Anda di halaman 1dari 83

FILOSOFI LAMBANG SILA-SILA DALAM PANCASILA

MENURUT SUKARNO
Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Agus Juliyanto

11170331000005

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2021 M
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Agus Juliyanto

NIM : 11170331000005

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul FILOSOFI LAMBANG


SILA-SILA DALAM PANCASILA MENURUT SUKARNO adalah benar
merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam
penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya
cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses
yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata
skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 23 Agustus 2021

Agus Juliyanto
NIM 11170331000005

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

FILOSOFI LAMBANG SILA-SILA DALAM PANCASILA


MENURUT SUKARNO

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:
Agus Juliyanto
NIM. 11170331000005

Pembimbing

Drs. Agus Darmaji, M.Fils.


NIP. 19610827 199303 1 002

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2021 M

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul “FILOSOFI LAMBANG SILA-SILA DALAM


PANCASILA MENURUT SUKARNO” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 23 Agustus 2021, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada program studi Aqidah dan Filsafat
Islam.
Jakarta, 23 Agustus 2021

Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Tien Rohmatien, M.A. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.


NIP. 19680803 199403 2 002 NIP. 19680618 199903 2 001

Penguji I, Penguji II,

Dr. Kholid Al Walid, M.A. Dr. Kusen, M.A.


NIP. 19700920 200501 1 004 NIP.

Pembimbing,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils.


NIP. 19610827 199303 1 002

iii
ABSTRAK

Tulisan ini akan menjelaskan tentang Filosofi Lambang Sila-sila dalam


Pancasila menurut Sukarno mengenai nilai Filosofis dalam bentuk dan corak yang
terkandung di dalam lambang sila-sila Pancasila. Dewasa ini banyak sekali orang
yang memegang teguh ideologi tersebut namun mereka tidak paham makna yang
terkandung di dalam lambang sila-sila Pancasila itu sendiri. Soekarno sebagai
salah satu pelopor sekaligus pendiri ideologi Pancasila ini, sudah pasti memiliki
perspektif dan pandangan filosofis tentang makna yang terkandung di dalam
lambang sila-sila Pancasila. Maka pada penelitian ini, Soekarno akan menjadi
tokoh utama untuk peneliti gali pemikiran filosofisnya dengan pemahaman yang
komperhensif melalui karya-karya, pemikiran, ceramah dan pidato-pidatonya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analisis untuk menyelidiki pemikiran Soekarno tentang folosofi yang
terkandung di dalam lambang sila-sila Pancasila sebagai Ideologi Negara, yang
merujuk pada sumber data primer yaitu “Filsafat Pancasila menurut Bung Karno”
karya Ir. Soekarno dan mengacu pada buku “Lahirnya Pancasila Kumpulan Pidato
BPUPKI” karya Kumpulan Pidato, agar peneliti mampu mendeskrpikan
pemikiran Sukarno secara komperhensif dan sistematis. Maka, dalam teknik
pengumpulan data peneliti akan menggunakan penelitian kajian pustaka atau yang
sering disebut libraray research, artinya peneliti mengumpulkan data dari buku-
buku, majalah, kamus, jurnal, serta sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan
objek kajian penelitian. Sehingga, pada akhirnya hasil dari penelitian ini akan
menjelaskan tentang filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila menurut Sukarno.
Mulai dari sila pertama yang dilambangkan oleh Bintang Tunggal yang memiliki
filosofi Ketuhanan yang Maha Esa, sila kedua yang dilambangkan oleh Rantai
Emas sebagai filosofi dari Kemanusiaan, kemudian sila ketiga yang dilambangkan
oleh Pohon Beringin sebagai filosofi Kebangsaan dan sila keempat yang
dilambangkan oleh Kepala Banteng sebagai filosofi Kedaulatan Rakyat serta sila
kelima yang dilambangkan oleh Padi dan Kapas sebagai filosofi Sandang-Pangan,
Keadilan Sosial.

Kata kunci: Filosofi, Lambang Sila-sila, Pancasila, Soekarno

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan kuasa-
Nya yang telah diberikan kepada kita semua. Sholawat serta salam senantiasa
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta kepada keluarga,
sahabat dan para pengikutnya yang telah memberi cahaya terang ke seluruh
penjuru dunia melalui penyebaran agama Islam.

Skripsi yang berjudul Filosofi Lambang Sila-sila dalam Pancasila


menurut Sukarno disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Strata Satu (S1) Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tentu, dalam penyusunan skripsi ini banyak pihak yang dilibatkan dalam
proses penulisan skripsi ini. Penulis mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari
berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena
itu, penulis haturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah sangat
membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Penulis sampaikan terima kasih
yang mendalam kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, dan segenap
civitas akademika Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu kelancaran administrasi
dan birokrasi.
2. Dra. Tien Rohmatin, M.A., selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Aqidah
dan Filsafat Islam dan juga jajarannya yang telah membantu penulisan
dalam mengurus segala keperluan untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Aktobi Ghozali, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
menasehati dari semester awal hingga akhir.

v
4. Drs. Agus Darmaji, M.Fils., selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dan menasehati dengan setulus hati dalam memberi masukan
serta arahan yang baik kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir atau skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak bisa penulis sebut namanya satu
per satu. Semoga ilmu yang telah diajarkan kepada penulis dapat
diamalkan dan semoga kelak mendapat balasan dari Allah SWT.
6. Al-Habib Juni Wiraatmaja bin Muslih, selaku ayah sekaligus guru dan
penyemangat selama penulis hidup hingga akhirnya penulis bisa
menyelesaikan studi Strata Satu (S1) ini. Tak lupa, Ibu tercinta Seriah binti
Khairullah yang selalu memberikan semangat dan do’a restunya kepada
penulis.
7. Keluarga tercinta, Bapak Abdullah Hendrid Suko Prastyono dan Ibu Puji
Lestari, selaku Ayah dan Ibu angkat penulis yang selalu memberi motivasi
dan dukungan agar penulis mampu menyelesaikan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi dan berprestasi.
8. Ust. Akhmad Zaenudin, S.Ag., dan Ibu Wardiyatun selaku Orang Tua
sekaligus pengasuh di Yayasan Cinta Yatim dan Dhuafa yang selalu
membimbing dan memberi dukungan selama penulis melaksanakan
pendidikan S1 hingga lulus.
9. Yayasan Cinta Yatim dan Dhuafa, Yayasan Qalbu Walisongo Indonesia,
dan para Pembina serta seluruh Pengurus Yayasan yang telah memberi
dukungan, motivasi dan do’a selama penulis melaksanakan pendidikan S1
hingga lulus.
10. Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) baik para pengurus ataupun
para pendiri, yang mendo’akan serta memotivasi penulis agar segera
menyelesaikan skripsinya.
11. Teman-teman redaktur Jurnal Filsafat Paradigma Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu.

vi
Terima kasih sudah memberi dukungan, diskusi bersama dan membagi
pengalamannya kepada penulis agar penulis cepat menyelesaikan
skripsinya.
12. Teman-teman Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2017, serta
kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu
dalam proses pengerjaan skripsi ini.

Penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih atas do’a, dukungan, dan


motivasinya kepada semua pihak, dan mohon maaf apabila ada pihak yang belum
disebutkan satu per satu. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan menjadi
amal baik dan diberi balasan oleh Allah SWT.

Jakarta, 07 Juli 2021

Agus Juliyanto

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris


‫ا‬ a a ‫ط‬ t t
‫ب‬ b b ‫ظ‬ z z
‫ت‬ t t ‫ع‬ ‘ ‘
‫ث‬ ts th ‫غ‬ gh gh
‫ج‬ j j ‫ف‬ f f
‫ح‬ h h ‫ق‬ q q
‫خ‬ kh kh ‫ك‬ k k
‫د‬ d d ‫ل‬ l l
‫ذ‬ dz dh ‫م‬ m m
‫ر‬ r r ‫ن‬ n n
‫ز‬ z z ‫و‬ w w
‫س‬ s s ‫ه‬ h h
‫ش‬ sy sh ‫ء‬ ‘ ‘
‫ص‬ s s ‫ي‬ y y
‫ض‬ d d ‫ة‬ h h

Vokal Panjang

Arab Indonesia Inggris


‫ا‬ A a
‫اى‬ I i
‫او‬ U u

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................ i


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ......................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 6
E. Metode Penelitian ..................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II BIOGRAFI SUKARNO DAN PEMIKIRANNYA ............. 14
A. Riwayat Hidup Sukarno ............................................................ 14
B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Politik pada Masa Sukarno ......... 25
C. Pergolakan Pemikiran Sukarno ................................................. 29
BAB III PERSPEKTIF SUKARNO TENTANG FILOSOFI
PANCASILA ....................................................................................... 37
A. Pengertian Filosofi .................................................................... 37
B. Sila Pertama: Perspektif Sukarno tentang Ketuhanan ............... 38
C. Sila Kedua: Perspektif Sukarno tentang Perikemanusiaan ....... 41
D. Sila Ketiga: Perspektif Sukarno tentang Kebangsaan ............... 43
E. Sila Keempat: Perspektif Sukarno tentang Kedaulatan Rakyat 46
F. Sila Kelima: Perspektif Sukarno tentang Keadilan Sosial ........ 49
BAB IV FILOSOFI LAMBANG SILA-SILA DALAM PANCASILA
MENURUT SUKARNO ..................................................................... 52
A. Pengantar ................................................................................... 52

ix
B. Filosofi Lambang Bintang Tunggal .......................................... 54
C. Filosofi Lambang Rantai Emas ................................................. 56
D. Filosofi Lambang Pohon Beringin ............................................ 58
E. Filosofi Lambang Kepala Banteng ........................................... 61
F. Filosofi Lambang Padi dan Kapas ............................................ 63
BAB V PENUTUP ............................................................................... 66
A. Kesimpulan ............................................................................... 66
B. Saran .......................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 69

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Secara umum, Pancasila diartikan sebagai Ideologi Negara.
Ideologi yang sampai saat ini tetap menjaga persatuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dengan ragam agama, suku, bahasa, adat dan
budaya serta ras yang berbeda. Ideologi ini mampu menyatukan perbedaan
tersebut dengan sangat harmonis dan penuh toleransi. Toleransi dalam
berbagai hal yang manyangkut masalah hak asasi manusia mulai dari hak
memilih agama, hak suara, dan hak-hak yang lainnya. Dalam situasi yang
berubah amat cepat sekarang ini upaya-upaya untuk mengukuhkan
kembali nilai-nilai Pancasila sebagai semen perekat persatuan-kesatuan
bangsa menjadi teramat penting. 1
Ada tiga tokoh yang mengemukakan pandangannya tentang dasar negara,
yaitu Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.2 Padahal para
Founding Father (Bapak Pendiri) kita yang pada waktu itu adalah
pemuda, hidup dalam kepahitan masa penjajahan. Mereka dapat
melakukan semua itu karena modalnya adalah dorongan semangat dan
yang dimilikinya adalah jati diri dan karakter. Semangat dan karakter
menggelora melalui tekad, keberanian, dan jiwa pantang menyerah, yang
mewujud dalam jiwa patriotisme dan nasionalisme. 3 Salah satu dari
Founding Father (Bapak Pendiri) tersebut, yang akan Peneliti teliti
pemikirannya adalah Soekarno. Mengapa Soekarno yang akan Peneliti
teliti pemikirannya? karena Soekarno (1319-1370 H/1901-1970 M) adalah
Presiden pertama Republik Indonesia yang dikenal sebagai seorang

1 Sultan Hamengku Buwono X. Merajut Kembali KeIndonesiaan Kita. (Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama. 2008). Cet. 2. h. 92
2 Muhammad Chairul Huda. “Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara:

Implemetasi Nilai-nilai Keseimbangan dalam Upaya Pembangunan Hukum di Indonesia”. Program


Studi Tata Negara - IAIN Salatiga. Jurnal Resolusi Vol. 1 No. 1 Juni 2018. h. 86
3 Soemarno Soedarsono. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. (Jakarta: PT Elex Media

Komputindo Kelompok Kompas Gramedia. 2008). h. 26

1
2

negarawan, politisi, nasionalis, dan humanis. 4 Soekarno juga merupakan


salah satu pelopor sekaligus pendiri yang memiliki pengaruh besar
terhadap ideologi tersebut. Pak Karno mempunyai kepribadian yang amat
tenang.5 Dengan kehendak yang membulat dan menjadi satu, ketetapan
hati yang menggumpal menjadi satu, tekad yang membaja menjadi satu,
seluruh bangsa kita, kaya, miskin, tua, muda, laki, perempuan, terpelajar,
buta huruf, seluruh bangsa kita bangkit bergerak, berjuang untuk
membenarkan, mewujudkan Proklamasi 17 Agustus itu.6 Dari ungkapan
tersebut sangat jelas Soekarno memiliki peran yang sangat besar bukan
hanya dalam memikirkan landasan dasar negara akan tetapi dia juga
mampu mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk berjuang
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Soekarno mengatakan bahwa, benar Pancasila itu resmi menjadi
dasarnya falsafah Negara Republik Indonesia, sebagai tercantum dalam
mukadimah Undang-Undang Dasarnya, tetapi Soekarno menganggap
Pancasila itu telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Soekarno
menganggap Pancasila itu corak karakternya bangsa Indonesia.7 Soekarno
juga mengatakan bahwa, Nasionalisme kita harus nasionalisme yang
mencari selamatnya perikemanusiaan. 8 Tentunya sebelum dia
menggagaskan pemikiran-pemikirannya itu dia juga pasti memiliki
pergolakan pemikiran yang sangat mempengaruhi dirinya untuk sampai
kepada ideologi tersebut. Maka, peneliti sangat yakin dan percaya bahwa
setiap tulisan maupun pidato Soekarno memiliki nilai-nilai filosofis yang

4 Ahmad Rofi’ Usmani. Ensiklopedia Tokoh Muslim. (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015).
h. 579
5 Jakob Oetama. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan. (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara. 2002). h. 245
6 Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid II, Cet. Kedua. (Djakarta: Di Bawah Bendera

Revolusi. 1965). h. 3
7 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. (Jakarta: Media Pressindo. 2019).

Cet. 4. h. 44
8 Soekarno. Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme menurut Bung Karno. (Jakarta: Media

Pressindo. 2019). Cet. 7. h. 51


3

terkandung di dalamnya sehingga peneliti sangat tertarik mengambil sudut


pandang mengenai lambang-lambang Pancasila menurut Soekarno.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat atau terakhir bagian akhir terdapat
rumusan yang menyatakan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Rumusan itu terjalin secara harmonis, hirarkis, piramidal,
terpadu, padat, utuh, bulat, dan menyeluruh. Dimana sila pertama
"Ketuhanan Yang Maha Esa" yang menyinari dan mendasari keempat sila
yang lain dari rumusan itu.9 Kelahiran Pancasila pun salah satunya didasari
atas dasar yaitu, Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang
paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan
seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup
bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.10
Sehingga, Negara-negara Asia-Afrika memandang pada Indonesia bahwa,
Banyak yang mengadopsi falsafah Pancasila kami. 11
Pancasila memiliki lima sila dengan lambang yang berbeda. Sila
pertama, ketuhanan yang Maha Esa dilambangkan dengan Bintang
Tunggal. Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab dilambangkan
dengan Rantai Emas. Sila ketiga, persatuan Indonesia dilambangkan
dengan Pohon Beringin. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dilambangkan
degan Kepala Banteng dan Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indoneisa dilambangkan dengan Padi dan Kapas. Lima Sila yang ada pada
Pancasila tidaklah relevan apabila tidak mengandung nilai-nilai filosofis di

9 Riyanto. “Pancasila Dasar Negara Indonesia.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun
ke-37 No. 3 Juli-September. 2007. h. 464
10 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. (Jakarta: Media Pressindo. 2019). Cet. 3.

h. 55
11 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. (Jakarta: Yayasan

Bung Karno. 2019). Cet. 6. h. 362


4

dalamnya. Karena Pancasila itu sendiri merupakan hasil dari pemikiran


para Founding Father (Bapak Pendiri) yang berangkat dan berlandaskan
dari situasi dan kondisi pada saat itu yang mengharuskan Indonesia
memiliki landasan dasar negara. Berdasarkan inilah peneliti meyakini
bahwa setiap unsur di dalam Pancasila pasti memiliki nilai-nilai filosofi,
baik itu filosofi dari isi maupun yang terdapat pada Lambang-lambangnya.
Namun, pada penelitian ini peneliti hanya akan berfokus untuk membahas
nilai-nilai filosofi yang terkadung di dalam lambang sila-sila Pancasila.
Kelima lambang sila-sila dalam Pancasila tersebut akan peneliti teliti
filosofi yang terkandung di dalam gambar, bentuk, maupun warnanya
dengan menggunakan perspektif Soekarno.
Dewasa ini, banyak sekali orang yang memegang teguh ideologi
tersebut namun mereka tidak paham makna yang terkandung di dalam
lambang sila-sila dalam Pancasila itu sendiri. Kebanyakan penelitian pun
hanya sekedar menjelaskan nilai-nilai filosofis dalam Pancasila secara
umum tidak secara terperinci seperti yang akan peneliti teliti. Begitu juga
banyaknya penelitian yang menjelaskan pemikiran Soekarno tentang
Pancasila namun tidak menjelaskan mengenai makna atau filosofi yang
terdapat pada setiap lambang sila-sila dalam Pancasila menurut Soekarno.
Maka dari itu Peneliti berharap penelitian yang berjudul Filosofi Lambang
Sila-sila dalam Pancasila menurut Soekarno ini dapat diterima sehingga
penelitian ini akan berfokus pada filosofi di setiap Lambang dalam
Pancasila mulai dari segi gambar, bentuk dan warna-warnanya untuk
ditarik kesimpulan bahwa antara isi dengan lambang Pancasila memiliki
keterkaitan yang erat dan banyak nilai-nilai Filosofi yang terkandung di
dalamnya. Agar tidak melebar pemahamannya, Peneliti menggunakan satu
sudut pandang yaitu menurut pemikiran Soekarno yang nantinya akan
peneliti kaitkan dengan semua yang berkaitan dengan Soekarno semasa
hidupnya mulai dari Agama, Sosial, Budaya, Pemikiran, Sejarah dan lain-
lain. Serta peneliti berharap penelitian ini dapat melengkapi penelitian-
penelitian sebelumnya.
5

B. Batasan dan Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti membuat
batasan masalah dengan membatasi masalah penelitian ini pada pemikiran
Sukarno tentang Pancasila.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana
filosofi dari lambang sila-sila dalam Pancasila menurut Sukarno? Dan
apakah ada hubungannya antara isi/bunyi sila dengan lambang sila-sila
dalam Pancasila menurut Sukarno?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan dari penelitian ini yaitu:
a. Menjelaskan filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila menurut
Soekarno.
b. Menjelaskan pemikiran Soekarno tentang keterkaitan isi/bunyi
dengan filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila.
a. Menjelaskan pemikiran Soekarno tentang filosofi lambang sila-sila
dalam Pancasila yang berkaitan dengan semua yang berkaitan
dengan Soekarno semasa hidupnya mulai dari Agama, Sosial,
Budaya, Pemikiran, Sejarah dan lain-lain.
2. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
a. Akademis
Secara akademis, penelitian ini sebagai syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Agama pada Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Program Studi Aqidah
dan Filsafat Islam.
b. Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang filsafat.
Serta dapat dijadikan landasan untuk memperkaya wawasan
tentang filosofi lambang-lambang dalam Pancasila menurut
Soekarno.
6

c. Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi referensi dan dapat
memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai filosofi
lambang sila-sila dalam Pancasila menurut Soekarno.

