Anda di halaman 1dari 151

PEMAHAMAN HADIS TENTANG PEMAKAIAN SERBAN

MENURUT DR. AHMAD LUTFI FATHULLAH, MA.

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Fahmi Hidayatullael
NIM: 1112034000120

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
PEMAHAMAN HADIS TENTANG PEMAKAIAN SERBAN
MENURUT DR. AHMAD LUTFI FATHULLAH, MA.

Skripsi
Diajukan trnttrk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

Fahmi Hidayatullael
NIM: I I12034000120

Pembimbing

NIP. 19650817 200003 I 001

PROGRAM STIIDI ILMU AL-Q[ R'At[ DAr\ TAFSIR


FAKI]LTAS USHULUDDIN
TINIYERSITAS ISLAM I\IEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H./2018 M.
PENGESAHAN PAI\IITIA UJIAIY

Skripsi berjudul "PEIVAIA ilA I HADIS TENTANG PEtuAKAIAN


SERBAN MENURUT DR AHMAD LUTFI FATHULLAH, MA.',telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 17 November 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu al-Qur'an dan
Tafsir.

JakartA 18 Januari 2018

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Selaetaris Merangkap Anggota


Anggt

NIP. 19630701 199803 1003 NrP. 19680618 1999903 2 001

Anggota

Penguji I Penguji II

NIP. 19750506 200501 2 003

Pembimbing

NIP. 19650817 200003 I 001


LEMBA,R PERI\TYATAAI\

Yang bertanda tangan di bawah ini:

: Fahmi Hidayatullael

NIM :1112034A00120

Program Studi : Ilmu al-Qur'an dan Tafsir

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1, Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk mernenuhi salatr satu

persyaratan memeperoleh gelar strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya hi bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

t7

il1
ABSTRAK

Fahmi Hidayatullael

Pemahaman Hadis Tentang Pemakaian Serban Menurut Dr. Ahmad Lutfi


Fathullah, MA.

Pakaian sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Dengan berpakaian,


manusia akan berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Pakaian berfungsi untuk
melindungi tubuh, menutup aurat, menunjukkan identitas, maupun sekedar bergaya
(style). Salah satu bentuk dari pakaian adalah serban. Serban dikenakan oleh banyak
orang di dunia. Bahkan, hampir semua penganut agama mengenakan serban dengan
versinya tersendiri.

Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. untuk menyempurnakan


akhlak manusia, termasuk dalam hal berpakaian. Sejarah mencatat, Nabi Muhammad
Saw. selalu berpakaian rapih, menutup aurat, dan mengenakan serban. Para Nabi
terdahulu dan masyarakat Arab telah mengenakan serban sebelum Nabi Muhammad
Saw. lahir. Kondisi geografis Arab yang begitu ekstrim menuntut penduduknya
untuk menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya agar terlindungi dari berbagai
ancaman, tak terkecuali Nabi Muhammad Saw. yang merupakan suri teladan bagi
manusia.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pendapat Ahmad Lutfi Fathullah


terkait hadis tentang pemakaian serban. Beliau adalah ulama, tokoh hadis Indonesia,
pendiri sekaligus direktur Pusat Kajian Hadis Indonesia, dan cucu dari Guru Mughni,
ulama kenamaan pada era akhir 1800 M dan awal 1900 M. Hal ini penting dilakukan
guna menjawab persoalan di tengah masyarakat mengenai hakikat serban sebagai
sunah Nabi atau sekedar budaya. Metode yang digunakan adalah metode
kepustakaan (library research) dan wawancara (interview) terhadap Dr. Ahmad Lutfi
Fathullah MA. Dalam menguraikan pembahasan, penulis menggunakan metode
deskriptif analitis. Penulis juga menggunakan metode takhrîj untuk mengetahui
kualitas hadis yang diteliti.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Ahmad Lutfi Fathullah berpendapat
bahwa serban adalah budaya, bukan sunah. Mengenakan serban dapat berpahala bila
diniatkan mengikuti Rasulullah Saw. Mengenakan serban tidak bisa dipaksakan
karena Nabi mengenakan serban bukan atas dasar posisi beliau sebagai penyampai
risalah akan tetapi ketika beliau sebagai seorang pribadi. Orang yang mengenakan
serban dan orang yang tidak mengenakan serban harus saling menghormati dan
menghargai. Kadar keimanan dan kesalehan sesorang tidak dilihat dari pakaian yang
dikenakan, melainkan dilihat dari ilmu, amal ibadah, dan akhlak. Hadis tentang Nabi
mengenakan serban adalah sahîh. Namun hadis tentang keutamaan serban adalah
da’îf.

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Swt., Tuhan semesta alam. Maha Pengasih

Pelimpah kasih. Maha Penyayang Pencurah sayang. Ilāhi Anta Maqṣ ūdī wa Riḍ āka

Maṭ lūbī. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang senantiasa melimpahkan

nikmat, rahmat dan pertolongannya kepada kepada penulis. Berkat izin dari-Nya

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat beserta salam semoga selalu

tercurahkan kepanda Nabi Muhammad Saw. Semoga kita termasuk umatnya yang

senantiasa mengikuti perintahnya dan mendapatkan syafaatnya pada hari kiamat

kelak.

Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “PEMAHAMAN HADIS

TENTANG PEMAKAIAN SERBAN MENURUT DR. AHMAD LUTFI

FATHULLAH, MA.” ini tidak akan selesai jikan hanya mengandalkan daya yang

penulis miliki. Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang yang secara langsung

maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dalam pengantar

skripsi ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

v
4. Bapak Dr. Muhammad Zuhdi, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan motivasi, dan

mengoreksi dalam penulisan skripsi ini. Jazāk Allāh Khairan Katsīra.

5. Bapak Dr. M. Isa H. A. Salam, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberi semangat kepada penulis dan membimbing dalam proses akademik.

6. Seluruh dosen dan Pegawai kampus terutama Fakultas Ushuluddin khususnya dosen

Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang telah bersedia sepenuh hati

menyalurkan ilmu-ilmunya kepada penulis. Sungguh tak dapat terbayarkan semua

yang telah diberikan. Pahlawan tanpa tanda jasa. Jazākum Allāh Khairan Jazīla.

7. Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA selaku narasumber dalam penulisan ini. Tiada kata

yang pantas terucap selain terimakasih atas kesediaan meluangkan waktu untuk

wawancara dan membantu penulis dalam rangka pengumpulan data-data. Beliau

telah memberikan pengalaman yang berharga kepada penulis.

8. Ibu Lisfa Aisyah Sentosa Aisyah, M. Ag, yang telah memberikan arahan dan

bimbinganya kepada penuli. Semoga Allahkabulkan segala hajatnya.

9. Ayah dan Ibu tercinta, yang dengan pengorbanannya, dengan ketulusannya, penulis

dapat tumbuh kembang sampai saat ini, selalu men-support baik moril maupun dan

materil, juga atas doa-doanya yang tiada tara. Tanpa kalian berdua, maka tiadalah

aku yang sekrang ini. Kasih sayangnya bagai pelita, cintanya begitu memberikan

kehangatan, dan doa-doanya begitu menyejukkan. Rabbighfirlī wa li Wālidayya

Warḥ amhumā kamā rabbayānī ṣ aghīrā.

10. Kiyai H. Imaduddin Utsman beserta keluarga, “abamu” dan mamang-mamang

Ponpes Izzatul Islam dan Ponpes Nahdlatul Ulum Cempaka Kresek, yang telah

vi
membimbing penulis dalam menimba ilmu-ilmu agama terutama dalam hal membaca

kitab kuning dan lain sebagainya. Jazākum Allāh Khairn al-Jazā’.

11. Kiyai H. Bahruddin (abi) dan umi beserta keluarga yang telah bersedia sepenuh hati

membimbing penulis dalam menimba ilmu-ilmu agama di pesantren selama kuliah

berlangsung. Jazākum Allāh Khairn al-Jazā’.

12. Ibu (Nenek), kedua bibi, abajilid, abaedi, kang ubed, mbok (alm), Ferdi, Faren,

Nursholehah (almrmh), Teman-teman TH D 2012, keluarga besar UKM HIQMA

UIN Jakarta khususnya divisi Syarhil Qur’an, para sahabat Ponpes Daar el-Hikam,

Rahma, Rudini, Aini, Mang Meni, Ayu S. Harahap, Ummi Hasanah, Syifa, Mia,

Uswah, Desi, Ilham Yendra, Dina, Mawardi, Mg Rifki, Ahmad Samarkondi,

Abdurrahman, Nuraman, Badru, Irfan, Baihaqi, Abi Arif Amaruddin, Umi Eva Nur

Latipah, Lutfi, Mas Husen, Mas Hanafi, Ka handieni, Ka Ade, Ka Kiki, Aal, Nur

Padilah, Rara, Putri, Teh Eli, Teman-teman Team MC UIN, FLP Ciputat, SDN

Kresek II, MTs. Al-Khairiyah, teman-teman “Slank”.

13. Semua keluarga dan teman-teman penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu, dimana pun berada. Terimkasih atas semua doa dan dukungannya. Semoga

Allah membalas dengan kebaikan yang berlimpah baik di dunia maupun di akhirat.

Amin.

Ciputat, 30 Oktober 2017

Fahmi Hidayatullel

vii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………………... xii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Permasalahan Penelitian .......................................................... 8
1. Identifikasi Masalah .......................................................... 8
2. Pembatasan Masalah ......................................................... 8
3. Perumusan Masalah ........................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 9
D. Kajian Pustaka ....................................................................... 10
E. Metodologi Penelitian ........................................................... 15
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 17

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PEMAKAIAN SERBAN


A. Definisi Serban ....................................................................... 19
B. Sejarah Serban ........................................................................ 21
1. Sejarah Serban di Dunia ................................................... 21
2. Masuknya Serban ke Indonesia ........................................ 24
C. Bentuk-Bentuk Serban di Berbagai Negara ........................... 27
1. Bentuk Serban di Jazirah Arab ......................................... 27
2. Bentuk Serban di Negara Afghanistan ............................. 28
3. Bentuk Serban di Kurdistan ..............................................30
4. Bentuk Serban di Iran ....................................................... 31
5. Bentuk Serban di India ..................................................... 32
6. Bentuk Serban di Indonesia ............................................. 33
D. Bentuk Serban di Berbagai Agama ........................................ 39
1. Serban Agama Sikh .......................................................... 39

viii
2. Bentuk Serban pada Agama Yahudi ................................ 40
3. Bentuk Serban pada Agama Kristen ................................ 40
4. Bentuk Serban pada Agama Hindu .................................. 41

BAB III BIOGRAFI DR. AHMAD LUTFI FATHULLAH, MA.


A. Profil Keluarga Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA .................. 42
B. Latar Belakang Pendidikan Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA
................................................................................................ 44
C. Aktivitas Akademis Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA ........... 47
D. Kontribusi Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Terhadap
Masyarakat ............................................................................ 48
E. Karya-Karya Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA ...................... 50

BAB IV PEMAHAMAN HADIS TENTANG PEMAKAIAN SERBAN


MENURUT DR. AHMAD LUTFI FATHULLAH, MA
A. Hadis-Hadis Tentang Pemakaian Serban ............................... 54
B. Takhrîj Hadis-Hadis Tentang Pemakaian Serban .................. 56
1. Takhrîj Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban Hitam
Ketika Fath Makkah ………………………...………….. 57
2. Takhrîj Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban Hitam
Ketika Berkhutbah ……………………………………... 72
3. Takhrîj Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban dengan
Menguraikan Ujungnya di antara Kedua Bahu ………… 85
C. Syarh al-Hadîts dan Pendapat Ulama Terhadap Hadis
Pemakaian Serban …………………………………………. 95
D. Cara Memahami Hadis Dengan Benar Menurut Dr. Ahmad
Lutfi Fathullah, MA. …………………………………...…. 103
E. Penafsiran Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA terhadap Hadis
Tentang Pemakaian Serban ……………………………….. 106

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………….. 114

ix
B. Saran …………………………………………………...…. 114

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...…… 116


LAMPIRAN

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1(a) kufiyah 1 ………………………………………………………….. 28


Gambar 1(b) Kufiyah 2 …………………………………………………………. 28
Gambar 2 Pasthun ……………………………………………………………… 29
Gambar 3(a). Lungee 1 ……………………………………………………….... 29
Gambar 3(b). Lungee 2 ……………………………………………………....... 29
Gambar 4 Pawkul ………………………………………………………….…… 30
Gambar 5 Bentuk Serban Kurdistan ………………………………………..….. 31
Gambar 6 Serban Iran ………………………………………………………….. 31
Gambar 7 Serban India ……………………………………………..…………... 32
Gambar 8. Contoh Serban yang dikenakan Habib Umar …...………………….. 34
Gambar 9. Serban Wali Kutub …………………………………………………. 34
Gambar 10. Serban Al Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi ……………..…. 35
Gambar 11. Contoh Serban yang dikenakan Habib Rizieq ………………….… 35
Gambar 12. Contoh Serban yang dikenakan oleh Habib Lutfi bin Yahya …...… 36
Gambar 13. Serban Habaib Majlis al-Fachriyah ……………………….………. 37
Gambar 14. Serban Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) .......... 37
Gambar 15. Bentuk Serban pada Jamaah Tabligh ...………...…………………. 38
Gambar 16. Serban Jamaah An-Nadzir ……………………………...…………. 38
Gambar 17. Serban Sikh …………………………………………………..…… 40
Gambar 18. Yitzhak Kaduri ……………………………………………………. 40
Gambar 19. Rabbi Yitzhak Yosef …………………………………………….... 40
Gambar 20. Kaum Essene Nasrani ……………………………………………... 41
Gambar 21. Serban Hindu …………………………………………………….... 41
Gambar 22 Bentuk Serban di Arab …………………………………………… 113
Gambar 23 Bentuk Serban di Indonesia ………………………………………. 113

xi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Penulisan skripsi ini menggunakan pedoman transliterasi yang terdapat

pada buku Pedoman Akademik pada tahun 2013:

HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN


- Tidak dilambangkan

B Be

T te dan es

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz de dan zat

R er

Z zet

S es

Sy es dan ye

S es dengan garis di bawah

D de dengan garis di bawah

T te dengan garis di bawah

Z zet dengan garis di bawah


koma terbalik di atas

hadap kanan
Gh ge dan ha

F ef

Q ki

xii
K ka

L el

M em

N en

W we

H ha

‘ apostrof

Y ye

Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal

tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN


A Fathah

I Kasrah

‫ۥ‬ U Ḏ ammah

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

ai a dan i
au a dan u

xiii
Vocal Panjang
Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN


â a dengan topi di atas

î i dengan topi di atas

û u dengan topi di atas

Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu ‫ﺍﻝ‬, dialihaksarakan menjadi huruf/I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun

huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda (ّ‫ )ـ‬, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata َ‫ ﺍلّضَّ وُْر ة‬tidak

ditulis ad-ḏ arûrah melainkan al-ḏ arûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûṯ ah
Berkaitan dengna alih aksara ini,jika huruf ta marbûṯ ah terdapat pada

kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf

/h/.Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯ ah tersebut diikuti oleh kata sifat

(na’t). Namun,jika huruf ta marbûṯ ah tersebut diikuti kata benda (ism), maka

harus tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

xiv
Contoh :

NO KATA ARAB ALIH AKSARA


1 ṯ arîqah

2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah

3 waḫ dat al-wujûd

Huruf Kapital
Meskipun dalam siistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan,dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia,antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat,huruf awal nama tempat,nama

bulan,nama diri,dan lain-lain. Penting untuk diperhatikan,jika nama diri didahului

oleh kata sandang ,maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama

diri tersebut,bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Ḫâmid al-

Ghazâlî bukan Abû Ḫâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (ḫ arf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contohnya:

NO KATA ARAB ALIH AKSARA


1 dzahaba al-ustâdzu

2 Tsabata al-ajru

3 Maulânâ Malik al-Ṣ âliḫ

4 Yu’atstsirukum Allâh

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pakaian berperan besar dalam menentukan citra seseorang. Lebih dari itu,

pakaian merupakan cermin dari identitas, status, hierarki, gender, dan memiliki

nilai simbolik, serta merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga

mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan

sosial, politik, dan religius. Dengan kata lain, pakaian adalah “kulit sosial” dan

kebudayaan. Pakaian dapat dilihat sebagai perpanjangan tubuh, namun sebenarnya

ia bukan merupakan bagian dari tubuh. Pakaian tidak saja dapat menghubungkan

tubuh dengan dunia luar, tetapi sekaligus memisahkan keduanya. Sadar atau tidak

sadar, mau atau tidak mau, kita menaruh harapan besar bahwa pakaian dapat

menggambarkan dengan tepat identitas kita.Melalui pakaian, kita mendefinisikan

dan mendeskripsikan diri sendiri.1

Bagaimanapun juga, pada praktiknya “pilihan bebas” kita dalam

berpakaian dibatasi oleh bermacam-macam kaidah sosial, yang menentukan atau

menyarankan cara-cara berpakaian tertentu dalam konteks tertentu dan tidak

memungkinkan pilihan-pilihan lain, bahkan beresiko jika kita berksikeras

melanggarnya. Disadari atau tidak, kaidah-kaidah berpakaian menjadi sarana

dalam membentuk dan memproduksi berbagai kelompok masyarakat, dalam

1
Henk Schulte Notdholt (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan,
penerjemah M. Imam Aziz (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), h. v.

1
2

pengertian bahwa ikatan yang terjalin di antara kelompok-kelompok ini menjadi

terlihat jelas sehingga sangat sulit dilintasi.2

Pakaian adalah salah satu penanda yang paling jelas dari sekian banyak

penanda penampilan luar, dengan apa orang membedakan diri dari orang lain dan

pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu. Negara-negara

maupun kelompok-kelompok kepentingan telah menggunakan aturan-aturan

berpakaian untuk menciptakan penampilan yang kuat dalam kontrol sosial,

kebangsaan, atau solidaritas kelompok.3

Pakaian merupakan ekspresi tentang cara hidup. Pakaian dapat

mencerminkan perbedaan status dan pandangan politik atau religius. Dengan

demikian, cara seseorang memilih pakaian dapat berfungsi sebagai suatu

pernyataan yang menunjukkan bahwa kita berasal dari kelompok tertentu yang

berbagi sekumpulan ide tertentu. Pandangan-pandangan yang berbeda tentang

bagaimana seharusnya masyarakat diatur tersebar secara meluas pada beragam

pendapat tentang bentuk pakaian yang benar. Pembahasan-pembahasan seperti ini

sering berkonsentrasi pada pakaian tertentu. Bagi perempuan muslim, mungkin

kerudung atau jilbab menjadi simbol tentang suatu cara berpakaian yang khas.

Para pria juga memiliki pars pro toto mereka tersendiri, suatu pelengkap pakaian

yang menjadi fokus pembahasan, namun untuk beberapa orang menjadi fokus

ketidaksukaan. Sejak awal perkenalannya, benda itu merupakan bagian sangat

kecil dari kelengkapan pakaian seorang pria yang boleh dikatakan tidak

2
Henk Schulte Notdholt (ed.), Outward Appearances, h. 2.
3
Kees Van Dijk, “Sarung Jubah dan Celana: Penampilan sebagaimana Sarana Pembedaan
dan Diskriminasi” dalam Henk Schulte Notdholt (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas,
Kepentingan, penerjemah M. Imam Aziz (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), h. 57.
3

berhubungan. Barang yang cocok untuk maksud ini: dasi. Di barat, demikian juga

di Timur Jauh dan Timur Tengah, dasi menjadi sasaran serangan berkala. Sebagai

simbol kehidupan barat modern, dasi telah menjadi soal perdebatan di kalangan

Muslim Indonesia sejak permulaan abad ini.4

Gaya-gaya berpakaian yang dapat dipilih oleh masyarakat demikian

beragam. Pada saat ini warga negara yang sama di Indonesia dapat memilih

pakaian daerah untuk upacara-upacara pernikahan. Pada pertemuan-pertemuan

keagamaan mereka menggunakan pakaian yang menonjolkan latar belakang

kemuslimannya. Memakai kemeja batik modern pada acara resepsi, mengenakan

setelan gaya barat untuk menjalankan negosiasi-negosiasi bisnis yang penting,

berangkat kerja dengan memakai kemeja licin, (kadang-kadang lengkap dengan

dasi); dan apabila ia pejabat penting atau menteri kabinet, ia akan berkeliling

negeri memakai setelan safari.5

Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Dengan

berpakaian manusia akan tampak berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Cara

manusia berpakaian pun berbeda-beda. Tergantung pada budaya dan keadaan

daerah tempat ia tinggal. Orang yang hidup di daerah yang beriklim panas,

misalnya, lebih nyaman menggunakan pakaian yang tipis. Berbeda dengan orang

yang tinggal di daerah yang dingin. Mereka lebih nyaman mengenakan pakaian

yang tebal.

Perbedaan itu pula nampak pada pelengkap pakaian yang dikenakan. Salah

satunya adalah serban. Serban identik dengan pakaian orang-orang timur tengah.

4
Van Dijk, Sarung Jubah dan Celana, h. 58.
5
Van Dijk, Sarung Jubah dan Celana, h. 6.
4

Serban biasa dipakai oleh laki-laki. Cara menggunakannya berbeda-beda. Bahkan

mengenai perbedaan cara memakai serban tersebut, Nabi Muhammad Saw pernah

bersabda

ِ‫حسَنِ الْ َعسْقَلَانِّيُ عَنْ أَبِّي جَعْفَرِ بْنِ مُحَّمَ ِّد بْن‬
َ ْ‫حَّدَثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيّدٍ الّثَقَفِّيُ حَّدَثَنَا مُحَّمَّدُ بْنُ رَبِيعَةَ حَّدَثَنَا أَبُو ال‬
ََ‫عَلِّيِ بْنِ رُكَانَةَ عَنْ أَبِيهِ أَّنَ رُكَانَةَ صَارَعَ النَبِّيَ صَلَى اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ َفصَرَعَهُ النَبِّيُ صَلَى اللَهُ عَلَيْهِ َوسَلَمَ قَا‬
6
ِ‫رُكَانَ ُة َوسَّمِ ْعتُ النَبِّيَ صَلَى اللَهُ عَلَيْ ِه َوسَلَمَ يَقُوَُ فَ ْرقُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْ ُّمشْرِكِينَ الْعَّمَائِمُ عَلَى الْقَلَا ِنس‬

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd al-Thaqafi, telah


menceritkan kepada kami Abû al-Hasan al-„Asqalâni dari Abû Ja‟far bin
Muhammad bin „Ali bin Rukânah dari bapaknya bahwasanya Rukanah saling
bergulat dengan Nabi Saw. lalu Nabi membantingnya lalu Rukanah berkata,
“Aku mendengar Nabi Saw. berkata, “Perbedaan antara kami (kaum muslim) dan
orang-orang musyrik adalah serban di atas peci”.

Mengenai penjelasan hadis di atas, ada beberapa pendapat, di antaranya,

menurut Ibn al-Qayyîm dalam al-Hâdi bahwa Nabi memakai peci tanpa serban

dan terkadang pula Nabi memakai serban tanpa peci.7Sedangkan al-„Azizi berkata

kaum muslim memakai peci dan di atasnya diletakkan serban. Adapun memakai

peci saja maka itu adalah pakaian kaum musyrik. Demikian pula dengan al-Jazâri

mengutip dari sebagian ulama dan ditegaskan oleh al-Qâdi Abû Bakar dalam

Syarh al-Tirmidzi, bahwasanya ada pendapat yang mengatakan bahwa kami

memakai serban di atas peci sedangkan mereka mencukupkan dengan serban.

Demikian pula dengan pendapat al-Tîbi dan pensyarah-pensyarah lainnya.

Pendapat ini juga diikuti oleh Ibn al-Mâlik.8 Begitupula dengan al-Qâri dalam al-

Mirqât. Al-Qârî berkata, diriwayatkan dari Ibn Abbâs bahwasanya Rasululah Saw.

memakai peci di bawah serban dan memakai serban tanpa peci dan mereka

6
Abû „Isa Muhammad „Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi, juz 3 (Beirut: Dâr al-Fikr,
2003), h. 286.
7
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah al-Syaukani, Nail al-Awṭ âr tahqiq
„Iṣ âm al-Dīn al-Ṣ ibâbiti, juz 2 (Kairo: Dâr al-Hadīth, 1993), h. 127.
8
Muhammad Asyraf al-Ṣ adīqi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abī Dâwûd (Beirur: Dâr
al-Kutub al-„Alamiah, 1994), juz 11, h. 87.
5

(sahabat) tidak melihat Nabi Saw memakai peci tanpa serban maka jelas dari sini

bahwa memakai peci tanpa serban adalah pakaian orang-orang musyrik.9

Al-Hâfiz bin al-Qayyim dalam Zâd al-Ma‟âd berkata, “Nabi memakai

serban dan memakai peci dibawahnya, Nabi juga kadang memakai peci tanpa

serban dan serban tanpa peci. Dalam al-Jâmi‟ al-Shaghîr dengan riwayat al-

Tabrani dari Ibn „Abbâs, ia berkata bahwa Nabi memakai peci putih. Menurut

riwayat al-Rûyânî dan Ibn „Asâkir dari Ibn „Abbâs bahwa Nabi memakai peci di

bawah serban dan tanpa serban, memakai serban tanpa peci. Nabi juga memakai

peci Yaman yang berwarna putih dan memakai peci yang mempunyai daun

telinga ketika perang. Kadang-kadang Nabi melepasnya dan menjadikannya

sutrah di antara kedua tangannya ketika salat.10

Pengenalan serban di Indonesia pun tercatat sudah sangat lama. Semenjak

Islam di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh saudagar yang berasal dari

Timur Tengah dan India yang menetap di Indonesia. Keberadaan saudagar di

Indonesia sangat gemar mengenakan kain penutup kepala, yakni serban. Dalam

memakai serban para saudagar memiliki ukuran serban yang berbeda sesuai

dengan harga, motif, maupun dengan status keilmuan. Umumnya mereka

melipatkan kain hijau pada serban mereka, yang berfungsi melindungi mereka

dari paparan sinar matahari.”11

Dalam perkembangan serban di Indonesia, banyak dari kalangan ulama

yang mengenakan serban dalam kehidupan sehari-hari. Namun banyak pula yang

9
Muhammad Asyraf al-Ṣ adīqi, „Aun al-Ma‟bûd, juz 11, h. 88.
10
Muhammad Asyraf al-Ṣ adīqi, „Aun al-Ma‟bûd, juz 11, h. 90.
11
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Kapan Mulia, 2006),
h. 468.
6

tidak mengenakannya. Sosok ulama yang selalu terlihat mengenakan serban

seperti Walisongo, Habib Rizieq, Habib Lutfi bin Yahya. Sedagkan ulama yang

jarang dilihat mengenakan serban seperti Qurasih Shihab, Ali Musthafa Yaqub,

Abdul Somad, dan lain-lain.

Dari begitu banyak ulama di Indonesia, namun masih sedikit dari mereka

yang membahas tentang serban dalam karya-karyanya. Nama-nama ulama hadis

terkenal seperti Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Mahfuz Termas, Hasbi Ash-

Shiddieqy belum ditemukan karyanya yang secara spesifik membahas tentang

hadis pemakaian serban. Adapun ulama Indonesia yang pernah menyinggung

tentang hadis pemakain serban adalah Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA. Menurut

beliau, hadis-hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. mengenakan

serban adalah sahih. Namun harus dipahami bahwa Nabi mengenakan serban

dalam kapasitas sebagai orang Arab. Sebab orang-orang Arab non-muslim juga

mengenakan serban. Lebih lanjut, beliau berkesimpulan bahwa serban tidak dapat

dikatakan sebagai pakaian yang diamanatkan oleh Islam dan harus diikuti. Serban

adalah budaya Arab.12

Saat ini, muncul seorang ulama sekaligus tokoh hadis Indonesia-yang

notabene adalah putra betawi asli, cucu dari Guru Mughni, ulama ternama di akhir

era 1800-an dan awal 1900-an yang bernama Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA.

Beliau merupakan pendiri sekaligus direktur PKH (Pusat Kajian Hadis) di Jakarta

dan Pesantren Pusat Kajian Hadis di Bogor. Beliau adalah seorang dosen, guru,

da‟i, serta pembimbing ibadah haji, yang telah banyak memberikan kontribusi

12
Ali Musthafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016),
h. 88., Hadis-Hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016), h. 174., dan Setan Berkalung
Serban (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), h. 95.
7

kepada masyarakat, baik dalam bidang ilmu hadis dan perkembangannya maupun

dalam bidang dakwah.

Ahmad Lutfi Fathullah merupakan pakar hadis Indonesia yang banyak

menerbitkan karya-karyanya dalam bentuk buku maupun karya dalam bentuk

digital seperti CD, DVD Interaktif, website maupun aplikasi handphone. Namun

sejauh ini beliau belum secara spesifik membahas mengenai hadis pemakaian

serban. Dr. Ahmad Lutfi Fathullah sebenarnya pernah membahas tentang salah

satu pakaian Nabi ini (serban), namun tidak dalam bentuk buku maupun karya

tulis lainnya, melainkan dalam bentuk aplikasi smartphone. Aplikasi tersebut

adalah “Potret Pribadi dan Kehidupan Rasulullah Saw” yang dapat diakses

melalui ponsel berbasis Android maupun IOS. Dalam aplikasi tersebut, Ahmad

Lutfi Fathullah membahas mengenai serban sebagai pakaian Nabi dalam kategori

keidupan sosial kemudian masuk ke menu cara berpakaian. Beliau menjelaskan

Rasulullah Saw. sering menggunakan serban sebagai penutup kepala. Serban yang

banyak digunakan berwrna hitam. Rasul memakainya diikat ke kepala, kadang

diselendangkan di bahu. Beliau menyebutkan beberapa hadis tentang serban

dalam bentuk terjemah bahas Indonesia. Beliau juga mencantumkan dimana letak

hadis yang bersangkutan berada dalam kitab-kitab hadis. Hanya saja,

penjelasannya begitu singkat.

Oleh karena itu, penjelasan yang lebih luas dan mendalam menjadi sangat

penting dan dibutuhkan guna mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif

mengenai serban sebagai pakaian Rasulullah Saw. Maka penulis bermaksud untuk

menggali informasi mengenai pendapat dan pemahaman serta penjelasan beliau

terhadap hadis-hadis yang membahas tetang pemakaian serban Selanjutnya,


8

penulis bermaksud untuk membahas hal tersebut dalam skripsi ini dengan judul

“PEMAHAMAN HADIS PEMAKAIAN SERBAN MENURUT DR. LUTFI

FATHULLAH, MA”.

B. Permasalahan Penelitian

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirangkum beberapa masalah

terkait dengan pembahasan hadis tentang serban, antara lain:

a. Apakah memakai serban merupakan sunah Nabi Saw. yang mesti diikuti

oleh umatnya sehingga apabila tidak memakai serban maka dipandang

tidak mengikuti sunah Nabi Saw. atau hanya sekedar budaya Arab, tempat

di mana Nabi tinggal sehingga Nabi menyesuaikan pakaian dengan orang

setempat?.

b. Apakah hadis-hadis Nabi Saw. tentang mengenakan serban menunjukkan

makna yang universal atau lokal?.

c. Bagaimana pemahaman ulama hadis Indonesia tentang pemakaian serban?.

2. Pembatasan Masalah

Berpijak dari identifikasi masalah di atas, maka penulis hanya membatasi

masalah pada pemahaman ulama hadis Indonesia tentang pemakaian serban, salah

satunya adalah Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA yang mendirikan PKH (Pusat

Kajian Hadis) di Jakarta . Penulis membatasi kajian hadis hanya pada hadis-hadis

yang termuat dalam al-kutub al-tis‟ah. Penulis juga membatasi kajian tentang
9

serban hanya pada pembahasan tentang definisi serban, sejarah serban, dan

bentuk-bentuk serban di berbagai negara dan agama. Pembatasan tersebut

dimaksudkan agar pembahasan tidak terlalu melebar. Di samping itu, kitab-kitab

tersebut merupakan kitab-kitab mu‟tabar yang sudah dapat mewakli kitab-kitab

selainnya.

3. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pokok

permasalahan; “Bagaimana pemahaman hadis pemakaian serban menurut Dr.

Lutfi Fathullah, MA?”.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Menjelaskan tradisi pemakaian serban masyarakat Arab dan sekitarnya.

2. Mengetahui pemahaman hadis pemakaian serban menurut Dr. Lutfi

Fathullah, MA

3. Memaparkan penjelasan mengenai pemakaian serban oleh Nabi

Muhammad Saw.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini akan menambah khazanah keilmuan yaitu memperkaya

perbendaharaan pemahaman hadis terkait pemakaian serban di tengah-

tengah masyarakat.
10

2. Memberikan kontribusi pemahaman bagi perkembangan wacana

pemikiran dan keagamaan

3. Menambah literatur studi hadis tentang serban di Indonesia.

D. Kajian Pustaka

Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap karya-karya ilmiah yang

membahas tentang serban, maka penulis menemukan beberapa karya sebagai

berikut:

1. Sumawijaya. Skripsi. Pengaruh Budaya Arab Terhadap Hadis: Studi Kasus

Masalah Surban dan Pemeliharaan Jenggot. Fakultas Ushuluddin Jurusan

Tafsir Hadis, 2007.

