Anda di halaman 1dari 105

MISKIN DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL-JAILĀNĪ

Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh
ABDUL WAHID
NIM: 11170340000195

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2021 M
MISKIN DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL-JAILĀNĪ
Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Abdul Wahid
NIM: 11170340000195

Pembimbing

Moh. Anwar Syarifuddin, M.A.


NIP: 19720518 199803 1 003

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul “MISKIN DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AL-


JAILĀNĪ" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27
Desember 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S.Ag) Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir.

Jakarta, 27 Desember 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Sekretaris

Dr. Eva Nugraha, M.Ag Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH


NIP : 1971 02171998031002 NIP : 198208162015031004

Anggota

Penguji I Penguji II

Dr. M. Suryadinata, M.Ag Dr. Syahrullah Iskandar, M.A.


NIP : 196009081989031005 NIP: 197808182009011016

Pembimbing

Moh. Anwar Syarifuddin, M.A


NIP. 19710607 200501 1 002

M.A.NIP : 1971 02171998031002


LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Abdul Wahid


NIM : 11170340000195
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Judul Skripsi : “Miskin dalam Perspektif Tafsir al-Jailānī”
Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 November 2021

Abdul Wahid
NIM 11170340000195

vii
Abstrak
Abdul Wahid, 11170340000195
Miskin dalam Perspektif Tafsir al-Jailānī
Penulis meneliti tentang bentuk miskin dan ciri-ciri atau kategorisasi
dalam tafsir al-Jailānī yang ditulis oleh ulama’ besar yaitu Syaikh Abdul
Qādir al-Jailānī. ini dilatar belakangi dengan perbincangan terkait
pemaknaan miskin dan fakir yang simpang siur dalam pendefinisian
keduanya, ada yang mengatakan miskin lebih utama dari pada fakir ada
pula yang mengatakan fakir lebih baik keadaannya dari pada miskin,
bahkan ada juga yang menyebutkan keduanya sama. Nabi juga pernah
berdoa agar hidup, mati dan dikumpulkan dengan orang miskin. Hal ini
merupakan pembahasan yang sangat penting untuk diteliti dan memiliki
daya tarik tersendiri untuk diangkat, guna mengetahui pendefinisian
atau makna miskin sehingga diketahui alasan al-Qur’an memberi
anjuran membantu orang miskin, karena di dalam al-Qur’an banyak
memberikan anjuran untuk membantu, terutama kepada orang miskin.
Penelitian ini adalah penelitian pustaka library research yaitu penelitian
yang menggunakan data-data yang berbasis keperpustakaan, metode
yang penulis gunakan adalah deskriptif-analisis. Adapun langkah-
langkah penelitian yang ditempuh oleh penulis yaitu dengan
menggunakan metode dokumentasi dalam mengumpulkan data, yaitu
suatu metode pengurmpulan data dengan melihat atau mencatat laporan
yang sudah ada sebelumnya, yang bersumber dari data-data dalam
bentuk dokumen tentang hal-yang sesuai dengan tema penelitian, karya
ilmiah, baik berupa surat kabar, makalah, buku, jurnal, atau majalah
serta laporan-laporan penelitian. Metode ini dipakai oleh penulis untuk
melacak dan menghimpun data dari berbagai sumber tersebut, yang
berkaitan dengan objek penelitian ini, terutamanya kitab tafsir yang
dikarang oleh Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī yaitu Tafsir al-Jailānī.
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa miskin lebih baik
keadaannya dari pada fakir. Al-Jailānī dalam menjelaskan ayat,
memperlihatkan penafsirannya yang condong kepada mazhab Syafi’i.
Didapat pemaknaan miskin dan pengkategorisasian di setiap orang-
orang miskin tersebut diantaranya adalah miskin adalah orang yang
kehilangan pekerjaannya, miskin adalah orang yang tak mampu
memenuhi kebutuhan haria, miskin adalah orang yang menjaga diri dari
meminta, miskin adalah orang yang berada pada sudut keghinaan,
terakhir miskin adalah orang yang sangat kekurangan żū matrabah.
Juga, penafsiran al-Jailānī lebih condong kepada corak fiqh, karena pada
lafaz miskīn tersebut al- Jailānī tidak menafsirkannya secara mistik.
Kata kunci: Miskīn, Tafsir al-Jailānī.

ix
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim
Alhamdulillāhirabbil‘ālamīn. Segala puji dan syukur
penulis panjatkan atas kehadirat Allah Ta‘ālā yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Miskin dalam Al-Qur’an
Perspektif al-Jailānī” dengan baik. Tak lupa salawat serta salam
selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW karna
berkat jasanya yang telah membawa risalah dan membimbing
umat Islam dari zaman Jahiliyah kepada zaman yang Islamiyyah.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua


pihak yang telah memberikan bantuan selama penyusunan skripsi
ini, baik bantuan secara langsung maupun tidak langsung. Untuk
itu dengan penuh hormat, penulis menyampaikan terima kasih
kepada :

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.A


sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A. sebagai Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, M.A. sebagai ketua Progam Studi Ilmu al-
Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
senantiasa membimbing mahasiswanya dalam mempercepat
penyelesaian penyusunan skripsi.
4. Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH. sebagai sekretaris progam
studi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang membantu mempermudah proses administrasi

xi
xii

dalam penyusunan skripsi.


5. Segenap civitas akademik baik dari fakultas maupun dari
jurusan yang membantu mempermudah proses adsministrasi
selama kuliah mapun selama penyusunan skripsi.
6. Moh. Anwar Syarifudin, M.A. sebagai Dosen pembimbing
skripsi penulis yang senantiasa meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, motivasi, nasehat, dan ilmu selama
penyusunan skripsi hingga selesai.
7. Dasrizal, M.A. sebagai Dosen Penasihat akademik yang
banyak memberikan masukan-masukan, nasehat selama
menjadi mahasiswa.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Dosen dari jurusan
Ilmu al-Qur'an dan Tafsir. Dengan penuh semangat dan tulus
membagikan ilmu, pengetahuan dan wawasan yang
mendalam dalam kajian ilmu al- Qur'an dan Tafsir. Terima
kasih atas ilmu dan wawasan pengetahuan barunya.
9. Ir. Marsudi Aman sebagai orang tua bagi saya selama kuliah
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang senantiasa
memantau dan mengajarkan arti keistiqomahan dan
tanggung jawab.
10. Semua pihak dan jajaran Pondok Pesantren Darullughah wal
Karomah, Probolinggo yang memberikan dukungan secara
materi maupun non-materi.
11. Teman-teman mahasiswa angkata 2017 keluarga Inspire atau
IAT E yang telah mewarnai belajar pada 2 tahun awal yang
telah banyak menorehkan kenangan bersama. Memberikan
banyak cerita serta mengajarkan banyak arti kebersamaan, yang
xiii

kemudian keadaan itu dipisahkan oleh pandemi. penulis banyak


belajar kebaikan, semoga kita masih bisa disa berkumpul di
tahun-tahun kedepan.
12. Teman-teman jarak karibku, Nurul Burhan, Siti Maisaroh,
Muhammad Mukhlis Ansori, Nur Kholis, Sitty Maisaroh,
Siti Salwa dan juga Badrus Sholih. Tak lupa juga kepada
teman baikku Muzammil yang telah menjadi teman senasib
seperjuangan mulai selama kurang lebih 9 tahun terakhir.
13. Orang Dalem, dengan pimpinan Badar Rijal Hidayat dengan
anggotanya yaitu Ayi Husni Fitriyani, Nurul Astri, Zubaidah
al-Alawiyah, Fauzan Hasbi, Pendri Putra, Feisal Pasha,
Zindan Izzanov, serta Wejang Luhung Bintang Naqsyabandi
yang merupakan tempat untuk intropeksi diri. Orang-orang
hebat ini telah banyak memberi pelajaran makna hidup
dalam kebersamaan.
14. Singeki no Kyuojin, Oshio to Tora, Kimetsu No Yaiba,
Jujutsu Kaisen yang menemani kejenuhan dengan berbagai
tugas dalam sehari-hari.
15. Yayasan Qaf Learning Center yang telah kami anggap
sebagai keluarga sendiri, mengayomi setiap keluhan dan
membantu setiap kebutuhan yang diinginkan, terkhusus
kepada Ust. Zainal dan Kak Nanda
16. Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu. Penulis menyampaikan terima kasih banyak.
Dan terkhusus kepada Abi dan Ummi tercinta, al-Marhūm
Hayyun bin KH. Umar As-Syahid dan Asiatul Lailiyah yang tanpa
lelah memberikan nasehat kepada penulis. Dengan do’a tulus
ikhlas mereka berdua, selalu membasahi mata hati penulis, yang
xiv

menanamkan sejuta harapan dan cita-cita untuk penulis raih. Tak


lupa kepada adikku Muhammad Hamim Harianto, selamat
berjuang dan bahagiakan kedua orang tua penulis ucapkan terima
kasih banyak kepada pihak-pihak di atas yang telah memberikan
dukungan, nasihat, arahan, dan bimbingan yang diberikan selama
pengerjaan skripsi ini. Hanya kepada-Nya, penulis memohon
semoga semua pihak yang telah membantu mendapat pahala yang
berlipat ganda dan dicatat amal ibadahnya di sisi-Nya.

Jakarta, 28 November 2021


Penulis,

Abdul Wahid
NIM 11170340000195
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................xi


DAFTAR ISI ................................................................................................. xv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR......................................................... xvii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................xix
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ....................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8
D. Kajian Pustaka ....................................................................................... 9
E. Metodologi Penelitian ......................................................................... 12
F. Sistematika Pembahasan ..................................................................... 16
BAB II DISKURSUS MAKNA ISTILAH MISKĪN DALAM
LITERATUR TAFSIR AL-QUR’AN ......................................................... 19
A. Tema Maskanah dan Derivasinya dalam al-Quran ........................... 19
B. Ragam Mutarādifat dan Maknanya dalam konsep Maskanah. ......... 22
C. Kontroversi Ulama Seputar Keutamaan Status Miskin. ................... 26
D. Tafsir Makna Istilah Miskīn dalam Literatur Tafsir secara umum .. 28
BAB III BIOGRAFI SYAIKH ABDUL QĀDIR AL-JAILĀNĪ ............... 31
A. Biografi Syaikh Abdul Qādir Al-Jailānī ............................................ 31
B. Guru-guru dan Murid-murinya ........................................................... 36
C. Karya-karya Syaikh Abdul Qādir Al-Jailānī ..................................... 39
D. Profil kitab Tafsir al-Jailānī karya Syaikh Abdul Qādir Al-Jailānī .. 40
E. Metode Penafsiran Syaikh Abdul Qādir Al-Jailānī ........................... 45
BAB IV PENAFSIRAN MAKNA LAFAZ MISKĪN DALAM AYAT-
AYAT AL-QUR’AN PERSPEKTIF TAFSIR AL-JAILĀNĪ .................... 53
A. Ayat-ayat al-Qur’an yang Mengandung Lafaz Miskīn ..................... 53
B. Kategorisasi Miskin dalam Tafsir al-Jailānī ..................................... 66

xv
xvi

BAB V PENUTUP........................................................................................ 77
A. Kesimpulan .......................................................................................... 77
B. Saran..................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 79
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel:
Tabel 2.1: Klasifikasi Ayat Miskin dengan Term sakana .................. 21
Tabel 2.2: Ayat Miskin dengan Berbagai Term Selain sakana .......... 23
Tabel 4.1: Lafaz Miskīn yang Ditafsirkan oleh al-Jailānī ................... 53
Tabel 4.2: Kategorisasi Miskin dalam Tafsir al-Jailānī ...................... 66
Gambar:
Gambar 3.1: Sumber Penafsiran ......................................................... 48
Gambar 3.2: Metode Penafsiran ......................................................... 49
Gambar 3.3: Penafsiran Tasawwuf..................................................... 51

xvii
xviii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan


bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

A. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada halaman berikut:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ - tidak dilambangkan

‫ب‬ b Be

‫ت‬ t Te
‫ث‬ ṡ es (dengan titik di atas)
‫ج‬ j Je
‫ح‬ ḥ h (dengan titik di bawah)
‫خ‬ Kh ka dan ha
‫د‬ d De
‫ذ‬ Ż zet (dengan titik di atas)
‫ر‬ r Er
‫ز‬ z zet
‫س‬ s Es
‫ش‬ Sy es dan ye
‫ص‬ ṣ es dengan titik di bawah
‫ض‬ ḍ de dengan titik di bawah
‫ط‬ ṭ te dengan titik di bawah

xix
xx

‫ظ‬ ẓ zet dengan titik di bawah


‫ع‬ ‘ apostrof terbalik
‫غ‬ G ge dan ha
‫ف‬ F Ef
‫ق‬ Q Qi
‫ك‬ K Ka
‫ل‬ L El
‫م‬ M Em
‫ن‬ N En
‫و‬ W We
‫ھ‬ H Ha
‫ء‬ ` apostrof
‫ي‬ Y Ye

Hamzah ( ‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi


tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan
tanda (’).

B. Tanda Vokal

Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau


monoftong dan vokal rangkap atau disebut diftong. Untuk vokal tunggal
sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ a fatḥah

َ i kasrah

َ u ḍammah
xxi

Adapun untuk vokal rangkap, sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫َي‬ ai a dan i

‫َو‬ au a dan u

Dalam bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad)
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ىا‬ a> a dengan garis di atas
‫ىي‬ i> i dengan garis di atas
‫ىو‬ u> u dengan garis di atas

C. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan “al-“, yang diikuti huruf
syamsiyah dan huruf qamariyah.

al-Qamariyah ‫املن ْير‬ al-Munīr


ْ
al- Syamsiyah ‫الرجال‬ al-Rijāl

D. Syaddah atau Tasydîd


Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan “ ّ“
ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu:
ْ
al-Qamariyah ‫الق َّوة‬ al-Quwwah
ْ
al- Syamsiyah ‫الضر ْورة‬ al-Ḍarūrah

E. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harkat fatḥah, k
xxii

asrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan ta


marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah
[h]. Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah,
maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara


1 ‫طرْيقة‬ Ṭarīqah
ْ ْ
2 ‫الجامعة اإل ْسالم َّية‬ al-Jāmi’ah al-Islāmiah
ْ
3 ‫و ْحدة الوج ْود‬ Waḥdah al-Wujūd

F. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini, juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abū Hāmīd al-Gazālī, al-Kindī.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang


berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak
Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
G. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Kata istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
xxiii

Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya


kata al-Qur’an (dari al-Qur’ān), Sunnah, khusus dan umum. Namun, bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh, Contoh: Fī ẓilāl al-Qur’ān al-
‘Ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab.
xxiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah


Di dalam al-Qur’an banyak menyebutkan lafaz terkait miskin ada
yang berbentuk maṣdar yaitu maskanah ada yang berbentuk ism fā‘il yaitu
miskīn dan juga berbentuk jama’ yaitu masākīn. Namun, di dalam al-
Qur’an tidak secara spesifik menjelaskan terkait makna miskin yang
mendalam baik itu secara etimologi maupun terminologi, di dalam al-
Qur’an hanya menyebutkan bahwa miskin adalah objek atau sasaran untuk
penyaluran sedekah, infak, kafarat, fidyah maupun wakaf, dengan begitu
penulis menyandingkan pemaknaan miskin dangan hadis-hadis yang
relevan serta tafsir untuk menompang penjelasan yang sempurna.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada rasul-Nya
yaitu Nabi Muhammad saw. yang menjadi mukjizat terbesar sekaligus
sebagai Hudān petunjuk. Selain petunjuk al-Qur’an juga menjadi Syifā’
obat bagi umat yang mengimaninya, menjadi penawar bagi segala
kesulitan dan juga kesusahan hidup, sehingga ayat-ayat yang ada di
dalamnya memberikan ketenangan kepada pembacanya dan memberikan
ketentraman di dalam jiwanya, selain itu Al-Qur’an juga menjadi Furqān
(pembeda) dari sesuatu yang sifatnya hak dan batil, menjadi żikr
(peringatan) bagi orang-orang yang mengimaninya dan Tuhannya. Siapa
saja yang menyelami kedalaman makna yang ada di dalam setiap lafaznya
maka dia aka ada dalam suatu cahaya yang akan menuntun kehidupannya
hingga sampai di akhirat kelak.1
Setiap masyarakat ataupun orang menginginkan hidup yang mapan,
dengan artian menjalani kehidupan dengan tenang, tentram, serta

1
Umar bin Abdullah al-Muqbil, Kaidah Al-Qur’an untuk Jiwa dan Kehidupan,
(Jakarta Timur: Pustaka Al-kautsar, 2015), vii.

1
2

berkecukupan sehingga dapat mencapai suatu kesejahteraan dalam hidup.


Meskipun terkadang keinginan itu tidak dapat dengan mudah untuk
dicapai serta tidak selamanya terpenuhi. Salah satu permasalahannya
adalah kemiskinan. Masalah inilah yang menjadikan sebagian orang tidak
tenang dalam menjalani kehidupan. Terkadang dengan adanya kemiskinan
ini sebuah rumah tangga harus hancur dikarenakan kebutuhan ekonomi
yang tidak terpenuhi, dimana kebutuhan ekonomi tersebut berisikan
sandang, pangan dan juga papan. 2
Kemiskinan adalah suatu fenomena yang ada di dalam masyarakat
dimana sifatnya adalah umum. Fenomena ini tidak memandang dari suku
mana seseorang berasal, atau dari agama apa yang dianutnya. Fenomena
kemiskinan ini dapat terjadi kepada orang muslim maupun orang kafir
(non muslim) baik itu yang beragama Hindu, Budha, Kristen, Konghucu
dan lain sebagainya. Selain dari berbagai agama fenomena miskin tersebut
juga terjadi kepada berbagai ras maupun suku. Tidak ada kekhususan yang
agama ras ataupun suku yang menjadikan seseorang miskin atau dilanda
kemiskinan. Miskin terjadi di dalam kehidupan seseorang dikarenakan
adanya interaksi beberapa aspek, yang paling utama adalah aspek dalam
sosial dan juga aspek dalam ekonomi. 3
Miskin adalah suatu kata yang sering disebut untuk menggambarkan
keadaan masyarakat atau seseorang yang tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan begitu kata miskin tersebut dapat
juga ditarik definisi secara umumnya adalah seseorang ataupun
masyarakat yang tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan

2
Syahrul Firdaus, “Konsep Miskin Menurut Al-Qur’an (Skripsi S1., Universitas
Islam Negri Alauddin Makassar, 2014), 1.
3
Fiqri Auliya Ilhamy, “Hadis Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah dakam Kitab
Ta’wīl Mukhtaliful Hadītṡ” (Skripsi Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014), 1.
3

hidupnya karena tidak bisa memenuhi kebutuhan sumber daya


kehidupannya, baik itu sifat kebutuhannya berupa sandang, pangan, dan
juga kesehatan. Miskin tersebut adalah nyata adanya dalam suatu
masyarakat, dimana bukan hanya menimpa kepada negara yang tertinggal
ataupun negara yang berkembang namun, ini juga terjadi bahkan kepada
negara yang maju.
Jika ditarik dengan kata kekurangan maka, kemiskinan akan
bercabang kepada dua makna yaitu miskin itu sendiri dan juga fakir.
Dengan definisi yang bermacam-macam terkait keduanya antara miskin
dan juga fakir. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), miskin
diartikan dengan tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat
rendah). Selama ini yang masih menjadi persoalan adalah dimana makan
fakir dan miskin sering tumpang tindih, terkadang miskin digolongkan
dengan fakir atau sebaliknya yaitu fakir digolongkan sebagai miskin.
Pengertian yang tumpang tindih ini akan berdampak kepada kesalahan
dalam penyaluran zakat.
Miskin adalah kata yang berasal dari sakana, yang merupakan lawan
kata dari pada kata atau sesuatu yang bergerak atau tidak diam. Dalam
kitab Mu’jam Maqāyis, Ibnu Faris menyebutkan bahwa kata sakana
berasal dari sin, kaf dan nun. Adalah asal yang satu yang berurutan. Lawan
kata dari bergerak, sehingga dikatakan sakana as-syay’u yang berarti
sesuatu yang tenang atau diam. Atau yaskunu sukûnan fahuwa sākin
artinya orang yang berdiam dengan tenang dialah orang yang tenang. Dari
sini dapat diartikan bahwa orang yang miskin orang yang ditenangkan
dengan kefakirannya, atau orang memiliki sesuatu yang tidak mencukupi
kebutuhannya. 4 Pengulangan lafaz “miskîn” di dalam al-Qur’an dengan
asal kata “sakana” adalah: ‫( مسكنة‬maskanah) diulang sebanyak 2 kali,

4
Ahmad Abū al-Husain, Maqāyis al-Lughah, (Kairo: Dār al-Fikr, 1979), 88.
4

‫( مسكين‬miskīn) diulang sebanyak 11 kali, dan ‫( مساكين‬masākīn) diulang


sebanyak 12 kali.5
Imam Abu Hanifah mendefinisikan miskin adalah sebagai orang
yang tidak memiliki sesuatu, sedangkan fakir adalah orang yang lebih baik
daripada orang miskin dimana orang fakir masih memiliki penghasilan
dalam kehidupannya. Akan tetapi berbeda dengan pendapat Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i mendefinisikan sebaliknya yaitu orang miskinlah
yang lebih baik keadaannya dibandingkan dengan orang fakir, dimana
orang miskin memiliki penghasilan dalam kehidupannya. Ahli ma’rifat
berbeda pendapat tentang definisi keduanya, ada yang berpendapat dengan
pendapat yang pertama namun, tidak sedikit pula yang berpendapat
dengan pendapat yang kedua.
Kata miskin yang tidak diharap oleh kebanyakan orang namun, Nabi
Muhammad saw. pernah berdo’a dengan mengharap untuk dijadikan
orang yang miskin, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang
berbunyi:

‫اللهم أحيين مسكينا و أمتين مسكينا واحشرين يف زمرة املساكني‬


Artinya: Ya Allah! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan
matikanlah aku dalam keadaan miskin, serta kumpulkanlah aku
(kelak pada hari kiamat) dengan kumpulan orang-orang miskin. 6
Dalam tafsirannya al-Qusyairī berpendapat terkait hadis ini bahwa
orang yang miskin adalah orang yang tidak akan rida kepada selain
Tuhannya, tidak kepada dunia berharap, tidak bersusah payah kecuali
untuk akhirat, dan terakhir hanya merasa cukup kepada Tuhannya. Al-
jailānī juga mencantumkan hadis Nabi yang berdo’a untuk dihindari dari
kefakiran:

5
Al-Bāqi, Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’an al-
Karīm, (Kairo: Dār al-Kutub al-Misriyah, 1364), 354.
6
Muhammad bin Yazid Al-Qazwinī, Sunan Ibn Mâjah, (Kairo: Dār Ihya’ al-
Kutub al-‘Arabiyah, 1918), 1381.
5

‫أعوذ بك من الفقر‬
Artinya: Aku berlindung kepadamu (Allah) dari kefakiran. 7

Dua hadis ini menunjukkan bahwa miskin lebih baik dari fakir
dimana al-Qusyairī berpendapat dalam tafsirannya bahwa orang miskin
lebih utama daripada orang fakir dikarenakan orang miskin masih
memiliki pendapatan dalam kehidupannya, dengan begitu dia dapat fokus
ibadah kepada Tuhannya dan tidak bingung mencari penghidupan di satu
hari tertentu.8
Kesimpangsiuran pemaknaan miskin menjadi permasalahan yang
sangat serius, dimana miskin di dalam al-Qur’an sendiri disebutkan bahwa
mereka adalah golongan atau orang-orang yang perlu dibantu dalam segi
perekonomiannya.
Al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab yang selalu relevan pada
setiap tempat dan juga masa “wa annahu al-kitāb al-wāhid allażī yaśluhu
likulli zamān wa makān”.9 Seperti yang difirmankan oleh Allah swt.
dalam surah al-Isrā’ ayat 9:
َْ َّ َ ُ ْ َ ََٰ َّ
‫ِإن هذا الق ْرآن َي ْه ِدي ِلل ِتي ِه َي أق َو ُم‬
Artinya: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk
kepada (jalan) yang lebih lurus”. (Qs. al-Isrā’/17: 9).
Untuk memahami ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an, maka
harus kembali kepada penjelasan Nabi dengan kembali kepada kitab-kitab
hadis yang ada, selain itu dengan melihat penjelasan para mufassir dalam
kitab-kitab tafsir yang ada dimana seperti yang disampaikan oleh al-

7
Ahmad bin Syu’aib An-Nasā’i, Sunan al-Nasā’i, (Riyadl: Dār al-Hadlarah li an-
Nasyr wa at-Tauzi’, 2015), 729.
8
Abdul Karīm Al-Qusyairī, Latāif al-Isyārāt, Juz 1, (Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 2007), 429.
9
Al-Muqbil Umar bin Abdullah, Qawā’id Qur’aniyyah 50 Qā’idah Qur’aniyyah
fī al-Nafs wa al-Hayāh, cet. 3, (Riyadl: al-Mulk Fahd al-Wathoniyyah Astna’a an-Nasyr,
2012), 307.
6

Zarkasyī bahwa tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab
Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. baik itu
dari segi makna maupun dalam segi pengluaran hukum-hukumnya. 10
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī yang memiliki nama lengkap Abdul
Qādir bin Abī Shālih bin Jankī Dusat al-Jailānī. Sedangkan nasabnya
adalah Abdul Qādir bin Abī Shālih bin Jankī Dusat bin Abdullāh bin
Yahyā bin Muhammad bin Dāud bin Musā bin Abdullah bin Musā bin
Abdullāh bin al-Hasan al-Muṣannā bin bin al-Hasan bin Alī bin Abī
Thālib al-Hasanī al-Jilī.11 Dilahirkan pada tahun 470 H. atau 1077 M. di
daerah Jil.12 Wafat pada tahun 561 H. atau 1166 M. yang tepatnya pada
malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H.
Banyak kitab-kitab atau karya yang dihasilkan olehnya.
Diantaranya adalah Sirr al-Asrār fī Mażāhir al-Anwār fî mā Yahtāju Ilaihi
al-Abrār, futūh al-Gayb, Tafsīr al-Jailānī, Jawāhir al-Fath al-Rabbānī, al-
Tiryāq al-Mujarrab, As-Salāh al-Kubrā, Warad al-Jalālah. Dan masih
banyak lagi kitab-kitab yang ditulisnya. Pada kitab Tafsīr al-Jailānī inilah
yang akan dibahas pada penelitian ini.
Tafsîr al-Jailānī adalah sebuah kitab yang tafsir yang dikarang
olehnya adalah sebuah kitab tafsir yang singkat dan ungkapan yang mudah
dipahami. Tafsir yang bercorak sufi inilah yang dijadikan rujukan oleh
para salik untuk menempuh jalan kesufian, penjelasan yang ringkas dan
padat inilah menjadikan tafsir ini diakui oleh banyak ulama dan juga para
sufi. Tafsīr al-Jailānī ini juga banyak digunakan oleh peneliti sebelumnya
untuk menemukan pemaknaan secara sufistik dalam al-Qur’an, dari

10
Khalīl Manna’Al-Qatthān, Mabāhits fī Ulūm Al-Qur’an, (Kairo: Wahbah,
1995), 316.
11
Abdul Qādir al-Jailāni, futūh al-Ghaib, (Riyadl: Dār al-Hadi, 2013), 9.
12
Shalāh ad-Dīn an-Nakdalī, Jawāhir al-Fath al-Rabbānī, (Jerman: al-Dār al-
Islamiyah li al-I’lam, 2011), 5.
7

penelitian sebelumnya tersebut, sangat sedikit bahkan tidak ada yang


menampilkan pemaknaan selain kepada kesufiannya, selain itu pemilihan
Tafsīr al-Jailānī sebagai sandaran penelitian ini, adalah penjelasan yang
dtampilkan oleh Tafsīr al-Jailānī lebih luas dari tafsir yang penulis
temukan sebelumnya.
Setelah menjelaskan beberapa penjelasan terkait penelitian ini,
maka penulis hendak melakukan penelitian dengan judul “Miskīn dalam
Al-Qur’an Perspektif Tafsīr al-Jailānī”

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka adapun
identifikasi masalah dari penelitian ini adalah dimana bahwa perbedaan
definisi terkait fakir dan miskin, sebagian mendefinisikan fakir sebagai
orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan kesehariannya atau orang
yang tak memiliki penghasilan dan miskin adalah orang yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan kesehariannya namun memiliki penghasilan.
Terkadang, ulama menyebutkan bahwa miskin lebih baik daripada miskin,
atau sebaliknya fakir lebih baik daripada miskin, tak sedikit juga yang
menyandingkan keduanya dengan penyebutan fakir miskin, padahal di
antara keduanya memiliki makna tersendiri dan berbeda-beda satu dengan
yang lainnya.13 Berangkat dari permasalahan yang ditampilkan di atas
maka, adapun identifikasi masalahnya adalah:
a. Bagaimana bentuk miskin ditampilkan dalam al-Qur’an?
b. Bagaimana penfasiran al-Jailānī terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang
berkaitan dengan miskin?
c. Bagaimana al-Jailānī mengidentifikasi pmaknaan miskin dalam

13
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Radja Garfindo Persada, 2002), 200.
8

tafsirnya
2. Batasan Masalah
Meningat identifiaksi maslah yang liuas dengan begitu untuk
menghindari pembahasan yang meluas juga serta menjadikan pembahasan
yang tidak mengarah kepada maksud dan tujuan penulisan skripsi, maka
penulis lebih menekankan dan menitik beratkan pembahasan atau
memberikan batasan masalah dengan memfokuskan kepada pemaknaan
miskin, dan juga penafsiran Syaikh Abdul Qādir dalam kitab “Tafsîr al-
Jailānī” terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan miskin.
3. Rumusan Masalah
Dengan pembatasan masalah yang ada di atas, maka rumusan
masalah dari pada skripsi ini adalah: Bagaimana al-Jailānī Memaknai
Lafaz “miskīn” dalam Tafsirnya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Untuk memahami penafsiran Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī terhadap
ayat-ayat yang berisikan tentang miskin dan fakir di dalam kitab
tafsirnya yaitu Tafsīr al-Jailānī.
b. Untuk mengetahui corak yang diberikan Syaikh Abdul Qādir al-
Jailānī dalam menafsirkan ayat tentang miskin dalam kitab Tafsīr al-
Jailānī.
Kemudian tujuan akademik dari penelitian ini adalah:
a. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama
(S.Ag.)
b. Sebagai penopang untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan tafsir, khususnya Tafsīr al-Jailānī.
2. Manfaat dari pada penelitian ini adalah:
9

a. Menambah pengetahuan dan juga wawasan yang baru terhadap


penafsiran yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī dalam
menafsirkan miskin dan fakir guna mengetahui makna mendalam
serta perbedaan di antara keduanya.
b. Memberikan inspirasi bagi pelajar dalam kajian Islam terutama
dalam kajian tafsir.
c. Dapat dijadikan referensi dan juga acuan bagi setiap akademisi di
dalam melakukan penelitian yang selanjutnya.
d. Menambah khasanah keilmuan dalam bidang Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir, khususnya dalam masalah miskin dan fakir.
D. Kajian Pustaka
Dari yang penulis ketahui, ada beberapa karya-karya ilmiah
terdahulu yang membahas tentang Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī dan
beberapa karya literatur yang membahas terkait makna miskîn:
1. Adapun yang pertama jurnal yang ditulis oleh Sofyan Hadi. Di
dalam Jurnal ini memaparkan terkait problematika dalam miskin dan
kaya, yang tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, namun juga
berdimensi pada politik, kultural bahkan agama. Di dalam jurnal ini
penulis tidak menemukan penafsiran ayat al-Qur’an. Dengan begitu
penulis hendak meneliti terkait makna miskin dalam perspektif
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī. (Sofyan, 2009). 14
2. Kedua, jurnal yang ditulis oleh Anwar Sitepu ini menjelaskan
tentang perbedaan antara keluarga yang tergolong fakir miskin dan
yang bukan fakir miskin. Di dalam jurnal ini tidak menyinggung

14
Sofyan Hadi, “Problema Miskin dan Kaya dalam Pandangan Islam” Jurnal Asy-
Syir’ah, vol. 43, no. 2, (Desember, 2009): 457.
10

ayat al-Qur’an sehingga penulis hendak meneliti tentang makna


miskīn dalam tafsir Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī (Anwar, 2014).15
3. Ketiga, adalah skripsi yang ditulis oleh Fiqri Auliya Ilhamy. Di
dalam skripsi ini lebih mengarah kepada mensyarahkan hadis
kemiskinan yang ada di dalam kitab karya Ibnu Qutaibah,
menjelaskan makna hadis yang disampaikan oleh Nabi SAW. terkait
makna miskin dalam sebuah hadis tersebut. Dengan begitu penulis
hendak melakukan penelitian makna miskīn dalam analisis Tafsīr al-
Jailānī (Fiqri, 2014).16
4. Keempat, skripsi yang ditulis oleh Syahrul Firdaus. Di dalam skripsi
ini menjelaskan makna miskin secara umum dan pentingnya
memperhatikan orang-orang miskin, serta menjelaskan tentang ayat-
ayat yang menjelaskan tentang ayat hak-hak orang miskin yang ada
di dalam al-Qur’an. Di dalam karya skripsi ini, sebagaimana penulis
pahami hanya menjelaskan makna miskin secara umum, sama sekali
tidak menyinggung atau memaparkan terkait miskin dalam
pemaknaan yang mendetail (Syahrul, 2014).17
5. Kelima, adalah jurnal yang ditulis oleh Rahman Ritongga, sebuah
jurnal yang berisikan tentang kelayakan orang yang bisa disebut
miskin, serta kelayakan orang yang menerima zakat dan tidak. Di
dalam jurnal ini tidak banyak menyinggung ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan miskin. Dengan alasan tersebut maka penulis

15
Anwar Sitepu, “Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan Studi
Pendahuluan Untuk Perumusan Kriteria Fakir Miskin” Jurnal Informasi, vol. 17, no. 1,
(Januari, 2012): 48.
16
Fiqri Auliya Ilhamy, “Hadits Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah dalam Kitab
Ta’wīl Mukhtaliful Hadis” (Skripsi S1., Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014), ix.
17
Syahrul Firdaus, “Konsep Miskin Menurut Al-Qur’an” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negri, Alauddin Makassar, 2014), ix.
11

hendak melakukan penelitian tentang makna miskin dalam


perspektif Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī (Rahman, 2014).18
6. Keenam, adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Dede Rodin. Di
dalam jurnal ini menjelaskan tentang yang lebih utama dalam
menerima zakat. Penjelasan makna fakir yang mendominasi dalam
penelitian ini menjadikan penjelasan miskin yang sedikit dan setelah
peniliti perhatikan, jurnal ini tidak banyak menyinggung dari segi
tafsir. Dengan alasan ini maka penulis hendak meneliti tentang
“makna miskin” dalam Tafsir Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī (Dede,
2015).19
7. Ketujuh, jurnal yang ditulis oleh Fauzi Arif Lubis. Di dalamnya
menjelaskan tentang term miskin yang ada di dalam al-Qur’an
seperti al-‘Āilah, al-Ba’sā’, Imlāq, dan lain sebagainya. Dari jurnal
ini yang penulis ketahui adalah tidak fokusnya penjelasan miskin
kepada lafaz ‫ مسكين‬miskīn itu sendiri. Maka dari itu penulis hendak
melakukan penelitian yang hanya tertuju kepada lafaz ‫ مسكين‬miskīn
(Fauzi, 2018).20
8. Kedelapan, skripsi yang berisikan tentang makna hayāh di dalam al-
Qur’an dalam penafsiran Syakih Abdul Qādir al-Jailānī. Di dalam
skripsi ini sama sekali tidak menyinggung atau menjelaskan tentang
lafaz miskin dalam tafsir Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī. Dengan
begitu maka penulis hendak melakukan penelitian terkait makna

18
Rahman Ritonga, “Memaknai Terminologi Fakir Dan Miskin Dalam Kontek
Amil Zakat Masa Kini” Jurnal al-Hurriyah, vol. 15 no. 2, (Juli-Desember, 2014): 92.
19
Dede Rodin, “Rekonstruksi konsep fakir dan miskin sebagai mustahik zakat”
Jurnal Ijtihad, vol. 15 no. 1, (Juni, 2015): 137.
20
Fauzi Arif Lubis, “Miskin Menurut Pandangan Al-Qur’an”, Jurnal Tansiq, vol.
1, no. 1, (Januari – Juni, 2018): 68.
12

miskin dalam perspektif Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī (Badriyatul,


2018).21
9. Kesembilan, jurnal yang ditulis oleh Kuntarno Noor Aflah. Di dalam
jurnal ini menjelaskan tentang makna umum fakir dan miskin, dan
juga berisikan tentang dampak zakat didalam pengetasan kemiskinan
yang ada di indonesia. Di dalam jurnal ini penulis tidak menemukan
terkait penafsiran ayat-ayat miskin (Kuntano, 2017).22
10. Kesepuluh, adalah skripsi yang ditulis oleh Riswan Sulaeman.
Skripsi ini menjelaskan tentang tafsiran al-Jailanī terhadap surga.
Tidak disinggung sedikitpun tentang miskin di dalamnya, hanya saja
pada penelitian ini menampilkan tafsiran isyārī yang dilakukan oleh
al-Jailānī dalam tafsirnya yang itu tidak didapati oleh penulis ketika
dalam tafsiran lafaz miskīn.
11. Terakhir, skripsi yang ditulis oleh Kiki Baihaqi. Di dalam skripsi ini
menjelaskan tentang beberapa ayat yang menunjukkan tentang sifat-
sifat orang miskin, dan hanya sekali menyebutkan ayat yang
berisikan lafaz ‫ مسكين‬miskīn yaitu tepatnya pada surah al-Hasyr ayat
7. Di dalam skripsi ini tidak memaparkan semua makna miskin yang
ada di dalam Al-Qur’an dan sama sekali tidak menyinggung makna
miskīn dalam tafsir Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī (Kiki, 2019).23
E. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian dilakukan untuk menghasilkan kemaksimalan
dalam melakukan penelitian tersebut. Metode idi sini merupakan cara

21
Badriyatul Azizah, “Al-Hayah Perspektif Tafsir al-Jailānī”, (Skripsi S1,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), ix.
22
Kuntano Noor Aflah, “Urgensi Penetapan Kriteria Fakir Miskin Bagi
Penyaluran Zakat di Indonesia”, Jurnal ZISWAF, Vol. 4, No. 1, (Juni 2017): 169.

23
Kiki Baihaqi, “Mental Miskin Menurut Al-Qur’an” (Skripsi S1., Institut Agama
Islam Negri Surakarta Jawa Tengah, 2019), ix.
13

kerja untuk mencapai objek yang diinginkan atau yang dimaksud sehingga
fokus kepada penelitian yang diinginkan, karena metodologi penelitian
tidak hanya berhubungan dengan pengetahuan, tetapi juga dengan ilmu
pengetahuan. 24 Dengan begitu, metodologi adalah aktivitas suatu
penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk mencapai
keobjektivitasannya dalam penelitian, sehingga mencapai hasil dan
kesimpulan yang diinginkan. Oleh karena itu, terkait metode tersebut, ada
poin-poin yang perlu disampaikan:
1. Jenis Penelitian
Adapun penelitian ini adalah penelitian pustaka atau biasa disebut
dengan library research yaitu penelitian yang menggunakan data-data
yang berbasis keperpustakaan seperti buku, kitab, jurnal, artikel dan
bacaan-bacaan yang lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian ini,
terutamanya kitab tafsir yang dikarang oleh Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī
yaitu Tafsīr al-Jailānī.
2. Metode Pengumpulan Data
Adapun cara ini yang digunakan untuk mengumpulkan data yang
diperlukan dalam penelitian melalui prosedur yang sistematika dan
standar. Data tersebut berkaitan dengan bahan penelitian yang akan
digunakan dalam penelitian. ini dilakukan dengan sistematik dan juga
sesuai standar yang ada. Data yang digunakan adalah harus sesuai dengan
pokok permasalahan yang ada dan juga harus relevan dengan penelitian
yang akan dilakukan. Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan agar
penelitian yang dilakukan dapat terjaga tingkat validitas dan
reabilitasnya.25

24
W. Gulo, metodologi Penelitian (Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia,
2002), 10.
25
Sandu Siyoto & M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta:
Literasi Media Publishing, 2015), 75.
14

Adapun data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah


dengan cara melihat naskah-naskah yang berkaitan dengan objek
penelitian ini. Ada dua jenis sumber naskah dokumentatif yang akan
diambil dalam penelitian ini, yaitu yang pertama adalah sumber data yang
bersifat sumber data primer, dan yang kedua adalah data yang bersifat
sumber data sekunder.
Pertama, sumber data primer, adapun data pokok atau data primer
dalam penelitian ini adalah kitab tafsir yang dikarang oleh Syaikh Abdul
Qādir al-Jailānī yaitu Tafsir al-Jailānī.
Kedua, sumber data sekunder, adapun sumber data yang menjadi
penopang dari sumber data utama dari pada penelitian ini adalah kitab-
kitab seperti Sirr al-Asrār fī Mażāhir al-Anwār fī mā Yahtāju Ilaihi al-
Abrār, Jawāhir al-Fath al-Rabbānī, futūh al-Gayb, buku-buku, jurnal,
naskah, artikel, dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian tersebut.
3. Analisis Data
Analisis yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti memecahkan
atau menghancurkan. Adapun analisis dari pada data merupakan proses
paling vital dalam sebuah penelitian. Ini berdasarkan argumentasi bahwa
dalam analisa inilah data yang diperoleh peneliti bisa dirubah menjadi
hasil yang sesuai dengan kaidah ilmiah.26
Penelitian ini bersifat library research dengan begitu untuk
mendapatkan data yang lengkap dan cukup sesuai dengan dengan masalah
yang akan dikaji, maka di sini penulis menggunakan metode dokumentasi
yaitu, “mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang sesuai dengan
topik penelitian baik berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, kitab,
transkip dan lain sebagainya”.27 Dalam penelitian ini penulis

26
Sandu Siyoto & M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, 109.
27
Sandu Siyoto & M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, 77-78.
15

mengumpulkan ataupun mencari berbagai informasi data yang berisikan


tentang topik pembahasan dalam penelitian baik itu dari kitab, buku,
skripsi, jurnal dan lain sebagainya. Selain itu, penulis juga menggunakan
internet guna memperoleh data yang terbaru yang sesuai dengan topik
penelitian ini.
Setidaknya terdapat ada beberapa klasifikasi terkait metode tafsir
diantaranya adalah metode tafsir ijmalī yaitu menafsirkan al-Qur’an
dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar, selanjutnya
metode tafsir tahlīlī alah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut, kemudian metode tafsir muqārin
penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu
masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara
ayat dengan hadis, dan terakhir adalah mauḍuī yang digunakan oleh
penulis dalam penelitian ini. Ini dilakukan untuk memfokuskan kepada
tema penelitian tersebut. Di sini, mauḍū’ī juga dapat berarti mencari
sesuatu data di dalam al-Qur’an dengan tema tertentu sehingga, mauḍū’ī
ini juga bisa disebut juga dengan tematik. 28 Dalam prakteknya adalah
dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang yang berkaitan dengan
penelitian dan kemudian menganalisanya dengan ilmu-ilmu bantu yang
relevan sehingga penelitian dapat membuahkan konsep yang utuh terkait
tema yang dimaksud.
Karena penelitian ini bersifat mauḍū’i maka, langkah-langkah yang
ditempuh adalah:

28
Fauzan, Imam Mustofa & Masruchin, “Metode Tafsir Mauḍu’i (Kajian Ayat
Ekologi)”, Jurnal al-Dzikra, vol. 13, no. 2, (Desember, 2019): 199.
16