D. Tinjauan Pustaka
Dari beberapa referensi judul skripsi dan karya tulis ilmiah yang
telah dibaca oleh peneliti, penelitian ini bukan yang pertama kalinya, ada
beberapa karya ilmiah yg sudah dipublikasikan tentang Filosofi Pancasila
menurut Soekarno.
Pertama, Dwi Siswoyo (2013). Jurnal tentang “Pandangan Bung
Karno tentang Pancasila dan Pendidikan”. Cakrawala Pendidikan,
Februari 2013, Th. XXXII, No. 1, FIP Universitas Negeri Yogyakarta.
Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang esensial dari
pandangan Bung Karno tentang Pancasila dan pendidikan sehingga dapat
memberikan gambaran pandangan tentang urgensi nasionalisme dalam
membangun bangsa dan urgensi Pancasila sebagai dasar filosofi negara
termasuk sebagai dasar filosofi pendidikan nasional Indonesia, serta
urgensi pendidikan nasional dalam membangun kepribadian (karakter)
bangsa Indonesia.12 Pada Jurnal ini, tidak dijelaskan mengenai pandangan
Soekarno tentang filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila. Maka dari itu,
Jurnal ini sangat berbeda dengan penelitian yang akan peneliti teliti.
Kedua, Fani Pradana (2014). Skripsi tentang “Implementasi Nilai-
nilai Pancasila Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam
Kehidupan Santri di Pondok Pesantren”. Program Studi Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi ini bertujuan untuk
menggambarkan implementasi nilai-nilai pancasila sila kemanusiaan yang
adil dan beradab dalam kehidupan santri di Pondok Pesantren

12 Dwi Siswoyo. “Pandangan Bung Karno tentang Pancasila dan Pendidikan”. Jurnal
Cakrawala Pendidikan. Februari 2013. Th. XXXII, No. 1. h. 103
7

Muhammadiyah Kudus.13 Perbedaan skripsi ini dengan penelitian yang


akan Peneliti teliti adalah redaksi dan isi jelas sangat berbeda. Di dalam
skripsi ini sama sekali tidak membahas mengenai pemikiran Soekarno
tentang filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila.
Ketiga, Ajik Arfian (2014). Skripsi tentang “Hubungan
Pemahaman Nilai-nilai Pancasila dalam Pembelajaran PKN dengan
Karakter Siswa Kelas VIII SMP Negeri 13 Magelang”. Program Studi
Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan pemahaman nilai-nilai Pancasila dengan karakter siswa kelas
VIII SMP Negeri 13 Magelang. Karakter yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu: religius,
berjiwa kemanusiaan, nasionalis, demokratis, dan berjiwa sosial.14 Pada
skripsi ini, tidak dijelaskan mengenai pemikiran Soekarno tentang filosofi
lambang sila-sila dalam Pancasila. Akan tetapi, skripsi ini lebih cenderung
menjelaskan hubungan pemahaman nilai-nilai Pancasila dalam
pembelajaran PKN dengan karakter siswa kelas VIII SMP Negeri 13
Magelang. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa skripsi ini berbeda baik
secara redaksi maupun isi dengan penelitian yang akan Peneliti teliti.
Keempat, Turiman (2014). Jurnal tentang “Menelusuri “Jejak”
Lambang Negara Republik Indonesia Berdasarkan Analisis Sejarah
Hukum” Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret
2014. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu
"recorded memory" yang sangat penting serta diperlukan dalam

13 Fani Pradana. Implementasi Nilai-nilai Pancasila Sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab dalam Kehidupan Santri di Pondok Pesantren. Skripsi Program Studi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2014. h. xxi
14 Ajik Arfian. Hubungan Pemahaman Nilai-nilai Pancasila dalam Pembelajaran PKN

dengan Karakter Siswa Kelas VIII Smp Negeri 13 Magelang. Skripsi Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan dan Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. 2014. h. vii
8

pembuktian sejarah.15 Jurnal ini bertujuan menjelaskan sejarah awal mula


lambang negara Republik Indonesia berdasarkan analisis sejarah hukum.
Sehingga, menurut Peneliti jurnal ini sangat berbeda dengan penelitian
yang ingin Peneliti teliti karena di dalam jurnal ini tidak menjelaskan
mengenai filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila menurut Soekarno.
Kelima, Helmi Ali Rakhbini (2016). Skripsi tentang “Integrasi
Nilai Pancasila dalam Pendidikan Karakter di SMP PGRI Dlingo Maladan,
Jatimulyo, Dlingo, Bantul”. Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
PGRI Yogyakarta. Skripsi ini bertujuan untuk: 1) mengetahui pendidikan
karakter diterapkan di SMP PGRI Dlingo, 2) mengetahui penerapan
integrasi nilai Pancasila dalam pendidikan karakter di SMP PGRI Dlingo,
dan 3) mengetahui pengaruh pendidikan karakter bagi murid-murid SMP
PGRI Dlingo.16 Skripsi ini jelas sangat berbeda dengan penelitian yang
akan Peneliti teliti karena pada skripsi ini tidak terdapat penjelasan atau
pembahasan mengenai pemikiran Soekarno tentang filosofi lambang sila-
sila dalam Pancasila.
Keenam, Abdul Karim Habibullah (2019). Skripsi tentang “Nilai-
nilai Filosofis Pancasila menurut Soekarno”. Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai filosofis yang
terkandung di dalam Pancasila menurut Soekarno dan mengetahui konsep
Pancasila secara menyeluruh. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analitis untuk mengetahui permasalahan dalam pemahaman nilai
Pancasila menurut pemikiran Soekarno sebagai Dasar Negara, yang
merujuk kepada rujukan primer yaitu Filsafat Pancasila menurut Bung

15 Turiman. “Menelusuri “Jejak” Lambang Negara Republik Indonesia Berdasarkan


Analisis Sejarah Hukum”. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No. 1 Januari-Maret,
2014. h. 121
16 Helmi Ali Rakhbini. Integrasi Nilai Pancasila dalam Pendidikan Karakter di SMP PGRI

Dlingo Maladan, Jatimulyo, Dlingo, Bantul. Skripsi Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Yogyakarta. 2016. h.
ii
9

Karno karya Ir. Soekarno dan mengacu pada buku Lahirnya Pancasila
Kumpulan Pidato BPUPKI karya Kumpulan Pidato agar penulis mampu
mendeskripsikannya secara terperinci dalam pemahaman yang
komperhensif.17 Meskipun di dalam penelitian ini terdapat sumber data
primer yang sama, Peneliti menemukan adanya perbedaan skripsi ini
dengan penelitian yang akan Peneliti teliti yaitu, redaksi dan isinya yang
berbeda. Peneliti akan lebih membahas mengenai Filosofi yang terkandung
di dalam lambang sila-sila dalam Pancasila menurut Soekarno sedangkan
pada Skripsi ini tidak dijelaskan secara spesifik mengenai filosofi lambang
sila-sila dalam Pancasila menurut Soekarno. Penulis skripsi ini hanya
berbicara mengenai nilai-nilai Filosofis yang terkandung di dalam
Pancasila secara menyeluruh. Karena itu, sangat jelas sekali bahwa skripsi
ini berbeda dengan penelitian yang akan peneliti teliti.
Ketujuh, Bella Rosa (2019). Skripsi tentang “Implementasi Nilai
Pancasila dalam Mengembangkan Sikap Sosial Siswa di SMA Negeri 4
Bandar Lampung”. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lampung Bandar Lampung. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan
menjelaskan sikap sosial siswa dan implementasi nilai Pancasila di SMA
Negeri 4 Bandar Lampung. 18 Secara redaksi dan isi jelas sangat berbeda
kerana skripsi ini sama sekali tidak menjelaskan pemikiran Soekarno
tentang filosofi lambang-lambang dalam Pancasila.
Kedelapan, Mahmud Alwi (2019). Skripsi tentang “Aktualisasi
Nilai-nilai Pancasila dalam Pengembangan Kurikulum PAI di SMP Negeri
9 Yogyakarta”. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tujuan dari skripsi ini (1) untuk mengetahui nilai-nilai Pancasila yang
diaktualisasikan di SMP Negeri 9 Yogyakarta (2) untuk mengetahui

17 Abdul Karim Habibullah. Nilai-nilai Filosofis Pancasila menurut Soekarno. Skripsi


Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2019. h. ii
18 Bella Rosa. Implementasi Nilai Pancasila dalam Mengembangkan Sikap Sosial Siswa di

SMA Negeri 4 Bandar Lampung. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Lampung, Bandar Lampung. 2019. h. ii
10

pengembangan kurikulum PAI di SMP Negeri 9 Yogyakarta (3) Untuk


mengetahui aktualisasi nilai-nilai sila Pancasila dalam pengembangan
kurikulum PAI di SMP Negeri 9 Yogyakarta.19 Meskipun skripsi ini
membahas tentang nilai-nilai Pancasila, namun skripsi ini sama sekali
tidak membahas tentang filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila
menurut Soekarno. Maka, Peneliti berkesimpulan bahwa skripsi ini
berbeda dengan penelitian yang akan Peneliti teliti.
Kesembilan, Dr. Aminuddin, S.Sos, M.A. (2020). Jurnal tentang
“Pancasila dalam Bingkai Pemikiran Soekarno (Fondasi Moral dan
Karakter Bangsa).” Al-Harakah, Volume 03. No. 01 Jan – Jun 2020.
Jurnal ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pemikiran Soekarno dalam
mempertahankan ideologi budaya kebangsaan tentunya dengan upaya
menanamkan kembali pemahaman nilai-nilai dari Pancasila sebagai
falsafah Negara Indonesia. Salah satu dimensi gerakan pembudayaan,
yang juga berarti pengamalannya dalam kehidupan nyata adalah
pengembangan pemikiran tentang nilai-nilai Pancasila yang tetap berada
dalam kerangka paradigma atau kandungan hakekat yang sesungguhnya
dan dijadikan fondasi dalam membentuk moral dan karakter bangsa
Indonesia yang multikultural, sehingga hubungan harmonis dalam
keberagaman bangsa tetap terjaga. Untuk itu, dalam mempertahankan
ideologi budaya kebangsaan tentunya dengan upaya menanamkan kembali
pemahaman nilai-nilai dari Pancasila sebagai falsafah Negara Indonesia. 20
Oleh karena itu, Jurnal ini sangat berbeda baik redaksi maupun isi dengan
penelitian yang akan Peneliti teliti.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, peneliti tidak menemukan
adanya kesamaan judul skripsi dengan penelitian-penelitian yang
sebelumnya pernah dilakukan. Tentunya, walaupun redaksinya hampir

19 Mahmud Alwi. Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pengembangan Kurikulum PAI di


SMP Negeri 9 Yogyakarta. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2019. h. ix
20 Aminuddin. “Pancasila dalam Bingkai Pemikiran Soekarno (Fondasi Moral dan Karakter

Bangsa)”. Jurnal Al-Harakah Volume 03. No. 01 Jan – Jun 2020. h. 59


11

mirip dengan penelitian yang diajukan ini namun secara garis besar
sangatlah berbeda karena peneliti bukan hanya sekedar memahami nilai-
nilai yang terkandung di dalam Pancasila ataupun pemikiran Soekarno
tentang nilai-nilai filosofis Pancasila secara umum. Tapi, peneliti akan
menjelaskan secara spesifik tentang filosofi lambang sila-sila dalam
Pancasila menurut Soekarno yang tertuang di dalam karya-karyanya yaitu
Filsafat Pancasila menurut Bung Karno karya Ir. Soekarno dan mengacu
pada buku Lahirnya Pancasila Kumpulan Pidato BPUPKI karya
Kumpulan Pidato agar peneliti mampu mendeskrpikan pemikiran
Soekarno secara komperhensif dan sistematis. Sehingga penelitian ini
diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang peneliti gunakan merupakan kajian pustaka
atau yang sering disebut libraray research, artinya penulis mengumpulkan
dari buku-buku, majalah, kamus, jurnal, serta sumber-sumber lainnya yang
berkaitan dengan objek kajian penelitian. Penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan yang objeknya adalah pemikiran pemikiran
Soekarno. Oleh karena itu dibutuhkan sumber-sumber yang mendukung
penelitian ini. Sumber-sumber tersebut terdiri dari sumber data primer dan
sumber data sekunder serta sumber data pendukung lainnya.
1. Sumber data primer dari penelitian ini yaitu Filsafat Pancasila menurut
Bung Karno karya Ir. Soekarno, dan Lahirnya Pancasila Kumpulan
Pidato BPUPKI karya Kumpulan Pidato.
2. Data sekunder atau data pendukung yang digunakan dalam penelitian
ini adalah buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy
Adams.

Dalam melakukan analisis penelitian ini, peneliti menggunakan


Jenis metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif
analisis untuk menyelidiki pemikiran Soekarno tentang folosofi yang
12

terkandung di dalam Lambang-lambang Pancasila. Pertama sekali, peneliti


akan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan objek penelitian
baik data primer maupun sekunder yang berkaitan dengan Filosofi
Lambang Sila-sila dalam Pancasila menurut Soekarno. Kemudian penulis
akan menjelaskan secara deskriptif dan menganalisa data-data yang
terkumpul dalam penelitian tersebut. Teknik penulisan dalam penelitian ini
merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun
2017 berdasarkan SK REKTOR No. 507.

F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka
penelitian ini disusun dalam lima Bab besar sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah
yang menjadi alasan pelaksanaan penelitian ini, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bagian ini penting bagi peneliti
untuk memperjelas apa masalah yang diangkat, di mana batasan
masalahnya, dan bagaimana rumusannya. Selanjutnya, Bab II akan dibahas
tokoh yang berkaitan erat dengan pembahasan skripsi ini yaitu Soekarno,
termasuk di dalamnya biografi dan pemikirannya, kondisi sosial politik
pada masanya dan pergolakan pemikirannya.
Pada Bab III akan membahas Pancasila dalam perspektif, pada bab
ini akan disajikan sebuah pengantar, lalu dilanjutkan dengan perspektif
tokoh-tokoh nasional, yaitu; Nicolaus Driyarkara, Notonagoro dan Yudi
Latif yang akan lebih memperkuat teori tentang filosofi Pancasila dari
berbagai sudut pandang. Kemudian Bab IV akan membahas pemikiran
Soekarno tentang Pancasila yaitu, Pengantar, lalu dilanjutkan degan
pemikiran Soekarno mengenai Sila Pertama tentang Ketuhanan, Sila
Kedua tentang Perikemanusiaan, Sila Ketiga tentang Kebangsaan, Sila
13

Keempat tentang Kedaulatan Rakyat dan Sila Kelima tentang Keadilan


Sosial.
Kemudian dilanjutkan dengan Bab V berisi pembahasan mengenai
filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila menurut Soekarno, yang di
dalamnya terdapat pengantar, filosofi lambang Bintang Tunggal, filosofi
lambang Rantai Emas, filosofi lambang Pohon Beringin, filosofi lambang
Kepala Banteng dan filosofi lambang Kapas dan Padi. Terakhir, Bab VI
berisi penutup yang menjelaskan titik terang atau kesimpulan dari
penelitian ini serta pemberian saran-saran atas isi dan analisa dalam karya
ilmiah.
BAB II
BIOGRAFI SUKARNO DAN PEMIKIRANNYA

A. Riwayat Hidup Sukarno


Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis, 18 Shafar
1319 H/6 Juni 1901 M. 1 Soekarno adalah anak dari seorang ibu kelahiran
Bali dari kasta Brahmana. Nama lengkapnya, Ida Ayu Nyoman Rai
merupakan keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah
paman ibunya. Bapaknya berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden
Sukemi Sosrodihardjo. Raden merupakan gelar kebangsawanan. Dan
bapaknya berasal dari keturunan Sultan Kediri. 2 Keduanya bertemu ketika
Raden Soekemi yang merupakan seorang guru, ditempatkan di sebuah
Sekolah Dasar Pribumi di daerah Singaraja, Bali. 3
Sukemi dan Idayu bisa saling jatuh hati bermula pada suatu hari,
Sukemi melihat Idayu sedang membersihkan pura. Di kesempatan lain, ia
melihat lagi gadis itu. Sore demi sore berlalu, akhirnya ia menegur Idayu.
Sapaan itu berbalas. Mereka pun mulai akrab. Bahkan, mereka saling
tertarik dan jatuh hati. Akhirnya, Sukemi memberanikan diri menemui
orang tua Idayu.4 Ketika Sukemi meminta Idayu kepada orang tuanya,
Ayahanda Idayu menolak karena Sukemi berasal dari Jawa dan beragama
Islam. Nyoman Rai adalah seorang keturunan bangsawan dari Bali dan
beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri menganut agama
Islam.5 Dari perbedaan suku dan agamanya tersebut memang rasanya sulit
untuk keduanya bisa menikah secara normal tanpa kendala apapun karena
pada saat itu juga belum ada pernikahan antar suku apalagi sampai berbeda
agama. Lantaran ingin segera menikah, Sukemi dan Idayu meminta
1 Ahmad Rofi’ Usmani. Ensiklopedia Tokoh Muslim. (Bandung: PT Mizan Pustaka. 2015).
h. 579
2Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. (Jakarta: Yayasan Bung
Karno. 2019). Cet. 6. h. 23
3 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. (Yogyakarta: Roemah Soekarno. 2019). h. 1
4 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap Negarawan Sejati. (Yogyakarta: C-

Klik Media. 2018). h. 2


5 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 1

14
15

bantuan kepada salah satu sahabat Sukemi yang menjabat kepala polisi. Di
rumah sahabat itulah, mereka menikah. Kemudian, utusan dikirim ke
rumah orang tua Idayu untuk memberitahukan bahwa putri mereka sudah
resmi menikah secara Islam. 6
Setelah menikah dengan Idayu, Sukemi mengajukan permohonan
kepada Departemen Pengajar agar dipindahkan ke Pulau Jawa. Ia merasa
tidak begitu disukai oleh orang-orang di Bali. Permohonannya dikabulkan.
Selanjutnya, ia pindah ke Surabaya, Jawa Timur. Di kota itu, lahir putra
mereka, yakni Kusno.7 Kusno merupakan nama Soekarno pada saat dia
masih kecil. Semula namanya adalah Kusno Sosrodihardjo. Tapi karena
Kusno kecil selalu sakit-sakitan, maka namanya diganti menjadi
Soekarno.8 Sukemi berkata, “Namanya tidak cocok. Kita harus
memberinya nama lain supaya tidak sakit-sakitan lagi.” Sukemi sangat
gandrung pada kisah Mahabharata. Pada suatu hari, ketika Sukarno
menjelang usia remaja, Sukemi berkata, “Kus, kau akan kunamai Karna.
Karna termasuk salah satu pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.”9
Karena itulah nama Koesno diganti menjadi Soekarno. Soekarno
mempunyai kakak perempuan bernama Sukemi. Usianya 2 tahun lebih tua
daripada Kusno.10 Dalam masyarakat Jawa, memakai 1 nama saja
merupakan hal biasa. Di sekolah, tanda tangan “Soekarno” dieja
“Sukarno” menurut ejaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, ia
memerintahkan supaya segala ejaan “oe” kembali ke “u”. Ejaan dari
“Soekarno” pun menjadi “Sukarno”, walaupun Sukarno menulis tanda
tangannya dengan S-O-E.11 Oleh karena itu, di dalam berbagai literatur
nama orang-orang yang hidup di zaman itu apabila terdapat ejaan “u”
terkadang masih ditulis “oe”.
6 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 2
7 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 3
8 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). (Jogjakarta: Garasi. 2020).

