Anda di halaman 1dari 108

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN

TERHADAP PUTUSAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

PUTRI RUMONDANG SIAGIAN

120200064

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan

Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul:“KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN

TERHADAP PUTUSAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

HIDUP.”Skripsi ini merupakan tugas wajib mahasiswa dalam rangka melengkapi

tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Penulis telah melakukan yang

terbaik dalam penyusunan skripsi ini.Namun, ‘tak ada gading yang tak retak’

penulis menyadari penyusunan skripsi ini jauh dari kata sempurna, karena masih

terdapat kekurangan-kekurangan dari segi substansi maupun penggunaan kata-

kata sehingga masih jauh dari kata sempurna.Untuk itu, penulis mengharapkan

kritik dan saran agar kemudian skripsi ini menjadi baik adanya.

Penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada senior, guru, rival

sekaligus orang tua terbaik ayahanda Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum dan

ibunda Mainilini Butar-Butar, SH yang tidak pernah berhenti mendoakan penulis

dalam setiap sujudnya, tidak pernah letih berusaha memberikan yang terbaik

untuk penulis serta selalu mengingatkan untuk belajar keras, cerdas dan ikhlas.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak.Baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran.

Oleh sebab itu, penulis dalam kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima

Universitas Sumatera Utara


kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan

bantuan, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. OK Saidin S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan,S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum., selaku Sekertaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I

sekaligus ahli hukum lingkungan yang mengagumkan, yang telah bersedia

membimbing, mengarahkan dan memberikan ilmunya dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini;

8. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, SH., M.Hum., selaku Dosen

Pembimbing II yang begitu mengayomi dan santun dalam memberikan

bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini

Universitas Sumatera Utara


9. Ibu Dr. Agusmidah, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing akademik

yang telah membimbing dan memberikan motivasi kepada penulis selama

menjalani masa perkuliahan;

10. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA., yang telah banyak memberikan ilmu dan

pengalaman yang tidak dimiliki oleh penulis, Bapak Muhammad Hayat,

SH., Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum.,selaku dosen sekaligus

praktisi yang telah banyak memberikan pemahaman mengenai praktik

beracara;

11. Seluruh Dosen dan Staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah membimbing dan mendidik Penulis selama

menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Adik-adikku tersayang Balqis Siagian, Fitria Longgom Siagian, Fajar

Hasonangan Siagian dan Safira Aini Siagian yang menjadi penyemangat

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

13. Bapak Subhan Zein Siagian, SH., M.H., yang telah banyak memberikan

bantuan literatur dalam penulisan skripsi ini;

14. Amalia Williani, Adillah Rahman, Nabillah Siregar, Ainul Mardiyah

teman seperjuangan Penulis dari semester awal hingga maut datang

menjelang. Semoga kita dapat menjadi penegak hukum yang layak;

15. Sahabat penulis sejak SMA yang dipertemukan dalam sebuah organisasi

Dokter Remaja SMA Negeri 3 Medan:Dessy, Selfi, Debby, Umi, Nisa.

Universitas Sumatera Utara


Semoga kita dapat melangkah beringingan sampai batas waktu yang tidak

ditentukan;

16. Indah dan Saudari Rumondang Siagian yang tak hanya mempunyai

kesamaan nama dengan Penulis tetapi juga pemikiran yang sama.

17. Rekan-rekan pengurus serta anggota kelompok Gemar Belajar;

18. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (HMI Komisariat FH USU)

19. Sahabat-sahabat Penulis di Grup A FH USU 2012: Felicia, Elgina, Nadet,

Eka, Silvia, dan kawan-kawan lainnya yang tak dapat penulis sebutkan

satu-persatu;

20. Teman-teman stambuk 2012 dan teman-teman Jurusan Hukum Pidana

yang tidak dapat disebutkan penulis satu-persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca

dan perkembangan hukum di Indonesia tentunya. Terima kasih.

Medan, 23 Juli 2016

Penulis,

Putri Rumondang Siagian

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Putri Rumondang Siagian*


Alvi Syahrin**
Mohammad Ekaputra***

Tindak pidana lingkungan hidup dapat menimbulkan kerusakan lingkungan serta


merupakan kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan
kehidupan dan jiwa manusia bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan di bidang
ekonomi dalam arti yang luas, karena cakupan kriminalitas dan pelanggaran lingkungan
lebih luas dari kejahatan kovensional lainnya.Disamping itu, besarnya pengaruh ilmu dan
teknologi disertai dengan semakin majunya model analisis risiko lingkungan membawa
pengaruh pada peran hakim sebagai pembentuk hukum baru. Pentingnya peran ahli untuk
memberikan argumentasi kausa yang cermat secara ilmiah untuk mengukur dampak atau
perusakan di bidang pidana lingkungan hidup, sehingga diperlukan usaha yang luar biasa
untuk menanganinya, salah satunya melalui pembuktian, karena pembuktian yang
memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan
pembuktian inilah membuat terang suatu tindak pidana.

Permasalahan yang akan dibahas mengenai kedudukan keterangan ahli dalam


pembuktian tindak pidana dan tindak pidana lingkungan hidup yang mempengaruhi
keyakinan hakim dalam membuat putusan tindak pidana lingkungan hidup. Metode yang
digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji atau
menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukumprimer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan keterangan ahli sebagai alat
bukti itu sama dengan saksi lainnya yaitu sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang sesuai Pasal 184 KUHAP. Kekuatan pembuktian seorang ahli dapat dilihat saat
proses pengangkatan sumpah sebelumnya, serta keterangan seorang ahli tidak dapat
menjadi alat bukti yang mutlak akan tetapi harus disertai dengan alat bukti lain dalam
proses pembuktiannya. Dalam hal ini hakim mempunyai keyakinan menyertakan
pertimbangan keterangan ahli atau tidak dalam pengambilan keputusan untuk mencari
kebenaran materiil.Pada pembuktian perkara pidana, keterangan ahli mempunyai
kekuatan pembuktian bebas dan nilai pembuktiannya tergantung kepada keyakinan
hakim. Keberadaan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara tindak pidana
lingkungan hidup tidak bisa diabaikan begitu saja, sebagai contoh pada Putusan
Putusan Nomor: 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms, Putusan
Nomor:130/Pid.Sus/2015/PN.Blb, Keterangan ahli dibutuhkan karena jaksa penuntut
umum, penasihat hukum maupun hakim memiliki pengetahuan yang terbatas. Ada
kalanya pemeriksaan perkara tindak pidana lingkungan hidup terkait dengan bidang
ilmu lain yang tidak dikuasai oleh penegak hukum.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……………………………………………………….i
ABSTRAK………………………………………………………….….…….v
DAFTAR ISI………………………………………………...………………vi
BAB I: PENDAHULUAN………………………………………………….1

A. Latar Belakang……………………………………………...……1

B. Perumusan Masalah………………………………………...……7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan…………………………...……...7

D. Keaslian Penulisan …………………………………………….….8

E. Tinjauan Kepustakaan………………………….…………...……9
1. Pengertian Pembuktian……………………………………9
2. Alat Bukti Keterangan Ahli………………………………17
3. Putusan……………………………………………………20
4. Tindak Pidana Lingkungan Hidup………………...……..23
F. Metode Penulisan…………………………………………………28
G. Sistematika Penulisan……………………………………………32

BAB II: KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI


YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN HIDUP………………………………………….34

2.1 Sistem atau Teori Pembuktian…………………………...……..34


2.2 Sistem pembuktian menurut hukum acara pidana asing …….…41
2.2.1 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana
Amerika Serikat……………………………………………41

2.2.2 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara

Universitas Sumatera Utara


Pidana Belanda……………………………………..…...…46

2.3 Sistem Pembuktian Menurut KUHAP…………………………..48


2.4 Alat-Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP……………………51
2.5 Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti yang Sah
Dalam Pembuktian Tindak Pidana……………………………...62

BAB III: KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI TERHADAP


KEYAKINAN HAKIM DALAM UPAYA PEMBUKTIAN
PADA PUTUSAN TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN HIDUP………………………………………...67

3.1 Pembuktian Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup......……67


3.2 Kualifikasi Ahli Dalam Pembuktian Tindak
Pidana Lingkungan Hidup………………………………..……..71

3.3 Peran Ahli Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam


Pembuktian yang Mempengaruhi Keyakinan Hakim
Pada Putusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup………….…..79

3.3.1 Penggunaan Alat Bukti Keterangan Ahli


Oleh Hakim Dalam Beberapa Putusan Pengadilan
Tindak Pidana Lingkungan Hidup……………………..…83

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN………………………………….92


4.1 Kesimpulan………………………………………………...……92
4.2 Saran………………………………………………………...…..94
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………95

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan

global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena zat-zat kimia,

punahnya spesies tertentu adalah beberapa contoh dari masalah-masalah

lingkungan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu pencemaran

lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan

pengurasan atau habisnya sumber daya alam (natural resource

depeletion). 1Penyebab masalah lingkungan salah satunya adalah akibat ulah

tangan manusia, hal ini diperjelas dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 41 yang

artinya sebagai berikut:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena

perbuatan tangan manusia, sehingga akibatnya Allah menciptakan kepada mereka

sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali“ (Qs. ar-Rum : 41). 2

Perbuatan mencemari dan menimbulkan kerusakan lingkungan merupakan

kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan

1
Jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya
dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan
perusakan lingkungan hidup. Pembedaan masalah lingkungan tersebut dapat dilihat dalam
Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH) yang kemudian dicabut oleh Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) lalu kembali dicabut oleh Undang-Undang
Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Lihat Takdir
Rahmadi, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Kedua, PT. RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 1).
2
M. Quraish Shihab, 2009, Tafsir Al-Misbah Volume 10, Lentera Hati, Jakarta, hlm. 236.

Universitas Sumatera Utara


kehidupan dan jiwa manusia serta dapat dikategorikan sebagai kejahatan di

bidang ekonomi dalam arti yang luas, karena cakupan kriminalitas dan

pelanggaran lingkungan lebih luas dari kejahatan kovensional lainnya.

Dampak pencemaran lingkungan hidup mengakibatkan kerugian ekonomi

negara yang luar biasa, selain juga berdampak pada rusaknya lingkungan. Data

Walhi mencatat dari tahun 2001 hingga 2006 kerugian akibat pencemaran

lingkungan di Sumatera mencapai 7,8 miliar dolar AS dan di Kalimantan

mencapai 5,8 miliar dolar AS. 3Data Indonesia Corruption Watch (ICW)

menyebutkan potensi kerugian Negara dari kejahatan di sektor kehutanan pada

tahun 2011-2012 mencapai Rp. 691 Triliun. 4 Bahkan pada tahun 2013, Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan 26 perusahaan pertambangan dan

perkebunan yang melakukan perambahan hutan secara ilegal yang mengakibatkan

kerugian negara sekitar 7,7 juta dollar AS. 5

Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup Tahun

2010-2014 disebutkan bahwa permasalahan lingkungan hidup pada tahun 2010-

2014 masih akan dihadapkan pada pencemaran air, udara, sampah, dan limbah

B3(Bahan Berbahaya dan Beracun), terutama yang bersumber dari kegiatan

industri dan jasa, rumah tangga (limbah domestik), sektor transportasi. Adapun

permasalahan kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) yang saat ini

pada umumnya sudah tercemar sedang hingga berat. Selain itu kerusakan

3
Lihat Http:// www.walhi.or.id/wp-content/uploads/2015/01/OutLook-2015_Final diakses pada 1
Maret 2016.
4
Lihat Http:// www.antikorupsi.org/en/node/55444 diakses pada tanggal 2 Mei 2016
5
lihat Http://www.bpk.go.id/magazine/majalah-bpk diakses pada tanggal 13 Juli 2016

Universitas Sumatera Utara


lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan terutama yang terkait dengan

pencemaran asap lintas batas negara. 6

Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek

keilmuan yang merupakan sarana untuk menyelesaikannya.Persoalan pencemaran

lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik

lingkungan, ekonomi dan hukum. 7Hukum yang berfungsi sebagai sarana

penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.Hukum

lingkungan adalah instrumentaris yuridis bagi pengelolaan lingkungan. 8

Ketika masalah-masalah lingkungan, terutama pencemaran, telah

menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan manusia, maka banyak orang

yang berpendapat bahwa perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan

kerusakan lingkungan harus dipandang sebagai suatu perbuatan, yang tidak saja

bertentangan dengan moral, tetapi juga layak untuk dikenakan sanksi pidana

karena perbuatan itu dapat mengancam kesehatan dan jiwa manusia perorangan

maupun kelompok. Diperlukannya sanksi pidana dalam penyelesaian kasus

pencemaran lingkungan dilandasi dua alasan: pertama, sanksi pidana selain

dimaksudkan untuk melindungi manusia dari kepentingan manusia seperti harta

benda dan kesehatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena

manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik apabila

persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak terpenuhi, kedua,
6
A’an Efendi, 2014, Hukum Lingkungan; Instrumen Ekonomik dan Pengelolaan Lingkungan Di
Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5.
7
Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional Edisi
Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 1.
8
Koesnadi Hardjosoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan Edisi Ketujuh, Gajahmada Universiy
Press, Yogyakarta, hlm. 38-39.

Universitas Sumatera Utara


sanksi pidana berfungsi memberi rasa takut kepada pelaku pencemaran potensial.

Kepentingan-kepentingan tersebut merupakan kepentingan yang termasuk

dalam lingkup hukum pidana atau yang harus dilindungi oleh hukum pidana.

KUHP sebagai induk dari hukum pidana tidak memuat ketentuan-ketentuan yang

dapat didayagunakan secara efektif terhadap pelaku pencemaran atau perusakan

lingkungan, maka dibuatlah Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mengatur

mengenai ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup yang fungsinya menurut

Alvi Syahrin sebagai umbrella act/provision dari undang-undang lain (sektoral) di

bidang pelestarian lingkungan hidup bagi penyusunan peraturan perundang-

undangan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. 9

Undang-Undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti Undang-Undang

RI Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang RI Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun

1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dan lain-lain.

Sistem peradilan pidana sebagai salah satu cara untuk mencegah dan

menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat, memiliki peran yang sangat

besar untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan lingkungan hidup. Tahapan

pembuktian merupakan hal yang penting dalam proses peradilan pidana di

Indonesia guna mencari kebenaran materiil. Dalam tahapan pembuktian tersebut,

9
Alvi Syahrin, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Sofmedia, Medan, hlm.
1.

Universitas Sumatera Utara


agenda sidang pembuktian mencerminkan peristiwa yang terjadi berdasarkan alat

bukti yang sah. Pembuktian tindak pidana lingkungan hidup diatur dalam Pasal 96

UUPPLH mengenai alat bukti yang sah terdiri atas : keterangan saksi, keterangan

ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan/ atau alat bukti lain, termasuk alat

bukti yang diatur dalam perundang-undangan. Pada tahapan pembuktian hakim

dapat melihat dari alat bukti yang dihadapkan pada hakim dan hakim berhak

menilai dari keterangan dan alat bukti. Pasal 180 KUHAP menyatakan bahwa

dalam hal jika diperlukan untuk menjernihkan persoalan yang timbul di sidang

pengadilan maka hakim ketua sidang dapat meminta bantuan keterangan ahli dan

dapat pula meminta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.

Seorang ahli yang memberikan keterangan di sidang pengadilan dapat

memberikan gambaran yang berkaitan dengan keahliannya kepada majelis hakim

mengenai perkara tersebut. Apalagi jika hal ini dihubungkan dengan Pasal 183

KUHAP yang menegaskan putusan harus dengan dibuktikan dengan dua alat

bukti yang sah, sehingga ketika seorang hakim tidak mengetahui akan sesuatu hal

maka keterangan ahli diperlukan untuk memberikan gambaran pada hakim dalam

membuat pertimbangan hukum terhadap putusan hakim.

Dalam tindak pidana lingkungan hidup, unsur hubungan kausal sangat

sulit dibuktikan, apalagi menyangkut pencemaran oleh bahan-bahan kimiawi yang

memerlukan scientific proof. Peran ahli sangat penting dalam dalam proses

hukum kasus-kasus pencemaran lingkungan, peran itu itu termasuk mengungkap

unsur-unsur delik, meneliti keabsahan dokumen (perizinan areal, amdal),

penelitian lapangan, legal sampling (pengambilan sampel), dan analisis

Universitas Sumatera Utara


laboratorium. Keterbatasan pengetahuan aparat penegak hukum dan para ahli serta

kekurangsempurnaan saran dan metode merupakan kendala dalam pembuktian

kasus lingkungan. 10

Disamping itu besarnya pengaruh ilmu dan teknologi disertai dengan

semakin majunya model analisis risiko lingkungan membawa pengaruh pada

peran hakim sebagai pembentuk hukum baru, termasuk pengertian tindak pidana

lingkungan dilihat dari makin pentingnya peran ahli untuk memberikan

argumentasi kausa yang cermat secara ilmiah untuk mengukur dampak atau

perusakan di bidang pidana lingkungan hidup.

Dalam mencapai sebuah kebenaran, diharapkan hakim memerlukan

dukungan berbagai pihak termasuk pula keterangan ahli. Dalam memberikan

keterangannya seorang ahli didasarkan pada keahlian khusus yang dimilikinya.

Dari hal ini dapat diperoleh bahwa seorang ahli dengan keahliannya memiliki

peran untuk membuat terang suatu perkara tindak pidana, sehingga hakim

memiliki pandangan Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pembuktian tindak

pidana lingkungan hidup. Fungsi ahli dalam pembuktian pidana memang sudah

signifikan seiring dengan perkembangan zaman. Hal inilah yang melatarbelakangi

penulisan dalam bentuk skripsi dengan judul : “KEDUDUKAN

KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP”

B. Permasalahan

10
Alvi Syahrin,Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan,Op.Cit, hlm. 70

Universitas Sumatera Utara


Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang

akan dibahas adalah :

1. Bagaimana peran keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dalam

pembuktian tindak pidana?

2. Bagaimana kedudukan alat bukti keterangan ahli dalam hal memberikan

keyakinan hakim untuk membuat putusan tindak pidana lingkungan

hidup?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini memiliki tujuan yang menjadi sasaran

pencapaian dari yang akan dipaparkan oleh penulis. Adapun yang menjadi tujuan

penulisan skripsi ini adalah :

1) Untuk mengetahui fakta apa yang terungkap ketika keterangan ahli

disampaikan dalam sidang perkara tindak pidana lingkungan hidup.

2) Untuk mengetahui bagaimana kedudukan alat bukti keterangan ahli dalam

hal mempengaruhi keyakinan hakim untuk membuat putusan perkara

tindak pidana lingkungan hidup.

2. Manfaat Penulisan

Universitas Sumatera Utara


Di samping tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang dikemukakan

di atas, maka penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis.

a) Manfaat Teoritis

Skripsi ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran pengembangan

bidang pengetahuan hukum umumnya maupun hukum pidana khususnya

sehingga dapat menambah bahan refrensi dan bahan masukan untuk

penelitian selanjutnya.

b) Manfaat Praktis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang nurani

hakim dalam memperoleh keyakinannya didasarkan pada apa yang

ditemukan pada sidang pengadilan tindak pidana lingkungan hidup serta

menjadi bahan masukan bagi masyarakat umum dan aparat penegak

hukum untuk menciptakan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

D. Keaslian Penulisan

Mengenai keaslian penulisan, ada beberapa pembahasan mengenai

keterangan ahli, tetapi dalam hal ini penulis menitik beratkan pada pembuktian

tindak pidana lingkungan hidup. Skripsi ini dibuat sendiri oleh penulis dengan

melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur mupun pengumpulan

data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku, peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini serta melalui media

elektronik seperti internet, sekaligus hasil dari pemikiran penulis sendiri.

