Anda di halaman 1dari 143

1

HAK KEBEBASAN BERPENDAPAT DI MEDIA SOSIAL DALAM

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh :

GEBY AVIQA
NIM: 150200066

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

ABSTRAK

Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum.*


Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum.**
Geby Aviqa***

Hak kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak tertua dan paling di
hormati dalam sejarah perkembangan sipil, Penelitian ini mengkaji bagaimana
pengaturan hukum internasional dan hukum nasional mengenai hak kebebasan
berpendapat terutama di media sosial, serta perbandingan dari kedua sistem
hukum ini mengenai pengaturan mengenai hak kebebasan berpendapat di media
sosial. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana hoax kaitannya
dengan hak kebebasan berpendapat serta pengaturannya pada hukum internasional
dan hukum nasional.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang
bersifat deskriptif. Adapun sumber data dari penelitian ini terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan studi kepustakaan. Data yang dikumpulkan diolah
dan dimanfaatkan selanjutnya digunakan untuk menjawab permasalahan-
permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hak kebebasan berpendapat
(freedom of speech) diatur baik dalam hukum internasional maupun hukum
nasional, walaupun terdapat beberapa persamaan dalam pasal-pasal yang
mengatur hal ini, namun terdapat juga beberapa perbedaan pada kedua sistem
hukum ini. Hoax bukan merupakan salah satu bentuk daripada kebebasan
berpendapat baik menurut hukum internasional maupun hukum nasional.

Kata Kunci: Hak kebebasan berpendapat (freedom of speech), media sosial,


Hoax, hoax kaitannya dengan hak kebebasan berpendapat.

* Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kepada Allah

SWT. Karena dengan berkat dan rahmat-Nya Penulis masih diberikan kesempatan,

kesehatan, dan kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini, serta Nabi

Muhammad SAW. atas doa serta syafaatnya dan tak lupa ridha dan doa yang

selalu dipanjatkan tiada henti-hentinya oleh kedua orang tua penulis.

Penelitian ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar

sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian ini Penulis

menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu

dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik serta saran demi

kesempurnaan penelitian ini.

Namun, terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penelitian ini,

Penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu

Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Alhamdulillah, Puji dan Syukur atas Rahmat dan Karunia yang telah

diberikan Allah SWT yang telah memberikan Penulis kesehatan, kesabaran,

dan jalan dalam menyelesaikan penelitian ini.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara serta Dosen Pembimbing II penulis yang telah

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

banyak memberikan bantuan, bimbingan, serta ilmu kepada Penulis dalam

penelitian ini;

5. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Dr. Sutiarnoto, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Dosen

Pembimbing I Penulis yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan,

serta ilmu kepada penulis dalam penelitian ini.

7. Aflah, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik selama Penulis

menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang telah banyak memberikan dedikasi yang

sangat besar kepada Penulis serta para pegawai di lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Kedua Orang Tua penulis, Benyamin Muchtar (Ayah) dan Nurul Huda

Muhammad (Ibu), yang tiada hentinya mengingatkan, mendukung, serta

mendoakan Penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Saudara laki-laki

penulis Muhammad Renzy dan Ranendra Arkha Abiyasha dan Saudara

perempuan Penulis Rayhan Abdillah, terima kasih atas doa, cinta, semangat,

dan kasih sayang yang terus diberikan kepada Penulis.

10. Figur Orang tua lain bagi Penulis, Abdillah (Ayah tiri) dan Fenni Septriyanti

(Ibu tiri) serta Teuku Samsul Bahri (Paman) dan Maha Muhammad (Tante)

yang telah sangat banyak membantu serta memberikan doa, dukungan, dan

semangat kepada Penulis.

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

11. Kepada Kakak Cut Samira dan Filzah yang banyak memberikan dukungan

kepada Penulis selama ini;

12. Kepada sahabat Penulis yang juga tergabung dalam organisasi ILSA, Farah

Hilda Fuad Lubis, yang amat sangat banyak membantu Penulis dalam

mengerjakan penelitian ini, serta doa dan semangat yang diberikan kepada

Penulis selama ini;

13. Kepada sahabat teristimewa penulis sedari SMA, Yossi Riza Hidayati, atas

dorongan semangat, doa, dan pengertian yang diberikan kepada Penulis

selama ini;

14. Kepada sahabat-sahabat terbaik dan teristimewa Penulis, Irna Diana Ilyas,

Mhd. Rizqy Aditama, Mhd Raushan Fikri Hidayatullah, Agnesya Monica

Marpaung, Kurratul Akyun, dan Ichsan Batubara yang telah banyak

memberikan kenangan, waktu, doa, dukungan, dan semangat kepada Penulis

sedari awal hingga akhir masa perkuliahan Penulis;

15. Kepada Teuku Ali Rayshivandria Thoriq dan Umar Malik Maulana yang

selama ini menjadi pelipur lara bagi Penulis;

16. Abang-abang senior dan teman-teman Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara bang Ajad, bang Oji, bang Toto, Bang Jul, bang Ucil, bang

Satria, bang Lana, bang BoyCt, bang Faisal, bang Dwiko, Bang Badak, Ibnu

yang telah menjadi bagian dari masa perkuliahan Penulis;

17. Kepada teman-teman satu organisasi ILSA yang tidak dapat disebutkan satu

persatu atas pengalaman, kenangan, serta tanggung jawab yang telah

diberikan kepada Penulis;

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

18. Kepada teman-teman dari Grup B yang juga tidak dapat disebutkan satu-

persatu.

Akhirnya, Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang

tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Semoga ilmu yang

telah Penulis peroleh selama ini dapat bermanfaat bagi Penulis dan orang lain.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………………………………………………………………….. i

KATA PENGANTAR………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..vi

ABSTRAK……………………………………………………………………….vi

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1

A. Latar Belakang………………………………………………...…………1

B. Permasalahan…………………………………………………….……..13

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………………………………….…….13

D. Keaslian Penelitian…………………………………………………..….15

E. Tinjauan Pustaka……………………………………………………….17

F. Metoda Penelitian………………………………………………………32

G. Sistematika Penulisan…………………………………………………..35

BAB II HAK KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM HUKUM

INTERNASIONAL……………………………………………………………..37

A. Batasan dan Perkembangan Media Sosial…………………………….37

B. Sejarah Hak Kebebasan Berpendapat dalam Hukum Inter-

nasional.....................................................................................................49

C. Instrumen Hukum Internasional Tentang Kebebasan Ber-

ekspresi……………………………………………………...…………...53

1. The Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR)…..53

2. The International Convenant on Civil and Political Rights 1966

(ICCPR)…………………………………………………………56

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

3. The European Convention on Human Rights (ECHR)………..57

4. The American Convention on Human Rights (ACHR)………..59

5. The African Charter on Human and Peoples’ Rights

(ACHPR)………………………………………………………...61

D. Instrumen Hukum Internasional mengenai Hak Kebebasan

Berpendapat di Media Sosial…………………………………………..62

BAB III PERBANDINGAN INSTRUMEN HUKUM NASIONAL DAN

INTERNASIONAL TERKAIT KEBEBASAN BEREKSPRESI DI MEDIA

SOSIAL………………………………………………………………………….73

A. Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Hak Kebebasan

Berpendapat di Media Sosial………………………………………...73

B. Perbandingan Pengaturan Hukum Nasional dengan Hukum

Internasional Mengenai Hak Kebebasan Berpendapat di Media

Sosial…………………………………………………………………...80

BAB IV INSTRUMEN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM

INTERNASIONAL MENGENAI HOAX KAITANNYA DENGAN

KEBEBASAN BERPENDAPAT………………………………………………90

A. Perbedaan Hoax dengan Hate Speech…………………………………90

B. Instrumen Hukum Nasional Mengenai Hoax………………………..102

C. Instrumen Hukum Internasional Mengenai Hoax…………………..107

D. Pengaturan Hukum Nasional dan Hukum Internasional Mengenai

Hoax Kaitannya Dengan Hak Kebebasan Berpendapat……………112

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

BAB V

A. Kesimpulan…………………………………………………………….120

B. Saran…………………………………………………………………...122

DAFTAR PUSTAKA

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“A human right by definition is an universal moral right, something which all

men, everywhere, at all times ought to have, something of which no one may

deprived without a grave affront to justice, something which is owing to every

human being simply because he (she) is human”.1

Dapat disimpulkan dari pendapat Cranston bahwa hak asasi merupakan suatu

hak yang dimiliki oleh setiap manusia, yang diperoleh karena ia adalah manusia,

dan tidak boleh dirampas ataupun diganggu gugat oleh siapapun karena dengan

melakukan itu merupakan pelanggaran hak dan penghinaan besar terhadap

keadilan.

Berdasarkan definisi di atas dan sejumlah definisi lain yang telah diberikan

dalam mencermati HAM, pemahaman atas HAM selanjutnya disebut dimiliki


2 3
oleh semua manusia dan harus dilakukan oleh semua manusia.

1
M.Cranston, What are Human Rights? (New York:Basic Books,1973) Hlm.36, Dikutip
oleh Kunto Yuliarso dan Nunung Prajarto. “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju
Democratic Governances”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 8 No.3. Hlm.293.
2
Joseph Chan. “The Asian Challenge to Universal Human Rights: A Philosophical
Appraisal.” (1995) Dalam James T.H Tang (ed.), Human Rights and International Relations in the
Asia-Pacific Region. London:Pinter. Hlm.28 Dikutip oleh Kunto Yuliarso dan Nunung Prajarto.
“Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Vol. 8 No.3. Hlm.293.
3
Nunung Prajarto. “The Australian and Indonesian Dialogue on Human Rights: An
International Communication Perspective”.( The University of of New South Wales, Sydney
2003) Hlm. 317 Dikutip oleh Kunto Yuliarso dan Nunung Prajarto. “Hak Asasi Manusia (HAM)
di Indonesia: Menuju Democratic Governances”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 8 No.3.
Hlm.293.
1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

Konsep HAM mempunyai dua dimensi, yang pertama adalah bahwa hak-hak

yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah Hak Asasi Manusia (selanjutnya

disebut HAM) karena ia manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal

dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak ini bertujuan untuk menjamin harkat

dan martabat setiap manusia. Arti yang kedua pembentukan hukum dari

masyarakat internasional maupun nasional. Indonesia merupakan Negara hukum,

dan salah satu ciri dari Negara hukum yaitu adalah adanya kebebasan berpendapat,

kebebasan berorganisasi, dan jaminan adanya perlindungan hak asasi manusia,4

Terkait kebebasan, terdapat ungkapan dari John Stuard Mill, Filsuf Inggris di

abad ke-17 yang gigih memperjuangkan kebebasan dan menegaskannya dalam

kehidupan bermasyarakat, ia mengatakan bahwa “Semakin luas kebebasan

bereksperesi dibuka dalam sebuah masyarakat atau peradaban maka masyarakat

atau peradaban tersebut semakin maju dan berkembang”. Kebebasan

mengemukakan pendapat sangatlah penting untuk dijamin perlindungannya agar

masyarakat tidak merasa khawatir setiap mengemukakan pendapat maupun

kekurangan pada proses pemerintahan. Hal ini tak lain merupakan wujud

kepedulian masyarakat sebagai warga Negara dan hak yang kapan saja dapat

dilakukan.5

Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini

termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memberikan informasi dan

4
Amira Rahma Sabela & Dina Wahyu Pritaningtias. 2017.“Kajian Freedom of Speech
and expression dalam perlindungan Hukum terhadap Demonstran di Indonesia”. Lex Scientia
Law Review. Vol.1 No.1. Hlm.82
5
ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau

dalam bentuk cetakan, karya seni atau media lain sesuai dengan pilihannya. 6

Hukum internasional mengatur tentang jenis opini, ekspresi dan komunikasi

yang termasuk dalam kebebasan berekspresi, jenis-jenis opini tersebut terdapat

pada General Comment No,34 of International Convenant on Civil an Political

Rights Article 19: Freedoms of opinion and expression General remarks no.9

yang menyatakan:

“All forms of opinion are protected, including opinions of a political,

scientific, historic, moral or religious nature.”7

Adapun jenis-jenis ekspresi diatur dalam General remarks no.11 yang

menyatakan:

“This right includes the expression and receipt of communications of every

form of idea and opinion capable of transmission to others, subject to the

provision in article 19, paragraph 3 8 , and article 20 9 . It includes political

discourse, commentary on one‟s own and on public affairs, canvassing,

discussion of human right, journalism, cultural and artistic expression, teaching,

and religios discourse. It may also include commercial adverstising. The scope of

paragraph 2 embraces even expression that may be regarded as deeply offensive,

6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights , Pasal 19 Ayat (2).
7
General Comment No.34 about Article 19: Freedoms of opinion and expression,
General Remark No.9 Tersedia di https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf
8
Article 19, Paragraph 3 International Convenant on Civil and Political Rights, “The
exercise of right provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and
responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but therse shall only be such as
are provided be law and are necessary”
9
Article 20 International Convenant on Civil and Political Rights,
“ 1. Any propaganda for war shall be prohibited by law,
2. any advocacy of national, racial, or religious hatred that constitutes incitement to
discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law.”

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

although such expression may be restricted in accordance with the provisions of

article 19, Paragraph 3, and article 20”.10

Berdasarkan uraian 2 pasal diatas dapat disimpulkan bahwa segala bentuk

opini termasuk opini mengenai politik, sains, sejarah, moral, ataupun agama

merupakan opini yang dilindungi, adapun ekspresi dan penerimaan komunikasi

dari segala bentuk ide dan pendapat yang dapat di sharing kepada orang lain

haruslah tunduk pada pasal 19 ayat (3) dan pasal 20 ICCPR, ekspresi mengenai

politik, komentar mengenai apa yang dimiliki seseorang, dan urusan publik,

canvassing11, diskusi mengenai hak asasi manusia, jurnalisme, ekspresi seni dan

budaya, metode pengajaran, urusan keagamaan, serta iklan komersial. Dalam ayat

(2) mencakup megenai ekspresi yang dianggap sangat menyingung, meskipun

ekspresi tersebut dapat dibatasi sesuai dengan ketentuan pasal 19 ayat (3) dan

pasal 20.

Sebagaimana dikatakan oleh William Shakespears, “Conversation should be

pleasant without scurrility, witty without conceitedness, novel without falsehood”,

dikatakan bahwa percakapan haruslah nyaman tanpa adanya lelucon yang kasar,

berbobot, dan tidak ada kepura-puraan didalamnya, namun apakah dunia akan

menjadi tempat yang lebih baik bila semua kemampuan berekspresi atau

komunikasi sesuai dengan standart ini?. Komunikasi diartikan sebagai pertukaran

10
General Comment No.34 about Article 19: Freedoms of opinion and expression,
General Remark No.11 Tersedia di https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf
11
Canvassing is the systematic initiation of direct contact with individuals, commonly
used during political campaign.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

informasi, ide-ide, kepercayaan, sikap, atau perasaan. 12 Melalui ucapan dan

ekspresi manusia menyampaikan pikiran, sentimen, dan perasaan kepada orang

lain. 13 Setiap hari orang-orang di seluruh dunia berkomunikasi dengan banyak

cara, seperti berdebat, bergosip, melakukan percakapan, membuat film,

menyanyikan lagu, mengajar dan belajar, berbicara di telepon, menulis surat, atau

berkirim fax ataupun email. Komunikasi tanpa gangguan dari pihak lain disebut

“Freedom of Speech” atau “Kebebasan Berpendapat”, artinya ialah dengan bebas

beropini di ranah publik. Melalui media pers ataupun dengan media lainnya. 14

Istilah ini termasuk dalam semua jenis komunikasi dan ekspresi, tidak hanya kata-

kata yang diucapkan. Selain itu kebebasan berpendapat juga memainkan peran

yang besar dalam praktik manusia dalam menerapkan hak fundamental lainnya.15

Kebebasan berekspresi merupakan syarat utama daripada kemerdekaan, Ia

menempati posisi yang penting pada hierarki kemerdekaan, kebebasan


16
berpendapat merupakan induk daripada kebebasan lainnya. Kebebasan

berekspresi juga dikenal sebagai hak fundamental. Kebebasan berekspresi

berfungsi sebagai komponen fundamental atau utama dalam berpartisipasi dalam

12
Kitsuron Sangsuvan, “Balancing Freedom of Speech on the Internet under
International Law”. North Carolina Journal of International Law and Commercial Regulation.
Vol.39 No.3. Spring 2014. Hlm.702
13
Aqa Raza.”‟Freedom of Speech and Expression‟ as a Fundamental Rights in India and
the Test of Constitutional Regulations: The Constitutional Perspective”. Indian Bar Review.
Vol.XLII (2), 2016, Hlm.1.
14
Kitsuron Sangsuvan, Op.Cit. Hlm. 702
15
Ibid.Hlm.703.
16
Aqa Razaq, Op.Cit, Hlm.1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

sebuah masyarakat demokrasi, dan diartikan sebagai hak yang seharusnya tidak

dicampuri oleh pemerintahan Negara.17

Sebagaimana yang telah dibahas diatas mengenai jenis-jenis opini, ekspresi,

dan komunikasi, terdapat juga opini ataupun ekspresi yang dapat dikenakan sanksi

hukum, sebagai contoh, kasus cuitan Ahmad Dhani di twitter dengan akun

@AHMADDHANIPRAST pada tanggal 7 Februari 2017 yang dilaporkan oleh

Jack Boyd Lapian18 membuatnya dikenakan sanksi hukum, adapun isi cuitannya

ialah:

Gambar no. 1.1 Tweet Ahmad Dhani19

17
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee. 2016. “The Right
to Freedom of Expression on the Internet as it applies to Social Media in Africa”. The Association
of the Bar of The City of New York. Hlm.11.
18
“3 Kicauan Ahmad Dhani di Twitter yang Membuatnya Divonis 1,5 Tahun Penjara
karena Ujaran Kebencian” (Online), Diakses dari:
https://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/28/3-kicauan-ahmad-dhani-di-twitter-yang-
membuatnya-divonis-15-tahun-penjara-karena-ujaran-kebencian
19
Sumber : https://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/28/3-kicauan-ahmad-dhani-
di-twitter-yang-membuatnya-divonis-15-tahun-penjara-karena-ujaran-kebencian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

Atas 3 cuitan diatas Ahmad Dhani resmi divonis 18 bulan atau 1 tahun 6 bulan

penjara oleh Majelis Hakim pada sidang kasus ujaran kebencian di Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan, Ahmad Dhani dinilai bersalah karena menyebarkan

informasi yang kemudian menimbulkan rasa kebencian terhadap suatu golongan.

Perbuatan ini dinilai melanggar Pasal 45A Ayat (2)20 Juncto Pasal 28 Ayat (2)21

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE) Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-122 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).23

Perlindungan kebebasan berinternet dalam skala internasional dimulai pada

awal Tahun 1998, dimana ide “Internet” bebas dan terbuka dikembangkan oleh

Special Rapporteur PBB dalam mempromosikan dan melindungi hak kebebasan

beropini dan berekspresi. Di dalam laporannya pada tahun 1998 kepada komisi

hak asasi manusia PBB, Special Rapporteur menegaskan prinsip, “The New

technologies and, in particular, the internet, are inherently democratic, provide

the public and individuals with access to information and sources and enable all

to participate actively in the communication process”.24

20
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
21
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
22
“Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan.”
23
“3 Kicauan Ahmad Dhani di Twitter yang Membuatnya Divonis 1,5 Tahun Penjara
karena Ujaran Kebencian”. Loc.Cit.
24
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee.Op.Cit. Hlm.4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Dinyatakan dalam prinsip tersebut, teknologi baru, dalam hal ini, Internet,

tidak terlepas dari sifat demokratis yang menyediakan publik dan individual-

individual dengan informasi dan sumber yang mengizinkan semua orang untuk

berpartisipasi secara aktif dalam proses komunikasi.

Namun manifesti lain daripada efek internet kepada komunikasi free flow

adalah informasi dilebih-lebihkan yang dibuat di internet dan disebarkan pula

melalui internet. Internet merupakan tempat utama untuk penyebaran juga

penerimaan informasi. Mantan sekretaris Amerika Serikat, Hillary Clinton

menyatakan, “In many respects, information has never been so free. There are

more ways to spread more ideas to more people than at any moment in history”.

Kemudahan teknologi modern telah mengizinkan penyebaran ide secara

elektronik yang juga memfasilitasi kebebasan berekspresi.25

Bagaimanapun, esensi utama daripada internet ialah free flow komunikasi dan

kemudahan mempraktikan kebebasan berekspresi, telah membuatnya sebagai

subjek untuk diserang. Dengan kebebasan di internet terancam, begitupula dengan

praktik kebebasan berekspresi, beserta hak kebebasan menyebarkan dan

menerima komunikasi. “On the one hand, Internet empowers freedom of

expression by providing individuals with new means of imparting and seeking

information. On the other hand, the free flow of information has raised the call

for content regulation”.26

Pada satu sisi Internet memberikan kewenangan pada individual dalam

membagikan serta menerima informasi, namun di sisi lain kebebasan dalam

25
Ibid.
26
Ibid, Hlm.5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

mengakses informasi-informasi ini mengharuskan adanya regulasi dalam

mengatur konten-konten yang dapat diakses.

Umumnya, konstitusi di banyak Negara melindungi kebebasan berekspresi,

namun, ditentukan batasan yang rata pada internet, terutama pada landansan

keamanan nasional dan susunan publik. 27 Terdapat beberapa aturan hukum

internasional mengenai kebebasan berpendapat. Aturan yang menjadi dasar ialah

Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disebut UDHR) atau juga

dikenal sebagai deklarasi universal hak asasi manusia dan International

Convenant on Civil and Political Rights (selanjutnya disebut ICCPR) atau juga

dikenal sebagai Konvenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik.

UDHR merupakan dasar daripada hukum kebiasaan Internasional (Customary

International Law) yang membawahi perjanjian-perjanjian lainnya. ICCPR

sebagai perjanjian yang mengikat, yang menjadikan hak kebebasan berekspresi

dapat ditegakkan atau dilaksanakan, yang melarang beberapa tipe ekspresi seperti

ujaran kebencian dan hasutan terorisme.28

Indonesia memiliki beberapa undang-undang yang mengatur mengenai

hak kebebasan berpendapat yaitu UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Indonesia pun telah meratifikasi

ICCPR ke dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights. Sejak penerapan Undang-

Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(selanjutnya disebut UU ITE), telah ada lebih dari 128 klaim yang

27
Ibid. Hlm.24.
28
Ibid. Hlm.11.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

mempertanyakan hak-hak kebebasan ini, kebanyakan dengan kasus fitnah. 29

Selain Undang-Undang pidana dan Undang-Undang ITE yang terdapat di

Indonesia, aturan yang mengatur tentang fitnah juga terdapat dalam Undang-

Undang sipil Indonesia yang mengatur tentang perbuatan masyarakat sipil yang

menyalah. Menurut jurisprudensi Mahkamah Agung keputusan yang dapat

menyatakan warga sipil bersalah dengan melakukan atau tidak melakukan apapun

yang :

1. melanggar hak orang lain;

2. bertentangan dengan hukum seseorang saat melakukan hal tersebut; dan

3. bertentangan dengan moralitas dan susunan masyarakat.

Adapun beberapa kriteria tambahan yang harus dipenuhi, termasuk

1. hal tersebut melanggar hukum;

2. menimbulkan kerugian pada orang lain;

3. adanya kesalahan; dan

4. adanya hubungan sebab akibat akan tindakan seseorang.

