsumen yang bertransaksi melalui media

elektronik (online).

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PERBANDINGAN JUAL BELI KONVENSIONAL DENGAN JUAL

BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

(STUDI KASUS PADA FASHION HOUSE 10 DI MEDAN)

A. Proses Jual Beli secara Konvensional dan Online pada Fashion House 10

1. Proses Jual Beli secara Konvensinal pada Fashion House 10

Fashion House 10 merupakan toko yang menawarkan barang-barang

seperti baju, celana, sepatu, dan tas. Toko ini sudah berdiri sejak tahun 2013.

Toko ini memperjualbelikan barang-barang yang langsung mereka import dari

Thailand. Penelitian ini akan membahas tentang bagaimana proses pelaksanaan

jual beli secara konvensional maupun jual beli melalui media elektronik (online)

barang-barang yang ditawarkan oleh Fashion House 10.

Proses terjadinya jual beli yang secara umum dilakukan atau yang disebut

jual beli secara konvensional, dimana pembeli dapat datang langsung untuk

melihat, memilih dan membeli barang atau jasa yang mereka butuhkan.

Pembayaran juga dapat dilakukan pada saat itu juga tanpa melalui perantara.

Proses terjadinya jual beli secara konvensional pada Fashion House 10, yaitu

:Pembeli mengunjungi Fashion House 10dan melihat barang apa saja yang

ditawarkan, pembeli melihat dan memilih barang yang dibutuhkan/ diinginkan.

Setelah memilih barang yang dibutuhkan, biasanya pembeli dapat mencoba

barang tersebut terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam Pasal 1463 KUH

Perdata menyatakan “Jual-beli yang dilakukan dengan percobaan, atau mengenai

barang-barang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat

54
Universitas Sumatera Utara
55

dengan suatu syarat tangguh”. Setelah mencoba barang yang ditawarkan dan

berkeinginan membeli barang tersebut, maka terjadilah proses pembayaran

terhadap barang.

Salah satu syarat terjadinya jual beli karena ada nya kesepakatan para

pihak, seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Sepakat yang di

maksud adalah apa yang di kehendaki oleh penjual sama dengan apa yang di

kehendaki oleh pembeli, maksudnya setuju atau kata lain yang memiliki maksud

sama, tentang benda dan harga. Begitu pula pembeli yang hendak melakukan

pembayaran pada Fashion House 10 berarti telah sepakat dengan harga yang telah

tercantum di label harga barang yang hendak mereka beli, karena didalam

ketentuan Fashion House 10 tidak diberlakukan tawar menawar mengenai harga.44

Terdapat tiga sistem pembayaran yang ditawarkan oleh Fashion House 10, yaitu :

1. Pembayaran tunai, pembayaran ini dilakukan pada saat terjadinya transaksi

jual beli.

2. Pembayaran dengan kartu debit. Kartu debit adalah sebuah kartu pembayaran

secara elektronik yang diterbitkan oleh Bank. Kartu ini dapat berfungsi

sebagai pengganti pembayaran dengan uang tunai.45

3. Pembayaran dengan kartu kredit. Kartu kredit adalah sebuah alat pembayaran

pengganti uang tunai dalam bentuk kartu yang diterbitkan oleh bank untuk

memudahkan para nasabahnya bertransaksi. Berbeda dengan kartu debit,

44
Hasil wawancara terhadap Aziza Hasanah selaku pemilik Fashion House 10
45
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kartu_debit diakses pada tanggal 26 Februari
2018

Universitas Sumatera Utara


56

dalam kartu kredit bank seperti meminjamkan konsumen uang dan bukan

mengambil uang dari rekening.46

Setelah melakukan transaksi jual beli, terdapat kewajiban yang harus dipenuhi

oleh para pihak, seperti yang terdapat dalam Pasal 1457 KUH Perdata,

persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu :

1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada

penjual.

2.Proses Jual Beli melalui Internet (online) pada Fashion House 10

Suatu transaksi e-commerce juga merupakan suatu perjanjian jual beli

yang sama dengan jual beli konvensional pada umumnya. Di dalam suatu

transaksi e-commercejuga mengandung suatu asas konsensualisme, yang berarti

kesepakatan dari kedua belah pihak.Perbedaannya hanyalah pada media yang

dipergunakan, pada transaksi e-commerce media yang digunakan adalah internet.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, menyatakan bahwa “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum

yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau

media elektronik lainnya”. Fashion House 10 juga merupakan pelaku usaha yang

melakukan penawaran barang yang diperjual belikan melalui media elektronik

(online).Tetapi Fashion House 10 tidak melakukan penawaran barang melalui

website, melainkan melalui akun media sosial.Perkembangan media sosial pada

46
https://www.cermati.com/kartu-kredit/t/semua diakses pada tanggal 26 Februari
2018

Universitas Sumatera Utara


57

awalnya hanya digunakan sebagai akunpribadi, namun saat ini sudah banyak

digunakan menjadi akunbisnis berupa jual beli melalui media elektronik (online),

media sosial yang dipergunakan oleh Fashion House 10 adalah instagram.

Media sosial merupakan salah satu alat promosi bisnis yang efektif karena

dapat di akses oleh siapa saja, sehingga jaringan koneksi nya menjadi lebih luas.

Media sosial menjadi bagian yang sangat diperlukan oleh masyarakat khususnya

dibagian pemasaran dalam sebuah usaha dan merupakan salah satu cara terbaik

untuk menjangkau pelanggan/pembeli.47

Proses terjadinya jual beli secara online pada Fashion House 10, yaitu :

Konsumen/pembeli melihat barangapa saja yang ditawarkan pada akun media

sosial instagram Fashion House 10.Barang yang di tawarkan sudah tercantum

informasi mengenai barang tersebut, karena itu merupakan kewajiban pelaku

usaha yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82

Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, yang

menegaskan bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem

Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan

dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”.

Apabila pembeli tertarik dan merasa membutuhkan barang yang di tawarkan,

maka pembeli dapat menghubungicontact personyang telah tercantum dalam

instagram Fashion House 10.Contact person adalah orang yang dapat dihubungi

apabila pembeli ingin menghubungi pihak penjual. Dalam hal ini Contact person

yang di pergunakan ialah berupa account line. Line adalah sebuah aplikasi yang

47
http://yunisharayy.blogspot.co.id/2016/04/perkembangan-media-sosial_9.html,
diakses pada 28 Februari 2018

Universitas Sumatera Utara


58

membuat para penggunanya dapat mengirim pesan, mengirim gambar, video dan

lain-lain. Jual beli secara online pada Fashion house 10 ini, termasuk ke tipe e-

commerce yang melakukan proses jual beli melalui chatting. Chatting adalah alat

komunikasi yang disediakan oleh internet yang biasa digunakan untuk dialog

interaktif secara langsung.48 Pembeli dan penjual dapat berkomunikasimelalui

aplikasi line untuk melakukan proses jual beli. Pembeli memberi informasi

mengenai barang yang akandi beli kepada penjual, dengan cara mengirimkan foto

barang melalui aplikasi line.Setelah pembeli memberitahukan barang yang hendak

dibeli, kemudian penjual akan bertanya kepada pembeli, ke kota/daerah

manabarang tersebut akan dikirim, karena keterangan harga barang yang

tercantum dalam instagram Fashion House 10 tidak termasuk harga untuk

pengiriman barang tersebut.

Setelah penjual mengetahui barang tersebut hendak di kirim kemana, maka

penjual akan menentukan harga ongkos pengirimannya. Penjual akan

menjumlahkan harga barang dengan ongkos pengiriman, dan meminta pembeli

untuk membayar harga yang telah di tentukan, dengan cara pembayaran melalui

transaksi melalui ATM. Transaksi melalui ATM, merupakan transaksi yang

melibatkan institusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan

pengambilan ataupun deposit uangnya dari account masing-masing.

Apabila pembeli sepakat dengan harga yang ditentukan maka selanjutnya

pembeli melakukan kewajibannnya dengan melakukan pembayaran melalui

transaksi melalui ATM, lalu pembeli memberitahukan kepada penjual apabila

48
Endang Purwaningsih, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


59

telah dibayarkannya harga barang yang telah ditentukan, dengan mengirimkan

foto bukti cetak berupa kertas atau struk bukti transaksi yang dicetak oleh mesin

ATM. Dengan selesainya pembeli melakukan pembayaran, dan harga barang

tersebut telah diterima oleh penjual maka proses selanjutnya adalah kewajiban

penjual atas barang yang dibeli oleh pembeli, yaitu pengiriman. Pengiriman

merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang

telah ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas

penerimaan barang tersebut, dengan biaya pengiriman sesuai dengan perjanjian

yang telah disepakati. Pengiriman yang dilakukan oleh Fashion House 10

ialahmelalui jasa pengiriman barang49.

Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah

diuraikan di atas, dapat disimpulkan transaksi jual beli melalui media elektronik

sama halnya dengan jual beli pada umumnya, yaitu karena adanya kesepakatan

para pihak. Pasal 50 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menegaskan hal tersebut, yang

menyebutkan “Transaksi elektronik terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para

pihak”.

B. Perbandingan Jual Beli Konvensional dengan Jual Beli melalui Media

Elektronik pada Fashion House 10 di Medan

Perbandingan yang dimaksud adalah mencari dan mensinyalir persamaan

dan perbedaan mengenai jual beli yang dilakukan secara konvensional dengan jual

beli melalui media elektronik (e-commerce). Transaksi jual beli melalui media

49
Hasil wawancara terhadap Aziza Hasanah selaku pemilik Fashion House 10

Universitas Sumatera Utara


60

elektronik (e-commerce) juga merupakan perjanjian jual beli yang sama dengan

perjanjian jual beli secara konvensional, hanya saja terletak perbedaan media yang

digunakan. Pada transaksi e-commerce kesepakatan atau perjanjian yang tercipta

adalah melalui online karena menggunakan media elektronik yaitu internet. Ada

beberapa hal yang dapat dibandingkan antara jual beli konvensional dengan jual

beli melalui media elektronik, yaitu :

1. Jual beli melalui media elektronik (online)

Jual beli secara online menggunakan koneksi internet.Aktifitas jual beli

berupa transaksi penawaran barang oleh penjual dan permintaan barang

oleh pembeli secara online dengan memanfaatkan teknologi internet.Jual

beli online ini hanya menampilkan gambar barang berupa foto yang

mewakili produk fisiknya. Jual beli online secara garis besar dapat di bagi

tiga :

a. Berjualan di akun situs marketplace dan sejenisnya,

b. Berjualan di akun media sosial,

c. Memiliki website dan toko online.50

2. Jual beli secara langsung / Konvensional

Jual beli secara konvensional, dilakukan dengan menawarkan produk

secara langsung kepada pembeli.Barang yang ditawarkan dapat terlihat

secara fisik, dimana pembeli dapat datang langsung untuk melihat,

memilih dan membeli barang yang mereka butuhkan.Pembayaran juga

dapat dilakukan pada saat itu juga tanpa melalui perantara. Jual beli

50
https://thidiweb.com/persamaan-bisnis-online-dan-offline/ diakses pada tanggal
28 Februari 2018

Universitas Sumatera Utara


61

konvensional secara garis besar di bagi tiga :

a. Berjualan di pasar dan pusat perbelanjaan,

b. Berjualan di mall dan tempat keramaian,

c. Membangun sebuah toko dan perkantoran.51

Selain dari uraian diatas, ada pula beberapa hal lain yang dapat

dibandingkan dari jual beli secara online dengan jual beli secara konvensional,

yaitu:

1. Modal

Dalam jual beli online modal pelaku usaha/penjual untuk berjualan secara

online bisa dikatakan lebih murah karena memasarkan produknya dapat

melalui media sosial maupun membuat website gratis.Dan tidak

membutuhkan sistem pemasaran yang rumit seperti harus mengeluarkan

modal untuk membuat spanduk maupun brosur untuk mempromosikan

jualan yang ingin mereka tawarkan, cukup melakukan promosi dengan

memanfaatkan media sosial seperti instagram, facebook, twitter, dan lain-

lain.

Sedangkan dalam jual beli konvensional, penjual membutuhkan modal

yang sangat banyak untuk membangun maupun menyewa sebuah toko,

dalam berjualan secara konvensional juga harus menyiapkan modal untuk

membeli barang yang akan dijual serta ditawarkan kepada pembeli. Untuk

memasarkan kepada masyarakat, penjual juga memerlukan modal yang

banyak untuk membuat spanduk maupun brosur mengenai toko dan

51
Ibid

Universitas Sumatera Utara


62

barang yang akan dijual.Maka dari itu dalam jual beli konvensional,

pelaku usaha membutuhkan modal yang sangat banyak dibandingkan jual

beli secara online.

2. Jangkauan pemasaran

Jual beli online memiliki jangkauan yang sangat luas.Penjual dapat

menawarkan produknya ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Pembeli bisa

dari berbagai kota maupun daerah yang ada, karena seluruh orang dapat

melihat yang ditawarkan oleh pelaku usaha.

Sedangkan dalam jual beli konvensional, jangkauannya tidak seluas jual

beli secara online karena hanya memungkinkan mendatangkan pembeli

dari orang-orang yang berada disekitar toko atau daerah dimana toko

tersebut berada.

3. Objek jual beli

Dalam jual beli online pelaku usaha menawarkan produk yang merupakan

objek jual beli dengan membagikan gambar barang berupa foto yang

mewakili fisik produk tersebut.Konsumen tidak dapat melihat objeknya

secara langsung karena produk yang ditawarkan hanya berupa foto dan

keterangan produk yang tertulis mengenai barang tersebut.Tetapi dalam

jual beli online dapat memudahkan pembeli mencari barang yang di

butuhkan, karena cukup dengan mengetik nama barang yang sedang di cari

di beberapa aplikasi seperti instagram, facebook, twitter, dan lain-lain.

Sedangkan jual beli konvensional, pelaku usaha dalam menawarkan

produk yang akan di jual kepada pembeli dilakukan secara langsung, dan

Universitas Sumatera Utara


63

pembeli dapat melihat langsung kondisi fisik produkserta dapat merasakan

produk tersebut dengan panca indra yang dimiliki.Tetapi jual beli

konvensional pembeli merasa sedikit sulit mencari barang yang di

butuhkan, karena harus mencari dan mengunjungi beberapa tempat untuk

mendapatkan barang yang mereka butuhkan.

4. Waktu

Jual beli online tidak terikat pada waktu.Pembeli dapat melihat produk

yang ditawarkan secara 24 jam.Bisa dikatakan lebih praktis dan efisien,

karena tidak terhalang masalah waktu dan tempat.Memudahkan konsumen

apabila ingin membeli barang yang di butuhkan tanpa harus menyita

waktu dengan bertemu dan bertatap muka secara langsung dengan

penjual.Namun biasanya dalam jual beli online waktu untuk pengiriman

barang, dilakukan sesuai dengan jam kerja.

Sedangkan jual beli konvensional yang dilakukan secara langsung dengan

berjumpa dan bertatap muka antara penjual dan pembeli memiliki waktu

yang terbatas, karena pada umumnya toko hanya buka dengan waktu yang

telah ditentukan. Dan ada beberapa ketentuan kapan toko tidak buka yang

mungkin di karenakan adanya tanggal merah maupun hari libur.

5. Cara pembelian dan pembayaran

Jual belisecara online tidak perlu bertatap muka, semuanya dapat

dilakukan dengan melalui komputer maupun handphoneyang telah

terhubung oleh internet.Terjadinya kesepakatan antara penjual dan

pembeli hanya dengan dilandasi kepercayaan karena pembeli tidak dapat

Universitas Sumatera Utara


64

melihat langsung produk yang ditawarkan melainkan mempercayai

keterangan dan foto yang telah tercantum dalam website maupun media

sosial yang digunakan oleh pelaku usaha .Dengan sistem pembayaran

berupa transfer melalui ATM ke rekening penjual.

Sedangkan jual beli konvensional melakukan cara pembelian dengan

bertemu dan bertatap muka secara langsung antara pembeli dengan

penjual. Pembeli dapat memilih secara langsung barang yang di inginkan

atau di butuhkan, lalu setelah memilih barang yang hendak dibeli, pembeli

akan bayar barang tersebut dengan sistem pembayaran langsung atau biasa

dikenal dengan pembayaran secara tunai, dan ada juga beberapa toko yang

menerapkan ketentuan dapat melakukan pembayaran dengan kartu kredit

maupun kartu debit.

Dari beberapa hal yang telah di uraikan diatas, terdapat persamaan dan

perbedaan antara jual beli konvensional dengan jual beli online.Dalam jual beli

konvensionalmaupun jual beli online memiliki persamaan mengenai kewajiban

diantara pelaku usaha maupun konsumen. Persamaan jual beli konvensional

dengan jual beli online, yaitu :

1. Penjual harus beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,

2. Penjual harus memiliki produk yang akan ditawarkan kepada konsumen,

3. Penjual memberikan keterangan mengenai barang yang ditawarkan dengan

sejujur-jujurnya,

4. Penjual menyerahkan barang apabila harga telah dibayar,

5. Pembeli harus beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang,

Universitas Sumatera Utara


65

6. Pembeli membayar sesuai dengan harga yang telah disepakati.

Sedangkan perbedaan antara jual beli konvensional dengan jual beli online, yaitu :

No. Jual Beli Konvensional Jual Beli Online

1. Syarat subjektif yang terdapat Jual beli online syarat sahnya


dalam Pasal 1320 KUH Perdata terdapat dalam Pasal 47 ayat (2)
ialah kesepakatan para pihak dan Peraturan Pemerintah Nomor 82
cakap hukum. Jual beli Tahun 2012, yang mana syarat
konvensional tidak terdapat pihak subjektifnya ialah kesepakatan para
yang dapat mewakili dalam pihak dan dilakukan oleh subjek
melakukan perjanjian jual beli. hukum yang cakap atau berwenang
mewakili sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Pelaku usaha harus memiliki modal Pelaku usaha memiliki modal yang
yang banyak untuk mendirikan relatif murah bahkan bisa dikatakan
sebuah toko konvensional gratis
3. Pembeli dapat melihat langsung Barang yang di tawarkan berupa
kondisi fisik produkserta dapat foto yang mewakili fisik produk,
mencoba dan merasakan produk sehingga pembeli tidak dapat
tersebut, sehingga dapat memeriksa mencoba dan tidak mengetahui
apabila terdapat kerusakan pada apakah terdapat kerusakan pada
produk yang hendak di beli produk tersebut
4. Dalam proses jual beli Proses dan interaksi antara penjual
konvensional, penjual dan pembeli dan pembeli dilakukan hanya
bertatap muka secara langsung melalui internet
5. Bentuk transaksinya tidak Model transaksi berlangsung 24
berlangsung selama 24 jam, jam tanpa adanya batasan waktu,
sehingga pembeli memiliki waktu sehingga pembeli dapat
yang terbatas bertransaksi kapan saja dan dimana
saja

Universitas Sumatera Utara


66

6. Jangkauan pemasaran tidak terlalu Jangkauan pemasaran sangat luas


luas
7. Pembeli memperoleh keterangan Pembeli memperoleh informasi
mengenai produk pada saat mengenai keterangan produk yang
berlangsungnya proses jual beli ditawarkan tanpa harus bertatap
muka
8. Pembeli tidak ragu dengan produk Pembeli memiliki keraguan untuk
yang akan di beli dan tidak ragu melakukan proses jual beli melalui
dalam bertransaksi karena pembeli internet, maka dalam proses jual
dapat melihat produk dan bertatap beli ini harus dilandasi dengan
muka dengan penjual secara kepercayaan karena pembeli tidak
langsung bertemu langsung dengan
penjualdan pembeli hanya dapat
mempercayai suatu produk
sebagaimana keterangan yang telah
tercantum

Setelah membahas mengenai persamaan dan perbedaan di atas, dapat

disimpulkan beberapa kelebihan dan kekurangan mengenai jual beli konvensional

dengan jual beli online.

Kelebihan jual beli konvensional :

1. Pembeli dapat langsung melihat, memilih, dan mencoba produk yang di

inginkan, sehingga pembeli juga tidak ragu mengenai kualitas produk yang

hendak di beli

2. Pembeli dapat bertransaksi langsung dengan penjual dengan bertatap muka

dan menerima barang pada saat itu juga, sehingga tidak perlu waktu yang

lama untuk mendapatkan produk yang di inginkan

Universitas Sumatera Utara


67

3. Pembeli dan penjual memiliki hubungan yang baik karena melakukan proses

jual beli dengan saling bertatap muka

Kekurangan jual beli konvensional :

1. Untuk pemasarannya terbatas, sehingga apabila ingin memiliki pemasaran

yang luas, harus membuka cabang toko di berbagai daerah

2. Modal untuk membangun toko konvensional sangat besar dan harus mencari

lokasi yang strategis agar mendatangkan pembeli yang banyak

3. Pembeli yang tidak memiliki waktu luang untuk melakukan proses jual beli

secara langsung memiliki waktu yang terbatas karena toko tidak buka selama

24 jam

Kelebihan jual beli online :

1. Bagi pelaku usaha dengan modal kecil dengan memanfaatkan internet,

penjual dengan mudah dan cepat mendapatkan lebih banyak konsumen

2. Lingkup pemasaran sangat luas, tidak terbatas pada daerah sekitar

3. Pelaku usaha tidak membutuhkan modal yang besar

4. Pembeli bisa melakukan transaksi jual beli kapan saja karena tidak memiliki

batasan waktu

5. Jual beli online ini dapat menjangkau konsumen dari berbagai kota dan

daerah

Kekurangan jual beli online :

1. Pembeli meragukan kualitas dari produk yang di tawarkan karena produk

tidak dapat dilihat dan dirasakan secara langsung

Universitas Sumatera Utara


68

2. Pembeli kurang yakin dengan keterangan ukuran yang telah tercantum apakah

sama dengan ukuran yang di inginkan karena barang tidak dapat dicoba

3. Dalam penerimaan barang, pembeli harus menunggu beberapa lama karena

proses jual beli online dikirim melalui jasa pengiriman barang.

4. Harga lebih mahal karena pembeli di kenakan biaya pengiriman barang yang

diperjual belikan

5. Penjual mengirimkan barang yang tidak sesuai dengan keterangan dan tidak

sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen dalam Hal

Kerusakan dan Ketidaksesuaian Pesanan

Tanggung jawab memiliki pengertian yang cukup luas karena mempunyai

pengertian berbeda-beda, tergantung dari pada objek tanggung jawab itu

sendiri.Tanggung jawab dalam hukum perdata berupa tanggung jawab akibat

perbuatan melanggar hukum dan tanggung jawab akibat perbuatan ingkar janji

(wanprestasi).Segala kesalahan atau kelalaian penjual yang dapat menimbulkan

kerugian kepada pembeli khususnya, atau kepada masyarakat umumnya haruslah

bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya ini.52

Mengenai pengaturan tanggung jawab pelaku usaha terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dari Pasal 19

sampai dengan 28 memuat bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala

kerugian yang dialami konsumen.

52
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-tanggung-jawab-dalam-
hukum-perdata/13412/2 diakses pada tanggal 1 Maret 2018

Universitas Sumatera Utara


69

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap

produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas

kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen. Bentuk kerugian

konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang, penggantian barang

dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan dan/atau

pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.Pelaku usaha diwajibkan menanggung cacat tersembunyi (verbogen

gebrekan) atas barang yang dijualnya, yang berakibat barang itu tidak dapat

dipakai atau tidak maksimal pemakaiannya.

Fashion House 10 bertanggung jawab dalam hal kerusakan dan

ketidaksesuaian pesanan yang proses jual beli nya melalui internet. Namun

berbeda dengan jual beli konvensional yang proses jual belinya dilakukan secara

langsung di toko Fashion House 10, karena ketentuan toko Fashion House 10

bahwa apabila pembeli yang datang langsung ke toko dan bertransaksi secara

bertatap muka dengan penjual, maka barang yang telah di perjual belikan bukan

merupakan tanggung jawab Fashion House 10 lagi dan barang yang telah diterima

oleh konsumen tidak dapat ditukar. 53

Karena pada proses jual beli konvensional di toko Fashion House 10,

pembeli dapat mencoba produk yang ditawarkan, memilih ukuran yang di

butuhkan, dan langsung memeriksa produk apabila terdapat kerusakan maupun

cacat pada produk yang hendak dibeli, pembeli harus memperhatikan detail

53
Hasil wawancara terhadap Aziza Hasanah selaku pemilik Fashion House 10

Universitas Sumatera Utara


70

mengenai produk tersebut sebelum melakukan pembayaran. Setelah terjadinya

pembayaran dan penyerahan barang, produk tersebut bukan merupakan tanggung

jawab dari Fashion House 10. Berbeda dengan proses jual beli online yang mana

pembeli tidak dapat melihat langsung kondisi fisik produk yang ditawarkan,

melainkan hanya berupa foto yang mewakili fisik produk dan untuk detail produk

hanya berupa keterangan yang telah dicantumkan.

Apabila produk yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan pesanan

ataupun mengalami kerusakan, Fashion House 10 bertanggung jawab akan hal

tersebut dengan mengganti kerugian yang dialami konsumen dengan mengirim

ulang barang kepada konsumen tersebut. Konsumen pasti menginginkan produk

yang akan diganti sesuai dengan pesanan yang telah diperjanjikan pada awal

terjadinya proses jual beli dan tidak lagi terdapat kerusakan maupun cacat

tersembunyi, namun apabila Fashion House 10 sudah tidak memiliki persediaan

terhadap suatu produk yang sama, maka Fashion House 10 memberikan pilihan,

apakah produk yang akan dikirim ulang ingin diganti dengan produk yang lain

atau tidak. Beberapa konsumen tidak menginginkan produk yang akan di kirim

ulang diganti dengan produk yang lain, maka Fashion House 10 bertanggung

jawab mengembalikan harga barang dengan melakukan refund. Refund adalah

transaksi dibatalkan, barang dikembalikan kepada penjual dan uang dikembalikan

kepada pembeli.54

Dalam jual beli melalui media elektronik (online) pada Fashion House 10,

tidak jarang salah mengirimkan pesanan kepada konsumen, terlebih jika pesanan

54
http://commeta.co.id/27-istilah-dalam-jual-beli-online/ diakses pada tanggal 1
Maret 2018

Universitas Sumatera Utara


71

dari konsumen terbilang banyak.Fashion House 10 pasti akan bertanggung jawab

terhadap semua konsumen apabila ketidaksesuaian pesanan seperti salah ukuran,

salah warna, kerusakan, dan lain-lain. Kerusakan produk yang diterima oleh

konsumen juga bukan sepenuhnya kesalahan Fashion House 10 karena dari

banyaknya pesanan dari konsumen, Fashion House 10 tidak memeriksa kembali

barang yang ingin dikirim satu persatu, karena akan memakan waktu yang sangat

lama. Kerusakan terhadap produk biasa terjadi karena memang dari produksi

pabrik, bukan karena kesengajaan Fashion House 10.

Yang merupakan syarat agar Fashion House 10 bertanggung jawab terhadap

kerugian yang dialami konsumen, konsumen dapat mengirimkan bukti foto bahwa

produk yang diterima mengalami kerusakan maupun ketidaksesuaian

pesanan.Sebelum Fashion House 10 bertanggung jawab dengan mengirimkan

ulang produk kepada konsumen yang mengalami kerugian, Fashion House 10

memeriksa nomor resi pengiriman barang terlebih dahulu.Nomor resi adalah

nomor bukti pengiriman yang berasal dari jasa logistik / ekspedisi, yang terdapat

nomor seri tertentu, yang mana nomor seri tersebut dapat dilacak karena berisi

kapan tanggal pengiriman serta kapan sampainya pengiriman tersebut. Fashion

House 10 harus memeriksa kapan barang sampai kepada konsumen, karena dalam

hal ini Fashion House 10 hanya memberikan jangka waktu dalam seminggu

setelah sampai barang tersebut, maka sebelum lewat jangka waktu yang

ditentukan Fashion House 10 akan langsung bertanggung jawab. Namun apabila

konsumen mengeluh dan memberitahu setelah lebih dari seminggu setelah barang

Universitas Sumatera Utara


72

sampai ke tangan konsumen, maka Fashion House 10 tidak akan bertanggung

jawab terhadap barang yang telah diterima oleh konsumen.

Apabila terjadi kesalahan pesanan maka memang terdapat sedikit kelalaian

Fashion House 10 sebagai pelaku usaha/penjual, namun tidak dengan apabila

produk tersebut terdapat kerusakan maupun cacat tersembunyi, bukan kelalaian

maupun kesengajaan dari pihak Fashion House 10 tetapi memang dari produksi

pabriknya, yang mana produksi terhadap produk tersebut tidak semuanya bagus

dan rapi melainkan pasti terdapat cacat tersembunyi pada beberapa produk yang

dihasilkan. Seperti yang terdapat dalam Pasal 1509 KUH Perdata menegaskan

apabila penjual tidak mengetahui adanya cacat-cacat barang, maka ia hanya wajib

mengembalikan uang harga barang pembelian dan mengganti biaya untuk

menyelenggarakan pembelian dan penyerahan, sekedar itu dibayar oleh pembeli.

Pada hal ini Fashion House 10 bertanggung jawab terhadap kerugian yang

dialami konsumen, karena apabila pertanggung jawaban itu tidak diterapkan maka

akan mengakibatkan tidak ada kepercayaan terhadap masyarakat mengenai bisnis

yang dijalankan oleh Fashion House 10 ini. Validitas pelaku usaha dalam e-

commerce sangat penting, validitas dalam e-commerce dapat mencegah terjadinya

penipuan, serta untuk mengetahui kemana ganti rugi harus diajukan dan akan

menambah kepercayaan konsumen dalam melakukan transaksi jual beli online.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan diatas, dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

Pada dasarnya perjanjian dalam transaksi melalui media elektronik tidak

berbeda dengan perjanjian pada umumnya, hanya saja dilakukan melalui media

elektronik.

1. Jual beli melalui media elektronik (online) dalam hukum Indonesia

terletak dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum

perjanjian. Keabsahan pada e-commerce didasari oleh asas konsensualisme

yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dan dalam UU ITE Pasal 18

ayat (1) menegaskan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam

kontrak elektronik mengikat para pihak.

2. Perlindungan hukum terhadap pelaku usaha/penjual dalam hal ini didasari

pada hak-hak pelaku usaha dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan perlindungan

terhadap konsumen telah memiliki landasan hukum mengenai

perlindungan konsumen yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen

3. Fashion House 10 pelaku usaha dalam jual beli konvensional maupun jual

beli melalui internet, diantara keduanya memiliki kesamaan dari segi

73
Universitas Sumatera Utara
74

kewajiban penjual dan pembeli, sedangkan perbedaan diantara keduanya

terletak pada bagaimana pelaku usaha menjalankan bisnisnya dan terdapat

beberapa sedikit perbedaan dalam proses jual beli yang dilakukan.

4. Fashion House 10 sebagai pelaku usaha bertanggung jawab dengan apa

yang merugikan konsumen, dalam hal kerusakan dan ketidaksesuaian

pesanan yang proses jual beli nya melalui internet. Namun apabila produk

yang telah di perjual belikan dilakukan secara bertatap muka atau yang

dikenal dengan jual beli konvensional, maka produk tersebut bukan lagi

merupakan tanggung jawab Fashion House 10.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran bagi penulis dalam penulisan Skripsi ini adalah :

1. Perlu dilakukannya sosialisasi UU ITE agar masyarakat mengetahui

bahwa terdapat undang-undang khusus yang mengatur mengenai

penggunaan informasi dan transaksi yang dilakukan secara elektronik.

Dalam hal ini sosialisasi dimaksudkan agar masyarakat dapat

melaksanakan transaksi elektronik sesuai dengan aturan yang berlaku agar

terjadinya proses jual beli yang dilakukan melalui internet tidak terdapat

kendala dalam penerapannya.

2. Dikarenakan minat membaca masyarakat Indonesia tergolong rendah perlu

dilakukan sosialisasi mengenai hak dan kewajiban para pihak sehingga

dapat mengurangi permasalahan yang akan terjadi dalam transaksi e-

commerce. Pelaku usaha dan konsumen harus mengetahui apa saja yang

Universitas Sumatera Utara


75

menjadi hak dan kewajiban mereka. Agar menciptakan proses jual beli

melalui internet dengan hubungan yang baik

3. Dalam jual beli online, diluar dari kewajiban pelaku usaha/penjual dalam

menjalankan usahanya, para konsumen/pembeli hendaknya membaca dan

memperhatikan keterangan mengenai detail produk yang telah tercantum

oleh pelaku usaha, agar mengurangi terjadinya kesalahan pesanan.

4. Kepada Fashion House 10 selaku pelaku usaha yang menjalankan bisnis

secara online sebaiknya meningkatkan ketelitian saat pemeriksaan produk

yang akan dikirim kepada konsumen, agar tidak mengalami terjadinya

ketidaksesuaian pesanan, dan meningkatkan ketelitian dalam

memperhatikan detail produk ketika ingin mengirimkannya kepada

konsumen agar tidak terdapat kerusakan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Badrulzaman, Mariam Darus, 2006, KUHPerdata Buku III, Alumni: Bandung.

Fuady, Munir, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT
Citra Aditya Bakti: Bandung.

Harahap M.Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian,Alumni: Bandung.

H.S, Salim, 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Sinar Grafika: Jakarta.
H.S, Salim, 2006,Hukum Kontrak, Sinar Grafika: Jakarta.

Makarim, Edmon, 2000, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo


Persada: Jakarta.
Makarim, Edmon, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja
Grafindo Persada: Jakarta.

Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, 2016, Hukum Perikatan, Rajawali Pers:
Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia (cetakan ke-1),


PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 2010, Hukum Perjanjian, Alumni: Bandung.

Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Perikatan, Raja
Grafindo Persada: Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan


Tertentu, Sumur: Bandung.

Purwaningsih, Endang, 2010, Hukum Bisnis, Penerbit Ghalia Indonesia: Bogor.


Satrio, J., 1993, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Alumni: Bandung.

76
Universitas Sumatera Utara
Satrio, J., 1999, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni: Bandung.

Sidabalok, Janus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T.


Citra Aditya Bakti: Bandung.
Siregar, Tampil Anshari, 2005, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi,
Medan.
Sitompul, Asril, 2004, Hukum Internet, Citra Aditya Bakti: Bandung.

Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa: Jakarta.

Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa: Jakarta.

Subekti, R., 1995, Aneka Perjanjian,Citra Aditya Bakti: Bandung.

Sunyoto, Danang dan Wika Harisa Putri, 2016, Hukum Bisnis, Pustaka
Yustisia: Yogyakarta.
Suryodiningrat, R.M., 1978, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito:
Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mumadji, 2001, Penelitian Hukum Normatif


Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, 2004, Jual Beli, PT RajaGrafindo
Persada: Jakarta.

W.Purbo, Onno dan Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-commerce, PT


Elex Media Komputindo: Jakarta.
Wirjono, Prodjodikoro R., 2000, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju:
Bandung.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

77
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan


Transaksi Elektronik

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

C. Internet

https://www.legalakses.com/perjanjian/ (diakses pada tanggal 7 Januari 2018)

http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=48693 (diakses pada tanggal 5 Februari 2018)

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kartu_debit (diakses pada tanggal 26 Februari 2018)

https://www.cermati.com/kartu-kredit/t/semua (diakses pada tanggal 26 Februari 2018)

http://yunisharayy.blogspot.co.id/2016/04/perkembangan-media-sosial_9.html, (diakses
pada 28 Februari 2018)

https://thidiweb.com/persamaan-bisnis-online-dan-offline/ diakses pada tanggal (28


Februari 2018)

https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-tanggung-jawab-dalam-hukum-
perdata/13412/2 (diakses pada tanggal 1 Maret 2018)

http://commeta.co.id/27-istilah-dalam-jual-beli-online/ ( diakses pada tanggal 1 Maret


2018)

D. Wawancara

Wawancara dengan Aziza Hasanah S.H (Pemilik Fashion House 10 di Medan)

78
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai