Anda di halaman 1dari 169

PERS, KASUS UDIN DAN WACANA KEBEBASAN PERS DI INDONESIA

Oleh:

SATRIA LOKA WIDJAYA

NIM 109051100073

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/ 2016 M
Nama : Satria Loka Widjaya Pembimbing: Rubiyanah M.A.
NIM : 109051100073

ABSTRAK
Pers, Kasus Udin, Dan Wacana Kebebasan Pers di Indonesia
Kasus kematian Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin, Wartawan Berita
Nasional, belum menemukan titik terang. Kasus yang terjadi delapan belas tahun
silam akan memasuki masa daluwarsa bila tidak selesai. Hal ini merujuk pada
Pasal 78, ayat 1, angka 4, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Melihat
fenomena itu Majalah Tempo membuat laporan khusus bertajuk Bukti Baru
Pembunuhan Udin “Bernas”.
Uraian tersebut dapat menimbulkan beberapa petanyaan. Pertama Bagaimana
Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers pada pemberitaan kasus Udin?
Selanjutnya, Bagaimana Kognisi Sosial yang melatarbelakangi Majalah Tempo
sehingga mewacanakan kebebasan pers dalam pemberitaan kasus Udin?
Kemudian, Bagaimana Konteks Sosial Majalah Tempo pada pemberitaan kasus
Udin?
Dalam pemberitaannya, Majalah Tempo menilai bila kasus Udin tidak selesai
maka akan menjadi ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia. Mereka
berkilah pemberitaan yang mereka buat sebagai ikhtiar melawan lupa dan upaya
menegakan keadilan serta kebebasan pers di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan
kualitatif. Paradigma konstruktivis menilai bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai
alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pernyataan. Peneliti memertajam daya analisis menggunakan metode
analisis wacana Teun A. Van Dijk. Analisis ini mengaitkan tiga dimensi: analisis
teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Peneliti menganalisis pemberitaan mengenai Laporan Khusus, Bukti Baru
Pembunuhan Udin “Bernas” Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014.
Kemudian menyimpulkan hasil temuan dari analisis pemberitaan tersebut. Hasil
dari penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran tentang
bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers terkait kasus Udin.
Berdasarkan hasil penelitian, pada tataran teks Majalah Tempo
menggambarkan upaya mereka dalam membongkar kasus Udin. Mereka
menemukan sebuah memo bertanda tangan Sri Roso Soedarmo, Bupati Bantul
saat Udin tewas. Majalah Tempo secara tegas menyatakan berpihak pada Udin.
Mereka menilai apa yang mereka lakukan sebagai wujud aspirasi suara wartawan
dan masyarakat umum yang menolak segala bentuk kekerasan di Indonesia.
Pada akhirnya peneliti mendapatkan adanya keberpihakan media pada suatu
fenomena. Keberpihakan tersebut membuat media menggiring opini masyarakat
melalui wacana yang mereka buat dalam rapat redaksi. Pada pemberitaan kasus
Udin Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di Indonesia dengan tetap
menghadirkan fakta dan keseimbangan berita dalam pemberitaan mereka.

Kata Kunci: Kebebasan Pers, Majalah Tempo, Wacana Teun A. Van Dijk

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat

rahmat dan kuasa-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, serta

keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Alhamdulillah, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pers dan Kebebasannya di Indonesia, Analisis Terhadap Laporan Khusus Bukti

Baru Pembunuhan Udin “Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November

2014”. Penelitian ini merupakan persyaratan dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1),

di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Peneliti secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang

tua peneliti, Amin dan Budiyarti, yang selama ini selalu percaya bahwa anaknya

pasti akan menyelesaikan pendidikan S1, meskipun terkadang cemas menanyakan

kapan akan lulus. Selain itu mereka selalu mengajarkan agar peneliti menjadi

manusia yang lebih baik, bermanfaat, dan bisa membanggakan. Terima kasih juga

karena telah memberikan semangat dan kasih sayang yang tidak pernah ada

hentinya. Semoga mereka selalu dalam lindungan Allah SWT dan selalu diberikan

kesehatan oleh-Nya.

Setelah berjuang beberapa bulan mengerjakan penelitian ini, Peneliti

menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan

kelemahan. Peneliti yakin skripsi ini tidak akan berjalan baik dan lancar tanpa

adanya bantuan dan motivasi dari pelbagai pihak. Oleh karena itu peneliti

mengucapkan terima kasih kepada

ii
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Dr. H. Arief Subhan, M.A. Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr.

Suparto, M. Ed, Ph.D. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Drs.

Jumroni, M.Si, serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, H. Sunandar,

M.A.

2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si. serta Sekretaris

Konsentrasi Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang selalu berkenan

membantu peneliti dalam hal perkuliahan.

3. Dosen Pembimbing, Rubiyanah M.A. Terimakasih peneliti ucapkan karena

telah sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, ilmu,

dan motivasi hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga selalu

menjadi dosen yang membanggakan dan istimewa di hati mahasiswa.

4. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu serta pengalaman

kepada peneliti selama menuntut ilmu di Jurusan Jurnalistik

5. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam urusan administrasi

selama perkuliahan dan penelitian skripsi.

6. Redaksi Majalah Tempo yang dengan senang hati menjadi subjek peneliti.

Terlebih kepada Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, yang

telah meluangkan waktunya dan memberikan informasi kepada peneliti untuk

menyelesaikan penelitian ini.

7. Kakak Peneliti, Aliem Widjaya yang menjadi teman bertengkar peneliti.

8. Arip Spd. Teman peneliti dalam berdiskusi dan mengutarakan pendapat

iii
9. Forum Alumni PMR 169 Jakarta (FAPSES) tempat peneliti berorganisasi dan

berkembang, terlebih kepada Elon Ruslan yang selalu menjadi penasihat

peneliti dalam berdiskusi dan bertukar pikiran

10. Korps Suka Relawan (KSR) Unit Markas PMI Kota Jakarta Barat wadah

menyalurkan hobi dan melaksankaan tugas kemanusiaan.

11. Abdurachman dan Nurmawa Zibali yang selalu mendukung peneliti dengan

cara yang tidak biasa

12. Keluarga besar Korps Suka Relawan PMI Unit Perguruan Tinggi UIN

Jakarta.

13. Rekan-rekan Unit Transfusi Darah Pusat (UTDP) PMI, tempat peneliti

bekerja saat ini. Terlebih kepada dr Sri Hartaty M. Biomed Dahlia, Endang

Dwi Astuti, Elia Rahmania, Nurodin, Enjang Kurniawan, dan Mas Dimyati

rekan di Bidang Rekruitmen dan Pembinaan Donor.

14. Kepada Redaksi Majalah Muzakki, tempat peneliti mengaplikasikan Ilmu

yang peneliti dapatkan di bangku kuliah. Terlebih Bapak Dedy dan Ibu Tinto

15. Biro Humas Markas Pusat PMI yang mendukung peneliti menyelesaikan

penelitian ini. Khususnya Aulia Arriani, Indra Yogasara, Anggun Pemana

Sidiq, Khaerul Shaleh yang memberikan akses, ilmu, dan tempat peneliti

mempraktikan ilmu jurnalistik di lingkungan Markas Pusat PMI.

16. Rekan-rekan Posko Bencana Markas Pusat PMI yang memberikan peneliti

akses menginap dan menggunakan sarana dan prasarana yang ada.

17. Teman-teman diskusi, bercanda, dan segalanya di Konsentrasi Jurnalistik B

2009 (Ilham Adiansyah, Hilman Fauzi, Ali Mansur, Khaerunuzulla, Sigit

Lincah Hadmadi, Dewi Febrianti, M Fikri Halim, Bobby Alexander, Angga

iv
Bima, Yusuf Gandang P, Abdul Aziz, Putri Nurazizah, Mekar Ayu L, Putri

Buana T D, Devit Rubianto, Samsul Arifin, Arintika, Fauziah Mursid, Adjri

Septiani, Hilda Savitri, Ima Rahmawati, Dewi Rifqina, Turi Miasih, Andini

Apriliana, Marisha Arianti A, Devi Cahyo P, Nur Fitriyani, Hafsa Tia A,

Lindawati, Puti Hasanatu S), juga yang sudah gugur (Rian, Opang, Riski

“cimeng”, Lulu, Akmal, Degam), dan seluruh teman sekelas termasuk

Jurnalistik A.

18. Terakhir kepada Siti Yulianti Wanita yang akan peneliti jadikan istri dan

pendamping hidup. Ia manusia yang sangat berjasa terhadap penyelesaian

penelitian ini.

Akhirnya peneliti hanya mampu mengucapkan terimakasih dan semoga Allah

SWT membalas kebaikan mereka. Peneliti menyadari skripsi ini masih belum

mencapai kesempurnaan namun peneliti telah berusaha semaksimal mungkin untuk

dapat menyelesaikannya dengan baik. Peneliti memohon maaf apabila masih ada

kesalahan dan kekurangan dalam penelitian ini. Peneliti berharap semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Jakarta, 16 Juni 2016

Satria Loka Widjaya


Nim: 10905110007

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ... ............................................................................ ii
DAFTAR ISI... ........................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .. .............................................................................. viii
DAFTAR TABEL ... .................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6
D. Tinjauan Pustaka 8
E. Metodologi Penelitian 9
F. Sistematika Penulisan 16

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL


A. Kajian Teoritis 17
1. Konstruksi Sosial Atas Realitas 18
a. Sejarah Teori Konstruksi 18
b. Teori Konstruksi Sosial 19
2. Konstruksi Realitas di Media Massa 21
B. Kerangka Konseptual 24
1. Analisis Wacana 24
a. Teks 26
b. Kognisi Sosial 28
c. Konteks Sosial 29
C. Kebebasan Pers 31
1. Pengertian Kebebasan Pers 31
2. Kasus Kebebasan Pers di Indonesia 34

vi
D. Pers 46
1. Definisi Pers dan Jurnalistik 46
2. Perkembangan Pers di Indonesia 49
3. Fungsi dan Peran Pers di Indonesia 54
BAB III GAMBARAN UMUM MAJALAH TEMPO
A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Tempo 57
B. Visi dan Misi Tempo Inti Media 59
C. Struktur Redaksi Majalah Tempo 60
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Wacana Kebebasan Pers di Majalah Tempo 70
1. Analisis Teks “Memo Sebelum Malam Jahanam” 71
2. Analisis Teks “Tamu-tamu Misterius di Patalan” 87
B. Analisis Kognisi Sosial 100
C. Analisis Konteks Sosial 109
D. Interpretasi Penelitian 112
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 130
B. Saran 133
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Struktur Wacana Model Teun A. Van Dijk 15

Gambar 2.1 Proses Terjadinya Konstruksi Media Massa 22

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Struktur Teks Menurut Teun A. Van Dijk 28

Tabel 4.1 Kerangka Analisis Data “Memo Sebelum Malam Jahanam” 84

Tabel 4.2 Kerangka Analisis Data “Tamu-tamu Misterius di Patalan” 98

ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Kasus Kematian Fuad Muhammad Syafruddin pada tahun 1996 kembali

dirilis Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014. Pada rubrik tersebut Majalah

Tempo mengulas secara mendalam kejanggalan kasus penganiyaan berujung maut,

Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan harian Bernas. Majalah yang terpuruk

akibat arogansi rezim Orde Baru ini membuat 12 sub topik pada laporan khusus

bertajuk, Bukti Baru Pembunuhan Udin. Menggunakan gaya bahasa lugas dan

kritis, khas Tempo Media Group, Majalah ini juga memuat ilustrasi rangkaian

pembunuhan ayah dua anak tersebut.

Kasus pembunuhan Udin berbeda dengan kasus pembunuhan lainnya. Bila

kasus pembunuhan lain karena beberapa faktor seperti pemerkosaan, perampokan,

sakit hati, hutang-piutang, perselingkuhan, dan kekerasan, namun Udin dibunuh

karena berita.

Udin gugur dan menjadi tumbal rezim Orde Baru karena tulisannya mengusik

Bupati Bantul, Kolonel Art Sri Roso Sudarmo. Jauh hari sebelum pembunuhannya,

lima tahun sebelum Udin dianiaya hingga tewas, Ia kerap didatangi orang yang

memintanya dengan halus agar ia tidak menulis suatu berita terlalu keras. 1

Udin dianiaya orang tidak dikenal di rumahnya, Dusun Gelangan Samaro,

Jalan Parangtritis Km 13, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa,

13 Agustus 1996, pukul 23.30 WIB. Ia menghembuskan nafas terakhirnya, Jumat,

16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB, setelah koma selama tiga hari dan

menjalankan operasi otak di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Udin meninggal

1
Noorca M. Massardi, dkk, Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1997), h. 153.

x
2

akibat luka di kepala karena hantaman sebatang besi.

Sejumlah pihak menduga kematian Udin memiliki keterkaitan dengan

pemberitaan yang sering ia buat. Ia kerap menulis berita kritis tentang kebijakan

pemerintah Orde Baru dan militer. Beberapa tulisan Udin yang fenomenal adalah

“3 kolonel yang maju dalam bursa pencalonan Bupati Bantul”, “Soal Pencalonan

Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan”, ”Di Desa

Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo”, dan “Isak

Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis”. Sebelum dihabisi, ia berhasil

membongkar kasus penyuapan Sri Roso Sudarmo kepada yayasan Dharmais yang

dikelola oleh Keluarga Cendana, agar terpilih lagi menjadi Bupati Bantul.

Kasus Pembunuhan Udin menambah perbendaharaan dosa rezim Orde Baru

pada Pers di Indonesia. Bila kita melihat sejarah perjalanan Pers di Indonesia,

sepak terjang rezim yang dipimpin oleh Soeharto secara nyata membelenggu pers.

Pemerintah secara ketat mengawasi Pers melalui Departemen Penerangan.

Agar tetap hidup, pers harus taat dan memberitakan hal-hal baik tentang

pemerintahan orde baru. Bila ada media massa yang kritis dan berani menerbitkan

berita-berita miring tentang pemerintah, peringatan keras dan ancaman

pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menjadi hadiahnya. Hal

tersebut membuat Pers di Indonesia seperti dibawah ketiak pemerintah, tidak

memiliki kemerdekaan dalam berpendapat.

Angin segar perkembangan pers di Indonesia mulai terasa saat Presiden

Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan pada masa

kepemimpinannya. Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin


3

dan senantiasa diperjuangkan untuk diwujudkan.2 Sejak saat itu Pers di Indonesia

mulai berkembang, begitu pula dengan kebebasan Pers. Meskipun demikian, tetap

saja kasus pembunuhan Udin masih menyisakan misteri. Drama pembunuhan

delapan belas tahun silam masih tak terungkap, wayang serta dalangnya pun tak

tertangkap.

Secara konsisten Majalah Tempo mengawal kasus pembunuhan Udin hingga

penghujung akhir tahun 2014, tahun dimana kasus tersebut akan kedaluwarsa.

Merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 78, ayat 1,

angka 4, tentang penghapusan tuntutan pidana karena daluwarsa terhadap

kejahatan dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, sesudah delapan belas

tahun. Selain konsisten, pemilihan gaya bahasa yang mereka sajikan pun kritis

dan tajam, sesuai jargon majalah tersebut “enak dibaca dan perlu”.

Meskipun demikian, peneliti merasa perlu mengkaji, mengapa Majalah

Tempo secara konsisten memberitakan kasus ini. Terlebih majalah itu pernah

tersandung isu kebebasan pers. Selanjutnya, apakah seluruh laporan yang

disajikan Majalah Tempo merupakan realitas di lapangan atau awak majalah

tersebut melakukan konstruksi terhadap realitas dalam membingkai laporan

tersebut.

Eriyanto dalam bukunya mengatakan media adalah agen konstruksi, dimana

media sengaja mengontruksi pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat.

Eriyanto juga menjelaskan bahwa media adalah subjek yang mengkonstruksi

realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. 3 Berdasarkan

2
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, (Bandung: Sibiosa Rekatama Media, 2005), h. 26.
3
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKIS
2008), h. 22.
4

pandangan Eriyanto dapat kita katakan bahwa berita bukan refleksi dari realitas

namun hasil konstruksi dari realitas. Meskipun demikian, realitas yang sama akan

berbeda cara pemberitaannya, tergantung bagaimana media membingkai realitas

tersebut.

Pemilihan bahasa merupakan salah satu hal yang sangat krusial pada

pemberitaan sebuah media massa. Bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran

sebuah subjek dan melalui bahasa sebuah ideologi terdapat di dalamnya. 4 Dalam

memahami penggunaan bahasa tersebut, terdapat tiga pandangan besar yang dapat

kita jadikan sebuah landasan. Terlebih saat kita menganalisa pemberitaan media

massa.

Pertama Kaum Positivis Empiris yang melihat bahasa sebagai penghubung

antara manusia dengan objek diluar dirinya. Mereka menganggap manusia dapat

mengekspresikan secara langsung pengalamanya melalui penggunaan bahasa

tanpa adanya hambatan atau bias. Penggunaan bahasa tersebut harus logis,

sintaksis, dan memiliki keterkaitan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri

Pemikiran Kaum Positivis adalah terjadinya pemisahan antara penalaran dan

realitas.

Sementara itu yang kedua adalah kaum konstruksivis dengan paradigma

konstruktivisme. Mereka menilai bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat

untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai

penyampai pernyataan.5 Kaum Konstruktivis berpendapat setiap manusia dapat

menciptakan makna-makna tertentu dari setiap pernyataan atau tindakannya.

Penciptaan makna tersebut berawal dari penggunaan bahasa yang dipilih.

4
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS 2009), h. 3.
5
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 5.
5

Selanjutnya adalah Pandangan Kritis yang memahami bahasa sebagai

representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana

tertentu, maupun strategi didalamnya. 6 Kaum Kritis menilai bahasa sebagai

medium yang tidak netral. Mereka juga melihat bahasa selalu terlibat dalam

hubungan kekuasaan dan berbagai tindakan yang terdapat dalam masyarakat.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari dan

meneliti Majalah Tempo yang mengangkat Pembunuhan Udin delapan belas tahun

silam. Oleh karena itu, Peneliti mengambil judul “Pers Kasus Udin, Dan

Wacana Kebebasan Pers Di Indonesia”.

Peneliti mengangkat judul tersebut karena Kebebasan Pers di Indonesia

bagaikan oase di tengah gurun pasir. Berdasarkan data Reporters Sans Frontieres,

organisasi pemantau kebebasan pers seluruh dunia yang bermarkas di Perancis,

melalui website www.rsf.org, menjelaskan Indeks kebebasan Pers di Indonesia

berada pada urutan 138 dari 180 negara tahun 2015 dengan indeks kebebasan pers

40.75, peringkat Indonesia turun enam peringkat .

Kebebasan Pers di Indonesia masih dalam zona merah dan berada dalam

situasi yang sulit meskipun kemerdekaan pers sudah dijamin dan diperjuangkan

untuk diwujudkan. Belum terkuaknya kasus pembunuhan Udin hingga saat ini,

menjadi salah satu penyebab organisasi tersebut mengategorikan indeks

Kebebasan Pers di Indonesia masih rendah.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Peneliti membatasi penelitian ini pada rubrik laporan khusus Udin “Bernas”

edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti baru pembunuhan Udin, pada dua
6
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 6.
6

artikel yaitu “Memo Sebelum Malam Jahanam” dan ”Tamu-Tamu Misterius di

Patalan”. Hal tersebut peneliti kaitkan dengan wacana kebebasan pers di

Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah yang telah peneliti buat di atas maka peneliti

memfokuskan perumusan masalah penelitian pada:

a. Bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di

Indonesia pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas”

bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16 November

2014?

b. Bagaimana konteks Majalah Tempo saat mewacanakan kebebasan

pers di Indonesia pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin

“Bernas” bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16

November 2014?

c. Bagaimana kognisi sosial yang melatarbelakangi wacana yang

dibentuk pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas”

bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16 November

2014?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang sudah peneliti jelaskan di atas

maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu:

a. Untuk mengetahui bagaimana wacana Kebebasan Pers diangkat oleh


Majalah Tempo pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin
“Bernas” bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16
7

November 2014
b. Untuk mengetahui bagaimana konteks sosial Majalah Tempo yang
digambarkan mengenai kekerasan terhadap pekerja media dalam
kaitannya dengan kebebasan pers.
c. Untuk mengetahui bagaimana kognisi sosial yang menjadi latar

belakang wacana kebebasan pers pada pemberitaan rubrik laporan

khusus Udin “Bernas” di Majalah Tempo

2. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca

berupa:

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan memiliki fungsi dan manfaat secara akademis.

Manfaat ini ditujukan pada pengembangan ilmu komunikasi dan mempelajari

bagaimana media mengonstruksi sebuah berita untuk disampaikan kepada

masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah informasi awal

bagi siapa saja yang akan melakukan penelitian serupa di masa yang akan

datang.

b. Manfaat Praktis

Adapun dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai bahan informasi. Data yang tersedia dalam penelitian ini dapat

digunakan oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atau perguruan

tinggi lainnya untuk menunjang pengetahuan ilmu komunikasi. Dari

penelitian ini diharapkan juga agar Majalah Tempo dapat lebih bermanfaat,

menjadi bahan masukan dalam bidang informasi dan media penghubung

antara masyarakat dan pemerintah.

Selain itu Pembaca dapat mengetahui cara sebuah media massa


8

mewacanakan maksudnya dalam memberitakan sebuah peristiwa, khususnya

Majalah Tempo. Pembaca dapat melihat hubungan antara media massa

dengan ideologi, pemberitaan, komitmen media massa untuk menegakkan

kebebasan pers di Indonesia, dan komitmen media massa dalam melindungi

wartawannya.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul penelitian ini, peneliti melaksanakan tinjauan

pustaka di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan Alisansi Jurnalis

Independen (AJI) Jakarta, Perpustakaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),

dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Setelah mendapatkan bahan bacaan berupa buku penelitian komunikasi,

penelitian kualitatif, buku tentang pembunuhan Udin, karya ilmiah Mahasiswa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karya ilmiah Mahasiswa Universitas Indonesia,

dan buku teori analisis wacana, peneliti menetapkan diri untuk mengambil judul

yang berkaitan antara kebebasan pers dengan pemberitaan sebuah media. Peneliti

juga mendapatkan bahan pembelajaran dari media massa mengenai kasus

pembunuhan Udin, khususnya Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014, rubrik

Laporan Khusus Udin Bernas.

Peneliti menjadikan dua skripsi karya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta sebagai acuan dan pembanding. Peneliti mengacu pada Karya ilmiah

bertajuk “Wacana Kekerasan Oknum Aparat Terhadap Wartawan Pada

Harian Republika Edisi 17 Oktober 2012” milik Ana Aryati, mahasiswa UIN
9

Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan ilmu jurnalistik tahun 2009.

Dalam penelitian tersebut Ana Aryati menjelaskan bagaimana Redaksi Harian

Republika mewacanakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap

wartawan, melalui pemberitaan pada edisi 17 Oktober 2012. Hasil penelitian

tersebut bersifat deskriptif, dimana Ana memberikan gambaran tentang wacana

kekerasan terhadap wartawan saat melaksanakan tugas jurnalistik. Kemudian

menyimpulkan bahwa wacana kekerasan itu nampak dalam pemberitaan media

cetak harian tersebut.

Selain itu Peneliti juga mempelajari Skripsi milik Rahmaidah, mahasiswa Uin

Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Ilmu Jurnalistik tahun 2011. Skripsi milik

Rahma berjudul “Wacana Keterlibatan Anak-anak Dalam Kampanye Partai

Keadilan Sejahtera Jelang Pemilu 2014 di Merdeka.com”. Skripsi itu berisi

tentang situs berita online Merdeka.com yang gencar memberitakan tentang

keterlibatan anak-anak dalam kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS) jelang

pemilu 2014.

Dalam penelitiannya Rahma menyimpulkan bahwa Merdeka.com

mewacanakan bahwa PKS melakukan pelanggaran dengan melibatkan anak-anak

dalam kampanye mereka. Sementara itu selain PKS ada partai politik lain yang

melakukan pelanggaran yang sama, membawa anak-anak dalam kampanye. Tetapi

Merdeka.com hanya mengambil angle mengenai PKS dan memberikan porsi lebih

pada pemberitaannya.

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan paradigma adalah


10

sebuah kerangka berpikir. Sementara itu Deddy Mulyana berpendapat

paradigma adalah cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.

Ia juga mengutip pernyataan Anderson, paradigma merupakan ideologi dan

praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama

atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas

penelitian, dan menggunakan metode serupa.7

Segala hal yang kita lakukan sangat dipengaruhi oleh tata dan cara

pandang kita terhadap sesuatu. Hal tersebut menjadi acuan setiap manusia

dalam memahami segala sesuatu yang terjadi. Peneliti menggunakan

paradigma yang peneliti pahami dalam meneliti pemberitaan media massa.

Peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme karena peneliti

menilai Majalah Tempo membentuk sebuah realitas melalui pemberitaan

mereka. Alasan lainnya adalah paradigma Konstruktivisme memiliki posisi

dan cara pandang tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan. 8

Paradigma Konstruktivisme juga digunakan untuk menjelaskan sebuah

teori yang dapat mengubah pandangan seseorang terhadap sebuah realitas.

Kajian paradigma ini menempatkan posisi peneliti setara dengan subjeknya,

berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi

pemahaman subjek yang akan diteliti.

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Kualitatif karena

pada penelitian kualitatif peneliti menjadi instrumen kunci. Terlebih jika

peneliti menggunakan teknik pengumpulan data observasi patisipasi,

peneliti terlibat sepenuhnya dalam kegiatan informan kunci yang menjadi

7
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 9.
8
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h. 204.
11

subjek penelitian dan sumber informasi penelitian.9

Peneliti mengumpulkan bahan penelitian dengan mencari data dari

perpustakaan, media massa, berdiskusi dengan sejumlah wartawan Majalah

Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen terkait pembunuhan Udin.

Penelitian Kualitatif merupakan perilaku artistik. Pendekatan filosofis dan

aplikasi metode dalam kerangka penelitian kualitatif untuk memproduksi

ilmu-ilmu “lunak”, seperti sosiologi, antropologi, dan komunikasi.10

Lexy J. Moleong menyimpulkan penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh

subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata, bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah.11

2. Metode Penelitian

Peneliti menggunakan metode analisis wacana model Teun A. Van Dijk

dalam penelitian ini. Peneliti meneliti dan menyimpulkan hasil temuan dari

analisis pemberitaan Majalah Tempo rubrik laporan khusus Udin “Bernas”

edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti baru pembunuhan Udin. Hasil

penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan bayangan tentang

bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di Indonesia dalam

kaitannya dengan Penganiayan Berujung Maut Udin Bernas.

3. Subjek dan Objek Penelitian

9
Elvinaro Ardianto, Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan kualitatif,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011), h. 58.
10
Elvinaro Ardianto, Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan kualitatif, h.
59.
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya 2010), h. 6.
12

Peneliti menjadikan Wartawan di Majalah Tempo menjadi subjek pada

penelitian ini. Sedangkan Objek penelitian ini adalah pemberitaan rubrik

laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti

baru pembunuhan Udin. Peneliti tertarik untuk meneliti majalah tersebut

karena peneliti mencurigai terdapat maksud, pesan dan wacana tertentu yang

ingin disampaikan Majalah Tempo melalui pemberitaan tersebut.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif lebih menekankan pada persepsi peneliti dan

partisipan dalam menyikapi suatu fenomena. Sehingga keterlibatan peneliti

sangat penting dalam pengumpulan data. Berdasarkan hal tersebut, peneliti

harus terlibat langsung dalam pengumpulan data.12

a. Observasi

Dalam pengertian psikologik, observasi atau disebut dengan

pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek

dengan menggunakan seluruh alat indera.13 Observasi dapat juga kita

katakan sebagai kegiatan mengamati sebuah fenomena yang terjadi.

Observasi pada penelitian ini adalah kegiatan mengamati subjek

penelitian, Wartawan Majalah Tempo, sedangkan objek penelitian,

Majalah Tempo terkait rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16

November 2014.

b. Wawancara

Menurut Kahn & Kannel, wawancara adalah diskusi antara dua

orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Wawancara merupakan cara atau

12
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif :Dasar-Dasar, (Jakarta, Indeks: 2012), h. 43.
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2002), h. 133.
13

teknik yang paling banyak digunakan untuk mengumpulkan data

penelitian kualitatif. Dengan wawancara peneliti dapat memperoleh

banyak data yang berguna bagi penelitiannya. 14

Pada penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan Jajang

Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo terkait pemberitaan rubrik

laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014.

c. Dokumentasi

Esterberg mendefinisikan dokumen adalah segala sesuatu materi

dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia. Dokumen dapat

berbentuk catatan dalam kertas (hardcopy) maupun elektronik

(softcopy).15

Dalam penelitian ini, Peneliti mengumpulkan dan mempelajari data

melalui literatur dan sumber bacaan. Data tersebut meliputi pemberitaan

tentang pembunuhan Udin, opini sejumlah wartawan di internet terkait

kasus udin. selain itu sejumlah data dan dokumen yang relevan dengan

masalah yang dibahas untuk mendukung penelitian.

5. Teknik Analisis Data


Sebelum menganalisis data, peneliti terlebih dahulu menyusun data-data

agar lebih sistematis, kemudian peneliti memilah data tersebut.

Selanjutnya peneliti menganalisa sesuai dengan rumusan masalah dan

tujuan penelitian. Setelah itu peneliti menyajikan data tersebut dalam bentuk

laporan ilmiah.

Untuk menganalisia pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas”

14
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif:Dasar-Dasar, h. 45.
15
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif:Dasar-Dasar, h. 61.
14

bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, di Majalah Tempo. Maka peneliti

menggunakan metode kualitatif, yakni dengan menganalisa data berdasarkan

informasi-informasi yang diperoleh dan studi dokumentasi.

Peneliti menilai Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers pada

pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November

2014, terkait penganiayaan berujung maut Udin. Kemudian Peneliti

menggunakan metode analisis wacana model Teun A. Van Dijk untuk meneliti

dan menganalisa pemberitaan majalah tersebut.

Pada dasarnya, Analisis Wacana merupakan salah satu metode untuk

membongkar kuasa yang ada disetiap proses bahasa seperti batasan apa yang

diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus digunakan, dan topik

yang dibicarakan. Dalam arti yang sempit peneliti mendefinisikan analisis

wacana adalah cara untuk mengungkapkan maksud tersembunyi pada sebuah

pemberitaan media massa. Melalui analisis wacana kita bukan hanya

mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu

disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita

disampaikan.16

Analisis wacana Teun A. Van Dijk merupakan salah satu model analisis

wacana yang paling digemari dalam kajian media. Hal tersebut beralasan

karena Van Dijk mengkolaborasi elemen-elemen wacana sehingga pengkaji

media dapat menggunakan model ini secara praktis. Mereka sering menyebut

model analisis ini sebagai pendekatan kognisi sosial.

Kognisi Sosial adalah sebuah istilah yang mengadopsi pendekatan

16
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), h. 68.
15

psikologi sosial. Pendekatan ini membantu memetakan bagaimana produksi

teks yang melibatkan proses yang rumit dapat dipelajari dan dijelaskan.