Sumawijaya menjelaskan tentang hadis-hadis yang terpengaruh budaya

Arab. Kondisi masyarakat Arab pra-Islam telah memberikan pengaruh yang besar

terhadap ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., sehingga banyak

hadis yang apabila dilihat dari sudut pandang sosio-kultural dan historis telah

terpengaruh oleh budaya dan tradisi masyarakat Arab. Hal tersebut juga dapat

ditemukan pada hadis seputar surban dan jenggot. Oleh karena itu untuk

memahami hadis-hadis tersebut harus dicari konteks yang melingkupi hadis

tersebut.

2. Ria Suardi. Skripsi. Kontekstualisasi Serban dalam Hadis Nabi (Studi

Realisasi Penutup Kepala Bagi Kaum Laki-Laki). Fakultas Ushuluddin

Jurusan Tafsir Hadis UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru, 2015.
11

Dalam skripsinya, Ria menyimpulkan bahwa hadis-hadis tentang Nabi

memakai serban adalah sahih. Yang daif hanyalah hadis yang berupa fadilah

memakai serban. Hadis ini sama sekali tidak bisa dijadikan sandaran dan landasan

untuk menetapkan keutamaan shalat memakai serban. Bersamaan dengan itu, bisa

ditetapkan bahwa serban termasuk perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah

Saw. meskipun ini termasuk sunah yang bersifat adat kebiasaan dan bukan sunah

yang bersifat ibadah. Ria juga menyimpulkan bahwa pemakaian serban dapat

diartikan sama dengan peci, karena antara peci dan serban memiliki tujuan („illat)

yang sama yaitu untuk penutup kepala bagi kaum laki-laki, dan juga karena hal ini

hanya bersifat adat kebiasaan suatu daerah saja. Kalau di Jazirah Arab,

masyarakatnya memakai serban, memang itulah kebiasaan mereka.Di Indonesia

yang mayoritas orang melayu, lebih suka memakai peci.

3. Hafshoh Arrobbaniyyah. Skripsi. Bentuk dan Makna serban di Indonesia.

Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Arab, Universitas Indonesia, Depok,

2014.

Skripsi ini membahas bentuk dan makna serban di Indonesia. Hafshoh

menggunakan perpaduan metode pustaka dengan mengumpulkan berbagai

referensimengenai pemakaian serban di Indonesia dan wawancara dengan tokoh

agama atau aliran tertentu dalam teknik pengumpulan data. Dalam analisnya, Ia

menggunakan teori akulturasi yang dikemukakakan oleh Yong Yun Kim dan

konsep komodifikasi agama. Hasil dari analisisyna adalah bahwa bentuk serban di

Indonesia merupakan hasil akulturasi dengan bentuk serban di Timur Tengah,

khususnya Yaman dan India. Selain sebagai komodifikasi agama, serban juga

dapat bermakna komditas, agama, status sosial, budaya, maupun adat kebiasaan
12

wilayah tertetu. Serban dipahami oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu

simbol keagamaan, khususnya agama Islam. Lebih lanjut lagi, serban dimaknai

sebagai salah satu bentuk tuntunan yang termasuk kesunahan Rasulullah Saw.

Serban juga bermakna menunjukkan status sosial yang tinggi, seperti tokoh

agama, sultan, serta orang yang telah berhaji. Namun seiring dengan

perkembangan zaman, serban tidak hanya sebagai simbol yang menunjukkan

status sosial tapi juga dapat dipakai oleh siapa saja. Serban juga dapat mencirikan

simbol dari kelompok-kelompok Islam tertentu di Indonesia seperti perbedaan

bentuk dan makna serban pada Jamaah Tabligh dengan bentuk dan makna serban

Majlis al-Fachriyah.

4. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA dalam tiga karyanya, antara lain:

Pertama, buku “Cara Benar Memahami Hadis”. Dalam buku ini, penulis

membahas serban dalam bab pemahaman tekstual dan kontekstual. Ia

berkesimpulan bahwa serban merupakan budaya arab, tempat Nabi tinggal.

Kedua, dalam buku Setan Berkalung Serban. Buku ini membahas persoalan-

persoalan terkait akidah, ibadah, dan muamalat termasuk di dalamnya mencakup

pembahasan tentang serban. Ia berkesimpulan bahwa serban bisa saja haram dan

masuk ke dalam kategori pakaian syuhrah jika pemakainya berniat agar dikenal

orang lain dan untuk sombong dan berbangga diri. Ketiga, dalam buku Hadis-

hadis Bermasalah. Di dalam buku ini dibahas ketidaksahihan hadis memakai

serban ketika salat.


13

5. Kitab Mirqât al-Masâbîh jilid 8. Dalam kitab ini dibahas penjelasan

beberapa hadis yang terkait dengan pemakaian serban oleh Nabi

Muhammad Saw.

6. Moenawar Chalil dalam Buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad.

Buku ini membahas tatacara Nabi Muhammad Saw. dalam berpakaian

termasuk di dalamnya disinggung pembahasan mengenai serban.

7. Prof. Dr. Raghib al-Sirjani dalam buku Sumbangan Peradaban Islam Pada

Dunia. Buku ini membahas apa saja yang telah disumbangkan oleh para

cendikiawan muslim bagi peradaban di dunia dalam berbahgai bidang

kelimuan. Di dalamnya juga dibahas sumbangan peradaban Islam dalam

mode pakaian termasuk serban.

Sedangkan karya ilmiah yang membahas tentang Dr. Ahmad Lutfi

Fathullah yang penulis temukan antara lain:

1. Hidayati Nur Fajrina. Skripsi. Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Dr.

Ahmad Lutfi Fathullah, MA. Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Hidayati mengangkat pokok permasalahan mengenai pemikiran dan

aktivitas dakwah Ahmad Lutfi Fathullah menurut paradigm dakwah. Hidayati

menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan metode

pengumpulan data tringulasi. Hidayati mengumpulkan data dari berbagai sumber

buku, sumber informan (wawancara), dan observasi langsung. Hidayati

menyimpulkan bahwa pemikiran dakwah Ahmad Lutfi Fathullah adalah mengajak

manusia agar bertauhid. Dalam menyampaikan ajaran Islam, Ahmad Lutfi


14

Fathullah menggunakan media yang canggih dan modern yang bertujuan agar

mad‟u dapat menerima pesan dakwah. Aktifitas dakwah Ahmad Lutfi Fathullah

adalah dakwah dalam bentuk tabligh di majlis taklim maupun pengembangan

masyarakat.

2. Muliyana Sari. Skripsi. Kontribusi Ali Mustafa Yaqub dan Ahmad Lutfi

Fathullah dalam Bidang Hadis di Indonesia. Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Muliyana mengangkat pokok pembahasan mengenai kontribusi Ali

Mustafa Yaqub dan Ahmad Lutfi Fathullah sebagai upaya pengembangan hadis di

Indonesia. Muliyana menggunakan metode kepustakaan dengan merujuk karya-

karya dua tokoh tersebut. Kesimpulan yang diambil adalah kedua tokoh tersebut

merupakan ulama hadis yang sudah menjadi suri tauladan bagi masyarakat dan

pakar sekaligus sumber rujukan terpercaya dalam persoalan hadis. Keduanya

memiliki andil besar dalam perkembangan kajian hadis dan ilmu hadis di

Indonesia. Karya-karya kedua tokoh tersebut telah banyak memberikan manfaat

disamping ceramah-ceramah yang diberikan secara langsung kepada masyarakat.

Dari berbagai penelitian di atas, penulis lebih memfokuskan kajian skripsi

pada pembahasan mengenai pemahaman ulama hadis Indonesia, yang dalam hal

ini adalah Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA terhadap hadis-hadis yang membahas

mengenai pemakain serban oleh Nabi Muhammad Saw.


15

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, yang bersifat

deskriptif analisis, yakni metode prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati.13

Penulis mencari data dari sumber-sumber referensi yang berkaitan dengan

serban serta perkembangannya di dunia dan di Indonesia termasuk juga hadis-

hadis yang membahas tentang penggunaan serban. Penulis juga mengumpulkan

data dengan melakukan wawancara dengan Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

sebagai tokoh utama dalam penulisan skripsi ini. Jika data sudah terkumpul

semua, selanjutnya penulis melakukan analisis berupa perbandingan antara teori

yang sudah ada dengan data yang penulis kumpulkan.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memilih Ahmad Lutfi Fathullah sebagai

subjek dan objek penelitian adalah pemahaman hadis pemakaian serban menurut

Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data dalam skripsi ini,

yaitu :

13
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, PT Rosdakarya, 2007),
h. 9.
16

a. Kepustakaan

Penulis mengumpulkan data mengenai hadis-hadis yang membahas

tentang pemakaian serban dari al-kutub al-tis‟ah beserta kitab-kitab syarh-nya.

Sumber selanjutnya adalah sumber-sumber referensi yang membahas tentang

serban baik berupa buku, jurnal, maupun karya ilmiah.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab antara pewawancara dengan

narasumber untuk memperoleh data dalam suatu penelitian dengan bertatap muka

secara langsung menggunakan interview guide (panduan wawancara).14

Wawancara dilakukan guna mendapatkan informasi yang mendalam, lengkap dan

komprehensif mengenai suatu persoalan dari seseorang yang dianggap dapat

dipertanggungjwabkan jawabannya. Dalam penerapannya, wawancara tidak hanya

dilakukan secara tatap muka. Wawancara juga dapat dilakukan dengan

meggunakan alat komunikasi seperti telpon, email, surat, pesan singkat, dan lain

sebagainya. Dalam konteks penelitian ini, penulis melakukan wawancara melalui

telepon via aplikasi “WhatsApp” dengan Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

dikarenakan jadwal yang begitu padat sehingga tidak dapat bertemu dengan

penulis secara langsung.

4. Analisis Data

Dikutip dari buku karangan Masri Singarimbun dan Sofian Effendi bahwa

“ Analisis data merupakan proses penyederhanaan data yang telah terkumpul ke

14
M. Nasir, Metodologi Penelitian (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), h. 182.
17

dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.”15 Dalam

menganalisis penelitian ini, penulis mengumpulkan semua data tentang

pemahaman Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA terhadap hadis-hadis yang

membahas tentang pemakaian serban. Setelah itu, penulis menganalisisnya dan

membuat perbandingan antara data yang telah dikumpulkan dengan teori yang

telah ada lalu menjadikannya sebagai bentuk laporan hasil akhir penelitian dari

penulis.

5. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Akademik Program

Strata 1 tahun 2013/2014 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Bab pertama berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab kedua membahas kajian umum tentang serban yang meliputi : definisi

serban, sejarah pemakaian serban, bentuk-bentuk serban di berbagai negara dan

agama.

Bab ketiga membahas biografi Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA yang

meliputi profil keluarga, latar belakang pendidikan, aktivitas akademis,

15
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta : LP3S,
1989), h. 263
18

kontribusinya terhadap masyarakat, dan karya-karya Dr. Ahmad Lutfi Fathullah,

MA.

Bab keempat merupakan inti pembahasan skripsi ini. Pembahasan

didahului dengan memaparkan takhrîj al-hadîts yang membahas tentang

pemakaian serban. Kemudian dilanjutkan dengan syarh al-hadîts dan pendapat

ulama-ulama terdahulu mengenai hadis-hadis tentang pemakaian serban. Setelah

itu, memaparkan pemahaman Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA terhadap hadis-

hadis tentang pemakaian serban.

Bab kelima berisi kesimpulan disertai dengan saran.


BAB II

KAJIAN UMUM TENTANG SERBAN

A. Definisi Serban

Kata “serban” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki

tiga variasi kata, yaitu: “serban” (dengan „e‟ setelah „s‟), “sorban” (dengan „o‟

setelah „s‟) dan “surban” (dengan „u‟ setelah „s‟). Kata “serban” merupakan

bentuk baku, sedangkan “sorban” dan “surban” merupakan bentuk tidak baku.

Serban dalam kamus tersebut diberi arti sebagai ikat kepala yang lebar (yang

dipakai orang Arab, haji dan sebagainya).1

Serban dalam bahasa Arab disebut dengan “‫'( ”عمامة‬imâmah), bentuk

jamaknya adalah “"‫‘( ”عمائم‬amâim), yaitu pakaian lebar yang dililitkan seseorang

di atas kepalanya untuk melindungi dari panas dan dingin.2 Sedangkan dalam

kamus Lisân al-‘Arab, serban berarti pakaian penutup kepala yang berfungsi

sebagai tanda pengenal (identitas) bagi bangsa Arab. Bahkan dijelaskan bahwa

serban adalah mahkotanya orang Arab.3

Serban dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman dikenal dengan istilah

turban. Dalam Bahasa Spanyol dan Italia disebut serbante. Semuanya muncul

melalui bentuk-bentuk kata tulband dan tulbant. Dalam bahasa Turki, serban

dikenal dengan türban. Sedangkan dalam pengucapan bahasa persia adalah

1
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), edisi
III. h. 145.
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 133.
3
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2003), jilid 6, h. 449.

19
20

dulband, yaitu selempang atau penutup untuk kepala. Serban juga merupakan

hiasan tradisional khas kawasan Islam Timur, Iran, dan wilayah-wilayah yang

berpenduduk Muslim lainnya. Serban juga dipakai oleh penganut agama Sikh

yang ada di India.4

Dalam kamus The Oxford English Dictionary, serban adalah salah satu

busana muslim yang digunakan sebagai penutup kepala oleh orang-orang dari

negara-negara timur, terdiri atas topi penutup yang berbentuk bulat dan kain

panjang yang terbuat dari kain linen, katun, atau pun sutera sebagai simbol agama

Islam, atau penganutnya. Serban juga digunakan untuk penutup kepala Pendeta

Yahudi Kuno.5

Sementara itu, dalam Encyclopedia of Americana dijelaskan bahwa serban

merupakan suatu jenis hiasan kepala yang terbuat dari kain panjang (linen, katun,

atau sutra) yang dikenakan mengelilingi sekitar kepala. Serban mungkin berasal

dari Persia Kuno, namun biasanya terkait dengan negara-negara muslim sebagai

penutup kepala untuk pria. Serban yang mengelilingi, memutar, atau dilipat dalam

berbagai gaya mengindentifikasi tanah air, pangkat, dan terkadang juga profesi

dari pemakainya. Serban mungkin memiliki salah satu ujung yang menggantung

longgar atau kedua ujungya yang diselipkan. Serban dipakai di atas kepala,

membalut sekitar kepala atau dibuat agak rapat dan ketat, seperti peci di Mesir;

topi kerucut di Afghanistan atau kopiah di bagian benua India. Terkadang serban

dihiasi dengan permata atau ornamen lainnya. Pada periode mode Barat, serban

mencapai tahap popularitasnya, terutama di kalangan perempuan, meskipun laki-

4
P.J. Bearman (Ed.), The Encyclopedia of Islam, vol. X (Leiden: E.J. Brill, 2000), h.
608.
5
James A. H. Murray, The Oxford English Dictionary, vol. XI (Oxford: Oxford
University Press, 1978), h. 471.
21

laki kadang masih memakai serban sebagai bagian dari kostum pergaulan

mereka.6

Pengertian serban di atas diperkuat oleh data sejarah yang memotret

pakaian keseharian kaum Arab Badui. Mereka dalam kesehariannya biasa

mengenakan baju panjang sampai kaki yang terbuat dari bulu domba atau unta. Di

Indonesia, pakaian seperti ini biasa dikenal sebagai baju gamis. Selain memakai

jubah, kaum badui melengkapinya dengan memakai serban di kepala yang diikat

dengan seutas tali (ighal).7

B. Sejarah Serban

1. Sejarah Serban di Dunia

Asal usul bentuk hiasan kepala seharusnya mungkin harus dicari di Timur

Kuno; seperti topi serban tampaknya ditemukan pada monumen Asyur dan Mesir

tertentu. Dalam Arab kuno, Suku Badui pra-Islam dikatakan telah mengenakan

serban, dan telah diduga bahwa topi tinggi adalah berasal dari Persia dan kain

serban berasal dari unsur Arab.8

Dalam Encyclopedia of Americana, secara tradisional penutup kepala di

wilayah timur membuka jalan bagi bermacam gaya kontemporer barat secara

bertahap, terutama di Afrika Utara, Timur Tengah, dan India. Ketiga wilayah

6
“Turban” dalam The Encyclopedia of Americana, vol. XXVII (New York: Grolier
Incorporated,1994), h. 239.
7
Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru (Bandung: Mizan,
1996), h. 28.
8
P.J. Bearman (Ed.), The Encyclopedia of Islam, vol. X, h. 608.
22

tersebut berperan sebagai negara yang paling berpengaruh dalam menyebarkan

ragam penutup kepala tersebut. Charlotte Jirousek mengungkapkan bahwa serban

yang ada di dunia barat yang ada saat ini merupakan ciri khas dari ragam pakaian

yang dibawa ke barat pada masa pemerintahan Utsmani.9

Sebelum perang salib, penutup kepala bukan merupakan fitur penting dari

pakaian barat. Masyarakat Eropa mengenakan kerudung atau topi untuk menahan

sinar matahari dan hujan, atau menggunakan helm sebagai pelindung kepala

dalam peperangan. Selain itu masyarakat Eropa menggunakan penutup kepala

lainnya pada contoh pemakaian mahkota kerajaan yang merupakan peminjaman

dari masa Bizantium.

Pada masa awal pemerintahan Turki Utsmani, mereka mengenakan

penutup kepala untuk menandai status dan afiliasi. Kemudian tradisi ini ditambah

dengan adopsi serban bagi laki-laki serta jilbab bagi perempuan. Pengaruh

penutup kepala dari Turki Utsmani pada perkembangan mode di Eropa terjadi

pada tahun antara 1380 M dan 1580 M. Pada abad ke-11 Masehi, serban yang

merupakan simbol klasik dari seorang muslim sudah menyebar ke Eropa. Dari

abad ke-12 Masehi sampai abad ke-15 Masehi, perdagangan Eropa dengan

wilayah timur semakin diperluas. Perhatian komersial Eropa pada periode ini

awalnya berpusat di Mesir, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Mamluk.

Meskipun Kerajaan Mamluk terbuka dengan moderanisasi barat, namun mereka

9
Hafshoh Arrobbaniyah,”Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2014), h. 19.
23

tetap mempertahankan budaya mereka. Hal tersebut dibuktikan dalam pakaian

mereka, terutama pada penutup kepala yang terlihat menonjol.10

Penutup kepala Mamluk memiliki semacam tanduk khas yang memiliki

kemiripan yang mencolok dengan hiasan kepala bicorne11 yang menjadi mode di

Eropa pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15 Masehi.12

Menurut Louis McLennan, kehadiran serban pertama kali dipelopori oleh

gerakan Taliban di Afghanistan. Mullah Omar, yang merupakan pemimpin

Taliban tertinggi saat itu menuntut pengikutnya untuk mengenakan serban.

Persyaratan tersebut merupakan permintaan lama dari rezim Taliban. Namun

tradisi yang lebih luas mengenai serban telah lebih dahulu ada selama berabad-

abad.13

Di Afghanistan, semua orang harus mengenakan serban dengan

konsekuensi berupa pemukulan apabila tidak menjalankan peraturan tersebut.

Namun ditengah-tengah penerapan peraturan mengenai pemakaian serban bagi

prajurit Taliban, Mullah Omar menemukan prajuritnya tidak memakai serban

sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Mereka memakai terlalu ke

belakang kepala, atau hanya menyelampirkan ke salah satu sisi kepala mereka

saja. Tindakan mereka dianggap vulgar dan tidak sesuai dengan syariat Islam

menurut Mulllah Omar.14

10
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 20.
11
Bicorne adalah penutup kepala yang dikenakan sebagai rangkaian dari pakaian militer
dan angkatan laut Eropa dan Amerika pada tahun 1790, seperti yang dikenakan oleh Napoleon
Bonaparte.
12
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 20.
13
Louis McLennan, “The History and Ettique of Turbans” diakses pada 20 Maret 2017
dari http://www.lens.appstate.edu/fryeem/christylitcircle/turban.htm
14
McLennan, “The History and Ettique of Turbans”.
24

Pada masa awal Persia, laki-laki di sana mengenalkan bentuk pemakaian

topi kerucut yang dikelilingi oleh balutan kain.15 Disebutkan bahwa dari sini lah

asal mula perkembangan bentuk serban modern. Namun teori lain menyatakan

bahwa serban secara luas dipakai pertama kali di Mesir. Ditemukan delapan

serban oleh Ekspedisi Mesir, yaitu dari tujuh diantaranya merupakan serban yang

dimiliki oleh perempuan. Ternyata serban lebih dulu populer dikalangan

perempuan yang tinggal di Thebes, Yunani pada abad ke-15.16

2. Masuknya Serban ke Indonesia

Sejarah mencatat, Islam pertama kali masuk ke Indonesia dibawa oleh

saudagar yang berasal dari Timur Tengah dan Gujarat, India. Selanjutnya mereka

menetap di Indonesia dan kerap kali membuat komunitas dari kalangan mereka.

Keberadaan masyarakat Arab di Indonesia sering dikait-kaitkan dengan proses

penyebaran agama Islam berlangsung sekitar abad ke-13 sampai abad ke-16 M.

Namun menurut L.W.C. Van Deg Berg, munculnya komunitas Arab di kawasan

Nusantara tidak selalu terkait dengan proses akulturasi di kawasan Nusantara.

Faktor ekonomi bahkan lebih mengemuka dibandingkan faktor keagamaan. Rata-

rata orang Arab yang menetap di Indonesia pada awalnya adalah pedagang. Proses

akulturasi di kawasan ini tidak bisa di pisahkan dengan kedatangan orang-orang

Arab yang berprofesi sebagai pedagang tersebut.17

Orang-orang Arab yang sedang bermukmim di Indonesia mayoritas

berasal dari Hadramaut, hanya sedikit yang berasal dari Maskat (tepian Teluk

15
McLennan, “The History and Ettique of Turbans”.
16
Nora E. Scoutt, “Three Egyptian of The Lte Roman Period” artikel diakses pada 21
Maret 2017 dari http://www.jstor.org/stable/3256428
17
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 36.
25

Persia), Hijaz, Mesir, atau dari pantai Timur Afrika. Lebih lanjut Berg

mengemukakan bahwa kedatangan orang-orang Arab dari Hadramaut ke

Indonesia dalam jumlah yang besar baru terjadi pada akhir abad ke-18. Konflik

internal dalam masyarakat Yaman serta sumber daya alam yang memadai di

kawasan tersebut telah mendorong sebagian masyarakat Yaman bermigrasi ke

kawasan lain. Di Indonesia, mereka kemudian menyebar ke banyak kota, terutama

di Palembang, Pontianak, Batavia, Pekalongan, Surabaya, Sumenep, dan lain-

lain.18

Para saudagar asing tersebut gemar mengenakan kain penutup kepala,

yakni serban. Ukuran serban yang mereka kenakan beraneka ragam, sesuai

dengan harga, status keilmuan dan sebagainya. Umumnya mereka melipatkan

kain hijau pada serban mereka, yang berfungsi melindungi mereka dari paparan

sinar matahari.19 Beragam model bentuk pemakaian serban telah dikomunikasikan

oleh para saudagar, di antaranya kaffiyah, serban putih, peci hitam dan shemagh.

Mereka mengenakan serban sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi

Muhammad Saw. Selain itu, para imam yang mendirikan empat mazhab dari

Ahlussunnah wal Jama‟ah juga mengenakan serban. Dalam biografi mereka,

pendiri Mazhab Hanafi, Imam Abu Hanafiah, al-Suyuti dan al-Haytani

menceritakan bahwa ia memiliki tujuh serban, mungkin satu untuk setiap hari

dalam seminggu.20 Di samping itu, masyarakat muslim berlomba mengikuti

sunnah Rasulullah Saw. dan para imam mereka. Hal tersebut juga dicontohkan

18
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 37.
19
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Kapan Mulia, 2006),
h. 468.
20
Gibril Fouad Haddad, “The Turban Tradition in Islam,” artikel diakses pada 11
Agustus 2017 dari http://www.caribbeanmuslims.com/articles/1286/1/The-turban-tradition-in-
Islam/page1.html
26

oleh pemuka serta pemimpin kelompok Islam. Masyarakat muslim mengikuti

model atau gaya berserban yang dicontohkan oleh habib atau guru spiritual

mereka.21

Serban telah lama berperan dan menjadi bagian dari spiritual masyarakat

Indonesia. Pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia, seluruh ulama di

Indonesia memakai serban, seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Gresik, Sunan

Ampel, serta Wali songo. Pemakaian serban oleh Wali Songo merupakan salah

satu dari pengaruh sufisme yang mereka pelajari.22 Dakwah Wali Songo di

masyarakat saat ini, sehingga pembaharuan yang diajarkan oleh Wali Songo

mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Satu-satunya Wali Songo yang tidak

mengenakan serban ialah Sunan Kalijaga. Beliau mengenalkan “serban versi

lokal” di tengah-tengah masyarakat Jawa. Blangkon merupakan bentuk akulturasi

budaya Arab dan India dengan budaya Jawa. Blangkon masih digunakan oleh

masyarakat Yogyakarta dan Solo sampai saat ini.23

Peran serban terus berlangsung hingga masa pembentukan organisasi

Islam di Indonesia. K.H Teungku Zulkarnain mengungkapkan:

“Adapun pendiri-pendiri ormas Islam di Indonesia, yang pertama berdiri


itu ormas Islam Muhammadiyah, itu organisasi paling tua di Indonesia.
K.H Ahmad Dahlan memakai serban, pakai jubah. Kemudian Mathlul
Anwar, di Banten tahun 1919 M, pendirinya K.H Abdurrahman pakai
serban juga. Kemudian menyusul NU tahun 1926 Hasyim Ashari dan
seluruh tokoh NU semuanya memakai serban. Begitu juga menyusul al-
Washliyah di Sumatera Utara, semuanya memakai serban merah bahkan
sampai sekarang”.24

21
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 38.
22
Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekontruksi Sejarah yang disingkirkan (Jakarta:
Transpustaka, 2011), h. 92.
23
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), h. 338.
24
Arrobbaniyah,“Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 37.
27

C. Bentuk-Bentuk Serban di Berbagai Negara

Bentuk serban yang tersebar di suatu wilayah dapat menjadi indikator

suatu kelompok masyarakat atau kelompok agama tetrentu.25 Serban yang

mengelilingi, memutar, atau dilipat dalam berbagai gaya mengindentifikasi tanah

air, pangkat, dan terkadang juga profesi dari pemakainya. 26 Serban menjadi

penutup kepala yang sering dikenakan di sebagian besar wilayah Asia Selatan,

Timur Tengah dan Afrika Utara. Bentuk-bentuk serban dari berbagai negara

antara lain:

1. Bentuk Serban di Jazirah Arab

Jazirah atau Semenanjung Arab merupakan istilah dari kumpulan beberapa

negara yang berada di wilayah Asia Barat Daya yang berada pada persimpangan

benua Afrika dan Asia. Jazirah Arab antara lain terdiri dari negara Arab Saudi,

Kuwait, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Palestina, Irak, Suriah,

Yordania, dan Libanon. Masyarakat Jazirah Arab umumnya memakai kufiyah

(‫)كوفية‬. Ghutrah (‫)غترة‬, syimâgh (‫)شماغ‬, hattah, chafiye (persia), cemdani/jamdani

(kurdi) atau sudra (ibrani) adalah nama lain dari kufiyah yang biasa digunakan

oleh masyarakat Arab.27 Laki-laki di Yordania, Saudi Arabia, Palestina dan

negara lain di Semenanjung Arab mengenakan kufiyah dengan beragam warna

dan model yang umumnya disesuaikan dengan daerah mereka juga sebagai

perangkat pakaian keseharian. Northwest life mengemukakan bahwa secara

25
Northwest life, “Understanding Turban”, artikel diakses pada 21 Maret 2017 dari
http://www.cozynuk.com/India-travel-blog/?tag=turban
26
“Turban” dalam The Encyclopedia of Americana, vol. XXVII, h. 239.
27
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 28.
28

teknis, kufiyah bukan termasuk serban.28 Kain kufiyah berbentuk persegi dan

dilipat secara diagonal sehingga menyerupai bentuk segitiga, kemudian dikenakan

di atas kepala. Pemakaian kufiyah tidak seperti bentuk pemakaian serban pada

umumnya. Kufiyah biasanya dikenakan bersamaan dengan ighâl, pengikat hitam

yang berfungsi untuk menyangga kufiyah tersebut. Kain serta model pemakaian

syimâgh identik dengan pemakaian kufiyah.

Kain kufiyah meiliki motif yang khas. Motif kain kufiyah berupa kain

tenun dengan pola kotak-kotak. Pola tersebut diperkirakan dari representasi

Metopotamia Kuno yaitu dari bentuk jaring ikan atau telinga gandum.29

Gambar 1(a). Kufiyah 1 Gambar 1(b). Kufiyah 2

(sumber: wikipedia.org)

2. Bentuk Serban di Negara Afghanistan

Serban merupakan identitas bagi masyarakat Afghanistan, khususnya laki-

laki. Serban menandakan wilayah tempat tinggal maupun kelompok pemakainya.

Ada tiga bentuk serban yang umum digunakan oleh masyarakat Afghanistan,

antara lain:

28
Northwest life, Understanding Turbans, paragraf 6.
29
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 30.
29

a. Serban Bentuk Pasthun

Serban dengan bentuk pasthun merupakan kain yang bermotif. Model

pengikat kain serban bentuk pasthun menyisakan ekor serban yang relatif pendek

dan diletakkan di belakang leher.30

Gambar 2. Pasthun

(maiwandday.blogspot.co.id)

b. Serban bentuk lungee

Model pengikat bentuk lungee identik dengan bentuk pasthun. Pada

bentuk lungee ekor serban lebih panjang dan diletakan di sebelah kiri bahu.31

Gambar 3(a). Lungee1 Gambar 3 (b). Lungee 2

(sumber: afghan-web.com)
30
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 28.
31
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 27.
30

c. Pawkul

Selain pasthun dan lunge yang digunakan oleh masyarakat Afghanistan

sebagai penutup kepala, mereka juga mengenakan sejenis topi yang disebut

pawkul.32

Gambar 4. Pawkul

(sumber: afghan-web.com)

3. Bentuk Serban di Kurdistan

Masyarakat kurdistan umumnya menggunakan pola kain berwarna hitam-

putih, terutama pada sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah Kurdistan

Selatan. Sebagian serban yang dikenakan masyarakat Kurdistan terdiri dari kain

panjang bergaris yang dikenal dengan kolagi. Beberapa ditemukain pemakai

kolagi yang membiarkan kainnya menggantung di sekitar wajahnya. Bentuk

serban tersebut salah satunya dapat dilihat pada sosok seorang kepala suku Kurdi,

Syeikh Mahmud Barzanji yang mengenakan serban dengan melilitkan seluruhnya

mengelilingi kepala menyerupai bentuk donat dengan menyisakan ekor yang

menjuntai di samping wajah sebelah kanan. Ada pula model pemakain dengan

menggulung kain serban memanjang kemudian dililitkan seluruhnya dari atas

32
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 28
31

kepala. Bentuk tersebut seperti yang dikenakan oleh salah seorang Presiden

Kurdistan, Masoud Barzani.33

Gambar 5. Bentuk Serban Kurdistan

(sumber: pinterest.com) (sumber: foreignpolicy.com)

4. Bentuk Serban di Iran

Masyarakat Iran menyebut serban dengan istilah dulband. Para pemimpin

Iran mengenakan serban hitam atau putih dengan beraneka ragam gaya, salah

satunya yaitu datar melingkar seperti yang dikenakan oleh pemimpin tertinggi

Iran, Ayatullah Ali Khomenei. Serban hitam dalam tradisi mazhab Syiah hanya

boleh dikenakan oleh ulama dari dzurriyyah (keturunan) Nabi Muhammad Saw.

Sedangkan ulama Syiah yang bukan dari keturunan Nabi dikenal dengan serban

putihnya.34

Gambar 6 Serban Iran


(sumber: kikipea.com)

33
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 31.
34
Kikipea, “Turban Segala Bangsa: Know What You Wear!,” artikel diakses pada 12 Mei
2017 dari http://www.kikipea.com/2015/04/turban-segala-bangsa-know-what-you-wear.html
32

5. Serban di Negara India

Serban pada masyarakat India lebih dikenal dengan sebutan pagri.

Masyarakat India mengenakan serban dengan variasi yang beragam sebagai

perangkat busana tradisional mereka. Laki-laki di India memakaian serban

terkadang untuk menunjukkan kelas sosial mereka, kasta, profesi atau afiliasi

keagamaan. Serban menjadi indentitas yang harus dilestarikan dan dibanggakan.