1. Menetapkan masalah yang nantinya akan dibahas (tema).


2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Membuat susunan urutan ayat sesuai dengan masa turunnya
disertai pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl nya.
4. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
5. Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan.
6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan sehingga didapati
pemaknaan dari tema yang diinginkan atau yang dimaksud.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ini adalah berisikan mengenai apa saja
yang dibahas di dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pemahaman dan juga gambaran dalam setiap pembahasan
yang sistematis di dalam penelitian ini. Setidaknya ada lima bab yang akan
ditulis dalam penelitian ini, yang di setiap bab ada sub-sub bab tertentu.
Adapun sistematika penelitiannya adalah sebagai berikut:
Bab pertama berisikan tentang latar belakang, guna memberikan
deskripsi singkat terkait penelitian yang akan dilakukan, betapa penting
dan menariknya mengangkat tema penelitian yang akan dilakukan.
Kemudian rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini,
kemudian menguraikan terkait manfaat dan kegunaan penelitian ini
sehingga memberi dampak kepada pembacanya. Selanjutnya
menampilkan beberapa karya ilmiah terdahulu yang relevan serta
memberikan ringkasan penjelasan dari setiap karya ilmiah tersebut
sehingga mengetahui kekurangan dari penelitian terdahulu tersebut. Dan
kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan terkait metode penelitian baik
itu jenis dan sifat penelitian, metode pengumpulan dan analisis data. Dan
di akhir bab pertama ini berisikan tentang gambaran umum dari pada
penelitian ini. Setelah bab pertama tersesun dengan sempurna, selanjutnya
17

masuk ke bab dua untuk melihat pemetaan lafaz miskin serta diskursus
pemaknaannya dalam setiap bentuk lafaz, baik itu maṣdar, fa‘il maupun
jama’. Lebih spesifiknya adalah
Bab kedua akan membahas terkait gambaran umum tentang miskin
menurut ulama. Didalamnya terdiri dari beberapa sub bab: A) Tema
Maskanah dan Derevansinya dalam al-Qur’an, ini untuk mengungkap
sebanyak apa lafaz yang tekait miskin dalam al-Qur’an diulang, sub bab
ini kemudian dilanjutkan pada sub bab B) Ragam Mutarādifat dan
Maknanya dalam Konsep Maskanah, pada sub bab ini menampilkan
macam mutarādifat yang berkaitan dengan miskin, kemudian sub bab
selanjutnya memberikan C) Kontroversi Ulama Seputar Keutamaan Status
Miskin, setelah itu menampilkan D) Tafsir Makna Istilah Miskīn dalam
Literatur Miskin Secara Umum, setelah diketahui pemaknaan secara
mendalam terkait miskin ini maka dilanjutkanlah dengan bab selanjutnya
yang menjelaskan secara mendalam akan hal-hal yang berkaitan dengan
Syailh Abdul Qādir al-Jailānī lebih detailnya adalah
Bab ketiga menjelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī. Pada bab ini juga menjelaskan tentang
gambaran daripada tafsir al-Jailānī. Di antaranya adalah: A) Biografi
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī. B) Guru-guru dan Murid-muridnya. C)
Karya Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī. C) Profil Kitab Tafsir al-Jailānī
karya Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī. D) Metode Penafsiran Syaikh Abdul
Qādir al-Jailānī, kemudian setelah sempurna mengetahui latar belakang
dan juga hal-hal yang berkaitan dengan Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī dan
juga tafsirnya yaitu Tafsir al-Jailānī maka dilanjutkanlah kepada bab
empat yang berisikan yaitu
Bab keempat merupakan inti dari pembahasan ini, membahas
tentang penafsiran Syaikh Abdul Qodir al-Jailānī terhadap ayat-ayat yang
18

berisikan lafaz miskin. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab yang di
dalamnya membahas tentang penafsiran Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī
terhadap ayat-ayat yang terdapat lafaz miskin. A) Ayat-ayat al-Qur’an
yang Mengandung Lafaz Miskīn dalam al-Qur’an, B) Kategorisasi Miskin
dalam Tafsir al-Jailānī. Setelah ditemukan terkait makna miskin yang
diberikan al-Jailānī maka kemudian dilanjukan bab kelima yang berkaitan
dengan kesimpulan dari penelitian ini, secara spesifik adalah
Bab kelima, merupakan kesimpulan dari seluruh uraian yang telah
dikemukakan dan merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti
disertai dengan saran-saran yang dapat disumbangkan sebagai
rekomendasi untuk kajian lebih lanjut dari penelitian ini sekaligus
merupakan penutup rangkaian dari pembahasan skripsi ini.
BAB II
DISKURSUS MAKNA ISTILAH MISKĪN DALAM LITERATUR
TAFSIR AL-QUR’AN

A. Tema Maskanah dan Derivasinya dalam al-Quran

Kata miskīn ( ‫ )مسك ني‬di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 25

kali, terpapar dalam bentuk yang bermacam-macam. Ada yang berbentuk


tunggal ( ‫ )مسكني‬yang terulang sebanyak 11 kali, ada yang berbentuk

jama’ ( ‫ )مساك ني‬yang terulang sebanyak 12 kali, dan juga ada yang

berbentuk maṣdar (‫ )مسكنة‬yang terulang sebanyak 2 kali, semuanya

tersebar di dalam beberapa surah dan ayat, antara lain yang terdapat di

dalam surah QS. al-Baqarah (2) ayat: 83, 177, 184, 215. Itu adalah kata

miskin yang berasal dari ‫ سكن‬sakana. Sedangkan miskin dengan bentuk


lafaz yang berbeda namun memiliki makna yang sama adalah seperti al-

muqtir (‫ت‬
ُ ‫ )ال ُمق‬yang terulang sebanyak 1 kali, imlāq (‫ )اءمَلق‬terulang
sebanyak 2 kali, ‘aylah (‫ )عي لة‬yang disebutkan sebanyak satu kali, al-

ba’sā’ (ُ‫ )الباءساء‬dan terakhir ‘āil ( ‫ )عاءل‬yang juga disebutkan sekali dalam

al-Qur’an. Wahbah al-Zuhailī dalam kitabnya “al-Mausū‘ah al-

Qur’āniyyah al-Muyassarah” menafsirkan orang miskin adalah orang


yang tidak dapat mencukupi apa yang menjadi kebutuhannya. 1

Kata al-maskanah (‫)املسكنة‬, dilihat dari segi bentuknya maka lafaz

tersebut termasuk al- ṣifah al-musyabbahah (‫املشبهة‬ ‫ )الصفة‬yaitu kata yang


menunjukkan keadaan dan tidak terikat dengan waktu, dan menunjukkan

1
Wahbah az-Zuhailī, Al-mausū‘ah al-Qur’aniyah al-Muyassarah (Beirut: Dār al-
Fikr al-Mu’ashirah, 2002), 28.

19
20

pada orang yang tidak mempunyai harta benda. Kata al-maskanah (‫)املسكنة‬

ini dibentuk dari fi‘l māḍi ( ‫ماضي‬ ‫ )فعل‬atau kata kerja yang memiliki waktu
lampau “sakana” yang berarti diamnya sesuatu sesudah bergerak, dan

biasanya digunakan sebagai kata menetap yang berarti bertempat tinggal

seperti contoh: ‫ سكن فَلن مكان كذا‬artinya: Fulan tinggal di tempat seperti
ini.2 Bentuk maṣdarnya adalah maskanah (‫ )املسكنة‬adapun lafaz “mim”

pada kata tersebut adalah tambahan “zāidah” menurut qaul al-aṣah.

Pemakaian kosa kata miskin dalam konsep maskanah ini, al-Qur’an


lebih banyak menggunakan kata sifat atau orang yang menyandang sifat
itu dibanding menggunakan maṣdar atau kata benda yang menunjukkan
perihal miskin. al-Qur’an banyak menyoroti kemiskinan dari berbagai
persoalan. Pengertian kata miskin dari segi leksikal sebagaimana
dikemukakan di atas mengacu pada dimensi ekonomi atau kemiskinan
materi.

Di dalam kitab “al-Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Qur’an al-

Karīm” yang ditulis oleh Fuad Abdul Bāqī menyebutkan Di dalam al-

Qur’an kata miskin dan kata lain yang seasal dengan itu, yang berasal dari

lafadz fi’l māḍi sakana (‫ )سكن‬yang mana untuk makna kemiskinan

disebutkan sebanyak 23 kali. 3


Di dalam al-Qur’an penyebutan miskin yang seringkali muncul

adalah dengan menggunakan lafaz mufrad (tunggal) yaitu miskīn ( ‫)مسكني‬

atau dengan bentuk jama’nya yaitu masākīn (‫ )مساكني‬yang keduanya

2
Al-Rāgib al-Iṣfahanī, Mufrodat Alfādz al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Syamiyah,
2009), 417.
3
Muhammad Fuad Abdul Bāqī, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfāż al-Qur’an (Kairo.
Dār al-Kutub al-Mishriyah, 1945), 353.
21

menunjukkan kepada penyandang kemiskinan dan dianjurkan untuk

menyantuninya.
Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang miskin dengan
menggunakan term sakana di dalam al-qur’an:
Tabel 2.1 Klasifikasi Ayat miskin dengan Term sakana
No Surah Ayat Status

1 Al-Baqarah (2) 83, 177, 184, 215 Madaniyah

2 An-Nisā’ (4) 8, 36 Madaniyah

3 Al-Māidah (5) 89, 95 Madaniyah

4 Al-Anfāl (8) 41 Madaniyah

5 At-Taubah (9) 60 Madaniyah

6 Al-Isrā’ (17) 26 Madaniyah

7 Al-Kahf (18) 79 Madaniyah

8 An-Nūr (24) 22 Madaniyah

9 Ar-Rūm (30) 8 Makkiyah

10 Al-Mujādilah (58) 4 Madaniyah

11 Al-Hasyr (59) 7 Madaniyah

12 Al-Qalam (68) 24 Makkiyah

13 Al-Hāqqah (69) 34 Makkiyah

14 Al-Muddaṡṡir (74) 44 Makkiyah


22

15 Al-Insān (76) 8 Madaniyah

16 Al-Fajr (89) 18 Makkiyah

17 Al-Balad (90) 16 Makkiyah

18 Al-Mā‘ūn (107) 3 Makkiyah

B. Ragam Mutarādifat dan Maknanya dalam konsep Maskanah.


Mutarādifat adalah setiap kata dengan makna yang satu dan
memiliki beberapa nama, dan mutarādifat ini merupakan antonim dari
kata musytarak, begitu yang dituturkan oleh Abu Bakar al-Jurjani dalam
kitabnya “Kitab al-Ta’rifāt”. Sedangkan al-Suyūṭī dalam kitabnya al-
Muẓhir fī ‘Ilm al-Luggah mendefinisikan mutarādifat sebagai dua kata
yang memiliki arti serupa atau berdekatan. Sementara al-‘Arabī memiliki
definisi yang hampir berbeda. Menurutnya, mutarādifat adalah dua kata
berbeda yang biasanya digunakan orang Arab untuk menyebutkan satu
nama atau benda yang sama dengan penggunaan yang berbeda.

Dari beberapa istilah atau definisi yang diberikan maka dapat


disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mutarādifat adalah satu makna
yang menggunakan kata berbeda-beda. Misalnya seperti ‫ قعد‬dengan ‫جلس‬
yang memiliki arti duduk atau ‫بشر‬ dan ‫انسان‬ dimana keduanya juga
memiliki makna yang sama yaitu manusia, hulmun dan ra’ā fī al-manām
yang berartikan sebagai mimpi.
Di dalam konsep ‫ مسكنة‬ini terdapat beberapa kata yang disebutkan
oleh para ulama’ memiliki makna yang satu, namun ada juga yang
membedakan pemaknaan secara mendasarnya pada setiap mufrodat atau
kata-kata tersebut. Setidaknya terdapat lima mufrodat (kata) di dalam al-
23

Qur’an yang relatif memiliki kedekatan makna dengan miskin itu sendiri.
Adapan kata-kata tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 2.2 Klasifikasi Ayat Miskin dengan Berbagai Term Selain sakana
No Surah Ayat ke Kata Terjemah
1 Al-Baqarah 268 ‫الفقر‬ Kemiskinan

2 Ali Imrān 181 ‫فقري‬ Miskin

3 An-Nisā’ 6, 135 ‫فقريا‬ Fakir/miskin

4 Al-Baqarah 236 ‫املقت‬ Orang miskin

5 Al-An'ām 151 ‫إمَلق‬ Kemiskinan

6 At-Taubah 28 ‫عيلة‬ Menjadi miskin

7 Al-Isrā’ 31 ‫إمَلق‬ Kelaparan/kemiskinan

8 Ad- Ḍuhā 8 ‫عائَل‬ Miskin/kekurangan

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa miskin memiliki makna


yang relatif sama. Selain penyebutannya menggunakan lafaz miskīn
(‫ )مسكني‬di dalam al-Qur’an, maka al-Qur’an juga menyebutnya dengan
kalimat atau kata yang berbeda yang maknanya hampir atau bahkan sama.
Seperti yang pertama kata faqr secara makna sendiri faqr ini memiliki
makna atau arti yang berdekatan dengan miskin. Di dalam keduanya yaitu
miskīn dengan faqr ulama banyak berbeda pendapat dan perbedaan itu
berkaitan dengan kadar kebutuhan keduanya. Ada yang berpendapat
bahwa miskin lebih sejahtera keadaannya dari pada faqr namun ada juga
yang berpendapat dengan sebaliknya yaitu faqr lebih baik keadaannya dari
pada miskin.
Kemudian setelah faqr kata yang memiliki arti yang hampir sama
dengan miskin adalah imlāq. Jika diartikan secara sederhananya maka
imlāq ini berartikan takut miskin. Namun secara mendalam berartikan
bahwa imlāq adalah keborosan dalam menggunakan harta sehingga
24

mendatangkan sebuah kebutuhan. Jika dikaitkan dengan term maskanah


maka ini adalah kondisi yang dapat menjerumuskan orang kepada
kemiskinan.
Selanjutnya ada lafaz al-ba’sā’ yang merupakan bentuk jama’ dari
pada lafadz al-bu’ūs sedangkan dalam kitab Mu’jam Maqāyis al-Luggah
yang dikarang oleh Ahmad bin Fāris menyebutkan bahwa al-bu’ūs itu
sendiri berasal dari huruf ba’, hamzah serta sin atau dari ba’asa yang
diartikan dengan kesulitan. Kemudian makna dari bu’us itu sendiri adalah
kesulitan di dalam kehidupan. 4 Dalam kitab Mufradat Alfāẓ Qur’an, al-
Asfahani menyebutkan bahwa kata-kata yang berakaran dari lafaz ba’asa
seperti al-ba’sā’, al-bā’is, al-bu’ūs beratkan kesulitan serta sesuatu yang
dibenci, namun dalam penggunaannya al-bu’ūs banyak digunakan untuk
kefakiran dan peperangan kemudian al-ba’sā’ digunakan saat kekalahan 5
sehingga, dapat disimpulkan bahwa al-ba’sā’ itu sendiri adalah
kemiskinan yang diakibatkan oleh kekalahan perang dan juga kesulitan.

Selanjutnya adalah al-sā’il ( ‫ )السائل‬yang merupakan bentuk isim fāil


dari lafaz sa’ala (‫ )سءل‬yang diartikan sebagai meminta, mencari,
menghendaki serta yang terakhir yaitu meminta. Sedangkan al-Iṣfahanī
menjelaskan bahwa sa’ala adalah keinginan seseorang untuk mengetahui
tentang harta atau hal-hal yang berkaitan dengan harta tersebut. 6 Dari
pengertian tersebut maka dapat didefinisikan bahwa sā’il adalah orang
yang menginginkan atau menghendaki pengetahuan tentang harta dan
meminta yang berwujud materi baik itu berupa uang ataupun sesuatu yang
berupa harta lainnya. Definisi singkatnya adalah orang yang meminta
sesuatu baik itu berupa materi maupun immateri.

4
Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, Mu'jam Maqāyis al-Lughah, Juz I (Beirut: Dār al-
Fikr, 1970), 328.
5
Al-Rāgib al-Iṣfahanī, Mufradat Alfāż al-Qur'an, 153.
6
Al-Rāgib al-Ishfahanī, Mufradat Alfāż al-Qur'an, 437.
25

Setelah as-sā’il kemudian berikutnya adalah al-ḍa‘īf ( ‫)الضعيف‬


adalah kata sifat atau ism ṣifah musyabbahat yang berasal dari fi‘l māḍi ḍa
‘a fa yaitu tersusun dari huruf ḍa, ain, serta fa, yang berartikan lawan dari
kuat sehingga dapat dimaknai sebagai lemah. 7 Lemah tersebut bisa
berartikan lemah fisik seperti lemah badan mauupun nonfisik seperti
lemah jiwa dan keadaan. Dengan pengertian tersebut maka al-ḍa’īf
(‫ )الضعيف‬dapat didefinisikan sebagai orang lemah yang disebabkan oleh
fisiknya atau badannya atau disebabkan oleh keadaannya yaitu situasi
dalam kehidupannya. Lemah dalam keadaan atau tidak banyak harta
adalah tidak berbeda dengan miskin.
Berikutnya adalah ‘aylah ( ‫ )عيلة‬yang merupakan bentuk maṣdar dari
fi‘l māḍi ‫ عال‬yang mana akar katanya terdiri dari huruf ain, ya’ serta lam
yang diartikan sebagai membutuhkan dan mengalami kemiskinan.
Sedangkan al-Aṣfahānī menyebutkan bahwa ‘aylah (‫ )عيلة‬adalah
mengalami kekurangan baik itu kemiskinan ataupun kefakiran. 8
Selanjutnya al-qāni‘ ( ‫ )القانع‬adalah bentuk isim fā‘il yang ber-fi‘l
māḍi-kan qana‘a yaitu tersusun dari huruf qaf, nun serta ‘ain yang dimana
menurut Ahmad bin Fāris dalam kitabnya Mu’jam Maqāyis al-Luggah
menyebutkan bahwa qana‘a9 sama artinya dengan sa’ala dengan begitu
maka al-qāni‘ (‫ )القانع‬juga sama artinya dengan al-sā’il ( ‫ )السائل‬yang
berarti orang yang meminta. Al-Iṣfahānī berpendapat bahwa adalah
peminta yang mengharap rida yaitu dengan menerima apa yang diberi
tanpa memaksa. 10 Dengan begitu makna ini tidak jauh berbeda dengan
miskin ataupun orang miskin.

7
Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, Mu'jam Maqāyis al-Lughah, Juz III (Beirut: Dār
al-Fikr, 1970), 362.
8
Al-Rāgib al-Iṣfahanī, Mufradat Alfāzh al-Qur'an, 598.
9
Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, Mu'jam Maqāyis al-Lughah, juz v, 32.
10
Al-Rāgib al-Iṣfahanī Mufradat Alfāzh al-Qur'an, 685.
26

Kemudian al-mahrūm (‫ )احملروم‬adalah bentuk isim maf’ūl dari fi’il


māḍi haroma yang terdiri dari huruf ha, ra serta mim yang berartikan
mengukuhkan atau mencegah. 11 Dapat ditarik definisinya bahwa al-
mahrūm (‫ )احملروم‬adalah orang yang terlarang, dicegah sehingga sulit
mencari harta jika dikaitkan dengan harta dimana makna ini tidak jauh
dengan miskin.
Terakhir adalah al-mu‘tar di mana lafaz tersebut adalah isim maf‘ūl
dari fi‘il māḍi i‘tarra yang merupakan fi‘l ṣulaṣi mazīd bi harfaynī yaitu
dengan wazan ifta‘ala dan akar kata dari lafaz ‘arra yaitu tersusun dari
huruf ain dan ra syaddah mempunyai arti dasar sesuatu yang tidak baik,
suram, dan ketinggian. Di dalam al-Qur’an ini diartikan sebagai orang
yang datang guna meminta-minta.12
Itulah beberapa mutarādifat terkait maskanah di dalam al-Qur’an
sendiri, dimana satu dengan yang lainnya memiliki makna yang
berdekatan dengan miskin itu sendiri.

C. Kontroversi Ulama Seputar Keutamaan Status Miskin.

‫حدَّث نا قُت ي بةُ ب ُن سعي ُد حدَّث نا ال ُمغي رةُ ي عين أِب الزَند عن اْلعرج عن أِب ُهري رة رضي‬
ُ ‫ني ِبذا الطََّّو‬
‫اف‬ ُ ‫اَّللُ عليه وسلَّم قال ليس المسك‬ َّ ‫اَّلل صَّلى‬ َّ ‫اَّللُ عنهُ أ َّن ر ُسول‬
َّ
ُ ُ‫الَّذي يط‬
ُ ‫وف على النَّاس ت ُرُّدهُ اللُّق مةُ واللُّقمتان والتَّمرةُ والتَّمرَتن قالُوا فما المسك‬
‫ني‬
‫اَّلل قال الَّذي َل َي ُد غ ىًن يُغنيه وَل يُفط ُن لهُ ف يُ تص َّد ُق عليه وَل يسأ ُل‬ َّ ‫َي ر ُسول‬
13.‫النَّاس شي أى‬

Artinya: Qutaibah bin Sāid telah menceritakan kepada kami, al-


Mugīrah yaitu Abū Ziyād telah menceritakan kepada kami dari al-
A‘raj dari Abu Hurairah r.a. bahwa sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda: “Bukanlah orang miskin bagi mereka yang berkeliling

11
Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, Mu'jam Maqāyis al-Lughah, Juz III, 45.
12
Al-Rāgib al-Iṣfahanī, Mufradat Alfāż al-Qur'an, 556.
13
Abū al-Husain Muslim bin al-Hajjāj, Shahīh Muslim, Juz 5 (Beirut: Dār al-Kitab
Ilmiyyah, 1412), 24.
27

untuk meminta-minta kepada orang banyak, lalu kemudian ia diberi


satu atau dua suapan, dan satu atau dua kurma”. Kemudian para
sahabat bertanya “kalau begitu seperti apakah orang miskin itu
wahai rasulullah”. Kemudian Nabi menjawab “orang miskin
sesungguhnya adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk
memenuhi kehidupannya, namun keadaannya itu tidak diketahui
orang agar orang tersebut bersedekah kepadanya, dan tidak pula
meminta-minta sesuatu kepada orang lain.
Berangkat dari hadis yang disampaikan oleh Nabi SAW. tersebut
maka selanjutnya banyak kalangan ulama’ yang menyampaikan pendapat,
yaitu terkait orang-orang miskin. Seperti penjelasan dalam kitab Fath al-
Bārī Syarh Shahīh al-Bukhārī yang dikarang oleh Ibnu Hajar
menyebutkan bahwasanya keadaan miskīn ini lebih baik dari pada fakir.
Orang miskin masih mempunyai sesuatu namun tidak mencukupi
kebutuhannya, akan tetapi orang fakir tidak mempunyai apa-apa. Ibnu
Qāsim dan beberapa murid Imam Malik menyebutkan bahwa orang fakir
adalah mereka yang meminta-minta sedangkan orang miskin tidak. Ibnu
Baṭṭal bahkan berpendapat bahwa secara zahir miskin adalah orang-orang
yang memiliki rasa ‘iffah dan tidak memaksa di dalam meminta-minta.
Arti miskin (maskanah) adalah kalimat yang diambil dari ism
maṣdar sakana. Di dalam kata-kata arab tamaskana rajūl apabila
seseorang lembut, rendah hati, tunduk serta khusyū’. Miskin juga dapat
diartikan sebagai menahan diri, jadi orang yang keadaannya miskin
senantiasa menjaga dirinya dari meminta-minta, Sehingga di dalam hadis

َّ
‫ واح ُشرين يف ُزمرة المساكني‬،‫ وأمتين مسك ىينا‬،‫الل ُه َّم أحيين مسك ىينا‬
Imam Baihaqi menyebutkan bahwa yang diharapkan atau yang
diminta adalah miskin yang berarti tunduk dan merendahkan diri sehingga
khusyū’ dan tawāḍu‘. Begitu juga yang disebutkan oleh Hujjatul Islam
Imam Gazālī dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
28

Al-Qusyairi menyebutkan dalam kitabnya Tafsīr al-Qusyairī al-


Musammā Lathā’if al-Isyārāh

,‫ َل اءىل الدنيا يلتفت وَل اءيل أخرة يشتغيل‬,‫و املسكني من َل يرضى بغري موَله‬
‫وَل بغري موَله يكتفي‬
Artinya: Miskin adalah dimana seseorang tidak mencari keridaan
kecuali kepada Tuhannya, tidak melirik kepada kehidupan dunia,
tidak pula sibuk dengan akhirat, dan orang miskin hanya merasa
cukup kepada Tuhannya.
Di halaman yang sama, al-Qusyairī menyebutkan bahwa keutamaan
orang miskin adalah dimana orang miskin tersebut mempunyai
penghasilan dan dengan penghasilan tersebut ia dapat fokus ketika
beribadah, karena jika ia tidak memiliki penghasilan maka dia akan
disibukkan untuk mencari kebutuhannya, dimana itu mengganggu
peribadatannya. 14
Kalangan mazhab Syafi’ī dan juga mazhab Hanbalī berpendapat
bahwa yang fakir yang lebih pasrah keadaannya dibandingkan dengan
miskin yaitu dimana fāqir adalah mereka yang tidak mempunyai
penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti
sandang, pangan, tempat tinggal serta beberapa kebutuhan pokok lainnya.
Akan tetapi menurut pendapat kalangan Malikiyah dan juga dalam
mazhab Hanafiyah adalah sebaliknya yaitu faqīr lebih baik keadaannya
dari pada miskīn.
D. Tafsir Makna Istilah Miskīn dalam Literatur Tafsir secara
umum
Adapun makna istilah miskin dalam literatur tafsir, banyak ulama’
yang menjelaskan terkait maknanya. Dalam penjelasan ini tidak semua
tafsir dipaparkan, hanya beberapa tafsir yang digunakan untuk

14
Abū al-Qāsim Abdul Karīm, Lathā’if al-Isyārāt, Juz I (Beirut: Dār al-Kutub,
2001), 429.
29

memberikan penjelasan terkait makna istilah miskin dalam literatur tafsir


secara umum.
1. Ibnu Kaṣīr dalam kitab tafsirnya yaitu Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm
memaparkan banyak pendapat ulama terkait dengan pengertian
miskin tersebut. Di surah at-Taubah misalnya di ayat yang ke-60 ia
mencantumkan beberapa pendapat ulama serta riwayat para sahabat
terkait dengan miskin diantaranya adalah bahwa adalah orang yang
meminta dan berkeliling dan mengikuti manusia, sedangkan
Qatādah menyebutkan bahwa al-Miskin adalah orang yang sehat
jasmaninya dan faqir adalah orang yang sakit bertahun-tahun. Di
dalam ayat tersebut Ibnu Kaṣīr juga menampilkan hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Abū Hurairah yang berartikan berikut:
Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling di antara manusia,
kalian memberikannya satu dua suap, satu dua kurma. Para sahabat
berkata, siapakah orang miskin itu ya rasulullah? Rasulullah
menjawab, Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki orang
kaya yang mencukupinya, ia tidak diperhatikan dan diberikan
sedekah, tetapi ia tidak meminta-minta kepada manusia.” (H.R. Al-
Bukhāri dan Al-Muslim).“ 15
2. Kemudian Zamakhsyarī dalam kitab tafsirnya yaitu Al-Kasysyāf ‘An
Haqāiq al-Tanzīl Wa ‘Uyūn al-Aqāwīl Fī Wujūh al-Ta’wīl
menafsirkan di ayat yang sama yaitu ayat ke-60 dari surah at-Taubah
dengan tafsiran bahwa al-masākīn adalah orang-orang yang selalu
lembut kepada manusia dikarenakan ia tidak memiliki suatu apapun.
Sebagaimana al-muskir yaitu orang yang selalu mabuk.16

15
Ibnu Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm, (Riyadh: Dār Kunuz Eshbelia, 2009),
Cet. ke-VIII, Jilid I, 887.
16
Al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf ‘An Haqāiq al-Tanzīl Wa ‘Uyūn al-Aqāwīl Fī
Wujūh al-Ta’wīl, Juz I, cet. I (Kairo: al-Quds: 2018), 194.
30

3. Kemudian al-Khātib al-Syarbinī dalam kitabnya tafsir al-Sirāj al-


Munīr menafsirkan ayat yang sama tepatnya pada lafaz masākīn al-
Jailānī menjelaskan bahwa itu adalah bentuk jama‘ dari mufrod atau
tunggalnya yaitu miskīn yang berartikan orang yang tidak mampu
mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Seperti contoh “dia
membutuhkan dua puluh dirham namun yang didapatnya hanya
delapan belas dirham”. al-Jailānī juga menyebutkan bahwa miskīn
terambil dari kata sukūn yang berarti diam sehingga tafsirannya
menurut al-Jailānī adalah kondisi orang yang miskin membuatnya
diam. Al-Jailānī juga berpendapat bahwa miskīn lebih baik
keadaannya dari pada faqīr.17
4. Dalam ad-Dūr al-Manūṣr fī at-Tafsīr al-Ma’ṣūr Imam Jalāluddin as-
Suyūṭi menafsirkan miskin dengan mengambil riwayat dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa miskin adalah orang-orang yang
berkeliling guna meminta-minta. Kemudian al-Jailānī juga
menyampaikan riwayat dari Qatadah bahwa miskin adalah orang
yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya namun memiliki fisik
yang sehat, tidak sakit bertahun-tahun.18
Dari beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa miskin
adalah orang yang diam (sukūn) tidak mampu bergerak atau berusaha
dikarenakan kondisi kekurangan yang menimpanya. Di dalam
penafsirannya ulama berbeda pendapat terkait perbedaan fakir dan miskin.
Ada yang menyebutkan miskin lebih baik kondisinya dari pada fakir, ada
yang bahkan mendefinisikan sebaliknya.

17
Syamsuddīn Muhammad bin Muhammad As-Syarbinī, Al-Sirāj al-Munīr, cet. I
(Kairo: Al-Quds, 2018), 316.
18
Jalāluddīn al-Suyuthī, al-Dūr al-Mantsūr fī al-Tafsīr al-Ma`tsūr, Juz 4 (Beirut:
Dār al-Fikr, 2011), 221.
BAB III
BIOGRAFI SYAIKH ABDUL QĀDIR AL-JAILĀNĪ

A. Biografi Syaikh Abdul Qādir Al-Jailānī


Syaikh Abdul Qādir dengan nama lengkap Ibn Abī Shālih Mūsā
Jankī Dausat Ibn Abdullāh Ibn Yahyā Az-Zāhid Ibn Muhammad Ibn Dāud
Ibn Mūsā Ibn Abdullah Ibn Mūsā al-Jun Ibn Abdullāh al-Mahd Ibn al-
Hasan al-Muṡannā Ibn al-Hasan Ibn Alī Ibn Abū Ṭālib.1 Sedangkan dalam
kitab yang dikarang oleh al-Ẓahabī yaitu dalam kitab Sirr A‘lām al-
Nubalā’ menyebutkan Abdul Qādir Ibn Abi Shālih Abdullah Ibn Jankī
Dusat al-Jīlī al-Hambalī, yaitu dengan menisbatkan “al-Jīlī dan al-
Hambalī”.2 Ibnu Nāshir ad-Dimasyqī dalam Tauḍīh al-Musytabih
menambah penyandingan nisbat dengan al-Hasanī dan al-Jīlī.
Syaikh Abdul Qādir lahir di daerah Jailan, ada yang menyebutnya
Jilan, Gilan, atau Kilan pada pertengahan Ramadhan 470 H/1077 M. Jilan
ini terletak di sebelah utara Iran yaitu selatan laut Kaspia. 3 Sebagian
ulama’ menyebutnya di belakang Tabaristan Dan di tempat inilah
pengaruh mazhab Hambali sangat kuat. 4 Ada dua riwayat sehubungan
dengan tanggal kelahiran Syaikh Abdul Qādir al-Jilāni. Riwayat pertama
yaitu bahwa ia lahir pada Senin, 28 Maret 1077 M /1 Ramadhan 470 H.
Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada Selasa, 29 Maret 1077 M /2
Ramadhan 470 H. 5

1
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, Juz I (Quwait: al-Maktabah al-
Ma’rufiyah, 2010), 5.
2
Abdul Qādir al-Jailānī, Abdul Qādir al-Jailānī, futūh al-Gayb, (Riyadl: Dār al-
Hadi, 2013), 9.
3
Abdul Qādir al-Jailānī, Fath al-Rabbanī, (Jerman: adl- Dār al-Islamiyah li al-
I’lam, 2011), 5.
4
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, Juz I, 5.
5
Mahbub Junaidi, “Pemikiran Kalam Syekh Abdul Qādir al-Jailānī” Jurnal Studi
Keagamaan, Pendidikan, dan Humaniora” Vol. 5 No. 2, (Oktober, 2018): 163.

31
32

Kemudian nasab dari pada ayah Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī


adalah Ibn Abi Shālih Mūsā Jankī Dausat Ibn Abdullāh Ibn Yahyā Az-
Zāhid Ibn Muhammad Ibn Dāud Ibn Mūsā Ibn Abdullāh Ibn Mūsā al-Jun
Ibn Abdullāh al-Mahḍ yang dinisbatkan kepada al-Muhalla Ibn al-Hasan
al-Muṣannā Ibn al-Hasan Ibn Āli Ibn Abū Ṭālib, suami Fatimah binti
Rasulullah saw.
Sedangkan jika ditarik dari nasab ibu Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī
adalah wanita yang dikenal baik dan jujur yaitu Ummul Khoir Amatil
Jabbār Fātimah r.a. binti Abū Abdullāh Al-Saumā’ī Az-Zāhid bin Sayyid
Abū Jamaluddīn Muhammad bin Sayyid Mahmud bin Sayyid Abū Al-
'Athā’ Abdillāh bin Sayyid Kamāluddin Īsā bin Sayyid imam Alā'uddīn
Muhammad Al-Jawwād r.a. bin Sayyid Imam Ālī Ar-Ridhā bin Sayyid
Imam Mūsā Al-Kāzhim r.a. bin Sayyid Imam Ja'far Al-Shādiq bin Sayyid
Imam Muhammad Al-Bāqir r.a. bin Sayyid Imam Āli Zainal 'Ābidīn r.a.
bin Sayyid Imam Al-Humam, Sayyid Al-Syuhadā’, Abū ‘Abdillāh Al-
Husain r.a. bin Ālī bin Ābī Thālib, Suami Fatimah Az-Zahra binti
Rasulullah SAW.
Syaikh al-Islām muhyī al-dīn Abdul Qādir al-Jailanī adalah seorang
yang berbadan kurus, perawakan yang bagus, memiliki dada yang
membidang, jenggot tebal kekuning-kuningan, alis yang menyambung,
memiliki suara yang lantang, badan yang tinggi, dan ilmu yang luas.
Syaikh Abdul Qādir adalah seorang sufi yang memiliki banyak gelar dan
julukan, banyak buku sejarah dan biografi yang hampir semuanya sepakat
bahwa julukannya adalah Abu Muhammad dan nasabnya dinisbatkan
kepada tempat kelahirannya yaitu Al-Jailānī atau al-Jailī. Seperti yang
dikatakan oleh Ibnu al-Āṡir dalam kitabnya yaitu al-Kāmil menjelaskan
“Dia adalah Abdul Qādir bin Abī Ṣālih Abu Muhammad Al-Jailī. Aż-
Żahabī memberinya gelar Syaikhul Islam (yang menjadi Syaikh Islam)
33

ketika menulis biografinya dalam kitab Sirr A’lām Al-Nubalā’. Selain itu
juga para sufi juga banyak memberinya gelar seperti al-qutb wa al-gauṣ,
al-bāz al-asyhāb dan sebagainya. Diantara gelarnya adalah “imam” yang
seperti disebutkan oleh As-Sam’ānī seraya berkata “al-Jailānī adalah
pengikut hambali”. 6 Sebagai ulama atau sufi yang terkenal, maka Syaikh
Abdul Qādir memiliki gelar lain yaitu seperti muhyī al-dīn (penghidup
agama), al-‘ārif billāh (yang dekat dengan Allah), atau juga al-Jailānī
sering disebut dengan sulṭān al-auliyā’ (raja dari para wali). Seperti yang
dijelaskan Ibnu Rajab dalam Zāilu Ṭabaqāt Al-Hanabilah, “al-Jailānī
adalah syaikh di masanya, teladannya orang-orang ārif, penguasa para
syuyūkh, pemilik maqāmat (kedudukan), pemilik karāmah dan ilmu
pengetahuan yang luas. 7
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī berasal atau dilahirkan di Jailan atau
jail, yaitu negeri yang terpencil di belakang Tabarastan, yang dikenal
dengan Kail atau Kailan. Penisbatan ke nama wilayah itulah menjadi Jaili,
Jailānī, Kailī atau Kailani. Daerah Jailan atau sebagian menyebutnya Gilan
sendiri berada di sebelah Utara Iran dan membentang ke laut Qazwin. 8 Di
daerah ini pula aliran mazhab Hambali terkenal yang dimana Syaikh
Abdul Qādir juga termasuk aliran Hanabillah setelah kemudian pindah
menjadi Syafi’iyah atau bermazhab kepada Imam Syafi‘i.
Keistimewaan Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī mulai nampak
semenjak al-Jailānī baru lahir. Hal ini dikarenakan sejak masih bayi ia ikut
puasa dengan tidak meminum ASI pada siang hari. Hal ini berdasarkan
penuturan Sayyidah Fatimah ibunda Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī.
“Semenjak aku melahirkan anakku, ia tidak pernah meminum air susu di

6
Said bin Musafir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qādir al-Jailāni
(Jakarta: Dārul Falah, 2003), 13-14.
7
Said bin Musafir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qādir al-Jailāni, 17
8
Abdul Qādir al-Jailānī, Fath al-Rabbani, 9.
34

siang bulan Ramadhan.” Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī tumbuh di daerah


jailan yang dimana mayoritas penduduknya adalah bermazhab Hambali.
Pusat ilmu pada saat itu yaitu pada masa kejayaan dinasti Abbasiyah
adalah di Baghdad yang juga tempat Ahmad bin Hambal tinggal. Syaikh
Abdul Qādir al-Jailānī lahir di dalam keluarga yang kurang mampu,
kesehariannya adalah menggembala sapi dan bercocok tanam dengan
sebidang tanah. Hingga pada suatu pagi di hari raya Idul Adha Syaikh
Abdul Qādir kecil pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika
berjalan di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan
memandangnya seraya berkata “Kau tercipta bukan untuk hal semacam
ini” lalu ia lari pulang ketakutan, kemudian naik ke atap rumah. Ketika
memandang ke depan, ia melihat dengan jelas jam’ah haji sedang wukuf
di Arafah. Itulah kemudian yang mendorong Syaikh Abdul Qādir al-
Jailānī untuk pergi ke Baghdad.
Di kalangan sufi atau tepatnya pada kajian taṣawwuf al-Jailānī
sangat dikenal bahkan tidak sedikit yang berkiblat kepadanya. Hal ini
dikarenakan karena al-Jailānī dianggap sebagai pendiri tarekat Qādiriyah,
dimana nama tarekat ini dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qādir al-
Jailānī. Seperti halnya sufi terdahulu yang mengembangkan ajaran
taṣawwuf al-Jailānī mengajarkannya melalui madrasah, ribāṭ, maupun
khotbah-khotbah. Pengembaraan Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī di dunia
taṣawwuf telah berlangsung kurang lebih selama dua puluh lima tahun,
sedangkan sebelumnya ia bermazhab Hambali dengan aktivitas di bidang
Fikih.9
Menuntut ilmu di Jailan membuat Syaikh Abdul Qādir tidak puas
dan ingin menimba lebih banyak lagi sehingga saat memasuki usia remaja

9
Sahara Ramadhani, Kisah Penyejuk Jiwa Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī
(Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2021), 43.
35

tepatnya pada tahun 488 H atau 1905 M ia membulatkan tekadnya untuk


pergi ke Bagdad, sebagai pusat peradaban budaya dan imu pada saat itu. 10
Syaikh Abdul Qādir telah bepergian dari negerinya dan tempat
kelahirannya, Jailan menuju Baghdad adalah saat itu usianya adalah 18
tahun. Setelah memohon izin kepada ibunya untuk menuntut ilmu ke
Bagdad dan ibunya pun menyetujui itu antas memberinya bekal sebanyak
80 dinar. Namun Syaikh Abdul Qādir hanya mengambil separuh dari dinar
tersebut, dan menyimpannya di saku bawah lengan jubahnya yang dibuat
oleh ibunya. 11
Di Baghdad al-Jailānī bertemu dengan banyak ulama terkenal yang
ahli dalam berbagai bidang, lalu al-Jailānī belajar dan mengambil manfaat
dari pengetahuan mereka, sehingga al-Jailānī ahli dalam berbagai ilmu. 12
Di Baghdad, Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī menimba Ilmu di Jāmi’ah
Nizamiyah dan merupakan pusat pendidikan Islam pada saat itu. Madrasah
Nizamiyah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan teologi yang
diakui negara. Madrasah Nizamiyah didirikan pada tahun 1065 M oleh
menteri Persia, yakni Nizam al-Mulk. Di madrasah tersebut, Syaikh Abdul
Qādir al-Jailānī sempat berguru kepada ulama-ulama tersohor masa itu
dan mendapat ilmu qira’at, hadis, fiqih, syariat, dan tarekat. 13
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī adalah seorang sufi yang zuhud,
menuntut ilmu selama kurang lebih 32 tahun lamanya, dan mulai mengajar
dan memberikan nasihat pada tahun 520 H. Selama menuntut ilmu Syaikh
Abdul Qādir al-Jailānī mengalami kesulitan dan keprihatinan dalam hidup.
Memakan pohon-pohon berduri, bawang yang mati dan daun kering di
pinggir sungai dan parit. Berhari-hari tidak makan makanan, hanya

10
Syarif Hadi Masyah, The Wisdom of Abdul Qādir al-Jailānī (Jakart:. Serambi
Ilmu Semesta, 2002), 22.
11
Sahara Ramadhani, Kisah Penyejuk Jiwa Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī, 20.
12
Said bin Musafir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī, 17.
13
Sahara Ramadhani, Kisah Penyejuk Jiwa Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī 22.
36

memakan tumbuh-tumbuhan yang baru bersemi. Demikianlah


kesungguhan Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī dalam menuntut ilmu, penuh
dengan kesabaran dan pengorbanan. 14
Setelah menderita penyakit ringan yang tidak lama, akhirnya pada
usia sembilan puluh tahuh Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī meninggal dunia.
Tepatnya pada malam Sabtu, tanggal 8 Rabi’ul Akhir Tahun 561 H setelah
Magrib, dan jenazahnya dimakamkan pada waktu itu juga di madrasahnya,
di Baghdad, Iraq. Meski telah wafat, tetapi ajarannya masih terus
dilanjutkan oleh keturunannya dan murid-muridnya. Bahkan hingga kini
ajarannya banyak dipraktikkan di seluruh penjuru dunia, termasuk
Indonesia bahkan, tarekat Qādiriyah yang dinisbatkan kepada nama al-
Jailānī terus dikenal hingga sampai saat ini. 15
B. Guru-guru dan Murid-muridnya
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī dikenal gigih dalam menuntut ilmu,
dimana al-Jailānī berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya,
menahan rindu yang besar terhadap ibunya. Keluar kepada padang pasir
dan tidak hanya berdiam diri di Baghdad, duduk di bawah reruntuhan,
baik siang maupun malam. Hanya berpakaian jubah yang terbuat dari bulu
domba, dengan diatas kepalanya sepotong kain, bertelanjang kaki di atas
dedurian. Selain itu, tidak sedikit penulis yang menceritakan tentang
bagaimana sulitnya Syaikh Abdul Qādir menghadapi krisis moralitas yang
ada di Baghdad pada saat itu. 16
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī mempunyai guru yang banyak, yang
dari mereka ia mengambil ilmu dan amal.
1. Al-Jailānī mulai mempelajari ilmu fiqih kepada beberapa ulama
diantaranya adalah:

14
Said bin Musafir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī,17-18.
15
Sahara Ramadhani, Kisah Penyejuk Jiwa Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī, 30.
16
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, juz 1, 9.
37

a. Abū al-Wafā Ali bin ’Āqil.


b. Abū al-Khitāb Mahfūẓ bin Ahmad.
c. Abū al-Hasan bin Abu Ya’lā.
d. Abū Sā’id al-Mubārak bin Alī al-Makhramī.
2. Kemudian belajar Hadits kepada banyak guru diantaranya adalah:
a. Abū Ghālib Muhammad ibn al Hasan al-Baqillānī.
b. Abū Sā’id Muhammad bin Abdul Karīm.
c. Abū al-Ghanā’im Muhammad bin Alī bin Maymūn.
d. Abū Bakar Ahmad bin Mudzoffar.
e. Abū Muhammad Ja’far bin al-Qārī.
f. Abū al-Qāsim Alī bin Ahmad al-Karkī.
g. Abū Utsmān Ismāīl bin Muhammad al-Asbahanī.
h. Abū Thālib Abdul Qādir bin Muhammad.
i. Thāhir Abdur Rahmān bin Ahmad.
j. Abū al-Barakat Hibbatullāh.
k. Abdul Izz Muhammad bin Mukhtār.
l. Abū al-Naḍar.
m. Abū Ghālib.
n. Abū Abdullāh Yahyā.
o. Abū Hasan al-Mubārak bin Abdul Jabbār.
p. Abū Mansūr Abdur Rahmān bin Abī Ghālib.
q. Abū al-Barokat Thalhah bin Ahmad al-Aqūlī.
Dan masih banyak lagi.
3. Dalam ilmu sastra dan bahasa al-Jailānī belajar kepada
a. Abū Zakariyā Yahyā bin Alī at-Tabrizī.17
4. Sedangkan dalam bidang Tasawuf dan Tarekat al-Jailānī belajar
kepada