Cet. 2. h. 14
9 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 12
10 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 4
11 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 13
16

Nama Soekarno tersebut diambil dari nama seorang panglima


perang di dalam kisah Bharatayudha, yaitu Karna. Nama “Karna” tersebut
pun diubah menjadi “Karno”. Hal itu dikarenakan di dalam bahasa Jawa,
huruf yang ditulis “a” ketika diucapkan biasanya berubah menjadi huruf
“o”. Sedangkan awalan “su” pada kata Soekarno sendiri memiliki arti
“baik”. Nama Soekarno terinspirasi dari sebuah cerita pewayangan. Dalam
kisah wayang tersebut terdapat tokoh bernama Adipati Karno. Dari tokoh
itu lah nama Koesno Sosrodihardjo pun diganti menjadi Soekarno. 12 Nama
Soekarno berasal dari dua kata, yaitu “Soe atau Su” yang memiliki arti
keturunan, dan “Karno” yang memiliki arti karena. “Karno” dalam bahasa
Jawa diartikan sebagai amargo, kerno, dan karna. Dengan demikian dalam
bahasa Jawa, kata “Karna” pada nama Soekarno mengandung arti yang
sangat erat dengan suatu pemfitnahan. Dalam bahasa Indonesia sendiri
terdapat bentuk baku “karena” yang mengarah pada suatu sebab akibat
yang ditujukan kepada seseorang atau orang yang terkait. 13 Makna
pemfitnahan ini peneliti artikan sebagai seseorang yang bertujuan untuk
memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa, dalam hal ini Seokarno
semasa hidupnya memang menjadi sosok yang sangat berpengaruh
terhadap kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dia mampu
menebarkan semangat perjuangan melawan para penjajah atas
kelihaiannya dalam mempengaruhi dan menebarkan stigma negatif tentang
para penjajah Belanda yang kejam dan bengis sehingga membuat rakyat
sengsara dan menderita. Oleh karena itu, nama Soekarno layak disandang
oleh dirinya karena mampu membangkitkan semangat juang rakyat
Indonesia untuk merebut kembali kemerdekaan yang telah dijajah ratusan
tahun oleh Belanda.
Ketika Soekarno lahir, saat itu Indonesia masih dalam jajahan
Belanda. Zaman yang penuh dengan penyiksaan dan perjuangan. Di
zaman itu pula upaya demi upaya telah dilakukan untuk melawan para

12 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 2


13 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 3
17

penjajah agar pergi dari Nusantara ini. Jika kita membayangkan di Zaman
yang gelap itu Soekarno dilahirkan sungguh begitu kerasnya perjuangan
yang telah dilakukannya untuk sampai kepada kemerdekaan negeri kita
tercinta ini. Keyakinan dan tekad yang kuat mengantarkannya menjadi
orang yang mulia. Menurut Ibunya, kelahiran Soekarno di waktu fajar
memiliki makna khusus. Kata Soekarno, ibunya pernah mengatakan:
“Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, karena ibu melahirkanmu
jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa
mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat
matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan
itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang
Fajar.”14 Dari perkataan ibunya itu membuat Soekarno yakin bahwa
kelahiran dirinya memang memiliki makna yang khusus. Bagaimana tidak
memiliki makna yang khusus? Hari lahirnya saja ditandai oleh angka serba
enam yaitu tanggal 6 Juni. Dan membuatnya semakin percaya diri bahwa
dirinya kelak akan bernasib sangat baik.
Soekarno percaya bahwa dirinya bernasib sangat baik dengan
dilahirkan di bawah bintang Gemini, lambang anak kembar. Dan memang
itulah Soekarno yang sebenarnya. 15 Soekarno memang merasa bahwa
dirinya memiliki dua sifat yang sangat bertentangan, terkadang dia bisa
tenang seperti air atau dia juga bisa keras seperti baja. Soekarno melihat
dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai satu
kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik. “Karena aku terdiri dari
dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa; aku dapat mengerti
segala pihak; aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan
bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi, kedua belahan dari
watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semuanya.” 16 Sifat
itu lah yang membuat dirinya menjadi bijaksana dan berkarisma. Bahkan
dikeluarganyapun ia kerap menjadi pusat perhatian. Dan itu memang
14 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 14
15 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 22
16 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 14
18

merupakan cikal bakal sifat seorang pemimpin yang sudah ada pada
dirinya sejak dia masih kecil.
Namun di balik pertanda nasib dan kelahirannya tersebut
dikisahkan bahwa masa kecil Soekarno bersama orang tuanya hanya
berlangsung selama beberapa tahun saja. Pada masa kecilnya, Bung Karno,
yang masih bernama Koesno, sejak berumur tiga tahun dititipkan di rumah
kakek dan neneknya di daerah Tulungagung, Jawa Timur. 17 Karena
keluarga Sukemi tergolong miskin, berat baginya untuk memberi makan 2
orang anak. Keluarga Sukemi sering bergantung pada kebaikan dan
keramahan para tetangga. 18 Karena tingkat ekonomi keluarga Soekarno
yang terlalu sederhana, kakek-nenek Soekarno dari pihak sang ayah, lantas
memutuskan untuk membawanya tinggal bersama mereka di daerah
Tulung Agung, Jawa Timur. 19 Sang kakek yang bernama Raden
Hardjodikromo, secara ekonomi, memang tidak dapat dibilang mampu.
Akan tetapi masyarakat Tulungagung begitu menghormatinya. Ia sangat
gemar menolong sesama. Tidak hanya dengan kemampuannya mengobati
orang yang sedang sakit tanpa pamrih atau imbalan sepeser pun, tetapi
juga dengan berbagai petuah dan pitutur yang selalu berguna dan
bermanfaat bagi orang lain. 20 Pada saat tinggal bersama kakek dan
neneknya, Koesno begitu dimanjakan dalam asuhan sang kakek. Walaupun
Koesno hadir sebagai anak kecil yang bengal, bandel, dan tidak pintar di
sekolahnya, kakeknya selalu berusaha memberikan nasihat-nasihat yang
mudah untuk dipahami oleh anak-anak seusianya. Kakek dan neneknya
tidak bosan-bosan untuk selalu mengingatkan dan memberikan petuah
serta nasihat-nasihat kepadanya sehingga kelak Koesno akan menjadi
remaja, bahkan orang yang sukses dan berhasil di masa dewasanya. 21

17 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 9


18 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 10
19 Sapto M Wardoyo. Jejak Keteladanan Soekarno. (Sleman Yogyakarta: Brilliant Books.

2018). h. 3
20 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 9
21 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 10
19

Bung Karno pertama kali bersekolah di Tulungagung.22 Akan


tetapi Soekarno yang pada saat itu sudah memasuki usia 10 tahun, kedua
orang tuanya lantas membawanya kembali untuk tinggal bersama
keluarganya di Mojokerto, Jawa Timur dan memperoleh pendidikan yang
lebih tinggi. Waktu itu, Sukarno bersekolah di Holland Inlandsche School
(HIS) kelas dua, 30 siswa sekolah tersebut adalah anak-anak Bumiputra.
Sukemi menjadi Mantri Guru di sana. Ini adalah jabatan untuk kepala
sekolah, tetapi pemerintah kolonial melarang orang Bumiputra memakai
pangkat kepala sekolah. 23 Di waktu itu belum ada bahasa persatuan bagi
bangsa Indonesia. Sampai kelas tiga setiap murid berbicara dalam bahasa
Jawa. Dari kelas tiga sampai kelas lima guru memakai bahasa Melayu,
bahasa percakapan yang telah tersebar ke seluruh bagian Hindia Belanda
dan akhirnya menjadi dasar bagi bahasa nasional kami, bahasa Indonesia.
Dua kali seminggu kami diajar bahasa Belanda. 24 Ketika Sukarno naik
kelas 5, Sukemi berkata kepadanya, “Bapak ingin mengirimmu ke sekolah
tinggi Belanda. Karena itu, Bapak harus memasukkanmu terlebih dulu ke
sekolah rendah Belanda.” Lantaran teringat dengan pengalamannya di klub
sepak bola yang seringkali, Anak-anak Belanda memandang rendah
Sukarno dengan berteriak “Hei anak kulit cokelat goblok yang malang...!
Bumiputra...! inlander...! Anak Kampung, kau lupa memakai sepatu...!
sehingga melukai hatinya.25 Sukarno bertanya, “Apakah aku tidak dapat
meneruskan sekolah Bumiputra?”. Ayahnya menjawab, “Pendidikan
Bumiputra hanya sampai kelas 5. Tidak ada lanjutannya untuk kita. Kita
tidak boleh masuk Sekolah menengah Belanda kalau bukan lulusan
Sekolah Rendah Belanda. Tanpa ijazah ini, kita tidak bisa masuk Sekolah
Tinggi Belanda,”.26 Di tahun 1911, ayah Soekarno memutuskan untuk
memasukkan ia ke Europesche Lagere School (ELS), setelah sempat pula

22 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 20


23 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 16
24 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 34
25 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 15
26 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 16
20

mencicipi pendidikan di Eerste Inlandse School. Ayah Soekarno


berkesimpulan bahwa dengan memasukkan anaknya ke salah satu sekolah
bangsa Eropa, agar kelak Soekarno dapat lebih mudah diterima masuk ke
sekolah Hoogere Burger School (HBS).27 Setelah Soekarno menyelesaikan
pendidikannya di Sekolah Rendah Belanda pada tahun 1915, benar yang
dikatakan oleh ayahnya. Soekarno akhirnya bisa melanjutkan
pendidikannya ke salah satu sekolah HBS, yang berlokasi di Surabaya.
Berkat kemauan dan tekad yang kuat, Soekarno berhasil
melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burger School (HBS) dan sejak
saat itulah Soekarno berkenalan dengan sosok yang sangat berpengaruh
dalam hidupnya yaitu Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Sebelum
Soekarno berangkat ke Surabaya, Sukemi berkata, “Nak, di sana, kau akan
tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. Dia adalah kawan bapak di
Surabaya sejak sebelum kau ada.” Sukemi pun bertanya “kau tau siapa
Tjokro?”, lalu Sukarno menjawab, “Aku hanya tau dia berkeliling untuk
mempropagandakan keyakinan politiknya. Aku ingat, ia datang ke
kampung kita untuk mengadakan pidato dan menginap. Lalu, Bapak
mengobrol dengan dia sampai subuh.” Lalu, Sukemi pun menjawab
“Tjokro adalah pemimpin politik di Jawa. Walaupun kau akan mendapat
pendidikan Belanda, bapak tidak ingin kau menjadi orang yang kebarat-
baratan. Karena itu, kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oleh
Belanda sebagai Raja Jawa yang tidak dinobatkan. Bapak ingin kau tidak
melupakan bahwa warisanmu adalah untuk menjadi Karna kedua.” 28 Oleh
karena itu, Sukemi selain menginginkan Sukarno bisa sekolah di HBS, dia
juga menginginkan putranya yaitu Sukarno dapat belajar sejak dini dan
menimba ilmu kepada Tjokroaminoto yang merupakan sahabat dekatnya.
Selain itu, Tjokroaminoto adalah tokoh sekaligus pemimpin
organisasi Sarekat Islam. Soekarno pun banyak bertemu dengan para
pemimpin Sarekat Islam di pondokan tersebut, yaitu sebuah organisasi
27 Sapto M Wardoyo. Jejak Keteladanan Soekarno. h. 4
28 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 20
21

yang dipimpin oleh Tjokroaminoto pada saat itu. Pemimpin-pemimpin


tersebut di antaranya adalah Alamin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim,
dan Abdul Muis. Pada tempat inilah Soekarno banyak belajar mengenai
politik dan cara atau strategi yang dapat membebaskan Indonesia dari
penjajahan Belanda. Di tempat tersebut pula, Bung Karno mengenal
paham yang diperjuangkan oleh organisasi-organisasi kepemudaan di
Indonesia, yaitu Budi Utomo. Kemudian, sejak bertemu dengan
pemimpin-pemimpin Sarekat Islam tersebut, Soekarno menjadi aktif di
dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo, yakni organisasi yang
dibentuk sebagai organisasi pemuda Budi Utomo. 29
Pada saat usianya menginjak 16 tahun, pertama kali Sukarno
bergabung perkumpulan politik Tri Koro Darmo yang berarti “Tiga Tujuan
Suci” dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi, serta sosial. Pada
dasarnya, Tri Koro Darmo adalah suatu organisasi sosial yang anggotanya
terdiri atas para pelajar. 30 Soekarno mulai berkenalan dan menjadi sering
bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh penting yang telah memperjuangkan
nasib bangsa Indonesia dari para penajajah. Tokoh-tokoh tersebut antara
lain Tjipto Mangoenkoesoemo dan juga Douwes Dekker, yang pada saat
itu menjabat sebagai pemimpin di National Indische Partij. Dr. Douwes
Dekker Setiabudi merupakan seorang patriot yang telah menderita selama
bertahun-tahun dalam pembuangan. Ketika umurnya sudah lebih dari 50
tahun dia menyampaikan kepada partainya, National Indische Partij,
“Tuan-tuan, aku tidak ingin disebut seorang veteran. Sampai masuk ke
liang kubur aku ingin menjadi pejuang untuk Republik Indonesia.
Sekarang aku telah berjumpa dengan pemuda Sukarno. Umurku semakin
lanjut dan bilamana tiba ajalku, aku sampaikan kepada Tuan-tuan, bahwa
adalah keinginanku agar Sukarno menjadi penggantiku.” “Anak muda ini,”
dia menambahkan, “akan menjadi Juru Selamat dari rakyat Indonesia di

29 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 21


30 Anom Whani Wicaksana. Sukarno Biografi Lengkap. h. 28
22

masa yang akan datang.”31 Setelah itu, nama organisasi tersebut kemudian
diganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada tahun 1918 oleh Bung
Karno sendiri.32
Sejak Sukarno mengenal dan bertukar pikiran bersama tokoh-tokoh
penting tersebut, wawasan dan cara berpikir Soekarno pun menjadi
semakin matang dan bijaksana. Tak heran jika saat Soekarno remaja
banyak yang meramalkan Sukarno kelak menjadi pemimpin besar.
Ramalan yang sangat bagus, pertama kali diucapkan oleh ibunya di waktu
Sukarno lahir dan dikemukakan kembali oleh neneknya waktu Sukarno
masih bocah kecil dan lagi-lagi disampaikan oleh Profesor Hartagh saat
Sukarno remaja, kembali diucapkan ketika usianya menjelang 20 tahun.
Dan oleh dua orang yang berbeda.33
Ramalan yang kedua keluar dari pak Cokro. Sebagai seorang
penganut Islam yang saleh, dia banyak menggunakan waktunya untuk
sembahyang dan berdoa. Setelah beberapa lama melakukan meditasi, dia
kembali ke tengah keluarganya pada suatu malam yang diguyur hujan dan
dia berbicara dengan sungguh-sungguh, “Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh
Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah
memberinya tempat berteduh di rumahku.” 34 Begitulah ramalan atau
ungkapan rasa syukur serta do’a yang disampaikan pak Cokro kepada
Sukarno ke tengah keluarganya.
Tanggal 10 Juni 1921 Sukarno lulus dari HBS. Tanggal 11 Juni
rencana yang telah Sukarno susun untuk masa depannya, gagal total. Dia
ingin seperti teman-temannya yang bermaksud melanjutkan sekolah ke
Negeri Belanda. Namun, Ibunya sama sekali tidak menyetujuinya. 35
Akhirnya, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang

31 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 59


32 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 21
33 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 59
34 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 59
35 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 59
23

ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. 36 Ketika berada di Bandung,
Bung Karno tinggal di kediaman Haji Sanusi, yang merupakan anggota
Sarekat Islam dan sahabat karib H.O.S. Tjokroaminoto. Soekarno bersama
Djoko Asmo, yang kala itu adalah rekan satu angkatannya, melanjutkan
pendidikan ke Technische Hoge School (TH), yang sekarang dikenal
sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB), mengambil jurusan Teknik
Sipil. Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada 25 Mei 1926. Ia
diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya pada 3 Juli 1926,
bertepatan dengan Dies Natalis ke-6 kampusnya.37
Setamatnya dari Technische Hoge School, Soekarno menolak
menjadi pegawai pemerintah kolonial. Pada 4 Juli 1927, dia bersama Mr.
Sartono, Ir. Anwari, Mr. Sunario, dan lain-lain justru mendirikan PNI
(Partai Nasional Indonesia), sebuah partai politik yang memiliki program
untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tahun itu pula, memelopori
pembentukan PPPKI (Permufakatan, Partai-partai Politik Kebangsaan
Indonesia) sebagai gabungan dari organisasi-organisasi dan partai politik
yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, diantaranya PNI, PSII
(Partai Sarekat Islam Indonesia), Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen
Bond, dan Kaum Betawi. Karena intensitas kegiatan politiknya, pada tahun
1930 Soekarno ditahan oleh pemerintah kolonial Belanda dan kemudian
dijatuhi hukuman selama empat tahun di penjara Sukamiskin, Bandung,
pada 29 Desember 1929.38 Namun, hukuman tersebut tidak berlangsung
lama. Setelah delapan bulan disekap di dalam penjara, kasusnya
disidangkan dan dalam pembelaannya tersebut, Sukarno menegaskan
perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda yang membuat Belanda
semakin marah dan mengegerkan dunia internasional. Akhirnya pada Juli
1930, PNI dibubarkan. Peristiwa itu pun Sukarno tulis ke dalam karyanya
yang berjudul Indonesia Menggugat.