Terdapat banyak bentuk serban yang dikenakan oleh masyarakat India. Beberapa

model serban di India bisa sangat rumit, terbuat dari tenunan kain mewah dan

dihiasi dengan perhiasan yang tidak kalah uniknya.35

Gambar 7. Serban India

(sumber: kikipea.com)

35
Kikipea, “Turban Segala Bangsa.”
33

6. Bentuk–bentuk Serban di Indonesia

Serban sudah sangat populer di tengah masyarakat Indonesia. Hampir

setiap daerah dan golongan memiliki ciri khas dalam mengenakannya. Ciri khas

tersebut biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah topografi

wilayah serta adanya peran para pendakwah Islam yang mengenakan serban

tersebut.36 Beberapa bentuk serban di Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri

di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Serban pada Terekat Alawiyah37

Pemakaian serban sudah menjadi style bagi mereka yang berkecimpung

dalam dunia dakwah Para habib sendiri mempunyai model dalam mengenakan

serban. Lebih lanjut, Habib Husein Alhamid menyebutkan bahwa ada lima macam

bentuk serban yang umumnya digunakan oleh para habib di Indonesia. Kelima

bentuk serban tersebut antara lain38:

1) Serban dibuat tipis dan dililit rapi mengikuti pola awal bentukan serban

tersebut.

Cara mengenakannya adalah dengan melilitkan kain serban yang dibuat

berlapis sebelum dikenakan di atas kepala. Pemakaian bentuk serban seperti ini

terkadang menyisakan ekor pada salah satu sisi bahu atau keduanya. Bentuk

serban seperti ini dicontohkan oleh Habib Umar yang kemudian diikuti oleh para

36
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban,” h. 39.
37
Tarikat Alawiyah dinasabkan pada garis keturunan cucu Rasulullah yaitu Hasan dan
Husein. Dan tarikat Alawiyah merupakan tarikat besar dan tersebar ke seluruh pelosok di
Indonesia. Mereka yang bertarikat Alawiyah adalah para habib yang berasal dari berbagai negara
dan sudah lama menetap di Indonesia.
38
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban,” h. 40.
34

pengikutnya. Meskipun bentuknya relatif sederhana, bentuk serban seperti ini

menggunakan kain serban dengan panjang kain mencapai tiga hingga empat

meter.39

Gambar 8. Contoh serban yang dikenakan Habib Umar

(sumber: wikipedia.org)

2) Kain dibentangkan dan digulung terlebih dahulu, kemudian dililitkan

langsung di atas kepala.

Gambar 9. Serban Wali Kutub

(sumber: insgrum.com)

Serban dililitkan secara acak di atas kepala. Pada beberapa contoh

pemakaian, peci polos berwarna putih dikenakan terlebih dahulu sebelum dibalut

39
Arrobbaniyah, Bentuk dan Makna Serban, h. 39-40.
35

dengan kain serban. Bentuk serban seperti di atas merupakan ciri kedaerahan dari

wilayah Yaman yang dikenakan oleh Wali Kutub.40

3) Pemakaian sedikit rumit.

Penggunaan serban ini memerlukan dua orang yang memegang serban

sedangkan pemakai serban mengelilingi kain serban di atas kepalanya. Model

pemakaian serban ini merupakan terakulturasi dengan bentuk serban yang terdapat

di India. 41

Gambar 10. Serban Al Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi

(sumber: ali-al-ataz.blogspot.com)

4) Kain serban dililit secara keseluruhan tanpa ekor di belakang leher.

Gambar 11. Contoh serban yang dikenakan Habib Rizieq


(sumber: MajelisTaklim.com)

40
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban,” h. 41.
41
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban,” h. 42.
36

Menurut Husein Alhamid, masyarakat Mesir memaknai bentuk serban

seperti ini sebagai ciri khas kewilayahan mereka, dan umumnya bentuk serban ini

dipakai oleh ulama-ulama atau kyai besar di Indonesia.

5) Penggunaan rida (selendang) yang menutup serban yang telah dililit di atas

kepala.

Pemakaian rida ini diperuntukkan bagi alim ulama yang sudah tabahur

dalam keilmuannya. Penggunaanya serban dililitkan di atas kepala kemudian

diselumuti oleh sepotong kain yang umunya bewarna putih

Gambar 12. Contoh serban yang dikenakan oleh Habib Lutfi bin Yahya

(sumber: habiblutfi.net)

b. Bentuk-bentuk Serban pada Majelis Al-Fachriyah42

Para habib majelis Al-Fachriyah mengenakan serban dengan menyisakan

ekor pada ujung serban. Mereka mencontoh serban berekor yang dikenakan

Rasulullah Saw.43

42
Majelis Al-Fachriyah merupakan yayasan kajian keagamaan yang didirikan oleh Habib
Novel bin Jindan yang diteruskan oleh keturunannya. Habib Jindan bin Salim bin Novel Jindan
serta adiknya, Habib Ahmad bin Salim bin Novel bin Jindan. Majelis Al-Fachriyah telah memiliki
banyak pengikut baik dari kalangan masyarakat Arab yang tinggal di Indonesia maupun
masyarakat pribumi.
43
Arrobbaniyah, Bentuk dan Makna Serban, h. 44.
37

Gambar 13. Serban Habaib Majlis al-Fachriyah

(sumber: alfachriyah.org)

c. Bentuk Serban pada Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah44

Terekat ini menggunakan dua serban. Serban pertama dikenakan di atas

kepala dengan bentuk lilitan, sedangkan kain serban kedua dikenakan di antara

kedua bahunya.

Gambar 14. Bentuk serban yang dikenakan Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad
(Abah Sepuh)
(sumber: tqn-ppsuryalaya.blogpot.co.id)

d. Bentuk Serban pada Jamaah Tabligh

Bentuk serban Jamaah Tabligh ini hampir sama penggunaan serban yang

ada di India dan Pakistan. Jamaah Tabligh tidak memiliki bentuk serban secara

khusus yang membedakan pemimpin dengan pengikutnya. Bentuk serban pada

44
Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah merupakan salah satu tarekat terbesar di
Indonesia dengan Kyai Haji Shohibul Wafa Tajul Arifin atau Abah Anon sebagai mursyid utama
dari tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Indonesia.
38

jamaah ini disesuaikan dengan selera pemakai, tidak berdasarkan satu bentuk

tertentu.

Gambar 15. Bentuk serban pada Jamaah Tabligh

(sumber: nexlaip.wordpress.com)

e. Bentuk Serban Jamaah An-Nadzir

Jamaah An-Nadzir umumnya menyebar ke sejumlah daerah di Indonesia,

di antanya Bogor, Medan, Batam dan Jakarta. Wilayah yang memiliki jamaah atau

pengikut terbanyak berada di Sulawesi Selatan, tepatnya di wilayah Gowa.

Penampilan fisik Jamaah An-Nadzir agak berbeda dengan penampilan muslim

pada umumnya. Anggota Jamaah An-Nadzir memiliki rambut yang diwarnai

pirang dengan panjang sebatas bahu dan memakai peci lancip yang disertai

dengan serban dan mengenakan jubah hitam.45

Gambar 16. Serban Jamaah An-Nadzir

(sumber: republika.com) (sumber: BeritaHati.com)

45
Arrobbaniyah, Bentuk dan Makna Serban, h. 48.
39

D. Bentuk Serban di Berbagai Agama

Faktanya, serban tidak hanya dikenakan oleh umat muslim saja, tetapi

serban juga dikenakan oleh penganut agama lain. Berikut ini akan ditampilkan

bentuk-bentuk serban yang dikenakan oleh para umat beragama di dunia selain

Islam.

1. Bentuk Serban Agama Sikh

Kalangan Sikh atau Punjabi di seluruh dunia turut memakai serban tetapi

dalam bentuk lebih tebal, lonjong dan seragam bentuknya. Di beberapa tempat

serban yang dipakai oleh penganut Sikh atau Punjabi dipanggil turban atau

dastar. Pada dasarnya serban Sikh ini mereka gunakan untuk mengatur rambut

panjang mereka, karena agama tersebut melarang penganutnya memotong rambut.

Mereka selalu menutup rambut panjang mereka dengan turban.

Dalam agama Sikh, kesh atau rambut yang terpotong, adalah salah satu

simbol terpenting. Sepanjang apa pun, rambut, jenggot, dan semua bulu yang

tumbuh di sekujur tubuh tak boleh dipotong. Kaum pria menyembunyikan rambut

panjangnya dengan rapi di bawah surban mereka. Kaum wanita selain berambut

panjang juga tidak boleh mencukur alis. Rambut punya arti yang penting dalam

agama ini. Memasuki tempat suci ini, semua orang diharuskan untuk menutup

rambutnya, boleh dengan surban, topi, kerudung, atau kain.46

46
Syaful Azmi, Agama-Agama Minor (Tangerang Selatan: UINPress,2013), h.23
40

Gambar 17. Serban Sikh

(sumber: en.wikipedia.org)

2. Bentuk Serban pada Agama Yahudi

Ciri Serban pada agama Yahudi yaitu berbentuk seperti labu, topi kerucut

atau selilitan kain yang membentuk lubang di tengahnya, seperti donat. Konon,

pada zaman dahulu, serban dikenakan oleh para rabi serta raja-raja sebagai simbol

ketaatan serta kekuasaan.47

Gambar 18. Yitzhak Kaduri Gambar 19. Rabbi Yitzhak Yosef

(sumber: albawaba.com) (sumber: wnd.com)

3. Bentuk Serban pada Agama Kristen

Serban dalam agama Kristen mempunyai perbedaan yang dikenakan oleh

pastur atau pendeta dengan serban yang dikenakan oleh jemaahnya, supaya

47
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 23.
41

menandakan adannya orang yang sudah dekat dengan Tuhan dan pantas

menyebarkan dakwahnya. 48

Gambar 20. Kaum Essene Nasrani

(sumber: kikipea.com)

4. Bentuk Serban pada Agama Hindu

Asal-mula serban dalam agama Hindu tidak lepas dari pengaruh serban

dari agama Islam dan Sikh.49

Gambar 21. Serban Hindu


(sumber: vedanta.org)
Pada gambar diatas kain serban yang dikenakan memiliki warna yang

cenderung cerah. Selain itu serban model pengikatannya dengan rnenggunakan

dua kain yang berbeda.50

48
Kikipea, “Turban Segala Bangsa.”
49
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 24.
50
Arrobbaniyah, “Bentuk dan Makna Serban di Indonesia,” h. 24.
BAB III

BIOGRAFI DR. AHMAD LUTFI FATULLAH, MA

A. Profil Keluarga Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

Ahmad Lutfi Fathullah lahir pada tanggal 25 Maret 1964 di daerah

kuningan, Jakarta Selatan. Beliau adalah putra betawi asli yang terlahir dari

pasangan H. Fathullah dan Hj. Nafisah. Beliau merupakan salah satu cucu Guru

Mughni, seorang tokoh ulama Betawi ternama di era akhir 1800 dan awal 1900-

an. Kediaman beliau berada di komplek Masjid Baitul Mughni, Jl. Gatot Subroto

Kav. 26, Kuningan, Jakarta Selatan.1

Ahmad Lutfi Fathullah sejak kecil sudah diajarkan ilmu agama oleh

keluarganya. Keluarga beliau termasuk keluarga yang memiliki religiusitas tinggi.

Secara ekonomi, keluarga beliau tergolong sebagai keluarga yang mapan. Ayah

beliau, H. Fathullah adalah keturunan dari Guru Mughni. Guru Mughni yang

memiliki nama lengkap Abdul Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qois, yang lahir

sekitar tahun 1860 M. Guru Mughni adalah seorang ulama besar asli betawi di era

awal 1900-an. Sedangkan Ibunda Ahmad Lutfi Abdullah, Hj. Nafisah adalah anak

dari seorang ketua rombongan haji. Pada usia 14 tahun, Hj. Nafisah sudah

merasakan pergi ke Masjid al-Haram.2

Ahmad Lutfi Fathullah adalah sosok anak yang patuh dan taat kepada

kedua orang tuanya. Beliau sangat mengagumi sosok kakek yang memiliki

1
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah, Jakarta, 28 Desember 2017.
2
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.

42
43

kesemangatan dalam menuntut ilmu. Sang kakek yakni Guru Mughni memiliki

cita-cita agar anak, cucu dan keturunannya bisa menjadi ulama seperti beliau.

Berkat tekad, doa dan dorongan dari keluarga, Ahmad Lutfi Fatullah selalu

dididik dan dibesarkan dengan ilmu agama. Hal itu nampaknya berbuah manis.

Setelah lulus dari pesantren, beliau mendapatkan kesempatan belajar hingga ke

luar negeri.

Ahmad Lutfi Fathullah selain menjadi anak yang cerdas, beliau dikenal

sebagai sosok yang pemberani, ulet dan tekun dalam menuntut ilmu. Ketika

sekolah dasar beliau sudah terbiasa jauh dari asuhan kedua orang tuanya. Ketika

masih sekolah dasar, beliau sekolah di SDN 01 Kuningan Timur, Jakarta Selatan.

Setelah lulus sekolah dasar, beliau melanjutkan sekolahdan pendidikan agama di

Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Beliau menghabiskan waktu

untuk belajar di Pondok Pesantren tersebut selama 7 Tahun. Setelah lulus, beliau

melanjutkan kuliah di Universitas Damaskus, Syiria.3

Sosok yang semangat dan cekatan dalam menuntut ilmu dapat ditemukan

dalam diri Ahmad Lutfi Fathullah. Beliau tidak kenal lelah dalam menuntut ilmu

agama. Sosok kakek selalu menjadi motivasi bagi dirinya. Pada masa studi di

Damaskus, Ahmad Lutfi Fathullah bertemu dengan seorang wanita berparas

cantik keturunan asli Syiria-Indonesia yang bernama Jenah Azhari, seorang

wanita yang dipersunting menjadi istri saat beliau berusia 29 tahun, pada tahun

1993 M. Mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Hanin Fathullah, Muhammad

Hadi Fathullah, dan Rahaf Fathullah.4

3
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
4
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
44

Ahmad Lutfi Fathullah melanjutkan kuliahnya di luar negeri yang

mengharuskan beliau berpisah untuk sementara dengan istri dan anak-anaknya.

Anak-anaknya pun sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu yang jarang bertemu

dengan sang ayah. Namun dengan perkembangan teknologi yang canggih jarak

jauh tidak menjadi penghalang Ahmad Lutfi Fathullah dan anak-anaknya untuk

berkomunikasi menggunakan sarana komunikasi yang tersedia.

Pepatah mengatakan, “Ibu adalah madrasah pertama dan utama”. Menurut

Ahmad Lutfi Fathullah, peran istri sangat banyak dalam hal mendidik anak.

Beliau sangat percaya kepada istrinya, Jehan Azhari untuk mendidik anak-

anaknya. Jehan Azhari membesarkan anak-anaknya dengan penuh cinta dan kasih

sayang. Beliau memilihkan sekolah berbasis Islam untuk pendidikan anak-

anaknya. Menurutnya, keluarga dan sekolah adalah dua hal yang dapat

membentuk karakter dan pola pikir anak.5

B. Latar Belakang Pendidikan Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

Ahmad lutfi Fathullah setelah mendapatkan pendidikan agama dan akhlak

dari keluarganya, beliau melanjutkan pendidikan selanjutnya, yaitu sekolah,

pesantren, sampai perguruan tinggi. Latar belakang pendidikan beliau mulai dari

sekolah dasar hingga perguruan tinggi antara lain:

Ahmad Lutfi Fathullah mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar Negeri

01 Kuningan Timur, Jakarta Selatan pada pagi hari. Tak puas dengan sekolah

5
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
45

umum, beliau mengikuti “Sekolah Diniyah” pada sore hari untuk mempelajari

dan mendalami ilmu agama pada masa anak-anak.6

Setelah lulus sekolah dasar, beliau melanjutkan pendidikan di Pondok

Modern Gontor yang bertempat Ponorogo, Jawa Timur. Beliau mendaftarkan

diri untuk menjadi santri pada tahun 1977. Mudah bergaul, pandai berorganisasi

dan berkarakter adalah pendidikan yang didapatkan oleh santri di Pondok

Modern Darussalam Gontor. Selain itu beliau menyukai sepak bola dan

bergabung dalam Klub Sepak Bola Darmajaya yang berada di Pondok Pesantran

Modern tersebut.7

Setelah lulus dari Pondok Pesantren Modern Gontor, beliau melanjutkan

pendidikan di Perguruan Tinggi Assyafi‟iyah. Namun masa pendidikan tersebut

tidak berlangsung lama. Beliau mendapatkan beasiswa kuliah Strara-1 di

Damascus University, Syiria. Pengetahuan Ahmad Lutfi Fathullah menjadi lebih

mendalam. Beliau selalu mengikuti kajian selepas salat subuh. Beliau sangat

aktif bertemu guru untuk mengaji dan menyetorkan hafalan al-Qur‟an. Pada sore

hari, beliau menjadi cleaning service di Kedutaan Besar Republik Indonesia

(KBRI). Namun pekerjaan itu tidak setiap hari dilakukannya. Mahasiswa

Indonesia yang belajar di Negara tersebut mengambil pekerjaan itu sehingga ada

jadwal tertentu. Walaupun demikian, pekerjaan tersebut tidak melemahkan

semangat beliau dalam menuntut ilmu. Masa pendidikan beliau di Damascus

University menghabiskan waktu kurang lebih empat setengah tahun.8

6
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
7
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
8
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
46

Ahmad Lutfi Fathullah kemudian melanjutkan pendidikan master di

Jordan University, Jordania. Beliau memilih Jurusan Hadis dan Tafsir. Ahmad

Lutfi Fathullah menjalankan program master di Jordan University dalam kondisi

perang teluk sedang berkecamuk. Karena berbahaya, maka semua mahasiswa

asing dipulangkan ke negaranya untuk sementara waktu sampai kondisi aman.9

Beliau lulus dari universitas tersebut dengan menyelesaikan tugas akhir berupa

tesis yang berjudul “Rusûm al-Tahdîts fî ‘Ulûm al-Hadîts li al-Ja’bari: Tahqîq

wa Dirâsat”.10

Selanjutnya, Ahmad Lutfi Fathullah mempurnakan pendidikan dengan

melanjutkan kuliah pada program doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia

tahun 1998. Beliau mengambil Jurusan Ilmu Hadis. Pada tahun 1999 beliau

menyelesaikan disertasi yang berjudul “Kajian Hadis Kitab Dzurrat al-

Nâsihîn”11. Pada tahun 2000 beliau secara resmi mendapatkan ijazah.12

Di samping itu, guru-guru yang pernah mengajar beliau baik formal

maupun non-formal antara lain :

1. KH. Imam Zarkasyi

2. Prof. Dr. Syeikh Muhammad Sa‟id Ramadhan al-Buthi

3. Prof. Dr. Syeikh Nuruddin „Itr

4. Prof. Dr. Syeikh Mustafa Dîb al-Bugha

5. Prof. Dr. Syeikh Wahbah al-Zuhaily

6. Prof. Dr. Syeikh Hammam Abdurrahim Sa‟id

9
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
10
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 21 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
11
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 21 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
12
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
47

7. Prof. Dr. Muhammad al-Zuhaily

8. Syeikh Husein al-Khattab

9. Syeikh Abdul Qadir al-Arna‟ut

10. Syeikh Syu‟aib al-Arna‟ut13

C. Aktivitas Akademis Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

Beliau mulai mengajar di Pondok Pesantren Modern Gontor ketika beliau

masih menginjak kelas 2 SMA pada tahun 1982. Meskipun ilmu agamanya

belum terlalu dalam, beliau sudah dipercaya untuk membantu para guru dan

kiyai untuk mendidik para santri.14 Sejak saat itu, bakat dan talenta beliau dalam

mengajar mulai terlatih.

Ahmad Lutfi Fathullah sudah diwajibkan mengajar ketika berada di

Malaysia. Beliau ketika di Malaysia sudah menjadi asisten dosen. Sepulangnya

ke Indonesia, Ahmad Lutfi Fatullah mengajar di Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 2000 setelah

beliau mendapat ijazah resmi dari Universitas Kebangsaan Malaysia, beliau

mulai mengajar di Sekolah Pasca-Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta hingga sekarang.15

Sejak tahun 2001, Ahmad Lutfi Fathullah diangkat menjadi pegawai

negeri di Bandung. Beliau menjadi dosen di Universitas Islam Negeri (UIN)

13
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 21 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
14
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 21 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
15
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
48

Bandung dan mengajar di Fakultas Ushuluddin baik sarjana maupun pasca-

sarjana.

Memasuki 2002, Ahmad Lutfi Fathullah mulai mengisi pelajaran hadis di

Universitas Al-Azhar Jakarta hingga sekarang. Selanjutnya pada tahun 2003

Ahmad Lutfi Fathullah mengajar pasca-sarjana di Universitas Indonesia hingga

sekarang. Di samping itu, beliau juga menjadi dosen di Pendidikan Kader

Muballigh Al-Azhar, Kebayoran baru, Jakarta Selatan.

Dosen pasca-sarjana Universitas Muhammadiyah Tangerang, Universitas

Muhammadiyah Surakarta, Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, Program

Interdiciplyneri Islamic Studies McGill Canada – UIN Jakarta, Universitas Islam

Ibnu Khaldun Bogor, Universitas al-Aqidah, Jakarta.

Selain aktif menjadi dosen, kegemaran beliau terhadap dunia akamis

bukan saja bergerak dalam lingkup perguruan tinggi, tapi juga merambah ke

jenjang yang lebih dasar yaitu tingkat sekolah menengah. Sebagai seorang

muballigh dan guru, Beliau juga mengajar di SD dan SMPIT al-Mughni Jakarta,

yang tak jauh dari kediaman beliau serta kantor beliau yakni Pusat Kajian Hadis

Jakarta.16

D. Kontribusi Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Terhadap Masyarakat

Tepat pada tanggal 17 Mei 2008, Ahmad Lutfi Fathullah mendirikan Pusat

Kajian Hadis (PKH) di Jakarta. PKH merupakan wadah dan media untuk

mengkaji dan menyebarluaskan hadis-hadis Rasulullah Saw. Karena kecintaannya

16
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
49

beliau kepada hadis, sekarang beliau menjadi seorang pakar hadis. Beliau juga

merupakan direktur pada lembaga tersebut.

Pada tahun 2011, satasiun televisi TVRI membuat sebuah acara yang

bertema Hikmah pagi dalam Kajian Kitab Kuning Shahih Bukhari yang

menjadikan Ahmad Lutfi Fathullah sebagai Narasumber di acara tersebut. Beliau

juga kerap kali mengisi program tausiah di stasiun televisi TransTV dan Trans7.17

Selain itu, dalam mengamalkan ilmu dan berdakwah kepada masyarakat

beliau juga menjadi pembimbing ibadah haji dan umroh pada PT. Dian Nusa

Insani Jakarta. Kegiatan ini sama dengan kakek beliau dari jalur ibunya.18

Beliau juga mengajar di beberapa Majlis Ta‟lim secara rutin antara lain :

1. Majlis Ta‟lim al-Bahts wa al-Tahqîq al-Salâm, Jakarta

2. Masjid Baitul Mughni, Jakarta

3. Masjid al-Tin, Jakarta

4. Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta

5. Masjid Baitus Salam, Gedung BIP Jakarta

6. Majlis Ta‟lim al-Sa‟adah, Ciputat

7. Masjid al-Hijrah, Jakarta

8. Masjid Shalahuddin, Kalibata, Jakarta

9. Masjid al-Musyawarah, Kelapa Gading Jakarta19

17
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
18
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 21 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
19
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 21 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
50

E. Karya Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

Ahmad Lutfi Fathullah merupakan ulama yang sangat produktif dalam

menciptakan karya. Bukan hanya karya dalam bentuk tulisan seperti buku dan

sebagainya, namun beliau juga sangat kreatif dalam menciptakan karya dalam

bentuk digital. Kerika diwawancarai mengenai karya, beliau merekomendasikan

untuk melihat website beliau. Oleh karena itu, penulis mengambil data mengenai

karya-karya beliau dari website tersebut. Karya yang paling terkenal dengan

nama beliau adalah karya-karya dalam bentuk komputerisasi hadis. Karya-karya

beliau antara lain:

1. Rumûs al-Tahdîts fî ‘Ulûm al-Hadîts li al-Ja’bari: Tahqîq wa Dirâsat (tesis)

2. Kajian Hadis Kitab Dzurrat al-Nâsihîn (disertasi)

3. Hadis-Hadis Keutamaan al-Qur‟an.

4. Rumus-Rumus Hadis dan Rijal al-Hadis.

5. Hadis-hadis Lemah & Palsu dalam Kitab Dzurrat al-Nâsihîn, (Jakarta: Darus

Sunnah Press, 2004).

6. Menguak Kesesatan Aliran Ahmadiyah, (Jakarta: Al-Mughni Press, 2005).

7. Fiqh Khitan Perempuan, (Jakarta: Al-Mughni Press, 2006).

8. Mencerdaskan Otak, Menjaga Hati Mahasiswa-Mahasiswi melalui Wirid,

Zikir, dan Doa, (Jakarta: Al-Mughni, 2009)

9. 40 Hadis Keutamaan Dzikir dan Berdzikir, (jakarta: Al-Mughni Press,2009)

10. Membaca Pesan-Pesan Nabi dalam Pantun Betawi, (Jakarta: al-Mughni Press,

2008)

11. Membuka Pintu Rezeki Melalui Wirid Pagi dan Petang, (Jakarta: Al-Mughni

Press, 2009)
51

12. Jalan Santri Menjadi Ulama : Kiat dan Tips, (Jakarta: Al-Mughni Press,

2005).

13. Selangkah Lagi Mahasiswa UIN Jadi Kiyai, (Jakarta: Al-Mughni Press,

2005).

14. Ketika Ulama Jakarta Harus Memilih Gubernur DKI, (Jakarta: Al-Mughni

Press, 2007).

15. Memulai Perubahan Menggapai Kesuksesan: Tips Mengatur Gaji Nakerwan,

(Jakarta: Al-Mughni Press, 2006).

16. Fiqh Nakerwan Hongkong, (Jakarta: Al-Mughni Press, 2006).

17. Pahala dan Keutamaan Haji, Umrah, Ziarah dalam Hadis-hadis Rasulullah

Saw, Jakarta: Al Mughni Press, 2006).

18. Pribadi Rasulullah Saw: Telaah Kitab Tauhid al-Dalâ‟il fî Tarjamat Hadîs al-

Syamâ‟il Karya Guru Mughni Kuningan, 1860-1935, (Jakarta: Al-Mughni

Press, 2005)

19. Seri Hadis Untuk Anak:

a. Menuju Generasi Qur‟ani, (Jakarta: Al-Mughni, 2005).

b. Sayangi Kami Sayangi Sesama, (Jakarta: Al-mughni, 2005)

c. Aku Bisa Karena Belajar, (Jakarta: Al-Mughni, 2005).

d. Hadis Untuk Anak, Rasulullah Teladanku, (Jakarta: Gema Insani, 2012)

e. Aku Anak Muslim, (Jakarta: Al-Mughni, 2005)20

Selain menulis karya hasil sendiri, Ahmad Lutfi Fathullh juga menulis

karya dengan berkolaborasi bersama Tim Pusat Kajian Hadis Jakarta. Adapun

karya-karya yang beliau hasilkan bersama tim tersebut antara lain :

20
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 28 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
52

1. Kamus Percakapan Amiyah Suriah-Indonesia

2. Relasi Hubungan Suami-Isteri : Kajian Baru Kitab ‘Uqûd al-Lujain

3. Kembang Setaman Perkawinan

4. Kitab “‘Uqûd al-Lujain” Tahqîq wa Dirâsah (bahasa Arab)

Selain buku-buku di atas, Ahmad Lutfi Fathullah juga sedang

melangsungkan proses pembuatan buku-buku selanjutnya yang masih dalam tahap

penyelesaian. Buku-buku tersebut antara lain :

1. Ragam-ragam Hadis

2. Kamus & Rumus-rumus Hadis

3. Pengantar Ilmu „Ilal Hadis

4. Fiqh Harta Gono-gini

5. Fiqh & Keutamaan Salat Dhuha dalam Hadis-hadis Rasulullah Saw

6. Mari Berdoa : Filosofi, Fiqh, Etika dan Kumpulan Pesan Allah dalam Hadis-

Hadis Qudsi

7. Potret Surga & Neraka dalam Hadis-Hadis Rasulullah Saw

8. Mencari Pintu Surga di Sudut-Sudut Kota London

Ahmad Lutfi Fathullah adalah sosok ulama yang haus akan karya. Beliau

dikenal sebagai ulama cerdas yang mampu membaca perkembangan zaman dan

menjadikannya jalan untuk berdakwah melalui karya-karyanya. Alhasil, dengan

memanfaatkan perkembangan sains dan teknologi yang pesat, beliau bukan hanya

berkarya dalam bentuk buku, namun beliau juga beliau banyak melahirkan karya

dalam bentuk multimedia. Dalam pengerjaan karya beliau ini dibantu oleh para

karyawan dan asistenya, diantaranya:


53

1. CD al-Qur‟an al-Hadi

2. DVD Interaktif: Indeks Tematik Qur‟an

3. DVD Metode Belajar Interaktif Hadis dan Ilmu Hadis

4. DVD Interaktif: Hadis-Hadis Keutamaan al-Qur‟an

5. CD dan aplikasi android Potret Pribadi dan Kehidupan Rasulullah Saw

6. DVD Intraktif: Hadis Sahih Bukhari, Terjemah dan Takhrij interaktif

7. Website warungustad.com21

Sementara itu, ada beberapa karya dalam bentuk multimedia yang saat ini

masih dalam proses penyelesaian. Karya-karya tersebut antara lain:

1. DVD Interaktif: Fiqh Ramadhan

2. DVD Interaktif: Manasik Haji dan Umrah

3. DVD Interaktif: Ensiklopedia Sholat

4. DVD Interaktif: Potret Surga dan Neraka

5. DVD Interaktif: Ensiklopedia Sholat

6. DVD Interaktif: Hadis-hadis Zikir dan Berzikir

7. DVD Interaktif: Arbain al-Nawawi22

21
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 28 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
22
www.pusatkajianhadis.com, diakses pada 28 Desember 2017, pkl. 12:15 WIB.
BAB IV

PEMAHAMAN HADIS PEMAKAIAN SERBAN MENURUT DR. AHMAD

LUTFI FATHULLAH, MA.

Pada bab IV, penulis akan memaparkan inti dari penulisan skripsi ini,

yaitu mengenai bagaimana pemahaman Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA terhadap

hadis-hadis tentang pemakaian serban. Penulis menggunakan metode wawancara

untuk menemukan pemahaman baru dari seorang tokoh hadis mengenai hadis

pemakaian serban. Maka penulis memaparkan hasil wawancara terhadap Dr.

Ahmad Lutfi Fathullah, MA, yang notabene adalah ulama sekaligus tokoh hadis

di Indonesia.

Pembahasan didahului dengan memaparkan hadis-hadis yang membahas

tentang pemakaian serban sekaligus takhrîj al-hadîts-nya. Kemudian menjelaskan

kritik sanad dan kualitas hadis. Lalu dilanjutkan dengan pendapat ulama-ulama

terdahulu mengenai hadis-hadis tentang pemakaian serban. Setelah itu masuk ke

pembahasan inti yaitu pemahaman Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA terhadap

hadis-hadis tentang pemakaian serban.

A. Hadis-Hadis Tentang Pemakaian Serban

Sebagaimana pembatasan masalah pada skripsi ini, hadis yang akan

dibahas hanyalah hadis-hadis yang terkait dengan pemakaian serban oleh Nabi

Muhammad Saw. Dari sekian banyak hadis yang membahas tentang pemakaian

54
55

serban, penulis akan membahas tiga hadis. Hadis-hadis tersebut antara lain:

pertama, hadis tentang Nabi mengenakan serban hitam ketika memasuki kota

mekah pada hari Yaum Fath. Kedua, hadis tentag Nabi mengenakan serban hitam

ketika berkhutbah. Ketiga, hadis tentang cara Nabi mengenakan serban, yaitu

dengan menjulurkan ujung serban di antara kedua pundaknya.

1. Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban Hitam Ketika Masuk

Mekah Pada Hari Pembebasan Kota Mekah (Fath Makkah)

Kitab Sahîh Muslim kitab libâs bab fî al-„amâim1

ِ‫ْشِ عٍَْ جَاتِشِ تٍِْ عَثْذ‬َٛ‫ انضُت‬ِٙ‫ِ عٍَْ أَت‬ُُِْْٙ‫كٌ عٍَْ عًََاسٍ انذ‬ِٚ‫ىٍ انَْأْٔدُِ٘ أَخْثَشَََا شَش‬ِٛ‫ُ تٍُْ حَك‬ِٙ‫حَذَثََُا عَه‬
ُ‫عْٕدَاء‬
َ ٌ‫ِّْ عًَِايَح‬َٛ‫ْٕوَ فَرْحِ يَكَ َح َٔعَه‬َٚ َ‫ْ ِّ َٔعَهَىَ دَخَم‬َٛ‫َ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫انهَِّ أٌََ انَُث‬
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami „Ali bin Hakîm al-Audi, telah
mengabarkan kepada kami Syarîk dari „Ammâr al-Duhni dari Abû Zubair
dari Jâbir bin „Abdullâh bahwa Nabi Saw.masuk kota Mekkah pada hari
Fath Makkah dengan memakai serban hitam.”

2. Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban Hitam Ketika Berkhutbah

Kitab Sahîh Muslim bab jawâz dukhûl Makkah bi ghairi ihrâm2

ٍِْ‫عٌ عٍَْ ُيغَأِسٍ ا ْنَٕسَاقِ عٍَْ جَعْفَشِ ت‬ِٛ‫ىَ لَانَا أَخْثَشَََا َٔك‬ِْٛ‫َٗ َِٔإعْحَكُ تٍُْ إِتْشَا‬ْٛ‫َح‬ٚ ٍُْ‫َٗ ت‬ْٛ‫َح‬ٚ ‫حَذَثََُا‬
ٌ‫ِّْ عًَِايَح‬َٛ‫طةَ انَُاطَ َٔعَه‬
َ‫خ‬َ َ‫ِّْ َٔعَهَى‬َٛ‫ِّ أٌََ َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٛ‫ثٍ عٍَْ أَت‬ْٚ َ‫عًَْشِٔ تٍِْ حُش‬
ُ‫عْٕدَاء‬
َ

Artinya:
“Yahya bin Yahya dan Ishâq bin Ibrâhîm meriwayatkan hadis
kepada kami, mereka berdua berkata, Wakî‟ telah mengkhabarkan kepada
kami dari Musâwir al-Warrâq dari Ja‟far bin „Amr bin Huraits dari
bapaknya bahwasanya Rasulullah Saw. berkhutbah di hadapan manusia
dengan mengenakan serban hitam.”

1
Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûri, Sahîh Muslim, juz 7 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-
„Arabi, t,t.), h. 92.
2
Al-Naisâbûri, Sahîh Muslim, juz 2, h. 990.
56

3. Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban dengan Cara Menguraikan


Ujungnya di Antara Kedua Pundak

Kitab Sunan al-Tirmidzi kitab al-libâs bab fî sadl al-„imâmat bayn al-

katifain.3

ٍَْ‫ضِ تٍِْ يُحًََذٍ ع‬ِٚ‫ُ عٍَْ عَثْذِ انْعَض‬ََِٙ‫َٗ تٍُْ يُحًََذٍ انًَْذ‬ْٛ‫َح‬ٚ ‫ُ حَذَثََُا‬َِٙ‫حكَ انًَْْٓذَا‬
َ ْ‫حَذَثََُا َْاسٌُُٔ تٍُْ ِإع‬
َ‫ِّْ َٔعَهَىَ إِرَا اعْرَىَ عَذَل‬َٛ‫ُ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫ْذِ انهَِّ تٍِْ عًَُشَ عٍَْ ََافِعٍ عٍَْ اتٍِْ عًَُشَ لَالَ كَاٌَ انَُث‬َٛ‫عُث‬
َ‫دُ انْمَاعِى‬ْٚ َ‫ْذُ انهَِّ َٔسَأ‬َٛ‫ِّْ لَالَ عُث‬َٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫غْذِلُ عًَِايَرَُّ ت‬َٚ َ‫ِّْ لَالَ ََافِعٌ َٔكَاٌَ اتٍُْ عًَُش‬َٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫عًَِايَرَُّ ت‬
ُ‫ث‬ِٚ‫َصِحُ حَذ‬ٚ ‫ٍ َٔنَا‬ِٙ‫ انْثَاب عٍَْ عَه‬ِٙ‫ةٌ َٔف‬ِٚ‫حغٌٍَ غَش‬
َ ٌ‫ث‬ِٚ‫غَٗ َْزَا حَذ‬ِٛ‫َفْعَهَاٌِ رَِنكَ لَالَ أَتُٕ ع‬ٚ ‫َٔعَانًًِا‬
ِ ِ‫ َْزَا يٍِْ لِثَمِ ِإعَُْاد‬ِٙ‫ٍ ف‬ِٙ‫عَه‬

Artinya:
“Hârûn bin Ishâq al-Hamdâni telah menceritakan kepada kami, ia
berkata, Yahya bin Muhammad al-Madani telah menceritakan kepada
kami dari „Abd al-„Azîz bin Muhammad dari „Ubaidillâh bin „Umar dari
Nâfi' dari Ibn „Umar, ia berkata, “Jika Nabi Muhammad Saw.
mengenakan „imâmah (serban yang dililitkan di kepala), maka beliau
menguraikan „imâmahnya di antara dua pundaknya.”Nâfi' berkata, "Ibn
„Umar menguraikan „imâmahnya di antara dua pundaknya."„Ubaidillâh
berkata, "Aku melihat al-Qâsim dan Sâlim pun melakukan seperti itu."Abû
„Îsa berkata, "Hadis ini derajatnya hasan gharîb. Dalam bab ini juga ada
hadis dari „Ali namun tidak sahih dari sisi sanadnya."

B. Takhrîj Hadis-Hadis Tentang Pemakaian Serban

Takhrîj (‫ج‬ٚ‫ )ذخش‬secara bahasa mengandung beberapa arti, yaitu al-istinbât

(‫ )االعرُثاط‬artinya “mengeluarkan”, al-tadrîb (‫ة‬ٚ‫ )انرذس‬artinya “melatih atau

membiasakan”, al-tarjîh (‫ح‬ٛ‫ )انرشج‬artinya “menghadap”. Sedangkan secara istilah,

takhrîj hadis adalah menyampaikan hadis kepada orang banyak dengan

3
Abû „Isa Muhammad „Isa bin Saurah al-Tirmidzi, al-Jâmi‟ al-Kabîr, jilid ke-3 (Beirut:
Dâr al-Gharb al-Islâmi, 1996), h. 349.
57

menyebutkan semua perawi dalam mata rantai sanad hadis itu beserta metode

periwayatan masing-masingnya.4

Ada empat metode takhrîj hadis. Pertama, takhrîj hadis melalui lafal atau

kata yang terdapat dalam matan hadis. Kedua, takhrîj hadis melalui tema hadis.

Ketiga, takhrîj hadis melalui periwayat hadis pada tingkat sahabat.5

Dalam skripsi ini, penulis hanya menggunakan tiga metode takhrîj hadis

karena sudah dianggap mewakili metode lainnya. Ketiga metode tersebut antara

lain: pertama, takhrîj hadis melalui lafal yang terdapat dalam matan hadis. Kedua,

takhrîj hadis melalui kata pertama dalam hadis. Ketiga, takhrîj hadis melalui tema

hadis.

1. Takhrîj Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban Hitam Ketika

Masuk Mekah pada hari Pembebasan Kota Mekah (Fath Makkah)

a. Teks Hadis

ِ‫ْشِ عٍَْ جَاتِشِ تٍِْ عَثْذ‬َٛ‫ انضُت‬ِٙ‫ِ عٍَْ أَت‬ُُِْْٙ‫كٌ عٍَْ عًََاسٍ انذ‬ِٚ‫ىٍ انَْأْٔدُِ٘ أَخْثَشَََا شَش‬ِٛ‫ُ تٍُْ حَك‬ِٙ‫حَذَثََُا عَه‬
ُ‫عْٕدَاء‬
َ ٌ‫ِّْ عًَِايَح‬َٛ‫ْٕوَ فَرْحِ يَكَ َح َٔعَه‬َٚ َ‫ْ ِّ َٔعَهَىَ دَخَم‬َٛ‫َ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫انهَِٓأٌََ انَُث‬

b. Informasi Hadis

Metode pertama yang penulis lakukan dalam men-takhrîj hadis di atas

adalah menggunakan metode lafadz hadis dengan merujuk pada kamus hadis kitab

al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawi. Setelah dilakukan

pelacakan, maka ditemukan data sebagai berikut:

4
M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013),
h. 222.
5
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 191.
58

 Kata ٌ‫ عًَِايَح‬dalam kitab al-mu‟jam al-mufahras ditemukan informasi

sebagai berikut:

،،١٥١–١٥٤ ‫و حج‬ ‫ّ عًايح عٕداء‬ٛ‫ ٔعه‬...


،،١ ،٦٩ ‫ش عٕسج‬ٛ‫ ذفغ‬،٩ ‫ جٓاد‬،**٤٤ ‫ خ نثاط‬،،١٤١٢ ،٦ ‫د نثاط‬
،٤٥ ،**٤١ ‫ نثاط‬،٥٥ ‫ جّ إلايح‬،،٤٢٩ ‫ُح‬ٚ‫ ص‬،٤٢١ ‫ٌ يُاعك‬
٦
٣٢١ ،١ ،٣٥١ ،٣٦٣ ،٣ ‫ حى‬،،٥٥ ‫ دٖ يُاعك‬،،١١ ‫جٓاد‬

Informasi di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Sahîh Muslim bab Hajj nomor 451-454, Sunan Abû Dâwûd bab libâs nomor 6 dan

2120, Sunan al-Tirmidzi bab libâs nomor 11, bab jihâd nomor 9, tafsir surah ke-29

nomor 2, Sunan al-Nasâi bab manâsik nomor 107, bab zînah nomor 109, Sunan Ibn

Mâjâh bab iqâmat nomor 85, bab libâs nomor 14 dan 15, bab jihâd nomor 22,

Sunan al-Dârimi bab manâsik nomor 88, Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 nomor

363, 387, jilid 4 nomor 307.

Metode kedua, adalah menggunakan metode awal matan dengan merujuk

kepada kitab mausû‟at atrâf al-hadîts al-nabawi al-syarîf . Setelah dilakukan

penelusuran, maka ditemukan informasi sebagai berikut:

‫ّ عًايح عٕداء‬ٛ‫ دخم عاو انفرح يكحٔعه‬


١
١٢١٦ ‫د‬
‫ّ عًايح عٕداء‬ٛ‫ دخم يكحٔعه‬
.١٣١ ٥ ٥ ‫– ػ‬٣٥١٥٣‫اذحاف‬
‫ّ عًايح عٕداء‬ٛ‫ٕو (انفرح) فرح يكحٔعه‬ٚ ‫ دخم‬
٥
.١٣١ ٥ ٥ ‫ ػ‬،٦١ ٥ ٥ ‫َثٕج‬

6
Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras, juz 4, h. 348.
7
Muhammad al-Sa‟îd bin Basyûni Zaghlûl, Mausû‟at Atrâf al-Hadîts al-Nabawi al-
Syarîf, Juz 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah,t.t.), h. 7.
8
Muhammad al-Sa‟îd, Mausû‟at Atrâf,Juz 5, h. 8.
59

Informasi di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Sunan Abû Dâwûd nomor 4076, kitab Ittihâf al-Sâdât al-Muttaqîn li al-Zabîdî juz 3

nomor 253, Musnaf Ibn Abî Syaibah juz 8 nomor 234 dan 237, Dalâil al-

Nubuwwah li al-Baihaqi juz 5 nomor 67.

Metode ketiga, adalah menggunakan metode tema hadis dengan merujuk

kepada kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah. Pembahasan tentang sorban termasuk dalam

tema pakaian kepala. Setelah dilakukan penelusuran, maka ditemukan informasi

sebagai berikut:

Informasi di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Sahîh al-Bukhâri kitab ke-77, bab 15-17, Sunan Abû Dâwûd kitab ke-31 bab 21,

Sunan al-Tirmidzi kitab ke-22, Sunan al-Nasâi kitab ke-38 bab 127-129, Sunan Ibn

Mâjâh kitab ke-32 bab 14 dan 15.

c. Lafadz-Lafadz Hadis

Sebagaimana pembatasan pembahasan dalam skripsi ini yaitu hanya

membahas hadis-hadis yang tercantum dalam kutub al-tis‟ah, maka lafadz-lafadz

hadis yang akan dicantumkan hanya hadis-hadis yang terdapat kitab-kitab tersebut.

9
Muhammad Fuâd, Miftâh Kunûz, h. 426.
‫‪60‬‬

‫‪1.‬‬ ‫‪Lafadz Hadis dalam Sahîh Muslim‬‬

‫‪ )1‬حَذَثََُا ‪َٚ‬حْ‪ َٗٛ‬تٍُْ ‪َٚ‬حْ‪ َٗٛ‬انرًَِ‪َٔ ًُِٙٛ‬لُرَ‪ْٛ‬ثَحُ تٍُْ عَعِ‪ٛ‬ذٍ انّثَمَفِ‪ ٔ ُٙ‬لَالَ ‪َٚ‬حْ‪ َٗٛ‬أَخْثَشَََا ٔ لَالَ لُرَ‪ْٛ‬ثَحُ حَذَثََُا يُعَأِ‪َٚ‬حُ تٍُْ عًََاسٍ‬
‫انذُُِْْ‪ ُٙ‬عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشِ تٍِْ عَثْذِ انهَِّ انْأََْصَاسِِ٘ أٌََ َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ يَكَ َح َٔلَالَ‬
‫‪٤٢‬‬
‫عْٕدَاءُ تِغَ‪ْٛ‬شِ إِحْشَا ٍو َٔفِ‪ِ ٙ‬سَٔا‪َٚ‬حِ لُ َر‪ْٛ‬ثَحَ لَالَ حَذَثََُا أَتُٕ انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ‬
‫لُرَ‪ْٛ‬ثَحُ دَخَمَ َ‪ْٕٚ‬وَ فَرْحِ يَكَ َح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَ ٌح َ‬

‫‪ )2‬حَذَثََُا عَهِ‪ ُٙ‬تٍُْ حَكِ‪ٛ‬ىٍ انَْأْٔدُِ٘ أَخْثَشَََا شَشِ‪ٚ‬كٌ عٍَْ عًََاسٍ انذُُِْْ‪ ِٙ‬عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشِ تٍِْ عَثْذِ انهَِّ أٌََ انَُثِ‪َٙ‬‬
‫‪٤٤‬‬
‫عْٕدَاءُ‬
‫صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّ ْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ َ‪ْٕٚ‬وَ فَرْحِ يَكَ َح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَ ٌح َ‬

‫‪2.‬‬ ‫‪Lafadz Hadis dalam Sunan Abû Dâwûd‬‬

‫‪ )٤‬حَذَثََُا أَتُٕ ا ْنَٕنِ‪ٛ‬ذِ انطَ‪َٛ‬اِنغِ‪ُ َٔ ُٙ‬يغْهِىُ تٍُْ إِتْشَاِْ‪ٛ‬ىَ َٔيُٕعَٗ تٍُْ ِإعًَْعِ‪ٛ‬مَ لَانُٕا حَذَثََُا حًََادٌ عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ أٌََ‬
‫‪٤١‬‬
‫عْٕدَاءُ‬
‫َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّ ْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ عَاوَ انْفَرْحِ يَكَ َح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَ ٌح َ‬

‫‪3.‬‬ ‫‪Lafadz Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi‬‬

‫‪ )٤‬حَذَثََُا يُحًََذُ تٍُْ عًَُشَ تٍِْ ا ْنَٕنِ‪ٛ‬ذِ انْكُِْذُِ٘ انْكُٕفِ‪َٔ ُٙ‬أَتُٕ كُشَ ْ‪ٚ‬ةٍ َٔيُحًََذُ تٍُْ سَافِعٍ لَانُٕا حَذَثََُا ‪َٚ‬حْ‪ َٗٛ‬تٍُْ ددَوَ عٍَْ شَشِ‪ٚ‬كٍ‬
‫عٍَْ عًََاسٍ ‪َٚ‬عُِْ‪ ٙ‬انذُُِْْ‪ َٙ‬عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ أٌََ انَُثِ‪ َٙ‬صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ يَكَ َح َِٔنَٕا ُؤُِ أَتْ‪َٛ‬ضُ لَالَ أَتُٕ‬
‫ٍ شَشِ‪ٚ‬كٍ لَالَ َٔعَأَ ْندُ يُحًََذًا عٍَْ َْزَا انْحَذِ‪ٚ‬ثِ فَهَىْ‬
‫عِ‪ٛ‬غَٗ َْزَا حَذِ‪ٚ‬ثٌ غَشِ‪ٚ‬ةٌ نَا َعْشِفُُّ إِنَا يٍِْ حَذِ‪ٚ‬ثِ ‪َٚ‬حْ‪ َٗٛ‬تٍِْ ددَوَ عَ ْ‬
‫‪َٚ‬عْشِفُّْ إِنَا يٍِْ حَذِ‪ٚ‬ثِ ‪َٚ‬حْ‪ َٗٛ‬تٍِْ ددَوَ عٍَْ شَشِ‪ٚ‬كٍ ٔ لَالَ حَذَثََُا غَ‪ْٛ‬شُ َٔاحِذٍ عٍَْ شَشِ‪ٚ‬كٍ عٍَْ عًََاسٍ عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ‬
‫عْٕدَاءُ لَالَ يُحًََذٌ َٔانْحَذِ‪ٚ‬ثُ َُْٕ َْزَا لَالَ أَتُٕ عِ‪ٛ‬غَٗ‬
‫جَاتِشٍ أٌََ انَُثِ‪ َٙ‬صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ يَكَحَ َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَحٌ َ‬
‫َٔانذٍُُْْ َتطٌٍْ يٍِْ تَجِ‪ٛ‬هَحَ َٔعًََاسٌ انذُُِْْ‪ َُْٕ ُٙ‬عًََاسُ تٍُْ يُعَأِ‪َٚ‬حَ انذُُِْْ‪َُٚٔ ُٙ‬كَُْٗ أَتَا يُعَأِ‪َٚ‬حَ َٔ َُْٕ كُٕفِ‪ َُْٕ َٔ ٌٙ‬ثِ َمحٌ عُِْذَ‬
‫‪٤٣‬‬
‫أَْْمِ انْحَذِ‪ٚ‬ث‬

‫‪ )١‬حَذَثََُا يُحًََذُ تٍُْ َتّشَاسٍ حَذَثََُا عَثْذُ انشَحًٍَِْ تٍُْ يَْٓذٍِ٘ عٍَْ حًََادِ تٍِْ عَهًََحَ عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ لَالَ َدخَمَ‬
‫عْٕدَاءُ لَالَ َٔفِ‪ ٙ‬انْثَاب عٍَْ عَهِ‪َٔ ٍٙ‬عًَُشَ َٔاتٍِْ حُشَ ْ‪ٚ‬ثٍ‬
‫انَُثِ‪ ُٙ‬صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّْٛ‬عَهَىَ يَكَحَ َ‪ْٕٚ‬وَ انْفَرْحِ َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَحٌ َ‬
‫‪٤١‬‬
‫حغٌٍَ صَحِ‪ٛ‬حٌ‬
‫ط َٔسُكَا َحَ لَالَ أَتُٕ عِ‪ٛ‬غَٗ حَذِ‪ٚ‬ثُ جَاتِشٍ حَذِ‪ٚ‬ثٌ َ‬
‫َٔاتٍِْ عَثَا ٍ‬

‫‪10‬‬
‫‪Al-Naisâbûri, Sahîh Muslim, juz 7, h. 91.‬‬
‫‪11‬‬
‫‪Al-Naisâbûri, Sahîh Muslim, juz 7, h. 92.‬‬
‫‪12‬‬
‫‪Abu Dâwud Sulaimân Al-„Asy al-Sijistâni, Sunan Abû Dâwud, Juz 11 (Beirut: Dâr al-‬‬
‫‪Fikr, 2003), h. 109.‬‬
‫‪13‬‬
‫‪Al-Tirmidzi, al-Jâmi‟ al-Kabîr, jilid ke-3, h.305.‬‬
‫‪14‬‬
‫‪Al-Tirmidzi, al-Jâmi‟ al-Kabîr, jilid ke-3, h. 348.‬‬
‫‪61‬‬

‫‪4.‬‬ ‫‪Lafadz Hadis dalam Sunan al-Nasâi‬‬

‫‪ ٙ‬عٍَْ جَاتِشِ تٍِْ عَثْذِ انهَِّ أٌََ انَُثِ‪ َٙ‬صَهَٗ‬


‫‪ )٤‬أَخْثَشَََا لُرَ‪ْٛ‬ثَحُ لَالَ حَذَثََُا يُعَأِ‪َٚ‬حُ تٍُْ عًََاسٍ لَالَ حَذَثَُِ‪ ٙ‬أَتُٕ انضُتَ‪ْٛ‬شِ انًَْكِ ُ‬
‫‪٤٥‬‬
‫عْٕدَاءُ تِغَ‪ْٛ‬شِ إِحْشَاوٍ‬
‫انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّ ْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ َ‪ْٕٚ‬وَ فَرْحِ يَكَ َح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَ ٌح َ‬

‫‪ )١‬أَخْثَشَََا لُرَ‪ْٛ‬ثَحُ لَالَ حَذَثََُا يُعَأِ‪َٚ‬حُ تٍُْ عًََاسٍ لَالَ حَذَثََُا أَتُٕ انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ أٌََ َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّْٛ‬عَهَىَ‬
‫‪٤٦‬‬
‫عْٕدَاءُ تِغَ‪ْٛ‬شِ إِحْشَاوٍ‬
‫دَخَمَ َ‪ْٕٚ‬وَ فَرْحِ يَكَ َح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَحٌ َ‬

‫‪ )٣‬أخْثَشَََا عًَْشُٔ تٍُْ يَُْصُٕسٍ لَالَ حَذَثََُا انْفَضْمُ تٍُْ دُكَ‪ ٍٍْٛ‬عٍَْ شَشِ‪ٚ‬كٍ عٍَْ عًََاسٍ انذُُِْْ‪ ِٙ‬عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ‬
‫‪٤١‬‬
‫عْٕدَاءُ‬
‫ح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَ ٌح َ‬
‫لَالَ دَخَمَ انَُثِ‪ ُٙ‬صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّْٛ‬عَهَىَ َ‪ْٕٚ‬وَ انْفَرْ ِ‬

‫‪5.‬‬ ‫‪Lafadz Hadis dalam Sunan Ibn Mâjah‬‬

‫‪ )٤‬حَذَثََُا أَتُٕ تَكْشِ تٍُْ أَتِ‪ ٙ‬شَ‪ْٛ‬ثَحَ حَذَثََُا َٔكِ‪ٛ‬عٌ حَذَثََُا حًََادُ تٍُْ عَهًََحَ عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ أٌََ انَُثِ‪ َٙ‬صَهَٗ انهَُّ‬
‫‪٤٥‬‬
‫عْٕدَاءُ‬
‫عَهَ‪َٔ ِّ ْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ يَكَ َح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَ ٌح َ‬

‫‪ )١‬حَذَثََُا أَتُٕ تَكْشِ تٍُْ أَتِ‪ ٙ‬شَ‪ْٛ‬ثَحَ حَذَثََُا عُثَ‪ْٛ‬ذُ انهَِّ أََْثَأَََا يُٕعَٗ تٍُْ عُثَ‪َ ْٛ‬ذجَ عٍَْ عَثْذِ انهَِّ تٍِْ دِ‪َُٚ‬اسٍ عٍَْ اتٍِْ عًَُشَ أٌََ‬
‫‪٤٩‬‬
‫عْٕدَاءُ‬
‫انَُثِ‪ َٙ‬صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّ ْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ َ‪ْٕٚ‬وَ فَرْحِ يَكَ َح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَ ٌح َ‬

‫‪6.‬‬ ‫‪Lafadz Hadis dalam Musnad Ahmad bin Hanbal‬‬

‫‪ )٤‬حَذَثََُا عَفَاٌُ حَذَثََُا حًََادٌ أَخْثَشَََا أَتُٕ انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ أٌََ انَُثِ‪ َٙ‬صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ َ‪ْٕٚ‬وَ فَرْحِ يَكَحَ َٔعَهَ‪ِّْٛ‬‬
‫‪١٢‬‬
‫عْٕدَاءُ‬
‫عًَِايَ ٌح َ‬

‫‪ )١‬حَذَثََُا أَتُٕ عَهًََحَ انْخُضَاعِ‪ ُٙ‬حَذَثََُا شَشِ‪ٚ‬كٌ عٍَْ عًََاسٍ انذُُِْْ‪ ِٙ‬عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ أٌََ َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ‬
‫‪١٤‬‬
‫عْٕدَاءُ‬
‫عَهَ‪َٔ ِّ ْٛ‬عَهَىَ دَخَمَ َ‪ْٕٚ‬وَ انْفَرْحِ يَكَ َح َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَ ٌح َ‬

‫‪15‬‬
‫‪Abû „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib al-Khurâsâni al-Nasâi, Sunan al-Nasâi, juz 9‬‬
‫‪(Riyâd: Maktabah al-Ma‟ârif, 1988), h. 286.‬‬
‫‪16‬‬
‫‪Al-Nasâi, Sunan al-Nasâi, juz 16, h. 157.‬‬
‫‪17‬‬
‫‪Al-Nasâi, Sunan al-Nasâi, juz 16, h. 158.‬‬
‫‪18‬‬
‫‪Muhammad bin Yazîd al-Quzwaini, Sunan Ibn Mâjah, juz 4 (Beirut: Dâr al-‬‬
‫‪Ma‟rifat,1996), h. 53.‬‬
‫‪19‬‬
‫‪Muhammad bin Yazîd al-Quzwaini, Sunan Ibn Mâjah, juz 4, h. 154.‬‬
‫‪20‬‬
‫‪Abû „Abdillâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad al-Syaibâni,‬‬
‫‪Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 29, h. 434.‬‬
‫‪21‬‬
‫‪Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 30, h. 174.‬‬
‫‪62‬‬

‫‪7.‬‬ ‫‪Lafadz Hadis dalam Sunan al-Dârimi‬‬

‫‪ )٤‬أَخْثَشَََا ِإعًَْعِ‪ٛ‬مُ تٍُْ أَتَاٌَ حَذَثََُا يُعَأِ‪ َٚ‬حُ تٍُْ عًََاسٍ انذُُِْْ‪ ُٙ‬عٍَْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ عٍَْ جَاتِشٍ لَالَ دَخَمَ انَُثِ‪ ُٙ‬صَهَٗ انهَُّ‬
‫ٌ يَعَ‬
‫عْٕدَاءُ تِغَ‪ْٛ‬شِ إِحْشَاوٍ لَالَ ِإعًَْعِ‪ٛ‬مُ عًَِعَُّ يٍِْ أَتِ‪ ٙ‬انضُتَ‪ْٛ‬شِ كَا َ‬
‫عَهَ‪َٔ ِّْٛ‬عَهَىَ يَكَحَ حِ‪ ٍَٛ‬افْرَرَحََٓا َٔعَهَ‪ ِّْٛ‬عًَِايَحٌ َ‬
‫‪١١‬‬
‫أَتِ‪ّٛ‬‬

‫‪22‬‬
‫‪„Abdullah bin „Abd al-Rahmân al-Dârimi, Sunan al-Dârimi, Juz 2 (Riyadh: Dar al-‬‬
‫‪Mughni, 2000), h. 101.‬‬
‫‪63‬‬

‫‪d. Skema Sanad Hadis‬‬ ‫سعٕل اهلل صهٗ اهلل عه‪ ٔ ّٛ‬عهى‬

‫جاتش‬ ‫عثذ اهلل تٍ د‪ُٚ‬اس‬

‫اتٕ انضت‪ٛ‬ش‬

‫يُعَأِ‪َٚ‬حُ‬ ‫عًاس‬ ‫حًاد‬ ‫يٕعٗ‬

‫شس‪ٚ‬ك‬ ‫ٔك‪ٛ‬ع‬ ‫عث‪ٛ‬د اهلل‬


‫قت‪ٛ‬ثة‬

‫انفضم‬ ‫‪ٚ‬ح‪ ٗٛ‬تٍ ادو‬ ‫عثد انسحًٍ‬

‫‪ٚ‬ح‪ ٗٛ‬تٍ ‪ٚ‬ح‪ٙ‬‬ ‫عه‪ٙ‬‬ ‫عًسٔ‬ ‫اتٕ سهًة‬ ‫عفاٌ‬ ‫يحًد تٍ عًس‪ ،‬اتٕ كس‪ٚ‬ة‪ ،‬يحًد تٍ زافع‬ ‫يحًد تٍ تشاز‬ ‫اتٕ انٕن‪ٛ‬د‪ ،‬يسهى‪ ،‬يٕسٗ‬ ‫اتٕ تكس‬

‫اندازي‪ٙ‬‬ ‫يسهى‬ ‫انُسائ‪ٙ‬‬ ‫احًد تٍ حُثم‬ ‫انتسير٘‬ ‫اتٕ دأد‬ ‫اتٍ ياجّ‬
64

e. Kritik Sanad Hadis

Dalam mengkritik sanad hadis, penulis akan memaparkan biografi singkat

para perawi untuk mengetahui keadilan dan ke-dabitan-nya serta mengetahui

tahun dan negeri semasa hidupnya guna memastikan ke-muttasil-an sanad. Dalam

hal ini, penulis hanya melakukan kritik sanad hadis dari jalur perawi ter-tsiqah

yaitu Muslim. Hal itu dilakukan karena jalur tersebut sudah dianggap mewakili

jalur lainnya dan agar pembahasan tidak terlalu melebar.

1. Jâbir bin Abdullâh.23

Nama lengkap beliau adalah Jâbir bin Abdullâh bin „Amr bin Harâm bin

Tsa‟labah bin Ka‟ab bin Ghanam bin Ka‟ab bin Salimah bin Sa‟d bin „Ali bin

Asad bin Sâradah ibn Tazîd bin Jusyam bin al-Khazraj. Kuniahnya adalah al-

Ansâri, al-Khazraji, al-Salami, Abû Abdillâh, Abû „Abd al-Rahmân, „Abu

Muhmmad al-Madani. Jâbir merupakan sahabat Rasulullah dan anaknya pun

adalah sahabat Nabi.

Menurut al-Haitsam bin al-Hâdî, Abû Mûsâ Muhammad bin al-Mutsannâ,

Khalîfah ibn Khayyât, dan riwayat lain selain mereka, Jâbir bin Abdullâh wafat

pada tahn 68 H. Sedangkan menurut Abû Sulaimân bin Zabr beliau wafat pada

tahun 72 H, tetapi menurut Muhammad bin Yahyâ bin Habân, beliau wafat pada

tahun 77 H. Abû Nu‟aim berpendapat bahwa Jâbir bin Abdullâh wafat pada tahun

23
Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, juz 4
(Beirut: Muasasah al-Risâlah, 1983), h. 444.
65

79 H. Beliau wafat di Madinah. Namun menurut pendapat lain Jâbir bin Abdullâh

wafat di Buqâ‟.24

Guru-guru beliau antara lain: Nabi Muhammad Saw., Khâlid bin al-Walîd,

Talhah bin „Ubaidillâh, Abdullâh bin Unais, „Ali bin Abî Tâlib, „Ammâr bin

Yâsir, „Umar bin al-Khattâb, Mu‟âdz bin Jabal, Abû Burdah bin Niyâr, Abû Bakar

al-Siddîq, Abû Humaid al-Sâ‟idi, Abû Sa‟îd al-Khudri, Abû Qatâdah al-Ansâri,

Abû Hurairah, Ummu Syarîk, Ummu Kultsûm bintu Abû Bakar al-Siddîq, Ummu

Mâlik al-Ansâriyah, Ummu Mubsyir al-Ansâriyah, dan lain-lain.

Murid-murid beliau antara lain : Ibrâhîm bin „Abdullah bin Qâriz, Ayman

al-Habasyi, Basyîr bin Salmân al-Ansâri, Ja‟far bin Mahmûd bin Muhammad bin

Maslamah al-Ansâri Al-Hârits bin Râfi‟ bin Makîts al-Juhani,25Abû al-Zubair

Muhammad bin Muslim al-Makki, Muhammad bin al-Munkadir, Mahmûd bin

Labîd al-Ansâri, dan lain-lain.26

Pendapat ulama : Jâbir bin Abdullâh adalah seorang sahabat. Seorang

sahabat sudah tidak diragukan lagi keadilannya.

2. Abû al-Zubair

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muslim bin Tadrus al-

Qurasyi al-Asadi al-Makki, Abû al-Zubair merupakan nama gelar beliau

(kunyah/laqab). Menurut Muhammad bin Saqd, Abû al-Zubair merupakan

penduduk Mekah.

24
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 4, h. 454.
25
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 4, h. 444.
26
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 4, h. 444-448.
66

Menurut al-Bukhâri dari „Ali bin al-Madani, Abû al-Zubair wafat sebelum

„Amr bin Dînâr, dan „Amr bin Dînâr wafat pada tahun 126 H. Namun menurut

„Amr bin „Ali beliau wafat pada tahun 128 H, al-Tirmidzi pun berpendapat bahwa

Abû al-Zubair wafat pada tahun 128 H.

Guru-guru Abû al-Zubair antara lain adalah Jâbir bin Abdullâh, Dzakwân

Abî Sâlih, Sa‟îd bin Jubair, Sufyân bin „Abd al-Rahmân al-Tsaqafi, Sâlih Abî al-

Khalîl, Safwân bin Abdûllâh bin Safwân, Tâwûs bin Kaisân, Abî al-Tafîl „Âmir

ibn Wâilah, dan lain-lain.27

Murid-murid Abû al-Zubair diantaranya adalah Ibrâhîm bin Ismâ‟îl bin

Mujamma‟ al-Ansâri, ‘Ammâr al-Duhni, Ma‟qil bin „Ubaidillâh al-Jazari, al-

Mughîrah bin Ziyâd al-Mausili, al-Mughîrah bin Muslim al-Sarrâj, dan lain-lain.28

Komentar ulama tentang Abû al-Zubair: Sufyân bin „Uyainah berkomentar

tentang Abû al-Zubair: ‫ث‬ٚ‫احفظ نٓى انحذ‬. Ya‟lâ bin „Atâ‟: ‫اكًم انُاط عمال ٔاحفظٓى‬. Harb

bin Ismâ‟îl bercerita; suatu ketika Ahmad bin Hanbal ditanya tentang Abû al-

Zubair. Maka ia berkata: “‫”احرًهّ انُاط‬. Abû Bakar bin Abî Khaitsamah, Isâq bin

Mansûr dari Yahyâ bin Ma‟în: ‫ثمح‬, ‫صانح‬. Al-Nasâi: ‫ثمح‬

3. „Ammâr al-Duhni29

Nama lengkapnya adalah „Ammâr bin Mu‟âwiyah, Ibn Abî Mu‟âwiyah,

Ibn Salâh, Ibn Hayyân, al-Duhni al-Bajali, Abû Mu‟âwiyah al-Kûfi, Maulâ al-

Hakam bin Nufail, orang tua dari Mu‟âwiyah bin „Ammâr. Duhn adalah Ibn

Mu‟âwiyah bin Aslam bin Ahmas bin al-Ghauts bin Anmâr. Dalam „Abd al-Qais

27
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 26, h. 402-403.
28
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 26, h. 404-406.
29
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 21, h. 208.
67

Duhn bin „Udzrah. Menurut Muhammad bin „Abdullâh al-Hadrâmi, „Ammâr al-

Duhni wafat pada tahun 133 H.30

Guru-gurunya antara lain: Ibrâhîm al-Taimi, Bukair al-Tawîl, al-Hakam

bin „Utaibah, „Atiyyah al-„Aufi, Mâlik bin „Umair al-Hanafi, Mujâhid bin Jabr al-

Maki, Abû Ja‟far al-Bâqir, Abû al-Zubair al-Maki, Abû Salamah bin „Abd al-

Rahmân, Abû Syu‟bah al-Bakri, Abû Sâlih al-Hanafi.

Murid-murid beliau antara lain: al-„Ajla‟ al-Kindi, Isrâîl binYûnûs, Jâbir

al-Ju‟fi, Sufyân al-Tsauri, Sufyân bin „Uyainah, Syarîk bin „Abdullâh, Syu‟bah al-

Hajjâj, al-Sabâh bin Yahyâ, „Abdullâh bin al-„Ajlah, „Amr bin Abî Qais al-Râzi,

al-„Ahdi, Abû Hafs al-Abbâr, Abû Maudûd al-Madani, dan lain-lain.

Komentar ulama: „Abdullâh bin Ahmad bin Hanbal, Ishâq bin Mansûr,
31
Abû Hâtim, al-Nasâi: ‫ثمح‬. Ibn Hibbân menyebutkannya dalam kitab al-tsiqât.

Para Ulama Hadis menceritakannya kecuali al-Bukhâri.32

4. Syarîk33

Nama lengkapnya adalah Syarîk bin „Abdullâh bin Abî Syarîk al-Nakha‟i.

Kuniahnya adalah Abû „Abdullâh al-Kûfi al-Qâdi. Beliau pernah sezaman dengan

„Umar bin „Abd al-„Azîz. Syarîk dilahirkan di Bukhara, Khurasan pada tahun 95

H. Wafat pada tahun 177 H.

Guru-gurunya antara lain: Ibrâhîm bin Jarîr bin „Abdullâh al-Bajali,

Ibrâhîm bin Muhâjir, „Ammâr al-Duhni, Muhammad bin Ishâq bin Yasâr,

30
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 21, h. 210.
31
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 21, h. 209.
32
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 21, h. 210.
33
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 12, h. 462.
68

Muhammad bin Hujâdah, Muhammad bin Sa‟d al-Ansâri, Mukhtâr bin Yazîd,

Mikhwal bin Râsyid, Muslim bin Sâlim, al-Miqdâm bin Syuraih, dan lain-lain.34

Murid-muridnya antara lain: Ibrâhîm bin Sa‟d al-Zuhri, al-Aswad bin

„Âmir Syâdzân, „Ali bin Hujr al-Marwazi, „Ali bin Hakîm al-Audi, „Ali bin

Qâdim, „Amr bin „Aun al-Wâsiti, dan lain-lain.35

Komentar ulama: Sâlih bin Ahmad bin Hanbal berkata dari bapaknya

bahwa dia mendengar Syarîk dari Abû Ishâq terlebih dahulu, dan Syarîk dalam

pandangan Abû Ishâq lebih terpercaya dari pada Zuhair, Ismâ‟il, dan Zakariya.36

Yazîd bin al-Haitsam al-Bâdâ berkata, aku mendengar Yahyâ bin Ma‟în berkata

Syarîk adalah tsiqah, dia (Syarîk) lebih aku sukai dari pada Abû al-Ahwas dan

Jarîr. Yahyâ bin Sa‟îd al-Qattân: ‫ثمح ثمح‬. Al-Nasâi: ‫ظ تّ تأط‬ٛ‫ن‬. Abû Taubah al-Rabî‟

bin Nâfi‟: aku mendengar „Îsâ bin Yûnûs berkata bahwa aku tidak melihat seorang

pun yang lebih wara‟ dalam keilmuannya kecuali Syarîk.37

5. „Ali bin Hakîm al-Audi38

Nama lengkap beliau adalah „Ali bin Hakîm Dzubyân al-Audi.

Kuniyahnya adalah Abû al-Hasan al-Kûfi, Akhû „Utsmân bin Hakîm. „Ali bin

Hakîm wafat pada tahun 231 H.

Guru-guru beliau antara lain: Ja‟far bin Ziyâd al-Ahmar, Hibbân bin „Ali

al-„Anazi, Hafs bin Ghiyâts, Humaid bin „Abd al-Rahmân al-Ruâsi, Sufyân bin

34
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 12, h. 465.
35
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 12, h. 465.
36
Al-Jarhwa al-Ta‟dîl juz 4, h. 1602, Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 12, h. 467.
37
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 12, h. 469-473.
38
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 20, h. 415.
69

„Uyainah, Syarîk bin „Abdullâh, Mus‟ab bin al-Miqdâm, Huraim bin Sufyân,

Wakî‟ bin al-Jarrâh, dan Abû Mâlik al-Janbi, dan lain-lain.

Murid-murid beliau antara lain: al-Bukhâri, Muslim, Abû „Amr

Muhammad bin „Utsmân bin Sa‟îd al-Darîr, Abû Ja‟far Muhammad bin Mansûr

bin Yazîd al-Kûfi, Mûsâ bin Ishâq bin Mûsâ al-Ansâri, Najî‟ bin Ibrâhîm al-Zuhri

al-Qâri, Ya‟qûb bin Sufyân al-Fârisi, dan lain-lain.

Komentar Ulama: Ibrâhîm bin „Abdullâh bin al-Junaid dari Yahyâ bin

Ma‟în: laisa bihi ba‟s, tsiqah. Menurut Abû Hâtim: sadûq. Abû „Ubaid al-Âjiri

dari Abû Dâwud: sadûq, ia pernah keluar mencari ilmu bersama Abû al-Sarâyâ.

Al-Nasâi dan Muhammad bin „Abdullâh al-Hadrâmi: tsiqah.Ibn Hibbân

menyebutkannya ke dalam kitab al-Tsiqât. Ibn Qâni‟: tsiqah dan sâlih. Ibn Hajar:

tsiqah.39

6. Muslim

Nama lengkapnya adalah Muslim bin al-Hajjâj bin al-Muslim al-Qusyairi,

Abû Husain al-Naisâbûri. Beliau wafat tahun 261 H.

Guru-gurunya antara lain: „Ali bin Nasr bin „Ali al-Jahdâmi, „Umar bin

Hafs bin Ghiyâts, „Amr bin „Ali al-Sîrifi, „Aun bin Salâm al-Hâsyimi, „Ali bin

Hakîm al-Audi, „Îsâ bin Zaghabah, al-Fadl bin Sahl al-A‟raj, al-Qâsim bin

Zakariyâ bin Dînâr al-Kûfi.

Murid-muridnya antara lain: al-Tirmidzi, Ibrâhîm bin Abî Tâlib, Ibrâhîm

bin Muhammad bin Hamzah, Abû al-Fadl Ahmad bin Salamah al-Hâfiz, Husaim

39
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 20, h. 416
70

bin Muhammad bin Ziyâd al-Qubbâni, Abû Hâmid „Amr Ahmad bin al-Mubârak

al-Mutsamlâ.

Komentar Ulama: menurut Abû Bakar al-Khâtib: qâri‟, faqîh, tsiqah.

Menurut Ibn Hajar dan al-Dzahabi: hâfiz, sâhib, sahîh. Menurut Ibn Hâtim: Ia

adalah yang tsiqah dalam kata-kata dan banyak tahu tentang hadis. Muhammad

bin „Abdullah Wahab al-Farrâ‟: beliau termasuk ulama besar di antara manusia

yang paling memahami ilmu dan aku tidak mengetahui apa pun dari dirinya

kecuali kebaikan.40 Abû Sâdah dan Abû Hâtim selalu mengistimewakan dan

mendahulukan Muslim dalam bidang pengetahuan hadis sahîh atas guru-guru

mereka pada masanya.

Kesimpulan Biografi Sanad Muslim

No. Nama Perawi Tahun Wafat Guru Murid Al-Jarh wa al-


Ta‟dîl
1. Jâbir bin W. 68 H. Nabi Abû al- Sahabi.
„Abdullâh Muhammad Zubair
Saw.
2. Abû al-Zubair W.128 H. Jâbir bin „Ammâr al- Tsiqah Sâlih.
Abdullâh Duhni
3. „Ammâr al- W.133 H. Abû al- Syarîk Tsiqah.
Duhni Zubair
4. Syarîk W.177 H. „Ammâr al- „Ali bin Tsiqah.
Duhni Hakîm al-
Audi
5. „Ali bin W. 231 H. Syarîk Muslim Tsiqah Sâlih.
Hakîm al-Audi
6. Muslim W.261 H. Ali bin Al- Tsiqah.
Hakîm al- Tirmidzi
Audi

40
Abû Syuhbah, Fî Riâb al-Sunnah al-Kutub al-Sittah (Kairo: Majma‟ al-Buhûts al-
Islâmiyyah, 1969), h. 83.
71

f. Penilaian Kualitas Hadis

Setelah melakukan penelitian sanad melalui jalur yang diriwayatkan oleh

Muslim, dapat disimpulkan bahwa perawi yang diteliti tidak ada yang dinilai

negatif, semuanya berkualitas tsiqah.

Muslim (w. 261 H) menerima hadis dari „Ali bin Hakîm (w. 231 H)

dengan cara “haddatsanâ”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan

mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

„Ali bin Hakîm (w. 231 H) menerima hadis dari Syarîk (w. 177 H) dengan

cara “akhbaranâ”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan mereka

pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

Syarîk (w. 177 H) menerima hadis dari „Ammâr al-Duhni (w. 133 H)

dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan mereka

pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

„Ammâr al-Duhni (w. 133 H) menerima hadis dari Abû al-Zubair (w.

126 H) dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan

mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

Abû al-Zubair (w. 126 H) menerima hadis dari Jâbir bin Abdullâh (w. 68

H) dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan

mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

Berdasarkan penelitian dan paendapat para ulama di atas, sanad yang

diteliti semuanya bersambung, tsiqah, tidak syadz, dan tidak ada „illat, sehingga
72

dapat disimpulkan bahwa sanad hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berkualitas

sahîh.

2. Takhrîj Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban Hitam Ketika

Berkhutbah

a. Teks Hadis

ٍ‫ْث‬َٚ‫عٌ عٍَْ ُيغَأِسٍ ا ْنَٕسَاقِ عٍَْ جَعْفَشِ تٍِْ عًَْشِٔ تٍِْ حُش‬ِٛ‫ىَ لَانَا أَخْثَشَََا َٔك‬ِْٛ‫حكُ تٍُْ إِتْشَا‬
َ ْ‫َٗ َِٔإع‬ْٛ‫َح‬ٚ ٍُْ‫َٗ ت‬ْٛ‫َح‬ٚ ‫حَذَثََُا‬
١٤
ُ‫عْٕدَاء‬
َ ‫ِّْ عًَِايَ ٌح‬َٛ‫ط َٔعَه‬
َ ‫طةَ انَُا‬
َ‫خ‬َ َ‫ْ ِّ َٔعَهَى‬َٛ‫ِّ أٌََ َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٛ‫عٍَْ أَت‬

b. Informasi Hadis

Informasi hadis dari kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-

Nabawi. Setelah dilakukan penelusuran kata ٌ‫عًَِايَح‬, maka ditemukan informasi

sebagai berikut:

،،١٥١–١٥٤ ‫و حج‬ ‫ّ عًايح عٕداء‬ٛ‫ ٔعه‬...


،،١ ،٦٩ ‫ش عٕسج‬ٛ‫ ذفغ‬،٩ ‫ جٓاد‬،**٤٤ ‫ خ نثاط‬،،١٤١٢ ،٦ ‫د نثاط‬
،٤٥ ،**٤١ ‫ نثاط‬،٥٥ ‫ جّ إلايح‬،،٤٢٩ ‫ُح‬ٚ‫ ص‬،٤٢١ ‫ٌ يُاعك‬
١١
٣٢١ ،١ ،٣٥١ ،٣٦٣ ،٣ ‫ حى‬،،٥٥ ‫ دٖ يُاعك‬،،١١ ‫جٓاد‬

Informasi di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Sahîh Muslim bab Hajj nomor 451-454, Sunan Abû Dâwûd bab libâs nomor 6 dan

2120, Sunan al-Tirmidzi bab libâs nomor 11, bab jihâd nomor 9, tafsir surah ke-29

nomor 2, Sunan al-Nasâi bab manâsik nomor 107, bab zînah nomor 109, Sunan Ibn

Mâjâh bab iqâmat nomor 85, bab libâs nomor 14 dan 15, bab jihâd nomor 22,

41
Al-Naisâbûri, Sahîh Muslim, juz 2, h. 990.
42
Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras, juz 4, h. 348.
73

Sunan al-Dârimi bab manâsik nomor 88, Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 nomor

363, 387, jilid 4 nomor 307.

Sedangkan jika penelusuran dengan kata kunci “َ‫خطَة‬


َ ” maka ditemukan
sebagai berikut:43
،**٤١ ‫اخ‬ٚ‫د د‬ ‫ٕو انفرح‬ٚ . . ‫خطة سعٕل اهلل‬
،،٣١ ،٣٣ ‫ ٌ لغايح‬،، ،١٩ ‫ش عٕسج‬ٛ‫ خ ذفغ‬.،**١١
١٤١ ،٥ ،١٤٢ ،٣ ‫حى‬
Informasi hadis dari kitab mausû‟at atrâf al-hadîts al-nabawi al-syarîf .
Setelah dilakukan penelusuran, maka ditemukan informasi sebagai berikut:

‫ّ عًايح عٕداء‬ٛ‫ خطة ٔعه‬


١١
.٤١٤. ‫يّشكاج‬.١٣٣ ٥ ٥ ‫ػ‬

Informasi di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Musnaf Ibn Abî Syaibah juz 8 nomor 233 dan kitab Misykât al-Masâbîh li al-

Tibrîzi nomor 141.

Metode tema hadis dengan merujuk kepada kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah.

Pembahasan tentang sorban termasuk dalam tema pakaian kepala. Setelah

dilakukan penelusuran, maka ditemukan informasi sebagai berikut:

١٥

Informasi tersebut menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Sahîh al-Bukhâri kitab ke-77, bab 15-17, Sunan Abû Dâwûd kitab ke-31 bab 21,

43
Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras, juz 2, h. 44.
44
Zaghlûl, Mausû‟at Atrâf, juz 4, h. 620.
45
Muhammad Fuâd, Miftâh Kunûz, h. 426.
74

Sunan al-Tirmidzi kitab ke-22, Sunan al-Nasâi kitab ke-38 bab 127-129, Sunan Ibn

Mâjâh kitab ke-32 bab 14 dan 15.

c. Lafadz-Lafadz Hadis

Sebagaimana pembatasan pembahasan dalam skripsi ini yaitu hanya

membahas hadis-hadis yang tercantum dalam kutub al-tis‟ah, maka lafadz-lafadz

hadis yang akan dicantumkan hanya hadis-hadis yang terdapat kitab-kitab tersebut.

1. Lafadz Hadis dalam Sahîh Muslim

ٍ‫ْث‬َٚ‫عٌ عٍَْ ُيغَأِسٍ ا ْنَٕسَاقِ عٍَْ جَعْفَشِ تٍِْ عًَْشِٔ تٍِْ حُش‬ِٛ‫ىَ لَانَا أَخْثَشَََا َٔك‬ِْٛ‫حكُ تٍُْ إِتْشَا‬
َ ْ‫َٗ َِٔإع‬ْٛ‫َح‬ٚ ٍُْ‫َٗ ت‬ْٛ‫َح‬ٚ ‫) حَذَثََُا‬٤
١٦
ُ‫عْٕدَاء‬
َ ‫ِّْ عًَِايَ ٌح‬َٛ‫ط َٔعَه‬
َ ‫طةَ انَُا‬
َ‫خ‬َ َ‫ْ ِّ َٔعَهَى‬َٛ‫ِّ أٌََ َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٛ‫عٍَْ أَت‬

ِٙ‫ َٔف‬َُِٙ‫ُ لَانَا حَذَثََُا أَتُٕ ُأعَايَحَ عٍَْ ُيغَأِسٍ انَْٕسَاقِ لَالَ حَذَث‬َِٙ‫حغٍَُ انْحُهَْٕا‬
َ ْ‫ْثَحَ َٔان‬َٛ‫ ش‬ِٙ‫) ٔ حَذَثََُا أَتُٕ تَكْشِ تٍُْ أَت‬١
َُّ‫ أَ َْظُشُ إِنَٗ َسعُٕلِ انهَِّ صَهَٗ انه‬ََِٙ‫ل كَأ‬
َ ‫ِّ لَا‬ِٛ‫ثٍ عٍَْ أَت‬ْٚ َ‫ِ لَالَ عًَِعْد جَعْفَشَ تٍَْ عًَْشِٔ تٍِْ حُش‬َِٙ‫َحِ انْحُ ْهَٕا‬ٚ‫ِسَٔا‬
١١
ِ‫َمُمْ أَتُٕ تَكْشٍ عَهَٗ انًُِْْثَش‬ٚ ْ‫ْ ِّ َٔنَى‬َٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫َْٓا ت‬َٛ‫عْٕدَاءُ لَذْ أَسْخَٗ طَشَف‬
َ ‫ِّْ عًَِايَ ٌح‬َٛ‫ْ ِّ َٔعَهَىَ عَهَٗ انًُِْْثَ ِش َٔعَه‬َٛ‫عَه‬

2. Lafadz Hadis dalam Sunan Abu Daud

ُ‫د‬ْٚ َ‫ِّ لَالَ سَأ‬ِٛ‫ْثٍ عٍَْ أَت‬َٚ‫ٍ حَذَثََُا أَتُٕ ُأعَايَحَ عٍَْ ُيغَأِسٍ ا ْنَٕسَاقِ عٍَْ جَعْفَشِ تٍِْ عًَْشِٔ تٍِْ حُش‬ِٙ‫حغٍَُ تٍُْ عَه‬
َ ْ‫) حَذَثََُا ان‬٤
١٥
َِّْٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫عْٕدَاءُ لَذْ أَسْخَٗ طَشَفََٓا ت‬
َ ‫ِّْ عًَِايَ ٌح‬َٛ‫ْ ِّ َٔعَهَىَ عَهَٗ انًُِْْثَ ِش َٔعَه‬َٛ‫َ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫انَُث‬

3. Lafadz Hadis dalam Sunan al-Nasai

ََِٙ‫ِّ لَالَ كَأ‬ِٛ‫َحَ عٍَْ أَت‬َٛ‫) أَخْثَشَََا يُحًََذُ تٍُْ أَتَاٌَ لَالَ حَذَثََُا أَتُٕ ُأعَايَحَ عٍَْ ُيغَأِسٍ ا ْنَٕسَاقِ عٍَْ جَعْفَشِ تٍِْ عًَْشِٔ تٍِْ أُي‬٤
ٍََْٛ‫عْٕدَاءُ لَذْ أَسْخَٗ طَشَفََٓا ت‬
َ ٌ‫ِّْ عًَِايَح‬َٛ‫ِّْ َٔعَهَىَ عَهَٗ انًُِْْثَشِ َٔعَه‬َٛ‫أَ َْظُشُ انغَاعَحَ إِنَٗ َسعُٕلِ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬
١٩
َِّْٛ‫كَرِف‬

46
Muslim al-Hajjâj al-Naisâbûri, Sahîh Muslim, juz 2, h. 990.
47
Muslim al-Hajjâj al-Naisâbûri, Sahîh Muslim, juz 2 h. 94
48
Abu Dâwud Al-„Asy al-Sijistâni, Sunan Abû Dâwud, juz 11, h. 110.
49
Jalâl a-Dîn al-Suyûti, Sunan al-Nasâi (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), juz 4, h. 224.
75

4. Lafadz Hadis dalam Sunan Ibn Mâjah

َ‫ِّ لَال‬ِٛ‫ثٍ عٍَْ أَت‬ْٚ َ‫َُْحَ عٍَْ ُيغَأِسٍ ا ْنَٕسَاقِ عٍَْ جَعْفَشِ تٍِْ عًَْشِٔ تٍِْ حُش‬َُٛٛ‫َاٌُ تٍُْ ع‬ْٛ‫) حَذَثََُا ِّْشَاوُ تٍُْ عًََاسٍ حَذَثََُا عُف‬٤
٥٢
ُ‫عْٕدَاء‬
َ ‫ِّْ عًَِايَ ٌح‬َٛ‫طةُ عَهَٗ انًُِْْثَ ِش َٔعَه‬
ُ‫خ‬ْ َٚ َ‫ْ ِّ َٔعَهَى‬َٛ‫َ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫دُ انَُث‬ْٚ َ‫سَأ‬

5. Lafadz Hadis dalam Musnad Ahmad bin Hanbal

َ‫ِّْ َٔعَهَى‬َٛ‫َ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫ِّ أٌََ انَُث‬ِٛ‫عٍْ أَت‬


َ ٍ‫ث‬ْٚ َ‫عٌ حَذَثََُا ُيغَأِسٌ ا ْنَٕسَاقُ عٍَْ جَعْفَشِ تٍِْ عًَْشِٔ تٍِْ حُش‬ِٛ‫) حَذَثََُا َٔك‬٤
٥٤
‫عْٕدَاء‬
َ ‫ِّْ عًَِايَ ٌح‬َٛ‫ط َٔعَه‬
َ ‫طةَ انَُا‬
َ‫خ‬َ

50
Muhammad bin Yazîd al-Quzwaini, Sunan Ibn Mâjah, juz 3 h. 411.
51
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 4, h.307.
‫‪76‬‬

‫‪d. Skema Sanad Hadis‬‬


‫َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَهَ‪َٔ ِّ ْٛ‬عَهَىَ‬

‫عًَْشِٔ‬

‫جَعْفَش‬

‫ُيغَأِسٍ‬

‫عُفْ‪َٛ‬اٌُ‬ ‫أَتُٕ ُأعَايَحَ‬ ‫َٔكِ‪ٛ‬عٌ‬

‫ِّْشَاوُ‬ ‫يُحًََذُ تٍُْ أَتَاٌَ‬ ‫حغٍَُ‬


‫انْ َ‬ ‫أَتُٕ تَكْشِ‬ ‫حكُ‬
‫ِإعْ َ‬ ‫‪َٚ‬حْ‪َٗٛ‬‬

‫اتٍ ياجّ‬ ‫انُغائ‪ٙ‬‬ ‫اتٕ دأد‬ ‫يغهى‬ ‫احًذ تٍ حُثم‬


77

e. Kritik Sanad Hadis

Dalam mengkritik sanad hadis, penulis akan memaparkan biografi singkat

para perawi untuk mengetahui keadilan dan ke-dabitan-nya serta mengetahui

tahun dan negeri semasa hidupnya guna memastikan ke-muttasil-an sanad. Dalam

hal ini, penulis hanya melakukan kritik sanad hadis dari jalur perawi ter-tsiqah

yaitu Muslim. Hal itu dilakukan karena jalur tersebut sudah dianggap mewakili

jalur lainnya dan agar pembahasan tidak terlalu melebar.

1. „Amr bin Huraits

Nama lengkap beliau adalah „Amr bin Huraits bin „Amr bin „Ustmân bin

„Abdullâh bin „Umar bin Makhzûm al-Qurasyi al-Makhzûmi. Kuniah-nya adalah

al-Qurasyi al-Makhzûmi. Sedangkan laqab-nya adalah Abû Sa‟îd al-Kûfi. „Amr

merupakan sahabat Rasulullah Saw. Beliau adalah saudara dari Sa‟îd bin

Huraits.52

Menurut al-Dzahabi, „Amr bin Huraits dilahirkan sebelum Nabi hijrah.53

Menurut al-Waqidi, ketika Nabi wafat, „Amr bin Huraits berusia dua belas tahun.

Sedangkan menurut al-Bukhâri dan yang lainnya seperti Abu Nu‟aim al-Fadl,

„Amr bin Huraits wafat pada tahun 85 H di Mekah.54

Guru-guru beliau antara lain: Nabi Muhammad Saw., saudaranya; Sa‟îd

bin Huraits, Sa‟îd bin Zaid, „Abdullâh bin Mas‟ûd, „Adi bin Hâtim, „Ali bin Abî

Tâlib, „Umar bin Khattâb, dan Abû Bakar al-Siddîq.55

52
Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, juz 21
(Beirut: Muasasah al-Risalah, 1983), h. 580.
53
Syams al-Dîn Abû „Abdillâh Muhammad al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 3
(Beirut: Muasasah al-Risalah, 1985), h. 417.
54
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 21, h. 582
55
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 21, h. 581
78

Murid-murid beliau antara lain: Ismâ‟îl bin Abî Khâlid, budaknya;

Asbagh, anaknya; Ja’far bin ‘Amr bin Huraits, Khalaf bin Khalîfah, al-Hasan

al-Irâni dan lain-lain.56

Pendapat ulama: Amr bin Huraits adalah seorang sahabat. Seorang sahabat

sudah tidak diragukan lagi keadilannya.

2. Ja‟far bin „Amr

Nama lengkap beliau adalah Ja‟far bin „Amr bin Huraits. Kuniah-nya

adalah al-Qurasyi, al-Makhzûmi, al-Kûfi. Beliau adalah kakek dari Ja‟far bin

„Aun dan beliau adalah seorang tabiin dalam tabaqah ketiga. Beliau wafat pada

tahun 117 H.57

Guru-guru beliau antara lain: ‘Adî bin Hâtim, „Amr bin Huraits.58

Murid-murid beliau antara lain: Hajjâj bin Artah, al-Râbi bin Sa‟ad al-

Ju‟fi, al-Fadl bin Sa‟ad al-Ju‟fi, Musâwir al-Warrâq, al-Musayyab bin Syârik,

Ma‟an bin „Abdurrahmân.59

Pendapat ulama: menurut Ibn Hajar dan Ibn Hibbân, Ja‟far adalah orang

yang ‫ثمح‬.60

3. Musâwir al-Warrâq

Nama lengkap beliau adalah Musâwir al-Warrâq al-Kûfi. Beliau adalah

saudara dari Siyar Abi al-Hakam. Beliau adalah seorang kibar tâbi‟ tabi‟în dalam

tabaqah ketujuh. Beliau wafat pada tahun 131 H.61

56
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 21, h. 581.
57
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz.5, h. 69-70.
58
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz.5, h. 70.
59
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz.5, h. 70.
60
Syihâb al-Dîn Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz.8
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), h. 148.
79

Guru-guru beliau antara lain: Ja’far bin ‘Amr bin Huraits, Siyar Abi al-

Hakam, Syu‟aib bin Yasâr, Abû Husain „Utsmân bin „Âsim al-Asadi.62

Murid-murid beliau antara lain: Abû Usâmah Hammâd bin Usâmah,

Sufyân bin „Uyainah, „Ubaidullâh al-Asyjai‟, Wakî’ bin al-Jarrâh dan Yahya bin

Zakariya bin Abî Zaidah.63

Pendapat ulama: menurut Ishâq bin Masyhûr dari Yahya bin Ma‟în,

Musâwir adalah seorang yang tsiqah. Ibn Hibbân menyebutnya di dalam kitabnya

“al-Tsiqât”.64

4. Wakî‟ bin al-Jarrâh

Nama lengkap beliau adalah Wakî‟ bin al-Jarrâh bin Malîh bin „Adi bin

Faras bin Jumjumah bin Sufyân bin „Amr bin „Ubaid bin Ruâs. Kuniah-nya

adalah al-Ruâsi, al-Kûfi. Beliau adalah seorang al-Hâfiz, ahli hadis di Iraq. Beliau

adalah seorang sighâr tâbi‟ tabi‟în dalam tabaqât kesembilan.65

Menurut Ahmad bin Hanbal, Wakî‟ dilahirkan pada tahun 129 H.

Sedangkan menurut Khalîfah dan Hârûn bin Hatim, beliau dilahirkan pada tahun

128 H.66 Kemudian, menurut Abû Hisyâm al-Rifa‟i, beliau wafat pada tahun 197

H pada hari Asyura dan dimakamkan di Faid sepulangnya menunaikan ibadah

haji. Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal, Wakî‟ berhaji pada tahun 196 H dan

wafat di Faid.67

61
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 27, h. 425.
62
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 27, h. 426.
63
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 27, h. 426.
64
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 27, h. 426.
65
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 9, h. 141.
66
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 9, h. 141.
67
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 9, h. 166.
80

Guru-guru beliau antara lain: Abân bin Sam‟ah, Abân bin „Abdullâh al-

Bajali, Ibrâhîm bin al-Fadl al-Makhzûmi, Usâmah bin Zaid al-Laitsi, Ishâq bin

Sa‟îd al-Qurasyi, Ismâ‟îl bin Abî Khâlid, Jarîr bin Hâzim, Hammâd bin Salamah,

Hanzalah bin Abî Sufyân, Khârijah bin Mus‟ab al-Khurasani, Zakariyâ bin Ishâq

al-Makki, Sulaimân bin al-Mughîrah, Musâwir al-Warrâq, Hisyâm bin „Urwah

dan lain-lain.68

Murid-murid beliau antara lain: Ibrâhîm bin Sa‟îd al-Jauhari, Ahmaf bin

Hanbal, Ishâq bin Rahawaih, Hâjib bin Sulaimân, Sufyân bin Wakî‟ bin al-

Jarrâh, „Ubaid bin Wakî‟ bin al-Jarrâh, Qutaibah bin Sa‟îd, Muhammad bin Râfi‟

al-Naisâbûri, Yahyâ bin Yahyâ al-Naisâbûri dan lain-lain.69

Komentar ulama: menurut Ahmad al-„Ijli, Wakî‟ adalah seorang Kûfi,

tsiqat, „âbid, salih, min huffâz al-hadîts dan seorang mufti.70 Diriwayatkan dari

Yahyâ bin Ma‟în, beliau berkata: “aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih

hâfiz dari Wakî‟.71

5. Ishâq bin Ibrâhîm

Nama lengkap beliau adalah Ishâq bin Ibrâhîm bin Makhlad bin Ibrâhîm

bin „Abdullâh bin Matar bin „Ubaidillâh bin Ghâlib bin Wârits bin „Ubaidullâh

bin „Atiyyah bin Murrah bin Ka‟ab bin Hammâm bin Asad bin Murrah bin Amr

bin Hanzalah bin Mâlik bin Zaid Manât bin Tamîm. Kuniah-nya adalah al-

Taimîmi, al-Hanzali, al-Marwazi. Beliau sering dikenal dengan sebutan Ishâq bin

Rahawaih. Beliau juga merupakan seorang imam besar.72

68
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 30, h. 463-366.
69
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 30, h. 468-470.
70
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 9, h. 152.
71
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 9, h. 153.
72
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 11, h. 359.
81

Menurut al-Dzahabi, Ishâq dilahirkan di Naisabur pada tahun 161 H.73

Namun menurut riwayat lain menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada tahun

166 H.74 Kemudian belaiu wafat pada malam nisfu Sya‟ban tahun 238 H di

Naisabur.75

Guru-guru beliau antara lain: Al-Fadl bin Mûsâ, Mu‟tamir bin Sulaimân,

Jarîr bin „Abdul Hamîd, Sufyân bin „Uyainah, Hâtim bin Ismâ‟îl, Syu‟aib bin

Ishâq, Muhammad bin Fudail, Yazîd bin Hârûn, Wakî’ bin al-Jarrâh, Yahyâ bin

Sa‟îd al-Qattân dan lain-lain.76

Murid-murid beliau antara lain: Baqiyyah bin al-Walîd, Yahyâ bin Adam,

Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma‟în, Ishâq bin Mansûr, Muhammad bin Yahyâ,

Muhammad bin Ismâîl al-Bukhâri, Muslim bin al-Hajjâj, Abû Dâwud, al-Nasâi,

Mûsâ bin Hârûn dan lain-lain.77

Komentar ulama: menurut al-Nasâi, Ishâq adalah orang yang tsiqat,

ma‟mûn dan imâm. Kemudian Abû Zur‟ah berkata: “‫ أحفظ يٍ إعحاق‬ٙ‫”يا سئ‬. Abû

Hâtim berkomentar bahwa Ishâq adalah seorang yang mutqin; selamat dari ghalat

dan termasuk ulama yang kuat hafalannya. 78

6. Yahyâ bin Yahyâ

Nama lengkap beliau adalah Yahyâ bin Yahyâ bin Bakr bin „Abdurrahmân

bin Yahyâ bin Hammâd, Abû Zakariyâ. Kuniah-nya adalah al-Taimîmi. al-

Hanzali, dan al-Naisabûri. Beliau adalah seorang budak Bani Hanzalah. Namun

73
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 11, h. 359.
74
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 2, h. 378.
75
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 2, h. 387.
76
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 11, h. 359.
77
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 11, h. 359-360.
78
Al-Dzahabi, Siyar A„lâm al-Nubalâ, juz 11, h. 373.
82

ada pula riwayat yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang budak Bani

Munfir dari bani Sa‟ad bin Zaid.