17
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsir al-Jailānī, Juz I, 12-14.
38

a. Hammād bin Muslim ad-Dabbās.


b. Sayyid Abū Sā’id al-Makhzūmī.18
Selain dari sekian banyak ulama’ yang menjadi guru al-Jailānī,
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī juga memiliki beberapa murid yang
terkenal. Setiap tahun terdapat kurang lebih tiga ribu murid yang keluar
menjadi lulusan dari madrasah Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī. Dan dalam
tiga puluh tiga tahun kurang lebih terdapat seratus ribu murid yang telah
belajar dengan al-Jailānī.
Murid-murid dari Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī ini tersebar ke
segala penjuru alam. Diantara mereka ada yang menjadi pendakwah
bahkan mursyid. Tidak semua murid tercatat nama-namanya, namun ada
juga yang terkenal dan dapat diketahui namanya diantaranya adalah:
a. Abdul Ghāni bin Abdul Wāhid al-Muqaddasī (penyusun kitab
Umdatul Ahkām fī kalam Khairil Anām).
b. Al-Qāḍi Abū Mahāsin Umar bin Alī bin Hadhar al-Quraisyī. al-Jailānī
seorang hafiẓ qur’an, fāqih, dan ahli hadis. Selain itu, al-Jailānī juga
pernah menjabat sebagai qaḍi pada masa hidupnya.
c. Taqiyuddīn Abū Muhammad Abdul Ghanī bin Abdul Wāhid bin Alī
bin Surūr al-Maqdisī. Al-Jailānī seorang hafiẓ qur’an dikenal jujur,
ahli ibadah, ahli aṡar. Al-Jailānī tinggal di Baghdad sekaligus berguru
kepada Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī selama lima puluh malam.
d. Ahmad bin Abū Bakr bin al-Mubārak Abū Su’ūd al-Harimī
e. Al-Hasan bin Muslim
f. Mahmūd bin Utsmān bin Makārim
g. Umar bin Mas’ūd
h. Abdullāh al-Jabbā’ī
i. Hamīd bin Mahmūd

18
Sahara Ramadhani, Kisah Penyejuk Jiwa Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī, 24.
39

j. Zainuddīn bin Ibrāhīm bin Najā al-Anshārī al-Dimasyqī


k. Ahmad bin Muhammad bin Qadamah
l. Ahmad bin al-Mubārak al-Marqa’atī
m. Muhammad bin al-Fath al-Haraqī
n. Syu’aib Abū Madyan.19

C. Karya-karya Syaikh Abdul Qādir Al-Jailānī


Diantara beberapa karya al-Jailānī adalah sebagai berikut:
1. Al-Gunyah li Ṭalabi Ṭarīq al-Haqq
Sebuah karya yang berisikan tentang fiqih ibadah aqidah, tafsir dari
beberapa surah, dan tasawuf yang menerangkan tentang etika
bermasyarakat, etika personal, dan amr ma’rūf nāhī munkar.
2. Al-Fath al-Rabbānī wa al-Fayḍ al-Rahmānī
Merupakan sebuah kitab yang berisikan terkait wasiat, nasihat-
nasihat, dan petunjuk-petunjuk di enam puluh dua majlis yang diasuhnya
sejak tanggal 3 Syawal 545 H/ 5 Februari 1151 M sampai tanggal 6
Sya’ban 546 H/ 30 November 1151 M yang membahas ihwal
permasalahan keimanan, keikhlasan dan sebagainya.
3. Tafsīr al-Jailānī
Merupakan karya kitab tafsir dengan 30 juz al-Qur’an yang
mengulas ayat-ayatnya.
4. Futūh al-Gayb
Kitab yang berisikan tentang nasihat-nasihat, pemikiran dan
pendapat mengenai berbagai permasalahan, seperti penjelasan tentang
keadaan dunia, keadaan jiwa, keadaan syahwat dan ketundukan kepada
perintah Allah swt.
5. Sirrul Asrār

19
Abdur Razzāq al-Kailānī, As-Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī al-Imām al-Zāhid
al-Qudwah (Beirut: Dār al-Qalam, 1994), 286-288.
40

Kitab ini berisi tuntunan bagi para salik (orang yang menjalani
kesufian) menapaki jalan-jalan yang sunyi menuju rahasia dibalik rahasia.
6. Al-Ṣalawāt wa al-Awrād
7. Al-Rāsāil
8. Al-Diwān
9. Yawaqit al-Hikām
10. Asrārul Asrār
11. Jalā’ul Khātir
12. Al-Amru al-Muhkam
13. Ushūl as-Saba’
14. Mukhtashar Ihyā’ Ulumuddīn
15. Ushuluddin. 20
D. Profil kitab Tafsir al-Jailānī karya Syaikh Abdul Qādir Al-
Jailānī
Selain dari kitab-kitab yang dikarang oleh Syaikh Abdul Qādir al-
Jailānī, maka kitab al-Jailānī inilah yang termasuk karya besar al-Jailānī
dalam bidang tafsir. Tafsir yang ditahqiq oleh dua ulama besar, pertama
yaitu Syaikh Dr. Fāḍil Jailānī al-Hasanī al-Tailānī al-Jimazraq dilahirkan
di Desa Jimzarqa pada tahun 1954, kemudian dibesarkan di Qurtalan.
Syaikh Fāḍil ini merupakan cucu ke-25 dari Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī
seperti yang disebutkan oleh literatur yang ada. Yang kedua tafsir al-
Jailānī ini yang didalamnya menyimpan banyak pengetahuan ditahqiq
oleh Farīd al-Mazīdī.
Tafsir al-Jailānī adalah naskah yang ditemukan setelah
menghilang kurang lebih selama 800 tahun lamanya. Tafsir yang dikarang
oleh Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī ini ditemukan di Vatikan. Manuskrip
dari kitab tafsir ini tersimpan rapi di perpustakaan.

20
Sahara Ramadhani, Kisah Penyejuk Jiwa Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī, 31-33.
41

Tafsir al-Jailānī yang versi bahasa arab diterbitkan di Turki


tepatnya di markaz al-Jailānī. Tidak banyak khalayak yang menyangka
jikalau Syaikh Abdul Qādir membuat karya tafsir yang utuh 30 juz al-
Qur’an yang didalamnya seolah berisikan penjelasan ketasawufan. Dengan
alasan tersebut juga maka, tidak heran jika di dalam tafsir ini sangat kental
dengan nuansa sufistik dan ini yang menjadikan ciri dari tafsir al-Jailānī.

Halaman luar dari kitab tafsir ini berjudul ‫( تفسري اجليَلين‬Tafsīr al-
Jailānī) seperti itu yang terlihat di sampul halaman cetakan kitab ini. Dari
penamaan kitab tersebut dapat diketahui kalau kitab ini disandingkan
kepada nama pengarangnya yaitu Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī.
Walaupun begitu, pentahqiq menyebutkan dalam muqaddimah kalau nama
asli dari kitab ini adalah ‫الفواتح اإلهلية و املفاتح الغيبية و املواضحة للكامل القرأنية و‬
‫احلكمة الفرقانية‬ (al-Fawātih al-Ilāhiyyah wa al-Mafātih al-Gaybiyyah al-
Muwāḍihah li al-Kālim al-Qur’āniyyah wa al-Hikām al-Furqāniyyah).
Tafsīr al-Jailānī ini menguras banyak tenaga dan biaya dalam menemukan
naskahnya sehingga pada akhirnya terkumpulkan dan dikoreksi. Tepat
pada tahun 1998 kitab tafsir ini resmi diterbitkan di Istanbul, Turki yaitu
di markaz al-Jilani li al-Buhus al-Ilmiyyah wa at-Tab’a wal Nasyr.
Di lima puluh perpustakaan pribadi dan juga perpustakaan resmi
dimana tepatnya di dua puluh negara Muhammad Fāḍil mencari serta
melacak keberadaan naskah-naskah maupun manuskrip-manuskrip dari
pada Tafsīr al-Jailānī ini. Akhirnya Muhammad Fāḍil menemukan tujuh
belas kitab dalam bentuk manuskrip hingga kemudian mengamankan
Tafsīr al-Jailānī. Dalam pencarian tersebut perpustakaan besar Vatikan
yang berada di daerah Roma, Italia tidak luput dari jejak pencariannya.
Petugas dari perpustakaan tersebut berkata kepada Muhammad Fāḍil
ketika datan ke perpustakaan megah itu “Syaikh Abdul Qādir adalah
42

Filosof Islam”, ini seakan menunjukkan kalau Syaikh Abdul Qādir al-
Jailānī juga menguasai bidang filsafat.
“Sang Filosof Islam” dan “Syaikh al-Islām wa al-Muslimīn”
adalah dua gelar yang ditemukan oleh Muhammad Fāḍil hanya di Vatikan,
al-Jailānī tidak menemukan gelar tersebut di tiga benua yang pernah
dikunjunginya dalam pencarian manuskrip maupun naskah. Di Vatikan
inilah ditemukannya naskah al-Jailānī dan di perpustakaan itu pula
disebutkan bahwa Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī menguasai tiga belas
cabang ilmu.
Acuan naskah dalam penerbitan Tafsīr al-Jailānī ini adalah
tentunya naskah asli tulis tangan Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī, kemudian
naskah di India dimana naskah ini kurang satu juz. Adapun naskah
primernya atau naskah utamanya adalah naskah alif kemudian naskah
sekundernya ba dan jim.
Adapun kitab tafsir yang diterbitkan oleh Muhammad Fāḍil ini
terbagi menjadi enam jilid yang berisikan:
a. Jilid yang pertama dimulai dari al-Fātihah hingga surah al-Māidah.
b. Jilid kedua berawal dari surah al-An’ām sampai akhir surah
Ibrāhim.
c. Jilid ketiga memuat surah al-Hijr hingga surah an-Nūr.
d. Jilid keempat memuat dari surah al-Furqān sampai surah Yāsīn.
e. Jilid kelima dimulai dari surah ash-Ṣaffāt sampai surah al-
Wāqi‘ah.
f. Jilid keenam dimulai dari surah al-Hadīd sampai surah an-Nās.

Kata ‫َل خيفى‬ (lā yakhfā) yang berarti bukan rahasia/sangat jelas
adalah awalan yang khas dari pengantar setiap surah. Selanjutnya dua kata
tersebut yaitu ‫َل‬ lā dan ‫خيفى‬ yakhfā ini disandingkan dengan nasihat-
nasihat yang terkandung di setiap surah, tentunya dengan nasihat yang
43

bernuansa tasawuf atau sufistik. Selain dari awalan yang khas dalam setiap
permulaan surah tersebut maka, Syaikh Abdul Qādir juga memberikan ke
khas-an dalam khātimah setiap surah, dimana Syaikh Abdul Qādir al-
Jailānī menyandingkan kata ‫عليك‬ ‘alaika di akhir suratnya di awal
nasihatnya.
Tafsīr al-Jailānī ini dinilai sebagai tafsir yang berpegang teguh
pada ilmu dan paham tertentu, kesan sufistik yang didalamnya berisikan
tentang nasihat penghidupan ruh, dan taqwa juga menghubungkan
kedekatan antara guru dan murid sehingga tujuan terbaiknya adalah
mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah swt. begitu pendapat dari pada
pentahqiq kitab tafsir ini yaitu Muhammad Fāḍil.

Di kesempatan yang lain Syaikh Fāḍil menyebutkan bahwa Tafsīr

al-Jailānī ini kental dengan corak isyari dan ilmiahnya. Sehingga dalam

penafsiran suatu surah sering menggunakan pemaknaan tersendiri seperti

contohnya pada permulaan surah al-Ikhlas ‫“ قل‬qul”. Dalam lafaz tersebut


banyak mufassir memaknainya dengan “katakanlah (wahai Muhammad)”

namun Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī memaknainya dengan “katakanlah

(wahai Rasul yang paling sempurna)” atau “katakanlah (wahai insan


sempurna) letak perbedaannya adalah dimana Syaikh Abdul Qādir al-

Jailānī menyebut Muhammad dengan julukannya atau laqabnya. Di

penghujung pembahasan Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī juga menyertakan

do’a, ini dilakukannya di setiap karyanya. Misal di akhir ayat ke-2 dari

pada surah al-Fatihah, Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī menyertakan “amin”

semoga diterima Engkaulah Maha Pengasih. Penafsirannya yaitu ayat


44

dengan ayat juga menyertakan hadis-hadis maka bisa disebut kalau Tafsīr

al-Jailānī ini tergolong tafsir bil ma’tsūr.


Penafsiran dirayah identik dengan tafsir ini, penafsiran yang
menggunakan akal mufassir yaitu dengan coraknya taṣawwuf (sufistik).
Ada beberapa penafsiran ayat yang menggunakan hadits namun, dapat
tafsir ini tidak menampilkan dalam segi periwayatan hadis tersebut. Dalam
segi cara penafsirannya, tafsir ini dilakukan dengan arah nalar sufistik
mufassir. Dengan begitu tafsir ini bisa disebut tafsir dirayah sufistik.
Dalam pengantar penerjemah dan penerbit kitab Tafsīr al-Jailānī,
direktur Markaz al-Jailānī Asia Tenggara yakni Syaikh Rohīmuddīn
Nawawī al-Jaharī al-Bantanī memberikan ulasan tentang keistimewaan
yang terdapat dalam kitab tafsir tersebut. al-Jailānī memaparkan bahwa:
1. Pada kitab ini, ayat demi ayat ditafsirkan dengan cara
penuturan dan ungkapan yang mudah, singkat dan sistematis. Jika
terdapat ayat yang dapat ditafsirkan dengan ayat lain maka
dijelaskan sambil dibandingkan antara dua ayat tersebut, sehingga
makna dan tujuannya semakin jelas. Dapat dikatakan bahwa tafsir
ini sangat memperhatikan cara penafsiran al-Qur’an dengan al-
Qur’an. Lalu setelah selesai, al-Jailānī mulai menuturkan beberapa
hadis marfu’ yang berkenaan dengan ayat tersebut, sambil
menjelaskan argumentasi dengan mengiringi perkataan para
sahabat, tabi’in dan ulama salaf.
2. Dalam ayat-ayat yang terkait dengan hukum fikih, tafsir ini tampak
mentarjih sebagian pendapat ulama dan mendhaifkan serta
mensahihkan sebagian riwayat secara tersirat, singkat dan dengan
redaksi yang hemat, tidak seperti yang banyak dilakukan mufassir
lain. Hal ini menunjukan bahwa pengarangnya adalah seorang
yang memiliki pengetahuan ilmu hadis yang sangat mapan.
45

3. Tafsir ini tergolong tafsir isyari. Meskipun tidak semua ayat dalam
surah al-Qur’an ditafsirkan dengan Isyari, akan tetapi struktur
dalam bangunan pandangan sufi terhadap tauhid melalui
penafsiran al-Jailānī kepada seluruh ayat-ayat al-Qur’an, sangat
sistematis, runtut dan sempurna. Sehingga ini memperkuat tafsir
al-Jailānī sebagai sebuah referensi utama, serta standar matlamat
bagi umat islam, khususnya para penempuh jalan menuju Allah
swt.
4. Sebagai sebuah kitab dan rujukan tasawuf tingkat tinggi (first
class), kitab ini juga menyebutkan sanad dan kualitas hadis,
mentarjih sesuatu yang dipandang benar tanpa fanatik atau taklid
tanpa dalil. Tafsir ini benar-benar bersih dari Israiliyat yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis.
5. Terbukti tafsir al-Jailānī telah diterima dan tersebar di seluruh
dunia Islam serta diakui oleh para ulama, seperti Syaikh Ali
Jum’ah (mufti mesir), mufti Syiria, mufti Lebanon, serta Syaikh
sufi seperti murabbi besar Syaikh Youssef Riq al-Bakhour dan
lain-lain.

E. Metode Penafsiran Syaikh Abdul Qādir Al-Jailānī


Judul dari tafsir ini adalah “Tafsīr al-Jailānī” nampak jelas di bagian
sampul, nama tafsir tersebut tertulis. Sebuah penamaan yang disandingkan
atau dinisbatkan langsung kepada pengarangnya, yaitu Syaikh Abdul
Qādir al-Jailānī. Kitab tafsir ini berisikan tentang isyarat-isyarat untuk
menghidupkan ruh, mencapai sebuah ketaqwaan, dan memberikan
hubungan baik antara guru dan murid sehingga mendapatkan derajat yang
tinggi. Hal ini yang membedakan tafsir ini dengan kebanyakan tafsir yang
ada, dimana kebanyakan tafsir berpegang teguh pada ilmu. Walaupun di
depan kitab ini diberi judul “Tafsīr al-Jailānī” namun pentahqiq atau
46

editor menyebutkan bahwa nama asli dari tafsir ini adalah “al-Fawātih al-
Ilāhiyyah wa al-Mafātih al-Gaybiyyah al-Muwāḍihah li al-Kalim al-
Qur’āniyyah wa al-Hikām al-Furqāniyyah”. Dari judul tersebut dapat
diartikan bahwa Tafsīr al-Jailānī ini berisikan tentang mengungkap
isyarat-isyarat dalam Al-Qur’an. Sebagaimana ia (al-Jailānī) adalah orang
yang dekat dengan Allah swt. dan menyambung wusulnya dengan Nabi
saw. sehingga mengalami banyak karomah dalam setiap peribadatannya
dan juga mendapat petunjuk dalam setiap mujahadahnya.
Sampai saat ini tafsir al-Jailānī adalah karya tafsir yang ditahqiq
oleh dua ulama terkenal yaitu, yang pertama adalah Fādhil Jailānī al-
Hasanī dan oleh Farīd al-Mazīdī al-Hasanī. Kitab tafsir yang ditahqiq oleh
Fāḍil Jailānī al-Hasanī terdiri dari enam jilid. Adapun kitab tafsir yang
ditahqiq oleh Farīd al-Mazīdī al-Hasanī terdiri dari lima juz. Tafsir al-
Jailānī adalah kitab tafsir yang berisikan lengkap 30 juz Al-Qur’an.
Sedangkan dalam tafsir yang ditahqiq oleh Farīd al-Mazīdī al-
Hasanī yang terdiri dari lima juz itu adalah:
a. Juz 1 berisikan muqoddimah dari pentahqiq, biografi dan sifat dari
Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī, beberapa karya tulis yang berkaitan
dengan Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī. Juz 1 ini terdiri dari
penafsiran surah al-Fātihah sampai dengan al-Māidah
b. Juz 2 berisikan penafsiran surah al-An‘ām sampai dengan surah an-
Nahl
c. Juz 3 berisikan penafsiran surah al-Isrā’ sampai dengan surah al-
Ankabūt
d. Juz 4 berisikan penafsiran surah ar-Rūm sampai dengan surah
Muhammad
e. Juz 5 berisikan penafsiran surah al-Fath sampai dengan an-Nās, di
juz 5 ini juga terdapat indeks sumber dan referensi penting.
47

Di dalam penafsiran setiap surah terdapat penjelasan atau keterangan


pembuka surah “fātihah al-sūrah” dan juga pada akhir ayat dari setiap
surah ada keterangan penutup surah “khātim al-sūrah”.21
Selanjutnya berkaitan dengan metode penafsiran yang dilakukan
oleh Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī maka terbagi kepada beberapa
pembagian:
1. Sumber penafsiran
Jika diperhatikan sumber penafsiran yang dipakai oleh Syaikh Abdul
Qādir al-Jailānī dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Jailānī” adalah dengan
kategori penafsiran bi al-iqtirāni, ini karena Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī
tidak hanya menafsirkan ayat-ayat dalam al-Qur’an dengan riwayat (bi al-
ma’tsūr) namun juga dengan pendapat dan pikiran (bi al-ra’yi) yang
sehat.22 Di dalam Tafsīr al-Jailānī ini banyak menyebutkan terkait dengan
azbāb al-nuzūl dari suatu ayat, namun dalam penyebutan riwayat Syaikh
Abdul Qādir al-Jailānī tidak menyertakan kelengkapan sanadnya.

21
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, Juz 1-5.
22
M. Ridlwan Nasir, Perspektif Baru Metode Tafsir Muqarin Dalam Memahami
al-Qur’an (Surabaya: Imtiyaz, 2010), 14.
48

Gambar 3.1

Di atas adalah contoh penafsiran yang dilakukan oleh al-Jailānī


dimana menyebutkan suatu riwayat baik itu asbāb al-nuzūl maupun hadits
Nabi saw. (contoh di atas adalah asbāb an-nuzūl), akan tetapi dalam
penyebutan sanadnya al-Jailānī tidak mencantumkannya secara lengkap
dalam periwayatan.
2. Cara penjelasan ayat
Dari segi penjelasan ayat yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Qādir
al-Jailānī maka dapat digolongkan bahwa tafsir ini termasuk dalam
kategori tafsir bayani, yang berarti memberikan kejelasan dan
49

keterangan. 23 Secara deskriptif suatu ayat ditafsirkan tanpa melakukan


pembandingan riwayat maupun pentarjihan riwayat.
3. Keluasan dalam penjelasan tafsir
Selanjutnya dari keluasan penjelasan dalam tafsir, tafsir yang ditulis
oleh Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī ini tergolong tafsir yang menggunakan
metode tafsir Ijmali yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas
tapi mencangkup dengan bahasa yang mudah dimengerti dimana
penyajian bahasanya yang tidak jauh dari al-Qur’an sendiri. 24

Gambar 3.2
Di atas adalah contoh penafsiran secara ijmali dalam Tafsīr al-
Jailānī. Penjelasan yang diberikan adalah bersifat global dan tidak panjang
sehingga mudah untuk dimengerti. Dalam contoh tersebut juga nampak
bayānī (deskriptif) penjelasan yang tanpa menghadirkan beberapa
pendapat ulama dan juga tanpa mentarjih setiap pendapat sebelumnya.