36 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 16


37 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 24
38 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 16
24

Setelah bebas dari penjara Sukamiskin, Sukarno kembali ditangkap


Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, pada tahun 1933 akibat aktivitasnya
yang radikal. Lalu, pada tahun 1938, dia dipindahkan ke Bengkulu. Dalam
sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) pada 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan tentang
dasar negara yang disebutnya “Pancasila”. Lalu pada 17 Agustus 1945,
Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Hasilnya dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) pada 18 Agustus 1945, Soekarno terpilih secara aklamasi
sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. 39
Dalam lembaran sejarah ketatanegaraan Indonesia, Ir. Soekarno
tercatat sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama dan memiliki
peran penting dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945 sehingga Soekarno mendapat predikat Bapak Proklamator,
selain itu dia juga menjadi salah satu Bapak Bangsa (founding fathers)
yang banyak berperan dalam membangkitkan, memberi jati diri bangsa,
serta meletakkan dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila yang
disampaikannya pada 1 Juni 1945. 40
Pada masa pemerintahannya, dia turut mengusahakan persatuan
Nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan mengadakan Konferensi Asia
Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi
Gerakan Non Blok. Lalu, setelah peristiwa G 30 S pada tahun 1965,
Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) yang kemudian dianggap kontroversial. Jabatan presiden
berganti dari Soekarno kepada Soeharto, seorang jenderal Angkatan Darat
yang banyak berperan dalam penumpasan PKI (Partai Komunis
Indonesia). Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970. 41

39 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 17


40 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 13
41 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 17
25

B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Politik pada Masa Sukarno


Ketika Soekarno lahir, saat itu bukan hanya awal dari hari yang
baru, tetapi juga awal dari abad yang baru. Soekarno dilahirkan pada tahun
1901. Bagi bangsa Indonesia abad ke-19 merupakan zaman yang gelap. 42
Sejak kecil sampai remaja, Soekarno hidup pada masa pemerintah
Belanda. Pada saat itu, Indonesia sedang berada dalam kondisi dijajah
Belanda. Hal tersebut pula yang membuat Soekarno kemudian mempunyai
banyak teman dari berbagai kalangan. Mulai dari orang Belanda hingga
kaum pribumi.43 Namun, dibalik banyaknya teman dari berbagai kalangan
tersebut kondisi sosial ekonomi Sukarno kecil justru jauh dari kata mewah.
Tidak berbeda dengan David Copperfield, Sukarno dilahirkan di tengah-
tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan.44
Soekarno memang sosok yang tidak berasal dari keluarga yang
berada dan berkecukupan. Ia hanya sosok yang memiliki latar belakang
keluarga yang kondisi ekonominya dapat dikatakan sangat
memprihatinkan, bahkan termasuk ke dalam daftar golongan keluarga
golongan ekonomi lemah.45 Keluarga Sukarno begitu melarat sehingga
sering tidak bisa makan nasi satu kali dalam sehari. Kebanyakan Sukarno
dan keluarganya memakan ubi kayu, jagung yang ditumbuk dengan bahan
makanan lain. Ibunya bahkan tidak mampu membeli beras seperti yang
suka dibeli oleh penduduk desa. Dia hanya bisa membeli padi. Setiap pagi
Ibunya mengambil lesung dan dia menumbuk, menumbuk, dan terus
menumbuk butir-butir yang mengandung sekam itu sampai menjadi beras
seperti yang dijual orang di pasar. 46 Namun, kondisi sosial ekonominya itu
tidak mempengaruhinya untuk terus bisa lanjut sekolah dan mengenyam
pendidikan. Orang tuanya sangat mendukungnya agar mendapatkan
pendidikan yang lebih baik. Karena Soekarno lahir pada awal abad ke-20,

42 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 21


43 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 3
44 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 27
45 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 29
46 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 28
26

ketika kolonialisme-imperialisme Belanda memulai pembaruan politik etis


di Hindia Belanda. Tak heran jika dia bisa bersekolah dengan cukup
baik.47 Meskipun ia bukan berasal dari keluarga yang sangat mampu, hal
itu tidak membuatnya mengenakan pakaian atau busana yang asal-asalan.
Bung Karno selalu menganakan pakaian atau busana yang rapi, sopan, dan
menawan. Oleh karena itu, ia selalu terlihat memiliki wibawa. Walaupun
pada masa kecilnya ia sering dianggap sebagai anak kecil yang bandel,
bengal, dan selalu bertindak nekat melebihi batas keberanian anak-anak
seusianya, hal itu tidak membuatnya memiliki sifat yang tidak baik atau
tidak sesuai dengan etika dan estetika. 48 Tidak heran jika Sukarno tumbuh
dari remaja hingga dewasa banyak disukai oleh wanita dan berbagai
kalangan baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah karena wibawa
maupun karismanya.
Dari berbagai pengalaman yang dirasakan olehnya, ada satu hal
yang tidak bisa dilupakan oleh Sukarno pada waktu dia kecil. Baginya,
klub sepak bola itu adalah pengalaman pahit yang tidak mungkin dia
lupakan. Anak-anak berambut jagung menjaga kedua sisi dari pintu masuk
sambil berteriak, “He, kamu-Brownie!... He, anak kulit coklat yang tolol
dan malang .... pribumi .... inlander .... anak kampung .... Hei, kamu lupa
memakai sepatu ....” Bahkan bayi-bayi kecil berambut pirang itu sudah
tahu meludahi kami, karena hal itu merupakan pelajaran pertama yang
diberikan oleh orang tua mereka begitu mereka lahir.49 Dari pengalaman
pahit inilah tumbuh benih-benih rasa kebencian dan perjuangan Sukarno
melawan Belanda untuk mencapai kemerdekaan Indoneisa. Dari
pengalaman ini juga, Sukarno merasa bahwa dirinya sebagai kaum
pribumi direndahkan oleh Belanda dan dia merasa sebagai kaum pribumi
sudah menjadi kewajibannya untuk berjuang membela dan melawan
kolonial Belanda.

47 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 15


48 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 30
49 Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. h. 34
27

Karakter revolusioner Soekarno terbentuk dari rangkaian


penderitaan hidup yang dialaminya. Soekarno muda tumbuh menjadi
seorang yang penuh perasaan cinta kepada sesama, terutama kepada
golongan yang tertindas dan terhisap. Pada saat yang sama, dia juga
menjadi orang yang membenci penindasan. Hal itu terlihat jelas dalam
penuturannya kepada Cindy Adams yang kemudian menuliskannya dalam
buku Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.50
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda banyak sekali
penindasan yang terjadi baik dalam segi politik maupun kehidupan nyata
mereka lebih mengutamakan kaumnya sendiri. Sementara kaum pribumi
direndahkan bahkan dilecehkan sampai tidak ada rasa ketuhanan yang
Maha Esa, tidak ada rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak ada
rasa persatuan untuk saling menghargai satu sama lain, tidak ada rasa
kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat dan bijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, bahkan, tidak ada rasa keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indoneisa. Sehingga, kondisi sosial ekonomi dan politik
pada masa Sukarno ini yang membuat dirinya bertekad dan berkeinginan
sangat kuat untuk melepaskan bangsa Indonesia dari para penjajah. Bukan
hanya itu, tapi dengan pengalamannya tersebut juga Sukarno kelak mampu
berinisiatif untuk meraih kemerdekaan Indoensia dan membuat jati diri
bangsa agar bangsa ini tidak lupa bahwa kemerdekaan ini dicapai untuk
meraih keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Layaknya sebuah
bangunan, maka diperlukannya pondasi yang kuat. Pondasi yang kuat itu
bisa kita sebut sebagai dasar negara yang saat ini kita kenal sebagai
Pancasila.
Pancasila itu kini menjadi dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pancasila lahir atas kondisi sosial ekonomi dan politik pada
masa pemerintah kolonial Belanda yang secara semena-mena menindas
kaum yang lemah tanpa adanya rasa perikemanusiaan. Sehingga Sukarno

50 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 15


28

belajar dari pengalamannya tersebut untuk melahirkan dasar negara yaitu


Pancasila. Pancasila mempersatukan bangsa Indonesia dan menjadi
pondasi utama membangkitkan semangat persatuan untuk meraih
kemerdekaan dan menjadi jati diri bangsa yang sampai saat ini menjadi
ideologi yang terus melekat dan tidak akan bisa dirubah dengan mudah.
Jika kita melihat Indonesia sekarang sudah merdeka, peneliti yakin
bahwa Rakyat Indonesia berjuang dengan melalui beberapa pengalaman
dan pengajaran-pengajaran. Banyak perjuangan Indonesia yang gagal.
Tetapi akhirnya perjuangan bangsa Indonesia itu berhasil. Apa sebab
gagal? Apa sebab berhasil? Gagal oleh karena tak mampu mempersatukan
rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke. 51 Tetapi tatkala bangsa
Indonesia dapat mempersatukan segenap rakyat Indonesia dari Sabang
sampai ke Merauke, gugurlah imperialisme dan berkibarlah Sang Merah
Putih di angkasa dengan cara amat megah. 52 Hal tersebut mungkin tidak
akan terjadi jika Sukarno tidak belajar dari pengalaman hidupnya, tidak
belajar dari pengalaman pejuang-pejuang sebelum dirinya dan tidak
belajar dari kondisi sosial ekonomi dan politik pada masanya. Namun,
Sukarno mampu belajar dari itu semua yang pada akhirnya membuat
dirinya berfikir bahwa bangsa Indonesia akan merdeka jika bangsa ini
bersatu dan memiliki semangat persatuan.
Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa Riwayat hidup
Soekarno sendiri memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa
depan dan persepsinya tentang Indoensia yang kemudian
menggerakkannya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. 53 Sehingga
kondisi sosial ekonomi dan politik pada masanya membuat dirinya mampu
mempersatukan bangsa ini dari Sabang sampai ke Merauke dan menjadi

51 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. (Jakarta: Media Pressindo. 2019).
Cet. 4. h. 78
52 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 79
53 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 16
29

penyambung lidah rakyat Indonesia serta menanamkan jati diri bangsa


Indonesia berdasarkan Pancasila.

C. Pergolakan Pemikiran Sukarno


Bung Karno merupakan sosok yang penuh inisiatif, bahkan tidak
jarang ide dan gagasan yang diberikannya memberikan manfaat yang
begitu besar untuk orang lain. 54 Sukarno sudah mengenal politik sejak usia
belasan tahun, tepatnya ketika dia bersekolah HBS di Surabaya. Pada
waktu itu, dia tinggal di rumah tokoh pergerakan nasional, yaitu H.O.S.
Tjokroaminoto. Sejak lama, dia juga mengagumi gaya pidato K.H. Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang saat itu kerap berkunjung ke sana.
Kata Soekarno: “Dari pak Tjokro, aku belajar Islam dan sosialisme. Aku
menghirup lebih banyak lagi persoalan politik dan nasionalisme dari
kawannya yang datang ke rumah itu.” 55 Pergolakan pemikiran Sukarno
pun dimulai sejak saat itu. Sejak beranjak tumbuh menjadi remaja, Bung
Karno memiliki kepribadian yang sangat berbeda dengan kepribadiannya
pada saat masih anak-anak. Hal itu terlihat dari keinginannya untuk
berjuang melawan para penjajah, yang pada waktu itu sudah mulai
menjajah Indonesia.56
Semangat nasionalisme dan jiwa pergerakan nasional makin
bergelora dalam diri Soekarno dari hari ke hari. Hal itulah yang lantas
menginisiasi Soekarno untuk merintis wadah pergerakannya sendiri dalam
wujud Algemene Studie Club. Dikisahkan juga bahwa organisasi bentukan
Soekarno tersebut berhasil terwujud, salah satunya juga karena Soekarno
ikut terinspirasi oleh organisasi Indonesische Studie Club yang dipimpin
oleh Dr. Soetomo, salah satu tokoh pergerakan nasional yang juga sangat
terkenal di era tersebut. Sedangkan Algemene Studie Club oleh beberapa
kalangan juga disebut sebagai embrio terbentuknya kendaraan politik
Soekarno yang terwujud dalam diri Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI
54 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 31
55 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 16
56 Adji Nugroho. Soekarno Sebuah Biografi. h. 30
30

secara umum mulai berdiri pada tahun 1927. Partai politik ini juga dapat
dikatakan sebagai penjelmaan Algemene Studie Club, yang telah terbentuk
beberapa tahun sebelumnya. 57
PNI sendiri merupakan partai politik tertua di Indonesia. Partai ini
didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia
dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr.
Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisurjo, dan Mr. Sunario. Selain itu, para
pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh
Soekarno pun ikut bergabung dengan partai ini. Pada tahun 1928,
Perserikatan Nasional Indonesia berganti nama menjadi Partai Nasional
Indonesia. Setahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda menilai PNI
sebagai organisasi yang membahayakan, karena menyebarkan ajaran-
ajaran pergerakan kemerdekaan.58
Aktivitas Soekarno di PNI tersebut menyebabkannya ditangkap
Belanda pada Desember 1929, dan memunculkan pleidoinya yang
fenomenal, yaitu Indonesia menggugat. Pleidoi Soekarno itu tetap saja
membuatnya masuk penjara. Setelah diadili di pengadilan Belanda, dia dan
para tokoh PNI lainnya dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin,
Bandung.59 Dia lalu dibebaskan pada 31 Desember 1931. Pada Juli 1932,
Soekarno bergabung dengan Partindo, pecahan dari PNI. Namun, dia
kembali ditangkap pada Agustus 1933, lalu diasingkan ke Ende, Flores.
Soekarno baru kembali bebas semasa penjajahan Jepang pada tahun
1942.60 Namun dibalik semangat nasionalisme dan jiwa pergerakan
nasionalnya itu, Sukarno masih tetap memiliki pergolakan pemikiran.
Pergolakan pemikirannya tersebut didasari oleh pengetahuannya tentang
kegagalan para pejuang sebelum dirinya yang sama-sama berusaha
melawan kolonialisme-imperialisme untuk meraih kemerdekaan

57 Sapto M Wardoyo. Jejak Keteladanan Soekarno. h. 5


58 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 19
59 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 22
60 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 19
31

Indonesia. Sehingga, pengalaman dari kegagalan tersebut membuat dirinya


berfikir ulang bahwa satu-satunya cara untuk meraih kemerdekaan
Indonesia adalah dengan sebuah persatuan yang menyatukan bangsa
Indonesia yaitu dengan dibuatnya sebuah Ideologi yang mampu
menyatukan Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.
Mengapa Ideologi menjadi pergolakan pemikiran Sukarno? Karena
ideologi memiliki peranan yang sangat nyata bagi proses terbentuknya
pola pemikiran terhadap upaya perlawanan terhadap kolonialisasi Belanda.
Ideologi juga berperan dalam pengumpulan massa melalui berbagai
organisasi massa pada waktu itu. Ideologi yang memiliki peranan besar
dalam pembentukan kekuatan massa pada saat itu antara lain Islam,
Sosialisme, Nasionalisme, Komunisme dan Ideologi yang ada didalam diri
rakyat pribumi sendiri, yaitu kebudayaan Jawa.61
Berbagai ideologi dipelajari oleh Soekarno muda, baik ideologi
yang berasal dari dalam bangsa sendiri maupun ideologi yang berasal dari
negara-negara barat. Soekarno muda mempelajari ideologi Jawaisme
sebagai seorang pribumi yang memangang erat budaya Jawa, Soekarno
muda juga mempelajari ideologi Islamisme yang diperolehnya dari H.O.S
Tjokroaminoto sewaktu mondok kediaman Tjokroaminoto di Surabaya.
Lebih serius lagi ketika Soekarno muda mempelajari ideologi Sosialisme
dan turunannya (Marxisme) yang berpengaruh besar dalam pemikiran
Soekarno. Soekarno muda kemudian tertarik untuk memakai ideologi
Nasionalisme yang kemudian digunakan sebagai alat pemersatu bangsa.
Selain itu, hasil dari berbagai ideologi yang dipelajari oleh Soekarno
menjadikan dirinya arif dalam melihat keadaan bangsanya. Melihat
pertentangan yang justru terjadi dikalangan para pejuang kemerdekaan
dengan membawa ideologinya menyebabkan Soekarno berpikir bagaimana
cara untuk menyatukan ideologi-ideologi yang bertentangan ini untuk

61 Irfan Syah Amin. “Jejak Ideologi Dalam Pemikiran Soekarno Muda”. Jurusan
Pemerintahan Fukultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. (JOM FISIP Vol. 7: Edisi I
Januari – Juni 2020). h. 3
32

saling bersatu melawan penindasan dari kolonialisme Belanda. 62 Akhirnya,


Sukarno pun memulai usahanya untuk mempersatukan bangsa dengan
aktif mengikuti berbagi organisasi.
Dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai dan Pusat Tenaga
Rakyat (Putera), para tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara,
K.H. Mas Mansyur, dan lain-lain terlihat aktif. Mereka bekerja sama
dengan pemerintah penduduk Jepang untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia. Namun, keterlibatannya dalam badan-badan organisasi
bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama
dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha. Lalu, pada tahun 1943,
Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang Soekarno, Hatta, dan
Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar
Hirohito. Sang kaisar lantas memberikan bintang kekaisaran kepada ketiga
tokoh Indonesia tersebut. Penganugrahan itu membuat pemerintah
pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu sama artinya dengan
pengakuan Kaisar Jepang bahwa ketiga tokoh tersebut merupakan
keluarga sendiri.63
Dalam acara The Imperial Diet ke-85 di Tokyo tanggal 7
September 1944, PM Jepang Kuniaki Koiso mengumumkan janji
Kekaisaran Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Pemerintah Jepang pun kemudian membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai. Pengangkatan pengurus dan anggota BPUPKI diumumkan
pada 29 April 1945. BPUPKI terdiri dari sekitar 66 tokoh penting
Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat. Diantaranya terdapat nama-
nama Dr. Radjiman Wediodiningrat, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagoes
Hadikoesoemo, K.H. Wahid Hasyim, dan K.H. Masjkoer. Di antara para
anggota BPUPKI, terdapat sembilan orang Muslim sebagai anggota, yaitu
Ki Bagoes Hadikoesoemo (Masyumi), H. Agus Salim (Partai Penyadar),

62 Irfan Syah Amin. “Jejak Ideologi Dalam Pemikiran Soekarno Muda”. h. 3


63 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 23
33

Abikoesno Tjokrosoejoso (PSII), Abdul Kahar Moezakir


(Muhammadiyah), K.H. Abdul Wachid Hasjim (NU), K.H. Mas Mansyur
(Muhammadiyah), H. Ahmad Sanusi, K.H. Abdul Halim, K.H. Masjkoer,
dan seorang Muslim lainnya sebagai anggota tambahan, yaitu K.H. Abdul
Fatah Hasan. Mereka berperan penting dalam mematangkan perumusan
Pancasila dan rancangan pembukaan UUD (Undang-undang Dasar). 64
Oleh karena itu, BPUPKI merupakan awal dari upaya terbentuknya
ideologi negara untuk mempersatukan bangsa yang kita sebut saat ini
sebagai Pancasila.
Jika dibandingkan dengan para “Founding Father” lainnya,
Soekarno setidaknya memiliki dua kelebihan. Selain kemampuannya
dalam berorasi ia juga memiliki kemampuan dalam mengelola pena.
Ratusan karangan telah ditulisnya, dalam berbagai tempat dan situasi.
Salah satu bukunya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme,
Pikiran-pikiran Soekarno Muda yang berisi pemikiran-pemikiran orisinil
Soekarno tentang berbagai hal, terutama menyangkut konsep dan strategi
pergerakan, nasionalisme dan kemerdekaan. 65 Boleh dikatakan pikiran-
pikiran dalam buku inilah yang menjadi haluan jejak perjuangan Soekarno
dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan
dan persatuan. Bahkan pemikirannya tentang Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme, menjadi konsep dasar pemikirannya, yang mengantarkannya
menjadi semacam ideologi negara, ketika kelak di puncak kekuasaannya ia
menerapkan Ideologi Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) melalui
demokrasi terpimpin.66 Dari sini kita bisa melihat corak pergolakan
pemikiran Sukarno dalam orasi maupun karangan-karangannya terutama
pada saat pidatonya yang akhirnya melahirkan Pancasila yang ia usulkan
pada hari terakhir sidang pertama BPUPKI.

64Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 24


65 Soekarno. Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, Pikiran-pikiran Soekarno Muda.
(Bandung: Sega Arsy. 2015). h. 7
66 Soekarno. Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, Pikiran-pikiran Soekarno Muda. h. 8
34

Pada hari terakhir sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,


Soekarno menyampaikan pidato. Salah satu isi pidatonya adalah lima asas
negara yang dia sebut “Pancasila”. Dengan rincian sila:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial.
5. Ketuhanan
Usulan Soekarno mengenai dasar negara itu mendapat sambutan
hangat dari para anggota BPUPKI.67 Soekarno berkata “Saudara-saudara!
“Dasar–dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca
Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti
kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada
simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita
lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir berkata: Pandawa Lima). Pandawa pun lima
orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, emasionalisme,
mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan; lima pula bilangannya. 68 Namanya
bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau
dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia,
kekal dan abadi.69 Lantas pidato Soekarno itu pun menjadi awal mula
lahirnya Pancasila yang sekarang menjadi ideologi atau dasar negara
Indonesia.
Setelah sidang pertama BPUPKI selesai, para peserta sidang
kemudian membentuk panitia kecil berjumlah sembilan orang untuk
menggelar sidang lanjutan. Meskipun rapat berlangsung dalam perdebatan
sengit, namun mereka akhirnya berhasil mencapai mufakat dengan

67 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 24


68 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. (Yogyakarta: Media Pressindo. 2019).
Cet. 3. h. 143
69 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 144
35

disahkannya dokumen Pembukaan Rancangan UUD Indonesia pada 22


Juni 1945. Muhammad Yamin menamai dokumen ini sebagai Piagam
Jakarta (The Jakarta Charter). Kemudian BPUPKI menerima Piagam
Jakarta sebagai Mukadimah UUD pada 11 Juli 1945. Di dalamnya
tercantum lima asas negara (Pancasila) walau agak berbeda dengan versi
Soekarno, yaitu:
1. Ketuhanan
2. Kemanusiaan
3. Persatuan
4. Demokrasi
5. Keadilan Sosial
Seiring dengan kian dekatnya kekalahan Jepang di medan Perang
Pasifik, Jepang lantas berinisiatif membentuk PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Linkai. Sidang pertama
PPKI berlangsung pada 7 Agustus 1945. Tugas PPKI adalah
menyelesaikan dan mengesahkan rancangan UUD (Piagam Jakarta) serta
dasar negara (Pancasila). 70 Namun, ketika Soekarno dituntut agar segera
memproklamasikan kemerdekaan, Soekarno justru menetapkan waktu
yang tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia, yakni dipilihnya
tanggal 7 Agustus 1945 yang bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan,
bulan suci bagi kaum Muslim. Akhirnya, Proklamasi kemerdekaan
kemudian dilakukan pada 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta
membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di halaman rumah
Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sehari kemudian, dalam
sidang PPKI, Soekarno secara aklamasi dipilih menjadi presiden pertama
Republik Indonesia.71
Dari pengalaman hidup yang dirasakannya serta pergolakan pemikiran
yang dialaminya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, tentu sangat
menginspirasi kita sebagai penerus bangsa. Sukarno dalam pidatonya pada

70 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 25


71 Taufik Adi Susilo. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). h. 26
36

sidang BPUPKI tersebut peneliti menganggap bahwa kesenangan Sukarno


terhadap simbolik merupakan hal yang sangat menarik untuk kita ulas
lebih dalam. Kesenangannya tersebut terlihat ketika dia menetapkan waktu
pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan di tanggal 17 Agustus 1945 yang
bertepatan pula dengan 17 Ramadhan serta pengakuan tentang
kesenangannya terhadap simbolik yang akhirnya menjadikan dasar negara
Indonesia terinspirasi dari angka serba lima sehingga memiliki lima sila
dan disebut sebagai Pancasila. Hal tersebut itu pun bisa kita lihat dan kita
amati bersama bahwa memang Sukarno merupakan seorang yang didalam
pergolakan pemikirannya suka dengan simbolik terutama dalam lambang
Sila-sila dalam Pancasila yang menyimbolkan isi dari tiap Sila-silanya.
Oleh karena itu, Pergolakan pemikiran Sukarno ini lantas menjadi awal
berkembangnya pemikiran serta persepsinya tentang lambang dalam Sila-
sila Pancasila yang akan peneliti teliti nilai-nilai filosofi yang terkandung
di dalamnya.
BAB III
PERSPEKTIF SUKARNO TENTANG FILOSOFI PANCASILA

A. Pengertian Filosofi
Filosofi adalah kata yang diserap dari bahasa Belanda, filosofie.
Sementara filsafat berasal dari serapan bahasa Arab, falsafa. Kata ini
berakar dari bahasa Yunani, philosophia.1
Filosofi merupakan salah satu ilmu tertua dalam ilmu pengetahuan.
Filosofi adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang masalah mendasar
dalam kehidupan. Filosofi adalah pemikiran dengan cakupan yang
kompleks dan terkadang sulit dimengerti. Filosofi adalah pandangan dunia
yang sistematis. Banyak pandangan bahwa filosofi adalah dasar dari segala
ilmu.
Sukarno merupakan Presiden pertama Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Berkat perjuangannya melawan kolonialisme dan kegigihannya
meraih kemerdekaan Indonesia. Sukarno menjadi sosok yang sangat
berpengaruh. Sehingga, tak heran jika banyak pemikiran-pemikirannya
yang hingga kini masih mendarah daging dengan bangsa ini.
Pancasila sebagai dasar negara, ini pun merupakan buah dari
pemikiran Sukarno. Melalui pergolakan pemikiran dan pengetahuannya
Sukarno mampu menghadirkan sebuah ideologi negara yang hingga kini
terus melekat menjadi jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
pemikiran Sukarno tentang Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-
nilai filosofis sangat penting untuk kita ketahui. Mengapa ini sangat
penting? Karena, pada dasarnya kita sebagai warga negara yang
memegang ideologi Pancasila sudah sepatutnya memahami dengan baik
apa nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.
Dalam hal ini, perspektif Sukarno akan menjadi landasan dasar
untuk kita memahami pemikirannya tentang Pancasila. Mulai dari Sila
1 https://id.berita.yahoo.com/filosofi-adalah-filsafat-ketahui-pengertian-121052544.html
diakses pada tanggal 28 Agustus 2021 pukul 22.23 WIB

37
38

pertama: perspektif Sukarno tentang Ketuhanan, Sila kedua: perpektif


Sukarno tentang Perikemanusiaan, Sila ketiga: perspektif Sukarno tentang
Kebangsaan, Sila keempat: perspektif Sukarno tentang Kedaulatan Rakyat
dan Sila kelima: perspektif Sukarno tentang Keadilan Sosial.

B. Sila Pertama: Perspektif Sukarno tentang Ketuhanan


Ketuhanan yang Maha Esa merupakan isi dari Sila pertama. Di
dalamnya terkandung makna Ketuhanan yang setiap warga negara berhak
memilih dan menghargai setiap kepercayaan masing-masing orang. Oleh
karena itu, Sukarno dengan tegas mengatakan di dalam pidatonya pada
Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai 1 Juni 1945 tentang lahirnya Pancasila
bahwa “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri.
Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang
Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W., orang Buddha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara
yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada egoisme-agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu
Negara yang bertuhan!”.2
Pada Kursus Pancasila di depan kader-kader Pancasila pada tanggal
26 Mei 1958 di Istana Negara, Jakarta. Dalam begrip (pemahaman)
Ketuhanan, Sukarno mengatakan bahwa dirinya pernah memberi sebuah
gambaran seekor gajah di dalam kuliahnya di Candradimuka. Ada lima
orang, kelima-limanya buta dan belum pernah melihat gajah karena
butanya. Mereka datang pada seseorang yang mempunyai gajah. “Hei,
kami lima orang kepingin tahu gajah”. “Boleh”. Gajahnya besar,
dikeluarkan dari kandangnya. “Nah ini gajah yang berdiri di muka
2 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila.
Disunting oleh Tim Panitia Kongres Pancasila IX (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2018). h. 23
39

Saudara-saudara. Coba saudara A, kalau mau tau gajah, peganglah gajah


itu”. Ditanya oleh yang punya gajah, “Bung, bagaimana bentuk gajah?”.
Jawabnya, “Gajah itu seperti ular”, Padahal dia hanya mendapat belalai. B
maju ke muka dan ia meraba-raba mendapat kaki gajah, “Gajah itu kok
begini, empuk tetapi seperti pohon kelapa”. C maju ke muka, orangnya
tinggi, pegang-pegang, dapat telinga gajah. “Ya gajah itu seperti daun
keladi, Pak”. Keempat, seorang agak kerdil, pegang-pegang, dapat ekor
gajah. “Seperti pecut, cemeti”. Nomor lima yang paling kerdil, maju ke
muka di bawahnya gajah. Tidak dapat pegang apa-apa. Mana gajahnya?
Itu gajahnya, di atas Bung itu gajah, “O, gajah itu seperti hawa”.3 Dalam
gambaran Sukarno tersebut menjelaskan bahwa begrip (pemahaman)
Ketuhanan juga demikian. Sebab setiap manusia memiliki pemahamannya
masing-masing. Sehingga, yang berbeda dari konsep Ketuhanan hanya
begrip atau pemahamannya saja.
Pada prinsip Ketuhanan menurut Sukarno ini hendaknya menyusun
Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dengan
mengikuti ajaran agamanya masing-masing dan menghilangkan “egoisme-
agama” yang pada akhirnya akan menimbulkan rasisme. Oleh karena itu,
Sukarno juga mengajak untuk mengamalkan, menjalankan agama, baik
Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang
berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. 4 Maka,
dengan cara berkeadaban itulah Indonesia sampai saat ini pun masih kokoh
mempertahankan persatuan dengan saling toleransi menghormati satu
sama lain dan menghargai perbedaan.
Secara historis Sukarno sudah mendalami dan mengetahui dari
sejarah keagamaan, pada garis besarnya Rakyat Indonesia ini percaya
kepada Tuhan. formulering Tuhan yang Maha Esa dengan matang
dimasukkan ke dalam sila Pancasila agar diterima oleh semua golongan
agama di Indonesia ini. Jika kita mengecualikan elemen agama ini, kita

3 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 89


4 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 24
40

membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa


Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak
memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu leitstar yang utama, sebab
kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi leitstar
dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini dimasukkan.
Dan itulah sebabnya maka di dalam Pancasila, elemen Ketuhanan ini
dimasukkan dengan nyata dan tegas.5
Pemikiran Sukarno ini akhirnya menjadi dasar terbentuknya
gagasan sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, yang di dalamnya
mencakup dan mendasari keempat sila yang lainnya. Kalimat Ketuhanan
Yang Maha Esa itu telah dilontarkan Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Kemudian berubah pada 22 Juni 1945 (lahir Piagam Jakarta). Setelah
muncul setuju, Bung Karno segera menghubungi Bung Hatta, lalu dialog
yang mendalam dengan tokoh-tokoh Islam (Ki Bagus Hadikusumo, Mr.
Kasman Singodimedjo, dan Teuku Moh Hasan), pada 17 Agustus 1945
diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" demi kesatuan Indonesia. 6
Perspektif Sukarno tentang Ketuhanan merupakan hasil dari
kejernihan berpikir dan kedewasaan membaca realita. Bisa dibayangkan,
jika Sukarno dan para Founding Father Indonesia tidak berpikir layaknya
seorang negarawan, apa jadinya Indonesia di kemudian hari? Namun,
berkat kematangan dan kejernihan berpikirnya tersebut, Sila pertama ini
justru menjadi landasan dasar dan penopang pada sila-sila yang lainnya.
Sehingga peneliti menganggap bahwa perspektif Sukarno tentang
Ketuhanan merupakan penanaman jati diri bangsa agar bangsa ini menjadi
bangsa yang bertuhan dan berkebudayaan. Artinya, setiap masing-masing
orang layak dan berhak menganut agamanya sesuai ajarannya masing-
masing secara leluasa dengan tetap menjaga dan saling menghormati
perbedaan kepercayaan atau keyakinan satu sama lain.

5 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 90


6 https://kalteng.prokal.co/read/news/39785-bung-karno-dan-prinsip-ketuhanan. html
diakses pada 28 Mei 2021 pukul 08.35 WIB
41

C. Sila Kedua: Perspektif Sukarno tentang Perikemanusiaan


Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan isi dari Sila kedua.
Sila ini menggambarkan sebuah nilai Perikemanusiaan yang harus
dipegang teguh oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan memegang teguh
nilai yang ada pada sila ini rakyat Indonesia dituntun untuk menjadi rakyat
yang senantiasa saling mengasihi dan menjaga hubungan antara bangsa
dan bangsa.
Perikemanusiaan merupakan asas universal dimana asas ini
mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makluk Tuhan yang sama derajatnya. Setiap manusia
berhak diperlakukan sesuai dengan hak dan kewajiban asasi manusia
dengan tidak memandang seseorang dari agama, ras, suku, keturunan,
warna kulit, kedudukan sosial dan lainnya.
Pada pasal kedua ini, kematangan pemikiran Soekarno sangat
terlihat dengan tidak terjebak pada pemahaman kebangsaan yang sempit
yang ia kemukakan diawal yang menurutnya Indonesia juga bagian dari
dunia Internasional, sehingga ia menyampaikan kepada peserta sidang
BPUPK bahwa Indonesia harus mengakui keberadaan bangsa lain dan
harus menciptakan persatuan dan persaudaraan dunia.7
Di dalam kursusnya tentang Pancasila di Istana Negara, pada
tanggal 5 Juli 1958, Sukarno menyampaikan bahwa sila Perikemanusiaan
sebagai salah satu yang tidak boleh dipisahkan dari sila yang lain-lain.
“Sebagaimana yang telah berulang-ulang saya katakan, Pancasila kelima-
lima silanya adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisahkan satu
sama lain atau diambil sekadar sebagian daripadanya.”8
Perspektif Sukarno tentang Perikemanusiaan, digambarkannya
melalui lambang Sila kedua yaitu rantai berbentuk persegi dan bundar. Ia
mengibaratkan rantai berbentuk persegi sebagai perempuan dan rantai
berbentuk bundar sebagai laki-laki. Sukarno berkata “Tetapi ini rantai
7 Paisol Burlian. “Pemikiran Sukarno dalam Perumusan Pancasila”. (Jurnal UIN Raden
Fatah Palembang. 2020). h. 158
8 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 116
42

Saudara-saudara, persegi bundar, yang tiada putusnya bukan pula hanya


melambangkan, melukiskan tiada putusnya hubungan laki-laki dan
perempuan, dus tiada putus-putusnya rantai kemanusiaan; manusia
beranak, anak beranak lagi, sang anak ini beranak lagi, sang anak ini
beranak lagi, atau kalau dikembalikan Saudara-saudara sampai jutaan
tahun yang lalu, keten ini pun terputus-putus. Artinya, Orang beranak
kemudian bercucu, kemudian berbuyut, kemudian ber-canggah, kemudian
ber-wareng, kemudian ber-gantung siwur, kemudian ber-udeg-udeg, tiada
putusnya, ini keten, ini rantai. Bukan sekadar demikian, tetapi rantai yang
kita lukiskan di atas perisai sang Garuda Indonesia ini juga melukiskan
hubungan antara bangsa dan bangsa. 9 Dengan demikian perikemanusiaan
yang Sukarno maksudkan adalah hubungan antara bangsa dan bangsa yang
tidak akan pernah putus.
Perikemanusiaan, di dalamnya mengandung arti humanisme dan
internasionalisme semua bangsa. Oleh karena itu, Sukarno menegaskan
bahwa kita daripada Republik Indonesia merasakan bahwa kita ini
bukanlah satu bangsa yang berdiri sendiri, tetapi adalah satu bangsa dalam
keluarga bangsabangsa. Bahwa memang umat manusia sekarang ini yang
terdiri daripada pelbagai bangsa-bangsa pada hakikatnya pun adalah satu
rantai yang tiada terputus-putus.10
Pada intinya Soekarno menegaskan bahwa kita sebagai bangsa
Indonesia tidak mungkin untuk hidup sendiri dan terasing dari bangsa-
bangsa lain di dunia. Yang menurut Soekarno pada hakikatnya umat
manusia sekarang ini terdiri dari berbagai bangsa-bangsa, terutama pada
abad kedua puluh ini tidak dapat kita bayangkan adanya suatu bangsa yang
dapat hidup dengan tiada hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Manusia
merupakan suatu homo socius. Demikian pula bangsa tak dapat hidup
sendiri, bangsa hanyalah dapat hidup di dalam masyarakatnya bangsa-

9 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 175


10 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 176
43

bangsa.11 Dengan demikian perspektif Sukarno tentang Perikemanusiaan


adalah menjelaskan kepada kita bahwa begitu pentingnya Perikemanusiaan
untuk mengikat rasa tali persaudaraan kita agar bangsa ini merdeka dan
terus merdeka.

