Anda di halaman 1dari 111

PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM KASUS

GAGAL BAYAR POLIS OLEH PT. ASURANSI JIWASRAYA PERSERO


SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

AMMAR YUSUF SIREGAR


NIM : 160200353

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


PENGAWASAI\I OTORITAS JASA KEUATTGAN (OJK) DALAM KASUS
GAGAL BAYAR POLIS OLEH PT. ASI]RANSI JIWASRAYA PERSERO

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sa{ana Hukum Pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AMMAR YT]SUT'SIREGAR

1602003s3

DEPARTEMEN HUKIIM EKONOITII

Disetujui Oleh:

ARTEMEN HUKUM EKONON{I

986011001

-DOSEN PEMBIMBING II

986011001 NIP. 1 986 1 212201 4042W1

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang mana

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis masih diberikan

kesehatan dan kesempatan untuk dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini

dengan judul “Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam kasus gagal

bayar polis oleh PT. Jiwasraya Persero”. Tidak lupa penulis juga panjatkan

shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW, yang

mana telah menjadi suri tauladan yang baik bagi kita serta menunjukkan jalan

kebenaran yang terang dan menyelamatkan penulis sebagai bagian dari umatnya

dari jurang kegelapan hingga saat ini, dan semoga syafa‟at nya dapat sama-sama

kita peroleh di yaumil akhir kelak, amin ya rabbal „alamin.

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi

ini penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan didalamnya. Untuk itu

penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun dari

berbagai pihak demi memperbaiki kekurangan didalam penulisan skripsi ini dan

sebagai acuan penulis untuk dapat lebih baik lagi dalam penulisan karya ilmiah

lainnya.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis dibantu oleh banyak pihak

yang memberikan bantuan baik itu secara moril, materil, semangat, dan do‟a dari

Universitas Sumatera Utara


berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

4. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

6. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Tri Murti Lubis, S.H., M.H., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I, yang

mana telah memberikan bantuan , arahan dan bimbingan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

9. Tri Murti Lubis, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang mana

juga telah memberikan bantuan, arahan, dan bimbingan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

ii

Universitas Sumatera Utara


10. Kepada seluruh dosen pengajar, para staf kepegawaian, staf keamanan dan

seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama berkuliah di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mulai dari awal hingga

sampai saat ini

11. Kepada Papa dan Mama yang penulis cintai dan banggakan, Panerangan

Efendi Siregar, S.T., dan Mawar Cinta Murni Hasibuan, S.Psi. Penulis

mengucapkan rasa terimakasih yang tidak terhingga untuk semua do‟a,

dukungan, bimbingan, petunjuk dan arahan nya yang maksimal dan tulus

kepada penulis dalam menjalankan proses perkuliahan dan pengerjaan

skripsi ini mulai dari awal hingga selesai saat ini dengan baik.

12. Kepada adik-adik yang penulis cintai dan banggakan juga, Adena Nur

Asiah Siregar dan Muhammad Riski Qamat Siregar yang telah menjadi

saudara sedarah dan sekandung yang sudah saling menyemangati untuk

menyelesaikan skripsi dan perkuliahan ini dan juga untuk hal-hal lainnya.

Tetap semangat untuk kita dan kita semua harus sukses kedepan demi

menjaga nama baik keluarga!

13. Kepada keluarga besar yang sudah mendukung penulis dalam proses

pengerjaan skripsi ini, terkhususnya kepada Opung, Tulang, Nantulang,

Tobang, Bou, Amangboru, Uda, Nanguda, Abang dan Kakak yang telah

memberikan dorongan motivasi, semangat dan do‟a kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

iii

Universitas Sumatera Utara


14. Kepada sahabat spesial yang penulis kasihi dan cintai, Ainaya Fathia

Suyono, S.H., yang telah menjadi teman bertukar pikiran, teman

berpetualang dalam mencari kuliner, dan teman senang dan susah bagi

penulis. Terimakasih sudah memberikan bantuan motivasi, semangat, do‟a

dan waktunya untuk ikut menemani penulis dari awal proses pengerjaan

skripsi ini hingga selesai sampai saat ini dengan baik.

15. Kepada Sahabat penulis sejak masa SMA di SMA Negeri 3 Medan hingga

berkuliah dan berjuang bersama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dan di organisasi BTM Aladdinsyah S.H., dan Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yaitu saudara Abdilla Syadzaly Barrah Hutasuhut dan

Muhammad Fadri. Penulis ucapkan terimakasih untuk seluruh bantuan

dukungan, motivasi, arahan dan do‟a nya sehingga penulis dapat

mengerjakan skripsi ini sampai selesai dan baik. Semoga kedepan kita

dapat meraih kesuksesan bersama-sama. Marilah menjemput kemenangan!

16. Kepada seluruh keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, kepada para abang dan kakak alumni dan

senioren, terkhusus kepada abang dan kakak alumni yang menjadi dosen di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terimakasih atas bantuan,

pengalaman, pembelajaran, dan kesempatan yang telah diberikan kepada

penulis untuk dapat berproses didalamnya. Karena di HMI, kita berteman

lebih dari bersaudara serta bersaudara lebih dari saudara kandung. Yakin

Usaha Sampai!

iv

Universitas Sumatera Utara


17. Kepada jajaran Presidium HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Periode 2019/2020. Terimakasih sudah bekerja dan

berproses bersama, semoga kita dapat sukses bersama pula kedepan kelak.

18. Kepada seluruh jajaran pengurus HMI Komisariat Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Periode 2019/2020 terkhususnya kepada

bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kepemudaan (PTKP) HMI

Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Periode

2019/2020 yang sudah bekerja sama dengan baik dengan penulis yang

juga menjabat sebagai Ketua Bidang, dari awal pelantikan dan perjalanan

pengurus hingga saat ini. Tetaplah belajar dan jadilah seperti padi, yang

mana semakin berisi semakin menunduk.

19. Kepada seluruh teman-teman Kader HMI angkatan 2016, tetap semangat

dan semoga kita tetap dapat berjuang bersama-sama kedepan kelak sebab

kita berteman lebih dari bersaudara. Yakin Usaha Sampai!

20. Kepada seluruh teman-teman Pengurus Ikatan Mahasiswa Hukum

Ekonomi (IMAHMI) Periode 2019/2020 dan teman-teman yang

bergabung didalam Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, departemen yang kita cintai dan banggakan.

Penulis yang juga menjabat sebagai Ketua Divisi Humas mengucapkan

terimakasih telah diberikan kesempatan untuk beproses dan berteman

bersama disini. SALAM IMAHMI!

21. Kepada seluruh teman-teman Komisi Pemilihan Umum (KPU) Universitas

Sumatera Utara Periode 2018/2019, penulis yang juga menjabat sebagai

Universitas Sumatera Utara


Sekretaris Umum mengucapkan terimakasih atas kesempatannya untuk

bisa kenal dengan rekan-rekan sekalian, pengalaman dan perjuangan nya

dalam proses menjalankan pemira USU tahun 2018 dengan baik.

22. Kepada seluruh teman-teman Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Kelompok

Aspirasi Mahasiswa (KAM) Madani Universitas Sumatera Utara Periode

2019/2020, penulis yang juga menjabat sebagai Ketua Umum

mengucapkan terimakasih atas bantuannya sampai saat ini. Perjuangan kita

belum selesai, semoga kita dapat memenangkan pemira USU dan

mengirimkan kader terbaik kita sebagai Presiden dan Wakil Presiden

Mahasiswa USU terpilih tahun ini, amin.

23. Kepada keluarga besar BTM Aladdinsyah S.H., Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengalaman dan

prosesnya selama berorganisasi disini. Semangat untuk kita semua,

Fastabiqul Khairat.

24. Kepada keluarga besar UKM Sepakbola Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

berteman dan berolahraga bersama disini. Tetap semangat untuk kita

semua, Salam Olahraga!

25. Kepada teman-teman Pemuda Berkemajuan, terimakasih untuk dapat

berjuang dan berproses bersama di dunia perkuliahan sampai saat ini.

Walaupun satu persatu diantara kita telah pergi berpencar, tetaplah ingat

bahwa kita pernah berjuang bersama-sama. Sandya Malih! Persatuan

untuk perubahan.

vi

Universitas Sumatera Utara


26. Kepada seluruh teman-teman angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah berkuliah dan belajar bersama di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Semoga kita dapat sukses bersama

kedepannya, amin.

27. Kepada seluruh teman-teman Grup E angkatan 2016 Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Terimakasih atas pengalaman nya selama

berkuliah bersama, semoga kita dapat sukses kedepannya bersama-sama,

amin.

Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca nya dan untuk semua pihak yang membutuhkan.

Medan, Juli 2020

Ammar Yusuf Siregar

NIM.160200353

vii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Ammar Yusuf Siregar*


Bismar Nasution**
Tri Murti Lubis***

Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga Independen yang


dibentuk berdasarkan amanat dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia dan diatur secara khusus didalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas
Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan
terhadap lembaga jasa keuangan perbankan dan non-perbankan di
Indonesia, terkhusus terhadap asuransi dan perusahaan asuransi di
Indonesia. Baru-baru ini salah satu perusahaan asuransi yakni PT.
Asuransi Jiwasraya Persero mengalami gagal bayar polis dan
membutuhkan dana sekitar Rp.32,89 triliun untuk memenuhi rasio Risk
Based Capital (RBC) sebesar 120 persen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perusahaan asuransi
di Indonesia dan di dalam kasus gagal bayar polis yang dialami oleh PT.
Asuransi Jiwasraya Persero. Penelitian ini termasuk jenis penelitian
hukum normatif yang menggunakan data sekunder. Rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu : pertama, bagaimana karakteristik usaha dari
perusahaan asuransi, kedua bagaimana pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan terhadap perusahaan asuransi di Indonesia, ketiga bagaimana
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dalam kasus gagal bayar polis oleh
PT. Asuransi Jiwasraya Persero.
Dari hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa dalam
penyebab kasus gagal bayar polis ini terjadi akibat kecerobohan pihak PT.
Asuranasi Jiwasraya yang menempatkan investasi dana nasabahnya
kedalam investasi yang kurang terpercaya atau investasi gorengan. Sebagai
bentuk pengawasannya, Otoritas Jasa Keuangan membuat skenario baik
jangka pendek maupun jangka menengah sebagai langkah penyelamatan
terhadap PT. Asuransi Jiwasraya Persero.
Kata Kunci : Otoritas Jasa Keuangan, PT. Asuransi Jiwasraya
Persero, Pengawasan

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………………………………………………………..i

ABSTRAK…………………………………………………………………...vii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………viii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………………..1

B. Perumusan Masalah……………………………………………........10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………………………………………10

D. Keaslian Penulisan…………………………………………………..11

E. Tinjauan Pustaka…………………………………………………….12

F. Metode Penelitian……………………………………………….......17

G. Sistematika Penulisan………………………………………………..21

BAB II : KARAKTERISTIK USAHA DARI PERUSAHAAN ASURANSI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi di Indonesia………………..23

B. Perkembangan Model Usaha Asuransi………………………………28

C. Kepercayan Publik Sebagai Karakteristik Khusus Usaha Asuransi…33

D. Kewajiban Perusahaan Asuransi Terhadap Nasabahnya…………….45

BAB III : PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI DI INDONESIA

A. Dasar pendirian Otoritas Jasa Keuangan…………………………….52

B. Fungsi dari Otoritas Jasa Keuangan………………………………….60

ix

Universitas Sumatera Utara


C. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Perusahaan

Asuransi………………………………………………………………62

D. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Memberikan Sanksi dalam

Menjalankan Fungsi Pengawasan Perusahaan Asuransi…………….66

BAB IV : PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM

KASUS GAGAL BAYAR POLIS OLEH PT. ASURANSI JIWASRAYA

PERSERO

A. Kronologi kasus gagal bayar polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya

Persero…………………………………………………………………77

B. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap PT. Asuransi Jiwasraya

Persero…………………………………………………………………82

C. Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Penyelesaian Kasus Gagal Bayar

Polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero…………………………….86

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………..90

B. Saran……………………………………………………………………92

DAFTAR PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebuah negara yang besar dan dikatakan maju dapat dilihat melalui

beberapa indikator penting, salah satu yang dilihat adalah bagaimana tingkat

pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi merupakan

indikator yang sangat penting untuk menilai kinerja suatu perekeonomian

terutama untuk menganalisis hasil dari proses pembangunan ekonomi di suatu

negara ataupun wilayah. Perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan

apabila produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan

ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan

tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat dalam periode tertentu yang

bisa menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah tersebut

berkembang dengan baik.1

Menurut Untoro, pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan

dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam

masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat dalam jangka

panjang. Sedangkan menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan

1
Tafeta Febriyani dan Sri Kusreni, Determinan Pertumbuhan Ekonomi di 4 Negara
ASEAN, (Surabaya: Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Airlangga) , Volume 1, No.2, 2017, hlm 1.

Universitas Sumatera Utara


2

kapasitas dalam jangka panjang dari Negara yang bersangkutan untuk

menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. 2

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dipacu melalui proses

pembangunan ekonomi yang dilaksanakan dengan baik dan berkesinambungan

serta hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Diantara golongan

minoritas masyarakat berpendapatan tinggi atau dari golongan mayoritas

masyarakat berpendapatan rendah, penyerahan kewajiban pembangunan ekonomi

apabila dilimpahkan kepada kalangan masyarakat berpendapatan tinggi, maka

mereka akan mampu memacu pertumbuhan dengan baik. Namun jika yang dipilih

adalah mayoritas golongan masyarakat berpendapatan rendah, maka hasil-hasil

pembangunan harus dibagi secara merata dan hal ini kurang memungkinkan

tercapainya Gross National Product secara nasional pada tingkat yang lebih

tinggi.3

Dengan demikian maka diperlukan sebuah sarana untuk dapat memacu

juga berkembangnya perekonomian baik di tingkat masyarakat berpendapatan

rendah, menengah, dan tinggi. Perlu dibangun pemikiran masyarakat agar dapat

menggunakan pendapatan yang mereka dapatkan dengan baik dan bijak, salah

satu nya dengan memperkenalkan investasi. Investasi dapat menjadi sebuah

pilihan yang digunakan masyarakat dalam rangka meningkatkan pendapatan guna

mendongkrak perekonomian di negara tersebut.

2
Rinaldi Syahputra, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Di Indonesia, Jurnal Samudra Ekonomika Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas
Ekonomi Universitas Samudra Langsa Aceh, Volume 1, No. 2, Oktober 2017, hlm 184.
3
Tafeta Febriyani dan Sri Kusreni, Op Cit, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara


3

Sejalan dengan yang disampaikan oleh beberapa ahli, seperti Menurut Lewis

dalam Todaro, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja

dimulai dari investasi di sektor industri, dan akumulasi modal secara keseluruhan

di sektor modern akan menimbulkan perluasan output pada sektor modern

tersebut. Pengalihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor modern (industri)

selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan

tenaga kerja di sektor modern. Menurut Kuncoro, pertumbuhan ekonomi juga

tergantung dari besaran nilai investasi yang mampu menggerakkan

perekonomian.4 Investasi sendiri memiliki banyak macam yang bisa digunakan

oleh masyarakat, dalam rangka mewujudkan kebutuhan sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya.

Selain perhatian besar masyarakat tentang pentingnya menjaga ketahanan

dan kemapanan secara finansial sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masyarakat

pada masa modern kini juga mulai untuk menyiapkan dana investasi yang

berkaitan dengan diri (self) serta mengantisipasi masalah kerugian yang

menyangkut kehidupan sehari-hari. salah satu yang sering dipilih masyarakat

sebagai tempat untuk menyiapkan dana investasi untuk hal tersebut yakni

asuransi.

Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda ”Verzekering atau

Assurantie”. Oleh R.Sukardono diterjemahkan dengan pertanggungan, dalam

bahasa Inggris disebut ”Insurance”. Istilah asuransi dan pertanggungan

4
Rini Sulistiawati, Pengaruh Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan
Tenaga Kerja Serta Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia, Jurnal Ekonomi Bisnis
dan Kewirausahaan, Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Volume 3, No.1,
2012, hlm 33.

Universitas Sumatera Utara


4

mempunyai persamaan pengertian, istilah pertanggungan ini umum

dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi hukum di

Indonesia, sedangkan istilah asuransi banyak dipakai dalam praktik dunia usaha.

Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam perundang-

undangan dan perusahaan perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari kata

“asuransi” diberi imbuhan per-an, maka muncullah istilah hukum “perasuransian”

yang berarti segala usaha yang berkenaan dengan asuransi. Usaha yang berkenaan

dengan asuransi ada 2 (dua) jenis, yaitu :

1) Asuransi dibidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance

business). Perusahaan yang menjalankan usaha asuransi disebut

Perusahaan Asuransi (insurance company).

2) Usaha dibidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha

penunjang usaha asuransi. Perusahaan yang menjalankan usaha penunjang

usaha asuransi disebut Perusahaan Penunjang Asuransi. 5

Asuransi memegang peranan penting, karena di samping memberikan

perlindungan terhadap kemungkinan-kemungkinan kerugian yang akan terjadi,

asuransi memberikan dorongan yang besar sekali ke arah perkembangan ekonomi

lainnya.6 Selain masyarakat, asuransi juga digunakan oleh perusahaan sebagai

langkah melakukan investasi dana untuk meminimalisir kerugian yang nanti nya

muncul kedepannya, hal itu dikarenakan asuransi telah menjadi bagian yang

ensensial dari setiap perusahaan. Investment banker misalnya, akan merasa lebih

5
Abdul Kadir Muhammad , Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti,
2002), hlm 5.
6
Sunarmi, Pemegang Polis Asuransi Dan Kedudukan Hukumnya, Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 3, No. 1.

Universitas Sumatera Utara


5

yakin penilaiannya terhadap proyek-proyek tertentu apabila semua risiko proyek

itu telah dilindungi oleh asuransi. Dengan demikian, perusahaan perusahaan

asuransi yang tugas utamanya adalah memberikan perlindungan kepada

perusahaan-perusahaan lain telah menjadi suatu institusi ekonomi yang

mempunyai peranan yang tidak kecil. Saat ini perkembangan asuransi

menunjukan perkembangan yang cukup signifikan. Perusahaan-perusahaan yang

bergerak di bidang industri jasa asuransi menawarkan berbagai macam produk

asuransi mulai dari jasa asuransi kerugian, asuransi jiwa, asuransi kesehatan,

asuransi tenaga kerja dan lain-lain sampai dengan asuransi yang memiliki unsur

tabungan seperti asuransi jiwa unit link.7

Terkait dengan bidang asuransi mencakup lapangan yang sangat luas,

Pasal 247 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang membagi jenis asuransi sebagai

berikut : Pertanggungan itu antara lain dapat mengenai bahaya kebakaran, bahaya

yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipaneni, jiwa satu atau

beberapa orang, bahaya laut dan perbudakan, bahaya yang mengancam

pengangkutan di daratan, di sungai, dan di perairan darat. Asuransi menurut pasal

ini dapat terbagi menjadi:

1) Asuransi Kerugian (Schade Verzekering), dimana Penanggung berjanji

akan mengganti kerugian tertentu yang diderita tertanggung.

2) Asuransi sejumlah Uang (Sommen Verzekering), dimana Penanggung

berjanji akan membayar uang yang jumlahnya sudah ditentukan

sebelumnya tanpa disandarkan pada suatu kerugian tertentu.

7
Ibid, hlm.2.

Universitas Sumatera Utara


6

Permasalahan yang selalu dialami oleh pemegang polis adalah sulitnya

memperoleh pembayaran ganti kerugian ketika evenement terjadi. Padahal tujuan

utama seorang pemegang polis atau nasabah mengikatkan diri dalam perjanjian

asuransi adalah untuk menerima ganti kerugian bila terjadi suatu peristiwa yang

tidak diduga menimpa objek asuransi.8 Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut,

maka di Indonesia sendiri telah dibentuk sebuah lembaga khusus yang bertujuan

sebagai pengawas jasa keuangan, industri perbankan, pasar modal, reksadana,

perusahaan pembiayaan, dana pension dan juga asuransi. Lembaga tersebut

dinamakan Otoritas Jasa Keuangan atau biasa disingkat OJK.

Otoritas Jasa Keuangan atau disingkat OJK, merupakan lembaga Negara

independen yang dibentuk dengan tujuan untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan

wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan juga memiliki tujuan agar

keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara

teratur, adil dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh

secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen

dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan

pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa

keuangan.9 Pasal 2 ayat (2) UU OJK juga menegaskan bahwa OJK sebagai

lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas

8
Ibid, hlm.5.
9
Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2008), hlm 139.

Universitas Sumatera Utara


7

dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur

dalam Undang-Undang ini.10

Setelah diundangkannya dan disahkannya UU OJK. Maka OJK

menggantikan fungsi pengawasan pada sektor jasa keuangan yang dahulunya di

pegang oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga

Keuangan (Bapepam-LK). Hal ini bertujuan agar pengawasan menjadi terintegrasi

dan komprehensif. Adapun aspek-aspek independensi dari kewenangan dalam

pengaturan perundang-undangan yang diatur dalam UU OJK tercantum dengan

tegas dan jelas, yaitu OJK dibentuk dan dilandasi oleh prinsip prinsip tata kelola

yang meliputi independensi, akuntabiltas, tanggung jawab, transparansi.

Kemudian dilihat secara kelembagaan, OJK merupakan lembaga independesi

dalam menjalankan tugas serta kewenangannya bebas dari campur tangan pihak

atau lembaga negara lainya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas di atur dalam

UU OJK.

Pada setiap perjalanan lembaga apapun itu, selalu terdapat titik

permasalahan yang muncul di lapangan, baik itu permasalahan yang bersifat

administratif atau bentuk pelanggaran yang berujung pada kerugian bahkan tindak

pidana. Otoritas Jasa Keuangan selaku lembaga independen yang diamanatkan

untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan yang ada di

Indonesia juga kerap menemui permasalahan terhadap tugas dan tanggung jawab

nya kepada lembaga jasa keuangan tersebut, terkhususnya kepada lembaga jasa

10
Bismar Nasution, “Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”, (Medan : Makalah
disampaikan pada Seminar tentang Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan Industri Jasa Keuangan yang Terintegrasi, 19 Juni 2012),
hlm 3.

Universitas Sumatera Utara


8

keuangan non-bank berbentuk asuransi. Tercatat ada beberapa perusahaan

asuransi ternama di Indonesia yang pernah bermasalah, yakni :

1) Bakrie Life, kasus gagal bayar perusahaan asuransi milik Grup Bakrie

tersebut terjadi pada produk Diamond Investa yang berjenis unit link

(asuransi dan investasi). Produk tersebut mengalami gagal bayar pada

2008 karena perusahaan terlalu agresif berinvestasi di pasar saham, pada

masa itu saham-saham berguguran karena krisis global yang dipicu

kasus subprime mortgage di Amerika Serikat (AS). Badan Pengawas Pasar

Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), yang kini telah berubah

nama menjadi OJK, menyatakan gagal bayar Diamond Investa mencapai

Rp 500 miliar. Untuk menyelesaikan masalah ini dicapai kesepakatan

Bakrie Life akan mencicil kewajiban. Namun pencicilan yang dilakukan

Bakrie Life bermasalah. Tidak semua pemegang polis dananya

dikembalikan hingga akhirnya pada 2016, OJK mencabut izin operasional

Bakrie Life.

2) Asuransi Bumi Asih Jaya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin

usaha di Bidang Asuransi atas PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ)

pada 18 Oktober 2013 karena tidak mampu lagi untuk memenuhi

ketentuan terkait dengan kesehatan keuangan (Risk Based Capital) dan

rasio perimbangan investasi terhadap cadangan teknis dan utang klaim.

Dalam perjalannya setelah dicabut, Bumi Asih Jaya belum dapat

melaksanakan kewajibannya sehingga OJK mengajukan gugatan pailit

kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Universitas Sumatera Utara


9

3) Asuransi Jiwa Bumiputera 1912, permasalahan pada Bumiputera lebih

terfokus kepada miss management atau kesalahan mengelola perusahaan.

Pada Januari 2018 perusahaan mengaku mengalami keterlambatan

pembayaran klaim dalam 1 - 2 bulan karena minimnya premi yang

dihasilkan perusahaan.11

Kemudian yang baru ini terjadi adalah mengenai gagal bayar polis oleh

perusahaan asuransi PT. Jiwasraya Persero. Permasalahan tersebut terjadi karena

perusahaan tersebut mengalami gagal bayar polis atas produk asuransi tersebut

terhadap nasabahnya. Kasus ini sangat mengundang perhatian masyarakat

dikarenakan nilai kerugian yang tercatat cukup besar, yakni sekitar 17 triliun

Rupiah. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat mengenai bagaimana

pola pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai

lembaga yang berwenang melaksanakan pengawasan terhadap perusahaan

asuransi yang ada di Indonesia terhadap kasus ini. Berdasarkan hal tersebut diatas,

penulis ingin mengetahui sekaligus mendalami lebih lanjut mengenai kasus ini

agar sebagai langkah untuk memberikan informasi, penjelasan dan pengetahuan

kepada masayarakat mengenai pengawasan OJK dalam kasus ini, maka penulis

mengambil topik pembahasan ini sebagai skripsi dengan judul “Pengawasan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Kasus Gagal Bayar Polis Oleh PT.

Asuransi Jiwasraya Persero”.

11
Yazid Muamar, CNBC Indonesia, “Selain Jiwasraya, Ini Sederet Asuransi Jiwa yang
Gagal Bayar” dalam https://www.cnbcindonesia.com/market/20191219173405-17-124519/selain-
jiwasraya-ini sederet-asuransi-jiwa-yang-gagal-bayar (Di akses pada tanggal 28 April 2020 Pukul
07.16 WIB)

Universitas Sumatera Utara


10

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat

dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik usaha dari perusahaan asuransi?

2. Bagaimana pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap perusahaan

asuransi di Indonesia?

3. Bagaimana pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dalam kasus gagal bayar

polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka dapat dijelaskan bahwa tujuan

penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik usaha dari perusahaan

asuransi.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengawasan Otoritas Jasa Keuangan

terhadap perusahaan asuransi di Indonesia.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dalam

kasus gagal bayar polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero.

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan

memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu

hukum, khususnya mengenai ilmu hukum ekonomi terkait bagaimana

kedudukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia, bagaimana peran

Universitas Sumatera Utara


11

pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap perusahaan asuransi di

Indonesia, dan bagaimana pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dalam

kasus gagal bayar polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero.

2. Manfaat Praktis

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan pengetahuan

sekaligus informasi bagi masyarakat agar dapat mengetahui bagaimana

kedudukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia, dan bagaimana

Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, baik terhadap perusahaan asuransi

yang ada di Indonesia secara umum, dan dalam kasus gagal bayar polis

oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero sebagai salah satu perusahaan

asuransi di Indonesia secara khususnya.

D. Keaslian Penulisan

Mengenai pembuktian keaslian penulisan skripsi penulis yang berjudul

“Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam kasus gagal bayar polis oleh

PT. Asuransi Jiwasraya Persero”, penulis telah melakukan pemeriksaan terkait

judul skripsi tersebut diatas pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara sebagai langkah untuk membuktikan bahwasanya judul yang

dipilih oleh penulis belum ada ataupun belum ditemukan di direktori skripsi

perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Setelah dilakukan

pemeriksaan judul tersebut diatas pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, tidak ditemukan adanya judul skripsi yang sama ataupun belum

pernah ada yang mengangkat judul yang sama sebelumnya sebagai judul skripsi.

Dengan demikian, judul skripsi penulis yaitu “Pengawasan Otoritas Jasa

Universitas Sumatera Utara


12

Keuangan (OJK) dalam kasus gagal bayar polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya

Persero” dapat diangkat sebagai judul skripsi dan dapat dibuktikan serta di

pertangggungjawabkan keaslian nya.

E. Tinjauan Pustaka

Tulisan ini memperoleh bahan tulisannya melalui buku-buku, jurnal-

jurnal, pendapat para ahli yang dimuat dalam buku, jurnal, makalah, opini,

maupun catatan pidato, dan informasi yang didapatkan baik melalui media cetak

maupun media internet. Untuk menghindari adanya penafsiran ganda, penulis

memberikan batasan dan penegasan terhadap pengertian dari judul skripsi yang

diangkat oleh penulis. Mengenai pengertian tersebut, penulis mengambil

pengertian kalimat dengan bersumber dari sudut pandang ilmu hukum, baik itu

secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Beberapa pengertian yang dijelaskan

yaitu :

1. Pengawasan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengawasan dapat

diartikan sebagai penilikan dan atau penjagaan. 12 Secara umum, pengawasan

diartikan sebagai aktivitas pokok dalam manajemen untuk mengusahakan

sedemikian rupa agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana

serta sesuai dengan hasil yang dikehendaki.13

Dalam Ilmu Manajemen dan Ilmu Administrasi, istilah pengawasan

dikenal sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan. Dalam bahasa

12
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Kamus Besar Bahasa
Indonesia”, dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Pengawasan, (Diakses pada tanggal 24 April
2020, Pukul 21.17 WIB).
13
Ibnu Syamsi, Administrasi Perlengkapan Materiil Pemerintahan Daerah, (Jakarta :
Bina Aksara, 1982), hlm 5.

Universitas Sumatera Utara


13

Inggris, istilah pengawasan juga disebut sebagai Controlling, yang jika

diterjemahkan juga diistilahkan sebagai pengawasan dan pengendalian,

sehingga istilah Controlling lebih luas artinya daripada pengawasan. Jadi

pengawasan adalah termasuk pengendalian.14

Menurut Sujamto, Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk

mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan

tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. 15 Sedangkan

menurut Mc.Ferland, Pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin

mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh

bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan atau kebijaksanaan yang

telah ditentukan.16 Pengawasan menurut Bagir Manan merupakan pengikat

kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh

sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan, tetapi pengawasan sebagai

pengikat tidak juga dapat ditarik begitu kencang, karena akan menyebabkan

kebebasan desentralisasi akan berkurang bahkan mungkin terputus. 17

Pengawasan dimaksud mengandung pembatasan-pembatasan antara

kewenangan-kewenangan pejabat dan juga lembaga /institusi yang berwenang

mengawasi. Sedangkan menurut Harold Koontz, beliau mendefinisikan

pengawasan sebagai bentuk pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksana

14
Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan
Aparatur Pemerintah, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994), hlm 18.
15
Jum Anggraini, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012), hlm
78.
16
Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi Negara, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2004), hlm 74.
17
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), hlm. 181.

Universitas Sumatera Utara


14

kerja bawahan dengan tujuan rencana-rencana yang telah dibuat dapat

terselenggara dengan baik.18

2. Otoritas Jasa Keuangan

Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa

Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK, adalah :

“lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini”.19

Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan juga merupakan lembaga yang

menyelenggarakan fungsi pemerintah dalam rangka mengatur dan dan

mengawasi kegiatan sektor jasa keuangan, setiap pihak dilarang campur tangan

dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan. Maksudnya

adalah bahwa untuk menjamin terselenggaranya pengaturan dan pengawasan

sektor jasa keuangan yang optimal, Otoritas Jasa Keuangan harus dapat bekerja

secara independen dalam membuat dan menerapkan tugas dan wewenangnya

sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jasa

keuangan. Oleh karena itu, setiap pihak kecuali pihak sebagaimana dimaksud

dalam rancangan undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini, tidak

18
Siti Mariyam, Kebijakan Pengawasan Terhadap Produk UMKM Sebagai Upaya
Perlindungan Pada Konsumen, Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Vol.15, No.1, Oktober 2017, hlm 46.
19
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Universitas Sumatera Utara


15

diperkenankan untuk turut campur, baik langsung maupun tidak langsung

dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan. 20

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan

jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,

transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang

tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan

konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat

mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu

meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga

kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan,

pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap

mempertimbangkan aspek positif globalisasi. 21

Kemudian Otoritas Jasa keuangan berfungsi sebagai pengawas industri

jasa keuangan di Indonesia. OJK didirikan dengan alasan telah terjadinya

proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang

teknologi informasi serta inovasi finansial yang menciptakan suatu sistem

keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait. Alasan lainnya adalah

banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi

tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa

20
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Ed. Rev. Cet. 4 (Jakarta :
Kencana, 2008), hlm 62.
21
Republik Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan.

Universitas Sumatera Utara


16

keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan serta lemahnya

penegakan hukum.22

3. Asuransi

Menurut pasal 246 KUHD, asuransi atau pertanggungan adalah suatu

perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang

tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian

kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang

diharapkan, yang mungin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak

tertentu.23 Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun

2014, disebutkan bahwa asuransi adalah:

“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan
pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan
asuransi sebagai imbalan untuk:
a) Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang
tidak pasti; atau
b) Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya
tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung
dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada
hasil pengelolaan dana”.24
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan diatas, terlihat adanya unsur-

unsur dari asuransi, yaitu:

1. Penanggung dan Tertanggung sebagai para pihak.

22
Zulkarnain Sitompul, “Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan” (Medan : Makalah disampaikan pada seminar tentang keberadaan
Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perekonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil,
25 November 2014), 25 November 2014, hlm 2.
23
Sunarmi, Loc. Cit.
24
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

Universitas Sumatera Utara


17

2. Premi, yaitu sejumlah uang yang harus dibayar Tertanggung

kepada Penanggung

3. Peristiwa tertentu, yaitu peristiwa yang belum tentu terjadi.

4. Ganti rugi, perjanjian asuransi memang diadakan untuk

memberikan ganti rugi, namun ganti rugi hanya dikenal dalam

Asuransi Kerugian. Dalam Asuransi Jiwa tidak dikenal ganti rugi,

karena kehilangan nyawa seseorang tidak dapat dianggap sebagai

suatu kerugian, tetapi merupakan suatu musibah yang pasti terjadi,

hanya saja waktunya tidak diketahui.

Keempat unsur di atas adalah unsur mutlak dalam asuransi, tanpa salah

satu unsur di atas tidak dapat disebut sebagai Perjanjian Asuransi. Salah satu

unsur penting dalam peristiwa asuransi dalam Pasal 246 KUHD adalah ganti

kerugian yang objeknya adalah harta kekayaan.25

Sebetulnya tujuan dari semua asuransi ialah untuk menutup suatu kerugian

yang diderita selaku akibat dari suatu peristiwa yang bersangkutan dan yang

belum dapat ditentukan semula akan terjadi atau tidak.26

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan

dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan

menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai

25
Abdul Kadir Muhammad , Op Cit, hlm 9.
26
Wirjono Prodjodikoro , Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta : PT. Intermasa, 1981),
hlm 4.

Universitas Sumatera Utara


18

tujuan dari penelitian, kemudian penelitian tidak lain dari suatu metode studi yang

dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap

suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah

masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah-masalah.

Menurut Sugiyono, metode penelitian metode penelitian adalah cara-cara

ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan,

dikembangkan, dan dibuktikan suatu pengetahuan tertentu, sehingga pada

gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi

masalah.27

Metode penelitian yang digunakan untuk menulis skripsi ini, yaitu sebagai

berikut:

1. Jenis dan sifat penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum

normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-

asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,

khususnya dalam Undang-Undang OJK dan Undang-Undang

perasuransian. Sifat penelitian adalah deskriptif analisis, yaitu dengan

menggambarkan hasil analisis terhadap norma-norma dan asas-asas hukum

yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan perasuransian, yang dibuat

dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan

antara pasal-pasal terkait yang menyangkut masalah pengawasan OJK

27
Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum, (Depok : Prenadamedia
Group Divisi Kencana), 2018, hlm 3.

Universitas Sumatera Utara


19

terhadap perusahaan asuransi di Indonesia, khususnya mengenai

pengawasan OJK terhadap kasus gagal bayar polis oleh PT. Jiwasraya

Persero.

2. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

berasal dari :

a) Bahan hukum primer, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1992 tentang Perasuransian, Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1999 tentang perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Surat Keputusan Menteri

Keuangan No. 214 dan 215/KMK.013/1988 dan Surat Keputusan

Menteri Keuangan No. 223 sampai 226/KMK.017/1993, dan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23 /POJK.05/2015

Tentang Produk Asuransi Dan Pemasaran Produk Asuransi dan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73 /POJK.05/2016

Tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan

Perasuransian;

Universitas Sumatera Utara


20

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-

makalah seminar, artikel, jurnal, makalah lepas dari internet, media

massa cetak maupun internet, serta karya-karya tulisan yang

menyangkut Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan Perasuransian,

dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap perusahaan

perasuransian di Indonesia, Khususnya terhadap kasus gagal bayar

polis oleh PT. Jiwasraya Persero.

c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya

Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi terhadap dokumen-

dokumen yang relevan terhadap penelitian ini melalui perpustakaan

(library research) dan bahan hukum pendukung lainnya serta melakukan

identifikasi terhadap data tersebut. Data yang diperoleh melalui penelitian

kepustakaan dan bahan hukum pendukung lainnya tersebut selanjutnya

akan dipilih guna memperoleh pasal- pasal, dan data serta fakta yang berisi

kaedah-kaedah hukum dan keterangan yang berhubungan dengan

permasalahan yang sedang diteliti untuk kemudian disistematisasikan

sehingga menghasilkan jawaban yang dibutuhkan dalam permasalahan.

Universitas Sumatera Utara


21

4. Analisis data

Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif

yakni memilih norma-norma dan kaidah-kaidah serta pasal-pasal yang

terpenting dalam Undang-Undang OJK maupun Undang-Undang

Perasuransian. Lalu kemudian dijelaskan, diuraikan, dan kemudian

dipaparkan kedalam bentuk sistematis dari data-data tersebut sehingga

akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang

diteliti. Data tersebut kemudian dijelaskan dalam bentuk hubungannya

antara berbagai jenis data, sehingga selain menggambarkan dan

mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap

permasalahan agar kemudian dapat dilakukan penarikan kesimpulan

terhadap hal-hal tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dan penjabaran tulisan ini maka penelitian

ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar

belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika

penulisan.

BAB II berjudul Karakteristik Usaha dari Perusahaan Asuransi. Pada bab ini

akan dibahas mengenai pengertian dan dasar hukum asuransi di

Indonesia, perkembangan model usaha asuransi, kepercayaan publik

Universitas Sumatera Utara


22

sebagai karakteristik khusus usaha asuransi, dan kewajiban perusahaan

asuransi terhadap nasabahnya.

BAB III berjudul Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Terhadap

Perusahaan Asuransi di Indonesia. pada bab ini akan dibahas mengenai

dasar pendirian Otoritas Jasa Keuangan, fungsi dari Otoritas Jasa

Keuangan, pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap perusahaan

asuransi, dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi

dalam menjalankan fungsi pengawasan perusahaan asuransi.

BAB IV berjudul Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Kasus Gagal

Bayar Polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero. Pada bab ini akan

dibahas mengenai kronologi kasus gagal bayar polis oleh PT. Asuransi

Jiwasraya Persero, pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap PT.

Asuransi Jiwasraya Persero, dan peran Otoritas Jasa Keuangan dalam

penyelesaian kasus gagal bayar polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya

Persero.

BAB V berjudul Penutup. Pada bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan

saran.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

KARAKTERISTIK USAHA DARI PERUSAHAAN ASURANSI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi di Indonesia

Asuransi merupakan serapan dari kata assurantie (Belanda), atau

assurance/insurance (Inggris). Secara sederhana, asuransi berarti pertanggungan

atau perlindungan atas suatu obyek dari ancaman bahaya yang menimbulkan

kerugian.28

Secara istilah, asuransi atau dalam bahasa Belanda “verzekering” berarti

penanggungan. Dalam asuransi terlibat dua pihak, yaitu : yang satu sanggup

menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian suatu

kerugian, yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang

semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan

terjadinya.29

Menurut Abbas Salim dalam bukunya Asuransi dan Manajemen Resiko

memberikan definisi bahwa :

“Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil


(sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian besar
yang belum pasti”.30

Menurut M. Nur Rianto, asuransi merupakan sebuah mekanisme

perlindungan terhadap pihak tertanggung apabila mengalami resiko di masa yang

28
M. Amin Suma, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional ; Teori, Sistim, Aplikasi &
Pemasaran, (Jakarta : Kholam Publishing, 2006), hlm 39.
29
Wirjono Projodikoro, Op Cit, Hlm 1.
30
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Risiko, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012),
hlm 1.

23

Universitas Sumatera Utara


24

akan datang dimana pihak tertanggung akan membayar premi guna

mendapatkan ganti rugi dari pihak penanggung.

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2014 tentang Perasuransian, disebutkan bahwa Asuransi adalah perjanjian antara

dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar

bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena

kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau

tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita

tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang

tidak pasti; atau

b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya

tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung

dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada

hasil pengelolaan dana.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah disampaikan diatas,

kesimpulannya asuransi merupakan sebuah perjanjian yang terjadi antara dua

belah pihak, dimana adanya pihak yang menjadi penanggung dan ada pihak yang

menjadi tertanggung (pemegang polis), serta adanya premi yang didapatkan pihak

penanggung dari pihak tertanggung dengan tujuan untuk mendapatkan jaminan

dari pihak penanggung kepada pihak tertanggung terhadap peristiwa yang tidak

pasti bisa dialami oleh pihak tertanggung.

Universitas Sumatera Utara


25

Perkembangan asuransi di Indonesia di mulai pada tahun 1840-an, ketika

kegiatan perdagangan hasil perkebunan mengalami perkembangan yang cukup

pesat, khusunya di kota pelabuhan seperti Semarang dan Batavia saat itu.

Penggunaan kapal sebagai transportasi pengangkut hasil perkebunan pasti nya

rentan mengalami kecelakaan ataupun kerusakan barang dagang selama

mengalami perjalanan di laut, ditambah dengan adanya peristiwa seperti

perompakan, kebakaran, atau terpaan ombak juga dapat menambah resiko

tersebut. Maka pada tahun 1843 muncullah perusahaan asuransi pertama di

Indonesia saat itu. “Perusahaan asuransi pertama di Indonesia berasal dari modal

orang-orang Belanda dan bernama Bataviaasche Zee en Brand-Assurantie

Maatschappij yang berdiri pada 18 Januari 1843 dan berlokasi di Kali Besar

Timur, Batavia," catat Indonesian Senior Executives Association (ISEA) dalam

History of Insurance in Indonesia.

Untuk membiayai ganti rugi terhadap kemungkinan celaka pada barang

dagangan dan kapal anggotanya, perusahaan asuransi menarik biaya (premi) dari

para anggotanya. Prinsip ini dikenal dengan fortuned many help fortuned one.

"Dengan demikian orang banyak yang beruntung (tidak mengalami musibah)

membantu satu orang yang tidak beruntung," kata Teddy Hailamsah,

mantan managing director PT. Asuransi Central Asia dalam Asuransi di

Indonesia: Pandangan Tokoh-Tokoh Asuransi Jilid .31

31
Hendaru Tri Hanggoro, Historia.id, Sejarah Bisnis Asuransi di Indonesia, dalam
https://historia.id/ekonomi/articles/sejarah-bisnis-asuransi-di-indonesia-DWqk1 (Diakses pada
tanggal 29 Mei 2020, Pukul 22.57 WIB)

Universitas Sumatera Utara


26

Namun dalam perkembangan nya, asuransi pada awalnya hanya

diperuntukkan untuk kaum kolonial, tidak untuk para kaum pribumi. Perusahaan

asuransi yang berdiri saat itu melihat para kaum pribumi bukan target potensial

untuk menjadi nasabah mereka. Hal itu terjadi karena selain secara ekonomi

dianggap kurang potensial, mereka menganggap kaum pribumi sebagai bangsa

terjajah yang pastinya hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan dari bangsa

penjajah. Hingga tahun 1900-an, tidak ada satupun anak pribumi yang bergabung

kedalam perusahaan asuransi ini, karena anak pribumi cenderung berada didalam

dunia mereka sendiri dan tidak melihat asuransi sebagai sebuah kebutuhan.

Pandangan tersebut mulai berubah seiring dengan lahirnya organisasi Budi

Utomo. Peralihan pemahaman tersebut dimulai dari kehidupan guru pribumi pada

saat itu yang mengalami kehidupan yang sangat sulit secara ekonomi. Gaji yang

kecil, ekonomi yang tak pasti, serta tidak adanya jaminan kedepan seandainya

dalam satu keluarga tersebut sang tulang punggung meninggal dunia, membuat

Dwidjosewojo, seorang guru di Magelang mengusulkan pembentukan badan

asuransi jiwa bersama dalam rapat Persatoean Goeroe Hindia Belanda (PGHB).

Perjuangan beliau pun membuahkan hasil, 12 Februari 1912 di Magelang,

dibentuklah sebuah badan asuransi pribumi pertama yang bernama Onderlinge

Levensverzekering Maatschappij PGHB atau disingkat OL Mij PGHB. Seiring

perkembangannya, banyak pihak yang ingin bergabung di dalam badan asuransi

ini, termasuk pihak swasta. Namun oleh pihak pemerintah kolonial dilarang,

dikarenakan lembaga ini dikhususkan untuk guru dan pegawai negeri saja.

Merespon hal tersebut, maka oleh pengurus dibentuk sebuah badan asuransi lain

Universitas Sumatera Utara


27

yang khusus menaungi pihak swasta dengan nama OL Mij Boemi Poetera

Merdeka.

Pada saat Indonesia telah merdeka, sekitar tahun 1960-an, beberapa

perusahaan asuransi yang sebelumnya dimiliki oleh orang-orang Belanda

kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia Hal ini dilakukan

dikarenakan pemerintah Indonesia sata itu melihat asuransi sebagai cabang

produksi yang penting untuk masyarakat dan menguasai hajat hidup orang

banyak. "Dalam konsiderannya, pemerintah berpendapat bahwa perusahaan

asuransi (pertanggungan) jiwa adalah cabang produksi yang penting bagi

masyarakat, dan yang menguasai hajat hidup orang banyak," catat Soepartono

dalam "Asuransi Jiwa: Sarana Pembangunan Ekonomi Negara" termuat

di Wahana Daya, November–Desember 1977.32 Pada saat itu rata-rata nasabah

berasal dari kalangan menengah hingga kalangan atas. Kalangan bawah sama

sekali tidak dapat menjangkau dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang asuransi

dan lebih mengutamakan uang mereka untuk dialokasikan kepada biaya makan

dan tempat tinggal.

Tidak seperti bank dan koperasi, masalah mulai muncul dalam

perkembangan asuransi saat itu ketika promosi asuransi tidak terlalu memiliki

gaung yang kuat dan masif, ketiadaan pemikir asuransi, serta ditambah dengan

munculnya pemotongan nilai uang (sanering) oleh pemerintah beberapa kali pada

saat itu yang mengakibatkan nilai uang dan klaim para nasabah tergerus sehingga

membuat nasabah merugi. Tahun 1965 menjadi titik awal kebangkitan asuransi

32
Hendaru Tri Hanggoro, Ibid

Universitas Sumatera Utara


28

seiring dengan kenaikan pendapatan masyarakat, perubahan politik pada masa itu,

dan dengan isu pembangunan ekonomi serta stabilitas politik oleh rezim

pemerintahan yang baru (Orde Baru). Kemudian pada tahun 1966, sektor swasta

kembali ditumbuhkan oleh pemerintah Orde Baru dan jalur perekonomian yang

dikuasai perusahaan Negara kemudian dibagi menjadi tiga golongan, yaitu

Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum, dan Persero.

Dalam upaya menerbitkan dan meningkatkan mutu industri asuransi di

Indonesia, pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan yang dibentuk

dalam ketentuan dan perundangan. Salah satu produk perundangan yang penting

saat itu berkaitan dengan hal ini adalah dikeluarkan nya Surat Keputusan Menteri

Keuangan No. 214 dan 215/KMK.013/1988 yang dikenal sebagai “Paket

Desember”. Tidak lama setelah itu, lahirlah sebuah Undang-Undang khusus

mengenai usaha perasuransian yang juga menjadi Dasar Hukum pertama asuransi

di Indonesia sejak Republik Indonesia merdeka, yaitu Undang-Undang No. 2

Tahun 1992 (kemudian terjadi perubahan dengan lahirnya Undang-Undang No.

40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian) berikut dengan Peraturan Pemerintah No.

73 Tahun 1992 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 223 sampai

226/KMK.017/1993 yang mengatur sangat rinci mengenai langkah-langkah usaha

perasuransian dalam dunia asuransi di Indonesia.

B. Perkembangan Model Usaha Asuransi

Model usaha asuransi telah mengalami banyak perubahan. Seiring dengan

perkembangan waktu dan perkembangan terhadap ilmu pengetahuan dan

teknologi. Hal tersebut juga mendorong pemikiran masyarakat terhadap jaminan

Universitas Sumatera Utara


29

atas dirinya dan harta kekayaan nya semakin besar, maka asuransi dan usaha

perasuransian juga ikut mengalami perkembangan. Perkembangan model usaha

asuransi sampai dengan saat ini dapat dikategorikan dalam beberapa masa, yaitu :

a) Masa Sebelum Masehi

Pada tahun 356-323 SM, ketika Yunani dibawah kekuasaan Alexander

yang agung (Alexandre The Great), seorang pembantunya yang bernama

Antimenes memerlukan banyak uang untuk guna membiayai pemerintahan

pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang tersebut Antimenes

mengumumkan kepada para pemilik budak supaya mendaftarkan budak-

budaknya dan membayar sejumlah uang tiap tahun kepada Antimenes.

Sebagai imbalanya, Antimenes menjanjikan kepada mereka jika ada budak

yang melarikan diri, maka dia akan memerintahkan supaya budak itu di

tangkap, atau jika tidak ditangkap akan dibayar dengan sejumlah uang

sebagai gantinya. Apabila ditelaah dan diteliti, uang yang diterima oleh

Antimenes dari pemilik budak adalah semacam premi yang di terima dari

tertanggung, sedangkan kesanggupan Antimenes untuk menangkap budak

yang melarikan diri atau membayar ganti kerugian karena karena budak

yang hilang adalah semacam resiko yang dipikul oleh penanggung.

Perjanjian ini mirip dengan asuransi kerugian. 33 Selain itu, dimasa itu juga

sudah berkembang kegiatan yang mirip dengan asuransi jiwa dimana

masyarakat meminjamkan uang kepada pemerintah dengan imbalan bunga

setiap bulan sampai dengan wafatnya ditambah dengan bantuan biaya

33
Abdul Kadir Muhammad, Op Cit, hlm 1.

Universitas Sumatera Utara


30

penguburan nya. Bentuk perjanjian seperti ini terus berkembang sampai

tahun ke-10 M pada zaman Romawi. Peristiwa perjanjian tersebut juga

menandakan sebagai awal perkembangan dari asuransi kerugian dan

asuransi jiwa.

b) Masa Abad Pertengahan

Pada abad ke-9 di Inggris, terdapat sekelompok orang yang mempunyai

profesi sejenis membentuk satu perkumpulan yang disebut gilde.

Pekumpulan ini mengurus kepentingan anggota-anggotanya dengan

berjanji apabila ada anggota yang kebakaran rumah, gilde akan

memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang terkumpul

dari anggota-anggota. Perjanjian ini banyak terjadi dan mirip dengan

asuransi kebakaran. Bentuk perjanjian seperti ini lebih lanjut berkembang

di Denmark, Jerman dan negara-negara eropa lainnya sampai pada abad

ke-12. Pada abad ke-13 dan pertengahan abad ke-14 perdagangan melalui

laut mulai berkembang pesat. Akan tetapi, tidak sedikit bahaya yang

mengancam dalam perjalanan perdagangan melalui laut. Keadaan ini

mulai terpikir oleh pedagang untuk mencari upaya yang dapat mengatasi

kemungkinan kerugian yang timbul melalui laut. Inilah perkembangan

asuransi kerugian laut. Peristiwa diatas juga merupakan awal dari

perkembangan asuransi kerugian pada pengangkutan laut.34 Asuransi ini

berkembang pesat di negara-negara pantai seperti Inggris, Perancis,

Belanda, Jerman, Denmark, dan negara lainnya.

34
Ibid, hlm. 2-3.

Universitas Sumatera Utara


31

c) Masa Sesudah Abad Pertengahan

Pada abad ke-17 sampai abad ke-18, asuransi laut dan asuransi kebakaran

mengalami perkembangan yang pesat terutama di negara-negara Eropa

Barat. Perkembangan tersebut dapat dimaklumi karena negara-negara

tersebut banyak berlayar melalui laut ke negara-negara seberang laut

terutama daerah jajahan mereka. Perkembangan semakin besar seiring

dengan pembentukan Code de Commerce Perancis pada abad ke-19,

asuransi laut dimasukkan sebagai bagian dalam kodifikasi. Kemudian saat

pembentukan Wetboek van Koophandel Nederland, asuransi laut, asuransi

kebakaran, asuransi hasil panen, dan asuransi jiwa dimasukkan sebagai

bagian kedalam kodifikasi hukum ini, dan juga diterapkan di Hindia

Belanda melalui Staatblad Nomor 23 Tahun 1847 berdasarkan asas

konkordansi. Lalu kemudian di Inggris, asuransi laut sendiri diatur secara

khusus dalam Undang-Undang asuransi laut (Marine Insurance Act) yang

dibentuk pada tahun 1906.35

d) Masa Perkembangan Abad Ilmu Dan Teknologi

Pada masa ini, tepatnya pada abad ke-20 ilmu pengetahuan dan teknologi

mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut juga berdampak positif

tidak hanya terhadap perkembangan usaha bidang perasuransian itu

sendiri, namun juga terhadap bidang penunjang asuransi. Pembangunan

sarana transportasi yang semakin masif hingga pelosok mendorong

perkembangan transportasi darat, laut, dan udara serta meningkatkan

35
Ibid, hlm 4.

Universitas Sumatera Utara


32

mobilitas penumpang dari satu daerah ke daerah lain. Tetapi hal tersebut

juga meningkatkan resiko ancaman bahaya lalu lintas sehingga perlu

adanya kebutuhan perlindungan terhadap barang muatan dan jiwa

penumpang. Keadaan ini mendorong berkembangnya perusahaan asuransi

kerugian, asuransi jiwa dan asuransi sosial (social security insurance).

Selain itu, dimasa tersebut juga pembangunan ekonomi mengalami

perkembangan yang pesat, ditandai dengan munculnya perusahaan-

perusahaan besar yang memerlukan banyak modal melalui kredit,

bangunan kantor, dan juga tenaga kerja yang membutuhkan jaminan

perlindungan dari ancaman bahaya, seperti kemacetan, kebakaran, dan

kecelakaan dalam bekerja, hal tersebut mendorong perkembangan seperti

asuransi kredit, asuransi kebakaran, dan asuransi kerja mengalami

perkembangan yang pesat, ditambah juga dengan adanya asuransi yang

khusus diperuntukkan untuk bidang teknologi satelit komunikasi sebagai

akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi satelit.

Keperluan ada nya perlindungan dari ancaman kegagalan peluncuran dan

berfungsinya satelit mendorong perkembangan asuransi tersebut semakin

baik. Hal ini diperlukan dikarenakan adanya peristiwa satelit Palapa B2

milik Indonesia yang mengalami gagal masuk garis orbit. Oleh karena

kegagalan tersebut membuat Indonesia mengklaim dan mendapatkan ganti

rugi dari perusahaan asuransi yang bersangkutan atas kejadian tersebut.36

36
Ibid, hlm 4-5.

Universitas Sumatera Utara


33

Perkembangan usaha perasuransian sendiri mengikuti arah perkembangan

ekonomi masyarakat. Semakin tinggi pendapatan perkapita masyarakat, maka

semakin mampu masyarakat memiliki harta kekayaan sehingga dibutuhkan pula

perlindungan keselamatannya dari ancaman bahaya terhadap dirinya sendiri

maupun terhadap aset kekayaan nya, sehingga meningkatkan juga kemampuan

masyarakat membayar premi asuransi. Dimasa kini, usaha perasuransian memiliki

banyak sekali jenis asuransi yang berkembang dan dapat digunakan masyarakat,

seperti asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan asuransi sosial dan semuanya diatur

dalam perundang-undangan yang berlaku. Khusus terhadap asuransi sosial,

bukanlah berdasar pada perjanjian, tetapi diatur didalam undang-undang sebagai

sebuah asuransi wajib (compulsory insurance).

C. Kepercayan Publik Sebagai Karakteristik Khusus Usaha Asuransi

Karakteristik adalah bagian yang sangat penting dari sebuah hal, termasuk

pula didalam nya karakteristik dari sebuah usaha/perusahaan. Karakteristik

tersebut dapat berupa ukuran perusahaan (size), leverage, basis perusahaan, jenis

industri, serta profil dan karakteristik lainnya. Setiap perusahaan memiliki

karakteristik yang berbeda dengan perusahaan lainnya, hal tersebut terjadi karena

karakteristik perusahaan juga berkaitan dengan kemampuan perusahaan baik segi

finansial atau non-finansial.37 Hal tersebut juga terdapat dalam usaha

perasuransian dan salah satu poin yang menjadi karakteristik khusus yang dimiliki

oleh usaha asuransi serta menjadi faktor yang dapat dikenal sehingga produk yang

ditawarkan oleh perusahaan asuransi dapat digunakan oleh masyarakat sebagai


37
Marfuah dan Yuliawan Dwi Cahyono, Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial, Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas
Islam Indonesia, Volume 15, No. 1, 2011, hlm 106.

Universitas Sumatera Utara


34

calon nasabah adalah bagaimana tingkat kepercayaan publik terhadap usaha

asuransi tersebut. Hal itu dapat dimaklumi karena para calon nasabah tentu tidak

ingin sembarangan dalam memilih sebuah usaha asuransi dan menggunakan

produk yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi tanpa adanya kepastian dan

kepercayaan.

Namun dalam perkembangan nya, semakin maraknya berbagai produk

yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi ternyata tidak diikuti

dengan jaminan perlindungan hukum terhadap pemegang polis asuransi. Penulis

melihat permasalahan yang selalu dialami oleh pemegang polis adalah sulitnya

memperoleh pembayaran ganti kerugian ketika evenement terjadi. Padahal tujuan

utama seorang pemegang polis atau nasabah mengikatkan diri dalam perjanjian

asuransi adalah untuk menerima ganti kerugian bila terjadi suatu peristiwa yang

tidak diduga menimpa objek asuransi karena ketika seorang pemegang polis atau

nasabah telah mengikatkan diri kedalam perjanjian asuransi maka seharusnya

mereka mendapatkan jaminan perlindungan hukum atas polis yang mereka

miliki.38 Pasal 246 KUHD secara jelas menentukan bahwa :

“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana


seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungin
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”.

Berdasarkan pasal diatas, penulis menilai bahwa didalam asuransi sendiri

terdapat unsur-unsur penting, yaitu :

1. Pihak-pihak, yakni penanggung dan tertanggung;

38
Sunarmi, Loc Cit.

Universitas Sumatera Utara


35

2. Status pihak-pihak. Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan

berbadan hukum, dapat berbentuk perseroan terbatas (PT), perusahaan

perseroan koperasi. Sementara tertanggung dapat berstatus sebagai

perseorangan, persekutuan, atau badan hukum;

3. Obyek asuransi, dapat berupa benda hak atau kepentingan yang melekat

pada benda, dan sejumlah yang disebut premi atau ganti kerugian;

4. Peristiwa asuransi, yaitu perbuatan hukum (Illegal Act), berupa

persetujuan atau kesepakatan tertanggung mengenai obyek asuransi

peristiwa tidak pasti (Evenement) yang mengancam benda asuransi dan

syarat-syarat yang berlaku dalam asuransi;

5. Hubungan asuransi, adalah keterikatan (Legality Bound) yang timbul

karena kesepakatan bebas.

Asuransi sebagai sebuah produk yang berupa jaminan berbentuk perjanjian

juga tidak terlepas dari syarat-syarat yang mengikatnya. Menurut pasal 1320 BW,

sebuah perjanjian yang dibuat harus memiliki syarat-syarat ini :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Terdapat suatu hal tertentu;

4. Adanya suatu sebab yang halal.

Selain itu, didalam pasal 251 KUHD disebutkan bahwa selain harus

memenuhi empat poin diatas, sahnya sebuah perjanjian juga mengharuskan

adanya pemberitaan tentang semua keadaan yang diketahui oleh tertanggung

mengenai benda pertanggungan. Semua pemberitaan yang salah atau tidak benar

Universitas Sumatera Utara


36

atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun

jujurnya itu terjadi pada pihaknya yang bersifat sedemikian rupa sehingga

perjanjian tidak akan diadakan atau diadakan dengan syarat-syarat yang sama

bilamana penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari benda itu,

menyebabkan pertanggungan itu batal.39

Asuransi sendiri menganut asas atau prinsip khusus, yakni sebagai lex

spesialis dari pasal 1320 BW/KUHPerdata. Prinsip tersebut meliputi :

1. Principle of insurable interest, prinsip ini menekankan bahwa seorang

tertanggung harus memiliki hubungan terhadap obyek yang diasuransikan;

2. Principle of utmost good faith, dimana prinsip ini menjelaskan seorang

tertanggung wajib menginformasikan tentang obyek yang diasuransikan;

3. Principle of indemnity, dimana seorang tertanggung hanya mendapat

penggantian sebesar kerugian yang ditanggung;

4. Principle of subrogration, dimana seorang tertanggung tidak dibenarkan

meminta ganti rugi dari pihak lain yang menyebabkan kerugian.40

Principle of utmost good faith atau disebut dengan istilah prinsip itikad

baik sempurna atau juga disebut sebagai asas kejujuran yang sempurna

(uberrimae fidei) merupakan prinsip yang menyatakan bahwa seorang

tertanggung wajib menginformasikan tentang obyek yang diasuransikan kepada si

penanggung mengenai fakta-fakta dan hal pokok yang diketahuinya, dan berkaitan

dengan risiko terhadap pertanggungan yang dilakukan. Perjanjian asuransi dapat

39
Selvi Harvia Santri, Prinsip Utmost Good Faith Dalam Perjanjian Asuransi Kerugian,
UIR Law Review, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Volume 01, Nomor 01, April 2017.
40
Mehr,Cammack, Dasar-dasar Asuransi, terjemahan AA. Hasyimi (Jakarta : Balai
Aksara, 1981), hlm. 30-40.

Universitas Sumatera Utara


37

batal apabila keterangan yang disampaikan tidak benar atau informasi yang tidak

disampaikan. Asas kejujuran ini pada dasarnya merupakan asas bagi tiap

perjanjian sehingga harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.

Tidak dipenuhinya asas ini pada saat menutup suatu perjanjian akan menyebabkan

adanya cacat kehendak, sebagaimana makna dari keseluruhan dasar yang diatur

dalam pasal 1320-1329 BW/KUHPerdata. Bagaimanapun juga itikad baik

merupakan satu dasar utama dan kepercayaan yang melandasi setiap perjanjian

dan juga hukum pada dasarnya tidak melindungi pihak yang beritikad buruk.41

Itikad baik dan kepercayaan publik memiliki korelasi yang berdekatan

sebagai sebuah poin karakteristik khusus yang harus dimiliki oleh tiap-tiap

perusahaan asuransi, karena melalui itikad baik maka akan memunculkan sebuah

perjanjian yang sempurna dan hal tersebut dapat memunculkan kepercayaan

publik terhadap perusahaan asuransi tersebut. Hal tersebut juga tidak lepas dari

apa yang terdapat dalam filosofi utama prinsip ini sendiri. Filosofi utama dari

prinsip ini adalah bagaimana perjanjian yang terbentuk dapat menghilangkan

kekhawatiran cacat kehendak didalamnya. Yang dimaksud cacat kehendak disini

adalah adanya unsur penipuan. Dengan kata lain, prinsip ini memegang teguh

kejujuran dalam sebuah perjanjian. Yang perlu juga dipahami bahwa asuransi

merupakan perjanjian baku karena bentuk kontraknya yang telah ditetapkan dalam

bentuk sebuah polis. Terkait dengan prinsip ini, maka pihak perusahaan tidak

boleh melakukan penyalahgunaan keadaan terhadap perjanjian yang telah

dibakukan, meskipun penyalahgunaan keadaan belum termasuk sebagai faktor

41
Selvi Harvia Santri, Op Cit, hlm. 80.

Universitas Sumatera Utara


38

penyebab batalnya perjanjian dalam hukum positif di Indonesia. Hal ini juga

menjelaskan bahwa kepercayaan publik dapat terbangun dengan sendirinya jika

nasabah memperoleh kepuasan dan kenyamanan dari sisi jaminan hukum dan

jaminan kemanfaatan produk asuransi yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan

asuransi, dan perusahaan asuransi menerapkan prinsip ini dengan baik kepada

setiap bentuk perjanjian yang dibuat dengan para nasabahnya.

Selain itu, asuransi sendiri juga merupakan sebuah produk yang dirancang

untuk memberikan perlindungan terhadap resiko yang akan datang. Hal itu selaras

dengan apa yang terdapat dalam salinan POJK Nomor 23/POJK.05/2015 tentang

produk asuransi dan pemasaran produk asuransi, dimana di dalam Bab I pasal 1

disebutkan bahwa :

“ Produk Asuransi adalah:


a) Program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih
risiko yang dapat diasuransikan yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti dengan memberikan penggantian kepada pemegang polis,
tertanggung, atau peserta karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin diderita pemegang polis, tertanggung, atau peserta, atau
pemberian jaminan pemenuhan kewajiban pihak yang dijamin kepada
pihak yang lain apabila pihak yang dijamin tersebut tidak dapat memenuhi
kewajibannya;
b) Program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih
risiko yang terkait dengan meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan, hidup dan meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan, atau anuitas asuransi jiwa;
c) Program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih
risiko yang terkait dengan keadaan kesehatan fisik seseorang atau
menurunnya kondisi kesehatan seseorang yang dipertanggungkan;
dan/atau
d) Program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih
risiko dengan memberikan penggantian atau pembayaran kepada

Universitas Sumatera Utara


39

pemegang polis, tertanggung, atau peserta atau pihak lain yang berhak
dalam hal terjadi kecelakaan”.42
Dari isi-isi didalam pasal diatas, terdapat sebuah kesamaan antara satu

poin dengan poin lainnya, yakni secara keseluruhan bahwa produk asuransi ini

sendiri adalah sebuah produk yang dirancang dengan proses pemrograman

terlebih dahulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Program adalah

rancangan mengenai asas serta usaha (dalam ketatanegaraan, perekonomian, dan

sebagainya) yang akan dijalankan.43 Dengan demikian dalam menggunakan

produk asuransi sendiri memiliki tahapan-tahapan yang mana hal tersebut sudah

diatur sebagai bentuk rancangan, dan harus dilalui baik oleh para calon nasabah

dan perusahaan itu sendiri dalam mencapai kesepakatan dalam penggunaan

produk asuransi tersebut dalam bentuk perjanjian.

Namun bentuk perjanjian dari asuransi sedikit berbeda dengan perjanjian

pada umumnya yaitu sebelum perjanjian asuransi itu diterbitkan dalam bentuk

polis, agen asuransi sebagai wakil dari institusi asuransi akan melakukan

pengecekan terlebih dahulu semisal wawancara dengan calon tertanggung,

mengenai aktifitas dan kesehatan calon tertanggung terutama dalam dua tahun

terakhir. Sementara calon tertanggung harus menyampaikan seluruh fakta yang

diketahuinya secara terbuka dan jujur.44 Hal itu dilakukan untuk memastikan tidak

ada informasi yang tidak jelas dan terdapat unsur-unsur penipuan didalamnya.

42
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015
Tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi.
43
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Kamus Besar Bahasa
Indonesia”, dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/program, (diakses pada tanggal 18 Agustus
2020, Pukul 02.52 WIB).
44
Man Suparman Sastrawidjadja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga,
(Jakarta : PT. Alumni, 2003), hlm 79.

Universitas Sumatera Utara


40

Perusahaan asuransi memiliki agen asuransi yang bertugas sebagai

perantara dan juga pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Para agen harus mentaati prosedur yang tersedia. Biasanya dalam rangka

memasarkan produk asuransi, Pertama-tama agen asuransi menawarkan

produknya kepada calon tertanggung, para agen menjelaskan keterangan berbagai

macam produk asuransi yang dimiliki perusahaan asuransi tersebut dimana

didalamnya menjelaskan berbagai manfaat, fungsi, kegunaan dan hal-hal lainnya

didalam produk tersebut. Selain itu agen juga menjelaskan tentang daftar yang

berisi tarif premi dan jumlah uang asuransi dari berbagai produk asuransi yang

kemudian calon tertanggung sendiri yang menentukan pilihannya. 45

Kemudian setelah itu, tenaga pemasar (agen) bertemu dengan calon

nasabah untuk menawarkan produk asuransi, jika calon nasabah tertarik dan

ingin diikutsertakan dalam produk asuransi jiwa yang ditawarkan, maka calon

nasabah harus mengisi terlebih dahulu surat pengajuan aplikasi jiwa (SPAJ) dan

menandatangani surat pengajuan aplikasi jiwa tersebut.46 Surat pengajuan aplikasi

jiwa (SPAJ) merupakan lembar formulir dari perusahaan yang perlu diisi oleh

calon tertanggung dan agen yang bersangkutan. SPAJ berisi mengenai seluruh

data calon tertanggung, termasuk riwayat penyakit dan kesehatan. Pengisian SPAJ

oleh calon tertanggung dalam asuransi jiwa merupakan salah satu bentuk nyata

45
Aditama Setya Prakoso dkk, Polis Asuransi Jiwa Sebagai Alat Bukti Penuntutan Klaim
Dalam Perjanjian Asuransi Jiwa (Studi Di PT. Asuransi Jiwasraya Semarang Timur), Diponegoro
Law Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Volume 05, Nomor 03, 2016,
hlm 3.
46
Adyan Agit Pratama dkk, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Perjanjian
Perpanjangan Asuransi Melalui Telemarketing, Diponegoro Law Jurnal, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang, Volume 06, Nomor 01, 2017, hlm 5-6.

Universitas Sumatera Utara


41

mengenai syarat khusus terjadinya perjanjian asuransi yaitu mengenai itikad baik

dan notifikasi. Surat permintaan asuransi jiwa (SPAJ) dan surat-surat keterangan

lain yang diisi calon tertanggung menjadi dasar perjanjian asuransi antara

penanggung dan pemegang polis. Agen asuransi sebagai pihak penanggung akan

meneliti dan memeriksa surat permintaan asuransi jiwa (SPAJ) serta surat-surat

keterangan yang lain apakah tertanggung layak untuk dicover atau tidak, jika

perlu dapat dilakukan medical check up untuk memeriksa riwayat kesehatan calon

tertanggung.47

Kemudian, agen asuransi jiwa akan menyerahkan SPAJ dan surat-surat

keterangan tersebut kepada bagian underwriting yang selanjutnya melakukan

seleksi untuk menentukan disetujui atau tidaknya tertanggung. Apabila disetujui

kemudian underwriter mengirimkan SPAJ dan surat-surat keterangan tersebut

serta tertanggung diwajibkan membayar uang polis dan pembayaran premi

pertama ke kantor pusat. Underwriter sendiri adalah fungsionaris bagian Teknik /

Underwriting, yang mempunyai tugas pokok untuk menganalisa risiko yang

ditawarkan, menetapkan term and conditions serta menetapkan besarnya premi

yang mencerminkan tingkat risiko yang ditanggung. Sumber informasi untuk

melakukan seleksi risiko atau underwriting ini berasal Surat Permohonan

Asuransi Jiwa dan dokumen-dokumen lain, underwiter sebagai pihak yang

bertanggung jawab dari perusahaan asuransi jiwa akan melakukan pemeriksaan

pada diri calon tertanggung. 48

47
Aditama Setya Prakoso dkk, Op Cit, hlm 4.
48
Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


42

Selanjutnya polis yang sudah disetujui underwriter ini diberikan kepada

tertanggung dan kemudian disebut pemegang polis. Pemegang polis mempunyai

hak untuk mempelajari dan memahami mengenai isi dan ketentuan yang terdapat

dalam polis (free look provision) tersebut, apabila terdapat hal-hal yang tidak

dimengerti oleh klien tersebut, maka dapat ditanyakan kepada underwriter.

Kemudian setelah itu polis diterbitkan dan pertanggungan mulai berlaku sejak

tanggal yang tercantum di dalam polis dan kewajiban membayar premi sudah

terpenuhi. Polis yang sudah ditandatangani oleh calon tertanggung, secara

otomatis berpindah sepenuhnya menjadi milik tertanggung dan polis ini

merupakan bukti tertulis perjanjian jiwa antara tertanggung dan penanggung

sampai jangka waktu yang ditentukan sebagaimana yang tertulis didalam polis. 49

Principle of Utmost Good Faith sebagai Prinsip Hukum Asuransi disebut

dengan istilah prinsip iktikad baik sempurna atau asas kejujuran yang sempurna

(uberrimae fidei). Dari prinsip ini dapat dinyatakan bahwa tertanggung wajib

menginformasikan kepada penanggung mengenai suatu fakta dan hal pokok yang

diketahuinya, serta hal-hal yang berkaitan dengan risiko terhadap pertanggungan

yang dilakukan. Keterangan yang tidak benar dan informasi yang tidak
50
disampaikan dapat mengakibatkan batalnya perjanjian asuransi. Prinsip ini

sangat penting dalam perjanjian asuransi yang dilakukan oleh pihak penanggung

dan tertanggung.

Prinsip Utmost Good Faith (concealment of material fact , non disclosure

of material fact) dalam perjanjian asuransi sangat penting karena menyangkut hak

49
Ibid, hlm 4-5.
50
Selvi Harvia Santri, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


43

dan kewajiban tertanggung serta penanggung di lain pihak. Pada prinsip utmost

good faith tertanggung pada saat melakukan mengajukan form aplikasi penutupan

asuransi berkewajiban memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala

fakta penting yang berkaitan dengan dirinya atau obyek yang diasuransikan serta

tidak berusaha dengan sengaja untuk mengambil untung dari penanggung. Dengan

kata lain tertanggung tidak menyembunyikan sesuatu yang dapat dikategorikan

sebagai cacat tersembunyi atau menutup-nutupi kelemahan dan kekurangan atas

diri atau obyek yang dipertanggungkan, mengingat hal ini berkaitan erat dengan

resiko, penetapan pembayaran premi serta kewajiban penanggung jika terjadi

kerugian yang diderita oleh tertanggung. Prinsip ini jika dicermati juga sesuai

dengan implementasi Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian

yang dibuat harus berdasarkan atas dasar sebab yang halal serta persetujuan harus

dilaksanakan dengan itikad baik. Apakah prinsip ini hanya menjadi kewajiban dari

tertanggung (konsumen) atau juga mengikat terhadap pelaku usaha (penanggung/

lembaga asuransi).51

Dalam kaitan kejujuran, perusahaan asuransi, termasuk agen penjual polis,

kebenaran dan keakuratan informasi yang ia miliki terhadap peserta adalah satu

hal yang wajib. Informasi yang harus diberikan perusahaan kepada peserta tidak

hanya berkait dengan kualitas jasa, klausul-klausul, macam-macam risiko yang

ditangani, tetapi juga efek-efek yang akan diterima peserta, serta hal lain yang

sangat berkait.52

51
Bronto Hartono, Prinsip Utmost Good Faith Dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi
Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang, Tesis Program Magister
Kenotariatan, Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, 2005, hlm 33.
52
Selvia Halvia Santri, Op Cit, hlm 81.

Universitas Sumatera Utara


44

Hal itu didasari karena Filosofi utama dari principle of utmost good faith

berarti telah mengeliminir kekhawatiran cacat kehendak dalam sebuah perjanjian.

Cacat kehendak yang dimaksud adalah penipuan. Dengan kata lain, prinsip ini

memegang teguh kejujuran dalam sebuah perjanjian. Keterbatasan Kejujuran

Principle of Utmost Good Faith Hal lain yang perlu dipahami bahwa asuransi

termasuk dalam perjanjian baku sebab bentuk kontraknya telah ditetapkan dalam

bentuk polis. Berkaitan dengan prinsip ini pihak perusahaan tidak boleh

melakukan penyalahgunaan keadaan adanya perjanjian yang telah dibakukan.

Meskipun penyalahgunaaan keadaan belum termasuk sebagai salah satu faktor

penyebab batalnya perjanjian dalam hukum positif Indonesia.53

Namun kenyataannya, bahwa masih ada informasi yang kabur kerap

menjadi permasalahan dalam perjanjian asuransi. Pertanyaan dan pernyataan yang

diajukan harusnya diisi dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Namun

memang terkadang form perjanjian yang ada juga sering menjadi titik

permasalahan. Pertanyaan dan pernyataan berkenaan dengan apa yang

dipertanggungkan wajib diisi secara jujur, namun demikian seringkali pilihan-

pilihan jawaban yang ada dalam blangko tidak mencukupi atau bahkan blangko

tidak bisa mengorek informasi lebih jauh terhadap kondisi tertanggung karena

hanya berupa tulisan. Kondisi seperti inilah yang masih menjadi keterbatasan

kejujuran yang tidak maksimal. Namun demikian keterbatasan yang ada tidak

menimbulkan kerugian yang besar dan dimaklumi maka tidak menjadi persoalan

serius. Sebab dengan pengisian blangko yang diajukan oleh penanggung dan

53
Ibid, hlm 81-82.

Universitas Sumatera Utara


45

dengan diisi oleh tertanggung berarti bahwa penanggung telah menyetujui

perjanjian tersebut. Jika hal demikian telah dipahami bersama dan telah menjadi

adat kebiasaan maka keberadaannya tidak dapat membatalkan perjanjian yang

telah dibuat.54

Principle of Utmost Good Faith sebagai prinsip hukum asuransi telah

memiliki keselerasan dengan asas-asas yang berupa asas kejujuran. Adanya

ketidakjujuran (penipuan) berakibat pada pembatalan perjanjian yang telah dibuat.

Keterbatasan kejujuran yang ada sebagai akibat keterbatasan ruang, yang tidak

semua pernyataan bisa dituangkan dalam blangko perjanjian (polis), bila sudah

menjadi kesepahaman bersama, tidak menciderai isi perjanjian, tidak mengurangi

esensi perjanjian maka hal demikian tidak menjadi persoalan yang perlu

diperdebatkan sekaligus tidak membatalkan perjanjian yang telah dibuat.55

D. Kewajiban Perusahaan Asuransi Terhadap Nasabahnya

Perkembangan pesat yang terjadi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi

telah membuat perkembangan yang pesat terhadap usaha perasuransian dari awal

kemunculannya hingga saat ini. Pengaruh perekonomian secara global juga ikut

membantu membentuk daya beli masyarakat semakin tinggi sehingga hal itu juga

mempengaruhi kesuksesan terhadap penggunaan produk-produk asuransi yang

dikeluarkan oleh perusahaan asuransi untuk digunakan masyarakat. Selaras

dengan hal tersebut, maka perusahaan asuransi juga memiliki kewajiban yang

besar terhadap para nasabah yang menggunakan produknya. Selain itu perusahaan

asuransi dibentuk tentu memiliki sebuah tujuan, yaitu :

54
Ibid, hlm 82.
55
Loc. Cit, hlm 82.

Universitas Sumatera Utara


46

a. Pengalihan Risiko

Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko

yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar

sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula

risiko beralih kepada penanggung.

b. Pembayaran Ganti Kerugian

Jika suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan

kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung

akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah

asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat

sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss).

Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk

memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh–sungguh

diderita.56

Dalam pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku

prinsip subrogasi (diatur dalam pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata) dimana penggantian hak si berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak

ketiga (penanggung/pihak asuransi) – yang membayar kepada si berpiutang (nilai

klaim asuransi) – terjadi baik karena persetujuan maupun karena undang-

undang.57

56
Deny Guntara, Asuransi Dan Ketentuan-Ketentuan Hukum Yang Mengaturnya, Jurnal
Justisi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan Karawang, Volume 01,
Nomor 01, 2016, hlm 33.
57
Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


47

Berdasarkan penjabaran poin-poin diatas, maka secara singkat tujuan dari

asuransi sendiri dibentuk adalah sebagai pengalihan resiko dari pihak tertanggung

(nasabah) kepada pihak penanggung (perusahaan asuransi) dan untuk membayar

kerugian yang ditanggung oleh pihak tertanggung karena sebuah evenement.

Resiko merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan

manusia serta resiko merupakan suatu keadaan tidak pasti yang berwujud dalam

berbagai bentuk dan peristiwa. Kemungkinan bagi seseorang akan mengalami

kehilangan atau kerugian merupakan suatu hal yang tidak diinginkan, sehingga

kemungkinan timbulnya risiko menjadi kenyataan merupakan suatu hal yang

diusahakan tidak terjadi.58 dalam rangka mengatasi kemungkinan terjadinya risiko

yaitu dengan mengalihkan risiko kepada pihak lain, karena pihak lain tersebut

memiliki kemampuan untuk mengelola risiko orang yang ditanggung untuk

kemudian ditanggung oleh pihak lain tersebut. Pihak lain yang dimaksud adalah

perusahaan asuransi.59

Asuransi atau perusahaan asuransi merupakan alat peralihan resiko, artinya

ia dapat dipakai sebagai salah satu wahana untuk mengadakan peralihan resiko

antara pihak yang satu (tertanggung) dialihkan kepada pihak lain (penanggung).

Peralihan dapat terjadi dengan suatu perjanjian. Satu-satunya perjanjian yang

memungkinkan hanyalah perjanjian asuransi atau perjanjian tanggungan, yang

dapat berposisi sebagai tertanggung dapat individu/perorangan, kelompok orang

58
Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm 1 .
59
Atyanta Nanda Dhanistha dan Djuwityastuti, Proses Pembayaran Klaim Asuransi
Kendaraan Bermotor Bagi Tertanggung (Studi di Brins General Insurance Cabang Yogyakarta),
Jurnal Privat Law, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Volume 03, Nomor 01,
2019, hlm 131.

Universitas Sumatera Utara


48

atau suatu institusi bahkan masyarakat luas. Sedangkan yang dapat berposisi

sebagai penanggung adalah perusahaan asuransi sebagai lembaga institusi .60

Filosofi dari pengalihan resiko ini adalah bahwa pihak penanggung

bertanggungjawab terhadap resiko yang terjadi dari pihak tertanggung atas sebuah

evenement. Evenement sendiri adalah peristiwa terhadap mana asuransi diadakan

tidak dipastikan terjadi dan tidak diharapkan terjadi. Adapun pengertian

evenement jika dirumuskan adalah : Evenement menurut pengalaman manusia

normal, tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi, saat

terjadinya tidak dapat ditentukan dan juga tidak dapat diharapkan akan terjadi,

jika terjadi juga akan menyebabkan kerugian.61 Namun harus dipahami pula

bahwa terdapat perbedaan antara resiko dan evenement itu sendiri. Hal itu dapat

dilihat dari objek asuransinya, dimana selama belum terjadi penyebab timbulnya

kerugian, selama itu pula bahaya yang mengancam obyek asuransi disebut resiko.

Apabila resiko itu sungguh - sungguh menjadi kenyataan, maka resiko berubah

menjadi evenement, yaitu peristiwa yang menimbulkan kerugian .62 Maka dengan

demikian bahwa pengalihan resiko dapat terjadi jika resiko tersebut sudah

mengakibatkan kerugian secara nyata.

Evenement sendiri memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu :

a) Peristiwa yang terjadi itu menimbulkan kerugian

b) Terjadinya itu tidak diketahui, tidak dapat diprediksi terlebih dahulu

60
Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2001), hlm 72.
61
Abdul Kadir Muhammad, Op Cit, hlm 120.
62
Selvi Harvia Santri, Pelaksanaan Prinsip Subrogasi Pada Asuransi Kendaraan
Bermotor Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Jurnal UIR Law Review, Fakultas
Hukum Universitas Islam Riau, Volume 02, Nomor 02, 2018, hlm 357.

Universitas Sumatera Utara


49

c) Berasal dari faktor ekonomi, alam dan manusia

d) Kerugian terhadap diri, kekayaan dan tanggung jawab seseorang

Kerugian Dalam Asuransi Evenement erat sekali persoalannya dengan

ganti kerugian. Akan tetapi tidak setiap kerugian (loss) akibat evenement harus

mendapat ganti kerugian. Antara evenement yang terjadi dan kerugian yang timbul

ada hubungan kausal. Evenement adalah sebab dan kerugian adalah akibat. Jika

sudah dipastikan evenemen yang terjadi itu dijamin oleh polis dan karenanya

menimbulkan kerugian, penanggung terikat untuk membayar ganti kerugian .63

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi juga harus sesuai

dengan prinsip tata kelola perusahaan asuransi yang telah diatur didalam Pasal 2

ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73 /POJK.05/2016 Tentang

Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian, yang

meliputi:

1) Keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan

keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan

informasi yang relevan mengenai Perusahaan Perasuransian, yang mudah

diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang perasuransian serta standar, prinsip, dan

praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat;

2) Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan

pertanggungjawaban Organ Perusahaan Perasuransian sehingga kinerja

63
Loc. Cit, hlm 357.

Universitas Sumatera Utara


50

Perusahaan Perasuransian, dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif,

dan efisien;

3) Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan

Perusahaan Perasuransian dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar,

prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat;

4) Kemandirian (independency), yaitu keadaan Perusahaan Perasuransian

yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan

Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik

penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat; dan

5) Kesetaraan Dan Kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan, keseimbangan,

dan keadilan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang

timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang perasuransian, nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik

penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat.64

Selain itu, dalam melaksanakan kewajibannya kepada nasabah, perusahaan

asuransi juga harus mengikuti prinsip khusus yang diatur dalam 1320

BW/KUHPerdata sebagai lex spesialis.

Segala kewajiban yang muncul merupakan konsekuensi atas perjanjian

yang dibuat diantara kedua belah pihak, dan hal tersebut tidak dapat dielakkan.

64
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73 /POJK.05/2016
Tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian.

Universitas Sumatera Utara


51

Dengan demikian, kewajiban ini menjadi sebuah pengikat antara pihak

penanggung dan tertanggung, khusus nya kepada perusahaan asuransi untuk

menjalankan proses usaha asuransi sesuai dengan tujuan asuransi itu sendiri.

Maka demikian, jika sebuah perusahaan asuransi mengetahui dengan

jelas kewajiban nya sesuai dengan penjabaran poin-poin diatas serta mengikuti

prinsip tata kelola usaha yang telah dirumuskan dan juga prinsip-prinsip khusus

yang dimiliki sebagai perusahaan asuransi sebagai karakteristik nya, serta didasari

pada kejujuran dan itikad baik, maka dalam melaksanakan seluruh kewajiban nya

terkhusus kepada para nasabah sebagai pemegang polis pasti nya akan berjalan

dengan baik dan memberikan kepercayaan lebih diantara kedua belah pihak dalam

rangka mewujudkan tujuan asuransi itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Terhadap Perusahaan Asuransi


Di Indonesia

A. Dasar pendirian Otoritas Jasa Keuangan

Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang

meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa

keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong

diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang

terintegrasi. Teori ekonomi menunjukkan bahwa moral hazard disebabkan oleh

adanya asymmetric information. Asymmetric information menyebabkan dua hal,

yaitu moral hazard dan adverse selection (kesalahan memilih). Asymmetric

information adalah kondisi dimana informasi tidak tersebar merata antar pelaku

ekonomi.65 Maka demikian dibutuhkan sebuah penataan sturktur perorganisasian

lembaga-lembaga yang dimana dapat melaksanakan tugas pengaturan dan

pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar

modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa

keuangan lainnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme

koordinasi yang baik dan efektif dalam menangani permasalahan yang timbul

dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas

sistem keuangan, maka dibentuklah lembaga yang bernama Otoritas Jasa

Keuangan.

65
Lina Maulidina, Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Lembaga Pengawas
Perbankan Nasional Di Indonesia, Jurnal Keadilan Progresif, Fakultas Hukum Universitas Sang
Bumi Ruwaijura Bandar Lampung, Volume 5, Nomor 1, Maret 2014, hlm 103.

52

Universitas Sumatera Utara


53

Otoritas Jasa keuangan sendiri merupakan lembaga independen yang

dibentuk untuk melaksanakan fungsi pemerintah dalam mengatur dan mengawasi

kegiatan lembaga sektor jasa keuangan, baik itu lembaga keuangan perbankan

maupun lembaga keuangan non-perbankan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

yang berbunyi :

“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga


yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

Pada dasarnya, Otoritas Jasa Keuangan sendiri juga bisa dikatakan sebagai

lembaga pemegang otoritas tertinggi dan lembaga extraordinary, dimana lembaga

ini mendapat pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan pada lembaga jasa

keuangan, seperti perbankan, pasar modal, dan lembaga jasa keuangan non-bank

seperti asuransi, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan konsumen yang bersifat

bisnis keuangan di Indonesia dan berada dibawah pengawasannya tanpa intervensi

dari manapun.66

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan dicanangkan melalui Pasal 34

Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Namun

Otoritas Jasa Keuangan belum dibentuk pada waktu itu walaupun telah

diamanatkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan dibentuk sebelum akhir tahun 2002,

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

66
Nazia Tunisa, Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran
Jaminan Fidusia, Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Volume 3, Nomor 2, 2015, hlm 367.

Universitas Sumatera Utara


54

Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia menjelaskan bahwa Otoritas Jasa

Keuangan akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Untuk

mengakhiri permasalahan politik dan kepentingan antara beberapa pihak yang

mendukung dan menentang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, akhirnya pada

tanggal 22 November 2011, Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas

Jasa Keuangan.

Sesuai dengan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank

Indonesia, maka lahirlah suatu lembaga supervise yaitu Otoritas Jasa Keuangan

yang bersifat independen dalam menjalanan tugas dan kedudukannya yang berada

di luar pemerintahan dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 67 Alasan

pembentukan Otoritas Jasa Keuangan antara lain adalah makin kompleks dan

bervariasinya produk jasa keuangan dan globalisasi industri jasa keuangan. Di

samping itu, salah satu alasan rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

adalah karena pemerintah beranggapan bahwa Bank Indonesia sebagai bank

sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat

dilihat pada krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, dimana sejumlah bank

di Indonesia pada saat itu dilikuidasi.

67
Annisa Arifka Sari, Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Jasa Keuangan
di Indonesia, (Padang : Supremasi Jurnal Hukum Sekolah Tinggi Ilmu ekonomi Perbankan
Indonesia), Volume 1, No. 1, 2018, hlm 25-26.

Universitas Sumatera Utara


55

Kemudian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan, yaitu di dalam bagian Penjelasan Umum disebutkan bahwa

pembentukan Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan agar dapat dicapai mekanisme

koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani masalah keuangan yang timbul

di dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas

sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap kerseluruhan kegiatan

keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Hal ini juga sebagai akibat

globalisasi di dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di dalam bidang

teknologi dan informasi serta inovasi finansial yang telah menciptakan sistem

keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antara sub sektor

keuangan, baik di dalam hal produk dan kelembagaan.

Selain itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan

kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan telah menambah kompleksitas

transaksi dan interaksi antara lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.

Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan dan terganggunya

stabilitas sistem keuangan yang meliputi tindakan moral hazard. Belum

optimalnya perlindungan jasa keuangan dan terganggunya stabilitas sistem

keuangan, semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan

di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.68

Selain pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan diatas,

berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pemerintah

68
Ibid, hlm. 26-27.

Universitas Sumatera Utara


56

diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang

independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas Jasa

Keuangan. Menurut penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2004, Otoritas Jasa Keuangan bersifat independen dalam menjalankan tugasnya

dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan

laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.69

Awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan

dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada tiga hal

yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu perkembangan

industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri

jasa keuangan, dan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank

Indonesia (Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999). Krisis pada

1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank yang

mengalami kolaps, sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank

Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang

tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem

keuangan yang lebih tangguh. Reformasi di bidang hukum perbankan diharapkan

menjadi obat penyembuh krisis dan sekaligus menciptakan penangkal dalam

pemikiran permasalahan-permasalahan di masa depan, Untuk itu, terbentuklah ide

awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang sebenarnya adalah hasil

kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang

Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

69
Ibid, hlm. 29.

Universitas Sumatera Utara


57

Pada awal pemerintahan Presiden B.J Habibie, pemerintah mengajukan

Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang memberikan

independensi kepada Bank Sentral. Rancangan Undang-Undang ini di samping

memberikan independensi, juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari

Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari Bank Sentral ini datang

dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman)

yang pada waktu penyusunan Rancangan Undang-Undang (kemudian menjadi

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia) bertindak

sebagai konsultan. Mengambil pola Bank Sentral Jerman yang tidak mengawasi

bank. Pengawasan industri perbankan di Jerman dilakukan oleh suatu badan

khusus, yaitu Bundesaufiscuhtsamt furda kreditwesen. Pada waktu Rancangan

Undang-Undang tersebut diajukan muncul penolakan yang kuat dari kalangan

DPR dan Bank Indonesia. Sebagai kompromi, disepakati bahwa lembaga yang

akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas

mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat

bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan

Bank Sentral. Nantinya Otoritas Jasa Keuangan akan mengawasi seluruh industri

jasa keuangan yang ada di Indonesia.70

Adapun landasan filosofis pembentukan Otoritas Jasa Keuangan bahwa

OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan kenegaraan

yang terintegrasi secara baik dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintahan

lainnya di dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang

70
Ibid, hlm. 27-28.

Universitas Sumatera Utara


58

tercantum dalam konstitusi Republik Indonesia. Di mana pengawasan terhadap

perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank perlu dilakukan secara

terpisah karena adanya perbedaan karakteristik dari masing-masing industri jasa

keuagan tersebut, diharapkan dapat tercapainya spesialisasi dalam pengawasan,

pengembangan metode pengawasan yang tepat, serta mengurangi luasnya rentang

kendali pengawasan agar proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan atas

keputusan tersebut menjadi lebih efisien dan efektif.71

Sedangkan landasan sosiologis dari pembentukan OJK adalah peran

pengaturan dan pengawasan yang dilakukan OJK harus diarahkan untuk

menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, serta

memelihara mekanisme pasar yang sehat. Untuk itu, prinsip kesetaraan

pengaturan dan pengawasan yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan

transparansi harus ditetapkan sedemikian rupa untuk menciptakan suatu aktifitas

dan transaksi ekonomi yang teratur, efisien dan produktif, dan menjamin adanya

perlindungan nasabah dan masyarakat.72

Kemudian, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator

dan pengawas lembaga keuangan dan industri keuangan non bank (INKB)

diyakini akan lebih efektif menggantikan peran dan fungsi pengawasan yang

selama ini dilakukan oleh beberapa lembaga. hal itu dapat terjadi karena OJK

sendiri adalah institusi yang sudah lama dicita-citakan sejak merebaknya

megakrisis ekonomi 1998 disusul krisis tahun 2008 dan dibentuk sebagai lembaga

71
Laporan Akhir Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang
Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta,
2010, hlm. 5.
72
Laporan Akhir Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang
Otoritas Jasa Keuangan, Loc Cit.

Universitas Sumatera Utara


59

independen. Berbicara tentang independensi, Independensi didalam OJK

merupakan salah satu isu penting dalam peran yang dibuat untuk lembaga ini.

independensi tidak berarti membuat OJK bebas menjalankan pengaturan dan

pengawasan sesuai dengan keinginan mereka. Hal itu terjadi karena independensi

yang dimaksud adalah bahwa OJK dapat menggunakan instrument yang

dimilikinya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan tanpa campur tangan pihak

diluar OJK. Hal itu juga disebut sebagai Instrument Independence, bukan Goal

Independence. Hal itu membuat OJK harus lebih akuntabel untuk tindakan yang

dilakukan dalam pengaturan dan pengawasan secara transparan.73

Dalam perjalanan setiap lembaga apapun, selalu terdapat visi dan misi

didalamnya. Begitu juga dengan Otoritas Jasa Keuangan, yang dimana visi

Otoritas Jasa Keuangan sendiri adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa

keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat,

dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian

nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.

Terkait hal itu, maka misi OJK adalah:

1) Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

2) Mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan

stabil;

73
Bismar Nasution, “Keberadaan Pungutan Otoritas Jasa Keuangan Untuk Pelaksanaan
Tugas, Fungsi, dan Wewenangnya Secara Independen”, Makalah dari
https://bismarnasution.com/keberadaan-pungutan-otoritas-jasa-keuangan-untuk-pelaksanaan-
tugas-fungsi-dan-wewenangnya-secara-independen/ (diakses pada tanggal 22 Juli 2020 Pukul
19.54 WIB)

Universitas Sumatera Utara


60

3) Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Maka dengan demikian, Otoritas Jasa Keuangan telah menjadi lembaga

yang independen serta memiliki wewenang sebagai perpanjangan tangan

pemerintah untuk melakukan pengaturan, pengawasan terhadap lembaga jasa

keuangan perbankan dan lembaga jasa keuangan non-perbankan di Indonesia

sampai dengan saat ini.

B. Fungsi dari Otoritas Jasa Keuangan

OJK memiliki tujuan, fungsi, tugas dan wewenang dalam menjalankan

tugasnya sebagai lembaga yang mengatur serta mengawasi hampir kesemua sektor

jasa keuangan di Indonesia. Pasal 4 UU OJK menjelaskan mengenai tujuan

pembentukan OJK yakni agar keseluruhan kegiatan di Indonesia dalam sektor jasa

keuangan dapat:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan

dan stabil;

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Melalui tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor

jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkat kan daya saing nasional. 74

Pasal 5 UU OJK menyebutkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan

sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan

kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Kegiatan di dalam sektor jasa keuangan

yang dimaksud adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan lembaga jasa

74
Lina Maulidina, Op Cit, hlm 111-112.

Universitas Sumatera Utara


61

keuangan atau lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar

Modal, Peransuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa

Keuangan Lainnya. Sehingga dapat diketahui 3 (tiga) tugas atau fungsi utama

OJK yaitu pengaturan dan pengawasan yang diatur dalam Pasal 5 UU OJK serta

fungsi perlindungan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU OJK. Tugas

Pengaturan diatur lebih lanjut dalam Pasal 8 UU OJK, dimana untuk

melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK

maka OJK memiliki beberapa kewenangan, salah satunya adalah kewenangan

untuk menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Wewenang untuk menetapkan peraturan perundang-undangan disektor jasa

keuangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan mengenai

Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa

keuangan.