4. Tartib Ayat

23
Muhammad Abdul Ażīm az-Zarqānī, manāhil al-Irfān fī Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: Matba’ah Isa al-Babi al-Halabi wa Syarakahu 1943), 5.
24
Tinggal Purwanto, Pengantar Studi Tafsir (Yogyakarta: Adab Press, 2013), 42.
50

Dari segi tartīb al-ayat yang ditafsirkan dalam kitab Tafsīr al-Jailānī
maka dapat dilihat bahwa tafsir ini menggunakan metode tahlili yaitu
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut serta
menerangkan makna-makna yang tercangkup di dalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut. 25
Hal ini dimana Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī menafsirkan al-Qur’an
lengkap 30 juz sesuai dengan urutan mushaf Uṡmani.
Setelah dijelaskan terkait dengan metode (manhaj) dari Tafsīr al-
Jailānī maka selanjutnya adalah terkait dengan natijah atau corak tafsir
yang terdapat pada Tafsīr al-Jailānī ini. Corak tafsir atau natijah sebuah
tafsir dapat diketahui dengan kecenderungan atau bidang keilmuan dari
seorang mufassir. Pengarang dari Tafsīr al-Jailānī yaitu Syaikh Abdul
Qādir al-Jailānī adalah seorang ulama’ sufi yang masyhur sehingga
banyak khalayak dapat menerka bahwa tafsir yang dikarang ini adalah
tafsir sufi (isyārī) yaitu tafsir yang tidak hanya menjelaskan tentang makna
dzahir saja, namun juga mengungkap makna batin dari setiap ayat
qur’an.26
Penafsiran secara isyārī yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Qādir
al-Jailānī terlihat jelas, dimana ketika al-Jailānī menjelaskan atau
menafsirkan suatu ayat sering disandingkan dengan ketauhidan yang
seperti diketahui bahwa ketauhidan adalah bagian pokok dari ilmu
taṣawwuf. Barikut contoh penafsirannya:

25
Tinggal Purwanto, Pengantar Studi Tafsir, 46.
26
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, 74.
51

Gambar 3.3
52
BAB IV
PENAFSIRAN MAKNA LAFAZ MISKĪN DALAM AYAT-AYAT
AL-QUR’AN PERSPEKTIF TAFSIR AL-JAILĀNĪ

A. Ayat-ayat al-Qur’an yang Mengandung Lafaz Miskīn


Tabel 4.1 Klasifikasi Lafaz Miskīn yang Ditafsirkan oleh al-Jailānī
No Surah Ayat Status
1 Al-Baqarah (2) 83, 177, 215 Madaniyah
2 An-Nisā’ (4) 8, 36 Madaniyah
3 Al-Anfāl (8) 41 Madaniyah
4 Al-Taubah (9) 60 Madaniyah
5 Al-Isrā’ (17) 26 Madaniyah
6 Al-Kahf (18) 79 Madaniyah
7 An-Nūr (24) 22 Madaniyah
8 Ar-Rūm (30) 38 Makkiyah
9 Al-Insān (76) 8 Madaniyah
10 Al-Balad (90) 16 Makkiyah
Di atas adalah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung lafaz miskīn.
Di antara sekian banyak lafaz miskīn, penulis hanya mengambil ayat-ayat
yang lafaz miskinnya ditafsirkan secara mendalam oleh al-Jalānī.

1) QS. al-Baqarah 2: 83

َٰ ْ ُ ْ ً ْ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ
َ ‫اق َبن ْي ا ْس َراۤء ْي َل َلا َت ْع ُب ُد ْو َن اَّلا ه‬
‫اّٰلل َو ِبال َوا ِلدي ِن ِاح َسانا َّو ِذى القرٰب‬ ِ ِ ِ ْٓ ِ ‫واِ ذ اخذنا ِميث‬
َّ ُ ْ َّ َ ُ َ َٰ َّ ُ َٰ َ َ َٰ َّ َ ً ُ َّ ْ ُ ْ ُ َ ْ َٰ َ ْ َ َٰ َٰ َ ْ َ
‫الزكوةَۗ ثَّم ت َوليت ْم ِالا‬ ‫اس ح ْسنا َّوا ِق ْي ُموا الصل وة واتوا‬ ِ ‫واليتمى والمس ِكي ِن وقولو ا ِل‬
‫لن‬
َ ُ ْ ُ َْ ُ ْ ً َ
‫ق ِل ْيلا ِمنك ْم َوانت ْم ُّمع ِرض ْو ن‬

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil,


“Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah
kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang
miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia,
laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu
berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan
kamu (masih menjadi) pembangkang. (Qs. al-Baqarah/2: 177)

53
54

Konteks ayat di atas membicarakan tentang anjuran untuk


memperkuat hubungan baik dengan Allah (habl minallāh) yaitu dengan
beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun syirk,
selain itu juga didalam ayat tersebut memberikan perintah untuk
senantiasa berbakti kepada orang tua dengan berbuat baik kepada
keduanya demikian juga berbuat baik kepada kerabat dekat, anak yatim
yang belum balig yang ditinggal wafat ayahnya, juga kepada orang-orang
miskin yang membutuhkan uluran tangan, serta bertutur baik kepada
seluruh manusia sebagai bentuk dan itu semua merupakan hubungan sosial
antar manusia (habl min al-nās). Dalam tafsirnya al-Jailānī menjelaskan,
“Dan sampaikanlah juga, wahai Rasul yang paling sempurna,
kepada kaum mukmin, sebuah kisah ‘ketika kami mengambil janji
dari Bani Israil’ yang melanggar janji-janji dan kesepakatan, ketika
Kami berfirman kepada mereka ‘janganlah kalian menyembah,
jangan bertawajjuh dan jangan mendekati siapapun kecuali Allah
yang telah menampakkan kalian dari ketiadaan, mengatur kalian,
dan memelihara kalian dengan berbagai bentuk kelembutan dan
kemurahan, agar kalian mengenal dia. Dan janganlah kalian
memperlakukan kedua orangtua yang selalu memelihara kalian
sebagai wakil Allah, kecuali dengan baik. Berbuat baiklah kepada
mereka dengan merendahkan diri di hadapan mereka, mendermakan
harta, dan melayani secara fisik. Dan begitu juga , kepada kaum
kerabat yang memiliki hubungan dengan kedua orang tua, dan
janganlah hardik anak-anak yatim yaitu anak-anak yang tidak
memiliki orang tua. Berlaku baiklah kepada mereka dan kepada
orang-orang miskin yang tidak dapat bekerja karena tidak adanya
pertolongan...”
2) QS. al-Baqarah 2: 177

ْ ‫َٰ َّ ْ َّ َ ْ َٰ َ َ ه‬ ْ ْ ْ ْ َ ُ َ ْ ُ ْ ُّ َ ُ ْ َ َّ ْ َْ
‫اّٰلل َوال َي ْو ِم‬
ِ ‫لي َس ال ِبران تولو ا ُوجوهك ْم ِق َبل ال َمش ِر ِق َوال َمغ ِر ِب َول ِكن ال ِبر من ا من ِب‬
َٰ َ ْ َٰ ُ ْ َ ُ َٰ َ َ َ ْ َ َٰ َ َّ َٰ ْ َ ٰۤ ْ َٰ ْ
‫الا ِخ ِر َوال َملىِٕك ِة َوال ِكت ِب َوالن ِب ّٖينۚ َوات المال على ح ِب ّٖه ذ ِوى الق ْرٰب َواليت َٰم ى‬
َ ُ ْ َ َٰ َّ َ َٰ َ َ َٰ َّ َ َ َ َ َ َ ‫الساۤىِٕل ْي َن‬
ْ
َّ ‫َوال َم َٰسك ْي َن َو ْاب َن‬
‫الزكوةۚ َوال ُم ْوف ْو ن‬ ‫ابۚ واقام الصل وة و ات‬ ِ ‫الرق‬ِ ِ ‫ف‬ ‫و‬ ِ
َّ ‫السب ْي لِۙ َو‬
ِ ِ ِ
55

ْ ْ ْ ْ
َ ْ َّ َ ٰۤ ُ َ َّ ‫ه‬ ُ َ َ َ َ
‫ِبع ْه ِد ِه ْم ِاذا عاهد ْواۚ َو الص ِب ِر ْي َن ِف ال َبأ َسا ِۤء َوالضَّرا ِۤء َو ِح ْين ال َبأ ِسَۗ اول ِٕىك ال ِذين‬
َ ُ َّ ْ ُ َ ٰۤ ُ َ ْ ُ َ َ
‫َۗواول ِٕىك ه ُم ال ُمتق ْون‬
‫صدقو ا‬

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan


ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman
kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-
nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak
yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan
(musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya,
yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang
menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam
kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa. (Qs. al-Baqarah/ 2: 177)
Ayat di atas turun pada saat seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
saw. Tentang bir kebaikan, maka maka Allah kemudian menurunkan ayat
ini.1 Ayat berkonteks bahwa di antara sifat orang-orang yang baik adalah
melaksanakan rukun iman lebih dari itu maka hendaklah berikan hartanya
kepada orang-orang miskin, yang dimana itu adalah urutan ketiga setelah
kerabat dekat, dan menyantuni anak-anak yatim. Itu semua adalah
tindakan orang-orang yang bertaqwa, al-Jailānī dalam tafsirnya
menjelaskan
“Beriman kepada Allah yang telah menjadikan dari ruang
kehampaan katm al-adam dan juga beriman kepada Hari akhir yang
disiapkan sebagai pembalasan bagi amal perbuatan, dan beriman
kepada malaikat yang selalu terpesona dalam tatapan keindahan
Allah serta selalu memohon ampunan untuk hamba-hamba Allah
yang beriman dan beramal saleh, dan beriman kepada Al-Kitab yang
menjelaskan petunjuk kepada kalian, dan beriman kepada nabi-nabi
yang diutus untuk membimbing kalian. Dan setelah beriman kepada
yang disebutkan tersebut maka hendaklah kalian memberi harta atau
menginfakkannya demi meraih cinta Allah SWT. dan demi meraih
rida-Nya serta mendermakan kepada mereka yang membutuhkan,

1
Jalaluddīn Abī Abdur Rahmān as-Suyūtī, Lubāb an-Nuqūl fī asbān an-Nuzūl
(Beirut: Mu’assisatul Kutub as-Saqafiyah, 2002) 30.
56

yakni kepada para kerabat, yang memiliki hubungan darah melalui


kedua orangtua, dan anak-anak yatim yang tidak memiliki kerabat
dan orang-orang miskin yang memiliki kefakiran parah disebabkan
tidak adanya pekerjaan dan sumber rezeki lainnya...” 2
3) QS. al-Baqarah 2: 215

َٰ َ ْ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ َ ُ ْ ََْ ْ ُ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ
‫ي ْس َٔـل ْونك َماذا ُين ِفق ْونَۗ قل َمآْ انفقت ْم ِم ْن خ ْي ٍر ف ِلل َوا ِلدي ِن َوالاق َر ِب ْين َوالي ت َٰمى‬
َ َ ‫َ َ َ ْ َ ُ ْ ْ َ ْ َ َّ ه‬ ْ
‫اّٰلل ِب ّٖه ع ِل ْيم‬ ‫الس ِب ْي ِلَۗ وما تفعلوا ِمن خي ٍر ف ِان‬ َّ ‫َوال َم َٰسك ْين َو ْابن‬
ِ ِ ِ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus


mereka infakkan. Katakanlah, ‘Harta apa saja yang kamu infakkan,
hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim,
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.’ Dan kebaikan apa
saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui. (Qs. al-Baqarah/ 2: 215)
Ayat ini turun ketika orang-orang mukmin pada masa nabi bertanya
pada Nabi saw. terkait kemana mereka akan menyalurkan harta mereka,
kemudian turunlah ayat ini. Asbabun nuzul yang lainnya adalah ketika
Amr bin Jamuh bertanya kepada Naabi saw. “apa yang kami infaqkan dari
harta kami dan kemana kami akan menyalurkannya?” maka kemudian
turunlah ayat ini. 3 Ayat yang berkonteks diantara kebaikan yang diketahui
oleh Allah adalah berinfaq, yaitu memberikan infaq yang baik kepada
orang tua kemudian kerabat-kerabat dekat selanjutnya anak-anak yatim
barulah orang-orang miskin dan terakhir kepada orang yang dalam
perjalanan, terkait ayat tersebut al-Jailānī dalam tafsirnya menyebutkan
Mereka bertanya kepadamu wahai pembawa petunjuk bagi setiap
makhluk, tentang nafkah dan apa yang mereka nafkahkan. “Mereka
berkata apa yang mereka nafkahkan?” maksudnya apa yang perlu
dinafkahkan oleh seorang pemberi di jalan Allah. Katakanlah kepada
mereka, wahai Rasul yang paling sempurna, sebuah kata-kata yang
muncul dari inti segala hikmah, apa saja yang kalian nafkahkan baik

2
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailāni, Juz I (Quwait: al-Maktabah al-
Ma’rufiyah, 2010), 179-180.
3
Jalaluddin Abī Abdur Rahmān as-Suyūtī, Lubāb an-Nuqūl fī asbān al-Nuzūl, 41.
57

berupa kurma, potongan kurma, sebutir biji, ataupun żarrah


sekalipun dari harta yang bersih dari segala bentuk pamrih dan sikap
menyakiti, hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat
yaitu orang-orang yang dekat nasabnya dengan kalian. Mereka lebih
utama untuk menerima pemberian jika mereka memang berhak, dan
anak-anak mereka yakni anak-anak yatim yang tidak memiliki
sandaran hidup, dan kemudian orang-orang miskin yang tenggelam
dalam kehinaan dan kesengsaraan dan kemudian orang-orang yang
sedang dalam perjalanan yang sulit mencapai harta milik mereka dan
ketahuilah, wahai orang-orang mukmin, bahwa apa saja kebaikan
yang kamu perbuat dengan ikhlas demi keridaan Allah, maka
sesungguhnya Allah maha mengetahuinya. 4

4) QS. an-Nisā’ 4: 8

ً َ َ ُ ُ ُ ْ ُ ُُ َ ُ ْ َٰ َ ْ َٰ ُ ْ ُ ُ َ ْ َ َ َ
‫َواِ ذا حض َر ال ِق ْس َمة اولوا الق ْرٰب َوالي ت َٰمى َوال َم َٰس ِك ْين ف ْارزق ْو ه ْم ِمنه َوق ْول ْو ا ل ُه ْم ق ْولا‬
ً ْ
‫َّمع ُر ْوفا‬

"Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-


anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta
itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik." (Qs. an-Nisa'/ 4: 8)
Ayat ini berbicara tentang konteks pembagian waris yang didatangi
oleh kelompok kerabat, anak-anak yatim, dan kaum miskin. Maka Allah
memerintahkan hendaknya mereka diberikan sedikit harta, juga diiringi
ungkapan yang baik. Al-Jailānī mengklasifikasi tindakan itu sebagai
bagian dari ketakwaan. Ia mengatakan,
Dan di antara beberapa hal yang muncul dari ketaqwaan adalah
kesediaan para ahli waris untuk bersedekah dari berbagai harta
warisan yang diterimanya; jika sewaktu pembagian itu hadir kerabat
yang tidak memiliki hak waris dan anak-anak yatim yang tidak
memiliki harta dan wali yang menanggung mereka dan orang-orang
miskin yang tidak memiliki sumber penghidupan layak, maka
berilah mereka harta itu, wahai para ahli waris, dari harta warisan
(mayit) sejumlah harta yang cukup, yang tidak sampai membuat

4
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsir al-Jailānī, Juz I, 206.
58

kalian tidak mendapat bagian. Dan ucapkanlah kepada mereka di


saat pemberian itu, perkataan yang baik yang sama sekali bersih dari
tindakan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti penerimanya. 5

5) QS. an-Nisā’ 4: 36

َٰ َ ْ َٰ ْ ُ ْ ْ َ ْ ُ ُْ َ
‫َواليت َٰم ى‬
ً ْ َ
‫اّٰلل َولا تش ِرك ْوا ِب ّٖه ش ْي ًٔـا َّو ِبال َوا ِلدي ِن ِاح َسانا َّو ِب ِذى القرٰب‬َ ‫اع ُب ُدوا ه‬
ْ َ
‫و‬
ْ ُ ُْ َ ْ َ َٰ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َٰ َ ْ َ
َّ ‫الصاح ب بال َج ْن ْۢب َو ْابن‬
‫الس ِب ْي ِلِۙ َو َما‬
َ َ
‫و‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ج‬‫ال‬ ‫ار‬ ‫ج‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ٰب‬‫ر‬ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫والمس ِكي ِن وال‬
‫ار‬ ‫ج‬
ُ َ ً َُْ َ َ ُ َ َ ‫َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ ْ َّ ه‬
ِۙ‫يح ُّب َم ْن كان مختالا فخ ْو ًرا‬ ِ ‫ملكت ايمانكمَۗ ِان اّٰلل لا‬

"Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya


dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang
tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang
yang sombong dan membanggakan diri," (Qs. an-Nisa'/ 4: 36)
Ayat ini berkonteks tentang orang-orang miskin dalam ayat ini
dimasukkan ke dalam kelompok masyarakat yang perlu diperhatikan
dengan baik, selain dari berbakti kepada kedua orang tua, para kerabat dan
anak-anak yatim. Berlaku baik kepada orang-orang miskin menjadi salah
satu pilar menjaga akhlak baik sesama manusia (habl minannās), sesuatu
yang diperintahkan selain menjaga habl minallāh dengan bertauhid kepada
Allah secara benar dan tidak menyekutukan-Nya. Al-Jailānī menegaskan,
“Dan setelah kalian perbaiki penampilan lahiriah kalian, wahai
orang-orang beriman, dengan akhlak seperti ini, maka sembahlah
Allah yang Tunggal dan dalam Dzat-Nya dan wujud-Nya, yang
independen dalam semua tindakan-Nya dan berbagai pengaruh-Nya
yang muncul dari semua sifat Dzat-Nya dan janganlah kalian
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun di antara semua buatan-
Nya. Maksudnya kalian mengukuhkan wujud dan pengaruh diri
yang selain Dia karena semua yang selain Allah secara mutlak tidak
ada dalam entitas masing-masing dan binasa dalam Dzat-Nya
subhānahu wa ta‘āla. Dan lakukanlah oleh kalian terhadap kedua
orang tua yang menjadi sebab kelahiran kalian, adat perbuatan baik,
5
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, Juz I, 343.
59

baik ucapan maupun tindakan, dan juga kepada karib-kerabat yang


memiliki hubungan dengan kedua orangtua, dan juga kepada anak-
anak yatim yang tidak memiliki penjaga dari kalangan laki-laki, dan
orang miskin yang berada pada sudut kehinaan…” 6

6) QS. al-Anfāl 8: 41

َٰ َ ْ َٰ ُ ْ َّ ‫ّٰلل ُخ ُم َس ٗه َو ِل‬ ‫َ ََّ ه‬ َ ْ ُ َ َ ََّ ْ َ ْ


‫لر ُس ْو ِل َولِ ِذى الق ْرٰب َواليت َٰمى‬ ِ ِ ‫َواعل ُموْٓا انما غ ِن ْمت ْم ِمن ش ْي ٍء فان‬
َ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ َٰ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ‫ْ ُ ْ ُ ْ َٰ َ ْ ُ ْ ه‬ ْ
‫ان َي ْو َم‬ ِ ‫ق‬ ‫ر‬ ‫ف‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ا‬‫ن‬ ‫د‬
ِ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ا‬‫ا‬ ‫ل‬‫ز‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫اّٰلل‬
ِ ‫ب‬ِ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫م‬‫ت‬ ‫ن‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ا‬ِ ‫ل‬ ‫ي‬
ِ ِ
َّ ‫َوال َم َٰسك ْين َو ْابن‬
ْ ‫السب‬
ِ ِ ِ
ْ َ
ْ
َ ُ َٰ َ ُ َ َٰ ْ َ ْ
‫ه‬ ََْ
‫التقى الجمع ِنَۗ واّٰلل على ك ِل شي ٍء ق ِدي ر‬

"Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai


rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari
bertemunya dua pasukan. Allah Maha kuasa atas segala sesuatu."
(Qs. al-Anfāl/ 8: 41)
Ayat ini berkonteks tentang orang-orang miskin dalam ayat ini
adalah orang-orang yang berhak menerima harta ganīmah setelah Rasul,
kerabat Rasul, dan anak-anak yatim. Itu merupakan tindakan orang yang
beriman kepada Allah, dalam tafsir al-Jailānī disebutkan
Dan setelah kamu menang dan menaklukkan mereka ketahuilah
sesungguhnya apa yang kamu rampas atau kamu ambil dari mereka
dari barang atau sesuatu sekalipun itu seutas benang, maka bagi
Allah seperlimanya artinya ketahuilah bahwa seperlimanya tetap
untuk Allah. Dan menginfakkan dari harta Allah seperlimanya.
Pertama untuk utusan-utusan yang menjadi pemimpin, sebagai
pengganti-Nya. Setelahnya dibagikan kepada pemimpin yang
menegakkan had-had Allah, tidak terkecualikan diberikan kepada
yang lainnya diantaranya adalah kerabat dekat Rasul artinya orang-
orang yang mempunyai hubungan kepada Rasulullah saw. dari bani
Hasyim dan Abdul Muthalib. Dan yang lainnya adalah hak anak-
anak yatim yang tidak memiliki harta dan tidak ada yang mengasuh,
dan yang lainnya adalah hak orang-orang miskin adalah orang-orang

6
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, Juz I, 360-361.
60

yang ditempatkan oleh kefakiran dan kemiskinan mereka di sudut


kehinaan dan kerendahan... 7

7) QS. at-Taubah 9: 60
َّ ْ ْ ْ
‫اب‬
َ َ ‫الص َد َٰق ُت ل ْل ُف َق َراۤء َوال َم َٰسك ْين َوال َعام ل ْي َن َع َل ْي َها َو ال ُم َؤل َفة ُق ُل ْو ُب ُه ْم‬
َّ َ َّ
ِ ‫الرق‬
ِ ‫ف‬ِ ‫و‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِانما‬
َ َ ُ ‫ه َ ْ َّ ْ َ ْ َ ً َ ه َ ه‬ َْ َْ
‫اّٰلل ع ِل ْيم ح ِك ْيم‬ ‫اّٰللَۗو‬
ِ ‫اّٰلل واب ِن الس ِبي ِلَۗ ف ِريضة ِمن‬ ِ ‫َوالغ ِار ِمين َو ِف ْي َس ِب ْي ِل‬

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang


miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk
(memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui,
Maha bijaksana." (Qs. at-Taubah 9: Ayat 60)
Konteks ayat yang membicarakan tentang penyaluran zakat, orang-
orang miskin juga termasuk di dalam mustahik zakat tersebut yaitu asnaf
teratas setelah fakir dengan urutan asnafnya adalah orang-orang fakir,
orang-orang miskin, orang-orang yang menyalurkan zakat, orang-orang
muallaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang yang dalam perjalanan, berkaitan dengan asnaf-asnaf dalam ayat
tersebut, al-Jailānī menjelaskan dalam tafsirnya
Kemudian Allah swt. menjelaskan pembagian sedekah seraya
berfirman “hanya sanya sedekah” artinya zakat-zakat dibagikan
untuk orang-orang faqir dan mereka adalah orang yang tidak
memiliki harta, tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan baik itu
dari sekedar tanaman maupun yang lainnya. Seolah-olah kemiskinan
dan kebutuhan mematahkan tulang punggung mereka. Dan kepada
orang-orang miskin dialah orang-orang yang memiliki penghasilan
atau pekerjaan akan tetapi tidak cukup untuk keluarga mereka
seakan-akan kebutuhan membuat mereka berada pada sudut
kemiskinan dan kehinaan. Dan kepada amil zakat, artinya orang
yang berusaha mengumpulkan dan menyalurkan kepada pembagian
zakat tersebut. Dan kepada orang yang dilunakkan hatinya untuk
masuk Islam. Dan dibagikan juga kepada hamba sahaya yaitu
membebaskannya atau memerdekakannya dari perbudakan dan itu

7
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, Juz II, 167.
61

adalah yang paling penting dari kepentingan Islam, dan kepada


orang-orang yang berhutang dialah orang-orang yang tenggelam
atau kehilangan hartanya dan tidak cukup untuk memenuhi
hutangnya. Dan juga membagikannya bagian di jalan Allah sebagai
perlengkapan orang-orang ahl jihād karena itu adalah penting untuk
agama ini, dan orang dalam perjalanan dialah orang yang terpisah
dengan keluarga dan hartanya untuk kemaslahatan syariat, bagian ini
berlaku untuk mereka yang berhak. Kewajiban dari Allah yang
takaran tersebut adalah dari-Nya agar orang-orang mukmin
menjaganya dan Allah lah yang maha mengatur terhadap perkara
hamba-Nya, dzat yang Maha Mengetahui terhadap pembagian
sedekah serta bijaksana dalam membaginya.