D. Sila Ketiga: Perspektif Sukarno tentang Kebangsaan


Persatuan Indonesia merupakan isi dari Sila ketiga. Sila ini
mengandung makna persatuan dan kebangsaan. Makna persatuan dan
kebangsaan ini yang akhirnya menyatukan kita Rakyat Indonesia dari
Sabang sampai Merauke menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Beraneka ragam agama, suku, budaya dan lainnya menjadikan
Indonesia kaya akan perbedaan. Sehingga, melalui Sila ketiga ini
menuntun kita untuk terus menjaga persatuan bangsa dan negara untuk
bisa mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Selama ini kita melihat bahwa memang Indonesia merupakan
negara yang berkebangsaan. Namun, apakah kita sudah mengetahui makna
Kebangsaan yang sesungguhnya?. Jika belum, maka hal ini sangat penting
untuk kita pelajari agar kita tau apa maksud dari kebangsaan menurut
perspektif Sukarno sebagai salah satu Founding Father bangsa ini.
Mari kita menyimak dan mengulas sedikit pada kursus Pancasila di
depan kader-kader Pancasila pada tanggal 16 Juni 1958 di Istana Negara,
Jakarta. Sukarno menyampaikan kursusnya tentang Kebangsaan dalam
Pancasila. Di dalamnya Sukarno menjelaskan bahwa ini merupakan satu
fact atau satu kenyataan yang tidak bisa dibantah oleh siapapun juga. Di
atas dasar fact ini kita tidak boleh tidak harus mengakui adanya bangsa dan
kebangsaan. Ditinjau dari sudut pandang apa pun. Baik ditinjau dari sudut
politik, maupun ditinjau dari sudut agama, fact ialah bahwa umat manusia
ini bergolong-golong dalam beberapa macam bangsa. Bahkan bergolong-
golong dalam beberapa macam suku. 12 Pernyataan Sukarno tersebut

11 Paisol Burlian. “Pemikiran Sukarno dalam Perumusan Pancasila”. h. 159


12 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 138
44

memang benar adanya bahwa jika dilihat dari sudut pandang apa pun pasti
terdapat golongan-golongan dalam beberapa macam. Maka, peneliti
menganggap ini merupakan statement awal Sukarno dalam menguraikan
perspektifnya tentang Kebangsaan.
Pernyataan awal Sukarno itu mengantarkan kita pada satu
pertanyaan. Apakah yang mengikat golongan-golongan (manusia) itu
menjadi satu jiwa? Sukarno berkata “Kalau kata Ernest Renan, yang
menjadi pengikat itu ialah kehendak untuk hidup bersama. Jadi
gerombolan manusia meskipun agamanya berwarna macam-macam,
meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya
macam-macam, asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk
hidup bersama; itu adalah bangsa. Itu kata Ernest Renan.” 13
Menurut Sukarno bangsa adalah satu individualiteit, sebagaimana
individu mempunyai karakter sendiri-sendiri. Bung Achmadi mempunyai
karakter sendiri, Overste Pamu mempunyai karakter sendiri. Pak Ahem
Erningpraja mempunyai karakter sendiri, Saudara Widarbo mempunyai
karakter sendiri, Rochmuljati mempunyai karakter sendiri, Saudara Gonta
mempunyai karakter sendiri; tiap-tiap manusia mempunyai watak sendiri-
sendiri. Demikian pula bangsa mempunyai watak sendiri-sendiri. 14
Sukarno juga mengatakan ulang secara tegas bahwa bangsa adalah satu
individualiteit. Mempunyai watak sendiri, mempunyai karakter sendiri.
Dan ini yang ditekankan oleh Otto Bauer. Charaktergemeinschaft,
persamaan watak itu yang menetapkan, menentukan corak bangsa. Itu
yang menentukan bangsa atau bukan bangsa.15 Oleh karena itu, kini kita
sudah memiliki sedikit gambaran tentang arti sebuah bangsa menurut
perspektif Sukarno. Dengan berlandaskan pemikiran tersebut kita tau
bahwa bangsa adalah satu individualiteit yang mempunyai watak sendiri-
sendiri.

13 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 145


14 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 150
15 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 151
45

Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di


dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau
tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini,
saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama Sukarno
usulkan kepada kita semua adalah bergandengan erat satu lain sama lain. 16
Sebab itu, Sukarno dengan tegas mengatakan “Republik Indonesia bukan
negara agama, tetapi adalah negara nasional, di dalam arti meliputi seluruh
badannya natie Indonesia. Dan apa yang dinamakan natie? Sebagai tadi
saya katakan, ialah segerombolan manusia dengan jiwa “le désir d’être
ensemble”. Dengan jiwa, sifat, corak yang sama hidup di wilayah yang
nyata-nyata satu unit atau satu kesatuan. Inilah arti daripada negara
nasional Indonesia. Maka oleh karena itu, Saudara-saudara, jikalau kita
menghendaki negara kita ini kuat, dan sudah barang tentu kita
menghendaki negara kita ini kuat oleh karena kita memerlukan negara ini
sebagai suatu alat perjuangan untuk merealisasikan satu masyarakat yang
adil dan makmur; kita harus dasarkan negara ini antara lain di atas paham
kebangsaan.”17
Lantas, apa menurut pendapatan Sukarno, yang dinamakan
Kebangsaan itu? Sukarno menjawab: “Bangsa adalah segerombolan
manusia yang besar, keras ia punya keinginan bersatu, le désir d’être
ensemble, keras ia punya Charaktergemeinschaft, persamaan watak, tetapi
yang hidup di atas satu wilayah yang nyata satu unit. Kalau sekadar bagian
daripada unit, bukan bangsa! Minagkabau bukan bangsa. Sunda bukan
bangsa. Solo bukan bangsa. Yogya bukan bangsa. Bugis bukan bangsa.
Madura bukan bangsa. Bali bukan bangsa. Lombok bukan bangsa.18 Nah,
Sukarno tadi berkata bahwa negara jikalau didasarkan antara lain atas rasa
kebangsaan, negara demikian itulah kuat. Maka oleh karena itu kita
dengan sengaja memasukkan sila Kebangsaan di dalam Pancasila kita,
meskipun dari sudut agama orang memungkiri hal kebangsaan; meskipun
16 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 135
17 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 161
18 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 154
46

daripada golongan marxis yang dangkal memungkiri hal kebangsaan.


Tetapi jelas untuk negara yang kuat kita mesti mendasarkan negara itu atas
kebangsaan.”19 Itulah pendapat Sukarno tentang Kebangsaan, yaitu
menjunjung tinggi nilai persatuan bangsa Indonesia.
Akhirnya, dari rangkaian pidato dan kursusnya tersebut peneliti
dapat menemukan benang merah dari Perspektif Sukarno tentang
Kebangsaan, yaitu Kebangsaan menurut perspektif Sukarno adalah bukan
sekadar segerombolan manusia yang besar bukan juga yang mempunyai
karakter sendiri-sendiri, tetapi mereka semua sama-sama hidup di atas
wilayah yang sama dan menjunjung tinggi nilai persatuan dengan
menerima segala perbedaan, siap berjuang untuk menentang musuh yang
hendak menyerang, menentang intervensi, menentang peperangan,
menentang apa saja dari luar; ke dalam, dan selalu berupaya mencapai
masyarakat yang adil dan makmur.

E. Sila Keempat: Perspektif Sukarno tentang Kedaulatan Rakyat


Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan, perwakilan merupakan isi dari sila keempat. Pada sila
ini kita dituntun untuk menjadi rakyat yang senantiasa berdaulat, adil dan
makmur. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pun tidak terlepas dari
pemikiran Sukarno dan para Founding Father lainnya. Karena begitu
pentingnya sila ini untuk kedaulatan rakyat Indonesia, Sukarno berpikir
secara matang agar sila ini dapat menjadi landasan dasar yang kuat bagi
setiap warga negara Indonesia dalam berpolitik untuk menjalankan hak
dan kewajibannya. Oleh karena itu, pemikiran Sukarno ini penting untuk
kita ketahui agar kita sebagai warga negara mampu memahami dengan
baik apa artinya kedaulatan rakyat menurut perspektif Sukarno.
Pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara, Jakarta. Sukarno
diminta untuk memberikan kursusnya kembali tentang Pancasila, lebih
tepatnya kursus tentang Sila ke-4 kepada kader-kader Pancasila pada

19 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 155


47

waktu itu. Sukarno berkata bahwa dia sudah pernah mengatakan teknis
kedaulatan rakyat atau dalam bahasa asing democratie, sekadar adalah satu
alat, alat untuk mencapai satu tujuan. 20 Dari pernyataan ini kita sudah
menemukan sedikit gambaran bahwa kedaulatan rakyat yang Sukarno
maksud adalah satu tujuan, dan alat untuk mencapai satu tujuan itu adalah
demokrasi.
Pandangannya tentang demokasi merupakan salah satu pemikiran
Soekarno yang paling menggugah hati. Baginya demokrasi politik
merupakan sebuah peluang bagi semua lapisan masyarakat agar
mempunyai hak yang sama untuk ikut bercampur tangan di dalam politik
kenegaraan, hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota parlement. 21
Oleh karena itu, peneliti melihat pemikiran Sukarno tentang demokrasi ini
merupakan sebuah upaya yang ia lakukan untuk meraih kedaulatan rakyat
Indonesia. Namun, pada akhirnya timbul sebuah pertanyaan demokrasi apa
yang Sukarno maksud?
Baik demokrasi maupun nasional-sosialisme, maupun diktatur
proletariat adalah alat-alat untuk mencapai sesuatu bentuk masyarakat
yang dicita-citakan. Oleh karena itu, di dalam alam pikiran dan perasaan
yang demikian itu maka demokrasi dus, bagi kita bukan sekadar satu alat
teknis saja, tetapi satu “geloof”, atau kepercayaan dalam usaha mencapai
bentuk masyarakat sebagai yang kita cita-citakan.22 Dalam hal ini, Sukarno
bukan hanya sekadar menjelaskan kepada kita tentang alat-alat untuk
mencapai sesuatu bentuk masyarakat yang dicita-citakan. Tetapi Sukarno
meyakinkan kepada kita bahwa demokrasi yang ia maksud adalah satu alat
dan satu kepercayaan yang bisa mengantarkan rakyat yang berdaulat.
Disamping itu, kedaulatan rakyat yang Sukarno maksud adalah
demokrasi yang mempunyai corak nasional, satu corak kepribadian kita,

20 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 214


21 Hamdan Hamid. Skripsi tentang Demokrasi Ala Soekarno Demokrasi Terpimpin.
(Jurusan Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
2012). h. 8
22 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 216
48

satu corak yang dus, tidak perlu sama dengan corak demokrasi yang
dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai alat teknis. Artinya,
demokrasi kita adalah demokrasi Indonesia, demokrasi yang disebutkan
sebagai sila ke-4 itu adalah demokrasi Indonesia yang membawa corak
kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Tidak perlu “identiek”, artinya sama
dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa-bangsa lain. Sukarno juga
mengatakan dengan tetap dan penuh keyakinan “Janganlah demokrasi kita
itu demokrasi jiplakan. Janganlah demokrasi yang kita jalankan itu
demokrasi jiplakan dari entah Eropa Barat, entah Amerika, entah negara
lain. Bahkan saya dalam waktu yang akhir-akhir ini berani menegaskan,
demokrasi Indonesia adalah demokrasi terpimpin.” 23
Maka oleh sebab itu, Sukarno barkata: “Demokrasi yang harus kita
jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia
sendiri. Jikalau kita tidak bisa berpikir demikian itu, nanti tidak dapat
menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan daripada rakyat
itu.”24 Sukarno mengatakannya kembali dengan tegas bahwa demokrasi
bagi kita bukan sekadar alat teknis; memang benar bahwa demokrasi
adalah alat teknis untuk mencapai sesuatu hal, sebagaimana nasionalisme
adalah alat teknis, sebagaimana diktator proletariat adalah satu alat teknis.
Demokrasi bagi kita sebenarnya bukan sekadar satu alat teknis, tetapi satu
alam jiwa dan pemikiran kita itu di atas penyelenggaraan cita-cita satu
masyarakat yang adil dan makmur yang sudah jelas tidak bisa dengan
demokrasi secara ini.25 Kemudian, Sukarno bertanya apakah dasar yang
akan mencapai kedulatan rakyat? Lantas Sukarno menjawab: “Dasar itu
ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara
Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk
satu golongan walaupun golongan-golongan kaya. Tetapi kita mendirikan
negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya
yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah
23 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 217
24 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 246
25 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 247
49

permusyawaratan, perwakilan.”26 Oleh karena itulah, dasar ini yang


akhirnya membuat Sukarno menganjurkan untuk kita rakyat Indonesia
menjalankan demokrasi terpimpin.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa perspektif Sukarno
tentang Kedaulatan Rakyat merupakan tujuan untuk mencapai masyarakat
yang adil dan makmur. Dengan upaya menjalankan demokrasi terpimpin,
Sukarno menegasan bahwa demokrasi yang ia maksud bukan sekadar satu
alat teknis, tetapi demokrasi yang disebutkan sebagai sila ke-4 itu adalah
demokrasi Indonesia yang membawa corak kepribadian bangsa Indonesia
sendiri. Sehingga, demokrasi yang kita jalankan ini menjadi satu alam jiwa
dan pemikiran kita di atas penyelenggaraan cita-cita satu masyarakat yang
pada akhirnya mencapai kedaulatan rakyat Indonesia yang adil dan
makmur.

F. Sila Kelima: Perspektif Sukarno tentang Keadilan Sosial


Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan isi dari
Sila kelima. Sila ini termasuk salah satu yang tidak bisa dihilangkan atau
hanya sekadar diambil inti sarinya saja, karena untuk menjadi landasan
dasar negara Indonesia, sila ini sudah menjadi satu kesatuan dengan sila
yang lainnya. Pada sila ini, kita dapat mengerti bahwa nilai yang
terkandung di dalamnya adalah nilai keadilan sosial. Apa nilai keadilan
sosial yang dimaksud itu? Yaitu terbentuknya negara Indonesia yang adil
dan makmur. Namun, apakah perspektif Sukarno tentang keadilan sosial
hanya sekadar itu? Tentu ini menjadi topik yang menarik untuk kita teliti,
agar kita dapat mengetahui apa perspektif Sukarno tentang keadilan sosial
yang sesungguhnya.
Di dalam buku lahirnya Pancasila pada kumpulan pidato BPUPKI,
pada awalnya Sukarno menyebutkan keadilan sosial sebagai prinsip
kesejahteraan dan prinsip ini berada dalam prinsip sila yang nomer empat.
“Prinsip nomer empat sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini

26 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 135


50

belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak


akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi
prinsipnya San Min Chu I ialah Min Mintsu Chuan, Min Cheng:
nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: apakah kita
mau Indonesia Merdeka yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang
semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup
pakaian, hidup dalam kesejahteraan merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang
cukup memberi sandang-pangan kepadanya?.27 Oleh karena itu, Sukarno
berpikir secara matang agar landasan ini menjadi kuat dan dapat diterima
oleh seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, prinsip kesejahteraan ini tetap
dimasukkan ke dalam sila Pancasila namun dengan istilah yang berbeda
yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di dalam upaya menyadarkan kesadaran bangsa terhadap
kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur. Sukarno berkata
“Saudara-saudara, kalau engkau mengerti keharusan masyarakat keadilan
sosial, jikalau engkau mengerti bahwa masyarakat keadilan sosial itu
adalah amanat daripada leluhurmu yang telah menderita, amanat daripada
semua pejuang-pejuang yang telah mangkat lebih dahulu yang termasuk di
dalam doa daripada Ananda Lina – yang tadi mengatakan: arwahnya harus
kita peringati – jikalau engkau mengerti bahwa segenap rakyat Indonesia
sekarang ini gandrung kepada masyarakat adil dan makmur sebagai yang
kita ajarkan kepada mereka berpuluh-puluh tahun, jikalau engaku hidup di
dalam suasana yang demikian itu; “Aku, aku, aku ingin menyumbangkan
tenagaku kepada penyelenggaraan masyarakat yang demikian ini.”
Alangkah nyamannya engkau punya hidup zaman sekarang ini; tidak
seperti zaman dulu, tatkala pemuda dan pemudi tidak mempunyai cita-
cita.”28 Dalam hal ini Sukarno mengingatkan kita bahwa sudah banyak
penderitaan yang dirasakan oleh leluhur kita akibat adanya kolonialisme
dan kapitalisme. Maka, saat ini adalah perjuangan kita untuk

27 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 138


28 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 287
51

menyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk terus menjaga keadilan


sosial agar mencapai masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Itulah
mengapa di dalam kursusnya tentang Pancasila di Istana Negara, pada
tanggal 3 September 1958, Sukarno diminta untuk menyampaikan
perspektifnya tentang Keadilan Sosial dalam Pancasila.
Sukarno berkata “Saudara-saudara, saya di sini diminta memberi
kuliah tentang keadilan sosial dan demokrasi terpimpin. Mulai dengan
pertanyaan, “Apa toh Bung, keadilan sosial itu?” Kok perlu-perlunya
ditanyakan apakah keadilan sosial itu padahal semua orang sebenarnya di
dalam kalbunya sudah mengerti. Keadilan sosial ialah suatu masyarakat
atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua
orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan.
Tidak ada – sebagai yang saya katakan di dalam kuliah umum beberapa
bulan yang lalu – exploitation de l’omme par i’homme. Semuanya
berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, “gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem kerta raharja.”29 Maka, dapat kita pahami bahwa pemikiran
Sukarno tentang keadilan sosial ini berlandaskan atas dasar kecintaannya
terhadap Indonesia Merdeka yang membawanya kepada satu prinsip yaitu
keadilan sosial.
Jadi, secara sederhana dapat kita temukan di dalam pemikiran
Sukarno tersebut bahwa perspektif Sukarno tentang Keadilan Sosial
diartikan sebagi “gemah ripah loh jinawi” yaitu suatu wilayah yang di
dalamnya terdapat kesuburan dan membawa kemakmuran. Artinya,
wilayah atau negara yang dapat terus maju dan penuh kebahagiaan.
Sedangkan “tata tentrem kerta raharja” digambarkan Sukarno sebagai
sebuah wilayah yang Tertib, Tentram dan Sejahtera. Artinya, sebuah
wilayah yang masyarakatnya dapat hidup berbahagia buat semua orang,
tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan,
sehingga masyarakat dapat hidup rukun, adil dan makmur.

29 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. h. 253


BAB IV
FILOSOFI LAMBANG SILA-SILA DALAM PANCASILA
MENURUT SUKARNO

A. Pengantar
Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Dengan kelima sila
yang tersusun harmonis sebagai bentuk nyatanya, Pancasila secara eksotis
mampu melekat dan menjadi jati diri bangsa Indonesia. Jati diri yang
melekat ini pun, memiliki lambang yang demikian terpaku di dalam
kalbunya rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah
daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga
bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirubah,
jikalau dasar negara itu tidak ditetapkan dan dilanggengkan sebagai
Pancasila. Sebab, lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh rakyat
Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang
bersendikan kepada Pancasila. 1 Oleh karena itu, disetiap lambang sila-sila
dalam Pancasila, semuanya memiliki filosofi dan makna yang
mengagumkan di dalamnya. Sehingga, tidak diragukan lagi Pancasila
memang layak menjadi dasar negara dan jati diri bangsa ini.
Dalam sejarah terciptanya lambang Garuda Pancasila, Bung Hatta
dalam bukunya “Bung Hatta Menjawab” menerangkan telah dilaksanakan
sayembara oleh Menteri Priyono sebagai pelaksana keputusan Sidang
Kabinet yang bertugas menyeleksi berbagai usulan rancangan lambang
negara untuk selanjutnya dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Maka
terpilihlah dua karya perancang lambang negara terbaik, yaitu karya putra
sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Hamid II dan karya sang pelopor
sumpah pemuda, Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H.2 Sultan Hamid II atau
yang bernama asli Syarif Abdul Hamid Alkadrie, lahir di Pontianak,

1 Soekarno. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. (Jakarta: Media Pressindo. 2019).
Cet. 4. h. 173
2 https://www.gramedia.com/literasi/lambang-garuda-pancasila/ diakses pada tanggal

28 Juni 2021 pukul 22.10 WIB

52
53

Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 dan wafat di Jakarta, 30 Maret 1978 ini
kemudian pada proses selanjutnya rancangannya diterima pemerintah dan
DPR, sedangkan karya M. Yamin mengandung unsur pengaruh Jepang
yaitu menyertakan sinar-sinar matahari pada rancangannya. Demi
mematangkan dan menyempurnakan konsep rancangan yang telah terpilih
Presiden RIS Sukarno dan perdana Menteri Mohammad Hatta melakukan
dialog intensif dengan Sultan Hamid II, selaku perancang. Kesepakatan
terjadi pada perubahan pita yang dicengkram Garuda, warna putih polos
dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” mengganti rancangan pita merah
putih sebelumnya. Selanjutnya Sultan Hamid II, selaku perancang yang
juga menjabat sebagai Menteri Negara RIS, mengajukan rancangannya
kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 Februari 1950. Rancangan
lambang negara ini sempat dikritik oleh Partai Masyumi (Partai yang
beranggotakan muslim terbesar), mereka mengajukan keberatan karena
mengandung sifat mitologis pada gambar burung Garuda dengan tangan
dan bahu manusia yang memegag perisai. Kemudian, Sultan Hamid II
menerima aspirasi positif ini dan akhirnya menyempurnakan kembali
rancangannya menjadi bentuk Rajawali-Garuda Pancasila Disingkat
Garuda Pancasila.3 Maka, dari peristiwa ini kita bisa mengetahui bahwa
Sultan Hamid II merupakan Perancang Lambang Negara Indonesia.
Kini kita bisa melihat dan memperhatikan bahwa memang sejatinya
lambang sila-sila dalam Pancasila itu menjadi simbol filosofis yang
menggambarkan isi dan maknanya. Setiap sila memiliki lambang yang
berbeda, namun secara keseluruhan kelimanya merupakan satu kesatuan
yang memiliki keharmonisan isi yang sesuai dengan filosofinya masing-
masing. Sila pertama dilambangkan seperti Bintang Tunggal, sila kedua
dilambangkan seperti Rantai Emas, sila ketiga dilambangkan seperti
Pohon Beringin, sila keempat dilambangkan seperti Kepala Banteng dan
sila kelima dilambangkan seperti Padi dan Kapas. Kemudian, kelima

3 https://www.gramedia.com/literasi/lambang-garuda-pancasila/ diakses pada tanggal


28 Juni 2021 pukul 22.10 WIB
54

lambang itu menjadi satu sebagai Burung Elang Rajawali, garuda yang
sayap kanan dan sayap kirinya ber-elok 17 buah, dengan ekor yang ber-
elar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di
atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis slogan
buatan Empu Tantular, “Bhinneka Tunggal Ika”, “Bhina Ika Tunggal Ika,
berjenis-jenis tetapi tunggal”.4
Itulah lambang Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara
Indonesia. Sungguh alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya
lambang negara Indonesia ini. Begitulah yang disampaikan Sukarno pada
kursusnya tentang Pancasila di Istana Negara, Jakarta, pada tanggal 5 Juli
1958. Hal ini tentu merupakan hasil pergolakan pemikirannya dalam
merumuskan dan menentukan dasar negara Indonesia ini bersama para
Founding Father lainnya. Namun, di sisi lain bukan berarti Sukarno hanya
sekadar itu memberikan tanggapannya tentang lambang Pancasila. dia
justru memaparkan di dalam kursusnya tentang filosofi dari setiap
lambang sila-sila dalam Pancasila itu dengan sangat jelas dan meyakinkan.
Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran Sukarno tentang lambang sila-sila
dalam Pancasila ini akan menjadi objek penelitian yang sangat menarik.
Sehingga pada bab ini peneliti akan lebih fokus untuk mengetahui filosofi
lambang sila-sila dalam Pancasila menurut perspektif Sukarno.

B. Filosofi Lambang Bintang Tunggal


Lambang Bintang Tunggal merupakan lambang yang
menggambarkan isi dari sila pertama. Lambang ini dijadikan sebagai
simbol untuk menjelaskan filosofi dari isi yang ada pada sila ini. Dengan
simbol Bintang Tunggal yang berada di tengah perisai Garuda Pancasila
yang memiliki lima sudut atas dasar warna hitam, sila ini memiliki filosofi
yang sangat dalam. Sehingga, tak heran jika lambang ini menjadi
penopang untuk lambang sila-sila dalam Pancasila yang lainnya.
4 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila.
Disunting oleh Tim Panitia Kongres Pancasila IX (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2018). h. 116
55

Selanjutnya, jika kita perhatikan lambang Bintang Tunggal ini


memang sangat cocok dijadikan sebagai perlambangan dari sila pertama.
Karena, selain filosofi yang sesuai, lambang ini juga secara harmonis dapat
menyatukan rakyat Indonesia yang memiliki berbagai perbedaan
keyakinan. Oleh karena itu, agar kita mudah memahami lebih lanjut
filosofi dari lambang ini. Maka, melalui pemikiran Sukarno, peneliti akan
menjelaskan pemikirannya secara mendalam mengenai filosofi lambang
Bintang Tunggal ini mulai dari segi gambar, bentuk dan warnanya.
Pada buku Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, Sukarno
menyampaikan perspektifnya tentang filosofi dari setiap lambang-lambang
sila dalam Pancasila. Lebih tepatnya pada saat Sukarno menyampaikan
kursus Pancasila di depan kader-kader Pancasila pada tanggal 5 Juli 1958
di Istana Negara, Jakarta. Pada saat itu, Sukarno diminta untuk
memberikan kursus tentang Perikemanusaan dalam Pancasila. Namun,
pada awal pidatonya Sukarno justru memberikan pendapatnya mengenai
lambang negara Republik Indonesia. Menurut pendapatnya lambang
negara Republik Indonesia ini adalah lambang yang terindah dan terhebat
daripada seluruh lambang-lambang negara di muka bumi ini. 5 Oleh sebab
itu, diawal kursusnya dia justru memberikan penjelasan mengenai filosofi
lambang-lambang dalam Pancasila yang dikaguminya.
Pada penjelasan mengenai lambang sila pertama, di dalamnya
terdapat filosofi lambang Bintang Tunggal. Sukarno berkata bahwa
Pancasila yang tergambar dengan di pusat bintang cemerlang atas dasar
hitam, sinar cemerlang abadi dari Ketuhanan Yang Maha Esa. 6 Oleh
karena itu, menurut Sukarno lambang ini merupakan simbol atas dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jika diartikan filosofinya satu persatu menurut Sukarno, Esa berarti
tunggal; satu. Bintang Tunggal merupakan filosofi atas Ketuhanan yang
satu. Bintang Tunggal yang berwarna kuning keemasan melambangkan

5 Soekarno. Filsafat Pancasila. h. 172


6 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 116
56

sinar cemerlang abadi yang dianggap Sukarno sebagai cahaya kerohanian


yang dipancarkan Tuhan kepada setiap manusia. Kemudian, di dalam
lambang Bintang Tunggal tersebut terdapat lima sudut yang
melambangkan Indonesia memiliki berbagai macam sudut pandang dan
keyakinan tentang Tuhan. Sedangkan, filosofi dari warna dasar atau latar
berwarna hitam dalam simbolisme psikologi sering dianggap sebagai
warna mistis yang melambangkan warna alam asli yang dimiliki Tuhan.
Oleh karena itu, tidak heran jika lambang yang ada pada sila ini menjadi
filosofi dari spiritualitas kepercayan dan keyakinan masing-masing orang.
Pada prinsipnya, Sukarno menjelaskan bahwa filosofi Bintang
Tunggal itu merupakan simbol atas sinar cemerlang abadi dari Ketuhanan
yang Maha Esa. Artinya, lambang ini menjadi filosofi dasar atas segala
kepercayaan yang dianut oleh Rakyat Indonesia dari berbagai macam
agama dan keyakinan. Bisa dibayangkan jika Sukarno tidak memasukkan
sila ini ke dalam sila Pancasila akan jadi apa negara tercinta kita ini?.
Tentu, jika itu benar terjadi Indonesia akan kehilangan jati diri bangsa
yang sudah melekat berabad-abad lamanya. Oleh sebab itu, melalui
perlambangan sila ini setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam beragama dan berkeyakinan. Yakni, saling menghormati dan
menghargai perbedaan keyakinan dan kepercayaan setiap orang serta tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai kerukunan.

C. Filosofi Lambang Rantai Emas


Lambang Rantai Emas merupakan lambang dari sila kedua. Sila
kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” menjadi
dasar terciptanya lambang ini. Pada lambang sila kedua ini terdapat
gambar rantai yang berbentuk persegi dan bundar. Setiap rantai mengikat
menjadi satu kesatuan yang kuat. Sehingga, tidak heran jika Sukarno
menjadikan lambang ini sebagai simbol dari Kemanusiaan.
Pada awalnya, Sukarno mulai menjelaskan perspektifnya tentang
filosofi yang terdapat pada lambang sila kedua ini pada saat dirinya
57

memberikan kursus tentang Pancasila di Istana Negara, Jakarta. Sukarno


berkata bahwa filosofi dari lambang sila kedua ini adalah rantai yang
terdiri dari gelang-gelang persegi dan bundar, persegi dan bundar yang
bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya sebagai
filosofi dari Perikemanusiaan. 7 Dalam penjelasannya tentang
Perikemanusiaan ini tentu kita bisa melihat bahwa Sukarno dengan tegas
mengatakan bahwa makna Perikemanusiaan itu digambarkannya sebagai
sambungan rantai yang tiada putus.
Kemudian Sukarno menjelaskan filosofi lambang sila ini dari segi
bentuknya. Beliau berkata bahwa filosofi persegi sebagai lambang wanita
sedangkan bundar sebagai lambang pria. Oleh karena itu, Sukarno
menganggap bahwa wanita-pria tidak putus-putusnya, de onverbreekbare
keten der mensheid, rantai yang tiada terputus-putus daripada kemanusiaan
dan perikemanusiaan.8 Oleh karena itu, lambang sila kedua ini tergambar
sebagai rantai yang tiada putus-putusnya. Sehingga maknanya pun
mengandung filosofi bahwa rantai ini adalah rantai kita semua, yaitu tiada
putus-putusnya rantai kemanusiaan.
Dalam penjelasannya tentang rantai yang tiada putus-putusnya,
Sukarno berkata “Tetapi ini rantai Saudara-saudara, persegi bundar, yang
tiada putusnya bukan pula hanya melambangkan, melukiskan tiada
putusnya hubungan laki-laki dan perempuan, dus tiada putus-putusnya
rantai kemanusiaan; manusia beranak, anak beranak lagi, sang anak ini
beranak lagi, sang anak ini beranak lagi, atau kalau dikembalikan Saudara-
saudara sampai jutaan tahun yang lalu, keten ini pun terputus-putus.
Artinya, Orang beranak kemudian bercucu, kemudian berbuyut, kemudian
ber-canggah, kemudian ber-wareng, kemudian ber-gantung siwur,
kemudian ber-udeg-udeg, tiada putusnya, ini keten, ini rantai. Bukan
sekadar demikian, tetapi rantai yang kita lukiskan di atas perisai sang
Garuda Indonesia ini juga melukiskan hubungan antara bangsa dan

7 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 116
8 Soekarno. Filsafat Pancasila. h. 174
58

bangsa.”9 Inilah yang menjadi pemikiran filosofis Sukarno tentang


lambang rantai emas yang menjadi lambang dari sila kedua.
Pada prinsipnya, Sukarno menegaskan perlambangan ini menjadi
filosofi bahwa kita ini bukanlah satu bangsa yang berdiri sendiri, tetapi
adalah satu bangsa dalam keluarga bangsa-bangsa karena pada hakikatnya
pun manusia adalah satu rantai yang tiada terputus-putus. Oleh karena itu,
Sukarno berkata “Tiada manusia dapat berdiri sendiri, manusia adalah satu
makhluk masyarakat, manusia adalah suatu homo socius. Demikian pula
bangsa tak dapat hidup sendiri, bangsa hanyalah dapat hidup di dalam
masyarakat umat manusia, di dalam masyarakatnya bangsa-bangsa.” 10
Sehingga, lambang ini menurut Sukarno bukan hanya memiliki filosofi
ikatan manusia saja, akan tetapi lambang ini juga sebagai bentuk dari
filosofi satu bangsa dalam keluarga bangsa-bangsa yang pada hakikatnya
merupakan satu rantai manusia yang tiada terputus-putus.

D. Filosofi Lambang Pohon Beringin


Sila ketiga berbunyi “Persatuan Indonesia”. Pada sila ini
dilambangkan sebagai lambang Pohon Beringin. Pohon yang menjadi
simbol persatuan rakyat Indonesia dengan segala ciri khas dan
keelokannya. Lambang ini pun menjadi simbol kekuatan persatuan bangsa.
Dimana, Pohon Beringin dalam sejarahnya hingga saat ini merupakan
pohon yang berumur panjang yang sangat kuat dan dapat terus tumbuh
besar. Tak hanya itu, Pohon Beringin juga bisa dikatakan sebagai
perwujudan dari negara Indonesia sebagai tempat berteduhnya seluruh
rakyat. Akar dan batangnya yang menjulur rimbun ke segala arah menjadi
filosofi atas keberagaman rakyat Indonesia yang memiliki banyak suku,
agama, ras, budaya dan bahasa. Sehingga, tak heran jika Sukarno
menjadikan Pohon Beringin ini sebagai lambang kebangsaan.

9 Soekarno. Filsafat Pancasila. h. 175


10 Soekarno. Filsafat Pancasila. h. 176
59

Lambang Pohon Beringin sebagai lambang Kebangsaan.11 Inilah


yang Sukarno katakan dalam kursusnya tentang Pancasila di depan kader-
kader Pancasila pada tanggal 5 Juli 1958 di Istana Negara, Jakarta.
Lambang yang memiliki filosofi kebangsaan ini dikatakan oleh Sukarno
juga memiliki filosofi persatuan dan persaudaraan dunia. Sukarno berkata
“Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri
bukan chauvinisme, sebagaimana dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang
mengatakan “Deutsrhland UberAlles”, tidak ada yang setinggi Jermania,
yang katanya bangsanya minulyo (mulya – red), berambut jagung, dan
bermata biru, “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia,
sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas
demikian Tuan-tuan, jangan berkata bahwa bangsa Indonesialah yang
terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju
persatuan dunia, persaudaraan dunia.” 12 Oleh karena itu, disamping
Sukarno sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, Sukarno juga
sangat memuliakan kesetaraan sosial yang menghargai setiap hak asasi
manusia yang bukan hanya dilihat dari fisik maupun kondisi sosialnya,
melainkan dengan adanya sila ini justru kita harus menuju persatuan
Indonesia agar semakin kuat tanpa memandang status, agama, ras, suku,
budaya, bahasa dan lain sebagainya.
Jika kita melihat sejarah awal pergolakan pemikiran Sukarno dalam
keyakinannya terhadap kebangsaan dibandingkan kosmopolitisme bermula
pada saat dirinya mengenyam pendidikan di HSB, Surabaya. Pada awalnya
Sukarno mengaku, pada waktu Sukarno berumur 16 tahun, duduk di
bangku sekolah HSB di Surabaya, Sukarno dipengaruhi oleh seorang
sosialis yang bernama A. Baars yang memberi pelajaran kepada Sukarno.
Kata A. Baars: jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa
kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu
terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada sang
11 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 116
12 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. (Jakarta: Media Pressindo. 2019). Cet. 3.
h. 134
60

lain yang memperingati Sukarno ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam
tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, Sukarno
mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan
oleh A. Baars itu. Dalam hati Sukarno sejak itu tertanamlah rasa
kebangsaan, oleh pengaruh The Three People’s Prinsiples itu.13 Kemudian
Rasa kebangsaan itu pun hingga akhir hayatnya terus melekat dan tertanam
pada diri Sukarno.
Namun, Sukarno juga mengatakan bahwa prinsip kebangsaan juga
ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga barpaham “Indonesia uber
Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa
yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi air kita Indonesia hanya
satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini! Ghandi
berkata, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan”, “My nationalism is humanity”.14 Oleh karena itu,
kebangsaan yang menjadi prinsip Sukarno adalah kebangsaan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dan persaudaraan.
Pada prinsipnya lambang Pohon Beringin menurut Sukarno
memiliki filosofi kebangsaan dan persatuan. Bentuk dan gambarnya
merupakan filosofi negara Indonesia sebagai tempat berteduhnya seluruh
rakyat Indonesia dengan menjunjung tinggi nilai persatuan yang harus
tertanam kuat dan bertambah besar. Dengan berbagai akar dan ranting
pohon yang menjalar ke segala arah menjadikan negara Indonesia
memiliki ciri khas rakyat yang mempunyai berbagai perbedaan. Sehingga,
walaupun perbedaan itu bermacam-macam bentuknya, mereka tetaplah
menjadi satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia.
Dengan demikian Sukarno pun menegaskan kepada kita agar
persatuan dan kesatuan Indonesia yang difilosofikan sebagai Pohon
Beringin itu dapat tertanam kuat dijiwa dan raganya rakyat Indonesia.

13 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 133


14 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 134
61

Oleh karenanya, Sukarno berkata bahwa “Kita tidak menghendaki supaya


nasionalisme kita menjadi nasionalisme yang chauvinis, tapi nasionalisme
yang hidup di dalam suasana perikemanusiaan: nasionalisme yang mencari
agar segala umat manusia ini akhirnya nanti hidup dalam satu keluarga
besar yang sama bahagianya.15 Sehingga, pada akhirnya filosofi yang
digambarkan tersebut menjadi filosofi atas dasar nasionalisme yang
mempersatukan bangsa Indonesia di dalam suasana perikemanusiaan dan
penuh kebahagiaan.