Syarat- syarat ini harus dipenuhi agar dapat ditindak menurut pasal

perlakuan menyimpang masyarakat sipil.30

Fenomena kebebasan pembuatan dan pendistribusian informasi di dalam

media sosial menyebabkan bebasnya kontrol akan konten informasi yang tersebar

di kalangan netizen. Hal tersebut memicu timbulnya berita palsu atau sering

disebut sebagai hoax dan informasi yang berisikan kebencian (hate speech). Data

yang dikumpulkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada


29
Alfatika Aunuriella Dini. 2017. “The Dark Side of Social Media in eParticipation: a
Social-Legal Perspective”. Twenty-third Americas Conference on Information System. Hlm.2
30
Ibid, Hlm. 4.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita

palsu dan ujaran kebencian (hate speech).31

Media Sosial adalah media yang paling efektif dalam penerimaan dan

penyebaran informasi hoax. Latar belakang pengguna yang beragam menjadi

salah satu faktor yang membuat menyebarkan informasi hoax menjadi lebih

mudah, karena tidak perlu melalui proses verifikasi. Alasan utama pengguna

media sosial menyebarkan informasi hoax adalah untuk mempengaruhi pendapat

ataupun sikap seseorang kepada orang lain. Adapun alasan lain yaitu untuk

menjadi pengguna media sosial yang viral.32

Pengertian media sosial sendiri adalah media yang digunakan oleh

individu agar menjadi sosial, secara daring dengan cara berbagi isi, berita, foto,

dan lain-lain dengan orang lain. Dari definisi tersebut jelas bahwa masyarakat

dapat berbagi informasi dan sebaliknya kepada pemerintah.33 Perkembangan dan

pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik

perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan

tersebut telah melahirkan suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum

siber atau telematika. Hukum siber atau cyber law secara internasional digunakan

untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan informasi dan

komunikasi.34

31
Dewi Maria Herawati, “Penyebaran Hoax dan Hate Speech sebagai Representasi
Kebebasan Berpendapat”. Promedia, Vol.II, No,2, 2016. Hlm. 142
32
Dedi Rianto Rahadi, “Perilaku Pengguna Dan Informasi HOAX Di Media
Sosial”.Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.V No.1, 2017. Hlm.58
33
Ibid.
34
Budi Suhariyanto, “Tindak Pidana Informasi (cyber crime)”. (Depok: Raja Grafindo
Persada, 2013), Cet.II, Hlm.30 Dikutip dari Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, “Hoax Dalam
Kajian Pemikiran Islam dan Hukum Positif”. Jurnal Sosial&Budaya Syar-I Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Vol.V No.3, 2018. Hlm.298

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

Terdapat beberapa jenis media sosial untuk mengemukakan ekspresi yang

banyak digunakan oleh masyarakat baik internasional maupun nasional, antara

lain adalah cuitan melalui twitter, posting melalui facebook, serta instastory dan

posting melalui instagram, konten video pada youtube, konten tulisan yang

terkadang dibarengi dengan konten gambar atau video pada blogspot, dan banyak

media sosial lainnya yang digunakan untuk mengemukakan ekspresi.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini penting karena hal-hal berikut ini:

1. Kebebasan berekspresi merupakan bagian daripada HAM oleh karena itu,

kebebasan berekspresi perlu dilindungi oleh pemerintah.

2. Kebebasan berekspresi diatur berlandaskan dengan dua sistem hukum,

yaitu hukum internasional dan hukum nasional melalui ratifikasi, oleh

karena itu dibutuhkannya analisis harmonisasi dari kedua sistem hukum

tersebut.

3. Hoax bukan merupakan bentuk lain daripada kebebasan berekspresi dan

terdapat aturan hukum yang mengaturnya baik dalam hukum nasional

maupun hukum internasional.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

B. Permasalahan

Adapun permasalahan dalam penelitian ini ialah:

1. Bagaimanakah Pengaturan Hukum Internasional mengenai Hak Kebebasan

Berekspresi di Media Sosial?

2. Bagaimana Pengaturan Hukum Nasional Indonesia tentang Kebebasan

Berekspresi di Media Sosial bila Dibandingkan dengan Pengaturan Hukum

Internasional?

3. Bagaimana Pengaturan Hukum Nasional dan Hukum Internasional

mengenai Hoax Kaitannya dengan Hak Kebebasan Berpendapat?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dan manfaat dari penelitian ini ialah antara lain:

a. Mengetahui pengaturan mengenai hak kebebasan berpendapat dalam hukum

nasional dan hukum internasional;

b. Mengetahui pengaturan mengenai hak kebebasan berpendapat di media

sosial dalam hukum nasional dan hukum internasional;

c. Mengetahui pengaturan hukum nasional mengenai hak kebebasan

berpendapat di media sosial apabila dibandingkan dengan pengaturan

hukum internasional; dan

d. Mengetahui pengaturan mengenai hoax kaitannya dengan hak kebebasan

berpendapat dalam aturan hukum nasional dan hukum internasional.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi teoritis

maupun praktis sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka yang

membahas tentang kebebasan berpendapat dalam regulasi hukum nasional

maupun hukum internasional, selanjutnya secara teoritis pula penelitian ini

diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak

sebagai berikut:

a. Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

kepada pemerintah dalam membentuk kebijakan mengenai kebebasan

berpendapat di media sosial.

b. Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat bagi

masyarakat, adapun beberapa manfaatnya adalah sebagai berikut:

1. Agar masyarakat mengetahui regulasi mengenai hak kebebasan

berekspresi baik dalam hukum nasional maupun hukum

internasional;

2. Mengetahui regulasi mengenai hak kebebasan berekspresi dalam

hukum nasional dan hukum internasional terutama dalam

berekspresi di media sosial;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

3. Mengetahui jenis-jenis opini, ekspresi, dan komunikasi yang

diatur dalam hukum serta kebebasan berekspresi yang dapat

dikenakan sanksi dalam hukum;

4. Mengetahui pengertian serta cangkupan-cangkupan media sosial;

5. Mengetahui pengertian serta pengaturan hukum mengenai ujaran

kebencian.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pemeriksaan kepustakaan yang ditelusuri dari

perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada tanggal 00 bulan

2019 dan pengajuan judul ini telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum

Internasional tanggal 4 Maret 2019, penelitian dengan judul “HAK

KEBEBASAN BERPENDAPAT DI MEDIA SOSIAL DALAM

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL”

belum pernah dikemukakan dalam sebuah penulisan dan permasalahan yang

diajukan juga belum pernah diteliti dalam sudut pandang dan titik fokus yang

sama.

Namun terdapat beberapa penelitian mahasiswa/i Fakultas Hukum

Universitas lain dengan judul :

1. Mikel Kelvin, dengan judul “Pengaturan Kebebasan Berekspesi

Melalui Media Digital Menurut Hukum Internasional Dan

Penerapannya Di Indonesia” Dengan Rumusan Masalah sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

1. Bagaimanakah pengaturan kebebasan berekspresi melalui media digital

menurut hukum Internasional?

2. Bagaimanakah penerapan hukum internasional mengenai kebebasan

berekspresi melalui media digital di Indonesia?

Penelitian ini berasal dari Fakultas Hukum Hasanuddin Makassar.

2. Yusri Wahyuni, dengan judul “Kebebasan Berekspresi Melalui Media

Sosial Menurut Hukum Islam Dan HAM” Dengan Rumusan Masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan kebebsan berekspresi melalui media sosial

menurut hukum Islam dan HAM?

2. Bagaimana batasan-batasan kebebasan berekspresi melalui media

sosial menurut Hukum Islam dan HAM?

Penelitian ini berasal dari Fakultas Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Aris Setyo Nugroho, dengan judul “Perlindungan Kebebasan

Berpendapat Melalui Media Internet Dalam Undang-Undang

No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia” Dengan Rumusan

Masalah sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

“Bagaimana perlindungan atas kebebasan berpendapat yang diatur

dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik dalam perspektif HAM?”

Penelitian ini berasal dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

4. Suhendri, dengan judul “Pemenuhan Hak Kebebasan Berekspresi

di Indonesia” Dengan rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah Pemenuhan Hak Kebebasan Berekspresi di

Indonesia?”

Penelitian ini berasal dari Fakultas Hukum Universitas Lampung

Bandar Lampung.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber, media cetak dan elektronik,

buku-buku, jurnal, dan perjanjian-perjanjian Internasional. Beberapa pengertian

dari judul penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:

1. Hukum Internasional

Hukum internasional adalah hukum antarbangsa yang digunakan

untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang be rlaku

dalam hubungan antar penguasa dan menunjukkan pada kompleks

kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat

bangsa-bangsa.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

Adapun beberapa pengertian lain mengenai hukum internasional

menurut para ahli, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja mengungkapkan

bahwa “ hukum internasional adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan azas-

azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas

Negara-negara antara Negara dengan Negara, Negara dengan subjek hukum

lain yang bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain”.35

J.G Starke mengatakan “International law may be defined as that body of

law which is composed for its greater part of the priciples and rules of

conduct which states feel themselves bound to observe, and therefore do

commonly observe in their relations with each other, and which includes

also:

a. The rules of law relating to the functioning of international institution and

organizations, their relations with each other, and their relatios with

states and individuals; and

b. Certain rules of law relating to individuals and non-states entities so far

as the right of duties of such individuals and non-states entities are the

concern of the international community.36

Pengertian hukum internasional lainnya dinyatakan oleh Hugo de Groot, ia

menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang didasarkan pada

kemauan bebas dan berdasarkan persetujuan sebagian atau seluruh Negara demi

35
Mochtar Kusumaatmadja.”Pengantar Hukum Internasional”. (Jakarta: Binacipta,
1997). Hlm.3-4.
36
J.G. Starke. “Introduction to International Law”. (London: Butterworths, 1984). Hlm.
3.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

tercapainya kepentingan bersama dari Negara-negara yang menyertakan diri di

dalamnya.

Terdapat beberapa sumber hukum internasional menurut hukum internasional

maupun para ahli, seperti pada Pasal 38 Ayat (1) Statute of International Court of

Justice 16 Desember 1920 yang berbunyi, “The court whose function is to decide

in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall

apply :

a. International Conventions, whether general or particular, establishing


rules expressly recognized by the contesting states;
b. International Custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. The general priciples of law recognized by civilized nations;
d. Subject to the provisions of arricle 59, judicial decisions and the teachings
of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary
means for the determination of rules of law.”37
Adapun beberapa sumber hukum Internasional menurut para ahli ialah:

a. Kebiasaan Internasional

b. Traktar-traktat Internasional

c. Keputusan-Keputusan pengadilan atau pengadilan arbitrase

d. Karya-karya hukum

e. Keputusan-keputusan atau penetapan organ-organ lembaga internasional.

Sumber hukum formal ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu sumber hukum

primer dan sekunder, yang termasuk sumber hukum internasional primer adalah,

a. Perjanjian-perjanjian Internasional

b. Hukum Kebiasaan Internasional

37
Statute of International Court of Justice, Pasal 38 Ayat (1).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

c. Prinsip-prinsip umum

Sedangkan yang termasuk sumber hukum internasional sekunder adalah,

a. Doktrin atau pendapat umum para pakar

b. Putusan Organisasi Internasional

c. Yurisprudensi atau Putusan Hakim

Hubungan ntara sumber hukum internasional primer dan subsider ialah,

a. Sumber hukum primer dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran sumber

hukum subsider

b. Sumber Hukum subsider bersifat melengkapi sumber primer sehingga

tidak dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran sumber hukum primer.

Sumber-sumber hukum primer dan subsider ini pun ditujukan untuk

membantu Mahkamah dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi.38

Dalam hukum nasional maupun internasional tentu tidaklah lepas daripada

subjek hukum itu sendiri. Menurut I Wayan Parthiana subjek hukum pada

umumnya diartikan sebagai pemgang hak dan kewajiban menurut hukum. Dengan

kemampuan sebagai pemegang hak dan kewajiban tersebut, berarti adanya

kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum yang melahirkan hak-hak dan

kewajiban. Secara umum yang dipandang sebagai subjek hukum adalah : (a)

individu atau orang perorangan atau disebut pribadi alam dan (b) badan atau

lembaga yang sengaja didirikan untuk maksud dan tujuan tertentu yang karena

sifat, ciri, dan coraknya yang sedemikian rupa dipandang mampu berkedudukan

sebagai subjek hukum. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa subjek hukum

38
H. Budi Mulyana, S.IP.,M.SI,”Sumber Hukum Internasional” (Online), tersedia di:
https://repository.unikom.ac.id/51193/1/Materi%204%20-%20Sumber-Hukum-Internasional.pdf.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

Internasional adalah pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut

hukum internasional; dan setiap pemegang atau pendukung hak dan kewajiban

menurut hukum internasional adalah Subjek Hukum Internasional39, adapun yang

merupakan subjek hukum internasional ialah:

1. Negara

Negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama dan

klasik dalam sejarah hukum Internasional. Adapun syarat-syarat konsitutif

yang sangat penting untuk terbentuknya suatu Negara, yaitu:

a. Penduduk tetap;

b. Wilayah tertentu;

c. Pemerintahan; dan

d. Kedaulatan;

Hukum internasional bersifat horizontal, yang berarti tidak

membedakan derajat suatu Negara berdasarkan besar kecilnya Negara

tersebut, tidak ada pula kedudukan suatu Negara yang lebih tinggi dari

Negara lainnya. Negara terbagi menjadi beberapa bentuk, bentuk-bentuk

tersebut adalah:

a. Negara Kesatuan;

b. Negara Federal;

c. Gabungan Negara-Negara Merdeka;

d. Konfederasi;

39
I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 1990, Hlm. 58 dikutip dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37725/Chapter%20II.pdf?sequence=2&isA
llowed=y

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

e. Negara-Negara Netral;

f. Negara yang terpecah;

g. Negara-Negara Kecil; dan

h. Protektorat.

2. Organisasi Internasional

Organisasi Internasional adalah perhimpunan Negara-negara

merdeka yang berdaulat dan mempunyai tujuan tertentu, dan untuk

mencapai tujuan tersebut dilaksanakan oleh alat perlengkapan Negara,

misalnya lewat dewan keamanan, dewan ekonomi sosial, majelis umum,

dan sebagainya. Organisasi Internasional memiliki hak dan kewajiban

yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan

anggaran dasar organisasi tersebut. Berbeda dengan Negara, Organisasi

Internasional merupakan himpunan dari Negara-negara, yang bukanlah

subjek hukum internasional yang sebenarnya atau hanya merupakan

subjek hukum buatan semata. Organisasi ini hanya menjalankan

kehendak-kehendak Negara anggotanya yang dituangkan dalam suatu

perjanjian internasional.

3. Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional berkedudukan di Jenewa ini menjadi

subjek terbatas yang lahir karena sejarah walaupun kedudukannya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

diperkuat dalam perjanjian-perjanjian internasional dan konvensi-

konvensi Palang merah.

4. Takhta Suci Vatikan

Tahkta Suci Vatikan memiliki hukum dan kewenangan penuh

sebagaimana kedudukan yang dimiliki oleh Negara. Hal ini timbul sejak

diadakannya perjanjian antara Italia dengan Tahkta Suci pada tanggal 11

Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di

Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkannya didirikan Negara

Vatikan. Takhta Suci memiliki kegiatan di bidang keagamaan, politik,

ekonomi, dan sosial budaya.

5. Pemberontak

Apabila di dalam suatu Negara terdapat suatu kelompok

pemberontak yang telah berkembang menjadi kuat dan besar serta

menentang pemerintah yang berkuasa, maka kelompok tersebut dapat

dianggap sebagai belligerent ataupun pemberontak. Adapun syarat agar

suatu kelompok dapat dianggap sebagai belligerent adalah:

a. Angkatan perangnya adalah kesatuan ytang sah sesuai dengan


hukum perang, dan bukan para pembajak;
b. Peperangan antara pihak harus sesuai dengan hukum perang yang
berlaku;
c. Kapal-kapal perangnya adalah kapal-kapak perang yang sah dan
bukan merupakan bajak laut;
d. Blokade-blokade yang dilakukan di laut harus dihormati oleh
Negara-negara Netral;
e. Harus menguasai beberapa wilayah dalam suatu Negara;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

f. Menjalankan pemerintahan yang teratur sebagai tandingan terhadap


pemerintah yang berkuasa; dan
g. Bersedia melindungi warga Negara asing dan harta bendanya.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dinyatakan

sebagai belligerent menurut Lauterpacht adalah:

a. adanya peperangan sipil yang diikuti dengan pertingkaian terbuka;

b. adanya penduduk wilayah tertentu dan penyelenggaraan

pemerintahannya;

c. dipimpin oleh seorang pemimpin yang bertanggung jawab terhadap

anak buahnya; dan

d. adanya Negara ketiga yang menyakan sikapnya terhadap pertingkaian

tersebut.

6. Individu

Individu atau orang perseorangan pada dasarnya sudah cukup lama

dapat dijadikan sebagai subjek hukum internasional, walaupun dalam

pengertian yang terbatas. Hal ini dilihat dari Keputusan Mahkamah

Internasional Permanen mengenai kasus Danzig Railway Official‟s Case.

Dalam kasus ini diputuskan bahwa apabila suatu perjanjian internasional

memberikan hak tertentu kepada perorangan, maka hak itu harus diakui

oleh suatu badan peradilan internasional.

Kasus lainnya ialah dalam kasus diadakan oleh Negara-negara

sekutu yang menang dalam peperangan. Hal ini diputuskan oleh

Mahkamah Penjahat Perang yang dilakukan di Nurnberg dan Tokyo.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

Diikuti dengan Mahkamah Eropa mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)

yang menjamin individu dalam Konvensi Eropa tersebut. Dalam konvensi

ini disebutkan bahwa individu dapat mengajukan negaranya sendiri

kepada Mahkamah Eropa, melalui negaranya ataupun Komisi Eropa. 40

2. Hukum Nasional

Hukum nasional adalah peraturan hukum yang berlaku di suatu Negara

yang terdiri atas prinsip-prinsip serta peraturan yang harus ditaati oleh

masyarakat pada suatu Negara. Hukum Nasional merupakan sebuah sistem

hukum yang dibentuk dari proses penemuan, pengembangan, penyesuaian

dari beberapa sistem hukum yang telah ada.41

Hukum Nasional di Indonesia adalah hukum yang terdiri atas

campuran dari sistem hukum agama, hukum eropa, dan hukum adat. Hukum

Agama, karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, maka

syari‟at Islam lebih mendominasi terutama pada bidang kekeluargaan,

perkawinan, dan warisan. Sistem Hukum Nasional yang diikuti sebagian

besar berbasis pada hukum Eropa kontinental baik itu hukum perdata maupun

hukum pidana. Hukum Eropa yang di ikuti khususnya dari belanda itu karena

di masa lampau Indonesia merupakan Negara jajahan Belanda. Sistem

Hukum adat juga merupakan bagian dari hukum nasional, karena di Indonesia

40
“Subjek-subjek Hukum Internasional”.(online), tersedia di:
http://repository.unimal.ac.id/2104/1/Bab%205.pdf.
41
“Pengertian Hukum Nasional” (online), tersedia di:
https://www.temukanpengertian.com/2013/08/pengertian-hukum-nasional.html.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

masih kental dengan aturan-aturan adat setempat dari masyarakat serta

budaya yang ada di wilayah Indonesia.42

Menurut Undang-undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, berikut adalah tata urutan sumber-sumber

hukum di Republik Indonesia:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

beserta Amandemennya;

2. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

(PERPPU);

3. Peraturan Pemerintah (PP);

4. Keputusan Presiden (KEPPRES);

5. Peraturan Daerah, yang dapat dibagi menjadi:

a. Peraturan Daerah Provinsi ( Tingkat I );

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota ( Tingkat II );

c. Peraturan Daerah Desa43

3. Kebebasan Berpendapat

Kebebasan berbicara atau berpendapat adalah kebebasan yang mengacu

pada sebuah hak untuk berbicara atau berpendapat secara bebas tanpa ada

pembatasan, kecuali dalam hal menyebarkan kejelekan.44

42
Ibid.
43
“Sumber-Sumber Hukum Republik Indonesia” (online), tersedia di:
https://matthewhanzel.com/2011/03/24/sumber-sumber-hukum-republik-indonesia/
44
Soca Brilianita Rachma, “Hak Kebebasan Bependapat” (online), tersedia di:
https://www.kompasiana.com/socabr/54f5dd86a33311f64e8b480f/hak-kebebasan-berpendapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan bagian dari hak asasi

manusia. Oleh sebab itu, hak ini dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-Hak

Asasi Manusia PBB, tercantum pada Pasal 19 dan 20 yang berbunyi,

Article 19

“Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right

includes freedom to hold opinions with out interference and to seek, receive

and impart information and ideas through any media and regardless of

fronties”45

merupakan bunyi Pasal 19, adapun Pasal 20 yang terdiri dari 2 Ayat,

berbunyi

Article 20

“(1) Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and

association.

(2) No one may be compelled to belong to an association.”46

Hal ini pun diatur dalam hukum Indonesia, hal ini tertuang dalam UUD

1945 Pasal 28E Ayat (3) yang berbunyi,

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.47

Dan juga Pasal Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi,

45
Universal Declaration of Human Rights, Article 19, Hlm. 40 (online), tersedia di:
https://www.un.org/en/udhrbook/pdf/udhr_booklet_en_web.pdf
46
Universal Declaration of Human Rights, Article 20, Hlm. 42 (online), tersedia di:
https://www.un.org/en/udhrbook/pdf/udhr_booklet_en_web.pdf
47
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 28E Ayat (3) (online),
Tersedia di: http://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” 48

kebebasan mengemukakan pendapat tersebut harus dilaksanakan secara

bertanggung jawab. Maknanya, dalam mengemukakan pendapat harus

dilandasi akal sehat, niat baik, dan norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat. Dengan demikian, pendapat yang dikemukakan tersebut bukan

saja bermanfaat bagi dirinya, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain,

masyarakat atau bahkan bagi bangsa dan negara.49

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, terdapat lima asas

yang merupakan landasan kebebasan bertanggung jawab dalam berpikir dan

bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Ketelima asas

tersebut, yaitu adalah:50

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan

berlandasakan pada:

a. Asas Keseimbangan antara hak dan kewajiban;

b. Asas musyawarah dan mufakat;

c. Asas kepastian hukum dan keadilan;

48
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 28F(online), Tersedia di:
http://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf
49
Arnan Victor, “Kebebasan Berpendapat di Indonesia”, (online), tersedia di:
https://www.kompasiana.com/arnanvictor/5836efbd329773232e5ae87c/kebebasan-berpendapat-
di-indonesia?page=all
50
ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

d. Asas profesionalitas; dan

e. Asas manfaat.”51

4. Media Sosial

Andreas Kaplan dan Michael Haenlin mendefinisikan media sosial sebagai

“sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar

teknologi Web 2.0, dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-

generated content”.52

Media sosial teknologi mengambil berbagai bentuk termasuk majalah,

forum internet, weblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau

gambar, video, peringkat dan bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set

teori-teori dalam bidang media penelitian (kehadiran sosial, media kekayaan)

dan proses sosial (self-presentasi, self-disclosure).53

Terdapat beberapa karakteristik dari media sosial, yaitu adalah:

1. Partisipasi Pengguna

2. Terdapat Keterbukaan

3. Adanya perbincangan yang terjadi

4. Saling terhubung

Adapun fungsi umum dari media sosial sendiri yaitu:

51
Undang-Undang No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum, Pasal 3 (online), Tersedia di:
https://radenfatah.ac.id/tampung/hukum/20161123113545uu-09_1998_tth_kemerdekaan-
menyampaikan-pendapat-di-muka-umum.pdf
52
“Media Sosial” (Online), Tersedia di: https://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial
53
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

1. Memperluas interaksi sosial manusia dengan memanfaatkan teknologi

dan website;

2. Menciptakan komunikasi dialogis antara banyak audiens;

3. Melakukan transformasi manusia yang dulunya pemakai isi pesan

berubah menjadi pesan itu sendiri;

4. Membangun personal branding bagi para pengusaha ataupun tokoh

masyarakat;

5. Sebagai media komunikasi antara pengusaha ataupun tokoh

masyarakat dengan paa pengguna media sosial lainnya. 54

Tidak lepas daripada karakteristik serta fungsi umum, terdapat

beberapa tujuan daripada adanya media sosial itu sendiri, antara lain:

1. Aktualisasi diri

bagi sebagian orang, media sosial merupakan tempat untuk

menunjukkan bakat dan keunikan sehingga dapat dilihat oleh banyak

orang.

2. Membentuk komunitas

komunitas online menjadi wadah tempat berkumpul bagi orang-

orang yang memiliki minat yang sama, untuk saling berkomunikasi

dan bertukar informasi atau pendapat.

3. Menjalin hubungan pribadi

Media sosial berperan penting dlam aktivitas menjalin hubungan

personal dengan orang lain secara pribadi.

54
“Pengertian Media Sosial Secara Umum” (Online), Terdapat di:
https://www.maxmanroe.com/vid/teknologi/internet/pengertian-media-sosial.html

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

4. Media pemasaran

Melihat pasar atau pengguna media sosial yang sangat besar

menjadikan media sosial menjadi tempat yang sangat potensial untuk

mempromosikan sesuatu, baik jasa maupun barang.55

5. Hoax

Hoax yang berasal dari kata”focus Pocus” yang berasal dari bahasa latin

“hoc est corpus”, yang berarti berita palsu. Hoax juga terdapat dalam bahasa

Inggris yaitu “Hoax” yang memiliki arti yang sama yaitu berita palsu. Secara

terminology, hoax adalah pesan palsu yang digunakan untuk menipu atau

mempengaruhi para pembaca atau pembagi pesan tersebut untuk

mempercayai sesuatu walaupun sumber beritanya sama sekali tak berdasar.56

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto di dalam bukunya

menerangkan Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya.57

55
Ibid.
56
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, “Hoax Dalam Kajian Pemikiran Islam dan
Hukum Positif”. Jurnal Sosial&Budaya Syar-I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Vol.V No.3, 2018. Hlm.291
57
Soerjono Soekanto.2006.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: UI-Press. Hlm.43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan

dalam penelitian skripsi ini adalah dengan penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis

dari bahan pustaka atau bahan rujukan bidang hukum.58

2. Sumber Data

Dalam rangka melaksanakan penelitian ini agar mendapatkan data yang

tepat, digunakan sumber data yaitu Kepustakaan. Menurut Sanapiah Faisal,

yaitu:59

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat

binding atau mengikat, yaitu: Studi pustaka adalah sumber data yang

bukan manusia. Dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan

cara mempelajari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau peraturan atau

kebijakan-kebijakan yang berlaku dan behubungan erat dengan

efektifitas dari perangkat hukum yang berlaku terkait hak kebebasan

berpendapat terutama di platform media sosial seperti Undang –

Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum, Pasal 28 E Ayat (3) Undang-Undang Dasar

1945, adapun beberapa perangkat Hukum Internasional seperti UDHR

dan juga ICCPR.

58
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. Hlm. 33
59
Sanapiah Faisal,”Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar dan Aplikasi”. (Malang, YA3,
2007). Hlm.42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku penunjang, hasil-

hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, jurnal-jurnal yang

bersangkutan dan sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang, mencakup

bahan-bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum,

misalnya yang berasal dari bidang: sosiologi dan filsafat dan lain

sebagainya, yang dapat dipergunakan untuk melengkapi ataupun

menunjang dalam penelitian.60

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian penelitian ini menggunakan studi

kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti dan

menganalisis data-data sekunder seperti konvensi-konvensi Internasional,

buku, jurnal ilmiah, artikel dari internet, serta bahan-bahan lain yang

berhubungan dengan materi dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Tahap selanjutnya adalah analisis data. Pada tahap ini data yang

dikumpulkan diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat

digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terdapat

dalam penelitian ini. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini

60
Soerjono Soekanto. “Pengantar Penelitian Hukum”. (Jakarta, Penerbit UI Press, 2001).
Hlm.9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

adalah analisis data bersifat kuantitatif normatif. Adapun pengertian

daripada penelitian kuantitatif sendiri merupakan penelitian ilmiah yang

sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-

hubungannya, tujuan daripada penelitian ini adalah mengembangakan dan

menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang

berkaitan dengan fenomena alam.61

Penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan

penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data

sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,

teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.62

Adapun manfaat daripada penelitian hukum normatif adalah:

1. Mengetahui atau mengenal apa dan bagaimana hukum positif dari suatu

masalah tertentu;

2. Dapat menyusun dokumen-dokumen hukum (pekerjaan penegak dan

praktisi hukum);

3. Menulis makalah atau buku hukum;

4. Dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apa dan

bagaimana hukum mengenai peristiwa atau masalah tertentu;

5. Melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum;

6. Menyusun rancangan peraturan perundang-undangan;

61
“Penelitian Kuantitatif” (Online), Tersedia di:
https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kuantitatif
62
“Pengertian Hukum Normatif” (Online). Tersedia di: https://idtesis.com/pengertian-
penelitian-hukum-normatif-adalah/

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

7. Menyusun rencana pembangunan hukum.63

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman dan terarahnya penelitian ini, maka

garis besar daripada pembahasan penelitian akan diuraikan melalui sistematika

penelitian. Terdapat ringkasan daripada masing-masing bab yang terdapat dalam

penelitian ini. Adapun sistematika penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Bab I daripada penelitian ini menjabarkan latar belakang, tetang mengapa

penelitian ini dilakukan kemudian perumusan masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini yang diikuti dengan tujuan dan manfaat penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini dan berakhir dengan sistematika penelitian.

Bab II akan membahas tentang aspek historis dan aspek yuridis daripada

hak kebebasan berpendapat itu sendiri dan juga beberapa hukum internasional

terkait yang membahas mengenai hak kebebasan berpendapat terutama di media

sosial, serta ruang lingkup media sosial itu sendiri.

Bab III akan membahas tentang perangkat-perangkat hukum nasional

Indonesia yang mengatur mengenai hak kebebasan berekspresi terutama hak

kebebasan berpendapat di media sosial serta perbandingannya dengan hukum

internasional.

63
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

Bab IV akan membahas tentang bagaimana pengaturan mengenai hoax

kaitannya dengan kebebasan berpendapat dalam hukum nasional dan hukum

internasional serta contoh-contoh kasus mengenai hoax yang ada di Indonesia.

Bab V adalah bab terakhir dalam penelitian ini, merupakan rangkuman

intisari daripada seluruh bab hasil penelitian, dilakukan sebagai bagian akhir

daripada penelitian ini. Terdapat kesimpulan serta diikuti dengan saran yang

diharapkan dapat bermanfaat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

HAK KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM HUKUM

INTERNASIONAL

A. Batasan dan Perkembangan Media Sosial

Pada tahun 1996, Komisi Eropa menyatakan “a unique characteristic of

the internet is that it functions simultaneously as a medium for publishing and for

communication. Unlike the case of traditional media, the Internet supports a

variety of Communication modes: one-to-one, one-to-many, and many-to-many.

An Internet user may “speak” or “listen” interchangeably. At any given time, a

receiver can and does become content provider, of his own accord, or through

“re-posting” of content by a third party. The Internet therefore is radically

different from traditional broadcasting. It also differs radically from a traditional

telecommunication service”.64

Menurut uraian diatas bahwa internet memiliki karakteristik yang unik,

internet memiliki fungsi sebagai media untuk publishing dan juga komunikasi.

Tidak seperti media tradisional, internet memiliki beberapa variasi komunikasi,

dari orang ke orang, orang ke banyak orang, dan banyak orang ke banyak orang.

Pengguna internet dapat “berbicara” ataupun “mendengar” secara bergantian.

Seorang penerima dapat menjadi penyedia konten saat ia menghendakinya

ataupun melalui teknik “re-posting” dari pihak ketiga.

64
Rikke Frank Jorgensen. “Internet and Freedom of Expression”. (European Master
Degree in Human Rights and Democratisation, Raoul Wallenberg Institute, 2001). Hlm. 23,

37
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38

Internet sudah mampu menggantikan media massa konvensional seperti

televisi, radio, maupun media cetak seperti Koran, majalah, dan sejenisnya.

Perpaduan teknologi teks, suara, gambar yang menjadi hidup karena dapat terjadi

secara interaktif, menjadikan internet menjadi media yang sangat unggul saat

ini. 65 Istilah yang mendeskripsikan Internet dengan tepat adalah: Internet

merupakan sebuah “Jaringan”. Jaringan global dengan host-host komputer, jalur

telekomunikasi dan gerbang yang menyatukan host-host tersebut. Hasilnya adalah

sebuah desentralisasi media global komunikasi – sebuah “cyberspace”- yang

menyambungkan orang-orang, institusi-institusi, korporasi-korporasi, dan

pemerintahan di seluruh dunia. “The Internet is not a physical or tangibale entity,

but rather a giant network, which interconnects innumerberable smaller groups of

lined computer networks. It is thus a network of network”.66

Internet adalah jaringan global yang menyambungkan berjuta-juta orang di

seluruh dunia. Teknologi komunikasi modern pada prinsipnya ingin

menyampaikan nilai, perspektif dan ide kepada orang dari berbagai budaya, kelas

sosial dan usia di seluruh dunia.67 Internet memfasilitasi integrasi lintas budaya

dimana budaya seperti benda, ide, kepercayaan, dan pola kebiasaan saling

dipertukarkan atau saling berhubungan sampai tingkat-tingkat tertentu. Sebagai

contoh, orang-orang menggunakan internet dengan maksud menciptakan

lingkungan yang suportif untuk mempersatukan orang-orang dan berbagi dalam

65
Salman, “Media Sosial sebagai Ruang Publik”, Tanpa Tahun, Jurnal Bisnis dan
Komunikasi Ilmu Komunikasi Institut Teknologi dan Bisnis Kalbis, Jakarta. Hlm. 124
66
Ibid. Hlm.21
67
Tony Yuri Rahmanto, “Kebebasan Berekspresi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia:
Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi Jawa Barat”. 2016. Badan
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM. Hlm.49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

berbagai cara agar informasi-informasi baru dapat diperoleh. Internet

mempromosikan kultur global dan hasil daripada percampuran kultur tersebut,

menyebabkan aspek kultural suatu Negara menyebar dari satu Negara ke Negara-

negara lain. Internet juga meningkatkan komunikasi antar budaya dan mengubah

masyarakat dengan menjadi jembatan pemersatu bagi orang-orang yang memiliki

perbedaan iman dan kepercayaan. Akan tetapi, internet tidak meleburkan

banyaknya perbedaan kultur di dunia menjadi satu kultur. Walaupun internet

beroperasi pada kultur global, seseorang akan tetap menjadi anggota pada suatu

kultur tertentu.68

Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media mengemukakan

bahwa teknologi komunikasi membawa perubahan dari media cetak ke media

elektronik, serta memainkan peran penting dalam tatanan sosial dan budaya baru.

Salah satu bagian penting dari konsep ini adalah terciptanya global village (desa

global), sebuah bentuk baru organisasi sosial yang muncul ketika media

elektronik mengikat dunia dalam satu tatanan. Kondisi ini akan membawa

perubahan proses distribusi pesan, dimana media baru mentransformasi

pengalaman individu dan masyarakat tentang pesan media untuk kemudian

menjadi perpanjangan tangan manusia. Media telah memperpendek pandangan,

pendengaran, dan sentuhan melalui ruang dan waktu.69 Apa yang dikemukakan

McLuhan itu saat ini terbukti benar dengan kehadiran media baru berbasis internet

yang hampir mendominasi seluruh kegiatan manusia. Bahkan kini internet tidak

68
Kitsuron Sangsuvan, Op.Cit. Hlm.728
69
Apriadi Tambukara, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa.
( Jakarta: PT Raja Grafinfo Persada, 2013) dikutip oleh Rani Diah Anggraini, “Hoax dan Hate
Speech, Representasi Negatif Kebebasan Berpendapat”, (Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta,
Tanpa Tahun) Hlm.3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

hanya menjadi sarana untuk mencari informasi, tetapi sudah menjadi sumber

pendapatan bagi perorangan maupun organisasi.70

Perkembangan media massa konvensional menjadi media massa digital

atau “media sosial” saat ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi internet

itu sendiri. Media sosial merupakan media online, dimana pengguna media ini

dapat berpartisipasi secara interaktif dengan peserta lain, berbagi, maupun

menciptakan konten melalui blog, jaringan sosial, maupun forum. Media sosial

memungkinkan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk

menyebarkan informasi sesuai dengan agendanya sendiri, memberikan komentar,

bahkan beradu argumentasi dengan individu lainnya. Setiap individu memiliki

kesempatan menyuarakan berbagai peristiwa sesuai dengan perspektifnya masing-

masing.71

Banyak infomasi yang didapat dari media sosial yang luput dari berita

media massa konvensional. Media sosial sebagai perwujudan konsep ruang publik

digital, wajar jika media sosial dimanfaatkan oleh para penggiat demokrasi dalam

hal ini, para aktor dan elit politik untuk menyebarkan segala bentuk komunikasi

politik dalam membangun dan menjaga konstituennya untuk mendapatkan simpati

dan juga bentuk pertanggung jawaban atas hal-hal yang sudah mereka lakukan.72

Dalam era digital, mudah bagi setiap orang untuk berbicara secara langsung atau

menulis melalui media sosial73.

70
Ibid. Hlm.3
71
Salman, Loc.Cit.
72
Salman, Op.Cit. Hlm.125
73
Putu Eva Ditayani Antari, “Tinjauan Yuridis Pembatasan Kebebasan Berpendapat
Pada Media Sosial di Indonesia”. 2017. Jurnal Hukum Undiknas Vol.4 No.1, Hlm.15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

Media sosial sendiri memiliki beberapa definisi. Merriam-Webster

mendefinisikannya sebagai “bentuk daripada komunikasi elektronik (sebagaimana

web sites untuk jejaring sosial dan microblogging) dimana pengguna dapat

membuat komunitas online untuk membagikan informasi, ide-ide, pesan pribadi,

dan konten lainnya (seperti video).” Definisi lain ialah “platform interaktif dimana

individual-individual membuat dan membagikan konten yang dibuat para

pengguna.” Definisi pertama mempertegas communities user-created atau

komunitas yang dibuat pengguna; yang kedua mempertegas content user-

generated content atau konten yang dibuat pengguna. Apabila digabungkan,

definisi-definisi ini mempertegas para individual – bukan perusahaan-perusahaan

atau institusi-institusi – sebagai tempat kehidupan online semacam ini. Para

pengguna, dalam dunia ini, merupakan keduanya, pembuat konten yang mereka

bagikan juga pembuat jaringan-jaringan dimana mereka membagikan konten

tersebut. Lembaga mediasi – seperti perusahaan dan institusi – sebagian besar

dikecualikan.74

Beberapa jenis media sosial yang banyak digunakan pada saat ini, baik di

Indonesia maupun di mancanegara, yaitu facebook, twitter, instagram, youtube,

linkedIn, whatsapp, line, dan lain-lain. Sebagaimana gambar dibawah ini:

74
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee, Op.Cit. Hlm.6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

Gambar No. 2.1. Tampilan home Facebook

Sumber: https://web.facebook.com/?_rdc=1&_rdr (Dikutip tanggal 19


Juli 2019)

Gambar No. 2.2. Tampilan Feed Twitter

Sumber : https://twitter.com (Dikutip tanggal 19 Juli 2019)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

Gambar No. 2.3. Tampilan feed Instagram

Sumber: https://www.instagram.com (Dikutip tanggal 19 Juli


2019)

Gambar No. 2.4. Tampilan home Youtube

Sumber: https://www.youtube.com (Dikutip tanggal 19 Juli 2019)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

Gambar No. 2.5. Tampilan home LinkedIn

Sumber: https://www.dummies.com/social-media/linkedin/how-to-use-
the-linkedin-home-page/ (Dikutip tanggal 19 Juli 2019)

Gambar No. 2.6. Tampilan home Line

Sumber: https://line.me/en/ (Dikutip tanggal 19 Juli 2019)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

Gambar No. 2.7. Tampilan aplikasi Whatsapp

Gambar 2.7. Tampilan apli

Sumber: https://www.whatsapp.com (Dikutip tanggal 19 Juli 2019)

Seiring dengan perkembangan teknologi maka kebebasan berpendapat


75
mulai mengalami perubahan terutama dengan maraknya media sosial ,

Perkembangan media sosial terjadi dengan sangat pesat. Pada tahun 2019

Facebook memiliki 2.83 milyar pengguna 76 , Whatsapp memiliki 450 juta

pengguna 77 , Line memiliki 600 juta pengguna 78 , Instagram memiliki 1 milyar

75
Putu Eva Ditayani Antari, Op.Cit. Hlm.17
76
Number of monthly active Facebook users worldwide (Online), tersedia pada:
https://www.statista.com/statistics/264810/number-of-monthly-active-facebook-users-worldwide/
77
WhatApp Reevenue and Usage Statistics (2019), Tersedia pada:
https://www.businessofapps.com/data/whatsapp-statistics/
78
65 Amazing LINE Statistics and Facts (2019) By the number (Online), Tersedia pada:
https://expandedramblings.com/index.php/line-statistics/

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

pengguna79, Twitter memiliki 275 juta pengguna 80, LinkedIn memiliki 500 juta

pengguna81, dan Youtube memiliki 50 juta creators.82

Gambar No.2.8. Data Pengguna media sosial di Indonesia

Sumber: https://websindo.com/indonesia-digital-2019-media-sosial/
(Dikutip tanggal 19 Juli 2019)

Perkembangan Media sosial di Indonesia juga terjadi dengan sangat pesat,

berdasarkan data diatas yang dilakukan pada Januari 2019, 56% dari total populasi

di Indonesia yang berjumlah 269 juta83 merupakan pengguna aktif media sosial,

adapun jumlah keseluruhan dari pengguna sosial di Indonesia adalah 150 juta

79
10 Instagram Stats Every Marketer Should know in 2019 [Infographic] (Online),
Tersedia pada: https://id.oberlo.com/blog/instagram-stats-every-marketer-should-know
80
Number of Twitter users worldwide from 2014 to 2020 (in millions) (Online), Tersedia
pada: https://www.statista.com/statistics/303681/twitter-users-worldwide/
81
48 Eye-Opening LinkedIn Statistics for B2B Marketers In 2019 (Online), Tersedia
pada: https://foundationinc.co/lab/b2b-marketing-linkedin-stats/
82
Youtube by the Numbers: Stats, Demographics & Fun Facts (Online), Tersedia pada:
https://www.omnicoreagency.com/youtube-statistics/
83
“Current World Population”, Diakses pada https://www.worldometers.info/world-
population/

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

pengguna, 130 juta pengguna mengakses media sosial melalui perangkat mobile,

yang setidaknya 48% pengguna aktif menggunakan media sosial melalui

perangkat mobile.84

Media sosial memberikan kesempatan kepada siapapun untuk terlibat di

dalamnya secara langsung. Banyak masyarakat mengambil kesempatan tersebut

untuk sekedar terlibat didalamnya, bagi sebagian masyarakat memanfaatkan

media sosial untuk kegiatan berbagi informasi. Akan tetapi tidak sedikit

masyarakat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi untuk

menampilkan dirinya sebagai bentuk eksistensi keberadaannya. Tidak terlepas

masyarakat kelas atas maupun kelas bawah, muda atau tua, laki-laki atau

perempuan, bahkan mulai dari pengamen sampai presiden mereka memanfaatkan

media sosial untuk mengabarkan informasi apa yang dilakukannya.85

Kebebasan memanfaatkan media sosial melahirkan kebebasan tersendiri

bagi masyarakat, mereka bebas menyuarakan apa yang harus disampaikan pada

masyarakat melalui media sosial tersebut, yang mana media sosial merupakan

keberhasilan dari kaum kapitalis dalam memberdayakan seluruh lapisan

masyarakat. Menurut Poespowardojo, “Benang merah pemikiran Habermas

mengenai demokrasi dalam masyarakat yang hidup di era kapitalisme lanjut

adalah menciptakan ruang publik yang terbuka bebas bagi semua pihak untuk

terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik, konsep ruang publik yang

demikian hanya mungkin tercipta melalui proses komunikasi.”86

84
Ibid.
85
Salman, Loc.Cit.
86
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

Euphoria masyarakat dalam menyambut keberadaan media sosial sebagai

sarana berekspresi dan berpendapat ternyata menimbulkan masalah ketika hal

tersebut bertentangan dengan ajaran hukum. 87 Sebagaimana media sosial telah

menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat, adapun beberapa kegiatan yang

dapat dilakukan masyarakat melalui media sosial yaitu:88

1. Untuk menyalurkan opini pribadi kepada publik;

2. Merupakan sarana untuk menjalankan usaha, sebagai upaya promosi; dan

3. Efektif sebagai sarana provokasi dan publikasi.89

Relevasi internet dan kebebasan berpendapat menurut Frank William La

Rue bahwa internet merupakan media yang mampu menjadi sarana yang penting

dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi. Pandangan ini juga didukung

oleh Yanuar Nugroho yang menyampaikan bahwa internet memberikan

kesempatan bagi setiap individu untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya,

bahkan mendapat respon melalui cara-cara yang tidak terbayangakan

sebelumnya.90

Euforia dalam menikmati kebebasan berpendapat ini ternyata tidak disertai

dengan adanya pemahaman mengenai esensi dari kebebasan berpendapat dan rasa

tanggung jawab dalam pelaksanaannya. Masyarakat hanya fokus pada haknya

untuk berpendapat dan lupa akan kewajibannya dalam menggunakan hak

kebebasan ini.91 Oleh karena itu regulasi sangatlah penting bagi keteraturan dan

keseimbangan hubungan media baik dengan pemerintah, masyarakat, sesama

87
Putu Eva Ditayani Antari, Loc.Cit.
88
Ibid. Hlm. 21
89
Ibid. Hlm. 22.
90
Ibid.
91
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

industri media dan global media. Pengertian regulasi media sendiri ialah aturan-

aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan yang mengatur hubungan dan

operasional media massa. Akan tetapi hal ini tidak jarang dianggap sebagai suatu

aturan yang bersifat membatasi, adanya kontrol penuh oleh Negara, dan bahkan

dianggap sebagai penghalang atas kebebasan berekspresi. Namun, harus diakui

bahwa regulasi media sangat diperlukan, adapun beberapa alasan pentingnya

penguatan pada regulasi media,92

1. Regulasi media membantu masyarakat mendapatkan informasi sesuai

dengan tuntutan dan kualitas tertentu;

2. Regulasi mempunyai sisi dimana menjaga aturan pasar agar tidak

terciptanya monopoli atau bahkan komersialisasi dari media; dan

3. Regulasi bukanlah sebagai sarana dari kaum mayoritas untuk mendominasi

kaum minoritas.93

Berdasarkan tiga alasan tersebut, regulasi justru tetap dapat menjunjung tinggi

nilai kebebasan berekspresi setiap individu serta penghormatan hak asasi manusia

dan bahkan dapat memaksa mayoritas untuk tetap mau untuk tetap mau membuka

diri terhadap kritik atas penyimpangan yang telah dilakukan.94

B. Sejarah Hak Kebebasan Berpendapat dalam Hukum Internasional

Perlindungan kebebasan berpendapat dalam hukum internasional

mengenai hak asasi manusia dikaitkan erat dengan kehancuran yang terjadi dalam

perang dunia ke-2. Kekejian yang dilakukan oleh Amerika saat perang dunia ke-2
92
Tony Yuri Rahmanto. Op.Cit. Hlm. 51
93
Ibid.
94
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

dan ketidakmampuan mereka untuk melindungi orang-orang dari kehancuran

yang disebabkan oleh perang merupakan kegagalan mencolok yang dilakukan

oleh Westphalian model95 dalam hukum internasional. 96

Bencana ini mengharuskan pendekatan internasional terhadap

perlindungan hak asasi manusia untuk menjamin keadilan, ketentraman, serta

keamanan internasional. Berlawanan dengan perang yang berlatar belakang

dengan pembantaian, dunia berusaha sangat keras untuk ketentraman dan

keamanan internasional di masa depan. Hal ini dapat dilihat pada piagam PBB.

Elemen-elemen penting yang saling berkaitan dalam piagam ini ialah

menghormati martabat, hak-hak fundamental, serta kebebasan manusia untuk

ketentraman dan keamanan internasional.97

Hubungan yang sama dapat dilihat dari pidato Presiden Rooselvelt

mengenai „Four freedom Speech‟ yang mempelopori piagam tersebut. 98 Dalam

pidato ini, Rooselvelt menyembutkan bahwa masyarakat haruslah memiliki 4

kebebasan, the freedom of speech, freedom of worship, freedom of from want,

freedom from fear.99 Dalam pidato ini, Rooselvelt mengutip kehormatan universal

untuk kebebasan berpendapat (diantar hak-hak lainnya) sebagai hal yang utama

untuk kedamaian dunia. Hubungan antara hak asasi manusia yang umum dan

kebebasan berekspresi ini secara khusus mendorong hak atas statusnya saat ini

95
Westphalian model konsep kedaulatan Negara-negara di teritorinya sendiri tanpa
campur tangan agen asing dalam struktur domestiknya
96
Eric Kiber Morusoi. “The Right To Freedom of Expression And Its Role In Political
Transformation In Kenya”.(Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum University of Pretoria, Pretoria,
2016). Hlm.152.
97
Ibid.
98
Ibid. Hlm.153
99
“Our Documents: Franklin Rooselvelt‟s Annual Address to Congress – The “Four
Freedoms” Tersedia di: http://docs.fdrlibrary.marist.edu/od4freed.html

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

sebagai bahan hukum hak asasi manusia internasional. Setelah itu, asprirasi yang

diungkapkan dalam piagam PBB mengenai hak-hak fundamental dan kebebasan-

kebebasan akhirnya diwujudkan dalam UDHR yang diadopsi oleh Majelis PBB

pada Desember 1948.100

Jaminan hukum mengenai hak kebebasan berekspresi muncul di

Scandinavia pada Abad ke-18, hak inipun ditetapkan di Perancis pada tahun 1789

dan pada konstitusi Amerika pada tahun 1791. Hari ini hak kebebasan

berpendapat dikenal dan diterapkan diseluruh dunia.101

Konsep modern daripada Kebebasan berpendapat dianggap berasal dari

ide Locke mengenai hak dan hukum alam, kemunculan liberalisme klasik dan

perkembangan politik yang signifikan di Eropa dan Amerika. Reformasi agama di

Eropa yang terjadi pada abad ke-16, ide Locke mengenai hak alami dan hukum

alam, liberalisme klasik yang diartikulasikan oleh Mill (dan lainnya), kemunculan

hak istimewa parlemen dan perang dunia ke-2, semua hal tersebut membentuk

konsep sementara daripada kebebasan berekspresi.102

Hak kebebasan berpendapat adalah konsep yang diwariskan hak asasi

untuk menyuarakan pendapat secara terbuka tanpa harus takut akan disensor

ataupun dihukum. “berpendapat” tidak terbatas pada berbicara di depan umum

dan umumnya dianggap termasuk dalam bentuk lain daripada ekspresi. Hak ini

dilindungi pada United Nations Declaration of Human Rights dan dikabulkan

100
Eric Kiber Morusoi. Loc.Cit
101
Kitsuron Sangsuvan, Op.Cit. Hlm.707
102
Ibid. Hlm. 147.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

pengakuan formalnya pada hukum-hukum di kebanyakan Negara. Namun, sejauh

mana hak tersebut dipratikkan sangat bervariasi di berbagai Negara.103

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak pokok yang dimiliki

manusia, yang digambarkan berdasarkan nilai-nilai otonomi dan demokrasi

personal. Hak kebebasan berpendapat terhubung erat dengan kebebasan berpikir

dan persyaratan untuk kebebasan dan kepuasan individu. Hak seseorang untuk

berekspresi dan memperbolehkan seseorang membuka topik perdebatan mengenai

politik, sosial dan nilai moral, mendukung upaya artistik dan ilmiah yang bebas

hambatan. Kebebasan berekspresi tidak bersifat absolut, karena debat terbuka dan

otonomi personal dapat menyebabkan konflik antara nilai dan hak yang dihormati

oleh sistem. Oleh karena itu, hak kebebasan berekspresi dapat dibatasi oleh

sistem.104

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak tertua dan paling di

hormati dalam sejarah perkembangan sipil, sering juga disebut sebagai “the first

freedom” atau kebebasan pertama. Konsep daripada hak kebebasan berpendapat

bermula di Athena dan tulisan dari Plato dan Euripides. Konsep kebebasan ini

juga dapat ditemukan pada dokumen-dokumen di abad ke-17 seperti 1688 English

Bill of Rights, yang menyediakan kebebasan berpendapat untuk legislator yang

dibatasi oleh parlemen. Karena itu, tidak mungkin legislator akan terkena dampak

untuk apapun yang dikatakannya selama debat parlemen.105

103
“Freedom of Speech by Country” (Online), Tersedia di:
https://en.wikipedia.org/wiki/Freedom_of_speech_by_country
104
Rikke Frank Jorgensen. Op.Cit. Hlm.33
105
Kitsuron Sangsuvan, Loc.Cit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

The United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki

peran yang penting dalam mempromosikan dan melindungi Hak Asasi Manusia

(HAM) di seluruh dunia. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UN Charter atau Piagam

PBB 106 , yang berisikan “(3) To achieve international cooperation in solving

international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian charter,

an in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental

freedoms for all without disntinction as to race, sex, language, or religion”107,

salah satu prinsip tujuan daripada PBB adalah “untuk mencapai kerjasama

Internasional dalam mempromosikan dan juga mendukung kehormatan untuk hak

asasi dan untuk kebebasan dasar untuk semua orang tanpa perbedaan seperti ras,

gender, bahasa, ataupun agama.” Kebebasan berpendapat juga masuk dalam

cangkupan hak asasi manusia internasional yang dilindungi oleh PBB. 108

C. Instrumen Hukum Internasional Tentang Kebebasan Berekspresi

Berdasarkan penelusuran literatur diketahui terdapat beberapa instrumen

hukum internasional yang mengatur mengenai hak kebebasan bereskpresi,

sebagaimana diatur dalam:

1. The Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR)

The Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR) atau

Deklarasi Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, didasari oleh pemikiran

bahwa ada beberapa “standart umum kepatutan yang bisa dan harus diterima oleh

106
Ibid.
107
Charter of the United Nation, Article 1 (3), Tersedia pada:
http://legal.un.org/repertory/art1.shtml
108
Kitsuron Sangsuvan. Loc.Cit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

orang-orang dan kultur di seluruh dunia”. Pada tahun 1948, UN General

Assembly mengadopsi Universal Declaration of Human Rights sebagai prinsip

yang dapat diterima dan diterapkan oleh seluruh dunia. Dokumen tersebut

memuat 30 pasal yang memiliki garis besar mengenai hak Universal, termasuk

hak untuk hidup, keamanan seseorang, pengadilan yang adil, kebebasan bergerak,

dan kebebasan beragama dan berpendapat.109

UDHR dipelopori oleh pidato Presiden Rooselvelt mengenai „Four

freedom Speech‟. Dalam pidato tersebut, Ia berpendapat bahwa kehormatan

universal untuk kebebasan berpendapat (diantara hak-hak lainnya) sebagai hal

yang utama untuk kedamaian dunia. Hubungan antara hak asasi manusia yang

umum dan kebebasan berekspresi ini secara khusus mendorong hak atas

statusnya saat ini sebagai bahan hukum hak asasi manusia internasional. Setelah

itu, asprirasi yang diungkapkan dalam piagam PBB mengenai hak-hak

fundamental dan kebebasan-kebebasan akhirnya diwujudkan dalam UDHR yang

diadopsi oleh Majelis PBB pada Desember 1948. Diantara hak-hak yang

disebutkan, hak kebebasan berekspresi terdapat dalam Pasal 19110, yang berbunyi

sebagai berikut:

Article 19

“ Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right

includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive, and

impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.” 111

109
Ibid, Hlm. 709.
110
Eric Kiber Morusoi, Op.Cit, Hlm.153.
111
Universal Declaration of Human Rights, Article 19.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

Disebutkan dalam Pasal tersebut bahwa semua orang memiliki kebebasan

dalam berpendapat ataupun berekspresi, hak ini juga mencakup hak berpendapat

tanpa adanya gangguan, dan mencari, menerima, serta menyebarkan informasi

melalui media apapun terlepas dari batasan-batasan yang ada.

Walaupun UDHR memang tidak memiliki kekuatan mengikat secara

hukum, namun UDHR disetujui menjadi dasar hukum bagi hukum-hukum

internasional mengenai hak asasi manusia. UDHR telah menginspirasi banyak

hukum serta perjanjian-perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia, dan

mempresentasikan pengakuan universal atas nilai-nilai tertentu. 112 Penerimaan

universal atas UDHR dan langkah-langkat yang diambil selanjutnya oleh Negara-

negara terkait UDHR telah meningkatkan status UDHR.113

Selama bertahun-tahun nilai-nilai yang terdapat dalam UDHR telah

diubah menjadi hukum melalui perjanjian-perjanjian, hukum kebiasaan

internasional, prinsip-prinsip umum, kesepakatan regional dan hukum

domestik114, seperti halnya International Convenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) dan International Convention on Economic Social and Cultural Rights

(ICESCR). UDHR juga mempengaruhi isi dari Bills of Rights dalam Konstitusi-

konstitusi yang dibuat setelah tahun 1948. 115 UDHR menciptakan dasar-dasar

nilai dan norma yang penting yang juga dipakai oleh komunitas internasional.116

Namun sangat jarang bagi Negara untuk memasukkan seluruh pasal

UDHR ke dalam hukum domestik, oleh karena itu tidak semua kebebasan yang

112
Kitsuron Sangsuvan, Op.Cit. Hlm.710
113
Eric Kiber Morusoi, Op.Cit.
114
Kitsuron Sangsuvan, Op.Cit. Hlm.710
115
Eric Kiber Morusoi, Loc.Cit.
116
Kitsuron Sangsuvan, Op.Cit. Hlm.710

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

dijamin UDHR, seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi, dilindungi oleh

hukum kebiasaan internasional. Sementara bagi Negara yang menyatakan

komitmen terhadap prinsip-prinsip UDHR sebagai tujuan, adopsi keseluruhan

tidaklah diterapkan secara luas dan tidak ada konsekuensi terhadap

penyimpangan yang terjadi, karena kegagalan dalam totalitas mematuhi prinsip-

prinsip UDHR tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum

internasional.117

2. The International Convenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR)

Walaupun UDHR tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum,

namun UDHR menyediakan ketentuan-ketentuan penting serta prinsip-prinsip

yang dapat ditemukan pada International Convenant on Civil and Political

Rights (ICCPR). ICCPR merupakan bagian daripada International Bills of

Human Rights yang menjamin gambaran yang lebih luas dalam hal hak-hak sipil

dan politik.118

ICCPR memperluas perlindungan atas hal hak kebebasan berekspresi

diluar modalitas tradisional dan mengakomodasi modalitas ekspresi yang baru

bermunculan. Adapun Pasal 19 dari ICCPR: 119

Article 19

1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference.

2. Everyone shall have the rights to freedom of expression; this right shall

include freedom to seek. Receive, and impart information and ideas of all
117
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee. Op.Cit. Hlm.12
118
Kitsuron Sangsuvan, Loc.Cit
119
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee. Op.Cit. Hlm.13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the

form of art, or through any other media of his choice.

3. The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article

carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be

subject to certain restrictions, but therse shall only be such as are

provided by law and are necessary;

(a) For respect of the rights or reputations of others.

(b) For the protection of national security or of public order (ordre

public), or of public health or morals.120

Pasal 19 ICCPR tersebut menjelaskan bahwa semua orang memiliki hak

berpendapat tanpa diintervensi, serta mencari, mendapatkan, dan menyebarkan

informasi terlepas dari adanya batasan-batasan, yang dapat disampaikan melalui

media apapun baik tulisan, print, atau media lain yang dikehendakinya, namun

dalam praktik hak ini yang terdapat pada Ayat (2) disertai dengan kewajiban dan

tanggung jawab khusus, tapi pembatasan ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan

hukum dan apabila diperlukan untuk kepentingan menghormati hak atau reputasi

atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum,

kesehatan ataupun moral publik.

3. The European Convention on Human Rights (ECHR)

Pasal 10 The European Convention on Human Rights (ECHR)

menyediakan hak atas kebebasan berekspresi dan informasi, tunduk terhadap

120
International Convenant on Civil and Political Rights, Article 19 (Online) terdapat di:
https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

beberapa batasan tertentu yang “sesuai dengan hukum” dan “diperlukan dalam

masyarakat yang demokratis”. Hak ini termasuk dengan kebebasan untuk

menyatakan pendapat, menerima dan menyebarkan informasi dan ide121, adapun

isi pasalnya yaitu:

Article 10

1. Everyone has the right to freedom of expression. This right shall include
freedom to hold opinions and to receive and impart information and ideas
without interference by public authority and regardless of frontiers. This
article shall not prevent States from requiring the licesing of broadcasting,
television or cinema enterprises.
2. The exercise of these freedoms, since it carries with it duties and
responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions
or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic
society, in the interest of national security, territorial integrity or public
safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health
or morals, for the protection of the reputation or right of other, for
preventing the disclosure of information received in confidence, or for
maintaining the authority and impartiality of the judiciary.122

Dijelaskan pada ayat 1 pasal diatas bahwa semua orang memiliki hak

kebebasan berekspresi dan hak ini termasuk hak untuk berpendapat, menerima,

dan menyebarkan informasi dan ide-ide tanpa adanya intervensi dari pihak yang

berwenang walaupun terdapat batasan. Pasal ini tidak akan mencegah Negara

untuk mewajibkan adanya linsensi penyiaran, televisi, ataupun layar lebar.

Adapun dalam ayat 2 dalam pasal ini dijelaskan bahwa pelaksanaan kebebasan ini

karena disertai dengan tugas dan tanggung jawab, dapat diterapkan formalitas,

kondisi, pembatasan atau hukuman sebagaimana ditentukan oleh hukum dan yang

dibutuhkan dalam sebuah masyarakat sosial demokratis, kepentingan keamanan

121
“Article 10 of the European Convention on Human Rights” (Online), Tersedia pada:
https://en.wikipedia.org/wiki/Article_10_of_the_European_Convention_on_Human_Rights
122
The European Convention on Human Rights, Article 10 (Online), terdapat di:
https://www.echr.coe.int/Documents/Convention_ENG.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

nasional, integritas territorial, atau keamanan publik, untuk mencegah gangguan

atau kejahatan, perlindungan kesehatan moral, reputasi ataupun hak orang lain,

dan mencegah pengungkapan informasi yang diperoleh secara rahasia, dan

menjaga otoritas atau imparsialitas peradilan.

Ketentuan mengenai “lisensi perusahaan penyiaran, televisi ataupun layar

lebar”, yaitu hak Negara untuk melisensikan perusahaan media, diikutsertakan

karena terbatasnya frekuensi yang terjadi dan fakta bahwa, pada saat itu, sebgaian

besar negara-negara Eropa memonopoli penyiaran dan televisi. Keputusan

pengadilan lalu menyatakan bahwa “kemajuan teknis dalam beberapa dekade

terakhir, pembenaran pembatasan ini tidak dapat dibuat dengan mengacu pada

jumlah frekuensi dan saluran yang tersedia.” Monopoli public dalam media audio-

visual dinilai oleh pengadilan bertentangan dengan Pasal 10, terutama karena

mereka tidak dapat menyediakan sejumlah sumber informasi. Pengadilan juga

menilai bahwa perangkat untuk menerima informasi penyiaran, seperti satelit

parabola, tidak termasuk dalam batasan yang ditentukan dalam kalimat terakhir

ayat pertama.123

4. The American Convention on Human Rights (ACHR)

Pasal 13 The American Convention on Human Rights mengenai Freedom

of Thoughts and Expression berbunyi:

Article 13

1. Everyone has the right to freedom of thought and expression. This right
includes freedom to seek, receive, impart information and ideas of all
kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing, in print, in the form
of art, or through any other medium of one‟s choice.

123
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

2. The exercise of the right provided for in the foregoing paragraph shall not
be subject to prior cencorship but shall be subject to subsequent
imposition of liability, which shall be expressly estabilished by law to the
extend necessary to ensure;
a. Respect for the rights or reputations of others; or
b. The protection of national security, public order, or public health or
morals.
3. The right of expression may not be restricted by indirect methods or means,
such as the abuse of government of private controls over newsprint, radio
broadcasting frequencies, or equipment used in the dissemination of
information, or by any other means tending to impede the communication
and circulation of ideas and opinions.
4. Notwithstanding the provisions of paragraph 2 above, public
entertainments may be subject by law to prior cencorship for the sole
purpose of regulating access to them for the moral protection of childhood
and adolenscence.
5. Any propaganda for war and any advocacy of national, racial, or religious
hatred that constitude incitements to lawless violence or to any other
similar action against any person or group of persons on any grounds
including those of race, color, religion, language, or national origin shall
be considered as offenses punishable by law.124
Pasal diatas terdiri dari 5 ayat yang mengatur mengenai hak kebebasan

berekspresi, pada ayat (1) memiliki bunyi yang hampir sama dengan pasal 19 dan

pasal 19 ayat (2) ICCPR yang menyatakan bahwa seseorang berhak dalam

memiliki pemikiran dan ekspresi, hak ini mencakup kebebasan mencari,

memperoleh, dan menyebarkan informasi walaupun terdapat batasan, melalui

media apapun yang dipilihnya. Pada ayat (2) menyatakan bahwa praktik hak ini

yang disediakan pada ayat sebelumnya tidak harus tunduk terhadap sensor

sebelumnya namun harus tunduk terhadap lialibitas yang ditentukan dalam hukum

untuk menjamin kehormatan hak atau reputasi orang lain atau perlindungan

terhadap keamanan negara, keseimbangan publik juga kesehatan publik dan moral.

124
The American Convention on Human Rights, Article 13 (Online), Terdapat di:
https://www.cidh.oas.org/basicos/english/basic3.american%20convention.htm

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

Ayat (3) dari pasal diatas menjelaskan bahwa hak ini tidak boleh dibatasi

dengan secara tidak langsung dengan maksud apapun, seperti penyalahgunaan

kontrol pemerintah terhadap koran, frekuensi siaran radio, atau peralatan yang

digunakan dalam penyebaran informasi, atau dengan cara apapun yang

menghambat komunikasi dan sirkulasi ide dan pendapat. Pada ayat (4)

menyatakan bahwa terlepas dari ketentuan-ketentuan yang diatur pada ayat (2),

hiburan public dapat tunduk terhadap sensor dengan satu-satunya tujuan untuk

mengatur akses kepada mereka untuk perlindungan moral terhadap anak dan

remaja. Pada ayat terakhir memuat mengenai segala propaganda untuk perang dan

hasutan kebencian terhadap nasional, ras, atau agama yang menghasilkan tindakan

kekerasan tanpa disertai hukum atau tindakan serupa lainnya kepada seseorang

atau sekelompok orang kan dianggap sebagai pelanggaran pasal yang dapat

dihukum menurut hukum.

5. The African Charter on Human and Peoples’ Rights (ACHPR)

Pasal 9 The African Charter on Human and Peoples‟ Rights berbunyi:

1. Every individual shall have the right to receive information.

2. Every individual shall have the right to express and disseminate his

opinions within the law.125

Pasal 9 ayat (1) ACHRP menyatakan bahwa setiap individual memiliki

hak menerima informasi, dan pada pasal (2) menyatakan bahwa setiap individual

125
The African Charter on Human and Peoples‟ Rights, Article 9 (Online), Terdapat di:
http://www.humanrights.se/wp-content/uploads/2012/01/African-Charter-on-Human-and-Peoples-
Rights.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

memiliki hak untuk mengekspresikan dan menyebarluaskan pendapatnya

sebagaimana ditentukan dalam hukum.

D. Instrumen Hukum internasional mengenai Hak Kebebasan Berpendapat di

Media Sosial

Sebagaimana umumnya hukum internasional, hukum hak asasi manusia

internasional menghasilkan tanggung jawab yang harus dipatuhi atau dihormati

oleh Negara. Saat suatu Negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian hukum

hak asasi manusia, hukum tersebut membebankan tanggung jawab “untuk

menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia”.126

Kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia mengharuskan negara

untuk “menahan diri dari menganggu ataupun membatasi kenikmatan yang

didapat dari hak asasi manusia”. Kewajiban untuk melindungi mengharuskan

negara untuk “melindungi individual-individual dan kelompok dari pelanggaran-

pelanggaran hak asasi manusia”. Kewajiban untuk memenuhi dimaksudkan

bahwa Negara harus mengambil sikap positif untuk memfasilitasi kenikmatan

yang didapakan dari hak-hak asasi manusia yang mendasar.127

Berdasarkan penelusuran literatur diketahui terdapat beberapa instrumen

hukum internasional yang mengatur mengenai hak kebebasan bereskpresi, namun

yang menjelaskan mengenai pengaturan terutama di platform media sosial dengan

jelas hanyalah The International Convenant on Civil and Political Rights 1966

(ICCPR).

126
Kitsuron Sangsuvan, Op.Cit. Hlm.708
127
Ibid. Hlm. 709

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

ICCPR memperluas perlindungan atas hal hak kebebasan berekspresi

diluar modalitas tradisional dan mengakomodasi modalitas ekspresi yang baru

bermunculan.128 Terdapat kemiripan UDHR Pasal 19 dan ICCPR Pasal 19 Ayat

(2) yang sama-sama menjamin tentang hak kebebasan berekspresi, adapun isi

daripada pasal tersebut merupakan:129

“Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall

include freedom to seek, receive, and impart informations and ideas of all kinds,

regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art or

through any other media of his choice”130

Sebagaimana telah diuraikan pada pasal diatas, seseorang memiliki hak

berpendapat tanpa diintervensi. Hak kebebasan ini juga mencakup hak mencari,

mendapatkan, dan menyebarkan informasi terlepas dari adanya batasan-batasan

yang dapat disampaikan melalui media apapun baik secara lisan, tulisan, print,

atau media lain yang dikehendakinya.

Berdasarkan penjelasan diatas, dengan jelas dapat dipahami bahwa

sesungguhnya secara global maupun pada konstitusi, hak individu atas informasi,

berpendapat dan berekspresi, melalui berbagai media sangatlah dilindungi.

Sebagai pedoman atas pelaksanaan hak tersebut, secara umum dapatlah kita

mengacu pada prinsip-prinsip yang dicetuskan oleh Free Speech Debate dalam

128
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee. Op.Cit. Hlm.13
129
Toby Mendel, “Restricting Freedom of Expression: Standarts and Priciples”,
(Background Paper for meetings hosted by the UN Special Rapporteur on Freedom of Opinion and
Expression,Centre for Law and Democracy, Tanpa Tahun) Hlm.2
130
International Convenant on Civil and Political Rights, Article 19 (Online) terdapat di:
https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

bentuk “10 Prinsip Kebebasan Berpendapat”. Adapun 10 prinsip tersebut

merupakan sebagai berikut:131

1. Kita – semua manusia – harus bebas dan dapat mengekspresikan diri, dan

untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi, ide serta gagasan,

tanpa batasan;

2. Kita mempertahankan internet dan semua bentuk komunikasi lainnya

terhadap gangguan-gangguan yang tidak sah oleh kedua kekuatan publik

maupun swasta;

3. Kita membutuhkan dan membuat media yang terbuka beragam sehingga

kami dapat membuat keputusan berdasarkan informasi yang baik dan

berpartisipasi penuh dalam kehidupan politik;

4. Kita berbicara secara terbuka dan dengan sopan tentang segala macam

perbedaan manusia;

5. Kita mengizinkan untuk tidak ada tabu dan diskusi dan penyebaran

pengetahuan;

6. Kita tidak melakukan ancaman kekerasan serta tidak menerima adanya

intimidasi kekerasan;

7. Kita menghormati orang yang meyakini/mempercayai suatu hal tetapi bukan

berarti atas isi keyakinan atau kepercayaannya;

8. Kita semua berhak atas kehidupan pribadi tetapi harus menerima

pengawasan jika itu adalah demi kepentingan publik;

131
Amira Rahma Sabela & Dina Wahyu Pritaningtias. Op.Cit. Hlm.88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

9. Kita harus mempu untuk melawan penghinaan pada reputasi kita tanpa

menggangu atau membatasi perdebatan yang sah; dan

10. Kita harus bebas untuk menentang batasan kebebasan berekspresi dan

informasi yang selama ini berdasarkan alasan untuk keamanan nasional,

ketertiban umum, moralitas, dan perlindungan kekayaan intelektual.132

Laporan Special rapporteur mengenai promosi dan perlindungan

terhadap kebebasan beropini dan berekspresi berupaya menguraikan kapan ada

pembatasan yang diizinkan atas hak kebebasan berekspresi dalam media baru

dan berkembang yaitu media “online” dibawah Pasal 19. Laporan tersebut

menyatakan bahwa konten online dilindungi oleh hukum internasional mengenai

hak asasi manusia yang sama dengan yang melindungi konten offline tradisional.

Penangguhan hak kebebasan berekspresi pada konten online harus melewati tes

yang sama yang dilakukan pada konten tradisional. Standar ini terbagi dalam tiga

tahapan tes, yaitu:133

a. Pembatasan apapun harus disediakan oleh hukum, yang harus di

formulasikan dengan ketetapan yang memadai untuk memungkinkan

individual untuk mengatur perilaku mereka sesuai dan harus dapat diakses

oleh publik;

b. Pembatasan apapun harus mengikuti salah satu dasar hukum sah untuk

pembatasan yang terdapat dalam Pasal 19 Ayat (3) konvenan internasional ,

yakni:

132
Ibid.
133
Ibid, Hlm.14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

(i) Menghormati hak atau reputasi orang lain; atau

(ii) Perlindungan keamanan nasional, ketertiban, kesehatan, atau moral

publik;

c. Pembatasan apapun harus dapat dibuktikan penting dan sepadan, atau

setidaknya bermaksud membatasi untuk mencapai satu daripada tujuan

spesifik yang terdapat diatas.134

Pembatasan harus secara spesifik berkaitan dengan ancaman, dan dalam

kasus pencabutan demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum,

harus spesifik dan individual. Sebagai tambahan, Special Rapporteur itu

memberikan instruksi secara spesifik bahwa segala pencabutan tidak boleh

mengancam hak kebebasan berekspresi secara keseluruhan dan pencabutan

tersebut harus diterapkan oleh badan yang indepen secara politik dan tidak boleh

sewenang-wenang atau diskriminatif. Special Rapporteur itu mendukung

pembatasan pada kebebasan berekspresi yang dilarang menurut hukum

internasional, seperti child pornography, hasutan untuk melakukan genosida,

hasutan untuk melakukan kekerasan berdasarkan diskriminasi kebangsaan, ras,

atau keyakinan, dan hasutan untuk terorisme dibatasi secara sah.135

Berkenaan dengan pembatasan berekspresi melalui media internet,

Special Rapporteur tersebut melaporkan bahwa, terlepas dari adanya

kemungkinan melakukan aktivitas yang dilarang, terdapat keuntungan daripada

melindungi ekspresi via media internet, termasuk jejaring sosial, cukup untuk

dibutuhkannya perlindungan semacam itu. Adapun beberapa manfaatnya,

134
Ibid.
135
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

termasuk meningkatkan transparansi, penyebaran informasi mengenai kejadian

nyata sebuah kasus bencana alam atau bencana kemanusiaan dan meningkatan

akses dalam penelitian. 136

Oleh karena itu, pemblokiran konten terhadap ekspresi “websites, blogs,

atau apapun berbasis internet [atau] elektronik” dilarang kecuali sejauh tindakan

tersebut sesuai dengan Pasal 19 Ayat (3). Pemblokiran konten hanya dilakukan

semata-mata karena adanya kritik terhadap pemerintah Negara atau sistem politik

atau sosial yang diberlakukan oleh pemerintah.137

Pasal 19 ICCPR menyediakan sebuah ketentuan yang mengikat secara

hukum dimana prinsip-prinsip dasar UDHR dapat diterapkan oleh Negara

dengan meratifikasinya. Interpretasi Pasal 19 oleh HRC dan Special Rapporteur

mendukung premis dimana kebebasan berekspresi harus dilindungi, khususnya

dalam media baru atau internet. Teknologi-teknologi yang bermunculan

menawarkan sarana yang kuat dimana partisipasi yang lebih luas diwakilkan oleh

kelompok masyarakat yang memperkuat demokrasi. Pencabutan hak ini

diperbolehkan oleh Pasal 19 Ayat (3), namun dibawah kondisi yang ketat;

pedoman untuk pencabutan kebebasan berekspresi telah diperluas cakupannya

hingga ke media baru/Internet, dan tidak boleh digunakan semata-mata untuk

menekan ujaran kritik atau ketidak setujuan.138

The United Nations Human Rights Committee (yang selanjutnya disebut

HRC) menetapkan penafsiran Pasal 19 ICCPR mengenai beberapa hal secara

136
Ibid.
137
Ibid.
138
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

terperinci dalam General Comment No.34. 139 Jenis-jenis ekspresi dan media

penyampaian dalam hak kebebasan berekspresi diatur dalam penggalan general

comment no.34 no.11 yang menyatakan:

“11. It (expression) includes political discourse, commentary on one‟s

own and public affairs, canvassing, discussion of human rights, journalism,

cultural and artistic expression, teaching, and religious discourse. It may also

include commercial adverstising. The scope of paragraph 2 embrances even

expression that may be regardes as deeply offensive, although such expression

may be restricted in accordance with the provisions of article 19, paragraph 3

and article 20.”140

Dalam penjelasan pasal diatas dinyatakan bahwa ekspresi yang diatur

dalam pasal 19 adalah ekspresi mengenai politik, komentar mengenai apa yang

dimiliki oleh seseorang dan urusan publik, kampanye, diskusi mengenai hak

asasi manusia, jurnalisme, ekspresi mengenai seni dan budaya, mengenai ajaran,

dan urusan keagamaan. Iklan komersial juga termasuk dalam lingkup ekspresi

yang diatur dalam pasal 19. Ayat (2) juga mencakup dengan ekspresi yang

mungkin dianggap sangat menyinggung, meskipun ungkapan tersebut dapat

dibatasi oleh ketentuan pasal 19 ayat (3) dan pasal 20.

HRC mempertegas bahwa pendapat politik merupakan pendapat yang

dilindungi, pelanggaran dan intimidasi seperti penangkapan, persidangan, atau

penahanan yang dikarenakan menyatakan pendapat tersebut merupakan

pelanggaran terhadap Pasal 19 ICCPR. HRC menyediakan daftar yang tidak


139
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee. Op.Cit. Hlm.13.
140
General Comment No.34 about Article 19: Freedoms of opinion and expression,
General Remark No.11 Tersedia di https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

lengkap mengenai ekspresi-ekspresi yang dilindungi, keterbukaan politik dan

komentar mengenai kebijakan publik dan jurnalisme termasuk dalam ekspresi

yang dilindungi, dan menyatakan segala bentuk dan maksud ekspresi dilindungi

oleh Pasal 19.141

Dalam general comment no.34 no.12 menjelaskan mengenai media

penyampaian ekspresi, berikut bunyi penjelasan pasalnya ialah:

“12. Paragraph 2 protects all forms of expression and the means of their

dissemination. Such forms include spoken, written and sign language and such

non-verbal expression as images and objects of art. Means of expression include

books, newspaper, pamphlets, posters, banners, dress and legal submissions.

They include all forms of audio-visual as well as electronic and internet-based

modes of expression.”142

Pada penjelasan no.12 mengenai pasal 19 ayat (2), menjelaskan bahwa

ekspresi dapat berbentuk lisan, tulisan, dan bahasa isyarat. Ekspresi non-verbal

seperti gambar dan objek seni juga merupakan bentuk ekspresi yang

diperbolehkan. Adapun sarana penyebarannya meliputi buku, koran, pamfhlet,

poster, spanduk, pakaian, dan pendapat hukum. Audio-visual serta ekspresi yang

diungkapkan melalui media berbasis elektronik dan internet juga termasuk dalam

lingkup sarana penyebaran ekspresi.

Dalam general comment no.34 no.13 menjelaskan mengenai pentingnya

kebebasan pers terutama mengenai isu-isu politik, berikut bunyi isi nya:

141
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee. Loc.Cit
142
General Comment No.34 about Article 19: Freedoms of opinion and expression,
General Remark No.12 Tersedia di https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

“13. A free, uncensored and unhindered press or other media is essential

in any society to ensure freedom of opinion and expression and the enjoyment of

other Covenant rights. It constitutes one of the cornerstones of a democratic

society. The Covenant embrances a right whereby by the media may receive

information on the basis of which it can carry out its function. The free

communication of information and ideas about public and political issues

between citizens, candidates and elected representatives is essential. This implies

as free press and other media able to comment on public also has a

corresponding right to receive media output.”143

Dijelaskan pada general comment no.34 no.13 bahwa pres serta media

lainnya yang bebas, tanpa sensor, dan tanpa hambatan sangat penting dalam

masyarakat mana pun untuk memastikan kebebasan dalam mengemukakan opini

dan berekspresi serta menikmati hak-hak lainnya yang dijamin dalam perjanjian

ini. Hal ini merupakan salah satu pilar masyarakat demokratis. Perjanjian ini

menjamin hak dimana media dapat menerima informasi sebagai dasar agar dapat

menjalankan fungsinya. Komunikasi bebas mengenai informasi dan ide-ide

mengenai isu-isu publik dan politik antara masyarakat, kandidat, dan

representative terpilih merupakan hal yang sangat penting. Hal ini menandakan

bahwa sebagai pers dan media yang bebas dapat mengomentari urusan publik

dan juga memiliki hak terkait menerima keluaran media.

143
General Comment No.34 about Article 19: Freedoms of opinion and expression,
General Remark No.13 Tersedia di https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

Dalam general comment no.34 no.15 menjelaskan mengenai peran negara

yang berpartisipasi dalam perjanjian ini terkait perkembangan teknologi yang

terjadi pada saat ini, adapun bunyi penjelasan pasalnya, ialah:

“15. States parties should take account of the extend to which

developments in information and communication technologies, such as internet

and mobile based electronics information dissemination systems, have

substantially changed communication practices around the world, there is now a

global network for exchanging ideas and opinions that does not necessarily rely

on the traditional mass media intermediaries. States parties should take all

necessary steps to foster the independence of these new media and to ensure

acces of individuals thereto.”144

Negara-negara yang mengikatkan diri pada perjanjian ini harus

memperhitungkan perkembangan yang terjadi pada teknologi informasi dan

komunikasi , sebagaimana sistem penyebaran informasi elektronik berbasis

internet dan mobile telah secara substansial mengubah praktik komunikasi di

seluruh dunia. Terdapat jaringan global untuk saling bertukar ide dan pendapat

yang tidak bergantung pada media massa tradisional pada saat ini. Negara yang

mengikatkan diri juga harus mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk

mendorong kemandirian media baru ini dan untuk memastikan akses individu di

dalamnya.

Dapat disimpulkan dari penjelasan pasal-pasal diatas bahwa general

comment No.34 about Article 19 menjabarkan maksud daripada pasal 19

144
General Comment No.34 about Article 19: Freedoms of opinion and expression,
General Remark No.15 Tersedia di https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

daripada International Covenant on Civil and Political Rights secara terperinci,

adapun yang dijelaskan pada general comment no.34 no.11 yang menjelaskan

mengenai jenis-jenis ekspresi yang diatur dalam Pasal 19, general comment

no.34 no.12, menjelaskan mengenai media serta bagaimana bentuk

penyampaikan ekspresi yang dimaksudkan pada Pasal 19, general comment

no.34 no.13, menjelaskan mengenai pentingnya kebebasan pers terutama

mengenai isu-isu politik , dan general comment no.34 no.15, menjelaskan

mengenai peranan negara terkait perkembangan teknologi yang terjadi di dunia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

PERBANDINGAN INSTRUMEN HUKUM NASIONAL DAN

INTERNASIONAL TERKAIT KEBEBASAN BEREKSPRESI DI MEDIA

SOSIAL

A. Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Hak Kebebasan

Berpendapat di Media Sosial

Negara hukum yang mengutamakan adanya perlindungan HAM bagi

warga negara merupakan sarana awal berkembangnya paham demokrasi. Hal ini

disebabkan dijaminnya hak politik membuka kesempatan bagi setiap individu

untuk turut serta menyelenggarakan pemerintahan baik secara langsung maupun

tidak langsung. Indonesia mendeklarasikan ajaran negara hukum secara tegas

dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga sebuah negara

hukum terdapat 3 (tiga) persyaratan mutlak yang harus dipenuhi 145, yaitu:

1. Pemerintahan yang berdasarkan aturan hukum;

2. Adanya pemisahan pada masing-masing bidang kekuasaan negara; dan

3. Menjamin perlindungan HAM bagi segenap warga negara.146

Negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat juga merupakan hal yang

membuka kesempatan bagi rakyat untuk turut berpartisipasi secara langsung

maupun hanya mengawasi jalannya pemerintahan. Pemberian kesempatan bagi

rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dipenuhi dengan pemberian hak

atas kebebasan berpendapat di Indonesia, terutama pasca amandemen UUD 1945.

145
Putu Eva Ditayani Antari, Op.Cit. Hlm. 16.
146
Ibid.

73
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74

Kebebasan berpendapat mewujudkan lahirnya berbagai infrastruktur dalam negara

yang berperan mengawasi pemerintahan negara, seperti partai politik, organisasi

masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. 147

Pada awal era reformasi di Indonesia penegakan HAM juga merupakan

tuntutan utama masyarakat. Masyarakat menghendaki adanya akses dan

kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan, kemudahan

berorganisasi, serta menyampaikan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.

Lahirnya tuntutan tersebut disebabkan pada masa Orde Baru kebebasan berserikat,

berkumpul, dan berorganisasi masyarakat terbenlenggu oleh kekuasaan

pemerintah, meskipun jaminan penegakan hak berserikat, berkumpul, dan

mengemukakan pendapat telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD RI 1945). Sehingga

perlindungan HAM dalam konstitusi hanya dipandang sebagai kiasan dan bernilai

nominal untuk memenuhi persyaratan sebagai negara hukum, tanpa adanya

kesungguhan untuk melindungi HAM. 148

Reformasi 1998 ialah tonggak awal pengakuan HAM di Indonesia. Sistem

ketatanegaraan dan hukum Indonesia kini telah mengadopsi prinsip-prinsip HAM

dan ini merupakan salah satu capaian yang menjadi kesuksesan kisah gerakan

Reformasi. Negara pasca-Orde Baru diharapkan bersikap lebih positif terhadap

kondisi HAM.149 Pasca reformasi dan amandemen UUD RI 1945 terbuka akses

147
Ibid. Hlm. 17
148
Ibid. Hlm. 20
149
“Kebebasan Berkumpul, Berekspresi, Berpendapat, dan Hak Informasi Masih dalam
Ancaman” (Online), Tersedia pada: https://icjr.or.id/kebebasan-berkumpul-berekspresi-
berpendapat-dan-hak-informasi-masih-dalam-ancaman/

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut serta dalam pemerintahan, khususnya

melalui adanya jaminan kebebasan berpendapat.150

Kebebasan berpendapat telah lama diatur dalam perundang-undangan baik

pada hukum internasional yang tertuang pada Pasal 19 UDHR dan ICCPR Pasal

19 (2) maupun Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28. Kebebasan mengeluarkan

pendapat ini merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. 151 Adapun

bunyi Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 Ayat (2) ICCPR berbunyi sebagai berikut:

“Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right

includes freedom to hold opinions without interference and to seek. Receive and

impart information and ideas through any media and regardless of frontier.”152

Dan Pasal 28 UUD RI 1945 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”153

Hak berpendapat mencakup kebebasan berpendapat secara lisan maupun

tulisan. Sebelumnya kebebasan ini hanya terbatas melalui media massa seperti

televisi, radio dan koran, ataupun melalui demonstrasi dan sebagainya. Namun

saat ini, dengan berkembangnya teknologi dan makin maraknya media sosial yang

bermunculan di internet, maka ruang untuk berpendapat makin terbuka luas. 154

150
Ibid. Hlm. 21.
151
Dewi Maria Herawati. Op.Cit. Hlm. 140.
152
Universal Declaration of Human Rights, Article 19, Hlm. 40 (online), tersedia di:
https://www.un.org/en/udhrbook/pdf/udhr_booklet_en_web.pdf
153
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28, Tersedia di:
http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf
154
Dewi Maria Herawati. Loc.Cit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

Media baru sebagai platform mengalirnya arus informasi tentu saja

menjadi wadah untuk berekspresi. Dalam konteks demokrasi, medium untuk

berekspresi ini menjadi penting untuk dilihat. Sebagai kebebasan yang melekat

secara individu, kebebasan berekspresi merupakan jaminan yang paling dilihat

untuk melihat kehidupan demokrasi di suatu negara. Namun bagaimana

kebebasan individu untuk menuangkan ekspresinya ini sangat bergantung pada

kebijakan yang ditetapkan oleh negara sebagai pemegang wewenang. 155

Euphoria masyarakat ini semakin dirasakan sejak kehadiran internet.

Masyarakat dapat dengan mudah berekspresi dan menyampaikan pendapatnya

melalui sarana internetnya, salah satunya melalui media sosial. Media sosial telah

menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat.156

Media sosial menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi. Dalam

media sosial tidak ada batasan ruang dan waktu, mereka dapat berkomunikasi

kapanpun dan dimanapun mereka berada. Tidak dapat dipungkiri bahwa media

sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. 157

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah pengguna

media sosial terbesar di dunia. Bagi masyarakat Indonesia khususnya kalangan

remaja, media sosial seakan sudah menjadi candu, tiada hari tanpa membuka

media sosial, bahkan hampir 24 jam mereka tidak lepas dari smartphone. 158

Pengguna Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain menempati porsi yang

155
Mufti Nurlatifah, “Ancaman Kebebasan Berekspresi di Media Sosial”. 2016.
Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hlm. 4.
156
Putu Eva Ditayani Antari. Loc.Cit.
157
Anang Sugeng Cahyono, “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial
Masyarakat Di Indonesia”. Tanpa Tahun. Hlm. 152.
158
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

cukup besar dari keseluruhan pengguna media sosial tersebut.159 Masing-masing

media sosial tersebut memiliki keunggulan khusus dalam menarik banyak

penggunanya.160

Hak dasar yang dimiliki oleh tiap individu dalam sebuah negara tercantum

pada konstitusinya. Di Indonesia kebebasan berpendapat diatur dalam Pasal 28E

Ayat (3) UUD RI 1945 yang berbunyi sebagai berikut:161

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.”162

Undang-Undang No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum Pasal 1 Ayat (1), yang berbunyi:

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara

untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas

dan bertanggung jawab sesui dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.”163

Adapun ketentuan dalam Pasal 28F UUD 1945, yang berbunyi:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

159
“Perkembangan Media Sosial di Indonesia” (Online), Tersedia pada:
https://pakarkomunikasi.com/perkembangan-media-sosial-di-indonesia
160
Anang Sugeng Cahyono, Loc.Cit.
161
“Pembatasan Berkomentar di Medsos merampas Hak Kebebasan Berpendapat?”
(Online). Diakses pada:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d2d75a9b17f0/pembatasan-berkomentar-di-
medsos-merampas-hak-kebebasan-berpendapat/
162
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E Ayat (3) (Online),
Diakses pada: http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf
163
Undang-Undang No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum Pasal 1 Ayat (1) (Online), Diakses pada: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_98.htm

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”164

Adapun ketentuan Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut dengan UU HAM),

berbunyi sebagai berikut:165

“Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebar-

luaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan

melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,

kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” 166

Meskipun terdapat kebebasan seseorang dalam mengemukakan

pendapatnya, namun ia harus tetap tunduk kepada hukum yang berlaku. Hal ini

disebutkan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:167

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis.”168

164
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28F (Online), Diakses pada:
http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf
165
“Pembatasan Berkomentar di Medsos merampas Hak Kebebasan Berpendapat?”,
Loc.Cit.
166
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Pasal 23 Ayat (2) (Online), Diakses pada:
https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-$H9FVDS.pdf
167 Pembatasan Berkomentar di Medsos merampas Hak Kebebasan Berpendapat?”,
Loc.Cit.
168 Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E Ayat (3) (Online),
Diakses pada: http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

Terdapat 4 catatan yang menjadi gambaran bahwa pemenuhan HAM

dalam bingkai kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan

berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh informasi masih butuh

pemenuhan dan perlindungan yang utuh dan menyeluruh, adapun pada catatan

kedua terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.169

Pada catatan kedua menyatakan terdapat ketentuan yang digunakan untuk

mengekang kebebasan berpendapat warga negara, yaitu pasal-pasal penyebaran

ajaran Komunisme/Marxisme-Lenisme yang tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP terkait dengan kejahatan

terhadap keamanan negara, pasal makar yang justru menyasar kepada ekspresi

politik, penodaan agama, dan juga pengesahan UU MD3. 170

Adapun ketentuan-ketentuan yang akan mengancam kebebasan sipil dari

Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR. Salah satu

yang paling mengerikan adalah Rancangan KUHP. Pertama, mengenai kejahatan

ideologi negara yang masih multitafsir dan samar. Kedua, mengenai tindak pidana

penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden yang dalam KUHP

telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-

022/PUU-IV/2006 tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Ketiga, terkait

dengan penghinaan terhadap pemerintah yang sah atau biasa disebut haatzaai

artikelen, yang juga dalam KUHP telah didekriminalisasi oleh Mahkamah

Konstitusi pada tanggal 17 Juni 2017. Keempat, BAB IV tentang Tindak Pidana

Terhadap Proses Peradilan, atau lazim disebut Cotemp of Court (CoC) dimana
169
“Kebebasan Berkumpul, Berekspresi, Berpendapat, dan Hak Informasi Masih dalam
Ancaman”, Loc.Cit.
170
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang

dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan yang

diatur dalam Pasal 305 huruf E tidak ada ukuran yang jelas serta indikator yang

terukur. Kelima, terkait dengan delik penghinaan, yang meningkatnya ancaman

pidana dan ketiadaan alasan pembenar yang cukup. 171

B. Perbandingan Pengaturan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional

mengenai Hak Kebebasan Berpendapat di Media Sosial

Pengaturan mengenai hak kebebasan berekspresi dan berpendapat diatur

baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional, pengaturan dalam

hukum internasional mengenai hak kebebasan berpendapat terdapat dalam

Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR) Pasal 19, namun UDHR

tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, adapun bunyi dari pasal 19

UDHR ialah sebagai berikut:

Article 19

“Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right

include freedom to hold opinions without interference and to seek, receive, and

impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”172

Walaupun UDHR tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum,

namun UDHR disetujui menjadi dasar hukum bagi hukum-hukum internasional

mengenai hak asasi manusia. UDHR telah menginspirasi banyak hukum serta

171
Ibid.
172
Universal Declaration Of Human Rights, Article 19.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

perjanjian-perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia, dan

mempresentasikan pengakuan universal atas nilai-nilai tertentu.173

Selama bertahun-tahun niali-nilai yang terdapat dalam UDHR telah diubah

menjadi hukum melalui perjanjian-perjanjian, hukum kebiasaan internasional,

prinsip-prinsip umum, kesepakatan regional dan hukum domestik 174 , seperti

halnya International Convenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR) yang

merupakan bagian daripada International Bills of Human Rights yang menjamin

gambaran yang lebih luas dalam hal hak-hak sipil dan politik.175

ICCPR memperluas perlindungan atas hal hak kebebasan berekspresi dan

berpendapat diluar modalitas tradisional dan mengakomodasi modalitas ekspresi

yang baru bermunculan. Adapun Pasal 19 dari ICCPR berbunyi sebagai

berikut:176

Article 19

1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference.

2. Everyone shall have the rights to freedom of expression; this right shall

include freedom to seek. Receive, and impart information and ideas of all

kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the

form of art, or through any other media of his choice.

3. The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article

carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be

173
Kitsuron Sangsuvan, Op.Cit. Hlm. 710.
174
Ibid.
175
Ibid.
176
African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee. Op.Cit. Hlm. 13.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


82

subject to certain restrictions, but therse shall only be such as are

provided by law and are necessary;

(a) For respect of the rights or reputations of others.

(b) For the protection of national security or of public order (ordre

public), or of public health or morals.177

Pasal 19 ICCPR tersebut menjelaskan bahwa semua orang memiliki hak

berpendapat tanpa diintervensi, serta mencari, mendapatkan, dan menyebarkan

informasi terlepas dari adanya batasan-batasan, yang dapat disampaikan melalui

media apapun baik tulisan, print, atau media lain yang dikehendakinya, namun

dalam praktik hak ini yang terdapat pada Ayat (2) disertai dengan kewajiban dan

tanggung jawab khusus, tapi pembatasan ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan

hukum dan apabila diperlukan untuk kepentingan menghormati hak atau reputasi

atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum,

kesehatan ataupun moral publik.

Hak dasar yang dimiliki oleh tiap individu dalam sebuah negara tercantum

pada konstitusinya. Indonesia memiliki beberapa regulasi mengenai hak

kebebasan berpendapat178, antara lain terdapat dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD RI

1945, Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang

No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, adapun bunyi pasal-pasalnya

adalah sebagai berikut:

Pasal 28E Ayat (3) UUD RI 1945 berbunyi sebagai berikut:


177
International Convenant on Civil and Political Rights, Article 19 (Online) terdapat di:
https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf
178
“Pembatasan Berkomentar di Medsos di Indonesia”. Loc.Cit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.”179

Undang-Undang No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum Pasal 1 Ayat (1), yang berbunyi:

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara

untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas

dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.”180

Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, berbunyi sebagai berikut:181

“Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebar-

luaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan

melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,

kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” 182

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28E Ayat (3), ”Secara bebas dan

bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Kebebasan ini disertai dengan tanggung jawab yang diatur dalam 28J Ayat (2),

yang berbunyi sebagai berikut:

179
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E Ayat (3) (Online),
Diakses pada: http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf
180
Undang-Undang No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum Pasal 1 Ayat (1) (Online), Diakses pada: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_98.htm
181
“Pembatasan Berkomentar di Medsos merampas Hak Kebebasan Berpendapat?”,
Loc.Cit.
182
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Pasal 23 Ayat (2) (Online), Diakses pada:
https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-$H9FVDS.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


84

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis.”183

Dapat disimpulkan bahwa baik hukum internasional dan hukum nasional

memiliki regulasi yang mengatur mengenai hak kebebasan berpendapat dan

berekspresi, adapun perbandingan dari kedua hukum tersebut dijabarkan pada

tabel sebagai berikut:

Tabel 1.1 Perbandingan Hukum Nasional dan Hukum Internasional


mengenai Hak Kebebasan Berpendapat di Media Sosial

HUKUM NASIONAL

HUKUM
NO UU NO.39/1999 KET.
INTERNASIONAL UU ITE
TENTANG HAM

1 Hak kebebasan Hak kebebasan Baik pada UU Dapat ditemukan


berpendapat dan berpendapat diatur No.11 Tahun 2008 persamaan dalam
berekspresi diatur dalam Undang- Tentang Informasi kedua bunyi pasal
dalam International Undang ini, pada dan Transaksi ICCPR dan UU
Convenant on Civil Pasal 23 Ayat (2). Elektronik, No.39/1999
and Political Rights Selain pada pasal ataupun UU No.19 Tentang HAM
(ICCPR) Pasal 19 ini, pengaturan Tahun 2016 yang mengatur
Ayat (1) dan (2). mengenai Tentang mengenai hak
Dasar daripada kebebasan Perubahan atas kebebasan
ICCPR adalah Pasal berpendapat juga Undang-Undang berpendapat, yaitu
19 The Universal dapat ditemukan No.11 Tahun 2008 kedua pasal ini
Declaration of pada pasal 28E Tentang Informasi menyebutkan
Human Rights 1948 UUD RI 1945 dan dan Transaksi bahwa semua

183 Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E Ayat (3) (Online),
Diakses pada: http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


85

(UDHR). Pasal 1 Ayat (1) Elektronik tidak orang memiliki


UU No.9/1998. ada mengatur hak kebebasan
mengenai Hak dalam
kebebasan berpendapat.
berpendapat dan Perbedaan juga
berekspresi. dapat ditemukan
dalam kedua pasal
ini yaitu, dalam
hukum
internasional dapat
ditemukan
pengaturan
mengenai hak
kebebasan
bereskpresi,
sedangkan dalam
hukum nasional,
kebebasan
berekspresi dan
hak akan
informasi tidak
disebutkan,
kebebasan akan
informasi diatur
dalam Pasal 28F
UUD RI 1945.

2 Pasal 19 Ayat (2) Pasal ini mengatur Baik pada UU Pembatasan yang
ICCPR bahwa dalam No.11 Tahun 2008 dimaksud dalam
menyebutkan penyampaian Tentang Informasi hal ini merupakan
"Regardless of pendapat haruslah dan Transaksi pembatasan
frontier" atau "memperhatikan Elektronik, terhadap norma-
"terlepas dari adanya nilai-nilai agama, ataupun UU No.19 norma yang
pembatasan", namun kesusilaan, Tahun 2016 berlaku dalam
tidak disebutkan ketertiban, Tentang masyarakat.
pembatasan yang kepentingan umum, Perubahan atas
dimaksud dalam dan keutuhan Undang-Undang
pasal ini. bangsa." No.11 Tahun 2008
Tentang Informasi
dan Transaksi
Elektronik tidak
ada mengatur
mengenai hal ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

3 Pasal 19 Ayat (2) Media Baik pada UU Pengaturan


menyebutkan media penyampaian No.11 Tahun 2008 mengenai media
penyampaian yang pendapat yang Tentang Informasi penyampaian
diperbolehkan disebutkankan dan Transaksi ekspresi dalam
adalah "Either dalam pasal ini Elektronik, hukum nasional
orally, in writing or hanya "secara lisan ataupun UU No.19 hanya disebutkan
in print, in the form dan tulisan melalui Tahun 2016 secara garis besar
of art or through any media cetak Tentang tanpa
other media of his maupun elektronik" Perubahan atas menyebutkan
choice." Undang-Undang medianya secara
No.11 Tahun 2008 terperinci,
Tentang Informasi sedangkan dalam
dan Transaksi hukum
Elektronik tidak internasional
ada mengatur disebutkan secara
mengenai hal ini. lebih terperinci
walaupun bentuk
penyampaiannya
tidak disebutkan
secara lebih
terperinci pada
kedua pasal.

4 Pasal 19 Ayat (3) Mengenai hal ini dijelaskan dalam UUD Pada kedua pasal
menyebutkan RI 1945 Pasal 28J Ayat (2) yang baik pada hukum
"(3) The exercise of berbunyi sebagai berikut: internasional
the right provided in "Dalam menjalankan hak atas maupun hukum
paragraph 2 of this kebebasannya, setiap orang wajib tunduk nasional sama-
article carries with kepada pembatasan yang ditetapkan sama disebutkan
it special duites and dengan undang-undang dengan maksud bahwa terdapat
responsibilites. It semata-mata untuk menjamin pengakuan tanggung jawab
may therefore be serta penghormatan atas hak dan dalam praktik
subject to certain kebebasan orang lain dan untuk kebebasan
restriction, but these memenuhi tuntutan yang adil sesuai berpendapat,
shall only be such as dengan pertimbangan moral, nilai-nilai bahwa dalam
are provided by law agama, keamanan, dan ketertiban umum pelaksanaan
and are necessary: dalam suatu masyarakat demokratis." kebebasan ini
(a) For respect of haruslah tunduk
the rights or kepada
reputations of pembatasan yang
others; (b) For the diatur dalam
protection of hukum, maksud
national security or dari pada mengapa
of public order adanya
(ordre public), or of pembatasan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

public health or tersebut pun


morals." dijelaskan dalam
Pasal 20 juga pasal-pasal ini.
menyebutkan Namun,
mengenai pembatasan yang
pembatasan dalam dimaksud tidak
hak ini. disebutkan dengan
jelas dalam kedua
pasal ini.
5 Tidak terdapat Sebagaimana Sanksi mengenai Dalam hukum
sanksi mengenai disebutkan dalam beberapa internasional tidak
pelanggaran dari hak undang-undang ini, pelanggaran hak- terdapat penerapan
kebebasan dalam hak ini diatur sanksi. Sanksi
berpendapat pada mengeluarkan dalam Pasal 45 mengenai
Hukum pendapat haruslah dan 45A UU pelanggaran hak-
internasional. memperhatikan No.19 Tahun 2016 hak ini ditentukan
beberapa hal. Hal Tentang oleh negara-
yang sama pun Perubahan Atas negara yang
dapat ditemukan UU No.11 Tahun mengikatkan diri
dalam Pasal 28J 2008 Tentang pada atau
Ayat (2). Informasi dan meratifikasi
Disebutkan pada Transaksi ICCPR. Dalam
kedua undang- Elektronik. hukum nasional
undang tersebut Sebagai contoh, tidak dijelaskan
bahwa dalam UU ITE mengatur secara terperinci
praktik hak mengenai sanksi mengenai
kebebasan (dalam terhadap seseorang pembatasan-
hal ini yang melakukan pembatasan terkait
mengemukakan pencemaran nama kebebasan
pendapat) haruslah baik orang lain, berekspresi dan
memperhatikan orang tersebut berpendapat
nilai-nilai moral dapat dikenakan sebagaimana yang
dan agama, sanksi terdapat pada tabel
keamanan dan sebagaimana yang diatas, oleh karena
ketertiban umum, diatur dalam Pasal itu sanksi yang
serta tidak boleh 45 Ayat (3) UU diatur dalam
menyingung ITE. hukum mengenai
penghormatan serta pelanggaran dari
hak dan kebebasan hak ini diatur
orang lain, dan dalam beberapa
apabila hal ini Undang-Undang
dilanggar dapat yang berbeda yang
dikenakan sanki tidak dapat
yang terdapat disebutkan satu-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


88

dalam UU ITE. persatu dalam


tabel
perbandingan ini.

6 Ketentuan ICCPR Hukum nasional berlaku bagi seluruh Sebuah hukum


berlaku bagi negara- rakyat Indonesia. intenasional hanya
negara yang berlaku bagi
mengikatkan diri negara-negara
pada konvensi ini. yang mengikatkan
diri pada
perjanjian
tersebut, namun
hukum nasional
berlaku bagi
seluruh rakyat
negara tersebut
(bersifat
memaksa). Hal ini
dikarenakan sifat
hukum
internasional
adalah horizontal,
dan hukum
nasional bersifat
vertikal.

Sebagaimana tabel diatas dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perbedaan


pengaturan mengenai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam hukum
internasional dan hukum nasional, walaupun kedua hukum tersebut memiliki
banyak persamaan dari tiap pasal-pasal yang berbeda, namun tetap terdapat
perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut.

Sumber Tabel 1.1: instrumen hukum internasional mengenai hak kebebasan berpendapat dan
instrumen-instrumen hukum nasional mengenai hak kebebasan berpendapat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

INSTRUMEN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL

MENGENAI HOAX KAITANNYA DENGAN KEBEBASAN

BERPENDAPAT

A. Perbedaan Hoax Dengan Hate Speech

Media sosial memiliki peranan strategis selain sebagai transformasi

informasi, media sosial juga dapat menjadi sarana komunikasi antar sesama

masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah dalam menyampaikan

keluhan maupun menyampaikan berbagai aspirasi. Banyaknya media online dan

media sosial yang menawarkan berbagai akses kemudahan akan lebih efektif dan

bermanfaat bila dijadikan sebagai wadah dalam memberikan masukan, kritik

maupun saran dalam pembangunan. Disisi lain perlu adanya dorongan kepada

semua lapisan masyarakat agar memiliki etika bagaimana memanfaatkan media

sosial. Banyak sekali pengguna media sosial yang memanfaatkan media ini untuk

hal-hal yang sifatnya negatif dan dapat merugikan semua pihak, baik itu

pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.184

Permasalahan yang timbul dari penggunaan media sosial saat ini adalah

banyaknya hoax yang disebar luaskan, bahkan orang terpelajar pun tidak dapat

membedakan mana berita yang benar, advertorial dan hoax. Penyebaran tanpa

dikoreksi maupun dipilah, pada akhirnya akan berdampak pada hukum dan
185
informasi hoax-pun dapat berpotensi untuk memecah belah publik.

184
Dedi Rianto Rahadi. Op.Cit. Hlm. 59
185
Ibid.

89
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90

Banyak situs yang menyebutkan bahwa kata hoax pertama kali digunakan

oleh para netizen berkebangsaan Amerika. Mengacu pada sebuah film berjudul

“The Hoax” pada tahun 2006 yang disutradarai oleh Lasse Hallstrom. Film ini

memuat banyak kebohongan, sejak saat itu istilah “Hoax” muncul di setiap kali

ada sebuah pemberitaan palsu.186

Walsh dalam bukunya yang berjudul “Sins Against Science, The Scientific

Media Hoaxes of Poe, Twain, and Others” menyebutkan bahwa hoax telah ada

sejak tahun 1800 awal era revolusi industri di Inggris. Bahkan Boese dalam

bukunya “Museum of Hoaxes” menyebutkan bahwa jauh sebelum itu, istilah hoax

pertama kali terpublikasikan melalui almanak atau penanggalan palsu yang dibuat

oleh Isaac Bickerstaff pada tahun 1709 untuk meramalkan kematian astrolog John

Partridge.187

Hoax berasal dari kata “Focus Pocus” yang berasal dari kata bahasa latin

yaitu “Hoc Est Corpus” yang memiliki arti “ini adalah tubuh”. Kata ini sering

digunakan penyihir untuk mengklaim bahwa sesuatu adalah benar, padahal belum

tentu benar.188 Secara terminologi, hoax adalah berita palsu yang dimaksudkan

untuk memperdaya atau mempengaruhi seseorang untuk mempercayai sesuatu,

walaupun sumber berita yang disampaikan tidak memiliki dasar yang jelas. 189

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Selanjutnya disebut dengan KBBI) kata

186
Husnul Hotimah. “Hoax Dalam Perspektif Undang-Undang No. 19 Tahun 2006
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Hukum Islam”. 2018. Program studi
perbandingan mazhab fakultas syariah dan hukum universitas islam negeri syarif Hidayatullah,
Jakarta. Hlm. 11
187
Christiany Juditha. “Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial Serta Antsipasinya”.
2018. Jurnal Pekommas Vol. III No. 1. Hlm. 33
188
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, Op.cit. Hlm. 292
189
Ibid. Hlm.291

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

hoax sendiri mengandung arti tidak benar; bohong. Sehingga dapat diartikan

bahwa hoax adalah sebuah pemberitaan palsu yang tidak dapat dipertanggung-

jawabkan kebenarannya.190

Istilah berita bohong (hoax) dalam Alquran bisa diidentifikasi dari

pengertian kata al-Ifk yang berarti keterbalikan (seperti gempa yang membalikkan

negeri), tetapi yang dimaksud di sini ialah sebuah kebohongan besar, karena

kebohongan adalah pemutarbalik fakta. Sedangkan munculnya hoax (sebuah

kebohongan) disebabkan oleh orang-orang pembangkang.191

Istilah yang bermakna sama dengan hoax dalam jurnalistik adalah libel,

yaitu berita bohong, tidak benar, sehingga menjurus pada kasus pencemaran nama

baik. Hoax Adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukkan pemberitaan

palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali seseorang untuk mempercayai

sesuatu. Pemberitaan yang tidak berdasarkan kenyataan atau kebenaran

(nonfactual) untuk maksud tertentu.192

Ciri-ciri informasi hoax yang dikemukakan Harley seorang penulis dan

kosultan yang ditinggal di Inggris, yang dikenal karena buku-bukunya dan

penelitian tentang malware, keamanan Mac, penguji produk anti-malware, dan

manajemen penyalahgunaan email 193 , dalam bukunya yang berjudul “Common

190
Dewi Maria Herawati. Op.Cit. Hlm. 142.
191
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, Op.cit. Hlm. 293
192
Dewi Maria Herawati. Loc.Cit
193
Clara Novita, Literasi Media Baru Dan Penyebaran Informasi Hoax studi
Fenomenologi Pada Pengguna Whatsapp Dalam penyebaran Informasi Hoax Periode Januari-
Maret 2015, (Tesis Universitas Gadjah Mada, 2016). Hlm.30 Dikutip dari Husnul Hotimah. “Hoax
Dalam Perspektif Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Hukum Islam”. 2018. Program studi perbandingan mazhab fakultas syariah dan
hukum universitas islam negeri syarif Hidayatullah, Jakarta.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

Hoaxes and Chain Letters” yang mengidentifikasikan hoax secara umum ialah

empat hal.194

Pertama, informasi hoax biasanya memiliki karakteristik surat berantai

dengan menyertakan kalimat seperti “Sebarkan ini ke semua orang yang Anda

tahu, jika tidak, sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi”. Kedua, informasi

hoax biasanya tidak menyertakan tanggal kejadian atau tidak memiliki tanggal

yang realistis atau bisa diverifikasi, misalnya “kemarin” atau “dikeluarkan oleh…”

pernyataan-pernyataan yang tidak menunjukkan sebuah kejelasan. Ketiga,

informasi hoax biasanya tidak memiliki tanggal kadaluwarsa pada peringatan

informasi, meskipun sebenarnya kehadiran tanggal tersebut juga tidak akan

membuktikan apa-apa, tetapi dapat menimbulkan efek keresahan yang

berkepanjangan. Keempat, tidak ada organisasi yang dapat diidentifikasi yang

dikutip sebagai sumber informasi atau menyertakan organisasi tetapi biasanya

tidak terkait dengan informasi.195

Keempat ciri-ciri ini setidaknya dapat membantu kita dalam memfokuskan

lokus pemikiran kita ketika berhadapan dengan sebuah informasi yang ditemui

sekalipun terlihat benar, lengkap, dan sangat meyakinkan. 196

Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan

opini atau sikap yang dimiliki. Contohnya jika seseorang penganut paham bumi

datar memperoleh artikel yang membahas tentang berbagai teori konspirasi

mengenai foto satelit maka secara naluri orang tersebut akan mudah percaya

karena mendukung teori bumi datar yang diyakininya. Secara alami perasaan
194
Dedi Rianto Rahadi, Op.Cit. Hlm. 67.
195
Ibid.
196
Clara Novita, Loc.Cit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


93

positif akan timbul dalam diri seseorang jika opini atau keyakinannya mendapat

afirmasi sehingga cenderung tidak akan mempedulikan apakah informasi yang

diterimanya benar, bahkan mudah saja bagi mereka untuk menyebarkan kembali

informasi tersebut. Hal ini dapat diperparah jika si penyebaran hoax memiliki

pengetahuan yang kurang dalam atau sekedar untuk cek dan ricek fakta.197

Kecendrungan terlalu lama menggunakan internet untuk mencari

informasi sehingga dimungkinkan akan mengalami information overload.

Sehingga kerapkali terjadi informasi hoax mudah diterima dan disebarkan kepada

pihak lain tanpa terlebih dahulu melihat manfaat dan mudharatnya bagi orang lain.

Kecendrungan lainnya, perilaku pengguna hanya melihat judul berita (head line)

tanpa melihat isi dari berita tersebut dan mereka langsung berpendapat bahwa

informasi tersebut sudah benar. Apalagi didukung orang yang mengirim informasi

tersebut adalah teman yang terpercaya atau media yang kredibel, sehingga

langsung memberikan komentar berdasarkan judul berita. Disisi lain terdapat

gejala orang di media sosial untuk ikut memberikan komentar pada suatu tema

agar dianggap mengerti. Sebuah berita yang menjadi trending topic atau viral di

media punya kecendrungan disebarkan secara lebih luas, tanpa adanya upaya

verifikasi terlebih dahulu, agar dilihat tidak ketinggalan zaman. Dengan

menyebarkan suatu berita yang ramai dibicarakan orang bisa merasa tahu dan

dianggap punya legimitasi sebagai orang yang berpengetahuan luas.198

Situs Hoaxbusters menyebutkan terdapat beberapa jenis hoax, antara lain

hoax hadiah (menyebutkan bahwa seseorang memenangkan sejumlah hadiah),

197
Dedi Rianto Rahadi. Op.Cit. Hlm. 62.
198
Ibid. Hlm. 67.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


94

hoax simpati (menyebarkan informasi tentang orang sakit, butuh bantuan atau

penculikan) dan urban legend (menyebarkan tentang parfum merek tertentu tidak

tahan lama baunya). Harley mengatakan bahwa informasi hoax masih akan terus

berkembang seiring dengan perkembangan kemajuan zaman. Ada juga informasi

yang pada esensinya benar, tetapi kegunaan dan nilainya dipertanyakan, disebut

Harley dengan semi-hoax.199

Secara lebih terperinci Jenis-jenis dari informasi hoax dibagi menjadi 7

jenis, yaitu:

1. Fake News

Fake news atau berita bohong adalah berita yang berusaha untuk

menggatikan berita yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau

memasukkan ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis berita bohong

biasanya menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persekongkolan,

semakin aneh, maka semakin baik. Berita bohong berbeda dengan

komentar humor terhadap suatu berita.

2. Clickbait

Clickbait atau tautan jebakan merupakan tautan yang diletakkan

secara strategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang

masuk ke situs lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun

judulnya dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk

memancing pembaca.

199
http://www.hoaxbusters.org/hoax10 Dikutip dari Husnul Hotimah. “Hoax Dalam
Perspektif Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
Hukum Islam”. 2018. Program studi perbandingan mazhab fakultas syariah dan hukum universitas
islam negeri syarif Hidayatullah, Jakarta.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


95

3. Confirmation bias

Confirmation bias atau bias konfirmasi merupakan kecendrungan

untuk menginterprestasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari

kepercayaan yang sudah ada.

4. Misinformation

Misinformation merupakan informasi yang salah atau tidak akurat,

terutama yang ditujukan untuk menipu.

5. Satire

Satire adalah sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal

yang dibesar-besarkan untuk mengkomentari kejadian yang sedang hangat.

Berita satir dapat dijumpai di beberapa acara televisi seperti “Saturday

Night Live” dan “This Hour has 22 Minutes”.

6. Post-truth

Post-truth atau pasca kebenaran merupakan kejadian di mana

emosi lebih berperan daripada fakta untuk membentuk sebuah opini publik.

7. Propaganda

Propaganda merupakan suatu aktifitas menyebar luaskan

informasi, fakta, argumentasi, gosip, setengah-kebenaran untuk

mempengaruhi opini publik.200

Tujuan hoax adalah sekedar lelucon, iseng, hingga membentuk opini

publik. Pada intinya hoax itu sesat dan menyesatkan, apalagi jika pengguna

200
Dedi Rianto Rahadi. Loc.Cit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


96

internet tidak kritis dan langsung membagikan berita yang dibaca kepada

pengguna internet lainnya. 201

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya, Awang Darmawan

menyampaikan bahwa hoax memiliki tujuan untuk kepentingan manuver politik.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Didik Haryadi Dosen Ilmu Komunikasi

Universitas Mercu Buana Yogyakarta bahwa penyebaran hoax memiliki motif

yang merujuk pada pertarungan dan kekuasaan di dunia maya. 202

“Menurut saya ada tiga tujuan hoax disebarkan. Pertama, motif ekonomis;

kedua, motif ideologis-politis; dan ketiga, motif asal berbagi/ kesenangan. Motif

ekonomis merujuk pada akumulasi modal dan kalkulasi laba dari si pembuat hoax

melalui naiknya rating kunjungan website, darinya ia mendapat rating tinggi dan

iklan pun masuk. Motif ideologis-politis, motif ini cenderung membuat dan atau

menyebar hoax untuk tujuan-tujuan ideologis dan politis yang muaranya adalah

menghantam lawan-lawan berbeda ideologi dan menghantam lawan-lawan politik

melalui ruang virtual.” 203

Hoax juga diproduksi untuk merugikan pihak-pihak tertentu dengan penuh

kebencian dan permusuhan. Seperti yang juga disampaikan oleh Dosen

Komunikasi Universitas Medan Area, Ressi Dwiyana:204

“Setiap hoax pastinya dibuat untuk merugikan pihak lain, baik secara

langsung ataupun tidak. Hoax menjadi cara untuk mengekspresikan kebencian,

permusuhan, dan pertentangan. Ini bisa dengan mudah dapat dilihat dari apa yang

201
Christiany Juditha. Loc.Cit.
202
Ibid. Hlm. 38
203
Ibid.
204
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


97

mereka posting di media sosial. Ada yang isi media sosialnya semua hoax yang

menyudutkan satu pihak, agama, dan lain sebagainya.” 205

Informasi hoax sering disebarluaskan dan bersumber dari kabar bohong

dan dibuat dalam satu jaringan sosial untuk menjaga kepentingan pribadi maupun

kelompok. Seringkali secara sadar pengguna media sosial menyebarkan

kebohongan untuk membantu agenda yang direncanakan. Penyebar hoax bisa dari

kalangan personal, komunitas, korporasi, lembaga negara, dan militer yang kerap

membuat propaganda kebohongan agar kepentingan mereka bisa terjaga.

Informasi hoax dibuat agar khalayak ramai tak lagi fokus pada masalah

sebenarnya dan selanjutnya akan terjebak pada hal-hal bombastis yang bukan jadi

permasalahan pokok. Posisi penyebar informasi hoax yang dianggap kredibel

menjadikan pengguna merasa yakin bahwa informasi itu benar dan menjadikan itu

suatu kebenaran dan dapat disebarluaskan tanpa diperiksa kembali.206

Nasrullah mengatakan bahwa media sosial merupakan media yang

memiliki karakteristik khusus yang dipergunakan dalam berbagai bidang seperti

jurnalisme, hubungan masyarakat, dan pemasaran, termasuk juga politik. Adapun

karakteristik media sosial adalah berjaringan, informatif, terdapatnya arsip,

interaksi, gambaran simulasi sosial dan isi informasi atau konten yang diproduksi

oleh pengguna. Karakteristik ini pula yang menjadikan media sosial sebagai

medium penyebaran hoax yang paling mudah dan cepat.207

Pada satu sisi, media sosial dapat mengingkatkan hubungan pertemanan

yang lebih erat, wadah bisnis online, dan lain sebagainya. Sisi lain daripada media
205
Ibid.
206
Dedi Rianto Rahadi. Op.Cit. Hlm. 67.
207
Cristiany Juditha. Op.Cit. Hlm. 39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


98

sosial ialah sering menjadi pemicu beragam masalah seperti maraknya penyebaran

hoax, ujaran kebencian, hasutan, caci maki, adu domba dan lainnya yang bisa

mengakibatkan perpecahan bangsa.208

Melihat begitu besarnya dampak negatif hoax bagi kehidupan sosial di

Indonesia maka pada tahun 2012 dibuatlah sebuah komunitas dengan nama

Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Pilgub DKI 2012 media sosial

online banyak digunakan sebagai sarana kampanye hitam, kondisi ini terus

berlanjut dan semakin memanas pada Pilpres 2014. Secara umum suburnya hoax

dikarenakan kombinasi antara literasi masyarakat Indonesia yang rendah

polarisasi isu sosial politik dan SARA pada masa Pilgub dan Pilpres tersebut.209

Empat pilar gerakan Mafindo: Narasi Anti Hoax dengan grup diskusi anti

hoax dan situs Turnbackhoax.id; Edukasi Literasi, dengan gerakan edukasi di

sekolah, kampus, dan masyarakat umum; Advokasi kepada keluarga, tokoh

masyarakat lintas agama/pendidikan/profesi, pemerintah dan pengelola media

sosial. Silahturami untuk memecah dinding polarisasi akibat isu sosial politik dan

SARA. Melalui gerakan ini Mafindo berharap dapat mendorong masyarakat lebih

positif dalam pemanfaatan media sosial, sehingga segala pengaruh negatif dapat

terbendung dengan sendirinya. 210

Sebagaimana tujuan hoax yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan

bahwa hate speech atau ujaran kebencian dan hoax merupakan dua hal yang

208
Ibid. Hlm. 33
209
Hendri Septanto. “Pengaruh Hoax dan Ujaran Kebecian Sebuah Cyber Crime
Dengan Teknologi Sederhana di Kehidupan Sosial Masyarakat”. 2018. Jurnal Kalbiscentia Vol. V
No.2, Jakarta. Hlm. 158
210
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


99

berbeda namun saling berkaitan erat antara satu dengan lainnya. Hate speech

merupakan salah satu tujuan atau dampak daripada hoax itu sendiri.

Hate speech merupakan suatu ekspresi yang dilarang menurut hukum,

adapun pengaturannya terdapat dalam hukum internasional yang tertuang pada

ICCPR Pasal 20 Ayat (2) yang berbunyi:

Article 20 (2)

“Any advocacy of nation, racial, or religious hatred that constitutes

incitement to discrimination, hostility, or violence shall be prohibited by law.” 211

Pasal 28 Ayat (2) UU ITE juga menyebutkan mengenai ujaran kebencian,

adapun bunyi pasalnya ialah:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang

ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau

kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan

antargolongan (SARA)”.212

Menurut Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR),

Eramus Napitupulu, kunci utama dari ujaran kebencian atau hate speech

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ITE mengacu pada Pasal 156

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut dengan KUHP) 213 ,

yang berbunyi:

211
International Convenant on Civil and Political Rights, Article 20 Paragraph 2 (Online)
terdapat di: https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf
212
“Pasal Untuk Menjerat Penyebar Kebencian SARA di Jejaring Sosial” Diakses pada:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4fb9207f1726f/interprestasi-pasal-28-ayat-2-
undang-undang-no-11-tahun-2008-tentang-informasi-transaksi-elektronik
213
“Memahami Pasal Ujaran Kebencian UU ITE dalam Perspektif KUHP” Diakses pada:
https://nasional.kompas.com/read/2019/01/31/17473801/memahami-pasal-ujaran-kebencian-uu-
ite-dalam-perspektif-kuhp

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


100

Pasal 156

“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,

kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat

Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam

pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang

berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama,

tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata

negara”214

Selanjutnya mengenai ujaran kebencian juga disebutkan juga pada Pasal

156A, berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156A

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa

dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga,

yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”215

214
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 156 (Online), Diakses pada:
https://radenfatah.ac.id/tampung/hukum/20170118121349kuhp.pdf
215
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 156A (Online), Diakses pada:
https://radenfatah.ac.id/tampung/hukum/20170118121349kuhp.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


101

Selain itu, pada Maret 2018, Uni Eropa mengadopsi rekomendasi tentang tata

cara mengukur ujaran kebencian secara online (Recommendation on Measures to

Effectively Tackle Illegal Content Online). Rekomendasi ini berisi tentang cara

merespons pihak-pihak yang menstimulasi aksi terorisme, rasisme, xenophobia,

atau ujaran kebencian antara satu dengan lain. Rekomendasi ini merupakan

panduan bagi Uni Eropa dan platform online terkait deteksi, notifikasi, dan

penangkalan konten online illegal, dengan tetap memperhatikan aspek HAM. “Ini

dilakukan dengan kesadaran dan penghormatan penuh terhadap hak-hak

fundamental yang dilindungi oleh Uni Eropa” ujar aktivis dan pakar kebebasan

berekspresi dan ujaran kebencian asal Hungaria, Bea Bodrogi. 216

B. Instrumen Hukum Nasional Mengenai Hoax

Perkembangan teknologi informasi termasuk internet didalamnya juga

memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum

di Indonesia juga dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial

yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya

tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaaan tertentu

perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur

lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang

sebaliknya.217

216
“Ujaran Kebencian dan Berita Bohong, Apa Beda di Eropa dan Indonesia?” Diakses
pada: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bc99e2b720ce/ujaran-kebencian-dan-berita-
bohong--apa-beda-di-eropa-dan-indonesia/
217
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, Op.Cit. Hlm. 295

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


102

Hak akan informasi merupakan salah satu gambaran pemenuhan HAM

dalam bingkai kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan

berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh informasi yang masih butuh

pemenuhan dan perlindungan yang utuh dan menyeluruh, disebutkan pada catatan

nomor empat bahwa hak atas informasi, untuk menjamin pemenuhan atas

perolehan informasi untuk masyarakat terkait informasi publik, pemerintah

bersama DPR mengesahkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik (Selanjutnya disebut dengan UU KIP). 218 Pengertian informasi

juga menggunakan definisi dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Pasal 1

Ayat (1),219 yang berbunyi:

“Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang

mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya

yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan

dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi

secara elektronik ataupun nonelektronik.”220

Dalam undang-undang tersebut memang telah diatur kategorisasi-

kategorisasi informasi tersebut namun pada prakteknya terjadi kesumiran bahkan

inkonsistensi oleh Badan Publik untuk menyediakan dan memberikan informasi

218
“Kebebasan Berkumpul, Berekspresi, Berpendapat, dan Hak Informasi Masih dalam
Ancaman”, Loc.Cit.
219
Ibid.
220
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1
Ayat (1), Diakses di https://www.kpk.go.id/images/pdf/uu%20pip/UU_No_14_Tahun_2008.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


103

yang sudah sangat jelas informasi tersebut kategori informasi publik yang dapat

diperoleh masyarakat. 221

Kesumiran dan inkonsistensi tersebut dapat dilihat pada proses uji

konsekuensi terhadap suatu informasi. Selain itu proses uji konsekuensi juga tidak

didukung oleh pedoman teknis yang memadai. Hal tersebut tentu berdampak

dalam penghambatan dan bahkan melanggar proses perlindungan hak

memperoleh informasi masyarakat.222

Buckland menjabarkan informasi menjadi 4, yaitu: a) information-as-

process (berperan menyampaikan), b) information –as-knowledge (sesuatu yang

dirasakan dalam information-as-process, pengetahuan yang dikomunikasikan, dan,

c) information-as-thing, infromasi adalah objek, seperti data dan dokumen yang

dapat memberikan informasi.223

Individu sebagai pengguna tentu mengharapkan informasi yang akurat.

Informasi harus sesuai dengan kenyataan. Keandalan suatu informasi meningkat

apabila informasi tersebut dapat diverifikasi, yakni kebenarannya dapat

dibuktikan secara independen. Informasi harus cukup up-to-date. Sesuai dengan

maksud pengunaannya, informasi harus lengkap dan tepat sehingga pihak yang

menerima dapat memiliki perincian spesifik yang sesuai dengan kebutuhannya.

Informasi harus bermakna jelas, yakni dapat dimengerti oleh si penerima.224

221
“Kebebasan Berkumpul, Berekspresi, Berpendapat, dan Hak Informasi Masih dalam
Ancaman”, Loc.Cit.
222
Ibid.
223
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, Loc.Cit.
224
Rahmi Rivalina, “Pola pencarian Informasi di Internet”, Jurnal Teknologi Pendidikan
(14), VII, (2004), hlm. 199-216 Dikutip oleh Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, “Hoax
Dalam Kajian Pemikiran Islam dan Hukum Positif”. Jurnal Sosial&Budaya Syar-I Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Vol.V No.3, 2018. Hlm. 296

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


104

Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah menjadi

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik adalah wujud dari tanggung jawab yang harus diemban oleh Negara,

unruk memberikan perlindungan maksimal pada seluruh aktivitas pemanfaatan

teknologi informasi dan komunikasi di dalam negeri agar terlindungi dengan baik

dari potensi kejahatan dan penyalahgunaan teknologi. Dalam konsideran Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah menjadi Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dinyatakan bahwa pembangunan nasional

yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia dimulai pada orde baru hingga orde

saat ini, merupakan proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap

terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Dinamika kehidupan

masyarakat itu, akibat pengaruh globalisasi informasi, telah menempatkan

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dan transaksi elektronik di

tingkat nasional sehingga pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan

secara optimal, merata, dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat guna

mencerdaskan kehidupan bangsa.225

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik Pasal 28 mengatur tentang penyebaran berita bohong

(hoax)226, adapun bunyi pasalnya sebagai berikut:

225
Siswanto Sunarso, “Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik”, Hlm. 40 Dikutip
oleh Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, “Hoax Dalam Kajian Pemikiran Islam dan Hukum
Positif”. Jurnal Sosial&Budaya Syar-I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Vol.V No.3,
2018. Hlm. 297
226
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, Op.Cit. Hlm. 292

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


105

Pasal 28

“(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita

bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam

Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi

yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu

dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan

antargolongan (SARA).” 227

Bagi yang melanggar dapat dikenakan sanksi berikut yang terdapat dalam

Pasal 45A Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik yang berbunyi sebagai berikut:228

Pasal 45A

“(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita

bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam

Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) dipidana

dengana pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan

individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,

227
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 28 (Online), Dapat Diakses pada: https://www.anri.go.id/assets/download/97UU-Nomor-11-
Tahun-2008-Tentang-Informasi-dan-Transaksi-Elektronik.pdf
228
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, Loc.Cit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


106

ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksut dalam Pasal 28 Ayat (2)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”229

Penyebaran hoax dan sanksi bagi yang menyebarkan juga diatur dalam

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun, yang berbunyi:

Pasal 14

“ (1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong

dengan sengaja meneribatkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan

hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.

(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita dan mengeluarkan

pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat,

sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah

bohong, dihukum dengan penjara setinggi-stingginya tiga tahun.”230

C. Instrumen Hukum Internasional Mengenai Hoax

Hoax atau fake news atau berita palsu merupakan informasi yang dengan

sengaja telah dibuat dan disebarluaskan dengan maksud untuk menipu dan

menyesatkan orang untuk mempercayai kepalsuan atau meragukan fakta

terverifikasi; hoax merupakan disinformasi yang ditampilkan sebagai, atau

229
Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 45A (Online). Dapat Diakses pada:
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf
230
Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14
(Online). Dapat Diakses pada: http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/814.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


107

mungkin dianggap sebagai berita. Tidak sebagaimana tipe-tipe informasi lain,

berita memainkan peran tertentu dalam masyarakat demokrasi, ialah merupakan

sumber kunci tentang politik dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat, yang

menginformasikan pembuatan opini publik dan proses deliberatif.231

“Fake news” merupakan sebuah istilah yang sangat menarik. Ekonomis

dan kesederhanaan dari kombinasi kedua kata tersebut menjadikannya kata-kata

yang benar-benar menarik. Hal ini secara instan memunculkan berbagai makna

dan dengan demikian dapat digunakan dengan sangat fleksibel. Namun hal

tersebutlah yang menjadi pokok masalahnya, di balik kesederhanaan yang tampak

dari istilah ini, terdapat serangkaian luas jenis ekspresi yang berbeda secara

kualitatif. Hal tersebut bisa merupakan apa saja, mulai dari lelucon dengan tujuan

bermain-main hingga propaganda atau hasutan untuk melakukan kekerasan. Dari

perspektif hukum selain tidak membantu, fake news juga sangat problematik.

Panggilan untuk mengatur atau mengkriminalisasikan “fake news”, yang sering

dipicu oleh satu atau lebih insiden-insiden tingkat tinggi yang melibatkan bentuk

ekstrim daripada hoax atau fake news cenderung mengabaikan variasi di balik

istilah tersebut.232

Masalah lain yang timbul daripada ketiadaan definisi yang jelas adalah

hukum-hukum nasional mengkriminalisasikan “fake” atau “false” news rentan

terhadap penyalahgunaan interpretasi dan penegakan hukum yang sewenang-

wenang. Pengaturan mengenai kebebasan berekspresi seperti Pasal 19 UDHR atau

231
Tarlach McGonagle, “Fake News”: False Fears or Real Concerns?”. Netherlands
Quarterly of Human Rights Sage Journal Vol.35(4). 2017. Institute for Information Law (IViR).
Hlm 203.
232 Ibid. Hlm. 204.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


108

ICCPR dilaporkan banyak digunakan pemerintahan di seluruh dunia untuk

meredam media independen dan kritis, sehingga menciptakan efek mengerikan

pada kebebasan berekspresi dan debat publik.233

Hoax juga telah dikerahkan Amerika sebagai senjata dalam perang

informasi dan ideologi pada penerbangan internasional, disamping gangguan

sinyal siaran dan pemblokiran web beberapa tahun terakhir. Hal ini menjadi

perhatian utama bagi United Nation (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa

(selanjutnya disebut dengan PBB) pada awal organisasi ini terbentuk dengan

keadaan yang terjadi pada awal terjadinya perang dingin. Masalah ini

dikategorikan sebagai ancaman terhadap hubungan pershabatan antara orang-

orang dan negara-negara oleh difusi sistematis dari laporan-laporan yang sengaja

dibuat menyalah dan terdistorsi. Hal ini bermula dari propaganda yang

disponspori dan disebarkanluaskan oleh negara atau kantor berita „boneka‟.234

Pada kala itu, suatu aliran pemikiran merasa bahwa akan sah untuk

membatasi hak kebebasan berekspresi untuk menangani false reporting.

Pengaturan yang memberikan pembatasan mengenai hal tersebut diatur dalam

UN‟s Draft Convention on Freedom of Infromation 1948 atau Rancangan

Konvensi PBB Tentang Kebebasan Informasi pada tahun 1948 dan diusulkan

untuk dimasukkan dalam ICCPR. Rancangan Konvensi 1948 tersebut pada

akhirnya tidak pernah dibuka untuk ditandatangani ataupun ratifikasi dan teks

yang diusulkan untuk untuk ICCPR tidak melewati tahap penyusunan. 235

233 Ibid.
234
Ibid. Hlm. 205.
235
Ibid. Hlm. 206.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


109

Para perancang European Convention on Human Rights atau Konvensi

Eropa tentang Hak Asasi Manusia juga mempertimbangan bahasa PBB, namun

mereka memilih untuk tidak memasukkannya. Akan tetapi, bahasa yang

menyerupai membuatnya menjadi UN Convention on the International Right

Correction yang masih berlaku hingga hari ini masih berlaku, tetapi tidak banyak

diadopsi oleh negara dan sebagian besar tidak efektif.236 Mengenai hal ini terdapat

pada Pasal 2 Ayat (1) UN Convention on the International Right Correction, yang

berbunyi sebagai berikut:

Article 2 (1)

“Recognizing that the professional responsibility of correspondents and


information agencies requires them to report facts without discrimination and in
their proper context and thereby to promote respect for human rights and
fundamental freedoms, to further intermational understanding and co-operation
and to contribute to the maintenance of international peace and security,
Considering also that the professional ethics, all correspondents and
information agencies shoulf, in the case of news dispatches transmitted or
published by them and which have been demonstrated to be false or distorted,
follow the customary practice of transmitting through the same channels, or of
publishing correction of such dispatches,
The Contracting States agree that in cases ehere a Contracting States
contend that a news dispatch capable of injuring its relation with other States or
its national prestige or dignity transmitted from one country to another by
correspondents or information agencies of a Contracting or non-Contracting
State and published or disseminated abroad is false or distorted, it may submit its
version of the facts (hereinafter called “communiqué”) to the Contracting States
within whose territories such dispatch has been published or disseminated.
A copy of the communiqué shall be forwarded at the same time to the
correspondents or information agency concerned to enable that correspondent or
information agency to correct the news dispatch has been published or
disseminated.”237

Pasal tersebut menyatakan bahwa tanggung jawab profesional

koresponden dan agensi infomasi mengharuskan mereka untuk melaporkan fakta


236
Ibid.
237
UN Convention on the International Right Correction Article 2 (1) (Online). Dapat
Diakses pada: http://hrlibrary.umn.edu/instree/u1circ.htm

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


110

tanpa diskriminasi dan dalam konteks yang sesuai, demikian untuk

mempromosikan penghormatan terhadap HAM dan hak kebebasan yang mendasar

unrtuk memajukan pemahaman dan kerjasama internasional untuk berkontribusi

dalam pemeliharaan kedamaian dan keamanan internasional, serta

mempertimbangkan etika profesional semua korensponden dan agensi informasi

harus, dalam hal pengiriman berita yang dikirim atau diterbitkan oleh mereka

yang telah terbukti salah atau terdistorsi, mengikuti kebiasaan praktik transmisi

melalui saluran yang sama, atau menerbitkan koreksi-koresi dari berita tersebut.

Negara-negara yang mengikatkan diri sepakat bahwa dalam kasus-kasus di

mana pihak negara berpendapat bahwa suatu pengiriman berita yang dapat

mencederai hubungan antar negara atau martabat nasional negara tersebut yang

ditransisikan dari satu negara ke negara lain melalui koresponden atau agen-agen

informasi dari suatu negara yang mengikatkan diri maupun tidak mengikatkan diri

dan menerbitkan dan menyebarluaskan ke luar negeri adalah salah atau terdistorsi,

ia dapat mengirimkan fakta-fakta versinya (selanjutnya disebutkan „communiqué‟)

kepada negara-negara yang mengikatkan diri di mana wilayah pengiriman telah

diteritkan dan disebarluaskan.

Salinan communiqué akan diteruskan kepada koresponden atau agensi

infomasi yang bersangkutan untuk memungkinkan koresponden atau agensi

informasi tersebut untuk memperbaiki pengiriman berita yang bersangkutan.

Selain UN Convention on the International Right Correction, terdapat

pengaturan lain mengenai false news atau hoax, yaitu The International

Convention concerning the Use of Broadcasting in the Cause of Peace.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


111

The International Convention concerning the Use of Broadcasting in the

Cause of Peace 1936 merupakan perjanjian League of Nations atau liga bangsa-

bangsa dimana negara-negara setuju untuk melarang penggunaan penyiaran untuk

propaganda atau penyebaran fake news. The International Convention concerning

the Use of Broadcasting in the Cause of Peace 1936 merupakan perjanjian

internasional pertama untuk negara-negara yang terikat untuk membatasi ekspresi

yang merupakan ancaman bagi perdamaian keamanan internasional. Perjanjian ini

ditandatangani pada 23 September 1936 dan dilaksanakan pada 2 April 1938.

Pasal 3 dan Pasal 4 melarang menyiarkan false news.238

Perjanjian ini telah diratifikasi oleh banyak negara, adapun negara-negara

yang meratifikasi perjanjian ini adalah Afghanistan, Australia, Brazil, Bulgaria,

Kamerun, chili, Czechoslovakia, Denmark, Mesir, El Salvador, Estonia, Finlandia,

Perancis, Jerman Timur, Guetamala, Holy See, Hungaria, India, Irish Free State,

Laos, Latvia, Liberia, Luxembourg, Malta, Mauritius, Mongolia, Belanda, New

Zealand, Norway, Afrika Selatan, Uni Soviet, Swedia, Swiss, Inggris,

Zimbabwe.239

D. Pengaturan Hukum Nasional dan Hukum Internasional Mengenai Hoax

Kaitannya Dengan Hak Kebebasan Berpendapat

Merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Buente dan Robbin,

mereka melakukan studi atau investigasi tentang tren aktivitas-aktivitas informasi

238
“International Convention concerning the Use of Broadcasting in the Cause of Peace”
(Online). Dapat Diakses pada:
https://en.wikipedia.org/wiki/International_Convention_concerning_the_Use_of_Broadcasting_in
_the_Cause_of_Peace
239
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


112

internet warga Amerika antara Maret 2000 hingga 2004. Hasil riset tersebut

membuktikan bahwa terdapat empat dimensi kepentingan penggunaan internet

yaitu informasi (information utility), kesenangan (leisure/ fun activities),

komunikasi (communication), dan transaksi (transaction).

Penyebaran berita palsu yang marak terjadi jika ini jika dikaitkan dengan

etika pada internet adalah penyalahgunaan freedom of speech. Freedom of speech

ini berasal dari negara-negara yang memiliki tradisi liberal yang menyalahkan

apabila seseorang mempunyai batasan dalam mengemukakan pendapat dan

memiliki fungsi masing-masing individu pada komunitas dapat mengemukakan

pendapat, menyalahkan seseorang, memuji seseorang dan lain-lain sebebas-

bebasnya pada suatu komunitas.240

Dengan berkembangnya media sosial yang dapat melintasi antar negara

ataupun benua, masing-masing budaya dan tradisi tidak akan berperan dalam hal

pembatasan penyebaran informasi ini. Berawal dari biasnya budaya tersebut, hak

freedom of speech seringkali disalahartikan dan salahgunakan untuk menciptakan

berita hoax yang bertujuan memang untuk membuat sensasi pada media sosial

tersebut atau memang sengaja agar pengguna internet dapat mampir pada website

sang pembuat berita hoax tersebut agar agar meraup keuntungan dari jumlah

pengunjung yang banyak pada website-nya.241

Pada dasarnya setiap pribadi memiliki tanggung jawab terhadap informasi

yang mereka terima. Perilaku pengguna media sosial memiliki perasaan

240
L Floridi, “The Cambridge Handbook of Information and Computer Ethics.”
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010) Dikutip oleh Dedi Rianto Rahadi, “Perilaku
Pengguna Dan Informasi HOAX Di Media Sosial”.Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.V
No.1, 2017. Hlm. 66.
241
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


113

emosional ketika memperoleh kabar buruk atau kabar tragedi seseorang dan

merasa punya tanggung jawab moral untuk berbagi saat itu tidak lagi

mempedulikan apakah itu hoax atau tidak. Pada media sosial, orang merasa punya

beban untuk berbagi penderitaan agar bisa menjadi pelajaran bagi pengguna lain

ataupun ingin melepas beban agar merasa lebih baik. Pengguna menginginkan

komentar ataupun like dan seringkali dibagikan tanpa adanya verifikasi terlebih

dahulu.242

Sebagai contoh, Uni Eropa sangat memperhatikan aspek perbedaan antara

perilaku ujaran kebencian di satu sisi, dengan hak-hak individual untuk

mengekspresikan pandangan secara bebas tanpa merasa terancam atau terganggu.

Untuk perilaku ujaran kebencian, pendekatan umum yang dilakukan adalah

dengan memberikan penalty terhadap pelaku. Hukuman pidana yang dijatuhkan

adalah minimal 1 sampai 3 tahun penjara. Selain itu, pelaku akan menanggung

sejumlah konsekuensi seperti, tidak dapat menerima manfaat atau bantuan sosial;

tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan komersial; serta hidup di bawah

pengawasan hukum.243

Pada negara demokrasi yang menjunjung kebebasan menyatakan pendapat,

diakui tidak mudah menerapkan larangan ujaran kebencian. Di satu pihak harus

ada perlindungan atas kebebasan menyatakan pendapat (Freedom of speech, di

pihak lain diakui bahwa kebebasan menyatakan pendapat itu tidak absolut karena

ada batasan. Menurut mantan Ketua Dewan Pers Indonesia, Bangir Manan, ujaran

kebencian merupakan salah satu batas dari kebebasan menyatakan pendapat, di

242
Dedi Rianto Rahadi. Op.Cit. Hlm.67
243
“Ujaran Kebencian dan Berita Bohong, Apa Beda di Eropa dan Indonesia?”, Loc.Cit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


114

samping pembatasan lain seperti ucapan cabul (obscenity), ucapan yang berisi

ancaman (threats), ucapan yang menghasut (incitement), ucapan kasar (fighting

words), dan mungkin ada yang lain.244

Hoax merupakan batas daripada hak kebebasan berpendapat dan

berekspresi, hal ini dapat dilihat dari pengaturan-pengaturan hukum baik dalam

hukum internasional maupun hukum nasional. Dalam instrumen hukum

internasional hal ini disebutkan dalam Pasal 19 Ayat (3) yang menyebutkan:

Article 19 (3)

The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article


carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to
certain restrictions, but therse shall only be such as are provided by law and are
necessary;
(a) For respect of the rights or reputations of others.
(b) For the protection of national security or of public order (ordre public),
or of public health or morals.245

Disebutkan pada pasal diatas bahwa hak kebebasan berpendapat

mengemban tanggung jawab dan dibatasi oleh hukum yang dibutuhkan untuk

menghormati hak dan reputasi orang lain dan juga untuk perlindungan keamanan

negara serta kesehatan dan moral publik, adapun pembatasan lain yang mengatur

mengenai hoax dalam pasal ICCPR yaitu Pasal 20 (2) ICCPR yang berbunyi

sebagai berikut,

Article 20 (2)

“Any advocacy of national, racial, or religious hatred that constitutes

incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law.”246

244
Ibid.
245
International Convenant on Civil and Political Rights, Article 19 (3) (Online) terdapat
di: https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


115

Pasal 20 menyebutkan bahwa advokasi kebencian nasional, ras, atau

keagamaan yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan,

atau kekerasan harus dilarang menurut hukum, hal ini merupakan batas yang jelas

yang ditentukan oleh instrumen hukum internasional mengenai hoax.

Batas yang jelas juga terdapat dalam hukum nasional, hal ini dapat dilihat

dari pengaturan mengenai batasan dalam hak kebebasan berpendapat yang

terdapat dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD RI 1945 yang berbunyi sebagai berikut,

Pasal 28J Ayat (2)

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis.”247

Pasal diatas menyebutkan hal yang serupa sebagaimana disebutkan dalam

pasal mengenai pembatasan dalam hak kebebasan berpendapat dan berekspresi

yang terdapat dalam hukum internasional, bahwa seseorang dalam mengeluarkan

pendapat wajib tunduk terhadap pembatasan yang berlaku dalam undang-undang

demi menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Instrumen hukum yang mengatur pembatasan atas penggunaan kebebasan

berpendapat memuat pula adanya sanksi yang diancam apabila terjadinya

246
International Convenant on Civil and Political Rights, Article 20 (Online) terdapat di:
https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf
247 Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E Ayat (3) (Online),
Diakses pada: http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


116

pelanggaran terhadap pembatasan yang ditetapkan undang-undang, sebagai

bentuk norma hukum sekundernya. Sanksi yang diancamkan tersebut terutama

yang berkaitan dengan penyebarluasan ujaran kebencian dan penyebaran berita

bohong (hoax). Ketentuan mengenai pembatasan kebebasan berpendapat tersebut

selanjutnya juga ditanggapi oleh kepolisian selaku institusi penegak hukum

dengan adanya Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian (SE Hate Speech).

SE Hate Speech tersebut merupakan aturan internal pada lembaga kepolisian yang

memberikan pedoman bagi seluruh anggota kepolisian dalam menangani kasus-

kasus ujaran kebencian terutama yang berpotensi memecah belah NKRI.248

Contoh kasus yang telah terjadi di Indonesia terkait penyalahgunaan yang

menjadi kasus penyebaran hoax, salah satunya ialah kasus Ratna Sarumpaet.

Ratna Sarumpaet divonis 2 tahun penjara karena ia dinyatakan oleh Hakim

terbukti bersalah menyebarkan berita bohong (hoax) penganiayaan. Hakim

memaparkan Ratna Sarumpaet membuat keonaran dengan menyebarkan berita

hoax penganiayaan lewat cerita dan foto-foto yang lebam dan bengkak.249

Hal ini diketahui bahwa Ratna Sarumpaet baru saja melakukan tindakan

media (facelift) atau pengencangan pada kulit muka. Ratna Sarumpaet menjalani

rawat inap di RS Bina Estetika pada 21-24 September 2018. Selama masa rawat

inap tersebut, Ratna Sarumpaet, menurut hakim, beberapa kali mengambil foto

wajahnya dalam kondisi lebam dan bengkak akibat tindakan medis. Foto-foto

tersebut selanjutnya dikirimkan melalui WhatsApp ke asistennya, Ahmad

248
Putu Eva Ditayani Antari, Op.Cit. Hlm. 25.
249
“Ratna Sarumpaet Divonis 2 Tahun Penjara” (Online). Dapat Diakses pada:
https://news.detik.com/berita/d-4620285/ratna-sarumpaet-divonis-2-tahun-
penjara?_ga=2.19588222.73431455.1564641027-184822589.1561384212

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


117

Rubangi pada Snin 24 September 2018. Ratna disebut hakim menceritakan

penganiayaan oleh 2 orang pria di area Bandara Husein Sastranegara. 250

“Taksi yang membawa terdakwa berhenti di tempat yang agak gelap. Pintu

samping di buka oleh dua orang laki-laki dan menyeretnya keluar dan

melemparnya ke jalan. Satu laki-laki menginjak perut, datu memukuli wajah” ujar

hakim dalam memaparkan kebohongan Ratna soal penganiayaan. Foto juga

dikirimkan Ratna ke Rocky Gerung lewat WhatsApp pada 25 September 2018.

Terkait penganiayaan tersebut, Ratna juga meminta Presiden KSPI Said Iqbal

untuk menyampaikan hal ini kepada Prabowo Subianto.251

Ratna bertemu dengan Prabowo Subianto pada 2 Oktober 2018 di

Hambalang. Prabowo kemudian menggelar jumpa pers usai pertemuan tersebut.

Dalam jumpa pers tersebut, Prabowo meminta pemerintah mengusut tuntas

penganiayaan yang dialami Ratna Sarumpaet.252

Ratna Sarumpaet dipidana dengan Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan dijatuhkan hukuman

selama 2 tahun penjara253 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

“ (1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong

dengan sengaja meneribatkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan

hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.

250
Ibid.
251
Ibid.
252
Ibid.
253
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


118

(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita dan mengeluarkan

pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat,

sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah

bohong, dihukum dengan penjara setinggi-stingginya tiga tahun.”254

Sebagaimana contoh kasus diatas dapat dilihat bahwa hak kebebasan

berpendapat sangat berbeda dengan penyebaran hoax, dan penyebaran hoax dapat

dikenakan sanksi sebagaimana telah diatur dalam undang-undang yang berlaku.

Hoax bukan merupakan bagian daripada hak kebebasan berpendapat.

254 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14
(Online). Dapat Diakses pada: http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/814.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Pengaturan hukum internasional mengenai hak kebebasan berpendapat diatur

dalam beberapa perjanjian, dasar daripada hampir semua perjanjian

internasional mengenai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi

merupakan Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR),

namun UDHR tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum.

Perjanjian internasional yang mengatur mengenai hak kebebasan

berpendapat dan berpendapat yang memiliki kekuatan mengikat secara

hukum adalah Pasal 19 The International Convenant on Civil and Political

Rights atau ICCPR. Pasal 19 ICCPR mengenai hak kebebasan berpendapat

dan berekspresi terutama di media sosial serta batasan-batasan daripada hak

kebebasan bependapat dan berekspresi yang diatur oleh hukum.

Pasal 19 ICCPR lebih lanjut dibahas secara lebih terperinci pada General

Comment No.34 about Article 19 of The International Convenant on Civil

and Political Rights. General Comment No.34 about Article 19 of The

International Convenant on Civil and Political Rights menjelaskan mengenai

jenis-jenis ekspresi dan pendapat serta media-media yang termasuk dalam

penyampaian ekspresi dan pendapat yang diatur dalam Pasal 19.

Selain Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan The

International Convenant on Civil and Political Rights, terdapat instrumen

hukum yang mengatur mengenai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi

119
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
120

yang bersifat regional, yaitu The European Convention on Human Rights

(ECHR), The American Convention on Human Rights (ACHR), The African

Charter on Human and Peoples‟ Rights (ACHPR).

2. Pengaturan hukum nasional mengenai hak kebebasan berpendapat terutama di

media sosial diatur pada Pasal 28 E UUD RI 1945, Pasal 1 Ayat (1) UU No.9

Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,

dan Pasal 23 Ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM. Adapun

pengaturan mengenai pembatasan dalam hak kebebasan berpendapat ini

diatur dalam Pasal 28J UUD RI 1945.

Baik hukum internasional maupun hukum nasional yang mengatur

mengenai hak kebebasan berpendapat di media sosial memiliki substansi

yang hampir sama, namun tentu saja terdapat perbedaan diantara keduanya,

baik dari validitas, pembatasan dan media penyampaian yang diatur dalam

masing-masing hukum tersebut.

3. Pengaturan hukum internasional dan hukum nasional mengenai hoax

kaitannya dengan hak kebebasan berpendapat diatur dalam beberapa pasal

yang berbeda.

Dalam hukum internasional pengaturan mengenai hoax diatur dalam Pasal

2 Ayat (1) UN Convention on the International Right Correction dan The

International Convention concerning the Use of Broadcasting in the Cause of

Peace.

Dalam hukum nasional hoax diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No.11

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan dapat dikenakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


121

sanksi yang terdapat pada Pasal 45A Undang-Undang No.19 Tahun 2016

Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

Hoax bukan merupakan hak kebebasan berpendapat sebagaimana diatur

baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional, dalam hukum

internasional hal ini dapat dilihat dari Pasal 19 Ayat (2) dan Pasal 20 ICCPR.

Sedangkan dalam hukum nasional hal ini dapat dilihat dari Pasal 28J UUD RI

1945.

B. SARAN

1. Hukum internasional sudah cukup jelas dan lengkap mengenai pengaturan

terkait hak kebebasan berpendapat, ada baiknya seluruh dunia terutama

negara-negara yang tergabung khususnya Indonesia untuk

mengimplementasikan hukum ini demi menjamin hak kebebasan berpendapat

terutama pada media sosial.

2. Hukum nasional yang mengatur mengenai hak kebebasan berpendapat di

Indonesia seharusnya menetapkan batasan-batasan serta sanksi yang lebih

jelas mengenai hak kebebasan berpendapat serta apabila hukum tersebut di

langgar agar hukum mengenai hal ini dapat diterapkan secara lebih efektif

dan orang akan lebih berhati-hati dan lebih memperhatikan batasan-batasan

yang berlaku dalam mengemukakan pendapatnya terutama di media sosial.

3. Baik hukum nasional maupun hukum internasional diharapkan secara lebih

spesifik menjelaskan pengertian hoax serta menentukan batasan-batasan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


122

lebih jelas mengenai bagaimana sebuah pendapat atau ekspresi merupakan

hoax atau tidak. Hal ini penting untuk menghindari pembatasan secara

sewenang-wenang yang dapat dilakukan negara atas hak kebebasan

berpendapat terutama di media sosial.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Faisal, Sanapiah,”Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar dan Aplikasi”. (Malang,

YA3, 2007)

Kusumaatmadja, Mochtar.”Pengantar Hukum Internasional”. (Jakarta: Binacipta,

1997)

Soekanto, Soerjono dan Sri Madmuji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007

Soekanto, Soerjono. “Pengantar Penelitian Hukum”. (Jakarta, Penerbit UI Press,

2001)

Starke, J.G.“Introduction to International Law”. (London: Butterworths, 1984).

Suhariyanto, Budi, “Tindak Pidana Informasi (cyber crime)”. (Depok: Raja

Grafindo Persada, 2013), Cet.II, Hlm.30 Dikutip dari Supriyadi Ahmad

dan Husnul Hotimah, “Hoax Dalam Kajian Pemikiran Islam dan Hukum

Positif”. Jurnal Sosial&Budaya Syar-I Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah, Vol.V No.3, 2018

JURNAL

African Affairs Committee & Freedom of Expression Subcommittee. 2016. “The

Right to Freedom of Expression on the Internet as it applies to Social

Media in Africa”. The Association of the Bar of The City of New York

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


124

Ahmad, Supriyadi dan Husnul Hotimah, “Hoax Dalam Kajian Pemikiran Islam

dan Hukum Positif”. Jurnal Sosial&Budaya Syar-I Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah, Vol.V No.3, 2018.

Antari, Putu Eva Ditayani, “Tinjauan Yuridis Pembatasan Kebebasan

Berpendapat Pada Media Sosial di Indonesia”. 2017. Jurnal Hukum

Undiknas Vol.4 No.1

Cahyono, Anang Sugeng, “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial

Masyarakat Di Indonesia”. Tanpa Tahun

Chan, Joseph. “The Asian Challenge to Universal Human Rights: A Philosophical

Appraisal.” (1995) Dalam James T.H Tang (ed.), Human Rights and

International Relations in the Asia-Pacific Region. London:Pinter. Hlm.28

Dikutip oleh Kunto Yuliarso dan Nunung Prajarto. “Hak Asasi Manusia

(HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”. Jurnal Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 8 No.3

Cranston, M., What are Human Rights? (New York:Basic Books,1973) Hlm.36,

Dikutip oleh Kunto Yuliarso dan Nunung Prajarto. “Hak Asasi Manusia

(HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”. Jurnal Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 8 No.3

Dini, Alfatika Aunuriella. 2017. “The Dark Side of Social Media in

eParticipation: a Social-Legal Perspective”. Twenty-third Americas

Conference on Information System

Floridi, L, “The Cambridge Handbook of Information and Computer Ethics.”

(Cambridge: Cambridge University Press, 2010) Dikutip oleh Dedi Rianto

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


125

Rahadi, “Perilaku Pengguna Dan Informasi HOAX Di Media

Sosial”.Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.V No.1, 2017

Herawati, Dewi Maria, “Penyebaran Hoax dan Hate Speech sebagai

Representasi Kebebasan Berpendapat”. Promedia, Vol.II, No,2, 2016

Hotimah, Husnul. “Hoax Dalam Perspektif Undang-Undang No. 19 Tahun 2006

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Hukum Islam”. 2018.

Program studi perbandingan mazhab fakultas syariah dan hukum

universitas islam negeri syarif Hidayatullah, Jakarta.

Jorgensen, Rikke Frank. “Internet and Freedom of Expression”. (European

Master Degree in Human Rights and Democratisation, Raoul Wallenberg

Institute, 2001). Hlm. 23,

Juditha, Christiany. “Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial Serta

Antsipasinya”. 2018. Jurnal Pekommas Vol. III No. 1

McGonagle, Tarlach, “Fake News”: False Fears or Real Concerns?”.

Netherlands Quarterly of Human Rights Sage Journal Vol.35(4). 2017.

Institute for Information Law (IViR)

Mendel, Toby, “Restricting Freedom of Expression: Standarts and Priciples”,

(Background Paper for meetings hosted by the UN Special Rapporteur on

Freedom of Opinion and Expression,Centre for Law and Democracy,

Tanpa Tahun)

Morusoi, Eric Kiber. “The Right To Freedom of Expression And Its Role In

Political Transformation In Kenya”.(Disertasi Program Doktor Ilmu

Hukum University of Pretoria, Pretoria, 2016)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


126

Novita, Clara, Literasi Media Baru Dan Penyebaran Informasi Hoax studi

Fenomenologi Pada Pengguna Whatsapp Dalam penyebaran Informasi

Hoax Periode Januari-Maret 2015, (Tesis Universitas Gadjah Mada, 2016).

Hlm.30 Dikutip dari Husnul Hotimah. “Hoax Dalam Perspektif Undang-

Undang No. 19 Tahun 2006 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

dan Hukum Islam”. 2018. Program studi perbandingan mazhab fakultas

syariah dan hukum universitas islam negeri syarif Hidayatullah, Jakarta.

Nurlatifah, Mufti, “Ancaman Kebebasan Berekspresi di Media Sosial”. 2016.

Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Prajarto, Nunung. “The Australian and Indonesian Dialogue on Human Rights:

An International Communication Perspective”.( The University of of New

South Wales, Sydney 2003) Hlm. 317 Dikutip oleh Kunto Yuliarso dan

Nunung Prajarto. “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju

Democratic Governances”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 8

No.3

Rahadi, Dedi Rianto, “Perilaku Pengguna Dan Informasi HOAX Di Media

Sosial”.Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.V No.1, 2017

Rahmanto, Tony Yuri, “Kebebasan Berekspresi Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia: Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi

Jawa Barat”. 2016. Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan

HAM.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


127

Raza, Aqa.”‟Freedom of Speech and Expression‟ as a Fundamental Rights in

India and the Test of Constitutional Regulations: The Constitutional

Perspective”. Indian Bar Review. Vol.XLII (2), 2016

Rivalina, Rahmi, “Pola pencarian Informasi di Internet”, Jurnal Teknologi

Pendidikan (14), VII, (2004), hlm. 199-216 Dikutip oleh Supriyadi Ahmad

dan Husnul Hotimah, “Hoax Dalam Kajian Pemikiran Islam dan Hukum

Positif”. Jurnal Sosial&Budaya Syar-I Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah, Vol.V No.3, 2018

Sabela, Amira Rahma & Dina Wahyu Pritaningtias. 2017.“Kajian Freedom of

Speech and expression dalam perlindungan Hukum terhadap Demonstran

di Indonesia”. Lex Scientia Law Review. Vol.1 No.1

Salman, “Media Sosial sebagai Ruang Publik”, Tanpa Tahun, Jurnal Bisnis dan

Komunikasi Ilmu Komunikasi Institut Teknologi dan Bisnis Kalbis,

Jakarta.

Sangsuvan, Kitsuron, “Balancing Freedom of Speech on the Internet under

International Law”. North Carolina Journal of International Law and

Commercial Regulation. Vol.39 No.3. Spring 2014

Septanto, Hendri. “Pengaruh Hoax dan Ujaran Kebecian Sebuah Cyber Crime

Dengan Teknologi Sederhana di Kehidupan Sosial Masyarakat”. 2018.

Jurnal Kalbiscentia Vol. V No.2, Jakarta.

Soekanto, Soerjono.2006.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: UI-Press.

Sunarso, Siswanto, “Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik”, Hlm. 40

Dikutip oleh Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah, “Hoax Dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


128

Kajian Pemikiran Islam dan Hukum Positif”. Jurnal Sosial&Budaya Syar-

I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Vol.V No.3, 2018

Tambukara, Apriadi, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa.

( Jakarta: PT Raja Grafinfo Persada, 2013) dikutip oleh Rani Diah

Anggraini, “Hoax dan Hate Speech, Representasi Negatif Kebebasan

Berpendapat”, (Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta, Tanpa Tahun)

Yuliarso, Kunto dan Nunung Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia:

Menuju Democratic Govarnances”, Maret 2005, Jurnal Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Volume 8 No.3

WEBSITE

http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/814.pdf

https://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/28/3-kicauan-ahmad-dhani-di-

twitter-yang-membuatnya-divonis-15-tahun-penjara-karena-ujaran-

kebencian

https://repository.unikom.ac.id/51193/1/Materi%204%20-%20Sumber-Hukum-

Internasional.pdf.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37725/Chapter%20II.pdf?

sequence=2&isAllowed=y

http://repository.unimal.ac.id/2104/1/Bab%205.pdf.

https://www.temukanpengertian.com/2013/08/pengertian-hukum-nasional.html

https://www.kompasiana.com/socabr/54f5dd86a33311f64e8b480f/hak-kebebasan-

berpendapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


129

https://www.kompasiana.com/arnanvictor/5836efbd329773232e5ae87c/kebebasan

-berpendapat-di-indonesia?page=all

https://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial

https://www.maxmanroe.com/vid/teknologi/internet/pengertian-media-sosial.html

https://www.statista.com/statistics/264810/number-of-monthly-active-facebook-

users-worldwide/

https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kuantitatif

https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/

https://www.businessofapps.com/data/whatsapp-statistics/

https://expandedramblings.com/index.php/line-statistics/

https://www.statista.com/statistics/303681/twitter-users-worldwide/

https://id.oberlo.com/blog/instagram-stats-every-marketer-should-know

https://foundationinc.co/lab/b2b-marketing-linkedin-stats/

https://www.worldometers.info/world-population/

https://news.detik.com/berita/d-4620285/ratna-sarumpaet-divonis-2-tahun-

penjara?_ga=2.19588222.73431455.1564641027-184822589.1561384212

https://en.wikipedia.org/wiki/International_Convention_concerning_the_Use_of_

Broadcasting_in_the_Cause_of_Peace

https://www.omnicoreagency.com/youtube-statistics/

http://hrlibrary.umn.edu/instree/u1circ.htm

http://legal.un.org/repertory/art1.shtml

https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%20

2016.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


130

http://www.humanrights.se/wp-content/uploads/2012/01/African-Charter-on-

Human-and-Peoples-Rights.pdf

https://www.anri.go.id/assets/download/97UU-Nomor-11-Tahun-2008-Tentang-

Informasi-dan-Transaksi-Elektronik.pdf

https://www.kpk.go.id/images/pdf/uu%20pip/UU_No_14_Tahun_2008.pdf

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bc99e2b720ce/ujaran-kebencian-

dan-berita-bohong--apa-beda-di-eropa-dan-indonesia/

https://radenfatah.ac.id/tampung/hukum/20170118121349kuhp.pdf

https://nasional.kompas.com/read/2019/01/31/17473801/memahami-pasal-ujaran-

kebencian-uu-ite-dalam-perspektif-kuhp

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4fb9207f1726f/interprestasi-

pasal-28-ayat-2-undang-undang-no-11-tahun-2008-tentang-informasi-

transaksi-elektronik

https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf

http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf

https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-

tentang-$H9FVDS.pdf

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_98.htm

https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-

tentang-$H9FVDS.pdf

http://docs.fdrlibrary.marist.edu/od4freed.html

https://www.un.org/en/udhrbook/pdf/udhr_booklet_en_web.pdf

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


131

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d2d75a9b17f0/pembatasan-

berkomentar-di-medsos-merampas-hak-kebebasan-berpendapat/

https://pakarkomunikasi.com/perkembangan-media-sosial-di-indonesia

https://icjr.or.id/kebebasan-berkumpul-berekspresi-berpendapat-dan-hak-

informasi-masih-dalam-ancaman/

https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf

https://www.cidh.oas.org/basicos/english/basic3.american%20convention.htm

https://en.wikipedia.org/wiki/Article_10_of_the_European_Convention_on_Hum

an_Rights

https://en.wikipedia.org/wiki/Freedom_of_speech_by_country

PERATURAN PERUNDANG-UNDANG

Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang-Undang No.11

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

Undang-Undang No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


132

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

Covenant on Civil and Political Rights

KONVENSI/ TRAKTAT

Charter of the United Nation

European Convention on Human Rights

General Comment No.34 about Article 19: Freedoms of opinion and expression

Statute of International Court of Justice

The African Charter on Human and Peoples‟ Rights

The American Convention on Human Rights

The International Convenant on Civil and Political Rights

The International Convention concerning the Use of Broadcasting in the Cause of

Peace

The Universal Declaration of Human Rights

UN Convention on the International Right Correction

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai