Anda di halaman 1dari 306

POLEMIS DAN REAKSIONER:

Telaah atas Pemikiran dan Praktik Dakwah-Politik pada Elite


Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (1967-2015)

DISERTASI

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor
dalam Bidang Sejarah dan Peradaban Islam

Disusun Oleh:
Pepen Irpan Fauzan
31161200000063

Promotor:
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE
Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA

KONSENTRASI: SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

1443 H/2022 M

i
KATA PENGANTAR

‫الرِحي ِم‬ َّ ِ‫بِ ْس ِم هللا‬


َّ ‫الر ْْح ِن‬
Bismillah walhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah
menganugerahkan kesempatan dan kesehatan kepada penulis sehingga bisa
menyelesaikan penulisan disertasi “Polemis dan Reaksioner: Telaah atas Pemikiran
dan Praktik Dakwah-Politik pada Elite Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
1967-2015.” Disertasi ini merupakan hasil karya penulis sebagai bentuk
pertanggungjawaban akademik untuk menyelesaikan pendidikan doktoral di Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil konsentrasi
Sejarah dan Peradaban Islam. Konsentrasi tersebut merupakan pilihan untuk
membangun linearitas akademik dengan lanjutan dari studi penulis pada jenjang
magister pada Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia (UI) dan jenjang sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra,
Universitas Padjadjaran (Unpad).
Penulisan disertasi ini bermula dari ketertarikan penulis terhadap kritik-
kritik para pakar kajian Islam dan Indonesianis dari berbagai disiplin terkait gerakan
dakwah yang disinyalir ingin melakukan “Islamisasi negara”, di samping dakwah
luas di tengah masyarakat—sesuatu yang kemudian menyuguhkan perkembangan
konseptual dari doktrin revivalisme hingga Islamisme. Fenomena maraknya aksi-
aksi radikalisme yang berasal dari para aktivis dakwah militan dianggap sebagai
“bukti” adanya kecenderungan Islamisme tersebut. Khususnya terkait organisasi
DDII, oleh para Indonesianis dianggap sebagai “katalisator” terhadap tumbuh-
berkembangnya fenomena sosial-keagamaan yang cenderung radikal tersebut.
Padahal, elite-elite DDII itu sendiri sejauh pengamatan penulis adalah para tokoh
masyarakat yang intelek, toleran dan demokratis. Lebih dari itu, sebagai bagian dari
kelompok “Islam-modernis,” para elite DDII itu sendiri tidak monolitik dan
cenderung mempunyai karakteristik pemikiran yang heterogen. Inilah yang
“memancing” insting kesejarahan penulis untuk mengkaji lebih mendalam terkait
heterogenitas pemikiran dan praktik politik pada kalangan elite DDII tersebut.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada para
pendidik Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing
penulis, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE., dan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti,
MA., yang tidak pernah lelah untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam
penyelesaian disertasi ini, baik sebelum maupun bersamaan dengan masa pandemi
Covid-19. Dari beliau berdua, dorongan semangat selalu diberikan untuk
mengintegrasikan beberapa pendekatan bidang keilmuan dalam memahami
fenomena sosial dan historis. Ketelitian metodologi sejarah dan dakwah-politik serta
mekanisme analisis terasah dalam setiap tahap penulisan berkaitan dinamika sejarah
politik yang sangat dinamis.
Prof. Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Direktur SPs UIN Jakarta
dan Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA selaku Kepala Prodi Doktor yang dengan
kesabaran terus menerus memberi arahan serta memotivasi penulis untuk secepatnya
lulus, bersama dengan angkatan 2016 lainnya. Demikian juga Prof. Dr. Masykuri

ii
Abdillah, MA selaku Direktur SPs UIN Jakarta periode sebelumnya yang telah
memberikan arahan dan dorongan pada penulis dengan menyetujui dan menetapkan
surat keputusan terkait penelitian penulis. Umumnya para guru besar UIN Jakarta
telah memberikan pencerahan keilmuan secara signifikan pada penulis, sehingga
memberikan inspirasi bagi penelitian ini.
Tanpa bimbingan para mahaguru yang telah memberikan koreksi, tukar
fikiran, dan penguatan pada disertasi ini melalui forum sidang yang
berkesinambungan, belum tentu disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima
kasih untuk Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr. Zulkifli, MA., Prof. Dr. Jamhari., MA.,
Prof. Dr. Yusron Razak, MA., Prof. Dr. Budi Sulistiono, MA., Prof. Dr. Iik Arifin
Mansurnoor, MA., Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM., Prof. Dr. Murodi, MA., Dr.
Yusuf Rahman, MA., Dr. Abd. Khaer, Dr. Usep Abdul Matin, Dr. Khamami Zada,
MA., dan Suparto, M.Ed., Ph.D. Kesemuanya telah memberikan analisis
berdasarkan keahlian dan kepakaran akademiknya, sehingga disertasi ini memiliki
berbagai pendekatan dalam menganalisis isu-isu politik Islam, khususnya terkait
politik gerakan dakwah di Indonesia kontemporer.
Semua dosen SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan
memberikan ilmu kepada penulis. Semoga segala kebaikan dan keihlasan mereka
semua bisa terus mengalir dan menjadi bekal di akhirat nanti. Seluruh civitas
akademika Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Mba Vemmy yang selalu menolong
dan berkenan direpoti menguruskan administrasi ujian-ujian, Mas Adam Hesa, Mas
Arif, Bu Asri dan pegawai lainnya atas bantuannya sehingga memudahkan penulis
dalam proses perkuliahan maupun penyelesaian studi penulis. Terkhusus para
punggawa Perpustakaan Pascasarjana yang menjadi tempat bernaung di sela-sela
penat perkuliahan dan rutinitas kerja.
Ucapan terima kasih kepada sejumlah lembaga pemerintahan yang memiliki
andil dalam perjalanan studi doktoral ini. Kementerian Agama Republik Indonesia
(Kemenag), melalui program „5000 Doktor‟ MORA Scholarship, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa studi di SPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Interaksi yang baik dengan pimpinan dan staf pada
Direktorat Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas, menjadi bagian
penting bagi penulis untuk menerima bantuan dalam memudahkan melakukan
penelitian disertasi. Khususnya, ucapan terima kasih kepada Bapak Amich
Alhumami, MA., Ph.D dan Bapak Tatang Muttaqin, M.Ed., Ph.D yang mengarahkan
penulis serta bersedia menerima kerepotan di masa sebelum pandemi Covid maupun
di masa pandemi.
Tidak lupa ucapan terima kasih kepada teman-teman SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta para penerima beasiswa Kemenpora, Diktis, dan biaya mandiri
pada angkatan 2016 yang telah membantu dan saling memotivasi untuk tetap
menyelesaikan studi pada batas waktu terakhir, baik penerima beasiswa MORA
Kementerian Agama, maupun mandiri. Terdapat sejumlah nama seperti Cak Duktur
Fata, Syeikh Mursyid Mujib El-Shirazy, Syeikh Mufassir Ikhwan, Uda Khusairi, Uda
Rifki, Faizal, Gus Inu, Roni, Nyai Mahmudah, Kang Mahfud, Oki Setiana Dewi
(OSD), Inda Kartika, Atmo Prawiro, Kyai Ali Muttakin, Ai Nur Bayyinah, Haji
Tahir, Canra Krisna Jaya, Hamam Faizin, Mutawali, Aa Nablur, Kang Hakim,
Amaliyah, Cut Ummu, M. Khamdan, Syeikh Marhadi Idahram, Habib Muhammad,

iii
Nyai Yuminah, Masyrofah, Izzuddin, Luqman Jabbar, Ismail, Mbak Fitri, Mbak
Uswatun Khasanah, dan sejumlah nama lain yang tidak bisa tersebut kesemuanya
dari seluruh Nusantara.
Ucapan paling spesial kepada orang tua yang selalu mendoakan dan
merestui penulis, tidak lelah memotivasi penulis untuk terus belajar dan
menyelesaikan pendidikan ini. Kesabaran dan kerendahan hati telah diteladankan
dari Abah (almarhum) Unu Al-Husen, dan perjuangan hidup sebagai orang tua telah
diberikan oleh ibu tercinta, (almarhumah) Nana yang telah mendidik penulis untuk
selalu bersyukur dan yakin bahwa semua akan dipermudah jika kita selalu berpegang
teguh pada Allah SWT. Penulisan disertasi ini sempat tertunda karena meninggalnya
ayahanda pada saat wabah Covid-19 melanda tanah air. Semoga almarhum ayahanda
dan almarhumah ibunda mendapat ampunan dan rahmat dari Allah SWT, âmîn yâ
Rab al-‘âlamîn.
Demikian juga kepada seluruh kakak dan adik dari tujuh saudara yang
semoga selalu rukun, serta ipar dari anak mertua dengan jumlah ponakan yang telah
meramaikan nuansa kekeluargaan di tengah kepenatan berfikir dan beraktivitas,
sehingga selalu muncul kedamaian. Keberhasilan menuntaskan studi doktoral
merupakan persembahan tersendiri untuk jalinan akademik di tengah keluarga.
Kepada sosok paling istimewa dan paling tercinta sebagai istri yang penuh
kasih, cinta, dan kesabarannya, Neng Yuli Yanti dan trio jagoan kecil Hasbi
Muhammad Syauqi (Hasbi), Hikam Adzkia Azra (Hikam), dan Haisha Hanum
Almaira (Hanum) yang sudah turut menemani sekaligus menjadi penyemangat hidup
dan penghias kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya disertasi ini tiada dapat
terselesaikan tanpa keikhlasan dan pengertian semuanya, sehingga untuk kalianlah
disertasi ini dipersembahkan.
Penulis berharap disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya dan
memberikan kontribusi untuk menjadi suatu referensi dalam memahami keadaan
politik gerakan dakwah di Indonesia. Kritik dan saran yang penulis terima untuk
perbaikan disertasi ini, penulis ucapkan terima kasih banyak. Akhir kata, penulis
memohon maaf apabila dalam penulisan disertasi ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan.

iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Pepen Irpan Fauzan

NIM : 31161200000063

No. Kontak : 081312537672

menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Polemis dan Reaksioner: Telaah atas
Pemikiran dan Praktik Dakwah-Politik pada Elite Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (1967-2015)” adalah hasil karya sendiri. Ide/gagasan orang lain yang ada
dalam karya ini, saya sebutkan sumber pengambilannya. Apabila di kemudian hari
terdapat hasil plagiarism maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan dan
sanggup mengembalikan gelar dan ijazah yang saya peroleh sebagaimana peraturan
yang berlaku.

Garut, 31 Agustus 2022

v
LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME

vi
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi yang berjudul “Polemis dan Reaksioner: Telaah atas Pemikiran dan Praktik
Dakwah-Politik pada Elite Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia 1967-2015” ditulis
Pepen Irpan Fauzan, NIM 31161200000063 telah melalui pembimbingan dan Ujian
Pendahuluan, sebagaimana ditetapkan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta sehingga
layak diajukan untuk Ujian Promosi.

vii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi yang berjudul “Polemis dan Reaksioner: Telaah atas Pemikiran dan Praktik
Dakwah-Politik pada Elite Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia 1967-2015” ditulis
Pepen Irpan Fauzan, NIM 31161200000063, telah melalui pembimbingan dan Ujian
Pendahuluan, sebagaimana ditetapkan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta sehingga
layak diajukan untuk Ujian Promosi.

Jakarta, 30 Agustus 2022


Pembimbing,

viii
Abstrak

Sejarah adalah kesinambungan sekaligus perubahan. Kajian ini membahas sejarah


politik DDII yang menunjukkan proses kesinambungan dan perubahan yang
terjadi dalam gerakannya di Indonesia. Polarisasi pemikiran dan praktik dakwah-
politik para aktivis DDII terus berlangsung, sejak dari didirikannya awal Orde
Baru hingga era reformasi. Elite DDII terbelah pada kelompok juru dakwah yang
murni, akademisi, dan politikus. Penelitian ini bertujuan menunjukkan keragaman
pemikiran dan praktik dakwah-politik para elite DDII.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan multidisiplin,


yakni social-scientific history approach. Pendekatan sejarah yang bersifat
diakronistik (memanjang dalam waktu) dengan penggunaan teori dan konsep dari
ilmu sosial dan politik yang bersifat sinkronistik (kajian strukturalisme). Dalam
usaha untuk menempatkan kondisi-kondisi sinkronik dalam sebuah kontek
diakronik, sususnan penulisan sejarah ini didasarkan pada kronologi. Namun,
untuk menghadirkan suatu pendekatan historis-interkonektif, metode kronologis
ini dikombinasikan dengan penyusunan penulisan secara tematik. Dengan model
penelitian yang interdisipliner ini bisa lebih komprehensif dalam eksplanasi
terkait kesinambungan (diakronis) serta perubahan-perubahan di dalam
strukturnya (sinkronis).

Melalui kajian ini, penulis menolak tesis R. William Liddle, Adam Swartz dan
Martin van Bruinessen yang menyimpulkan DDII sebagai kelompok skripturalis-
fundamentalistik dan radikal. Hasil penelitian ini mendukung tesis Asna Husin,
Robert W. Hefner, Bernhard Platzdasch dan Andi Faisal Bakti, bahwa terdapat
keragaman pemikiran dan temperamen para aktivis DDII, dengan catatan
kelompok DDII tidak hanya kaum konservatif-radikal dan kritis-ideologis,
melainkan juga kelompok moderat-konstitusional. Polarisasi terjadi pada
kelompok ideologis-moderat yang diwakili elite akademisi, kelompok
konservatif-akomodasionistik pada elite-elite politikus dan kelompok ideologis-
militan pada elite-elite juru dakwah murni. Pembahasan model pendekatan politik
elite DDII ditinjau dari perspektif historis mempunyai latar-belakang yang
beragam dan menunjukkan kesinambungan sekaligus perubahan dalam geraknya
masing-masing.

Kata Kunci: Politik-Dakwah, Polarisasi Elite, Juru Dakwah Murni, Dai


Akademis, Dai Politikus.

ix
Abstract

History is both continuity and change. Through the study of DDII's political
history, it can be seen the process of continuity and change that occurred in his
movement in Indonesia. The polarization of the thoughts and practices of the
political proselytizing of DDII activists continues, from the establishment of the
beginning of the New Order to the era of the Reform Order. The DDII elite is
divided on a group of pure preachers, academics and politicians. The study show
the diversity of thoughts and practices of the political proselytizing of the DDII
elite.

This research uses qualitative methods with a multidisciplinary approach, namely


the social-scientific history approach. A synchronised approach to history
(extending in time) with the use of theories and concepts of the social and
political sciences that are synchronic (the study of structuralism). In an attempt to
place synchronised conditions in a diachromic context, the arrangement of this
historical writing is based on chronology. However, to present a historical-
interconnective approach, this chronological method is combined with thematic
preparation of writing. With this interdisciplinary research model can be more
comprehensive in the explanation related to sustainability (diachronic) and
changes in its structure (synchronised).

Through this study, the authors rejected the thesis of R. William Liddle, Adam
Swartz and Martin van Bruinessen which concluded the DDII as a scriptural-
fundamentalistic and radical group. The results of this study support the thesis of
Asna Husin, Robert W. Hefner, Bernhard Platzdasch and Andi Faisal Bakti, that
there is a diversity of thought and temperament of DDII activists, with the record
of the DDII group not only conservative-radicals and ideological-criticals, but
also moderate-constitutional groups. Polarization occurs in ideological-moderate
groups represented by academic-elites, conservative-accommodationonistic
groups in political-elites and ideological-militant groups in pure-preacher elites.
The discussion of the DDII elite political approach model is reviewed from a
historical perspective to have a diverse background and shows continuity as well
as changes in their respective movements.

Keywords: Politics-Dakwah, Ellites Polarization, Pure-Preachers, Academics-


Preachers, Politicians-Preachers.

x
‫امللخص‬
‫التاريخ ىو العملية االستمرارية والتغيري يف نفس الوقت‪ .‬وبتقدمي الدراسة عن التاريخ السياسي‬
‫للمجلس األعلى اإلندونيسي للدعوة اإلسالمية ميكننا أن نرى العمليات االستمرارية‬
‫والتغيريات يف كل حركة دعويتو ادلنتشرة يف أحناء بالد إندونيسيا‪ .‬وقد استمر استقطاب الفكر‬
‫وشلارسة الدعوة السياسية بني الدعاة والنشطاء يف اجمللس األعلى اإلندونيسي للدعوة‬
‫اإلسالمية من وقت إىل آخر‪ ،‬بل حدث ذلك االستقطاب منذ أتسيس ىذا اجمللس يف أول‬
‫عصر النظام اجلديد (‪ )Orde Baru‬حىت عصر اإلصالح (‪ )Reformasi‬لبالد إندونيسيا‪.‬‬
‫وتنقسم النخب القيادية يف اجمللس األعلى اإلندونيسي للدعوة اإلسالمية إىل رلموعات‬
‫سلتلفة‪ ،‬منها الدعاة التبشريية ادلخلصني ومنها الدعاة األكادميية ومنها الدعاة السياسية‪ .‬ومن‬
‫خالل ىذه الدراسة تظهر لنا تنوع األفكار وشلارسات الدعوة السياسية بني النخب القيادية يف‬
‫اجمللس األعلى اإلندونيسي للدعوة اإلسالمية‪ .‬وقد جرى ىذا االستقطاب إما يف مجاعة‬
‫اإليديولوجية ادلعتدلة اليت متثلها النخبة األكادميية وإما يف مجاعة احملافظة والتيسريية للنخبة‬
‫السياسية وإما يف مجاعة اإليديولوجية ادلتشددة للنخبة التبشريية اخلالصة‪.‬‬
‫و يستخدم ىذا البحث أساليب وطريقة النوعية مع هنج التخصصات ادلتعددات‪ ،‬أي هنج‬
‫التاريخ االجتماعي والعلمي‪ .‬وىذا هنج التارخيي غري متزامن (أي ميتد مبرور الزمان) ابستخدام‬
‫النظرايت وادلفاىيم من العلوم االجتماعية والسياسية ادلتزامنة (دراسة البنيوية)‪ .‬وذلك يف زلاولة‬
‫وضع الظروف التزامنية يف سياق غري متزامن‪ ،‬وتستند كتابة ىذا الًتتيب التارخيي على‬
‫التسلسل الزمين‪ .‬ولتقدمي هنج التارخيي ادلًتاب‪ ،،‬يتم كتابتو ابجلمع بني الطريقة الزمنية والًتتيب‬
‫ادلواضوعي‪ .‬فبهذا منوذج البحث بني التخصصات ميكن أن يكون البحث أكثر مشوال يف‬
‫تفسرياتو اليت تتعلق بعملية استمراريتو (‪ )diakronis‬والتغيريات يف ىيكلو (‪.)sinkronis‬‬
‫فبهذه الدراسة يرفض ادلؤلف بعض النتائج من ر‪ .‬ويليام ليدل (‪ )R. William Liddle‬وآدم‬
‫شوارتز (‪ )Adam Swartz‬ومارتن فان بروينسن (‪ )Martin van Bruinessen‬اليت يلقوىا يف‬
‫أطروحاهتم أن اجمللس األعلى اإلندونيسي للدعوة اإلسالمية ىي رلموعة من مجاعة نصية‬
‫أصولية وجذرية راديكالية‪ .‬والعكس ذلك‪ ،‬تدعم نتيجة ىذه الدراسة على بعض النتائج من‬

‫‪xi‬‬
‫أسنا حسني (‪ )Asna Husin‬وروبرت و‪ .‬ىافنري (‪ )Robert W. Hefner‬وبرهنارد بالتزداش‬
‫(‪ )Bernhard Platzdasch‬وأندي فيصل ابكيت (‪ )Andi Faisal Bakti‬اليت يلقوىا يف أطروحاهتم‬
‫أن بني الدعاة والنشطاء يف اجمللس األعلى اإلندونيسي للدعوة اإلسالمية أفكارا وأمزجة سلتلفة‬
‫ومتنوعة‪ ،‬وتنبيهاهتم أن اجلماعات يف اجمللس األعلى اإلندونيسي للدعوة اإلسالمية ليست‬
‫تتكون من مجاعة احملافظة الراديكالية واحلرجة األيديولوجية فق‪ ،،‬بل فيها اجلماعات ادلعتدلة‬
‫الدستورية أيضا‪ .‬وأما البحث يف منوذج النهج السياسي للنخب القيادية يف اجمللس األعلى‬
‫اإلندونيسي للدعوة اإلسالمية من منظور اترخيي ذلا خلفية متنوعة حىت تظهر عملية‬
‫استمراريتها وكذلك التغيريات يف حركة الدعوة كل منهم‪.‬‬
‫الكلمات الرئيسية ‪ :‬السياسة والدعوة‪ ،‬استقطاب النخب القيادية‪ ،‬الدعاة التبشريية‬
‫ادلخلصني‪ ،‬الدعاة األكادميية‪ ،‬الدعاة السياسية‪.‬‬

‫‪xii‬‬
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab - Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
A. Konsonan
b = ‫ب‬ z = ‫ز‬ f = ‫ف‬

t = ‫ت‬ s = ‫ش‬ q = ‫ق‬

th = ‫ث‬ sh = ‫ظ‬ k = ‫ك‬

j = ‫ج‬ ṣ = ‫ص‬ l = ‫ل‬

ḥ = ‫ح‬ ḍ = ‫ض‬ m = ‫م‬

kh = ‫خ‬ ṭ = ‫ط‬ n = ‫ى‬

d = ‫د‬ ẓ = ‫ظ‬ h = ٍ

dh = ‫ذ‬ „ = ‫ع‬ w = ‫و‬

r = ‫ر‬ gh = ‫غ‬ y = ‫ي‬

B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َ Fathah A A
ِ Kasrah I I
ُ Dhammah U U

2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
‫َى‬... Fathah dan ya Ai a dan i
‫َو‬... Fathah dan wau Au a dan w

Contoh:
‫ حُطَيي‬: Husain ‫حَوْل‬ : haul

xiii
C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
‫ـــَـا‬ Fathah dan alif â a dan garis di atas
‫ــــِي‬ Kasrah dan ya î i dan garis di atas
‫ــــُو‬ Dhammah dan wau ū u dan garis di atas

D. Ta’ marbutah (‫)ة‬


Transliterasi ta‟ marbutah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata
sesudahnya maupun tidak contoh mar‟ah ( ‫ )هرأة‬madrasah (‫)هدرضة‬
Contoh:
‫ الوديٌةالوٌورة‬: al-Madīnah al-Munawwarah

E. Shaddah
Shaddah/tasydîd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf
yang sama dengan huruf yang bersaddah itu.
Contoh:
‫ربـٌّا‬ : rabbanā ‫ًسّل‬ : nazzal

F. Kata Sandang
Kata sandang “ ‫ ”الـ‬dilambangkan berdasar huruf yang mengikutinya, jika
diikuti huruf syamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan ditulis
“al” jika diikuti dengan huruf qamariyah. Selanjutnya ‫ ال‬ditulis lengkap baik
menghadapi al-Qomariyah contoh kata al-Qomar ( ‫ )القور‬maupun al-Syamsiyah
seperti kata al-Rajulu ( ‫) الرجل‬
Contoh:
‫الشوص‬ : ash-Shams ‫القلن‬ : al-Qalam

G. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa
Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, seperti lafal ‫اهلل‬, asma‟>
al-husna> dan ibn, kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan
pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

xiv
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... ii


Pernyataan Bebas Plagiarisme ............................................................................ v
Lembar Pengecekan Plagiarisme ........................................................................ vi
Persetujuan Pembimbing .................................................................................... vii
Abstrak ............................................................................................................... ix
Pedoman Transliterasi ........................................................................................ xiii
Daftar Isi ............................................................................................................. xv
Daftar Gambar .................................................................................................... xviii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan Masalah ......................................... 11
1. Identifikasi Permasalahan ......................................................................... 12
2. Perumusan Masalah .................................................................................. 12
3. Pembatasan Masalah ................................................................................. 12
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 12
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ............................................................... 13
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................................ 14
F. Metodologi Penelitian .................................................................................... 18
1. Metode dan Prosedur Penelitian ................................................................ 18
2. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 19
3. Metode Analisis Data: Pendekatan Social-Scientific History ................... 19
G. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 22

BAB II
DISKURSUS REVIVALISME DAN ISLAMISME DALAM
GERAKAN DAKWAH DI INDONESIA KONTEMPORER
A. Pengantar ........................................................................................................ 25
B. Revivalisme Islam .......................................................................................... 27
1. Revivalisme Islam Kontemporer:
Latar Belakang Historis dan Akar-Genealogis .......................................... 29
2. Revivalisme Islam Dalam Perdebatan: Dari Reformis-Moderat,
Konservatifisme, Hingga Radikal-Fundamentalisme ................................ 35
C. Islamisme ....................................................................................................... 41
1. Islamisme: Antara Totalitarianisme, Radikalisme dan Moderatisme ........ 42
2. Post-Islamisme: Sebuah Antitesis ............................................................. 46
D. Gerakan Dakwah Revivalis-Islamis di Indonesia:
Pendekatan Historis-Interkonektif .................................................................. 49

xv
BAB III
DARI MASYUMI HINGGA DDII:
KONTEKS HISTORIS DAN PEMBENTUKAN ORGANISASI 1945-1967
A. Konteks Historis Pendirian DDII ................................................................... 55
1. Legacy Politik Masyumi ............................................................................ 55
2. Depolitisasi Islam Masa Orde Baru .......................................................... 64
B. Lahirnya DDII ................................................................................................ 76
C. Kepengurusan Awal Organisasi ..................................................................... 80

BAB IV
PERKEMBANGAN JARINGAN ELITE DDII
DI ERA NATSIR 1967-1993: KADERISASI JURU DAKWAH,
DAI AKADEMIS DAN DAI POLITIKUS
A. Kepengurusan DDII dan Jaringannya Era Natsir 1967-1993 ......................... 85
B. Kaderisasi dan Pengembangan Jaringan Elite Dai ......................................... 90
1. Pengembangan dan Penyebaran Juru Dakwah .......................................... 91
2. Elite Dai Politikus dan Jaringan Politik DDII ........................................... 94
3. Elite-elite Muda Dai Akademis ................................................................. 98
3.1 Jaringan Dakwah Kampus: Embrio Dai Akademis ........................... 98
3.2 Kelompok PHI-DDII dan Proyek Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI) .. 101
3.3 Polemik Paham Pembaharuan Nurcholish Madjid:
Respon Elite Dai Akademis ............................................................... 106
C. Paradigma Dakwah Komprehensif: Khittah Gerakan Dakwah DDII ............ 116

BAB V
TRANSFORMASI-TRANSISIONAL DDII PASCA-NATSIR
DI ERA AKHIR ORDE BARU 1993-1998
A. Konteks Historis Perubahan Sosial Politik Orde Baru 1990-1997 ................. 132
B. Transisi-Perubahan DDII di era Akhir Orde Baru ......................................... 138
1. Periode Kepemimpinan Kolektif 1993-1997 ............................................ 142
2. Periode Anwar Harjono (1997-1998):
DDII Pada Masa Akhir Kepemimpinan Orde Baru .................................. 150
C. Dinamika Internal Elite DDII Pada Masa Kepemimpinan Anwar Harjono ... 154
1. Polemik Tentang ICMI dan Hubungan Dengan Pemerintah ..................... 154
2. Polemik Tentang Masalah Liberalisasi Pemikiran Islam .......................... 168

BAB VI
POLARISASI PEMIKIRAN DAN SIKAP POLITIK
ELITE DDII PADA ERA REFORMASI 1998-2015
A. Konstelasi Politik Era Reformasi ................................................................... 176
B. Kepengurusan DDII di Era Reformasi 1998-2015 ......................................... 182
1. Akhir Kepemimpinan Anwar Harjono 1998-1999 .................................... 182
2. Periode Affandi Ridhwan-Hussein Umar (1999-2004):
Kevakuman di Jajaran Ketua dan Peran Sentral Sekretaris Umum .......... 192
3. Periode M. Cholil Badawi-Hussein Umar 2004-2005:
Era Ketidakstabilan Menuju Mubes III DDII ............................................ 196

xvi
4. Periode Hussein Umar - A. Wahid Alwi 2005-2007:
Stabilisasi Organisasi ................................................................................ 201
5. Periode Syuhada Bahri-A. Wahid Alwi 2007-2015:
Kepemimpinan Elite Dai Juru Dakwah Murni .......................................... 206
C. Dinamika Internal Elite-elite DDII ................................................................. 209
1. Polemik Model Partai Islam vis-à-vis Partai Pluralis ................................ 209
2. Polemik Terkait Piagam Jakarta dan Penegakan Syariat Islam ................. 220
D. Dari Ideologi-Politik Ke Ide-Ilmu:
Transformasi Gerakan Dakwah Elite DDII di Era Reformasi 2000-2015 ..... 226
1. Kuntowijoyo dan Gagasan Periode Ilmu .................................................. 229
2. Adian Husaini dan Gerakan Islamisasi Ilmu era 2005-2015 ..................... 235

BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 247
B. Rekomendasi .................................................................................................. 249
C. Post-Scipt ....................................................................................................... 250

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 253


Lampiran ............................................................................................................. 271
Glosarium ............................................................................................................ 277
Indeks .................................................................................................................. 280
CV Penulis ........................................................................................................... 285

xvii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................................ 22


Gambar 2 : Peta Jaringan Sosial dan Politik Elite DDII ...................................... 115

xviii
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


BKSPP : Badan Kerjasama Pondok Pesantren
BKUI : Badan Koordinasi Umat Islam
DDII : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
DI : Darul Islam
DMI : Dewan Masjid Indonesia
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
FUI : Forum Ukhuwah Islamiyah
GPI : Gerakan Pemuda Islam
Golkar : Golongan Karya
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
IAIN : Institut Agama Islam Negeri
ICG : International Crises Group
ICMI : Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
IDI : Islam untuk Disiplin Ilmu
ISK : Islamisasi Sains dan Kampus
Insist : Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations
KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
KDII : Khittah Da‟wah Islam Indonesia
KISDI : Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam
KUIT : Kongres Umat Islam Indonesia
LDK : Lembaga Dakwah Kampus
LDMI : Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam
LKMI : Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam
LMD : Latihan Mujahid Dakwah
LPDI : Lembaga Pendidikan Dakwah Islam
MIUMI : Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
Mubes : Musyawarah Besar
MUI : Majelis Ulama Indonesia
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama
OKI : Organisasi Konferensi Islam
PAN : Partai Amanat Nasional
Parmusi : Partai Muslimin Indonesia
PBB : Partai Bulan Bintang
Persami : Persatuan Sarjana Muslim Indonesia
PDI : Partai Demokrasi Indonesia
Persis : Persatuan Islam
PII : Pelajar Islam Indonesia
PKI : Partai Komunis Indonesia
PKS : Partai Keadilan Sejahtera
PPP : Partai Persatuan Pembangunan
PRRI : Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia

xix
PUI : Persatuan Umat Islam
PUSA : Persatuan Ulama Seluruh Aceh
STID : Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah
UIN : Universitas Islam Negeri
Yarsi : Yayasan Rumah Sakit Islam

xx
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada dasawarsa awal 1990-an, pakar Indonesianis R. William Liddle
mengkaji masa depan persaingan antara kaum substansialis vis-à-vis kaum
skripturalistik.1 Menurut Liddle, “kemenangan” akan berada di tangan kaum
substansialis. Tetapi, tambahnya, skema itu bisa berubah arah karena tiga faktor
yang memperkuat posisi kaum skripturalis, khususnya jika iklim politik Indonesia
pasca-Suharto makin terbuka.2 Karena itu, kesimpulan akhir Liddle agak pesimistik.
Menurutnya, dalam iklim politik yang lebih terbuka (demokratis) dan dalam wilayah
bermain yang lebih luas, kaum skripturalis akan punya sumber-sumber politik yang
lebih luas: dalam penerimaan massa terhadap gagasan mereka, media massa, aliansi,
organisasi, dan akses kepada para politisi.3
Tulisan Liddle tersebut, selain faktor ramalannya,4 juga sekaligus menunjuk
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang didirikan oleh
Mohamad Natsir (1908-1993) pada 1967.5 DDII digolongkan sebagai kaum
skriptularistik yang mempunyai karakteristik pemahaman literalis, rigid, dan
bermental anti-Semit. Liddle secara khusus mengamati kelompok skripturalis,
diwakili majalah Media Dakwah-DDII, sebagai pesaing paling potensial terhadap

1
Lihat R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk
Pemikiran dan Aksi Politik Islam Indonesia Masa Orde Baru” dalam Mark R. Woodward
(ed), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan,
1998), h. 283-311. Pada awalnya, paper Liddle ini dipublikasikan pada tahun 1993 melalui
Jurnal Ulumul Quran, Vol. IV, Juli 1993.
2
Ketiganya adalah: Pertama, ajaran-ajaran kaum skripturalis yang lebih mudah
diterima oleh sebagian besar kaum muslim Indonesia; Kedua, kemungkinan aliansi politik
antara kaum skripturalis dengan kelompok-keiompok sosial lain yang sedang tumbuh;
Ketiga, nafsu besar para politisi ambisius untuk membangun basis massa. Liddle.
“Skripturalisme Media Dakwah…,” h. 304-308.
3
Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah…,” h. 311. Kaitan dengan aliansi dan
akses terhadap politisi, bandingkan dengan kajian Michael Buehler, “Subnational
Islamization through Secular Parties: Comparing “Shari'a” Politics in Two Indonesian
Provinces,” Comparative Politics, Vol. 46, No. 1, October 2013, h. 63-82.
4
Ramalan Liddle pada dasawarsa 1990an dianggap oleh sebagian peneliti,
“memang benar-benar terjadi dan menjadi bukti sebagai bagian dari kebangkitan Islam
secara makro.” Firdaus Muhammad, Lalu Ahmad Zaenuri, dan Mailul Anshar. “Front
Pembela Islam (FPI): Potret Radikalisme Agama di Indonesia” dalam Bahtiar Effendy dan
Soetrisno Hadi (ed.), Agama dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Nuqtah, 2007), h. 151.
Bandingkan dengan Bahtiar Effendy, “Islamic Militant Movement in Indonesia,” Studia
Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004, h. 420; Lihat juga
Alexander R. Arifianto, “Rising Islamism and the Struggle for Islamic Authority in Post-
Reformasi Indonesia,” TRaNS: Trans-Regional and-National Studies of Southeast Asia
(2019), 1-14, https:// doi:10.1017/trn.2019.10.
5
Lukman Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah:
Dokumentasi Perjalanan 30 Tahun DDII, (Jakarta: DDII, 1997), h. 9.

1
masa depan paradigma Islam baru yang substansialistik. Disebut Liddle, majalah
terbitan DDII ini sudah lama bersikap kritis—kalau tidak mau disebut memusuhi—
terhadap paham kaum substansialis Islam di Indonesia, khususnya Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid, dan merupakan “salah satu organ kaum
skripturalis yang paling ekstrem atau militan yang ditoleransi oleh pemerintah.”6
Melalui pengamatannya terhadap laporan Media Dakwah ini, Liddle juga
menganggap bahwa ide negara Islam masih menjadi dambaan para aktivis DDII:
“Dalam halaman-halaman Media Dakwah, gagasan negara Islam itu tetap saja hidup,
walaupun tentunya harus disajikan secara sangat hati-hati. Sekadar contoh, laporan
utama salah satu edisi 1992, dengan judul Malaysia Negeri Islami, mewakili upaya
untuk menyebarluaskan konsep bersangkutan sambil tetap menghindar dari label
yang dilarang itu.” Dalam kerangka inilah, Mark R. Woodward menyebut DDII
sebagai kaum fundamentalis.7 Demikian juga dengan Adam Schwarz yang
menegaskan bahwa “the organisation closest to the fundamentalist camp is the
Dewan Dakwah (Preaching Council).”8 Alasan Schwarz, “Dewan Dakwah has its
roots in the Masyumi, a modernist organisation committed to making Indonesia an
Islamic state.”9
Pandangan Liddle terkait karakteristik Media Dakwah—yang dianggap
publikasi representatif DDII—sebagai kaum skripturalistik yang literal, rigid, dan
anti-Semit didukung oleh Burhanudin Muhtadi. Bagi Muhtadi, DDII melalui Media
Dakwah telah mendorong secara signifikan tumbuhnya pola pikir paranoid terhadap
Yahudi. Segala sesuatu yang terjadi yang berdampak negatif terhadap Islam
dikaitkan dengan orang-orang Yahudi. Media Dakwah juga dianggap telah berupaya
untuk mendelegitimasi lawan, terutama Nurcholish Madjid, dengan klaim yang kuat
bahwa dia adalah bagian dari konspirasi internasional Yahudi. Muhtadi
menyimpulkan bahwa Media Dakwah terperangkap dalam sebuah teori konspirasi:
“Using Bale’s conceptual framework of theories of conspiracy, it is clear that Media
Dakwah is caught up in a conspiracy theory. This is not only a fantastic product of
its paranoid style, but also a tool for mobilizing support against its “enemies.”10
Peneliti lainnya mengamini pandangan Liddle ini dengan menunjuk fakta
bahwa melalui DDII-lah muncul-menjamur kelompok dakwah yang eksklusif dan
radikal. DDII dalam hal ini dianggap sebagai agen atau sponsor bagi gerakan
transnasional yang mengimpor paham Salafi-Wahabi dan Ikhwanul Muslimin (IM)
dari Timur Tengah. Din Wahid, misalnya, menyatakan bahwa: “In Indonesia, the
first channel for spreading Saudi Salafism was the Dewan Dakwah Islamiyah

6
Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah…,” h. 308.
7
Mark R. Woodward, “Memahami Semangat Baru Islam Indonesia: Percakapan
dengan Abdurrahman Wahid,” dalam Jalan Baru Islam…, h. 148.
8
Adam Schwarz, A Nation in Waiting Indonesia’s Search for Stability, (Oxford:
Westview Press, 2000), h. 178. Disebutnya beberapa ciri kaum fundamentalis sebagai “affirm
a strict, puristic interpretation of Islam, oppose secular thought and Western influence as
well as the syncretism of traditional belief, and insist on the primacy of religion over
politics”.
9
Schwarz, A Nation in Waiting…, h. 330.
10
Burhanudin Muhtadi, “The Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in
Media Dakwah,” Graduate Journal of Asia-Pacific Studies, 5:2 (2007), h. 76.

2
Indonesia (Indonesian council for Islamic Propagation, (DDII).”11 Demikian juga
penjelasan Yudi Latif, bahwa: “The DDII was the agent most resfonsible for the
dissemination of the lkhwanul Muslimin's ideology and dakwah method.”12
Namun, berbeda dengan Liddle yang menyoroti karakter DDII secara
objektif dengan tidak melibatkan penilaian terhadap Natsir,13 peneliti lainnya dengan
tegas menyebutkan peran Natsir. Menurut Imdadun Rahmat, peran DDII dan Nastir
sangat besar dalam proses transmisi gerakan revivalisme Islam Timur Tengah ke
Indonesia, mulai dari mengirim mahasiswa Indonesia untuk belajar ke Timur
Tengah, menerjemahkan kitab-kitab ulama Timur Tengah ke dalam bahasa
Indonesia, hingga mendirikan lembaga bimbingan kursus bahasa Arab.14 Bahkan, ia
menyebutkan peran itu, “meskipun PKS, Hizbut Tahrir, dan Dakwah Salafi memiliki
silsilah ideologi serta genealogi pemikirannya masing-masing, namun DDII berperan
sebagai “ibu susuan” (umm al-radhâ'ah) bagi ketiga gerakan tersebut.”15 Hal ini
dihubungkan dengan kedudukan istimewa Natsir pada lembaga Râbithah al-„Alam
al-Islamî yang berpusat di Saudi Arabia, sebagaimana dijelaskan oleh Martin van
Bruinessen:
The DDII established close relations with the Islamic World League (Rabitat al-
Alam al-Islami, established in 1962), of which Natsir became one of the Vice-
Chairmen. It became the Saudis' preferred channel when they began using their
oil wealth to finance the spread of conservative and puritan brands of Islamic
teaching.16
Tim peneliti pada buku Ilusi Negara Islam yang disunting Abdurrahman
Wahid, pada sebagiannya menyebutkan hal yang sama, bahwa “sudah merupakan
rahasia umum di kalangan para ahli bahwa melalui Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) yang bertindak sebagai wakilnya di Indonesia, Râbithah al-„Alam
al-Islamî menyediakan dana yang luar biasa besar untuk gerakan-gerakan radikal di
Indonesia.”17 Namun pada bagian yang lain, ia memberikan klarifikasi bahwa tidak
semuanya digeneralisasi sebagai ulah tokoh-tokoh modernis tersebut:

11
Din Wahid, Nurturing the Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantrens in
Contemporary Indonesia, (Ph.D. Thesis, Utrecht University, 2014), h. 5. Lihat juga Din
Wahid, “Kembalinya Konservativisme Islam Indonesia,” Studia Islamica: Indonesian
Journal for Islamic Studies, Vol. 21, No. 2, 2014, h. 377.
12
Yudi Latief, The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of lts
Emergence in the 20th Century, (Ph.D. Thesis, the Australian National University, 2004), h.
380.
13
Lihat Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah…,” h. 289. Untuk penjelasan
ringkas-padat tentang Natsir, lihat George Mc Turnan Kahin, “In Memoriam: Mohammad
Natsir (1907-1993),” Indonesia, No. 56 (Oct., 1993), h. 158-165.
14
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Gerakan Revivalisme
Islam ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Airlangga, 2005), h. 83.
15
Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen, (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 90.
16
Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto
Indonesia,” South East Asia Research, Vol. 10, No. 2, July 2002, h. 123.
17
Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 37.

3
Tidak bisa dipungkiri bahwa pembentukan DDII tidak terlepas dari pembubaran
Masyumi yang saat itu dikuasai oleh kelompok puritan, modernis. Namun pasti
tidak benar melakukan generalisasi bahwa para tokoh modernis adalah agen
gerakan transnasional, tetapi Wahabi-Ikhwanul Muslimin dengan cerdas melihat
peluang-peluang sekecil apapun untuk menyusup ke dalam organisasi modernis
untuk kemudian memanfaatkannya demi penyebaran ideologinya.18
Senada dengan hal itu, terdapat pakar maupun Indonesianis terkemuka yang
berbeda pandangan dengan Liddle. Di antaranya, Robert W. Hefner mengritik
generalisasi Liddle—yang memasukkan DDII sebagai kelompok skripturalistik—
sebagai analisis yang sulit diukur. Hal tersebut dapat mengaburkan keragaman
ideologi dan temperamen dari mayoritas anggota lembaga tersebut: “The charge of
“fundamentalism” is a recurring theme in R. William Liddle's interesting, but
analytically unmeasured, polemic against the DDII. Generalizations like
“fundamentalist” or “scripturalist” obscure the diverse ideologies and
temperaments of rank-and-file members of organizations like the DDII.”19 Hefner
juga mengakui bahwa ada faksi dalam DDII yang mengeras sikapnya terhadap
demokrasi konstitutional, pluralisme agama, dan Barat. Namun demikian, secara
mayoritas, tokoh-tokoh DDII adalah para demokrat yang moderat dan loyal terhadap
negara.20
Pandangan Hefner ini diperkuat hasil penelitian disertasi Asna Husin. Secara
khusus, Husin menyebut penelitiannya sebagai pembanding terhadap tesis Liddle
tentang mental anti-Semit DDII.21 Bagi Husin, beberapa tokoh senior DDII
mempunyai pandangan yang moderat terhadap kalangan non-Muslim, khususnya
Kristen dan Yahudi. Husin menunjuk pada pemikiran keagamaan Anwar Haryono
yang dianggap tokoh sentral DDII pasca-Natsir. Pemikiran Haryono tentang ahlu al-
kitâb dan kaum Shâbi’in, dianggap sangat moderat dan sejalan dengan pemikiran
Nurchoish Madjid, walaupun ditegaskan tidak berarti DDII mendukung gerakannya:
“The fact that Haryono’s opinion about ahlu kitab is the same as that of Cak Nur
does not meanthe yayasan share many of Madjid’s ideas.”22 Di antaranya karena
faktor inilah, Husin sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya agenda keagamaan
Nurcholish Madjid dengan DDII berada pada jalan yang sama: “From this argument
it becomes clear that Cak Nur and DDII move in the same direction with different

18
Wahid, Ilusi Negara Islam…., h. 96.
19
Robert W. Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries Among
Indonesian Muslims,” Indonesia, No. 64, 1997, h. 81.
20
Kata Hefner, “The great majority of senior DDII supporters align themselves with
the organization out of a sense of allegiance to the Natsir faction of Masyumi, which they
regard as having been constitutionally minded, loyal to the republic, and unfairly persecuted.
Many of the organization's members are political moderates, though their theological center
of gravity tends toward a conservative varient of reformism.” Lihat Hefner, “Print Islam:
Mass Media…,” h. 81, catatan kaki nomor 11.
21
Asna Husin, Philosophical and Sociological Aspects of Da'wah: A Study of the
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (Ph.D. Thesis, Columbia University, 1998), h. 6.
22
Husin, Philosophical and Sociological Aspects of Da'wah…, h. 282.

4
approaches: Madjid’s is that of the philosophical idealist while the yayasan’s is that
of the practical sociologist.”23
Terkait gagasan negara Islam yang dianggap masih menjadi cita-cita DDII,
secara tidak langsung juga dibantah oleh R. M. Feener. Ia menjelaskan bahwa
sebagai kelompok Islamis, mayoritas pengikut DDII tetap menganggap positif NKRI
dan Pancasila. Feener dengan artikulatif menuliskannya dengan sub judul “Shari’a
Islam in a Pancasila nation”.24 Lebih jauh, Feener menjelaskan, DDII walaupun
terlibat dalam aksi solidaritas Islam internasional, namun tetap mempertahankan
identitas keindonesiaannya, sekaligus warga Negara Indonesia:
Despite such active encouragement of global Muslim solidarity, however, most
DDII constituents are not primarily proponents of conceptions of a global
umma without national borders, or linguistic or ethnic divisions. Rather they
have largely continued to imagine Islam as integrally related to an exclusive
Indonesian nationality, and this in turn has been an important aspect in the way
in which DDII activists have framed their visions of Islamic law and the ideal
relationship between the Shar’ia and the modern Indonesian nation-state.25
Memang, kelompok senior DDII mayoritas adalah kolega Natsir semasa di
Masyumi. Kelompok Natsir ini justru dikenal sebagai kalangan yang memegang
teguh prinsip Islam, tapi moderat. Berbeda dari Muslim sekuler, Natsir tetap percaya
bahwa Islam dapat menjadi dasar negara. Sementara itu, berbeda pula dari Muslim
protagonis, Natsir juga percaya bahwa Islam tidak memilihi preferensi sistem politik
tertentu. Islam hanya menyediakan prinsip-prinsip umum untuk diterapkan dalam
sistem politik tertentu yang disesuaikan dengan situasi dan zamannya. Maka, Islam
dan Pancasila tetap dapat berjalan seiring karena kesatuan antara Islam dan Pancasila
terjadi pada tingkat ide.26 Karena pandangan moderat inilah, Natsir diserang oleh
kelompok (minoritas) Masyumi sendiri, yang menamakan diri sebagai “kaum
radikal-revolusioner.”27
Sebagaimana dijelaskan Yusril Ihza Mahendra, walaupun DDII berupa
yayasan, tapi pengaruhnya justru sangat luas: In Natsir's hands, even though DDII
was merely a foundation, this organization was admired and influential enough, not
only among Muslims at the grass-roots level, but also among various Islamic socio-
religious organizations.28 Oleh karena itu, figur-figur sentral DDII pun beraneka
23
Husin, Philosophical and Sociological Aspects of Da'wah…, h. 284.
24
R. M. Feener, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia, (New York:
Cambridge University Press, 2007), h. 81.
25
Feener, Muslim Legal Thought…, h. 106.
26
M. Natsir, Capita Selecta II, (Jakarta: W. van Hoeve, 1968), h. 308.
27
Lihat M. Isa Anshary, Manifest Perjuangan Persatuan Islam, (Bandung: Pusat
Pimpinan Persatuan Islam, 1958), h. 33; Lihat juga Howard M. Federspiel, Islam and
ideology in the Emerging Indonesian State: The Persatuan Islam (Persis), 1923-1957,
(Leiden-Boston-Koln: Brill, 2001), h. 201. Bandingkan dengan Pepen Irpan Fauzan and
Ahmad Khoirul Fata, “Portraying Political Polarization in Persatuan Islam in the Case of
Mohamad Natsir vs Isa Anshari,” Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, Vol.
3 No. 2, July-December 2019, h. 205-232.
28
Yusril Ihza Mahendra, “Combining Activism and Intellectualism: The
Biography of Mohammad Natsir,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies,
Vol. 2, No. 1, 1995, h. 130.

5
wajah. Tidak sedikit elite DDII berasal dari personal-individual, politikus, maupun
tokoh berbagai kalangan organisasi sosial keagamaan Islam yang telah berdiri sejak
awal abad ke-20, seperti Muhammadiyah (1912) dan Persatuan Islam (1923), serta
yang lainnya. Dengan sendirinya, jaringan dakwah DDII pun meluas dan variatif.
Bernhard Wolfgang Platzdasch menyebut fenomena ini sebagai jaringan
kelompok “Islamis” Indonesia. Inilah yang disebut “keluarga besar bulan bintang,”29
karena jaringan tersebut terbentuk disebabkan faktor historis dengan Partai
Masyumi:
Contemporary Muslim organisations which have continued the Masyumi
tradition in a variety of ways and different emphases are Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (Indonesian Islamic Propagation Council, DDII), Komite
Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (Indonesian Committee for Solidarity
of the Islamic World, KISDI), Persatuan Islam (Islamic Association, Persis),
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (Association of Indonesian Muslim
Intellectuals, ICMI), Persatuan Umat Islam (Union of the Islamic Community,
PUI), the student organizations Gerakan Pemuda Islam (Islamic Youth
Movement, GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (Islamic Students Association,
HMI), Pelajar Islam Indonesia (Indonesian Islamic Students Association, PII),
the foundation al-Irsyad and two umbrella organisations, the Forum Ukhuwah
Islamiyah (Islamic Brotherhood Forum, FUI) and Majelis Ulama Indonesia
(Indonesian Ulama Council, MUI). Masyumi has also remained a point of
historical reference for Parmusi (Indonesian Muslim Party), the modernist
section of Partai Persatuan Pembangunan (United Development Party, PPP),
which was the only Islamist party allowed to exist during the New Order years.
Later generations of Islamists would try to improve and purify their faith
through studying Islamic matters only in Middle Eastern countries. Some of
them went to join the Partai Keadilan (Justice Party, PK) in 1998.30
Wajah heterogenitas elite DDII juga terlihat dari struktur kepengurusan
DDII pusat. Pada generasi awal 1970-an, misalnya, selain tokoh legendaris Natsir,
juga ada Prawoto Mangkusasmito (mantan Sekjen Partai Masyumi), Osman Raliby,
Z. A. Ahmad, M. Yunan Nasution, serta KH. Hasan Basri dari MUI, juga Mohamad
Roem (Muhammadiyah) yang mengembangkan majalah Media Dakwah. Tokoh-
tokoh ini disebut Hefner sebagai kaum konstitusional-moderat.31 Apalagi DDII pada
era kepemimpinan Anwar Haryono era 1993-1997. Banyak tokoh yang masuk
kepengurusan DDII, sehingga sangat gemuk, dari mulai kalangan politikus PPP

29
Bahkan pada era pasca-Orde Baru, ada usaha untuk menghimpun kembali
keluarga besar Bulan Bintang ini, dengan disponsori DDII. Inilah yang kemudian melahirkan
Partai Bulan Bintang (PBB). Dengan dipimpin Yusril Ihza Mahendra, seorang akademisi-
birokrat yang juga kader Natsir, PBB ikut bertarung pada Pemilu 1999. Walaupun kemudian
terlihat bahwa perolehan suara pada Pemilu 1999 rendah dan lebih rendah lagi pada Pemilu
2004. Untuk kajian ringkat dan padat, lihat Greg Fealy and Bernhard W. Platzdasch, “The
Masyumi Legacy: Between Islamist Idealism and Political Exigency,” Studia Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 12, No. 1, 2005, h. 73-100.
30
Bernhard W. Platzdasch, Religious Dogma, Pluralism and Pragmatism:
Constitutional Islamism in Indonesian Politics (1998-2002), (Ph.D. Thesis, the Australian
National University, March 2005), h. 60.
31
Hefner, Civil Islam…, h. 105.

6
seperti Hussein Umar; tokoh MUI KH. Hasan Basri; penyair Taufiq Ismail;
akademisi seperti Imadudin Abdulrahim (Ketua Masjid Salman, dosen ITB), Yusril
Ihza Mahendra (dosen Universitas Indonesia), AM. Saefuddin, dan Didin
Hafidhudin (Universitas Ibnu Khaldun Bogor), tokoh Persis Jawa Barat KH. Latief
Muchtar, tokoh muda Muhammadiyah lulusan kampus Barat, seperti Amien Rais
dan Kuntowijoyo, hingga kalangan pesantren, seperti KH. Affandi Ridhwan.32
Tokoh-tokoh yang bercampur antara generasi tua dengan generasi muda
inilah yang tercatat menyusun blue print gerakan dakwah DDII, yang disebut
“Khittah Dakwah Islam Indonesia” (KDII) selama periode 1988-1990.33 Kondisi ini
dicatat oleh Lukman Hakiem dan Tamsil Linrung sebagai bentuk gerakan DDII yang
inklusif, bukan eksklusif: “Kepengurusan demi kepengurusan memperlihatkan
dengan jelas keteguhan sikap para pemimpin Dewan Dakwah yang ingin menjadikan
yayasan ini sebagai lembaga yang inklusif, mencakup sebanyak mungkin kalangan
ulama dan tokoh-tokoh umat Islam Indonesia dalam mengelola aktivitas dakwah.”34
Dalam konteks inilah, sesunguhnya ada polarisasi pemikiran dan praktik
dakwah-politik pada kalangan elite DDII. Sementara tokoh awal DDII mayoritas
moderat, sebagaiman dijelaskan Hefner, ada faksi radikal-nonkompromistik
sebagaiman tercermin pada para penulis Media Dakwah DDII: “The
uncompromising writing style I describe…for Media Dakwah was also a
characteristic of Persis.35 Bahkan pada generasi awal DDII, di kalangan para pendiri
dan pendukung utamanya, kecenderungan perbedaan pendekatan dakwah-politiknya
sudah mulai ada.
Sebagaimana dicatat dalam sejarah pergerakan Masyumi, di antara para
pemimpinnya kadangkala ada perbendaan pandangan dan sikap politik, misalnya
antara Natsir dan M. Roem. Sebagaimana diakui Natsir sendiri, kadangkala ada
perbedaan pandangan politik antara dirinya dengan Roem, walaupun hal tersebut
tidak membuat mereka berdua berpisah jalan.36 Yang dimaksud adalah visi
diplomatik Roem, termasuk yang kontroversial pada masa Masyumi, terkait masalah
perundingan Roem-Roijen. Yusril malah menyebutnya, “ketegangan yang panas”
antar-keduanya: Natsir did not agree with the Roem-Roijen negotiations' which
caused a heated debate between him and Roem in the 1949 Masjumi Congress in
Yogyakarta.”37

32
Hakiem dan Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 10-14.
33
Naskah Khitah Da’wah Islam Indonesia (KDII) sebagai blue print gerakan DDII
diarahkan sebagai panduan bagi seluruh kader dai, termasuk pada gerakan da‟wah lainnya,
seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lainnya. Naskah KDII disusun pada
1990 oleh para intelektual dan da‟i, dengan dipandu langsung oleh Mohamad Natsir. Lihat
“Pengantar Kata” M. Natsir pada arsip Khittah Dakwah Islam Indonesia, (Jakarta: DDII,
1990), h. iii-iv.
34
Hakiem dan Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 14.
35
Hefner, “Print Islam: Mass Media…,” h. 81, catatan kaki nomor 11.
36
M. Natsir, “Roem Tetaplah Roem” dalam Panitya Buku Peringatan Mohamad
Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun (ed.). Mohamad Roem 70 Tahun: Pejuang-Perunding.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
37
Mahendra, “Combining Activism and Intellectualism…,” h. 125.

7
Cara pandang dan pendekatan politik yang berbeda antara keduanya juga
ada, walau tidak terlalu menonjol, ketika membangun gerakan DDII. Hal ini terlihat
dari pilihan memposisikan pandangan dan sikap mereka berdua terhadap kondisi
politik nasional, khsusunya pemerintah Orde Baru ataupun wacana pemikiran politik
Islam. Natsir tampaknya memposisikan dirinya sebagai tokoh yang menaungi setiap
kalangan DDII. Jika waktu memimpin Partai Masyumi, Natsir menunjukkan
keberpihakannya yang sangat kuat terhadap demokrasi-konstitusional, maka di DDII
kepemimpinan Natsir menunjukkan dirinya sebagai “ideolog-kritis.” Dicatat Kahin,
hingga akhir hayatnya, Natsir sangat geram terhadap gaya otoriter Orde Baru, serta
ketidakadilan kebijakan ekonomi.38
Di pihak lain, keberadaan Roem di DDII malah menunjukkan dirinya
sebagai pihak yang sangat moderat. Tulisan-tulisan Roem, beberapa di antaranya,
memandang positif program Pemerintah. Ketika terjadi kontroversi masalah
Program Keluarga Berencana (KB), misalnya, berlainan dengan tokoh Islam lain
yang menggugat program tersebut atas dasar norma syari‟ah, tulisan Roem malah
bersifat objektif-sosiologis. Ia menyatakan sepakat dengan prinsipnya, namun
mengkritisi cara Pemerintah dalam mengkomunikasikan program tersebut.39
Dalam hal inilah bisa dipahami, DDII—yang diasumsikan sebagai kelompok
oposan terhadap Orde Baru di era 1970-1980-an ini—dalam beberapa programnya
malah terlibat kerja sama dengan Pemerintah itu sendiri. Salah satunya adalah
program pengiriman dai yang dikerjasamakan dengan Program Transmigrasi
Pemerintah. Fakta ini diceritakan oleh Lukman Hakim:
…yang cukup strategis, sejak Pemerintah menggalakkkan program transmigrasi,
Dewan Dakwah telah menyertai program itu dengan mengirimkan para juru
dakwah ke pelbagai lokasi transmigrasi di seluruh Indonesia. Model
pendekatannya pun tidak “atas-bawah”, melainkan “bawah-atas”. Artinya, jika
ada sesuatu lokasi transmigrasi membutuhkan da‟i, maka da‟i yang dikirim
mestilah da‟i yang masyarakat setempat sendiri sudah menyepakatinya…40
Para juru dakwah yang murni ini berjibaku di lapangan, berusaha untuk
melakukan proses Islamisasi baik terhadap kalangan non-Muslim ataupun penguatan
kadar keislaman terhadap kelompok masyarakat muslim nominal atau abangan.

38
Kata Kahin, “When I last talked with Natsir in early January 1991, approximately
a year before he died, he was clearly keenly disappointed and saddened by the condition of
his country. This was not only because he saw the Suharto government as showing a
stiflingly repressive authoritarianism. (“Sukarno,” he said, “was a gentleman in comparison
to Suharto.”) It was also because of his perception of the state of Indonesian society itself.
For he saw most of its upper strata as having become grossly materialistic, selfish, and shorn
of social conscience; with this development being accompanied by a widening gap between
rich.” Lihat Kahin. “In Memoriam: Mohammad Natsir…,” h. 165.
39
Mohamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia,
1989), h. 119. Kajian khusus tentang permasalahan KB di kalangan kelompok Islamis
Indonesia, lihat Andi Faisal Bakti. Communication and Family Planning in Islam Indonesia:
South-Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Leiden-Jakarta:
INIS, 2004).
40
Lukman Hakiem. “Tiga Windu Dewan Dakwah: Mesin Diesel yang
Menghidupkan,” Media Dakwah, Maret 1991.

8
Sebagaimana dicatat dalam penelitiannya oleh M. C. Riclefs, dalam beberapa hal,
para juru dakwah DDII mempunyai peran signifikan terhadap perubahan orientasi
keagamaan yang lebih shari’a-minded kelompok abangan ini, yang meluas baik dari
kalangan kelas bawah maupun kelas menegah perkotaan.41 Di antara tokoh juru
dakwah murni (yang bukan akademisi maupun politikus ini), di antaranya adalah
Syuhada Bahri, yang menjadi Ketua Umum DDII periode 2011-2015.
Dalam konteks pemikiran politik Islam, Roem pun mendukung pandangan
politik Amien Rais—yang dianggap “berubah” setelah kembali dari studinya di
Amerika—dengan pernyataan kontroversialnya; “Tidak Ada Negara Islam.” Dengan
bijak, Roem “membenarkan” pandangan Amien tersebut, melalui tulisannya secara
terbuka di media massa.42 Dengan tegas, ia menyatakan “Jadi, kalau Dr. Amien Rais
mengatakan bahwa tidak ada Negara Islam atau Islamic State, memang benar.
Dalam pada itu, saya rasa yang disusun oleh Nabi di Yatsrib, kemudian bersatu
dengan Mekkah, pada hakekatnya adalah suatu Negara, yang tidak dinamakan
Negara Islam oleh Nabi sendiri.”43
Inilah pandangan Roem dan Amien Rais yang kemudian sangat dihargai
oleh kelompok yang justru dianggap lawan DDII, yaitu Pembaruannya Nurcholish
Madjid dan Syafii Maarif. Ini juga yang kemudian menimbulkan korespondensi di
antara generasi tua dan generasi muda ini.44 Bisa dikatakan, kesamaan titik pandang
Roem-Amien Rais ini secara tidak langsung membuktikan model pendekatan
moderat faksi Muhammadiyah di DDII, karena keduanya berlatarbelakang keluarga
besar Muhammadiyah.
Asna Husin pun mencatat tentang perubahan orientasi dakwah-politik DDII
ketika dipimpin oleh Anwar Haryono. Konsep difa (pertahanan, mempertahankan
diri) dianggap Husin adalah murni milik Haryono, yang menjabarkan lebih jauh
konsep dan kebijakan dakwah.45 Dengan konsep itulah, dakwah dijalankan terutama
untuk menghadapi ancaman dari luar, seperti Kristenisasi. Pada bagian sebelumnya
telah disebutkan konsep ahlu kitab Haryono dianggap Husin, sangat moderat,
sehingga bisa memunculkan kesalingpahaman antar-umat beragama.
Langkah politis yang terbilang berani pun dilakukan Haryono, tidak lama
setelah Natsir wafat. Pada 24 April 1993, diselenggarakan Pertemuan Silaturahmi
Keluarga Besar Dewan Dakwah. Pada kesempatan itulah, Anwar Haryono
menyampaikan makalah berjudul “melangkah di Tengah Cuaca Yang Berubah”.
Pada intinya, Haryono mengarahkan DDII untuk bersikap lebih akomodatif terhadap
Pemerintah Orde Baru, dengan alasan “kesalah pahaman selama ini telah
dijembatani dan usaha saling mengerti semakin ditumbuhkan.”46

41
Merle C. Ricklefs. Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social,
Cultural and Religious History, (Singapore: NUS Press, 2012), h. 415.
42
Roem. “Tidak Ada Negara Islam” dalam Diplomasi: Ujung Tombak…, h. 240.
43
Roem, “Tidak Ada Negara Islam” dalam Diplomasi: Ujung Tombak…, h. 240.
44
Korespondensi ini kemudian dibukukan, dengan judul Tidak Ada Negara Islam:
Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 2000).
45
Husin, Philosophical and Sociological Aspects of Da'wah…, h. 108.
46
Lihat Anwar Haryono, Indonesia Kita: Pemikiran Berdasarkan Iman-Islam.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995).

9
Anwar Haryono sangat menghormati Natsir. Namun, ia berbeda dengan
Natsir. Ia mempunyai latar belakang dari Pesantren Tebuireng—yang merupakan
basis kultural NU—dan pernah menjadi guru sekolah Muhammadiyah di Surabaya.
Keterlibatannya sebagai politikus Masyumi juga dalam beberapa hal membuat
karakter Haryono lebih bisa menerima realitas politik, ketimbang tokoh-tokoh dari
kalangan juru dakwah murni ataupun akademisi. Sikap akomodasionasistik Anwar
Haryono, di satu pihak, adalah kelebihannya, tapi di pihak lainnya—terutama kader
muda DDII—justru dianggap kekurangannya, sebagaimana hasil wawancara
Bernhard Wolfgang Platzdasch.47
Hal inilah, menurut Platzdasch,48 yang membuat generasi muda yang
awalnya di gerbong DDII menjadi lebih tertarik pada gerakan tarbiyah, yang
kemudian bertransformasi menjadi partai politik—awalnya Partai Keadilan
kemudian Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang eksis hingga saat sekarang.
Sebagaimana dicatat Yudi Latif,49 sejak 1980-an telah ada lingkaran awal pengikut
IM dalam tubuh DDII, yang terdiri atas Abu Ridho dan beberapa aktivis yang lebih
muda seperti Mashadi (sekretaris pribadi Mohamad Roem) dan Mukhlish Abdi.
Pandangan dan praktik dakwah-politik tokoh DDII lainnya malah
menyeberang ke arah yang lebih kritis-pluralistik. Berbeda dengan senior Anwar
Haryono yang akomodatif, Amien Rais yang juga menjadi pengurus pusat DDII,
tetap bersikap kritis terhadap Pemerintah Orde Baru. Sikap Amien Rais yang sering
kontroversial dalam setiap pernyataannya itu memang sangat menarik perhatian pers
juga publik. Ketika Amien Rais semakin melambung namanya karena sikap
kritisnya kepada rezim Soeharto, hal ini telah membuat rezim Soeharto berang dan
dan merekayasa agar Amien Rais dicopot jabatannya sebagai Ketua Dewan Pakar
ICMI. Habibie pun ikut menekan agar Amien Rais mundur.50
Sikap Amien Rais di hari-hari “musim semi” umat Islam membentuk partai
politik Islam pasca lengsernya Presiden Soeharto, sekitar Juni-Juli 1998, kembali
kontroversial, terutama bagi kelompok besar DDII. Ketika itu DDII dan tokoh-tokoh
Islam lainnya sibuk mempersiapkan partai Islam penerus Masyumi yang kemudian
menjadi partai Bulan Bintang sekarang. Susunan pengurus DPP (sementara) sudah
sepakat ditentukan Amien Rais sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang dan
Yusril Ihza Mahendra sebagai Sekjen. Kejadian yang amat dramatis itu terjadi.
Amien menolaknya.51 Ia kemudian memprakarsai berdirinya PAN (Partai Amanat

47
Wawancara itu menyatakan: “Anwar was 'not progressive' and 'too
accommodative toward the government'. What is more, the campus activists claimed to act
on a deeper understanding of Islam. In the words of Mashadi: Our associates who studied in
the Middle East did not agree with Anwar because they held that he did not really
understand Islam…Anwar was more a politician than a da'i [preacher].” Platzdasch,
Religious Dogma, Pluralism and Pragmatism…, h. 76. (Catatan tebal dari penulis).
48
Platzdasch, Religious Dogma, Pluralism and Pragmatism…, h. 76-77.
49
Latief, The Muslim Intelligentsia of Indonesia…, h. 392.
50
Ilustrasi akan hal ini, lihat tulisan pembelaan terhadap Amien Rais dari koleganya
di DDII, Ahmad Sumargono. “Amien Rais dan Masa Depan ICMI”, Kompas, 24 Februari
1997.
51
Penolakan Amien Rais bahkan disertai pernyataan yang menyakitkan hati
seniornya di DDII: “Saya akan mendirikan partai lain yang lebih terbuka. Bagi saya partai

10
Nasional) bersama-sama Goenawan Mohammad dan Albert Hasibuan.52 Beberapa
tokoh senior DDII pun ikut masuk, seperti A. M. Luthfi dan Tamsil Linrung.53 Tidak
hanya itu, Amien pun menolak memperjuangkan “Tujuh Kata Piagam Jakarta” ke
dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang sedang proses diamandemen. Padahal pada
saat yang sama, DDII secara resmi menyatakan sikap dukungan tegas terhadap
usulan memperjuangkan syari‟at Islam dalam bentuk Piagam Jakarta.54
Fenomena sosial-politik yang mewarnai perjalanan sejarah DDII
menunjukkan wajah Islam yang tidak bersifat monolitik. Sangat dimungkinkan
terjadi penafsiran pada hukum Islam, termasuk kaitannya dengan politik-kenegaraan,
di kalangan yang berideologi Islam itu sendiri.55 Di kalangan DDII itu sendiri,
pandangan-pandangan politiknya cukup beragam. Bahkan seringkali terjadi
perbedaan-perbedaan pandangan yang cukup tajam berkenaan dengan penyikapan
realitas politik, terutama era reformasi. Fenomena ini memperlihatkan karakteristik
gerakan dan pemikiran politik elite-elite DDII yang dinamis. Lebih jauh, dari
perdebatan di antara elite DDII, terlihat bahwa pandangan politik elite DDII tidak
tunggal (monolitik), bahkan terpolarisasi ke beberapa kutub gerakan. Adanya
perbedaan pandangan politik dari tokoh-tokoh puncak DDII ini tentu saja
mempunyai dampak yang tidak kecil bagi keutuhan dan eksistensi organisasi
tersebut di masa depan.
Oleh karena itu, dipandang perlu sebuah kajian yang mengungkapkan dan
membahas kiprah dakwah-politik DDII dengan segala dinamikanya. Lebih khusus,
tulisan ini mencoba menguraikan polarisasi pemikiran dan praktik dakwah para elite
DDII, serta jaringan yang dipergunakannya di Indonesia. Penelitian ini diberi judul:
“Polemis dan Reaksioner: Telaah atas Pemikiran dan Praktik Dakwah-Politik Pada
Elite DDII 1967-2015.”

seperti Partai Bulan Bintang ibarat baju akan “kesesakan” jika saya pakai.” Lihat Ahmad
Sumargono, “Quo Vadis Amien Rais,” Suara Islam, Juni 2008.
52
Amien Rais pada momen awal reformasi tersebut berusaha menampilkan citra
baru sebagai pemimpin nasional, tidak hanya sekedar kelompok Islam, apalagi hanya DDII.
Hal ini jelas dipengaruhi kondisi sosial-politik yang mewarnai gerakan reformasi.
Sebagaimana dianalisis Yudi Latif, Amien Rais menjadi ikon dari gerakan perlawanan. Pada
tanggal 12 Mei 1998, dia memimpin pembentukan sebuah front perlawanan, yaitu Majelis
Amanat Rakyat (MAR) yang beranggotakan lima puluh lima reformis terkemuka yang
mewakili spectrum luas dalam masyarakat. Dari sini bisa dipahami ketika ia
mendeklarasikan Partai Amanat Nasional. Lihat Latief, The Muslim Intelligentsia of
Indonesia…, h. 398.
53
Abdulllah Hehamahua, “Insinyur Yang Sejarawan” dalam Luthfi Bukan Ludwig:
Catatan Para Sahabat A. M. Luthfi, (Jakarta: Media Dakwah, 2007), h. 85-86.
54
Dalam merespon pernyataan-pernyataan kontroversi Amien inilah terbit Surat
Pernyataan DDII yang ditandatangani KH. Affandi Ridwan sebagai Ketua Umum. Surat
dengan No. 244/A-Dewan Dakwah/X/1424 H/2003 M tanggal 6 Oktober 2003 pada
umumnya berisi tausiyah terhadap Amien Rais (lihat Arsip DDII). Untuk konteks perjuangan
yang mengulang ide Masyumi, lihat Fealy and Platzdasch. “The Masyumi Legacy…,” h. 73-
100.
55
Lihat Pepen Irpan Fauzan dan Ahmad Khairul Fata. “Model Penerapan Syari‟ah
Dalam Negara Modern: Studi Kasus Arab Saudi, Iran, Turki dan Indonesia,” Al-Manahij:
Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. XII, No. 1, Juni 2018, h. 51-69.

11
B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Permasalahan
Penelitian terkait sejarah pemikiran politik Islam di Indonesia menunjukkan
adanya berbagai pandangan tokoh Islam yang bervariasi, bahkan tak jarang berbeda
secara diametral satu sama lainnya. Berbagai permasalahan yang mengiringi
perdebatan di kalangan tokoh Islam Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, terkait konsep negara Islam versus negara nasional; Kedua, hubungan
agama dengan negara, apakah bersifat formal atau substantif; Ketiga, hubungan dan
implementasi syari‟ah dalam konteks negara modern; Keempat, perdebatan masalah
Islam atau Pancasila sebagai dasar negara, termasuk masalah historis dan kedudukan
politis-yuridis Piagam Jakarta 22 Juli 1945 di era Reformasi.
Itulah tema-tema pokok yang menjadi bahan perdebatan para tokoh Islam
Indonesia dari zaman awal berdirinya negara Indonesia hingga saat kontemporer.
Hal ini juga terjadi di kalangan tokoh jamiyah DDII. Tema-tema permasalahan
politik tersebut di atas juga diperdebatkan tokoh-tokoh DDII. Perbedaan pemikiran
dan sikap politik tokoh DDII pun tak pelak terjadi dan berdampak terjadinya
polarisasi gerakan dakwah-politik pada kalangan elite-elite organisasi DDII itu
sendiri.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut, maka permasalahan pada
penelitian ini dirumuskan pada pertanyaan pokok: Bagaimana dinamika polarisasi
gerakan dakwah-politik pada elite DDII dalam lintasan sejarah Indonesia? Dari
pertanyaan pokok tersebut, dirumuskan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya sebagai
berikut:
1) Mengapa bisa terbentuk polarisasi gerakan dakwah-politik para elite DDII?
2) Apa bentuk dan karakteristik pemikiran dan praktik dakwah-politik para elite
DDII?
3) Seperti apa jaringan dakwah-politik terbentuk dengan adanya polarisasi elite
DDII tersebut?
4) Apa dampak polarisasi elite DDII terhadap keutuhan dan masa depan organisasi
tersebut?

3. Pembatasan Masalah
Ruang lingkup kajian ini dibatasi pada aspek pemikiran politik elite-elite
DDII di Indonesia. Kajian ini dimulai pada tahun 1967, karena memang sejak tahun
inilah DDII berdiri. Karena pendirinya adalah para mantan politikus Partai
Masyumi, secara otomatis dalam awal berdirinya, gerakan dakwah DDII terhadap
masalah politik sudah terlihat. Sedangkan tahun 2015 di era reformasi dijadikan
batas akhir penelitian ini, untuk melihat proses kesinambungan dan perubahan
selama tiga generasi. Pada rentang periode 2011-2015 inilah, DDII dipimpin oleh
elite juru dakwah non-politikus. Sementara periode berikutnya baru terbentuk,
sehingga belum berakhir masa jabatannya.
Adapun yang dimaksud dengan “Dakwah-Politik” disini adalah simplikasi
dari ungkapan Natsir sebagai orientasi umum gerakan DDII, yaitu “berpolitik

12
dengan dakwah.” Jadi, DDII menjadikan politik sebagai aspek integral dari gerakan
dakwah. Dalam tinjauan konsep politik, “dakwah-politik” ini dimasukkan pada
kategori sikap, prilaku dan budaya politik.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan pokok yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan dan mengeskplanasi perbedaan pandangan, praktik dan jaringan
pada elit DDII terkait gerakan dakwah-politik di Indonesia. Dari tujuan pokok
tersebut, maka penulis bermaksud:
1. Menganalisis latar-belakang dan faktor penyebab timbulnya polarisasi gerakan
dakwah-politik para elite DDII.
2. Menganalisis bentuk dan karakteristik pemikiran dan praktik dakwah-politik para
elite DDII.
3. Mendeskripsikan jaringan dakwah-politik terbentuk dengan adanya polarisasi
elite DDII tersebut.
4. Menganalisis dampak polarisasi elite DDII terhadap keutuhan organisasi,
sekaligus menguraikan prediksi masa depan organisasi tersebut.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian


Melalui penelitian ini, penulis bermaksud untuk memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan tentang kehidupan sosial-politik umat Islam di Indonesia pada masa
menjelang dan awal kemerdekaan bangsa ini. Kontribusi ini bisa dilihat dari
eksplanasi historis mengenai sumbangsih pemikiran dan praktik politik yang
dilakukan organisasi DDII, sebuah organisasi sosial-keagamaan yang cukup
berpengaruh di Indonesia. Sejauh menyangkut pembangunan politik di Indonesia,
DDII telah memperlihatkan suatu karakter politik yang khas. Penjelasan aktivitas
politik DDII merupakan data historis yang unik, karena menunjukkan suatu corak
pemikiran tokoh-tokohnya yang keras—bahkan terkadang radikal—tapi selalu
dilandasi nilai etis keagamaan yang kuat. Pada satu segi, kerasnya sikap politik DDII
menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap perjuangan ideologi Islam. Akibatnya,
pada segi lain, yang dikritisi DDII tidak saja kalangan nasionalis sekular maupun
kristen yang nota bene lawan ideologis sekaligus agama, tapi juga kalangan Islam—
dan bahkan tokoh DDII—itu sendiri yang dipandang telah bergeser dari rel Islam.
Berbicara tentang DDII cenderung selalu dihubungkan dengan tipologi
radikalisme, terutama berkenaan dengan permasalahan pendirian negara Islam.
Dalam konteks inilah, tulisan ini ditujukan khusus untuk memperlihatkan adanya
perbedaan-perbedaan pandangan elite-elite DDII tentang negara Islam. Bahwa
pandangan politik DDII tidak monolitik (tunggal). Ada variasi-variasi pandangan
tertentu yang harus daijadikan bahan renungan dan pemahaman tentang eksistensi
negara Islam, khususnya bagi kalangan masyarakat anggota DDII, umumnya adalah
umat Islam Indonesia.
Demikianlah, penelitian ini penulis tujukan untuk menunjukkan bahwa DDII
tidak identik sebagai organisasi skripturalistik-fundamentalistik. Khususnya dalam
kiprah politik DDII, pemikiran dan sikap politik elit DDII tidak monolitik. Melalui
deskripsi profil organisasi DDII di Indonesia, khususnya dalam bidang dakwah-
politik, diperlihatkan analisis yang mendalam tentang karakteristik dakwah-politik

13
DDII. Terdapat di dalamnya kajian tentang keberagaman sikap dan pandangan
politik elite DDII.
Secara khusus, penelitian ini bermaksud menunjukkan adanya perbedaan
pandangan dan praktik politik antara elite DDII yang berlatarbelakang juru dakwah
murni, akademisi, serta politikus, serta jaringan yang dipergunakan oleh mereka.
Penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang pengalaman dan aktivitas politik
para elite DDII ini, serta jaringan asal dan yang baru terbentuk, mempengaruhi cara
pandang dan sikap politik di antara mereka. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
adanya perbedaan pandangan politik ini menyebabkan timbulnya polarasisai pada
elite DDII, yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap
eksistensi dan daya-pengaruh politik organisasi dakwah ini di era masa depan politik
Indonesia.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Kajian tentang politik Islam di Indonesia telah dilakukan oleh banyak
peneliti, khususnya kajian yang membahas perdebatan tentang hubungan agama
dengan negara di Indonesia. Di antaranya adalah Ahmad Syafii Maarif,56 B. J.
Boland,57 Deliar Noer,58 Endang Saefudin Anshary,59 Bahtiar Efendy,60 dan lainnya.
Terkait dengan organisasi massa Islam ada kajian dari Lukman Harun,61 M. Rusli
Karim,62 dan Einaar Sitompul.63 Pada umumnya, kajian-kajian tersebut
membicarakan dinamika perdebatan pemikiran antara kelompok Islam versus
kelompok nasionalis-sekuler. Kajian-kajian tersebut berguna untuk memetakan
perdebatan masalah hubungan agama dengan Negara di Indonesia. Lebih jauh,
teulisan-tulisan tersebut mengangkat masalah politik Islam baik pada era awal abad
ke-20, awal Kemerdekaan, Orde Lama hingga Orde Baru. Dalam hal ini, bisa
dipahami akar-ideologis munculnya paham Islamisme pada kalangan umat Islam
Indonesia. Terkait dengan kajian DDII, penelitian-penelitian tersebut di atas
mengarahkan hubungan dan proses transformasi dari ieologi perjuangan Masyumi.
Kajian kualitatif Bahtiar Efendi dan Soetrisno Hadi, Agama dan
Radikalisme di Indonesia,64 dan dibahas secara kualitatif dan kuantitatif oleh Saiful

56
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
Dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1997).
57
B. J. Boland. The Struggle of Islam in Modern Indonesia, VKI Vol. 59, (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1971/1982).
58
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti, 1978).
59
Endang Saefudin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1998).
60
Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2004).
61
Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1986).
62
M. Rusli Karim, HMI MPO, (Bandung: Mizan, 1995).
63
Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989).
64
Bahtiar Efendi dan Sustrisno Hadi (ed.). Agama dan Radikalisme di Indonesia,
(Jakarta: Nuqtah, 2008).

14
Muzani, Muslim Demokrat.65 Kajian-kajian tersebut di atas memperlihatkan masih
adanya keinginan dan pemikiran-pemikiran tentang eksistensi negara Islam di
Indonesia kontemporer, khususnya masalah penegakan syariat Islam. Khususnya
Saiful Muzani, kajiannya membedah permasalahan ini juga dengan latar belakang
sejarah perdebatan di kalangan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia zaman pra dan
awal kemerdekaan, namun. Sayangnya, terkait peran DDII tidak dibahas secara
mendalam, hanya sekilas saja. Hal ini disebabkan fokus kajiannya justeru pada masa
pascareformasi 1997-1998.
Terkait kajian yang membedakan paradigma politik Islam telah dilakukan
diantaranya oleh Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam
Politik Islam,66 dan Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara,67 juga mengelaborasi
secara mendalam pemikiran konseptual negara Islam dari para tokoh Islam
Indonesia periode 1945-1960-an, terutama M. Natsir. Kedua kajian ini sangat
berguna dalam memahami konsep negara Islam melaui dua paradigma pemikiran
politik Islam, yaitu modernisme dan fundamentalisme. Namun, dalam
membandingkan kedua paradigma politik Islam tersebut, baik Yusril maupun
Kamaruzzaman justeru mengambil dua tokoh dari dua negara yang berbeda, yakni
M. Natsir dari Indonesia dengan Imam Al Maududi dari Pakistan. Oleh karena itu,
kedua kajian tersebut kurang menekankan perbedaan-perbedaan pandangan tentang
negara Islam dari tokoh-tokoh Islam Indonesia.
Kajian lainnya terkait hubungan dialektik Islam dengan politik di negara lain
adalah M. Hakan Yavuz di Turki, Secularism and Muslim Democracy in Turkey,68
dan permasalahan yang lebih umum di dunia Islam oleh John L. Esposito dan John
O. Voll. Demokrasi di Negara-negara Muslim.69 Kajian ini memperlihatkan
dinamika di kalangan umat Islam yang terpolarisasi dalam melihat hubungan agama
dengan negara. Kajian Hamdan Daulay. Pergeseran Strategi Politik Islam di
Malaysia,70 dan Ahmad Saidah, Islam dan Demokrasi di Malaysia: Hubungan
Agama dan Negara yang Unik,71 merupakan kajian penting untuk melihat
perbandingan pola hubungan antara agama dengan negara di negeri jiran. Kajian-
kajian di berbagai negara-negara tersebut menunjukkan bahwa tidak ada bentuk
baku terkait pola hubungan agama dengan negara.
Khususnya terkait gerakan dakwah-politik DDII sebagai bagian dari gerakan
Islam di Indonesia telah diteliti oleh R. William Liddle. Sebagaimana telah disebut

65
M. Saiful Muzani, Muslim Demokrat, (Jakarta: Gramedia, 2008).
66
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam,
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1999).
67
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
68
M. Hakan Yavuz, Secularism and Muslim Democracy in Turkey, (New York:
Cambridge University Press, 2009).
69
John L. Esposito dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-negara Muslim,
(Bandung: Mizan, 1999).
70
Hamdan Daulay. Pergeseran Strategi Politik Islam di Malaysia (Studi Tentang
Perilaku Politik UMNO Dan PAS Pada Masa Pemerintahan Mahathir Mohammad Dan
Abdullah Ahmad Badawi), (Disertasi S3 Pada Fisip UGM, 2011).
71
Ahmad Saidah, “Islam dan Demokrasi di Malaysia: Hubungan Agama dan
Negara yang Unik,” Jurnal Millah, Vol. X, No 2, Februari 2011.

15
terdahulu, Liddle menyebut para penulis Media Dakwah sebagai kaum skripturalis,
yang menjadi lawan kaum substansialis. Menurut Liddle, dalam iklim politik yang
lebih terbuka dan demokratis, dan dalam wilayah bermain yang lebih luas, kaum
skripturalis mungkin akan punya sumber-sumber politik yang lebih luas: dalam
penerimaan massa terhadap gagasan mereka, media massa, aliansi, organisasi, dan
akses kepada para politisi. Tetapi Liddle juga menambahkan, model Islam yang
skripturalis tidak akan didukung kompleksitas Islam di Indonesia dan pada
umumnya budaya dan masyarakat Indonesia. Menurutnya, gerak maju kaum
skripturalis akan terus ditentang oleh tiga persekutuan: kaum abangan yang masih
berperan penting; kaum tradisionalis santri yang tidak pernah suka kepada Islam
yang “mutlak-mutlakan”; dan kaum modernis sendiri.
Kajian-kajian lainnya menunjukkan permasalahan adanya perbedaan visi
tentang negara Islam di kalangan para aktivis-revivalis ini yang dielaborasi secara
kualitatif oleh peneliti Robert W. Hefner dengan dua kajian utamanya Print Islam:
Mass Media and Ideological Rivalries Among Indonesian Muslims dan Civil Islam:
Muslims and Democration in Indonesia.72 Kedua studi tersebut emngelaborasi
keberadaan organisasi Islam, termasuk DDII secara mendalam. Melalui kedua kajian
tersebut, Hefner menolak tesis Liddle terkait ideologisasi skripturalismenya. Hefner
menunjukkan bahwa DDII beragam. Dalam keragamannya tersebut, bagi Hefner,
DDII masa Natsir berbeda dengan setelahnya. Pasca Natsir, DDII lebih konservatif,
sehingga perannya lebih minim.
Studi Hefner73 terkait agama dan politik yang mengambil studi kasus di
pedesaan Jawa Timur juga penting untuk memahami bagaimana di bawah politik
Orde Baru, proses Islamisasi menjadi lebih dalam, karena adanya gerakan intensif
dari pendakwah. Sementara studi M. C. Ricklefs lebih komprehensif mengupas
proses Islamisasi di Pulau Jawa semenjak 1930-an hingga era reformasi. Kajian
Ricklefs ini sangat penting, karena meninjau dari aspek sosial, budaya, politik dalam
perspektif sejarah. Dalam hal ini, diuraikan salah satunya gerakan dakwah DDII
dengan berbagai jaringannya di Pulau Jawa, sehingga kajian Ricklefs ini menjadi
sangat penting untuk memahami persebaran jaringan DDII dan dampaknya dalam
proses Islamisasi.74
Demikian juga kajian Yudi Latief. Sebagai sebuah kajian tentang sejarah
intelektual, disertasi Yudi Latief ini bertitik tolak dari abad ke-19 kemudian bergerak
ke abad 20 dengan konsentrasi kemunculan “inteligensia” dan pelbagai
pergulatannya dalam mencari pengakuan dan otoritas politik. Disertasi ini
memetakan peralihan antargenerasi yang identifikasi populernya, di setiap periode,
memberikan pengertian tentang keterlibatan historis dari horizon intelektual mereka.
Dari kaoem moeda, bangsawan pemikir, pemoeda peladjar, hingga sarjana dan
cendekiawan Muslim Indonesia dari generasi ke generasi bergumul dengan

72
Robert W. Hefner, “Print Islam…”; dan Civil Islam: Muslims and Democration in
Indonesia, (Oxford: Princeton University Press, 2000).
73
Rober W. Hefner. „Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java‟, The
Journal of Asian Studies, Vol. 46. No. 3 (Aug., 1987), h. 533-554.
74
M. C. Ricklefs. Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social,
Cultural and Religious History, Singapore: NUS Press, 2012.

16
persoalan bagaimana menentukan posisi mereka di tengah arena nasional dan
merespons isu-isu penting di dunia Muslim.75
Yang penting dari Yudi Latief terkait peran elite intelektual DDII, selain
perumusan ideologi dakwah-politik, juga analisi perannya pada era Orde Baru 1970-
1997. Beragam respons intelektual Muslim yang saling bertentangan terhadap
modernisasi Orde Baru dan marjinalisasi Islam politik. Pelbagai respons dari pilihan
yang diambil telah menyulut perdebatan-perdebatan ideologis internal di kalangan
Muslim dalam merespons “modernisasi-cum-sekulerisasi” Orde Baru. Generasi
kedua intelektual Muslim (generasi Natsir) cenderung memilih pilihan non-
kooperatif. Ketika mendapati bahwa peran politik mereka dihalang-halangi, mereka
beralih ke gerakan pendidikan dan dakwah. Di antara kontribusi besar terakhir
mereka kepada gerakan intelektual Islam ialah terbentuknya kader-kader yang dilatih
untuk menjadi pemimpin gerakan dakwah di masa depan dan dukungan motivasi dan
dana bagi terbentuknya masjid-masjid kampus.76
Kajian lebih kontemporer dilakukan oleh Bernhard W. Platzdasch, dengan
judul Religious Dogma, Pluralism and Pragmatism: Constitutional Islamism in
Indonesian Politics (1998-2002). PhD Thesis the Australian National University,
March, 2005.77 Nilai lebihnya, dalam hal ini, Platzdash mengkhususkan untuk
menguraikan paham dan gerakan Islamisme di Indonesia, salah satunya adalah
gerakan DDII. Dalam kajiannya inilah, dianalisi bagaimana terbentuknya keluarga
besar bulan-bintang, jaringan DDII, serta proses perkembangan dan gerakannya
dalam blantika politik nasional. Melalui kajiannya ini bisa menjadi titik awal untuk
memahami lebih lanjut polarisasi yang terjadi di tubuh DDII.
Andi Faisal Bakti meneliti DDII dengan topik Communication and Dakwah:
Religious Learning Groups and Their Role in the Protection of Islamic Human
Security and Rights for Indonesian Civil Society.78 Sebagai terlihat dari judulnya,
kajian Bakti mendiskusikan DDII sebagai organisasi civil society dalam hubungan
dengan kontribusinya sebagai pusat pelatihan keagamaan. Menurut Bakti,
pendekatan yang dilakukan DDII cenderung kaku, bersifat politis, kurang
lomunikatif, banyak tergantung pada tafsir yang telah ketinggalan jaman, bersikap
tidak fair terhadap hak-hak wanita, kaum minoritas, dan pelanggar hukum. Mereka
cenderung eksklusif dan anti nilai-nilai Barat, seperti materialisme dan atheisme.
Walaupun demikian, Bakti berpendapat, bahwa DDII sebagai organisasi civil society
seharusnya tidak dicap sebagai fundamentalis menurut terma paham Kristen maupun
kaum reaksioner. Sebabnya ialah DDII hanya berupaya untuk melindungi keamanan
dan hak asasi umat Islam.

75
Yudi Latif. The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of lts Emergence
th
in the 20 Century. (Canberra: Australian National University, 2004).
76
Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia…, h. 345.
77
Bernhard W. Platzdasch. Religious Dogma, Pluralism and Pragmatism:
Constitutional Islamism in Indonesian Politics (1998-2002), (PhD Thesis the Australian
National University, March, 2005).
78
Andi Faisal Bakti. “Communication and Dakwah: Religious Learning Groups and
Their Role in the Protection of Islamic Human Security and Rights for Indonesian Civil
Society,” in Wayne Nelles, ed., Comparative Education, Terorism, and Human Security:
From Critical Pedagogy to Peaceful Buildings (Macmillan: Palgrave, 2003).

17
Kajian yang meneliti langsung terkait gerakan DDII dilakukan oleh Asna
Husin, dengan judul Philosophical and Sociological Aspects of Da'wah: A study of
the Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang merupakan disertasi di Columbia
University pada tahun 1998.79 Inilah karya yang pertama kali secara khusus
mengupas tentang sepak terjang organisasi DDII, baik dalam lapangan sosial-
keagamaan maupun politik. Dari buku inilah kita bisa menelusuri jejak historis
keterlibatan DDII dengan masalah politik-ketatanegaraan. Dinamika yang terjadi
dalam tubuh organisasi pun dikupas secara lebih mendalam. Misalnya, tokoh-tokoh
yang dikupas pemikirannya secara mendalam anara Natsir dengan Anwar Haryono.
Demikian juga, analisa terhadap kebijakan-kebijakan resmi yang dikeluarkan
organisasi, sedikitnya menambah pengetahuan bagaimana karakter organisasi yang
disimpulkan sebagai gerakan modernis-reformis itu. Ulasan yang lebih mendalam
terlihat dengan dikajinya studi kasus gerakan dakwah DDII di Mentawai, Sumatera
Barat serta Jamaah Muhtadin di Yogyakarta.
Kajian yang membahas sikap politik DDII dilakukan oleh Saiful Amin.
Disertasinya pada SPS UIN Syarif Hidyatullah Jakarta ini berjudul “Sikap Politik
Dewan Dakwah Pasca Mohamad Natsir (1993-2005): Kajian Surat-Surat Pernyataan
Politik.”80 Kajian Saiful Amin ini sangat menarik, karena memuat analisi data baru
terkait sikap politi DDII pasca-Natsir. Elaborasi Amin malah lebih banyak pada
sikap politik di era reformasi, baik respon terhadap Pemilu, hingga masalah sikap
terkait Piagam Jakarta. Namun, elaborasi Amin ini hanya terbatas pada pernyataan
resmi DDII, sehingga tidak mengupas lebih jauh pemikiran dan aksi politik tokoh-
tokohnya.
Kajian terkait DDII juga dilakukan oleh Tiar Anwar Bachtiar, “Setengah
Abad Dewan Dakwah Berkiprah Mengokohkan NKRI.”81 Karya Bachtiar ini
menambah pengetahuan data-data baru yang primer tentang sepak terjang DDII,
termasuk di dunia politik. Kajian Tiar mendeskripsikan perkembangan pemikiran
dan kegiatan intelektualitas pemimpin-pemimpin DDII, dari mulai Natsir, Rasyidi,
daud Rasyid, hingga Adian Husaini dengan Insist-nya. Dengan demikian, buku ini
memuat lebih banyak data tentang aktivitas dakwah, politik, perdebatan pemikiran
DDII. Walaupun demikian, karya-karya ini tidak memuat atau menambah analisis
baru. Substansi kupasannya tidak jauh berbeda dengan para penulis sebelumnya,
hanya ditekankan terkait sikap politik DDII yang mendukung syari‟at, namun tetap
di bawah payung NKRI dan Pancasila.
Berdasarkan hal inilah, penulis bermaksud menambah khazanah
pengetahuan tentang gerakan DDII yang lebih dikhususkan pada permasalahan
politik-ketatanegaraan. Kajian penulis akan lebih dititikberatkan pada pergulatan
elite-elite DDII dalam merumuskan identitas politik Islam di Indonesia. Termasuk di

79
Asna Husin. Philosophical and Sociological Aspects of Da'wah: A study of the
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (PhD Thesis, Columbia University, 1998).
80
Saiful Amin. Sikap Politik Dewan Dakwah Pasca Mohamad Natsir (1993-2005):
Kajian Surat-Surat Pernyataan Politik, (Disertasi S3 pada SPS UIN Syarif Hidyatullah
Jakarta, 2008).
81
Tiar Anwar Bachtiar, Setengah Abad Dewan Dakwah Berkiprah Mengokohkan
NKRI, (Jakarta: DDII, 2019).

18
dalamnya, analisis-deskriptik perbedaan-perbedaan pemikiran para tokohnya, serta
dampaknya terhadap organisasi DDII.

F. Metodologi Penelitian
1. Metode dan Prosedur Penelitian
Dalam meneliti tentang kiprah politik elite DDII, penulis memakai prosedur
penelitian sejarah. Dalam hal ini, prosedur tersebut meliputi: pertama, Heuristik
atau pengumpulan sumber. Tahap kedua, Kritik yaitu proses pengujian keontetikan
sumber (kritik ekstern) dan kredibilitas sumber (kritik intern). Tahap ketiga,
Interpretasi yaitu proses analisis dan sintesis terhadap data-data historis yang
didapatkan. Tahap keempat, historiografi; yaitu tahap akhir penulisan penelitian.82
Adapun sumber-sumber yang dipakai dalam penelitian ini terbagi dua jenis;
sumber primer, yaitu data yang berasal dari orang yang terlibat langsung atau saksi
sejarah dalam proses pergerakan politik DDII dan sumber sekunder, yaitu data
pendukung. Sumber primer, penulis kumpulkan dari arsip-arsip yang ada pada
organisasi DDII, tulisan para tokoh DDII yang berkenaan dengan politik Islam,
maupun berita-berita yang ada pada berbagai majalah maupun harian umum yang
diterbitkan baik oleh pihak DDII maupun lainnya, yang berkenaan dengan kiprah
politiknya. Sebagian besar sumber-sumber itu diperoleh di Kantor Pusat DDII
Jakarta, Kantor Cabang DDII Jabar di Bandung, dan Perpustakaan Nasional RI di
Jakarta. Adapun sumber sekunder, penulis dapatkan dari buku-buku dan majalah-
majalah yang berkenaan dengan dinamika pergumulan politik di Indonesia, teori
politik Islam, teori budaya politik dan sebagainya yang ada di Perpustakaan SPS
UIN Jakarta, perpustakaan pribadi tokoh, serta koleksi pribadi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sedangkan teknik mengumpulkan data, tahapan penelitian yang dilakukan
meliputi:
1) Studi pustaka, dilakukan untuk menemukan berbagai sumber data, terutama
terkait desain teoretik penelitian;
2) Studi lapangan, ditempuh dengan teknik:
a) Studi Dokumentasi, yaitu meneliti berbagai dokumen yang ada, terutama
dokumen-dokumen yang berasal dari pelaku atau jamiyah DDII;
b) Wawancara, yaitu melakukan tanya-jawab dengan para pelaku elit-elit
DDII, baik yang ada di kantor pusat DKI Jakarta maupun di salah satu
cabangnya di wilayah Jawa Barat, serta dengan para tokoh Ormas Islam
yang berafiliasi dengan DDII. Terutama Persis, hubungannya dengan DDII
sangat erat, sehubungan dengan tokoh Persis yang menjadi pendiri sekaligus
ketua umum DDII.
3. Metode Analisis Data: Pendekatan Social-Scientific History
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan multi
disiplin. Di kalangan sejarawan lebih dikenal dengan social-scientific history
approach. Pendekatan sejarah yang bersifat diakronistik (memanjang dalam waktu)
dengan penggunaan teori dan konsep dari ilmu sosial yang bersifat sinkronistik

82
Louis Gottscalk. Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 46-95. Lihat juga
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), h. 26.

19
(kajian struktural).83 Dalam usaha untuk menempatkan kondisi-kondisi sinkronik
dalam sebuah konteks diakronik, susunan penulisan sejarah ini didasarkan pada
kronologi. Namun, untuk menghadirkan suatu pendekatan interaktif, metode
kronologis ini dikombinasikan dengan penyusunan penulisan secara tematik. Sub-
sub topik dari setiap bab meliputi bahasan tentang sejarah politik DDII dan peta
jaringan elit-elitenya yang terbentuk.
Sesungguhnya, dengan model penelitian yang interdisipliner ini bisa lebih
komprehensif dalam penjelasan terkait kesinambungan (diakronis) serta perubahan-
perubahan di dalam strukturnya (sinkronis). Ini, misalnya yang dipergunakan Yudi
Latif. Sebagai kajian sosiologi-politik, Yudi Latif menyebutkan kelebihan
pendekatan sejarah terletak pada sisi penjelasan kesinambungan dan sekaligus
dinamika perubahan di dalamnya: Thus, alongside diachronic continuity there have
been synchronic changes.84
Untuk memahami dinamika dalam pergulatan pemikiran dan sikap politik
pada elite-elite DDII serta adanya polarisasi pandangan dan pendekatan politiknya,
dijelaskan dengan menggunakan konsep kontinyuitas dan perubahan sejarah. Sejarah
merupakan sebuah gerak kesinambungan dan perubahan yang terjadi pada
kehidupan masyarakat, termasuk pada dunia pesantren. Sebagaimana dijelaskan
pakar sejarah sosial Peter Burke dalam karyanya Sejarah dan Teori Sosial,85
kontinyuitas dan perubahan merupakan dua konsep yang terikat satu sama lainnya.
Kontinuitas sering digambarkan secara negatif sebagai inetia (kelambanan),
meskipun hal ini dalam kasus-kasus tertentu menunjukkan penggambaran yang lebih
positif dari proses peradaban.
Burke memandang bahwa konsep tersebut sepadan pengertiannya dengan
“teori generasi.” Teori itu menekankan pada 'lokasi bersama dalam proses-proses
sosial dan sejarah' dalam bentuk pandangan tertentu terhadap dunia atau mentalitas.
Dengan demikian, konsep kontinuitas dapat pula dipahami sebagai 'sejarah tanpa
pergerakan' (histoire immobile) atau gerakan-gerakan yang bersifat siklus di dalam
sebuah sistem yang cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang relatif stabil.
Berdasarkan konsep kontinuitas ini, diketahui bahwa kejadian-kejadian dapat
dihubungkan dengan perubahan-perubahan struktur melalui rasa memiliki generasi
tertentu, sehingga kontinuitas itu sendiri di dalam kenyataannya juga terdapat
perubahan-perubahan.
Perubahan itu sendiri dalam perspektif sejarah biasa dilihat dalam beberapa
tipe utama. Sebagian di antaranya bertipe linear, sedangkan sebagian lain bertipe
siklus. Secara khusus terdapat pula tipe perubahan yang menekankan faktor-faktor
internal dengan melukiskan perubahan masyarakat berdasarkan „pertumbuhan,
evolusi, dan pembusukan.‟ Akan tetapi, hal itu berbeda juga dengan tipe perubahan
yang menekankan faktor-faktor ekstemal, yaitu perubahan yang menggunakan

83
Lihat Wilson Gee. Social Science Research Methods (New York: Appleton
Century Croft, 1950); Lihat juga Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam
Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992).
84
Yudi Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 454.
85
Peter Burke. Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001),
h. 240-242.

20
istilah-istilah seperti adaptasi, akulturasi, difusi, atau imitasi. Tipe-tipe perubahan
yang terjadi atas faktor-faktor eksternal khususnya dapat dikemukakan lewat faktor-
faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat relatif terbuka terhadap pengaruh
luar, sedangkan sebagian lain sanggup bertahan dari pengaruh tersebut.
Perubahan pada suatu gerakan sosial seringkali terjadi akibat adanya
transformasi struktural. Konsep ini sepanjang sejarah senantiasa terjadi dalam proses
integrasi dan disintegrasi atau disorganisasi dan reorganisasi yang silih berganti.
Transformasi struktural dalam proses perubahan dapat mengubah secara
fundamental dan kualitatif jenis solidaritas yang menjadi prinsip ikatan kolektif.
Misalnya, dari ikatan komunal menjadi ikatan asosiasional, kolektivitas yang
berikatan primordial menjadi kolektivitas yang berupa organisasi kompleks. Akibat
proses transformasi ini, timbullah perubahan dan pergeseran loyalitas, antara lain,
dari yang primordial atau lokal ke loyalitas lembaga-lembaga berskala nasional.86
Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual dari sosiologi politik dan
perbandingan aliran politik. Untuk menganalisis sebab-sebab timbulnya perbedaan
pandangan politik di kalangan elite-elite DDII, akan diteliti dengan pendekatan
konsep sosialisasi politik. Menurut Kate Nash,87 sosialisasi politik menekankan
hubungan masyarakat dan individu dengan negara. Sosialisasi politik adalah proses
oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian
menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi
politik juga sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan keyakinan-keyakinan
politiknya kepada generasi sesudahnya.
Sosialisasi politik ini merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit
yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dan
pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan dan memberi bentuk terhadap
pemikiran dan tingkah laku politiknya. Sentral dari proses sosialisasi dan budaya
politik adalah manusia sebagai inividu.88 Sebagai proses belajar, individu
memperoleh nilai-nilai berupa keyakinan-keyakinan, perasaan dan komponen nilai
lainnya terhadap pemerintah dan kehidupan politik. Proses ini membentuk sikap dan
perilaku, terutama dalam pemikiran.
Proses sosialisasi politik, menurut Almond dan Verba,89 adalah bagian dari
pembudayaan politik, atau lebih khususnya lagi sebagai sub-budaya politik. Di
antara bentuk sosialisasi politik ini, disamping keluarga, sekolah dan literatur-
literatur politik, individu juga mempelajari orientasi politik melalui aktivitas dan
pengalaman yang berkaitan erat dengan sikap politik terbuka. Konsep pendekatan
orientasi politik itu yang kemudian terbentuk melalui sosialisasi politik yang
dipahami melalui nilai-nilai sosial dan ajaran agama yang diterimanya, serta
lingkungan sosial-politik yang mempengaruhinya.

86
Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial…, h. 161-162.
87
Kate Nash. Contemporary Political Sociology. (United Kingdom: Wiley-
Blackwell, 2000), h. 1-3.
88
Alfian (Ed.). Politik Kebudayaan dan Manusia Indonesia, (Jakarta: LP3ES,
1982), h. 151.
89
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik (Terj. Sahat Simamora),
(Jakarta: Sinar Harapan, 1984).

21
Dalam hubungannya dengan perkembangan politik suatu masyarakat, erat
kaitanya dengan konsep elit-strategis (strategic elite). Konsep elite diartikan oleh
Sartono Kartodirdjo sebagai suatu golongan sosial dalam suatu periode sejarah
tertentu serta di lingkungan kebudayaan tertentu yang menjadi kekuatan yang sangat
menentukan jalannya perkembangan masyarakat. Pada tahap perkembangan itu,
sudah sewajarnya elite politik terutama tumbuh di kalangan golongan sosial
tersebut.90 Golongan elite strategis ini, menurut Wijaya, adalah mereka yang
mempunyai pengaruh yang berarti dalam masyarakat seperti ikut memegang
kekuasaan, kaum cendikiawan, pemuka agama dan adat, tokoh pemuda dan
mahasiswa, tokoh militer dan birokrat, tokoh pers, tokoh buruh, dan pengusaha.
Tetapi, lebih dari itu, yang banyak berperan adalah elit-politik.91 Berkenaan dengan
kasus DDII, kalangan elitenya terbelah oleh perbedaan strategi dalam bersikap
terhadap penguasa yang terlihat dalam pola-pola perilaku politiknya. Hal ini
berkenaan dengan struktur kesempatan politik yang dialami oleh para elite DDII,
sehingga terjadi proses kolektif menafsirkan, memberi atribut, dan mengkonstruksi
sosial yang menjembatani antara kesempatan (peluang) dan tindakan (aksi).92

Gambar 1: Kerangka Pemikiran Penelitian

G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan masalah perbedaan pandangan dan sikap dakwah-politik
elite DDII, pada periode 1967-2015, penulis memakai sistematika sebagai berikut:
Pertama, merupakan uraian pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah,
yakni menyangkut ketertarikan dan signifikansi penelitian ini. Demikian juga
perumusan masalah serta maksud dan tujuan penelitian ini. Sebagai
pertanggungjawaban keilmiahan, penulis juga menguraikan metode penelitian dan

90
Sartono Kartodirdjo. Ellite. (Jakarta: Gramedia, 1983), h. ix.
91
Albert Wijaya. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. (Jakarta: LP3ES,
1982), h. 164.
92
Doug McAdam, et al. Comparative Perspectives on Social Movement: Political
Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Framing. (New York: Cambridge
University Press, 1996), h.2.

22
kerangka pemikiran konseptual yang dipergunakan. Demikian pula dengan tinjauan
pustaka, penulis meninjau sejauh mana pembahasan ini telah diteliti. Terakhir,
penulis uraikan sistematika penelitian ini (susunan bab).
Bagian kedua membahas masalah perdebatan seputar gerakan dakwah dan
politik (Islam), baik secara global maupun dalam konteks regional di Indonesia.
Bagian ini lebih khusus membahas diskursus revivalisme Islam dan Islamisme
dalam konteks gerakan dakwah kontemporer. Perdebatan akademik seputar
revivalisme dan Islamisme ini untuk menyajikan kerangka teoretis dari ilmuwan-
ilmuwan kontemporer, sekaligus dialektika yang terjadi di kalangan ilmuwan
tersebut. Dari perdebatan akademik tersebut diperoleh pemetaan yang bersifat thesis
dan antithesis terkait gerakan dakwah-politik kontemporer dalam konteks
revivalisme dan Islamisme, sehingga bisa dirumuskan sintesis baru, berupa novelty
yang diajukan penelitian ini.
Sejarah terbentuknya DDII serta hubungan historis-ideologisnya dengan
Masyumi dibahas pada bagian ketiga. Pembahasan akan dibagi pada masa sebelum
kemerdekaan, awal kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru. Pembahasan diakhiri
dengan proses pendirian DDII, di samping deskripsi profil para pendiri organisasi
tersebut.
Bagian keempat berisi pembahasan tentang respon DDII dengan dunia
politik pada masa Orde Baru, khususnya era Natsir 1967-1993. Keragaman profesi
dan jaringan tokoh-tokoh DDII dibahas tersendiri untuk menunjukkan pola
pemikiran dan praktiknya, baik melalui DDII maupun di organisasi yang berafiliasi
ke DDII. Munculnya keragaman kader-kader DDII dibahas tersendiri, meliputi
perkembangan kader juru dakwah, elite dai akademis beserta jaringan dakwah
kampus dan elite dai politikus dengan jaringan pada partai politiknya.
Perkembangan lebih lanjut aktivitas dakwah-politik DDII pada masa Orde
Baru di bawah kepemimpinan Anwar Haryono 1993-1997 menjadi bagian utama
bab kelima. Bab ini fokus mengkaji aksi dan sosialisasi politik elite-elite DDII pada
masa kedekatan dengan Pemerintah Orde Baru. Secara khusus, penulis membahas
pola gerakan dari elite DDII yang terkategori para juru dakwah, akademisi, serta
politikus. Selanjutnya dibahas dinamika pro-kontra antarelite DDII atas kebijakan
pemerintah, antara kelompok konservatif yang ikut Pemerintah dengan kelompok
ideologis-kritis yang tetap menjaga jarak dengan pemerintah. Dibahas juga mulai
terjadinya polarisasi di tubuh DDII dengan munculnya kelompok tarbiyah, serta
respon elite DDII.
Pada bagian keenam dibahas kiprah elit DDII di era awal reformasi 1997-
2004 hingga era konsolidasi 2004-2015, khususnya mengenai polarisasi sikap elite
DDII terkait reformasi politik. Bab ini terdiri dari dua bagian utama. Pertama,
konteks politik tansisi serta polarisasi penyikapan elite DDII, antara yang status quo
mendukung Pemerintahan transisional B. J. Habibi era 1997-2000, serta pandangan
politik yang lebih kritis pada pemerintahan selanjutnya era 2000-2004. Kedua,
perkembangan polarisasi lebih lanjut elite DDII era 2004-2010. Elite-elite DDII
ini—yang dibagi tiga varian: Juru Dakwah, Politisi dan Akademisi—mempunyai
pandangan dan sikap politik yang berbeda. Di sini dibahas permasalahan politik apa
saja yang jadi bahan perdebatan tersebut serta alasan dan latar belakang sikapnya
tersebut, serta dampak polarisasinya. Pada bagian ini juga diuraikan kiprah elite-elite

23
DDII di era tantangan reformasi 2010-2015. Dibahas transisi kepemimpinan DDII
dari varian elite politikus ke varian elite akademisi dan juru dakwah murni, serta
dampak dari perubahan kepemimpinan tersebut. Dalam hal ini, terjadi proses
transformasi pendekatan politik ke arah pendekatan intelektual. Elite DDII mulai
melakukan proses kaderisasi ulama dan gerakan pemikiran keagamaan.
Terakhir, bagian ketujuh, adalah simpulan, yaitu berupa jawaban-jawaban
atas rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.

24
BAB II

DISKURSUS REVIVALISME DAN ISLAMISME DALAM


GERAKAN DAKWAH DI INDONESIA KONTEMPORER

A. Pengantar
Dakwah berasal dari kata Arab “‫دعوة‬‎” yang secara harfiah berarti panggilan,
ajakan atau undangan.1 Dalam istilah yang lebih umum, dakwah bermakna—dan
menunjukkan sebuah proses—propaganda agama Islam. Dakwah adalah upaya
memanggil, menyeru dan mengajak manusia menuju Allah (QS. Yusuf [12]: 108).
Ajakan kepada Allah dimaksud berarti ajakan kepada agama-Nya, yaitu al-Islam
(QS. Ali-„Imran [3]: 104).2
Atas dasar itu, dakwah pada hakikatnya adalah proses Islamisasi. Andi
Faisal Bakti menjelaskan,
In brief, the fundamental meaning of the Islamic dakwah is the declaration that
there is no god but Allah (the True God). The dakwah is Islam, and Islam is the
dakwah. This is congruent with dakwah in the path of God…With this
affirmation, the dakwah has become the “straight path” and the dakwah is thus
equated with the straight path, which is true religion. And it is thus not far from
this to the equation of dakwah and shari‟ah (divine law)…The classical concept
of dakwah as put forward in the Quran is that dakwah and Islam are so
intertwined that one can hardly be separated from the other.3
Dalam pandangan Al-Mawardi,4 secara umum dakwah adalah dorongan
pada umat manusia untuk menegakkan kebaikan dan menekan perbuatan munkar,
yang merupakan urusan keagamaan (al-qawā‟id al-dīniyah). Urgensi dakwah,
menurut Shaikh „Ali Mahfudh,5 adalah upaya membangkitkan kesadaran umat
manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma‟rūf dan mencegah
perbuatan munkar. Tujuannya supaya umat manusia mendapat kebahagiaan di dunia
dan akhirat.

1
Kata da‟wah merupakan bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja da‟ā-yad‟ȗ -
du‟āan-da‟watan, yang berarti memanggil atau mengundang. Ahmad Warson Munawwir.
Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 406.
2
Pada beberapa ayat Al-Qur‟an, selain bermakna panggilan, kata “dakwah” bisa
diartikan permohonan (QS. Al-Baqarah [2]: 186) atau menghambakan diri (QS. Al-Araf [7]:
194). Oleh karena itu, dakwah mempunyai banyak makna, sebagaimana dijelaskan oleh Andi
Faisal Bakti: “The word of dakwah…has a range of meanings in the Qur‟an, Sunnah, and
ulama‟s opinions. It can mean: invitation, summoning, calling on, appealing to, invocation,
prayer, propaganda, missionary activity, as well as legal proceedings and claims. Andi
Faisal Bakti. “Islamic Dakwah in Southeast Asia,” in Oxford Journal, New York: Oxford
Press, 2011, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t343/e0016, h. 1.
3
Andi Faisal Bakti. “Islamic Dakwah in Southeast Asia…,” h. 2.
4
Al-Mawardi. Al-Ahkām al-Sultāniyah, Cet. Ke-3, (Mesir: Syirkah wa Matba‟ah
Mustafa al-Babiy, 1939), h. 258.
5
S. A. Mahfūdh dan A. K. S. Rauf. Hidāyat al-Murshidīn; Dirāsat fī Da‟wah al-
Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Tibā‟ah al-Mahmadiyah, 1987), h. 10.

25
Unsur-unsur dakwah terbagi menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut: dai
(orang yang melakukan dakwah), mad‟u (objek dakwah), mawdhū‟ al-da‟wah
(pesan dakwah), uslub al-da‟wah (metode dakwah), dan media dakwah. Secara
teoretis, menurut Andi Faisal Bakti, unsur-unsur dakwah bisa dikerangkai dalam
model SMCR (Sender, Message, Channel, and Receiver) dan “the Effect.”6 Dengan
kata lain, dakwah identik dengan kewajiban ber-tabligh, yakni penyampaian pesan-
pesan keilahian. Misi tabligh mencakup semua aspek komunikasi dan interaksi
sesama manusia. Tidak sekadar berbicara, tabligh selalu mengharapkan agar orang
yang diajak komunikasi bisa mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai
dengan syari‟at Islam.7 Kata A. F. Bakti, “In the Islamic view, dakwah/tabligh
(convincing people) is insufficient unless followed by an action (which include
intentions, sayings or activities).”8
Sejak kelahiran Islam pada abad ke-7 M, dakwah telah menjadi aspek
penting dari kegiatan agama, sehingga kegiatan dakwah ini selalu sangat dihargai
oleh masyarakat Muslim. Dengan berpusat di Mekkah dan Madinah, menurut
Azyumardi Azra, jaringan dakwah ulama terbentuk secara internasional, hingga ke
daerah Asia Tenggara.9 Khususnya dalam diskursus perkembangan Islam dari abad
ke-20 hingga awal abad ke-21, kegiatan dan organisasi dakwah telah tumbuh kuat di
seluruh dunia Muslim.10

6
Andi Faisal Bakti. “Raising Public Conciousness about the Importance of Freedom
of Expression in a Democratic Society and on Enhancing the Quality of Life of the Ordinary
Citizen: The Case of Indonesia,” The Journal of Development Communication No. 1 Vol. 24
June 2013, h. 1. Dalam hal ini, A. F. Bakti memberikan catatan: “…this model remains
impotent, as a receiver is seen as being passive. Then communication came with the use of
the active recipient model, in an attempt to correct the SMCR and E models…The active
recipient argues that so long as the receiver remains treated as passive, no message can be
delivered.” Andi Faisal Bakti. “Prophetic Communication Strategies: Risale-I Nur‟s
Perspective,” International Baiduzzaman Symposiums on The Role and Place on Propethood
in Humanity‟s Journey to The Truth: The Perspective of Risale-I Nur, Istambul Turkey,
September 2013, h.3.
7
Para dai biasanya—walau tidak selalu—berasal dari kalangan ulama yang
memahami syari‟at Islam. Lihat Yusron Razak, Ilham Mundzir, Izza Rohman, and Ervan
Nurtawab, “Da‟watainment” and Commercial Display in Live Program “Damai
Indonesiaku,” Proceedings of the Third International Conference on Social and Political
Sciences (ICSPS), November 2017, h. 87.
8
Andi Faisal Bakti. Communication and Family Planning in Islam Indonesia,
(Leiden-Jakarta: INIS, 2004), h, 85.
9
Lihat Azyumardi Azra. The Origins of Islamic Reformism In Southeast Asia
Networks of Malay-Indonesian And Middle Eastern Ulama In The Seventeenth and
Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‟i Press, 2004), h. 146-147.
10
“In the 20th century, far-reaching dakwah organizations and institutions stretched
across the region. New dakwah activities appeared, including so-called phenomenal
preachers, some of which, while not professionally trained, preached to large audience. The
impact of other factors should not be ignored, including that of scholars (dais), the mobility
of the kitab, and the use of mass media.” A. F. Bakti. “Islamic Dakwah in Southeast Asia…,”
h. 1.

26
Kegiatan dan organisasi dakwah pun mengadopsi bentuk-bentuk baru dan
tujuan baru. Menurut Johan Meuleman,11 fenomena perkembangan baru dakwah ini
pada era kontemporer terkait dengan dua isu utama pada dunia Islam: sebuah
aspirasi baru untuk kesatuan internasional semua Muslim dan pembentukan negara-
bangsa modern dengan tradisi agama mereka yang berbeda dan sarat konflik
kepentingan politik. Termasuk juga faktor-faktor tambahan adalah pengembangan
sarana transportasi, komunikasi modern serta kegiatan Kristenisasi.12
Meskipun konsepnya mencakup upaya untuk mengonversi non-Muslim ke
dalam Islam, dakwah terutama mengacu pada kegiatan yang bertujuan untuk
memperkuat dan memperdalam keimanan dan mengarahkan kehidupan sehari-hari
masyarakat Muslim sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam konteks dakwah
sebagai proses Islamisasi secara umum, dampaknya adalah gejala menguatnya
kesadaran keberagamaan dan bahkan praktik-prilaku ketaatan terhadap hukum
Islam. Suatu gejala yang disebut oleh Marshal G. S. Hodgson sebagai shari‟ah
mindedness.13 Fenomena mutakhir hingga awal abad ke-21 adalah massifnya
gerakan dakwah Islam di dunia Internasional, termasuk di Indonesia. Menurut
Esposito, “Internationally Islam is seen as a key source f guidance, consolation, and
hope and as a marker for the global Muslim community.”14 Fenomena ini secara
konsisten ditegaskan oleh mayoritas masyarakat Muslim secara global.15
Dengan demikian, dakwah—yang dipahami lebih umum sebagai upaya
terorganisasi untuk memperkuat iman-Islam dan praktiknya—juga sering dikaitkan
dengan revivalisme, persaingan dengan agama-agama lain, atau oposisi terhadap
pembentukan politik sekuler. Lebih dari itu, prakarsa dakwah sangat bervariasi di
dalam interpretasi agama, sudut pandang pada isu-isu politik, keterlibatan otoritas
publik, basis sosial, dan jenis-jenis kegiatannya.16

B. Revivalisme Islam
Revivalisme seringkali diartikan sebagai resurgence, re-awakening,
revitalization, dan sejenisnya yang bermakna kebangkitan atau kemunculan

11
Johan Meuleman. “Dakwah, Competition for Authority, and Development,”
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 167, No. 2/3 (2011), h. 239.
12
Lihat Karel A. Steenbrink. Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda
dan Islam di Indonesia (1596-1942) (Bandung: Mizan, 1993).
13
Marshal G. S. Hodgson. The Venture of Islam (Book 1), (The University of
Chicago Press, Chicago, 1974), h. 238.
14
John L. Esposito. The Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2010), h.
36.
15
Sebagai contoh, pada polling Gallup pada tahun 2001 dan 2005-2007, mayoritas
orang-orang melaporkan bahwa agama adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari
mereka: di Mesir (100 persen), Indonesia (99 persen), Bangladesh (99 persen), dan Marocco
(98 persen). John L. Esposito. The Future of Islam, h. 37.
16
Johan Meuleman. “Dakwah, Competition for Authority…,” h. 239. Dalam
konteks Indonesia, misalnya, gerakan dakwah tetap bersinergi-positif dengan arus budaya
lokal. Lihat Kees van Dijk. “Dakwah and Indigenous Culture: The Dissemination of Islam,”
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 154, No. 2, 1998, h. 218-235.

27
kembali.17 Dalam konteks agama, Daniel Bell mengistilahkannya „the great
profanization‟ yang dianggap sangat serius, sehingga mendorong terjadinya the
return of the sacred. Sebuah proses kemunculan kembali antusiasme keberagamaan
di kalangan masyarakat: “all through this “progressive” secularization of religious
institutions, we find extraordinary revivals in religious enthusiasm among masses of
people.”18
Demikian juga dengan fenomena revivalisme Islam. Isu revivalisme Islam
tidak hanya berkembang di Indonesia, tetapi juga merupakan isu penting di kawasan
Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, dan kawasan lainnya. Hal ini bisa
terlihat dari berbagai penelitian tentang revivalisme Islam yang terjadi di berbagai
kawasan tersebut. Di antaranya penelitian oleh Moh. Nurhakim, Amy L. Freedman,
Ahmad F. Yousif, dan Iik A. Mansurnoor di Asia Tenggara;19 Yunus Dumbe di
Ghana;20 Line Khatib dan Sana Mahmandar di Syria;21 dan sebagainya.
Dengan gambaran tersebut, Peter L. Berger menyebutkan bahwa gerakan
revivalisme merupakan salah satu isu gerakan sosial yang paling penting dan
fenomenal dari Afrika Utara sampai Asia Tenggara pada abad ke-20.22 Dalam
konteks ini, revivalisme Islam menjadi salah satu kekuatan dan warna baru dalam
politik di dunia Islam kontemporer hingga awal abad ke-21, sebagaimana dijelaskan
oleh John L. Esposito:

17
Revival diartikan sebagai “an improvement in the condition or strength of
something atau the process of bringing something back to existence.” Adapun istilah
revivalism diterjemahkan sebagai “the process of creating or increasing interest in
something, especially religion”; sementara revivalist adalah “a person who try to promote
something, especially religion, and make it more popular.” Lihat Oxford Advanced
Learner‟s Dictionary of Current English (Oxford University Press, 1995), h. 1007.
18
Daniel Bell. “The Return of the Sacred: The Argument about the Future of
Religion,” Bulletin of the American Academy of Arts and Sciences, Vol. 31, No. 6 (March,
1978), h. 31.
19
Moh. Nurhakim. “The New Orientation of Islamic Revivalist Movements In The
Context of Post-Reform Indonesia,” The 4th International Conference on the Community
Development in ASEAN, Phnom Penh Cambodia March 22-23, 2017; Amy L. Freedman,
“Political Viability, Contestation and Power: Islam and Politics in Indonesia and Malaysia,”
Politics and Religion 2, No. 1 (2009), h. 100-127; Ahmad F. Yousif, “Islamic Revivalism in
Malaysia: An Islamic Response to Non-Muslim Concerns,” American Journal of Islamic
Social Sciences 21, No. 4 (2004), h. 30-56; dan Iik A. Mansurnoor. “Revivalism and
Radicalism in South-East Asian Islam: A Pattern or an Anomaly?” New Zealand Journal of
Asian Studies, 11, 1 (June 2009), h. 222-262.
20
Yunus Dumbe. Islamic Revivalism in Contemporary Ghana (Stockholm:
Södertörn University, 2013).
21
Line Khatib. Islamic Revivalism in Syria: The Rise and Fall of Ba‟thist
Secularlism (Routledge Studies in Political Islam Series, Abbington UK: Routledge, 2011);
dan Sana Mahmandar. Islamic Revival in The Middle-East: The Case of The Qubaisyate
Movement in Syria (a Dissertation submitted to the Graduate School-Newark Rutgers, The
State University of New Jersey, 2015).
22
Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview,”
Resurgent Religion and World Politics, 2005, h. 1-18.

28
Many urged a return to the Islamic principles and values that had made Muslim
countries so powerful throughout history. Muslims must reclaim their Arab-
Islamic identity and heritage, history, culture and values. This quest for identity, a
more historic and authentic identity, triggered a resurgence of religion in politics
and society across the Muslim world, a force that continues to impact Muslim
politics today.23

1. Revivalisme Islam Kontemporer: Latar Belakang Historis dan Akar-


Genealogis
Ketika dunia Islam memasuki era modern, terjadi keterkejutan budaya dan
ketegangan politik pada kalangan masyarakat dan penguasa Muslim. Mereka
menghadapi masifnya pengaruh konsep-konsep kebudayaan dan politik Barat yang
sama sekali baru dan asing. Terjadi perdebatan di antara kalangan pemikir dan
penguasa umat Islam untuk mensikapi konsep-konsep politik Barat semacam nation
state, nasionalisme, souverenigty, republik, dan sebagainya.24 Dampaknya, pengaruh
pemikiran Barat ini mau tak mau masuk dalam kehidupan umat Islam. Tidak hanya
dalam dunia politik, pengaruh Barat ini juga merasuk pada aspek kebudayaan pada
umumnya, sebagaimana dijelaskan Esposito: “throughout much of the twentieth
century the symbols and report that benchmarks of modernizing societies were
Western in origin…To be modern meant to adopt Western secular institutions:
political, legal and educational systems.”25
Harus diakui, menurut Azyumardi Azra,26 sikap dan prosedur-prosedur
sekular adalah sebuah kenyataan penting dari realitas (politik) di dunia Muslim pada
abad ke-20. Kerja-kerja aktual lembaga-lembaga pemerintahan di seluruh negara
Muslim adalah sekular—baik itu Republik Turki yang menegaskan sebagai model
negara „berpenduduk Muslim-tapi-sekular‟,27 Republik Islam Pakistan, Republik
Islam Iran dan dunia Arab umumnya yang menyatakan diri sebagai Islami,28 ataupun

23
John L. Esposito, “Islam and Political Violence,” Religions 6, No. 3 (September
2015), h. 1071.
24
Di Indonesia awal hingga pertengahan abad ke-20, misalnya, terjadi perdebatan
antara kelompok Islam versus kaum kebangsaan tentang Islam dan kenegaraan. Ini
terefleksikan pada perdebatan Natsir versus Soekarno pada akhir dekade 1930, perdebatan di
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945, dan Sidang Majelis Konstituante
tahun 1956-1959. Lihat Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:
LP3ES, 1996); lihat juga Andi Faisal Bakti. Islam and Nation Formation (Jakarta: Logos,
2000).
25
John L. Esposito. The Future of Islam, h. 37.
26
Azyumardi Azra. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme dan
Demokrasi. (Jakarta: PPIM UIN Jakarta dan Prenadamedia Group, 2016), h. 73-74.
27
Lihat Ihsan Yilmaz. Muslim Laws, Politics and Society in Modern Nation States,
(England-Burlington: Ashgate Publishing Limited, 2005).
28
Lihat misalnya Sabri Ciftci, “Secular-Islamist Cleavage, Values, and Support for
Democracy and Shari'a in the ArabWorld,” Political Research Quarterly, Vol. 66, No. 4
(December 2013), h. 781-793; Menurut Vogel, dualisme hukum di Arab Saudi juga
menunjukkan adanya produk hukum yang diimpor dari sistem hukum Barat: the Saudi legal
system professes Islamic law, but the system experience a Western legal process, which

29
Republik Indonesia yang menganut ideologi Pancasila-interseksionistik29 antara
agama dengan sistem sekularisme.30 Boleh dikata, pada era modern-kontemporer,
dunia Islam di mana-mana mengalami proses „sekularisasi‟—baik disadari ataupun
tidak.
Menghadapi modernisasi politik di negara-negara Muslim sepanjang abad
ke-20, maka Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat pada akhirnya
tidak menjadi faktor yang signifikan dalam sistem ketatanegaraan. Konsekuensinya,
dalam proses politik pun, misalnya pengambilan kebijakan politik, Islam (syari‟ah)
tidak lagi menjadi pertimbangan pokok. Syariah Islam berfungsi signifikan hanya
dalam soal keyakinan (sistem kepercayaan) yang sifatnya privat. Kalau diberi tempat
dalam masalah hukum pun, syari‟ah hanya berfungsi dalam masalah kekeluargaan.
Terjadi apa yang disebut Azra sebagai liberalisasi syari‟ah.31
Dalam kerangka inilah, timbul kontradiksi-kontradiksi di kalangan pemikir-
pemikir Islam, mengutip istilah Fazlur Rahman,32 tentang Islam sebagai cita-ideal
(Islam normatif) dengan Islam sebagaimana kenyataan (Islam historis).
Walaubagaimanapun, Islam tetap dipandang syumul dan „yang terbaik‟. Keinginan
dan harapan-harapan untuk mengembalikan „kejayaan‟ Islam atas bangsa Barat
selalu ada. Gerakan-gerakan pun selalu muncul, sebagaimana venture,33 tidak pernah
berhenti-berkembang. Tidaklah aneh kalau kemudian muncul tuntutan-tuntutan
untuk kembali kepada sistem politik yang dianggap Islam(i) par-excellence atau
setidak-tidaknya „lebih-Islami‟ vis-à-vis ideologi sekular. Menjelang akhir abad ke-
20, dunia Islam diramaikan dengan isu revitalisasi (penegasan kembali) politik
34
Islam.

indicates secular influence…Saudi criminal law has adopted non-Islamic codes…non-


Islamic laws imported, as in the labour system, stock exchange system, commercial
arbritation, company law, law against commercial fraud, military penal code, minister‟s
tribunal and the law against bribery (Frank E. Vogel. Islamic Law and the Legal System:
Studies of Saudi Arabia, (Leiden-Boston-Koln: Brill, 2000), h. 47.
29
Masykuri Abdilah. “Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi
Politik di Era Reformasi,” Jurnal Ahkam, Vol. XIII No. 2, Juli 2013, h. 247-258.
30
Lihat Nadirsyah Hosen. Shari‟a and Constitutional Reform in Indonesia
(Singapore: ISEAS, 2007).
31
Azyumardi Azra. Transformasi Politik Islam…, h. 74.
32
Fazlur Rahman. Islam and Modernity: The Transformation of Intelectual
Tradition. (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), h. 103.
33
Istilah ini dikutip dari Marshal G. S. Hodgson. The Venture of Islam: Conscience
and History in a World Civilization (Chicago and London: The University of Chicago Press,
1974), khususnya Jilid III: The Gunpowder Empires and Modern Times; Pembahasan
singkat-padat terkait buku ini, lihat Steve Tamari, “The Venture of Marshall Hodgson:
Visionary Historian of Islam and the World,” New Global Studies, 2015, 9 (1), h. 73-87.
34
John L. Esposito menjelaskan: “But by the late 1970s, the resurgence of Islam in
both personal and public life seemed to turn the world on its head. Many saw this Islamic
revival as evidence of an irrational, retrogressive to return to the seventh century. Publicly,
Islam reemerged as an alternative to the dismal failures of secular nationalism, capitalism,
and socialism. Rulers from Egypt, Sudan, Libya, Iran, Pakistan, Malaysia, and Indonesia, as
well as reform and opposition movements, appealed to Islamyc symbols, rhetoric, and ideals

30
Peristiwa politik yang fenomenal terjadi di Persia-Iran, menjelang akhir
abad ke-20. Gerakan revolusioner yang dipimpin tokoh syi‟ah Imam Khomaeni
(1902-1989) berhasil menumbangkan rezim-sekular Shah Reza Pahlevi pada 1979.
Gerakan Imam Khomaeni ini, disebut oleh Daniel Bell, sebagai salah satu model “a
revolt againts modernism” dari “the dessiccation of older ideology”.35 Keberhasilan
ini—yang dijadikan simbol perjuangan umat Islam—mendorong perubahan sistem
politik di negeri tersebut serta memengaruhi negeri-negeri lain.36
Pada kalangan pemikir Sunni, menurut Oliver Roy,37 akar genealogis
revivalisme Islam dirujuk pada: pertama, Abu A‟la al-Maududi (1903-1979) yang
mendirikan organisasi Jama‟at-i Islami pada 1941 di India, kemudian pindah ke
Pakistan pada 1947. Kedua, organisasi yang terutama berpengaruh penting terhadap
gerakan Islam secara internasional adalah Ikhwan al-Muslimin (IM), sebuah jama‟ah
dakwah yang didirikan oleh Hassan al-Bana (1906-1949) di Mesir pada 1928 dengan
pemikiran ideologis-radikal Sayyid Qutb (1906-1966).
Di samping kedua gerakan tersebut pada awal abad ke-20, menurut Bassam
Tibi, revivalisme Islam mempunyai akar genealogis jauh sebelumnya, abad ke-19.
Revivalisme Islam sebenarnya sudah diinisiasi pada akhir abad ke-19 oleh
Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rashid
Ridha (1865-1935).38 Varian lainnya dari revivalisme Islam berakar lebih jauh lagi
pada abad ke-18. Yakni, merujuk pada Wahhabisme yang digerakkan oleh
Muhammad ibn Abdal Wahhab (1703-1787)—terinspirasi puritanisme Ibn
Taymiyyah (1263-1328)—yang disebut-sebut sebagai “a major revivalist
movement”.39
Penyebaran gerakan IM—yang mulanya adalah gerakan dakwah moderat—
juga dalam perkembangannya turut mensponsori tumbuhnya gerakan revitalisasi
politik Islam. Gerakan ini dalam waktu cepat berkembang, tidak hanya di Mesir, tapi
juga negara-negara Muslim lainnya.40 Tentunya, dengan berbagai modifikasi

to legitimate themselves and to mobilize popular support. John L. Esposito. The Future of
Islam (Oxford: Oxford University Press, 2010), h. 59.
35
Daniel Bell. The End of Ideology (London and New York: The Chicago
University Press, 2000), h. 444.
36
John L. Esposito and R. K. Ramazani (eds.). Iran at the Crossroads, New York:
Palgrave, 2001); lihat juga Jhon L. Esposito and Jhon O. Voll. Islam and Democracy, (New
York: The Oxford University Press, 1996), h. 78-96.
37
Oliver Roy, Globalised Islam: The Search for a New Ummah (London: Hurst and
Company, 2004), h. 59-60.
38
Bassam Tibi. Islam‟s Predicament with Modernity: Religious Reform and
Cultural Change (New York: Routledge, 2009), h. 42-44; Bandingkan dengan Syaifulloh
Yazid, “Melacak Proyek Revivalisme dalam Gerakan Fundamentalisme Islam,” Kalam, Vol.
11, No. 1 (Juni 30, 2017), h. 57-84.
39
Noorhaidi Hasan, “Faith and Politics: The Rise of the Lasykar Jihad in the Era of
Transition in Indonesia,” Indonesia, No. 73 (April 2002), h. 147; Penjelasan lebih lanjut
terkait pengaruh Wahhabisme di Timur Tengah dan Asia Tenggara pada abad ke-18, lihat
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism In Southeast Asia Networks of Malay-
Indonesian And Middle Eastern Ulama…,” h. 146-147.
40
Salah satunya karena peran media-massa, khususnya media cetak: “Islamic media
played a crucial role in the rise of an Islamic Revival in Egypt.” Lihat Aaron Rock-Singer,

31
gerakan sesuai aspek kultural masing-masing negeri. Namun, ide dan doktrin politik
tetap berasal dari elite-elite sentral IM, terutama tokoh ideolog utamanya, Sayyid
Qutb. Muncullah model gerakan Hamas di Palestina ataupun National Islamic Front
(NIF) di Sudan, dengan ketokohan Hasan al-Turabi. Keduanya berhasil meraih
simpati massa Islam dalam proses politik di negaranya.41
Di Malaysia, revivalisme Islam muncul seiring dengan berdirinya berbagai
gerakan dakwah pada dekade 1970-an. Setidak-tidaknya ada tiga kelompok besar
yang masing-masing mempunyai model gerakan dan titik-tekan tersendiri; Dar al-
Arqam (sebelum diberangus pemerintah), ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia),
serta PAS (Partai Islam se-Malaysia). Ada yang menekankan ke-tha‟at-an individu
pada syari‟ah, namun ada juga yang menuntut pembentukan „pemberlakuan syari‟at
Islam‟ dalam negara.42 Bahkan pada Partai Pemerintah (UMNO) pun terdapat
ulama-ulama Salafi—sebuah bentuk revivalisme dari Timur Tengah.43 Bagi Yousef,
revivalisme di Malaysia, selain pengaruh fenomena revivalisme yang melanda dunia
Islam, juga disebabkan banyaknya masyarakat urban non-Melayu, sehingga
masyarakat Muslim di Malaysia, “reinforcing their ethnic identity in the face of a
large urban non-Malay population.”44
Gerakan revivalisme Islam di Indonesia dimulai hampir bersamaan dengan
revivalisme Islam di Malaysia. Secara historis, mulainya kebangkitan Islam di
Indonesia dimulai sejak tahun 1970 dan 1980-an.45 Dekade ini dipenuhi
membanjirnya buku-buku terjemahan dari Timur Tengah, seperti Ali Syari‟aty, Bani
Shadr, Khomaeni dari Iran, ataupun Hassan Al-Bana, Sayyid Qutb, Sa‟id Hawa dari
IM-Mesir, dan sebagainya. Keberhasilan dan gagasan-gagasan mereka sangat
menarik perhatian kaum muda-terdidik di Indonesia. Muncullah gerakan dakwah di
kampus-kampus perguruan tinggi, serta kelompok tarbiyah di kalangan masyarakat
kota,46 sehingga menurut Andi Faisal Bakti, “revivalist seem to have succesfully

“An Age of Mass Revival: Islamic Media and Religious Change in 1970s Egypt,” in Islam,
Islamist, and the Media in a Changing Middle East, Workshop held at George Washington
University on October 28, 2016, h. 2-3.
41
Oliver Roy, Globalised Islam…, h. 60-61.
42
John L. Esposito and Jhon O. Voll. Islam and Democracy…, h. 171-177.
43
Mohamed Nawab and Mohamed Osman, “Salafi Ulama in UMNO: Political
Convergence or Expediency?” Contemporary Southeast Asia, Vol. 36, No. 2 (August 2014),
h. 206-231.
44
Ahmad F. Yousif, “Islamic Revivalism in Malaysia: An Islamic Response to Non-
Muslim Concerns,” American Journal of Islamic Social Sciences 21, No. 4 (2004), h. 31.
45
Amy L. Freedman, “Political Viability, Contestation and Power: Islam and
Politics in Indonesia and Malaysia,” Politics and Religion 2, no. 1 (2009), h. 100-127; Lihat
juga M. Imdadun Rahmat. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur
Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005, h. 81-83. Terkait respon Pemerintah Orde
Baru terhadap munculnya gerakan revivalisme Islam, khususnya terkait kebijakan politik luar
negeri, lihat Azyumardi Azra. “Islam in Indonesian Foreign Policy: Assessing Impacts of
Islamic Revivalism During the Soeharto Era,” Studia Islamika, Vol. 7, No. 3, 2000, h. 1-29.
46
Kelompok tarbiyah di era Orde Baru ini kemudian bertransformasi menjadi partai
politik Islam di era reformasi. Lihat Yon Machmudi. Islamising Indonesia: The Rise of
Jemaah Tarbiyah And the Prosperous Justice Party (PKS) (Canberra: Australian National

32
attracted some independent religious teachers in the Muslims world, including
Southeast Asia, and particularly Indonesia.”47
Lebih-lebih setelah era Reformasi ‟98. Berbagai kelompok Islam, yang
disebut Bahtiar Efendy sebagai „Islam militan‟ sedangkan Greg Fealy menyebutnya
„Islam radikal,‟48 muncul dengan variasi gerakannya masing-masing. Dari mulai
partai politik baru semacam Parta Bulan Bintang (PBB yang mewarisi Partai
Masyumi) atau Partai Keadilan (kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS),
sampai Ormas baru, misalnya, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbu Tahrir
Indonesia (HTI), ataupun Front Pembela Islam (FPI). Pada era ini, menurut
Nurhakim, revivalisme Islam juga muncul dalam bentuk Salafi Da‟awi yang
konservatif dan Salafi Haraki yang militan-politis.49
Menurut Tibi, terdapat tiga faktor utama yang mendukung tumbuh-
menjamurnya gerakan revitalisasi Islam.50 Pertama, pemaksaan diri untuk mengikuti
pola dan sistem sekular Barat ternyata tidak lantas membuat negara-negara Muslim
yang mengadopsinya itu berkembang-maju menyamai negara-negara Barat. Kondisi
ekonomi-politik justru semakin memprihatinkan. Jurang yang dalam terbentuk
antara „blok Utara‟ (negara-negara Barat) yang semakin maju-makmur dengan „blok
Selatan‟ (termasuk di dalamnya negara-negara Muslim) yang mayoritas tertinggal.51
Sebagaimana dijelaskan Norris dan Inglehart, bahwa ternyata komitmen
keberagamaan suatu masyarakat cenderung lebih tinggi di negara-negara yang
mempunyai persoalan dengan ketimpangan ekonomi.52
Kedua, perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat akibat modernisasi
justru berpengaruh disruptif (mengacaukan, memecah belah) bagi masyarakat-
masyarakat Muslim. Di dunia Islam-Modern, sebagaimana dikatakan Fazlur

University Press, 2008); Lihat juga Aay M. Furkon. Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan
Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer (Jakarta: Teraju, 2004).
47
Andi Faisal Bakti. Communication and Family Planning in Islam…, h. 158;
Untuk konteks yang lebih luas di Asia, lihat Farish A. Noor, Yoginder Sikand and Martin
van Bruinessen (eds.). The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnasional Linkage
(Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008).
48
Bahtiar Efendy. “Islamic Militant Movement in Indonesia” dalam Studia
Islamika. Vol. 11, Number 3, 2004; Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The
Faltering Revival?” Southeast Asian Affairs, (2004), h. 104-121.
49
Moh. Nurhakim. “The New Orientation of Islamic Revivalist Movements…,” h.
1-3.
50
Bassam Tibi. Islam and a Cultural Accomodation in Social Change. (Bouldier:
Westview Press, 1990), h. 129-130; lihat juga Bassam Tibi. Islam‟s Predicament With
Modernity, h. 42-44.
51
Lihat Joel Beinin, “Political Islam and the New Global Economy: the Political
Economy of an Egyptian Social Movement,” The New Centennial Review 5 (No. 1, Spring
2005), h. 111-139; Untuk konteks Asia Tenggara, lihat Vedi R. Hadiz, “Indonesian Political
Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War,” Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 30, 1, 2011, h. 3-38.
52
Pippa Norris and Ronald Inglehart. Sacred and Secular: Religion and Politics
Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).

33
Rahman,53 yang ada hanyalah perkembangan institusi-institusi sekular-modern yang
menggelisahkan dan sebagian besarnya steril dan tidak produktif lantaran ketiadaan
integrasi dengan lingkungan tradisi (turats) Islam. Kekuatan-kekuatan baru yang
tengah dilahirkan oleh pendidikan, industri, dan pembangunan berskala luas, telah
tampil dengan isu-isu yang tidak lagi berkisar pada hukum (Islam) yang paling awal
yang sama sekali telah digantikan.
Oleh karena itu, negara-negara Muslim yang termodernkan sekaligus
tersekularkan secara tanpa disadari itu mengalami ketidakberdayaan secara politis,
ideologis, maupun intelektulitas untuk mengantisipasi dampak perubahan sosial
yang terjadi. Negara sebagai instrumen paling vital untuk mengarahkan perubahan-
perubahan di tengah masyarakat justru tidak mempunyai „daya kontrol‟ terhadap
perubahan (sosial). Akibatnya sangat jelas. Perubahan sosial yang terjadi pada
masyarakat Muslim pada umumnya justru negatif, karena berdampak disruftif.
Kedua faktor ini mengakibatkan munculnya faktor yang ketiga; yaitu krisis
legitimasi di dalam sistem-sistem politik yang berorientasi sekular.54 Kondisi ini
diilustrasikan oleh Azra, bahwa dalam benak masyarakat Muslim yang terdidik,
tidak ada nilai lebih yang bisa diambil oleh negara-negara Muslim dengan
„mengekor‟ Barat. Kondisi negara-negara Muslim tetap „lemah‟ di hadapan Barat.
Di lain pihak, timbul kebutuhan ideologis untuk mengontrol perubahan yang terjadi
pada masyarakat Muslim.”55
Realitas politik di dunia Islam-modern seperti itu mendorong para
intelektual muda Muslim justru melihat genuine Islam sebagai alternatif yang
terbaik. Setidak-tidaknya, menurut Tibi, simbol-simbol kultural Islam menawarkan
suatu kerangka indigenous bagi artikulasi kandungan politik (tried-and-true
ideological weapon) berhadapan dengan kekuatan non-Muslim (Barat). Muncullah
wacana mengenai pentingnya membangun al-Nizam al-Islami, yakni tatanan sosial-
politik dengan dasar sistem Islam.56 Dalam bahasa Giles Kepel, revivalisme Islam
muncul sebagai gejala sosial politik di berbagai belahan dunia yang berkait dengan
aktivitas sekelompok individu Muslim yang melakukan gerakan dengan landasan
ideologi yang diyakini bersama, yaitu tatanan Ilahi.57
Dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan Muhammad Mumtaz Ali, terdapat
tujuh (7) motif umum gerakan revivalisme. Ini yang disebutnya sebagai “the
common objectives of the Islamic revival movement.”58 Yaitu: (1) penerapan aturan,
prinsip dan nilai-nilai syariah dalam masyarakat Muslim dan lembaga publik; (2)
pengembangan sistem sosial-ekonomi dan politik yang akan mencerminkan prinsip-

53
Rahman. Islam and Modernity…, h. 77; Lihat Sener Akturk. “Religion and
Nationalism: Contradictions of Islamic Origin and Secular Nation-Building in Turkey,
Algeria and Pakistan,” Social Science Quarterly, Vol. 96, No. 3, September 2015, h. 778-
806.
54
Tibi. Islam and a Cultural Accomodation…, h.130.
55
Azra. Transformasi Politik Islam…, h. 75.
56
Tibi. Islam and a Cultural Accomodation…, h.131.
57
Gilles Kepel, Jihad: The Trail of Political Islam, (Cambridge and Massachusetts,
Harvard University Press, 2002), h. 23.
58
Muhammad Mumtaz Ali (ed.), Modern Islamic Movements: Models, Problems
and Prospects, (Kuala Lumpur: S. Noordeen, 2000), h. 182-184.

34
prinsip dan syariah Islam; (3) promosi identitas budaya yang didasarkan pada
prinsip-prinsip dan warisan Islam yang akan mengkonfirmasi kesinambungan
historis dan mewakili respons defensif terhadap keterasingan yang terkait dengan
dominasi budaya Barat; (4) promosi nilai-nilai moral Islam dalam kehidupan sehari-
hari, perilaku atau interaksi sosial di tingkat individu dan kolektif; (5) produksi
model pembangunan sosial-ekonomi, independen dari kontrol industri Barat, peka
terhadap budaya nasional dan responsif terhadap kebutuhan lokal aktual. Ini adalah
model yang berasal dari kondisi historis dan objektif masyarakat Arab dan Muslim;
(6) promosi persatuan Arab sebagai prasyarat untuk persatuan Islam yang lebih luas
berdasarkan pada nilai-nilai sejarah Islam yang sama, prinsip-prinsip syariah dan
kepentingan bersama; dan (7) kebangkitan kembali peradaban Islam sebagai model
„wahyu universal,‟ sehingga dunia Islam dapat memperoleh status
internasionalnya.”59

2. Revivalisme Islam Dalam Perdebatan: Dari Reformis-Moderat,


Konservatifisme, Hingga Radikal-Fundamentalisme
Menurut Esposito,60 konsep revivalisme Islam ditujukan untuk mengganti
konsep fundamentalisme dalam penafsiran gerakan Islam kontemporer. Bagi
Esposito, istilah „fundamentalisme Islam‟ terlalu dibebani oleh praduga Kristen dan
stereotip Barat yang juga menyiratkan „mitos ancaman Islam‟ yang sesungguhnya
tidak pernah ada. Esposito tidak sepakat ketika gerakan Islam ini dilekatkan pada
kasus Kristen yang dituduh sebagai kelompok literalis, statis, dam ekstrem, karena
pada gilirannya fundamentalisme dimaknai gerakan atau kelompok yang mengacu
pada literalisme dan berharap kembali kepada kehidupan masa lalu.61 Lebih jauh,
Esposito mengritik ilmuwan yang mengartikan fundamentalisme secara sembrono
dengan menyamakannya dengan ektremisme, fanatisme, terorisme dan anti-Amerika
(Barat).62
Oleh karena itu, berkebalikan dari konsep fundamentalisme, Esposito lebih
memilih menggunakan konsep Islamic revivalism untuk menggambarkan gerakan
kebangkitan Islam kontemporer, karena istilah ini dianggap memiliki akar tradisi
Islam.63 Tokoh-tokoh Islam, seperti Syeikh Yusuf Qardhawy, mempunyai konsep

59
Muhammad Mumtaz Ali (ed.), Modern Islamic Movements…, h. 182-184.
60
John L. Esposito. The Islamic Threat: Myth or Reality? (Oxford: Oxford
University Press, 1992), h. 7.
61
Istilah fundamentalism berasal dari pengalaman Barat ketika kelompok Kristen
menginginkan mereka kembali ke dasar ajaran agama. Dalam kamus Oxford Advanced
Learner‟s Dictionary of Current English (Oxford University Press, 1995), h. 480,
fundamentalism disebut “(in Christian thought) the belief that everything in the Bible is true
and should form the basis of religious thought or practices.” Dalam perkembangannya,
fundamentalisme Kristen ini dimaknai sebagai patologi budaya karena keinginan untuk
kembali kepada nilai-nilai tradisional yang disebabkan oleh perasaan tidak aman akibat
tekanan atau keinginan untuk melakukan hegemoni.
62
Esposito, “Islam and Political Violence…,” h. 1067-1081.
63
Esposito. The Islamic Threat, h. 8.

35
yang relatif sama namun dengan istilah Arab: al-sahwah al-Islâmiyah.64 Maknanya
sama dengan revivalisme Islam, yakni kebangkitan Islam.
Dalam the future of Islam, Esposito mendeskripsikan konsep revivalisme
secara lebih luas dalam konteks dunia Muslim:
Religious revivals, in America or in the Muslim world, are not just about
religion. They are response to political, economic, and social failures, to loss of
a sense of identity, values, or meaning, to profound disillusionment or despair.
The lure of revivalism is a return to an idealized or romanticized past, the
period of the founder(s), an attempt to re-appropriate those principles, beliefs,
and values that represent divine guidance, a sense of purpose, meaning, and
success.65
Dengan kata lain, revivalisme adalah respon terhadap kegagalan politik,
ekonomi, dan sosial. Revivalisme juga berarti respon terhadap hilangnya identitas,
nilai, atau makna, yang berdampak terjadinya kekecewaan atau keputusasaan yang
mendalam. Daya tarik revivalisme adalah kembalinya masa lalu yang diidealkan
atau diromantiskan, pada periode Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya. Daya
tarik lainnya dikarenakan upaya untuk menyesuaikan kembali prinsip-prinsip,
kepercayaan, dan nilai-nilai yang mewakili bimbingan ilahi, tujuan, makna, dan
kesuksesan.
Karakter khas revivalisme Islam, menurut Ahmad F. Yousif, adalah sebagai
suatu upaya purifikasi Islam agar betul-betul kembali kepada sumbernya yang
murni.66 Revivalisme Islam dimaknai sebagai keinginan untuk kembali kepada dasar
pemahaman dan pengajaran Islam, karena telah terjadi kesalahan yang membuat
umat Islam mengalami kemunduran. Bagi Esposito, kaum revivalis menilai bahwa
telah terjadi kesalahan dalam sejarah umat Islam karena adanya pengaruh asing:
“Muslim religious leaders and activists believed their message had been vindicated,
maintaining that the failures and troubles of Muslims were a result of turning away
from God‟s revealed path and relying on the West.”67
Fenomena ini menunjukkan lahirnya kesadaran di kalangan Muslim akan
prinsip dasar dalam Islam sehingga memerlukan pemahaman ulang (purifikasi dan
tajdîd) nilai-nilai keislaman yang dipahami dalam al-Qur‟an dan sunnah, sebagai
bentuk respon atas berbagai kemajuan (modernisasi) dalam bidang sosial, ekonomi,
dan politik. Oleh karena itu, muatan dakwah sangat kental dalam gerakan
revivalisme Islam yang tidak hanya dimaknai dalam artian politik melainkan juga
dalam bentuk sosial budaya.68 Dengan cara ini diyakini bahwa Islam akan kembali
kepada kejayaannya.

64
Lihat Yusuf al-Qardhawi, al-Sahwah al-Islamiyyah: Baina al-Juhad wa al-
Tatarruf (Kairo: Bank at-Taqwa, 2001).
65
Esposito. The Future of Islam, h. 60.
66
Ahmad F. Yousif, “Islamic Revivalism in Malaysia…,” h. 30.
67
Esposito, “Islam and Political Violence,” h. 1071-2.
68
Gonda Yumitro, “Peluang dan Tantangan Gerakan Revivalisme Islam di
Indonesia Pasacareformasi,” Tsaqafah, Vol. 14, No. 1, Mei 2018, h. 57.

36
Islam merupakan ideologi alternatif yang berbeda dengan peradaban Barat
yang mewarisi semangat materialistik dan ateisme Yunani kuno.69 Di kalangan
revivalis, muncul keyakinan bahwa Islam adalah solusi pada setiap persoalan.70
Apalagi belajar dari sejarah, kaum revivalis memahami bahwa perkembangan Islam
sebagai ideologi terus relevan dalam berbagai perkembangan zaman. Karenanya,
muncul semangat untuk melahirkan kembali budaya dan identitas diri untuk
melegitimasi siapa Muslim yang sesungguhnya.
Di lain pihak, Seyyed Vali Reza Nasr secara umum menjelaskan bahwa
revivalisme Islam sebagai suatu gerakan revolusioner yang bertujuan untuk
menerapkan aturan syari‟ah di dunia Islam, baik secara otoriter maupun
demokratis.71 Revivalisme dalam artian gerakan revolusioner—dengan mengacu
peristiwa politik di Persia-Iran—inilah yang menyebabkan ilmuwan Barat melihat
Islam sebagai ancaman. Revivalisme Islam diidentikkan dengan gerakan
fundamentalisme agama dan ajaran kekerasan (radikalisme).
Gerakan revivalisme yang massif di dunia Islam diasumsikan para ilmuwan
sebagai bagian dari perlawanan (oposisional) terhadap kehidupan modern-sekular
Barat. Kerangka berfikir seperti ini, misalnya yang diajukan oleh Samuel P.
Huntington dengan tesisnya —yang kontroversial di tahun 1993-1996 terkait
benturan peradaban dunia—memosisikan Islam dan konfusionisme (China) sebagai
“musuh” Barat. Lebih jauh, ia memandang revivalisme Islam yang disebutnya “the
demographic surge of the Islamic world is a threat to the West.”72 Sebagaimana
dijelaskan oleh Norris, tesis Huntington ini didasarkan atas klaim bahwa ada
perbedaan tajam antara the core political values common in societies sharing a
Western Christian heritage dengan the beliefs common in the rest of the world,
especially Islamic societies. Perbedaan terkait nilai-nilai politik yang didasarkan atas
predominant religious cultures inilah yang akan mengantarkan konflik antara Islam
versus Barat.73
Kondisi umum masyarakat pada mayoritas negara-negara Muslim cenderung
tidak atau belum makmur. Kondisi ini mendorong terjadinya radikalisasi ideologi
69
Samee-Ullah Bhat, “Life and Works of Abu Hasan „Ali Nadwi (RA): An
Analytical Study”, Journal of Islamic Thought and Civilization, Vol. 6, No. 1, (Lahore:
University of Management and Technology, 2016).
70
Iik A. Mansurnoor. “Revivalism and Radicalism in South-East Asian Islam: A
Pattern or an Anomaly?” New Zealand Journal of Asian Studies, 11, 1 (June 2009), h. 222.
71
Seyyed Vali Reza Nasr, “Democracy and Islamic Revivalism,” Political Science
Quarterly 110, No. 2 (1995), h. 261-285.
72
Samuel P. Huntington. “The Clash of Civilizations?” Foreign Affairs 72, No. 3
(Summer 1993), h. 22-49. Ilmuwan Barat lainnya yang mengritisi gelombang revivalisme
Islam adalah Francis Fukuyama. Fukuyama memandang secara negatif tumbuhnya
gelombang revivalisme Islam kontemporer, karena berlawanan dengan nilai demokrasi
liberal Barat: “The days of Islam‟s cultural conquests, it would seem, are over: it can win
back lapsed adherents, but has no resonance for young people in Berlin, Tokyo, or Moscow.
And while nearly a billion people are culturally Islamic—one fifth of the world‟s
population—they cannot challenge liberal democracy on its own territory on the level of
ideas.” Lihat Francis Fukuyama. The End of History and The Last Man (New York: Free
Press, 1992), h. 46, 347.
73
Pippa Norris and Ronald Inglehart. Sacred and Secular…, h. 135-136.

37
keagamaan, yang mengejawantahkan diri dari fundamentalis Islam. Menurut Fazlur
Rahman, terbentuknya pergerakan Islam fundamentalis adalah akibat interaksi
panjang antara sejarah perkembangan Islam dengan hegemoni Barat.74 Sementara
bagi Azra, fundamentalisme dan radikalisme kontemporer bangkit sebagai reaksi
terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi Barat, baik
sebagai akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir Muslim.
Tegasnya, kelompok modernis, sekularis, dan westernis atau rezim pemerintahan
Muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan perpanjangan mulut dan
tangan Barat.75
Kemunculan terminologi Islam fundamentalis pun berlangsung seiring
dengan munculnya gerakan revivalisme Islam. Walaupun terdapat beberapa bentuk,
namun pada tingkat yang paling umum, revivalisme Islam menggambarkan
tingginya kesadaran Islam di kalangan umat Islam. Bentuk kesadaran Islam yang
paling populer ini ditunjukkan dengan menyebarnya masyarakat yang dipenuhi
kegiatan sosial dan persaudaraan-persaudaraan sufi dan ketaatan yang ekstrem-
mencolok untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Islam yang murni.76 Dengan
demikian, Islamic revivalism seringkali diidentikkan dengan fundamentalisme Islam.
Azyumardi Azra menjelaskan:
Fundamentalisme Islam bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem dari gejala
revivalisme (revivalism, kebangkitan kembali). Jika revivalisme dalam bentuk
intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke dalam (inward oriented)—dan
karenanya sering bersifat individual—pada fundamentalisme, intensifikasi itu
juga diarahkan ke luar (outward oriented). Tegasnya, intensifikasi bisa berupa
sekedar peningkatan attachment pribadi pada Islam—dan sebab itu sering
mengandung dimensi esoterik—tetapi fundamentalisme menjelma dalam
komitmen tinggi tidak hanya untuk mentransformasi kehidupan individual,
tetapi sekaligus kehidupan komunal dan sosial.77
Penjelasan dari tokoh Islam Timur Tengah, Syeikh Yusuf Qardhawy, relatif
sama dengan Azra. Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan fenomena prilaku
keberagamaan ini dengan istilah al-Tatarruf ad-Din. Istilah ini dimaknai sebagai
praktik ajaran agama dengan tidak semestinya, atau mempraktikkan ajaran agama

74
Fazlur Rahman. “Roots of Islamic Neo-Fundamentalism,” in P. Stoddard (ed.).
Change and The Muslim World (New York: Syracuse University Press, 1981), h. 24;
Penjelasan untuk kondisi mutakhir, bandingkan dengan Eric Hiareij. The Politics of
Becoming Fundamentalist in the Age of Consumer Culture. A thesis submitted for the degree
of Doctor of Philosophy, The Australian National University, November 2009.
75
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 2006), h. 111.
76
Brian S. Farmer, Understanding Radical Islam: Medieval Ideology in the Twenty-
First Century (New York: Peter Lang Publishing Inc., 2008), h. 8-11.
77
Azyumardi Azra. Transformasi Politik Islam…, h. 118; Andi F. Bakti
memberikan catatan terkait karakteristik gerakan dakwah Islam yang fundamentalistik,
namun tidak sama dengan karakter fundamentalisme Kristen. Lihat Andi F. Bakti,
“Communication and Dakwah: Religious Learning Groups and Their Role in the Islamic
Human Security and Rights for Indonesia Civil Society,” in Wayne Nelles. Comparative
Education, Terrorism, and Human Security from Critical Pedagogy to Peacebuilding, New
York: Palgrave Macmillan, 2003, h. 120.

38
dengan mengambil posisi tarf atau pinggir. Jadi jauh dari substansi ajaran agama
Islam, yaitu ajaran moderat di tengah-tengah. Biasanya posisi pinggir ini adalah sisi
yang berat atau memberatkan dan berlebihan, yang tidak sewajarnya. Lanjut al-
Qaradhawi, posisi praktik agama seperti ini setidaknya mengandung tiga kelemahan,
yaitu: pertama, tidak disukai oleh tabiat kewajaran manusia; kedua, tidak bisa
berumur panjang, dan yang ketiga, ialah sangat rentan mendatangkan pelanggaran
atas hak orang lain.78 Eksplanasi dari cara beragama seperti ini, ialah bahwa dalam
praktik pengalaman beragama terdapat orang-orang berperilaku ekstrim, sehingga
melebihi kewajaran yang semestinya.
Gerakan revivalisme Islam merupakan suatu rangkaian kesatuan yang
dinamis antara spiritualisme pasif-apolitis dengan militansi dan radikalisme.
Pasivitas politik dalam wujudnya yang konstan, bagi M. Imdadun Rahmat,79 diwakili
oleh kecenderungan „fundamentalisme-konservatif‟ seperti yang tercermin pada
gerakan Wahabi, Salafi dan Ahlu-Hadits. Orentasi utama varian revivalis ini adalah
penerapan syariat Islam di tengah masyarakat, tanpa ambil peduli terhadap persoalan
politik-negara. Kelompok revivalis yang berpatron kepada para ulama tradisional ini
cenderung mengutamakan moral pribadi dan mudah berkolaborasi dengan
pemerintah dan tunduk kepada sistem politik yang ada. Bahkan mereka tidak
mempersoalkan sekularisasi politik (pemisahan agama dan Negara) dan memilih
mempertahankan tradisi (Islam).80
Oliver Roy menjelaskan fenomena ini sebagai gerakan revivalisme Islam
yang „melampaui negara‟ dan berkecenderungan pembaharuan spiritualitas: “The
contemporary religious revival in Islam is targeting society more than the state and
calling to the individual‟s spiritual needs.”81 Kelompok varian revivalis ini disebut
Roy dengan istilah „neo fundamentalism‟ yang berwujud Salafisme, yaitu ajaran
puritanisme yang ketat dengan mencontoh kehidupan Nabi Muhammad dan para
sahabatnya (salaf al-shalih).82 Konsekuensinya, mereka menolak segala bentuk
kemodernan dari Barat, yang dianggapnya bid‟ah—suatu inovasi yang sangat
diharamkan dalam agama. Namun, dalam konteks politik, mereka justru bersikap
netral dan pasif, sehingga mereka pun bisa survive di berbagai bentuk regime
pemerintahan, termasuk di negara-negara Barat itu sendiri.83

78
Yusuf al-Qardhawi, al-Sahwah al-Islamiyyah: Baina al-Juhad wa al-Tatarruf
(Kairo: Bank at-Taqwa, 2001), h. 23-29.
79
M. Imdadun Rahmat. Arus Baru Islam Radikal…,” h. 16-17.
80
Kelompok revivalis kontemporer ini, menurut Nurhakim, disebut juga “salafi-
da‟awi” karena memfokuskan gerakannya pada dakwah ke tengah masyarakat, tanpa
disibukkan dengan urusan politik. Lihat Moh. Nurhakim. “The New Orientation of Islamic
Revivalist Movements…,” h. 2-3.
81
Oliver Roy. Globalized Islam…, h. 3.
82
Maksud penambahan al-shalih setelah kata Salaf dimaksudkan sebagai karakter
pembeda dengan pendahulunya tersebut. Lihat Jamhari dan Jajang Jahroni. Gerakan Salafi
Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2004).
83
Beyond their religious radicalism, neofundamentalist tend to ignore or despise
politics, which paradoxically pushes them to accept the peresnt political order without
bestowing any legitimacy on it. Their religious radicalism pushes them towards political
neutrality…This may explain why they accept and even support regimes like that of Saudi

39
Varian kedua dari kelompok Neofundamentalist-Salafi ini berwatak radikal-
revolusioner dan berorientasi kekerasan. Munculnya varian revivalis-radikal „Salafy-
Jihadist‟84 yang berwujud gerakan Takfir wa al-Hijrah (jama‟atul muslimin) yang
dibentuk Syukri Mustafa pada 1971 di Mesir, Hizbu Tahrir di Yordania, jaringan
Jama‟ah Islamiyah di Asia Tenggara, atau dalam konteks global kontemporer adalah
Tanzim al-Qaidah yang dipimpin Usama ibn Laden. Varian radikal dari gerakan
revivalisme Islam yang terakhir ini menjadi isu internasional setelah peristiwa
serangan terhadap menara kembar World Trade Center di New York, Amerika
Serikat, pada 11 September 2001, serta serangkaian teror bom pada fasilitas-fasilitas
Barat di berbagai wilayah pada awal abad ke-21.
Dalam kaitan inilah, ciri penting revivalisme Islam lainnya ditunjukkan
melalui doktrin jihad. Menurut Masdar Hilmy,85 jihad telah menjadi salah satu kosa
kata paling penting dalam kamus Islam-radikal yang seringkali dipakai sebagai basis
teologis untuk membenarkan tindak kekerasan sebagian dari mereka. Sekalipun
jihad merupakan istilah yang populer di seluruh sayap kelompok radikal, mereka
berselisih pendapat tentang apakah jihad harus dilihat dari pengertiannya yang
generik atau spesifik. Bagi kaum salafi murni, jihad cenderung diartikan dalam
pengertiannya yang lebih luas sebagai mengambil tindakan apapun yang dianggap
perlu guna meningkatkan kualitas keimanan seseorang, sekalipun terdapat konteks
tertentu ketika jihad harus dimaknai sebagai perang suci. Kaum radikal jihadi, di sisi
lain, mengartikan jihad hanya dalam konteks perang fisik (yang dalam bahasa Arab
bermakna ghazw atau qitâl) melawan semua jenis musuh Tuhan dengan tujuan
menjaga Islam sebagai satu-satunya agama yang paling benar dan murni di muka
bumi. Untuk itu, mereka bahkan rela untuk melakukan tindakan „bunuh diri‟ yang
diyakini bagian dari doktrin „mati syahid‟.86
Terkait dengan isu gerakan revivalisme Islam yang radikal-fundamentalis
ini, catatan kritis disampaikan oleh Iik Arifin Mansurnoor.87 Bahwa akhir „Perang
Dingin,‟ pengaruh yang berkembang dari tesis Huntington („benturan peradaban‟),
dan serangan 9/11, telah menghidupkan kembali pandangan pejoratif (merendahkan)
terhadap Islam dan lembaga-lembaganya, termasuk konsep jihadnya. Interpretasi
radikal doktrin Islam oleh kelompok puritan kontemporer—dan dilaksanakan secara
komitmen oleh para pengikutnya—telah populer sebagai „focal representation‟ dari
Muslim kontemporer. Padahal, kelompok mainstream Muslim telah berhasil

Arabia, but also why they are more adapted to living in the West.” Lihat Oliver Roy.
Globalized Islam, h. 247.
84
Oliver Roy. Globalized Islam, h. 234-235.
85
Masdar Hilmy. “Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde
Baru,” Miqot, Vol. XXXII, No. 1, Januari-Juni 2008, h. 40; Bandingkan dengan Lukmanul
Hakim Darusman. Jihād In Two Faces of Sharī‟ah: Sufism And Islamic Jurisprudence (Fiqh)
And the Revival of Islamic Movements in The Malay World, a thesis submitted for the degree
of Doctor of Philosophy, The Australian National University, November 2018.
86
Lihat Vicki Sandilands. Jihadist Suicide: A Moral Ideal, a thesis submitted for the
degree of Doctor of Philosophy, The Australian National University, November 2011, h. 28-
39.
87
Iik A. Mansurnoor. “Revivalism and Radicalism in South-East Asian Islam…,” h.
261-262.

40
membangun peradaban yang merangkul berbagai negara dan mengakomodasi
budaya yang berbeda. Pencapaian semacam itu dimungkinkan terutama karena
pendekatan positif dan terbuka mereka kepada semua konstituen dan anggota
masyarakat, yang berasal dari beragam orientasi, latar belakang dan asal-usulnya.
Berdasarkan hal ini, Mansurnoor menyimpulkan bahwa radikalisme adalah
sebuah anomali, bukan pola umum revivalisme Islam. Ia menjelaskan:
To view Islamic history as the unfolding of an outright and categorical agenda
of violence misses the original message of Islam as a religion for all humanity.
At the same time, to maintain that Islam has no „illegitimate children‟ in history
in the form of „war mongers‟ and „radicals or terrorists‟ is to censor history. I
have argued that radicalism represents a facet but not the pattern of Islamic
revivalism or reformism.88
Peradaban masyarakat muslim jelas terlalu sederhana untuk dipandang
sebagai gejala tunggal dalam tataran peradaban yang sama. Demikian pula dengan
gerakan-gerakan revivalisme Islam, sebagaimana diakui oleh Giles Kepel, bahwa
“…based on diverse national and local traditions and histories and their social,
political and religious features, revivalism took on various forms.”89 Revivalisme
Islam bukan merupakan gerakan monolitik, sebagaimana fundamentalisme Kristen
yang seringkali menyita perhatian publik. Namun ada banyak varian dalam gerakan
ini termasuk dalam hal pemikiran dan gerakan sosial-kemasyarakatan dan politik.
Karenanya, meskipun tidak selalu benar, revivalisme Islam seringkali berdekatan
dengan politik Islam sebagaimana dinyatakan Anies Rasyid Baswedan, sebagai
upaya untuk mempromosikan aspirasi umat Muslim dengan berbagai agenda Islam
ke dalam kebijakan hukum dan pemerintahan.90
Oleh karena itu, merupakan simplifikasi pula menyatakan peradaban Islam
yang majemuk itu secara keseluruhan menantang dan berbenturan dengan peradaban
Barat. Bahwa ada sektor peradaban muslim yang mengalami perbenturan dengan
Barat memang merupakan kenyataan yang sulit dimungkiri. Namun, menurut Azra,
perbenturan dalam banyak hal justru dirangsang oleh Barat sendiri, yang masih tetap
memandang proyek modernismenya sebagai satu-satunya jalan menuju kemajuan.91

88
Iik A. Mansurnoor. “Revivalism and Radicalism in South-East Asian Islam…,”,
h. 262; Bandingkan dengan Andi F. Bakti. “Communication and Violence: Communicating
Human Integrity Characteristic Is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in
Indonesia,” Identity, Culture and Politics, Vol. 9, No. 1, (July 2008), h. 74-114.
89
Gilles Kepel, Jihad: The Trail of Political Islam, (Cambridge and Massachusetts,
Harvard University Press, 2002), h. 60.
90
Anies Rasyid Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future
Trajectory,” Asian Survey 44, no. 5 (2004), h. 669-690.
91
Azyumardi Azra. Transformasi Politik Islam…, h. 113-114. Namun demikian,
gerakan Islam revivalis yang moderat-akomodatif dan turut berpartisipasi dalam sistem
demokrasi juga menghadapi tantangan yang intens dari rejim status-quo yang authoritarian—
mewarisi a legacy of European colonial rule and postindependent regimes. Dampaknya
adalah adanya polarisasi yang tajam di tengah masyarakat, bahkan ada yang bertransformasi
menjadi perang sipil yang lama—seperti di Aljazair: “The specter of an Islamic-movement
governance through ballots rather than bullets nevertheless triggered a radical response.”
Lihat John L. Esposito. The Future of Islam, h. 63.

41
C. Islamisme
Isu kebangkitan Islam (revivalisme) berjalinkelindan dengan isu gerakan
Islamisme. The American Heritage Dictionary of the English Language
mendefinisikan Islamisme sebagai, “an Islamic revivalist movement, often
characterized by moral conservatism, literalism, and the attempt to implement
Islamic values in all spheres of life.”92 Dengan kata lain, Islamisme sebagai bagian
(varian) dari revivalisme Islam yang berorientasi politik (negara). Dalam hal ini, ada
banyak ragam istilah-konseptual untuk menyebut gerakan dakwah yang mendukung
revitalisasi Islam dalam bidang politik. Gerakan Islam, sebagaimana dinyatakan
Azra, “mereka sering disebut kaum “militan”, “fundamentalis”, “neo-fundamentalis”
atau lebih belakangan “Islamis”.93 Dengan demikian, Islamisme merupakan
perspektif baru dalam melihat gerakan Islam, khususnya relasi gerakan dakwah
dengan politik modern dunia Islam, termasuk di Indonesia.

1. Islamisme: Antara Totalitarianisme, Radikalisme dan Moderatisme


Sebagaimana istilah revivalisme, Islamisme adalah sebuah konsep baru yang
awalnya ditujukan menjadi alternatif istilah “fundamentalisme Islam.” Ia memiliki
pengertian yang berbeda dan terus diperdebatkan para ilmuwan Muslim dan Barat.
Sarjana Muslim dan Barat berdebat mengenai istilah Islamisme; apakah Islamisme
itu mencakup semua gerakan Islam, dan tidak selalu berorientasi politik kekuasaan,
ataukah hanya berkenaan dengan gerakan Islam yang berpolitik. Para sarjana
memperdebatkan apakah semua kalangan Islamis anti-demokrasi ataukah sesuai
dengan demokrasi. Jika sesuai dengan demokrasi, apa bentuk Islamisme itu dan apa
makna demokrasi bagi kaum Islamis.94
Bagi Mehdi Mozaffari, Islamisme baru dipahami sebagai sebuah konsep
yang utuh (disebutnya sebagai a rather new and independent concept) pasca
terjadinya peristiwa penyerangan WTC New York, pada 11 September 2001—yang
terkenal dengan sebutan peristiwa 9/11.95 Islamisme berisi dua komponen yang
berbeda. Komponen pertama adalah Islam sebagai sebuah agama dan peradaban
yang mempunyai sejarah yang spesifik, sedangkan komponen kedua adalah “isme”,
sebuah non-Islamic suffix yang sering diartikan sebagai ideologi. Berdasarkan hal

92
Lihat, Jones, Understanding Islamism, New York: Blackwell Publications, 2004,
h. 31.
93
Azyumardi Azra. Transformasi Politik Islam…, h. 41.
94
Sebuah konferensi membahas istilah Islamisme ini: James Piscatori
mendefinisikan Islamis sebagai Muslim yang berkomitmen terhadap aksi publik untuk
mewujudkan agenda Islam. Donald K. Emmerson mendefinisikan Islamisme adalah
komitmen terhadap, dan isi dari agenda Islam itu sendiri. Graham Fuller mendefiniskannya
sebagai Islam politik, diusung oleh orang-orang yang percaya bahwa Islam memiliki tawaran
bagaimana politik (masyarakat) harus dikelola dalam dunia Muslim kontemporer dan ingin
mewujudkannya dalam berbagai cara. Lihat Richard Martin and Abbas Barzegar, eds.
Islamism: Contested Perspectives on Political Islam (Stanford: Stanford University Press,
2010).
95
Mehdi Mozaffari, “What is Islamism? History and Definition of a Concept,”
Totalitarian Movements and Political Religions, Vol. 8, No. 1, March 2007, h. 19.

42
ini, Mozaffari mengartikan Islamisme sebagai “a religious ideology with a holistic
interpretation of Islam whose final aim is the conquest of the world by all means.”96
Menurut Richard Martin dan Abbas Barzegar, Islamisme sebagai fenomena
muncul dalam konteks persepsi dan realitas rejim-rejim penguasa Muslim yang
sekuler (meski tidak secara gamblang mengadopsi sekulerisme). Islam Politik atau
Islamisme juga muncul sebagai respons terhadap ekses-ekses modernitas yang
dipahami sebagai Barat dan asing, yang dianggap gagal memenuhi kepentingan-
kepentingan Islam seperti yang mereka pahami. Salah satu slogan kaum Islamis
adalah “Islam adalah Jawaban” (al Islam huwa al-hal, Islam is the Answer). Mereka
menganggap ideologi-ideologi selain Islam seperti demokrasi, sosialisme,
komunisme, dan sekulerisme telah gagal, meskipun sering ambigu dan retoris.97
Pandangan ilmuwan Barat umumnya dalam melihat Islamisme memang
sangat dipengaruhi „peristiwa 9/11‟ dan rangkaian terror yang mengikutinya.
Berdasarkan hal itulah, ilmuwan Barat seperti David G. Green memandang
Islamisme secara pejoratif sebagai bentuk totalitarianisme: “Islamism…is the exact
opposite of Western liberal-democracy. It is a brand of totalitarianism rooted in a
sacred text—the very idea rejected in the seventeenth century after long years of
bloodshed.”98 Ilmuwan lain yang juga menganggap Islamisme sebagai ideologi
politik yang totalitarianistik adalah Bassam Tibi.99
Bassam Tibi menjelaskan bahwa terjadinya krisis di dunia Islam
kontemporer tidak hanya ditentukan secara struktural, tetapi juga normatif dan
terkait dengan nilai-nilai dan politik identitas. Inilah yang menjadi pemicu
berkembangnya Islamisme—tidak hanya muncul dari krisis ini sendiri, tetapi juga
menampilkan dirinya sebagai an exit strategy. Daya tariknya berasal dari sifatnya
yang ganda: ia berjanji untuk memberikan solusi sosial-politik dan juga keselamatan
religius. Dalam konteks inilah, bagi Tibi, Islamisme tidak lebih dari ideologi totaliter
yang menghadirkan dirinya sebagai kendaraan yang tepat untuk
mengimplementasikan al-hall al-Islami, solusi Islam, semacam jawaban ajaib untuk
semua masalah — global dan lokal, sosial ekonomi atau yang berkaitan dengan nilai
— dalam krisis dunia Islam. Karena inilah: “The Islamist flag attracts a growing
constituency; what was a trend has become a mass movement thriving especially
after the Arab Spring of 2011.”100
Bagi Tibi, Islam hanya mungkin kompatibel dengan demokrasi jika
dipahami dalam konteks—istilah Tibi—a liberal Islamic manner, namun tidak
dalam konteks Islamisme, karena, “in contrast, Islamism clearly rejects

96
Mehdi Mozaffari, “What is Islamism?” h. 21.
97
Richard Martin and Abbas Barzegar, eds. “Introduction: The Debate about
Islamism in the Public Sphere,” in Islamism: Contested Perspectives on Political Islam
(Stanford: Stanford University Press, 2010), h. 10-11.
98
David D. Green. “Foreword” in Caroline Cox And John Marks. The „West‟, Islam
And Islamism: Is Ideological Islam Compatible with Liberal Democracy? (London: Institute
for the Study of Civil Society, 2003), x.
99
Bassam Tibi. Islamism and Islam. (New Heaven and London: Yale University
Press, 2012), 202.
100
Bassam Tibi. Islamism and Islam, h. 202.

43
democracy.”101 Analisis Tibi didasarkan atas pembedaan antara Islam sebagai agama
dengan Islamisme sebagai ideologi politik. Karena itulah, Tibi juga mengritik John
L. Esposito yang menganggap ancaman Islam (terhadap Barat) sebagai sebuah
mitos.102 Islam sebagai agama bukan ancaman bagi kelompok manapun, tapi
Islamisme sebagai ideologi politik adalah ancaman bagi tatanan yang telah mapan:
“The religion of Islam must be differentiated from the many varieties of Islamism as
political ideology. The religion of Islam is not a threat. However, as a political
ideology Islam clearly is, in so far as it poses a threat to the existing order. Esposito
fails to see this.”103
Menurut Tibi, paham Islamisme diproduksi, dikembangkan,
dipropagandakan dan disistematiskan pertama kali dengan istilah „harbu al-afkar.‟
Istilah harbu al-afkar (perang pemikiran) merupakan perwujudan konsep jihad yang
dikobarkan oleh Hasan al Bana dan terutama Sayyid Qutb dalam perseteruan kosmik
iman/Islam denga kufr (terutama Yahudi, suatu sikap antisemit). Kerangka perang
(anti semitisme dalam studi Barat) ini diperkuat dengan gagasan tentang ghazw al-
fikr (invasi intelektual) atas dunia Islam. Perang abadi antara mu‟min dan kafir
dirujuk pada Hasan al-Bana dalam Risalatul Jihad dan Sayyid Qutb dalam
Ma‟rakatuna Ma‟al Yahud. Sikap ini selain atas nama agama, juga bagian dari
adanya dugaan pengecohan ummat muslim dalam keadaan dunia-politik dengan
kiasan „Islam yang dikepung.‟
Konsep Islamisme juga dipopulerkan oleh Oliver Roy melalui karya
kontroversialnya, the failure of political Islam—yang kemudian direvisi melalui
karya keduanya, Globalised Islam. Roy menggunakan istilah Islamisme untuk
menyebut semua gerakan kontemporer yang memandang Islam sebagai ideologi
politik: Islamist see Islam not as a mere religion, but as apolitical that should
reshape all aspects of society (politics, law, economy, social justice, foreign policy,
and so on).104 Tujuan utama dari gerakan Islamisme adalah kemestian berdirinya
Negara Islam, dengan platform dasar pemikirannya bahwa Islam adalah din wa
daulah, namun dengan mengambil istilah-konseptual politik yang modern (Barat):
This ideologisation of Islam is explicit among Islamist actors. They use concepts
common in „Western‟ social science: state, ideology, sovereignty…and, more
recently, civil society.105 Dengan kata lain, Islamisme adalah kelompok Islam-
modernis. Dengan demikian, Roy berbeda dengan ilmuwan Barat sebelumnya yang
hanya melihat Islamisme secara tunggal sebagai bentuk radikal-fundamentalisme
agama.
Bagi Roy, terdapat dua bentuk gerakan Islamisme jika dilihat dari cara dan
sikap politik kaum Islamis berhadapan dengan kekuasaan (negara) yang telah ada.
Pertama, kelompok Islamis-revolusioner. Bagi kelompok ini, Islamisasi masyarakat
mesti dilakukan melalui kekuasaaan Negara dengan merebut kekuasaaan terlebih
101
Bassam Tibi. Between Islam and Islamism. (New Heaven and London: Yale
University Press, 2012), h. 64.
102
Lihat John L. Esposito. The Islamic Threat: Myth or Reality? (Oxford: Oxford
University Press, 1992), h. 8-9.
103
Bassam Tibi. Between Islam and Islamism, h. 202.
104
Oliver Roy. Globalized Islam…, h. 58.
105
Oliver Roy. Globalized Islam…, h. 58-59.

44
dahulu. Pendekatan gerakan yang ditempuh adalah non-kooperatif dengan penguasa
dan menolak sistem demokrasi yang dianggap tidak Islami. Kedua, kelompok
Islamis-reformis. Tindakan sosial dan politik kelompok reformis bertujuan untuk re-
Islamisasi masyarakat dari bawah ke atas, yang dengan sendirinya akan mewujudkan
Negara Islam.
Jika Islamisme yang pertama itulah yang dikategorikan gerakan radikal-
fundamentalistik, maka yang kedua dianggap lebih moderat. Bahkan bentuk yang
kedua ini dianggap berkontribusi terhadap modernisasi masyarakat: “the Islamist
wave has accompanied societal change, which also contributed to the modernizing
of society, even if, once again, they did not deliberately trigger such change.” Dalam
hal ini, Roy merevisi sendiri tesisnya sekaligus mengritisi Ilmuwan Barat yang
terlalu struktural-instrumental dalam penafsiran fenomena Islamisme. Menurutnya,
“the Islamist did contribute to laying the basis of greater democracy and
secularization. Islamism was a „failure‟ only if one took the Islamist at their own
words. But they helped to change the political landscape.”106
Pengertian konseptual Islamisme yang lebih moderat disampaikan Masdar
Hilmy. Islamisme dimaknai oleh Hilmy sebagai sebuah gerakan atau
pengorganisasian yang ditujukan untuk mengubah masyarakat Muslim “by deriving
its programmes and ideologies from the basic texts of Islam.”107 Dalam hal ini,
Islamisme dibedakan dengan istilah-konsep fundamentalism, militanism, radicalism,
atau teroris, karena menurut Hilmy, terlalu berkonotasi Barat dan mengimplikasikan
reduksionisme. Islamist atau Islamiyyun adalah terma terhadap orang atau
masyarakat yang tergabung dalam gerakan Islamisme menggunakan istilah tersebut
sebagai identitasnya. Dengan kata lain, “Islamism refers both to Islamist politics and
the process of re-Islamization.”108
Kritik terhadap pandangan pejoratif Barat—yang memandang gelombang
revivalisme Islam dan Islamisme secara negatif—muncul salah satunya dari
perspektif hubungan international. Dalam perspektif ini, pandangan pejoratif Barat
terhadap Islamisme dianggap sebagai a distorting consequence terhadap fakta bahwa
para ahli teori politik Barat telah menerima konsepsi Hubungan Internasional
(International Relation/IR) sebagai keadaan alamiah (a state of nature) dan
karenanya berkomitmen untuk memandang hubungan internasional difokuskan—
sebagai perhatian utama—pada the traditional ultima ratio terkait persaingan
negara-bangsa, yaitu perang.
Argumen ini diajukan di antaranya oleh Raffaelle Mauriello.109 Dalam
konteks ini, Islamisme akan lebih dipahami jika dipandang dari sudut-terma Islam
itu sendiri, sebagaimana dinyatakan Mauriello, bahwa “Islam looks quite different

106
Oliver Roy. Globalized Islam…, h. 80-81.
107
Masdar Hilmy. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism,
Singapore: ISEAS, 2010, h. 5.
108
Hilmy. Islamism and Democracy…, h. 6.
109
Diena Abdelkader, Nassef Manabilang Adiong, and Raffaele Mauriello. Islam
and Internasional Relations: Contribution on Theory and Practice (New York: Palgrave
Macmillan, 2016), 2.

45
from within and behind the looking glass.”110 Sebagai contoh, sebagaimana
dinyatakan Muhammad Ali,111 adalah „Islam-Hadhari‟-nya Malaysia yang
dipromosikan Pemerintah Malaysia sebagai fondasi hubungan internasional Negara
tersebut. Terutama pada masa Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi
(2004-2009) yang mempromosikan Islam Hadhari sebagai pendekatan progresif,
demokratis, dan toleran terhadap Islam. Para pemimpin dan cendekiawan Malaysia
memahami Islam tidak hanya dalam hal politik dan budaya nasional Malaysia, tetapi
juga dalam konteks hubungan internasional—yang moderat dan mendukung upaya
perdamaian dunia.112 Dengan demikian, menurut Hilmy, „Islam Hadhari‟ merupakan
rumusan cetak-biru Islam moderat khas Malaysia, sebuah nomenklatur pemikiran
Islam yang secara khusus dirancang untuk mengakomodasi pergulatan teologis
antara dimensi al-ashlah (autentisitas asli) dengan dimensi al-hadharah (peradaban
modern-kekinian).113

2. Post-Islamisme: Sebuah Antitesis


Dalam kaitan inilah muncul konsep “Post-Islamisme,” sebagai antithesis
dari Islamisme. Roy mengkritisi konsep Islamisme yang dipahami dengan
pendekatan strukturalisme. Analisis jenis ini biasanya mendasarkan diri pada asumsi
bahwa tidak ada cara lain bagi proses Islamisasi sosial-politik di luar struktur
kekuasaan, yakni pada level negara. Mazhab “struktural” ini tidak mampu
melampaui analisis negara, tetapi dalam waktu bersamaan menegasikan kenyataan
bahwa target Islamisme radikal telah bergeser ke tingkat non-negara, yakni
masyarakat secara umum, sebagaimana dijelaskan Oliver Roy: “The contemporary
religious revival in Islam is targeting society more than the state and calling to the
individual‟s spiritual needs.114 Terjadi fenomena the spread of specific form of
religiosity, from radical neofundamentalism to a renewal of spirituality or an
insistence on Islam as a system of values and ethics.115 Inilah fenomena Post-
Islamisme.
110
Diena Abdelkader, Nassef Manabilang Adiong, and Raffaele Mauriello. Islam
and Internasional Relations, 2016, h. 2.
111
Muhammad Ali. “Malaysia‟s Islam Hadhari and The Role of the Nation State in
International Relations,” in Diena Abdelkader, Nassef Manabilang Adiong, and Raffaele
Mauriello. Islam and Internasional Relations: Contribution on Theory and Practice (New
York: Palgrave Macmillan, 2016), h. 207-228.
112
PM Abdullah berulang kali mempromosikan Islam sebagai agama perdamaian
dan menggambarkan Malaysia sebagai damai, stabil, demokratis, dan berkembang pesat.
Pemerintah Abdullah mengklaim bahwa mereka mendukung pendekatan non-konfrontasi
dengan negara-negara Barat, non-Muslim, dan mencari kerja sama dengan pemerintah
Muslim dan non-Muslim, terutama terkait pembangunan ekonomi, kemajuan ilmiah, dan
keamanan global. Lihat Muhammad Ali. “Malaysia‟s Islam Hadhari…,” 2016, h. 207-208.
113
Masdar Hilmy. “Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia? Menimbang Kembali
Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,” Miqot, Vol. XXXVI No. 2 Juli-
Desember 2012, h. 273; Lihat juga Terence Chong, “The Emerging Politics of Islam
Hadhari,” dalam Saw Swee-Hock & K. Kesavapany (ed.), Malaysia: Recent Trends and
Challenges (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006), h. 26-46.
114
Oliver Roy. Globalized Islam…, h. 3.
115
Oliver Roy. Globalized Islam…, h. 5.

46
Menurut Husnul Amin,116 Post-Islamisme adalah tren sosial-politik baru
yang ditandai dengan mundurnya gagasan menciptakan negara Islam. Post-
Islamisme mengakomodasi peran yang lebih besar untuk hak-hak wanita, pemuda
dan non-Muslim. Ruang lingkup pengaruhnya tidak seragam di seluruh dunia
Muslim. Popularitasnya sebagai proyek sosial-politik tergantung pada karagaman
konteks situasi dan kondisi di wilayahnya.
Asef Bayat117 menerjemahkan post-Islamisme dengan melihat fenomena di
Iran. Gejala post-Islamisme ditunjukkan dengan suatu kondisi di mana, setelah fase
percobaan, daya tarik, energi, simbol, dan sumber legitimasi Islamisme habis,
bahkan di antara para pendukungnya yang dulunya bersemangat. Karena itu, post-
Islamisme bukanlah anti-Islam, tetapi lebih mencerminkan kecenderungan untuk
resekularisasi agama:
By „post-Islamism‟ I mean a condition where, following a phase of
experimentation, the appeal, energy, symbols and sources of legitimacy of
Islamism get exhausted, even among its once-ardent supporters. As such, post-
Islamism is not anti-Islamic, but rather reflects atendency to resecularize
religion. Predominantly, it is marked by a call to limit the political role of
religion.118
Sebagai buktinya, Bayat menunjukkan bahwa Iran kontemporer, pasca-
Islamisme diekspresikan dalam ide fusi antara Islam (sebagai keyakinan yang
dipersonalisasi) dan kebebasan dan pilihan individu; dan post-Islamisme dikaitkan
dengan nilai-nilai demokrasi dan aspek modernitas. Post-Islamisme menyiratkan
pemahaman bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan modernitas, tetapi juga
keberlangsungannya sebagai agama tergantung pada pencapaian kompatibilitas ini.
Namun, ada juga pencarian kuat untuk modernitas itu sendiri.119
Yayusuki Matsunaga merekap perkembangan Post-Islamisme di Iran dengan
menggunakan istilah lain: post-revivalisme, yaitu suatu titik dimana ideologi Islam
sebagai jalan kebangkitan spiritual dan materil tidak lagi menarik. Post-revivalisme
Iran pun dijabarkan dalam istilah Islam, dan termaktub sepenuhnya dalam tradisi
keagamaan—dan oleh karenanya tidak bisa disebut sekuler.120 Dengan kata lain,
post-Islamisme, alih-alih resekulerisasi, melainkan rekonsiliasi yang lebih terfokus
pada masa depan, reinterpretasi kontekstual, dan keberagaman. Dalam istilah Roy,
“Post-Islamism means the privatization of re-Islamisation.”121

116
Husnul Amin, From Islamism to Post-Islamism: A Study of New Intellectual
Discourse on Islam and Modernity in Pakistan, Ph.D Dissertation. Erasmus University
Rotterdam, 2010; lihat juga “Post-Islamist Intellectual Trends in Pakistan: Javed Ahmad
Ghamidi and His Discourse on Islam and Democracy.” Islamic Studies, 2012, 51 (2): 169-
192.
117
Asef Bayat. “The Coming of a Post-Islamist Society.” Critique, Fall 1996.
118
Asef Bayat. “The Coming of a Post-Islamist Society.” h. 45-46.
119
Lihat Asef Bayat, “What Is Post-Islamism?” ISIM Review 16, Autumn 2005, h.
5.
120
Yasuyuki Matsunaga, “Islamic Dissent in Iran‟s Full-fledged Islamic
Revolutionary State,” dalam Between Dissent and Power. Palgrave Macmillan, London,
2014, h. 66-88.
121
Oliver Roy. Globalized Islam…, h. 97.

47
Sebagaimana tesis Bayat di Iran, Post-Islamisme juga bisa tumbuh di negara
dimana Islam telah sedemikian terlembaga dalam kehidupan masyarakat. Noorhaidi
Hasan mengamati perkembangan post-Islamisme di Indonesia pasca-reformasi.
Menurutnya, gejala post-Islamisme ditandai oleh pertumbuhan organisasi-organisasi
civil Islam yang mempromosikan harmoni antara Islam dan demokrasi, hak asasi
manusia, advokasi untuk kelompok minoritas, dan promosi kesetaraan gender. 122
Oleh karena itu, sedikit berbeda dengan Roy dan Bayat yang menempatkan post-
Islamisme dalam konteks komunitas yang monolitik, Muhammad Ansor berpendapat
fenomena post-Islamisme di Indonesia cenderung lebih dinamis: “The dynamics of
Indonesian post-Islamism challenge the notion that the public sphere is a
homogenous, secular and liberal democratic site.”123
Dominik M. Müller meneliti post-Islamisme melalui upaya Partai Islam
Malaysia (PAS) dan Dewan Pemuda PAS dalam mensintesis Islam dan budaya
popular. Berbeda dengan anggapan tentang post-Islamisme sebagai pola gaya hidup
Islam yang modern, individual dan konsumtif menggantikan orientasi politik Negara
Islam-klasik seperti yang dikemukakan oleh Bayat, Müller berpendapat bahwa kasus
Pemuda Islam Malaysia kontemporer tidak menunjukkan bukti yang cukup untuk
mendukung argumen tersebut. Bagi Müller, post-Islamisme tidak lebih dari strategi
pemasaran ideologi negara Islam:
One crucial reason for the absence of a post-Islamist turn seems to be that the
ongoing pervasive tendency towards social, political and legal Islamisation in
Malaysia since the 1980s, as well as the locally specific process of „out-
Islamisation‟ between PAS, UMNO and various other Islamist civil-society
actors, do not provide a framework that is conducive for such tendencies.
Instead, the discursive climate seems rather to be giving rise to a pop-Islamist
turn, as indicated by the cultural popisation of the PAS Youth Wing.124
Lain lagi hasil penelitian Ihsan D. Dagi tentang fenomena post-Islamisme di
Turki. Menurut Dagi, munculnya post-Islamisme yang menyempal dari gerakan-
gerakan Islamis menunjukkan „kapasitas belajar‟ kaum Islamis dan kemampuan
mereka untuk mengubah diri mereka sendiri untuk menjawab tantangan yang
mereka hadapi. Gagasan post-Islamis mengacu pada kelompok Islam, tetapi
sekarang tidak meresepkan konstruksi sebuah masyarakat Islam melalui kekuasaan
negara. Jadi, post-Islamisme bukan hanya tentang mengubah strategi politik
perjuangan. Itu lebih dalam dan lebih mendasar: meninggalkan gagasan tentang
negara Islam secara teoretis dan politis. Oleh karena itu, Dagi menyimpulkan,

122
Noorhaidi Hasan. The Making of Public Islam: Piety, Democracy and Youth in
Indonesian Politics. Yogyakarta: Suka-Press, 2013; Bandingkan dengan Hasan, “Piety,
Politics and Post-Islamism: Dhikr Akbar in Indonesia.” Al Jami‟ah: Journal of Islamic
Studies, 50 (2), 2012, h. 369-90.
123
Muhammad Ansor, “Post-Islamism and the Remaking of Islamic Public Sphere
in Post-reform Indonesia,” Studia Islamika, Vol. 23, No. 3, 2016, h. 504.
124
Müeller, Dominik M. “Post-Islamism or Pop-Islamism? Ethnographic
Observations of Muslim Youth Politics in Malaysia.” Paideuma: Mitteilungen zur
Kulturkunde, No. 59, 2013, h. 280; Bandingkan dengan Wahyudi Akmaliah, “When
Islamism and Pop Culture Meet: A Political Framing of the Movie 212: The Power of Love,”
Studia Islamika, Vol. 27, No. 1, 2020, h. 1-34.

48
“Islamism is not dead; some within it are transforming in a self-critical and creative
manner to face an ideological and political impasse.”125
Pandangan lebih positif terkait perkembangan Islamisme dan post-Islamisme
di dunia Muslim abad ke-21 disampaikan oleh Kemal Enz Argon.126 Studinya terkait
Islamisme dan Post-Islamisme di Pakistan menunjukkan, bahwa masih ada prospek
positif bagi Islamisme dan Post-Islamisme di masa depan. Dasar pemikirannya
bahwa representasi diperlukan untuk Muslim di negara-negara mayoritas Muslim
dan juga untuk Muslim dalam situasi minoritas, misalnya, di Barat:
Contrary to the observation that Islamism is a failure, bounden to a past time
and place or is disintegrating, (or that similarly post-Islamism could be a
failure), there are still prospects for Islamists and post-Islamists to work to
achieve better representation and to address some challenges posed by
globalization and lead to their original intended purpose for both groups of an
Islamized society.127
Ini sebuah strategi jangka panjang yang melibatkan dialog antar-Muslim,
dilaksanakan dengan baik dengan perencanaan, protokol yang tepat, dan dengan
tindak lanjut yang tepat. Hal ini dapat menyebabkan daur ulang besar dan
pemeriksaan ulang dari ide-ide dasar dan konsep Islamisme dan post-Islamisme.
Strategi daur ulang ide-ide dasar Islamis dapat menguji kembali ide-ide tersebut
dengan mempertimbangkan relevansinya dengan lingkungan saat ini dan masalah
sosial yang sedang terjadi di kalangan masyarakat. Dalam konteks inilah, bagi
Argon, kuncinya dialog di kalangan Muslim: “the dialogue concerning these
foundational ideas with other Muslims could ultimately seek to promote better and
more relevant representation of Muslims and seek to address some of the problems
caused by globalization.”128 Sebuah pandangan positif terhadap perkembangan umat
Islam dalam berbagai keragaman budaya masyarakat.129

D. Gerakan Dakwah Revivalis-Islamis di Indonesia: Pendekatan Historis-


Interkonektif
Fenomena dakwah yang terkait dengan (urusan) politik di Indonesia penting
untuk dipahami dalam konteks revivalisme dan Islamisme sebagaimana telah

125
Lihat Ihsan D. Dagi, “Rethinking Human Rights, Democracy, and the West:
Post-Islamist Intellectual in Turkey.” Critique: Critical Middle Eastern Studies, 13 (2), 2004,
h. 135-151.
126
Kemal Enz Argon, “Prospects for Islamism, Post-Islamism and Representation of
Muslims: Lessons from Pakistan,” Marife, Kış 2015.
127
Kemal Enz Argon, “Prospects for Islamism, Post-Islamism and
Representation…,” h. 410.
128
Kemal Enz Argon, “Prospects for Islamism, Post-Islamism and
Representation…,” h. 411.
129
“What is nowadays perceived as a pervasive movement of re-Islamisation or
Islamic revivalism has been explained in term of identity protest or a way to reconcile
modernity, self-affirmation and authenticity (as has been said,…of the retur of the hijab
among Western-educated women) explicit elaboration also entails a projection into the
future, a wish to realize the ummah beyond the heterogeneity of societies and cultures.” Lihat
Oliver Roy. Globalized Islam…, h. 24.

49
dijelaskan pada sub-bab di atas. Gerakan dakwah yang muncul-menjamur di
Indonesia era 1970-an hingga era reformasi, disebut-sebut sebagai fenomena
kebangkitan Islam atau—mengutip Ricklefs130 dan Bamualim131—menguatnya
sentimen keagamaan masyarakat Indonesia terhadap syari‟ah. Bassam Tibi, ketika
menyebut gerakan Islamism sebagai a new totalitarianism, mengecualikan keadaan
di Indonesia (dan Turki). Khususnya di Indonesia, menurut Tibi, dikarenakan
keadaan positif apa yang disebutnya sebagai civil Islam: “The conflict has partly to
do with the lack of democracy: the record of democratization in the world of Islam is
extremely poor. With few exceptions, such as the pre-AKP Kemalist government in
Turkey and civil Islam in Indonesia after the fall of Suharto, most Islamic states are
ruled by authoritarian regimes.”132
Pendekatan yang menekankan aspek radikalisme terhadap gerakan dakwah
Islamisme juga ditunjukkan peneliti-peneliti dengan objek di Indonesia, seperti Greg
Fealy.133 Martin van Bruinessen, misalnya, menyusun tesis pengelompokan gerakan
Islam di Indonesia menjadi empat kategori: progressif, konservatif, fundamentalis
dan Islamis. Kategori kelompok “konservatif” mengacu pada berbagai arus yang
menolak re-interpretasi yang dilakukan kelompok liberal atau progresif terhadap
ajaran Islam dan, sebaliknya, justru mematuhi doktrin dan tatanan sosial yang telah
mapan. Kaum konservatif terutama menentang gagasan kesetaraan gender dan
tantangan terhadap otoritas yang mapan, serta terhadap pendekatan hermeneutis
modern terhadap tulisan suci. Ada kaum konservatif di antara kaum Muslim
tradisionalis dan reformis (yaitu, di Nahdlatul Ulama dan juga Muhammadiyah),
sama seperti ada kaum liberal dan progresif di kedua kubu. Adapun pengertian
“fundamentalis,” menurutnya, adalah arus yang berfokus pada kunci sumber-sumber
kitab suci Islam, misalnya Al-Qur'an dan hadis, dan berpegang pada literal dan
pembacaannya yang ketat. Mereka jelas berbagi sebagian pandangan konservatif,
seperti penolakan hermeneutika dan berbasis hak wacana, tetapi mungkin
berbenturan dengan kaum konservatif atas praktik-praktik mapan yang tidak
memiliki dasar tulisan suci yang kuat. Istilah “Islamism” merujuk untuk gerakan-
gerakan yang memiliki konsepsi Islam sebagai sistem politik dan berusaha untuk
mendirikan negara Islam.134

130
M. C. Ricklefs. Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social,
Cultural and Religious History, c. 1930 to the Present, Singapore: NUS Press, 2012.
131
Chaider S. Bamualim. Negotiating Islamisation and Resistance: A Study of
Religions, Politics and Social Change in West Java from The Early 20 th Century to The
Present. Ph.D. Thesis in Leiden University, 2015.
132
Bassam Tibi. Islamism and Islam, h. 201.
133
Lihat Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”
Southeast Asian Affairs, 2004 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004).
134
Martin van Bruinessen. “Introduction: Contemporary Developments in
Indonesian Islam and the “Conservative Turn” of The Early Twenty-First Century,” in
Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining The “Conservative Turn,”
Singapore: ISEAS, 2013, h. 16-17.

50
Menurut Hilmy,135 sebagian besar dari kajian-kajian ini pada gilirannya
tidak mampu menghindar dari analisis relasi Islam dan negara, iman dan politik dan
semacamnya. Kajian-kajian ini berargumen bahwa sejarah Islamisme radikal di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari genealogi gerakan Darul Islam (DI) yang telah
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat pada tahun 1950-an.136
Analisis jenis ini biasanya mendasarkan diri pada asumsi bahwa tidak ada cara lain
bagi proses Islamisasi sosial-politik di luar struktur kekuasaan, yakni pada level
negara. Padahal, fenomena kontemporer menunjukkan gejala sebaliknya. Bahwa
target Islamisme telah bergeser ke tingkat non-negara, yakni masyarakat secara
umum.
Secara garis besar, temuan awal telah dikemukakan oleh International Crises
Group (ICG)—yang dikomandani oleh Sydney Jones. ICG berusaha melakukan
pembedaan yang hati-hati antara dua kubu dalam lanskap Islamisme radikal di
Indonesia, salafi dan salafi jihâdî, dua entitas berbeda yang biasanya disamakan
dalam satu kata sebagai “radikal” oleh kajian-kajian terdahulu. ICG mengartikan
salafi sebagai, “a Muslim reformist movement aiming to return Islam to the purity of
the religion as practiced by the Prophet Muhammad and the two generations that
followed him.” Sementara itu, salafi jihâdî diartikan sebagai “the radical fringe of
salafism determined to target Islam‟s enemies through violence, aimed in particular
at the United States and its allies.”137
Berdasarkan hal inilah, menurut Masdar Hilmy,138 gambaran Islamisme di
Indonesia tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Pengklasifikasian
Islamisme ke dalam dua kelompok besar, salafi murni dan salafi jihadi, merupakan
terobosan penting dalam membedah anatomi Islamisme di Indonesia pasca-Orde
Baru. Memang, baik salafi murni maupun salafi jihadi menggunakan sumber-sumber
tekstual yang teramat selektif yang sebagian besar diambil dari mentor-mentor
mereka di negara-negara Timur Tengah. Kedua kelompok saling sepakat atas poin-
poin tertentu, tetapi saling berbeda pendapat atas hal-hal lainnya. Genealogi
intelektual kaum salafi murni biasanya kembali pada teks-teks suci yang ditulis oleh
para mentornya dari kalangan ikhwân al-muslimîn seperti Sayyid Qutb dan Hasan al-
Banna.139
Dalam kasus salafi murni, otoritas lokal nampaknya cukup dalam
membentuk mindset Islamisme radikal. Otoritas lokal ini telah terwakili oleh figur-
figur karismatik semacam Abu Bakar Ba‟asyir, Ja‟far Umar Thalib, Habib Rizieq,
dan banyak lagi lainnya. Di lain pihak, kaum salafi jihadi menggunakan teks-teks
keagamaan yang ditulis oleh kalangan jihadi internasional semacam Osama bin
Laden, Ayman al Zawahiri, Mullah Omar, khususnya Abdullah Azam beserta
duabelas jilid bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tentang
135
Masdar Hilmy, “Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia Pasca-Orde
Baru,” MIQOT Vol. XXXII No. 1 Januari-Juni 2008, h. 33-34.
136
Lihat, misalnya, Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in
PostSuharto Indonesia,” South East Asia Research, 10 (2), h. 117-154.
137
ICG Asia Report No. 83, Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism
Mostly Don‟t Mix (13 September 2004), h. 32.
138
Masdar Hilmy, “Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia…,” h. 34.
139
Bandingkan dengan Oliver Roy, Globalised Islam…, h. 59-60.

51
latihan jihad. Buku-buku ini ditransfer oleh veteran perang Afghan dan mereka
menganggap mentor mereka sebagai ahl al-thughûr, yang fatwa-fatwanya layak
untuk diikuti ketimbang fatwa ulama lainnya.140
Menurut Hilmy, di dalam spektrum Islam moderat juga terdapat sub-
spektrum yang merentang dari moderatisme-radikal, moderatisme-tengah, hingga
moderatisme-lunak. Moderatisme-radikal dapat dicirikan sebagai paham, pemikiran
dan atau gerakan keagamaan radikal salafi yang menganjurkan kembali kepada
modus keberagamaan asali yang diambil dari sumber-sumbernya yang otentik, yaitu
al-Qur‟an dan hadis. Mereka cenderung menolak modus keberagamaan yang
mendasarkan diri pada khazanah pemikiran ulama Klasik. Mereka juga menolak
peradaban Barat dengan segala macam derivasinya seperti demokrasi, HAM,
masyarakat sipil, dan semacamnya, tetapi melalui cara-cara damai, bukan
kekerasan.141
Selama ini, ada dua pandangan dominan dalam memahami persoalan
Islamisme, khusnya terkait dengan aspek kekerasan atas-nama-agama. Pertama,
pendekatan struktural keamanan yang memandang kekerasan agama sebagai hasil
dari munculnya agen Islam politik yang radikal dalam arena politik yang semakin
terbuka. Pada konteks ini, negara dianggap lemah karena kehilangan tangan besinya
seperti yang sebelumnya digunakan oleh rezim otoriter Orde Baru. Konsekuensinya,
dibutuhkan negara yang kuat dengan membentuk instrumen-instrumen keamanan
semacam undang-undang anti-terorisme dan satuan khusus kepolisian anti-teror.
Kedua, pendekatan kultural yang melihat meningkatnya kekerasan disebabkan oleh
ketidakmampuan masyarakat dalam membangun toleransi keagamaan. Dengan kata
lain, masyarakat dianggap lemah. Solusinya, dibutuhkan dialog antar-agama yang
intensif.142
Dua pendekatan-teoretis tersebut jelas kurang memadai dalam memahami
meningkatnya sentimen keagamaan pasca-Orde Baru. Fakta sejarah menunjukkan
bahwa kemunculan kelompok-kelompok Islam politik merupakan hasil dari
hubungan yang fluktuatif antara Islam dan negara sepanjang Orde Baru. Dalam hal
ini, kehadiran eksponen Islam politik juga merupakan bentuk respon terhadap situasi
sosial-ekonomi-politik. Artinya, Islam politik tidak hadir dalam ruang kosong,
melainkan muncul sebagai respon terhadap krisis di tengah absennya respon populis
lain dari kelompok lainnya.143
Dari dialektika tentang dakwah dan politik, baik dalam konteks revivalisme
maupun Islamisme, penulis membangun sebuah sintesis baru. Bahwa dalam gerakan
dakwah dan politik Islam terbangun heterogenitas keragaman pemikiran dan sikap
dalam satu wadah, karena adanya faktor sejarah, dinamika internal-eksternal dalam
proses politik, serta jaringan yang dipergunakan. Sebuah interseksi yang terintegrasi
140
Masdar Hilmy, “Konstruk Teologis Islamisme Radikal di Indonesia…,” h. 35.
141
Masdar Hilmy, “Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?” h. 267-268.
142
Lihat Roy. Globalised Islam…, h. 23-25; Lihat juga Hilmy. “Quo-Vadis
Islam…,” h. 268.
143
Lihat Abdil Mughis Mudhoffir, “Political Islam and Religious Violence in Post-
New Order Indonesia.” Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 20 (1), 2015, h. 1-22; Bandingkan
dengan Wahyudi Akmaliah, “When Islamism and Pop Culture Meet: A Political Framing of
the Movie 212: The Power of Love,” Studia Islamika, Vol. 27, No. 1, 2020, h. 1-34.

52
dalam satu wadah gerakan dakwah.144 Keragaman wajah gerakan dakwah dan politik
yang terintegrasi ini karena adanya variasi kelompok yang lebih besar, tidak hanya
antarkelompok yang bertentangan, di Indonesia. Mengutip Azyumardi Azra,
…lingkungan Indonesia ditandai keragaman yang sangat bergairah
(vibrant)…Tarik menarik, pergumulan dan kontestasi dalam pemikiran Islam
Indonesia pasti terus berlanjut di masa depan. Merupakan tradisi yang sehat jika
pergumulan tidak didasari prasangka dan permusuhan; tetapi sebaliknya tetap
dengan saling menghargai—meski tidak setuju dengan suatu corak pemikiran
tertentu.145
Dalam kaitan ini, penulis mengambil argumentasi yang disampaikan
Bernhard Platzdasch. Pendekatan simplistik dalam melihat Islamisme dikritisi oleh
Platzdasch. Baginya, banyak dari karya ilmiah tentang gerakan Islam,
bagaimanapun, didasarkan pada kecenderungan sekular-Barat dan bias liberal (based
on a western-secular predisposition and a liberal bias). Kajian seperti itu
menggambarkan Islam sebagai agama yang ramah terhadap pluralisme dan sebagai
penerima terhadap pemikiran dan interpretasi baru. Sebaliknya, Islamisme dianggap
sebagai ajaran sesat (doctrinally misguided). Kajian-kajian seperti itu juga sedikit
memberi keadilan (little justice) pada agenda-agenda Islamis ketika menjelaskan dan
menganalisisnya.146
Dalam konteks inilah, menurut Platzdash, Islamisme harus dilihat sebagai
“approach that attempts to understand and evaluate the varied features of Islamism
on its own terms.”147 Berkebalikan dengan pandangan ilmuwan yang melihat
Islamisme secara negatif, Platzdash justru menunjukkan pandangan yang simpatik.
Tidak semua kaum Islamist menolak demokrasi-liberal ala Barat. Bahkan ada
kelompok Islamist yang justru berupaya menyesuaikan diri dengan kehidupan politik
modern. Hasil kajiannya terkait Islamisme di Indonesia, Platzdash menyimpulkan
bahwa: “Indonesian Islamism's firm constitutionalism, its affirmation of free vote
and a free choice of electoral candidates and the acknowledgment that the
endorsement of ideological goals had to take place within these parameters, renders
it compatible with democratic politics...Indonesian Islamism is largely pragmatic
and ends-oriented.”148
Penulis pun mengambil pendekatan historis seperti yang dijelaskan Ali
Muhannif, bahwa berkaca pada sejarah panjang proses politik di Mesir dan di
Indonesia, dampaknya membentuk karakter Islamisme yang berbeda pula. Ada
bentuk purist Islamism (Mesir) dan pragmatic-reform oriented Islamism

144
Instilah “interseksi” penulis adopsi dari Masykuri Abdilah. “Hubungan Agama
Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik Di Era Reformasi”. Jurnal Ahkam, Vol.
XIII, No. 2, (Juli 2013).
145
Azyumardi Azra, “Kontestasi Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer,” Studia
Islamika, Vol. 23, No. 1, 2016, h. 183.
146
Bernhard W. Platzdasch. Islamism in Indonesia: Politics in The Emerging
Democracy (Singapore: ISEAS, 2009), h. 2.
147
Bernhard W. Platzdasch. Islamism in Indonesia, h. 3.
148
Bernhard W. Platzdasch. Islamism in Indonesia, h. 329.

53
(Indonesia).149 Pembedaan karakteristik antara kedua format Islamisme ini,
sebagaimana dijelaskan Muhannif:
For a brief definition, a purist political movement can be broadly defined as an
organization that has lack orientation toward winning through compromise and
negotiation, while pragmatic-reformist movement is an organization that was
inclined to—as opposed to purist—look at political change as a small step,
rather than giant leap, securing concessions is more important than
maintaining principles.150
Dengan demikian, jika gerakan politik purist dapat secara luas didefinisikan
sebagai organisasi yang tidak memiliki orientasi menuju kemenangan melalui
kompromi dan negosiasi, sementara gerakan pragmatis-reformis adalah organisasi
yang cenderung melihat perubahan politik sebagai sebuah langkah kecil, daripada
lompatan raksasa, yang mengamankan konsesi-politik lebih penting daripada
mempertahankan prinsip.151
Demikian juga teori dari Masdar Hilmy. Ada dua model Islamisme di
Indonesia. Pertama, kelompok Islamis-Utopis. Disebut utopia, karena
membayangkan segala sesuatu secara sempurna. Kelompok ini ditandai dengan
obsesi untuk kemapanan an ideal state of being and an ideal community yang
didasarkan atas agama (Islam). Dalam kerangka obsesi inilah, kelompok ini
cenderung menolak nilai-nilai Barat, seperti demokrasi, yang dianggapanya
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.152
Kedua, kelompok Islamis-melioristik. Kelompok ini berbasis sama, yaitu
nilai-nilai Islam, namun lebih fleksibel dalam praktik-politiknya. Orang atau
masyarakat yang shalih namun lebih realistik dalam menghadapi realitas (soasial dan
politik). Hilmy menjelaskan:
In the mind of meliorists, religion provides a prophetic code of conduct for its
believers to achieve the betterment of life. In this context, religion in general is
widely perceived of as consciousness of the highest social values. On the other
hand, being irreligious is a state of indifference or hostility to that which
promotes human well being.153
Dalam konteks inilah, kajian penulis yang melihat gerakan dakwah-politik
di Indonesia, melalui pemikiran tokoh-tokoh gerakan dakwah, menunjukkan
dinamika yang didasarkan faktor historis, keragaman pemikiran, serta jaringan
sosial-politik yang mempengaruhinya. Tokoh-tokoh gerakan dakwah terpolarisasi
namun sekaligus terkoneksi, atas dasar kesamaan historis dan interkoneksi dalam
jaringan tersebut.

149
Ali Muhannif, Different Routes to Islamism: History, Institutions, And The
Politics of Islamic State In Egypt And Indonesia, Ph.D Dissertation in Islamic Studies,
McGill University, 2010.
150
Ali Muhannif, Different Routes to Islamism…, h. 11.
151
Lihat simpulan Ali Muhannif. Different Routes…, h. 379-396.
152
Masdar Hilmy. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism,
Singapore: ISEAS, 2010, h. 7.
153
Masdar Hilmy. Islamism and Democracy in Indonesia…, h. 8.

54
BAB III
DARI MASYUMI HINGGA DDII:
KONTEKS HISTORIS DAN PEMBENTUKAN ORGANISASI 1945-1967

Kelahiran dan perkembangan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)


tidak terlepas dari konteks sosial-politik yang mengitari dan kesinambungan historis
yang menyertainya. Dalam hal ini, perubahan sosial-politik yang terjadi di sekitar
waktu pendirian DDII jelas memengaruhi tujuan dan strategi pendirian DDII. Lebih
dari itu, melalui tokoh-tokoh pendirinya, konteks historis pendirian DDII terkait juga
dengan peran dan tradisi politik Partai Masyumi pada masa-masa sebelumnya, sejak
awal kemerdekaan Indonesia. Kedua aspek ini penting dikaji sebagai latar belakang
pendirian dan perkembangan awal DDII yang memengaruhi watak dan karakter
gerakan organisasi ini pada perkembangannya lebih lanjut.

A. Konteks Historis Pendirian DDII


1. Legacy Politik Partai Masyumi
Secara historis, eksistensi DDII memang tidak bisa dilepaskan dengan Partai
Masyumi. Sebagaimana ditegaskan Asna Husin, ―the establishment of Dewan
Dakwah is regarded as the transformation of the Masyumi spirit of struggle into
different forms of activity.‖1 Dengan kata lain, kata Bernhard Platzdasch, DDII
adalah ―the main custodian of the Masyumi spirit.‖2 Keterkaitan DDII dengan
Masyumi, setidaknya terlihat dalam tiga ranah: para tokoh pendiri, asset fasilitas,
dan penggunaan simbolnya. Robert W. Hefner menjelaskan:
The political relationship between Masyumi and the DDII was apparent in
other ways as well: in the domination of the DDII leadership by two former
Masyumi leaders (Natsir and Anwar Harjono); in the use of Masyumi
symbolism, such as the image of the moon and the stars; and in the DDII’s
access to Masyumi facilities, such as its national headquarters on Kramat
Raya street in central Jakarta.3
Partai Masyumi—selanjutnya disebut Masyumi—lahir seiring kelahiran
negara Indonesia itu sendiri pada tahun 1945.4 Dalam proses pembentukan dan
pertahanan negara baru yang diusahakan dengan cara revolusi itu, mudah dimengerti
jika berbagai kelompok politik saling bersaing memperebutkan kekuasaan dan

1
Asna Husin, Philosophical and Sociological Aspects of Da’wah: A Study of
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (PhD Thesis in the Graduate Schol of Arts and
Sciences, Columbia University, 1998), h. 71.
2
Bernhard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the Emerging Democracy,
(Singapore: ISEAS, 2009), h. 38.
3
Robert W. Hefner. Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia,
(Princeton-New Jersey: Princeton University Press, 2000), h. 107.
4
Penjelasan seputar pendirian partai ini, lihat Rémy Madinier. Islam and Politics in
Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism, (Singapore: NUS Press,
2015), h. 71-76.

55
pengaruh. Persaingan itu dengan sendirinya melibatkan ideologi.5 Dengan
sendirinya, peta konflik terhadap fenomena politik yang bersifat aliran-ideologis di
negara yang baru tumbuh ini akan mudah terlihat dan terjadi. Periode 1945 sampai
1955-an merupakan masa puncak pertarungan politik yang bersifat aliran-ideologis
di Indonesia.6 Fenomena ini didukung dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil
Presiden, pada 3 November 1945, yang mengarahkan dan memberi legitimasi
terhadap sistem multi-partai.7
Persaingan dan tantangan politik aliran ini mendorong tokoh-tokoh Islam
untuk menilai berbagai ideologi yang berkembang di Indonesia secara kritis dan
sekaligus merumuskan ideologi Islam. Para tokoh Islam, di antaranya Agus Salim,
Sukiman Wirjosandjojo, Wachid Hasyim, M. Natsir, M. Roem, berinisiatif
mendirikan sebuah partai Islam. Mereka merencanakan untuk mendirikannya dalam
sebuah kongres yang melibatkan wakil-wakil golongan Islam di Indonesia.
Dibentuklah kepanitiaan kongres dengan ketuanya adalah Natsir,8 elite muda
Persatuan Islam (Persis).9
Natsir, dengan sukses, berhasil menyelenggarakan kongres yang diberi nama
―Kongres Umat Islam Indonesia‖ di Yogyakarta, pada 7-8 November 1945.
Kongres itu sendiri dihadiri tak kurang dari lima ratus orang yang terdiri dari tokoh-
tokoh Islam dan masyarakat umum. Setelah Natsir membentangkan rancangannya,
kongres menyepakati pendirian Partai Masyumi sebagai ‗partai tunggal‘ yang
menyalurkan aspirasi politik umat Islam Indonesia.10
Uniknya, sifat keanggotaan Partai Masyumi, selain perorangan, juga
organisasi dalam kedudukannya sebagai anggota istimewa. Ide keanggotaan ini
didasarkan kepada dua pertimbangan. Pertama, agar yang menjadi anggota partai

5
Ideologi merupakan suatu kepercayaan-kepercayaan yang mempersatukan
gagasan-gagasan, tingkah-laku, dan karakter individu-individu. Lihat Daniel Bell. The End of
Ideology, (London and New York: The Chicago University Press, 2000), h. Xi; Afan Gaffar.
Javanese Voters, (Yogyakarta: UGM Press, 1992), h. 12.
6
Menurut Herberth Feith, ideologi yang berkembang pada awal pertumbuhan
negara Indonesia ada lima, yaitu: Islam, nasionalisme, komunisme, sosialisme, dan
tradisionalisme-Jawa. Lihat Herbert Feith dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia
1945-1966, (Jakarta: LP3ES, 1986). Tentang konsep dan pola politik aliran, lihat Clifford
Geertz, The Religion of Java, (Glencoe: Free Press, 1960), h. 89, 194.
7
Mohammad Hatta. Memoir, (Jakarta: Tinta Mas, 1987), h. 473. Penerbitan
Maklumat Wakil Presiden tersebut atas usulan dari Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Lihat George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 194-195.
8
Susunan panitia kongres selengkapnya: Ketua: M. Natsir. Anggota: Dr. Sukiman
Wirjosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso, A. Wahid Hasjim, Wali Alfatah, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII, dan A. Ghafar Ismail. Untuk selengkapnya, lihat
Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 167.
9
Persatuan Islam (Persis), sebagaimana Muhammadiyah, adalah organisasi Islam
yang berhaluan modern-reformis. Lihat Howard M. Federspiel. Persatuan Islam: Islamic
Reform in Twentieth Century Indonesia, (Singapore: Equinox Publishing, 2009).
10
Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti, 1987), h. 19;
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 62.

56
banyak. Kedua, agar kepentingan organisasi-organisasi Islam yang ada dapat
terwakili. Oleh karena itu, pendukung Masyumi pun terdiri dari berbagai organisasi
baik organisasi politik seperti PSII maupun organisasi kemasyarakatan, mula-mula,
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Pendukung lainya adalah Persyarikatan
Umat Islam. Perkembangan pesat anggota istimewa Masyumi ditandai dengan
masuknya organisasi-organisasi Islam. Di samping Persis yang masuk pada tahun
1948, masuk pula Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 1949; Al-Irsyad
pada 1950; Al-Jami‘ah Al-Washliyah dan Al-Ittihadiyah Sumatera sesudah tahun
1949. Demikian juga Mathla‘ul Anwar-Banten dan Nahdlatul Wathan-Lombok.11
Legacy politik Masyumi—bagi kalangan pergerakan Islam—di Indonesia
setidaknya ada dua bentuk. Pertama, komitmen terhadap Islam. Komitmen ini
ditunjukkan dengan menjadikan agama Islam sebagai asas perjuangan dan
perjuangan menguatkan serta mengembangkan ideologi Islam dalam pentas politik
Nasional. Kedua, komitmen terhadap kebangsaan dan lebih khususnya persatuan
Negara Republik Indonesia. Konsep pergerakan dan tindakan politik Masyumi tidak
pernah lepas dari aspek kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Masyumi tidak
pernah mempunyai konsep dan tindakan politik yang ‗keluar‘ dari koridor utama
politik ini. Perjuangan Islam yang dilakukan Masyumi berbasis konstitusi, sehingga
konstitusional. Bernhard W. Platzdasch menegaskan doktrin perjuangan ini sebagai
―the Masyumi principle of strict constitutionality,‖12 sementara Remi Madinier
menyebutnya sebagai doktrin ‗integralism‘-nya Masyumi.13
Hingga tahun 1957 dari semenjak Natsir menjadi Perdana Menteri RI yang
pertama (1950), Masyumi tampil menjadi pemegang dan pengendali pemerintahan.
Walaupun kabinet-kabinet masih sama seperti masa sebelumnya silih berganti,
namun posisi Masyumi menjadi kunci penentu pemerintahan. Setelah Natsir
(Perdana Menteri 1950-1951), berturut-turut para pemimpin Masyumi memimpin
pemerintahan, antara lain: Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Perdana Menteri 1951-
1952), Prawoto Mangkusasmito (Wakil Perdana Menteri 1952-1953), Boerhanoedin
Harahap (Perdana Menteri 1955-1956), dan Mr. Mohamad Roem (Wakil Perdana
Menteri 1956-1957).14 Selama lebih kurang tujuh tahun ini, prestasi-prestasi
pemerintahan di bawah pemimpin Masyumi cukup penting dalam konteks
pembangunan dan pengokohan NKRI yang baru didirikan. Tak aneh jika Rémi
Madinier menyebut Masyumi sebagai ―the main party of government.‖15
Ada beberapa tonggak sejarah politik di Indonesia yang menjadi legacy
Masyumi—melalui tokoh-tokohnya, termasuk Natsir. Pertama, peristiwa ‗Mosi
Integral Natsir.‘ Peristiwa politik ini dilatarbelakangi hasil Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag, Belanda, pada Desember 1949. Hasil KMB akhirnya
menyepakati penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia,
11
Noer, Partai Islam…, h. 48-49, 55.
12
Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 128.
13
Madinier. Islam and Politics in Indonesia…, h. 419-425.
14
Tentang peran politik tokoh-tokoh Masyumi ini di pemerintahan, lihat Madinier.
Islam and Politics in Indonesia…, h. 119-201; Lihat juga Herbert Feith. The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca-New York: Cornell University Press, 1968),
h. 146-176, 414-437.
15
Madinier. Islam and Politics in Indonesia…, h. 120.

57
namun dengan tiga konsekuensi besar;16 yakni pembebanan hutang Pemerintah
Hindia-Belanda kepada Indonesia; pembiayaan 17 ribu eks karyawan Hindia
Belanda selama dua tahun; serta harus menampung 26 ribu tentara mantan KNIL
(Belanda). Kedua, Negara yang baru didirikan dengan asas federalisme—termasuk
di dalamnya kesepakatan Uni Belanda-Indonesia. Jadilah kemudian Republik
Indonesia Serikat (RIS).17 Kabinet RIS dibentuk di bawah pimpinan Mohamad
Hatta, sementara Soekarno menjadi Presiden yang bersifat simbolik.18
Kedua aspek ini jelas mempunyai konsekuensi politik lanjutan di tanah air.
Keadaan ekonomi Negara baru jelas tidak stabil. Masalah politik kedua adalah asas
federalisme bagi Negara Republik yang baru berdaulat. Mengapa harus federal?
Sebagaimana dikatakan oleh Ichlasul Amal, ―there was a wide spread view that
Indonesian cultural diversity justified federalism or something like it. So many
politicians believed that regional feeling and demands could only be satisfied by the
central government giving large doses of autonomy to the regions.‖19 Keadaan
geografis Indonesia yang sangat luas dengan ragam budaya, etnik dan agama yang
heterogen mengharuskan adanya sistem politik dan pemerintahan yang memberi
peran politik besar bagi daerah-daerah itu sendiri.
Keadaan geopolitik, baik internasional maupun regional di daerah-daerah
justru tidak menguntungkan bagi sistem federalisme. Dalam konteks internasional,
sistem ini tak dapat dipungkiri masih merupakan rekayasa kelompok Barat kapitalis
(Belanda dan sekutu-sekutunya) untuk tetap menanamkan cengkeraman-politiknya
di Timur—dalam hal ini adalah Indonesia. Hal ini ditunjukkan, unit-unit konstituen
RIS masih menginduk pada model Belanda, sehingga diisi mayoritas mantan pejabat
Hindia Belanda—atau paling tidak orang yang kooperatif dengan Belanda: ―many of
constituent units of the RIS were artificial and unpopular entities, established by the
Dutch in areas where they had military control.‖20 Kenyataan historis sederhana
inilah—bahwa berdirinya ―negara federal‖ adalah hasil rekayasa van Mook
(intelektual Belanda)—mengutip pernyataan Taufik Abdulah,21 ―telah
menghilangkan landasan legitimasi historis dan kultural dari kehadiran ‗negara
16
Kahin, Nasionalisme dan Revolusi…, h. 549-564.
17
Tentang KMB dan RIS, lihat Hatta, Memoir…, h. 558-563.
18
Ada peran politik istimewa Natsir di era awal RIS (Januari-Februari 1950), yaitu
sebagai salah satu perumus lambang Negara ―Garuda Pancasila‖. Pertama, perubahan
rancangan burung Garuda. Pada tanggal 8 Februari 1950 rancangan final gambar garuda
diserahkan ke Presiden Soekarno. Rancangan tersebut direvisi karena mendapatkan masukan
dari Partai Islam (Masyumi), yaitu M. Natsir. Natsir keberatan terhadap burung Garuda
dengan tangan dan bahu Manusia yang memegang perisai, karena dianggap bersifat
mitologis khayalan dan terkesan mitologi feodal. Usul Natsir ini diterima, hingga lambang
Negara hanya berupa burung Garuda. Kedua, Natsir pun mempunyai jasa terhadap
perumusan simbol ―bintang‖ untuk Sila Pertama Pancasila. Lihat Turiman, ―Analisis
Semiotika Hukum Terhadap Lambang Negara Republik Indonesia,‖ Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Th. 44 No. 3, Juli-September 2014, h. 366.
19
Ichlasul Amal. Regional and Central Government in Indonesian Politics: West
Sumatera and South Sulawesi 1949-1979, (Yogyakarta: UGM Press, 1992), h. 39.
20
Amal. Regional and Central Government…, h. 40.
21
Taufik Abdullah. Dinamika Regionalisme Dalam Konteks Negara Nasional,
(Yogyakarta: UGM Press, 1998), h. 29.

58
bagian‘ itu. Noda kolonial yang dikenakan kepada ‗federalisme‘ serta merta
menjadikannya tak berharga untuk diperhatikan, betapapun argumen sejarah,
kultural, dan sebagainya bisa mendukung.‖
Dalam konteks inilah peran penting dilakoni Mohamad Natsir, tokoh
pemimpin puncak Masyumi. Hal ini terlihat dari pikiran Natsir ketika menyatakan
sikap Fraksi Partai Masyumi pada Sidang Parlemen 3 April 1950.22 Natsir
mengajukan usulan terkait pembentukan Negara Kesatuan, untuk menggantikan
Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil perundingan KMB dengan Belanda, bukan
karena masalah Unitarisme atau Federalisme. Mengawali usulannya, Natsir berusaha
untuk memisahkan permasalahan unitarisme vis-à-vis federalisme, namun justru
diarahkan pada tujuan perjuangan kemerdekaan. Hal ini tampaknya ditujukan supaya
tidak terjadi perdebatan yang melelahkan terkait paham dan struktur Negara.
Sehingga lebih baik, kata Natsir, ―...mendjauhkan diri dari pada pembitjaraan soal
unitarisme dan federalisme dalam hubungan mosi ini…Orang yang setudju dengan
mosi ini, tidak usah berarti bahwa orang itu unitaris, orang federalis pun mungkin
djuga dapat menjetudjuinja.‖23
Mosi itu sendiri diajukan sebagai solusi strategis kebangsaan, bukan hanya
untuk kepentingan Partai Masyumi. Namun secara tidak langsung, Natsir
menegaskan bahwa bentuk kenegaraan federalistik berdasarkan kepentingan Belanda
dengan garis van Mook-nya itulah duri dalam daging yang menyebabkan perpecahan
bangsa, sehingga tujuan inti Negara menjadi sulit tercapai: Usaha kemakmuran
rakyat, penjaminan keamanan, tidak dapat berjalan selama belum ada ketentuan
politik dalam negeri. Politieke-rust, istilah yang dipakai Natsir, ―…tidak dapat
ditjiptakan selama masih ada “duri-dalam-daging” jang dirasakan oleh rakyat,
jang walaupun kedaulatan sudah di tangan kita, tapi kita masih berhadapan dengan
struktur-struktur colonial serta alat-alat politik pengepungan yang ditjiptakan oleh
Van Mook di daerah-daerah.‖24
Analisa Natsir, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk
bersatu dengan Yogya—maksudnya RI—asal jangan disuruh bubar sendiri. Lobi
Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-
daerah lalu diformulasikan kedalam dua susunan kata yang sangat strategis: ―Mosi
Integral.‖ Sebab, menurut Natsir, ―suara-suara rakjat dari berbagai daerah dan
mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakjat sebagai saluran dari suara-suara rakjat itu,
untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda dan menggabungkannja ke dalam
Republik Indonesia.‖25 Pernyataan Natsir ini sangat meyakinkan, apalagi ditambah
penegasan bahwa: ―politik pengleburan dan penggabungan itu membawa pengaruh
besar tentang djalannja politik umum di dalam negeri dari pemerintahan di seluruh
Indonesia.‖26 Selain Natsir, Mosi Integral tersebut ditandatangani oleh berbagai faksi
politik: Soebadio Sastrasatomo, Hamid Algadri, Ir. Sakirman, K. Werdojo, Mr. AM.

22
Pidato lengkap Natsir ini bisa dibaca pada buku Capita Selecta II yang diterbitkan
Pustaka Pendis Djakarta tahun 1957, mulai halaman 3 sampai 7.
23
M. Natsir, Capita Selecta II, (Djakarta: Pustaka Pendis, 1957), h. 3.
24
Natsir, Capita Selecta II…, h. 4.
25
Natsir, Capita Selecta II…, h. 4.
26
Natsir, Capita Selecta II…, h. 5.

59
Tambunan, Ngadiman Hardjosubroto, B. Sahetapy Engel, Dr. Tjokronegoro, Moh.
Tauchid, Amelz, dan H. Siradjuddin Abbas.27
Mosi ini diterima baik oleh semua pihak. PM Mohammad Hatta, wakil
Pemerintah, menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam
memecahkan persoalan. Akhirnya, pada 19 Mei 1950, pertemuan digelar di Jakarta
antara RI dan Pemerintah RIS serta wakil negara-negara bagian Indonesia Timur
(NIT) juga Sumatra Timur (NST).28 Lahirlah Piagam Pembentukan Negara
Kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan piagam tersebut
dalam sidang bersama Parlemen dan Senat RIS. Dua hari kemudian, 17 Agustus
1950, bertepatan dengan ulang tahun kelima RI, Presiden Soekarno mengumumkan
lahirnya NKRI.29 Natsir pun didapuk menjadi Perdana Menteri NKRI yang pertama
pasca-RIS.30
Kedua, peristiwa Pemilu 1955. Masyumi sangat serius untuk membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Untuk itu, Masyumi sejak
awal Kemerdekaan mendukung penuh terhadap terselenggaranya pemilihan umum
(Pemilu). Sejak Kemerdekaan, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
dan Daerah (KNID) yang berperan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak
diperoleh melalui sebuah pemilihan, melainkan melalui penunjukan Presiden
Sukarno. Tentu saja, fenomena itu dimaklumi sebagai sebuah ―kedaruratan politik‖
pada awal Kemerdekaan.
Ketika pada awal-awal Kemerdekaan akan diselenggarakan Pemilu, situasi
politik tidak menentu. Pemilu pertama rencananya akan diselenggarakan pada bulan
Januari 1946 ketika kabinet dipimpin oleh Sutan Sjahrir setelah Pemerintah
mengumumkannya pada tanggal 3 November 1945 yang mendorong umat Islam
segera mendirikan Partai Masjumi beberapa hari setelah pengumuman tersebut.
Akan tetapi, rencana ini terpaksa ditunda berulang kali karena RI harus menghadapi
Revolusi Fisik bertahun-tahun berikutnya.31

27
Natsir, Capita Selecta II…, h. 7.
28
Dalam hal ini, proses pembubaran RIS menuju Negara Kesatuan juga dimainkan
oleh Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), sebuah lembaga koordinasi negara-negara
federal, khususnya Ida Anak Agung Gde Agung sebagai Perdana Menteri NIT, sekaligus
sebagai pejabat teras BFO, disamping Sultan Hamid II. Penjelasan lebih detail, lihat Ida
Anak Agung Gde Agung, Renville, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991); Analisis lebih
mendalam, lihat R. Z. Leirissa, Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sejarah, 2006).
29
Kahin, Nasionalisme dan Revolusi…, h. 588.
30
Yusuf Abdulah Puar menuturkan: ―Dengan adanya struktur Negara yang begitu,
dengan sendirinya, Kabinet RIS bubar dan harus diganti dengan kabinet baru. Pada saat
Sukarno akan membentuk formatir kabinet, datang kepadanya wartawan harian ―Merdeka‖,
Asa Bafagih, mencari berita. Asa Bafagih bertanya kepada Presiden Sukarno: Bagaimana
sekarang ini? Siapa yang ditunjuk untuk membuat kabinet? Menjawab Sukarno: Siapa lagi
kalau tidak dari Masyumi. Bertanya lagi Asa Bafagih: Natsir? Menjawab Presiden Sukarno:
Ya! Mereka mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.‖ Lihat
Yusuf Abdulah Puar (ed.). Mohamad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan
Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978), h. 105.
31
Feith. The Decline of Constitutional Democracy…, h. 424-425.

60
Keberhasilan dicapainya kesepakatan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tahun 1950 telah memungkinkan negara baru ini untuk segera
menormalkan sistem ketatanegaraannya agar legitimasi kekuasaan semakin kuat.
Oleh sebab itu, suara-suara untuk segera diselenggarakannya Pemilu semakin
kencang. Setiap kabinet, sejak Kabinet Hatta (1949-1950), selalu mengagendakan
diadakannya Pemilu. Namun, baru pada Kabinet Wilopo (1952-1953), rancangan
undang-undang (RUU) Pemilu baru diajukan ke Parlemen dan disahkan pada 1 April
1953. Pendaftaran pemilih baru dimulai setahun berikutnya, Mei 1954 dan selesai
pada November 1954 dengan mencatat angka 43.104.464 pemilih.32
Ketika Boerhanoedin Harahap naik menjadi Perdana Menteri, ia
memprioritaskan agar Pemilu segera terlaksana. Pemilu dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, Pemilu untuk membentuk badan perwakilan (DPR) berlangsung pada
tanggal 29 September 1955. Kedua, Pemilu untuk membentuk Konstituante yang
bertugas membahas konstitusi negara diselenggarakan pada 15 Desember 1955.33
Boerhanoedin Harahap sangat berhasil menyelenggarakan Pemilu yang dinilai
paling demokratis dan jujur sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia ini.34 Tingkat
partisipasi pemilih sangat tinggi. Lebih dari 39 juta orang ikut berpartisipasi.
Artinya, sekitar 91,54 % pemilih menyalurkan haknya.35 Jumlah ini tidak pernah
diraih lagi pada Pemilu-pemilu berikutnya di era Orde Baru. Keberhasilan kabinet-
kabinet Masyumi dari tahun 1950-an mengawal rencana hingga terselenggaranya
Pemilu tahun 1955 menunjukkan keseriusan Masyumi dalam mendukung terbinanya
negara ini secara legal dan konstitusional.36
Ketiga, perjuangan Islam sebagai dasar negara. Salah satu perhatian penting
para tokoh bangsa pada awal Kemerdekaan adalah mengenai dasar negara. Demikian
juga dengan tokoh-tokoh Masyumi. Melalui para tokoh politik Islam, Masyumi
rnenunjukkan komitmen yang jelas terhadap Islam sekaligus terhadap NKRI.
Komitmen ini ditunjukkan dengan perjuangan keras Masyumi agar negara ini
didasarkan pada Islam. Akan tetapi, karena negara ini telah disepakati berdiri secara
konstitusional, Masyumi tidak berusaha memaksakan gagasannya ini secara
revolusioner dan disertai kekerasan. Masyumi tetap berkomitmen terhadap prinsip
demokrasi, sehingga memperjuangkan Islam secara konstitusional.

32
Adnan Buyung Nasution. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h.
29-30.
33
Nasution. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional…, h. 30.
34
Bandingkan dengan Marcus Mietzner, ―Comparing Indonesia‘s Party Systems of
the 1950s and the Post-Suharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party
Competition‖, Journal of Southeast Asian Studies, vol. 39, no. 3, 2008, h. 431–53.
35
Nasution. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional…, h. 30. Bandingkan dengan
Rémi Madinier, yakni 87,65 % (37,8 juta pemilih). Lihat Madinier. Islam and Politics in
Indonesia…, h. 210.
36
Untuk kajian lebih lengkap, lihat Herbert Feith, ―The Burhanuddin Harahap
Cabinet, August 1955-March 1956: The Elections and After,‖ dalam The Decline of
Constitutional Democracy…, h. 414-437.

61
Puncak perjuangan Masyumi mengajukan Islam sebagai dasar negara adalah
pada sidang-sidang Konstituante tahun 1956-1959.37 Di Majelis ini, Masyumi tidak
sendirian. Bersama kelompok Islam lainnya, seperti Partai NU dan PSII, Masyumi
berhadapan vis-à-vis dengan—meminjam istilah Endang Saefudin Anshary—
kelompok ‗Nasionalis-Sekuler‘ yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar
Negara.38 Sidang ini memang tidak menghasilkan sepenuhnya apa yang dituntut oleh
Masyumi, namun Masyumi telah mencontohkan bagaimana perjuangan menegakkan
Islam tidak boleh surut dilakukan dalam keadaan apapun, namun tetap dalam koridor
konstitusi. Aspek inilah yang membedakan perjuangan Masyumi dengan, misalnya,
gerakan separatis Darul Islam (DI) pada momentum yang sama, era awal
kemerdekaan. Sebagaimana dijelaskan oleh Madinier, ―Masyumi always remained
somewhat sympathetic towards Islamic insurgents. Although it denounced their
actions, it recognised the cause of these revolts and therefore always pleaded for a
political rather than a military solution.‖39
Kiprah dan peran politik Masyumi berakhir pada tahun 1960. Keputusan
Presiden RI No. 200 tahun 1960 tanggal 17 Agustus 1960 memerintahkan Masyumi
agar segera membubarkan diri, atau kalau tidak, akan dinyatakan sebagai partai
terlarang. Dengan alasan beberapa pemimpin partai itu—terutama Mohammad
Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanoeddin Harahap—terlibat dalam
pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Soekamo
membubarkan partai itu dan bagian-bagiannya di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia. Masyumi dalam pandangan Soekarno, adalah pemberontak, karena tidak
pemah secara resmi mengutuk anggota-anggotanya yang terlibat dalam PRRl.40
Keterlibatan Masyumi dalam PRRI, menurut Kahin, adalah sesuatu yang
masih bisa diperdebatkan.41 Deliar Noer misalnya, agak sukar memahami mengapa
ketiga mantan perdana menteri yang concern pada penegakan demokrasi itu,
akhimya harus memilih dan mengambil jalan kekerasan.42 Dengan dernikian, wajar
kalau pimpinan Masyumi sendiri menolak tuduhan keterlibatan partai mereka.
Walaupun faktanya Natsir dan kawan-kawannya terlibat, tetapi itu mereka lakukan
sebagai dan atas nama pribadi, bukan selaku anggota Masyumi.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, bagaimana mungkin menyatakan Masyumi
terlibat PRRl, sementara kepergian Natsir, Sjafruddin dan Boerhanuddin Harahap
sendiri ke Sumatera tidak diketahui oleh pimpinan Masyumi yang lain. Termasuk
oleh orang-orang yang selama ini dikenal dekat dengan Natsir, seperti Prawoto,

37
Rekaman sidang-sidang Konstituante dan bagaimana gagasan-gagasan Masyumi
disampaikan di Majelis tersebut, lihat Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996).
38
Endang Saefudin Anshary. Piagam Jakarta Juni 1945, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997). Sebagai perbandingan, lihat Nadirsyah Hosen. Shari’a and Constitutional
Reform n Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2007), h. 60-69.
39
Madinier. Islam and Politics in Indonesia…, h. 170.
40
Ma‘arif, Islam dan Masalah Kenegaraan…, h. 101.
41
Lihat sambutan George McTurnan Kahin dalam Yusuf Abdullah Puar (ed.),
Mohammad Natsir 70 Tahun, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978).
42
Kata Noer, ―…atau barangkali, mereka telah melihat jalan buntu dalam
menghadapi perkembangan saat itu.‖ Noer, Partai-Partai Islam…, h. 401.

62
Kasman, Roem, dan Yunan. Mereka bahkan baru tahu kalau Natsir ada di Padang
setelah secara kebetulan Roem singgah di kota itu dalam perjalanannya ke Medan
sebagai Rektor Universitas Islam Sumatera Utara.43 Sementara itu, tidak adanya
pernyataan resmi organisasi mengutuk anggotanya yang terlibat, tidak pula serta
merta dapat disimpulkan kalau Masyumi ‗merestui‘ tindakan mereka. Sebab,
persoalan tersebut ternyata telah menyulut polemik keras dan alot di kalangan
internal Masyumi.44 Lagi pula, seperti kata Anwar Harjono, Masyumi selalu melihat
segala sesuatunya dari sudut pandang konstitusi dan tidak terbiasa dengan tradisi
kutuk-mengutuk. Pernyataan Masyumi bahwa PRRI adalah inkonstitusional, mereka
anggap sudah lebih dari cukup.45
Pembubaran Masyumi, menurut Yusril Ihza Mahendra,46 memang
memerlukan penjelasan dalam analisa yang lebih luas. Persoalannya lebih rumit
daripada sekedar ketidakinginan Prawoto dan Yunan mengutuk Natsir. Karena tidak
tertutup kemungkinan kalau keterlibatan Natsir dan kawan-kawan dalam PRRI
hanya menjadi justifikasi bagi Soekarno untuk membubarkan partai itu. Sehingga
walaupun tidak ada bukti otentik keterlibatannya dalam PRRI, yang terpenting bagi
Soekarno adalah Masyumi harus dienyahkan guna melancarkan jalannya revolusi.
Karenanya, begitu melihat peluang pada peristiwa PRRI, kata Robert W. Hefner,
Soekarno pun segera memanfaatkannya sebagai alat pemukul dua pengkritiknya
yang paling efektif sekaligus; Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI):
―Soekarno struck back at these critis.‖47
Dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah itu—membubarkan diri atau
menjadi partai terlarang—Masyumi memilih untuk membubarkan diri. Beberapa
bulan setelah Masyumi bubar, dengan berbagai alasan, para tokoh utama partai itu
kemudian ditangkap dan dipenjarakan oleh Soekarno, tanpa melalui proses
pengadilan sama sekali.48 Mereka baru dapat menghirup udara bebas setelah
tumbangnya pemerintahan Soekamo (Orde Lama) dan naiknya pemerintahan baru di
bawah kepemimpinan Soeharto (Orde Baru).

43
Yusril Ihza Mahendra, ―Prolog PRRl dan Keterlibatan Natsir-Sjafruddin,‖ dalam
Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais, (ed.), Pak Natsir 80 Tahun Buku Pertama:
Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, (Jakarta: Media Da'wah, 1988), h. 156.
44
Prawoto Mangkusasmito, ketua Masyumi (1959-1960), telah didesak oleh
sebagian kelompok di Masyumi untuk mengutuk para pemimpin Masyumi yang terlibat
dalarn pemberontakan tersebut. Namun, Prawoto menolak dengan alasan bahwa Masyumi
sebagai sebuah organisasi tidak memiliki hubungan apapun dengan pemberontakan itu. Lihat
Z. Ghazali, dkk, Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Prawoto Mangkusasmito, Wilopo,
Ahmad Subarjo, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), h. 94-95.
45
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr.
Anwar Harjono, SH, (Jakarta: Media Da'wah, 1993), h. 203.
46
Mahendra, ―Prolog PRRl dan Keterlibatan Natsir-Sjafruddin…,‖ h. 157.
47
Hefner. Civil Islam: Muslim and Democratization…, h. 44.
48
Di antara mereka terdapat nama-nama seperti Mohamad Roem, Prawoto, Isa
Anshari, M. Yunan Nasution, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanuddin Harahap,
Kasman Singodimedjo, Yusuf Wibisono, Hamka, Assaat, dan E. Z. Muttaqien. Lihat Noer,
Partai-Partai Islam…, h. 446-456.

63
2. Depolitisasi Islam Masa Orde Baru
Pada zaman Orde Lama, sebagian para tokoh politik Islam telah mengalami
proses depolitisasi. Namun demikian, proses depolitisasi itu berlangsung terbatas.
Yakni, depolitisasi hanya dilakukan pada kelompok-kelompok yang menolak
Nasakom, terutama pada kelompok yang mendukung Masyumi. Umat Islam yang
menerimanya tetap diakomodasi dalam kekuasaan, seperti NU dan PSII.49 Ketika
rezim Orde Lama runtuh berganti dengan rezim Suharto yang menyebut dirinya
sebagai Orde Baru, ternyata proses depolitisasi Islam malah semakin meluas.50 NU
yang semula menjadi mitra penguasa pada zaman Orde Lama, sedikit demi sedikit
juga disingkirkan dari kekuasaan.51 Sebagaimana ditegaskan Afan Gaffar,
“depolitization became a top priority in Indonesia after the New Order regime
assumed political power.‖52
Triger peralihan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru diawali
terjadinya peristiwa ―Gerakan 30 September 1965‖ yang dikendalikan oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini kemudian berujung pada terbitnya ―Surat
Perintah Sebelas Maret 1966‖ (Supersemar) dari Presiden Sukarno kepada Suharto.
Akhirnya, Suharto pun naik ke puncak kekuasaan Indonesia melaui Sidang Umum
Majelis Permusyawartan Rakyat Sementara (SU-MPRS) tanggal 12 Maret 1967.53
Keberhasilan Suharto naik ke puncak kekuasaan tidak lepas dari dukungan
tentara, terutama Angkatan Darat (AD). Tentara AD sangat kecewa terhadap
kebijakan Sukarno yang terlampau berpihak pada PKI. Ada dua faktor utama yang
secara langsung maupun tidak langsung memberikan legitimasi kepada tentara untuk
mengambil alih kekuasaan dari tangan Sukarno.54 Pertama, penculikan dan
penganiayaan terhadap para perwira tinggi AD. Kedua, terjadinya serangkaian
kerusuhan yang mengiringi peristiwa itu—terutama aksi demonstrasi gerakan anti-
PKI dari kelompok mahasiswa, pelajar, dan kelompok-kelompok Islam.55 Dalam hal

49
Lihat Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpim 1959-1965, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
50
―Depolitisasi‖ dilakukan oleh Suharto bukan hanya pada kelompok umat Islam.
Dengan menggunakan ABRI dan teknokrat, Suharto ingin benar-benar tidak banyak lagi
terjadi intervensi tehadap tujuan kekuasaannya dari kekuatan-kekuatan politik manapun yang
pernah ada pada masa lalu. Rusli Karim menyebut langkah ini sebagai langkah paling
penting yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dalam menjalankan berbagai kebijakannya
yang dipicu oleh keinginan untuk menghilangkan pertentangan ideologi seperti yang teradi
pasa masa-masa sebelumnya dan menciptakan suatu ideologi tunggal sebagai landasan
pembangunan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan lebih diutamakan daripada politik. M.
Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiarawacana, 1999), h.
72-82; Lihat juga Gaffar, Javanese Voters…, h. 38-50.
51
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim
Indonesia Abad ke-20, (Jakarta: Mizan, 2005), h. 484.
52
Gaffar, Javanese Voters…, h. 40.
53
Merle C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: UGM Press, 2005),
h. 575.
54
Tentang peranan militer pada era Orde Baru, lihat Harold Crouch. ―Military
Politics Under Indonesia‘s New Order,‖ in Pacific Affairs, Vol. 45, 2 (Summer, 1972).
55
Tentara pun mendukung segala bentuk protes anti-PKI yang dilakukan oleh
berbagai kalangan. Bahkan berbagai kelompok mahasiswa anti-PKI ditulangpunggungi oleh

64
ini, Suharto ditunjuk menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib). Supersemar yang diakui oleh Suharto sebagai mandat resmi
dari Sukarno kepada dirinya semakin mengokohkan posisi Suharto. Kata Adam
Schwarz, ―Supersemar was the beginning of the struggle of the New Order.‖56
Pada awalnya, langkah-langkah yang dilakukan Suharto mengundang
simpati kelompok-kelompok yang selama Orde Lama menjadi musuh Sukarno,
seperti Masyumi dan PSI. Kelompok-kelompok Islam, seperti Masyumi, pada
mulanya merasa akan kembali dapat berperan—seperti pada zaman-zaman
sebelumnya—di bawah kepemimpinan Suharto. Ternyata, fenomena politik
berikutnya malah terbalik. Suharto hanya berkepentingan menyingkirkan PKI dari
panggung politik Indonesia. Kekuatan-kekuatan massa anti-PKI adalah sumber
legitimasi kuat untuk mengeksekusi keinginannya itu. Akan tetapi, pada saat yang
sama, Suharto pun tidak merasa aman terhadap kelompok-kelompok Islam.57
Dalam hal ini, Suharto menerapkan strategi pembangunan dan politik rust en
orde yang pernah diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda.58 Bahkan, menurut
Ricklefs, ―the centralisation of economic, political, administrative and military
power in the hands of a small elite was probably greater under Soeharto than in
Dutch times.‖59 Siapa saja orang atau kelompok yang berpotensi menciptakan
unrust—kekacauan yang bisa menghambat laju pembangunan—akan disingkirkan.
PKI sebagai musuh tradisional ABRI sudah dibersihkan. Namun demikian, para
pemimpin Masyumi pun dinilai potensial menimbulkan situasi unrust (tidak tenang),
karena sikap mereka yang sangat kritis dan keterlibatan sebagiannya dalam PRRI.
Oleh sebab itu, sekalipun pada awalnya mereka mendukung gerakan Orde Baru,
namun Suharto tidak ingin ambil resiko terjadi kekisruhan politik.
Secara tegas, Suharto menolak keinginan Natsir, Prawoto, dan Roem untuk
merehabilitasi Masyumi.60 Sebagai kompensasi, Suharto mengizinkan didirikan
Partai Muslimin Indonesia (PMI atau Parmusi).61 Akan tetapi, partai ini tidak boleh

tentara untuk turun ke jalan-jalan berdemonstrasi meneriakkan protes mereka kepada


pemerintahan Sukarno dan PKI. Muncullah kesatuan-kesatuan aksi seperti KAMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dimotori oleh organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI,
dan eks. PSI. Muncul juga KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia) dan KASI
(Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) yang kedua-duanya dimotori oleh para simpatisan
Masyumi dan PSI. Kelompok ini menamakan diri mereka sebagai ―Angkatan 66‖. Lihat
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern…, h. 564-565; B.J. Bolland, Pergumulan Islam di
Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h. 148.
56
Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, 2nd
edition, (Colorado: Westview Press, 2000), h. 26.
57
Schwarz, A Nation in Waiting…, h. 171.
58
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 506.
59
Ricklefs. A History of Modern Indonesia…, h. 343.
60
Lihat S. U. Bajasut. Alam Pikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto
Mangkusasmito, (Surabaja: Documenta, 1972), h. 186-218.
61
Terkait pendirian Parmusi, tampaknya Suharto menyadari bahwa tidak mungkin
sama sekali mangabaikan Islam, khususnya Islam modernis, sebagai kekuatan politik yang
riil, sehingga menyambut baik pendirian partai tersebut, walaupun dengan berbagai catatan.
Lihat Kenneth E. Ward, The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia, (Ithaca: Modern
Indonesia Project, South-Asia Program, Cornel University, 1970), h. 41-54.

65
dipimpin oleh mantan-mantan pemimpin Masyumi. Bahkan oleh Muhammad Roem
sekalipun yang terakhir ini tidak ikut terlibat dalam PRRI di Sumatera Barat.62 Sikap
hati-hati ini juga terutama dipicu oleh kekhawatiran Suharto terhadap para pemimpin
Masyumi yang dianggap memiliki watak oposan dan ―pembangkang.‖
Dalam sangkalan para tokoh Masyumi atas stigma itu, Yudi Latif
menjelaskan kisah Natsir sebagai berikut:
Mohammad Natsir mengungkapkan sebuah kisah terpendam kepada majalah
Tempo mengenai bagaimana dia mendukung rezim Orde Baru dengan secara
sukarela membujuk otoritas-otoritas negeri lain, seperti pemerintah Jepang,
Malaysia, Saudi Arabia, dan negara-negara Arab yang lain untuk mengambil
langkah untuk membantu, atau merehabilitasi hubungan mereka dengan,
Indonesia…Namun, pihak rezim tetap bergeming. Ketika para pemimpin Orde
Baru terus menghalanghalangi kembalinya para pemimpin Masjumi ke arena
politik, Mohammad Natsir bersungut di sebuah rapat para pemimpin reformis-
modernis pada 1 Juni 1972: ‗Mereka telah memper -lakukan kita seperti kucing
kurap‘…Sejak itu, berakhirlah sudah karir politik para pemimpin Masjumi.63
Peran politik kelompok Islam lainnya, seperti NU, juga tidak leluasa pada
masa awal Orde Baru. Keberadaan NU terus ditekan agar tidak mengancam
kekuasaan Suharto, sehingga peranannya pun terbatas.64 Namun demikian, tekanan
Suharto pada NU tidak sekeras terhadap para pemimpin Masyumi. NU dianggap
masih dapat berkompromi dan tidak terlalu berbahaya. Hal itu disebabkan watak NU
yang konservatif dan cenderung sangat fleksibel dalam politiknya.65 Oleh karena itu,
kata Gaffar, ―NU was welknown for its opportunistic outlook.‖66
Kebijakan depolitisasi merupakan upaya strategis Suharto untuk menjawab
tantangan yang harus ia hadapi. Yaitu, stabilisasi institusi-institusi politik,
penegakan wibawa pemerintah, pemulihan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.67

62
Ward, The Foundation of the Partai Muslimin…, h. 54; Bolland, Pergumulan
Islam…, h. 159. Di tubuh Parmusi pun tidak pernah sepi dari konflik internal yang
membuatnya tidak pernah tumbuh besar dan mandiri. Menurut Hefner, konflik di tubuh
Parmusi ini adalah hasil rekayasa pemerintahan Suharto itu sendiri yang mengatur cara-cara
pemilihan dua orang ketua yang saling memusuhi dan menggugat keabsahan satu sama
lainnya. Lihat Hefner. Civil Islam…, h. 179.
63
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 529.
64
Kondisi ini pun relatif mirip seperti pada era Demokrasi Terpimpin Soekarno,
seperti dinyatakan oleh Hefner: ―The influence of the Muslim NU was largerly limited to the
Departemnt of Religion.‖ Lihat Hefner. Civil Islam…, h. 44.
65
Secara politik, menurut Yudi Latif, NU cenderung bersikap konservatif dan ini
tercermin dalam preferensinya terhadap empat nilai pokok konservatisme NU: yaitu
―otoritas‖ (keutamaan otoritas tradisional dalam agama), ―hierarki‖ (berdasarkan garis
keturunan dengan ulama besar dan keluarga kerabatnya dan anak-anaknya berada di puncak),
―hak milik‖ (sebuah komitmen yang kukuh terhadap hak-hak individu atas benda-benda
milik pribadi), dan ―komunitas‖ (mendukung dijaganya kebersamaan gotong royong di
kalangan komunitas-komunitas tradisional agama). Sifat konservatif NU seringkali
mendorong NU untuk menggunakan kemanfaatan politik demi kepentingan-kepentingan elite
dan komunal NU. Lihat Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 499.
66
Lihat Gaffar, Javanese Voters…, h. 46.
67
Karim, Negara dan Peminggiran Islam…, h. 53.

66
Untuk itu, strategi yang diterapkan rezim Orde Baru adalah upaya-upaya
membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara. Untuk
merealisasikan keinginannya, rezim Suharto dikelilingi tokoh militer dan
teknokrat.68 Militer digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan
nasional,69 sedangkan teknokrat dimanfaatkan untuk mewujudkan target ekonomi
Pemerintah Orde Baru.
Untuk memperkuat posisi politiknya, Suharto pun menata-ulang Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang telah dibentuk sejak tahun 1964
sebagai organ politik Pemerintah untuk memuluskan agenda-agenda politiknya.70
Pada bulan Januari 1973, semua partai politik Islam yang ada diperas menjadi satu,
yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).71 Fusi ini dalam artian tertentu memiliki
arti bergesernya medan konflik dari konflik yang berlangsung di luar partai
(antarpartai) ke konflik internal (di tubuh partai). Pada saat inilah, pemerintah
memperkenalkan konsep ‗massa mengambang‘,72 yang bagi kelompok-kelompok
Islam berarti menjauhkan afiliasi masyarakat kepada Islam politik. Langkah-langkah

68
Ricklefs, A History of Modern Indonesia…, h. 352.
69
Dalam konteks agenda pemulihan keamanan nasional, Suharto membentuk tiga
lembaga militer yang sangat strategis, yaitu BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Nasional),
Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), dan Opsus (Operasi
Khusus). Terkait agenda politik nasional, Suharto mempercayakan jabatan-jabatan strategis
di Direktorat Jendral Sosial dan Politik, Departemen Dalam Negeri, pada tokoh-tokoh
militer. Sepanjang kekuasaan Suharto, lembaga-lembaga itu berperan sebagai pengawas
partai-partai politik dan memajukan Golkar dengan cara penekanan dan intimidasi (the
repressive apparatus), sehingga Golkar disebut sebagai the hegemonic party. Lihat Gaffar,
Javanese Voters…, h. 38-40 dan 56-61.
70
Golkar didirikan tahun 1964 oleh ABRI, kelompok-kelompok masyarakat, dan
kelompok-kelompok profesional sebagai bentuk koalisi non-pemerintah untuk mengimbangi
dominasi PKI dalam pemerintahan Sukarno. Setelah Orde Lama tumbang, Suharto segera
memanfaatkannya sebagai alat legitimasi kekuasaannya (Bahtiar Effendi, Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998, h.
116). Selanjutnya sepanjang masa Orde Baru, Golkar merupakan partai politik pemerintah
yang oleh Suharto dianggap sebagai ―bukan partai.‖ Golkar sejak semula dikuasasi oleh
orang-orang non-partai pro-Suharto yang kebanyakan berasal dari ABRI. Pada Pemilu 1971
dan pemilu-pemilu selanjutnya Golkar selalu menjadi pemenang Pemilu dengan cara-cara
yang sangat curang sampai masa akhir kekuasaan Suharto. Lihat R. William Liddle. Pemilu-
Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, (Jakarta: LP3ES, 1992).
71
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan partai hasil fusi partai-partai
Islam tahun 1973. Ke dalam partai ini bergabung empat partai Islam yang mengikuti Pemilu
tahun 1971, yaitu Parmusi (Partai Muslimin Indoensia), Partai NU (Nahdhatul Ulama), Perti
(Persatuan Tarbiyah Islam), dan PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia). Partai ini selalu
dibawah dominasi Golkar. Lihat Gaffar. Javanese Voters; Liddle. Pemilu-Pemilu Orde Baru.
Kajian yang lebih kontemporer, lihat Firman Noor, ―Leadership and Ideological Bond: PPP
and Internal Fragmentation in Indonesia,‖ Studia Islamika, Vol. 23, No. 1, 2016, h. 61-104.
72
Kebijakan floating mass (massa mengambang) yang melarang rakyat di tingkat
desa terlibat langsung dalam politik partai semakin menyempurnakan proses depolitisasi.
Dengan kebijakan itu, tidak diperbolehkan ada partai politik yang membuka kepengurusan
sampai ke tingkat desa. Rakyat hanya diberi kesempatan memilih lima tahun sekali, tanpa
boleh ikut aktif menentukan kebijakan partai.

67
ini diperparah dengan adanya campur tangan dan intimidasi pemerintah kepada para
aktivis partai, terutama dalam rangka untuk mengamankan kepemimpinan partai
yang lebih disukainya agar partai tersebut lebih kooperatif di parlemen.73
Sejak tahun 1973, PPP menjadi partai resmi penyalur aspirasi politik umat
Islam Indonesia. Namun demikian, PPP sama sekali tidak memerankan peran
seharusnya. Partai ini benar-benar berada di bawah kontrol Pemerintah, sama halnya
seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Salah satu bentuknya, dalam setiap
Muktamar, Pemerintah selalu ikut mengintervensi dengan mengatur siapa yang
boleh menjadi ketua dan duduk sebagai pejabat teras partai.74 Mereka yang oleh
Suharto dicap ―pembangkang‖ dan ―anti-pembangunan‖ tidak akan diperkenankan
duduk sebagai petinggi partai dengan cara apapun. Pada saat hendak Pemilu pun,
setiap kandidat anggota legislatif diseleksi melalui proses yang dikenal dengan nama
‗Litsus‘ (Penelitian Khusus). Orang-orang yang anti-Suharto sudah bisa dipastikan
tidak akan lolos dalam verifikasi calon-calon anggota legislatif. Kondisi itu
diperparah dengan usaha-usaha sistematis dari partai Pemerintah—yakni, Golkar—
yang menggembosi suara partai ini setiap kali Pemilu.75
Suharto pun tampil menjadi penguasa tunggal rezim Orde Baru. Aktivis-
aktivis Muslim yang anti-Suharto sama sekali tidak diberi ruang politik sedikitpun.
Bahkan, untuk mempertegas keinginannya agar Islam-politik benar-benar lumpuh,
melalui Undang-Undang No. 3 tahun 1985,76 Pemerintah mengharuskan seluruh

73
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 531.
74
Kasus-kasus intervensi pemerintah terhadap Muktamar PPP adalah pasca-Pemilu
1977. Dengan tiba-tiba, Djaelani Naro yang didukung pemerintah menyatakan dirinya
sebagai Ketua PPP yang baru tanpa ada persetujuan dari fungsionaris partai yang lain,
apalagi dari muktamar. Karena hasutan dari Naro para aktivis partai yang kritis yang
sebagian besar dari elemen NU disingkirkan dari struktur partai dan secara gradual dipaksa
keluar dari DPR. Setelah peristiwa itu, terjadi perpecahan dan rivalias cukup parah dalam
tubuh partai ini yang sangat menguras energi partai yang berefek pada turunnya suara PPP
pada pemilu 1982 dan seterusnya. Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 485-486.
75
Banyak kasus yang sangat vulgar terjadi dalam koteks penggembosan partai ini.
Salah satu cara yang paling sering dilakukan adalah dengan menyebar fitnah. Misalnya pada
Pemilu 1977, untuk merusak citra PPP, peristiwa pemberontakan fiktif yang disebut
―Komando Jihad‖ dikait-kaitkan dengan PPP; kemudian pada Pemilu 1982 dengan gerakan
―Islam Jama‘ah‖. Padahal, diduga kuat bahwa kerusuhan-kerusuhan itu memang sengaja
diciptakan leh Ali Murtopo untuk merusak citra Islam dan umat Islam. Latif, Intelegensia
Muslim dan Kuasa…, h. 494.
76
Kebijakan ini menimbulkan kontroversi yang sangat tajam, terutama di kalangan
aktivis-aktivis gerakan Islam. Sebagian besar ormas Islam menerima dengan terpaksa aturan
ini agar terhindar dari sanksi pembubaran oganisasi yang justru dianggap akan lebih buruk
untuk pengembangan dakwah. Sebagian lain menolaknya dengan tegas seperti Pelajar Islam
Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Islam (GPI). Organisasi mahasiswa muslim terbesar,
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bahkan sampai harus pecah dua menyikapi kebijakan ini.
Satu kelompok menolak Pancasila dan memilih untuk membentuk kepengurusan sendiri
yang mereka beri nama HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang dipelopori oleh
Egi Sudjana dan M.S. Ka‘ban; sementara sekelompok lain tetap bertahan dengan menerima
Pancasila sebagai asas. Lihat M. Rusli Karim. HMI MPO Dalam Kemelut Modernisasi
Politik di Indonesia, (Bandung. Mizan, 1997).

68
partai dan ormas mengganti asas organisasinya dengan Pancasila. Inilah kebijakan
yang lebih dikenal dengan istilah ‗Asas Tunggal‘. Kata Bahtiar Efendy, ―proses
depolitisasi mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah yang
mengharuskan semua organisasi sosial-politik menerima Pancasila sebagai satu-
satunya asas—sebuah pil pahit yang harus ditelan kaum Muslim dan Kristen.‖77
Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam itu juga menelan
korban sangat banyak. Tidak hanya korban pemasungan hak-hak politik, tapi juga
korban jiwa. Peristiwa paling melukai hubungan Orde Baru-Islam dan paling banyak
mengorbankan umat Islam adalah Peristiwa Tanjung Priuk Jakarta 12 September
1984. Peristiwa ini dipicu oleh protes umat Islam mengecam tindakan aparat (ABRI)
yang sewenang-wenang, masuk ke Masjid As-Sa‘adah tanpa melepas sepatu dan
dengan sengaja menghapus pengumuman pengajian dengan lumpur. Mereka
berkumpul di Mesjid memaki-maki pemerintah sambil memekikkan ―Allahu
Akbar‖. Kemudian ABRI yang saat itu Panglimanya adalah Benny Murdani
menurunkan pasukan bersenjata menembaki umat Islam yang tidak bersenjata.
Akibatnya ribuan umat Islam meninggal.78
Strategi lain yang dilakukan Orde Baru untuk melemahkan peran politik
masyarakat adalah dengan melakukan strategi korporatisme.79 Suharto segera
mendirikan berbagai lembaga untuk mengikat berbagai kelompok yang berpotensi
mengancam kekuasaannya, misalnya membentuk KNPI (Komite Nasional Pemuda
Indonesia) tahun 1974 untuk melakukan korporasi terhadap organisasi-organisasi
kemahasiswaan dan pemuda. Dalam tubuh umat Islam, Suharto mendirikan Dewan
Mesjid Indonesia (DMI) dan terutama Majelis Ulama Indensia (MUI) tahun 1975.
Tujuannya adalah mewadahi para ulama agar mudah dikontrol oleh pemerintah.
Untuk tujuan itu, para pengurus yang dipilih adalah mereka yang kooperatif dengan
Orde Baru.80
Rezim Orde Baru secara sengaja menjalankan politik bahasa dengan tujuan
untuk mempertahankan konformitas ideologis. Wacana publik Indonesia lalu
diwarnai oleh penggunaan bahasa yang sarat ideologi. Strategi disfemisme
digunakan sebagai mekanisme ofensif untuk mengekang para pembangkang dengan
mendiskreditkan suara-suara yang kritis sebagai teror dari ‗ekstrem kiri‘ dan
‗ekstrem kanan‘. Dengan tidak adanya PKI, maka korban pertama dari rezim yang
represif ini ialah Islam politik sebagai kelompok ‗ekstrem kanan.‘81
Selain berupaya untuk melakukan depolitisasi terhadap ―ekstrim kanan‖
(Islam) dan ―ekstrim kiri‖ (PKI), Orde Baru memilih satu pijakan baru untuk
menentukan arah pembangunan Indonesia baru, yaitu ―modernisasi‖. Modernisasi di
segala bidang dianggap oleh semua kelompok politik saat itu sebagai obat mujarab
untuk menyelesaikan persoalan Indonesia. Modernisasi pada gilirannya akan
mengantarkan Indonesia menuju kesejahteraan seperti bangsa-bangsa lain yang telah
77
Efendy, Islam dan Negara…, h. 60.
78
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern…, h. 615-616.
79
Tentang strategi korporatisme Orde Baru terhadap umat Islam, lihat Donald J.
Porter, Managing Politics and Islam in Indonesia, (London and New York: Routledge
Curzon, 2005).
80
Lihat Porter, Managing Politics and Islam…, h. 23-37.
81
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 525-526.

69
lebih dahulu melakukan proses modernisasi. Istilah ini segera saja menuai
perdebatan di kalangan intelektual; antara kelompok Islam dan sekular; dan bahkan
antar-umat Islam sendiri.82
Dengan ―pembangunan‖ dan ―modernisasi‖ ini, Pemerintah Orde Baru
seolah memiliki pijakan ideologis untuk memperkuat kebijakan depolitisasinya. Atas
nama modernisasi politik, Suharto melakukan penyederhanaan partai sambil pada
saat yang sama justru malah mengebiri suara-suara dari lawan-lawan politiknya.
Atas nama modernisasi ekonomi, Suharto memilih bekerja sama dengan negara-
negara Barat yang pro-kapitalisme sekalipun menuai banyak kritik. Sejak awal
kekuasaannya, Suharto mengangkat para pakar ekonomi yang kebanyakan alumni
University of California Barkeley, Amerika Serikat. Oleh karena itu, kelompok
ekonom ini sering disebut sebagai Mafia Barkeley. Peran para Mafia Barkeley ini,
kata Ricklefs, ―because they could speak the language of international economics,
they gave the Soeharto government credibility with Western nations and exercised
an influence over the military-dominated regime which was sometimes challenged
by those who favoured greater economic nationalism, but which was to remain
central to new order policymaking.‖83
Secara umum pada periode pertama Orde Baru antara tahun 1967-1976,
sikap Suharto terhadap umat Islam tidak terlalu positif. Selain terlihat dari usaha-
usahanya memperlemah kekuatan-kekuatan politik Islam, baik dari sayap modernis
maupun tradisionalis, kecurigaan Suharto terhadap kelompok Islam juga
diperlihatkan dengan tidak melibatkan para pemimpin Muslim berpengaruh dalam
lingkaran kekuasaannya. Suharto cenderung lebih dekat kepada pemimpin-
pemimpin dan teknokrat-teknokrat Kristen. Kalaupun ada Muslim yang direkrut
adalah mereka yang secara pemikiran dianggap ―sekular‖ dan mereka umumnya
mewakili kelompok lingkaran Suharto atau teknokrat-teknokrat mantan-mantan
aktivis PSI, seperti Sumitro Djojohadikusumo. Kebijakan itu, selain memperuncing
hubungan Islam-Kristen, juga menebar benih kebencian dan kecurigaan kelompok-
kelompok gerakan Islam terhadap pemerintah Orde Baru.84
Semenjak paruh kedua tahun 1970, Suharto terlihat mendekati umat Islam.
Melalui Departemen Agama, Suharto mulai terlihat memberikan dukungan terhadap

82
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia; Respon Cendekiawan
Muslim, (Jakarta: Lingkar Studi Indonesia, 1987), h. 8.
83
Lihat Ricklefs, A History of Modern Indonesia…, h. 352.
84
Sebagai gambaran, banyak pos-pos penting diduduki oleh orang-orang Kristen
dan anti-Islam. Misalnya, dua lembaga yang sangat berpengaruh, yaitu Kopkamtib dan
Opsus masing-masing dipimpin oleh Ali Murtopo, seorang penganut Kejawen yang sangat
anti-Islam, dan Sudomo, seorang Kristen Militan. Bahkan kemudian Suharto
mempercayakan ABRI kepada Benny Murdani—seorang penganut Katholik militan yang
juga anak mentor Ali Murtopo sejak awal Orde Baru—pada tahun 1983 sebagai panglimanya
sampai digantikan oleh Try Sutrisno pada tahun 1988 (Ricklefs, Sejarah Indonesia
Modern…, h. 608). Pada komposisi menteri pun terlihat persentase yang tidak proporsional
dari menteri-menteri Kristen. Pada Kabinet 1968-1973 terdapat tiga orang menteri
Kristen/Katolik; pada Kabinet 1973-1978 terdapat empat orang; pada Kabinet 1978-1983
terdapat lima orang; dan pada Kabinet 1983-1988 naik menjadi enam orang. Latif,
Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 487.

70
proyek-proyek non-politis umat Islam seperti mendirikan mesjid, pembangunan
madrasah, kegiatan-kegiatan hari besar Islam dan sebagainya. Suharto juga
membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi umat Islam, sehingga tingkat
pendidikan umat Islam pada masa ini naik cukup menggembirakan.85 Dalam hal ini,
Suharto sepertinya meniru kebijakan yang diajarkan Snouck Horgronje, yaitu secara
politik Islam dilumpuhkan, sedangkan di luar politik kegiatan-kegiatan keislaman
didukung.86
Pendekatan dari sisi non-politik ini tetap tidak dibarengi dengan akomodasi
terhadap aspirasi-aspirasi politik Islam. Suharto tetap membatasi segala keinginan,
apalagi gerakan politik umat Islam. Dari berbagai sudut, umat Islam sangat sulit
untuk ikut berpartisipasi dalam politik secara langsung seperti masa-masa
sebelumnya. Namun demikian, ketika ruang politik dibungkam, bukan berarti segala
jalan tertutup. Bahkan kalau dilihat dari sudut tertentu, situasi historis ini bisa jadi
malah lebih menguntungkan daripada saat kran politik dibuka lebar-lebar. Muncul
penyikapan-penyikapan yang beragam terhadap kebijakan Orde Baru yang menutup
hidupnya kembali Islam-politik dan mencanangkan proyek modernisasi ini.87
Sebagaimana dijelaskan oleh Bahtiar Efendy,
…proyek-proyek pemerintah dipandang sebagai bukti bahwa negara memang
tengah benar-benar mendepolitisasi Islam. Akan lebih tepat jika tindakan-
tindakan pemerintah di atas ditafsirkan sebagai upaya melemahkan partai-partai
politik Islam atau de-partai-isasi Islam. Dan karena itu, upaya-upaya itu tidak
serta-merta berarti depolitisasi Islam. Pada kenyataannya bahkan Islam yang
telah ―terpolitisasi‖, dalam versinya yang baru dan dengan parameter-parameter
yang tepat, mulai berkembang dengan tujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan kebijakan dari dalam dan luar birokrasi, dan mengubah pandangan
religio-politik aparat-aparat negara.88
Ada beberapa peneliti yang telah melakukan kajian tentang respon umat
Islam terhadap kebijakan Orde Baru ini.89 Secara umum, respon yang diberikan oleh

85
Sentimen anti-komunis dari rezim Orde Baru mendorongnya untuk mendukung
pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan di universitas-universitas. Berdasarkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) Nomor II/1967, para siswa wajib
mengikuti pelajaran agama di sekolah umum, mulai dari sekolah dasar sampai dengan
perguruan tinggi. Jadi, meskipun pemerintah berusaha untuk menjauhkan Islam dari
kehidupan publik, namun sesungguhnya Orde Baru juga berperanan dalam proses ―Islamisasi
dunia akademis.‖ Lihat Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 510.
86
Bandingkan dengan Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta:
LP3ES, 1991).
87
Bandingkan dengan Vedi R. Hadiz, ―Indonesian Political Islam: Capitalist
Development and the Legacies of the Cold War,‖ Journal of Current Southeast Asian Affairs,
30, 1, 2011, 3-38.
88
Efendy, Islam dan Negara…, h. 60. Upaya pembungkaman Islam-politik tidak
berarti bahwa tidak ada satu kelompok Muslim pun yang ikut ambil bagian dalam politik. Ini
hanya berarti bahwa suara-suara umat Islam melalui partai-artai Islam di masa lalu secara
bebas sudah tidak bisa hidup lagi, sehingga para aktivis pengusungnya tidak memiliki lahan
di dunia politik praktis.
89
Penelitian paling klasik dilakukan oleh Muhammad Kamal Hassan, seorang
peneliti asal Malaysia, untuk menyelesaikan PhD-nya di Columbia Universit tahun 1975.

71
intelektual dan aktivis Muslim terpolarisasi ke dalam tiga pilihan. Sebagaimana
dijelaskan Yudi Latif, ada kemungkinan pilihan lain yang tersedia untuk mengatasi
rasa frustasi secara politik dan ekonomi di kalangan kaum Muslim ini: berakomodasi
orthodoksi negara dan struktur politik yang ada, atau kembali kepada gerakan-
gerakan kultural dan pendidikan secara umum, atau kepada gerakan intelektual
berbasis masjid secara khusus.90 Tiga pilihan inilah yang kemudian menjadi arus
utama dari respons intelektual Muslim terhadap kebuntuan Islam politik.
Strategi yang ditempuh oleh sebagian kelompok Muslim untuk merespon
Orde Baru adalah sikap realistis-akomodasionis. Embrio munculnya kelompok ini
sudah dicetuskan oleh Muhammad Syafa‘at Mintaredja, salah seorang pendiri dan
mantan ketua HMI pertama. Ia mengambil sikap akomodatif terhadap kekuasaan
Suharto. Oleh sebab itu, Mintaredja dipercaya oleh Pemerintah untuk memimpin
Parmusi ketika terjadi kisruh dalam pemilihan ketuanya. Berbagai gagasannya
dibukukan untuk menyebarkan pemikiran pembaharuan politiknya tersebut.91
Namun demikian, gagasan-gagasan pragmatik Mintaredja ini tidak banyak mendapat
sambutan. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya. Kondisi ini membuat Mintaredja
‗dimusuhi‘ umat.92
Ide-ide pembaharuan kemudian mendapat kesempatan dikenal luas melalui
pidato Nurcholis Madjid pada acara silaturahmi Idul Fitri (halal bi-halal) yang
diselenggarakan HMI, PII, GPI, dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia)

Tahun 1978 diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Modernisasi Indonesia;
Respon Cendekiawan Muslim diterbitkan oleh Lingkar Studi Indonesia Jakarta. Penelitian
berikutnya dilakukan oleh Fahry Ali dan Bahtiar Effendy dari UIN Ciputat yang kemudian
diterbitkan Mizan Bandung tahun 1986 (cet. ke-2 tahun 1990) dengan judul Merambah Jalan
Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Penelitian ini
kemudian diperluas oleh Bahtiar Effendi untuk meraih gelar PhD di Ohio State University
Amerika dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Paramadina Jakarta tahun 1998 dengan
Judul Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia.
Selain itu terdapat buku yang ditulis M. Syafi‘i Anwar berjudul Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, diterbitkan oleh
Paramadina tahun 1995. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Yudi Latif untuk PhD-nya di
Australian Nasional University tahun 2004 yang kemudian diterbitkan oleh Mizan Bandung
dengan judul Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia
Abad ke-20.
90
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 543.
91
Cetusan ide pembaharuannya itu kemudian dibukukan tahun 1971 dengan judul
Renungan Pembaharuan Pemikiran: Masyarakat Islam dan Politik di Indonesia. Lihat M. S.
Mintaredja. Islam and Politics, Islam and State in Indonesia: A Refelction and Revision of
Ideas. (Jakarta, 1974, tanpa penerbit).
92
Hassan, Modernisasi Indonesia…, h. 101. Di samping itu, sikap Mintaredja yang
membela mati-matian kebijakan depolitisasi yang dilakukan Orde Baru dan menyarankan
umat Islam untuk lebih berkonsentrasi pada pembangunan soaial dan ekonomi daripada terus
berusaha menegakkan negara Islam membuat Mintareja tidak disenangi di kalangan umat
Islam. Salah satunya tercermin dari peroleh suara Parmusi yang hanya 5,36 persen
berbanding jauh dengan peroleh suara Masyumi yang hampir 21 persen. Lihat David
Bourchier dan Vedi R. Hadiz (ed.), Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-
1999, (Jakarta: Grafiti, 2006), h. 113.

72
pada tanggal 3 Januari 1970.93 Sedianya dalam acara itu yang diundang hadir adalah
Alfian (seorang intelektual Muslim dari LIPI). Namun, ia tidak dapat hadir. Sebagai
penggantinya ditunjuk Harun Nasution (seorang sarjana Islam rasionalis dari IAIN
Jakarta), namun ia juga tidak bisa hadir. Akhirnya, Madjidlah yang terpaksa harus
menggantikan mereka berdua.94
Dalam pidatonya, Madjid menyampaikan tentang keadaan umat Islam yang
jumud (mandeg) akibat terus mengulang-ulang keinginan memperjuangkan
berdirinya kembali negara Islam melalui partai-partai Islam. Padahal pada
kenyataannya, partai-partai Islam tidak dapat membangun citra positif dan simpatik,
bahkan yang ada image sebaliknya. Oleh sebab itu, Madjid mengusulkan satu jargon
kontroversial ―Islam, yes, partai Islam, no!‖ Ia juga mengusulkan agar umat Islam
harus lebih mengutamkan kualitas daripada kuantitasnya; Islam-lah yang harus
diperjuangkan bukan organisasi-organisasinya seperti partai. Untuk itu, umat Islam
perlu melakukan sekularisasi pemikiran, berpikir bebas, dan terbuka. Untuk itu pula
diperlukan kelompok pembaruan yang ―liberal‖.95
Pidato ini ternyata menjadi begitu kontroversial.96 Pidato Madjid segera
mendapatkan berbagai tanggapan, baik dari kalangan intelektual muda Islam
maupun para seniornya. Kalangan muda yang memberikan tanggapan antara lain
Endang Saifuddin Anshary, Ismail Hasan Metareum, dan Abdul Qadir Djaelani.
Sementara dari angkatan tua adalah Prof. Rasjidi, Mohammad Natsir, dan juga
Hamka. Semuanya tidak sepakat dengan istilah-istilah ―sekularisasi‖, ―liberalisasi‖,
atau jargon kontroversial ―Islam, yes, partai Islam, no!‖97
Ide-ide liberal ini mendapatkan tempat persemaian subur di kalangan
mahasiswa-mahasiswa IAIN dan kader-kader HMI.98 Keterbukaan para mahasiswa

93
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. XII, (Bandung:
Mizan, 1999), h. 204-214.
94
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 524-525.
95
Lihat Madjid, Islam Kemodernan, h. 204-214, 239-256.
96
Menurut Yudi Latif, pidato ini menjadi sangat kontroversial dan menimbulkan
perdebatan-perdebatan intelektual yang melelahkan sampai bertahun-tahun setelah itu
diakibatkan oleh intensitas dan densitas liputan media, terutama oleh majalah Tempo dan
Pandji Masyarakat yang menjadi inisiator utama dari polemik ini. Polemik dan kategorisasi
yang dilakukan oleh media atau oleh para pengamat seringkali mendorong para peserta
polemik untuk berpegang teguh pada suatu posisi pemikiran intelektual tertentu, kendatipun
sebelumnya boleh jadi mereka memiliki keraguan akan hal itu. Latif, Intelegensia Muslim
dan Kuasa…, h. 528-529.
97
M. Syafi‘i Anwar. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 59-65. Meskipun
niat awal Madjid hanyalah untuk menstimulasi diskusi, efek dari kritik yang memusuhi dan
liputan media mendesaknya untuk melangkah lebih jauh ke jalur liberal. Madjid dipaksa
untuk berpihak pada satu kubu tententu yang sangat kontra terhadap ―kelompok dakwah‖,
padahal sebelumnya Madjid sebenarnya termasuk orang yang mencoba menengahi antara
―kelompok dakwah‖ dan ―kelompok liberal‖ sebelum dan selama ia menjadi ketua umum PB
HMI (1967-1971). Bahkan, pada pertengahan tahun 1960-an dukungan pemikiran Madjid
kepada kelompok Masyumi membuat Madjid dikenal sebagai ―Natsir Muda‖.
98
Ada beberapa penjelasan mengapa IAIN menjadi persemaian ide-ide liberal.
Pertama, di IAIN cenderung tidak ada pertentangan ideologi dengan kelompok-kelompok

73
IAIN terhadap pemikiran pembaruan ini diperkuat pula oleh kebijakan pro-
modernisasi dan akomodatif Departemen Agama (Depag). Sejak periode Mukti Ali
(1973-1978), Depag memperkuat pelajaran umum di IAIN dan mendorong para
sarjana Muslim untuk belajar di perguruan tinggi Barat. Dampak langsung dari
kebijakan ini adalah terjadinya pergeseran dalam tujuan studi postgraduate para
sarjana IAIN, dari pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah ke pusat-pusat studi
Islam di Barat. Sejak tahun 1970-an hingga era reformasi, arus sarjana-sarjana IAIN
ke universitas-universitas Barat terus ada dan bahkan melonjak tajam.99 Pada masa
Munawir Sjadzali yang mejabat menteri agama selama dua periode berturut-turut
(1983-1993), dukungan Depag terhadap arus liberal ini semakin kental. Selain
kelihatannya Suharto menginginkan hal itu untuk mendukung program-program
modernisasinya, Sjadzali juga dikenal sebagai intelektual yang berpaham liberal.100
Selain di IAIN, ide-ide pembaruan ini tumbuh subur di kalangan mahasiswa
kader-kader HMI setelah tahun 1970, terutama kader-kader yang beroreintasi
pragmatis dan moderat. Ide-ide pembaruan dijadikan legitimasi ideologis bagi arus-
utama anggota-anggota HMI untuk memasuki dunia politik dan birokrasi Orde Baru.
Dalam konteks yang sama, para politisi dan birokrat Muslim yang bersikap
akomodasionis pun menjadikan ide-ide pembaruan ini sebagai alat legitimasi sikap
mereka.101 Pada perkembangannya, tidak hanya kelompok-kelompok mahasiswa
IAIN dan intelektual muda HMI yang memiliki pandangan liberal seperti Madjid.
Pemikiran serupa ternyata masuk pula ke dalam tubuh dua ormas Islam terbesar,

non-Islam sehingga mahasiswa-mahasiswa IAIN tidak termotivasi untuk menyebarkan


klaim-klaim Islam seperti para aktivis Muslim di universitas-universitas sekuler yang
bersentuhan sangat intens dengan ideologi lain. Kedua, ketiadaan pelajara agama di
universitas-universitas sekuler mendorong para aktivis Islam di sana untuk bersikap lebih
apresiatif terhadap pengetahuan dan simbol keagamaan; sementara ketiadaan pelajaran
saintifik di IAIN dan pesantren bisa menyebabkan para mahasiswanya terlalu menilai tinggi
pengetahuan dan simbol sekuler. Ketiga, masih membekasnya hirarki pengetahuan yang
bersifat kolonial, para mahasiswa di perguruan tinggi (PT) Islam merasa inferior di hadapan
para mahasiswa PT sekuler; untuk mengatasinya para mahasiswa di PT Islam cenderung
mencari kompensasi berlebihan dengan cara memamerkan pengetahuan mereka akan—dan
keterbukaan mereka terhadap—ide-ide intelektual Barat. Keempat, bagi banyak mahasiswa
IAIN, Madjid yang menjadi ketua umum PB HMI dua periode dan intelektual terkemuka
dianggap sebagai pahlawan. Oleh karena itu, banyak yang mengidolakannya. Terlebih
setelah Madjid bersekolah di University of Chicago, banyak yang terobsesi untuk mengikuti
jejaknya. Lihat Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 553-555.
99
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 556-557.
100
Efendy, Islam dan Negara…, h. 150.
101
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 557. Dukungan Pemerintah Orde
Baru terhadap ide-ide pembaruan yang, secara umum, tidak konfrontatif dengan kebijakan-
kebijakan Orde Baru ini membuat Pemerintah Orde Baru tidak membuat jarak pada
kelompok ini. Dengan demikian, bagi kelompok ini relatif tidak sulit untuk masuk ke dalam
lingkaran kekuasaan Suharto. Ini diperlihatkan dengan mudahnya para aktivis HMI seperti
M.S. Mintareja, Akbar Tanjung, Mar‘ie Muhammad, Bustanul Arifin, Sya‘adilah Mursyid,
dan puluhan mantan aktivis HMI lain untuk masuk dalam kekuasaan Orde Baru. Bahkan di
akhir kekuasaan Suharto, terlihat semacam ada ―HMI connection‖ di lembaga legislatif dan
eksekutif.

74
yaitu NU yang mewakili kelompok tradisionalis dan Muhammadiyah yang mewakili
kelompok modernis.102
Di samping itu, muncul juga bentuk gerakan sosial-ekonomi. Bahtiar
Effendi menyebut kelompok ini sebagai ―kelompok transformasi sosial.‖103
Kelompok ini cenderung mengesampingkan debat-debat teologis dan ideologis
seperti yang dilakukan dua kelompok di atas. Yang menjadi perhatian mereka adalah
bagaimana mengatasi masalah-masalah yang lebih kongkret dan mendesak yang
dihadapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang sebagian besar beragama
Islam. Oleh sebab itu, aktivitas mereka cenderung dapat mengatasi—atau berada di
luar—konflik pemikiran dari dua kelompok sebelumnya. Namun demikian, secara
prinsipil kelompok ini menyetujui ide-ide pembaruan Madjid.104
Tokoh-tokoh penting pada kelompok ini antara lain Sudjoko Prasodjo dan
M. Dawam Rahardjo yang bergerak sejak awal tahun 1970an dan Adi Sasono yang
bergerak sejak akhir tahun 1970an. Ketiganya adalah alumni-alumni HMI yang
menyetujui pikiran-pikiran Madjid. Namun, bagi mereka yang terpenting adalah
melakukan transformasi masyarakat yang timpang akibat proses pembangunan yang
tidak berpihak pada rakyat kecil. Untuk itu, masing-masing aktif di Lembaga
Swadaya Masyarakat. Prasodjo dan Rahardjo bergabung dengan Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bersama
dengan para inetelektual PSI, seperti Sumitro Djojohadikusumo, Aswab Mahasin,
dan lainnya; sedangkan Adi Sasono mendirikan Lembaga Studi Pembangunan
(LSP).105
Apa yang menjadi perhatian mereka segera terlihat dari progam-program
yang mereka kerjakan. Pada pertengahan tahun 1970-an, Dawam menyelenggarakan
beberapa kegiatan yang berkaitan dengan program pengembangan masyarakat untuk
melahirkan industri-industri kecil dan meningkakan kualitas sekolah-sekolah Islam
tradisional dengan pesantren sebagai percontohannya. Sementara Adi Sasono lebih
memokuskan kegiatannya pada masalah-masalah kemiskinan massa dan
pengangguran di perkotaan hingga masalah ketimpangan sosial dan politik.106

102
Di NU, misalnya, pemikiran-pemikiran liberal diusung oleh Abdurrahman Wahid
yang berhasil mendorong NU kembali menjadi Ormas pada tahun 1984. Melalui tangan
Wahid, lahir intelektual-intelektual muda NU yang cenderung berpikir liberal seperti Masdar
Farid Mas‘udi, Said Agil Siraj, Ulil Abshar Abdalla, dan sebagainya. Dalam konteks yang
lebih umum, lihat Greg Barton. Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina,
1999).
103
Efendy, Islam dan Negara…, h. 170.
104
Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam…, h. 162-165.
105
Efendy, Islam dan Negara…, h. 170.
106
Efendy, Islam dan Negara…, h. 170 dan 173. Dalam penyelenggaraan program-
program seperti ini, batas-batas ideologis maupun kultural benar-benar tersingkirkan,
sehingga relatif terbebas dari kontroversi. Program-program pengembangan pesantren yang
dilakukan Rahardjo, misalnya. Selain bekerja sama dengan NU yang memiliki basis massa
pesantren, Rahardjo juga menjalin kemitraan dengan ―kelompok dakwah‖ yang sama-sama
bergerak di pesantren. Kasus Pesantren Darul Fallah di Bogor dapat menjadi contoh menarik.
Di satu pihak, kelompok dakwah ingin mengembangkan suatu kurikulum khas baru bagi
pesantren-pesantren dengan menciptakan pesantren berbasis pertanian, sementara di pihak

75
Respon umumnya gerakan Islam pada masa Orde Baru berkuasa adalah
muncul (kembali) gerakan dakwah. Terjun ke medan dakwah dilakukan oleh
Muhammadiyah. Muhammadiyah sejak tahun 1967 secara tegas menyatakan
kembali menekuni aktivitas dakwah sekalipun tidak melarang anggotanya untuk
aktif dalam politik. Kebijakan ini sangat tepat diambil Muhammadiyah yang
sebelumnya, pada masa Demokrasi Terpimpin, ikut mendukung Nasakom, sekalipun
pada kenyataannya menunjukkan ketidaksenangannya pada PKI. Dengan itu,
Muhammadiyah tidak menjadi target politik penguasa baru dan relatif disenangi oleh
Pemerintah.107
Sampai pada taraf tertentu, Persatuan Islam (Persis) yang saat itu di bawah
kepemimpinan KHE. Abdurrahman memilih jalan yang sama. Namun agak berbeda
dengan Muhammadiyah yang tetap ikut berpartisipasi dalam berbagai gerak
kebijakan Orde Baru, Persis memilih untuk sama sekali mengisolasi diri, memutus
semua hubungan dengan pemerintahan. Persis memilih untuk bergerak dalam bidang
pendidikan dan tabligh kepada masyarakat secara langsung, tanpa ikut terlibat atau
melibatkan diri dalam berbagai kebijakan politik Orde Baru. Gerakannya pun
kemudian lebih banyak diarahkan ke pedesaan dari yang sebelumnya lebih banyak
bergerak di perkotaan. Strategi ini antara lain untuk menghindari hubungan secara
langsung dengan pemerintah dan kecurigaan terhadap akan kembalinya Persis ke
dalam dunia politik melalui Masyumi.108
Di pihak lain, seorang tokoh Persis yang sudah sejak kemerdekaan lebih
memilih untuk aktif di partai politik melalui Masyumi—yaitu M. Natsir—juga
memilih untuk terjun ke lapangan dakwah. Dalam hal ini, Natsir tidak sendirian.
Secara umum, mantan-mantan pemimpin Masyumi kecewa atas tidak
direhabilitasinya kembali Masyumi, tidak diperbolehkannya mereka aktif di partai
baru—Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi—yang menutup sama sekali peluang
bagi mereka untuk aktif kembali di lapangan politik formal. Akhirnya, mereka
tinggalkan dunia politik praktis. Tokoh-tokoh eks-Masyumi ini pun memilih jalan
―dakwah.‖109

B. Lahirnya DDII
Kelahiran DDII tidak bisa dilepaskan dari Mesjid Al-Munawwarah di Tanah
Abang, Jakarta Pusat.110 Ketika Natsir dan para tahanan politik Masyumi lainnya

lain melalui LP3ES, Rahardjo ingin membuat percontohan program pengembangan ekonomi
pesantren. Akhirnya bertemulah kedua kepentingan itu dan menghapus batas-batas ideologis.
107
Hassan, Modernisasi Indonesia…, h. 89.
108
Lihat Tiar Anwar Bachtiar dan Pepen Irpan Fauzan. Sejarah Pemikiran dan
Gerakan Politik Persis, (Bandung: Persis Press, 2019), h. 287-288.
109
Buchari Tamam. ―Anwar Harjono Dalam Lintasan Pengenalanku,‖ dalam
Lukman Hakiem (ed.), Perjalanan Mencari Keadilan…, h. 485. Kesadaran tokoh-tokoh eks-
Masyumi terhadap tantangan dakwah ini muncul—salah satunya—dari kasus maraknya
kasus Kristenisasi. Lihat Robert W. Hefner. ―Print Islam: Mass Media and Ideological
Rivalries among Indonesian Muslims,‖ Indonesia, No. 64, 1997, h. 83.
110
Pada dekade 1960-an, Mesjid Al-Munawwarah Tanah Abang, Mesjid Al-Furqan
Kramat Raya, dan Mesjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru dikenal sebagai ―trio mesjid‖
yang berani menampung pemimpin Masyumi atau ulama yang tidak mau menerima konsepsi

76
dibebaskan dari penjara rezim Orde Lama pada 1966, beberapa pengurus mesjid Al-
Munawwarah—yang merupakan simpatisan Masyumi—meminta Buchari Tamam
menyampaikan pesan mereka kepada Natsir. Para pengurus mesjid Al-Munawwarah
mengharapkan Natsir dapat kembali melakukan aktifitasnya di mesjid itu. Mereka
menawarkan Natsir menggunakan mesjid itu sebagai kantor atau pusat
kegiatannya.111
Natsir kelihatannya tertarik dengan tawaran itu. Karena ketika masih
bergerilya di hutan Sumatera dalam PRRI, Natsir pun sebenarnya telah
merencanakan untuk kembali dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan dan
meninggalkan dunia politik. Sepertinya Natsir sudah memprediksi konsekwensi
terburuk yang bakal diterimanya pasca-PRRI.112 Melihat kalau Natsir tertarik,
Buchari Tamam kemudian mempertemukan para pengurus mesjid itu dengan Natsir.
Mereka bertemu di rumah salah seorang anak Natsir di Jalan Otto Iskandardinata,
Jatinegara, tempat Natsir beristirahat sekeluar dari karantina politik Orde Lama.
Pengurus mesjid itu, kenang Natsir,113 terdiri dari Abdul Hamid, Asrul Dt. Penghulu
Basa, St. Ismail, dan Agus St. Pangeran. Mereka mengharapkan Natsir bersedia
memanfaatkan masjid al-Munawwarah untuk pengembangan syi'ar Islam dan
menjanjikan akan mengusahakan fasilitas yang diperlukan.
Sebagai langkah awal diselenggarakanlah acara silaturahmi halal bi halal
bagi para muballigh dan alim ulama se-Jakarta Raya. Pertemuan tersebut
terselenggara pada 26 Februari 1967 di Mesjid Al-Munawwarah. Pertemuan
silaturahmi—yang merupakan ‗temu-kangen‘ para eksponen Masyumi—dihadiri
antara lain: Muhammad Natsir, H. M. Rasyidi, H. M. Daud Dt. Palimo Kayo, K. H.
Taufiqurrahman, H. Hasan Basri, Prawoto Mangkusasmito, Nawawi Duski, Abdul
Hamid, H. Abdul Malik Ahmad, dan H. Buchari Tamam.114 Terdapat juga beberapa
anak muda, para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), seperti Ramlan Mardjoened,
Hasanul Arifin, Fauzi Syahidan, Hussein Umar, dan lainnya.115 Inilah cikal bakal
berdirinya sebuah yayasan dakwah di Indonesia.
Dalam pertemuan itu, mereka menyimpulkan poin-poin berikut. Pertama,
partai-partai Islam tidak mendapat dukungan dukungan dari umat di negeri ini;
kedua, para pemimpin Islam tidak memiliki visi dan misi bersama dalam perjuangan
politik mereka; ketiga, jumlah umat Muslim di Indonesia, secara statistik memang

Presiden Soekarno terkait Nasakom. Buchari Tamam, Laporan Kegiatan DDII Pusat Selama
24 Tahun, pada Tasyakur 24 Tahun DDII, tanggal 24-26 Mei 1991 di Jakarta, h. 1-2.
111
Lukman Hakiem, 70 Tahun H. Buchari Tamam: Menjawab Panggilan Risalah,
(Jakarta: Media Dakwah, 1992), h. 86.
112
Hakiem, 70 Tahun H. Buchari Tamam…, h. 85.
113
M. Natsir. ―Patah Tumbuh Hilang Berganti,‖ dalam Hakiem (ed.), 70 Tahun H.
Buchari Tamam…, h. 195.
114
Menurut Lukman Hakiem, inilah sepuluh orang tokoh pendiri DDII. Hakiem,
Perjalanan Mencari Keadilan…, h. 235-236.
115
Saeful Amin. ―Sikap Politik Dewan Dakwah Pasca-Mohamad Natsir 1993-2005:
Kajian Surat-Surat Pernyataan Politik,‖ Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana, (Jakarta: UIN
Jakarta, 2008), h. 88.

77
besar, tetapi secara kualitatif kecil, baik dari segi kualitas akidahnya, ibadahnya,
akhlaknya, maupun dalam penguasaannya atas pengetahuan umum dan ekonomi.116
Kesadaran ini muncul tidak terlepas dari kegagalan upaya rehabilitasi Partai
Masyumi pada Pemerintah Orde Baru. Lebih dari itu, upaya menjadikan tokoh
eksponen Masyumi yang lebih moderat, seperti M. Roem, untuk memimpin partai
Islam yang baru (Parmusi) tetap dilarang. Dari sinilah muncul pemikiran untuk
kembali ke dunia dakwah. Langkah ini, tulis Yudi Latif, sepertinya sebagai sebuah
kesadaran eksponen Masyumi bahwa realitas sosial-politik umat memang
memerlukan hal itu, karena rapuhnya fondasi Islam politik.117
Pada pertengahan tahun 1960-an atau tepatnya setelah peristiwa G 30 S PKI
dan beralihnya kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama ke pemerintahan Orde
Baru, menurut Anwar Haryono,118 ada upaya kelemahan dakwah yang terdeteksi
oleh para mantan pemimpin Masyumi saat itu. Pertama, yang terkait dengan kualitas
atau sumber daya dakwah. Kedua, yang berhubungan dengan manajemen dan
pengorganisasian dakwah. Sementara itu, kegiatan Kristenisasi dari hari ke hari
dirasakan sangat mengganggu ketenangan masyarakat.119 Karena itu diperlukan
sebuah lembaga yang dapat melaksanakan dakwah terhadap umat Islam Indonesia.120
Memang, muncul kekhawatiran dari sebagian pemimpin mantan Masyumi,
bahwa pascaperistiwa G 30 S/PKl telah terjadi perpindahan sejumlah orang Islam
abangan Jawa ke agama-agama lain, terutama ke agama Kristen. Perpindahan agama
dari Islam ke agama lain secara signifikan kemungkinan besar terjadi di beberapa
tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sejak sebelum meletusnya peristiwa G
30 S/PKI sudah terjadi konflik fisik.121 Ketika kemudian G 30 S/PKI meletus,
konflik-konflik tersebut memicu terjadinya kekerasan—dan bahkan pembunuhan—
secara besar-besaran. Hal itu pada gilirannya menimbulkan antipasti yang
mendalam terhadap Islam sebagai akibat dari keterlibatan aktif organisasi-organisasi
Islam, atau setidaknya menganggap bahwa organisasi-organisasi Islam telah turut
membenarkan tindak kekerasan itu, sehingga sejumlah orang Islam abangan pindah

116
Hasanuddin Abu Bakar Dt. Rajo Angek. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia:
Visi dan Misi, (Jakarta: Media Dakwah, 2000), h. 3.
117
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 497.
118
Anwar Harjono, ―Dakwah Bil-Lisan dan Bil (Lisanil) Hal,‖ Laporan Kebijakan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (arsip DDII, tidak diterbitkan), 1991, h. 2-3.
119
Laporan-laporan menyebutkan bahwa rumah-rumah keluarga Muslim dan anak-
anak sekolah menjadi sasaran kegiatan mereka, sehingga menimbulkan keresahan umat.
Dilaporkan pula, mereka mendirikan rumah-rumah ibadah tanpa menghiraukan aturan dan
ketentuan yang berlaku.
120
Harjono, ―Dakwah Bil-Lisan dan Bil (Lisanil) Hal…,‖ h. 3.
121
Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak orang Jawa yang meninggalkan Islam.
Namun, sejumlah misionaris Protestan Amerika menyatakan bahwa telah terjadi gerakan
masuk Kristen yang bersifat massif terutama di daerah kantong-kantong komunis di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Perpindahan agama dari Islam ke Kristen meningkat tajam secara
dramatis pada akhir tahun 1960an dan awal 1970an. Hefner memperkirakan sekitar 1,5
hingga dua persen dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (sekitar 1,5 hingga dua juta
orang) menjadi Kristen. Robert W. Hefner, ―Print Islam: Mass Media…,‖ h. 83.

78
agama.122 Ini yang disebut Merle C. Ricklefs sebagai fenomena pasca 1965 pada
masyarakat Jawa, terjadinya ―significant turning away from Islam to other
religions.‖123
Hal ini tidak menegasikan bahwa pada waktu yang bersamaan pasca-1965
juga terjadi peningkatan kesadaran beragama di kalangan masyarakat terhadap
Islam.124 Sebagaimana dijelaskan Bambang Pranowo, terjadi juga peningkatan
jumlah masyarakat abangan Jawa yang lebih mendalami Islam.125 Namun demikian,
adanya perpindahan agama ini, khususnya pada agama Kristen, menjadi perhatian
tersendiri pada para tokoh mantan Masyumi. Jumlah orang Islam abangan yang
berpindah agama memang tidak sebesar seperti yang dikhawatirkan, tetapi
ditenggarai kalau situasi tersebut dimanfaatkan pula oleh pihak misionaris Kristen
untuk kepentingan missi mereka.126
Dalam menampung persoalan-persoalan yang mengandung cakupan yang
luas dan sifat yang kompleks, maka musyawarah dalam halal bil halal di masjid Al-
Munawwarah tersebut memandang perlu dibentuknya sebuah wadah (lembaga
dakwah). Walaupun demikian, wadah yang dimaksud tersebut tidak langsung
terealisasi pada waktu itu juga, Februari 1967. Baru setelah tiga bulan, lembaga
dakwah tersebut dikukuhkan keberadaannya melalui Akte Notaris Syahrim Abdul
Manan No. 4, tertanggal 9 Mei 1967,127 dalam bentuk yayasan.
Yayasan tersebut diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia,
disingkat DDII. Jika nama ‗dakwah‘ merujuk pada norma agama Islam, maka istilah
‗dewan‘ adalah usulan dari M. Rasjidi yang dimaknai sebagai badan pelaksana tugas
normatif dakwah tersebut. Nama Dewan Dakwah pun diterjemahkan ke dalam

122
Menurut Hefner, kendati ada orang-orang Kristen yang ikut terlibat dalam aksi
kekerasan terhadap orang-orang PKI, namun pada saat Ormas-ormas Islam menyerukan
pembasmian PKI dan antek-anteknya, lembaga-lembaga keagamaan Kristen justru melarang
para anggotanya ikut serta Robert W. Hefner, Civil Islam…, h. 108.
123
Merle C. Ricklefs. ―Six Centuries of Islamization in Java,‖ in Nehemia Levtzion
(ed.), Conversion to Islam, (Holmes and Meier Publisher, Inc., New York, 1979), h. 101.
124
Anwar Haryono, Dakwah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan, (Jakarta: Media
Dakwah, 1987), h. 23.
125
Lihat Bambang Pranowo, Runtuhnya Dikotomi Santri-Abangan: Refleksi
Sosiologis Atas Perkembangan Islam di Jawa Pasca 1965, (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 2001), h. 24-26.
126
Menurut Buchari Tamam, misionaris Kristen mendatangi kampung-kampung
permukiman keluarga PKI dengan membawa bantuan pangan dan uang. Mereka juga
menjanjikan bantuan hukum dan beasiswa. Lihat Buchari Tamam, ―Mensyukuri 24 Tahun
Dewan Dakwah,‖ dalam Hakiem. 70 Tahun H. Buchari Tamam…, h. 149.
127
Menurut Saeful Amin, ada dua versi tentang kelahiran DDII. Versi pertama
menyebutkan DDII lahir pada 9 Mei 1967, sementara versi kedua menyebut tanggal 26
Februari 1967 sebagai hari lahirnya. Versi pertama tampaknya didasarkan pada tanggal
pembuatan akte notaris pendirian lembaga tersebut, sedangkan versi kedua didasarkan
kepada tanggal pertemuan halal bi halal dan silaturrahmi para ularna dan zuama‘ se-Jakarta
Raya. Pendapat yang lebih kuat cenderung kepada versi kedua, karena lebih sesuai dengan
yang tercantum dalam akte notaris pendirian DDII. Tanggal tersebut juga dipakai dan diakui
sendiri oleh kalangan DDII sebagai hari lahir lembaga tersebut. Lihat Amin. ―Sikap Politik
Dewan Dakwah…,‖ h. 87.

79
bahasa Arab oleh Agoes Tjik, menjadi Al-Majlis al-A’la al-Indunisy li al-Dakwah
al-Islamiyyah.128
Yayasan DDII didasarkan pada takwa dan keridlaan ilahi. Ini sedikit berbeda
dengan keumuman organisasi Islam yang biasanya mencantumkan agama Islam
sebagai dasarnya. Pengurus Pusat Yayasan ini berkedudukan di ibu kota Negara dan
bila dimungkinkan memiliki perwakilan di tiap-tiap ibu kota daerah tingkat I, serta
pembantu perwakilan di tiap-tiap ibu kota daerah tingkat II seluruh Indonesia.129
Didirikannya DDII dalam bentuk yayasan dianggap sebagai pilihan cerdik
waktu itu, guna menghindari dari konteks keormasan dan partai politik. Jika
mendirikan Ormas, apalagi partai politik, akan sangat rumit dan tentunya keberadaan
para pemimpin Masyumi akan tetap dipersoalkan. Oleh karena itu, sebagaimana
kesaksian Buchari Tamam, ―…kita ambil kesimpulan, Dewan Dakwah tidak perlu
berbentuk partai atau ormas, tetapi kita tetapkan saja sebagai yayasan. Hak
legalisasinya cukup dengan perantaraan notaris.‖130
Natsir mengibaratkan DDII sebagai mesin pembangkit tenaga listrik yang
ditempatkan di belakang rumah, dalam suatu tempat yang dirancang khusus di
bawah tanah, agar tidak menimbulkan kebisingan. Dengan fungsi dan tempat seperti
itu, DDII diharapkan dapat menerangi umat tanpa menimbulkan suara berisik dan
‗polusi yang bersifat politis.‘131 Menyadari hal itu, DDII didirikan sebagai suatu
keharusan melakukan dakwah secara lebih baik dan menyeluruh. DDII pun ada
untuk tujuan menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah Islam di Indonesia.
Adapun kegiatan-kegiatan yang menjadi misi DDII, sesuai anggaran dasar
organisasi tersebut, dilakukan antara lain:
a) Berusaha memperlengkapi persiapan para mubalig dalam melaksanakan tugasnya
di bidang ilmiah, khittah dan alat-alat, sehingga dapat mencapai hasil yang lebih
sempurna dan terwujudnya umat penegak dakwah;
b) Mengadakan kerjasama yang erat dengan badan-badan dakwah yang ada;
c) Berusaha melicinkan jalan dakwah dengan dan antara lain menghindari dan/atau
mengurangi pertikaian paham antara pendukung dakwah dalam melaksanakan
tugas dakwah; dan
d) Mengusahakan adanya dana bagi kepentingan dakwah dan kesejahteraan
pendukung dakwah.132

C. Kepengurusan Awal Organisasi


Pembicaraan terkait DDII tidak bisa dipisahkan dengan sosok Natsir. Dari
kesepuluh orang yang mendirikan DDII, hanya Natsir yang berlatarbelakang
Persis.133 Namun, dalam perjalanannya Natsir-lah yang paling berperan dalam

128
Lihat Dt. Rajo Angek. Dewan Dakwah…, h. 4.
129
Lihat Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Anggaran Dasar DDII.
130
Tamam, ―Mensyukuri 24 Tahun Dewan Dakwah…,‖ h. 149-150.
131
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan…, h. 238.
132
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan…, h. 235.
133
Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908. Ia
menyelesaikan pendidikan dasar (HIS) dan menengah pertamanya (MULO) di Minangkabau.
Di tempat ini pula, ia belajar di sekolah agama yang dipimpin oleh Tuanku Mudo Amin,
seorang sahabat Haji Rasul. Demikian juga ia mengikuti pelajaran secara teratur yang

80
membentuk dan memberi karakter pada DDII, sehingga Natsir menjadi sangat
identik dengan DDII dan DDII sangat identik dengan Natsir. Berdasarkan indikasi
ini, dari sisi sejarah intelektual, berdiri dan berkembangnya DDII sedikit banyak
memperlihatkan pengaruh Persis melalui M. Natsir yang secara intelektual
dilahirkan dari rahim kelompok intelektual Persis. Oleh karena itu, menurut Hefner,
―the DDII's genealogy may in certain respects owe more to the Persis faction in
Masyumi.‖134
Natsir diberi kepercayaan penuh untuk memilih sendiri anggota-anggota
pengurus DDII. Susunan kepengurusan DDII ketika pertama kali didirikan adalah
sebagai berikut:135
Ketua : Mohammad Natsir
Wakil Ketua : Dr. H. M. Rasjidi
Sekretaris : BuchariTamam
Sekretaris II : Nawawi Duski
Bendahara : H. Hasan Basri;
Anggota : H. Abdul Malik Ahmad;
H. M. Daoed Dt. Palimokajo;
K.H. Taufiqurrahman;
Muchtar Lintang;
Prawoto Mangkusasmito;
Prof. Osman Raliby;
H. Z. A. Ahmad;
Abdul Hamid.
Semua anggota pengurus tersebut adalah tokoh-tokoh mantan Masyumi
yang dikenal loyal pada Natsir. Dua pembantu utama Natsir di DDII, Rasjidi sebagai
wakil ketua dan Buchari Tamam sebagai sekretaris, adalah kader-kadernya di
Masyumi. M. Rasjidi (lahir di Kotagede, Yogyakarta, pada 20 Mei 1915) adalah
mantan Menteri Agama RI yang pertama—yang berasal dari Partai Masyumi—pada
era revolusi. Ketika belajar di Universitas Kairo, Rasjidi sempat belajar kepada

diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang. Kedua orang terakhir itu merupakan tokoh
pembaharu yang terkenal. Boleh dikatakan, Natsir telah mengenal ide-ide pembaharuan
agama sejak kecil. Natsir pindah ke Bandung sekitar tahun 1927 untuk meneruskan sekolah
pada Algemene Middelbare School (AMS, setingkat SMU sekarang). Pada waktu sekolah di
AMS inilah, Natsir mengikuti Ibadah shalat Jum‘at yang diadakan oleh organisasi Persis.
Disamping itu, Natsir pun bersama Fachroedin Alkahiri, Caya, dan lainnya, ikut kursus
agama yang dibimbing oleh A. Hassan. Dengan demikian, Natsir telah dengan serta merta
ikut aktif dalam organisasi Persis. Selain di Persis, Natsir juga aktif di Jong Islamieten Bond
(JIB), sebuah organisasi kepemudaan yang ditujukan untuk kalangan pelajar. Natsir masuk
JIB pada tahun 1928. Tiada berapa lama, Natsir pun menjadi anggota inti (kern lichcham)
yang bertugas mengkaji agama. Pada organisasi inilah, Natsir pun bertemu dan belajar pada
H. Agus Salim, seorang ulama-intelektual sekaligus politikus yang sangat mumpuni. Pada
masa mudanya ini, secara genealogi intelectual, Natsir beruntung mendapat bimbingan dari
dua tokoh intelektual Islam Indonesia, tuan A. Hassan dan Agus Salim. Biografi Natsir
selengkapnya, lihat tulisan Ayip Rosidi M. Natsir: Sebuah Biografi. (Jakarta: Giri Pusaka
Mukti, 1986).
134
Lihat Hefner, ―Print Islam…,‖ h. 81.
135
Lihat Akta Notaris Syahrim Abdul Manan No. 4 tanggal 9 Mei 1967.

81
Sayyid Qutb, tokoh organisasi Ikhwan Muslimin. Dari Kairo, Rasjidi melanjutkan ke
Universitas Sorbonne di Paris, Prancis, dan mendapatkan gelar Ph.D-nya pada 23
Maret 1956. Rasjidi aktif di DDII dari awal berdiri hingga akhir hayatnya pada 30
Januari 2001. Rasjidi dikenal sebagai tokoh ―the guardian dunia pemikiran Islam
Indonesia yang selalu cemas bila melihat gejala ‗penyimpangan‘ dan
‗penyelewengan‘ dalam kegiatan intelektual.‖136
Buchari Tamam (lahir 4 Juli 1922)137 adalah mantan Ketua GPII Sumatera
Tengah periode 1945-1946. Ia diangkat menjadi Sekretaris Partai Masyumi
Sumatera Tengah periode 1950-1956, serta Sekretaris Majelis Ulama Sumatera
Tengah pada 1957. Ia bertemu Natsir untuk pertama kalinya di Jakarta, dalam
perjalanannya mengikuti Kongres VIII Masyumi di Bandung tahun 1956. Ia semakin
dekat dengan Natsir, karena ikut masuk hutan dalam perjuangan PRRI. Buchari
Tamam tercatat sebagai Sekretaris DDII yang diembannya hingga meninggal dunia
pada 31 Desember 1994.
Tokoh-tokoh lainnya adalah kolega dekat Natsir di Masyumi. Prawoto
Mangkusasmito adalah pendiri Masyumi, sekaligus menjadi ketua umum partai
tersebut pasca-Natsir (1959-1960). Ia dikenal sebagai ‗adik Natsir‘ di kalangan
keluarga bulan-bintang.138 Hasan Basri139 dan Osman Raliby140 adalah pengurus
136
Lihat Azyumardi Azra. ―H. M. Rasjidi, BA: Pembentukan Kementerian Agama
dalam Revolusi,‖ dalam Azyumardi Azra dan Saeful Umam, Menteri-Menteri Agama RI:
Biografi Sosial Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), h. 13 dan 18; Lihat juga Endang Basri
Ananda. 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi, (Jakarta: HU Pelita, 1985).
137
Hakiem, 70 Tahun Buchari Tamam…, h. 42.
138
Prawoto Mangkusasmito (lahir 4 Januari 1910 di Magelang, Jawa Tengah)
adalah alumnus Recht Hoge School di Jakarta. Mantan aktivis Jong Java dan Jong Islamieten
Bond ini ikut mendirikan partai Masyumi pada 1945, menjadi anggota Badan Pekerja KNIP
(1946-1949), Ketua BP KNIP pada masa RIS (1949-1950), hingga menjadi Wakil Perdana
Menteri RI pada Kabinet Wilopo (1952-1953). Pada 1959, ia didaulat menjadi Ketua Umum
Masyumi. Sejak 1967, ia aktif di DDII dan Serikat Tani Islam Indonesia, hingga meninggal
pada 24 Juli 1970 di Banyuwangi. Lihat S. U. Bajasut. Alam Fikiran dan Djedjak
Perdjuangan…, h. 3-18.
139
Hasan Basri (lahir tahun 1920 di Muara Taweh, Kalimantan Tengah) adalah
anggota Parlemen hasil Pemilu 1955 yang berasal dari Masyumi, hingga 1959. Lulusan dari
Pendidikan Guru Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1939 ini mulai aktif di pentas politik
melalui perkenalannya dengan Dr. Sukiman di Jogya yang waktu itu memimpin Partai Islam
Indonesia (PII). Dari PII, ia lanjutkan aktif di Masyumi. Hasan Basri tercatat ikut dalam
acara ‗halal bilhalal‘ dengan Natsir di Mesjid Al-Munawwarah, sekaligus menjadi pengurus
DDII sejak paling awal. Jabatan terakhirnya adalah ketua umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI) tahun 1985 yang diembannya hingga meninggal dunia pada 8 November 1998 di
Jakarta. Lihat Ramlan Mardjoned. K. H. Hasan Basri 70 Tahun: Fungsi Ulama dan Peranan
Mesjid, (Jakarta: Media Dakwah, 1990).
140
Osman Raliby (lahir 23 Mei 1915 di Sigli, Aceh) adalah lulusan perguruan
Sumatera Thawalib Padang Panjang, Sumatera Barat. Setelah itu, ia melanjutkan studi ke
American University di Kairo, Mesir. Ia pernah menjabat Kepala Kantor Wilayah
Departemen Penerangan Propinsi Sumatera Selatan. Osman Raliby tercatat menjadi anggota
DPP Masyumi hasil Muktamar IX 23-27 April 1959 di Yogyakarta. Ia termasuk salah
seorang pendiri Universitas Ibnu Khaldun. Profesi terakhir yang ditekuninya adalah dosen
agama di beberapa universitas terkemuka di Jakarta, hingga meninggal dunia pada 29 Maret

82
harian DPP Masyumi hasil Muktamar Masyumi IX tahun 1959 di Yogyakarta.
Taufiqurrahman141 adalah sekretaris jenderal DPP Masyumi, ketika Natsir menjadi
ketua umum partai tersebut, pada periode 1949-1953. Z. A. Ahmad adalah anggota
DPP Masyumi (1955-1960).142 Mereka adalah tokoh-tokoh intelektual senior
Masyumi.
Di samping itu, terdapat juga kader-kader Masyumi yang berasal dari daerah
Sumatera. Abdul Malik Ahmad (lahir di Tanah Datar, Sumatera Barat, pada 7 Juli
1912 dan wafat di Jakarta, pada 3 Oktober 1993) adalah tokoh Muhammadiyah yang
menjadi anggota parlemen dari Masyumi hasil Pemilu 1955.143 Mansoer Daoed Dt.
Palimokajo (lahir di Agam, Sumatera Barat, pada 10 Maret 1905 dan wafat di
Padang, pada 17 November 1985) adalah sekretaris jenderal Persatuan Muslimin
Indonesia (Permi) yang berfusi pada Masyumi.144 Muchtar Lintang (wafat di Jakarta
tahun 1994) adalah rekan Natsir di PRRI.145 Adapun Nawawi Duski (lahir di Agam,
Sumatera Barat, pada 24 November 1920 dan wafat di Jakarta pada 15 Oktober
1988) adalah anggota redaksi majalah Hikmah, yang diterbitkan pimpinan pusat
Masyumi.146
Di antara tokoh-tokoh pengurus awal DDII tersebut, hanya Abdul Hamid
yang tidak diketahui latar-belakangnya. Ia hanya disebut sebagai pegawai bank
swasta yang menjadi jamaah masjid Al-Munawwarah, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Jemaah masjid tersebut dikenal sebagai simpatisan Masyumi. Sebagai simpatisan
Masyumi, ia bersama pengurus Mesjid Al-Munawwarah lainnya, mendatangi Natsir
dan memintanya untuk mempergunakan masjid itu untuk aktivitas dakwah, cikal
bakal berdirinya DDII.147

1997. Lihat Natsir Zubaidi. ―Profesor Osman Raliby yang Saya Kenal,‖ Media Dakwah, No.
275, Mei 1997.
141
Taufiqurrahman (lahir 27 Agustus 1903 di Banjarnegara, Jawa Tengah) semula
adalah tokoh ulama Syarekat Islam (SI). Ia menjadi Sekretaris Majelis Ulama SI (1930-
1935), kemudian memimpin Departemen Syariah wal Ibadah serta Ketua Kader Kursus
Politik dan Agama Islam SI (1937-1941). Setelah Masyumi berdiri pada 1945, ia pun ikut
bergabung. Pada Muktamar Masyumi tahun 1949, ia didaulat menjadi sekretaris jenderal
pimpinan pusat Masyumi, mendampingi Natsir. Pada 1953-1960, ia menjadi wakil ketua
Majelis Syura Masyumi. Ia bergabung dengan DDII hingga wafat pada 30 Maret 1977. Lihat
―Taufiqurrahman: Pelopor Kebangkitan Masjid Indonesia,‖ dalam Hakiem (ed.). Pendiri dan
Pemimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (Jakarta: DDII, 2017), h. 69-80.
142
Z. A. Ahmad (lahir 11 April 1911 di Sulit Air, Sumatera Barat dan meninggal di
Jakarta pada 26 April 1983) adalah alumnus Sekolah Thawalib, Padang Panjang. Ia anggota
Permi yang kemudian berfusi ke Masyumi. Pada Pemilu 1955, ia terpilih menjadi anggota
parlemen mewakili Masyumi daerah pemilihan Sumatera Utara. Mewakili Masyumi, ia
didaulat menjadi wakil ketua III parlemen, juga menjadi Ketua Panitia Konstitusi Negara.
Lihat Soebagijo I. N. Riwayat Hidup dan Perjuangan H. Zainal Abidin Ahmad, (Jakarta:
Pustaka Antara, 1985).
143
Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin…, h. 131-138.
144
Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin…, h. 115-122.
145
Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin…, h. 81-86.
146
Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin…, h. 55-60.
147
Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin…, h. 139-140.

83
84
BAB IV
PERKEMBANGAN JARINGAN ELITE DDII
DI ERA NATSIR 1967-1993: KADERISASI JURU DAKWAH,
DAI AKADEMIS DAN DAI POLITIKUS

Kelahiran dan perkembangan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)


tidak bisa dilepaskan dari sosok M. Natsir. Jaringan DDII segera terbentuk—bahkan
sejak awal kelahirannya—melalui jaringan luas Natsir, baik secara perseorangan
hingga kelembagaan. Oleh karena itu, selama kepemimpinan Natsir, khususnya
periode 1986-1990, DDII telah menyelesaikan 188 proyek dakwah, meliputi: 168
mesjid/musalla, tujuh (7) Islamic Center, tiga (3) sekolah dan lokal belajar, lima (5)
pesantren, satu asrama pelajar, dua asrama anak yatim, satu Balai Latihan Kerja
(BLK) dan poliklinik. Seluruh proyek tersebut tersebar dari Sumatera Utara sampai
Irian Jaya (Papua) dan TimorTimur.1
Jaringan DDII, secara nasional maupun internasional, terbangun dari
jaringan Masyumi—dalam konteks „keluarga besar bulan bintang.‟ Khusus jaringan
nasional DDII, salah satu tonggaknya melalui pembentukan Forum Ukhuwwah
Islamiyyah (FUI) yang sebagian besar terdiri dari para ketua umum ataupun tokoh-
tokoh Ormas-ormas Islam.2 Jaringan internasional DDII terbentuk juga berawal dari
jaringan Masyumi, terutama atas ketokohan Natsir.3

A. Kepengurusan DDII dan Jaringannya Era Natsir 1967-1993


Selama kepemimpinan Natsir di DDII (1967-1993), ada tiga periode
kepengurusan. Setelah dibentuk pengurus periode Natsir I (1967-1982), terjadi dua
kali penyegaraan kepengurusan: periode Natsir II (1983-1988) dan periode Natsir III
(1989-1993). Pada tahun 1983, karena ada anggota pengurus yayasan yang
meninggal dunia dan pindah domisili, maka dilakukan penyegaran kepengurusan. Di
periode ini, Mohammad Natsir kembali dipercaya untuk memimpin DDII. Pada
periode Natsir II 1983-1988, ada empat pengurus baru DDII. Keempatnya adalah:
M. Yunan Nasution (wakil ketua II),4 Anwar Harjono (wakil ketua III), 5

1
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr.
Anwar Harjono, (Jakarta: Media Dakwah, 1993), h. 239.
2
Bernhard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the Emerging Democracy,
(Singapore: ISEAS, 2009), h. 38.
3
Robert W. Hefner. Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia,
(Princeton-New Jersey: Princeton University Press, 2000), h, 109.
4
M. Yunan Nasution (1913-1996) adalah politikus Partai Masyumi. Ia semula
adalah seorang jurnalis, kemudian terjun ke arena politik dengan menjadi Ketua Masyumi
Jakarta Raya yang mengantarkannya menjadi anggota parlemen. Pada periode 1956-1958, ia
didaulat menjadi Sekretaris Jenderal DPP Masyumi. Setelah pensiun dari dunia politik, ia
ikut aktif dengan Natsir di DDII sejak tahun 1983 hingga akhir hayatnya. Lihat Badruzzaman
Busyairi. Catatan Perjuangan H. M. Yunan Nasution, (Jakarta: DDII, 2013).
5
Terkait peran Anwar Harjono di DDII dibahas lebih detail pada bab-bab
selanjutnya.

85
Boehanoeddin Harahap,6 dan Ahmad Masoed Luthfi, masing-masing sebagai
anggota. Jabatan wakil ketua I dan sekretaris tetap dipegang oleh M. Rasjidi dan
Buchari Tamam, 7 sementara wakil sekretaris dan bendahara dijabat oleh Nawawi
Duski dan Hasan Basri.8
Pada tahun 1989, DDII kembali melakukan penyegaran kepengurusan. Pada
periode ini, Mohammad Natsir juga dipercaya untuk melanjutkan kepemimpinannya
di DDII, sehingga dikenal sebagai periode Natsir III (1989-1993). Karena
Boerhanuddin Harahap dan Nawawi Duski meninggal dunia, maka ada delapan
orang yang masuk menjadi pengurus baru DDII. Hasanuddin Abu Bakar Datuk Rajo
Angek diangkat menjadi wakil sekretaris, mendampingi Buchari Tamam. Sementara
tujuh lainnya diangkat menjadi anggota, yaitu: Sholeh Iskandar, Rusjad Nurdin,
Mohamad Sulaiman, Saifullah Mahyuddin, Soleh Widodo, Hussein Umar dan Abdul
Wahid.9
Sejak era 1983-1993, seiring dengan menurunnya kesehatan Mohammad
Natsir, sebahagian wewenang Natsir di DDII diserahkan kepada Anwar Harjono.
Posisinya waktu itu sebagai Wakil Ketua III. Sejak saat itulah, Anwar Harjono
terlibat aktif dalam menggerakkan DDII. Walaupun pada kenyataannya Mohammad
Natsir tetap berfungsi sebagai pemimpin di DDII, namun dalam kebanyakan aktifitas
DDII sering dipimpin oleh Anwar Harjono.10
Peran penting Natsir terutama pada peletakan fondasi gerakan dakwah di
Indonesia. Bagi Natsir, menurut ajaran Islam yang diyakininya, kiprah dan aktifitas
seseorang di berbagai lapangan kehidupan; ekonomi, sosial, dan juga politik adalah
bagian dari ibadah dan risalah atau dakwah. Maka, ketika ia dan para mantan aktivis
Masyumi lainnya tidak dapat lagi kesempatan untuk berkiprah di lapangan politik,

6
Boerhanoeddin Harahap (1917-1987) adalah alumnus Fakultas Hukum UGM yang
kemudian menjadi politisi Masyumi sejak 1946. Karir puncaknya adalah sebagai Perdana
Menteri RI pada Agustus 1955-Maret 1956. Ia sukses menyelenggarakan Pemilu 1955 yang
legendaris. Tentang peran fenomenalnya ini, lihat “The Burhanuddin Harahap Cabinet,
August 1955-March 1956: The Elections and After,” dalam Herbert Feith, The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca, New York: Cornel University Press, 1962),
h. 414-437.
7
Terkait peran M. Rasjidi, Buchari Tamam dan A. M. Luthfi di DDII dibahas lebih
detail pada bab-bab selanjutnya.
8
A. M. Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat (1967-2005), (Jakarta: Panitia Mubes III Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia, 2005, tidak diterbitkan), h. 1.
9
A. M. Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan…, h. 2.
10
Tak heran, ketika Natsir meninggal dunia pada 6 Februari 1993, Anwar Haryono
pun didaulat untuk menjadi Ketua Pelaksana Harian DDII selama masa transisi
kepemimpinan kolektif. Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar DDII yang diselenggarakan
di Jakarta pada 23-24 April 1993 (1-2 Dzulqaidah 1413) menetapkan susunan pengurus DDII
yang baru. Pada saat itu, kepemimpinan DDII dipegang oleh sebuah tim ketua, yakni M.
Rasjidi, M. Yunan Nasution, Anwar Harjono dan M. Rusjad Nurdin. Sebagai Ketua
Pelaksana Harian, Anwar Harjono melakukan penertiban administrasi DDII di awal
kepemimpinannya. Hal ini dibahas tersendiri pada bab V.

86
jalan ibadah dan dakwah dalam bentuk lain masih banyak dan terbuka.11 Mereka
justru mengubah situasi yang tidak menguntungkan ini dengan lahirnya gerakan
dakwah, yakni DDII.
Oleh karena itu, Natsir kemudian mengatakan bahwa, “politik dan dakwah
itu tidak terpisah. Dakwah tidak lebih rendah dari politik. Politik tanpa dakwah akan
hancur. Kalau dulu berdakwah melalui jalur politik, sekarang berpolitik melalui jalur
dakwah.”12 Inilah yang disebut Robert W. Hefner sebagai “the politics of
predication.”13 Sejak itu pula, istilah „dakwah‟ menjadi popular dalam khazanah
pergerakan Islam di Indonesa era 1960 dan 1970-an.14
Jaringan dakwah DDII pun terbentuk karena kemasyhuran Natsir dan
koleganya semasa di Partai Masyumi. Di tingkat nasional, jaringan dakwah DDII
muncul melalui “keluarga besar bulan-bintang.” Di antaranya dengan organisasi-
organisasi Islam dan partai politik Islam yang ada pada era Orde Baru, seperti:
Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Gerakan
Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia
(PII), al-Irsyad, Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan sayap modernis pada Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).15
Melalui ketokohan Natsir, tokoh-tokoh Muslim—umumnya yang beraliran
modernis, walaupun ada juga dari sayap yang dikenal tradisionalis—berkumpul
secara informal di DDII. Natsir sendiri, secara strategis mengumpulkan mereka
dalam wadah “Majelis Silaturahmi,” sebuah badan otonom DDII yang dibentuk
berdasarkan SK No. 366/UDDII/1410 H tanggal 05 Agustus 1989. Badan yang
populer disebut “fiatin qalilah” (kelompok terbatas) ini dibentuk untuk menampung
sebagian orang-orang yang karena pertimbangan-pertimbangan situasional tidak
masuk dalam kepengurusan DDII.16
Badan ini terdiri dari Badan Penasehat dengan sembilan anggota dan Majelis
Silaturrahmi yang beranggotakan 29 orang. Badan Penasehat terdiri dari: 1) KH. A.
Malik Ahmad, 2) KH. Abdullah Salim, 3) KH. Affandi Ridhwan, 4) dr. H, Ali
11
Sebagai perbandingan, sejak awal abad ke-20 di Indonesia, para politisi Muslim
selalu mencari jalan secara strategis untuk tetap memerankan fungsi agama dalam kehidupan
masyarakat-bangsa Indonesia. “By the end of the 1920s, the dominant political paradigm was
inescapably that of the totalising Indonesian nation-state. Muslim politicians, too, had fallen
under its power, and had to begin to contrive ways in which they could better accommodate
their religious sensibilities under its umbrella,” tulis RE Elson, “Islam, Islamism, the Nation,
and the Early Indonesian Nationalist Movement,” Journal of Indonesian Islam, Volume 01,
Number 02, December 2007, h. 257.
12
M. Natsir. Politik Melalui Jalur Dakwah, (Jakarta: Abadi, tt.), h. 12.
13
Hefner. Civil Islam: Muslim…, h. 106.
14
Yudi Latif. The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of Its
Emergence in the 20th Century, (PhD Thesis in Australian National University, Canberra,
2004), h. 346.
15
Bernhard W. Platzdasch. Religious Dogma, Pluralism and Pragmatism:
Constitutional Islamism in Indonesian Politics (1998-2002). (Ph.D. Thesis the Australian
National University, March, 2005), h. 60.
16
Mas‟adi Sulthani, “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah,” dalam Luthfi Bukan
Ludwig; Catatan Para Sahabat A. M. Luthfi, (Jakarta: Media Dakwah, 2007), h. 135.

87
Akbar, 5) KH. Hasan Basri, 6) Prof. Dr. H. M. Rasjidi, 7) M. Natsir, 8) KH. Noer
Ali, dan 9) Prof. Dr. H. Osman Raliby. Adapun anggota Majelis Silaturrahmi adalah
sebagai berikut: 1) H. A. Wahid Alwi, M.A, 2) lr. H. A. M. Luthfi, 3) Dr. Ir. H. A.
M. Saefuddin, 4) Dr. H. A. Watik Pratiknya, 5) Dr. Anwar Harjono, S.H., 6) H.
Arsyad Pana, 7) Buchari Tamam, 8) Drs. H. Dahlan Bashri At-Tahiri, Lc, 9) Prof.
Dr. H. Daldiri, 10) H. Datuk Tan Kabasaran, 11) Prof. Dr. Deliar Noer, 12) Faisal
Baasir, S.H., 13) Dr. H. Gading Hakim, 14) Hartono Mardjono, S.H., 15) H. Hussein
Umar, 16) Drs. H. Cholil Badawi, 17) Dr. H. Kuntowijoyo, 18) KH. Misbach, 19)
Dr. M. Amien Rais, M.A., 20) KH. M. Rusjad Nurdin, 21) Mohammad Seolaeman,
22) Mohammad Tamal Anshan, 23) H. M. Yunan Nasution, 24) Radjab Ranggasoli,
25) dr. H. Saidal Baharuddin, 26) Drs. H. Saifullah Mahyudin, M.A., 27) KH.
Sholeh lskandar, 28). Ir. H. Sholeh Widodo, 29) Prof. Drs. H. Yusuf Amir Faisal.17
Dari komposisi Majelis Silaturahmi ini terlihat heterogenitas tokoh-tokoh Muslim—
baik dari kalangan tua maupun muda—yang berkumpul secara informal di DDII.18
Di samping forum Majelis Silaturahmi—sayap informal DDII—yang
majemuk, Natsir juga membentuk forum kecil yang mewadahi tokoh-tokoh senior
DDII dan tokoh-tokoh mantan-Masyumi dengan kader-kader mudanya.
Sebagaimana kesaksian Abdullah Hehamahua, kumpulan eksklusif DDII ini disebut
“forum nasi bungkus”:
Forum ini merupakan kegiatan rutin setiap selesai shalat Jumat yang dimulai
dengan acara makan nasi bungkus. Itulah sebabnya forum ini disebut Forum
Nasi Bungkus. Anggota tetap forum ini adalah Bapak Dr. Moh. Natsir, Moh.
Roem, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Anwar Harjono,
Yunan Nasution, Mohamad Soleman, Nursal, Ibrahim Madylao, A. M. Luthfi,
Hussein Umar, Endang Jauhari, dan saya sendiri. Bang Hussein Umar, Endang
Jauhari dan saya ditetapkan sebagai anggota forum tersebut sebagai representasi
dari PII, GPII, dan HMI.19
Sementara untuk tingkat internasional, peran khusus terdapat pada sosok
Natsir, Mohamad Roem dan M. Rasyidi. Dua orang kolega Natsir ini mempunyai
peran tersendiri semasa aktif di Partai Masyumi, karena pernah menjabat jabatan
strategis di pemerintahan. Mohamad Roem adalah mantan Menteri Luar Negeri RI,
sehingga tentu mempunyai relasi diplomatik dengan negara-negara lain. Demikian
juga dengan M. Rasyidi, sebagai mantan Menteri Agama RI, tentu mempunyai
kiprah di dunia Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia.20 Tak heran, jika Robert W.
Hefner menyimpulkan, bahwa “…in the 1950s, Masyumi had already shown an

17
Lihat lampiran Surat Keputusan No. 366/L/DDII/V/1410 tanggal 03 Muharram
1410 H/ 05 Agustus 1989.
18
Melalui forum-forum seperti inilah, Natsir melakukan kaderisasi terhadap para
intelektual muda Muslim yang berasal dari berbagai kampus dan Ormas Islam. Lihat salah
satunya A. W. Pratiknya (penyunting), M. Natsir Pesan Perjuangan Seorang Bapak:
Percakapan Antar Generasi, (Jakarta: DDII dan Laboratorium Dakwah, 1989).
19
Abdullah Hehamahua, “Insinyur Yang Sejarawan,” dalam Luthfi Bukan
Ludwig…, h. 81.
20
Lihat Tiar Anwar Bachtiar, Setengah Abad Dewan Dakwah Berkiprah
Mengokohkan NKRI, (Jakarta: Dewan Dakwah, 2017), h. 319.

88
international consciousness greater than other Indonesian Muslim organizations.
But the internationalist emphasis increased after the DDII‟s founding.”21
Terutama Natsir, dunia internasional mengenalnya sejak menjabat sebagai
Perdana Menteri RI tahun 1950 dan Ketua Partai Masyumi (1949-1958). Pemikiran
Natsir yang genial-progresif dan kemampuan diplomasinya dengan banyak kalangan
dari berbagai belahan dunia menyebabkannya menjadi semakin familiar di berbagai
kalangan aktivis dunia, terutama dunia Islam. Pidato Natsir di Parlemen Pakistan
pada tahun 1952 cukup menyedot perhatian dunia.22 Natsir pun didaulat untuk
menjadi Vice President World Muslim Congress di Karachi sejak tahun 1967.
Natsir menjalin hubungan baik dengan Raja Abdul Aziz ibn Saud dari Saudi
Arabia; Raja Farouq dari Mesir, maupun dengan para ulama-aktivis seperti Syeikh
Hasan Al-Hudaiby, tokoh Ikhwanul Muslimin (IM); maupun dengan Syeikh M.
Amin Al-Husainy, Mufti Palestina. Natsir pernah diundang khusus oleh pemimpin
IM Yordania dan diajak berkeliling Mesir, Libanon, Tunisia dan Kuwait. Natsir
pernah memimpin delegasi perwakilan Yordania, Tunisia, Pakistan dan Indonesia
untuk menemui para pemimpin dunia Arab (Sudan, Libanon, Irak, Kuwait dan Saudi
Arabia) untuk membicarakan agresi Israel terhadap Palestina.
Momentum ketokohan Natsir di dunia internasional adalah berdirinya
Râbithah al-„Alam Islamî tahun 1969 oleh Raja Faisal yang kantor pusatnya
berkedudukan di Riyadh, Saudi Arabia. Pada organisasi internasional ini, Natsir
menjadi anggota Majelis Ta‟sisi (Dewan Konstitusi) sekaligus Ketua Perwakilan
Indonesia. Pada tahun 1980, Natsir juga diangkat menjadi anggota Majlis A‟la al-
„Alamî lil-Masâjid yang bermarkas di Makkah, sekaligus menerima penghargaan
dari Raja Faisal atas pengabdiannya di dunia Islam.23
Kantor DDII pun dijadikan Kantor Perwakilan Râbithah al-„Alam Islamî di
Indonesia.24 Sebagai pimpinan hariannya, diangkatlah M. Rasjidi—mantan Menteri
Agama Indonesia yang pertama—untuk menjadi Kepala Kantor Perwakilan tersebut.
Dengan dipilihnya Natsir, Rasjidi dan kantor DDII sebagai pusat aktivitas Râbithah
al-„Alam Islamî di Indonesia menandakan bahwa posisi DDII sangat penting dalam
hubungannya dengan organisasi-organisasi gerakan Islam di berbagai belahan
dunia.25
Untuk lebih memperkukuh jaringan internasional yang berporos pada
ketokohan Natsir tersebut, DDII mendirikan Komite Indonesia untuk Solidaritas
Dunia Islam (KISDI) pada 1987.26 Pendiriannya dilatarbelakangi terjadinya kasus

21
Robert W. Hefner. Civil Islam: Muslim…, h, 109.
22
Terkait pidato Natsir tersebut, lihat M. Natsir. Capita Selecta II, (Jakarta: Pustaka
Pendis, 1958), h. 61-62.
23
Pratiknya, M. Natsir Pesan Perjuangan Seorang Bapak…, h. 117-130.
24
Pratiknya, M. Natsir Pesan Perjuangan Seorang Bapak…, h. 130.
25
Bandingkan dengan eksplanasi Jajang Jahroni, “Saudi Arabia Charity and the
Institutionalization of Indonesian Salafism,” Al-Jāmi‟ah: Journal of Islamic Studies, vol. 58,
no. 1 (2020), h. 35-62.
26
Lukman Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Pangggilan Risalah:
Dokumentasi Perjalanan 30 Tahun Dewan dakwah Islamiyah Indonesia, (Jakarta: DDII,
1997), h. 40. Para pendirinya, di antaranya Ahmad Soemargono dan Lukman Harun, disebut
Khamami Zada sebagai sayap konservatif DDII, lihat Khamami Zada, Islam Radikal

89
genosida (pembantaian yang juga pembersihan etnik) di Bosnia Herzegovina oleh
Serbia. KISDI pun menggelar serangkaian tabligh akbar mengenai nasib Muslim
Bosnia tersebut, hampir di seluruh tanah air. Tidak hanya itu, KISDI pun menjadi
fasilitator donasi dan dukungan untuk umat Islam di Myanmar, Kashmir,
Afghanistan, Teluk, Somalia, Cechnya, dan lainnya. Bagi Bernard Platdaszh, “The
1987 foundation of KISDI reflected the heightened concern of the „Masyumi
community‟ for international Islamic issues.”27

B. Kaderisasi dan Pengembangan Jaringan Elite Dai


Peran penting Natsir lainnya, selain pengembangan jaringan dakwah, adalah
dalam proses kaderisasi elite-elite dai (pendakwah) dalam artian luas dan
komprehensif. Natsir membina kader-kader muda, tidak hanya yang menjadi
muballigh (penceramah), tapi juga para intelektual kampus, politisi di parlemen,
hingga kader-kader yang menjadi pengusaha. Bagi Natsir, dakwah dimaknai secara
luas, yaitu Islamisasi.28
Natsir sangat memperhatikan mesjid sebagai pusat dakwah. DDII berusaha
mendinamisasi program-program Masjid dengan melengkapi perpustakaan dan
berbagai program.29 DDII mencoba melakukan program pemberdayaan jamaah
mesjid dengan mendirikan lembaga kesehatan bekerjasama dengan Lembaga
Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) dan Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi).30
DDII juga menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga donor dari dalam dan luar
negeri untuk mendirikan mesjid di daerah-daerah terpencil dan di kampus-kampus
perguruan tinggi umum (PTU) yang dianggap “sekuler.” Khusus yang terakhir ini,
yaitu pendirian mesjid di kampus umum, menjadi program strategis DDII yang
cukup fenomenal, karena dari sinilah embrio lahirnya kader-kader dai akademis-
intelektual.31
DDII juga bergerak pada wilayah pendidikan pesantren. DDII mencoba
melakukan perbaikan dan standarisasi kurikulum pesantren agar pesantren tidak
ketinggalan ilmu-ilmu “umum”. Hasil eksperimen DDII ini antara lain berdirinya

(Jakarta: Teraju, 2002), h. 21. KISDI disebut oleh Adam Schwarz mempunyai karakteristik:
(a) rigid dalam penafsiran hukum Islam; (b) sikap anti-Barat dan agama Semit; dan (c) kritis
terhadap etnik China dan umat Kristen. Lihat Adam Schwarz. A Nation in Waiting:
Indonesia‟s Search for Stability, 2nd edition, (Colorado: Westview Press, 2000), h. 330-331.
27
Platzdasch. Religious Dogma…, h. 139 (catatan kaki no. 85).
28
Natsir, Fiqhud Da‟wah, (Jakarta: Media Dakwah, 2000), h. 120-121. Sebagai
catatan, cetakan pertama buku Natsir ini mulai diterbitkan pada tahun 1968.
29
Fungsionalisasi masjid sebagai pusat dakwah (Islamic center) pada dekade 60-
70an yang dilakukan DDII telah membuat masjid-mesjid yang dikelola dai-dai DDII atau
yang menjalin kerjasama dengan DDII berbeda pengelolaannya dengan masjid-mesjid
tradisional—yang pada umumnya hanya menjadikan masjid sebagai kegiatan ibadah ritual
ansich. Mesjid-mesjid yang dikelola DDII sarat dengan berbagai kegiatan, seperti pengajian
mingguan, kuliah dhuha setiap minggu pagi, serta model kuliah tujuh menit (Kultum) setiap
selesai shalat zuhur. Mesjid Al-Munawwarah itu sendiri—dan nantinya diteruskan di Mesjid
Al-Furqan Kramat Raya—menjadi semacam role model.
30
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan…, h. 236-238.
31
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 348.

90
pesantren pertanian Darul Fallah di Ciampea Bogor. Eksperimen DDII lainnya
adalah pendirian Pesantren Tinggi untuk Mahasiswa, Ulil Albab, di Bogor.32 Dari
sinilah muncul figur elite dai muda yang terkoneksi dengan DDII, seperti Didin
Hafidhuddin dan Adian Husaini.33
Melalui DDII, Natsir juga mendorong kader-kadernya untuk menyebarkan
dakwahnya melalui media massa. Terbitlah beberapa majalah dakwah antara lain:
majalah anak-anak Sahabat, majalah Suara Masjid, majalah Serial Khutbah Jum‟at,
majalah Media Dakwah, dan Bullletin Jum‟at. Dua mass media terakhir diterbitkan
secara langsung oleh DDII, sementara yang lain diterbitkan oleh para aktivis DDII
atas dorongan DDII pula.34 Khususnya majalah Media Dakwah yang merupakan
corong resmi DDII. Secara khusus, kata Akh. Muzakki, “Media Dakwah has been
known as a key promoter of antiliberal thinking in Indonesian Islam.”35 Lebih dari
itu, pernyataan-pernyataan di Media Dakwah merupakan—dan oleh karenanya
menjadi—representasi berbagai sikap keagamaan dan politik DDII di Indonesia.
Sebagaimana kata Robert W. Hefner,
Like religious media in many parts of the world, Media Dakwah blends moral
and religious directly into its reporting…Through Media Dakwah and their
predication efforts, the DDII succeeded at keeping their vision of Islam in the
public arena during the difficulty years of the late 1970s and 1980s.36

1. Pengembangan dan Penyebaran Juru Dakwah


Untuk menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah, DDII secara teratur
mengadakan program-program pelatihan bagi para dai. Dalam kegiatan riilnya,
aktivitas DDII yang pertama-tama adalah menatar para dai yang akan disebar ke
seluruh pelosok Indonesia. Model dan materi pelatihannya disesuaikan dengan
program dan kebutuhan. Rancangan pengembangannya disiapkan salah satunya
melalui Laboratorium Dakwah yang terdapat di Yogyakarta.37
Pelatihan para juru dakwah ini pada awalnya dilaksanakan secara terpusat di
Jakarta. M. Bambang Pranowo—intelektual kampus namun pernah jadi dai-juru
dakwah DDII—menceritakan bagian dari pengalamannya itu:
Dai yang dikirim Dewan Dakwah tidak hanya dibekali keterampilan dakwah
agama. Tapi juga dakwah “pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan,”
dan lain-lain. Kenapa demikian? Bagi Dewan Dakwah, dakwah berfungsi untuk
mengikat atau menarik seseorang ke dalam agama Islam. Sedangkan untuk

32
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 347.
33
Wawancara dengan Adian Husaini di kantor DDII, tanggal 2 September 2021,
Jakarta.
34
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan…, h. 237.
35
Akh. Muzakki, “Is Education Determinant? The Formation of Liberal and Anti-
liberal Islamic Legal Thinking in Indonesia,” Journal of Indonesian Islam, Volume 01,
Number 02, December 2007, h. 281; Bandingkan dengan Burhanudin Muhtadi. “The
Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in Media Dakwah.” Graduate Journal of
Asia-Pacific Studies, 5:2 (2007), h. 76.
36
Hefner. Civil Islam: Muslim and…, h, 112-113.
37
Lihat A. W. Pratiknya, “Iftitah,” dalam Latihan Peneltian dan Perencanaan
Da‟wah (Yogyakarta: Laboratorium Da‟wah Yayasan Shalahuddin, 1407 H), h. ii.

91
menarik orang agar terpikat dengan Islam bisa melalui berbagai cara…Jadi,
jangan heran bila Dewan Dakwah memberikan training dakwah, maka salah
satu materinya bukan dakwah agama, tapi dakwah bil-hal, yang
implementasinya berupa dakwah pertanian, peternakan, dan lain sebagainya.38
Program pertamanya adalah bekerja sama dengan Gerakan Mubalig Islam
Lampung menyelenggarakan pelatihan juru dakwah se-Provinsi Lampung di
Tanjungkarang. Kegiatan penyiapan dai lainnya yang cukup penting adalah menatar
dan menyebarkan dai ke kampus-kampus yang menjadi embrio lahirnya gerakan
tarbiyah di Indonesia; juga ke daerah-daerah transmigrasi bekerjasama dengan
lembaga-lembaga dakwah lokal. Penataran-penataran serupa terus dilakukan untuk
meningkatkan dan mengembangkan dakwah, sesuai tujuan DDII.
Buchari Tamam menceritakan,
…bagi sebagian dai yang telah lama mengurung diri, pemerintah Orde Baru ini
sama saja dengan Orde Lama…Untuk menghilangkan perasaan-perasaan seperti
itu, kita undanglah para dai dari berbagai daerah seperti Sumatera Barat,
Lampung, Kalimantan, dan Jawa Timur ke Jakarta. Selama 15 hari, mereka kita
tatar. Dalam penataran, kita minta bicara para pejabat Departemen Agama
seperti Prof. H. Anton Timur Djaelani, Prof. Zakiah daradjat, dan Drs. H. Efendi
Zarkasi.39
Sejak Pemerintah menggalakkan program transmigrasi, DDII menyertai
program tersebut dengan mengirimkan para juru dakwahnya ke berbagai daerah
transmigrasi di seluruh Indonesia. Model pengiriman dai DDII tidak bersifat top-
down, tetapi bottom-up. Pengiriman dai disesuaikan dengan kebutuhan dan atas
persetujuan dan kesepakatan masyarakat setempat.40 Karena walau bagaimanapun
akhirnya dai-dai transmigrasi itu bakal hidup dengan masyarakat setempat.41
DDII menanggung segala kebutuhan pokok para dai setiap bulan maupun
keperluan lainnya, walaupun dalam jumlah yang terbatas.42 Setelah beberapa waktu
bertugas, mereka dipanggil kembali ke Jakarta untuk diberi wawasan baru sebagai

38
M. Bambang Pranowo. “Lima Puluh Tahun Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia
Perjuangan Yang Tak Pernah Henti,” dalam Mohammad Noer dan Lukman Hakiem (ed.).
Antara Da‟wah dan Politik: Ragam Pendapat Tentang Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia
(Jakarta: DDII, 2018), h. 123.
39
Lukman Hakim, 70 Tahun H. Buchari Tamam; Menjawab Panggilan Risalah,
(Jakarta: Media Dakwah, 1992), h. 90-91.
40
Pengakuan para dai DDII. Wawancara tertulis pada tanggal 5 September 2021
dengan Sufyan Amin Setiawan (72 tahun), dai yang ditugaskan di Lampung; Wawancara
tertulis dengan Muhammad Ramli (46 tahun), dai yang bertugas di Fontein, NTT, pada
tanggal 6 September 2021.
41
Lukman Hakiem. “Tiga Windu Dewan Dakwah: Mesin Diesel yang
Menghidupkan,” Media Dakwah, Maret 1991; Lukman Hakiem. Wawancara, Ahad, 4
Desember 2019.
42
Pengakuan para dai DDII, mereka mendapat mukafa‟ah (honorarium) dari DDII
Pusat. Walaupun kurang, namun para dai menerimanya tanpa reserve. “Saya tidak pernah
mengeluh, mengadukan masalah…yang suka saya sampaikan sekitar kekurangan ilmu dan
bahan bacaan…sehingga seringkali mendapat kiriman buku-buku…,” tulis Sufyan Amin
Setiawan, dai di Lampung. Wawancara tertulis pada tanggal 5 September 2021 dengan
Sufyan Amin Setiawan (72 tahun).

92
penyegaran. Sampai tahun 1997, jumlah dai DDII yang ditatar dan disebar dari
Sabang hingga Merauke sebanyak 272 orang. Sebagian di antaranya dibiayai oleh
Bait al-Zâkah, Kuwait.43
Program ini merupakan salah satu program DDII yang iconic. Termasuk
pengembangan SDM dai yang berasal dari daerah asal transmigrasi itu sendiri agar
dakwah bisa bertahan lama. Dari program ini, program pemerintah justru berjalan
lebih baik, karena di sana para dai dapat membina masyarakat, bahkan tidak sedikit
yang dapat mendirikan lembaga-lembaga pendidikan swasta yang sangat membantu
program pemerintah dalam bidang ini.44
Namun demikian, menurut Saiful Amin,45 hubungan pemerintah dengan
DDII dan para dainya di lapangan tetap saja berlangsung di bawah bayang-bayang
kecurigaan satu sama lain. Dai-dai DDII di lapangan lebih dikenal sebagai “dai
keras” yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah. Mereka menggunakan mimbar-
mimbar Jumat, tablig akbar, dan pengajian-pengajian di masjid dan majlis taklim
sebagai sarana untuk menyampaikan pandangan dan kritiknya.46 Ini juga
menunjukkan peran DDII dalam membangun pemahaman politik kepada para juru
dakwah, yang sebelumnya lebih berkutat dalam urusan ceramah agama ansich.47
Sikap “keras” ini juga harus dipahami dalam konteks pembentukan identitas
dai DDII itu sendiri sebagai pembelaannya terhadap ajaran agamanya. Sehingga,
kata Andi Faisal Bakti, “Unlike FPI…and Laskar Jihad, other religious discussion
groups, for example, Dewan Dakwah does not teach violence but is very vocal in its
criticism.”48 Dengan kata lain, untuk “membentengi akidah umat”—dalam tafsir
pemahaman para dai DDII. Inilah peran strategis dari para dai DDII dalam
membendung gerakan pemurtadan—khususnya Kristenisasi—yang marak pasca-
Gestapu tahun 1965-1966. Karena itulah, menurut Asna Husin, “Dewan Dakwah
should focus on Muslims who need religious enlightment, otherwise they are going
to be targeted by others.”49
Merasa mendapat angin dan perlindungan dari pemerintah, para misionaris
Kristen menunjukkan sikap arogansinya dalam melakukan misi zending dengan
mendirikan gereja-gerja dan sekolah-sekolah Kristen di lingkungan pemukiman
Muslim. Aksi tersebut tentu saja mendapat reaksi dan protes keras dari masyarakat.
Protes tersebut berujung pada perusakan dan pembakaran gereja di Meulaboh dan

43
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Pangggilan Risalah…, h. 28.
44
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Pangggilan Risalah…, h. 27-28.
45
Saeful Amin. “Sikap Politik Dewan Dakwah Pasca Mohamad Natsir 1993-2005:
Kajian Surat-Surat Pernyataan Politik,” Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana, (Jakarta: UIN
Jakarta, 2008).
46
Saeful Amin. “Sikap Politik Dewan Dakwah…, h. 97.
47
Lukman Hakiem. Wawancara, Ahad, 4 Desember 2019.
48
Andi Faisal Bakti. “Communication and Dakwah: Religious Learning Groups and
Their Role in the Protection of Islamic Human Security and Rights for Indonesian Civil
Society,” in Wayne Nelles, ed., Comparative Education, Terorism, and Human Security:
From Critical Pedagogy to Peaceful Buildings (Macmillan: Palgrave, 2003), h. 121.
49
Asna Husin. Philosophical and Sociological Aspects of Da‟wah: A Study of the
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. (PhD Thesis, Columbia University, 1998), h. 136.

93
Ujung Pandang. Hal yang sama juga menimpa sekolah Kristen di Pal Merah, Slipi,
Jakarta, yang dikabarkan dirusak massa.50
Dalam rangka menghadapi maraknya gerakan pemurtadan pasca-Gestapu
1965, DDII merekrut dan menatar sejumlah juru dakwah (dai dan guru agama). Para
juru dakwah tersebut dilatih khusus untuk membentengi akidah umat. Kemudian,
mereka dikirim ke daerah-daerah terpencil, seperti Mentawai, Nias, Riau, pedalaman
Papua, dan Pasaman Sumatera Barat yang merupakan daerah-daerah sasaran
Kristenisasi. Termasuk juga daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Khususnya di
Yogyakarta, bahkan terbentuk jamaah yang terdiri dari para muallaf, yang disebut
Jamaah Muhtadien. Jamaah ini aktif menyelenggarakan pengajian dan menerbitkan
bulletin Suara Muhtadien.51

2. Elite Da’i Politikus dan Jaringan Politik DDII


Mengenai sikap politik, kelompok DDII dan para pendukungnya dari
generasi kemudian ini cenderung kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Bahkan boleh dikatakan bahwa gerakan mereka yang cenderung di bawah tanah
memperlihatkan watak tidak kompromi dengan pemerintahan dan menolak
modernisasi. Modernisasi dianggap sebagai strategi baru sisa-sisa penjajah yang
akan mengalihkan komitmen Muslim atas ajarannya kepada sikap mengekor pada
negara-negara maju. Modernisasi—yang dilakukan sebagai rekayasa sosial
pemerintah Orde Baru—dianggap sebagai kata lain dari “westernisasi” yang akan
membahayakan umat Islam.52
Sebagai sebuah yayasan, DDII sama sekali tidak meninggalkan dunia
politik. DDII bukanlah yayasan biasa. Gerakan dakwah DDII—sebagai core-
bussiness-nya—juga bukanlah „dakwah biasa‟ sebagaimana yang dipahami
masyarakat awam. Ini disebabkan „factor Natsir‟, sebagaimana dijelaskan Hefner:
“Contrary to government ideas on religious “building up,” however, Natsir viewed
his dakwah initiative not as a purely spiritual matter but as political struggle in a
new form…that their program was to be more boldly political.”53 Ilustrasi Buchari
Tamam sangat mewakilinya: “kalau saudara-saudara merasa tidak perlu ikut

50
Yusup Abdullah Puar, 70 Tahun Natsir, (Jakarta: Antara, 1978), h. 279.
51
Asna Husin. Philosophical and Sociological Aspects…, h. 176-226.
52
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 40; Pratiknya.
Natsir: Pesan Perjuangan…, h. 22-26. Pemerintah pun cenderung tidak bersahabat dengan
kelompok-kelompok ini. Pemerintah lebih memilih mendekati kelompok-kelompok pemuda
dan mahasiswa yang cenderung beradaptasi dengan rekayasa modernisasi Orde Baru.
Menurut Hussein Umar, elite muda politikus DDII, CSIS adalah think-tank dibalik rekayasa
modernisasi Orde Baru dekade 70-80an. Namun yang disosialisasikan secara formal adalah
„Akselerasi Modernisasi 25 Tahun‟-nya Ali Murtopo yang dipandang anti-Islam. Lihat
Hussein Umar, “Menoleh Sejarah, Mampukah Kita Mengambil Hikmah,” dalam Luthfi
Bukan Ludwig…, h. 122-123.
53
Hefner. Civi Islam…, h. 106-107.

94
berpolitik, biar tidak usah berpolitik. Tetapi saudara-saudara jangan buta politik.
Kalau saudara-saudara buta politik, saudara-saudara akan dimakan oleh politik.”54
Oleh karena itu setiap timbul masalah-masalah politik yang penting,
terutama terkait dengan umat Islam dan isu-isu keislaman, DDII selalu ikut aktif
terlibat. Umpamanya, DDII merasa ikut bertanggungjawab untuk menjelaskan
kepada para Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang
akan bersidang di Jakarta, bahwa demokrasi itu hanya bisa hidup kalau dijalankan di
bawah hukum. Untuk maksud tersebut, maka naskah pidato Natsir yang berjudul
“Demokrasi Di Bawah Hukum” diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada para
Anggota MPRS yang saat itu sedang bersidang di Jakarta. Naskah itu dicetak 2000
eksemplar. Kemudian, para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dipanggil untuk
membagi-bagikannya. Dengan menggunakan mobil pinjaman dari Wakil Ketua
MPRS, Subhan Z. E., naskah itu dibawa dan disampaikan ke penginapan masing-
masing Anggota MPRS.55
Beberapa peristiwa politik era Orde Baru yang dihadapi dan dikritisi oleh
DDII di antaranya sebagai berikut: Pertama, koreksi terhadap kebijakan GBHN
1971. Dalam Sidang Umum MPR tahun 1971 ditetapkan Komite Pekerja yang
dipimpin Daryatmo. Komite ini menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Namun, menurut M. Kamal Hassan, terdapat hal-hal yang sensitif dalam
GBHN 1971 menyangkut umat Islam: soal rencana pendidikan agama yang akan
diganti oleh Pendidikan Moral Pancasila (PMP), aliran kebatinan yang dianggap
diberi kedudukan sejajar dengan agama, serta rencana pengurangan anggaran belanja
negara untuk urusan-urusan agama. Elite DDII mengritik GBHN 1971 ini melalui
surat kabar Abadi yang dikelola oleh para mantan politikus Masyumi—yang juga
menjadi bagian dari jaringan elite politik DDII. Elite DDII juga menyalurkan
aspirasinya kepada beberapa tokoh partai yang ikut dalam persidangan.56
Kedua, protes terkait UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Rancangan UU yang disusun Golkar tersebut57 pada beberapa pasalnya memang
bertentangan dengan ajaran Islam.58 Oleh karena itu, ketika rancangan UU itu
disampaikan Menteri Agama Mukti Ali ke DPR/MPR pada 31 Juli 1973, reaksi
umat Islam segera muncul. Elite-elite DDII pun memberikan protes yang sangat

54
Buchari Tamam. “Mensyukuri 24 Tahun Dewan Dakwah,” dalam Hakim. 70
Tahun Buchari Tamam…, h. 154.
55
Hakim. 70 Tahun Buchari Tamam…, h. 90.
56
M. Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim
(Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 185-190.
57
Pengakuan Mukti Ali bahwa RUU tersebut bukan disusun oleh Departemen
Agama, melainkan oleh Ali Murtopo cs yang berlindung dibalik Golkar. Lihat Karim.
Negara dan Peminggiran Islam…, h. 120.
58
Di antara pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam itu adalah:
1) Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan
seorang pencatat perkawinan; 2) Pasal 11 ayat (2): Perbedaan dikarenakan kebangsaan,
kesukuan, tanah asal, agama, kepercayaan dan keturunan bukan merupakan halangan untuk
perkawinan; 3) Pasal 13 ayat (1): Perkawinan dapat didahului dengan pertunangan; 4) Pasal
13 ayat (2): Seandainya pertunangan terjadi dalam keadaan hamil, pihak pria diminta untuk
mengawini pihak wanita, asalkan pihak wanita setuju. Lihat Amin. Sikap Politik…, h. 127.

95
tajam. Pembentukan opini publik dilakukan DDII melalui surat kabar Abadi dengan
mengutip pendapat para tokoh umat Islam, seperti KH Yusuf Hasyim, KH Abdullah
Syafii, dan Hamka. DDII juga menggalang kekuatan generasi muda untuk
menentang RUU tersebut, terutama dari unsur PII dan GPI.59 Demontrasi dilakukan
oleh sekitar 500 orang aktivis untuk mengganggu jalannya Sidang RUU tersebut,
sehingga Idham Chalid—Ketua DPR/MPR waktu itu—menskors Sidang hingga
waktu yang tidak ditentukan. Para demonstrans menduduki Gedung DPR/MPR
selama dua jam. Situasi baru terkendali setelah keamanan diambil alih oleh Militer.60
Tekanan ini cukup berhasil, sehingga UU Perkawinan yang disahkan pada tahun
1974 akhirnya tidak menyentuh ruang sakral dalam ajaran agama manapun,
termasuk Islam.61
Ketiga, protes terkait kebijakan buku-buku PMP. Pemerintah Orde Baru
menerapkan kebijakan indoktrinisasi penyeragaman ideologi Pancasila melalui P4
dan PMP. Diterbitkanlah buku-buku PMP dari mulai jenjang SD, SMP hingga
SMA.62 Kampanye besar-besaran terkait ideologi Pancasila ini, menurut Bachtiar
Efendy, karena “pemerintah percaya bahwa kelompok-kelompok sosial keagamaan
dan politik tertentu masih diragukan komitmennya kepada ideologi negara.”63
Buku-buku ini mengundang protes tokoh-tokoh Islam, tidak terkecuali elite
DDII. Bagi DDII, pada buku-buku PMP tersebut ada nilai-nilai yang bertentangan
dengan ajaran Islam, sehingga berpotensi “pendangkalan aqidah Islam.”64 DDII
bahkan membentuk delegasi khusus—yang terdiri dari elite senior dan junior—
untuk membahas dan meminta untuk direvisi pada Pemerintah. Protes DDII pun
diperhatikan Pemerintah. Departemen Agama memerintahkan Puslitbang untuk
menelitinya—yang hasil penelitiannya kurang lebih sama dengan DDII—dan
merekomendasikan untuk direvisi. Pada Januari 1982, Presiden Soeharto pun
memerintahkan BP7 untuk merevisi buku-buku PMP tersebut. Pergantian itu
berlangsung mulai Agustus 1983.65

59
Amin. Sikap Politik…, h. 126.
60
Atas intervensi Jenderal Soemitro, dibentuk tim baru untuk merevisi draf RUU
Perkawinan tersebut yang dipimpin Ismail Hasan Metareum—politikus ini dikenal dekat dan
menjadi bagian dari jaringan elite politikus DDII. Lihat Hussein Umar, “Menoleh Sejarah…,
h. 123; Umaidi Radi. Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Kekuatan Politik Islam
Tingkat Nasional (Jakarta: Integrita Press, 1984), h. 122-123.
61
Hassan, Modernisasi Indonesia…, h. 190-202.
62
Dalam kondisi politik yang berangsur stabil sesudah Pemilihan Umum 1971,
Orde Baru mengeluarkan pola umum pembangunan jangka panjang melalui Ketetapan MPR
No. IV tahun 1973 tentang GBHN. Sesuai dengan ketetapan tersebut, pemerintah
menetapkan bahwa setiap warga negara wajib menyimak materi pendidikan moral yang
bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di sekolah, PMP diatur
dalam Kurikulum 1975. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memastikan setiap
sekolah mendapatkan materi PMP sebagai pengganti pelajaran Civics (kewarganegaraan).
Lihat Bachtiar Efendy. Islam dan Negara…, h. 344.
63
Bachtiar Efendy. Islam dan Negara…, h. 345.
64
Hussein Umar. “Menoleh Sejarah…,” h. 123.
65
Menurut Hussein Umar, bermula dari kasus PMP inilah yang kemudian
mendorong elite-elite DDII merumuskan apa yang disebut Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI).
Selama kurang lebih dua tahun dikerjakan oleh tim ahli—para elite intelektual-akademis

96
Keempat, protes pelarangan jilbab di sekolah umum. Pemerintah, melalui
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, merumuskan kebijakan pada 1982 yang
melarang siswi Muslim di sekolah-sekolah menengah mengenakan jilbab selama
jam-jam sekolah karena hal itu dianggap melanggar peraturan mengenai seragam
sekolah (SK No. 052/C/Kep/D/1982). Peraturan itu memiliki sanksi-sanksi.
Meskipun berbeda dari satu sekolah ke sekolah lainnya, secara umum jenis tindakan
pendisiplinan terhadap pihak-pihak yang terkena berkisar mulai dari dilarang
menghadiri kelas, diberhentikan sementara atau bahkan dikeluarkan dari sekolah.66
Komunitas Muslim, khususnya para aktivis muda DDII, menanggapi
peraturan berikut sanksinya tersebut tidak kurang keras. Selama hampir satu dekade,
mereka menuntut agar siswi Muslim di sekolah-sekolah menengah diizinkan
mengenakan jilbab. Dalam mengajukan tuntutan itu, mereka menggelar demonstrasi
yang tak terhitung banyaknya di Jakarta, Bogor, Bandung dan Yogyakarta, di depan
wakil-wakil mereka di parlemen baik tingkat nasional maupun daerah. Bahkan,
aktivis-aktivis DDII yang anaknya diberhentikan dari sekolah membawa kasus
mereka ke pengadilan untuk diselesaikan secara hukum.67 Akhirnya, kebijakan ini
pun dihapuskan pada tahun 1991.68
Kelima, kebijakan Pancasila sebagai azas tunggal. Ide azas tunggal ini
bermula dari pidato kenegaraan Presiden Suharto pada 16 Agustus 1982 di DPR.
Terbitlah Undang-undang No. 3 tahun 1985 yang mengharuskan seluruh partai dan
ormas mengganti asas organisasinya dengan Pancasila. Kebijakan pemerintah Orde
Baru ini terhadap umat Islam menelan korban sangat banyak. Terjadi perdebatan dan
konflik sepanjang tahun 1982-1985. Tidak hanya korban pemasungan hak-hak
politik, tetapi juga korban jiwa. Menurut Bachtiar Efendy, “pada tahun-tahun itu,
aktivisme Islam masih dipandang mencerminkan ancaman terhadap konstruk
ideologis dan konstitusional negara. Dengan kata lain, negara masih berada pada
tahap kecurigaan yang sangat tinggi terhadap Islam.”69
Peristiwa paling melukai hubungan Orde Baru-Islam dan paling banyak
mengorbankan umat Islam adalah Peristiwa Tanjung Priok.70 Karena peristiwa itu,
massa umat Islam berdemonstrasi mengumandangkan slogan antipemerintah dan
anticukong, menolak Pancasila sebagai asas tunggal, menuduh prajurit ABRI telah
mengotori mesjid, dan memekikkan “Allahu Akbar”. Kemudian ABRI yang saat itu

yang dekat dengan Natsir/Masyumi—bekerjasama dengan Departemen Agama. Lihat


Hussein Umar. “Menoleh Sejarah…,” h. 125-126.
66
Lihat, “Seragam Harus, Jilbab Boleh,” Tempo, 19 Januari 1991, hh. 76-77.
67
Kasus jilbab yang dibawa ke meja hijau ini terjadi pada elite-intelek DDII, yaitu
A. M. Saefuddin—yang waktu itu menjadi Direktur Pesantren Ulul Albab, Bogor—karena
putrinya yang berjilbab dilarang masuk sekolah. Akhirnya kasus ini diselesaikan secara
kekeluargaan. Lihat, “Desah Panjang Para Ulama,” Media Dakwah, Januari 1991, hh. 46-47;
“Bogor dengan Jilbab Cantik,” Media Dakwah, Januari 1991, hh. 48.
68
Lihat, “Alhamdulillah, Jilbab Bebas,” Media Dakwah, Januari 1991, hh. 42-45.
69
Bachtiar Efendy. Islam dan Negara…, h. 345.
70
Peristiwa Tanjung Priok terjadi di tanggal 12 September 1984. Peristiwa ini
dipicu oleh protes umat Islam mengecam tindakan aparat (ABRI) yang sewenang-wenang,
masuk ke Masjid As-Sa‟ adah tanpa melepas sepatu dan dengan sengaja menghapus
pengumuman pengajian dengan lumpur. Latif, Inteligensia dan Kuasa…, h. 495.

97
berpanglima Benny Murdani menurunkan pasukan bersenjata menembaki umat
Islam yang tidak bersenjata. Dalam peristiwa itu diperkirakan ratusan orang
meninggal. Oleh sebab itu, sentimen anti-Orde Baru semakin menguat di kalangan
umat Islam.71
Elite dan para dai DDII menolak kebijakan azas tunggal tersebut. Ketua
Umum DDII Natsir menuliskan penolakannya itu. Bagi Natsir, masyarakat Indonesia
sangat majemuk. Ciri-ciri yang berbeda antara satu masyarakat dengan yang lainnya
harus diakui dan diakomodir, karena Pancasila mengakui perbedaan itu. Dengan
disatukannya asas Orsospol, maka ciri perbedaan itu sudah tidak lagi. Hal ini justru
tidak sesuai denga jiwa dan semangat Pancasila.72 Para dai DDII menyuarakan
penolakannya melalui mimbar. Ceramah-ceramah yang terkategori keras ini,
menurut Amin, merupakan salah satu penyulut terjadinya peristiwa Tanjung Priok
tersebut.73
Keenam, kasus Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). SDSB adalah
program pemerintah yang diluncurkan Menteri Sosial Nani Soedarsono pada tahun
1985. SDSB dimaksudkan untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk
pembinaan dan penyelenggaraan kegiatan olah raga di tanah air. Namun, terjadi pro-
kontra di tengah umat Islam. Walaupun sebagian besar menolaknya, masih ada
tokoh Islam yang mendukung SDSB.74
Elite DDII itu sendiri berada pada pihak yang mengritik program SDSB.
Bagi DDII, program tersebut adalah bentuk legalisasi perjudian terselubung. SDSB
adalah bentuk pungutan lotre olah raga yang tiada lain adalah judi yang hukumnya
haram. Bersama beberapa ulama yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok
Pesantren (BKSPP) Jawa Barat pimpinan KH Noer Aly, dikeluarkan pernyataan
bersama bahwa SDSB adalah judi yang hukumnya haram.75 Setelah lima belas tahun
berjalan, SDSB pun dihentikan pemerintah.76

3. Elite-elite Muda Dai Akademis


Peran penting DDII yang bersejarah dalam sejarah perkembangan
intelektual di Indonesia adalah pilihan dakwah DDII terhadap para dosen,
mahasiswa dan aktivis kampus. Para dosen muda yang dulunya adalah aktivis-
aktivis mahasiswa direkrut dan dilatih oleh DDII untuk menjadi pengajar agama dan
akhirnya menjadi aktivis Islam kampus. Para dosen muda generasi pertama kader
DDII di kampus ini, antara lain: Imaduddin Abdulrahim, Ahmad Sadaly, dan A.M.
Luthfi (ITB), Endang Saefudin Anshary dan Rudy Sjarif (UNPAD), Jusuf Amir

71
Riclefs, Sejarah Indonesia Moderen…, h. 650.
72
M. Natsir. Normalisasi Konstitusional (Jakarta: Yayasan Kesadaran
Berkonstitusi, 1990), h. 3-7.
73
Amin. Sikap Politik…, h. 131.
74
Di antara tokoh Islam yang memperbolehkan SDSB adalah KH Ibrahim Hosen,
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI. Baginya, SDSB bukan judi, karena syarat berhadap-
hadapan antara para pelaku yang terlibat sebagai salah satu unsur judi tidak ditemukan di
dalam SDSB. Lihat Ibrahim Hosen. “Masalah Fatwa MUI,” Mimbar Ulama, No. 230,
Oktober 1997.
75
Amin. Sikap Politik…, h. 128.
76
Karim. Negara dan Peminggiran Islam…, h. 120.

98
Feisal (IKIP Bandung), Daud Ali, Djurnalis Ali, dan Ichtijanto (UI), A.M. Saefuddin
dan Soleh Widodo (IPB), Sahirul Alim dan Amien Rais (UGM), Rofiq Anwar
(UNDIP), Daldiri Mangundiwirjo dan Fuad Amsyari (UNAIR), Gadin Hakim,
Bachtiar Fanani Lubis, dan Faiz Albar (USU).77
3.1 Jaringan Dakwah Kampus: Embrio Elite Dai Akademis
Program yang dilakukan oleh DDII adalah menatar beberapa aktivis dakwah
mahasiswa yang kebanyakan tergabung dalam Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam
(LDMI), salah satu underbouw HMI, dan menyokong pembangunan mesjid-mesjid
di kampus-kampus sekular seperti di UI dan ITB. Mereka yang pernah secara
intensif dididik dalam penataran-penataran dewan dakwah ini antara lain Endang
Saefudin Anshari (UNPAD) dan Imaduddin Abdulrachim (ITB). Keduanya adalah
aktivis LDMI yang berpusat di Bandung.78
Aktivitas dakwah mereka mula-mula dipusatkan di mesjid Salman ITB yang
mulai resmi digunakan pada tanggal 5 Mei 1972 setelah mereka tidak aktif lagi di
LDMI sejak Muktamar X di Palembang tahun 1971. Di Salman, sekitar tahun 1974,
Imaduddin merintis sebuah training yang diberi nama Latihan Mujahid Dakwah
(LMD).79 Latihan ini diperuntukkan bagi mahasiswa-mahasiswa kader dakwah di
mesjid Salman. Penyelenggaraan ini diperkirakan merupakan salah satu bentuk
counter yang dilakukan Imaduddin (kelompok LDMI) terhadap pemikiran-
pemikiran “sekularisasi” Nurcholis Madjid yang juga tengah gencar. Imaduddin dan
kelompok LDMI Bandung seperti Endang Saefudin Anshari, Sakib Mahmud, dan
Miftah Faridl dikenal sebagai tokoh-tokoh HMI yang kontra dengan pemikiran-
pemikiran Nurcholis Madjid.80
LMD yang digagas Imad ini mendapat sambutan luas dan bersamaan dengan
itu digagas pula sistem pembinaan dengan metode usrah,81 yaitu metode pembinaan
sistem sel dalam kelompok-kelompok kecil secara berjenjang. Yon Machmudi
menjelaskan:
While Imaduddin succeeded in establishing the LMD, he did not carry out any
usrah activities within the formal structure of his organization. When he was
sentenced to jail, his cadres ceased the struggle. Nonetheless, it is important to

77
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan, 2005), h. 519-520.
78
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 515.
79
Isi materi LMD pada prinsipnya mengajarkan totalitas pandangan keislaman yang
tidak memisahkan satu aspek dengan aspek lainnya. Islam tidak dilihat dari kacamata
pembedaan antara yang sakral yang sakral dengan yang profan (sekular), yang transendental
dengan yang temporal. Latihan ini juga mengajak kepada mahasiswa yang dikadernya untuk
mewujudkan Islam itu secara nyata dalam kehidupan nyata. Ali Said Damanik, Fenomena
Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Jakarta: Teraju,
2003), h. 69-70.
80
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 513.
81
Menurut Bachtiar, tidak jelas siapa yang memulai metode usrah ini dan dari mana
ditirunya. Dimungkinkan posisi Imaduddin sebagai Sekjen IIFSO (International Islamic
Federation of Student Organization) saat itu membawanya banyak beinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin, sehingga membuka pintu bagi gerakan usrah; dan
bisa jadi juga ditambah dengan kedekatannya dengan Muhammad Natsir yang saat itu telah
menjadi ketua umum DDII. Lihat Bachtiar, Setengah Abad Dewan Dakwah…, h. 158-159.

99
note that his moral training sessions and the LMD are reportedly acknowledged
by Muslim activists to be the forerunners of the campus dakwah model,
spreading from ITB to numerous other campuses in Indonesia.82
LMD tidak hanya berpengaruh di ITB dan khusus di Bandung, melainkan
juga mempengaruhi aktivis mahasiswa Muslim di kampus-kampus lain, mengingat
peserta LMD tidak hanya dari ITB tapi juga dari UNPAD, UI, UGM, IPB, dan lain-
lain. Sepulang ke kampus masing-masing merekalah yang kemudian
mengembangkan dakwah di kampus-kampus dengan sistem yang kurang lebih sama,
sekalipun dengan nama-nama yang agak berbeda seperti PNDI (Pengkajian Nilai
Dasar Islam), PAI (Pendidikan Agama Islam), dan lain-lain. Pelatihan-pelatihan
semacam ini akhirnya menyebar ke berbagai kota-kota pusat pendidikan seperti
Jakarta, Bogor, Medan, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan sebagainya. Bukan
hanya sekadar latihan yang menyebar, tapi juga terbentuk jaringan-jaringan LDK
(Lembaga Dakwah Kampus) yang sekalipun tidak formal, diikat oleh satu
kepentingan dan pemahaman yang sama.83 Dalam konteks inilah timbul jaringan
dakwah kampus yang berbasis masjid. Jadilah, mengutip Yudi Latif, “organic
intellectuals for the mosque movements.”84
Selain para mahasiswa yang ditraining Imad melalui LMD di Mesjid
Salman, DDII juga ikut turun tangan merekrut dan mentraining calon pengajar
agama Islam di kampus-kampus umum yang diwajibkan untuk dipelajari sejak tahun
1967. Trainer yang melatih antara lain Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito,
M. Rasjidi, Osman Raliby. Selain studi mendalam tentang aspek-aspek Islam dan
pengajaran Islam, kelompok dakwah ini juga berusaha menstandardisasi isi pelajaran
agama di universitas-universitas umum dengan nama “Islam untuk Disiplin Ilmu”
(IDI). Usaha ini mendapat dukungan resmi dari negara selama periode Alamsyah
Ratuprawiranegara (1978-1983), tapi kemudian dihapus oleh Munawir Sjadzali yang
cenderung tidak menyetujui formalisasi Islam.85
Kedekatan Natsir dengan negara-negara Timur Tengah—karena posisinya
sebagai Wakil Ketua Rabithah „Alam Islami yang berpusat di Riyadh, Arab Saudi—
memungkinkannya membuka berbagai akses ke Timur Tengah. Selain berhasil
membuka akses pendanaan berbagai kegiatan dakwah, Natsir juga memiliki akses
beasiswa bagi pelajar yang ingin kuliah di Timur Tengah. Oleh sebab itu, DDII
berperan pula dalam pengiriman-pengiriman pelajar untuk studi di universitas-
universitas di Timur Tengah seperti Al-Azhar, Universitas Cairo, Universitas
Madinah, Universitas Ibnu Saud, dan sebagainya. Lulusan-lulusan Timur Tengah ini
pada gilirannya juga memainkan peranan tersendiri dalam sejarah intelelektual,
sosial, dan politik bangsa ini di masa-masa berikutnya.86

82
Yon Machmudi. Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah And the
Prosperous Justice Party (PKS), (A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy
of The Australian National University, Southeast Asia Center Faculty of Asian Studies, July
2006), h. 115.
83
Damanik, Fenomena Partai Keadilan…, h. 83.
84
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 348.
85
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 519-520.
86
Ketika kekuasaan Suharto tumbang, kelompok-kelompok gerakan usrah
mahasiswa ini yang disokong pula oleh kekuatan sarjana-sarjana baru dari Timur Tengah

100
Dengan demikian, menurut M. Kamal Hassan, DDII berperan sebagai
lembaga laboratorium dan konsultasi untuk penyebaran Islam secara efektif di dalam
masyarakat modern.87 Islam yang disebarkan oleh DDII adalah Islam yang oleh
sebagian kelompok disebut-sebut mendekati puritan88 sebagaimana halnya Islam
yang dikenalkan Persis, Muhammadiyah, dan kelopok reformis awal abad ke-20
yang lain. Boleh dikatakan pula gerakan dakwah yang dipelopori oleh DDII ini
berhasil melakukan Islamisasi di kampus-kampus sekuler yang berperan penting
dalam pengkaderan dai-dai intelektual-akademis di masa-masa berikutnya.
Sayap kaderisasi dai DDII lainnya yang penting adalah Persis. Ketika berada
di bawah kepemimpinan E. Abdurrahman (1962-1983), Persis secara organisasi
tidak memiliki hubungan langsung dengan DDII. Namun melalui program-program
dakwah kampus dan pengiriman mahasiswa ke Timur Tengah, banyak alumni Persis
yang ikut dalam gerbong DDII. Terlebih lagi, untuk pengiriman mahasiswa ke
Timur Tengah, DDII memberikan prioritas kepada alumni-alumni Persis. Endang
Saifuddin Anshari, putra M. Isa Anshari adalah salah seorang yang kemudian sangat
menonjol sebagai aktivis dakwah kampus di era Orde Baru. Selain itu, posisi
keanggotaan di Majlis Fiqih di Rabithah Alam Islami wakil dari DDII diberikan
kepada salah seorang guru Persis, Abdul Kadir Hassan. Dari sisi ini, sekalipun DDII
tidak secara langsung bergerak atas nama Persis, namun posisi Natsir yang sangat
sentral di organisasi ini membawa pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan DDII maupun Persis.89
Ketika kepemimpinan Persis di tangan A. Latif Muchtar 1984-1997,
hubungan Persis dengan DDII semakin terlihat jelas. A. Latif Muchtar sering diutus
oleh Natsir untuk mewakili DDII dalam kegiatan-kegiatan internasional. Hal
tersebut, selain disebabkan oleh kedekatan organisasi, juga oleh posisi A. Latif

yang dikirimkan DDII sebelumnya, bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan politik yang
cukup diperhitungkan, yaitu Partai Keadilan (PK) dan kemudian Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Lihat Machmudi. Islamising Indonesia…, h. 2-3, 95.
87
M. Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia…, h. 90.
88
Disebut puritan (literalis) dengan maksud untuk membedakan karakteristik
paham kegamaan DDII dari corak pemahaman Islam yang lebih liberal yang dipopulerkan
oleh “kelompok pembaharuan” Nurcholis Madjid. Lihat Bachtiar, Setengah Abad Dewan
Dakwah…, h. 126-127.
89
Kasus DDII Jawa Barat lebih memperlihatkan keterlibatan secara langsung kader-
kader Persis dalam DDII. Ketua DDII Jawa Barat adalah M. Rusjad Nurdin, mantan aktivis
Masyumi yang sampai Muakhot Persis tahun 1981 di Bandung masih tercatat sebagai
pengurus PP Persis dengan posisi terakhir sebagai Ketua I. Para aktivis di DDII inipun
sebagian besar adalah juga aktivis-aktivis Persis. Salah satu yang menonjol adalah Entang
Muchtar. Sejak awal tahun 1980-an, ia telah bergabung dengan DDII Jawa Barat. Di Persis ia
adalah juga aktivis Pemuda Persis saat itu. Tahun 1990, ia terpilih sebagai ketua umum PP
Pemuda Persis, dan pada saat yang sama tetap menjadi salah satu anggota Pleno DDII Jawa
Barat. Tahun-tahun berikutnya, ia menjadi pengurus teras Persis dengan jabatan terakhir
Ketua I (Bidang Jamiyyah) dan masih tetap memegang posisi penting di DDII Jabar antara
lain sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Bina Dakwah DDII Jabar,
dan wakil ketua DDII Jabar. Contoh kasus ini memperlihatkan bagaimana keterlibatan cukup
intens antara Persis dengan DDII. Lihat Bachtiar dan Fauzan. Sejarah Pemikiran…, h. 294-
295.

101
Muchtar merupakan murid Natsir yang kemudian melanjutkan studi ke Universitas
Al-Zahar, Kairo-Mesir. Kedekatan secara organisasi dan secara individu ini,
semakin mempertegas kedekatan DDII dan Persis. Oleh sebab itu, tidak berlebihan
bila Persis dikatakan mengikuti gerbong DDII dalam responnya terhadap berbagai
kebijakan Orde Baru maupun terhadap kelompok pembaharuan-liberal.90
3.2 Kelompok PHI-DDII dan Proyek Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI)
Sebelumnya telah dijelaskan, bahwa elite-elite senior DDII mulai mengader
dosen-dosen muda di berbagai kampus di asrama PHI Kwitang-Jakarta pada akhir
dekade 1960 dan awal tahun 1970. Berdasarkan kesaksian Achmad Noe‟man, asal-
usulnya kelompok PHI ini bisa dilacak pada sosok A. M. Lutfi91 dan kampus ITB.
Pada awal tahun 1960 itu, di ITB belum ada mata kuliah agama. Sebagai alumnus
ITB yang membantu pembangunan masjid Salman ITB, A. M. Luthfi berinisiatif
mengundang para ulama tokoh-tokoh mantan Masyumi—di antaranya adalah Natsir,
Rusjad Nurdin, E. Z. Muttaqien, Latief Azis—untuk memberikan pengajaran agama
di ITB. Selanjutnya, kata Noe‟man:
…Luthfi menjadi asisten dosennya. Untuk suksesnya pelajaran agama Islam di
ITB, sedangkan jumlah mahasiswanya jauh bertambah banyak, perlu ditambah
dosen agama Islam. Oleh karena itu diusahakan dibentuk tenaga asisten dosen
agama yang terdiri dari dosen umum dari lingkungan ITB. Dan untuk menjadi
asisten dosen diperlukan pelatihan yang dipimpin oleh dosen agama
Islam…Pada perkembangannya, program pelatihan ini sangat menarik minat
bagi perguruan tinggi lainnya, seperti UGM, UI, IPB, IKIP, Unpad, dan
Unair…Mengingat banyaknya minat para peserta pelatihan dari perguruan
tinggi lainnya, maka penyelenggaraan pelatihan diselenggarakan di Gedung
Panitia Haji Indonesia (PHI) Jakarta…92
Tak heran jika dalam keterangan Yudi Latif, Imaduddin Abdulrachim (bang
Imad) kemudian berinteraksi dengan DDII pada tahun 1968 karena ia pun direkrut
untuk menjadi asisten dosen agama di ITB. Bang Imad dan dosen-dosen muda
kampus umum lainnya itu dilatih di asrama PHI. Terbentuklah kelompok dakwah

90
Bachtiar dan Fauzan. Sejarah Pemikiran…, h. 295. Termasuk ketika Latief
Muchtar ikut berkecimpung di dunia politik praktis—sebagai calon dan anggota legislatif di
PPP tahun 1997—salah satu faktornya karena amanat Natsir padanya. Lihat Dadan Wildan.
Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia: Potret Perjalanan Sejarah
Organisasi Persatuan Islam, (Bandung: Persis Pers, 2000), h. 200.
91
A. M. Luthfi lahir di Bangka, 8 Oktober 1935. Ia masuk ITB pada 1954 dan lulus
pada 1960. Sempat bekerja sebagai direktur pada perusahaan kontraktor raksasa Hutama
Karya, ia kemudian mendirikan perusahaan sendiri. Awalnya PT Luthfi & Associates yang
berkantor di Balai Sarbini, Jakarta Pusat. Kemudian berkembang menjadi PT Ingenium
Consultans yang berkantor berdampingan dengan rumahnya sendiri di Jl. Pratekan no. 12-14,
Rawamanung, Jakarta Timur. Karena menjadi Pembina Salman pada dekade 1960-an, ia
menjadi dekat dengan Natsir, pendiri DDII, yang kemudian diidolakannya itu. Ia pun
menjadi pengurus DDII Pusat sejak 1983. Rumahnya di jl. Pratekan selalu menjadi tempat
berkumpul tokoh-tokoh senior DDII dan jaringan kader-kader muda kampus dari berbagai
daerah.
92
Achmad Noe‟man. “Sosok Pribadi Yang Istiqamah,” dalam Lutfi Bukan
Ludwig…, h. 10-11.

102
PHI. Para dosen muda generasi pertama kader DDII di kampus ini, antara lain:
Imaduddin Abdulrahim, Ahmad Sadaly, dan A.M. Luthfi (ITB), Endang Saefudin
Anshary dan Rudy Sjarif (UNPAD), Jusuf Amir Feisal (IKIP Bandung), Daud Ali,
Djurnalis Ali, dan Ichtijanto (UI), A.M. Saefuddin dan Soleh Widodo (IPB), Sahirul
Alim dan Amien Rais (UGM), Rofiq Anwar (UNDIP), Daldiri Mangundiwirjo dan
Fuad Amsyari (UNAIR), Gadin Hakim, Bachtiar Fanani Lubis, dan Faiz Albar
(USU).93
Selain studi mendalam tentang beragam aspek Islam dan pengajaran Islam,
salah satu materi diskusi kelompok PHI adalah terkait filsafat ilmu. Dalam istilah
Zuhal, salah satu peserta keleompok PHI, “adakah sains dan teknologi itu sarat nilai
atau bebas nilai (value free).”94 Oleh karena itulah, kelompok PHI yang dikader elite
DDII ini berusaha untuk menstandarisasi isi dari pelajaran agama di universitas-
universitas umum. Istilah yang populer pada dekade 1970an adalah „Islam untuk
Disiplin Ilmu‟ (IDI). Sebagaimana kata Yudi Latif, “…the PHI group made an
attempt to standardize the content of religious instruction in universities under the
banner „Islam as a Scientific Discipline‟ (Islam Disiplin Ilmu, IDI).”95
Usaha proyek IDI ini mendapatkan dukungan resmi pada akhir periode
Menteri Agama Alamsjah Prawiranegara (1978-1983).96 Asal-usul proyek IDI
adalah terjadinya kasus kebijakan PMP yang dikritis DDII pada awal tahun akhir
dekade 1970 hingga awal tahun 1980. Hasil penelitian Puslitbang Depag justru
mengonfirmasi kritik DDII ini, sehingga kemudian merekomendasikan untuk
menyusun buku-buku daras Islam. Kondisi ini menjadi kajian serius elite akademis
DDII—yang sebagian besar adalah anggota PHI—di wisma Pratekan, rumah A. M.
Luthfi. Hussein Umar menjelaskan,
Proyek IDI adalah kelanjutan dari gerakan untuk meluruskan buku PMP yang
kemudian oleh pemerintah ditarik dari peredaran karena mengundang butir-butir
yang bertentangan dengan ajaran Islam…Proyek ini pun lebih terbuka dan lebih
transparan dan mendapat pula dukungan dari Pemerintah, dalam hal ini Menteri
Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara, melalui Direktur Perguruan Tinggi
Agama, ibu Dr. Zakiah Darajat sebagai bahan pelajaran untuk diberikan oleh
dosen-dosen mata kuliah Agama Islam pada perguruan-perguruan tinggi
umum…proyek ini menghabiskan 2 tahun anggaran dan sebelum menjadi final-
draf selalu di-ekspose-kan di Pratekan.97
IDI ini pada dasarnya adalah mata kuliah Agama Islam untuk perguruan
tinggi umum non-keagamaan. Saat itu, materi pendidikan agama yang berada di

93
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 361.
94
Zuhal. “Insinyur Sipil Pencari Ilmi dan Huda,” dalam Lutfi Bukan Ludwig…, h.
17-18.
95
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 361-362.
96
Alamsyah adalah Menteri Agama yang berasal dari kalangan militer (jenderal).
Berkenaan sikapnya dengan Islam, ia cenderung demokratis dan akomodatif. Sikap yang
berseberangan dengan Mendikbud ketika itu, Daud Yusuf. Catatan semasa ia menjabat
Menteri Agama itu, lihat Suparwan G. Parikesit dan Krisna R. Sempurnadjaja (ed.), H.
Alamsjah Ratu Prawiranegara: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 243-293.
97
Hussein Umar. “Menoleh Sejarah…,” h. 125-126.

103
bawah tanggung jawab Departemen Agama, terkadang tidak ada keterkaitan dengan
tantangan kontemporer yang tengah dihadapi oleh umat Islam, yaitu tantangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan peradaban Barat yang menghegemoni umat Islam.
Tantangan itulah yang pada tahun 1970-an memunculkan berbagai pemikiran baru.
Sepertinya, mengikuti perkembangan pemikiran yang berkembang pada tahun 1970-
an itulah kemudian Departemen Agama berinisiatif untuk membuat tambahan materi
ajar Agama Islam yang dinamakan Islam untuk Disiplin Ilmu, selain materi dasar-
dasar Islam yang sudah ada.98
Buku IDI dipersiapkan berbeda-beda untuk disiplin ilmu yang berbeda-beda.
Di antara disiplin ilmu yang telah dibuat buku daras IDI-nya antara lain untuk: Ilmu
Pendidikan, Ilmu Filasafat, Ilmu Politik, Ilmu Sejarah, Ilmu Psikologi, Ilmu Alam,
Ilmu Sosial, Ilmu Tehnik, dan lainnya. Isi buku dalam setiap materi antara lain
menggali ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan isu-isu dalam disiplin ilmu
masing-masing. Misalnya, dalam buku Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat yang
ditulis oleh Rasjidi dan Harifudin Cawidu dipaparkan tentang ayat-ayat Al-Quran
yang membahas masalah akal, fungsi dan kegunaannya menurut Al-Quran, dan
dorongan Al-Quran agar manusia selalu menggunakan akalnya. Setelah itu dibahas
mengenai kedudukan falsafah di dalam Islam dan bagaimana para filosof Muslim
mengembangkan ilmu filsafat.99
Dalam buku IDI untuk ilmu pendidikan terlihat penentangannya terhadap
sekularisasi di bidang pendidikan, sekalipun tidak disebutkan istilah ini secara
terang-terangan. Penulisnya adalah Prof. Ahmad Sadali dan Yusuf Amir Faisal. 100
Dengan penjelasan yang agak hati-hati dengan tidak menyebut pendidikan Indonesia
terpengaruh sekularisme, penulis buku ini menyebut bahwa terdapat kesenjangan
dalam yang tidak begandengan antara pendidikan pengaruh Barat dengan Islam.
…dalam dunia Pendidikan Indonesia terdapat dua postur pendidikan yang tidak
bergandengan tangan, bahkan dalam beberapa hal tampak bertentangan,
sehingga mungkin dapat melahirkan dualism dalam berfikir, bersikap dan
berbuat, yang mengakibatkan dualisme dalam kehidupan bangsa. Sehingga
sebagai akibatnya, tumbuh dua wawasan masyarakat Indonesia (kalau tidak
lebih) yang kurang terpadu. Islam dalam pendidikan sebagai mata kuliah

98
Hanya saja, materi ini hanya diperuntukkan bagi perguruan tinggi umum, karena
di PT Agama Islam sudah dianggap cukup mendapatkan materi agama. Direktur Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam Ditjen Binbaga Depag, Zaini Muchtarom, menyebutkan
bahwa proyek pengadaan buku daras tahun 1984 itu terdiri atas tiga jenis buku, yiatu: 1)
Dasar-Dasar Agama Islam, 2) Agama Islam (Tingkat Pengembangan), dan 3) Islam untuk
Disiplin Ilmu. Proyek ini sudah digagas sejak tahun 1982 di bawah pimpinan proyek Prof.
Dr. Zakiah Daradjat dari IAIN Jakarta. SK penerbitan bukunya oleh Penerbit Bulan Bintang
Jakarta berangka tahun 1983 dan diterbitkan untuk pertama kali tahun 1984. Lihat M. Rasjidi
dan Harifudin Cawidu. Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.
x.
99
M. Rasjidi dan Harifudin Cawidu. Islam untuk Disiplin Ilmu…, h. xiii-xv.
100
Kedua tokoh ini adalah kader-kader Muhammad Natsir seangkatan dengan
Endang Saefudin Anshari di DDII. Ahmad Sadali adalah pendiri sekaligus pembina Mesjid
Salman ITB. Jusuf Amir Feisal adalah saudara dari KH Latief Muchtar, Ketua Umum PP
Persis di Bandung.

104
merupakan suatu usaha untuk menjembatani kesenjangan ini dengan
peneropongan-peneropongan baru, baik terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi, maupun terhadap ajaran-ajaran Islam yang masih menghajatkan
penggalian inti maknanya…101
Dari dua contoh isi dari buku IDI yang proyeknya diketuai oleh Zakiah
Darajat ini terlihat buku ini sangat dipengaruhi oleh isu yang tengah berkembang
akhir tahun 1970-an hingga awal tahun1980-an, yaitu mengenai Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang menyasar berbagai disiplin
ilmu merupakan alternatif jawaban yang ditawarkan untuk menunjukkan bahwa
Islam dapat secara fungsional ikut memberikan solusi dan kontribusi dalam berbagai
problem kemanusiaan. Melalui ilmu pengetahuan yang di-Islam-kan itulah nantinya
berbagai permasalahan hidup ikut terjawab, sehingga Islam tidak hanya melulu
berurusan dengan masalah-masalah individual minus urusan publik.102
Hanya saja, dalam perkembangannya, gagasan IDI ini tidak bertahan lama.
IDI yang digagas semasa Zakiah Daradjat menjadi Ditpertais Depag masih
dipertahankan oleh penggantinya, Zaini Muchtarom. Akan tetapi, setelah tahun
1990-an tidak terdengar lagi ada perguruan tinggi Islam atau perguruan tinggi umum
yang menyelenggarakan mata kuliah ini. Sangat mungkin juga IDI ini tidak
berkembang karena keberpihakan Depag yang kurang jelas kepada proyek Islamisasi
Ilmu Pengetahuan sehingga para pendukung gagasan ini pun tidak terlalu
memberikan respon positif. Belum lagi, konsep ini tidak menjanjikan arahan yang
jelas ujung mana yang ingin dicapai, karena konsep yang masih kabur. Ketika secara
politis, proyek IDI ini sudah tidak mendapatkan dukungan resmi, akhirnya IDI
menjadi tidak dapat bertahan lama sebagai kebijakan kurikulum di Ditpertais Depag.
Kata Yudi Latif, “This effort gained official support from theMinistry of Religious
Affairs during Aamsjah Prawiranegara‟s period (1978-1983), but was then ignored
by his successor: Munawir Sjadzali, who disliked the formalisation of Islam.”103
Sekalipun demikian, IDI dalam kenyataannya merupakan ancangan bagi
proyek ambisius untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang akan menjadi tema
penting Islam dalam tahun-tahun berikutnya. Sehingga, proyek IDI justru
mendapatkan sambutan baik dari universitas-universitas swasta Islam di berbagai
kota/daerah di Indonesia, seperti Universitas AsySyafi‟iyyah Jakarta, Universitas
YARSI Jakarta, Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Universitas Islam Indonesia
Jogjakarya, Universitas Islam Bandung, dan sebagainya. Hal demikian dapat
dimaklumi karena justru gagasan IDI ini beririsan dengan ide Islamisasi Sains dan
Kampus (ISK) yang digagas AM Saefudin104 saat menjadi Rektor Universitas Ibnu

101
Ahmad Sadali, dkk. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), h. 3.
102
Lihat Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 362. Terkait usaha ini di dunia Islam,
lihat Ismail Raji Al-Faruqi. Islamization of Knowledge; General Principles and Work Plan
(Virginia USA: IIIT, 1995).
103
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 362.
104
Ahmad Muflih Saefudin lahir desa Kudukers Babakan, Cirebon, pada 8 Agustus
1940. Setelah melalui pendidikan madrasah diniyah dan sekolah, memperoleh kesarjanaan
Sosial Ekonomi di IPB tahun 1966 dan Doktor Ekonomi Pertanian Universitas Justus Liebig
Jerman Barat tahun 1973. Sejak mudanya, ia aktif di dalam kepengurusan PII dan HMI.

105
Khaldun (UIKA) Bogor tahun 1982. Ia bersama Universitas Islam lain di atas
mengembangkan gagasan ini. Untung Wahono yang saat itu terlibat dalam proyek
ini menceritakan tentang gagasan Islamisasi Sains dan Kampus versi AM Saefudin
sebagai berikut:
Islamisasi Sains dan Kampus (ISK) adalah proyek besar yang digulirkan oleh
Pak AM dengan UIKA-nya. Gagasan ini sebenarnya merupakan pengembangan
untuk Indonesia dari proyek Islamisasi Sains yang dikembangkan oleh ilmuwan
Muslim yang bermukim di Amerika Serikat, Ismail Raji Al-Faruqi…Pendirian
Pesantren Ulil Albab di Bogor dan juga Lampung yang bekerja sama dengan
Pak Natsir dengan Dewan Dakwah Islamiyahnya merupakan realisasi proyek
Islamisasi Kampus tersebut. Proyek ISK ini kemudian mendapat sambutan dari
berbagai perguruan tinggi lainnya, sehingga terbentuklah saat itu Poros JBB
(Jakarta-Bogor-Bandung) yang menghubungkan ilmuwan-ilmuwan Muslim di
ketiga kota tersebut dari Universitas Asy-Syafi‟iyyah, Universitas Ibnu Khaldun
Bogor, dan Universitas Islam Bandung sebagai sentra kegiatannya. Kami
mengkaji pemikiran tokoh-tokoh ilmuwan Muslim lain selain Ismail Raji Al-
Faruqi terkait proyek Islamisasi Sains…Metodologi ini kemudian melahirkan
kajian-kajian Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI). Kajian ini kemudian masuk ke
dalam kurikulum pendidikan di UIKA…105

3.3 Polemik Paham Pembaharuan Nurcholish Madjid: Respon Elite Muda


Dai Akademis
Khususnya terkait kasus paham liberalisme, diskursus Islam yang signifikan
terjadi di kalangan elite dai akademis ini pada era Orde Baru, khususnya era
pertengahan hingga meninggalnya Natsir pada tahun 1993. Yaitu, ketika Nurcholish
Madjid—yang awalnya digadang-gadang sebagai „Natsir-Muda‟—justru berbalik
menjadi pendukung paham Islam sekuler-liberal pascakepulangannya dari studi di
Amerika Serikat.106 Ide-ide pembaharuan-sekularistik dikenal luas setelah pidato
Nurcholis Madjid pada acara silaturahmi Idul Fitri (Halal bi halal) yang
diselenggarakan HMI, PII, GPI, dan Persami (Persatuan Sarana Muslim Indonesia)
tanggal 3 januari 1970.107

Mendirikan dan membina berbagai LSM antara lain Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF), Pusat Pengembangan Agribisnis, Yayasan Rumah Sakit Islam (YARSI), dan lain-
lain. Pernah juga menjadi Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Ia menjadi salah seorang
pengurus pusatnya. Ia aktif di DDII sejak pertengahan dekade 1970.
105
Wahono dalam Saefudin, Islamisasi Sains dan Kampus. Jakarta: PPA
Consultant, 2010), h. 418-419.
106
Ide pemikiran liberal sebelumnya telah dikembangkan oleh Harun Nasution di
kampus IAIN Jakarta. Lihat Samsudin dan Nina Herlina Lubis, “Sejarah Munculnya
Pemikiran Islam Liberal di Indonesia 1970-2015,” Patanjala, Vol. 11 No. 3 September 2019,
h. 490-491.
107
Dalam pidatonya, Madjid mengritisi keadaan umat Islam yang jumud (mandeg)
akibat paham Islamisme—keinginan memperjuangkan berdirinya kembali negara Islam
melalui partai-partai Islam. Padahal pada kenyataannya partai-partai Islam tidak dapat
membangun citra positif dan simpatik, bahkan yang ada image sebaliknya. Oleh sebab itu,
Madjid mengusulkan satu jargon kontroversial “Islam, yes, partai Islam, no!” Untuk itu, umat
Islam perlu melakukan sekularisasi pemikiran, berpikir bebas, dan terbuka. Untuk itu pula

106
Meskipun niat awal Madjid hanyalah untuk menstimulasi diskusi, efek dari
kritik yang memusuhi dan liputan media mendesaknya untuk melangkah lebih jauh
ke jalur liberal.108 Madjid dipaksa untuk berpihak pada satu kubu tententu yang
sangat kontra terhadap “kelompok dakwah”, padahal sebelumnya Madjid sebenarnya
termasuk orang yang mencoba menengahi antara “kelompok dakwah” dan
“kelompok liberal” sebelum dan selama ia menjadi ketua umum PB HMI (1967-
1971). Ide-ide liberal ini mendapatkan tempat persemaian subur di kalangan
mahasiswa-mahasiswa IAIN dan kader-kader HMI. Pada perkembangannya, tidak
hanya kelompok-kelompok mahasiswa IAIN dan intelektual muda HMI yang
memiliki pandangan liberal seperti Madjid. Pemikiran serupa ternyata masuk pula ke
dalam tubuh dua ormas Islam terbesar, yaitu NU yang mewakili kelompok
tradisionalis dan Muhammadiyah yang mewakili kelompok modernis.109
Selepas tidak lagi menjabat Ketua Umum PB HMI tahun 1971, Madjid
terlibat aktif di Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi di Jakarta. Ia bahkan
kemudian ditunjuk sebagai direkturnya antara tahun 1974-1976. Di Yayasan
Samanhudi ini pula, ia bertemu dengan kawan-kawannya yang satu pemikiran antara
lain: Djohan Effendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, Syu‟ bah Asa, dan
Abdurrahman Wahid. Pemikiran-pemikiran mereka terus dimatangkan dalam suatu
kajian rutin setiap hari Rabu di Yayasan ini. Diskusi ini rutin berjalan sampai Madjid
sudah tidak lagi menjadi direkturnya. Selain itu, ia pun menjadi salah satu direktur
di Lembaga Studi Ilmu Kemesyarakatan (LSIK) Jakarta. Madjid juga menjadi
pemimpin redaksi majalah Mimbar Jakarta antara tahun 1971-1974. Melalui
majalah ini, ide-idenya mengenai pembaharuan Islam menyebar ke tengah
masyarakat. Tidak mengherankan apabila muncul pula reaksi dan kritik atas
pemikiran-pemikirannya tersebut, terutama dari mantan aktivis Masyumi dan kader-
kader DDII.110
Pemikiran dan aksi Madjid yang mendukung ide-ide liberal memang
mengecewakan mayoritas tokoh DDII dan kader-kadernya. Tanggapan kritis
terhadap pemikiran sekularistik Madjid yang kontroversial dan mendapat sambutan
luas terutama datang dari kader-kader intelektual-akademis DDII, baik dari kalangan
intelektual muda Islam maupun para seniornya. Kalangan muda yang memberikan
tanggapan antara lain Endang Saifuddin Anshary, Ismail Hasan Metareum, dan
Abdul Qadir Djaelani. Sementara dari kalangan senior adalah Prof. Rasjidi. Tokoh-
tokoh tersebut tidak sepakat dengan istilah-istilah “sekularisasi”, “liberalisasi”, atau
jargon kontroversial “Islam, yes, partai Islam, no!” dan ide-ide liberal lainnya. 111

diperlukan kelompok pembaruan yang “liberal”. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, cet. XII, (Bandung: Mizan, 1999), h. 204-214.
108
Menurut Yudi Latif, pemikiran pembaharuan Madjid ini menjadi sangat
kontroversial dan menimbulkan perdebatan-perdebatan intelektual yang melelahkan sampai
bertahun-tahun diakibatkan oleh intensitas dan densitas liputan media, sehingga memaksa
setiap intelektual untuk berpihak. Lihat Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa…, h. 528-529.
109
Dalam konteks yang lebih umum, lihat Greg Barton. Gagasan Islam Liberal di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999).
110
Barton, Gagasan Islam Liberal…, h. 83-84.
111
M. Syafi‟i Anwar. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 59-65.

107
Tokoh-tokoh eks Masyumi dari angkatan lebih tua juga menunjukkan respon yang
negative terhadap gagasan pembaharuan Madjid, seperti yang ditunjukkan oleh M.
Natsir112 dan Hamka.113
Tingkat responnya itu sendiri cukup dinamis. Paling tidak ada dua respon
dari kader-kader dai intelektual-akademis yang dikader DDII ini. Pertama, respon
kritis yang kontradiktif. Di antara kritikus elite DDII terhadap pemikiran liberal
Madjid terutama datang dari dua generasi yang berbeda: Rasjidi dan Endang
Saifuddin Anshary. Kedua, respon yang bersifat lebih moderat. Elite-elite dai
akademis DDII tipe ini adalah M. Roem dari generasi senior dan Amin Rais-
Kuntowijoyo dari generasi mudanya.
Rasjidi sangat kritis terhadap pemikiran liberal Madjid. Kritik M. Rasjidi
patut mendapatkan catatan sendiri mengingat sikapnya yang lebih mendasar dalam
menanggapi ide-ide liberal Nurcholish Madjid dibandingkan dengan tokoh senior
lainnya. Sebab, di antara berbagai kritik terhadap Madjid, kritik dari Rasjidi
termasuk yang paling serius dan detail. Rasjidi sampai harus menulis sebuah buku
khusus untuk menunjukkan kekeliruan berbagai pandangan Madjid, baik dalam
pidatonya tahun 1970 di Mesjid Menteng Raya atau tahun 1972 di Taman Ismail
Marzuki.114
Kritik Rasjidi terhadap Nurcholish Madjid dalam buku tersebut dibagi
menjadi dua bagian.115 Pada bagian pertama yang membahas pidato Madjid tahun

112
Saat Natsir mendengar pidato Madjid yang sempat diasuhnya di DDII, ia menjadi
khawatir bahwa Madjid malah akan menjadi salah satu pendukung sekularisme. Hanya saja,
karena senioritasnya ia tidak terlalu menunjukkan sikapnya itu secara atraktif, Akan tetapi
dari berbagai tulisannya setelah itu yang menyebut sekularisasi sebagai salah satu tantangan
dakwah umat Islam, tidak bisa dinafikan bahwa salah satu yang ditujunya adalah orang
seperti Nurcholish Madjid. Lihat Natsir, “Mempereteli Agama atas Nama Pembaharuan,”
Panji Masyarakat, No. 118 Th. XIV 1 Januari 1973, h. 27; Lihat juga Hassan. Modernisasi
Indonesia…, h. 155-160.
113
Terkait respon negatif Hamka terhadap gagasan Madjid, namun tidak bersifat
langsung, lihat Panji Masyarakat, No. 119 Th. XIV 15 Januari 1973; Dalam wawancara
dengan Muhammad Kamal Hasan pada tahun 1973, Hamka mengakui bahwa ia mengagumi
Nurcholish Madjid karena harapan intelektual dan semangat Islamnya. Namun kemudian
Hamka menyesali perubahan pemikiran Nurcholish. Lihat Hassan, Modernisasi Indonesia…,
h. 153 -154.
114
Bukunya diterbitkan pertama kali tahun 1972, beberapa bulan setelah pidato
Madjid di TIM. Kemudian dicetak kembali beberapa tahun kemudian menunjukkan bahwa
perhatian terhadap buku ini cukup besar. Kemudian tulisan bantahan itu dimuat kembali
sebagian di majalah Panji Masyarakat Januari 1973 secara berseri. Rasjidi memang merasa
harus menerbitkan buku kritiknya terhadap Madjid. Lihat M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs.
Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 7.
115
Bagian pertama buku Rasjidi membahas gagasan pada ceramah Nurcholish
Madjid di Mesjid Menteng Raya pada pertemuan aktivis pemuda Islam pada tahun 1970
yang diterbitkan ulang pada Bulletin Arena dalam 2 edisi tahun 1972 dengan judul yang agak
berbeda. Judul pada pidato tahun 1970 adalah “Keharusan Pembaharuan Pemikiran dalam
Islam dan Masalah Integrasi Umat,” sedangkan dalam Bullerin Arena diberi judul “Sekali
Lagi tentang Sekularisasi.” Bagian kedua membahas ceramah dan makalah Madjid di Taman
Ismail Marzuki tanggal 30 Oktober 1972 yang berjudul “Menyegarkan Faham Keagamaan di

108
1970, terlebih dahulu Rasjidi menyimpulkan apa yang telah ditulis Madjid. Ia
menggarisbawahi ada sekitar enam belas (16) pemikiran pokok yang terdapat dalam
tulisan Madjid, yaitu: (1) sekularisasi, (2) ilmu pengetahuan bersifat otonom dari
pengaruh agama, (3) manusia dapat mengerti semua hal selain tuhan dengan
kemampuannya sendiri, (4) tidak ada hubungan antara ritual agama dengan
kesuksesan duniawi, (5) akal manusia adalah anugerah yang diberikan Tuhan hanya
untuk manusia, (6) bidang agama berfungsi hanya untuk mengetahui hal hal yang
berhubungan dengan rohani, spiritual, dan kehidupan sesudah mati, (7) petunjuk
Tuhan bagi manusia untuk hidup di dunia tidak detail, hanya garis besar, sisanya
akal manusia dapat mencarinya sendiri, (8) manusia memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki malaikat yang protes saat pengangkatan manusia sebagai khalifah di muka
bumi, yaitu rasio dan kecerdasannya, (9) ada konsistensi antara rasio sebagai
kelebihan manusia dengan sekularisasi yang intinya memahami dan memecahkan
masalah dunia dengan menggunakan kecerdasan dan rasionya, (10) agar terjadi
rasionalisasi maka terlebih dahulu harus dilakukan desakralisasi terhadap hal-hal
yang dianggap tabu untuk dirasionalkan, (11) masalah-masalah kehidupan dapat
dipecahkan manusia dengan mengandalkan kecerdasannya, (12) Islam memiliki
konsep dengan “Hari Dunia” dan “Hari Agama” yang mempertegas sekularisasi,
(13) Hari Agama adalah hari akhirat tempat hukum-hukum dunia tidak berlaku lagi,
(14) Hari Dunia adalah hari sekarang tempat berlakunya hukum-hukum
kemasyarakatan manusia, bukan hukum-hukum akhirat, (15) kata “Bismillah”
kalau diartikan “atas nama Allah” adalah tidak tepat, (16) kata rahmân dan rahîm
semakin mempertegas berbedanya kehidupan dunia dan akhirat; di dunia
berdasarkan hukum duniawi dan akhirat berdasarkan hukum akhirat, (17) dunia dan
akhirat berbeda, maka tidak boleh dilakukan pendekatan spiritual untuk dunia atau
sebaliknya, karena berbeda maqam.116
Bagian yang paling panjang dikupas adalah mengenai sekularisasi yang
dianggap oleh Rasjidi sebagai pangkal dari keseluruhan pemikiran Madjid. Dari
analisisnya itu, ia menyimpulkan bahwa Madjid melakukan banyak kekeliruan
pernyataan dan analisis mengenai istilah ini. Madjid sungguh sangat keliru
menyatakan tidak ada hubungan antara sekularisasi dengan sekularisme.117 Justru
sekularisme itulah yang terlihat jelas dalam hampir keseluruhan tulisan Madjid dari
awal sampai akhir. Walaupun Rasjidi melihat Madjid sebagai sosok muda yang
bersemangat ingin memperbaiki nasib umat Islam, namun Rasjidi menilai pilihannya
pada sekularisme adalah langkah yang sangat salah.118
Pada bagian kedua yang mengupas pidato Madjid di TIM tahun 1972,
Rasjidi juga mengupas satau per satu apa yang ada di dalamnya. Kali ini Rasjidi
terlihat mengupasnya secara lebih serius lagi. Ia menuliskan sekitar 50 halaman
untuk mengoreksi tulisan Madjid pada pidatonya. Dalam analisisnya kali ini Rasjidi

Kalangan Umat Islam Indonesia.” Bandingkan dengan Madjid. Islam Kemodernan…, h. 204-
257.
116
Rasjidi, Koreksi Terhadap…, h. 8-12.
117
Bandingkan dengan Madjid. “Sekali Lagi tentang Sekularisasi,” dalam Islam
Kemodernan…, h. 221-233.
118
Rasjidi, Koreksi Terhadap…, h. 28.

109
menilai bahwa sekalipun kata “sekularisasi” dan “sekularisme” tidak disebutnya
lagi, namun makalah Madjid yang tetap juga membawa pemikiran sekuler yang
sejak awal telah ia khawatirkan. Bahkan, ia menilai kali ini Madjid
membahasakannya dengan lebih lihai dan membumbuinya dengan ayat-ayat Al-
Quran sehingga dapat mengelabui orang-orang awam. Ia menegaskan:
Karena soal sekularisasi, desakralisasi, rationalisasi telah dirasakan tidak dapat
dijual…maka Drs. Nurcholis menempuh jalan lain, yaitu dengan
mengemukakan teori yang dangkal mengenai dua dimensi, dimensi Imany
pribadi dan dimensi Ilmi yang umum…Jika dengan teori dua dimensi tersebut,
Drs. Nurcholis dapat mengelakkan diri dari serangan-serangan yang
ditimbulkan oleh idee sekularisasi, rasionalisasi, desakralisasi…namun Drs.
Nurcholis tetap dalam tujuannya, yaitu menghidangkan bagian terakhir dari
ceramahnya, ya‟ni tentang Apologi “Negara Islam”…119
Rasjidi menyimpulkan bahwa negara menurut Madjid adalah salah satu segi
kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama
adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi.120 Bagian
inilah juga yang yang menegaskan kembali keberpihakan Madjid pada sekularisme.
Oleh sebab itu, sekalipun tidak menyebutkan satu kali pun kata “sekuler” dalam
tulisannya, pernyataan-pernyataan Madjid dalam tulisannya ini justru menegaskan
persetujuannya pada sekularisme. Padahal, bagi Rasjidi, Islam mengajarkan prinsip-
prinsip ketatanegaraan, tidak sama sekali dengan sistem kependetaan.121
Polemik itu juga melibatkan kader-kader muda intelek-akademis di sekitar
DDII. Kritikus muda DDII terhadap pemikiran Madjid datang dari sahabatnya
semasa di PB HMI, yaitu Endang Saefuddin Anshary.122 Terhadap pidatonya tahun
1970, Endang mengkritik madjid tentang istilah sekularisasi yang dipakainya. Bagi
Endang, Islam tidak mengenal sekularisasi, sebab Islam bukan semata-mata sebuah
agama, tetapi juga merupakan pandangan hidup yang lengkap. Tanggung jawab
Muslim meliputi persoalan duniawi maupun ukhrowi, dan oleh karenanya apa saja
yang dikerjakan olehnya bisa masuk dalam kerangka ibadah. Dengan demikian, tak
satu pun aktivitas Muslim lepas dari kerangka keagamaan dan kontrol dari Tuhan.
Endang juga menolak pandangan Madjid yang melihat sekularisasi sebagai
implementasi kekhalifahan manusia di muka bumi. Fungsi kekhalifahan sama sekali
tidak ada hubungannya dengan sekularisasi. Fungsi khalifah adalah melaksanakan

119
Rasjidi, Koreksi Terhadap…, h. 58; Menurut M. Dawam Rahardjo, sahabat
Madjid, memang tujuan utamanya itu adalah “desakralisasi terhadap gagasan Negara Islam,
dan ini memang agak sulit dirumuskan…” Lihat M. Dawam Rahardjo. “Islam dan
Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid,” dalam Islam
Kemodernan…, h. 30.
120
Rasjidi, Koreksi Terhadap…, h. 82.
121
Rasjidi, Koreksi Terhadap…, h. 85.
122
Endang Saefudin Anshary berseberangan paham dengan Madjid mengenai
sekularisasi dan pandangannya memiliki pandangan sendiri tercermin dalam buku-bukunya
seperti Wawasan Islam dan Ilmu, Filsafat, dan Agama. Demikian juga Imaduddin
Abdulrachim—teman Madjid yang lain—sebagaimana tertuang dalam bukunya Tauhid yang
dijadikan landasan dalam mengembangkan training-training LMD di Mesjid Salman ITB.

110
amanat Tuhan serta merealisasikan sifat-sifat Ilahi di muka bumi dalam batas-batas
kemanusiaan.123
Sementara itu atas kesimpulan Madjid tentang konsep negara Islam,
menurut Endang memang benar bahwa di dalam Al-Quran tidak pernah disebut
“Negara Islam” (Daulah Islamiyah). Tetapi mengingkari bahwa Al-Quran
memberikan kaidah-kaidah asasi tentang kenegaraan dan kemasyarakatan, adalah
distorsi yang besar. Ini sama saja menolak kenyataan bahwa Nabi Saw. pernah
memimpin sebuah negara Islam di Madinah. Endang tetap berpendapat bahwa Islam
merupakan agama yang juga mengajarkan agar umatnya mendirikan negara atas
dasar Islam alias negara Islam.124
Kritik lebih tajam disampaikan Endang terhadap pidato Madjid di TIM
tahun 1972.125 Ia menulis arikel sangat panjang di majalah Panji Masyarakat yang
diberinya judul “Tanggapan atas naskah Tulisan Drs. Nurcholish Madjid tentang
Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia”. Tulisannya
dibagi menjadi tiga edisi sejak edisi no. 128 hingga no. 130. Mengawali tulisannya,
Endang memberikan penilaian kepada Madjid: “Kesan dan kesimpulan umum
setelah menelaah berulang kali naskahnya termaksud ialah: Pemikiran Sdr.
Nurcholish Madjid itu tidak selesai, kabur, kacau, pincang „apologetis‟, penuh rasa
rendah diri, kontradiktif.”126 Endang juga menilai bahwa pidato Madjid bukan
menyegarkan, melainkan mengaburkan, menyempitkan, dan memincangkan paham
keagamaan di kalangan umat Islam. Muara dari semuanya adalah penolakan Endang
atas pemikiran Madjid yang dianggap sangat sekuler. Sekalipun tidak disebut kata
„sekuler‟ pada tulisannya ini, Endang menemukan pemikiran pokok sekularismenya
pada poin mengenai pembagian kehidupan kepada kehidupan ukhrawi dan duniawi
yang dimensi keduanya secara diametral dipisahkan dan memiliki logikanya masing-
masing.127

123
Endang Saefuddin Anshari, Kritik atas Faham dan Gerakan “Pembaharuan”
Dr. Nurcholish Madjid, (Bandung: Bulan Sabit, 1973), h. 9.
124
Anshari, Kritik atas Faham…, h. 74.
125
Sama seperti kritik Rasjidi, kritik Endang pun dibuat secara rinci kalimat per
kalimat dari pernyataan Madjid yang perlu dibahas kemudian dibahas satu per satu.
126
Panji Masyarakat, No. 128 Th. XIV 1 Juni 1973, h. 32.
127
Mengenai bagian pokok ini, Endang menulis: Sdr. Nur membagi kehidupan atas
dua dimensi: pertama, dimensi kehidupan dunia yang (disebutnya) materiil; yang rasional,
logis; pendekatannya ilmi; kedua, dimensi kehidupan akhirat yang (disebutnya) spiritual,
ukhrowi individual; pendekatannya imani. Dimana letaknya agama? Agama diletakkannya
pada dimensi kedua: spiritual, imani, ukhrowi, individual. Tanggapan. Masalah duniawi,
menurut hemat saya, bukanlah hanya sekedar berdimensi materiil, melainkan juga
berdimensi immaterial, katakanlah spiritual. Oleh karena itu, perdekatan terhadap masalah
duniawi ini bukanlah sekedar dengan rasio, melainkan juga dengan fakultas-fakultas ruhani
insane lainnya, seperti karsa, rasa intuisi, dst. Selanjutnya rasio bukan hanya berurusan
dengan ilmu saja, melainkan juga berurusan dengan filsafat. Persoalan asasi manusia
manusia antara lain ialah: pertama, masalah pandangan sarwa: pandangan tentang Tuhan,
alam dan manusia, kedua, masalah Pandangan Hidup: tujuan hidup, tugas hidup, alat hidup,
fungsi hidup. Tidak semua persoalan asasi insani itu semata-mata dapat dipecahkan semata-
mata oleh ilmu; tidak juga oleh filsafat yang berpretensi mau berusaha menjawab masalah-
masalah yang tak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu biasa. Disinilah makna dan peranan Agama.

111
Berbeda dengan Endang dan kritikus lainnya,128 narasi sejarahwan
Kuntowijoyo tampak lebih moderat dalam membahas tentang isu sensitif pemikiran
liberal Madjid.129 Ketika diwawancarai majalah Panji Masyarakat pada Maret 1983,
Kuntowijoyo memberikan eksplanasi terkait kasus kericuhan di tubuh PPP, sehingga
menjadi kurang simpatik di mata rakyat:
PPP secara kelembagaan mendasarkan diri pada Islam, tapi toh banyak hal yang
kurang Islami. Disini kian jelas bahwa seringkali terjadi distorsi (kemerosotan).
Lembaga keislaman tidak selalu sejalan dengan semangat Islam. Dalam hal ini,
cukup tajam analisa Nurcholish Madjid beberapa tahun yang lalu tentang
kecenderungan baru masyarakat, “Islam: Yes, Partai Islam: No. Apakah dengan
demikian kita perlu mengadakan pembaharuan dalam lembaga perjuangan
Islam? Hemat saya, kini saatnya belum cukup matang untuk itu.130
Mantan aktivis PII-HMI yang kemudian aktif di Muhammadiyyah
Yogyakarta ini menyodorkan gagasan yang narasinya mirip dengan kelompok
pembaharuan Madjid. Ketika diwawancarai Panji Masyarakat lagi pada Oktober
1984, Kuntowijoyo berpendapat pentingnya pembedaan antara Islam sebagai nilai
subjektif dengan Islam sebagai kenyataan objektif.131 Gagasannya ini kemudian
dirumuskannya sebagai strategi „objektivikasi Islam‟.
Gagasan objektivikasi Islam ini pun diajukan Kunto pada pertemuan elite-
elite DDII di Jakarta. Kata Kunto, “pertama kali kami mengemukakan gagasan
tentang objektivikasi ialah dalam pertemuan-pertemuan DDII…di rumah A. M.
Luthfi (Jalan Pratekan, Jakarta) bersama kawan-kawan…pada tahun-tahun 1987-
1988.”132 Walaupun tidak dimaksudkan untuk sekularisasi, malah untuk
menghindarinya, namun tak urung gagasannya ini dianggap mirip dengan kelompok
pembaharuan Madjid. Pada tahun 1990-an, Kunto mengakui hal itu dan
menjelaskannya:

Agama menjawab pelbagai persoalan asasi manusia, baik individual maupun sosial, baik
sprirituil maupun materiil, baik duniawi maupun ukhrowi, baik hubungan manusia dengan
Tuhan, maupun dengan sesama manusia ataupun dengan alam lainnya…yang tidak dapat
dijawab semata-mata oleh ilmu maupun filsafat. Lihat, Panji Masyarakat, No. 128 Th. XIV 1
Juni 1973, h. 33.
128
Selain Rasyidi dan Endang, kritikus lainnya dari kader DDII muncul dari
intelektual alumnus Timur Tengah, Daud Rasyid Sitorus. Pada awal tahun 1990-an, Daud
Rasyid tampil mengkritisi paham sekuleristik Madjid. Lihat Daud Rasyid. Pembaharuan”
Islam dan Orientalisme dalam Sorotan (Jakarta: Usamah Press, 1993). Kritikus lainnya
adalah Ahmad Husnan yang menulis: Keputusan Al-Quran Digugat. (Bangil: Pustaka Al-
Muslimun, 1991); dan Berbenah Diri Menuju Pemikiran Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1992).
129
Narasi sejarah memahamkan Kunto tentang tiga periode besar ummat Islam
Indonesia: fase mitos, fase ideologi dan fase ilmu. Konsep „Negara Islam‟ adalah konsep
sentral pada fase ideologi yang tidak cocok pada fase ilmu. Pada fase “Islam sebagai Ilmu‟
inilah gagasan sentral Kunto. Transformasi masyarakat diperlukan yang didasarkan atas
paradigma Al-Quran—yang oleh Kunto sendiri disebut sebagai etika profetik. Lihat
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991).
130
Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam…, h. 78.
131
Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam…, h. 110.
132
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid (Bandung: Mizan, 2001), h. 301-302.

112
Pada awal tahun 70-an ada semacam “gerakan pembaruan” politik umat yang
dipelopori oleh Nurcholish Madjid dengan semboyan Islam Yes Partai Islam
No. Tulisan ini mirip dengan itu, namun bukan berdasarkan soal ada dan
tidaknya sistem politik Islam, tetapi dengan alasan lain yang berbeda. Kita tidak
ingin mengatakan bahwa dengan adanya partai Islam, maka ada monopoli
kebenaran.133
Amin Rais—elite muda Muhammadiyah yang juga dikader Natsir di DDII—
malah tidak menyuarakan kritik terhadap pemikiran Madjid. Namun, walau tidak
secara langsung berpolemik, Amien Rais juga memberikan respon-pemikiran yang
relatif berbeda—baik dengan elit senior maupun elit muda DDII lainnya. Lebih dari
itu, Amin Rais malah memberikan pandangan kontroversial di majalah Panji
Masyarakat—bahwa tidak ada Negara Islam—pada November 1982134 yang
narasinya secara substantif senada dengan kritik yang dilontarkan Madjid
sebelumnya.135 Bagi Amien Rais:
“Islamic State” atau negara Islam, saya kira tidak ada dalam Al-Quran maupun
dalam al-Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk
menegakkan negara Islam. Yang lebih penting adalah selama suatu negara
menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan sosial dan
menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh daripada eksploitasi
manusia atas manusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti
menurut Islam sudah dipandang negara yang baik.136
Amien Rais mengritisi negara-negara Timur Tengah, padahal negara-negara
tersebut dipandang representasi negara Islam. Termasuk yang dikritis Amien adalah
negara Saudi Arabia yang disebutnya “suatu negara yang aneh dalam zaman
modern...prinsip-prinsip monarki Saudi Arabia itu sendiri sudah bertabrakan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam.” Demikian juga, Amin mengritisi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP)—partai yang dianggap representasi Islam di Indonesia. Amien
menegaskan, “PPP tidak mewakili umat Islam, karena umat Islam tidak bisa
dimonopoli oleh PPP.” Dengan lugas, Amien mendukung negara Pancasila. Ia
menjelaskan, “bagi Muslimin Indonesia, akan sudah berbahagia kalau Pancasila
yang indah itu benar-benar dipraktikkan secara konsisten. Dengan demikian sudah
berarti sebagian ajaran Islam dijalankan.”137

133
Kuntowijoyo. Identitas Politik Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 93-94.
134
Amien Rais, “Tidak Ada Negara Islam,” Panji Masyarakat, No. 376 November
1982; Lihat juga Amien Rais, “Tidak Ada Negara Islam,” dalam Tidak Ada Negara Islam:
Surat-surat Politik Nurcholish Madjid – Mohamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 1997), h.
XXII-XXVII.
135
Amien Rais dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, dua orang tokoh Muhammadiyah
berpengaruh, pernah sama-sama bersekolah di Chicago seperti Madjid. Hal itu membuat
pemikiran mereka cenderung menyetujui ide-ide Madjid sekalipun tidak terlalu ekstrim.
Keduanya tetap dapat diterima oleh massa Muhammadiyah dan bergerak di jalur dakwah.
Hanya saja kecenderungan sikap kedua elite yang tidak menolak pikiran-pikiran Madjid ini
memberikan peluang kepada generasi-generasi Muhammadiyah yang lebih muda untuk
bergerak lebih jauh ke arah liberal. Hanya, arus pemikiran liberal di Muhammadiyah tidak
sekencang di NU. Bachtiar, Sejarah Pemikiran…, h. 301.
136
Amien Rais, “Tidak Ada Negara Islam…,” h. XXII-XXIII.
137
Amien Rais, “Tidak Ada Negara Islam…,” h. XXIII.

113
Ketika pandangan Amien Rais itu mengundang polemik,138 diplomat senior
yang juga tokoh DDII M. Roem pun turut memberikan pandangannya. Dalam
tulisannya di majalah Panji Masyarakat dengan judul yang sama, Roem menyatakan
setuju dengan pandangan Amien Rais. Roem malah meneguhkannya dengan
menyatakan fakta bahwa dalam anggaran dasar Masyumi, istilah negara Islam itu
tidak ada. Ia menutup tulisannya dengan mengatakan, “Islam di Indonesia tidak
perlu merupakan accurate copy dari Islam di Arab Saudi atau Islam di mana pun.”139
Tulisan Roem itu sangat menggugah Madjid. Memang, Madjid itu sendiri
tidak membalas kritik Rasjidi, Endang SA., dan kritikus lainnya secara langsung. 140
Madjid malah menyurati ex Masyumi yang juga tokoh senior DDII lainnya, M.
Roem. Madjid seolah mendapat dukungan—walau secara tidak langsung—dari
Roem. Ia menuliskan perasaannya itu:
Sebab seingat saya, Pak Roem adalah salah seorang dari kalangan Angkatan
Islam ‟45 yang jelas menunjukkan sikap simpatik dan membesarkan hati kepada
kami. Saya masih ingat benar betapa setelah saya bersama teman-teman
mencetuskan ide kami yang kontroversial itu, Pak Roem datang ke kantor PB
HMI…menyalami saya, dan menyatakan penghargaan atas apa yang telah saya
perbuat.141
Roem memang memilih untuk bersikap netral, berada di tengah, dalam arus
polemik tersebut—yang melibatkan kolega-koleganya di DDII. Sehingga, responnya
terlihat menjadi lebih moderat. Ia tidak ingat akan peristiwa pertemuan dengan
Madjid, namun ia ingat bahwa ia menulis di majalah Mimbar yang dikelola Adi
Sasono terkait sambutan positif atas aksi Madjid, dengan disertai beberapa catatan.
Ketika membalas surat Madjid tersebut, Roem pun tampaknya menyadari bahwa,
“barangkali reaksi saya waktu itu agak lain dari yang lain.”142
Dukungan—atau paling tidak sambutan moderat—Roem terhadap Madjid,
tidak seperti polemik Amin Rais. Karena ketokohan Roem, tidak ada kritik secara
terbuka. Namun, dari pengakuan Adi Sasono (yang juga cucu Roem), tampaknya
ada semacam “kesepakatan kesepahaman” antara Roem vis-à-vis Natsir terkait hal
itu. Karena faktor “kesepakatan kesepahaman” itulah, rencana Adi Sasono untuk
menerbitkan korespondensi Roem-Madjid pun tidak bisa langsung dilaksanakan,
bahkan butuh waktu empat belas tahun untuk itu. Adi Sasono menjelaskan,

138
Salah satunya adalah tulisan Agus Fajar pada majalah yang sama, Panji
Masyarakat, No. 379, Januari 1983. Madjid sendiri menyatakan heran terhadap tulisan
Amien Rais tersebut. Termasuk Ahmad Syafii Maarif. Mereka berdua menganggap bahwa
“Amien Raisa da kemajuan.” Lihat Nurcholish Madjid. “Menyambung Matarantai Pemikiran
Yang Hilang,” dalam Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid –
Mohamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 1997), h. 17.
139
M. Roem. “Tidak Ada Negara Islam,” Panji Masyarakat, No. 386, Februari
1983; M. Roem. “Tidak Ada Negara Islam,” dalam Tidak Ada Negara Islam…, h. 11.
140
Lihat sebagai misal, Madjid. “Sekularisasi Ditinjau Kembali,” dalam Islam
Kemodernan…, h. 257-260.
141
Nurcholish Madjid. “Menyambung Matarantai…, h. 18.
142
M. Roem. “Jangan Main-main Dengan Istilah Negara Islam,” dalam Tidak Ada
Negara Islam…, h. 44.

114
Buku ini mengalami perjalanan yang panjang, sejak rencana 14 tahun yang lalu
saya berinisiatif untuk menerbitkannya. Tapi dengan adanya kesepakatan antara
Mohamad Roem dengan M. Natsir, akhirnya saya menundanya. Setelah 14
tahun lamanya saya menunggu—dan kini kedua pemimpin telah
mempertanggungjawabkan budi pekertinya ke hadirat Allah dan ke masa depan
bangsanya—akhirnya buku ini terbit juga.143
Walaupun demikian, baik Roem ataupun Amien Rais tetap diterima di
kalangan elite DDII selama periode Natsir. Hal tersebut karena mereka berdua pun
tetap menunjukkan dukungannya terhadap gerakan dakwah. Lebih dari itu, Amien
Rais pun adalah lokomotif gerakan dakwah di Yogyakarta dekade 1980-an, terutama
melalui gerbong Muhammadiyyah. Melalui Yayasan Shalahuddin yang dibinanya,
Amien Rais membangun laboratorium dakwah di Yogyakarta. Di antara produknya
adalah model pelatihan dan perencanaan dakwah yang komprehensif dan aktual
untuk zamannya.144
Amien Rais jugalah yang membawa tim laboratorium dakwah Yogyakarta
tersebut ke Jakarta untuk dikenalkan dan digabungkan dengan DDII Jakarta.
Gabungan jaringan Jakarta-Yogya inilah yang terlibat paling awal dalam
merumuskan paradigma dakwah komprehensif DDII, sebelum kemudian bergabung
elite-elite intelektual muda dari Bogor, Bandung dan kawasan lainnya. Yahya A.
Muhaimin menjelaskan,
Pertengahan tahun 1980-an, saya diperkenalkan oleh mas Amien Rais kepada
seorang tokoh Jakarta, yaitu Ir. A. M. Luthfi…Mas Amien Rais juga mengajak
teman-teman Yogyakarta lainnya, yaitu mas A. W. Pratiknya, mas
Kuntowijoyo, dan kemudian juga Pak Dochak Latief, serta Pak Syaifullah
Mahyuddin…Dari perkenalan yang diprakarsai mas Amien Rais tersebut,
kemudian berlanjut pertemuan yang regular dan multi disiplin yang dilakukan
secara periodik di rumah Ir. A. M. Luthfi…Pak Luthfi menjadi semacam
„mentor‟, mas Amien Rais sebagai motor dan penggerak utamanya, serta…Pak
Natsir sebagai „pembimbing‟…Peserta pertemuan tersebut kemudian
berkembang dengan bergabungnya beberapa teman dari Jakarta, Bogor dan
Bandung…untuk memperkaya pendekatan multi disiplin…terhadap penyusunan

143
Adi Sasono. “Islam Indonesia: Wajah Baru Dunia,” dalam Tidak Ada Negara
Islam…, h. XX-XXI.
144
Pada tahun 1407 H (sekitar tahun 1986), Yayasan Shalahuddin Yogya
menerbitkan buku Latihan Penelitian dan Perencanaan Da‟wah setebal 169 halaman. Isinya
mencakup: (1) Tugas Mujahid Da‟wah oleh Amien Rais; (2) Pengembangan Strategi dan
Perencanaan Da‟wah di Indonesia oleh A. W. Pratiknya; (3) Tantangan dan Strategi Da‟wah
oleh A. W. Pratiknya; (4) Da‟wah Islam dan Perubahan Sosial di Indonesia oleh
Kuntowijoyo; (5) Kompetensi Muballigh/Da‟i oleh Amien Rais; (6) Dasar-dasar Penelitian
Sosial oleh Sofian Efendi; (7) Dasar-dasar Pengukuran oleh Sofian Efendi; (8) Dasar-dasar
Penelitian Da‟wah oleh oleh A. W. Pratiknya; (9) Penelitian dan Perencanaan Da‟wah oleh
Said Tuhuleley dan Zoelkifli Halim; (10) Pengorganisasian/ Management Penelitian Da‟wah
oleh Dochak Latief; (11) Dasar-dasar Perencanaan Da‟wah oleh A. W. Pratiknya; dan (12)
Psikologi Da‟wah oleh Djamaluddin Ancok. Buku itu diakhiri lampiran daftar isian peta
dakwah.

115
suatu rencana induk yang diminta Pak Natsir sebagai pegangan bersama untuk
membangun ummat Islam Indonesia ke depan.145

C. Paradigama Dakwah Komprehensif: Khittah Gerakan Dakwah DDII


Kontribusi penting para kader dai muda—terutama dari kalangan dai
akademis—dengan tokoh-tokoh puncak DDII adalah penyusunan naskah Khittah
Dakwah Islam Indonesia (KDII). Boleh dikata, naskah ini adalah gagasan dan
pemikiran puncak DDII mengenai tantangan dan strategi dakwah yang harus
dijalankan oleh umat Islam secara bersama-sama, khususnya di Indonesia. Naskah
ini juga sekaligus bukti kesinambungan pemikiran dan tongkat estafeta perjuangan
dari tokoh senior DDII kepada para elite muda dai yang dikader DDII.
Naskah KDII ini bermula dari ide Natsir pada pertengahan tahun 1980-an
untuk menuliskan suatu garis besar haluan gerakan dakwah di Indonesia. Kemudian
dibentuklah tim untuk tujuan tersebut. Nama tim itu adalah Tim Perumus Masterplan
Pembangunan Umat (MPU).146 Tim ini dipimpin langsung oleh Natsir dengan
mengikutsertakan kader-kader intelektual muda dari kampus-kampus besar di
Indonesia, seperti Endang Saefudin Anshary dan Yusup Amir Faisal (Bandung); M.
Amin Rais, Kuntowijoyo, Saefullah Mahyuddin, Yahya A. Muhaimin, Ahmad
Watik Praktiknya, Dochak Latif (Yogyakarta); A. M. Saefuddin (Bogor); M. Daud
Ali, Hussein Umar, M. Nursal, A. M. Luhfi (Jakarta); Fuad Amsyari (Surabaya);
Halide (Makassar), dan lain-lain.147
145
Lihat Yahya A. Muhaimin, “Kuat Memegang Fatsoen dan Etika Politik,” dalam
Luthfi Bukan Ludwig…, h. 114-115.
146
Hussein Umar, “Menoleh Sejarah…, h. 124; Sementara pada Mukadimah KDII
itu sendiri, disebut dengan istilah “Rencana Induk Pengembangan” Dakwah. Lihat Khittah
Dakwah Islam Indonesia, (Jakarta: DDII, 1990), h. 0.
147
Endang Saefudin Anshary dari Universitas Padjadjaran, Yusup Amir Faisal dari
IKIP Bandung, M. Amin Rais, Ahmad Watik Praktiknya, Yahya Muhaimin dan Kuntowijoyo

116
Penyusunan MPU ini dikerjakan selama dua tahun (1988-1989) dengan
membahas berbagai aspek tantangan umat dalam bidang sosial-budaya, pendidikan,
dakwah dan informasi, pengembangan jamaah dan ukhuwah, sosial-politik,
ekonomi, hingga masalah-masalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap
permasalahan dibahas dalam satu komisi, kemudian diplenokan. Setelah dua tahun,
tepatnya pada tahun 1990, dihasilkanlah satu naskah ringkas yang merangkum
berbagai makalah, analisis, kajian, dan berbagai diskusi yang berkembang dalam
tim.148
Naskah itu diberi judul “Khittah Da‟wah Islam Indonesia” atau KDII. 149
KDII inilah yang disebut sebagai Masterplan Pembangunan Umat (MPU). KDII
yang berfungsi sebagai MPU ini diharapkan oleh DDII dapat menjadi panduan
seluruh organisasi dakwah yang ada di Indonesia untuk mengambil peran dalam
bidang-bidang yang memungkinkan digarap masing-masing. Untuk itu, KDII ini
kemudian diserahkan kepada seluruh gerakan dakwah Islam yang ada di Indonesia,
seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, Persatuan Umat Islam
(PUI), Al-Washliyah, dan lainnya.150
Bila dikaitkan dengan karya pendiri DDII, Mohammad Natsir, maka KDII
ini boleh dikatakan sebagai hasil permenungan terakhirnya untuk umat. KDII
menjadi intisari dari semua pemikiran, pengalaman, dan perenungan dalam
perjuangan untuk umat Islam sepanjang hayatnya. Sebab, tiga tahun kemudian
setelah naskah ini selesai dan dibagikan kepada seluruh organisasi dakwah di
Indonesia, tepatnya pada tahun 1993, M. Natsir wafat. Warisan terakhir dan sangat
penting dari Natsir inilah yang kemudian menjadi pedoman dan pegangan para
pelanjutnya dalam menjalankan amanah dakwah melalui DDII. Bahkan dalam
Musyawarah Besar III DDII pada 23 Agustus 2005, naskah KDII secara resmi
dijadikan sebagai pedoman dan acuan operasional organisasi DDII dari pusat sampai
ke daerah-daerah.151
Bagi DDII, aktivitas da'wah adalah usaha untuk melakukan perubahan pada
masyarakat dari keadaan yang dianggap tidak baik atau kurang baik menuju keadaan
yang diidealkan. Oleh sebab itu, apapun kegiatan yang digeluti, semuanya harus
bervisi perubahan. Perubahan yang dimaksud tentu saja bukan semata-mata
perubahan. Idealisme yang dicita-citakan bukan sembarang idealisme. Semuanya
harus mengacu pada idealisme Islam, sebagaimana perintah Allah SWT dan teladan
Rasulullah Saw. Dalam mukaddimah KDII tertulis dengan sangat jelas sebagai
berikut:

dari UGM, Saefullah Mahyuddin dari IAIN Yogyakarta, A. M. Saefuddin dari IPB Bogor,
M. Daud Ali dari Universitas Indonesia, A. M. Luhfi alumnus ITB, Fuad Amsyari dari
Universitas Airlangga Surabaya dan Halide dari Universitas Hasanudin, Makassar. Kiprah
para intelektual muda yang dikader Natsir ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bab
berikutnya.
148
Hussein Umar, “Menoleh Sejarah…, h. 124.
149
Lihat Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 0.
150
Tiar Anwar Bachtiar, Setengah Abad Dewan Dakwah Berkiprah Mengokohkan
NKRI, (Jakarta: Dewan Dakwah, 2017), h. 107-108.
151
Bachtiar, Setengah Abad Dewan Dakwah…, h. 109.

117
Dakwah pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengubah seseorang,
sekelompok orang, atau suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik
sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan Rasul-Nya. Dakwah terhadap umat
Islam Indonesia adalah segala usaha untuk mengubah posisi, situasi dan kondisi
umat menuju keadaan yang lebih baik agar terpenuhi perintah-Nya untuk
menjadi ummatan wasatan yang merupakan rahmatan lil „alamien.152
Misi perubahan—yang diusung gerakan dakwah—harus dimaknai dalam
konteks pandangan hidup yang Islami (Islamic worldview), bersendikan Al-Quran
dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Pandangan hidup yang melihat Islam secara
holistik153 mengarah pada kesejahteraan bagi seluruh makhluk. Bagi DDII, berbasis
pada prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil „âlamin, rahmat tidak berarti untuk
kesejahteraan kaum muslimin saja, tetapi juga “bagi semua umat manusia, rahmat
bagi alam semesta dengan segenap isinya, yakni alam manusia, alam hewan, alam
tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup seluruhnya.”154
Inilah kaidah asasi dakwah. Bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif,
sehingga dakwah pun harus bersifat komprehensif, tidak monolitik.
Komprehensivitas dakwah itu dibangun dalam prinsip wasatan (di tengah,
moderatisme) yang diterjemahkan oleh DDII sebagai “pengutamaan persamaan-
persamaan tanpa mengabaikan perbedaan-perbedaan.” Dalam KDII dijelaskan:
Sebagai agama yang mengatur pelbagai kehidupan dan penghidupan manusia,
nilai-nilai dasar dan norma-norma azasi Islam memberi pedoman untuk lebih
mengutamakan persamaan-persamaan tanpa mengabaikan perbedaan-perbedaan
mengenai segala aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, sistem-sistem:
sosial, politik, ekomoni, pendidikan, dan sistem budaya lain yang Islami adalah
sistem-sistem yang berdasarkan aqidah, syari‟ah, dan akhlak, yang tidak bersifat
monolitik.155
Dakwah—berbasis pada Islamic worldview di atas—juga harus dipahami
dalam konteks tujuan hidup Islami.156 Tujuan hidup yang telah digariskan dalam Al-
Quran bersifat vertikal dan horizontal. Tujuan hidup yang bersifat vertikal bermakna
kehidupan yang diridhai Allah SWT. Sementara secara horizontal, tujuan hidup
terbagi dua; pertama, kebahagiaan di dunia dan akhirat; dan kedua, rahmat bagi
sesama manusia dan alam semesta.157

152
Khittah Dakwah Islam Indonesia, Jakarta: DDII, 1990, h. 0.
153
Holistisme pemikiran dakwah pada DDII memang merupakan ciri khas Natsir,
sejak dulu zaman kolonial. Tulisan Natsir pada era 1930-an menegaskan bahwa Islam bukan
sekedar agama ritual an-sich, tapi merupakan sebuah sistem peradaban yang sempurna.
Dalam konteks hubungan agama dengan negara, misalnya, ajaran Islam pun dirumuskan
menjadi sebuah ideologi. Lihat Natsir, Capita Selecta, jilid I, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1978).
154
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 1.
155
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 2.
156
Natsir seringkali menekankan tentang tujuan hidup Islami ini dalam setiap
penataran muballigh di DDII, maupun di lembaga lainnya. Bahwa, semua kegiatan hamba
Allah, baik yang berupa ibadah maupun muamalah, semua itu dilakukan dalam rangka
persembahannya kepada Allah SWT dengan niat (motif) mencari keridlaan-Nya semata-
mata. Ini artinya menyembah Allah sebagai tujuan hidup. Lihat M. Natsir, Fiqhud Da‟wah…,
h. 25.
157
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 3.

118
Untuk mewujudkan kebahagiaan sejati, maka secara bertahap dakwah harus
merealisasikan tujuan hidup yang terlihat lebih nyata. Kondisi kongkrit yang
paripurna bagi pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Dengan kata lain,
suatu bentuk tipe ideal sasaran (outcome) dakwah yang komprehensif dalam
perspektif DDII. Ini yang ditegaskan dalam KDII:
Dari segi satuan lingkungannya, tujuan hidup Islami adalah: (1) Terwujudnya
pribadi yang diridhai Allah, yaitu pribadi muslim yang paripurna, yang taqwa
kepada Allah SWT (Q.S-2: 22, 28); (2) Terwujudnya rumah tangga yang
diridhai Allah yaitu rumah tangga sakinah yang diliputi mawadah dan rahmah
anugrah Allah (Q.S-30: 21); (3) Terwujudnya qaryah (lingkungan kampung,
kampus, kompleks kerja, dan sebagainya) yang diridhai Allah, yaitu qaryah
yang kondusif dan “layak” menerima berkah Allah dari pelbagai arah,
disebabkan warganya beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT (Q.S-7: 96); (4)
Terwujudnya negeri yang diridhai Allah, yaitu negeri yang baik (baldah
tayyibah) yang meliputi maghfirah (ampunan Allah) (Q.S-34: 15); dan (5)
Terwujudnya dunia yang diridhai Allah, yaitu dunia yang hasanah (baik) yang
berkesinambungan dengan akhirat yang hasanah (baik) pula (Q.S-201; Q.S-28:
77; Q.S-7: 156).158
Ketika KDII ini dirumuskan pada akhir dekade 1980-an, naskah paradigma
dakwah komprehensif ini dirancang secara visioner—namun dengan perkiraan
dibatasi—hingga awal abad XXI atau dasawarsa awal 2000-an. Hal ini tentu saja
diperbandingkan dengan pola perencanaan waktu itu dalam aspek pemerintahan
yang bersifat lima tahunan: Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang
berbasis pada GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Terlihat bahwa KDII ingin
membuat visi yang relatif lebih bersifat jangka panjang dengan berpijak pada dasar-
dasar haluan dakwah yang asasi. Tafsir ini bisa terlihat, misalnya, ketika
pembahasan modal, kecenderungan dan permasalahan umat Islam Indonesia dalam
aspek sosial budaya. Dalam KDII dijelaskan sebagai berikut:
Salah satu persoalan pokok yang dihadapi umat Islam menjelang tahun 2000
ialah datangnya masyarakat industri yang mempunyai dampak dalam bidang
sosial-budaya. Masyarakat industri cenderung untuk mengalami sekularisasi,
yaitu pemisahan sektor-sektor sosial-budaya dari agama. Sekularisasi yang
berpangkal dari faham sekularisme materialisme makin berkembang lebih cepat
pada masyarakat indusri. Sekularisme cenderung untuk meniadakan peranan
agama, sekalipun kemungkinan bahwa agama akan diberi tempat, atau diberi
kotak, berupa spatialisasi agama.159
Bagi DDII, tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam dalam segi budaya
adalah semakin menguatnya sekularisme. Disadari atau tidak, fenomena ini terus
semakin menggerus masyarakat Muslim Indonesia. Masyarakat semakin
tersekularisasi bersamaan dengan semakin dominannya budaya Barat menyerang
kebudayaan masyarakat Indonesia. Sekularisme telah menempatkan wilayah sosial
dan budaya terpisah dari agama. Rekayasa sosial dan pengembangan budaya
semakin dijauhkan dari agama. Pada masyarakat dengan kebudayaan sekularistik,

158
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 3-4.
159
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 4.

119
peran agama sangat sempit, yaitu hanya pada aspek rohaniah dan pribadi masing-
masing pemeluknya (wilayah privat).160
Ketika sekularisasi semakin kuat, maka pergaulan sosial masyarakat dan
berkembangnya budaya masyarakat cenderung dipengaruhi materialisme dan
permisivisme. Masyarakat yang sekuler cenderung menilai kelas-kelas sosial
berdasarkan materi yang dimiliki,161 sehingga ukuran keberhasilan adalah semakin
banyaknya materi yang dikumpulkan, tanpa mempertimbangkan halal dan haram.
Sementara anggota masyarakat menjadi cenderung permisif-individulistik
membiarkan apapun terjadi di tengah masyaraakat asalkan setiap orang bisa
mendapatkan “materi” sebanyak-banyaknya. Inilah akhirnya yang merusak aspek
kebudayaan masyarakat.
Selain menguatnya sekularisme, tantangan sosial-budaya ini juga
dihadapkan pada kecenderungan masyakat kembali lagi kepada kebiasaan-kebiasaan
lampau yang dianggap eksotik, walaupun bertentangan dengan agama. KDII
menyebutnya sebagai “nativisme.” Nativisme ini juga sebetulnya hanya ekses dari
sekularisasi yang dihadapi masyarakat. Sekularisme telah mengalienasi masyarakat
Barat dari kehidupan spiritualnya, sehingga mereka merindukan kembali kepada
spiritualitas. Akan tetapi, mereka tidak mau agama, sehingga yang dihidupkan
adalah spiritualisme kuno yang tidak memerlukan agama. 162 Fenomena yang mirip
juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang sebagian sudah bosan dengan benda-
benda yang berhasil mereka kumpulkan. Dalam KDII dijelaskan,

160
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 5. Tema tantangan sekularisme bagi umat
Islam Indonesia sudah mengemuka sejak Natsir muda di Persis 1930-1940-an (lihat Natsir.
Capita Selecta, jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1956). Tema tantangan ini terus dijadikan
bahan diskusi oleh Natsir dengan kader-kader intelektual muda di era Orde Baru. Lihat A. W.
Pratknya (peny.), M. Natsir: Pesan Perjuangan…, h. 101-102.
161
Salah satu kekhawatiran terbesar umat Islam dan bangsa Indonesia seluruhnya
sekarang dan di masa yang akan datang ialah timbulnya masyarakat berkelas yang
mengotakkan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang mempunyai kepentingan-kepentingan
ekonomi yang berbeda dan saling bertentangan. Pada dasawarsa akhir ini kecenderungan ke
arah pengkelasan masyarakat rupanya makin meningkat, sehingga umat Islam menjadi
semakin berat: karena selain dari harus menghadapi pemudaran nilai nilai agama, juga
menghadapi fragmentasi sosial ke dalam kelas-kelas. Lihat Khittah Dakwah Islam
Indonesia…, h. 5. Di antara tim perumus KDII, Kuntowijoyo merupakan intelektual muda
yang dikenal dengan konsep kelas dalam sosiologi. Lihat Kuntowijoyo. Budaya dan
Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995; Lihat juga Kuntowijoyo. Paradigma Islam
Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1997. Dalam tim KDII, Kuntowijoyo ditugaskan
untuk menyusun konsep strategi kebudayaan. Lihat Yahya Muhaimin, “Kuat Memegang
Fatsoen dan Etika Politik…,” h. 116.
162
Dengan kata lain, menurut Bachtiar, “nativisme” ini juga merupakan ekses logis
dari berkembangnya pemikiran postmodernisme di Barat. Lihat Bachtiar, Setengah Abad
Dewan Dakwah, h. 114. Tentang postmodernisme Barat dan kaitannya dengan Islam, lihat
Ahmad Sidqi, “Islam And Religious Experience in The Postmodern,” Jurnal Filsafat
(UGM), Vol. 27, No. 2 Agustus 2017, h. 145-167; lihat juga “Postmodernism and Islam,”
in The Oxford Dictionary of Islam, edited by John L. Esposito. Oxford Islamic Studies
Online, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t125/e1873.

120
…pada kenyataannya terdapat hubungan kepentingan yang erat antara
sekularisme dan nativisme. Hal ini dapat terjadi karena gerakan nativisme
menawarkan suatu spiritualisme yang sesuai dengan konsepsi spatialisme agama
dari cita cita sekular. Spiritualisme nativisme sampai batas tertentu mempunyai
raison d‟etre, berhubung masyarakat industri selalu mempunyai kecenderungan
alienasi yang diduganya dapat ditolong oleh spiritualisme yang merupakan
terapi psikologis tehadap perasaan tidak aman warga masyarakat Industrial.163
Persoalan sekularisme dan nativisme menjadi makin kompleks karena
kerjasama antara dua kekuatan sosial budaya. Kerjasama ini terjadi karena mereka
mempunyai kepentingan yang sama. Keuntungan politik yang diperoleh nativisme
selama ini mempunyai latar belakang sosial dan sejarah. Nativisme kebanyakan
didukung oleh kebanyakan keturunan para priyayi (aristokrat) yang kemudian
menjadi birokrat, yang secara historis pernah mempunyai jarak dengan budaya
Islam.164 Karena jarak sosial antara priyayi dan santri makin dekat, maka dapat
diharapkan bahwa perkembangan sejarah sendiri akan cenderung untuk
menyusutkan dukungan priyayi birokrat kepada nativisme. 165 Proses yang natural ini
akan terjadi sesudah masa generasi yang sekarang berada dalam birokrasi itu
berakhir. Proses sejarah ini bisa dipercepat dengan dakwah yang lebih intensif.
Gerakan-gerakan kebudayaan yang menuju ke arah ini patut dikembangkan.
Untuk menghadapi kecenderungan sekularisme dan nativisme ini, KDII
mengusulkan untuk melakukan tiga langkah dakwah kongkrit sebagai berikut:
a. Mengembangkan nilai-nilai saintifik Islam, yaitu perimbangan pendekatan
objektivitas dan subjektivitas. Pendekatan ini berarti melakukan interpretasi
ajaran Islam secara kreatif-proporsional dikaitkan dengan fungsinya sebagai
petunjuk bagi kehidupan manusia yang nyata, alami, dan menyejarah.
b. Mengembangkan nilai-nilai rohaniah Islam yang memberikan rasa aman
masyarakat terhadap ekses modernisasi.
c. Mengembangkan pengkajian Islam dari sudut pandangan falsafati untuk
mengakomodasi kecenderungan pemikiran yang berkembang di sebagian
masyarakat.166
Tantangan dakwah lainnya terdapat pada bidang pendidikan. Dalam bidang
pendidikan, DDII menilai bahwa modal umat Islam sudah cukup baik. Di antara
modal yang dimiliki yaitu umat Islam umumnya menyadari bahwa agama Islam
harus menjadi bahan pelajaran; dan sudah ada tradisi keilmuan yang terpelihara baik
dengan adanya pesantren, madrasah, sekolah-sekolah Islam, masjid, usrah, lembaga
pengajian, dan keluarga Muslim. Walaupun sudah ada modal yang baik dalam

163
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 5-6.
164
Sebagai perbandingan, lihat M. C. Riclefs. Polarising Javanese Society: Islamic
and Other Visions (c. 1830-1930), (Singapore: NUS Press, 2007), h. 176-214.
165
Penjelasan lebih lengkap, lihat Abdul Munir Mulkhan. Runtuhnya Mitos Politik
Santri, (Yogyakarta: Sipress, 1994); lihat juga M. Bambang Pranowo. “Runtuhnya Dikotomi
Santri-Abangan: Refleksi Sosiologis Atas Perkembangan Islam di Jawa Pasca 1965,” Pidato
Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Sosiologi Agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN
Syarif Hidayatullah, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001).
166
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 43.

121
pendidikan, masih tetap ada beberapa kelemahan yang menjadi tantangan bagi umat
Islam untuk mengembangkan pendidikannya.167
Tantangan-tantangan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, dari segi
pendekatan pendidikan: agama cenderung dipelajari hanya aspek “fiqih,” sehingga
aspek pemikiran dan perilaku kurang tersentuh; jumlah ulama yang ahli dalam
bidang agama masih kurang memadai; dan agama oleh sebagian masyarakat masih
dipandang secara dikotomis dan sekularistik, yaitu dianggap hanya mengatur
masalah-masalah ritual belaka.168 Kedua, dari segi kelembagaan:169 pesantren-
pesantren cenderung bersifat tradisional dan milik pribadi hingga sulit berkembang,
kurang bisa bekerja sama dengan pesantren lain dan mudah terpengaruh oleh pihak
luar; madrasah-madrasah banyak yang tidak mandiri, karena masih mengandalkan
subsidi pihak luar untuk pendanaannya; pengajian-pengajian di mesjid dan majelis
taklim “kurikulumnya tidak terstruktur, sehingga pencapaiannya tidak terukur.”
Ketiga, dari segi perangkat lunak pendidikan: tujuan pendidikan terlalu umum,
sehingga sulit terukur; kurikulum bersifat diferensial, tidak terpadu antar-ilmu, elitis,
berorientasi pada guru, dan paket non-komposit; sistem evaluasi tidak jelas,
sehingga sulit mengukur keberhasilan; kurikulum pesantren cenderung statis,
sedangkan kurikulum madrasah bergeser ke arah ilmu-ilmu sekuler.170 Keempat, dari
segi perangkat keras pendidikan: alat-alat bantu pelajaran yang sangat minim;
perpustakaan amat terbatas, sarana bangunan dan pembiayaan seadanya.
Selanjutnya, kelima, dari segi pola pengembangan: pada lembaga-lembaga
pendidikan Islam banyak yang tidak memiliki rencana terukur untuk
mengembangkan lembaga-lembaga pendidikannya, sehingga perkembangannya
menjadi tidak jelas, bahkan banyak yang malah gulung tikar.171
Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk ikut menjawab tantangan
pendidikan di atas antara lain dengan langkah-langkah berikut ini yang dapat
dijadikan sebagai khittah dakwah dalam bidang pendidikan:
a. Menelaah kembali filsafat ilmu dan pendidikan yang Islami dan
mengembangkannya lebih lanjut dalam “sistem pendidikan Islam.” Salah satu
acuan pokoknya adalah metode pendidikan Rasulullah Saw.

167
Bandingkan dengan hasil analisis Azmil Tayeb. Shaping Minds, Saving Souls:
Managing Islamic Education in Indonesia and Malaysia, a Thesis submitted for the degree
of Doctor of Philosophy Department of Political and Social Change, College of Asia and the
Pacific of The Australian National University, June 2016.
168
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 11.
169
Terkait perkembangan kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia, lihat Karel
A. Stenbrink. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen,
(Jakarta: LP3ES, 1990); Lihat juga A. Malik Fajar. Madrasah dan Tantangan Modernitas,
(Bandung: Mizan, 1994).
170
Bandingkan dengan Mochtar Naim. “Mohammad Natsir dan Konsep Pendidikan
yang Integral,” dalam Pemikiran dan Perjuangan Mohamad Natsir, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996), h. 98-110; Lihat juga Anzar Abdullah, “Mohammad Natsir, Character
Education, and its Relevance to the National Education System: A Study of the Educational
Thought in Effort to Build the Students‟ Noble Characters in Indonesia,” Tawarikh:
International Journal for Historical Studies, 5 (1), October 2013, h. 71-89.
171
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 11-13.

122
b. Mengembangkan model peralihan pelaksanaan sistem pendidikan umat di
Indonesia sebagai tahapan pelaksanaan sistem pendidikan umat yang benar-benar
Islami.
c. Mengembangkan masjid sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan Islam.
d. Menyusun dan mengembangkan ilmu dan teknologi yang Islami.172
Bidang dakwah dan informasi pun masih terdapat masalah. Dakwah secara
umum oleh DDII diartikan sebagai keseluruhan proses perubahan umat menuju
keadaan yang lebih baik seperti telah dijelaskan di atas. Sementara “dakwah” yang
dimaksud di sini adalah proses verbal “mengajak” orang-orang menuju keadaan
yang lebih Islami dalam berbagai hal. Oleh sebab itu, diberi penekanan bidang ini
dengan dilekatkannya kata “informasi” agar tidak tertukar dengan makna dakwah
yang umum. Dalam bidang ini, terdapat berbagai tantangan yang tidak sedikit,
sehingga harus ada perhatian khusus terhadap masalah ini. Di antara tantangan-
tantangan dakwah dan informasi yang dihadapi umat Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, dakwah Islam menghadapi semakin derasnya arus informasi yang
mengancam umat Islam dari segi keyakinannya (de-Islamisasi). Umumnya arus
informasi ini disebarkan melalui internet dan televisi yang sudah menjadi konsumsi
umum masyarakat. Oleh sebab itu, arus sekularisasi dan de-Islamisasi nilai-nilai
masyarakat lebih intensif dibandingkan dakwah yang digulirkan oleh berbagai
aktivis dan lembaga dakwah.173
Kedua, kapasitas tenaga dai di lapangan masih banyak yang hanya
mengandalkan niat, sementara kemampuannya di dalam berdakwah maupun
memahami materi dakwah secara tepat untuk sasaran masing-masing masih
minimum ke lapangan dakwah. Hal ini umumnya terjadi karena dai tidak
mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai sebelum terjun ke medan
dakwah.174 Oleh sebab itu, banyak dai yang tidak bisa mengimbangi informasi yang
mengarah pada de-Islamisasi dan sekularisasi di atas.
Ketiga, akibat tekanan dari pihak-pihak luar, misalnya disebabkan efek
undang-undang yang mengatur kegiatan ormas dan lainnya, banyak lembaga-
lembaga dakwah semakin menurun aktivitas dakwahnya.175 Banyak juga lembaga
dakwah yang semakin lemah dakwahnya karena semakin lemah idealisme dakwah
dari kader-kader penerus lembaga tersebut. Pada saat yang sama, banyak pula
bermunculan dai-dai yang bergerak secara individual, namun tidak terkoordinasi
dengan baik, sehingga kuantitas dari dakwah bisa jadi meningkat, tapi kualitas tidak
terkontrol. Sangat wajar, bila kemudian tidak seimbang antara serangan sekularisasi
dan de-Islamisasi dengan perlawanannya dari dakwah.
Keempat, variasi bentuk penyampaian dakwah masih cenderung monoton,
yaitu hanya melalui ceramah-ceramah keagamaan di masjid-mesjid dan majelis-
mejelis taklim. Sekalipun hal ini tetap masih sangat penting, tetapi dibutuhkan
172
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 54.
173
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 13-14.
174
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 15.
175
Fenomena ini terkait dengan kondisi politik pada awal Orde Baru yang berbasis
pada pendekatan depolitisasi Islam, sehingga berdampak secara langsung maupun tidak
langsung dengan aktivitas dakwah umat Islam. Lihat penjelasan M. Rusli Karim, Negara dan
Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiarawacana, 1999), h. 72-82.

123
model-model lain untuk penyampaian pesan dakwah, seperti melalui film, kegiatan-
kegiatan remaja, dongeng, dan sebagainya. Artinya dibutuhkan pendekatan yang
lebih variatif dalam dakwah.176
Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, maka perlu dilakukan hal-
hal sebagai berikut sebagai khittah dalam bidang dakwah dan informasi:
a. Meninjau kembali pendekatan dakwah dengan melakukan perencanaan yang
berorientasi pada pemecahan masalah serta pengorganisasian pelaksanaan
dakwah secara lebih professional.
b. Untuk objek dakwah umum (masyarakat luas yang sebagian besar kaum
dhu‟afa), pendekatan harus dilakukan dengan cara membangkitkan harga diri
dan perilaku mandiri; mereka juga perlu didekati secara ekonomi, namun
sifatnya memberdayakan, bukan menyantuni (filantropi).
c. Meningkatkan dan memperluas cakupan dakwah, baik objek yang disasarnya
maupun metode yang tepat dan variatif untuk objek masing-masing.
d. Mengembangkan suatu sistem informasi yang mampu menjangkau umat secara
luas dan dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif.
e. Mengembangkan pendekatan dakwah yang berpedoman pada prinsip: yassiru
wa la tu‟assiru (memudahkan, jangan menyulitkan) dan basysyiru wa la
tunaffiru (menggembirakan orang, jangan membuat lari).177
Bidang garapan dakwah lainnya mendapat perhatian serius dalam KDII
adalah persoalan jamaah dan ukhuwah. Kondisi jamaah Islam di Indonesia dan
kecenderungan perkembangannya secara garis besar dapat dilukiskan sebagai
berikut:
Dengan melakukan kajian banding dari saat ke saat lain dan dengan
menggunakan tolok ukur keterpenuhannya peran organisasi dalam perjuangan
dengan kegiatan kegiatannya, terlihat bahwa sebagian besar organisasi formal
yang mengalami penurunan efektivitas perannya merupakan suatu “erosi
fungsional”. Hal ini terjadi baik karena faktor faktor internal organisasi sendiri
(unsur kepemimpinan terutama), faktor-faktor internal umat Islam (menurunnya
ukhuwah), maupun karena faktor eksternal (terutama akibat perekayasaan
sosial). Kecenderungan sifat ketergantungan dan “hanyut arus” lebih menonjol
lagi, terutama dalam dua dasawarsa terakhir.178
Bagi DDII, organisasi organisasi formal yang tergolong besar kadang-
kadang menunjukkan sifat eksklusifistiknya yang primordial dan karena latar
belakang inferioritasnya, amat mengganggu ukhuwah antar jamaah organisasi Islam,
bahkan menumbuhkan keadaan desintegrasi. Organisasi formal Islam yang kecil,
yang menunjukkan sifat keperjuangan Islam yang demokratif dan partisipatorik, juga
tidak terlepas dari sifat eksklusifisme di atas. Organisasi yang kadang-kadang
dipandang lebih dari sekedar alat oleh para pemimpin atau aktifisnya. Sementara
ukhuwah antarjamaah baru benar-benar terjadi apabila muncul persoalan yang
dianggap amat kritikal (kasus UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan
sebagainya).

176
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 20-28.
177
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 54-55.
178
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 23.

124
Keadaan organisasi Islam nonformal, jamaah mesjid umpamanya, bersifat
amat heterogen, karena terdiri dari campuran (tua-muda, awam-intelektual, dan
seterusnya), paternalistik.179 Karena itu ikatannya lebih longgar. Pada masjid-mesjid
kota, peranan generasi muda lebih dominan sebagai aktivis. Jamaah kampus lebih
homogen terutama kalau dilihat dari ciri kemudaan dan keintelektualannya. Sifatnya
lebih mandiri, loyalitasnya lebih pada ide (walaupun mereka mengenal “tokoh
ideal”), ikatannya lebih kokoh dan mobilitasnya lebih tinggi. Jamaah pengajian lebih
bervariasi. Walaupun lebih banyak generasi tuanya, ikatannya lebih longgar,
paternalistik. Karena itu mobilitasnya lebih rendah. Jamaah yang tidak jelas
Islamnya mempunyai karakteristik yang amat bervariasi tergantung pada bentuk
ikatannya.180
Jamaah pesantren, karena lebih bersifat “milik pribadi,” pengelolaannya
bersifat tertutup. Bentuk komunikasi antarlembaga kejamaahannya amat terbatas.
Hubungan antarpesantren, lebih bersifat hubungan darah daripada hubungan ide. 181
Di sisi lain, di kalangan jamaah/pesantren terlihat kelambanan tumbuhnya
kepemimpinan baru, sehingga meninggalnya pemimpin tua sering diikuti dengan
menyuramnya suatu pesantren. Ini sering diikuti oleh renggangnya hubungan-
hubungan antarpesantren yang ada.
Beberapa masalah yang harus dihadapi dan harus dipecahkan untuk lebih
mengefektifkan organisasi atau ikatan jamaah non formal ini, sehingga benar benar
dapat menjadi alat perjuangan ialah masalah komunikasi, pembinaan kaderisasi
kepemimpinan. Bentuk ikatan jamaah non formal lain, seperti kelembagaan profesi,
kelembagaan seni, masih kurang mendapat perhatian umat Islam.182
Berdasarkan problem kejamaahan di atas, dirumuskan khittah dakwah
sebagai berikut:
a. Refungsionalisasi organisasi, baik formal maupun nonformal sebagai alat
perjuangan.
b. Pembinaan sifat integrasionis-inklusif dan integrasionis-kreatif atau sikap
selalu ingin bersama-sama membangun kerjasama antar-jamaah dari
berbagai ikatan organsasi, kecuali dengan kalangan anti-agama.
c. Mengembangkan kesamaan persepsi antar-jamaah dalam rangka pembinaan
ukhuwwah.
d. Mengembangkan sikap partisipatif dalam organisasi lintas profesi, dan
mengembangkan model-model koordinasi dan pembinaan ikatan jamaah
non-formal.

179
Hasil penelitian Martin van Bruinessen terkait jama‟ah pengajian pada
masyarakat miskin di Kota Bandung awal dekade 1980-an, misalnya, menunjukkan bahwa
tesis DDII tersebut di atas ada benarnya. Lihat Martin van Bruinessen. Rakyat Miskin, Islam,
dan Politik, (Yogyakarta: Gading, 2013), h. 39-132.
180
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 24.
181
Sebagai perbandingan, menurut Hiroko Horikoshi, ada yang disebutnya tradisi
keluarga pesantren. Yakni, “keluarga yang secara khusus terus-menerus menghasilkan calon
ulama dan memelihara ummat sebagai pengayom.” Hiroko Horikoshi. Kyai dan Perubahan
Sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. 76-77.
182
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 25.

125
e. Mengembangkan kembali pesantren sebagai wahana pembinaan umat
dengan menyuburkan kaderisasi kepemimpinan dan ulama di pesantren
dengan sistem asistensi-kiai, pengembangan proyek-proyek sosial
(community development) dan mengarahkan sifat family relationship
menjadi “hubungan ide.” 183
DDII pun mempunyai analisis tajam terkait dakwah pada bidang sosial-
politik. Bagi DDII, terjadi kemorosotan peran politik Islam dalam sejarah
Indonesia.184 Dalam era 1949-1959, peranan politik Islam masih mempunyai bobot
kekuasaan yang menentukan. Kehidupan politik yang ditandai dengan persaingan
bebas antar parpol dimasa itu menghasilkan secara demokratik golongan golongan
yang dapat mewakili aspirasi umat. Masyumi, NU, PSII, dan Perti mengumpulkan
sekitar 45 % suara dalam dua kali pemilu, baik untuk menyusun DPR maupun
Konstituante. Terbukti bahwa selama kehidupan politik yang demokratik umat Islam
dapat mengambil peranan politik secara representatif.
Dalam era 1959-1965, peranan politik tersebut terdesak ke pinggir.
Demokrasi Terpimpin Soekarno menggeser kekuatan poliik Islam, antara lain
dengan pembubaran Masyumi, sehingga arena politik Indonesia menjadi medan adu
kekuatan antara PKI yang telah berhasil melakukan infiltrasi cukup jauh ke dalam
tubuh PNI (PNI kiri) dan menguasai Front Nasional di satu pihak, dan TNI AD di
lain pihak. Soekarno sendiri berusaha menjadi penyeimbang dalam adu kekuatan
politik tersebut, sampai terjadi peralihan dalam perimbangan kekuatan itu dengan
terjadinya G 30 S/PKI.185
Pada era Orde Baru, peran politik Islam menjadi makin lemah. Dengan
makin kuatnya kooperatisme, umat Islam dan sektor sipil pada umumnya tidak lagi
mempunyai peranan dalam proses pengambilan keputusan di Indonesia. Dewasa ini
semakin jelas kekuasaan hampir secara penuh dipegang oleh golongan birokrat, baik
sipil maupun militer, terutama melalui Golkar. Dua partai lainnya hanya berfungsi
sejauh tidak menggangu sistem yang telah diciptakan.186
Beberapa ciri utama Orba dapat dilukiskan sebagai berikut: Pertama, terkait
bureaucratic military complex. Peranan militer sudah melimpah di berbagai bidang,
terutama di bidang politik dan birokrasi. Jabatan-jabatan, sejak dari bupati sampai
gubernur dan sel-sel birokrasi penting telah diisi oleh militer.
Kedua, model state capitalism. Kekuasaan negara di bidang ekonomi adalah
besar, namun kendatipun sumber sumber kekayaan nasional dikuasai oleh negara,
tetapi arah pengelolaan perekonomian Indonesia telah banyak menyimpang dari
pasal 33 UUD 1945. Disamping itu, sektor swasta sangat kentara dimonopoli oleh
pemilik pemilik modal kuat dengan elite politik sebagai pelindungnya.187

183
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 45-46.
184
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 27.
185
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 27.
186
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 28. Penjelasan lebih jauh, lihat Afan
Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System,
(Yogyakarta: UGM Press, 1992).
187
Bandingkan dengan penjelasan Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia
Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1990).

126
Ketiga, full grown sekularism. UU no 3 dan no 8 tahun 1985 oleh sementara
pihak telah dijadikan sebagai landasan hukum bagi pengembangan sekularisme
penuh. Tidak saja Golkar dan Parpol, melainkan juga seluruh organisasi massa,
termasuk organisasi organisasi keagamaan yang harus berazaskan tunggal Pancasila.
Bahwa organisasi agama juga tidak diperbolehkan berazaskan agamanya
menunjukkan bahwa para penentu proses sosial secara sadar atau tidak telah
bertekad memasuki full grown sekularism.
Keempat, terlihat kecenderungan totalitarianisme terselubung. Penguasa
tidak saja mengontrol, mengarahkan dan “membina” salah satu dimensi kehidupan
rakyat Indonesia, yaitu kehidupan politiknya, akan tetapi mengawasi, mengarahkan,
dan membina hampir seluruh dimensi kehidupan, lewat UU nomor 3 dan nomor 8 di
atas. Hal ini juga terkait dengan aspek kelima, dalam bidang agama di tingkat massa
rakyat dan jabatan jabatan strategis di berbagai Departemen dan Pemerintah Daerah
terasa dominasi golongan minoritas tertentu yang mengganggu rasa keadilan
masyarakat luas.188
Keenam, usaha de-Islamisasi. Kekuatan-kekuatan Islamofobia untuk
melumpuhkan Islam pada dasarnya menggunakan beberapa cara, antara lain:
intensifikasi pelaksanaan pola pengucilan golongan umat yang berpikir mandiri
(independen), mendorong kecenderungan dalam masyarakat ke arah nativisme yang
serba akomodatif dan memukul kekuatan ekonomi umat atau setidak-tidaknya
mendorong proses gulung tikarnya kekuatan golongan ekonomi umat/lemah.189
Ketujuh, pendekatan-pendekatan security terasa sangat menonjol, sehingga
rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat menjadi terhambat. Pemerintah
Orde Baru sejak awal mempunyai dua tujuan sentral yang tidak dapat dipisahkan
satu dari yang lain, yaitu “pembangunan ekonomi” dan “stabilitas politik.” Tujuan
ganda ini merupakan tujuan antara untuk memantapkan kepercayaan rakyat terhadap
aktivitas sosial militer di dalam penyelenggaraan bernegara, suatu legitimasi peran
sosial politik militer. Aspek pencapaian dan pemeliharaan stabilitas politik
dilaksanakan dengan realisasi pengendalian aktivitas politik secara ketat dan
tersentralisasi, melakukan kristalisasi dalam tubuh militer dan kelompok sipil, serta
menggunakan segala aparatur pemerintah secara maksimal.190
Berdasarkan realitas yang dihadapi umat Islam di atas, maka khittah dakwah
yang dapat dirumuskan untuk menghadapi masalah politik tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Mengembangkan upaya-upaya agar tercipta kerja sama saling menguatkan
dan saling menguntungkan di antara berbagai elemen umat.
b. Melakukan pendekatan dakwah kepada kalangan abangan yang miskin
secara ideologis, namun cukup berarti bagi politik.
c. Menutup setiap usaha untuk memperhadapkan umat dengan angkatan
bersenjata (TNI).
d. Melontarkan isu-isu nasional yang efektif dan menguntungkan umat dan
sekaligus mempersempit ruang gerak musuh-musuh Islam. Hal ini harus

188
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 28.
189
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 29.
190
Penjelasan lebih komprehensif, lihat Schwarz. A Nation in Waiting…, h. 49-97.

127
dilakukan dengan membuat dapur pemikiran (think thank) dan penguasaan
media massa.
e. Menjalin hubungan dengan berbagai organisasi internasional yang asas,
tujuan, dan programnya sama atau hampir sama.191
Bidang ekonomi pun menjadi bidang garapan krusial yang disoroti KDII.
DDII memandang persoalan ekonomi ini memainkan peran cukup signifikan dalam
dakwah.192 Lemahnya ekonomi dapat menyebabkan dakwah terhambat. Oleh sebab
itu, bagian ini pun harus mendapatkan perhatian serius. Dalam bidang ekonomi,
persoalan yang dihadapi umat Islam meliputi lima hal pokok. Pertama, masalah
permodalan. Para pelaku ekonomi Islam dihadapkan pada persoalan kesulitan
permodalan disebabkan hampir sebagian besar sumber pendanaan dikuasai oleh
asing dan pengusaha non-Muslim. Kedua, masalah ketenagakerjaan. Masalah ini
timbul selain karena lapangan kerja yang terbatas, juga terjadi paradoks, Di satu sisi,
pengangguran banyak, tetapi pada sektor-sektor terjadi kekurangan tenaga kerja,
terutama yang terlatih. Ini menandakan angkatan kerja yang sebagian besar adalah
umat Islam tidak terlatih atau tidak memiliki kecakapan hidup yang memadai untuk
bersaing di dunia kerja. Ketiga, masalah keadilan ekonomi. Masalah ini berkaitan
dengan pemerataan terhadap akses-akses ekonomi. Ekonomi cenderung hanya
dikuasai segelintir orang, sementara yang lain tidak mendapatkannya sama sekali.
Dalam sistem ekonomi yang kapitalistik, kesenjangan akses ekonomi ini sangat
kentara; dan pemerintah tidak bisa mengendalikannya.193
Dua terakhir adalah masalah yang bersifat non-ekonomis. Yaitu, masalah
etos kerja dan masalah kejujuran (etika) pelaku ekonorni. Sebagian umat Islam
cenderung malas untuk terjun ke dalam dunia usaha. Umumnya karena tidak
memiliki keterampilan dan etos ekonomi yang rendah. Di lain pihak, masih banyak
orang yang rela mengorbankan agama, akhlak, dan kejujuran demi mengejar
keuntungan. Dalam jangka panjang, hal ini merusak ekonomi itu sendiri, selain juga
mengakibatkan pelakunya terjerumus dalam dosa besar.
Untuk menghadapi masalah dakwah bidang ekonomi ini, khittah yang harus
ditempuh dalam jangka panjang adalah mengembangkan sistem ekonomi Islam yang
dapat menggantikan ekonomi kapitalis yang berkuasa saat ini. Setahap demi setahap,
sistem tersebut dipraktekkan di tengah umat Islam. Sementara itu, dalam masa
transisi menuju terciptanya sistem ekonomi Islam, maka dapat dilakukan hal-hal
berikut ini: (a) Dilakukan perombakan dalam pembangunan ekonomi agar tidak
hanya memperhatikan kesejahteraan materi, tapi juga spiritual. Ekonomi harus
dikembangkan tanpa melunturkan keimanan; (b) Menghilangkan secara bertahap
penyebab-penyebab kemiskinan di tengah ummat; (c) Mengontrol kekuatan modal
yang dapat mematikan golongan ekonomi lemah; (d) Mereorientasi kebijakan
pengembangan ekonomi kota dan desa yang dapat mengurangi derasnya arus
urbanisasi; dan (e) Mengurangi dominasi asing dan minoritas terhadap ekonomi
Indonesia.194

191
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 46-47.
192
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 31.
193
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 34-36.
194
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 48-49.

128
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) adalah kebutuhan manusia yang harus diwujudkan untuk mempertahankan
keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. IPTEK juga merupakan dasar bagi
peradaban manusia. Hanya saja, saat ini perkembangan IPTEK ini bila ditimbang
dari sudut pandang misi ajaran Islam telah terjadi penyelewengan. IPTEK
dikembangkan semata-mata hanya berdasarkan satu padangan Barat yang sekuler,
yang mengabaikan agama sama sekali. Oleh sebab itu, misi utama manusia
diciptakan ke muka bumi menjadi terabaikan, yaitu dalam rangka beribadah pada
Allah SWT.195
IPTEK saat ini memang berkembang sangat pesat, hanya perkembangannya
justru semakin menjauh dari agama. Umat Islam sendiri sebagai yang memiliki tugas
sebagai hamba Allah SWT justru malah banyak tertinggal dalam bidang ini,
sehingga ada dua tantangan yang sekaligus harus diselesaikan. Pertama, melakukan
de-sekularisasi ilmu pengetahuan; kedua, menghidupkan tradisi ilmu di kalangan
umat Islam.196
Dari uraian di atas, dapat diidentifikasi permasalahan yang dihadapi umat
Islam Indonesia, khususnya kelompok cendekiawannya, dibidang ilmu dan teknologi
sebagai berikut. Pertama, bagaimana uamt Islam dapat mendudukkan kembali
fungsi ilmu dan teknologi sebagai sarana manusia untuk menunaikan fungsi fungsi
kodratinya sebagai hamba Allah? Dan bagaimana cendekiawan muslim mampu
mengambangkan ilmu dan teknologi tanpa terjerumus pada pola berfikir
materialistik dan sekularistik? Kedua, bagaimanakah umat Islam mampu
menguraikan ketinggalan dan ketergantungannya di bidang ilmu dan teknologi dari
dunia Barat? Dan bagaimana proses alih ilmu dan alih teknologi dapat berlangsung
tanpa menimbulkan efek negatif alih nilai dan budaya Barat?
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dirumuskan khittah dakwah
sebagai berikut:
a. Menghilangan pandangan dikotomik antara agama (wahyu) dengan ilmu di
kalangan masyarakat pada umumnya dan di kalangan cendekiawan Muslim pada
khususnya.
b. Menyebarluaskan pandangan Islam tentang ilmu dan teknologi yang
proporsional, serta peranannya bagi umat manusia, terutama melalui media
pendidikan (termasuk dunia akademi) dan dunia informasi.
c. Mengupayakan agar proses alih-ilmu dan alih-teknologi dilakukan dengan
memperhatikan pandangan hidup bangsa Indonesia, terutama pandangan Islam,
dan disesuaikan dengan problematika utama yang dihadapi bangsa atau umat.197

195
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 40-41.
196
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 42. Penjelasan lebih lanjut dari tim
perumus, lihat A. M. Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus, (Jakarta: PPA Consultant,
2010). Dengan tujuan yang sama, namun dalam tataran konsepnya ada beberapa perbedaan,
Kuntowijoyo merumuskan apa yang disebutnya “Paradigma Ilmu Profetik”. Tulisan awal
zaman Orde Baru, lihat Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung:
Mizan, 1991); sedangkan untuk episode perkembangan berikutnya, lihat Kuntowijoyo. Islam
Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004).
197
Khittah Dakwah Islam Indonesia…, h. 49.

129
KDII ini menunjukkan tiga karakteristik gerakan dakwah DDII. Pertama,
DDII memiliki gagasan-gagasan reformis-modernis seperti yang diusung
Muhammadiyah-Persatuan Islam pada awal abad ke-20. Kedua, DDII memiliki visi
pembangunan peradaban Islam, bukan semata-mata hanya mengajarkan Islam
sebagai ajaran normatif belaka. Ketiga, gagasan DDII juga berkarakter holistik-
komprehensif. Karena ketiga faktor inilah, gerakan DDII beririsan dengan berbagai
gerakan Islam lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Namun satu hal yang
penting digarisbawahi, basis paradigma DDII adalah integral-konstitusional: untuk
membangun ummat Islam dalam bingkai negara kesatuan Indonesia.

130
BAB V
TRANSFORMASI-TRANSISIONAL DDII PASCA-NATSIR
DI ERA AKHIR ORDE BARU HINGGA AWAL REFORMASI 1993-1999

Semenjak berdirinya di era awal Orde Baru, DDII hadir sebagai wadah
alternatif bagi para tokoh eks-Masyumi—terutama Natsir—untuk tetap berkiprah di
pentas nasional, bahkan internasional. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
semenjak Suharto berhasil merebut kekuasaan dari tangan Sukarno, ia menerapkan
kebijakan depolitisasi terhadap umat Islam dan kelompok-kelompok lain yang
dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan Orde Baru. Agenda yang diusung
sepanjang kekuasaannya adalah melakukan modernisasi terhadap berbagai aspek
kehidupan masyakarat Indonesia. Karena faktor inilah, tokoh-tokoh eks-Masyumi
berkumpul dan bergerak dalam jalur dakwah, salah satunya melalui DDII.
Selama rentang 1967-1993, DDII dipimpin Natsir. Pada rentang ini pula,
kebijakan politik Orde Baru cenderung „merugikan‟ kelompok Islamis ini.1 Dalam
keadaan seperti ini, DDII vis-à-vis Negara di era awal hingga pertengahan Orde
Baru seolah-olah adalah „musuh.‟2 DDII memerankan dirinya sebagai kekuatan
penyeimbang Negara.3 Namun, eskalasi politik Orde Baru mulai berubah menjelang
akhir dekade 1980-an. Terutama dekade 1990-an adalah era „bulan madu,‟ karena
Soeharto justeru melakukan pendekatan politik terhadap umat Islam. Demikian juga,
kepergian Natsir (wafat pada tahun 1993)4 membawa perubahan-perubahan yang
signifikan pada tubuh-organisasi DDII. Bab ini secara khusus melakukan kajian
perubahan-perubahan tersebut sebagai proses transisi DDII pasca-Natsir dan
dinamika pemikiran elite-elite DDII yang baru.

1
George Mc Turnan Kahin mencatat: “When I last talked with Natsir in early
January 1991, approximately a year before he died, he was clearly keenly disappointed and
saddened by the condition of his country. This was not only because he saw the Suharto
government as showing a stiflingly repressive authoritarianism. (“Sukarno,” he said, “was a
gentleman in comparison to Suharto.”) It was also because of his perception of the state of
Indonesian society itself. For he saw most of its upper strata as having become grossly
materialistic, selfish, and shorn of social conscience; with this development being
accompanied by a widening gap between rich.” George Mc Turnan Kahin. “In Memoriam:
Mohammad Natsir (1907-1993),” Indonesia, No. 56 (Oct., 1993), h. 165.
2
Dalam bahasa Bachtiar Efendy, hingga dekade 1980an, Orde Baru melihat Islam
sebagai ancaman terhadap konstruk ideologis dan konstitusional negara. Lihat Bachtiar
Effendy. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam Indonesia
(Jakarta: Paramadina, 1998), h. 345.
3
Tiar Anwar Bachtiar. Setengah Abad Dewan Dakwah Berkiprah Mengokohkan
NKRI (Jakarta: DDII, 2017), h. 158-159.
4
Natsir meninggal pada Sabtu, 6 Februari 1993 (14 Sya'ban 1413 H), tepat pada
saat adzan dzuhur, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 84 tahun. Hari
itu juga jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet, di samping
makam isterinya, Nur Nahar. Lihat Buchari Tamam. “Anwar Harjono Dalam Lintasan
Pengenalanku,” dalam Lukman Hakiem (ed.), Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan:
Biografi Dr. Anwar Harjono (Jakarta: Media Dakwah, 1993), h. 489.

131
A. Konteks Historis Perubahan Sosial Politik Orde Baru 1990-1997
Penyesuaian atau sikap akomodatif pemerintah Orde Baru pasca
1966 dengan segmen-segmen komunitas Muslim yang penting memang merupakan
salah satu perkembangan yang paling fenomenal dalam politik Indonesia dekade
1990-an.5 Pada lima tahun terakhir kekuasaannyn, Presiden Soeharto mengarahkan
perhatiannya pada kelompok muslim modernis dan berusaha menekan kegiatan
Muslim pro-demokrasi.6 Bahtiar Effendi melihat perkembangan tersebut sebagai
melunaknya politik negara—dalam hal ini Orde Baru—terhadap Islam yang ditandai
oleh diterapkannya beberapa kebijakan negara yang sejalan dengan kepentingan
sosial-ekonomi dan politik umat Islam.7
Kebijakan-kebijakan tersebut seperti antara lain terlihat dari perekrutan
sejumlah aktivis Muslim ke dalam mesin birokrasi dan politik Orde Baru.
Pembentukan Kabinet Pembangunan V pada tahun 1988, misalnya, telah
menunjukkan suatu perubahan yang menonjol, terutama jika dibandingkan dengan
empat Kabinet Pembangunan sebelumnya. Di dalam Kabinet Pembangunan V,
setidaknya terdapat delapan mantan tokoh himpunan mahasiswa Islam (HMI)
dilantik sebagai Menteri.8 Demikian pula dengan direkrutnya para pemimpin dan
aktivis Muslim ke dalam parlemen, menyusul Pemilihan Umum 1992. Padahal,
sebagian di antara mereka adalah orang-orang yang sebelumnya berada di luar dan
terasing dari pemerintahan.9
Menurut M. Kamal Hassan, terdapat tiga kelompok besar dari gerakan Islam
Indonesia di era Orde Baru ini. Pertama, kelompok yang menempuh jalan dakwah
yang di antaranya dipelopori oleh DDII di bawah komando aktivis Persis dan
Masyumi, Mohammad Natsir. Kedua, kelompok memunculkan isu pembaharuan
Islam yang dikomandani oleh Nurcholis Madjid dan kawan-kawannya melalui
jaringan-jaringan HMI dan IAIN. Ketiga, kelompok yang berusaha melakukan
transformasi sosial dengan mendirikan lembaga-lembaga swadaya masyarakat
(LSM) dengan tokohnya M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono dan kawan-kawan.10
5
Robert W. Hefner, “Islamisasi dan Demokratisasi di Indonesia,” dalam Robert W.
Hefner dan Patricia Horvatich, Islam di Era Negara Bangsa: Politik dan Kebangkitan
Muslim Asia Tenggara (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), Cet-l, h. 95.
6
Robert W. Hefner, Islam dan Bangsa Pasca Soeharto (Jakarta: ISAI, 2001), h. 13.
Lihat juga M. Isa H.A. Salam, “Al-Dawlah wa al-Da‟wah al-Islāmīyah fī „Ahd al-Niẓ ām al-
Jadīd: Dirāsah fī Fikr Soeharto min Khilāl al-Khiṭ ābāt al-Ri‟āsīyah fī al-Munāsabāt al-
Islāmīyah bi Indonesia,” Studia Islamika, Vol. 23, No. 1, 2016, h. 143-174.
7
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h. 271-272.
8
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999), h. 228. Bahtiar Effendi bahkan menyebut sebelas (11) orang·alumni HMI
yang diangkat sebagai menteri, yaitu: Abdul Gafur, Akbar Tanjung, Bustanul Arifin, Saleh
Afif, Azwar Anas, Hasrul Harahap, Arifin Siregar, Syamsuddin Sumintapura, Sya'adillah
Mursid dan Syafruddin Baharsyah. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h. 276.
9
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h. 277.
10
Lihat M. Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim
(Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987). M. Din Syamsuddin membagi tiga arus utama
pemikiran politik Islam Indonesia era ini: formalistik, substantivistik dan fundamentalis; lihat
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), h. 151-164;
Sedangkan M. Syafii Anwar membaginya menjadi lima karakteristik, yakni: formalistik,

132
Akan tetapi, terjadi perubahan sejak awal tahun 1990. Batas-batas ideologis
dari ketiga kelompok (dakwah, pembaruan dan LSM) ini semakin terlihat memudar
dengan berdirinya ICMI pada 6 Desember 1990.11 Sebagaimana dijelaskan oleh
Yudi Latif:
The dakwah movement made a major contribution to the lslamising of the
secular academic community, while the renewal movement made a major
contribution to the so-called „greening‟ (penghijauan or lslamisation of the
Indonesian bureaucracy and polity. The synergy of these achievements in
conjunction with a conducive political opportunity structure would lead to the
establishment of the Association of Indonesian Muslim Intelligentsia (ICMI).12
Berdirinya ICMI sejak semula memang dipicu oleh kegundahan generasi
intelektual muslim melihat polarisasi yang cukup tajam antara kelompok dakwah
dan pembaruan, dampak dari isu pembaruan Nurcholish Madjid. Saat itu muncul
komunitas-komunitas intelektual Muslim yang sebagiannya satu sama lain saling
bersaing dan bahkan ada yang saling bertentangan. Sebut saja ada kelompok dakwah
yang berbasis pada komunitas Mesjid Salman ITB di Bandung, komunitas Mesjid
Salahuddin pimpinan Amin Rais di Yogyakarta, Fuad Amsyari dengan komunitas
Al-Falah di Surabaya, dan A. M. Saefudin (Ibnu Khaldun) di Bogor. Di lain pihak,
ada Nurcholish Madjid dengan komunitas pembaruan Paramadina di Jakarta dan
Jalaluddin Rahmat di Bandung yang cenderung liberal.13
Triggernya adalah pertemuan Imaduddin Abdulrachim (bang Imad, dai-
akademis Salman ITB yang dikader DDII) dengan para mahasiswa, ketika ia
diundang ceramah oleh Bagian Ruhani Dewan Senat Mahasiswa Teknik Universitas
Brawijaya (Unibraw) di Mesjid Raden Fatah, Malang. Pada waktu itulah, bang Imad
memberikan gagasan dan dorongan pada para mahasiswa terkait pentingnya
persatuan di kalangan para cendekiawan Muslim.14 Oleh sebab itu, anak-anak muda
yang dimotori Erik Salman, Ali Mudakir, Mohammad Zaenuri, Awang Surya, dan
Mohammad Iqbal—kelima anak muda itu adalah mahasiswa Fakultas Teknik

substantivistik, transformatik, totalistik, idealistik dan realistik; lihat M. Syafii Anwar,


Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim
Orde Baru (Jakarta: Paramdina, 1995), h. 143-184.
11
Nasrullah Ali-Fauzi (ed.). ICMI: Antara Status Quo dan Demokratisasi
(Bandung: Mizan, 1995), h. 22.
12
Yudi Latif. The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of lts Emergence
th
in the 20 Century (Canberra: The Australian National University, 2004), h. 400.
13
Menurut kesaksian M. Dawam Rahardjo, latar belakang pendirian ICMI tidak
bisa dipisahkan dari peran-gagasan Imaduddin Abdulrachim, kader dai-akademis DDII dari
Salman ITB Bandung. Sejak kepulangan studinya di Amerika akhir tahun 1980, bang Imad
gelisah melihat polarisasi gerakan Islam di Indonesia, khususnya antara Jakarta-Bandung-
Yogyakarta-Ujung Pandang. Bang Imad bahkan pernah menginisiasi pertemuan
antarkelompok itu tahun 1989 di Kaliurang, Yogyakarta, dengan tujuan untuk “integrasi
kultural yang dialogis antara cendekiawan Muslim.” Lihat M. Dawam Rahardjo. “Visi dan
Misi Kehadiran ICMI: Sebuah Pengantar,” dalam Ihsan Ali-Fauzi (ed.). ICMI: Antara Status
Quo…, h. 28. Tentang kiprah bang Imad, lihat Jimly Asshiddiqie (ed.), Bang Imad:
Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).
14
Inisiatornya adalah Erik Salman, karena ia mengagumi bang Imad. Latif. The
Muslim Intelligentsia…, h. 419.

133
Unibraw Malang angkatan 1987—ingin menyelenggarakan semacam kegiatan yang
bisa mempersatukan para cendekiawan tersebut. Para mahasiswa inipun mendapat
dukungan dari M. Dawam Rahardjo yang datang ke Malang untuk mengunjungi
anak perempuannya, sehingga beberapa kali mengisi ceramah di masjid Raden Fatah
tersebut.
Kelima mahasiswa teknik ini kemudian berkonsultasi dengan Rektor
Unibraw, Drs. Z.A. Ahmadi, MPA dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM), Drs. Malik Fadjar, M.Sc. Akhirnya, mereka disarankan menyelenggarakan
simposium yang melibatkan cendekiawan-cendekiawan Muslim dari berbagai
kelompok. Setelah berkonsultasi dengan berbagai cendekiawan di Surabaya,
Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, niat mereka semakin kuat untuk terealisasi. Pada
pertemuan berikutnya bulan Mei 1990, bang Imad dan Dawam Rahardjo malah
menyarankan agar kegiatan tersebut sebaiknya juga diarahkan untuk membentuk
suatu ikatan cendekiwan Muslim.15
Awalnya, kelompok mahasiswa ini—dengan didampingi bang Imad—
menemui Alamsjah Ratu Prawiranegara pada Juni 1990. Dari pertemuan itu, mereka
disarankan menemui Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie, seorang teknokrat Muslim yang
dikenal dekat dengan Suharto dan saat itu menjabat Menteri Negara Riset dan
Teknologi/Kepala BPPT.16 Mereka berhasil bertemu dengan Habibie pada 23
Agustus 1990, dengan didampingi oleh bang Imad, Dawam Rahardjo, dan Syafii
Anwar.17 Secara pribadi, Habibie mendukung, namun ia merasa perlu untuk
meminta izin pada Suharto. Pada saat yang sama, Presiden Suharto memang telah
mulai membangun kedekatan dengan kelompok Islam. Hubungannya dengan
teknokrat-teknokrat Kristen dan PSI, serta ABRI yang sangat anti terhadap gerakan
Islam mulai renggang. Sebaliknya, ia mulai banyak mengangkat orang-orang di
sekelilingnya dari kalangan Muslim.18
Skema ekonomi pun sudah mulai diubah dari skema ekonomi Widjijonomic
yang berorientasi pada pembangunan ekonomi kepada skema ekonomi
Habibienomic yang lebih menekankan pada industri strategis dan pengembangan
15
M. Dawam Rahardjo. “Visi dan Misi Kehadiran ICMI…,” h. 25-44.
16
Alamsyah menceritakan pertemuan itu. Setelah mendengar paparan para
mahasiswa yang mengajukan proposal simposium para cendekiawan serta usulan pimpinan
kumpulannya, Alamsjah terpikir akan Habibie, di samping hubungan mereka sangat dekat,
juga mengingat kepercayaan Presiden yang sangat besar pada dirinya. Lihat Suparwan G.
Parikesit dan Krisna R. Sempurnadjaja (ed.), H. Alamsjah Ratu Prawiranegara: Perjalanan
Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 327.
17
Pada pertemuan itu, Habibie meminta bukti dukungan dari para tokoh terkemuka.
Melalui jaringan bang Imad dan Dawam Rahardjo, para mahasiswa berhasil mengumpulkan
49 tandatangan tokoh Muslim, kemudian memberikannya pada Habibie pada 25 September
1990. Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 420.
18
Jenderal LB Murdani, anak didik Ali Murtopo, posisinya sebagai Panglima ABRI
telah digantikan oleh Try Sutrisno yang Muslim sejak tahun 1988. Posisinya yang baru, yaitu
sebagai Menteri Pertahanan, mulai mereduksi kewenangannya, sehingga boleh dikatakan
bahwa Suharto ingin mengakhiri kekuasaan Murdani secara pelan-pelan. Terjadilah, seperti
kata Latif, “The President began to welcome the promotion of Islamic-friendly-military
officers sometimes referred to as the „green army‟.” Latif. The Muslim Intelligentsia…, h.
401.

134
teknologi tinggi.19 Itu artinya kedekatan Suharto dengan kelompok Islam semakin
jelas. Bahkan, kabinet tahun 1993 disebut-sebut oleh para pengamat sebagai
“Kabinet Ijo Royo-Royo” karena banyak mengakomodasi para menteri dari
kalangan santri. Salah satu yang membuka jembatan kedekatan Suharto dengan
kelompok Islam adalah karena pemikiran-pemikiran kelompok pembaruan yang
lebih akomodatif terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru.20
Karena situasi yang kondusif itu, akhirnya Suharto memberi dukungan
penuh terhadap kegiatan tersebut. Di samping itu, setelah berkeliling ke berbagai
kota ternyata sambutan dari para cendekiawan sangat antusias. Mereka memberikan
tanda tangan sebagai tanda dukungan dan persetujuan atas kegiatan tersebut.
Akhirnya, acara tersebut benar-benar menjadi hajat besar bagi para cendekiawan
Muslim dari berbagai kota dan daerah. Terlebih Suharto telah merestui Habibie
dbantu dengan beberapa orang menterinya untuk menjadi pemimpin ikatan
cendekiwan yang oleh Habibie diusulkan bernama ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim).21
Setelah sebelumnya melalui berbagai persiapan dan pembicaraan untuk
menentukan format kegiatan, akhirnya tanggal 6-8 Desember 1990
diselenggarakanlah kegiatan yang bertajuk “Simposium Nasional Cendekiawan
Muslim: Membangun Masyarakat abad XXI” yang menjadi titik awal berdirinya
ICMI. Acara itu sendiri dibuka secara langsung oleh Presiden Suharto dan dihadiri
oleh pejabat-pejabat pusat dari Jakarta.22 Inilah sebuah perhelatan yang menandakan
berakhirnya era “oposisi” kaum Muslim terhadap penguasa Orde Baru. “Habislah
sudah masa pembangkangan Islam,” kata budayawan Kuntowijoyo.23 Abdul Munir
Mulkhan menyebutnya sebagai momen “runtuhnya mitos politik santri” (sebagai

19
Lihat M. Dawam Rahardjo. Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan
Indonesia (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1997); Lihat juga Sulfikar Amir, “Symbolic Power in
Technocratic Regime: The Reign of B. J. Habibie in the New Order Indonesia,” Sojourn:
Journal of Social Issues in Southeast Asia, 22, 2007, pp. 83-106; Sulfikar Amir, “The
Engineers Versus the Economists: The Disunity of Technocracy in Indonesian
Development,” Bulletin of Science, Technology & Society, 2008; 28 (4): 316-323.
20
M. Syafii Anwar. “Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Masa
Orde Baru: Sebuah Retrosfeksi dan Refleksi,” dalam Ihsan Ali-Fauzi (ed.). ICMI: Antara
Status Quo…, h. 25-44. Bandingkan dengan Robert W. Hefner. “Public Islam and the
Problem of Democratization,” Sociology of Religion, Vol. 62, No. 4, (Winter, 2001), pp. 491-
514.
21
Sebelumnya, Nurcholis Madjid mengusulkan nama ISMI (Ikatan Sarjana
Muslim), namun dinilai terlampau berorientasi akademik. Latif. The Muslim Intelligentsia…,
h. 420.
22
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam…, h. 251-261.
23
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid: Esai-Esai Agama, Budaya dan Politik
dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), h. 71.

135
oposan).24 “ICMI was the beginning of a “new” New Order indeed,” kata Robert W.
Hefner.25
Segera setelah ICMI dideklarasikan, di berbagai kota didirikan cabang-
cabang yang disebut ORSAT (Organisasi Satuan) untuk tingkat lokal dan ORWIL
(Organisasi Wilayah) untuk tingkat provinsi. Sementara pengurus tingkat pusat yang
diketuai Habibie disebut ORPUS (Organisasi Pusat). Kaum intelektual yang
bergabung sangat banyak dan menunjukkan antusiasme yang sangat tinggi. Selain
itu, latar belakang keagamaan pun beragam, baik dari kalangan modernis maupun
tardisionalis; dari kelompok dakwah maupun pembaruan. Ini menunjukkan ICMI
secara relatif berhasil menyatukan kaum intelektual yang terbelah karena berbeda
pandangan dan ideologi gerakan. Di tingkat pusat saja terlihat intelektual yang
memeloporinya berasal dari latar belakang yang beragam seperti B.J. Habibie
(teknokrat non afiliasi kelompok), Nurcholis Madjid (pembaruan), Dawam Rahardjo
(pembaruan), Imaduddin Abdulrachim (dakwah), Adi Sasono (aktivis LSM),
Muslimin Nasution (akademisi kampus), dan puluhan intelektual lain dengan latar
belakang yang beragam. Di tingkat daerah pun menunjukkan gejala yang sama.26
Kemauan untuk bersatu inipun salah satunya didorong oleh program-
program ICMI yang lebih berorientasi pada persoalan-persoalan praktis umat, bukan
masalah ideologi dan pemikiran.27 Walaupun demikian, menurut Adam Schwarz,
berdirinya ICMI tidak hanya menunjukkan fenomena revivalisme Islam, namun juga
aspek politik:
The “why” ICMI has several complementary explanations. At one level, it can
be seen as a natural product of the process of Islamic revivalism described
above. It simply provides an institutional form through which Muslims can put
forward their agenda in an organised way. But it would be a mistake to view
ICMI in religious terms onIy. A number of political objectives are also being

24
Lihat Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Bandung: Mizan,
1992); Bandingkan dengan Diego Fossati, “The Resurgence of Ideology in Indonesia:
Political Islam, Aliran and Political Behaviour,” Journal of Current Southeast Asian Affairs,
2019, Vol. 38 (2), pp. 119-148.
25
Robert W. Hefner. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (New
Jersey: Princeton Univetsity Press, 2000), h. 143.
26
Rahardjo. “Visi dan Misi Kehadiran ICMI…,” h. 25-44.
27
Kondisi ini, misalnya, September 1992 dibentuk CIDES (Center for Information
and Development Studies), Januari 1993 diterbitkan koran Republika untuk menyalurkan
suara kaum Muslim; Program ORBIT untuk membantu beasiswa bagi pelajar Muslim yang
berprestasi dan tidak mampu; Untuk permodalan mikro bagi pengusaha Muslim didirikan
bank-bank syari‟ah (yang pertama Bank Mu‟amalat) dan Baitul Maal wat Tamwil (BMT);
Untuk mengembangkan usaha-usaha mikro pada level akar rumput didirikan Yayasan
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK); Untuk menyediakan ide-ide alternatif bagi
pembangunan daerah dibentuk Majelis Kajian Pembangunan Daerah (MKPD); Untuk forum
diskusi bagi cendekiawan-cendekiawan muda didirikan Majelis Sinergi Kalam (MASIKA);
ICMI juga mempopulerkan Gerakan Wakaf Buku. Lihat Rahardjo. “Visi dan Misi Kehadiran
ICMI…,” h. 41-42.

136
served by the organisation. One of these is Soeharto‟s need to respond to what
he perceives to be declining support for him within the armed forces.28
Karena terlampau bernuansa politis dengan dipaksakan masuk menteri-
menteri dan pejabat-pejabat tinggi Suharto untuk menjadi pengurus, ICMI sejak
awal sudah menuai kontroversi. Ketua Umum PBNU, Abdurrahman Wahid,
menyatakan ketidaksetujuannya atas berdirinya ICMI karena kekentalan nuansa
politisnya dan bersifat organisasi sektarian.29 Demikian juga kelompok militer dan
intelektual Kristen, seperti Rahman Tolleng dan Harry Tjan Silalahi.30 Karena
kontroversi itu segera saja, ICMI menjadi bahan pemberitaan yang hangat fenomenal
selama tahun-tahun berikutnya setelah ICMI berdiri.31
Sekalipun bernuansa politik sangat kental, sebenarnya prestasi politik yang
ditorehkan ICMI di panggung politik Indonesia tidak berlangsung lama. Citra ICMI
cenderung dipolitisasi oleh Suharto dengan memasukkan para pembantunya menjadi
pengurus teras ICMI, menurut Adam Schwarz, “to drum up political support for
Soeharto among leading Indonesian Muslims.”32 Sehingga, kata R. William Liddle,
“the rise and prominence of ICMI could best be understood as part of the
president‟s political strategy and tactics.”33 Dengan cara itu, Suharto mendapat

28
Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesia‟s Search for Stability (Colorado:
Westview Press, 2000), h. 176. Kajian Schwarz ini mendapat tanggapan kritis dari Saiful
Muzani, karena menggunakan kerangka politik aliran yang dianggap sudah tidak relevan lagi
dalam konteks Indonesia dekade 1990-an. Lihat Saiful Muzani. “Mitos Politik Aliran dan
Aspirasi Politik ICMI Modernis: Tanggapan Terhadap Adam Schwarz,” dalam Nasrullah
Ali-Fauzi (ed.). ICMI: Antara Status Quo…, h. 103-119.
29
Menurut Taufik Abdullah, ketika berbagai persiapan ke arah pembentukan ICMI
dimulai, Abdurrahman Wahid secara konsisten menyatakan penolakannya, meskipun
beberapa tokoh ulama NU ikut serta di dalamnya. Tuduhan Wahid bahwa ICMI adalah
organisasi sektarian ditolak para pemimpin ICMI. Hingga tingkat tertentu, terjadi keretakan
hubungan antara Wahid dengan beberapa pemimpin ICMI. Taufik Abdullah, “Terbentuknya
Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer,” dalam Jalan Baru Islam: Memetakan
Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 337, catatan kaki no. 28;
Terkait pandangan Wahid, salah satunya lihat Abdurrahman Wahid. “Intelektual Di Tengah
Eksklusifisme,” dalam Nasrullah Ali-Fauzi (ed.). ICMI: Antara Status Quo…, h. 70-75;
Bandingkan dengan Elly Warnisyah Harahap, Syahrin Harahap, Amroeni Drajat. “Religion
and Democracy: Perspective of Abdurrahman Wahid,” Budapest International Research and
Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal), Volume 3, No 1, February 2020, pp. 26-34.
30
Pada 1991, dengan dukungan Abdurrahman Wahid, para intelektual anti-ICMI
mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Terkait Fordem sebagai oposan Pemerintah, lihat
Edward Aspinall. Political Opposition and the Transition from Authoritarian Rule: The Case
of Indonesia (Canberra: The Australian National University, 2000), h. 104-114.
31
Ali-Fauzi (ed.). ICMI: Antara Status Quo…, h. 21.
32
Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesia‟s Search…, h. 162.
33
Lihat R. William Liddle. “The Islamic Turn in Indonesia: A Political
Explanation,” Journal of Asian Studies, vol. 55, no. 3, 1996, pp. 613-34. Sebagai
perbandingan, penting dicatat pandangan Robert W. Hefner, bahwa bagaimanapun kuatnya
gagasan ICMI ditarik ke dalam konteks intrik birokratik, “they never controlled all aspects of
the organization. In fact, the “real” membership of ICMI consisted not of government
bureaucrats but of the organization‟s two other groupings: Muslim intellectuals…and

137
dukungan baru dari kelompok-kelompok Muslim yang sebelumnya beroposisi
dengannya. Oleh karena itu, ketika Suharto jatuh oleh gerakan reformasi, citra ICMI
pun turut jatuh.34 Namun demikian, ICMI harus dicatat pernah bisa menyatukan
kaum intelektual Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang dalam satu wadah.
Dalam bahasa Schwarz, “it is the first serious attempt since the Masyumi's demise to
bring together Indonesia‟s fractious Muslim groups under one banner.”35 Karena
sifat persatuan itulah, ICMI juga dijuluki—dan diharapkan sebagai— „Neo-
Masyumi‟.36

B. Transisi-Perubahan DDII di era Akhir Orde Baru Hingga Awal Reformasi


Ketika ICMI dibentuk pada Desember 1990, DDII masih dipimpin M.
Natsir. Namun demikian, karena faktor uzur dan kesehatan, Natsir sesungguhnya
sudah tidak terlalu aktif.37 Urusan-urusan DDII sudah banyak diserahkan kepada
Anwar Harjono.38 Walaupun Anwar Harjono menduduki jabatan Ketua III dalam
strutur DDII, namun karena ia yang termuda dari jajaran para ketua, maka ialah yang
diserahi tanggungjawab „pimpinan harian‟ DDII. Terutama tahun-tahun menjelang
wafatnya Natsir (1991-1993), DDII praktis dikoordinasikan oleh Anwar Harjono.
Harjono lahir 8 November 1923 di Krian, Desa Kauman Sidoarjo Jawa
Timur, dari keluarga priyayi Jawa yang taat beragama. Karena itu, sejak kecil
Harjono telah belajar agama, baik dari ayahnya maupun dari kiai di kampungnya.
Pendidikan formal tingkat dasar dijalaninya di perguruan Taman Siswa I Mojokerto.
Kemudian karena tertarik menjadi guru, Harjono masuk ke madrasah Muallimin
Muhammadiyah Malang dan Yogyakarta. Inilah saat ketika Harjono untuk pertama
kalinya bersentuhan dengan pemikiran Islam kaum modernis.39 Tamat dari

activists interested in using ICMI to promote political change.” Lihat Robert W. Hefner.
Civil Islam…, h. 143.
34
Di dalam ICMI sendiri, pengangkatan para birokrat sebagai pejabat teras ICMI
sudah menimbulkan benih konflik internal. Oleh karena nuansa yang sangat politis itu pula,
segera setelah kekuasaan Suharto jatuh tahun 1998, ICMI menjadi kehilangan taringnya.
Naiknya Habibie menjadi presiden pun tidak mendongkrak kembali pamor ICMI. Hingga
akhir masa Presiden Habibie, ICMI tidak lagi dapat menjadi wadah ideal untuk menyatukan
kembali kaum intelektual dengan pamornya yang semakin merosot. Peran politik ICMI
semakin redup pascaberakhirnya kekuasaan Presiden Habibie. Lihat Yudi Latif. The Muslim
Intelligentsia…, h. 445.
35
Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesia‟s Search…, h. 176.
36
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 430. Kuntowijoyo memastikan bahwa isu
“Neo-Masyumi” bukan berasal dari Anwar Harjono, pimpinan DDII. Kuntowijoyo. Muslim
Tanpa Mesjid…, h. 82.
37
Tamam. “Anwar Harjono Dalam Lintasan Pengenalanku,” dalam Hakiem (ed.),
Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan…, h. 487.
38
Anwar Harjono disebut-sebut sebagai generasi terakhir Masyumi. Harjono—yang
pernah menjabat sebagai ketua umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII) ini—sudah sejak lama dikenal dekat dengan Natsir. Menurut Harjono sendiri, ia sudah
kenal dengan Natsir tahun 1945 (zaman Jepang), ketika Natsir menjadi Sekretaris Sekolah
Tinggi Islam (STI). Lihat Hakiem (ed.), Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan…, h.
59, footnote no. 27.
39
Hakiem (ed.), Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan…, h. 126-28.

138
Muallimin, Harjono menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di Surabaya, sebelum
kemudian dia pindah ke Jakarta menjalani profesi sebagai seorang pustakawan.
Kecintaannya kepada ilmu membawanya kembali ke Jawa Timur, tepatnya
ke daerah Jombang. Harjono belajar agama di pondok pesantren ternama, Tebuireng.
Di pesantren itu, Harjono belajar dan menimba ilmu dari kiai-kiai besar NU, seperti
KH Maksum dan KH Wahid Hasyim. Walaupun hanya setahun mondok di
pesantren—yang tidak hanya dikenal sebagai milik kaum kaum Nahdhiyin namun
juga “pusat” NU itu—tetapi pengaruhnya cukup besar terhadap pembentukan
kepribadian dan pandangan keagamaan Harjono. Kelak Harjono dikenal sebagai
tokoh Islam yang dalam pandangan keagaman dan politiknya modernis, tetapi dalam
ritual atau ibadah sehari-harinya lebih cenderung tradisionalis.40
Setahun di Tebuireng, Harjono—atas restu Wahid Hasyim—kembali ke
Jakarta dan mendaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI). Di sanalah
buat pertama kalinya ia berkenalan dengan Natsir, sekretaris perguruan tinggi itu.
Pada masa kuliah di STI pula, Harjono mulai terbuka wawasannya. Pemimpin dan
para pengajar STI terdiri dari intelek-ulama dan ulama-intelek terbaik yang ada, baik
dari generasi pertama maupun generasi kedua, dengan peran menonjol dimainkan
oleh mantan aktivis JIB/SIS dan para lulusan Al-Azhar.41 Dari mulai di STI inilah,
Harjono terlibat dalam dunia pergerakan, merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia melawan tentara pendudukan Jepang dan kolonial Belanda.
Harjono mulai memainkan perannya di pentas politik nasional dengan
menjadi salah seorang pendiri dan kemudian ketua GPII.42 Sebagai ketua umum
GPPI, Harjono pernah menjadi Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
pada 1947-1950. GPII pulalah yang kemudian membawanya menjadi salah satu
anggota pimpinan pusat Masyumi. Bagi Harjono, “Antara Masyumi dengan GPII
dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak bisa dipisah-pisahkan.”43 Harjono menjadi
anggota parlemen (DPRS) dari Partai Masyumi, menggantikan Boerhanuddin

40
Ketika akan memutuskan untuk mendaftar dan nyantri di pesantren Tebuireng,
misalnya, Harjono melakukan “tirakat putih,” suatu tradisi Jawa yang memantangkan makan
dan minum (berpuasa) kecuali makan nasi putih dan minum air putih. Praktek ritual seperti
ini adalah sesuatu yang tidak biasa di kalangan Islam modemis. Tetapi Harjono masih
melakukannya, kendatipun ia juga berafiliasi dengan Muhammadiyah, dan membuatnya
lebih dapat diterima di lingkungan kaum tradisionalis NU. Lihat Hakiem (ed.), Perjalanan
Mencari Keadilan dan Persatuan…, h. 34.
41
Lihat Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik: Bakti
Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia Kepada Bangsa (Jakarta: Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997, h. 8-9; Bandingkan dengan Khairun Niam, “The
Discourse of Muslim Intellectuals and `Ulama‟ in Indonesia: A Historical Overview.”
Journal of Indonesian Islam, Volume 04, Number 02, December 2010, h. 287-316.
42
Anwar Harjono aktif di GPII sejak awal kelahiran organisasi pemuda Islam itu.
Harjono kemudian menjabat sebagai ketua umum GPII selama empat periode (l950-
1951,1951-1952,1952-1955,1955-1956). Lihat Hakiem (ed.), Perjalanan Mencari Keadilan
dan Persatuan…, h. 125-141.
43
Anwar Harjono, “Buchari Tamam Tokoh Tekun yang Berdedikasi,” dalam
Lukman Hakiem (ed.), 70 Tahun Buchari Tamam Menjawab Panggilan Risalah (Jakarta:
Media Da‟wah, 1992), h. 208.

139
Harahap. Puncak karir politiknya di Masyumi adalah sebagai juru bicara terakhir
partai tersebut sampai Masyumi dibubarkan oleh rezim Orde Lama.
Pada masa Orde Baru, Harjono termasuk di antara tokoh Masyumi yang
gigih memperjuangkan rehabilitasi Partai Masyumi bersama-sama dengan tokoh
Masyumi lainnya seperti Prawoto Mangkusasmito, Fakih Usman, dan lain-lain.
Ketika upaya tersebut mengalami kegagalan, Harjono dan para tokoh Masyumi
lainnya mendukung ide pembentukan partai politik Islam baru. Ia menjadi wakil
ketua Panitia Tujuh— yang diketuai Fakih Usman—untuk mempersiapkan Partai
Muslimin Indonesia.44 Harjono termasuk yang dicalonkan Prawoto untuk jadi
pimpinan partai baru tersebut.45 Bersama Natsir, Sjafruddin dan beberapa mantan
tokoh Masyumi beserta tokoh-tokoh seperti M. Hatta, A. H. Nasution, Hoegeng, Ali
Sadikin dan lain-lain, Harjono ikut menandatangani Petisi 50 pada Mei 1980.
Keikutsertaannya dalam petisi tersebut telah membuat dirinya dan tokoh-tokoh
lainnya dikucilkan dan dicekal bepergian ke luar negeri.46
Tak memungkinkan berpolitik lagi, Harjono pun memutuskan untuk aktif di
dunia penelitian dan menggarap masalah-masalah pembelaan hukum. Ia kemudian
diserahi tugas memimpin Lembaga Islam Untuk Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (LIPPM),47 menggantikan Deliar Noer, di Cikini Raya 95, Jakarta Pusat.
Ketika mengurus LIPPM inilah, Harjono diminta Natsir untuk membantu tugas-
tugasnya di DDII. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1983, karena waktu itu ada
kekosongan jajaran pimpinan DDII—sebagian ada yang wafat. Kepercayaan Natsir
pada Harjono sudah nampak dengan memberikan posisi Ketua III DDII kepadanya,
mendampingi Prof. H. M. Rasjidi dan M. Yunan, masing-masing sebagai Ketua I
dan II. Keduanya adalah senior Harjono di Masyumi.
Sejak tahun 1990, kesehatan Natsir mulai menurun, karena faktor usia yang
sudah sangat sepuh—pada tahun 1990, usia Natsir telah mencapai 82 tahun. Sejak
itu, Natsir pun tidak bisa lagi aktif memimpin DDII, sehingga praktis Harjonolah
yang menggerakkan roda lembaga ini. Natsir bahkan meminta Harjono
memindahkan kantor LIPPM yang dipimpin Harjono dari Cikini 95 ke Kramat 45
(kantor DDII), agar Harjono dapat lebih leluasa menggerakkan kedua lembaga
tersebut.
Sebagaimana kesaksian Buchari Tamam,48 Natsir juga memberi wewenang
kepada Harjono untuk menandatangani sebagian cheque DDII. Bahkan, sebenarnya

44
Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan lman-Islam (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), h. 180.
45
S. U. Bajasut (ed.). Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto
Mangkusasmito (Surabja: Documenta, 1972), h. 251.
46
Ali Sadikin. “Pak Anwar Harjono Pemimpin Yang Berpenampilan Sederhana,
Cermat dan Teliti,” dalam Hakiem (ed.), Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan…, h.
475-480.
47
LIPPM adalah lembaga penelitian yang disponsori oleh Rabithah „Alam Islamî
(Liga Dunia Islam) yang berpusat di Mekah, Saudi Arabia. Lembaga ini didirikan tahun 1980
dan dipimpin pertama kali oleh Deliar Noer. Lebih jauh tentang LIPPM dan keterlibatan
Deliar Noer di dalamnya. Lihat Deliar Noer, Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa:
Otobiografi Deliar Noer (Bandung: Mizan, 1996), h. 795-812.
48
Tamam. “Anwar Harjono Dalam Lintasan…,” h. 487.

140
jauh sebelum itu pun, sidang-sidang atau rapat-rapat DDII selalu dipimpin oleh
Harjono—yakni sejak Harjono terlibat aktif dalam kepengurusan DDII pada 1983.49
Karena, meskipun sebenarnya masih ada pimpinan DDII yang lebih senior seperti H.
M. Rasjidi dan H. M. Yunan Nasution, tetapi keduanya juga sudah sepuh dan telah
jarang datang ke kantor DDII.50 Kepercayaan yang diberikan Natsir kepada Harjono
memang cukup beralasan. Di samping sebagai juru bicara terakhir Masyumi dan
merupakan sosok yang bisa diterima oleh hampir semua kalangan di internal DDII,
Harjono juga lebih dapat berhubungan dengan dunia Islam (internasional), dengan
kapasitas intelektual dan penguasaan bahasa asingnya. Karena pengaruh Natsir,
Harjono menjadi bagian dari faksi reformis Masyumi.51
Harjono telah menjabat sebagai ketua III DDII sejak tahun 1983 sampai
dengan meninggalnya Natsir pada 1993. Sepeninggal Natsir, dalam rentang waktu
akhir Orde Baru hingga awal era Reformasi 1993-1999, DDII mengalami periode
kepemimpinan kolektif (1993-1997) dan kepemimpinan Anwar Harjono (1997-
1999). Empat tahun pertama DDII pasca-Natsir (1993-1997) disebut dengan periode
kepemimpinan kolektif, karena Anwar Harjono telah menolak menerima jabatan
sebagai ketua umum dan hanya bersedia menjabat sebagai ketua harian. Harjono
merasa sungkan, karena masih ada orang-orang seperti Rasjidi dan Yunan yang
merupakan para seniornya. Barulah pada tahun 1997 hingga awal reformasi 1999,
Harjono menerima jabatan sebagai Ketua Umum DDII.
Perlu juga dicatat, bahwa pada periode-periode tersebut situasi politik dalam
negeri Indonesia sendiri juga mengalami perubahan signifikan. Situasi politik yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mulanya, meminjam istilah Anwar Harjono,
“hanya cuaca di langit politik Indonesia yang berubah, tetapi kemudian wujudnya
ikut berubah.”52 Pada masa periode krusial ini, Anwar Harjono memainkan peran
yang signifikan.
Di bawah kepemimpinan Harjono, gerakan DDII dilakukan melalui jalur
dakwah yang mengandung dua aspek; aspek pembinaan (binâ-an) dan aspek
pertahanan atau mempertahankan (difâ-an).53 “Pembinaan” dilakukan dengan
49
Kesaksian Abdullah Hehamahua, ia sering mengikuti rapat-rapat DDII yang
dipimpin Anwar Harjono sejak tahun 1983. Abdullah Hehamahua. “Dewan Da‟wah
Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir dan Masa Depan Umat Islam Indonesia,” dalam
Mohammad Noer dan Lukman Hakiem (ed.). Antara Da‟wah dan Politik: Ragam Pendapat
Tentang Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia (Jakarta: DDII, 2018), h. 59.
50
Hakiem (ed.), Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan…, h. 240.
51
Hefner. Civil Islam…, h. 47.
52
Anwar Harjono, “Melangkah di Tengah Cuaca yang Berubah,” (Penjelasan
Mengenai Kebijakan-Kebijakan Dewan Dakwah 1991-1993), Laporan tidak diterbitkan, h. 3.
53
Menurut Asna Husin, kedua konsep ini milik Anwar Harjono sebagai
interpretasinya terhadap pemikiran dan kiprah Natsir yang diterapkan sebagai strategi
gerakan dakwah DDII pasca-Natsir. Kata Husin, “I refer to ideas because in term of practice
Natsir may have initiated the activities but it is Harjono who popularizes them as the
concepts and policies of Dewan Dakwah.” Lihat Asna Husin, Philosophical and Sociological
Aspects of Da‟wah: A Study of Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (Columbia University,
1998), h. 109. Konsep binâ-an dan difâ-an menjadi strategi sentral DDII yang terus
diinternalisasikan kepada para kadernya hingga periode-periode berikutnya (wawancara
dengan KH. Teten Romly Q., Ketua Pusdiklat DDII di Jakarta, 4 Juli 2019).

141
menyampaikan pesan Tuhan atau risalah melalui dakwah kepada segenap manusia
yang bertujuan untuk mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Sedangkan “pembelaan” dilakukan dalam rangka usaha pengamanan jalannya
dakwah, baik dari dalam seperti kelompok-kelompok gerakan aliran sesat (harâkah
hadhamah), maupun dari luar, seperti gerakan kristenisasi.54
Pelaksanaan kedua aspek dakwah tersebut merupakan manifestasi misi DDII
untuk melakukan amru bi al-ma‟ruf wa nahy „an al-munkar yang dalam
implementasinya dilakukan dalam bentuk social support dan social control
sekaligus. Sebagaimana dijelaskan Anwar Harjono, DDII ber-amr bi al-ma‟ruf
dengan memberikan dukungan kepada siapa saja yang berbuat kebaikan (social
support). Sebaliknya, DDII ber-nahy „an al-munkar dengan mengingatkan siapapun
yang berbuat keburukan (social control), termasuk pemerintah sekalipun.55
Kedua tindakan tersebut, baik social support maupun social control,
berlangsung dan dilakukan secara konstitusional, tanpa keluar dari koridor hukum.56
Dengan kata lain, amr al-ma 'ruf dan nahy al-munkar yang dilakukan harus sesuai
dengan dan menurut ketentuan dan perundangan yang berlaku, bukan dengan
menabrak dan mencederai rambu-rambu hukum, serta berbuat anarkis. Karena
perbuatan melawan hukum tidak seharusnya dihentikan dan dicegah dengan
melakukan perbuatan melawan hukum lainnya. DDII, dalam hal ini, mewarisi
political legacy dari para pendirinya yang merupakan tokoh-tokoh Masyumi—yang
memang dikenal sebagai aktor demokrat-konstitusionalis.57

1. Periode Kepemimpinan Kolektif 1993-1997


Pada Minggu, 7 Februari 1993, atau hanya sehari setelah jenazah Natsir
dimakamkan, beberapa tokoh DDII pusat dan DDII perwakilan dari daerah-daerah
yang hadir dalam rangka pemakaman itu, memerlukan berkumpul untuk
bermusyawarah.58 Dalam pertemuan itu dibicarakan bagaimana kelangsungan
kepemimpinan DDII sepeninggal Natsir. Namun demikian, pertemuan awal itu tidak
berhasil menghasilkan keputusan final.

54
Konsentrasi DDII terhadap gerakan Kristenisasi di Indonesia berdasar pada
pemimpin sekaligus pendirinya, M. Natsir, yang sudah sejak zaman Kolonial Belanda
mempunyai konsen yang sama (lihat, misalnya, M. Natsir. Islam dan Keristen di Indonesia,
(Jakarta: Media da‟wah, 1978). Sebagai perbandingan, lihat juga konsentrasi yang sama pada
pergerakan Islam modernis lainnya, seperti Muhammadiyah (Alwi Shihab. Membendung
Arus: Respon Gerakan Muhammadiyyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1998). Untuk konteks lebih umum, lihat Karel Steenbrink. Kawan Dalam
Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia 1596-1942 (Bandung: Mizan,
1995). Untuk kajian kontemporer, lihat Jeremy Menchik. “Productive Intolerance: Godly
Nationalism in Indonesia,” Comparative Studies in Society and History, 56 (3), 2014, h. 591-
621. doi:10.1017/S0010417514000267.
55
Harjono. Indonesia Kita…, h. 235.
56
Harjono. Indonesia Kita…, h. 236.
57
Lihat Rémy Madinier. Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party
between Democracy and Integralism, (Singapore: NUS Press, 2015).
58
Tamam. “Anwar Harjono Dalam Lintasan…,” h. 489.

142
Musyawarah hanya menyepakati bahwa diperlukan satu pertemuan khusus
dan lebih representatif yang tidak saja membicarakan persoalan kepemimpinan,
tetapi juga hal-hal lainnya menyangkut DDII. Karenanya, pertemuan hanya
memutuskan, bahwa menjelang adanya pertemuan yang lebih representatif itu,
Anwar Harjono ditunjuk sebagai „carateker.‟59 Penunjukan Harjono tersebut
kemudian ditetapkan dengan surat ketetapan tertanggal 16 Sya‟ban 1413/8 Februari
1993 yang ditandatangani M. Yunan Nasution (Wakil Ketua II) dan Buchari Tamam
(Sekretaris Umum).60
Penunjukan tersebut dapat dipahami. Bagi kalangan internal DDII sendiri
atau orang yang mengikuti perkembangan DDII dari dekat, kesepakatan tersebut
dianggap wajar. Karena Harjono bukanlah orang baru dan asing di DDII. Harjono
bahkan sudah sejak lama menjadi orang kepercayaan Natsir dan, terutama hampir
dua tahun terakhir semenjak Natsir sakit, menggantikan tugas-tugas Natsir
mengelola dan memimpin DDII.61 Sehingga tidak berlebihan kalau Harjonolah orang
yang paling tepat menerima amanah itu.
Penunjukannya sebagai carateker, menurut Amin, didasarkan kepada tiga
pertimbangan. Pertama, peserta pertemuan beranggapan bahwa pertemuan yang
dilaksanakan hari itu belum mewakili segenap unsur yang ada dalam keluarga besar
DDII. Ada beberapa tokoh tertentu, baik dari pengurus DDII pusat atau daerah, yang
pantas dan patut didengar pertimbangannya, tetapi tidak hadir dalam pertemuan itu.
Kedua, suasana duka dan berkabung yang masih menyelimuti segenap keluarga
besar DDII, sehingga diperlukan waktu untuk mencari saat yang tepat guna
mengadakan suatu pertemuan terencana yang khusus membicarakan persoalan
kepemimpinan DDII pasca-Natsir. Ketiga, dalam masa-masa menunggu waktu yang
tepat itu, penunjukan Harjono sebagai carateker cukup beralasan.62
Dua setengah bulan Harjono menjabat sebagai carateker, atau tepatnya pada
23-24 April 1993/1-2 Dzulqa'idah 1413 H, DDII menggelar Pertemuan Silaturrahmi
di wisma PHI (Panitia Haji Indonesia) Cempaka Putih, Jakarta. Pertemuan—yang
disebut sebagai Pertemuan Keluarga Besar DDII—itu dihadiri oleh pengurus pusat
dan pengurus daerah perwakilan DDII seluruh Indonesia.63 Pertemuan itu juga
mengundang pribadi-pribadi yang dianggap punya hubungan emosional dan
kedekatan dengan DDII. Sebahagian besar di antara mereka adalah orang-orang
yang pernah dekat dengan Natsir dan punya ikatan emosional dengan Masyumi atau
keluarga Bulan Bintang. Tampak hadir misalnya, beberapa mantan aktivis HMI

59
Tamam. “Anwar Harjono Dalam Lintasan…,” h. 489.
60
Natsir Zubaidi, “Perspektif Kepemimpinan Dewan Da‟wah,” Suara Masjid, April
1993, h. 5.
61
Noer, Aku Bagian Ummat…, h. 489.
62
Saeful Amin. “Sikap Politik Dewan Dakwah Pasca Mohamad Natsir 1993-2005:
Kajian Surat-Surat Pernyataan Politik,” Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana, UIN Jakarta,
2008, h. 135-136.
63
Lihat Rumusan Hasil Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), tanggal 23-24 April 1993, dokumen, tidak dipublikasikan; Lihat
juga M. Yunan Nasution. “Anwar Harjono Konsisten dan Istiqomah Dalam Perjuangan,”
dalam Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan, h. 518.

143
(Himpunan Mahasiswa Islam) dan PII (Pelajar Islam Indonesia).64 Pertemuan inilah
yang sebelumnya disebut-sebut sebagai pertemuan yang lebih representatif;
pertemuan yang menghadirkan berbagai unsur dan dianggap telah mewakili keluarga
besar DDII dan para simpatisannya. Inilah pula pertemuan terbesar pertama DDII
pasca-Natsir.
Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar DDII tersebut secara umum
dimaksudkan untuk membicarakan rencana dan langkah DDII ke depan setelah
kepergian Natsir. Khususnya untuk menumbuhkan pengertian sesama, terutama
antara pengurus pusat dengan perwakilan daerah serta juga pengertian terhadap
susunan pengurus baru DDII periode berikutnya, 1993-1998.65 Pertemuan diawali
dengan penjelasan pimpinan DDII Pusat tentang tujuan dilaksanakannya acara
tersebut, yakni mempersiapkan kepemimpinan DDII periode 1993-1998 yang
dikemukakan oleh M. Yunan Nasution yang juga wakil ketua II DDII. Dilanjutkan
dengan penjelasan kegiatan DDII selama dua tahun terakhir (1991-1993) oleh
sekretaris umum DDII Pusat, Buchari Tamam. Setelah itu, Anwar Harjono, sebagai
wakil ketua III, memberikan penjelasan tentang kebijakan DDII dalam tahun 1991-
1993.66
Dalam laporannya, Buchari Tamam mengemukakan kalau masa dua tahun
terakhir merupakan masa terberat dalam perjuangan DDII. Perkembangan situasi
politik di dalam dan di luar negeri telah memunculkan beragam problema baru
dakwah. Di samping itu, kondisi kesehatan pak Natsir sendiri juga sudah kian
menurun yang kemudian membawa ketua umum DDII itu meninggal dunia pada 6
Februari 1993. Sementara beberapa pengurus tidak dapat aktif sepenuhnya, baik
karena kesibukannya di lembaga lain, seperti Haryono di Petisi 50 dan Forum
Ukhuwah Islamiyah, atau karena kondisi kesehatan yang sudah menurun seperti
Osman Raliby dan Malik Ahmad, maupun meninggal dunia seperti Sholeh Iskandar
dan Saleh Widodo.67 Tetapi, demikian kata Tamam, aktifitas dan kegiatan DDII
tidak pernah berhenti. Kecuali di Irian Jaya dan Timor Timur, perwakilan DDII telah
ada di seluruh propinsi. Dengan kata lain, perwakilan DDII telah terdapat di 25
propinsi dari 27 propinsi yang ada pada waktu itu.68

64
Noer, Aku Bagian Ummat…, h. 900. Diundangnnya pribadi-pribadi yang secara
struktural tidak termasuk dalam jajaran kepengurusan DDII pada pertemuan tersebut, lebih
pada untuk menyahuti aspirasi dan memenuhi harapan yang berkembang di kalangan
keluarga Bulan Bintang. Aspirasi dan harapan seperti yang dikemukakan oleh Natsir Zubaidi,
menghidupkan kembali tradisi yang sangat dipelihara Natsir semasa hidupnya; tradisi
silaturrahim atau ukhuwah yang dapat membangun al-mawaddat fi al-qurba (jembatan batin)
di kalangan pemimpin umat. Lihat Zubaidi, “Perspektif Kepemimpinan Dewan Da‟wah…,”
h. 5.
65
M. Yunan Nasution, Penjelasan Pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Pusat tentang Tujuan Pertemuan Silaturrahim, dokumen, tidak dipublikasikan.
66
Lihat Rumusan Hasil Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), tanggal 23-24 April 1993, dokumen, tidak dipublikasikan.
67
Buchari Tamam, Napak Tilas Dua Tahun Terakhir Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia Mei 1991-April 1993, Laporan singkat kegiatan Dewan Dakwah Pusat, dokumen,
tidak diterbitkan, h. 1-2.
68
Tamam, Napak Tilas Dua Tahun Terakhir…, h. 5.

144
Dalam pertemuan itu, beberapa nama sempat mencuat ke permukaan sebagai
calon ketua dan pengurus. Tetapi, Pengurus DDII rupanya telah punya perubahan
susunan pengurus sendiri. Susunan pengurus versi inilah yang ditawarkan kepada
peserta pertemuan. Menurut Deliar Noer, salah seorang yang diundang sebagai
peserta, sempat juga terjadi perdebatan sengit antara pimpinan sidang (yang terdiri
dari pengurus DDII) dan peserta dari DDII Perwakilan dari daerah-daerah, malah
juga dengan peserta yang diundang. Pimpinan bertahan dengan perubahan yang
sudah ada, dengan Anwar Harjono sebagai ketua; juga Rusyad Nurdin dari Bandung
duduk sebagai wakil ketua. Pimpinan juga menekankan bahwa DDII bukan
organisasi massa (Ormas), melainkan yayasan, dan oleh sebab itu, pengurusnya
ditentukan oleh para pendiri, bukan oleh musyawarah dengan perwakilan. Dari segi
hukum, pandangan pengurus ini benar. Tetapi sebagian utusan perwakilan terlihat
kurang puas dan sebelum musyawarah berakhir, beberapa di antara mereka
meninggalkan pertemuan dan pulang ke daerah.69
Penunjukan Harjono sendiri sebagai ketua DDII, memang sudah dapat
diduga juga sebelumnya. Karena, sebagaimana telah disinggung, ketika Natsir masih
hidup pun sudah terlihat tanda-tanda kalau Natsir akan mewariskan kepemimpinan
DDII kepada Harjono.70 Akan tetapi Harjono sendiri menolak menerima amanah itu.
Alasannya, ia ingin menjaga kesinambungan kepemimpinan DDII yang urutannya
telah ditetapkan sejak Natsir masih hidup, yakni Rasjidi, Yunan Nasution, baru
Harjono.71
Deliar Noer melihat fenomena ini sebagai pencerminan loyalitas dan
kepatuhan yang tinggi dari pimpinan DDII atau Masyumi pada umumnya kepada
ketokohan Natsir, tidak terkecuali Harjono. Sehingga setelah Natsir meninggal pun,
ia sepertinya tidak berani “melanggar” dan menduduki jabatan ketua umum DDII.
Harjono hanya bersedia menjabat sebagai “ketua harian.” Seakan, lanjut Noer,
“jabatan ketua umum hanya bisa ditempati Natsir, bukan orang Iain.”72
Terlepas dari itu, segera tampak dari penolakan Harjono tersebut, di satu sisi
kian mempertegas posisi Natsir di lembaga ini; posisi yang belum atau tak mudah
untuk digantikan. Hal ini dapat dipahami mengingat kedudukan dan posisi Natsir
yang sangat sentral di DDII selama ini. Natsir telah tumbuh tidak saja menjadi
seorang ketua, tetapi juga seorang guru di lembaga tersebut. Sehingga, kata Amin,

69
Noer, Aku Bagian Ummat…, h. 900.
70
Noer, Aku Bagian Ummat…, h. 489.
71
Urutan yang dimaksud Harjono adalah susunan nama-nama tersebut dalam
kepengurusan DDII periode Natsir I dan II. Dalam hal ini, Rasjidi dan Yunan Nasution
duduk sebagai wakil ketua I dan II, sedangkan Anwar Harjono sendiri sebagai wakil ketua
III. Mungkin sebagian peserta pertemuan silaturrahmi itu tidak dapat memahami dan
menerima alasan yang dikemukakan Harjono tersebut. Karena tampaknya Harjono sendiri
pun waktu itu memang tidak sedang mengemukakan alasan yang sebenamya. Sikapnya lebih
pada menunjukkan sikap ewuh pakewuh-nya sebagai junior terhadap kedua seniornya;
Rasjidi dan Yunan Nasution. Padahal kedua tokoh tersebut, karena faktor usia, sudah tidak
memungkinkan untuk memimpin DDII.
72
Deliar Noer, “Anwar Harjono yang Hati-hati,” dalam Hakiem, Perjalanan
Mencari Keadilan…, h. 496.

145
“tidak salah untuk mengatakan kalau sosok Natsir telah menjelma menjadi mitos
yang melegenda di DDII.”73
Tetapi di sisi lain, hal itu juga merupakan pencerminan dari pribadi seorang
Harjono yang low profile dan rendah hati. Harjono, misalnya, lebih senang disebut
sebagai pelanjut atau penerus, ketimbang pengganti Natsir. Sepertinya Harjono
merasa tidak punya kapasitas untuk menggantikan Natsir. Saya, demikian Haryono,
“berbeda pengetahuan dan pengalaman dengan pak Natsir. Pak Natsir memiliki
banyak kelebihan. Beliau pernah menjadi orang pertama di pemerintahan kita.
Kelebihan saya dari pak Natsir hanya satu: saya lebih muda.”74
Pertemuan silaturahim tersebut tidak berhasil „membujuk‟ Harjono.
Sehingga, pertemuan itu hanya memutuskan komposisi kepengurusan minus ketua
umum, sebagai berikut: Tim Ketua terdiri atas: Ketua I: M. Rasjidi, Ketua II: M.
Yunan Nasution, Ketua III: Anwar Harjono (merangkap sebagai Ketua Harian), dan
Ketua IV: M. Rusjad Nurdin. Sekretaris dan Wakil Sekretaris dijabat oleh Buchari
Tamam dan Hasanuddin Abu Bakar Dt. Rajo Angek, sedangkan Bendahara oleh H.
Mohammad Nazief. Kepengurusan juga dilengkapi dengan dua belas anggota,
masing-masing: Hasan Basri, Abdul Wahid Alwi, Ahmad Mas‟oed Luthfi, Saifullah
Mahyuddin, Mohammad Soleiman, Hussein Umar, Abdul Malik Ahmad, Osman
Raliby, A. Latief Muchtar, Didin Hafidhuddin, Affandi Ridhwan, dan M. Amien
Rais.75
Pada periode kepemimpinan kolektif ini, terjadi penambahan lima muka
baru di personil kepengurusan, masing-masing: Mohammad Nazief, A. Latief
Muchtar, Didin Hafidhuddin, Affandi Ridhwan, dan M. Amien Rais.76 Lima muka
baru tersebut sebenamya juga adalah “orang-orang lama” di kalangan keluarga besar
DDII. A. Latief Muchtar, misalnya, adalah ketua umum Persis, organisasi Islam
modernis bekas anggota istimewa Masyumi. Natsir tercatat sebagai sesepuh yang
dihormati di organisasi ini.77 Affandi Ridhwan adalah salah seorang sahabat Natsir
yang juga mantan ketua Masyumi Jawa Barat.78 Sementara Mohammad Nazief,
Didin Hafidhuddin, dan Amien Rais adalah tokoh-tokoh cendekiawan muda yang

73
Amin. “Sikap Politik Dewan Dakwah…,” h. 142.
74
Anwar Harjono, “Partisipasi Umat Untuk Perubahan,” dalam Anwar Harjono,
Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.
250.
75
Lampiran Rumusan Hasil Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tanggal 23-24 April 1993, Dokumen, tidak
dipublikasikan; Lihat juga, A. M. Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang
Kepengurusan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat (1967-2005), Jakarta: Panitia
Mubes III Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2005, tidak diterbitkan, h. 2-3.
76
Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan…, h. 2-3.
77
Kedekatan Natsir dengan organisasi Persis dan orang-orangnya, misalnya,
digambarkan dengan baik oleh Ghazali A. Qadir, salah seorang cucu ustadz A. Hassan,
dalam tulisannya, “Pak Natsir Milik Kita Semua,” dalam Endang Saefuddin Anshari dan
Amien Rais, Pak Natsir 80 Tahun, Buku Pertama: Pandangan dan Penilaian Generasi
Muda, (Jakarta: Media Dakwah, 1988).
78
Amin. “Sikap Politik Dewan Dakwah…,” h. 144.

146
sudah sejak lama dikenal dekat dengan Natsir dan menganggap Natsir sebagai
mentor mereka.
Didin Hafidhuddin bahkan sudah berhubungan dekat dengan Natsir sejak ia
menjadi pengasuh pondok pesantren Ulul Albab Bogor, salah satu pesantren binaan
Dewan Dakwah.79 Sementara Amien Rais, tokoh reformasi Indonesia 1998, seperti
diakuinya sendiri, sudah menjadi pengagum Natsir sejak menjadi mahasiswa
Universitas Gadjah Mada tahun 1960-an. Natsir, demikian Amien Rais, adalah tokoh
yang konsisten dalam memelihara kejujuran dan kesederhanaan. Amien Rais bahkan
menjuluki Natsir sebagai “the second grand old man” sesudah H. Agus Salim.80
Pada periode awal tahun 1970, Amien termasuk dosen-dosen muda yang
dikader Natsir di wisma PHI Jakarta dan Pesantren Darul Fallah, Bogor. Sejak
pertengahan dekade 1980-an, sepulang studi dari Amerika, Amien juga sering
singgah ke kantor DDII untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan Natsir. Pada
periode 1987-1988, Amien menjadi tim perumus khittah dakwah DDII, sehingga
diangkat secara resmi sebagai anggota Majelis Silaturahim DDII pada 1989.
Hubungan baik Amien dengan Natsir dan DDII terus berlanjut sampai Natsir
meninggal dunia.
Banyak juga peserta pertemuan yang tidak puas dengan penolakan Harjono
tersebut. Harjono pun kelihatannya menyadari akan hal itu. Ketika memulai
tugasnya sebagai ketua harian DDII, Harjono hanya mengatakan: “Marilah kita
mulai dengan apa adanya, sementara dalam perjalanan kita usahakan
penyempurnaannya.”81 Ketidakpuasan peserta pertemuan silaturrahim atas sikap
Harjono tersebut juga dapat dipahami. Karena kondisi internal dan eksternal DDII
dan umat Islam sepeninggal Natsir dekade 1990-an memang meminta kesiapan
penuh dan perhatian yang lebih serius dari orang-orang yang terlibat secara langsung
dalam mengelola lembaga ini. Bagaimanapun, kepergian Natsir sebagai tokoh utama
dan pemimpin DDII selama 26 tahun, mewariskan tantangan yang tidak mudah bagi
penerusnya. 82

79
Lembaga pendidikan Islam, pesantren, madrasah dan perguruan tinggi yang
dikenal pernah dekat dan menjadi binaan DDII selain pesantren Ulul Albab Bogor adalah
Pesantren Darul Fallah Ciampe Bogor pimpinan A. M. Luthfi; Madrasah Thawalib dan
Diniyah Puteri, keduannya di Padang Panjang Sumatera Barat; pesantren-pesantren yang
berada di bawah naungan Persis; Yayasan Pendidikan Al-Ghuraba' di Rawamangun, Jakarta
Timur, pimpinan Buchari Taman; dan Akademi Agama dan Bahasa (Akabah) di Bukittinggi.
Lihat Amin, “Sikap Politik Dewan Dakwah…,” h. 51-54.
80
M. Amien Rais, “Mohammad Natsir: The Second Grand Old Man,” dalam
Endang Saifuddin Anshari dan Amien Rais (Penyunting), Pak Natsir 80 Tahun, Buku
Pertama: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h. 75-
79.
81
Tamam. “Anwar Harjono Dalam Lintasan Pengenalanku…,” h. 490.
82
Ketokohan Natsir di dunia Islam dan posisinya sebagai figur sentral lembaga
selama ini, merupakan masalah tersendiri yang harus dihadapi pengurus sesudahnya. Pada
masa pasca Natsir, selalu dicari “Natsir-Natsir muda.” Wawancara penulis dengan Ustaz
Ceceng Wildan (Ketua Biro M. Natsir Center), Natsir adalah sosok sentral DDII yang sulit
dicari penggantinya. Sehingga, Natsir adalah sosok yang terus diidealkan kepada generasi-
genrasi muda seterusnya. Ceceng Wildan, wawancara, Bekasi, 4 Juli 2019. Bagi Tiar Anwar

147
Oleh karena itu, pertemuan silaturrahim keluarga besar DDII memberi
masukan, saran dan rekomendasi kepada kepemimpinan kolektif DDII sebagai
berikut: (a) kepemimpinan kolektif DDII agar dapat bekerja sama dengan baik, dan
dapat memanfaatkan semua potensi dan peluang dengan tetap menggalang
kerjasama dengan Ormas-ormas Islam nasional dan lembaga-lembaga internasional
yang telah terjalin selama ini; (b) kepemimpinan DDII hendaknya mempersiapkan
kader-kader dari generasi muda yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan DDII
di masa depan; (c) DDII hendaknya merupakan wadah pemersatu dari kelompok-
kelompok aspirasi umat yang ada dalam masyarakat; (d) menghidupkan dan
mengefektifkan kembali Majelis Silaturrahmi; dan (e) melengkapi struktur DDII
dengan unit-unit; hisab dan rukyat, bantuan hukum, penelitian dan pengembangan
(Litbang), ekonomi dan keuangan, peningkatan sumber daya manusia bidang
dakwah dengan menyempurnakan pendidikan yang dimiliki, yaitu Lembaga
Pendidikan Dakwah Islam (LPDI).83
Setelah usai pertemuan silaturahmi itu, pengurus DDII segera berbenah
sesuai dengan amanat dan rekomendasi pertemuan tersebut. Berbagai kegiatan
kemudian dilakukan seperti; merekrut tenaga dari berbagai sumber, memperbaiki
hubungan dengan pemerintah, menggiatkan lembaga pendidikan seperti LPDI, IAI
(Institut Agama Islam) Al-Ghuraba‟, dan penataran dai, serta membentuk sebagian
unit-unit tertentu terutama dalam bidang ekonomi.84
Pasca-Natsir, atau pada periode kepemimpinan kolektif, DDII tetap dapat
memainkan perannya dan masih diakui reputasinya di dunia Islam internasional.
DDII kelihatannya masih mampu memelihara kepercayaan dunia Islam khususnya
negara-negara Timur Tengah dan citranya selaku pelanjut Natsir yang sangat
dihormati di dunia Islam itu. DDII tetap diundang berpartisipasi dalam berbagai
event dan kegiatan Islam intemasional yang dihadiri oleh tokoh-tokoh yang
mewakili berbagai lembaga Islam di luar negeri.
Pada 17-18 Okober 1993, sebagai anggota KKAI-OKI (Komite Koordinasi
Amal Islami-Organisasi Konferensi Islam), DDII diundang mengikuti sidang ke-Vlll
KKAI-OKI di Kairo, Mesir. Delegasi DDII diwakili oleh Anwar Harjono dan
Kepala Biro Hubungan Luar Negeri DDII, Muzayyin Abdul Wahab.85 Selanjutnya
pada 20-21 Oktober 1993 delegasi yang sama juga mengikuti sidang ke-V IICDR
(Islamic International Council for Dakwah and Relief) yang berlangsung di tempat
yang sama, hotel Meridien Nelipolis, Nasser City, Kairo, Mesir.

Bachtiar, penulis buku Setengah Abad DDII, ini menjadi persoalan tersendiri bagi DDII bagi
generasi-generasi pasca-Natsir (Bachtiar, wawancara, Bandung, 22 Juli 2019).
83
Lihat, Moh. Sulaiman dkk, Rumusan Hasil Pertemuan Silaturrahmi Keluarga
Besar Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tanggal 23-24 April 1993, dokumen,
tidak dipublikasikan.
84
Buchari Tamam, Kegiatan Dewan Dakwah Setengah Tahun Sepeninggal Bapak
Moh. Natsir, 26 April 1993-7 Nopember 1993, Laporan, tidak diterbitkan.
85
Anwar Harjono dan Muzayyin Abdul Wahab, Laporan Perjalanan ke Kairo,
Dokumen, tidak dipublikasikan, h. 1. Sebagai catatan, Harjono sebagai aktivis Petisi 50
mengalami pencekalan ke luar negeri sejak 1980. Namun, karena perubahan politik akhir
Orde Baru, pencekalan itu dicabut pada Juli 1993. Lihat laporan Detik No 019-021 Tahun
XVII, Juli 1993.

148
Dalam sidang ke-V IICDR tersebut DDII diterima sebagai salah satu dari
enam anggota baru IICDR, karena dianggap telah memenuhi syarat terutama dari
sisi jangkauan kegiatan nasional dan intemasional. Harjono juga terpilih menjadi
salah seorang anggota pimpinan IICDR yang berkedudukan di Kairo, Mesir.86
Dalam kapasitasnya selaku anggota pimpinan IICDR itu, pada tahun yang sama,
Harjono bersama beberapa pemimpin dunia Islam yang lain diutus ke Afghanistan
untuk mendamaikan kelompok-kelompok mujahidin yang bertikai. Delegasi sempat
beberapa kali mengadakan pertemuan atau tepatnya mempertemukan para
mujahidin di Islamabad, Peshawar dan Kabul.87 Kedua pertemuan organisasi-
organisasi Islam Internasional tersebut juga dimanfaatkan DDII untuk melakukan
serangkaian kunjungan silaturrahmi, pendekatan dan lobi-lobi dengan pimpinan
lembaga-lembaga Islam di luar negeri. Karena melalui forum-forum seperti ini DDII
berkesempatan untuk meningkatkan citra dan kepercayaan dunia Islam terhadap
lembaga tersebut.88
Pada 1994, DDII ikut berperan aktif dalam Conference of International
Parlimentarians against Genocide in Bosnia-Herzegovina (seminar internasional
tingkat parlemen mengenai pemusnahan etnis di Bosnia-Herzegovina). Dalam
konferensi tersebut, Harjono hadir di antara para undangan.89 Diundangnya DDII
dalam konferensi tersebut lebih pada sikap kepedulian yang telah ditunjukkannya
kepada penderitaan dan nasib yang menimpa rakyat Bosnia selama ini. Untuk
maksud tersebut, pada 1992, DDII memelopori pendirikan KSMB (Komite

86
IICDR (Islamic Internasional Council for Dakwah and Relief) didirikan pada
tahun 1988 atas prakarsa Syekh al-Azhar, Jad al-Haq Ali Jad al-Haq. Organisasi ini bertujuan
untuk menghimpun dan mengkoordinasikan potensi dakwah dan bantuan kemanusiaan secara
kelembagaan. Karena itu, anggota lembaga ini adalah organisasi, bukan perseorangan.
Organisasi ini memiliki lima (5) komite tetap; Komite Dakwah dan Taklim yang
berkedudukan di Kairo, Komite Ighotsah yang berkedudukan di Jeddah, Komite Dana dan
Istismar yang berkedudukan di Kuwait, serta dua komite lainnya yang baru dibentuk dan
disetujui dalam sidang ke-V tersebut, yaitu Komite Islam untuk Hak-Hak Asasi Manusia dan
Komite Tahfizh al-Qur'an. Lihat Anwar Harjono dan Muzayyin Abdul Wahab, Laporan
Perjalanan ke Kairo, Dokumen, tidak dipublikasikan, h. 1-3.
87
Lukman Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah:
Dokumentasi Perjalanan 30 Tahun Dewan Dakwah Islamiyah lndonesia, (Jakara: Media
Dakwah, 1997), h. 43.
88
Dalam kedua forum intemasional tersebut, DDII berkesempatan melakukan
pendekatan dan lobi dengan pimpinan lembaga-lembaga Islam lnternasional, antara lain;
dengan Dr. Kamil Syarif, Sekjen IICDR Kairo; Syekh Yusuf Jassin al-Hijji, Rais Hay „at
Khairiyat, Kuwait; Syekh Abd al-Qadr Ajil, Mudir Bait al-Zakat, Kuwait; Syekh M. Nashir
al-Abudi, Sekjen Rabithat al-Alam al-Islamy, Mekah; Dr. Abdullah al-Turki, Menteri Wakaf
Saudi Arabia; Dr. Adil al-Falah, Wakil Menteri Wakaf Kuwait dan Ra‟is Lajnat Muslim in
Asia; Syekh Badr Mohammad Jany, wakil Ra‟is Lajnat Islamiyat Li al-lgatsah, Dubai; Syekh
Hasan al-Jabiri, Direktur Hay'at Khairiyat, Abu Dhabi; Syekh Muhammad Khaliyah al-
Kuwari, Direktur Urusan Islam dan Wakaf, Qatar. Lihat Anwar Harjono dan Muzayyin
Abdul Wahab, Laporan Perjalanan ke Kairo, Dokumen, tidak dipublikasikan, h. 3-4.
89
Para undangan konferensi internasional tersebut terdiri dari para anggota
parlemen yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Lihat Anwar Harjono, “Islam
Agama Damai,” dalam Anwar Harjono, Indonesia Kita…, h. 245.

149
Solidaritas Muslim Bosnia) pada Solidaritas Dunia Islam. Karena persoalan Bosnia
bukan lagi persoalan rakyat Bosnia dan umat Islam saja, tetapi sudah menyangkut
dengan masalah dunia yang beradab. Serbia tidak saja telah melakukan ekspansi ke
negara lain, tetapi juga penghapusan etnis (etnic cleansing). Dua peristiwa pertama,
diikutsertakannya DDII dalam mendamaikan kelompok mujahidin yang bertikai di
Afghanistan dan mencari upaya penyelesaian konflik di Bosnia, memperlihatkan
betapa pasca-Natsir pun, lembaga ini masih diakui keberadaannya dan pengaruhnya
di dunia Islam.90
Di dalam negeri, pimpinan teras DDII juga merespon suasana perubahan
politik Orde Baru secara positif. Akhir Agustus 1992, DDII bersama Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Rabithat al-Alam al-Islami, Badan Kerja
Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) dan IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, menyelenggarakan seminar internasional mengenai mukjizat al-Quran dan
al-Sunnah tentang ilmu pengetahuan dan teknologi di IPTN (Industri Pesawat
Terbang Nusantara) Bandung. Seminar ini dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden
Try Sutrisno.91
Puncak membaiknya hubungan DDII dengan Pemerintah Orde Baru terjadi
menjelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Suharto. Pada 24-26 Januari 1995,
Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah Sidang IX Koordinasi Kerja Sama Amal
Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) bidang Dakwah. Pada sidang yang dibuka
langsung oleh Presiden Soeharto di Istana Negara tersebut, DDII dipercaya menjadi
panitia pengarah (Steering Committe).92 Untuk pertama kalinya, Ketua DDII tampil
secara resmi di Istana Negara. Sebelumnya, Presiden Soeharto mengundang Anwar
Harjono dan pengurus DDII lainnya pada acara silaturrahmi Idul Fitri 1414 H/1994
di Cendana. Suatu peristiwa yang sama sekali tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Sementara secara keseluruhan peristiwa-peristiwa tersebut
memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan signifikan dalam hubungan antara
DDII khususnya dan Islam umumnya dengan Pemerintah Orde Baru.

2. Periode Anwar Harjono (1997-1999): DDII Pada Masa Akhir


Kepemimpinan Orde Baru
Periode kepemimpinan kolektif berjalan kurang lebih selama empat tahun
(1993-1997). Walaupun secara de facto, sebenamya Anwar Harjonolah pemimpin
DDII periode kolektif tersebut, tetapi secara de jure, pengukuhannya sebagai ketua
umum lembaga ini baru dilakukan empat tahun kemudian. Pada periode ini,
berdasarkan SK Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Nomor
014/A/DDII/1/1415/1995 tertanggal 17 Januari 1995, Hussein Umar diangkat
menjadi sekretaris menggantikan Buchari Tamam yang meninggal dunia.93

90
Antara tahun 1993-1997, DDII masih banyak menghadiri undangan dan mendapat
kunjungan dari lembaga dan organisasi Islam berbagai negara, khususnya dari Negara-negara
Arab (Timur Tengah). Lihat Informasi Ringkas Tentang Kegiatan Biro Luar Negeri Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, Dokumen tidak dipublikasikan, tanpa tahun.
91
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 44.
92
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 43-44.
93
Buchari Tamam meninggal dunia pada 31 Desember 1994.

150
Meskipun terkesan terlambat, karena desakan berbagai pihak dan demi
kelancaran jalannya roda organisasi, Anwar Harjono akhirnya bersedia menjabat
sebagai ketua umum DDII. Pada kepengurusan ini, Harjono didampingi oleh
Hussein Umar sebagai sekretaris umum dan dua belas orang pengurus harian. 94
Komposisi kepengurusan tersebut juga dilengkapi dengan 47 (empat puluh tujuh)
orang anggota pleno.95 Sebagian anggota pleno periode ini adalah mereka yang
pernah direkrut menjadi anggota Majelis Silaturrahmi pada masa kepemimpinan
Natsir.96 Pada periode Anwar Harjono, para fungsionaris (full time) yaitu kepala dan
wakil kepala Biro secara ex. officio ditetapkan menjadi anggota pengurus pleno,
yaitu: 1) Muzayyin Abdul Wahab (Ka. Biro Luar Negeri dan Bangun Sarana; 2)
Wardi Kamili (Waka Biro Luar Negeri); 3) Ramlan Mardjoned (Ka. Biro
Penerangan dan Penerbitan); 4) Herman Khalilulrahman (Waka I Biro Penerangan
dan Penerbitan); 5) Amlir Syaifa Yasin (Waka II Biro Penerangan dan Penerbitan);
6) Syuhada Bachri (Ka. Biro Diklat dan Pengembangan Dakwah); 7) Syariful
Alamsyah (Waka. Biro Diklat dan Pengembangan Dakwah); 8) Misbach Malim (Ka.
Biro Administrasi dan Organisasi); 9) Zulfi Syukur (Waka. Biro Administrasi dan

94
Berdasarkan SK. No. 003/A-DDIJP/1417/1997 ditetapkan komposisi
kepengurusan DDII sebagai berikut; Ketua Umum: Dr. Anwar Harjono, Ketua: Prof. Dr.
HM. Rasjidi, Ketua: K.H. Rusjad Nurdin, Wakil Ketua: Mohammad Soleiman, Wakil Ketua:
Drs. H.M. Cholil Badawi, Wakil Ketua: Ir. H. A.M. Luthfi, Wakil Ketua: H. Hartono
Mardjono, S.H., Sekretaris Umum: H. Hussein Umar, Sekretaris: H. Hasanuddin Abu Bakar,
Sekretaris: H. Mas'adi Sulthani, M.A., Sekretaris: H.M. Noer, MA, Bendahara: H.M. Nazief,
S.E., Wakil Bendahara: H. Tamsil Linrung. Lukman Hakiem dan Tamsil Linrung.
Menunaikan Panggilan Risalah, h. 13.
95
Anggota Pleno DDII Pusat periode ini adalah: 1) KH. Hasan Basri, 2) Prof. Dr. H.
Osman Raliby, 3) H. A. Wahid Alwi, M.A., 4) K.H. A. Latif Muchtar, M.A, 5) KH. Didin
Hafidhuddin, M.Sc., 6) KH. Affandi Ridhwan, 7) Dr. H. M. Amien Rais, M.A, 8) H.
Muzayyin Abdul Wahab, M.A., 9) H. Wardi Kamili, 10) H. Ramlan Mardjoned, 11) H.
Herman Khalilulrahman, 12) H. Amlir Syaifa Yasin, BA, 13) H. Syuhada Bahri, 14) H.
Syariful Alamsyah, Lc, 15) Drs. H. Misbach Malim, Lc, 16) H. Zulfi Syukur, BA, 17) H.
Amlika Hs. Dt. Maradjo, 18) H. Hardi M. Arifin, 19) Ramli Hutabarat, SH., M. Hum, 20)
Drs. Mukhsin, MK, 21) H. Mazni Mohd. Yunus, Lc, 22) Prof. Dr. A. Rahman Zainuddin, 23)
H. Abdul Wahid Sabari, M.A., 24) Prof. Drs. H. Dochak Latief, 25) H. Faisal Baasir, S.H.,
26) H. Fadhol Arofah, M.A., 27) H. Farid Prawiranegara, AK, 28) H. Geys Amar, S.H., 29)
Prof. Dr. H. Hasan Langgulung, 30) KH. A. Khalil Ridwan, Lc, 31) Dr. Ir. H. lmanuddin
Abdulrahim, 32) Dr. H. Kuntowijoyo, 33) Drs. H. Mohammad Siddik, M.A., 34) Prof. H.
Daud Ali, S.H., 35) Dr. H. Muslim Nasution, M.A, 36) H. Moeslim Aboud Ma'ani, MA, 37)
H. Nuhtada Labina, 38) Dr. H. Nurhay Abdurrahman, 39) Drs. H. Nursal, 40) Drs. H. Nurul
Huda, 41) H. Rais Ahmad, SH, M.A, 42) H. Rusydi, SH, S.Ag., 43) Dr. H. Sohirin
Mohammad Sholihin, 44) drh. Taufiq Ismail, 45) Dr. H. Yahya Muhaimin, M.A., 46) Dr. H.
Yusril lhza Mahendra, S.H., 47) Prof. Dr. H. Yusuf Amir Faisal. Lihat Hakiem dan Tamsil
Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 13-14.
96
Majelis Silaturrahmi adalah sebuah badan otonom DDII yang dibentuk
berdasarkan SK No. 366/UDDII/1410 H tanggal 05 Agustus 1989. Badan yang populer
disebut “fiatin qalilah” (kelompok terbatas) ini terdiri dari Badan Penasehat dengan 9
anggota dan Majelis Silaturrahmi yang beranggotakan 29 orang. Lihat Mas‟adi Sulthani,
“Perjalanan Bersama Dewan Dakwah,” dalam Luthfi Bukan Ludwig: Catatan Para Sahabat
A. M. Luthfi (Jakarta: Media Dakwah, 2007), h. 135.

151
Organisasi); 10) Amlika H. S. Dt. Marajo (Ka. Biro Keuangan dan Kesejahteraan);
11) Hardi M. Arifin (Waka. Biro Keuangan dan Kesejahteraan); 12) Ramli
Hutabarat (Ka. Biro Riset dan Dokumentasi); 13) Mukhsin, MK (Ka. Biro Riset dan
Dokumentasi); 14) Mazni Yunus (Ka. Biro Haji dan Umrah).97
Banyak pihak, termasuk kalangan internal DDII sendiri, sempat
mempertanyakan kebijakan Anwar Harjono yang melibatkan begitu banyak personil
anggota pleno dalam kepengurusannya. Padahal kebanyakan mereka hanya
namanya yang tercantum sebagai pengurus, tetapi tidak pernah aktif. Karena
dikhawatirkan kalau mereka bukan saja tidak bisa diharapkan bisa berbuat banyak
untuk membesarkan lembaga, bahkan bisa-bisa menjadi beban bagi DDII. Ketika
persoalan tersebut diajukan orang secara langsung kepada Harjono, ia menjawab,
bahwa dia ingin merangkul semua pihak. Persoalan mereka aktif atau tidak, itu soal
lain, yang penting namanya tercantum sebagai anggota pleno.98
Ternyata pada tingkat implementasinya, persoalan itu tidak sesederhana
dan semudah yang dibayangkan. Kebijakan Harjono tersebut menimbulkan
persoalan dan kendala pada tingkat pelaksanaannya. Terutama ketika berkaitan
dengan prosedur dan mekanisme pengambilan keputusan dalam lembaga. Dengan
jumlah anggota pleno non-pengurus harian yang begitu besar, sementara mereka
banyak pula yang tidak bisa aktif,99 maka keputusan-keputusan yang mengharuskan
kehadiran pengurus pleno, sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh lembaga,
menimbulkan banyak masalah.100

97
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 14. Dari ke-14
fungsionaris DDII Pusat itu, Syuhada Bahri merupakan kader juru dakwah murni dan
berkonsentrasi terhadap pembinaan SDM juru dakwah tersebut. Karier Bahri meroket di
masa reformasi, hingga menjadi Ketua Umum DDII periode 2010-2015. Lihat Bachtiar,
Setengah Abad Dewan Dakwah…, h. 118.
98
Maksud dan tujuan Harjono memasukkan sebanyak mungkin orang dari berbagai
kalangan Islam ke dalam kepengurusan pleno memang ada baiknya. Harjono sepertinya
berkeinginan menghapus kesan kalau DDII selama ini cenderung menjadi lembaga yang
eksklusif dan tertutup. Harjono tampaknya ingin menampilkan citra DDII yang inklusif dan
terbuka, sesuai dengan perkembangan dunia, utamanya Indonesia, yang semakin membuka
kran demokratisasi dan kian menghargai keterbukaan. Sebagai juru bicara terakhir partai
Masyumi, Harjono, seperti juga Natsir dan tokoh-tokoh senior Masyumi lainnya, sangat
terobsesi dengan ukhuwwah dan persatuan umat. Lihat Amin, Sikap Politik Dewan
Dakwah…, h. 154.
99
Pengakuan Yahya A. Muhaimin, salah seorang Anggota Pleno DDII, pada
umumnya pada dasawarsa 90-an itu, para anggota diskusi DDII yang terdiri dari para
intelektual muda yang dikader Natsir pada dekade 1980an sudah jarang bertemu dan
berkomunikasi lagi sebagai sebuah team work. Lihat Yahya A. Muhaimin, “Kuat Memegang
Fatsoen dan Etika Politik,” dalam Luthfi Bukan Ludwig…, h. 115.
100
Untuk mengatasi dan keluar dari masalah tersebut, Muyawarah Besar (Mubes)
II DDII yang berlangsung pada 12-14 Juni 1998 di Asrama Haji Cempaka Putih, Jakarta,
menetapkan aturan baru mengenai rapat pengurus. Keputusan Mubes menetapkan bahwa
rapat pengurus DDII Pusat terdiri dari dua macam rapat pengambilan keputusan, yaitu:
Keputusan Lembaga Pengurus Harian dan Keputusan Lembaga Pengurus Pleno. Lihat Luthfi
dan Mas'adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan Dakwah…, h.4.

152
Periode Anwar Harjono, sebagaimana dikatakannya sendiri, DDII
“melangkah di tengah cuaca yang sedang berubah.”101 Setelah lebih kurang 30 tahun
hak-hak warganegara yang beragama Islam banyak diabaikan dan umat Islam
dipinggirkan, memasuki dasawarsa 1990-an terasa ada perubahan. Ibarat cuaca,
kabut yang selama ini menyelimuti dari waktu ke waktu mulai tersibak. Suasana
seperti ini memang belum merata meliputi seluruh tanah air. Tetapi kesempatan-
kesempatan sudah mulai terbuka lebar. Dalam cuaca seperti ini, kalau kita hanya
jadi penonton, demikian Anwar Harjono, maka peluang yang sudah terbuka akan
terbuang dengan percuma.102
DDII memang sangat merasakan “perubahan cuaca politik” yang sedang
berlangsung. Jika dulu kekurangsukaan pemerintah terhadap DDII sangat terasa,
sehingga DDII sulit menampilkan dirinya secara wajar, sekarang suasananya
berbalik, dimana-mana kehadiran DDII disambut hangat.103 Sambutan hangat
masyarakat dan pemerintah terhadap aktivitas DDII, menyebabkannya terpacu untuk
melakukan langkah desentralisasi. Program pelatihan da'i mulai dilaksanakan di
daerah. Program-program lain pun mulai diserahkan pengelolaannya kepada DDII
Perwakilan. DDII Pusat hanya memberikan pengarahan global, sementara teknis
operasional diserahkan sepenuhnya kepada perwakilan.104
Dalam suasana “perubahan cuaca politik,” DDII semakin memantapkan
perwakilannya di berbagai propinsi. Sampai periode ini terdapat 16 DDII Perwakilan
tingkat propinsi yang relatif sudah mapan dan mampu membuka DDII Pembantu
Perwakilan di daerah tingkat kabupaten/kota. Perwakilan-perwakilan tersebut ialah:
Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan,
Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku, dan Kalimantan Barat. Sementara di sebelas
propinsi lainnya, seperti Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa

101
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 47.
102
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 48-49.
Terlepas dari apapun motivasi dan agenda politik di belakangnya, tetapi memang memasuki
dasawarsa 1990-an, Presiden Soeharto mengarahkan perhatiannya pada umat Islam.
Hubungan antara umat Islam dengan pernerintah pun kian membaik. Hal ini ditandai dengan
berdirinya lkatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang direstui sendiri oleh
Presiden Soeharto pada 6 Desember 1990 di Malang. Kemudian, Rancangan Undang-
Undang Peradilan Agama disahkan menjadi Undang-Undang, aspirasi umat Islam
diakomodir dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang dalam proses awalnya
mengundang protes keras dari kalangan non-Muslim. Demikian juga dengan berdirinya Bank
Muamalat Indonesia (BMI) yang dalam pembentukannya melibatkan tak kurang dari
Presiden Soeharto sendiri dan diselenggarakannya Festival Istiqlal, dan duduknya golongan
beragama Islam secara proporsional dalam MPR dan Kabinet Pembangunan VI. Kondisi
politik yang kondusif inilah yang dimanfaatkan DDII.
103
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 49.
104
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 50.

153
Tenggara Timur, lrian Jaya, dan Timor Timur (yang waktu itu masih dalam
kekuasaan Republik Indonesia), eksistensi DDII masih belum mapan.105 .
Pada periode Anwar Harjono, hubungan baik DDII dengan pemerintah Orde
Baru memasuki babak baru, babak kemesraan. Hal ini terkait dengan respon positif
DDII terhadap perubahan sikap yang ditunjukkan pemerintahan Presiden Soeharto
terhadap umat Islam, khususnya kelompok modernis-konservatif dan berusaha
menekan kegiatan muslim pro-demokrasi.106 Puncak kemesraan hubungan DDII
dengan pemerintah terjadi pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie.
Ketika ada pihak-pihak yang mempersoalkan kepada Anwar Harjono, bahwa
DDII sekarang sudah “berubah,” Harjono menjawab, bukan kita yang berubah, tetapi
mereka yang berubah. Jika orang sudah mengulurkan tangan untuk berjabat tangan
dengan kita, lanjut Harjono, sebagai muslim yang baik tentu kita harus
menyambutnya.107 Jika karena situasi yang berubah, lalu dikatakan DDII berubah,
tidak lagi menjadi oposan, perlu dipertanyakan siapa yang mengatakan DDII ini
gerakan oposisi. DDII adalah gerakan dakwah yang berpegangan kepada amar
ma‟ruf nahi munkar. Oposisi itu pengertian politik. DDII bukan partai politik.108
Tetapi lebih dari semua itu, pada masa Anwar Harjono memimpin DDII,
terjadi peristiwa Reformasi Mei 1998.109 Reformasi yang tidak saja telah
merenggutkan Soeharto dari kekuasaan yang telah dipegangnya selama 32 tahun,
tetapi juga telah mengubah tatanan dan dunia perpolitikan di tanah air secara
signifikan. Peristiwa tersebut tentu saja secara langsung atau tidak langsung ada
pengaruhnya terhadap DDII sebagai institusi. Karena, peralihan kekuasaan dari satu
orde ke orde lainnya, tidak dapat tidak, akan berimplikasi terhadap kebijakan-
kebijakan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik dan hajat hidup
masyarakat, termasuk DDII.
Secara resmi, Anwar Harjono memimpin DDII selama dua tahun (1997-
1999). Penyakit radang ginjal dan stroke yang dideritanya sejak 1996 membuat
aktifitasnya harus dibantu dengan menggunakan kursi roda. Tetapi, berbagai aktifitas
masih diikutinya sampai menjelang akhir hayatnya.110 Kebijakan penting Harjono di
DDII pada masa akhir kepemimpinan Presdiden Suharto adalah dukungannya
melalui partsipasi aktif pada Pemilu 1997.

C. Dinamika Internal Elite DDII Pada Masa Kepemimpinan Anwar Harjono


1. Polemik Tentang ICMI dan Hubungan Dengan Pemerintah

105
Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 50-52.
106
Hefner, Islam Pasar Keadilan..., h. 13.
107
Amin, Sikap Politik Dewan Dakwah…, h. 157.
108
Anwar Harjono, Indonesia Kita..., h. 251. Terkait pemikiran dan sikap Harjono
terhadap pemerintahan Orde Baru, serta tanggapan kritis dari kader-kader DDII lainnya akan
dibahas pada sub bab khusus berikutnya.
109
Reformasi 1998 yang digerakkan mahasiswa dan berhasil menumbangkan rezim
Orde Baru, dapat disebut sebagai bentuk atau hasil dari kesadaran baru masyarakat-bangsa
Indonesia. Secara umum, lihat Eep Saefuloh Fatah. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda
Besar Demokratisasi Pasca-Orde Baru (Bandung: Mizan, 2000).
110
Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan
Dakwah…, h. 5.

154
Walaupun pada awal tahun 1990-an itu masih ada elite-elite intelektual
muda DDII yang tetap mengritisi pemikiran Nuccholish Madjid dengan
Paramadinanya, seperti Daud Rasyid Sitorus dan Ahmad Husnan, Ketua Perwakilan
DDII Jawa Tengah. Namun demikian, arus besar elite-elite DDII itu sendiri berada
dalam gerbong ICMI—yang berarti lebih mementingkan persatuan ummat Islam
pada era „bulan madu‟ dengan Orde Baru tersebut. Di antara kontribusi elite DDII di
ICMI adalah penyelenggaraan kerjasama dengan Rabithah Alam Islami yang
berpusat di Riyadh dan International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang
berpusat di Virginia Amerika Serikat, untuk memajukan SDM dan perkembangan
teknologi di dunia Muslim dengan mendirikan International Islamic Forum for
Sciene, Technology and Human Resources Development (IIFTIHAR).111
Mayoritas elite DDII menyambut dengan gembira kelahiran ICMI. Tentu
kondisi ini didukung fakta bahwa inisiator ICMI adalah bang Imad, kader dai
akademis DDII itu sendiri. Bang Imad yang masih menjadi inner cycle DDII itu
tentu akan berhubungan dan berkoordinasi dengan para elite DDII dalam proses
pendiriannya. Namun, yang lebih penting lagi, adalah karena pimpinan teras DDII
merestui pendirian ICMI yang diinisiasi kadernya itu. Kuntowijoyo menjelaskan
tentang dukungan keberpihakan orang nomor satu DDII terhadap ICMI:
…beberapa minggu setelah terpilihnya Habibie, Natsir—yang sadar bahwa
ICMI menimbulkan pro-kontra—berkirim surat yang berisi tiga hal, yaitu
ucapan selamat, harapan supaya ICMI bermanfaat untuk umat, dan doa semoga
ICMI mendapat ridlo Allah. Surat itu dapat kita tafsirkan bahwa Natsir
menyerahkan tongkat kepada Habibie.112
Di antara pimpinan teras DDII itu, dukungan juga datang dari Anwar
Harjono. Tahun 1990 ketika ICMI berdiri, Harjono adalah orang kedua DDII setelah
Natsir. Karena waktu itu, Harjono memimpin DDII „secara informal‟ sebagai Ketua
Harian DDII, menggantikan peran Natsir yang lebih banyak beristirahat karena
faktor kesehatan dan usia yang sudah uzur. Menjelang pendeklarasian ICMI pada
Desember 1990, Anwar Harjono telah menuliskan pikirannya tentang keadaan jagat
perpolitikan Indonesia yang mulai berubah, namun belum jelas arahnya. Pada
majalah Media Da‟wah edisi Oktober 1990, Harjono mengilustrasikan situasi politik
waktu itu sebagai „angin sepoi-sepoi di sini, angin panas di sana.‟113
Bagi Harjono, hal itu terasa dari mulai terdengarnya suara-suara dari
kalangan masyarakat yang mengutarakan pendapat mereka secara lebih terbuka, baik
dari kalangan mahasiswa, cendekiawan, LSM, maupun ulama. Pada umumnya,
mereka sudah berani menyatakan secara terbuka masalah-masalah yang menyangkut
kehidupan rakyat banyak.114 Bahkan, demikian juga dari kalangan para pejabat
negara. Dalam hal ini, Harjono mencontohkan pidato KSAD Jenderal Edi Sudrajat di
kampus Akademi Militer Nasional, Magelang, pada 2 Desember 1989. Sang jenderal

111
Lihat Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 433.
112
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid…, h. 78-79.
113
Anwar Harjono, “Angin Sepoi-sepoi Di Sini, Angin Panas Di Sana,” Media
Da‟wah No. 195, Rabi‟ul Awal 1411/Oktober 1990, h. 6-7.
114
Harjono menyontohkan sambutan masyarakat dan media massa, baik di dalam
maupun di luar negeri, menunjukkan simpati yang besar terhadap pembebasan H. R.
Dharsono. Lihat Harjono, “Angin Sepoi-sepoi Di Sini…,” h. 7.

155
mengingatkan, bahwa rakyat menginginkan setiap perbedaan dibahas lebih
terbuka.115
Dalam konteks suasana keterbukaan—yang diilustrasikan sebagai „angin
politik sepoi-sepoi‟116 ini—Harjono merespon pendirian ICMI. Sebulan setelah
pendirian ICMI, Harjono menyuguhkan tulisan di Media Da‟wah. Dalam tulisannya
itu, Harjono menyimpan harapan besar terhadap ICMI. Menurutnya, adalah menjadi
kewajiban kewajiban para pemikir untuk melakukan segala upaya untuk mencarikan
jalan mengatasi berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Menyitir
pernyataan Habibie bahwa ICMI perlu long march, menurut Harjono, tanpa lebih
dahulu menyelesaikan berbagai ketimpangan, long march ICMI akan sulit mencapai
tujuannya.117 Dengan kata lain, Harjono berharap ICMI jadi solusi mengatasi
ketimpangan itu.
Tulisan Harjono di media mainstream organisasinya itu tentu dibaca luas
kader-kader DDII sebagai dukungan terhadap ICMI. Lebih-lebih pada akhir tahun
1991, tepat setahun setelah berdirinya ICMI, diadakan festival kebudayaan Islam—
yang dinamai Festival Istiqlal, karena diadakan di masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
Kaitan dengan ICMI adalah peristiwa Festival Istiqlal 1991 dibuka secara resmi oleh
Presiden Suharto. ICMI berada dibalik hajat besar setahun setelah pendiriannya itu.
Harjono pun menyambut gembira penyelenggaraan festival akbar itu. Bagi Harjono,
betapapun rakyat Indonesia itu dihuni mayoritas muslim, tetapi hal itu tidak
tercermin dari objek wisata. “Dengan latar belakang pemikiran ini, adalah sungguh
sangat besar makna yang terkandung dalam Festival Istiqlal 1991 yang
menggelarkan pameran budaya rakyat yang bernafaskan Islam,” tulis Harjono.118
„Angin sepoi-sepoi‟ yang disebut Harjono pada tahun 1990, akhirnya
diyakininya menjadi „cuaca yang sedang berubah‟ pada tahun 1993. Kondisi „cuaca
politik yang berubah‟ itu ditegaskan oleh Harjono ketika diwawancarai oleh majalah
Amanah pada awal tahun 1993. Penjelasan Harjono tentang „perubahan cuaca
politik‟ itu untuk menjawab tuduhan tentang peran „orang-orang Masyumi‟ dalam
berbagai isu percaturan politik nasional. Bahkan sampai kapan pun, kata Harjono,
“Masyumi tetaplah relevan.”119 Perubahan cuaca politik ini semakin kentara, ketika
dirinya dan sebagian tokoh Petisi 50 diundang Menristek Habibie pada 3 Juni 1993
untuk berkunjung ke PT PAL di Surabaya, kemudian dilanjutkan ke industri pesawat
terbang (IPTN) di Bandung pada 8 Juli 1993. Terhadap peristiwa yang kemudian
jadi pemberitaan nasional itu, Harjono menyambutnya dengan gembira, penuh
syukur. Harjono melihatnya sebagai “terobosan politik yang diharapkan mampu

115
Serial Media Da‟wah No. 187, Jumadil Akhir 1410/Januari 1990, h. 6-7.
116
Harjono sendiri mendapat berkah dari situasi „politik angin sepoi-sepoi‟ itu. Pada
pertengahan tahun 1991, Harjono—yang dari sejak tahun 1980 dicekal bepergian ke luar
negeri oleh pemerintah, karena kasus Petisi 50—diizinkan untuk menunaikan ibadah haji ke
tanah suci Mekkah. Media Da‟wah No. 206, Muharam 1412/Agustus 1993, h. 6.
117
Media Da‟wah No. 199, Jumadil Akhir 1411/Januari 1990, h. 6-7.
118
Anwar Harjono, “Festival Istiqlal 1991 Khazanah Rohaniah Indonesia,” Media
Da‟wah No. 210, Jumadil Awal 1412/Desember 1991, h. 6-7.
119
“Banyak Yang Mengaku Masyumi,” wawancara Anwar Harjono, Amanah No.
174, 8-21 Maret 1993, h. 57.

156
mencairkan kebekuan selama ini. Dan untuk itu patut dihargai.”120 Dari kedua
peristiwa itulah, pencekalan terhadap tokoh-tokoh Petisi 50 pun berakhir.121 Terkait
fenomena perubahan politis khususnya kepada Anwar Harjono—sebagai Ketua
DDII yang juga anggota Petisi 50—Edward Aspinall menjelaskan:
Less outspoken, but more important in the working group was Dewan Dakwah
leader Anwar Haryono. From the early 1990s this organisation, which had been
a virtual pariah during the 1970s and 1980s, reassessed its view of the
government. Haryono met President Suharto several times in delegations of
Islamic leaders and from 1993 frequently spoke in favour of ICMI and the new
place of Islam.122
Sebagai seorang mantan elite Masyumi yang malang-melintang di dunia
politik nasional, Harjono berkeyakinan dalam proses perubahan politik itu, umat
Islam harus berperan aktif. “Supaya tidak ikut hanyut, jangan berhenti tangan
mendayung,” begitu arahan Harjono kepada umat Islam, khususnya kader-kader
DDII.123 Dengan kata lain, jangan hanya jadi penonton, tapi harus menjadi pemain.
Jangan sampai „angin sepoi‟ menjadi „angin lembubu‟ yang mengganggu, menjadi
berantakan. Harjono menjelaskan,
…jika kita mau menjadi penonton saja dalam permainan yang tengah
berlangsung, maka angin sepoi-sepoi yang mulai berhembus bukan mustahil
akan menjadi angin lembubu yang menghantu. Kita sama kita akan terus diadu.
Dengan berbagai cara, sejak rayuan sampai tipuan, hingga kita kecolongan, dan
kalangan anti-Islam bertepuk tangan kesenangan…Jangan sampai terulang
sejarah yang lalu, mereka yang „main‟, kita sama kita sesama umat Islam
menjadi berantakan karena berhasil diadu domba, selanjutnya umat dengan
penguasa menjadi jauh. Dan akhirnya kehidupan kita sebagai bangsa menjadi
terganggu. Na‟udzu billahi min dzalika.124
Harjono pun memilih mendukung sepenuhnya ICMI dan oleh karenanya
sekaligus “memperbaiki hubungan” DDII dengan pemerintahan Orde Baru. Tak
heran jika elite-elite DDII pun, dari pusat hingga daerah, banyak yang menjadi
pengurus ICMI. Di tingkat pusat, misalnya, dalam kepengurusan ICMI selain bang
Imad terlihat juga nama-nama kader DDII lainnya: A. M. Luthfi, Amien Rais,
Kuntowijoyo, Latief Muchtar. A. M. Luthfi—yang menjadi pengurus pusat DDII
berbarengan dengan Anwar Harjono pada tahun 1983 dan menjadi sponsor utama
kegiatan-kegiatan pengkaderan DDII era Natsir—walaupun sempat ragu, tapi
kemudian ikut aktif di ICMI.125 Amien Rais—kader Natsir yang menjadi motor

120
Media Da‟wah No. 229, Muharam 1414/Juli 1993, h. 41-46.
121
Lihat laporan Detik No 019-021 Tahun XVII, Juli 1993.
122
Edward Aspinall. Political Opposition…, h.101.
123
Anwar Harjono, “Jangan Berhenti Tangan Mendayung Nanti Arus Membawa
Hanyut,” Media Da‟wah No. 222, Jumadil Akhir 1413/Desember 1992, h. 6-7.
124
Anwar Harjono dalam Hakiem (ed.), Perjalanan Mencari Keadilan dan
Persatuan…, h. 433-434.
125
Keraguan A. M. Luthfi bukan pada organisasi ICMI-nya, melainkan lebih karena
sosok Habibie sebagai Ketua Umumnya. Sebagai insinyur teknik sipil ITB, Luthfi pernah
bekerja sebagai direksi pada perusahaan negara yang dipimpin Habibie sebagai Menteri pada
era 1980an dan mengalami peristiwa negatif, sehingga mundur dari jabatan direksinya itu.

157
penggerak kelompok Pratekan dalam perumusan Khittah Dakwah DDII—juga
menjadi anggota pengurus pusat, bahkan kemudian menjadi Ketua Dewan Pakar
ICMI.
Sikap politik moderat-akomodatif Harjono ini telah membawa perubahan-
perubahan mendasar pada kebijakan DDII, bahkan sejak Natsir masih ada (periode
1990-1993). Hal inilah yang kemudian menjadi pertanyaan kritis peserta Silaturahmi
Nasional DDII yang digelar pada tahun 1993 pascawafatnya Natsir.126 Menjawab
pertanyaan kritis itu, Haryono—dalam laporannya mengenai kebijakan DDII 1991-
1993—mengingatkan bahwa DDII bukanlah Ormas keagamaan seperti halnya
Muhammadiyah dan NU, dan bukan pula partai politik. DDII adalah yayasan yang
tidak menginginkan jama‟ah dan simpatisannya buta politik. Oleh karena itu, DDII
tidak pemah absen mengemukakan pandangan-pandangannya dalam berbagai
kesempatan membicarakan rancangan undang-undang, khususnya menyangkut
akidah umat. Pandangan dan kebijakan yang diambil DDII tersebut harus dilihat dari
perspektif dan kacamata dakwah; “al-Amr bi al-Ma‟ruf wa Nahy „an al-Munkar.”127
Oleh karena itu, ujar Harjono, adalah tidak tepat memposisikan DDII
sebagai kelompok oposisi. Karena, oposisi adalah istilah politik, sedangkan DDII
bukan golongan politik dan juga bukan partai politik. Bagi DDII, dalam keadaan
apapun yang ma‟ruf harus dibantu, siapapun yang melakukannya. Sebaliknya yang
munkar, siapapun yang melakukannya, harus diingatkan dan ditegur dengan
bijaksana. Dengan kata lain, DDII melakukan social support dan social control
sekaligus secara seimbang. Dalam makalahnya tersebut, Harjono juga
mengemukakan bahwa pemerintah tentu pernah melakukan kesalahan-kesalahan,
sehingga dengan demikian memerlukan social control. Sebagaimana pemerintah
juga melakukan kebaikan-kebaikan yang memerlukan social support.128
Hal penting lain yang dikemukakan Haryono dalam kesempatan tersebut
adalah bahwa sikap pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam telah berubah.
Proporsionalitas posisi mayoritas-minoritas dalam susunan personalia Kabinet
Pembangunan VI yang dipimpin Presiden Soeharto dengan Try Sutrisno sebagai
Wakil Presiden mencerminkan hal itu. Karena itu, sudah saatnya DDII tidak lagi
menjadi „penonton,‟ tetapi tandang ke gelanggang sebagai „pemain.‟ Karena,
demikian Harjono, perubahan orientasi ini akan banyak digunakan oleh berbagai
kelompok dalam masyarakat untuk kepentingan masing-masing.129
Harjono juga mengingatkan hadirin bahwa himbauan Natsir sebagai ketua
umum DDII supaya keluarga besar DDII menusuk tanda gambar Bintang (lambang
Partai Persatuan Pembangunan/PPP) dalam Pemilu 1992, harusnya dilihat dari
perspektif ini. Natsir mengajak umat agar berpartisipasi aktif dan bersikap pro-aktif.

Lihat kesaksian Pamuntjak, sahabat dekat A. M. Luthfi, dalam Luthfi Bukan Ludwig..., h.
106-109.
126
Tidak lama setelah Natsir wafat, diselenggarakan pertemuan silaturrahmi
Keluarga Besar DDII pada 23-24 April 1993. Pada kesempatan tersebut, Anwar Harjono
menyampaikan sebuah makalah yang berjudul: “Melangkah di Tengah Cuaca yang
Berubah,” lihat Hakiem dan Tamsil Linrung, Menunaikan Panggilan Risalah…, h. 47.
127
Anwar Haryono, “Melangkah Dalam Cuaca yang Berubah…,” h. 2-3.
128
Haryono, “Melangkah Dalam Cuaca yang Berubah…,” h. 4.
129
Haryono, “Melangkah Dalam Cuaca yang Berubah…,” h. 3-4.

158
Natsir—yang selama ini dikenal tidak menggunakan hak pilihnya alias Golput
(golongan putih)—bahkan menganjurkan kepada yang muda-muda dan berminat
agar langsung terjun ke dalam kegiatan politik.130
Pemikiran dan sikap politik Harjono sebagai Ketua DDII ini mendapat
dukungan penuh dari Buchari Tamam, salah seorang pendiri DDII yang menjabat
sekretaris umum pengurus pusat organisasi tersebut. Bagi Tamam, perubahan yang
terjadi sebagai, “situasi yang berubah ke arah yang lebih menguntungkan kita.” Kini
penafsiran Demokrasi Pancasila, lanjut Tamam, sebagai Demokrasi yang tidak
mengenal mayoritas dan minoritas telah ditinggalkan. Komposisi Muslim dan non-
Muslim pada anggota badan legislatif hasil Pemilu 1992 dan Kabinet Pembangunan
VI berbanding 90% Muslim dan 10% non-Muslim.131
Corong DDII, Media Da‟wah, seringkali memberitakan—sebagai
pembelaan atas—dukungan pemerintah terhadap aspirasi politik Islam. Pada Juni
1991, para redaktunya—Buchari Tamam adalah redakstur senior Media Da‟wah—
menurunkan laporan utama tentang ICMI yang ditulis dengan model ilustratif:
Dijamin Halal. Dilaporkan, “setelah bertahun-tahun diliputi rasa curiga, sekarang
kita melihat kecenderungan saling mendekatnya antara pemerintah dan umat Islam.”
Diakuinya bahwa selama Orde Baru, birokrasi memang mengalami Islamisasi, dan
dalam pengertian itu, ICMI merupakan pertanda yang menggembirakan. Umat Islam
harus memanfaatkan peluang baru ini.132 Di penghujung tahun 1992, Media Da‟wah
menurunkan laporan utama lain yang memuji “penghijauan” di MPR yang baru
terpilih, yang mencerminkan pengaruh politik ICMI dan Habibie.133 Adian
Husaini—kader muda DDII dari organisasi sayap KISDI di bawah pimpinan
Achmad Sumargono—menerbitkan buku pada tahun 1995 yang didalamnya berisi
apresiasi terhadap kehadiran ICMI dan Habibie sebagai ketua umumnya.134
Sikap politik akomodatif Harjono-Tamam pada era akhir Orde Baru ini
ditunjang dengan terpilihnya KH. Hasan Basri—tokoh senior DDII—menjadi Ketua
Umum MUI pada tahun 1993. Suatu tanda dukungan rezim, karena lembaga ini
adalah model kooptasi Orde Baru.135 Fenomena ini mendorong kader-kader muda
DDII terlibat lebih jauh ke dalam kegiatan politik praktis, bahkan masuk ke

130
Haryono, “Melangkah Dalam Cuaca yang Berubah…,” h. 3-4. Pernyataan
Harjono ini terkonfirmasi. Latief Muchtar (Ketua Umum Persis yang menjadi Anggota Pleno
DDII) ikut berkecimpung di dunia politik praktis—sebagai anggota MPP PPP dan anggota
legislatif dari Fraksi PPP di DPR/MPR tahun 1997—salah satu faktornya karena amanat
Natsir padanya. Lihat Dadan Wildan. Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di
Indonesia: Potret Perjalanan Sejarah Organisasi Persatuan Islam, Bandung: Persis Pers,
2000, h. 200; Atip Latipulhayat, wawancara, 25 Oktober 2019.
131
Buchari Tamam, Kegiatan Dewan Dakwah Setengah Tahun Sepeninggal Bapak
Moh. Natsir, 26 April 1993-7 Nopember 1993, Laporan, tidak diterbitkan, h. 2.
132
Lihat “Dijamin Halal,” Media Da‟wah No. 205, Dzulqa‟dah 1411/Juli 1991, h.
45-51.
133
Lihat “Hijau Mengapa Tidak?” Media Da‟wah No. 221, Jumadil Awal
1412/November 1992, h. 41-52; Media Da‟wah No. 227, Dzulqa‟dah 1413/Mei 1993, h. 15.
134
Lihat Adian Husaini. Habibie, Soeharto, dan Islam (Jakarta: Gema Insani Press,
1995).
135
Hefner. Civil Islam…, h. 178.

159
lingkungan birokrasi pemerintahan. Padahal, pilihan mereka untuk mendirikan dan
membangun DDII semula karena tidak bisa terlibat dalam dunia politik praktis.
Tercatat kader-kader elite DDII menjadi anggota partai politik, seperti Hussein Umar
(Sekretaris Umum, mantan ketua umum PII), A. M. Saefuddin (Anggota Pleno,
pimpinan Ibnu Khaldun Bogor), Latief Muchtar (Anggota Pleno, Ketua Umum PP
Persis), Hartono Mardjono (pimpinan biro), dan lainnya. Partai politik tempat
berlabuh kader-kader DDII adalah PPP yang memang sejak awal adalah bagian dari
jaringan politiknya.136 Bahkan Yusril Ihza Mahendra—kader dai akademis DDII dari
kampus Universitas Indonesia yang semasa mahasiswa menjadi demonstrans serta
pernah diajukan ke pengadilan pada era awal dekade 1980—menjadi tenaga ahli di
DPR (1993-1996), staf Sekretariat Negara (1994-1997), sekaligus sebagai penulis
naskah pidato Presiden Suharto.137
Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1992, elite-elite DDII pun berpartisipasi
secara aktif. Seruan DDII kepada seluruh rakyat Indonesia agar menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilu merupakan seruan yang bersifat umum dan normatif. Tetapi
patut dicatat, bahwa ini merupakan kelanjutan saja dari perubahan sikap politik DDII
mengenai Pemilu. Karena, baru pada Pemilu 1992, Natsir, Harjono dan beberapa
pimpinan DDII lainnya menggunakan hak pilihnya dan menyerukan agar keluarga
besar DDII menusuk tanda gambar Bintang (lambang PPP). Pada Pemilu-pemilu
sebelumnya, Natsir, Harjono dan pimpinan DDII memilih untuk bersikap Golput.
Baru kemudian setelah melihat kalau cuaca politik Indonesia mulai berubah, Natsir
dan DDII juga menyesuaikan sikapnya dengan perubahan politik itu.138
Terutama pada pemilu 1997, DDII sengaja mengeluarkan seruan resmi yang
ditandatangani Anwar Harjono (Ketua Umum) dan Hussein Umar (Sekretaris
Umum).139 Surat pernyataan politik itu dikeluarkan pada 19 Dzulhijjah 1417 H/27
April 1997 M sehubungan dengan akan berlangsungnya masa kampanye bagi tiga
organisasi sosial politik (Orsospol) peserta Pemilu pada 27 April s/d 23 Mei 1997

136
Di tubuh PPP ada faksi modernis. Oleh karena itulah, PPP pun waktu itu
dikategorikan sebagai bagian dari keluarga besar bulan bintang. Lihat Platzdasch. Religious
Dogma…, h. 43.
137
Firdaus Syam. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik
Indonesia Modern (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h. 228.
138
Anwar Harjono, “Melangkah Dalam Cuaca Yang Sedang Berubah…,” h. 3.
139
Pada periode Anwar Harjono, DDII mengeluarkan surat-surat pernyataan politik
berupa; a) “Seruan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berkenaan dengan Pemilu 1997”
tanggal 19 Zulhijjah 1417 H/27 April 1997 ditandatangani oleh Anwar Harjono (Ketua
Umum) dan Hussein Umar (Sekretaris Umum); b) “Pernyataan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia” tanggal 21 Mei 1998 (tanpa tanda tangan); c) “Pernyataan Politik Silaturrahim
Nasional Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia” tanggal 2 Nopember 1998 ditandatangani
oleh Anwar Harjono (Ketua Umum) dan Hussein Umar (Sekretaris Umum); d) “Pernyataan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia” tanggal 18 Nopember 1998 ditandatangani oleh Anwar
Harjono (Ketua Umum) dan Hussein Umar (Sekretaris Umum); e) “Seruan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia” tanggal 23 Nopember 1998 ditandatangani oleh Anwar Harjono (Ketua
Umum) dan Hussein Umar (Sekretaris Umum); dan f) “Himbauan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1419 H” tanggal 19 Desember 1998
ditandatangani oleh Anwar Harjono (Ketua Umum) dan Hussein Umar (Sekretaris Umum).
Lihat Amin. Sikap Politik Dewan Dakwah…, h. 165.

160
dan pelaksanaan Pemilu pada 29 Mei 1997. Surat berjudul “Seruan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia berkenaan dengan Pemilu 1997” itu pada intinya berisi tentang
pandangan dan sikap DDII mengenai Pemilu.140
DDII menyerukan kepada jamaahnya dan ummat Islam agar dalam Pemilu
ini memilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Karena PPP-lah yang waktu itu
dipandang sebagai Orsospol yang konsisten memperjuangkan kepentingan umat
Islam dan berpegang teguh kepada aqidah Islamiyah. Partai yang sebelumnya
berlambang ka‟bah itu adalah hasil fusi dari empat partai Islam; Nahdhatul Ulama
(NU), Muslimin Indonesia (MI), Syarekat Islam (SI), dan Perti. Partai ini, dalam
pandangan DDII, adalah partai yang senantiasa menyampaikan dan
memperjuangkan aspirasi umat Islam.141 Beberapa pengurus DDII juga tercatat
sebagai fungsionaris PPP serta menjadi anggota DPR RI dari partai itu, seperti
Hussein Umar, Cholil Badawi, A. M. Saefuddin, Latief Muchtar dan Hartono
Mardjono.
Penting pula dicatat bahwa surat pernyataan berkenaan dengan Pemilu 1997
ini, Pemilu keenam atau terakhir era Orde Baru, dikeluarkan oleh pimpinan teras
DDII pada saat—yang disebut dalam retorika negara Orde Baru sebagai—era
keterbukaan politik. Pada era di mana Orde Baru terlihat memberikan toleransi yang
lebih besar terhadap bentuk-bentuk partisipasi politik non-konvensional dan kian
akomodatif terhadap nilai dan kepentingan masyarakat budaya-ideologi mayoritas
(baca: umat Islam).142 Sehingga tidak mengherankan kalau bahasa yang digunakan
sedemikian terbuka dan lugas (straight to the point). Sulit untuk membayangkan
konsekwensi macam apa yang akan diterima elite DDII kalau bahasa seperti dalam
surat ini digunakannya pada masa-masa sebelum era awal keterbukaan tersebut.
Surat pernyataan ini juga muncul seiring dengan semakin kuatnya tuntutan
agar penyelenggaraan Pemilu diluruskan kembali ke fungsi asasinya, yakni
menciptakan pemerintahan yang representatif melalui proses yang jujur dan
bersih.143 Pemilu ini juga mencatat bahwa untuk pertama kalinya muncul dan dikenal
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIIP).144 Kritik umum yang ditujukan pada

140
DDII menyeru kepada empat kelompok masyarakat masing-masing; kepada
pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu, kepada Orsospol-orsospol peserta Pemilu, dan
kepada seluruh rakyat Indonesia, umat Islam, serta jamaah DDII yang mempunyai hak pilih
dalam Pemilu. Lihat “Seruan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berkenaan dengan Pemilu
1997” tertanggal 19 Dzulhijjah 1417 H/27 April 1997 M.
141
Anwar Harjono, “Melangkah Dalam Cuaca Yang Sedang Berubah…,” h. 3.
142
Eep Saefullah Fatah, Zaman Kesempatan…, h. 78.
143
Tetapi yang sangat menarik, seruan yang cukup transparan ini dikeluarkan saat
hubungan DDII dengan Pemerintah Orde Baru memasuki babak-babak kemesraannya.
Tampaknya, DDII di bawah Anwar Harjono ingin memperlihatkan kesan bahwa
kedekatannya dengan pemerintah, khususnya Presiden Soeharto, tidak membuat daya
kritisnya sebagai lembaga dakwah yang menjalankan fungsi al-amr al-ma‟ruf wa nahy „an
al-munkar telah tumpul atau hilang sama sekali. Sementara, di pihak lain, pemerintah sendiri
tidak lagi menampilkan diri sebagai pihak yang merasa selalu benar dan antikritik.
Pemerintah tampak sedang berupaya membangun citranya yang baru; lebih demokratis dan
terbuka menerima kritik sesuai dengan alam keterbukaan dan demokratisasi.
144
Eep Saefullah Fatah, Zaman Kesempatan…, h. 116.

161
Pemilu-pemilu Orde Baru sebelumnya (1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992), terutama
menyoroti belum dijalankan sepenuhnya asas langsung, umum, bebas, rahasia
(Luber), serta jujur dan adil (Jurdil).145
Pada pihak lain, tidak semua kader DDII menerima pemikiran dan sikap
politik akomodatif kedua tokoh teras DDII tersebut. Di antara tokoh yang berani
menyuarakan secara terbuka ketidaksetujuannya adalah Deliar Noer, guru besar ilmu
politik yang juga anggota Majelis Silaturahmi DDII yang dibentuk Natsir pada
1989.146 Perkembangan-perkembangan yang dianggap positif oleh umumnya elite
DDII dikritisi Deliar Noer. Perkembangan-perkembangan itu, bagi Noer, harus
dilihat hakikatnya: “Apakah pertanda kenaikan umat Islam di masa depan ataukah
hal ini gejala-gejala sesaat?”147 tanya Noer.
Dalam kerangka ini, Deliar Noer menyoroti ICMI. Di antara sifat khas kaum
cendekiawan ialah sifat dan pendapatnya yang mandiri, serta berani melakukan amar
ma‟ruf nahi munkar. Noer kemudian memperrtanyakan mengapa kepedulian ICMI
terhadap masyarakat yang menderita di Kedung Ombo tidak dilanjutkan, padahal
pada awalnya ICMI telah berjuang. Mengapa para petani yang kehilangan lahan
tidak dibela? Mengapa para buruh hanya dibela oleh LBH, dan tidak oleh ICMI.
“Bahkan konon pemimpin pemogokan buruh itu disiksa, mengapa didiamkan oleh
ICMI?” tanya Noer.
Tentang Bank Muamalat Indonesia (BMI), Noer menyatakan kelahiran BMI
terlambat bagi Indonesia yang jumlah penduduk Islamnya adalah mayoritas.148 BMI
ketinggalan oleh Bank Islam yang berdiri sejak 1967 di Filipina, negara yang
mayoritas Katolik. Di Malaysia, kelahiran bank Islam telah lebih dulu sepuluh tahun
dari BMI. Noer juga mengritisi kesenjangan perekonomian nasional. Jadi, kata Noer,
jangan hanya karena Presiden naik haji kemudian ia seolah-olah terlepas dari
tanggungjawabnya dalam membangun sistem pembangunan nasional yang salah
kaprah.

145
Liddle melakukan penelitian cukup serius mengenai Pemilu-pemilu Orde Baru,
kecuali Pemilu 1982, dengan metodologi kualitatif, dan sampai pada kesimpulan bahwa
Pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu
itu dilakukan melalui proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Lihat R.
William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik; terj. Nug
Katjasungkana, (Jakarta: LP3ES, 1992).
146
Deliar Noer dikenal sebagai „orang Natsir‟. Sebelum menjadi Anggota
Silaturahmi DDII pun, sebagaimana pengakuan Noer, ia sering diajak berdiskusi oleh Natsir
di kantor DDII. Lihat Noer, Aku Bagian Ummat…, h. 489.
147
Deliar Noer. “Belum Menyentuh Akar Persoalan,” Media Da‟wah No. 212,
Rajab 1412/Februari 1992, h. 8.
148
Kritik Noer tentang keterlambatan pendirian BMI memang ada benarnya, lihat
“Mengapa Baru Sekarang BMI Berdiri,” Prospek, 2 November 1991, h. 72-74. Namun
demikian, pandangan umumnya para peneliti dan pengamat, termasuk Indonesianis, rata-rata
cenderung positif terhadap kehadiran BMI. Lihat salah satunya, Robert W. Hefner,
“Islamisasi Kapitalisme: Tentang Pembentukan Bank Islam Pertama di Indonesia,” dalam
Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma…, h. 255-282; Bandingkan dengan I. Haribowo,
“The Indonesian Islamic Bank‟s Spin-off: A Study in Regional Development Banks,” Al-
Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah (Journal of Islamic Economics). Vol. 9 (1), 2017, h.
53-68.

162
Karena itulah, Deliar Noer melihat apa yang disebut hubungan mesra antara
umat Islam dengan pemerintah pada tahun 1990an belum menyentuh akar persoalan.
Yakni, nasib buruh yang digaji di bawah standar minimum, masih terdapat
sedikitnya 30 juta penduduk—mayoritas adalah Muslim—yang hidup di bawah garis
kemiskinan, bangkitnya nativisme budaya asli yang bertentangan dengan Islam
dalam pariwisata, serta Kristenisasi. “Semua itu adalah akar-akar persoalan yang
belum dituntaskan, sampai kini,” kata Noer.149 Karena itu pula, Noer melihat
hubungan mesra pemerintah dengan umat Islam hanyalah hubungan sesaat ketika
umat Islam sedang dibutuhkan oleh Presiden Suharto. “Dengan kata lain, hubungan
dibayang-bayangi oleh kesemuan, tidak riil, tidak sungguh-sungguh,” simpul Deliar
Noer.150
Pandangan Deliar Noer ini juga diamini oleh kader muda DDII, Abdullah
Hehamahua. Memang kedua tokoh dari generasi berbeda ini mempunyai kesamaan
pandangan terkait permusuhan dengan rejim Suharto,151 terutama terkait Pancasila
sebagai Azas Tunggal. Hehamahua adalah mantan Ketua Umum HMI yang menjadi
aktor intelektual dalam kongres HMI tahun 1983 di Medan—yang kemudian
mengarahkan para aktivis HMI menolak penerapan Azas Tunggal sebagai asas HMI,
sehingga lahirlah HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang berbasis di
Yogyakarta.152 Oleh karena itu, tulis Adian Husaini, keduanya pun melakukan
oposisi—secara sekaligus—terhadap Suharto, Habibie dan ICMI.153
Khusus Hehamahua, penolakannya terhadap ICMI disebabkan adanya
kepentingan politik yang berbeda. Yakni, terkait dengan target politiknya bersama
para tokoh senior ex-Masyumi di DDII untuk „menghidupkan‟ Masyumi terganjal
karena kehadiran ICMI tersebut. Robert Platzdasch menjelaskan:
Ostracised by New Order authorities but endowed with a sure survival instinct,
in the early 1980s Abdullah moved closer to DDII and became part of an
informal forum of Masyumi seniors and younger intellectuals. The target of the
forum was, according to Abdullah, to revive Masyumi and, to this end he was
appointed as secretary to Masyumi senior leader Burhanuddin Harahap. This

149
Deliar Noer. “Belum Menyentuh Akar…,” h. 8.
150
Deliar Noer. “Belum Menyentuh Akar…,” h. 9. Seolah menjawab kritik Deliar
Noer, Harjono menuliskan opininya di Media Da‟wah. “Bagi mereka yang selama kurang
lebih 30 tahun tidak pernah melihat warna hijau di langit politik Indonesia, karena selama itu,
warna hijau tersembunyi dibalik awan ketidakadilan, ada rasa terkejut menyaksikan kembali
warna tersebut,” sindir Harjono. Harjono tetap optimis, jika social support dan social control
tetap mendapat tempat, maka hubungan akrab antara pemerintah dengan umat Islam akan
terus berjalan. Dengan kata lain, itu bukan hubungan sesaat—seperti yang disimpulkan
Deliar Noer. Lihat Anwar Harjono, “Jangan Berhenti Tangan Mendayung…,” h. 7.
151
Konsekuensi dari permusuhan terhadap pemerintah Orde Baru, keduanya sempat
„terusir‟ dari tanah air. Deliar Noer pindah menjadi dosen di Australia, sementara
Hehamahua masuk daftar „musuh‟ pemerintah sehingga terpaksa „hijrah‟ ke Malaysia.
Sebagaimana testimoni Abdullah Hehamahua dalam Luthfi Bukan Ludwig…, h. 87.
152
Tentang HMI-MPO, lihat M. Rusli Karim. HMI MPO Dalam Kemelut
Modernisasi Politik Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1997).
153
Adian Husaini. Habibie, Soeharto, dan Islam…, h. 67.

163
original purpose was later „aborted‟ by ICMI. Under the influence of Habibie
and his associates, ICMI allegedly dropped the forum‟s original goal.154
Pandangan kritis juga muncul dari Amien Rais, Anggota Pleno DDII Pusat
yang sedang bersinar di pentas nasional karena menjadi Ketua Umum PP
Muhammadiyyah. Pada awal pertumbuhan ICMI, Amien Rais tampaknya
mempunyai harapan positif. Oleh karena itu, Amien ikut berkontribusi di jajaran
pimpinan terasnya. Baginya, walaupun ICMI bukan organisasi politik, ia yakin ICMI
memiliki political leverage yang besar.155 Namun, demikian, Amien Rais sejak awal
sudah was-was dengan „terlalu dekatnya‟ ICMI dengan Pemerintah. Sebagaimana
kesaksian Kuntowijoyo, kolega Amien di Muhammadiyyah, Yayasan Shalahuddin
dan DDII:
Pada 1990, di Malang, waktu hari terakhir pembentukan ICMI, saat menggema
pekik Allahu Akbar berkumandang di aula Universitas Brawijaya, H. M. Amien
Rais menyatakan kepada penulis bahwa dia sekaligus gembira dan cemas akan
euphoria itu. Betapa tidak gembira, perhelatan itu dibuka oleh Presiden dan
ditutup oleh Wakil Presiden. Cuma, kalau-kalau kegembiraan itu berubah jadi
kekecewaan.156
Kecemasan ini adalah masuk akal. Peristiwa-peristiwa di permukaan
kadang-kadang tampak gebyar, menggembirakan dan memberi harapan. Akan tetapi,
di bawah boleh jadi suram, mencemaskan dan penuh tanda tanya. Bagaimana kita
tidak cemas, kata Kuntowijoyo, “seluruh aib bangsa (korupsi, kolusi, monopoli,
manipulasi, kesenjangan, mismanajemen, nepotisme, otoritarianisme) akan
ditimpakan kepada Islam, justru karena sekarang umat Islam berada di pusat.”157
Pada akhirnya, mulai tahun 1995, Amien Rais berbalik arah. Ia melihat
ICMI serta dukungan DDII terhadap rejim Suharto tidak lagi kondusif, terutama
untuk masa depan demokratisasi di Indonesia. Amien Rais seperti mengamini
pandangan Deliar Noer, namun dengan model yang berbeda, tidak secara
langsung.158 Tidak lagi seperti umumnya elite DDII, Amien Rais segera menjadi
tokoh utama pengritik rejim Suharto: “During 1995 and 1996, when muslim
conservatives linked to the DDII and KISDI were lining up to support the Suharto
regime, Amien and his followers place themselves squarely in the ranks of the
regime‟s critics,” tulis Hefner.159 Sejak tahun 1995 inilah, pemikiran dan sikap
politik Amien Rais mulai berbeda secara terbuka dengan senior dan mayoritas
koleganya di DDII.160

154
Platzdasch. Religious Dogma…, h. 91.
155
Firdaus Syam. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra…, h. 171.
156
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid…, h. 70-71.
157
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid…, h. 297.
158
Deliar Noer sendiri menilai sikap dan pandangan politik Amien Rais seringkali
berubah-ubah. Lihat Platzdasch. Religious Dogma…, h. 90, footnote no. 157.
159
Hefner. Civil Islam…, h. 179.
160
Prosesnya itu sendiri sudah dimulai sejak tahun 1993, sebagaimana dijelaskan
Edward Aspinall: If anything indicated the ambiguous character of co-optation it was the
indications from 1993 that ICMI reformers were re-evaluating their support for Suharto, at
time when the increasingly erratic and nepotistic character of his rule was being subjected to

164
Pernyataan-pernyataan politis Amien segera saja menghiasi media massa,
menunjukkan peran dan pengaruhnya yang semakin meningkat di tingkat nasional,
serta menjadi tokoh yang dielu-elukan masyarakat Muslim kelas menengah dan
bawah. Dukungan Amien terhadap proses demokratisasi semakin tegas di era akhir
Orde Baru ini. Amien menggagas “tauhid sosial,” yaitu terwujudnya masyarakat
yang adil dan sekaligus mendapat ridha Tuhan. Tauhid, bagi Amien, tidak sekedar
mengesakan Tuhan (keyakinan monotheistic). Tauhid juga harus dimaknai sebagai
kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaank, kesatuan tun tunan hidup dan kesatuan
tujuan hidup. Dengan tauhid itu, manusia akan mengalami kemerdekaan atau
pembebasan dari segala sesuatu yang mengungkung dirinya. Konsepsi tauhid akan
membangun masyarakat yang egaliter dan menghilangkan sifat hukum rimba dalam
dirinya maupun kehidupan kolektif.161 Dengan konsistensi tauhid ini dalam
kehidupan kultural maupun sosial, maka akan tercipta keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat.
Terkait dengan keadilan sosial itulah, pernyataan-pernyataan politis Amien
yang kritis dan lebih keras pun muncul pada awal tahun 1997. Amien mengangkat
isu Busang di Kalimantan, Freeport Indonesia di Irian Jaya (Papua), termasuk
masalah eksploitasi hutan oleh para konglomerat yang difasilitasi Orde Baru. Tentu
saja, kritik-kritik Amien ini membuat berang Presiden Suharto dan koleganya.
Amien pun harus menerima kompensasi dari pemikiran dan sikap kritisnya itu. Ia
“dipaksa” mundur dari jabatannya sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI. 162 Namun, hal
itu tidak menyurutkan langkah Amien Rais. Ia malah mendapatkan pujian dan
apresiasi positif dari berbagai kalangan masyarakat.
Amien Rais semakin berani menyuarakan sikap kritisnya terhadap Orde
Baru, khususnya Presiden Suharto. Mula-mula di lingkungan internal
Muhammadiyyah, ia menyodorkan ide suksesi.163 Setelah itu, ia menulis artikel
secara terbuka yang bertajuk: “Suksesi 1998: Suatu Keharusan.”164 Tulisannya ini
terdiri dari empat aspek: mengapa harus suksesi, lima persoalan besar,
kepemimpinan nasional pasca-1998, dan mekanisme susksesi. Dasar pemikiran dari
keharusan suksesi kepemimpinan adalah masalah-masalah yang sudah kronis
mengental selama periode Orde Baru. Dari mulai kemiskinan dan pengangguran,
korupsi yang merajalela, kualitas demokratisasi yang semakin menurun, hukum yang

growing public criticism. In particular, Amien Rais campaigned strongly on the issue of
Presidential succession. Lihat Edward Aspinall. Political Opposition…, h. 93.
161
Lihat M. Amien Rais. Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan
(Bandung: Mizan, 1998); Lihat juga Firdaus Syam. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra…,
h. 179-180.
162
Lihat laporan media massa, misalnya: Tiras, No. 6 Tahun III, 6 Maret 1997 dan
Ummat, No. 19, Tahun II, 17 Maret 1997.
163
Edward Aspinall. Political Opposition…, h. 93.
164
Tulisan-tulisan kritis Amien Rais, khususnya terkait tema suksesi kepemimpinan
nasional menuju reformasi politik, dibukukan oleh Muhammad Najib. Lihat M. Najib (et all).
Suara Amien Rais Suara Rakyat (Jakarta: Gema Insani Press, 1998).

165
semakin kehilangan wibawa, penegakan hak-hak azasi yang tidak jelas, serta hutang
luar negeri yang tinggi.165
Amien juga berpendapat, Presiden Suharto terlalu lama memimpin negara,
padahal itu tidak baik, bisa menjadi kultus individu. Ia akan menganggap dirinya
adalah negara itu sendiri. Amien lantas mencontohkan sindrom Louis XIV dari
Perancis yang terkenal dengan ucapannya: “L‟etat c‟est moi.” Bentuk sindirian sinis
terhadap Suharto, Amien lantas mengutip aksioma politik Lord Acton: Power tends
to corrupt and absolutely power tends corrupts absolutely. Untuk mengatasi itulah
perlunya suksesi kepemimpinan nasional. Amien Rais sendiri melakukan sesuatu
yang merupakan „tabu politik‟ waktu itu: pencalonan dirinya sebagai Presiden RI,
menggantikan Suharto.166
Amien pun mempopulerkan khazanah baru dalam pergerakan politik Islam
Indonesia. Bagi Amien, ada dua bentuk gerakan politik Islam: pertama, gerakan
yang bersifat high-politics. Konsep politik ini lebih mengarah pada gerakan moral
terhadap dunia politik, khususnya kebijakan-kebijakan negara. Kedua, gerakan low-
politics. Yakni, politik praktis yang dijalankan oleh para politisi secara formal, baik
di parlemen maupun di dunia pemerintahan.167
Konsep gerakan politik ini dimunculkan Amien untuk menunjukkan
landasan pemikiran dan sikap politik Amien itu sendiri. Walaupun ia bukan politisi
di senayan, tapi justru seorang pemimpin Ormas keagamaan, tapi bukan berarti tidak
berpolitik. Hanya politiknya itu adalah high-politics. Prinsip ini kemudian dikenal
dengan istilah lebih popular: “politik adi luhung.” Yakni, formula mengenai etika
keagamaan yang ditempatkan sebagai basis politik institusi, sistem maupun
prilaku.168
Kritik terhadap pemikiran dan sikap politik akomodatif Anwar Harjono-
Buchari Tamam pada era akhir Orde Baru juga datang dari kelompok tarbiyah
(jaringan dakwah kampus). Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, kelompok ini
adalah kader-kader dai kampus yang dibina oleh dosen-dosen berafiliasi dengan
DDII pada era Natsir (1967-1993). Banyak aktivis muda kampus yang menganggap
kepemimpinan DDII pasca-Natsir sebagai pemimpin yang pendiam dan penurut,
tidak seperti pendahulunya. Anwar Harjono dianggap „tidak progresif‟ dan „terlalu

165
M. Amien Rais. “Suksesi 1998: Suatu Keharusan,” dalam M. Najib (et al). Suara
Amien Rais…, h. 25-31.
166
Lihat M. Amien Rais, Demi Pendidikan Politik Saya Siap Jadi Presiden
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997). Tindakan Amien Rais ini sangat berani, menentang
tabu politik zaman Orde Baru. Tak heran Amien Rais pun dinobatkan majalah Ummat
sebagai “Tokoh Tahun Ini.”
167
Kritik-kritik Amien Rais menyoal perkara kasus Busang di Kalimantan atau
Freeport di Irian Jaya (Papua) disebut Kunto sebagai contoh bentuk konsep “high politics
bernahi munkar.” Lihat Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid…, h. 297.
168
Firdaus Syam. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra…, h. 179-180. Untuk
pengertian yang lebih umum, lihat Jeremy Youde, “High Politics, Low Politics, and Global
Health” Journal of Global Security Studies, Volume 1, Issue 2, May 2016, Pages 157-170,
https://doi.org/10.1093/jogss/ogw001

166
akomodatif terhadap pemerintah‟.169 Apalagi, para aktivis kampus mengaku
bertindak atas pemahaman Islam yang lebih dalam. Menurut Mashadi, “rekan-rekan
kami yang belajar di Timur Tengah tidak setuju dengan Anwar Harjono karena
mereka berpendapat bahwa dia tidak begitu memahami Islam (kurang paham Islam).
Anwar Harjono lebih terlihat sebagai politisi daripada dai (juru dakwah).”170
Para aktivis masjid kampus sebenarnya memberi penghormatan tinggi
kepada Masyumi, tetapi mereka juga secara terbuka mempertanyakan relevansi
pendekatan politik tradisional untuk memajukan Islam. Secara khusus, mereka
memandang friksi ideologis terbuka tahun 1950an sebagai hal yang membangun
stigma buruk. Apalagi selama Orde Baru, para tokoh Masyumi dan DDII dianggap
telah lalai mengikat kader-kader baru untuk perjuangannya. Pembinaan dilakukan
tanpa pengikatan. Oleh karena itu, para aktivis dakwah kampus melakukan gerakan
politik yang berbeda dengan senior-seniornya di DDII. Mereka membangun visi
alternatif Orde Baru dan membentuk budaya tandingan. Orientasi ini secara khusus
menekankan bahwa keharusan moral Islam bukanlah individualis, tetapi komunal.
Dengan demikian, Islam menempatkan semangat ideologis untuk memperluas
perlawanan batin dan memupuk „ketidaktaatan sipil‟ (al-bara) berbasis agama
terhadap rezim Orde Baru yang “tidak Islami”.171
Dalam konteks inilah, terjadi “kesenjangan” antara DDII dengan para aktivis
gerakan dakwah kampus semasa DDII dipimpin Anwar Harjono-Buchari Tamam.
Mulai masa akhir Orde Baru inilah, bibit-bibit perpecahan terjadi. Platzdasch
menjelaskan:
Mutammimul Ula, leader who had been active in DDII, concluded that „history
and political models have changed‟. This meant that the Masyumi legacy „was
not so important any more‟. DDII-based Mashadi, expressed the view among
campus activists on the cadreisation issue…that is major reason why Masyumi
is only a historical remnant with a bigname…At the same time, when many
senior Masyumi leaders died in the early 1990s, which initiated a leadership
change in DDII, it weakened the link between Masyumi adherents and campus
Islam, initiating a 'separation of generations'. In this course, the campus
movement established its own leaders and formed with murobbi a type of

169
Natsir, yang percaya bahwa para pemimpin harus bangkit „secara alami‟ dari
masyarakat, meninggalkan warisan yang sulit dicapai oleh penerus mana pun. Penggantinya,
Anwar Haryono, memiliki kredensial Masyumi yang substantif dan dihormati sebagai
intelektual yang lihai dan produktif, tetapi ia tidak memiliki otoritas dan bobot historis
seperti Natsir. Pandangan Anwar sendiri sebagian besar didasarkan pada Natsir. Jadi,
Mutammimul menyimpulkan, “untuk DDII ada Anwar Haryono, namun untuk Masyumi
tidak ada penggantinya.” Lihat Platzdasch. Religious Dogma…, h. 75.
170
Mash‟adi Sulthani dalam Platzdasch. Religious Dogma…, h. 76.
171
Lebih lanjut mereka berusaha memanfaatkan keterasingan elite Islam yang lebih
muda dari cara hidup materialis yang dipromosikan oleh program-program pembangunan
('pembangunan') Orde Baru. Lihat Andi Rahmat dan M. Najib. Gerakan Perlawanan Dari
Mesjid Kampus (Jakarta: Purimedia, 2001). Untuk kajian yang lebih mendalam, lihat Yon
Machmudi. Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah And the Prosperous Justice
Party (PKS), A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy of The Australian
National University, Southeast Asia Center Faculty of Asian Studies, July 2006.

167
religious instructor whose mission it was to form an evenly strong-mind
assemblage of cadres.172
Ketika kekuasaan Suharto tumbang, kelompok-kelompok gerakan usrah
mahasiswa ini yang disokong pula oleh kekuatan sarjana-sarjana baru dari Timur
Tengah yang dikirimkan DDII sebelumnya, bermetamorfosis menjadi sebuah
gerakan politik yang cukup diperhitungkan, yaitu Partai Keadilan (PK).173 Sementara
sebagian aktivis alumni DDII lain non-kampus memilih untuk mendirikan Partai
Bulan Bintang (PBB). Partai ini bahkan mendapat dukungan politik yang kuat dari
pimpinan teras DDII, terutama Anwar Harjono.174 Sebagian kecil elite DDII
berpencar, baik di Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh Amien Rais
dan A. M. Luthfi, maupun partai-partai lainnya yang berskala kecil.175

2. Polemik Tentang Masalah Liberalisasi Pemikiran Islam


Sebagaimana telah disebutkan pada sub bab sebelumnya, ide-ide persatuan
antara kelompok dakwah vis-à-vis kelompok pembaharuan sudah mulai muncul dan
menemukan momentumnya melalui pendirian ICMI pada Desember 1990. Namun
demikian, masih ada di kalangan elite dai DDII yang tetap mempersoalkan paham
“liberal” dari kelompok pembaharuan ini. Kritik terutama diarahkan pada tokohnya,
Nurchlish Madjid, yang sejak akhir dekade 1980 itu sudah mempunyai basis baru di
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.176
Di lembaga Paramadina, Utomo Dananjaya—sahabat Madjid, mantan Ketua
Umum PII—bertindak sebagai manajer, sekaligus manajer Madjid. Sekalipun pada
saat yang sama Madjid masih tercatat sebagai pegawai di Leknas-LIPI dan mengajar
di Pascasarjana IAIN Jakarta, namun aktivitas utama Madjid tetap di lembaga ini.

172
Platzdasch. Religious Dogma…, h. 75-76.
173
Pada Pemilu 1999, partai ini bernama Partai Keadilan (PK) dan kemudian—
karena tidak memenuhi syarat electoral trashold pada Pemilu 2004—berubah nama menjadi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
174
Bila PK lahir di kampus, maka PBB secara langsung lahir dibidani oleh DDII
yang didukung oleh Forum Ukhuwah Islamiyah pimpinan Anwar Harjono (Ketua Umum
DDII saat itu) yang terdiri dari berbagai Ormas Islam, seperti: Persis, PUI, Muhammadiyah,
dan lainnya.
175
Terkait polarisasi kader-kader DDII di era reformasi akan dibahas tersendiri pada
bab selanjutnya.
176
Ketika Madjid sedang melanjutkan kuliah di Amerika Serikat di bawahan
bimbingan Prof. Fazlur Rahman pada tahun 1978-1984, teman-teman dan pendukungnya
dipimpin oleh Utomo Dananjaya mulai mengadakan pertemuan untuk membicarakan
tindakan yang harus diambil saat Madjid kembali ke Indonesia. Mereka sangat
berkepentingan bahwa ide-ide Madjid harus mendapatkan kendaraan organisasi yang tepat
yang dapat memaksimalkan potensi Madjid agar memberikan perubahan dalam tubuh umat
Islam, khususnya kelas menengah Muslim. Setelah dipertimbangkan secara matang,
diputuskan harus didirikan lembaga baru untuk mengembangkan gagasan-gagasan Madjid.
Madjid menamainya Paramadina yang berarti “peradaban unggul”. Mereka memutuskan
mendirikan lembaga ini agar Madjid bebas menulis dan mengembangkan ide-idenya.
Yayasan Wakaf Paramadina resmi berdiri pada tahun 1986. Lihat Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Cak Nur, Djohan Effendi, Ahmad
Wahid, dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 502.

168
Lembaga ini, dengan alasan strategis, dikonsentrasikan pada usaha mempengaruhi
kelompok yang paling berpengaruh: kelas menengah atas Jakarta.177 Program yang
dibuat untuk mencapai tujuan itu adalah mengadakan training, kuliah umum,
seminar, dan kelompok diskusi. Untuk menegaskan fokusnya ini, suatu seminar
bulanan diadakan secara berkala di Hotel Kartika Chandra atau di hotel lain yang
dipilih di kawasan elit Jakarta.178
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Paramadina berhasil diterima di
kalangan masyarakat kelas menengah atas Jakarta. Menghadiri kajian bulanan di
Hotel Kartika Chandra memiliki gengsi tersendiri. Kajian ini sendiri memang tepat
diadakan pada saat kelompok menengah atas tengah gandrung terhadap kajian-kajian
Islam. Apalagi, model kajian yang diselenggarakan terkesan sangat serius dan elitis,
sehingga menimbulkan kebanggaan tersendiri. Andi Faisal Bakti menjelaskan:
Paramadina today own various facities…It organizes discussions on Islam in
hotels, which is a new approach in Indonesia. This model and setting of
discussions were initiated by Majelis Rabuan, a group of Muslims scholars who
met on Wednesday nights to discuss Islamic teachings and their congruence
withthe demands of contemporary life. Participants in these discussions
included Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi and some
former cabinet ministers and bureaucrats. Eventually, Madjid created the
Paramadina foundation to formalize this group. Since then, Paramadina has
been attracting upper middle-class Indonesians, and its membership is growing.
It is perceived as open and progressive in its Islamic approach to education.179
Kajian ini disebut Klub Kajian Agama (KKA) Paramadina yang menjadi
terkenal di kalangan kelas menengah atas Jakarta. Hasil-hasil kajian yang selalu
menyertakan tulisan, baik dari pembicara tamu maupun dari Madjid, kemudian
dibukukan secara berseri. Inilah nanti yang menjadi wahana bebas bagi Nurcholish
Madjid menyampaikan gagasan-gagasannya mengenai berbagai persoalan agama
dalam perspektifnya. Nurcholish Madjid sendiri dalam setiap diskusi bulanan ini
bertindak sebagai pembicara tetap yang harus menyiapkan makalah,180 di samping
ada pembicara tamu yang diundang secara bergiliran sesuai dengan tema yang
disiapkan.181

177
Target Paramadina, sebagaimana kata Hefner, “not only the middle class but also
the elite class.” Sebaliknya dengan DDII. Karena situasi politik dan kultural, akhirnya DDII
memilih untuk menggarap masyarakat kelas menengah ke bawah. Lihat Hefner, Civil
Islam…, h. 125.
178
Tentang peran Paramadina dan gerakan neo-modernisme bagi kelas menengah
Muslim perkotaan, lihat Andi Faisal Bakti, “Religious Values and Development: The
Significance of the Indonesian Communication Experience,” in Senyo Adjibolosoo (ed.). The
Human Factor in Shaping the Course of History and Development (New York: University
Press of America, 2000), pp. 197-224.
179
Andi Faisal Bakti. “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid's Interpretation of
Civil Society, Pluralism, Secularization, and Democracy,” Asian Journal of Social Science,
Vol. 33, No. 3, (2005), pp. 488.
180
Kumpulan pemikiran Madjid ini dikompilasi menjadi sebuah buku berjudul
Islam Doktrin dan Peradaban yang diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Paramadina. Lihat
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2008).
181
Barton, Gagasan Islam Liberal…, h. 502-506.

169
Ada satu peristiwa penting yang sepertinya sudah disiapkan untuk
Nurcholish Madjid sepulang menyelesaikan S3-nya. Madjid mulai dikenal sebagai
tokoh “pembaruan Islam” pada tahun 1970an saat menyampaikan pidato di Menteng
tahun 1970 dan di TIM tahun 1972. Untuk memperingari 20 tahun gerakan
pembaharuan Islam yang dihitung sejak tahun 1972, di TIM Kembali diadakan acara
Pidato Kebudayaan oleh Nurcholish Madjid. Acara dilangsungkan
tanggal 21 Oktober 1992. Madjid menyampaikan makalah berjudul “Beberapa
Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang.”
Secara khusus dalam pidatonya, ia menyampaikan dedikasi untuk acara serupa 20
tahun sebelumnya.
Sudah sekitar dua puluh tahun semenjak saya mendapat kehormatan besar
seperti ini di sini, atas inisiatif sdr. Utomo Dananjaya, yang waktu itu adalah
seorang “orang TIM”. Masa dua puluh sampai dua puluh lima tahun biasanya
dianggap sebagai masa berlangsungnya peran suatu generasi untuk kemudian
digantikan atau diteruskan oleh generasi berikutnya. Dalam usia yang mulai
berangkat tua ini, kami harus mengaku, disertai rasa syukur kepada Tuhan,
bahwa kami cukup bahagian mengenang peristiwa dua dasa warsa yang lalu dan
mengamati perjalanan perkembangan masyarakat itu sesuai dengan yang kami
perkirakan, dan sejalan dengan kehendak sebagian besar warga negara.182
Saat tahun 1992 Nurcholish Madjid menyampaikan lagi pidato kebudayaan
di TIM untuk kedua kalinya setelah 20 tahun sebelumnya ia berpidato
di tempat yang sama, isu sekularisme yang dituduhkan kepada gerakan Nurcholish
Madjid mencuat kembali ke permukaan. Pidato yang mendapatkan liputan di
berbagai media masa ini kembali memancing media-media yang tidak setuju dengan
pemikiran Islam liberal untuk tampil kembali menanggapinya. Demikian juga
dengan dai-dai DDII. Asna Husin menjelaskan:
Dewan dakwah activists are very upset with Cak Nur‟s inclusive approach and
make every effort to counter pembaruan ideas. Many critized Madjid‟s view
through their speeches and khutbahs; other through discussion and pengajians;
the rest through bulletins, newspapers or magazines; and some use all means
available.183
Dalam polemik di media masa itu, muncul nama dai-akademis DDII yang
sepanjang tahun 90an menjadi salah satu bintang pengkritik Nurcholish Madjid. Ia
adalah Daud Rasyid Sitorus.184 Aktivis DDII ini saat itu baru menyelesaikan studi

182
Abdul Qadir Djaelani, Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam
Nurcholish Madjid (Bandung: Penerbit YADIA, 1994), h. 3. Kutipan pidato Madjid ini
memperlihatkan bahwa acara ini memang dirancang untuk mengenang pidatonya di TIM
tahun 1972 yang dianggap sebagai tonggak penting berkembangnya pemikiran Islam liberal.
Madjid memperlihatkan optimismenya bahwa gerakan pemikiran yang digagasnya telah
memberikan pengaruh besar pada perubahan masyarakat Indonesia. Sungguhpun Madjid
tidak bisa menunjukkan indikasi yang kongkrit, tapi ia sudah merasa bahwa gerakannya
memang cukup berhasil sehingga penting diadakan peringatan seperti acaranya di TIM tahun
1992 ini.
183
Asna Husin. Philosophical and Sociological Aspects…, h. 272.
184
Daud Rasyid Sitorus lahir di Tanjung Balai Sumatera Utara 3 Desember 1962.
Tahun 1980, setelah tamat SMA dan Aliyah, ia kuliah di IAIN Meda n dan di USU. Namun
itu hanya tiga tahun dilaluinya. Baru saja menyelesaikan BA dari IAIN, dibukalah

170
master di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Semangatnya masih sangat kuat
mengkritik pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid. Kritiknya mula-mula
diterbitkan dalam Harian Terbit dan kemudian dibalas oleh para pendukung
Nurcholish Madjid. Kemudian kritik-kritik Rasyid juga diterbitkan di beberapa
media lain seperti majalah Media Dakwah terbitan DDII. Karena kritik-kritiknya itu
pula Daud Rasyid kemudian sengaja didaulat untuk menyampaikan pandangannya
dalam berbagai seminar yang khusus membahas wacana Islam liberal yang diusung
Nurcholish Madjid.185
Di antara seminar yang cukup menarik perhatian publik adalah seminar
bertajuk “Telaah Kritis Atas Kelompok Pembaharuan Keagamaan” yang
diselenggarakan pada bulan Desember 1992 oleh Lembaga Manajemen
Pengembangan Infak (LMPI) pimpinan Ahmad Sumargono. Diskusi ini dihadiri oleh
sekitar 4000 orang peserta yang menunjukkan antusias masyarakat terhadap tema
ini. Acara tersebut secara sengaja digelar di Mesjid TIM, satu kompleks dengan
tempat Madjid berpidato. Madjid pun dihadirkan pada acara tersebut.186 Setelah
diskusi itu, Daud Rasyid pun semakin sering didaulat sebagai pembicara mengenai
masalah ini sehingga ia muncul sebagai tokoh baru pengkritik Nurcholish Madjid
dan kawan-kawan.
Kritik-kritik yang dilontarkan Daud Rasyid di berbagai media masa dan
seminar kemudian ia bukukan pada tahun 1993 dengan judul Pembaharuan Islam
dan Orientalisme dalam Sorotan. Inilah satu-satunya buku yang ditulis oleh Daud
Rasyid untuk mengritik Madjid dan para pendukungnya. Akan tetapi, mengingat
pada masa itu hanya Daud Rasyid yang sangat berani tampil secara terbuka di media
masa mengulang kembali kritik terhadap Nurcholish Madjid, maka buku ini menjadi
cukup penting pada masanya.187

kesempatan untuk belajar ke Al-Azhar melalui beasiswa Al-Azhar yang disalurkan melalui
IAIN. Daud, yang semasa mahasiswanya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini,
lulus ranking satu dalam seleksi itu. Di Mesir, hari-harinya ia habiskan belajar tidak saja di
lembaga-lembaga formal, seperti di Fak. Syari`ah wa al-Qanun, Al-Azhar, tetapi juga kepada
para ulama Mesir. Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah (Institut Riset Islam) di Al-Azhar adalah
salah satu tempat Daud menimba ilmu kepada ulama-ulama terkemuka di Azhar, seperti
Syaikh Abdul Muhaimin, Ustaz Sa`ad Abdul Fattah dan lain-lainnya. Tahun 1987, ia
menyelesaikan Lc-nya di Al-Azhar dan tahun 1990 menyelesaikan S2 di Universitas Kairo,
dua-duanya dalam bidang fikih Islam. Antara tahun 1994-1996 ia menyelesaikan doktornya
di Universitas Kairo dengan disiplin ilmu yang sama. Saat ini, ia adalah Guru Besar dalam
bidang Hukum Islam di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan aktif di DDII sejak kembali
dari Al-Azhar tahun 1990 hingga sekarang. Bachtiar. Setengah Abad Dewan Dakwah…, h.
217-218.
185
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Dakwah…, h. 219.
186
Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan (Jakarta:
Usamah Press, 2002), h. xii.
187
Dilihat dari isi buku yang ditulis Rasyid, karena merupakan kumpulan dari
makalah dan beberapa tulisan di Koran, ada beberapa pokok yang dibahas Rasyid. Ada
bagian yang menyinggung gerakan Harun Nasution. Ada bagian yang secara khusus
membahas isi pidato Madjid di TIM tahun 1992. Ada pula bahasan tanggapan untuk Zainun
Kamal, murid Harun Nasution, serta perbincangan mengenai studi Islam di Barat.

171
Buku Daud Rasyid ini memang berisi kompilasi yang masing-masing bagian
tidak membahas kritik secara detail, berbeda dengan buku Rasjidi yang dibuat secara
detail dan rinci khusus untuk mengomentari tulisan tertentu dari Nurcholish Madjid
dan Harun Nasution. Terhadap Harun Nasution, Rasyid hanya menyebut bahwa dia
sangat terpengaruh orientalis hingga pemikirannya menjadi sesat.188 Sementara
Nurcholish Madjid disebut oleh Daud Rasyid termasuk yang terpengaruh oleh
pemikirannya Harun Nasution. Ia kemudian mengulas kerancuan pemikiran Madjid
dalam Pidato Kebudayaannya di TIM tahun 1992. Kesimpulan dari ulasannya adalah
bahwa dalam pidatonya itu Madjid sudah sangat terang menggunakan gaya orientalis
dan sangat terpengaruh oleh pemikiran mereka mengenai Islam.
Oleh sebab itu, ada beberapa kesimpulan Madjid yang dianggapnya
menyimpang dari pemahaman Islam yang benar. Pertama, kata “Islam” bukan
merupakan nama suatu agama formal, melainkan sikap berserah diri pada Allah Swt
sehingga siapapun yang memasrahkan hidupnya pada Allah, apapun agama
formalnya, ia dapat dikatakan Islam. Kedua, istilah “Ahli Kitab” maknanya diperluas
bukan hanya Yahudi dan Nashrani, melainkan semua agama yang memiliki kitab.
Ketiga, istilah “musyrik” dalam Al-Quran hanya terbatas pada masyarakat Arab
zaman Nabi. Di luar itu, tidak ada lagi kategori musyrik dalam berbagai agama
manapun. Menurut Daud Rasyid, pengertian semacam itu sudah keluar dari dasar
ajaran Islam dan menghilangkang identitas Islam itu sendiri. Dengan cara itu,
Madjid juga sudah melakukan tasykik (meragukan), tasywih (mengaburkan), tadhlil
(menyesatkan), dan tahrif (menyelewengkan) ajaran-ajaran Islam. Karena alasan-
alasan itu, Daud Rasyid tidak ragu untuk menyebutnya “sesat”.189
Penulis lain yang juga getol mengkritik pemikiran Islam liberal setelah
pidato Madjid tahun 1992 adalah Ahmad Husnan, alumnus Al-Azhar yang menjadi
Ketua DDII Jawa Tengah.190 Setelah peristiwa Pidato Madjid di TIM tahun 1992,
Husnan secara khusus menulis buku setebal 150 halaman sebagai tanggapan
terhadap artikel Madjid yang hanya setebal 20 halaman. Buku ini diterbitkan Ulul
Albab Press Solo tahun 1993 dengan judul Ilmiah Intelektual dalam Sorotan;
Tanggapan Terhadap Dr. Nurcholish Madjid.191 Dalam buku ini disertakan pula
buku yang diterbitkannya tahun 1987 hingga tebal buku mencapai sekitar 250
halaman. Sama seperti Daud Rasyid pada bukunya ini, ia mengupas satu persatu
klaim Madjid dalam makalahnya yang dianggap perlu diluruskan; kemudian ia
membahasnya secara panjang lebar. Kesimpulannya pun tidak jauh berbeda dengan
Rasyid bahwa pemikiran-pemikiran Madjid berpotensi menyesatkan umat. Namun,
buku Husnan ini tidak sampai sepopuler buku Rasyid. Ini terlihat dari liputan media
atasnya yang tidak massif.

188
Rasyid, Pembaharuan Islam…, h. 20.
189
Rasyid, Pembaharuan Islam…, h. 79-81. Daripada pendahulunya, Rasjidi, Daud
Rasyid lebih keras. Sebutan „sesat‟, istilah yang tidak secara vulgar disampaikan oleh
pendahulunya itu. Sehingga, Asna Husin menyebut: “Rasyid is one the most aggressive
person of the foundation‟s defense team.” Lihat Asna Husin. Philosophical and Sociological
Aspects…, h. 272.
190
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Dakwah…, h. 286.
191
Lihat Ahmad Husnan, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan Tanggapan Terhadap
Dr. Nurcholish Madjid (Solo: Ulul Albab Press, 1993).

172
Dalam konteks polemik ini, pimpinan teras DDII tidak menyuarakan
pendapatnya secara langsung dan terbuka. Namun, mereka membiarkan kader-
kadernya mengritisi secara “kasar” Madjid dkk. 192 Oleh diamnya pimpinan teras
DDII ini, secara tidak langsung menjadi daya dorong timbulnya kritik, hujatan dan
tuduhan terhadap Madjid dari laporan-laporan Media Da‟wah.193 Patut dicatat disini
terkait pemikiran Anwar Harjono. Ketua Umum DDII ini tidak secara langsung
terlibat dalam polemik. Namun Harjono juga menyuguhkan tulisan yang
menyiratkan pemikiran keagamaannya secara umum, tidak khusus tema-tema
polemis. Paling tidak—sebagaimana dicatat Asna Husin—pemikiran Harjono
tentang keagamaan yang beririsan dengan tema polemik itu terkait Ahl Kitab. Anwar
Harjono berpendapat,
Terhadap penganut agama selain Yahudi dan Nashrani, sepanjang mereka
mendasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak
mengingkari-Nya, maka sikap terhadap penganut Yahudi dan Nashrani pun
berlaku terhadap mereka. Hal ini berdasarkan perluasan makna golongan
shabi‟un seperti dinyatakan Q.S. Al-Baqarah ayat 62, dan Q.S. Al-Maidah ayat
69.194
Berdasarkan pernyataan tersebut, bagi Asna Husin, pemikiran Harjono ini
mengonfirmasi pendapat serupa tentang konsep ahl kitab-nya Madjid—atau
melegitimasinya, karena tulisan Harjono lebih dulu—yang justru bertentangan
dengan pendapat Rasyid.195 Dengan melihat program-program dakwah Madjid dan
Paramadinanya pada masyarakat Muslim kota Jakarta dan sekitarnya, maka gerakan
Madjid tidak hanya berkisar pada masalah pemikiran filosofis ansich, melainkan
juga aksi-aksi dakwah dan sosial keagamaan lainnya. Asna Husin menyimpulkan:
“…it becomes clear that Cak Nur and DDII move in the same direction with
different approaches: Madjid‟s is that of the philosophical idealist while the

192
Ada catatan kritis dari Yusril Ihza Mahendra bahwa “para pengritik umumnya
datang dari mereka yang berpendidikan sarjana muda dalam studi Islam di Timur Tengah
(atau) para aktivis gerakan Islam yang kurang mempunyai minat intelektual.” Lihat Yusril
Ihza Mahendra. “Studi Islam di Timur dan Barat: Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam
Indonesia,” Ulumul Quran, No. 3 Vol. V, 1994, h. 12-19.
193
Lihat sebagai contoh laporan-laporan majalah Media Dakwah dalam rentang
tahun 1992, seperti pada bulan: Februari 1992, h. 70-71; Mei 1992, h. 31-32; dan Juli 1992,
h. 69; Termasuk laporan khusus menggugat Madjid dalam “Nabi Gagal Menjalankan
Misinya? Menguji Pemikiran Nurcholish,” Media Dakwah, Desember 1992, h. 41-52.
Tipikal reportase Media Dakwah yang cenderung keras, vulgar dan langsung pada intinya itu
disebabkan mayoritas pembacanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Lihat Robert
W. Hefner. “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesian Muslims,”
Indonesia, No. 64, 1997, h. 91; Lihat juga Mujiburrahman. “Indonesian Muslims in the
Public Sphere: A Review of Several Studies,” Journal of Indonesian Islam, Volume 01,
Number 02, December 2007, h. 360-361.
194
Anwar Harjono dalam Hakiem (ed.). Perjalanan Mencari Keadilan dan
Persatuan…, h. 305.
195
Asna Husin. Philosophical and Sociological Aspects…, h. 281.

173
Yayasan‟s is that of the practical sosoilogist.”196 Agenda besar persatuan ummat
Islam tampaknya masih menjadi mainstream pimpinan teras DDII di era akhir Orde
Baru itu, dengan fakta bahwa elite-elite DDII duduk bersama dengan elite-elite
kelompok pembaruan Madjid di lembaga ICMI.197

196
Asna Husin. Philosophical and Sociological Aspects…, h. 284. Sebagai catatan,
Husin pun tetap mengakui adanya perbedaan-perbedaan prinsipil terkait kedua gerakan
tersebut.
197
Contohnya, kebersamaan bang Imad dengan Dawam Rahardjo dan bahkan
Nurcholish Madjid ketika menginisiasi pembentukan ICMI. Contoh terbaik lainnya adalah
pernyataan Kuntowijoyo—elite dai akademis yang dikader Natsir—bahwa friksi antara
kelompok dakwah dengan kelompok pembaruan Madjid lebih disebabkan salah paham
belaka, karena timbulnya destabilisasi umat di era modern/industrialis. Lihat Kuntowijoyo.
Muslim Tanpa Mesjid…, h. 303-304.

174
BAB VI
POLARISASI PEMIKIRAN DAN SIKAP POLITIK
ELITE DDII PADA ERA REFORMASI 1998-2015

Pada masa akhir kepemimpinan Anwar Harjono di DDII (1997-1999), jagat


politik Indonesia kembali berubah total. Jika pada masa sebelumnya, Harjono
mengawali kepemimpinannya di DDII secara akomodatif disebabkan “cuaca politik
yang berubah menjadi warna hijau” pada era Orde Baru tahun 1990, maka justru
ketika ia sudah sepuh, “cuaca politik itu kembali berubah.” Tidak lagi tegas warna
hijau, karena warna-warna lainnya pun ikut berkibar secara terang. Perubahan politik
yang fundamental tidak lagi seperti ramalan Deliar Noer—ketika mengritisi
kelompok akomodasionis, termasuk pimpinan teras DDII, dalam merespon
kebijakan baru Suharto terhadap aspirasi umat Islam pada awal tahun 1990—sebagai
suatu “gejala politik sesaat.”1 Kini, dimulai tahun 1998, cuaca politik Indonesia
benar-benar berubah drastis.
Orde Reformasi yang dimulai tahun 1998 merupakan tonggak baru, sebuah
“zaman kesempatan,”2 setelah Indonesia dipimpin sekian lama oleh rezim
authoritarian Suharto dengan misi „pembangunan‟ modernisasinya. Tentu sebagai
sebuah Orde yang “benar-benar baru”—untuk membedakannya dengan Orde Baru-
nya Suharto—di Indonesia, maka reformasi 1998 tidak saja telah merenggutkan
Soeharto dari kekuasaan yang telah dipegangnya selama 32 tahun, tetapi juga telah
mengubah tatanan dan dunia perpolitikan di tanah air secara signifikan.3 Peristiwa
tersebut tentu saja secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap DDII
sebagai institusi, maupun aktor-aktor pemimpinnya. Karena, peralihan kekuasaan
dari satu orde ke orde lainnya, tidak dapat tidak, akan berimplikasi terhadap
kebijakan-kebijakan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik,4
termasuk elite-elite DDII dan para kader dainya di daerah-daerah.

1
Lihat Deliar Noer. “Belum Menyentuh Akar Persoalan,” Media Da‘wah No. 212,
Rajab 1412/Februari 1992, h. 8-9; Lihat juga Anwar Harjono, “Jangan Berhenti Tangan
Mendayung Nanti Arus Membawa Hanyut,” Media Da‘wah No. 222, Jumadil Akhir
1413/Desember 1992, h. 6-7.
2
“Zaman kesempatan” adalah istilah Eep Saefulloh Fatah untuk mengilustrasikan
era reformasi 1998. Gunawan Mohamad mengistilahkannya dengan jargon: “Reformasi atau
Mati. Siapapun yang jadi Presiden dan Wakil Presiden, kalau tidak melakukan reformasi,
membunuh Indonesia.” Lihat Eep Saefulloh Fatah. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda
Besar Demokratisasi Pasca-Orde Baru, (Bandung: Mizan, 2000), h. 310, footnote no. 2.
Dalam kaitan dengan prosfek Islam di era Reformasi, lihat Azyumardi Azra, Indonesia,
Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta-Singapore: Equinox
Publishing, 2006), h. 3-36.
3
Kata Lindblad, “The shift to Reformasi after 1998 has converted Indonesia into
becoming the least centralized and arguably most democratic nation in Southeast Asia.” J.
Thomas Lindblad, “State and Economy During Modern Indonesia‟s Change of Regime: A
Synthesis,” Lembaran Sejarah, Vol. 10, No. 1, April 2013, h. 2.
4
Sebagai contoh, lihat Tod Jones, “Indonesian Cultural Policy in the Reform Era,”
Indonesia 93 (April 2012), h. 147-176.

175
A. Konstelasi Politik Era Reformasi
Latar belakang reformasi 1998 di Indonesia dimulai peristiwa krisis moneter
Pemerintah Thailand pada Juli 1997.5 Thailand yang mengalami krisis terpaksa
meminta bantuan International Monetery Fund (IMF), menandatangani pinjaman
sebesar US$17 miliar. Krisis moneter dari Thailand inilah yang menyebar ke
seantero Asia, tidak terkecuali Indonesia:
The Thai crisis marked the end of the Asian miracle, although few could have
predicted how quickly the Thai crisis wouid be replicated elsewhere in the
region… When investors realised how much they did not know—such as the true
foreign exchange reserves of Thailand and, later, South Korea—they dumped
Asian currencies and assets as fast as they could.6
Krisis di Indonesia dimulai dengan terjadinya devaluasi nilai rupiah pada
Agustus 1997. Krisis moneter ini kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan
akhirnya krisis politik:7 timbulnya demonstrasi mahasiswa yang disertai terjadinya
kerusuhan „amuk massa‟.8 Gejala amuk massa sebenarnya telah dimulai sejak tahun
1996,9 trennya naik-turun pada tahun 1997, dan makin berkembang pada satu
setengah bulan pertama tahun 1998 di tengah krisis ekonomi yang makin berlarut.10
Demonstrasi meluas di berbagai kota besar. Dimensinya juga semakin meluas dari
masalah sosial-ekonomi ke isu politik.
Krisis multi dimensi yang melanda Indonesia memang telah memporak
porandakan kehidupan perekonomian nasional. Peristiwa tersebut juga telah
menyentakkan kesadaran baru masyarakat dan umat Islam akan pentingnya menata
kembali kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Dukungan masyarakat kelas
menengah—termasuk dari kalangan umat Islam—pun muncul terhadap gerakan
demontrasi mahasiswa itu. Menjelang Pemilu 1997, mahasiswa mulai menggelar
demonstrasi di kampus-kampus mereka. Pada 19 Februari 1997, mahasiswa
Univeritas Indonesia menggelar demonstasi pertama mereka yang menuntut

5
Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesia‘s Search for Stability (Colorado:
Westview Press, 2000), h. 337.
6
Adam Schwarz. A Nation in Waiting…, h. 337-338.
7
Terkait hubungan ekonomi dengan politik di era Orde Baru, lihat Yahya A.
Muhaimin. Bisnis dan Politik (Jakarta: LP3ES, 1991). Terkait krisis ekonomi yang
merontokkan legitimasi politik Orde Baru, lihat Fatah. Zaman Kesempatan…, h. 215-218.
8
Kehidupan ekonomi yang mencekik dan merosotnya wibawa aparat pemerintah
dan pihak keamanan telah membuat gelombang penjarahan bahan-bahan makanan pokok
terjadi di beberapa daerah. Lihat Edward Aspinall dan Gerry van Klinken, “Kronologi
Krisis,” dalam Edward Aspinall, Herbert Feith dan Gerry van Klinken, Titik Tolak
Reformasi: Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, Yogyakarta: FIS UNY, 2000, h. 395-396.
9
Yaitu, kerusuhan 27 Juli 1996. Lihat Donni Edwin. “1996-1997: Tahun Gejolak
Politik,” dalam Evaluasi Pemilu Orde Baru (Bandung: Mizan, 1997), h. 121; Bandingkan
dengan Munif Prasojo, “Pancasila as the Foundation of Political Ethics in Indonesia, Case
Study of the Struggle for the Chairman of a Political Party in Indonesia,” Journal of Social
and Political Sciences, Vol. 4, No. 2, 2021, pp. 119-120.
10
Misalnya pada Juli 1997 terjadi kerusuhan besar di Banjarmasin yang menelan
korban sungguh besar. Pada pekan kedua dan ketiga bulan Februari 1998, ada delapan kasus
kerusuhan akibat kelangkaan sembako di Pantura. Lihat Panji Masyarakat, No. 07 Tahun I, 2
Juni 1997, h. 26; Lihat juga Adil, No. 20, Tahun ke-66, 18-24 Februari 1998.

176
demokrasi yang lebih baik dan diturunkannya harga-harga barang. Demonstrasi
serupa juga terjadi di kampus universitas-universitas lainnya, mulai dari 26 Februari
dan seterusnya. Pada 5 Maret 1997, demonstrasi besar-besaran berlangsung di dalam
kampus di Yogyakarta, Purwokerto, Solo, dan kota-kota lainnya.11
Suara-suara yang menginginkan adanya calon presiden alternatif dan
dilakukannya pergantian pemerintahan pun kian nyaring terdengar. Waktu itu,
Pemilu 1997 diharapkan dapat menjadi momentum pergantian kekuasaan (suksesi
nasional) di Indonesia. Perlawanan dari para tokoh oposan yang selama ini
berseberangan dengan Presiden Soeharto tampak semakin berani dan terang-
terangan. Pada 25 September 1997, Amien Rais—waktu itu menjadi Ketua PP
Muhammadiyah sekaligus anggota pleno DDII pusat—adalah tokoh penentang
Soeharto yang paling vokal dengan menyatakan kesediaannya dicalonkan sebagai
salah satu kandidat Presiden, sesuatu yang selama ini ditabukan dalam kancah
perpolitikan Indonesia. Kemudian, pada 9 Januari 1998, Muhammad Sadli, salah
seorang mantan menteri kabinet, menyerukan dilakukannya pergantian
pemerintahan. Pernyataan yang sama juga dikeluarkan oleh begawan ekonomi
kawakan Soemitro Djojohadikusumo pada 12 Januari 1998. Pada 20 Januari 1998,
sembilan belas (19) peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPl)
mengeluarkan pernyataan untuk memilih presiden baru.12
Amien Rais menjadi ikon dari gerakan perlawanan.13 “The worsening
political crisis, however, gave Rais his first opportunity to act as a national leader,
rather than the head of a specifically Muslim organization,” kata Robert W.
Hefner.14 Para elite-intelektual Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
seperti Adi Sasono, Dawam Rahardjo dan bahkan Achmad Tirtosudiro bergabung
dengan Amien Rais untuk mendukung perubahan. Pada tanggal 9 April 1998,
Achmad Tirtosudiro dalam kapasitasnya sebagai pelaksana ketua ICMI (setelah
Habibie diangkat sebagai Wakil Presiden) memberikan sebuah pernyataan publik
bahwa demonstrasi-demonstrasi mahasiswa tak boleh dilarang. Pada tanggal 4 Mei,
Adi Sasono (sekretaris umum ICMI) menulis sebuah artikel di Republika yang
mengingatkan pihak pemerintah bahwa kerusuhan sosial pada tingkat akar rumput
bisa mengarah pada revolusi sosial dan meminta pemegang kekuasaan untuk
memenuhi tuntutan rakyat akan perubahan.15

11
Aspinall dan Gerry van Klinken, “Kronologi Krisis…,” h. 396.
12
Aspinall dan Gerry van Klinken, “Kronologi Krisis…,” h. 390-394.
13
Dukungan utama bagi Amien Rais datang dari kelompok mahasiswa Muslim,
terutama mereka yang berafiliasi dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI). Pada tanggal 12 Mei 1998, Amien memimpin pembentukan sebuah front
perlawanan, yaitu Majelis Amanat Rakyat (MAR) yang beranggotakan 55 para reformis
terkemuka yang mewakili spektrum luas dalam masyarakat. Lihat Yudi Latif. The Muslim
Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of lts Emergence in the 20 th Century (Canberra: The
Australian National University, 2004), h. 439.
14
Robert W. Hefner. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (New
Jersey: Princeton University Press, 2000), h. 200.
15
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 438. Sebagai catatan, pada periode 1995-
1997, elite DDII pada umumnya masih tetap menunjukkan loyalitas pada Pemerintahan
Suharto, terutama melalui aksi kelompok Ahmad Sumargono, ketua KISDI—organisasi

177
Dengan dukungan elite-elite inetelektual, demonstrasi mahasiswa—yang
disertai rentetan kerusuhan amuk massa—pada awal tahun 1998 semakin menguat.
Apalagi dengan tertembaknya beberapa mahasiswa yang disebut dengan tragedi
Trisaksi 1998.16 Bola politik semakin liar dan panas. Seperti kemudian banyak
diberitakan, di sejumlah tempat di kota-kota besar telah terjadi tindakan-tindakan
anarkis dari sejumlah anggota masyarakat. Mereka melakukan perampokan,
penjarahan dan perbuatan-perbuatan lainnya yang menimbulkan keonaran dan
kerusuhan.17 Korban-korban tak berdosa pun berjatuhan dengan sia-sia. Robert W.
Hefner menjelaskan:
In May 1998, riots broke out across Indonesia. In Jakarta, more than 1500
people died. The scale of this violence, and the outcry it provoked in civilian as
well as military circles, ultimately drove Suharto from power. Muslims and non-
Muslims alike rejected the appeal to ethnoreligious divisions to which the
president's supporters had resorted. One thing stands out from this troubled
period: that democratic Muslim leaders were all the more outspoken in their
opposition to these tactics because they recognized that the actions
subordinated their religion to short-term political interest.18
Pada awal bulan Mei 1998, Suharto masih berupaya menyelamatkan
kekuasaannya. Beberapa kali ia mengundang tokoh-tokoh publik, baik ke Cendana
maupun Istana.19 Ia menyodorkan konsep reformasi dari Istana, namun tertolak.

sayap DDII, sehingga berhadapan vis-à-vis dengan kelompok prodemokrasi yang dipimpin
Amien Rais—waktu itu juga masih diakui sebagai elite-akademis yang menjadi anggota
pleno DDII Pusat. Lihat Hefner. Civil Islam…, h. 201-202, 205.
16
Adam Schwarz menganalogikan tragedi meninggalnya empat orang mahasiswa
Trisakti pada 12 Mei 1998 dengan kematian Arif Rahman Hakim pada 1966 yang
membentuk kesatuan gerakan mahasiswa: “funerals for the slain students were followed by
angry, embittered processions of students. To many older Indonesians the scene bore an
uncanny resemblance to the funeral of Arief Rachman Hakim, a medical student shot in
Februari 1966 during an anti-Sukarno protest. Just as Hakim‘s funeral served to unify the
student-led opposition to Sukarno, the funerals of the four Trisakti students fed the growing
movement to push Soeharto from power.” Adam Schwarz. A Nation in Waiting…, h. 355.
17
Puncak kerusuhan terjadi pada 13-15 Mei 1998. Lihat, “Rusuh di Medan, Padang,
Yogya,” Gatra, 16 Mei 1998, h. 24-33; “Huru-Hara Jakarta,” Gatra, 23 Mei 1998. Menurut
Adam Schwarz, kerusuhan itu ada hubungannya dengan rekayasa militer: “By the time the
rioting had subsided, over 1000 Indonesians were dead. Thousands of shops and house were
destroyed. And Indonesia‘s capital city was traumatised…It‘s very hard to believe the riots
were spontaneous…it was all done with military precision.” (Adam Schwarz. A Nation in
Waiting…, h. 356-357). Menurut Eef Saefulloh Fatah, maraknya kerusuhan dan amuk massa
itu memperlihatkan terjadinya radikalisasi rakyat—setidaknya dalam bentuk peningkatan
aktivitas protes sosial dan politik—secara signifikan. Dalam batas tertentu telah terjadi
perubahan resistensi rakyat berhadapan dengan situasi sosio-ekonomi-politik, sikap aparatur
dan kebijakan pemerintah. Lihat Fatah, Zaman Kesempatan…, h. 229.
18
Robert W. Hefner. “Public Islam and the Problem of Democratization,” Sociology
of Religion, Vol. 62, No. 4, (Winter, 2001), h. 507.
19
Pada malam hari 18 Mei, Sekretaris Negara, Saadillah Mursjid mengundang
Madjid untuk bertemu Suharto di kediaman pribadinya di Jalan Cendana. Pada tanggal 19
Mei, Suharto mengundang sembilan pemimpin Muslim, termasuk Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid, namun tanpa Amien Rais, untuk datang ke Istana Merdeka. Sebelum

178
Menurut Adam Schwarz, ada dua aktor penting—dengan tiada menafikan peran
aktor-aktor lainnya—yang menekan Suharto untuk lengser keprabon20 dari
kekuasaannya:
Meanwhile, two key players outside the power structure were ratchcting up the
pressure on Soeharto. The Muhammadiyah leader Amien Rais was working
closely with student groups as well as his own followers in Muhammadiyah to
maintain a virtually non-stop series of street protests clamouring for Soeharto
resignation...Another influential Muslim leader, Nurcholish Madjid, who
headed the non-governmental Paramadina Institute, was at the same time
laying the groundwork for a resignation process acceptable to Soeharto.21
Tidak hanya Amien Rais, elite dai akademis yang dikader DDII lainnya juga
turut berperan dalam proses pengunduran-diri Suharto. Setelah gerakan perlawanan
berubah menjadi kekerasan, usulan reformasi Suharto tak mendapatkan respon, dan
ketua DPR/MPR dan bahkan para menteri kuncinya mendesaknya untuk
mengundurkan diri, Suharto mulai mempertimbangkan perpindahan kekuasaan
kepada Wakil Presiden. Pada tanggal 20 Mei, Suharto meminta Yusril Ihza
Mahendra—yang dikenal kader Natsir (anggota pleno DDII) namun dipercaya
menjadi penulis pidato dan penasehat hukum Presiden—untuk mempersiapkan
sebuah dokumen hukum bagi perpindahan kekuasaan ke tangan Wakil Presiden.22
Akhirnya, setelah segala upaya politik tidak berhasil, Suharto pun menyerah.
Pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 pagi itu di Istana Kepresidenan, Suharto
membacakan pidato pengunduran dirinya dan mengumumkan bahwa Wakil Presiden
Habibie akan menuntaskan masa jabatannya sampai tahun 2003 dan kabinet baru
akan dibentuk secepatnya. Habibie kemudian disumpah dan dilantik oleh Mahkamah
Agung sebagai Presiden ketiga RI.23 Adam Schwarz melukiskan peristiwa dramatis
itu dengan tulisan sebagai berikut:
In a brief, strained ceremony at 9 am…21 May, Soeharto asked forgiveness for
his mistakes, announced his immediate resignation and introduced the nation to
President Habibie. Wiranto took the microphone to offer military support for
Habibie…In an equally brief presentation, a tired-looking Habibie said ―I want
to affirm my commitment to the people‘s aspirations' and extend my deepest
gratitude to…Soeharto for all his services and dedication to the nation and
country‖. Soeharto shuffed off without a word to Habibie or Wiranto. He

pertemuan itu, kebanyakan para pemimpin itu, kecuali Abdurrahman Wahid dan beberapa
yang lain, berkumpul di rumah Malik Fadjar tempat dimana Amien Rais berada. Dengan
mengantisipasi taktik Suharto dan takut dicap sebagai pengkhianat reformasi, kelompok itu
sepakat untuk tidak menerima adanya Komite Reformasi jika hal itu diusulkan oleh Suharto.
Lihat Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 439.
20
Ben Anderson—ahli budaya politik Jawa—memberikan catatan beberapa bulan
sebelumnya, “no king ever voluntarily does lengser keprabon in the Javanese chronicles.
Kings (are] forced to do lengser keprabon, yes, often.” Lihat Peter Waldman, Raphael Pura
& Marcus W. Brauchli, “Suharto‟s Final Days as President Were Marked by Shifting
Loyalties,” Wall Street Journal, 22 May 1998.
21
Adam Schwarz. A Nation in Waiting…, h. 356.
22
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 440.
23
K. O‟Rourke, Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia
(NSW: Allen & Unwin, 2002), h. 128-130.

179
seemed as surprised as everyone else at how quickly the end had come. He
retired to his modest house in central Jakarta to ponder where it had all gone
wrong. The New Order was over.24
Terkait peristiwa reformasi politik Indonesia 1998, Eep Saefulloh Fatah
memberikan tiga catatan.25 Pertama, sistem politik Indonesia sudah terlampau lama
tidak akomodatif terhadap tuntutan-tuntutan perubahan, sehingga mendatangkan
kekikukan dan kegagapan. Konkritnya, terjadi euforia—lonjakan semangat dan
kegirangan yang tidak terkendali—di mana-mana. Kedua, sistem politik Orde Baru
terlampau lama menimbun masalah tanpa mencicil pemecahan-pemecahan konkrit.
Akibatnya, karena dihadapkan kepada persoalan sosial-politik yang menggunung,
reformasi menimbulkan kebingungan. Reformasi menjadi agenda kerja yang sangat
pelik, rumit, alot, dan makan biaya. Ketiga, proses reformasi terjadi secara
mendadak, bukan melalui proses sosial yang alamiah dan gradual. Hal itu pada
gilirannya membuat reformasi harus dijalani tanpa ada kesiapan yang cukup dari
para aktornya untuk membangun rasa saling percaya dan kompromi-kompromi
politik.26 Bahkan kata Edward Aspinall dan Ward Berenschot, “that stresses the
ways the authoritarian New Order regime (1966-1998) left a legacy that shaped and
constrained the range of clientelist strategies available to politicians during the
post-New Order so-called reformasi period.”27
Didorong dengan semangat reformasi—sebuah ungkapan politik yang telah
menjadi populer sejak 1998 yang bermakna agenda demokratisasi, deregulasi politik,
desentralisasi dan pemerintahan yang baik (good governance)—masyarakat terlibat
dalam kegiatan-kegiatan politik nyaris tanpa menghadapi kendala struktural atau
sosial-budaya. Salah satu indikasi yang paling mencolok dari liberalisasi politik ini
adalah munculnya partai-partai politik dalam jumlah yang luar biasa banyak. 28
Sebagaimana dilaporkan, antara Mei dan Oktober 1998, di tengah-tengah
ketidakpastian sosial-ekonomi dan politik—yang antara lain ditandai dengan
kejatuhan ekonomi dan berbagai aksi perusakan di berbagai kota besar—muncul 181
partai politik di Indonesia.29 Dari jumlah tersebut, 42 di antaranya dapat
dikategorikan sebagai partai-partai Islam. Yakni, partai-partai yang mayoritas dari

24
Adam Schwarz. A Nation in Waiting…, h. 366.
25
Fatah, Zaman Kesempatan…, h. xxvi.
26
Fatah, Zaman Kesempatan…, h. xxvii.
27
Edward Aspinall and Ward Berenschot. Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca and London: Cornell University Press, 2019),
h. 43.
28
Bandingkan dengan Andreas Ufen, “Political Party and Party System
Institutionalization in Southeast Asia: Lessons for Democratic Consolidation in Indonesia,
the Philippines and Thailand,” Pacific Review, 21 (3), 2008, pp. 327-350; Dirk Tomsa,
“Party System Fragmentation in Indonesia: The Sub-National Dimension,” Journal of East
Asian Studies, 14 (2), 2014, pp. 249-278.
29
Dari ke-181 partai tersebut sebanyak 140 partai terdaftar di Departemen
Kehakiman dan hanya 48 partai yang lolos verifikasi untuk mengikuti Pemilu 1999. Kevin
Raymond Evans. Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia (Jakarta: Arise
Consultancies, 2003), h. 132-133.

180
mereka menggunakan Islam sebagai simbol dan/atau asas ideologi mereka.30 Bahtiar
Effendy menjelaskan:
Kemunculan (kembali) partai-partai politik Islam adalah sebuah fenomena yang
tidak dapat diabaikan dalam masa-masa reformasi…selain relaksasi dan
liberalisasi politik, yang muncul sebagai inti dari kondisi umum Indonesia
pasca-Soeharto, dengan segera orang dapat menunjukkan bahwa kelahiran
(kembali) partai-partai politik Islam merupakan ciri yang paling menonjol dari
era reformasi—hal ini demikian jika politik reformasi hendak dilihat dari
perspektif kelompok Islam. Pembentukan 42 partai politik Islam dalam periode
6 bulan (Mei hingga Oktober 1998), menyusul pengunduran diri Soeharto,
merupakan indikasi yang terlampau jelas dari gelombang pasang Islam politik.
Lebih penting lagi, hal itu juga dipersepsikan sebagai tanda kemunculan
kembali Islam simbolis dan ideologis…31
Pengunduran diri Presiden Suharto dan naiknya Habibie sebagai
penggantinya melahirkan sebuah struktur peluang politik yang baru. Termasuk bagi
elite-elite dai akademis DDII yang duduk dalam kepengurusan ICMI ketika
dipimpin Habibie. Para wakil anggota ICMI yang memiliki latar belakang NGO dan
gerakan dakwah dalam kabinet Habibie adalah Adi Sasono, A. M. Saefuddin, dan
Malik Fadjar, yang masing-masing menjadi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil,
Menteri Pangan, Hortikultura dan Obat-obatan, dan Menteri Agama.32 Khususnya A.
M. Saefuddin adalah Anggota Pleno DDII Pusat yang juga menjadi fungsionaris
PPP. Inilah untuk kali pertama ada elite yang dikader Natsir di DDII menjadi
seorang Menteri di era reformasi 1998. Termasuk kemudian selanjutnya adalah

30
Ke-42 partai tersebut meliputi: (1) Partai Ahlu Sunnah wal Jamaah, PAS; (2)
Partai Aliansi Kebangkitan Muslim Sunni Indonesia, AKAMSI; (3) Partai Abul Yatama,
PAY; (4) Partai Amanah Masyarakat Madani, PAMM; (5) Partai Amanat Nasional, PAN; (6)
Partai Bhakti Muslim, PBM; (7) Partai Bulan Bintang, PBB; (8) Partai Cinta Damai, PCD;
(9) Partai Demokrasi Islam Republik Indonesia, PADRI; (10) Partai Dinamika Umat, PDU;
(11) Partai Dua Syahadat, PDS; (12) Partai Era Reformasi Tarbiyah Islamiyah, PERTI; (13)
Partai Indonesia Baru, PIB; (14) Partai Islam Demokrat, PID; (15) Partai Islam Indonesia,
PII; (16) Partai Islam Persatuan Indonesia, PIPI; (17) Partai Gerakan Insan Muttaqin
Indonesia, GIMI; (18) Partai Ka‟bah; (19) Partai Keadilan, PK; (20) Partai Kebangkitan
Bangsa, PKB; (21) Partai Kebangkitan Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah, PAKKAM; (22)
Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, KAMI: (23) Partai Kebangkitan Umat, PKU; (24)
Partai Kesatuan Umat Indonesia, PKUI; (25) Partai Kesatuan Wahdatul Ummah, PKWU;
(26) Partai Politik Islam Masyumi, PPMI; (27) Partai Majawangi, (28) Partai Masyumi Baru,
PMB; (29) Partai Nahdatul Ummah, PNU; (30) Partai Persatuan, PP; (31) Partai Persatuan
Islam Indonesia, PPII; (32) Partai Persatuan Pembangunan, PPP; (33) Partai Persatuan
Sabilillah, PPS; (34) Partai Pengamal Thareqat Indonesia, PPTI; (35) Partai Persatuan
Tharikat Islam, PPTI; (36) Partai Politik Thareqat Islam, PPTI; (37) Partai Republik Islam,
PRI; (38) Partai Solidaritas Uni Indonesia, Partai SUNI; (39) Partai Syarikat Islam Indonesia,
PSII 1905; (40) Partai Syarikat Islam Indonesia, PSII; (41) Partai Umat Islam, PUI; dan (42)
Partai Umat Muslimin Indonesia, PUMI. Lihat Bahtiar Effendy. Islam dan Negara:
Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Demokrasi Project
Yayasan Abadi Demokrasi, 2011), h, 402.
31
Bahtiar Effendy. Islam dan Negara…, h, 404.
32
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 442.

181
Hartono Mardjono, pengurus pusat DDII yang menjadi Anggota Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) RI.33
Oleh karenanya, DDII pun mendukung secara politis pemerintahan Habibie.
Dukungan lebih terbuka ditunjukkan oleh KISDI, organisasi sayap DDII. Sehari
setelah pelantikan Habibie sebagai Presiden RI, KISDI langsung bergerak:
Despite Soeharto‘s resignation, KISDI organizers went ahead with their
demonstration on May 22. They switched the theme of the demonstration from
supporting Soeharto to rallying for the presiden successor, BJ Habibie. Banners
carried at the event indicated the new KISDI line, ―Opposition to Habibie =
Opposition to Islam.‖34

B. Kepengurusan DDII di Era Reformasi 1999-2015


Reformasi Mei 1998 yang digerakkan mahasiswa dan berhasil
menumbangkan rezim Orde Baru adalah bentuk kesadaran baru masyarakat-bangsa
Indonesia. Pun demikian dengan umat Islam yang segera menyadari pentingnya
menata kembali kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. DDII—yang pada awal
reformasi 1998 masih berada di bawah kepemimpinan Anwar Harjono—juga segera
berbenah dan merespon perubahan politik nasional tersebut.

1. Akhir Kepemimpinan Anwar Harjono 1998-1999


Ketika Anwar Harjono memangku kepemimpinan DDII secara resmi,
setelah sebelumnya hanya sebagai Ketua Harian, justru ia dihadapkan pada situasi
nasional yang sulit dan dilematis. Pada era akhir kepemimpinannya (1998-1999),
Harjono dhadapkan pada persoalan baru: keinginan masyarakat untuk pergantian
kepemimpinan nasional, sekaligus memulai era politik baru. Padahal, sebagimana
telah dibahas pada bab sebelumnya, ijtihad-sikap politik Anwar Harjono pada 1990-
1997 adalah mendukung pemerintahan Orde Baru tersebut.35 Di lain pihak, Anwar
Harjono pada waktu itu sudah sepuh, sementara penyakit radang ginjal dan stroke
yang dideritanya sejak 1996 membuat aktifitasnya harus dibantu dengan
menggunakan kursi roda. Namun demikian, berbagai aktifitas DDII dan peristiwa
politik nasional masih diikutinya sampai menjelang akhir hayatnya.36 Anwar
Harjono, tokoh Masyumi yang masih tersisa di DDII selain KH Hasan Basri dan HM
Rasjidi,37 mencoba turut andil menyelamatkan organisasi dan umat.

33
Lihat Mas‟adi Sulthani, “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah,” dalam Luthfi
Bukan Ludwig: Catatan Para Sahabat A. M. Luthfi (Jakarta: Media Dakwah, 2007), h. 139.
34
Hefner. Civil Islam…, h. 207.
35
Sebagai contohnya adalah peringatan oleh Kuntowijoyo. Lihat Kuntowijoyo,
Muslim Tanpa Mesjid: Esai-Esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental (Bandung: Mizan, 2001), h. 297.
36
A. M. Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat (1967-2005), Jakarta: Panitia Mubes III Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia, 2005, tidak diterbitkan, h. 5.
37
KH Hasan Basri dan HM Rasjidi sudah non-aktif di DDII sejak akhir Orde Baru
hingga awal reformasi. Pencantuman Namanya di daftar pengurus pusat DDII lebih sebagai
penghormatan. KH Hasan Basri meninggal pada 8 November 1998, sedangkan HM Rasjidi
pada 30 Januari 2001. Mas‟adi Sulthani, “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah…,” h. 143.

182
Ketika terjadi demontrasi yang menuntut reformasi dengan puncaknya pada
21 Mei 1998, Anwar Harjono-Hussein Umar menyatakan pernyataan sikap politik
DDII. Surat pernyataan tanggal 21 Mei 1998 dikeluarkan dalam rangka menyikapi
situasi dan perkembangan politik kontemporer di tanah air—yakni, terjadinya
pergantian kepemimpinan nasional—sebagai puncak tuntutan Reformasi yang
dipelopori mahasiswa dan pencerminan hati nurani bangsa.38 Secara umum,
pernyataan politik ini adalah bentuk penghargaan DDII atas keputusan yang telah
diambil Soeharto yang memperlihatkan kalau keputusan tersebut merupakan solusi
terbaik untuk bangsa d an negara sejauh yang dapat ditempuh waktu itu. Kearifan
Soeharto membaca tanda-tanda zaman, walaupun sudah terlambat, telah turut
berperan melepaskan bangsa ini dari bencana dan pertumpahan darah yang lebih
besar.39 Di lain pihak, euforia reformasi telah membuat keadaan menjadi serba tidak
pasti dan tidak menentu. Karena itulah, DDII menghimbau agar semua pihak tetap
mengawal reformasi, sehingga tetap pada jalur konstitusi.40
Penyataan 21 Mei ini merupakan respons DDII terhadap gerakan reformasi
yang tengah berlangsung di Indonesia. Pernyataan tersebut juga memperlihatkan
sikap DDII dalam memposisiskan dirinya di era awal reformasi. DDII muncul
sebagai kekuatan yang berdiri di belakang Habibie dan menjadi pembelanya yang
utama sesudah ICMl.41 DDII tidak saja mengakui keabsahan pemerintahan Presiden

38
Lihat Warta Ukhuwah, No. 1 (Juli 1998), h. 3.
39
Mengingat sedemikian berkuasanya Soeharto, masyarakat sesungguhnya tidak
menyangka bahwa ia akan mundur secepat itu tanpa ada usaha yang berarti, baik secara
politik maupun militer, untuk mempertahankan kursi kepresidenannya. Lihat Bahtiar
Effendy. Islam Dan Negara…, h, 340.
40
Keenam pernyataan politik DDII tersebut adalah sebagai berikut: Pertama,
menghargai sepenuhnya keputusan Presiden Soeharto yang menyatakan diri berhenti dari
jabatan Presiden Republik Indonesia. Kemudian pada saat yang sama, DDII menyambut
dengan rasa syukur tampilnya Prof. B. J. Habibie melalui proses konstitusional sebagai
Presiden Republik Indonesia yang baru untuk menyelesaikan masa tugas kepresidenan
sampai tahun 2003; Kedua, menghimbau kepada semua pihak agar mengawal jalannya
reformasi total yang merupakan tekad seluruh bangsa tetap berada pada jalur konstitusi.
Kemudian, mengambil hikmah dari perjalanan sejarah Orde Baru dengan menempatkan
kekuasaan sebagai amanah Allah. Dengan demikian, maka pihak pemegang kekuasaan harus
menghindari segala bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Selanjutnya istiqamah
(konsisten) menegakkan kejujuran, keadilan, menumbuhkan budaya malu dan budaya
hukum; Ketiga, menghimbau kepada Presiden B. J. Habibie agar dalam menyusun anggota
kabinetnya menampilkan orang-orang yang amanah, profesional, merakyat, dan bersih dari
KKN; Keempat, mengharapkan kepada ABRI untuk tetap menjadi pengawal konstitusi,
kedaulatan bangsa dan negara, sesuai dengan semboyan: “Yang terbaik bagi rakyat, terbaik
bagi ABRI”; Kelima, mendoakan kepada Allah SWT agar menempatkan para mahasiswa
(pahlawan reformasi) dan para petugas yang gugur dalam tugasnya di tempat yang sebaik-
baiknya di sisi-Nya; dan keenam, menyerukan kepada umat Islam khususnya dan bangsa
Indonesia umumnya untuk lebih mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT memohon
perlindungan, rahmat dan hidayah-Nya serta tetap menjaga ukhuwah Islamiyah, persatuan
dan kesatuan bangsa. Lihat Warta Ukhuwah, No. 1 (Juli 1998), h. 3.
41
Amin, Sikap Politik…, h. 214.

183
B. J. Habibie, tetapi juga kelangsungannya sampai tahun 2003.42 Dengan demikian,
DDII menantang anggapan dan opini publik yang sengaja dibentuk waktu itu oleh
kekuatan-kekuatan lain yang anti-Habibie, bahwa pemerintahan B. J. Habibie adalah
pemerintahan transisional.43
Sebagai seorang demokrat, Anwar Harjono pun memutuskan untuk
mengadakan musyawarah dengan seluruh stakeholder DDII untuk menyikapi situasi
politik reformasi. Dengan begini, DDII bisa mengikuti perkembangan yang ada
dengan lebih seksama. Secara resmi, DDII mengadakan pertemuan nasional.
Pertemuan yang disebut Musyawarah Besar (Mubes) II DDII itu terjadi pada 12-14
Juni 1998 di Asrama Haji Cempaka Putih, Jakarta.44
Mubes II DDII tidak hanya berhasil diselenggarakan, namun berlangsung
sangat ramai. Peserta Mubes II melibatkan pengurus pusat, pengurus perwakilan
DDII di daerah-daerah, serta mengundang sejumlah pemimpin organisasi Islam,
seperti Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, FUI (Forum Ukhuwah
Islamiyah), BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam), KISDI (Komite Islam untuk
Solidaritas Dunia Islam), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PII (Pelajar Islam
Indonesia), dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).45 Mubes II
DDII itu dihadiri sekitar 200 partisipan pertemuan, juga dihadiri oleh delegasi-
delegasi perwakilan DDII seluruh Indonesia, kecuali Timor Timur yang tidak dapat
hadir karena kendala teknis.46 Pada akhirnya, pertemuan dalam Mubes II itu berhasil
merumuskan beberapa program dan sejumlah rekomendasi.
Program dalam bidang politik, Mubes memutuskan agar segera terwujud
satu partai politik Islam sebagai wadah penyaluran aspirasi. Karenanya, untuk
merealisasikan keinginan dan maksud tersebut, DDII perlu segera membentuk
sebuah panitia ad hoc yang ditugaskan untuk melakukan usaha dan berbagai
pendekatan ke pihak-pihak yang dipandang perlu.47 Secara historis, organisasi-
organisasi yang diundang dan hadir pada Mubes II DDII tersebut dulunya adalah

42
Himbauan DDII kepada Presiden Habibie agar mengangkat orang-orang yang
professional, merakyat, jujur, bersih dan amanah sebagai angota kabinetnya. Hal itu
dimaksudkan agar mereka diharapkan dapat segera bekerjasama menyelesaikan masalah
bangsa, bukan justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Selanjutnya, DDII berharap
kepada ABRI agar tetap menjadi pengawal konstitusi dan Bhayangkara Negara, supaya tidak
terjadi disintegrasi bangsa. Catatan penting dari surat ini adalah bahwa DDII mendukung
reformasi yang konstitusional dan mendukung pemerintahan. B. J. Habibie sampai habis
masa jabatannya hingga tahun 2003. Lihat Amin, Sikap Politik…, h. 214-215.
43
Mengenai status politis dan yuridis Habibie yang dipersoalkan, lihat misalnya,
Syamsudin Haris, “Kekuasaan Transisional: Problem Penyelenggaraan Pemilu 1999,” dalam
Juri Ardiantoro F. (Penyunting), Yopie Renyaan dkk, (Ed), Transisi Demokrasi: Evaluasi
Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, Jakarta: Komite lndependen Pemantau Pemilu (KIIP),
1999, h. 19-21; Bandingkan dengan Paul J. Carnegie, “Democratization and Decentralization
in Post-Soeharto Indonesia: Understanding Transition Dynamics,” Pacific Affairs 81 (4),
December 2008, pp. 515-525.
44
Mas‟adi Sulthani, “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah…,” h. 136.
45
Keputusan Musyawarah Besar II Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta:
17-19 Shafar 1419 H/12-14 Juni 1998, Dokumen tidak dipublikasikan, h. 1.
46
Keputusan Musyawarah Besar II…, h, 1.
47
Keputusan Musyawarah Besar II…, h. 5.

184
anggota-anggota istimewa Masyumi atau yang secara ideologis punya kedekatan
dengan partainya kaum modernis Masyumi. Hal itu mengindikasikan kalau keluarga
besar DDII masih terobsesi dengan romantisme sejarah kejayaan Masyumi masa
silam. Keinginan mewujudkan satu partai politik Islam, memperlihatkan kalau
sebagian orang-orang DDII masih terobsesi mengembalikan sejarah kejayaan
Masyumi di masa lalu. Mereka tampaknya melihat bahwa era reformasi merupakan
saat dan momentum yang tepat untuk itu.48 Karena, sesuai dengan tuntutan dan
agenda reformasi, Pemerintahan Presiden B. J. Habibie membuka kesempatan
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik dalam
menghadapi Pemilu 1999.
Sementara dalam bidang ekonomi diputuskan beberapa program yang baru,
seperti: (a) membangun sentra-sentra ekonomi, koperasi dan usaha-usaha produktif
di sekitar masjid; (b) meningkatkan profesionalisme bisnis umat melalui pendidikan
dan pelatihan; (c) mengembangkan hubungan dagang dalam dan luar negeri dengan
membentuk tim lobi ekonorni untuk tugas itu; (d) membentuk biro konsultasi usaha
kecil dan menengah untuk pemberdayaan potensi ekonomi di daerah; (e) membentuk
tim pendataan asset DDII pusat dan daerah; (f) membentuk BUMD (Badan Usaha
Milik DDII) yang membawahi perwakilan unit-unit usaha di wilayah-wilayah yang
memerlukan; (g) membentuk unit-unit usaha baru, seperti koperasi, Bait al-Mal wa
al-Tamwil (BMT), warung umat/mini market dan usaha-usaha prospektif lainnya;
(h) meningkatkan ekonomi da‟i dengan membekali mereka dengan kemampuan
bisnis/usaha produktif peternakan dan jasa.49
Dalam bidang organisasi, beberapa keputusan penting yang berhasil
dihasilkan antara lain adalah hal-hal yang menyangkut dengan bentuk lembaga,
pemberdayaan lembaga, dan konstitusi lembaga. Mengenai bentuk lembaga,
misalnya, Mubes memutuskan bahwa DDII tetap dalam bentuk Yayasan
sebagaimana selama ini. Tetapi Mubes juga mengamanatkan kepada DDII Pusat
agar mencari format yang paling pas bagi lembaga dalam menghadapi
perkembangan ke depan, kemungkinan berubah menjadi Ormas.50
Keputusan penting terkait tata-keorganisasian adalah: pertama, mengingat
jumlah anggota pleno pengurus harian yang begitu besar (47 orang), maka untuk
efektivitas pergerakan organisasi, diadakan dua macam rapat pengambilan
keputusan, yaitu: Lembaga Pengurus Harian dan Lembaga Pengurus Pleno. Kedua,
penetapan KH Affandi Ridhwan dan H. Abdul Wahid Alwi masing-masing sebagai
Wakil Ketua dan salah seorang Sekretaris DDII, sehingga keduanya menjadi anggota
Pengurus Harian DDII.51

48
Amin. Sikap Politik…, h. 217.
49
Keputusan Musyawarah Besar II…, h. 5. Sebagai catatan, sampai berakhimya
periode Harjono, program bidang ekonomi DDII belum dapat terlaksana sebagaimana yang
diharapkan. Badan Usaha yang dibentuk dan diharapkan dapat membiayai atau memberi
sumbangan terhadap kegiatan operasional DDII masih belum terkelola dengan baik dan
professional. Sehingga Badan Usaha tersebut belum dapat menghasilkan keuntungan yang
berarti. Lihat Laporan Pengurus Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia, Jakarta: Juli 1998-Juli
2005. Buku I, h. 13.
50
Laporan Pengurus DDII…, h. 15.
51
Mas‟adi Sulthani. “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah…,” h. 135-136.

185
Berkaitan dengan pemberdayaan lembaga, Mubes melihat bahwa
konsolidasi organisasi dengan membentuk perwakilan di seluruh daerah tingkat
propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan perlu segera dilakukan. Bahkan Mubes
mengharapkan pada akhir tahun 1998 perwakilan DDII di seluruh daerah tingkat II
(Kabupaten/Kota) telah terbentuk. Kemudian, inventarisasi dan penyelamatan
seluruh asset dan kekayaan DDII adalah juga hal yang mendesak untuk
dilaksanakan. Baik yang berbentuk bangunan, tanah, perkebunan, percetakan dan
lain-lain. Demikian pula dengan optimalisasi fungsi dan peran biro-biro serta
perbaikan manajemen dan peningkatan mutu Media Dakwah sebagai penerbitan,
toko buku dan majalah. Mubes juga mengamanatkan agar harian umum Abadi
diterbitkan kembali.52 Sementara menyangkut dengan konstitusi lembaga, Mubes
memandang perlu dilakukan penyempumaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD dan ART).53 Mubes II juga menghasilkan beberapa rekomendasi.54

52
Keputusan Musyawarah Besar II…, h. 4.
53
Di antaranya mengatur tentang: jabatan pengurus DDII Pusat 5 tahun, perwakilan
wilayah 3 tahun, dan daerah kabupaten/kota 1 tahun; Ketua Perwakilan sekaligus menjadi
anggota pleno DDII Pusat yang memiliki hak yang sama dengan pengurus DDII Pusat
lainnya menyusun kepengurusan DDII Pusat. Melengkapi struktur kepengurusan yang telah
ada dengan biro-biro baru seperti biro muslimat, biro bantuan hukum dan kaderisasi.
Menempatkan majelis fatwa dan LPDT, yang selama ini dikelola DDII Perwakilan DKI
Jakarta, langsung di bawah DDII Pusat. Laporan Pengurus DDII…, h. 16.
54
Rekomendasi Mubes II DDII adalah sebagai berikut: (1) Bahwa pengangkatan B.
J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia adalah sah-konstitusional berdasarkan pasal
8 UUD 1945 jo TAP MPR No.VII/MPR/1973; (2) Meminta kepada Presiden B. J. Habibie
agar melakukan pembersihan anggota pemerintahan di semua jajaran dari praktek kolusi,
korupsi, dan nepotisme (KKN); (3) Mendesak pemrintah untuk mengusut penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan yang berkaitan dengan peristiwa Komando Jihad, Tanjung Priok,
Lampung, Aceh dan lainnya; (4) Meminta pemerintah agar merehabilitir nama baik tokoh-
tokoh yang telah berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan terhadap Negara
Kesatuan Republik lndonesia. Mereka antara lain; Mohammad Natsir, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, Mr. Boerhanuddin Harahap, sesuai dengan pasal 14 UUD 1945, dan
mengangkat mereka sebagai pahlawan nasional; (5) Mendesak pemerintah untuk
merehabilitasi nama baik Masyumi dengan mencabut Keppres No. 200/1960; (6) Mendesak
semua fraksi-fraksi di MPR agar mencabut semua TAP MPR yang bertentangan dengan
UUD 1945 seperti: TAP MPR No. II/MPR/1978 dan mengubah TAP MPR yang tidak sesuai
dengan semangat reformasi; (7) Perlu dibentuk Badan Anti Korupsi (BAK) yang independen
dan berada langsung di bawah Kepala Negara, dan melengkapinya dengan membentuk
undang-undang anti monopoli dan mengembangkan sistim pembuktian terbalik; (8) Perlu
langkah-langkah kongkrit dalam upaya mengembalikan uang warga Negara Indonesia yang
disimpan di luar negeri; (9) Mendukung program pemerintah memberdayakan ekonomi
rakyat dalam mengatasi krisis ekonomi dengan membela dan memberdayakan pengusaha
kecil dan menengah dan membersihkan lembaga koperasi dari praktek-praktek KKN; (10)
Menghimbau pemerintah pro-aktif mengembangkan dan mensosialisasikan sistem ekonomi
dan keuangan Islam serta lembaga-lembaganya antara lain; Bank Muamalat, Bank
Perkreditan Rakyat Syari‟ah (BPRS), Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dan lain-lain, menjadi
lembaga alternatif untuk memberdayakan ekonomi umat. Lihat Keputusan Musyawarah
Besar II…, h, 1-16.

186
Lima bulan setelah Mubes II, DDII mengadakan perhelatan nasional.55
Yakni, penyelenggaraan silaturahmi DDII di Jakarta pada tanggal 1-2 Nopember
1998. Silaturahmi Nasional ini diikuti lebih dari 400 orang peserta dari seluruh
Indonesia. Perhelatan ini menjadi berita nasional, karena dibuka oleh Presiden
Republik Indonesia B. J. Habibie. Acara ini juga dihadiri oleh beberapa pejabat
negara, seperti Menteri Sekretaris Negara Akbar Tanjung, Menteri Riset dan
Teknologi Zuhal Abdul Qadir, Menteri Agama A. Malik Fajar, dan Menteri
Koperasi Adi Sasono.56
Peristiwa politis ini terjadi, karena DDII secara terbuka menyuarakan
dukungannya terhadap Pemerintahan BJ Habibie. Ada dua pernyataan politik yang
dikeluarkan DDII pada masa Anwar Harjono terkait dukungan terhadap
pemerintahan Presiden B. J. Habibie. Pertama, surat pernyataan politik Sillaturrahim
Nasional Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tanggal 02 Nopember 1998; dan
kedua, seruan DDII Pusat tanggal 04 Sya‟ban 1419 H/23 Nopember 1998.
Pada 2 Nopember 1998, Silaturahmi Nasional DDII telah mengambil dan
menetapkan sebelas keputusan. Kesebelas butir keputusan tersebut diberi nomor
secara berurutan dari nomor 1 sampai 11. Sebelas keputusan silaturahmi nasional
DDII tersebut di atas pada intinya menyatakan: pertama, keberpihakan dan
dukungan DDII terhadap pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan kedekatan DDII
dengan pemerintah. Kedua, perhatian DDII terhadap pelurusan sejarah dan
penegakan supremasi hukum. Ketiga, perhatian DDII terhadap demokratisasi dan
pemerintahan sipil. Keempat, pembelaannya terhadap A. M. Saefuddin. Kelima,
pencitraan diri DDII sebagai lembaga dakwah yang netral.57
Dukungan DDII terhadap B. J. Habibie, di samping karena alasan yuridis,
juga didasarkan pada pertimbangan politis. Secara yuridis, proses pengangkatan
Habibie sudah dilaksanakan secara konstitusional sesuai dengan pasal 8 UUD 1945
dan TAP MPR No. 7 Tahun 1973. Sedangkan secara politis, DDII melihat bahwa
dukungan tersebut memang dibutuhkan oleh Pemerintahan Habibie yang
legitimasinya tengah dipersoalkan.58 Keberpihakan DDII pada Pemerintahan Habibie
adalah juga penyikapannya terhadap polarisasi yang makin mengkristal di antara
55
Pasca-Mubes II, pengurus DDII pusat segera fokus pada upaya realisasi program
politik, daripada program-program lainnya. Bagi anggapan para elite DDII, masalah politik
ini sangat krusial, sehingga mesti diprioritaskan pada awal reformasi. Hal ini juga karena
dakwah-politik DDII—dari sejak didirikan—sangat melekat dan bahkan menjadi ciri khas.
Sehingga tidak heran, elite-elite DDII segera menceburkan dirinya—baik pribadi maupun
atas nama DDII—di pentas politik nasional era reformasi.
56
Amin, Sikap Politik…, h. 217.
57
Amin, Sikap Politik…, h. 218.
58
Sebagian kalangan berpendapat bahwa Pemerintahan Habibie kurang legitimated,
karena proses peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie ditenggarai tidak sesuai dengan
kelaziman; tidak mengikuti dan menyesuaikan dengan ketentuan konstitusi atau prosedur-
prosedur konstitusional yang berlaku selama ini. Di samping itu, kedekatan Habibie secara
personal dengan Soeharto menyimpan kekhawatiran pada sebagian orang bahwa Soeharto
masih akan bermain sebagai tokoh atau dalang di belakang layar. Lihat A. Malik Haramain
dan M. F. Nurhuda Y., Mengawal Transisi: Refleksi atas Pemantauan Pemilu ‗99 (Jakarta:
JAMPll-PMII dan UNDP, 2000), h. 9-12. Lihat juga Adam Schwarz. A Nation in Waiting…,
h. 373-376. Bandingkan dengan Robert W. Hefner. Civil Islam…, h. 208-211.

187
berbagai kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat yang dikhawatirkan
dapat mengancam eksistensi bangsa. Sebagaimana diketahui, setelah berhasil
menumbangkan Soeharto sebagai common enemy, massa terbagi ke dalam pro dan
kontra atas kepemimpinan Habibie. Sebagian gerakan mahasiswa menjadi terkesan
tidak murni lagi, sebagaimana diasumsikan oleh Adam Schwarz,59 terarah pada
politik praktis untuk mendelegitimasi Pemerintahan Habibie.
Pada situasi seperti inilah, DDII menghimbau kepada semua pihak agar
cooling down, berfikir jernih, rasional, obyektif dan demokratis dengan memberi
kesempatan yang adil (fair chance) kepada Pemerintahan B. J. Habibie untuk
melakukan tugasnya melaksanakan agenda reformasi total.60 Dalam hal ini,
kedekatan Pemerintah dengan DDII terlihat dari kehadiran Presiden B. J. Habibie
bersama empat orang menteri Kabinet Reformasi dalam pembukaan acara
silaturahmi nasional tersebut, bahkan Presiden Habibie membuka acara tersebut
secara resmi.
Perhatian DDII terhadap pelurusan sejarah dan komitmennya terhadap
penegakan supremasi hukum terlihat dari keputusan silaturahmi nasional (keputusan
poin 4 dan poin 9). Pada keputusan poin 4, DDII meminta agar pemerintah
menetapkan Mohammad Natsir dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Pahlawan
Nasional, serta menganugerahkan penghargaan (Bintang Kehormatan) kepada
Boerhanuddin Harahap.61 Tetapi, karena terganjal oleh adanya klausul dalam kriteria
pahlawan nasional bahwa seseorang itu tidak pernah cacat dalam perjuangannya,
seperti pernah terlibat dalam suatu pemberontakan, Pemerintahan Habibie hanya
memberikan penghargaan Bintang Republik Indonesia Adi Pradana kepada Natsir.62

59
Kata Schwarz, “The more radical student groups demanded Habibie be removed
from the presidency at the MPRS and replaced with a presidium of national leaders. The
students received behind-the-scenes support from a group of retired generals and nationalist
figures known as the Barisan Nasional, or National Front.” Lihat Adam Schwarz. A Nation
in Waiting…, h. 374.
60
Amin, Sikap Politik…, h. 218.
61
Dalam pandangan DDII, baik Natsir, Sjafruddin, maupun Boerhanuddin adalah
orang-orang yang telah berjasa besar bagi bangsa ini. Adapun keterlibatan mereka dalam
PRRI, walaupun inkonstitusional, adalah semata-mata dimaksudkan hendak mengingatkan
Presiden Soekarno agar berhati-hati jangan sampai dipengaruhi PKI, bukan dengan tujuan
untuk melakukan pemberontakan, apalagi mau menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Peringatan dini Natsir dan lainnya ternyata kemudian terbukti dengan meletusnya
pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965. Keikutsertaan ketiganya bahkan telah berhasil
mencegah PRRl menjadi gerakan separatis dan terjadinya disintegrasi bangsa. Ketiganya
tetap berupaya mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi
mereka semuanya juga sudah mendapatkan amnesti dari pemerintah. Lihat Surat Pengurus
DDII Pusat ke pengurus-pengurus Perwakilan DDII seluruh Indonesia, perihal: penjelasan
di sekitar berita-berita tentang pembentukan ―Masvumi Baru‖ tanggal 10 Nopember 1995,
dokumen, tidak diterbitkan.
62
Asvi Warman Adam, “Natsir Pahlawan Nasional?” Kompas, 17 Juli 2008, h. 6.
Sejak membaiknya hubungan dengan pemerintah pada akhir Orde Baru, DDII telah
memberitakan opini terkait pemulihan nama baik tokoh-tokoh Masyumi sekaligus haknya
untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Lihat Anwar Harjono, “Gelar Pahlawan Nasional

188
Sementara komitmennya terhadap penegakan supremasi hukum (keputusan
silaturahmi Nasional poin 5), terlihat dari upayanya mendesak pemerintah agar
melakukan proses hukum terhadap Tapol/Napol Islam dan lainnya, dan segera
membebaskannya demi hukum. Karena mereka hanyalah korban dari rekayasa
politik di masa Orde Baru. DDII juga mendesak pemerintah agar mencari
penyelesaian terhadap peristiwa-peristiwa yang perlu kejelasan, seperti antara lain:
peristiwa Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng, Aceh, dan lain-lainnya, dengan
mengadili pihak-pihak yang terlibat di dalamnya tanpa pandang bulu serta serta
menyantuni semua korban dari peristiwa tersebut (keputusan poin 6). Demikian pula
keputusan no. 9, yang meminta pemerintah menuntaskan kasus Banyuwangi yang
telah merembet ke daerah-daerah lain, dengan mengajukan mereka yang bersalah ke
pengadilan dan memberikan klarifikasi dengan adanya rekayasa di belakang
peristiwa ini.63
Perhatian DDII terhadap demokratisasi dan pemerintahan sipil terlihat dari
keputusan Silaturahmi Nasional no. 7 yang meminta peran sosial politik dan dwi-
fungsi ABRI perlu ditinjau Kembali. Sementara keputusan no. 8 yang menyarankan
agar TAP MPR berkenaan dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4), Asas Tunggal Pancasila, dan Undang Undang Anti-Subversi agar dicabut.
Melalui pernyatan-pernyataan ini, DDII menginginkan penguatan civil society di era
reformasi.64 Sementara pembelaan DDII terhadap Menteri Pangan dan Hortikultura
A. M. Saefuddin—salah seorang wakil ketua pengurus DDII Pusat—dilakukan
karena perkembangan kasus yang bersangkutan tidak lagi proporsional dan telah
melampaui batas kewajaran. Kasus yang dianggap sebagai bentuk penghinaan
terhadap umat Hindu tersebut ternyata telah dipolitisir sedemikian rupa dan di-blow-
up oleh berbagai media massa. Kasus itu sendiri bermula dari pernyataan A. M.
Saefuddin, seperti dikutip harian umum Republika, yang mengaku bisa mengungguli
Megawati dalam pemilihan presiden, karena alasan agama.65
Ternyata, reaksi terhadap pernyataan A. M. Saefuddin tersebut di luar
perkiraan dan telah melebar ke mana-mana. Pernyataan A. M. Saefuddin—yang
sebenarnya move politik yang slip of tongue (keselip lidah)—itu dianggap sebagai
bentuk pelecehan terhadap agama Hindu. Reaksi beruntun berupa demonstrasi-
demonstrasi tersebut bahkan mencuatkan sesuatu yang mengejutkan: tuntutan Bali

Untuk Lima Tokoh Pejuang (Bapak M. Natsir dan Kawan-kawan),” Media Dakwah, Mei
1995, h. 6-8.
63
Amin, Sikap Politik…, h. 219.
64
Bandingkan dengan Aris Arif Mundayat, Pitra Narendra, Budi Irawanto, “State
and Civil Society Relatonships in Indonesia: A Society-oriented Reading in Search for
Democratic Space,” Power Conflict Democracy Journal, Vol. 1, No. 1 (2009), h. 75-96;
Lihat juga Cornelis Lay and Netra Eng, “State Regulations and Elitisation: A Study of Civil
Society Elites in Indonesia and Cambodia,” Politics and Governance, Volume 8, Issue 3,
September 2020, pp. 97-108.
65
Menurut A. M. Saefuddin, Megawati pernah sembahyang di pura (sebagaimana
yang terlihat dari foto-foto Megawati yang sedang sembahyang di sebuah pura Hindu Bali),
sedangkan dirinya shalat di mesjid. “Megawati, kan agamanya Hindu. Saya Islam. relakah
rakyat Indonesia, presidennya beragama Hindu,” katanya seperti dikutip Republika. Lihat
Republika, Kamis, 15 Oktober 1998.

189
Merdeka dan memisahkan diri dari Negara Republik Indonesia.66 Silaturahmi
Nasional DDII berpendapat bahwa dengan permintaan maaf yang tulus dari A. M.
Saefuddin, masalah ini sesungguhnya telah dapat dinyatakan selesai.
Penegasan kembali sikap DDII bahwa ia adalah gerakan dakwah Islamiyah
dan menjaga jarak yang sama dengan semua partai-partai politik Islam, dilakukan
dalam menyikapi munculnya banyak partai Islam dan telah terpencamya para
pengurus DDII sendiri ke berbagai partai tersebut.67 Hussein Umar dan A. M.
Saefuddin, misalnya, telah aktif dan menjadi anggota DPR dari PPP. Sementara
Amien Rais, A. M. Luthfi, dan Tamsil Linrung adalah pengurus Partai Amanat
Nasional (PAN). Yusril Ihza Mahendra, Hartono Mardjono, Ahmad Sumargono, dan
lainnya mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Demikian pula orang-orang yang
selama ini dikenal memiliki hubungan dekat dengan DDII, telah pula mendirikan
atau aktif di partai-partai lainnya. Ridwan Saidi, misalnya, mendirikan Partai
Masyumi Baru. Mawardi Noer dan Abdullah Hehamahua mendirikan Partai Politik
Islam Indonesia Masyumi.68 Sementara pengurus DDII sendiri banyak menjadi
fungsionaris PBB. Pada umumnya, keluarga besar DDII memang menyalurkan
aspirasi politik mereka ke PBB.69
Seruan DDII Pusat tanggal 23 Nopember 1998 dibuka dengan menyitir
beberapa ayat Alquran. Pertama, QS. Al-Hujurat [6], 49: “Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang-orang yang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.” Kedua, dilanjutkan dengan kutipan ayat Alquran lainnya dari
surat al-Qashash [28], 77: “...dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”70

66
Jumat, 16 Oktober 1998, umat Hindu yang tergabung dalam Aksi Umat
Menggugat (AUM) menggelar demonstrasi di DPRD dan Polda Bali. Aksi yang sama juga
digelar oleh Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) Nusa Tenggara Barat
di Mataram. Mereka menuntut agar A. M. Saefuddin dipecat sebagai menteri dan
perbuatannya yang telah melecehkan agama Hindu diproses secara hukum di pengadilan.
Lihat Bali Pos, Sabtu, 17 Oktober 1998.
67
Kata Yudi Latif, “With this severe internal fragmentation, Muslim politics faced
serious difficulties in mobilising political resources and support.” Lihat Yudi Latif, The
Muslim Intelligentsia…, h. 443.
68
Bernhard Platzdasch. Islamism in Indonesia: Politics in the Ermerging
Democracy (Singapore: ISEAS, 2009), h. 67.
69
Persatuan Islam (Persis) sebagai organisasi yang berafiliasi dengan DDII,
misalnya, menyalurkan aspirasi politik jamaahnya pada PBB. Lihat Tiar Anwar Bachtiar dan
Pepen Irpan Fauzan. Sejarah Pemikiran dan Gerakan Politik Persis (Bandung: Persis Pers,
2019), h. 305-306.
70
Dalam suasana meluasnya kebebasan dan hak-hak politik rakyat di satu sisi dan
menyurutnya kesadaran akan kewajiban di sisi lain, serta melemahnya pemerintahan seiring
dengan terjadinya desakralisasi kekuasaan, pihak keamanan sepertinya tidak bisa berbuat
banyak untuk mengatasi keadaan. Masyarakat menjadi rentan terhadap hasutan, adu domba,
dan isu-isu negatif lainnya. Masyarakat tak obahnya bagai rumput kering yang mudah disulut
dan dibakar dengan sedikit saja percikan api. Dalam suasana seperti inilah, DDII memandang
perlu mengeluarkan seruan untuk mengingatkan semua pihak agar tidak mudah termakan isu

190
Euforia reformasi telah membuat sebagian anggota masyarakat melampiaskan
kejengekelan dan kemarahannya secara tak terkendali dan tanpa mau tahu resiko apa
yang bakal terjadi.71
Oleh karena itu, DDII menyerukan kepada seluruh jamaah, umat Islam dan
masyarakat pada umumnya untuk: pertama, menghindarkan diri, menjauhi dan tidak
terlibat dalam perbuatan-perbuatan anarki yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab, seperti menjarah, membakar dan melakukan berbagai
kerusuhan yang tidak jarang menimbulkan korban sia-sia yang tidak bersalah;
Kedua, menyerukan kepada umat Islam khususnya dan umat beragama umumnya
agar selalu waspada terhadap berbagai usaha adu domba, hasutan-hasutan dan isu-
isu yang bertujuan memecah-belah umat beragama, pertentangan suku, ras, dan
antargolongan (SARA);72 dan ketiga, menghimbau seluruh umat Islam agar
memperkuat ukhuwwah lslamiyah dan dalam suasana prihatin dan penuh fitnah
(ujian) ini lebih mendekatkan diri kepada Allah. Menghimbau seluruh potensi
bangsa untuk memelihara saling pengertian, toleransi, kerjasama dan memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa.
Seruan ini pada intinya merupakan respons DDII terhadap situasi dan
kondisi bangsa Indonesia pascareformasi. Seperti diketahui bahwa reformasi pada
hakikatnya merupakan proses perubahan atau perombakan sistem nilai dan tatanan
lama yang dianggap keliru. Jadi, dalam kerangka ini, bagi DDII, reformasi
sebenarnya memiliki makna hakiki yang positif.
Di ujung usia senjanya itu, Anwar Harjono masih menyempatkan mengikuti
kegiatan-kegiatan DDII. Kegiatan itu—yang ternyata partisipasi terakhir Anwar
Harjono dalam kegiatan DDII—berupa Silaturahim Nasional DDII diselenggarakan
pada 1-2 Nopember 1998 yang acara pembukaannya diresmikan Presiden B. J.
Habibie di Istana Negara. Sehari setelah itu, Harjono juga turut mensponsori
kegiatan Kongres Umat Islam Indonesia (KUIT) III pada 3-7 Nopember di Jakarta.
Usia yang sudah sepuh serta penyakit yang dideritanya, membuat Harjono tidak bisa
berbuat lebih banyak untuk DDII pada saat yang krusial itu. Pada pertengahan
Desember 1998, ia dilarikan ke rumah sakit. Setelah sempat dirawat selama dua
bulan di Rumah Sakit Islam Jakarta, Harjono meninggal dunia pada 16 Februari
1999 dalam usia 75 tahun.73

dengan cara menyaring secara selektif semua informasi yang diperoleh (QS. al-Hujurat [49]:
6), di samping ajakan agar tidak melakukan sesuatu yang merusak dan memperkeruh suasana
(QS. Al-Qashash [28]: 77).
71
Fenomena ini sebagai dampak kesenjanagan sosial-ekonomi dan ketidaksenangan
pada aparatur pemerintahan. Lihat Eef Saefulloh Fatah. Zaman Kesempatan…, h. 230.
72
Bandingkan dengan pernyataan Eef Saefulloh Fatah: “konflik-konflik berbau sara
belakangan—terlepas ada atau tidak ada dan siapa pun yang merekayasanya—sebetulnya
merupakan fenomena ledakan partisipasi politik di kalangan Islam.” Lihat Eef Saefulloh
Fatah. Zaman Kesempatan…, h. 255.
73
“Selamat Jalan Pak Anwar,” Media Dakwah, Dzulqa‟dah 1419/Maret 1999, h. 14;
M. Fuad Nasar, “Meneladani Kearifan Seorang Pemimpin Umat: Kenangan atas Dr. H.
Anwar Harjono,” Media Dakwah, Dzulqa‟dah 1419/Maret 1999, h. 15.

191
2. Periode Affandi Ridhwan-Hussein Umar (1999-2004): Kevakuman di
Jajaran Ketua dan Peran Sentral Sekretaris Umum
Setelah Anwar Harjono wafat pada 23 Februari 1999, Pimpinan Harian DDII
mengadakan rapat pimpinan di gedung DDII Kebun Jeruk, Jakarta, untuk
membicarakan kepemimpinan DDII pasca-Anwar Harjono. Rapat Pimpinan Harian
sepakat menunjuk Affandi Ridhwan yang telah menjadi pengurus sejak periode
kolektif tahun 1993 sebagai Pejabat Ketua Umum.74 Rapat juga memutuskan
mengangkat Tamsil Linrung yang semula menduduki posisi jabatan wakil bendahara
menjadi Bendahara menggantikan Mohammad Nazif, yang non-aktif karena
diangkat sebagai Direktur Utama (Dirut) PT. Telkom. Posisi Wakil Bendahara
sendiri dibiarkan kosong menunggu sampai terselenggaranya Musyawarah Besar
(Mubes) III DDII.75
Pada periode ini, tidak terdapat penambahan anggota pengurus baru, karena
menurut rencana Mubes III akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Demikian
pula permohonan pengunduran diri Affandi Ridhwan sebagai pejabat Ketua Umum,
karena alasan kesehatan disepakati untuk ditangguhkan dulu. Tetapi berbagai
kendala, pengaruh-pengaruh eksternal yang turut mempengaruhi kondisi internal
DDII, telah membuat pelaksanaan Mubes III masih juga tertunda. Euforia Reformasi
yang telah memicu kemunculan partai-partai politik, termasuk partai-partai Islam
telah menyeret sebagian pengurus DDII terlibat dan terjun ke kancah politik praktis
tingkat nasional. Bahkan sampai Affandi Ridhwan wafat pada 18 Desember 2003,
Mubes III masih juga belum dapat terlaksana.76 Itu artinya, pelaksanaan Mubes III
DDII telah tertunda selama lebih dari empat tahun.

74
H. Afandi Ridhwan lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, pada 26 Juni
1922 dan wafat di Bandung pada 24 Syawal 1424 bertepatan dengan 18 Desember 2003.
Sejak belia, ia aktif dalam gerakan pemuda di kampung halamannya, sehingga pada 1947-
1949 turut bergabung dalam Lasykar Hizbullah untuk berjuang mengangkat senjata melawan
Belanda di daerah Bandung. Dia juga aktif di GPII dan Partai Masyumi Wilayah Jawa Barat.
Selain itu aktif juga di dalam organisasi yang menjadi anggota istimewa Masyumi, Persatuan
Ummat Islam (PUI). Sesudah pengakuan kedaulatan, menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Sementara Provinsi Jawa Barat. Di zaman Orde Baru, Afandi
menjadi pengurus DDII Perwkailan Jawa Barat. Disamping itu, ia juga tercatat bersama K.H.
E.Z. Muttaqien (1925-1985) dan K.H.M. Rusjad Nurdin sebagai pendiri Universitas Islam
Bandung (Unisba). Ia juga menjadi pembina Masjid Salman ITB. Pada tahun 1991, ia terpilih
menjadi Ketua Umum Pengurus Besar PUI yang dijabatnya sampai tahun 1995. Setelah itu,
Afandi menjadi penasihat PUI. Pada Musyawarah Besar (Mubes) Dewan Da'wah di Wisma
PHI Cempaka Putih, Afandi diminta aktif di Dewan Da‟wah Pusat untuk mendampingi
Anwar Harjono. Ketika Anwar Harjono meninggal dunia pada 16 Februari 1999, Afandi
dikukuhkan menjadi Ketua Umum Dewan Da'wah. Sebagai Ketua Dewan Da‟wah, Afandi
ditunjuk dan diangkat oleh Presiden BJ Habibie menjadi anggota MPR-RI periode 1999-
2004 mewakili Utusan Golongan. Lihat “Afandi Ridhwan: Pejuang yang Dermawan,” dalam
Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Jakarta:
DDII, 2018), h. 179-186.
75
A. M. Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan
Dakwah…, h. 6.
76
Mas‟adi Sulthani, “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah…,” h. 139.

192
Kondisi kesehatan personil di jajaran ketua lainnya, seperti Prof. Dr. H. M.
Rasjidi, K.H. M. Rusjad Noerdin, dan Mohammad Solaeman yang menurun karena
usia lanjut, membuat pergerakan dan aktifitas organisasi melemah. Apalagi dengan
wafatnya Hartono Mardjono secara mendadak di Ujung Pandang pada 15 Juni
2003,77 praktis tinggal tiga personil ketua saja yang yang dapat aktif; H.M. Cholil
Badawi, A.M. Luthfi, dan A.M. Saefuddin. Belakangan, H.M. Cholil Badawi yang
mengakhiri tugasnya sebagai Wakil Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung)
menggantikan Hartono Mardjono, pindah domisili ke kampungnya, Magelang.
Sementara A.M. Luthfi dan A.M. Saefuddin terpilih pula sebagai Anggota
DPR/MPR periode 1999-2004 dan Anggota Badan Pekerja MPR RI yang tengah
melaksanakan amandemen konstitusi. Pada akhirnya jajaran ketua praktis vakum,
setelah secara beruntun keempat orang ketua wafat, masing-masing; Prof. Dr. H.M.
Rasjidi (w. 30 Januari 2001), K.H. M. Rusjad Noerdin (w. 31 Maret 2002), K.H.
Affandi Ridhwan (w. 18 Desember 2003), dan Mohammad Solaeman (w. 03 April
2004).78
Secara eksternal, masyarakat tidak terlalu merasakan kevakuman di jajaran
ketua DDII tersebut. Karena paling tidak, Hussein Umar yang menjabat sebagai
Sekretaris Umum, dibantu oleh para sekretaris dan kepala-kepala biro yang ada,
mampu mengambil alih peran kepemimpinan dan menggerakkan roda organisasi,
sehingga “suara” DDII masih nyaring terdengar. Karena itu, secara de facto, Hussein
Umar lah sesungguhnya yang menjadi motor penggerak utama DDII pada periode
ini.79 Sebagaimana kesaksian Mas‟adi Sulthani, Sekretaris DDII pusat, menjelaskan:
Masyarakat tidak terlalu merasakan betul “kevakuman” di jajaran ketua tersebut,
karena “suara” dan “citra” Dewan Dakwah dilaksanakan sepenuhnya oleh
Sekretaris Umum H. Hussein Umar fungsionaris yang paling senior dengan
dibantu oleh para Sekretaris dan Kepala-kepala Biro yang ada.80
Akan tetapi secara internal, tidak dapat dipungkiri kalau kevakuman pada
jajaran ketua tersebut ternyata sangat berpengaruh terhadap jalannya system
manajemen organisasi, terutama manajemen keuangan yang berdampak serius
terhadap pengelolaan keuangan lembaga. Karena di saat yang sama DDII sedang
melaksanakan pembangunan gedung Menara Dakwah setinggi delapan (8) lantai dan
percobaan-percobaan investasi pada usaha-usaha baru. Menurut A. M. Luthfie,
kevakuman pada jajaran ketua tersebut berdampak pada hilangnya asas musyawarah
dan amanah pada sebagian pengurus.81 Oleh karena itu, kemudian disepakati untuk
membentuk Tim Lima, yang diketuai oleh Muhammad Cholil Badawi dengan Abdul
Wahid Alwi sebagai sekretaris, serta Mohammad Shiddiq, Ahmad Fauzi Natsir, dan
Ma‟mun Daud; masing-masing sebagai anggota.82

77
Mas‟adi Sulthani, “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah…,” h. 139.
78
A. M. Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan
Dakwah…, h. 6-7.
79
Amin, Sikap Politik…, h. 166.
80
Mas‟adi Sulthani, “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah…,” h. 139.
81
A. M. Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan
Dakwah…, h. 7.
82
Berdasarkan latar belakang masing-masing, mereka dipandang cakap dan
memiliki kompetensi untuk mengatasi masalah tersebut. Cholil Badawi, mantan anggota

193
Di sisi lain, tampaknya hingar-bingar dunia perpolitikan di tanah air pada
tahun-tahun tersebut, sehubungan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum dan
Pemilihan Presiden Langsung, sedikit banyaknya juga telah menyebabkan
terundurnya pelaksanaan Muhes III yang sudah lama direncanakan. Hal yang
demikian nampaknya memang menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Seiring
dengan menjamurnya pertumbuhan partai-partai politik di tanah air, sebagian
pengurus DDII juga terlibat menjadi aktifis di berbagai partai. Sebagian mereka aktif
di Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat
Nasional (PAN), dan lain-lain. Kondisi ini dikeluhkan di antaranya oleh Hasanuddin
Dt. Raja Angek, pengurus paling senior yang masih hidup waktu itu, bahwa
pengurus DDII pasca-Natsir banyak yang terjun ke dunia politik praktis, sehingga
tidak punya waktu lagi untuk memikirkan DDII. Karenanya Rajo Angek
mengusulkan agar pengurus DDII tidak boleh rangkap jabatan di partai politik,
walaupun harus tetap menjalin kerja sama dengan orang-orang partai, khususnya
partai Islam.83
Berkenaan dengan Pemilu 1999,84 DDII di bawah duet kepemimpinan
Affandi Ridwan-Hussein Umar menghimbau kepada segenap anak bangsa agar tetap
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Kemudian semua pihak juga dihimbau agar berusaha
mewujudkan tegaknya kedaulatan rakyat dan Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Selanjutnya, khusus kepada umat Islam DDII menghimbau agar senantiasa
menggalang ukhuwah Islamiyah, menjauhi prasangka dan fitnah dan saring
menghujat di antara sesama muslim.
Sehubungan dengan maraknya partai-partai politik Islam atau berbasis
massa Islam, DDII menyerukan agar maslahat umat dijadikan sebagai pertimbangan
utama dalam melakukan ijtihad politik, karena politik dan partai politik adalah
instrumen gerakan dakwah dan bukan sebaliknya. Kemudian DDII memandang
bahwa hasil Pemilu 1999 sangat menentukan peran dan posisi umat Islam dalam
kancah dan konstelasi politik nasional. Karena itu, DDII mengingatkan agar umat
Islam dalam Pemilu 1999 memilih partai-partai politik Islam yang benar-benar

DPA, adalah orang yang dihormati di kalangan DDII. Sementara A. Wahid Alwi adalah
orang lama dan mengenal DDII dan karakter orang-orangnya dengan baik. Adapun anggota
lainnya; Mohammad Shiddiq berlatar belakang professional bekerja di IDB (Islamic
Development Bank), Ahmad Fauzi Natsir adalah orang lnspektorat Departemen Perdagangan,
dan Ma‟mun Daud adalah seorang akuntan publik. Namun tetap saja Tim Lima tersebut
gagal menyelesaikan tugas dan memenuhi hasil sesuai dengan yang diharapkan. Lihat A. M.
Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan Dakwah..., h. 7.
83
Amin, Sikap Politik…, h. 167.
84
Pada periode awal reformasi, menjelang Pemilu 1999, terdapat surat-surat
pernyataan politik DDII mencakup; a) “Press Release” tanggal 3 Maret 1999 ditandatangani
oleh Mas‟adi Sulthani (Sekretaris); b) “Pernyataan dan Himbauan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia berkenaan dengan Pemilihan Umum” tanggal 5 Mei 1999 ditandatangani oleh
Affandi Ridhwan (Pj. Ketua Umum) dan Hussein Umar (Sekretaris Umum); dan c) “Seruan”
tanggal 1 Juni 1999 ditandatangani oleh Affandi Ridhwan (Pj. Ketua Umum) dan Hussein
Umar (Sekretaris Umum).

194
istiqamah memperjuangkan aspirasi Islam dan umat Islam. Pemilu mengandung
makna jihad fi sabilillah.85
Berkenaan dengan himbauan DDII ini, beberapa hal dapat dijadikan catatan.
Pertama, himbauan itu dikeluarkan pada saat masyarakat masih menikmati masa-
masa euforia reformasi yang kadangkala lepas kendali. Partai-partai politik,
termasuk partai-partai Islam atau yang berbasis massa Islam, muncul dan tumbuh
ibarat cendawan di musim hujan. Tak urung hal itu sempat menimbulkan pertanyaan
dan kebingungan umat. Karena itu, DDII kemudian menyatakan diri sebagai
lembaga yang menjaga jarak yang sama dengan semua partai-partai politik Islam dan
menempatkan dirinya sebagai perekat umat. Sikap tersebut, mau atau tidak mau serta
suka atau tidak suka, harus diambil DDII. Sebab jamaah dan keluarga besar DDII
sendiri, atau yang dulunya menyebut diri sebagai keluarga Bulan Bintang, telah
terpencar-pencar di berbagai partai dan ikut serta mendirikan partai-partai itu.
Karena itulah kemudian DDII menyerukan agar ada upaya untuk menyamakan
persepsi, visi dan aksi politik umat dan menjadikan maslahat umat sebagai
pertimbangan utama dalam melakukan ijtihad politik.
Kedua, himbauan itu dikeluarkan di tengah menanjaknya ketokohan
Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai
kekuatan baru di jagad perpolitikan Indonesia. Citra Megawati sebagai wanita
bersahaja yang teraniaya dan pembela rakyat kecil (wong cilik), telah mampu
menarik simpati massa arus bawah di tingkat akar rumput (grass root) pada diri dan
partainya. Melihat gegap gempitanya dukungan massa dan maraknya iklan PDIP di
televisi swasta nasional, tidak berlebihan kalau kemenangan Megawati dan PDIP-
nya pada Pemilu 1999 hanya tinggal menunggu waktu. Tetapi, di saat popularitas
Megawati dan PDIP yang tengah menanjak itu, beredar gambar Megawati yang
sedang sembahyang di sebuah pura Hindu Bali. Kemudian tersebar pula berita kalau
65% calon anggota legislatif (Caleg) dari PDlP ternyata non-Muslim. Berita tersebut
segera menyulut kontroversi dan perbincangan hangat di masyarakat. Pada satu sisi,
ke-Islaman dan keberagamaan Megawati disorot dan dipertanyakan. Pada sisi lain,
PDIP dianggap tidak saja telah bertindak tidak proporsional, tetapi juga melakukan
peminggiran terhadap Caleg-caleg Muslim.86
Di saat seperti inilah, DDII mengeluarkan himbauannya agar umat Islam
memilih partai-partai politik Islam yang benar-benar istiqamah memperjuangkan
aspirasi Islam dan umat Islam. Himbauan ini pun kemudian diiringi dengan Seruan
DDII tertanggal 1 Juni 1999 yang berisi himbauan yang sama. 87 Himbauan DDII ini,

85
Untuk mendukung himbauannya agar memilih partai-partai Islam, DDII
mengemukakan beberapa ayat Alquran yang terkait dengan atau setidaknya menurut mereka,
dapat diintrerpretasikan sebagai larangan memilih orang dari kalangan luar Islam atau orang
yang menjadikan Islam sebagai ejekan dan permainan menjadi pemimpin. Ayat-ayat tersebut
antara lain: misalnya; Q.S. An-Nisa' (3): 114; Q.S. Ali lmran (3): 118; Q.S. Al-Maidah (5):
57; Q.S. Al-An'am (6): 153; dan Q.S. Al-Mujadalah (58): 22. Lihat DDII, “Pernyataan dan
Himbauan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Berkenaan Dengan Pemilihan Umum,”
Jakarta, 5 Mei 1999, dokumen, tidak diterbitkan.
86
“Dominasi Non-Muslim di PDI Mega,” Media Dakwah, (Shafar 1420 H/ Juni
1999 M), h. 42-44.
87
Lihat, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, “Seruan !!!”, Jakarta, 1 Juni 1999.

195
walau tidak menyebut PDIP, tampak sekali ditujukan agar umat Islam tidak memilih
PDIP.88 Himbauan yang sama juga dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat, Forum Silaturrahmi Ulama, Habaib, tokoh Masyarakat Islam, serta Pengurus
YPI Al-Azhar.89
Sampai berakhirnya periode Affandi Ridhwan, program bidang ekonomi
DDII belum dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Badan Usaha yang
dibentuk dan diharapkan dapat membiayai atau memberi sumbangan terhadap
kegiatan operasional DDII masih belum terkelola dengan baik dan professional.
Sehingga Badan Usaha tersebut belum dapat menghasilkan keuntungan yang
berarti.90 Dalam bidang organisasi, dihasilkan hal-hal yang menyangkut dengan
bentuk, pemberdayaan dan konstitusi lembaga.91

3. Periode M. Cholil Badawi-Hussein Umar 2004-2005: Era


Ketidakstabilan Menuju Mubes III DDII
Menyadari bahwa kepengurusan DDII yang definitif amat mendesak untuk
dibentuk, maka pada 11 Agustus 2004 diadakan rapat pleno lengkap pengurus DDII
Pusat. Rapat Pleno berhasil menyepakati dan memutuskan tiga hal sebagai berikut:
pertama, menunjuk M. Cholil Badawi sebagai Ketua Umum DDII, menggantikan
Affandi Ridwan; kedua, memberikan kewenangan kepada M. Cholil Badawi untuk
melengkapi dan menyempurnakan personalia kepengurusan; dan ketiga,
mempersiapkan MUBES III DDII paling lambat dalam waktu satu tahun terhitung
dari tanggal 11 Agustus 2004.
Chalil Badawi sebenarnya bukan orang baru di DDII. Mantan Wakil Ketua
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) era Sudomo (1992-1997) ini telah terlibat di
kepengurusan DDII sejak periode Anwar Harjono (1997-1999).92 Pada masa
remajanya, Cholil adalah aktifis Pelajar Islam Indonesia (Pll) di kota kelahirannya
Magelang.93 PII, dan juga GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), walaupun bukan
underbow dan tidak punya hubungan secara organisatoris dengan Masyumi, tetapi
sering disebut-sebut sebagai “Masyumi celana pendek.” Suatu ungkapan yang
mengindikasikan kedekatan ideologis dua organisasi pelajar dan pemuda Islam
tersebut dengan Masyumi. Di kota ini pula, Cholil meniti jenjang karir politiknya
sebagai ketua Masyumi Cabang Magelang. Kemudian, tokoh yang disebut-sebut

88
“PDI Dengan Dua Tokoh Nasrani Saja Forum DPR/MPR-RI Porak Poranda,”
Media Dakwah, (Rabiul Akhir 1420 H/ Agustus 1999 M), h. 42.
89
“Himbauan Kepada Kaum Muslimin,” Media Dakwah, (Shafar 1420 H/ Juni 1999
M), h. 19.
90
Laporan Pengurus Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia, Jakarta: Juli 1998-Juli
2005. Buku I, h. 13.
91
Laporan Pengurus DDII…, h. 15.
92
Lihat, “Susunan Pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Periode
Kepemimpinan Dr. H. Anwar Harjono, S.H.,” dalam Laporan Pengurus Dewan Dakwah
Buku I…, h. 3-4.
93
Lihat, “Drs. Cholil Badawi: Kerja Politik Itu Ibadah,” dalam Media Dakwah, No.
242 Shafar 1415/Agustus 1994, h. 55.

196
sebagai kadernya Prawoto Mangkusasmito itu, juga sempat duduk di jajaran anggota
pimpinan Masyumi Propinsi Jawa Tengah.94
Peran Cholil Badawi yang patut dicatat adalah ketika Masyumi telah
membubarkan diri dan Prawoto memintanya untuk “membina” dan menyampaikan
dakwah kepada para taruna AMN (Akademi Militer Nasional) Magelang.
Permintaan Prawoto tersebut dijalankannya dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.
Beberapa nama yang termasuk sebagai para taruna binaannya, antara lain; Fachrul
Rozi, Kivlan Zen, Adityawarman, Samsul Maarif, Muchdi PR, Sjafrie Sjamsoeddin,
dan Abdul Rahman Gaffar. Pada tahun 1990-an, para mantan taruna tersebut
kemudian dikenal sebagai perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
Muslim pro aspirasi Islam atau “ABRI hijau” yang sering diperhadapkan dengan
“ABRI merah-putih.”95
Setelah Masyumi bubar, dan sesuai dengan kebijakan penyederhanaan partai
politik Orde Baru, empat partai Islam (NU, MI, PSII dan Perti) berfusi menjadi
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Alumni fakultas sosial politik Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini bergabung dengan partai yang waktu itu masih
berlambang ka'bah. Cholil kemudian menjadi anggota DPR dari PPP selama tiga
periode (1971-1977, 1977-1982 dan 1982-1987). Cholil diminta menjadi anggota
DPR untuk periode keempat, namun ia menolak.
Di PPP, Cholil pernah duduk sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai
(MPP) periode Ismail Hasan Metarium (1989-1994).96 Pada tahun 1992, melalui
PPP, Cholil diangkat menjadi anggota MPR. Belum lama di MPR, Cholil diangkat
menjadi anggota DPA untuk kemudian dipilih menjadi Wakil Ketua DPA periode
1992-1998. Sebagai Wakil Ketua DPA di era akhir Orde Baru, Cholil termasuk salah
seorang dari sembilan tokoh nasional yang diundang ke Istana Negara untuk
membicarakan langkah-langkah yang harus diambil untuk merespons tuntutan
reformasi, termasuk kemungkinan Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya.97
Cholil turut bergabung dalam kepengurusan DDII pusat sejak tahun 1997,
pada era kepemimpinan Anwar Harjono—yang merupakan seniornya di Masyumi.
Lukman Hakiem menjelaskan:
Kiprah politik Cholil di Senayan memberi berkah tersendiri bagi Dewan
Da‟wah. Cholil mulai dekat dengan Dewan Da‟wah saat tinggal di Jakarta.
Sesudah Ketua Dewan Da‟wah periode 1999-2004, K.H. Afandi Ridhwan,
wafat, Cholil diminta memimpin Dewan Da‟wah. Cholil bersedia mengemban
amanah itu dengan catatan dia hanya bersedia menjadi ketua sampai

94
Lihat Lukman Hakiem. “M. Cholil Badawi: Dewan Da‟wah Harus Mengevaluasi
Diri,” dalam Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 189-190.
95
Istilah “ABRI hijau” dan “ABRl merah-putih” muncul pada tahun 1990-an.
Julukan “ABRI hijau” ditujukan kepada para perwira muslim yang taat menjalankan ritual
agama sehari- hari, berani memperlihatkan identitas keislamannya dan pro terhadap aspirasi
umat Islam. Sedangkan istilah “ABRI merah-putih” ditujukan kepada perwira yang “lebih
setia” kepada saptamarga dan sumpah prajurit. Lihat Lihat Yudi Latif. The Muslim
Intelligentsia…, h. 401.
96
Amin, Sikap Politik…, h. 168.
97
Lukman Hakiem. “M. Cholil Badawi: Dewan Da‟wah…,” h. 191.

197
terselenggaranya Musyawarah Besar Dewan Da‟wah yang akan segera
diselenggarakan.98
Sesuai dengan amanat pleno dan seiring dengan semakin kompleksnya
masalah-masalah yang dihadapi DDII, maka Cholil Badawi dan pengurus lainnya
mengadakan beberapa kali pertemuan yang bertujuan untuk melakukan penyegaran
kepengurusan. Dari beberapa kali pertemuan tersebut dihasilkan susunan
kepengurusan yang terdiri dari Ketua Umum dan (7) tujuh jajaran ketua, Sekretaris
Umum dan 4 (empat) jajaran Sekretaris, Bendahara Umum dan Bendahara, serta 30
(tiga puluh) anggota pleno.99 Kepengurusan periode ini memasukkan nama-nama
baru di pengurus harian, yaitu: Mohammad Siddik (Ketua), Didin Hafidhuddin
(Ketua), Ahmad Khalil Ridwan (Ketua), Yahya Abdul Muhaimin (Ketua), Muzayyin
Abdul Wahab (Sekretaris), Edy Setiawan (Bendahara Umum), dan Irmawati Jauhari
(Bendahara). Sementara, jumlah anggota pleno berkurang dari 40 anggota pada
periode sebelumnya menjadi 30 anggota.100
Kepengurusan periode Cholil Badawi yang hanya berumur satu tahun
tampaknya lebih sebagai kepengurusan transisi. Kendatipun demikian patut dicatat
bahwa kepengurusan singkat ini, sesuai dengan amanat diembankan kepadanya,
telah berhasil mengantarkan DDII melaksanakan Mubes III pada 22-24 Agustus
2005 di wisma Jaya Raya, Cipayung, Bogor. Mubes III DDII berlangsung meriah
dan dihadiri oleh hampir segenap pengurus DDII Pusat dan delegasi dari seluruh
daerah perwakilan. Agenda yang sudah beberapa kali tertunda dan lama ditunggu-
tunggu itu mendapat cukup perhatian dari pengurus dan simpatisan DDII di seluruh
Indonesia.101
Persoalan status DDII apakah akan tetap sebagai yayasan atau akan berubah
menjadi Ormas, adalah satu di antara wacana yang kembali berkembang dalam
Mubes. Persoalan tersebut, di samping memang merupakan salah satu di antara
keputusan Mubes II 1998, juga selama ini dianggap sebagai penyebab mandegnya
kaderisasi kepemimpinan DDII di tingkat pusat dan daerah. Mulanya diprediksi
kalau pembahasan mengenai bentuk organisasi itu akan berjalan alot dan menyita
banyak waktu. Tetapi seperti ternyata kemudian, pembahasannya berjalan mulus dan
para peserta tanpa banyak tanya dan interupsi menyetujui keputusan DDII tetap
berbentuk yayasan. Kelihatannya, pengaruh Hussein Umar sebagai pimpinan sidang
pleno dalam sesi itu patut dipertimbangkan. Senioritas dan ketokohannya di mata

98
Lukman Hakiem. “M. Cholil Badawi: Dewan Da‟wah…,” h. 192.
99
A. M. Luthfi dan Mas‟adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan
Dakwah, h. 7-8.
100
Lihat, “Susunan Pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Periode
Kepemimpinan Bapak Drs. H. Mohammad Cholil Badawi (Penyegaran Kepengurusan Tahun
2004-2005),” dalam Laporan Pengurus Dewan Dakwah …, h. 6-7.
101
Acara pembukaan Mubes yang dilangsungkan di kantor DDII Pusat Kramat Raya
45 dihadiri tidak kurang dari 2000-an jamaah dan simpatisan DDII. Beberapa tokoh juga
tampak hadir antara lain; mantan Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama Anton Timur
Djaelani, mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, mantan Menteri Pendidikan Nasional
Yahya Muhaimin, penyair dan budayawan Taufiq Ismail, mantan Wakil Ketua MPR Nazri
Adlani, Menteri Kehutanan M. S. Kaban, cendekiawan Fuad Amsyari, dan lain-lain.
Selanjutnya sidang-sidang Mubes dilangsungkan di Wisma Jaya Raya, Bogor.

198
sebagian peserta Mubes yang terdiri dari para yuniornya di PII dulu masih tertanam
kuat.102 Sehingga ketika ia menyatakan dan mengetuk palu bahwa DDII tetap dalam
bentuk yayasan, tidak seorang pun di antara peserta musyawarah yang
mempertanyakan dasar pertimbangan dan alasan keputusan itu.103
Berikut dikemukakan laporan kegiatan pengurus DDII sebagai realisasi
keputusan Mubes II. Pertama, dalam bidang politik. DDII telah berupaya ke arah
terbentuknya satu partai politik Islam, tetapi cita-cita atau lebih tepatnya obsesi itu,
sebagaimana telah disinggung, belum dapat terwujud. Karenanya dalam menyikapi
berdiri dan maraknya partai-partai Islam, DDII berusaha tetap menjalin komunikasi
dengan berbagai partai tersebut. Kemudian dalam menyikapi kekisruhan yang terjadi
pascareformasi,104 DDII telah dengan tegas menyatakan sikapnya. DDII telah
berperan dalam proses dukungan terhadap pemerintahan di awal reformasi sehingga
legitimated sebagai Presiden yang sah dan konstitusional berdasarkan pasal 8 UUD
1945 jo TAP MPR No. VI/MPR/1973.105 Tidak berhenti sebatas memberi dukungan,
DDII juga ikut membantu program Pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi
yang sangat dahsyat menimpa masyarakat, dengan mendirikan Komite
Penanggulangan Krisis (Kompak) pada tahun 1998 yang diketuai oleh Tamsil
Linrung—Wakil Bendahara DDII.106
102
Hussein Umar adalah ketua umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB
PII) periode 1969-1971 dan 1971-1973.
103
Padahal, sejatinya, perubahan bentuk lembaga dari yayasan menjadi Ormas
merupakan sesuatu yang betul-betul perlu dipertimbangkan. Para pendiri DDII sendiri
mendirikan lembaga itu dalam bentuk yayasan, karena kondisi waktu itu memang tidak
memungkinkan untuk mendirikan Ormas. Jadi pertimbangannya waktu itu sifatnya memang
kondisional sekali. Sementara di era reformasi, zamannya sudah lain, dan tantangannya pun
sudah berbeda. Sehingga bukan tidak mungkin, kalau perubahan lembaga dari yayasan
menjadi Ormas merupakan langkah yang lebih strategis bagi DDII dalam kiprah dan
perjuangannya ke depan. Di antara tokoh Muslim yang menyodorkan pemikiran tentang
perubahan status DDII dari Yayasan menjadi ormas adalah Yunahar Ilyas, pengurus teras PP
Muhammadiyyah. Lihat Yunahar Ilyas. “Mempertimbangkan Ormas Dewan Dakwah,”
dalam Lukman Hakiem dan M. Noer (ed.). Antara Dakwah dan Politik: Ragam Pendapat
tentang Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia (Jakarta: DDII, 2018), h. 225-240.
104
Keputusan Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dengan
menyerahkan jabatannya kepada wakilnya, B. J. Habibie ternyata menimbulkan polemik di
kalangan politisi dan ilmuwan politik Indonesia. Polemik tersebut pada gilirannya
melahirkan sikap pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Sebagian menerima,
sementara sebagian lainnya menolak keabsahan Habibie sebagai Presiden. Partai politik yang
paling mempersoalkan keabsahan jabatan Habibie sebagai Presiden waktu itu adalah PDI-P
(Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) pimpinan Megawati Soekarno Puteri, dengan juru
bicaranya Prof. Dr. Dimyati Hartono. Dalam konteks inilah, DDII memutuskan untuk
menunjukkan dukungannya pada pemerintahan Habibie. Hefner. Civil Islam…, h. 204-205.
105
Amin. Sikap Politik…, h. 301.
106
Tentang peran Kompak, Hilman Latief menjelaskan: In 1998, DDII launched its
humanitarian wing, the Komite Penanggulangan Krisis (Crisis Prevention Committee,
KOMPAK) as a reaction to the deadly clashes between Muslims and Christians in Poso.
KOMPAK was chaired by Tamsil Limrung, former president of Himpunan Mahasiswa Islam
(the Indonesian Muslim Student Association, HMI-MPO), and its aim was to distribute aid,
partly from the Middle East, to help conflict victims in Ambon, Poso, West Kalimantan, East

199
Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan tuntutan reformasi, DDII telah
mengusulkan kepada pemerintah agar pro-aktif melakukan perubahan perundang-
undangan di bidang politik, terutarna; UU tentang Parpol dan Golkar, UU tentang
Pemilu, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan Anggota DPR/MPR dan DPRD,
dan UU tentang Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Sebagaimana ternyata
kemudian, Pemerintahan pada awal reformasi telah berhasil melakukan perubahan
yang fundamental dalam perundang-undangan di bidang politik tersebut. Terbukti
kemudian dengan terlaksananya Sidang Istimewa MPR RI, berdirinya partai-partai
politik baru, Pemilu yang Luber dan Jurdil, serta terlaksananya otonomi daerah.
Kemudian, demi keadilan dan pelurusan sejarah dan jasa-jasa tokoh Islam kepada
bangsa dan negara, DDII telah mengusulkan kepada Pemerintah agar berkenan
memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh-tokoh Masyumi.107
DDII juga memperjuangkan berlakunya syari'at Islam, yang tercermin dalam
usaha berlakunya syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, melalui kesempatan
amandemen UUD 1945 pada tahun 2002. DDII menyalurkan aspirasinya melalui
partai-partai Islam di DPR, seperti PPP dan PBB. Dalam hal politik global, DDII
tetap berpegang teguh untuk menyuarakan kebenaran dan menentang kedholiman
serta konsisten dengan pandangan bahwa Pemerintah Amerika Serikat bertindak
sewenang-wenang dan mengabaikan hak asasi manusia (HAM) dengan membunuh
puluhan ribu rakyat lrak yang tak berdosa selama pendudukannya di negeri itu.108
Kedua, dalam bidang ekonomi dan sosial. Dalam bidang ini, DDII telah
membentuk badan usaha yang disebut BUMD (Badan Usaha Milik DDII) sebagai
fund-rising bagi keperluan pembiayaan operasional DDII, seperti: PT Hudaya Safari
Travel, percetakan PT Abadi, penerbit dan toko buku Media Dakwah, dan rumah
makan (kerjasama dengan pihak lain). Tetapi ternyata, sebagaimana laporan
pengurus DDII, BUMD tersebut belum dapat memberikan keuntungan kepada
Lembaga sebagaimana yang diharapkan.109 Di samping itu, DDII juga membentuk
Biro Haji dan Umrah, Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZIZ) dan
menggalang dana dakwah dari para muhsinin (donatur). Kemudian DDII juga telah
melaksanakan pendatataan terhadap asset-assetnya di Pusat dan Daerah.110

Timor and Aceh. Lihat Hilman Latief. “Islam and Humanitarian Affairs: The Middle Class
and New Patterns of Social Activism,” dalam Jajat Burhanudin and Kees van Dijk (ed.).
Islam in Indonesia Contrasting Images and Interpretations (Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2013), h. 183-184.
107
Natsir pada akhirnya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada masa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah—fungsionaris PPP
dari faksi Parmusi yang berafiliasi dengan DDII. Lihat Bernhard Platzdasch. Islamism in
Indonesia…, h. 347.
108
Amin. Sikap Politik…, h. 302.
109
Laporan Pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Juli 1998-Juli 2005,
Buku I…, h. 13.
110
Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (Lazis) DDII merupakan lembaga
zakat nasional di bawah naungan DDII berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 4071/2002
tanggal 15 September 2002. Lembaga ini didirikan untuk menghimpun, mengelola dan
mendayagunakan dana yang bersumber dari zakat, infaq dan shadaqah serta donasi
masyarakat lainnya, dalam dan luar negeri. Penyalurannya disesuaikan dengan visi dan misi

200
Peningkatan sarana dakwah dan sosial juga dilakukan, misalnya dengan mendirikan
gedung menara Dakwah 8 lantai di Kramat Raya 45, mendirikan Asrama Yatim,
Klinik Kesehatan, dan Gedung Serba Guna di Tambun, Bekasi.111
Ketiga, dalam bidang organisasi. Di samping tetap berstatus sebagai yayasan
dengan melakukan penyempurnaan terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART), DDII juga telah melakukan konsolidasi organisasi dengan tetap
melakukan kegiatan rutin maupun insidentil guna mempertahankan eksistensi
organisasi di tengah keterpurukan umat menghadapi krisis ekonomi dan politik.
Konsolidasi juga dilakukan dengan memberdayakan sebagian perwakilan propinsi,
terutama perwakilan-perwakilan di wilayah-wilayah yang terkena musibah seperti
Bengkulu, Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. DDII pusat mendorong
kemandirian perwakilan-perwakilan daerah propinsi lainnya yang relatif telah
mapan, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, serta berdirinya perwakilan-perwakilan
baru di daerah kabupaten/kota.112
Sebagai yayasan yang tidak memiliki anggota, maka DDII harus tetap
melakukan kaderisasi internal dalam rangka memelihara kesinambungannya sebagai
gerakan dakwah. Program kaderisasi yang telah dilakukan DDII selama ini adalah
dengan mendirikan Sekolah Tinggi llmu Dakwah (STID) M. Natsir,113 Pusat
Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat), melaksanakan daurah-daurah (training-
training) berkala, dan memberikan rekomendasi kepada para mahasiswa yang ingin
belajar ke luar negeri. DDII juga berupaya mengaktifkan dan mengefektifkan

serta program-program DDII. Lihat, Laporan Lazis DDII, dalam Laporan Pengurus Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia Juli 1998-Juli 2005…, h. 13-14.
111
Gedung Menara Dakwah dimulai pembangunannya pada 1 April 2001. Gedung
delapan lantai dan satu basement itu dibangun di atas tanah seluas 3776 M2 dengan sistem
hibah dan equity dengan perbandingan 60%:40%. Diperkirakan total investasi pembangunan
gedung ini secara keseluruhan adalah Rp. 24.253.612.633,00. Lihat, Laporan Pembangunan
Menara Dakwah, dalam Laporan Pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Juli 1998-
Juli 2005…, h. 6.
112
Laporan Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia, Juli 1998-Juli 2005…, h. 7-8.
113
ST1D M. Natsir merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan yang pemah ada
di lingkungan DDII, seperti Akademi Bahasa Arab (AKBAR) dan program D-2 Lembaga
Pendidikan Dakwah Islam (LPDJ). Berdasarkan keputusan Musyawarah Besar (Mubes) II
DDII pada 12-14 Juli 1998, Program D2 LPDI ditingkatkan menjadi program Strata Satu (S-
1). Pada Juni 1999, LPDI kemudian ditingkatkankan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu
Dakwah (STID) yang secara bertahap nantinya dirancang sebagai cikal bakal Universitas
Islam Mohammad Natsir. STID M. Natsir yang baru punya program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam ini memiliki dua kampus; kampus A di Gedung Menara Dakwah Jl. Kramat
Raya 45 Jakarta, dan kampus B di Pusdiklat DDII Jl. Setia Mekar, Tambun, Bekasi.
Mahasiswa STID di samping pendaftar perorangan juga berasal dari perwakilan-perwakilan
DDII dan lembaga-lembaga dakwah lainnya dari berbagai daerah se-Indonesia. Mereka yang
lulus seleksi masuk mendapat beasiswa dari STID berupa pembebasan biaya kuliah. Lihat,
Laporan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, dalam Laporan Dewan
Dakwah lslamiyah Indonesia, Juli 1998-Juli 2005. Lihat juga Tiar Anwar Bachtiar. Setengah
Abad Dewan Dakwah Berkiprah Mengokohkan NKRI (Jakarta: DDII, 2017), h. 268-272.
Wawancara dengan Dwi Budiman, Ketua STID M. Natsir, Bekasi, 4 April 2019.

201
Majelis Fatwa dengan menempatkannya secara struktural menjadi lembaga otonom
yang langsung di bawah DDII Pusat.114

4. Periode Hussein Umar - A. Wahid Alwi 2005-2007: Stabilisasi


Organisasi
Mubes III DDII menetapkan Hussein Umar dan A. Wahid Alwi masing-
masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum DDII periode 2005-2010.
Beberapa nama-nama juga kembali diangkat menjadi pengurus dalam periode ini.
Mas‟adi Sulthani dan Syuhada Bahri yang periode sebelumnya sebagai Sekretaris
dan anggota pimpinan harian diangkat menjadi ketua. Tiga nama baru yang
sebenarnya telah sejak lama dikenal dekat dengan DDII menduduki jabatan pada
jajaran ketua; Dr. Daud Rasyid, MA, Adian Husaini, MA., dan Asma Faridah Natsir.
Pada era Hussein Umar ini, Amien Rais tidak lagi dimasukkan pada jajaran pengurus
pusat DDII.115
Mubes III juga mengadakan perubahan Anggaran Dasar DDII untuk
disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Dengan perubahan tersebut, Anggaran
Dasar DDII menjadi lebih mencakup dan rinci mengatur berbagai hal yang terkait
dengan yayasan. Struktur kepengurusan lama DDII yang dulu terdiri dari Pengurus
dan Anggota Pleno, dengan perubahan itu, strukturnya menjadi terdiri dari atas;
Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan. Badan Pembina DDII terdiri atas KH
Cholil Badawi (Ketua), A. M. Luthfi (Wakil Ketua) dan KH Nadjih Ahjad (Wakil
Ketua). Badan Pembina kemudian mengangkat susunan Pengawas Yayasan, yaitu:
Dr. H. Saifuddin Bachrun sebagai Ketua Pengawas Yayasan. Adapun para
anggotanya, adalah: H. Zulkifli Hasan, Drs. H. Makmun Dawud dan H. Hardi M.
Arifin.116
Sejak era Natsir, Hussein Umar117 telah dikader di DDII. Posisinya sebagai
Ketua Umum PB PII telah mengantarnya sebagai bagian dari keluarga besar bulan
114
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Dakwah…, h. 273. Wawancara dengan KH.
Teten Romly, Ketua Pusdiklat DDII, Jakarta, 5 April 2019.
115
Lihat, Susunan Badan Pengurus DDII 2002-2010, dalam Akte Notaris Yudo
Paripumo, SH, No. 22, tanggal 22 Februari 2007.
116
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Dakwah…, h. 99-100.
117
Hussein Umar lahir di Kampung Amlapura, Karangasem, Bali, pada 14
Desember 1942 dan wafat di Jakarta pada 19 April 2007. Pendidikan formalnya dimulai dari
Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) pada pagi hari. Siang hari, ia bersekolah di
Madrasah Ibtidaiyah yang didirikan oleh ayahandanya, Umar bin Islam al-Hajri. Setamat SR,
Hussein merantau ke Jember, Jawa Timur. Ia melanjutkan pendidikan di Pendidikan Guru
Agama (PGA) 4 Tahun Jember. Dengan bekal beasiswa, ia melanjutkan pendidikan di
Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Medan, Sumatera Utara. Sambil bersekolah di
PGAA, Hussein bekerja di sekretariat Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Selepas dari
PGAA, ia melanjutkan pendidikan di UISU, di dua fakultas sekaligus: Fakultas Hukum dan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Sejak belia, Hussein sudah aktif dalam berbagai pergerakan Islam. Pada tahun 1950-
an, dia aktif dalam organisasi kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan. Mulai 1960-an,
Hussein aktif di PII. Dia mengikuti training di PII sampai ke jenjang Advance Training.
Ketika diselenggarakan Konferensi Wilayah PII di Kaban Jahe pada 1962, Hussein terpilih

202
bintang. Sebagaimana kesaksian Abdullah Hehamahua, Hussein Umar secara rutin
diikutsertakan dalam forum diskusi di internal DDII sejak tahun 1982. Dalam forum
itulah, Hussein Umar menjalin interaksi yang sangat dekat dengan elite-elite DDII,
seperti HM. Rasjidi, Anwar Harjono, A. M. Luthfi, dan lainnya.118
Oleh karena itu, sejak tahun 1989, Hussein Umar resmi menjadi pengurus
DDII pusat periode akhir kepemimpinan Natsir (1989-1993). Sejak Januari 1995,
Hussein Umar menjabat posisi strategis di DDII, sebagai Sekretaris Umum,
menggantikan Buchari Tamam yang meninggal. Dari mulai periode Anwar Haryono
(1997-1999), Affandi Ridhwan (1999-2004), hingga Cholil Badawi (2004-2005),
jabatan Hussein Umar sebagai Sekretaris Umum DDII tidak pernah tergantikan. 119
Hingga akhirnya menjadi Ketua Umum DDII sejak September 2005.
Sebagai aktivis dakwah yang cukup terkenal, dan hubungannya yang dekat
dengan tokoh-tokoh Masyumi, Hussein mencuri perhatian Ketua Umum DPP PPP
periode 1989-1994 dan 1994-1998, H. Ismail Hasan Metareum. Seusai terpilih untuk
kedua kalinya di Muktamar III, 1994, Buya Ismail mengajak Hussein aktif di DPP
PPP. Tidak hanya memahami posisi Hussein, Buya Ismail bahkan memanfaatkan
pikiran dan kepiwaian dakwah Hussein untuk konsolidasi PPP. Maka pada Pemilu
1997, PPP mengusung Hussein menjadi anggota DPR RI. Hussein menjadi salah
satu juru kampanye nasional andalan PPP, dan berhasil lolos ke Senayan menjadi
anggota DPR RI periode 1997-1999. Lukman Hakiem, junior sekaligus kolega
Hussein di Fraksi PPP di senayan menjelaskan:
Kehadiran Hussein di DPR tidak sia-sia. Pada Sidang Istimewa MPR tahun
1998, Hussein adalah salah seorang vokalis andalan PPP. Hussein dan kawan-
kawan dari Fraksi PPP memperjuangkan penghapusan Ketetapan MPR RI
Nomor II/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4/Eka Prasetya Pancakarsa), dan keharusan berasas tunggal bagi organisasi
sosial dan politik. Hussein adalah juru bicara yang sangat gigih dan fasih di
dalam kedua isu tersebut.120
Ketua Umum pengganti Buya Ismail, H. Hamzah Haz, juga mengapresiasi
prestasi Hussein. Ketika salah seorang Ketua DPP PPP masa bakti 1998-2003
meninggal dunia, Hamzah Haz—dengan persetujuan rapat harian DPP—
mengangkat Hussein menjadi pengganti Ketua DPP PPP. Beberapa waktu kemudian,
Hussein dilantik menjadi anggota DPR RI periode 1999-2004, pengganti antarwaktu.

menjadi Pengurus Wilayah PII Sumatera Utara. Pada 1964, Hussein ditarik ke Jakarta dan
diangkat menjadi Ketua II Pengurus Besar PII periode 1964-1966. Di masa ini, Hussein
sering dikirim ke wilayah-wilayah PII di seluruh Indonesia untuk memberi ceramah pada
training-training PII. Dari sinilah nama Hussein Umar mulai dikenal dan meraih simpati
kader PII. Pada Muktamar PII di Bandung, Agustus 1966, dengan dukungan PII luar Jawa,
Hussein didukung menjadi Ketua Umum. Hussein Umar secara resmi menjadi ketua umum
Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) pada periode 1969-1971 dan 1971-1973.
Lihat Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 197-198.
118
Abdullah Hehamahua. “Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, Mohamad Natsir
dan Masa Depan Umat Islam Indonesia,” dalam Lukman Hakiem dan M. Noer (ed.), Antara
da‘wah dan Politik…, h. 59-60.
119
Mas‟adi Sulthani, “Perjalanan Bersama Dewan Dakwah…,” h. 135-136.
120
Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 202.

203
Hamzah Haz yang kembali terpilih menjadi Ketua Umum, menempatkan Hussein
sebagai salah seorang anggota Majelis Syariah DPP PPP periode 2003-2007.121
Sebagai elite dai-politikus yang malang melintang di tingkat nasional,
Hussein Umar sangat piawai mengelola DDII. Dari sejak 1995 hingga 2005,
mayoritas keputusan dan sikap politik DDII dikonsep dan dirumuskan oleh Hussein
Umar. Sebagai Sekretaris Umum DDII, Hussein menjadi key person dalam proses
mempengaruhi keputusan dan sikap politik DDII baik pada era akhir Orde Baru dan
terutama pada awal Reformasi.122 Bahkan ada beberapa sikap politik DDII yang
dinyatakan sendiri oleh Hussein Umar sebagai Sekretaris Umum.123
Sebuah pernyataan politik yang keras ditunjukkan oleh Hussein menyikapi
gagasan Presiden Abdurrahman Wahid tentang masalah komunisme. Ketika Wahid
diangkat menjadi Presiden—buah kerja sama politik Poros Tengah yang dipimpin
Amien Rais—pada tahun 1999, ia melakukan serangkaian tindakan kontroversial,
terutama dengan gagasannya untuk membatalkan TAP MPR yang melarang
komunisme di Indonesia.124 Tentu saja kelompok dakwah menolaknya dengan keras

121
Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 203.
122
Pada umumnya, surat-surat pernyataan politik DDII baru dikeluarkan dan
disebarluaskan setelah melalui serangkaian pembahasan dalam suatu rapat pimpinan harian.
Sebelum mengeluarkan surat-surat pernyataan politik yang berisi pandangan dan sikap
politiknya terhadap berbagai peristiwa dan kebijakan yang muncul, terlebih dahulu pengurus
harian DDII mengadakan rapat khusus yang membicarakan persoalan tersebut. Kemudian
setelah dicapai kata sepakat mengenai persoalan yang akan disikapi, maka persoalannya
dirumuskan secara bersama. Lihat Amin, Sikap Politik…, h. 182.
123
Di antaranya: a) “Siaran Pers Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia tentang Tap
MPRS No XXV/1966: Bukan Dicabut, Tapi Dikukuhkan” tanggal 06 April 2000
ditandatangani oleh Hussein Umar (Sekretaris Umum); b) “Pernyataan Sikap Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia tentang Dialog dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat”
tanggal 11 Rabiul Akhir 1421/13 Juli 2000 M; c) “Pernyataan Sikap Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia Atas Kebiadaban Israel” tanggal 3 Agustus 2001 ditandatangani oleh
Hussein Umar (Sekretaris Umum); d) “Siaran Pers No. 271/A-Dewan Dakwah/IX/1422
H/2001 M” tanggal 1 September 2001 ditandatangani oleh Hussein Umar (Sekretaris umum);
e) “Pernyataan Sikap Dewan Dakwah Berkenaan Dengan Pernyataan Sikap Pemerintah
tentang Serangan Amerika terhadap Afghanistan” tanggal 10 Oktober 2001 ditandatangani
oleh Hussein Umar (Sekretaris Umum); f) “Siaran Pers: Tindak Tegas Separatis RMS”
tanggal 29 April 2002 ditandatangani oleh Hussein Umar (Sekretaris Umum); G) “Siaran
Pers: Goerge W. Bush Sang Agresor: Dewan Dakwah Mengutuk Serangan Amerika dan
Sekutu ke Irak” tanggal 20 Maret 2003 ditandatangani oleh Hussein Umar (Sekretaris
Umum); dan m) “Tahun Koreksi, Tahun Muhasabah: Pesan Muharram 1425 H Dewan
Dakwah lslamiyah Indonesia” (tanpa tanggal dan tahun) ditandatangani Hussein Umar
(Sekretaris Umum).
124
Wacana HAM dikembangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, bahwa
larangan terhadap PKI dan segala ajarannya di Indonesia bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM) dan demokrasi. Selanjutnya, Abdurrahman Wahid mengharapkan agar
TAP MPRS No..XXV/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI),
pernyataan bahwa PKI adalah organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia, dan larangan terhadap setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan
paham atau ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme, dicabut. Harapan Wahid tersebut
kemudian didukung terutama oleh ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Matori

204
dan menyerang Wahid sebagai dekat dengan kaum komunis, Kristen radikal dan
zionis Israel.125 Hussein sudah wanti-wanti mencurigai Wahid dengan tuduhan
“dekat dengan kaum zionis Israel.”126
Pada tanggal 1 Muharram 1421 H atau bertepatan dengan tanggal 6 April
2000, Hussein Umar sebagai Sekum DDII telah mengeluarkan siaran pers yang
berjudul “TAP MPRS No. XXV/1966: Bukan Dicabut Tetapi Dikukuhkan.” Siaran
pers tersebut merupakan pernyataan sikap politik DDII berkenaan dengan komunis
dan komunisme di Indonesia. Menurutnya, dalam menyikapi komunis dan ajarannya
di Indonesia, harus dilihat dari atau didasarkan pada tiga aspek pandangan; pertama,
aqidah Islamiyah. Menurut DDII, aqidah kaum muslimin harus dipelihara dari
rongrongan aliran, paham, dan ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam,
termasuk komunisme. Karena ideologi atau ajaran komunis itu kufur hukumnya, dan
haram bagi umat Islam menganutnya;127 Kedua, pendekatan empiris. Secara empirik
atau berdasarkan pengalaman sejarah, orang-orang komunis adalah orang-orang
yang membunuh HAM dan demokrasi itu sendiri. PKI telah berulangkali melakukan
pengkhianatan terhadap Republik Indonesia, baik pemberontakan PKI di Madiun
pada 1948, maupun G 30 S PKI pada 1965; Ketiga, konstitusi. Secara konstitusional,
PKI telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan setiap kegiatan yang
dilakukan untuk menyebarkan dan mengembangkan paham atau ajaran komunis
tersebut diancam dan diberi sanksi sebagaimana yang terdapat dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana).128 Atas dasar hal-hal tersebut di atas DDII
menyerukan bahwa: “TAP MPRS No XXV/1966, bukan dicabut, tetapi seharusnya
dikukuhkan kembali oleh MPR dalam sidangnya bulan Agustus 2000.”
Pernyataan sikap DDII mengenai penolakan terhadap pencabutan TAP
MPRS No. XXV tersebut memang terbilang keras. Hal ini dapat dipahami bila
dilihat dari sejarah dan pengalaman traumatis Masjumi berhubungan dengan PKI.
Pimpinan partai Masjumi telah menolak Kerjasama dalam bentuk apapun dengan
PKI setelah pemberontakan kaum Komunis di Madiun pada 1948. Majelis Syura
Masjumi bahkan mengeluarkan fatwa “kufur” terhadap ideologi Komunis. Seorang
Muslim yang menganut paham itu dengan yakin dan sadar tanpa paksaan, demikian

Abdul Jalil, dan salah seorang anggota DPR RI dari Fraksi PKB, Effendie Choirie. Matori
mengatakan: “mau menganut ideologi I slam silahkan, mau nasionalis silahkan, mau
sosial-demokrat silahkan, mau mengembangkan ideologi komunis juga silahkan saja. Itu
namanya berdemokrasi.” Sementara, tokoh-tokoh lainnya, seperti Amien Rais (ketua MPR),
Hamzah Haz (ketua umum Partai Persatuan Pembangunan/PPP), Akbar Tanjung (k etua
umum partai Golkar), dan Hasyim Muzadi (ketua umum PBNU), menolak.” Lihat Amien,
Sikap Politik…, h. 302.
125
Lihat “Gerakan Komunis di Belakang Gus Dur,” Media Da‘wah, Maret 2001, h.
41 dan 47.
126
Lihat Hussein Umar, “Pelajaran Dari Kasus Abdurrahman Wahid,” Media
Da‘wah, Agustus 2001, h. 6-7.
127
Dikutip kembali keputusan Kongres Alim Ulama seluruh Indonesia di
Palembang, 08-11 September 1957 yang memutuskan bahwa ideologi/ajaran Komunisme
hukumnya kufur dan orang yang meyakini kebenaran ajaran Komunis dihukumi kafir.
128
Lihat “Siaran Pers Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia tentang Tap MPRS No
XXV/1966: Bukan Dicabut, Tapi Dikukuhkan” tanggal 06 April 2000 ditandatangani oleh
Hussein Umar (Sekretaris Umum).

205
keputusan fatwa itu, dihukumi sebagai “kafir.”129 Apalagi menurut kalangan DDII,
pembubaran Masjumi dulunya juga adalah hasil konspirasi dari kekuatan-kekuatan
yang pro-PKl.130 Tetapi lebih daripada semuanya itu, seperti telah disinggung, DDII
memang telah sejak awal kelahirannya memerankan diri sebagai benteng moral dan
pengawal akidah umat. Bahkan berdirinya lembaga ini dulunya, dilatarbelakangi
antara lain oleh karena kepedulian dan keprihatinan para pendirinya terhadap
kehidupan keberagamaan umat pasca pemberontakan G.30 S PKI. Saat mana
kegiatan misi kristenisasi, yang dipandang sebagai ancaman terhadap akidah umat,
gencar dilakukan oleh para misionaris.
Melalui kepemimpinan Hussein, DDII bisa membuka akses politik secara
maksimal pada pemerintah dengan memanfaatkan PPP, di samping PBB. Ketika
rekannya di PPP, Bachtiar Chamsyah, diangkat menjadi Menteri Sosial oleh
pasangan Presiden SBY dan Wapres Jususf Kalla pada tahun 2004, Hussein Umar
memanfaatkannya untuk kembali menggolkan founding fathers DDII Natsir sebagai
Pahlawan Nasional. Sebagaimana diketahui sebelumnya, pengusulan Natsir sebagai
pahlawan nasional selalu mentok di Kementerian Sosial. Keberadaan Menteri Sosial
dari PPP faksi Parmusi yang dekat dengan DDII adalah momentumnya. Usaha
Hussein dan elite-elite DDII lainnya pun berhasil. Pada era Mensos Bachtiar
Chamsah, Natsir dikukuhkan menjadi pahlawan nasional.131
Hussein langsung menggerakkan roda organisasi DDII dibantu pimpinan
dan stafnya. Hussein menjabarkan program kerja hasil Mubes, menata struktur
organisasi, dan membentuk bidang-bidang kerja. Hussein pun fokus pada
pengembangan sarana prasarana pendidikan dan unit bisnis. Di era Hussein, DDII
Menyusun proposal pengembangan kampus STID M. Natsir di Bekasi, Perpustakaan
di Menara Dakwah, serta pembangunan gedung bisnis di Jakarta. Namun, takdir
menentukan lain. Baru 17 bulan Hussein menjabat Ketua Umum DDII,
kesehatannya menurun drastis. Hussein Umar wafat pada 19 April 2007.132

5. Periode Syuhada Bahri 2007-2015: Kepemimpinan Elite Dai Juru


Dakwah Murni
Hussein Umar harusnya menjabat Ketua Umum DDII hingga 2010. Namun,
karena ia wafat pada April 2007, ada kekosongan jabatan tersebut. Agar roda
organisasi tetap berjalan, Pembina DDII mengeluarkan SK pengurus baru yang
ditandatangani oleh Drs HM Cholil Badawi sebagai Ketua Badan Pembina DDII

129
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jami‘at-i-Islami (Pakistan), (Jakarta:
Paramadina, 1999), h.142.
130
Laporan pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Juli 1998-Juli 2005,
Mubes III DDII, Dokumen, tidak dipublikasikan, h. 11.
131
Sejak diusulkan pertama kali oleh Ketua Umum MUI KH. Hasan Basri pada
1995, Pemerintah akhirnya memberi gelar pahlawan nasional dan anugerah Bintang
Mahaputera Adipradana kepada mantan perdana menteri Republik Indonesia, Mohammad
Natsir. Penganugerahan gelar pahlawan nasional itu diberikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Jumat 7 November 2008, setahun setelah wafatnya
Hussein Umar. Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 18.
132
Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 206.

206
pada 25 Juni 2007. Pengurus baru yang ditetapkan untuk masa jabatan 2007-2010 itu
adalah Syuhada Bahri yang diangkat menjadi Ketua Umum, Syariful Alamsyah dan
Suwito Suprayogi, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris.133
Syuhada Bahri134 kembali memimpin DDII setelah Mubes tahun 2010
menetapkannya sebagai Ketua Umum untuk periode 2010-2015. Ia didampingi oleh
H. Abdul Wahid Alwi sebagai Wakil Ketua Umum, H. Amlir Syaifa Yasin sebagai
Sekretaris Umum, dan Drs. Edi Setiawan sebagai Bendahara Umum. Pengawas
Yayasan masih tidak berubah personalianya dari periode sebelumnya. Sementara
Badan Pembina diisi oleh dua puluh orang tokoh, di antaranya Prof. A. M.
Saefuddin, A. M. Luthfi, HM. Cholil Badawi, Prof. Didin Hafidhudin, Prof. Yusuf
Amir Faisal, Prof. Yahya A. Muhaimin, Prof. Maman, Prof. Zuhal, Dr. Adian
Husaini, dan lainnya.135
Syuhada Bahri adalah tipe elite dai-juru dakwah murni yang tidak pernah
melibatkan dirinya dalam urusan politik praktis. Dia mulai bergabung dengan DDII
pada tahun 1976. Lukman Hakiem menceritakan pertemuan Syuhada dengan Natsir:
Suatu hari, Syuhada diajak oleh sekretaris pribadi Mohammad Natsir yang juga
ayah angkatnya, Muhammad Said Agustjik, ke kantor Dewan Da'wah. Pada
1972, ketika Natsir berkunjung ke Universitas Islam Bandung (Unisba),
Syuhada sangat ingin melihat wajah tokoh yang perjuangannya dikaguminya
itu. Akan tetapi, karena kerumunan massa yang luar biasa, Syuhada gagal untuk
sekadar melihat wajah Natsir. Pertemuan di masjid Al-Munawarah itu
mengingatkan Syuhada pada peristiwa empat tahun sebelumnya di Unisba. Dan
kini, tokoh yang dikaguminya, berdiri persis di depan Syuhada. Tanpa ditanya,
mau bergabung atau tidak, Natsir meminta Syuhada membantunya. Syuhada
diberi tugas menempel foto-foto aktivitas Da'wah di berbagai daerah. “Tolong
bantu saya. Ini meja Saudara,” ujar Natsir tiba-tiba. Tidak ada wawancara, tidak
ada test, seperti lazimnya orang akan bekerja. Meskipun…Syuhada tidak pernah
tahu mengapa Natsir menerimanya bergabung di Dewan Da'wah, dia merasa
sangat berbahagia ketika mendapat tugas yang mengharuskannya bekerja satu
ruangan dengan Natsir.136
Selama lima tahun Syuhada bekerja satu ruangan dengan Natsir. Setelah itu,
Syuhada menjadi dai juru dakwah ke pedalaman-pedalaman di tanah air. Di
kalangan aktivis DDII, Syuhada memang dikenal sebagai dai spesialis daerah
pedalaman.137 Sejak bergabung dengan DDII, sebagian besar waktunya dihabiskan

133
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Da‘wah…, h. 101.
134
Syuhada Bahri lahir di Jalupang, Rangkasbitung, Banten, pada 15 Juni 1954.
Pendidikan formalnya diselesaikan di Institut Islam Siliwangi, Bandung. Ia pernah dikirim
oleh DDII ke Universitas Ibnu Sa‟ud, Riyadh, Saudi Arabia, untuk mendalami ilmu dakwah
dan Bahasa Arab. Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 207.
135
Lihat Akta Notaris Edi Priyono SH Nomor 91 tertanggal 30 September 2011.
136
Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 208.
137
Majalah Gatra edisi Maret 1995 dalam laporan bertajuk “Maraknya Dai
Intelektual” memperlihatkan sebuah foto Syuhada sedang naik perahu kecil menelusuri
kepulauan Mentawai, di lepas pantai Sumatera Barat. Foto itu mengiringi tulisan yang
bercerita tentang perjalanan dakwah Syuhada di daerah-daerah terpencil dan suku-suku
terasing. Gatra melaporkan, perjalanan ke daerah-daerah terpencil itu tidaklah mudah,
terkadang menghabiskan waktu berhari-hari untuk sampai di lokasi yang dituju. Adakalanya

207
untuk mengurus dakwah di daerah terpencil. Hampir semua pelosok Indonesia telah
dia jelajahi. Syuhada, misalnya, mengenali Timor Leste sampai ke gang-gangnya.
Syuhada juga sudah menjelajahi daerah-daerah Mentawai, Nias, Maumere, Labuan
Bajo, Sarong, Fak Fak, Timika, Merauke, Badui, Tobelo, Tanjung Soke, dan lain-
lain. Ketika dirinya datang di pelosok Tobelo, Maluku Utara, penduduk setempat
menyebut Syuhada sebagai orang Jakarta pertama yang menginjakkan kakinya di
daerah itu. Meskipun dikenal sebagai dai spesialis daerah terpencil, tidak berarti
Syuhada tidak mengenal dunia internasional. Dia hadir dalam pelantikan Mustafa
Ceric sebagai Mufti Bosnia. Dia juga pernah berda'wah di berbagai kota di Inggris
atas undangan Keluarga Islam Britania Raya (Kibar).138
Di masa kepemimpinan Hussein Umar (2005-2007), DDII merintis kerja
sama dengan Kerajaan Saudi Arabia. Sebuah proposal pengembangan sarana dan
prasarana da'wah diajukan. Ketika proses sedang berlangsung, pada 19 April 2007,
Hussein Umar meninggal dunia. Sebagai pengganti Hussein Umar, Syuhada
melanjutkan proses tersebut, termasuk bertemu dengan Raja Abdullah. Akhirnya, di
masa kepemimpinan Syuhada, juga dengan dukungan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), yang dirintis oleh Hussein Umar dapat diwujudkan. Di masa
inilah diresmikan oleh Presiden SBY, sarana dan prasana dakwah yang merupakan
hibah dari Kerajaan Saudi Arabia. Yakni, berupa: (1) Gedung STID Mohammad
Natsir, lima lantai, di Tambun, Bekasi; (2) Masjid dan Muslimah Centre, dua
lantai, di Cipayung, Jakarta Timur; (3) Gedung dan Percetakan Sinar Media Abadi
di Cikunir, Bekasi; (4) Gedung Pusat Bisnis Dewan Da'wah, 5 lantai, di
KebonJeruk, Jakarta Barat; dan (5) Perpustakaan Khadimul Haramain di lantai 7
Gedung Menara Da'wah, Jalan Kramat Raya 45, Jakarta Pusat.139
Sebagai Ketua Umum DDII, Syuhada memahami benar, gerakan dakwah
memerlukan dukungan dana. Untuk itu, selain mendorong Lembaga Amil Zakat
Infaq dan Sedekah (LAZIS) DDII untuk lebih giat mengumpulkan zakat, infak, dan
sedekah; dia menggagas pembentukan “Dewan Da‟wah Infaq Club”. Program
strategis lainnya oleh Syuhada adalah perintisan lembaga pendidikan kader dai non
formal (setingkat D-2). Namanya adalah Akademi Dakwah Islam (ADI).
Konsep lembaga kader dai ini berbasis asrama dengan sasaran mahasiswa
sebagai kader muda calon penerus dakwah. Pendidikan ADI selama dua tahun
dengan sistem manajemen kampus. Lulusan ADI, selain diterjunkan ke lapangan
dakwah di tengah masyarakat, juga bisa melanjutkan studi ke STID M. Natsir. 140
Pada masa kepemimpinan Syuhada Bahri, ADI bisa didirikan selain di Jakarta, juga

hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter, adakalanya juga hanya bisa
dijangkau dengan perahu kecil dengan jumlah penumpang sangat terbatas.
138
Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 209.
Wawancara dengan Dwi Budiman, Ketua STID M. Natsir/mantan sekretaris pribadi Syuhada
Bahri, pada 3 April 2019 di Bekasi.
139
Lukman Hakiem (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah…, h. 210.
140
Wawancara dengan Dwi Budiman, Ketua STID M. Natsir/mantan sekretaris
pribadi Syuhada Bahri, pada 3 April 2019 di Bekasi; Wawancara dengan Syarif Hidayat,
dosen ADI DDII Jawa Barat, pada 11 April 2019 di Bandung.

208
di Sambas (Kalbar), Lampung, Aceh, Bukittinggi, Jawa Barat, Sukabumi, NTT, dan
Batam.141

C. Dinamika Internal Elite-elite DDII


1. Polemik Model Partai Islam vis-à-vis Partai Pluralis
Ketika dilangsungkan Mubes II DDII pada Juni 1998,142 salah satu rumusan
yang direkomendasikannya adalah segera mewujudkan satu partai politik Islam
sebagai wadah penyaluran aspirasi umat Islam.143 Karenanya, untuk merealisasikan
keinginan dan maksud tersebut, DDII perlu segera membentuk sebuah panitia ad hoc
yang ditugaskan untuk melakukan usaha dan berbagai pendekatan ke pihak-pihak
yang dipandang perlu.144 Mereka menyambut momentum dan peluang yang dibuka
oleh pemerintahan Presiden B. J. Habibie—sesuai dengan tuntutan dan agenda
reformasi—yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendirikan partai politik dalam menghadapi Pemilu 1999. Arus besar dalam
keluarga besar DDII memandang era reformasi merupakan saat dan momentum yang
tepat untuk pendirian partai politik Islam tunggal ala Masyumi.145
Melaksanakan mandat Mubes II DDII, elite-elite DDII dengan dipimpin
Anwar Harjono menemui Presiden BJ Habibie pada akhir Juni 1998. Mereka
meminta Presiden untuk merehabilitasi Partai Masyumi sekaligus membatalkan
Keputusan Presiden Sukarno tentang Pembubaran Partai Masyumi. Namun,
permohonan DDII ini ditolak Habibie. Kata Platzdasch, “Habibie's refusal was
because of concern his supporters in Golkar would oppose the permission to revive
Masyumi labels.”146 Sebaliknya daripada merehabilitasi Masyumi, kata Abdullah
Hehamahua, “Habibie mengatakan bentuk saja Bintang-Bulan.”147

141
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Da‘wah…, h. 272-273.
142
Pertemuan nasional DDII ini melibatkan pengurus pusat, pengurus perwakilan di
daerah-daerah, serta mengundang sejumlah pemimpin organisasi Islam, seperti
Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah),
BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam), KISDI (Komite Islam untuk Solidaritas Dunia
Islam), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Lihat Keputusan Musyawarah Besar II
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta: 17-19 Shafar 1419 H/12-14 Juni 1998,
Dokumen tidak dipublikasikan, h. 1.
143
Secara historis, organisasi-organisasi yang diundang dan hadir pada Mubes II
DDII tersebut dulunya adalah anggota-anggota istimewa Masyumi atau yang secara ideologis
punya kedekatan dengan partainya kaum modernis Masyumi. Hal itu mengindikasikan kalau
keluarga besar DDII masih terkenang dengan romantisme sejarah Masyumi masa silam.
Keinginan mewujudkan satu partai politik Islam, memperlihatkan kalau sebagian—atau
bahkan mayoritas—elite-elite DDII masih terobsesi mengembalikan sejarah kejayaan
Masyumi di masa lalu.
144
Keputusan Musyawarah Besar II…, h, 5.
145
Kata Platzdasch, “DDII saw itself as custodian of the keluarga and took seriously
its self-ascribed role of maintaining keluarga unity.” Bernhard Platzdasch. Islamism in
Indonesia…, h. 59.
146
Bernhard Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 60.
147
Hehamahua. “Insinyur Yang Sejarawan…,” h. 85.

209
Tidak berhenti disitu, opsi kedua pun dijalankan. Yaitu pembentukan partai
Islam yang baru sebagai „renaissance Masyumi.‟ Sebelumnya, ketika proses
reformasi masih bergulir pada awal Mei 1998, elite-elite DDII dengan keluarga
besar Masyumi—yaitu Forum Ukhuwah Ismlamiyah (FUI)—telah mensponsori
pembentukan Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) yang diketuai Anwar
Harjono.148 Dari bulan April sampai Agustus 1998, organisasi-organisasi Muslim,
yang sebagian besar modernis, aktif di BKUI dengan tujuan membentuk satu partai
Islam. BKUI mengadopsi Madjlis Islam A‟la Indonesia (MIAI) yang mengarah pada
pembentukan Masyumi era 1945 sebagai modelnya. Dengan perannya yang
bergengsi pada tahun 1945 dan 1949, Kongres Umat Islam (KUI) memiliki
resonansi sejarah yang cukup besar. Oleh karena itu, tugas BKUI adalah
mempersiapkan Kongres Umat Islam ketiga yang—saat itu—bertujuan untuk
meluncurkan partai penerus Masyumi di era reformasi 1998.149
Namun, sebelum kongres itu sendiri berhasil dilaksanakan, terjadi
fragmentasi gerakan politik elite-elite Muslim. Kondisi ini kemudian juga membuat
pimpinan teras DDII membuat langkah-langkah politis sebelum kongres. Keinginan
DDII ingin mengulang sejarah Masyumi di era reformasi ternyata sulit diwujudkan,
karena tidak didukung oleh pengetahuan dan data yang akurat tentang peta
perpolitikan Indonesia kontemporer yang telah berubah dan berkembang secara
signifikan.150 Sebagaimana kata Azra, “…have mostly been trapped in romantic
notions of political politics and the ―illusion‖ of the numerical superiority of

148
Pada 12 Mei 1998, FUI bersama dengan ICMI mensponsori pembentukan Badan
Koordinasi Umat Islam (BKUI) yang diketuai Anwar Harjono. BKUI didirikan berdasar
konsensus para pemimpin organisasi Islam, seperti DDII, Persis, SI, FUI, KISDI, BKSPPI,
Al-Irsyad, Perti, Forum Silaturrahmi Ulama Habaib dan Tokoh Masyarakat (FSUHTM) dan
ICMI. Pada awalnya, Ormas Islam yang tergabung dalam BKUI sebanyak 22 organisasi,
kemudian berkembang menjadi 40-an Ormas. Lihat A. M. Luthfi, “Ancaman Besar Itu
Bernama Desintegrasi Bangsa dan Ketergantungan Ekonomi yang sangat pada Kekuatan
Asing,” Media Da‘wah, Rabiul Awwal 1419 H/Juli 1998, h. 54.
149
A. M. Luthfi, “Kita Berada pada Titik Reformasi Perjalanan Bangsa,” dalam
Suharsono dan Edi Ryanto (ed.), Partai Politik Era Reformasi (PT Abadi, Jakarta, 1998), h.
21-31. Kongres akhirnya terjadi pada November 1998, setelah Partai Bulan Bintang (PBB)
didirikan pada Juli 1998. Berbeda dengan contoh sejarah MIAI dan KUI I, kubu tradisionalis
hanya terlibat secara individu. Meski DDII hadir, namun Kongres itu dipandang sebagai
pentas bagi para loyalis MUI dari rezim Orde Baru, sehingga disambut secara sinis.
150
Saeful Mujani menjelaskan: “The resurgence of Islam in private and public life,
in Indonesia and elsewhere, is one of the most important phenomena of our time. Its
implications for politics and society are also widely misunderstood. Piety among Indonesian
Muslims is essentially unrelated to most of the basic problems of political and economic life
that analysts of religion and public life have addressed. Instead, the social and economic
transformations that are co-occurring alongside the resurgence of Islam in Indonesia are the
best predictors of how Muslims think and behave.” Lihat Thomas B. Pepinsky, R. William
Liddle, and Saiful Mujani, Piety and Public Opinion: Understanding Indonesian Islam, New
York: Oxford University Press, 2018,
https://oxford.universitypressscholarship.com/view/10.1093/oso/9780190697808.001.0001/o
so-9780190697808-chapter-6 (diakses tgl 10 Desember 2020); Lihat juga Azyumardi Azra,
“Kesalehan dan Politik: Islam Indonesia,” Studia Islamika, Vol. 25, No. 3, 2018, h. 639-650.

210
Muslims among the Indonesian populations rather then in political realism.”151 Hal
mana kemudian membuat banyak pihak, termasuk elite-elite DDII, “gagal”
memetakan dan menganalisis jagad raya perpolitikan Indonesia dekade 1990-an.
Platzdasch menjelaskan,
But the participation of many organisational envoys was only a gesture of
reverence due to personal links to Masyumi's senior leadership and nostalgic
ties with its legacy as the sole Muslim party. Conflicting leadership ambitions
and established patronage networks made a united modernist-based Islamist
party a lofty goal.152
Dipicu oleh kombinasi antara perbedaan ideologi, pragmatisme politik yang
dipacu oleh modernisasi, rivalitas elite, dan ledakan kebebasan yang tiba-tiba,
kelompok-kelompok Muslim saling bersaing untuk mendirikan partai-partai
politiknya sendiri. Sebagai akibatnya, politisi Muslim mengalami fragmentasi yang
jauh lebih parah ketimbang sebelumnya. Pemencaran politik tersebut, khususnya di
kalangan “keluarga Bulan Bintang,” juga karena faktor tidak adanya tokoh yang
mampu mempersatukan kembali elemen-elemen Masyumi lama. Paling tidak
sampai saat itu, belum muncul tokoh dari generasi baru “keluarga Bulan Bintang”
yang ketokohan dan wibawanya menyamai Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan
Mohammad Roem. Hal itu diakui sendiri oleh Anwar Harjono. Keluarga besar
Masyumi, disadari oleh Anwar Harjono, “seperti sungai yang tertutup selama
beberapa dekade; sekarang setelah segelnya dibuka, airnya mengalir kemana-
mana.”153
Amien Rais, lokomotif penarik gerbong reformasi yang populer waktu itu,
sebenarnya diharapkan menjadi tokoh pemersatu kebangkitan kembali “the new
Masyumi” itu.154 Pada awalnya, muncul ide untuk mendirikan sebuah replika
Masyumi dengan menggabungkan PPP dengan para penerus Masyumi yang
berkumpul di seputar lingkaran DDII. Amien Rais pada awalnya menerima, namun
dengan syarat jabatan Ketua Umum PPP. Kalangan elite-politikus PPP sendiri
berkeberatan, sehingga hanya menawarkan jabatan sebagai Ketua Majelis Pakar
PPP. Tentu saja, Amien Rais—yang namanya sedang meroket sebagai tokoh
penggerak reformasi—tidak mau menerimanya.155
Setelah gagal menarik Amien Rais, PPP berjalan sendiri dan memilih
Hamzah Haz sebagai ketua umumnya yang baru. Di tengah konsolidasi partai, elite-
elite politikus PPP yang berafiliasi dengan DDII—seperti Faisal Baasir, Lukman
Hakiem dan Usamah Hisyam—masih berupaya untuk menarik gerbong DDII,

151
Azra, Indonesia, Islam and Democracy…, h. 16. Bandingkan dengan E.
Aspinall, “When Brokers Betray: Social Networks and Electoral Politics in Indonesia,”
Critical Asian Studies, 46 (4), 2014, h. 545-570.
152
Bernhard Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 60.
153
Anwar Haryono, “Mengamati Situasi di Era Reformasi,” dalam Partai Politik
Era Reformasi…, h. 11-21.
154
Harapan itu sebenarnya jauh-jauh hari sudah muncul. Majalah resmi DDII,
Media Dakwah, sejak tahun 1980-an sudah mulai mempromosikan Amien Rais sebagai
intelektual muda kampus yang mulai bersinar untuk menjadi pemimpin umat. Lihat
“Tantangan Semakin Besar,” Media Da‘wah, January 1985, h. 4-11.
155
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 442.

211
terutama Anwar Harjono sebagai tokoh sentralnya, ke PPP. Usamah Hisyam
menceritakan:
Dr. Anwar Harjono terbaring…saya mendampingi Lukman Hakiem, sesama
anggota Fraksi Persatuan Pembangunan DPR/MPR masa bakti 1997-1999
menghadap beliau…Lukman menyampaikan pesan Faisal Baasir agar Anwar
Harjono selakuk bekas juru bicara Partai Masyumi dan Ketua Dewan Da‟wah
mempertimbangkan kembali rencana kehadirannya dalam deklarasi Partai Bulan
Bintang (PBB)…Pertimbangannya, menjelang Pemilu 1999, suara umat Islam
harus solid. Pada saat itu, kepemimpinan PPP banyak diisi oleh kader-kader
terbaik Muslimin Indonesia/Parmusi yang dimotori Cholil Badawi, Ismail
Hasan Metareum, Husni Thamrin, Hussein Umar, yang juga kader-kader dan
aktifis Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, baik di tingkat pusat maupun
daerah…Faisal Baasir khawatir, kehadiran Anwar Harjono dalam deklarasi
PBB, akan memberi legitimasi kuat bahwa secara politis…Dewan Da‟wah
berada pada PBB…Faisal meyakini, sebagai partai baru, akan sulit bagi PBB
untuk langsung menjadi the best three party. Peluang itu hanya ada pada
PPP.156
Namun demikian, usaha elite-elite dai politikus DDII yang berafiliasi ke PPP
itu tidak berhasil. Elite-elite DDII—dengan dukungan Anwar Harjono—kemudian
berinisiatif untuk membentuk partai Islam yang benar-benar baru, dengan Amien
Rais sebagai ketua umum dan Yusril Ihza Mahendra sebagai sekretarisnya. Dengan
memori nostalgia Masyumi, partai Islam baru itu diusulkan bernama Partai Bulan
Bintang (PBB). Ternyata Amien sendiri menolak.157 Baginya, partai Islam itu
“ibarat baju, akan „kesesakan‟ jika saya pakai.”158
Dengan dukungan BKUI, mayoritas elite DDII—termasuk Anwar
Harjono—membentuk Partai Bulan Bintang (PBB) pada 17 Juli 1998 dan
mendeklarasikannya pada 26 Juli 1998 di masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru,
Jakarta. Sebagai partai penerus perjuangan Masyumi, partai ini tetap mengadopsi
konsep perjuangan dan ideologi partai modernis tersebut. Sebagaimana yang

156
Usamah Hisyam. “Lima Puluh Tahun Dewan Da‟wah di Antara Da‟wah dan
Politik,” dalam Lukman Hakiem dan M. Noer (ed.). Antara Da‘wah dan Politik…, h. 261-
263.
157
Penolakan itu disampaikan Amien Rais selesai shalat Jumat di Kantor PP
Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat. Padahal sebelum shalat Jumat itu, Amien Rais
bertemu dengan Anwar Harjono di kediamannya dan menyatakan kesediaannya untuk
memimpin PBB. Lihat Ahmad Sumargono. “Quo-Vadis Amien Rais,” Tabloid Suara Islam,
Juni 2008; Lihat juga Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 442-443.
158
Dengan alasan “baju” Islam terlampau sempit, Amien Rais menolak untuk
memimpin PBB. Sebelumnya, Amien juga menolak diangkat menjadi ketua Dewan Pakar
PPP, setelah keinginannya menjadi ketua umum PPP ditolak kalangan internal partai
berlambang bintang itu. Amien yang selama ini dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan
aspirasi kalangan Islam formalis, tampak sedang berupaya keras membentuk citra dirinya
yang baru; dari “pemimpin Islam” menjadi “pemimpin nasional.” Di lain pihak, pernyataan
Amien ini sangat melukai pimpinan DDII, karena sebelumnya pada acara Mubes II DDII
Amein seolah menjanjikan untuk memimpin partai besutan DDII itu. Lihat “Partai Bulan
Bintang Menunggu Amien,” Merdeka, 27 Juli 1998. Lihat juga pernyataan Amien Rais
dalam Suharsono dan Edi Ryanto (ed.), Partai Politik Era Reformasi…, h. 44-49.

212
dikemukakan oleh salah seorang pendiri PBB sekaligus Ketua Umum DDII, Anwar
Harjono: “...jadi dengan Partai Bulan Bintang, kita ingin dengan darah baru dan
kesegaran baru untuk meneruskan cita-cita besar dari yang lama. Ini memang ada
hubungan emosional dengan Masyumi.”159
Setelah pendeklarasian partai yang diklaim „renaissance Masyumi‟ itu, para
aktivis PBB melakukan usaha konsolidasi dengan „keluarga Bulan Bintang‟ di
daerah, terutama jaringan DDII.160 Di tingkat pusat, partai tersebut dipimpin oleh
Yusril Ihza Mahendra dan M. S. Ka‟ban, masing-masing sebagai Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal DPP PBB. Stuktur DPP PBB didominasi kader-kader yang
terafiliasi dengan DDII, seperti Hartono Mardjono (mantan politisi PPP), Abdul
Qadir Djaelani, Ahmad Sumargono, Yusuf Amir Faisal, Khalil Ridwan, dan lain-
lain. Di kalangan mudanya, ada Adian Husaini dan Fadli Zon dari KISDI, serta
Hamdan Zoelva, tokoh muda SI.161
Tokoh-tokoh lainnya yang selama ini dikenal sebagai anak-anak ideologis
Natsir, walaupun tidak masuk dalam jajaran kepengurusan DDII, telah pula
mendirikan partai sendiri. Deliar Noer mendirikan Partai Umat Islam (PUI).
Abdullah Hehamahua mendirikan Partai Politik Islam Masyumi.162 Ridwan Saidi
mendirikan Partai Masyumi Baru. Masing-masing tokoh yang mengaku dikader
Natsir baik langsung maupun tidak langsung di DDII itu mempunyai alasan
tersendiri untuk mendirikan partai Islam, di luar PBB—yang diinisasi DDII dengan
BKUI-nya.163
Di lain pihak, Amien Rais mempunyai sikap dan pandangan politik yang
berbeda dengan umumnya elite-elite DDII. Amien Rais menolak model partai
Islam. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Amien Rais justru memilih
mendirikan sebuah partai pluralistik, PAN (Partai Amanat Nasional), sekaligus
menjadi Ketua Umumnya. Yudi Latif menjelaskan:
In fact, Amien Rais now emerged with different political interests. In the face
of the hegemonic discourse of pluralism and inclusivism, as championed by
the renewal movement, Forum Democracy, and mainstream mass media, he
had long been stigmatised as sectarian. As he began to project himself as a
rising Indonesian leader, this stigma seemed to haunt him. His encounter with

159
Ramlan Mardjoned, Sejarah Partai Bulan Bintang: Dari MIAI sampai Deklarasi
Partai Bulan Bintang. (Jakarta: DPP PBB, 2001), h. 69.
160
Amin. Sikap Politik…, h. 103.
161
Wawancara dengan Adian Husaini di Kantor DDII, Jakarta, pada 21 September
2021.
162
Keduanya disebut oleh Platzdasch, “Deliar Noer, a leading political scientist and
former HMI Chairman, and Abdullah Hehamahua, a DDII affiliate and likewise a former
HMI Chairman, were two main dissenters among Bulan Bintang leaders.” Lihat Bernhard
Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 89.
163
Misalnya Abdullah Hehamahua. Ia menjelaskan: “Saya pribadi tidak setuju
dengan alasan mas Amien dan Pak Anwar Harjono (yang ingin membentuk PBB) karena
alasan ideologis, yaitu Mubes Dewan Da‟wah mengamanahkan untuk dilaksanakan Kongres
ke-3 umat Islam untuk membentuk partai Islam. Apalagi PBB didirikan dengan asas
Pancasila (bukan asas Islam) padahal saya dikejar-kejar oleh rezim Suharto karena menolak
azas tunggal Pancasila.” Lihat Hehamahua. “Insinyur Yang Sejarawan…,” h. 85, footnote no.
6.

213
intellectuals of diverse identities during the reform movement seemed to
stimulate him to explore pluralism as a political ideology.164
Mulai mendekatnya kelompok dakwah dan kelompok pembaharuan
Madjid pada 90-an dengan titik puncaknya pendirian ICMI adalah awal mula
timbulnya faksionalisasi di tubuh elite-elite muda DDII. Imaduddin Abdulrahim,
misalnya, terkenal sebagai seorang figur sentral dari kaum intelektual dakwah dan
bersikap menolak modernisme Orde Baru pada tahun-tahun awal Orde Baru.
Namun, segera setelah pendirian ICMI pada tahun 1990, dia menjadi seorang
intelektual yang moderat dan akomodasionis.165
Menurut Yudi Latif, Amien Rais pernah dikenal sebagai seorang Islamis
yang eksklusif. Namun, pertemuannya dengan para sarjana liberal di Universitas
Chicago dan interaksinya dengan para pemimpin sekuler dan non-Islam selama
„gerakan reformasi‟ tahun 1998 mengubahnya menjadi seorang yang
berkepribadian moderat dan inklusif.166 Bahkan, menurut Hefner, perubahan
orientasi politik Amien itu bisa dilihat sejak kasus Permadi pada Maret 1995 167
yang menunjukkan mulai adanya keretakan Amien dengan elite-elite DDII,
sehingga: “The Permadi affair also provided an important political lesson for
mainstreams Muslim leaders like Amien Rais, leaders who were moderately
convencional on theological matters but democratic in matters of governance and
public policy.”168
Amien Rais berpandangan tentang otomatisnya jika idiom-idiom dan
simbol-simbol keagamaan digunakan untuk meningkatkan dukungan politik, maka
agama akan menjadi sebuah isu yang memecah-belah kalangan umat Islam, dan
prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan yang sensitif dan tidak dapat
dinegosiasikan akan membebani politik pemilu.169 Antara lain karena keyakinan
semacam itu, kata Bahtiar Effendy, “Amien Rais lebih memilih untuk membentuk
partai pluralis yang netral secara agama—seperti model PAN—daripada
mendirikan sebuah partai Islam.”170

164
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 443.
165
Pengakuan Nurcholish Madjid, bahwa selama bang Imad kuliah di Amerika,
seringkali bersilaturahmi dan bertukar-pikiran. Sejak itu, hubungan mereka berdua membaik.
Lihat Nurcholish Madjid. “Menyambung Matarantai Pemikiran Yang Hilang” dalam Tidak
Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem (Jakarta:
Djambatan, 1997), h. 40.
166
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 468.
167
Permadi—dengan pendekatan mistik Jawanya—tidak hanya dianggap mengkritik
Golkar dan Presiden, melainkan juga menghina Nabi Muhammad Saw. Lihat laporan khusus
“Menghujat Golkar, Presiden dan Nabi Muhammad,” Media Da‘wah, April 1995, h. 9-16;
Untuk penjelasan bagaimana kasusnya itu, lihat “Permadi, Ramalan, dan Protes Kemudian,”
Forum Keadilan, 13 April 1995, h. 19-26.
168
Hefner. Civil Islam…, h. 179.
169
Amien Rais, “Islam and Politics in Contemporary Indonesia,” in Geoff Forrester
(ed.), Post-Soeharto Indonesia: Renewal or Chaos? (Singapura: Institute of Southeast Asian
Studies, 1999), h. 201.
170
Effendy. Islam dan Negara…, h. 410. Namun demikian, bagi faksi Islam dalam
PAN yang dipimpin A. M. Luthfi, “dasar plural yang dianut PAN bukan plural yang
sekuler.” Lihat Luthfi Bukan Ludwig…,” h. 214.

214
Dukungan terhadap Amien Rais terutama datang dari keluarga besar
Muhamadiyah, karena Amien adalah mantan ketua umumnya. Di kalangan DDII,
Amien Rais pun tidak sendirian. Pandangan dan sikap politik Amien Rais
didukung oleh beberapa pimpinan teras DDII, yaitu A. M. Luthfi (Ketua), Tamsil
Linrung (Bendahara), dan Yahya A. Muhaimin (Anggota Pleno). 171 Ketiganya
memilih ikut bergabung dengan Amien Rais sekaligus menjadi pengurus DPP
PAN. Bersama Amien Rais, mereka menjadi Anggota DPR hasil Pemilu tahun
1999. A. M. Luthfi bahkan didaulat menjadi Ketua Fraksi Reformasi di DPR
periode 1999-2004.172
Pandangan dan sikap politik yang tidak mendukung terhadap pendirian
partai Islam juga muncul dari elite dai-akademis Kuntowijoyo (anggota pleno
DDII sejak 1989 hingga wafat Februari 2005). Walaupun tetap konsisten tidak
terjun ke dunia politik praktis, Kuntowijoyo tetap memikirkan dan menyatakan
pandangan dan sikap politiknya. Bagi Kunto, apa yang dilakukan Amien Rais
dengan pembentukan partai pluralis—yaitu, menjadikan moral agama sebagai
landasan gerakan dan mencantumkan Pancasila sebagai asasnya—adalah contoh
strategi objektivikasi Islam yang diperlukan umat pada era baru. 173
Kunto menulis sebuah esai menggugah di surat kabar Republika edisi 18 Juli
1998 yang memaparkan secara garis besar enam argumen mengapa partai-partai
politik Islam seharusnya tidak didirikan. Diawal tulisannya, Kunto menyatakan
sebuah ironi sejarah:
Lengkaplah sudah pengotak-ngotakan politik bagi kaum santri yang dibuat oleh
tangan umat sendiri dengan sadar: satu kotak untuk kaum tradisionalis (NU),
satu kotak untuk kaum modernis (DDII), dan satu kotak untuk kaum puritan
(Muhammadiyah). Reformasi yang berarti kebebasan demokrasi dan
transparansi menjadi ketertutupan, pribadi, otoritarian, dan eksklusivisme.
Tulisan ini sangat prihatin dengan keadaan itu...pembentukan parpol Islam
adalah sebuah kesalahan yang fatal.174
Seperti banyak kaum Muslim lainnya, Kunto mengakui bahwa pada saat
Soeharto berkuasa selama tiga puluh dua tahun, Islam secara politik terpinggirkan

171
Yahya Muhaimin adalah patron Amien Rais di Yogyakarta, baik sebagai
Muhammadiyyah maupun Yayasasan Mesjid Shalahuddin di UGM. Berbeda dengan A. M.
Luthfi yang lebih senior dari Amien Rais dan berasal dari aktivis ITB Bandung. Mereka
bertemu dan menjadi dekat dalam kelompok Pratekan, rumah A. M. Luthfi di Jakarta, pada
tahun 1980-an. Lihat Yahya Muhaimin. “Kuat Memegang Fatsoen dan Etika Politik…,” h.
114-118.
172
Sebagaimana kesaksian Abdullah Hehamahua, asalnya A. M. Luthfi ikut terlibat
dalam proses pendirian partai Islam besutan DDII—sebagai renaisaance Masyumi yang
kemudian dinamai PBB. Namun, keterlibatannya itu dikritisi oleh para aktivis DDII lainnya
yang berasal dari kader-kader GPII, HMI ataupun PII. Mereka menganggap Luthfi tidak
berhak, karena tidak pernah dikenal sebagai kader organisasi underbouw Masyumi tersebut.
Karena itulah, Luthfi hengkang dan memilih bergabung dengan Amien Rais. Lihat
Hehamahua. “Insinyur Yang Sejarawan…,” h. 86.
173
Kuntowijoyo. “Peta Politik Bagi Umat Islam,” dalam Muslim Tanpa Mesjid…, h.
337.
174
Kuntowijoyo. “Enam Alasan untuk Tidak Mendirikan Parpol Islam,” dalam
Muslim Tanpa Mesjid…, h. 325-326.

215
dalam arti bahwa para aktivis politik Muslim tidak dapat mengekspresikan
pemikiran dan aksi mereka selain dari apa yang diperbolehkan oleh negara. Oleh
sebab itu, hanya mereka yang memiliki—dan merasa nyaman dengan—agenda
sosial-ekonomi dan politik yang sejalan dengan apa yang ditetapkan rezim Orde
Baru, yang menekankan pada stabilitas dan keteraturan, yang dapat berpartisipasi
dalam politik. Meskipun demikian, dalam pandangan Kuntowijoyo, di balik
peminggiran atau marjinalisasi politik Orde Baru itu terdapat suatu berkah. Dalam
situasi di mana politik menjadi wilayah terlarang bagi banyak kaum Muslim,
komunitas santri berhasil mendiversifikasi makna politik Islam dengan secara
sengaja memfokuskan potensi dan energi mereka pada wilayah-wilayah yang
memiliki arti strategis, seperti pembangunan sumber daya manusia. Ledakan
intelektual Muslim pada pertengahan 1980-an dan awal 1990-an, merupakan hasil
langsung dari pilihan tersebut.175
Tidak kalah penting adalah fakta bahwa mundurnya secara sengaja kaum
Muslim dari wilayah politik pada tahun-tahun tersebut, bagi Kunto, telah melahirkan
dampak besar terhadap setidaknya dua fenomena sosial-keagamaan. Pertama, hal itu
memainkan peran yang amat penting dalam membangun hubungan yang relatif
harmonis antara Muhammadiyah dan NU.176 Kedua, mundurnya kaum Muslim dari
wilayah politik memberi kontribusi bagi terjadinya konvergensi politik-keagamaan
antara komunitas santri dan abangan.177 Terkait argumentasi Kunto ini, Bahtiar
Effendy menjelaskan:
…tidak adanya politik aliran pada masa pemerintahan Orde Baru
memungkinkan komunitas santri dan abangan untuk bertemu secara keagamaan
maupun politik. Lebih penting lagi, hal itu memungkinkan kaum Muslim untuk
membangun sebuah payung besar bagi umat Islam di mana tingkat
keberagamaan tidak diukur dengan ide-ide politik atau afiliasi ideologis atau
kepartaian tertentu, melainkan diukur dengan menjalankan ajaran agama.178

175
Kuntowijoyo. “Enam Alasan…,” h. 327.
176
Secara historis, selama puncak perkembangan Islam politik di Indonesia pada era
1950-an dan 1960-an, setiap perbedaan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dapat
dengan mudah berubah menjadi konflik sosial-keagamaan dan politik. Bagi Kunto,
konvergensi antara Muhammadiyah dengan NU sangat dibutuhkan. Lihat Kuntowijoyo.
Muslim Tanpa Mesjid…, h. 158-172.
177
Dikotomi antara santri dan abangan telah diasosiasikan terutama dengan
perbedaan dalam pemahaman keagamaan maupun penerapan ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari kaum Muslim Jawa. Mengingat posisi Islam dalam politik Indonesia,
pengelompokan sosial-keagamaan santri-abangan ini juga telah merambah wilayah politik.
Bahkan, hal itu telah memolarisasi politik era modern di negeri ini ke dalam dua pembilahan
atau aliran utama. Sementara kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik
mereka kepada partai-partai politik Islam, kelompok abangan lebih cenderung
mengekspresikan asosiasi politik mereka di dalam partai-partai berhaluan nasionalis atau
komunis. Di era Orde Baru yang hegemonik sekalipun, warna politik aliran masih tetap
terasa, walau tidak dominan. Afan Gaffar. Javanese Voters (Yogyakarta: UGM Press, 1997).
178
Effendi. Islam dan Negara…, h. 407. Bandingkan dengan Ismatu Ropi. “Al-
Islām wa al-Madd wa al-Jazr fī al-„Alāqāt bayn al-Dīn wa al-Dawlah fī Indonesia,” Studia
Islamika, Vol. 23, No. 2, 2016, h. 335-372; Lihat juga Ali Munhanif, “Al-Shawkah al-

216
Berdasarkan perspektif di atas, bagi Kuntowijoyo, masuknya kembali Islam
ke dalam wilayah politik dapat membahayakan perkembangan yang menguntungkan
tersebut. Menurutnya, pembentukan partai-partai politik berbasiskan Islam mungkin
dapat: (1) menghentikan mobilitas sosial kaum Muslim; (2) menciptakan disintegrasi
di kalangan kaum Muslim; (3) mendorong kaum Muslim menjadi bersikap picik,
dengan menekankan tujuan-tujuan (politik) yang lebih bersifat jangka pendek; (4)
mempersempit pemahaman kaum Muslim tentang Islam; (5) menghentikan lahirnya
tokoh-tokoh utama Muslim; dan (6) mengalienasi generasi Muslim yang lebih
muda.179 Kuntowijoyo menjelaskan lebih lanjut,
Apakah politik menjadi lebih rasional jika ormas-ormas Islam mendirikan
parpol? Jawaban terhadap pertanyaan itu tentu saja negatif…Parpol-parpol
Islam dengan demikian tidak perlu ada dan politik sepenuhnya masalah teknis,
urusan kelas bukan urusan umat…ormas-ormas Islam tidak usah menjadi,
membentuk, atau mendorong anggota-anggotanya untuk membentuk parpol.
Biarlah ormas-ormas Islam mempunyai struktur budaya dan struktur sosial,
tanpa struktur teknis. Untuk dapat mempengaruhi politik tidak perlu umat
mempunyai struktur teknis, yaitu parpol…Ormas-ormas Islam dapat menjadi
pressure group yang efektif (suaranya didengar), hanya bila tidak berpolitik
praktis.180
Wacana mengenai pluralisme dan inklusivisme yang bersifat hegemonik
pada masa-masa akhir kekuasaan Suharto juga mempengaruhi konstruksi Muslim
mengenai partai-partai politik di era reformasi.181 Di masa lalu, partai-partai Muslim
tak akan pernah membuka keanggotaan buat orang-orang yang non-Muslim. Namun,
pada akhir abad ke-20, bahkan sosok yang telah lama dicap sebagai „Islamis-
Natsiris‟ seperti Amien Rais menganggap bahwa partai berbasis Islam ibarat baju
yang kesempitan, dan karena itu, dia lebih memilih untuk mendirikan partai yang
pluralistik. Perbedaan antara partai Islam vis-à-vis partai sekular pun menjadi kabur,
sebagaimana dijelaskan Yudi Latif:
Golkar that previously had been seen by Muslims as non-Islamic institution
became an arena for the actualisation of Muslims' political interests…Many
members of the Muslim intelligentsia also became more willing to enter
‗secular-nationalistic‘ parties. At the same time, even the Islam-based party

Siyāsīyah li al-Afkār al-Dīnīyah: Al-Ḥarakah al-Tajdīdīyah al-Islāmīyah wa al-Ṭ arīq ilá


Nuqṭ at Iltiqā ‟ al-Islām wa al-Dawlah,” Studia Islamika, Vol. 22, No. 1, 2015, h. 97-192.
179
Kuntowijoyo. “Enam Alasan…,” h. 326-332.
180
Kuntowijoyo. “Enam Alasan…,” h. 332.
181
Kuntowijoyo benar ketika mengemukakan bahwa pendirian partai Islam dapat
melahirkan implikasi-implikasi tertentu yang tidak mesti konsisten atau sejalan dengan
sebagian capaian yang telah diperoleh kaum Muslim ketika mereka memusatkan potensi dan
energi mereka pada isu-isu yang terkait dengan aspek-aspek non-politik Islam. Namun
demikian, kehadiran partai Islam itu sendiri di era demokrasi adalah suatu keniscayaan.
Dengan mengenyampingkan stigma sejarah, kata Bahtiar Effendy, pada kenyataannya tidak
ada yang perlu dikhawatirkan dengan kemunculan Islam politik. Dalam sebuah negara
demokrasi, Islam politik terutama terwujud dalam bentuk partai-partai politik Islam yang
menggunakan Islam sebagai asas ideologi dan simbol partai adalah suatu keadaan yang
alamiah. Lihat Effendi. Islam dan Negara…, h. 408.

217
opened itself, at least in rhetoric, to non-Muslim membership. As a result the
distinction between Islamic and non-Islamic parties became blurred.182
Setidaknya, pada masa reformasi telah berdiri 42 partai yang mempunyai
asas Islam, atau menggunakan simbol-simbol formal Islam, atau memiliki konstituen
terbesar dari kaum Muslimin. Dari 42 partai tersebut, 20 di antaranya lolos seleksi
untuk mengikuti Pemilu 1999.183 Kemudian dari 20 partai yang menyebut diri
sebagai “partai Islam” atau “partai Muslim” itu, empat di antaranya
mengidentifikasikan diri sebagai partai pewaris dan pelanjut perjuangan Masyumi.
Keempat partai tersebut masing-masing: Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan
Yusril Ihza Mahendra, Partai Masyumi Baru (PMB) pimpinan Ridwan Saidi, Partai
Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM) pimpinan Abdullah Hehamahua, dan
Partai Umat Islam (PUI) pimpinan Deliar Noer.
Dari keempat partai pewaris Masyumi tersebut, kalangan DDII, walaupun
tidak seluruhnya, lebih dekat pada PBB pimpinan Yusril Ihza Mahendra. Hal ini
setidaknya terlihat pada proses pendirian dan pendeklarasian partai tersebut yang
melibatkan banyak orang DDII termasuk Anwar Harjono, juru bicara terakhir
Masyumi.184 Namun demikian, kemudian yang banyak dipertanyakan adalah kenapa
keempat partai tersebut tidak melakukan merger antarsesamanya, sehingga terbentuk
satu partai politik Islam pewaris Masyumi yang tangguh. Padahal, pimpinan
keempat partai tersebut telah sejak lama dikenal sebagai pribadi-pribadi yang dekat
dengan DDII dan “keluarga Bulan Bintang.” Melihat kenyataan ini, Azyumardi Azra
menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhannya (rebirth of political Islam)
terlihat proses terjadinya pemencaran politik (political decentering) di kalangan
kaum Muslimin. Pemencaran politik ini dapat dikatakan lebih disebabkan
pertimbangan dan motif-motif politik dari pada pertimbangan-pertimbangan
religius.185
Dengan adanya fragmentasi internal yang cukup parah, elite-elite politisi
DDII menghadapi kesulitan-kesulitan serius dalam memobilisasi sumber daya dan
dukungan politik. ICMI, meskipun melanjutkan orientasi teknokratis Masyumi,
memainkan peran kecil dalam menghidupkan kembali partai-partai Islam. Oleh
182
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 469.
183
Partai-partai Islam yang lolos seleksi Pemilu 1999 di antaranya adalah: 1) PPP
(Partai Persatuan Pembangunan, 2) PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), 3) PAN (Partai
Amanat Nasional), 4) PK (Partai Keadilan), 5) PBB (Partai Bulan Bintang), 6) PPIIM (Partai
Politik Indonesia Masyumi), 7) PMB (Partai Masyumi Baru), 8) PUI (Partai Umat Islam), 9)
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), 10) PKU (Partai Kebangkitan Umat), 11) PNU (Partai
Nahdhatul Umat), 12) Partai SUNI, 13) Partai Abul Yatama, 14) PID (Partai Islam
Demokrat), 15) Partai KAMI (Kebangkitan Muslim Indonesia), 16) PUMI (Partai Umat
Muslimin lndonesia), dan lain-lain. Lihat Effendi. Islam dan Negara…, h. 405-406.
184
Tetapi, perlu juga dikemukakan, bahwa beberapa pengurus DDII sendiri
terpencar di beberapa partai lain. M. Soleman, Hussein Umar, Faisal Baasir dan A. M.
Saefuddin sudah sejak lama di PPP. A. M. Luthfi, Tamsil Linrung dan Yahya A. Muhaimin
ikut Amien Rais mendirikan dan menjadi pengurus PAN. Di lain pihak, Abu Ridho dan
Mas‟adi Sulthani ikut membidani kelahiran Partai Keadilan (PK).
185
Azyumardi Azra, “Prospek „Islam Politik‟ di Indonesia Pasca Pemilu 1999,”
dalam Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan
Antarumat, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 111.

218
karena itu, tidak ada aktivis ICMI yang lebih menonjol bergabung dengan partai
Islam besutan DDII. Dengan demikian, keterlibatan sebagian besar aktivis Islam di
elite ICMI dalam persiapan partai Islam melalui DDII hanya bersifat simbolis.186
Kuntowijoyo sudah memperingatkan, bahwa “Umat yang mempunyai
aspirasi mendirikan parpol Islam…disampaikan pada NU, DDII,
Muhammadiyah…orang lupa bahwa banyak hal sudah berubah selama ini, yakni
lahirnya generasi baru yang non-sekatarian.”187 Generasi baru tumbuh dari PII, HMI,
sekolah-sekolah umum, dan jamaah-jamaah kampus adalah generasi mengambang,
generasi muda non-sektarian. Dengan begini, kata Platzdasch, tidak ada dukungan
penuh terhadap partai-partai Islam yang berbau Masyumi:
But most crucial was that key keluarga members such as Muhammadiyah, HMI
and PII did not see support for an Islamist party as useful for their own
interests; they perceived Masyumi's Islamist approach and themes as
anachronistic. With the exception of Persis and GPI which both supported PBB,
none of the major socioreligious and student organisations backed an Islamist
party and mobilised its constituencies for the 1999 elections. HMI and PII had
well-established patronage links with Golkar and, to a lesser extent, with PPP,
which they were unwilling to put at risk. These youth organisations have always
depended on good links with people in high office providing them with
patronage. A new Islamist party did not promise to fulfil this need.188
Selain itu, citra posisi intelektual Muslim sebagai bagian dari elite penguasa
sejak periode akhir era kekuasaan Suharto hingga kekuasaan transisi Habibie juga
membawa kerugian politiknya tersendiri. Para pemimpin Islam sekarang
diidentikkan dengan status quo dan kebijakan-kebijakan Orde Baru. Sebagai
akibatnya, Islam yang sebelumnya diidentikkan oleh masyarakat di level akar
rumput sebagai penyedia ideologi perlawanan alternatif, sekarang dianggap sebagai
sebuah ideologi penguasa.189 Masyarakat kalangan bawah pun—yang mayoritas
beragama Islam—mengalihkan dukungan politiknya pada kelompok partai sekuler:
“In hoping for political redemption, a vast number of wong cilik (poor people) gave
their allegiance to a ‗secular‘ messianic vision, which was offered by the image of
oppressed Sukarnoism, embodied in Sukarno's daughter, Megawati.”190 Kata
Azyumardi Azra, “one of the important reasons for this is that most of the Muslim
population are learning more towards…‖substantive Islam‖ rather than towards
―formalistic Islam”.191
186
Bernhard Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 60.
187
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid…, h. 172.
188
Bernhard Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 61.
189
Kondisi dilematis ini sudah diprediksi oleh Kuntowijoyo. Ketika peluncuran
buku Identitas Politik Umat Islam pada 8 Juli 1997, Kuntowijoyo telah mengingatkan:
“Peristiwa-peristiwa di permukaan kadang-kadang tampak gebyar, menggembirakan dan
memberi harapan. Akan tetapi, di bawah boleh jadi suram, mencemaskan dan penuh tanda
tanya. Bagaimana kita tidak cemas, seluruh aib bangsa (korupsi, kolusi, monopoli,
manipulasi, kesenjangan, mismanajemen, nepotisme, otoritarianisme) akan ditimpakan
kepada Islam, justru karena sekarang umat Islam berada di pusat.” Lihat Kuntowijoyo.
Muslim Tanpa Mesjid…, h. 297.
190
Latif. The Muslim Intelligentsia…, h. 443.
191
Azra, Indonesia, Islam and Democracy…, h. 18.

219
Sebagaimana terbukti kemudian, prediksi dan kalkulasi politik DDII dan
lainnya justru melenceng dari kenyataan. Partai-partai berasas Islam bukan saja tidak
mau dan tidak mungkin disatukan, tetapi juga tidak didukung mayoritas rakyat
Indonesia yang beragama Islam. Sehingga dalam Pemilu 1999, mayoritas partai-
partai tersebut tidak saja telah gagal meraih simpati dan suara umat, bahkan
menjelma menjadi partai-partai gurem yang tidak mencapai ambang batas Pemilu
(electoral threshold). Kata Azra, “kesalehan di antara kaum Muslimin Indonesia
secara esensial tidak berkaitan dengan masalah pokok dalam kehidupan politik dan
ekonomi.”192
Pada Pemilu itu, hanya 10 partai Islam yang berhasil memperoleh satu atau
lebih dari satu kursi di DPR, yaitu PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi),
PBB (13 kursi), PK (7 kursi), PNU (5 kursi), PP (1 kursi), PSII (1 kursi), PPII
Masyumi (1 kursi), dan PKU (1 kursi). Sekali lagi, hasil pemilu 1999
mengindikasikan bahwa terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas penduduk
Indonesia adalah Muslim, namun partai-partai Islam tidak mampu untuk meraih
dukungan mayoritas. Jika dijumlahkan, dalam pemilu demokratis kedua ini, mereka
hanya berhasil memperoleh 37,5% suara (172 kursi), termasuk PKB dan PAN,
sebagai partai berbasis massa Islam. Tanpa dua partai ini, partai-partai Islam hanya
meraih 17,8% suara (87 kursi).193

2. Polemik Terkait Piagam Jakarta dan Penegakan Syariat Islam


Salah satu agenda reformasi yang menyedot perhatian para aktivis Islam,
tidak terkecuali DDII, adalah proses amandemen UUD 1945 di MPR. Bagi para
aktivis Islam, proses amandemen UUD 1945 ini menjadi momentum untuk
memasukkan gagasan-gagasan politik Islam (baca: Syariah Islam) ke dalam
ketatanegaraan Indonesia. Di antaranya adalah terkait Pasal 29 UUD 1945 yang
mengatur tentang masalah keagamaan. Terkait pasal inilah muncul gagasan untuk
“menghidupkan kembali” Piagam Jakarta.194
Ada dua surat DDII yang berkaitan dengan—atau menyinggung tentang—
penegakan syariat Islam, khususnya Piagam Jakarta. Pertama, surat pernyataannya
bersama Ormas-ormas Islam tentang Amandemen Pasal 29 UUD 1945.195 Kedua,

192
Azra, “Kesalehan dan Politik…,” h. 648.
193
Effendi. Islam dan Negara…, h. 406. Pada Pemilu-pemilu selanjutnya (2004,
2009 dan 2014), partai-partai yang bisa bertahan hanya PPP, PKB, PKS dan PAN. PBB pun
pada akhirnya tidak mampu lagi masuk ke parlemen.
194
Tentang Piagam Jakarta, lihat Endang Saefuddin Anshary. Piagam Jakarta 22
Juni 1945 (Jakarta: Gema Insani Press, 1997). Di era awal Reformasi, Ketika dilakukan
amandemen konstitusi, semula ide terkait Piagam Jakarta ini diusulkan untuk dimasukkan
pada Pemukaan UUD 1945. Namun, karena sudah ada kesepakatan untuk tidak melakukan
perubahan terhadap Pembukaan itu, maka usulannya untuk dimasukkan pada Pasal 29 UUD
1945. Lihat Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi (Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu, 2002).
195
Lihat “Pernyataan Bersama Ormas-Ormas Islam Tentang Amandemen Pasal 29
UUD 45” tanggal 14 Agustus 2000 ditandatangani oleh M. Hafizh (Badan Kerjasama
Pondok Pesantren Indonesia/BKSPPI), Abdul Wahid Alwi (Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia/DDII), Abdi Rahmat (Pelajar Islam Indonesia/PII), Emon Sastranegara (Persatuan

220
surat taushiyah DDII kepada Amien Rais. Pada surat yang pertama, DDII bersama
Ormas-ormas Islam lainnya196 menegaskan bahwa tuntutan pemberlakukan syari‟at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya adalah hak-asasi bagi warganegara yang beragama
Islam. Karena hal itu merupakan konsekwensi logis saja dari sila Ketuhanan (sila
pertama pada Pancasila) yang memerlukan wadah untuk melindungi warganegara
dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya itu.
Dengan demikian, DDII dan Ormas-ormas Islam lainnya menuntut
dicantumkannya 7 (tujuh) kata dalam Piagam Jakarta itu dalam pasal 29 ayat l UUD
1945 sebagai landasan konkrit penyelenggaraan negara yang menuju ditegakkannya
supremasi hukum. Komitmen DDII terhadap penegakan atau penerapan syari‟at
Islam dalam konteks bernegara didasarkan pada keyakinannya bahwa Islam adalah
rahmat bagi sekalian alam. Karena itu, DDII senantiasa memperjuangkan dan
menuntut agar syari‟at Islam diberlakukan bagi para pemeluknya yang merupakan
hak asasinya sebagai warga negara. Perjuangan tersebut terutama dengan menuntut
dicantumkannya 7 (tujuh) kata dalam Piagam Jakarta dalam rangka amandemen
UUD 1945.197
Bagi DDII, Piagam Jakarta merupakan gentlement agreement yang
dihasilkan pada 22 Juni 1945 oleh para pendiri Republik dan diterima dengan suara
bulat dalam sidang pleno BPUPKI pada 11 dan 16 Juli 1945. Adapun penghapusan 7
(tujuh) kata “dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” pada 18 Agustus 1945, merupakan “kecelakaan sejarah” dan bukan
kehendak dari dari para pendiri Republik ini. Berangkat dari keyakinan dan
pendirian tersebut, DDII bersama Ormas-ormas Islam lainnya menuntut
dicantumkannya 7 kata dalam Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945.
Kemudian mereka menolak adanya anggapan bahwa dengan diberlakukannya
Piagam Jakarta akan mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.198
Pernyataan politik DDII dengan jaringan Ormas-ormas Islam ini tidak
sepenuhnya didukung di kalangan elite-elite politikus DDII lainnya. Terutama yang
vokal adalah Amien Rais. Dengan bergulirnya Reformasi, Amien Rais—yang
memang mulai memproyeksikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia yang
sedang menanjak—merasa dihantui oleh stigma dirinya yang sejak lama dicap
sebagai figur yang sektarian. Amien yang selama gerakan reformasi bergaul dengan
para intelektual beragam identitas mendapatkan stimulus untuk mengeksplorasi

Islam/Persis), Muzayin Abdul Wahab (Ikatan Mesjid Indonesia/Ikmi), M. Amin


Djamaluddin (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam/LPPI), dan Adang H. (Gerakan
Pemuda Islam/GPII).
196
Ormas-ormas Islam lainnya tersebut adalah: Badan Kerjasama Pondok Pesantren
Indonesia (BKSPPI), Al-Irsyad Islamiyah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam
Indonesia (PII), Persatuan Islam (Persis), Ikatan Masjid Indonesia (Ikmi), Komite Indonesia
untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI),
dan Gerakan Pemuda Islam (GPI). Lihat Amin. Sikap Politik…, h. 157.
197
Sikap politik DDII dan afiliasinya dengan Ormas ataupun Parpol terkait Piagam
Jakarta dikompilasi dalam Ramlan Mardjoned. Amandemen UUD 1945 Tentang Piagam
Jakarta (Jakarta: DDII, 2000).
198
Lihat “Pernyataan Bersama Ormas-ormas Islam Tentang Amandemen Pasal 29
UUD 45” tanggal 14 Agustus 2000.

221
pluralisme sebagai ideologi politiknya.199 Oleh karena itu, Amien menganggap
gagasan menghidupkan lagi Piagam Jakarta adalah bagian dari stigma sejarah,
sehingga tidak strategis untuk diperjuangkan di era Reformasi.200
Dalam situasi dan kondisi seperti inilah, Amien kemudian diwawancarai
oleh wartawan yang menanyakan pendapatnya seputar Piagam Jakarta. Jawaban atas
pertanyaan itu, Amien menjelaskan kalau dirinya menolak dicantumkannya kalimat
“dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ke dalam
pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Alasan Amien, pada tahap pelaksanaannya di lapangan
hal itu sulit dilakukan. Terlepas dari apakah jawaban Amien itu murni pendapat
pribadinya atau hanya untuk konsumsi pers, tetapi yang jelas hal itu telah
mengecewakan banyak kalangan di DDII.201 Karena selama ini Amien dikenal dekat
dengan Natsir dan mantan pemimpin Masjumi lainnya. Amien juga telah dipandang
sebagai “orang dalam” DDII, bahkan menjabat sebagai salah seorang anggota
plenonya.202 Kekecewaan tersebut pada akhirnya mendorong lahirnya surat
taushiyah DDII tersebut untuk Amien.
Lahirlah Surat Pernyataan DDII yang kedua, yakni surat No. 244/A-Dewan
Dakwah/X/1424 H/2003 M. tanggal 10 Sya‟ban 1424 H/6 Oktober 2003, berisi
taushiyah kepada Amien Rais.203 DDII berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan

199
Latief, Inteligensia Muslim, h. 637.
200
Lihat Ridho Al-Hamdi, “The Jakarta Charter in Post-Soeharto Indonesia:
Political Thoughts of the Elites in Muhammadiyah,” Masyarakat Indonesia, Vol. 41 (1), Juni
2015, h. 43-56. Pandangan dan sikap politik Amien Rais ini tidak hanya diamini elite-elite
dai-politikus di PAN, tapi juga di PK. Platzdasch menjelaskan: “PK did not support the
Shari‘ah Clause despite the conviction that it was the state's obligation to implement Islam.
It specifically was sceptical of the Shari'ah Clause because of too many distortions.
People…get a wrong perception of shari‘ah issues if they are connected to the Jakarta
Charter. The party thus approached the constitutional debates by evading ideological issues
which could endanger the commitment toward broader political reform.” Lihat Bernhard
Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 225.
201
Beberapa elite Muhammadiyah yang terafiliasi dengan DDII turut mendukung
pandangan Amin Rais ini, di antaranya Yahya Muhaimin dan Ahmad Watik Pratiknya.
Lihat Ridho Al-Hamdi, “The Jakarta Charter in Post-Soeharto…,” h. 52-53.
202
Disamping dianggap sebagai kader Natsir, Amien Rais juga secara formal masuk
dalam kepengurusan DDII Pusat. Ia menjadi anggota pleno DDII Pusat sejak 1993 hingga
2005. Yaitu pada Periode Kolektif (1993-1997), Periode Anwar Harjono (1997-1999),
Periode Affandi Ridhwan (1999-2003), dan Periode Cholil Badawi (2003-2005). Baru pada
Periode Hussein Umar (2005-2010), nama Amien tidak tercantum lagi sebagai pengurus.
Lihat A. M. Luthfi dan Mashadi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia Pusat (1967-2005), Laporan Mubes III, tidak diterbitkan; Lihat juga
Akta Notaris Pernyataan Keputusan Rapat Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia,
tanggal 22 Februari 2007, Dokumen, tidak diterbitkan.
203
Dari formatnya, surat ini adalah surat resmi; berkepala surat dan berlogo DDII,
memakai nomor surat, ditandatangani Affandi Ridhwan sebagai ketua umum dengan
menggunakan stempel lembaga. Tetapi, dari segi bahasa yang digunakan, surat ini tampak
lebih bersifat pribadi; dari seorang Affandi Ridhwan kepada seorang Amien Rais. Affandi
juga mengemukakan perasaannya yang mengganjal; bahwa akhir-akhir ini dia merasa kalau
dirinya semakin berjauhan saja dengan Amien, walaupun kemudian ditimpalinya, kalau

222
Amien Rais, yang juga merupakan salah seorang anggota pleno DDII itu, kepada
media massa telah dicatat sebagai salah satu tokoh Muslim yang “menentang”
Piagam Jakarta. Selanjutnya, DDII—atau Affandi Ridhwan atas nama DDII—
mengingatkan Amien yang menurut laporan salah satu media telah menolak
dicantumkannya kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” ke dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Alasan Amien,
demikian media tersebut menulis, pada tahap pelaksanaannya di lapangan, hal itu
sulit dilakukan. Puluhan ribu polisi harus dipersiapkan oleh negara untuk mengawasi
pelaksanaannya. Padahal, demikian Affandi Ridhwan, penegakan syari‟at Islam
dalam diri, masyarakat dan negara dengan cara legal dan sesuai dengan hukum yang
berlaku, merupakan cita-cita keluarga besar Bulan Bintang yang sejak lama telah
didorong dan diperjuangkan oleh Natsir, Roem, Prawoto, dan tokoh Masjumi
lainnya, yang merupakan guru dan orang tua bagi keluarga besar tersebut.204
Selanjutnya, ada 6 (enam) butir saran dan masukan diberikan sebagai bahan
pertimbangan bagi Amien; (1) menggunakan bahasa yang umum dan „netral‟ dalam
melontarkan pendapat, wacana dan komentar, sehingga dapat diterima semua pihak,
tanpa melukai pihak lainnya; (2) mengurangi pemyataan yang terkesan ingin
menyenangkan golongan tertentu, khususnya golongan minoritas, sedangkan
mereka belum tentu mendukung secara tulus dan benar; (3) sering berdialog dengan
tokoh-tokoh umat Islam dengan cara diam-diam, tanpa harus menyampaikannya di
media cetak ataupun elektronik; (4) meyakinkan umat manusia secara umum bahwa
syari‟at Islam adalah rahmatan li-l-‗alamin, melindungi dan mengayomi semua
tanpa pandang bulu; (5) meyakinkan manusia secara umum, bahwa syari‟at Islam
sesungguhnya telah berlaku di negeri ini seperti antara lain dalam mengatur
perkawinan, zakat, bank syari‟ah, perjalanan haji, Pendidikan, akhlak, dan peradilan
agama, tanpa sedikitpun merugikan hak-hak non-muslim; (6) akhir-akhir ini, Amien
dicatat sebagai salah seorang tokoh muslim yang “menentang” Piagam Jakarta,
karena ingin memperlihatkan perlindungan dan pembelaannya terhadap
masyarakat minoritas. Padahal, syari‟at Islam justru menjamin hak-hak dan
kepentingan kaum minoritas, seperti terbukti di sepanjang sejarah kekuasaan umat
Islam.205
Pada pokoknya, surat DDII kepada Amien Rais mengingatkan yang
bersangkutan atas statemen-statemennya yang—menurut DDII—terkesan hanya
ingin menyenangkan golongan minoritas non-Muslim, tetapi dengan mengabaikan
perasaan golongan mayoritas Muslim. Dalam pandangan DDII, Amien Rais telah
melakukan kekeliruan dengan penolakannya terhadap Piagam Jakarta. Karena itu,

perasaannya itu mungkin salah. Lihat surat No. 244/A-Dewan Dakwah/X/1424 H/2003 M.
tanggal 10 Sya‟ban 1424 H/6 Oktober 2003 tentang “Taushiyah Kepada Amien Rais.”
204
Bagi keluarga besar bulan-bintang, Piagam Jakarta merupakan bagian dari
manifestasi “kewajiban negara ikut juga memberikan ruang dan memfasilitasi pelaksanaan
ajaran agama.” Lihat Ramlan Mardjoned. Amandemen UUD 1945…, h. 26.
205
Lihat surat No. 244/A-Dewan Dakwah/X/1424 H/2003 M. tanggal 10 Sya‟ban
1424 H/6 Oktober 2003 tentang “Taushiyah Kepada Amien Rais…,” h. 3-4.

223
sebagai sesama “warga Bulan Bintang,” DDII memberi taushiyah atas kekeliruan
Amien tersebut.206
Berbeda dengan sikap politik Amien Rais, pada ujung spektrum yang lain,
partai-partai Islam terutama PPP dan PBB sedang memperjuangkan Piagam Jakarta
dalam rangka amandemen UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, 2001,
dan 2002. Selain ketiga partai tersebut, isu syari‟at Islam juga diusung partai-partai
Islam lainnya yang lebih kecil yang tidak berhasil meraih kursi di parlemen. Mereka
ini, bersama kelompok-kelompok Islamis nonpartai seperti KISDI, Forum
Komunikasi Ahlus Sunnah Wal-Jama‟ah (FKASWJ), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), memperjuangkan masuknya klausul
Piagam Jakarta melalui demonstrasi-demonstrasi di luar parlemen.207
Kejatuhan Orde Baru dan naiknya B. J. Habibie sebagai Presiden memang
telah dijadikan momentum oleh kelompok-kelompok Islam tertentu untuk menuntut
pemberlakuan syariah.208 Kelompok-kelompok ini mendeteksi bahwa krisis
multidemensi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan oleh watak
pemerintahan yang sekularistik, yang sengaja menjauhkan aturan-aturan Islam dalam
kehidupan bangsa, sebab agama hanya dipahami sebagai urusan individu dengan
Tuhannya saja.209 Tampaknya, pendekatannya yang legal-eksklusif dalam
memahami Islam telah membawa DDII pasca-Natsir ke dalam pusaran arus itu.
Tetapi, meminjam tipologi yang digunakan M. Syafii Anwar dalam melihat perilaku
politik para pemimpin Muslim modernis seiring dengan perubahan kebijakan negara
terhadap umat Islam, telah terjadi perubahan sikap dan perilaku politik di kalangan
DDII pasca-Natsir dari kelompok yang disebutnya sebagai ideolog-kritis, menjadi
kelompok skripturalis militant, atau dari pendekatan legal-formal yang
mengutamakan visi intelektual ke pendekatan legal-formal yang cenderung
menggunakan cara militan dan agresif, serta kerap memobilisasi dukungan massa
untuk mewujudkan aspirasinya.210.
Namun demikian, masih ada elite dai-politikus DDII yang juga
mempunyai pandangan dan sikap politik yang lebih moderat. Pandangan dan
206
Affandi Ridhwan bijak. Surat taushiyah itu ditutup dengan ucapan terima kasih,
permohonan maaf, dan salam. Di sebelah kiri bawah tertera tanda tangan Affandi Ridhwan
sebagai ketua umum DDII dan distempel.
207
Ridho Al-Hamdi, “The Jakarta Charter in Post-Soeharto…,” h. 44; Amin, Sikap
Politik…, h. 203; Lihat juga Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Islam Indonesia:
Sebuah Model bagi Dunia Muslim,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.),
Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta: Mizan
bekerjasarna dengan Yayasan Festival lstiqlal, 2006), h. 647.
208
Bahtiar Effendy. “Islamic Militant Movement in Indonesia,” Studia Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004, h, 420.
209
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Ed.), Menjadi Indonesia…, h. 646-
647.
210
M. Syafi‟i Anwar, “Gerakan Muslim Modernis: Pergumulan Wacana dan Politik
Pasca Orde Baru,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, (Ed.), Menjadi
Indonesia…, h.768-769. Fenomena baru di era reformasi ini pulalah yang membuat DDII
dikelompokkan oleh Kunkler dan Stepan selaras dengan HTI dan Salafi, sebagai kelompok
Islamis yang antidemokrasi. Lihat, Mirjam Kunkler and Alpred Stepan, Democratization and
Islam in Indonesia, (USA: Columbia University Press, 2013), h. 122-123.

224
sikap politik Amien Rais yang menolak Piagam Jakarta didukung oleh Fraksi
Reformasi—terdiri dari PAN dan PK—di parlemen. A. M. Luthfi, Ketua DDII yang
menjadi Ketua Fraksi Reformasi, mengajukan rumusan alternatif terhadap
Amandemen Pasal 29 UUD 1945, bukan Piagam Jakarta. Sementara Hidayat
Nurwahid, Ketua PK, mengajukan usul alternatif lain di luar Piagam Jakarta.
Merujuk pada sejarah Nabi Saw., PK mengajukan Piagam Madinah.211 Kesaksian
Hamdan Zoelva—yang bersama-sama dengan A. M. Luthfi menjadi Anggota PAH I
MPR RI 1999-2004—bahwa:
Pak Luthfi mengusulkan tambahan satu ayat pada Pasal 29 ini, yaitu ayat (3)
yang berbunyi: “Tiap Pemeluk agama diwajibkan melaksanakan ajaran
agamanya”. Apa yang disampaikan Pak Luthfi ini substansinya sama…Saya
yakin bahwa Pak Luthfi sebagai salah satu tokoh ormas Islam pasti memiliki
pandangan yang sama dengan saya…Dengan demikian dua fraksi yang secara
tegas meminta untuk Kembali mencantumkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta
pada Pasal 29. Sedangkan fraksi lain…Fraksi Reformasi…tidak menolak secara
tegas usulan ini, akan tetapi memberikan rumusan yang lebih moderat dengan
tanpa mencantumkan syari‟at Islam.212
Menurut Nadirsyah Hosen, pandangan dan sikap politik Amien Rais—yang
didukung A. M. Luthfi dan koleganya di PAN—sesungguhnya menunjukkan “the
process and the outcome of the amendments by adopting a substantive shari‘a
approach should be seen as their ijtihad.”213 Hal ini bukan berarti bahwa mayoritas
(politisi) Muslim menentang syariah Islam. Sebagai Muslim, mereka menerima arti
penting syariah dan merasa berkewajiban untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam
dalam seluruh aspek kehidupan. Namun, mereka memiliki pandangan yang sangat
berbeda-beda menyangkut soal bagaimana syariah dipahami, ditafsirkan dan
dilaksanakan. Bagi elite dai politikus dengan pendekatan substantif, syariah Islam
tidak harus diadopsi secara keseluruhan dan berperan sebagai hukum positif di
negeri ini.214 Mengutip pernyataan Ali Muhannif, “sebagai hasilnya, perihal “negara
Islam” bisa diwujudkan dalam lembaga-lembaga negara, tanpa mengubah konstitusi
nasional RI.”215
Sudut pandang serupa juga dapat digunakan untuk memahami kenyataan
bahwa para dai-politikus PPP, PBB dan PDU, yang memperjuangkan
dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi baru selama proses amandemen,
pada akhirnya tidak lagi memaksakan tujuan mereka serta tidak menghalangi upaya
211
Lihat “Piagam Madinah Solusi Polemik Amandemen Pasal 29,” Suara Merdeka,
4 November 2001; Lihat juga Qamaruddin, Beginilah Partai Keadilan Sejahtera
Menegakkan Syari‘at Islam: Klarijikasi Fitnah Piagam Jakarta (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna,
2003), h. 45.
212
Lihat Hamdan Zoelva, “Gigih Dalam Pendirian, Moderat dan Terbuka Dalam
Pergaulan,” dalam Luthfi Bukan Ludwig…, h. 188.
213
Nadirsyah Hosen. Shari‘a and Constitucional Reform in Indonesia (Singapore:
ISEAS, 2007), h. 229.
214
Ridho Al-Hamdi, “The Jakarta Charter in Post-Soeharto…,” h. 52-53. Terkait
bagaimana syariah Islam dimodifikasi menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia era
reformasi, lihat Endi Aulia Garadian, “Between Identity and Interest: Revisiting Sharia
Bylaw in Current Indonesia,” Studia Islamika, Vol. 23, No. 2, 2016, h. 391-397.
215
Muhanif, “Al-Shawkah al-Siyāsīyah li al-Afkār al-Dīnīyah…,” h. 99.

225
untuk kembali ke rumusan awal Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mungkin saja mereka menerima
kekalahan konstitusional mereka untuk sementara waktu. Namun, pilihan untuk
tidak menyelesaikan masalah tersebut melalui pemungutan suara (voting)216
menunjukkan bahwa urusan politik keagamaan bisa dikompromikan.217 Bahtiar
Effendy menjelaskan:
Oleh sebab itu, berbeda dengan para politisi Muslim sebelumnya dalam Majelis
Konstituante yang menangani cara itu dengan pemungutan suara—kendati tidak
ada pihak dari kelompok yang saling berlawanan itu yang dapat memperoleh
dukungan yang memadai untuk memenangkan posisi mereka—para politisi
Muslim pada masa pasca-Orde Baru tampaknya telah melunakkan sikap mereka
terkait dengan upaya mereka untuk menghimpun dan mengartikulasikan
kepentingan Islam.218

D. Dari Ideologi-Politik Ke Ide-Ilmu: Transformasi Gerakan Dakwah Elite


DDII di Era Reformasi
Pada partai besutan DDII dengan dukungan BKUI—yakni, PBB—ternyata
pada perkembangannya cukup bermasalah pada elite-elite DDII. Di samping
menjadi terpencarnya elite-elite DDII pada partai-partai politik yang berbeda, juga
dalam praktik-tindakan politik elite-elite PBB tidak memperlihatkan idealisme yang
diinginkan DDII. Kritik terutama muncul pada sosok Yusril Ihza Mahendra sebagai
Ketua Umum PBB.219
Pemikiran dan sikap politik Yusril yang sangat pragmatis akhirnya
membangun PBB menjadi model “Masyumi sekuler.” Dalam istilah yang disebutkan
Fuad Amsyari, “sebuah partai yang berasas Islam namun dikelola secara sekuler.”220
Bagi Yusril, organisasi politik berbeda dengan organisasi dakwah, sehingga format

216
Pilihan untuk tidak melakukan voting dalam Amandemen Pasal 29 adalah sebuah
keputusan strategis yang dilakukan oleh faksi Islam, baik yang mengajukan Piagam Jakarta
maupun rumusan alternatif oleh fraksi reformasi, pada Rapat Paripurna MPR tahun2002.
Lihat Luthfi Bukan Ludwig…, h. 221.
217
Misalnya, menurut Hosen, “Masyumi‘s younger generations, represented by
Yusril Ihza Mahendra, take a more pragmatic approach in order to survive in the political
battle.” Hosen, Shari‘a and Constitucional Reform…, h. 230.
218
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h. 419. Hal yang penting juga disorot
adalah, walaupun terjadi pemencaran politik, namun para elite dai politikus dari kelompok
Islamis maupun dari kelompok Islam dalam partai plural masih bisa melakukan persekutuan
(koalisi), yang disebut oleh Amien Rais sebagai: “Poros Tengah.” Bahkan ketika kepentingan
politik terbentuk antara kelompok Islamis dengan PDI-P karena faktor permusuhan dengan
Presiden Abdurrahman Wahid, koalisi lebih besar terbentuk (plus PDI-P di dalamnya).
Kantor DDII pun pernah dijadikan pertemuan-pertemuan para elite antarfaksi, baik Islamis
maupun sekuler. Lihat Berhard Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 152.
219
Yusril sebagai pemimpin partai Islam disorot kelompok dakwah, karena istrinya
tidak berjilbab. Hal ini menyebabkan kredibilitasnya sebagai tokoh Islam menurun di
kalangan aktivis dakwah. Bahkan polemik terjadi terkait hal ini antara Yusril versus Abdul
Qadir Jaelani. Lihat Latif. The Muslims Intelligentsia…, h. 405.
220
Fuad Amsyari. “Dewan Dakwah Itu Gerakan Dakwah?” dalam Antara Dakwah
dan Politik…, h. 251.

226
dan pengelolaanya pun tentu saja juga berbeda. Simbol bulan-bintang (yang
menyiratkan hubungan dengan Masyumi) dipergunakan hanya untuk kalangan Islam
yang awam. Yusril merujuk pada kalangan pemimpin Masyumi itu sendiri yang
berkampanye tentang negara Islam atau negara berbasis Islam untuk mendapatkan
dukungan dari kalangan masyarakat awam.221
Lebih dari itu, Yusril menunjukkan bagaimana karakteristik pemikiran dan
sikap politik Natsir, yang merupakan tokoh idola kader-kader DDII. Bagi Yusril,
sosialisasi politik Natsir sejak awal telah mendorongnya untuk bersikap positif
dalam memandang adanya pluralisme dalam masyarakat. Latar belakang pendidikan
Barat yang dialami Natsir, membuat alam pemikirannya modernistik. Oleh karena
itu, Yusril menyimpulkan, “sebagai seorang politikus yang terlibat dalam
pengelolaan kekuasaan negara, Natsir memang terdorong untuk bersikap realistik
dan pragmatik dalam menentukan sikap politik.”222 Oleh karena itu, pemikiran dan
sikap politik Yusril pun disorot sangat tajam.223 Bahkan ada pemimpin senior DDII
yang akhirnya mundur dari PBB.224 Kritik terhadap Yusril tidak hanya muncul dari
kalangan pemimpin senior DDII, namun juga oleh aktivis muda DDII dari generasi
ketiga, Adian Husaini.225 Platzdasch menjelaskan,
…the dispute between the pragmatic Islamists and their critics broadly followed
a HMI and PII/GPI division. The senior GPI and PII activists claimed to be
genuine Natsir cadres, perceiving Yusril as a studious outsider, who had
learned and written about Masyumi. They also held that he had never been fully
active in DDII…Yusril never responded to the allegations, as he did not
recognise Adian as a genuine scholar of Masyumi.”226
Para ketua umum DDII, dari mulai Affandi Ridhwan (1999-2004), Cholil
Badawi (2004-2005), hingga Hussein Umar (2005-2007) tidak pernah berhasil
membangun rekonsiliasi pada para dai-politikus DDII di tubuh partai tersebut.227 Hal

221
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme…, h. 204. Sebagai
catatan, tokoh-tokoh Masyumi seperti M. Roem maupun Anwar Harjono menyebutkan
bahwa pada AD/ART Masyumi tidak ada klausul “Negara Islam.” Lihat pembahasan pada
bab sebelumnya.
222
Yusril Ihza Mahendra. “Mohammad Natsir dan Sayyid Abul A‟la Maududi:
Telaah Tentang Dinamik Islam dan Transformasinya Ke Dalam Ideologi Sosial dan Politik,”
dalam Anwar Harjono dkk., Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996), h. 66-67.
223
Ketika Yusril menyampaikan tesisnya tentang pemikiran dan sikap politik Natsir
ini, tokoh-tokoh intelektual yang mengkritisinya tidak hanya dari kalangan DDII, seperti A.
M. Saefuddin, tapi juga Nurcholish Madjid. Keduanya menganggap rumusan Yusril tentang
sikap pragmatik Natsir itu adalah „berbahaya‟ untuk diketahui oleh masyarakat awam. Lihat
Anwar Harjono dkk., Pemikiran dan Perjuangan…, h. 75 dan 79.
224
Tidak kurang dari Hartono Mardjono (Wakil Ketua DDII) dan KH. Khalil
Ridwan (anggota pleno senior DDII) yang melakukan oposisi terbuka terhadap
kepemimpinan Yusril.
225
Adian Husaini, Yusril versus Masyumi: Kritik terhadap Pemikiran Modernisme
Islam Yusril Ihza Mahendra, (Jakarta: Dea Press, 2000). Lihat juga Adian Husaini,
“Mengapa Yusril Berkawan dengan Israel?” Media Dakwah, Maret, 2000.
226
Bernhard Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 101, 108.
227
Bernhard Platzdasch. Islamism in Indonesia…, h. 111.

227
ini juga disebabkna masing-masing juga mempunyai latar belakang yang berbeda-
beda, sehingga sulit untuk memposisikan sebagai tokoh solidarity maker. Pasca-
Natsir, apalagi setelah seluruh eksponen Masyumi di DDII wafat, tidak ada lagi
generasi kedua pemimpin DDII yang bisa menjadi tokoh pemersatu bagi seluruh
kadernya, baik kalangan juru dakwah murni, dai-akademis, maupun apalagi dai-
politikus.228
Dalam konteks inilah, para elite-elite DDII mengevaluasi gerakan
dakwahnya selama sepuluh tahun di era reformasi. Keterpilihan Syuhada Bahri dari
kalangan dai-juru dakwah murni pada Mubes DDII tahun 2010 menyiratkan secara
jelas akan hal itu. Kepemimpinan DDII di bawah kendali Syuhada Bahri menjadi
fokus pada kegiatan dakwah murni dibandingkan pada wilayah politik praktis.229
Sebagai ikhtiar menerjemahkan gagasan M. Natsir mengenai tiga pilar
dakwah, DDII di bawah kepemimpinan Syuhada mencanangkan pengkaderan dai
melalui tiga program prioritas: kader ulama, kader cendekia, dan kader muballigh.
Kader ulama diambil dari santri-santri peringkat 1-3 di pondok pesantrennnya,
sehingga keluaran yang diharapkan, minimal hafal Quran. Kader cendekia diberi
kesempatan kuliah baik Strata-1 seperti di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID)
Mohammad Natsir, Strata-2 dan Strata-3 bekerja sama dengan Universitas Ibnu
Khaldun (UIKA) Bogor bagi kader dai di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten;
dan di Universitas Muhammadiyah Surakarta bagi kader dai yang tinggal di wilayah
Jawa Tengah dan sekitarnya. Adapun kader muballigh ditampung di Akademi
Da‟wah yang dibentuk di berbagai kabupaten.230
Dalam menyiapkan kader cendekia, DDII telah memberikan beasiswa
kepada 47 kader du‘at untuk mengambil program studi Strata-2 di Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Universitas Ibn Khaldun Bogor (UIKA).
Pada tahun 2008, tujuh kader dai mengambil program studi Strata-3.231 Pilihan

228
Kondisi ini yang menjadi catatan evaluatif Cholil Badawi ketika ia berhenti
sebagai Ketua Umum DDII pada tahun 2005 dan kemudian menjadi Ketua Badan Pembina
organisasi tersebut (2005-2010) maupun sebagai anggota Pembina (2010-2015). Lihat Cholil
Badawi dalam Lukman Hakiem. Para Pendiri dan Pemimpin…, h. 89.
229
Patut dicatat, pada era kepemimpinan Syuhada Bahri (2007-2015), kondisi
sosial-politik secara nasional di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
cenderung kondusif untuk kalangan Islamis dan dakwah. Presiden SBY pun menunjukan
cukup perhatian pada gerakan dakwah DDII di bawah kepemimpinan Syuhada Bahri (lihat
Hakiem (ed.), Para Pendiri dan Pemimpin…, h. 218); Lihat juga penjelasan Merle C.
Riclefs, bahwa: “Even though expressly Islamist political parties did poorly in elections, the
Islamisation of the society from the grass roots upward persuaded politicians that they must
make their compromises with the increasingly powerful faith—perhaps in many cases
because Islam was increasingly powerful in their own lives. By the time of President Susilo
Bambang Yudhoyono (2004–14), a much-weakened presidency was reluctant to wield state
authority against even the more thuggish forms of religious activism.” M. C. Ricklefs.
Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History,
c. 1930 to Present (Singapore: NUS Press, 2012), h. 260.
230
Pada era Syuhada Bahri, akademi dakwah ini telah dibentuk pada delapan (8)
daerah. Lihat Bachtiar. Setengah Abad Dewan Da‘wah…, h. 272-273.
231
Di antara kader-kader dai yang mendapat beasiswa DDII, di antaranya adalah: (a)
Isa Anshary, kader dai dari Solo, Jawa Tengah. Setelah menyelesaikan studi di Universitas

228
Syuhada untuk memprogramkan pemberian beasiswa untuk kader-kader dai, sejalan
dengan jejak M. Natsir saat menerima penghargaan internasional (Jâizatul Mâlik
Fâisal al-‗Alâmiyah) dari Lembaga Hadiah Internasional Raja Faisal di Saudi Arabia
atas jasa-jasanya di bidang perkhidmatan kepada Islam (1400/1980). Ketika ditanya
oleh Raja Faisal, hadiah apa yang diinginkan Natsir atas jasa-jasanya itu, Natsir
tidak memilih harta atau yang lain. Natsir meminta hadiah berupa beasiswa untuk
anak-anak Indonesia yang belajar di Saudi Arabia.232 Target Syuhada, kader-kader
dai cindekia itu selalu siap jika sewaktu-waktu DDII memanggil dan memerlukan
tenaga mereka.233

1. Kuntowijoyo dan Gagasan Periode Ide (Ilmu)


Kepemimpinan Syuhada Bachri yang berorientasi Dakwah-Murni cukup
menguntungkan menguatnya peran da‟i akademis.234 Jika sebelumnya (1999-2010),
energi para kader DDII tercurahkan di lapangan politik praktis, maka pada periode
2010-2015 mereka diarahkan kembali ke lapangan dakwah dan pendidikan.
Program-program prioritas ini membuahkan “kondisi yang kondusif” bagi
munculnya generasi baru DDII yang intelektual dan concern dalam pergerakan di
lapangan pendidikan dan dakwah. Para kader DDII ini tidak anti-politik, namun
lebih dalam konteks sebagai wawasan dan partisipatif sebagai warga negara dan
ummat—semacam high-politics-nya Amien Rais pada era Orde Baru.
Pendekatannya menjadi lebih rasional, faktual dan idealistik.
Sesungguhnya kondisi-strategis ini telah diusulkan oleh Kuntowijoyo sejak
tahun 1987-1988 kepada para pemimpin DDII, ketika dirinya menjadi anggota tim
perumus Khittah Dakwah Islam Indonesia yang dipimpin Natsir. Sebagai
sejarahwan, gagasan Kuntowijoyo didasari oleh pendekatan diakronistik terkait

Padjadjaran Bandung, ia mendapat beasiswa DDII untuk jenjang S-2 di UMS, setelah itu
melanjutkan studi S-3 di UIKA juga dengan beasiswa DDII; (b) Nashrudin Syarif, kader dai
Persis Bandung (yang berafiliasi ke DDII) mendapatkan beasiswa S-2 dan S-3 di UIKA; (c)
Ahmad Syarif, kader DDII Jawa Barat, alumnus dari IAIN Bandung ini mendapat beasiswa
S-2 dan S-3 DDII di UIKA; Tidak hanya di kampus-kampus tersebut, DDII juga memberikan
beasiswa bagi kader-kader dai yang melanjutkan studi di kampus umum. Di antaranya adalah
Tiar Anwar Bachtiar, peneliti Insist yang berafiliasi dengan DDII di bawah pimpinan Adian
Husaini. Ketika studi S-3 Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia (UI), ia juga mendapatkan
beasiswa dari DDII. Wawancara dengan Isa Anshary, 5 April 2018; Wawancara dengan Tiar
Anwar Bachtiar, 10 Juni 2018.
232
Hakiem. Para Pendiri dan Pemimpin…, h. 91.
233
Wawancara dengan Dwi Budiman, sekretaris pribadi Syuhada Bahri, di Bekasi
pada 4 April 2019.
234
Namun demikian, kritik juga disampaikan oleh kader-kader DDII terhadap
pilihan Syuhada untuk orientasi gerakan dakwah murni ini, karena menyebabkan, pertama,
kurang fokus pada masalah “pembelaan” (difaan); kedua, berkurangnya jaringan DDII untuk
merajut kerjasama yang konstruktif dengan lembaga dakwah Pendidikan, politik dan sosial,
baik di tingkat nasional maupun internasional; ketiga, “kegamangan” untuk masuk ke
tengah-tengah percaturan pemikiran, dakwah dan politik secara nasional dan internasional;
keempat, kaderisasi lebih ke arah aqidah dan fiqih; dan kelima, adanya faksionlisasi
kelompok. Lihat Misbach Malim, Memahami Visi dan Gerakan Dakwah Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia (Jakarta: DDII, 2015), h. 42-43.

229
perjalanan sejarah Umat Islam Indonesia. Periodeisasi ini dibagi berdasarkan
sosiologi pengetahuannya, yakni tahap-tahap kesadaran umat Islam Indonesia.235
Kunto membagi periode sejarah umat Islam Indonesia menjadi tiga:
Pertama, periode mitos hingga akhir abad ke-19, ketika kesadaran umat Islam
didasari kepercayaan mistis-religius, sehingga menganggap dirinya adalah wong
cilik/kawulo dan mengharapkan adanya Ratu Adil; Kedua, periode ideologi 1900-
1970-an, ketika khasanah pengetahuan Islam dipahami sebagai formulasi normatif,
sehingga berkembang menjadi sebuah ideologi. Timbullah harapan dan gagasan
formula negara Islam; Ketiga, periode ilmu mulai tahun 1980-an, ketika Islam—
dengan formulasi normatif Al-Quran dan hadis—menjadi formulasi teoretis.
Kuncinya pun bukan lagi negara, tetapi sistem. Dalam konteks sistem, negara hanya
menjadi elementer: satu aspek dalam sistem.236 Namun demikian, periode ilmu ini
belum berkembang. Kunto sendiri mengakui, “perkembangan periode ilmu ini
memang belum sempurna betul.”237
Periode ilmu ini ditandai dengan cara berpikir umat mulai logis dengan
memperhatikan kekongkritan sesuatu dan hal-hal empiris. Bagi Kunto, perbedaan
ideologi dengan ilmu itu ada tiga karakteristik: Pertama, pergeseran dari subjektif ke
objektif; kedua, pergeseran dari normatif ke faktual; dan ketiga, pergeseran dari
tertutup menjadi terbuka.238 Pada tahun 1997, ketika meluncurkan karya Identitas
Politik Umat Islam, Kunto menjelaskan tentang kemestian umat Islam Indonesia
bergeser dari pendekatan ideologi ke ilmu:
Ideologi-ideologi ternyata terlalu kaku menghadapi kenyataan…Ideologi Islam
kesulitan dengan kemajemukan bangsa dan kemajemukan umat sendiri. Oleh
karena itu semua harus meninggalkan cara berpikir ideologis dan menggantinya
dengan ilmu. Bagi umat Islam, pergeseran dari ideologi ke ilmu, tidak berarti
pendekatan akhlak harus ditinggalkan, karena ilmu dan akhlak dua-duanya
adalah substansi dari jurus baru itu…Pergeseran dari ideologi ke ilmu itu sesuai
dengan Al-Quran, karena ilmu itu adalah hikmah.239
Konsisten dengan gagasannya itu, Kunto pun mengembangkan apa yang
disebutnya paradigma ilmu sosial profetik sejak akhir tahun 1980 dan diterbitkan
pada awal tahun 1990 oleh Mizan—pengantarnya oleh Dawam Rahardjo masih

235
Lihat Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1985), h. 29.
236
Dalam kaitan ini, M. Syafii Anwar menjadikan pemikiran Kuntowijoyo sebagai
model transformatik. Pangkal titik tolaknya berdasarkan world view Islam bahwa misi utama
agama ini adalah kemanusiaan. Untuk itu Islam harus menjadi kekuatan yang dapat
memotivasi secara terus-menerus dan mentransformasikannya ke dalam berbagai aspek yang
bersifat praksis maupun teoretis. Lihat M. Syafii Anwar. Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 169-172. Bagi Kusmana, “gagasan Kuntowijoyo dapat dikategorikan
sebagai avant garde tafsir maqasidi yang mencoba menurunkan nilai dan norma keislaman
dalam konteks kontemporer dunia Islam umumnya, dan khususnya kontemporer Indonesia.”
Kusmana, “Paradigma al-Qur‟an: Model Analisis Tafsir Maqasidi dalam Pemikiran
Kuntowijoyo,” Afkaruna: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 11, No. 2, 2015, h. 236.
237
Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah…, h. 30.
238
Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah…, h. 30-31.
239
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 25.

230
disebutkan sebagai Ilmu Sejarah Profetik. Kunto sendiri menyosialisasikan Ilmu
Sosial Profetik (tidak hanya ilmu sejarah) di harian umum Republika pada tahun
1997.240 Mendapatkan respon dari kaum intelektual, Kunto kemudian menuliskan
secara lebih spesifik di jurnal ilmiah pada tahun 1999.241 Dengan begini, menurut
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Kunto secara sadar bermaksud membangun sebuah
paradigma baru ilmu pengetahuan, yakni ilmu pengetahuan yang profetik, dengan
agama Islam sebagai landasannya.”242
Dalam membedakan—sekaligus kritik—antara ilmu Barat dengan ilmu
Islam, salah satu patokan yang dipergunakan Kunto adalah aspek etika yang bersifat
humanis-teosentrisme.243 Etika yang disodorkan Kunto mengacu pada pengalaman
Nabi Muhammad Saw. Dasarnya adalah Al-Quran, karena Al-Quran dijadikan
paradigma.244 Dalam gerakan keilmuan Kuntowijoyo, ayat-ayat Al Qur‟an dijadikan
sebagai grand theory ilmu, sehingga Al Qur‟an dapat diaktualisasikan dalam
kehidupan umat manusia (bukan hanya umat Islam). Inilah yang disebut Kunto
sebagai “objektivikasi Islam.”245 Dasarnya adalah Islam, tapi turunan dalam
konsepnya bisa menggunakan istilah-istilah umum yang bisa diterima oleh semua
kalangan.
Rujukan yang dipergunakan Kunto adalah QS. Ali-Imran [3]: 110: amar
ma‘ruf-nahi munkar-tu‘minuna bi-l‘Lah. Dari ayat itu, Kuntowijoyo merumuskan
teori Ilmu Sosial Profetik, yaitu: pertama, unsur amar ma‘ruf yang diartikan
“Humanisasi”. Maknanya, memanusiakan manusia atau upaya mengembalikan
manusia pada fitrahnya. Menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan
kebencian dari manusia;246 Kedua, unsur nahi munkar diartikan “Liberasi”. Yaitu,

240
Kuntowijoyo, “Menuju Ilmu Sosial Profetik”, Republika, 19 Agustus 1997. Salah
satu responnya yang pesimistik, lihat Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu
Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 1997.
241
Lihat Kuntowijoyo, “Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam: Ilmu Sosial Profetik
Sebagai Gerakan Intelektual”, Jurnal Mukaddimah (Nomor 7, Tahun V, 1999).
242
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah?”
Makalah disampaikan dalam ―Sarasehan Profetik 2011‖, diselenggarakan oleh Sekolah
Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011, h. 5.
243
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik Islam (Yogyakarta: UGM Press,
2016), h. 12; Bandingkan dengan Pradana Boy, “Prophetic Social Sciences: Toward an
Islamic-Based Transformative Social Sciences,” Indonesian Journal of Islam and Muslim
Societies, Volume 1, Number 1, June 2011: 95-121.
244
Lihat “Dr. Kuntowijoyo: Al-Quran Sebagai Paradigma,” Jurnal Ulumul Quran,
Nomor 4, Volume V, Tahun 1994), h. 99-100. Konsep paradigma Kunto yang dipahami
sebaga mode of thought atau mode of inquiry, terinspirasi dari peristilahan yang dibuat oleh
Thomas Khun (1973). Produksi dari aplikasi paradigma tertentu adalah mode of knowing atau
cara mengetahui tertentu. Cara inilah yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses pengilmuan
(Islam).
245
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat…, h. 86-88.
246
Kuntowijoyo mengusulkan humanisme-teosentris sebagai ganti humanisme
antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia
harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia
(kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan
rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada

231
bentuk kebebasan yang dapat berarti memerdekaan atau pembebasan dari segala
bentuk kekejaman, ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan;247 dan ketiga, unsur
tu‘minuna bi-l‘Lah diartikan ―Transendensi”, berarti naik ke atas, menembus,
melewati, melampaui atau apapun yang berkaitan dengan upaya manusia untuk
mencapai derajat yang lebih tinggi, lebih mulia dari apa yang sudah dicapai.
Transendensi juga dapat menjadi petunjuk arah sekaligus tempat berpijak
humanisasi dan liberasi.248 Dengan Ilmu Sosial Profetik, Kuntowijoyo mengajak
umat Islam untuk bisa mencapai derajat umat terbaik dengan melakukan ketiga tugas
di atas.
Dalam konteks ini pula, Kunto secara sadar tidak menggunakan istilah
“Islamisasi Ilmu,” melainkan ilmu profetik. Peristiwa yang menjadi pemicu
kesadaran Kunto lebih menekankan istilah ilmu profetik adalah Kongres Psikologi
Islam I di Solo, 10 Oktober 2003. Ketika itu ada pemakaian istilah “Islamisasi
pengetahuan”, yang menggelisahkan Kunto, karena makna istilah tersebut kemudian
“diplesetkan” ke arah “Islamisasi non-pri”, yang dihubungkan dengan “sunat secara
Islam”, atau tetakan (bahasa Jawa). Kunto menjelaskan:
Tentu saja saya sakit hati dengan penyamaan itu, meskipun ada benarnya juga.
Saya sakit hati karena sebuah gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan
disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis. Oleh karena itu saya tidak lagi
memakai istilah “Islamisasi pengetahuan”, dan ingin mendorong supaya
gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti
“Islamisasi pengetahuan” menjadi “Pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi
proaktif. “Pengilmuan Islam” adalah proses, “Paradigma Islam” adalah hasil,
sedangkan “Islam sebagai ilmu” adalah proses dan hasil sekaligus.249
Kunto kemudian menghimpun gagasan-gagasan yang masih terserak di
sana-sini menjadi sebuah “nonbuku darurat”, “nonbuku comat-comot”—begitu
Kunto menyebut buku kecilnya—yang diberi judul Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi dan Etika. Terbit pertama kali oleh Teraju pada tahun
2004, kemudian diteritkan ulang oleh Tiara Wacana pada tahun 2006, beberapa
bulan setelah wafatnya Kunto pada April 2005.

dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan
negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi,
individuasi). Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 1991), h. 228-230.
247
Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan
persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari
ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri
bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris,
bersifat kongkrit. Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem
pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia
sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid..., h. 369-372.
248
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid..., h. 372-374.
249
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika
(Bandung: Teraju, 2004), h. vii-viii.

232
Buku itu menyempurnakan tulisan-tulisan sebelumnya, dengan
menambahkan eksplanasi filsafat ilmunya, terutama epistemologi dan metodologi
ilmu sosial profetik. Kunto menjelaskan:
Paradigma Al-Qur‟an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan
kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur‟an memahaminya. Konstruksi
pengetahuan itu dibangun oleh Al-Qur‟an pertama-tama dengan tujuan agar kita
memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan
dengan nilai-nilai normatif Al-Qur‟an, baik pada level moral maupun pada level
sosial. Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan ini juga memungkinkan kita
untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal ini
sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan gambaran
aksiologis, paradigma Al-Qur‟an juga dapat berfungsi untuk memberikan
wawasan epistemologis.250
Kunto, dengan mengutip Roger Garaudy, mengritisi filsafat Barat (filsafat
kritis) sebagai “tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara dua kubu,
idealis dan materialis, tanpa kesudahan.” Filsafat Barat (filsafat kritis) itu lahir dari
pertanyaan: bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Maka, pertanyaan
seharusnya dibalik menjadi: bagaimana wahyu itu dimungkinkan. Filsafat Barat
sudah “membunuh” Tuhan dan manusia”. Oleh karena itu, disarankan “supaya umat
manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu.”251
Unsur wahyu inilah yang membedakan epistemologi Islam dengan “cabang-
cabang epistemologi Barat yang besar seperti rasionalisme atau empirisme, yang
mengakui sumber pengetahuan sebagai hanya berasal dari akal atau observasi
saja”.252 Dilihat dari perspektif Islam, epistemologi rasionalisme dan empirisme, kata
Kuntowijoyo, menjadi “tampak terlalu sederhana.” Dalam epistemologi Islam
menurut Kuntowijoyo,
Unsur petunjuk transendental yang berupa wahyu juga menjadi sumber
pengetahuan yang penting. Pengetahuan wahyu, oleh karena itu menjadi
pengetahuan apriori. “Wahyu” menempati posisi sebagai salah satu pembentuk
konstruk mengenai realitas, sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang

250
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu…, h. 11.
251
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu…, h. 98.
252
Sebagai perbandingan, Mulyadhi Kartanegara menganggap perlu adanya
Islamisasi Ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan modern telah menimbulkan persoalan
serius baik secara teologis maupun keilmuan. Secara teologis ilmu pengetahuan telah
menjauhkan manusia dari Tuhannya. Sementara secara praktis, pembatasan sains modern
atas obyek ilmunya hanya pada obyek-obyek yang dapat diindra saja bermasalah, karena
membatasi obyek ilmu lainnya yang dapat ditangkap dengan akal dan intuisi. Walaupun akal
dalam tradisi keilmuan Barat dihargai, dalam perkembangan tradisi sains, produksi ilmu
melalui akal dikritik karena unsur spekulasinya dan produksi ilmu melalui intuisi dikritik,
karena bersifat halusinasi belaka. Dalam pandangan Kartanegara, Islamisasi ilmu
pengetahuan yang dikembangkan dalam rangka merespon dikhotomi ilmu pengetahuan yang
ada mesti diarahkan pada gerakan integrasi ilmu pengetahuan holistik yang didasarkan pada
tauhid. Lihat Mulyadhi Kartanegara. Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2003), h. 5.

233
memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim. Dalam
konteks ini, wahyu lalu menjadi unsur konstitutif di dalam paradigma Islam.253
Menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan juga mempunyai
implikasi lebih jauh, yaitu pengakuan adanya struktur transendental yang dapat
menjadi referensi untuk menafsirkan realitas; “Pengakuan mengenai adanya ide yang
murni, yang sumbernya berada diluar diri manusia; suatu konstruk tentang struktur
nilai-nilai yang berdiri sendiri dan bersifat transendental”.254 Oleh karena pesan
utama Al-Qur‟an, menurut Kunto, “sesungguhnya bersifat transendental, dalam arti
melampaui zaman”. Untuk itu diperlukan metodologi yang “mampu mengangkat
teks (nash) Al Qur‟an dari konteksnya”. Caranya tidak lain adalah dengan
mentransendensikan makna tekstual dari penafsiran kontekstual berikut bias-bias
historisnya. Dengan begitu, kata Kunto, “kita akan dapat menangkap kembali makna
teks—yang seringkali merupakan respons terhadap realitas historis—kepada pesan
universal dan makna transendentalnya, sekaligus “membebaskan penafsiran-
penafsiran terhadapnya dari bias-biasa tertentu akibat keterbatasan situasi
historis.”255
Kunto memilih strukturalisme untuk mendekati Al Qur‟an karena
menurutnya “tujuan kita bukanlah memahami Islam, tetapi bagaimana menerapkan
ajaranajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini
tanpa mengubah strukturnya.”256 Dalam hal ini, Kunto banyak mendapat inspirasi
dari strukturalisme yang dikembangkan oleh ahli antropologi Prancis, Claude Lévi-
Strauss. Oleh Kunto, konsep-konsep innate structuring capacity, deep structure dan
surface structure dalam strukturalisme ditransformasikan ke dalam sistem Islam.
Inilah pendekatan strukturalisme-transendental. Dengan begini, Kunto mengusulkan
perluasan muamalah menjadi enam macam kesadaran, yaitu: (1) kesadaran adanya
perubahan; (2) kesadaran kolektif; (3) kesadaran sejarah; (4) kesadaran adanya fakta
sosial; (5) kesadaran adanya masyarakat abstrak; (6) kesadaran perlunya
objektifikasi.257
Gagasan visioner Kunto ini dijadikan objek studi lintasdisiplin, dari mulai
skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal-jurnal ilmiah.258 Di UGM sendiri—kampus tempat
Kunto mengajar—gagasan paradigma profetik ini dibahas beberapa kali, sebelum

253
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu…, h. 17.
254
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu…, h. 18.
255
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu…, h. 18.
256
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu…, h. 28.
257
Pemilihan Kunto pada metodologi ini banyak mendapat kritik, di antaranya
Ahimsa Putra: “Bagian yang bagi saya paling tidak jelas dari paparan mas Kunto setelah ini
adalah uraiannya mengenai strukturalisme transendental…uraiannya mengenai
strukturalisme transendental menjadi begitu membingungkan ketika menjelaskan perlunya
ada perluasan pada “muamalah” dalam Islam, karena di situ tidak terlihat sama sekali
hubungan antara struktur yang transenden dengan perluasan muamalah yang diusulkannya.”
Lihat Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Paradigma Profetik: Mungkinkah…,” h. 10.
258
Lihat, misalnya, Muhammad Ayyinna Yusron El Farouq, Umi Machmudah,
“Prophetical Dimension in Khotbah Di Atas Bukit Novel by Kuntowijoyo,” LiNGUA, Vol.
14, No. 2, December 2019, h. 283-292; Zuly Qodir. “Kuntowijoyo Dan Kebudayaan
Profetik,” PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 16, No. 1, Juni 2015, h. 103-113.

234
akhirnya diterima menjadi bagian pembelajaran di kampus tersebut, khususnya di
Fakultas Ilmu Budaya (Humaniora).259 Bagi Ahimsa Putra, “apa yang mas Kunto
lakukan adalah sebuah langkah awal untuk mewujudkan sebuah Paradigma Islam
dalam jagad ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini umumnya menggunakan basis
paradigma dari dunia Barat.”260 Bagi Kunto sendiri, prospek paradigma ilmu profetik
didukung oleh maraknya diskursus post-modernism, yakni penolakan terhadap
pemisahan (de-differentiation).261
Namun demikian, gagasan ilmu profetik Kunto ini tidak populer di kalangan
kader-kader dai akademis DDII. Kunto sendiri menyosialisasikannya secara umum,
tidak berupaya khusus pada kalangan terbatas DDII. Lebih dari itu, gagasan dengan
istilah Islamisasi ilmu pengetahuan lebih menarik bagi umumnya kader-kader DDII.
Selain karena misinya sama-sama mengritik paradigma ilmu Barat, juga karena
Islamisasi ilmu-pengetahuan langsung digerakkan oleh pemimpin teras DDII. Yakni,
Adian Husaini.262

2. Adian Husaini dan Gerakan Islamisasi Ilmu era 2005-2015


Orientasi gerakan dakwah murninya Syuhada Bachri tidak lantas kemudian
langsung memunculkan kader-kader—yang Syuhada sebut sebagai—kaum
“cindekia‟ DDII. Namun demikian, perubahan orientasi gerakan tersebut telah
membangun landasan baru bagi para kader DDII. Perubahan yang lebih memberikan
“suasana kondusif” untuk terjadinya “musim semi” bagi kaum cindekia DDII yang
berorientasi gerakan keilmuan dan pemikiran keislaman.
Konseptor untuk perubahan orientasi pergerakan DDII ini dibalik Syuhada
Bahri adalah Adian Husaini. Sebagai generasi ketiga DDII, Adian baru menjadi
Ketua DDII pada era Hussein Umar menjabat Ketua Umum tahun 2005. Namun,
demikian, Adian bisa lebih leluasa merancang gagasannya pada era Syuhada Bahri
yang menggantikan Hussein Umar, karena meninggal pada Februari 2007. Hal ini
jelas terlihat, bahwa program kaderisasi yang digagas Adian Husaini baru berjalan
dengan bekerjasama pada beberapa perguruan tinggi pada pertengahan tahun
2007.263
259
Pada 2 Nopember 2002, sebuah sarasehan ilmu-ilmu profetik digelar di UGM di
gedung Pascasarjana. Sejumlah makalah dari berbagai disiplin dipresentasikan, di antaranya
dari bidang Ilmu Humaniora, Ilmu MIPA dan Teknik, Ilmu Sosial, Ilmu Pertanian dan Ilmu
Kesehatan. Pada 10 Februari 2011, UGM kembali menggelar “Saresehan Profetik 2011,”
yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta.
260
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Paradigma Profetik: Mungkinkah…,” h. 6.
261
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid…, h. 362. Sebagai sebuah paradigma
keilmuan yang baru, paradigma profetik diprakirakan oleh Ahimsa-Putra akan dapat
melahirkan berbagai macam transformasi, baik di tingkat individual maupun kolektif, pada
tataran sosial maupun budaya, yang kemudian akan melahirkan transformasi kualitatif dan
kuantitatif pada seluruh aspek kehidupan manusia. Lihat Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik
Islam…, h. 185-194.
262
Pimpinan teras DDII sebelum Adian Husaini yang juga telah mempopulerkan
Islamisasi ilmu pengetahuan di lingkungan kader-kader DDII adalah A. M. Saefuddin dengan
strategi “Islamisasi Sains dan Kampus” (ISK), sejak tahun 1980-an. Lihat pembahasan pada
Bab IV.
263
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Dakwah…, h. 237.

235
Adian Husaini,264 ketua DDII dari generasi ketiga, merupakan tokoh
penggerak kader-kader muda dai akademis DDII dengan berbagai jaringannya baik
di Indonesia maupun di Malaysia. Ketika Syuhada mencanangkan kaderisasi dai
DDII, Adian Husaini menjabat sebagai Ketua Ghazwul Fikri DDII. Adianlah yang
kemudian merumuskan Program Kaderisasi Ulama (PKU) DDII,265 sebagai
pengejawantahan dari program prioritas DDII untuk mengkader dai ulama dan dai
cindekia.
Adian Husaini sebelumnya dikenal sebagai aktivis-penulis prolifik yang
menentang kelompok Islam Liberal266 yang muncul di era reformasi, terutama
Jaringan Islam Liberal (JIL).267 Namun persentuhan intelektual Adian dengan S. M.
Naquib Al-Attas di ISTAC-IIUM, Malaysia, membangun framework pemikiran dan
kiprah Adian lebih meluas pada wilayah pemikiran peradaban Islam. Sejak itulah
Adian mengikuti gagasan Al-Attas mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan. Seperti
senior sebelumnya di DDII—yaitu A. M. Saefuddin yang menggagas Islamisasi
sains dan kampus pada 1980an dan Kuntowijoyo dengan Islam sebagai Ilmu pada
1990an dan awal tahun 2000—Adian Husaini pun mempunyai gagasan pemikiran
yang sama. Bagi Adian,

264
Adian Husaini lahir di Bojonegoro Jawa Timur, 17 Desember 1965. Ia
memperoleh pendidikan Islamnya dari Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Bojonegoro (1971-
1977), Pondok Pesantren Ar-Rasyid Kendal Bojonegoro (1981-1984), Pondok Pesantren Ulil
Albab Bogor (1988-1989), dan Lembaga Pendidikan Bahasa Arab, LIPIA Jakarta (1988).
Sambil nyantri ia menyelesaikan juga sekolah menengah formalnya hingga ia diterima
berkuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB hingga selesai. Akan tetapi, ketertarikannya
pada ilmu-ilmu sosial dan pemikiran lebih besar hingga kemudian ia menyelesaikan pogram
master dalam bidang Hubungan Internasiobal di Universitas Jayabaya Jakarta. Antara tahun
2003 ia melanjutkan studinya di Institute of Islamic Thought and Civilization-International
Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) dalam bidang pemikiran dan peradaban Islam.
Tahun 2009, ia berhasil menyelesaikan doktornya dengan disertasi berjudul “Exclusivism and
Evangelism in the Second Vatican Council: A Critical Reading of The Second Vatican
Council Documents in the Light of the Ad Gentes and the Nostra Aetate.”
265
Tiar Anwar Bachtiar. Pertarungan Pemikiran Islam Di Indonesia: Kritik-kritik
Terhadap Islam Liberal Dari HM Rasjidi Sampai INSIST (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2017), h. 192.
266
Sebagai penentang Islam Liberal pada fase sebelum gerakan Islamisasi ilmu,
Adian dipandang oleh para Indonesianis sebagai kelompok “garis keras,” sebagaimana
diilustrasikan Ricklefs: “There were many highly combative, uncompromising figures
involved in sniffing out and denouncing ‗deviance‘. They were characters whom people of all
stripes readily described as coarse, harsh, narrow-minded…and suchlike, thinking of the
young Adian Husaini of DDII.” M. C. Ricklefs. Islamisation and Its Opponents…, h. 339.
267
Siginifikasi JIL bagi gerakan liberalisasi Islam di era reformasi, dijelaskan
Aidulsyah dan Mizuno: “The new phase of liberal Islamic movement was cultivated within
the Indonesian society when some Muslim thinkers—mostly affiliated with NU, and inspired
by the idea of liberalism—began affiliating themselves with JIL (Jaringan Islam Liberal).
JIL, which was established since 2001, entered the broader Indonesian public sphere the
following year.” Lihat Fachry Aidulsyah and Yuzi Mizuno, “The Entanglement Between
Anti-Liberalism and Conservatism: The INSISTS and MIUMI Effect within the „212
Movement‟ in Indonesia,” Journal of Indonesian Islam, Volume 14, Number 0 1, June 2020,
h. 8.

236
Tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin saat ini adalah problem ilmu.
Teori ilmu yang berkembang di Barat termanifestasikan dalam berbagai aliran
seperti rasionalisme, empirisisme, skeptisisme, agnostisisme, positivism,
objektivisme, subjektivisme, dan relativisme. Aliran-aliran semacam ini
setidaknya berimplikasi sangat serius dalam sejumlah hal. Pertama,
menegasikan dan memutuskan relasi manusia dengan alam metafisika,
mengosongkan manusia dan kehidupannya dari unsur-unsur dan nilai
transenden serta mempertuhankan manusia. Kedua, melahirkan dualisme.
Manusia dibuat terjebak pada dua hal yang dikotomis dan tidak dapat
dipersatukan, seperti dikotomi dunia-akhirat, agama-sains, tekstual-kontekstual,
akal-wahyu, objektif-subjektif, induktif-deduktif, dan seterusnya. Ini
mengakibatkan manusia sebagai makhluk yang terbelah jiwanya.268
Pemahaman terhadap problem utama yang tengah dihadapi umat Islam
dewasa ini sebagai tantangan keilmuan mendorong para Adian Husaini dan para
kadernya membangun gerakan yang juga bersifat keilmuan berbasis riset. Mereka
menyebutnya sebagai “dakwah berbasis riset” atau “jihad ilmu,” yakni meneliti,
menulis, dan kemudian menyampaikan ilmu melalui berbagai forum ilmu dianggap
sebagai aktivitas paling penting dalam menegakkan Islam dewasa ini.269 Pilihan
perjuangan pada bidang ilmu ini ditujukan untuk membangun suatu “budaya ilmu”
atau “tradisi ilmu” di kalangan umat. Budaya atau tradisi ilmu yang dimaksud adalah
perhatian dan kecintaan masyarakat pada ilmu sehingga menjadi karakter yang
dimiliki masyarakat.
Menurut Adian Husaini,270 budaya ilmu atau tradisi ilmu yang hidup di satu
masyarakat menjadi faktor utama yang akan mengantarkan masyarakat itu
berperadaban maju. Ia mencontohkan Jepang setelah Perang Dunia II. Negara ini
setelah dilanda kekalahan dan kehancuran kemudian beralih menghidupkan tradisi
ilmu melalui berbagai lembaga ilmu seperti sekolah, pusat penelitian, dan bahkan di
perusahaan-perusahaan. Karena keseriusannya menciptakan tradisi ilmu ini, dalam
hitungan puluhan tahun saja Jepang kemudian menjelma menjadi negara maju yang
cukup diperhitungkan di dunia. Bila ditarik ke belakang hal yang sama juga terjadi
di Yunani dan Romawi yang melahirkan peradaban Romawi. Bahkan masyarakat
Barat hari ini pun maju karena tradisi yang dikembangkan adalah tradisi ilmu. 271
Berdasarkan contoh ini, pembangunan tradisi ilmu yang dimaksud mirip dengan
konsep investasi pengetahuan (knowledge investment) yang dikenal dalam teori-teori
pembangunan.

268
Adian Husaini, “Islamisasi Ilmu,” Republika, Kamis 12 Maret 2009.
269
Sebab, bagi Adian, semua kerusakan dalam berbagai bidang, baik politik,
ekonomi, sosial, keluarga maupun pendidikan, porosnya adalah rusaknya ilmu yang
dijadikan dasar bertindak. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu gerakan keilmuan untuk
membersihkan ilmu dari polusi dan kerusakan sehingga bisa menjadi dasar yang benar untuk
melakukan perbaikan-perbaikan di masa yang akan datang. Lihat Adian Husaini, Muslimlah
daripada Liberal: Kumpulan Catatan Perjalanan ke Inggris (Jakarta: Gema Insani Press,
2011), h. 94.
270
Adian Husaini, Muslimlah daripada Liberal …, h. 95.
271
Adian Husaini, Muslimlah daripada Liberal…, h. 96.

237
Di era-era sebelumnya, jaringan DDII sangat erat dengan Muhammadiyyah
dan Persis dalam konteks gerakan dakwah secara umum di Indonesia.272 Pada era
reformasi, jaringan baru DDII dibentuk secara khusus kaitan dengan gerakan
keilmuan dalam wacana pertarungan pemikiran keislaman di Indonesia. Di antara
jejaring baru DDII—melalui Adian Husaini—dalam bidang keilmuan dan pemikiran
keislaman adalah Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations
(Insists) dan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).273 Terutama
dengan jaringan Insists, keberadaan Adian Husaini seolah identik. Tiar Anwar
Bachtiar menjelaskan:
Puluhan buku dan ratusan artikel yang ditulisnya telah menempatkan Adian
Husaini menjadi salah satu penulis paling produktif di Indonesia. Karena
produktivitasnya ini pula, INSISTS menjadi semakin memiliki daya tawar
intelektual di kalangan para pengkaji pemikiran Islam. Bahkan, INSISTS
hampir tidak bisa dilepaskan dengan sosok Adian Husaini. Adian adalah
INSISTS, INSISTS adalah Adian, walaupun sebetulnya yang membentuk
pemikiran INSISTS ini banyak orang.274
Terutama melalui INSISTS, Adian Husaini mengembangkan gerakan
Islamisasi ilmu pengetahuan, yang sejak tahun 1980an telah dipopulerkan oleh
DDII.275 Namun, berbeda dengan sebelumnya, gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan
Adian—baik melalui DDII maupun INSISTS—lebih komprehensif dengan sumber
rujukan adalah S. M. Naquib Al-Attas. Bagi Adian, Al-Attas adalah gurunya
sewaktu kuliah S3 di ISTAC-IIUM, Malaysia.

272
Lihat Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without
Liberalism (New York: Cambridge University Press, 2016), h. 54-57; Bandingkan dengan
Ahmad Najib Burhani, “The 45th Muhammadiyah Congress: Contest between Literal-
Conservative and Liberal-Moderate Muslims in Indonesia,” Studia Islamika, 12, Vol. 1
(2005), h. 185-189.
273
Kedua organisasi baru di era reformasi itu, salah satu inisatornya adalah Adian
Husaini itu sendiri. INSISTS didirikan sekitar bulan Maret 2003 (Muharram 1424 H).
Tempat pembentukannya adalah di Kuala Lumpur Malaysia. Tokoh-tokoh penting yang
terlibat dalam pendirian Insists ini antara lain: Hamid Fahmi Zarkasy, Adian Husaini, Adnin
Armas, Anis Malik Toha, Nirwan Syafrin Manurung, Henri Salahudin, Syamsudin Arif, Ugi
Suharto, dan Muhammad Arifin Ismail. Mereka sebagian besar adalah mahasiswa yang
tengah menyelesaikan studi master dan doktor di International Institute of Islamic Thought
and Civilization-International Islamic University (ISTAC-IIUM). Wawancara dengan Adian
Husaini di Depok, 12 Oktober 2018. Dari Insists itu pula kemudian lahir MIUMI. Lihat
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Da‘wah…, h. 239.
274
Tiar Anwar Bachtiar. Pertarungan Pemikiran Islam…, h. 196.
275
Seperti telah disinggung sebelumnya pada bab 4, gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan yang lebih dahulu populer dan banyak diperbincangkan di Indonesia adalah
gagasan versi Al-Faruqi. Tersebar cepatnya gagasan Al-Faruqi di Indonesia tidak terlepas
dari keterlibatan DDII di dalamnya. IIIT di Malaysia secara khusus bekerja sama dengan
DDII melalui penerbit Media Dakwah untuk menerbitkan karya-karya penulis IIIT dalam
bahasa Indonesia. Gagasan Islamisasi ini pula yang kemudian menjadi perbincangan di
kalangan intelektual, baik yang berhaluan liberal maupun bukan. Akan tetapi, gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan saat itu hanya menggelinding dalam ruang-ruang buku dan
jurnal ilmiah. Operasionalisasinya secara kongkrit tidak terlihat jelas. Lihat Bab IV.

238
Mengacu pada Al-Attas, gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui empat
tahapan. Pertama, Islamisasi harus bermula dari individu yang harus dibebaskan dari
pemikiran magis, mitologis, animis, kultur anti-Islam, dan pemikiran sekuler. Selain
itu Islamisasi individu ini juga harus dapat menempatkan diri pada tempatnya
sebagai manusia. Ini dapat dilakukan ketika manusia memahami dengan baik fitrah
insaninya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, wahyu, alam semesta, maupun
dengan sesama manusia sendiri. Kepahaman ini akan melahirkan manusia “beradab”
(memiliki adab) yang merupakan tujuan utama pendidikan bagi manusia.276
Kedua, agenda berikutnya dalam proses Islamisasi adalah mengislamkan
bahasa, karena bahasa inilah yang mempengaruhi akal dan worldview seseorang.
Dalam konteks ini, Al-Attas menyerap pengalaman Rasulullah Saw. ketika
mengislamkan bangsa Arab. Usaha pertama yang dilakukannya dalam mendakwahi
masyarakat Arab adalah dengan mengislamkan bahasa Arab yang konsep-konsepnya
sudah dipenuhi dengan konsep Jahiliyyah menjadi bahasa Arab-Qurani.
Ketiga, dari Islamisasi bahasa akan segera beralih pada Islamisasi
pandangan-dunia (worldview). Pandangan-dunia yang telah terislamkan akan
membentuk semesta berpikir komprehensif tentang realitas yang dihadapi manusia
berdasarkan wahyu Allah Swt. Dalam kerangka pembentukan pandangan-dunia
Islam ini, Al-Attas menulis berbagai buku dengan tema-tema pokok yang berkaitan
dengan Islamic worldview.277 Al-Attas mengartikan worldview (pandangan-dunia)
berdasarkan perspektif Islam adalah sebagai berikut: “…What is meant by worldview,
according to the perspective of Islam, is then the vision of reality and truth that appears
before our mind‘s eye revealing what existence is all about; for it is the world of
existence in its totally that Islam is projecting. Thus by worldview we must mean ru‟ yat
al-islam li al-wujûd.278

276
S. M. N. Al-Attas. Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. xiii,
105-107. Dalam proses ini yang menjadi teladan utama adalah bagaimana Rasulullah Saw.
mengislamkan masyarakat Jahiliyyah dengan bermula mengislamkan individu-individu yang
nanti akan menjadi sahabat-sahabatnya.
277
Buku paling penting dalam tema ini adalah Prolegomena to the Metaphysic of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001). Dalam buku ini, Al-Attas memperkenalkan konsep-
konsep kunci Islam untuk menafsirkan realitas yang dihadapi manusia (Muslim). Dalam
setiap penjelasannya, ia memulainya dari konsep-konsep lingustik yang tepat untuk
menggambarkan setiap konsep yang akan dibahasnya. Cara ini ditempuhnya sebagai wujud
konsistensinya dalam menjelaskan langkah-langkah Islamisasi yang harus diawali dengan
pengislaman konsep-konsep linguistik.
278
S. M. N. Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001), h. 2. Dengan kata lain, Islamisasi worldview berarti menjelaskan apa yang
oleh Islam melalui wahyu dianggap memiliki wujud (bereksistensi) dalam kehidupan ini.
Eksistensi tidak ditentukan oleh pengakuan manusia atau proyeksi pikiran manusia seperti
yang dipercayai oleh mazhab rasionalisme Barat yang berhasil menghancurkan agama
Kristen. Misalnya, Islam mengakui eksistensi Allah Swt., sebagai satu-satunya Tuhan,
mengakui bahwa para Nabi diutus oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu kepada umat
manusia. Hidup kita di dunia ini tidak berhenti sampai di sini, melainkan akan ada dunia lain
setelah manusia mati atau dunia hancur yang disebut akhirat. Walaupun manusia tidak dapat
menangkap eksistensi akhirat, tapi Islam telah memproyeksikan eksistensinya, sehingga
harus dijadikan pegangan keyakinan. Konsep-konsep kunci dalam Islamic worldview dibahas

239
Keempat, setelah terbentuk worldview yang Islami dalam pikiran setiap
orang, maka secara natural dari situ akan lahir ilmu-ilmu yang terislamkan. Dalam
pandangan Al-Attas, ilmu itu berada dalam akal manusia bukan berada di luar diri
mereka. Oleh sebab itu, sebagai prasyarat lahirnya ilmu-ilmu yang terislamisasi
adalah mengislamkan akal dan worldview para ilmuwannya. Pada titik ini terjadi
juga perbedaan dengan konsepsi Al-Faruqi yang lebih mengedepankan
mengislamkan disiplin-disiplin ilmu melalui pengislaman metodologi. Al-Faruqi
dianggap keliru, karena gagal memahami bagaimana disiplin-disiplin ilmu itu
terbentuk.279
Disiplin-disiplin ilmu seperti sosiologi, antropologi, arkeologi, administrasi,
dan sebagainya justru lahir dari akar worldview Barat yang dalam berbagai hal perlu
diuji kesesuaiannya dengan worldview Islam. Uji-kesesuaian itu bahkan harus
diterapkan pada tepat tidaknya pengkategorian ilmu-ilmu seperti yang ada sekarang.
Suatu cabang ilmu terbentuk sebagai suatu disiplin sebagai hasil dari kecenderungan,
latar belakang, dan tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai suatu masyarakat.
Melalui pengkajian yang sistematik, lahirlah disiplin-disiplin ilmu tersebut. Oleh
sebab itu, bagi Al-Attas, mengislamkan ilmu pengetahuan ini hanya berlaku bagi
“ilmu pengetahuan kontemporer” yang terpengaruh Barat. Sementara ilmu-ilmu
tradisional Islam sudah sejalan dengan worldview Islam.280
Melalui dukungan dan fasilitasi DDII, INSISTS kemudian bisa menerbitkan
jurnal Islamia.281 INSISTS secara khusus baru membahas masalah Islamisasi ilmu
pada Jurnal Islamia edisi ke-5 yang terbit tahun 2005. Empat edisi sebelumnya,
Jurnal ini lebih tertarik mengkaji mengenai hermeneutika dan pluralisme agama. Hal
ini dikaitkan dengan isu yang tengah ramai diperbincangkan antara tahun 2003 dan
2005. Tahun 2002, muncul tulisan Ulil Abshar Abdalla di Kompas yang intinya
ingin mencoba menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang membentuk syariat secara
hermeneutis. Pada tahun 2003 disusul dengan terbitnya buku Fikih Lintas Agama
yang mencantumkan nama-nama pesohor Islam Liberal seperti Nurcholish Madjid
dan lainnya.282 Kedua terbitan ini telah menimbulkan polemik berkepanjangan
hingga keluar fatwa MUI tentang haramnya sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme
tahun 2005.283 Peristiwa-peristiwa ini telah membuat istilah „hermeneutika dan

secara panjang lebar oleh Al-Attas dalam bukunya ini, seperti konsep tentang agama, wahyu,
nabi, manusia, kebahagiaan, jiwa manusia, dan sebagainya.
279
Bachtiar. Pertarungan Pemikiran Islam…, h. 201.
280
Bandingkan dengan Kuntowijoyo yang justru secara sadar mengambil beberapa
teori dari ilmuwan Barat yang dianggap relevan dan berguna, misalnya konsep paradigma
Thomas Kuhn atau Strukturalisme Levi‟s Strauss. Lihat Islam Sebagai Ilmu…, h. 32-34.
281
Yaitu: Bendahara DDII Edi Setiawan dan Umar Basalamah (pengurus DDII).
Lihat Bachtiar. Setengah Abad Dewan Da‘wah…, h. 233.
282
Lihat Mun‟im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina dan TAF, 2003).
283
Ada peran sentral Adian Husaini terkait fatwa MUI 2005 tentang Sepilis ini: “In
2005, Adian Husaini, who was recruited by MUI‘s central board since 2000s, took an
important role by formulating the concept for the MUI fatwas, the ―Banning of Islam
towards Pluralism, Liberalism, and Secularism SiPiLis‖ as well as ―Religious deviation of

240
pluralisme agama‟ menjadi wacana yang menarik banyak kalangan, bukan hanya
para pengkaji studi Islam melainkan juga masyarakat umum.
Untuk membangun umat dengan “jihad ilmu,” dibutuhkan kader-kader yang
mendapatkan Pendidikan tinggi. DDII telah memiliki Sekolah Tinggi, tapi hanya
jenjang S1. Untuk itu, Adian Husaini membangun jaringan dengan perguruan tinggi
lain yang telah ada Pascasarjananya. Perguruan tinggi yang berhasil diajak
kerjasama adalah Pascasarjana Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) dan Pascasarjana Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldul
(UIKA) Bogor.284 Ke UMS, jaringan DDII-INSISTS berhasil masuk melalui
Syamsul Hidayat dan Muinudinillah Basri, dosen UMS yang sama-sama aktif di
Muhammadiyah bersama Adian Husaini. Sementara ke Ibnu Khaldun, akses
masuknya melalui Didin Hafidudin yang bersama-sama Adian Husaini aktif di DDII
Pusat.
Skema kerjasama yang dibuat mula-mula adalah menitipkan mahasiswa S2
Program Kaderisasi Ulama (PKU)-DDII di kedua PT ini. PKU-DDII ini adalah
program unggulan yang dirancang oleh Adian Husaini yang saat itu menjadi ketua
Bidang Ghazwul Fikri di DDII-Pusat. Calon-calon mahasiswa direkrut oleh DDII
dari berbagai wilayah Indonesia, terutama Jawa. Para peserta dari Jawa Bagian Barat
kemudian dititipkan di UIKA, sedangkan dari Jawa Tengah dan Timur di UMS.
Dalam skema kerjasama dengan kedua PT ini, ada mata kuliah yang wajib diajarkan,
yaitu Islamic Wordlview dan team teaching-nya semua dari dai-dai akademis
jaringan DDII-INSISTS.285
Selain itu, beberapa mata kuliah yang dianggap pokok seperti metodologi
riset dan penentuan tema riset harus atas persetujuan PKU-DDII yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh para pegiat INSISTS yang mencetuskan gagasan
program PKU ini. Pada tahun 2007, program ini mulai merekrut sekitar tiga puluh
orang mahasiswa S2 untuk ditempatkan di UIKA dan 30 orang untuk ditempatkan di
UMS. Semua peserta program ini mendapatkan beasiswa studi secara penuh dari
donasi perseorang maupun Baznas RI.286
Pada tahun 2009, program ini diperluas kerjasamanya dengan Prodi S2
Pendidikan Nilai Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Namun,
kerjasama dengan UPI hanya berjalan dua tahun saja (2009 dan 2010) dengan
jumlah peserta sekitar 50 orang. Sementara di UIKA dan UMS terus berjalan hingga
tahun 2015 (saat riset ini dilaksanakan). Model pengelolaannya pun semakin
diintensifkan. Di UIKA sejak tahun 2011, seluruh peserta S2 program ini wajib
tinggal di Pondok Pesantren Mahasiswa Ulul Albab UIKA Bogor selama satu tahun,

Islam and violation of religious freedom”. Lihat Fachry Aidulsyah and Yuzi Mizuno, “The
Entanglement Between Anti-Liberalism…,” h. 10.
284
Bachtiar. Setengah Abad Dewan Da‘wah…, h. 237.
285
Bachtiar. Pertarungan Pemikiran Islam…, h. 201.
286
Pembiayaan beasiswa ini pada mulanya berasal dari para donatur perorangan,
namun kemudian pada tahun kedua mendapatkan bantuan sepenuhnya dari Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) yang saat itu ketuanya adalah Didin Hafiduddin yang juga
Rektor UIKA Bogor. Lihat Bachtiar. Pertarungan Pemikiran Islam…, h. 202. Hasil
wawancara terhadap beberapa alumni program PKU ini mengonfirmasi hal tersebut.

241
khusus untuk peserta laki-laki. Sementara di UMS, sejak tahun 2012 diterapkan
pola yang sama hanya dikhususkan untuk perempuan.287
Tahun 2009, UIKA diizinkan membuka program doktor (S3) Pendidikan
Islam. Adian Husaini langsung ditunjuk untuk menjadi ketua programnya. Ia yang
merancang kurikulum dan segala hal yang berkaitan dengan program ini.
Kepercayaan ini diberikan setelah sebelumnya, Program S2 Pendidikan Islam UIKA
mendapatkan kepercayaan masyarakat, setelah bekerjasama dengan dai-dai
akademis DDII-Insist. Indikasinya adalah banyaknya peminat program ini setiap
tahunnya di luar yang mengikuti program beasiswa penuh. Lulusannya pun banyak
yang telah berkiprah di berbagai ormas dan gerakan. Oleh sebab itu, Program S3
UIKA sepenuhnya merupakan tantangan intelektual bagi dai-dai akademis DDII-
Insist untuk mewujudkan pemikiran dan cita-citanya.288
Seiring dengan beberapa aktivis INSISTS yang mengelola beberapa
perguruan tinggi, tugas akhir para mahasiswa, baik S1, S2, maupun S3, diarahkan
untuk memperkuat dan memperkaya wacana Islamisasi ilmu pengetahuan ini.289 Dari
data tesis mahasiswa S2 dan S3 Program Kaderisasi Ulama Baznas-DDII dapat
dilihat riset-riset untuk tugas akhir ke arah dewesternisasi atau aplikasi Islamisasi
ilmu pengetahuan. Ada 37 tesis yang dihasilkan para kader dai akademis DDII ini,
yang diujikan baik di Pascasarjana UIKA maupun UMS. Khusus untuk jenjang S3
hanya dilaksanakan di UIKA, sebanyak sembilan disertasi.290
287
Wawancara dengan Isa Anshary, kader PKU-DDII Solo, Jawa Tengah, 5 April
2018.
288
Pihak UIKA pun, sejak pertama kali dibuka program ini sepenuhnya
mempercayakan pengelolaan, terutama kurikulum, kepada Adian Husaini. Kolega Adian di
Insist, seperti Nirwan Syafrin, dan Adnin Armas, langsung ditarik menjadi dosen tetap di
UIKA. Sementara dengan UMS, kerjasama masih bersifat parsial pada pengelolaan program;
sedangkan di UIKA, intervensi Adian dan tim Insists sampai kepada masalah-masalah
mendasar berkaitan dengan kebijakan kurikulum. Wawancara dengan Adian Husaini di
Depok, 12 Oktober 2018.
289
Tema-tema di atas sebagian besar dibimbing oleh para aktivis dai akademis DDII
dan Insists seperti Adian Husaini, Hamid Fahmi Zarkasyi, Nirwan Syafrin Manurung, dan
lainnya dan memang diarahkan untuk mengembangkan gagasan-gagasan Al-Attas secara
lebih luas. Dengan cara seperti ini mereka berharap bahwa gagasan-gagasan Al-Attas ini
dapat terlihat bentuk nyatanya secara pemikiran ketika dihadapkan pada berbagai kasus di
Indonesia ini. Lihat Tiar Anwar Bachtiar. Pertarungan Pemikiran Islam…, h. 292.
290
Yaitu: 1) Misbah Malim, Konsep Integrasi Ilmu Menurut Mohammad Natsir (S3
UIKA); 2) Budi Handrianto, Pembelajaran Sains Menurut al-Qur'an dan Implementasinya di
Sekolah-sekolah Islam (S3 UIKA); 3) Dinar Kania Dewi, Studi Komparatif Pemikiran
Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Naquib al-Attas (S3 UIKA); 4) Erma
Pawitasari, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam (Studi Kritis Terhadap Kebijakan
Pendidikan Karakter) (S3 UIKA); 5) Muhammad Faqihuddin, Orientalisme Dalam Studi
Aqidah di Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga (S3 UIKA); 6) Muthoifin, Pemikiran
Pendidikan Ki Hajar Dewantoro Perspektif Pendidikan Islam (S3 UIKA); 7) Nashrudin
Syarif, Pemikiran HM Rasjidi Tentang Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi (S3
UIKA); 8) Nur Hidayat, Studi Kritis Terhadap Konsep Pendidikan dan Aplikasinya di
Pesantren Liberal (S3 UIKA); dan 9) Wido Supraha, Studi Kritis Terhadap Sejarah
Perkembangan Sains Menurut George Bartons (S3 UIKA). Tema-tema tesis dan disertasi ini
hanya sebagian dari yang dibuat oleh para peserta PKU BAZNAS-DDII.

242
Bila mengacu pada visi ini, apa yang diperjuangkan dai-dai akademis DDII
era reformasi adalah Islam yang berperadaban dan berkemajuan, bukan Islam yang
hanya sekedar memiliki kekuasaan atau Islam yang hanya berorientasi pada akhirat
dan mengabaikan kehidupan duniawi. Cita-cita seperti ini sebetulnya tidak jauh
dengan cita-cita yang diperjuangkan oleh para pemikir Islam Liberal. Bila
diperhatikan tulisan-tulisan Nurcholish Madjid, misalnya, maka segera akan
ditemukan bahwa Islam yang ingin dibangunnya adalah Islam yang maju atau Islam
yang berperadaban. Ia menginginkan Islam yang maju, bukan Islam yang
terbelakang.291 Kedua aliran yang cenderung saling mengritik nantinya ini pada
mulanya sama-sama menginginkan kemajuan untuk Islam.
Dengan demikian, antara kelompok Islamis DDII vis-à-vis kelompok Islam
Liberal cenderung bervisi peradaban Islam. Walaupun sama-sama menghendaki
kemajuan bagi Islam, dai-dai akademis DDII dan para aktivis Insists berbeda jalan
dengan para pemikir Islam Liberal dalam meletakkan problem dasar umat Islam.
Islam Liberal cenderung melihat apa yang diwariskan peradaban Barat sebagai
sesuatu yang positif. Kreativitas Barat menciptakan sekulerisme sebagai dasar
hubungan agama dan politik, keberhasilan mereka membangun ilmu pengetahuan
dan teknologi, keberhasilan relatif demokrasi dalam menciptakan tata politik dunia
yang baru, ekonomi pasar, dan sebagainya dapat diterima dengan baik di kalangan
pemikir Islam Liberal. Berpikir dan bertindak rasional seperti yang dipraktikkan
Barat saat ini berhasil mengantarkan Barat menuju puncak peradabannya.292
Sementara itu, Adian Husaini dan kader-kader muda dai akademis DDII—
sebagaimana juga guru mereka Al-Attas—bersikap sangat kritis terhadap peradaban
Barat modern. Karena amat kritis terhadap Barat ini, banyak pihak yang
menyimpulkan bahwa Al-Attas dan murid-murid yang mengikutinya anti-Barat.
Adian—dan kader-kader dai kademis DDII pada umumnya—memang
berkesimpulan bahwa nilai-nilai yang tumbuh dalam peradaban Barat modern seperti
selularisme inilah yang menjadi biang keladi utama kerusakan umat Islam, bahkan
kerusakan kemanusiaan itu sendiri.293 Walaupun terlihat Barat mendapatkan
kemajuan, namun kemajuan itu semu belaka.

291
Sebagai contoh bahwa yang menjadi cita-cita kelompok Islam Liberal ini adalah
juga ingin mencapai kemajuan peradaban Islam dapat dilihat antara lain dalam buku-buku
yang ditulis oleh Nurcholish Madjid yang secara langsung menyebut peradaban Islam,
seperti Islam Doktrin dan Peradaban; Islam Agama Peradaban; dan Kaki Langit Peradaban
Islam. Di dalam buku-buku itu, Madjid juga mempermasalahkan keterbelakangan umat Islam
dibandingkan dunia Barat saat ini, melawan stagnasi dan konservatisme yang hanya
membuat umat Islam menjadi cenderung jumûd (tidak berkembang). Salah satunya, lihat
Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1999).
292
Oleh sebab itu, pemikir liberal seperti Nurcholish Madjid, sejak awal—
misalnya—mempromosikan sekulerisasi sebagai salah satu cara untuk memajukan umat
Islam dari kungkungan doktrin konservatif yang membelenggu umat. Cak Nur sendiri
mengklaim meneruskan tradisi modernis Masyumi—melalui gerakan „neo-modernisme‟-nya
itu. Lihat pernyataan Madjid tersebut pada Anwar Harjono dkk., Pemikiran dan Perjuangan
Muhammad Natsir (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 69.
293
Lihat Khittah Da‘wah Islam Indonesia (Jakarta: DDII, 1990), h. 6.

243
Adian Husaini, dalam menjelaskan kerusakan peradaban Barat akibat
sekulerisme, menuliskan gagasannya itu dalam Wajah Peradaban Barat (2007).294
Dalam buku ini, Husaini mengungkapkan data-data tentang ironi peradaban Barat
yang digalinya dari berbagai rujukan yang ditulis oleh sarjana-sarjana Barat sendiri.
Ia memulainya dengan ironi globalisasi dan westernisasi yang melahirkan banyak
skandal dan tragedi di Barat. Apalagi ketika hal yang sama juga menyerang aagma
Kristen hingga agama ini pun menjadi ikut tersekulerkan dan terliberalkan.
Peradaban yang sudah menyimpan berbagai masalah pun akhirnya harus
berselingkung dengan kekuatan Zionis Yahudi untuk menghancurkan benteng
kekuatan Islam terakhir, Turki Usmani. Kemenangan Barat atas Turki menjadi
pertanda kemenangan peradaban Barat itu sendiri. Namun, kemenangan ini justru
bukan melahirkan kesejahteraan bagi kemanusiaan, melainkan menimbulkan banyak
kerusakan dan kematian. Husaini mengurai fakta untuk mendukung argumen bagian
pertama tentang peradaban Barat yang disimpulkannya sebagai “telah melahirkan
nestapa kemanusiaan.” Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa peradaban
Barat yang telah menjadi sekuler dan liberal perlu ditolak.295
Pergumulan antara pemikiran Islamis Adian (dan jaringan DDII, INSISTS)
vis-à-vis Islam Liberal justru terwadahi di koran Republika. Tampaknya, Republika
ingin mewadahi semua kalangan umat Islam dari berbagai mazhab dan golongan.
Oleh sebab itu, terkadang pemikiran Islam Liberal pun banyak dimuat di media ini,
namun pemikiran yang berseberangan seperti INSISTS juga diberi ruang. Di antara
ruang untuk INSISTS ini adalah terbitnya Jurnal Islamia di harian ini.
Sangat mungkin masuknya jaringan DDII-INSISTS ke Republika ini juga
karena reputasi dan pengaruh Adian Husaini. Bachtiar menjelaskan,
Selain dikenal sebagai penulis prolifik yang tulisannya banyak dijumpai di
berbagai media, Adian juga yang pernah menjadi wartawan di harian ini selama
beberapa tahun. Teman-teman seangkatan Adian sudah banyak yang berada di
level pimpinan seperti Nashihin Masha sehingga komunikasi antara INSISTS
dengan Republika relatif lebih mudah dilakukan. Akhirnya, kesepakatan
ditandatangani bulan Januari 2009. Dalam kesepakatan itu disetujui bahwa
INSISTS selama sebulan sekali diberi jatah sebanyak empat halaman penuh
untuk diisi oleh tulisan-tulisan yang temanya ditentukan INSISTS mengenai
pemikiran Islam. Pihak Republika hanya memberikan halaman dan tidak
memberikan honor untuk tulisan-tulisan tersebut.296
Edisi pertama Islamia koran terbit pada Kamis, 12 Maret 2009 dengan tema
“Islamisasi Ilmu”. Penanganan editorial Islamia Republika ini langsung dipegang
oleh Adian Husaini yang dalam hal ini lebih berpengalaman.297 Sesuai dengan
karakter koran, jurnal ini sebetulnya berisi tulisan-tulisan populer mengenai berbagai

294
Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat (Jakarta: Gema Insani Press,
2007), khususnya h. 1-127.
295
Husaini, Wajah Peradaban…, h. 121-127.
296
Bachtiar. Pertarungan Pemikiran Islam…, h. 296.
297
Dalam hal ini Adian Husaini sangat berperan dalam menentukan kualitas
jurnalisme dari tulisan-tulisan yang dimuat. Tulisan-tulisan dengan tema pemikiran yang
berat dibuat agar dapat dikomsumsi oleh pembaca yang lebih luas dan beragam, termasuk
pembaca awam.

244
tema pemikiran Islam. Tulisan dibuat lebih ringan dan pendek dibandingkan Islamia
edisi majalah sehingga jangkauan pembacanya dapat lebih luas. Tema-tema yang di
dalam versi majalah bisa berjumlah belasan atau puluhan halaman hanya dibuat
dalam satu atau setengah halaman koran. Selain itu, tulisan-tulisan pun dibuat sebisa
mungkin menyangkut topik-topik hangat yang tengah terjadi saat tulisan diunggah.
Tema-tema yang ditulis dalam Islamia koran ini beragam, sekalipun pada
umumnya memiliki semangat yang sama, yaitu menolak pemikiran-pemikiran Islam
Liberal dalam berbagai hal. Lebih tepat lagi menolak pemikiran-pemikiran yang
dianggap sekuler. Bila dikelompokkan selama lebih dari enam puluh (60) edisi
Islamia Republika, tema-tema yang dibahas antara lain mengenai: Islamisasi ilmu
pengatahuan, liberalisasi pemikiran Islam, pluralisme agama dan toleransi, pelurusan
sejarah Indonesia, politik Islam, psikologi Islam, gender, LGBT, peradaban Islam di
tanah Melayu, dan Syiah. Ada beberapa tema yang terlihat diulang-ulang, namun
sebetulnya berbeda pembahasan sehingga satu tema dengan tema lainnya saling
memperkaya.298 Tradisi keilmuan semacam ini dapat menjadi awal dari suatu tradisi
akademik yang panjang.
Dari pembahasan sub-bab ini terlihat bahwa mulai dekade awal tahun 2000,
generasi baru elite DDII telah mentransformasikan gerakannya, dari konsentrasi
politik ke gerakan Islam sebagai ilmu. Dua tokoh utamanya, Kuntowijoyo dan Adian
Husaini, adalah elite-elite dai akademis yang mampu mewacanakan perubahan
gerakan itu dengan dasar pemikiran yang sama, namun model-pendekatan yang
berbeda. Perbedaan pendekatan ini pun membuat resonansi gerakannya pun berbeda
pula, baik dalam konteks internal DDII (dan berikut jaringannya) maupun dalam
skala umum umat Islam Indonesia. “Tarik menarik, pergumulan dan kontestasi
dalam pemikiran Islam Indonesia pasti terus berlanjut di masa depan. Merupakan
tradisi yang sehat jika pergumulan tidak didasari prasangka dan permusuhan; tetapi
sebaliknya tetap dengan saling menghargai—meski tidak setuju dengan suatu corak
pemikiran tertentu,” kata Azyumardi Azra.299

298
Di antara tema-tema utama yang khusus membahas Islam dan ilmu pengetahuan
sejak edisi perdana hingga terbitan Agustus 2014 adalah; a) Kamis, 12 Maret 2009,
Islamisasi Ilmu; b) Kamis, 9 Juli 2009, Konsep Adab dalam Pendidikan Islam; c) Kamis, 13
Agustus 2009, Orientalis dan Penulisan Sejarah Indonesia; d) Kamis, 10 September 2009,
Psikologi dalam Islam; e) Kamis, 20 Mei 2010, Studi Agama-Agama dalam Tradisi Islam
dan Barat; f) Kamis, 15 Juli 2010, Meluruskan Pelajaran Sejarah Indonesia; g) Kamis, 19
Agustus 2010, Belajar Fisika Secara Islami; dan h) Kamis, 21 Oktoberr 2010, Pendidikan
Karakter Menurut Islam.
299
Azra, “Kontestasi Pemikiran Islam…,” h. 183.

245
246
BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah adalah dinamika proses kesinambungan dengan disertai perubahan-
perubahan yang terjadi di dalamya. Dinamika tersebut terjadi—mengutip
Christopher Lloyd dalam The Structures of History—sebagai akibat dari struktur
sosial yang memiliki kekuatan untuk mengekang dan menentukan (constraining),
sedangkan individu atau kelompok sosial yang bertindak sebagai agent of change
menginginkan adanya perubahan struktural tersebut. Artinya, agen yang mempunyai
kemampuan untuk mengubah struktur sosial.
Dari pembahasan mendalam terkait pemikiran dan praktik dakwah-politik
para elite DDII sepanjang periode 1967 hingga 2015, dapat disimpulkan sebagai
berikut: Pertama, dinamika terjadi sepanjang sejarah DDII. Pergulatan pemikiran
elite-elite DDII sekaligus dengan praktiknya pada pentas panggung Islam Indonesia
merupakan fakta adanya dinamika tersebut. Polarisasi terbentuk karena elite-elite
DDII mempunyai karakteristik sebagai elite dai murni yang berseberangan secara
diametral dengan elite dai politikus, sementara dai akademis cenderung berada di
tengah antara keduanya. Ketiga model elite DDII ini mempunyai latar belakang
organisasi—bagian dari jaringan internal DDII—yang berbeda-beda. Pada
momentum tertentu, elite dai akademis berjibaku dalam proses dakwah minus
politik, seperti model dakwah kampus atau pesantren pada era deideologisasi Orde
Baru 1967-1990. Namun dalam kesempatan lain, ketika momentum politik pada era
akhir Orde Baru hingga awal reformasi muncul (1990-2007), maka elite-elite dai
akademis pun turut larut dalam proses pergulatan politik praktis. Elite dai politikus
generasi baru DDII pun muncul menggantikan eksponen politikus Masyumi. Di lain
pihak, elite dai murni seperti Syuhada Bahri tetap teguh dalam proses kegiatan
dakwah non-politik praktis, khususnya pendidikan dan kaderisasi dai. Era Syuhada
Bahri 2007 hingga 2015, DDII menunjukkan momentum para elite mudanya, seperti
Adian Husaini, dalam transformasi gerakan keilmuan Islam. Namun, dalam
keseluruhan proses tersebut, masing-masing kelompok dai tetap memainkan peran
yang cukup signifikan dan cenderung saling mendukung satu sama lainnya.
Kedua, karakteristik pemikiran dan praktik dakwah-politik para elite DDII
terbagi ke dalam tiga tipologi, yakni juru dakwah murni yang diwakili Syuhada
Bahri, dai akademis seperti Adian Husaini atau Kuntowijoyo, dan dai politikus
seperti Anwar Harjono atau Huseein Umar. Sementara itu, elite DDII seperti A. M.
Saefuddin, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra adalah elite dai akademis yang
kemudian bertransformasi menjadi elite dai politikus di era reformasi ketika struktur
politik baru memberikan kesempatan untuk itu. Pada periode akhir Orde Baru telah
muncul generasi kedua elite DDII yang didominasi oleh dai-dai akademis dan
politikus di tingkat nasional, sementara para kader juru dakwah murni berjibaku di
arus bawah masyarakat. Kepemimpinan DDII hingga akhir Orde Baru masih
tersentralisasi pada orientasi gerakan politik Islamis. Memanfaatkan situasi
harmonisasi dengan pemerintah, sebagian elite-elite DDII terjun di dunia politik

247
praktis, sementara dai-dai akademisnya bergabung pada ICMI dan MUI—lembaga
yang dicitrakan dekat-cooptated Pemerintah Orde Baru. Fenomena Islamisasi pada
wilayah ketatanegaraan di tingkat nasional berjalin kelindan dengan penguatan
Islamisasi di kalangan masyarakat luas, baik di pedesaan maupun lebih-lebih di
perkotaan yang dilakukan oleh dai-dai juru dakwah murni.
Jika pada generasi awal polarisasi pemikiran dan sikap politik bisa teredam
karena ketokohan Natsir sebagai solidarity maker, maka pada generasi kedua elite
DDII ini cenderung menjadi lebih terbuka. Terdapat individu-individu pada
kalangan elite dai akademis DDII, seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, Abdullah
Hehamahua yang menunjukkan karakter pemikiran dan sikap politik yang
bertentangan dengan arus-utama elite DDII. Periode 1995-1997 adalah periode awal
terjadinya polarisasi antarelite DDII tersebut. Puncaknya adalah ketika terjadi
reformasi 1998. Terjadi polemik antara pendirian partai Islam vis-à-vis partai plural.
Polemik juga terjadi ketika arus utama elite DDII menggagas sekaligus mengajukan
Piagam Jakarta untuk masuk pada proses Amandemen Konstitusi, sementara elite
DDII lainnya mengajukan gagasan yang lebih umum, sehingga otomatis menolak
Piagam Jakarta. Polarisasi hanya bisa terhenti jika ada kesamaan kepentingan,
seperti pada kasus koalisi poros tengah. Di era reformasi, pemikiran dan sikap
politik pragmatistik elite-elite dai politikus menjadi ciri utamanya.
Periode generasi ketiga, elite-elite dai akademis DDII merumuskan tema
baru dalam orientasi gerakan dakwahnya, karena momentum kepemimpinan dai
murni oleh Syuhada Bahri pada 2007-2015. Tema utama ―Islam sebagai Ilmu‖
menjadi orientasi gerakan elite DDII era reformasi. Dengan pengantar dari
Kuntowijoyo pada pertengahan dasawarsa 1990 hingga awal reformasi, kemudian
dilanjutkan secara lebih massif oleh Adian Husaini sejak tahun 2007 hingga 2015.
Kedua elite DDII ini dengan peran berbeda relatif telah berhasil membangun
transformasi gerakan DDII, antara kesinambungan holistisisme gerakan pada satu
pihak, maupun perubahan aksentuasi penekanan tertentu pada gerakannya—yakni
gerakan keilmuan—di Indonesia kontemporer.
Ketiga, jaringan dakwah-politik terbentuk dengan adanya polarisasi elite
DDII secara meluas, menjadikan gerakan politik DDII tidak monolitik. Berdasarkan
elite-elite yang secara formal tergabung dalam kepengurusan organisasi, jaringan
dakwah-politik DDII tersebar pada Ormas-ormas keislaman, seperti Muhamadiyah,
Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), maupun organisasi yang
bersifat taktis seperti Forum Umat Islam (FUI), KISDI, dan sebagainya. Melalui
elite-elite yang menjadi ―anak-kader‖ Natsir, akses jaringan DDII pada partai-politik
tidak terbatas pada politik yang berlabel Islam—seperti Partai Bulan Bintang
(PBB)—namun juga dengan partai-partai yang bersifat terbuka, seperti Partai
Amanat Nasional (PAN), dengan catatan hubungan personal antarelite. Hubungan
positif dan mutualistik tetap terjaga antarelite-elite tersebut. Jaringan internasional
juga tetap terjalin, melalui warisan dari Natsir seperti Râbithah al-‗Alam al-Islamî,
ataupun dengan lembaga internasional baru pasca-Natsir, seperti Islamic
International Council for Dakwah and Relief. Peran krusial dijalankan KISDI dalam
pergulatan jaringan internasional elite-elite DDII tersebut.
Keempat, dalam konteks sejarah DDII, agen-agen perubahan pada kelompok
elitenya secara kontinyuitas terus beriteraksi dalam struktur, baik kelembagaan DDII

248
maupun struktur (dan kultur) umat Islam Indonesia itu sendiri. Elite-elite DDII
mempertahankan prinsip-prinsip perjuangan yang dibangunnya dan secara sekaligus
juga merespon peristiwa-peristiwa pada masyarakat dan negara. Dialektika tidak
hanya terjadi dengan umat Islam dan masyarakat Indonesia, namun juga secara
internal pada elite-elite dalam tubuh kelembagaan DDII itu sendiri ketika merespon
peristiwa-peristiwa tersebut.
Kesinambungan pada sejarah DDII terlihat selama perjalanan tiga generasi
elite-elite lembaga tersebut dari sejak berdirinya pada tahun 1967 hingga tahun
2015. Elite generasi pertama pada 1967-1990 disambung dengan generasi elite
kedua pada 1990-2000, dan generasi ketiga yang mulai berperan pada dekade awal
millenium kedua di Indonesia (2000-2015). Prinsip-prinsip dan nilai-nilai
perjuangan DDII terus dipertahankan: tauhid, nilai etis syariah (shari‟ah
mindedness) dan pemikiran holistisisme Islam yang berimplikasi terus
dipertahankannya juga sikap anti-sekularisme. Tidak ada satu elite—yang menjabat
formal—DDII yang mengubah prinsip ini pada tataran pemikiran dan praksisnya.
Dalam hal ini, karakter modernis-reformis menjadi ciri gerakan DDII yang
membuatnya menjadi bagian dari kelompok revivalis-Islamis Indonesia.
Sebagai kelompok Islamis-modernis, gerakan DDII berkesinambungan
dalam perjuangan politik Masyumi pada era awal kemerdekaan. Episentrum
perjuangan untuk Islamisasi di medan politik (negara) terus menjadi titik-tekan
dakwah-politik DDII sebagai legacy Masyumi, dari sejak Orde Baru tahun 1967
hingga awal reformasi tahun 2000an. Namun bukan berarti negara Indonesia adalah
negara kafir, karena pemikiran dan sikap politik elite-elite DDII menerima negara
Indonesia sebagai sebuah kenyataan sejarah dan politik, bentuk dari sikap
demokratis dan konstitusionalisme DDII. Perjuangan politik kelompok Islamis DDII
adalah integralistik, selalu dalam wacana bingkai negara kesatuan Republik
Indonesia. Tiga generasi DDII (1967-1990, 1990-2007, 2007-2015) menunjukkan
kesinambungan pemikiran dan perannya dalam membangun masyarakat Islam
Indonesia dengan prinsip—mengutip Remi Medinier dan Bernhard Platzdash—
constitutionalism dan integralism.

B. Rekomendasi
Penelitian serius tentang DDII sebagai salah satu aset masyarakat civil
terkemuka di Indonesia masih perlu dilakukan lagi, terutama tentang segi-segi yang
relatif belum banyak dijamah oleh para peneliti sebelumnya. Prosfek gerakan
keilmuan DDII masih harus diteliti lebih lanjut, apakah masih akan berlanjut dengan
titik tekan tertentu, atau malah terhenti karena elite-elitenya kembali berpolitik
praktis. Hal ini penting terkait kesinambungan gerak sejarah DDII, maupun
perubahan-perubahan dalam aksentuasi gerakan dakwahnya oleh aktor-aktor elite
DDII.
Segi-segi lainnya, misalnya dari aspek ekonomi dan pendidikan DDII yang
mulai berkembang secara lebih serius di era reformasi. Perkembangan pada kedua
aspek ini pun bisa diteliti lebih mendalam untuk memahami transformasi gerakan
kelompok revivalis-Islamis di Indonesia yang terus mengalami perkembangan dalam
setiap aspek gerakannya. Hal yang penting direkomendasikan pada struktur internal

249
elite DDII itu sendiri adalah fokus prioritas dalam aspek kaderisasi melalui program-
program pendidikan dainya, baik secara formal maupun informal.

C. Post-Script
Sebagai catatan pada garis besar sejarah DDII, arus utama pemikiran—dan
sekaligus pada tataran praktik—elite-elite DDII tidak bisa ―melepaskan-diri‖ dari
framework para pendirinya, terutama Natsir. Kondisi seperti ini menyebabkan
mayoritas elite DDII tidak ada yang berani ―melangkahi‖ platform perjuangan
dakwah-politik ketika momentum politik tersebut terbuka di era reformasi. Oleh
karena itu, sikap-skap politik DDII yang siffatnya official (resmi) masih
menunjukkan sifat Islamis-formalistik, cenderung hanya melanjutkan kebijakan
yang diperjuangkan oleh Natsir pada era jauh sebelumnya. Ini yang bisa dipahami
dalam konteks pendirian partai Islam reinkarnasi Masyumi dan atau usulan Piagam
Jakarta dalam proses amandemen Konstitusi di era reformasi. Hanya segelintir elite
yang kemudian berani melawan arus utama tersebut, sehingga mendapat tausiyah-
teguran atau bahkan kritik tajam. Dalam hal ini, kesimpulan tidak jauh ditarik: antara
DDII dengan Natsir tidak terpisahkan, walaupun sang pendiri tersebut telah tiada.
Implikasi pencitraan DDII tersebut kian mempertegas posisi dan perannya
sebagai lembaga amar ma‟ruf nahi munkar, dengan posisi sebagi social control dan
social support secara sekaligus. Namun konsekwensinya, obsesi Natsir—sebagai
founding fathers DDII—menjadikan lembaga ini sebagai pengayom, pendamai,
problem solver dan solidarity maker (perekat umat) menjadi problematis dan kian
sulit untuk diwujudkan oleh para kader-kadernya pada fase-fase berikutnya pasca-
Natsir. Terlebih dengan perubahan dan perkembangan situasi kondisi dan peta umat
Islam dalam blantika sosial-politik Indonesia era reformasi. Sementara itu,
ketokohan Natsir sebagai ―pemimpin umat‖ dengan reputasi internasional, belum
juga tergantikan dalam lembaga ini. Kerinduan dan nostalgia para kader DDII
terhadap Masyumi—dan khususnya Natsir—hampir secara keseluruhan
mencerminkan akan hal tersebut.
Fenomena sejarah DDII ini juga menunjukkan bahwa Islamisme belumlah
selesai di Indonesia, namun dengan variasi yang lebih heterogen dan moderat. Hal
ini segera nampak ke permukaan, ketika terjadi pergantian kepemimpinan elite DDII
dari Syuhada Bahri ke M. Shiddiq (2015-2021), seorang elite dai dengan karir
professional di Islamic Development Bank (IDB). Pada masa awal kepemimpinan M.
Shiddiq, terjadi peristiwa politik yang tak terduga. Pada tahun 2016, terjadi gerakan
sosial yang disebut ―Gerakan Aksi Bela Islam.‖
Aksi Bela Islam I, II, dan III yang dilakukan pada 14 Oktober 2016, 4
November 2016, dan 2 Desember 2016, mengutip A. N. Burhani, merupakan critical
events (peristiwa yang sangat penting) untuk melihat perkembangan keagamaan di
Indonesia. Salah satunya berkaitan dengan fragmentation of religious authority
(fragmentasi atau terpecah-pecahnya otoritas keagamaan). Aksi Bela Islam itu
seakan ingin menunjukkan peta baru keagamaan di Indonesia yang selama ini
terlihat agak kabur, sepertinya menjadi semakin jelas. Warna ―Islam non-NU dan
Muhammadiyah‖—yang biasanya selalu dianggap representasi umat Islam
Indonesia—seperti semakin besar dan terus berkembang. Gerakan sosial yang

250
kemudian lebih dikenal dengan sebutan ―Aksi 212‖ jelas bermotif politik: ingin
menjatuhkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Peristiwa ini cenderung menunjukkan sebagai struktur kesempatan politik—
yang juga berlaku pada pemikiran dan gerakan elite-elite DDII dalam merespon
Aksi 212. Dalam merespon Aksi 212, hampir seluruh elite DDII mempunyai satu
suara dan menjadikan Ahok sebagai common-enemy (musuh bersama). Jika dalam
isu-isu politik lainnya—seperti masalah Piagam Jakarta—polarisasi pemikiran dan
sikap politik terjadi, namun tidak pada peristiwa Aksi 212. DDII itu sendiri secara
organisatoris bersikap terbuka dalam mendukung Aksi 212 tersebut. Dana dan
jaringan gerakan DDII secara taktis dibentuk untuk mendukungnya. Lebih dari itu,
melalui MIUMI dan INSIST, elite-elite muda DDII tampak menjadi pendukung
utama yang ―mengawal‖ aksi 212—di samping Habib Rizieq Shibab dan FPI
sebagai organ utama aksi 212.
Apa yang bisa disimpulkan dari fakta peristiwa ini? Pertama, bahwa elite-
elite DDII memang tidak bisa terpisahkan dengan dunia politik—sebagai bagian
tidak terpisahkan dari dunia dakwah. Bahwa dakwah-politik tetap merupakan
mainstream gerakan elite-elite DDII. Ketika struktur kesempatan politik terbuka
seolah otomatis menggerakkan aksi-aksi politik DDII. Kedua, sebaliknya, DDII di
bawah kepemimpinan M. Shiddiq seolah-olah kembali terjebak dalam dunia politik
praktis, dengan menegaskan DDII sebagai kelompok Islamis-konservatif—walaupun
hal itu memang suatu keadaan yang tak mungkin dihindari dalam konteks ―Aksi
212‖. Ketiga, segera tampak bahwa dalam percaturan politik nasional 2016 tersebut,
elite-elite senior DDII maupun elite-elite mudanya bukan agen politik yang utama—
yang dalam Aksi 212 justru diperankan oleh Habib Rizieq Shihab. Tidak seperti era
Masyumi hingga awal reformasi dimana elite-elite politikus DDII tetap berada
dalam panggung utama politik nasional, maka era 2016 ini kenyataan politik
menunjukkan peran mereka sedikit minor: hanya sebagai pendukung.
Realitas politik ini tampaknya disebabkan elite-elite yang berafiliasi dengan
DDII menggunakan atribut organisasi lainnya, bukan DDII itu sendiri. Hal ini
menunjukkan: pertama, peran DDII sebagai katalisator politik yang utama di
jaringan Islam-modernis mulai berubah dan melemah. Kedua, sejarah besar
Masyumi dan ketokohan Natsir justeru menjadi beban. Di era awal M. Shiidiq 2016,
tidak ada elite DDII yang berkaliber seperti Natsir di era Masyumi.
Oleh karena itu, DDII tampaknya lebih mungkin dan realistik untuk lebih
fokus melakukan kaderisasi elite-elite mudanya, sehingga dalam jangka panjang bisa
melahirkan ―Natsir-Natsir Muda‖ yang sesungguhnya. Berakrobat politik di era
2016-2022 hanya membuat DDII terjebak dalam ―bongkar-pasang model partai
politik Islam.‖ Di lain pihak, DDII harus bisa membangun jaringan secara efektif
dengan organisasi-organisasi Islam yang pada hari ini mempunyai political influency
yang besar, seperti Muhamadiyah dan MUI.
Kajian ini juga menemukan fakta lain walaupun masih bersifat transisional.
Kajian dakwah politik DDII ini, melalui pemikiran dan praktik politik elite-elitenya,
menunjukkan kesinambungan dan perubahan-perubahan sesuai dengan respon
masing-masing generasinya terhadap jiwa zaman Indonesia, terutama pada bagian
episode sejarah 2007-2015. Dinamika yang terjadi antara elite dai-murni, dai-
politikus, maupun dai-akademis adalah bentuk keniscayaan sejarah kesinambungan

251
dan perubahan di dalam tubuh kelompok Islamis tersebut. Indikasi positif adanya
transformasi orientasi gerakan DDII ke wilayah keilmuan (periode ilmu), sehingga
bisa mengubah orientasi politik praktis, menunjukkan sinyal harapan terkait
fenomena post-Islamism dalam gerak pendulum sejarah DDII.

252
DAFTAR PUSTAKA

I. Buku
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Paradigma Profetik Islam. Yogyakarta: UGM Press,
2016.
Ali-Fauzi, Nasrullah (ed.). ICMI: Antara Status Quo dan Demokratisasi, Bandung:
Mizan, 1995.
Ali, Muhammad Mumtaz (ed.), Modern Islamic Movements: Models, Problems and
Prospects. Kuala Lumpur: S. Noordeen, 2000.
Ali, Muhammad. ―Malaysia‘s Islam Hadhari and The Role of the Nation State in
International Relations,‖ in Diena Abdelkader, Nassef Manabilang Adiong,
and Raffaele Mauriello. Islam and Internasional Relations: Contribution on
Theory and Practice. New York: Palgrave Macmillan, 2016.
Al-Attas, S. M. Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
Al-Attas, S. M. Naquib. Prolegomena to the Metaphysic of Islam. Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001.
Al-Mawardi, Imam. Al-Ahkām al-Sultāniyah, Cet. Ke-3, Mesir: Syirkah wa
Matba‘ah Mustafa al-Babiy, 1939.
Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. Budaya Politik (Terj. Sahat Simamora).
Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Anshari, Endang Saefuddin dan Amien Rais, Pak Natsir 80 Tahun, Buku Pertama:
Pandangan dan Penilaian Generasi Muda. Jakarta: Media Dakwah, 1988.
Anshary, Endang Saefudin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: Gema Insani
Press, 1998.
Anwar, M. Syafii. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramdina, 1995.
Asad, Muhamad. The Principles of State and Governmen in Islam. Malaysia: Islamic
Book Trust, 1980.
Aspinall, Edward, Herbert Feith dan Gerry van Klinken, Titik Tolak Reformasi:
Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, Yogyakarta: FIS UNY, 2000.
Aspinall, Edward and Ward Berenschot. Democracy for Sale: Elections, Clientelism,
and the State in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press,
2019.
Asshiddiqie, Jimly (ed.). Bang Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya. Jakarta:
Gema Insani Press, 2002.
Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan
Antarumat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia Networks of
Malay-Indonesian And Middle Eastern Ulama in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina, 2006.
Azra, Azyumardi. Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context
(Jakarta-Singapore: Equinox Publishing, 2006).

253
Azra, Azyumardi. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme dan
Demokrasi. Jakarta: PPIM UIN Jakarta dan Prenadamedia Group, 2016.
Bachtiar, Tiar Anwar. Setengah Abad Dewan Dakwah Berkiprah Mengokohkan
NKRI, Jakarta: DDII, 2017.
Bachtiar, Tiar Anwar. Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik
Terhadap Islam Liberal Dari HM Rasjidi Sampai INSIST. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2017.
Bachtiar, Tiar Anwar dan Pepen Irpan Fauzan. Sejarah Pemikiran dan Gerakan
Politik Persis, Bandung: Persis Press, 2019.
Basalim, Umar. Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi. Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu, 2002.
Bakti, Andi Faisal. Islam and Nation Formation. Jakarta: Logos, 2000.
Bakti, Andi Faisal. ―Religious Values and Development: The Significance of the
Indonesian Communication Experience,‖ in Senyo Adjibolosoo (ed.). The
Human Factor in Shaping the Course of History and Development. New
York: University Press of America, 2000.
Bakti, Andi Faisal. ―Communication and Dakwah: Religious Learning Groups and
Their Role in the Protection of Islamic Human Security and Rights for
Indonesian Civil Society,‖ in Wayne Nelles, ed., Comparative Education,
Terorism, and Human Security: From Critical Pedagogy to Peaceful
Buildings. Macmillan: Palgrave, 2003.
Bakti, Andi Faisal. Communication and Family Planning in Islam Indonesia.
Leiden-Jakarta: INIS, 2004.
Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Cak
Nur, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Bell, Daniel. The End of Ideology. London and New York: The Chicago University
Press, 2000.
Boland, B. J. The Struggle of Islam in Modern Indonesian. Bandung: The Hague-
Martinus Nijhoff, 1971.
Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Bruinessen, Martin van (ed.), Contemporary Development in Indonesian Islam:
Explaining the “Conservative Turn”. Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies, 2013.
Busyairi, Badruzzaman. Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1985.
Corps Muballigh Bandung. K.H.M. Rusyad Nurdin: Profil Seorang Muballigh.
Bandung: Corps Muballigh Bandung, 1988.
Cox, Caroline and John Marks. The „West‟, Islam And Islamism: Is Ideological
Islam Compatible with Liberal Democracy? London: Institute for the Study of
Civil Society, 2003.
Dumbe, Yunus. Islamic Revivalism in Contemporary Ghana. Stockholm: Södertörn
University, 2013.
Edwin, Donni. ―1996-1997: Tahun Gejolak Politik,‖ dalam Evaluasi Pemilu Orde
Baru. Bandung: Mizan, 1997.

254
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di
Indonesia. Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011.
Efendi, Bahtiar dan Sostrisno Hadi (ed.). Agama dan Radikalisme di Indonesia,
Jakarta: Nuqtah, 2008.
Esposito, John L. and John O. Voll. Islam and Democracy, (New York: The Oxford
University Press, 1996.
Esposito, John L. The Future of Islam. Oxford: Oxford University Press, 2010.
Farmer, Brian S. Understanding Radical Islam: Medieval Ideology in the Twenty-
First Century. New York: Peter Lang Publishing Inc., 2008.
Fatah, Eep Saefulloh. Zaman Kesempatan: Agenda-Agenda Besar Demokratisasi
Pasca-Orde Baru. Bandung: Mizan, 2000.
Federspiel, Howard M. Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State: The
Persatuan Islam 1923-1957. Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001.
Federspiel, Howard M. Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia. Singapore: Equinox Publishing LTD, 2009.
Feith, Herbeth. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesiai, Ithaca-New
York, Cornell University Press, 1968.
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man. New York: Free Press,
1992.
Gaffar, Afan. Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party
System. Yogyakarta: UGM Press, 1993.
Hakiem, Lukman (ed.). 70 Tahun H. Buchari Tamam: Menjawab Panggilan
Risalah, Jakarta: Media Dakwah, 1992.
Hakiem, Lukman (ed.). Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr.
Anwar Harjono, Jakarta: Media Dakwah, 1993.
Hakiem, Lukman dan Tamsil Linrung (ed.). Menunaikan Panggilan Risalah:
Dokumentasi Perjalanan 30 Tahun DDII, Jakarta: DDII, 1997.
Hakiem, Lukman (ed.). Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia,
Jakarta: DDII, 2017.
Hakiem, Lukman dan M. Noer (ed.). Antara Dakwah dan Politik: Ragam Pendapat
tentang Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia. Jakarta: DDII, 2018.
Harjono, Anwar. Dakwah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan, Jakarta: Media
Dakwah, 1987.
Harjono, Anwar. Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
Harjono, Anwar dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik: Bakti Sekolah
Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia Kepada Bangsa. Jakarta: Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997.
Hassan, M. Kamal. Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim. Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia, 1987.
Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslims and Democration in Indonesia, Oxford:
Princeton University Press, 2000.
Hefner, Robert W. Islam dan Bangsa Pasca Soeharto. Jakarta: ISAI, 2001.
Hefner, Robert W., dan Patricia Horvatich, Islam di Era Negara Bangsa: Politik dan
Kebangkitan Muslim Asia Tenggara. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.

255
Hehamahua, Abdulllah. ―Insinyur Yang Sejarawan‖ dalam Luthfi Bukan Ludwig:
Catatan Para Sahabat A. M. Luthfi. Jakarta: Media Dakwah, 2007.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad
Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta: Mizan bekerjasarna dengan
Yayasan Festival lstiqlal, 2006.
Hilmy, Masdar. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism,
Singapore: ISEAS, 2010.
Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam vol. I-III. Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1974.
Hosen, Nadirsyah. Shari‟a and Constitutional Reform in Indonesia. Singapore:
ISEAS, 2007.
Husaini, Adian. Habibie, Soeharto, dan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Husaini, Adian. Yusril versus Masyumi: Kritik terhadap Pemikiran Modernisme
Islam Yusril Ihza Mahendra, Dea Press, Jakarta, 2000.
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Press, 2007.
Husaini, Adian. Muslimlah daripada Liberal: Kumpulan Catatan Perjalanan ke
Inggris. Jakarta: Gema Insani Press, 2011.
Jamhari dan Jajang Jahroni. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004.
Jones. Understanding Islamism, New York: Blackwell Publications, 2004.
Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Karim, M. Rusli. HMI MPO Dalam Kemelut Modernisasi Politik Di Indonesia.
Bandung: Mizan, 1997.
Karim, M. Rusli. Negara dan Peminggiran Islam Politik. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2003.
Kartodirdjo, Sartono. Ellite. Jakarta: Gramedia, 1984.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia, 1995.
Kepel, Gilles. Jihad: The Trail of Political Islam, Cambridge and Massachusetts,
Harvard University Press, 2002.
Khatib, Line. Islamic Revivalism in Syria: The Rise and Fall of Ba‟thist Secularlism.
Routledge Studies in Political Islam Series, Abbington UK: Routledge, 2011.
Khittah Dakwah Islam Indonesia, Jakarta: DDII, 1990.
Kunkler, Mirjam and Alpred Stepan, Democratization and Islam in Indonesia. USA:
Columbia University Press, 2013.
Kumpulan Makalah Latihan Peneltian dan Perencanaan Da‟wah (Yogyakarta:
Laboratorium Da‘wah Yayasan Shalahuddin, 1407 H.
Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1987.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Mesjid: Esai-Esai Agama, Budaya dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan, 2001.

256
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta:
Teraju, 2004.
Laporan Pengurus Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia (Buku I Juli 1998-Juli
2005). Jakarta: DDII, 2005.
Latief, Hilman. ―Islam and Humanitarian Affairs: The Middle Class and New
Patterns of Social Activism,‖ dalam Jajat Burhanudin and Kees van Dijk (ed.).
Islam in Indonesia Contrasting Images and Interpretations (Amsterdam:
Amsterdam University Press, 2013.
Lewis, Bernard. Islam and The West. New York: The Oxford University Press,
1994.
Liddle, R. William. ―Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan
Aksi Politik Islam Indonesia Masa Orde Baru‖ dalam Mark R. Woodward
(ed), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1998), h. 283-311.
Llyod, Christopher. The Structures of History. Oxford-Cambridge: Blackwell
Publishers, 1993.
Luthfi, A. M., dan Mas‘adi Sulthani, Selayang Pandang Kepengurusan Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat (1967-2005), Jakarta: Panitia Mubes III
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2005.
Luthfi Bukan Ludwig: Catatan Para Sahabat A. M. Luthfi. Jakarta: Media Dakwah,
2007.
Madinier, Rémy. Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between
Democracy and Integralism, Singapore: NUS Press, 2015.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1997.
Machmudi, Yon. Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the
Prosperous Justice Party (PKS). Canberra: Australian National University
Press, 2008.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam.
Jakarta: Paramadina, 1999.
Mahfūdh, S. A. wa Rauf, A. K. S. Hidāyat al-Murshidīn; Dirāsat fī Da‟wah al-
Islāmiyyah, Kairo: Dār al-Tibā‘ah al-Mahmadiyah, 1987.
Malim, Misbach. Memahami Visi dan Gerakan Dakwah Dewan Da‟wah Islamiyah
Indonesia. Jakarta: DDII, 2015
Mardjoned, Ramlan. Amandemen UUD 1945 Tentang Piagam Jakarta. Jakarta:
DDII, 2000
Martin, Richard and Abbas Barzegar, eds. Islamism: Contested Perspectives on
Political Islam. Stanford: Stanford University Press, 2010.
Mardjoned, Ramlan. K. H. Hasan Basri 70 Tahun: Fungsi Ulama dan Peranan
Mesjid, Jakarta: Media Dakwah, 1990.
Mardjoned, Ramlan. Sejarah Partai Bulan Bintang-Dari MW sampai Deklarasi
Partai Bulan Bintang. Jakarta: DPP PBB, 2001.
Matsunaga, Yasuyuki. ―Islamic Dissent in Iran‘s Full-fledged Islamic Revolutionary
State,‖ dalam Between Dissent and Power. London: Palgrave Macmillan,
2014.

257
Menchik, Jeremy. Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without
Liberalism. New York: Cambridge University Press, 2016.
Muchtar, A. Latief. Gerakan Kembali Pada Quran Sunnah. Bandung: Rosda Karya,
1997.
Muhaimin, Yahya A. Bisnis dan Politik. Jakarta: LP3ES, 1991.
Muhaimin, Yahya A. ―Kuat Memegang Fatsoen dan Etika Politik,‖ dalam Luthfi
Bukan Ludwig: Catatan Para Sahabat A. M. Luthfi. Jakarta: Media Dakwah,
2007.
Mulkhan, Abdul Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Bandung: Mizan, 1992.
Najib, Muhammad (et al). Suara Amien Rais Suara Rakyat. Jakarta: Gema Insani
Press, 1998.
Nash, Kate. Contemporary Political Sociology. United Kingdom: Wiley-Blackwell,
2000.
Natsir, Mohammad. Islam dan Keristen di Indonesia. Jakarta: Bulan-Bintang, 1962.
Natsir, Mohammad. Capita Selecta I-III. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Natsir, Mohammad. Fiqhud Da‟wah. Jakarta: Media Dakwah, 1987.
Natsir, Mohammad. Agama dan Negara Dalam Perspekiif Islam. Jakarta: Media
Dakwah, 1422 H/2001 M.
Noer, Deliar. Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa: Otobiografi Deliar Noer,
Bandung: Mizan, 1996.
Noor, Farish A., Yoginder Sikand and Martin van Bruinessen (eds.). The Madrasa in
Asia: Political Activism and Transnasional Linkage (Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2008
Norris, Pippa and Ronald Inglehart. Sacred and Secular: Religion and Politics
Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
O‘Rourke, K. Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. NSW:
Allen & Unwin, 2002.
Parikesit Suparwan G. dan Krisna R. Sempurnadjaja (ed.), H. Alamsjah Ratu
Prawiranegara: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Pepinsky, Thomas B., R. William Liddle, and Saiful Mujani, Piety and Public
Opinion: Understanding Indonesian Islam, New York: Oxford University
Press, 2018,
https://oxford.universitypressscholarship.com/view/10.1093/oso/97801906978
08.001.0001/oso-9780190697808-chapter-6 (diakses tgl 10 Desember 2020).
Platzdasch, Bernhard W. Islamism in Indonesia: Politics in The Emerging
Democracy. Singapore: ISEAS, 2009.
Pranowo, M. Bambang. Runtuhnya Dikotomi Santri-Abangan: Refleksi Sosiologis
Atas Perkembangan Islam di Jawa Pasca 1965, Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 2001
Puar, Yusuf Abdullah. Mohamad Natsir 70 Tahun. Jakarta: Pustaka Antara, 1978.
Qamaruddin, Beginilah Partai Keadilan Sejahtera Menegakkan Syari‟at Islam:
Klarijikasi Fitnah Piagam Jakarta. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003
Qardhawi, Yusuf. Al-Sahwah al-Islamiyyah: Baina al-Juhad wa al-Tatarruf. Kairo:
Bank at-Taqwa, 2001.

258
Rahardjo, M. Dawam. Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia.
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1997.
Rahman, Fazlur. ―Roots of Islamic Neo-Fundamentalism,‖ in P. Stoddard (ed.).
Change and The Muslim World. New York: Syracuse University Press, 1981.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: The Transformation of Intelectual Tradition.
Chicago: The University of Chicago Press, 1984.
Rahmat, Imdadun. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen.
Yogyakarta: LKiS, 2008.
Rais, M. Amien. Cakarawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Mizan, 1989.
Rais, M. Amien. Demi Pendidikan Politik Saya Siap Jadi Presiden (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997.
Rais, M. Amien. Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung:
Mizan, 1998.
Rais, M. Amien. ―Islam and Politics in Contemporary Indonesia,‖ in Geoff Forrester
(ed.), Post-Soeharto Indonesia: Renewal or Chaos? Singapura: Institute of
Southeast Asian Studies, 1999.
Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia. London: Macmillan Education Ltd,
1988.
Ricklefs, M. C. Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions (c. 1830-
1930), Singapore: NUS Press, 2007.
Ricklefs, M. C. Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural
and Religious History, Singapore: NUS Press, 2012.
Roem, Mohamad. 1989. Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta:
Gramedia.
Roy, Oliver. Globalised Islam: The Search for a New Ummah. London: Hurst and
Company, 2004.
Saefudin, A. M. Islamisasi Sains dan Kampus. Jakarta: PPA Consultant, 2010.
Sadali, Ahmad (dkk). Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan. Jakarta: Bulan Bintang,
1987.
Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. Oxford:
Westview Press, 2000.
Shihab, Alwi. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Sirry, Mun‘im A. (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis. Jakarta: Paramadina dan TAF, 2003.
Sitompul, Einar Martahan. NU dan Pancasila. Jakarta: Sinar Harapan, 1989.
Soemarsono, Soemarso. Mohammad Roem 70 tahun: Pejuang Perunding. Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Steenbrink, Karel A. Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam
di Indonesia (1596-1942). Bandung: Mizan, 1993.
Sulthani, Mas‘adi. ―Perjalanan Bersama Dewan Dakwah,‖ dalam Luthfi Bukan
Ludwig: Catatan Para Sahabat A. M. Luthfi. Jakarta: Media Dakwah, 2007.
Syam, Firdaus. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia
Modern. Jakarta: Khairul Bayan, 2003.
Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos, 2001.
Taimiyyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syar‟iyah. Beirut: Dar al-Kitabah al-Arabiya, 1966.

259
Tibi, Bassam. Islam and a Cultural Accomodation in Social Change. Bouldier:
Westview Press, 1990.
Tibi, Bassam. Islam‟s Predicament with Modernity: Religious Reform and Cultural
Change. New York: Routledge, 2009.
Tibi, Bassam. Islamism and Islam. New Heaven and London: Yale University Press,
2012.
Tibi, Bassam. Between Islam and Islamism. New Heaven and London: Yale
University Press, 2012.
Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem.
Jakarta: Djambatan, 1997.
Umar, Hussein. ―Menoleh Sejarah, Mampukah Kita Mengambil Hikmah,‖ dalam
Luthfi Bukan Ludwig: Catatan Para Sahabat A. M. Luthfi. Jakarta: Media
Dakwah, 2007.
Vogel, Frank E. Islamic Law and the Legal System: Studies of Saudi Arabia. Leiden-
Boston-Koln: Brill, 2000.
Woodward, Mark R. (ed.). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir
Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Wijaya, Albert. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982.
Yilmaz, Ihsan. Muslim Laws, Politics and Society in Modern Nation States.
England-Burlington: Ashgate Publishing Limited, 2005.

II. Artikel Jurnal


Abdilah, Masykuri. ―Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi
Politik Di Era Reformasi.‖ Jurnal Ahkam, Vol. XIII, No. 2, Juli 2013, h. 3-19.
Abdullah, Anzar. ―Mohammad Natsir, Character Education, and its Relevance to the
National Education System: A Study of the Educational Thought in Effort to
Build the Students‘ Noble Characters in Indonesia,‖ Tawarikh: International
Journal for Historical Studies, 5 (1) October 2013, h. 71-89.
Aidulsyah, Fachry and Yuzi Mizuno, ―The Entanglement Between Anti-Liberalism
and Conservatism: The INSISTS and MIUMI Effect within the ‗212
Movement‘ in Indonesia,‖ Journal of Indonesian Islam, Vol. 14, No. 01, June
2020, h. 1-25.
Akmaliah, Wahyudi. ―When Islamism and Pop Culture Meet: A Political Framing of
the Movie 212: The Power of Love,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for
Islamic Studies, Vol. 27, No. 1, 2020, h. 1-34.
Akturk, Sener. ―Religion and Nationalism: Contradictions of Islamic Origin and
Secular Nation-Building in Turkey, Algeria and Pakistan,‖ Social Science
Quarterly, Vol. 96, No. 3, September 2015, h. 778-806.
Al-Hamdi, Ridho. ―The Jakarta Charter in Post-Soeharto Indonesia: Political
Thoughts of the Elites in Muhammadiyah,‖ Masyarakat Indonesia, Vol. 41
(1), Juni 2015, h. 43-56.
Amir, Sulfikar. ―Symbolic Power in Technocratic Regime: The Reign of B. J.
Habibie in the New Order Indonesia,‖ Sojourn: Journal of Social Issues in
Southeast Asia, 22, 2007, h. 83-106.

260
Amir, Sulfikar. ―The Engineers Versus the Economists: The Disunity of
Technocracy in Indonesian Development,‖ Bulletin of Science, Technology &
Society, 28 (4), 2008, h. 316-323.
Arifianto, Alexander R. ―Rising Islamism and the Struggle for Islamic Authority in
Post-Reformasi Indonesia,‖ TRaNS: Trans-Regional and-National Studies of
Southeast Asia, 8 (1), 2019, h. 37-50.
Aspinall, E. ―When Brokers Betray: Social Networks and Electoral Politics in
Indonesia,‖ Critical Asian Studies, 46 (4), 2014, h. 545-570.
Azra, Azyumardi. ―Islam dan Negara: Eksperimen Dalam Masa Moderen, Tinjauan
Sosio-Historis‖. Jurnal Ulumul Quran, Vol. IV, No. 2, Tahun 1993, h. 10-17.
Azra, Azyumardi. ―Islam in Indonesian Foreign Policy: Assessing Impacts of
Islamic Revivalism during the Soeharto Era.‖ Studia Islamika: Indonesian
Journal for Islamic Studies, Vol. 12, No. 1, 2005, h. 1-29.
Azra, Azyumardi. ―Kontestasi Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer,‖ Studia
Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 23, No. 1, 2016, h.
175-184.
Azra, Azyumardi. ―Kesalehan dan Politik: Islam Indonesia,‖ Studia Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 25, No. 3, 2018, h. 639-650.
Azra, Azyumardi. ―Transregional Islam in the Malay-Indonesian World: Legacies
and New Dynamics.‖ TRaNS: Trans-Regional and-National Studies of
Southeast Asia, 9 (2), 2021, h. 163-166.
Bayat, Asef. ―The Coming of a Post-Islamist Society.‖ Critique, Fall 1996, h. 45-46.
Bayat, Asef. ―What Is Post-Islamism?,‖ ISIM Review 16, Autumn 2005, h. 5.
Bakti, Andi Faisal. ―Paramadina and Its Approach To Culture and Communication:
An Engagement In Civil Society,‖ Archipel, 68, (2004), h. 315-341.
Bakti, Andi Faisal. ―Islam and Modernity: Nurcholish Madjid's Interpretation of
Civil Society, Pluralism, Secularization, and Democracy,‖ Asian Journal of
Social Science, Vol. 33, No. 3, (2005), h. 488-459.
Bakti, Andi Faisal. ―Communication and Violence: Communicating Human
Integrity Characteristic Is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in
Indonesia,‖ Identity, Culture and Politics, Vol. 9, No. 1, (July 2008), h. 74-
114.
Bakti, Andi Faisal. ―Raising Public Conciousness about the Importance of Freedom
of Expression in a Democratic Society and on Enhancing the Quality of Life
of the Ordinary Citizen: The Case of Indonesia,‖ The Journal of Development
Communication No. 1 Vol. 24 June 2013, h. 1-14.
Bakti, Andi Faisal. ―Islamic Dakwah in Southeast Asia,‖ in Oxford Journal, New
York: Oxford Press, 2011,
http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t343/e0016.
Baswedan, Anies Rasyid. ―Political Islam in Indonesia: Present and Future
Trajectory,‖ Asian Survey 44, No. 5 (2004), h. 669–690.
Bell, Daniel. ―The Return of the Sacred: The Argument About the Future of
Religion,‖ Bulletin of the American Academy of Arts and Sciences, Vol. 31,
No. 6 (March, 1978), h. 29-55.
Berger, Peter L. ―The Desecularization of the World: A Global Overview,‖
Resurgent Religion and World Politics, 2005, h. 1-18.

261
Boy, Pradana. ―Prophetic Social Sciences: Toward an Islamic-Based Transformative
Social Sciences,‖ Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 1,
No. 1, June 2011, h. 95-121.
Bruinessen, Martin van. ―Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto
Indonesia.‖ South East Asia Research, Vol. 10, No. 2, July, 2002, h. 117-154.
Bruinessen, Martin van. ―Indonesia's Ulama And Politics: Caught Between
Legitimizing The Status Quo And Searching For Alternatives‖, Prisma- The
Indonesian Indicator, (Jakarta), No. 49 (1990), h. 52-69.
Buehler, Michael. ―Subnational Islamization through Secular Parties: Comparing
―Shari'a‖ Politics in Two Indonesian Provinces.‖ Comparative Politics, Vol.
46, No. 1 (October 2013), h. 63-82.
Budiman, Dadang. ―Dakwah pada Masyarakat Terasing: Upaya Dewan Dakwah
Islam Indonesia (DDII) Terhadap Suku Akit Sonde Riau,‖ Anida, 18 (2),
2018, h. 181-194.
Burhani, Ahmad Najib. ―The 45th Muhammadiyah Congress: Contest between
Literal-Conservative and Liberal-Moderate Muslims in Indonesia,‖ Studia
Islamika: lndonesian Journal for lslamic Studies, Vol. 1, No. 12 (2005), h.
185-189.
Burhani, Ahmad Najib. ―Pluralism, Liberalism and Islamism: Religious Outlook of
Muhammadiyah,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies,
Vol. 25, No. 3, 2018, h. 433-470.
Carnegie, Paul J. ―Democratization and Decentralization in Post-Soeharto Indonesia:
Understanding Transition Dynamics,‖ Pacific Affairs 81 (4), December 2008,
pp. 515-525.
Ciftci, Sabri. ―Secular-Islamist Cleavage, Values, and Support for Democracy and
Shari'a in the Arab World,‖ Political Research Quarterly, Vol. 66, No. 4
(December 2013), h. 781-793.
Dagi, Ihsan D. ―Rethinking Human Rights, Democracy, and the West: Post-Islamist
Intellectual in Turkey.‖ Critique: Critical Middle Eastern Studies, 13 (2),
2004, h. 135–151.
El Farouq, Muhammad Ayyinna Yusron, Umi Machmudah, ―Prophetical Dimension
in Khotbah Di Atas Bukit Novel by Kuntowijoyo,‖ LiNGUA, Vol. 14, No. 2,
December 2019, h. 283-292.
Elson, R. E. ―Islam, Islamism, the Nation, and the Early Indonesian Nationalist
Movement,‖ Journal of Indonesian Islam, Vol. 01, No. 02, December 2007, h.
231-266.
Dijk, Kees van. ―Dakwah and Indigenous Culture: The Dissemination of Islam,‖
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 154, No. 2, 1998, h. 218-
235.
―Dr. Kuntowijoyo: Al-Quran Sebagai Paradigma,‖ Jurnal Ulumul Quran, Nomor 4,
Volume V, Tahun 1994, h. 99-100.
Effendy, Bahtiar. ―Islamic Militant Movement in Indonesia,‖ Studia Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004, h. 4-420.
Esposito, John L. ―Islam and Political Violence,‖ Religions 6, No. 3 (September
2015), h. 1071-1090.

262
Fauzan, Pepen Irpan dan Ahmad Khoirul Fata. ―Model Penerapan Syari‘ah Dalam
Negara Modern: Studi Kasus Arab Saudi, Iran, Turki dan Indonesia,‖ Al-
Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. XII No. 1, Juni 2018, h. 51-69.
Fauzan, Pepen Irpan and Ahmad Khairul Fata, ―Portraying Political Polarization in
Persatuan Islam in The Case of Mohamad Natsir Vs Isa Anshari,‖ Journal of
Contemporary Islam and Muslim Societies, Vol. 3 No. 2, July-December
2019, h. 205-232.
Fealy, Greg. ―Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?,‖ Southeast
Asian Affairs, (2004), h. 104-121.
Fealy, Greg and Bernhard W. Platzdasch. ―The Masyumi Legacy: Between Islamist
Idealism and Political Exigency.‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for
Islamic Studies, Vol. 12, No. 1, 2005, h. 73-100.
Fossati, Diego. ―The Resurgence of Ideology in Indonesia: Political Islam, Aliran
and Political Behaviour,‖ Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 38
(2), 2019, h. 119-148.
Freedman, Amy L. ―Political Viability, Contestation and Power: Islam and Politics
in Indonesia and Malaysia,‖ Politics and Religion 2, No. 1 (2009), h. 100-127.
Garadian, Endi Aulia. ―Between Identity and Interest: Revisiting Sharia Bylaw in
Current Indonesia,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies,
Vol. 23, No. 2, 2016, h. 391-397.
Hadiz, Vedi R. ―Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the
Legacies of the Cold War,‖ Journal of Current Southeast Asian Affairs, 30, 1,
2011, h. 3-38.
Harahap, Elly Warnisyah, Syahrin Harahap, Amroeni Drajat. ―Religion and
Democracy: Perspective of Abdurrahman Wahid,‖ Budapest International
Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal), Volume 3, No 1,
February 2020, h. 26-34.
Haribowo, I. ―The Indonesian Islamic Bank‘s Spin-off: A Study in Regional
Development Banks,‖ Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah (Journal of
Islamic Economics). Vol. 9 (1), 2017, h. 53-68.
Hasan, Noorhaidi. ―Faith and Politics: The Rise of Laskar Jihad in the Era of
Transition in Indonesia,‖ Indonesia, Vol. 73 (April), 2002, h. 145-169.
Hasan, Noorhaidi. ―The Making of Public Islam: Piety, Agency, and
Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere.‖
Contemporary Islam, 3, 2009, h. 229-250.
Hasan, Noorhaidi. ―Piety, Politics, and Post-Islamism: Dhikr Akbar in Indonesia,‖
Al-Jami„ah, Vol. 50, No. 2, 2012, h. 369-390.
Hefner, Robert W. ―Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java,‖ The
Journal of Asian Studies, Vol. 46. No. 3 (Aug., 1987), h. 533-554.
Hefner, Robert W. ―Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries Among
Indonesian Muslims.‖ Indonesia, No. 64, 1997, h. 77-103.
Hefner, Robert W. ―Public Islam and the Problem of Democratization,‖ Sociology of
Religion, Vol. 62, No. 4, (Winter, 2001), h. 491-514.
Hefner, Robert W. ―Global Violence and Indonesian Muslim Politics,‖ American
Anthropologist,Vol. 104, No. 3 (Sep., 2002), h. 754-765.

263
Hamayotsu, Kikue. ―The End of Political Islam? A Comparative Analysis of
Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia,‖ Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 30, 3, 2011, h. 133-159.
Hilmy, Masdar. ―Looking into God‘s Heaven: Theological Constructs of Islamic
Radicalism in Post-New Order Indonesia,‖ Asian Cultural Studies, 15, 2006,
h. 11-23.
Hilmy, Masdar. ―Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia? Menimbang Kembali
Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,‖ Miqot, Vol. XXXVI No.
2 Juli-Desember 2012, h. 262-281.
Huntington, Samuel P. ―The Clash of Civilizations?‖ Foreign Affairs 72, No. 3
(Summer 1993), h. 22-49.
―Islam, Nationalism and Democracy: A Dialogue with Dr. Anwar Haryono,‖ Studia
Islamika: lndonesian Journal for lslamic Studies, Vol. 2, No. 1, 1995, h. 185-
207.
Jahroni, Jajang. ―Saudi Arabia Charity and the Institutionalization of Indonesian
Salafism,‖ Al-Jāmi„ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 58, No. 1 (2020), h.
35-62.
Jones, Tod. ―Indonesian Cultural Policy in the Reform Era,‖ Indonesia 93 (April
2012), h. 147-176.
Kahin, George Mc.Turnan. ―In Memoriam: Mohammad Natsir (1907-1993),‖
Indonesia, No. 56 (Oct., 1993), h. 158-165.
Kusmana, ―Paradigma al-Qur‘an: Model Analisis Tafsir Maqasi didalam Pemikiran
Kuntowijoyo,‖ Afkaruna: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 11, No. 2,
Desember 2015, h. 220-239.
Lay, Cornelis and Netra Eng, ―State Regulations and Elitisation: A Study of Civil
Society Elites in Indonesia and Cambodia,‖ Politics and Governance, Volume
8, Issue 3, September 2020, h. 97-108.
Liddle, R. William. ―Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan
Aksi Politik Islam Indonesia Masa Orde Baru‖. JurnalUlumul Quran, Vol. IV
No. 1 (Juli 1993), h. 53-65.
Liddle, R. William. ―The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation‖, The
Journal of Asian Studies, Vol. 55, No. 3 (Aug., 1996), h. 613-634.
Lindblad, J. Thomas. ―State and Economy During Modern Indonesia‘s Change of
Regime: A Synthesis,‖ Lembaran Sejarah, Vol. 10, No. 1, April 2013, h. 1-
16.
Mahendra, Yusril Ihza. ―Combining Activism and Intellectualism: The
Biography of Mohammad Natsir,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for
Islamic Studies, Vol. 2, No. 1 (1995), h. 111-134.
Maksum, Ali. ―Discourses on Islam And Democracy in Indonesia: A Study on the
Intellectual Debate Between Liberal Islam Network (JIL) And Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI),‖ Journal of Indonesian Islam, Vol 11, No 2 (December
2017), h. 405-422.
Mansurnoor, Iik A. ―Revivalism and Radicalism in South-East Asian Islam: A
Pattern or an Anomaly?,‖ New Zealand Journal of Asian Studies, 11, 1 (June
2009), h. 222-262.

264
Marcus, Mietzner and Burhanuddin Muhtadi. ―Explaining the 2016 Islamist
Mobilisation In Indonesia: Religious Intolerance, Militant Groups, And The
Politics of Accommodation.‖ Asian Studies Review 42 (3), 2018, h. 479-497.
Marcus, Mietzner, Burhanuddin Muhtadi, and Rizkap Halida. ―Entrepreneurs of
Grievance: Drivers and Effects of Indonesia‘s Islamist Mobilization.‖
Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, 174, 2018, h. 159-187.
Martin, Slama. ―Hearing Allah's Call: Preaching and Performance in Indonesian
Islam, by Julian Millie,‖ Anthropological Forum, 28: 4, 2018, h. 421-423.
Menchik, Jeremy. ―Productive Intolerance: Godly Nationalism in
Indonesia,‖ Comparative Studies in Society and History, 56 (3), 2014, h. 591-
621.
Menchik, Jeremy. ―Moderate Muslims and Democratic Breakdown in Indonesia,‖
Asian Studies Review 43 (3), 2019, h. 415–33.
Meuleman, Johan. ―Dakwah, Competition for Authority, and Development,‖
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 167, No. 2/3 (2011), h.
236-269.
Mietzner, Marcus, ―Comparing Indonesia‘s Party Systems of the 1950s and the Post-
Suharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition‖,
Journal of Southeast Asian Studies, vol. 39, no. 3, 2008, h. 431–53.
Mozaffari, Mehdi. ―What is Islamism? History and Definition of a Concept,‖
Totalitarian Movements and Political Religions, Vol. 8, No. 1, March 2007, h.
19-45.
Mudhoffir, Abdil Mughis. ―Political Islam and Religious Violence in Post-New
Order Indonesia.‖ Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 20 (1), 2015, h. 1-22.
Muhtadi, Burhanudin. ―The Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in
Media Dakwah.‖ Graduate Journal of Asia-Pacific Studies, Vol. 5, No. 2,
2007, h. 53-76.
Mujani, Saiful. ―Intolerant Democrat Syndrome: The Problem of Indonesian
Democratic Consolidation,‖ Jurnal Politik, Vol. 6, No. 1, August 2020, h. 7-
37.
Mujiburrahman. ―Indonesian Muslims In the Public Sphere: A Review of Several
Studies,‖ Journal of Indonesian Islam, Volume 01, Number 02, December
2007, h. 360-361.
Munabari, Fahlesa. ―Reconciling Shari‘a With ‗Negara Kesatuan Republik
Indonesia‘: The Ideology and Framing Strategies of the Indonesian Forum of
Islamic Society (FUI).‖ International Area Studies Review 20 (3), 2017, h.
242-263.
Munabari, Fahlesa. ―The Quest for Sharia in Indonesia: The Mobilization Strategy
of The Forum of Islamic Society.‖ Contemporary Islam 12 (3), 2018, h. 229-
249.
Mundayat, Aris Arif and Pitra Narendra and Budi Irawanto, ―State and Civil Society
Relatonships in Indonesia: A Society-oriented Reading in Search for
Democratic Space,‖ Power Conflict Democracy Journal, Vol. 1, No. 1 (2009),
h. 75-96.
Munhanif, Ali. ―Al-Shawkah al-Siyāsīyah li al-Afkār al-Dīnīyah: Al-Ḥarakah al-
Tajdīdīyah al-Islāmīyah wa al-Ṭ arīq ilá Nuqṭ at Iltiqā‘ al-Islām wa al-

265
Dawlah,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 22,
No. 1, 2015, h. 97-192.
Müeller, Dominik M. ―Post-Islamism or Pop-Islamism? Ethnographic Observations
of Muslim Youth Politics in Malaysia.‖ Paideuma: Mitteilungen zur
Kulturkunde, No. 59, 2013, h. 270-291.
Muzakki, Akh. ―Is Education Determinant? The Formation of Liberal and Anti-
liberal Islamic Legal Thinking in Indonesia,‖ Journal of Indonesian Islam,
Vol. 01, No. 02, December 2007, h. 280-322.
Nawab, Mohamed and Mohamed Osman, ―Salafi Ulama in UMNO: Political
Convergence or Expediency?‖ Contemporary Southeast Asia, Vol. 36, No. 2
(August 2014), h. 206-231.
Niam, Khairun. ―The Discourse of Muslim Intellectuals and `Ulama‘ in Indonesia: A
Historical Overview.‖ Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, No. 02,
December 2010, h. 287-316.
Noor, Firman. ―Leadership and Ideological Bond: PPP and Internal Fragmentation in
Indonesia,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 23,
No. 1, 2016, h. 61-104.
Prasojo, Munif. ―Pancasila as the Foundation of Political Ethics in Indonesia, Case
Study of the Struggle for the Chairman of a Political Party in Indonesia,‖
Journal of Social and Political Sciences, Vol.4, No.2, 2021, h. 115-126.
Qodir, Zuly. ―Kuntowijoyo dan Kebudayaan Profetik,‖ Profetika, Jurnal Studi
Islam, Vol. 16, No. 1, Juni 2015, h. 103-113.
Ratno, Lukito. ―Islamisation as Legal Intolerance: The Case of GARIS in Cianjur,
West Java.‖ Al Jami‟ah: Journal of Islamic Studies, 54 (2), 2016, h. 393-425.
Ropi, Ismatu. ―Al-Islām wa al-Madd wa al-Jazr fī al-‗Alāqāt bayn al-Dīn wa al-
Dawlah fī Indonesia,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic
Studies, Vol. 23, No. 2, 2016, h. 335-372.
Saidah, Ahmad. ―Islam dan Demokrasi di Malaysia: Hubungan Agama dan Negara
yang Unik.‖ Jurnal Millah, Vol. X, No 2, Februari 2011, h. 213-226.
Salam, M. Isa H.A.“Al-Dawlah wa al-Da‘wah al-Islāmīyah fī ‗Ahd al-Niẓ ām al-
Jadīd: Dirāsah fī Fikr Soeharto min Khilāl al-Khiṭ ābāt al-Ri‘āsīyah fī al-
Munāsabāt al-Islāmīyah bi Indonesia,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal
for Islamic Studies, Vol. 23, No. 1, 2016, h. 143-174.
Samsudin dan Nina Herlina Lubis, ―Sejarah Munculnya Pemikiran Islam Liberal di
Indonesia 1970-2015,‖ Patanjala, Vol. 11, No. 3, September 2019, h. 483-
498.
Sidqi, Ahmad. ―Islam And Religious Experience in The Postmodern,‖ Jurnal
Filsafat (UGM), Vol. 27, No. 2 Agustus 2017, h. 145-167.
Syahputra, Iswandi. ―Activities on Twitter and the 212 Defend Islam Rally Through
the Perspective of the Indonesian Ulema Council,‖ Al-Jāmi„ah: Journal of
Islamic Studies, vol. 58, no. 2 (2020), h.323-354.
Syamsudin, Din. ―Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran
Politik Islam‖. Jurnal Ulumul Quran No. 2 Vol. IV Tahun 1993, h. 4-9.
Syamsudin, Din. ―Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern
Indonesia,‖ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol, 2,
No, 4, 1995, h. 46-68.

266
Tamari, Steve. ―The Venture of Marshall Hodgson: Visionary Historian of Islam and
the World,‖ New Global Studies, 9 (1), 2015, h. 73-87.
Testriono. ―Islam Indonesia dan Demokratisasi: Dari Transisi ke Konsolidasi,‖
Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 22, No. 3, 2015,
h. 563-576.
Tomsa, Dirk. ―Party System Fragmentation in Indonesia: The Sub-National
Dimension,‖ Journal of East Asian Studies, 14 (2), 2014, h. 249-278.
Ufen, Andreas. ―From ‗Aliran‘ to Dealignment: Political Parties in Post-Suharto
Indonesia‖, South East Asia Research, Vol. 16, No. 1, 2008, h. 5-41.
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. ―A Genealogy of Moderate Islam:
Governmentality and Discourses of Islam in Indonesia‘s Foreign Policy,‖
Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 23, No. 3, 2016,
h. 399-433.
Waldman, Peter, Raphael Pura and Marcus W. Brauchli, ―Suharto‘s Final Days as
President Were Marked by Shifting Loyalties,‖ Asian Wall Street Journal, 22
May 1998.
Wahid, Din. ―Kembalinya Konservativisme Islam Indonesia,‖ Studia Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 21, No. 2, 2014, h. 375-390.
Weng, Hew Wai. 2018. ―The Art of Dakwah: Social media, visual persuasion, and
the Islamist propagation of Felix Siauw.‖ Indonesia and the Malay World 46,
(134), 2018, h. 61-79.
Youde, Jeremy. ―High Politics, Low Politics, and Global Health,‖ Journal of Global
Security Studies, Volume 1, Issue 2, May 2016, h. 157-170.
Yousif, Ahmad F. ―Islamic Revivalism in Malaysia: An Islamic Response to Non-
Muslim Concerns,‖ American Journal of Islamic Social Sciences 21, No. 4
(2004), h. 30-56.
Zada, Khamami. ―Wajah Penerbitan Islam di Indonesia Radikal.‖ Jurnal Indo-
Islamika 1.1 (2011), h. 1-19.

III. Artikel Majalah, Surat Kabar Harian dan Seminar Ilmiah


Adam, Asvi Warman. ―Natsir Pahlawan Nasional?‖ Kompas, 17 Juli 2008, h. 6.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. ―Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah?‖ Makalah
disampaikan dalam “Sarasehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh
Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011.
―Alhamdulillah, Jilbab Bebas,‖ Media Dakwah, Januari 1991, hh. 42-45.
Bakti, Andi Faisal. ―Prophetic Communication Strategies: Risale-I Nur‘s
Perspective,‖ International Baiduzzaman Symposiums on The Role and Place
on Propethood in Humanity‟s Journey to The Truth: The Perspective of
Risale-I Nur, Istambul Turkey, September 2013.
―Bogor dengan Jilbab Cantik,‖ Media Dakwah, Januari 1991, hh. 48.
―Desah Panjang Para Ulama,‖ Media Dakwah, Januari 1991, hh. 46-47.
―Dijamin Halal,‖ Media Da‟wah No. 205, Dzulqa‘dah 1411/Juli 1991, h. 45-51.
―Dominasi Non-Muslim di PDI Mega,‖ Media Dakwah, Shafar 1420 H/ Juni 1999
M, h. 42-44.
―Drs. Cholil Badawi: Kerja Politik Itu Ibadah,‖ Media Dakwah, Shafar
1415/Agustus 1994, h. 55.

267
―Gerakan Komunis di Belakang Gus Dur,‖ Media Da‟wah, Maret 2001, h. 41-47.
Harjono, Anwar. ―Angin Sepoi-sepoi Di Sini, Angin Panas Di Sana,‖ Media Da‟wah
No. 195, Rabi‘ul Awal 1411/Oktober 1990, h. 6-7.
Harjono, Anwar. ―Festival Istiqlal 1991 Khazanah Rohaniah Indonesia,‖ Media
Da‟wah No. 210, Jumadil Awal 1412/Desember 1991, h. 6-7.
Harjono, Anwar. ―Jangan Berhenti Tangan Mendayung Nanti Arus Membawa
Hanyut,‖ Media Da‟wah Jumadil Akhir 1413/Desember 1992, h. 6-7.
Harjono, Anwar. ―Gelar Pahlawan Nasional Untuk Lima Tokoh Pejuang (Bapak M.
Natsir dan Kawan-kawan),‖ Media Dakwah, Mei 1995, h. 6-8.
―Hijau Mengapa Tidak?‖ Media Da‟wah No. 221, Jumadil Awal 1412/November
1992, h. 41-52;
―Himbauan Kepada Kaum Muslimin,‖ Media Dakwah, Shafar 1420 H/ Juni 1999 M,
h. 19.
Husaini, Adian. ―Mengapa Yusril Berkawan dengan Israel?‖ Media Dakwah, Maret,
2000.
Husaini, Adian. ―Islamisasi Ilmu,‖ Republika, Kamis, 12 Maret 2009.
Kuntowijoyo, ―Menuju Ilmu Sosial Profetik‖, Republika, 19 Agustus 1997.
Media Da‟wah No. 199, Jumadil Akhir 1411/Januari 1990, h. 6-7.
Media Da‟wah No. 227, Dzulqa‘dah 1413/Mei 1993, h. 15.
Media Da‟wah No. 206, Muharam 1412/Agustus 1993, h. 6.
Nasar, M. Fuad. ―Meneladani Kearifan Seorang Pemimpin Umat: Kenangan atas Dr.
H. Anwar Harjono,‖ Media Dakwah, Dzulqa‘dah 1419/Maret 1999, h. 15.
Noer, Deliar. ―Belum Menyentuh Akar Persoalan,‖ Media Da‟wah, Rajab
1412/Februari 1992, h. 8-9.
Nugroho, Heru. ―Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik‖, Kedaulatan
Rakyat, 13 Desember 1997.
Nurhakim, Moh. ―The New Orientation of Islamic Revivalist Movements In The
Context of Post-Reform Indonesia,‖ The 4th International Conference on the
Community Development in ASEAN, Phnom Penh Cambodia March 22-23,
2017.
―PDI Dengan Dua Tokoh Nasrani Saja Forum DPR/MPR-RI Porak Poranda,‖ Media
Dakwah, Rabiul Akhir 1420 H/ Agustus 1999 M, h. 42.
―Piagam Madinah Solusi Polemik Amandemen Pasal 29,‖ Suara Merdeka, 4
November 2001.
―Seragam Harus, Jilbab Boleh,‖ Tempo, 19 Januari 1991, hh. 76-77.
Serial Media Da‟wah No. 187, Jumadil Akhir 1410/Januari 1990, h. 6-7.
Umar, Hussein. ―Pelajaran Dari Kasus Abdurrahman Wahid,‖ Media Da‟wah,
Agustus 2001, h. 6-7.
Widhyastri, Hany and Luthfi, Muhammad and Rahmat, Muhammad Imdadun and
Hannase, Mulawarman. ―The Influence of Aman Abdurrahman On Pro-Isis
Terrorist Networks in Indonesia After the Fall of ISIS in Raqqa and Mosul in
2017,” ICSGS, 24-26 October 2018, Jakarta, Indonesia, h. 1-13.
Razak, Yusron, Ilham Mundzir, Izza Rohman, and Ervan Nurtawab,
―Da‘watainment‖ and Commercial Display in Live Program ―Damai
Indonesiaku,‖ Proceedings of the Third International Conference on Social
and Political Sciences (ICSPS), November 2017, h. 87.

268
Zubaidi, Natsir. ―Perspektif Kepemimpinan Dewan Da‘wah,‖ Suara Masjid, April
1993, h. 5.

IV. Disertasi
Amin, Husnul. From Islamism to Post-Islamism: A Study of New Intellectual
Discourse on Islam and Modernity in Pakistan, Ph.D Dissertation. Erasmus
University Rotterdam, 2010.
Amin, Saiful. Sikap Politik Dewan Dakwah Pasca Mohamad Natsir (1993-2005):
Kajian Surat-Surat Pernyataan Politik. Disertasi S3 pada SPS UIN Syarif
Hidyatullah Jakarta, 2008.
Aspinall, Edward. Political Opposition and the Transition from Authoritarian Rule:
The Case of Indonesia. Ph.D Dissertation. The Australian National University,
2000.
Daulay, Hamdan. Pergeseran Strategi Politik Islam di Malaysia (Studi Tentang
Perilaku Politik UMNO Dan PAS Pada Masa Pemerintahan Mahathir
Mohammad Dan Abdullah Ahmad Badawi). Disertasi Pada Fisip UGM, 2011.
Darusman, Lukmanul Hakim. Jihād In Two Faces of Sharī‟ah: Sufism And Islamic
Jurisprudence (Fiqh) And the Revival of Islamic Movements in The Malay
World, a thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy, The
Australian National University, November 2018.
Hiareij, Eric. The Politics of Becoming Fundamentalist in the Age of Consumer
Culture. A Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy, The
Australian National University, November, 2009.
Husin, Asna. Philosophical and Sociological Aspects of Da'wah: A study of the
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ph.D Thesis, Columbia University,
1998.
Latif, Yudi. The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of lts Emergence
In The 20 Century. Ph.D Thesis The Australian National University, 2004.
Mahmandar, Sana. Islamic Revival in The Middle-East: The Case of The Qubaisyate
Movement in Syria. A Dissertation submitted to the Graduate School-Newark
Rutgers, The State University of New Jersey, 2015.
Munhanif, Ali. Different Routes To Islamism: History, Institutions, And The Politics
of Islamic State In Egypt And Indonesia, Ph.D Dissertation in Islamic Studies,
McGill University, 2010.
Platzdasch, Bernhard W. Religious Dogma, Pluralism and Pragmatism:
Constitutional Islamism in Indonesian Politics (1998-2002). Ph.D Thesis The
Australian National University, March, 2005.
Rijal, Syamsul. Habaib, Markets and Traditional Islamic Authority The Rise of Arab
Preachers in Contemporary Indonesia. Ph.D Thesis The Australian National
University, July 2016.
Sandilands, Vicki. Jihadist Suicide: A Moral Ideal, a thesis submitted for the degree
of Doctor of Philosophy, The Australian National University, November
2011.
Tayeb, Azmil. Shaping Minds, Saving Souls: Managing Islamic Education in
Indonesia and Malaysia, a Thesis submitted for the degree of Doctor of

269
Philosophy Department of Political and Social Change, College of Asia and
the Pacific of The Australian National University, June 2016.
Wahid, Din. Nurturing the Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantrens in
Contemporary Indonesia. Ph.D Thesis. Utrecht University, 2014.

270
Lampiran

271
Lampiran

272
Lampiran

273
Lampiran

Surat Pernyataan Wawancara

Yang bertandatangan di bawah ini:


Nama lengkap : Muhammad Ramli
Tempat/Tgl Lahir : Sumenep, Tahun 1975
Pendidikan : S2 Universitas Islam Jakarta
Alamat : Jl. Percetakan Cendana, RT 002 RW 008, Kel. Fontein,
Kec. Kota Raja, Kota Kupang Prov. NTT

Lampung, 6 September 2021

Ustaz Muhammad Ramli

274
Lampiran

Surat Pernyataan Wawancara

Yang bertandatangan di bawah ini:


Nama lengkap : Sufyan Amin Setiawan
Umur : 72 Tahun
Pendidikan : Pondok Pesantren Persatuan Islam, Pajagalan, Bandung
Alamat : Jl. A. Yani No. 02, Tanjung Harapan, Kec. Seputih Banyak
Kab. Lampung Tengah, Prov. Lampung

Lampung, 5 September 2021

Ustaz Sufyan Amin Setiawan

275
Lampiran

276
GLOSARIUM

Agama : Ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)


dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta manusia dan lingkungannya.
Aliran : Haluan; pendapat; paham (politik, pandangan hidup, dan
sebagainya).
Al-Quran : Kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan
perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan
diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat
manusia.
Dai : Orang yang kerjaannya berdakwah; pendakwah
Dakwah : Penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan
masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan
mengamalkan ajaran agama.
Demokrasi : Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama
bagi semua warga negara; (bentuk atau sistem) pemerintahan
yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan
perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat.
Demokrat : Penganut paham demokrasi.
Ekstrem : Sangat keras dan teguh; fanatik.
Fanatik : Teramat kuat (tentang kepercayaan atau keyakinan terhadap
suatu ajaran, seperti politik dan agama).
Fikih : Ilmu tentang hukum Islam.
Fundamentalis : Penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan
reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama
yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci.
Fundamentalisme : Paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu
secara radikal.
Genealogi : Garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga sedarah;
suatu cabang ilmu yang mempelajari asal usul sejarah dan
warisan budaya suatu bangsa.
Gerakan : Pergerakan, usaha, atau kegiatan dalam lapangan sosial
(politik dan sebagainya).
Globalisasi : Proses masuknya ke ruang lingkup dunia.
Globalism : Paham kebijakan nasional yang memperlakukan seluruh
dunia sebagai lingkungan yang layak diperhitung-kan,
terutama untuk bidang ekonomi dan politik.
Harakah : Pergerakan kegiatan dalam lapangan sosial (politik dan
sebagainya).

277
Hadis : Sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw.
yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk
menjelaskan dan menetapkan hukum Islam; sumber hukum
kedua setelah Al-Qur‘an.
Hukum : Undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat.
Ideologi : Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat
(kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup; paham, teori, dan tujuan yang
merupakan satu program sosial politik.
Integral : Tidak terpisahkan; terpadu; mengenai keseluruhannya;
meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan
lengkap.
Islam : Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. yang
berpedoman pada kitab suci Al-Qur'an yang diturunkan ke
dunia melalui wahyu Allah Swt.
Islamis : Pengikut paham Islamisme.
Islamisme : Seperangkat ideologi yang berkeyakinan bahwa Islam harus
menjadi pedoman bagi segala segi kehidupan manusia, baik
sosial, ekonomi, politik, budaya, serta kehidupan pribadi.
Isme : Sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau
ekonomi.
Jaringan : Sistem atau bagan yang menggambarkan tali-temali
kegiatan.
Jihad : Usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan
mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga.
Literal : Harfiah; berdasarkan arti yang paling dasar.
Militan : Bersemangat tinggi; penuh gairah; berhaluan keras.
Moderat : Berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Modernisme : Gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin
tradisional, menyesuaikannya dengan aliran modern dalam
filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan.
Modus vivendi : Kompromi; kesepakatan sementara sambil menunggu
penyelesaian akhir.
Moral : (Ajaran tentang) Baik buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi
pekerti; susila.
Mubaligh : Orang yang menyiarkan (menyampaikan) ajaran agama
Islam; juru dakwah
Norma : Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok
dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan
pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima.
Paham : Aliran; haluan; pandangan
Politik : Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan
sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap
negara lain.

278
Poros : Sumbu (gandar) roda dan sebagainya.
Qanun : Undang-undang; peraturan; hukum; kaidah.
Radikal : Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); amat
keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan).
Radikalisme : Sikap ekstrem dalam aliran politik; paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Religius : Bersifat religi; bersifat keagamaan; yang bersangkut paut
dengan religi.
Revival : Tindakan menghidupkan kembali bentuk dan makna
pertunjukan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Revivalisme : Gerakan atau kecenderungan untuk menghidupkan kembali
paham/idea yg lampau dalam konteks reka bentuk
kontemporer.
Salaf : Generasi terdahulu; tiga generasi awal Muslim yang
mengetahui ajaran Islam yang murni tanpa adanya tambahan
dan pengurangan.
Salafisme : Gerakan reformasi di dalam Islam Sunni. Nama ini diambil
dari anjuran untuk kembali ke pemahaman leluhur (salaf),
tiga generasi awal Muslim yang mengetahui ajaran Islam
yang murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan.
Sekuler : Bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan
atau kerohanian).
Sekularisme : Paham atau kepercayaan yang berpendirian bahwa paham
agama tidak dimasukkan dalam urusan politik, negara, atau
institusi publik.
Teologi : Pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar
kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasar
pada kitab suci).
Teror : Usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman
oleh seseorang atau golongan.
Terorisme : Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam
usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik
tindakan terror.
Trans-nasional : Berkenaan dengan perluasan atau keluar dari batas-batas
negara.

279
INDEKS

Bahtiar Efendy ............................ 264, 283


A
Bakti ................................... 267, 288, 291
A. M. Luthfi ....................................... 261 Bamualim ........................................... 300
Abdullah Ahmad Badawi ............265, 296 Barat ... 254, 257, 267, 268, 269, 279, 280,
Abdurrahman Wahid ...................252, 253 279, 283, 284, 285, 287, 288, 289, 290,
ABIM ................................................... 282 291, 292, 293, 294, 295, 296, 299, 302,
Abu A’la al-Maududi........................... 281 303, 304
Abu Bakar Ba‘asyir ............................ 301 Bassam Tibi ..........281, 283, 293, 294, 300
Abu Ridho .......................................... 260 Bernhard Wolfgang Platzdasch .. 256, 260
Adam Schwarz ................................... 252 Bulan Bintang ..... 256, 257, 260, 261, 283
Adian Husaini ..............................268, 499 Burhanudin Muhtadi ........................... 252
Afrika Utara ....................................... 278
agama . 262, 263, 264, 265, 266, 272, 276, D
277, 278, 280, 285, 287, 289, 290, 292, Dakwah ....... 251, 252, 253, 254, 256, 257,
294, 296, 297, 302, 303, 304 258, 259, 261, 262, 263, 267, 268, 274,
Ahlu-Hadits ........................................ 289 277, 288, 300, 499
Ahmad F. Yousif ................. 278, 282, 286 Dakwah-Politik ........................... 262, 263
akademisi ... 256, 257, 259, 260, 264, 273, Daniel Bell ................................... 278, 281
274 Dar al-Arqam....................................... 282
akomodatif .......................... 259, 260, 291 DDII .... 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257,
Ali Mahfudh ....................................... 275 258, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 265,
Ali Muhannif ...............................303, 304 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273,
Al-Mawardi ........................................ 275 497, 498, 499, 500, 502
AM. Saefuddin ................................... 257 Deliar Noer ......................................... 264
Amien Rais .......... 257, 259, 260, 261, 498 Demokrasi................................... 265, 279
Amy L. Freedman .......................278, 282 demokrat ............................................. 254
Andi Faisal Bakti......... 258, 267, 279, 283 Didin Hafidhudin ................................ 257
anti-Semit ............................ 251, 252, 254 difa ...................................................... 259
Anwar Haryono .. 254, 257, 259, 260, 268, diskursus ..................................... 273, 276
273 disorganisasi ....................................... 271
Asef Bayat .......................................... 297 Dominik M. Müller............................. 298
Asia Selatan........................................ 278
E
Asia Tenggara ............. 278, 281, 283, 290
Asna Husin .......................... 254, 259, 268 Einaar Sitompul .................................. 264
Azra .... 276, 279, 280, 281, 282, 284, 288, eksklusif .............................. 252, 257, 267
291, 292, 303 Elite............................. 262, 273, 498, 499
Azyumardi Azra ................................. 288 Endang Saefudin Anshary .................. 264
Esposito277, 279, 280, 281, 285, 286, 294
B
F
B. J. Boland ........................................ 264
B. J. Habibi .......................................... 273 Fazlur Rahman .................... 280, 284, 288

280
FPI ...............................................251, 283 278, 279, 280, 281, 282, 283, 286, 288,
FUI ..................................................... 256 289, 290, 291, 292, 295, 296, 298, 300,
fundamentalis ..... 252, 268, 288, 290, 292, 301, 302, 303, 304, 497, 499, 500, 501,
300 502, 507
G interkoneksi ........................................ 304
Iran...... 261, 279, 280, 281, 282, 287, 297,
gerakan sosial ...................... 271, 278, 291 298
GPI ...................................................... 256 Islam ... 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257,
Greg Fealy ........................... 256, 283, 300 258, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 265,
H 266, 267, 268, 269, 273, 276, 277, 278,
279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286,
Habib Rizieq ...................................... 301
287, 288, 289, 290, 289, 290, 291, 292,
Hamas................................................. 282
293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300,
Hasan al-Turabi .................................. 282
301, 302, 303, 304, 497, 498, 499, 500,
Hassan al-Bana ................................... 281
501, 507
Hizbut Tahrir ...................................... 253
Islam Hadhari ..................................... 296
HMI ..............................................256, 264
Islam-Hadhari‘ .................................... 296
HTI ..................................................... 283
Islamic State ................................ 259, 304
Husnul Amin ...................................... 297
Islamisasi .... 259, 266, 277, 295, 296, 301,
Hussein Umar ..................................... 257
498, 499
I Islamisme .... 264, 267, 273, 290, 292, 293,
Ibn Taymiyyah .................................... 281 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301,
ICG ..................................................... 301 302, 303, 304, 501
ICMI ..................................... 256, 260, 498 Islamis-melioristik .............................. 304
ideologi253, 254, 263, 267, 280, 284, 287, Islamis-Utopis ..................................... 304
288, 293, 294, 297, 298 ITB ....................................................... 257
ideolog-kritis ...................................... 258 J
Ihsan D. Dagi ..............................298, 299
Ja‘far Umar Thalib.............................. 301
Iik A. Mansurnoor ....... 278, 287, 290, 291
Jama’at-i Islami ................................... 281
Iik Arifin Mansurnoor ........................ 290
Jamaluddin al-Afghani ........................ 281
Ikatan Cendekiawan Muslim .............. 256
Johan Meuleman ................................. 277
Ikhwan al-Muslimin ............................ 281
John L. Esposito 265, 277, 279, 280, 281,
Ikhwanul Muslimin .....................252, 254
282, 285, 291, 294
Ilmu Sosial ..................................270, 271
John O. Voll........................................ 265
IM ........................................260, 281, 282
juru dakwah 258, 259, 260, 263, 264, 273,
Imadudin Abdulrahim ........................ 257
274, 498
Imam Khomaeni ................................. 281
juru dakwah murni ...................... 259, 498
Imdadun Rahmat ................. 253, 282, 289
Indonesia .... 251, 252, 253, 254, 255, 256, K
257, 258, 260, 261, 262, 263, 264, 265,
KDII .................................................... 257
266, 267, 268, 269, 270, 271, 273, 277, kesatuan internasional ......................... 277

281
kesinambungan .. 262, 270, 285, 497, 500, Mohamad Roem ..256, 257, 258, 259, 260
502 Mohammad Natsir ...................... 253, 258
KH. Affandi Ridhwan ........................ 257 Muhammad Abduh ............................. 281
KH. Hasan Basri................................. 256 Muhammad Ali ................................... 296
KH. Latief Muchtar ............................ 257 Muhammad Ansor .............................. 298
KISDI ................................................. 256 Muhammad ibn Abdal Wahhab .......... 281
Konstituante ................................264, 279 Muhammad Mumtaz Ali ............. 284, 285
kontinyuitas .................................270, 499 Muhammadiyah ..256, 257, 259, 260, 264,
kristen ................................................ 263 296, 300
Kristenisasi ..................................259, 277 MUI ............................................. 256, 498
kritis-pluralistik .................................. 260 Mukhlish Abdi .................................... 260
Kuntowijoyo ................ 257, 269, 498, 499 Muslim 251, 253, 254, 255, 256, 258, 259,
L 260, 261, 265, 267, 270, 276, 277, 278,
279, 280, 282, 283, 284, 285, 286, 287,
liberal .................. 287, 293, 298, 300, 303 288, 291, 292, 293, 295, 296, 297, 298,
Line Khatib ........................................ 278 299, 300, 301
literalis .........................................251, 285
Lukman Harun ................................... 264 N

M Nahdlatul Ulama ......................... 296, 300


Natsir .. 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259,
M. C. Riclefs ...................................... 259
260, 263, 265, 266, 267, 268, 273, 279,
M. Rusli Karim .................................. 264
498, 500
M. Yunan Nasution ............................ 256
negara 255, 262, 263, 264, 265, 266, 271,
Madjid ................................................ 254
mahasiswa ...................................253, 272 277, 279, 280, 282, 283, 284, 288, 289,
Malaysia ..... 252, 265, 278, 280, 282, 286, 291, 292, 294, 295, 296, 297, 298, 299,
296, 298 300, 301, 302, 499
Mark R. Woodward ............. 251, 252, 507 negara Islam ....................... 263, 265, 299
Marshal G. S. Hodgson ...............277, 280 Negara Islam ...... 252, 253, 254, 255, 259,
Martin van Bruinessen 253, 283, 300, 301 294, 295, 298
Masdar Hilmy .... 290, 295, 296, 301, 302, Neofundamentalist .............................. 290
304 NIF....................................................... 282
Mashadi .............................................. 260 NKRI .......................................... 255, 268
Masyumi..... 252, 254, 255, 256, 257, 258, Noorhaidi Hasan ......................... 281, 298
260, 261, 262, 264, 273, 283, 498, 499, Nurcholish Madjid .............. 252, 254, 259
500 O
Media Dakwah ... 251, 252, 253, 256, 257,
258, 261, 266, 507 Oliver Roy ...281, 282, 289, 289, 290, 294,
MMI ................................................... 283 295, 296, 297, 298, 299, 301
moderat254, 255, 257, 258, 259, 281, 289, oposan ................................................. 258
291, 295, 296, 302, 501 Orde Baru ... 251, 256, 258, 260, 264, 266,
Moh. Nurhakim ................... 278, 283, 289 267, 273, 282, 283, 290, 301, 302, 498,
Mohamad Natsir .......... 251, 255, 257, 268 499, 507

282
Orde Lama...................................264, 273 Republik Turki ..................................... 279
Osman Raliby ..................................... 256 resurgence ........................... 278, 279, 280
revitalization ....................................... 278
P
revivalisme 253, 273, 277, 278, 281, 282,
Pakistan265, 279, 280, 281, 284, 297, 299 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 290,
PAN.................................................... 261 291, 292, 295, 297, 300, 302
Pancasila.............. 255, 262, 264, 268, 280 Ricklefs ............................... 259, 266, 300
Parmusi............................................... 256 rigid............................................. 251, 252
Partai Keadilan .................... 256, 260, 283 Robert W. Hefner ....................... 254, 266
PAS ..................................... 265, 282, 298 Roem ................................... 257, 258, 259
PBB .............................................256, 283
Perdebatan akademik ........................ 273 S
peristiwa 9/11‘ .................................... 293 Saiful Amin ........................................ 268
Persatuan Islam ................... 255, 256, 257 Saiful Muzani ..................................... 265
Persis ................................... 255, 256, 257 Salafi ............ 252, 253, 282, 283, 289, 290
perubahan .. 259, 262, 270, 271, 274, 281, Salafi Haraki ....................................... 283
284, 304, 497, 499, 501, 502 Salafy-Jihadist‘ ................................... 290
pesantren ............................. 257, 270, 498 Samuel P. Huntington ......................... 287
Peter L. Berger ................................... 278 Sana Mahmandar ................................ 278
Piagam Jakarta ... 261, 262, 264, 268, 498, Saudi Arabia ....................... 253, 279, 289
500 Sayyid Qutb................. 281, 282, 294, 301
PII 256 Sejarah ........................ 269, 270, 273, 497
PKS ..................................... 253, 260, 283 sekularisasi.................................. 280, 289
Platzdasch............ 256, 260, 261, 267, 303 sekularisme ................................. 280, 499
pluralisme agama ............................... 254 sekuler..................255, 264, 277, 293, 297
Post-Islamisme .................... 296, 297, 299 Seyyed Vali Reza Nasr ....................... 287
PPP ..............................................256, 257 skripturalistik ...................... 251, 252, 264
Prawoto Mangkusasmito .................... 256 social control....................................... 500
puritan ................................. 253, 254, 290 social support ...................................... 500
Soekarno ............................................. 279
R
Sosialisasi politik ................................ 271
R. M. Feener ....................................... 255 spiritualitas ......................................... 289
R. William Liddle............................... 251 substansialis ........................ 251, 252, 266
Liddle ...................... 251, 254, 266, 507 Sudan .......................................... 280, 282
Râbithah al-‗Alam al-Islamî ........253, 499 Suharto ........................ 251, 253, 258, 300
radikal. 252, 253, 255, 257, 263, 281, 283, Syafii Maarif ....................... 259, 264, 279
290, 294, 295, 296, 301, 302 syari’ah ....... 258, 262, 280, 282, 287, 300
Rashid Ridha ....................................... 281 Syariah Islam ....................................... 280
re-awakening ...................................... 278 Sydney Jones ...................................... 301
Reformasi ............ 251, 262, 280, 283, 303 Syeikh Yusuf Qardhawy ............. 286, 288
reformis ....... 261, 268, 295, 300, 304, 499 Syuhada Bahri..................... 259, 498, 499
reorganisasi ........................................ 271

283
T Wahhabisme ....................................... 281

Tamsil Linrung .................... 251, 257, 261 Y


Taufiq Ismail ...................................... 257
Yahudi ................................ 252, 254, 294
teori generasi ...................................... 270
Yayusuki Matsunaga .......................... 297
Teori Sosial ........................................ 270
Yogyakarta .. 253, 258, 265, 268, 269, 298
Tiar Anwar Bachtiar ........................... 268
Yousef ................................................. 282
Timur Tengah ..... 252, 253, 278, 281, 282,
Yudi Latif ............253, 260, 261, 267, 270
288, 301
Yunan .................................................. 256
totalitarianisme ................................... 293
Transformasi struktural ...................... 271 Yunus Dumbe ..................................... 278
Yusril Ihza Mahendra . 256, 257, 261, 265
U
Z
Urgensi dakwah ................................. 275
Z. A. Ahmad ....................................... 256
W

Wahabi ................................ 252, 254, 289

284
CV Penulis

Pepen Irpan Fauzan

Lahir di Sumedang, pada 2 Oktober 1978. Setelah nyantri di


Pesantren Persis 19 Garut, kemudian melanjutkan studi S1
jurusan Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
(Unpad) Jatinangor, dan Program S2 Ilmu Sejarah di Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Depok. Melalui
program ―Beasiswa 5000 Doktor‖ Kementerian Agama,
menempuh studi S3 dengan konsentrasi Sejarah Islam di
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, dan lulus pada tahun 2022. Sekarang
tinggal di Jl. Merdeka 141, Garut, Jawa Barat.

Beragam profesi ditekuni, mulai dari pengajar di Pesantren Persis, Dosen STAI
Persis Garut, konsultan-peneliti di Kementerian PPN/Bappenas, juga menjadi Asesor
pada Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan Ditjen Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Saat ini, selain diamanahi
jabatan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STAI Persis
Garut (2018-2024), juga aktif di organisasi keagamaan sebagai Ketua Bidgar SDMO
PD Persis Kabupaten Garut, anggota Dewan Tafkir/Litbang PP Persis (2016-2022),
dan Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat (2021-2025).

Aneka ragam karya tulisnya telah diterbitkan, baik di majalah-majalah online


maupun cetak, serta jurnal-jurnal kajian keislaman (yang telah terakreditasi Sinta 2),
seperti Jurnal Al-Manahij IAIN Purwokerto, Jurnal Episteme IAIN Tulung Agung,
Jurnal El-Harakah UIN Malang, Jurnal Miqot UIN Sumatera Utara, Millah: Jurnal
Studi Agama Universitas Islam Indonesia (UII), Jurnal Konstitusi Mahkamah
Konstitusi RI, Jurnal Lektur Keagamaan, Puslitbang Kementerian Agama RI dan
Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies. Terakhir, artikel yang
diterbitkan oleh jurnal internasional bereputasi (terindeks Scopus Q2), Journal of Al-
Tamaddun, University of Malaya, Kuala Lumpur, Juli 2022, dengan judul ―Madjlis
Ahli Soennah Garoet: Local Islamic Puritanism Movement and Its Roles in West
Java during the Colonialism Era of 1926–1942.‖

Karyanya yang dipublikasikan dalam bentuk buku, diantaranya berjudul Dinamika


Pembaharuan Islam di Pedesaaan (Muna Aliya, 2004); Pergulatan Pemikiran
Kaum Muda Persis (Granada, 2005), 60 Tahun H. Suchrodi: Anak Petani Lereng
Merapi Menjadi Pengusaha Ibu Kota (Wirana Jayatama Abadi, 2008), Pers Aceh
Dalam Lintasan Sejarah (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi/BRR NAD, 2009);
Persis dan Politik: Sejarah Pemikiran dan Aksi Politik Persis 1923-1997 (Pembela
Islam, 2012); Negara Pancasila vis-a-vis Negara Islam: Pemikiran Politik M. Natsir
dan M. Isa Anshary 1945-1960 (STAIPI Press, 2019), Sejarah Pemikiran dan

285
Gerakan Politik Persis (Persis Press, 2020), dan buku terbaru berjudul KH Aceng
Zakaria Ulama Persatuan Islam (STAIPI Press, 2021).

286

Anda mungkin juga menyukai