E. Filosofi Lambang Kepala Banteng


Lambang sila keemapat dilambangkan sebagai lambang Kepala
Banteng. Lambang ini menjadi lambang daripada sila keempat yang
berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan”. Di dalam lambang ini terdapat berbagai
makna filosofis yang tujuan utamanya atau filosofi utamanya adalah
sebagai filosofi kedaulatan rakyat. Namun, dalam hal ini peneliti masih
belum bisa menyimpulkan perspektif Sukarno bahwa memang filosofi
utama dari lambang ini merupakan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu,
peneliti mencoba menguraikan sedikit pemikiran Sukarno tentang
perspektifnya mengenai lambang ini.
Di dalam buku Lahirnya Pancasila, pada awalnya Sukarno tidak
mengatakan bahwa sila ini merupakan dasar sila yang ke-empat,
melainkan Sukarno mengatakan bahwa sila ini merupakan dasar daripada
sila yang ke-tiga. Tidak ada yang berubah, hanya saja pada saat itu
Pancasila masih belum tersusun rapih urutannya. Sehingga, pada saat
Sukarno menjelaskan pemikirannya tentang sila ini beliau menyebutnya
sebagai dasar yang ke-tiga.
Pada saat Sukarno memaparkan pidatonya di dalam rapat besar
tanggal 1 Juni 1945. Pada waktu itu beliau menjelaskan tentang
internasionalisme dan nasionalisme yang merupakan dua hal yang sangat

15 Soekarno. Filsafat Pancasila. h. 213


62

berhubungan. Menurutnya, Internasionalisme tidak dapat hidup subur


kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak
dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme. Kemudian, setelah itu Sukarno mencoba membahas
mengenai kedaulatan rakyat dengan bertanya “Apakah dasar yang ke-3?
Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.
Negara Indonesia bukan negara untuk satu orang, bukan negara untuk satu
golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua
buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin bahwa syarat
yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan,
perwakilan.”16 Dalam hal ini, permusyawaratan, perwakilan yang Sukarno
maksud adalah usaha menggapai kedaulatan rakyat. Oleh karenanya,
Sukarno menjelaskan bahwa pentingnya terdapat badan permusyawaratan.
Namun, Sukarno berkata "Badan permusyawaratan yang kita akan buat,
hendaknya bukan badan permusyawaratan politiek demokratie tetapi badan
yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke
rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid yaitu mewujudkan keadilan
politik dan keadilan sosial. Oleh karena itu, agar terciptanya negara
Indonesia yang kuat Sukarno memasukkan makna permusyawaratan /
perwakilan sebagai salah satu sila dalam Pancasila.
Kemudian, pada waktu Sukarno menyampaikan kursusnya tentang
kedaulatan rakyat dalam Pancasila. Sukarno menyampaikan pemikirannya
tentang lambang Kepala Banteng ini kepada kader-kader Pancasila pada
tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara, Jakarta. Beliau berkata bahwa
Lambang Kepala Banteng menyimbolkan Banteng Indonesia sebagai
lambang kedaulatan rakyat.17 Sehingga dapat disimpulkan bahwa memang
filosofi utama dari lambang Kepala Banteng ini menurut Sukarno
merupakan filosofi dari kedaulatan rakyat.

16 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 135


17 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 116
63

Dengan demikian, jika kita melihat lambang ini dari segi


gambarnya, memang lambang ini sangat cocok dijadikan sebagai lambang
daripada sila ke-empat. Bukan hanya dilihat dari karakteristik banteng itu
sendiri yang memang merupakan jenis hewan sosial yang suka berkumpul
layaknya manusia berkumpul untuk bermusyawarah dan memutuskan
sesuatu. Melainkan memang hewan ini juga merupakan salah satu
kawanan hewan yang kuat dan berani. Oleh karena itu, peneliti yakin
bahwa filosofi yang Sukarno tanamkan pada lambang ini adalah agar
rakyat Indonesia menjadi rakyat yang kuat dengan senantiasa berkumpul,
bersatu dan bermusyawarah untuk dapat mewujudkan cita-citanya yaitu
kedaulatan rakyat Indonesia.

F. Filosofi Lambang Padi dan Kapas


Lambang Kapas dan Padi merupakan lambang dari sila kelima. Sila
ini berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tentu di
dalam lambang ini berkaitan erat dengan isi sila yang terkandung di
dalamnya. Baik berkaitan dengan keadilan sosial ataupun lain sebagainya.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah filosofi yang terkandung
pada lambang ini menurut Sukarno benar-benar filosofi tentang keadilan
sosial? Jika benar keadilan sosial merupakan filosofi utama pada lambang
ini, lalu apa filosofi dari Kapas dan Padi itu sendiri? Mengapa Kapas dan
Padi bisa menjadi lambang dari sila ke-lima?. Oleh karena itu, peneliti
sekali lagi akan menggali pemikiran Sukarno tentang filosofi lambang
Kapas dan Padi menurut perspektifnya.
Pada penjelasan awal mengenai filosofi lambang ini Sukarno
mengatakan di dalam kursusnya tentang Pancasila pada tanggal 22 Juli
1958 di Istana Negara, Jakarta. Bahwa lambang Kapas dan Padi
merupakan lambang kecukupan sandang-pangan, Keadilan Sosial. 18 Pada
pernyataan awal ini peneliti menemukan dua fakta menarik tentang
pemikiran Sukarno mengenai filosofi lambang Kapas dan Padi yang sejak

18 Sukarno. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila. h. 116
64

awal peneliti pertanyakan. Fakta pertama, ternyata memang benar bahwa


menurut Sukarno filosofi utama dari lambang ini merupakan keadilan
sosial. Fakta kedua, Kapas dan Padi merupakan perlambangan dari
Sandang dan Pangan. Oleh karena itu, Sukarno menjadikan lambang
Kapas dan Padi sebagai filosofi dari Sandang dan Pangan yang keduanya
merupakan simbol kecukupan dan kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan rakyat ini pertama kali diusulkan oleh Sukarno untuk
menjadi dasar sila yang ke-empat. Pada saat dirinya memaparkan
pidatonya di dalam rapat besar tanggal 1 Juni 1945. Sukarno berkata
“Prinsip nomor empat sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini
belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak
akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi
prinsipnya San Min Chu I ialah Min Mintsu Chuan, Min Cheng:
nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita
mau Indonesia Merdeka yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang
semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup
pakaian, hidup dalam kesejahteraan merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang
cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih,
Saudara-saudara?”19 Dari pidatonya tersebut, Sukarno memberikan
penjelasan bahwa prinsip Indonesia Merdeka itu bukan yang kaum
kapitalnya merajalela, akan tetapi seharusnya Indonesia Merdeka itu yang
semua rakyatnya sejahtera, cukup sandang pangannya dan merasa bahagia
dipangku oleh ibu pertiwi, Indonesia.
Dalam hal ini, Sukarno juga menegaskan kepada kita untuk tidak
terlena dengan hanya mengandalkan adanya Badan Perwakilan Rakyat.
Sukarno berkata “Jangan Saudara kira kalau Badan Perwakilan Rakyat
sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita
sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah
parlemen-taire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis
merajalela? Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah

19 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 138


65

di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat


kaum kapitalis merajalela? Padahal ada Badan Perwakilan Rakyat! Tak
lain tak bukan sebabnya ialah karena Badan-badan Perwakilan Rakyat
yang diadakan di sana itu, sekadar menurut resepnya Fransche Remlutie.
Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratic di sana itu
hanyalah politieke democratic saja: semata-mata tidak ada sociale
rechtvaardigheid - tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische
democratie sama sekali”.20 Oleh sebab itu, Badan Perwakilan Rakyat
menurut Sukarno bukanlah kunci utama tercapainya kesejehteraan rakyat.
Maka daripada itu, Sukarno menegaskan kepada kita bahwa yang Sukarno
usulkan demi tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang
sesuai dengan perlambangan sila kelima ini adalah kalau kita menacari
demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan
yang memberi hidup, yakni politiek economische democratic yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial!. 21
Dengan demikian pemikiran Sukarno tentang filosofi lambang
Kapas dan Padi sebagai lambang dari sila kelima merupakan filosofi atas
dasar keadilan sosial. Dengan rakyatnya yang sejahtera, yang semua orang
cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan sandang dan
pangan serta memiliki keadilan sosial yang tidak membeda-bedakan yang
miskin atau yang kaya, kulit putih atau kulit hitam, Islam atau Kristen, dan
lain sebagainya. Sehingga, pada akhirnya lambang ini diharapkan dapat
diaplikasikan makna filosofinya di dalam jiwa raganya rakyat Indonesia.

20 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 139


21 Kumpulan Pidato BPUPKI. Lahirnya Pancasila. h. 140
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tentang Filosofi lambang Sila-sila dalam
Pancasila menurut Sukarno, peneliti dengan ini menarik kesimpulan
bahwa dari rumusan masalah yang ada, yaitu bagaimana filosofi dari
lambang sila-sila dalam Pancasila menurut Sukarno? Dan apakah ada
hubungannya antara isi/bunyi sila dengan lambang sila-sila dalam
Pancasila menurut Sukarno?. Dengan ini peneliti menyatakan bahwa
Lambang-lambang yang terdapat pada sila Pancasila memang memiliki
filosofi yang sesuai dengan isi yang terkandung di dalamnya. Tak hanya
itu, Sukarno juga menjelaskan filosofinya tersebut dengan sangat jelas dan
menyeluruh. Sehingga, tak heran jika Sukarno mampu menjadi sosok yang
sangat berpengaruh besar terhadap lahirnya ideologi negara ini.
Setiap lambang satu demi satu Sukarno jelaskan filosofi yang
terkandung di dalamnya. Adapun filosofi lambang sila-sila dalam
Pancasila menurut Sukarno, yaitu;
Pertama, Filosofi lambang Bintang Tunggal menurut Sukarno
merupakan filosofi dari Ketuhanan yang Maha Esa. Warna kuning
keemasan melambangkan sinar cemerlang abadi yang dianggap Sukarno
sebagai cahaya kerohanian yang dipancarkan Tuhan kepada setiap
manusia. Lima sudut bintang yang melambangkan Indonesia memiliki
berbagai macam sudut pandang dan keyakinan tentang Tuhan.
Kedua, Filosofi lambang Rantai Emas menurut Sukarno merupakan
filosofi dari Kemanusiaan dan Perikemanusiaan. Rantai yang terdiri dari
gelang-gelang persegi dan bundar, persegi sebagai lambang wanita dan
bundar sebagai lambang pria yang bersambung satu sama lain dalam
sambungan yang tiada putusnya sebagai filosofi dari Kemanusiaan. Warna
rantai yang berwarna emas mengandung filosofi Perikemanusiaan bahwa

66
67

setiap manusia, pria maupun wanita semuanya sama-sama berharga dan


memiliki hak yang sama-sama harus dihargai.
Ketiga, Filosofi lambang Pohon Beringin menurut Sukarno
merupakan filosofi Kebangsaan dan Persatuan. Pohon Beringin merupakan
filosofi negara Indonesia sebagai tempat berteduhnya seluruh rakyat
Indonesia dengan menjunjung tinggi nilai persatuan yang harus tertanam
kuat dan bertambah besar. Akar dan ranting pohon yang menjalar ke
segala arah menjadikan negara Indonesia memiliki ciri khas rakyat yang
mempunyai berbagai perbedaan.
Keempat, Filosofi lambang Kepala Banteng menurut Sukarno
merupakan filosofi dari Kedaulatan Rakyat. Banteng memang merupakan
jenis hewan sosial yang suka berkumpul layaknya manusia berkumpul
untuk bermusyawarah dan memutuskan sesuatu. Hewan ini juga
merupakan salah satu kawanan hewan yang kuat dan berani. Filosofi yang
Sukarno tanamkan pada lambang ini adalah agar rakyat Indonesia menjadi
rakyat yang kuat dengan senantiasa berkumpul, bersatu dan
bermusyawarah untuk dapat mewujudkan cita-citanya yaitu kedaulatan
rakyat Indonesia.
Kelima, Filosofi lambang Kapas dan Padi menurut Sukarno
merupakan lambang kecukupan sandang-pangan, Keadilan Sosial.
Keadilan sosial yang dimaksud adalah dengan rakyatnya yang sejahtera,
yang semua orang cukup makan, pakaian, hidup dalam kesejahteraan
sandang dan pangan serta memiliki keadilan sosial yang tidak membeda-
bedakan yang miskin atau yang kaya, kulit putih atau kulit hitam, Islam
atau Kristen, dan lain sebagainya.

B. Saran
Setelah peneliti mengamati kesimpulan dan menganalisa hasil
penelitian di atas, ada beberapa saran yang berkaitan dengan skripsi akan
peneliti sampaikan, yaitu:
68

1. Saran untuk akademisi, filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila


menurut Sukarno ini seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu
mata kuliah umum yang bisa dipelajari oleh pelajar, mahasiswa
atau bahkan masyarakat pada umumnya agar kita sebagai rakyat
Indonesia bukan hanya mengetahui nilai-nilai yang terkandung di
dalam sila Pancasila saja melainkan kita juga harus tau filosofi dari
lambang-lambangnya tersebut. Tak heran jika zaman sekarang
banyak orang yang tidak tau filosofi lambang sila-sila dalam
Pancasila karena memang lambang-lambang tersebut tidak
dijelaskan secara lengkap makna filosofinya. Oleh karena itu,
pembelajaran mengenai filosofi lambang sila-sila dalam Pancasila
sangat penting untuk generasi bangsa kedepan.
2. Saran untuk masyarakat, supaya filosofi lambang sila-sila dalam
Pancasila menurut Sukarno ini dapat diaplikasikan dalam
kehidupan keseharian agar menjadi bangsa yang adil dan makmur.
69

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta:


Yayasan Bung Karno. 2019.

Ali Rakhbini, Helmi. Integrasi Nilai Pancasila dalam Pendidikan Karakter di


SMP PGRI Dlingo Maladan, Jatimulyo, Dlingo, Bantul. Program Studi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas PGRI Yogyakarta. 2016.

Alwi, Mahmud. Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pengembangan


Kurikulum PAI di SMP Negeri 9 Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2019.

Amin, Irfan Syah. “Jejak Ideologi Dalam Pemikiran Soekarno Muda”. Jurusan
Pemerintahan Fukultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
JOM FISIP Vol. 7: Edisi I Januari – Juni 2020.

Aminuddin. “Pancasila dalam Bingkai Pemikiran Soekarno (Fondasi Moral dan


Karakter Bangsa)”. Jurnal Al-Harakah Volume 03. No. 01 Jan – Jun 2020.

Arfian, Ajik. Hubungan Pemahaman Nilai-nilai Pancasila dalam Pembelajaran


PKN dengan Karakter Siswa Kelas VIII Smp Negeri 13 Magelang.
Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. 2014.

BPUPKI, Kumpulan Pidato. Lahirnya Pancasila. Yogyakarta: Media Pressindo.


2019.

Burlian, Paisol. “Pemikiran Sukarno dalam Perumusan Pancasila”. Jurnal UIN


Raden Fatah Palembang. 2020.

Driyarkara. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


2006.
70

Hamengku Buwono X, Sultan. Merajut Kembali KeIndonesiaan Kita. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Hamid, Hamdan. Skripsi tentang Demokrasi Ala Soekarno Demokrasi Terpimpin.


Jurusan Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau. 2012.

Huda, Muhammad Chairul. “Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara:


Implemetasi Nilai-Nilai Keseimbangan dalam Upaya Pembangunan
Hukum di Indonesia”. Program Studi Tata Negara - IAIN Salatiga. Jurnal
Resolusi Vol. 1 No. 1 Juni 2018.

Karim Habibullah, Abdul. Nilai-nilai Filosofis Pancasila menurut Soekarno.


Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019.

Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas


Pancasila. Jakarta: PT. Gramedia. 2011.

_____. Revolusi Pancasila. Jakarta: Mizan. 2017.

Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: PT. Bina Aksara. 1984.

Nugroho, Adji. Soekarno Sebuah Biografi. Yogyakarta: Roemah Soekarno. 2019.

Oetama, Jakob. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan. Jakarta: PT Kompas


Media Nusantara. 2002.

Pidato BPUPKI, Kumpulan. Lahirnya Pancasila. Jakarta: Media Pressindo. 2019.

Pradana, Fani. Implementasi Nilai-nilai Pancasila Sila Kemanusiaan yang Adil


dan Beradab dalam Kehidupan Santri di Pondok Pesantren. Program
Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2014.
71

Riyadi, Said. Konsep Keadilan dalam Pancasila: Telaah terhadap pemikiran Yudi
Latif. Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020.

Riyanto. “Pancasila Dasar Negara Indonesia”. Jurnal Hukum dan Pembangunan


Tahun ke-37 No. 3 Juli-September 2007.

Rosa, Bella. Implementasi Nilai Pancasila dalam Mengembangkan Sikap Sosial


Siswa di SMA Negeri 4 Bandar Lampung. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Lampung, Bandar Lampung. 2019.

Siswoyo, Dwi. “Pandangan Bung Karno tentang Pancasila dan Pendidikan”.


Cakrawala Pendidikan. Th. XXXII, No. 1. Februari 2013.

Soedarsono, Soemarno. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta: PT Elex


Media Komputindo Kelompok Kompas Gramedia. 2008.

Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi, Jilid II, Cet. Kedua, Djakarta: Di Bawah
Bendera Revolusi, 1965.

_____. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. Jakarta: Media Pressindo. 2019.

_____. Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, Pikiran-pikiran Soekarno Muda.


Bandung: Sega Arsy. 2015.

_____. Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Sukarno Tentang Pancasila.


Disunting oleh Tim Panitia Kongres Pancasila IX. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 2018.

_____. Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme menurut Bung Karno. Jakarta: Media


Pressindo. 2019.

Susilo, Taufik Adi. Soekarno Biografi Singkat (1901-1970). Jogjakarta: Garasi.


2020.
72

Turiman. “Menelusuri “Jejak” Lambang Negara Republik Indonesia Berdasarkan


Analisis Sejarah Hukum”. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44
No. 1 Januari-Maret, 2014.

Usmani, Ahmad Rofi’. Ensiklopedia Tokoh Muslim, Bandung: PT Mizan Pustaka,


2015.

Wardoyo, Sapto M. Jejak Keteladanan Soekarno. (Sleman Yogyakarta: Brilliant


Books. 2018).

Wicaksana, Anom Whani. Sukarno Biografi Lengkap Negarawan Sejati.


Yogyakarta: C-Klik Media. 2018.

Sumber dari Internet

Haryono, Anton. “Driyarkara Mendidik Indonesia”. (https://repository.usd.ac.id/


4582/1/854_DRIYARKARA+MENDIDIK+INDONESIA1.pdf).

http://digilib.uinsby.ac.id/15954/5/Bab%202.pdf

https://id.berita.yahoo.com/filosofi-adalah-filsafat-ketahui-pengertian-
121052544.html

https://kalteng.prokal.co/read/news/39785-bung-karno-dan-prinsip-ketuhanan.
html

http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-perspektif-atau-sudut-
pandang/

https://www.gramedia.com/literasi/lambang-garuda-pancasila/

Maryatun, Isti. “Peran Prof. Notonagoro dalam Pengembangan Pancasila”.


(https://docplayer.info/37134286-Telisik-peran-prof-notonagoro-dalam-
pengembangan-pancasila-isti-maryatun.html).

Anda mungkin juga menyukai