8) QS. al-Isrā' 17: 26

ُ َ ْ ْ َٰ
َ َّ ‫َوات َذا ال ُق ْرٰبَٰ َحَّق ٗه َوالم ْسك ْي َن َو ْاب َن‬
‫الس ِب ْي ِل َولا ت َب ِذ ْر ت ْب ِذ ْي ًر ا‬ ِ ِ ِ

"Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang


miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." (Qs. al-Isrā' 17:
26)
Diantara sikap manusia adalah peduli dengan sesamanya, seperti
yang disampaikan pada ayat di atas dimana ayat tersebut berkonteks
bahwa hendaklah seseorang memberikan hartanya yang lebih kepada
orang-orang yang berhak menerimanya, diantaranya adalah orang-orang
miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hariannya, berkaitan
dengan ayat ini al-Jailānī berkata
Dan hendaklah seorang anak tidak cukup dengan hanya
menghormati orang tuanya saja, akan tetapi hendaklah kami
menghormati setiap orang yang mempunyai hubungan saudara
denganmu. Dengan begitu berilah kerabat dekatmu dengan haknya
yaitu hak merendahkan hati kepada mereka dan hak menghormati
mereka jika mereka kaya. Dan berilah mereka infak jika mereka
dalam keadaan fakir. Dan tunaikanlah zakat hartamu dan kelebihan
shadaqahmu kepada orang miskin, yaitu orang yang tidak mampu
memenuhi kebutuhannya serta kebutuhan pokok dari keluarganya
dan juga kepada orang yang dalam perjalanan yang jauh dari
negerinya yang dimana mereka tidak mempunyai bekal.
62

Tunaikanlah infakmu dengan cermat dan adil dan janganlah kalian


membuat mubazir, artinya tidak boros dengan boros yang berlebihan
yang melebih kadarnya seperti kepada sesuatu yang tidak bermakna.
Ingatlah boros dan juga kikir adalah sesuatu yang tercela baik secara
‘aqli maupun secara syar'i

9) QS. al-Kahf 18: 79

ُ َ َ ْ َ ْ َ ُّ ْ َ َ ْ ْ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ ُ َ ْ َّ ََّ
‫الس ِفينة فكانت ِل َم َٰس ِك ْين َيع َمل ْون ِف ال َبح ِر فا َردت ا ن ا ِعي َب َهاَۗ َوكان َو َرا َۤءه ْم‬ ‫اما‬
ْ َ َْ َُّ ُ ُ ْ
‫َّم ِلك َّيأخذ كل َس ِفين ٍة غص ًبا‬

"Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut;
aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang akan merampas setiap perahu." (Qs. al-Kahf/ 18: 79)

Kemudian dengan ringkas Khidir menjelaskan ia berkata sedangkan


perahu yang aku tenggelamkan dengan ilham Allah kepadaku dan
untaian nya di dalam hatiku, adalah milik orang miskin yaitu orang-
orang lemah yang tak mempunyai pekerjaan kecuali perahu tersebut
yang dengannya ia bekerja di laut dan berpenghidupan dengannya
maka aku ingin menenggelamkannya artinya aku akan jadikan
perahu tersebut tidak ada, dan dibelakangnya terdapat raja yang
zalim dan berbuat jahat kepada mereka dan dia akan mengambil
setiap perahu yang bagus yang tidak rusak tersebut secara paksa,
zalim, secara cuma-cuma tanpa fidyah dan aku jadikan rusak
sehingga tetap dimiliki oleh mereka, dan itu atas izin Allah yaitu
inayah yang disampaikan oleh Allah SWT. Untuk hamba-hambanya
yang lemah dan untuk kemaslahatan mereka. 8
10) Qs. an-Nūr 24: 22

ْ َ ْ ْ
َٰ ُ ْ ُ ُ ْ ْ َ َ ُ ْ َْ ُ ُ َ َ ََ
َّ ‫ضل م ْنك ْم َو‬
‫السع ِة ان ُّيؤت ْوْٓا ا ِول الق ْرٰب َوال َم َٰس ِك ْين َوال ُم َٰه ِج ِر ْي َن ِف ْي‬ ِ ِ ‫ولا يأت ِل اولو الف‬
ْ َّ ْ ُ َ ُ ‫ه َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ َ ُ ُّ ْ َ َ ْ َّ ْ َ ه ُ َ ُ ْ َ ه‬
‫تحبون ان يغ ِفر اّٰلل ل كمَۗواّٰلل غفور ر ِحيم‬ ِ ‫َس ِب ْي ِل‬
ِ ‫اّٰللۖوليعفوا ول يصفحواَۗ الا‬

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan


kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan

8
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, Juz III, 92.
63

memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan


orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka
memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa
Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.." (Qs. an-Nūr/ 24: 22)
Ayat ini adalah tentang Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, dan dia
bersumpah untuk tidak memberikan kekayaannya kepada Miṣṭah lagi.
Miṣṭah adalah putra bibi Abu Bakar, yang dikenal sebagai orang miskin
dari Kelompok Muhajirin, dan juga merupakan orang yang ikut
pertempuran Badar.
Alasan pengambilan sumpah tersebut adalah karena Abu Bakar
kecewa ketika diketahui bahwa Miṣṭah terlibat dalam hadiṡ al-ifk tentang
Aisyah, istri Nabi, maka kemudian turunlah ayat ini. 9 Ayat ini berkonteks
bahwa hendaklah orang yang dilapangkan rezekinya oleh Allah swt
memberikan kelebihan tersebut kepada kerabat dekat, orang-orang miskin
dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah swt. ini guna mendapat
ampunan dan keridaan Allah swt, dalam ayat ini al-Jailānī menjelaskan
dalam tafsirnya
Setelah datang dari orang-orang yang menuduh dan orang-orang
yang berbohong, orang-orang mukmin berpaling dari mereka dan
enggan untuk memberi infak serta menjaga mereka, dan bersumpah
untuk tidak memberi mereka infak sama sekali walaupun sebagian
dari mereka berada pada puncak kekurangan maka Allah kemudian
menegurnya dan menganjurkan mereka (orang-orang mukmin)
untuk berinfaq dan memerintah mereka untuk berbuat baik seraya
berfirman dan hendaklah tidak bersumpah orang-orang yang
diberikan kelebihan dalam agama di antara kalian dan orang-orang
yang diberikan kelapangan dalam rezeki kepada hendak tidak
memberi kerabat-kerabat dekat artinya orang-orang fakir yang masih
ada hubungan dekat denganmu duhai orang-orang mukmin dan
orang-orang miskin yang tak mampu mencukupi kebutuhan
kesehariannya apalagi orang-orang fakir dan orang-orang yang
hijrah di jalan Allah yaitu orang-orang yang mengorbankan ruh

9
Jalaluddin Abī Abdur Rahmān as-Suyūtī, Lubāb an-Nuqūl fī asbān al-Nuzūl,
185.
64

mereka di dalam menyebarkan agamanya dengan sebab mereka


tenggelam dalam maksiat kebohongan dan pemalsuan dan mereka
datang dengan kebohongan yang besar dan suka menyebar luaskan
itu, dan mengada-ada kata dengan zalim dan palsu. 10
11) QS. Ar-Rūm 30: 38

َ ْ َّ َ َ َٰ ْ ْ
َ ْ َ ُ َّ ‫َف َٰات َذا ال ُق ْرٰبَٰ َحَّق ٗه َوالم ْسك ْي َن َو ْاب َن‬
‫الس ِب ْي ِلَۗ ذ ِلك خ ْي ر ِلل ِذين ُي ِر ْيد ْون َوجه‬ ِ ِ ِ
َ ُ ْ ْ ُ َ ٰۤ َ ‫ه‬ ُ
‫ۖواول ِٕىك ه ُم ال ُمف ِلح ْو ن‬ ‫اّٰلل‬
ِ

"Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang


miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih
baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung." (Qs. ar-Rūm/ 30: 38)
Konteks ayat ini adalah pemberian sedekah dari orang yang
menginginkan keridaan Allah, dan sedekah tersebut disalurkan kepada
kerabat dekat orang miskin dan orang dalam perjalanan yang dimana
mereka berhak mendapatkan hak itu. Dalam tafsirnya al-Jailānī bekata
“Dan setelah Allah SWT. memberikan isyarat terkait kelapangan
rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya dan mencabutnya dari
orang yang dikehendaki-Nya, itu sesuai dengan kehendak dan
pemilihan-Nya maka, kemudian Allah SWT. ingin memberikan
petunjuk terkait pembelanjaannya Ia berfirman kepada kekasihnya
Muhammad SAW. sebagaimana ia layak untuk menyampaikan
wahyu ilāhiyyah tersebut ‘Maka berilah artinya memberikanlah
engkau wahai paling sempurnanya rasul dari kelebihan harta
ataupun kenikmatan yang telah diberikan untukmu, yaitu kepada
kerabat dekat, yang memiliki kedekatan saudara dengan kedua orang
tuamu berilah hak mereka yaitu sesuatu yang layak bagi mereka
untuk menjaga ṣilah (hubungan) dan memeliharanya, merekalah
yang leih utama untuk dijaga dan dipelihara daripada yang lainnya.
Dan setelah mereka, yang perlu dibantu juga adalah orang miskin
yang dilanda kefakiran yang hina, dan senantiasa menjaga
kehormatannya...”

10
Abdul Qādir al-Jailānī, Tafsīr al-Jailānī, Juz III, 290.
65

12) Qs. al-Insān 76: 8

َ ً ًْ ُ َٰ َ َ َ َّ َ ْ ُ ْ ُ َ
‫ام على ح ِب ّٖه ِم ْس ِكينا َّو َي ِت ْيما َّوا ِس ْي ًرا‬ ‫ويط ِعمون الطع‬

"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang


miskin, anak yatim dan orang yang ditawan," (Qs. al-Insan 76: Ayat
8)
Pada surah al Insan, tepatnya pada ayat yang ke-8 yang berkonteks
tentang memberikan sesuatu yang mereka cintai (makanan) kepada
mereka yang lebih berhak dan membutuhkan, ini sebagai bentuk cinta
mereka kepada Allah yaitu mengutamakan ketaqwaan mereka dari pada
hawa nafsunya yang diantaranya adalah memberinya kepada orang
miskin. Al- Jailānī berkata
“Dan dari kesempurnaan tenggelam di dalam menghadirkan wajah
Allah SWT. yang mulia ialah memberi makan artinya rezeki baik
secara materi maupun non-militer materi , itu adalah penyampaian
kepada mereka dari Allah SWT. sebagai nilai ketaqwaan dan
evaluasi, penyambutan serta pemuliaan atas apa yang dicintainya
untuk mencari rida-Nya, yaitu kepada orang miskin yang dilanda
kefakiran dan membuatnya enggan meminta-minta dan kepada anak
yatim yang dilanda kesengsaraan dan kepada tawanan yang dilanda
kehinaan”.

13) Qs. al-Balad 90: 16

‫ة‬ ََْ َ َ ًْ ْ َْ
ٍَۗ ‫او ِمس ِكينا ذا مترب‬

"atau orang miskin yang sangat fakir." (Qs. al-Balad/ 90: 16)

Ayat ini berkonteks terkait anjuran memberi makan kepada orang


miskin setelah anak yatim, yang masih kerabat. Al-Jailānī dalam tafsirnya
menyebutkan
“Ia ditimpa kefakiran dan terasingkan di tanah yang hina dan kecil.”
66

B. Kategorisasi Miskin dalam Tafsir al-Jailānī


Tabel 4.2 Klasifikasi Tafsiran Kategorisasi Miskin
No Surah Term Makna Konteks Ayat Makna Isyari
1 Al- ‫مساكني‬ Orang- Mengambil janji Bani ‫الذين َل ميكنهم الكسب لعدم‬
Baqarah orang Israil ‫مساعدة‬
(2) 83 miskin
2 Al- ‫مساكني‬ Orang- Penerima sedekah di ‫الذين أسكنهم املذلة و اهلوان‬
Baqarah orang antara yang dicinta
(2) 177 miskin
3 Al- ‫مساكني‬ Orang- Penerima nafaqah ‫الذين أسكنهم الفقر العارض هلم‬
Baqarah orang setelah orang tua, ‫من عدم مساعدة اَلت الكسب‬
(2) 215 miskin kerabat, anak yatim.
‫و احلوادث اْلخر‬
4 An-Nisā’ ‫مساكني‬ Orang- Memberikan sebagian ‫الفاقدين وجه املعاش‬
(4) 8 orang rizki dari pembagian
miskin wari
5 An-Nisā’ ‫مساكني‬ Orang- Kelompok [lemah] ‫الذين أسكنهم الفقر يف زاوية‬
(4) 36 orang yang harus ‫اهلوان‬
miskin diperlakukan dengan
baik (ihsân)
6 Al-Anfāl ‫مساكني‬ Orang- Asnaf dalam ‫الذين أسكنهم الفقر و الفاقة يف‬
(8) 41 orang pembagian ghanimah ‫زاوية اْلهوان و املذلة‬
miskin
7 QS. At- ‫مساكني‬ Orang- Pembagian shodaqoh ‫الذين هلم مكسب و صنعة لكن‬
Taubah orang ‫َل تفي لعياهلم كأن اَلحتياج‬
(9) 60 miskin
‫أسكنهم يف زاوية املسكنة واهلوان‬
8 Al-Isrā’ ‫مسكني‬ Orang- Memberi hak-hak ‫الذي َل يقدر على قوته و قوت‬
(17) 26 orang ‫عياله‬
miskin
9 Al-Kahf ‫مساكني‬ Orang- Pembelajaran Musa ‫ضعفاء َل مكسب هلم سواها‬
(18) 79 orang dengan Abdullah
miskin (Nabi Khidir)
10 An-Nūr ‫مساكني‬ Orang- Anjuran kepada orang ‫الفاقدين لقوت يومهم َل سيما‬
(24) 22 orang yang dilapangkan ‫الفقرأ‬
miskin rezeki oleh Allah
untuk membaginya
11 Ar-Rūm ‫مسكني‬ Orang Orang miskin berhak ‫الذين أسكنهم الفقر يف هاوية‬
(30) 38 miskin mendapatkan hak ‫اهلوان و زاوية احلرمان‬
pemberian sedekah
dari orang yang
menginginkan
keridaan Allah
12 Al-Insān ‫مسكني‬ Orang Diberi makanan yang ‫أسكنه الفقر و أزعجه إىل املعانة‬
(76) 8 miskin disukai ‫و السؤال‬
13 Al-Balad ‫مسكني‬ Orang Memberikan makanan ‫أسكنه الفقر و أغربه يف التاب‬
(90) 16 miskin yang disukai
67

Tabel di atas adalah pengelompokan kategorisasi miskin di dalam


tafsir al-Jailānī dari dua puluh dua ayat di dalam al-Qur’an yang
menyebutkan lafadz miskīn maka, al-Jailānī memberikan penjelasan
terkait definisi ataupun kriteria miskin adalah hanya pada 13 ayat yaitu
pada surah al-Baqarah ayat 83, 177 dan 215, selanjutnya pada surah an-
Nisā’ ayat 36 dan 8, surah al-Anfāl ayat 41, surah al-Isrā’ ayat 26, surah
al-Kafh 79, surah an-Nūr ayat 22, surah ar-Rūm ayat 38, surah al-Insān
ayat 38 serta terakhir surah al-Balad ayat 16.
Adapun bentuk-bentuk kategorisasi miskin yang disampaikan oleh
al-Jailānī dalam tafsirannya adalah sebagai berikut.

a. Miskin adalah orang-orang yang kehilangan pekerjaan


Di antara pendefinisian makna lafaz miskīn maka al-Jailānī dalam
tafsirannya menjelaskan terkait kategorisasi miskin yang pertama yaitu
orang-orang yang miskin disebabkan hilangnya pekekerjaan, hilangnya
pekerjaan tersebut dikarenakan beberapa faktor.
Yang pertama misalnya, hilangnya pekerjaan yang sifatnya tiba-tiba
baik itu ia dipecat dalam pekerjaannya ataupun ia bangkrut dalam

usahanya, al-Jailānī menyebutnya sebagai ‫الفاقدين وجه المعاش‬ yang berarti

orang-orang yang kehilangan penghidupannya (pekerjaan).

Faktor selanjutnya, tiadanya bantuan alat-alat untuk usaha, sehingga

ia tidak bisa bekerja dan berpenghasilan, keadaan tersebut sifatnya adalah

tiba-tiba, artinya sebelumnya ia adalah orang yang memiliki pekerjaan


atau bekerja, namun karena adanya bencana atau hal-hal yang lain yang

menyebabkan alat-alat untuk usahanya hilang. Misalnya tukang bakso

yang sebelumnya bekerja dan tidak dikategorikan miskin, namun ketika

gerobaknya kebakaran atau hilang dan menyebabkan ia tak dapat bekerja


68

lagi dengan begitu ia disebut miskin. Dalam contoh yanag lain juga adalah

penjual sayur keliling yang sebelumnya, berjualan sayur adalah bentuk

usahanya, namun pada suatu waktu tiba-tiba motor atau sepeda yang

digunakannya untuk berjualan dicuri maling. Faktor tersebut

menyebabkan ia tidak bisa lagi berjualan keliling dengan sepeda atau


motornya tersebut. Al-Jailānī dalam tafsirnya mengatakan

ُ ‫الَّذين أسكن ُه ُم الفق ُر العار‬


‫ض هلُم من عدم ُمساعدة اَلت الكسب و احلوادث‬
‫اْلخر‬
Kemudian selanjutnya, masih dalam faktor yang sama yaitu orang-

orang yang tidak mampu bekerja atau mendapatkan penghasilan karena

tiadanya bantuan dari sekitar. Miskin di sini disebabkan karena ia tidak

bekerja dan tidak memiliki pekerjaan, sama dengan yang di atas, penyebab

dari ia tidak memungkinkan bekerja adalah tiadanya bantuan untuk

melakukan pekerjaannya, misal seorang pengusaha yang terjerat hutang


dan ia tidak mampu untuk membayarnya sehingga apa yang dimilikinya

disita. Barang-barang yang biasa digunakannya untuk bekerja seperti

kantor, kendaraan bahkan rumah yang dimilikinya sudah tiada lagi,

keadaan tersebut membuatnya disebut miskin. Singkatnya adalah ia

memiliki potensi dalam bekerja, hanya saja sesuatu yang mendukungnya

untuk bekerja tidak ada serta tidak adanya bantuan untuknya, sesuatu yang
dimaksud di sini adalah seperti alat-alat untuk usaha tersebut. Dalam hal

ini al-Jailānī menafsirkan lafaz miskīn pada surah al-Baqarah ayat 83, ia

berkata

ُ ‫الَّذين َل ُميكنُ ُه ُم الكس‬


‫ب لعدم ُمساعدة‬
69

Di dalam tafsirannya al-Jailānī juga menyebutkan bahwa orang-


orang miskin adalah ḍu’afa’ yang merupakan bentuk jamak dari ḍa’if
secara bahasa dapat diartikan orang yang lemah, maka makna dari ḍu‘afā’
adalah orang-orang yang lemah. Pemaknaan secara luas dapat berarti
ḍu‘afā’ adalah orang yang lemah dalam segi finansial maupun secara
jasmani. Dengan begitu maka yang termasuk dalam kata ḍu‘afā’ ini adalah
hamba sahaya, orang dalam tahanan, kaum difabel atau cacat fisik
kemudian juga orang yang lanjut usia, bahkan orang yang tertimpa
bencana pun bisa disebut dengan kalangan ḍu‘afā’ karena mereka
kehilangan harta bahkan tempat tinggalnya dan ini termasuk pada lemah
dalam segi finansial. Kata ḍu‘afā’ ini disampaikan oleh al-Jailānī dalam
tafsirnya ketika menafsirkan surah al-Kahf ayat 79, al-Jailānī memaknai
miskin sebagai berikut
‫ضعفاء َل مكسب هلُم سواها‬
ُ
yaitu orang-orang yang lemah yang tidak memiliki penghasilan atau
pekerjaan kecuali satu itu “safīnah”
Selanjutnya, bentuk yang lain dalam kategori miskin di sini adalah
orang yang masih mempunyai pekerjaan atau penghasilan namun,
penghasilan tersebut tidak dapat mencukupi keluarganya seakan-akan
kebutuhan yang dimilikinya jauh lebih besar dari pendapatannya. Atau
dengan artian lain miskin adalah orang yang berpenghasilan atau
mempunyai pekerjaan namun penghasilannya tidak mencapai nisab,
sehingga al-Jailānī dalam tafsirnya menyebutkan

ُ ‫الَّذين هلُم مكسب و‬


‫صن عة لكن َل تفي لعياهلم كأ َّن اَلحتياج أسكن ُهم يف زاوية‬
‫المسكنة واهلوان‬
b. Orang yang Tidak Mampu Mencukupi Kebutuhan Harian
70

Keadaan miskin disini adalah keadaan kekurangan dalam


penghidupannya, al-Jailānī menyebutnya sebagai orang yang tidak mampu
memenuhi kehidupan seharinya, al-Jailānī mendefinisikan keadaan miskin
seperti ini pada surah an-Nūr ayat 22 dalam tafsirnya al-Jailānī
mengungkapkan

‫الفاقدين ل ُقوت ي ومهم َل سيما ال ُفقرأ‬


Penjelasannya menggunakan lafaz (qūt) yang berarti makanan
pokok. Makanan pokok di setiap Negara terkadang berbeda-beda misal, di
Indonesia makanan pokoknya adalah beras, di India makanan pokoknya
adalah gandum dan lain sebagainya dan itu adalah kebutuhan primer,
artinya orang miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan primer, seperti
itulah keadaan miskin apalagi fakir, lebih parah dari pada itu. Jika dilihat
siyāq al-āyat adalah anjuran kepada orang yang dilapangkan rezeki, yang
mampu memenuhi kebutuhan primer bahkan sekunder dan tersiernya
untuk memberikan sebagiannya kepada orang miskin yang tak mampu
memenuhi kebutuhan primernya.
Bukan hanya tak mampu memenuhi kebutuhan pokok dirinya
sendiri, lebih dari itu miskin tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
pokok dari pada keluarganya seperti yang disebutkan oleh al-Jailānī dalam
tafsirnya ketika menjelaskan surah al-Isrā’ ayat 26 dengan penjelasan al-
Jailānī dalam tafsirnya yaitu

‫الَّذي َل ي قد ُر على قُوته و قُوت عياله‬


c. Orang yang Membutuhkan tapi Tidak Mau Meminta
Bentuk miskin selanjutnya adalah sama keadaannya dari
sebelumnya, yaitu orang-orang yang membutuhkan. Namun bentuk miskin
71

pada kategorisasi ini lebih enggan untuk meminta-minta. Mereka menjaga


diri dari meminta kepada manusia, seperti yang disabdakan oleh Nabi saw.

ُ ُ‫اف الَّذي يط‬


ُ‫وف على النَّاس ت ُرُّدهُ اللُّقمةُ واللُّقمتان والتَّمرة‬ ُ ‫ني ِبذا الطََّّو‬
ُ ‫ليس المسك‬
ُ‫اَّلل قال الَّذي َل َي ُد غ ىًن يُغنيه وَل يُفط ُن له‬ َّ ‫ني َي ر ُسول‬
ُ ‫والتَّمرَتن قالُوا فما المسك‬
‫ف يُ تص َّد ُق عليه وَل يس أ ُل النَّاس شيأى‬
Artinya: ‘Bukanlah orang miskin bagi mereka yang berkeliling
untuk meminta-minta kepada orang banyak, lalu kemudian ia diberi
satu atau dua suapan, dan satu atau dua kurma’. Kemudian para
sahabat bertanya ‘kalau begitu seperti apakah orang miskin itu wahai
rasulullah’. Kemudian Nabi menjawab ‘orang miskin sesungguhnya
adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi
kehidupannya, namun keadaannya itu tidak diketahui orang agar
orang tersebut bersedekah kepadanya, dan tidak pula meminta-minta
sesuatu kepada orang lain’
Miskin pada kategorisasi ini adalah orang yang menjaga sifat iffah
pada dirinya yang di dalam pengertiannya adalah menjaga atau menahan
diri dari syahwat kemaluan dan syahwat perut dengan cara meminta-
minta, di sini dengan artian mereka enggan mengemis meskipun
keadaannya yang kekurangan, al-Jailānī menyebutkan penjelasan ini pada
surah al-Insan ayat 8 tentang anjuran memberi kepada orang miskin
dengan sesuatu yang dicintai. Miskin dijelaskan oleh al-Jailānī sebagai
‫السؤال‬
ُّ ‫أسكنهُ الفق ُر و أزعجهُ إىل ال ُمعانة و‬
Dengan begitu bukanlah disebut miskin orang yang yang meminta-
minta ataupun mengemis dengan mengharap bantuan orang lain, miskin
sebenarnya menurut al-Jailānī adalah orang-orang yang mengharap dan
pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah swt. tidak pada yang lainnya.
Di dalam tafsirnya al-Jailānī menyebutkan bahwa miskin pada
kategorisasi ini adalah orang yang menjaga kehormatan dirinya hirmān ia
berkata
72

‫الَّذين َأسكن ُه ُم الفق ُر يف هاوية اهلوان و زاوية احلرمان‬


Selaras dengan makna ini al-Qusyairī dalam tafsirnya yang
cenderung pula kepada sufistik menyebutkan bahwa miskin adalah 11

‫ت و َل ِبْلخرة يشتغ ُل وآل بغري موَل ُه‬


ُ ‫ َل إيل الدُّن يا ي لتف‬,ُ‫من َل يرضى بغري موَله‬
‫يكتفي‬
d. Miskin Adalah Orang yang Berada Dalam Kehinaan

Pada kategori selanjutnya adalah miskin digolongkan sebagai orang


yang berada dalam kehinaan, diantara faktornya adalah dimana sifat orang
miskin yang memilih pola hidup sakana yang dapat diartikan dengan
berdiam, tidak mengembangkan skill, memiliki sifat jumud serta statis.
Dengan begitu dapat disimpulkan miskin pada kategori ini tidak memiliki
keinginan yang kuat untuk berubah meningkatkan perekonomiannya
kepada yang lebih baik lagi.
Dalam tafsirnya al-Jailānī menyebut dan mendefinisikannya dengan

‫الَّذين أسكن ُه ُم ال ُمذلَّة و اهلوان‬


Kemudian bisa juga disebutkan bahwa keadaan miskin dalam
kategori ini cenderung kepada terkungkung atau berada dalam
kesengsaraan. Berkaitan dengan ini al-Jailānī memberikan penjelasan
tentang makna miskin yaitu
‫الَّذين أسكن ُه ُم الفق ُر يف و زاوية اهلوان‬
yaitu orang-orang yang dilanda kekurangan faqr yang berada di zāwiyah
kesengsaraan, itu yang disebutkan oleh al-Jailānī di dalam tafsirnya pada
surah an-Nisā’ ayat 36, di ayat ke 41 pada surah al-Anfal. Zāwiyah di sini

11
Abdul Karīm al-Qusyairī. Lathā’if al-Isyārāt, Juz II (Beirut: Dār al-Kutub, 2001), 37.
73

hanya jadi muḍāf, sedangkan kata benda utamanya adalah al-hawān, ini
adalah merupakan kiasan untuk kelompok sufi yang nampak merendahkan
diri dengan pakaian yang dipakainya. Selain itu juga bahwa Zāwiyah
biasanya adalah tempat seorang sufi dalam menimba ilmu atau
memperdalam tarekat selain itu juga dapat diartikan sebagai tempat
tinggal orang-orang fakir miskin. bentuk mufrad dari pada lafaz ‫ زويا‬yaitu
adalah suatu ruangan yang biasanya terdapat pada pojokan masjid. Dan
merupakan tempat mutaṣawwifin untuk melakukan zikir dan juga
menuntut ilmu. Di dalam al-Mu‘jam al-Wasiṭ juga disebutkan bahwa
zāwiyah ini merupakan tempat tinggal orang-orang sufi. Secara literasi
diamana kata zāwiyah adalah kata yang diambil dari bahasa arab yang
bermaknakan pojok ataupun sudut, yang dimaksudkan adalah pojok
masjid dimana ini adalah tempat orang-orang miskin berkumpul untuk
mendengarkan pelajaran dari para masyāyikh. Dapat diartikan bahwa
orang miskin ini adalah orang yang tinggal di zāwiyah karena tiadanya
tempat tinggal mereka atau dapat juga berarti orang miskin berada pada
sudut kehinaan.
Selain tinggal di zāwiyah atau berada pada sudut kehinaan, miskin
pada kategori ini keadaannya hampir mendekati faqir seperti yang
dijelaskan oleh al-Jailānī
‫الَّذين أسكن ُه ُم الفق ُر و الفاقةُ يف زاوية اْلهوان و ال ُمذلَّة‬
Pada pendefinian di atas al-Jailānī tidak hanya menggunakan lafaz
faqr akan tetapi juga menggunakan lafaz fāqat yang berarti kebutuhan
yang lebih, yang membedakannya dengan fakir adalah ketika al-Jailānī
menafsirkan surah al-Hajj ayat 268, ia menyebutkan fakir adalah ‫الَّذين شل ُهم‬
‫س الفقر و احاطتُهُ ش َّدةُ الفاقة‬
ُ ‫ ب ُؤ‬keadaan ekonomi ini lebih parah dari pada
miskin yang dimana al-Jailānī ketika memaknai miskin hanya menggu
74

lafaz ‫ الفاقة‬saja, di sini, dalam menafsirkan fakir al-Jailānī menyandingkan


lafaz ‫ شدة‬itu menunjukkan bahwa fakir lebih parah keadaannya dari pada
miskin. Dalam ayat yang lain tepatnya pada surah at-Taubah ayat 60 al-
Jailānī mendefinisikan fakir adalah ‫الَّذين َل مال هلُم و َل مكسب هلُم من احلرث‬
ُ ‫ كأنَّهُ يك ُس ُر ف ق ُار ظهره ُم الفاقةُ و اَلحتي‬,‫ أو غريه‬keadaan ini lebih parah dari
‫اج‬
miskin, bukan hanya tidak mempunyai harta maupun pekerjaan, fakir yang
disebutkan oleh al-Jailānī adalah seakan-akan kekurangan atau
kebutuhannya mematahkan tulang punggung, dengan artian kebutuhan
yang sangat, mencekamnya.
e. Miskin Adalah Orang yang Sangat Membutuhkan (żā matrabah)
Bentuk terakhir dari kategorisasi miskin yaitu orang yang sangat
membutuhkan (żā matrabah) yaitu keadaan tidak mempunyai apapun,
seakan-akan hidupnya hanya beratapkan langit dan beralaskan tanah.
Jika ditarik dari akar katanya maka lafadz matrabah diambil dari
kata tariba-yatrabu dan masdarnya yaitu tarib atau turāb. Tarib yang
berartikan keadaan sangat miskin atau tidak mempunyai apapun bahkan
diartikan dengan fakir. Kemudian makna turāb yang dapat diartikan
sebagai debu atau tanah dan jika dikorelasikan dengan keadaan miskin
maka keadaan orang miskin tersebut adalah tidak mempunyai apapun
kecuali tanah, tiada tempat tinggal kecuali di atas tanah, semakna dengan
ini al-Qurtubi mendeskripsikannya dengan12

ُ ‫َل شيء لهُ ح َّّت كأنَّهُ قد لصق ِبلتُّ راب من الفقر ليس لهُ مأىوى إََّل التُّ ر‬
‫اب‬
Tiada sesuatu yang dimilikinya seakan-akan ia menempel dengan
tanah karena kefakiran atau kekurangan tersebut, tiada tempat tinggal
kecuali tanah, al-Jailānī menyebutkan dalam tafsirnya
‫أسكنهُ الفق ُر و أغربهُ يف التُّ راب‬
12
Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī, Jilid 20, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), 424.
75

Tafsiran tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu


Abbas “ia adalah orang yang diasingkan di pinggir jalan, dan tak
mempunyai rumah”. Qatadah menyebutnya sebagai żū al-iyāl.

Mencermati lima contoh penafsiran yang diberikan oleh al-Jailānī


terhadap makna lafaz miskīn dalam tafsirnya, maka penulis mendapatkan
temuan bahwa kesemua makna didasarkan pada makna zahirnya. Al-
Jailānī tidak sama sekali membuat perumpamaan terhadap makna lafaz
miskîn yang mengarah pada pembentukan konsep tasawufnya. Sehingga,
corak sufi yang menonjol di dalam Tafsīr al-Jailānī, seperti diungkapkan
dalam penelitian Riswan Sulaeman yang berjudul “Tafsir Isyari Tentang
Surga dan Neraka Menurut Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī” dan juga
skripsi yang disusun oleh Badriyatul Azizah yang berjudul “al-Hayah
Perspektif Tafsir al-Jailānī” tidak didapati dalam penelitian penulis, karena
penafsiran al-Jailānī di sini cenderung bercorak fiqhî.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun hasil penelitian yang telah penulis lakukan terhadap tafsir
al-Jailānī yaitu tepatnya Miskin dalam Perspektif Tafsir Al-Jailānī, banyak
pemaparan serta penjelasan terkait penelitian ini yang telah penulis tulis
pada bab-bab sebelumnya, maka kemudian di bagian ini penulis akan
memberikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.
Menurut Syaikh Abdul Qādir Al-Jailānī terkait dengan makna dari
lafadz al-Miskīn adalah yang pertama miskin ialah orang-orang yang
kehilangan pekerjaannya dengan itu mereka tidak mampu menjalankan
usahanya (kasab), miskin ialah orang yang tidak mampu mencukupi
kebutuhannya serta kebutuhan keluarganya sekalipun kebutuhan pokok,
kemudian miskin yang secara maknanya adalah orang yang butuh namun
ia lebih menjaga dirinya untuk tidak mengemis bisa dikatakan ia menjaga
sifat ‘iffah, miskin juga disebut sebagai ḍu’afā’ atau orang lemah yang
tidak banyak melakukan apa-apa karena keadaan lemahnya, orang miskin
tidak mampu untuk menolong orang lain dalam segi materi karena
keterbatasan hartanya. selanjutnya, orang miskin adalah orang yang hanya
memiliki satu pekerjaan atau usaha, jika usaha itu diambil maka, tidak ada
pekerjaan lain yang menggantikannya, meskipun mempunyai pekerjaan
namun penghasilan dari pekerjaan itu tidak dapat mencukupi
kebutuhannya serta terakhir adalah miskin yang sangat parah keadaannya
sehingga miskin di sini dapat dikatakan tidak mempunyai apapun kecuali
tanah yang dipijaknya. Fakir lebih parah keadaannya dari pada miskin
yang telah disebutkan sebelumnya, terkait fakir al-Jailānī keadaannya
adalah diammana ia tidak hanya kekurangan harta mapun penghasilan,
akan tetapi kekurangan yang dialaminya sangatlah mendesak.

77
78

B. Saran
Setelah penelitian serta pengkajian terhadap tafsir al-Jailānī ini,
maka kemudian berangkat dari hal tersebut penulis menyadari bahwasanya
masih terdapat banyak celah dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis
ini, dengan begitu membutuhkan kajian yang berkelanjutan. Dengan
ditulisnya skripsi ini. Hendaknya para pembaca bisa paham terkait miskin
yang dimaksud, dimana orang miskin itu cenderung kepada sifat qanā‘ah
dan juga ‘iffah tidak mengantarkan kepada meminta-minta kepada
manusia.
Miskin dalam Perspektif Tafsir al-Jailānī Yang diteliti oleh penulis
pada saat ini, yaitu hanya dalam satu sudut pandang al-Jailānī. Saran dari
penulis adalah penelitian ini masih bisa diperluas seperti pemaknaan yang
mendasar terkait dengan fakir yang biasa disandingkan dengan miskin,
juga sehingga diharapkan para peneliti yang akan datang bisa lebih
memperdalam lagi terkait kajian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abd Karīm. Lathā’if al-Isyārāt. Beirut: Dār al-Kutub, 2001.


Abdul Adzīm. manāhil al-Irfān fī Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Matba‘ah Īsā
al-Bābī al-Halabī wa Syarakahu, 1943.
Abdul Bāqī, Muhammad Fuad. Al-Mu‘jam al-Mufahras li alfāẓ al-Qur’an.
Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyah, 1945.
Abu al-Husain, Ahmad. Maqāyis al-Lughah, Kairo. Dar al-Fikr, 1979
Abuddin, Nata. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Radja Garfindo Persada, 2002.
Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, Mu'jam Maqāyis al-Lughah. Beirut: Dar
al-Fikr, 1970.
Al-Aṣfahānī, Al-Husain ibn Muhammad Al-Rāghib Al-Rāgib. Mufrodat
Alfādz al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Syamiyah, 2009.
Azizah, Badriyatul. “Al-Hayāh Perspektif Tafsir al-Jailānī”. Skripsi S1.,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Baihaqi, Kiki. “Mental Miskin Menurut Al-Qur’an” Skripsi S1., Institut
Agama Islam Negri Surakarta Jawa Tengah, 2019.
Dede Rodin. “Rekonstruksi konsep fakir dan miskin sebagai mustahik
zakat”. Jurnal Ijtihad. Vol. 15, No. 1 (Juni, 2015): 137-158.
Firdaus, Syahrul. “Konsep Miskin Menurut Al-Qur’an”. Skripsi S1.,
Universitas Islam Negri Alauddin Makassar, 2014.
Gulo. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
2002.
Hadi, Sofyan. “Problema Miskin dan Kaya dalam Pandangan Islam”
Jurnal Asy-Syir’ah. Vol. 43, No. II (Desember, 2009): 457-470.
Ilhamy, Fiqri Auliya. “Hadits Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah dakam
Kitab Ta’wil Mukhtaliful Hadits”. Skripsi S1., Uneversitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

79
80

Al-Jailānī, Abdul Qādir, Tafsīr al-Jailānī. Quwait: al-Maktabah al-


Ma‘rufiyah, 2010.
-------. futūh al-Ghayb. Riyadl. Dār al-Hadi, 2013.

Al-Kailānī, Abdur Razzāq. As-Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī al-Imām al-


Zāhid al-Qudwah. Beirut: Dār al-Qalam, 1994.
Ibnu Katsīr, Ismail. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Riyaḍ: Dār Kunūz
Eshbelia, 2009.
Lubis, Fauzi Arif. “Miskin Menurut Pandangan Al-Qur’an”. Jurnal
Tansiq. Vol. 1, No. 1 (Januari – Juni, 2018): 67-82.
Mahbub Junaidi. “Pemikiran Kalam Syaikh Abdul Qādir al-Jailān”. Jurnal
Studi Keagamaan, Pendidikan, dan Humaniora. Vol. 5 No. 2
(Oktober, 2018): 163-178.
Masyah, Syarif Hadi. The Wisdom of Abdul Qādir al-Jailānī. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Al-Muqbil, Umar bin Abdullah. Kaidah Al-Qur’an untuk Jiwa dan
Kehidupan. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2015.
Muslim, Abū al-Husain bin al-Hajjāj. Ṣāhīh Muslim. Beirut: Dār al-Kitāb
Ilmiyyah, 1412.
Al-Nakdalī, Ṣalāh al-Dīn. Jawāhir al-Fath al-Rabbānī. Jerman: al-Dār al-
Islamiyah li al-I’lam, 2011.
Al-Nasa’ī, Ahmad bin Syu’aib. Sunan an-Nasā’i. Riyaḍ: Dār al-Hadarah li
al-Nasyr wa al-Tauzī‘, 1998.
Nasir, M. Ridlwan. Perspektif Baru Metode Tafsir Muqarin Dalam
Memahami al-Qur’an. Surabaya: Imtiyaz, 2010.
Purwanto, Tinggal. Pengantar Studi Tafsir. Yogyakarta: Adab Press,
2013.
Al-Qaṭṭān, Manna‘ Khalīl. Mabāhīṡ fī Ulūm al-Qur’an‫ ز‬Kairo: Wahbah,
1995.
81

Al-Qahthani, Said bin Musafir. Buku Putih Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī.
Jakarta: Dārul Falāh, 2003.
Al-Qazwinī, Muhammad bin Yazīd. Sunan Ibn Mājah, Kairo: Dār Ihyā’
al-Kutub al-‘Arabiyah, 1918.
Al-Qurṭubī, Abdullah Muhammad bin Ahmad. Tafsir al-Qurṭubi, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008
Ramadhani, Sahara. Kisah Penyejuk Jiwa Syaikh Abdul Qādir al-Jailānī.
Yogyakarta. Anak Hebat Indonesia, 2021.
Ritonga, Rahman. “Memaknai Terminologi Fakir Dan Miskin Dalam
Kontek Amil Zakat Masa Kini” Jurnal al-Hurriyah, vol. 15 no. 2,
(Juli-Desember, 2014): 92-104.
Al-Syarbinī, Syamsuddīn bin Muhammad,.Al-Sirāj Al-Munīr. Kairo: Al-
Quds, 2018.
Siyoto, Sandu & Sodik, M. Ali, Dasar Metodologi Penelitian.
Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015.
Sitepu, Anwar. “Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan
(Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria Fakir Miskin)” Jurnal
Informasi, vol. 17 no. 1, (Januari, 2012): 48-63.
Al-Suyuthī, Jalāluddīn. al-Dūr al-mantsūr fī al-Tafsīr al-Ma`tsūr. Beirut:
Dar al-Fikr, 2011.
———. Lubāb an-Nuqūl fī asbān an-Nuzūl. Beirut: Mu’assisatul Kutub
as-Saqafiyah, 2002.
Al-Zamakhsyarī. Al-Kasysyāf ‘An Haqāiq al-Tanzīl Wa ‘Uyūn al-Aqāwīl
Fī Wujūh al-Ta’wīl, Kairo: Al-Quds: 2018.
Az-Zuhailī, Wahbah. Al-mausū’ah al-Qur’aniyah al-Muyassarah. Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu’ashirah, 2002.

Anda mungkin juga menyukai