Yahyâ bin Yahyâ lahir pada tahun 142 H dan wafat pada hari rabu di akhir

bulan safar tahun 226 H pada usia 84 tahun.79

Guru-guru beliau antara lain: Ibrâhîm bin Ismâ‟îl al-Saigh, Ibrâhîm bin

Sa‟ad al-Zuhri, Ja‟far bin Sulaimân al-Dabi‟, Abû Qudâmâh al-Hâris, Mâlik bin

Anas, Yahyâ bin Zakariyâ bin Abî Zaidah, Wakî’ bin al-Jarrâh, Yusuf bin

Yakub al-Majisyun, yazid bin Harun dan lain-lain.80

Murid-murid beliau antara lain: al-Bukhâri, Muslim, Ibrâhim bin

Abdullâh al-Sa‟adi, Ahmad bin Salamah al-Naisabûri, al-Husain bin Mansur,

Muhammad bin Râfi‟ al-Qusyairi, Ya‟qûb bin Sufyân al-Farisi dan lain-lain.81

Komentar ulama: menurut Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Yahyâ adalah

seorang yang ‫ثمح‬. Menurut al-Nasâi, beliau ‫ ثمح ثثٕخ‬dan riwayat lain pun

menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang ‫ثمح‬.82

7. Muslim bin al-Hajjaj

Nama lengkapnya adalah Muslim bin al-Hajjâj bin al-Muslim al-Qusyairi,

Abû Husain al-Naisâbûri. Beliau wafat tahun 261 H.

Guru-gurunya antara lain: „Ali bin Nasr bin „Ali al-Jahdâmi, „Umar bin

Hafs bin Ghiyâts, „Amr bin „Ali al-Sîrifi, Yahyâ bin Yahyâ „Aun bin Salâm al-

Hâsyimi, „Ali bin Hakîm al-Audi, „Îsâ bin Zaghabah, al-Fadl bin Sahl al-A‟raj, al-

Qâsim bin Zakariyâ bin Dînâr al-Kûfi.

79
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 32, h. 36.
80
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 32, h. 33.
81
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 32, h. 34.
82
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 32, h. 35.
83

Murid-muridnya antara lain: al-Tirmidzi, Ibrâhîm bin Abî Tâlib, Ibrâhîm

bin Muhammad bin Hamzah, Abû al-Fadl Ahmad bin Salamah al-Hâfiz, Husaim

bin Muhammad bin Ziyâd al-Qubbâni, Abû Hâmid „Amr Ahmad bin al-Mubârak

al-Mutsamlâ.

Komentar Ulama: Abû Bakar al-Khâtib: qâri‟, faqîh, tsiqah. Ibn Hajar dan

al-Dzahabi: hâfiz, sâhib, sahîh. Ibn Hâtim: Ia adalah yang tsiqah dalam kata-kata

dan banyak tahu tentang hadis. Muhammad bin „Abdullah Wahab al-Farrâ‟:

beliau termasuk ulama besar di antara manusia yang paling memahami ilmu dan

aku tidak mengetahui apa pun dari dirinya kecuali kebaikan.83 Abû Sâdah dan

Abû Hâtim selalu mengistimewakan dan mendahulukan Muslim dalam bidang

pengetahuan hadis sahîh atas guru-guru mereka pada masanya.

Kesimpulan Biografi Sanad Muslim

No. Nama L&W Guru Murid Al-Jarh wa al-


Perawi Ta‟dîl
1. „Amr bin W. 85 H Nabi Ja‟far bin „Amr Sahabi
Huraits Muhammad
SAW
2. Ja‟far bin W.117 „Amr bin Musâwir al- Tsiqah.
„Amr H Huraits Warrâq
3. Musâwir al- W.131 Ja‟far bin Wakî‟ bin al- Tsiqah.
Warrâq H „Amr Jarrâh
4. Wakî‟ bin L.129 Musâwir al- Ishâq bin Ibrâhîm Tsiqah.
al-Jarrâh H- Warrâq dan Yahyâ bin
W.196 Yahyâ
H
5. Ishâq bin L.161 Wakî‟ bin al- Muslim Seorang yang
Ibrâhîm H-W. Jarrâh mutqin.
238 H
6. Yahyâ bin L.142- Wakî‟ bin al- Muslim Tsiqah.
Yahyâ W.226 Jarrâh
7. Muslim W.261 Ali bin Hakîm Al-Tirmidzi Tsiqah.
H al-Audi

83
Abû Syuhbah, Fî Riâb al-Sunnah al-Kutub al-Sittah (Kairo: Majma‟ al-Buhûts al-
Islâmiyyah, 1969), h. 83.
84

f. Penilaian Kualitas Hadis

Setelah melakukan penelitian sanad melalui jalur yang diriwayatkan oleh

Muslim, dapat disimpulkan bahwa perawi yang diteliti tidak ada yang dinilai

negatif, semuanya berkualitas tsiqah.

Muslim (w. 261 H) menerima hadis dari Yahyâ bin Yahyâ (w. 226 H) dan

Ishâq bin Ibrâhîm (w. 238) dengan cara “haddatsanâ”, para ulama menilai positif

(ta‟dîl) dan dimungkinkan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya

bersambung dan dapat diterima.

Yahyâ bin Yahyâ (w. 226 H) dan Ishâq bin Ibrâhîm (w. 238) menerima

hadis dari Wakî‟ (w. 197 H) dengan cara “akhbaranâ”, para ulama menilai positif

(ta‟dîl) dan dimungkinkan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya

bersambung dan dapat diterima.

Wakî‟ (w. 197 H) menerima hadis dari Musâwir al-Warrâq (w. 131 H)

dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan mereka

pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

Musâwir al-Warrâq (w. 131 H) menerima hadis dari Ja‟far bin „Amr (w.

117 H) dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan

mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

Ja‟far bin „Amr (w. 117 H) menerima hadis dari „Amr bin Huraits (w. 85

H) dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan

mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.


85

Berdasarkan penelitian dan paendapat para ulama di atas, sanad yang

diteliti semuanya bersambung, tsiqah, tidak syadz, dan tidak ada „illat, sehingga

dapat disimpulkan bahwa sanad hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berkualitas

sahîh.

3. Takhrîj Hadis Tentang Nabi Mengenakan Serban dengan Cara

Menguraikan Ujungnya di Antara Kedua Pundak

a. Teks Hadis

ٍِْ‫ْذِ انهَِّ ت‬َٛ‫ضِ تٍِْ يُحًََذٍ عٍَْ عُث‬ِٚ‫ُ عٍَْ عَثْذِ انْعَض‬ََِٙ‫َٗ تٍُْ يُحًََذٍ انًَْذ‬ْٛ‫َح‬ٚ ‫ُ حَذَثََُا‬َِٙ‫حكَ انًَْْٓذَا‬
َ ْ‫حَذَثََُا َْاسٌُُٔ تٍُْ ِإع‬

ٌ‫ِّْ لَالَ ََافِع‬َٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫ِّْ َٔعَهَىَ إِرَا اعْرَىَ عَذَلَ عًَِايَرَُّ ت‬َٛ‫ُ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫عًَُشَ عٍَْ ََافِعٍ عٍَْ اتٍِْ عًَُشَ لَالَ كَاٌَ انَُث‬

‫غَٗ َْزَا‬ِٛ‫َفْعَهَاٌِ رَِنكَ لَالَ أَتُٕ ع‬ٚ ‫دُ انْمَاعِىَ َٔعَانًًِا‬ْٚ َ‫ْذُ انهَِّ َٔسَأ‬َٛ‫ِّْ لَالَ عُث‬َٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫غْذِلُ عًَِايَرَُّ ت‬َٚ َ‫َٔكَاٌَ اتٍُْ عًَُش‬
٥١
ِ ِ‫ َْزَا يٍِْ لِثَمِ ِإعَُْاد‬ِٙ‫ٍ ف‬ِٙ‫ثُ عَه‬ِٚ‫َصِحُ حَذ‬ٚ ‫ َٔنَا‬ٙ
ٍ ِ‫ انْثَاب عٍَْ عَه‬ِٙ‫ة َٔف‬
ٌ ِٚ‫حغٌٍَ غَش‬
َ ٌ‫ث‬ِٚ‫حَذ‬

b. Informasi Hadis

Informasi hadis dari kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-

Nabawi. Setelah dilakukan penelusuran, maka ditemukan informasi sebagai

berikut:

Pencarian dengan kata َ‫ اعْرَى‬dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras ditemukan

informasi sebagai berikut:


٥٥
٤١ ‫خ نثاط‬ َِّْٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫إِرَا اعْرَ َى عَذَلَ عًَِايَرَُّ ت‬

Pencarian dengan kata َ‫ عَذَل‬ditemukan informasi sebagai berikut:

٥٦
٤١ ‫خ نثاط‬ َِّْٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫عَذَلَ عًَِايَرَُّ ت‬

84
Abû „Isa Muhammad „Isa bin Saurah al-Tirmidzi, al-Jâmi‟ al-Kabîr, jilid ke-3 (Beirut:
Dâr al-Gharb al-Islâmi, 1996), h. 349.
85
Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras, juz 4, h. 345.
86

Informasi tersebut menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Sunan al-Tirmidzi bab libâs nomor 12.

Informasi hadis dari kitab Mausû‟at Atrâf al-Hadîts al-Nabawi al-Syarîf .

Setelah dilakukan penelusuran, maka ditemukan informasi sebagai berikut:

َِّْٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫ كَاٌَ إِرَا اعْرَ َى عَذَلَ عًَِايَرَُّ ت‬


٥ ٤١ ‫ عُح‬-١٦٩ ٥ ٤ ‫ – ْك‬٤١٣٦ ‫خ‬
٥ ٤٢ ‫ – فرح‬١٣٣٥ ‫ يّشكاج‬- ٣١
– ٥٦ ‫ – شًائم‬٤٥١٦٩ ‫ – كُض‬١١٣
– ٤٤١ ‫ أخالق‬٤٥٤ ٥ ١ ٥ ٤ ‫ععذ‬
٥١
.١٤ ٥ ٙ‫ه‬ٛ‫ – عم‬١٦٩ ٥ ٤ ٘ٔ‫ – حا‬١٤١ ‫حح‬ٛ‫صح‬

Informasi di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Sunan al-Tirmidzi nomor 1736, al-Sunan al-Kubrâ bab 1 nomor 469, Syarh al-

Sunan bab 12 nomor 37, Misykât al-Masâbîh nomor 4338, Fath al-Bâri bab 10

nomor 273, Kanz al-„Umâl nomor 17269, al-Syamâil nomor 56, al-Tabaqât al-

Kubrâ bab 1 nomor 151, Akhlâq al-Nubuwwah nomor 117, al-Silsilah al-Sahîhah

nomor 717, al-Hâwî li al-Fatâwâ bab 1 nomor 469, dan al-Da‟fâ‟ bab 3 nomor 21.

Pembahasan tentang serban termasuk dalam tema pakaian kepala. Setelah

ditelusuri dalam kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah, maka ditemukan data berikut:

٥٥

86
Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras, juz 2, h. 444.
87
Zaghlûl, Mausû‟at Atrâf, juz 6, h. 38.
87

Informasi tersebut menunjukkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab

Sahîh al-Bukhâri kitab ke-77, bab 15-17, Sunan Abû Dâwûd kitab ke-31 bab 21,

Sunan al-Tirmidzi kitab ke-22, Sunan al-Nasâi kitab ke-38 bab 127-129, Sunan

Ibn Mâjâh kitab ke-32 bab 14 dan 15.

c. Lafadz-Lafadz Hadis

Sebagaimana pembatasan pembahasan dalam skripsi ini yaitu hanya

membahas hadis-hadis yang tercantum dalam kutub al-tis‟ah, maka lafadz-lafadz

hadis yang akan dicantumkan hanya hadis-hadis yang terdapat kitab-kitab

tersebut. Namun setelah distelusuri, lafaz hadis tersebut hanya terdapat satu hadis

yaitu dalam Sunan al-Tirmidzi.

1. Lafadz Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi

ٍِْ‫ْذِ انهَ ِّ ت‬َٛ‫ضِ تٍِْ يُحًََذٍ عٍَْ عُث‬ِٚ‫ُ عٍَْ عَثْذِ انْعَض‬ََِٙ‫َٗ تٍُْ يُحًََذٍ انًَْذ‬ْٛ‫َح‬ٚ ‫ُ حَذَثََُا‬َِٙ‫حكَ انًَْْٓذَا‬
َ ْ‫حَذَثََُا َْاسٌُُٔ تٍُْ ِإع‬

ٌ‫ِّْ لَالَ ََافِع‬َٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫ِّْ َٔعَهَىَ إِرَا اعْرَىَ عَذَلَ عًَِايَرَُّ ت‬َٛ‫ُ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫عًَُشَ عٍَْ ََافِعٍ عٍَْ اتٍِْ عًَُشَ لَالَ كَاٌَ انَُث‬

‫غَٗ َْزَا‬ِٛ‫َفْعَهَاٌِ رَِنكَ لَالَ أَتُٕ ع‬ٚ ‫دُ انْمَاعِىَ َٔعَانًًِا‬ْٚ َ‫ْذُ انهَِّ َٔسَأ‬َٛ‫ِّْ لَالَ عُث‬َٛ‫ٍَْ كَرِف‬َٛ‫غْذِلُ عًَِايَرَُّ ت‬َٚ َ‫َٔكَاٌَ اتٍُْ عًَُش‬
٥٩
ِ ِ‫ َْزَا يٍِْ لِثَمِ ِإعَُْاد‬ِٙ‫ٍ ف‬ِٙ‫ثُ عَه‬ِٚ‫َصِحُ حَذ‬ٚ ‫ َٔنَا‬ٙ
ٍ ِ‫ انْثَاب عٍَْ عَه‬ِٙ‫ة َٔف‬
ٌ ِٚ‫حغٌٍَ غَش‬
َ ٌ‫ث‬ِٚ‫حَذ‬

88
Muhammad Fuâd, Miftâh Kunûz, h. 426.
89
Abû „Isa al-Tirmidzi, al-Jâmi‟ al-Kabîr, jilid ke-3, h. 349.
88

d. Skema Sanad Hadis

َ‫ْ ِّ َٔعَهَى‬َٛ‫ُ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫انَُث‬

‫اتٍِْ عًَُش‬

ٍ‫ََافِع‬

َ‫ْذِ انهَِّ تٍِْ عًَُش‬َٛ‫عُث‬

ٍ‫ضِ تٍِْ يُحًََذ‬ِٚ‫عَثْذِ انْعَض‬

ٍ‫َٗ تٍُْ يُحًََذ‬ْٛ‫َح‬ٚ

َ‫حك‬
َ ْ‫َْاسٌُُٔ تٍُْ ِإع‬

٘‫انرشيز‬

e. Kritik sanad hadis

Dalam mengkritik sanad hadis, penulis akan memaparkan biografi singkat

para perawi untuk mengetahui keadilan dan ke-dabitan-nya serta mengetahui

tahun dan negeri semasa hidupnya guna memastikan ke-muttasil-an sanad.

1. Ibn „Umar

Nama lengkap beliau adalah „Abdullâh bin „Umar bin al-Khattâhâb bin

Nufail. Kuniyah-nya adalah Abû „Abd al-Rahmân. Beliau termasuk dalam

kalangan sahabat. Semasa hidupnya beliau tinggal di Madinah. Beliau lahir di

Mekah pada tahun 11 sebelum hijriyah. Sedangkan beliau wafat pada tahun 72 H.

Adapun nama-nama gurunya diantaranya: Nabi Muhammad Saw., Siti

„Âisyah, Zaid bin Tsâbit, Abû Lubâbah, „Abdullâh bin Mas‟ûd, „Utsmân bin
89

„Affân, „Ali bin Abî Tâlib, „Umar bin al-Khattâhâb, Abî Sa‟îd al-Khudri, „Utsmân

bin Talhah.

Sedangkan di antara nama-nama muridnya adalah Nâfi‟, Ismâ‟îl bin „Abd

al-Rahmân, Anas bin Sîrîn, Jâbir bin Abî Salamah, Abû Qâsim, Hafs bin Hâsyim,

Hamzah bin „Abdullâh, dan lain-lain.

Penilaian para ulama terhadap Ibn „Umar adalah Menurut Ibnu Hajar

beliau adalah sahabat. Menurut Ad-Dzahabi beliau juga sahaby. Seorang sahabat

tidak diragukan lagi keadilannya.90

2. Nâfi‟

Nama lengkap beliau adalah Nâfi‟ Maulâ „Abdullâh bin „Umar bin al-

Khattâb bin al-Quraisyi al-Adawi. Beliau merupakan cucu dari „Umar bin al-

Khattâb. Beliau termasuk dalam kalangan tabi‟in. Kuniyah-nya adalah Abû

„Abdullâh. Semasa hidupnya beliau tinggal di Madinah. Beliau wafat pada tahun

117 H.

Guru-guru beliau antara lain adalah „Abdullâh bin „Umar, Ibrâhim bin

„Abdullâh, Sâlim bin „Abdullâh, Mughîrah bin Hakîm, Abî Sa‟îd al-Khudri,

Ummu Salamah, Abû Hurairah, Abû Lubabah, dan lain-lain.

Murid-murid beliau antara lain: Ibrâhîm bin Sa‟îd, Ishâq bin „Abdullâh,

Hasan bin „Atiyah, „Abdullâh bin „Utsmân, ‘Ubaidillâh bin „Umar, „Abdullâh bin

Nâfi‟, „Ali bin Hakim, dan lain-lain.

90
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 15, h. 333.
90

Penilaian para ulama: menurut Yahyâ bin Ma‟în: tsiqah. Menurut Al-„Ijli:

tsiqah. Menurut al-Nasâi: tsiqah. Menurut Ibn Kharasi: tsiqah.91

3. „Ubaidillâh bin „Umar

Nama lengkap beliau adalah „Ubaidillâh bin „Umar bin Hafs bin „Âsîm bin

„Umar bin Khattâb al-Qurasyi al-Adawi. Beliau wafat pada tahun 147 H.

Guru-guru beliau adalah Nâfi’ Maulâ Ibn „Umar, Muhammad bin Yahyâ

bin Hibbân, Humaid al-Tawîl, Ibrâhîm bin Muhammad bin Jahsy al-Asadi, Ayyûb

bin Mûsâ al-Qurasyi, Muhammad bin al-Munkadir, Hisyâm bin „Urwah, dan lain-

lain.

Murid-murid beliau antara lain: „Abd al-Mâlik bin Juraij, „Abd al-„Azîz

bin Abî Salamah, Ismâ‟îl bin Zakariya al-Khulqaniy, ‘Abd al-‘Azîz bin

Muhammad al-Darawardi, dan lain-lain.

Komentar ulama: menurut Abdullah bin Ahmad bin Hambal, beliau adalah

tsiqah. Demikian juga Yahyâ bin Ma‟în, beliau adalah seorang yang tsiqah.

Menurut Abû Zur‟ah beliau adalah tsiqah. Abû Hâtim dan al-Nasâi berpendapat

sama bahwa beliau adalah tsiqah.92

4. „Abd al-„Azîz bin Muhammad

Nama lengkap beliau adalah „Abd al-„Azîz bin Muhammad bin „Ubaid bin

Abî „Ubaid al-Darawardi (Abû Muhammad al-Madani, Maulâ Juhainah). Beliau

wafat pada tahun 187 H.

91
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 29, h. 298.
92
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 19, h. 124.
91

Guru-guru beliau antara lain adalah Ibrâhîm bin „Uqbah, Usâmah bin Zaid

al- Laits, Ismâ‟îl bin Abî Habîbah, Tsaur bin Zaid al-Dili, ‘Ubaidillâh bin

‘Umar, dan lain-lain.

Murid murid beliau antara lain: Yahyâ bin Muhammad, Ibrâhîm bin

Ishâq, Ibrâhîm bin Hamzah al-Zubair, Ahmad bin „Ismâ‟îl al-Madani, Ibrâhîm

bin Hamzah, dan lain-lain.

Abû Bakar bin Abî Haitsamah menilai beliau dengan laisa bihi ba‟s.

Ahmad bin Sa‟d berpendapat bahwa beliau adalah orang yang tsiqah hujjah.93

5. Yahyâ bin Muhammad

Nama lengkap beliau adalah Yahyâ bin Muhammad bin „Abdullâh bin

Mihrân al-Jariy al-Madani. Beliau adalah ahli Hijaz. Tidak diketahui tahun wafat

beliau.

Guru-guru: Ismâ‟îl bin Tsâbit, Zakariyâ bin Ibrâhîm, ‘Abd al-‘Azîz bin

Muhammad al-Darawardi, dan lain-lain.

Murid-murid: Ja‟far bin „Abd al-Hasyimi, Zubair bin Bakar al-Zubair,

Hârûn bin lshâq al-Hamdâni, Sahl bin Ashim, dan lain-lain.

Menurut al-„Ijiy beliau adalah orang yang tsiqah. Berbeda dengan

Bukhari, beliau menilai Yahyâ bin Muhammad dengan perkataan yatakallumunâ

fîh, Ibn Hibbân menyebutkannya dalam kitab al-tsiqât namun berkata, “wa

yughrabu”.94

93
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 18, h. 187.
94
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 31, h. 522.
92

6. Hârûn bin lshâq al-Hamdâni

Nama lengkap beliau adalah Hârûn bin lshâq bin Muhammad bin Mâlik

bin Zubaid al-Hamdâni. Beliau wafat pada tahun 258 H.

Guru-guru beliau bernama Ibrâhim bin Muhammad bin Mâlik al-Hamdâni,

Ismâ‟îl bin Abî al-Hakîm, Wakî‟ bin al-Jarrâh, Yahyâ bin Muhammad, dan lain-

lain.

Murid-murid beliau diantaranya bernama al-Tirmidzi, al-Bukhâri, al-

Nasâi, Ibn Mâjah, Abû Bakar Ahmad, dan lain-lain.

Menurut Abû Hatim, Hârûn bin lshâq adalah orang yang tsiqah95

7. Al-Tirmidzi

Nama lengkap adalah Muhammad bin „Isa bin Saurah bin Mûsâ bin al-

Dahhâk. Beliau lahir pada tahun 209 H. Beliau meninggal pada tanggal 13 Rajab

279 H di Tirmidzi.

Diantara guru-guru beliau adalah Bukhari, Muslim Abu Daud, Qutaibah

bin Sa'id, Abdu al-A'la bin Washil, Hârûn bin lshâq.

Sedangkan murid-muridnya bemama Abû Bakar Ahmad bin Ismâ‟îl,

Ahmad bin Yûsûf al-Nasafi, , dan lain-lain.

Ibnu Hibban berpendapat tentang al-Tirmidzi, beliau adalah seorang yang

tsiqah, Demikian juga dengan Al-Dzahabi dan Ibn Hajar menilai beliau adalah

perawi yang tsiqah.96

95
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 30, h. 75.
93

Kesimpulan Biografi Sanad Al-Tirmidzi

No. Nama Perawi L&W Guru Murid Al-Jarh wa al-


Ta‟dîl
1. „Abdullâh bin W. 72 H Nabi Nâfi‟ Sahabi
„Umar Muhammad
Saw.
2. Nâfi‟ W.117 H „Abdullâh „Ubaidillâh Tsiqah.
bin „Umar bin „Umar
3. „Ubaidillâh W.147 H Nâfi‟ „Abd al- Tsiqah.
bin „Umar „Azîz bin
Muhammad
4. „Abd al-„Azîz W.187 H „Ubaidillâh Yahyâ bin Laisa bihi ba‟s.
bin bin „Umar Muhammad
Muhammad
5. Yahyâ bin - „Abd al- Hârûn bin Yatakallamunâ
Muhammad „Azîz bin lshâq al- fîh.
Muhammad Hamdâni
6. Hârûn bin W.258 H Yahyâ bin Al-Tirmidzi Tsiqah.
lshâq al- Muhammad
Hamdâni
7. Al-Tirmidzi W.279 H Hârûn bin Ab Bakar Tsiqah.
lshâq al- Ahmad bin
Hamdâni Ismail

f. Penilaian Kualitas Hadis

Setelah melakukan penelitian sanad melalui jalur yang diriwayatkan oleh

al-Tirmidzi, terdapat dua perawi dengan komentar jarh, yaitu „Abd al-„Azîz yang

lafadz jarh-nya adalah laisa bihi ba‟sun (tidak dijumpai pembahasan hadis ini)

dan Yahyâ bin Muhammad dengan lafadz jarhnya yatakallamunâ fîh (perawi yang

diperdebatkan).

Al-Tirmidzi (w. 279 H) menerima hadis dari Hârûn bin lshâq al-Hamdâni

(w. 258 H) dengan cara “haddatsanâ”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan

96
Jamâl al-Dîn al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, juz 26, h. 250.
94

dimungkinkan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat

diterima.

Hârûn bin lshâq al-Hamdâni (w. 258 H) menerima hadis dari Yahyâ bin

Muhammad (tidak diketahui tahun wafatnya) dengan cara “haddatsanâ”, para

ulama menilai positif (ta‟dîl) namun ada yang menilai negatif (jarh) Yahyâ bin

Muhammad. Tetapi keduanya dimungkinkan pernah bertemu karena tercatat

sebagai guru dan murid dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl sehingga sanadnya

bersambung dan dapat diterima.

Yahyâ bin Muhammad (tidak diketahui tahun wafatnya) menerima hadis

dari „Abd al-„Azîz bin Muhammad (w. 187 H) dengan cara “‟an”, para ulama

terbagi menjadi dua kelompok dalam menilai kedua rawi tersebut. Ada yang

menilai positif (ta‟dîl) dan ada yang menilai negatif (jarh). Namun kedua rawi

tersebut dimungkinkan pernah bertemu karena tercatat sebagai guru dan murid

dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

„Abd al-„Azîz bin Muhammad (w. 187 H) menerima hadis dari „Ubaidillâh

bin „Umar (w. 147 H) dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan

dimungkinkan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat

diterima.

„Ubaidillâh bin „Umar (w. 147 H) menerima hadis dari Nâfi‟ (w. 117 H)

dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan mereka

pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.


95

Nâfi‟ (w. 117 H) menerima hadis dari „Abdullâh bin „Umar (w. 72 H)

dengan cara “‟an”, para ulama menilai positif (ta‟dîl) dan dimungkinkan mereka

pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima.

Berdasarkan penelitian dan pendapat para ulama di atas, sanad yang diteliti

semuanya bersambung. Sedangkan ditinjau ke-dabit-an para perawi, ada dua

orang yang di-jarh, yaitu „Abd al-„Azîz yang lafadz jarh-nya laisa bihi ba‟sun

(tidak dijumpai pembahasan hadis ini) dan Yahyâ bin Muhammad dengan lafadz

jarh-nya yatakallamunâ fîh (perawi yang diperdebatkan). Oleh sebab itu hadis ini

berstatus hasan. Secara kuantitas, hadis ini termasuk hadis gharib. Dilihat dari

matan, hadis ini tidak terdapat syadz dan „illat. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa sanad hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi berkualitas

hasan gharîb.

C. Syarh al-Hadîts dan Pendapat Ulama Terhadap Hadis Pemakaian

Serban

Menurut Muhammad Asyraf al-Sadîqi dalam „Aun al-Ma‟bûd Syarh

Sunan Abî Dâwud, hadis pertama yang membicarakan tentang Nabi mengenakan

serban ketika fath Makkah menunjukkan dalil kesunahan mengenakan serban

hitam.97 Lebih tegas lagi, Muhammad „Abd al-Rahmân al-Mubârakfûri dalam

Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Jâmi‟ al-Tirmidzi menyebutkan bahwa hadis di atas

97
Muhammad Asyraf al-Sadîqi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwud (Beirur: Dâr
al-Kutub al-„Alamiah, 1994), juz 11, h. 87.
96

mengandung dalil disyariatkanya serban hitam.98 Sedangkan Muhammad bin „Ali

al-Syaukâni dalam kitab Nayl al-Autâr lebih menerangkan bahwa hadis tersebut

meunjukkan kebolehan memakai pakaian dan serban berwarna hitam, namun

pakaian yang berwarna putih tetap lebih utama, sebagaimana pembahasan yang

tercantum dalam kitab al-libâs dan al-janâiz.99

Al-Hâfiz Ibn al-Qayyim menyebutkan dalam kitab Zâd al-Ma‟âd bahwa

kata “dzuâbah” (ujung serban) tidak disebutkan dalam hadis yang diriwatkan oleh

Jâbir di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa “dzuâbah” tidak selalu dijulurkan

di antara kedua bahu oleh Nabi. Dalam kondisi tersebut, mengandung pandangan

bahwa ketika kata dzuâbat tidak disebutkan dalam hadis di atas, maka ia dapat

dijadikan dalil bahwasanya Nabi Muhammad Saw. tidak selalu menjulurkan ujung

serbannya.100 Sementara itu menurut Al-Mundziri bahwa hadis tersebut juga

diriwayatkan oleh Muslim, al-Nasâi, al-Tirmidzi dan Ibn Mâjah.101

Sementara itu , dalam kitab syarh lainnya, yakni kitab Ma‟âlim al-Sunan,

dijelaskan bahwaNabi memasuki kota Mekah pada hari Fath Makkah tidak

menggunakan baju ihram sebab beliau mengenakan serban hitam. Hal ini

menunjukkan kebolehan memasuki kota Mekah tanpa mengenaakan serban

hitam.102

98
Muhammad „Abd al-Rahmân al-Mubârakfûri, Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Jâmi‟ al-
Tirmidzi (Beirut: Dâr al-Hadis, 2001), juz 5 h. 335.
99
Muhammad bin „Ali al-Syaukâni, Nayl al-Autâr (Mesir: Dâr al-Hadis, 1993), juz 4, h.
55.
100
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma‟âd fî Hadyi Khoir al-„Ibâd (Beirut: Maktabah
al-Manâr al-Islâmiyyah, 1994), juz 1, h. 130. Lihat pulaMuhammad Asyraf al-Sadîqi, „Aun al-
Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwud, juz 11, h. 88.
101
Muhammad Asyraf al-Sadîqi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwud, juz 11, h.
88.
102
Abu Sulaimân al-Khattâbi, Ma‟âlim al-Sunan, juz 2 (Kairo: Dâr al-Kutub al-„Ilimyah,
2005), h. 219.
97

Mengenai hadis ke-2 yang membicarakan Nabi mengenakan serban hitam

saat berkhutbah, menurut al-Nawâwi dalam Syarh al-Nawawi „alâ Muslim: bahwa

hadis tersebut menunjukkan kebolehan memakai pakaian berwarna hitam. Ada

pun riwayat lain yang menyatakan bahwa Nabi mengenakan serban hitam ketika

berkhutbah itu menunjukkan kebolehan memakai pakaian berwarna hitam ketika

berkhutbah, tetapi warna putih tetap lebih utama sebagaimana hadis sahih

“sebaik-baik pakaian adalah pakaian yang berwarna putih”. Penyebutan memakai

serban hitam dalam hadis ini adalah hanya menerangkan kebolehan.103

Sedangkan mengenai hadis ke-3 yang menjelaskan bahwa Nabi

mengenakan serban dengan menjulurkan ujung serban di antara dua bahu, Abû al-

„Alâ Muhammad „Abd al-Rahmân bin „Abd al-Rahîm al-Mubârakfûri

mengungkapkan bahwa bab menguraikan serban di antara kedua bahu ini

terkadang tidak ada dalam beberapa naskah. Selanjutnya, Ia menjelaskan bahwa

yang dimaksud kata (َ‫)إِذَا اعْتَى‬-dengan tasydid mim- adalah mengenakan serban di

atas kepalanya. Sedangkan (َ‫ )سَدَل‬yaitu melepaskan dan menguraikan. Kemudian

(َُّ‫ )عًَِايَت‬artinya ujung-ujung serban (nya), dan (َِّْٛ‫ٍَْ كَتِف‬َٛ‫ )ت‬adalah dua bahu (nya).

Hadis ini menunjukkan tentang sunahnya menguraikan ujung-ujung serban di

antara dua bahu. Hadisnya ada bermacam-macam. Diantaranya adalah hadis-hadis

yang menunjukkan terurainya serban diantara dua bahu seperti hadis di bab ini,

hadis yang diriwayatkan oleh „Amr bin Huraits R.A. yang telah disebutkan oleh

al-Tirmidzi dalam bab sebelumnya, hadis yang diriwayatkan oleh al-Hasan bin

„Ali R.A yang dikeluarkan oleh Abû Dâwud, sebagaimana yang terdapat di

„Umdat al-Qâri :
103
Abû Zakariyâ Yahyâ bin Syaraf bin Muri al-Nawâwi, al-Minhâj Syarh Sahîh Muslim
bin al-Hajjâj, juz 9 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, 1972), h. 133.
98

َّْٛ‫ٍَْ كَتِف‬َٛ‫سْٕدَاءُ قَدْ أَزْخَٗ طَسَفََٓا ت‬


َ ٌ‫ِّْ عًَِايَة‬َٛ‫ِّْ َٔسَهَىَ عَهَٗ انًُِْْثَسِ َٔعَه‬َٛ‫َ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫تُ انَُث‬ْٚ َ‫زَأ‬

“Aku melihat nabi saw diatas mimbar dan diatas kepalanya


terdapat serban hitam dan nabi menjulurkan ujung serbannya diatas
kedua bahunya.

Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh „Abd al-A‟lâ bin „Adi yang

dikeluarkan oleh Abû Nu‟aîm dalam bab Ma‟frifat al-Sahâbat dari riwayat

„Ismâ‟îl bin „Ayyâs dari „Abdullâh bin Bisyr dari „Abd al-Rahmân bin ‟Adi al-

Bahrâni dari saudaranya yakni „Abd al-A‟lâ bin „Adi:

ٍِْ‫سِ خُىٍ فَعًًَََُّ َٔأَزْخَٗ عَرَتَةَ انْعًَِايَةِ ي‬ِٚ‫ْٕوَ غَد‬َٚ ٍ‫ طَاِنة‬ِٙ‫َ تٍَْ أَت‬ِٙ‫ِّْ َٔسَهَىَ دَعَا عَه‬َٛ‫أٌََ َزسُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬
‫ث‬ِٚ‫خَهْفِِّ ثُىَ قَالَ َْكَرَا فَاعْتًَُٕا انْحَد‬

“Bahwasanya Rasulullah Saw. memanggil „Ali bin Abî Tâlib pada


hari ghadîr khamm lalu memakaikannya serban dan menguraikan ujung
serban dari belakangnya kemudian Ia berkata “berserbanlah kalian
seperti ini!.”

Selanjutnya hadis yang diriwayatkan oleh al-Tabrâni dan di-hahssan-kan

oleh al-Suyûti dari „Abdullâh bin Yâsir, ia berkata:

ٍِْ‫سْٕدَاءَ ثُىَ أَ ْزسَهََٓا ي‬


َ ٍ‫ْثَسَ فَعًًَََُّ تِعًَِايَة‬َٛ‫ طَاِنةٍ إِنَٗ خ‬ِٙ‫َ تٍَْ أَت‬ِٙ‫ِّْ َٔسَهَىَ عَه‬َٛ‫تَ َعثَ َزسُٕلُ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬
104
َٖ‫سْس‬ُٛ ْ‫َٔزَائِِّ َأْٔ قَالَ عَهَٗ كَتِفِِّ ان‬

“Rasulullah Saw. mengutus „Ali bin Abî Tâlib ke perang khaibar


dan memakaikannya serban hitam lalu melepaskannya dari belakang atau
ia berkata di atas bahunya sebelah kiri.”

Lalu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn „Adi, ia berkata bahwa aku tidak

mengetahui orang yang meriwayatkannya dari Abû al-Zubair selain al-„Azrami,

dan darinya Hâtim bin „Ismâ‟îl dari Jâbir, ia mengatakan bahwa

ّ‫ٓا خهف‬ٛ‫سخ‬ٚٔ ٍٚ‫د‬ٛ‫ انع‬ٙ‫هثسٓا ف‬ٚ ُ‫سْٕدَاء‬


َ ٌ‫ِّْ َٔسَهَىَ عًَِايَة‬َٛ‫ِ صَهَٗ انهَُّ عَه‬ِٙ‫كَاٌَ نِهَُث‬

“Nabi Saw. memiliki serban hitam yang di pakai di dua hari raya
dan menguraikannya ke belakang.”

104
Al-Mubârakfûri, Tuhfat al-Ahwadzi, juz 5 h. 336.
99

Ada juga hadis-hadis yang menunjukkan dijulurkannya serban di antara

kedua tangan orang yang dipakaikan serban dan dari belakangnya seperti hadis

yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud dari „Abd al-Rahmân bin „Auf :

ِٙ‫٘ َٔيٍِْ خَهْف‬


َ َ‫َذ‬ٚ ٍَِْٛ‫ّ ٔعهى فغذ نٓا يٍِْ ت‬ٛ‫ َسعُٕلُ انهَِّ صهٗ اهلل عه‬ًًَََُِٙ‫ع‬

“Rasulullah Saw. memakaikanku serban lalu ia menjulurkannya di


antara kedua tanganku dan belakangku”.

Selain itu, ada juga hadis dari „Âisyâh R.A. yang diriwayatkan oleh Ibn

Abî Syaibah dari „Urwah:

ٍَِْٛ‫عْٕدَاءَ يٍِْ ُلطٍٍْ َٔأَفْضَمَ نَُّ يٍِْ ت‬


َ ٍ‫عْٕفٍ تِعًَِايَح‬
َ ٍَْ‫ِّْ َٔعَهَىَ عًََىَ عَثْذَ انشَحًٍَِْ ت‬َٛ‫أٌََ َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬
ِِ‫ِّْ يِّثْمَ َْز‬َٚ‫َذ‬ٚ

“Bahwasanya Rasulullah Saw. memakaikan serban hitam yang


terbuat dari kain katun kepada „Abd al-Rahmân bin „Auf dan lebih utama
baginya dari antara kedua tangannya seperti ini.”105
Dalam riwayat lain dari Nâfi‟dari Ibn „Umar, Ia berkata:

َ‫ظَ َٔأَسْخَاَْا يٍِْ خَهْفِِّ لَذْسَ أَسْتَعِ أَصَاتِع‬ِٛ‫عْٕدَاءَ كَشَات‬


َ ٍ‫عْٕفٍ تِعًَِايَح‬
َ ٍ‫ّ ٔعهى ت‬ٛ‫عًََىَ َسعُٕلُ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عه‬
‫َٔلَالَ َْكَزَا فَاعْرَى‬

“Rasulullah Saw. memakaikan serban hitam kepada „Abd al-


Rahmân bin „Auf dan menjulurkannya dari belakang seukuran empat jari”

Ada pula hadis-di antara hadis-hadis tersebut-yang menunjukkan

menguraikannya (serban) dari sisi sebelah kanan, seperti hadis yang diriwayatkan

oleh Abû Umâmah, Ia berkata:

“ٌُِ‫حَٕ انْأُذ‬
ْ َ ًٍََِْٚ‫ نََٓا يٍِْ جَاَِثِِّ انْأ‬ِٙ‫ُسْخ‬َٚٔ ًًََُِّ‫ُع‬ٚ َٗ‫ًا حَت‬ِٛ‫ َٔان‬ِٙ‫َٕن‬ُٚ ‫ِّْ َٔسَهَىَ قَهًََا‬َٛ‫”كَاٌَ َزسُٕلُ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬
ٌ‫ْعُ تٍُْ َث ْٕبٍ َٔ َُْٕ يَتْسُٔك‬ًَُٛ‫ ِإسَُْا ِد ِ ج‬ِٙ‫سِ َٔف‬ِٛ‫ انْكَث‬ِٙ‫ُ ف‬َِٙ‫أَخْسَجَُّ انّطَثَسَا‬

“Suatu saat, Rasulullah Saw. ketika melantik salah seorang


gubernur, Ia memasangkannya serban kepadanya sebelah kanan telinga.”
(diriwayatkan oleh al-Tabrâni dalam kitab al-Kabîr, dalam sanadnya
terdapat Jumai‟ bin Tsaub, dia termsuk perawi yang matrûk).

105
Al-Mubârakfûri, Tuhfat al-Ahwadzi, juz 5 h. 336.
100

Hadis tersebut menunjukkan atas bolehnya meninggalkan „adzabah.106 Ibn

al-Qayyim dalam al-Hady dengan hadis Jabir di jalur Muslim, Abu Daud, al-

Tirmidzi, al-Nasai, dan Ibn Majah dengan lafadz

ُ‫عْٕدَاء‬
َ ‫ِّْ عًَِايَ ٌح‬َٛ‫ْ ِّ َٔعَهَىَ دَخَمَ يَكَ َح َٔعَه‬َٛ‫أٌََ َسعُٕلَ انهَِّ صَهَٗ انهَُّ عَه‬

Dalam redaksi hadis di atas tidak disebutkan lafadz ِ‫(ان ُرؤَاتَة‬ujung serban).

Menurut Ibn al-Qayyim, bahwa itu menunjukkan Nabi tidak selalu menjulurkan

ujung serbannya di antara kedua bahunya.Dalamkondisi tersebut, terdapat

pandangan bahwa ketika kata ِ‫ ان ُرؤَاتَة‬tidak disebutkan di dalam hadis tersebut,

makaini dapat dijadikandalili dengannya bahwasanya Nabi Saw. tidak selalu

menjulurkan ujung serbannya.

Lebih lanjut lagi menurut al-Mubârakfûri dalam Tuhfat al-Ahwadzi bahwa

hadis yang paling kuat dan sahih dari berbagai hadis tersebut adalah hadis yang

diriwayatkan oleh „Amr bin Huraits dalam hadis yang menyebutkan bahwa Nabi

menjulurkan ujung serban di antara dua bahunya.107

Al-„Aini berkata dalam kitab al-„Umdah, guru kami; Zain al-Dîn berkata

“apakah yang dimaksud dengan menjulurkan imamah-nya dia antara kedua

bahunya, apakah yang dimaksud itu adalah menjulurkan ujung bawah sampai

menjadi „adzabah, atau menjulurkan ujung yang atas dengan sekiranya

memasukannya dan melepaskannya ke belakang, masing-masing mempunyai

kemungkinan, namun saya tidak melihat mana yang lebih jelas yang dijulurkan itu

adalah adzabah kecualidalam hadis yang diriwayatkan oleh „Abd al-A‟la bin‟Adi

106
Al-Mubârakfûri, Tuhfat al-Ahwadzi, juz 5 h. 337.
107
Al-Mubârakfûri, Tuhfat al-Ahwadz, juz 5 h. 337.
101

dan di dalamnya terdapat kalimat ِّ‫ِّ َٔأَزْخَٗ عَرَتَةَ انْعًَِايَةِ يٍِْ خَهْف‬ِٛ‫َٔف‬yang sudah terdahulu

pembahasannya.”

Al-Syaikh Zain al-Dîn berkata “bahwasanya „adzabah adalah ujung seperti

‫سْٕط‬
َ ‫ َٔكَعَرَتَةِ انِهسَاٌِ‟عَرَتَةِ ان‬ujung cambuk dan ujung lisan. Ujung yang atasnya –dari

segi bahasa disebut „adzabah walaupun saat ini ada perbedaan istilah secara adat.”

Menurut Al-Suyûti mengenai kualitas hadis tersebut, bahwa sanad hadis

tersebut adalah hasan. Ibn Abî Syaibah telah mengeluarkan hadis bahwasanya

Abdullah bin Zubair memakai serban hitam dan menjulurkannya dari belakang

sekitar beberapa dzira‟

Sa‟d bin Sa‟îd telah meriwayatkan dari Rusydain, ia berkata aku melihat

„Abdullâh bin al-Zubair memakai serban hitam dan menjulurkannya satu syibr

atau lebih sedikit dari satu syibr. Lebih lanjut lagi Ia mengungkapkan dalam kitab

al-Subul, di antara adab berserban adalah memendekkan ujung serban, maka

jangan memanjangkannya dengan panjang yang fâhisy (dengan maksud yang

jelek, seperti sombong, dan sebagainya).

Menurut al-Nawâwi dalam kitab Syarh al-Muhadzdzab, melepas ujung

serban dengan melepas yang jelek atau fâhisy seperti menjulurkannya karena

sombong hukumnya adalah haram. Adapun menjulurkannya karena selainnya

maka dihukumi makruh.108

Faedah lainnya sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyûti dalam kitab al-

Hâwi dalam bab al-Fatâwâ, bahwa ukuran serban Nabi Muhammad Saw. yang

108
Al-Mubârakfûri, Tuhfat al-Ahwadzi, juz 5 h. 338.
102

mulia itu tidak ditemukan dalam hadis. Namun menurut al-Baihaqi, ukuran serban

Nabi tersebut adalah beberapa dzirâ‟. Hal ini bisa diketahui dari hadis yang

diriwayatkan dari Ibn Salâm bin „Abdullâh bin Salâm dalam kitab syu‟ab al-îmân,

Ia berkata, “Aku bertanya kepada Ibn „Umar bagaimana Rasulullah Saw. dalam

memakai serban, Ia menjawab, bahwa Nabi memakai serban dengan

melingkarkannya ke kepala lalu mengikatnya dari belakang kemudian

menjulurkan ujungnya diantara kedua bahunya.” Menurutnya, cara Nabi dalam

mengenakan serban tersebut menunjukkan atas bilangan beberapa dzirâ‟. Lebih

jelas lagi, Ia menambahkan bahwa itu seukuran sepuluh dzirâ‟ atau lebih.

Al-Jazâri menyatakan dalam kitab al-Mirqât dalam kitab tashîh al-

masâbîh bahwa Ia telah meneliti beberapa kitab dan mencari dalam kitab perjalan

dan sejarah-sejarah untuk menemukan ukuran serban Nabi Muhammad Saw.,

namun Ia tidak menemukan sesuatu pun sampai mengabarkan kepadaku orang

yang aku percaya kepadanya bahwasanya ditemukan dari ucapan Imam al-

Nawâwi, Ia menyebutkan bahwa serban Nabi Muhammad Saw. ada yang panjang

dan ada yang pendek. Ada pun yang pendek itu tujuh dzirâ‟ dan yang panjang dua

belas dzirâ‟. Sedangkan al-Qâri menyebutkan bahwa serban Nabi Muhammad

Saw. adalah tujuh dzirâ‟ secara mutlak tanpa terikat pendek dan panjang.

Dalam polemik tersebut, Al-Mubârakfûri menegaskan bahwa orang yang

berpendapat bahwa ukuran serban Nabi Muhammad Saw. sekian dan sekian

dzirâ‟ harus memperkuat dengan dalil-dalil yang sahih.109

Faidah lain dalam kitab al-Subul yaitu di antara adab memakai serban

ialah menjulurkan ujung serban diantara kedua bahu, namun boleh

109
Al-Mubârakfûri, Tuhfat al-Ahwadzi, juz 5 h. 339.
103

meninggalkannya secara hukum asal. Al-Nawâwi berkata dalam Syarhal-

Muhadzdzab: “boleh menggunakan serban dengan menjulurkan ujungnya atau

tanpa menjulurkannya dan tidak ada kemakruhan didalam salah satu dari

keduanya namun tidak sah mencegah meninggalkan menjulurkanya.110

Ibn al-Arabi menjelaskan serban adalah sunah para rasul dan kebiasaan

para nabi dan pemimpin. Nabi berkata. Menurut Ibn al-Arabi, pernyataan Nabi

“orang yang sedang ber-ihram tidak boleh mngenakan gamis dan serban” hanya

ditujukan untuk orang yang sedang ihram saja namun serban dianjurkan untuk

menutup kepala dengan tujuan mengagungkan Allah Swt. Di antara sunah-sunah

memakai serban adalah sesuai dengan kebutuhan saja, tidak boleh merasa

sombong dan membanggakan diri.111

D. Cara Memahami Hadis Dengan Benar Menurut Dr. Ahmad Lutfi

Fathullah, MA.

Sebelum membahas tentang pemahaman Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

mengenai hadis tentang serban, terlebih dahulu penulis akan memaparkan

pendapat beliau mengenai cara yang benar dalam memahami hadis. Penulis

mendapatkan informasi tersebut melalui wawancara terhadap beliau. Hal ini

dilakukan guna meluruskan pandangan terhadap cara dalam memahami

hadis.Menurut Ahmad Lutfi Fathullah, metode untuk memahami hadis adalah:112

110
Al-Mubârakfûri, Tuhfat al-Ahwadz, juz 5 h. 339.
111
„Abd al-Rauf al-Munawi, Fayd al-Qadîr Syarh al-Jâmi‟ al-Saghîr (Mesir: al-
Maktabah al-Tijâriyah al-Kubrâ), juz 4, h. 429.
112
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah, Jakarta, 28 Desember 2017.
104

1. Menentukan Kualitas Hadis

Langkah awal dalam memahami suatu hadis adalah dengan mencari

informasi mengenai keabsahan hadis tersebut. Keabsahan yang dimaksud adalah

kualitas hadis yakni sahih atau tidak sahih. Jika hadis yang akan diteliti memiliki

kualitas yang sahih maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya. Namun jika

kualitas hadis tersebut dinyatakan da‟îf maka tidak perlu dipahami.

2. Memahami Teks Hadis Secara Tekstual

Setelah mengetahui kualitas hadis yang akan dipahami, maka proses

selanjutnya adalah memahami teks hadis secara tekstual. Hadis yang bernilai

sahih maka akan diteliti lebih lanjut dengan memahami teksnya secara tekstual.

Apakah secara tekstual hadis tersebut bisa diterima atau tidak. Ketika suatu hadis

tidak bisa dipahami secara tekstual, maka hadis tersebut mesti dipahami dengan

cara kontekstual.

3. Memahami Teks Hadis Secara Kontekstual

Hadis yang tidak dapat dipahami secara tekstual, maka solusinya adalah

memahami hadis tersebut secara kontekstual. Dalam memahami hadis secara

kontekstual, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah melihat sebab

munculnya hadis tersebut (asbâb al-wurûd).

4. Melihat Asbâb al-Wurûd Hadis

Langkah selnjutnya adalah melihat asbâb al-wurûd hadis. Melihat asbâb

al-wurûd hadis sangat lah penting. Dengan begitu, dapat diketahui latar belakang

yang menyebabkan suatu hadis muncul. Dengan melihat asbâb al-wurûd hadis

pula dapat diketahui hadis yang nâsikh dan hadis yang mansûkh.
105

5. Melihat Fiqh al-Hadîts

Setelah itu dilihat fiqh al-hadîts-nya seperti apa, barulah dieksplor disitu.

Dari teks hadis tersebut dapat diterjemahkan dan dapat dipahami secara tekstual

dan bisa dengan kontekstual. Adapun untuk bermain dengan kontekstual bisa

terlihat dari asbâb al-wurûd-nya.

6. Melihat Hadis-Hadis dalam Tema yang Sama

Ahmad Lutfi Fathullah menjelaskan bahwa ketika memahami hadis, tidak

boleh memahaminya dengan memahami satu hadis saja. Dalam memahami suatu

hadis, harus pula melihat hadis-hadis lainnya yang memiliki tema pembahasan

yang sama. Hal itu disebabkan karena suatu hadis erat kaitannya dengan hadis

yang lain. Setiap hadis tidak berdiri sendiri, namun memiliki kaitan dengan hadis-

hadis yang lainya.113

Saat ini, banyak orang mengalami kesalahan dalam memahami hadis

karena langsung memahami teksnya tanpa mengkajinya secara mendalam terlebih

dahulu. Kesalahan tersebut semakin fatal ketika hanya memahami satu teks hadis

saja tanpa melihat dan mengkaji hadis-hadis lain yang bersangkutan.

Memahami hadis dengan mengkaji hadis-hadis yang membahas tema yang

sama akan terlihat secara jelas ketika menemukan hadis yang „âm dan khâs.

Dalam kajian hadis, ada hadis yang mansûkh dan hadis yang nâsikh. Oleh karena

itu, tidak boleh memahami hadis hanya dengan satu hadis tetapi harus

menggabungkan dengan hadis-hadis yang sama di bab yang sama.

Prinsip dasar dalam mengkaji hadis adalah secara tekstual terlebih dahulu,

kemudian kontekstual. Adapun ketika melihat hadis tekstual jangan menjadikan

113
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
106

hadis yang dibaca menjadi satu-satunya hadis, akan tetapi yang lebih sempurna

adalah mengumpulkan semua hadis yang membahas tema yang sama. Setelah itu

baru bisa dipahami.114

E. Penafsiran Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA terhadap Hadis Tentang

Pemakaian Serban

Rasulullah Saw. memang mengenakan serban. Namun beliau tidak

memerintahkan para umatnya untuk mengenakan serban. Rasulullah mengenakan

sesuatu belum tentu beliau memerintahkan para umatnya untuk mengenakan apa

yang beliau pakai. Dalam konteks ke-Arab-an dan ke-Madinah-an, mengenakan

serban adalah hal yang penting dan banyak memiliki manfaat. Pada saat itu,

semuaorang mengenakan serban. Selain berfungsi sebagai penutup kepala, serban

biasa dikenakan untuk penutup wajah ketika terjadi badai pasir maupun debu.

Orang agak sulit untuk berlindung jika harus berlindung di balik pohon atau batu

besar. Cara yang paling mudah dilakukan adalah berlindung di balik serban.115

Masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad Saw. lahir sudah mengenakan

serban dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi sosial-geografis menuntut mereka

mengenakan serban. Serban memiliki banyak manfaat seperti melindungi

seseorang dari terik panas matahari dan debu padang pasir.

Nabi Muhammad Saw. mengenakan serban karena kondisi budaya Arab

dan faktor geografis. karena nabi adalah orang Arab. Sebagai contoh pada saat ini,

114
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
115
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
107

seseorang mengenakan helm untuk keselamatan bukan tanda kesalehan. Dulu

keselamatan seseorang dengan mengenakan serban untuk menghindari angin dan

debu. Seperti itu pula saat ini orang mengenakan masker untuk melindungi dari

polusi udara. Dengan demikian, mengenakan serban adalah hal yang baik pada

kondisi tertentu.116

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Ahmad Lutfi

Fathullah memahami serban hanyalah sebagai budaya, bukan sunnah. Pemahaman

ini sama dengan pendapat Ali Mustafa Yaqub bahwa serban bukan bagian daroi

agama, namun termasuk salah satu tradisi bangsa Arabyang setiap muslim boleh

mengikutinya atau mengabaikannya.117

Jika mengenakan serban diniatkan untuk mengikuti jejak Rasulullah Saw.,

maka akan mendapatkan pahala atas apa yang ia niatkan. Namun jika mengenakan

serban tidak diniatkan karena mengikuti Rasulullah Saw., maka tidak akan

berpahala. Sebab, melakukakan sesuatu jika mengikuti Rasulullah maka akan ada

pahalanya. Jadi, mengenakan serban bukan sunnah bi dzâtih seperti salat qabliyah

yang diperintahkan langsung oleh Nabi.

Serban sudah dikenakan sejak zaman dahulu. Nabi-nabi terdahulu

kemungkina sudah mengenakan serban untuk perlindungan. Tidak semua orang

bisa memiliki serban karena jumlah tekstil yang minim pada masa itu. Nabi-nabi

terdahulu mengenakan serban selain sebagai budaya, juga dapat melindungi dari

terik matahari yang panas dan juga dari debu padang pasir. Kondisi alam di Timur

Tengah yang sangat panas dan gersang membuat mengenakan serban pada masa

116
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
117
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016), h.
91.
108

itu menjadi sebuah kebutuhan pribadi masing-masing orang sesuai dengan kondisi

alamnya.118

Mengenakan serban adalah hal yang baik. Mengenakan serban merupakan

hal yang dibolehkan. Rasulullah Saw. mengenakan serban adalah fakta. Namun,

mengenakan serban belum tentu sunah. Ketika seseorang ingin mencontoh

Rasulullah Saw. karena beliau mengenakan serban, maka hal tersebut

dipersilahkan. Walhasil, orang lain akan menghormatinya, namun juga harus

menghormati orang yang tidak mengenakan serban. Pada sisi lain, ketika ingin

mengatakan harus memakai serban karena Rasulullah memakai serban, maka hal

tersebut perlu dikaji terlebih dahulu. Rasulullah betul memakai serban, namun

tidak mewajibkan dan tidak pula memerintahkan untuk memakai serban. Di sini

lah letak fleksibel touch-nya. Misalnya, Ketika bisa menilainya dari dua sisi maka

enak sekali, hari ini mengenakan serban, maka Alhamdulillâh bagus. Jika esok

hari tidak mengenakan serban, maka jangan dikritik.119

Kesalehan seseorang tidak dapat diukur hanya dari serban yang dikenakan.

Serban bukan bagian dari ajaran yang merekat pada agama. Ketika seorang ulama,

kiayi, ustad dan orang-orang saleh lainnya mengenakan serban dengan maksud

mengikuti Rasulullah Saw., maka hal tersebut boleh dilakukan. Tidak ada

larangan ataupun tidak ada perintah untuk mengenakan serban. Umat islam harus

menghormati orang yang mengenakan serban dan juga harus menghormati orang

yang tidak mengenakan serban. 120

118
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
119
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
120
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
109

Banyak sebagian orang keliru dengan mengatakan keharusan mengenakan

serban karena sesuai dengan apa yang Rasulullah Saw. kenakan seperti serban.

Karena apa yang Rasul lakukan adalah sebuah sunnah. Namun anggapan tersebut

adalah salah. Tidak ada hadis shohih yang menjelaskan bahwa nabi muhammad

memerintahkan umatnya untuk mengenakan serban.121

Rasulullah Saw. diterjemahkan dalam bahasa fiqih ada tiga kriteria :

pertama, beliau adalah sebagai manusia biasa. Kedua, beliau sebagai seorang

Nabi. Ketiga, beliau sebagai seorang pemimpin. Dari tiga keriteria tersebut, ketika

Rasulullah mengenakan serban, bisa dilihat bahwa Rasulullah mengenakan serban

bukan karena beliau seorang Nabi, bukan juga beliau seorang pemimpin. Tapi

beliau mengenakan serban sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, sama sekali

tidak dipermasalahkan seorang muslim mengenakan serban atau tidak. Jika tidak

mengenakan serban pun maka tidak akan mengurangi kesalehannya apalagi

keislamannya. Dari sini dapat diartikan bahwa tidak ada perintah untuk

mengenakan serban atau tidak mengenakannya. dan tidak akan mengurangi

kesholihan seseorang jika tidak mengenakan serban, dan tidak menambahkan ke

sholihan seseorang jika mengenakan serban.122

Pendapat tersebut sama dengan pendapat Syuhudi Ismail, al-Qarafi, Ibn

Asyur dan al-Dahlawi yang menyatakan bahwa dalam memahami hadis perlu

kiranya meghubungkan dengan posisi Nabi ketika mengeluarkan hadis tersebut.123

Jika serban dijadikan sebagai atribut atau simbol kekiayian, simbol

ketokohan maka hal tersebut tidak menjadi sebuah masalah, karena hal tersebut

121
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
122
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
123
M. Syuhudi Ismail, Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 4.
110

adalah sebagai bentuk manusiawi, bukan agamawi. Tetapi jika serban dijadikan

sebagai simbol agamawi atau sebagai kesalehan seseorang itu karena ia

mengenakan serban, maka tidak semudah itu. Sebab, jika demikian, maka banyak

orang jahat maling mengenakan serban agar dianggap orang baik. sedangkan

orang yang saleh ketika tidak mengenakan serban, maka dianggap sebagai orang

yang tidak baik. Oleh karena itu, serban yang dikenakan tidak dapat dijadikan

tolak ukur kesalehan seseorang.124

Selanjutnya, mengenai hadis tentang cara Rasulullah Saw. mengenakan

serban, Ahmad Lutfi Fathullah berpendapat bahwa caranya sama seperti bangsa

Arab mengenakan serban, baik diselempangkan atau dililit-lilit seperti kopiah. Hal

tersebut adalah budaya Arab sebab Rasulullah Saw. tidak mengajarkan secara

detail dalam mengenakan seban. Seperti mengenakan sarung, Rasulullah Saw.

tidak mengajarkan dengan detail, karena itu bukan bagian dari agama melainkan

bagian dari kebutuhan manusia. Rasulullah Saw mengajarkan ketika hendak

melakukan sesuatu harus didahulukan dari sebelah kanan. Namun itu hanya

kaidah umum bukan kaidah khusus untuk mengenakan serban. Rasulullah Saw

maupun masyarakat Arab lainnya memiliki model tersendiri dalam mengenakan

serban. Perbedaan musim turut menentukan cara mengenakan serban.125 Begitu

pula dengan fungsinya, pada musim panas mereka mengenakan serban sebagai

pelindung dari debu dan panasnya terik matahari. Ketika musim dingin tiba,

serban dikenakan sebagai pakaian tambahan di samping mengenakan baju tebal

untuk menghangatkan tubuh.

124
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
125
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
111

Adapun hadis tentang Rasulullah Saw menganakan serban pada hari fath

Makkah, Ahmad Lutfi Fathullah menjelaskan bahwa pada saat peristiwa fath

Makkah, Nabi Muhammad Saw memasuki kota Mekah dengan mengenakan

serban berwarna hitam. Pemakaian serban hitam tersebut tidak mengindikasikan

suatu kewajiban. Warna pakaian yang Rasulullah Saw. kenakan bersifat

kondisional. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban mengikutinya dalam hal warna

berpakaian termasuk ketika mengenakan serban. Faktor yang mungkin melatar

belakangi Rasulullah Saw mengenakan pakaian hitam ketika peristiwa itu adalah

kondisi dan situasi saat itu yang dalam kondisi perang. Kemungkinan Rasulullah

Saw mengenakan pakaian hitam adalah untuk menimbulkan kesan wibawa.

Ketika fath al-Makkah, beliau dalam posisi sebagai tentara, panglima perang, jadi

wajar bila mengenakan pakaian perang atau yang berwarna keberanian seperti

hitam. Dalam hadis, warna pakaian yang pernah dikenakan Rasulullah Saw cukup

beragam, yaitu merah, hijau, hitam, dan seringkali mengenakan pakaian berwarna

putih. Rasulullah Saw sangat senang mengenakan pakaian putih. Namun perlu

ditekankan bahwa Rasulullah tidak mewajibkan para umatnya untuk mengenakan

pakaian dengan warna tertentu termasuk putih meskipun itu adalah warna yang

sangan disenangi.

Sementara itu, masyarakat Indonesia memiliki tradisi tertentu dakam

mengenakan serban. Ada yang beranggapan bahwa tradisi mengenakan serban

adalah bagi orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Ada pula anggapan bahwa

seorang khatib harus mengenakan serban. Ini adalah sebuah tradisi dan budaya

yang berbeda-beda. Hal tersebut sudah menjadi budaya yang berkembang di

tengah-tengah masyarakat yang tidak perlu dipermasalahkan. Di sisi yang sama,


112

anggapan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai sebuah hukum agama. Sebagai

contoh, “seorang khotib tidak akan sah dalam menyampaikan khutbah jika tidak

mengenakan serban”, atau “sudah haji kok tapi gak pakai serban”. Ini adalah

sebuah contoh pemahaman yang salah. Sebab, serban bukan termasuk hukum tapi

bagian dari budaya.126

Seorang ustad atau kiayi tidak ditentukan dari serban yang dikenakan.

Begitu pula dengan keimanan dan kesalehan seorang muslim. ke-ustadz-an, ke-

kiyai-an, keimanan dan kesalehan dilihat dari ilmu, ketakwaan dan amal ibadah

bukan dari pakaian. Pakaian hanyalah sebuah budaya.

Pakaian orang Indonesia dengan pakaian orang Arab jelas berbeda. Orang

Yaman dan Orang Turki pun berbeda dalam cara berpakaian. Orang Cina dan

orang Indonesia juga berbeda. Biarkanlah orang Indonesia dengan budayanya,

orang Yaman dengan budayanya, orang Arab dengan budayanya, orang Cina

dengan budayanya. Hakikatnya adalah sesama muslim harus saling menghormati,

menyayangi, mengasihi,dan mengayomi. Perbedaan pakaian bukan menjadi

penghalang untuk saling bermuamalat. Walaupun berbeda-beda budayanya

namun prinsip syariat dalam berpakaian harus tetap dipegang erat.

Di Indonesia, kebanyakan ulama dan kiyai mengenakan peci hitam. Peci

berbeda dengan serban. Namun keduanya memiliki hukum yang sama, yakni

sebagai penutup kepala. Peci dan serban bukan bagian dari agama. Hakikatnya

adalah sama yaitu digunakan untuk menutp kepala, apa pun itu bentuknya. Di

indonesia, ada sebuah penutup kepala khas Jawa yang biasa disebut dengan

126
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
113

blangkon. Peci bisa disamakan dengan belangkon dengan syarat tidak ada makna

mistik di dalamnya. Baik serban, peci, maupun belangkon memiliki model yang

beraneka ragam. Serban, misalnya, berbeda antara serban di Indonesia dengan

serban yang ada di Arab. Sebagai contoh, bisa dlihat pada gambar di bawah ini

yang telah dijelaskan pada bab 2.

Gambar 22. Bentuk Serban di Arab Gambar 23. Bentuk Serban di Indonesia

(sumber: wikipedia.org) (sumber: wikipedia.org)

Kedua gambar di atas merupakan salah satu bentuk serban di Arab dan

serban di Indonesia. Terlihat perbedaan di antara keduanya. Begitu pula dengan

peci, berbeda antara peci Indonesia dengan peci Maroko. Dengan demikian,

serban dan peci adalah budaya bukan bagian dari agama.127

Adapun hadis yang mengatakan bahwa salat dengan mengenakan peci atau

serban akan mendapatkan pahala yang sangat besar dibandingkan dengan salat

tanpa mengenakannya adalah hadis da‟îf yang tidak dapat diamalkan.128

127
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
128
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, menurut Dr. Ahmad Lutfi

Fathullah, MA. serban adalah budaya. Serban bukan termasuk sunah. Nabi

Muhammad Saw. mengenakan serban ketika beliau dalam posisi sebagai seorang

pribadi bukan dalam kapasitas beliau sebagai pembawa risalah. Sehingga dalam

hal ini tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Umat muslim dipersilahkan

mengenakan serban atau tidak. Orang yang mengenakan serban dan orang yang

tidak mengenakan serban harus saling menghormati.

Mengenakan bisa mendapat pahala jika diniatkan mengikuti Rasulullah

Saw. namun tidak mendapat pahala jika tidak diniatkan mengikutinya. Perbuatan

apa saja yang dilakukan dengan niat mengikuti Rasul maka mendapat pahala,

begitu pun sebaliknya. Kadar keimanan dan kesalehan seseorang tidak ditentukan

dari pakaian yang dikenakan taoi dari ilmu, akhlak dan amal ibadah, Hadis-hadis

yang berbicara bahwa Nabi mengenakan serban adalah sahîh. Namun hadis yang

berbicara tentang keutamaan serban seperti salat dengan mengenakan serban akan

mendapat pahala yang besar, maka itu hadis da’îf.

B. SARAN

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca -sudi kiranya-

114
115

untuk memberikan kritik dan saran yang membangun dan membantu dalam

kesempurnaan skripsi ini supaya lebih bermanfaat bagi penulis khususnya dan

kepada masyarakat luas umumya.

Penulis mengharapkan kajian ini untuk dikaji dalam sudut pandang yang

berbeda. Penulis juga mengharapkan adanya penelitian yang memberikan

argumen lebih kuat melalui metode pendekatan lainnya guna mendapatkan

pemahaman yang lebih komprehensif.


116

DAFTAR PUSTAKA

Arrobbaniyah, Hafshoh. “Bentuk dan Makna Sorban di Indonesia.” Skripsi S1


Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2014.

Azmi, Syaiful Agama-Agama Minor. Tangerang Selatan: UINPress, 2013.

Al-Baihaqi, Abu Bakar. Al-Âdâb li al-Baihaqî. Beirut: Muasasah al-Kutub al-


Tsaqâfiyah, 1988.

----------. Syu’ab al-Îmân. Riyadh: al-Rusyd, 2003.

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah.
Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 2000.

----------.Takhrîj al-Ahâdîth al-Marfû’ât al-Musnadat fî Kutub al-Târîkh al-Kabîr


li al-Bukhâri. Riyadh: al-Rusyd, 1999.

Bustamin. Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ushul Press, 2009.

Chodjim, Achmad. Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013.

Al-Dârimi, „Abdullâh bin „Abd al-Rahmân. Sunan al-Dârimi. Riyadh: Dar al-
Mughni, 2000.

Al-Hâkim, Abû „Abdillâh. Al-Mustadrak „alâ al-Shahihain. Beirut: Dâr al-Kutub


al-„Alamiyyah, 1990.

Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Kapan Mulia,
2006.

Hashem, Fuad. Sirah Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru. Bandung:


Mizan, 1996.
117

Ismail, M. Syuhudi. Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-
Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta:
Bulan Bintang, 2009.

Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim. Zâd al-Ma’âd fî Hady Khoir al-‘Ibâd. Beirut:


Maktabah al-Manâr al-Islâmiyyah, 1994.

Al-Mahdi, Abû Muhammad „Abd. Metode Takhrîj Hadis. Semarang: Dina Utama,
t.t.

Maleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosdakarya,


2007.

Manzûr, Ibn. Lisân al-‘Arab. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2003.

Al-Mizzi, Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsûf. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl.
Beirut: Muasasah al-Risâlah, 1983.

Al-Mubârakfûri, Muhammad „Abd al-Rahmân. Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Jâmi’ al-


Tirmidzi. Beirut: Dâr al-Hadis, 2001.

Al-Munawi, „Abd al-Rauf. Fayd al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Saghîr. Mesir: al-
Maktabah al-Tijâriyah al-Kubrâ, t.t.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif,


1997.

Murray, James A. H. The Oxford English Dictionary. Oxford: Oxford University


Press, 1978.

Al-Mûshili, Abû Ya‟lâ. Musnad Abû Ya’lâ. Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-
Turâts, 1984.

Al-Naisâbûri, Muslim bin al-Hajjâj. Sahîh Muslim. Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-
„Arabi, t,t.
118

Al-Nasâi, Abû „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib al-Khurâsâni. Sunan al-
Nasâi. Riyâd: Maktabah al-Ma‟ârif, 1988.

Notdholt, Henk Schulte, ed. Sarung Jubah dan Celana: Penampilan sebagai
Sarana Pembedaan dan Diskriminasi dalam Outward Appearances:
Trend, Identitas, Kepentingan. Penerjemah M. Imam Aziz.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.

P.J. Bearman, ed. The Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 2000.

Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Al-Quzwaini, Muhammad bin Yazîd. Sunan Ibn Mâjah. Beirut: Dâr al-
Ma‟rifat,1996.

Al-Sadîqi, Muhammad Asyraf. „Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud.


Beirur: Dâr al-Kutub al-„Alamiah, 1994.

Al-Shibabuthi, Ishamuddin. ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar
al-Hadis, 2001.

Al-Sijistâni, Abu Dâwud Sulaimân Al-„Asy. Sunan Abû Dâwud. Beirut: Dâr al-
Fikr, 2003.

Al-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Penerjemah Sonif,


Masturi Irham dan Malik Supar. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011.

Al-Sulami, Abû „Isa Muhammad bin „Isa Ibnu Saurah. Sunan al-Turmudzi.
Beirut: Dar al-Fikr, 2003.

Sunyoto, Agus. Wali Songo: Rekontruksi Sejarah yang disingkirkan. Jakarta:


Trans Pustaka, 2011.

Al-Syaibâni, Abû „Abdillâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin
Asad. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: al-Maktub al-Islam, 1978.
119

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah. Nail al-Awtâr
Tahqiq ‘Isâm al-Dîn al-Sibâbiti. Kairo: Dâr al-Hadîth, 1993.

Al-Tabrâni, Abû al-Qâsim. Al-Mu’jam al-Kabîr. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah,


1994.

The Encyclopedia Americana, International Edition. New York: Grolier


Incorporated, 1994.

Al-Tirmidzi, Abû „Îsâ Muhammad „Isa bin Saurah. Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dâr
al-Fikr, 2003.

Wensinck, Arend Jan. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fazh al-Hadits al-Nabawi.


Leiden: E.J. Brill, 1969.

Yaqub, Ali Mustafa. Cara Benar Memahami Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2016.

---------. Hadis-Hadis Bermasalah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016.

--------. Setan Berkalung Surban. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014.

Zaghlûl, Muhammad al-Sa‟îd bin Basyûni. Mausû’at Atrâf al-Hadîts al-Nabawi


al-Syarîf. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah,t.t.

Zein, M. Ma‟shum. Ilmu Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,


2013.

Artikel Online

Gibril Fouad Haddad, “The Turban Tradition in Islam,” artikel diakses pada 11
Agustus 2017 dari http://www.caribbeanmuslims.com/articles/1286/1/The-turban-
tradition-in-Islam/page1.html
120

Louis McLennan, “The History and Ettique of Turbans” dari


http://www.lens.appstate.edu/fryeem/christylitcircle/turban.html

Nora E. Scoutt, “Three Egyptian of The Lte Roman Period” artikel diakses pada
21 Maret 2017 dari http://www.jstor.org/stable/3256428

Northwest life, “Understanding Turban”, artikel diakses pada 21 Maret 2017 dari
http://www.cozynuk.com/India-travel-blog/?tag=turban

Wawancara

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Lutfi Fathullah, Jakarta, 28 Desember 2017.


KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
' BAKUUTAS USHULUDDIN
Telp. : (021 ) 749 3677 ,740 1925, Fax (021 ) 749 3579
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412, lndonesia www.ushuluddin.uinjkt.ac.id; Email : humas.ushuluddin@uinjkt.ac.id

Nomor ,: n-! o ofiE3lKM.o 1 .3D(rv2ot7 Jakarta, 07 Desember 2017


Lampiran
Perihal : Wawancara / Penelitian Skripsi

Kenada Yth. ,
ilI.,frdJ tsthfl.. f+thurtah. MA'
di-
Tempat

Dengan hormat,

Bersama ini disampaikan bahwa mahasiswa kami dari Fakultas


Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:
Nama . Fahmi Hidayatullael
NIM I 1 12034000120
Fak./ Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Semester II ( Sebelas )
Tahun Akademik 2017120t8
Program Strata Satu (S1)
judul "Pemahaman Hadis Tentang
sedang dalam penulisan skripsi dengan
Serban Menurut Dr. Ahmad Luthfi Fathullahj'96.
Sehubungan dengan itu, kami mohon mahasiswa kami dapat diterirna
melakukan penelitian / wawancara guna penulisan skripsi dimaksud.

Demikian, atas perhatian dan bantuannya kami ucapkdn terima kasih.

Akademik,

Tanggok, M.Si/
NIP, 19"651r29 t99403 t 002

Tembusan .
Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ST]RAT KETERANGAT\I

Yang bertanda tangdn di bawah ini Dr. Ahmad Lutfi Fathhullah, MA.

Dengan ini menerangkan bahwa:

Fahmi Hidayatullael

NIM l I 12034000120

Pendidikan Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullatr

Jakarta

Program Studi: Ilmu al-Qur'an dan Tafsir

Pada tanggal l8 November 2017 tr,lah melakukan penelitian/wawancara untuk

bahan penulisan skripsi yang berjudul Pemahaman Hadis Tentang Pemakaian

Serban Menurut Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA.

Demikian surat ini kami buat, Wtr dapat diketahui dan digunakan

sebagaimana mestinya.

Jakarta, l8 November 2017

Zm&,t6"
\7inffiilffi
Dr. Ahmad Lufti Fathullah, MA.
LAPORAN WAWANCARA

Nama : Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

Jabatan : Direktur Pusat Kajian Hadis Indonesia

Waktu Wawancara : 28 Desember 2017

Media Wawancara : WhatsApp Call

1. Assalamua’alaikum Wr. Wb ustdaz, saya Fahmi Hidayatullael, Mahasiswa

tingkat akhir UIN Jakarta program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, mengenai

tugas akhir saya membahas tentang hadis pemakaian serban, bolehkah saya

ingin menggali informasi melalui ustadz?

Jawaban:

Waalaikumussalaam Wr.Wb. wah tafadhol, silahkan.

2. Baik ustadz, sebelum ke pertanyaan inti,ada pertanyaan pendahuluan terlebih

dahulu ustadz, pertama mengenai profil ustad.

Jawaban:

Ya, silahkan, tafadhol.

3. Pertanyaan pertama mengenai biodata dan latar belakang keluarga ustadz,

boleh diceritakan ustadz?

Jawaban:
Saya lahir 25 Maret 1964 di Kuningan, Jakarta. Ayah saya bernama H.

Fathullah dan Ibu saya Hj. Nafisah. Kakek saya, kakek dari ibu, Abdul

Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qois, lahir sekitar tahun 1860 M, beliau

seorang ulama besar asli betawi di era awal 1900-an. Sedangkan Ibu saya

anak dari seorang ketua rombongan haji. Dulu Pada usia 14 tahun ibu saya

sudah merasakan pergi ke Masjid al-Haram. Saya sejak kecil sudah diajarkan

ilmu agama oleh keluarga saya. Karena orang tua ingin kelak saya menjadi

orang yang sukses seperti kakek yang menjadi seorang ulama.

4. Dimana tempat tinggal ustadz untuk saat ini?

Jawaban:

Saya tinggal di deket masjid ya, di komplek Masjid Baitul Mughni.

5. Kalau boleh tahu, mohon diceritakan mengenai latar belakang pendidikan

ustadz?

Jawaban:

Pagi saya sekolah di SDN 01 Kuningan Timur, Jakarta Selatan. Sorenya

Sekolah Diniyah terus Tsanawiyah-Aliyahnya di Gontor, saya memiliki

banyak memiliki teman di sana, karena saya sangat suka bergaul dengan

kawan-kawan. Sewaktu di Gontor pun saya mengikuti organisasi dan

bergabung dalam Klub Sepak Bola Darmajaya yang berada di Pondok

Pesantran Modern Gontor.

Setelah selesai di Gontor saya melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi

Assyafi’iyah. Namun tidak berjalan lama karena saya mendapatkan beasiswa

kuliah Strara-1 di Damascus University, Syiria. Di Damascus saya selalu

mengikuti kajian selepas salat subuh. Selalu menyempatkan waktu untuk


bertemu guru saya, untuk mengaji dan menyetorkan hafalan al-Qur’an. Dan

selain kuliah saya pernah menjadi cleaning service di Kedutaan Besar

Republik Indonesia (KBRI) pada sore hari. Tapi gak setiap hari, bergantian

dengan teman-teman. Masa pendidikan S1 di Damascus University

menghabiskan waktu kurang lebih empat setengah tahun.

S2-nya di Jordany University, Jurusan Hadis dan Tafsir. Saat saya kuliah di

Jordan kondisi di sanah tidak aman, sedang ada perang teluk sedang

berkecamuk. Karena berbahaya, maka waktu itu semua mahasiswa asing

dipulangkan ke negaranya untuk sementara waktu sampai kondisi aman. S3-

nya di Universitas Kebangsaan Malaysia, ngambil Jurusan Ilmu Hadis.

6. Boleh tahu tahun-tahunnya ustadz?

Jawaban:

Tahunnya, masuk Gontor itu tahun 1977-1978, tahun 1984 akhir ke

Damaskus, tahun 1985 baru kuliah, sampe 1989 S1-nya, 1990-1994 S2, 1995-

1999 S3-nya.

7. Boleh saya mengetahui karir ustad dalam mengajar?

Jawaban:

Pertama kali saya ketika berada di Malaysia, karena diwajibkan di sana. Terus

jadi asisten dosen pun pernah saya rasakan. Pulang ke Indonesia, saya mulai

mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 2000 setelah saya mendapat ijazah resmi

dari Universitas Kebangsaan Malaysia, baru deh saya mulai mengajar di

Sekolah Pasca-Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

hingga sekarang.
Sejak tahun 2001, saya diangkat menjadi pegawai negeri di Bandung, dan

menjadi dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, mengajar di

Fakultas Ushuluddin baik sarjana maupun pasca-sarjana nya.

Tahun 2002, saya mulai mengisi pelajaran hadis di Universitas al-Azhar

Jakarta sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun 2003 saya mengajar pasca-

sarjana di Universitas Indonesia hingga sekarang. Saya ngajar di Pendidikan

Kader Muballigh Al-Azhar saya pun menjadi dosen disana. tempatnya di

Kebayoran baru, Jakarta Selatan.

Saya juga menjadi Dosen pasca-sarjana Universitas Muhammadiyah

Tangerang, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Institut Ilmu Al-Qur’an

Jakarta, Program Interdiciplyneri Islamic Studies McGill Canada – UIN

Jakarta, Universitas Islam Ibnu Khaldun Bogor, Universitas al-Aqidah,

Jakarta.

Selain menjadi seorang dosen saya pun mengajar di SD dan SMPIT al-

Mughni Jakarta, yang tak jauh dari kediaman serta kantor saya Pusat Kajian

Hadis Jakarta.

8. Untuk saat ini karirnya boleh disebutkan ustadz?

Jawaban:

Untuk saat ini resminya dosen di UIN Bandung Fakultas Ushuluddin juga di

pascanya, pasca UIN Jakarta, Universitas Muhammadiyah Tangerang, dan

masih tercatat sebagai dosen pasca UI.

9. Kalau mengisi acara televisi atau di media massa ustadz?

Jawaban:
Kalau di media massa yang rutin di TVRI, Pada tahun 201. Membuat sebuah

acara yang bertema Hikmah pagi dalam Kajian Kitab Kuning Shahih

Bukhari. Tapi kalau di yang lainnya Trans TV dan Trans 7 itu tidak rutin.

10. Kalau karya-karya ustadz?

Jawaban:

Bisa dilihat di web pkh

11. Baik ustadz, langsung ke pertanyaan inti ya?

Jawaban: Iya

12. Menurut ustadz bagaimana cara memehami hadis yang benar?

Jawaban:

Memehami hadis yang benar dasarnya mulainya harus mencari keabsahan

hadisnya dulu apakah dia benar-benar hadis sahih atau tidak sahih, setelah

mengetahui sahih atau tidak sahih baru memahami teksnya tapi kalau

misalnya awal sekali bahwa hadis ini tidak sahih ya ga usah dipahami. Nanti

kalau udah sahih baru kita meneliti lebih lanjut ya, secara tekstual dulu,

secara tekstual bisa diterima atau tidak, setelah itu dilihat asbabul wurudnya,

setelah itu dilihat fiqhul hadisnya seperti apa.

13. Setelah mengetahui asbabul wurudnya ustad?

Jawaban:

Setelah mengetahui asbabul wurudnya, baru deh tuh fiqhul hadisya seperti

apa, nah silahkan eksplorasi disitu, karena awalnya kan kita melihat ke

shohihannya. Setelah ke shohihannya oke. Baru lihat teksnya, silahkan

terjemahkan dengan teksnya, silahkan pahami dengan tekstual. Ketika

mentok baru dengan kontekstual. Untuk bermain dengan kontekstual juga kita
lihat asbabul wurudnya jika ada. Dan ketika kita memahami hadis, tidak

boleh memahaminya dengan cara sendiri. Maksudnya hadis itu tidak boleh

berdiri sendiri, hadis itu pasti ada kaitannya dengan hadis-hadis yang lain.

Kebanyakan kesalahan orang adalah memahami hadis apa yang ada diteks ya

udah. Tanpa melihat ada hadis yang lian, yang mungkin di sini yang ‘am,

yang di sana khash atau yang di sini khash ada lagi hadis yang ‘am. Ada yang

di sini hadistnya mansukh atau ada lagi nasikh dengan hadis yang mansukh

yang mana, itu memahaminnya tidak boleh dengan satu hadis. Akan tapi

harus mengkompernya dengan hadis-hadis yang sama di bab yang sama.

14. Ada lagi ustdaz?

Jawaban:

Iya dieksplor terus. Itu prinsip dasarnya, prinsip dasar saya adalah tekstual

dulu, baru kemudian kontekstual. Ketika tekstual pun jangan menjadikan

hadis yang kita baca ini menjadi satu-satunya hadis, akan tetapi kalo mau

yang lebih sempurna kumpulkan semua hadis yang membahas tema yang

sama. Dan istilahnya kan fil bab ya, dengan bab yang sama, baru dilihat, baru

bisa di pahami.

15. Sudah ustad?

Jawaban:

Ya.

16. Untuk pertanyaan ke dua, menurut ustadz apakah memakai serban itu adalah

sunnah yang di anjurkan dan di aplikasikan, atau hanya budaya arab saja?

Jawaban:
Emmm bisa dua, dua sisi. Pada hakikatnya gini “Apakah Rasulullah memakai

serban? Dan Jawabannya Iya. “apakah serban ini menjadi sunnah, nah ini

pertanyaannya menjadi berbeda. Rasulullah pernah memakai serban, apakah

Rasulullah memerintahkan kita untuk memakai serban, jawabannya gak.

Rasulullah memakai sesuatu belum tentu beliau memerintahkan. Dan apakah

baik memakai serban? Ini kan bisa menjadi dua hal dalam konteks ke-Araban

dalam konteks ke-Madinah-an, di era tersebut semua orang memakai serban.

Serban fungsinya apa? sebagai penutup kepala iya, sebagai penutup muka iya.

Ketika terjadi badai, debu, badai debu itu orang agak sulit untuk berlindung,

berlindung di pohon, pohon jarang. Berlindung di batu, baju juga harus pergi

kemana gitu, nah jalan yang paling enak ya dengan serbannya, mereka

berlindung dari debu dengan serbannya.

Nah walhasil apakah bagus memakai serban? Ya bagus aja.

Boleh ngga pake serban? Boleh aja.

Apakah Rasulullah pake serban? Ya pake.

Apakah menjadi sunnah? Nggak gitu.

Nah nanti ketika orang pengen meniru Rasulullah beliau memakai serban ya

silahkan, silahkan pake serban, ingin meniru Rasulullah. Walhasil kan orang

jadi menghormati orang yang memakai serban, menghormati juga orang yang

gak memakai serban. Nah nanti ketika ingin mengatakan ya harus memakai

serban dong, kan Rasulullah memakai serban. Rasulullah betul memakai

serban, namun tidak mewajibkan, tidak memerintahkan orang untuk memakai

serban. Disini fleksibel touch-nya disitu. Ketika kita bisa menilainya dari dua

sisi maka enak banget tuh stadz, enak banget, sekarang saya pake serban, ya
alhamdulillah, gapapa bagus. Besok kalau saya gak peke serban, jangan

dikritik gitu, jangan dikiritik. Dan jangan menilai kesholihan seseorang lewat

serbanya. Nah silahkan. Silahkan. tapi Lagi-lagi jangan dikatakan itu bagian

dari yang merekat di agama.

Nah kan ini kan Rasulullah diterjemahkan dalam bahasa fiqih nya ada tiga :

ada beliau sebagai manusia biasa, ada beliau sebagai nabi, ada beliau sebagai

pemimpin. Nah ini beliau memakai serban itu sebagai apa? Apakah Sebagai

seorang pemimpin? Jawabannya ngggak. Sebagai manusia biasa, dalam

artian, gak masalah orang gak pake serban gak masalah. Gak mengurangi

kesalehannya gaka mengurangi keislamannya. Tapi kalau umpamanya itu

dijadikan atribut ya atau simbol kekiayian, simbol ketokohan ya itu

manusiawi, bukan agamawi. Nantikan kalau itu dijadikan sebagai agamawi

atau kesholihan seseorang itu tergantung dari serbannya maka gampang

banget ya orang pake serban, wah itu saleh banget ya. Nah orang maling pake

serban jadi orang saleh. Sedangkan orang saleh gak pake serban gak jadi

orang saleh. Nah itu kan gak bisa, gak bisa menilainya seperti itu. Gitu

ustadz.

17. Terima kasih ustadz, Kemudian apakah memakai serban sudah dilakukan

oleh orang Arab Jahiliah dulu, sehingga Nabi melanjutkan tradisi itu?

Jawaban:

Iya betul. Orang Arab sebelum zaman Nabi itu memakai serban, jadi serban

itu sebenarnya budaya orang Arab, yang saya katakan kondisi sosial

geografisnya tuh menuntut mereka untuk mengenakan serban. Kan panas

terus debu ya.


18. Selanjutnya tadz, apakah yang melatarbelakangi Nabi mengenakan serban?

Jawaban:

Kondisi budaya. Ya Nabi mau dibilang gimana juga ya tetap orang Arab,

tinggal di geografis yang seperti itu. Kaya kita nih memakai helm, apakah

pake helm tanda kesalehan sesorang? Ya gak. Pake helm untuk keselamatan.

Nah dulu keselamatan seseorang kan pake serban, untuk menghindari angin

dan debu. Nah kalau sekarang kan menghindari debu gak pake serban,

sekarang ini orang pake selampe, nah kita liat ojek rata-rata orang kan

memakai masker ya. Dulu-dulu kan orang gak pake masker. Ketika kondisi

jalan jakarta seperti ini membutuhkan masker. Bagus gak pake masker? Ya

bagus. Bagus gak pake serban? Ya bagus. Dengan kondisi tertentu.

19. Jadi kesimpulannya serban itu bisa budaya dan juga bisa sunah ya?

Jawaban:

Gak, dia budaya. Bukannya sunah Nabi. Dia dipake bukan karena sunah. Tapi

di pake oleh Nabi. Nah jadi kalo saya pake berpahala atau tidak, ya berpahala,

jika diniatin mengikuti Nabi. Tapi Kalo cuma pake serban doang ya gak

berpahala. Ya gak ada pahalanya, tapi jika mengikuti Nabi ya berpahala.

Apapun jika mengikuti Nabi maka ada pahalanya. Jadi kalo bahasanya itu

serban bukan sunnah bi dzâtihi, kalau solat sunnah qobliyah kan sunnah bi

dzâtihi, menyuruh. Kan kalau serban, Rasulullah gak menyuruh.

20. Baik ustdz, jadi serban itu sudah dipakai sejak zaman dahulu ya?

Jawaban:

Ya betul.
21. Lalu, apakah para Nabi sebelum Nabi Muhammad juga mengenakan serban,

ustadz?

Jawaban:

Kemungkinannya iya. Karena untuk perlindungannya ya. Ketika yang jadi

problem adalah namanya pakaian itu tidak mudah di zaman Rasulullah ya,

gak mudah orang memiliki serban, gak mudah orang memiliki baju, karena

minimnya tekstil yang ada. Sehingga hanya orang-orang tertentu yang

mampu memakai serban. Tapi itu menjadi kebutuhan? Iya, kebutuhan pribadi

masing-masing orang sesuai dengan kondisi alamnya.

22. Selanjutnya ustadz, bagaimana cara Nabi memakai serban?

Jawaban:

Nah cara Nabi memakai serban adalah cara Arab. Apakah di selempangin

atau dililit-lilit nah itu budaya Arabnya tadz, karena Rasulullah kan gak

mengajarkan secara detailnya ya. Nah bagaimana memakai sarung? Harus

memasukan kesini-kesini, nah Rasulullah tidak mengajarkan dengan detail,

karena itu bukan bagian dari agama. Tapi itu dari kebutuhan manusia. Kalau

mandi itu kebutuhan dari luar agama. Misalnyan pake sarung paling

istilahnya sebelah kanan Rasulullah selalu memulainya sebelah kanan. Paling

itu kaidah umum ya bukan kaidah serban. Nah apakah Rasulullah di musim

panas atau musim dingin pakenya sama? Ya jelas beda. Masing-masing orang

Arab meliliki modelnya tersendiri. Jika musim panas ia pakenya seperti ini,

ketika musim dingin ia pakenya berbeda lagi.


23. Bagaimana menurut pendapat ustadz mengenai hadis yang membicarakan

bahwa Nabi mengenakan serban hitam ketika masuk ke kota Mekah pada hari

Fath Makkah?

Jawaban:

Ya gak menjadi masalah. Jadi apakah memakai pakaian hitam itu wajib? Kan

jadi tidak menjadikannya wajib. Rasulullah memakai pakaian merah, Rasul

memakai pakaian coklat, Rasul memakai pakaian putih, kan pakaiannya

hanya dibilang begini “Ashabul Khomis”. Pakaian yang paling disenangin

adalah pakaian putih, kata Ibnu Abbas seperti itu. Nah Rasulullah sangat

senang memakai baju putih. Nah apakah Rasulullah mewajibkan orang

memakain baju putih? Ya gak. Ketika Rasul masuk ke Mekah pake serban

hitam, apakah wajib memakai pakaian berwarna hitam? Ya gak. Itu

kondisional. Ketika orang perang, tentara perang pakaiannya seperti itu, ya itu

pakaiannya tentara. Nah waktu Rasulullah Fath Makkah itu beliau sebagai

tentara, panglima tentara atau sebagai Nabi biasa, karena saat itu dikaitkan

dengan perang.

24. Menurut ustaz bagaimana kualitas hadis yang membahas tentang serban?

Jawaban:

Tidak semua hadis tentang serban itu sahîh. Boleh jadi ada hadis tentang

serban yang sahîh ada juga hadis yang da’îf. Kalau tentang Nabi memakai

serban itu sahîh, tapi kalau tentang salat pakai serban pahalanya segini segini

itu da’îf.

25. Selanjutnya ustadz, menurut ustadz bagaimana penggunaan serban di

Indonesia?
Jawaban:

Di Indonesia kan ada tradisi tertentu ya, tradisi pake serban. Ada lagi tradisi

pake serban kalau sudah pergi haji. Kalau khatib pake serban. Nah ini kan

tradisinya berbeda-beda. Nah ini budaya banget ya, beragam banget. Menurut

saya biarkan saja masyarakat menggunakannya, asal tidak dijadikannya

sebagai hukum. Seperti apa? Sebagai contoh, misalnya, seorang khatib tidak

sah kecuali memakai serban. Nah ini yang salah. Kalau dia mengatakan gak

sah karena serbannya, atau gimna sih udah pak haji kok belum atau gak

memakai serban. Itu bukan hukum, tapi itu budaya. Nah kalau ustadz

ditentukan dengan serban, itu yang salah. Ustadz itu keilmuan bukan serban.

Ustadz atau kiai atau ulama bukan ditentukan dari pakaiannya tapi dari

ilmunya, bukan pakaiannya. Kalo dari pakaiannya kita bisa bedain orang

Indonesia dengan orang Arab, beda, orang Indonesia dengan orang Yaman,

beda. Biarkanlah orang Indonesia dengan budayanya. Biarkanlah orang

Yaman dengan bedayanya. Nanti orang Turki beda lagi, orang Cina beda lagi

dengan Cina yang muslim, juga beda lagi.

26. Menurut ustadz, apakah serban bisa digantikan dengan benda lain, seperti:

kopiah, peci dan atau belangkon?

Jawaban:

Bisa. kalau peci kan modelnya beda-beda tuh. Kalau serban dengan peci kan

beda. Kalau peci itu kan belangkon ya. Asal tidak ada makna-makna tertentu.

Contohnya makna buntelan yang di belangkon itu ada makna mistisnya atau

tidak, kalau tidak ada makna mistisnya maka boleh. Kan berbeda peci kita

dengan peci Maroko, dengan Arab pun berbeda, mereka bundar, kita lonjong.
Nah biarkan aja itu menjadi budaya, bukan agama. Yang agamanya kan

menutup kepala dengan benda. Bendanya itu apa? Seperti peci. Nah pecinya

juga bermodel-model, peci Mesir beda, peci Maroko beda.

27. Jadi apakah mengenakan peci nilainya sama seperti mengenakan serban?

Jawaban:

Paci dengan serban jelas berbeda. Tapi hukumnya sama. Dia bukan bagian

dari agama. Kalau ada hadis yang mengatakan salat memakai peci pahalanya

lebih besar, itu bukah hadis sahîh, tadz. Memakai peci pahalanya lebih besar

sekian kali dibanding ibadah tertentu, nah itu hadisnya palsu, tadz.

Anda mungkin juga menyukai