Universitas Sumatera Utara


Sepanjang penulusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang dilakukan oleh penulis belum terdapat judul yang sama

dengan judul yang diangkat oleh penulis dalam skripsi ini. dengan kata lain

skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada penulis yakin substansi

pembahasannya berbeda, sehingga skripsi ini benar-benar merupakan tulisan yang

berbeda dengan tulisan yang lain. Dengan demikian, keaslian penulisan skiripsi

ini dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pembuktian

Dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘bukti’, namun sebenarnya kedua

kata tersebut memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Pertama adalah kata

“evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”. Kata evidence memiliki arti, yaitu

informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa

beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu, proof adalah

suatu kata dengan berbagai arti. dalam wacana hukum, kata proof mengacu

kepada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence

atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses itu sendiri. 11

11
Menurut Law Dictionary Evidence “all the means by which any alleged matter of fact, the truth
of which is submitted to investigation a judicial trial, is established or disproved. Evidence
includes the testimony of witnesses, introduction of records, documents, exhibits, object or any
orther probative matter offered for the perpose of inducing belief in the party’s contention by the
fact-finder. Sedangkan Proof isthe evidence that tends to establish the existence of a fact in issue;
the persuasion of the trier of fact by the production of evidence of the truth of a fact alleged. (Lihat
Steven H. Gifis, Law Dictionary Sixth Edition, 2010, Barrons, New York). Hal ini secara
gamblang dikemukakan oleh Ian Dennis: “Evidence is information. It is information that provides

Universitas Sumatera Utara


Dikaji secara umum pembuktian berasal dari kata “bukti” terjemahan dari

bahasa Belanda, bewijs yang diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan

kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum, bewijs diartikan sebagai segala

sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta

lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna memberi bahan kepada

hakim bagi penilaiannya. 12

Pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

proses, cara perbuatan membuktikan; usaha menunjukkan benar atau salahnya si

terdakwa di sidang pengadilan. 13 R. Subekti berpendapat bahwa membuktikan

ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil dalam suatu

persengketaan. 14 Syaiful Bakhri juga memberi pengertian pembuktian sebagai

ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

dibenarkan undang-undang, membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa. 15 Eddy O.S. Hiariej memberi definasi hukum pembuktian sebagai

ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti,

cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di

pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian dalam perkara

grounds for belief that a particular fact or set of fact is true. Proof is a term with a variable
meaning. In legal discourses it may refer to the outcome of the process of evaluating evidence and
drawing inferences from it, or it may bee used more widely to refer to the process tiself and/or to
the evidence which is being evaluated” Lihat Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum
Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hlm. 2.
12
Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 83.
13
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 218.
14
R. Subekti, 2008, Hukum Pembuktian cetakan ke- 17, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.1.
15
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


pidana. 16Hari Sasangka dan Lily Rosita memberikan defenisi hukum pembuktian

adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-

macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam

pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti tersebut serta

kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 17M.

Yahya Harahap tidak mendefinisikan pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan

yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-

undang dan mengatur mengenai alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang

dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna

membuktikan kesalahan terdakwa. 18 Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum

acara pidana antara lain:

a. ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan


mempertahankan kebenaran. baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau
penasihat hukum. semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa
mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang
digariskan undang-undang.
b. sehubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan
meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan harus
didasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara
limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 19
R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti, Pertama, dalam

arti yang luas, pembuktian membenarkan hubungan hukum antara penggugat dan

tergugat adalah benar, Kedua, dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya

16
Ibid.
17
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 10.
18
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 4. Lihat M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Jakarta, hlm. 252.
19
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 274.

Universitas Sumatera Utara


diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh penggugat dibantah oleh

tergugat. 20Pembuktian menurut Adami Chazawi dapat diartikan secara luas dan

sempit. Pembuktian dalam arti luas mengandung dua bagian sebagai berikut: 21

a. Pertama, kegiatan persidangan pengadilan dalam usaha mendapatkan


fakta-fakta hukum yang sebenarnya dari suatu peristiwa yang terjadi.
Apabila fakta-fakta tersebut dirangkai menurut akal dan digambarkan
peristiwa sebenarnya yang dalam surat dakwaan telah dikemukakan
perkiraan atau dugaannya.
b. Kedua, kegiatan dalam persidangan pengadilan yang menurut UU
membahas dan menganalisis hukum terhadap fakta-fakta dari persidangan-
persidangan dengan cara-cara tertentu. Hal itu dilakukan untuk menarik
kesimpulan berdasarkan alat-alat bukti, apakah benar atau tidak menurut
akal telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Kegiatan
pembuktian kedua ini dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU),
Penasihat Hukum (PH), dan Majelis Hakim. Pengertian pembuktian kedua
ini diwujudkan dalam bentuk surat tuntutan oleh JPU, dan dalam
pembelaan oleh penasihat hukum, sedangkan oleh majelis hakim
diwujudkannya dalam vonis.
Adapun pendapat mengenai pembuktian dalam arti sempit adalah
pengertian luas pada bagian kedua tersebut yang dapat dilihat dari tiga
pihak masing-masing.
a. Pihak JPU
Pembuktian merupakan kegiatan membuktikan yang dilakukan oleh JPU
dengan menggunakan alat-alat bukti dan dengan cara-cara tertentu yang
menurut undang-undang diarahkan (1) pada terbuktinya tindak pidana
yang didakwakan tersebut dan (2) ditujukan untuk membentuk keyakinan
hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan telah terbukti dan terdakwa
bersalah melakukannya. Kegiatan pembuktian yang dilakukan JPU
diwijudkan dalam surat tuntutan dan repliknya yang diajukan dan
dibacakan dalam persidangan. Pengertian pembuktian yang seperti itu
merupakan pembuktian yang hanya dari sudut tugas dan fungsi jaksa
sebagai pihak yang mendakwa dan menuntut sehingga JPU memegang
kewajiban untuk membuktikan menurut system pembebanan pembuktian
dalam hukum acara pidana.
b. Pihak Penasihat Hukum

20
R. Subekti, Op.Cit., hlm 7.
21
Adami Chazawi, SH, 2011, Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana Edisi Revisi,
Media Nusa Creative, Malang, hlm. 201-203.

Universitas Sumatera Utara


Dari sudut Penasihat Hukum, pengertian pembuktian adalah kegiatan
membuktikan dengan menggunakan alat-alat bukti dan cara-cara tertentu
dalam UU yang diarahkan pada (1) tidak terbuktinya tindak pidana yang
didakwakan dan (2) tidak terbentuknya keyakinan hakim bahwa tindak
pidana terjadi dan terdakwa yang melakukannya. Atau setidak-tidaknya (3)
diarahkan pada hal-hal yang dapat menghapuskan kesalahan dana tau
menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan, serta (4) hal-hal yang
meringankan kesalahan dan beban pertanggungjawaban pidana terdakwa.
Kegiatan pembuktian ini diwujudkan dalam nota pembelaan (pleidooi) dan
duplik.
c. Pembuktian dari sudut Majelis Hakim
Dari sudut dan fungsi tugasnya, dalam kegiatan pembuktian hakim juga
menggunakan alat-alat bukti menurut cara-cara tertentu dalam UU untuk
melakukan penganalisisan terhadap fakta-fakta melalui pertimbangan-
pertimbangan hukumnya dalam usaha menarik keyakinannya tentang
terbukti tidaknya (1) tindak pidana yang didakwakan dan (2) terdakwa
melakukan atau tidak melakukan, dan (3) apabila terbentuk keyakinan
hakim tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Kegiatan
pembuktian oleh Majelis Hakim ini diwujudkan dalam vonis yang
dibacakan di muka persidangan.
Proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang

dilakukan oleh Majelis Hakim dalam menangani perkara tersebut, kemudian

adanya penuntut umum yang melakukan penuntutan terhadap terdakwa beserta

penasihat hukumnya. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dalam

melakukan pembuktian, hanya saja segmen dan derajat pembuktian yang

dilakukan sedikit ada perbedaan. 22 Menurut Trapmann terjadinya perbedaan

tersebut bergantung kepada sikap, titik tolak dan pandangan para pihak dalam

perkara pidana, yaitu: 23

1) Pandangan terdakwa/penasihat hukum terdakwa sebagai pandangan


subjektif dari posisi yang subjektif;
2) Pandangan Penuntut Umum adalah pandangan subjektif dari posisi yang
objektif; dan

22
Setyo Utomo, 2014, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Asas Praduga
Tidak Bersalah Dalam Negara Hukum), PT. Sofmedia, Jakarta, hlm. 160.
23
Ibid., hlm. 161.

Universitas Sumatera Utara


3) Pandangan Hakim dinyatakan sebagai pandangan objektif dari sisi objektif
pula.
Pembuktian pada hakikatnya mempunyai 2 (dua) dimensi sebagai suatu

proses pidana yang dilakukan mulai tahap penyelidikan sebagai awalnya dan

tahappenjatuhan pidana (vonis) sebagai tahap akhirnya. Adami Chazawi

menandaskan bahwa: 24

“Kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: (1)


bagian kegiatan pengungkapan fakta; dan (2) bagian pekerjaan
penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.Bagian
pembuktian yang pertama, adalah pemeriksaan alat-alat bukti yang
diajukan di muka sidang pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum dan
Penasihat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian
yang pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis hakim menyatakan
(diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai
(Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Dimaksudkan selesai menurut pasal
ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkapkan atau
mendapatkan fakta-fakta dari alat-alat bukti dan barang bukti yang
diajukan dalam sidang (termasuk pemeriksaan setempat). Bagian
pembuktian yang kedua, ialah bagian pembuktian yang berupa
pengnalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan
penganalisisan hukum masing-masing oleh para pihak. Oleh Jaksa
Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukan dalam surat
tuntutannya. Bagi Penasihat hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota
pembelaan (pleidooi) dan Majelis Hakim akan dibahasnya dalam putusan
akhir (vonis) yang dibuatnya.”
Aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam

kelompok hukum acara pidana/hukum pidana formal maupun hukum pidana

materiil. Apabila dikaji secara mendalam adanya polarisasi pemikiran aspek

pembuktian dikategorisasikan kedalam hukum pidana materiil karena dipengaruhi

oleh adanya pendekatan dari hukum perdata sehingga aspek pembuktian ini

masuk kedalam kategorisasi hukum perdata materiil dan hukum perdata formil

24
Ibid., hlm. 163.

Universitas Sumatera Utara


(hukum acara perdata). Akan tetapi, sejak berlakunya KUHAP aspek pembuktian

tampak diatur dalam ketentuan hukum pidana formal. 25

Pada dasarnya, aspek pembuktian ini sudah dimulai sebenarnya pada tahap

penyelidikan perkara pidana. Dalam tahap penyelidikan, tindakan penyelidik

untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Begitu pula halnya dengan

penyidikan, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta

mengumpulkan bukti dengan bukti tersebut membuat terang tersangkanya.

Konkretnya pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya

penjatuhan pidana (vonnis) oleh hakim didepan sidang pengadilan baik di tingkat

Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (yudex facti) jikalau perkara tersebut

dilakukan upaya hukum banding (hoger/beroep/ apel/revisi). 26

Hukum pembuktian dapat dikategorisasikan ke Dalam hukum pembuktian

yang bersifat umum/konvensional, termaktub dalam hukum acara pidana

sebagaimana diintrodusir KUHAP dan hukum pembuktian khusus yang menurut

Setyo Utomo berorientasi kepada dimenasi-dimensi sebagai berikut: 27

1) Mengenai apa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut
hukum berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa (Pasal 184 KUHAP).
2) Adanya asas pembuktian Undang-Undang secara negatif untuk
menyatakan seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana yaitu
dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah sehingga hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).
25
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif, Teoritis, dan Praktik, PT.
Alumni, Bandung, hlm. 92.
26
Ibid.
27
Ibid., hlm. 164-165.

Universitas Sumatera Utara


3) Mengenai nilai atau kekuatan alat-alat bukti dalam melakukan pembuktian
serta bagaimana cara menilainya yaitu secara sungguh-sungguh
memperhatikan persesuaian dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin
dipergunakan oleh saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya,
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya, kemudian cara
melakukan pembuktian dan lain sebagainya.
Proses pembuktian hakikatnya lebih dominan pada sidang pengadilan guna

menemukan kebenaran materiil mengenai peristiwa yang terjadi dan memberikan

keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakin dapat

memberikan putusan yang seadilnya. Pada proses pembuktian ini ada korelasi dan

interaksi mengenai apa yang diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran

materiil melalui tahapan pembuktian, alat-alat bukti, dan proses pembuktian

terhadap aspek-aspek berikut:

a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti;


b. Apakah perbuatan yang telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas
perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya;
c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu;
d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. 28
Adapun peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut, yaitu:

a. Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti di bidang hukum


pidana, antara lain apakah kelakuan dan hal ikhwal yang terjadi itu
memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak;
b. Berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara
lain apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat
oleh manusia atau bukan alam;
c. Diselenggarakan melalui peraturan hukum acara pidana, antara lain
ditentukan yang berwanang memeriksa fakta yang harus dilakukan oleh
polisi, jaksa, hakim dan petugas lain menurut tata cara yang diatur undang-
undang. 29

28
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 93.
29
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


2. Alat Bukti Keterangan Ahli

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ahli didefinisikan sebagai

seseorang yang mahir atau mempunyai keahlian dalam suatu keilmuan. 30 Dalam

Kamus Hukum, ahli sebagai terjemahan kata ‘deskundige’ yang dalam Bahasa

Belanda diartikan sebagai orang yang memiliki keahlian, kecakapan ataus suatu

bidang ilmu. 31 Dalam konteks hukum pembuktian yang dimaksudkan dengan ahli

adalah keterangan seseorang yang memili keahlian khusus mengenai suatu hal

yang sedang diperkarakan guna membuat terang suatu peristiwa hukum. 32 Phyllis

B. Gerstenfeld memberi defenisi saksi ahli atau expert witness sebagai saksi yang

berkualifikasi untuk menjadi ahli dalam bidangnya, seperti ilmuan, teknisi, ahli

medis, dan ahli khusus lainnya. 33 Senada dengan Phyllis B. Gerstenfeld, Arthus

Best berpendapat bahwa expert testimony atau kesaksian ahli adalah kesaksian

yang didasarkan pengalaman pada umumnya dan pengetahuan yang didasarkan

pada keahliannya terhadap fakta-fakta suatu kasus. Kesaksian ahli dibutuhkan

ketika penyelesaian sengketa menyangkut informasi atau analisis terhadap suatu

pengetahuan untuk meyakinkan juri atau hakim di persidangan. 34

Menurut Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah ialah: Keterangan Saksi;

Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa. 35Dibandingakan dengan

alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan alat bukti baru, yaitu keterangan

30
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., hlm. 11
31
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Op.Cit., hlm. 32.
32
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 61.
33
Ibid
34
Ibid., hlm. 62
35
M. Karjadi, R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan
Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, hlm. 162

Universitas Sumatera Utara


ahli. 36 Sebelum berlakunya KUHAP, menurut HIR ahli tidak termasuk alat bukti,

tetapi ada suatu ketentuan yaitu Sbld 1949 Nomor 275 yang menurut pendapat

Andi Hamzah tidak bertentangan dengan KUHAP, oleh karena itu, masih berlaku

pada Pasal 1 mengatakan bahwa berita-berita tertulis dari orang-orang ahli yang

bekerja pada lembaga-lembaga penyelidikan praktis ilmu alam yang diadakan atau

yang diakui oleh pemerintah, mempunyai kekuatan bukti di dalam perkara-

perkara pidana, asal dibuat atas sumpah khusus seperti yang dimaksud pada Pasal

2 Sbld tersebut yakni menetapkan bahwa sumpah itu dapat dilakukan satu kali,

yaitu sumpah yang dilakukan pada waktu menerima jabatan di hadapan Menteri

Kehakiman atau di hadapan salah seorang pejabat yang ditunjuknya. 37

Keterangan Ahli atau verklaringen van een deskundige/ expert testimony/

expert witness. 38Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang

diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

36
Pasal 295 HIR Sebagai upaya bukti menurut undang-undang hanya diakui:
1. Kesaksian-kesaksian (getuigenissen);
2. Surat-surat (schriftelijke bescheiden);
3. Pengakuan (bekentenis);
4. Isyarat-isyarat (aanwijzingen)
Menurut HIR, hakim tidak terikat pada keterangan ahli (Pasal 306) Lihat Andi Hamzah,
Irdan Dahlan, 1984, Perbandingan KUHAP HIR dan Komentar, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 255.
37
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
275.
38
Expert witness is a witness having special knowledge of the subject about which he is to testify;
that knowledge must generally be such as is normally possessed by the average person. The expert
witness is thus able to afford the tribunal having the matter under consideration a special
assistance. This expertise may derive from either study and education, or from experience and
observation. An expert witness must be qualified by the court to testify as such. To qualify, he or
she need not have formal training, but the court must be satisfied that the testimony presented is of
akind which in fact requires special knowledge, skill or experience. (Lihat Steven H. Gifis,Op.Cit.,
hlm. 201).

Universitas Sumatera Utara


pemeriksaan. 39 Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah apa yang

seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 40 Menurut Pasal 179 KUHAP yang

berisi sebagai berikut:

1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran


kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi yang berlaku juga bagi
mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa
mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan
yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang
keahliannya.
Dalam penjelasan KUHAP dikenal ahli yang mempunyai keahlian tentang

surat berdasarkan (Pasal 132 ayat (1) KUHAP) dan keterangan palsu serta ahli

yang mempunyai keahlian untuk menentukan korban luka, keracunan, atau mati

yang dikenal dengan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya

berdasarkan (Pasal 133 ayat (1) KUHAP). Keterangan ahli diperlukan dalam

proses penyidikan ataupun dalam upaya pembuktian di pengadilan hal ini sesuai

dengan Pasal 120 KUHAP yang bunyinya adalah:

1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang


ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka
penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya
yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat,
pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat
menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

39
M. Karjadi, R. Soesilo, Op.Cit., hlm. 6.
40
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat
sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk
memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.Lihat penjelasan Pasal 186
KUHAP Ibid., hlm. 165.

Universitas Sumatera Utara


3. Putusan 41

Putusan hakim atau putusan pengadilan, Pasal 1 angka 11 KUHAP,

putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-

undang ini. Menurut Leden Marpaung pengertian putusan hakim adalah Putusan

adalah ‘hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai

dengan semasak-masaknya yang dapat benbentu tertulis maupun lisan’. 42 Menurut

Lilik Mulyadi putusan hakim itu merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim

karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum

setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya

berisakan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum

dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya. 43

Putusan hakim pada hakikatnya merupakan: 44

a. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka


untuk umum

41
Putusan (Vonnis) adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang
terbukauntuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri pemeriksaan perkara. Setiap putusan
memberikan “kepastian hukum” dan “keadilan”. Setiap putusan diawali dengan kata-kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga putusan pengadilan mempunyai
kekuatan eksekutorial, artinya bisa dilaksanakan secara paksa. Pencantuman kata-kata demikian
sebagai kepala putusan, juga dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar hakim menginsyafi,
bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya harus bertanggungjawab kepada hukum, pada
diri sendiri, dan kepada rakyat tetapi juga bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (lihat
di H. Riduan Syahrani SH, 2009, Kata-kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,
hlm. 224).
42
Leden Marpaung, 1995, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 406.
43
Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia
(Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya), PT. Citra Adiya Bakti,
Bandung, hlm. 131.
44
Ibid., hlm 132-137.

Universitas Sumatera Utara


b. Putusan dijatuhkan setelah melalui proses dan prosedural hukum acara
pidana pada umumnya
c. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan
hukum
d. Putusan dibuat dalam bentuk tertulis
e. putusan hakim tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perkara pidana

Putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan pidana untuk

tahap pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun mahkamah

agung. Sebelum putusan hakim diucapkan/dijatuhkan, prosedural yang harus

dilakukan oleh hakim dalam praktik lazim melalui tahapan sebagai berikut: 45

1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
2. Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas,
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta
terdakwa diingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar
serta dilihatnya dalam persidangan.
3. Pembacaan surat dakwaan untuk acara biasa atau catatan dakwaan untuk
acara singkat oleh jaksa/penuntut umum.
4. Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan
dakwaan/catatan dakwaan tersebut. Apabila terdakwa ternyata tidak
mengerti, penuntut umu atas permintaan hakim ketua sidang wajib
memberikan penjelasan yang diperlukan.
5. Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan
jaksa/penuntut umum.
6. Dapat dijatuhkan putusan sela/penetapan atau keberatan tersebut hakim
berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara, maka
sidang dilanjutkan.
7. Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Petunjuk; dan
d. Keterangan terdakwa.
8. Kemudian, pernyataan hakim ketua sidang bahwa pemeriksaan dinyatakan
selesai lalu penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisitoir).
9. Pembelaan (pledoi) terdakwa atau pensihat hukumnya.
10. Replik dan duplik (bila ada).
11. Pemeriksaan dinyatakan tertutup “ditutup” dan hakim mengadakan
musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan.