OJK memiliki kewenangan untuk mengatur segala kegiatan yang berlaku

diantara pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum dengan setiap lembaga

jasa keuangan. Sebagai contoh yaitu diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan (POJK) Nomor 46/POJK.03/2017 Tentang Pelaksanaan Fungsi

Kepatuhan Bank Umum, dimana melalui Pasal 3 diatur mengenai Fungsi

Kepatuhan Bank. Melalui pengaturan mengenai fungsi kepatuhan tersebut maka

setiap pelanggaran (administratif) yang dilakukan oleh Bank akan mendapatkan

sanksi. Tugas pengawasan OJK dalam pelaksanaannya diatur dalam Pasal 9 UU

OJK. Pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan lebih lanjut dapat dilihat

melalui implementasi yang dilakukan kepada perbankan di Indonesia. Pengaturan

Universitas Sumatera Utara


62

dan pengawasan terhadap bank merupakan salah satu fungsi yang penting

khususnya dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan pada

akhirnya dapat mendorong efektivitas kebijakan moneter.75

Pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan oleh OJK yang efektif

tidak terlepas dari fungsi ketiga yaitu fungsi perlindungan. Fungsi perlindungan

diatur dalam Pasal 4 Huruf (c) dimana OJK harus mampu melindungi kepentingan

konsumen dan masyarakat. Sebelum dibentuknya OJK, upaya perlindungan

konsumen dan masyarakat sebenarnya juga telah dilakukan oleh Bank Indonesia

dan Bapepam. Setelah dibentuknya OJK, fungsi perlindungan konsumen dan

masyarakat dilakukan secara terintegrasi dan komprehensif, sebagaimana halnya

dengan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan.76

Dengan demikian dengan fungsi dan tugas yang telah ada pada OJK dan

telah diatur didalam perundang-undangan dapat membuat lembaga ini dapat

mewakili peran pemerintah dalam melaksanakan pengaturan dan pengawasan

terhadap seluruh sektor jasa keuangan yang terdapat di Indonesia.

C. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Perusahaan Asuransi

Kasus default (gagal bayar) beberapa perusahaan besar asuransi besar telah

menjadi sorotan tajam. Penyebab utama yang mengakibatkan hal tersebut adalah

kesalahan mengelola investasi di dalam perusahaan asuransi dimana kerap

menaruh dana di saham-saham berkinerja buruk untuk mengejar defisit yang

75
Amanda Athasya dan Yudho Taruno Muryanto, Tugas Dan Fungsi Otoritas Jasa
Keuangan Dalam Sengketa Perdata Terkait Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, Jurnal Privat
Law, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Volume 7, Nomor 2, Juli-Desember 2019.
76
Ibid, hlm 167.

Universitas Sumatera Utara


63

harus dibayarkan. Saham-saham yang berisiko ini mengakibatkan negative spread

dan menimbulkan tekanan likuiditas pada perusahaan yang berujung pada gagal

bayar.77 Dalam konteks ini, OJK harus melakukan upaya inisiasi untuk

menjalankan fungsi dasar supervisi. Sadar atau tidak, nasabah asuransi (sebagai

prinsipiel) mendelegasikan pengawasannya kepada OJK (sebagai agen) agar

tercapainya skala efisiensi. Alhasil, OJK bertugas mengawasi perusahaan asuransi

demi kepentingan pemegang polis. Dengan alur logika prinsipiel-agen di atas,

OJK perlu turun tangan membenahi industri keuangan nonbank ini dalam banyak

aspek. Langkah pembukanya, OJK mesti melakukan kajian menyeluruh terhadap

kontrak perjanjian standar polis antara konsumen dan perusahaan asuransi.78

Namun hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana pola pengawasan

yang dilakukan terhadap perusahaan asuransi tersebut?

Di Indonesia, telah dibentuk sebuah lembaga yang bertugas untuk

mengawasi perusahaan asuransi yang ada. Lembaga tersebut bernama Otoritas

Jasa Keuangan (OJK). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012

tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan

secara jelas dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 tentang Otoritas Jasa

Keuangan pasal 5 bahwa : “Otoritas Jasa keuangan berfungsi menyelenggarakan

sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegritas terhadap keseluruhan

77
Fika Nurul Ulya, Kompas.com, Simak, Ini Kronologi Lengkap Kasus Jiwasraya Versi
BPK, dalam https://money.kompas.com/read/2020/01/09/063000926/simak-ini-kronologi-lengkap-
kasus-jiwasraya-versi-bpk (diakses pada tanggal 19 Agustus 2020 Pukul 00.22 WIB)
78
Haryo Kuncoro, Media Indonesia, Menakar Fungsi Pengawasan OJK, dalam
https://www.medcom.id/ekonomi/analisis-ekonomi/ObzAQy9N-menakar-fungsi-pengawasan-ojk
(diakses pada tanggal 10 Juni 2020 Pukul 21.13 WIB)

Universitas Sumatera Utara


64

kegiatan disektor jasa keuangan”. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No 21

tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan pengaturan dan

pengawasan terhadap asuransi. Tujuan utama dari pengawasan tersebut adalah

untuk menjaga kepercayaan masyarakat sebagai konsumen dibidang jasa

keuangan.79

Dalam melaksanakan tugas pengawasan nya, Otoritas Jasa Keuangan

memiliki wewenang sebagaimana yang terdapat dalam pasal 9 UU OJK, yakni :

1. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa


keuangan;
2. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
3. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku,
dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
4. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
pihak tertentu;
5. Melakukan penunjukan pengelola statuter;
6. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
7. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; dan
8. Memberikan dan/atau mencabut:
a. izin usaha;
b. izin orang perseorangan;
c. efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. surat tanda terdaftar;
e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f. pengesahan;
g. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
h. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

79
Muhammad Thariq dkk, Pelaksanaan Pengawasan Asuransi Jiwasraya Oleh OJK
Provinsi Sumatera Barat di Kota Padang, Jurnal Notarius, Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Volume 13, Nomor 1, 2020, hlm 112.

Universitas Sumatera Utara


65

Hal pengawasan OJK tersebut di atas sejalan dengan yang diatur di dalam

UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Bab XIII Pasal 57-67.80

Selain itu, berdasarkan Pasal 52 ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor: 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan, mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan

PUJK terhadap penerapan ketentuan perlindungan konsumen, OJK berwenang

meminta data dan informasi dari PUJK (Pelaku USsaha Jasa Keuangan) berkaitan

dengan ketentuan perlindungan konsumen.

Dalam melaksanakan tugas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap

perusahaan asuransi dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan kantor pusat

perusahaan asuransi yang bersangkutan. Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan

fungsi pengawasan dalam bentuk pengawasan dan pemeriksaan terhadap laporan

perusahaan, baik itu laporan keuangan disertai laporan lain seperti pengaduan

konsumen yang direkap oleh kantor pusat dari seluruh regional dan kantor cabang

perusahaan asuransi. Kantor perusahaan asuransi menyerahkan laporan kepada

Otoritas Jasa Keuangan setiap 3 bulan sekali. Laporan tersebut apabila telah

diaudit oleh Otoritas Jasa Keuangan, kemudian hasil audit tersebut diserahkan

kembali kepada kantor pusat untuk dapat ditindaklanjuti oleh perusahaan sebelum

mengambil tindakan, karena pada prinsipnya jika terdapat penyimpangan maka

penyelesaiannya diserahkan kepada perusahaan asuransi bersangkutan untuk

dilakukan perbaikan.

80
Alum Simbolon, Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kegiatan Perusahaan
Asuransi, Jurnal Law Pro Justitia, Volume 1, Nomor 1, Desember 2015.

Universitas Sumatera Utara


66

Otoritas Jasa Keuangan hanya melakukan pengawasan dan pemeriksaan

terhadap laporan yang telah direkap dari seluruh kantor cabang dan kantor

regional perusahaan asuransi yang bersangkutan. Sedangkan untuk kantor cabang

dan kantor regional, Otoritas Jasa Keuangan tidak melakukan pengawasan secara

langsung, itu dilakukan untuk demi keefektifan dan keefisienan dalam melakukan

pengawasan dan pemeriksaan.

D. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Memberikan Sanksi dalam

Menjalankan Fungsi Pengawasan Perusahaan Asuransi

Salah satu fungsi, tugas, dan wewenang yang dimiliki oleh Otoritas Jasa

Keuangan adalah melaksanakan pengawasan terhadap lembaga keuangan non-

bank, khususnya terhadap perusahaan asuransi. Dalam menjalankan kewenangan

nya, Otoritas Jasa Keuangan juga mempunyai hak untuk memberikan sanksi jika

terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga yang berada dibawah

pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, baik lembaga jasa keuangan perbankan

maupun lembaga jasa keuangan non-perbankan seperti perusahaan asuransi. Hal

tersebut diatur secara jelas didalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17

/POJK.05/2017 Tentang Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif

Di Bidang Perasuransian Dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi

Syariah. Didalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17

/POJK.05/2017 Tentang Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif

di Bidang Perasuransian Dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi,

Universitas Sumatera Utara


67

Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi

Syariah, disebutkan bahwa :

“Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif


kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan peraturan
pelaksanaannya”.

Selanjutnya di ayat 2 disebutkan juga bahwa sanksi yang dimaksudkan di

ayat 1 adalah :

a. Peringatan tertulis;
b. Pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
c. Larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah
untuk lini usaha tertentu;
d. Pencabutan izin usaha;
e. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi, Pialang
Reasuransi, dan Agen Asuransi;
f. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Konsultan Aktuaria, Akuntan
Publik, Penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa bagi Perusahaan
Perasuransian;
g. Pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi;
h. Denda administratif; dan/atau
i. Larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris,
DPS, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara
dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada Perusahaan Perasuransian.

Selanjutnya di ayat 3, seluruh ketentuan sanksi tersebut ditetapkan dan

disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk tertulis. 81

Sedangkan didalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian,

disebutkan bahwa:

“Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam


Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya tentang perizinan usaha,

81
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17 /POJK.05/2017 Tentang
Prosedur Dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Di Bidang Perasuransian Dan
Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Universitas Sumatera Utara


68

kesehatan keuangan, penyelenggaraan usaha, penyampaian laporan, pengumuman


neraca dan perhitungan laba rugi, atau tentang pemeriksaan langsung, dikenakan
sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha, dan sanksi pencabutan izin
usaha”.82

Kemudian dilanjutkan pada pasal 38 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan :

1) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,


maka terhadap :
a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak
menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operational
tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba
rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan
denda administratip Rp. 1.000.000,─ (satu juta rupiah) untuk setiap
hari keterlambatan.
b. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi
yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan
operational tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan,
dikenakan denda administratip Rp. 500.000,─ (lima ratus ribu
rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.83

Namun, dalam pelaksanaan pemberian sanksi yang telah diatur

sebagaimana diatas tersebut, Otoritas Jasa Keuangan tidak bisa langsung

memberikan sanksi ketika perusahaan asuransi melakukan pelanggaran, kecuali

apabila pelanggaran yang telah dilakukan termasuk pelanggaran berat yang

mengakibatkan kerugian terhadap negara atau terdapat unsur pidana didalamnya,

maka dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung melakukan tindakan

penyidikan, sesuai dengan pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyebutkan bahwa :

1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat


Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi

82
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1992
Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
83
Republik Indonesia, Ibid.

Universitas Sumatera Utara


69

wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab


Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat
diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a) menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;
b) melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
c) melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan
atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
d) memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti
dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam
tindak pidana di sektor jasa keuangan;
e) melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
f) melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga
terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain
serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan
bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan;
g) meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun
elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;
h) dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang
untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah
melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
i) meminta bantuan aparat penegak hukum lain;
j) meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang
diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
k) memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak
yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa
keuangan;
l) meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan
m) menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.

Dalam penanganan pelanggaran yang di lakukan oleh pihak perusahaan

asuransi, Otoritas Jasa Keuangan memberikan beberapa upaya hukum antara lain :

1. Internal dispute resolution, adalah secara prinsip konsumen wajib

melakukan upaya penyelesaian sengketa secara internal dengan pelaku

Universitas Sumatera Utara


70

usaha jasa keuangan (PUJK) dan PUJK wajib menyelesaiakan sengketa

yang di ajukan konsumen. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan, maka

konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di pengadilan atau luar

pengadilan.

2. External dispute resolution, adalah suatu resolusi penyelesaian sengketa

yang di lakukan oleh OJK apabila tidak terjadi kesepakan antara

konsumen dengan PUJK namun di fasilitasi terbatas oleh OJK. Disamping

itu, konsumen dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui lembaga

alternatif penyelesaian sengketa (LAPS).

3. Pengadilan, penyelesaian sengketa asuransi disesuaikan dengan prosedur

pengajuan di pengadilan.84

Dalam upaya hukum internal dispute resolution, OJK memberikan

kesempatan antara konsumen atau nasabah dengan pihak perusahaan untuk

melakukan penyelesaian sengketa. Dalam pelaksanaan nya, OJK sendiri

sebenarnya telah membuat standarisasi bagi upaya hukum ini, dimana terkait

penanganan pengaduan nya sendiri terdapat prinsip yang diatur, yaitu :

a) Visibilitas, PUJK mempublikasikan cara menyampaikan Pengaduan

kepada Konsumen, masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan.

b) Aksesibilitas, PUJK memiliki fasilitas layanan Penanganan Pengaduan

yang mudah diakses oleh Konsumen.

c) Responsif, PUJK segera melayani, menindaklanjuti dan menyelesaikan

Pengaduan Konsumen dan menyediakan informasi status serta hasil


84
I Wayan Deva Pradita Putra dkk, Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi
Lembaga Keuangan Non Bank Berkaitan Dengan Sektor Asuransi di Bali, Jurnal ringkasan
Skripsi, Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm 11-12.

Universitas Sumatera Utara


71

Penanganan Pengaduan kepada Konsumen secara jelas, sesuai dengan

prosedur dan ketentuan yang berlaku.

d) Perlakuan yang Adil, PUJK menangani setiap Pengaduan Konsumen

secara adil, obyektif dan tidak memihak.

e) Biaya Layanan Pengaduan, PUJK tidak memungut biaya atas Penanganan

Pengaduan, kecuali untuk layanan lain yang diminta oleh Konsumen diluar

yang telah disediakan oleh PUJK yang besarannya telah dikomunikasikan

dan disetujui oleh Konsumen dan dapat dibuktikan kebenarannya.

f) Kerahasiaan Data, PUJK menjaga kerahasiaan informasi mengenai

Konsumen yang melakukan Pengaduan terhadap pihak manapun, kecuali:

a. Kepada Otoritas Jasa Keuangan;

b. Dalam rangka penyelesaian Pengaduan;

c. Diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan; dan/atau

d. Atas persetujuan Konsumen.

g) Fokus pada Konsumen, PUJK secara berkeseimbangan memperhatikan

kepentingan Konsumen melalui komitmen dan implementasi untuk

menyelesaikan Pengaduan tanpa mengesampingkan hak dan kewajiban

kedua belah pihak.

h) Akuntabilitas, PUJK memiliki kejelasan fungsi, struktur, sistem, hak dan

kewajiban, tanggung jawab dan wewenang baik dari pihak PUJK maupun

Konsumen dalam hubungannya dengan implementasi, pelaporan, serta

pengambilan keputusan PUJK terhadap Penanganan Pengaduan.

Universitas Sumatera Utara


72

i) Perbaikan Berkelanjutan PUJK melakukan perbaikan yang berkelanjutan

terkait proses Penanganan Pengaduan untuk meningkatkan kualitas produk

dan/atau layanan.85

Prinsip ini menjadi dasar utama bagi PUJK dalam rangka penyelesaian

sengketa dengan konsumen atau nasabah. Hal ini selaras pula dengan tujuan yang

ada didalamnya untuk :

a) Menjamin efektivitas dan efisiensi proses Penanganan Pengaduan sesuai

dengan kebijakan dan tujuan yang telah ditetapkan;

b) Terlaksananya tanggung jawab dan wewenang pada setiap level jabatan

terkait Penanganan Pengaduan;

c) Pemenuhan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang tepat dari sisi

kompetensi dan kuantitas;

d) Memastikan jangka waktu Penanganan Pengaduan dan tingkat kepuasan

Konsumen; dan

e) Menjamin efektivitas dan efisiensi proses tindakan preventif dan

korektif.86

Namun, apabila upaya hukum ini tidak mencapai kesepakatan, maka dapat

digunakan upaya hukum selanjutnya yaitu External dispute resolution, yang mana

OJK hanya bertindak sebagai fasilitator, konsumen juga bisa mengajukan

penyelesaian sengketa kepada lembaga alternatif penyelesaian sengketa (LAPS).

Jika tidak mencapai kata sepakat juga dalam upaya hukum ini, maka konsumen

bisa mengajukan penyelesaian sengketa ini kepada pengadilan.


85
Otoritas Jasa Keuangan, Standar Internal Dispute Resolution Sektor Jasa Keuangan,
hlm 5-6.
86
Ibid, hlm 11.

Universitas Sumatera Utara


73

Penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan harus dilakukan

berdasarkan azas musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam penyelesaian

Pengaduan tidak selalu tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga

Jasa Keuangan. Dalam rangka melindungi Konsumen, diperlukan adanya suatu

mekanisme penyelesaian Sengketa antara Konsumen dengan Lembaga Jasa

Keuangan di eksternal Lembaga Jasa Keuangan melalui lembaga peradilan atau

lembaga di luar peradilan.

Penyelesaian Sengketa melalui lembaga di luar peradilan dapat dilakukan

oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sejalan dengan karakteristik dan

perkembangan di sektor jasa keuangan yang senantiasa cepat, dinamis, dan penuh

inovasi, maka Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar peradilan

memerlukan prosedur yang cepat, berbiaya murah, dengan hasil yang obyektif,

relevan, dan adil. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa bersifat rahasia sehingga masing-masing pihak yang

bersengketa lebih nyaman dalam melakukan proses penyelesaian Sengketa, dan

tidak memerlukan waktu yang lama karena didesain dengan menghindari

kelambatan prosedural dan administratif. Selain itu, penyelesaian Sengketa

melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dilakukan oleh orang-orang

yang memang memiliki keahlian sesuai dengan jenis Sengketa, sehingga dapat

menghasilkan putusan yang obyektif dan relevan.87

Dengan tersedianya mekanisme penyelesaian Sengketa di sektor jasa

keuangan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menerapkan

87
Republik Indonesia, Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan.

Universitas Sumatera Utara


74

prinsip-prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, dan efisiensi dan efektifitas,

rangkaian sistem perlindungan Konsumen akan meningkatkan kepercayaan

Konsumen kepada Lembaga Jasa Keuangan dan membawa dampak positif bagi

perkembangan industri jasa keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang

tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.88

Selain pengenaan sanksi secara administratif, OJK juga dapat melakukan

penjatuhan sanksi berbentuk sanksi administratif berupa denda untuk lembaga jasa

keuangan di Indonesia termasuk perusahaan asuransi. ketentuan mengenai tata

cara penagihan sanksi administratif berupa denda yang berlaku selama ini, antara

lain pada sektor Pasar Modal yaitu Peraturan Bapepam dan LK Nomor XIV.B.1

tentang Tata Cara Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda, Lampiran

Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-21/PM/1999

tanggal 5 Agustus 1999 serta pada sektor Industri Keuangan Non Bank (IKNB)

yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tentang Investasi

Dana Pensiun sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 19/PMK.010/2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

79/PMK.010/2009 tentang Sanksi Administratif Berupa Denda dan Tata Cara

Penagihannya Terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, atau

Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi, dipandang tidak sesuai lagi dengan

perkembangan industri sehingga perlu disesuaikan dengan UU OJK, maka

dibentuklah peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 4/POJK.04/2014 Tentang

88
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


75

Tata Cara Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda di Sektor Jasa Keuangan

sebagai dasar hukumnya.89

Didalam pasal 1 ayat (3), dijelaskan bahwa sektor jasa keuangan yang

termasuk antara lain :

“Sektor Jasa Keuangan adalah sektor yang mencakup Perbankan, Pasar


Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya”

Kemudian pada pasal 2 disebutkan :

“OJK menetapkan penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda sesuai


dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan OJK ini”

Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda berupa surat pengenaan

Sanksi Administratif Berupa Denda, dalam surat tanggapan OJK atas permohonan

keberatan yang diajukan oleh Setiap Orang yang dikenakan Sanksi Administratif

Berupa Denda, dalam surat teguran, atau dalam surat penagihan terpisah.90

Kemudian didalam pasal 3 disebutkan juga bahwa :

“Setiap Orang yang dikenakan Sanksi Administratif Berupa Denda wajib


melakukan pembayaran kepada OJK dengan cara:
a. penyetoran ke rekening OJK; atau
b. cara pembayaran lain yang ditetapkan oleh OJK”
Cara pembayaran lain dalam ketentuan ini dapat ditetapkan oleh OJK

antara lain melalui pendebetan rekening giro bank umum untuk untung

rekening OJK di Bank Indonesia atau melalui pembayaran secara tunai dalam

hal rekening OJK di bank karena suatu hal tidak dapat menerima pembayaran

89
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 4/POJK.04/2014
Tentang Tata Cara Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda Di Sektor Jasa Keuangan.
90
Republik Indonesia, Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:
4/POJK.04/2014 Tentang Tata Cara Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda Di Sektor
Jasa Keuangan

Universitas Sumatera Utara


76

sejumlah uang dari Setiap Orang yang dikenakan Sanksi Administratif Berupa

Denda.91

Maka dengan demikian, OJK sebagai lembaga yang memiliki fungsi

pengawasan terhadap PUJK di seluruh sektor jasa keuangan di Indonesia

termasuk pula perusahaan perasuransian, maka kewenangan pemberian sanksi

ini menjadi instrumen nya dalam menjalankan fungsi tersebut, dan didalamnya

terdapat prosedur serta ketentuan yang telah diatur secara jelas dan rinci.

91
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Kasus Gagal Bayar Polis

Oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero

A. Kronologi kasus gagal bayar polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero

Kasus gagal bayar polis PT. Asuransi Jiwasraya Persero ternyata sudah ada sejak

tahun 2004 saat perusahaan asuransi PT. Jiwasraya Persero melaporkan cadangan yang lebih

kecil dari seharusnya, insolvensi (risiko pailit) mencapai Rp2,76 triliun. Kemudian pada

tahun 2006 laporan keuangan perseroan menunjukkan ekuitas negatif Rp3,29 triliun,

sehingga membuat aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban sehingga

membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun memberikan opini disclaimer (tidak

menyatakan pendapat) untuk laporan keuangan dari tahun 2006-2007 lantaran penyajian

informasi cadangan dianggap tidak dapat diyakini kebenarannya ditambah pada kurun waktu

tahun 2008-2009, defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp5,7 triliun pada tahun 2008 dan

Rp6,3 triliun pada tahun 2009, sehingga membuat PT. Jiwasraya Persero melakukan tindakan

penyelamatan jangka pendek (reasuransi).92

Pada kurun waktu tahun 2010-2012, Jiwasraya melanjutkan skema reasuransi dan

mencatatkan surplus sebesar Rp1,3 triliun pada akhir 2011, lalu pada tahun 2012, Bapepam-

LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan pada 18 Desember 2012. JS Proteksi Plan

dipasarkan melalui kerja sama dengan bank (bancassurance) melalui Bank BTN, KEB Hana

Bank, BPD Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY, dan Per tanggal 31 Desember 2012 melalui

skema finansial reasuransi Jiwasraya masih mencatat surplus Rp1,6 triliun. Namun, tanpa

skema finansial reasuransi, maka Jiwasraya mengalami defisit sebesar Rp3,2 triliun.93

92
Safir Makki, CNN Indonesia, Kronologi Kasus Gagal Bayar Jiwasraya Versi OJK, dalam
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191230095752-78-460918/kronologi-kasus-gagal-bayar-jiwasraya-
versi-ojk (Diakses pada tanggal 20 Agustus 2020, Pukul 06.57 WIB)
93
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


78

Kemudian pada tahun 2013, fungsi, tugas, dan wewenang Bapepam-LK resmi beralih

kepada OJK. Saat itu, OJK meminta Kementerian BUMN menyampaikan langkah alternatif

penyehatan keuangan Jiwasraya beserta jangka waktu penyehatan, karena memiliki

permasalahan rasio solvabilitas (RBC) kurang dari 120 persen. Kemudian direksi Jiwasraya

merspon dengan menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah

dan bangunan revaluasi menjadi RP6,56 triliun dan mencatatkan laba Rp457,2 miliar. Pada

rentang tahun 2013-2016, OJK memeriksa langsung Jiwasraya dengan aspek pemeriksaan

investasi dan pertanggungan. Setelah itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kemudian

melakukan audit pada tahun 2015, dan melalui hasil audit tersebut menunjukkan terdapat

dugaan penyalahgunaan wewenang Jiwasraya dan laporan aset investasi keuangan melebihi

realita (overstated) dan kewajiban di bawah realita (understated) dan menyebutkan Jiwasraya

banyak melakukan investasi pada aset berisiko dengan tujuan untuk mengejar imbal hasil

tinggi, sehingga mengabaikan prinsip kehati-hatian.94

Pada tahun 2016, OJK meminta Jiwasraya menyampaikan rencana pemenuhan rasio

kecukupan investasi karena sudah tidak lagi menggunakan mekanisme reasuransi. Perlu

diketahui, sepanjang tahun 2013-2017, pendapatan premi Jiwasraya meningkat karena

penjualan produk JS Saving Plan dengan periode pencairan setiap tahun. Pada tahun 2017,

OJK mengklaim telah meminta Jiwasraya mengevaluasi produk tersebut agar sesuai

kemampuan pengelolaan investasi. Pada tahun yang sama, OJK kemudian mengklaim

memberikan sanksi peringatan pertama karena Jiwasraya terlambat dalam menyampaikan

laporan aktuaria tahun 2017 dan OJK juga mengenakan denda administratif sebesar Rp175

juta atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan tersebut. Pada bulan April tahun

2018, OJK dan direksi Jiwasraya membahas penurunan pendapatan premi secara signifikan

94
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


79

akibat penurunan guaranteed return (garansi imbal hasil) atas produk JS Saving Plan.

Ini merupakan imbas dari evaluasi produk tersebut.95

Pada bulan Mei 2018 terjadi pergantian direksi Jiwasraya, dimana Asmawi Syam

ditunjuk menjadi direktur utama. Direksi baru melaporkan terdapat kejanggalan laporan

keuangan kepada Kementerian BUMN. Indikasi kejanggalan tersebut ternyata benar, hal itu

disebabkan karena berdasarkan hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Price water house

Coopers (PwC) atas laporan keuangan tahun 2017 mengoreksi laporan keuangan interim dari

laba sebesar Rp2,4 triliun menjadi hanya Rp428 miliar. Kemudian pada bulan Oktober-

November tahun 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai tercium publik. Mersepon

hal tersebut, kemudian OJK mengadakan rapat dengan direksi Jiwasraya dengan agenda

membahas kondisi perusahaan pada kuartal III tahun 2018 dan upaya manajemen Jiwasraya

mengatasi kondisi perseroan. Pada bulan yang sama, terjadi kembali pergantian di tubuh

direksi PT. Jiwasraya Persero, dimana pemegang saham menunjuk Hexana Tri Sasongko

sebagai Direktur Utama menggantikan Asmawi Syam. Pada tahun 2019, Hexana

mengungkapkan bahwa perusahaan asuransi Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89

triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas (RBC) 120 persen. Tak hanya itu, aset perusahaan

tercatat hanya sebesar Rp23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp50,5 triliun.

Akibatnya, ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp27,24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari

produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp15,75 triliun.96

Pada bulan November 2019, jajaran baru kementrian BUMN yang dipimpin oleh

Erick Tohir. melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

Hal itu dilakukan setelah pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang

dinilai tidak transparan. Kementerian BUMN juga mensinyalir manajemen investasi yang

dilakukan tidak tepat, dengan investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham gorengan.

95
Ibid.
96
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


80

Hal ini yang menjadi satu dari sekian masalah gagal bayar klaim Asuransi Jiwasraya. Selain

Kejagung, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta ternyata juga menaikkan status

pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan pada kasus dugaan korupsi.97

Pada bulan Desember tahun 2019, hasil penyidikan Kejagung menyebutkan bahwa

terdapat pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jaksa Agung ST

Burhanuddin bahkan mengatakan Jiwasraya banyak menempatkan 95 dana investasi pada

aset-aset berisiko. Hal tersebut berimbas terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

yang turut memantau perkembangan penanganan perkara kasus dugaan korupsi di balik

defisit anggaran Jiwasraya. Selain itu, Kejagung meminta Direktorat Jenderal (Ditjen)

Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mencekal 10 nama yang diduga bertanggung jawab

atas kasus Jiwasraya, yaitu: HH, BT, AS, GLA, ERN, MZ, DW, HR, HP, dan DYA.

Selanjutnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan pernyataan resmi terkait

skandal Jiwasraya. Salah satunya, laba perseroan sejak tahun 2006 disebut semu karena

melakukan rekayasa akuntansi (window dressing). Hasil pemeriksaan BPK akan menjadi

dasar bagi Kejagung mengambil putusan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas

kondisi Jiwasraya.98

Kemudian Kejagung menetapkan 6 orang sebagai tersangka dalam kasus ini, diantara

nya adalah Komisaris PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro (Inisial BT),

Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat (Inisial HH), mantan

Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Harry Prasetyo (Inisial HP), mantan Direktur

Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim (Inisial HR) dan mantan Kepala Divisi

Investasi dan Keuangan PT Jiwasraya Syahmirwan dan Direktur PT Maxima Integra Joko

Hartono Tirto (Inisial JHT). Keenamnya diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU No

20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. pada tanggal 3 Juni tahun

97
Ibid.
98
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


81

2020, Pengadilan Tipikor melakasanakan sidang perdana terhadap kasus gagal bayar polis

oleh PT. Jiwasraya Persero di Pengadilan Tipikor DKI Jakarta.99

Sampai saat ini, kasus gagal bayar polis yang dialami oleh PT. Asuransi Jiwasraya

Persero masih tetap berlanjut dan sudah memasuki persidangan di pengadilan dan belum

adanya vonis yang dikeluarkan hakim terhadap para tersangka, dan kemungkinan akan

membuka keterlibatan pihak-pihak lain didalam perjalanan kasus ini.

B. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap PT. Asuransi Jiwasraya Persero

Peristiwa kasus gagal bayar polis yang menimpa perusahaan asuransi PT. Jiwasraya

Persero tentu tidak lepas dari peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang bertugas

untuk mengawasi lembaga jasa keuangan perbankan dan non-perbankan di Indonesia, khusus

nya terhadap perusahaan asuransi. Banyak pihak mempertanyakan terkait bagaimana cara

pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, terlebih oleh DPR dalam kasus ini. Tetapi apakah hal

tersebut menjustifikasi OJK tidak perduli atau lepas tangan terhadap pengawasan kasus

gagal bayar polis yang dialami oleh perusahaan asuransi PT. Jiwasraya Persero?

Menurut keterangan yang disampaikan oleh ketua dewan komisioner Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam laman berita CNBC Indonesia, kasus gagal

bayar polis oleh perusahaan asuransi PT. Jiwasraya Persero telah masuk dalam

pengawasan OJK sejak tahun 2006 ketika otoritas ini masih bernama Badan Pengawas Pasar

Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Kementerian Keuangan. Beliau

menyampaikan bahwa OJK sampai saat ini terus berusaha mencari jalan keluar terkait

permasalahan tersebut. "ya tidak masalah (untuk industri asuransi ke depan), yang penting

kita cari jalan keluar ke depannya (untuk Jiwasraya) sehingga nanti bisa berikan kontribusi

kepada masyarakat," kata Wimboh singkat, ditemui saat menghadiri Natal tahun 2019 di

99
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


82

kediaman Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, di Jakarta, Rabu, tanggal

25 Desember 2019.100

Kemudian menurut Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen

Strategis OJK Anto Prabowo, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mengklaim bahwa telah

menjalankan prosedur saat menerima aduan para pemegang polis saving plan PT Asuransi

Jiwasraya (Persero). Otoritas pun menyatakan telah melakukan fungsinya sebagai lembaga

pengawasan dalam masalah kasus gagal bayar polis oleh PT. Jiwasraya Persero. Beliau

menambahkan bahwa pihaknya menerima kedatangan para pemegang polis tanpa

pemberitahuan sebelumnya. Dia pun menyatakan permohonan maaf jika penerimaan tersebut

tidak sesuai ekspektasi nasabah Jiwasraya. "Prosedur kami adalah ketika ada pengaduan dari

nasabah maka kami melibatkan ketiga pihak tersebut. Itu prosedur yang sudah dilakukan, jadi

tidak ada yang bermaksud untuk mengecilkan arti kedatangan mereka dengan tidak diterima

oleh pejabat di level tertinggi OJK," ujar Anto. Namun, dia menjabarkan bahwa penerimaan

tersebut telah sesuai prosedur OJK karena para nasabah diterima oleh Deputi Direktur

Pengawasan Asuransi OJK I Wayan Wijana, Deputi Direktur Hubungan Kelembagaan OJK

Nurita, dan staf dari bidang edukasi perlindungan konsumen.101 Selain itu, mereka

mengklaim bahwa OJK telah melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam penyelesaian masalah

gagal bayar Jiwasraya. Regulator tengah mengupayakan penyehatan ketika disaat yang

bersamaan proses hukum sedang berjalan. Menurutnya, upaya penyehatan Jiwasraya tidak

dilakukan oleh otoritas, melainkan oleh pemegang saham utama yakni Kementerian Badan

Usaha Milik Negara (BUMN).

100
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia, Kerugian Negara Rp 13,7 T, Ini Respons Bos OJK soal
Jiwasraya, dalam https://www.cnbcindonesia.com/news/20191225121706-4-125555/kerugian-negara-rp-137-t-
ini-respons-bos-ojk-soal-jiwasraya (diakses pada tanggal 23 Juni 2020, Pukul 21.58 WIB)

101
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


83

OJK berperan untuk memfasilitasi upaya penyehatan yang diusulkan oleh pemilik

perseroan. "Misalkan adakah aturan-aturan yang bisa diterapkan untuk suatu perusahaan yang

sedang dalam penyehatan, misalkan apakah dia harus langsung dikenakan risk based capital

(RBC) 120% langsung? Kan enggak mungkin seperti itu. Kewenangan Otoritas Jasa

Keuangan untuk menilai seberapa jauh penyehatan dan angka-angka pemenuhan indikator

yang harus dipenuhi," ujar dia. Anto juga menekankan bahwa Otoritas Jasa Keuangan

memasang rambu bagi Kementerian BUMN dan Jiwasraya dalam melakukan penyehatan

agar bisa dilakukan secepat mungkin. Hal tersebut agar hak nasabah dapat segera terpenuhi.

"Ada risiko bagi otoritas ketika induknya sedang mengalami penyehatan tapi menghasilkan

anak (usaha). Maka kami memberikan batasan jangka waktu usaha ini untuk segera

dilakukan, jangan sampai ini dibiarkan terlalu lama. Itu salah satu fungsi dari regulator,"

ujarnya.

Berdasarkan keterangan diatas, OJK sendiri sudah melakukan langkah-langkah

pengawasan yang maksimal guna menyelesaikan permasalahan ini. OJK sendiri sudah

melakukan komunikasi baik terhadap nasabah perihal menerima pengaduan mereka sampai

kepada kementrian BUMN untuk mempercepat langkah-langkah penyelamatan dan

penyehatan di dalam manajemen perusahaan dan keuangannya. Penulis juga melihat bahwa

salah satu alasan mengapa langkah-langkah pengawasan yang dilakukan oleh OJK terkesan

tidak berjalan dan kurang melihat dikarenakan kewenangan yang dimiliki oleh OJK itu

sendiri. OJK dalam hal ini merupakan fasilitator yang harus memfasilitasi upaya penyehatan

yang dilakukan pihak perseroan, bukan sebagai eksekutor yang melaksanakan proses

penyehatan, karena hal tersebut merupakan wewenang yang dimiliki oleh para pemilik

saham, dan dalam hal ini kementrian BUMN salah satunya.

Dengan demikian, proses pengawasan yang dilaksanakan oleh OJK dalam kasus

ini sebenarnya tetap dijalankan, tetapi tetap mengikuti prosedur dalam ketentuan yang

Universitas Sumatera Utara


84

sudah diatur didalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengawasan

OJK terhadap lembaga jasa keuangan, yakni pasal 9 UU No. 21 tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan, dan sinergi antara lembaga-lembaga lainnya seperti kementrian

BUMN, BPK, dan juga bersama dengan DPR RI dan Kejagung. Beberapa langkah -

langkah juga sudah diambil oleh OJK dengan tujuan untuk menyelamatkan perusahaan

asuransi ini, dan juga menunjukkan peran OJK dalam persoalan kasus ini meskipun

belum sempurna.

C. Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Penyelesaian Kasus Gagal Bayar Polis oleh

PT. Asuransi Jiwasraya Persero

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas dan juga sebagai regulator

terhadap lembaga jasa keuangan yang terdapat di Indonesia tentu harus memiliki peran ketika

terdapat permasalahan yang menimpa lembaga jasa keuangan tersebut, baik perbankan

maupun non-perbankan di Indonesia. Begitu pula hal nya dalam kasus gagal bayar polis yang

dialami oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero, OJK dalam hal ini mengklaim sudah berperan

dalam proses penyelesaian kasus ini. Seperti yang disampaikan oleh ketua dewan pengawas

OJK Wimboh Santoso, bahwa OJK telah membuat beberapa skenario penyelamatan PT.

Asuransi Jiwasraya Persero. "Untuk membuat skenario bagaimana mengatasi cash

flow untuk membayar semua klaim-klaim nasabah ini. Kita semua tahu, bahwa ini tidak

mudah, tapi tetap ada skenario-skenario".

Skenario pertama yang akan dibuat sifatnya sebagai solusi jangka pendek, yakni

pembentukan anak perusahaan yakni PT. Jiwasraya Putra. Perseroan dalam bentuk anak

perusahaan ini telah diberikan konsensi untuk menjamin asuransi dari beberapa Badan

Universitas Sumatera Utara


85

Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah melakukan kerjasama sebelumnya dengan PT.

Asuransi Jiwasraya Persero, yakni PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT Pegadaian

(Persero), PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan PT Telkomsel. Selain itu, keberadaan

anak perusahaan ini juga diwajibkan untuk menarik investor, dengan tujuan dapat

membantu pendanaan kewajiban klaim polis oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero yang

sudah jatuh tempo melalui Top-Up Cashflow. PT Jiwasraya Putra nantinya akan

memanfaatkan kerja sama BUMN ini untuk menjual produk asuransi dengan memanfaatkan

akses customer based dan jaringan distribusi di empat perusahaan tersebut.

Kemudian Skenario kedua adalah solusi untuk jangka panjang. Ia mengatakan hal

tersebut masih dibicarakan oleh para pemangku kepentingan. "Kalau jangka pendek teratasi

dengan cara tadi, ke depan jangka menengah panjang harus ada program bagaimana

memperkuat bisnis Jiwasraya.102 Seperti yang diketahui bahwa Jiwasraya membutuhkan

dana sekitar Rp32,89 triliun agar bisa mencapai rasio Risk Based Capital (RBC) minimal

120 persen. Secara umum, RBC adalah pengukuran tingkat kesehatan finansial suatu

perusahaan asuransi, dengan ketentuan OJK mengatur minimal batas RBC sebesar 120

persen.

Selain skenario diatas, terdapat skenario lainnya yang sudah disiapkan juga oleh OJK,

yakni mulai dari strategic partner yang menghasilkan dana Rp5 triliun, inisiatif holding

asuransi Rp7 triliun, menggunakan skema finansial reasuransi sebesar Rp1 triliun, dan

sumber dana lain dari pemegang saham sebesar Rp19,89 triliun. Diharapkan melalui langkah-

langkah tersebut dapat membantu mencapai target dana yang harus dikumpulkan oleh

Jiwasraya untuk memenuhi rasio Risk Based Capital (RBC) minimal 120 persen. Sampai saat

ini telah terdapat delapan perusahaan yang tertarik menyuntikan dana untuk pemulihan

Jiwasraya. Nantinya satu perusahaan dengan penawaran terbaik akan dipilih untuk menjadi
102
Tony Hartawan, Tempo.co.id, Bos OJK Ungkap 2 Skenario Penyelamatan OJK, dalam
http://bisnis.tempo.co/read/1282150/bos-ojk-ungkap-2-skenario-penyelamatan-jiwasraya (diakses pada tanggal
26 Juni 2020, Pukul 03.56 WIB)

Universitas Sumatera Utara


86

pemegang saham di Jiwasraya Putra sebagai anak usaha dari Jiwasraya. 103 Selain

pembentukan skenario diatas, OJK juga telah melakukan pertemuan dengan nasabah PT.

Jiwasraya Persero untuk menerima aduan dari para nasabah terkait permasalahan ini.

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa

keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan

akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan

stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini,

OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga

mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga

kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian,

dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif

globalisasi.104

Sejalan dengan hal diatas, maka dalam kasus ini OJK sudah berusaha untuk

menjalankan fungsi dan wewenang nya sesuai dengan tujuan tersebut. meski harus diakui

bahwa dalam perjalanan nya, peran yang dilakukan oleh OJK dalam rangka penyelematan di

kasus ini belum sempurna, karena sejatinya OJK dapat melakukan pemeriksaan lebih dalam

terhadap produk asuransi yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Jiwasraya Persero tersebut

sebagai bentuk menjalankan fungsi pengawasan. namun setidaknya OJK sudah menunjukkan

itikad baik untuk berperan aktif didalam kasus ini, dengan hadirnya skenario-skenario yang

dirancang tersebut dan tindakan lain yang sudah dijabarkan sebelumnya diatas. Dengan

demikian anggapan yang mengatakan OJK lepas tangan terhadap kasus ini tidak terbukti,

serta terkait pendapat-pendapat diatas, penulis sepakat bahwa OJK sudah berperan didalam

penyelesaian kasus ini. Perihal dengan proses hukum yang sedang berjalan di pengadilan,

103
Desi Angriani, Medcom.id, 4 Skenario OJK selamatkan Jiwasraya, dalam
https://www.medcom.id/ekonomi/mikro/8kog66rk-4-skenario-ojk-selamatkan-jiwasraya (diakses pada tanggal
26 Juni 2020, Pukul 04.10 WIB)
104
Republik Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Universitas Sumatera Utara


87

penulis berpendapat bahwa itu bukan lagi bagian dari domain OJK, melainkan bagian dari

lembaga penegak hukum. Biarlah proses hukum ini tetap berjalan dan biarkan pula OJK

menjalankan perannya dalam penyelesaian kasus ini sesuai dengan tupoksi dan wewenang

yang telah diamanatkan kepada lembaga ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa karakteristik adalah bagian yang sangat penting dari sebuah hal, termasuk pula

didalam nya karakteristik dari sebuah usaha/perusahaan. Didalam karakteristik

perusahaan perasuransian terdapat ciri khusus yang menjadi ciri khas nya, yakni

bagaimana tingkat kepercayaan publik terhadap usaha asuransi tersebut. Hal itu dapat

dimaklumi karena para calon nasabah tentu tidak ingin sembarangan dalam memilih

sebuah usaha asuransi dan menggunakan produk yang ditawarkan oleh perusahaan

asuransi tanpa adanya kepastian dan kepercayaan. Kekhawatiran terhadap jaminan

hukum bagi para pemegang polis yang telah mengikatkan diri didalam sebuah

perjanjian telah menjadi permasalahan, dengan demikian Penerapan prinsip yang

terdapat didalam asuransi sebagai sebuah lex spesialis yang diatur didalam 1320

KUHPerdata khususnya prinsip itikad baik atau Utmost Good Faith harus dilakukan,

serta filosofi utama yang terkandung didalam prinsip ini yang mana sejatinya

perjanjian yang terbentuk dapat mengeliminir kekhawatiran cacat kehendak

didalamnya. Hal itu karena itikad baik dan kepercayaan publik sendiri memiliki

korelasi yang saling berdekatan sebagai poin karakteristik khusus didalam perusahaan

perasuransian.

2. Bahwa OJK dalam pengawasan nya terhadap perusahaan asuransi di Indonesia

berawal dari permasalahan lintas sektoral di sektro jasa keuangan yang memunculkan

tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan

stabilitas sistem keuangan yang terganggu. OJK sebagai lembaga independen yang

88

Universitas Sumatera Utara


89

3. memiliki fungsi pengaturan dan pengawasn terhadap seluruh lembaga jasa keuangan

di Indonesia khususnya perusahaan asuransi memiliki tujuan sesuai pasal 4 UU OJK

untuk memastikan jasa keuangan di Indonesia agar : 1) Terselenggara secara teratur,

adil, transparan, dan akuntabel; 2) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang

tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; 3) Mampu melindungi kepentingan

konsumen dan masyarakat. Kemudian OJK dalam pengawasan nya terhadap

perusahaan asuransi telah diatur didalam Pasal 6 UU OJK yang mengatur secara

khusus pengawasan OJK terhadap asuransi dan ditambahkan juga didalam Pasal 9 UU

OJK dimana memuat wewenang yang dimiliki OJK dalam rangka menjalankan fungsi

pengawasannya.

4. Bahwa dalam pengawasan OJK dalam kasus gagal bayar polis oleh PT. Asuransi

Jiwasraya Persero, OJK sendiri sudah melaksanakan fungsi pengawasan nya dengan

baik meskipun belum sempurna. Hal itu dapat penulis sampaikan berdasarkan

keterangan-keterangan yang sudah penulis dapatkan dan dituangkan dalam skripsi ini.

Bahwa OJK sudah melakukan langkah-langkah yang dibutuhkan sebagai lembaga

pengawasan serta peran nya dalam penyelesaian didalam kasus ini.

B. Saran

1. Perusahaan perasuransian harus lebih konsisten dalam rangka menjaga kepercayaan

publik. Isu jaminan hukum terhadap perjanjian oleh pemegang polis yang sering

dialami oleh para pemegang polis sebagai nasabah dan konsumen perusahaan harus

dihilangkan dengan lebih ketat menerapkan prinsip-prinsip perjanjian serta asuransi

sebagaimana yang sudah dirumuskan didalam peraturan perundang-undangan. Jangan

sampai stigma buruk tersebut terus berlanjut dan menjadi budaya atau kebiasaan yang

mengarah pada ciri khas perusahaan perasuransian nanti nya. Hendaknya perusahaan

tidak melakukan tindakan yang menyalahi prinsip dan penyalahgunaan keadaan

Universitas Sumatera Utara


90

2. terhadap perjanjian walaupun hal tersebut bukan merupakan faktor penyebab batalnya

sebuah perjanjian dalam hukum positif di Indonesia. Kepercayaan publik dapat

tumbuh dengan sendirinya jika nasabah memperoleh kepuasan dan kenyamanan baik

dari jaminan hukum dan jaminan kemanfaatan terhadap produk asuransi yang

digunakan nya, dan hal tersebut akan turut mempengaruhi pandangan publik itu

sendiri kepada perusahaan perasuransian.

3. Otoritas Jasa Keuangan harus lebih meningkatkan sistem pengawasan nya terhadap

semua lembaga jasa keuangan yang ada di Indonesia, khususnya terhadap perusahaan

asuransi yang ada di Indonesia. Tindakan ceroboh yang dilakukan oleh para direksi

perusahaan yang salah menempatkan investasi terhadap dana nasabah PT. Asuransi

Jiwasraya Persero tidak boleh lagi terulang di masa depan. Perlu adanya koordinasi

yang baik dan harmonis antara Otoritas Jasa Keuangan dan Kementrian BUMN serta

lembaga lainnya yang terkait dalam menempatkan sosok di dalam dewan direksi

perusahaan asuransi milik BUMN dan hal-hal lain yang berkaitan dengan operasional

dan kebijakan yang diambil oleh perusahaan asuransi. Jika memang dibutuhkan nya

penambahan ketentuan dalam pasal pengawasan atau pasal-pasal lain didalam

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan demi

terciptanya sistem pengawasan yang lebih baik lagi, maka opsi tersebut bisa

dipertimbangkan untuk dibuat.

4. Bahwa dalam kasus ini, menurut hemat penulis bahwa dewan legislatif yakni DPR,

Kementrian BUMN, lembaga yang terkait lainnya serta masyarakat harus mengawal

proses skenario-skenario yang telah dirancang dan disampaikan oleh Otoritas Jasa

Keuangan dalam langkah penyelamatan PT. Asuransi Jiwasraya Persero. Jangan

sampai ada langkah-langkah lain yang dilakukan sekelompok elit untuk mengambil

keuntungan secara pribadi. Dalam proses penyelesaian permasalahan ini juga

Universitas Sumatera Utara


91

dibutuhkan kerjasama dan kesepahaman yang baik kepada seluruh pihak agar dapat

membuka pihak-pihak kunci yang terlibat didalam nya. Penulis berpendapat bahwa

selama kasus ini berjalan dan ditangani oleh pihak pengadilan dan Kejaksaan Agung,

sebaiknya untuk tidak memberikan pernyataan yang bersifat politis dan

membingungkan masyarakat, apalagi para nasabah pemegang polis sampai sekarang

belum mendapat kejelasan perihal pembayaran premi mereka.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Anggraini Jum. 2011. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Djumhana, Muhammad. 2008. Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia. Bandung : Citra

Aditya Bakti.

Junaedy Ganie, Junaedy. 2011. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Handayaningrat, Soewarno. 2004. Pengantar Studi Ilmu Administrasi Negara, hlm 74. Bogor

: Ghalia Indonesia.

Sri Redjeki Hartono, Redjeki Sri. 2001. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta :

Sinar Grafika, 2001.

Hasyimi, A.A. 1981. Dasar-dasar Asuransi. Jakarta : Balai Aksara.

Hermansyah. 2008. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Ed. Rev. Cet. 4, hlm 61. Jakarta :

Kencana.

Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945”. Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan.

Muhammad, Kadir Abdul. 2002. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta : PT. Citra Aditya

Bakti.

Prodjodikoro Wirjono. 1981. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta : PT. Intermasa.

Salim, Abbas. 2011. Asuransi dan Manajemen Risiko. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Universitas Sumatera Utara


Sastrawidjadja, Suparman Man. 2003. Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga.

Jakarta : PT. Alumni.

Situmorang, M. Victor dan Juhir Jusuf. 1994. Aspek Pengawasan Melekat Dalam

Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Suma, Amin. M. 2006. Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional; Teori, Sistim, Aplikasi

& Pemasaran. Jakarta : Kholam Publishing.

Syamsi, Ibnu. 1982. Administrasi Perlengkapan Materiil Pemerintahan Daerah. Jakarta :

Bina Aksara.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Perasuransian

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 4/POJK.04/2014 Tentang Tata Cara Penagihan

Sanksi Administratif Berupa Denda Di Sektor Jasa Keuangan

Universitas Sumatera Utara


Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 4/POJK.04/2014 Tentang Tata Cara

Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda Di Sektor Jasa Keuangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13 /POJK.05/2015 Tentang Produk Asuransi Dan

Pemasaran Produk Asuransi

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73 /POJK.05/2016 Tentang Tata Kelola Perusahaan

Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17 /POJK.05/2017 Tentang Prosedur Dan Tata

Cara Pengenaan Sanksi Administratif Di Bidang Perasuransian Dan Pemblokiran Kekayaan

Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan

Reasuransi Syariah.

Otoritas Jasa Keuangan tentang Standar Internal Dispute Resolution Sektor Jasa Keuangan.

C. Jurnal dan makalah

Cahyono, Dwi Yuliawan dan Marfuah. 2011. “Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan

Tanggung Jawab Sosial” dalam Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Volume 15,

Nomor 1 : Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Djuwityastuti dan Dhanista Nanda Atyanta. 2019. “Proses Pembayaran Klaim Asuransi

Kendaraan Bermotor Bagi Tertanggung (Studi di Brins General Insurance Cabang

Yogyakarta)” dalam Jurnal Privat Law, Volume 03, Nomor 01 : Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret, Surakarta

Dkk, Aditama Setya Prakoso. 2016. “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Alat Bukti Penuntutan

Klaim Dalam Perjanjian Asuransi Jiwa (Studi Di PT. Asuransi Jiwasraya Semarang Timur)”

Universitas Sumatera Utara


dalam Diponegoro Law Jurnal, Volume 05, Nomor 03 : Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, Semarang.

Dkk, Adyan Agit Pratama. 2017. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap

Perjanjian Perpanjangan Asuransi Melalui Telemarketing” dalam Diponegoro Law Jurnal,

Volume 06, Nomor 01 : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Dkk, Putra Pradita Deva Wayan I. ”Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi

Lembaga Keuangan Non Bank Berkaitan Dengan Sektor Asuransi di Bali” dalam Jurnal

ringkasan Skripsi : Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Udayana, Bali.

Dkk, Thariq Muhammad. 2010. “Pelaksanaan Pengawasan Asuransi Jiwasraya Oleh OJK

Provinsi Sumatera Barat di Kota Padang” dalam Jurnal Notarius, Volume 13, Nomor 1 :

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Febriyani, Tafeta dan Kusreni Sri. 2017. “Determinan Pertumbuhan Ekonomi di 4 Negara

ASEAN” dalam Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, Volume I, No.1 : Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya.

Guntara, Deny. 2016. “Asuransi Dan Ketentuan-Ketentuan Hukum Yang Mengaturnya”

dalam Jurnal Justisi Ilmu Hukum, Volume 01, Nomor 01 : Fakultas Hukum Universitas

Buana Perjuangan, Karawang.

Hartono, Bronto. 2005. “Prinsip Utmost Good Faith Dalam Pelaksanaan Perjanjian

Asuransi Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang” dalam Tesis

Program Magister Kenotariatan : Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro,

Semarang.

Universitas Sumatera Utara


Mariyam, Siti. 2017. “Kebijakan Pengawasan Terhadap Produk UMKM Sebagai Upaya

Perlindungan Pada Konsumen” dalam Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat : Fakultas

Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang.

Maulidina, Lina. 2014. “Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Lembaga Pengawas

Perbankan Nasional Di Indonesia” dalam Jurnal Keadilan Progresif, Volume 5, Nomor 1 :

Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwaijura, Bandar Lampung.

Muryanto, Taruno Yudho dan Athasya Amanda. 2019. “Tugas Dan Fungsi Otoritas Jasa

Keuangan Dalam Sengketa Perdata Terkait Perlindungan Hukum Bagi Konsumen” dalam

Jurnal Privat Law, Volume 7, Nomor 1 : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,

Surakarta.

Nasution, Bismar. 2011. “Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”, dalam makalah

yang disampaikan pada Seminar tentang Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan Industri Jasa Keuangan yang Terintegrasi.

Nasution, Bismar. “Keberadaan Pungutan Otoritas Jasa Keuangan Untuk Pelaksanaan Tugas,

Fungsi, dan Wewenangnya Secara Independen” dalam makalah dari

https://bismarnasution.com/keberadaan-pungutan-otoritas-jasa-keuangan-untuk-pelaksanaan-

tugas-fungsi-dan-wewenangnya-secara-independen/ (diakses pada tanggal 11 Juli 2020 Pukul

19.54 WIB)

Sari, Arifka Annisa. 2018. “Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Jasa

Keuangan Di Indonesia” dalam Supremasi Jurnal Hukum, Volume 1, No. 1 : Sekolah Tinggi

Ilmu Ekonomi Perbankan Indonesia, Padang.

Universitas Sumatera Utara


Santri, Harvia Selvi. 2018. “Pelaksanaan Prinsip Subrogasi Pada Asuransi Kendaraan

Bermotor Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang” dalam Jurnal UIR Law Review,

Volume 02, Nomor 02 : Fakultas Hukum Universitas Islam, Riau.

Santri, Harvia Selvi. 2017. “Prinsip Utmost Good Faith Dalam Perjanjian Asuransi

Kerugian” dalam Jurnal UIR Law Review, Volume 01, Nomor 01 : Fakultas Hukum

Universitas Islam Riau, Pekanbaru.

Simbolon, Alum. 2015. “Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kegiatan

Perusahaan Asuransi” dalam Jurnal Law Pro Justitia, Volume 1, Nomor 1.

Sitompul, Zulkarnain. 2014. “Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam menjaga

stabilitas sistem keuangan” disampaikan dalam makalah disampaikan pada seminar tentang

keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perekonomian nasional yang

berkelanjutan dan stabil.

Sulistiawati, Rini. 2011. “Pengaruh Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan

Penyerapan Tenaga Kerja Serta Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia” dalam

Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan, Volume 3, No.1.

Sunarmi. “Pemegang Polis Asuransi Dan Kedudukan Hukumnya”. dalam Jurnal Ilmu

Hukum, Volume 3, No.1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Syahputra, Rinaldi. 2017. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Ekonomi Di Indonesia” dalam Jurnal Samudra Ekonomika, Volume 1, No. 1 : Program Studi

Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Samudra Langsa, Aceh.

Universitas Sumatera Utara


Tunisa, Nazia. 2015. “Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran

Jaminan Fidusia” dalam Jurnal Cita Hukum, Volume 3, Nomor 1 : Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

D. Sumber Internet

Angriani, Desi. Skenario OJK selamatkan Jiwasraya,

https://www.medcom.id/ekonomi/mikro/8kog66rk-4-skenario-ojk-selamatkan-jiwasraya,

diakses pada tanggal 16 Juni 2020, Pukul 04.10 WIB.

Hanggoro, Tri Hendaru. Sejarah Bisnis Asuransi di Indonesia,

https://historia.id/ekonomi/articles/sejarah-bisnis-asuransi-di-indonesia-DWqk1, diakses pada

tanggal 29 Mei 2020, Pukul 22.57 WIB.

Hartawan, Tony. OJK Ungkap 1 Skenario Penyelamatan Jiwasraya,

https://bisnis.tempo.co/read/1181150/bos-ojk-ungkap-1-skenario-penyelamatan-jiwasraya,

diakses pada tanggal 16 Juni 2020, Pukul 01.56 WIB.

Kuncoro, Haryo. Menakar Fungsi Pengawasan OJK,

https://www.medcom.id/ekonomi/analisis-ekonomi/ObzAQy9N-menakar-fungsi-

pengawasan-ojk, diakses pada tanggal 10 Juni 2020 Pukul 21.11 WIB.

Makki, Safir. Kronologi Kasus Gagal Bayar Jiwasraya Versi OJK,

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/10191110095751-78-460918/kronologi-kasus-

gagal-bayar-jiwasraya-versi-ojk, diakses pada tanggal 11 Juni 2020, Pukul 19.06 WIB.

Muammar, Yazid. 2019. , “Selain Jiwasraya, Ini Sederet Asuransi Jiwa yang Gagal Bayar”,

https://www.cnbcindonesia.com/market/10191119171405-17-114519/selain-jiwasraya-ini

Universitas Sumatera Utara


sederet-asuransi-jiwa-yang-gagal-bayar, di akses pada tanggal 18 April 2020 Pukul 07.16

WIB.

Putri, Adinda Cantika. Kerugian Negara Rp 11,7 T, Ini Respons Bos OJK soal

Jiwasraya,https://www.cnbcindonesia.com/news/10191115111706-4-115555/kerugian-

negara-rp-117-t-ini-respons-bos-ojk-soal-jiwasraya, diakses pada tanggal 11 Juni 2020, Pukul

11.58 WIB.

Ulya, Nurul Fika. Simak, Ini Kronologi Lengkap Kasus Jiwasraya Versi BPK,

https://money.kompas.com/read/2020/01/09/063000926/simak-ini-kronologi-lengkap-kasus-

jiwasraya-versi-bpk, diakses pada tanggal 19 Agustus 2020 Pukul 00.22 WIB.

E. Kamus

Republik Indonesia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa

Indonesia”, dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Pengawasan, diakses pada tanggal 14

April 2020, Pukul 11.17 WIB.

Republik Indonesia. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan .“Kamus Besar Bahasa

Indonesia”, dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/program, diakses pada tanggal 18

Agustus 2020, Pukul 02.52 WIB.

F. Lain-lain

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

2010. Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Laporan Akhir.

Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai