Anda di halaman 1dari 173

DIMENSI MAKNA DZIKR ULIL ALBÂB

DALAM AL-QUR’AN:
STUDI ATAS PEMIKIRAN M. DAWAM RAHARDJO

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Faris Maulana Akbar
NIM: 1113034000004

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
DIMENSI MAKN A DZIKR TILil ALB,4B
DALAM AL-QUR'AN
STUDI ATAS PEMIKIRAN M. DAWAM RAIIARDJO

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin


untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agarna (S.Ag)

Oleh:
Faris Maulana Akbar
I\IM: 1113034000004

Pembimbing

k/ I
Kusmana. Ph.D.
llIP : 19650 424lgg 503lOOl

PROGRAM STUDI ILMU AL.QUR'AN DAN TAFSIR


F'AKULTAS USHULUDDIN
UNIYERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
t43g H./2018 M.
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi yang berjudul *Dimensi Makna Dzikr AH Atbilb dalam al-

Qur'an: Studi atas Pemikiran M. Dawam Rahardjo" ini merupakan


hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu posyaratan

memproleh gelar strata 1 di LIIN Syarif Hidayatullah lakafia.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yalg berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

25 Mei 2018
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

Skripsi berjudul DIMENSI MAKNA DZIKR ULIL ALBAB DALAM AL-


QUR'AN: STUDI ATAS PEMIKIRAN M. DAWAM RAHARDJO diajukan kepada
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam ujian
munaqasyahpada 06 Juni 2018 di hadapan dewanpenguji Skripsi ini telah diterima sebagai
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu al-Qur'an dan
Tafsir.

Ciputat, 03 Juli 2018

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

adinata. MA.
008 198903 100s NIP. 19680618 i99903 2001

Penguji I,

Muslih Nur Hadan. M.As.


NIP. 196009008 198903 r00s NIP. 19721 024 2003t2 1002

Pembimbing,

/
Krrsmana. Ph.D.
NtP. 19650424 199503 t00l

ii'i"
ABSTRAK

Faris Maulana Akbar


Dimensi Makna Dzikr Ulil Albâb dalam al-Qur’an: Studi atas Pemikiran M.
Dawam Rahardjo

Penelitian ini mengkaji pemikiran M. Dawam Rahardjo atas dimensi


makna dzikr pada ayat-ayat ulil albâb. Konsep ulil albâb dalam al-Qur’an yang
dirumuskan sebagai sosok manusia ideal ini sebenarnya telah dibahas oleh
beberapa pengkaji al-Qur’an, baik dari kalangan mufassir klasik hingga
kontemporer. Dalam kajian tafsir, umumnya mereka mengkaji konsep tersebut
secara normatif dan sedikit sekali yang mengkajinya secara aplikatif. Di antara
yang sedikit itu terdapat M. Dawam Rahardjo, seorang ekonom dan aktivis sosial
yang mengkaji konsep ulil albâb secara normatif-aplikatif dengan nalar tafsîr
ijtimâ’î-nya sehingga konsep ulil albâb dibawa ke ranah pemaknaan sosial.
Di Indonesia, ulil albâb dikenal sebagai “cendekiawan muslim”. Salah
satu konsep cendekiawan muslim adalah konsep dzikr-fikr. Sebagai ulil albâb,
cendekiawan muslim dianggap memiliki kualitas dzikir dan pikir. Konsep inilah
yang menjadi salah satu bahasan utama M. Dawam Rahardjo dalam mengkaji ulil
albâb. Terkait hal ini, di dalam Ensiklopedi al-Qur’an ia kemudian berspekulasi
bahwa bagi ulil albâb dzikir adalah pikir dan pikir adalah dzikir. Artinya, setiap
kali berdzikir, ulil albâb juga berpikir dan setiap kali berpikir, mereka juga
berdzikir. Spekulasi ini bermasalah karena umumnya dzikir berkaitan dengan hati
dan pikir berkaitan dengan akal. Bagaimana bisa M. Dawam Rahardjo
berspekulasi seperti itu? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab dalam penelitian
ini.
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif-analitik.
Sementara itu, pengumpulan data dilakukan dengan metode tematik agar
mendapatkan hasil yang koheren dan komprehensif. Ensiklopedi al-Qur’an
karangan Dawam dipilih sebagai sumber primer sedangkan kitab-kitab tafsir,
buku, serta jurnal dipilih sebagai sumber sekunder. Segala sumber tersebut
berkaitan dengan penafsiran makna dzikr ulil albâb dan juga perihal wacana
cendekiawan muslim.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa tidak ada masalah dengan
spekulasi M. Dawam Rahardjo. Hanya saja, pada kasus ini, M. Dawam Rahardjo
mengkontekstualisasikan makna dzikr dari yang sebelumnya identik dengan
kegiatan spiritual kemudian ia bawa ke ranah yang lebih rasional, yaitu pikir. Hal
ini tidak terlepas dari konteks wacana ulil albâb yang berkembang saat itu,
terutama mengenai eksistensi cendekiawan muslim dan peranannya dalam
mengayomi umat yang terejewantahkan ke dalam sebuah organisasi besar
bernama Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).

Kata kunci: ulil albâb, dzikr, M. Dawam Rahardjo, dzikir-pikir

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, al-rahmân

(Yang Maha Pengasih), al-rahîm (Yang Maha Penyayang), dan al-hâdî (Yang

Maha Pemberi Petunjuk). Berkat hidâyah dan inâyah-Nya penulis mampu

merampungkan penelitian ini. Salawat serta salam penulis haturkan kepada

Rasulullah Muhammad Saw, selaku al-insân al-kâmil, seorang ulil albâb yang

telah memberikan suri teladan yang baik bagi umatnya. Semoga kita senantiasa

mengikuti sunnah sehingga mendapatkan syafâ’at-nya. Amin.

Penyusunan skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan,

arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir yang senantiasa menyemangati para mahasiswanya untuk

menyelesaikan studi tepat waktu dan mensahkan proposal ini sehingga

diterima dalam rapat persetujuan proposal;

4. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an

dan Tafsir dan Kak Hani Hilyati, S.Th.I. yang telah membantu dalam

administrasi penelitian ini;

v
5. Bapak Kusmana, Ph.D. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh ketelitian dan

kesabaran. Berkat bimbingan beliau, penulis memiliki pandangan baru

dalam membaca realitas keberagamaan dan banyak mengetahui hal-hal

penting dalam penelitian ilmiah dan metode penyajiannya;

6. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir atas segala motivasi,

ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang

mendorong penulis selama menempuh studi, terutama Bapak Dr. Abdul

Moqsith Ghazali, MA. selaku Dosen Pembimbing Akademik, serta seluruh

staf Fakultas Ushuluddin;

7. Seluruh guru penulis, terutama mahaguru KH. Moh. Zuhri, BA. dan Prof.

Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, yang telah mengajarkan dan mendidik

penulis banyak hal, sehingga penulis mengenal Islam sebagai agama yang

benar dan masuk akal;

8. Keluarga penulis, Bapak Hasyim Asyari dan Mamak Dawiyah, serta Mas

Nurul yang tak bosan mendoakan dan menyemangati penulis. Semoga

mereka dipanjangkan umurnya, senantiasa diberikan kesehatan, dan

semoga segala jerih payahnya dibalas dengan sebaik-baiknya pahala oleh-

Nya;

9. Komunitas SAUNG yang telah membentuk nalar berpikir penulis,

terutama kepada Kak Anas, Hilmy Firdausi, dan M. Syarofuddin Firdaus.

Berkat kajian di komunitas inilah penulis mengenal filsafat dan

mendapatkan treatment berpikir secara manhaji. Semoga komunitas ini

tetap eksis dengan ke-manhaji-annya;

vi
10. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2013 UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, khususnya teman-teman ATHA yang telah bersama-sama

berjuang selama bangku kuliah;

11. Teman-teman mentor kelas Hermeneutik-Semiotik: Bang Yazid, Bang

Irfan, Salman, Rino, Dewi, dan Nurul yang dengan sukarela membagi

pengalaman dan ilmunya;

12. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Skripsi ini adalah salah satu upaya penulis untuk lebih memahami ayat-

ayat-Nya sehingga bisa diamalkan dalam kehidupan nyata. Dengan memohon

ampunan kepada Allah Swt atas kesalahan-kesalahan yang ada serta berharap

akan taufiq dan hidâyah-Nya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bisa

bermanfaat, khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Ciputat, 24 Mei 2018

Faris Maulana Akbar

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ت‬ T Te

‫ث‬ Ts te dan es

‫ج‬ J Je

‫ح‬ H h dengan garis di bawah

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Dz de dan zet

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z zet

‫س‬ S es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ S es dengan garis di bawah

‫ض‬ ḏ de dengan garis di bawah

‫ط‬ ṯ te dengan garis di bawah

‫ظ‬ ẕ zet dengan garis di bawah

‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

viii
‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ف‬ F ef

‫ق‬ Q ki

‫ك‬ K ka

‫ل‬ L el

‫م‬ M em

‫ن‬ N en

‫و‬ W we

‫ه‬ H ha

‫ء‬ ` apostrof

‫ي‬ Y ye

2. Vokal Tunggal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


A fathah
I kasrah
‫و‬ U ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ي‬ Ai a dan i
‫و‬ Au a dan u

ix
3. Vokal panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ا‬ â a dengan topi di atas
‫ي‬ î i dengan topi di atas
‫و‬ û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-

syamsiyyah, al-rijāl bukan ar-rijāl.

5. Tasydīd

Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-

turut, seperti ‫سنَّة‬


ُ ‫ = ال‬al-sunnah.

6. Ta marbūṯah

Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti ‫ = أبو ه َُري َْرة‬Abū Hurairah.

7. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,

bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti ‫ = البخاري‬al-Bukhāri.

x
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................i


LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..................................................................iii
ABSTRAK ...............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................xi

BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...............................................................1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................10
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...........................................12
D. Tujuan Penelitian ..........................................................................13
E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian .................................................13
F. Tinjauan Pustaka ...........................................................................14
G. Metodologi Penelitian ....................................................................18
H. Sistematika Penulisan ....................................................................22

BAB II. BIOGRAFI M. DAWAM RAHARDJO:


LATAR BELAKANG, PEMIKIRAN & KARYA-KARYANYA
A. Latar Belakang ..............................................................................24
1. Keluarga ...................................................................................24
2. Pendidikan .................................................................................27
3. Organisasi, Karir, dan Pengaruhnya pada Pemikiran M.
Dawam Rahardjo.......................................................................29
B. Karya-karya M. Dawam Rahardjo .................................................35
C. Pemikiran M. Dawam Rahardjo ....................................................37
1. Pandangan M. Dawam Rahardjo Terhadap al-Qur’an.............42
2. Metode Tafsir M. Dawam Rahardjo ........................................46
3. Tanggung Jawab Sosial Cendekiawan Muslim .......................50

xi
BAB III. DZIKR DAN ULIL ALBÂB: PENGERTIAN DAN TAFSIR
A. Konsep Dzikr dalam al-Qur’an .....................................................52
1. Pengertian Dzikr ........................................................................52
2. Term Dzikr ...............................................................................55
B. Konsep Ulil Albâb ........................................................................61
1. Pengertian Ulil Albâb ................................................................61
2. Karakteristik Ulil Albâb dalam al-Qur’an .................................65
C. Tafsir Dzikr pada Ayat-ayat Ulil Albâb .........................................68
1. Dzikr dan Ulil Albâb dalam al-Qur’an ......................................68
2. Tafsir Lafadz Dzikr pada Ayat-ayat Ulil Albâb ........................70
a. Yadzkurûna..........................................................................70
b. Yatadzakkaru dan Yadzdzakkaru ........................................76
c. Dzikr ....................................................................................86
d. Dzikrâ ..................................................................................87
3. Skema Dzikr Ulil Albâb ............................................................91

BAB IV. DZIKIR DALAM PIKIR: MENELAAH MAKNA ULIL


ALBÂB DALAM PANDANGAN M. DAWAM RAHARDJO
A. Konsep Ulil Albâb Menurut M. Dawam Rahardjo .......................97
B. Hubungan antara Konsep Ulil Albâb dan Konsep Cendekiawan
Muslim ...........................................................................................105
1. Konsep Cendekiawan ...............................................................105
2. Konsep Cendekiawan Muslim ..................................................111
3. Fenomena Kelahiran ICMI dan Amanah Cendekiawan ...........116
C. Dzikir dalam Pikir: Relevansi Pandangan M. Dawam Rahardjo
atas Ulil Albâb dengan Konteks Indonesia Modern ......................120
D. Refleksi Pemikiran M. Dawam Rahardjo untuk Era Kekinian ......132

BAB IV. PENUTUP


A. Kesimpulan ...................................................................................138
B. Saran-Saran ...................................................................................139

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................142

LAMPIRAN

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ulil Albâb merupakan gabungan dua kata dari ulû (punya)1 dan albâb (akal).2

Gabungan dua kata ini seringkali diartikan “yang memiliki akal”. Albâb adalah

bentuk jamak dari lubb ( ‫ ) لب‬yang bisa bermakna “saripati sesuatu”, “akal”, dan

“racun”.3 Pada dasarnya, gabungan huruf lâm dan ba’ ( ‫ ) لب‬mempunyai makna asal
4
kelanggengan dan ketetapan serta kemurnian dan kebaikan. Namun, dalam

pemaknaan ulil albâb, makna lubb pertama yang digunakan. Sebagai contoh lubb,

dalam Tafsir al-Mishbah Quraish Shibab memberi permisalan kacang. Kacang

memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang inilah yang dinamai lubb. 5

Pemaknaan lubb sebagai saripati sesuatu mengindikasikan ulil albâb adalah orang-

orang yang memiliki kemampuan mengetahui intisari sesuatu.

Lubb juga bisa berarti otak, pikiran, intelek. 6 Ulil albâb berarti seorang yang

memiliki pemikiran yang lebih dari orang lain, baik karena kecerdasan maupun

intensitasnya. Maka dari itu, ulil albâb adalah seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-

cendekia, atau seorang filosof yang berpikir mendalam.7

1
Majma’ al-Lughghah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, cet. 5 (Jeddah: Maktabah Kunûz al-
Ma’rifah, 2011), h. 23.
2
al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, h. 842.
3
Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ al-Râzî (w. 395 H), Maqâyîs fî al-Lughghah,
cet. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h.934
4
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), v. 1, h. 369.
6
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
7
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, cet. 4 (Bandung:
Penerbit Mizan, 1999), h. 76.

1
2

Di Indonesia, istilah ‘ulil albâb’ sebenarnya sudah lumrah dan dimaklumi

sebagai nama seseorang. Sebagaimana halnya kata ulil absâr dan ulin nuhâ, ulil

albâb adalah nama yang populer dipakai oleh sebagian umat muslim. Selain

penggunaannya sebagai nama, penulis tidak merasakan ada suatu keistimewaan atau

masalah dengan kata tersebut. Terkecuali, hanya bila ulil albâb tersebut dikaitkan

dengan sesuatu yang memiliki maknanya tersendiri, al-Qur’an misalnya.

Pada saat duduk di kelas akhir madrasah tsanawiyah, adalah Pak Hakim,

seorang ustadz di pesantren, yang mengenalkan pertama kali ulil albâb sebagai sosok

manusia istimewa. Saat itu, Pak Hakim sering menyebut-nyebut istilah tersebut dan

tak lupa membacakan akhir surat Âli ‘Imrân ayat 190-191. Kepada kami, ia

senantiasa mengajak agar menjadi “ulil albab” sebagaimana tertera dalam ayat, yakni

seorang yang selalu berdzikir kepada Rabb Yang Maha Kuasa seraya bertafakur

memikirkan alam jagad ciptaan-Nya.

Setamat tsanawiyah, penulis meneruskan pendidikan ke tingkat aliyah. Pada

jenjang ini, untuk kedua kalinya penulis dikenalkan pada sosok ulil albâb. Adalah

Pak Muchtar yang tak bosan mengingatkan kami untuk mentadabburi alam,

mengambil pelajaran dari segala ciptaan Tuhan dan tak lupa berdzikir pada-Nya agar

senantiasa bertakwa. Ayat yang dijadikan pijakan olehnya sama seperti yang

dibacakan oleh Pak Hakim, yakni Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191.

Berihwal dari sini, penulis mulai bertanya-tanya siapakah sebenarnya sosok

ulil albâb. Apakah ia seorang kiai, ustadz, guru, professor, atau bahkan seorang yang

hebat dengan akal sempurna yang dengan segenap ilmu yang dimilikinya menjadi

sakti mandraguna? Atau ia bisa jadi seorang manusia biasa yang senantiasa berdzikir
3

pada Tuhan dan memikirkan segenap ciptaan-Nya? Apakah ulil albâb benar-benar

ada? Atau hanya mitos belaka?

Sayangnya, meski saat Aliyah telah mendapat mata pelajaran tafsir, penulis

tidak memiliki hasrat untuk mengenal lebih jauh sosok ulil albâb yang sering

dikaitkan dengan Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191 itu. Hanya saja, dalam benak penulis

telah tergambar ulil albâb sebagai sosok yang paripurna karena dapat menyatukan

daya pikir dan dzikir sehingga mendatangkan ketakwaan pada dirinya.

Beberapa tahun kemudian, dalam suatu perkuliahan, salah seorang dosen

menjelaskan bahwa ulil albâb pernah menjadi sebuah wacana yang populer di era

1990-an. Pada masa ini, ulil albâb dikenal sebagai cendekiawan muslim. Ayat 190-

191 surat Âli ‘Imrân lagi-lagi menjadi semacam “dalil” khusus yang menggambarkan

sosok cendekiawan ini. Apalagi setelah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-

Indonesia (ICMI) 8 , ayat-ayat ulil albâb semakin sering diperdengarkan. Ayat-ayat

tersebut selalu dibacakan pada setiap kegiatan ICMI. Berlandaskan ayat-ayat itulah

ulil albâb (cendekiawan muslim) kemudian dipahami sebagai sosok yang dalam

dirinya terintegrasi tiga daya, yakni: dzikir, pikir, dan amal. Selain itu, pada masanya,

cendekiawan muslim ini (terutama kehadiran ICMI) dielu-elukan dan menjadi

harapan umat muslim bangsa Indonesia untuk beranjak dari keterpurukan. Untuk

mengetahui lebih banyak tentang ulil albâb/cendekiawan muslim ini, dosen penulis

8
ICMI didirikan di Malang, pada hari Jumat tanggal 07 Desember 1990. Organisasi ini
berpusat dan berkedudukan hukum di ibu kota Negara Republik Indonesia. Organisasi ini bertujuan
meningkatkan mutu kecendekiawanan dan peran serta cendekiawan muslim se-Indonesia dalam
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undah-Undang Dasar 1945
guna mewujudkan tata kehidupan manusia yang damai, adil sejahtera lahir batin, yang diridhai Allah
Swt. Lihat Anggaran Dasar ICMI dalam kumpulan tulisan: Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan
Umat, cet. 1 (Jakarta: YPI Ruhama, 1991), h. 269.
4

lantas menyarankan agar membaca buku karangan M. Dawam Rahardjo berjudul

Ensiklopedi al-Qur’an.

Setelah mengecek Ensiklopedi al-Qur’an, ternyata M. Dawam Rahardjo tidak

hanya sekadar menulis “seadanya” tentang ulil albâb. Dia bahkan menjadikan ulil

albâb sebagai salah satu tema pokok bahasan tersendiri dalam satu bab yang cukup

panjang. Pada permulaan bab berjudul Ûlû al-Albâb itu, Dawam menerangkan bahwa

di awal perkembangannya, ICMI melakukan pencarian jatidirinya antara lain dengan

mencari pengertian tentang apa itu “cendekiawan” dan “cendekiawan muslim” dalam
9
al-Qur’an. Sayangnya mereka kesulitan menemukan istilah yang tepat. Ada

sementara orang pada waktu itu mengartikan cendekiawan dengan istilah

‘âlim/’ulamâ’. Istilah ini dianggap kurang tepat karena anggapan umum saat itu

ulama adalah orang yang ahli agama saja. Baru setelah tulisan Ismail Ya’kub muncul,

ia menemukan bahwa ulil albâb merupakan pengertian esensial tentang

“cendekiawan muslim”.10

Dawam kemudian menjelaskan, terkait jatidiri “cendekiawan muslim” istilah

ulil albâb sebenarnya sudah sering disebut jauh hari sebelum kelahiran ICMI di

penghujung tahun 1990 dalam kalangan terbatas. Beberapa tokoh kondang acap kali

9
Di sini dapat kita lihat bagaimana al-Qur’an menjadi rujukan utama bagi umat muslim. Perlu
diketahui bersama, mungkin ini merupakan kejadian yang biasa terjadi, yakni mencari “dalil” atas
sesuatu pada al-Qur’an karena ia berfungsi sebagai al-hudâ (pemberi petunjuk). Lihat: Mannâ’ Khalîl
al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, cet. 10 (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 18.
Namun, terkait pencarian padanan kata “cedekiawan muslim” oleh ICMI ini, mungkin termasuk
fenomena “islamisasi” yang marak terjadi di era tersebut. Islamisasi ini menjadi tren pada tahun 1990-
an. Hal ini ditandai dengan kecenderungan untuk mengislamisasikan segala bidang seperti: media
Islam, musik Islam, yang hanya dikonsumsi oleh umat Islam, bahkan hanya segolongan kecil saja.
Akibatnya, terjadi alienasi yang menyebabkan terhambatnya kreativitas. Lihat: Diro Aritonang,
“Institusi Membuat Cendekiawan Muslim Steril?”, sebuah artikel yang dimuat Pikiran Rakyat
(21/12/1990) dalam kumpulan tulisan: Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 150
10
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 551-552.
5

mengutip istilah tersebut. Mereka adalah Dr. Ir. Muhammad Imaduddin Abdurrahim,

K.H. Ali Yafie, Dr. Ir. M. Amin Aziz, Prof. Dr. Quraish Shihab dan M. Chabib

Chirzin. Bahkan, sebuah pesantren di Bogor yang dipimpin oleh Dr. Ir. A. M.

Saefuddin dinamakan Pesantren “Ulil Albab”.11 Ia menambahkan:

“Dalam diskursus tentang cendekiawan muslim, orang cenderung


ingin mengkombinasikan unsur-unsur ‘ulama’ dan pemikir. Ketika
ditemukan istilah ûlû al-albâb-yang memang merupakan ‘penemuan’ baru di
Indonesia dalam diskursus keagamaan itu-agaknya ditemukan kombinasi itu.
Sebenarnya jika kita mau meneliti, ‘ulama’ itu tidak hanya menyangkut
pengetahuan agama saja, melainkan juga pengetahuan pada umumnya.
Tetapi pengertian baku yang berkembang dalam masyarakat telah menjurus
kepada pengertian itu. Karena itu orang cenderung mencari istilah lain
seperti ûlû al-albâb. Hanya saja kata ûlû al-albâb tersebut agak sulit
dilafalkan oleh lidah Indonesia sehingga hanya disebut di lingkungan
12
khusus.”

Menilik penjelasan Dawam di atas, tampak bahwa penggunaan istilah ulil

albâb merupakan upaya penyatuan antara ulama dan pemikir, atau agama dan sains,

atau dalam konteks ayat 190-191 surat Âli ‘Imrân disebut sebagai perpaduan antara

“dzikir” dan “pikir”. Oleh karenanya, ulil albâb dibayangkan sebagai sosok yang ahli

dzikir yang berpikir atau ahli pikir yang berdzikir. Dari uraian tersebut juga dapat

diketahui bahwa masyarakat Indonesia mempunyai pandangan sendiri dengan kata

“ulama” yang sebenarnya berarti “ahli ilmu” (diambil dari bentuk mufradnya: ‘âlim)

sebagai hanya “ahli agama” saja. Jadi tidak mengherankan apabila kehadiran

cendekiawan muslim alias ulil albâb diharapkan membawa angin segar dalam

keberagamaan di Indonesia.

Mengenai istilah “cendekiawan” sendiri, merujuk Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata tersebut diartikan sebagai “orang yang terus-menerus meningkatkan

11
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 552.
12
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 552-553.
6

kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu”. Kata

tersebut berasal dari kata “cendekia” yang antara lain berarti “cepat mengerti situasi

dan pandai mencari jalan keluar”. 13 Berlandaskan pengertian ini, menurut M. Quraish

Shihab, sifat dan peranan cendekiawan dapat ditemukan dari sejumlah ayat yang

menggunakan kata “ilmu’ atau “ulama” dan ulil albâb. 14 Hal ini menunjukkan bahwa

cendekiawan selalu identik dengan keilmuan, daya pikir, dan hal-hal yang berkaitan

dengan aktifitas berpikir.

Kata “ilmu” dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali15 dalam al-

Qur’an. Dengan jumlah penyebutan sebanyak itu didapati bahwa al-Qur’an

menekankan keharusan bagi ilmuwan untuk bersikap khasyyah (takut), istilâm

(berserah diri kepada Allah), infitâh (keterbukaan 16 ), dan insaniyah (mengabdikan

ilmu untuk kemanusiaan tanpa pandang bulu agama, ras, atau bangsa).

Sementara itu, kata “ulama” disebut sebanyak dua kali saja. Pertama, ulama

disebut dalam konteks ajakan memerhatikan fenomena alam (Q.S. 35: 28). Kedua,

ulama dikemukakan dalam konteks uraian tentang kebenaran Kitab Suci (Q.S. 26:

197). Berdasarkan dua ayat tersebut, Quraish memandang bahwa cendekiawan adalah

“orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Tuhan yang tertulis dalam Kitab

13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. 1
(Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 258
14
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. 2 (Bandung:
Mizan Media Utama, 2008), h. 295.
15
Dalam penjelasannya Quraish mengungkapkan bahwa jumlah ini termasuk kata-kata lain
yang semakna dengan kata “ilmu”. Lihat: Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 295.
16
Mereka seharusnya bersedia memberi dan menerima dari dan untuk siapa pun tanpa
mempertimbangkan usia atau lokasi. Hal ini menunjukkan sikap keobjektifan mereka sebagai
ilmuwan. Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 295.
7

Suci dan atau yang terhampar di alam raya”. 17 Berdasarkan pemahaman ini, dapat

diakui bahwa “cendekiawan” yang disaripatikan dari kata “ulama” dalam al-Qur’an

adalah “ulama” dan atau “ilmuwan” yang dikenal umum dewasa ini.18

Terakhir, istilah ulil albâb disebut sebanyak 16 kali dalam al-Qur’an. Merujuk

pada surat Âli ‘Imrân ayat 190-195, ditemukan bahwa cendekiawan adalah mereka

yang memiliki tiga ciri utama, yaitu berdzikir, memikirkan atau mengamati fenomena

alam, dan berkreasi. 19 Dari sini, kita dapat melihat yang membedakan antara

penyebutan “ulama” dan “ulil albâb” adalah aktifitas “dzikir”.

Berdasarkan tiga sebutan (ilmu, ulama, dan ulil albâb) dalam al-Qur’an

sebagaimana di atas, Quraish menyimpulkan bahwa ada dua tuntutan besar yang

dimiliki oleh para cendekiawan. Tuntutan pertama adalah mempelajari Kitab Suci

untuk memahami, menyebarluaskan, dan menerapkan nilai-nilainya di masyarakat

yang memiliki beragam kebutuhan dan permasalahan. Kedua, selain memahami ayat

dalam Kitab Suci, cendekiawan juga harus mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya

baik mikro (diri sendiri atau perkelompok) ataupun yang makro (fenomena alam)

lantas berkreasi. Mereka harus senantiasa peka terhadap realita-realita alam dan sosial

17
Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 295.
18
Yang dimaksud penulis di sini adalah “ulama” sebagai orang yang tahu dan ahli dalam ayat-
ayat Tuhan dalam Kitab Suci (agama) dan “ilmuwan” sebagai orang yang tahu dan ahli dalam ayat-
ayat Tuhan yang terhampar di alam raya (sains). Tak jarang dua sosok cendekiawan ini “dibenturkan”
sehingga terjadi pendikotomian yang menyebabkan anggapan bahwa “ulama” hanyalah sebutan bagi
yang paham agama saja, bukan sains. Sejauh pengamatan penulis, pendikotomian tersebut juga
menyebabkan anggapan bahwa “ulama” itu kolot, sedangkan “ilmuwan” itu modern atau ulama tidak
pantas berbicara mengenai sains begitu pula ilmuwan tidak berhak mencampuri urusan keagamaan.
Hal ini lebih terasa seperti sekularisasi antara ilmu dan agama. Lihat: Ahmad M. Saefuddin,
Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi cet.3 (Bandung: Mizan, 1991), h. 7.
19
Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 296.
8

dan siap melaksanakan peran mereka dalam merumuskan atau mengarahkan tujuan-

tujuan mereka seraya memberi contoh pelaksanaan dan sosialisasinya.20

Sebagaimana telah diterangkan, al-Qur’an menyebut ulil albâb sebanyak

enam belas kali.21 Jumlah ini lebih banyak dibanding penyebutan istilah lain yang

hampir serupa semisal ulil absâr, ulin nuhâ, atau ulil ‘ilm. Padahal, bila dilihat dari

segi maknanya, sebutan ulil albâb, ulil absâr, dan ulil ‘ilm itu hampir sama, yaitu ulil

albâb (orang berpikir), ulil ‘ilm (orang berilmu), ulil absâr (orang yang mempunyai

pandangan), ulun nuhâ (orang bijaksana).22 Di antara sebutan-sebutan ini, ulil albâb

adalah sebutan yang paling sering muncul dan merupakan sosok yang paling komplit

dibanding yang lain. Bahkan bisa dikatakan bahwa ulil albâb adalah gabungan dari

sosok “ulil-ulil” yang lain.23 Fakta ini sudah cukup menjadi alasan untuk mengetahui

lebih jauh siapa sebenarnya sosok cendekiawan muslim yang dulu pernah dielu-

elukan tersebut.

Masih terkait sifat/kriteria ulil albâb, salah satu yang membedakannya dengan

yang lain adalah sifat dzikr. Dari 16 penyebutannya dalam 10 surat yang berbeda,

beberapa ayat menyatakan bahwa hanya ulil albâb-lah yang bisa berdzikir. 24

20
Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 296. Bila berpijak pada penafsiran ini, adalah hal yang lumrah
bila kemunculan cendekiawan muslim sangat didambakan oleh umat muslim. Tentu tidak hanya
muncul saja, umat berharap agar para cendekiawan muslim tersebut melakukan hal-hal konkret dalam
upaya islâh alias perbaikan kesejahteraan umat. Dalam konteks keindonesiaan menjelang akhir abad
20, islâh tersebut dapat berupa pengentasan kemiskinan dan kejumudan rakyat yang mayoritas muslim.
21
Sahabuddin, ed., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), v.
1, h. 191.
22
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. 2 (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986), h. 45.
23
Penulis memperoleh fakta bahwa (a) penyebutan ulil absâr selalu bersanding dengan lafadz
al-‘ibrah, (b) penyebutan ulin nuhâ selalu bersanding dengan lafadz al-âyât, (c) penyebutan ulil albâb
mencakup al-‘ibrah, al-âyât, dan al-dzikr. Fakta lainnya adalah ayat-ayat ulil albâb hampir selalu
berkaitan dengan ketakwaan.
24
Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, v. 1, h. 191.
9

Berdasarkan keseluruhan ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa ulil albâb

adalah seorang yang mampu mengambil pelajaran terhadap fenomena yang ada di

sekelilingnya baik itu gejala-gejala alam maupun perilaku-perilaku sosial. 25 Perlu

diketahui, “mengambil pelajaran” yang dimaksud di sini adalah pemaknaan atas

lafadz “yatadzakkaru” atau “yadzdzakkaru” (berasal dari tadzakkara) yang sering

muncul ketika lafadz “ulil albâb” disebut dalam ayat.26 Kedua lafadz tersebut berasal

dari akar kata yang sama dengan dzikr, yakni dzakara. Hanya saja, lafadz

yatadzakkaru atau yadzdzakkaru merupakan hasil dari penambahan huruf atas tiga

huruf asalnya.27 Jangan lupa pula lafadz dzikr (yadzkurûna) juga terdapat pada Q.S.

Âli ‘Imrân (3): 191 yang telah menjadi “dalil” cendekiawan muslim.

Menanggapi hal tersebut, Dawam berspekulasi bahwa dzikr yang dilakukan

ulil albâb merupakan bentuk lain dari pikir. Ia memaparkan, “…bahwa dzikr

mencakup pikir atau pikir itu terkandung dalam pengertian dzikr, sebab dalam dzikr

terkandung unsur pikir”. Sebaliknya, dalam berpikir terkandung dzikr.28 Dalam tahap

ini, keduanya merupakan satu kesatuan yang saling mengisi. Oleh karenanya, ulil

albâb adalah mereka yang mampu melakukan keduanya secara bersamaan. Jadi,

ketika mereka berdzikir, mereka turut berpikir atau mereka berpikir sambil berdzikir.

25
Sri Susanti, “Kajian Kritis terhadap Konsepsi ‘Ulil Albab’ dalam al-Qur’an”, Dimensi
Pendidikan dan Pembelajaran, h. 11. Susanti tampaknya sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh
Dawam Rahardjo. Lihat: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 557.
26
Yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 269, Q.S. Âlî ‘Imrân (3): 7, Q.S. al-Ra’d (13): 19, Q.S. Ibrâhîm
(14): 52, Q.S. Sâd (38): 29, Q.S. Sâd (38): 43, Q.S. al-Zumar (39): 9.
27
Di dalam ilmu sarraf, dzakara teridentifikasi sebagai fi’il tsulâtsî mujarrad sedangkan
tadzakkara (dengan penambahan tâ’ dan dzâl yang ditasydidkan) teridentifikasi sebagai tsulâtsî mazîd
khumâsî.
28
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
10

Spekulasi yang dipaparkan Dawam adalah hal yang sangat menarik mengingat

selama ini kegiatan dzikr dan pikir dianggap sebagai dua hal yang berlainan.

Pembahasan tersebut semakin menarik karena M. Quraish Shihab juga mengatakan

bahwa ulil albâb dipuji tanpa menjelaskan cara mereka berdzikir kecuali yang disebut

dalam surat Âlî ‘Imrân ayat 191. 29 Sementara itu, setelah penulis mengumpulkan

ayat-ayat yang menyebut kata ulil albâb, mayoritas kata itu disertai dengan kata “al-

dzikr” atau kata transformatifnya: “yadzdzakkaru”, “yatadzakkaru”, dan “dzikrâ”.

Lantas, seperti apakah dimensi makna dzikr yang yang melekat pada ulil albâb?

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji makna

lafadz dzikr dalam ayat-ayat ulil albâb. Apakah benar ketika berdzikir mereka turut

pula berpikir? Bagaimana menanggapi spekulasi Dawam Rahardjo tersebut? Oleh

karenanya, penulis ingin menuangkan masalah tersebut dalam penelitian berjudul

Dimensi Makna Dzikr Ulil Albâb dalam al-Qur’an: Studi atas Pemikiran M. Dawam

Rahardjo.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, berikut penulis paparkan

identifikasi masalah yang ada:

1. Secara bahasa, makna ulil albâb lebih mengarah pada ahli pikir dan bukan

ahli dzikir;

2. Ulil albâb belum dikenal oleh masyarakat awam. Sebaliknya, ia populer di

kalangan terbatas saja. Istilah ini baru dikenal khalayak umum setelah

29
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, cet. 3 (Ciputat: Lentera Hati,
2008), h. 255.
11

berdirinya ICMI yang mengklaim bahwa ulil albâb adalah cendekiawan

muslim;

3. Meski populer di kalangan khusus, sosok ulil albâb masih meninggalkan

kesan seakan-akan keberadaannya hanya mitos belaka. Hal ini timbul dari

kriteria-kriterianya yang cukup komplit sehingga sulit mengidentifikasinya.

Padahal, al-Qur’an secara tegas menyebut keberadaannya berulang kali;

4. Di antara sekian banyak ayat, hanya Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191 yang

populer dan sering mewakili sosok ulil albâb. Hal ini menunjukkan bahwa

ayat-ayat lain yang masih berkenaan dengan ulil albâb jarang disebut

sehingga memungkinan orang pada umumnya tidak mengetahui ciri-ciri ulil

albâb secara utuh;

5. Keselarasan makna ulil albâb dengan istilah lain belum dapat dipastikan.

Sementara ini, esensi ulil albâb dianggap mewakili karakter “cendekiawan

muslim”. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan lagi -secara bahasa maupun

istilah- apakah setiap cendekiawan muslim adalah ulil albâb atau sebaliknya;

6. Di antara sekian banyak sifat yang dimilikinya, yang membedakan antara ulil

albâb dan “ulil-ulil” lainnya adalah aktifitas dzikr-fikr. Terbukti, pada

beberapa ayat ulil albâb disebut pula lafadz dzikr dan derivasinya;

7. M. Dawam Rahardjo dengan keilmuan yang dimilikinya mampu menggali

pelajaran dari al-Qur’an bahkan berani menafsirkannya;

8. Salah satu spekulasi Dawam dalam Ensiklopedi al-Qur’an mengenai ulil

albâb adalah bahwa dzikr merupakan tingkat lebih tinggi dari pikir karena
12

mengarah pada transendensi. Dzikr mencakup pikir atau pikir terkandung

dalam pengertian dzikr.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari sekian banyak masalah yang ada, penulis menyadari dan mengakui tidak

bisa membahasnya secara keseluruhan. Oleh karenanya, penulis memfokuskan

penelitian ini pada masalah “dimensi makna dzikr ulil albâb dalam al-Qur’an”.

Penelitian ini akan menanggapi spekulasi M. Dawam Rahardjo bahwa dzikr yang

dilakukan oleh ulil albâb adalah termasuk pikir. Alasan terpilihnya Dawam sebagai

tokoh objek penelitian adalah selain karena spekulasinya, ia dikenal sebagai seorang

ekonom yang juga menggeluti kajian al-Qur’an. Selain itu, ia merupakan satu-satunya

sarjana yang berkecimpung dalam dunia kecendekiawanan sekaligus menuliskan

risalah cendekiawan muslim. Ia juga turut berperan aktif mewacanakan fungsi ulil

albâb serta perannya bagi masyarakat di Indonesia era 1990-an dalam menghadapi

tantangan zaman modern. Berdasarkan pertimbangan ini, penulis membuat rumusan

masalah sebagai berikut:

Bagaimana M. Dawam Rahardjo memahami dzikr ulil albâb dalam al-Qur’an

dalam konteks Indonesia modern?

Agar rumusan masalah tersebut dapat dipahami dan untuk menghindari

munculnya salah pengertian, maka perlu bagi penulis untuk membatasi beberapa hal

berikut:

1. penyebutan nama M. Dawam Rahardjo hanya menunjuk kepada seorang

tokoh pemikir Islam Indonesia yang lahir di Solo, 20 April 1942;


13

2. kata “dzikr” adalah semua derivasi lafadz dzikr (dzal-kaf-ra’) pada ayat-ayat

ulil albâb dalam al-Qur’an;

3. sebutan “ulil albâb” adalah semua ungkapan ulil albâb dalam al-Qur’an;

4. kata “konteks” menunjuk kepada kondisi sosial dan keberagamaan

masyarakat;

5. Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang beribukota Jakarta;

6. kata “modern” pada umumnya mengacu pada sebuah masa yang dimulai sejak

sekitar tahun 1500-an di Eropa, 30 namun dalam penelitian ini “modern”

menunjuk pada masa pasca kemerdekaan Indonesia terutama pada era 90-an.

D. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperkaya khazanah ilmiah

dalam bidang tafsir tentang makna dzikir dan ulil albâb. Penelitian ini juga dilakukan

secara khusus untuk memahami bagaimana M. Dawam Rahardjo mendialogkan

makna dzikr pada ayat-ayat ulil albâb dan mengaktualisasikannya melalui ICMI

dalam menanggapi problema keberagamaan di Indonesia era modern.

E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini secara akademis adalah memperluas wawasan

kajian dzikir khususnya dzikir ulil albâb. Secara praktis, penelitian ini bisa menjadi

pesan bagi para pemikir pada umumnya untuk meneladani ulil albâb yang

30
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, cet. 2 (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 2.
14

memadukan aktifitas pikir dengan dzikirnya dan bagi para pengamal dzikir untuk

memadukan dzikir dengan pikirnya.

F. Tinjauan Pustaka

Pembahasan yang penulis angkat mengenai dzikr dan ulil albâb atau

pemikiran M. Dawam Rahardjo sejatinya telah dibahas oleh sekian banyak peneliti.

Ada yang berupa kajian tafsir, seperti kitab-kitab tafsir; ada yang berbentuk bagian

dari buku; dan ada pula yang berupa karya ilmiah semisal artikel jurnal dan skripsi.

Di bawah ini adalah beberapa pengkaji berikut karyanya yang penulis jadikan

tinjauan pustaka.

1. Sri Susanti 31 dalam artikel jurnal Kajian Kritis terhadap Konsepsi ‘Ulil

Albab’ dalam al-Qur’an. 32 Sri mencoba merumuskan sosok ulil albâb

berdasarkan ayat-ayat yang menyebutnya. Sri mengupas dengan teliti hal-hal

yang berkaitan dengan ulil albâb; mulai dari ciri-cirinya dalam al-Qur’an,

perbedaannya dengan ilmuwan dan filosof, penjabarannya tentang profil

intelektual muslim, kriteria intelektual muslim, sampai hakikat kebenaran ulil

albâb serta peran dan tugasnya. Sayangnya, Sri tidak mencantumkan referensi

data dari ulama klasik sehingga pembaca tidak dapat mengetahui persamaan

atau perbedaan pandangan para ulama baik klasik, modern, ataupun

kontemporer. Sri Susanti juga tidak mennyinggung arti dan maksud dzikr atau

padanan lafadznya dengan gamblang.

31
Civitas Akademika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fkip Unmuh Ponorogo.
32
Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran. Diterbitkan oleh Fkip Universitas
Muhammadiyah Ponorogo, Juni 2013.
15

2. Azizah Herawati33 dalam artikel jurnal Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di

Era Sekarang. 34 Penelitian ini kurang lebih sama dengan penelitian Sri

Susanti. Namun, Herawati tidak hanya mengkaji konsep ulil albâb saja. Ia

mencoba memformulasikan penerapan fungsi ulil albâb di zaman sekarang

berdasarkan karakteristik-karakteristik mereka. Adapun pembahasan yang

lebih spesifik terdapat seperti pada tulisan Izzah Faizahst Rusydati Khaerani
35
dalam artikel jurnal Pemimpin Berkarakter Ulul Albab yang fokus

pembahasannya adalah mensinergikan konsep ulil albâb ke dalam konsep

kepemimpinan atau Waway Qodratullah S. dalam artikelnya, Konsep Ulul

Albâb dalam al-Qur’an dan Implikasinya dalam Pembelajaran Pendidikan

Agama Islam di Perguruan Tinggi36 dan Nor Adzimah Subirin, Nor Hayati

Alwi, Fathiyah Mohd Fakhruddin, Umi Kalthom Abdul Manaf dan Siti Suria

Salim37 dalam penelitian mereka berjudul Ulul Albab Generation: Roles of

Ulul Albab Teachers in Malaysian Selected School 38 yang fokus pada

penerapan konsep ulil albâb untuk peningkatan mutu pembelajaran.

33
Penyuluh Agama Ahli Muda Magelang
34
Azizah Herawati, “Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang”, Fikrah: Jurnal
Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, v. 3, no. 1 (Juni: 2015), h. 123-140.
35
Izzah Faizahst Rusydati Khaerani, “Pemimpin Berkarakter Ulul Albab”, Jurnal
Kepemimpinan Pendidikan Islam Multikultural, v. 1, no. 1, (Juni: 2014), h. 113-121.
36
Waway Qodratulloh, “Konsep Ulul Albâb dalam al-Qur’an dan Implikasinya dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi”, Stigma, v. 1, no. 1, (Maret: 2016), h. 17-
24.
37
Civitas Akademika Faculty of Educational Studies, Universiti Putra Malaysia.
38
Nor Adzimah Subirin, dkk., “Ulul Albab Generation: Roles of Ulul Albab Teachers in
Malaysian Selected School”, International Journal of Academic Research in Business and Social
Sciences, vol.7, (2017), h. 1022.
16

3. Elmi Bin Baharuddin 39 dan Zainab Binti Ismail 40 dalam penelitian berjudul

Spiritual Intelligence Forming Ulul Albab’s Personality. 41 Mereka meneliti

fungsi kecerdasan spiritual dalam pembentukan kepribadian seorang muslim.

Mereka mengklarifikasi informasi terkait peran kecerdasan spiritual yang

dimiliki oleh ulil albâb. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif,

hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual dapat

membentuk kepribadian ulil albâb. Mereka menemukan delapan karakteristik

yang ada pada kepribadian ulil albâb, yaitu: muslim, mu’min, muhsin,

muttaqin, muslihin, mukhlisin, musaddiqin, dan musyâhidin. Penelitian serupa

dilakukan oleh Abdul Halim Fathani42 dengan judul Paradigma Pembelajaran

dalam Perspektif Tarbiyah Ulul Albab dan Multiple Intelligences 43 yang

mensinergikan konsep multiple intelligences dengan konsep ulil albâb untuk

menghasilkan manusia seutuhnya.

4. Yusuf Qardawi dalam Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu

Pengetahuan.44 Secara umum, dalam buku ini Yusuf Qardawi membicarakan

tentang kedudukan akal dan keutamaan ilmu dalam agama Islam. Ia mengupas

tema-tema menarik seperti pembahasan akal dan olah pikir dalam al-Qur’an,

39
Dosen senior di Kolej Universiti Poly-Tech MARA, Kuala Lumpur, Malaysia.
40
Profesor Islamic Studies di Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Malaysia.
41
Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “Spiritual Intelligence Forming Ulul Albab’s
Personality”, Global Journal of Business and Social Science Review, v. 4(1), (Oktober-Desember
2015), h. 390.
42
Civitas Akademika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Malang.
43
Abdul Halim Fathani, “Paradigma Pembelajaran dalam Perspektif Tarbiyah Ulul Albab dan
Multiple Intelligences”, artikel diakses pada 09 Mei 2018 dari:
https://www.researchgate.net/publication/311873299_PARADIGMA_PEMBELAJARAN_DALAM_
PERSPEKTIF_TARBIYAH_ULUL_ALBAB_DAN_MULTIPLE_INTELLIGENCES
44
Yusuf Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim & Sochimien, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)
17

hubungan antara ilmu dan iman, macam-macam ilmu berdasarkan al-Qur’an,

pembentukan akal ilmiah dalam al-Qur’an, serta mukjizat ilmiah dalam al-

Qur’an. Di antara sekian banyak materi yang ditulis tersebut, Yusuf Qardawi

membahas ulil albâb dan cendekiawan muslim sebagai ikon ahli pikir dan

kegiatan tafakkur dan tadzakkur yang mereka lakukan.

Beberapa penelitian lain yang masih satu tema dengan kajian yang diangkat

oleh penulis pernah dilakukan oleh Miftahul Jannah dengan skripsi berjudul

Penafsiran Ulul Albâb dalam Tafsir Al-Misbah 45 yang secara khusus mengkaji

konsep ulil albâb dalam pandangan M. Quraish Shihab; Miftahul Ulum dengan

skripsi berjudul Konsep Ulil Albab Q.S Ali-Imran Ayat 190-195 dan Relevansinya

dengan Tujuan Pendidikan Islam yang memfokuskan kajian ulil albâb pada dimensi

pendidikan46 dan penelitian serupa yang dilakukan oleh Herman Wicaksono dengan

tesis berjudul Kontekstualisasi Makna Ulul Albâb dalam Pendidikan Islam (Studi

atas Tafsir Fî Zilâli al-Qur’ân)47; Adnan dengan tesis berjudul Penafsiran al-Qur’an

M. Dawam Rahardjo (Studi Terhadap Buku Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial

Berdasarkan Konsep-konsep Kunci) yang mengkaji corak penafsiran M. Dawam

Rahardjo.48

45
Miftahul Jannah, “Penafsiran Ulul Albâb dalam Tafsir Al-Misbah”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga)
46
Miftahul Ulum, “Konsep Ulil Albab Q.S Ali-Imran ayat 190-195 dan Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam”, (Skripsi S1Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2011).
47
Herman Wicaksono, “Kontekstualisasi Makna Ulul Albâb dalam Pendidikan Islam (Studi
atas Tafsir Fî Zilâli al-Qur’ân)”, (Tesis S2 Program Studi Pendidikan Agama Islam, Pascasarjana
IAIN Purwokerto, 2017).
48
Adnan, “Penafsiran al-Qur’an M. Dawam Rahardjo (Studi Terhadap Buku Ensiklopedi Al-
Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci)”, (Tesis S2 Program Studi Agama dan
Filsafat, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).
18

Menilik beberapa karya ilmiah di atas, penulis tidak mendapati pembahasan

khusus mengenai dzikir yang dilakukan oleh ulil albâb terutama dalam pandangan M.

Dawam Rahardjo. Oleh karena itu, meskipun banyak penelitian yang membahas tema

yang sama, penelitian yang penulis lakukan merupakan sebuah kajian baru yang

belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Pada penelitian ini, penulis

ingin menguraikan makna dzikir yang lafadznya selalu bersamaan dengan penyebutan

ulil albâb berdasarkan penafsiran ulama serta menelusuri pemahaman M. Dawam

Rahardjo atas makna dzikir tersebut. Di sisi lain, penulis tetap menggunakan hasil

penelitian-penelitian tersebut sebagai rujukan sekaligus memperkuat penelitian ini.

G. Metodologi Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, diketahui

bahwa masalah yang dihadapi merupakan sebuah fenomena berupa pandangan

Dawam Rahardjo mengenai ulil albâb. Oleh karenanya, untuk menjawab rumusan

masalah tersebut penulis menerapkan penelitian kualitatif49 berupa library research/

studi kepustakaan. 50 Berdasarkan penelitian ini, data yang dikumpulkan harus

lengkap agar penelitiannya benar-benar berkualitas. Data tersebut terdiri dari data

49
Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, cet. 35 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h. 6.
50
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menggunakan referensi kepustakaan (buku)
sebagai sumber datanya. Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta, Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 40.
19

primer dan data sekunder.51 Oleh karenanya, berikut penulis paparkan sumber data,

metode pengumpulan, analisis data, dan teknik penulisan sebagaimana berikut:

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber

sekunder. Sumber primer adalah bab “Ulû al-Albâb” dalam buku Ensiklopedi Al-

Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci Sosial karya M. Dawam

Rahardjo. Sedangkan sumber sekunder adalah tulisan-tulisan yang membahas dzikr

dan ulil albâb baik dari kitab-kitab tafsir seperti Tafsir al-Tabarî, Tafsir al-Râzî, dll.;

buku seperti Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan; jurnal ilmiah

seperti tulisan Sri Susanti dan terutama tulisan-tulisan lain M. Dawam Rahardjo baik

dalam Ensiklopedi al-Qur’an ataupun buku lain seperti Intelektual, Intelegensia, dan

Perilaku Politik Bangsa.

2. Metode Pengumpulan Data


52
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tematik untuk

mendapatkan data yang sesuai dengan pembahasan. Penggunaan metode tematik ini

51
Menurut Suharismi Arikunto, data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata
yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat
dipercaya (subjek penelitian/informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. Sedangkan data
sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen grafis (tabel, catatan notulen rapat, SMS,
dll.), foto-foto, film, rekaman video, benda-benda dan lain-lain yang dapat memperkaya data primer.
Mengutip Moleong, sumber data kualitatif adalah tampilan berupa kata-kata lisan atau tertulis yang
dicermati oleh peneliti, dan benda-benda yang dicermati sampai detailnya agar dapat ditangkap makna
yang tersirat dalam dokumen dan bendanya. Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik, cet. 15 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013), h. 22.
52
Dalam ilmu tafsir, metode tematik adalah suatu metode yang mengerahkan pandangan
kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan
menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat,
lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus, yang
mutlaq digandengkan dengan yang muqayyad, dll., sambil memperkaya uraian dengan hadis-hadis
yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas
menyangkut tema yang dibahas itu. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, cet. 3 (Ciputat: Lentera Hati,
20

mencakup ayat-ayat, tafsir, dan tulisan-tulisan M. Dawam Rahardjo yang berkaitan

dengan dzikr dan ulil albâb. Adapun langkah-langkah yang penulis tempuh: pertama,

penulis menggali sumber data berupa ayat-ayat yang menyebut ulil albâb sekaligus

juga derivasi lafadz dzikr. Dalam hal ini, penulis menggunakan kamus entri ayat al-

Qur’an semisal Fath al-Rahmân dan Mu’jam al-Mufahras. Kedua, penulis mencari

penafsiran ulama dari dua periode (klasik dan modern/kontemporer) terkait ayat-ayat

tersebut. Dua periode ini dipilih agar menghasilkan pemahaman yang komprehensif.

Adapun kitab tafsir dari periode klasik diwakili oleh Tafsîr al-Tabarî53, Tafsir al-

Râzî54, dan Tafsîr Ibn Katsîr55; sedangkan dari periode modern diwakili Tafsir al-

Tahrîr wa al-Tanwîr 56 , Tafsir al-Marâghî 57 dan Tafsir al-Mishbâh. 58 Terakhir,

2015), h. 385. Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan metode ini untuk pengumpulan data
saja.
53
Penyusun tafsir ini adalah Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib
al-Tabarî (l. 223 H-w. 310 H). Kitab tafsir yang berjudul Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân ditulis di
akhir abad ketiga Hijriah. Kitab tafsir ini sangat masyhur dan dianggap sebagai induk dari kitab-kitab
tafsir lainnya. Tafsir ini juga dianggap sebagai tafsîr bi al-ma’tsûr yang terbesar. Sebagai tafsîr bi al-
ma’tsûr, dalam kitab ini terdapat beberapa riwayat yang berkaitan dengan ayat yang dibahas serta
sabab al-nuzûl-nya. Kitab ini juga diperkuat dengan riwayat-riwayat baik dari Rasulullah Saw,
sahabat, maupun tabi’in. Oleh karena itu, penulis memilih kitab tafsir ini sebagai rujukan untuk
menggali data berupa riwayat yang memuat penjelasan ayat-ayat ulil albâb. A. Husnul Hakim IMZI,
Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa
Kontemporer) (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an (eLSiQ), 2013), h. 5-9.
54
Disusun oleh Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin ‘Âlî al-Qurasyî al-Tamimî al-Bakrî al-
Tibristanî yang kemudian dikenal sebagai Fakhr al-Dîn al-Râzî (l. 543 H-w. 606 H). Ia dikenal sebagai
“ulama ensiklopedis” karena kedalaman ilmunya. Maka tak heran jika dalam tafsirnya yang berjudul
Mafâtîh al-Ghaib menjadi kitab yang paling banyak dirujuk oleh para ulama tafsir dari segi
rasionalitasnya. Di dalamnya termaktub berbagai disiplin ilmu. Alasan inilah yang membuat penulis
memilih karya al-Râzî dengan asumsi bahwa menapak tilas pemahaman ayat-ayat ulil albâb dari tokoh
yang diakui rasionalitasnya. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 89-91.
55
Nama aslinya adalah Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm. Kitab ini ditulis oleh ‘Imâd al-Dîn Abû al-
Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Quraisyî al-Busrawî al-Dimasyqî (l. 701 H-74 H). Menurut al-
Dzahabî, kitab tafsir tersebut dianggap sebagai kitab tafsir bi al-ma’tsûr kedua setelah al-Tabarî.
Penulis memilih kitab ini sebagai salah satu sumber data berdasarkan penjelasannya yang
komprehensif dan penjelasan mengenai sahih tidaknya suatu riwayat. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab
Tafsir, h. 117-120.
56
Nama lengka penyusunnya adalah Muhammad al-Tâhir bin ‘Asyûr (l. 1878 M- w. 1931 M).
Ia dikenal sebagai mufassir berspesialisasi dalam bidang ilmu kebahasaan. Ia juga dikenal sebagai da’i
yang cukup dikenal dalam persoalan sosial keagamaan dan penulis yang produktif. Kitab tafsirnya
21

penulis menelusuri tulisan-tulisan Dawam Rahardjo yang berkaitan dengan dzikr dan

ulil albâb. Selain itu, pemikiran sarjana seputar tema yang dikaji juga digunakan

untuk melengkapi peta wacana yang ada.

3. Metode Analisa Data

Dalam pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-

analitik. 59 Adapun langkah-langkahnya adalah pertama, penulis menjelaskan data

yang terkumpul sebagaimana adanya: menguraikan makna ayat-ayat ulil albâb dan

menampilkan penafsiran para mufassir; kedua, penulis menganalisa data tersebut

berdasarkan konteks yang berhubungan dengannya agar menghasilkan pemahaman

yang komprehensif. Pada bagian ini, penulis menghubungkan penafsiran Dawam

Rahardjo dengan masa penulisannya berdasarkan situasi dan kondisi saat itu.

Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis tersebut, penulis menguraikan jawaban dari

yang diberi nama al-Tahrîr wa al-Tanwîr ini merupakan salah satu kitab ternama pada abad 20 M.
Keunggulan tafsirnya adalah dalam mengungkap makna-makna tersirat yang tidak terpikirkan oleh
mufassir lain. Dalam mukaddimah kitabnya, Ibnu ‘Asyûr membolehkan penggunaan teori-teori ilmiah
untuk memahami ayat, terutama yang berkaitan dengan iptek dan alam. Inilah kiranya alasan penulis
memilihnya sebagai salah satu rujukan tafsir dalam penelitian ini untuk mengungkap bagaimana cara
pandang ulama abad ke 20 M memahami ulil albâb. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 1999-
202.
57
Disusun oleh Ahmad Mustafâ bin ‘Abd al-Mun’îm al-Marâghî (l. 1300 H-w. 1371 H). Kitab
tafsirnya dinamai Tafsîr al-Marâghî. Bisa dikatakan karyanya itu merakyat. Kitab tersebut tidak terlalu
bertele-tele dan redaksinya tidak sukar dipahami. Argumen-argumennya terkadang diperkuat dengan
bukti-bukti empiris. Penulis memilih Tafsîr al-Marâghî karena penyusunnya sangat mendorong umat
Islam agar menggunakan akal terutama terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan dan
fenomena alam. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 169-174.
58
Tafsir ini susunan M. Quraish Shihab, salah seorang tokoh mufassir terkemuka Indonesia.
Tafsir ini pertama kali terbit pada tahun 2001. Tafsir ini dipilih sebagai sampel untuk mengetahui
pandangan mufassir Indonesia mengenai ulil albâb dalam konteks keindonesiaan. Selain itu, Quraish
Shihab tercatat sebagai petinggi ICMI yang notabene merupakan organisasi yang mengatasnamakan
cendekiawan muslim (lihat: Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 290). Oleh karenanya,
penafsiran Quraish Shihab dianggap sangat perlu dalam penelitian ini.
59
Deskripsi analitik merupakan rancangan organisasional yang dikembangkan dari kategori-
kategori yang ditemukan dan hubungan-hubungan yang disarankan atau muncul dari data. Lexy,
Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 257.
22

rumusan masalah penelitian ini, tentang cara bagaimana Dawam memahami dzikir

yang dilakukan oleh ulil albâb.

4. Teknik Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini mengikuti teknik penulisan skripsi dalam buku

Pedoman Akademik Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013/2014.60

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyajikannya dalam bentuk bab per bab

yang disertai dengan subbab-subbab. Adapun uraian singkatnya adalah sebagaimana

berikut:

Bab I: Pendahuluan. Bab ini merupakan sebuah uraian yang akan membahas

latar belakang masalah dari judul yang penulis angkat dalam kajian ini. Kemudian

setelah itu, penulis paparkan identifikasi, batasan dan rumusan masalahnya. Untuk

menguatkan pembahasan yang dipilih, penulis menampilkan tujuan penelitian,

manfaat/signifikasi penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika

penulisan.

Bab II: Ontologi. Bab ini berisi penjelasan mengenai biografi M. Dawam

Rahardjo yang berkaitan dengan latar belakang keluarga, pendidikan, karir, karya-

karya, dan pemikirannya. Pembahasan ini merupakan kajian yang lebih mendalam

dan merupakan kelanjutan dari bahasan rumusan masalah pada Bab I untuk

menggambarkan sosok M. Dawam Rahardjo secara komprehensif.

60
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2013-2014 (Ciputat: Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan
Kerjasama, 2013)
23

Bab III: Dzikr dan Ulil Albâb dalam al-Qur’an. Pada bab ini, penulis

menampilkan term kunci dzikr dan ulil albâb dalam al-Qur’an dilihat dari masa ke

masa. Kemudian, Penulis juga menelaah dan menguraikan penafsiran para ulama

klasik dan modern atas lafadz dzikr dalam ayat-ayat ulil albâb. Pembahasan ini

merupakan kelanjutan dari rumusan masalah pada Bab I untuk memetakan wacana

dzikr ulil albâb secara historis. Dengan begitu, pembahasan ini menjadi pijakan

penulis untuk menghubungkan antara latar belakang sosok M. Dawam Rahardjo pada

Bab II dengan konteks pemikirannya yang akan penulis jelaskan di Bab IV.

Bab IV: Dzikir dalam Pikir: Menelaah Makna Ulil Albâb dalam Pandangan

M. Dawam Rahardjo. Pada bab ini, penulis menampilkan pemikiran M. Dawam

Rahardjo mengenai ulil albâb dan makna dzikr dalam ayat-ayat ulil albâb. Kemudian,

Penulis menganalisis bagaimana Dawam memahami kata dzikr dalam ayat-ayat ulil

albâb dikaitkan dengan kondisi sosial pada masa ia menulis pokok pikirannya. Cara

penulis mendiskusikan pemikiran Dawam Rahardjo adalah dengan menempatkannya

pada pergulatan wacana ulil albâb. Di sini penulis turut menyertakan pendapat

penafsir klasik dan modern serta pemikir muslim yang membahas tema yang sama

untuk memperkaya bahan diskusi.

Bab V: Kesimpulan dan penutup. Bab ini berisi jawaban atas permasalahan

yang diangkat. Bab ini juga berisi saran-saran bagi para pembaca serta himbauan

untuk peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang sama atau berbeda

namun masih berkaitan dengan kajian ini.


BAB II
BIOGRAFI M. DAWAM RAHARDJO:
LATAR BELAKANG, PEMIKIRAN, & KARYA-KARYANYA

A. Latar Belakang
Nama Dawam Rahardjo sangat familiar dalam khazanah pemikiran Islam

Indonesia. Sebagai intelektual, Dawam dikenal sebagai pemikir Islam progresif yang

selalu memperhatikan masalah-masalah sosial keagamaan dan pembinaan

masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi. Selaku cendekiawan, ia selalu bersikap

kritis atas fenomena dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat berdasarkan

pada kerangka etis yang dianutnya. 1 Sejak usia muda, Dawam telah memulai kiprah

kecendekiawannya. Selain aktif diskusi, membaca, menulis, dan meneliti, ia juga

aktif terjun langsung dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. 2 Tentu, kepribadian

dan pemikiran seorang Dawam tidak terlepas dari pengaruh keluarga, pendidikan, dan

lingkungan yang mengiringi perjalanan hidupnya. Oleh karena itu, untuk memahami

sisi ontologis Dawam, pada bab ini penulis memaparkan latar belakangnya.

1. Keluarga

Nama lengkap Dawam adalah Mohamamad Dawam Rahardjo. Ia dilahirkan di

kampung Baluwati, Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 20 April 1942. 3 Dilihat dari

1
Ngainun Naim, “Pluralisme sebagai Jalan Pencerahan Islam: Telaah Pemikiran M. Dawam
Rahardjo”, vol. 15, no. 2, SALAM: Jurnal Studi Masyarakat Islam (Pascasarjana UMM: Desember,
2012), h. 276. Diunduh pada 13 November 2017 pukul 16.42 WIB dari
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/download/1666/1773 .
2
Naim, “Pluralisme sebagai Jalan Pencerahan Islam: Telaah Pemikiran M. Dawam Rahardjo”,
h. 276.
3
Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, dan J.H. Lamardy, ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed.
digital (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 3. Diunduh dari www.cerdasdownload.blogspot.co.id,
pada Kamis, 01 Maret 2018.

24
25

nasabnya, Dawam Rahardjo lahir dari lingkungan keluarga agamis yang

berkecukupan dan berpendidikan. Ayahnya yang bernama Juwaeni alias Mohammad

Zuhdi Rahardjo berasal dari Desa Tempursari, Klaten, sebuah desa yang memiliki

dua lembaga pendidikan Islam yang cukup terkenal saat itu, yakni Pesantren

Jamsaren dan Madrasah Mamba’ul Ulum. Zuhdi Rahardjo merupakan salah satu

lulusan dari dua gudang keilmuan tersebut yang kemudian menjadi guru

Muhammadiyah. Sedangkan kakeknya, Ngali Rahardjo, adalah seorang petani

tembakau kaya yang sudah menunaikan ibadah haji dan pernah mengenyam ilmu di

al-Azhar. Adapun Muthmainnah, ibu Dawam, adalah seorang guru Sekolah Rakyat di

Ambarawa.4 Keluarga Rahardjo lalu dikenal sebagai pengusaha sukses di Tempursari

setelah Zuhdi Rahardjo menciptakan alat pengikal benang. Kegigihan Zuhdi Rahardjo

lantas mengharumkan nama desanya sebagai sentra industri pengikal benang. Melalui

usaha batik dan tenun, Zuhdi beserta saudara-saudaranya menjadi pendukung dana

Perguruan Al-Islam. Maka tidak heran, keluarga Rahardjo dekat dengan pengurus

perguruan itu.5

Keluarga Dawam adalah keluarga santri. Zuhdi Rahardjo sendiri adalah

seorang santri. Sebagaimana telah disebutkan, ia pernah belajar di Madrasah

Manba’ul Ulum dan Pesantren Jamsaren, 6 Solo, sampai tamat. Zuhdi sangat

4
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 4.
5
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme,
dan Liberalisme Agama, cet. 2 (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 44.
6
Madrasah Manba’ul Ulum adalah madrasah yang sangat terkenal di Solo. Madrasah ini
didirikan pada tahun 1913 atas prakarsa Sunan Pakubuwono X. Madrasah ini mencetak ulama
sekaliber Kiai Arwani Kudus dan Kiai Zarkasyi pendiri Gontor. Lihat: M. Solahudin, Ulama Penjaga
Wahyu (Kediri: Pustaka Zamzam, 2017), h. 128.
Sementara itu, Pesantren Jamsaren termasuk pesantren tertua di Indonesia. Pesantren ini
didirikan oleh Kiai Jamsari asal Banyumas pada tahun 1750. Di antara ilmu yang diajarkan di
26

mencintai al-Qur’an. Ia tak pernah bosan menanamkan kecintaan pada al-Qur’an pada

putra sulungnya. 7 Selain akrab dengan pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam

seperti Pondok Pesantren Jamsaren, Perguruan al-Islam, Pesantren Krapyak, atau

organisasi Islam perkotaan Muhammadiyah, keluarga Dawam juga dekat dengan

kyai-kyai berpengaruh semisal K.H. Imam Ghozali, K.H. Ali Darokah, Ustadz

Abdurrahman. Para kyai tersebutlah yang mengajarkan Dawam ilmu-ilmu agama

seperti Bahasa Arab, Fikih, Tafsir, Hadis, dan Tajwid di tingkat dini. 8

Sejak kecil Dawam gemar membaca. Ayahnya tidak pernah menolak

memberinya uang banyak untuk membeli buku. 9 Selain al-Qur’an, Dawam juga

membaca buku-buku bacaan lain termasuk komik. Beranjak remaja, kegemaran

tersebut mengantarkannya mengenal sastra. Dawam pun mulai meminati sastra. Ia

lantas menulis karangan-karangan berupa sajak. Untuk mengasah keterampilan

menulisnya, Dawam sempat bergabung dengan Himpunan Peminat Sastra Surakarta.

Hasilnya, salah satu puisinya pernah dimuat di sebuah koran lokal di Yogyakarta.

Bahkan, ketika mendapat beasiswa American Field Service untuk belajar di Borah

High School, Idaho, Amerika Serikat, ia mendapat nilai “A” untuk puisi-puisinya

yang berbahasa Inggris. Hal tersebut juga tidak terlepas dari kegemarannya membaca

karya-karya sastra Amerika. Sejak SMA Dawam juga telah sering menulis kolom10

pesantren ini adalah ilmu Tajwid, Qira’ât, Ushûl Fiqh, Tafsir, Hadits, Falak, Balâghah, dll. Solahudin,
Ulama Penjaga Wahyu, h. 127.
7
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, cet. pertama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. xxiii
8
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. x.
9
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5.
10
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 44.
27

Kegemaran membaca dan menulis inilah yang kelak membuatnya menjadi seorang

intelektual.11

2. Pendidikan

Pendidikan dasar yang ditempuh M. Dawam Rahardjo bisa dianggap elit dan

unik. Dikatakan elit karena pada masa itu tidak semua orang mampu bersekolah.

Sedangkan keunikannya adalah karena ia belajar di dua tempat yang berbeda.

Pertama, pendidikan formal Dawam dimulai sejak kecil. Mulanya ia masuk Sekolah

Dasar Negeri (SDN) Wetan, Solo dan lulus pada tahun 1954. Setelah itu, ia

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di kota yang sama di Sekolah

Menengah Pertama (SMP) 1 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Solo, masing-

masing selama tiga tahun sampai ia lulus SMP pada tahun 1957 dan SMA pada tahun

1960.12

Kedua, sebagai lulusan pesantren, Zuhdi tidak hanya menyekolahkan putra

sulungnya di sekolah formal yang berbasis pengetahuan umum saja, tapi juga di

madrasah yang mengajarkan pelajaran agama. Untuk itu, dalam menimba ilmu agama

Dawam belajar di Madrasah Diniyah Al-Islam, salah satu sekolah agama Islam

terbaik di Solo saat itu sampai tingkat tsanawiyah.13 Lebih dari itu, ia bahkan sempat

11
Minat Dawam akan dunia tulis-menulis juga tidak terlepas dari peran ayahnya. Zuhdi
Rahardjo pernah memberi hadiah mesin tulis kecil pada putra sulungnya itu. Oleh Dawam, mesin tulis
kecil tersebut dibawa ke mana pun ia pergi. Lihat: Imam Ahmad, “Brahmana dari Solo,” dalam Ali-
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 75.
12
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 42.
13
Ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa Dawam mulanya bersekolah di Bustanul
Athfal Muhammadiyah, di Kauman, sebelah utara Masjid Besar Solo. Kemudian ia melanjutkan
pendidikan ke Madrasah Ibtidaiyyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo. Dawam juga masuk
sekolah umum Robithoh al-Allawiyah pagi harinya. Di sekolah ini, teman sepermainannya adalah
anak-anak keturunan Arab. Diceritakan bahwa Dawam fasih berbicara dengan bahasa dan aksen
mereka. Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5.
28

belajar qirâ’ah di Pesantren Krapyak, Yogyakarta.14 Jika pagi hari Dawam belajar

tentang ilmu pengetahuan umum di sekolah, petang harinya ia belajar ilmu agama di

madrasah. Bila pagi ia mempelajari ilmu dunia, sore harinya ia belajar ilmu akhirat.15

Dua model pendidikan yang dialaminya ini kelak sangat mempengaruhi cara

berpikirnya.16

Selepas SMA, Dawam meneruskan pendidikannya di Borah High School,

Idaho, Amerika Serikat pada tahun 1961. Ia mendapat beasiswa lewat program

American Field Service. Sepulang dari Negeri Paman Sam, ketertarikan pada

ekonomi membuatnya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Jurusan Moneter

Fakultas Ekonomi di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia lulus tepat

waktu pada tahun 1969. Setelah itu, tidak ada catatan yang menyebutkan ia

melanjutkan studinya ke jenjang magister.

Uniknya, meski tidak meneruskan pendidikannya ke program pasca-sarjana,

M. Dawam Rahardjo mampu mendapatkan dua gelar yang sangat bergengsi.

Pertama, pada tahun 1993 17 , Dawam dinobatkan sebagai “guru besar” oleh

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Dalam acara pemberian gelar tersebut

ia me-launching bukunya sendiri berjudul Pragmatisme dan Utopia: Corak

Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Buku tersebut merupakan buku pertama yang

14
M. Dawam Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial (Bandung:
Mizan Media Utama, 2015), h. 491.
15
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 44.
16
Berdasarkan keterangan ini, tampak sekali bahwa Dawam termasuk orang yang beruntung
sekaligus cerdas dan pintar. Ia beruntung mampu menempuh pendidikan sampai tingkat SMA yang
mana pada masa itu tidak semua orang mampu bersekolah. Ia cerdas dan pintar karena lulus tepat
waktu. Selain itu, ia juga sangat beruntung bisa bersekolah agama di Madrasah Diniyah Al Islam.
Adapun yang dimaksud dengan “cara berpikir” di sini adalah cara pandang Dawam Rahardjo dalam
menyikapi persoalan hidupnya yang mensinergikan agama dengan kemajuan.
17
Ada yang menyebutnya tahun 1992. Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 45.
29

ditulis secara utuh oleh Dawam. Buku tersebut sekaligus menjawab kritikan salah

seorang temannya yang menganggap Dawam hanya bisa menerbitkan kumpulan

tulisan.18 Kedua, pada tahun 2000, ia kembali dianugerahi gelar kehormatan “Doktor

H.C.” dalam Bidang Ekonomi Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.19 Fakta

ini menunjukkan bahwa kapasitas seorang M. Dawam Rahardjo sebagai seorang

ilmuwan tidak perlu diragukan lagi.

3. Organisasi, Karir, dan Pengaruhnya pada Pemikiran Dawam

M. Dawam Rahardjo adalah seorang intelektual yang sangat aktif

berpartisipasi di berbagai organisasi dan kegiatan sosial. Sejak muda hingga masa

senjanya kini, tercatat lebih dari sepuluh organisasi dan beberapa forum

kemasyarakatan yang pernah diikutinya.

Jejak petualangan Dawam Rahardjo terlacak sebelum berangkat ke Amerika.

Ia mengaku bahwa salah satu faktor kelulusannya mendapat beasiswa ke Negeri

Paman Sam adalah karena keaktifannya di Pelajar Islam Indonesia (PII). 20 Setelah

pulang dari Amerika dan menjadi mahasiswa UGM pada pertengahan dasawarsa

1970-an, Dawam mulai aktif di organisasi kampus.21 Di sinilah Dawam aktif sebagai

anggota pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang notabene merupakan

18
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 18.
19
M. Dawam Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Freedom
Institute, 2012), h. 379-380. Perjalanan intelektual Dawam sebagaimana dipaparkan sejak awal kuliah
di jurusan ekonomi sampai penerimaan gelar kehormatan dalam bidang yang sama mengukuhkan
dirinya sebagai seorang ekonom.
20
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 8.
21
Perlu diketahui, pada saat itu, UGM merupakan salah satu kampus yang dikenal berkat
pergerakan para aktivis mahasiswanya dalam memperjuangkan nasib rakyat. UGM menjadi ikon dan
kiblat para intelektual pembela rakyat. Wawancara Pribadi dengan Asep Usman Ismail, Ciputat, 15
Februari 2018.
30

salah satu organisasi mahasiswa terbesar saat itu. Ia masuk HMI karena tertarik pada

politik yang sedang memanas saat itu, yakni menjelang meletusnya Gerakan 30

September 1965. Ia pun dikenal sebagai ideolog HMI. 22 Meski tidak pernah

memangku jabatan di HMI, Dawam tetap berperan aktif sebagai instruktur dalam

training-training di HMI bersama Ahmad Wahib dan Djohan Effendi. 23 Di samping

itu, kegemaran Dawam dalam dunia tulis-menulis masih berlanjut. Pada masa itu, ia

aktif sebagai kolumnis di koran-koran dan majalah. Bahkan, Dawam pernah terjun

langsung ke dunia pers. Tak tanggung-tanggung, ia pernah menjadi Ketua Redaksi

Majalah Dewan Mahasiswa UGM, Gelora, selama periode 1968-1969.24

Setelah pindah ke Jakarta, Dawam bekerja di sebuah bank milik Amerika,

Bank of America. Di sana, ia menjabat sebagai staf Derpartemen Kredit. Namun,

masa kerja Dawam sebagai pegawai bank tak berlangsung lama karena merasa

22
Di HMI, Dawam mengaku memiliki tiga orang guru, yaitu: (1) Sudjoko Prasodjo, “Tan
Malaka”-nya HMI, yang berperan sebagai budayawan di lingkungan HMI, (2) Sularso, seorang
ideologi dan pemikir yang memengaruhinya dalam ideologi sosialisme, dan (3) Bintaro
Tjokroamidjojo, seorang teknorat yang mengajarinya wacana pembangunan. Ali-Fauzi, Demi
Toleransi Demi Pluralisme, h. 9. Melalui HMI pula, Dawam Rahardjo bertemu dengan kalangan
santri. Pergaulannya dengan kalangan tersebut turut mempengaruhi pemikirannya. Wawancara Pribadi
dengan Asep Usman Ismail.
23
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 9. Namun, berdasarkan tulisan Djohan
Effendi, Dawam pernah menjabat di Departemen Penerangan HMI Cabang Yogyakarta pada
kepemimpinan Tawang Alun dan Badan Koordinator HMI Jawa Tengah dalam Biro Kader. Lihat:
Djohan Effendi, “Intelektual Muslim Yang Selalu Gelisah: Kesaksian Seorang Sahabat” dalam Ali-
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 34.
24
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 45. Menurut penulis, selama terjun di dunia
pers mahasiswa ini kompetensi Dawam sebagai seorang penulis terbentuk dengan kokoh. Pengalaman
ini pula yang mengantarkannya kelak mampu mengampu jurnal Prisma dan Ulumul Qur’an yang
kelak melambungkan namanya. Hal ini berdasarkan fakta kongkret bahwa ia mulai dikenal berkat
tulisan-tulisannya yang selalu muncul di harian Mercu Suar dan secara nasional melalui tabloid
mingguan Mahasiswa Indonesia (MI). Ia juga pernah menjadi editor dan co-editor di majalah GEMA
Mahasiswa yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa UGM. Lihat: Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi
Pluralisme, h. 10.
31

kurang bebas, tidak aktif dalam pergerakan.25 Setelah dua tahun berjalan, ia kemudian

memutuskan untuk berhenti. Jadi, ia hanya bekerja selama 1969-1971. Dawam lantas

mengabdikan dirinya menjadi anggota Lembaga Penelitian, Pendidikan dan

Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta. Ia diajak oleh seorang kenalan

yang berasal dari Yogyakarta, Nono Anwar Makarim.26

LP3ES merupakan sebuah lembaga yang fokus perhatiannya adalah

masyarakat. Di lembaga inilah karir Dawam menemukan momentumnya. Pada

mulanya, Dawam hanya menjadi seorang peneliti. Setelah dua tahun bekerja sebagai

staf peneliti (1971-1972), karirnya berkembang pesat sehingga menjadi Kepala

Bagian Penelitian LP3ES (1972-1974). Jabatannya naik setelah Dawam menjadi

Koordinator Bagian Penelitian dan Pengembangan LP3ES (1974-1976), kemudian

Wakil Direktur LP3ES (1976-1978), sehingga akhirnya menjadi Direktur LP3ES

selama enam tahun (1980-1986). Secara bersamaan, Dawam juga dipercaya

memimpin majalah milik LP3ES, Prisma, yang sangat populer di kalangan

intelektual saat itu. Pada tahun tersebut pula, Dawam memprakasai berdirinya Inter-

Non-Governmental for Development (INFID) dan South East Asia Forum for

Devolepment Alternatif (SEAFDA). 27 Selain itu, Dawam juga pernah menjabat

sebagai Direktur Utama Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya. 28 Selepas dari

25
Pada saat yang bersamaan, Dawam aktif menulis di media massa dan menjadi redaktur
Mimbar Demokrasi dan koran mingguan Forum. Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 12.
26
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 45.
27
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 15.
28
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 42.
32

LP3ES, ia menggagas pendirian Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA) dan menjadi

pemimpinnya.29

Di bidang pendidikan akademis, sejak tahun 1986 Dawam mengajar sebagai

dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Tidak hanya itu, beberapa

tahun kemudian ia bahkan menjabat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana UMM

(1994-1997). Dawam pernah memangku jabatan Pembantu Rektor IV Universitas

Islam 45 (Unisma) Bekasi dan setelah itu menjadi rektor. 30 Ia menjabat sebagai

Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta (2009-masih aktif tahun 2015).

Sedangkan di luar akademis, Dawam adalah salah satu pendiri Lembaga Studi Agama

dan Filsafat (LSAF) dan menjadi Ketua Yayasan LSAF sejak tahun 1991 dan masih

aktif sampai tahun 2012. 31 Lembaga ini kemudian menerbitkan Jurnal Ilmu dan

Kebudayaan ‘Ulumul Qur’an yang mana ia rutin menulis rubrik “Ensiklopedia Al

Qur’an”. Kumpulan tulisannya dalam rubrik tersebut lalu dijadikan buku yang

berjudul Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci.

Ia juga memimpin Lembaga Pemikiran Ekonomi Alam (LPel), Universitas Islam As-

Syafi’iyah, Jakarta dan Kelas Lembaga Ekonomi dan Manajemen Sarekat Islam

(SI).32

Di bidang ekonomi, Dawam pernah mengampu tugas sebagai Presiden

Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES) Persada

29
Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial, h. 492. Lembaga inilah
yang kemudian membidani Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Wawancara pribadi dengan Asep
Usman Ismail.
30
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 43.
31
M. Dawam Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Freedom
Institute, 2012), h. 379.
32
Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial, h. 492.
33

Consultant. Ia juga pernah diserahi tanggung jawab sebagai Koordinator Bidang

Ekonomi, Tim Reformasi untuk Mengembangkan Masyarakat Madani dan Ketua

Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah. 33 Ia menjadi Ketua Majelis Ekonomi

Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000), Komisaris Utama PT. Solar Global

International (PT. SGI) Badan Usaha Milik Muhammadiyah (1998-2001), dan Ketua

Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah

(2000-2005).34

Sebenarnya, kiprah Dawam sebagaimana disebutkan di atas -dimulai sejak

duduk di bangku sekolah, kuliah, sampai berkarir- merupakan bukti nyata

intelektualitas yang dimilikinya. Maka tak heran bila Ahmad Syafii Maarif –dalam

tulisannya- menjulukinya “Sang Intelektual”. 35 Berkat daya intelektualnya, kiprah

Dawam semakin melebar hingga melambungkan namanya. Jangkauan perannya

semakin meluas seiring berbagai macam organisasi yang digelutinya baik dalam skala

nasional maupun internasional.

Di kancah nasional, pada tahun 1990-an Dawam terlibat aktif dalam

melahirkan wadah perkumpulan cendekiawan muslim se-Indonesia yang dinamakan

Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Di organisasi tersebut, ia dilantik

sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar pada periode 1991-1995. Puncaknya, pada periode

berikutnya (1995-2000), ia terpilih sebagai salah satu Ketua ICMI Pusat. Di sinilah

33
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 43.
34
Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam, h. 379.
35
Menurut Ahmad, Dawam punya banyak atribut penting yang pantas disandangnya seperti:
ekonom, penyair, penulis prolifik, dan masih produktif di usia senjanya. Sebagai intelektual, Dawam
bergerak di dunia Lembaga Swadaya Masyarakat yang sering berseberangan dengan kekuasaan. Lihat:
Ahmad Syafii Maarif, “Bung Dawam: Sang Intelektual,” dalam Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi
Pluralisme, h. 827
34

Dawam benar-benar mengabdikan dirinya. Ia memiliki peran penting dan pengaruh

yang kuat dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Terkait hal ini, mantan

Presiden RI ketiga yang juga mantan Ketua ICMI Pusat Periode 1991-1995, B.J.

Habibie berkomentar, “…ia tidak hanya melahirkan pemikiran dan gagasan

kepedulian terhadap golongan dhu’afâ, tetapi juga mempunyai keterlibatan sosial

yang konkret. Ia bergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat, dan membuat

jaringan kerja langsung yang menyentuh kepentingan masyarakat.”36 Sementara itu,

di kancah internasional, Dawam pernah menjabat sebagai President of The Board of

Directors, International Forum of Islamic Studies. Ia juga pernah diamanahi jabatan

sebagai Direktur International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia (1999-

masih aktif tahun 2012).37

Terakhir, atas konsistensi keintelektualannya serta kontribusinya dalam

memperjuangkan kesejahteraan masyakarat, Dawam mendapat penghargaan langsung

dari pemerintah. Beberapa tanda jasa yang pernah disematkan padanya, yaitu: Tanda

Kehormatan Bintang Mahaputera Utama (1999), Penghargaan Tertinggi DEKOPIN

“Hatta Nugraha” (1997), dan Bintang Satya Lencana Pembangunan, dari Presiden RI

(1995).38 Ini sekaligus menjadi bukti bahwa sosok Dawam memang mumpuni.

36
Habibie, “Dawam Rahardjo, ICMI, dan Habibinomics,” dalam Ali-Fauzi, Demi Toleransi
Demi Pluralisme, h. 32-33.
37
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 43.
38
Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam, h. 380. Perlu diketahui, Tanda
Kehormatan Bintang merupakan sebuah penghargaan tertinggi oleh pemerintah Republik Indonesia
kepada perorangan ataupun instansi berdasarkan pengabdian yang bersangkutan. Bintang Mahaputera
Utama termasuk jenis bintang sipil kelas III. Adapun tanda kehormatan Satyalencana berada di bawah
tanda kehormatan Bintang. Satyalencana Pembangunan termasuk jenis Satyalencana Sipil. Lihat
keterangan lebih lanjut: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Daftar_tanda_kehormatan_di_Indonesia ,
diakses pada Jumat, 02 Maret 2018, pukul 07.33 WIB.
35

B. Karya-karya M. Dawam Rahardjo

Sebagai seorang intelektual dan cendekiawan muslim yang produktif, Dawam

senantiasa menuangkan pemikiran-pemikirannya ke dalam tulisan. Tulisan buah hasil

pemikirannya tersebut tersebar dalam majalah, jurnal (nasional/internasional), surat

kabar (daerah/nasional), dan buku ataupun editorial. Jumlah total semua karyanya

mencapai angka puluhan yang mana ia hasilkan sejak masa muda sampai usia

senjanya. Meski berlatar belakang bidang keilmuan ekonomi, karya-karya tersebut

tidak hanya menyangkut satu bidang keilmuan saja, namun juga dari beberapa aspek

keilmuan yang lain. Bila semua karya itu dikategorikan, setidaknya ada empat

kategori yang pernah ia tulis yakni: ekonomi, agama, sosial-politik, dan sastra.

Adapun karya M. Dawam Rahardjo dalam bidang ekonomi adalah:

1. Esai-esai Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1983)

2. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Jakarta: UI

Press, 1985)

3. Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES, 1986)

4. Etika Bisnis dan Manajemen, Kapitalisme Dulu dan Sekarang (Editor,

Jakarta: LP3ES, 1986)

5. Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur

(Jakarta: LP3ES, 1987)

6. Etika Manejemen Ekonomi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989)

7. Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia (Jakarta:

LP3ES, 1992)

8. Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa (Jakarta: LP3ES, 1995)


36

9. Habibi Economics: Telaah Pemikiran Pembangunan Ekonomi (Jakarta, 1995)

10. Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES)

11. Ekonomi Neo-klasik dan Nasionalisme Religius (2011)

12. Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial (2015)

Sedangkan karya-karya Dawam dalam bidang keagamaan adalah:

1. Pesantren dan Pembaharuan (1974)

2. Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam (Jakarta: Grafiti Press, 1985)

3. Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985)

4. “Refleksi Sosiologi al-Qur’an” dalam Perspektif Islam Dalam Pembangunan

Bangsa (Yogyakarta: PLP2M, 1985)

5. Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam (Bandung: Mizan,

1987)

6. “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam Metodologi

Penelitian Agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989)

7. Insan Cendekiawan Muslim (1992)

8. “The Question of Islamic Banking in Indonesia” dalam Islamic Banking in

Southeast Asia (Singapura: ISEAS, 1992)

9. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999)

10. Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci

(Jakarta: Paramadina, 2002)

11. Islam dan Transformasi Sosial-Budaya (Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf,

2002)
37

12. Paradigma al-Qur’an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP,

2005)

Adapun karya-karya Dawam dalam bidang sosial-politik adalah:

1. Intelektual, Intelegensi, dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan

Muslim (Bandung: Mizan, 1993)

2. “Relegion, Society, and State” dalam Religion and Contemporary

Development (1994)

3. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial

(Jakarta: LSAF-LP3ES, 1999)

4. Orde baru Orde Transisi: Wacana Kritis Atas Penyalahgunaan Kekuasaan

dan Krisis Ekonomi (Yogyakarta: UII Press, 1999)

5. Tantangan Indonesia Sebagai Bangsa: Esai-esai Kritis Tentang Ekonomi,

Sosial, dan Politik (Yogyakarta: UII Press, 1999)

6. Merayakan Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan (2010)

Adapun karya-karya sastranya yang terkenal adalah:

1. Pohon Keramat (Cerpen)

2. Anjing yang Masuk Surga (Cerpen)

C. Pemikiran M. Dawam Rahardjo

Dawam Rahardjo dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam di Indonesia.

Perhatian Dawam terhadap pemikiran Islam sebenarnya sudah tumbuh jauh sebelum

masuk LP3ES. Setidaknya ada dua fase yang Dawam lalui, yakni fase pendidikan
38

dasar dan fase pengembangan. Pembagian dua fase ini penulis simpulkan berdasarkan

materi keilmuan dan pengalaman yang diterimanya.

Fase pertama, Dawam dikenalkan pada ilmu-ilmu dasar agama. Dalam hal

ini, keluarganya mempunyai andil besar membentuk kepribadian Dawam. Menurut

Bahtiar Effendy, selain akrab dengan pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam

seperti Pondok Pesantren Jamsaren, Perguruan al-Islam, Pesantren Krapyak, atau

organisasi Islam perkotaan Muhammadiyah, keluarga Dawam juga dekat dengan

kyai-kyai berpengaruh semisal K.H. Imam Ghozali, K.H. Ali Darokah, Ustadz

Abdurrahman. Para kyai tersebutlah yang mengajarkan Dawam ilmu-ilmu agama

seperti Bahasa Arab, Fiqh, Tafsir, Hadits, dan Tajwid di tingkat dini. 39 Ilmu-ilmu

dasar inilah yang kemudian turut membantu Dawam dalam memahami al-Qur’an.

Fase kedua berlangsung setelah Dawam datang ke Jogja. Di kota ini, minat

Dawam terhadap pemikiran keislaman mulai berkembang. Masih menurut Effendy,

setidaknya ada tiga hal penting yang berkaitan dengan hal ini, yaitu: situasi sosial-

keagamaan dan politik Indonesia, keterlibatan Dawam di dalam organisasi

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Yogyakarta, dan aktifitas Dawam di dalam

kelompok diskusi yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mukti Ali-Limited Group.40 Ketiga

39
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. x.
40
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xi. Limited Group adalah kelompok
diskusi berkala yang diprakarsai oleh Dawam Rahardjo dengan mengajak A. Mukti Ali sebagai
mentornya. Penamaan Limited Group sendiri adalah inisiatif dari Ahmad Wahib yang mulanya
menyebut kelompok diskusi ini “Lingkaran Studi Limited Group”. Diskusi diadakan sekali dalam
seminggu, tepatnya setiap Jum’at sore di kediaman A. Mukti Ali yang terletak di Komplek IAIN,
Demangan, Yogyakarta. Anggota tetap kelompok ini adalah A. Mukti Ali, M. Dawam Rahardjo,
Ahmad Wahib, dan Djohan Effendi. Tiga tema pokok yang menjadi tahap rangkaian diskusi adalah
(1) merumuskan nilai-nilai dasar Islam, (2) merumuskan tuntutan-tuntutan pokok bangsa, dan (3)
merumuskan ideologi politik umat Islam Indonesia. Setelah Dawam pindah ke Jakarta, diskusi ini
masih tetap berjalan. Kegiatan Limited Group baru berhenti saat A. Mukti Ali diangkat menjadi
39

faktor inilah yang menjadi konteks lahirnya seorang Dawam sebagai seorang aktivis

dan pemikir Islam yang melihat Islam dalam konteks ke-Indonesiaan dengan lebih

nyata.41 Lebih jelasnya, terkait faktor pertama Bahtiar Effendy menerangkan:

“Sebanding dengan periode-periode sebelumnya, Indonesia pada dasawarsa


1960-an masih disibukkan oleh antagonisme ideologis dan politis antara
Islam dan negara. Situasi demikian muncul antara lain karena idealisme dan
aktivisme para pemikir dan praktisi politik Islam generasi pertama yang
tempo-tempo kental nuansa formalistik dan legalistiknya. Kecenderungan
demikian telah mendatangkan implikasi-implikasi sosial-politik yang tidak
menguntungkan komunitas Islam. Inilah kemudian yang menimbulkan
dialektika pemikiran dan aktivisme baru, yang dikembangkan oleh generasi
yang lebih muda, untuk menemukan sintesa yang memungkinkan dalam soal
hubungan antara Islam dan politik/negara. Dalam kerangka itulah, mereka
merasa perlu melakukan kajian ulang atas posisi agama (Islam) dalam
kehidupan sosial-ekonomi dan politik keseharian –khususnya yang
42
menyangkut dasar-dasar teologisnya.”

Kondisi sosial-politik di Indonesia sebagaimana dijelaskan di atas merupakan

latar belakang terjadinya faktor kedua. Pada saat itu, HMI merupakan organisasi

mahasiswa Islam terbesar sehingga mempunyai kekuatan dalam percaturan sosial-

politik di Indonesia. Para aktivisnya ikut andil dalam merespon situasi sosial-politik

negara. Salah satu upaya mereka adalah berusaha mewacanakan keterkaitan Islam

dengan persoalan kehidupan setiap hari yang empirik. Untuk mewujudkan wacana

ini, HMI mengadakan training-training secara berkala yang diikuti oleh kader-

kadernya. Dalam situasi tersebut, Dawam merupakan salah satu anggota yang terlibat

aktif dalam kegiatan-kegiatan HMI Yogyakarta. 43

Menteri Agama pada tahun 1972. Lihat: Djohan Effendi, “Intelektual Muslim Yang Selalu Gelisah:
Kesaksian Seorang Sahabat,” dalam Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 37-38.
41
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xi.
42
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xii.
43
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xii. Bersama dengan Djohan Effendi
dan Ahmad Wahib, Dawam sering blusukan mengadakan training-training HMI ke desa-desa.
Training tersebut dilakukan di desa-desa demi menghindari PKI yang saat itu memiliki pengaruh yang
kuat. Dengan kata lain, keaktifan mereka didorong pula oleh tantangan gerakan komunis. Oleh
40

Ketiga, adalah aktifitas Dawam di dalam kelompok diskusi yang dipimpin

oleh Prof. Dr. Mukti Ali-Limited Group. Diskusi ini hanya terdiri dari beberapa

orang, yakni: Syu’bah Asa, Saifullah Mahyuddin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo,

Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Kamal Muchtar, Simuh, Wadjiz Anwar, Djohan

Effendi, Ahmad Wahib, Mansyur Hamid, dan Dawam Rahardjo sendiri. Mereka

secara rutin berdiskusi secara terbuka mengkaji pemikiran Islam tanpa merasa takut

dicap telah keluar dari batasan-batasan religius dan teologis yang lumrah. Mereka

tidak hanya mengkaji masalah agama, namun juga sosial, politik, dan sebagainya. 44

Berdasarkan ketiga fase di atas, bisa dilihat bagaimana pertumbuhan

pemikiran Dawam dilatarbelakangi oleh sebuah konteks tertentu yang mana

berhubungan dengan situasi nasional yang kemudian direspon oleh kelompok

masyarakat dan diperkuat oleh kajian-kajian yang tak terlepas dari realitas sosial.

Maka, dapat dimaklumi bila kemudian Dawam lebih tertarik pada kajian sosial-

ekonomi. Minatnya ini juga turut membantu Dawam untuk mewujudkan

keinginannya dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan memperbaiki kualitas

hidup umat pada umumnya.

Sejak tahun 1960-an, Dawam beserta teman-temannya sesama pemikir dan

aktivis Islam (terutama di kalangan HMI) berjuang untuk mengubah situasi politik

negara yang merugikan (umat) Islam. Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya,

situasi politik negara turut andil membentuk kepribadian Dawam terutama

karenanya, Sudjoko Prasodjo dan Sularso (senior mereka di HMI) mendorong mereka untuk
mempelajari sosialisme agar dapat berdebat dalam tataran ideologis dengan orang-orang komunis.
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 9-10.
44
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xii. Lihat juga: Djohan Effendi dan
Ismed Natsir, ed., Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, cet. 6 (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2003), h. vii-viii.
41

pemikirannya. Dalam hal ini, berdasarkan keterangan Bahtiar Effendy, Dawam

memandang setidaknya ada tiga madzhab pemikiran yang muncul dalam konteks

masalah tersebut. Pertama adalah pembaharuan keagamaan yang memfokuskan diri

untuk mencari dasar-dasar teologi baru yang memungkinkan untuk mensintesa antara

Islam dan negara terutama dari sudut pandang hubungan politiknya. Beberapa tokoh

yang menjadi pionir aliran ini adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad

Wahib, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Syadzali. Kedua,

pembaharuan politik yang bertujuan untuk menjembatani hubungan antara Islam dan

pemerintah. Para tokoh yang bergerak di aliran ini di antaranya adalah MS

Mintaredja, Sulastomo, Akbar Tanjung, dan Bintoro Tjoroammidjojo. Ketiga, aliran

transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan yang melakukan pemberdayaan

sosial-ekonomi dan politik masyarakat bawah, baik yang di desa maupun di kota.

Beberapa tokoh yang menjadi tulang punggung aliran ini di antaranya adalah Sudjoko

Prasodjo, Tawang Alun, Adi Sasono, dan M. Dawam Rahardjo sendiri. Berkat kerja

keras gerakan ketiga aliran tersebut, pada akhir dasawarsa 1980-an kecurigaan

menipis dan akomodasi negara atas sejumlah aspirasi (umat) Islam terlaksana.45

Menurut Effendy, sebenarnya Dawam telah menaruh perhatian yang cukup

besar terhadap dua golongan pertama. Terlebih pada aliran pemikiran golongan

kedua, Dawam banyak terlibat dalam pengembangan wacananya. Namun, pada

kenyataannya, Dawam termasuk golongan ketiga. Golongan ini memfokuskan

perhatiannya pada pemberdayaan sosial-ekonomi dan politik masyarakat bawah, baik

45
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xiv-xv.
42

di pedesaan ataupun perkotaan. 46 Dalam hal ini, pada tahun 1970-an Dawam yang

aktif di LP3ES bersama rekan kerjanya, Tawang Alun, serta seorang aktivis

Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTID), Sudjoko Prasodjo, mengawali program-

program transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan. Program-program tersebut

berupa pengembangan industri kecil dan pengembangan masyarakat melalui

pesantren. Untuk menyukseskan programnya, Dawam membangun kerja sama

birokrasi dengan Departemen Nakertranskop dan Departemen Agama. Kebetulan,

saat itu Departemen Agama dipimpin oleh Mukti Ali, mentor sekaligus

pembimbingnya di Limited Group. Alhasil, kerjasama tersebut membuahkan hasil

berupa dilaksanakannya program Pendidikan dan Latihan Ketrampilan (Dilaktram) di

pesantren-pesantren seluruh Indonesia. 47

1. Pandangan M. Dawam Rahardjo Terhadap al-Qur’an

Al-Qu’ran merupakan kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat muslim.

Sumber agama adalah al-Qur’an dan begitu pula umat bersumber dari al-Qur’an. Al-

Qur’an-agama-umat menjalin hubungan segitiga yang saling bertautan. Dengan

adanya hubungan antara segitiga tersebut, al-Qur’an memiliki pengaruh yang sangat

besar terhadap pembentukan semangat dan sifat kebudayaan dan peradaban umat

muslim. Oleh karena itu, masa depan Islam terletak pada inspirasi al-Qur’an. Sebagai

konsekuensinya, umat muslim harus menciptakan masa depannya dengan al-Qur’an.

46
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xv.
47
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xvi.
43

al-Qur'an

agama umat

Gambar 1. Segitiga hubungan antara al-Qur’an-agama-umat

Menurut Dawam, setiap tokoh yang memerankan dirinya sebagai pembaharu

dalam Islam, maka ia akan menyusun sebuah tafsir al-Qur’annya sendiri.48 Namun,

“tentu tidak dapat diartikan bahwa setiap penyusun buku tafsir itu adalah seorang

pembaharu,” tulis Dawam dalam Tafsjr al-Qur’an: Cakupan Sosial Budaya. Ia lalu

menyebut segelintir nama tokoh yang sekaligus pembaharu yang menyusun buku

tafsir semisal Muhammad Abduh, Basyiruddin Mahmud Ahmad, Maulana Ali, dan

Ayatullah Taba’tabai. Bagi Dawam, hari depan kaum muslim bisa diraih melalui

tafsir al-Qur’an yang senantiasa baru.49 Ia meyakini bahwa meskipun al-Qur’an tidak

akan pernah berubah atau direvisi oleh kaum muslim, kitab suci tersebut tidak akan

lekang oleh zaman. Al-Qur’an akan tetap berlaku sepanjang waktu karena seluruh

isinya bersifat perenial50. Isi kandungan al-Qur’an akan tetap abadi karena sejalan

dengan fitrah manusia.51

Berkaitan dengan hal tersebut, Dawam berdalih bahwa al-Qur’an berupa kata-

kata yang mana kata adalah simbol. Gambaran orang atas simbol selalu mengalami

48
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2002), h. 3-4.
49
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 4-5..
50
‘Kekal’ atau ‘abadi’. Pius Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:
Arkola, t.t.), h. 594.
51
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 12.
44

perkembangan yang tak jarang menimbulkan perbedaan. Contohnya adalah lafadz

qalam dalam surat al-‘Alaq. Persepsi orang dulu dan sekarang atas “qalam” pasti

berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa lafadz al-Qur’an beserta esensi maknanya

tetap namun interpretasinya yang berubah. Oleh karena itu, maklum bila perbedaan

penafsiran akan timbul. Tidak hanya itu, perbedaan interpretasi terhadap al-Qur’an

akan menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat terkait tafsir mana yang benar.

Dalam situasi seperti inilah maka akan lahir proses rekonsiliasi 52 yang akan

menghasilkan kesepakatan-kesepakatan tertentu baik secara formal maupun informal.

Selanjutnya, dalam proses rekonsiliasi itu akan muncul penafsiran-penafsiran baku

yang kejadiannya sebagaimana berikut:53

a. Penafsiran akan mengacu pada makna kata demi kata dengan perkembangan

suatu bahasa.

b. Penafsiran bisa saja timbul karena seseorang menemukan keterangan lain

dalam al-Qur’an, karena bagian al-Qur’an yang satu akan menjelaskan bagian

al-Qur’an yang lain.

c. Penafsiran berasal dari informasi asbâb al-nuzûl. 54

Singkatnya, penafsiran baru atas al-Qur’an bisa terjadi karena dua hal: pertama

adalah karena istilah dalam al-Qur’an itu sendiri menimbulkan gambaran yang

berubah; kedua adalah karena pekembangan ilmu pengetahuan manusia. 55

52
‘Pemufakatan’; ‘perdamaian’; rujuk kembali. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, h. 671.
53
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 13.
54
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 14.
55
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 14.
45

Berdalil Q.S. al-Baqarah (2): 185, Dawam melihat ada tiga konsep mengenai

al-Qur’an. Pertama, al-Qur’an adalah kitab yang berisi hudâ alias petunjuk, pedoman

atau pimpinan. Kedua, selain berisi petunjuk, al-Qur’an juga menjelaskan atau bayân

mengenai petunjuk tersebut. Ketiga, petunjuk yang diberikan al-Qur’an sekaligus

merupakan kriteria atau tolak ukur untuk menilai segala sesuatu, terutama untuk

membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang

indah dan yang seronok. 56 Berdasarkan tiga konsep tersebut, Dawam memahami

bahwa:

a. untuk mendapatkan petunjuk dari Allah, maka seseorang perlu membaca al-

Qur’an. Al-Qur’an akan memberikan pedoman umum dan ia tidak akan

menyajikan jawaban secara detail terkait masalah konkret yang sedang

dihadapi. Oleh karenanya, orang tersebut harus menganalisis

permasalahannya sendiri berdasarkan petunjuk umum yang berbentuk

pedoman moral.57

b. Untuk mengetahui bayân al-Qur’an, seseorang membutuhkan tafsir.

Menurut Dawam, setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan

petunjuk dari al-Qur’an asalkan memenuhi syarat-syaratnya, misalnya mengetahui

bahasa al-Qur’an secara mendalam. Namun, pengetahuan bahasa saja tidak cukup.

Selain mengetahui maknanya secara mendalam, orang perlu mengkaji al-Qur’an

seraya memahaminya secara mendalam pula dengan metode tertentu.58

56
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xvii.
57
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xviii.
58
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xix.
46

Dawam mengingatkan bahwa salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah

bahwa ayat-ayatnya dapat dipahami oleh manusia dari berbagai tingkat berpikir. Oleh

karenanya, ia menyatakan bahwa orang yang memiliki tingkat berpikir lebih cerdas

atau lebih berkembang maka ia akan memperoleh makna yang lebih mendalam.59

Selain itu, salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah seseorang bisa menyusun

metodologi tafsir al-Qur’an berdasarkan keterangan-keterangan dari al-Qur’an

sendiri. Menurutnya, salah satu cara membaca dan memahami al-Qur’an bagi orang

awam bahasa Arab adalah melalui terjemahan. Hasil pembacaan dan pemahaman

tersebut bisa saja sangat mendalam dengan menggunakan metode tafsir al-Qur’an dan

melakukan analisis. 60

2. Metode Tafsir M. Dawam Rahardjo

Terkait metode tafsir, Dawam sangat antusias dengan metode maudû’î

(tematik). Menurutnya, sebuah buku tafsir tidak perlu mencakup seluruh isi al-

Qur’an. Tafsir bisa berupa tema-tema tertentu saja. Tafsir tematik lebih memudahkan

umat untuk melaksanakan perintah Rasulullah Saw yang pernah bersabda,

“Sampaikan dari aku (kepada orang lain) walau satu ayat pun!” Oleh karenanya,

Dawam berharap agar al-Qur’an dapat disiarkan dan dibudayakan oleh banyak orang

dari sudut keahlian yang berbeda-beda61 dengan mengambil salah satu dari tiga titik

tolak: pertama, bertolak dari konsep ilmu-ilmu sosial dan budaya atau filsafat sosial;

59
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xix.
60
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xix.
61
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 15.
47

kedua, bertolak dari istilah-istilah dalam al-Qur’an; dan ketiga, bertolak dari istilah-

istilah dan pengertian yang timbul dari ilmu-ilmu keislaman tradisional.62

Sementara itu, di dalam kajian agama pada umumnya-termasuk al-Qur’an-

Dawam biasanya menggunakan pendekatan analisa sosial. Pendekatan ini bisa

digunakan dalam tiga hal, yaitu: sebagai media penjelas, media pengkayaan dan bisa

dipinjam sebagai media untuk penurunan ajaran agama yang semula normatif ke level

sosial atau fungsional. Ilmu-ilmu sosial dijadikan perangkat untuk membaca realitas

sosial. Menurut pandangan ini, ilmu bersifat netral. Selama teori yang dibangun tidak

berdasar pada golongan atau kepentingan tertentu, maka kebenaran akan dicapai.

Kebenaran tersebut juga harus dibangun berdasar pertimbangan-pertimbangan

obyektif-empiris.63

Terkait dengan karangannya berjudul “Ensiklopedi al-Qur’an”, Dawam

menyebutnya sebagai “sebuah tafsir al-Qur’an”. Namun karena banyak orang yang

berkeberatan atas anggapan tersebut, maka ia lantas meminjam perkataan M. Quraish

Shihab untuk menyebutnya sebagai “pemahaman terhadap al-Qur’an dari seorang

sarjana ilmu-ilmu sosial”. 64

Meski tidak mengklaim diri telah memenuhi syarat seorang mufassir, Dawam

mengaku bahwa ia memiliki modal untuk memahami al-Qur’an. Paling tidak,

menurutnya-sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya, ia mendapat

62
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 10-11.
63
Kusmana, “Dimensi Sosial Pemahaman al-Qur’an M. Dawam Rahardjo”, Mimbar: Jurnal
Agama & Budaya, v. 23, no. 1, (2006): h. 42-43. Kusmana berpendapat, untuk menelusuri pemikiran
Dawam, maka peneliti harus berangkat dari dua wilayah yang menjadi minatnya, yaitu: wilayah
empirisisme ilmu sosial dan wilayah normatif kajian Islam. Lihat: Kusmana, “Dimensi Sosial
Pemahaman al-Qur’an”, h. 44.
64
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
48

pendidikan dari madrasah diniyah. Ia pernah belajar bahasa Arab termasuk nahwu-

sarf, balâghah, dan tajwîd serta mempelajari ilmu tafsir al-Qur’an. Ia juga belajar

bahasa Arab secara otodidak dari beberapa buku yang ia beli. Dengan pengalaman

tersebut, Dawam mengaku merasa cukup akrab dengan al-Qur’an dan memiliki
65
kemampuan untuk memahaminya. Ia lantas membeberkan bahwa kunci

“rahasia”nya adalah doa untuk memohon petunjuk dan rahmat serta berusaha

membuka diri terhadap ayat. 66

Adapun metode dalam memahami al-Qur’an, Dawam menjelaskan, “Saya

menafsirkan ayat sebagai tamsil atau simbol (Q.S. al-Zumar/39.27), yang sarat

makna. Tetapi makna itu harus digali dari kandungan al-Qur’an sendiri, yang

berisikan ayat-ayat yang saling menerangkan, seolah-olah pengertian-pengertian itu

djielaskan berulang-ulang, yang satu berhubungan dengan yang lain sebagai sebuah

struktur atau sistem makna seperti sebuah bangunan yang terdiri dari makna-makna

yang saling menopang, atau menjelaskan satu sama lain(Q.S. al-Zumar/39.23).” 67

Namun, Dawam mengakui bahwa dirinya belum sepenuhnya melaksanakan sistem

penafsiran yang ia pahami itu. Ia beralaskan penulisan artikel yang terlalu panjang

untuk sebuah entri yang harus terbatas. 68

Dalam memahami al-Qur’an, Dawam menyebut nama Ahmad Rifai Hasan

sebagai gurunya. Menurutnya, selain pandai berbahasa Arab, Rifai juga menguasai

ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karenanya, Dawam sering berkonsultasi padanya terkait

65
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
66
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
67
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
68
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
49

69
soal-soal bahasa dan muatan al-Qur’an. Selain Rifai, Dawam juga menyebut

ayahnya yang menurut penilaiannya adalah ahli tafsir al-Qur’an. Ayahnya pernah

belajar di Madrasah Mamba’ul Ulum dan Pesantren Jamsaren, Solo, hingga tamat.

Sebagai pecinta al-Qur’an, ayahnya tak pernah bosan menanamkan kecintaan pada al-

Qur’an padanya. 70

Sayangnya, ayah Dawam belum berhasil meyakinkannya tentang mukjizat al-

Qur’an. Ia baru menyadarinya ketika “menemukan” cara membaca dan mempelajari

al-Qur’an, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an. 71 Caranya adalah dengan

menangkap makna ayat yang dikutip secara mendalam pada ayat-ayat lain yang

mengandung penjelasan mengenai ayat tersebut. Cara ini menyebabkan seorang

pembaca mampu menangkap makna-makna mendalam dari kata-kata atau istilah-

istilah al-Qur’an. 72

Motivasi lain Dawam menulis ensiklopedi adalah ia berharap tulisannya tidak

terlalu sulit dipahami seperti anggapan orang terhadap Ulumul Quran. Ia ingin

menyebarkan minat dan kecintaan terhadap al-Qur’an dan berharap dengan kehadiran

bukunya bisa memperingan beban berat atas bacaan Ulumul Quran tersebut. Hal ini

maklum karena objek buku tersebut ia tujukan pada pemula yang baru berkenalan

dengan al-Qur’an agar memiliki rasa cinta sebagaimana dirinya. 73

69
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxii.
70
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxiii.
71
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxiii.
72
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxiv.
73
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxiv.
50

3. Tanggung Jawab Sosial Cendekiawan Muslim

Di dalam salah satu tulisannya, Dawam mengingatkan bahwa cendekiawan

muslim bertanggung jawab dalam melaksanakan seruan Allah Swt untuk mengkaji al-

Qur’an sesuai dengan keahlian mereka. Pada Q.S. Shâd (38): 29, Allah menyeru

kaum yang berpikir (ulil albâb) agar mentadabburi al-Qur’an dan mengambil

pelajaran darinya. Pada kenyataannya, tidak semua ahli pikir mau dan mampu

mempelajari al-Qur’an. Oleh karena itu, Dawam sangat menyayangkan kesukaran

untuk mentadabburi al-Qur’an hanya karena seseorang tidak memenuhi syarat-syarat

yang diajukan dalam ilmu tafsir. Menurutnya, masalah ini harus dicari solusinya

dengan cara mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempermudah umat

muslim (terutama para cendekiawan) agar dapat megambil manfaat dari al-Qur’an. Ia

menjelaskan:

“Menurut saya, usaha untuk memenuhi seruan Allah dalam al-


Qur’ân ini, sebaiknya tidak kita mulai dengan menghantui orang dengan
persyaratan ilmu tafsir yang berat-yang seringkali malah tidak terjangkau-
melainkan dengan berusaha menemukan jalan yang lebih mudah. ‘Maka
bacalah dari al-Qur’ân apa yang mudah bagi kamu,’ kata al-Qur’ân s.al-
Muzammil/73:20. Tetapi bagaimakah jalan yang paling mudah itu?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengajukan pertanyaan lain, yaitu
faktor-faktor apakah yang dapat mempermudah kita membaca dan
mempelajari al-Qur’ân? Saya kira para ahli tafsir bisa menjawab pertanyaan
itu. Walaupun mungkin mereka juga tidak mengetahui cara yang
mempermudah mempelajari al-Qur’an. Yang tahu, bisa jadi adalah orang
yang tidak ahli, tetapi berusaha keras mencari jalan untuk menggapai
petunjuk ilahi itu.”74

Menilik perkataan Dawam di atas, tampak bahwa ia sangat berharap dapat

memasyarakatkan al-Qur’an. Hal ini tidak terlepas dari kecintaannya pada kitab suci

tersebut sebagai pedoman hidupnya dan rasa tanggung jawab sosialnya pada

74
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 16.
51

masyarakat sebagai cendekiawan. Bukti konkretnya adalah ia telah menyusun sebuah

ensiklopedi al-Qur’an dan aktif mengampanyekan hidup berlandaskan al-Qur’an

dengan cara menawarkan pembacaan baru agar masyarakat dapat mengaplikasikan

ajaran-ajaran dalam al-Qur’an.***


BAB III
DZIKR DAN ULIL ALBÂB: PENGERTIAN DAN TAFSIR

A. Konsep Dzikr dalam al-Qur’an

Kata dzikr merupakan salah satu dari beberapa kata yang sering disebut dalam

al-Qur’an. Buktinya, dzikr dalam berbagai bentuk dan macam derivasinya terulang

sebanyak 274 kali.1 Kata dzikr dalam bentuk masdar-nya sendiri terulang sebanyak

76 kali. 2 Lebih dari itu, menurut Quraish Shihab, kata dzikr dalam berbagai

bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an tidak kurang dari 280 kali. 3 Fakta ini

menunjukkan bahwa dzikr termasuk salah satu topik pembahasan yang diperhatikan

dalam Islam, apalagi al-Qur’an sendiri oleh Allah diberi nama al-Dzikr.4 Oleh sebab

itu, banyak sekali para pengkaji ilmu yang meneliti pembahasan dzikr tersebut sejak

dulu sampai sekarang. Namun pada sub-bab ini, penulis hanya menampilkan

gambaran umum terkait topik dzikr untuk mengulas kembali konsep dzikr yang telah

dirumuskan oleh para pengkajinya. Pembahasan ini mencakup makna dzikir, istilah,

dan perkembangannya di dunia Islam.

1. Pengertian Dzikr

Lafadz dzikr ditinjau dari aspek etimologi pada mulanya digunakan oleh

pengguna bahasa Arab dalam arti antonim lupa. Ada pula sebagian pakar yang

1
Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:
Dâr al-Hadîts, 2007), h. 332.
2
Khoirul Umam, “Konsep Zikir Menurut al-Marâghî (Penafsiran terhadap QS. 2: 152, 13: 28,
39: 23, 89: 27-30, 10: 57, 26: 80, 41: 44, 17: 82),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 22.
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, cet. 3 (Ciputat: Lentera Hati,
2008),, h. 11.
4
Q.S. al-Hijr (15): 9.

52
53

berpendapat bahwa kata tersebut berarti ‘mengucapkan dengan lidah’ atau ‘menyebut

sesuatu’. Makna dzikr kemudian berkembang menjadi ‘mengingat’ dikarenakan saat

seseorang mengingat sesuatu seringkali ingatan tersebut mengantar lidah untuk

menyebutnya.5 Ada pula yang berpendapat kata dzikr mulanya digunakan untuk dua

fungsi, yaitu: pertama, kondisi kejiwaan tertentu yang dengannya seorang manusia

bisa menjaga ilmu dan pengetahuan yang telah diperoleh; kedua, hadirnya sesuatu

dalam hati atau lisan.6

Mayoritas ulama ahli bahasa Arab tidak berbeda pendapat mengenai makna

dzikr. Lafadz dzikr dalam bahasa Arab terdiri dari tiga huruf, yakni dzal ( ‫) ذ‬, kaf (‫) ك‬,

dan ra’ ( ‫) ر‬. Gabungan tiga huruf ini dalam bentuk asal fi’il madî dibaca dzakara

َ ‫ ) َح ِف‬yang berarti ‘menjaga’.7 Lafadz


( ‫ )ذَ َك َر‬yang mempunyai makna asal hafidza ( ‫ظ‬

َ ْ‫)ا ْستَح‬, yakni ‘menghadirkan’ atau ‘mengingat


ini bisa pula berarti istahdara (‫ض َر‬

sesuatu setelah lupa’. Jika disandingkan dengan lafadz Allah (‫)هللا‬, dzikr bermakna

‘memuji-Nya’. Sedangkan bila bersanding dengan lafadz al-ni’mah (‫)النِ ْع َمة‬, dzikr

bermakna ‘menyukurinya’.8 Selain itu, al-dzikr juga bermakna al-sîtu ( ‫ ) الصيت‬yang

berarti ‘nama baik’.9

5
Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, h. 11. Tampaknya Quraish Shihab
mengutip pendapat Ibnu Fâris ibn Zakariyyâ. Lihat: Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ al-
Râzî (w. 395 H), Mujmal al-Lughghah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h.269 . Lihat juga: Abû al-Husain
Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ al-Râzî (w. 395 H), Maqâyîs fî al-Lughghah, cet. 1 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1994), h.388
6
Abu Fatiah Al-Adnani, Zikir Akhir Zaman (Surakarta: Granada Mediatama, 2016), h. 401.
7
Majd al-Dîn Abû Tâhir Muhammad ibn Ya’qûb al-Fayrûzâbâdî (w. 817 H), al-Qâmûs al-
Muhît, cet. 2 (Beirut: Muassisat al-Risâlah li al-Tâbâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî’, 2005), h. 396.
8
Majma’ al-Lughghah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, cet. 5 (Jeddah: Maktabah Kunûz al-
Ma’rifah, 2011), h. 324.
9
al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, , h.325. Lihat juga: al-Fayrûzâbâdî, al-Qâmûs al-Muhît, h.
396.
54

Menurut Ibn Manzûr, dzakara berarti ‘menjaga sesuatu dengan menyebut atau

mengingatnya’. Sedangkan menurut Ibn Ishâq berarti ‘mengambil pelajaran’. Dzikr

juga bermakna ‘kehormatan’ atau ‘kemuliaan’, ‘nama baik’, ‘al-kitab yang isinya

menjelaskan agama’, ‘salat’, dan ‘doa’ serta ‘pujian atas-Nya’.10 Sedangkan menurut

‘Abdullâh ‘Abbâs al-Nadwî dalam Qamûs Alfâz al-Qur’ân al-Karîm ‘Arabî-Injilîsî,

dzikr berarti ‘sebutan’ (mention), ‘ingatan’ (remembrance), dan ‘peringatan’

(reminder/admonition).11

Sementara itu, dzikr dalam bahasa Indonesia telah diserap menjadi kata

‘dzikir’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dzikir (zikir, dalam ejaan baru)

berarti (1) pujian-pujian kepada Allah yang diucapkan berulang-ulang; (2) doa atau

puji-pujian berlagu (dilakukan pada perayaan Maulid Nabi); (3) perbuatan

mengucapkan zikir. 12 Pengertian ini lebih menjurus pada arti terminologi dzikr

sebagaimana yang akan penulis jelaskan.

Berdasarkan beberapa keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

pada dasarnya dzikr bermakna mengingat sesuatu seraya menyebutkannya dengan

lisan. Dzikr melibatkan aktifitas akal dalam mengingat dan lisan untuk menyebut apa

yang diingat. Jadi, seseorang dianggap berdzikir bila ia menyebut sesuatu dan

mengingatnya. Apabila hanya menyebut tanpa mengingat, ia tidak dianggap sedang

berdzikir. Begitu pula bila hanya mengingat tanpa menyebutnya, ia tidak sedang

berdzikir. Inilah makna dzikir secara etimologis yang berarti ‘menyebut’.

10
Abû Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr al-Afriqî al-Misrî, Lisân al-
‘Arab, cet. 1 (Beirut: Dâr Sâdir, 1990), v.4, h.308.
11
‘Abdullâh ‘Abbâs al-Nadwî, Qamûs Alfâz al-Qur’ân al-Karîm ‘Arabî-Injilîsî, cet. 2 (Chicago:
Muassisah Iqra’ al-Tsaqâfiyyah al-‘Âlamiyyah, 1986), h. 200.
12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 1571.
55

2. Term Dzikr

Sebagaimana telah disebutkan di awal bab, lafadz dzikr dengan berbagai

bentuk dan macam derivasinya terulang sebanyak 280 kali dalam al-Qur’an. Masing-

masing musytaq–nya 13 memiliki makna yang berbeda-beda. Dari sekian banyak

penyebutannya, dzikr dalam al-Qur’an kurang lebih memiliki duapuluh dua makna:14

Di antara beberapa makna dzikr tersebut adalah dzikir (mengingat Allah) lisan, dzikir

hati, nasihat, kitab-kitab suci (Zabur, Taurat, Injil, atau al-Qur’an), al-sunnah, lauh

al-mahfûz, risalah nabi dan rasul, pelajaran dari peristiwa masa lalu, dll.15

Lafadz dzikr tersebar dalam al-Qur’an kurang lebih di 56 surah. Dari

keseluruhan ayat tersebut, paling tidak ada dua makna dzikr, yaitu: pertama sebagai

dinamika internal yang berpusat dalam diri manusia yang bersifat eksoteris; 16 dan

kedua sebagai peringatan untuk manusia dalam mengendalikan tindakan yang kasat

mata dan bersifat esoteris. 17 Oleh karenanya, aktualisasi dzikir sebagai salah satu

aspek peribadatan kepada Allah memiliki dimensi internal dan eksternal.18

Orientasi term dzikr biasanya tidak terlepas dari arti “mengingat Allah” atau

dzikrullâh. Lafadz dzikrullâh dalam al-Qur’an biasanya berkaitan erat dengan

13
Dalam ilmu sarraf, yang dimaksud musytaq adalah kata jadian yang berasal dari fi’l mâdî
atau masdar.
14
Al-Adnani, Zikir Akhir Zaman, h. 404.
15
Al-Adnani, Zikir Akhir Zaman, h. 404. Untuk uraian lebih mendalam lihat: Khoirul Umam,
“Konsep Zikir Menurut al-Marâghî (Penafsiran terhadap QS. 2: 152, 13: 28, 39: 23, 89: 27-30, 10: 57,
26: 80, 41: 44, 17: 82)”, h. 23-29.
16
Diambil dari kata “eksoterik” yang berarti “ilmu yang dapat diketahui oleh setiap orang”.
Pius Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.t.), h. 141.
17
Bersifat rahasia; hanya diketahui dan dimengerti oleh orang-orang tertentu saja. Pius Partanto
& M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.t.), h. 166.
18
Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, cet. 1 (T.tp.: Amzah, 2005),
h. 39. Di dalam buku tersebut, hanya disebut kata “eksoteris". Penulis menduga telah terjadi salah
pengetikan sehingga menimbulkan kerancuan dalam memahaminya. Oleh karenanya, penulis
memunculkan lawan kata eksoteris, yakni esoteris.
56

peningkatan kualitas keimanan seseorang atau amal salehnya. Selain itu, penyebutan

lafadz tersebut juga terkait pengembalian kesadaran akan eksistensi manusia.

Eksistensi ini muncul karena ketika seseorang berdzikir, ia selalu menyadari siapa

dirinya dan merasa berhadapan dengan tuhannya sehingga ia pun sadar akan

keberadaan serta kewajibannya di dunia.19

Sementara itu, bila ditinjau dalam al-sunnah,20 dzikr lebih merujuk pada lafal-

lafal pujian kepada Allah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Contoh lafal-lafal

pujian yang diajarkan Nabi Saw adalah seperti lafal tasbîh (subhânallâh), hamdalah

(alhamdulillâh), takbîr (Allâhu akbar), hauqalah (lâ haula wa lâ quwwata illâ

billâh), dsb. Mengenai hal ini, Ibn Atsîr al-Jazârî berkata, “Kata dzikr telah berulang

kali disebutkan dalam hadis, yang maksudnya adalah mengagungkan, menyucikan,

mengesakan, dan memuji Allah dengan semua sifat terpuji-Nya.”21

Menurut penulis, dzikr semacam inilah yang kemudian dipahami oleh

generasi pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Jadi, bisa diklaim bahwa

perkembangan makna dzikr yang semula secara etimologis berarti ‘mengingat sesuatu

seraya menyebutkannya dengan lisan’ menjadi dzikrullâh dimulai sejak praktik

dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Kemudian, setelah mengalami seperti apa

19
Totok, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 39.
20
Yang dimaksud dengan al-sunnah di sini adalah hadis Nabi Saw.
21
Abû al-Sa’âdât al-Mubârak ibn Muhammad al-Jazarî, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-
Atsar (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1979), ed. Tâhir Ahmad al-Zâwî & Mahmûd Muhammad al-
Tanâhî, v. 2, h.410.
Ada banyak hadis yang menerangkan dzikir ini. Salah satunya dalam Sahîh al-Bukhârî, Kitâb
al-Salâh. Di sana al-Bukhârî memberi nama sebuah bab tentang dzikir setelah salat dengan judul: Bâb
al-Dzikr Ba’da al-Salâh. Hadis dalam bab tersebut menceritakan tentang mengeraskan suara saat
dzikir setelah salat fardlu. Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah al-Bukhârî, al-Jâmi’
al-Sahîh, cet. 1 (Kairo: Dâr al-Syi’bi, 1987), j. 1, h. 213.
57

yang diistilahkan oleh al-Jâbirî sebagai isybâ’ 22 (pembermaknaan), ulama mulai

berbeda pendapat dalam mendefinisikan dzikr. Mereka membuat terminologi dzikr

berdasarkan latar belakang keilmuan masing-masing. Namun, satu hal yang perlu

diperhatikan adalah dari sekian banyak pendapat yang ada bisa ditarik kesimpulan

bahwa dzikr merupakan aktifitas mengingat Allah. Oleh karenanya dzikr yang

dimaksud di sini adalah dzikrullah.

Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam Bâb Fadl Dzikr Allâh ‘Azza wa Jalla

menjelaskan, “yang dimaksud dengan dzikir di sini adalah mengucapkan lafal-lafal

yang dianjurkan untuk diucapkan dan memperbanyak bacaannya, seperti al-bâqiyât

al-sâlihât (amal-amal saleh yang kekal) yaitu subhânallah wa al-hamdu lillâh wa lâ

ilâha illallâh dan bacaan yang termasuk dalam kelompoknya, seperti hauqalah,

basmalah, hasbalah, istighfâr, dan semacamnya. Termasuk juga berdoa memohon

kebaikan di dunia dan akhirat. Lafal dzikrullâh terkadang juga disebutkan dengan

makna senantiasa melaksanakan amalan yang diwajibkan atau disunnahkan, seperti

membaca al-Qur’an, membaca hadis, mengkaji ilmu, dan melaksanakan salat

sunnah.”23

M. Quraish Shihab menerangkan dalam Wawasan al-Qur’an tentang Dzikir &

Doa bahwa menurut para ulama yang berkecimpung dalam bidang olah jiwa secara

besar ada dua macam pengertian dzikir, yakni pengertian sempit dan pengertian luas.

Dzikir dalam pengertian sempit adalah dzikir yang dilakukan dengan lidah saja
22
Muhammad Âbid al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah Dirâsât wa Munâqasyât, cet. 1 (Beirut:
Markaz Dirâsât al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1991), h. 22.
23
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar Abû al-Fadl al-‘Asqalânî al-Syâfi’î, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-
Bukhârî (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379), v.11, h. 209. Lihat pula: M. Iqbal Dawami, Kamus Istilah
Populer Islam: Kata-kata yang Paling Sering Digunakan di Dunia Islam, cet. 18, (Jakarta: Erlangga,
2013), h. 246.
58

berupa menyebut-nyebut Allah atau apa yang berkaitan dengan-Nya, seperti

mengucapkan tasbîh, tahmîd, tahlîl, hauqalah, dan lain-lain. Selain lidah, dzikir

dalam pengertian sempit ini juga bisa berarti pengucapan lidah disertai dengan

kehadiran kalbu, yakni membaca pujian-pujian pada Allah dengan kesadaran hati

tentang kebesaran Allah yang terkandung dalam makna kata yang disebut. 24

Sedangkan dzikir dalam pengertian luas adalah kesadaran tentang kehadiran Allah di

mana dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk;

kebersamaan dalam artian pengetahuan-Nya terhadap apa pun di alam raya ini serta

bantuan dan pembelaan-Nya tehadap hamba-hamba-Nya yang taat. 25 Pengertian

dzikr semacam ini telah dimasukkan ke dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia. 26

Sementara itu, dilihat dari segi pengamalannya, ulama membagi dzikir

menjadi tiga macam. Pertama, dzikir yang dilakukan oleh hati disebut dzikr khâfî

(dzikir yang samar) atau dzikr bi al-qalb (dzikir dengan hati). Kedua, dzikir yang

dilakukan dengan ucapan yang disebut dzikr bi al-lisân (dzikir dengan lidah). Ketiga

adalah dzikir yang berupa gerakan anggota badan atau panca indera dengan

berperilaku baik dan berakhlak terpuji yang disebut dzikr bi al-jawârih (dzikir dengan

anggota badan atau panca indera).27

24
Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, h. 14.
25
Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, h. 16.
26
“Dzikir berarti ingat kepada Allah dengan menghayati kehadiran-Nya, kemahasucian-Nya,
kemahaterpujian-Nya, dan kemahabesaran-Nya. Dzikir merupakan sikap batin yang biasanya
diungkapkan melalui ucapan tahlil (la ilaha illa ‘llah, artinya tidak ada Tuhan kecuali Allah), tasbih
(subhana ‘llah, artinya Maha Suci Allah), tahmid (al-hamdu li ‘llah, artinya segala puji bagi Allah),
dan takbir (Allahu Akbar, artinya Allah Maha Besar.” T.n.p., Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta:
PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), h. 436.
27
Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 34; Harun Nasution, dkk.,
Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 1008.
59

Menurut salah satu pengkaji Islam berkebangsaan Inggris, Spencer

Trimingham, secara terminologis dzikir adalah recollection a spiritual exercise

designed to render God’s presence throughout one’s being. The method employed

(rhythmical repetitive invocation of God’s name) to attain this spiritual

concentration. Artinya, ‘ingatan atau suatu latihan spiritual yang bertujuan untuk

menyatakan kehadiran Tuhan seraya membayangkan wujud-Nya atau suatu metode

yang dipergunakan untuk mencapai konsentrasi spiritual (dengan menyebut nama

Tuhan secara ritmis dan berulang-ulang)’.28

Berkaitan dengan beberapa pengertian di atas, ada yang menjelaskan bahwa

dalam artian khusus dzikir merupakan latihan rohani untuk ingat kepada Allah Swt

yang dilakukan dengan membaca kalimat tauhid/tahlîl (lâ ilâha illallâh) atau jalâlah

(Allâh) atau nama-nama Allah lainnya seperti al-asmâ’ al-husnâ. Kata “ingat” berarti

hadirnya Allah Swt dalam hati atau menghadirkan Allah dalam hati sehingga

keberadaan-Nya benar-benar disadari oleh yang melakukan dzikir dan memengaruhi

segala perbuatannya. Pengertian seperti ini terdapat dalam dunia tasawuf dengan

praktik tertentu. Di kalangan ahli tasawuf, dzikir merupakan metode spiritual dalam

pendekatan diri kepada Allah, penyebutan nama-nama Allah atau beberapa formula

kalimat suci, di bawah bimbingan guru tarîqat yang memiliki silsilah autentik.29

Di Indonesia, dzikir seperti yang tersebut di atas sudah membudaya di

masyarakat. Aktifitas dzikir semacam tahlilan, istighotsah, yasinan, dll. seperti

28
Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 35.
29
Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 35.
60

pembacaan hizb-hizb tertentu telah menjadi tradisi yang merakyat. 30 Faktanya, ada

banyak sekali majelis dzikir baik tingkat kampung, desa, kecamatan, hingga lintas

daerah. 31 Sampai sekarang majelis dzikir semacam ini kian marak di masyarakat.

Maka tidak heran bila kita saksikan kegiatan dzikir bersama pun semakin sering

dilakukan.32

Sayangnya, di kalangan awam, dzikr identik dengan pelafalan lisan tanpa

pemahaman dan penghayatan. Dzikr inilah yang kemudian banyak dipahami oleh

sebagian masyarakat.33 Menurut penulis, inilah yang menyebabkan kata “zikir” dalam

bahasa Indonesia diartikan sebatas pengucapan puji-pujian. Namun, terkait fenomena

praktik dzikir di Indonesia, terlepas dari apakah mereka menghayati “dzikiran” yang

diucapkan atau tidak, setidaknya mereka telah mempraktikkan dzikir seperti yang

telah diajarkan oleh Rasulullah Saw walau hanya sebatas zahirnya saja.34

Berdasarkan uraian di atas, setelah mengamati dan memperhatikan, penulis

menyimpulkan bahwa dzikr sebagai sebuah terminologi sesungguhnya adalah sebuah

aktifitas mengingat Allah yang sangat luas dan menyeluruh. Ia tidak terbatas hanya

pada pelafalan tasbîh, tahmîd, takbîr, istighfâr, dll. saja, namun dzikr juga bisa

meliputi segala amal ibadah baik hati, lisan, pikiran, atau anggota badan.

30
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, cet. 5 (Jakarta: LP3ES, 2015), h. 63.
31
Sofia Rosdanila Andri, “Penafsiran Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî terhadap Ayat-ayat
al-Qur’an tentang Dzikir dalam karyanya Rememberance of Allah and Praising The Prophet,” (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 6. Sofia
menyebut beberapa majelis dzikir yang terkenal semisal: majelis dzikir al-Dzikrâ yang dipimpin oleh
Arifin Ilham, majelis dzikir pimpinan Haryono yang identik dengan pengobatan dan penyembuhan
melalui media dzikir, dan majelis dzikir dan salawat Nurul Mustafâ yang dipimpin oleh Habib Hasan
bin Ja’far Assegaf.
32
Seperti yang umum diketahui, masyarakat mempunyai tradisi tahlilan, yasinan, diba’an, dll.
Beberapa kegiatan dzikir bersama tersebut masih dilakukan sampai sekarang. Penulis sendiri melihat
langsung dan turut serta melakoni kegiatan tersebut.
33
Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, h. 7.
34
Lihat pengertian dzikr dalam al-Sunnah di awal sub-bab ini.
61

B. Konsep Ulil Albâb

Manusia diciptakan tidak lain hanya untuk menyembah Allah Swt. Salah satu

perintah Allah adalah agar manusia senantiasa berdzikir mengingat-Nya. Namun,

perlu diketahui bahwa Allah juga menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya.

Oleh sebab itu, adalah wajar bila akal menempati kedudukan yang sangat tinggi

dalam agama Islam. Terbukti di dalam banyak sekali ayat al-Qur’an, Allah Swt

menyuruh manusia agar menggunakan akalnya. Sebagai makhluk terbaik yang telah

dikaruniai akal, maka manusia wajib melaksanakan perintah tersebut. Bila ada yang

tidak menggunakan akalnya, maka Allah Swt pasti akan mencelanya.35

Di dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang berbicara mengenai

penggunaan akal ini. Ayat-ayat tersebut sering menyebut kata afalâ ta’qilûn, afalâ

tatadzakkarûn, afalâ tubsirûn yang mengisyaratkan kegiatan berpikir. 36 Di sinilah

muncul benang merah antara dzikir dan pikir yang mana kedua sifat tersebut dimiliki

oleh ulil albâb.

1. Pengertian Ulil Albâb

Secara etimologis, ulil Albâb merupakan gabungan dua kata dari ulû (punya)37

dan albâb (akal).38 Gabungan dua kata ini seringkali diartikan ‘yang memiliki akal’.

Albâb adalah bentuk jam’ al-taktsîr dari lubb ( ‫ ) لب‬yang bisa bermakna ‘saripati

35
Ahmad M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi cet.III (Bandung:
Mizan, 1991), h. 32.
36
Menurut Harun Nasution, kata-kata yang dipergunakan oleh al-Qur’an untuk
menggambarkan sifat berpikir adalah lafadz nadzara, tafakkara, fahima, tadzakkara, tadabbara,
faqiha, ‘aqala. Selain itu, al-Qur’an juga menggambarkan sifat-sifat berpikir bagi seorang muslim
dengan sebuatan ulul ‘ilmi (orang yang mempunyai ilmu), ulul absâr (orang yang mempuyai
pandangan), ulun nuhâ (orang yang bijaksana). Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. 2
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 48.
37
al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, h. 23.
38
al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, h. 842.
62

sesuatu’, ‘akal’, dan ‘racun’.39 Pada dasarnya, gabungan huruf lâm dan ba’ ( ‫) لب‬

mempunyai makna asal ‘kelanggengan dan ketetapan serta kemurnian dan

kebaikan’. 40 Namun, dalam pemaknaan ulil albâb, makna lubb pertama (saripati)

yang digunakan. Sebagai contoh, dalam Tafsir al-Mishbah Quraish Shibab memberi

permisalan kacang. Kacang memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang inilah

yang dinamai lubb.41 Pemaknaan lubb sebagai saripati sesuatu mengindikasikan ulil

albâb adalah orang-orang yang memiliki kemampuan mengetahui intisari sesuatu.

Selain bermakna ‘saripati’, sebenarnya lubb bisa berarti ‘otak’, ‘pikiran’,

‘intelek’. 42 Ulil albâb berarti seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari orang

lain, baik karena kecerdasan maupun intensitasnya. Maka dari itu, ulil albâb bisa

berupa seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-cendekia, atau seorang filsuf yang

berpikir mendalam.43

Lubb juga bermakna ‘akal’. Seseorang disebut labîb karena ia berakal. 44

Namun, makna ‘akal’ pada lubb tidak sama seperti makna ‘akal’ lafadz ‘aql.

Perbedaan antara al-lubb dan al-‘aql adalah al-lubb berarti sesuatu yang murni dari

sifat-sifat barang yang disifatinya sedangkan al-‘aql berarti sesuatu yang meliputi apa

yang telah diketahui dari sesuatu yang disifatinya.45 Lubb adalah akal yang murni dari

39
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
40
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), v. 1, h. 369.
42
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
43
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, cet. 4 (Bandung:
Penerbit Mizan, 1999), h. 76.
44
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
45
Abû Hilâl al-Hasan ibn ‘Abdillah ibn Sahl ibn Sa’îd ibn Yahyâ ibn Mihrân al-‘Askarî (w. 395
H), Mu’jam al-Furûq al-Lughghawiyyah, Baytullah Bayât, ed., cet. 1 (Qum: Muassisah al-Nasyr al-
Islâmî al-Tâbi’ah li Jamâ’ah al-Mudarrisîn, 1412 H), h. 461.
63

cacat-cacat atau akal yang cerdas.46 Oleh karenanya, setiap lubb adalah akal tapi tidak

semua akal merupakan lubb.47

Di antara kalangan mufassir yang memaknai lubb dengan al-‘aql adalah al-

Tabarî 48 , al-Qurtubî 49 , Ibnu Katsîr 50 , dan Ibnu ‘Âsyûr 51 . Ibnu Katsîr menjelaskan

bahwa albâb adalah akal sempurna yang cerdas yang mengetahui sesuatu berdasarkan

kenyataan sebenarnya (haqâiqihâ). Oleh karena itu, ulul albâb bukanlah seperti

orang-orang tuli nan buta yang Allah gambarkan dalam firman-Nya, “Dan berapa

banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui,

namun mereka berpaling darinya. Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada

Allah, bahkan mereka mempersekutukan-Nya.”52

Sebelum Ibnu Katsîr, al-Qurtubî telah mengemukakan hal yang tidak jauh

berbeda. Di dalam penafsiran Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190, ia menjelaskan, “Ulil albâb

adalah mereka yang menggunakan akalnya saat merenungkan tanda-tanda yang

46
Hasan ‘Alî K., al-Mu’jam al-Mufassir li Alfâzi al-Qur’ân al-Karîm (T.t.: Dâr al-I’tisâm.
1986), h. 119.
47
Jamî’ al-Huqûq Mahfûzah, al-Munjid fî al-Lughghah, cet. 12 (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977),
h. 709. Berdasarkan makna ini, Allah mengaitkan hukum-hukum yang hanya bisa diketahui oleh akal
cerdas dengan sebutan ulil albâb. Contoh: Q.S. al-Baqarah (2): 269; Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7; Q.S. al-
Ra’d (13): 19; Q.S. Ibrâhîm (14): 52; Q.S. Sâd (38): 29; dll. al-Husaiin bin Muhammad bin al-
Mufadḏal, Mu’jam Mufradât Alfâz al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), h. 500.
48
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî Abu Ja’far, al-Tabarî, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân (Muassasah al-Risâlah, 2000), j. 5, h. 580.
49
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansârî al-Khazrajî Syams
al-Dîn al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), penahqiq:
Ahmad al-Bardûnî & Ibrâhîm Atfîsy, j. 15, h. 240.
50
Abu al-Fidâ’ Ismâil bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm
(Dâr Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1999), v.7, h. 89.
51
Muhammad al-Tâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Tâhir bin ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-
Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 1984), j. 23, h. 348.
52
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, v. 2, h. 184.
64

diberikan oleh Allah.”53 Ini berarti ulil albâb adalah mereka yang berpikir karena akal

merupakan alat untuk berpikir.

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ulil albâb adalah

orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh ‘kulit’, yakni

kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. 54 Dengan akal tersebut

mereka memahami petunjuk-petunjuk Allah, merenungkan ketetapan-ketetapan-Nya,


55
serta melaksanakannya. Mereka tidak lagi terbelenggu oleh hawa nafsu

kebinatangan atau dikuasai oleh ajakan unsur debu tanahnya. 56 Mereka adalah siapa

saja yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan dan atau hati, dan dalam

seluruh situasi dan kondisi. 57 Oleh karenanya, menurut ulama-fisikawan Bahaudin

Mudhary, ulil albâb adalah orang-orang yang beriman yang selalu didampingi oleh

malaikat yang senantiasa mendoakan mereka. Mereka memperoleh intuisi malaikat

atau intuisi infra intelektuil.58

Di Indonesia, ulil albâb cenderung dimaknai dengan cendekiawan. Ditinjau

dari segi etimologinya, keduanya memiliki makna yang sama. Di dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, kata “cendekiawan” diartikan sebagai “orang yang terus-menerus

meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami

53
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansârî al-Khazrajî Syams
al-Dîn al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), penahqiq:
Ahmad al-Bardûnî & Ibrâhîm Atfîsy, v. 4, h. 310.
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), v. 1, h. 369.
55
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 1, h. 543.
56
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 1, h. 407.
57
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 2, h. 292-293.
58
Bahaudin Mudhary, Menjelajah Angkasa Luar (Analisa Metafisika al-Mi’raj), cet. 5
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1989), h. 36. Penulis mengaitkan pandangan Quraish Shihab dan
Bahaudin Mudhary dengan asumsi bahwa malaikat senantiasa berada di dekat orang yang berdzikir.
65

sesuatu”. Kata tersebut berasal dari kata “cendekia” yang antara lain berarti “cepat

mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar”.59 Sedangkan dalam Kamus Ilmiah

Populer, “cendekia” berarti “arif, bijak, cerdas, tinggi intelegensinya” dan

“cendekiawan” berarti “orang yang cendekia; intelegensia; intelektual”. 60 Adapun

padanan katanya dalam kamus Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,

“cendekia” dapat berarti “bernas, brilian, cemerlang, cerdas, cerdik, encer, genial,

genius, intelek, inteligen, lantip, pandai, pintar, ringan kepala, tajam, terang akal”

yang merupakan antonim dari “dungu”. Sedangkan kata “cendekiawan” sepadan

dengan “cerdik cendekia, cerdik pandai, ilmuwan, intelektual, jauhari, sarjana,

sastrawan.”61 Berdasarkan berbagai arti tersebut, cendekiawan diidentifikasi sebagai

orang yang unggul dalam daya pikirnya sama seperti pengertian ulil albâb yang telah

penulis paparkan sebelumnya.

Namun, meskipun memiliki makna yang sama, al-Qur’an telah menyebut

beberapa karakteristik khusus sebagai ciri-ciri ulil albâb. Ini menandakan bahwa

makna “cendekiawan” saja tidak cukup mewakili esensi ulil albâb. Oleh karena itu,

penting sekali mengetahui ciri-ciri tersebut sebagaimana termaktub dalam Kitabullah.

2. Karakteristik Ulil Albâb dalam al-Qur’an

Term ulil albâb disebut sebanyak 16 kali dalam al-Qur’an. Sembilan di

antaranya terdapat dalam ayat Makkîyyah dan tujuh sisanya berupa Madanîyyah.62

59
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. 1
(Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 258
60
Pius Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.t.), h. 94.
61
Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. 1
(Bandung: MIzan, 2009), h. 123. Berdasarkan pengertian ini, ulil albâb adalah cendekiawan.
62
Yusuf Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim & Sochimien, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 30.
66

Rinciannya adalah: Q.S.al-Baqarah (2): 179, 197, dan 269; Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7 dan

190; Q.S. al-Mâidah (5): 100; Q.S. Yusuf (12): 111; Q.S. al-Ra’d (13): 19; Q.S.

Ibrâhîm (14): 52; Q.S. Sâd (38): 29 dan 43; Q.S. al-Zumar (39): 9, 18, dan 21; Q.S.

Ghâfir (40): 54, Q.S. al-Talâq (65): 10.63

Setiap ayat tersebut di atas memiliki konteksnya masing-masing. Konteks

beberapa ayat ada yang serupa, namun mayoritas berbeda. Melalui konteks ini, kita

dapat mengidentifikasi karakteristik khusus ulil albâb sebagaimana berikut:64

Ayat Karakteristik (konteks al-Qur’an)


yang bertaqwa dan mampu memahami hikmah di balik
Q.S.al-Baqarah (2): 179
pensyariatan (qisâs)
yang bertaqwa dan menjauhi larangan Allah (larangan-
Q.S.al-Baqarah (2): 197
larangan saat haji)
yang diberi hikmah dan mampu mengambil pelajaran
Q.S.al-Baqarah (2): 269
darinya
yang berilmu, beriman, dan mampu mengambil
Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7
pelajaran dari ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih serta

63
Shahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, v. 1, h. 191.
64
Identifikasi karakteristik ulil albâb ini merupakan hasil pengamatan penulis langsung
berdasarkan ayat-ayat ulil albâb dalam al-Qur’an. Berhubung ada beberapa ayat yang merupakan
sambungan ayat sebelumnya, atau masih berkaitan dengan ayat setelahnya, maka penulis turut
memasukkan beberapa karakteristik dari lanjutan ayat tersebut. Hasil pembacaan karakteristik ulil
albâb ini tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil pembacaan peneliti lain. Lihat: Sri Susanti, “Kajian
Kritis terhadap Konsepsi ‘Ulil Albab’ dalam al-Qur’an”, Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, h. 4.
Ditinjau dari kesimpulannya, tampaknya Sri hanya mengutip dan sedikit menambahkan
pendapat Jalaluddin Rahmat yang menyebut lima ciri ulil albâb. Adapun kelima ciri tersebut yaitu:
pertama, bersungguh-sungguh mencari ilmu (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 7 & 190); kedua, mampu
memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun harus menentang orang
banyak (Q.S. al-Mâidah [5]: 100); ketiga, kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai
menimbang-nimbang ucapan, teori, dan dalil yang dikemukakan orang lain (Q.S. al-Zumar [39]: 18);
keempat, menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki masyarakatnya, memberi peringatan, serta
membela mereka saat terjadi ketidakadilan (Q.S. Ibrâhîm [14]: 52. Q.S. al-Ra’d [13]: 19-22); kelima,
tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah (Q.S. al-Baqarah [2]: 197, Q.S. al-Mâidah [5] 179,
Q.S. al-Talâq [65]: 10).
Selain ciri-ciri umum di atas, Jalaluddin Rahmat memberikan ciri-ciri khusus ulil albâb yang
hanya dimiliki oleh ulil albâb dan yang membuatnya berbeda dengan ilmuwan atau intelektual, yakni:
rajin beribadah, bangun malam untuk bersujud dan ruku’ di hadapan Allah serta memohon ampunan-
Nya (Q.S.al-Zumar [39]; 9). Tanda khas lainnya adalah senantiasa mengingat-Nya sepanjang waktu
(Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 191). Oleh karena tanda khusus ini, Jalaluddin Rahmat menyimpulkan bahwa ulil
albâb adalah ilmuwan atau intelektual yang saleh dan bertaqwa. Lihat: Jalaluddin Rahmat, Islam
Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, cet. 5 (Bandung: Mizan, 1993), h. 213-215.
67

mengharap rahmat Allah


yang senantiasa berdzikir (mengingat Allah) dan
berpikir tentang penciptaan alam, sadar akan manfaat
Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-
segala ciptaan Allah, takut azab neraka, sadar akan
195
kekuasaan Allah, beriman, senantiasa bertaubat, dan
mengharap rahmat Allah
yang bertaqwa, tahu mana yang baik dan buruk serta
Q.S. al-Mâidah (5): 100
mampu membedakannya
yang tahu sejarah umat terdahulu (para rasul sebelum
Q.S. Yusuf (12): 111 Nabi Muhammad Saw) dan mampu mengambil
pelajaran darinya
yang dapat mengambil pelajaran dari perbedaan antara
orang yang tahu kebenaran dan yang buta, memenuhi
janji dan tidak melanggarnya, patuh atas perintah
Allah, takut akan hisab yang buruk, sabar karena
Q.S. al-Ra’d (13): 19
mengharap ridha Allah, menegakkan salat dan
menginfakkan sebagian rezeki yang dianugerahi Allah
baik secara tersembunyi ataupun terbuka, serta
menolak kejahatan dengan kebaikan
Q.S. Ibrâhîm (14): 52 yang mampu mengambil pelajaran dari al-Qur’an
yang mampu mentadabburi ayat-ayat al-Qur’an dan
Q.S. Sâd (38): 29
mengambil pelajaran darinya
yang mendapat rahmat, mampu membaca peringatan
Q.S. Sâd (38): 43
dari kisah umat terdahulu (kisah Nabi Ayyub As)
yang mampu mengambil pelajaran dari perbedaan
Q.S. al-Zumar (39): 9
antara yang hak dan batil
Q.S. al-Zumar (39): 18 yang mengikuti ajaran al-Qur’an, mendapat hidayah
yang mampu mengambil pelajaran dari fenomena alam
Q.S. al-Zumar (39): 21
(hujan dan proses kehidupan tanaman)
Q.S. Ghâfir (40): 54 yang mendapat hidayah dan peringatan dengan akalnya
yang bertakwa, beriman, dan mendapat peringatan
Q.S. al-Talâq (65): 10
(rasul yang membacakan ayat-ayat Allah)

Bila diperhatikan secara saksama, dari keseluruhan ciri-ciri yang ada dapat diambil

kesimpulan bahwa ulil albâb adalah seorang muslim yang beriman, bertaqwa, taat

dan rajin beribadah, senantiasa berdzikir kepada Allah, berilmu dan berpengetahuan

luas, serta mampu mengambil pelajaran terhadap fenomena yang ada di sekelilingnya
68

baik itu gejala-gejala alam maupun perilaku-perilaku sosial. 65 Perlu diketahui,

“mengambil pelajaran” yang dimaksud di sini adalah penafsiran atas lafadz

“yatadzakkaru” atau “yadzdzakkaru” yang sering muncul ketika lafadz “ulil albâb”

disebut dalam ayat.66 Kedua lafadz tersebut berasal dari akar kata yang sama dengan

dzikr, yakni: dzakara. Oleh karenanya, penting kiranya mengetahui lebih jauh terkait

penggunaan lafadz-lafadz tersebut. Berikut penulis tampilkan penafsiran ulama

terkait lafadz dzikr dan derivasinya dalam ayat-ayat ulil albâb.

C. Tafsir Dzikr pada Ayat-ayat Ulil Albâb

1. Dzikr dan Ulil Albâb dalam al-Qur’an

Ulil albâb dikenal sebagai sosok ahli pikir dan dzikir.67 Hal ini tidak terlepas

dari penjelasan al-Qur’an menyangkut dirinya. Ayat yang paling jelas menyebut ciri-

ciri tersebut adalah Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191. Selain itu, tercatat ada 10 dari 16

ayat dalam al-Qur’an yang menyebut ulil albâb dan menyifatinya dengan padanan

lafadz dzikr. Artinya, secara keseluruhan ada sebelas ayat yang menyebut ulil albâb

dan dzikr secara bersamaan. Kesebelas ayat itu adalah: Q.S. al-Baqarah (2): 269, Q.S.

Âli ‘Imrân (3): 7 & 191, Q.S. al-Ra’d (13): 19, Q.S. Ibrâhîm (14): 52, Q.S. Sâd (38):

29 & 43, Q.S. al-Zumar (39): 9 & 21, Q.S. Ghâfir (40): 53-54, dan Q.S. al-Talâq (65):

10.68

65
Penulis mengutip dan menambahkan pendapat Sri Susanti. Sri Susanti, “Kajian Kritis
terhadap Konsepsi ‘Ulil Albab’ dalam al-Qur’an”, h. 11. Susanti tampaknya sepakat dengan apa yang
dikemukakan oleh M. Dawam Rahardjo. Lihat: M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 557.
66
Yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 269, Q.S. Âlî ‘Imrân (3): 7, Q.S. al-Ra’d (13): 19, Q.S. Ibrâhîm
(14): 52, Q.S. Sâd (38): 29, Q.S. Sâd (38): 43, Q.S. al-Zumar (39): 9.
67
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. 2 (Bandung:
Mizan Media Utama, 2008), h. 296.
68
Ayat dan terjemah terlampir dalam lampiran.
69

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, diketahui bahwa padanan kata dzikr yang

digunakan dalam penggambaran sosok ulil albâb dalam al-Qur’an adalah lafadz:

yadzkurûna, yadzdzakkaru, yatadzakkaru, dzikr, dan dzikrâ. Setiap ayat yang berisi

padanan kata tersebut secara zahir mempunyai objek/konteks yang berbeda.

Perbedaan tersebut penulis tampilkan dalam tabel berikut:

Term Ayat Objek/ Konteks


Yadzkurûna Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 Allah
Q.S. al-Baqarah (2): 269 Hikmah
Yadzdzakkaru Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7 Muhkam & Mutasyâbih
Q.S. Ibrâhîm (14): 52 Al-Qur’an
Q.S. al-Ra’d (13): 19 Kebenaran al-Qur’an,
perbandingan orang tahu
dan buta
Yatadzakkaru
Q.S. Sâd (38): 29 Kitab (al-Qur’an)
Q.S. al-Zumar (39): 9 Perbandingan orang tahu
dan tidak tahu
Dzikr Q.S. al-Talâq (65): 10 Rasul
Q.S. Sâd (38): 43 Kisah Nabi Ayyûb As
Dzikrâ Q.S. al-Zumar (39): 21 Peristiwa hujan
Q.S. Ghâfir (40): 53-54 Al-Kitâb (Taurat)

Menilik tabel di atas, di antara beberapa lafadz dzikr serta bentuk derivasinya,

hanya Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 (yadzkurûna) yang objeknya adalah Allah. Adapun

ayat-ayat lain menunjuk pada objek yang bermacam-macam dan bukan pada Allah.

Artinya, secara zahir, hanya ada satu ayat yang makna dzikr-nya berorientasi pada

term dzikr yang digunakan oleh kalangan tasawuf. Sementara makna dzikr pada ayat

lain berkaitan dengan pelajaran atau peringatan dari objek yang disebutkannya.

Apabila kedua bentuk dzikr ini sama-sama dilakukan oleh ulil albâb, pertanyaan yang

patut dimunculkan di sini adalah: apakah kedua macam dzikr tersebut merupakan
70

suatu pekerjaan yang sama atau berbeda? Untuk menjawab pertanyaan ini, pada sub-

bab berikut penulis memaparkan penafsiran para mufassir mengenai hal itu.

2. Tafsir Lafadz Dzikr Pada Ayat-ayat Ulil Albâb

Berikut ini adalah tafsiran ayat-ayat ulil albâb berdasarkan kelompok lafadz derivasi

dzikr-nya.

a. Yadzkurûna

Lafadz yadzkurûna merupakan bentuk fi’il mudâri’ yang bersambung dengan

wâwu jamak dari fi’il mâdi “dzakara” yang berarti “mengingat” atau “menyebut”.69

Lafadz tersebut berupa tsulâtsî mujarrad dan merupakan fi’il muta’addi yang

membutuhkan objek. Objek yang dibutuhkan hanya berjumlah satu saja, tidak lebih.70

Di antara sekian banyak ayat ulil albâb, lafadz ini hanya tersebut pada Q.S. Âli

‘Imrân (3): 190-191.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan
kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka.” 71
Menilik sabab al-nuzûl-nya, ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang

menceritakan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi Muhammad Saw sedang mendirikan

salat malam. Bilâl kemudian datang menemuinya untuk mengabari bahwa waktu salat

69
Fi’l mâdi adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti lampau. Sedangkan
fi’l mudâri’ adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti sekarang atau akan datang.
Muhammad Ma’sum bin Ali, al-Muyassarah al-Imdâriyyah fî Syarh al-Amtsilah al-Tasrîfiyyah
(Jombang: T.pn, t.t.), h. 2. Di dalam ilmu balâghah, penggunaan fi’l mudâri’ menunjukkan
kelanggengan suatu pekerjaan. Artinya, ketika –misalnya- zaid yadzkuru yang berarti “Zaid
mengingat”, itu berarti dia senantiasa melakukan hal itu.
70
Ma’sum bin Ali, al-Muyassarah al-Imdâriyyah, h. 16.
71
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 75.
71

akan segera tiba. 72 Saat itu, Bilâl melihat Rasulullah Saw sedang menangis. Ia

bertanya, “Wahai utusan Allah! Apakah engkau sedang menangis sementara Allah

sungguh telah mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?

Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Bilâl! Apakah aku tidak mau menjadi hamba

yang bersyukur sementara Allah Swt telah menurukan padaku pada malam ini ayat

‘inna fî khalq al-samâwâti wa al-ard wa ikhtilâf al-lail wa al-nahâr la-âyât li-ulî al-

albâb’” Kemudian beliau bersabda, “Celakah bagi orang yang membacanya dan tidak

memikirkannya!”73

72
Perlu diketahui, Nabi Saw memiliki dua muadzdzin, yaitu: Bilâl bin Râbah dan ‘Abdullâh bin
Umm Maktûm. Khusus pagi hari, Bilal melakukan adzan sesaat sebelum fajar sebagai tanda bahwa
waktu subuh akan segera tiba, sedangkan Ibn Umm Maktûm beradzan ketika terbitnya fajar sebagai
tanda bahwa waktu subuh telah tiba. Dalam riwayat ini, Bilâl mendatangi Rasulullah Saw untuk
mengabarinya bahwa subuh akan segera tiba. Lihat: Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-
Mughîrah al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh, cet. 1 (Kairo: Dâr al-Syi’bi, 1987), j. 1, h. 160.
73
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansârî al-Khazrajî Syams
al-Dîn al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), penahqiq:
Ahmad al-Bardûnî & Ibrâhîm Atfîsy, v. 4, h. 310. Dalam riwayat Ibnu Hibbân, diceritakan bahwa
‘Atâ’ dan ‘Ubaid bin ‘Umair datang ke ‘Aisyah Ra. ‘Umair kemudian bertanya pada ‘Aisyah Ra
tentang hal apa yang paling menakjubkan dari Rasulullah Saw yang pernah dilihat olehnya. ‘Aisyah Ra
diam sejenak lalu berkata, “Suatu malam di antara malam-malamku, Rasulullah Saw bersabda, ‘Wahai
‘Aisyah, biarkan aku malam ini beribadah pada tuhanku.’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, aku paling
suka di dekatmu dan apa yang membahagiakanmu!’ Maka kemudian Rasulullah Saw bangun dan
bersesuci. Beliau lalu salat dan tidak berhenti menangis sampai (air matanya) membasahi lekuk
matanya. Beliau terus menangis sampai jenggotnnya basah. Beliau menangis sampai lantai basah.”
Setelah itu, Bilâl datang menemui beliau. Selebihnya, sama dengan riwayat di atas. Lihat: Muhammad
bin Hibbân bin Ahmad bin Hibbân bin Mu’âdz bin Ma’bad al-Tamîmî, Sahîh Ibn Hibbân bi-Tartîb Ibn
Bulbân (T.tp.: Muassisah al-Risâlah, t.t.), j. 2, h. 387.
Di riwayat lain, diceritakan bahwa Ibn ‘Abbâs menginap di rumah bibinya, Maimunah Ra.
Malam itu, Rasulullah Saw berbincang dengan keluarganya sekian lama. Beliau kemudian beristirahat.
Ketika tiba sepertiga malam terakhir, Nabi Saw bangun dan memandang ke langit. Beliau kemudian
membaca ayat “innâ fî khalq…” Beliau lalu berdiri, lantas mengambil wudu dan menyikati giginya,
Kemudian beliau salat sebelas rakaat. Bilâl lalu adzan. Nabi Saw lantas salat dua rakaat kemudian
keluar untuk melaksanakan salat subuh. Lihat: al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh, j. 6, h. 51 & j. 8, h. 59.
Sementara itu, riwayat lain Ibnu ‘Abbâs dalam Sahîh Muslim disebutkan bahwa Ibn ‘Abbâs
tidur di sisi Rasulullah Saw. Nabi kemudian bangun lalu bersiwak dan berwudu lalu berkata “inna fî
khalq…” Beliau membaca ayat tersebut sampai akhir surat. Setelah itu, beliau salat dua rakaat dan
memanjangkan salatnya. Setelah itu, beliau kembali ke tempat tidur dan beristirahat sampai suara
nafasnya terdengar. Beliau melakukan hal tersebut (bangun, bersiwak, berwudu, membaca ayat-ayat
akhir surat Âli ‘Imrân) tiga kali secara berulang sehingga terhitung enam rakaat. Beliau lalu salat witir
tiga rakaat.Kemudian muadzin adzan. Rasulullah Saw pun keluar untuk salat subuh seraya berdoa,
“Allahumma ‘j’al fî qalbî nûran wa fî lisânî nûran wa ‘j’al fî sam’î nûran wa ‘j’al fî basarî nûran wa
72

Secara eksplisit, sabab al-nuzûl di atas tidak memberikan informasi khusus

maksud ayat yang diturunkan. Rasulullah Saw tidak memberikan keterangan apapun

kecuali mengingatkan betapa pentingnya ayat tersebut untuk direnungkan.

Selebihnya, riwayat di atas –atau riwayat lainnya yang serupa- hanya

menggambarkan kondisi dan situasi saat Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190 ini turun, yakni:

pada tengah malam ketika Nabi Muhammad Saw sedang mendirikan salat malam

sehingga beliau menangis. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau memandang

langit seraya membaca ayat tersebut, setelah itu beliau beribadah. Berdasarkan

konteks ini, secara implisit dapat dipahami bahwa Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191

berbicara mengenai tadabbur yang mencakup olah pikir dan dzikir. 74 Konteks ini

pula yang turut memengaruhi penafsiran beberapa ulama terkait tafsir lafadz

yadzkurûna pada ayat 191.

Al-Tabarî (w. 310 H) menafsirkan lafadz dzikr dengan makna mengingat.

Maksudnya, yadzkurûna-llâh adalah mengingat-Nya saat berdiri ketika salat, duduk

saat tasyahud dan selain salat, dan tidur. Ini berlandaskan sebuah riwayat dari Ibnu

‘j’al min khalfî nûran wa min amâmî nûran wa ‘j’al min fauqî nûran wa min tahtî nûran. Allahumma
a’tinî nûran.” Lihat: Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Naisâbûrî, al-
Jâmi’ al-Sâhîh (Beirut: Dâr al-Jail & Dâr al-Afâq al-Jadîdah, t.t.), j. 2, h. 182. Riwayat lain yang
serupa bisa dirujuk dalam: Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’at al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud (Beirut:
Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, t.t.), j. 1, h. 21; Ahmad bin Syu’aib Abû ‘Abd al-Rahmân al-Nasâî, al-
Mujatabâ min al-Sunan (Halb: Maktab al-Matbû’ât al-Islâmiyyah, 1986), j. 3, h. 237; Ahmad bin
Hanbal Abû ‘Abdillah al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassisah Qurtubah,
t.t.), j. 1, h. 275, 350, & 373.
Terakhir, ada pula riwayat lain yang diragukan keabsahannya. Menurut riwayat ini, suatu ketika
kaum musyrik meminta bukti kenabian Rasulullah Saw dan menantangnya dengan menghadirkan
mukjizat seperti Nabi Musa As atau Nabi Isa As. Mereka menyuruh Nabi Muhammad Saw meminta
kepada Allah Swt agar mengubah bukit Safâ menjadi emas. Allah lalu menurunkan ayat ini (Q.S.
3:190). Lihat: Ahmad bin ‘Alî bin Hajar Abû al-Fadl al-‘Asqalânî al-Syâfi’î, Fath al-Bârî Syarh Sahîh
al-Bukhârî (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H), j. 8, h. 235.
74
Menurut al-Nawawî, sunnah ini dianjurkan ketika terjaga pada malam hari karena keutamaan
tadabbur. Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf bin Mirrî al-Nawawî, al-Minhâj Syarh Sahîh Muslim bin
al-Hajjâj, cet. 2 (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, 1392 H), j. 3, h. 145.
73

Juraij, “Firman Allah: alladzîna yadzkurûna-llâha … Dzikr (di sini) adalah dalam

mengingat Allah dalam salat dan selain salat, dan baca al-Qur’an.”75 Al-Tabarî juga

menjelaskan bahwa Allah menyifati orang-orang yang berdzikir dan berpikir dengan

ulil albâb karena apabila melihat perkara-perkara yang dilarang, mereka akan

berkata, “Tidaklah Engkau menciptakannya sia-sia.” Lantas mereka takut karena

mengingat Allah.76

Sementara itu, al-Qurtubî dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân menafsirkan

Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 sebagai dalil bahwa manusia wajib mengingat Allah dalam

semua keadaan.77 Menurutnya, lafadz yadzkurûna bisa bermakna dzikr dengan lisan

dan bisa pula bermakna salat fardhu maupun sunnah. Berkaitan dengan ini, lafadz

yatafakkarûna yang disebut setelah yadzkurûna menandakan bahwa tafakur tentang

kekuasaan Allah serta segala yang diciptakannya ialah termasuk ibadah, sama seperti

dzikrullah.78

Baik pendapat al-Tabarî ataupun al-Qurtubî mengindikasikan bahwa apa yang

dilakukan oleh ulil albâb semua tidak terlepas dari Allah. Ketika melihat sesuatu, lalu

memikirkannya, hasil pikiran mereka tidak luput dari-Nya. Apapun yang mereka

kerjakan, pikirkan, semua kembali pada-Nya. Pemahaman ini semakin diperkuat

dengan penjelasan Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm. Ia menafsirkan

lafadz yadzkurûna dengan mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî,

“Salatlah dengan berdiri! Bila kalian tidak mampu, maka dengan duduk. Bila tidak

75
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân (Muassasah al-Risâlah, 2000), j. 7, h. 474.
76
Al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 7, h. 476.
77
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, v. 4, h. 310.
78
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, h. 313.
74

mampu, maka dengan berbaring.”79 Menurutnya, dzikrullâh (mengingat Allah) tidak

terputus dalam semua keadaan, batin, perasaan, dan lisan ûlûl albâb.80 M. Quraish

Shihab dalam Tafsir al-Mishbah juga berpendapat serupa. 81 Jadi, berdasarkan

pandangan ini, ulil albâb adalah mereka yang selalu berzikir di mana pun dan kapan

pun mereka berada.

Di dalam Mafâtîh al-Ghaib, al-Râzî menjelaskan bahwa ketika menyebutkan

beberapa dalil-dalil ketuhanan, kekuasaan, dan hikmah yang mengantarkan pada

peneguhan ketuhanan (taqrîr al-rubûbiyyah), Allah menyebutkan hal yang mengantar

pada kehambaan (al-‘ubûdiyyah). Menurutnya, kehambaan itu ada tiga,macam, yaitu:

pembenaran dengan hati, peneguhan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota

badan. Pada ayat ini, lafadz yadzkurûna Allah ditafsirkan sebagai penghambaan lisan;

qiyâman wa qu’ûdan wa ‘alâ junûbihim sebagai isyarat penghambaan anggota badan;

dan wa yatafakkarûna fî khalq al-samâwâti wa al-ard sebagai isyarat penghambaan

hati, pikiran, dan ruh. 82 Penjelasan al-Râzî ini tampaknya lebih umum dibanding

penjelasan mufassir yang penulis tampilkan sebelumnya. Namun, secara tidak

langsung ia telah memerinci aktifitas zikir ulil albâb. Pengklasifikasiannya atas tiga

jenis penghambaan merupakan bukti konkret dzikir yang dilakukan mereka.

Selanjutnya, masih berkaitan dengan penafsiran di atas, Rasyid Ridâ

menganggap dzikr di sini bukan khusus salat, tapi dzikir hati, yakni menghadirkan

Allah dalam diri/jiwa, mengingat hukum-Nya keutamaan-Nya, dan nikmat-Nya.

79
al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh, v. 2, h. 60.
80
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.2, h. 184.
81
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 2, h. 292.
82
al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 9, h. 140.
75

Mengacu pada ayat sebelumnya (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 190), menurutnya, ayat ilahi di

langit dan bumi tidak akan tampak kecuali bagi ahli dzikir. Dzikir kepada Allah Swt

tidak cukup dengan mengambil pelajaran sekaligus petunjuk pada ayat-ayat, tapi

diisyaratkan adanya tafakur di dalamnya. Maka tidak boleh tidak menjamak dzikir

dan pikir. Karena ada orang yang berdzikir saja bahwa Allah tuhannya tapi tidak

memikirkan ciptaan-Nya dan rahasia penciptaannya. Sebaliknya, ada orang yang

berpikir mendalam, tapi tidak ingat (dzikr) kepada Allah. Fikr tidak berfaedah tanpa

adanya dzikr. Sebaliknya, dzikr meski berfaedah di dunia dan akhirat, tidak sempurna

tanpa fikr. 83Lebih jauh lagi, Ibnu ‘Âsyûr bahkan berpandangan dzikr bila dikerjakan

dengan lisan atau hati, keduanya adalah tafakur.84 Selaras dengan pendapat ini, al-

Marâghî menjelaskan bahwa yang dimaksud dzikr pada ayat ini adalah yandzurûna,

yastafîdûna, yahtadûna, yastahdlarûna ‘idzmatallah wa yatadzâkarûna hikmatahu

(memperhatikan, mengambil manfaat, mengambil peunjuk, menghadirkan keagungan

Allah dan mengambil pelajaran dari hikmah-Nya). Adapun dzikir kepada Allah harus

disertai dengan tafakkur terhadap ciptaan-Nya.85

Beberapa pandangan ulama modern tersebut melengkapi penafsiran ulama

klasik. Menurut hemat penulis, intinya secara tidak langsung mereka bersepakat

bahwa yang dimaksud dzikr pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 adalah senantiasa

mengingat Allah Swt dalam semua keadaan dan dalam bentuk apa saja. Terkait ulil

albâb, aktifitas pikir mereka juga termasuk dzikr karena tidak terlepas dari ingatan
83
Muhammad Rasyîd ‘Alî Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr) (al-Hai’ah al-
Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1990), j. 4, h. 245.
84
Muhammad al-Tâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Tâhir bin ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-
Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 1984), j. 4, h. 196.
85
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, cet. 1 (Mesir: Syirkah Maktabah wa
Matba;ah Mustâfâ al-Bâbî al-Halbî wa Aulâduhu, 1946), v. 4, h. 162.
76

pada-Nya. Sebagaimana penjelasan Quraish Shihab, “Dzikir adalah mengingat Allah

dalam seluruh situasi dan kondisi saat bekerja atau istirahat, sambil berdiri atau

duduk atau berbaring, atau bagaimanapun dan mereka memikirkan tentang

penciptaan alam.86 Dalam hal ini, objek dzikir adalah Allah. Dzikir didahulukan atas

pikir karena dengan dzikir hati menjadi tenang. Dengan ketenangan pikiran menjadi

cerah, bahkan siap untuk memperoleh limpahan ilham dan bimbingan ilahi.87

b. Yatadzakkaru dan Yadzdzakkaru

Baik lafadz yatadzakkaru atau yadzdzakkaru memiliki makna yang sama.

Lafadz yadzdzakkaru merupakan bentuk fi’il mudâri’ dari fi’il mâdi “tadzakkara”.

Pada asalnya, lafadz yadzdzakkaru berupa yatadzakkaru. Huruf ta’ diganti dzal

karena kedekatan pengucapannya sehingga di-idghâm-kan (disamarkan) menjadi

yadzdzakkaru.88 Lafadz tersebut berupa tsulâtsî mazîd khumâsî dan merupakan fi’il

muta’addi yang membutuhkan objek. Sama seperti yadzkuru, objek

yatadzakkaru/yadzdzakkaru hanya berjumlah satu. Berdasarkan fungsi

penggunaannya, bentuk kata ini berfaedah untuk menjadikan objeknya sebagai objek

asal kata kerjanya yang asli.89 Dalam hal ini, tadzakkara berasal dari lafadz dzakara

(mengingat) sehingga tadzakkara menurut fungsi bentuk lafadznya berarti

menjadikan sesuatu sebagai pengingat. Di antara sekian 16 ayat ulul albâb, lafadz

86
Shihab, Tafsir al-Mishbah, j. 2, h. 372.
87
Shihab, Tafsir al-Mishbah, j. 2, h. 373.
88
Abû al-Baqâ’ ‘Abdullâh ibn al-Husain ibn ‘Abdullah al-‘Akbarî (w. 616 H), al-Tibyân fî
I’râb al-Qur’ân (T.tp.: ‘Îsâ al-Bâbî al-Halbî wa Syurkâhu, t.t.), penahqiq: ‘Alî Muhammad al-Bajâwî,
v. 1, h. 220.
89
Tadzakkara mengikuti wazan “tafa’’ala” yang salah satu fungsinya adalah li-ittikhâdz al-fâ’il
asla al-fi’l maf’ûl. Contoh: tabannaitu yûsuf artinya ittakhadztu ibn, saya menjadikan Yusuf sebagai
anak. Jadi, tadzakkara berarti ittakhadza dzikr, menjadikan sesuatu sebagai ingatan (pengingat).
Ma’sum bin Ali, al-Muyassarah al-Imdâriyyah, h. 53.
77

yatadzakkaru dan lafadz yadzdzakkaru masing-masing disebut dalam tiga ayat

dengan surat yang berbeda.90 Jadi, semuanya berjumlah enam ayat.

Setelah menelusuri penafsiran lafadz yatadzakkaru/yadzdzakkaru dalam

beberapa literatur tafsir, penulis mendapati bahwa lafadz tersebut ditafsirkan dengan

beberapa makna seperti yatta’izu dan ya’tabiru yang umumnya berarti “mengambil

pelajaran” atau “mengambil nasihat” dan adakalanya ditafsirkan dengan makna

yatadabbaru atau yataammalu yang berarti “merenung”. Ini menunjukkan bahwa

lafadz tersebut digunakan untuk menggambarkan aktifitas berpikir yang secara

khusus hanya bisa dilakukan oleh ulil albâb adalah berupa perenungan yang

menghasilkan pelajaran bagi dirinya.91 Aktifitas perenungan ini disebut tadzakkur.

Tadzakkur berbeda dengan tafakkur yang disebut dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3):

191. Tafakkur merupakan kegiatan berpikir yang umum sedangkan tadzakkur

memiliki ciri tertentu. Selain tadzakkur, aktifitas berpikir lain yang memiliki ciri

khusus adalah tadabbur. Namun, antara tadzakkur dan tadabbur juga tidaklah sama.

Mengutip pendapat Ibnu ‘Âsyûr, ia menyatakan bahwa tadzakkur merupakan

kelanjutan dari tadabbur. Menurutnya, tadabbur adalah:

“al-tafakkur wa al-taammul al-ladzî yablughu bi-hi sâhibuhu ma’rifat al-


murâd min al-ma’ânî, wa inna-mâ yakûnu dzâlika fî kalâm qalîl al-lafz katsîr
al-ma’ânî al-latî ûdi’at fî-hi bi-haitsu kulla-mâ –zdâda al-mutadabbar
tadabbur inkasyafat la-hu ma’âni lam takun bâdiyatan la-hu bâdia al-
92
nazar.”

90
Yatadzakkaru: Q.S. al-Ra’d (13): 19, Q.S. Sad (38): 29, dan Q.S. al-Zumar (39): 9.
Yadzdzakkaru: Q.S. al-Baqarah (2): 269, Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7, dan Q.S. Ibrâhîm (14): 52.
91
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 5, h. 580; al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v.
3, h. 42; al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 9, h. 40; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1 (Ciputat: Lentera Hati, 2000), v. 1, h. 543.
92
“Aktifitas berpikir dan merenung yang mengantarkan pelakunya sampai pada pengetahuan
yang dimaksud oleh beberapa makna. Ini terjadi dalam perkataan yang sedikit lafadznya namun
banyak makna yang tersimpan di dalamnya, sekiranya setiap kali apa yang ditadabburinya bertambah,
78

Sedangkan tadzakkur adalah:

“istihdlâr al-dzihn mâ kâna ya’lamu-hu wa huwa sâdiq bi-istihdlâr mâ huwa


mansiyy wa bi-istihdlâr mâ al-sya’n an lâ yughfala ‘an-hu wa huwa
yahimmu al-‘ilm bi-hi.” 93
Berdasarkan penjelasan Ibnu ‘Âsyûr tersebut, diketahui bahwa yang

membedakan kegiatan tadzakkur adalah pengaktifan akal saat berpikir atas apa yang

diketahui. Merujuk beberapa ayat yang menerangkan “innamâ yatadzakkaru ulû al-

albâb”, bahwa tadzakkur hanya bisa dilakukan oleh ulil albâb, maka bisa dimaklumi

jika kegiatan berpikir tersebut hanya disandangkan pada ulil albâb yang dicirikan

sebagai orang yang berakal. Mereka tidak hanya merenung tanpa hasil, tapi mampu

mengambil pelajaran atau nasihat dari apa yang direnungkannya.

Aktifitas tadzakkur yang dilakukan ulil albâb tentunya tidak akan ada tanpa

adanya suatu objek. Melalui sebuah objek, ulil albâb mampu ber-tadzakkur. Hasil

pikiran dari pengamatan objek itulah yang kemudian menjadi pelajaran bagi mereka.

Terkait hal ini, al-Qur’an telah memberikan contoh beberapa objek yang patut

dipikirkan oleh mereka.

Q.S. (2) al-Baqarah: 269, misalnya. Ayat ini berbicara tentang hikmah.94 Al-

Râzî dalam Mafâtîh al-Ghaib menjelaskan bahwa ketika manusia melihat al-hikam95

maka tersingkaplah makna-makna yang tidak akan tampak secara kasat mata.” Lihat: Ibnu ‘Âsyûr al-
Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 252.
93
“Penghadiran akal atas apa yang diketahuinya seraya jujur dengan menghadirkan apa saja
yang terlupa dan apa saja yang seharusnya tidak dilupakan. berupa pengetahuan.” Lihat: Ibnu ‘Âsyûr
al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 252.
94
Al-Qurtubî menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai lafadz hikmah. Al-Siddî
berpendapat hikmah adalah nubuwwah (kenabian). Ibn ‘Abbâs menafsirkannya sebagai “pengetahuan
yang berkaitan dengan al-Qur’an: fiqh-nya, nas-nya, muhkam-nya, mutasyâbih-nya, gharîb-nya,
permulaan dan penutupnya”. Sedangkan menurut Mujâhid dan Qatâdah, hikmah adalah fiqh
(pemahaman) dalam al-Qur’an. Mujâhid berkata bahwa hikmah adalah “ketepatan/kebenaran dalam
ucapan dan perbuatan”. Ibnu Zaid berkata, “hikmah adalah akal dalam agama.” Mâlik bin Anas
berpendapat, “hikmah adalah mengetahui agama Allah dan memahaminya serta mengamalkannya.”
79

(hikmah-hikmah) dan al-ma’ârif (pengetahuan-pengetahuan) yang muncul dalam

hatinya, kemudian ia merenungkan, memikirkan, dan mengetahui bahwa hal tersebut

tidak akan didapatkan kecuali berkat anugerah dan kemudahan dari Allah Swt, maka

ia termasuk golongan ulil albâb karena ia tidak berhenti pada al-musabbibât (yang

disebabkan/objek), tapi ia (berpikir) lebih maju pada asbâb (penyebab/subjek)-nya.

Oleh karena pengalihan ini (dari yang al-musabbab-al-sabab/objek-subjek) adalah

yang dimaksud dengan al-tadzakkur yang tidak akan berhasil kecuali bagi ûlûl

albâb. 96 Namun, menurut Ibnu ‘Âsyûr, keberhasilan tadzakkur bergantung pada

kehadiran dan kuatnya lubb tersebut. Artinya, hikmah dapat dimengerti apabila ulil

albâb menggunakan akalnya dengan baik.97

Tidak hanya itu, menurut al-Marâghi, dengan tadzakkur seorang ulil albâb

dituntut untuk mengamalkan pengetahuannya atas hikmah dengan cara berbuat hal-

hal yang bermanfaat bagi kehidupan pun juga kesejahteraannya. Artinya, kegiatan

berpikir yang dilakukan ulil albâb pada akhirnya tidak hanya berupa pemikiran saja,

tapi juga menghasilkan aksi nyata.98

Menurut al-Qurtubî, beberapa pengertian tentang hikmah tersebut hampir sama –kecuali pendapat al-
Siddî-. Intinya, hikmah berasal dari ahkâm yang berarti al-itqân fî qaul au fi’l (kemantapan dalam
berucap dan berbuat). Asal makna hikmah adalah “segala sesuatu yang mencegah kebodohan”. Oleh
karenanya, ilmu disebut hikmah. al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 330.
95
Al-hikam adalah jam’ al-taktsîr dari lafadz al-hikmah. Kata tersebut sama seperti yang
disebut dalam ayat yang sedang dibahas. Sebelum membahas ulûl albâb, al-Râzî membahas secara
rinci pengertian al-hikmah. Mengutip riwayat dari Muqâtil, kata al-hikmah dalam al-Qur’an memiliki
empat penafsiran, yaitu: 1) nasihat al-Qur’an; 2) pemahaman, pengetahuan; 3) kenabian; 4) al-Qur’an
dengan segala keajaiban dan rahasianya. Muhammad al-Râzî Fakhr al-dîn ibn al-‘Allâmah Diyâ’ al-
Dîn ‘Umar, Mafâtîh al-Ghayb, cet. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), v. 7, h. 73.
96
al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 7, h. 74, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar Ibnu Katsîr al-Qurasyî
al-Dimasyqî (700-774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm (T.tp.: Dâr Taybah li al-Nasyr wa al-Tawzî’,
1999M/1420H), v. 1, h. 701.
97
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 3, h. 64.
98
al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 3, h. 42.
80

Pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7, yang menjadi objek tadzakkur adalah ayat-ayat

muhkam dan mutasyâbih. Sebagaimana diketahui, ayat muhkam adalah ayat yang

mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyâbih adalah ayat yang maksudnya

hanya diketahui oleh Allah saja. 99 Setelah melakukan tadzakkur, ulil albâb pasti

mengimani ayat-ayat semua ayat tersebut tanpa berusaha mengartikan ayat-ayat

mutasyâbihât.100 Hal itu mereka lakukan karena mereka memahami, mengerti, dan

memikirkan makna-makna arah maksud pembicaraan ayat-ayat tersebut (muhkamât

dan mutasyâbihât). 101 Mereka tahu apa yang zahirnya sesuai dengan petunjuk-

petunjuk akal adalah muhkam dan yang zahirnya menyalahi petunjuk-petunjuk akal

adalah mutasyâbih. Mereka juga tahu bahwa pembicaraan tersebut meniscayakan

kebenaran absolut yang hanya dimiliki Allah.102 Atas kesadarannya tersebut, mereka

mendapat pujian dan hidayah dari Allah.103

Pada ayat 52 surat Ibrâhîm, yang menjadi objek tadzakkur adalah al-Qur’an.

Ayat ini merupakan penutup surat Ibrâhîm. Isinya berbicara mengenai salah satu

fungsi al-Qur’an, yakni sebagai al-hudâ (petunjuk) yang berisi al-balâgh (penjelasan)

bagi umat manusia. Dengan tadzakkur al-Qur’an, seorang ulil albâb tahu keesaan

99
Mannâ’ Khalîl al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, cet. 10 (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2007), h. 305.
100
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 4, h. 19.
101
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.2, h. 12.
102
al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 7, h. 193, Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, v. 2, h. 16. Menurut al-Marâghî, ulil albâb dapat memikirkan dan memahami
hikmah keberadaan ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih. Dengan me-tadabbur-i dan me-tafakkur-i ayat-
ayat muhkam yang merupakan usûl (ajaran yang pokok), sehingga ketika dihadapkan pada ayat-ayat
mutasyâbih mereka dapat mengingat-ingat ayat muhkam dan mengembalikan masalah mutasyâbih
tersebut padanya. Mereka kemudian mengakui bahwa masalah mutasyâbih tidak pantas bagi dipelajari
oleh orang yang berakal. al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 3, h. 98
103
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 3, h. 169.
81

Allah. 104 Adapun menurut Ibnu ‘Âsyûr, tadzakkur dalam ayat ini adalah dengan

memikirkan bukti-bukti kebenaran Rasulullah Saw dan kewajiban mengikutinya. Ia

melihat ada beberapa tahapan sifat berurutan yang ingin ditunjukkan oleh ayat

tersebut, yaitu: pertama, sifat tablîgh (balâgh) yang berarti menyampaikan; kedua,

sifat indzâr (li-yundzarû) yang berarti memperingatkan; ketiga, sifat ‘ilm (li-ya’lamû)

yang berarti mengetahui; dan keempat, sifat tadzkîr (li-yadzdzakkara) yang berarti

mengambil pelajaran. Keempat sifat tersebut saling berhubungan dan terjadi secara

bertahap. Seluruh tahapan tersebut merupakan hikmah al-Qur’an yang disampaikan

oleh Rasulullah Saw yang dikhususkan pada umat muslim.105

Sementara itu, di dalam Tafsir al-Mishbâh, Quraish Shihab menjelaskan cara

“mengambil pelajaran” tersebut adalah dengan selalu menghayati dan mengamalkan

al-Qur’an. 106 Artinya, seorang ulil albâb tidak hanya berpikir dan merenung saja,

namun juga mengamalkan apa yang dipikirkan dan direnungkannya dari al-Qur’an.

Selain itu, menilik pendapat al-Râzi, dengan tadzakkur apa yang dilakukan ulil albâb

akan selalu berupa transformasi pada sesuatu yang lebih baik.107

104
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 17, h. 57.
105
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 13, h. 255.
106
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 7, h. 84.
107
Dalam penafsiran ayat ini, al-Râzî lebih mengaitkannya dengan nafsu. Ia menjelaskan bahwa
nafsu manusiawi (al-nafs al-insâniyyah) ada dua macam. Pertama, daya nalar dan segenap
kesempurnaannya dalam mengenali segala yang ada dengan bagian-bagian, jenis-jenis, dan macam-
macamnya hingga nafsu itu menjadi layaknya cermin yang tampak di dalamnya sucinya kekuasaan dan
tampak pula di dalamnya agungnya ketuhanan. Adapun pokok pengetahuan ini adalah tauhid pada
Allah baik dalam segi dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Kedua, daya praktik dan segenap
dorongannya untuk (al-sa’âdah) menyifati akhlak-akhlak terpuji yang menjadi landasan munculnya
perbuatan-perbuatan sempurna. Adapun pokok dorongan-dorongan daya ini adalah taat dan khidmat
pada Allah Swt.
Selanjutnya, dalam menafsirkan lafadz liya’lamû al-Râzî menjelaskan bahwa lafadz tersebut
merupakan isyarat pada sesuatu yang berkaitan dengan kesempurnaan daya nalar. Sedangkan lafadz
liyadzdzakkara merupakan isyarat pada sesuatu yang berkaitan dengan kesempurnaan daya praktik,
karena faedah al-tadzakkur (mengingat-ingat) dalam konteks ayat ini adalah pemalingan amal-amal
82

Selaras dengan ayat di atas, pada Q.S. al-Ra’d (13): 19 yang menjadi objek

perhatian ulil albâb adalah kebenaran al-Qur’an. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah

Swt menegaskan keesan-Nya, 108 kemudian memberikan beberapa perumpamaan

antara yang benar dan yang batil,109 lalu menginformasikan tentang ganjaran orang

yang patuh dan yang membangkang-Nya. 110 Ulil albâb tentu mampu mengambil

pelajaran dari ayat-ayat tersebut dan membuktikan dengan pengetahuannya bahwa al-

Qur’an adalah benar. Mereka bukanlah seperti kaum musyrikin yang tidak berakal

karena menyia-nyiakan fungsi akal mereka. 111 Ulil albâb bisa mengambil manfaat

pada permisalan-permisalan (pada ayat sebelumnya). Mereka mencari tahu setiap

batil pada amal-amal saleh. Menurutnya, ayat ini menunjukkan bahwa sejatinya manusia tidak
memiliki keutamaan dan kebaikan kecuali karena akalnya. Allah menurunkan kitab-kitab dan
mengutus para rasul untuk mengingatkan ulil albâb. Andai bukan karena kemuliaan agung dan
kedudukan tinggi bagi mereka, maka hal tersebut tidak akan pernah terjadi. al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb,
v. 19, h. 153-154.
108
Q.S. al-Ra’du (13): 16. Artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah Tuhan langit dan
bumi?’ Katakanlah, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selalin
Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya
sendiri?’ Katakanlah, ‘Samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat? Atau samakah yang
gelap dengan yang terang? Apakah mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?’
Katakanlah, ‘Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia Tuhan Yang Maha Esa, Mahaperkasa.”
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 251.
109
Q.S. al-Ra’du (13): 17. Artinya, “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka
mengalirlah ia (air) di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang
mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-
alat, ada (pula) buihnya seperti (buih arus) itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang
yang benar dan yang batil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi
yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.”
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 251.
110
Q.S. al-Ra’du (13): 18. Artinya, “Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan, mereka
(disediakan) balasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya mereka
memiliki semua yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka akan menebus
dirinya dengan itu. Orang-orang itu mendapat hisab (perhitungan) yang buruk dan tempat kediaman
mereka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.”
111
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 13, h. 123. Berdasarkan penjelasan ini,
penulis memahami bahwa dalam pandangan Ibnu ‘Âsyûr tadzakkur merupakan aktifitas akal aktif.
Oleh karenanya, yang bisa melakukan tadzakkur adalah ulil albâb yang senantiasa mengaktifkan
akalnya. Berbeda dengan kaum musyrikin yang meski mempunyai akal namun tidak mengaktifkan
fungsi akalnya sehingga mereka tidak mencapai pengetahuan ulil albâb.
83

makna gambaran. Mereka lalu mengambil intisari dari setiap kulit dan menerangkan

rahasia dan intisari setiap pembicaraan.112

Objek yang sama terdapat pada Q.S. Sad (38): 29. Ayat ini berada di sela-sela

cerita Nabi Daud As. Sebagaimana ayat sebelumnya, konten ayat ini masih

bertemakan fungsi al-Qur’an bagi manusia. Pola pengungkapannya pun relatif sama.

Pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang sia-sia

dalam penciptaan langit dan bumi.113 Dia lalu mengingkari adanya persamaan antara

orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dengan orang kafir dan yang

melakukan kerusakan di bumi serta antara orang yang bertakwa dengan yang jahat. 114

Pada ayat ini, Allah Swt memberitahu bahwa al-Qur’an merupakan sebuah

kitab yang penuh berkah bagi siapa saja yang merenungkan dan memikirkannya.

Allah Swt menyandangkan kedua pekerjaan tersebut pada ulil albâb. Merekalah yang

mendapat tugas untuk menghayati (li-yatadabbarû) dan mendapatkan pelajaran (li-

yatadzakkara) ayat-ayat al-Qur’an.115 Dengan menunaikan tugas tersebut, ulil albâb

112
al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 9, h. 40.
113
Q.S. Sâd (38): 27. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 455.
114
Q.S. Sâd (38): 28. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 455.
115
Ada dua hal menarik untuk diperhatikan. Pertama, di awal surah, lafadz dzikr telah
disebutkan dan merepresentasikan al-Qur’an. Allah berfirman, “Sâd wa al-Qur’ân dzi al-dzikr” yang
berarti “Sâd, demi al-Qur’an yang mengandung peringatan.” Al-Qur’an memang bersifat al-dzikr. Ada
banyak sekali ayat yang menyebutnya seperti itu. Oleh karena al-Qur’an berisi dzikr, maka orang yang
mengetahui dan mengambil peringatan tersebut dinamakan mutadzakkir/mudzdzakkir dan aktifitas
mereka disebut tadzakkur. Ayat ini jelas berhubungan dengan ayat lainnya yang menyatakan innamâ
yatadzakkaru ulû al-albâb. Jika diteliti, ayat-ayat tersebut bukan hanya berkaitan dengan kitab suci,
namun juga fenomena alam. Bila demikian, maka sifat al-dzikr senyatanya tidak hanya disandang oleh
al-Qur’an, tapi juga oleh makhluk ciptaan tuhan. Oleh karena itu, ayat-ayat yang diberikan oleh Allah
bukan hanya berupa ayat-ayat dalam kitab suci saja, namun juga tersebar ke seluruh penjuru alam.
Bagi ulil albâb, ayat-ayat tersebut mampu menyadarkan mereka akan sebuah kebenaran.
Kedua, penggunaan damîr pada lafadz li-yatadabbarû (jamak) dan li-yatadzakkara (tunggal).
Andai subjek dari kedua kata kerja tersebut sama, maka kemungkinan besar bentuk damîr pun harus
sama. Awalnya, menurut penulis, hal ini mengindikasikan sifat khusus yang dimiliki oleh ulil albâb
adalah tadzakkur karena dialah subjek dari kata kerja yatadzakkara. Namun, setelah diteliti lagi,
ternyata subjek dari kedua kata kerja itu sama, yakni ulil albâb. Lihat: Muhyi al-Dîn bin Ahmad
84

akan mendapatkan pertolongan al-tawfîq al-ilâhî (kemudahan dari Allah). Berkat

taufik itu, mereka dapat mengerti tentang rahasia-rahasia ajaib yang disebutkan dalam

al-Qur’an. Dengan taufik pula mereka mengetahui bahwa al-Qur’an mengandung


116
paling sempurnanya keteraturan. Mereka lantas tidak akan tersesat dalam

menjalani kehidupan dan selalu dituntun ke jalan kebenaran.117

Terakhir, dalam Q.S. al-Zumar (39): 9, ada dua permisalan yang dijadikan

bahan tadzakkur bagi ulil albâb, yaitu perbandingan antara orang musyrik dan ahli

ibadah dan antara orang tahu dan tidak tahu. Sebelum ayat ini, beberapa ayat

berbicara mengenai pengukuhan kebenaran al-Qur’an, 118 lalu pembahasan keesaan

Allah, 119 bukti-bukti keesaan-Nya berupa jagat raya dan penciptaan manusia. 120

Bukti-bukti yang tercantum dalam ayat-ayat tersebut dapat pula menjadi objek

tadzakkur.

Berdasarkan Q.S. al-Zumar (39): 9, al-Qurtubî berpendapat bahwa ulil albâb

adalah orang-orang yang berakal dari golongan mukmin. 121 Mereka memiliki

kelebihan dalam mengetahui sesuatu. Dengan menggunakan lubb (yakni ‘aql),

mereka dapat mengetahui hikmah perbedaan banyak hal yang bertentangan. 122

Termasuk dalam hal ini, seorang ulil albâb pasti dapat membedakan mana yang baik

Mustafâ Darwîsy, I’râb al-Qur’ân wa Bayânihi, cet. 4 (Suriah: Dâr al-Irsyâd li al-Syuûn al-
Jâmi’iyyah, t.t.), j. 8, h. 355.
116
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 26, h. 203.
117
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 21, h. 191.
118
Q.S. al-Zumar (39): 1-2. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 458.
119
Q.S. al-Zumar (39): 3-4. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 458.
120
Q.S. al-Zumar (39): 5-7. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 458.
121
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 15, h. 240.
122
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.7, h. 89.
85

dan mana yang buruk, mana contoh yang dapat diteladani dan mana yang tidak patut

ditiru.123

Menurut Ibnu ‘Âsyûr, ungkapan inna-mâ yatadzakkaru ulû al-albâb adalah

pernyataan untuk mengingkari adanya persamaan antara orang yang tahu dan tidak

tahu. Ungkapan ini menunjukkan keutamaan orang yang tahu dan pengetahuan itu

sendiri. Ungkapan tersebut juga menetapkan tadzakkur hanya dilakukan oleh ‘âlamîn

(manusia dan jin) dan bukan selain mereka. Hal ini dikarenakan tadzakkur berupa al-

‘amal al-dînî (perbuatan yang bernilai agama). Dengan tadzakkur, muslimin

menyucikan jiwanya dan mendapatkan kebahagiaan yang kekal.124

Ibnu ‘Âsyûr juga menjelaskan bahwa akal dan ilmu merupakan dua kata yang

semakna. Jika ulil albâb adalah orang yang berakal, maka mereka merupakan orang

yang berilmu. Dengan ilmu yang dimilikinya, ulil albâb mengetahui hakikat segala

sesuatu dan bertindak sesuai dengan keilmuan mereka.125 Maka dari itu, bila ahli ilmu

adalah ahli tadzakkur, maka mereka dapat mengambil hikmah dari perbedaan antara

orang yang tahu dan tidak tahu. 126 Dengan ber-tadzakkur, ulil albâb mampu

memperoleh banyak pelajaran dari hasil pengamatannya.127

123
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 26, h. 251.
124
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 351.Penulis memaknai ‘âlamîn
berdasarkan konteks pembicaraan yang berkaitan dengan akal. Sebagaimana dikutip al-Qurtubî, Ibnu
‘Abbâs memaknai ‘âlamîn sebagai manusia dan jin. Sementara itu, Abû ‘Ubaidah berpendapat bahwa
‘âlam adalah ibarat makhluk yang berakal. Alasannya, ‘âlamîn merupakan isim jam’ man ya’qul khâs.
Mereka ada empat, yaitu: manusia, jin, malaikat, dan syaitan. Lihat: al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qur’ân, j. 1, h. 138.
125
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 348.
126
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 351.
127
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 12, h. 197.
86

c. Dzikr128

Kata ini hanya disebut dalam Q.S. al-Talâq (65): 10. Pada ayat tersebut ulil

albâb adalah orang-orang yang beriman pada Allah dan para utusan-Nya yang telah

Allah turunkan pada mereka dzikran. Pada ayat selanjutnya disebut lafadz rasûl.129

Ulama berbeda pendapat mengenai makna dzikr dan rasûl tersebut. Ada yang

menafsirkan dzikr adalah al-Qur’an130 sedangkan rasûl adalah Nabi Muhammad Saw

dan ada pula yang mengatakan dzikr bermakna rasul. Berdasarkan keterangan al-

Râzî, Rasul disebut dzikr karena ia bertugas mengingatkan manusia pada agama.131

Sedangkan menurut al-Tabarî, lafadz al-rasûl adalah penafsiran dari dzikr. Artinya,

Allah telah mengutus seorang rasul untuk mengingatkan ulil albâb untuk beriman

kepada Allah dan mengamalkan ketaan pada-Nya. 132 Penulis lebih condong pada

pendapat yang pertama.

Menilik ayat ini, diketahui bahwa ulil albâb adalah orang-orang yang

bertakwa, yakni mereka yang beriman pada Allah dan pada para utusan-Nya yang

telah menerima kitab suci. Menurut Ibnu ‘Âsyûr, panggilan ulil albâb bagi orang

mukmin merupakan tanda bahwa akal yang sempurna (al-‘uqûl al-râjihah) mengajak

untuk takwa pada Allah Swt. Hal ini dikarenakan akal tersebut merupakan

kesempurnaan jiwa, kegunaannya senantiasa nyata, serta dengan akal tersebut

128
Penjelasan dzikr berdasarkan tinjauan bahasa bisa dirujuk ke pembahasan awal bab ini.
129
Q.S. al-Talâq (65): 10.
130
Sebagaimana dianut oleh al-Qurtubî, Ibnu Katsîr, Ibnu ‘Âsyûr, dan al-Marâghî. Lihat: al-
Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 18, h. 173; Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.8, h.
155; Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 28, h. 337; al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v.
28, h. 148 & 150. M. Quraish Shihab mungkin termasuk dalam golongan ini meski dia mengartikan
dzikran dengan arti “peringatan”. Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
v. 14, h. 306.
131
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 30, h. 38.
132
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 23, h. 467-468.
87

manusia dapat terhindar dari kerugian dunia dan akhirat.133 Artinya, seorang mukmin

yang menggunakan akalnya seharusnya mengikuti petunjuk para rasul serta kitab suci

agar selamat dari azab Allah.

Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat bahwa dzikr pada Q.S. al-Talâq

(65): 10 adalah pengingat yang secara tidak langsung menghubungkan pikiran ulil

albâb pada Allah Swt. Allah memberikan peringatan tersebut pada ulil albâb tidak

lain agar mereka senantiasa mengingat-Nya kala lupa. Oleh karena itu, dzikr di sini,

baik berupa al-Qur’an maupun rasul, merupakan salah satu objek aktifitas berpikir

ulil albâb sebagaimana uraian penulis sebelumnya.134

d. Dzikrâ

Sama seperti lafadz dzikr, dzikrâ merupakan isim masdar dari dzakara yang

berarti mengingat. Jadi, selain dzikr, lafadz dzakara mempunyai beberapa isim

masdar, yaitu: dzukr, dzikrâ, dan tidzkâr. Semuanya bermakna hafiza. 135 Oleh

karenanya, pemaknaan dzikrâ dalam konteks ayat ulil albâb tidak jauh berbeda

dengan pemaknaan dzikr yang telah penulis uraikan sebelumnya, yakni sebagai objek

dari aktifitas akal ulil albâb.

Tidak seperti lafadz dzikr yang hanya disebut dalam satu ayat, penyebutan

lafadz dzikrâ terdapat dalam tiga ayat, yaitu:Q.S. Sad (38): 43, Q.S. al-Zumar (39):

133
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 28, h. 336.
134
Pada pembahasan yatadzakkaru, penulis menguraikan beberapa objek tadzakkur ulil albâb.
Menariknya, penulis melihat ada korelasi antara penggunaan kalimat fi’l (yatadzakkaru) sebagai kata
kerja dengan ism masdar (dzikr) sebagai kata benda. Hubungan di antara keduanya seakan
menunjukkan adanya hubungan sintagmatis dalam sebuah kalimat dengan ulil albâb sebagai
subjeknya. Kasarnya, penulis melihat adanya keterkaitan dari beberapa ayat-ayat dzikr yang menyebut
ulil albâb, yakni: beberapa ayat menerangkan aktifitasnya dengan menggunakan kata kerja
yadzkuru/yatadzakkaru/yadzdzakkaru dan objek aktifitas dengan kata benda dzikr.
135
Majma’ al-Lughghah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît (Jeddah: Maktabah Kunûz al-
Ma’rifah, 2011), cet. ke-5, h. 324.
88

21, dan Q.S. Ghâfir (40): 53-54. Dari ketiga ayat tersebut diketahui bahwa Q.S. Sad

(38): 43 berbicara tentang sejarah; Q.S. al-Zumar (39): 21 tentang fenomena alam

(hujan); dan Q.S. Ghâfir (40): 53-54 tentang al-Kitab.136

Di dalam Q.S. Sad (38): 43, Allah Swt berfirman yang artinya:

“Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan


Kami lipatgandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi
orang-orang yang berpikiran sehat.” 137
Ayat ini merupakan satu bagian dari ayat-ayat sebelumnya yang menceritakan

kisah Nabi Ayyub As. Ketika membaca ayat-ayat tersebut, ulil albâb menggunakan

akalnya untuk memahami dan mengambil pelajaran dari kisah Nabi Ayyub As.138

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik adalah, mereka tahu bahwa buah sabar adalah

kelapangan, jalan keluar, dan kelegaan. 139 Mereka juga tahu bahwa orang-orang yang

sabar pasti tidak akan merugi dan akan memperoleh buah kesabarannya.140

Menurut Ibnu ‘Âsyûr, dzikrâ adalah dzikr yang bermakna al-tadzkîr

(mengingatkan) apa saja yang tersembunyi. Peringatan tersebut diperuntukkan bagi

ahli pikir dan yang pandai menarik kesimpulan. Dalam konteks ayat ini, ulil albâb

dapat menarik kesimpulan dari kisah Nabi Ayyûb As bahwa kesabarannya dapat

dijadikan teladan bagi siapa saja yang sedang berada dalam kesulitan dan menunggu

jalan keluar.141

Pada ayat lainnya, Allah Swt berfirman yang artinya:

136
Fakta ini semakin meyakinkan asumsi penulis bahwa yang menjadi peringatan (dzikr) bagi
ulil albâb bukan hanya kitab suci, namun juga alam semesta. Lihat catatan kaki nomor 115.
137
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 456.
138
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 21, h. 211, al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 23,
h. 126; Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 12, h. 151.
139
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.7, h. 75.
140
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 26, h. 215.
141
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 272.
89

“Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari


langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan air itu
ditumbuhkan-Nya tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, kemudian
menjadi kering, lalu engkau melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya
hancur berderai-derai. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal sehat.”142
Ayat di atas termasuk jenis ayat kauniyah. Ayat tersebut berbicara mengenai

fenomena hujan, pengaturan sumber-sumber air di bumi, dan proses pertumbuhan

tanaman sampai kehancurannya. Pada siklus alam tersebut, terdapat dzikrâ

(pelajaran/peringatan/pengetahuan)143 yang bisa dipetik oleh ulil albâb yang dikenal

sebagai orang yang berakal sehingga mereka mengetahui kebesaran dan kekuasaan

Allah Swt. 144 Berbekal akal yang unggul, mereka memikirkan fenomena alam

tersebut lantas mengambil pelajaran bahwa dunia begini adanya: hijau indah nan elok

(subur) kemudian kembali menjadi hancur kering.145

Terakhir, dalam Q.S. Ghâfir (40): 53-54 Allah Swt berfirman, yang artinya:

“Dan sungguh, Kami telah memberikan petunjuk kepada Musa; dan


mewariskan Kitab (Taurat) kepada bani Israil, untuk menjadi petunjuk dan
peringatan bagi orang-orang yang berpikiran sehat.” 146
Ayat di atas berbicara mengenai fungsi kitab suci yang diturunkan Allah Swt

kepada para utusannya, yaitu sebagai hudâ (petunjuk) dan dzikrâ (peringatan).

Kandungan ayat tersebut sama seperti pada ayat sebelumnya, Q.S. Sad [38]: 29, yang

berisi perintah agar ulil albâb me-tadabbur-i dan me-tadzakkur-kan al-Qur’an.

142
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 460.
143
Al-Râzî menafsirkan lafadz dzikrâ sebagai al-’ilm dan al-tadzakkur, yakni pelajaran. al-Râzî,
Mafâtîh al-Ghayb, v. 26, h. 264. Sedangkan Al-Marâghî dan M. Quraish Shihab mengartikan hanya
“pelajaran” saja. al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 23, h. 158; Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an, v. 12, h. 213. Sementara itu, Ibnu ‘Âsyûr berpendapat bahwa lafadz dzikrâ
menunjuk pada sesuatu yang telah dilupakan yang dibingungkan oleh orang berakal. Ibnu ‘Âsyûr al-
Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 338.
144
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 21, h. 277.
145
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.7, h. 93.
146
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 473.
90

Bedanya, pada ayat ini al-Qur’an menunjukkan objek dari tadabbur dan tadzakkur itu

dan secara gamblang disebutkan bahwa fungsi kitab suci sebagai pedoman hidup

hanya diperuntukkan ulil albâb.

Dalam penafsiran ungkapan wa dzikrâ li ulîl albâb, mayoritas mufassir seperti

al-Tabarî, al-Marâghî dan Quraish Shihab mengartikannya dengan makna

‘peringatan’.147 Namun, al-Râzî membedakan antara lafadz dzikrâ dan hudâ. Al-hudâ

adalah yang menjadi dalil atas sesuatu dan tidak disyaratkan menyebut sesuatu yang

telah dilupakan. Sedangkan al-dzikrâ adalah yang menjadi pengingat. Oleh

karenanya, kitab-kitab para Nabi Allah terdiri dari dua macam ini: sebagian dijadikan

dalil bagi diri mereka dan satunya lagi dijadikan pengingat tentang apa yang datang

dari kitab-kitab ilahi terdahulu.148

Senada dengan keterangan di atas, Ibnu ‘Âsyûr memandang bahwa huda dan
149
dzikrâ merupakan dua sifat kitab suci. Artinya, kitab suci berfungsi sebagai

petunjuk bagi Bani Israil dan peringatan bagi mereka. Di dalam kitab tersebut

terdapat pengetahuan yang tidak dapat diketahui meski oleh mereka yang

mempelajarinya. Di dalamnya juga terdapat peringatan terkait sesuatu yang hanya

diketahui oleh ahli ilmu. Peringatan tersebut mencakup istinbât al-ahkâm (perumusan

hukum-hukum) dari nas-nas kitab. Dzikrâ inilah yang khusus dapat dilakukan oleh

‘ulamâ’ yaitu para nabi, para qâdî, dan orang-orang saleh. Mereka itulah ulil albâb

yang mempunyai akal sempurna yang mampu melakukan istinbât hukum.

147
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 21, h. 403; al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, j. 15, h. 323; al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 24, h. 82; Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 12, h. 339.
148
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 27, h. 78.
149
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 24, h. 170.
91

3. Skema Dzikr Ulil Albâb

Berdasarkan sekelumit penafsiran para ulama terhadap lafadz-lafadz derivasi

dzikr pada ayat-ayat ulil albâb, penulis melihat ada sebuah benang merah terkait

penggunaan lafadz dzikr dan derivasinya dalam menggambarkan aktifitas akal yang

dilakukan oleh ulil albâb. Benang merah tersebut penulis rasakan setelah mencermati

penggunaan empat derivasi lafadz dzikr, yaitu yadzkuru, yatadzakkaru/yadzdzakkaru,

dzikr, dan dzikrâ.150 Bila setiap penggunaan lafadz tersebut dipetakan menjadi satu

kesatuan yang utuh disertai keterangan jenis lafadz dan objek pembahasannya, maka

gambarannya akan seperti tabel berikut:

Lafadz Jenis Objek Fungsi

Suatu kegiatan
berpikir transendental
yadzkuru Fi’il (kata kerja) Allah
yang dilakukan oleh
ulil albâb151

Menggambarkan
Yatadzakkaru/ Kitab Suci proses berpikir ulil
Fi’il
yadzdzakkaru Makhluk albab yang objeknya
adalah selain Allah152

Objek pikiran ulil


albâb yang akan
Dzikr/ dzikrâ Ism (kata benda) - mengantarkannya
pada proses berpikir
transendental153

Untuk lebih memahami cara kerja lafadz-lafadz tersebut, penulis mencoba

menggambarkannya sebagaimana berikut:

150
Lihat catatan kaki nomor 115 dan 134.
151
Rujuk pembahasan tafsir lafadz yadzkurûna.
152
Rujuk pembahasan tafsir lafadz yatadzakkaru/yadzdzakkaru.
153
Rujuk pembahasan tafsir lafadz dzikr dan dzikrâ.
92

a. Ulil albâb mengingat Allah (yadzkurûna-llâh)154

Allah

Ulil albâ b

Gambar 2. Proses yadzkurûna-llâh

Pada gambar ini tampak bahwa aktifitas akalnya mengarah ke atas, ke arah

transendental. Di sini, ulil albâb hanya mengingat saja tanpa memikirkannya. Hal ini

sesuai dengan perintah Allah Swt agar manusia memikirkan makhluk-Nya dan tidak

memikirkan-Nya.

b. Ulil albâb mengambil peringatan/ pelajaran (yatadzakkaru/ yadzdzakkaru)155

Kitab suci
Ulil
albâ b
Makhluk

Gambar 3. Proses yatadzakkaru/yadzdzakkaru

Pada gambar ini tampak arah berpikir ulil albâb menyamping. Di sini, mereka

mulai mengaktifkan akal mereka. Mereka mulai mengamati objek-objek berupa kitab

suci dan makhluk untuk dipelajari dan diambil manfaatnya. Selain itu, mereka juga

menjadikan objek-objek tersebut sebagai dzikr. Oleh karenanya, sebenarnya ilustrasi

ini juga cocok untuk menggambarkan aktifitas berpikir yatafakkarûna pada Q.S. Âli

‘Imrân (3): 191.

154
Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191.
155
Q.S. al-Baqarah (2): 269; Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7; Q.S. Ibrâhîm (14): 52; Q.S. al-Ra’d (13):
19; Q.S. Sâd (38): 29; Q.S. al-Zumar (39): 9.
93

c. Dzikr/ Dzikrâ sebagai objek berpikir yang mengantar pada transendensi156

Allah

Dzikr

Gambar 4. Proses dzikr

Gambar ini menjelaskan bahwa dzikr sebagai objek tadzakkur ulil albâb

ternyata menjadikan para pengamatnya (ulil albâb) ingat kepada Allah. Oleh karena

itu, secara tidak langsung semua dzikr yang menjadi objek tadzakkur itu mengarah ke

atas, kea rah transendental sebagaimana proses yadzkurûna-llâh pada poin a.

d. Skema aktifitas akal ulil albâb

Allah

Ulil Albâb Dzikr/Dzikrâ

Gambar 5. Skema aktifitas akal ulil albâb

Gambar ini merupakan gabungan dari tiga gambar sebelumnya. Melalui

gambar ini, penulis ingin menyampaikan bahwa ada sirkulasi berpikir yang terjadi

pada akal ulil albâb di mana tujuan akhirnya adalah Allah. Jika akal itu bergerak

menuju ke atas, maka ia hanya sebatas “mengingat” saja yang lumrahnya disebut

dengan istilah dzikrullâh. Sedangkan bila aktifitas akal itu bergerak menyamping ke

arah makhluk Allah, maka saat itu ia berpikir secara mendalam sehingga mendapat

156
Q.S. al-Talâq (65): 10; Q.S. Sâd (38): 43; Q.S. al-Zumar (39): 21; Q.S. Ghâfir (40): 53-54.
94

pelajaran bahwa yang dipikirkannya itu berkaitan dengan Yang Di Atas. Inilah yang

dinamakan tadzakkur, yakni proses berpikir dengan akal aktif hingga sampai pada

sesuatu Yang Hak. Adapun panah putus-putus dari Allah ke dzikr/dzikrâ adalah

gambaran perintah Allah agar manusia memikirkan makhluk-Nya. Berdasarkan

skema gabungan ini, dapat diketahui bahwa baik yadzkurûna,

yatadzakkaru/yadzdzakkaru, atau dzikr/dzikrâ pada akhirnya sama-sama

menunjukkan pada makna dzikrullâh, yakni mengingat Allah.***


BAB IV
DZIKIR DALAM PIKIR: MENELAAH MAKNA ULIL ALBÂB
DALAM PANDANGAN M. DAWAM RAHARDJO

Kelahiran teks tidak terlepas dari konteksnya. Begitu pula sebuah pemikiran

(termasuk penafsiran) berkaitan erat dengan situasi dan kondisi di mana ia dilahirkan.

Sehubungan dengan itu, pada akhir tahun 1980-an sampai awal 1990-an, di tengah

kesenjangan antara kubu negara dan agama, terjadi sebuah pergumulan wacana

keberagamaan di kalangan elit sarjana dan intelektual muda Indonesia. Mereka

mendiskusikan posisi dan peran agama di zaman modern. Pewacanaan tersebut tidak

lain merupakan sebuah upaya untuk menghadapi perkembangan zaman dan

mengusung masa depan bangsa di abad ke-21 yang mereka sebut sebagai “era tinggal

landas”.

Salah satu gejala pergumulan wacana di atas adalah munculnya organisasi

yang mengatasnamakan kecendekiawanan. Para intelektual membentuk perkumpulan

dan mengadakan kegiatan konferensi atau seminar di berbagai tempat. Dalam

perkumpulan tersebut, mereka menyuarakan ide dan pendapat serta secara masif aktif

mencari solusi untuk menjembatani masalah negara-agama atau masalah klasik antara

agama dan ilmu pengetahuan. Sejak itu, kata “cendekiawan” menjadi kata yang

populer di khalayak ramai.1

1
Dalam sebuah laporan yang dimuat di Prospek, 15 Desember 1990, disebutkan bahwa wadah
cendekiawan pernah ada pada tahun 1964 dengan nama Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami)
di Mega Mendung, Bogor. Kemudian pada tahun 1968 muncul Ikatan Sarjana Islam Indonesia. Era
dekade 70-an, Indonesia kebanjiran sarjana yang mayoritas lulusan S2 dan S3 luar negeri. Mereka
membawa kepedulian yang positif dan menjadikan masjid kampus sebagai pusat kegiatannya. Banyak
doktor menjadi dai semisal Fuad Amsyari di Unair, A.M. Saefuddin di IPB, Jalaluddin Rakhmat di

95
96

Seiring perkembangan wacana tersebut, orang-orang lantas mengaitkan

cendekiawan dengan konsep ulil albâb yang ada dalam al-Qur’an. 2 Ulil albâb

dikonotasikan dengan “cendekiawan muslim” atau “intelektual muslim”. Istilah

“cendekiawan muslim” kemudian semakin populer semenjak pendirian sebuah

organisasi besar bernama Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang

kemudian dianggap sebagai puncak hasil pewacanaan yang telah diimpikan.3

Dalam konteks ini, M. Dawam Rahardjo merupakan salah seorang aktor yang

terlibat langsung dalam pergumulan wacana tersebut di atas. Tidak hanya itu, ia turut

membidani kelahiran ICMI dan memprakarsai beberapa perkumpulan cendekiawan

sebelumnya.4 Dawam juga menulis secara khusus sejarah panjang kecendekiawanan

Unpad, dan Amien Rais di UGM. Beberapa tahun berselang, sepanjang dekade 80-an mulai marak
seminar-seminar tentang pembangunan dilihat dari visi Islam. Semua kegiatan tersebut berskala
nasional dengan melibatkan para pakar. Berkat berbagai pertemuan tersebut, muncul gagasan untuk
membuat sebuah wadah cendekiawan untuk memperkuat perjuangan. Pada akhir tahun 1984, kurang
lebih 165 cendekiawan muslim berkumpul untuk mendiskusikan tema “Perspektif Islam dalam
Pembangunan Bangsa”. Pertemuan itu dilanjutkan pada tahun 1986 sekaligus membentuk Forum
Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKBI). Untuk informasi lebih lengkapnya: Abrar Muhammad,
ICMI dan Harapan Umat, cet. 1 (Jakarta: YPI Ruhama, 1991), h. 95-96.
2
Di antara beberapa tokoh yang mempopulerkan istilah ini adalah Dr. Ir. Muhammad
Imaduddin Abdurrahim (Bang Imad), K.H. Ali Yafie, Dr. Ir. Amin Aziz, Prof. M. Quraish Shihab, dan
M. Chabib Chirzin. Bahkan, sebuah pesantren pimpinan Dr. Ir. A. M. Saefuddin di Bogor juga
dinamakan Pesantren “Ulul Albab”. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, cet. pertama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 552.
3
Ada sebuah video di Youtube berjudul “Ulil Albab dan Peran Cendikiawan” yang
menayangkan M. Quraish Shihab saat mengisi ceramah di kediaman B.J. Habibie. Dalam ceramah
singkat itu, Quraish Shihab bercerita tentang perjalanan awal ICMI. Sekembali dari Malang (1990),
para pengurus ICMI langsung berkumpul di Jakarta untuk membicarakan organisasi yang baru
terbentuk itu. Salah satu yang dipertanyakan adalah manakah ayat dalam al-Qur’an yang menunjuk
fungsi ICMI? Mana ayat yang berbicara tentang cendekiawan? Setelah berpikir beberapa lama,
Quraish Shihab menjawab, “Yang menunjuk cendekiawan muslim dalam al-Qur’an adalah kalimat ulil
albâb, bukan ‘âlim, bukan orang yang memiliki pengetahuan, bukan hâkim orang yang bijaksana,
bukan juga faqîh orang yang paham, tapi ulil albâb.” Video ini dipublikasikan oleh akun Sinar Idola
pada tanggal 26 Juni 2016.
4
Menurut Dawam pribadi, peristiwa yang sangat bermakna dalam hidupnya adalah proses
pembentukan ICMI. Meski mengaku bukan sebagai penggagas ide tersebut, Dawam-lah yang
membantu kesuksesan simposium cendekiawan muslim yang melahirkan ICMI. Beberapa tahun
sebelumnya, Dawam memprakarsai sebuah organisasi serupa. Pada tahun 1983 ia mengadakan
Pertemuan Cendekiawan Muslim I, namun tidak terealisasi karena tidak mendapat izin dari Menteri
97

di Indonesia dalam bukunya yang berjudul Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku

Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim.5 Oleh karenanya, untuk mengetahui

pemikiran Dawam tentang ulil albâb, khususnya mengenai dzikr dan fikr yang

menjadi masalah utama dalam penelitian ini, penulis menguraikan pandangannya atas

konsep ulil albâb, kecendekiawanan, serta kaitan antara dzikir dan pikir yang

kesemuanya tidak terlepas dari konteks keindonesiaan terutama dalam hal ini, ICMI.

A. Konsep Ulil Albâb Menurut M. Dawam Rahardjo

Pandangan M. Dawam Rahardjo tentang konsep ulil albâb sebenarnya tidak

jauh berbeda dengan konsep ulil albâb yang diutarakan oleh ulama tafsir baik klasik

maupun modern. Pembahasan Dawam menyangkut ayat-ayat ulil albâb juga relatif

sama. Perbedaan terletak pada cara pengkajiannya saja. Dawam menggunakan

metode tematik (maudû’î) sehingga kajiannya lebih komprehensif dan terpadu

dibanding para mufassir yang umumnya masih menggunakan metode tahlîlî, yang

mana konsep ulil albâb masih terpencar sesuai letak ayatnya.6 Yang menarik pada

Agama dan Ketua Majelis Ulama Indonesia waktu itu. Sebagai gantinya pada tahun 1986 ia
membentuk Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKPI). Forum inilah yang dianggap sebagai
fondasi sosiologis ICMI yang mana Dawam berperan aktif di dalamnya. Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq
Hasyim, dan J.H. Lamardy, ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. digital (Jakarta: Democracy
Project, 2012), h. 19.
5
Buku ini terdiri dari kumpulan tulisan M. Dawam Rahardjo dalam rentang waktu tahun 1984-
1992. Buku ini sengaja dibuat untuk menyusun konsep “wawasan perjuangan cendekiawan muslim”
yang dalam hal ini bersangkut paut dengan ICMI. Isinya berbicara tentang pemikiran yang digeluti
cendekiawan muslim, pembaharuan pemikiran Islam, pendidikan Islam yang sedang mencari
identitasnya, hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan, persoalan-persoalan modernisasi dan
perubahan sosial, dan soal transformasi masyarakat pada umumnya. M. Dawam Rahardjo, Intelektual
Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, cet. 1 (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 7.
6
Menurut penuturan Asep Usman Ismail, dalam penulisan artikel yang menyinggung al-Qur’an
dan tafsir, M. Dawam Rahardjo biasanya dibantu oleh Pipik dan Asep sendiri. Biasanya mereka
diminta untuk mengumpulkan data-data penjelasan ayat dari kitab-kitab tafsir. Data-data tersebut
kemudian diolah oleh Dawam sesuai dengan paradigmanya pribadi dengan menambahkan referensi
dari sumber data berbahasa Inggris. Berdasarkan keterangan ini, penulis berasumsi bahwa adalah hal
98

kajian Dawam adalah konteks kemunculan bahasan konsep ulil albâb dalam ruang

lingkup keindonesiaan sebagaimana penulis sebutkan di awal pembahasan bab ini dan

bagaimana ia memahami ayat-ayat dengan mengaitkannya pada masalah kekinian.7

Perlu diketahui, M. Dawam Rahardjo bukanlah satu-satunya pemikir yang

berbicara mengenai konsep ulil albâb. Ada beberapa tokoh lain yang pernah

menyinggung bahkan mempopulerkannya. Dawam sendiri menyebut beberapa nama

seperti Imaduddin Abdurrahim, Ali Yafie, M. Amin Aziz, M. Quraish Shihab, M.

Chabib Chirzin, dan A.M. Saefuddin.8 Sejauh penelusuran yang dilakukan, penulis

belum menemukan satu pun di antara mereka yang menuliskan konsep tersebut

dengan uraian panjang seperti yang dilakukan oleh Dawam. Namun, harus diakui

bahwa secara garis besar Dawam memuat beberapa pokok pemikiran mereka dalam

tulisannya. Dengan kata lain, ia meneruskan pemikiran mereka dan

mengembangkannya.

yang wajar bila pembahasan Dawam tentang ulil albâb tidak jauh berbeda dengan penafsiran para
mufassir. Wawancara Pribadi dengan Asep Usman Ismail, Ciputat, 15 Februari 2018.
Setelah membaca semua ayat ulil albâb, Dawam menyimpulkan bahwa ulil albâb adalah orang
yang mampu mengambil kesimpulan, pelajaran dan peringatan dari ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an,
gejala kemasyarakatan, peristiwa sejarah dan fenomena alam. M. Dawam Rahardjo, Intelektual
Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 76.
7
Perlu diketahui, Dawam pertama kali menulis tentang ulil albâb pada pertengahan tahun 1991.
Tulisannya yang diberi judul Kecendekiawan Adalah Amanah itu dimuat di Harian Umum Pelita pada
tanggal 21 Juli dan dikumpulkan dengan beberapa tulisannya yang lain menjadi sebuah buku berjudul
Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim yang terbit
setahun setelahnya. Di dalam tulisan yang cukup panjang tersebut –untuk pertama kalinya secara
gamblang- Dawam membahas konsep ulil albâb. Setelah itu, ia menguraikan konsep tersebut dalam
tulisan yang lebih panjang dengan judul “Ulul Albab” di rubrik “Ensiklopedi”, Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an tahun 1995 yang kemudian dimasukkan ke dalam buku Ensiklopedi al-
Qur’an dengan judul yang sama pada tahun 1996. Lihat: Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan
Perilaku Politik Bangsa, h. 76 & 487; M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku
Politik Bangsa, cet. 1 (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 487; Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h.
551.
8
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 552.
99

Di mata Dawam, ulil albâb adalah golongan elit. Dikatakan elit karena

mereka memiliki kelebihan atau keunggulan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada

umumnya. Mereka memiliki kualitas tertentu, yakni albâb alias otak yang berlapis-

lapis yang menandakan bahwa mereka memiliki otak yang tajam.9 Mereka bisa saja

seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-cendekia, atau seorang filosof yang berpikir

mendalam. Namun, dalam konteks Indonesia, Dawam menggambarkannya sebagai

gabungan dari sosok ulama dan cendekiawan/intelektual.10

Berbekal akal yang cemerlang, ulil albâb mampu mengambil pelajaran dari

apa saja yang dipikirkannya. Dalam Q.S. Ibrâhîm (14): 52 disebutkan bahwa objek

berpikir ulil albâb adalah al-Qur’an.11 Pada konteks ayat tersebut fungsi al-Qur’an

adalah sebagai sumber pengetahuan yang mana bila dipelajari mampu menunjukkan

keesaan Allah. Sedangkan di beberapa ayat yang lain, al-Qur’an juga telah

9
Dawam berargumen demikian setelah menyelidiki beberapa lafadz ûlû yang berarti
“memiliki” dalam al-Qur’an. Dari kata ûlû tersirat makna bahwa tidak semua orang memiliki. Artinya,
lafadz ûlû menunjukkan adanya suatu kelebihan atau keunggulan. Dawam kemudian meminjam kata
“elit” untuk mengalihbahasakan kondisi tersebut. Di dalam sosiologi, elit berkaitan dengan orang-
orang yang superioritas. Orang kaya, penguasa, kaum militer termasuk dalam golongan ini karena
mereka mempunyai kelebihan di antara yang lain meski keberadaan mereka sendiri minoritas.
Rahardjo. Ensiklopedi al-Qur’an, h. 556-557.
10
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 76. Sebagaimana telah
penulis singgung di Bab I, h. 7, anggapan umum pada saat itu –dan mungkin sampai saat ini- adalah
ulama (bisa jadi ustadz, kiai, atau habib) lebih dikenal sebagai orang yang tahu dan ahli ayat-ayat
Allah dalam al-Qur’an sedangkan cendekiawan (umumnya berpendidikan Barat) adalah orang yang
ahli membaca ayat-ayat Allah yang terhampar di jagad raya. Padahal, menurut Dawam, istilah ‘ulamâ’
sejatinya berasal dari kata ‘âlim yang berarti “orang yang berilmu”, ia mempunyai ‘ilm yang berarti
“ilmu”. Jadi, ‘ulamâ’ sebenarnya adalah ilmuwan. Namun ketika istilah tersebut digunakan oleh
masyarakat Indonesia dan diserap menjadi kata baku “ulama”, terjadi pergeseran bahkan penyempitan
makna dari yang awalnya “ahli ilmu”, menjadi lebih khusus “ahli ilmu agama” saja. Rahardjo,
Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 75.
11
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 77.
100

menyebutkan apa saja yang menjadi pelajaran bagi ulil albâb. Dawam merangkum

beberapa objek pelajaran itu sebagaimana berikut: 12

1. sejarah atau peristiwa masa lampau, terkait naik dan jatuhnya peradaban atau

peranan tokoh-tokoh sejarah (Q.S. Ibrâhîm [14]: 52, Q.S. Yusuf [12]: 111,

Q.S. Ghâfir [40]: 54);

2. gejala-gejala kemasyarakatan, terutama yang menyangkut soal-soal hukum

dan keadilan (Q.S. al-Baqarah [2]: 179) atau hubungan antara manusia dengan

Tuhan dan antara manusia dengan manusia;

3. gejala-gejala kebudayaan, untuk dapat membedakan kegiatan mana yang

mengacu kepada kebaikan (iman dan amal saleh) dengan kegiatan yang

merusak masyarakat, mana yang mencerminkan disiplin dan kepatuhan

(taqwâ) dan mana yang bersifat maksiat (Q.S. Sâd [38]: 29). Atau gejala

perilaku yang berdimensi moral, seperti buruk dan baik (Q.S. al-Mâidah [4]:

100);

4. gejala yang menyangkut kegiatan peribadatan, misalnya seluk beluk ibadat

dalam kaitannya dengan niat (Q.S. al-Baqarah [2]: 197);

5. gejala alam semesta ciptaan Allah yang memiliki hukum-hukum yang pasti

dan berproses sesuai dengan fitrah kejadiannya (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 190-

191).

Di antara lima objek tersebut, Dawam melihat gejala alam semesta menjadi objek

yang kepentingannya cukup menonjol. Alasannya, objek tersebut tidak hanya

12
Penulis sengaja mengutip tulisan asli Dawam agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 77-78.
101

dijumpai dalam ayat-ayat ulil albâb saja, melainkan juga pada ayat-ayat yang berisi

perintah untuk melakukan pengkajian (tadabbur), penalaran (ta’qilûn), pengamatan

empiris (tubsirûn), pemahaman (tafahûm), pemikiran (tafakkarûn) dan perenungan

atau kontemplasi (tadzkîrun).

Menanggapi pandangan Dawam di atas, penulis memaklumi bahwa di dalam

al-Qur’an memang terdapat banyak sekali ungkapan yang menyuruh manusia untuk

menggunakan akalnya. Namun, bila dikaitkan dengan konteks waktu penulisannya,

kecondongan Dawam pada gejala alam semesta sebagai objek pikiran ulil albâb tidak

terlepas dari tuntutan zaman saat itu di mana masyarakat muslim dituntut untuk

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat –dalam hal ini teknologi- agar

tidak tertinggal di belakang.13

Sehubungan dengan hal di atas, dalam Q.S. al-Zumar (39): 21, ulil albâb

memang diperintahkan untuk melakukan pengamatan empiris. Melalui objek

pengamatan empiris tersebut, ulil albâb mampu menggali ilmu pengetahuan positif

berupa pengetahuan tentang realitas objektif yang menimbulkan ilmu-ilmu pasti

seperti biologi, kimia, dan fisika. 14 Dengan keilmuan tersebut, mereka dikenal

sebagai ilmuwan.15 Namun, ulil albâb bukanlah ilmuwan biasa. Berdasarkan Q.S. Âli

‘Imrân (3): 7, sebagai ilmuwan mereka memiliki dua ciri utama, yaitu kecondongan

kepada kebenaran dan memiliki ilmu yang mendalam. Kedua ciri ini membantu

13
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 72-76.
14
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 78.
15
Ilmuwan yang dimaksud di sini adalah orang yang ahli atau banyak pengetahuaannya
mengenai suatu ilmu. Termasuk dalam golongan ini adalah sejarawan. Dalam Q.S. Yusuf (12): 111,
ulil albâb adalah sejarawan. Berbeda dengan sejarawan biasa, ulil albâb dapat mengambil pelajaran
dari sejarah sebagai petunjuk dan rahmat sebagai orang yang beriman kepada Kebenaran. Oleh
karenanya, tidak semua orang pandai adalah ulil albâb. Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 567.
102

mereka memilah mana yang esensial dan mana yang rinci yang mendukung dan

memberi penjelasan kepada yang pokok tersebut.16

Di samping itu, sebagai ilmuwan yang telah dikaruniai hikmah17, ulil albâb

dituntut untuk mengamalkan ilmunya. Dawam merujuk ke Q.S. al-Ra’d (13): 19-22

yang menyebutkan beberapa sifat ulil albâb.

“Ciri-ciri tersebut antara lain: mempunyai pengetahuan atau orang yang tahu;
yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan tidak akan ingkar dari janji
tersebut (yaitu beriman, berbuat baik dan menjauhi yang keji dan munkar),
yang menyambung apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disambung
(misalnya ikatan cinta kasih), takut kepada Tuhan (jika berbuat dosa) karena
takut kepada hasil perhitungan yang buruk, yang sabar karena ingin
mendapat keridlaan Tuhan, menegakkan salat, membelanjakan rizki yang
diperoleh untuk kemanfaatan orang lain baik secara terbuka maupun
18
tersembunyi, dan menolak kejahatan dengan kebaikan.”
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, Dawam menyimpulkan bahwa pemilikan

pengetahuan saja tidak cukup mengantar seseorang menjadi ulil albâb. Seseorang

baru bisa diklasifikasikan sebagai ulil albâb manakala ia berpengetahuan dan

mempunyai keterikatan moral, memiliki komitmen sosial, dan melaksanakan sesuatu

dengan cara-cara yang baik.19

Selain ciri-ciri di atas, ulil albâb juga mempunyai dua ciri pokok lain, yaitu

melakukan dzikr dan menjadikan segala ciptaan Allah sebagai objek berpikir (Q.S.

Âli ‘Imrân [3]: 191). Dzikr di sini adalah melakukan kontemplasi yang mengarah

kepada Allah. Dengan ber-dzikr dan berpikir ini ulil albâb dapat mengambil pelajaran

bahwa tidak ada satu pun ciptaan Allah yang sia-sia. Bahkan, ulil albâb mampu

16
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 77.
17
Q.S. al-Baqarah (2): 269. Hikmah dalam perspektif Dawam adalah kebijakan. Ulil albâb
adalah golongan elit karena mampu meraihnya di mana tidak semua orang mampu melakukannya.
Oleh karenanya, mereka memperoleh kebaikan. Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 567.
18
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 568.
19
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 568.
103

memanfaatkan fungsi ciptaan Allah untuk kehidupan manusia. Oleh karenanya,

menurut Dawam, al-Qur’an tidak hanya menyuruh ulil albâb untuk berpikir ontologis

rasional saja, tetapi juga berpikir fungsional. 20 Pada titik inilah Dawam melihat

adanya tanggung jawab sosial yang diemban oleh ulil albâb, yakni mendedikasikan

ilmunya kepada masyarakat melalui terobosan-terobosan yang dibuatnya. Oleh sebab

itu pula, ulil albâb sebenarnya tidak menunjuk pada sebuah status atau kelas,

melainkan pada aktifitas dan perannya.21

Menilik pemikiran Dawam di atas, tampaknya ia terpengaruh dengan

pemikiran Imaduddin Abdurrahim dan M. Quraish Shihab. Pada akhir dekade 1980-

an, Imaduddin memformulasikan sosok ulil albâb sebagai manusia yang memiliki

kualitas fikr dan dzikr. Sebagaimana tertera pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191, ia

mengandaikan ulil albâb sebagai perpaduan antara ahli pikir dan ahli dzikir.22 Selain

Imaduddin, pada tahun 1987 A.M. Saefuddin juga telah menyinggung konsep

tersebut. Melalui bukunya yang berjudul Desekularisasi Pemikiran: Landasan

Islamisasi, Saefuddin bahkan telah sampai pada kesimpulan bahwa ulil albâb dengan

daya pikir dan dzikirnya memiliki kemampuan untuk memaslahatkan umat.23 Dawam

20
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 79.
21
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 80. Dawam beralasan
bahwa ulil albâb bukanlah satu-satunya istilah yang dipergunakan untuk menamakan kelompok yang
berpikir. Beberapa istilah lain yang menunjuk golongan tersebut adalah ulil absâr (yang memiliki
pandangan tajam), ulin nuhâ (yang tertib pikirannya sehingga mampu mengambil kesimpulan), ulil
‘ilm (yang memiliki pengetahuan) atau ahl al-dzikr (yang biasa berzikir). Rahardjo, Ensiklopedi al-
Qur’an, h. 553-555. Untuk lebih jelasnya, rujuk pula hasil pengamatan penulis pada ayat-ayat yang
mencantumkan istilah-istilah tersebut di Bab I, h. 9.
22
Rahadjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 561.
23
Ahmad M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi cet.III (Bandung:
Mizan, 1991), h. 34. Bahkan, Saefuddin sampai menganjurkan agar masjid menjadi pusat penempaan
daya dzikir dan pikir. Lihat: h. 76.
104

kemudian mengembangkan konsep tersebut dengan mengaitkannya pada bidang

sosial. Di sinilah Dawam sepemikiran dengan M. Quraish Shihab.

Berlandaskan ayat yang sama, yakni Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-195, Quraish

Shihab melihat adanya dua tuntutan besar yang dipikul oleh ulil albâb, yaitu: pertama

adalah mempelajari al-Qur’an untuk memahami, menyebarluaskan, dan menerapkan

nilai-nilainya di masyarakat dan kedua adalah mengamati ayat-ayat Tuhan di alam

raya, untuk kemudian melakukan kreasi. Quraish juga menekankan kepekaan sosial
24
dengan cara mengabdi pada masyarakat. Dalam upaya mempelajari dan

mengajarkan kitab suci serta memahami alam raya, umat muslim harus melakukan

adab al-dunya dan adab al-din secara bersamaan. Adab al-din mencakup belajar dan

mengajarkan al-Qur’an sedangkan adab al-dunya adalah pengintegrasian antara

tafakkur fi al-khaliq yang menghasilkan ilmu dan al-tafakkur fi al-khalq yang

menghasilkan aksi perilaku (amal).25

M. Dawam Rahardjo, dalam hal ini, lantas mengonsepkan tiga dimensi yang

menjadi ciri-ciri ulil albâb, yaitu: ontologis, fungsional, dan aksiologis atau etis.

Dimensi ontologis terjadi ketika manusia telah mengambil jarak dari alam dan semua

yang ada, termasuk dirinya sendiri, masyarakat dan sejarah, serta menjadikannya

sebagai objek pengamatan yang rasional. Sedangkan dimensi fungsional ada dengan

asumsi bahwa segala yang diciptakan oleh Allah tidaklah sia-sia; ia diciptakan

dengan tujuan tertentu dan merupakan suatu yang haq serta berfungsi dalam

24
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. 2 (Bandung:
Mizan Media Utama, 2008), h. 295.
25
M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Bermasyarakat, cet. 1 (Bandung: Penerbit Mizan, 2014), h. 612.
105

kehidupan manusia. Terakhir, dimensi aksiologis atau etis adalah dimensi yang

melihat sesuatu dari segi baik atau buruk, benar atau salah, dengan tujuan agar

manusia dapat berkembang lebih maju.26

Meninjau tiga dimensi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Dawam

menggambarkan sosok ulil albâb sebagai golongan elit yang memiliki keunggulan

dalam taraf berpikirnya yang sadar akan eksistensi dirinya serta lingkungan

sekitarnya dan dengan daya pikirnya memanfaatkan pengetahuannya untuk

membantu kehidupan manusia di sekelilingnya. Mereka adalah golongan yang

mendedikasikan ilmunya untuk membawa masyarakat ke arah perubahan yang lebih

baik. Maka dari itu, tak heran bila Dawam menganggap ulil albâb sebagai sebuah

konsep penting dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan hakikat sosial keberagamaan

Islam. Berawal dari persepsi ini, ulil albâb lantas disangkutpautkan dengan

kecendekiawanan yang kemudian identik dengan istilah “cendekiawan muslim”.27

B. Hubungan antara Konsep Ulil Albâb dan Konsep Cendekiawan Muslim

1. Konsep Cendekiawan

Di Indonesia, kata “cendekiawan” sering dirancukan dengan pengertian

“sarjana”. 28 Istilah “cendekiawan” sendiri masih belum menemukan pengertian

konkretnya. 29 Istilah tersebut mulai didiskusikan ulang baik dalam ruang lingkup

26
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 80.
27
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 550.
28
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 3.
29
Dalam sebuah tulisan yang dimuat di Kompas, tertanggal 06 Desember 1990, disebutkan
bahwa kriteria kecendekiawanan menjadi bahan yang tidak ada habisnya dikupas oleh para pengkaji
intelegensia. Ada beberapa pokok yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Salah satu
kriteria umum yang disepakati adalah bahwa cendekiawan itu memiliki sikap dan visi intelektual yang
mengatasi batas-batas disiplin, yang mempunyai komitmen kuat pada kemanusiaan, harkat, nilai-nilai,
106

30
wicara maupun wacana seiring kemunculan ICMI. Banyak orang memiliki

pandangan yang berbeda terkait hal itu. Misalnya, Marwah Daud Ibrahim yang

mendefinisikan kecendekiawanan sebagai sikap dan pandangan hidup, komitmen, dan

karya. Menurutnya, cendekiawan adalah “…mereka yang sikap hidupnya konsisten,

yang pandangannya terbuka, dan komitmennya pada kebenaran dan kemanusiaan,

tidak tertundukkan oleh ruang dan waktu.”31

Ada pula Prasetya Irawan yang menyifati cendekiawan dengan individualis.

Individualis yang ia maksud adalah seseorang yang tahu betul makna “aktualisasi

diri” dan bukan seseorang yang egois dengan memaksakan kehendaknya sendiri

tanpa menyadari akan tanggung jawab sosial dan moralnya terhadap orang lain.

Individualis adalah orang yang mampu bekerja sama dengan orang lain, namun dalam

proses kerjasama itu ia tidak pernah kehilangan jati dirinya. Ia selalu

memprioritaskan kebenaran. Sikapnya tidak plinplan. Pendiriannya kuat sehingga hati

nuraninya sendiri yang mampu menggoyahkannya. Cendekiawan adalah individualis.

Namun, seorang individualis belum tentu cendekiawan.32

Baik pandangan Marwah ataupun Prasetya, keduanya memiliki esensi yang

sama. Hanya saja, penulis keberatan dengan istilah “individualis” yang digunakan

aspirasi dan hati nuraninya yang memiliki sikap kritis dan mandiri. Abrar Muhammad, ICMI dan
Harapan Umat, h. 6.
30
Yang penulis maksud dari wicara adalah pembicaraan melalui oral, sedangkan wacana adalah
pembicaraan melalui teks. Pendefinisian ulang ini terjadi atas respon masyarakat atas pendirian ICMI.
Beberapa masalah yang mereka pertentangkan adalah seperti: pantas-tidak-pantasnya cendekiawan
turun dari rumahnya yang konon di “atas angin”, wajar-tidak-wajarnya mereka berhimpun dalam satu
wadah, dll. Masalah lain yang menurut penulis tidak kalah penting adalah apakah setiap orang yang
masuk ICMI adalah pasti cendekiawan.
31
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 246.
32
Prasetya memberi contoh Nabi Muhammad Saw sebagai individualis kala menolak dengan
tegas tawaran kaum Quraisy untuk berhenti menyiarkan Islam meskipun bulan dan matahari
dihadiahkan pada beliau. Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 248-249.
107

oleh Prasetya karena bagaimanapun kata tersebut berkonotasi negatif. Alangkah lebih

baiknya bila kata “individualis” diganti dengan istilah “teguh pendirian”. Menurut

hemat penulis, pengertian cendekiawan dengan makna ini bisa dilihat pada sosok

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika ia ditanya perihal ketidakikutsertaanya dalam

ICMI. Ia bersikukuh bahwa tempat perjuangannya bukanlah ICMI. Ia berkata, “Saya

cuma berdoa supaya wadah itu sukses. Ketuanya Habibie atau bukan, yang penting

sukses. Tapi, ya, tempat saya ndak di situ. Ndak pernah saya menangisi atau puyeng

dengan institusi. Kalau saya bisa kerja full dengan perasaan lega, gairah tinggi, kan

enak. Tidak perlu semua baris ke satu arah. Kalau saya dianggap menentang arus,

karena cendekiawan ngalor (ke utara), saya ngidul (ke selatan), Alhamdulillah.

Sebab, kalau semua ngalor, bedanya cendekiawan dengan hansip lalu apa?”33 Dalam

potret ini, Gus Dur adalah seorang yang berpendirian teguh yang menunjukkan

komitmen dan ketegasan sikapnya dalam memperjuangkan apa yang menurutnya

benar.

Sementara itu, M. Dawam Rahardjo tidak setuju bila istilah cendekiawan

hanya dipahami melalui kata “cendekia”. Menurutnya, cendekiawan adalah istilah

Indonesia untuk terjemahan intellectual (intelektual). Oleh karenanya, untuk

mengetahui substansi makna cendekiawan, maka harus merujuk kepada pengertian

istilah “intelektual” atau “intelegensia”. 34 Di sini, Dawam menggunakan pendekatan

sejarah pemaknaan “intelektual” di Barat lalu mencari padanan katanya dalam al-

Qur’an.

33
Lihat uraian lengkapnya: “Momentum ICMI, dan Munculnya Habibie (Pendapat Beberapa
Tokoh MAsyarakat/Cendekiawan)” dalam Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 26-28.
34
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 558.
108

Menilik sejarah pemaknaannya, kata “intelektual” telah mengalami beberapa

kali perubahan. Mengutip Jary & Jary dalam The Harper Collins Dictionary of

Sociology, kata intelektual sebagai kata benda digunakan pertama kali dalam bahasa

Inggris pada abad ke-19. Saat itu, kata tersebut muncul sebagai sebutan bagi

kelompok masyarakat yang memiliki peran dan ciri-ciri tertentu. Kemudian, di

Perancis, oleh Saint-Simon kata ini digunakan untuk menunjuk pada suatu kelompok

saintis yang mempelopori gerakan mengembangkan dan menggunakan pengetahuan

positif dalam membentuk masyarakat industri di Perancis dan negeri-negeri lain. Pada

akhir abad ke-19, istilah “intelektual” dipakai seorang politikus bernama Clemenceau

sebagai sebutan para pembela Dreyfus, Yahudi yang mengalami diskriminasi politik

hanya karena keyahudiannya. Terakhir, kata “intelektual” digunakan oleh Julian

Benda, seorang filsuf Perancis, dalam melakukan peringatan tentang “penghianatan

kaum intelektual” karena kepentingan politik dan sosialnya yang sempit sehingga

bersedia berkhianat terhadap panggilan yang benar.35

Sejarah pemaknaan “intelektual” di atas ternyata mempengaruhi pandangan

Dawam tentang intelektual. Ia melihat secara harfiah intelektual adalah orang yang

memiliki intelek yang kuat atau intelegensi yang tinggi. Intelegensi sendiri berarti

kemampuan memahami yang dimiliki seseorang untuk berpikir dan bertindak

rasional atau berdasar nalar. Intelegensi tersebut diperoleh dari faktor biologis dan

dari hasil pengalaman lingkungan dan sosialisasi yang berkaitan dengan penerimaan

norma-norma yang baik-buruk dan benar-salah menurut masyarakat. 36

35
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 559-560.
36
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 560.
109

Namun, pemilikan intelegensi saja tidak menjamin seseorang disebut

intelektual karena istilah tersebut disematkan pada seseorang atau kelompok tertentu

sebagai penghormatan karena jasa dan peranannya dalam memajukan kehidupan

manusia. Menilik penggunaan kata “intelektual” oleh Saint-Simon, Clemenceau, dan

Julian Benda beserta kasus yang melingkupinya, Dawam menyimpulkan bahwa

setidaknya ada tiga ciri utama yang menandakan keintelektualan, yaitu: pertama,

orang yang menggunakan ketajaman intelegensinya untuk perubahan sosial; kedua,

orang yang selalu mencari kebenaran dan keadilan yang universal; ketiga, orang yang

membela kebenaran. Berdasarkan ketiga ciri ini, Dawam merumuskan ada tiga unsur

pembentuk kecendekiawanan, yakni: pengetahuan, orientasi dan keberanian.37

Dawam kemudian mencari contoh real sosok yang memiliki ketiga unsur

tersebut dalam dunia nyata. Ia lalu menemukannya pada sosok para nabi dan filsuf.

Baik nabi maupun filsuf sama-sama memiliki pengetahuan, mencari kebenaran dan

keadilan, dan membela kebenaran. Dalam kehidupan nyata, mereka tidak hanya aktif

bergerak dalam bidang rohani saja, namun juga soal sosial dan politik. Terkait hal ini,

Dawam menyayangkan orang-orang yang disebut –atau menyebut dirinya- sebagai

pewaris para nabi semisal pendeta, ‘ulamâ’, dan pastor yang kualitasnya tidak se-

komprehensif junjungannya karena hanya aktif dalam kegiatan rohani saja. Ia

mengandaikan sosok ideal seperti para nabi, yakni mereka yang tidak hanya

mempunyai kualitas rohaniawan saja, tetapi juga intelektual.38

37
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 559.
38
Sebagai contoh cendekiawan dari kalangan filsuf, Dawam menyebut Confucious, Lao-tze,
Zoroaster, dan Shidarta Gautama. Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 560-561.
110

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa cendekiawan dalam

pandangan Dawam pada intinya adalah seorang intelektual yang berkiprah dan

mengabdikan diri di masyarakat. Jika ditelisik lebih jauh lewat tulisan-tulisannya,

Dawam memang selalu memunculkan tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh besar

bagi masyarakat lingkungannya. 39 Di sisi lain, perjalanan hidupnya selama di

Yogyakarta sebagai mahasiswa UGM dan aktivis HMI hingga menjadi aktivis LSM

yang membela wong cilik juga sangat mempengaruhi persepsinya tentang

cendekiawan itu. 40 Hal inilah yang turut mempengaruhi Dawam dalam memahami

istilah ulil albâb dalam al-Qur’an. Jika diperhatikan dengan cermat, ciri-ciri yang

dikemukakan Dawam selama menggambarkan sosok cendekiawan serupa dengan

penjelasannya mengenai ulil albâb.

Oleh sebab itu, wajar bila Dawam berpendapat bahwa istilah “intelektual” –

dengan pengertian yang telah dipaparkan tadi- sebanding dengan istilah ulil albâb

dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, Dawam menganggap esensi antara cendekiawan,

intelektual, dan ulil albâb dalam penggunaan nalar dan pengabdian mereka pada

masyarakat itu sama, hanya beda penyebutan saja. Namun, mengapa ada penambahan

kata “muslim” pada istilah “cendekiawan muslim” atau “intelektual muslim” yang

dikonotasikan dengan ulil albâb? Inilah yang menjadi pembahasan penulis pada sub

bab berikut.

39
Lihat uraian panjang Dawam tentang Sosiologi Cendekiawan Muslim. Rahardjo, Intelektual,
Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 24.
40
Rujuk pembahasan penulis tentang latar belakang kiprah Dawam di Bab II.
111

2. Konsep Cendekiawan Muslim

Sebagaimana pembahasan yang telah lalu, yang menjadi pusat perhatian

dalam kecendekiawanan adalah perannya dalam lingkungan sosial. Boleh dikatakan

bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan mencolok antara cendekiawan dan

cendekiawan muslim karena keduanya memiliki ruh yang sama, keunggulan yang

sama. Mau bagaimanapun juga, cendekiawan muslim adalah seorang cendekiawan,

meski cendekiawan belum tentu adalah seorang muslim. Pengkhususan nama sebagai

cendekiawan muslim dengan imbuhan “muslim” atas “cendekiawan” inilah yang

kemudian dipertanyakan. Permasalahan ini juga akan berdampak pada pertanyaan-

pertanyaan lanjutan semisal: apakah cendekiawan muslim lebih unggul dari

cendekiawan lainnya? Apakah cendekiawan muslim mempunyai visi dan misi yang

berbeda dengan yang lain? Jika iya, apa visi dan misi mereka? Jika tidak, lantas apa

guna pengkhususan diri sebagai cendekiawan muslim?

Penulis melihat fenomena cendekiawan muslim ini sebagai salah satu contoh

kecil gejala islamisasi yang lumrah terjadi pada kurun waktu paruh akhir abad ke-20

di Indonesia. Islamisasi secara harfiah ditandai dengan maraknya penisbatan kata

“Islam” pada segala bidang semisal media Islam, musik Islam, budaya Islam, politik

Islam, dll. yang hanya diidentikkan pada umat Islam saja.41

41
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 150. Islamisasi semacam ini acapkali
menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat. Misalnya adalah apa yang pernah terjadi di Rumah
Sakit Islam Jakarta. Saat itu, ada salah seorang pejabat yang mengunjungi rumah sakit tersebut. Setelah
berkeliling cukup lama dan memperhatikan detail kondisi di sana, ia bertanya pada kepala rumah sakit
perihal perbedaan rumah sakit Islam dengan rumah sakit biasa. Kepala rumah sakit lalu menyebut
beberapa hal seperti: keberadaan sajadah di setiap ruangan, tulisan ayat-ayat al-Qur’an di dinding
ruangan, buku-buku Islami di pojok ruangan, serta lantunan murattal yang diperdengarkan di seantero
gedung. Terakhir, saat hendak berpisah dengan pengunjung tersebut, sang kepala rumah sakit
112

Terkait cendekiawan muslim, istilah itu sebenarnya sudah sering disebut sejak

awal 1980-an di lingkungan pergerakan Islam. Saat itu, masyarakat mulai melihat

kemunculan mereka dalam percaturan pemikiran dan perubahan masyarakat. Sejak

itulah orang membicarakan dan menampilkannya, terutama di lingkungan

mahasiswa.42 Adapun penambahan kata “muslim”, menurut hemat penulis, hanyalah

untuk mencerminkan jati diri kemusliman seorang intelektual. Artinya, cendekiawan

muslim –meminjam judul tulisan Soetjipto Wirosardjono- adalah “muslim yang

cendekia.”43

Sebagaimana pengertian cendekiawan, sebutan “cendekiawan muslim” sendiri

bukan merupakan gelar yang diperoleh melalui jenjang akademis, namun berasal dari

beberapa faktor objektif yang dirasakan oleh masyarakat. Melalui faktor-faktor itu,

masyarakat mampu menyadari kehadiran cendekiawan muslim sebagai golongan

memberikan secarik kertas yang bertuliskan ayat yang menyatakan bahwa Allah-lah yang
menyembuhkan orang sakit. Beberapa hal itulah yang membedakan rumah sakit Islam yang
dipimpinnya dengan rumah sakit yang lain. H.M. Yunan Nasution, Islam dan Problem-problem
Kemasyarakatan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 296.
Berdasarkan kisah di atas, dapat diketahui bahwa Islamisasi tidak hanya sebatas penisbatan kata
“Islam” saja. Esensi islamisasi sebenarnya lebih tertuju pada pengamalan nilai-nilai keislaman dalam
segala segi kehidupan. Oleh karena itu, ketika ada beberapa partai yang menisbatkan atau menahbiskan
diri sebagai partai Islam namun gerak-geriknya tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman, masyarakat
sangat kecewa. Inilah yang membuat Nurcholish Madjid sampai mencetuskan slogan “Islam Yes,
Partai Islam No”. Lihat: “40 Tahun ‘Islam Yes Partai Islam No’ Diperingati”, Republika.co.id, 08
Januari 2010.
42
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 23. Gerakan intelektual
sebenarnya telah terjadi pada era 1970-an yang disebut sebagai era baru bagi kesarjanaan muslim.
Gerakan ini digawangi oleh para intelektual muslim yang pada dekade sebelumnya merupakan bibit-
bibit unggul yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Sekembalinya ke Indonesia, mereka
melakukan gerakan pembaharuan Islam yang sekaligus menandai dimulainya pengembangan
intelektual di negeri ini. Pengembangan intelektual tersebut terus berlanjut pada dekade 1980-an.
Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia: Kajian Komprehensif Atas Arah Sejarah dan Dinamika
Intelektual Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), h. 61.
43
Soetjipto menggambarkan sosok muslim yang cendekia sebagai seorang muslim yang
cendekiawan dan mengikuti arus kemajuan modern dengan tetap menjaga akidah dan akhlâq al-
karîmah. Muslim yang cendekia bertugas untuk menjadi pemandu, menjaga agar transformasi
masyarakat masih tetap terjaga dalam alur tanpa melanggar akidah dan akhlak Islam. Abrar
Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 62.
113

baru. Dawam mengklasifikasi beberapa faktor tersebut menjadi tiga, yaitu: aktifitas

pemikiran, 44 aksi nyata di masyarakat, 45 dan upaya menampilkan sosok dan peran

cendekiawan ke masyarakat.46

Dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai “cendekiawan muslim”

tidak akan terlepas dari kaitannya dengan ICMI. Merujuk Anggaran Rumah Tangga

(ART) ICMI, yang dimaksud cendekiawan muslim adalah seorang atau kelompok

orang Islam yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikir, menggali,

memahami dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan

keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk diabdikan bagi

kesejahteraan umat manusia.47

Berdasarkan pengertian di atas, beberapa hal yang harus digarisbawahi adalah

ungkapan “…orang Islam…”, “…yang terus menerus meningkatkan…”, dan

44
Faktor ini muncul di awal dasawarsa 1970-an ketika lembaga formal yang mewadahi sarjana
muslim menghilang. Menurut Dawam, aktifitas gejala kecendekiawanan ini berupa aktifitas pemikiran
dan gejolak pemikiran tentang paham pembaharuan yang dicetuskan oleh kalangan muda. Rahardjo,
Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 24.
45
Faktor ini berupa aktifitas yang dilakukan oleh para perintis LSM yang langsung terjun ke
bidang pendidikan di perguruan tinggi dan bekerja sebagai profesional. Menurut Dawam, ada tiga
unsur aksi nyata yang dilakukan mereka, yaitu: pertama, melakukan analisis terhadap gejala sosial dan
pembangunan serta melakukan kritik atau pandangan kritis dengan menulis atau berbicara di seminar-
seminar atau diskusi-diskusi; kedua, tidak bersuara kritis, tapi mengembangkan pemikiran dengan
menyusun model-model pengembangan masyarakat; ketiga, menghasilkan karya-karya profesional di
berbagai bidang seperti misalnya kedokteran, kesehatan masyarakat, pendidikan, jurnalistik,
manajemen usaha, dll. dengan tanpa melunturkan warna kemusliman mereka dalam karyanya. Faktor
inilah yang lebih mencitrakan kecendekiawanan. Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku
Politik Bangsa, h. 25. Kecondongan Dawam pada faktor kedua ini merupakan bukti bahwa
cendekiawan di mata Dawam haruslah melakukan aksi nyata di masyarakat.
46
Faktor ini berbentuk suatu upaya untuk menerjemahkan dan menampilkan profil dan
pemikiran cendekiawan luar negeri seperti yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid dan M. Syafii
Maarif. Mereka memperkenalkan gagasan-gagasan tokoh-tokoh cendekiawan muslim populer seperti
Fazlur Rahman, Isma’il Faruqi, Hassan Hanafi, Murtada Mutahhari, dll. Hal ini tidak terlepas dari efek
pasca-Revolusi Islam Iran pada tahun 1980-an. Saat itu, karya-karya pemikiran ‘Ali Syari’ati yang
banyak berbicara tentang revolusi, perubahan sosial dan peranan cendekiawan muslim mulai tersebar
di Indonesia. Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 25-26.
47
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 276.
114

“…kehidupan keagamaan…”. Tiga ungkapan tersebut patut disoroti sebagai ciri

khusus cendekiawan muslim. Pertama, ungkapan “orang Islam” menandakan bahwa

seorang cendekiawan muslim adalah mereka yang beragama Islam. Kedua, ungkapan

“yang terus menerus meningkatkan” mengindikasikan seorang yang giat dan gigih

untuk selalu memperbaiki diri. Ketiga, ungkapan “kehidupan keagamaan” menunjuk

pada segi pengamalannya menjalankan agama Islam. Dari ketiga tanda ini bisa

dirumuskan bahwa cendekiawan muslim adalah seorang muslim yang senantiasa

memperbaiki kehidupan keagamaannya baik dalam segi ibadah maupun

muamalahnya, yang mana dalam hal ini mereka harus berkomitmen pada ajaran

Islam,48 atau dengan kata lain harus ber-taqwâ.49

Sebagai contoh, ketika orang-orang mencari figur pemimpin ICMI, mereka

berusaha memilih tokoh yang benar-benar merepresentasikan kecendekiawanan dan

kemusliman. B.J. Habibie kemudian dipilih secara aklamasi oleh seluruh peserta

simposium yang hadir di Malang. Habibie dianggap sangat layak untuk disebut

“cendekiawan muslim”. Mengutip pendapat Ahmad Watik Pratiknya, sebagai seorang

muslim, Habibie adalah orang yang betul-betul menunaikan agama secara utuh.

Sebagai seorang cendekiawan, untuk menjawab masalah perkembangan zaman saat

itu, Habibie adalah seorang ahli teknologi yang tiada duanya.50

48
Fuad Amsyari, Ketua Cendekiawan Muslim Al-Falah Surabaya memaparkan bahwa ciri
kemusliman tidak sekadar mempunyai KTP Islam, namun dikaitkan kepada komitmen keislaman
seseorang. Walaupun ia seorang doktor, kalau tidak mempunyai komitmen keislaman, maka ia tidak
pantas menyebut dirinya muslim. Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 33.
49
Dengan sifat taqwâ ini, cendekiawan muslim disebut ulil albâb. Lihat pembahasan sub-bab
“Sosok dan Karakteristik Ulil Albâb” di Bab III.
50
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 26. Dawam turut mengomentari sosok
Habibie. Katanya, “Soal keterlibatan Habibie dalam pembentukan ICMI, itu gejala yang menarik. Saya
115

Selain meningkatkan kualitas keagamaannya sendiri, selaku cendekiawan, di

satu sisi cendekiawan muslim turut pula mengemban amanah untuk meningkatkan

kualitas keagamaan sosialnya dengan mengabdikan diri pada masyarakat dan terjun

langsung membina umat. Di sisi lain, dengan segenap pengetahuan dan daya nalar

yang dimilikinya, mereka juga diamanahi untuk mensejahterakan umat dengan

terobosan-terobosan hasil pemikiran atau karya-karya mereka.51

Berdasarkan uraian ini, penulis melihat perbedaan antara cendekiawan dan

cendekiawan muslim. Bila cendekiawan disosokkan sebagai golongan yang

mengurus masalah keduniaan saja, maka cendekiawan muslim selain mengurus

urusan duniawi, ia juga memperhatikan urusan ukhrawi. Sebab itu, tidak semua

cendekiawan bisa dikatakan cendekiawan muslim, tapi setiap cendekiawan muslim

pastilah seorang cendekiawan. Cendekiawan yang mempunyai kualitas muslim inilah

yang kemudian ditemukan padanan katanya dalam al-Qur’an sebagai ulil albâb.

3. Fenomena Kelahiran ICMI dan Amanah Cendekiawan

Kehadiran ICMI harus diakui merupakan gejala keberagamaan di Indonesia.52

Bagi Dawam, kelahiran ICMI adalah keharusan sejarah. Ibarat jabang bayi, ICMI

tidak tahu, sejak kapan ia sembahyang. Namun, akhir-akhir ini, islamnya luar biasa.” Abrar
Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 32.
51
Dalam pengertian ini, penulis menyatakan bahwa beberapa kiai pesantren atau kiai di
kampung sudah termasuk cendekiawan muslim. Pasalnya, dalam beberapa hal, mereka menjadi sosok
panutan dalam hal agama dan turut serta mengayomi masyarakat dalam perekonomian umat. Namun,
penulis menyadari bahwa kiai dengan kualitas seperti ini jumlahnya tidak banyak, bahkan tergolong
sedikit.
52
ICMI adalah buah hasil pergulatan pemikiran Islam di Indonesia. Ia lahir dari pergumulan
wacana pembaharuan yang melibatkan dua aliran pemikiran, yakni modernisme dan tradisionalisme.
Corak pemikiran yang berusaha menggabungkan dua aliran tersebut disebut “neomodernisme”.
Menurut Dawam Rahardjo, neomodernisme menawarkan pluralisme, keindonesiaan, kemodernan,
universalisme yang humanis, dan aktualisasi ajaran-ajaran menuju transformasi Islam di Indonesia.
Melalui sikap ini, umat Islam dapat membebaskan diri dari belenggu yang menghambat mereka dalam
berintegrasi dengan dunia modern. Berdasarkan pengertian ini, penulis meyakini bahwa ICMI
116

bukanlah bayi prematur. Ia sebenarnya sejak lama dikandung dalam rahim pemikiran

sarjana muslim Indonesia selama bertahun-tahun lantas lahir begitu saja ketika ada

momentum dan ada yang membidaninya.53

Kelahiran ICMI disambut dengan suka cita oleh masyarakat. Ia seperti

pahlawan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Bahkan, karena suatu alasan, ketika

umurnya belum sampai sehari, ada yang mempertanyakan visi-misinya dalam

mengemban amanah yang teramat besar, yakni masa depan bangsa Indonesia.54

Namun, harus diakui pula, di antara sekian banyak yang menyambutnya, pasti

ada yang tidak simpatik atas kelahiran ICMI. Dengan alasan tertentu, mereka

mempertanyakan keberadaan ICMI, atau bahkan dengan pesimis meragukan

potensinya. Keraguan itu muncul dengan alasan tertentu. Sebagaimana telah

disinggung di awal sub-bab ini, salah satu alasan logis untuk meragukan kehadiran

ICMI adalah faktor politik.

Sayangnya, dalam pembahasan ini, penulis tidak membahas isu politik ICMI

panjang lebar. 55 Yang menjadi fokus penulis adalah keraguan atas ICMI sebagai

merupakan manifestasi dari neomodernisme. Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia, h. 53 & 84. Tokoh
yang terkenal dari golongan ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Terkait pemikiran
mereka, baca: Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999).
53
Gambaran ini penulis dapat dari penjelasan Dawam, “Seandainya ICMI dibentuk tahun 70-
an, mungkin tidak jadi. Sekarang ini ada ledakan sosiologis, keluarga muslimin memasuki sekolah-
sekolah, bahkan banyak di antara mereka yang sekolah di luar negeri dan memperoleh gelar Ph.D.
Mereka, pada awal 80-an mulai berdatangan, seperti Amien Rais, Kuntowidjojo, Yahya Muhaimin,
dan Marwah Daud.” Ia juga berkata, “Jadi, kelahiran ICMI itu tidak bisa dipaksakan. Ia lahir begitu
saja, ketika ada momentum, dan ketika ada yang menggerakkan.” Abrar Muhammad, ICMI dan
Harapan Umat, h. 31-32.
54
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 196.
55
Ada sebuah ulasan panjang yang membahas khusus politik cendekiawan muslim masa Orde
Baru. Tulisan tersebut menjelaskan hubungan antara Islam dan birokrasi melalui fenomena kehadiran
ICMI. M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 251.
117

sebuah organisasi cendekiawan seperti yang ditunjukkan oleh Mochtar Lubis. Ia

menentang pembentukan wadah organisasi dengan mengatasnamakan cendekiawan.

Ia beralasan bahwa pembentukan wadah itu merupakan tindak pengklaiman sebagai

cendekiawan. Menurutnya, cendekiawan itu bukanlah status yang dapat diklaim,

melainkan suatu pengakuan yang diberikan oleh masyarakat. 56 Selain Mochtar,

Abdurrahman Wahid pernah mengemukakan hal yang sama. Ia berkata,

“Intelektualitas itu pemikiran. Intelektualitas tidak bisa diwakili oleh lembaga. Dan

tidak bisa dilahirkan oleh lembaga. Saya menolak suatu sikap memutlakkan

lembaga.” 57 Ada juga yang mempermasalahkan identitas yang ditonjolkan ICMI

seharusnya pernyataan kemusliman dan bukan kecendekiawanan seperti yang

dinyatakan Emha Ainun Najib. Menurutnya, pernyataan kemusliman adalah salah

satu bentuk aktualisasi kemusliman yang luas cakupannya.58

Dawam menjawab kritik tersebut melalui sebuah artikel panjang yang

berjudul Kecendekiawan Adalah Amanah.59 Dalam tulisannya, Dawam memaparkan

bahwa ICMI dibentuk karena alasan praktis, yakni “…agar dapat menghimpun dan

mengefektifkan potensi kemampuan yang terdapat pada cendekiawan muslim.” Ia

juga berkata, “Pembentukan ICMI haruslah dipahami sebagai manifestasi kesadaran

akan tanggung jawab cendekiawan yang mengemban risalah tertentu dan bukannya

forum untuk mendapatkan prestise kecendekiawanan.”60

56
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 80.
57
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 27.
58
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 41.
59
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 80.
60
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 81.
118

Risalah yang diemban cendekiawan muslim berkaitan erat dengan hikmah

penciptaan dirinya. Tujuan Allah Swt menjadikan manusia sebagai khalifah di muka

bumi 61 adalah agar mereka memelihara dan memakmurkannya. 62 Untuk itu, Dia

memberikan kemampuan khusus kepada manusia dengan mengajari mereka nama

segala sesuatu 63 dan menganugerahi mereka akal untuk berpikir. Bagi Dawam,

kemampuan menyebut segala sesuatu tak lain adalah kemampuan untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, cendekiawan sebagai manusia

yang berilmu adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengemban

amanah untuk memakmurkan bumi. Di sinilah Dawam mengklaim bahwa

pembentukan ICMI adalah seperti menerima amanah dari Allah sekaligus

mengamalkan seruan untuk “berlapang-lapang dalam majelis ilmiah”.64

Berdasarkan pengertian di atas, ICMI dibentuk dengan tujuan untuk

meningkatkan mutu kecendekiawanan muslim. Setelah tujuan itu tercapai, barulah

ICMI meningkatkan peran serta cendekiawan muslim se-Indonesia dalam

pembangunan nasional. Untuk merealisasikan misi tersebut, ICMI berusaha

mengamalkan Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5 yang berisi tentang proses pembelajaran

manusia dengan “berperan aktif dalam kegiatan pengembangan pendidikan dan

kualitas sumber daya manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat

dan bangsa, khususnya umat Islam Indonesia.”65

61
Q.S. al-Baqarah (2): 30
62
Q.S. Hûd (11): 61
63
Q.S. al-Baqarah (2): 31
64
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 81.
65
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 82. Kegiatan tersebut
merupakan salah satu dari lima kegiatan utama ICMI yang tercantum dalam Anggaran Dasar (AD)
ICMI. Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 270.
119

Di akhir tulisannya, Dawam menegaskan bahwa yang menjadi tujuan akhir

ICMI bukanlah keilmuan, namun komitmennya pada masalah-masalah

kemasyarakatan. 66 Ilmu pengetahuan hanyalah sebuah alat untuk mempermudah

menunaikan amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Maka dari itu, menurutnya,

rumusan misi cendekiawan muslim secara ringkas termaktub dalam Q.S. al-Nahl

(16): 125, yang artinya adalah “Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan ilmu

pengetahuan (hikmah) dan penjelasan yang baik dan berdialoglah dengan metode

yang baik.”67

Sampai di sini, penulis menyangsikan terjemahan yang digunakan Dawam

pada ayat di atas. Lafadz al-hikmah oleh Dawam diartikan sebagai “ilmu

pengetahuan” sedangkan pada terjemah al-Qur’an oleh Depag RI lafadz tersebut tidak

diartikan dan hanya diberi penafsiran bahwa al-hikmah adalah “perkataan yang tegas

dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.” 68 Ini bukan

berarti terjemahan Dawam tidak benar, karena lafadz al-hikmah memang memiliki

beberapa makna yang di antaranya adalah ilmu pengetahuan. 69 Namun, tampaknya

melalui ayat tersebut Dawam lebih menekankan kepada pentingnya ilmu pengetahuan

di masa itu, seakan-akan ia ingin menyatakan bahwa dengan ilmu pengetahuan,

66
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 82.
67
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 82. Pemaknaan hikmah
sebagai “ilmu pengetahuan” di sini tampaknya merupakan pemahaman Dawam Rahardjo pribadi. Al-
Tabarî dan Ibnu Katsîr memaknainya dengan al-Qur’an. Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin
Ghâlib al-Âmalî Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân (Muassasah al-Risâlah,
2000), j. 17, h. 321; Abu al-Fidâ’ Ismâil bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Adzîm (Dâr Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1999), v. 4, h. 613. Sedangkan Ibnu ‘Âsyûr
memaknainya dengan ilmu yang pasti. Muhammad al-Tâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Tâhir
bin ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 1984), j. 14,
h. 327.
68
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 281.
69
Rujuk pendapat para mufassir tentang makna al-hikmah dalam Bab III, catatan kaki no. 94.
120

manusia juga bisa mencapai jalan Tuhan. Ini sejalan dengan misi ICMI yang ingin

menjalankan berbagai kegiatan yang bersifat keilmuan yang amaliah dan amal yang

ilmiah. Menurut hemat penulis, hal ini erat kaitannya dengan konsep dzikir dan pikir

yang menjadi salah satu konsep penting cendekiawan muslim.

C. Dzikir dalam Pikir: Relevansi Pandangan M. Dawam Rahardjo atas Ulil

Albâb dengan Konteks Indonesia Modern

Pada Bab I, penulis telah menjelaskan bahwa yang membedakan ulil albâb

dengan selainnya adalah sifat dzikr. 70 Kemudian, pada Bab III penulis juga telah

menguraikan secara detail makna dzikr dalam tinjaun etimologi dan terminologinya

serta berbagai penafsiran terkait penggunaan lafadz dzikr dan macam-macam

derivasinya dalam ayat-ayat ulil albâb.71 Kesimpulannya, sifat dzikr merupakan salah

satu ciri pokok ulil albâb. Tanpanya, seseorang tidak akan mungkin disebut dengan

sebutan itu.72

Pembahasan dzikr pada sub-bab ini sangat berkaitan dengan pembahasan-

pembahasan yang telah lalu, baik pemahaman M. Dawam Rahardjo terhadap al-

Qur’an, metode tafsirnya, konsep ulil albâb dan dzikr secara umum maupun konsep

cendekiawan muslim sebagai ulil albâb dalam konteks keindonesiaan. Pasalnya,

spekulasi M. Dawam Rahardjo atas makna dzikr yang menjadi masalah pokok

penelitian ini tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi di mana ia berada. Oleh

karena itu, spekulasi Dawam terkait “dzikr mencakup pikir atau pikir terkandung

70
Lihat Bab I, h. 9.
71
Lihat Bab III, pembahasan sub-bab A dan C.
72
Lihat skema penggunaan lafadz dzikr dalam ayat-ayat ulil albâb.
121

dalam pengertian dzikr” harus dikembalikan pada masa kemunculannya, kapan, di

mana, dan dalam situasi seperti apa.73

Pandangan Dawam tersebut muncul di jurnal Ulumul Qur’an (UQ) pada tahun

1995 di mana ICMI saat itu menjelma menjadi sebuah organisasi yang besar. Jurnal

UQ sendiri merupakan terbitan LSAF dan ICMI dan merupakan jurnal yang

bergengsi saat itu.74 Pada edisi tersebut, UQ menyoroti potret lima tahun ICMI.75 Di

tahun yang sama, M. Dawam Rahardjo diangkat menjadi salah seorang Ketua ICMI

pusat periode 1995-2000.76 Maka tidak heran bila tulisan Dawam tentang dzikr dalam

tulisan berjudul Ulul Albâb berkaitan erat dengan ICMI atau hal-hal yang berbau

ICMI.

Sehubungan dengan konteks di atas, selama ini dzikir dimaknai sebagai tanda

ketaatan seorang muslim. Orang yang tampak selalu berdzikir akan dianggap sebagai

muslim yang sejati. Aktifitas dzikir di sini bisa berupa amalan apa saja yang

mengarah pada Tuhan, misalnya salat, puasa, zakat atau ibadah lainnya. 77 Oleh

karena itu, dalam konsep cendekiawan muslim, dzikir menjadi salah satu ciri khusus

yang harus dimiliki oleh mereka di samping pikir.

73
Pandangan Dawam mengenai dzikr tersebut termaktub dalam tulisan “Ulul Albab” di rubrik
“Ensiklopedi”, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an tahun 1995 yang kemudian dimasukkan
ke dalam buku Ensiklopedi al-Qur’an dengan judul yang sama pada tahun 1996.
74
Wawancara Pribadi dengan Asep Usman Ismail, Ciputat, 15 Februari 2018.
75
Lihat lampiran: gambar sampul depan UQ.
76
Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, dan J.H. Lamardy, ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed.
digital (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 20. Diunduh dari www.cerdasdownload.blogspot.co.id,
pada Kamis, 01 Maret 2018.
77
Lihat konsep dzikr di Bab II.
122

Namun, dalam kenyataannya, biasanya kualitas dzikir melekat pada sosok

ulama sedangkan kualitas pikir melekat pada sosok cendekiawan. 78 Anggapan

tersebut muncul karena aktifitas dzikir biasanya mengarah kepada Tuhan sedangkan

aktifitas pikir mengarah pada makhluk-Nya.79 Jika ada seorang ulama yang memiliki

kualitas pikir atau cendekiawan yang mempunyai kualitas dzikir, maka mereka itulah

yang disebut sebagai cendekiawan muslim.80

Penulis telah menyinggung konsep dzikir dan pikir di awal bab ini. Konsep

tersebut disaripatikan dari Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191. Konsep dzikir disarikan dari

ungkapan “yadzkurûna-llâha” sedangkan konsep pikir diambil dari ungkapan

“yatafakkarûna fî khalq al-samâwât wa al-ard”. Ungkapan pertama mengandung arti

bahwa seorang ulil albâb senantiasa mengingat Allah Swt sedangkan ungkapan kedua

menyebut bahwa ulil albâb juga berpikir, yakni memikirkan penciptaan langit dan

bumi.81 Menurut Dawam, jika hanya memikirkan alam saja, maka esensi ulil albâb

sama dengan ulil absâr. Oleh karenanya, dzikir menjadi substansi utama ulil albâb

yang membedakannya dengan ulil absâr.82

Sebagaimana telah penulis singgung pula di awal bab, Dawam bukanlah

pencetus konsep dzikir-pikir. Konsep itu dipopulerkan oleh beberapa tokoh. Setelah

78
Alasan inilah yang menyebabkan pendikotomian antara ulama dan cendekiawan. Rahardjo,
Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 73.
79
Oleh karenanya, ulama dianggap sebagai ahli dalam bidang agama sedangkan ilmuwan atau
cendekiawan dianggap sebagai ahli ilmu pengetahuan. Ulama tidak mempunyai otoritas untuk
berbicara mengenai ilmu pengetahuan. dan sebaliknya, ilmuwan tidak pantas berbicara tentang agama.
80
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 561. Dari golongan ulama yang cendekiawan, Dawam
menyebutkan beberapa nama seperti Hamka, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Ali
Yafie, dll. Sedangkan dari golongan cendekiawan berkarakter ulama ia menyebutkan nama-nama
seperti Ahmad Muflih Saefuddin, M. Amin Aziz, Mohammad Natsir, dll. Rahardjo, Intelektual,
Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 75.
81
Lihat pembahasan tafsir yadzkurûna di Bab III.
82
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 563.
123

ICMI lahir, barulah konsep tersebut semakin populer karena dianggap sebagai

semboyan ICMI dan selalu dibacakan dalam berbagai pertemuannya.83

Namun, meskipun bukan penggagas, boleh dikatakan bahwa Dawam telah

mengembangkan konsep tersebut. Gagasan-gagasan baru Dawam terkait konsep

dzikir-pikir itu tertuang dalam tulisannya yang membahas tentang kecendekiawanan

muslim. Salah satu gagasannya adalah mengaitkan dzikr dengan pengetahuan

sehingga ia berspekulasi bahwa ada unsur pikir dalam dzikr. Ia menulis:

“Dalam bahasa sehari-hari dzikr memang berarti mengingat-ingat,


umumnya tertuju kepada Allah. Dalam surat al-Ra’d disebut: “Hanya ûlû al-
albâb yang bisa berdzikir.” Pada bagian terdahulu dalam ayat yang satu itu
juga ditanyakan: Apakah yang tahu itu sama dengan yang buta? Karena itu
maka dzikr di sini menyangkut soal pengetahuan juga. Dengan perkataan
84
lain, ada unsur pikir dalam berdzikir itu.”
Menanggapi pernyataan di atas, penulis mendapati adanya kerancuan pada

terjemahan ayat 19 surat al-Ra’d. Jika ditinjau ulang lafadznya, “berdzikir” yang

disebut Dawam adalah terjemahan lafadz yatadzakkaru yang tafsirannya mencakup

ya’tabiru, yatta’izu, atau yatadabbaru.85 Terjemahan tersebut sebenarnya sudah tepat

bila dipahami dari penjelasan Dawam di awal pernyataan itu bahwa yang dimaksud

dzikr berarti “mengingat-ingat”. Namun, bila dikembalikan pada bahasa aslinya,

terjemahan Dawam tampak rancu karena dzikr bukanlah arti yang pas dari

yatadzakkaru, apalagi jika dzikr yang dimaksud adalah “dzikir” yang sudah

dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Seharusnya, bisa saja Dawam menerjemahkan

lafadz yatadzakkaru dengan makna tadzakkur yang berarti “mengambil pelajaran”

83
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 561. Sebagai catatan, mungkin yang dimaksud Dawam
adalah ayat 190 dan 191, bukan 189 dan 190 seperti tertera dalam bukunya.
84
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
85
Lihat uraian penulis di akhir pembahasan Bab III.
124

atau “mengambil peringatan”. Makna inilah yang lebih tepat karena memang

menyangkut pengetahuan seperti yang dimaksudkannya.

Terlepas dari kesalahan teknis, kasus ini patut diselidiki. Jika dibandingkan

dengan terjemahan Depag RI86 atau M. Quraish Shihab87, terjemahan Dawam jelas

berbeda. Baik terjemahan Depag RI maupun M. Quraish Shihab sama-sama

menggunakan arti “mengambil pelajaran” sedangkan Dawam memakai arti

“berdzikir”. Dari sini timbul pertanyaan: mengapa Dawam mengartikannya berbeda?

Apakah Dawam menyamakan tadzakkur dengan dzikr?

Pada masalah ini penulis menduga ada motif lain yang diusung Dawam.

Mengingat tulisan tersebut dimuat di Ulumul Qur’an edisi khusus potret lima tahun

kelahiran ICMI, Dawam tampak ingin menegaskan eksistensi cendekiawan muslim

dalam bidang keilmuan di satu sisi dan dalam hal “kesalehan” mereka dengan

menerjemahkan tadzakkur dengan dzikr di sisi lain. Pasalnya, pada paragraf

sebelumnya, Dawam telah menguraikan pengertian ulil albâb, cendekiawan, dan

intelektual88 yang kemudian mengerucut pada konsep tentang pikir dan dzikr dalam

diskursus cendekiawan muslim. 89 Terkait konsep pikir, ia menjelaskan kandungan

ayat 190 surat Âli ‘Imrân sedangkan terkait konsep dzikr ia menjelaskan ayat 191.

Paragraf yang penulis kutip tadi adalah penjelasan awal Dawam atas pemahamannya

86
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 252.
87
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 8
(Ciputat: Lentera Hati, 2007), v. 6, h. 589.
88
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 556-560.
89
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 561.
125

tentang ayat tersebut.90 Tidak heran bila Dawam mengartikan yatadzakkaru (Q.S. al-

Ra’d [13]: 19) dengan makna yadzkurûna (Q.S. Âli ‘Imrân: 191).

Namun, menurut penulis, terjemahan Dawam tetap bisa memalingkan

pemahaman pembacanya, terutama orang Indonesia. Masalahnya adalah kata “dzikir”

di Indonesia telah menjadi istilah yang baku dan telah umum diketahui berkonotasi

pada makna dzikrullâh. Dawam dengan sengaja memilih istilah itu seolah-olah ingin

menyatakan bahwa hanya cendekiawanlah yang mampu berdzikir. Padahal maksud

ayat tersebut adalah hanya cendekiawanlah yang mampu tadzakkur, yakni mengambil

pelajaran. Dzikir itu bisa dilakukan oleh siapa saja sedangkan tadzakkur memang

hanya bisa dilakukan oleh ulil albâb. Jelas implikasi kedua makna itu berbeda.91

Di sisi lain, kenyataan bahwa kegiatan tadzakkur dapat mengantarkan

pelakunya untuk berdzikir tidak dapat disangkal. Pada Bab III, penulis telah

membuktikan kenyataan tersebut. Bahkan, setelah diperhatikan dengan cermat,

kegiatan tadzakkur sebenarnya merupakan gabungan dari kegiatan pikir dan dzikir.

Hanya saja kegiatan tadzakkur dimulai dari objek makhluk kemudian baru

berkontemplasi ke Tuhan sedangkan pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 kegiatan tersebut

dimulai dari pikiran transendensi kepada Tuhan baru kemudian tertuju kepada

makhluk-Nya. Gambaran inilah mungkin yang ada di benak Dawam Rahardjo ketika

memikirkan makna lafadz dzikr dan derivasinya yang ada pada ayat-ayat ulil albâb,

namun karena ingin menonjolkan sisi religius yang dimiliki oleh cendekiawan

sehingga ia memilih menggunakan term “dzikir” dalam menerjemahkan

90
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 563.
91
Rujuk kembali gambaran penulis terkait kegiatan berpikir ulil albâb di akhir Bab III.
126

yatadzakkaru. Sayangnya, diksi tersebut malah membuat kata “dzikir” dalam

tulisannya menjadi ambigu.

Pada paragraf selanjutnya, Dawam memberikan argumen atas pendapatnya

yag lalu melalui analisanya terhadap susunan lafadz dzikr (yadzkurûna) pada Q.S. Âli

‘Imrân (3): 190-191. Ia menulis:

“Dzikr, dalam ayat yang dikutip terdahulu, disebut pada awalnya.


Dan kemudian pikir. Sebenarnya ada dua spekulasi atas makna dari
keduanya. Jika kita disuruh berpikir dahulu tentang kejadian alam semesta,
seperti banyak sekali tersebut dalam al-Qur’ân, dan kemudian kita disuruh
berdzikir, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dzikr itu adalah
tingkat yang lebih tinggi dari pikir, sebab dzikr adalah kegiatan transendensi,
mengarah kepada pemikiran yang dalam, yang lebih tinggi, karena mengarah
kepada hakekat, lebih mendekati kebenaran yang selalu akan diraih, seperti
disebut Benda. Tetapi dalam ayat di atas, dzikr disebut dahulu, baru pikir. Ini
mengandung arti bahwa dzikr itu mencakup pikir atau pikir itu terkandung
92
dalam pengertian dzikr, sebab dalam dzikr terkandung unsur pikir.”
Dalam paragraf di atas, Dawam mempermasalahkan urutan penyebutan dzikr dan fikr

dengan asumsi bahwa yang disebut di awal menunjukkan makna yang lebih umum

dari pada yang disebut kemudian. Dengan begitu, Dawam menganggap aktivitas

dzikir dan pikir itu adalah satu kesatuan dan bukan dua hal yang berbeda. Sekilas

pandangan ini tampak out of the box alias tak seperti biasanya. Pasalnya, pemikir

sebelumnya meskipun menganjurkan integritas dzikir dan pikir, mereka tidak

menganggap dzikir dan pikir sebagai satu kesatuan.

Misalnya, menurut Rasyîd Ridâ, menjamak dzikr dan fikr itu adalah suatu

keharusan. Pikir tidak berfaedah tanpa dzikir dan dzikir tidak sempurna tanpa pikir.93

92
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564. Benda yang dimaksud di sini adalah Julien Benda
yang Dawam sebut dalam tulisannya. Menurut Benda, yang dicari oleh intelektual adalah kebenaran
dan keadilan yang universal. Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 560.
93
Muhammad Rasyîd ‘Alî Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr) (al-Hai’ah al-
Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1990), j. 4, h. 245.
127

Di sini Ridâ tidak menganggap dzikir sebagai bagian dari pikir ataupun sebaliknya. Ia

melihat keduanya sebagai dua hal yang berbeda yang saling menyempurnakan.

Sebenarnya, pemikiran Dawam lebih mirip dengan pendapat Ibnu ‘Âsyûr.

Ibnu ‘Asyûr menyatakan bahwa dzikir bila dikerjakan dengan lisan atau hati,

keduanya adalah tafakkur. 94 Tafakkur seperti inilah yang dianggap ibadah karena

diiringi oleh dzikir.95 Namun, menurut penulis, pendapat Ibnu ‘Âsyûr ini masih bisa

dibantah dengan asumsi bahwa tidak semua orang yang berdzikir dengan lisan atau

hatinya menandakan bahwa ia berpikir. Di sinilah letak perbedaan pendapat Dawam

dengan pemikir lainnya. Dawam memasukkan pikir dalam kegiatan berdzikir. Ia

ingin menyadarkan semua orang bahwa orang yang berpikir bisa juga sambil

berdzikir.

Dawam menjelaskan:

“Sebaliknya kita bisa mengatakan bahwa dalam berpikir itu,


terkandung pula dzikr. Dalam Concordance, kata fakkara, diterjemahkan
dengan to reflect yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai refleksi. Kata
ini mengandung unsur makna merenung. Tetapi dalam renungan itu terdapat
kegiatan berpikir. Jika kita melihat urut-urutan kata dalam ayat di atas maka
kegiatan pikir itu mencakup dzikr. Karena setelah orang berpikir, maka
96
tersimpullah pelajaran bagi ûlû al-albâb.”
Menanggapi pernyataan Dawam di atas, berdasarkan penelusuran penulis

sejauh ini, kegiatan pikir memang bisa merupakan bagian dari dzikr, bukan

sebaliknya. Pasalnya, pikir adalah permulaan untuk sampai pada dzikr. Oleh

94
Muhammad al-Tâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Tâhir bin ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-
Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 1984), j. 4, h. 196.
95
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansârî al-Khazrajî Syams
al-Dîn al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), penahqiq:
Ahmad al-Bardûnî & Ibrâhîm Atfîsy, v. 4, h. 313; Muhammad al-Râzî Fakhr al-dîn ibn al-‘Allâmah
Diyâ’ al-Dîn ‘Umar, Mafâtîh al-Ghayb, cet. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), v. 9, h. 140.
96
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
128

karenanya, meskipun pikir adalah bagian dari dzikr, belum tentu pikir tersebut

dianggap sebagai dzikr. Inilah mungkin yang dimaksud oleh Dawam bahwa pikir

adalah unsur dzikr dan bukan pikir mencakup dzikr.

Dawam kemudian meneruskan:

“Seringkali kita mendengar interpretasi bahwa pikir itu harus


diimbangi dengan dzikr, seolah-olah pikir itu hanya menyangkut kegiatan
rasional saja, sedangkan dzikr itu bersifat supra-rasional atau mungkin tidak
rasional, karena menyangkut îmân. Pada waktu pikir tidak lagi berbicara
maka îmân tampil berbicara mengenai kebenaran. Karena itu seorang
cendekiawan Muslim bukan hanya orang yang memiliki kualitas pikir, tetapi
97
juga dzikr.”
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di sini. Pertama, penulis –sekali

lagi- menyangsikan kata dzikr yang digunakan oleh Dawam. Pada penjelasan

sebelumnya, ia menggunakan kata tersebut dengan makna yang lebih dekat pada

lafadz tadzakkur. Jika yang dimaksud dengan dzikr masih demikian, jelas pengertian

tersebut tidak cocok dengan konteks pembicaraannya. Maka hemat penulis, yang

dimaksud pikir diimbangi oleh dzikr di sini adalah dzikrullâh, yakni dzikr yang

ditujukan kepada Allah. Di sinilah Dawam mencoba untuk merefleksikan bahwa

dzikr adalah aktifitas yang melebihi pikir karena ia bersifat supra-rasional atau

bahkan irasional. Kedua, Penggunaan kata “supra-rasional” menandakan

kecenderungan Dawam untuk meyakini bahwa dzikr merupakan kegiatan yang sangat

rasional. Hanya saja, akal tidak mampu mencernanya. Ketiga, Dawam ingin

mengatakan bahwa akal manusia terbatas. Oleh karenanya, ketika akal itu tidak

mampu lagi memikirkan sesuatu, di sanalah aktivitas dzikr mampu membantu pikir

untuk menemukan kebenaran. Hal terakhir inilah yang kemungkinan besar membuat

97
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
129

Dawam menyatakan bahwa dzikr merupakan bagian dari pikir karena ternyata dzikr

mampu berfungsi meringankan kerja akal. Ia menulis:

“Dari ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa seorang ûlû al-
albâb itu adalah orang yang berdzikir dan berpikir. Hanya saja, dzikr itu
merupakan bagian dari berpikir, yang tingkatannya lebih tinggi, karena
mengarah kepada transendensi. Pada ayat 21 dalam surat al-Zumar/39, lagi-
lagi disebut bahwa orang yang mampu melakukan dzikr itu hanyalah ûlû al-
98
albâb…(Q.S. al-Zumar [39]: 21)”
Sampai di sini, Dawam menyimpulkan bahwa dzikr adalah bagian dari

berpikir, namun dalam tingkatannya yang lebih tinggi. Penulis melihat pikir yang

dimaksud Dawam adalah kegiatan berpikir menyeluruh mencakup segala apa yang

bisa dipikirkan oleh akal manusia. Dzikr merupakan bagian dari kegiatan berpikir

tersebut, bahkan melebihinya karena dzikr turut menyertakan iman dalam kegiatan

berpikirnya. Dari penjelasan ini kita dapat memahami pernyataan Dawam

sebelumnya: pikir mencakup wilayah akal rasional dan dzikr mencakup wilayah akal

rasional dan supra-rasional.

Sayangnya, di akhir kesimpulan ini lagi-lagi Dawam menyebut dzikr yang

beraliansi makna dengan tadzakkur. Ini memperkuat dugaan penulis bahwa Dawam –

dalam pembahasan ulil albâb ini- memang tidak membedakan antara dzikr dan

tadzakkur. Untuk memperjelas masalah ini, penulis mengutip pendapat Yûsuf

Qardawî tentang tadzakkur. Ia berkata:

“Tadzakkur adalah salah satu tugas akal yang paling tinggi. Dan, dzakirah
‘ingatan’ adalah tempat penyimpanan pengetahuan dan informasi yang
diperoleh manusia untuk dipergunakannya pada saat dibutuhkan. Manusia
tidak dapat hidup dengan sempurna tanpa dzakirah dan tadzakkur, baik
dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dan, orang yang kehilangan

98
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
130

ingatannya berarti telah kehilangan dirinya sendiri karena ia tidak


mempunyai ingatan tentang dirinya dan sejarah hidupnya sendiri.” 99

Menurut penulis, penjelasan Yûsuf Qardâwî di atas sudah sangat jelas.

Qardâwî menegaskan bahwa tadzakkur adalah kegiatan akal dan bukan kegiatan

dzikrullâh. Tadzakkur adalah aktivitas penyimpanan data. Oleh karenanya, Qardâwî

membedakan antara tafakkur dan tadzakkur. Menurutnya, tafakkur dilakukan untuk

menghasilkan pengetahuan baru, sedangkan tadzakkur untuk mengungkapkan

kembali informasi dan pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya yang terlupa

atau terabaikan. 100 Umat muslim pasti memiliki sifat ini karena tadzakkur adalah

lawan dari sikap ghaflah yang dimiliki oleh orang kafir, munafik, dan orang-orang

yang berperilaku seperti mereka.101

Selain itu, implikasi dari sifat tadzakkur adalah menjadikan orang yang

mengerjakannya sebagai seorang yang senantiasa mengingatkan orang lain akan hal-

hal yang terlupakan. Oleh karena itu, menurut Qardâwî, salah satu tugas Rasul adalah

tadzkîr (mengingatkan). “fadzakkir, innamâ anta mudzakkir.” (Q.S. al-Ghâsyiyah

[88]: 21) 102 Hal inilah yang sempat disinggung oleh Dawam.

Di akhir tulisannya, Dawam mempertanyakan fungsi sifat dzikr yang dimiliki

ulil albâb. Ia lantas mengaitkannya dengan karakter kritis. Ia mengartikan dzikr

dengan arti ‘mengingat’ atau ‘mendapat peringatan’. Merujuk arti dasar ini, Dawam

99
Yusuf Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim & Sochimien, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 66.
100
Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 66.
101
Q.S. al-A’râf: (7): 179; Q.S. al-Nahl (16): 108; Q.S. al-Rûm (30): 6-7; Q.S. al-A’râf (7):
136; Q.S. al-Taubah (9): 67; Q.S. al-Hasyr (59): 19. Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan
Ilmu Pengetahuan, h. 67.
102
Q.S. Hûd (11): 12; Q.S. al-A’lâ (87): 9; Q.S. Qâf (50): 45. Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara
tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 68.
131

menilai bahwa watak seorang yang melakukan dzikr adalah mengingatkan. Sementara

itu, tindakan mengingatkan itu hanya bisa muncul jika orang bersikap kritis. Oleh

karena itu, seorang ûlû al-albâb seharusnya bersikap kritis atau peka untuk memberi

peringatan. Ia menulis:

“Seorang yang melakukan dzikr tentu akan merespon seruan Allah untuk
membentuk kelompok yang berorientasi kepada kebajikan (al-khayr) dan
kemudian melakukan amr ma’rûf nahy al-munkar (Âlu ‘Imrân/3:103 dan
110). Dari sinilah seorang ûlû al-albâb akan bersifat kritis sebagai dasar dari
tindakan amr ma’rûf nahy al-munkar. Tetapi sikap kritis itu mengandung
juga tanggung-jawab ketika ia mengingat kepada nilai kebajikan dan amr
ma’rûf.” 103
Menanggapi paragraf yang merupakan paragraf pamungkas dalam tulisan

panjang Ûlû al-Albâb ini, penulis melihat diam-diam tampaknya Dawam ingin

menyatakan kepada khalayak umum bahwa ICMI adalah salah satu bentuk respon

umat muslim atas kondisi sosial yang ada. ICMI merupakan organisasi yang

berorientasi pada amr ma’rûf nahy al-munkar yang menjadi wacana umat di era 80-

90an. Dalam pewacanaan tersebut, amr ma’rûf dikaitkan dengan pembangunan

nasional sedangkan nahy munkar terkait pencegahan segala kejahatan yang merebak

di masyarakat.104

Terlepas dari motif tersebut, Dawam telah mencoba memaknai dzikr dengan

dimensi baru, yakni berupa sikap kritis. Artinya, orang yang senantiasa berdzikir

seharusnya peka dengan kondisi alam dan sosialnya. Apalagi seorang yang berdzikir

tersebut memiliki kelebihan pengetahuan. Oleh karena itu, dalam konteks

cendekiawan muslim, Dawam menyimpulkan bahwa mereka adalah “orang yang

103
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 571.
104
Dawam sering menyinggung kalimat ini dalam beberapa tulisannya. Biasanya berkaitan
dengan respon Muhammadiyah sebagai pembaharu keagamaan di Indonesia.
132

memiliki kepekaan, sikap kritis, dan tanggung-jawab sosial dan karena itu memiliki

komitmen untuk bertindak demi kebaikan sesama manusia.”105

D. Refleksi Pemikiran M. Dawam Rahardjo untuk Era Kekinian

Ada beberapa pertanyaan yang sebenarnya ingin penulis hadirkan di sub-bab

terakhir ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan mampu merefleksikan intisari

kajian dalam penelitian ini sedari awal sampai akhir. Dari sekian pertanyaan yang

ada, penulis merumuskan dua pertanyaan besar yang mewakili pertanyaan-pertanyaan

lainnya.

Pertama, menilik penafsiran ulama atas istilah ulil albâb, sebenarnya konsep

ulil albâb (termasuk konsep dzikr-nya) tidak mengalami perkembangan, bahkan

terkesan “itu-itu saja” alias stagnan. Setelah memasuki abad modern, beberapa

mufassir mulai mengembangkan konsep tersebut. Dawam Rahardjo, selaku pemikir

muslim yang hidup di zaman modern termasuk salah seorang yang mengembangkan

konsep tersebut dengan mengkontekstualkannya pada konteks Indonesia.

Pertanyaannya, mengapa fenomena ini terjadi?

Kedua, berdasarkan diskusi mengenai konsep cendekiawan muslim yang

memadukan kualitas dzikir dan pikir, penulis melihat ada gerakan persuasif agar

ulama memasuki dunia intelektual/cendekiawan dengan mengembangkan ilmu

pengetahuan sedangkan cendekiawan/intelektual memasuki dunia ulama dengan

meningkatkan kualitas keagamaan. Pertanyaannya, mengapa fenomena ini terjadi?

105
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 572.
133

Sebagai jawaban dari pertanyaan pertama, penulis ingin mengajak pembaca

untuk mereka-ulang pembahasan penulis dalam Bab III sampai Bab IV dan

mengaitkannya pada konteks sejarah. Pada Bab III, konsep ulil albâb ditampilkan

sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai abad modern. Penafsiran yang stagnan itu

terdapat pada tafsir-tafsir klasik. Penafsiran itu terkesan masih normatif dan selalu

diulang oleh para mufassir meski sudah berbeda zaman. Isinya baru sekadar berupa

penjelasan dalam memahami dan mengambil hikmah ayat-ayat ulil albâb tanpa

menyinggung soal konkret keberadaan serta perannya yang nyata. Ini maklum, karena

pada masa-masa itu, ilmu pengetahuan tidak semaju sains di abad modern yang

dikembangkan oleh Barat. Oleh karenanya, ulil albâb yang dikenal sebagai

cendekiawan sebenarnya lebih tampak pada sosok ulama atau orang-orang saleh yang

memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu

pengetahuan yang baru berkembang pesat pasca renaisans.

Sementara itu, pada tafsir modern, pemahaman mufassir atas konsep ulil

albâb tidak terlepas dari persepsi mereka atas perkembangan ilmu pengetahuan

modern di mana teknologi adalah produk spektakulernya. Telah umum diketahui,

ilmu pengetahuan modern itu muncul karena Barat menemukan kualitas akal.

Adagium “Cogito ergo sum!” yang dicetuskan oleh Rene Descartes, seorang filsuf

ternama dari Perancis adalah bukti bahwa Barat telah menyadari potensi terbesar

manusia itu. Di zaman ini lahirlah para ilmuwan-ilmuwan ulung yang dengan

pengetahuannya lantas membawa perubahan drastis pada dunia. Dalam konteks

tersebut para mufassir modern hidup sehingga proyeksi mereka tentang ulil albâb

sebagai orang yang berakal mengarah pada sosok ilmuwan yang muncul di Barat.
134

M. Dawam Rahardjo, selaku seorang muslim yang tinggal di Indonesia,

mampu membaca keadaan zaman saat itu. Ia sadar bahwa seorang muslim seharusnya

mampu mengikuti perkembangan zaman, bukan malah antipati atau bahkan

menolaknya. Dalam pandangannya, seorang muslim harus maju tampil ke depan. Di

satu sisi, ia menyayangkan realitas umat muslim di Indonesia, terutama kalangan

ulama yang masih terbelenggu dalam dunianya yang klasik dan tidak menengok ke

arah kemajuan zaman. Di sisi yang lain, ia juga menyayangkan para intelektual atau

cendekiawan yang mampu mengikuti arus perkembangan zaman ternyata tidak

mampu membaurkan diri ke masyarakat. Padahal, Dawam melihat umat muslim

Indonesia mayoritas berada “di bawah kendali” para ulama, bukan para cendekiawan.

Oleh karena itu, ketika telah ditemukan istilah ulil albâb dalam al-Qur’an, ia turut

mengembangkan konsep ulil albâb dengan mengkontekstualkannya pada

perkembangan zaman dan juga pada konteks keindonesiaan dalam wacana

“cendekiawan muslim” yang mana merupakan gabungan dari ulama dan cendekiawan

dengan harapan agar baik ulama maupun cendekiawan mampu membawa umat

menjawab tantangan zaman.

Sehubungan dengan uraian di atas sekaligus menjawab pertanyaan kedua,

penulis ingin mengajak pembaca untuk masuk ke dalam strategi yang diusung para

pemikir muslim Indonesia –termasuk Dawam- dalam upaya mereka

mengintegrasikan fungsi ulama dan cendekiawan di masyarakat. Ulama adalah tokoh

masyarakat yang perilakunya dicontoh oleh masyarakat. Di dalam bidang agama,

mereka bukan hanya model figur, namun juga sebagai pemimpin yang bertanggung

jawab atas kemaslahatan umatnya. Di era modern, permasalahan umat tidak hanya
135

melulu berkaitan dengan fikih saja. Seiring perkembangan zaman, permasalahan

mereka pun semakin kompleks dengan masuknya teknologi dan berbagai ilmu

pengetahuan. Oleh karena itu, sebagai pemimpin selayaknya seorang ulama juga

banyak tahu masalah yang sedang dihadapi umat. Mau tidak mau, ulama harus

meningkatkan kualitas pikirnya dan menambah wawasan keilmuannya. Apalagi, di

zaman modern tersebut agama –terutama al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman

hidup umat muslim- mulai dipahami dan ditafsirkan dengan penemuan-penemuan

ilmu modern yang sangat berbeda dengan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan

oleh ulama-ulama klasik. Di sinilah ulama dimintai pertanggungjawabannya dalam

menyikapi berbagai fenomena modern agar dapat membimbing umat modern tetap

pada jalan yang seharusnya ditempuh.106

Sementara itu, cendekiawan muslim sebagai ilmuwan yang menguasai ilmu

modern juga mempunyai tanggung jawab yang sama dengan ulama dalam hal

membantu kesejahteraan umat dengan ilmu dan daya nalar yang dimilikinya.

Berhubung mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang agamis, maka seorang

cendekiawan muslim seharusnya memahami karakteristik mereka, terutama dalam hal

budaya. Di sini, mereka akan menyadari bahwa masyarakat muslim lebih manut pada

ulama karena dalam pandangan mereka, ulama lebih dekat pada Tuhan. Realitanya,

umat muslim memang lebih percaya pada ulama dibanding cendekiawan. Oleh karena

itu, seorang cendekiawan muslim seharusnya meningkatkan kualitas keagamaannya

baik dari segi ibadah ataupun pengetahuan agama layaknya ulama. Dengan begitu,

umat muslim Indonesia yang agamis akan memberikan kepercayaan pada mereka.

106
Nasution, Islam dan Problem-problem Kemasyarakatan, h. 59.
136

Jika ini terjadi, bukanlah tidak mungkin penerimaan masyarakat atas kehadiran

mereka dapat memudahkan para cendekiawan untuk menyampaikan aspirasi mereka

atau bahkan perlahan mampu mengubah cara pandang masyarakat menghadapi era

modern.

Jika dua kondisi di atas tidak terjadi, sebenarnya ulama dan cendekiawan

muslim masih bisa saling bahu-membahu dalam menunaikan tugas sosial mereka.

Inilah opsi lain yang mungkin diinginkan oleh pemikir muslim, yakni kerjasama

antara ahli agama dan ahli ilmu. Adapun caranya adalah dengan sering melakukan

dialog interaktif demi tercapainya pembangunan masyarakat yang maju. Dialog ini

dianggap perlu untuk mempertemukan dua cara pandang agar tidak terjadi

kesalahpahaman di antara mereka. Dengan begitu, baik ulama maupun cendekiawan

akan saling melengkapi kekurangan masing-masing.

Berdasarkan penjelasan ini, penulis mengamini pernyataan Dawam bahwa

konsep cendekiawan muslim yang memadukan daya dzikr-fikr adalah produk khas

Indonesia. Mengapa? Karena permasalahan di atas hanya bisa terjadi di negeri ini

atau tempat lain yang memiliki konteks serupa. Konsep cendekiawan muslim sangat

tidak mungkin muncul di negara sekuler yang memisahkan urusan agama dan non-

agama atau di negara yang muslimnya adalah minoritas.

Namun, penulis juga menyadari bahwa mau bagaimana pun juga konsep ulil

albâb yang ada dalam al-Qur’an bukanlah produk manapun. Tidak etis sekali bila

mengklaim konsep tersebut khusus muncul di Indonesia. Al-Qur’an terlebih dahulu

memunculkan konsep ulil albâb pada abad ke-7 jauh sebelum penemuan konsep

cendekiawan muslim yang baru muncul empat belas abad kemudian. Oleh karena itu
137

penulis menganggap konsep cendekiawan muslim hanyalah sebuah hasil upaya para

pemikir muslim Indonesia dalam menginterpretasi dan mengamalkan isi kandungan

al-Qur’an. Interpretasi dan pengamalan ini bisa saja berubah bila dilakukan oleh umat

muslim yang hidup di tempat atau pada masa yang berbeda.

Pada akhirnya, berdasarkan uraian sejauh ini, kita bisa mengambil pelajaran

bahwa pemahaman manusia atas al-Qur’an bisa terus berubah sesuai dengan konteks

kehidupannya. Uraian panjang penulis juga membuktikan salah satu kemukjizatan al-

Qur’an, bahwa sebagai pedoman hidup ia tak lekang oleh waktu dan tempat, ia sâlih

li-kull zamân wa makân. Dan yang terakhir, sebagai pamungkas, al-Qur’an sebagai

dzikr tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya akal yang memikirkannya. Di situlah

peran akal, membuat dzikr menjadi pikir sehingga pikir menjadi dzikir. ***
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis berkesimpulan bahwa

dimensi makna dzikr pada ayat-ayat ulil albâb dalam al-Qur’an secara umum

mengandung makna dzikrullâh dan secara khusus menunjuk pada aktivitas akal.

Sedangkan dalam pandangan Dawam Rahardjo, dimensi makna dzikr tersebut

berkaitan dengan tiga hal: pertama, bermakna dzikrullâh; kedua, bermakna

tadzakkur; dan ketiga bermakna sikap kritis/mengingatkan.

Adapun spekulasi M. Dawam Rahardjo akan kesatuan makna dzikr dan fikr

pada ayat-ayat ulil albâb ternyata tidak terlepas dari konteks keberagamaan umat

muslim pada dekade 1990-an yang cenderung mendikotomi makna keduanya.

Dawam berusaha mengatasi masalah tersebut dengan menunjukkan bahwa dzikr juga

dapat diejawantahkan dalam bentuk pikir dan kegiatan berpikir dapat mengantarkan

seseorang untuk mencapai dzikr. Ia menganggap dzikr mencakup pikir atau pikir

terkandung dalam dzikr karena melihat konsep dzikr dari sudut pandang yang luas

dan bukan dalam pengertiannya yang sempit. Oleh karena itu, meskipun dalam ayat-

ayat ulil albâb terdapat beberapa bentuk derivasi lafadz dzikr yang berbeda, dia tetap

mengartikannya sebagai dzikr walaupun bila dilihat dari segi makna lafadznya lebih

mengarah pada aktivitas pikir.

Pemahaman M. Dawam Rahardjo sebagaimana disebutkan di atas

memposisikannya sebagai tokoh pembaharu atas dimensi makna dzikr ulil albâb

sebagaimana tersebut di atas berimplikasi pada wacana ulil albâb yang berkembang

138
139

saat itu, terutama terkait amanah dalam mengayomi masyarakat. Pada makna dzikr

pertama dan kedua, Dawam menyoroti ulama sebagai representasi dari ahli dzikir

agar tidak hanya berdzikir saja dan cendekiawan sebagai representasi dari ahli pikir

agar tidak hanya berpikir saja. Dawam berharap agar mereka memadukan daya dzikir

dan pikir mereka dan menggunakannya untuk kesejahteraan umat. Tidak hanya itu,

pada makna dzikr ketiga dia juga menekankan bahwa baik ulama maupun

cendekiawan masing-masing memiliki tanggung jawab moral dan sosial yang sama

pada masyarakat. Dengan kata lain, dia hendak menyatakan bahwa ulil albâb bisa

saja berupa ulama atau cendekiawan selama mereka memiliki ketiga dimensi dzikr

tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas, penelitian ini menemukan upaya M. Dawam

Rahardjo dalam membuktikan bahwa isi al-Qur’an bersifat perenial, shâliḥ li-kull

zamân wa makân, dengan mengontekstualkannya pada masalah kekinian. Pada kasus

ulil albâb, Dawam Rahardjo mengkontekstualisasikan makna dzikr. Dzikr yang

sebelumnya identik dengan kegiatan spiritual kemudian dibawa oleh Dawam ke ranah

yang lebih rasional, yaitu pikir.

B. Saran

Sejatinya konsep dzikr dan konsep ulil albâb dalam al-Qur’an sangatlah luas.

Penulis menyadari kajian yang telah penulis lakukan mungkin hanya mampu

menyingkap secuil keterangan dari samudera kajian yang terhampar dalam al-Qur’an.

Peneliti lain bisa saja membahas ayat-ayat lain serupa dengan yang dibahas penulis.

Misalnya, kajian tentang makna lafadz tadzakkur dan dzikrâ yang ada pada ayat
140

selain ulil albâb seperti pada Q.S. ‘Abasa (80): 4 atau Q.S. al-A’lâ (86): 9-10.

Apakah ayat-ayat tersebut masih berkaitan dengan ulil albâb? Pembahasan tersebut

menurut penulis menarik sekali untuk dikaji.

Terkait konsep cendekiawan muslim, terutama yang berkaitan dengan ICMI,

dalam penelitian ini penulis hanya memotret melalui lubang kecil, yakni melalui

konsep dzikir dan pikirnya saja. Kenyataannya, masih banyak area lain yang bisa

digali dari data-data dan keterangan-keterangan yang tercecer di sana-sini yang belum

penulis kutip di sini. Ibarat puzzle, jangankan merangkai pecahan-pecahannya,

penulis baru mampu menemukan satu kepingnya saja. Oleh karena itu, dengan

segenap penuh harap dan terima kasih penulis haturkan kepada siapa saja yang

berkenan meluangkan waktunya untuk membaca, memahami, atau bahkan sampai

mengoreksi penelitian ini.

Adapun beberapa hal yang menjadi kesulitan penulis selama penelitian ini

adalah mencari data, mengumpulkan, dan menganalisanya untuk kepentingan

pengidentifikasian wacana, baik itu wacana lokal atau wacana global. Dalam

penelitian ini penulis masih sebatas menyinggung wacana lokal dan belum

menghubungkannya dengan wacana global.

Selain itu, penulis juga dibenturkan pada masalah keterbatasan pisau analisis

untuk menguak apa yang ada di balik wacana. Dikarenakan kajian semacam ini tidak

terlepas dari hal itu, maka penulis menyarankan kepada para pengkaji yang ingin

menindaklanjuti penelitian ini atau yang semodel dengan kajian ini untuk

menggunakan pisau analisis semacam hermeneutik, semiotik, atau beberapa metode


141

yang ada dalam kajian analisa wacana. Hal ini sangat penting agar mempermudah

proses penelitian dan mempertajam hasil kajian.

Terakhir, dengan segala rasa hormat, penulis mengharapkan adanya kritik atau

saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan penelitian ini dan terlepas dari

segala kekurangan yang ada, semoga penelitian ini dapat diambil manfaatnya baik

untuk kepentingan akademisi maupun kepentingan umum.

Wa-llâhu a’lam bi al-sawâb.


142

DAFTAR PUSTAKA

‘Alî K., Hasan. al-Mu’jam al-Mufassir li Alfâẕi al-Qur’ân al-Karîm. T.t.: Dâr al-
I’tisâm,1986.

al-‘Akbarî, Abû al-Baqâ’ ‘Abdullâh ibn al-Husain ibn ‘Abdullah. al-Tibyân fî


I’râb al-Qur’ân. T.tp.: ‘Îsâ al-Bâbî al-Halbî wa Syurkâhu, t.t..

al-‘Arabiyyah, Majma’ al-Lughghah. Mu’jam al-Wasîṯ, cet. 5. Jeddah: Maktabah


Kunûz al-Ma’rifah, 2011.

al-‘Askarî, Abû Hilâl al-Hasan ibn ‘Abdillah ibn Sahl ibn Sa’îd ibn Yahyâ ibn
Mihrân. Mu’jam al-Furûq al-Lughghawiyyah. Qum: Muassisah al-Nasyr al-
Islâmî al-Tâbi’ah li Jamâ’ah al-Mudarrisîn, 1412 H.

Adnan, “Penafsiran al-Qur’an M. Dawam Rahardjo (Studi Terhadap Buku


Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci).”
Tesis S2 Program Studi Agama dan Filsafat, Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010.

Al-Adnani, Abu Fatiah. Zikir Akhir Zaman. Surakarta: Granada Mediatama, 2016.

Ali, Muhammad Ma’sum bin. al-Muyassarah al-Imdâriyyah fî Syarh al-Amtsilah


al-Tasrîfiyyah. Jombang: T.pn, t.t..

Ali-Fauzi, Ihsan. dkk. ed. Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. digital. Jakarta:
Democracy Project, 2012. Diunduh dari
www.cerdasdownload.blogspot.co.id, pada Kamis, 01 Maret 2018.

Andri, Sofia Rosdanila. “Penafsiran Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî


terhadap Ayat-ayat al-Qur’an tentang Dzikir dalam karyanya
Rememberance of Allah and Praising The Prophet.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.

Arikunto, Suharismi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, cet. 15.


Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013.

Aziz, Ahmad Amir. Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral


Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT Rineka Cipta,
1999.

Baharuddin, Elmi Bin dan Ismail, Zainab Binti. “Spiritual Intelligence Forming
Ulul Albab’s Personality.” Global Journal of Business and Social Science
Review, v. 4(1), (Oktober-Desember 2015), h. 390-400.

al-Bâqî, Muhammad Fuâd ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur’ân al-


Karîm. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2007.
143

al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah. al-Jâmi’ al-
Sahîh. Kairo: Dâr al-Syi’bi, 1987.

Darwîsy, Muhyi al-Dîn bin Ahmad Musṯafâ. I’râb al-Qur’ân wa Bayânihi, cet. 4.
Suriah: Dâr al-Irsyâd li al-Syuûn al-Jâmi’iyyah, t.t..

Dawami, M. Iqbal. Kamus Istilah Populer Islam: Kata-kata yang Paling Sering
Digunakan di Dunia Islam, cet. 18. Jakarta: Erlangga, 2013.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,


ed. 4. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama, 2008.

Departemen Pendidikan Nasional. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat


Bahasa, cet. 1. Bandung: MIzan, 2009.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, cet. 5. Jakarta: LP3ES, 2015.

al-Dimasyqî, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî. Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Aẕîm, cet. 1. Dâr Ṯaybah li al-Nasyr wa al-Tawzî’,
1999M/1420H.

al-Fayrûzâbâdî, Majd al-Dîn Abû Ṯâhir Muhammad ibn Ya’qûb. al-Qâmûs al-
Muhîṯ, cet. 2. Beirut: Muassisat al-Risâlah li al-Ṯâbâ’ah wa al-Nasyr wa al-
Tawzî’, 2005.

Effendi, Djohan dan Natsir, Ismed, ed. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan
Harian Ahmad Wahib, cet. 6. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003.

Handrianto, Budi. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme,


Pluralisme, dan Liberalisme Agama, cet. 2. Jakarta: Hujjah Press, 2007.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, cet. 2.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Jakarta: Lembaga Penelitian


UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Herawati, Azizah. “Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang.”


Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, v.3, no.1 (Juni: 2015), h.
123-140.

IMZI, A. Husnul Hakim. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab


Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer. Depok: Lingkar Studi
al-Qur’an (eLSiQ), 2013.

al-Jâbirî, Muhammad Âbid. al-Turâts wa al-Hadâtsah Dirâsât wa Munâqasyât.


Beirut: Markaz Dirâsât al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1991.
144

Jamî’ al-Huqûq Mahfûẕah. al-Munjid fî al-Lughghah, cet. 12. Beirut: Dâr al-
Masyriq, 1977.

al-Jazarî, Abû al-Sa’âdât al-Mubârak ibn Muhammad. al-Nihâyah fî Gharîb al-


Hadîts wa al-Atsar. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1979.

Jumantoro, Totok dan Amin, Samsul Munir. Kamus Ilmu Tasawuf. T.tp.: Amzah,
2005.

Khaerani, Izzah Faizahst Rusydati. “Pemimpin Berkarakter Ulul Albab.” Jurnal


Kepemimpinan Pendidikan Islam Multikultural, v. 1, no. 1, (Juni: 2014), h.
113-121.

Kusmana, “Dimensi Sosial Pemahaman al-Qur’an M. Dawam Rahardjo.”


Mimbar: Jurnal Agama & Budaya, v. 23, no. 1, (2006): h. 42-63.

al-Marâghî, Ahmad Musṯafâ. Tafsîr al-Marâghî, cet. 1. Mesir: Syirkah Maktabah


wa Maṯba’ah Musṯâfâ al-Bâbî al-Halbî wa Aulâduhu, 1946.

------- Tafsîr al-Marâghî. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.

al-Misrî, Abû Faḏl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manẕûr al-Afriqî.
Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr Sâdir, 1990.

Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 35. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2016.

Mudhary, Bahaudin. Menjelajah Angkasa Luar (Analisa Metafisika al-Mi’raj),


cet. 5. Surabaya: Pustaka Progressif, 1989.

al-Mufaḏḏal, al-Husain bin Muhammad bin. Mu’jam Mufradât Alfâẕ al-Qur’ân.


Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004.

Muhammad, Abrar. ICMI dan Harapan Umat, cet. 1. Jakarta: YPI Ruhama, 1991.

al-Nadwî, ‘Abdullâh ‘Abbâs. Qamûs Alfâẕ al-Qur’ân al-Karîm ‘Arabî-Injilîsî, cet.


2. Chicago: Muassisah Iqra’ al-Tsaqâfiyyah al-‘Âlamiyyah, 1986.

Naim, Ngainun. “Pluralisme sebagai Jalan Pencerahan Islam: Telaah Pemikiran


M. Dawam Rahardjo.” SALAM: Jurnal Studi Masyarakat Islam, vol. 15, no.
2, (Pascasarjana UMM: Desember, 2012), h. 275-290. Diunduh pada 13
November 2017 pukul 16.42 WIB dari
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/download/1666/1773 .

al-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî. al-
Jâmi’ al-Sâhîh. Beirut: Dâr al-Jail & Dâr al-Afâq al-Jadîdah, t.t..
145

al-Nasâî, Ahmad bin Syu’aib Abû ‘Abd al-Rahmân. al-Mujatabâ min al-Sunan.
Halb: Maktab al-Maṯbû’ât al-Islâmiyyah, 1986.

Nasution, H.M. Yunan. Islam dan Problem-problem Kemasyarakatan. Jakarta:


PT. Bulan Bintang, 1988.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. 2. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986.

Nasution, Harun. dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.

al-Nawawî, Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf bin Mirrî. al-Minhâj Syarh Sahîh
Muslim bin al-Hajjâj, cet. 2. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, 1392 H.

Partanto, Pius dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:


Arkola, t.t..

Qarḏâwî, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, cet. 2.
Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

al-Qaṭṭân, Mannâ’ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, cet. 10. Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2007.

Qomar, Mujamil. Fajar Baru Islam Indonesia: Kajian Komprehensif Atas Arah
Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara. Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2012.

al-Qurṯubî, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-
Ansârî al-Khazrajî Syams al-Dîn. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Kairo: Dâr
al-Kutub al-Misriyyah, 1964.

Rahardjo, M. Dawam Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1999.

-------Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial. Bandung: Mizan


Media Utama, 2015.

-------Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,


cet. 1. Jakarta: Paramadina, 1996.

-------Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, cet. 1. Bandung:


Penerbit Mizan, 1999.

-------Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah


Cendekiawan Muslim, cet. 4. Bandung: Penerbit Mizan, 1993.

-------Islam dan Transformasi Budaya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2002.
146

-------Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam. Jakarta: Freedom Institute,


2012.

al-Râzî, Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ. Maqâyîs fî al-Lughghah.
Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.

--------Mujmal al-Lughghah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.

al-Râzî, Muhammad Fakhr al-dîn ibn al-‘Allâmah Ḏiyâ’ al-Dîn ‘Umar. Mafâtîh
al-Ghayb. Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.

Riḏâ, Muhammad Rasyîd ‘Alî. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr). al-
Hai’ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1990.

Saefuddin, Ahmad M.. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi cet.3.


Bandung: Mizan, 1991.

Sahabuddin, ed. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati,


2007.

Shihab, M. Quraish. “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam


Kehidupan Bermasyarakat, cet. 1. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.

-------Kaidah Tafsir, cet. 3. Ciputat: Lentera Hati, 2015.

-------Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. 2. Bandung: Mizan


Media Utama, 2008.

-------Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1. Ciputat:


Lentera Hati, 2000.

-------Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 8. Ciputat:


Lentera Hati, 2007.

-------Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, cet. 3. Ciputat: Lentera Hati,
2008.

al-Sijistânî, Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’at. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dâr
al-Kitâb al-‘Arabî, t.t..

Solahudin, Muhammad. Ulama Penjaga Wahyu. Kediri: Pustaka Zamzam, 2017.

Subirin, Nor Adzimah. dkk.. “Ulul Albab Generation: Roles of Ulul Albab
Teachers in Malaysian Selected School.” International Journal of Academic
Research in Business and Social Sciences, vol.7, (2017), h. 1022-1031.
147

Susanti, Sri. “Kajian Kritis terhadap Konsepsi ‘Ulil Albab’ dalam al-Qur’an.”
Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran. Diterbitkan oleh Fkip
Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Juni 2013.

al-Syâfi’î, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar Abû al-Faḏl al-‘Asqalânî. Fath al-Bârî Syarh
Sahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H.

al-Tamîmî, Muhammad bin Hibbân bin Ahmad bin Hibbân bin Mu’âdz bin
Ma’bad. Sahîh Ibn Hibbân bi-Tartîb Ibn bulbân. T.tp.: Muassisah al-
Risâlah, t.t..

al-Ṯabarî, Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî Abu
Ja’far. Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân. Muassasah al-Risâlah, 2000.

Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri


(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014. Ciputat: Biro Administrasi
Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama, 2013.

al-Tûnisî, Muhammad al-Ṯâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Ṯâhir bin


‘Âsyûr. al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr,
1984.

Ulum, Miftahul. “Konsep Ulil Albab Q.S. Ali-Imran ayat 190-195 dan
Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam.” Skripsi S1 Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo, 2011.

Umam, Khoirul. “Konsep Zikir Menurut al-Marâghî (Penafsiran terhadap QS. 2:


152, 13: 28, 39: 23, 89: 27-30, 10: 57, 26: 80, 41: 44, 17: 82).” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.

Internet:
Fathani, Abdul Halim. “Paradigma Pembelajaran dalam Perspektif Tarbiyah Ulul
Albab dan Multiple Intelligences.” Artikel diakses pada 09 Mei 2018 dari:
https://www.researchgate.net/publication/311873299_PARADIGMA_PEM
BELAJARAN_DALAM_PERSPEKTIF_TARBIYAH_ULUL_ALBAB_D
AN_MULTIPLE_INTELLIGENCES

“40 Tahun ‘Islam Yes Partai Islam No’ Diperingati”, Republika.co.id, 08 Januari
2010.

Video:
Video “Ulil Albab dan Peran Cendekiawan.” Dipublikasikan oleh akun Sinar
Idola pada tanggal 26 Juni 2016.

Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Asep Usman Ismail. Ciputat, 15 Februari 2018.
LAMPIRAN 1

AYAT-AYAT ULIL ALBÂB DAN TERJEMAHNYA(16 AYAT)*

a. Q.S. al-Baqarah (2): 179

    


       

“Dan dalam qiṣâs itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang
yang berakal, agar kamu bertaqwa.”
b. Q.S. al-Baqarah (2): 197

    


             
 

                  

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa
mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia
berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan
ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya.
Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan
bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”
c. Q.S. al-Baqarah (2): 269

                   

 

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa
diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan
tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang
mempunyai akal sehat.”
d. Q.S. Âlî ‘Imrân (3): 7

                  

                       

                   

*
Terjemahan ayat diambil dari: Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung:
Syaamil Quran).
“Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di
antaranya ada ayat-ayat yang muḥkamât, itulah pokok-pokok Kitab (al-
Qur’an) dan yang lain mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyâbiḥât untuk mencari-
cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya
mendalam berkata, ‘Kami beriman kepadanya (al-Qur’an), semuanya dari sisi
Tuhan kami.’ Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang
berakal.”
e. Q.S. Âlî ‘Imrân (3): 190-191

            

   


     
       

   


    
   
 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam


dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam
dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan
semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
f. Q.S. al-Mâidah (5): 100

                

  

“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik,


meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah
kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu
beruntung.”
g. Q.S. Yusuf (12): 111

         


     

      


  
     

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang


yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan
(sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-oraang yang beriman.”
h. Q.S. al-Ra’d (13): 19

                  

“Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan
kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang
yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
i. Q.S. Ibrâhîm (14): 52

            
    

“Dan (al-Qur’an) ini adalah penjelasan (yang sempurna) bagi manusia,


agar mereka diberi peringatan dengannya, agar mereka mengetahui bahwa Dia
adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang yang berakal mengambil
pelajaran.”
j. Q.S. Sâd (38): 29

           

“Kitab (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar


mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat
mendapat pelajaran.”
k. Q.S. Sâd (38): 43

       


       

“Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya


dan Kami lipatgandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan
pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran sehat.”
l. Q.S. al-Zumar (39): 9

                  
 

           

“(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat
menerima pelajaran.”
m. Q.S. al-Zumar (39): 18


        
       
     



“(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang


paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang memiliki akal sehat.”
n. Q.S. al-Zumar (39): 21

 
                   

  


      
       

“Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari


langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan
air itu ditumbuhkan-Nya tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya,
kemudian menjadi kering, lalu engkau melihatnya kekuning-kuningan,
kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sungguh, pada yang demikian
itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal sehat.”
o. Q.S. Ghâfir (40): 53-54

 
            
 



“Dan sungguh, Kami telah memberikan petunjuk kepada Musa; dan


mewariskan Kitab (Taurat) kepada bani Israil, untuk menjadi petunjuk dan
peringatan bagi orang-orang yang berpikiran sehat.”
p. Q.S. al-Thalâq (65): 10

  


                   

“Allah menyediakan azab yang keras bagi mereka, maka bertakwalah


kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal! (Yaitu) orang-orang
yang beriman. Sungguh, Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.”
LAMPIRAN 2

Transkip Wawancara Pribadi dengan Prof. Asep Usman Ismail

Ciputat, Kamis, 15 Februari 2018

***

Jurnal Ulumul Quran sebetulnya merupakan buah dari sebuah pemikiran yang
panjang. Pak Dawam adalah pribadi yang unik. Disiplin ilmunya ekonomi. Dia
dikenal sebagai ekonom lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.
Untuk tingkat kawan-kawan seangkatannya, Mas Dawam sebandinglah dengan
Pak Mubyarto yang waktu itu juga menjadi guru besar ekonomi di UGM dan
dikenal dengan orientasi kerakyatan. Dia juga yang merumuskan konsep
“ekonomi pancasila”. Bahwa Mas Dawam punya orientasi kerakyatan memahami
betul kondisi sosial yang terjadi di UGM. Sejak awal UGM lahir dalam proses
pergerakan dan lahir dari tangan-tangan para kelompok republikan Indonesia,
orang-orang yang memang sejak awal anti-kemapanan, anti-kolonialis, memihak
kepada pribumi, memihak kepada rakyat, meskipun mereka sering disebut
pemikirannya sosialis. Tapi yang paling saya pahami adalah orang-orang seperti
Pak Dawam itu lahir dan besar dalam kondisi sosial yang memang berada dalam
sebuah ikon tentang komitmen kerakyatan. Berbeda dengan UI waktu itu. UI
karena berada di Jakarta, kemudian sejak awal luluh dalam modernisasi dan juga
larut dalam kegiatan arus ekonomi global. Jadi di tahun-tahun 70-an 80-an UGM-
lah yang menjadi kiblat para intelektual -untuk masalah sosial yang mewakili
komitmen kerakyataan, pemihakan kepada masyarakat wong cilik.

Di sisi lain, Dawam Rahardjo bersentuhan dengan kalangan santri, kalangan-


kalangan pesantren, kalangan yang waktu itu IAIN. Terkait dengan Yogya kan
lebih awal. IAIN kan dulu adalah sekolah tinggi Islam yang kemudian melahirkan
orang seperti Lafran Pane. Kemudian setelah itu pertama menjadi IAIN. Yogya
lebih awal dibanding Jakarta. Jakarta dulu masih Akademi Dinas Ilmu Agama
Islam, sedangkan Yogya sudah Program Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Yogya lebih awal menjadi IAIN dan Jakarta baru menjadi IAIN pada tahun 1960.
Jakarta lebih memprodak soal teknis menjadi imam tentara, kemudian jadi guru
agama, makanya awal konsepnya ADIA, Akademi Dinas Ilmu Agama Islam.

Sentuhan Dawam Rahardjo dengan kalangan santri dan kalangan pemikir lewat
sebuah organisasi, HMI. HMI-lah yang menjadi jembatan yang mempertemukan
kalangan “sarungan” dengan kalangan “levis”.

Kalangan yang dianggap maju dan kalangan konservatif?

Kalangan sarungan itu santri-santri yang basisnya NU sedangkan kalangan levis


adalah yang sejak awal sudah berorientasi pada urban dan universiti, kalangan
kota, kalangan wong desa. Di HMI itu mereka bertemu. Jangan lupa di HMI ada
kalangan santri alumni pesantren. Titik temu itulah yang kemudian
mempertemukan Dawam Rahardjo yang basisnya adalah kampusnya UGM,
orientasi kerakyatannya kental, pemihakannya kepada wong cilik kuat, dan itu
ikon perjuangan. Dawam Rahardjo menjadi mahasiswa di tahun 60-an, sekitar 15
tahunan setelah Indonesia merdeka. Belum selesai kan perjuangan itu. Bung
Karno masih hidup. Spiritnya sudah tua dan sudah di puncak. Proklamator masih
hidup. Orang-orang yang turut berjuang bersama Soekarno baik dari kalangan
muslim nasionalis atau muslim santri juga masih hidup. Dawam Rahardjo berada
pada lapis kedua setelah orang-orang itu. Dan karena, ekonom nomor wahid saat
itu adalah seperti Wibisono, ada juga Prawiranegara dari Masyumi yang
pendidikannya Barat, ada juga Moh. Hatta. Dawam Rahardjo berada di lapis
kedua, anak muda.

Nah kalangan anak muda yang sebanding dengan dirinya adalah Nurcholis
Madjid, yang betul-betul dari pesantren, kalangan NU, tradisional, mondoknya di
Gontor, kuliah di sastra Arab. Nah inilah yang menjadi titik temu. Jadi ada
Nurcholis Madjid, ada Dawam Rahardjo, ada Djohan Effendi -yang sangat dekat
dengan kalangan Ahmadiyah. Dawam yang berasal dari kalangan basis sosialnya
UGM. Lewat itulah Dawam menjadi ikon baru untuk Indonesia. Dan ikon baru itu
sebetulnya seperti yang dikatakan Cak Nur, tahun 70-an itu panen pertama sarjana
Islam.

Tahun 70-an?

Iya 70-an. Mengapa 70-an? HMI itu lahir 05 Februari 1947 dan yang menjadi
mahasiswa pada saat itu sedikit. Paling-paling mahasiswa PT yang dari UII,
ditambah lagi sekolah-sekolah umum. Tapi pada tahun 70-an mereka sudah
menjadi sarjana. Umur mereka rata-rata kelahiran 40-an. Cak Nur lebih tua. Dia
lahir 17 Maret 1939, Dawam Rahardjo 1942, Ridwan Said itu 1942. Orang-orang
itu adalah orang-orang HMI tapi beda minat. Ada yang hanya bersentuhan dengan
Islam, dan ada dengan ikon Betawi. Kalau Dawam tidak, ke akademik. Mereka
tumbuh di zaman HMI yang menjadi ikon tumbuhnya intelektual muda yang
menyatukan dua sisi. Satu sisi yang berbasis ilmu umum dan modern seperti di
UGM yang menjadi ikon tadi dan pada sisi lain bersentuhan dengan kalangan
santri seperti Nur Cholis Majid. Oleh karena itu, Dawam Rahardjo cukup unik.
Apalagi ketika tahun 70-an dia memilih masuk LP3ES. LP3ES kan memang
lembaga riset yang betul-betul dikelola oleh kelompok muslim yang ada
sosialisnya, ada tradisionalis-nasionalisnya. Dawam Rahardjo masuk di situ dan ia
memang mumpuni dalam bidang ekonomi dan bidang sosial.

Tapi pada saat yang sama dia merekrut anak-anak IAIN Jakarta. Mengapa ia lebih
percaya ke anak IAIN Jakarta? Ada tiga alasan. Pertama,mereka mempunyai basis
intelektual yang kokoh dalam bidang keislaman. Kedua, anak-anak IAIN yang
terhimpun di PMII, HMI, ataupun IMM, terbiasa mengakses ilmu sosial. Ketiga,
isu-isu keagamaan mereka menjadi kontekstual. Isu-isu keagamaan santri kan
masih berbasis pada kajian kitab kuning. Tapi kalau mereka masuk ke isu tentang
perbankan, isu tentang modernisasi,dll.

Ada kelebihan lain yang dimiliki Mas Dawam. Dia biasa menulis. Pada saat itu,
Mas Dawam bersentuhan dengan orang-orang IAIN yang memang sejak dari awal
apalagi ketika ia pindah ke Jakarta, beberapa memang dari Yogja. Tapi karena
Yogya jauh, ia memilih orang-orang Ciputat, maka dia memilih yang lebih dekat.
dibanding almamater yang membesarkan Masa Dawam. Kegiatannya di Jakarta.
Makanya yang direkrut adalah orang-orang HMI Ciputat. Anak IMM ada, anak
PMII juga ada, tapi yang dominan adalah HMI. Mereka akrab saja, sama-sama
santri kok.

Mas Dawam tidak menutup diri. Bukan HMI-nya, bukan PMII-nya, tapi kalangan
Islam yang sudah terbiasa punya basis kajian Islam tradisional kitab kuning, tapi
juga punya kemampuan untuk mendiskusikan masalah sosial dengan mendalam.
Kemudian mereka merespon kejadian di Indonesia dengan cara berbeda respon
yang dilakukan oleh kiai sepuh. Mereka juga sangat akrab dengan dunia
jurnalistik, dunia koran-koran begitu. Nulis mereka bukan hanya di Pelita, tapi
juga Kompas. Mereka bersaing dengan orang-orang Katolik, dengan orang-orang
yang latar belakangnya sosialis. Dalam konteks inilah Mas Dawam terpikir untuk,
dulu itu ada yang namanya silaturrahim nasional (silatnas). Silatnas itu merupakan
kalangan yang menjadi cikal bakal ICMI, kalangan cendekiawan muslim. ICMI
kan gejala awal 90-an. Ini sudah ada sejak 80-an. Saya menjadi mahasiswa pada
periode 1979. Ada senior kami Azyumardi Azra angkatan 76, Fahri Ali angkatan
74, yang di IAIN Jakarta itu. Bukan hanya mereka, ada mahasiswa lain semacam
Ahmad Rifai Hasan 76. Saya 79. Ketika saya datang ke Ciputat, saya santri, saya
tidak bergabung dengan PMII. Meskipun saya NU, saya bergabung dengan HMI.
Di HMI inilah saya intensif masuk dalam poros kajian ini. Di dalam kajian inilah,
beberapa yang senior bergabung dengan LP3ES; Azyumardi, Fahri Ali, Wibisana,
Saryono, dan ada beberapa orang lain. Kalau saya tidak. Mereka bertemu dengan
Mas Dawam. Tapi kami yang waktu itu masih junior, sering diundang Mas
Dawam ke IAIN Jakarta. Di HMI apalagi. Selain mempunyai kedekatan dengan
HMI Ciputat. Lewat itulah kemudian terjadi dialog-dialog yang intensif. Saya saat
itu ada pada posisi junior pada 79-80. Tapi menjadi senior pada tahun 85-86 saat-
saat kami akan lulus. Saya lulus tahun 87.

Di tahun 85-86 Dawam Rahardjo menjadi ketua LP3ES?

Nah, di saat itulah lewat silatnas didirikanlah LSAF, jangan lupa LSAF berdiri
pada tahun 1983. Mas Dawam tidak lagi di LP3ES. Di sana ia hanya pada tahun-
tahun 79, 80, 81, 82. Mulai 83 Mas Dawam menjadi direktur LSAF dan PPA. Di
PPA inilah ia bertemu dengan cendekiawan-cendikiawan beda kampus. Umumnya
pada saat itu IPB. Orang IPB yang menjadi pelopor Pusat Perkembangan
Agribisnis adalah Dr. Ir. Amin Aziz.

Orang-orang yang tertarik pada kajian ilmu sosialnya di sana bekerja di PPA,
anak-anak KOHATI-nya di PPSP (Pusat Studi Perempuan). Ini bagaimana? Mas
Dawam berpikir. Kalau hanya ini, mana pemikirnya? Mereka lebih banyak
mengkaji ilmu sosial, terkait isu-isu pemberdayaan umat, penguatan umat,
pendidikan terpadu, dll. Kemudian Mas Dawam berpikir bahwa harus ada sisi lain
dong, yang betul-betul anak yang mendalami agama dan mendalami filsafat.
Maka dari itu Mas Dawam berpikir bagaimana bila mendirikan LSAF (Lembaga
Studi Agama dan Filsafat). LSAF itu tidak mendapatkan uang. Lembaga kalau
tidak betul-betul dikader, konsumtif. Tidak ada proyek yang bisa menghasilkan
uang. Itu yang mencari uang adalah orang-orang PPA. Makanya LSAF ada di
bawah naungan PPA. Jadi kami orang-orang PPA itu merasa, “Ah kalian ini
hanya pengguna, sedangkan kami pencari.”

Tetapi kita kemudian menimbulkan prodak lain. Kita punya ide yang mereka
butuhkan. Kajian tentang keislaman, kajian tentang al-Qur’an, kajian ekonomi
islam, tasawuf. Itu yang kita miliki. Makanya tantangan LSAF itu bagaimana
orang LSAF bisa mandiri secara ekonomi. Caranya luar biasa. Itu ada kursus
tasawuf dibuka, bekerjasama dengan Harian Terbit untuk menulis. Sebetulnya itu
pada sisi lain, meluaskan ide, melatih kita masuk ke dunia profesional seperti
jurnalis, dan pada sisi lain membuktikan bahwa orang-orang LSAF bukan hanya
konsumen tapi bisa juga menghasilkan. Termasuk juga kita membuktikan bahwa
pikiran kita dibutuhkan oleh umat. LSAF berdiri pada tahun 1983 baru Ulumul
Qur’an (UQ) pada tahun 1989. Jadi dinamika selama enam tahun itulah yang
melahirkan Ulumul Qur’an. Begitu.

Nah, pada saat UQ berdiri itulah kita memiliki keunggulan ternyata mendapatkan
respon yang luar biasa karena kita sudah lama ditunggu. Bagaimana dulu itu isu
kebangkitan Islam itu harus diikuti dengan kemampuan memahami tiga hal, yaitu:
satu memahami al-Qur’an dengan ilmiah, dua membuat sistematika, dan tiga
kontekstual dengan tantangan zaman pada saat itu. Nah tantangan macam itu
seperti bagaimana umat Islam bisa melahirkan islamisasi sains, bagaimana bisa
moral umat dibimbing dengan ilmu, bagaimana kemudian ilmu berbasis riset.
Semua itu di dinamakan ulil albab. Nah dalam silatnas-silatnas itu dibahas konsep
ulil albab. Antara 1983-86 itu silatnas diadakan setahun sekali.

Bahasan ulil albab selalu dimunculkan saat itu?

Selalu. Nah orang-orang yang turut memikirkan itu kelak menjadi tokoh-tokoh
ICMI pada tahun 90-an.
Termasuk Imaduddin?

Di antara itu, ya maaf, ICMI itu basisnya (kebanyakan) HMI. Oleh karena itu
yang sering bicara itu adalah tokoh M. Saefuddin, ia disebut cendekiawan berasal
dari IPB. Ada Amien Rais yang dari UGM. Ada Sikhil Alim juga dari UGM. Ada
Muhbib Ali dikenal sebagai ekonom tapi juga tokoh ICMI. Ada juga dari
Universitas Brawijaya. Ada Ahmadi, dirjen Paramadina. Sekarang sudah pensiun.
Banyak tokoh yang segenarasi dengan Mas Dawam dan bawahnya. Saya berada di
generasi keberapa. Kalau di hadis bukan tingkatan shaḥâbî lagi tapi termasuk
tingkatan keempat. (tertawa)

Ketika LSAF berdiri, maka Mas Dawam memastikan bahwa ini harus orang-orang
Ciputat yang masuk. Makanya ada Hadimulyo dari Pati. Ada Ahmad Rifai Hasan,
orang HMI, Persis, kemudian ada M. Syafii Anwar, bukan orang IAIN tapi dia
dari Panji Mas, orang Kudus. Kemudian saya masuk menggantikan posisi Mas
Pipik. Kemudian ada Ihsan Ali Fauzi, dari Aqidah Filsafat, itu adik kelas.
Kemudian Budi Munawar Rachman. Anak ini cukup unik. Bukan IAIN, bukan
santri, dididik SD, SMP, kemudian sekolah di STF Diyangkara, tapi dia dekat
dengan Cak Nur sehingga ia menulis disertasinya tentang Cak Nur. Karena dekat
Cak Nur, maka dia juga masuk dalam ruang lingkup kita. (menyebut beberapa
nama orang lagi dengan berbagai keahliannya)

Nah kondisi itulah, cukup menghangatkan kajian tentang ulumul qur’an. Jadi
konsep kajian ulumul qur’an yang kita kaji berbeda dengan konsep yang dipelajari
di bangku kuliah. Ulumul qur’an yang ditawarkan Mas Dawam ada tiga:
mengetahui ontologinya, epistemologinya, dan kemudian tekanannya pada
aksiologi.

Tapi Pak Dawam lebih condong ke aksiologi?

Ke aksiologi. Inilah mengapa islamisasi tidak dihadapi dengan jargon, tapi dengan
konsep. Oleh karena itu, konsep-konsep berbasis al-Qur’an yang harus disajikan
waktu itu isu yang berkembang adalah isu kebangkitan islam, ada isu islamisasi.
Kebangkitan islam merebak di masyarakat tapi hanyalah jargon.

Seperti yang di Iran?

Ya macam-macamlah. Itu hanya jargon. Seperti kebangkitan Islam diindikatorkan


dengan memakai kerudung. Itu penting. Tapi kata Mas Dawam lebih penting lagi
adalah ide. Ide yang terintegrasi dengan sains, dengan konsep pembangunan,
pemberdayaan, pemihakan wong kecil. Sejak itu, Pak Muhbib yang dulunya
adalah wong cilik, di dalam Islam menjadi dhu’afâ’. Konsep dhuafa itu ide-idenya
ya sama dengan Pak Mubiarto tentang wong cilik, ekonomi kerakyatan. Tapi
mengapa munculnya konsep dhuafa? Karena dipoles dalam kajian Islam. Yang
dalam Islam ditemukan bahwa konsep ulama itu harus memihak pada dhuafa, ada
mustadh’afîn. Memang pengayaannya berhubungan dengan ulama-ulama Iran.
Tapi bukan berarti kami Syi’ah. Kami menghargai keulamaan yang terintegrasi
dengan sains, dengan Barat, dan juga filsafat. Tokoh seperti Murtadha Muthahhari
menjadi akrab dengan kami, tokoh Ali Syariati menjadi sangat akrab dengan
kami, kalau dalam tafsir Thaba’ Thabai. Oleh karena itu, orang Syi’ah merasa
dekat dengan kami. Padahal kami bukan Syi’ah. Orang seperti Jalaluddin Rahmat,
Haidar Bagir, jadi teman kami. Mereka punya gerakan, penerbitan. Buku-buku
kami banyak diterbitkan bekerja sama dengan Mizan. Kami terbuka sebagaimana
terbukanya al-Qur’an. Begitu.

Apakah metodologi al-Qur’an Pak Dawam merupakan pergumulan dengan


itu?

Ya pergumulan panjang bersama orang-orang tadi. Berhubungan dengan basis


UGM yang sosialis. Bertemu dengan santri Ciputat, Dawam bisa … lewat HMI.
LP3ES, riset ekonomi, pendidikan, politik, yang diriset juga banyak membahas
kalangan santri, dunia ketiga, pedesaan. Yang dulu dinamakan wong cilik
sekarang konsep mustadh’afîn. Kemudian, ketika di AS muncul teologi
pembebasan juga direspon oleh kami. Jadi, kita sedari awal menjadi orang-orang
yang terbuka. (cerita tentang dirinya)

Orang Muhammadiyah, NU, Persis, sudah lama kami tidak menganggap adanya
perbedaan. Kalau ada, tidak dianggap prinsip. … isu … moral, islamisasi sains,
…. Respon tentang perbankan syariah. Prodak bersamaan dengan itu Pak Harto
mengeluarkan kompilasi dasar-dasar hukum Islam.

Mulai merapat?

Pak Harto juga mendirikan ICMI. Sehingga ICMI dianggap sebagai merapatnya
kalangan santri perkotaan … muncul….ijo-ijo royo-royo…saya baru lulus 1986.

Ketika ICMI Bapak menjadi apa?

Saya di ICMI jadi anggota.

Ikut hadir di Malang?

Saya tidak ikut waktu itu. Tapi semua orang berangkat. Saya ada masalah teknis.

Pandangan Pak Dawam dalam penolakan metodologi tafsir? Paradigma beliau


dalam memandang al-Qur’an sebagai al-Fatihah? Apakah pernah dibahas saat
kajian?

Ketidakmampuan Mas Dawam dalam bahasa Arab …menolak syarat menjadi


mufassir. Jika menilik kitab-kitab klasik, seorang mufassir harus memenuhi 12
funûn, 12 cabang ilmu. Di antaranya adalah ilmu … ada nahwu, balaghah,
menguasai bahasa Arab dalam artian menguasai konsep mufradul qur’an,
kemudian asbabun nuzul, kemampuan sejarah al-Qur’an, kemudian istinbath
hukum, sebagian … ijtihad tertutup. Mujathid mutlak itulah kemudian yang
dianggap telah merumuskan benteng-benteng Syafi’iyah. Imam Syafi’I tidak
mengatakan seperti itu tapi diperkuat oleh ulama-ulama lintas generasi … Dawam
jadi tidak ada tempat.

Saya ada cerita. Ini sisi Mas Dawam yang menarik. … itu Kementerian Agama
mengadakan pertemuan antar mufassir. Ini Kementerian Agama, berbeda dengan
silatnas yang diadakan Mas Dawam. Ketika … mereka mengundang PTIQ, …
karena menurut mereka…yang mampu menafsirkan al-Qur’an adalah mereka
yang hâfidz al-Qur’an, yang memahami lagu, …, yang memahami nazhm, dan itu
PTIQ. Nah, PTIQ-lah yang menjadi … dalam tafsir ini. Maka diundanglah
beberapa dosen UIN yang waktu itu belum mempunyai program tafsir. Waktu itu
program tafsir adanya di Fakultas Syari’ah. Pernah dengar program tafsir bukan
di Ushuluddin tapi di Syari’ah?

Iya, Pak

Karena tafsir dianggap sebagai bagian dari penggalian sumber hukum. Sumber
hukum kan al-Qur’an dan sunnah. Nah … tidak ada program tafsir. Yang di
Ushuluddin tidak punya, yang di Syari’ah juga tidak punya. Ada beberapa yang
minat tafsir tapi tidak ada prodinya. Sampai kemudian, Ushuluddin mendirikan
Jurusan Tafsir. Jadi, tidak ada ceritanya Fakultas UIN Jakarta mempunyai
program studi tafsir.

Ketika diundang itu, Mas Dawam tanya pada saya. “Sini. Kenapa saya tidak
diundang, ya?”

Itu sudah ada Jurnal Ulumul Qur’an, Pak?

Sudah. … yang namanya …. Mas Dawam itu nulis dua. Selain redaksi juga
menulis ensiklopedi. Saya menjadi penjaga gawang di rubrik “wacana”…
kajiannya sejarah, budaya, sastra. … tergantung.

“Kementerian Agama kok tidak mengundang saya?” Mas Dawam itu … tidak
dianggap oleh Kementerian Agama. Karena memang tidak memenuhi persyaratan
mufassir. Sekolahnya dari umum UGM. Disiplinnya ekonomi...ilmu sosial. Mas
Dawam itu akan diundang menjadi narasumber jika yang mengadakan acara IAIN
Jakarta atau IAIN Yogya yang basisnya …kajian tafsir yang kajiannya keluar dari
persyaratan-persyaratan yang ketat itu. Sepanjang orang itu… toh
mempertahankan syarat mufassir itu, tidak akan menganggap Dawam Rahardjo.
Tapi kalau mempertimbangkan …tanpa bahasa Arab, tanpa mengenal ‘ulumul
Qur’an , baru akan mempertimbangkan Mas Dawam. Dan itu silatnas ICMI,
silatnas HMI, dan … Jadi ada dualitas… kementerian agama….tapi mayoritas
mengikuti cara pandang NU. NU dalam pengertian ulama-ulama…pesantren
yang mempertahankan kajian…liberal, jangan bayangkan NU sekarang (tertawa).
Itu 70-80an. Kalau masa sekarang ya, jadi ulama kalau NU sekarang. Diterima
banget. Tapi tidak semua yang begitu tentu. …

Saya jawab, “Ya Mas, kita bikin aja sendiri.” Sampai begitu berulang-ulang
sampai kita makan siang. Saat itu kan ada tradisi salat Dzuhur berjamaah
kemudian makan bersama. Saat itu sambil …. Diwajibkan untuk kultum. Semua
yang punya potensi diwajibkan untuk kultum. Kemudian didiskusikan. Termasuk
saya yang junior harus kultum di … mengemukakan pikiran saya.

“Ya sudah, kamu punya bakat…” jurnal…tapi saya nulis di koran harian, Harian
Terbit, … dalam rubrik yang namanya rubrik “Syi’ar”. Dalam rubric itu ada
kolom untuk saya bernama “Kajian Kitab Kuning”….menginspirasi, kita bekerja.

Jadi, bagaimana posisi Mas Dawam dalam kalangan mufassir, marjinlah. …


(tertawa)

Termarjinalkan ya, Ustadz?

Tapi Indonesia … bisa memahami orang seperti Mas Dawam karena terjadi
perluasan… jadi pengkaji tafsir. Jadi seperti itu. Ini kondisi sosial intelektualnya
yang saya gambarkan.

Jadi, di bab awal ini murni tulisan beliau?

Mas Dawam akan meminta kita ketika sudah menyangkut … Nah kebetulan yang
biasanya diminta itu adalah senior saya, Ahmad Rifai Hasan, anak Sastra Arab…
dari pesantren Persis. Saya pesantren NU. Kemudian saya HMI. Kemudian
bergabung dengan Mas Dawam. Saya junior. Sepanjang ada Kang Pipik, dialah
yang menyiapkan bahan… biasanya menulis dua sampai lima halaman kemudian
diketik diberi ke Mas Dawam. Lalu Mas Dawam menulis ensiklopedi. Ketika
lama-lama ketika Kang Pipik…”Mas, sebenarnya saya tidak pas…Saya kan dari
Persis…Asep tuh yang orang NU.” (tertawa) “Coba…”

Gabung LSAF pada tahun 1988 setelah saya lulus.

“Coba kamu tulis bagian ini…” “Iya, Mas.”

Setelah saya lihat, ternyata…lama-lama ketika Mas Pipik studi ke Pakistan, studi
tafsir, jadilah saya di LSAF. Tahun 1992 saya pindah ke Kementerian Agama.
Berada di sana … membagi perhatian ke LSAF dan Ulumul Qur’an. (cerita
tentang karir dan pendidikannya)

Kalau dikatakan bahwa buku Ensiklopedi adalah murni pemikiran Pak


Dawam?
Tidak pas. Pak Dawam di sini lebih pada bentuk. Metodologi Pak Dawam.
Gagasan-gagasan Mas Dawam…. Targetnya ke mana, … biasanya sering
terilhami dari intelektual yang mencerahkan…Iran. …menjadi inpirasi bagi ulil
albab. Ulil albab harus mencerahkan, harus mendidik. Begitu. Bukan hanya
berpikir tapi juga menjelaskan.

Tetapi, Mas Dawam dengan rendah hati mengajak kita berdiskusi. Setiap akan
terbit kita berdiskusi. … “Mas, …” harus memahami bagaimana lughghatan-
isthilâḥan…”

“Aku….”

Biasanya muncul seperti itu … Mas Dawam mendiskusikan… Lama-lama ketika


dia kepepet, “Cari dong, Mas. Itu kan ada….Mu’jam al-Mufahras al-Qur’ân. “
Ada satu lagi kamus al-Qur’an yang berbahasa Arab dari al-Asfahânî. Mas
Dawam suka terbuka. “Pik, kamu coba buat catatan.” Dua halaman…lama-lama
Kang Pipik, “Kamu, tolong bantuin Mas Dawam dong.” … setelah dilimpahkan…

Yang tentang pembahasan ulil albâb, apakah masih ingat? Atau pernah ikut
membantu penulisannya?

Saya banyak…Pokoknya kalau sudah masalah kitab kuning…patokannya gitu


saja. Kalau Mas Dawam tampak mengutip dari … bahasa Arab, baik kitab kuning
atau … yang hadis, bisa dipastikan, …. berasal dari Kang Pipik atau dari saya.

Berarti beliau memakai tafsir bahasa Inggris?

Itu Mas Dawam

Kalau spekulasi?

Ya, itu Mas Dawam. Paling sama kita itu meminta tanggapan dan meminta diedit.
Karena saya posisinya menjadi staf redaksi. Pokoknya semua yang berkaitan
dengan Arab itu Asep atau Kang Pipik. Karena yang latar belakangnya sastra
Arab atau santri saya dengan Pipik. Kang Pipik santri Persis, saya santri NU.

Jadi terjadi pergumulan…

Saya menulis banyak, tiga halaman atau lebih. Terserah Mas Dawam mau dipakai
semua atau sebagian saja. Mas Dawam posisinya sebagai teman, mentor, bos.
(tertawa)

(kemudian membahas dzikr menurut pembicara)

(konsep ulil albab)…..Di situlah Mas Dawam memandang bahwa wujud kongkrit
ulil albâb adalah islamisasi sains.***

Anda mungkin juga menyukai