Model wacana yang dikemukakan oleh Van Dijk ini memiliki tiga

dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pusat dari analisis

Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam

satu kesatuan analisis. Struktur wacana model Van Dijk dapat digambarkan

sebagai berikut.17

GAMBAR 1.1

Struktur Wacana Model Teun A. Van Dijk

Teks

Kognisi Sosial

Konteks
Saat berada dalam bangunan teks, hal yang dapat diteliti adalah bagaimana

struktur teks dan strategi wacana yang digunakan untuk menegaskan suatu tema

tertentu. Kemudian pada bangunan kognisi sosial dapat dipahami bahwa proses

produksi suatu teks berita melibatkan kognisi individu dari wartawan. Selanjutnya

pada level konteks hal yang dapat dipelajari adalah bangunan wacana yang

berkembang dalam suatu masyarakat akan suatu masalah.

6. Pedoman Penelitian

Peneliti mengacu pada buku Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi,

Tesis, dan Desertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA

17
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing , h. 74
16

(Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 dalam melaksanakan

penelitian.

F. Sistematika Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,

tinjauan pustaka, dan sistematika penelitian.

BAB II KAJIAN TEORI

Bab ini menguraikan kajian teoritis mengenai, Sejarah Pers di Indonesia,

Kebebasan Pers, Pelbagai kasus yang menimpa kebebasan pers di Indonesia

teori kontruksi sosial, dan analisis wacana model Teun A. Van Dijk.

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini memaparkan mengenai sejarah singkat, visi dan misi Majalah Tempo,

struktur dewan redaksi Majalah Tempo.

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang temuan dan analisis wacana pemberitaan rubrik

laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014, Majalah Tempo.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran peneliti terkait hal yang telah

dibahas pada penelitian ini.


BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kajian Teoritis

Media massa merupakan solusi yang cukup efektif untuk menyampaikan

pesan secara masif, Terlebih pada era globalisasi seperti masa kini. Pelbagai karya

Jurnalistik di media massa seperti audio, cetak, audio visual, dan siber, semakin

banyak dijadikan sebagai objek studi. Khususnya pada studi bidang sosial dan

komunikasi.

Secara umum penelitian komunikasi di Indonesia menggunakan tiga

paradigma besar yakni Positivis, Konstruksi, dan Kritis. Dani Vardiansah dalam

bukunya mengutarakan paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan

lingkungan keilmuan yang akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan

bertingkah laku dalam upaya mencari dan menemukan pengetahuan ilmu dan
18
kebenaran. Peneliti menyimpulkan bahwa penelitian komunikasi sangat

dipengaruhi oleh paradigma yang digunakan.

Paradigma Positivis merupakan cara pandang yang menilai bahwa

komunikan bersifat pasif pada sebuah pemberitaan media massa. Paradigma ini

melihat bahwa media hanya sebagai alat penyampai pesan. Sehingga pesan yang

disampaikan melalui perantara media akan sama dengan pesan yang diterima.

Dalam pandangan kaum positivis pemberitaan media massa adalah informasi

yang diwartakan kepada masyarakat sebagai representasi kenyataan.

Berbeda dengan paradigma positivis yang menilai komunikan bersifat pasif,

paradigma konstruksi melihat komunikan bersifat aktif. Kaum konstruksionis

18
Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Indeks, 2008), h.
50.

17
18

menilai media adalah agen konstruksi. Sehingga pesan yang disampaikan

media melalui pemberitaannya merupakan realitas yang dibuat oleh media itu

sendiri. Dalam pandangan kaum konstruksionis berita bukan refleksi dari realitas

namun hasil konstruksi dari realitas.

Paradigma kritis menilai sebuah wacana di masyarakat adalah hasil dari

budaya dominan. Budaya tersebut seolah-olah menjadi pembenaran dari tindakan

dan realitas di masyarakat. Paradigma kritis digunakan untuk membongkar

dominasi yang ada dalam setiap proses pembuatan berita di media massa. Kaum

kritis menilai ada pihak yang memiliki kuasa penuh atas sebuah pemberitaan di

media massa. Pengusaha sebagai pemegang modal, pemerintah atau dewan

redaksi.

1. Konstruksi Sosial atas Realitas

a. Sejarah Teori Konstruksi

Penggunaan istilah konstruksi mulai berkembang sejak Peter L. Berger dan

Thomas Luckmann melihat bahwa proses sosial dimulai melalui interaksi dan

tindakan.19 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann kali pertama memperkenalkan

istilah konstruksi realitas pada tahun 1966 melalui bukunya The Social

Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Mereka

menjelaskan bagaimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang

dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.20

Jika menelisik jauh kebelakang serbenarnya teori konstruksi berakar pada

seorang epistomolog berkebangsaan Italia, Giambatissta Vico. Gagasan-gagasan

19
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 13.
20
Yearry, “Komunikasi dan Konstruksi Sosial Atas Realitas,” artikel diakses pada 14 Mei 2015
dari https://yearrypanji.wordpress.com/2008/06/04/komunikasi-dan-konstruksi-sosial-atas-realitas/
19

pokok konstruktivisme dan pemikiran alumni University of Naples Federico II

inilah yang menjadi cikal bakal teori konstruksi.

Burhan Bungin dalam bukunya, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan

Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik

Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, menjelaskan gagasan

konstruktivisme yang memiliki keterkaitan dengan Filsafat hadir sejak Socrates

menemukan konsep jiwa dalam tubuh manusia. Pemikiran Socrates itu diperkuat

oleh Plato yang menemukan konsep akal budi dan ide.

Socrates mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap

pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah

logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.21 Ia juga mengenalkan kata yang

fenomenal, “Cogoto, ergo sum” atau “saya berfikir karena itu saya ada”, kata

fenomenal tersebut merupakan pondasi yang kuat bagi perkembangan pokok

pemilikiran konstruktivisme hingga sekarang.

b. Teori Konstruksi Sosial

Teori konstruksi sosial memiliki benang merah dengan dengan teori fakta

sosial dan teori definisi sosial. Dalam struktur kajian komunikasi teori konstruksi

sosial berada di antara teori fakta sosial dan teori definisi sosial.

Dalam pandangan teori fakta sosial manusia adalah produk dari masyarakat.

Tindakan dan persepsi manusia sangat dipengaruhi oleh aturan yang ada dalam

masyarakat. Sedangkan menurut teori definisi sosial manusia melakukan

pemaknaan dan membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas,

menyusun institusi dan norma yang ada. Teori konstruksi sosial berada di antara

21
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, h.
13.
20

keduanya.22

Pokok pikiran teori konstruksi sosial adalah anggapan bahwa manusia dan

lingkungan saling memengaruhi. Ada masa ketika manusia memengaruhi

lingkungan, begitu pula sebaliknya, ada kalanya manusia dipengaruhi oleh

lingkungannya. Dari bayangan tersebut dapat kita katakan terdapat benang merah

antara teori konstruksi sosial, teori fakta sosial, dan teori definisi sosial. Bahkan

teori konstruksi sosial memersatukan kedua teori tersebut.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam teorinya mengungkapkan

proses konstruksi sosial atas realitas terbagi dalam tiga tahap. Ketiga tahapan yang

terjadi secara simultan tersebut adalah eksternalisasi, objektivasi, dan

Internalisasi.

Eksternalisasi adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia untuk

beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Upaya adaptasi itu berbentuk

pemikiran (mental) maupun tenaga (fisik). Pada fase ini manusia berperan sebagai

pembentuk di lingkungannya.

Selanjutnya adalah objektivasi yang merupakan hasil yang dicapai baik

mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. 23 Hasil dari

ekternalisasi tersebut meliputi kegiatan saling memengaruhi antara manusia

dengan lingkungannya.

Sementara itu Internalisasi adalah keadaan dimana manusia terpengaruh oleh

lingkungannya. Baik lingkungan yang masih alami maupun yang sudah

terpengaruh oleh manusia. Dalam hal ini Berger mengungkapkan internalisasi

sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian

22
Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 13.
23
Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 14.
21

rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.24

Dalam kehidupan masyarakat hubungan tersebut dapat peneliti lihat dari

proses lahirnya sebuah norma atau aturan. Awalnya norma adalah hasil pemikiran

manusia. Kemudian manusia merealisasikan norma tersebut dalam kehidupan

sosial. Selanjutnya norma yang sudah direalisasikan itu menjadi sebuah sistem,

mengatur tata cara dan menjadi aturan. Pada akhirnya setiap manusia akan

mematuhi dan beradaptasi dengan norma tersebut.

Berkaca dari proses lahirnya sebuah norma, benar adanya bila manusia dan

lingkungannya saling memengaruhi. Pada awalnya manusia memengaruhi

lingkungannya kemudian manusia juga terpengaruh oleh lingkungan yang

dibuatnya. Ada kalanya manusia mempengaruhi lingkungannya dan dipengaruhi

oleh lingkungannya. Hal tersebut terus berlangsung hingga sekarang.

Fenomena tersebut yang menguatkan Berger yang berpendapat tentang

manusia dan lingkungannya yang saling memengaruhi. Hal itu pun yang

mendasari teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas

Luchmann

2. Konstruksi Realitas di Media Massa

Pada dasarnya hasil liputan sebuah peristiwa di media massa adalah konstruksi

realitas. Media menyusun realitas dari sebuah peristiwa secara sistematis hingga

menjadi sebuah cerita yang memiliki makna. Berdasarkan sifat dan fakta di

lapangan pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa, maka kesibukan

utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas. Sehingga isi media

merupakan realitas yang telah dikonstruksikan dalam bentuk wacana yang

24
Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 15.
22

bermakna.25

Burhan Bungin dalam bukunya, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan

Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik

Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, menjelaskan bagaimana proses

terjadinya konstruksi di media massa. Ia menggambarkan proses tersebut dalam

sebuah skema.

GAMBAR 2.1

Proses Terjadinya Konstruksi Media Massa

Peneliti melihat bahwa proses komunikasi di media memerlukan beberapa

tahapan berdasarkan skema tersebut. Agar komunikasi tersebut berjalan sempurna

ada lima tahapan yang terjadi dalam proses komunikasi di media massa. Bungin

menganalisa dan mengelompokan tahapan itu menjadi beberapa bagian seperti

sumber penyampai pesan (source), pesan atau informasi (message), media yang

digunakan (channel), penerima pesan (receiver) dan berakhir pada efek yang

dihasilkan (effects).

Pada gambar tersebut terlihat bahwa sumber penyampai pesan dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dalam

kaitannya dengan media massa sumber penyampai pesan tersebut adalah jurnalis.

Sebagai orang pertama yang bersentuhan dengan peristiwa, pola pandang dan

25
Ibnu Hamad, Konstruksi realitas politik dalam media massa:sebuah studi critical discourse
analysis terhadap berita-berita politik, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 11-12.
23

pengalaman jurnalis sangat memengaruhi cara ia memaknai dan meliput peristiwa

tersebut.

Proses selanjutnya adalah jurnalis memberikan pesan atau hasil liputannya

kepada dewan redaksi. Pada fase ini dewan redaksi juga memiliki peran dalam

mengontruksi realitas, salah satu contohnya adalah saat rapat redaksi penentuan

berita mana yang diangkat atau tidak. Dalam mengolah sebuah pemberitaan

jurnalis tidak bekerja sebagai individu melainkan bekerja dalam sebuah tim dan

institusi media. Kepentingan dan keberpihakan dewan redaksi dan intitusi media

sangat memengaruhi hasil akhir produk jurnalistik yakni sebuah pemberitaan.

Fase Selanjutnya adalah media memainkan fungsi dan perannya dengan

menyebarluaskan sebuah peristiwa melalui pemberitaannya, lengkap dengan

pesan yang telah mereka konstruksi sebelumnya. Berita yang merupakan hasil

konstruksi menyebar dengan cepat dan masif di masyarakat. Sesuai dengan sifat

media massa yang dapat menyebarkan pesan secara cepat, masif, dan spontan.

Sehingga hasil konstruksi tersebut dengan mudah dapat menyebar di

tengah-tengah masyarakat.

Meskipun berita hasil konstruksi media massa sudah berada di masyarakat,

belum tentu masyarakat menerima informasi yang terkonstruksi begitu saja. Hal

itu bisa terjadi karena setiap individu memiliki penerimaan yang berbeda terhadap

informasi. Beberapa faktor seperti latar belakang budaya, ekonomi, pendidikan,

dan politik, memengaruhi penerimaan itu. Masyarakat secara individu yang

menentukan konstruksi itu berhasil atau tidak.

Jika masyarakat menerima hasil konstruksi tersebut maka konstruksi realitas

oleh media berhasil. Masyarakat akan terkonstruksi oleh realitas imajiner yang
24

ditampilkan media. Selanjutnya masyarakat akan memberikan umpan balik

terhadap realitas yang telah dikonstruksi oleh media massa.

B. Kerangka Konseptual

1. Analisis Wacana

Analisis Wacana merupakan salah satu metode untuk membongkar kuasa yang

ada disetiap proses bahasa seperti batasan apa yang diperkenankan menjadi

wacana, perspektif yang harus digunakan, dan topik yang dibicarakan. Dalam arti

yang sempit kita dapat mendefinisikan analisis wacana adalah cara untuk

mengungkapkan maksud tersembunyi pada sebuah pemberitaan media massa.

Teun A. Van Dijk menyatakan penelitian atas wacana tidak cukup hanya

didasarkan pada analisis atas teks semata. Ia berpendapat teks hanyalah hasil dari

suatu praktik produksi yang harus diamati. Kita meski melihat bagaimana suatu

teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa

seperti itu.

Bagi Van Dijk teks bukan sesuatu yang turun dari langit, bukan juga suatu

ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibuat dalam suatu praktik diskursus,

sebuah praktik pembentukan wacana. Teks hadir dan bagian dari representasi yang

menggambarkan kondisi masyarakat yang dominan.

Pada dasarnya setiap teks memiliki dua bagian yaitu elemen mikro dan elemen

makro. Setiap bagian memiliki fungsi dan perannya masing-masing dalam

masyarakat. Jika elemen mikro berperan sebagai pembentuk wacana dalam

sebuah berita maka elemen makro adalah struktur sosial dalam masyarakat. Van

Dijk menghubungkan kedua elemen tersebut sehingga menghasilkan sebuah

dimensi, kemudian Ia menyebutnya dengan nama Kognisi Sosial.


25

Kognisi sosial yang dikenalkan oleh Van Dijk bagaikan koin yang memiliki

dua mata sisi. Pada sisi pertama model ini menunjukan bagaimana wartawan

membuat sebuah teks. Sedangkan sisi kedua merefleksikan bagaimana nilai-nilai

masyarakat yang dominan itu menyebar, kemudian diserap oleh daya pikir

wartawan. Selanjutnya wartawan menggunakan hasil penyerapan itu menjadi teks

berita.

Van Dijk melalui kognisi sosial ini lebih memfokuskan perhatiannya pada studi

tentang rasialisme. Hal tersebut tergambar dari banyak karyanya tentang studi

analisis pemberitaan yang mengarah pada bentuk rasialisme. Salah satunya adalah

saat Van Dijk dan rekannya menganalisis bagaimana wacana media menguatkan

rasialisme yang ada dalam masyarakat, di Universitas Amsterdam. Mereka

menemukan banyak rasialisme yang tercipta dan digambarkan melalui teks berita.

Masyarakat Barat pada umumnya tidak sadar bahwa pikiran mereka diliputi

oleh pikiran-pikiran yang rasis, memandang rendah, dan memandang berbeda

kelompok minoritas, dalam kehidpuan sehari-hari. Kondisi yang berulang dan

terakumulasi ini menghasilkan pikiran dan kognisi yang memandang rendah

kelompok minoritas. Selanjutnya rasialisme itu diperkuat dan dimapankan dalam

teks berita. Hal itu yang membuat bahwa rasialisme terlihat sebagai sebuah

kewajaran.

Bentuk rasialisme itu menurut Van Dijk bisa saja berasal dari percakapan

sehari-hari, wawancara kerja, rapat pengurus, debat di parlemen, propaganda

politik, periklanan, artikel ilmiah, editorial, berita, foto, film, dan sebagainya.

Melalui berbagai teks tersebut, kelompok bawah dan minoritas digambarkan

secara buruk dan tidak sebagaimana mestinya, yang dinyatakan dengan cara yang
26

meyakinkan, tampak sebagai kewajaran, masuk akal, alamiah, dan terlihat/tampak

sah.26

Van Dijk tidak hanya berpatokan pada analisis teks semata terhadap model

wacana yang ia buat. Ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan

kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat berpengaruh terhadap teks

tertentu. Selain itu ia juga melihat bagaimana kognisi, pikiran, dan kesadaran yang

Membentuk dan memengaruhi pada sebuah teks pilihan.

Van Dijk menggambarkan model wacananya dalam tiga struktur bangunan:

teks, koginisi sosial, dan konteks sosial. Kemudian ia menggabungkan ketiga

bangunan tersebut dalam kesatuan analisis.

Analisis model Van Dijk menghubungkan analisis tekstual – yang memusatkan

perhatian hanya pada teks – ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks

berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun

dari masyarakat.27

a. Teks

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan teks adalah naskah

yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal

ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato,

dsb. Selain itu KBBI juga mengartikan teks sebagai wacana tertulis.

Secara teori bahasa teks adalah himpunan huruf yang membentuk kata dan

kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat. 28

Sehingga masyarakat dapat memahami dan mengungkapkan makna yang

26
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 223
27
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224
28
Alex Subour, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 54
27

terkandung dalam teks itu ketika membacanya.

Menurut Teun A. Van Dijk teks adalah refleksi dari kognisi sosial, dimana

kesadaran mental wartawan memiliki kuasa penuh atas berita yang dibuat.

Kemudian Van Dijk menilai suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan

yang masing-masing bagian saling mendukung. 29

Dalam melaksanakan penelitian terhadap teks Van Dijk membaginya dalam

tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yang merupakan makna global/umum

dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang

dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur

wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian

teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, yang merupakan

makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata,

kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.30

Meskipun terdiri atas berbagai elemen, seluruh elemen tersebut merupakan satu

kesatuan yang utuh. Mereka saling berhubungan dan mendukung satu sama

lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan

pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang digunakan.

Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan

persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Kata-kata

tertentu mungkin dipilih untuk mempertegas pilihan dan sikap, membentuk

kesadaran politik, dan sebagainya. Berikut adalah elemen-elemen wacana Van

Dijk

29
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 225
30
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h 226
28

TABEL 2.1
Struktur Wacana Teun A. Van Dijk
Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro Tematik (apa yang dikatakan) Topik

Skematik (bagaimana
Superstruktur pendapat disusun dan Skema
dirangkai)

Latar, detail, maksud,


Semantik (makna yang ingin
Struktur Mikro pra anggapan,
ditekankan dalam teks berita)
nominalisasi
Sintaksis (bagaimana pendapat Bentuk kalimat,
Struktur Mikro
disampaikan) koherensi, kata ganti
Stilistik (pilihan kata apa yang
Struktur Mikro Leksikon
dipakai)
Retoris (bagaimana dan
Grafis, Metafora
Struktur Mikro dengan cara apa penekanan
Ekspresi
dilakukan)

Van Dijk memahami pemakaian kata, kalimat, retorika tertentu oleh media

sebagai sebuah strategi wartawan. Hal tersebut tidak hanya dipandang sebagai

cara berkomunikasi saja namun sebagai politik berkomunikasi. Suatu cara untuk

mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi,

dan menyingkirkan lawan atau penentang.

Setiap elemen-elemen dalam analisis teks tersebut akan menunjukkan hal-hal

yang ditonjolkan dalam pemberitaan. Penggiringan opini publik akan terlihat

karena setiap elemen-elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling

mendukung dan berkaitan. Pada dasarnya struktur wacana adalah cara yang efektif

untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang

menyampaikan pesan.

b. Kognisi Sosial

Elemen kedua pada model analisis wacana Teun A. Van Dijk adalah kognisi
29

sosial. Pada elemen ini Van Dijk mengutarakan dalam kajian media massa

diperlukan sebuah teknik untuk membongkar cara kerja dan pola pikir wartawan

ketika memproduksi sebuah teks berita. Van Dijk mengenalkan kognisi sosial

sebagai kesadaran mental wartawan dalam membentuk teks berita.

Misalnya wacana kebebasan pers pada pemberitaan kasus pembunuhan Udin

“Bernas”. Kita memerlukan penelitian mengenai kesadaran mental wartawan

Majalah Tempo dalam memandang kasus itu. Van Dijk mengatakan untuk

membongkar makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis

kognisi dan konteks sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas

representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita. 31

Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai

makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya

proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Pada dasarnya setiap teks berita

dihasilkan melalui kesadaran, pengetahuan, prasangka tertentu atas sebuah

peristiwa. Wartawan sebagai individu yang netral, tetapi individu yang

mempunyai bermacam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan

dari kehidupannya dalam menyusun teks berita.

Melalui kognisi sosial ini kita dapat mengetahui makna yang disembunyikan

oleh wartawan Majalah Tempo dalam membuat laporan khusus tentang

terbunuhnya Udin “Bernas” delapan belas tahun silam.

c. Konteks Sosial

Sebagai salah satu dimensi penting dari analisis wacana model Van Dijk

banyak pihak yang menyebutkan konteks sosial adalah analisis sosial. Pada

31
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 260
30

dimensi ini Van Dijk mengatakan bahwa untuk menganalisa wacana yang

berkembang dalam masyarakat kita harus melakukan analisis intertekstual.

Bentuk analisis itu dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal

diproduksi dan dikonstruksi dalam kehidupan masyarakat. Analisis semacam ini

memerlukan pemahaman tentang praktik kekuasaan dan akses.

Van Dijk mendefinisikan praktik kekuasaan sebagai kekuatan atau pengaruh

yang dimiliki oleh suatu kelompok untuk mengontrol dan memengaruhi kelompok

lain. Pada umumnya kekuasaan ini bersandar pada kepemilikan atas sumber daya

yang bernilai seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain itu Van Dijk juga

memahami kekuasaan sebagai bentuk persuasif, yaitu tindakan seseorang untuk

secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi mental,

seperti kepercayaan, sikap, dan pengetahuan.32

Dominasi yang ada di masyarakat turut memberikan sumbangsih besar pada

praktik-praktik kekuasaan tersebut. Dominasi pada akhirnya bermuara pada

bentuk-bentuk diskriminasi dari kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Salah

satu contohnya adalah pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI)

oleh masyarakat, tentara, dan pesantren pada masa Orde Baru berkuasa.

Diskriminasi terjadi karena akses yang dimiliki oleh kelompok kuat dalam

pelbagai hal, termasuk media massa.

Sementara itu simpatisan PKI sebagai kelompok lemah tidak memiliki akses,

layaknya kelompok kuat. Hal itu berdampak pada kehidupan kelompok lemah

tersebut. Mereka mendapatkan perlakuan dan stigma buruk dari masyarakat akibat

wacana tentang komunisme dari pemerintah.

32
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 272
31

Pada kasus tersebut Pemerintah memiliki akses yang luas dalam menjangkau

masyarakat dibandingkan simpatisan atau keturunan pengikut PKI. Pemerintah

dapat menentukan wacana mengenai komunisme melalui lembaga maupun

institusi pemerintahan seperti sekolah dan birokrasi. Pada akhirnya masyarakat

yang tidak memiliki akses akan menjadi konsumen wacana yang telah ditentukan.

Kemudian mereka menyebarkanya melalui percakapan dengan keluarga, teman,

kerabat, teman sebaya, dan sebagainya. 33

Oleh karena itu, mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan lebih

besar untuk mempunyai akses pada media dan kesempatan lebih besar untuk

mempengaruhi kesadaran khalayak.

C. Kebebasan Pers

1. Pengertian Kebebasan Pers

Jakob Oetama dalam bukunya, Pers Indonesia: Berkomunikasi Dalam

Masyarakat Tidak Tulus, mengatakan kebebasan pers berkaitan dengan paham

politik dan konstitusi, yakni jaminan atas hak untuk bebas menyatakan

pendapatnya secara lisan dan tertulis. Kebebasan pers sekaligus juga fungsional,

melekat pada lembaga pers. 34 Maestro Pers Indonesia itu secara gamblang

menyebutkan bahwa pers dan kebebasannya merupakan suatu kesatuan yang utuh.

John C. Merril, wartawan asal Amerika, menyebutkan, kebebasan pers

sebagai kondisi yang memungkinkan para pekerja pers memilih, menentukan dan

mengerjakan tugas mereka sesuai keinginan mereka. Sementara itu, Nurudin

mendefinisikan kebebasan pers sebagai kebebasan yang dimiliki pers untuk

menyiarkan kebijakan redaksinya tanpa ada pihak lain yang memaksa untuk

33
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 274
34
Jakob Oetama, Pers Indonesia: berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 21.
32

berbuat di luar keinginan pers.35

Kebebasan pers memerlukan sebuah otonomi khusus yang dimiliki oleh pers

dalam mengambil langkah-langkah konkret agar bebas dari pengawasan pihak

lain di luar pers. Ketika pers telah memiliki otonominya sendiri maka kebebasan

pers bisa dilaksankan.

Kebebasan pers memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengontrol dan

menyuarakan pendapatnya kepada Pemerintah. Selain itu roda pembangunan dan

pemerintahan akan berjalan secara transparan. Hal tersebut bisa memberikan

manfaat yang luas bagi masyarakat bukan mengorbankan kehidupan mereka.

Indonesia sebagai negara berhaluan demokrasi turut mengakui adanya

kebebasan pers. Hal itu sejalan dengan konstitusi kita yang mengakui kebebasan

pers sebagai hak asasi manusia. Secara tegas perubahan (kedua) UUD 1945 Bab

XA tentang “Hak Asasi Manusia” Pasal 28 F menyebutkan:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyapaikan informasi

dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Jelas terlihat dari pasal tersebut jika konstitusi kita menghargai kebebasan

pers bahkan mengakuinya sebagai hak asasi manusia. Hal itu terbukti dengan

penempatan kalimat “hak untuk berkomunikasi” serta “dengan segala jenis

saluran yang tersedia” (dalam hal ini pers) sebagai sebuah pengakuan.36

Negara membuat iklim kebebasan pers di Indonesia semakin kondusif dengan

35
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 296
36
Sedia Wiling Barus, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita, (Jakarta: Erlangga, 2010), h.
225
33

pengesahan UU Pers No. 40 tahun 1999. Kebebasan Pers menurut UU Pers No.

40 tahun 1999 terdapat dalam pasal 4 yang berbunyi:

1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.

2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau

pelarangan penyiaran.

3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,

memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan

mempunyai hak tolak.

Pemerintah juga memuat ketentuan pidana pada pasal 18 yang berhubungan

dengan ketentuan pada pasal 4 yakni “Setiap orang yang secara melawan hukum

dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau

menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.

500.000.000 (Lima ratus juta rupiah)” untuk menjamin kebebasan pers. 37

Melalui aturan tersebut negara hadir dalam menjamin kebebasan pers di

Indoensia. Hal itu merupakan komitmen pemerintah dalam mewujudkan

kedaulatan rakyat. Kebebasan pers menjadi unsur yang sangat penting untuk

menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam lingkup

negara demokratis.

Meskipun demikian kebebasan pers di Indonesia bukannya tanpa aturan.

Negara kita memiliki sistem dan aturan yang berlaku terhadap pers di seluruh

penjuru nusantara. Indonesia menganut sistem kebebasan pers berlandaskan

37
Rine Araro, “Kebebasan Pers Perspektif Hukum,” artikel diakses pada 17 Agustus
2015 dari
http://manado.tribunnews.com/2013/04/28/kebebasan-pers-perspektif-hukum?page=2/
34

pancasila, sesuai ideologi negara kepualauan ini.

Sistem kebebasan pers dengan asas Pancasila mengharuskan pers memiliki

tanggung jawab atas segala karya jurnalistik yang dihasilkan. Pada sistem ini

kebebasan tidak diartikan sebagai kebebasan yang mutlak, namun kebebasan yang

bersyarat. Pers Pancasila digambarkan sebagai pers yang menjalankan hak

kebebasannya tetap memerhatikan tata nilai yang hidup dalam masyarakat, antara

lain kehidupan gotong royong dan bukan mencita-citakan kehidupan masyarakat

yang individualis.38

Pemakaian istilah kebebasan pers diganti menjadi kemerdekaan pers mulai

disepakati pada saat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang No. 40

Tahun 1999 tentang Pers di DPR. Istilah “kemerdekaan pers yang profesional”

diperkenalkan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan di Komisi I. Paradigma

“kemerdekaan pers yang profesional” dipakai untuk menggantikan paradigma

“kebebasan pers yang bertanggung jawab”. Kedua paradigma ini dinilai memiliki

makna yang sangat berbeda. Dari aspek konstitusi, kata “kemerdekaan pers”

dinilai lebih sesuai dengan Undang-Undang Dasar, khususnya pasal 28 yang

menjamin “kemerdekaan” setiap orang untuk menyampaikan pikiran dan

pendapatnya, baik lisan maupun tulisan.39

2. Kasus-kasus Kebebasan Pers di Indonesia

Meskipun negara sudah menjamin kemerdekaan pers di Indonesia namun

tetap saja upaya pembelengguan terhadap pers kerap terjadi. Salah satu bentuknya

adalah pelarangan terbit atau pemberedelan terhadap pers. Pembredelan tersebut

38
Sedia Wiling Barus, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita, h. 237.
39
Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Panitia Hari Pers Nasional 2014 dan
Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, 2014) h. 25.
35

pun beragam, ada yang bersifat sementara dan ada yang selamanya.

Selain pemberedelan bentuk pembelengguan lainnya adalah ancaman, teror,

pengerusakan kantor atau alat, pelarangan liputan, sensor, gugatan perdata

maupun pidana, pengerahan massa, kekerasan fisik, bahkan pembunuhan. Hal

tersebut terjadi pada seluruh perangkat pers seperti Pemimpin Redaksi, Sekretaris

Redaksi, Redaktur, Editor, hingga Reporter.

Sejarah mencatat kebebasan pers di Indonesia sudah mengalami kendala saat

negara ini sejak berusia muda. Bahkan pada era pendudukan Belanda upaya

penggembosan terhadap pers sudah ada. Koran pertama di Indonesia, Bataviasche

Nowvelles, menemukan ajalnya pada tahun kedua koran itu terbit. Tanggal 20 Juni

1746 surat kabar itu resmi dibubarkan setelah Pemimpin tertinggi VOC, De

Heeren XVII, mengeluarkan surat keputusan larangan terbit terhadap Bataviasche

Nowvelles, 20 November 1744 di Negeri Belanda. Alasan yang mendasari

pelarangan tersebut adalah De Heeren XVII tidak suka dengan koran yang terbit

sejak 7 Agustus 1744 itu.

Kemudian pemerintahan kolonialisme terus mengeluarkan aturan ketat yang

membuat pers semakin tercekik. Bahkan Koran milik pemerintahan, Bataviasche

Koloniale Courant, tidak menerima perlakuan khusus. Surat Kabar plat merah itu

tetap disensor. Koran yang pertama kali terbit pada 5 Januari 1810 itu beredar

setiap hari Jumat. Penyensoran terjadi sehari sebelumnya, saat pemerintah melihat

seluruh isi surat kabar itu.

Memasuki era 1900 pemerintahan kolonialisme masih melakukan

penyensoran dan pemberangusan terhadap pers. Terlebih sejak 1910 pers di

Indonesia yang merupakan pers perjuangan mulai menjamur. Surat kabar di


36

Indonesia kala itu mengalami pasang surut; hidup dan mati surat kabar menjadi

hal yang biasa. Ketika pemerintah Belanda melarang pers di suatu wilayah,

muncul pers di wilayah lain.

Melihat hal tersebut “kegilaan” pemerintah Belanda semakin menjadi-jadi.

Demi memertahankan daerah jajahannya pemerintahan kolonialisme tidak hanya

melarang pers untuk terbit. Mereka juga membuang pemilik atau pemimpin

redaksi pers yang kritis dan menyuarakan pesan perjuangan. Salah satunya adalah

Haji M. Misbach, pengasuh media berkala Medan Muslimin. Pemerintah

membuang Haji Misbach di Kabupaten Boven Digoel, Papua.

Kemudian Kompeni juga membuang Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau

Ki Hadjar Dewantara, seseorang yang kritis menentang kolonialisme. Ia dibuang

ke Belanda akibat tulisannya di surat kabar De Exprees, Bandung berjudul Als ik

eens Nenderlander. Isi tulisannya menyentil kerajaan Belanda yang akan

merayakan 100 tahun kemerdekannya di daerah jajahanan. Tulisan itu berbuah

pada pemberedelan surat kabar De Express. Sedikitnya, tidak kurang dari 27 surat

kabar nasionalis dibredel dalam kurun waktu 1931 hingga pertengahan tahun 1936

saat Belanda menjajah Indonesia.

Lepas dari masa kolonialisme secercah harapan bagi pers perjuangan muncul

ketika Jepang memukul mundur dan mengusir Belanda dari Indonesia. Negeri

Matahari Terbit itu seolah-olah mendukung perjuangan melalui pers. Hal itu

tercermin dari sikap radio Jepang yang mengumandangkan lagu Indonesia Raya

setiap malam, sebelum melakukan siaran berbahasa Indonesia. Sikap itu tentu saja

menarik simpati bangsa Indonesia terhadap Jepang termasuk kalangan pers.

Setelah mendapatkan simpati, tujuan asli Jepang masuk Indonesia terlihat.


37

Mereka menguras dan menjadikan bumi pertiwi ini menjadi darerah Jajahan.

Negeri Samurai itu juga menutup seluruh surat kabar Belanda dan Cina sejak 9

Maret 1942. Jepang memonopoli dan mengambil alih semua usaha penerbitan.

Dalam segi publikasi mereka membuat aturan yang menyatakan setiap jenis

barang cetakan harus memiliki izin terbit. Selain itu, aturan tersebut juga

melarang semua penerbitan yang memusuhi Jepang.

Kemudian Jepang membuat ketentuan mengenai sensor preventif untuk

meredam pers perjuangan yang semakin gencar menyuarakan kemerdekaan

Indonesia. Bentuk penyensoran itu serupa dengan era kolonialisme Belanda,

semua barang cetakan harus melewati bagian sensor tentara Jepang sebelum terbit.

Kantor-kantor sensor itu berada di Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, dan

Surabaya.

Tindakan lain Tentara Dai Nippon terhadap pers dengan menempatkan

seorang penasehat yang bertugas melakukan kontrol langsung terhadap pers.

Selain itu, tidak jarang pula “para penasehat” Jepang menulis sendiri

artikel-artikelnya, dengan menggunakan nama para anggota redaksi. 40 Mereka

juga melakukan penyegelan terhadap radio yang digunakan untuk alat propaganda.

Pada masa itu pers hanya digunakan sebagai alat pemerintah Jepang.

Kemerdekaan yang diraih 70 tahun silam tidak serta-merta membuat pers kala

itu benar-benar bebas. Pasalnya pemberedelan terhadap pers tetap terjadi,

terutama paska pemberlakuan keadaan darurat atau SOB (Staat van Oorlog en

Deleg), warisan penjajah Belanda. Pada saat itu sistem pemerintahan Indonesia

menganut sistem demokrasi terpimpin dan masih bertindak “kejam” terhadap pers.

40
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 41.
38

Banyak surat kabar yang dibredel oleh pemerintah sedangkan para wartawan

banyak yang ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum.

Duka bagi kebebasan pers di Indonesia dimulai sejak 1 Oktober 1958, pada

tanggal tersebut Penguasa Perang Daerah (Peperda) Djakarta Raya Jaya

memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) terhadap pers. Artinya pimpinan surat

kabar atau majalah wajib mengajukan permohonan izin agar medianya bisa

beredar di masyarakat. Sebelumnya Peperda megeluarkan surat keputusan terkait

penerbitan pers. Isi surat tersebut mewajibkan seluruh penerbitan surat kabar dan

majalah mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1957. Matinya kebebasan pers pada

masa pemerintahan Orde Lama dimulai sejak saat itu.

Surat kabar yang masih terbit setelah tanggal itu harus mengikuti kehendak

penguasa. Jika ada pers yang berani bertindak “nakal” versi penguasa maka

pencabutan SIT bisa terjadi kapan saja. Hal itu membuat wartawan selalu

dibayangi ketakutan pencabutan SIT saat menjalankan tugasnya. Saat itu, tak ada

lagi pers yang kritis. Selama tahun 1958 tercatat 42 peristiwa yang dialami pers

seperti pembredelan, penahanan, bahkan penganiayaan wartawan.41

Sebelum kasus pembredelan terhadap pers terjadi, pada dasawarsa 1950 –

1059 Presiden Soekarno menggunakan sistem demokrasi Liberal untuk memimpin

bangsa ini. Sistem demokrasi itu membuat pers memanfaatkan kebebasannya

secara leluasa namun cenderung kebablasan.

Munculnya pers di bawah kendali partai politik membuat pers tidak kritis.

Pers lebih berfungsi sebagai kendaraan partai politik dan petinggi partai. Isi

pemberitaan Pers lebih banyak saling mencaci, memfitnah lawan politik, tidak

41
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 46.
39

jarang pula pers hanya mengejar tiras dengan berita sensasi dan megarah pada

pornografi. Pada akhirnya masyarakat pembaca kehilangan kepercayaan terhadap

surat kabar. Padahal letak kekuatan suatu surat kabar adalah pada kepercayaan

masyarakat terhadapnya sebagai sumber informasi.

Kondisi politik yang panas serta tidak menentu menyebabkan rezim orde

lama yang dinahkodai oleh sang proklamator, Soekarno, karam dan tenggelam.

Kemudian Tampuk kepemimpinan bangsa ini berganti pada orde Baru dibawah

nanungan Soeharto. Perubahan pimpinan bangsa ini juga membuat sistem pers

ikut berubah. Meskipun pada awal kepemimpinan Soeharto pers mendapat

perlakuan istimewa, tetap saja pembredelan terhadap pers yang kritis tetap terjadi.

Dalih menjaga keamanan dan ketertiban pencabutan SIT bisa terjadi kapan dan

dimana saja.

Sejarah mencatat rezim Orde Baru merupakan pemimpin dengan tingkat

pengekangan pers paling banyak. Selama 32 tahun menjadi penguasa rezim

bentukan Soeharto ini membatalkan izin terbit sebanyak 237 perusahaan pers.

Penguasa berdalih perusahaan pers tersebut mengganggu stabilitas nasional

sehingga pembatalan bahkan hingga pencabutan izin terbit menjadi “hadiah” yang

setimpal. Salah satu yang fenomenal adalah dibongkarnya kasus korupsi

Pertamina oleh surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. 42

Sikap surat kabar Indonesia Raya yang mengedepankan independensi dan

memancarkan sifat partisan tanpa kompromi terhadap “hal-hal yang merugikan

kepentingan umum” membuat media ini menjadi incaran rezim Orde Baru.

Kesabaran penguasa terhadap surat kabar ini mencapai tapal batasnya setelah

42
Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam
Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia.,
h. 146.
40

peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari).

Lima hari setelah peristiwa Malari, 20 Januari 1974, Surat kabar Indonesia

Raya mendapat hadiah berupa pencabutan surat izin cetak dan surat izin terbit.

Sejak saat itu Indonesia Raya Tamat sedangkan Mochtar Lubis ditahan oleh rezim

Orde Baru selama 2,5 Bulan. Setelah itu rezim Orde Baru mulai melakukan

pembatasan terhadap kebebasan pers, dalam bentuk pemberedelan terhadap

beberapa surat kabar di Jakarta dan beberapa daerah.

Orde Baru memiliki banyak cara yang efektif dalam membungkap sikap pers

yang kritis. Salah satu cara pembungkaman itu dengan melakukan kerja sama

antara pemerintah dengan lembaga Pers. Dalam kerja sama itu Pemerintah

memberikan dukungan dalam bentuk bantuan dan fasilitas. Meskipun demikian

pemberian bantuan dan fasilitas itu dibarengi dengan beberapa persyaratan yang

harus dipatuhi lembaga pers. Bentuk persyaratan itu meliputi pemberitaan buruk

tentang keluarga Cendana; media tidak menyinggung Dwifungsi ABRI; media

tidak boleh menulis hal-hal yang berkaitan dengan masalah SARA.

Pembatasan kebebasan pers pada era itu juga dilakukan dengan “cara-cara

lain” seperti “imbauan pejabat pemerintah” untuk tidak memuat suatu fakta yang

menurut pemerintah menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun

menurut kaidah jurnalistik mempunyai nilai berita yang tinggi. Imbauan dilakukan

antara lain melalui chief editors meeting, atau melalui telepon oleh pejabat ke

dewan redaksi. 43
Salah satu media yang merasakan “dibredel” melalui

sambungan telepon adalah Harian Kompas.

Surat Kabar bentukan Jakoeb Oetama dan Petrus Kanisius Ojong itu berhenti

43
Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h.149.
41

terbit untuk kedua kalinya, Sabtu, 21 Januari 1978. Pelarangan terbit itu

berdasarkan sambungan telepon Kepala Dinas Penerangan Laksuda Jaya kepada

dewan redaksi Kompas, Jumat, 20 Januari 1978, sekira 20.25 WIB. Pembredelan

itu memiliki benang merah dengan Tajuk Rencana Kompas, 16 Januari 1978,

berjudul “Aspirasi Mahasiswa” ditulis Jakob Oetama. Pada intinya isi tajuk

rencana itu berpendapat bahwa aksi-aksi unjuk rasa para mahasiswa pada tahun

1977 hingga 1978 perlu mendapat perhatian dan diakomodir.44 Selain kompas

terdapat 11 koran dan majalah lain yang merasakan hal serupa, dibredel melalui

telepon.

Berbagai tekanan terhadap kebebasan pers mengakibatkan media menjadi

lebih pragmatis, konten media menjadi mandul, dan lebih eufimistis dalam

melakukan kritik terhadap penguasa. Selain itu tindakan represif pemerintah

terhadap pers juga berdampak pada kondisi psikologis penggiat media massa. Saat

melaksanakan tugas jurnalisme wartawan mendapatkan kesulitan dalam

menentukan berita yang boleh dan terlarang. Sumber berita pun merasa tidak pasti,

karena takut memberikan informasi. 45 Hal itu menyebabkan timbulnya rasa

ketidakpastian dalam profesi wartawan.

Selama rezim Orde Baru berkuasa, kebebasan mengemukakan pendapat

sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh sama sekali.46

Kebebasan pers pada masa kepemimpinan monolitik Orde Baru hanya lebih

banyak memunculkan kisah sedih. Bahkan hingga penghujung masa


44
Daniel, “Hari Bersejarah yang Menentukan "Kompas" Bisa Eksis Sampai Sekarang”, artikel
diakses 25 Agustus 2015 dari
http://www.kompasiana.com/danielht/hari-bersejarah-yang-menentukan-kompas-bisa-eksis-sampai
-sekarang_5590aec87a937325048b4567
45
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD), Beberapa Segi Perkembangan
Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas) h. 202.
46
Naungan Harahap Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h.149.
42

kekuasaannya Pembatasan hingga pembredelan terhadap pers terus berlangsung.

Akibatnya Pers di Indonesia menjadi Pers Tiarap dan menggunakan Jurnalisme

Kepiting.

Lepas dari cengkraman Orde Baru pers Indonesia menatap harapan baru

ketika Orde Reformasi memegang kendali penuh atas negeri ini. Pembubaran

Departemen Penerangan, malaikat pencabut nyawa pers Indonesia, oleh Presiden

Abdurrahman Wahid menjadi tonggak baru pers Indonesia yang lebih merdeka

dan kritis. Kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah membuat pers memiliki

euforia dalam pemberitaannya bahkan cenderung kebablasan. Bila pada masa

Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggung jawab, pers Orde Reformasi adalah

pers yang bebas tetapi tidak bertanggung jawab.47

Oleh karena itu, menegakkan kebebasan pers di Indonesia bukan perkara

yang mudah. Kendatipun secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya,

dalam arti hilangnya pengawasan pemerintah, tetapi hambatan nonpolitik berupa

tekanan publik/oknum pemerintah masih dialami oleh pers Indonesia.48 Selain itu

tekanan dan ancaman terhadap jurnalis berupa intimidasi dan kekerasan fisik

masih kerap terjadi.

Fenomena lain yang perlu mendapat perhatian kalangan pers adalah

munculnya tuntutan publik melalui jalur hukum, yang selama era Orde Lama

maupun Orde Baru jarang terjadi.49 Pada era ini banyak kasus pidana terkait pers

tidak menggunakan UU Pers sebagai Lex Specialis, namun menggunakan KUHP.

47
Hanif Suranto, Pers Indonesia Pasca Suharto, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan, Aliansi Jurnalis Indonesia, Jakarta, 1999), h. 2.
48
Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h. 152.
49
Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik
Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h. 153
43

Salah satunya adalah kasus Tomy Winata melawan majalah Tempo. Akibat

pemberitaan Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2013 di halaman 31 memuat tulisan

berjudul “Ada Tomy di Tenabang?”

Tomy menuduh Majalah Tempo melanggar KUHP dengan mengajukan

tuntutan 100 miliar sebagai kerugian material dan 100 miliar pula sebagai

kerugian imaterial. Tidak itu saja, sebelumnya ratusan massa menyerbu kantor

redaksi majalah Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu, 8 Maret 2003.

Selain menyerbu ratusan preman tersebut juga menganiaya wartawan Tempo,

Ahmat taufik, Karaniya, dan pemimpin redaksi Bambang Haryumukti, ironisnya

penganiayayan terjadi hingga di kantor Polres Jakarta Pusat.

Selain itu Saudara kandung Majalah Tempo, Koran Tempo, juga merasakan

hal yang sama, dilaporkan oleh Tomy Winata yang merasa nama baiknya

dicemarkan. Tomy melaporkan Koran Tempo menggunakan KUH Perdata yakni

pelanggaran Pasal 1365 KUHP dan 1372 KUH perdata.50

Selain itu, Harian Rakyat Merdeka juga pernah diancam oleh para supir taksi,

karena beritanya merugikan mereka. Termasuk Harian Jawa Pos yang pernah

diduduki oleh banser NU, karena kasus dugaan korupsi yang dilakukan Presiden

Abdurrahman Wahid. Saat menjelang pemilu presiden 2014 penyerangan juga

melanda kantor redaksi Tv One di Pulo Gadung, oleh segerombolan orang, karena

pemberitaannya yang menyudutkan salah satu pasangan calon presiden.

Kriminalisasi terhadap awak media pun kerap terjadi salah satunya menimpa

pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat. Kasus ini

bermula ketika The Jakarta Post edisi 3 Juli 2014 memublikasikan karikatur

50
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 302.
44

bertulisan Arab yang mereka kutip dari sebuah media internasional, Alquds.

Karikatur tersebut membuat Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta

(KMJ) tersinggung dan melaporkan Meidyatama ke polisi, 15 Juli 2014.

Kemudian Pemimpin Redaksi harian berbahasa Inggris itu dijerat Pasal 156 ayat

(a) KUHP tentang penistaan agama.

Meskipun negara sudah menjamin kebebasan pers melalui aturan

perundang-undangan, pers di Indonesia belum sepenuhnya bebas berekspresi.

Hingga saat ini, masih terdapat berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan fisik

terhadap pekerja pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat

terjadinya 565 kasus kekerasan terhadap pekerja pers yang terjadi selama 17 tahun

Era Reformasi bergulir. Jumlah tersebut belum termasuk tindak kekerasan yang

tidak dilaporkan.

Kekerasan terhadap pers disebabkan masih kurangnya pemahaman penegak

hukum, pejabat, masyarakat dan pihak lainnya terhadap kebebasan pers.

Berdasarkan Data AJI Kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh beragam

kelompok, mulai dari polisi, tentara, pejabat publik seperti gubernur atau kepala

dinas, anggota legislatif, maupun aparat penegak hukum lain seperti jaksa dan

hakim. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi kriminalisasi, penculikan,

penganiayaan, pembunuhan, ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan,

pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor, dan perampasan kamera.51

Pasca kebebasan pers tahun 1999, jumlah kekerasan termasuk pembunuhan

terhadap wartawan di Indonesia terus meningkat. Bahkan sejak 1996 sedikitnya

sudah terjadi 13 kasus pembunuhan wartawan, tiga di antaranya terjadi di masa

51
Aliansi Jurnalis Independen, “Data Kekerasan”, Data diakses pada 26 Agustus 2015 dari
http://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1/10.html
45

Orde Baru. Praktik impunitas nyata-nyata dijalankan aparat penegak hukum

dengan pembiaran bahkan perusakan barang bukti kasus pembunuhan wartawan,

demi melindungi para pelaku. Hingga kini tercatat, sedikitnya ada delapan jurnalis

dibunuh yang kasusnya terbengkalai dan para pelakunya belum diadili.

Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu adalah kasus pembunuhan Fuad

Muhammad Syarifuddin alias Udin (Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus

1996), Naimullah (Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada

25 Juli 1997), Agus Mulyawan (Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999),

Muhammad Jamaluddin (TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa

Siregar (RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto

(Tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006),

Adriansyah Matra’is Wibisono (TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29

Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (Tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada

18 Desember 2010).52

Sejak pembredelan pers tidak berlaku lagi, kini masih ada cara untuk

membungkam pers yaitu membunuh wartawan atau membangkrutkan perusahaan

medianya. Perilaku aparatur negara yang abai terhadap perlindungan jurnalis juga

mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat umum yang melakukan kekerasan

terhadap jurnalis yang bekerja.

Pergeseran zaman Orde Baru ke reformasi mengakibatkan ancaman yang besar

bagi jurnalis. Betapa tidak, di era reformasi kekerasan terhadap pers justru semakin

meningkat. Penyebabnya pemerintah dan aparat keamanan belum sepenuhnya

memberikan perhatian dan rasa aman terhadap pers. Undang-undang sudah ada tapi

52
Iman D. Nugroho, “Jurnalis Diintai Maut” Artikel diakses pada 26 Agustus 2015 dari
http://aji.or.id/read/berita/271/Hari-Kebebasan-Pers-Internasional-3-Mei-2014.html
46

belum dijalankan dengan baik. Akibatnya, muncul tindakan anarkis yang dilakukan

pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa.

Pada masa kini upaya penggerusan terhadap kebebasan pers tidak hanya dari

segi kekerasan. Terlebih industri pers yang berkembang menjadi konglomerasi

pers menjadi ancaman dari dalam tubuh pers itu sendiri, terkait Independensi dan

idealisme pers sebagai “anjing penjaga”.

Keadaan media yang cenderung berubah ke arah liberalisasi memberikan

keleluasaan dalam pemilikan media. Para pemilik modal memanfaatkan

kesempatan tersebut untuk menanamkan investasi secara maksimal sebagai bagian

dari kegiatan bisnis yang strategis dan menguntungkan. Akibatnya, tidak semua

media penyiaran melaksanakan tugas jurnalistik. Bahkan kegiatan jurnalistik atau

unsur jurnalisme hanya sebagian kecil saja dari aneka ragam program media

penyiaran.

D. Pers

1. Definisi Pers dan Jurnalistik

Dalam pandangan masyarakat awam pers dan jurnalistik itu sama.

Sesungguhnya keduanya itu berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Berita, salah

satu produk jurnalistik, dicetak pada kertas dengan mesin cetak press, maka istilah

“pers” juga digunakan untuk menyebut kegiatan yang sama dengan jurnalistik. 53

Pers dan Jurnalistik bagaikan dua sisi mata koin yang berbeda tapi menyatu.

Pers tidak hanya karya jurnalistik yang tertuang dalam media cetak saja,

namun termasuk segala jenis media elektronik seperti radio, televisi, bahkan

internet. Kata pers berasal dari bahasa Belanda “persen” atau press dalam bahasa

38
Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islami; Panduan Praktis bagi Para Aktivis Muslim,
(Bandung: Mizan, 2002), h. 44.
47

Inggris. Kedua kata tersebut memiliki arti menekan atau mengepres.54 Secara

harfiah kata pers atau press menstimulasi orang pada mesin cetak kuno yang harus

ditekan sehingga menghasilkan karya cetak. Saat ini banyak orang menganggap

kedua kata tersebut sebagai kegiatan jurnalistik, seperti mencari, mengumpulkan

dan membuat berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun media cetak.

Sementara itu Frank Jeffkins, pakar dan praktisi kehumasan di Inggris dan

Amerika, mengatakan pers adalah upaya untuk mempublikasikan suatu pesan atau

informasi yang maksimum untuk menciptakan pengetahuan dan pemahaman bagi

khalayak yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan.55

Secara yuridis formal yang berlaku di Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) UU

Pokok Pers No. 40/1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi

massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam

bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun

dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan

segala jenis saluran yang tersedia.56

Dari beberapa penjelasan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Pers

adalah media massa tempat karya jurnalistik disebarluaskan kepada masyarakat.

Layaknya Pers, Jurnalistik juga memiliki beberapa pengertian dan pandangan

para ahli. Secara epistomologi jurnalistik berasal dari bahasa Inggris

“Journalistic”. Kata itu memiliki makna kewartawanan atau hal-hal terkait

39
Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 17.
40
Suf Kasman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia; Analisis Isi Pemberitaan Harian
Kompas dan republika, (Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 54.
56
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 31.
48

pemberitaan. Jurnalisitik memiliki kata dasar berbahasa Perancis “Journ” yang

bermakna catatan atau laporan harian. Kata dasar Jurnalistik sendiri merupakan

serapan dari bahasa Latin “diurnal” yang berarti harian atau setiap hari.

Dalam kamus, Jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan,

mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, dan media massa lainnya. Sementara

itu menurut beberapa pakar seperti Mac Dougall, Onong Uchjana Efendi, F.

Fraser Bond, dan Djen Amar memiliki sudut pandang yang hampir sama dalam

mendefinisikan Jurnalistik.

Mac Dougall menyebutkan Jurnalistik adalah kegiatan menghimpun berita,

mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Selanjutnya Onong Uchjana Efendi

mengatakan jurnalistik merupakan teknik mengelola berita mulai dari

mendapatkan bahan hingga tahap menyebarluaskannya kepada masyarakat.

Fraser Bond dalam bukunya An Introduction to Journalism menyatakan

“Journalism ambrace all the forms in which and trough wich the news and

moment on the news reach the public.” Jurnalistik adalah segala bentuk yang

membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati.

Sementara itu Djen Amar mengungkapkan, jurnalistik merupakan kegiatan

mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak

seluas-luasnya dan secepat-cepatnya.

Dari beberapa literasi tersebut dapat kita menyimpulkan bahwa Jurnalistik

adalah kegiatan proses mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat,

dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada masyarakat dengan waktu

yang singkat. Sedangkan pers adalah media massa tempat berita itu

dipublikasikan. Jadi dapat kita pahami bahwa jurnalistik bukan pers. Jurnalistik
49

lebih merujuk pada proses kegiatan sedangkan pers berhubungan dengan media

atau media itu sendiri.

2. Perkembangan Pers di Indonesia

Masa kolonialisme Belanda di Indonesia ternyata memiliki peran terhadap

dunia pers di tanah air. Berdasarkan sejumlah literasi, surat kabar sudah ada di

Indonesia tahun 1744 saat Gubernur Jenderal Van Imhoff memimpin Jakarta. Pada

era itu orang-orang Belanda mengelola surat kabar di Jakarta dengan nama

Bataviasche Nowvelles. Surat kabar tersebut hanya mampu bertahan selama dua

tahun. Kemudian pada 1776, penguasa Belanda menerbitkan Vendu Niews di

Batavia yang menjadi ibukota VOC pada masa itu. Koran kedua di Indonesia yang

terbit hingga tahun 1809 itu lebih fokus pada berita pelelangan. Penduduk Betawi

menyebut koran itu sebagai surat lelang hingga tahun 1860.

Memasuki abad 19 surat kabar milik Belanda masih menjadi surat kabar

utama di Indonesia. Surat kabar berbentuk koran tersebut sudah jelas

membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda. Para pembaca koran-koran

tersebut adalah orang Belanda dan beberapa kelompok kecil bangsa pribumi yang

mengerti bahasa Belanda.57

Sementara itu surat kabar milik kaum pribumi mulai terbit pada 1854 melalui

majalah Bianglala di Weltevreden-Batavia). Selanjutnya di kota Surakarta

Bromartani mulai beredar pada tahun 1885. Kemudian pada tahun 1856 Soerat

Kabar Bahasa Melajoe terbit di Kota Pahlawan, Surabaya.

Surat Kabar pertama milik bangsa Indonesia adalah Medan Prijaji yang terbit

tahun 1907 di Kota Bandung. Awalnya surat kabar bentukan R.M. Tirtoadisuryo

57
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 19.
50

ini berbentuk mingguan, kemudian berubah menjadi harian sejak 1910. Medan

Prijaji hanya mampu bertahan selama lima tahun, 1907 hingga 1912. Pada masa

jayanya, ketika sudah terbit harian, surat kabar yang menjadi pelopor pers

nasional ini dapat mencapai tiras hingga 2.000 eksemplar. Pendirinya,

Tirtoadisuryo, dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar


58
jurnalistik modern di Indonesia.

Pers nasional makin berkembang setelah lahir organisasi massa serta gerakan

kebangsaan dan keagamaan. Setiap organisasi dan gerakan tersebut turut

menerbitkan media yang menjadi alat perjuangan mereka. Hal itu juga membuat

para pemimpin bangsa ini pernah berkecimpung dalam dunia pers. Salah satunya

adalah Abdoel Rivai. Tulisannya sangat terkenal tajam mengkritik penjajahan

Belanda, dan oleh Adinegoro, Rivai diberi gelar sebagai “Bapak Jurnalistik

Indonesia”.59

Media massa pada masa sebelum kemerdekaan memang menjadi alat

perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu yang menyebabkan pers di masa penjajahan

mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jumat, 17 Agustus 1945, menjadi babak

baru perkembangan pers di Tanah Air. Pada awal kemerdekaan Indonesia pers

nasional semakin jelas menunjukan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Bagi pers

saat itu, tak ada tugas paling mulia kecuali mengibarkan merah putih

setinggi-tingginya.60

Pers nasional menikmati kemerdekaan dengan bebas dari berbagai tekanan

58
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 20.
59
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005) h. 18.
60
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 20.
51

pada awal kemerdekaan. Hal itu menstimulasi munculnya surat kabar baru di

beberapa kota besar di Indonesia seperti Merdeka, terbit di Jakarta pada 1 oktober

1945. Selain itu di Kota Pelajar, Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat tahun 1945.

Selanjutnya di Kota Surabaya terbit Jawa Pos tahun 1949 dan Surabaya Post tahun

1953. Kemudian di Semarang terbit Suara Merdeka tahun 1950. Sedangkan di

Kota Bandung terbit Pikiran Rakyat tahun 1956, dan sebagainya. 61

Suasana bebas kehidupan pers pada era itu membuat partai politik

berlomba-lomba menerbitkan media. Sejak 1950 muncul media Harian Abadi

yang berkiblat pada Masjumi, selain itu ada Suluh Indonesia milik PNI.

Kemudian Duta Masyarakat milik Partai Nahdlatul Ulama, Pedoman milik PSI,

dan Harian Rakjat milik Partai Komunis Indonesia.

Hal itu membuat pers Indonesia lebih banyak memerankan diri sebagai

corong kepentingan partai politik. Masa itu adalah masa dimana pers Indonesia

dengan sadar menjadi juru bicara dan berperilaku seperti partai politik. Dalam era

tersebut, pers terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis pers tidak mengabdi

kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para

pejabat partai.

Suasana bebas kehidupan pers tersebut hanya berlangsung selama 14 tahun,

selama masa demokrasi liberal (1945-1959). Pada masa itu pers Indonesia disebut

juga pers merdeka. Pergolakan politik Indonesia tahun 1959 hingga 1965 juga

berpengaruh pada pers Indonesia. Kala itu sistem Demokrasi Indonesia berhaluan

pada sistem Demokrasi Terpimpin sehingga terjadi pembatasan terhadap

kehidupan pers. Masa kemerdekaan pers yang bebas berubah menjadi sistem pers

61
Sudirman Tebba, Jurnalistik Batu, h. 19.
52

otoriter.

Setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 pemerintah secara berkala membuat

peraturan yang lebih mengetatkan pengawasan terhadap pers. Terlebih saat pihak

penguasa mewajibkan seluruh surat kabar dan majalah di Indonesia memiliki surat

ijin terbit (SIT). Akibatnya sejumlah surat kabar menghentikan penerbitannya,

seperti Harian Abadi, Harian Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia, dan

lain-lain.

Kondisi pengekangan terhadap pers mengendur ketika Orde Baru lahir tahun

1966. Angin kebebasan pers bisa dirasakan karena Pemerintah sangat bersahabat

dengan pers. Meskipun demikian masa indah yang dirasakan pers saat itu hanya

bersifat sementara. Sejarah tidak pernah alpa, terlebih saat mencatat peristiwa

pembredelan mingguan Mahasiswa Indonesia dan 11 penerbitan pers umum,

paska peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974.

Pembredelan dilakukan dengan cara mencabut surat izin cetak (SIC) oleh

Komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) dan surat izin terbit

(SIT) oleh Kementerian Penerangan, terjadi setelah peristiwa itu: Harian

Nusantara pada 16 Januari; Harian Suluh Berita di Surabaya 19 Januari;

Mingguan dari Bandung, Mahasiswa Indonesia, 20 Januari; Harian KAMI,

Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, serta Mingguan Wenang dan Pemuda

Indonesia 21 Januari; Harian Pedoman serta Mingguan Ekspres 24 Januari; dan

Harian Indonesia Pos di Makassar pada 2 Februari.62

Pers Pancasila merupakan sebutan bagi pers Indonesia saat Orde Baru

berkuasa selama 32 tahun. Pers Pancasila meupakan gabungan antara teori pers

62
Tim Tempo, “Usai Malari, Banyak Media Dibredel,” artikel diakses pada 27 Juli 2015 dari
http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/078544903/usai-malari-banyak-media-dibredel/
53

bebas dan teori pers tanggung jawab sosial. Hal itu diperkuat dengan pengesahan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Selanjutnya pers yang bebas dan

bertanggung jawab ditetapkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tap

MPR Nomor IV Tahun 1973 dan TAP MPR Nomor III 1983.

Tumbangnya pemerintahan Orde Baru, Kamis, 21 Mei 1998, pukul 12.00

WIB, menjadi akhir cerita era pers tiarap Orde Baru. Penyerahan jabatan presiden

oleh Soeharto kepada wakilnya, Baharudin Jusuf Habibie, disamput sukacita oleh

seluruh rakyat Indonesia, begitu pula pers Indonesia. Sejak Orde Reformasi

bergulir kebebasan pers berubah menjadi kemerdekaan pers. Departemen

Penerangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan serta-merta

dibubarkan.63

Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan senantiasa

diperjuangkan untuk diwujudkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen

yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Secara kuantitatif dalam lima tahun

pertama era reformasi 1998 hingga 2003, jumlah perusahaan penerbitan pers

mengalami pertumbuhan sangat pesat. Dalam kurun waktu tersebut tercatat 600

perusahaan penerbitan pers baru.

Kecenderungan maraknya penerbitan pers sebagai dampak langsung

reformasi ternyata tidak berlangsung lama. Mereka hanya dapat bertahan selama

dua tahun, saat memasuki tahun ketiga sebanyak 70 persen perusahaan tersebut

gulung tikar. Selanjutnya pada tahun keempat sebanyak 20 persen tutup layar.

Hanya 10 persen saja yang mampu bertahan melewati tahun kelima.64

63
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 25.
64
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 26
54

Kenyataan tersebut menunjukan, kemerdekaan yang diraih secara ideologis

dan politis dalam era reformasi sejak 1998 di Indonesia, tidak serta merta

mengantarkan pers nasional pada zaman keemasan. Bila dianalisis, mereka belum

memiliki tiang penyangga utama yang kokoh sebagai syarat mutlak pendirian

bangunan pers: idealisme, komersialisme, profesionalisme.65

3. Fungsi dan Peran Pers di Indonesia

Secara gamblang peneliti telah menjelaskan sejarah perkembangan pers di

Indonesia sejak masa kolonialisme Belanda hingga era reformasi saat ini. Saat

pergantian rezim sistem yang berlaku terhadap pers di Indonesia pun turut

berganti.

Pers memiliki beberapa peran dan fungsi melalui medianya baik cetak, audio,

audio visual, maupun portal berita berbasis internet. Fungsi tersebut meliputi lima

elemen yakni informasi, edukasi, koreksi, rekreasi, dan mediasi. Kelima fungsi

tersebut dapat kita temukan pada negara yang menganut paham demokrasi.

Fungsi pertama pers adalah menyampaikan informasi secara cepat kepada

masyarakat. Meskipun demikian informasi yang dipublikasikan harus memenuhi

kriteria seperti benar, akurat, aktual, faktual, penting atau menarik, lengkap, jelas,

jujur, relevan, etis, bermanfaat dan wajib berimbang (cover both side). Fungsi

kedua adalah sebagai sarana pembelajaran sehinga pelbagai informasi yang

disebrluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik.

Sebagai pilar keempat demokrasi kehadiran pers memiliki fungsi sebagai

pengawas atau mengontrol keekuasan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai

penganut paham demokrasi pers di Indonesia mengemban tugas sebagai pengawas

65
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h. 27
55

pemerintah dan masyarakat (watchdog function). Pers senantiasa menyalak ketika

melihat berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau

negara.

Meskipun demikian pers bukan hakim yang berhak memvonis atau jaksa

yang berhak melakukan tuntutan dan dakwaan. Dalam menjalankan fungsi kontrol

sosial pers harus tunduk pada aturan yang berlaku. Pers tidak kebal hukum dan

bukan sebagai hukum itu sendiri.66

Fungsi keempat pers adalah menghibur. Pers di Indonesia harus memerankan

dirinya sebagai wahana rekreasi bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut

memiliki makna apa pun pesan rekreatif yang disajikan tidak boleh bersifat

negatif. Pers harus jadi sahabat setia pembaca yang menyenangkan.

Fungsi terakhir pers di Indonesia sesusai literatur komunikasi dan jurnalistik

yang berlaku secara universal adalah mediasi atau penghubung. Pers mampu

menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi lain

dengan kita. Karena pers kita dapat mengetahui aneka peristiwa yang terjadi

dalam waktu yang singkat, bahkan bersamaan.67

Sementara itu kita telah mengetahui pers di Indonesia terbagi dalam beberapa

periode seperti masa sebelum kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, dan orde

reformasi. Pada masa sebelum kemerdekaan pers di Indonesia kental dengan nafas

perjuangan, ketika itu pers menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu

terus terjadi pada awal kemerdekaan Indonesia.

Memasuki tahun 1950 euforia kebebasan pers berujung pada terjebaknya pers

66
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h.. 34
67
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis
Jurnalis Profesional, h.35
56

dalam pergulatan politik. Pada era itu Pers di Indonesia berperan sebagai juru

bicara partai politik dalam menjalankan kepentingannya. Hal tersebut merupakan

buntut pemberitaan pers yang terlalu tajam mengkritik kebijakan pemerintah.


BAB III

GAMBARAN UMUM MAJALAH TEMPO

A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Tempo

Majalah Tempo merupakan majalah mingguan yang terbit setiap selasa.

Awalnya pendiri majalah Tempo, Goenawan Muhammad beserta beberapa

rekannya mendirikan Majalah Ekspres tahun 1969. Perbedaan prinsip dan

idealisme antara pemilik modal utama dan dewan redaksi membuat perpecahan di

tubuh Majalah Ekspress. Alhasil Goenawan CS keluar dari Ekspres satu tahun

setelah majalah itu terbit.

Paska keluar dari Majalah Ekspres Goenawan Mohamad, Fikri Jufri,

Christanto Wibisono, Bur Rayuanto, Yusril Djanilus, dan Putu Wijaya, dan

Ciputra secara mufakat membentuk Majalah bernama Tempo di Jalan Senen Raya

Nomor 83, Jakarta Pusat. Sementara itu Majalah Tempo, dibawah Bendera PT.

Grafiti Pers, terbit untuk pertama kalinya, Sabtu, 6 Maret 1971.

Saat pertama kali hadir, banyak orang menilai Tempo mengikuti majalah

ternama di Amerika bernama Time. Selain pengertiannya yang sama bentuk

logonya pun serupa. Oleh karena itu pihak Time pernah menggugat Tempo karena

masalah ini. Akan tetapi masalah dapat terselesaikan dengan cara yang damai.

Goenawan Mohamad juga menjelaskan pemberian nama Tempo karena Majalah

yang terbit berkala setiap pekan ini akan lebih mudah diucapkan, terlebih oleh

para pengecer.68

Majalah Tempo tampil dengan bahasa yang lugas lengkap dengan prosa yang

menarik dan jenaka. Masyarakat menerima dengan tangan terbuka majalah yang

berani tampil beda pada masa awal kepemimpinan orde baru. Ketika itu pengelola

68
https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah artikel diakses pada 27 Juli 2015

57
58

tempo yang merupakan aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut

menggulingkan Soekarno, hal itu membuat idealisme menjadi faktor utama

jalannya media ini. Mereka mengedepankan peliputan berita yang jujur dan

berimbang dalam menjalankan Majalah Tempo.

Dalam perjalanannya Majalah Tempo kerap berjumpa dengan pelbagai

hambatan. Tajamnya daya krtitik Tempo kepada rezim Orde Baru dan kendaraan

politiknya, Golkar, berbuah pada pembredelan untuk pertama kalinya pada tahun

1982. Isi pemberitaan Tempo Edisi, Sabtu, 13 Maret 1982 yang

mengidentifikasikan kecurangan pemilu tahun 1981 menjadi biangnya.

Pemerintah melarang Tempo terbit selama dua bulan. Pelarangan itu dicabut

ketika Pemimpin Redaksi Tempo, Goenawan Mohamad, menandatangani

semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan

saat itu.

Pembredelan kedua pada masa kepemimpinan Soeharto kembali terjadi

melalui Menteri Penerangan Harmoko. Lagi-lagi Tempo dibredel karena daya

kritiknya yang terlalu tajam terhadap pemerintah. Tempo dinilai terlalu keras

mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman

Timur. Pencabutan ijin terbit selama empat tahun itu terkait sebuah artikel pada

edisi Sabtu, 11 Juni 1994.

Selepas Soeharto turun dari singasananya, Mei 1988, sejumlah wartawan yang

pernah bekerja di Tempo dan tercerai berai akibat pemberedelan bertemu kembali.

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan mengenai keharusan Majalah Tempo

terbit kembali. Masa paceklik dan mati suri itu sirna, seirama dengan munculnya

kembali Majalah Tempo, Senin, 12 Oktober 1998, mewarnai khazanah dunia


59

jurnalisme di Indonesia, lengkap dengan jargon mereka “enak dibaca dan perlu”.

Perkembangan Tempo mulai bergeliat paska rezim Soeharto tumbang.

Selanjutnya untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi dalam bidang

bisnis media, maka tahun 2001, Perseroan Terbatas (PT) Arsa Raya Perdanago

public menjual sahamnya ke publik kemudian lahirlah PT. Tempo Inti Media Tbk.

(PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo yang baru. Kemudian, Senin, 2 April

2001 Koran Tempo dengan sirkulasi 100.000 mulai terbit.

Sayap bisnis PT TIM Tbk, terus berkembang dengan munculnya

produk-produk baru seperti majalah Tempo Edisi Bahasa Inggris, Travelounge

(2009) dan Tempo Interaktif, kemudian menjadi tempo.co serta Tempo News

Room (TNR), kantor berita yang berfungsi sebagai pusat berita media Group

Tempo. Tempo juga mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan

Tempo TV, kerja sama dengan kantor berita radio KBR68H.

Kemudiaan Kelompok Tempo Media adalah juga melakukan ekspansi bisnis

pada dunia percetakan dengan PT Temprint. Percetakan ini mencetak

produk-produk Kelompok Tempo dan produk dari luar.

B. Visi dan Misi Tempo Inti Media

Visi:

Menjadi acuan dalam usaha meningkatkan kebebasan publik untuk berpikir

dan berpendapat serta membangun peradaban yang menghargai kecerdasan

dan perbedaan.

Misi:

1. Menghasilkan produk multimedia yang independen dan bebas dari segala

tekanan dengan menampung dan menyalurkan secara adil suara yang

berbeda-beda.
60

2. Menghasilkan produk multimedia bermutu tinggi dan berpegang pada kode

etik.

3. Menjadi tempat kerja yang sehat dan menyejahterakan serta mencerminkan

keragaman Indonesia.

4. Memiliki proses kerja yang menghargai dan memberi nilai tambah kepada

semua pemangku kepentingan.

5. Menjadi lahan kegiatan yang memperkaya khazanah artistik, intelektual,

dan dunia bisnis melalui pengingkatan ide-ide baru, bahasa, dan tampilan

visual yang baik.

6. Menjadi pemimpin pasar dalam bisnis multem

C. Struktur Redaksi Koran Tempo

Majalah Tempo merupakan majalah minguan yang diterbitkan oleh PT.

Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM). Kantor Redaksi Majalah Tempo terletak di

Kebayoran Center Blok A11-A15 Jalan Kebayoran Baru Mayestik, Jakarta 12240.

Nomor telepon (021) 755625, faksimili (021) 7255645 atau (021) 7255650, dan

email red@tempo.co.id. Sementara itu alamat perusahaan, proses produksi, dan

Percetakan oleh PT Temprint berada di Jalan Palmerah Barat No. 8, Jakarta

12210, Nomor telepon (021) 5360409.

Dewan Redaksi Kelompok Tempo Media


PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNG JAWAB:

Arif Zulkifli

REDAKTUR EKSEKUTIF:

Budi Setyarso
61

DEWAN EKSEKUTIF

Arif Zulkifli (Ketua), Daru Priyambodo, Gendur Sudarsono, Yuli Ismartono,

Hermien Y. Kleden, Wahyu Muryadi, Budi Setyarso, Burhan Sholikin,

Lestantya.R. Baskoro, M. Taufiqurohman

NASIONAL DAN HUKUM

REDAKTUR PELAKSANA

Setri Yasra

REDAKTUR UTAMA

Bagja Hidayat, Jajang Jamaludin, S. Qaris Tajudin

REDAKTUR

Agoeng Wijaya, Anton Aprianto, Jobpie Sugiharto, Purwanto

STAF REDAKSI

Ahmad Nurhasim, Anton Septian, Anton William, Febriyan, Rusman

Paraqbueq, Yuliawati

REPORTER

Ananda Wardhiati Theresia, Aryani Kristanti (nonaktif), Francisco Rosarians

Enga Geken, I Wayan Agus Purnomo, Indra Wijaya, Ira Guslina Sufa, Istman

Musaharun Pramadiba, Linda Novi Trianita, Mitra Tarigan, Muhammad

Muhyiddin, Muhamad Rizki, Prihandoko, Reza Aditya Ramadhan, Riky Ferdianto,

Singgih Soares, Syailendra Persada, Tika Primandari

EKONOMI DAN MEDIA

REDAKTUR UTAMA

Y. Tomi Aryanto
62

REDAKTUR

Agus Supriyanto, Efri Nirwan Ritonga, Retno Sulistyowati

STAF REDAKSI

Abdul Malik, Akbar Tri Kurniawan, Fery Firmansyah, Rachma Tri Widuri, RR

Ariyani Yakti Widyastuti, Setiawan Adiwijaya

REPORTER

Ali Ahmad Noor Hidayat, Amandra Megarani (non aktif), Amirullah, Angga

Sukma Wijaya, Ayu Prima Sandi, Bernadette Christina, Faiz Nasrillah, Gustidha

Budiartie, Martha Ruth Thertina, Jayadi Supriadin, Khairul Anam, Pingit Aria

Mutiara Fajrin, Tri Artining Putri

INTERNASIONAL DAN NUSA

REDAKTUR PELAKSANA

Purwanto Setiadi

REDAKTUR UTAMA

Yudono Yanuar

REDAKTUR

Abdul Manan, Dwi Arjanto, Eni Saeni, Mustafa Ismail, Raju Febrian

STAF REDAKSI

Eko Ari Wibowo, Harun Mahbub, Hayati Maulana Nur (nonaktif), Istiqomatul

Hayati, Natalia Santi, Sita Planasari

REPORTER

Baiq Atmi Sani Pertiwi, Rosalina

JAWA TIMUR, BALI

Zacharias Wuragil (Koordinator Liputan), Endri Kurniawati, Jalil Hakim, Zed


63

Abidin

JAWA TENGAH

Ali Nur Yasin (Koordinator Liputan), L.N. Idayanie, R. Fadjri

JAWA BARAT, BANTEN

Rina Cahyani (Koordinator Liputan).

SULAWESI SELATAN

Sapto Yunus (Koordinator Liputan)

SENI & INTERMEZO

REDAKTUR PELAKSANA

Seno Joko Suyono

REDAKTUR

Dody Hidayat, Nurdin Kalim, Nunuy Nurhayati

STAF REDAKSI

Dian Yuliastuti

REPORTER

Ananda Wardhana Badudu, Ratnaning Asih

SAINS, SPORT & KOLOM

REDAKTUR PELAKSANA

Yos Rizal Suriaji

REDAKTUR UTAMA

Idrus F. Shahab

REDAKTUR

Clara Maria Tjandra Dewi H., Hari Prasetyo, Irfan Budiman


64

STAF REDAKSI

Agus Baharudin, Angelus Tito Sianipar (nonaktif), Dwi Riyanto Agustiar,

Kelik M. Nugroho, Mahardika Satria Hadi, Martha Warta Silaban, Untung

Widyanto

REPORTER

Aditya Budiman, Agita, Amri Mahbub, Erwin Prima Putra Z., Gabriel Titiyoga,

Gadi Kurniawan Makitan, Rina Widiastuti, Satwika Gemala Movementi, Tri

Suharman

METRO DAN PRELUDE

REDAKTUR PELAKSANA

Bina Bektiati

REDAKTUR

Juli Hantoro, Rini Kustiani

STAF REDAKSI

Ali Anwar, Aliya Fathiyah, M.C., Suseno

REPORTER

Aditya Budiman, Afrilia Suryanis, Amirullah, Arie Firdaus, Choirul Aminudin,

Dimas Indra Buana Siregar, Erwan Hermawan, Linda Hairani, Maya

Nawangwulan R., Mohammad Andi Perdana, Ninis Chairunnisa, Nur Alfiyah

BT Tarkhadi, Praga Utama

G AYA H I D U P & K O R A N T E M P O M I N G G U

REDAKTUR PELAKSANA

Tulus Wijanarko
65

REDAKTUR

Ahmad Taufik (nonaktif), Dwi Wiyana, M. Reza Maulana, TB. Firman D.

Atmakusumah

STAF REDAKSI

Cheta Nilawati Prasetyaningrum, Heru Triyono

REPORTER

Isma Savitri, Ismi Wahid Rohmataniah Maulid (nonaktif), Kartika Candra Dwi

Susanti, Mitra Tarigan, Retno Endah Dianing Sari, Subkhan

INVESTIGASI

REDAKTUR PELAKSANA

I G Wahyu Dhyatmika

REDAKTUR UTAMA

Philipus Parera

REDAKTUR

Stefanus Teguh Edi Pramono, Sukma Loppies, Yandhrie Arvian

STAF REDAKSI

Agung Sedayu, Mustafa Silalahi

P USAT P ELIP UTAN

KEPALA

Elik Susanto

REDAKTUR

Agustina Widiarsi, Bobby Chandra, Grace Samantha Gandhi, Kodrat Setiawan,

Kurniawan, Maria Rita Ida Hasugian, Nurdin Saleh, Sunudyantoro


66

STAF REDAKSI

Budi Riza, Hadriani Pudjiarti, Muhammad Iqbal Muhtarom, Nieke Indrietta

Baiduri, Nur Haryanto

PENGEMBANGAN PRODUK DIGITAL

KEPALA

Yosep Suprayogi

REDAKTUR

Ngarto Februana

REPORTER

Dwi Oktaviane, Ferdinand Akbar, Ryan Maulana

MOBILE & WEB DEVELOPER

KEPALA

Handy Dharmawan

PROGRAMER

Radja Komkom Siregar (Koordinator), Anugerah Trihatmojo, Muhammad

Khoirul Fatah Zain, Abdul Ghani Hikmawan (Indonesiana) DESAIN Unay

Sunardi (Infografer tempo.co)

TEMPO ENGLISH SECTION

EDITOR SENIOR

Richard Bennet

EDITOR

Lucas Edward (Tempo English Weekly)

EDITOR KOORDINATOR

Purwani Dyah Prabandari


67

EDITOR

Mahinda Arkiyasa, Petir Garda Bhwana (en.tempo.co)

STAF REDAKSI

Sadika Hamid

REPORTER

Syari Fani, Amanda T. Siddharta

KOORDINATOR PRODUKSI

Dewi Pusfitasari

TEMPO TV

MANAJER PEMBERITAAN

Nur Hidayat

PRODUSER EKSEKUTIF

Diah Ayu Candra Ningrum

KREATIF & FO TO

REDAKTUR KREATIF

Gilang Rahadian

REDAKTUR DESAIN

Eko Punto Pambudi, Fitra Moerat Ramadhan Sitompul, Yuyun

Nurrachman

DESAINER SENIOR

Ehwan Kurniawan, Imam Yunianto, Kendra H. Paramita

DESAINER

Aji Yuliarto, Ary Setiawan Harahap, Deisy Rikayanti Sastroadmodjo,

Djunaedi, Edward Ricardo Sianturi, Fransisca Hana, Gatot Pandego, Munzir


68

Fadly, Rizal Zulfadli

PENATA LETAK

Achmad Budy, Agus Darmawan Setiadi, Agus Kurnianto, Ahmad Fatoni,

Arief Mudi Handoko, Imam Riyadi Untung, Kuswoyo, Mistono, Rudy Asrori, Tri

Watno Widodo, Wahyu Risyanto

REDAKTUR FOTO

Rully Kesuma (Koordinator), Ijar Karim, Mahanizar Djohan

PERISET FOTO

Fardi Bestari, Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Nita Dian Afianti, Ratih

Purnama Ningsih, Wahyu Setiawan

FOTOGRAFER

Aditia Noviansyah, Amston Probel, Subekti

BAHASA

REDAKTUR BAHASA

Uu Suhardi (Koordinator), Hasto Pratikto, Sapto Nugroho

STAFF SENIOR

Iyan Bastian

STAF BAHASA

Aeni Nur Syamsiah, Edy Sembodo, Fadjriah Nurdiarsih, Hadi Prayuda,

Hardian Putra Pratama, Heru Yulistiyan, Michael Timur Kharisma,

Mochamad Murdwinanto, Rasdi Darma, Sekar Septiandari, Suhud Sudarjo

P U S AT DATA D A N A N AL I S A T EM P O

KOORDINATOR

Priatna
69

RISET

M. Azhar, Megel Jeckson, Indra Mutiara

PUSAT DATA

Dina Andriani, Ismail

REDAKTUR SENIOR

Amarzan Loebis, Bambang Harymurti, Edi Rustiadi M., Fikri Jufri,

Goenawan Mohamad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Toriq Hadad

KEPALA PEMBERITAAN KORPORAT

Toriq Hadad

KEPALA BIRO EKSEKUTIF DAN PENDIDIKAN

M. Taufiqurohman (Kepala), Yos Rizal Suriaji


BAB IV

TEMUAN DAN ANALISA DATA

A. Analisis Struktur Teks Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru


Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November
2014

Analisis wacana model Teun A. Van Dijk memiliki karakter khusus, yakni

mempunyai tiga dimensi, yakni; teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Hal yang

mendasari analisis model ini adalah penggabungan ketiga dimensi wacana

menjadi kesatuan analisis. Eriyanto menjelaskan dalam bukunya, Analisis

Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, hal yang dapat kita teliti dalam dimensi

adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk

menegaskan suatu tema tertentu.69

Majalah Tempo dalam produk jurnalismenya, laporan khusus Udin ”Bernas”,

menjelaskan secara gamblang bagaimana ikhtiar pasukan mereka melawan lupa

terhadap kasus itu. Meskipun berlangsung 18 tahun silam, perkara pembunuhan

keji itu tidak boleh didiamkan begitu saja. Terlebih dua organisasi wartawan dunia,

International Federation of Journalists dan Committe to Protect Journalist,

menuntut pengungkapan kasus pembunuhan terhadap wartawan di seluruh dunia.

Kasus Udin salah satu yang disorot oleh organisasi tersebut.

Tempo menggambarkan pemberitaan itu dengan bahasa khas mereka yang

menggigit, renyah, langsung, dan menjelaskan secara detil.

Secara-terang-terangan mereka menggunakan bahasa yang mengarah pada bentuk

konstruksi sebuah realita. Sebagai media yang berharap pada kemerdekaan Pers

Tempo merasa memiliki tanggung jawab moril terhadap independensi pers di

Indonesia, terlebih pada keamanan wartawan yang bertugas tanpa harus dibayangi

69
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.

70
71

pembelengguan.

Bentuk penggambaran realita itu secara jelas terlihat pada pemilihan

narasumber, hingga pembentukan tim pencari fakta yang berhasil menemuan

sebuah memo Sri Roso kepada bawahannya untuk “menyelesaikan” Udin. Selain

itu, pada akhir artikel Tempo juga mengajak pembaca untuk tidak melupakan

sebuah kejahatan karena bagi mereka melupakan kejahatan adalah kejahatan itu

sendiri.

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan analisa wacana kebebasan pers pada

pemberitaan Majalah Tempo pada Rubrik Laporan Khusus Udin “Bernas” Bukti

Baru Pembunuhan Udin. Peneliti menggunakan analisa wacana model Teun A.

Van Dijk yang melihat suatu teks terdiri dari beberapa stuktur atau tingkatan yang

bagian-bagiannya saling mendukung satu sama lain.

1. Analisis Artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam”

a. Tematik

Dalam Analisis Wacana Van Dijk Tema yang merupakan makna global dari

suatu teks berada dalam tingkatan pertama. Van Dijk menyebut tingkatan ini

sebagai struktur makro. Pada struktur ini tema didukung oleh kerangka teks yang

pada akhirnya terjadi pemilihan kata dan kalimat yang akan digunakan dan

ditonjolkan dalam suatu berita. Sedangkan menurut Eriyanto, tema menunjukan

konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita.70

Tema yang terkandung dalam artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam”

adalah:

“Sri Roso juga memerintahkan anak buahnya menyiapkan


tuntutan ke redaksi Bernas atau sumber berita. Ia meminta

70
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media h. 229.
72

semua hal disiapkan seceara rapi dan mewanti-wanti ihwal


ini selesai sebelum 17 Agustus 1996. Menurut Asril, tulisan
tangan dalam memo itu cocok dengan tulisan tangan Sri
Roso.” (Paragraf 13).

Peneliti mengangkat tema itu berdasarkan salinan dokumen yang merupakan

memo tulisan tangan Bupati Sri Roso Sudarmo tertanggal 27 Juli 1996. Inti dari

memo diatas sebuah surat dari Camat Imogiri Hardi Purnomo adalah perintah Sri

Roso untuk menuntaskan kasus Udin sebelum 17 Agustus 1996. Bupati Bantul itu

geram atas pemberitaan Udin di Bernas tanggal 26 Juli 1996 yang berjudul “Di

Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo”

Sementara itu berdasarkan bukti-bukti, dana yang diberkan hanya Rp 1 Juta dari

yang seharusnya Rp 2 Juta.

Berdasarkan tema ini, peneliti ingin menyampaikan kepada pembaca tentang

reka ulang yang dilakukan oleh Tempo. Mereka mendapatkan fakta penting:

memo Sri Roso kepada bawahannya untuk “menyelesaian” Udin. Selain itu, isi

pesan dan alasan pembuatan memo itu juga menjadi alasan pengambilan tema

tersebut.

b. Skematik
Skematik atau superstuktur dalam wacana model Van Dijk berperan untuk

menjelaskan alur atau kronologis dari sebuah berita. Pada umumnya sebuah teks

wacana memiliki sebuah skema yang tersusun rapih, mulai dari pendahuluan, isi,

hingga akhir teks wacana tersebut. Pada akhirnya skema itu akan menunjukan

bagaimana teks disusun sehingga menyimpan sebuah makna yang tersirat maupun

tersurat.

Umumnya sebuah pemberitaan di media massa memiliki dua bentuk skema

besar, yakni Summary dan story. Summary pada umumnya terbagi menjadi elemen
73

judul (headline) dan teras (lead). Pada kedua elemen inilah, wartawan

menyampaikan ide dasar atau tema artikelnya kepada masyarakat. Eriyanto

memandang elemen ini menjadi hal terpenting dari sebuah artikel atau berita.

Sementara itu elemen story adalah isi berita atau artikel secara keseluruhan.

Skema Summary pada salah satu artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” ini

mengangkat judul “Memo Sebelum Malam Jahanam” kemudian berlanjut pada

teras artikel “Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida membahas berita

yang ditulis Udin. Ia minta soal berita Udin selesai sebelum 17 Agustus.” Skema

selanjutnya, Story, adalah uraian situasi kejadian yang muncul setelah teras

artikel.

Wartawan Tempo menceritakan bagaimana sepak terjang Pemerintah

Kabupaten Bantul yang dinahkodai Bupati Sri Roso Sudarmo menanggapi

pemberitaan Bernas tentang dana Inpres Desa tertinggal (IDT) di Desa

Karangtengah, Kecamatan Imogiri dan Desa Bawuran, Kecamatan Pleret.

Selanjutnya, pada artikel itu tertulis jelas bahwa Pemerintah Kabupaten Bantul

saat itu berencana memperkarakan berita yang Udin tulis secara hukum.

Berdasarkan dokumen otentik yang diperlihatkan oleh Siti Asfijah, mantan Kepala

Bagian Hukum dan Pemerintahan Kabupaten Bantul, kepada wartawan Tempo,

terdapat disposisi agar ada pengusutan terhadap wartawan yang menulis atau ke

kantor Bernas.

Pada bagian akhir artikel wartawan Tempo memasukan hasil wawancara

dengan Sri Roso Sudarmo, orang yang dituduh sebagai dalang atas kematian Udin.

Mantan Bupati Bantul itu berpeluh kesah terhadap pemberitaan media massa yang

kerap menyudutkan dirinya. Ia berdalih kematian Udin tidak ada kaitannya


74

dengan dirinya, bisa saja ia meninggal karena masalah asmara, hutang-piutang

atau masalah lainnya.

“Sri Roso Sudarmo menampik tudingan terlibat dalam


pembunuhan Udin. Kepada Tempo yang menemuinya di
rumahnya di Sleman, Yogyakarta, September lalu, Sri Roso
menyatakan selama ini telah menjadi korban pemberitaan
media massa. Ia menyebutkan polisi belum bisa
membuktikan pembunuhan itu. Maka, kata dia, tak
selayaknya tudingan mengarah padanya. “Dia (Udin) itu
punya persoalan di luar kewartawanannya”, Ujar Sri Roso.”
(Paragraf 16).

Tempo memuat hasil wawancaranya dengan Sri Roso Sudarmo demi menjaga

keseimbangan berita dan prinsip cover both side. Meskipun demikian hanya

sebagian kecil ruang yang tersedia untuk artikel pembelaan Sri Roso atas

kematian Udin.

c. Latar
Van Dijk mengemukakan bahwa setiap wartawan biasanya menjabarkan latar

belakang dari sebuah peristiwa yang ia tulis. Latar yang dipilih oleh wartawan

pada akhirnya akan menggiring sudut pandang khalayak yang membacanya. Hal

itu dapat terjadi karena setiap berita memiliki bagian yang dapat memengaruhi arti

dan makna yang ditampilkan. Van Dijk meletakan bagian tersebut, latar, pada

tingkat analisis struktur mikro yaitu semantik.

Latar pada salah satu artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo

Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada paragraf kedua artikel tersebut. Inti

paragraf itu adalah sebuah gedung di Jalan Gajah Mada 10, tempat koordinasi

Pemerintah Kabupaten Bantul membahas berita yang ditulis Udin, sebelum ia

dibunuh.

“Bendera merah putih berkibar di pucuk tiang. Pipa besi


bercat putih menopang bendera di halaman gedung tua yang
75

sepi dan muram itu, Rabu petang pekan ketiga September


lalu. Gedung berwarna kuning memudar ini berada di Jalan
Gajah Mada 10, tak jauh dari alun-alun Kabupaten Bantul.
Di sinilah, dulu, dilakukan rapat koordinasi Pemerintah
Kabupaten Bantul untuk membahas berita-berita yang ditulis
wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin,
sebelum ia dibunuh”. (Paragraf 2).

Wartawan yang menuliskan artikel tersebut menampilkan latar dan

mengarahkan pembaca untuk mengetahui bentuk fisik sebuah bangunan dekat

alun-alun Kabupaten Bantul, tempat yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten

Bantul untuk membahas berita yang ditulis Udin, sebelum ia dibunuh.

Wartawan Majalah Tempo mendeskripsikan secara rinci kondisi bangunan,

berawal dari bendera merah putih yang berkibar dan ditopang oleh pipa besi

bercat putih di halaman gedung tua yang sepi serta muram, Rabu petang pekan

ketiga September lalu. Keberadaan bendera yang berkibar di depan halaman

gedung menandakan bahwa bangunan itu milik pemerintahan atau pernah

digunakan untuk kegiatan pemerintahan.

d. Detil

Elemen wacana selanjutnya yang peneliti bahas adalah detil. Elemen detil

merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara

yang implisit. 71 Van Dijk menyebutkan detil memiliki hubungan erat dengan

fungsi kontrol informasi yang diberikan oleh komunikator. Pada dasarnya

komunikator akan menjelaskan secara rinci, lengkap, dan memberikan informasi

lebih terhadap sesuatu yang ia tonjolkan. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk

menciptakan citra tertentu terhadap khalayak.

71
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 238.
76

Wartawan Majalah Tempo secara implisit ingin mengekspresikan sikapnya

dalam artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo Sebelum Malam

Jahanam” dengan menampilkan secara mendetail rentetan waktu terkait kematian

Udin. Rentetan waktu itu meliputi Rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul,

penganiayaan Udin hingga sekarat, dan berakhir pada kematian Wartawan Bernas

itu.

“Rapat koordinasi itu berlangsung pada 5 Agustus 1996.


Udin dianiaya hingga sekarat pada 13 Agustus malam dan
meninggal pada 16 Agustus 1996. Dulu Gedung ini
merupakan Kantor bagian hukum Pemerintah Kabupaten
Bantul. Sekarang kantor bagian hukum itu sudah menjadi
satu dengan kantor Bupati Bantul. “Kami menempati gedung
itu karena kantor bupati sedang dalam renovasi,” kata
mantan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten
Bantul Siti Asfijah di rumahnya di Badegan, Bantul, 7
September lalu. Siti Asfijah sudah pensiun dan membuka
toko kelontong di sebelah rumahnya.” (Paragraf 3).

Pada bagian itu Wartawan Majalah Tempo juga menjelaskan pernyataan Siti

Asfijah terkait penggunaan gedung karena kantor bupati sedang dalam renovasi.

Gedung tersebut digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul untuk membahas

berita yang ditulis Udin, sebelum penganiayaan berujung maut itu terjadi.

e. Maksud

Elemen Maksud menurut Van Dijk memiliki kesamaan dengan elemen detil.

Meskipun demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara dua elemen

komunikator terurai secara eksplisit dan jelas. Sedangkan informasi yang

merugikan komunikator akan diuraikan secara tersembunyi, tersamar, dan

implisit.

Dalam penulisan artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo

Sebelum Malam Jahanam” elemen maksud terdapat pada rangkaian kalimat yang
77

menjelaskan gedung yang menjadi tempat koordinasi Pemerintah Kabupaten

Bantul membahas berita yang ditulis Udin, saat ini menjadi kantor organisasi yang

memiliki benang merah dengan TNI dan Polri.

“Kini gedung itu menjadi kantor empat organisasi yang


berhubungan dengan keluarga Tentara Nasional Indonesia
dan Polisi. Organisasi itu adalah Forum Komunikasi
Putra-Putri purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri atau
FKPPI, Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia atau Pebabri, Persatuan
Istri Purnawirawan YNI-Polri atau Perip, serta Persatuan
Istri Veteran Republik Indonesia atau Piveri” (Paragraf 4).

Dalam paragraf tersebut wartawan Majalah Tempo memaparkan secara jelas

bahwa gedung, tempat rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul untuk

membahas berita Udin, saat ini telah digunakan oleh Organisasi FKPPI,

PEBABRI, PERIP, dan PIVERI. Organisasi tersebut merupakan organisasi yang

terkait dengan TNI dan Polri. Sementara itu Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul saat

Udin dibunuh, seorang purnawirawan TNI berpangkat Kolonel.

f. Pra-Anggapan

Salah satu elemen yang penting dalam Analisis Wacana Model Teun Van Dijk

adalah Pra-Anggapan. Wartawan media massa sering menggunakan elemen

wacana ini sebagai upaya untuk mendukung makna dalam suatu teks. Upaya

tersebut dengan memasukan pernyataan dalam teks yang mereka buat. Elemen ini

memiliki kesamaan dengan elemen latar. Meskipun demikian terdapat perbedaan

yang mendasar antar kedua elemen tersebut.

Jika elemen latar adalah upaya mendukung sebuah pendapat dengan cara

memberi latar belakang pada teks, maka pra-anggapan adalah upaya mendukung
78

pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. 72

Bagian pra-anggapan pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk

Memo Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada paragraf sembilan, yang

menjelaskan:

“Rapat koordinasi juga menugasi Kepala Bagian Hubungan


Masyarakat Pemerintah Kabupaten Bantul Sumantri Widodo
melayangkan surat resmi ke Persatuan Wartawan Indonesia
tentang berita yang dibikin Udin. Surat resmi itu akan
dikirim ke PWI jika ternyata Inspektorat tak menemukan
penyelewengan dalam penyaluran dana IDT dan duit
pembangunan desa “Dalam rapat, kami tidak pernah
membicarakan rencana memukul atau bahkan membunuh
Udin,” Kata Siti.” (Paragraf 9).

Dari paragraf itu terlihat secara jelas bahwa rapat koordinasi itu hanya

membahas langkah-langkah yang akan ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten

Bantul dalam mengklarifikasi hasil karya jurnalisme Udin. Pemerintah Kabupaten

juga telah menyiapkan surat resmi untuk PWI jika Inpektorat tidak menemukan

adanya penyelewengan anggaran dana. Siti juga menjelaskan secara gamblang

bahwa rapat tersebut murni hanya untuk mengklarifikasi berita, bukan untuk

menghabisi bahkan membunuh wartawannya.

g. Koherensi

Van Dijk dalam teorinya wacananya mengatakan dua buah peristiwa yang

terjadi dapat dihubungkan sehingga terlihat memiliki benang merah, meskipun

kedua peristiwa itu sebenarnya tidak berhubungan atau berbeda. Van Dijk

menyebutnya sebagai elemen wacana Koherensi. Ia juga menyebutkan Koherensi

sebagai elemen yang menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa dihubungkan

72
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 256.
79

dan dipandang saling terpisah oleh wartawan.73

Melalui koherensi peneliti melihat bagaimana seseorang secara strategis

menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Bentuk

koherensi pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum

Malam Jahanam” terdapat pada paragraf enam.

“Berdasarkan dokumen asli itu, Pemerintah Kabupaten Bantul


Menyatakan berkeberatan terhadap pemberitaan tentang penyunatan
dana IDT yang dimuat Bernas pada 16 Juli.” (Paragraf 6).

Pada kalimat diatas wartawan Majalah Tempo menggunakan kata

hubung (konjungsi) yang menyatakan hubungan sebab-akibat yakni

“terhadap”. Kedua kalimat tersebut berasal dari dua fakta yang berbeda

yaitu “Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan keberatan” dan

“Pemberitaan tentang tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas

pada 16 Juli.” Penggunaan konjungsi “terhadap” membuat kedua kalimat

yang berbeda serta tidak berkaitan itu menjadi terhubung dan koheren.

h. Bentuk Kalimat

Dalam wacana Van Dijk terdapat elemen yang membahas tentang cara

wartawan menyusun dan membentuk sebuah struktur kalimat pada rangkaian teks.

Struktur atau bentuk kalimat dapat dibuat secara aktif maupun pasif, namun inti

dari sebuah kalimat biasanya berada pada awal kalimat tersebut.

Pada dasarnya bentuk kalimat yang tertulis dalam sebuah teks menentukan

apakah subjek diekspresikan secara eksplisit maupun implisit pada teks tersebut.

Hal itu sesuai dengan pendapat Van Dijk yang mengatakan bahwa bentuk kalimat

adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip

73
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 243.
80

kausalitas.74

“Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida


membahas berita yang ditulis Udin. Ia minta soal berita
Udin selesai sebelum 17 Agustus.” (Paragraf 1).
Kumpulan kata pada artikel merupakan bentuk kalimat aktif. Hal itu dapat

dibuktikan dengan adanya kata predikat, menggelar, yang menunjukan kata kerja

aktif. Bupati Sri Roso di tampuk menjadi subjek dalam teks artikel ini.

Pada tahap ini wartawan Majalah Mingguan Tempo ingin menunjukan pada

tingkatan mana inti kalimat mendapat perhatian khusus. Bagian yang difokuskan

adalah Bupati Sri Roso menggelar rapat muspida membahas berita yang ditulis

Udin. Kalimat tersebut merupakan bentuk sikap Bupati Sri Roso Sudarmo yang

gerah terhadap karya jurnalistik Udin di Harian Bernas, sebelum Ia dihabisi

hingga gugur.

i. Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan bagian pada wacana Van Dijk yang berguna

untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan sebuah komunitas imajinatif.

Wartawan menggunakan elemen ini untuk menunjukan dimana posisi seseorang

dalam wacana.

Elemen wacana Kata ganti pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas”

bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam”

“Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan rencana


memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata Siti.

Penggunaan kata ganti “kami” dalam penggalan kalimat itu terkesan

menciptakan jarak antara wartawan dan khalayak yang tidak sependapat dengan

wartawan. Hal tersebut menurut Van Dijk cukup beralasan bila merujuk pada

74
Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks, h. 251
81

artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam”,

karena wartawan Tempo memposisikan diri tidak sependapat dengan Pemerintah

Kabupaten Bantul yang menggelar rapat terkait karya jurnalistik Udin.

Van Dik juga menjelaskan dalam mengungkapkan sikapnya wartawan

menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap

itu merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. 75 Hal tersebut senada

dengan sikap wartawan Tempo yang menolak dengan keras segala bentuk

kekerasan terhadap wartawan.

j. Leksikon

Elemen Wacana selanjutnya menjelaskan tentang bagaimana seseorang

memilih dan menggunakan sebuah kata meskipun terdapat padanan kata yang

lainnya. Ketika seseorang memilih sebuah kata dari padanan kata yang tersedia,

maka pemilihan kata tersebut bukan sebuah kebetulan semata. Pilihan kata-kata

yang digunakan menunjukan sebuah sikap dan ideologi tertentu. 76 Secara

ideologis pemilihan kata tersebut menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang

terhadap fakta. Van Dijk menyebut elemen wacana ini dengan nama Leksikon.

Pemilihan kata atau leksikon pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas”

bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada:

1. Kata Jahanam pada kalimat: Memo sebelum malam jahanam. Kata

jahanam memiliki persamaan kata terkutuk.

2. Kata menyodorkan dan didisposisikan pada kalimat: Kepada Tempo, Siti

menyodorkan dokumen otentik surat disposisi dari Bupati Sri Roso

kepada sekretaris wilayah daerah, yang kemudian didisposisikan lagi

75
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 253
76
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 255
82

kepada bagian hukum. Kata menyodorkan memiliki padanan kata

memberikan, kata didisposisikan memiliki arti lain diteruskan.

3. Kata mempersilakan dan sekilas dalam kalimat: Ia juga hanya

mempersilakan Tempo membaca sekilas. Kata mempersilakan memiliki

arti mengizinkan sedangkan sekilas memiliki padanan kata sesaat.

4. Kata berkeberatan dan penyunatan pada kalimat: Berdasarkan dokumen

asli itu, Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan berkeberatan

terhadap pemberitaan tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas

pada 16 Juli. Kata berkeberatan memiliki sinonim kata menolak,

sedangkan penyunatan memiliki arti pengurangan.

5. Kata duit pada kalimat: Adapula berita perihal duit administrasi

pembangunan desa. Kata duit memiliki padanan kata uang.

6. Kata melayangkan dan dibikin pada kalimat: Rapat koordinasi juga

menugasi kepala bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten

Bantul Sumantri Widodo melayangkan surat resmi ke Persatuan

Wartawan Indonesia tentang berita yang dibikin Udin. Pada kalimat

tersebut kata melayangkan memiliki persamaan makna dengan

mengirimkan sedangkan dibikin memiliki padanan kata dibuat.

7. Kata berkawan pada kalimat: Sahlan berkawan dekat dengan Udin

karena sering mengobrol berdua. Kata berkawan memiliki padanan kata

bersahabat.

8. Kata Ihwal, dokumen, jurnalis, dan investigasi pada kalimat: Ihwal rapat

muspida membahas berita Udin ini cocok dengan dokumen yang

disodorkan jurnalis yang menginsvestigasi kasus Udin, Berchman


83

Heroe. Kata ihwal memiliki persamaan kata perihal, sedangkan dokumen

adalah arsip, selanjutnya jurnalis memiliki padanan kata wartawan.

Sementara menginvestigasi adalah menyelidiki.

9. Kata cocok dalam kalimat; Menurut Asril, tulisan tangan dalam memo itu

cocok dengan tulisan tangan Sri Roso. Kata cocok memiliki padanan kata

sesuai.

10. Kata Tudingan pada kalimat: Sro Roso menampik tudingan terlibat

dalam pembunuhan Udin. Kata tudingan memiliki padanan kata tuduhan.

k. Grafis
Van Dijk menyebut elemen grafis dalam analisis wacananya sebagai bagian

yang digunakan untuk memeriksa sebuah hal yang diberi penekanan atau

ditonjolkan oleh seseorang ketika mengamati sebuah teks. Penekanan itu dapat

terjadi karena terdapat hal yang dianggap penting pada bagian tersebut.

Grafis dalam wacana berita, biasanya muncul melalui bagian tulisan yang

dibuat lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaiaan garis bawah, huruf

yang dibuat besar. Termasuk di dalamnya adalah pemakaiaan caption, raster,

grafik, gambar, table, dan pemakaian angka untuk mendukung arti sebuah pesan.77

Elemen grafis itu juga muncul dalam bentuk foto, gambar, atau tabel yang

digunakan untuk mendukung sebuah gagasan atau untuk bagian lain yang tidak

ingin ditonjolkan. Melalui citra, foto, tabel, penempatan teks, tipe huruf atau

elemen grafis lain, pendapat ideologis yang muncul dapat di manipulasi oleh

wartawan atau komunikator.

Dalam artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum

Malam Jahanam” unsur grafis yang muncul terlihat dengan jelas pada penempatan

77
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 257-258
84

dua buah foto pada artikel tersebut. Foto pertama yang muncul adalah sebuah

memo bertuliskan tangan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, di atas surat Camat

Imogiri, Hardi Purnomo. Surat bertanggal 26 Juli 1996 itu berisi penjelasan dana

IDT Desa Karangtengah 2, sedangkan memo bertuliskan tangan Sri Roso

bertanggal 27 Juli 1996.

Foto kedua yang termuat dalam artikel adalah frame yang menggambarkan

suasana saat Kepala Bagian Hubungan Masyrakat Pemerintah Kabupaten Bantul,

Sumantri Widodo, memberikan keterangan pers, membantah keterlibatan Sri Roso

pada kasus Udin.

Tabel 4. 1

Kerangka Analisis Data Artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” Memo

Sebelum Malam Jahanam”

Struktur
Elemen
Wacana Keterangan

Sri Roso juga memerintahkan anak buahnya


Topik atau menyiapkan tuntutan ke redaksi Bernas atau sumber
Makro berita. Ia meminta semua hal disiapkan seceara rapi dan
Tema mewanti-wanti ihwal ini selesai sebelum 17 Agustus
1996. Menurut Asril, tulisan tangan dalam memo itu
cocok dengan tulisan tangan Sri Roso.

 Berawal dari judul artikel


Superstruktur Skema  Teras artikel
 Story:

1. Sepak terjang Bupati Bantul, Sri Roso


Sudarmo, dalam merespon pemberitaan Udin
di harian Bernas tentang tentang dana Inpres
Desa tertinggal (IDT) di Desa Karangtengah,
Kecamatan Imogiri dan Desa Bawuran,
85

Kecamatan Pleret.

2. Pemerintah Kabupaten Bantul saat itu


berencana memperkarakan berita yang Udin
tulis secara hukum, terdapat disposisi dari
Bupati agar ada pengusutan terhadap
wartawan yang menulis atau ke kantor Bernas

3. Pada bagian akhir artikel wartawan Tempo


memasukan hasil wawancara dengan Sri Roso
Sudarmo. Ia berpeluh kesah terhadap
pemberitaan media massa yang kerap
menyudutkan dirinya.

Paragraf 2

“Bendera merah putih berkibar di pucuk tiang. Pipa


besi bercat putih menopang bendera di halaman gedung
Struktur tua yang sepi dan muram itu, Rabu petang pekan ketiga
Latar September lalu. Gedung berwarna kuning memudar ini
Mikro berada di Jalan Gajah Mada 10, tak jauh dari alun-alun
Kabupaten Bantul. Di sinilah, dulu, dilakukan rapat
koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul untuk
membahas berita-berita yang ditulis wartawan Bernas,
Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, sebelum ia
dibunuh”..

Paragraf 3

“Rapat koordinasi itu berlangsung pada 5 Agustus


1996. Udin dianiaya hingga sekarat pada 13 Agustus
malam dan meninggal pada 16 Agustus 1996. Dulu
Gedung ini merupakan Kantor bagian hukum
Pemerintah Kabupaten Bantul. Sekarang kantor bagian
Detil
hukum itu sudah menjadi satu dengan kantor Bupati
Bantul. “Kami menempati gedung itu karena kantor
bupati sedang dalam renovasi,” kata mantan Kepala
Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bantul Siti
Asfijah di rumahnya di Badegan, Bantul, 7 September
lalu. Siti Asfijah sudah pensiun dan membuka toko
kelontong di sebelah rumahnya.”
86

Paragraf 4

“Kini gedung itu menjadi kantor empat organisasi yang


berhubungan dengan keluarga Tentara Nasional
Indonesia dan Polisi. Organisasi itu adalah Forum
Maksud Komunikasi Putra-Putri purnawirawan dan Putra-Putri
TNI-Polri atau FKPPI, Persatuan Purnawirawan dan
Warakawuri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
atau Pebabri, Persatuan Istri Purnawirawan YNI-Polri
atau Perip, serta Persatuan Istri Veteran Republik
Indonesia atau Piveri”
Paragraf 9

“Rapat koordinasi juga menugasi Kepala Bagian


Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Bantul
Sumantri Widodo melayangkan surat resmi ke
Pra-Angg
Persatuan Wartawan Indonesia tentang berita yang
apan dibikin Udin. Surat resmi itu akan dikirim ke PWI jika
ternyata Inspektorat tak menemukan penyelewengan
dalam penyaluran dana IDT dan duit pembangunan
desa “Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan
rencana memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata
Siti.”
Paragraf 6

Koherensi “Berdasarkan dokumen asli itu, Pemerintah Kabupaten


Bantul Menyatakan berkeberatan terhadap pemberitaan
tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas pada
16 Juli.”
Paragraf 1

“Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida


Bentuk membahas berita yang ditulis Udin. Ia minta soal berita
Udin selesai sebelum 17 Agustus.”
Kalimat
Bagian yang difokuskan adalah “menggelar”, kata
tersebut merupakan bentuk sikap Bupati Sri Roso
Sudarmo yang gerah terhadap karya jurnalistik Udin
di Harian Bernas, sebelum Ia dihabisi hingga gugur.
Paragraf 9
Kata
“Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan
Ganti rencana memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata
Siti.
87

1. Kata jahanam pada judul artikel


2. Kata menyodorkan pada paragraf 6
3. Kata didisposisikan pada paragraf 6
4. Kata mempersilakan pada paragraf 6
5. Kata sekilas pada paragraf 6
6. Kata berkeberatan pada paragraf 7
7. Kata penyunatan pada paragraf 7
Leksikon 8. Kata duit pada paragraf 7
9. Kata melayangkan pada paragraf 9
10. Kata dibikin pada paragraf 9
11. Kata berkawan pada paragraf 10
12. Kata dokumen pada paragraf 12
13. Kata jurnalis pada paragraf 12
14. Kata investigasi pada paragraf 12
15. Kata cocok pada paragraf 12
16. Kata Tudingan pada paragraf 17
Terdapat dua buah foto yang terletak dibawah judul dan
teras artikel, foto itu berada pada bagian kiri bawah pada
halaman pertama artikel dan foto kedua berada pada
bagian kanan atas halaman kedua artikel “Memo
Sebelum Malam Jahanam”

Foto pertama merupakan sebuah memo bertuliskan


tangan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, di atas surat
Grafis Camat Imogiri, Hardi Purnomo. Surat bertanggal 26 Juli
1996 itu berisi penjelasan dana IDT Desa Karangtengah
2, sedangkan memo bertuliskan tangan Sri Roso
bertanggal 27 Juli 1996.

Foto Kedua menggambarkan suasana saat Kepala


Bagian Hubungan Masyrakat Pemerintah Kabupaten
Bantul, Sumantri Widodo, memberikan keterangan pers,
membantah keterlibatan Sri Roso pada kasus Udin.

2. Analisis Artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan”

a. Tematik

Struktur makro dapat diamati dengan melihat tema atau topik pemberitaan

yang dikedepankan dalam berita. Tema didukung oleh kerangka teks melalui

pemilihan kata dan kalimat untuk digunakan dan ditonjolkan dalam suatu berita.
88

Pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” Wartawan Tempo mengangkat

tema tentang peristiwa-peristiwa tidak biasa sebelum malam pembantaian Fuad

Muhammad Syafruddin.

Pada artikel ini secara tersurat dan tersirat Wartawan Majalah Tempo

menyampaikan tema melalui keseluruhan isi artikel adalah betapa janggal dan

tidak wajar hari-hari yang dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekitar Udin

sebelum malam jahanam itu. Kejanggalan itu meliputi, dua orang berbadan tegap

yang mencari Udin setiap malam sebelum Udin gugur, munculnya penjual jagung

di perempatan Bakulan sebelum Udin dianiaya, Terpakirnya sebuah sedan Honda

Civic Excellent biru tua saat malam pembantaian, dan peristiwa mencurigakan

lainnya.

Hal lain yang ingin disampaikan adalah meskipun kejadian itu sudah 18

tahun berlalu Majalah Tempo tetap menyuarakan kebenaran fakta tersebut dengan

harapan perkara ini tidak menguap begitu saja. Mereka berharap ikhtiar menguak

kebenaran mereka selama ini dapat menjadi dorongan Presiden Joko Widodo

untuk memprioritaskan masalah ini. Kemudian masyarakat sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi di negeri ini ikut menyuarakan kebebasan pers di Indonesia.

Terlebih Kasus Udin menjadi sorotan dua organisasi wartawan dunia,

International Federation of Journalists dan Committe to Protect Journalist.

b. Skematik

Skematik umumnya menjelaskan alur atau kronologis dari sebuah berita.

Sebuah teks wacana memiliki sebuah skema yang tersusun rapih, mulai dari

pendahuluan, isi, hingga akhir teks wacana tersebut. Pada akhirnya skema itu akan

menunjukan bagaimana teks disusun sehingga menyimpan sebuah makna yang


89

tersirat maupun tersurat. Pada sebuah skema terdapat penekanan untuk

memunculkan bagian mana yang terlebih dahulu kemudian bagian lainnya. Hal

tersebut merupakan strategi wartawan mendahulukan atau menyembunyikan

informasi penting

Skema yang terlihat pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” berawal

pada teras artikel atau paragraf pertama artikel tersebut:

“Kejadian Janggal beruntun menjelang Udin dianiaya.

Beberapa orang memiliki ciri yang sama”

Skema selanjutnya ada Story, uraian situasi kejadian yang muncul setelah

teras artikel. Wartawan majalah Tempo menceritakan suasana dan runtutan

kejanggalan saat malam penganiayaan Udin, pada awal artikel. Kemudian mereka

mengisahkan penuturan Nur Sulaiman, wanita paruh baya, tetangga Udin, yang

merasakan kejanggalan di sekitar rumah Udin sebelum 13 Agustus 1996.

“Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang diamati


Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya, Jalan
parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu terlihat
lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah sedan Honda
Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh dari rumah Udin.
“kehadiran mobil ini juga tidak lazim,” Sujarah
menduga-duga.” (Paragraf 21).

Kemudian pada pertengahan artikel, hari-hari yang janggal masih menghiasi

isi artikel. Kali ini wartawan mengemas isi berita dengan penuturan sejumlah

orang-orang dekat Udin mengenai peristiwa yang mencurigakan menjelang

malam pembantaian Udin. Selain itu kejanggalan juga terjadi di kantor harian

Bernas. Beberapa rekan Udin melihat peristiwa yang tidak biasa sebelum Ia

dihajar.

“Rupanya, bukan hanya lelaki yang kini menjadi Ketua RT


90

16 Dusun Samalo itu yang merasakan berbagai keganjilan


sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Di kantor Udin, haran
Benas, teman-temannya mengalami hak serupa. Mereka
melihat gelagat mencurigakan sebelum Udin dianiaya.
Beberapa ancaman secara langsung sudah diterima Udin”
(Paragraf 22).

Selanjutnya pada bagian penutup artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan”

berisi tentang pandangan wartawan Majalah Tempo tentang kasus Udin ini.

Mereka juga mengutip perkataan mantan Ketua Mahamah Agung, Bagir Manan,

pada pertengahan Oktober yang meminta Presiden Jokowi memprioritaskan

masalah Udin. Kemudian mereka memasukan penuturan Nur Sulaiman yang

menyatakan senang bila pelaku pembunuhan Udin ditangkap. Pada akhir artikel

ini Wartawan majalah Tempo menginformasikan kepada pembaca dan masyarakat

bila kasus 18 tahun lalu ini sangat penting untuk diselesaikan.

c. Latar

Elemen latar biasanya menjabarkan latar belakang dari sebuah peristiwa yang

ditulis oleh wartawan. Latar belakang tersebut akan menggiring sudut pandang

khalayak yang membacanya. Hal itu dapat terjadi karena setiap berita memiliki

bagian yang dapat memengaruhi arti dan makna.

Latar yang muncul dalam artikel “Tamu-tamu misterius di Patalan” terdapat

pada paragraf empat dan lima. Isi paragraf tersebut adalah penuturan Ponikem,

tetangga Udin, yang mengisahkan peristiwa secara rinci sebelum Udin diserang

oleh orang tidak dikenal.

“Dalam bahasa Jawa, lelaki yang terlihat kekar dan tinggi


besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang. Udin yang
dimaksudnya adalah Fuad Muhammad Syafruddin, yang
rumah kontrakannya berada di seberang jalan warung bakmi
Nur Sulaiman.” (Paragraf 4).
91

“Ponikem menjawab bahwa Udin belum pulang. Pria itu


lantas pergi. Ia menghampiri seorang lelaki yang
menunggunya di sebelah selatan warung. Berboncengan,
mereka tancap gas. “Kendelan le nunggang motor (berani
naik motor dengan laju cepat). Mereka pergi ke utara,” kata
Nur ketika ditemui Tempo, awal September lalu. Kisah
perempuan 65 tahun itu adalah peristiwa sebelum Udin
dianiaya pada Selasa malam, 13 Agustus 1996” (Paragraf 5).

Wartawan majalah Tempo berusaha menyampaikan latar pada artikel tersebut

agar pembaca dapat memahami keganjilan yang terjadi menjelang Udin dianiaya

pada Selasa, 13 Agustus 1996. Mereka berhasil melakukan wawancara dengan

para narasumber yang merasakan langsung hari-hari yang janggal menjelang

malam jahanam itu. Penuturan para saksi sejarah ada dalam artikel sehingga

pembaca merasakan bahwa terdapat peristiwa yang mencurigakan menjelang

penyeragan terhadap Fuad Muhammad Syafruddin.

d. Detil

Elemen detil memiliki hubungan erat dengan fungsi kontrol informasi yang

diberikan oleh komunikator. Pada dasarnya komunikator akan menjelaskan secara

rinci, lengkap, dan memberikan informasi lebih terhadap sesuatu yang ia

tonjolkan. Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan

sikapnya.

Detil yang disampaikan oleh Wartawan Majalah Tempo melalui artikel

“Tamu-tamu Misterius di Patalan” berada pada paragraf tujuh dan delapan. Inti

dari paragraf itu adalah ketika penulis artikel menjelaskan secara rinci bentuk fisik

tamu di rumah Udin. Morfologi pria yang ditemui oleh Marsiyem, istri mendiang

Udin, mengarah pada profesi orang dengan bentuk otot yang kekar. Selain itu pria

itu sempat menunjukan sebatang besi kepada Marsiyem. Udin meninggal akibat
92

hantaman benda tumpul.

“Seorang lelaki dengan ikat kepala merah berdiri di ambang


pintu. Ia mengaku teman suaminya dan hendak minta tolong
memperbaiki sepeda motor. Sebatang besi sebesar jempol
dengan panjang sekitar 50 sentimeter diperlihatkan “ Ini lho,
Mbak, mau dimasukkan ke knalpot tapi tidak bisa”
Katanya.” (Paragraf 7).

“Ketika mata mereka bersirobok, Marsiyem serasa pernah


berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan tinggi tersebut.
Namun dia tidak ingat dimana. Marsiyem masuk lagi ke
dalam rumah dan memberi tahu suaminya.” (Paragraf 8).

Pada bagian tersebut penulis artikel menguraikan cir-ciri pria yang dijumpai

oleh Marsiyem di rumahnya pada hari kejadian penganiayaan. Sosok tubuh kekar

dan tinggi dengan membawa sebilah besi berukuran 50 sentimeter. Besi tersebut

diduga sebagai senjata untuk menghajar Udin. Kehadiran pria dengan tubuh tegap,

tinggi, dan kekar dinilai memiliki keterkaitan dengan posisi Bupati Bantul saat itu,

Sri Roso Sudarmo, tentara berpangkat kolonel. Sebelum dihajar, karya jurnalistik

Udin sempat membuat Bupati Bantul meradang.

e. Maksud

Pada Elemen maksud informasi yang menguntungkan komunikator terurai

secara eksplisit dan jelas. Sedangkan informasi yang merugikan komunikator

akan diuraikan secara tersembunyi, tersamar, dan implisit. Tujuan akhirnya adalah

publik hanya mengetahui informasi yang menguntungkan komunikator78

Elemen maksud yang pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” terdapat

pada teks yang menjelaskan paska kejadiaan naas tersebut sejumlah pemuda

datang dengan mengendarai kendaraan roda empat dan roda dua. Kehadiran para

pemuda itu untuk mengevakuasi Udin yang telah tergeletak di pinggir jalan.

78
Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, h. 240
93

“Tak berselang lama, satu rombongan pemuda Bakulan


datang dari arah utara. Empat orang, yakni Yuniari, Sigit
Bambang Suryanto, Yanadi, dan Akung Prastowo,
mengendarai Jip Hardtop. Dua orang lainnya, Sigit Prasetyo
Wibowo dan Sri Kuncoro alias Kuncung, naik sepeda motor.
Oleh warga disana, Kuncung biasa dipanggil Pak Aman
karena Kepala Urusan Keamanan Desa Patalan. Kuncoro
adalah keponakan Bupati Bantul ketika itu, Sri Roso
Sudarmo.” (Paragraf 12).

Dalam teks tersebut wartawan Tempo menggambarkan bagaimana keganjilan

paska penyerangan terjadi. Pasalnya tidak lama setelah Udin diserang sejumlah

pemuda datang dari arah utara, arah yang sama dengan penyerang Udin.

Selanjutnya hadirnya Kuncoro sebagai Kepala Urusan Keamanan Desa Patalan

bersama sejumlah pemuda. Ia gagal menjaga rasa aman warga akibat penyerangan

kepada salah satu warga desa Patalan tersebut.

Wartawan Tempo juga menulis bahwa Kuncoro adalah keponakan Sri Roso

Sudarmo dalam artikel itu. Sebelum penyerangan itu terjadi Udin sempat

membuat paman Kuncoro kebakaran jenggot akibat karya jurnalismenya yang

menyinggung Pemerintah Kabupaten Bantul.

f. Pra-Anggapan

Elemen pra-anggapan adalah elemen yang digunakan untuk mendukung

pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Pada artikel

“Tamu-tamu Misterius di Patalan” elemen ini terdapat pada pertengahan artikel.

“Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang diamati


Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya, Jalan
parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu terlihat
lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah sedan Honda
Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh dari rumah Udin.
“kehadiran mobil ini juga tidak lazim,” Sujarah
menduga-duga.” (Paragraf 21).
94

Berdasarkan teks tersebut bagian pra-anggapan mengarahkan pembaca pada

kejadian janggal saat malam penganiayaan Udin. Peneliti membuat pra-anggapan

tersebut untuk mendukung penuturan Sujarah sehingga pembaca tidak perlu

mempertanyakan lagi bagaimana dan seperti apa kondisi saat penyerangan Udin

oleh orang tidak dikenal pada malam itu.

g. Koherensi Kondisional

Elemen koherensi kondisional memiliki ciri dengan pemakaian anak kalimat

sebagai penjelas. Anak kalimat tersebut menjadi cermin kepentingan komunikator

karena ia dapat meberikan keterangan yang baik atau buruk terhadap suatu

pernyataa.79 Sebagai penjelas, ada atau tidaknya anak kalimat tidak memengaruhi

arti kalimat. Bentuk koherensi kondisional artikel “Tamu-tamu Misterius di

Patalan” terdapat pada kalimat di paragraf ke-17:

“Marjo pula yang pada malam kejadian menutup ceceran


darah Udin dengan tanah, padahal polisi belum melakukan
olah tempat kejadian perkara.” (Paragraf 17).

Pada paragraf tersebut wartawan Majalah Tempo menggunakan anak kalimat

“padahal polisi belum melakukan olah tempat kejadian perkara” sebagai penjelas

dari induk kalimatnya. Kalimat tersebut seolah-oleh menjelaskan kepada pembaca

bahwa Marjo melakukan hal yang salah karena menutup ceceran darah Udin,

sebagai barang bukti, sebelum polisi menggelar olah kejadian perkara. Perbuatan

Marjo ditengarai sebagai upaya untuk menghilangkan barang bukti. Penyertaan

anak kalimat tersebut dalam artikel merupakan koherensi kondisional.

h. Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara

berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Pada dasarnya bentuk kalimat yang tertulis
79
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. h. 244
95

dalam sebuah teks menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit

maupun implisit pada teks tersebut. Meskipun demikian

bentuk kalimat dapat dibuat secara aktif maupun pasif, namun inti dari sebuah

kalimat biasanya berada pada awal kalimat tersebut.

“Bagi Sujarah, keterangan Marsiyem tentang dua tamu pada


malam itu mengingatkannya pada peristiwa-peristiwa
mencurigakan beberapa hari sebelumnya.” (Paragraf 14).

Deretan kata yang tersusun pada artikel tersebut merupakan bentuk kalimat

aktif. Hal itu dapat kita lihat dengan adanya kata predikat, mengingatkannya,

yang menunjukan kata kerja aktif. Sujarah menjadi subjek dalam teks artikel ini.

Pada tahap ini bagian yang mendapat perhatian khusus adalah “mengingatkannya”,

kata tersebut merupakan bentuk sikap Sujarah, kerabat Udin, yang merasakan

sejumlah kejadian janggal sebelum malam kelabu itu.

i. Kata Ganti

Elemen kata ganti merupakan media yang digunakan oleh Komunikator

untuk memanipulasi bahasa dan menunjukan dimana posisi seseorang dalam teks

wacana. Kata ganti pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” terdapat pada

paragraf ke 16, yang menjelaskan:

“Mereka berdiri di sebelah utara rumah kakek itu, 50 meter


dari kontrakan Udin. “Dua orang itu berbadan tegap tinggi,
dan memakai celana Jins” Kata Sujarah kepada Tempo,
akhir Agustus lalu.” (Paragraf 16)
Penggunaan kata “mereka” pada kalimat itu seolah-olah menciptakan jarak

antara Sujarah, kerabat Udin, dengan dua orang berbadan tegap dan tinggi. Dua

orang tersebut disangka sebagai pelaku pemukulan terhadap Udin. Wartawan

Tempo dengan sengaja menciptakan sebuah batasan antara pembaca dengan dua

orag tersebut. Batasan itu sebagai bentuk penolakan kekerasan kepada wartawan.
96

j. Leksikon

Leksikon adalah elemen wacana yang membahas bagaimana seseorang

memilih dan menggunakan sebuah kata walaupun masih ada padanan kata lainnya.

Ketika seseorang memilih sebuah kata dari berbagai kemungkinan kata yang

tersedia, maka pemilihan kata tersebut bukan sebuah kebetulan semata. Pilihan

kata-kata yang digunakan menunjukan sebuah sikap dan ideologi tertentu.

Elemen Leksikon atau upaya pemilihan kata pada artikel “Tamu-tamu

Misterius di Patalan” terdapat pada:

1. Kata janggal dalam kalimat: Kejadian Janggal beruntun menjelang Udin

dianiaya. Kata janggal memiliki padanan kata aneh. Kedua kata tersebut

bermakna peristiwa yang tidak biasa.

2. Kata kekar dalam kalimat: Dalam bahasa jawa, lelaki yang terlihat kekar

dan tinggi besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang. Kata kekar

memiliki arti lain tegap kuat.

3. Kata bersirobok dalam kalimat: Ketika mata mereka bersirobok,

Marsiyem serasa pernah berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan

tinggi tersebut. Kata bersirobok memiliki sinonim saling berpapasan.

4. Kata sekelebat pada kalimat: Sekelebat ia melihat orang yang

ditemuinya lari ke utara. Kata Sekelebat memiliki padanan kata sesaat.

5. Kata keponakan dalam kalimat: Kuncoro adalah keponakan Bupati

Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo. Kata keponakan memiliki padanan

kata kemenakan.

6. Kata angkat tangang dalam kalimat: Di Rumah Sakit Bantul itu, dokter

angkat tangan lantaran peralatan medisnya tak memadai. Kata angkat


97

tangan memiliki kata lain menyerah.

7. Kata Ahad pada kalimat: Misalnya, pada Ahad malam, 11 Agustus 1996,

dia melihat dua orang mengendarai sepeda motor GL Pro mendatangi

warung bakmi milik Nursulaiman. Kata Ahad memiliki persamaan kata

Minggu.

8. Kata ngobrol pada kalimat: Pada malam harinya, dia kembali melihat

seseorang yang mirip dengan lelaki yang ngobrol dengan Mbah Marjo.

Kata ngobrol memiliki persamaan kata berbincang.

9. Kata gelagat dalam kalimat: Mereka melihat gelagat mencurigakan

sebelum Udin dianaya. Kata gelagat memiliki persamaan kata

gerak-gerik.

10. Kata tudingan dalam kalimat: Namun, karena belum ada tersangka

setelah Dwi Sumaji alias Iwik dibebaskan pengadilan dari tudingan

pembunuhan Udin, pengusutan kasus itu bisa diteruskan. Kata tudingan

memiliki persamaan kata tuduhan.

Tabel 4.2

Kerangka Analisis Data Artikel Tamu-tamu Misterius di Patalan


98

Struktur
Elemen
Wacana Keterangan

Kejanggalan yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar


Udin sebelum malam jahanam itu. Kejanggalan itu
meliputi, dua orang berbadan tegap yang mencari Udin
Makro Topik atau Tema setiap malam sebelum Udin gugur, munculnya penjual
jagung di perempatan Bakulan sebelum Udin dianiaya,
Terpakirnya sebuah sedan Honda Civic Excellent biru
tua saat malam pembantaian, dan peristiwa
mencurigakan lainnya.
 Berawal dari judul artikel
Superstruktur Skema  Teras artikel
 Story:

1. Suasana dan runtutan kejanggalan saat malam


penganiayaan Udin dan Penuturan Nur
Sulaiman, wanita paruh baya, tetangga Udin,
yang merasakan kejanggalan di sekitar rumah
Udin sebelum 13 Agustus 1996.

2. Penuturan sejumlah orang-orang dekat Udin


mengenai peristiwa yang mencurigakan
menjelang malam pembantaian Udin. Selain
itu kejanggalan juga terjadi di kantor harian
Bernas. Beberapa rekan Udin melihat
peristiwa yang tidak biasa sebelum Ia dihajar

3. Pada bagian akhir artikel berisi tentang


pandangan wartawan Majalah Tempo tentang
kasus Udin.

Paragraf 4

“Dalam bahasa Jawa, lelaki yang terlihat kekar dan


Struktur tinggi besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang.
Latar Udin yang dimaksudnya adalah Fuad Muhammad
Mikro
Syafruddin, yang rumah kontrakannya berada di
seberang jalan warung bakmi Nur Sulaiman.”

Paragraf 5
99

“Ponikem menjawab bahwa Udin belum pulang. Pria


itu lantas pergi. Ia menghampiri seorang lelaki yang
menunggunya di sebelah selatan warung.
Berboncengan, mereka tancap gas. “Kendelan le
nunggang motor (berani naik motor dengan laju cepat).
Mereka pergi ke utara,” kata Nur ketika ditemui Tempo,
awal September lalu. Kisah perempuan 65 tahun itu
adalah peristiwa sebelum Udin dianiaya pada Selasa
malam, 13 Agustus 1996”

Paragraf 7

“Seorang lelaki dengan ikat kepala merah berdiri di


ambang pintu. Ia mengaku teman suaminya dan hendak
minta tolong memperbaiki sepeda motor. Sebatang besi
sebesar jempol dengan panjang sekitar 50 sentimeter
diperlihatkan “ Ini lho, Mbak, mau dimasukkan ke
knalpot tapi tidak bisa” Katanya.”
Detil
Paragraf 8

“Ketika mata mereka bersirobok, Marsiyem serasa


pernah berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan
tinggi tersebut. Namun dia tidak ingat dimana.
Marsiyem masuk lagi ke dalam rumah dan memberi
tahu suaminya

Paragraf 12

“Tak berselang lama, satu rombongan pemuda Bakulan


datang dari arah utara. Empat orang, yakni Yuniari,
Sigit Bambang Suryanto, Yanadi, dan Akung Prastowo,
Maksud mengendarai Jip Hardtop. Dua orang lainnya, Sigit
Prasetyo Wibowo dan Sri Kuncoro alias Kuncung, naik
sepeda motor. Oleh warga disana, Kuncung biasa
dipanggil Pak Aman karena Kepala Urusan Keamanan
Desa Patalan. Kuncoro adalah keponakan Bupati
Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo.”

Paragraf 21

Pra-Anggapan “Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang


diamati Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya,
Jalan parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu
terlihat lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah
100

sedan Honda Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh


dari rumah Udin. “kehadiran mobil ini juga tidak
lazim,” Sujarah menduga-duga.

Koherensi Paragraf 17

Kondisional “Marjo pula yang pada malam kejadian menutup


ceceran darah Udin dengan tanah, padahal polisi
belum melakukan olah tempat kejadian perkara.”
Paragraf 14

“Bagi Sujarah, keterangan Marsiyem tentang dua tamu


Bentuk Kalimat pada malam itu mengingatkannya pada
peristiwa-peristiwa mencurigakan beberapa hari
sebelumnya.”

Paragraf 16

Kata Ganti “Mereka berdiri di sebelah utara rumah kakek itu,


50 meter dari kontrakan Udin. “Dua orang itu
berbadan tegap tinggi, dan memakai celana Jins”
Kata Sujarah kepada Tempo, akhir Agustus lalu.”
1. Kata janggal pada paragraf 1
2. Kata kekar pada paragraf 4
3. Kata bersirobok pada paragraf 8
4. Kata sekelebat pada paragraf 10
5. Kata keponakan pada paragraf 12
Leksikon 6. Kata angkat tangan pada paragraf 13
7. Kata ahad pada paragraf 14
8. Kata ngobrol pada paragraf 18
9. Kata gelagat pada paragraf 23
10. Kata tudingan pada paragraf 27
11. Kata Tudingan pada paragraf 17

B. Analisis Kognisi Sosial Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru


Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November
2014

Dimensi kedua dalam analisis wacana model Teun A. Van Dijk adalah kognisi

sosial. Dimensi ini biasa digunakan oleh peneliti untuk menganalisa bagaimana

dan sejauh mana pengetahuan wartawan dalam memahami fenomena yang akan

disebarluaskan kepada masyarakat. Van Dijk mengenalkan kognisi sosial sebagai


101

kesadaran mental wartawan dalam membentuk teks berita.

Menurut Van Dijk, analisis wacana tidak terbatas pada struktur teks, karena

struktur wacana memiliki sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Oleh karena itu,

untuk membongkar makna tersembunyi dari teks tersebut kita membutuhkan

suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Sebuah teks memiliki makna

terselubung karena diberikan oleh pemakai bahasa. Sehingga sebuah teks tidak

terbentuk dengan sendiri namun ada yang membuatnya.

Setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka,

atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa, maka disini wartawan tidak

dianggap sebagai individu yang netral, tetapi individu yang mempunyai bermacam

nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya.

Hal yang sama juga terlihat pada teks, karya jurnalistik Majalah Tempo,

laporan khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin “Bernas”. Laporan khusus tersebut

berisi tentang wacana kebebasan pers terkait penghilangan nyawa Udin karena

berita yang ia tulis. Dalam pembuatan setiap teks laporan khusus tersebut,

wartawan memiliki peran yang sangat penting dalam memberitakannya.

Peneliti ini lebih memfokuskan karya ilmiah ini pada bagaimana proses

penentuan isu dan pemilihan teks yang digunakan sebagai karya jurnalistik Majalah

Tempo. Peneliti melaksanakan wawancara dengan Jajang Jamaludin, Redaktur

Utama Majalah Tempo, beliau juga menulis pemberitaan pada rubrik laporan

khusus bukti baru pembunuhan Udin “Bernas”.

Selama 18 tahun Majalah Tempo konsisten mengawal kasus pembunuhan

Wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin. Jajang Jamaludin mengatakan

Majalah Tempo memiliki alasan dan latar belakang yang membuat mereka
102

mewartakan kasus tersebut. Menurut Jajang mendiamkan sebuah kejahatan adalah

kejahatan itu sendiri. Secara gamblang Redaktur Utama Majalah Tempo itu

mengatakan

“Bagi Majalah Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu


saja. kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa penyelesaian. Hal
itu yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya.
Khusus tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18
tahun. Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan
kadaluwarsa, merujuk pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP.
Meskipun demikian bagi kami kasus Udin tidak akan
kadaluwarsa. Kasus pembunuhan yang kadaluwarsa bila
tersangka sudah jelas ada namun karena sesuatu hal dia tidak
tersentuh hukum atau kabur maka setelah 18 tahun akan
kadaluwarsa. Aparat tidak dapat menemukan siapa pembunuh
Udin. Iwik sendiri pada akhirnya terbukti tidak bersalah. Maka
menurut kami kasus Udin tidak bisa kadaluwarsa. Kami
berdiskusi dengan Komnas Ham dan Dewan Pers terkait kasus
ini. Selanjutnya kami membuat kontra opini kepada masyarakat
bahwa kasus Udin tidak akan kadaluwarsa. Kemudian hal lain
yang membuat kami menulis kasus Udin adalah ketika dua
organisasi jurnalis dunia, International Federation of
Journalists dan Committe to Protect Journalist, menggelar
bulan kebebasan pers Internasional. Mereka memfokuskan pada
kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam kampanye mereka.
Kemudian Mereka juga menyoroti kasus kematian Udin agar
segera diselesaikan.80

Berdasarkan penjelasan Jajang tersebut, Majalah Tempo membuat

pemberitaan khusus kasus Udin karena terdapat kejanggalan yang mereka rasakan.

Selanjutnya mereka ingin menyampaikan kepada Pemerintah dan khalayak luas

bahwa kasus kematian Udin tidak akan kadaluwarsa meskipun KUHP Pasal 78,

ayat 1, angka 4 mengatur tentang jangka waktu sebuah kasus pembunuhan

kadaluwarsa. Pada kasus Udin, Jajang menyatakan bahwa sampai saat ini aparat

belum dapat menemukan pembunuh Udin. Oleh karena itu kasus pembunuhan

Udin tidak kadaluwarsa secara hukum yang berlaku di Indonesia.

80
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
103

Wartawan Majalah Tempo terlihat sangat menguasai duduk persoalan dan

kasus tersebut, merujuk pada hasil wawancara dengan Jajang Jamaludin. Pada

ranah analisis wacana, Van Dijk mengatakan sebuah peristiwa dipahami

berdasarkan sebuah skema. Ia juga menyebutkan skema itu sebagai sebuah model.

Menurut Van Dijk model menunjukan pengetahuan dan pandangan individunya

ketika melihat dan menilai sebuah persoalan. Model itu sendiri adalah sesuatu

yang unik dan bersifat subjektif. Model juga menampilkan pengetahuan serta

pendapat ketika wartawan memandang sebuah persoalan.81

Pemberitaan mengenai keganjilan kasus Udin tidak terlepas dari presdisposisi

terhadap suatu pihak, sehingga pada akhirnya muncul keberpihakan. Pada

pemberitaan kasus Udin Majala Tempo seolah-oleh ingin menyampaikan pesan,

pandangan, dan nilai-nilai kepada para pembacanya. Redaktur Utama Majalah

Tempo, Jajang Jamaludin, menyampaikan nilai-nilai yang ingin Majalah Tempo

sampaikan pada pemberitaan tersebut adalah:

“Nilai yang ingin kami sampaikan adalah bagaimana ikhtiar


kami melawan lupa terhadap kasus Udin. Jangan sampai kasus
yang terjadi pada tahun 1996 menguap begitu saja. Karena jika
didiamkan maka sampai kapan pun kebebasan pers di Indonesia
akan terus dibungkam. Selain itu Tempo tidak hanya sekadar
meliput tentang pembunuhan, melainkan bagaimana sosok
seorang Udin di mata kerabat, tetangga, dan istrinya. Hal
tersebut merupakan nilai yang bersifat abadi dan harus di
praktikan oleh wartawan sampai kapan pun. Jurnalis harus
mampu memertahankan nilai Independensinya apapun yang
terjadi. Udin pada situasi yang represif saja mau dan berani
apalagi kita yang hidup dalam era yang bebas. Hal itulah pesan
impisit yang ingin Majalah Tempo sampaikan. Selanjutanya
pesan kepada pihak yang tidak menginginkan kebebasan pers di
Indonesia, sampai kapan pun anda melakukan pembungkaman
terhadap wartawan yang independen dan profesional maka
akan mendapat perlawanan dari masyarakat bukan hanya dari
wartawan. Bentuk perlawanannya adalah dengan membawa

81
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h.261.
104

pada ranah hukum.”82

Melalui penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa seandainya kasus

Udin kadaluwarsa maka bahasa besar akan mengintai pers di Indonesia. Pasalnya

menurut Jajang jika kasus Udin menguap begitu saja, maka pembungkaman

terhadap kebebasan pers di Indonesia akan terus terjadi. Kemudian ia

menganalogikan independensi dan keberanian wartawan ketika masa orde baru

berkuasa dan masa demokrasi sekarang. Saat Orde baru berkuasa Udin teguh dan

bersikeras menjaga independensinya sebagai wartawan, meskipun pemerintah

bersikap represif. Sementara pada masa demokrasi seperti ini Ia berharap

independensi wartawan tetap terjaga sehingga pers dapat menjalankan fungsinya

dengan kebebasan pers yang menaunginya.

Majalah Tempo memiliki tujuan dalam rangka membuat pemberitaan laporan

khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin. Pada saat penulis melaksanakan

wawancara dengan Jajang Jamaludin, secara jelas Ia mengatakan:

“Tujuan kami memberitakan kasus Udin, untuk mengingatkan


Pemerintah dan Aparat bahwa mereka masih memiliki hutang
kepada Kerabat Udin bahkan masyarakat untuk menuntaskan
kasus tersebut. Wartawan Udin gugur ketika Orde Baru
berkuasa, masa dimana aktor-aktor demokrasi, media,
kebebasan berpendapat di bungkam oleh pemerintah. Sering
kali ketika mereka menjadi korban, tidak banyak yang berani
menyuarakan. Saat ini sudah lima kali ganti presiden namun
kasus ini belum terungkap. Kejadian ini pun masih menjadi
misteri karena belum ada pelaku maupun otak serangan
terhadap udin yang tertangkap dan bertanggung jawab atas
perilakunya.”83

Kasus pembunuhan wartawan Udin sarat hubungannya dengan beragam

berita yang Ia tulis. Ada indikasi Udin dibunuh karena ada pejabat yang marah

82
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
83
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
105

ihwal pemberitaan yang Ia tulis. Kini kasus pembunuhan wartawan Bernas

tersebut masih menjadi misteri yang terpendam rapat-rapat. Meskipun rezim Orde

baru sudah tidak berkuasa namun kasus ini masih gelap. Majalah Tempo menilai

pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki hutang kepada masyarakat untuk

menuntaskan kasus Udin.

Pemimpin negeri ini sudah mengalami pergantian selama lima kali,

seharusnya kasus ini menjadi prioritas utama. Karena menyangkut dengan rasa

keadilan bagi keluarga Udin dan terwujudnya independensi wartawan ketika

kebebasan pers sudah benar-benar bebas. Hal yang menjadi sorotan utama

Majalah Tempo mewartakan kasus ini karena timbulnya wacana

mengkadaluwarsakan kasus ini. Pelbagai pihak merujuk pada KUHP Pasal 78,

ayat 1, angka 4 untuk melupakan kasus pembunuhan keji tersebut.

Menurut Majalah Tempo Kasus Udin merupakan kejahatan kemanusiaan.

Hal tersebut berdasarkan pada kecurigaan pelbagai pihak yang menduga

pembunuhan Udin terstruktur dan rapih. Tujuan pembunuan itu untuk mengancam

kebebasan pers di Indonesia. Menurut mereka kasus Udin tidak akan kadaluwarsa.

Kasus kekerasan terhadap insan pers di Indonesia setelah orde reformasi

kerap teradi di pelbagai wilayah di Indonesia. Organisasi Aliansi Jurnalis

Indepenen (AJI) mencatat terjadinya 565 kasus kekerasan terhadap pekerja pers

yang terjadi selama 17 tahun Era Reformasi bergulir. Jumlah tersebut belum

termasuk tindak kekerasan yang tidak dilaporkan. Melihat data dan fakta tersebut,

Majalah Tempo menilai meskipun Pemerintah tidak bersikap represif terhadap pers

namun kekerasan kerap terjadi.

Dari maraknya kasus yang menimpa pekerja pers dan dikaitkan dengan rubrik
106

pemuatan berita kasus Udin dalam rubrik Laporan Khusus Majalah Tempo. Jajang

mengatakan Majalah Tempo tidak hanya terfokus pada pembunuan terhadap Udin.

Tempo juga mewartakan sejumlah kekerasan terhadap pekerja media. Jajang

menjelaskan:

“Tidak hanya Udin, ada beberapa kasus kekerasan terhadap


jurnalis kami tulis, salah satunya kasus yang menimpa reporter
Sun TV, Ridwan Salamun. Tempo juga menulis tentang
kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis di Indonesia.
Meskipun demikian, Udin sudah menjadi ikon dalam
memperjuangkan anti kekerasan terhadap jurnalis dan
perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia. Selain itu
Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga
melaksanakan Udin Award, penghargaan kepada individu
jurnalis/ kelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan
dalam menjalankan tugas jurnalistiknya secara profesional.
Selain itu, untuk menghormati jurnalis/kelompok jurnalis yang
menjadi korban kekerasan, Udin Award juga diselenggarakan
untuk mengingatkan masyarakat bahwa masih ada ancaman
bagi kebebasan pers.” 84

Peneliti menilai pemberitaan Majalah Tempo pada Rubrik Laporan Khusus

Udin Bernas terkesan lebih membela mendiang wartawan Udin. Saat peneliti

melakukan klarifikasi dengan Jajang terkait pembelaan tersebut. Ia tidak

menampik bahwa Majalah Tempo membela Udin. Jajang menuturkan ihwal

pembelaan Majalah Tempo kepada Udin.

“Udin layak untuk dibela, sebagai Jurnalis kami pun membela


sesuai dengan fakta bukan pembelaan yang semata-mata tanpa
alasan. Pada akhirnya kewajiban sebagai jurnalis untuk
menyuarakan yang tidak tersuarakan harus dijalankan oleh
jurnalis itu sendiri atau oleh media. Dalam konteks ini, suara
Udin, keluarga, dan kerabatnya tidak tersalurkan. Maka kami
menulis kasus Udin agar suara mereka tersampaikan. Oleh
karena itu Udin layak dan harus kita bela.”85

Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat memahami bahwa Pembelaan

84
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
85
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
107

Majalah Tempo terhadap Udin berdasarkan fakta yang mereka temukan dan

konstruksikan. Sebagai Jurnalis mereka perlu mewartakan suara yang tidak

tersalurkan, dalam hal ini keluarga Udin yang meminta kasus itu diselesaikan

demi keadilan. Bagi mereka membela Udin sebagai sebuah keharusan terlebih

kapasitas mereka sebagai jurnalis, bentuk pembelaan mereka dengan mereka

ulang setiap jengkal dan menit kejanggalan kasus Udin menjadi sebuah

pemberitaan.

Pada pemberitaan rubrik laporan khusus tersebut Majalah Tempo secara

terang-terangan membela wartawan Udin namun mereka tidak abai pada prinsip

dan etika jurnalistik, cover both side. Sebagai media yang sudah malang

melintang dalam dunia jurnalistik di Indonesia Majalah Tempo tetap seimbang

dalam setiap pemberitaan, termasuk pada kasus Udin.

“Awak Majalah Tempo senantiasa menggunakan disiplin


verifikasi dan menjunjung tinggi prinsip cover both side dalam
setiap pemberitaannya. Jadi kami selalu mencari sumber berita
dari pelbagai sumber, seperti pada pemberitaan Udin. Kami
mencari rumah Sri Roso dan menunggu kesempatan wawancara
dengan beliau hingga beberapa pekan. Kami mencari alamat
rumah beliau, ketika sudah dapat kami menunggu dan bertanya
kepada tetangga tentang Sri Roso. Setelah menunggu beberapa
waktu kami bertemu dengan sosok pria paruh baya yang sedang
menyirami bunga. Kami dapat memastikan bahwa pria tersebut
adalah Sri Roso Soedarmo, lalu kami meminta waktu untuk
melaksanakan wawancara. Awalnya beliau menolak namun
setelah awak Tempo menjelaskan pentingnya keberimbangan
berita akhirnya beliau memberikan kesempatan dan waktu untuk
wawancara. Sri Roso mengakhiri puasa berbicara kepada
media selama 18 tahun terkait pemberitaan tentang Udin.”86

Jajang Jamaludin mengisahkan bagaimana perjuangan Majalah Tempo untuk

melaksankan wawancara dengan Sri Roso Soedarmo, Bupati Bantul saat Udin

dibunuh. Mereka mencari alamat rumah Sri Roso dan menunggu hingga beberapa

86
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2
Juni 2016
108

pekan demi keseimbangan nilai berita. Hal itus sesuai dengan prinsip Majalah

Tempo dan independensi wartawannya, Mereka menjunjung tinggi prinsip cover

both side dalam setiap pemberitaan yang mereka buat. Media massa harus tetap

adil dan berimbang dalam mewartakan informasi kepada masyarakat, apapun isi

pemberitaannya.

Majalah Tempo juga selektif dalam memilih narasumber untuk setiap

pemberitaan mereka. Hal itu mereka lakukan demi menjaga independensi dan

kelayakan pemberitaan. Majalah Tempo membagi tiga lapis narasumber yang

akan mereka pilih sebagai sumber berita yang akan mereka verifikasi. Lebih jauh

Jajang menjelaskan kepada peneliti:

“Majalah Tempo sangat selektif dalam memilih narasumber,


kami menyebutnya dengan gradasi narasumber. Ketika
seseorang kita pilih menjadi seorang narasumber maka
otomatis narasumber tersebut adalah orang mengalami
langsung peristiwa yang akan diberitakan, bisa saja
narasumber tersebut adalah korban dan pelaku. Orang yang
mengalami peristiwa tersebut berada pada lapis pertama. Jika
reporter tidak mendapatkan narasumber yang sesuai pada lapis
pertama (karena sakit atau telah meninggal) maka akan
mencari narasumber lapis kedua. Pada level ini narasumber
adalah orang terdekat (suami, istri, anak, tetangga, kerabat
terdekat, saksi mata) yang mengalami peristiwa tersebut.
Selanjutnya pada lapis ketiga adalah aparat yang menangani
peristiwa tersebut, pemerintah yang menangani peristiwa
tersebut.

Penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa Majalah Tempo

mengerahkan daya dan upaya untuk membuat pemberitaan yang jujur,

berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Sebagai Majalah ternama di jagat industri

media massa di Indonesia, Majalah Tempo senantiasa bersikap netral terhadap

fenomena yang terjadi. Terlebih pada kasus Udin, meskipun mereka menyatakan

dukungan dan keberpihakan terhadap Udin mereka tetap menjaga kenetralan.


109

Bagi Majalah Tempo, hal tersebut mereka lakukan demi menjaga kebenaran dan

keadilan. Ikhitiar mereka untuk melawan lupa dan menjaga kebebasan pers

dengan membuat pemberitaan berdasarkan fakta dan realita di lapangan.

Menyuarakan suara yang tidak tersampaikan merupakan salah satu fungsi

media massa, hal itu yang kami lakukan di Tempo. Wartawan Majalah Tempo

senantiasa menggunakan disiplin verifikasi dan menjunjung tinggi prinsip cover

both side dalam setiap pemberitaannya, tutup Jajang Jamaludin, Redaktur Utama

Majalah Tempo. Hal tersebut Ia sampaikan saat peneliti melaksanakan wawancara

di kantor redaksi Tempo Inti Media (TIM) group, Jalan Palmerah Barat, No. 8,

Palmerah, Jakarta Barat, 2 Juni 2016.

C. Analisis Konteks Sosial Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru


Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November
2014

Dimensi ketiga dalam wacana model Van Dijk adalah analisis sosial. Selain

itu banyak pihak yang menyebutkan dimensi ini sebagai konteks sosial. Pada

dimensi ini Van Dijk mengatakan bahwa untuk menganalisa wacana yang

berkembang dalam masyarakat kita harus melakukan analisis intertekstual.

Bentuk analisis itu dengan meneliti bagaimana sebuah wacana diproduksi dan

dikonstruksi dalam kehidupan masyarakat. Van Dijk juga mengungkapkan bahwa

analisis sosial memerlukan pemahaman tentang praktik kekuasaan (power) dan

akses (acces).

Dalam pemberitaan kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin,

Majalah Tempo berusaha menguak misteri yang selama ini masih terpendam.

Dalang dan Aktor perbuatan keji 19 tahun silam hingga kini belum terungkap. Hal

itu membuat dukungan terhadap kebebasan pers di Indonesia semakin mengalir


110

dari dunia Internasional. Bahkan menurut anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi,

Kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin 19 tahun silam akan dibawa ke forum

internasional oleh dewan pers.87

Dukungan masyarakat terhadap penuntasan kasus Udin terus bergulir hingga

saat ini. Setiap tahunnya pelbagai organisasi pers di Indonesia turut menyuarakan

tuntutan mereka melalui aksi simpatik untuk mendukung pengungkapan kasus

Udin Bernas. Salah satunya adalah serangkaian kegiatan peringatan sembilan

belas tahun terbunuhnya Udin oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta,

Pers Mahasiswa (Persma) Se-Yogyakarta, komunitas Street Art Yogyakarta dan

Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU) pada Ahad, 16 Agustus 2015. 88

Bentuk dukungan lain terhadap pengungkapan kasus Udin juga datang dari

media massa. Seperti Majalah Tempo berbagai media massa cetak maupun

elektronik memberitakan kasus Udin. Tujuan mereka agar pemerintah terus

berupaya mengungkap kejahatan terhadap pekerja media dan menjaga stabilitas

kebebasan pers di Indonesia. Meskipun pemerintah hadir melalui lembaga dewan

pers namun upaya pengkerdilan kebebasan pers kerap terjadi.

Pemerintah melalui Pasal 15 UU No.40/1999 membentuk Dewan Pers yang

independen. Pembentukan lembaga pemerintah yang menaungi pers itu sebagai

upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers

nasional. Hal tersebut merupakan bentuk nyata bahwa pemerintah hadir dalam

kehidupan pers nasional.


87
Switzy Sabandar, “Pembunuhan Wartawan Udin Kasus Udin Dibawa Ke Forum
Internasional,” artikel ini diakses pada 21 April 2016 dari
http://www.harianjogja.com/baca/2015/08/22/pembunuhan-wartawan-udin-kasus-udin-dibawa-ke-
forum-internasional-635227
88
Sunudyantoro, “AJI Yogyakarta Desak Jokowi Dorong Penuntasan Kasus Udin ,” artikel
ini diakses pada 21 April 2016 dari
https://m.tempo.co/read/news/2015/08/16/078692437/aji-yogyakarta-desak-jokowi-dorong-penunt
asan-kasus-udin
111

Kekerasan terhadap wartawan kerap terjadi meskipun negara telah menjamin

kebebasan pers dalam pasal 4 UU No.40/1999, Kemerdekaan Pers dijamin seagai

hak asasi warga negara. Selanjutnya, pasal 8 UU No.40/1999, Dalam

melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Negara juga

menguatkan bentuk perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia melalui

pasal 18 UU No.40/1999 ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan

tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan

Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)

tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.

Berdasarkan uraian Undang-Undang No. 40 tahun 1999 itu, sudah jelas

bahwa upaya pengkerdilan kebebasan pers merupakan bentuk pelanggaran hukum

dan sudah ada sanksi tegas berupa hukuman kurungan badan serta denda. Terlebih

pada kasus Udin, pelaku pembunuhan Udin tidak saja melanggar UU No. 40

tahun 1999 melainkan pelanggaran KUHP tentang pembunuhan berencana dengan

sanksi terberat adalah hukuman mati.

Majalah Tempo secara konsisten mengawal kasus pembunuhan wartawan ini

sebagai sikap mereka untuk menentang segala bentuk pembelengguan terhadap

kebebasan pers. Sementara itu Aliansi Jurnalis Independen mencatat dalam satu

dekade ini, Januari 2005 hingga Desember 2015, telah terjadi 502 kasus kekerasan

terhadap insan pers nasional. Kerumunan massa merupakan pelaku terbanyak

yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.

Ketika pers mendapat tekanan sebenarnya bukan hanya pers secara lembaga

yang tertekan, namun kedaulatan rakyat juga ikut tertindas. Pada dasarnya
112

kebebasan pers merupakan unsur yang sangat penting dalam menciptakan

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam lingkup negara

demokratis. Dalam konteks ini ketika pers mendapatkan intimidasi maka dapat

dipastikan bahwa pers tidak bisa berjalan secara sehat.

Kebebasan pers memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengontrol dan

menyuarakan pendapatnya kepada Pemerintah. Selain itu roda pembangunan dan

pemerintahan akan berjalan secara transparan. Hal tersebut bisa memberikan

manfaat yang luas bagi masyarakat. Seperti yang tertuang dalam pasal 2 UU No.

40 Tahun 1999 tentang pers yang berbunyi “Kemerdekaan pers adalah salah satu

wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan

supremasi hukum”. Ketika pers sehat maka rakyat akan berdaulat.

D. Interpretasi Penelitian

Paska melaksanakan analisa terhadap Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru

Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November 2014,

peneliti menangkap sebuah kesan bahwa Majalah Tempo berusaha menjelaskan

adanya upaya intimidasi terhadap kebebasan pers dalam kaitannya dengan

tewasnya Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas. Selain itu,

peneliti menangkap pesan bahwa Majalah Tempo menghawatirkan wacana

penghentian kasus Udin oleh pelbagai pihak.

Kesan tersebut peneliti dapatkan setelah melaksanakan wawancara dengan

narasumber, Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo. Narasumber

merupakan inisiator dan wartawan yang terjun langsung di lapangan dalam

pembuatan rubrik Laporan Khusus Udin Bernas di Majalah Tempo.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, Majalah Tempo memiliki sejumlah


113

alasan dan landasan dalam mewartakan kasus Udin sebagai rubrik laporan khusus.

Jajang Jamaludin mengungkapkan, hal yang Majalah Tempo lakukan adalah

sebuah ikhtiar untuk melawan lupa terhadap pembunuhan keji tersebut. Meskipun

sudah berlangsung cukup lama kejadian itu tidak boleh didiamkan begitu saja.

Terlebih dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalist

dan Committee to Protect Journalist menuntut pengungkapan kasus pembunuhan

terhadap wartawan di seluruh dunia, termasuk kasus Udin.

“Bagi Majalah Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu


saja. kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa penyelesaian. Hal itu
yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya. Khusus
tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18 tahun.
Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan kadaluwarsa,
merujuk pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP. Meskipun
demikian bagi kami kasus Udin tidak akan kadaluwarsa”.89

Majalah Tempo secara konsisten memberitakan kasus penganiayaan berujung

maut Fuad Muhammad Syafruddin meskipun peristiwa itu sudah terjadi sembilan

belas tahun silam. Majalah Tempo menyusuri kembali pembunuhan dan

pengadilan kasus itu dalam menulis laporan khusus ini. Selain itu Majalah Tempo

juga mengejar sejumlah narasumber seperti Iwik, Marsiyem, jaksa pengusut kasus

Udin, hingga sejumlah pegiat “dunia hitam” Yogya yang selama ini memiliki

informasi tetang kasus itu. Sri Roso, sumber sangat penting, yang selama ini

diduga memiliki keterkaitan erat dengan pembunuhan Udin juga mereka

wawancarai.

Pada pemberitaan Rubrik Laporan khusus Udin Bernas, Majalah Tempo

menempatkan kejanggalan kasus pembunuhan tersebut sebagai sebuah objek

pembahasan. Melalui penelitian ini, Peneliti ingin melihat bagaimana Majalah

89
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta,
2 Juni 2016
114

Tempo membangun wacana kebebasan pers dalam pemberitaan Rubrik Laporan

khusus Udin Bernas Edisi 10-16 November 2014. Peneliti menyatukan teknik

pembelajaran teks (study text) dengan kajian fenomenologi dalam menyelesaikan

penelitian ini. Kajian fenomenologi merupakan sebuah metode analisis yang

mengamati gejala-gejala yang terjadi pada masyarakat ketika sebuah fenomena

dihadirkan dalam masyarakat itu.

Pada liputan yang bersifat reguler, Majalah Tempo memiliki rapat yang

dinamakan rapat perencanaan mingguan, setiap Jumat petang. Pada rapat tersebut

isu-isu yang beredar di masyarakat ditentukan, kemudian pada rapat tersebut

pemberitaan untuk pekan berikutnya ditentukan. Bahkan saat ini tempo

menargetkan dua pekan yang sudah direncanakan. Pada masa rapat itulah

penyeleksian tema ditentukan.

Sedangkan urutan proses produksi sebuah berita hingga naik cetak di Majalah

Tempo berawal dari rapat kompartemen pada masing-masing desk atau bidang,

setiap Jumat sekira 13.30 WIB. Pada tingkat ini rapat mencari usulan awak

Majalah Tempo atau peserta rapat. Setiap peserta boleh menyampaikan usulan

pada rapat tersebut. Meskipun demikian setiap usulan harus memiliki kelayakan

untuk diangkat menjadi berita, data awal yang kuat, data pendukung yang lengkap,

argumen yang kuat, dan cukup penting untuk diwartakan. Kemudian usulan

tersebut akan diuji pada rapat kompartemen.

Setelah lulus pada rapat kompartemen usulan tersebut diuji kembali pada rapat

pleno sekira 16.00 WIB. Rapat pleno dihadiri oleh seluruh redaksi Majalah Tempo,

Pemimpin Redaksi, Redaktur, Reporter, dan Fotografer. Jika ada seseorang yang

mengusulkan sebuah usulan namun tidak memiliki data awal yang kuat, argumen
115

yang jelas, maka isu tersebut akan gugur pada rapat pleno, siapapun yang

mengusulkan termasuk pimpinan redaksi.

Jika pada rapat pleno mendapat persetujuan dari seluruh peserta rapat maka

selanjutnya adalah pembagian tugas untuk menggarap usulan tersebut. Setelah

pembagian tugas maka setiap wartawan menjalankan perannya sesuai tugas yang

telah dibagikan. Reporter mencari sumber berita, menghubungi narasumber, dan

menulis artikel pemberitaan tersebut. Fotografer mencari gambar dan lainnya.

Ketika penugasan mengharuskan ke daerah atau keluar dari Jakarta, maka seluruh

perencanaan disusun secara matang. Sehingga menjadi sebuah pemberitaan yang

siap diwartakan.

Sebelum naik cetak, redaksi menggelar rapat pengecekan (checking) pada hari

Rabu. Pada rapat ini seluruh data dan bahan yang terkumpul diperiksa. Jika terdapat

bahan yang belum lengkap maka dalam waktu dua hari harus diselesaikan. Jika

dalam waktu dua hari tidak dapat terselesaikan maka usulan tersebut akan

dibatalkan atau disimpan untuk edisi selanjutnya.

Ketika dalam rapat checking bahan dan data sudah terkumpul maka redaktur

dan reporter akan memverivikasi ulang kepada sumber berita dan melihat kondisi

di lapangan. Jika sesuai maka usulan tersebut dapat naik cetak dan diproduksi. Jadi

seluruh pemberitaan yang ada di Majalah Tempo telah melewati tahap seleksi yang

ketat dari tingkat kompartemen, rapat pleno, hingga rapat checking.

Pada proses penentuan isu semua dapat terlibat mulai dari Reporter, Fotografer,

Redaktur, Hingga Pimpinan Redaksi. Siapa saja dapat menentukan arah dan

kebijakan Pemberitaan di Majalah Tempo, selama arah dan pemberitaannya

memiliki argumen yang kuat. Majalah Tempo mengedepankan proses demokrasi


116

termasuk dalam rapat redaksi sehingga siapa saja boleh mengusulkan pendapat dan

menentukan arah pemberitaan.

Sementara itu proses produksi rubrik laporan khusus pada dasarnya sama

namun yang berbeda adalah waktu rapat penyusuna rencana rubrik tersebut. Salah

satunya adalah Pemberitaan kasus Udin yang merupakan laporan khusus. Rapat

perencanaan untuk rubrik laporan khusus dilaksanakan pada akhir tahun, sekira

bulan Desember. Pada rapat itu redaksi Majalah Tempo merencanakan pembuatan

laporan khusus dalam satu tahun kedepan.

Termasuk kasus Udin karena timbulnya wacana dari pelbagai pihak untuk

membuat kasus Udin kadaluwarsa. Jika kasus Udin tidak ditulis (mengingatkan)

maka Majalah Tempo khawatir kasus ini akan benar-benar kadaluwarsa. Sehingga

mulai saat itu kasus Udin masuk dalam rubrik laporan khusus tahunan Majalah

Tempo pada tahun 2014.

Setiap redaksi Majalah Tempo mulai merencanakan apa saja yang akan

mereka investigasikan. Kemudian setiap awak Majalah Tempo diberikan

kesempatan untuk berbicara namun harus disertai argumen yang kuat. Sama

halnya pada pemberitaan kasus Udin, setelah mereka megumpulkan data awal,

melaksanakan rapat kompartemen, rapat pleno, dan rapat checking, laporan

khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin dapat naik cetak dan mereka

publikasikan kepada masyarakat.

Pada tahap kognisi sosial terkait pemberitaan rubrik laporan khusus, Bukti

Baru Pembunuhan Udin, Majalah Tempo mengatakan dengan lugas pembelaannya

kepada mendiang wartawan Udin. Pembelaan itu berdasarkan fakta yang mereka

temukan dan konstruksikan. Sebagai Jurnalis mereka perlu mewartakan suara


117

yang tidak tersalurkan, dalam hal ini keluarga Udin yang meminta kasus itu

diselesaikan demi keadilan.

Bagi mereka membela Udin adalah sebuah keharusan terlebih kapasitas

mereka sebagai jurnalis. Bentuk pembelaan mereka dengan mereka ulang setiap

jengkal dan menit kejanggalan kasus Udin menjadi sebuah pemberitaan.

Meskipun demikian Mereka tidak melupakan prinsip cover both side sebagai

syarat mutlak sebuah berita dan untuk memenuhi etika jurnalistik.

Memasuki fase Konteks Sosial, pemberitaan ini mendapatkan kecaman keras

dari insan pers, masyarakat, media massa, mahasiswa, Aliansi Jurnalis Independen

(AJI) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), bahkan dua organisasi wartawan

dunia, International Federation of Journalist dan Committee to Protect Journalist.

Kasus pembunuhan Udin dapat menimbulkan perspektif negatif dalam upaya

penegakan kebebasan pers di Indoensia. Bentuk penghancuran kebebasan pers di

Indonesia tetap terjadi meskipun sanksi tegas, pembayaran denda hingga

kurungan badan, telah diatur dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang pers.

Kebebasan pers bukan hanya milik media semata melainkan milik

masyarakat juga, ketika pers sehat maka rakyat berdaulat. Oleh karena itu,

tanggung jawab untuk menjaga kebebasan pers tidak hanya berlaku pada lembaga

media dan pemerintah saja, namun kewajiban masyarakat juga.

Ketika masyarakat bersatu dan menjaga kebebasan pers, maka kasus Udin

dapat tertungkap. Sehingga dalang dan aktor pembunuhan keji tersebut tertangkap.

Selain itu, ketika masyarakat menyadari pentingnya kebebasan pers bagi mereka,

maka aksi kekerasan terhadap pekerja media seharusnya tidak terjadi lagi.

Meskipun demikian, kebebasan pers bukan sesuatu yang tanpa batas.


118

Wartawan sebagai profesi yang berharap akan terwujudnya kebebasan pers di

Indonesia harus menjaga kepercayaan masyarakat. Pasalnya, saat ini tidak sedikit

oknum wartawan yang memergunakan kebebasan pers sebagai kedok bahkan alat

untuk memeras sejumlah instansi pemerintahan maupun swasta.

Kebebasan pers yang seharusnya digunakan oleh wartawan sebagai

perlindungan, nyatanya banyak yang menyalahgunakan. Hasilnya banyak

masyarakat yang menjadi skeptis bahkan menilai buruk profesi wartawan. Jika hal

itu terus terjadi maka aksi kekerasan terhadap pekerja media akan terus terjadi.

Kebebasan pers dapat terwujud jika semua elemen bersatu dan wartawan

dapat memanfaatkannya untuk menjalankan tugas jurnalistik. Bukan sebagai alat

untuk melakukan tindak pidana. Karena bisnis media merupakan bisnis

kepercayaan. Wartawan sebagai pekerja media wajib menjaga kepercayaan itu.

Sementara itu, melihat fenomena dunia jurnalisme di Indonesia dewasa ini,

Peneliti berdiskusi dengan sejumlah wartawan yang masih aktif bekerja di media

massa. Selain itu peneliti juga bertukar pikiran dengan sejumlah dosen Fakultas

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang memiliki latar belakang wartawan.

Peneliti berdiskusi dengan Iman D. Nugroho, video editor CNN Indonesia,

mengenai perkembangan dan kondisi jurnalisme di Indonesia saat ini. Iman

menjelaskan, dewasa ini perkembangan pers di Indonesia sangat signifikan.

Ketika orde baru tumbang, banyak media baru bermunculan. Kebebasan media

dalam bersuara lebih terasa dibandingkan saat orde baru berkuasa. Terlebih saat

Menteri Penerangan teakhir, Yunus Yosfiah, menandatangani Undang-undang No.

40 tahun 1999 tentang pers.

Meskipun demikian kebebasan pers memiliki persfektif tersendiri. Kebebasan


119

pers yang ada hanya bersifat partly free atau sebagian. Kebebasan pers tidak

hanya sebatas karya jurnalistik bisa terbit, namun bagaimana proses penerbitan,

bagaimana proses wartawan mencari informasi. Contohnya banyak wartawan

asing yang kesulitan melaksanakan liputan di Indonesia, salah satunya di Papua.

Banyak wartawan dari luar negeri yang harus menandatangani sejumlah dokumen

dan persyaratan dalam membuat karya jurnalistik.

Selain itu, masih ada media yang tidak boleh menerbitkan karya jurnalistik

dengan konten tertentu karena terafiliasi kelompok politik tertentu. Selain itu

terdapat juga media yang membatasi diri atau melakukan self censorhip pada

konten berita karena terafiliasi kelompok ekonomi tertentu. Bahkan media yang

menjadi corong politik, ada partai yang menggunakan televisi untuk sosialisasi

dengan memutarkan hymne partai meskipun belum memasuki masa kampanye.

Selain itu hal yang terpenting saat ini adalah saat terjadi kasus kekerasan yang

menimpa pekerja media, hanya sebagian kecil yang selesai.

Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini menjelaskan

pada hakikatnya kehidupan jurnalisme di Indonesia diatur pada dua hal, yakni

Undang-undang Pers No 40, tahun 1999 dan kode etik jurnalistik. Ketika jurnalis

tidak taat pada dua hal tersebut maka ia tidak paham dengan pekerjaanya. Bahkan

jurnalis yang cenderung melanggar kode etik jurnalistik seperti menerima amplop,

menjadikan narasumber sebagai majikan, tidak melakukan disiplin verifikasi

dalam melakukan liputan, memasukan opini pribadi, memihak, dan lainnya.

Iman menyoroti banyak pemilik modal yang terafiliasi dalam kelompok

politik. Hal itu berdampak pada keberpihakan media massa yang mereka pimpin.

Tidak sedikit para pemilik modal yang menggunakan media massa untuk
120

kepentingan politik mereka, hal itu sangat bertentangan dengan kaidah media

massa sebagai ruang publik.

Tahun 2014 Aji mengeluarkan pernyataan sikap dengan merilis musuh

bersama kebebasan pers. Dalam rilisnya AJI mengklasifikasikan musuh

kebebasan pers adalah pengelola, pemimpin editorial, bahkan pemimpin redaksi

yang menggunakan media sebagai partisan. Pada masa itu media massa sendiri

yang menjadi musuh kebebasan pers, karena melanggar Kode Etik Jurnalistik dan

UU Pers.

Dampak fenomena itu adalah tingkat kepercayaan masyarakat kepada media

massa. Banyak masyarakat yang berburuk sangka pada media massa karena

dianggap terlalu memihak. Kemudian ada segelintir kelompok yang sengaja

memprovokasi masyarakat sehingga membahayakan media itu sendiri. “Ketika

Pemilu Presiden, terjadi pengerusakan kantor TV ONE karena kelompok yang

tidak setuju dengan arah pemberitaan mereka”.90

Pemahaman dan penilain publik yang tidak merata terhadap konten

pemberitaan mengakibatkan publik mudah diprovokasi. Masyarakat digiring

untuk menyalahkan media massa. Hal itu menjadi pelanggaran serius karena

membahayakan wartawan di lapangan. Fenomena itu adalah akibat media yang

tertumpangi kepentingan politik tertentu. Pelanggaran berat lainnya adalah ketika

jurnalis menjadi juru kampanye, seharusnya mereka wajib berhenti dan tidak lagi

berativitas. Karena hal tersebut sangat bertentangan dengan kode etik jurnalistik

Iman menyetujui ungkapan jurnalis adalah pekerjaan yang suci. Alasannya

adalah karena wartawan wajib mewartakan dan memihak pada kebenaran yang

90
Wawancara langsung dengan Iman D. Nugroho, Video Editor CNN Indonesia, Jakarta, 25 April
2017
121

sesuai fakta. Jurnalis harus benar dan jujur dalam membuat karya jurnalisme.

Jurnalis tidak boleh kehilangan integritas dan idelisme mereka dalam menjalankan

fungsinya sebagai watch dog. Bagi Iman tingkah laku dan kehidupan pribadi

jurnalis tidak berpengaruh pada karya jurnalisme mereka. Karena jurnalistik

memiliki karateristik sendiri. Selama jurnalis berpegang teguh pada kode etik dan

UU Pers dia dikatakan baik secara jurnalisme. Jurnalis yang tidak memihak,

melakuakan disiplin verivikasi, tidak memasukan opini pribadi, merupakan

jurnalis yang baik dalam jurnalistik. Karena tingkah laku dan karya jurnalistik

berbeda dan memiliki ukuran tersendiri.

Terkait Udin, Iman mengatakan bahwa kasus Udin merupakan pekerjaan

rumah paling besar dari dunia pers di Indonesia. Penyebabnya adalah kasus yang

terjadi puluhan tahun lalu namun hingga saat ini belum tuntas. Seandainya Aparat

penegak hukum dan pemerintah mau menyelesaikan kasus ini, seharusnya sudah

tuntas. Pasalnya, sejumlah orang yang seharusnya bertanggung jawab dan terlibat

pada saat itu, masih ada hingga sekarang, termasuk Bupati Sri Roso Soedarmo.

Kasus Udin seperti dilupakan oleh waktu.

Kemudian Peneliti bertukar pikiran dengan Isfari Hikmat, Jurnalis yang

bekerja sebagai Redaktur di media Detik TV. Isfari menilai kehidupan jurnalisme

dewasa ini di Indonesia menunjukan kebebasan sebuah kemajuan. Saat ini media

lebih kritis dan lebih mendapat kebebasan dalam berekspresi.

Meskipun demikian, kebebasan yang didapat oleh pers dewasa kini bukanlah

kebebasan yang tanpa batas. Pers perlu bertanggung jawab atas pemberitaan yang

mereka hasilkan. Terlebih saat ini tidak sedikit media massa yang dimiliki oleh
122

aktor politik. Menurut mantan jurnalis Sindo ini, saat ini masyarakat semakin

cerdas dan ktitis terhadap pemberitaan media massa. Terlebih ketika media

pemberitaan massa bersinggungan dengan kegiatan politik praktis.

Media seharusnya menjaga integritas mereka dalam setiap pemberitaan

meskipun aktor politik memiliki saham terbesar mereka. Selain itu, hal lain yang

harus diperhatikan oleh media adalah jika jurnalis mereka menjadi tim sukses.

Jika itu terjadi maka akan sangat berbahaya karena jurnalis tersebut dapat

membentuk opini publik melalui pemberitaan mereka. Meskipun demikian, Isfari

menegaskan hingga saat ini tidak ada jurnalis yang masih aktif bekerja sekaligus

menjadi tim sukses.

Sepengetahuan saya tidak ada jurnalis yang masih aktif bekerja dan menjadi

tim sukses pasangan calon kepala daerah. Jika ada, mungkin ia sudah tidak aktif

menjadi jurnalis atau sudah pensiun. 91 Ia juga menambahkan jika peneliti

mengetahui atau menemukan jurnalis aktif yang menjadi juru kampanye atau tim

sukses, maka peneliti harap memberitahukan kepada isfari.

Isfari juga mengkritisi sejumlah pemilik media yang kerap mementingkan

profit dan syahwat politik semata. Mereka kerap mengorbankan idealisme dan

kredibilitas media demi kepentingan pribadi. Jika hal itu terus terjad maka jurnalis

di lapangan yang mendapat imbasnya. Banyak aksi kekerasan terhadap pekerja

media kerap terjadi akibat pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik.

Selain itu, resistensi dan kepercayaan publik yang menurun terhadap media massa

menjadi dampak yang nyata.

Isfari menganalogikan profesi jurnalis layaknya guru di sekolah dan

91
Wawancara langsung dengan Isfari Ikmat, Redaktur Detik TV, Jakarta, 28 Oktober 2016
123

masyarakat luas adalah muridnya. Seorang guru memiliki tanggung jawab untuk

mencerdaskan peserta didik mereka. Terkadang siswa di sekolah tidak mengetahui

problematika yang dihadapi oleh pengajar mereka. Guru harus memberi pelajaran

secara terbuka, jujur, dan apa adanya.

Hal yang sama dengan jurnalis, terdapat tanggung jawab moral dalam benak

jurnalis untuk mencerdaskan masyarakat melalui karya jurnalisme yang dihasilkan.

Jurnalis harus tetap memberikan berita yang jujur, faktual, dan memenuhi kaidah

jurnalistik, meskipun kehidupan mereka sebagai manusia tidak lepas dari

permasalahan. Masyarakat tidak memerdulikan hal tersebut, jurnalis harus tetap

mempulikasikan berita yang benar.

Kemudian peneliti berbincang dengan Bernard Wahyu Wiyanta, mantan

Jurnalis Tempo dan pendiri Majalah Flona. Menurut Bernard Kasus Udin

merupakan masalah kebijakan pemerintah saja. Ia menilai Pemerintah memiliki

keinginan untuk menyelesaikan atau tidak. Jika kebijakan pemerintah mau

menyelesaikan maka dengan kemampuan Kepolisian, kasus tersebut tidak akan

memakan waktu berbulan-bulan. Namun karena banyak “orang penting” yang

terlibat maka kasus tersebut berlarut hingga saat ini.

Kemudian menurut Bernard semasa orde baru, kebebasan pers di Indonesia

diatur dan digiring untuk mengikuti kebijakan dan arah pemerintah. Namun, ada

sisi positifnya, yaitu pers menjalankan kode etik pers dengan baik. Kala itu Pers

sangat berhati-hati dalam menurunkan berita dan foto. Filter diberlakukan, dan

selalu melaksankan cross check terhadap laporan jurnalistik yang akan

dipublikasikan.

Memasuki era reformasi kebebasan pers mulai terasa nyata bagi media di
124

Indonesia. Penggiringan opini pemerintah pada masa orde baru tidak terjadi lagi.

Meskipun demikian ia mengkritisi kehidupan pers masa kini yang ia nilai sudah

kebablasan. Celakanya, saat ini, setelah diberlakukan kebijakan kebebasan pers

yang kemudian didukung dengan perkembangan teknologi kebebasan pers

diterjemahkan dengan sangat salah.92

Ia menambahkan, semua orang dengan device di genggaman tangannya

sekarang bisa menjadi seorang jurnalis dan mengirimkan berita ke seluruh penjuru

dunia. Kemudian bisa dilihat oleh siapapun hanya dalam hitungan detik. Disini,

baik jurnalis resmi maupun citizen journalis akhirnya sama-sama sudah tidak

patuh dengan kode etik jurnalistik.

Hal yang sering terjadi adalah tidak adanya cross check terhadap berita baik

tulisan maupun foto yang akan diturunkan ke medianya. Saat ini, berita, kabar

burung, dan gosip susah dibedakan dan tidak jelas kebenarannya. Bahkan sekelas

jurnalis surat kabar nasional pun, baik cetak, elektronik maupun online bisa

menulis berita dengan sekejap berdasarkan gosip.

Pada akhirnya Kondisi jurnalisme di Indonesia saat ini sudah dinodai dengan

berita online yang yang mengaburkan jurnalisme sesungguhnya. Sekarang

masyarakat sulit membedakan antara berita, gosip, hoax. Semua bisa membuat

berita dan tidak ada tindakan nyata dari dewan pers dan pemerintah. Selain itu

Framing pemberitaan media terutama dunia politik saat ini sudah tidak sehat

dalam mendidik masyarkat. Banyak wartawan yang menulis berita berdasarkan

pesanan, terlebih pemilik media yang berafiliasi dengan partai politik.

Bernard juga menyoroti pemilik modal media massa yang berafiliasi dengan

92
Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
2016
125

dunia politik. Baginya hal semacam ini sudah lumrah karena sejak Indonesia

belum merdeka hal ini sudah ada. Penjajah Belanda dan Jepang, ketika itu

mempunyai surat kabar untuk propaganda masing-masing. Juga partai politik

yang baru tumbuh di Indonesia. Sebagai contoh, pada awal pergerakan, dulu

Syariat Islam mempunyai media sebagai corongnya yang ikut dibidani oleh Tirto

Adhi Soeryo.

Saat ini, dengan semakin mudah dan murahnya teknologi, maka semua orang

dan organisasi mempunyai medianya masing-masing. Bahkan beberapa media

besar, termasuk televisi pun banyak yang menjadi corong dari partai politik.

Media semacam ini tentu saja tidak akan berimbang dalam menurunkan berita.

Tapi, jika dana dari partai kemudian berkurang, maka media semacam ini akan

tumbang karena tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat. 93

Melihat fenomena tersebut ia mengatakan, Jurnalis seharusnya terikat dengan

kode etik jurnalistik. Menjadi juru kampanye jelas-jelas sudah melanggar kode

etik jurnalistik. Seorang jurnalis harus netral. Jika sudah tidak netral, atau menjadi

juru kampanye maka itu bisa disebut sebagai pelecehan terhadap profesi

jurnalistik, seharusnya dewan pers atau organisasi yang mewadahi jurnalis

tersebut memberi sanksi. Hal tersebut beralasan karena tingkah laku dan

kehidupan jurnlis tentu saja berpengaruh pada karya jurnalisme yang dihasilkan.

Hal itu berlaku sebaliknya, karya jurnalisme yang dihasilkan seorang jurnalis juga

bisa berpengaruh atau merubah tingkah laku dan kehidupan jurnalis.

Selanjutnya Bernard juga mengamini ungkapan pekerjaan jurnalis merupakan

pekerjaan yang suci. Bagi mantan Jurnalis Majalah Tempo ini, harusnya memang

93
Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
2016
126

seperti itu. Meskipun demikian kesucian jurnalis di abad sekarang sudah mulai

luntur. Dulu orang tua saya seorang jurnalis yang jujur dan tetap miskin.

Masyarkat menghormati, pejabat korup takut dan menjadi tidak korup, penjahat

minggir dan beritanya selalu membuat perubahan untuk masyarkat. Jurnalis jaman

dulu, miskin tetapi ditempatkan di strata atas di kalangan masyarkat. Jurnalis

sekarang, kesuciannya sudah luntur dengan tuntuan ekonomi. Bahkan sekelas

media besar yang tirasnya merajai Indonesia dengan group medianya yang

merajalela, sekelas pemimpin redaksinya pernah menerima suap untuk tidak

menaikkan headline tentang Lapindo misalnya. 94

Selanjutnya peneliti berdiskusi dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari

mengenai kasus yang melanda Udin Bernas. Bagi mantan Jurnalis Indonesia

Investor Daily ini, dalam kasus Udin, persoalannya tak cuma menyangkut

penguasa. Lebih dari itu, Udin adalah manusia. Dan menghilangkan nyawa

manusia, dari segi manapun, adalah kejahatan. Ia juga mengungkapkan Fuad

Muhammad Syafruddin meninggal akibat luka-luka aniaya, lembaga peradilan

Indonesia tak kunjung menjadikan kasus ini gamblang. Padahal, masa-masa Orde

Baru, era terjadinya kasus ini, telah lama lewat. Jika mengingat keterbukaan yang

dijanjikan pemerintah kini, kasus Udin sudah semestinya dituntaskan.

Ika juga membandingkan ketika masih akif bekerja sebagai jurnalis

pembungkaman terjadi dimana-mana, dan kebebasan yang dirasakan oleh pers

sangat terbatas. Berbeda dengan kebebasan pers dewasa ini, Ika merasa saat ini

pers lebih fleksibel dalam mengutarakan peristiwa dan dapat mengeklporasi

sebuah fenomena dari sudut pandang yang lebih luas.

94
Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
2016
127

Selanjutnya, Ika juga berpendapat saat maraknya media massa yang berafiliasi

dengan salah satu aktor politik. Baginya, Afiliasi tak bisa dihindari, bagaimanapun,

media massa tak bisa lepas dari kecenderungan-kecenderungan.95 Mungkin bukan

sehat atau tidak sehat, melainkan “seberapa objektif” media-media massa

sekarang. Untuk memahami seberapa objektif, mesti dikembalikan ke masyarakat

umum.

Kemudian Ika juga merisaukan framing pemberitaan di media massa yang

berafiliasi dengan aktor politik atau partai politik. Arah dan framing pemberitaan

media-media tersebut cenderung subjektif, tidak objektif. Hal itu bergantung

terhadap kecenderungan-kecenderugan memihak media yang bersangkutan. Pada

akhirnya kecenderungan itu akan membahayakan kinerja jurnalistk. Karena

konflik kepentingan dapat memengaruhi kerja jurnalistik.

Peneliti berbincang dengan Fauzan Lutsa, mantan Jurnalis Rajawali TV, RCTI,

Pos Metro, dan Global TV. Bagi Fauzan Perkembangan secara kualitas pers

dewasa ini sangat menggembirakan. Perumpamaan yang pas untuk kehidupan

pers dewasa ini adalah pers dari masa kegelapan menjadi masa yang terang

benderang seperti saat ini. Saat ini masyarakat bisa mendapatkan hak informasi

secara utuh. Masyarakat bisa memiliki pilihan-pilihan pemberitaan yang disajikan

oleh media. Kondisi saat ini memang menggembirakan namun pada sisi lainnya

kebebasan itu cenderung menakutkan. Kebebasan yang berlebihan menghasilan

penyalahgunaan jurnalistik seperti munculnya media yang kurang akurat

melakukan verifikasi berita.

Fauzan mendukung langkah Dewan Pers melaksankan uji kompetensi

95
Wawancara langsung dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari, Mantan Jurnalis Indonesia
Investor Daily, Tangerang, 13 November 2016
128

wartawan dan verifikasi media sebagai alat guna membendung munculnya

media-media yang tidak jelas. Selain itu langkah Dewan Pers merupakan cara

yang cukup ampuh untuk menjaga kebebasan pers di Indonesia. Pada akhirnya

hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang bermutu tetap terjaga.

Munculnya media-media yang terafiliasi dengan kelompok politik memang

Keith Rupert Murdoch tidak dapat terhindarkan. Pasalnya fenomena tersebut juga

terjadi di luar negeri, seperti Keith Rupert Murdoch yang memiliki banyak koran

melalui News Corporation. Meskipun demikian seharusnya media yang terafiliasi

kelompok politik hanya pada media cetak saja, bukan media elektronik seperti

radio dan televisi. Mereka tidak layak berafiliasi dengan kelompok politik karena

mendapatkan hak frekuensi publik secara gratis. Mereka memiliki tanggung jawab

moral memberitakan hal yang berimbang karena memanfaatkan fasilitas tersebut.

Dalam hal tertentu karya jurnalistik media yang terafiliasi dengan kelompok

politik menjadi tidak sehat. Contohnya media yang tergabung dalam MNC Group,

I News TV, Okezone pastinya tidak akan berbicara negatif tentang PERINDO.

Meskipun framing pemberitaan pada karya jurnalistik menjadi hak mutlak

sebuah media massa. Seharusnya mereka tidak membuat framing berita yang

mengamankan pemilik modal karena pada akhirnya masyarakat yang akan

dirugikan. Ketika hal ini terjadi seharusnya Komisi Penyiaran Indonesia

memainkan perannya secara tegas.

“Hal yang menjadi persoalan fundamental hingga saat ini adalah kesejahteraan

dan jurnalis yang meninggalkan mazhab tanda tanya”.96 Mazhab tanda tanya

adalah sebuah terminologi Fauzan mengenai fenomena jurnalis yang mengerjakan

96
Wawancara langsung dengan Fauzan Lutsa, mantan jurnalis RCTI, 25 April 2017.
129

sebuah isu pemberitaan tanpa menyeluruh, tanpa melihat latar belakang,

pembaruan selanjutnya mengenai pemberitaan tersebut tidak ada. Hasilnya banyak

masyarakat yang mendapatkan informasi kurang menyeluruh dan bermutu.

Fauzan menyetujui ungkapan jurnalis adalah pekerjaan yang suci. Baginya

Jurnalis merupakan sebuah jembatan penghubung antara sumber informasi dan

masyarakat. Ketika jurnalis melaksanakan tugasnya secara jujur dan mematuhi

kode etik jurnalisme maka kualitas jembatan itu akan meningkatkan.

Saat masih bekerja di RCTI, Fauzan melihat bagaimana dahsyatnya pola pikir

seorang produser dalam membingkai sebuah pemberitaan. Pengetahuan dan

keyakinan mereka akan tercermin dari berita yang mereka hasilan. Sehingga

baginya tingkah laku dan pola pikir berpengaruh pada produk jurnalistik.

Jurnalis yang menjadi juru kampanye masih menjadi perdebatan yang sangat

sengit bagi para praktisi media. Pada fenomena itu terdapat hal yang multi

dimensi seperti kesejahteraan, idealisme, dan lainnya. Seharusnya jurnalis yang

menjadi juru kampanye mengambil cuti dan terbebas dari aktivitas jurnalistik

karena produk yang mereka hasilkan akan bias. Pemberitaan yang bias akan

membuat masyarakat menjadi korban.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers melalui karya jurnalisme

mereka, rubrik laporan khusus bukti baru pembunuhan Udin “Bernas”,

berdasarkan rapat redaksi (rapat kompartemen, rapat pleno, dan rapat checking)

majalah mingguan tersebut. Pada rapat itu seluruh penerbitan isu, usulan, rencana

pemberitaan diuji dan disusun oleh seluruh wartawan Majalah Tempo. Selain itu,

mereka juga memetakan perkembangan isu di masyarakat dan menilai kondisi di

lapangan.

Kemudian mereka juga menampilkan isi pemberitaan di Koran Tempo dan

media daring, Tempo.co untuk memberitakan pembunuhan Udin. Meskipun

demikian terdapat perbedaan porsi pemberitaan yang diwartakan. Pemberitaan

pada koran dan media daring hanya berupa peristiwa terbaru mengenai kasus

Udin seperti aksi tabur bunga rekan-rekan jurnalis di Yogya, napak tilas

pembunuhan kasus Udin dan kegiatan lainnya. Sedangkan Pemberitaan yang lebih

rinci dan mendalam mereka wartakan melalui Majalah Tempo.

Hal tersebut mereka lakukan agar masyarakat luas lebih memahami

kejanggalan pembunuhan Udin dan mendukung upaya penuntasan kasus tersebut.

Bagi mereka rubrik laporan khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin adalah

karya jurnaslime yang mereka gunakan untuk melawan lupa.

Majalah Tempo mengangkat kasus pembunuhan Udin pada November 2014,

setelah dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalist dan

Commite to Protect Journalists mencanangkan bulan itu sebagai bulan kampanye

130
131

menuntut pengungkapan pembunuhan wartawan di seluruh dunia, termasuk

kasus Udin. Terlebih kasus pembunuhan tersebut telah memasuki masa 18 tahun,

sehingga jika kasus ini tidak terungkap maka akan kadaluwarsa.

Mereka menganggap pembunuhan keji tersebut tidak bisa didiamkan begitu

saja. Bagi mereka melupakan kejahatan merupakan kejahatan itu sendiri. Terlebih

banyak yang menduga kasus pembunuhan Udin memiliki benang merah terhadap

karya jurnalistik yang ia hasilkan. Tindakan itu secara nyata mengancam

kebebasan pers di Indonesia.

Wartawan Majalah Tempo mengurai kembali pembunuhan dan peradilan

kasus Udin. Usaha melawan lupa yang mereka lakukan berbuah manis ketika

bekas Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, berhasil mereka wawancarai. Sri Roso

menjadi sumber penting dalam pemberitaan ini. Selama 18 tahun Ia memilih

bungkam seribu bahasa terhadap media, setelah kasus pembunuhan wartawan

Bernas itu menjadi sorotan publik Majalah Tempo tetap menjaga keseimbangan

berita dengan melakukan wawancara dengan Sri Roso Soedarmo. Selain itu

mereka juga mendatangi sejumlah narasumber yang terkait dengan kekerasan

terhadap Udin.

Dalam penulisan artikel tersebut kognisi sosial wartawan Majalah Tempo

memiliki pengaruh yang besar. Mereka memberikan data dan fakta melalui karya

jurnalistik yang mereka hasilkan dalam rubrik Laporan Khusus Bukti Baru

Pembunuhan Udin Bernas. Seluruh personil Majalah Tempo dengan tegas

menolak segala bentuk dan upaya kekerasan terhadap wartawan, terlebih pada

pembunuhan Udin. Mereka juga secara terang-terangan menyatakan pembelannya

kepada Udin. Hal tersebut menyebabkan pengaruh yang besar pada bentuk dan isi
132

artikel rubrik Laporan Khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin Bernas.

Pemberitaan pada rubrik tersebut digunakan oleh wartawan Majalah Tempo

untuk memberitahu masyarakat tentang kejanggalan pada kematian wartawan

Udin. Mereka menilai kematian Udin memiliki benang merah dengan karya

jurnalistik sebelum ia gugur. Alasan tersebut membuat Majalah Tempo

mengkonstruksi teks berita yang menggambarkan kejanggalan bahkan setelah

Udin meninggal. Mereka membuka tabir yang selama ini tersimpan rapat kepada

publik melalui pemberitaan tersebut.

Pada tahap konteks sosial secara tersirat apa yang dilakukan oleh Majalah

Tempo merupakan wujud aspirasi suara wartawan dan masyarakat umum yang

menolak segala bentuk kekerasan di Indonesia. Hal itu tercermin dari isi berita

yang mengangkat beberapa pendapat kerabat Udin, akademisi, wartawan,

Pemerintah Kabupaten Bantul, dan Mantan Bupati Bantul, Sri Roso Soedarmo.

Intinya, mereka meminta kasus pembunuhan wartwaan Udin dapat terungkap.

Ketika kasus pembunuhan Udin tidak terungkap maka akan muncul persepsi

buruk masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia. Selain itu jika kasus itu

tidak terungkap maka akan timbul kekhawatiran terhadap aksi serupa terhadap

wartawan, pada akhirnya kebebasan pers di Indonesia terbelenggu. Mereka juga

khawatir pada wacana untuk melupakan kasus Udin oleh beberapa pihak yang

tidak menghendaki adanya kebebasan pers.

Menurut Majalah Tempo Kasus Udin merupakan kejahatan kemanusiaan.

Hal tersebut berdasarkan pada kecurigaan pelbagai pihak yang menduga

pembunuhan Udin terstruktur dan rapih. Tujuan pembunuan itu untuk mengancam

kebebasan pers di Indonesia.


133

B. Saran

1. Saran Akademis:

a. Adanya peneletian sejenis yang lebih rinci dan mendalam terhadap

kasus kekerasan terhadap Jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia.

b. Pembuatan Jurnal mengenai kekerasan terhadap jurnalis dan

kebebasan pers oleh para akademisi dan praktisi.

c. Adanya seminar, loka karya, maupun pemuatan di media massa

mengenai aksi kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan pers di

sejumlah universitas, sekolah maupun lembaga pers

2. Saran Praktis:

a. Majalah Tempo tetaplah menulis karya Jurnalistik dengan lugas dan

tegas

b. Kasus Udin harus tetap dikawal sampai ada pengungkapan kasus

tersebut.

c. Para pemerhati pers di Indonesia lebih menyuarakan kebebasan pers

di Indonesia.

d. Ikhtiar melawan lupa yang digagas oleh Majalah Tempo hendaknya

terus dilakukan oleh masyarakat terlebih para jurnalis.

e. Jurnalis dapat berperan seperti Udin yang mampu menyuaraan hal

yang tidak tersuarakan

f. Sudah selayaknya jurnalis masa kini yang hidup pada era yang lebih

bebas dapat menjaga independensinya. Berpikir skepstis karena

itulah jiwa seorang jurnalis.

g. Berkurangnya kasus Kekerasan terhadap jurnalis


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Ardianto, Elvinaro. Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan

kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta, 2002.

Barus, Sedia Wiling, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita. Jakarta: Erlangga,

2010

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004.

Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media

Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap

Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Jakarta: Kencana, 2008.

Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:

LKIS, 2008.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS,

2009.

Hamad, Ibnu. Konstruksi realitas politik dalam media massa:sebuah studi critical

discourse analysis terhadap berita-berita politik. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2004.

Hanif Suranto, Pers Indonesia Pasca Suharto, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan

Pembangunan, Aliansi Jurnalis Indonesia. Jakarta, 1999

Harahap, Naungan. Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum

Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Panitia Hari

Pers Nasional 2014 dan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, 2014

134
Kasman, Suf. Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia; Analisis Isi

Pemberitaan Harian Kompas dan republika. Jakarta: Balai Litbang dan

Diklat Kementrian Agama RI, 2010

Kusumaningrat, Hikmat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan

Praktik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005

Massardi, Noorca M. dkk. Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian.

Bandung: Penerbit Mizan, 1997.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2010.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2001.

Nurudin, Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers, 2009

Oetama, Jakob. Pers Indonesia: berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD), Beberapa Segi

Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Samantho, Ahmad Y. Jurnalistik Islami; Panduan Praktis bagi Para Aktivis

Muslim, Bandung: Mizan, 2002.

Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks, 2012.

Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan

Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Sibiosa Rekatama Media, 2005.

135
Sobur, Alex. Analisis Teks Media (Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing). Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2006.

Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005

Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks,

2008.

Sumber Internet

Aliansi Jurnalis Independen, “Data Kekerasan”,

http://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1/10.html. 26 Agustus 2015

Daniel, “Hari Bersejarah yang Menentukan "Kompas" Bisa Eksis Sampai

Sekarang”,

http://www.kompasiana.com/danielht/hari-bersejarah-yang-menentukan-k

ompas-bisa-eksis-sampai-sekarang5590aec87a937325048b4567. 25

Agustus 2015

Iman D. Nugroho, “Jurnalis Diintai Maut”

http://aji.or.id/read/berita/271/Hari-Kebebasan-Pers-Internasional-3-Mei-2

014.html. 26 Agustus 2015

https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah. 27 Juli 2015

Rine Araro, “Kebebasan Pers Perspektif Hukum

http://manado.tribunnews.com/2013/04/28/kebebasan-pers-perspektif-huk

um?page=2/. 17 Agustus 2015

Sunudyantoro, “AJI Yogyakarta Desak Jokowi Dorong Penuntasan Kasus Udin,”

https://m.tempo.co/read/news/2015/08/16/078692437/aji-yogyakarta-desak

-jokowi-dorong-penuntasan-kasus-udin. 21 April 2016

136
Switzy Sabandar, “Pembunuhan Wartawan Udin Kasus Udin Dibawa Ke Forum

Internasional,”http://www.harianjogja.com/baca/2015/08/22/pembunuhan-

wartawan-udin-kasus-udin-dibawa-ke-forum-internasional-635227. 21

April 2016

Tim Tempo, “Usai Malari, Banyak Media Dibredel

http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/078544903/usai-malari-ba

nyak-media-dibredel/. 27 Juli 2015

Yearry, “Komunikasi dan Konstruksi Sosial Atas Realitas,”

https://yearrypanji.wordpress.com/2008/06/04/komunikasi-dan-konstruksi-

sosial-atas-realitas/. 14 Mei 2015

Skripsi

Ana Aryati “Wacana Kekerasan Oknum Aparat Terhadap Wartawan Pada Harian

Republika Edisi 17 Oktober 2012” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan

Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2013.

Rahmaidah “Wacana Keterlibatan Anak-anak Dalam Kampanye Partai Keadilan

Sejahtera Jelang Pemilu 2014 di Merdeka.com”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta 2014.

Wawancara

Wawancara langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama, MajalahTempo,

Jakarta, 2 Juni 2016

137
Lampiran Hasil Wawancara
Narasumber : Jajang Jamaludin

Jabatan : Redaktur Utama Majalah Tempo

Hari / Tanggal : Kamis / 2 Juni 2016

Waktu : 20.00 - 21.30 WIB

Tempat : Kantor Redaksi Majalah Tempo, Palmerah, Jakarta Barat

1. Apa yang melatarbelakangi Majalah Tempo tertarik mengangkat isu

Pembunuhan Udin pada tahun 1996?

Jawab: Ikhtiar awak Majalah Tempo untuk melawan lupa, bagi Majalah

Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu saja. Selain itu bukan hanya

karena Sebagai sesama jurnalis namun rekan-rekan pegiat hak asasi juga

memiliki pendapat yang sama, kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa

penyelesaian. Hal itu yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya.

Khusus tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18 tahun.

Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan kedaluwarsa, merujuk

pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP. Meskipun demikian bagi kami kasus

Udin tidak akan kedaluwarsa. Kasus pembunuhan yang kedaluarsa bila

tersangka sudah jelas ada namun karena sesuatu hal dia tidak tersentuh hukum

atau kabur maka setelah 18 tahun akan kedaluarsa.

Aparat tidak dapat menemukan siapa pembunuh Udin. Iwik sendiri pada

akhirnya terbukti tidak bersalah. Maka menurut kami kasus Udin tidak bisa

kedaluwarsa. Maka dari itu kami berdiskusi dengan Komnas Ham dan Dewan

138
Pers terkait kasus ini. Selanjutnya kontra opini bahwa kasus Udin tidak

akan kedaluwarsa

Kemudian ada dua organisasi jurnalis dunia, International Federation of

Journalists dan Committe to Protect Journalist, menggelar bulan kebebasan

pers Internasional. Mereka memfokuskan pada kasus kekerasan terhadap

jurnalis dalam kampanye mereka. Kemudian Mereka juga menyoroti kasus

kematian Udin agar segera diselesaikan.

2. Dari sekian banyak Kasus kekerasan terhadap pers di Indonesia. Apakah

pemberitaan Majalah Tempo hanya memfokuskan pada Udin saja?

Jawab: Tidak hanya Udin, ada beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis kami

tulis, salah satunya kasus yang menimpa reporter Sun TV, Ridwan Salamun. Majalah

Tempo juga menulis tentang kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis di

Indonesia. Meskipun demikian, Udin sudah menjadi ikon dalam memperjuangkan anti

kekerasan terhadap jurnalis dan perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia.

Selain itu Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga

melaksanakan Udin Award, penghargaan kepada individu jurnalis/ kelompok jurnalis

yang menjadi korban kekerasan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya secara

profesional. Selain itu, untuk menghormati jurnalis/kelompok jurnalis yang menjadi

korban kekerasan, Udin Award juga diselenggarakan untuk mengingatkan masyarakat

bahwa masih ada ancaman bagi kebebasan pers.

3. Apa pertimbangannya sehingga kasus Udin mendapat tempat lebih di

Majalah Tempo?

Jawab: Pada masanya Kasus Udin mendapat perhatian yang luas dari

masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena terbunuhnya Udin merupakan kasus

yang besar. Selain itu hingga saat ini banyak organisasi dari berbagai pihak

139
meminta aparat dan pemerintah untuk membuka serta menuntaskan kasus

Udin.

4. Apa tujuan Majalah Tempo memberitaan kasus Udin?

Jawab: Untuk mengingatkan Pemerintah dan Aparat bahwa mereka masih

memiliki hutang kepada Kerabat Udin bahkan masyarakat untuk menuntaskan

kembali kasus Udin. Wartawan Udin gugur ketika Orde Baru berkuasa, masa

dimana aktor-aktor demokrasi, media, kebebasan berpendapat di bungkam

oleh pemerintah. Sering kali ketika mereka menjadi korban, tidak banyak yang

berani menyuarakan.

Saat ini sudah lima kali ganti presiden namun kasus ini belum terungkap.

Kejadian ini pun masih menjadi misteri karena belum ada pelaku maupun otak

serangan terhadap udin yang tertangkap dan bertanggung jawab atas

perilakunya.

5. Bagaimana proses penentuan atau penyeleksian suatu tema di Majalah

Tempo sehingga dapat diangkat menjadi pemberitaan?

Jawab: Liputan yang bersifat reguler, Majalah Tempo memiliki rapat yang

dinamakan rapat perencanaan mingguan, setiap Jumat petang. Pada rapat

tersebut isu-isu yang beredar di masyarakat di tentukan, kemudian pada rapat

tersebut pemberitaan untuk pekan berikutnya ditentukan. Bahkan saat ini

tempo menargetkan 2 pekan yang sudah direncanakan. Pada masa rapat itulah

penyeleksian tema ditentukan.

6. Siapa sajakah yang terlibat dalam rapat redaksi, dan siapa yang dapat

menentukan arah serta kebijakan dalam pemberitaan?

140
Jawab: Semua dapat terlibat mulai dari Reporter, Fotografer, Redaktur,

Hingga Pimpinan Redaksi. Siapa saja dapat menentukan arah dan kebijakan

Pemberitaan di Majalah Tempo, selama arah dan pemberitaannya memiliki

argumen yang kuat. Awalnya orang yang mengajukan ide menyuarakan

pendapatnya pada rapat tingkat kompartemen (bagian atau job desk). Pada

tingkat itu rapat untuk mencari usulan dari awak Majalah Tempo. Isu yang

sudah di data dan di kumpulkan pada tingkat kompartemen diujikan kembali

pada rapat pleno. Rapat tersebut dihadiri seluruh awak redaksi Majalah Tempo

(Reporter, Fotografer, Redaktur, dan Pimpinan Redaksi).

Tempo mengedepankan proses demokrasi termasuk dalam rapat redaksi

sehingga siapa saja boleh mengusulkan pendapat dan menentukan arah

pemberitaan.

7. Apakah terdapat kriteria-kriteria narasumber ketika akan

diwawancarai?

Jawab: Majalah Tempo sangat selektif dalam memilih narasumber, kami

menyebutnya dengan gradasi narasumber. Ketika seseorang kita pilih menjadi

seorang narasumber maka otomatis narasumber tersebut adalah orang

mengalami langsung peristiwa yang akan diberitakan, bisa saja narasumber

tersebut adalah korban dan pelaku. Orang yang mengalami peristiwa tersebut

berada pada lapis pertama.

Jika reporter tidak mendapatkan narasumber yang sesuai pada lapis

pertama (karena sakit atau telah meninggal) maka akan mencari narasumber

lapis kedua. Pada level ini narasumber adalah orang terdekat (suami, istri,

anak, tetangga, kerabat terdekat, saksi mata) yang mengalami peristiwa

141
tersebut. Selanjutnya pada lapis ketiga adalah aparat yang menangani peristiwa

tersebut, pemerintah yang menangani peristiwa tersebut.

8. Nilai- nilai apa yang Majalah Tempo ingin disampaikan kepada pembaca

melalui Laporan Khusus Udin “Bernas”?

Jawab: Nilai yang ingin kami sampaikan adalah bagaimana ikhtiar kami

melawan lupa terhadap kasus Udin. Jangan sampai kasus yang terjadi pada

tahun 1996 menguap begitu saja. Karena jika didiamkan maka sampai kapan

pun kebebasan pers di Indonesia akan terus dibungkam.

9. Isu apakah yang ingin difokuskan oleh Majalah Tempo terkait Laporan

Khusus Udin “Bernas”?

Jawab: Isu yang ingin Majalah Tempo sampaikan melalui laporan khusus

tersebut adalah kebebasan pers. Selain itu, secara jelas pesan implisit yang

ingin kami sampaikan adalah bekerja sebagai jurnalis tidak bebas resiko.

Kemudian Udin adalah contoh bagi kita, dia adalah wartawan dari daerah yang

hanya lulus SMA namun mampu bekerja sebagai jurnalis.

Awalnya beliau belajar dan mencoba-coba menjadi fotografer hingga

membuka studio foto di rumahnya, kemudian menjadi wartawan. Dengan

keterbatasan yang ia miliki namun ia mampu menjadi penyambung lidah

rakyat. Karya jurnalisme Udin lebih menyuarakan suara hati masyarakat

bawah seperti isu IDT, penyimpangan dana bantuan, dan lainnya.

Meskipun ia hanya wartawan lokal yang kurang dikenal namun ia berani

dan tidak gentar terhadap ancaman terhadapnya. Ia hidup di zaman Orde Baru

dimana kekuasaan sangat mutlak pada saat itu. Keberanian Udin dalam

142
mengungkapkan penyimpangan yang harus di contoh oleh jurnalis sampai

kapan pun.Ketegasan beliau dapat kita jadikan sebagai suri tauladan.

Tempo tidak hanya sekadar meliput tentang pembunuhan, melainkan

bagaimana sosok seorang Udin di mata kerabat, tetangga, dan istrinya. Hal

tersebut merupakan nilai yang bersifat abadi dan harus di praktikan oleh

wartawan sampai kapan pun.

Jurnalis harus mampu memertahankan nilai Independensinya apapun

yang terjadi. Udin pada situasi yang represif saja mau dan berani apalagi kita

yang hidup dalam era yang bebas. Hal itulah pesan impisit yang ingin Majalah

Tempo sampaikan.

Selanjutanya pesan kepada pihak yang tidak menginginkan kebebasan

pers di Indonesia, sampai kapan pun anda melakukan pembungkaman terhadap

wartawan yang independen dan profesional maka akan mendapat perlawanan

dari masyarakat bukan hanya dari wartawan. Bentuk perlawanannya adalah

dengan membawa pada ranah hukum.

10. Bagaimana cara Majalah Tempo agar tetap seimbang terhadap pelbagai

pemberitaan yang akan disampaikan kepada pembaca?

Jawab: Awak Majalah Tempo senantiasa menggunakan disiplin verifikasi

dan menjunjung tinggi prinsip cover both side dalam setiap pemberitaannya.

Jadi kami selalu mencari sumber berita dari pelbagai sumber, seperti pada

pemberitaan Udin. Kami mencari rumah Sri Roso dan menunggu kesempatan

wawancara dengan beliau hingga beberapa pekan.

Kami mencari alamat rumah beliau, ketika sudah dapat kami menunggu

dan bertanya kepada tetangga tentang Sri Roso. Setelah menunggu beberapa

143
waktu kami bertemu dengan sosok pria paruh baya yang sedang menyirami

bunga. Kami dapat memastikan bahwa pria tersebut adalah Sri Roso

Soedarmo, lalu kami meminta waktu untuk melaksanakan wawancara.

Awalnya beliau menolak namun setelah awak Tempo menjelaskan

pentingnya keberimbangan berita akhirnya beliau memberikan kesempatan

dan waktu untuk wawancara. Sri Roso mengakhiri puasa berbicara kepada

media selama 18 tahun terkait pemberitaan tentang Udin.

11. Bagaimana proses produksi sebuah berita sehingga bisa naik cetak di

Majalah Tempo?

Jawab: Usulan yang cukup penting memiliki kelayakan untuk diangkat

menjadi berita, data awal, dan data pendukung yang dimiliki, seluruhnya akan

di uji pada rapat kompartenen. Setelah lulus pada rapat kompartemen usulan

tersebut di uji pada rapat pleno. Jika ada seseorang yang mengusulkan sebuah

isu namun tidak memiliki data awal yang kuat, argumen yang jelas, maka isu

tersebut akan gugur pada rapat pleno tersebut, siapapun yang mengusulkan,

termasuk pimpinan redaksi.

Jika pada rapat pleno mendapat persetujuan maka selanjutnya pembagian

tugas untuk menggarap usulan tersebut. Setelah pembagian tugas maka setiap

awak menjalankan perannya sesuai tugas yang telah dibagikan. Reporter

mencari sumber berita dan narasumber. Terlebih jika penugasan yang

mengahruskan ke daerah, maka seluruh perencanaan disusun secara matang.

Sehingga menjadi sebuah pemberitaan yang siap diwartakan.

Kemudian sebelum naik cetak, redaksi menggelar rapat pengecekan

(checking) pada hari Rabu. Pada rapat ini seluruh data dan bahan yang

144
terkumpul di periksa. Jika terdapat bahan yang belum lengkap maka dalam

waktu dua hari harus diselesaikan. Jika dalam waktu dua hari tidak dapat

terselesaikan maka usulan tersebut akan dibatalkan atau disimpan untuk edisi

selanjutnya.

Jika dalam rapat checking bahan dan data sudah terkumpul maka redaktur

dan reporter akan memverivikasi ulang kepada sumber berita dan melihat

kondisi di lapangan jika sesuai maka usulan tersebut dapat naik cetak dan di

produksi. Jadi seluruh pemberitaan yang ada di Majalah Tempo telah melewati

tahap seleksi dari tingkat kompartemen, rapat pleno, hingga rapat checking.

12. Apakah ada kaitan berita Laporan Khusus Udin Bernas antara Majalah

Tempo, Tempo.co dan Koran Tempo?

Jawab: Ada keterkaitan, namun jika pemberitaan pada koran dan media

daring hanya berupa peristiwa terbaru mengenai kasus Udin seperti aksi tabur

bunga rekan-rekan jurnalis di Yogya, napak tilas pembunuhan kasus Udin dan

kegiatan lainnya. Jika pemberitaan lebih mendalam dan rinci akan diwartakan

melalui Majalah Tempo.

13. Kenapa Majalah Tempo terkesan lebih membela mendiang Udin?

Jawab: Karena Udin layak untuk di bela, sebagai Jurnalis kami pun

membela sesuai dengan fakta bukan pembelaan yang semata-mata tanpa

alasan. Pada akhirnya kewajiban sebagai jurnalis untuk menyuarakan yang

tidak tersuarakan harus dijalankan oleh jurnalis itu sendiri atau oleh media.

Dalam konteks ini, suara Udin, keluarga, dan kerabatnya tidak tersalurkan.

Oleh karena itu Udin layak dan harus kita bela.

145
14. Apa peran redaksi dalam Laporan Khusus Udin Bernas?

Jawab: Pemberitaan kasus Udin merupakan laporan khusus, rapat

perencanaan untuk rubrik laporan khusus dilaksanakan pada akhir tahun, sekira

bulan Desember. Pada rapat itu redaksi Majalah Tempo merencanakan

pembuatan laporan khusus dalam satu tahun kedepan.

Termasuk kasus Udin karena timbulnya wacana dari pelbagai pihak untuk

membuat kasus Udin kedaluwarsa. Jika kasus Udin tidak ditulis

(mengingatkan) maka kami mengkhawatirkan kasus ini akan benar-benar

kedaluwarsa. Sehingga mulai saat itu kasus Udin masuk dalam rubrik laporan

khusus tahunan Majalah Tempo pada tahun 2014.

Kami merencanakan apa saja yang akan kami investigasikan. Kemudian

setiap awak Majalah Tempo diberikan kesempatan untuk berbicara namun

harus disertai argumen yang kuat. Sama halnya pada pemberitaan kasus Udin,

ketika kami telah megumpulkan data awal, melaksanakan rapat kompartemen,

rapat pleno, dan rapat checking sehingga laporan khusus Udin bisa naik cetak

dan kami publikasikan.

15. Apakah Majalah Tempo akan memberitakan Kasus Pembunuhan Udin

kembali, mengingat kasus tersebut sudah bergulir 18 tahun silam?

Jawab: Jika suatu hari kami menemukan hal dan fakta terbaru maka kami

akan menulis kembali kasus Udin. Tapi tidak menjadi rutinitas bahwa setiap

tahun Majalah Tempo akan menulis kasus Udin. Jika hanya berupa

peristiwa-peristiwa maka penulisan tentang Udin menggunakan media daring

(tempo.co) dan koran tempo.

146
Lampiran Artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam”

147
148
Lampiran Artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan”

149
150
Lampiran Foto Dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama
Majalah Tempo

151
Lampiran Foto Wawancara dengan Fauzan Lutsa, Mantan Jurnalis

Rajawali TV, Global TV, dan RCTI

152
Lampiran Foto Wawancara dengan Isfari Hikmat, Redaktur Detik TV

153
Lampiran Foto Wawancara dengan Iman D. Nugro, CNN Indonesia dan

Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen

154
Lampiran Foto Wawancara dengan Bernard Wahyu Wiyanta, Mantan

Jurnalis Tempo, Pendiri Majalah Flona

155
Lampiran Foto Wawancara dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari,

Jurnalis Indonesia Investor Daily

156

Anda mungkin juga menyukai