NOMOR : 56/Pdt.G/2013/PN.TTD)
SKRIPSI
Oleh
NIM : 140200231
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2018
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan kasih karuniaNya yang tiada berkesudahan dan telah memberikan penulis
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Secara khusus saya ucapkan
terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Bapak saya Jona Pandapotan Simarmata
dan Mamak saya Minaria Sihaloho yang telah memberikan dukungan dan motivasi
baik secara moril maupun materil, juga memberikan kasih sayang yang luar biasa
kepada saya. Terimakasih sebesar-besarnya buat Bapak dan Mamak, sungguh kasih
yang kalian berikan kepada saya sangat luar biasa. I just can’t describe in words
anymore, but Jesus exactly knows how strong my love for you both is. A parent’s love
is whole no matter how many times divided. Thankyou for such love dad and mom.
Secara khusus juga saya ucapkan terima kasih kepada abang saya Edu Lando
Simarmata, dan juga adik-adik saya Risnatama Guleneng Simarmata, Nila Muhedina
ii
Simarmata dan Pinka Mohidini Simarmata yang memberikan dukungan dan motivasi
Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
3. Prof. Dr. O.K Saidin, S.H., M,Hum., Wakil Dekan I Fakultas Hukum
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas
8. Prof. Tan Kamello, S.H., MS, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
9. Dr. Edy Ikhsan, S.H., MA, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
10. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembina
Akademik;
12. Goklas Mario Sitindaon, S.H. yang telah memberikan dukungan, doa dan
Rezeki Tobing, Nurul Alida Hanum Siregar dan Nurul Rahmadhani yang
selama masa perkuliahan. You guys are dope. Im lucky to have you guys.
14. Kepada teman-teman SMA penulis Mutiara Azmi Panjaitan, Ikha Handayani
Marpaung dan Clara Lubis. Terima kasih buat dukungan dan motivasi kepada
friendship for years. It has been seven years and still counting;
15. Kepada Srikandi Berdikari. Chessa Stefany dan Dian Meinar buat motivasi,
dukungan, saran dan yang telah menemani penulis 7/24. You both know why
its 7/24. Im lucky to have you guys, thankyou for always being there for me;
Ridwan Lubis dan Amsari Ramadan. Terima kasih buat dukungan, motivasi
Kwartaria Gultom. Terima kasih buat dukungan dan motivasi yang kalian
Tony Adam Lingga, Hans Saragih, Yudika Ferinando Sormin dan Yeni
19. Kepada kak Tari, kak Rina dan kak Vopy. Terima kasih buat selalu
2016-2017. Bang Alex, Bang Yonas, Kak Pasca, Hans, Resmi, Yudika,
Dian, Vina, Andre, Amos, Ray, Ishak, Yeni dan Epin. Terima kasih buat
satu keperiodean yang telah kita jalani. Terima kasih sudah menjadi
Terima kasih sudah menjadi wadah bagi mahasiswa untuk dapat melayani.
22. Buat teman-teman ARMY Medan. Terima kasih buat dukungan dan doa
kalian. terima kasih juga telah mendukung BTS. You guys know once you
23. Kepada keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungan kepada
penulis;
25. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini baik
secara lansung maupun tidak lansung, yang tidak dapat saya sebutkan satu per
satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya. Semoga
skripsi ini dapat memberi manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Terima kasih.
Penulis
ABSTRAK ..................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
G. Sistematika Penulisan.......................................................................... 14
Bersama ........................................................................................................6
vii
56/Pdt.G/2013/PN.TTD
Haknya ....................................................................................................... 84
PENDAHULUAN
masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui
atau tujuan tertentu melakukan peminjaman uang tersebut. Secara umum dapat
dikatakan bahwa pihak peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman
untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk
saat ini. 1
dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan
1
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 1.
hukum antara dua pihak yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
mengikat para pihak yang membuatnya. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat-
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut orang-
orang atau pihak-pihak yang membuat perjanjian. Orang-orang atau pihak-pihak ini
sebagai subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat
khusus dalam KUHPerdata yang disebut perjanjian khusus atau perjanjian bernama
maupun perjanjian yang diatur diluar KUHPerdata yang disebut perjanjian tidak
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
2
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: ALFABETA, CV, 2004),
hlm. 74.
3
Ibid, hlm. 78.
syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
Dalam halnya peminjaman uang, utang yang terjadi karenanya hanyalah terdiri
atas sejumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika, sebelum saat pelunasan,
terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai
berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan
dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya
(nilainya) yang berlaku pada saat itu (pasal 1756). Dengan demikian maka untuk
menetapkan jumlah uang yang terutang, kita harus berpangkal pada jumlah yang
memberikan pinjaman. Dalam hal ini pemberi pinjaman memberikan syarat kepada
penting adalah peminjam diwajibkan menyerahkan jaminan utang atas pinjaman uang
penyerahan jaminan utang banyak dilakukan oleh perorangan dan berbagai badan
usaha. Badan usaha umumnya secara tegas menyaratkan kepada pihak peminjam
untuk menyerahkan suatu barang (benda) sebagai objek jaminan utang pihak
4
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
(Jakarta : Pradnya Paramita, 1992), Pasal 1754.
5
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 126.
umumnya akan dinilai oleh badan usaha tersebut sebelum diterima sebagai objek
Dalam pelaksanaan penilaian jaminan utang dari segi hukum, pihak pemberi
berkaitan dengan objek jaminan utang dan ketentuan hukum tentang penjaminan
utang yang disebut sebagai hukum jaminan. Hukum jaminan merupakan himpunan
ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang-
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Ini
bahwa seseorang yang mempunyai hak milik atas suatu benda dapat berbuat apa saja
tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain. Namun dalam praktek untuk
membuktikan pemilik yang sah dari suatu benda terkadang sulit, sehingga dapat
terhadap benda tersebut. Dalam hal jika benda tersebut dijadikan jaminan utang oleh
6
M. Bahsan, Op.cit., hlm.3.
7
Ibid., hlm.3.
8
Subekti dan Tjitrosudibio, Op.cit., Pasal 1131.
perorangan tetapi terikat dalam perkawinan maka benda yang menjadi objek jaminan
dapat berupa milik orang itu sendiri (suami/istri) atau milik bersama.
hukum yaitu pertama, akibat dari hubungan suami istri; kedua, akibat terhadap harta
Persoalan harta benda dalam perkawinan sangat penting karena salah satu
faktor yang cukup signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau tidaknya kehidupan
menunjukkan masih adanya keretakan hidup berumah tangga bukan disebabkan harta
benda melainkan faktor lain. Harta benda hanya merupakan penopang dari
kesejahteraan tersebut.10
harta bersama; kedua, harta bawaan; dan ketiga, harta perolehan. Harta bersama
diatur dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
mengatakan “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Berdasarkan pasal ini, secara yuridis formal dapat dipahami pengertian harta bersama
adalah harta benda suami istri yang didapatkan selama perkawinan. Yang
mendapatkan bisa suami istri secara bersama-sama, atau suami saja yang bekerja dan
istri tidak bekerja atau istri yang bekerja dan suami yang tidak bekerja. Tidak
perkawinan. Jadi sangat jelas dan tegas, hukum menentukan bahwa harta yang
9
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Orang & Keluarga, (Medan: USU Press,
2011), hlm. 65.
10
Ibid.
norma hukum yang melekat pada pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Oleh karena adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami istri, maka harta
gono-gini menjadi hak milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini sebenarnya ada
dua macam hak dalam harta bersama (harta gono-gini), yaitu hak milik dan hak guna.
Harta gono-gini suami istri memang telah menjadi hak milik brsama, namun jangan
dilupakan bahwa disana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua sama-
sama berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan
dari pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta gono-gini, dia harus
mendapat izin dari istrinya. Demikian hal sebaliknya, istri harus mendapat izin
suaminya jika akan menggunakan harta gono-gini. UU Perkawinan Pasal 36 ayat (1)
menyebutkan, “Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas
jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Tentang hal ini, KHI
Pasal 91 ayat (4) mengatur, “Harta bersama dapat dijadikan sbagai barang jaminan
13
oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya”. Ketika suami/istri
utang oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan dari suami/istri tersebut
11
Ibid.
12
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta: Visimdia,
2008), hlm. 34.
13
Ibid.
kecuali jika suami atau istri telah membuat suatu perjanjian kawin tanpa percampuran
harta, maka penanggungan utang hanya sebatas pada harta kekayaan masing-masing.
bersama suami istri selama perkawinan telah dijaminkan oleh suami untuk
memperoleh pinjaman tanpa sepengetahuan istri. Istri tidak mengetahui sama sekali
pinjaman. Suami sebagai Tergugat menjaminkan harta tidak bergerak atas nama
bidang tanah kepada pemberi pinjaman yaitu Hardi Mistani tanpa seizin anna
(Penggugat) sebagai istri yang juga memiliki kewenangan bertindak terhadap harta
tersebut.
tersebut. Selain itu juga berfokus kepada akibat hukum yang timbul jika suatu
yang berlaku. Karena dalam putusan ini jelas perjanjian yang dilakukan oleh
Tergugat dengan Hardi Mistani bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mana dijelaskan bahwa
mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak.14
14
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Agung No. Reg: 2691 PK/Pdt/1996
dinyatakan bahwa, “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus
sepengetahuan dan izin istri dalam putusan ini juga membawa akibat terhadap
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya oleh suami dan pemberi pinjaman.
Perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak memenuhi unsur syarat sahnya suatu
Salah satu syarat yang tidak terpenuhi adalah syarat objektif yakni suatu sebab
atau kausa yang halal. Tidak ada penjelasan dalam KUHPerdata tentang makna
‘sebab yang halal’ itu, tetapi para ahli hukum sepakat memaknainya sebagai isi atau
Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal sehingga
terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUH Perdata merupakan kausa
yang “dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik
atau ketertiban umum”. Perjanjian seperti ini tidak boleh atau tidak dapat
Undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan sebab atau kausa
yang dalam bahasa Belanda disebut Oorzaak. Oleh karena itu, banyak ahli hukum
yang mencoba memberikan tafsirannya, antara lain H.F.A. Vollmar dan Dr. R.
Wirjono Prodjodikoro, S.H. yang menafsirkan sebab (kausa) sebagai maksud atau
15
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian,
(Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hlm. 10.
16
Ibid.
tujuan dari perjanjian. Sementara Prof. Subekti menyatakan bahwa sebab adalah isi
Jika dilihat dari pasal 1337 KUH Perdata maka perjanjian pinjam-meminjam
dengan jaminan harta bersama dalam putusan tersebut bertentangan dengan Undang-
Perkawinan maka perjanjian tersebut tidak memenuhi salah satu unsur syarat sahnya
perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Suatu perjanjian yang tidak
memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, baik itu syarat subjektif maupun syarat
objektif memiliki akibat hukum. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan. Namun, jika syarat yang tidak terpenuhi adalah syarat
B. Rumusan Masalah
17
Ibid., hlm. 81.
objek jaminan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut diatas, maka adapun
perjanjian.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua sisi
yaitu :
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
perjanjian.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah penelitian
penelitian hukum yang meneliti hanya pada bahan pustaka atau data sekunder,
yang terjadi saat ini dengan menggunakan prosedur yang ilmiah untuk
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-PRESS, 2005), hlm. 52.
19
Bambang Soenggon, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 22.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder
20
Soerjono Soekanto, Loc.Cit.
21
Ibid.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses untuk menafsirkan, merumuskan, atau
ketelitian, dan pencurahan daya pikir yang optimal. Hasil analisis data ini
dikemukakan dalam skripsi yang akan dibuat. Adapun metode analisa data
kemudian disimpulkan.
F. Keaslian Penulisan
Jaminan Harta Bersama (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing tinggi Nomor :
Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum
ada atau belum terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ditinjau dari
materi permasalahan yang ada dan materi penulisan skripsi ini, sejauh ini belum
pernah didapati dan dilihat kesamaan masalah seperti pada penulisan skripsi ini.
literatur-literatur yang berkaitan dengan perjanjian dan harta bersama. Oleh karena
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini terbagi dalam beberapa bab dan antara
bab-bab tersebut berisi pula atas sub bab yang saling berhubungan satu sama lain.
BAB I PENDAHULUAN
penulisan skripsi.
56/Pdt.G/2013/PN.TTD
Bab ini merupakan bab yang menguraikan tentang posisi kasus, norma
majelis hakim.
mempunyai arti yang lebih luas dari kata “Perjanjian”, sebab dalam buku III itu diatur
juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu
persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang
(zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan-
perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum
perjanjian.22 Hal ini memberi pengertian bahwa antara perikatan dan perjanjian pada
dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang terikat
didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan
hukum yang ada dalam perikatan muncul tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari
perundang-undangan.
Perikatan yang lahir dari undang-undang terdiri dari dua bagian, yakni
perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-
undang karena perbuatan seorang, sedangkan perbuatan orang ini dapat berupa
22
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 2001), hlm. 122.
16
perikatan yang lahir karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah pertama
timbul jika seorang melakukan suatu “pembayaran yang tidak diwajibkan”. Perbuatan
yang demikian menerbitkan suatu perikatan yang memberikan hak kepada orang yang
telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan
itu.
melanggar hukum, diatur dalam pasal 1365 BW. Pasal ini menetapkan bahwa tiap
melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk
Bagi perikatan yang lahir dari perjanjian, kewajiban atau prestasi yang
disepakati oleh para pihak yang membuat perjanjian jelas adalah sesuatu yang
dikehendaki oleh para pihak, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perikatan jenis
ini, kewajiban atau prestasi yang lahir dari perikatan ini adalah prestasi yang
23
Ibid., hlm.133.
maupun arti istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan pasal 1233, yang
karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara
sengaja dibuat oleh mereka ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-
Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan” oleh Buku III BW ialah : suatu
hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi
hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan
orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II mengatur perihal
perikatan secara jelas. Tetapi para ahli hukum memberikan rumusan bahwa perikatan
adalah hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan harta kekayaan dimana
24
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 23.
25
Subekti.,Op.Cit. hlm. 123.
pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain berhak memenuhi prestasi
2. Dua pihak yaitu dalam perikatan setidak-tidaknya ada dua pihak. Yang satu
berhak untuk menuntut kepada pihak yang lain yang berarti memiliki hak
dua pihak artinya terdapat lebih dari seorang kreditur dan lebih dari
seorang debitur.
3. Harta kekayaan artinya hubungan hukum dua pihak tersebut harus terletak
sebagainya.
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban untutk
memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut kreditur sedangkan
pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Hubungan antara
26
Sutarno, Op.Cit., hlm. 70.
dua orang atau dua pihak merupakan hubungan hukum yaitu hubungan yang
dikenal dua istilah yaitu VERBITENIS dan OVEREENKOMST. Dari dua istilah ini
para ahli hukum berbeda pula dalam menafsirkan istilah tersebut ke dalam hukum
Indonesia.
istilah perjanjian untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst. Drs. Kansil,
overeenkomst. 28
Dari kamus bahasa Belanda istilah verbintenis berasal dari kata Binden artinya
ikat atau mengikat sedangkan kata perjanjian dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata dasar janji yang dalam bahasa Belanda diartikan overeenkomst. Sedangkan
istilah overeenkomst juga bisa diterjemahkan persetujuan dan persetujuan berasal dari
kata setuju dan kata setuju sendiri dalam bahasa Belanda diartikan overeenkomtig.
Mengenai istilah memang terdapat perbedaan antara ahli hukum satu dengan ahli
hukum lain. hal ini tergantung dari sudut pandang, tinjauan dan argumentasi ahli
27
Ibid., hlm. 71.
28
Sutarno., Op.Cit. hlm. 72.
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu pihak lain atau lebih”. Perumusan dalam Pasal 1313
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan
kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,
tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling
“persetujuan”
perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang
kepribadian (personal).
29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000),
hlm. 224.
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan
pengertian tentang perjanjian merupakan suatu persetujuan dengan mana dua orang
atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta
kekayaan. Dalam hal ini harta kekayaan yang dimaksudkan adalah bentuk hubungan
mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan hukum
antara dua pihak yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa
kesanggupan yang diucapkan atau dibuat dalam tulisan oleh para pihak yang
membuat perjanjian.30
Perjanjian merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu
perjanjian yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari
perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan
30
Sutarno., Op.Cit, hlm. 74.
itu hanya merupakan akibat dari adanya perjanjian tersebut yang menyebabkan orang
Terdapat 3 hal yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian. Hal-
Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata. Bagian kesatu yaitu dari Pasal
1313 sampai dengan Pasal 1319 mengatur tentang ketentuan umum. Bagian kedua
yang dimulai dari Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 mengatur tentang syarat-
syarat sahnya perjanjian. Bagian ketiga dimulai dari Pasal 1338 sampai dengan Pasal
1342 mengatur tentang akibat dari suatu perjanjian. Dan pada bagian keempat yang
dimulai dari Pasal 1342 sampai dengan 1351 mengatur tentang penafsiran perjanjian.
Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata memiliki sifat terbuka
sebagaimana telah diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi :
“semua perjanjianyang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.
31
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2011), hlm.3.
32
Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, (Jakarta : Cakrawala, 2012), hlm.12.
yang berisi apa saja yang diinginkan para pihak asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan kata lain para pihak yang
akan mengadakan perjanjian diberi kebebasan untuk menentukan isi dari perjanjian
Selain menganut sistem terbuka maka sifat pengaturan hukum perjanjian dalam
buku III KUHPerdata atau pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum
pelengkap atau dalam bahasa Inggris disebut optional law atau aanvullend recht
KUHDagang boleh disingkirkan atau tidak diikuti bila para pihak menghendaki
dalam membuat perjanjian. Dalam membuat perjanjian para pihak dapat membuat
sendiri ketentuan dan syarat perjanjian yang menyimpang dari ketentuan hukum
perjanjian dalam buku III KUHPerdata. Para pihak boleh mengatur sendiri
kepentingan yang ada dalam perjanjian yang mereka adakan. Tapi bila para pihak
yang membuat perjanjian tidak mengatur suatu persoalan dalam perjanjian maka para
pihak tunduk pada ketentuan-ketentuan perjanjian buku III KUHPerdata atau undang-
33
Sutarno, Op.Cit., hlm.75.
karena pasal-pasal itu hanya bersifat melengkapi perjanjian yang dibuat secara tidak
Para pihak yang dimaksudkan adalah debitur dan kreditur yang melaksanakan
suatu perjanjian. Seperti yang telah ditegaskan bahwa perjanjian timbul karena
adanya hubungan hukum kekayaan antara dua pihak atau lebih. Masing-masing para
pihak tersebut menduduki tempat yang berbeda. Salah satu pihak menjadi debitur dan
di pihak lain sebagai kreditur. Kreditur dan debitur inilah yang menjadi subjek
perjanjian dimana debitur harus memnuhi suatu prestasi sedangkan kreditur memiliki
tidak mengurangi sahnya perjanjian. Atau jika pada mulanya kreditur terdiri dari
beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan
dengan debitur, juga tidak mengurangi nilai sahnya perjanjian. Hal seperti ini bisa
dalam pasal 1436 BW. Maka sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur terdiri
dari 35:
untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus
34
Ibid., hal.76.
35
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 15.
sudah dewasa, sehat pikirannya tidak oleh peraturan hukum dilarang atau
Jika badan hukum yang menjadi subjek, perjanjian yang diikat bernama
Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian
“aan order” atau perjanjian atas orde/atas perintah. Demikian juga dalam
papier)
36
Ibid., hlm. 16.
yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka
intisari atau “objek” dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri. Seperti yang telah diatur
dalam pasal 1234 KUHPerdata bahwa prestasi yang diperjanjikan antar para pihak
melakukan sesuatu.
berarti suatu kewajiban untuk menyerahkan suatu benda sebagai objek perjanjian.
Namun dalam suatu perjanjian menyerahkan sesuatu bukan hanya dalam wujud
benda nyata saja tetapi dapat juga menyerahkan suatu objek perjanjian dalam jenis
Objek perjanjian haruslah dapat ditentukan, hal ini adalah logis dan praktis
karena tidak akan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal
demikian, agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang sah, bernilai, dan
Itulah sebabnya Pasal 1320 (3) mentukan bahwa objek/prestasi perjanjian harus
memenuhi syarat yaitu objeknya harus tertentu (een bepaalde onderwerp). Atau
Dalam hukum perjanjian dikenal asas-asas serta syarat sahnya perjanjian yang
1. Asas-Asas Perjanjian
Dalam buku III KUHPerdata terkandung beberapa asas pokok perjanjian, asas
antara lain :
dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum
namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para
pihak. 38
dalam masyarakat untuk turut serta di dalam lalu lintas yuridikal dan sekaligus hal
37
Ibid., hlm.10.
38
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Kencana, 2013), hlm. 108.
ditutup suatu perjanjian, akan diandaikan adanya kehendak bebas dari pihak-pihak
umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam asas ini
terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan perjanjian, bebas
dengan siap ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan
bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Menurut Sutan Remi Sjahdeini asas
perjanjian.
Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualitas yang berasal dari bahasa
39
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, (Jakarta : PT
Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 104.
40
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hlm. 110.
adanya konsensus yaitu para pihak sepakat atau setuju mengenai suatu soal yang
diperjanjikan. Dengan adanya asas konsensualitas berarti perjanjian itu sejak lahir ada
kesepakatan mengenai hal yang pokok misalnya dalam perjanjian jual-beli sudah
tercapai sepakat mengenai barang dan harganya. Tetapi untuk perjanjian tertentu
diperlukan hal yang bersifat formalitas misalnya perjanjian hibah harus dilakukan
secara formal dengan akta notaris. Sepakat adalah persesuaian faham dan kehendak
antara para pihak yang membuat perjanjian. Apa yang dikehendaki pihak yang satu
adalah juga dikehendaki pihak lainnya. Asas konsensualitas dapat disimpulkan dari
pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut tidak ditentukan adanya formalitas
tertentu selain kata sepakat yang telah tercapai maka setiap perjanjian sudah sah
dalam arti mengikat para pihak bila sudah tercapai sepakat mengenai hal pokok dari
perjanjian itu.41
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam perjanjian
yang sah menurut hukum adalah mengikat (vide Pasal 1320 BW), karena di dalam
asas ini terkandung “kehendak para pihak” untuk saling mengikatkan diri dan
perjanjian.42
Hal ini berarti sejak tercapainya kesepakatan antara para pihak untuk saling
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian maka lahir pula lah hak dan kewajiban bagi
41
Sutarno, Op.Cit., hlm. 77.
42
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hlm. 121.
mereka atau biasa disebut perjanjian tersebut bersifat obligator, yakni melahirkan
berkontrak dan atas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 (1) BW. Hal
ini sedasar dengan pendapat Subekti yang menyatakan bahwa asas konsensualisme
terdapat dalam Pasal 1320 jo 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini
mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-
undang. Sementara Rutten, menggarisbawahi bahwa perjanjian yang dibuat itu pada
umumnya bukan secara formal tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undng-
undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal
Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu
disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang
melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa
43
Ibid.
44
M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak,
https://publikasiilmiah.ums.ac.id diakses pada 22 maret 2018.
setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang
selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat
yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dimengerti
dalam artian para pihak yang membuat perjanjian dapat bertindak seoalah sebagai
tersebut kemudian dianggap sebagai salah satu sumber hukum selain undang-undang
Adagium pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa
semua perjanjian yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum
Asas itikad baik tercantum dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini merupakan asas bahwa
para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan dari para
pihak. 46
45
Herlien Budiono, Op.Cit., hlm.102.
46
M. Muhtarom, Op. cit.
Pengaturan pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa persetujuan harus
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata merupakan salah satu sendi yang terpenting dari
hukum perjanjian. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata memberikan kekuasaan kepada
hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian agar pelaksanaan perjanjian itu
tidak melanggar kepatutan dan keadilan. Ini berarti hakim berkuasa untuk
perjanjian yang amat melanggar rasa keadilan. Kalau pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata menuntut kepastian hukum artinya bahwa syarat dan ketentuan dalam
perjanjian itu harus dilaksanakan atau dipenuhi. Namun dalam pasal 1338 ayat (3)
menuntut adanya kepatutan dan keadilan artinya tuntutan adanya kepastian hukum
yang berupa pemenuhan perjanjian tidak boleh melanggar norma kepatutan dan
keadilan.47
Itikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang nisbi (relatif-subjektif) dan
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik yang
absolut-objektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran
47
Sutarno, Op.Cit., hlm.77.
objektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak
a. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad
pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang beritikad tidak baik
Itikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 (1)
BW dan Pasal 1963 BW, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk
memperoleh hak milik atas barang melalui daluarsa. Itikad baik ini
hukumnya. Titik berat itikad baik di sini terletak pada tindakan yang
48
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hlm.136.
49
Ibid., hal.137.
dan Pasal 1340 KUHPerdata. Yang mana Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi : “Pada
umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji kecuali untuk dirinya sendiri.” Pasal ini menerangkan
bahwa seseorang tidak dapat mengatas namakan orang lain dalam mebuat suatu
perjanjian. Dalam membuat suatu perjanjian hak dan kewajiban yang timbul hanya
untuk para pihak yang melaksanakan suatu perjanjian, hal ini dapat dikecualikan jika
para pihak memberi kuasa kepada orang lain untuk melaksanakan suatu perjanjian.
karenanya, selain hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Pasal ini
ketiga, sedangkan memberikan hak kepada pihak ketiga dapat saja dilakukan jika
agar perjanjian tersebut dianggap sah secara hukum sehingga mengikat kedua belah
50
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 78.
perjanjian yaitu :
Kesepakatan merupakan salah satu perwujudan dari kehendak para pihak yang
melakukan perjanjian. Kehendak para pihak tersebut dapat berupa hal-hal yang
dilaksanankan dan siapa yang akan melaksanakan perjanjian tersebut. hal ini
terlaksana ketika salah satu pihak yang akan melaksanakan suatu perjanjian
dalam suatu perjanjian. Isi dari penawaran tersebut kemudian disampaikan kepada
pihak lainnya yang terlibat dalam suatu perjanjian. Begitu pula sebaliknya. Dan
apabila para pihak menerima penawaran satu sama lain maka tercapailah kata sepakat
konsensuil dengan adanya kesepakatan maka lahirlah perjanjian yang pada saat
perikatan. Dengan lahirnya perikatan tersebut maka menimbulkan hak dan kewajiban
antara debitur dan kreditur. Pasal 1236 KUHPerdata menegaskan bahwa debitur
wajib memberi penggantian berupa biaya, ganti rugi dan bunga dalam hal debitur ini
Lahirnya kesepakatan harus didasari dengan adanya kebebasan oleh para pihak
kesepakatan itu sah apabila diberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan
Paksaan terjadi jika salah satu pihak dalam perjanjian memberikan persetujuan
karena takut ada ancaman. Misalnya ancaman akan dibunuh jika tidak bersedia
menandatangani perjanjian. Dengan adanya ancaman ini berarti tidak ada kemauan
bebas bagi orang yang menandatangani perjanjian bahkan orang tersebut sebenarnya
tidak menginginkan adanya perjanjian. Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang yang
mengadakan perjanjian atau barang yang menjadi objek perjanjian. Penipuan terjadi
bila salah satu pihak dalam perjanjian memberikan keterangan yang tidak benar
dalam membuat suatu perjanjian para pihak yang terlibat haruslah cakap menurut
hukum. Cakap dalam artian para pihak tersebut telah dewasa, akil balik dan sehat
secara jasmani dan rohani. Syarat ini diperlukan agar para pihak yang melaksanakan
suatu perjanjian mampu memahami dan melaksanakan isi dari erjanjian yang telah
disepakati.
Pasal 1330 KUHPerdata telah menentukan siapa saja para pihak yang tidak
cakap, yaitu : 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2 mereka yang ditaruh dibawah
51
I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Bekasi : Megapoin, 2004), hlm.47.
52
Sutarno, Op.Cit., hlm.80.
undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
untuk membuat perjanjian tertentu.53 Akan tetapi ketentuan ketiga ini telah dikoreksi
Mahkamah Agung melalui surat edaran No. 3/1963 tanggal 4 agustus 1963 yang
Indonesia bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memnuhi syarat telah dewasa
diukur dari standar usia dewasa dan cukup umur (bekwaamheid – meerderjarig).
hukum yang tampaknya mewarnai praktik lalu lintas hukum di masyarakat. Pada satu
sisi sebagian masyarakat masih menggunakan standar 21 tahun sebagai titik tolak
kedewasaan seseorang dengan landasan 1330 BW jo. 330 BW. Sementara pada sisi
lain mengacu pada standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur dalam pasal 47 jo.
Telaah kritis terkait standar usia dewasa dapat dilakukan melalui pengujian
ketentuan terkait. Asas hukum lex specialis, lex posteriori digunakan untuk
53
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata :
Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2005), hlm.142.
54
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hlm.184.
diharapkan muncul suatu pemahaman utuh dan konsisten, khususnya bagi pihak-
standar usia yang berkorelasi dengan kecakapan melakukan perbuatan hukum, antara
lain :
Mengenai syarat suatu hal tertentu dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1332
Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
perjanjian.
paling sedikit ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti,
55
Ibid., hlm.184.
Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok
perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 169, 176, dan
178
Apabila ditinjau dari pasal 1332 KUHPerdata, maka benda yang dapat menjadi
pokok perjanjian adalah benda-benda yang dapat diperdagangkan atau hanya benda
yang masuk dalam lingkup lapangan harta kekayaan saja. Benda-benda yang berada
diluar lapangan harta kekayaan tidak dapat menjadi pokok perjanjian. Hal tersebut
bahwa semua jenis perjanjian pasti melibatkan beradaan dari suatu kebendaan
tertentu. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, maka benda yang diserahkan
tersebut harus dapat ditentukan secara pasti. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu,
dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal yang wajib dilakukan
oleh satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pasti juga berhubungan dengan
56
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Undang-Undang (Jakarta
: RajaGrafindo Perkasa, 2005), hlm.156.
Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak beruat sesuatu,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang
ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan,
baik yang berwujud maupn tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan
57
pada saat perjanjian dibuat. Dengan demikian maka menurut KUHPerdata,
kebendaan yang dijadikan objek dari perjanjian adalah objek yang telah ditentukan
jenisnya.
dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang
dapat membuat perjanjian yang mengikat kebendaan tersebut. 58akan tetapi undang-
undang tidak memperbolehkan barang-barang yang akan ada untuk dijadikan objek
perjanjian. Sekalipun benda tersebut merupakan suatu warisan yang belum dibuka.
Hal ini dikarenakan belum adanya kepastian bahwa benda yang diwariskan tersebut
Syarat keempat adalah sebab yang halal. Syarat ini diatur dalam Pasal 1335
sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa
: “suatu prjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karna suatu sebab yang palsu
secara rinci mengenai pengertian sebab yang halal, akan tetapi Pasal 1335
57
Ibid., hlm.158.
58
Ibid., hlm.159.
Pada dasarnya hukum hanya memperhatikan apa yang tertulis dalam suatu
perjanjian, mengenai segala sesuatu yang wajib dipenuhi oleh para pihak dalam
perjanjian tersebut. dengan kata lain, hukum tidak memperhatikan apa alasan dari
subjek hukum untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Pasal 1336
KUHPerdata menyatakan lebih lanjut bahwa suatu perjanjian yang dibuat para pihak
adalah sah jika tidak bertentangan dengan sebab yang dilarang. Selanjutnya Pasal
1337 KUHPerdata menyatakan sebab yang halal maksudnya adalah isi perjanjian
Syarat pertama dan syarat kedua disebut sebagai syarat subjektif, syarat ini
dikatakan sebagai syarat subjektif karena menyangkut orang atau pihak yang
membuat suatu perjanjian. Pihak yang membuat perjanjian ini disebut sebagai subjek
objektifkarena menyangkut mengenai objek yang diperjanjikan oleh para pihak yang
membuat perjanjian.
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan
(cancelling) oleh salah stu pihak yang tidak cakap. Dapat dibatalkan oleh salah satu
59
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1996), hlm. 99.
pihak artinya salah satu pihak dapat melakukan pembatalan atau tidak melakukan
pembatalan. Apabila salah satu pihak tidak membatalkan perjanjian itu maka
perjanjian yang dibuat tetap sah. Yang dimaksud adalah salah satu pihak yang
membatalkan disini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum. Y aitu orang
tuanya atau walinya atau orang yang tidak cakap itu apabila suatu saat menjadi cakap
atau orang yang membuat perjanjian itu bila pada saat membuat perjanjian tidak
Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak
pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUHPerdata yang menegaskan bahwa
kehendak pihak-pihak yang membuat tidak otomatis batal demi hukum atau batal
membatalkannya. 61
Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat oleh
mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan bahwa :
“(1) semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-
orang yang berada dibawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas
tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-
60
Sutarno, Op. cit., hlm. 78.
61
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Op. cit., hlm. 18.
mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya; (2) perikatan yang dibuat
oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah
disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut
Walaupun Pasal 1446 ayat (1) menyebutkan bahwa perikatan tersebut batal
demi hukum, para ahli berpendapat bahwa frasa ‘batal demi hukum’ itu tidak tepat.
Mereka berpendapat akibat hukum dari perjanjian seperti itu yang benar adalah
‘dapat dibatalkan’. Hal ini ditegaskan oleh Subekti, Mariam Darus Badrulzaman, dan
subjektif, tidak begitu saja dapat diketahui oleh Hakim jadi harus dimajukan oleh
pihak yang berkepentingan, dan bila dimajukan kepada Hakim mungkin sekali
disangkal oleh pihak lawan sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu maka
perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu bukannya batal demi hukum,
Apabila syarat ketiga yakni suatu hal tertentu dan keempat yaitu sebab yang
halal tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum dalam bahasa Inggris
disebut null and void. Batal demi hukum artinya perjanjian yang dibuat para pihak
tersebut sejak awal dianggap tidak pernah ada. Jadi para pihak tidak terikat dengan
62
Ibid., hlm. 19-20.
perjanjian karena perjanjian sebagai dasar hukum tidak ada sejak semula.63
Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya,
atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang
tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa objek yang jelas,
perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak. Perjanjian yang
tidak jelas objeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga ipso jure batal demi
hukum.64
Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal sehingga
terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUHPerdata merupakan kausa
atau ketertiban umum”. Perjanjian seperti in I tidak boleh atau tidak dapat
dilaksanakan sebab melanggar hukum atau kesusilaan atau ketertiban umum. Kondisi
semacam ini menurut Subekti, sudah sangat jelas dapat diketahui seketika oleh hakim
dan juga oleh umum sehingga untuk alasan ketertiban dan keamanan umum maka
C. Perjanjian Pinjam-Meminjam
satu memberikan kepada pihak yang lain sesuatu jumlah tentang barang-barang atau
63
Sutarno, Op. cit., hlm. 79.
64
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Op.cit., hlm. 9.
65
Ibid., hlm. 10.
uang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini mengembalikan dengan jumlah yang sama dari macam dan keadaan
yang sama pula.” Dari pengertian tersebut maka unsur-unsur penting dari perjanjian
pinjam-meminjam yaitu :
a. Persetujuan
b. Pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
pemilik mutlak barang pinjaman itu dan bila barang itu musnah maka yang
bertanggung awab adalah peminjam itu sendiri. Dalam hal ini Mariam Darus
Badrulzaman berpendapat bahwa : “apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua
unsur dalam perjanjian pinjam-meminjam uang maka tidak berarti bahwa perjanjian
tentang pinjam uang itu telah terjadi. Yang hanya baru terjadi adalah perjanjian untuk
mengadakan perjanjian pinjam uang. Apabila uang yang diserahkan kepada pihak
Dalam hal pinjaman uang, utang terjadi hanyalah teridir dari jumlah uang yang
disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum saat pelunasan terjadi kenaikan atau
kemunduran harga atau nilai atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang,
66
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 24.
maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang
berlaku pada waktu pelunasan dihitung menurut harga yang berlaku pada saat itu
(Pasal 1756 KUHPerdata). Dengan demikian untuk menetapkan jumlah uang yang
terutang, kita harus berpedoman pada jumlah uang yang disebutkan dalam
perjanjian.67
ini disebut sebagai kreditur dan penerima pinjaman yang disebut sebagai debitur.
Kreditur adalah orang yang memberi pinjaman uang kepada debitur, sedangkan
debitur adalah orang yang menerima pinjaman yang diberikan oleh kreditur.
kreditur maupun debitur ketika melakukan perjanjian maka akan menimbulkan suatu
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian yang dibuat. Adapun
b. Jika objek pinjaman tersebut adalah uang, maka pemilik uang itu berhak
perjanjian.
67
Lukman Santoso., Op.cit., hlm. 39.
68
Ibid., hlm. 44-45.
melaksanakan kewajibannya.
b. Tidak boleh meminta pengembalian pinjaman lebih awal dari jadwal yang
a. Berhak menerima dan menggunakan secara bebas barang atau uang yang
dipinjamnya.
b. Kalau terjadi perubahan nilai dan harga barang atau uang yang
c. Apabila barang yang dipinjamkannya itu bukan uang tapi berupa barang
Salah satu yang menjadi hak kreditur adalah berhak menyita barang peminjam
salah satu risiko yang harus diterima oleh peminjam ketika melakukan wanprestasi
terhadap perjanjian yang dilakukan. Risiko adalah kewajiban dalam memikul suatu
kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian luar salah satu pihak yang menimpa
memaksa”, titik pangkalnya yaitu risiko dan titik pangkal pada wanprestasi adalah
ganti rugi.
Risiko diatur dalam Pasal 1237 KUHPerdata yang berbunyi : “bahwa dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang tertentu
barang tertentu jika barang ini belum diserahkan musnah karena suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu
dalam bentuk uang akan meminta jaminan kepada debitor untuk mengurangi
salah satu prinsip kehati-hatian yang diterapkan dalam menyalurkan kredit. Dengan
69
Ibid., hlm. 18.
adanya barang jaminan tersebut, maka manakala debitur wanprestasi atau ingkar
janji, kreditur dapat mengambil pemenuhan utang dari penjualan barang jaminan
Hak-hak jaminan dalam praktik pada umumnya bersifat : (1) memberikan hak
kebendaan; dan (2) memberikan hak perorangan. Sifat hak kebendaan memberikan
bersifat kebendaan itu adalah untuk memberikan hak verhaal (hak meminta
diambilkan dari hasil penjualan benda-benda milik debitur. Ciri yang khas dari sifat
kebendaan pada hak jaminan adalah dapat dipertahankan dari siapapun dan senantiasa
mengikuti bendanya (droit de suite, zaakgevolg). Artinya, hak jaminan yang bersifat
berada.71
lansung antara perorangan yang satu terhadap yang lain. jaminan yang bersifat
perorangan memberikan hak verhaal kepada kreditur terhadap perorangan lain selaku
catatan, pihak penjamin dapat terlebih dahulu meminta agar kreditur mengajukan
70
M. Khoidin, Hukum Jaminan, (Surabaya : Laksbang Yustitia, 2017), hlm. 7.
71
Ibid., hlm. 8
72
Ibid.
D. Berakhirnya Perjanjian
yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.
Dengan dihapusnya perjanjian sebagai hubungan antara kreditur dan debitur maka
dengan sendirinya juga akan menghapuskan seluruh perjanjian yang dilakukan oleh
a. Karena pembayaran
“luas”. Tidak boleh diartikan dalam ruang lingkup yang sempit; seperti
yang selalu diartikan orang hanya terbatas pada masalah yang berkaitan
pemenuhan jasa.73
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1381 KUHPerdata, salah satu cara
73
M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 107.
hutangnya melalui cara ini. Hal seperti ini dapat terjadi apabila kreditur
antara kreditur dan debitur tidak terputus begitu saja. Berbeda dengan
perjanjian yang lama dan hubungan hukum yang lama. Dalam artian, para
pihak sepakat untuk membuat perjanjian yang baru. Dengan kata lain,
novasi adalah pernyataan kehendak para pihak kreditur dan debitur; yang
berisi penghapusan perjanjian lama, dan pada saat yang sama diganti
yang lama.
sama berkedudukan sebagai debitur. Dalam hal ini para pihak mempunyai
tagihan piutang satu sama lain yang mewajibkan mereka saling melunasi
KUHPerdata).
kesalahan debitur.
74
Ibid., hlm. 164.
Jika dilihat dari ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata, salah satu penyebab
Ditinjau dari segi yuridis, lampau waktu tiada lain dari pada “suatu
pemenuhan prestasi.
kalimat tersebut tiada lain dari pada penjelasan : hutang telah “di anggap”
75
Ibid., hlm. 167.
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
Dalam suatu perkawinan, dimaksud dengan ikatan lahir batin adalah bahwa
perkawinan yang dilakukan tersebut tidak cukup hanya dengan adanya ikatan lahir
saja atau ikatan batin saja. Akan tetapi hal tersebut harus ada kedua-duanya sehingga
akan terjalin ikatan lahir dan ikatan batin yang merupakan pondasi yang kuat dalam
Perkawinan yang telah dilakukan oleh suami istri memiliki 3 akibat hukum
yaitu :
Akibat dari adanya suatu perkawinan yang sah salah satunya adalah persatuan
harta benda yang ada sejak setelah melakukan perkawinan tersebut. Hal itu berarti
76
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
77
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
PT Bina Aksara, 1987), hal. 4.
55
bahwa dengan perkawinan antara suami dengan istri, maka harta mereka dilebur
menjadi satu. Dengan demikian di dalam suatu keluarga, terdapat satu kekayaan harta
Persoalan harta benda dalam perkawinan sangat penting karena salah satu
faktor yang cukup signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau tidaknya kehidupan
menunjukkan masih adanya keretakan hidup berumah tangga bukan disebabkan harta
benda melainkan faktor lain. harta benda hanya merupakan penopang dari
kesejahteraan tersebut. 79
Harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yang mengatakan “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama”. Berdasarkan pasal ini, secara yuridis formal dapat dipahami
pengertian harta bersama adalah harta benda suami istri yang didapatkan selama
perkawinan. Yang mendapatkan bisa suami istri secara bersama-sama, atau suami
saja yang bekerja atau istri yang bekerja dan suami tidak bekerja. Tidak ditentukan
yang mendapatkan harta, melainkan harta itu diperoleh selama perkawinan. Jadi
sangat jelas dan tegas, hukum menentukan bahwa harta yang diperoleh sebelum
perkawinan bukanlah harta bersama. Dengan demikian, sifat norma hukum yang
78
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 38.
79
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Loc. Cit.
melekat pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harta bersama adalah harta yang
diperoleh selama perkawinan tanpa mempersoalkan siapa yang mencarinya dan juga
tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta bersama tersebut didaftarkan. Namun hal
ini juga telah dibatasi oleh para ahli hukum, bahwa harta yang diperoleh baik itu oleh
suami dan/atau istri adalah harta bersama jika diperoleh atas hasil usaha dan jerih
payah selama perkawinan berlansung. Dengan demikian harta yang dibawa sebelum
perkawinan, harta yang berasal dari warisan, hibah, dan hadiah bukan merupakan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 35 ayat (1) berbunyi : “harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Cakupan atau batasan
dari harta bersama diatur dalam ayat (2) yaitu : “harta bawaan dari masing-masing
suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
menentukan lain”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, harta bersama diatur dalam Pasal 1 huruf F
perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
80
Ibid.
“sejak saat dilansungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama
menyeluruh antara suami istri, sejauh hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa harta benda dalam perkawinan
merupakan harta yang berasal dari harta perseorangan atau pribadi yang
hadiah.
Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan yang diatur oleh KUHPerdata ada
81
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga,
(Bandung : CV. NUANSA AULIA, 2006), hlm. 63-64.
Pasal 119 KUHPerdata mengatur tentang persatuan bulat harta kekayaan yang
persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan
perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. persetujuan itu sepanjang perkawinan
tak boleh diadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.”
Persatuan bulat (seluruhnya) harta kekayaan terjadi jika suami dan istri pada
perkawinannya tiada mengadakan perjanjian suatu apa. Lain persatuan terjadi dengan
perkawinan dengan akta notaris dan mulai berlaku sejak saat perkawinan (Pasal 147).
82
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT. RINEKA
CIPTA, 2004), hlm. 166.
83
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op. cit., hlm. 62-63
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
Jika suami dan istri telah sepakat melakukan perjanjian perkawinan, maka
sudah tidak dimungkin lagi ada persatuan bulat harta suami dan istri. Sebab persatuan
bulat hanya terjadi ketika suami dan istri tidak mengadakan perjanjian perkawinan.
Berbicara tentang persatuan harta bersama, maka ada 2 (dua) hal yang akan
dibahas yang disebutkan dalam Pasal 154 KUHPerdata mengenai persatuan untung
dan rugi, dan yang kedua diatur dalam Pasal 164 KUHPerdata mengenai persatuan
hasil dan pendapatan. Selain itu dalam Pasal 120 dan Pasal 121 KUHPerdata telah
ditentukan bahwa persatuan itu meliputi harta kekayaan suami dan istri, baik harta
yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sekarang maupun yang kemudian,
termasuk juga yang diperoleh dengan cuma-cuma (warisan, hibah); segala beban
suami dan istri yang berupa hutang suami dan istri, baik sebelum maupun sepanjang
perkawinan.
Namun, dalam Pasal 120 KUHPerdata diakhir kalimat ditegaskan bahwa jika
itu berkaitan dengan waris atau hibah maka akan ada pengecualian. Yang mana jika
yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan bahwa barang yang menjadi
warisan atau hibah tersebut untuk tidak dimasukkan kedalam harta persatuan maka
Maka menurut Pasal 120 jo. 121 KUHPerdata, persatuan bulat meliputi 84:
1. Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang maupun
di kemudian hari.
ada sama sekali persatuan harta kekayaan. Ini harus dengan tegas diperjanjikan, kalau
hanya disebut tidak ada persatuan harta kekayaan saja, maka masih bisa berarti ada
persatuan untung dan rugi (Pasal 144). Arti dari perjanjian ini ialah sebagai disebut
dalam Pasal 140 ayat 2 kalimat terakhir ialah : istri akan mengatur sendiri harta
kekayaanya pribadi dan akan menikmatinya sendiri pula dengan bebas segala
pendapatan pribadi. Jadi di dalam hal ini tiada ada barang suatupun yang menjadi
Walaupun tidak ada sama sekali persatuan harta kekayaan, istri dapat
menyumbangkan harta kekayaan pribadinya untuk setiap keperluan atau biaya rumah
tangga. Hal ini telah diatur di dalam Pasal 145 KUHPerdata yang menentukan bahwa
dapat ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh si istri setiap tahun dari
kekayaan pribadinya untuk biaya rumah tangga dan keperluan pendidikan anak-anak.
Jika dalam perjanjian kawin tidak dimuat tentang hasil dan pendapatan istri, maka
84
Djaja S. Meliala, Op. cit., hlm. 62.
85
Ali Afandi, Op. cit., hlm. 178.
persatuan hasil dan pendapatan suami dan istri. Mengenai persatuan hasil dan
pendapatan suami dan istri terjadi dengan pernyataan secara tegas dalam perjanjian
kawin, dan secara diam-diam berarti bahwa persatuan bukanlah persatuan harta
kekayaan seluruhnya dan juga bukan merupakan persatuan untung dan rugi.
Ketentuan mengenai persatuan ini telah diatur dalam Pasal 164 KUHPerdata yang
persatuan hasil dan pendapatan, berarti secara diam-diam suatu ketiadaan persatuan
dan rugi.”
Maksud pasal tersebut adalah persatuan hasil dan pendapatan adalah bentuk lain
dari macam harta kekayaan perkawinan yang tidak berupa pemisahan harta secara
keseluruhan dan bukan pula persatuan untung dan rugi. Jadi, di samping persatuan
untung dan rugi, para pihak (suami-istri) juga dapat memperjanjikan dalam perjanjian
perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan. Persatuan hasil dan pendapatan
ini pada prinsipnya hampir sama dengan persatuan untung dan rugi, hanya saja
melebihi aktiva persatuan hasil dan pendapatan akan menjadi tanggungan si pembuat
hutang tersebut. Dengan demikian, semua hutang-hutang ada di luar persatuan atau
tanggungan pribadi dari pihak yang berutang tersebut kepada pihak ketiga
(kreditur).86
untung dan rugi persatuan seperti ini dapat diadakan dengan 2 cara, yaitu :87
Menurut hukum perjanjian ini berarti : persatuan untung dan rugi (Pasal
144)
persatuan.
Jadi di dalam hal ini ada milik dan hutang pribadi suami, asal sebelum
perkawinan; milik dan hutang pribadi suami, asal sebelum perkawinan; milik dan
hutang pribadi istri, asal sebelum perkawinan; milik dan hutang bersama-sama yaitu
harta yang jatuh pada persatuan selama perkawinan, kecuali jika ditentukan lain. 88
Kendati dengan demikian, maka dalam rumah tangga tersebut tiga macam harta
kekayaan, yaitu harta persatuan yang terbatas yaitu persatuan untung dan rugi, harta
pribadi suami, dan harta pribadi istri. Yang termasuk dalam harta pribadi adalah
86
Asrin R Abjul, Perjanjian Perkawinan Tentang Harta Yang Diperoleh Sebelum dan
Sesudah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/download/15394/14941+&cd=2&hl=en&
ct=clnk&gl=id&clien, diakses pada 29 Maret 2018 pukul 21:09.
87
Ali Afandi, Op. cit., hlm. 175.
88
Ibid., hlm. 176.
barang atau benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ke dalam
sebagai warisan, hibah wasiat atau hibah. Terjadinya persatuan untung dan rugi maka
semua keuntungan yang diperoleh dan semua kerugian yang diderita sepanjang
perkawinan akan menjadi bagian dan beban suami-istri menurut perbandingan yang
sama besarnya. Yang dimaksud sebagai keuntungan menurut Pasal 157 KUHPerdata
adalah semua pertambahan nilai harta suami-istri sepanjang perkawinan yang muncul
sebagai hasil dan pendapatan dari barang-barang milik suami dan istri, dari kerja dan
usaha suami dan istri, dan dari sisa pendapatan yang tak dibelanjakan.89
Mengenai pemisahan harta kekayaan, hal ini terjadi, jika masih terdapat dalam
Selain itu, pemisahan harta kekayaan juga dapat terjadi karena perkawinan
a. Karena kematian;
d. Karena perceraian.
89
Asrin R Abjul., Op. cit.
90
Ali Afandi, Op. cit., hlm. 171.
91
Ibid.
Pengaturan hukum atas harta bersama jika terjadi perceraian adalah menurut
hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Dalam praktik, penggunaan
hukum agama atau hukum adat tergantung kepada agama dan suku dari suami istri.
Jika suami dan istri yang putus karena perceraian menganut agama Islam, mereka
selalu membagi harta benda berdasarkan hukum Islam, namun tidak pula menutup
harta benda karena perceraian selalu tunduk pada hukum adat jika mereka satu suku,
dan kalau tidak ada kesepakatan diselesaikan menurut hukum adat maka yang berlaku
Jika dilihat dari KUHPerdata, apabila perkawinan tersebut berakhir maka hal
itu diatur oleh Pasal 128 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setelah bubarnya
persatuan (perkawinan), maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri,
atau antara para ahli waris mereka masing-masing dengan tidak memperdulikan soal
dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya. 93 Sama halnya seperti
pembagian yang diatur dalam KUHPerdata, dalam Kompilasi Hukum Islam pun
ditentukan bagi yang beragama islam yaitu janda atau duda cerai hidup masing-
masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.94
92
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op. cit., hlm. 68-69
93
I Ketut Oka Setiawan dan Arrisman, Hukum Perdata Tentang Orang dan Benda, (Jakarta :
FH Utama Jakarta, 2010), hlm. 71.
94
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 97.
Di dalam hal bubar karena kematian maka menurut ketentuan Pasal 127
KUHPerdata orang tua yang masih hidup harus mengadakan pendaftaran harta
kekayaan persatuan di dalam waktu 3 bulan, jika ada anak yang belum dewasa.
Di dalam Burgelijk Wetboek pemisahan harta dapat diminta oleh istri, dan di
sini disebutkan tentang hak-hak istri untuk meminta pemisahan harta beda, yang
diatur dalam Pasal 186 BW menyebutkan : sepanjang perkawinan setiap istri berhak
memajukan tuntutan kepada hakim akan pemisahan harta kekayaan, akan tetapi hanya
1. Jika si suami karena kelakuannya yang nyata tak baik telah memboroskan
2. Jika karena tak adanya keterlibatan dan cara yang baik dalam mengurus
harta kekayaan si suami sendiri, jaminan guna harta kawin si istri dan
guna segala apa yang menurut hukum menjadi hak si istri, akan menjadi
kabur atau jika karena sesuatu kelalaian besar dalam mengurus harta
Hak untuk meminta pemisahan harta benda ini hanyalah ada pada pihak istri,
sedangkan suami tidak mempunyai hak untuk itu. Karena pemisahan harta benda ini
daripada istri.
95
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 68-
69.
Bersama
wewenang suami dan istri terhadap bersama, yang menyatakan bahwa : “mengenai
harta bersama suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Dari
pasal tersebut menegaskan bahwa wewenang atau kekuasaan atau hak suami dan istri
sama besarnya.
Oleh karena itu suami dan istri dapat menggunakan atau melakukan perbuatan
hukum terhadap harta mereka. Namun dalam melakukan perbuatan hukum terhadap
harta bersama tersebut, suami dan istri haruslah mendapatkan persetujuan atau izin
dari pihak lainnya hal ini dikarenakan suami dan istri mempunyai wewenang yang
sama besarnya terhadap harta tersebut sehingga untuk melakukan perbuatan hukum
tertentu terhadap harta kekayaan maka harus ada kesepakatan terlebih dahulu antar
Pada prinsipnya harta bersama itu diatur bersama dan dipergunakan dalam
segala sesuatu harus persetujuan bersama. 96 Hal ini dikarenakan kedudukan suami
dan istri adalah seimbang dalam rumah tangga dan masyarakat maka suami dan istri
bersama-sama berhak atas harta bersama tersebut. hal ini ditegaskan dalam Pasal 31
ayat (1) UUP mengenai hak dan kewajiban suami istri yang menyatakan bahwa : “hak
96
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading, 1975), hlm.
123.
dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah
Akibat dari wewenang suami dan istri terhadap harta bersama adalah seimbang,
maka perbuatan hukum terhadap harta benda tersebut adalah seimbang. Misalnya
suami ingin menjaminkan harta bersama sebagai jaminan kredit, hal ini adalah sah
secara hukum tetapi ada syarat yang harus dipenuhi yaitu persetujuan istri jika harta
Mengenai harta bersama, suami istri tidaklah bebas dan leluasa melakukan
perbuatan hukum melainkan jika salah satu pihak akan menjaminkan atau
mengalihkan harta tersebut wajib untuk meminta persetujuan dari pihak lainnya.
Misalnya seorang suami istri memiliki rumah sebagai harta bersama yang diperoleh
selama perkawinan. suaminya seorang pelaku usaha danistrinya seorang guru. Suami
membutuhkan modal usaha dan memerlukan rumah tersebut untuk dijadikan jaminan
hutang kepada bank. Tindakan suami menjaminkan rumah harus mendapatkan izin
dari istri. Jika tidak demikian maka perjanjian kredit dengan jaminan rumah tersebut
menjadi cacat hukum, dan dapat dibatalkan. Biasanya bank (kreditur) sangat hati-hati
mengucurkan kreditsnya sehingga dalam contoh di atas, bank meminta kepada istri
untuk turut menandatangani perjanjian kredit agar dibelakang hari tidak menjadi
masalah hukum.97
Berbeda halnya dengan harta bawaan masing-masing suami atau istri yang
tidak memerlukan izin salah satu pihak jika harta tersebut mau dialihkan atau dijual
97
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op. cit., hlm. 68.
kepada pihak lain. suami atau istri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan
Ketika ada wewenang suami istri terhadap harta bersama, maka akan ada pula
tanggung jawab yang dipikul suami istri tersebut. tanggung jawab disini adalah dalam
artian siapa yang akan memikul beban ketika ada hutang yang dibuat oleh suami dan
istri. Baik itu dilakukan secara pribadi maupun bersama. Mengenai tanggung jawab
ini sebenarnya tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Perkawinan, namun
dapat kita lihat dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang
menyatakan bahwa : “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
Dari pasal tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa terhadap harta pribadi,
baik itu milik suami atau istri secara pribadi maka harta benda tersebut berada di
bawah penguasaan masing-masing. Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap harta
benda tersebut adalah secara pribadi. Hutang-hutang yang timbul dari perbuatan
hukum terhadap harta tersebut dipikul secara pribadi oleh suami atau istri. Lain
halnya jika itu adalah harta bersama. Karena harta bersama merupakan harta benda
yang diperoleh selama perkawinan, maka seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
Oleh karena tanggung jawab suami istri seimbang maka hutang-hutang yang
ditimbulkan dari suatu perbuatan hukum terhadap bersama tersebut dipikul bersama.
98
Ibid.
Walaupun yang melakukan perbuatan hukum adalah salah satu pihak, baik itu pihak
suami atau pihak istri. Namun, untuk pertanggungjawabannya tetap dipikul oleh
persetujuan oleh pihak suami atau istri sehingga keduanya sepakat terhadap perbuatan
Yang ada hanya ketentuan jika persatuan telah dibubarkan, seperti tersebut dalam
Pasal 130, pasal 131, sehingga ketentuan-ketentuan itu boleh dipakai penggunaannya
di dalam keadaan sebelum perkawinan bubar.99 Jika demikian, maka tanggung jawab
suami istri terhadap hutang yang timbul selama perkawinan adalah masing-masing
Pada umumnya kredit yang diterima oleh debitor diamankan dengan adanya
jaminan kredit. Faktor jaminan merupakan faktor yang sangat penting bagi kreditor
maka memerlukan kepastian, 100 bahwa pinjaman yang telah diberikan oleh kreditor
akan dibayar pada waktu yang telah disepakati. Jadi, jaminan disini dipermaksudkan
untuk mengurangi resiko jika debitor lalai dalam mengembalikan uang yang telah
Jaminan kredit merupakan suatu jaminan baik itu berupa benda atau orang yang
diberikan oleh debitor kepada kreditor untuk memberikan rasa aman kepada kreditor
99
Ali Afandi, Op. cit., hlm. 169.
100
Sunarti Hartono, Beberapa Pemikiran ke Arah Pemberharuan Hukum Tanah, (Bandung :
Alumni, 1998), hlm. 20.
dalam memberikan pinjaman kepada debitor, selain itu dilakukan untuk mengurangi
kebendaan, yang bergerak dan tidak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan debitor itu”. Ini
berarti setiap tindakan seseorang dalam lapangan harta kekayaan selalu akan
membawa akibat terhadap harta kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah
harta kekayaan (kredit), maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta
kekayaannya (debit). Demikianlah harta kekayaan setiap orang akan selalu berada
dalam keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Setiap
perjanjian yang dibuat maupun perikatan yang terjadi akan mengakibatkan harta
jaminan umum. Yang dimaksud dengan jaminan umum adalah jaminan yang
(kreditur dan debitur), secara otomatis kreditur sudah mempunyai hak verhaal atas
benda-benda milik debitur. Jaminan umum tertuju pada semua benda milik debitur.
Jaminan umum tertuju pada semua benda milik debitur, yaitu benda bergerak dan
benda tidak bergerak, baik benda yang sudah ada maupun benda yang baru akan ada.
Terhadap jaminan umum ini, para kreditur berkedudukan sebagai kreditur konkuren
101
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung
Menanggung, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 1.
(persaingan). Artinya kedudukan para kreditur adalah sama, tidak ada yang lebih
Sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata, segala kebendaan milik debitor akan
dijadikan jaminan dalam setiap perikatan yang dilakukan oleh debitor. benda yang
dimiliki debitor dapat merupakan benda milik pribadi dan benda milik bersama.
Benda tersebut dapat dikatakan milik bersama jika seorang debitor terikat dalam
suatu perkawinan dan benda tersebut dihasilkan oleh suami istri selama terikat
perkawinan. benda tersebut merupakan harta bersama yang menjadi milik suami istri
walaupun kepemilikan terhadap harta bersama tersebut hanya terdaftar atas nama satu
orang saja.
Dengan demikian, harta kekayaan suami istri ini dapat dijadikan sebagai objek
jaminan dalam suatu perjanjian jika salah satu baik itu suami atau istri melakukan
perjanjian dengan kreditor. Namun, harta bersama tersebut hanya dapat dijadikan
sebagai objek jaminan jika pihak lainnya menyetujui harta bersama tersebut dijadikan
sebagai objek jaminan. Misalnya ketika suami sebagai debitur memberikan jaminan
yaitu surat tanah kepada kreditor, maka suami harus mendapatkan izin istri karena
tanah tersebut merupakan milik suami dan istri. Karena mengenai harta bersama,
103
suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
102
M. Khoidin, Hukum Jaminan, (Surabaya : Laksbang Yustitia, 2017), hlm. 11.
103
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung : Alumni, 1980), hlm. 64.
A. Peristiwa Konkret
pihak yang bersengketa pada saat itu adalah Anna sebagai Penggugat, umur 36 tahun,
Tinggi Kota, Kota Tebing Tinggi, dalam hal ini diwakili oleh kuaasanya Syafrizal,
S.H., M.H. dan Salmi Saleh, S.H. Advokat Penasehat Hukum berkantor di Jl. Denai
Bejuang, Kecamatan Tebing tinggi Kota, Kota Tebing Tinggi, dalam hal ini diwakil
oleh kuasanya Sukiran, S.H., M.Kn, Mangara Manurung, S.H, Edy Martino, S.H.,
M.H, Budi Hartono Purba, S.H, B Hans B Silalahi, S.H, Maya Manurung, S.H., SpN,
73
Penggugat dan Tergugat sebelumnya adalah suami istri yang sah yang terikat
dalam suatu perkawinan, dan perkawinan tersebut telah dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil Kota Medan sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No. 184/1999
tertanggal 8 Maret 1999, diterbitkan oleh Kepala Dinas Kependudukan Kota Medan.
Perkawinan Penggugat dan Tergugat telah pula diputus karena perceraian dengan
orang anak masing-masing bernama Alessandro, Angelia Intan, Lorenzo Cartan, dan
Carlene Intan. Dan selama masa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat juga
telah memperoleh harta bersama, baik harta yang tidak bergerak dan harta yang
hak) Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
hak) Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
hak) Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
hak) Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan
hak) Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan
Deli Serdang;
2012;
2012;
10. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
1.716 M2, terdaftar atas nama Surianto (Tergugat), yang telah diblokir
11. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
4.266 M2, terdaftar atas nama Surianto (Tergugat), yang telah diblokir
Tergugat selama masa perkawinan di atas berada di tangan Tergugat yaitu Surianto.
Selain harta tidak bergerak tersebut diatas, terdapat juga harta bergerak yang
diperoleh selama perkawinan yaitu berupa uang baik dalam bentuk Tabungan,
ataupun Deposito dan harta benda produk perbankan yang dimiliki atau disimpan di
bank, baik bank swasta atau bank pemerintah yang terdaftar atas nama Surianto
(Tergugat).
Oleh karena perkawinan mereka telah putus karena perceraian dan seluruh
surat-surat asli yang berkaitan dengan harta bersama dsisimpan oleh Tergugat, maka
perkawinan agar dibagi secara natural seluruh harta bersama tersebut. jika pembagian
secara natural dimaksud tidak dapat dilaksanakan, maka dapat dilakukan pelelangan
Penggugat pada saat itu. Setelah mendengar jawaban dari Tergugat didapati fakta di
Persidangan bahwa harta bersama yang merupakan harta tidak bergerak yang
diperoleh selama masa perkawinan telah dijadikan jaminan hutang untuk kelansungan
usaha oleh Tergugat. Adapun harta bersama yang dijadikan jaminan hutang adalah :
berupa : Sertifikat hak Milik No. 138 dan Sertifikat Hak Milik No. 139
620.000.000,- (enam ratus dua puluh juta rupiah) dengan agunan berupa :
Sertifikat hak Milik No. 1097 dan Sertifikat Hak Milik No. 1098 atas
hak Milik No. 142 sebagaimana tertuang dalam Surat Perjanjian Pinjam
Meminjam tanggal 16 Juli 2001 dimana hutang tersebut hingga saat ini
(delapan puluh juta rupiah) dengan agunan berupa : Sertifikat hak Milik
No. 140 atas nama Surianto sebagaimana tertuang dalam Surat Perjanjian
125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah) dengan agunan berupa
dimana hutang tersebut hingga saat ini belum dilunasi sehingga yang
Sertifikat hak Milik No. 685 atas nama Surianto sebagaimana tertuang
hutang tersebut hingga saat ini belum dilunasi sehingga yang menjadi
750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dengan agunan berupa :
Sertifikat hak Milik No. 223 atas nama Surianto sebagaimana tertuang
dimana hutang tersebut hingga saat ini belum dilunasi sehingga yang
450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) dengan agunan berupa
: Sertifikat hak Milik No. 233 atas nama Surianto sebagaimana tertuang
hutang tersebut hingga saat ini belum dilunasi sehingga yang menjadi
hutang tersebut hingga saat ini belum dilunasi sehingga yang menjadi
Tebing Tinggi. Akhirnya pada tanggal 03 April 2014 perkara tersebut telah diputus di
hak) Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
hak) Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
hak) Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
(Tergugat);
(Tergugat);
Sumatera Utara, seluas 14. 582 M2, terdaftar atas nama Surianto
(Tergugat);
(Tergugat);
5. Menyatakan Sita Marital yang diletakkan dalam perkara aquo sah dan
berharga;
5.321.000,- (lima juta tiga ratus dua puluh satu ribu rupiah);
Haknya
A. Pihak Penggugat
Februari 2013 yang antara lain menegaskan bahwa “Kerahasiaan bank bisa diterobos
dengan adanya harta gono gini”, maka Penggugat memohonkan kepada Majelis
Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara aquo dan menyurati Bank Indonesia
agar memberi penjelasan serta keterangan atas Tabungan, Deposito dan harta benda
produk Perbankan, baik yang ada pada bank swasta atau bank pemerintah yang
2. Sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan menjadi harta bersama”, maka seluruh harta kekayaan yang dihasilkan
oleh Penggugat dan Tergugat selama masa perkawinan adalah sah sebagai harta
bersama;
3. Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yang berbunyi : “Mengenai harta bersama suami atau istri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Penggugat merasa khawatir harta
bersama tersebut akan berpindak kepada pihak ketiga tanpa persetujuan Penggugat;
4. Bahwa dari dan oleh karena itu sangat patut dan beralasan bagi Majelis Hakim
yaitu meletakkan Sita Marital terhadap harta bersama antara Penggugat dan Tergugat.
Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 190 KUHPerdata yang berbunyi :
“Sementara perkara berjalan, dengan seizin Hakim istri boleh mengadakan tindakan-
tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan”;
Akta Perkawinan No. 184/1999 tertanggal 8 Maret 1999 diterbitkan oleh Kepala
karena perceraian, maka sangat patut dan beralasan bagi Majelis Hakim untuk
mengadili perkara aquo, untuk mengabulkan Gugatan Penggugat agar seluruh harta
bersama tersebut dibagi sama banyak antara Penggugat dan Tergugat , dengan
Majelis Hakim untuk mengadili dan mengambil keputusan yang amarnya sebagai
berikut :
(b) Menyatakan sah perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sesuai dengan
(c) Menetapkan sebagai harta bersama milik Penggugat dan Tergugat yang
hak) Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
hak) Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
hak) Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu
(Tergugat);
(Tergugat);
Sumatera Utara, seluas 14. 582 M2, terdaftar atas nama Surianto
(Tergugat);
(Tergugat);
2. Harta Bergerak, berupa uang baik dalam bentuk Tabungan, Deposito, dan
harta benda produk prbankan yang dimiliki atau disimpan di bank, baik
bank swasta atau bank pemerintah yang terdaftar atas nama Surianto
(Tergugat).
(d) Menghukum Tergugat dan Penggugat agar segera membagi harta bersama
Penggugat dan 50% sisanya sebagai bahagian Tergugat. Kalau tidak dapat
(e) Menyatakan Sita Marital yang diletakkan dalam perkara aquo sah dan
berharga.
(f) Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan secara serta merta (Uitvoerbaar
Kembali.
(g) Membebankan kepada Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul
B. Pihak Tergugat
Penggugat dalam gugatannya kecuali ada yang diakui dan sejalan dengan jawaban
ini.
dihadapan Pemuka Agama Budha yang bernama Ling Ku tanggal 3 Januari 1998 di
Vihara Vimala Diepa Jl. H.O.S Cokrominoto No. 15 A Medan dan perkawinan
tersebut telah dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil Kota Medan sesuai dengan
kutipan Akta Perkawinan No. 184/1999 tanggal 8 Maret 1999 Diterbitkan oleh
3. Oleh karena perkawinan Tergugat dan Pengugat telah diputus karena perceraian
dengan putusan verstek oleh Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 29/Pdt-
4. Tergugat dan Penggugat memiliki harta bersama yang diperoleh selama masa
perkawinan, berupa harta tidak bergerak seperti yang telah disebutkan dalam gugatan
Tergugat, dan atas benda bergerak yang telah disebutkan sebelumnya dalam bentuk
Tabungan, Deposito dan produk perbankan yang dimiliki Tergugat adalah tidak
benar. Karena Tergugat tidak memiliki harta bergerak dalam bentuk Tabungan,
5. Oleh karena seluruh harta bersama tersebut telah dijadikan jaminan hutang oleh
Tergugat oleh untuk kelansungan usahanya maka patut dan beralasan hukum harta
tidak bergerak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai harta bersama dengan alasan
harta tidak bergerak tersebut suratnya ada di tangan orang lain (Hardi Mistani)
dibagi secara bersama adalah tidak benar dan harus ditolak. Jawaban Tergugat ini
menurut penulis adalah tidak mendasar dan tidak sesuai dengan kaidah hukum yang
berlaku. Tergugat tidak memberikan alasan mengapa harta tersebut tidak dapat dibagi
secara bersama dengan berdasarkan hukum. Bahkan hal tersebut telah melanggar
ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa suami istri dapat bertindak atas harta bersama dengan
persetujuan kedua belah pihak. Sementara, dalam hal ini perjanjian yang dibuat
dengan Hardi Mistani tidaklah sah karena tanpa persetujuan Anna (Penggugat)
6. Bahwa dalam perkara ini tidaklah didasarkan pada suatu akta atau akta autentik
voorraad) tidaklah beralasan hukum karena tidak memenuhi syarat sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) Rbg.
Majelis Hakim untuk mengadili dan mengambil keputusan yang amarnya sebagai
berikut :
(a) Menyatakan sah perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang telah
(b) Menolak permohonan Penggugat atas penetapan harta tidak bergerak berupa :
Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Jadi, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, seluas 14. 582
(Tergugat);
(Tergugat);
10. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
11. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
(c) Menolak pembagian harta bersama agar dibagi secara natural dengan
(d) Menolak penetapan harta bergerak yang dimiliki oleh tergugat baik itu dalam
(e) Menolak sita marital dalam perkara aquo atas harta bergerak dan tidak
bergerak.
berikut :
1998 di Vihara Vimala Diepa Jl. H.O.S Cokrominoto No. 15 A Medan dan
perkawinan tersebut telah dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil Kota Medan
sesuai dengan kutipan Akta Perkawinan No. 184/1999 tanggal 8 Maret 1999
Penggugat dan Tergugat telah pula diputus karena perceraian dengan putusan
Bahwa, dari perkawinan tersebut di atas antara Penggugat dan Tergugat telah
memperoleh harta selama masa perkawinn, baik harta yang tidak bergerak dan
harta bergerak;
Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Jadi, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, seluas 14. 582
(Tergugat);
(Tergugat);
10. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
11. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
Harta bergerak, berupa uang baik dalam bentuk Tabungan, Deposito, dan harta benda
produk prbankan yang dimiliki atau disimpan di bank, baik bank swasta atau bank
Bahwa atas harta tidak bergerak yang telah disebutkan diatas yang menjadi
jaminan hutang oleh Tergugat maka patut dan beralasan hukum harta tidak
bergerak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai harta bersama dengan alasan
harta tidak bergerak tersebut suratnya ada ditangan orang lain (Hardi Mistani)
bersama dalam gugatannya untuk dibagi secara bersama adalah tidak benar
mengajukan alat-alat bukti tertulis yaitu : bukti bertanda P-1 sampai dengan P-9 dan 2
telah mengajukan alat-alat bukti tertulis yaitu : bukti bertanda T-1 sampai dengan T-9
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 dan bukti P-2 diperoleh fakta bahwa
Kelurahan Badak Bejuang Kecamatan Tebing Kota, Kota Tebing Tinggi dan
berstatus sebagai suami istri dan mempunyai 4 (empat) orang anak yaitu yang
bernama :
Pengadilan Negeri Tebing Tinggi telah memeriksa dan memutus bahwa perkawinan
antara Penggugat dan Tergugat yang dilakukan pada tanggal 08 Maret 1998 putus
karena perceraian dan perkara tersebut sudah berkekuatan hukum tetap tertanggal 05
Oktober 2012;
Tebing Tinggi mengenai putusnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat karena
Penggugat dan Tergugat diperoleh harta benda bergerak dan tidak bergerak yaitu :
Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Jadi, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, seluas 14. 582
(Tergugat);
(Tergugat);
10. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
11. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
Berupa uang baik dalam bentuk Tabungan, Deposito dan harta benda produk
perbankan yang dimiliki atau disimpan di bank swasta atau bank pemerintah yang
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-4 bahwa Sertifikat Hak Milik No.
Hak Milik No. 2/Karang Tengah masih terdaftar atas nama Surianto (Tergugat) dan
terhadap Sertifikat Hak Milik tersebut telah dilakukan pemblokiran oleh Kantor
Milik No. 842/Bakaran Batu terdaftar atas nama Surianto (Tergugat) terhadap
Sertifikat Hak milik tersebut telah dilakukan pemblokiran oleh Kantor Pertanahan
Milik No. 00824/Brohol telah dilakukan pemblokiran oleh Kantor Pertanahan Kota
Tebing Tinggi;
Milik No. 00685/Brohol telah dilakukan pemblokiran oleh Kantor Pertanahan Kota
Tebing Tinggi;
Penggugat sebagaimana dalam jawaban Tergugat hal tersebut diakui oleh tergugat
sebagai harta yang diperoleh ketika Penggugat dan Tergugat masih terikat
perkawinan;
dengan Penggugat telah dijadikan jaminan hutang hal ini sebagaimana disebutkan
110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah) dengan saksi Hardi Mistani dimana
1. Surat ganti rugi akta camat No. 593.83/69 atau surat Notaris/PPAT No.
2. Surat ganti rugi akta camat No. 593.83/70 atau surat Notaris/PPAT No.
3. Surat ganti rugi akta camat No. 593.83/71 atau surat Notaris/PPAT No.
Rp. 825.000.000,- (delapan ratus dua puluh lima juta) dengan saksi Hardi Mistani
1. SHM No. 138 terletak di Desa Pon Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Deli
Serdang;
2. SHM No. 138 terletak di Desa Pon Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Deli
Serdang;
Dimana Tergugat harus mengembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal perjanjian;
620.000.000,- (enam ratus dua puluh juta rupiah) dengan saksi Hardi Mistani dimana
Dimana Tergugat harus mengembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal perjanjian.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dengan saksi Hardi Mistani dimana Tergugat
memberikan jaminan SHM No. 842 Jln. Perbatasan gg Lesatari Desa Bakaran Batu,
Dimana Tergugat harus mengembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal perjanjian;
80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dengan saksi Hardi Mistani dimana
Tergugat memberikan jaminan : 1 (satu) unit ruko di Jalan Poni Indah No. 10 E Desa
Dimana Tergugat harus mengembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal perjanjian;
750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dengan saksi Hardi Mistani.
Dimana Tergugat harus mengembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal perjanjian;
450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) dengan saksi Hardi Mistani
2. Surat Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi No.
53/VIII/1992;
3. Surat Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi No.
40/VIII/1993;
Dimana Tergugat harus mengembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
210.000.000,- (dua ratus sepuluh juta rupiah) dengan saksi Hardi Mistani dimana
Maret 1989;
Dimana Tergugat harus mengembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah) dengan saksi Hardi Mistani
dimana Tergugat memberikan jaminan : Sertifikat Hak Milik No. 824 Kelurahan
Dimana Tergugat harus mengembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal perjanjian;
Tergugat bahwa selama perkawinan Penggugat dan Tergugat telah memperoleh harta
bersama dimana apabila melihat ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan harta benda yang diperoleh selama
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan harta bawaan dari masing-
masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
Tergugat serta berdasarkan bukti-bukti yang diajukan Penggugat dan Tergugat serta
berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat dan Tergugat tidak
ada perjanjian antara Penggugat dan tergugat yang mengatur tentang harta bersama
atau harta bawaan atau hibah dan warisan dari Penggugat dan Tergugat sehingga
dengan demikian Majelis Hakim menilai bahwa harta bersama Penggugat dan
Tergugat tunduk pada ketentuan BAB VII Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tentang Harta Benda dalam Perkawinan Pasal 35, Pasal 36, Pasal
37;
1 tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan mengenai harta bersama suami atau
bahwa harta bersama yang diakui oleh Penggugat adalah harta bersama tetapi sudah
dijaminkan sebagai jaminan Tergugat dalam meminjam uang kepada saksi Hardi
Mistani;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T-1 sampai dengan T-9 adalah benar
Tergugat meminjam sejumlah uang dalam jangka waktu dari tahun 2000 sampai
dengan 2008 kepada saksi hardi Mistani, dimana peminjaman uang dilakukan ketika
Menimbang, bahwa apabila melihat bukti T-1 sampai dengan bukti T-9
dimana pihak yang meminjam hanya Tergugat dan yang meminjamkan uang adalah
saksi Hardi Mistani, tidak adanya Penggugat sebagai pihak peminjam, serta
berdasarkan keterangan saksi Hardi Mistani dan keterangan saksi Muhammad Husin
bahwa Penggugat tidak tahu tentang perjanjian pinjam meminjam uang yang
dilakukan Tergugat dengan saksi Hardi Mistani serta Penggugat tidak diberitahukan;
S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 34), dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (utang
gemeenschap), yaitu suatu utang untuk keperluan bersama), untuk suatu utang pribadi
harus dituntut suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus
disita pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi), apabila tidak terdapat benda
pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga.
Akan tetapi, jika suami yang membuat utang, benda pribadi istri tidak dapat disita,
dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan untuk utang persatuan, yang pertama-tama
harus disita adalah benda gemeenschap (benda bersama) dan apabila tidak
mencukupi, maka benda pribadi suami atau istri yang membuat perjanjian itu disita
pula;
Menimbang, bahwa utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta
bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan
persetujuan pasangan. Ini merupakan hal yang logis karena utang yang dibuat oleh
suami/istri dapat berdampak pada harta bersama apabila suami atau istri tidak dapat
melunasinya, dan untuk bertindak atas harta bersama diperluka persetujuan pasangan;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, utang yang dibuat oleh istri tanpa
pelunasannya dari harta pribadi pasangan), dan tidak dapat diambil pelunasannya dari
PK/Pdt/1996 dinyatakan bahwa, “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau
meminjam uang dengan menjaminkan harta bersama antara Penggugat dan Tergugat
tetapi dalam perjanjian tersebut Penggugat tidak diikutsertakan sebagai pihak serta
tidak adanya persetujuan dari Penggugat dan Penggugat sama sekali tidak tahu
tentang adanya perjanjian pinjam meminjam uang antara Tergugat dengan saksi hardi
Mistani sehingga dengan demikian perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan
oleh Tergugat dengan saksi Hardi Mistani, sehingga Majelis Hakim menilai bahwa
perjanjian pinjam meminjam uang antara Tergugat dengan saksi Hardi Mistani
bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tenang
Tergugat dan saksi Hardi Mistani tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak
Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Jadi, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, seluas 14. 582
(Tergugat);
(Tergugat);
10. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
11. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
Merupakan harta bersama antara Penggugat dan Tergugat yang tidak dibebani
Berupa uang baik dalam bentuk tabungan, deposito dan harta benda produk
perbankan yang dimiliki atau disimpan di bank swasta atau bank pemerintah yang
bahwa Penggugat tidak ada mengajukan bukti tertulis maupun saksi-saksi yang
pernikahan telah diperolehharta bersama berupa uang baik dalam bentuk tabungan,
deposito dan harta benda produk perbankan yang dimiliki atau disimpan di bank
swasta atau bank pemerintah yang terdaftar atas nama Surianto (Tergugat), sehingga
dengan demikian dalil Penggugat mengenai harta bersama untuk harta bergerak
lainnya;
sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No 184/1999 tertanggal 08 Maret 1999, dan
hanya untuk harta tidak bergerak saja yang terbukti sebagai harta bersama antara
Penggugat dan tergugat sedangkan untuk harta tidak bergerak tidak dapat dibuktikan
maka Majelis Hakim hanya mengabulkan sebagai harta bersama milik Penggugat dan
Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
Jadi, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, seluas 14. 582
(Tergugat);
(Tergugat);
10. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
11. Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
bahwa selama perkawinan antara Penggugat dan tergugat diperoleh harta bersama
berupa harta benda tidak bergerak dan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat
telah putus karena perceraian maka petitum keempat ini dapat dikabulkan yaitu
menghukum Tergugat dan Penggugat agar segera membagi harta bersama tersebut
diatas secara natural, dengan ketentuan 50% sebagai bahagian Penggugat dan 50%
sisanya sebagai bahagian Tergugat. Kalau tidak dapat dibagi secara natural maka
Negara (KP3N);
yang diletakkan dalam perkara aquo sah dan berharga dapatlah dikabulkan karena
Januari 2014, 24 Januari 2014, 29 Januari 2014, 13 Maret 2014, dan Penetapan No.
tanggal 24 Maret 2014, dimana sampai dengan putusan ini dijatuhkan terhadap sita
dapat dilaksanakan secara serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad), walaupun ada
upaya banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali, Majelis Hakim tidak sependapat
dalam Pasal 191 ayat (1) RBg dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia No. 3 Tahun 2000 dan No. 4 Tahun 2001 oleh karena itu haruslah ditolak;
dan ada petitum Penggugat yang ditolak, oleh karena itu gugatan Penggugat haruslah
gugatan Penggugat dapat dikabulkan sebahagian, maka pihak Tergugat selaku pihak
yang kalah harus dihukum untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam
perkara ini.
56/Pdt.G/2013/PN.TTD yaitu :
2012;
(a) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat (tanda bukti hak)
Hak Milik No. 138/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
(b) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat (tanda bukti hak)
Hak Milik No. 139/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
(c) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat (tanda bukti hak)
Hak Milik No. 140/Pon, yang terletak di Desa Pon, dahulu Kecamatan Sei
(Tergugat);
(d) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat (tanda bukti hak)
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
(e) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat (tanda bukti hak)
Hak Milik No. 223/Binjai, yang terletak di Desa Binjai, Kecamatan Tebing
(f) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
Jadi, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, seluas 14. 582
(g) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
(h) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
(Tergugat);
(i) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
(Tergugat);
(j) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
(k) Sebidang tanah sebagaimana diterangkan sesuai Sertifikat Hak Milik No.
Penggugat dan 50% sisanya sebagai bahagian Tergugat. Kalau tidak dapat
5. Menyatakan Sita Marital yang diletakkan dalam perkara aquo sah dan
berharga;
5.321.000,- (lima juta tiga ratus dua puluh satu ribu rupiah);
gugatan yang diajukan oleh Penggugat dikabulkan oleh Majelis Hakim. Namun
pokok persoalan yang dimintakan oleh Penggugat terkait dengan harta bersama
dikabulkan oleh Majelis Hakim selama itu berkaitan dengan harta tidak bergerak
karena dapat dibuktikan kebenarannya bahwa harta tidak bergerak tersebut diperoleh
selama masa perkawinan dan baik itu pihak Penggugat dan pihak Tergugat mengakui
bahwa harta tidak bergerak tersebut diatas adalah harta bersama. Namun, untuk harta
bergerak tidak dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim karena Penggugat tidak
memberikan bukti-bukti yang kuat bahwa Penggugat dan Tergugat memiliki harta
bersama dalam bentuk harta bergerak baik tabungan, deposito dan produk perbankan
Untuk itu, di dalam persidangan Penggugat dan Tergugat dapat mengajukan alat bukti
untuk menguatkan dalilnya dan untuk meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil
karena tidak ada alat bukti yang diajukan oleh Penggugat selama persidangan
dalam Pasal 163 HIR/283 RBg jo. Pasal 1865 KUHPerdata yang menentukan bahwa :
“Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang lain, maka
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para
pihak yang berperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk
memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,
karena Penggugat tidak dapat menguatkan dalil gugatannya dengan alat bukti maka
Selanjutnya untuk pembagian harta bersama yang telah ditetapkan 50% bagian
untuk Penggugat dan 50% bagian untuk Tergugat dan telah diputuskan adalah sesuai
hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Contoh dahulu di Bali azas
suami mendapat 2/3 bagian dan istri 1/3 bagian dari harta bersama apabila
104
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian
Dalam Perkara Perdata (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 50.
cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang
hidup terlama”
separuhnya lagi dibagikan kepada ahli waris sehingga menjadi harta waris
c. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “janda atau duda cerai
Marital dalam perkara aquo dinyatakan sah dan berharga. Sita marital (marital beslag)
adalah suatu tindakan hukum Pengadilan atas benda bergerak ataupun benda tidak
bergerak milik Tergugat atau permohonan Penggugat untuk diawasi dan diambil
105
Marlianita, Penyelesaian Gugatan Harta Bersama Pasca Perceraian di Pengadilan
Jakarta Selatan, (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta
2014), hlm. 22.
hampa atau dalam pengertian yang lainnya dapat diterjemahkan, bahwa sita marital
/Ketua Majelis.
Perkawinan, dan tidak secara jelas juga disebut sita marital, hanya saja mengandung
makna yang sama dengan sita marital, yaitu dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c
PP No.9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No.1 tahun 1974.
Demikian pula dalam HIR/RBg juga tida mengatur tentang sita marital, karena sita
marital lebih banyak diatur dalam ketentuan Reglemen Acara Perdata/RV (Reglement
(suami/istri)
Akan tetapi tujuan utamanya untuk membekukan harta bersama suami istri
melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses
bentuk transaksi.106
Hal ini dilakukan untuk menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama
selama proses perkara berlansung, hanya dengan cara meletakkan proses sita marital
diatasnya. Hal ini jika ditinjau dari segi penjaminan keberadaan harta bersama dalam
pembagian harta bersama, sangat mendesak meletakkan sita marital selama proses
pemeriksaan berlansung. Oleh karena itu sangat penting untuk menerapkan sita
Untuk itu, adalah benar ketika Penggugat menggugat untuk dilakukannya sita
marital terhadap harta bersama tersebut untuk menghindari terjadinya kerugian yang
menyebabkan pemborosan atau hangusnya harta bersama tersebut. selain itu, untuk
diketahui bahwa dalam fakta persidangan Tergugat telah menjaminkan seluruh harta
bersama yang berupa harta tidak bergerak menjadi jaminan perjanjian pinjam
meminjam yang dilakukan oleh tergugat dengan saksi Hardi Mistani. Mengenai hal
ini, dalam pertimbangannya Majelis Hakim berpendapat bahwa apabila melihat Pasal
mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua
belah pihak dan dalam Putusan Mahkamah Agung No. Reg: 2691 PK/Pdt/1996
dinyatakan bahwa, “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus
106
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998),
hlm. 57.
mendapat persetujuan suami istri”. Oleh karena itu, melihat tindakan Tergugat yang
antara Penggugat dan Tergugat tetapi dalam perjanjian tersebut Penggugat tidak
diikutsertakan sebagai pihak serta tidak adanya persetujuan dari Penggugat dan
Penggugat sama sekali tidak tahu tentang adanya perjanjian pinjam meminjam uang
antara Tergugat dengan saksi hardi Mistani sehingga dengan demikian perjanjian
pinjam meminjam uang yang dilakukan oleh Tergugat dengan saksi Hardi Mistani,
sehingga Majelis Hakim menilai bahwa perjanjian pinjam meminjam uang antara
Tergugat dengan saksi Hardi Mistani bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sehingga Majelis Hakim menilai
perjanjian pinjam meminjam antara Tergugat dan saksi Hardi Mistani tidak
Menurut penulis, dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim adalah
benar. Karena perjanjian pinjam meminjam antara Tergugat dengan Hardi Mistani
bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan maka hal ini berakibat pada perjanjian pinjam meminjam yang dibuat
oleh Tergugat dengan saksi Hardi Mistani. Perjanjian yang dilakukan tidak lagi dapat
dilanjutkan karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang telah
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila dipenuhi 4 (empat) syarat seperti yang
107
C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnya
Paramita, 2006), hlm. 223.
Syarat pertama dan syarat kedua disebut sebagai syarat subjektif, syarat ini
dikatakan sebagai syarat subjektif karena menyangkut orang atau pihak yang
membuat suatu perjanjian. Pihak yang membuat perjanjian ini disebut sebagai subjek
perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif
karena menyangkut mengenai objek yang diperjanjikan oleh para pihak yang
membuat perjanjian.
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan
oleh salah satu pihak yang tidak cakap. Dapat dibatalkan oleh salah satu pihak artinya
salah satu pihak dapat melakukan pembatalan atau tidak melakukan pembatalan.
Apabila salah satu pihak tidak membatalkan perjanjian itu maka perjanjian yang
dibuat tetap sah. Yang dimaksud adalah salah satu pihak yang membatalkan disini
adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum. Yaitu orang tuanya atau walinya atau
orang yang tidak cakap itu apabila suatu saat menjadi cakap atau orang yang
membuat perjanjian itu bila pada saat membuat perjanjian tidak bebas atau karena
tekanan pemaksaan.108
Apabila syarat ketiga yakni suatu hal tertentu dan keempat yaitu sebab yang
halal tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum dalam bahasa Inggris
disebut null and void. Batal demi hukum artinya perjanjian yang dibuat para pihak
108
Sutarno, Loc. Cit.
tersebut sejak awal dianggap tidak pernah ada. Jadi para pihak tidak terikat dengan
perjanjian karena perjanjian sebagai dasar hukum tidak ada sejak semula.109
dengan Hardi Mistani adalah kausa atau sebab yang halal yang merupakan syarat
objektif dari suatu perjanjian. Sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1335
KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang
telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai
kekuatan hukum”, selain itu Pasal 1337 juga merumuskan bahwa : “Dilarang oleh
umum”. Akibat hukum terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif ini
adalah perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini juga diperkuat dengan Putusan
MARI No. 209K/PDT/2000 Tanggal 26 Februari 2002, yang batal demi hukum atas
perjanjian kredit karena objek yang diperjanjikan adalah harta bersama sehingga
apabila hendak dijaminkan atau dialihkan kepada pihak lain oleh suami, harus
mendapatkan persetujuan dari istri sebagai pihak yang berhak. Jika tidak maka
Jadi dapat kita pahami bahwa, bila syarat subjektif tidak terpenuhi maka
perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan bila syarat objektif tidak terpenuhi maka
109
Ibid., hlm. 79.
perjanjian batal demi hukum yang mana maksudnya perjanjian tersebut sejak semula
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa, perjanjian yang dilakukan oleh Tergugat
dengan saksi Hardi Mistani adalah tidak sah dan tidak berkekuatan hukum karena
mereka dianggap telah batal demi hukum dan tidak dapat dimintakan
110
Herniwati, Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata Terhadap Jual Beli Secara Online,
http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/jit/article/viewFile/13/12 diakses pada 04 April 2018 pukul
15.00 Wib
A. Kesimpulan
syarat kedua cakap untuk membuat suatu perjanjian, syarat ketiga adalah
mengei suatu hal tertentu dan syarat terakhir adalah suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, apabila syarat
pembatalan. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif, apabila syarat
bahwa untuk bertindak secara hukum terhadap harta bersama tersebut suami
atau istri memerlukan persetujuan kedua belah pihak. Hal ini telah diatur di
Perkawinan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak
129
Tergugat dan Hardi Mistani tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan
2. Saran
sebelum perkawinan dilansungkan. Hal ini dilakukan agar para pihak yang
perjanjian tersebut telah sesuai dengan aturan hukum atau tidak. Pihak
diperjanjikan, apakah itu milik pribadi atau milik bersama. Sehingga tidak
1. Buku
Afando, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta
: PT. RINEKA CIPTA
Effendie, Bachtiar, Masdari Tasmin, dan A. Chodari. 1999. Surat Gugat dan
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Bandung : Citra Aditya Bakti
Erawati, Elly dan Herlien Budiono. 2010 Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan
Perjanjian. Jakarta: Nasional Legal Reform Program
Kamello, Tan dan Syarifah Lisa Andriati. 2011. Hukum Orang & Keluarga.
Medan: USU Press
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2006. Modul Hukum Perdata. Jakarta :
PT Pradnya Paramita
131
Mahdi, Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. 2005.
Hukum Perdata : Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Gitama Jaya
Meliala, Djaja S.. 2006. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan
Hukum Keluarga. Bandung : CV. NUANSA AULIA
Miru, Ahmadi. 2011. Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak. Jakarta : Raja
Grafindo Persada
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. 2013. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada
Rusli, Hardijan. 1996. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan
Satrio, J.. 1991. Hukum Harta Perkawinan. .Bandung : PT Citra Aditya Bakti
Soimin. Soedharyo. 2010. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta : Sinar Grafika
2. Instrumen Hukum
3. Skripsi
Hidayatullah Jakarta
4. Internet
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/download/15
Online, http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/jit/article/viewFile/13/12