45
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Secara substansial putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya

mempunyai tiga sifat yaitu: 46

1) Pemidanaan/veroordeling;
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh
keyakinan dan dalam persidangan alat bukti telah cukup, bahwa terdakwa
melakukan perbuatan yang didakwakan dan hakim memiliki keyakinan
bahwa perbuatan terdakwa dapat dipidana.
2) Putusan bebas/vrijspraak;
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang bunyinya
“Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”
3) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum atau onslag van alle
rechtsvervolging.
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur daam Pasal 191 ayat
(2) KUHAP yang bunyinya “Jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum.”

Menurut Van Bammelen menyatakan bahwa:

“Dalam putusan hakim itu perlu dijelaskan mengenai alasan-alasan yang


telah dipaakai oleh para hakim sebelum sampai pada putusannya, hingga
orang yang membaca putusannya tersebut akan mengetahui alsan-alasan
yang telah dipakai oleh hakim, dan mampu menarik satu kesimpulan yang
sama seperti yang telah ditarik hakim”. 47
Hakim tidak mudah untuk membuat putusan, karena idealnya putusan hakim

harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 (tiga) unsur yakni: (1) keadilan

(gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan

46
Ibid.
47
Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 3 April 1939, N.J 1939 Nomor 947 hanya mensyaratkan,
bahwa putusan hakim itu dapat dilihat : “dat voor ieder onderdeel van het telastgelegde een
bewijsmiddel aanwezig is” atau “bahwa bagi tiap-tiap unsur dari tindak pidana yang didakwakan
itu terdapat suatu alat bukti (Lihat di Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm. 422).

Universitas Sumatera Utara


(zwechtmassigkeit). 48Ketiga unsur tersebut semestinya harus dipertimbangkan dan

diterapkan secara proporsional oleh hakim dalam membuat putusan, sehingga

putusan yang dihasilkan adalah putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan

para pencari keadilan. 49

4. Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Pengertian tindak pidana lingkungan hidup secara harfiah, berasal dari

kata Tindak Pidana danLingkungan Hidup. 50Dalam setiap tindak pidana yang

48
Gustav Redbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum
Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 15.
49
Bambang Sutiyoso, 2009, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan
Berkeadilan, UII Pres, Yogyakarta, hlm. 6.
50
Secara etimologis kata Tindak Pidana dan Lingkungan Hidup berasal dari kata:
a) Istilah Tindak Pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda
Strafbaar Feit atau Delict dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan
hukum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.
Dalam kepustakaan ilmu hukum pidana istilah Strafbaar Feit atau Delict ini ada yang
menterjemahkannya dengan istilah-istilah:
1. Tindak Pidana, istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita seperti
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana
Terorisme dan seterusnya.
2. Perbuatan Pidana (Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 3.
3. Perbuatan Kriminal menurut A. Z. Abidin, istilah ‘perbuatan pidana’ yang
dipakai oleh Moeljatno kurang tepat karena dua kata benda bersambungan, yaitu
‘perbuatan’ dan ‘pidana’ (Lihat Andi Hamzah, 2015, Hukum Pidana, PT.
Sofmedia, Jakarta, hlm. 119).
4. Peristiwa Pidana, Prof. Drs. E. Utrecht, SH mempergunakan istilah ‘peristiwa
pidana’ dikarenakan menerjemahkan istilah ‘feit’ menjadi peristiwa, tetapi
Moeljatno menolak istilah ‘peristiwa pidana’ karena peristiwa itu adalah
pengertian konkret yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu
saja (Lihat Andi Hamzah, 2015, Hukum Pidana, PT. Sofmedia, Jakarta, hlm.
118).
5. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latinDelictum. Istilah ini dapat
dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. DR. Jur. Andi Hamzah, SH
(Andi Hamzah, 2012, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia &
Perkembangannya, PT. Sofmedia, Jakarta, hlm. 118).
b) Istiah Lingkungan Hidup dalam bahasa asingnya disebut environment (bahasa Inggris), l’
evironnment (bahasa Prancis), umwelt (bahasa Jerman), Milieu (bahasa Belanda) secara
harfiah diterjemahkan menjadi life environment namun pada kenyataannya selalu
diterjemahkan sebagai enviment. Menurut Emil salim (1982:14-15) lingkungan hidup
diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam
ruangan yang kita tempati yang mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan
manusia. Menurut Danusaputro (1980:65) lingkungan adalah semua benda dan kondisi

Universitas Sumatera Utara


dilakukan terdapat unsur-unsur tindak pidana.Unsur tindak pidana secara garis

besar dibagi dalam dua macam unsur yaitu unsur yang bersifat objektif yakni

unsur yang berada di luar keadaan batin manusia/si pembuat tentang

perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada

perbuatan dan objek tindak pidana.Kemudian unsur subjektif yakni unsur yang

mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya. Unsur-unsur tindak

pidana dapat juga dilihat setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni : 51 (1)

dari sudut teoritis; dan (2) dari sudut undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan

pendapat para ahli hukum, yakni yang tercermin pada bunyi rumusannya.

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: 52 (a) perbutan; (b) yang dilarang

(oleh aturan hukum); (c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Sementara sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu

dirumuskan menjadi tindak pidana tertetu daam pasal-pasal peraturan perundang-

termasuk didalamnya manusia dan tingkah laku perbuatannya, yang terdapat dalam ruang
dimana manusia berada dan mepengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan
manusia dan jasad hidup lainnya. (lihat Prof. syamsul Arifin SH., M.H, 2014, Hukum
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia Edisi Revisi, PT.
Sofmedia, Jakarta, hlm. 47). Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 1 ayat (1) adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain (Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, 2009, Fokus Media, Bandung). Fuad Amsyari mengelompokkan
lingkungan hidup terdiri atas 3 (tiga) macam yakni :
1. Lingkungan fisik (physical environment), yaitu segala sesuatu yang di sekitar
kita yang berbentuk benda mati, seperti rumah, kenderaan, gunung, udara, sianr
matahari, dan lain-lain yang semacamnya;
2. Lingkungan biologis (biological environment), yaitu segala sesuatu yang berada
di sekitar manusia yang berupa organisme hidup lainnya selain dari manusia
sendiri, binatang, tumbuh-tumbuhan, jasad renik (plankton) dan lain-lain;
3. Lingkungan sosial (social environment), yaitu manusia-manusia lain yang
berada di sekitarnya seperti tetangga, teman dan lain-lain (Lihat DR. Ruslan
Renggong, SH., M.H, 2016, Hukum Pidana Khusus (Memahami Delik-delik di
Luar KUHAP), Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 157).
51
Adami Chazawi, 2013, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hlm. 79.
52
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


undangan. Berdasarkan rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP

dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu: 53

a. Unsur tingkah laku;


b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Di dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa jenis tindak pidana,

diantaranya adalah: 54

1. Delik Materiil (materieel delict) delik yang dianggap telah selesai


dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.
2. Delik Formil (formil delict) delik yang dianggap telah selesai
dengan dilakukannya tindakan yang dilarang atau yang diancam
dengan hukuman oleh undang-undang.
3. Delik Commisionis (delicta commisionis) delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan-;aranagan di dalam undang-undang.
4. Delik Omissionis (delicta omissionis) delik yang berupa
pelanggaran terhadap keharusan menurut undang-undang.
5. Dolus dan Culpa (opzettelijk delicten dan culpooze delicten) dolus
adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja sedangkan
Culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau
kealpaan.
6. Delik Aduan (klachtdelicten) adalah tindak pidana yang hanya
dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan.

Ketentuan hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 97-120

53
Ibid., hlm. 82
54
Andi Hamzah, Op.Cit.,hlm. 226.

Universitas Sumatera Utara


secara tegas menetapkan bahwa tindak pidana lingkungan termasuk kejahatan dan

delik lingkungan dalam undang-undang tersebut meupakan delik materiil dan

delik formil. 55

Takdir Rahmadi menyatakan bahwa:

“pengertian tindak pidana lingkungan hidup atau delik lingkungan adalah


perintah dan larangan undang-undang kepada subyek hukum yang jika
dilanggar diancam denganpenjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain
pemenjaraan dan denda dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup
secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup seperti
hutan, satwa, lahan, udara, dan air serta manusia, oleh sebab itu, dengan
pengertian ini delik lingkungan hidup tidak hanya ketentuan-ketentuan
pidana yang dirumuskan dalam UUPPLH, tetapi juga ketentuan-ketentuan
pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain
sepanjang rumusan ketentuan itu ditujukan untuk melindungi lingkungan
hidup secara keseluruhan atau bagian-bagiannya”. 56

Konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai

tindak pidana umum (delict genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak

pidana khususnya (delict species).

Pengertian tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam

Pasal 98 UUPPLH sampai Pasal 115 UUPPLH, melalui metode kontruksi hukum

dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan hidup

(perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. 57

55
Kejahatan atau rechtdelicten menurut Prof. Moeljatno adalah perbuatan-perbuatan yang
meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan
sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum (lihat Prof. Moeljatno,
2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 78).
56
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 221.
57
Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki
makna substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan, tetapi keduanya berbeda
dalam memberikan penekanan mengenai suatu hal yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat
pasif (kata benda) dalam proses menimbulkan akibat (lihat di Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan
Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, PT. Sofmedia, Jakarta, hlm. 35). Menurut Muhammad Erwin pencemaran lingkungan
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, atau komponan lain ke dalam

Universitas Sumatera Utara


Teknik perumusan tindak pidana lingkungan hidup begitu luas dan

abstrak, hal ini dapat menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika

aparat penegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam mengikuti

perkembangan di bidang lingkungan hidup, akan dapat memberi peluang bagi

penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan lain. 58

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang

Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPPLH) merupakan payung

dari undang-undang sektoral lainnyadi bidang lingkungan hidup. Sehingga,

rumusantindak pidana lingkungan hidup sangat berkaitan dengan industri,

kehutanan, pertambangan, keanekaragaman hayati dan lain-lain. Adapun ruang

lingkup perkara lingkungan hidup adalah:

1. Pencemaran air (air permukaan) akibat berbagai kegiatan sektor

pembangunan (indrustri, pertambangan, perhotelan, rumah sakit, dan lain-

lain);

2. Pencemaran udara dan gangguan (kebisingan, getaran, kebauan) akibat

kegiatan sektor pembangunan (industri, pertambangan dan kegiatan

lainnya);

3. Pengelolaan limbah B3 tanpa izin, tidak mengelola limbah B3, atau

pembuangan limbah B3, impor limbah, B3 atau limbah B3;

lingkungan hidup oleh karena kegiatan manusia sehingga malampaui baku mutu lingkungan hidup
yang telah ditetapkan, sedangkan perusakan lingkungan adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan
hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (lihat di Muhammad Erwin,
2015, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung, hlm. 39).
58
Alvi Syahrin,Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan,Op.Cit, hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara


4. Pencemaran air laut atau perusakan laut (terumbu karang, mangrove &

padang lamun);

5. Kerusakan lingkungan akibat illegal logging dan pembakaran hutan;

6. Kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan illegal mining;

7. Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan, usaha perkebunan illegal;

8. Pelanggaran tata ruang, pelanggaran tata ruang yang mengakibatkan

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

Jenis tindak pidana lingkungan adalah :

1. Tindak pidana materiil

Tindak pidana lingkungan materiil diatur dalam Undang-Undang RI

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (Pasal 98, 99, 112), Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2004

tentang Perkebunan (Pasal 47, 48, 50), Undang-Undang RI Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Pasal 78 ayat (1), ayat (11)).

2. Tindak pidana formil

Tindak pidana lingkungan formil diatur dalam Undang-Undang RI Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Pasal 100-111, 113-115), Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan (Pasal 78 ayat (3) - (6)), Undang-Undang RI Nomor

18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Pasal 46), Undang-Undang RI Nomor

4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Pasal 158-

162), Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

Universitas Sumatera Utara


(Pasal 27), Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang (Pasal 70, 71, dan 73).

F. Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran yang sistematis,

metodologis, dan konsisten. 59 Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah

segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan

pengetahuan. 60 Metode penelitian pada dasarnya adalah suatu sarana pokok dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, sehingga dalam suatu

penelitian yang dilakukan, harus bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran

secara sistematis, metodologis, dan konsisten. 61 Metode penelitian hukum yang

digunakan antara lain :

1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum. Penelitian

hukum menurut Morris L. Cohen yaitu: 62

59
Kata ‘’penelitian” sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah research yang di Negeri
Belanda baru digunakan secara umum sekitar tahun 1930-an. Semula pengertian researchhanya
digunakan untuk penelitian di bidang teknik dan ilmu alam. Kemudian istilah research juga mulai
digunakan dalam ilmu ekonomi, ilmu-ilmu sosial dan yang terakhir dalam ilmu hukum serta
politik (Lihat Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Alumni, Bandung, hlm. 96),
60
Koentjaraningrat, 1974, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 37.
61
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 17
62
Abdul Hakim, dalam disertasi Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan
Asas Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen (studi hubungan hukum antara pelaku usaha
dengan konsumen perumaha), Universitas Sumatera Utara, 2013, hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara


Legal research, in a nutshells the process of finding the law that governs

activities in human society. It involves locating both the rules are enforced

by the state and commentaries which explain or anlyse these rules.

(Terjemahan: penelitian hukum, sebagai proses penemuan hukum dalam

kehidupan masyarakat. Hal ini meliputi peraturan yang diterapkan negara

dan penjelas yang menjelaskan atau menganalisis undang-undang).

Pengertian penelitian hukum disajikan dari pandangan para ahli, yang

meliputi Soerjono Soekanto mengemukakan penelitian hukum adalah suatu

penelitian ilmiah yang mempelajarai suatu gejala hukum tertentu dengan

menganalisisnya atau melakuakn pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta

hukum untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang

timbul dari gejala yang bersangkutan. 63 Peter Mahmud Marzuki menerangkan

pengertian penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum

maupun doktrin-donktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 64 F.

Sugeng Santoso menyajikan penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan

atau diberlakukan khusus pada ilmu hukum. 65

Adapun jenis Penelitian hukum dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji

penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan adalah

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

63
Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 38.
64
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.
35.
65
F. Sugeng Susanto, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogjakarta, hlm. 29.

Universitas Sumatera Utara


skunder belaka. 66 Menurut Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad menjelaskan

pengertian penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan

hukum sebagai sistem norma, mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan

perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). 67

2. Data dan Sumber Data

Data penyusunan skripsi ini menggunakan data skunder yang meliputi

bahan hukum primer, bahan hukum skunder, bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. 68 Bahan hukum primer terdiri dari berbagai peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini serta

putusan pengadilan yang merupakan konkretisasi dari perundang-

undangan. 69

b. Bahan hukum skunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri dari rancangan

undang-undang, buku teks, tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam

bentuk buku ataupun jurnal-jurnal serta artikel ahli hukum pidana yang

berhubungan dengan skripsi ini.

66
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-14.
67
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 13.
68
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hlm. 141.
69
Ibid., hlm. 142

Universitas Sumatera Utara


c. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum

tertier seperti kamus hukum, kamus besar bahasa indonesia, ensiklopedia.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis

melakukan penelitian terhadap putusan pengadilan, literatur literatur, peraturan

perundang-undangan, buku-buku, majalah, jurnal-jurnal, dan internet yang dinilai

relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

4. Analsis Data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif

yaitu penulisan semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada berdasarkan

asas-asas, pengertian serta sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari

bahan tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka

secara garis besar sistematikanya terdiri atas :

Bab I Pendahuluan

Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan mengenai pengertian pembuktian, alat

bukti keterangan ahli, putusan dan jenis putusan serta pengertian dan ruang

Universitas Sumatera Utara


lingkup tindak pidana lingkungan hidup, metode penelitian, dan sistematika

penulisan skripsi. Berlatar belakang kepada pengaruh alat bukti keterangan ahli

yang dihadirkan di sidang pengadilan dihubungkan dengan sifat keyakinan hakim

yang subjektif pada diri seorang hakim yang karena profesinya memiliki

kewenangan untuk memutus sidang perkata tindak pidana lingkungan hidup.

Bab II Peran Keterangan Ahli Dalam Pembuktian Tindak Pidana

Diuraikan tentang teori dan sistem pembuktian pada umumnya, sistem

pembuktian yang dianut di Indonesia pada khususnya, perbandingan sistem

pembuktian menurut hukum acara pidana di indonesia dengan di negara lain,

kedudukan keterangan ahli dalam upaya pembuktian tindak pidana.

Bab IIIKedudukan Keterangan Ahli Terhadap Keyakinan Hakim Dalam

Upaya Pembuktian Pada Putusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Diuraikan tentang alat bukti dalam pembuktian tindak pidana lingkungan

hidup, klasifikasi ahli, hal-hal yang mempengaruhi keyakinan hakim dalam

membuat putusan, peran ahli yang mempengaruhi keyakinan hakim pada putusan

tindak pidana lingkungan hidup dalam rangka penegakan hukum lingkungan serta

penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam pembuktian tindak pidana

lingkungan hidup terhadap beberapa putusan hakim

Bab IV Kesimpulan dan Saran

Diuraikan mengenai kesimpulan dan saran dari penulisan skripsi.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM


PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA

2.1 Sistem atau Teori Pembuktian

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa proses peradilan tanpa hukum

materiil akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa hukum formal akan liar dan

bertindak semaunya. 70 Hukum pidana materiil haruslah mendapat dukungan

penuh dari hukum acara pidana, apabila tidak didukung maka hukum materiil

akan menjadi tidak berdaya, begitu pula jika hukum acara pidana tersebut

diterapkan tanpa adanya hukum materiil akan menjadi tidak berdasar

penerapannya. Oleh karena itu antara hukum pidana materiil dan hukum pidana

formil/hukum acara pidana dikonotasikan seperti layaknya simbiosis

mutualisme. 71 Tujuan dari hukum acara pidana itu adalah mencari, menemukan,

dan menggali kebenaran materiil/materieele waarheid atau kebenaran yang

70
Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, Pasca Reformasi,
BIP, Gramedia, hlm. 511.
71
Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Teoritis dan Praktik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


sesungguhnya atau kebenaran yang hakiki. 72Karena konsekuensi demikian, dalam

hukum acara pidana tidaklah dikenal adanya kebenaran formal/formeele waarheid

yang semata-mata ditujukan pada formalitas-formalitas hukum. 73 Jika hakim telah

dapat menetapkan prihal adanya kebenaran melalui proses hukum acara pidana,

maka aspek ini merupakan pembuktian tentang suatu hal dengan tujuan

mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara

yang sedang diadilinya. Adapun dimensi pembuktian melalui hukum pembuktian

meliputi: 74

a. Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim untuk mendapatkan


gambaran dari peristiwa yang sudah lampau (opsomming van
bewijsmiddelen) 75;
b. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan
(bewijsvoering) 76;

72
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan
untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan
(lihat Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia:
Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, Op. Cit., hlm. 6)
73
Menurut R. Wirjono Projodikoro kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang
tertentu yang sudah lampau.Makin lama waktu lampau itu, makin sukar bagi hakim untuk
menyatakan kebenaran atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman di dunia tidak
mungkin diputar balikkan lagi, maka kepastian seratus persen, bahwa apa yang diyakini oleh
hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenaran, tidak mungkin dicapai maka
acara pidana sebetulnya hanya dapat menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak
mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Untuk mendapaykan
keyakinan hakim, maka membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang
sudah lampau itu. (Lihat
74
Ibid., hlm. 119.
75
Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu
peristiwa hukum (Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm 17). Dalam hukum acara pidana di
Indonesia, alat bukti yang diakui di pengadilan berdasarkan Pasal 184 KUHAP mengenai alat
bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa

Universitas Sumatera Utara


c. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat bukti itu (bewijskracht
der bewijsmiddelen). 77
Sebelum dunia ilmu hukum mengenal sistem dan metode pembuktian modern,

dalam sejarah hukum dikenal sistem pembuktian sebagai berikut: 78

1) Sistem pembuktian bebas

Dalam hal ini tidak diadakannya pembatasan, baik terhadap metode

pembuktian maupun jenis alat buktinya, tetapi dibebaskan kepada para pihak

untuk membuktikannya dan diserahkan kepada hakim untuk menilainya.Konon

sistem pembuktian ini dikenal di berbagai suku bangsa di Eropa, Afrika dan India.

2) Sistem pembuktian dengan memakai ‘tangan tuhan’

Sistem pembuktian ini muncul dalam bentuk pembuktian dengan siksaan

(ordeal), dimana Tuhan/roh nenek moyang dianggap akan membantu pihak yang

tidak bersalah dari kesakitan/bahaya fisik atas siksaan yang diberikan kepada

seorang tersangka. Model siksaan ini ada berbagai macam, termasuk model

siksaan dengan memakai api yang menyala, besi panas, air panas, air dingin.

Model pembuktian dengan memakai tangan Tuhan juga muncul dalam wujud

76
Secara harfiah Bewijsvoering diartikan sebagai penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-
alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bagi negara-negara cederung menggunakan due process
model, negara begitu menjunjung tinggi hak asai manusia (hak-hak tersangka) sehingga acap kali
seseorang tersangka di bebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan lantaran alat
bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut denga istilah unlawful legal
evidence. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat fornalistis.
Konsekuensi selanjutnya sering kali mengesampingkan kebenaran dari fakta yang ada (Ibid.,hlm
20).
77
Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti dalam
rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan.Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim,
hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian alat bukti yang satu dengan alat bukti yang
lainnya. Dalam hukum acara pidana kekuatan semua alat bukti pada hakikatnya sama, tidak ada
satu melebihi yang lain. Tegasnya alat bukti dalam dalam hukum acara pidana tidak mengenai
hierarki, hanya saja ada ketentuan yang mensyaratkan keterkaitan antara bukti yang satu dengan
bukti yang lain. Oleh karena itu dalam hukum acaa pidana terdapat bukti yang bersifat sebagai
pelengkap. Bukti tersebut timbul dari bukti yang lain (Ibid.,hlm 26).
78
DR. Munir Fuady, SH., M.H., LL.M. 2012, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 13-14.

Universitas Sumatera Utara


penggunaan alat bukti sumpah dengan nama Tuhan. Pembuktian dengan siksaan

ini lebih banyak terjadi di negara-negara yang menganut hukum Anglo Saxion,

seperti Inggris. Di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Jerman, ketika

kepercayaan masyarakat terhadap model-model pembuktian dengan siksaan mulai

luntur, ajaran Kristen mengambil alih model-model pembuktian tersebut sehingga,

pada saat itu banyak pembuktian dengan siksaan dilakukan atas nama gereja

dengan upacara kegerejaan. Oleh karena itu sekitar tahun 400 Masehi gereja di

beberapa negara di Eropa Barat resmi mengambil alih model-model pembuktian

dengan siksaan tersebut. Dalam perkembangannya di Inggris pada tahun 777

Masehi, di bawah Raja Charlemagne, telah dibatasi penggunaan pembuktian

dengan siksaan hanya untuk kasus-kasus tertentu, kemudian sampai berlaku

sampai beratus-ratus tahun selanjutnya, sampai kemudian para pembuat undang-

undang dalam kekuasaan kepausan, yaitu the Fourth Council of Lateran di bawah

kekuasaan Paus Innocent III, pada tahun 1215 Masehi melarang penggunaan

model pembuktian dengan siksaan dalam lingkungan gereja, dan

menggantikannya dengan model-model pembuktian yang lebih efisien dan

rasional, seperti pembuktian dengan pemeriksaan saksi dan pengadilan dengan

sistem juri. Kebijaksanaan Paus Innocent III tersebut diikuti oleh otoritas-otoritas

sekuler, seperti di Inggris, di mana Raja Henry III, pada tahun 1219 Masehi

melarang penggunaan segala model pembuktian dengan siksaan.Hanya saja saat

ini jiwa dari ordeal itu yaitu pembuktian dengan bantuan magis atau agama masih

tersisa di berbagai sistem hukum modern.Sebagai contoh sumpah pemutus sebagai

alat bukti yang masih di anut di berbagai negara termasuk Indonesia.Dalam arti,

Universitas Sumatera Utara


barang siapa yang berani bersumpah, dia dianggap sebagai pihak yang terbukti

benar.Jika nyatanya dia tidak benar, berarti dia telah mengangkat sumpah yang

tidak benar sehingga siderahkan kepada Tuhan untuk diberikan kutukan.

Seiring perkembangan zaman terjadi evolusi hukum pembuktian

tradisional menuju pembuktian modern yang dianut saat ini, terdapat tiga sistem

atau teori mengenai pembuuktian antara lain:

1) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (postief wettelijke

bewijs theorie).

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif tergantung pada alat-alat

bukti sebagaimana disebut limitatif dalam undang-undang. Dikatakan positif,

karena didasarkan kepada undang-undang melulu, artinya jika telah terbukti suatu

perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka

keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. 79Sistem ini disebut juga teori

pembuktian formal (fromale bewijstheorie). 80

2) Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime/conviction

raisonce).

Menurut teori ini, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan

keyakinan hakim belaka, dengan tidak terikat oleh suatu perturan (bloot

gemoedelijke overtuiging).Didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim untuk

menetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan,

dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat

79
Menurut Simon, teori pembuktian ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan
subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang
keras. (Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Op. Cit., hlm. 251).
80
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


bukti dalam undang-undang.Karena disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan

terdakwa sendiri pun tidak membuktikan kebenaran, pengakuan pun tidak

menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang

didakwakan.oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim sendiri. Dengan

demikian, putusan hakim di sini tampak timbul nuansa subjektif, penerapan sistem

pembuktian conviction intime mempunyai bias subjektif yaitu:

“Sistem pembuktian conviction intime menentukan salah tidaknya


terdakwa, semata-mata ditentuka oleh penilaian ‘keyakinan’ hakim.
Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa.
Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak
menjadi masalah dalam sistem ini.Keyakinan boleh diambil dan
disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan.Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim
dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa.Sistem pembuktian conviction intime ini, sudah barang tentu
mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada
seorang terdakwa semata-mata atas ‘dasar keyakinan’ belaka tanpa
didukung alat-alat bukti yang cukup, sebaliknya hakim leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang
lengkap, selama hakim tidak yakin kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem
pembuktian conviction intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup
terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh
keyakinan hakim.Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa ‘tidak
terbukti’ berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan
bersalah semata-mata atas ‘dasar keyakinan’ hakim.Keyakinan hakimlah
yang ‘dominan’ atau yang paling menentukan salah atau tidaknya
terdakwa.Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan
kesalahan terdakwa.Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya
nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.Keyakinan
hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktian ini”. 81

Dalam perkembangan lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan

‘keyakinan hakim’ mempunyai dua bentuk polarisasi, yaitu conviction intime dan

81
Yahya Harahap, 2009, Op.Cit.,, hlm. 277.

Universitas Sumatera Utara


conviction raisonce. 82 Pada sistem pembuktian conviction raisonce keyakinan

hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang kesalahan

terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif

dalam artian keyakinan hakim ‘dibatasi’ dengan harus didukung oleh ‘alasan-

alasan yang jelas dan rasional’ dalam mengambil keputusan. 83Sebenarnya sistem

pembuktian conviction raisonce mirip dengan sistem pembuktian berdasarkan

undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie).Andi Hamzah

menyebutkan bahwa:

“Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasarkan


keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan.Yang
pertama yang tersebut di atas, yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim atas alasan yang logis (conviction raisonce) dan yang kedua ialah
teori pembuktian berdasar undang-undang (negatief wettelijke bewijs
theorie). Persamaan diantara keduanya ialah keduanya sama berdasarkan
keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya
keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya adalah bahwa yang
tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan
itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang
tidak berdasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan
menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri
tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia pergunakan.
Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian
yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus
diikuti dengan keyakinan hakim.Jadi, dapat disimpulkan bahwa
perbedaannya ada dua yaitu yang pertama pangkal tolaknya pada
keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada ketentuan undang-undang.
Kemudian, pada yang pertama dasarnya ialah konklusi yang tidak
didasarkan pada undang-undang, sedangkan pada yang kedua didasarkan
pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitative”. 84

3. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke

bewijs theorie)

82
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 121.
83
Ibid., hlm. 122.
84
Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua,Op. Cit.,, hlm 253-254.

Universitas Sumatera Utara


Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap

terdakwa jika alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang

dan didukung pula oleh keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti

tersebut. 85 Untuk menentukan terdakwa bersalah atau tidak menurut teori ini

terdapat dua komponen yaitu: 86

i. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dengan alat-alat bukti yang


sah menurut undang-undang;
ii. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Yahya Harahap menyatakan bahwa:

“Sistem ini memadukan unsur-unsur subjektif dan objektif dalam


menentukan salah atau tidaknya terdakwa.Tidak ada yang dominan di
antara kedua unsur tersebut.Karena kalau salah satu unsur di antara kedua
unsur tersebut tidak ada, berarti belum cukup mendukung keterbuktian
kesalahan terdakwa. Misalnya ditinjau dari segi ketentuan cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa jelas
cukup terbukti, hakim sendiri tidak yakin akan kesalahan terdakwa yang
sudah terbukti tadi. Maka, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat
dinyatakaan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa
sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, tetapi
keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup
menurut tata cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan
bersalah.Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus saling
mendukung.” 87

2.2 Sistem Pembuktian Hukum Acara Pidana Asing

2.2.1 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Amerika Serikat

85
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 123.
86
Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 279
87
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Sistem hukum acara pidana, dikenal sebagai adversary system. 88Adversary

system diartikan sebagai sistem peradilan dimana pihak-pihak yang berseberangan

tersebut mengajukan bukti-bukti yang saling berlawanan dalam usahanya

memenangkan putusan yang menguntungkan pihaknya. 89 Sistem hukum Amerika

berasumsi bahwa kebenaran akan muncul melalui pertentangan antara pihak-pihak

yang berseberangan yang memberikan intrepretasi berlawanan terhadap bukti-

bukti yang dikemukakan kepada pencari fakta. 90Dalam menangani perkara

pidana, pihak yang menjadi penggugat adalah negara, yang mewakili korban dan

kepeentingan masyarakat dan tergugat adalah tertuduh.Si teretuduh biasanya

diwakili oleh pembela (defense attorney).Pihak yang bertugas menemukan

kebenaran atas fakta dan tidak memihak biasanya diwakili oleh para juri, serta

pihak yang bertugas menerapkan hukum yang berlaku dan juga tidak memihak

ialah hakim.Hakim bertugas sebagai penemu kebenaaran atas fakta yang diajukan

dalam persidangan.

Dalam adversary system dikenal adanya due process of law yang diartikan

sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar

88
Adversary system dimaksudkan: “a system which arrives at a decision by (1) having each side to
dispute present its best case and (2) then permitting a neutral decision-maker to determine the facts
and apply the law in light of the opposing presentations of two sides”. Adversay system atau
dikenal sebagai accusatorial system mempunyai ciri adanya perlindungan terhadap hak asasi
seseorang (tertuduh) yang dilandaskan pada klausula due process of law sebagaimana yang secara
tegas telah dicantumkan dalam konstitusi Amerika serikat sebagai berikut: “... No State shall make
or enforce any law which shall abridge the privilege of immunities of citizens of the United States;
nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process og law, ...
(Lihat Romli Atmasasmita, SH.,LL.M, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana,
Jakarta, hlm. 122).
89
Dalam menghendaki agar kebenaran dapat diungkapkan secara akurat dalam suatu keadaan di
mana masing-masing pihak yang berperkara berada dalam posisi yang bertentangan (Lihat Eddy
O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 40).
90
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


beracara yang berlaku universal. 91Due process menghasilkan prosedur dan

substansi perlindungan terhadap individu karena setiap prosedur dalam due

process menguji dua hal, yaitu: (a) apakah penuntut umum telah menghilangkan

kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa adanya prosedur; (b) jika

menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due

process. Oleh karena itu, due process memiliki karakteristik menolak efisiensi,

mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga peranan penasihat

hukum amat penting dengan tujuan penjatuhan hukum kepada yang tidak

bersalah. 92 Dalam kaitannya dengan pembuktian due process of law memiliki

hubungan yang sangat erat dengan masalah bewijsvoering yaitu cara memperoleh,

mengumpulkan dan menyampaikan alat-alat bukti sampai ke pengadilan diuraikan

kepada hakim. 93Tidak jarang hal-hal yang bersifat formalistik mengesampingkan

kebenaran materiil. 94

Di negara common law seperti Amerika Serikat hukum acara pidananya

(crime procedure law) menentukan alat-alat bukti yang terdiri atas: 95

1. Real evidence (bukti sesungguhnya) 96;


2. Documentary evidence (bukti dokumenter) 97;
3. Testimonial evidence (bukti kesaksian) 98;
91
Ibid.,hlm. 30.
92
Ibid.
93
Ibid., hlm 20.
94
Ibid., hlm. 31.
95
Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 45
(Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Kedua, Op. Cit., hlm. 258).
96
Real evidence ialah objek fisik dari sesuatu yang berkaitan dengan kejahatan. Dalam beberapa
literature real evidence diartikan sama dengan physical evidence yang dalam konteks hukum
pidana di Indonesia di sebut dengan istilah ‘barang bukti’. (Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm.
55).
97
Documentary evidence yaitu bukti yang meliputi tulisan tangan, surat, fotografi, transkrip
rekaman dan alat bukti tertulis lainnya.
98
Testimonial evidence atau bukti kesaksian. Bukti kesaksian ini dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : (a)
kesaksian atas fakta yang sesungguhnya (factual testimony) biasanya menyangkut kesaksian secara
terbatas mengenai fakta-fakta yang relevan atas apa yang dilihat, didengar atau dialami, dan dia

Universitas Sumatera Utara


4. Judicial evidence (pengamatan hakim).

Real evidence yang berupa objek materiil yang meliputi tapi tidak

terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televise dll.

Benda-benda Real evidence ini berwujud, biasanya disebut alat bukti yang

bebicara untuk diri sendiri (speak for it self). Bukti ini dipandang paling bernilai

daripada jenis bukti yang lain karenanya, alat bukti ini disebut sebagai “Res Ipsa

Liquitor” yang artinya sebagai alat bukti yang sangat dominan menentukan

adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan seseorang. 99Real evidence ini tidak

termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana di Indonesia, pada sistem hukum

continental seperti Indonesia real evidence hanyalah sebagai ‘barang bukti’ yang

perlu diidentifikasikan oleh saksi ataupun terdakwa, agar barang bukti itu

memiliki nilai sebagai alat bukti berdasarkan keyakinan hakim, karena itulah

barang bukti berupa objek materiil ini tidak akan bernilai jika tidak diidentifikasi

oleh saksi (terdakwa). 100

Tidak disebut kesaksian ahli dan keterangan terdakwa sebagai alat bukti

dalam hukum acara pidana Amerika Serikat, karena digabungkan dengan bukti

kesaksian. Pada California Evidence Code memberikan pengaturan mengenai

keterangan ahli/expert testimony Section 800-805 sebagai berikut: 101

800. If a witness is not testifying as an expert, his testimony in the form of


and opinion is limited to such an opinion as is permitted by law, including

bersumpah atas kesaksiannya bahwa dia benar-benar mengetahui kejadian tersebut; (b) pendapat
atas kesaksian (opinion testimony) , dan (c) pendapat ahli (expert opinion).
99
Indriyanto Seno Adji, 2011, KUHAP Dalam Prospektif, Diadit Media, Jakarta, hlm. 147.
100
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua,Op. Cit., hlm 258.
101
http://www.leginfo.ca.gov/cgi-bin/displaycode?section=evid&group=00001-01000&file=800-
805, diakses pada 11 April 2016.

Universitas Sumatera Utara


but not limited to an opinion that is :a. Rationally based on the perseption
of the witness; and b. Helpful to a clear understanding of his testimony.
801. If a witness is testifying as an expert, his testimony in the form of an
opinion is limited to such an opinion as is :
a. Related to a subject that is sufficiently beyond common experience
that the opinion of an expert would assist the trier of fact; and
b. Based on matter (including his special knowledge, skill, experience,
training, and education) perceived by or personally known to the witness
or made known to him at or before hearing, whether or not admissible,
that is of a type that reasonably may be relied upon by an expert in
forming an opinion upon the subject to which his testimony relates, unless
an expert is precluded by law form using such matter as a basis for his
opinion.
802. A witness testifying testimony in the form of an opinion may state
on direct examination the reasons for his opinion and the matter
(including, in the case of an expert his special knowledge, skill,
experience, training, and education) upon which is based, unless he is
precluded by law form using such reasons or matter as a basis for his
opinion. The court in its discretion may require that a witness before
testifying in the form of an opinion be first examined concerning the
matter upon which his opinion is based.
803. The court may, and upon objection shall, exclude, testimony in the form of
an opinion that is based in whole or in significant part on matter that is
not a proper basis for such an opinion. In such case, the witness may, if
the remains a proper basis for his opinion, then state his opinion after
excluding form consideration for matter determined to be improper.
804. a. If a witness testifying as an expert testifies that his opinion is based
in whole or in part upon the opinion or statment of another person,
such other person may be called and examined by any adverse
party as if under cross-examination concerning the opinion or
statment.
b. This section is not applicable if the person upon whose opinion or
statment the expert witness has relied is (1) a party, (2) a person
identified with a party within the meaning of subdivision (d) of
section 776, or (3) a witness who has testified in the action
concerning the subject matter of the opinion or statment upon
which the expert witness has relied.
c. Nothing in this section makes admissible an expert opinion that is
inadmissible because it is based in whole or in part on the opinion
or statment of another person.
d. An expert opinion otherwise admissible is not made inadmissible
by this section because it is based on the opinion or statment of a
person who is unavailable for eximination persuant to this section.
805. Testimony in the form of an opinion that is otherwise admissible is not
objectionable because it emberces the ultimate issue to be decided by the
tier of fact.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan pada pengaturan tersebut diatas, maka jelaslah bahwa

sesorang dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan,

keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk

memenuhi syarat sebagai ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.

Justifikasi terhadap diterimanya keterangan ahli dalam keluarga dengan

sistem common law, menurut Stanley A. Scriff harus memenuhi 2 (dua) elemen

penting, yaitu:

a. The subject-metter of the inquiry must be such that ordinary people are

unlikely to form a correctjudgement about it, if unassisted by persons with

special knowledge.

b. The witness offering expect evidence must have gained his specia

knowledge by a course of study or previous habbit which secures his

habitual familiarity with the matter in hand.

Elemen pertama yang harus dipenuhi oleh keterangan ahli tersebut adalah

kemampuan menyampaikan materi (dari suatu fakta atau bukti) secara pasti,

keeterangan ahli diperlukan jika dalam persidangan alat bukti yang lain tidak

membantu menemukan fakta. Elemen kedua, yang harus dipenuhi adalah seorang

ahli haruslah memuhi kelayakan, kelayakan dalah hal ini dapat dinilai dari

keilmuan yang dimiliknya, pengalaman pribadi yang secara konsisten ditekuni

serta hal lain yang membuat menjadi ahli.

2.2.2 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Belanda

Universitas Sumatera Utara


Menurut sejarah hukum acara pidana Belanda dulunya pernah

diberlakukan sistem pembuktian conviction in time yang mereka kenal dalam

perundang-undangan Prancis, namun sistem pembuktian conviction in time itu

digantikan dengan sistm pembuktian menurut undang-undang yang bersifat

negatif (negatief-wettelijke). 102 Salah satu keuntungan dari dianutnya sistem

pembuktian undang-undang yang bersifat negatif, seperti halnya yang dianut oleh

KUHAP Indonesia dewasa ini adalah, bahwa menurut sistem pembuktian ini

hakim dipaksa menjelaskan alasan atau dasar apa ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah

bersalah melakukan tindak pidana tersebut. 103

Di Negara Belanda hukum acara pidananya dalam Sv. Yang telah diubah

pada tahun (1926) Pasal 339 menyebutkan alat-alat bukti sebagai berikut: 104

a. eigen waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim);


b. verklaringen van de verdachte (keterangan terdakwa);
c. verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi);
d. verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli);
e. schriftelijke bescheiden (surat-surat).
Pengamatan hakimatau eigen waarneming van de rechter sangatlah

esensial karena hakimlah yang menguasai eksistensi proses persidangan. 105 Dalam

membuat putusan, hakim harus berpikir secara logis, mereka akan berusaha untuk

menjelaskan dan memberikan arti mengenai sejumlah gejala yang mereka jumpai,

dengan cara menghubungkan secara timbal balik gejala yang satu dengan gejala

102
Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara
Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm.
421.
103
Ibid.
104
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua,Op. Cit., hlm 259.
105
Indriyanto Seno Adji, Op. Cit., hlm. 149.

Universitas Sumatera Utara


yang lain. dalam bentuk sebuah pengamatan. 106 HOGE RAAD dalam arrestnya

tanggal 3 April 1939, N.J. 1939 Nomor 947 hanya mensyaratkan, bahwa dari

suatu putusan hakim itu harus dapat dilihat: “dat voor onderdeel van het

telastgelegde een bewijsmiddel aanwezig is” atau “bahwa tiap-tiap unsur dari

tindak pidana yang didakwakan itu terdapat suatu alat bukti. 107 Penilaian atas

kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan ke depan persidangan oleh

penuntut umum itu sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim. 108 Kalau

dibandingkan antara ketentuan alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP

Indonesia dengan Pasal 339 Ned. Sv. tersebut, maka tidak semua pembaruan

dalam Ned. Sv. tersebut ditiru KUHAP. Selain tata susunannya berbeda, juga

masih tetap tercantum dalam KUHAP petunjuk (aanwijzing) sebagai alat bukti

yang sama dengan HIR dan Ned. Sv. yang lama.

2.3 Sistem Pembuktian Menurut KUHAP

Fungsi hukum acara pidana dapat dibagi dalam 4 (empat) tahapan, sebagai

berikut: 109

a. Tahap tracering (bewijslast) (penyidikan)


Yang menjadi tugas dan wewenang polisi penyelidik/penyidik untuk
mencari kebenaran tentang keseluruhan fakta-fakta atau kejadian-kejadian
yang ada hubungannya dengan perbuatan pidana yang terjadi (proses
burden of proof atas kejadian pidana yang terjadi).
b. Tahap presecution (bewijsgronden)

106
Lamintang, Op. Cit., hlm. 422.
107
Perkataan ‘een bewijsmiddle atau suatu alat bukti diartikan sebagai ‘alat bukti’ yang sekurang-
kurangnya terdiri dari 2 (dua) alat bukti yang sah, dan dari alat-alat bukti mana ia memperoleh
keyakinan bahwa unsur tindak pidana seperti yang didakwakan penuntut umum sebagai telah
dipenuhi oleh terdakwa itu, ternyata benar telah dipeenuhi terdakwa. (
108
Ibid.
109
H.P Panggabean, 2014, Hukum Pembuktian Teori-Praktik dan Yurisprudensi Indonesia, PT.
Alumni, Bandung, hlm. 122.

Universitas Sumatera Utara


Yang menjadi tugas dan wewenang kejaksaan mempersiapkan dan
mengajukan surat dakwaan didasari adanya bukti perkara yang sudah
memenuhi batas minimum pembuktian (proses pembuktian didasari
argumentation sesuai hukum pembuktian)
c. Tahap evidential force (bewijsvoering dan bewijskracht)
Yang menjadi tugas dan wewenang hakim untuk memutuskan perkara
tentang adanya pembuktian atas perbuatan yang didakwakan dan
pembuktian atas keterangan terdakwa.
d. Tahap exucation
Tahap exucation atas putusan hakim yang secara administrative telah
dilaksanakan jaksa dan secara operasional dilaksanakan di lembaga
pemasyarakatan (termasuk wewenang pemberian remisi).

KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negatif (negatief wettelijke bewijs theorie), disebut wettelijke atau menurut

undang-undang karena untuk pembuktian hanya undang-undanglah yang

menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada dan disebut

negatief karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan

oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan pidana

bagi seorang terdakwa, apabila jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum

dapat menimbulkan keyakinan hakim atas suatu tindak pidana itu benar-benar

telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana

tersebut. 110 Hal ini dapat dilihat Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah yang ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dapat

disimpulkan bahwa Hakim tidak akan menjatuhkan pidana apabila :

110
Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara
Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm.
421.

Universitas Sumatera Utara


1. Tidak ada alat bukti minimum (sekurang-kurangnya adanya dua alat
bukti);
2. Hakim tidak memperoleh keyakinan dari alat bukti minimum;
3. Tidak terbukti adanya tindak pidana yang didakwakan yang berakibat
putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP);
4. Tidak terbukti bahwa terdakwa bersalah didakwakan sehingga
berakibat putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP.

Keuntungan dari dianutnya sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif dalam KUHAP adalah hakim dipaksa menjelaskan alasan atau

dasar apa ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar

telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut,

oleh karena itu penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang

diajukan di depan sidang pengadilan oleh penuntut umum tersebut sepenuhnya

diserahkan kepada majelis hakim. Untuk itu hakim harus berpikiran logis dengan

cara berusaha untuk menjelaskan dan memberikan arti mengenai sejumlah gejala

yang dijumpai dengan cara menghubungkan secara timbal balik gejala yang satu

dengan gejala yang lain.

Jika direnungkan lebih jauh, sangat berbahaya dan sangat dekat dengan

kesewenang-wenangan senadainya penilaian kesalahan terdakwa semata-mata

ditentukan oleh keyakinan hakim, sebab keyakinan itu bersifat abstrak dan

tersembunyi secara subjektif, dan sulit mengujinya dengan cara dan ukuran yang

objektif. Setiap manusia memiliki sikap keyakinan berbeda, sehingga akan

dikhawatirkan prektek penegakan hukum yang berbeda dan beragam dalam

pemidanaan. Akan tetapi sebaliknya jika pemidanaaan terdakwa semata-mata

digantungkan kepada ketentuan cara dan menurut alat-alaat bukti yang sah tanpa

didukung keyakinan hakim, kebenaran, dan keadilan yang diwujudkan dalam

Universitas Sumatera Utara


upaya penegakan hukum sedikit banyak agak jauh dari kebenaran sejati, karena

hanya mengejar dan mewujudkan kebenaran formal belaka, dan dapat

menimbulkan tekanan batin kepada hakim karena menjatuhkan pidana kepada

seseorang yang diyakininya tidak bersalah. Sebagaimana dikemukakan oleh Andi

Hamzah dengan mengutip perumusan van Bemmelen yang diterjemahkan sebagai

berikut: 111

“Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat

keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan

dan ia menggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana”.

Demikian pula yang dikemukakan R. Subekti: 112

“Namun demikian, biarpun bukti bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum

yang ditetapkan dalam undang-undang tadi, jikalau hakim tidak

berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh

mempermasalahkan dan menghukum terdakwa”.

2.4 Alat-Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP

Pada dasarnya prihal alat-alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP ayat

(1) mengenai alat-alat bukti yang sah ialah :

1. Keterangan Saksi

Pasal 1 angka 27 KUHAP menentukan, bahwa

111
Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua,Op. Cit., hlm 286
112
R. Subekti ,Op. Cit., hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara


“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut

alasan dari pengetahuannya tersebut”.

Dibandingkan dengan Pasal 295 HIR (Het Herzienne Inlands Reglement)

yang hanya menyebutkan kesaksian-kesaksian termasuk dalam pengertian

kesaksian-kesaksian menurut HIR adalah kesaksian-kesaksian yang diberikan oleh

saksi-saksi a charge, saksi-saksi a de charge, dan saksi-saksi ahli sebagai alat

bukti yang sah. 113

Dalam pengertiannya sebagai alat bukti, antara keterangan saksi dengan

keterangan ahli secara materiil hampir tidak ada perbedaan, karena adanya dua

keterangan tersebut dimaksud untuk membuat terang suatu tindak pidana yang

sedang diperiksa, yang diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim

bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Akan tetapi menurut Lamintang secara formal terdapat sedikit perbedaan

antara keterangan saksi dan keterangan ahli tersebut, yakni: 114

1. Pada dasarnya, keterangan saksi dapat diberikan oleh setiap orang


sedangkan keteraangan ahli hanya dapat diberikan oleh orang-orang yang
mempunyai keahlian di bidang tertentu saja;
2. Sumpah saksi berbunyi bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya, sedangkan sumpah ahli

113
Menurut Ranoemihardja, dalam kesaksian dikenal saksi-saksi sebagai berikut:
a. Saksi biasa, yaitu kesaksian yang diberikan orang umum;
b. Saksi ahli, yaitu kesaksian yang diberikan oleh orang yang mempunyai keahlian;
c. Saksi a charge, yaitu saksi yang dipilih dan diajukan oleh jaksa dikarenakan
kesaksiannya memberatkan terdakwa;
d. Saksi a de charge, yaitu saksi yang dipilih dan diajukan atas permintaan terdakwa. (Lihat
R. Atang Ranoemihardja, 1980, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, hlm. 57-58).
114
Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana &
Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 412.

Universitas Sumatera Utara


berbunyi bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya;
3. Pada dasarnya Undang-Undang memberikan kesempatan kepada orang-
orang tertentu untuk memberikan keterangan sebagai saksi tanpa
disumpah, sedang kesempatan seperti itu tidak diberikan kepada orang-
orang yang diminta memberikan keterangan sebagai ahli.

Menurut KUHAP, persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu keterangan

saksi dapat menjadi alat bukti, adalah sebagai berikut: 115

a. Berlaku prinsip unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi), jadi
minimal saksi harus ada dua orang;
b. Saksi mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri;
c. Pendapat atau rekaan semata-mata dari saksi bukan alat bukti;
d. Saksi harus disumpah. Keterangan saksi yang tidak disumpah bukanlah
alat bukti penuh, malainkan alat bukti tambahan yang memperkuat alat
bukti lain.

2. Keterangan Ahli

Dimasukkannya keterangan ahli sebagai bukti yang sah dalam KUHAP

kemungkinan berdasarkan Pasal 1 S. 1949 Nomor 275. 116 Hal ini didasarkan

kepada yurisprudensi tanggal 22 Januari 1909 yang mengatakan bahwa

keterangan ahli tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, berhubung dalam Pasal

306 HIR dikatakan “...hanya boleh dipakai unttuk memberikan keterangan kepada

hakim.”Yahya Harahap menilai menilai saat diberlakukannya HIR, keterangan

ahli tidak dipandang sebagai alat bukti yang sah, melainkan hanya sebagai

keteragan keahlian belaka. Hakim dapat menjadikan keterangan keahlian itu

sebagai pendapatnya sendiri jika hakim menilai keterangan ahli tersebut dapat

115
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 128.
116
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Op. Cit., hlm. 256.

Universitas Sumatera Utara


diterima. 117 Setelah KUHAP berlaku di Indonesia, keterangan ahli juga menjadi

salah satu alat-alat bukti yang sah. Selain di Indonesia, keterangan ahli juga

menjadi salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana di Belanda.

Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP menyatakan bahwa

“keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus


tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan”.
Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah apa yang seorang ahli

nyatakan di sidang pengadilan. 118 Menurut Pasal 179 KUHAP yang berisi sebagai

berikut :

(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran


kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi yang berlaku juga
bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan
ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang keahliannya.
Dalam KUHAP dikenal ahli yang mempunyai keahlian tentang surat

(Pasal 132 ayat (1) KUHAP) dan keterangan palsu dan ahli yang mempunyai

keahlian untuk menentukan korban luka, keracunan, atau mati yang dikenal

dengan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya (Pasal 133 ayat

(1) KUHAP). Keterangan ahli diperlukan dalam proses penyidikan ataupun dalam

117
Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 274
118
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat
sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk
memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.Lihat penjelasan Pasal 186
KUHAP Ibid., hlm. 165.

Universitas Sumatera Utara


upaya pembuktian di pengadilan hal ini sesuai dengan Pasal 120 KUHAP yang

bunyinya adalah:

(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat


orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka
penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut
pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan
karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang
mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk
memberikan keterangan yang diminta.
Ketentuan mengenai keterangan ahli dalam KUHAP maupun UU No. 32

Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH)

tidak diatur secara spesifik dan berurutan pada satu bab, melainkan berada dalam

sejumlah bab yang terpencar. Pasal-pasal tersebut antara lain dapat dilihat dalam

tabel berikut :

Tabel I: Pasal-pasal dalam KUHAP dan UUPPLH yang memuat ketentuan

mengenai Keterangan Ahli

Pasal dalam Isi Pasal dalam Isi


KUHAP UUPPLH
Pasal 1 angka 28 Pengertian tentang Pasal 94 ayat Penyidik
keterangan ahli. (2) huruf g
pegawai Negeri

Sipil berwenang

meminta bantuan

keterangan ahli

dalam rangka

pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara


tugas penyidikan

tindak pidana di

bidang

perlindungan dan

pengelolaan

lingkungan hidup

Pasal 65 Tersangka atau Pasal 96 Keterangan ahli


terdakwa berhak
mengajukan ahli yang sebagai alat
menguntungkan.
bukti yang sah

dalam

pembuktian

tindak pidana

lingkungan

hidup

Pasal 120 ayat (1) Penyidik dapat meminta


pendapat ahli.

Pasal 120 ayat (2) Ahli mengucapkan


sumpah atau janji di
muka penyidik.
Ahli dapat menolak
memberikan
keterangan.
Pasal 132 ayat (1) Penyidik dapat meminta
keterangan ahli dalam
hal diterima pengaduan
bahwa suatu surat atau
tulisan palsu atau
dipalsukan atau diduga
palsu.
Pasal 133 ayat (1) Penyidik dapat meminta
keterangan ahli

Universitas Sumatera Utara


kedokteran kehakiman
untuk menangani
korban luka, keracunan
ataupun mati yang
diduga tindak pidana.
Permintaan keterangan
ahli dilakukan secara
tertu Penyidik dapat
meminta keterangan
ahlikedokteran
kehakiman untuk
menangani korban luka,
keracunan ataupun mati
yang diduga tindak
pidana.
Permintaan keterangan
ahli dilakukan secara
Pasal 133 ayat (2)
tertulis.
dokter di rumah sakit.
Pasal 133 ayat (3)
Pasal 161 ayat (1) Pemeriksaan tetap
dilakukan meski saksi
atau ahli tanpa alasan
yang sah menolak
untuk bersumpah atau
mengucapkan janji.
Hakim dapat
mengeluarkan
penetapan untuk
mengenakan sandera di
rutan Negara.
Pasal 161 ayat (2) Keterangan saksi atau
ahli yang menolak
bersumpah atau
mengucapkan janji
merupakan keterangan
yang dapat menguatkan
keyakinan hakim.
Pasal 179 ayat (1) Ahli kedokteran
kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan
ahli demi keadilan.
Pasal 179 ayat (2) Kewajiban itu juga
berlaku bagi mereka

Universitas Sumatera Utara


yang memberikan
keterangan ahli dengan
mengucapkan sumpah
atau janji.
Pasal 180 ayat (1) Hakim ketua meminta
keterangan ahli.
Pasal 180 ayat (2) Keberatan yang
berasalan dari terdakwa
atau penasihat hukum
terhadap hasil keteragan
ahli.
Pasal 180 ayat (3) Penelitian ulang atau
keterangan ahli yang
menimbulkan
keberatan. Penelitian
ulang dilakukan oleh
instansi semula atau

Pasal 180 ayat (4) Instansi lain yang


mempunyai wewenang.
Pasal 184 ayat (1) Keterangan ahli sebagai
alat bukti yang sah.
Pasal 186 Pengertian keterangan
ahli dalam sidang
pengadilan.
Pasal 229 ayat (1) Hak saksi dan ahli
untuk mendapatkan
penggantian biaya
menurut perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 229 ayat (2) Pejabat yang
melakukan
pemanggilan ahli wajib
memberitahukan hak
ahli atas penggantian
biaya.

3. Surat

Menurut Sudikno Martokusumo surat adalah segala sesuatu yang memuat

tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk

Universitas Sumatera Utara


menyampaikan buah pikiran seseorang yang dipergunakan sebagai pembuktian. 119

Menurut Andi Hamzah ‘surat’ Asser-Annema ialah segala sesuatu yang

mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk

mengeluarkan isi pikiran. 120

KUHAP tidak menjelaskan pengertian tentang surat, melainkan hanya

mengemukakan surat sebagai salah satu alat bukti yang sah dibuat atas sumpah

atau dikuatkan dengan sumpah, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 187

KUHAP menyatakan bahwa

Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 KUHAP ayat (1) huruf c,

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan dengan sumpah adalah :

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dab yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat ketengan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.

Dalam praktik menurut Lilik Mulyadi, alat bukti surat dapat

diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam yaitu : 121

1) Akta otentik; 122

119
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit., hlm. 62.
120
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidan Indonesia Edisi Kedua, Op. Cit., hlm. 276.
121
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif dan Teoritis dan Praktik, Op.
Cit.,hlm. 113.

Universitas Sumatera Utara


2) Akta di bawah tangan; 123

3) Surat biasa. 124

4. Petunjuk, dan

Alat bukti petunjuk menurut Hendar Soetarna 125 adalah alat bukti yang

‘tercipta’ berbeda dengan alat-alat bukti yang lain, karena alat bukti petunjuk

terwujud dikarenakan adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan satu

sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri.

Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena


perseuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari :
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu tindak petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif
lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Menurut Andi Hamzah alat bukti petunjuk ini seharusnya diganti dengan

alat bukti pengamatan oleh hakim seperti halnya dalam Ned. Sv. yang baru. Hal

122
Akta otentik yaitu akta yang dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat umum. Tampak pada Pasal
187 huruf a dan b KUHAP . Untuk klasifikasi ini dapat disebut berupa berita acara sidang yang
dibuat panitera pengganti, panggilan/relaas sidang yang dibuat juru sita/juru sita pengganti,
putusan hakim, akta jual beli, berita acara pemeriksaan setempat, dan lain sebagainya
123
Akta dibawah tangan yaitu berupa surat keterangan dari seorang ahli yang memuat oendaat
berdasarkan keahliannya. Tampak eksistensinya pada Pasal 187 huruf c KUHAP seperti, visum et
repertum, surat keterangan ahli tentang sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli tentang
balistik, surat keterangan ahli tentang kedokteran kehakiman dan lain sebagainya.
124
Surat biasa yaitu sesuai pada Pasal 187 huruf d KUHAP.
125
Hendar Soetarna, Op. Cit., hlm. 75.

Universitas Sumatera Utara


ini dikarenakan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang akhirnya diserahkan

kepada hakim. Dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim

sebagai alat bukti. 126

5. Keterangan Terdakwa

Pasal 189 KUHAP menyebutkan bahwa

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang


tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat butki yang
sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
(4) Keterangan terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Istilah ‘keterangan terdakwa’ (Pasal 184 jo. Pasal 189 KUHAP) lebih luas

maknanya daripada ‘pengakuan terdakwa’ yang dahulu disebut dalam Pasal 295

126
Apa yang disebut dengan pengamatan oleh hakim harus dilakukan selama sidang, apa yang telah
dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali
kalau perbuatan tersebut diketahui oleh umum. (Lihat Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana
Indonesia Edisi Kedua, Op. Cit., hlm. 278). Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tidak
terdapat suatu kesamaan pendapat tentang hal-hal yang mana saja yang dapat dipandang sebagai
hal-hal yang secara umum telah diketahui. Menurut Prof. Bemmelen pada umumnya yang dapat
dipandang sebagai hal-hal yang secara umum telah diketahui orang yaitu, kenyataan-kenyataan
menurut sejarah, secara geografis, menurut ilmu pengetahuan alam, dan pengetahuan medis.
Dalam berbagai arrest-nya, HOGE RAAD telah memandang kenyataan sebagai hal-hal yang dapat
dipandang sebagai telah diketahui secara umum, masing-masing yaitu :
a. Bahwa kemungkinan mendapatkan hadiah dari lotere yang diselenggarakan oleh negara
merupakan suatu harapan yang digantungkan pada kenyataan yang bersifat untung-
untungan (HR 31 Mei 1939, N.J. 1939 Nomor 975);
b. Bahwa suatu jalan raya merupakan jalan yang diperuntukkan bagi umum (HR 10 Maret
1941, N.J 1941 Nomor 511);
c. Bahwa termasuk ke dalam pengertian memotong hewan adalah juga perbuatan
memotong-motong bagian-bagian dari tubuh binatang yang telah mati (HR 8 November
1943, N.J. 1943 Nomor 166);
d. Bahwa arak merupakan minuman keras (HR 12 Maret 1946, N.J. 1946 Nomor 211).

Universitas Sumatera Utara


HIR sebagai alat bukti ketiga yaitu bekentenis yang artinya pengakuan. Menurut

Lamintang pengertian keterangan terdakwa yaitu, bukan saja hal-hal yang diakui

terdakwa di sidang pengadilan, melainkan juga hal-hal lain yang dikemukakan

terdakwa di sidang pengadilan, mengenai tindak pidana yang telah didakwakan

terhadap dirinya atau mengenai unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan

sebagai telah terpenuhi oleh dirinya. 127

2.5 Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Pembuktian Tindak

Pidana

Menurut Mardjono Reksodiputro, meningkatnya kriminalitas, berubahnya

pola-pola penilaian terhadap para pelanggar hukum, maupun timbulnya bentuk-

bentuk kriminalitas baru merupakan bagian dari perubahan masyarakat yang

diakibatkan oleh program-program pembangunan yang terjadi di Indonesia.Untuk

mengatasi hal tersebut, diperlukan pengkajian dan riset untuk mengungkapkan

fakta-fakta baru atau menelaah fakta-fakta yang sudah diketahui dalam persepktif

yang baru. 128Dengan mengacu pada pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan

perubahan-perubahan yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana dapat

diantisipasi dengan ilmu pengetahuan.

Adanya hubungan timbal balik antara perubahan-perubahan dalam ranah

hukum acara pidana dan ilmu pengetahuan juga dikemukakan oleh Yahya

Harahap, menurutnya perkembangan ilmu dan teknologi berdampak pada kualitas

127
Lamintang, Op. Cit., hlm. 413.
128
Mardjono Reksodiputro, “Survai dan Riset untuk Sistem Peradilan Pidana yang Lebih
Rasional,” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana; Kumpulan Karangan Buku Kedua,
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 2007), hlm. 100.

Universitas Sumatera Utara


metode kajahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode

pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.

Dengan dicantumkannya keterangan ahli dalam KUHAP, maka peran ahli

dalam pemeriksaan perkara baik pada penyidikan maupun persidangan tidak dapat

diabaikan begitu saja. Bagi penuntut umum seperti Sarjono Turin, keterangan ahli

sangat berguna dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi yang

ditanganinya. Pertama, ahli sangat dibutuhkan karena jaksa penuntut umum,

penasihat hukum, maupun hakim, memiliki pengetahuan yang terbatas. Ada

kalanya, pemeriksaan perkara terkait dengan bidang ilmu lain yang tidak dikuasai

oleh penegak hukum. Kedua keterangan ahli berguna untuk meyakinkan hakim

serta terdakwa dan penasihat hukum yang mendampinginya ketika alat bukti yang

diajukan kurang optimal.Contohnya dalam membuktikan suatu perbuatan suap,

jaksa cederung memilih alat bukti yang minim, umumnya berupa rekaman suara

hasil penyadapan telepon.Untuk mendapatkan keyakinan tentang suara siapa yang

berbicara dalam rekaman tersebut, maka jaksa menghadirkan ahli suara.

Bagi pengacara Abdul Hakim Siagian 129 ahli sangat diperlukan untuk

menjaga obyektivitas dalam persidangan. Abdul Hakim menilai ahli akan

berpihak pada kebenaran sebagaimana pengetahuan yang dimilikinya. Ahli

dianggap sebagai pihak yang netral sehingga dapat memberikan pendapat yang

jernih dan tidak terkungkung dengan asumsi dakwaan yang diajukan penuntut

umum. Peranan ahli akan semakin penting jika perkara yang diperiksa terkait

129
Hasil wawancara Tanggal 20 Mei.

Universitas Sumatera Utara


degan bidang ilmu yang tidak dikuasai penegak hukum, ahli juga dapat

dikesampingkan jika keberadaannya tidak membantu pemeriksaan perkara.

Dalam KUHAP kedudukan keterangan ahli tidak diuraikan panjang

lebar.Pasal 1 angka 28 KUHAP secara singkat menyebutkan keterangan ahli

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan.Siapa yang dimaksud sebagai ahli tidak dijelaskan lebih lanjut,

namun ketentuan itu telah menunjukkan peranan keterangan ahli dalam konteks

pembuktian.Sebagai orang yang memiliki pengetahuan ataupun keahlian khusus,

ahli dipandang istimewa karena memiliki kelebihan dibandingkan kebanyakan

orang, barangkali termasuk pula penegak hukum.Kelebihan itulah yang kemudian

dapat dimanfaatkan dalam upaya memeriksa dan memutus perkara pidana.

Terhadap kekuatan pembuktian, menurut Yahya Harahap pada prinsipnya

tidak mempuyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. 130

Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan

nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh

karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada pembuktian ahli adalah:

a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij bewijskracht”.

Dalam diri seorang ahli tidak melekat nilai kekuatan yang sempurna,

karena ahli hanya terbatas pada kemampuan dan keilmuannya sehingga hal

ini diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

130
Yahya Harahap, Op.,Cit hlm. 283-284.

Universitas Sumatera Utara


b. Dalam Pasal 183 ayat (2) KUHAP, jika keterangan ahli hanya satu saja

tanpa didukung dengan alat bukti yang lain, maka hal ini tidaklah

dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

Tata cara pembuktian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat

melalui prosedur yang sesuai dengan ketentuan KUHAP: 131

1. Diminta penyidik pada tahap pemeriksaan penyidikan


Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah
pada tahap pemeriksaan penyidikan :
a. Diminta dan diberikan ahli pada tahap pemeriksaan penyidikan. Demi
kepentingan peradilan penyidik meminta keterangan ahli.Permintaan
tersebut dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebut secara tegas
untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan.
b. Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan.
Laporan itu dapat berupa surat keterangan atau juga dalam bentuk visum et
repertum.
c. Laporan atau visum et repertum itu dibuat oleh ahli yang bersangkutan
mengigat sumpah diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan.
d. Dengan tata cara laporan ahli seperti itu, keterangan yang dituangkan
dalam bentuk visum et repertum, mempunyai sifat dan nilai seagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
2. Keteragan ahli yang diminta di dan diberikan di sidang pengadilan
Permintaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta

keterangan ahli.Tetapi juga bisa terjadi walaupun penyidik dan penuntut umum

waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika hakim atau

terdakwa maupun penasihat hukum menghendaki dan menganggap perlu didengar

keterangan ahli di sidang pengadilan dapat memina keterangan kepada ahli yang

mereka tunjuk di sidang pengadilan.

131
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidan Indonesia Edisi Kedua, Op. Cit., hlm. 296-297.

Universitas Sumatera Utara


Sehingga tata cara dan bentuk keterangan ahli yang diminta dan diberikan

di sidang pengadian yaitu :

a. Apabila dianggap perlu dan mengkehendaki baik oleh hakim karena

jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat

hukum, dapat meminta pemeriksaan di sidang pengadilan.

b. Keterangan ahli berbentuk keterangan lisan atau secara langung dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan.

c. Bentuk keterangan lisan secara lagsung dicatat dalam berita acara

pemeriksaan di sidang pengadilan.

d. Ahli yang akan memberikan keterangan. Terlebih dahulu mengucapkan

sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan. Ahli dalam

memberikan keterangan di sidang pengadilan, tidak dapat diberikan hanya

berdasarkan sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau

pekerjaan, tetapu harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang

pengadilan sebelum ia memberikan keterangan.

e. Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam

pemeriksaan sidang pengadilan, bentuk keteragan ahli tersebut menjadi

alat bukti yang sah menurut undang-undang dan sekaligus keterangan ahli

yang mempunyai kekuatan pembuktian.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI TERHADAP KEYAKINAN HAKIM


DALAM UPAYA PEMBUKTIAN PADA PUTUSAN TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN HIDUP

3.1 Pembuktian Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Daud Silalahi menyatakan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi

sistem penegakan hukum lingkungan adalah masalah pembuktian karena

mempersoalkan berbagai kepentingan dan telah menjadi salah satu masalah pokok

dan mendasar dalam pelaksanaan hukum lingkungan yang baru.Masalah ini

terkait dengan sifat teknis yang rumit, ragam disiplin ilmu yang terlibat dan

syarat-syarat sahnya alat bukti dan kesaksian ahli serta peranan laboratorium.

Tujuan dan guna pembuktian sautu alat bukti bagi para pihak yang terlibat

dalam proses pemeriksaan perkara pidana di persidangan, yaitu: 132

1. Bagi penuntut umum, pembuktian merupakan usaha untuk meyakinkan


hakim, dengan berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa
bersalah sesuai dengan suratatau catatan dakawaan .
2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha
sebaliknya untuk meyakinkan hakim, berdasarkan alat bukti yang ada, agar
menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum
atau meringankan pidanaya, untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika
mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau
meringankan pihaknya atau juga disebut sebagai perlawanan alat bukti
atau bukti kebalikannya.
3. Bagi hakim atas dasar pertimbangan tersebut dengan adanya alat-alat bukti
yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau
penasihat hukum terdakwa dibuat sebagai dasar pertimbangan untuk
membuat putusan.

132
Syamsul Arifin, Op.Cit.,hlm. 224.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Lilik Mulyadi, dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada

umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/starfprocesrecht) pada

khususnya, maka aspek “pembuktian” memgang peranan penting untuk

menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. 133

Alvi Syahrin mengatakan bahwa :

“Penegakan hukum lingkungan kepidanaan didasarkan kepada asas


legalitas, baik aspek meteriil maupun aspek formilnya. Kegiatan
penegakan hukum lingkungan kepidanaan hanya sah apabila substansi
materiilnya didasarkan pada pasal-pasal pidana lingkungan hidup yang
sebagian besar bertebaran di luar KUHP, dan kegiatan penegakan
dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, serta berpedoman kepada Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman
Pelaksanaan KUHAP”. 134
Penegakan hukum lingkungan sebagai suatu tindakan dan/atau proses

paksaan untuk mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan, peraturan

perundang-undangan dan/atau persyaratan-persyaratan lingkungan. Pengadilan

sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang memiliki tanggung jawab untuk

memastikan penegakan hukum lingkungan hidup sumber daya alam yang baik

berjalan di Indonesia.

Pada UUPPLH, penegakan hukum pidana (hukum acara pidana) hanya

berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya perihal alat bukti

yang secara terbatas (limitative) sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

133
Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia
(Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya), Op.Cit., hlm. 49-50.
134
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan,Op.Cit., hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara


Dalam UUPPLH perihal pembuktian diatur secara khusus. 135 Kekhususan perihal

pembuktian sebagaimana disebutkan dalam Bagian Kedua tentang Pembuktian

Pasal 96 menyebutkan “Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana

lingkungan hidup terdiri atas:

a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa; dan/atau
f. Alat bukti lain yang diatur dalam pertauran perundang-undangan.
Besarnya pengaruh ilmu dan teknologi disertai dengan makin majunya

model analisis resiko lingkungan membawa pengaruh pada peran hakim sebagai

pembentuk hukum.Perkembangan ilmu dan teknologi berdampak pada kualitas

kejahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode pembuktian

yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.

Suatu alat bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi

beberapa syarat, diantaranya: 136

a. Diperkenankan oleh Undang-Undang untuk dipakai sebagai alat bukti;


b. Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya;
c. Necessity, yakni alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk
membuktikan suatu fakta;
d. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan
fakta yang akan dibuktikan.
Dalam tindak pidana lingkungan, unsur hubungan kasual sangat sulit

dibuktikan, apalagi menyangkut pencemaran oleh bahan-bahan kimiawi yang


135
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyataakan alat bukti yang sah dalam
tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa dan.atau alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam
pertauran perundang-undangan.
136
Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Sofmedia, Jakarta, hlm. 13.

Universitas Sumatera Utara


memerlukan scientific proof. 137Pada dasarnya alat bukti ilmiah dalam UUPPLH

sudah cukup jelas.Bukti ilmiah 138 harus didukung dengan keterangan ahli

dipersidangan agar dapat dijadikan sebagai bukti hukum. Rancangan KUHAP

mengenai “scientific evidence” menurut Indriyanto Seno Adji tidaklah

akanmenghasilkan pemahaman yang ekstensi, karena pemaknaan evidence ini

tidaklah selalu berkaitan dengan penerapan hukum acara pidana dan sistem

137
Alvi Syahrin,Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan,Op.Cit., hlm. 70
138
Penerapan alat bukti ilmiah atau alat bukti sainstifik memiliki 2 (dua) klasfikasi kreteria
penerapan ala bukti yakni:
1) Jenis-Jenis alat bukti saintifik:
a) Keterangan dari orang yang dihipnotis untuk menolong atau mengingat masa
lalunya;
b) Keterangan dari orang yang sedang mabuk minuman keras;
c) Penggunaan truth serum test;
d) Blood typing test;
e) The systolic blood pressure deception test;
f) Mathemathical certainity (the calculus of probability) atau the frequency theory
of probability;
g) Penggunaan tes statistik untuk mengukur kemungkinan tingkat kesalahan dari
suatu kesimpulan;
h) Penggunaan anjing pelacak untuk menentukan pelaku pembunuhan,
perampokan, pencurian.
2) Model-model alat bukti saintifik yang sudah dapat diterapkan, yakni:
a) Tes kimia/darah terhadap orang mabuk;
b) Pencatatan dan deteksi kecepatan (penggunaan radar atau VASCAR);
c) Laboratorium polisi, seperti sidik jari (termasuk fingerprinting, soleprints, dan
palmprints), analisis kimia terhadap narkotika, test kepalsuan tanda tangan,
kepalsuan dokumen dll;
d) Tes darah untuk membuktikan ada tidaknya hubungan darah antara ibu dan
anak;
e) Test urine untuk membuktikan adanya pemakian narkotika;
f) Test breathalyzer untuk menganalisis sempel penafsiran dalam membuktikan
kandungan alkihol dalam darah;
g) Tes nalline untuk membuktikan penggunaan narkotika;
h) Tes DNA untuk membuktikan pelaku kejahatan;
i) Microanalysis, untuk menganalisis benda-benda yang sangat kecil, seperti
pecahan kaca, serat kayu, jenis tanah, dll;
j) Neutron activation analisys untuk mengidentifikasi dan membandingkan alat
bukti fisik;
k) Tes psychiatry dan psychology untuk melihat kesehatan mental dari pelaku
kejahatan;
l) Analisis suara spectrographic voice identification (voice print)
m) Pemakaian foto, video dll. (lihat HP, Panggabean, op.,cit, hlm. 98).
Selain dari alat bukti dalam Pasal 164 HIR dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, untuk perkara lingkungan hidup perlu adanya bukti ilmiah, misalnya
hasil analisa laboratorium, perhitungan ganti rugi akibat pencemaran dan/atau kerusakan dari ahli.

Universitas Sumatera Utara


pembuktian tetapi juga berkaitan dengan asas-asas hukum pidana materiil pada

KUHPidana maupun produk khusus. 139

Keahlian seseorang yang tidak memiliki pendidikan formal dan tidak

memiliki pengalaman dalam rentang waktu yang cukup dapat membuat

keterangan ahli tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar pertimbangan

hakim. Apalagi pada umumnya perkara tindak pidana lingkungan hidup bukanlah

hal yang mudah untuk dimengerti dan dipahami dan pada umumnya para praktisi

hukum acara pidana tetap mengukur profesionalitas ahli melalui pendidikan

formal dan pengalaman sebagai syarat yang telah berlaku secara umum, untuk itu

hakim harus tetap memiliki argument dalam menentukan kualifikasi ahli yang

akan diterimanya.

Kesulitan lain yang mungkin akan dihadapi hakim adalah mengukur

kapasitas ahli dari bidang yang berasal dari luar ilmu hukum. Hakim memang

berkewajiban untuk menilai apakah seorang ahli benar-benar mempunyai

pengetahuan dan pengalaman yang khusus.Hakim bebas menentukan siapakah

yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman khusus dalam suatu lapangan

tertentu sehingga benar-benar dapat memberikan bantuannya sebagai

ahli.Walaupun begitu kecermatan hakim merupakan suatu kewajiban yang

melekat pada diri seorang hakim dalam menentukan kualifikasi ahli.

3.2 Kualifikasi Ahli Dalam Pembuktian Tindak Pidana Lingkungan Hidup

139
Indriyanto Seno Adji, Op.Cit.,hlm. 148.

Universitas Sumatera Utara


Saksi ahli dalam proses pengadilan kasus-kasus lingkungan diperlukan

untuk memperjelas hal-hal berikut 140

a. “Causal connection” (hubungan sebab akibat aktivitas dengan peristiwa


pencemaran dan perusakan lingkungan hidup).
b. “Pollution control technology” (teknologi pengendali pencemaran)
c. “Breach of standard” (pelanggaran mutu, kreteria baku perusakan
lingkungan).
d. “Injury” (kerugian).
e. “Money damage” (ganti kerugian).
Upaya untuk menemukan, mengungkapkan dan memperjelas hubungan

antara suatu kegiatan yang diduga sebagai suatu sumber pencemaran lingkungan

denga tercemarnya media lingkungan tertentu seringkali melibatkan masalah-

masalah teknis ilmiah.Oleh sebab itu, tugas saksi ahli adalah memberikan

kejelasan apakah memang terdapat hubungan sebab akibat antara suatu kegiatan

tertentu dengan pencemaran lingkungan. 141 Saksi ahli juga sering kali diperlukan

dalam proses pengadilan untuk memperjelas ketersediaan teknologi pencemaran

lingkungan yang dapat dipergunakan oleh industry tertentu. Keterangan ahli itu

diharapkan dapat membantu hakim dalam membuat putusan yang mengaharuskan

industri memasang teknologi pengendali pencemaran lingkungan.

Untuk menentukan apakah memang telah terjadi tindak pidana terhadap

baku mutu diperlukan saksi ahli. Saksi ahli dapat mmeperjelas ada tidaknya

pelanggaran terhadap baku mutu serta memperjelas unsur-unsur kejahatan

lingkungan hidup melalui pengambilan sampel dan pemeriksaan sampel di

labratorium. Kerugian akibat pencemaran lingkungan tidak selalu tampak

140
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 286.
141
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


jelas.Oleh sebab itu, saksi ahli dapat dihadirkan untuk memperjelas tentang

keruguian yang terjadi, misalnya kerugian kesehatan, kerugian harta benda,

kerugian estetika, lingkungan dan kerugian di bidang konservasi lingkungan.Saksi

ahli juga lazim dihadirkan untuk memperjelas jumlah ganti kerugian akibat

pencemaran lingkingan akibat B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Kreteria tentang saksi ahli, khususnya lingkungan hidup tidak mudah untul

dilakukan, karena terbatasnya ahli-ahli yang dapat memberikan pemahaman

berkaitan dengan ilmu-ilmu lingkungan dan/atau ilmu-ilmu terkait lainnya,

sehingga hakim dapat diyakinkan dengan keterangan ahli tersebut.

Dalam praktek, saksi ahli umumnya memenuhi syarat-syarat minimal,

yaitu pendidikan khusus dibidang ilmu terkait (ekologi, geologi, hidrologi,

konversi air, kimia, dsb) serta bidang hukum yang mempunyai pengalaman cukup

sehingga dapat menggambarkan keadaan nyata di lapangan secara terukur,

membantu hakim memahami kausa fakta yang menimbulkan akibat dan seberapa

mungkin pakar dibilangnya dengan tulisan yang dapat pengakuan umum di bidang

tersebut.

Sebagai contoh pada Putusan Nomor: 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms 142 terkait

dalam penyelesian perkara tindak pidana lingkungan hidup, Jaksa Penuntut

Umum menghadirkan beberapa Saksi Ahli yakni: Pertama, Ir. Eddy Purwanto M.

Bakri yang kapasitasnya sebagai ahli. Adapun riwayat pekerjaan ahli adalah:

142
Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 155Pid.Sus/2013/PN.Cms tanggal 4 September 2013
atas nama terdakwa-terdakwa Crisdianto Rahardjo, PT. Albasi Priangan yang dalam hal ini
diwakili oleh Iwan Irawan Yohan.

Universitas Sumatera Utara


1. Tahun 1992 mulai bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup;
2. Tahun 1999 diangkat menjadi Kasubdit Sertifikasi dan Pengujian KLH;
3. Tahun 2005 s/d tahun 2007 menjadi Kepala Bidang Sertifikasi dan
Pengujian Kenderaan Bermotor;
4. Tahun 2008 s/d tahun 2010 menjadi Kepala Bidang Pengendalian
Pencemaran Industri Perkebunan;
5. Tahun 2010 sd sekarang menjadi Kepala Bidang Kehutanan dan
Holtikultura
Kedua, Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS yang kapasitasnya sebagai Guru Besar

Hukum Pidana Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

menjabat sebagai Wakil Direktur II Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, adapun pengalaman ahli adalah sejak tahun 2001, ahli telah memberikan

pendapat sebagai ahli dalam kasus pidana lingkungan menerangkan tentang aspek

hukum tindak peratanggungjawaban pidana lingkungan hidup.

Pada Putusan Nomor: 130/Pid.Sus/2015/PN.Blb 143 terkait dalam

penyelesaian perkaran tindak pidana lingkungan hidup, Jaksa Penuntut Umum

mengajukan ahliyaitu DR. Emil Budianto yang dalam kapasitasnya memberikan

keterangan sebagai ahli kimia berdasarkan Surat Asisten Deputi Penegakan

Hukum Pidana Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup No: S-

77/PPNSLH/05/2014, tanggal 30 Mei 2014, hal: penunjukan Ahli Kimia.

Pada Putusan Nomor: 781/Pid/B/2009/PN.Cbn 144 dalam penyelesaian

perkara pidana lingkungan hidup, Jaksa Penuntut Umum mengajukan beberapa

ahli yakni: Pertama, Muhammad Zakaria yang bekerja di instansi Kementerian

Negara Lingkungan Hidup di Jakarta sebagai Kepala Bidang Deputi Pencemaran

143
Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 130/Pid.Sus/2015/PN.blb tanggal 23 April
2015 atas nama terdakwa Herawan Koswara.
144
Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 781/Pid/B/2009/PN.Cbn tanggal 12 Juli 2010 atas
nama terdakwa Lee Sang Bok

Universitas Sumatera Utara


Lingkungan Hidup. Kedua, Prof. DR. Alvi Syahrin SH, MS yang kapasitasnya

sebagai Guru Besar Hukum Pidana Lingkungan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan menjabat sebagai Wakil Direktur II Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, adapun pengalaman ahli adalah sejak tahun 2001,

ahli telah memberikan pendapat sebagai ahli dalam kasus pidana lingkungan

menerangkan tentang aspek hukum tindak peratanggungjawaban pidana

lingkungan hidup. Ketiga, Djisman Samosir SH, MH yang kapasitasnya sebagai

Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung dan ahli dalam bidang

hukum pidana kurang 36 (tiga puluh enam) tahun selain itu pengarang buku serta

mengikuti pelatihan, lokakarya dan seminar.

Menurut Daud Silalahi saksi ahli tidak boleh menilai fakta, seperti orang

yang menyaksikan kejadian atau fakta, tetapi keterangannya dalam persepektif

ilmu terkait yang diuraikan secara ilmu pengetahuan. 145Para pihak atau penasihat

hukumnya dan hakim harus menguji keahlian yang bersangkutan, terutama dari

perspektif pengalaman profesionalnya.Pengalamannya harus konsisten dan

sebagai ahli pada dasarnya tidak berpihak, sebab informasi seorang ahli terbatas

pada kajian ilmiah (scientific verification).

Kualifikasi ahli adalah salah satu masalah terkait keterangan ahli yang

tidak diatur secara rinci dalam KUHAP maupun peraturan pelaksananya. Meski

tampak sebagai persoalan teknis belaka, namun hal tersebut juga berkaitan

dengan perdebatan mengenai kulifikasi ahli dan keahlian yang seperti apa yang

145
http://www.pkh.komisiyudisial.go.id/id/files/Materi/TINGGI01/TINGGI01_DAUD_TPL.pdf,
Diakses pada Tanggal 20 Juni 2016.

Universitas Sumatera Utara


dimaksudkan dalam KUHAP. Penjelasan KUHAP tentang sosok seorang ahli

hanya mengemukakan ahli sebagai seseorang yang memiliki keahlian khusus

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana.

Penjelasan ini bersifat umum dan tidak memberi batasan mengenai kualifikasi ahli

yang dapat memberikan keterangan.Misalnya apakah ahli tersebut harus memiliki

riwayat pendidikan formal yang tinggi atau cukup dengan pengalamannya saja,

dan atas rekomendasi siapa seseorang itu dapat disebutkan sebagai ahli.

Kreteria ahli yang dapat diajukan sebagai ahli dalam perkara pidana

lingkungan hidup menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang pemberlakuan pedoman

penanganan perkara lingkungan hidup pada Bab VI memuat bahwa :

a. Memiliki disiplin ilmu sesuai dengan perkara yang dibuktikan dengan


ijazah minimal S2 (akademis); atau dapat pengakuan masyarakat sebagai
ahli;
b. Pernah menyusun atau membuat karya ilmiah atau penelitian relevan
(pakar);
c. Aktif dalam seminar atau lokakarya dan tercantum daftar riwayat hidup
(CV).
Dalam kaitannya dengan kesaksian ahli yang diperlukan untuk

kepentingan peradilan, The Harvard Law Review Association mengemukakan

klasifikasi kesaksian ahli berasal dari 2 (dua) rumpun ilmu yakni fisik dan sosial.

Rumpun ilmu fisik terbagi dlam 4 (empat) kategori yakni :

a. Ilmu fisik dan alam, misalnya mengenai toksikologi, biologi molekuler,

fisika, struktur materi, kimia dan epidemiologi.

Universitas Sumatera Utara


b. Ilmu tentang industri, misalnya mengenai cacat desain, peringatan yang

memadai, produk gagal, proses manufaktur, keamanan bahan baku dan

keamanan pabrik.

c. Ilmu klinis, terutama mengenai diagnosa medis dan pertawatan oleh dokter

d. Keahlian observasional, misalnya identifikasi forensik yang mengandalkan

perbandingan visual, masalah mikroskopis, termasuk juga ahli listrik,

tukang ledeng dan montir.

Sementara itu dari rumpun ilmu sosial, kesaksian ahli dapat berasal dari

disiplin ilmu sebagai berikut :

a. Ilmu sosial eksperimental, misalnya psikologi, ekonomi, dan sosiologi.

b. Statistik.

c. Profesional, yaitu keahlian professional yang telah memiliki aturan dan

standar tertentu misalnya kesaksian ahli akuntansi, keuangan, pajak,

hukum dan psikologi klinis.

d. Antropologi.

Taksonomi tersebut dipandang penting untuk mengidentifikasi masalah

mengenai ahli bidang apa yang diperlukan untuk memberi kesaksian, sehingga

kesaksian tersebut lebih spesifik. Adanya klasifikasi keahlians secara umum

membangun keragka berpikir untuk menganalisis bentuk keahlian tertentu yang

selanjutnya dapat memberi kontribusi dalam pengembangan hukum.

Dalam hukum positif di Indoenesia, KUHAP tidak membuat kategorisasi

ahli dari disiplin ilmu pengetahuan apa yang diperlukan untuk memberi

Universitas Sumatera Utara


keterangan. Asalkan keahlian tersebut dapat membantu membuat terang perkara

pidana, maka ahli itu sidah memenuhi sayarat untuk dapat dimintai

keterangannya. Dari sejumlah ketentuan di KUHAP mengenai keterangan ahli,

Yahya Harahap berpendapat bahwa KUHAP setidaknya membagi ahli dalam 2

(dua) kelompok yakni: 146

i. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam


kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban
penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.
ii. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki “keahlian khusus”
dalam bidang tertentu.
Dalam perkembangannya, peruturan perundang-undangan yang memuat

ketentuan pidana, seperti Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (UU ITE), memuat ketentuan mengenai ahli dalam

konteks ilmu pengetahuan yang terkait dengan undang-undang tersebut. Pada

bagian penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf h, penyidik yang menangani tindak

pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik memiliki

kewenangan untuk meminta bantuan ahli.Selanjutnya dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan ahli, adalah “…seseorang yang memiliki keahlian khusus di

bidang teknologi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis

maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.” 147

penegak hukum mulai menyikapi perkembangan perkembangan modus-

modus kejahatan yang memerlukan bantuan keterangan ahli dalam peraturan

perundang-undangan yang memuat pidana khusus,peraturan internal, seperti Surat

146
Yahya Harahap, Op.Cit.,hlm. 279-280.
147
Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf h.

Universitas Sumatera Utara


Edaran Jaksa Agung Nomor SE-003/J.A/1984 tentang Keterangan Ahli Mengenai

Tanda Tangan dan Tulisan Sebagai Alat Bukti dan Surat Edaran Mahkamah

Agung (SEMA) No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli

Dewan Pers. Selain surat edaran tersebut, pengaturan mengenai keterangan ahli

yang bersifat internal adalah Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI No. Pol :

Skep/1205/IX/2000 tertanggal 11 September 2000 tentang Revisi Himpunan

Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana. 148

3.3 Peran Ahli Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Pembuktian yang

Mempengaruhi Keyakinan Hakim Pada Putusan Tindak Pidana Lingkungan

Hidup

148
Surat Keputusan tersebut memuat perlunya dukungan teknis dari ahli tertentu dalam
pelaksanaan penyidikan secara ilmiah untuk kepentingan pembuktian, yaitu:
a. Identifikasi:
1. Untuk mengenali seseorang melalui sidik jari (dectiloscopy);
2. Untuk mengenali orang atau benda melalui potret dan/atau pemotretan;
3. Untuk pengenalan seseorang melalui signalement portrait parly;
4. Untuk pengenalan seseorang melalui identifikasi gigi.
b. Laboratorium Forensik
Usaha pengungkapan tindak pidana yang menggunakan aspek teknologi, diperlukan
peranan laboratorium forensik untuk melaksanakan pemeriksaan benda mati (physical
evidence) dengan menggunakan SCI (scientific crime investigation) yang meliputi kimia
forensik, biologi forensik, balistik forensik, metalurgi forensik, dokumen forensik, uang
palsu forensik, fotografi forensik.
c. Kedokteran Kepolisian (forensik)
Dalam usaha pengungkapan tindak pidana yang berhubungan dengan pemeriksaan
tubuh/badan akibat luka dan pemeriksaan mayat diperlukan peranan kedokteran forensik
untuk menentukan sebab-sebab luka, sebab kematian dan lain-lain yang dituangkan dalam
bentuk visum et repertum.
d. Dinas Psikologi
1. Peranan dinas psikologi dalam penyidikan tindak pidana adalah untuk
melakukan pemeriksaan psikologi terhadap saksi/tersangka tentang keadaan
jiwanya. Apakah keterangannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
atau tidak.
2. Hasil pemeriksaan psikologis yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
3. Di samping sebagai bahan pertimbangan dalam penuntutan dan pengadilan, hasil
pemeriksaan psikologi juga dapat dipergunakan untuk menentukan metode dan
cara penyidik/penyidik pembantu dalam melakukan pemeriksaan
tersangka/saksi.

Universitas Sumatera Utara


Proses pembuktian dalam penyelesaian perkara pidana lingkungan hidup

merupakan suatu masalah yang memegang peranan yang sangat penting dalam

proses pemeriksaan sidang pengadilan, dalam proses pembuktian untuk

penggalian kebenaran materiil dalam persidangan ini seorang hakim seharusnya

berperan aktif dan bekerja sungguh-sungguh untuk mendapatkan kebenaran

terkait fakta dan peristiwa dalam kasus yang diperiksanya. Kemudian hakim harus

mengkaji apakah terdakwa benar-benar bersalah atau tidak atas kasus tersebut. Inti

dari seorang hakim adalah melakukan suatu proses penemuan hukum .

Hakim sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum menjadi benteng

terakhir bagi pencari keadilan (justiciable).Hakim harus mempunyai kemampuan

professional serta moral dan integritas yang tinggi agar mampu mencerminkan

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Sebagaimana teori yang

dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa dalam menerapkan tujuan hukum

dalam putusan hakim terdapat skala prioritas dimana prioritas pertama adalah

keadilan, sedangkan prioritas kedua adalah kemanfaatan dan prioritas ketiga

adalah kepastian hukum.Hakim dalam putusannya harus mampu mencerminkan

asas-asas tersebut.

Dalam memeriksa dan memutus perkara terutama perkara kejahatan

lingkungan hidup hakim bebas.Kebebasan hakim dipengaruhi oleh sistem

pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya. Namun, kebebasan tersebut tidak

mutlak sifatnya karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar

serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang

Universitas Sumatera Utara


dihadapkan kepadanya, sehingga putusan yang diambil mencerminkan perasaan

keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.

Beberapa hal yang ada dalam diri hakim yang berpengaruh dalam

pembuatan putusan, meliputi: kemampuan berpikir logis, kepribadian, jenis

kelamin, usia dan pengalaman kerja. 149 Satjipto Rahardjo dalam tulisannya

mengatakan bahwa “putusan hakim ditentukan oleh sarapan pagi hakim”. Hal ini

menimbulkan kegegeran di kalangan peradilan yang pada waktu itu masih sangat

asing terhadap kajian sosiologi hukum.

Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan

keadilan,tetapi dalam kenyataannya hanya menjadi tempat untuk mencari yang

menang. Menurut Satjipto Rahardjo, di Indonesia prihatin terhadap faktor manusia

(hakim) belum berkembang bahkan dapat dikatakan belum berkembang

samasekali. Faktor manusia disini adalah latar belakang perorangannya,

pendidikannya serta keadaan konkret yang dihadapinya pada waktu membuat

sebuah putusan. 150

Cara hakim memandang sebuah perkara berbeda jika dibandingkan dengan

penegak hukum lain. Hakim tak ubahnya hanya bagian dari masyarakat yang

memiliki tugas sebagai orang yang memeriksa, mengadili dan memutus di sidang

pengadilan.Hakim tindak pidana lingkungan hidup sebagai harapan masyarakat

untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya.

149
Yusti Prabowati, Di Balik Putusan Hakim Kajian Psikologis Hukum dalam Perkara Pidana,
2005, Srikandi, Jakarta. Hlm. 113.
150
Satjipto Rahardjo, 1996, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,
Bandung, hlm. 79.

Universitas Sumatera Utara


Kebebasan hakimdalam membuat putusan harus juga berpedoman kepada

tiga hal: Pertama, apakah putusan yang diambil mengandung nilai tanggungjawab

dalam arti putusan dapat dipertanggungjawabkan secara objektif atas tuntutan

keadilan yang diharapkan. Kedua, apakah putusan yang diambil benar-benar telah

mempertimbangkan moralitas otonom yang tidak dibawah tekanan pihak

manapun dan apapun sehingga sehingga benar-benar hakim yang

berbicara.Ketiga,apakah putusan yang diambil telah mempertimbangkan suara

hati sebagai cermin yang bisa menunjukkan perasaan bersalah ketika seorang

hakim membuat putusan yang keliru. 151

Menjadi hakim tidaklah mudah dalam agama islam. Dia haruslah seorang

yang berilmu, jujur, berani dan istiqomah dalam kebenaran karena hakim harus

memutuskan perkara dengan ilmu dan kebenaran yang hakiki. Begitu beratnya

menjadi hakim, sampai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda

:“Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau”. Dari

hadits tersebut dapat kita peroleh pemahaman bahwa hakim adalah pemegang

amanah dari masyarakat untuk memeriksa perkara yang dihadapi.

Di Indonesia memiliki ketentuan terhadap aturan tentang hakim dalam

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam

Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung menyebutkan sebagai

berikut :

1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Negeri harus dipenuhi


syarat-syarat sebagai berikut :

151
Ahmad Kamil, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana, Jakarta, hlm. 175.

Universitas Sumatera Utara


a. Warga Negara Indonesia;
b. Berjiwa proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi
Revolusi Indonesia;
c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila dan Manipol serta segala
pedoman pelaksanaannya;
d. Sarjana Hukum;
e. Ahli hukum bukan Sarjana Hukum;
f. Berumur serendah-rendahnya 25 tahun.
Perkara lingkungan hidup perlu ditangani atau diadili oleh hakim yang

memahami urgensi perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam untuk

itulah terhadap kasus pencemaran lingkungan hidup harus diadili oleh hakim yang

memiliki sertifikat lingkungan. 152hal ini sesuai dengan program sertifikasi hakim

lingkungan hidup yang dicanangkan oleh Ketua Mahkamah Agung berdasarkan

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup.

3.3.1 Penggunaan Alat Bukti Keterangan Ahli Oleh Hakim Dalam

Beberapa Putusan Pengadilan Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Djoko Prakoso menyatakan bahwa KUHAP telah menentukan keterangan

ahli sebagai alat bukti yang sah, maka konsekuensinya hakim tidak dapat

mengenyampingkan begitu saja keterangan ahli. 153 Hakim tidak dapat

mengabaikan keterangan ahli apalagi jika proses pembuktian tindak pidana seperti

pembuktian tindak pidana lingkungan hidup banyak membutukhan kemampuan

ahli yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu hakim

152
Takdir Rahmadi, Op.Cit.,hlm. 214.
153
Djoko Prakoso, 1988, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses Pidana, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 132.

Universitas Sumatera Utara


harus dapat memberikan keyakinannya akan kedudukan ahli dengan perkara yang

ditanganinya, serta memiliki argument dalam menerima dan menolak keterangan

ahli yang dapat dilihat dalam putusan yang dibuat oleh hakim.

Terkait dengan Putusan Nomor Putusan Nomor:

155/Pid.Sus/2013/PN.Cms tanggal 5 September 2013 Pengadilan Negeri Ciamis

atas nama terdakwa-terdakwa Crisdianto Rahardjo , PT. Albasi Priangan Lestari

yang dalam hal ini diwakili oleh Iwan Irawan Yohan yang menyatakan terdakwa

Crisdianto Rahardjo dan terdakwa PT. Albasi Priangan Lestari terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran baku mutu air

limbah sesuai dengan petimbangan hakim yang memenuhi unsur-unsur dalam

dakwaan khusus terdakwa Crisdianto Rahardjo Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2) jo

Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah terpenuhi

serta dakwaan atas khusus terdakwa PT. Albasi Priangan Lestari Pasal 100 ayat

(1) dan ayat (2) jo Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia

No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap terdakwa-terdakwa Crisdianto Rahardjo dan PT. Albasi Priangan Lestari

adalah keterangan yang diberikan saksi-saksi ahli yang diajukan pihak Jaksa

Penuntut Umum yakni Ahli Edy Purwanto M. Bakri, menerangkan hasil analisa

Laboratorium terhadap limbah cair dari outlet Instalasi Pengelolaan Air Limbah

(IPAL) PT. Albasi Priangan Lestari atas sampel air limbah terhadap baku mutu

limbah cair industri kayu lapis oleh terdakwa PT. Albasi Priangan Lestari tersebut

Universitas Sumatera Utara


telah melampaui ketentuan yang digariskan dalam Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENLH/10/1995 dan Keputusan Gubernur Jawa

Barat No. 6 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri

di Jawa barat. Oleh karena bukti dokumen hasil analisa baku mutu yang dikuatkan

oleh keterangan ahli tersebut maka majelis hakim memperoleh keyakinan telah

terbukti terjadi pelanggaran baku mutu air limbah. Kemudian Ahli Prof. DR. Alvi

Syahrin yang memberikan pendapat mengenai Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2)

UUPPLH yakni: Pertama, terdakwa dianggap telah melakukan perbuatan

melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi atau baku mutu gangguan, dan

dapat dijatuhi pidana jika sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi

atau pelanggaran yang dilakukan lebih dari satu kali. Kedua, sanksi administratif

dijatuhkan kepada penanggungjawab usaha atau kegiatan jika dalam pengawasan

ditemukan pelanggaran terhadaap izin lingkungan.Ketiga, terhadap Perusahaan

yang telah diberi perintah untuk melakukan tindakan tertentu guna melaksanakan

ketentuan-ketentuan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup yang ditujukan kepada Direktur PT. Albasi Priangan Lestari diberi jangka

waktu tiga bulan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, tetapi pada waktu

dilakukan pengawasan kembali masih melakukan pelanggaran, maka dalam hal

ini Direktur PT. Albasi Periangan Lestari dapat dikatakan telah melakukan

pelanggaran yang dilakukan lebih dari satu kali. Kelima, ahli memberikan

keterangan mengenai penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang

dilakukan untuk dan atas badan usaha, ahli juga memberikan pendapat mengenai

Pasal 116 UUPPLH dikaitkan dengan badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas.

Universitas Sumatera Utara


Sesuai dengan keterangan ahli yang yang diberikan oleh saksi ahli dan

disertai dengan alat bukti yang sah lainnya serta pertimbangan-pertimbangan

lainnya, maka hakim memutuskan terdakwa Crisdianto Rahardjo dan terdakwa

PT. Albasi Priangan Lestari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana pelanggaran baku mutu air limbah, untuk itu hakim

menjatuhi pidana kepada terdakwa Crisdianto Rahardjo dengan pidana penjara

selama 5 (lima) bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalankan

kecuali apabila dalam tanggang waktu selama 7 (tujuh) bulan dengan putusan

hakim, terdakwa telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, kemudian

menjatuhkan pula pidana kepada terdakwa PT. Albisa Priangan Lestari denda

sebesar Rp. 100.000.000,-- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda

tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.

Terkait dengan Putusan Nomor: 130/Pid.Sus/2015/PN.Blbtanggal 23 April

2015 Pengadilan Negeri Bale Bandung atas nama terdakwa Herawan Koswara

selaku Direktur PT. Daya Pratama Lestari (DPL). Menyatakan Terdakwa

Herawan Koswara terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan

tindak pidana melangar baku mutu air limbah sesuai pertimbangan hakim

mengenai unsur-unsur sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua yaitu Pasal

100 jo Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah

terpenuhi. Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana terhadap terdakwa Herawan Koswara adalah keterangan yang diberikan

Universitas Sumatera Utara


saksi ahli yang diajukan pihak Jaksa Penuntut Umum yaitu DR. Emil Budianto

yang dalam kapasitasnya memberikan keterangan sebagai ahli kimia berdasarkan

Surat Asisten Deputi Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Kementerian

Lingkungan Hidup No: S-77/PPNSLH/05/2014, tanggal 30 Mei 2014, hal:

penunjukan Ahli Kimia, menerangkan hasil uji laboratorium Kabupaten Bandung

dan laboratorium pengendalian kualitas lingkungan PDAM Tirtawening Kota

Bandung. Adapun keterangan menurut ahli yakni: Pertama, PT. Daya Pratama

Lestari (DP)L telah membuang limbah melebihi baku mutu limbah cair pada

tanggal 16 Januari 2014, 19 Februari 2014 dan tanggal 25 Maret 2014 serta

diperkuat bukti dokumen pada tanggal 11 Juni 2012 dan pada tanggal 28 Januari

2014. Kedua, PT. DPL berdasarkan hasil laboratorium telah terbukti melakukan

pelanggaran baku mutu air limbah lebih dari satu kali.

Sesuai dengan keterangan ahli yang yang diberikan dan disertai dengan

alat bukti yang sah lainnya serta pertimbangan-pertimbangan lainnya, maka hakim

memutuskan terdakwa Herawan Koswara selaku Direktur PT. Daya Pratama

Lestari (DPL) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana pelanggaran baku mutu air limbah, untuk itu hakim menjatuhi pidana

kepada terdakwa Herawan Koswara selaku Direktur PT. Daya Pratama Lestari

(DPL) dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan, menetapkan pidana penjara

tersebut tidak perlu dijalani oleh terdakwa kecuali jika di kemudian hari dalam

Putusan Hakim diperintahkan lain karena terdakwa dipersalahkan melakukan

perbuatan pidana sebelum berakhirnya masa percobaan selama 1 (satu) tahun,

Universitas Sumatera Utara


serta menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa sebesar Rp. 10.000.000,--

(sepuluh juta rupiah).

Kemudian Putusan Nomor: 781/Pid/B/2009/PN.Cbn tanggal 12 Juli 2010

Pengadilan Negeri Cibinong atas nama terdakwa Lee Sang Bok. Salah satu yang

menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Lee

Sang Bok adalah keterangan yang diberikan saksi-saksi ahli yang diajukan pihak

Jaksa Penuntut Umum yakni Ahli Muhammad Zakaria, menerangkan hasil analisa

Laboratorium terhadap limbah cair, cara pengambilan sampel air limbah.

Kemudian ahli Prof. Alvi Syahri SH.,MS memberikan keterangan mengenai

perumusan tindak pidana pengelolaan lingkungan hidup dari Pasal 41 sampai

dengan Pasal 48 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang

pengelolaan lingkungan hidup, lalu menjelaskan tentang pertanggungjawaban

pidana korporasi di bidang lingkungan hidup. Selanjutnya Djisman Samosir

SH.,MH yang memberikan keterangan mengenai prosedur dan mekanisme

dilakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup.

Sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh ahli disertai dengan alat-

alat bukti yang sah lainnya serta dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan

hakim, maka majelis hakim menyatakan terdakwa Lee Sang Bok tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 41 ayat (1) jo

Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan hidup sesuai dengan dakwaan pertama dan dakwaan

kedua Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama

Universitas Sumatera Utara


dan kedua (vrijspraak) serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan,

kedudukan, dan harkat serta martabatnya.

Pada tahun 2010, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan sebuah putusan

yang sangat penting terkait dengan (kegagalan) penerapan pertanggungjawaban

korporasi untuk kasus pencemaran lingkungan.Putusan ini adalah Putusan MA

dalam kasus Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010).Kim Young Woo

adalah direktur dari PT. Dongwoo Environmental Indonesia, sebuah perusahaan

yang bergerak di bidang pengolahan limbah B3 dan telah memperoleh izin

pengolahan limbah B3 berdasarkan SK Kepala Bapedal No.KEP-

154/BAPEDAL/12/2001 tangga l 07 Desember 2001, dan telah diperpanjang

berdasarkan SK Menteri LH No.No.79 Tahun 2005.Namun demikian, orang-

orang yang dipekerjakan oleh PT. Dongwoo Environmental Indonesia telah

membuang limbah B3 ke tanah lapang yang terletak di Kampung Sempu, Desa

Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara.Limbah yang dibuang di Kampung

Sempu tersebut berbentuk cairan dan lumpur berserat gergaji yang berwarna

hitam pekat dan mengeluarkan bau yang tidak sedap.Di samping itu, selama

persidangan juga diketahui bahwa limbah yang dikirim ke PT. Dongwoo

Environmental Indonesia, sebagai pengolah limbah, merupakan limbah B3

cair.Seharusnya, limbah yang datang ini seluruhnya dikirim ke PPLI (Prasarana

Pramunah Limbah Industri) di Bogor untuk dilakukan pengolahan.Akan tetapi,

PT. Dongwoo Environmental Indonesia tidak memiliki penampungan khusus

untuk limbah yang datang untuk diolah dan dikirim ke PPLI.Mereka hanya

menggunakan drum dan plastik container (PC), dan kemudian membuang

Universitas Sumatera Utara


sebagian limbah tersebut di tanah lapang di Kampung Sempu. Akibat dari

pembuangan limbah ini masyarakat di sekitar tempat pembuangan limbah

mengalami kepala pusing, tenggorokan kering, dada sesak, perut mual dan

muntah-muntah. Berdasarkan visum et repertum dari Rumah Sakit Medika

Cikarang, diketahui bahwa penyebab sakitnya warga adalah terhirupnya gas

Ammonia (NH3) , Hydrogen Sulphide (H2SO) dan Methane. Di samping itu,

berdasarkan Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dan Teknis

Kriminalistik TKP No. LAB: 3267/KTF/2006, disimpulkan bahwa: Pertama,

“Limbah yang terdapat di TKP Kampung Sempu, Desa Pasirgombong,

Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi serta limbah dari TKP PT.

Dongwoo Environmental Indonesia merupakan limbah Bahan Beracun Berbahaya

(B3)”. Kedua, “Limbah yang terdapat di TKP Kampung Sempu, Desa

Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara , Kabupaten Bekasi merupakan

penyebab gejala keracunan yang dialami oleh penduduk yang terpapar oleh bau

(gas) yang keluar dari limbah tersebut”; dan Ketiga, “Penampakan fisik dan

komponen kimiawi limbah yang terdapat di TKP Kampung Sempu, Desa

Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi sama dengan

limbah yang terdapat di PT. Dongwoo Environmental Indonesia, Kawasan

Industri Jababeka Kecamatan Cikarang, Kabupaten Bekasi yang merupakan

pabrik pengolahan limbah cair (B3).”

Perbuatan terdakwa tersebut didakwa berdasarkan Pasal 41 (1) UU No. 23

Tahun 1997 (untuk dakwaan primair), Pasal 43 (1) UU No. 23 Tahun 1997 Jo

Pasal 45 UU No. 23 Tahun 1997 (untuk dakwaan subsidair), Pasal 42 (1) UU No.

Universitas Sumatera Utara


23 Tahun 1997 (untuk dakwaan lebih subsidair), dan Pasal 44 (1) UU No. 23

Tahun 1997 (untuk dakwaan lebih subsidair lagi). Oleh PN Bekasi, terdakwa

dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan pada dakwaan

primair, dan dijatuhi hukuman denda sebesar Rp. 325.000.000,-. Putusan ini

dikuatkan oleh PT Jawa Barat No. 465/Pid /2009 /PT.Bdg. Mahkamah Agung

dengan hakim H. Mansur Kartayasa, SH.,MH. sebagai Ketua Majelis, serta H.M.

Zaharuddin Utama, SH.,MM. dan R. Imam Harjadi , SH.,MH. sebagai hakim

anggota, menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan dalam kedudukan

sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental Indonesia yang bergerak

di bidang Pengelolaan Limbah B3,yang secara melawan hukum telah dengan

sengaja melakaukan perbuatan pencemaran lingkungan hidup secara berlanjut

dengan cara membuang limbah sisa-sisa pengolahan limbah B3 yang dilakukan

PT. Dongwoo sejak bulan Oktober 2005 sampai dengan bulan Juni 2006, ke

lokasi tanah kosong di Kampung Sempu, Desa Pasirgombong, Kecamatan

Cikarang Utara, yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan

hidup yaitu tanah di wilayah pembuangan limbah telah terkontaminasi bahan

pelarut organik yang bersifat racun akut dan kronis yang dapat menyerang

pernafasan makluk hidup, sehingga berakibat 12 (dua belas) orang penduduk

menderita sakit sesuai Visum Et Repertum Dr. Ridwan Juansyah maupun hasil

LabKrim tanggal 26 Juni 2006.

Atas dasar itu, MA menyatakan bahwa “Terdakwa PT. Dongwoo

Environmental Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo telah

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

Universitas Sumatera Utara


“Pencemaran Lingkungan Secara Berlanjut sebagaimana Dakwaan Primair”—

[italics dari penulis], dan karenanya “menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.

650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah ) dan apabila denda tersebut

tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enum) bulan”.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis sampaikan di atas, beberapa

kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait dengan pembahasan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Upaya untuk menemukan, mengungkapkan dan memperjelas hubungan

antara suatu kegiatan yang diduga sebagai suatu sumber pencemaran

lingkungan denga tercemarnya media lingkungan tertentu seringkali

melibatkan masalah-masalah teknis ilmiah. Oleh sebab itu, tugas ahli

adalah memberikan kejelasan apakah memang terdapat hubungan sebab

akibat antara suatu kegiatan tertentu dengan pencemaran lingkungan.

2. Fakta yang terungkap ketika keterangan ahli disampaikan dalam sidang

perkara tindak pidana lingkungan hidup, fakta yang terungkap oleh

keterangan ahli memang bervariasi tergantung dari pengetahuan dan

keahlian khusus yang dimilikinya. Dalam persidangan hal ini memiliki

dampak terhadap persesuaian dengan keterangan ahli yang akan

dihadirkan di sidang pengadilan sehingga hakim akan melihat fakta

persidangan secara keseluruhan dan fakta yang diungkap keterangan ahli

dengan keahlian dan pengetahuan khusus yang dimilikinya sebagai alat

bukti yang diselaraskan dengan alat bukti yang lain. Keterangan ahli dalam

Universitas Sumatera Utara


persidangan dihadirkan kompetensinya sebagai ahli. Dalam persidangan

seorang ahli memberikan keterangan sesuai dengan pengetahuan dan

keahliannya sehingga membuat terang suatu perkara, opini dan fakta yang

terungkap ketika keterangan ahli disampaikan di depan sidang pengadilan

menajdikan petunjuk dari sebuah penyelesaian tindak pidana.

3. Kedudukan Alat Bukti Keterangan ahli dalam hal Mempengaruhi

Keyakinan Hakim untuk Membuat Putusan Perkara Tindak Pidana

Lingkungan Hidup. Seorang ahli yang hadir pada sidang pengadilan

bukanlah seorang yang memiliki sedikit pemahaman akan keilmuan dan

pengalaman dalam profesinya. Namun keterangan ahli sebagai salah satu

bagian dalam alat bukti yang sah dan sistem pembuktian perkara tindak

pidana lingkungan hidup. Dalam memberikan keterangan kebanyakan

mencerminkan keadaan yang memang sebenar-benarnya sangat ideal.

Independen bukan hanya milik ahli saja, dalam komponen peradilan hakim

jauh lebih netral, berdiri sendiri dan professional adalah ciri khas hakim.

Jika memandang hal tersebut adanya keterangan ahli dipandang sebagai

satu garis lurus yang sama rata dalam sidang pengadilan. Kedudukan

keterangan ahli sendiri dipandang oleh Jaksa Penuntut Umum, Hakim,

Akademisi sebagai alat bukti saja dan tidak harus untuk selalu dihadirkan

pada sidang pengadilan. Ahli dipakai jika dipandang menurut penuntut

umum alat buktinya kurang, dan untuk majelis hakim keterangan ahli jika

keterangan tersebut membenarkan dari pemahaman logika berpikir dan

keilmuan dari hakim akan dipakai jika bertentangan maka tidak akan

Universitas Sumatera Utara


digunakan sebagai rekomendasi. Sifat keterangan ahli sebagai

rekomendasi bagi hakim untuk mengetahui dari sisi teoritik spesifik.

4.2 Saran

Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan skirpsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Perlu adanya regulasi untuk syarat seseorang bisa dikatakan sebagai ahli

dan dihadirkan untuk memberikan keterangan ahli di muka sidang

pengadilan secara merata dan bersifat mengikat bagi masing-masing

profesi yang akan hadir di sidang pengadilan.

2. Seorang ahli yang akan dihadirkan di sidang pengadilan haruslah memiliki

keahlian keilmuan dan memiliki integritas, independen, moralitas dan

profesionalisme, sehingga dapat memberikan keterangan yang berkualitas

di tiap tahap pengadilan.

3. Keterbatasan ahli atau kesulitan mendatangkan ahli lainnya dalam upaya

pembuktian tindak pidana lingkungan hidup membuat sulitnya pembuktian

4. Mengingat pentingnya peran keterangan ahli dalam penyelesaian tindak

pidana lingkungan hidup maka sebaiknya orang yang menjadi ahli dalam

kasus tindak pidana lingkungan tidak takut untuk memberikan

keterangannya di persidangan. Untuk itu sebaiknya ahli mendapatkan

penjagaan, perlindungan, keamanan dari aparat penegak hukum ketika ahli

memberikan keterangannya di muka sidang pengadilan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Adji, Indroyanto Seno, 2011, KUHAP Dalam Prosepektif, Diadit Media, Jakarta

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Arifin, Syamsul, 2014, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


di Indonesia Edisi Revisi, PT. Sofmedia, Jakarta

Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana,


Jakarta

Chazawi, Adami, 2011, Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana Edisi
Revisi, Media Nusa Creative, Malang,

--------------------, 2013, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. RajaGrafindo


Persada, Jakarta

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat


Bahasa Edisi Keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Efendi, A’an, 2014, Hukum Lingkungan; Instrumen Ekonomik dan Pengelolaan


Lingkungan Di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung

Erwin, Muhammad, 2015, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung

Fuady, Munir, 2012, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung

Gifis, Steven H, 2010, Law Dictionary Sixth Edition, Barrons, New York

Hamzah, Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

----------------, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta

----------------, 2015, Hukum Pidana, PT. Sofmedia, Jakarta

----------------, 2012, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia & Perkembangannya,


PT. Sofmedia, Jakarta,

Universitas Sumatera Utara


--------------- dan Irdan Dahlan, 1984, Perbandingan KUHAP HIR dan Komentar,
Ghalia Indonesia, Jakarta

Universitas Sumatera Utara


Harahap, M. Yahya, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali,
Jakarta

Hardjosoemantri, Koesnadi, 1999, Hukum Tata Lingkungan Edisi Ketujuh,


Gajahmada Universiy Press, Yogyakarta

Hartono, Sunaryati , 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-
20, Alumni, Bandung

Hiariej, Eddy O.S, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta

Kamil, Ahmad, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana, Jakarta

Koentjaraningrat, 1974, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta

Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan


Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung

Mamuji, Sri dan Soerjono Soekanto 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta

Marpaung, Leden, 1995, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua,


Sinar Grafika, Jakarta

Mulyadi,Lilik 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif, Teoritis, dan


Praktik, PT. Alumni, Bandung

-------------------, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
di Indonesia (Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan
Permasalahannya), PT. Citra Adiya Bakti, Bandung

-------------------, 2007, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap


Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Teoritis dan Praktik, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung,

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

Nurbani,Erlis Septina dan Salim HS, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Universitas Sumatera Utara


Panggabean, H.P, 2014, Hukum Pembuktian Teori-Praktik dan Yurisprudensi
Indonesia, PT. Alumni, Bandung

Prabowati, Yusti, 2005, Di Balik Putusan Hakim Kajian Psikologis Hukum dalam
Perkara Pidana, Srikandi, Jakarta

Prakoso, Djoko, 1988, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses
Pidana, Liberty, Yogyakarta

Rahardjo, Satjipto, 1996, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,


Sinar Baru, Bandung

Ranoemihardja, R. Atang, 1980, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung

Renggong, Ruslan, 2016, Hukum Pidana Khusus (Memahami Delik-delik di Luar


KUHAP), Prenadamedia Group, Jakarta

Shihab, M. Quraish, 2009, Tafsir Al-Misbah Volume 10, Lentera Hati, Jakarta

Soesilo, R dan M. Karjadi, 1997, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana


dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor

Soetarna, Hendar, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni,


Bandung

Subekti, R, 2008, Hukum Pembuktian cetakan ke- 17, Pradnya Paramita, Jakarta

Sunggono, Bambang, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta

Susanto, F Sugeng, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogjakarta

Sutiyoso, Bambang, 2009, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan


Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Pres, Yogyakarta

Syahrani, Riduan, 2009, Kata-kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni,


Bandung

Syahrin, Alvi, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT.


Sofmedia, Medan

--------------------, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009


Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Sofmedia,
Jakarta

Rahmadi,Takdir, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. RajaGrafindo,


Jakarta

Universitas Sumatera Utara


----------------------, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Kedua, PT.
RajaGrafindo, Jakarta

Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan


Nasional Edisi Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya 2005, Hukum
Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional Edisi Ketiga, Airlangga
University Press, Surabaya

Rifa’i, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta

Rosita, Lily dan Hari Sasangka, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana, Mandar Maju, Bandung

Utomo, Setyo, 2014, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi


(Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Negara Hukum), PT. Sofmedia, Jakarta

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara


Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

INTERNET

Http:// www.walhi.or.id/wp-content/uploads/2015/01/OutLook-2015_Final

Http:// www.antikorupsi.org/en/node/55444

Http://www.bpk.go.id/magazine/majalah-bpk

http://www.leginfo.ca.gov/cgi-bin/displaycode?section=evid&group=00001-
01000&file=800-805

http://www.pkh.komisiyudisial.go.id/id/files/Materi/TINGGI01/TINGGI01_DAU
D_TPL.pdf

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai