DALAM AL-QUR’AN:
STUDI ATAS PEMIKIRAN M. DAWAM RAHARDJO
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Faris Maulana Akbar
NIM: 1113034000004
SKRIPSI
Oleh:
Faris Maulana Akbar
I\IM: 1113034000004
Pembimbing
k/ I
Kusmana. Ph.D.
llIP : 19650 424lgg 503lOOl
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yalg berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
25 Mei 2018
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Sidang Munaqasyah
adinata. MA.
008 198903 100s NIP. 19680618 i99903 2001
Penguji I,
Pembimbing,
/
Krrsmana. Ph.D.
NtP. 19650424 199503 t00l
ii'i"
ABSTRAK
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, al-rahmân
(Yang Maha Pengasih), al-rahîm (Yang Maha Penyayang), dan al-hâdî (Yang
Rasulullah Muhammad Saw, selaku al-insân al-kâmil, seorang ulil albâb yang
telah memberikan suri teladan yang baik bagi umatnya. Semoga kita senantiasa
Penyusunan skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan,
arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada
Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
dan Tafsir dan Kak Hani Hilyati, S.Th.I. yang telah membantu dalam
v
5. Bapak Kusmana, Ph.D. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing
6. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir atas segala motivasi,
7. Seluruh guru penulis, terutama mahaguru KH. Moh. Zuhri, BA. dan Prof.
Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, yang telah mengajarkan dan mendidik
penulis banyak hal, sehingga penulis mengenal Islam sebagai agama yang
8. Keluarga penulis, Bapak Hasyim Asyari dan Mamak Dawiyah, serta Mas
Nya;
vi
10. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2013 UIN Syarif Hidayatullah
Irfan, Salman, Rino, Dewi, dan Nurul yang dengan sukarela membagi
12. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang
Skripsi ini adalah salah satu upaya penulis untuk lebih memahami ayat-
ampunan kepada Allah Swt atas kesalahan-kesalahan yang ada serta berharap
akan taufiq dan hidâyah-Nya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bisa
Wassalamualaikum Wr.Wb.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin
1. Konsonan
ب B Be
ت T Te
ث Ts te dan es
ج J Je
خ Kh ka dan ha
د D De
ر R Er
ز Z zet
س S es
ش Sy es dan ye
viii
غ Gh ge dan ha
ف F ef
ق Q ki
ك K ka
ل L el
م M em
ن N en
و W we
ه H ha
ء ` apostrof
ي Y ye
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
ix
3. Vokal panjang
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
5. Tasydīd
Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-
6. Ta marbūṯah
Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti = أبو ه َُري َْرةAbū Hurairah.
7. Huruf Kapital
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
x
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...............................................................1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................10
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...........................................12
D. Tujuan Penelitian ..........................................................................13
E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian .................................................13
F. Tinjauan Pustaka ...........................................................................14
G. Metodologi Penelitian ....................................................................18
H. Sistematika Penulisan ....................................................................22
xi
BAB III. DZIKR DAN ULIL ALBÂB: PENGERTIAN DAN TAFSIR
A. Konsep Dzikr dalam al-Qur’an .....................................................52
1. Pengertian Dzikr ........................................................................52
2. Term Dzikr ...............................................................................55
B. Konsep Ulil Albâb ........................................................................61
1. Pengertian Ulil Albâb ................................................................61
2. Karakteristik Ulil Albâb dalam al-Qur’an .................................65
C. Tafsir Dzikr pada Ayat-ayat Ulil Albâb .........................................68
1. Dzikr dan Ulil Albâb dalam al-Qur’an ......................................68
2. Tafsir Lafadz Dzikr pada Ayat-ayat Ulil Albâb ........................70
a. Yadzkurûna..........................................................................70
b. Yatadzakkaru dan Yadzdzakkaru ........................................76
c. Dzikr ....................................................................................86
d. Dzikrâ ..................................................................................87
3. Skema Dzikr Ulil Albâb ............................................................91
LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ulil Albâb merupakan gabungan dua kata dari ulû (punya)1 dan albâb (akal).2
Gabungan dua kata ini seringkali diartikan “yang memiliki akal”. Albâb adalah
bentuk jamak dari lubb ( ) لبyang bisa bermakna “saripati sesuatu”, “akal”, dan
“racun”.3 Pada dasarnya, gabungan huruf lâm dan ba’ ( ) لبmempunyai makna asal
4
kelanggengan dan ketetapan serta kemurnian dan kebaikan. Namun, dalam
pemaknaan ulil albâb, makna lubb pertama yang digunakan. Sebagai contoh lubb,
memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang inilah yang dinamai lubb. 5
Pemaknaan lubb sebagai saripati sesuatu mengindikasikan ulil albâb adalah orang-
Lubb juga bisa berarti otak, pikiran, intelek. 6 Ulil albâb berarti seorang yang
memiliki pemikiran yang lebih dari orang lain, baik karena kecerdasan maupun
intensitasnya. Maka dari itu, ulil albâb adalah seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-
1
Majma’ al-Lughghah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, cet. 5 (Jeddah: Maktabah Kunûz al-
Ma’rifah, 2011), h. 23.
2
al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, h. 842.
3
Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ al-Râzî (w. 395 H), Maqâyîs fî al-Lughghah,
cet. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h.934
4
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), v. 1, h. 369.
6
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
7
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, cet. 4 (Bandung:
Penerbit Mizan, 1999), h. 76.
1
2
sebagai nama seseorang. Sebagaimana halnya kata ulil absâr dan ulin nuhâ, ulil
albâb adalah nama yang populer dipakai oleh sebagian umat muslim. Selain
penggunaannya sebagai nama, penulis tidak merasakan ada suatu keistimewaan atau
masalah dengan kata tersebut. Terkecuali, hanya bila ulil albâb tersebut dikaitkan
Pada saat duduk di kelas akhir madrasah tsanawiyah, adalah Pak Hakim,
seorang ustadz di pesantren, yang mengenalkan pertama kali ulil albâb sebagai sosok
manusia istimewa. Saat itu, Pak Hakim sering menyebut-nyebut istilah tersebut dan
tak lupa membacakan akhir surat Âli ‘Imrân ayat 190-191. Kepada kami, ia
senantiasa mengajak agar menjadi “ulil albab” sebagaimana tertera dalam ayat, yakni
seorang yang selalu berdzikir kepada Rabb Yang Maha Kuasa seraya bertafakur
jenjang ini, untuk kedua kalinya penulis dikenalkan pada sosok ulil albâb. Adalah
Pak Muchtar yang tak bosan mengingatkan kami untuk mentadabburi alam,
mengambil pelajaran dari segala ciptaan Tuhan dan tak lupa berdzikir pada-Nya agar
senantiasa bertakwa. Ayat yang dijadikan pijakan olehnya sama seperti yang
dibacakan oleh Pak Hakim, yakni Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191.
ulil albâb. Apakah ia seorang kiai, ustadz, guru, professor, atau bahkan seorang yang
hebat dengan akal sempurna yang dengan segenap ilmu yang dimilikinya menjadi
sakti mandraguna? Atau ia bisa jadi seorang manusia biasa yang senantiasa berdzikir
3
pada Tuhan dan memikirkan segenap ciptaan-Nya? Apakah ulil albâb benar-benar
Sayangnya, meski saat Aliyah telah mendapat mata pelajaran tafsir, penulis
tidak memiliki hasrat untuk mengenal lebih jauh sosok ulil albâb yang sering
dikaitkan dengan Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191 itu. Hanya saja, dalam benak penulis
telah tergambar ulil albâb sebagai sosok yang paripurna karena dapat menyatukan
menjelaskan bahwa ulil albâb pernah menjadi sebuah wacana yang populer di era
1990-an. Pada masa ini, ulil albâb dikenal sebagai cendekiawan muslim. Ayat 190-
191 surat Âli ‘Imrân lagi-lagi menjadi semacam “dalil” khusus yang menggambarkan
sosok cendekiawan ini. Apalagi setelah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-
tersebut selalu dibacakan pada setiap kegiatan ICMI. Berlandaskan ayat-ayat itulah
ulil albâb (cendekiawan muslim) kemudian dipahami sebagai sosok yang dalam
dirinya terintegrasi tiga daya, yakni: dzikir, pikir, dan amal. Selain itu, pada masanya,
harapan umat muslim bangsa Indonesia untuk beranjak dari keterpurukan. Untuk
mengetahui lebih banyak tentang ulil albâb/cendekiawan muslim ini, dosen penulis
8
ICMI didirikan di Malang, pada hari Jumat tanggal 07 Desember 1990. Organisasi ini
berpusat dan berkedudukan hukum di ibu kota Negara Republik Indonesia. Organisasi ini bertujuan
meningkatkan mutu kecendekiawanan dan peran serta cendekiawan muslim se-Indonesia dalam
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undah-Undang Dasar 1945
guna mewujudkan tata kehidupan manusia yang damai, adil sejahtera lahir batin, yang diridhai Allah
Swt. Lihat Anggaran Dasar ICMI dalam kumpulan tulisan: Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan
Umat, cet. 1 (Jakarta: YPI Ruhama, 1991), h. 269.
4
Ensiklopedi al-Qur’an.
hanya sekadar menulis “seadanya” tentang ulil albâb. Dia bahkan menjadikan ulil
albâb sebagai salah satu tema pokok bahasan tersendiri dalam satu bab yang cukup
panjang. Pada permulaan bab berjudul Ûlû al-Albâb itu, Dawam menerangkan bahwa
mencari pengertian tentang apa itu “cendekiawan” dan “cendekiawan muslim” dalam
9
al-Qur’an. Sayangnya mereka kesulitan menemukan istilah yang tepat. Ada
‘âlim/’ulamâ’. Istilah ini dianggap kurang tepat karena anggapan umum saat itu
ulama adalah orang yang ahli agama saja. Baru setelah tulisan Ismail Ya’kub muncul,
“cendekiawan muslim”.10
ulil albâb sebenarnya sudah sering disebut jauh hari sebelum kelahiran ICMI di
penghujung tahun 1990 dalam kalangan terbatas. Beberapa tokoh kondang acap kali
9
Di sini dapat kita lihat bagaimana al-Qur’an menjadi rujukan utama bagi umat muslim. Perlu
diketahui bersama, mungkin ini merupakan kejadian yang biasa terjadi, yakni mencari “dalil” atas
sesuatu pada al-Qur’an karena ia berfungsi sebagai al-hudâ (pemberi petunjuk). Lihat: Mannâ’ Khalîl
al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, cet. 10 (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 18.
Namun, terkait pencarian padanan kata “cedekiawan muslim” oleh ICMI ini, mungkin termasuk
fenomena “islamisasi” yang marak terjadi di era tersebut. Islamisasi ini menjadi tren pada tahun 1990-
an. Hal ini ditandai dengan kecenderungan untuk mengislamisasikan segala bidang seperti: media
Islam, musik Islam, yang hanya dikonsumsi oleh umat Islam, bahkan hanya segolongan kecil saja.
Akibatnya, terjadi alienasi yang menyebabkan terhambatnya kreativitas. Lihat: Diro Aritonang,
“Institusi Membuat Cendekiawan Muslim Steril?”, sebuah artikel yang dimuat Pikiran Rakyat
(21/12/1990) dalam kumpulan tulisan: Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 150
10
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 551-552.
5
mengutip istilah tersebut. Mereka adalah Dr. Ir. Muhammad Imaduddin Abdurrahim,
K.H. Ali Yafie, Dr. Ir. M. Amin Aziz, Prof. Dr. Quraish Shihab dan M. Chabib
Chirzin. Bahkan, sebuah pesantren di Bogor yang dipimpin oleh Dr. Ir. A. M.
albâb merupakan upaya penyatuan antara ulama dan pemikir, atau agama dan sains,
atau dalam konteks ayat 190-191 surat Âli ‘Imrân disebut sebagai perpaduan antara
“dzikir” dan “pikir”. Oleh karenanya, ulil albâb dibayangkan sebagai sosok yang ahli
dzikir yang berpikir atau ahli pikir yang berdzikir. Dari uraian tersebut juga dapat
“ulama” yang sebenarnya berarti “ahli ilmu” (diambil dari bentuk mufradnya: ‘âlim)
sebagai hanya “ahli agama” saja. Jadi tidak mengherankan apabila kehadiran
cendekiawan muslim alias ulil albâb diharapkan membawa angin segar dalam
keberagamaan di Indonesia.
11
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 552.
12
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 552-553.
6
tersebut berasal dari kata “cendekia” yang antara lain berarti “cepat mengerti situasi
dan pandai mencari jalan keluar”. 13 Berlandaskan pengertian ini, menurut M. Quraish
Shihab, sifat dan peranan cendekiawan dapat ditemukan dari sejumlah ayat yang
menggunakan kata “ilmu’ atau “ulama” dan ulil albâb. 14 Hal ini menunjukkan bahwa
cendekiawan selalu identik dengan keilmuan, daya pikir, dan hal-hal yang berkaitan
Kata “ilmu” dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali15 dalam al-
ilmu untuk kemanusiaan tanpa pandang bulu agama, ras, atau bangsa).
Sementara itu, kata “ulama” disebut sebanyak dua kali saja. Pertama, ulama
disebut dalam konteks ajakan memerhatikan fenomena alam (Q.S. 35: 28). Kedua,
ulama dikemukakan dalam konteks uraian tentang kebenaran Kitab Suci (Q.S. 26:
197). Berdasarkan dua ayat tersebut, Quraish memandang bahwa cendekiawan adalah
“orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Tuhan yang tertulis dalam Kitab
13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. 1
(Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 258
14
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. 2 (Bandung:
Mizan Media Utama, 2008), h. 295.
15
Dalam penjelasannya Quraish mengungkapkan bahwa jumlah ini termasuk kata-kata lain
yang semakna dengan kata “ilmu”. Lihat: Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 295.
16
Mereka seharusnya bersedia memberi dan menerima dari dan untuk siapa pun tanpa
mempertimbangkan usia atau lokasi. Hal ini menunjukkan sikap keobjektifan mereka sebagai
ilmuwan. Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 295.
7
Suci dan atau yang terhampar di alam raya”. 17 Berdasarkan pemahaman ini, dapat
diakui bahwa “cendekiawan” yang disaripatikan dari kata “ulama” dalam al-Qur’an
adalah “ulama” dan atau “ilmuwan” yang dikenal umum dewasa ini.18
Terakhir, istilah ulil albâb disebut sebanyak 16 kali dalam al-Qur’an. Merujuk
pada surat Âli ‘Imrân ayat 190-195, ditemukan bahwa cendekiawan adalah mereka
yang memiliki tiga ciri utama, yaitu berdzikir, memikirkan atau mengamati fenomena
alam, dan berkreasi. 19 Dari sini, kita dapat melihat yang membedakan antara
Berdasarkan tiga sebutan (ilmu, ulama, dan ulil albâb) dalam al-Qur’an
sebagaimana di atas, Quraish menyimpulkan bahwa ada dua tuntutan besar yang
dimiliki oleh para cendekiawan. Tuntutan pertama adalah mempelajari Kitab Suci
yang memiliki beragam kebutuhan dan permasalahan. Kedua, selain memahami ayat
dalam Kitab Suci, cendekiawan juga harus mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya
baik mikro (diri sendiri atau perkelompok) ataupun yang makro (fenomena alam)
lantas berkreasi. Mereka harus senantiasa peka terhadap realita-realita alam dan sosial
17
Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 295.
18
Yang dimaksud penulis di sini adalah “ulama” sebagai orang yang tahu dan ahli dalam ayat-
ayat Tuhan dalam Kitab Suci (agama) dan “ilmuwan” sebagai orang yang tahu dan ahli dalam ayat-
ayat Tuhan yang terhampar di alam raya (sains). Tak jarang dua sosok cendekiawan ini “dibenturkan”
sehingga terjadi pendikotomian yang menyebabkan anggapan bahwa “ulama” hanyalah sebutan bagi
yang paham agama saja, bukan sains. Sejauh pengamatan penulis, pendikotomian tersebut juga
menyebabkan anggapan bahwa “ulama” itu kolot, sedangkan “ilmuwan” itu modern atau ulama tidak
pantas berbicara mengenai sains begitu pula ilmuwan tidak berhak mencampuri urusan keagamaan.
Hal ini lebih terasa seperti sekularisasi antara ilmu dan agama. Lihat: Ahmad M. Saefuddin,
Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi cet.3 (Bandung: Mizan, 1991), h. 7.
19
Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 296.
8
dan siap melaksanakan peran mereka dalam merumuskan atau mengarahkan tujuan-
enam belas kali.21 Jumlah ini lebih banyak dibanding penyebutan istilah lain yang
hampir serupa semisal ulil absâr, ulin nuhâ, atau ulil ‘ilm. Padahal, bila dilihat dari
segi maknanya, sebutan ulil albâb, ulil absâr, dan ulil ‘ilm itu hampir sama, yaitu ulil
albâb (orang berpikir), ulil ‘ilm (orang berilmu), ulil absâr (orang yang mempunyai
pandangan), ulun nuhâ (orang bijaksana).22 Di antara sebutan-sebutan ini, ulil albâb
adalah sebutan yang paling sering muncul dan merupakan sosok yang paling komplit
dibanding yang lain. Bahkan bisa dikatakan bahwa ulil albâb adalah gabungan dari
sosok “ulil-ulil” yang lain.23 Fakta ini sudah cukup menjadi alasan untuk mengetahui
lebih jauh siapa sebenarnya sosok cendekiawan muslim yang dulu pernah dielu-
elukan tersebut.
Masih terkait sifat/kriteria ulil albâb, salah satu yang membedakannya dengan
yang lain adalah sifat dzikr. Dari 16 penyebutannya dalam 10 surat yang berbeda,
beberapa ayat menyatakan bahwa hanya ulil albâb-lah yang bisa berdzikir. 24
20
Shihab, Lentera al-Qur’an, h. 296. Bila berpijak pada penafsiran ini, adalah hal yang lumrah
bila kemunculan cendekiawan muslim sangat didambakan oleh umat muslim. Tentu tidak hanya
muncul saja, umat berharap agar para cendekiawan muslim tersebut melakukan hal-hal konkret dalam
upaya islâh alias perbaikan kesejahteraan umat. Dalam konteks keindonesiaan menjelang akhir abad
20, islâh tersebut dapat berupa pengentasan kemiskinan dan kejumudan rakyat yang mayoritas muslim.
21
Sahabuddin, ed., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), v.
1, h. 191.
22
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. 2 (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986), h. 45.
23
Penulis memperoleh fakta bahwa (a) penyebutan ulil absâr selalu bersanding dengan lafadz
al-‘ibrah, (b) penyebutan ulin nuhâ selalu bersanding dengan lafadz al-âyât, (c) penyebutan ulil albâb
mencakup al-‘ibrah, al-âyât, dan al-dzikr. Fakta lainnya adalah ayat-ayat ulil albâb hampir selalu
berkaitan dengan ketakwaan.
24
Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, v. 1, h. 191.
9
Berdasarkan keseluruhan ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa ulil albâb
adalah seorang yang mampu mengambil pelajaran terhadap fenomena yang ada di
muncul ketika lafadz “ulil albâb” disebut dalam ayat.26 Kedua lafadz tersebut berasal
dari akar kata yang sama dengan dzikr, yakni dzakara. Hanya saja, lafadz
yatadzakkaru atau yadzdzakkaru merupakan hasil dari penambahan huruf atas tiga
huruf asalnya.27 Jangan lupa pula lafadz dzikr (yadzkurûna) juga terdapat pada Q.S.
Âli ‘Imrân (3): 191 yang telah menjadi “dalil” cendekiawan muslim.
ulil albâb merupakan bentuk lain dari pikir. Ia memaparkan, “…bahwa dzikr
mencakup pikir atau pikir itu terkandung dalam pengertian dzikr, sebab dalam dzikr
terkandung unsur pikir”. Sebaliknya, dalam berpikir terkandung dzikr.28 Dalam tahap
ini, keduanya merupakan satu kesatuan yang saling mengisi. Oleh karenanya, ulil
albâb adalah mereka yang mampu melakukan keduanya secara bersamaan. Jadi,
ketika mereka berdzikir, mereka turut berpikir atau mereka berpikir sambil berdzikir.
25
Sri Susanti, “Kajian Kritis terhadap Konsepsi ‘Ulil Albab’ dalam al-Qur’an”, Dimensi
Pendidikan dan Pembelajaran, h. 11. Susanti tampaknya sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh
Dawam Rahardjo. Lihat: Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 557.
26
Yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 269, Q.S. Âlî ‘Imrân (3): 7, Q.S. al-Ra’d (13): 19, Q.S. Ibrâhîm
(14): 52, Q.S. Sâd (38): 29, Q.S. Sâd (38): 43, Q.S. al-Zumar (39): 9.
27
Di dalam ilmu sarraf, dzakara teridentifikasi sebagai fi’il tsulâtsî mujarrad sedangkan
tadzakkara (dengan penambahan tâ’ dan dzâl yang ditasydidkan) teridentifikasi sebagai tsulâtsî mazîd
khumâsî.
28
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
10
Spekulasi yang dipaparkan Dawam adalah hal yang sangat menarik mengingat
selama ini kegiatan dzikr dan pikir dianggap sebagai dua hal yang berlainan.
bahwa ulil albâb dipuji tanpa menjelaskan cara mereka berdzikir kecuali yang disebut
dalam surat Âlî ‘Imrân ayat 191. 29 Sementara itu, setelah penulis mengumpulkan
ayat-ayat yang menyebut kata ulil albâb, mayoritas kata itu disertai dengan kata “al-
Lantas, seperti apakah dimensi makna dzikr yang yang melekat pada ulil albâb?
lafadz dzikr dalam ayat-ayat ulil albâb. Apakah benar ketika berdzikir mereka turut
Dimensi Makna Dzikr Ulil Albâb dalam al-Qur’an: Studi atas Pemikiran M. Dawam
Rahardjo.
B. Identifikasi Masalah
1. Secara bahasa, makna ulil albâb lebih mengarah pada ahli pikir dan bukan
ahli dzikir;
kalangan terbatas saja. Istilah ini baru dikenal khalayak umum setelah
29
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, cet. 3 (Ciputat: Lentera Hati,
2008), h. 255.
11
muslim;
kesan seakan-akan keberadaannya hanya mitos belaka. Hal ini timbul dari
4. Di antara sekian banyak ayat, hanya Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191 yang
populer dan sering mewakili sosok ulil albâb. Hal ini menunjukkan bahwa
ayat-ayat lain yang masih berkenaan dengan ulil albâb jarang disebut
5. Keselarasan makna ulil albâb dengan istilah lain belum dapat dipastikan.
istilah- apakah setiap cendekiawan muslim adalah ulil albâb atau sebaliknya;
6. Di antara sekian banyak sifat yang dimilikinya, yang membedakan antara ulil
beberapa ayat ulil albâb disebut pula lafadz dzikr dan derivasinya;
albâb adalah bahwa dzikr merupakan tingkat lebih tinggi dari pikir karena
12
Dari sekian banyak masalah yang ada, penulis menyadari dan mengakui tidak
penelitian ini pada masalah “dimensi makna dzikr ulil albâb dalam al-Qur’an”.
Penelitian ini akan menanggapi spekulasi M. Dawam Rahardjo bahwa dzikr yang
dilakukan oleh ulil albâb adalah termasuk pikir. Alasan terpilihnya Dawam sebagai
tokoh objek penelitian adalah selain karena spekulasinya, ia dikenal sebagai seorang
ekonom yang juga menggeluti kajian al-Qur’an. Selain itu, ia merupakan satu-satunya
risalah cendekiawan muslim. Ia juga turut berperan aktif mewacanakan fungsi ulil
albâb serta perannya bagi masyarakat di Indonesia era 1990-an dalam menghadapi
munculnya salah pengertian, maka perlu bagi penulis untuk membatasi beberapa hal
berikut:
2. kata “dzikr” adalah semua derivasi lafadz dzikr (dzal-kaf-ra’) pada ayat-ayat
3. sebutan “ulil albâb” adalah semua ungkapan ulil albâb dalam al-Qur’an;
masyarakat;
5. Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang beribukota Jakarta;
6. kata “modern” pada umumnya mengacu pada sebuah masa yang dimulai sejak
menunjuk pada masa pasca kemerdekaan Indonesia terutama pada era 90-an.
D. Tujuan Penelitian
dalam bidang tafsir tentang makna dzikir dan ulil albâb. Penelitian ini juga dilakukan
makna dzikr pada ayat-ayat ulil albâb dan mengaktualisasikannya melalui ICMI
kajian dzikir khususnya dzikir ulil albâb. Secara praktis, penelitian ini bisa menjadi
pesan bagi para pemikir pada umumnya untuk meneladani ulil albâb yang
30
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, cet. 2 (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 2.
14
memadukan aktifitas pikir dengan dzikirnya dan bagi para pengamal dzikir untuk
F. Tinjauan Pustaka
Pembahasan yang penulis angkat mengenai dzikr dan ulil albâb atau
pemikiran M. Dawam Rahardjo sejatinya telah dibahas oleh sekian banyak peneliti.
Ada yang berupa kajian tafsir, seperti kitab-kitab tafsir; ada yang berbentuk bagian
dari buku; dan ada pula yang berupa karya ilmiah semisal artikel jurnal dan skripsi.
Di bawah ini adalah beberapa pengkaji berikut karyanya yang penulis jadikan
tinjauan pustaka.
1. Sri Susanti 31 dalam artikel jurnal Kajian Kritis terhadap Konsepsi ‘Ulil
yang berkaitan dengan ulil albâb; mulai dari ciri-cirinya dalam al-Qur’an,
albâb serta peran dan tugasnya. Sayangnya, Sri tidak mencantumkan referensi
data dari ulama klasik sehingga pembaca tidak dapat mengetahui persamaan
kontemporer. Sri Susanti juga tidak mennyinggung arti dan maksud dzikr atau
31
Civitas Akademika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fkip Unmuh Ponorogo.
32
Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran. Diterbitkan oleh Fkip Universitas
Muhammadiyah Ponorogo, Juni 2013.
15
Era Sekarang. 34 Penelitian ini kurang lebih sama dengan penelitian Sri
Susanti. Namun, Herawati tidak hanya mengkaji konsep ulil albâb saja. Ia
lebih spesifik terdapat seperti pada tulisan Izzah Faizahst Rusydati Khaerani
35
dalam artikel jurnal Pemimpin Berkarakter Ulul Albab yang fokus
Agama Islam di Perguruan Tinggi36 dan Nor Adzimah Subirin, Nor Hayati
Alwi, Fathiyah Mohd Fakhruddin, Umi Kalthom Abdul Manaf dan Siti Suria
33
Penyuluh Agama Ahli Muda Magelang
34
Azizah Herawati, “Kontekstualisasi Konsep Ulul Albab di Era Sekarang”, Fikrah: Jurnal
Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, v. 3, no. 1 (Juni: 2015), h. 123-140.
35
Izzah Faizahst Rusydati Khaerani, “Pemimpin Berkarakter Ulul Albab”, Jurnal
Kepemimpinan Pendidikan Islam Multikultural, v. 1, no. 1, (Juni: 2014), h. 113-121.
36
Waway Qodratulloh, “Konsep Ulul Albâb dalam al-Qur’an dan Implikasinya dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi”, Stigma, v. 1, no. 1, (Maret: 2016), h. 17-
24.
37
Civitas Akademika Faculty of Educational Studies, Universiti Putra Malaysia.
38
Nor Adzimah Subirin, dkk., “Ulul Albab Generation: Roles of Ulul Albab Teachers in
Malaysian Selected School”, International Journal of Academic Research in Business and Social
Sciences, vol.7, (2017), h. 1022.
16
3. Elmi Bin Baharuddin 39 dan Zainab Binti Ismail 40 dalam penelitian berjudul
yang ada pada kepribadian ulil albâb, yaitu: muslim, mu’min, muhsin,
tentang kedudukan akal dan keutamaan ilmu dalam agama Islam. Ia mengupas
tema-tema menarik seperti pembahasan akal dan olah pikir dalam al-Qur’an,
39
Dosen senior di Kolej Universiti Poly-Tech MARA, Kuala Lumpur, Malaysia.
40
Profesor Islamic Studies di Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Malaysia.
41
Elmi Bin Baharuddin dan Zainab Binti Ismail, “Spiritual Intelligence Forming Ulul Albab’s
Personality”, Global Journal of Business and Social Science Review, v. 4(1), (Oktober-Desember
2015), h. 390.
42
Civitas Akademika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Malang.
43
Abdul Halim Fathani, “Paradigma Pembelajaran dalam Perspektif Tarbiyah Ulul Albab dan
Multiple Intelligences”, artikel diakses pada 09 Mei 2018 dari:
https://www.researchgate.net/publication/311873299_PARADIGMA_PEMBELAJARAN_DALAM_
PERSPEKTIF_TARBIYAH_ULUL_ALBAB_DAN_MULTIPLE_INTELLIGENCES
44
Yusuf Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim & Sochimien, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)
17
pembentukan akal ilmiah dalam al-Qur’an, serta mukjizat ilmiah dalam al-
Qur’an. Di antara sekian banyak materi yang ditulis tersebut, Yusuf Qardawi
membahas ulil albâb dan cendekiawan muslim sebagai ikon ahli pikir dan
Beberapa penelitian lain yang masih satu tema dengan kajian yang diangkat
oleh penulis pernah dilakukan oleh Miftahul Jannah dengan skripsi berjudul
Penafsiran Ulul Albâb dalam Tafsir Al-Misbah 45 yang secara khusus mengkaji
konsep ulil albâb dalam pandangan M. Quraish Shihab; Miftahul Ulum dengan
skripsi berjudul Konsep Ulil Albab Q.S Ali-Imran Ayat 190-195 dan Relevansinya
dengan Tujuan Pendidikan Islam yang memfokuskan kajian ulil albâb pada dimensi
pendidikan46 dan penelitian serupa yang dilakukan oleh Herman Wicaksono dengan
tesis berjudul Kontekstualisasi Makna Ulul Albâb dalam Pendidikan Islam (Studi
atas Tafsir Fî Zilâli al-Qur’ân)47; Adnan dengan tesis berjudul Penafsiran al-Qur’an
Rahardjo.48
45
Miftahul Jannah, “Penafsiran Ulul Albâb dalam Tafsir Al-Misbah”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga)
46
Miftahul Ulum, “Konsep Ulil Albab Q.S Ali-Imran ayat 190-195 dan Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam”, (Skripsi S1Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2011).
47
Herman Wicaksono, “Kontekstualisasi Makna Ulul Albâb dalam Pendidikan Islam (Studi
atas Tafsir Fî Zilâli al-Qur’ân)”, (Tesis S2 Program Studi Pendidikan Agama Islam, Pascasarjana
IAIN Purwokerto, 2017).
48
Adnan, “Penafsiran al-Qur’an M. Dawam Rahardjo (Studi Terhadap Buku Ensiklopedi Al-
Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci)”, (Tesis S2 Program Studi Agama dan
Filsafat, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).
18
khusus mengenai dzikir yang dilakukan oleh ulil albâb terutama dalam pandangan M.
Dawam Rahardjo. Oleh karena itu, meskipun banyak penelitian yang membahas tema
yang sama, penelitian yang penulis lakukan merupakan sebuah kajian baru yang
belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Pada penelitian ini, penulis
ingin menguraikan makna dzikir yang lafadznya selalu bersamaan dengan penyebutan
Rahardjo atas makna dzikir tersebut. Di sisi lain, penulis tetap menggunakan hasil
G. Metodologi Penelitian
Dawam Rahardjo mengenai ulil albâb. Oleh karenanya, untuk menjawab rumusan
lengkap agar penelitiannya benar-benar berkualitas. Data tersebut terdiri dari data
49
Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, cet. 35 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h. 6.
50
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menggunakan referensi kepustakaan (buku)
sebagai sumber datanya. Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta, Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 40.
19
primer dan data sekunder.51 Oleh karenanya, berikut penulis paparkan sumber data,
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah bab “Ulû al-Albâb” dalam buku Ensiklopedi Al-
dan ulil albâb baik dari kitab-kitab tafsir seperti Tafsir al-Tabarî, Tafsir al-Râzî, dll.;
buku seperti Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan; jurnal ilmiah
seperti tulisan Sri Susanti dan terutama tulisan-tulisan lain M. Dawam Rahardjo baik
dalam Ensiklopedi al-Qur’an ataupun buku lain seperti Intelektual, Intelegensia, dan
mendapatkan data yang sesuai dengan pembahasan. Penggunaan metode tematik ini
51
Menurut Suharismi Arikunto, data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata
yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat
dipercaya (subjek penelitian/informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. Sedangkan data
sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen grafis (tabel, catatan notulen rapat, SMS,
dll.), foto-foto, film, rekaman video, benda-benda dan lain-lain yang dapat memperkaya data primer.
Mengutip Moleong, sumber data kualitatif adalah tampilan berupa kata-kata lisan atau tertulis yang
dicermati oleh peneliti, dan benda-benda yang dicermati sampai detailnya agar dapat ditangkap makna
yang tersirat dalam dokumen dan bendanya. Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik, cet. 15 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013), h. 22.
52
Dalam ilmu tafsir, metode tematik adalah suatu metode yang mengerahkan pandangan
kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan
menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat,
lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus, yang
mutlaq digandengkan dengan yang muqayyad, dll., sambil memperkaya uraian dengan hadis-hadis
yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas
menyangkut tema yang dibahas itu. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, cet. 3 (Ciputat: Lentera Hati,
20
dengan dzikr dan ulil albâb. Adapun langkah-langkah yang penulis tempuh: pertama,
penulis menggali sumber data berupa ayat-ayat yang menyebut ulil albâb sekaligus
juga derivasi lafadz dzikr. Dalam hal ini, penulis menggunakan kamus entri ayat al-
Qur’an semisal Fath al-Rahmân dan Mu’jam al-Mufahras. Kedua, penulis mencari
penafsiran ulama dari dua periode (klasik dan modern/kontemporer) terkait ayat-ayat
tersebut. Dua periode ini dipilih agar menghasilkan pemahaman yang komprehensif.
Adapun kitab tafsir dari periode klasik diwakili oleh Tafsîr al-Tabarî53, Tafsir al-
Râzî54, dan Tafsîr Ibn Katsîr55; sedangkan dari periode modern diwakili Tafsir al-
2015), h. 385. Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan metode ini untuk pengumpulan data
saja.
53
Penyusun tafsir ini adalah Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib
al-Tabarî (l. 223 H-w. 310 H). Kitab tafsir yang berjudul Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân ditulis di
akhir abad ketiga Hijriah. Kitab tafsir ini sangat masyhur dan dianggap sebagai induk dari kitab-kitab
tafsir lainnya. Tafsir ini juga dianggap sebagai tafsîr bi al-ma’tsûr yang terbesar. Sebagai tafsîr bi al-
ma’tsûr, dalam kitab ini terdapat beberapa riwayat yang berkaitan dengan ayat yang dibahas serta
sabab al-nuzûl-nya. Kitab ini juga diperkuat dengan riwayat-riwayat baik dari Rasulullah Saw,
sahabat, maupun tabi’in. Oleh karena itu, penulis memilih kitab tafsir ini sebagai rujukan untuk
menggali data berupa riwayat yang memuat penjelasan ayat-ayat ulil albâb. A. Husnul Hakim IMZI,
Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa
Kontemporer) (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an (eLSiQ), 2013), h. 5-9.
54
Disusun oleh Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin ‘Âlî al-Qurasyî al-Tamimî al-Bakrî al-
Tibristanî yang kemudian dikenal sebagai Fakhr al-Dîn al-Râzî (l. 543 H-w. 606 H). Ia dikenal sebagai
“ulama ensiklopedis” karena kedalaman ilmunya. Maka tak heran jika dalam tafsirnya yang berjudul
Mafâtîh al-Ghaib menjadi kitab yang paling banyak dirujuk oleh para ulama tafsir dari segi
rasionalitasnya. Di dalamnya termaktub berbagai disiplin ilmu. Alasan inilah yang membuat penulis
memilih karya al-Râzî dengan asumsi bahwa menapak tilas pemahaman ayat-ayat ulil albâb dari tokoh
yang diakui rasionalitasnya. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 89-91.
55
Nama aslinya adalah Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm. Kitab ini ditulis oleh ‘Imâd al-Dîn Abû al-
Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Quraisyî al-Busrawî al-Dimasyqî (l. 701 H-74 H). Menurut al-
Dzahabî, kitab tafsir tersebut dianggap sebagai kitab tafsir bi al-ma’tsûr kedua setelah al-Tabarî.
Penulis memilih kitab ini sebagai salah satu sumber data berdasarkan penjelasannya yang
komprehensif dan penjelasan mengenai sahih tidaknya suatu riwayat. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab
Tafsir, h. 117-120.
56
Nama lengka penyusunnya adalah Muhammad al-Tâhir bin ‘Asyûr (l. 1878 M- w. 1931 M).
Ia dikenal sebagai mufassir berspesialisasi dalam bidang ilmu kebahasaan. Ia juga dikenal sebagai da’i
yang cukup dikenal dalam persoalan sosial keagamaan dan penulis yang produktif. Kitab tafsirnya
21
penulis menelusuri tulisan-tulisan Dawam Rahardjo yang berkaitan dengan dzikr dan
ulil albâb. Selain itu, pemikiran sarjana seputar tema yang dikaji juga digunakan
yang terkumpul sebagaimana adanya: menguraikan makna ayat-ayat ulil albâb dan
Rahardjo dengan masa penulisannya berdasarkan situasi dan kondisi saat itu.
yang diberi nama al-Tahrîr wa al-Tanwîr ini merupakan salah satu kitab ternama pada abad 20 M.
Keunggulan tafsirnya adalah dalam mengungkap makna-makna tersirat yang tidak terpikirkan oleh
mufassir lain. Dalam mukaddimah kitabnya, Ibnu ‘Asyûr membolehkan penggunaan teori-teori ilmiah
untuk memahami ayat, terutama yang berkaitan dengan iptek dan alam. Inilah kiranya alasan penulis
memilihnya sebagai salah satu rujukan tafsir dalam penelitian ini untuk mengungkap bagaimana cara
pandang ulama abad ke 20 M memahami ulil albâb. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 1999-
202.
57
Disusun oleh Ahmad Mustafâ bin ‘Abd al-Mun’îm al-Marâghî (l. 1300 H-w. 1371 H). Kitab
tafsirnya dinamai Tafsîr al-Marâghî. Bisa dikatakan karyanya itu merakyat. Kitab tersebut tidak terlalu
bertele-tele dan redaksinya tidak sukar dipahami. Argumen-argumennya terkadang diperkuat dengan
bukti-bukti empiris. Penulis memilih Tafsîr al-Marâghî karena penyusunnya sangat mendorong umat
Islam agar menggunakan akal terutama terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan dan
fenomena alam. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 169-174.
58
Tafsir ini susunan M. Quraish Shihab, salah seorang tokoh mufassir terkemuka Indonesia.
Tafsir ini pertama kali terbit pada tahun 2001. Tafsir ini dipilih sebagai sampel untuk mengetahui
pandangan mufassir Indonesia mengenai ulil albâb dalam konteks keindonesiaan. Selain itu, Quraish
Shihab tercatat sebagai petinggi ICMI yang notabene merupakan organisasi yang mengatasnamakan
cendekiawan muslim (lihat: Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 290). Oleh karenanya,
penafsiran Quraish Shihab dianggap sangat perlu dalam penelitian ini.
59
Deskripsi analitik merupakan rancangan organisasional yang dikembangkan dari kategori-
kategori yang ditemukan dan hubungan-hubungan yang disarankan atau muncul dari data. Lexy,
Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 257.
22
rumusan masalah penelitian ini, tentang cara bagaimana Dawam memahami dzikir
4. Teknik Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini mengikuti teknik penulisan skripsi dalam buku
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyajikannya dalam bentuk bab per bab
berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini merupakan sebuah uraian yang akan membahas
latar belakang masalah dari judul yang penulis angkat dalam kajian ini. Kemudian
setelah itu, penulis paparkan identifikasi, batasan dan rumusan masalahnya. Untuk
penulisan.
Bab II: Ontologi. Bab ini berisi penjelasan mengenai biografi M. Dawam
Rahardjo yang berkaitan dengan latar belakang keluarga, pendidikan, karir, karya-
karya, dan pemikirannya. Pembahasan ini merupakan kajian yang lebih mendalam
dan merupakan kelanjutan dari bahasan rumusan masalah pada Bab I untuk
60
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2013-2014 (Ciputat: Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan
Kerjasama, 2013)
23
Bab III: Dzikr dan Ulil Albâb dalam al-Qur’an. Pada bab ini, penulis
menampilkan term kunci dzikr dan ulil albâb dalam al-Qur’an dilihat dari masa ke
masa. Kemudian, Penulis juga menelaah dan menguraikan penafsiran para ulama
klasik dan modern atas lafadz dzikr dalam ayat-ayat ulil albâb. Pembahasan ini
merupakan kelanjutan dari rumusan masalah pada Bab I untuk memetakan wacana
dzikr ulil albâb secara historis. Dengan begitu, pembahasan ini menjadi pijakan
penulis untuk menghubungkan antara latar belakang sosok M. Dawam Rahardjo pada
Bab II dengan konteks pemikirannya yang akan penulis jelaskan di Bab IV.
Bab IV: Dzikir dalam Pikir: Menelaah Makna Ulil Albâb dalam Pandangan
Rahardjo mengenai ulil albâb dan makna dzikr dalam ayat-ayat ulil albâb. Kemudian,
Penulis menganalisis bagaimana Dawam memahami kata dzikr dalam ayat-ayat ulil
albâb dikaitkan dengan kondisi sosial pada masa ia menulis pokok pikirannya. Cara
pada pergulatan wacana ulil albâb. Di sini penulis turut menyertakan pendapat
penafsir klasik dan modern serta pemikir muslim yang membahas tema yang sama
Bab V: Kesimpulan dan penutup. Bab ini berisi jawaban atas permasalahan
yang diangkat. Bab ini juga berisi saran-saran bagi para pembaca serta himbauan
untuk peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang sama atau berbeda
A. Latar Belakang
Nama Dawam Rahardjo sangat familiar dalam khazanah pemikiran Islam
Indonesia. Sebagai intelektual, Dawam dikenal sebagai pemikir Islam progresif yang
kritis atas fenomena dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat berdasarkan
pada kerangka etis yang dianutnya. 1 Sejak usia muda, Dawam telah memulai kiprah
dan pemikiran seorang Dawam tidak terlepas dari pengaruh keluarga, pendidikan, dan
lingkungan yang mengiringi perjalanan hidupnya. Oleh karena itu, untuk memahami
sisi ontologis Dawam, pada bab ini penulis memaparkan latar belakangnya.
1. Keluarga
kampung Baluwati, Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 20 April 1942. 3 Dilihat dari
1
Ngainun Naim, “Pluralisme sebagai Jalan Pencerahan Islam: Telaah Pemikiran M. Dawam
Rahardjo”, vol. 15, no. 2, SALAM: Jurnal Studi Masyarakat Islam (Pascasarjana UMM: Desember,
2012), h. 276. Diunduh pada 13 November 2017 pukul 16.42 WIB dari
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/download/1666/1773 .
2
Naim, “Pluralisme sebagai Jalan Pencerahan Islam: Telaah Pemikiran M. Dawam Rahardjo”,
h. 276.
3
Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, dan J.H. Lamardy, ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed.
digital (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 3. Diunduh dari www.cerdasdownload.blogspot.co.id,
pada Kamis, 01 Maret 2018.
24
25
Zuhdi Rahardjo berasal dari Desa Tempursari, Klaten, sebuah desa yang memiliki
dua lembaga pendidikan Islam yang cukup terkenal saat itu, yakni Pesantren
Jamsaren dan Madrasah Mamba’ul Ulum. Zuhdi Rahardjo merupakan salah satu
lulusan dari dua gudang keilmuan tersebut yang kemudian menjadi guru
tembakau kaya yang sudah menunaikan ibadah haji dan pernah mengenyam ilmu di
al-Azhar. Adapun Muthmainnah, ibu Dawam, adalah seorang guru Sekolah Rakyat di
setelah Zuhdi Rahardjo menciptakan alat pengikal benang. Kegigihan Zuhdi Rahardjo
lantas mengharumkan nama desanya sebagai sentra industri pengikal benang. Melalui
usaha batik dan tenun, Zuhdi beserta saudara-saudaranya menjadi pendukung dana
Perguruan Al-Islam. Maka tidak heran, keluarga Rahardjo dekat dengan pengurus
perguruan itu.5
Manba’ul Ulum dan Pesantren Jamsaren, 6 Solo, sampai tamat. Zuhdi sangat
4
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 4.
5
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme,
dan Liberalisme Agama, cet. 2 (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 44.
6
Madrasah Manba’ul Ulum adalah madrasah yang sangat terkenal di Solo. Madrasah ini
didirikan pada tahun 1913 atas prakarsa Sunan Pakubuwono X. Madrasah ini mencetak ulama
sekaliber Kiai Arwani Kudus dan Kiai Zarkasyi pendiri Gontor. Lihat: M. Solahudin, Ulama Penjaga
Wahyu (Kediri: Pustaka Zamzam, 2017), h. 128.
Sementara itu, Pesantren Jamsaren termasuk pesantren tertua di Indonesia. Pesantren ini
didirikan oleh Kiai Jamsari asal Banyumas pada tahun 1750. Di antara ilmu yang diajarkan di
26
mencintai al-Qur’an. Ia tak pernah bosan menanamkan kecintaan pada al-Qur’an pada
kyai-kyai berpengaruh semisal K.H. Imam Ghozali, K.H. Ali Darokah, Ustadz
seperti Bahasa Arab, Fikih, Tafsir, Hadis, dan Tajwid di tingkat dini. 8
memberinya uang banyak untuk membeli buku. 9 Selain al-Qur’an, Dawam juga
Hasilnya, salah satu puisinya pernah dimuat di sebuah koran lokal di Yogyakarta.
Bahkan, ketika mendapat beasiswa American Field Service untuk belajar di Borah
High School, Idaho, Amerika Serikat, ia mendapat nilai “A” untuk puisi-puisinya
yang berbahasa Inggris. Hal tersebut juga tidak terlepas dari kegemarannya membaca
karya-karya sastra Amerika. Sejak SMA Dawam juga telah sering menulis kolom10
pesantren ini adalah ilmu Tajwid, Qira’ât, Ushûl Fiqh, Tafsir, Hadits, Falak, Balâghah, dll. Solahudin,
Ulama Penjaga Wahyu, h. 127.
7
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, cet. pertama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. xxiii
8
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. x.
9
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5.
10
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 44.
27
Kegemaran membaca dan menulis inilah yang kelak membuatnya menjadi seorang
intelektual.11
2. Pendidikan
Pendidikan dasar yang ditempuh M. Dawam Rahardjo bisa dianggap elit dan
unik. Dikatakan elit karena pada masa itu tidak semua orang mampu bersekolah.
Pertama, pendidikan formal Dawam dimulai sejak kecil. Mulanya ia masuk Sekolah
Dasar Negeri (SDN) Wetan, Solo dan lulus pada tahun 1954. Setelah itu, ia
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di kota yang sama di Sekolah
Menengah Pertama (SMP) 1 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Solo, masing-
masing selama tiga tahun sampai ia lulus SMP pada tahun 1957 dan SMA pada tahun
1960.12
sulungnya di sekolah formal yang berbasis pengetahuan umum saja, tapi juga di
madrasah yang mengajarkan pelajaran agama. Untuk itu, dalam menimba ilmu agama
Dawam belajar di Madrasah Diniyah Al-Islam, salah satu sekolah agama Islam
terbaik di Solo saat itu sampai tingkat tsanawiyah.13 Lebih dari itu, ia bahkan sempat
11
Minat Dawam akan dunia tulis-menulis juga tidak terlepas dari peran ayahnya. Zuhdi
Rahardjo pernah memberi hadiah mesin tulis kecil pada putra sulungnya itu. Oleh Dawam, mesin tulis
kecil tersebut dibawa ke mana pun ia pergi. Lihat: Imam Ahmad, “Brahmana dari Solo,” dalam Ali-
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 75.
12
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 42.
13
Ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa Dawam mulanya bersekolah di Bustanul
Athfal Muhammadiyah, di Kauman, sebelah utara Masjid Besar Solo. Kemudian ia melanjutkan
pendidikan ke Madrasah Ibtidaiyyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo. Dawam juga masuk
sekolah umum Robithoh al-Allawiyah pagi harinya. Di sekolah ini, teman sepermainannya adalah
anak-anak keturunan Arab. Diceritakan bahwa Dawam fasih berbicara dengan bahasa dan aksen
mereka. Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5.
28
belajar qirâ’ah di Pesantren Krapyak, Yogyakarta.14 Jika pagi hari Dawam belajar
tentang ilmu pengetahuan umum di sekolah, petang harinya ia belajar ilmu agama di
madrasah. Bila pagi ia mempelajari ilmu dunia, sore harinya ia belajar ilmu akhirat.15
Dua model pendidikan yang dialaminya ini kelak sangat mempengaruhi cara
berpikirnya.16
Idaho, Amerika Serikat pada tahun 1961. Ia mendapat beasiswa lewat program
American Field Service. Sepulang dari Negeri Paman Sam, ketertarikan pada
waktu pada tahun 1969. Setelah itu, tidak ada catatan yang menyebutkan ia
Pertama, pada tahun 1993 17 , Dawam dinobatkan sebagai “guru besar” oleh
14
M. Dawam Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial (Bandung:
Mizan Media Utama, 2015), h. 491.
15
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 44.
16
Berdasarkan keterangan ini, tampak sekali bahwa Dawam termasuk orang yang beruntung
sekaligus cerdas dan pintar. Ia beruntung mampu menempuh pendidikan sampai tingkat SMA yang
mana pada masa itu tidak semua orang mampu bersekolah. Ia cerdas dan pintar karena lulus tepat
waktu. Selain itu, ia juga sangat beruntung bisa bersekolah agama di Madrasah Diniyah Al Islam.
Adapun yang dimaksud dengan “cara berpikir” di sini adalah cara pandang Dawam Rahardjo dalam
menyikapi persoalan hidupnya yang mensinergikan agama dengan kemajuan.
17
Ada yang menyebutnya tahun 1992. Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 45.
29
ditulis secara utuh oleh Dawam. Buku tersebut sekaligus menjawab kritikan salah
tulisan.18 Kedua, pada tahun 2000, ia kembali dianugerahi gelar kehormatan “Doktor
H.C.” dalam Bidang Ekonomi Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.19 Fakta
berpartisipasi di berbagai organisasi dan kegiatan sosial. Sejak muda hingga masa
senjanya kini, tercatat lebih dari sepuluh organisasi dan beberapa forum
Paman Sam adalah karena keaktifannya di Pelajar Islam Indonesia (PII). 20 Setelah
pulang dari Amerika dan menjadi mahasiswa UGM pada pertengahan dasawarsa
1970-an, Dawam mulai aktif di organisasi kampus.21 Di sinilah Dawam aktif sebagai
18
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 18.
19
M. Dawam Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Freedom
Institute, 2012), h. 379-380. Perjalanan intelektual Dawam sebagaimana dipaparkan sejak awal kuliah
di jurusan ekonomi sampai penerimaan gelar kehormatan dalam bidang yang sama mengukuhkan
dirinya sebagai seorang ekonom.
20
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 8.
21
Perlu diketahui, pada saat itu, UGM merupakan salah satu kampus yang dikenal berkat
pergerakan para aktivis mahasiswanya dalam memperjuangkan nasib rakyat. UGM menjadi ikon dan
kiblat para intelektual pembela rakyat. Wawancara Pribadi dengan Asep Usman Ismail, Ciputat, 15
Februari 2018.
30
salah satu organisasi mahasiswa terbesar saat itu. Ia masuk HMI karena tertarik pada
politik yang sedang memanas saat itu, yakni menjelang meletusnya Gerakan 30
September 1965. Ia pun dikenal sebagai ideolog HMI. 22 Meski tidak pernah
memangku jabatan di HMI, Dawam tetap berperan aktif sebagai instruktur dalam
itu, kegemaran Dawam dalam dunia tulis-menulis masih berlanjut. Pada masa itu, ia
aktif sebagai kolumnis di koran-koran dan majalah. Bahkan, Dawam pernah terjun
masa kerja Dawam sebagai pegawai bank tak berlangsung lama karena merasa
22
Di HMI, Dawam mengaku memiliki tiga orang guru, yaitu: (1) Sudjoko Prasodjo, “Tan
Malaka”-nya HMI, yang berperan sebagai budayawan di lingkungan HMI, (2) Sularso, seorang
ideologi dan pemikir yang memengaruhinya dalam ideologi sosialisme, dan (3) Bintaro
Tjokroamidjojo, seorang teknorat yang mengajarinya wacana pembangunan. Ali-Fauzi, Demi
Toleransi Demi Pluralisme, h. 9. Melalui HMI pula, Dawam Rahardjo bertemu dengan kalangan
santri. Pergaulannya dengan kalangan tersebut turut mempengaruhi pemikirannya. Wawancara Pribadi
dengan Asep Usman Ismail.
23
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 9. Namun, berdasarkan tulisan Djohan
Effendi, Dawam pernah menjabat di Departemen Penerangan HMI Cabang Yogyakarta pada
kepemimpinan Tawang Alun dan Badan Koordinator HMI Jawa Tengah dalam Biro Kader. Lihat:
Djohan Effendi, “Intelektual Muslim Yang Selalu Gelisah: Kesaksian Seorang Sahabat” dalam Ali-
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 34.
24
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 45. Menurut penulis, selama terjun di dunia
pers mahasiswa ini kompetensi Dawam sebagai seorang penulis terbentuk dengan kokoh. Pengalaman
ini pula yang mengantarkannya kelak mampu mengampu jurnal Prisma dan Ulumul Qur’an yang
kelak melambungkan namanya. Hal ini berdasarkan fakta kongkret bahwa ia mulai dikenal berkat
tulisan-tulisannya yang selalu muncul di harian Mercu Suar dan secara nasional melalui tabloid
mingguan Mahasiswa Indonesia (MI). Ia juga pernah menjadi editor dan co-editor di majalah GEMA
Mahasiswa yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa UGM. Lihat: Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi
Pluralisme, h. 10.
31
kurang bebas, tidak aktif dalam pergerakan.25 Setelah dua tahun berjalan, ia kemudian
memutuskan untuk berhenti. Jadi, ia hanya bekerja selama 1969-1971. Dawam lantas
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta. Ia diajak oleh seorang kenalan
mulanya, Dawam hanya menjadi seorang peneliti. Setelah dua tahun bekerja sebagai
intelektual saat itu. Pada tahun tersebut pula, Dawam memprakasai berdirinya Inter-
Non-Governmental for Development (INFID) dan South East Asia Forum for
25
Pada saat yang bersamaan, Dawam aktif menulis di media massa dan menjadi redaktur
Mimbar Demokrasi dan koran mingguan Forum. Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 12.
26
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 45.
27
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 15.
28
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 42.
32
pemimpinnya.29
tahun kemudian ia bahkan menjabat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana UMM
Islam 45 (Unisma) Bekasi dan setelah itu menjadi rektor. 30 Ia menjabat sebagai
Sedangkan di luar akademis, Dawam adalah salah satu pendiri Lembaga Studi Agama
dan Filsafat (LSAF) dan menjadi Ketua Yayasan LSAF sejak tahun 1991 dan masih
aktif sampai tahun 2012. 31 Lembaga ini kemudian menerbitkan Jurnal Ilmu dan
Qur’an”. Kumpulan tulisannya dalam rubrik tersebut lalu dijadikan buku yang
Ia juga memimpin Lembaga Pemikiran Ekonomi Alam (LPel), Universitas Islam As-
Syafi’iyah, Jakarta dan Kelas Lembaga Ekonomi dan Manajemen Sarekat Islam
(SI).32
29
Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial, h. 492. Lembaga inilah
yang kemudian membidani Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Wawancara pribadi dengan Asep
Usman Ismail.
30
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 43.
31
M. Dawam Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Freedom
Institute, 2012), h. 379.
32
Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial, h. 492.
33
International (PT. SGI) Badan Usaha Milik Muhammadiyah (1998-2001), dan Ketua
(2000-2005).34
intelektualitas yang dimilikinya. Maka tak heran bila Ahmad Syafii Maarif –dalam
semakin meluas seiring berbagai macam organisasi yang digelutinya baik dalam skala
sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar pada periode 1991-1995. Puncaknya, pada periode
berikutnya (1995-2000), ia terpilih sebagai salah satu Ketua ICMI Pusat. Di sinilah
33
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 43.
34
Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam, h. 379.
35
Menurut Ahmad, Dawam punya banyak atribut penting yang pantas disandangnya seperti:
ekonom, penyair, penulis prolifik, dan masih produktif di usia senjanya. Sebagai intelektual, Dawam
bergerak di dunia Lembaga Swadaya Masyarakat yang sering berseberangan dengan kekuasaan. Lihat:
Ahmad Syafii Maarif, “Bung Dawam: Sang Intelektual,” dalam Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi
Pluralisme, h. 827
34
yang kuat dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Terkait hal ini, mantan
Presiden RI ketiga yang juga mantan Ketua ICMI Pusat Periode 1991-1995, B.J.
dari pemerintah. Beberapa tanda jasa yang pernah disematkan padanya, yaitu: Tanda
“Hatta Nugraha” (1997), dan Bintang Satya Lencana Pembangunan, dari Presiden RI
(1995).38 Ini sekaligus menjadi bukti bahwa sosok Dawam memang mumpuni.
36
Habibie, “Dawam Rahardjo, ICMI, dan Habibinomics,” dalam Ali-Fauzi, Demi Toleransi
Demi Pluralisme, h. 32-33.
37
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 43.
38
Rahardjo, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam, h. 380. Perlu diketahui, Tanda
Kehormatan Bintang merupakan sebuah penghargaan tertinggi oleh pemerintah Republik Indonesia
kepada perorangan ataupun instansi berdasarkan pengabdian yang bersangkutan. Bintang Mahaputera
Utama termasuk jenis bintang sipil kelas III. Adapun tanda kehormatan Satyalencana berada di bawah
tanda kehormatan Bintang. Satyalencana Pembangunan termasuk jenis Satyalencana Sipil. Lihat
keterangan lebih lanjut: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Daftar_tanda_kehormatan_di_Indonesia ,
diakses pada Jumat, 02 Maret 2018, pukul 07.33 WIB.
35
kabar (daerah/nasional), dan buku ataupun editorial. Jumlah total semua karyanya
mencapai angka puluhan yang mana ia hasilkan sejak masa muda sampai usia
tidak hanya menyangkut satu bidang keilmuan saja, namun juga dari beberapa aspek
keilmuan yang lain. Bila semua karya itu dikategorikan, setidaknya ada empat
kategori yang pernah ia tulis yakni: ekonomi, agama, sosial-politik, dan sastra.
Press, 1985)
LP3ES, 1992)
2. Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam (Jakarta: Grafiti Press, 1985)
1987)
2002)
37
12. Paradigma al-Qur’an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP,
2005)
Development (1994)
Perhatian Dawam terhadap pemikiran Islam sebenarnya sudah tumbuh jauh sebelum
masuk LP3ES. Setidaknya ada dua fase yang Dawam lalui, yakni fase pendidikan
38
dasar dan fase pengembangan. Pembagian dua fase ini penulis simpulkan berdasarkan
Fase pertama, Dawam dikenalkan pada ilmu-ilmu dasar agama. Dalam hal
kyai-kyai berpengaruh semisal K.H. Imam Ghozali, K.H. Ali Darokah, Ustadz
seperti Bahasa Arab, Fiqh, Tafsir, Hadits, dan Tajwid di tingkat dini. 39 Ilmu-ilmu
dasar inilah yang kemudian turut membantu Dawam dalam memahami al-Qur’an.
Fase kedua berlangsung setelah Dawam datang ke Jogja. Di kota ini, minat
setidaknya ada tiga hal penting yang berkaitan dengan hal ini, yaitu: situasi sosial-
kelompok diskusi yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mukti Ali-Limited Group.40 Ketiga
39
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. x.
40
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xi. Limited Group adalah kelompok
diskusi berkala yang diprakarsai oleh Dawam Rahardjo dengan mengajak A. Mukti Ali sebagai
mentornya. Penamaan Limited Group sendiri adalah inisiatif dari Ahmad Wahib yang mulanya
menyebut kelompok diskusi ini “Lingkaran Studi Limited Group”. Diskusi diadakan sekali dalam
seminggu, tepatnya setiap Jum’at sore di kediaman A. Mukti Ali yang terletak di Komplek IAIN,
Demangan, Yogyakarta. Anggota tetap kelompok ini adalah A. Mukti Ali, M. Dawam Rahardjo,
Ahmad Wahib, dan Djohan Effendi. Tiga tema pokok yang menjadi tahap rangkaian diskusi adalah
(1) merumuskan nilai-nilai dasar Islam, (2) merumuskan tuntutan-tuntutan pokok bangsa, dan (3)
merumuskan ideologi politik umat Islam Indonesia. Setelah Dawam pindah ke Jakarta, diskusi ini
masih tetap berjalan. Kegiatan Limited Group baru berhenti saat A. Mukti Ali diangkat menjadi
39
faktor inilah yang menjadi konteks lahirnya seorang Dawam sebagai seorang aktivis
dan pemikir Islam yang melihat Islam dalam konteks ke-Indonesiaan dengan lebih
latar belakang terjadinya faktor kedua. Pada saat itu, HMI merupakan organisasi
politik di Indonesia. Para aktivisnya ikut andil dalam merespon situasi sosial-politik
negara. Salah satu upaya mereka adalah berusaha mewacanakan keterkaitan Islam
dengan persoalan kehidupan setiap hari yang empirik. Untuk mewujudkan wacana
ini, HMI mengadakan training-training secara berkala yang diikuti oleh kader-
kadernya. Dalam situasi tersebut, Dawam merupakan salah satu anggota yang terlibat
Menteri Agama pada tahun 1972. Lihat: Djohan Effendi, “Intelektual Muslim Yang Selalu Gelisah:
Kesaksian Seorang Sahabat,” dalam Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 37-38.
41
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xi.
42
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xii.
43
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xii. Bersama dengan Djohan Effendi
dan Ahmad Wahib, Dawam sering blusukan mengadakan training-training HMI ke desa-desa.
Training tersebut dilakukan di desa-desa demi menghindari PKI yang saat itu memiliki pengaruh yang
kuat. Dengan kata lain, keaktifan mereka didorong pula oleh tantangan gerakan komunis. Oleh
40
oleh Prof. Dr. Mukti Ali-Limited Group. Diskusi ini hanya terdiri dari beberapa
Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Kamal Muchtar, Simuh, Wadjiz Anwar, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib, Mansyur Hamid, dan Dawam Rahardjo sendiri. Mereka
secara rutin berdiskusi secara terbuka mengkaji pemikiran Islam tanpa merasa takut
dicap telah keluar dari batasan-batasan religius dan teologis yang lumrah. Mereka
tidak hanya mengkaji masalah agama, namun juga sosial, politik, dan sebagainya. 44
masyarakat dan diperkuat oleh kajian-kajian yang tak terlepas dari realitas sosial.
Maka, dapat dimaklumi bila kemudian Dawam lebih tertarik pada kajian sosial-
aktivis Islam (terutama di kalangan HMI) berjuang untuk mengubah situasi politik
karenanya, Sudjoko Prasodjo dan Sularso (senior mereka di HMI) mendorong mereka untuk
mempelajari sosialisme agar dapat berdebat dalam tataran ideologis dengan orang-orang komunis.
Ali-Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 9-10.
44
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xii. Lihat juga: Djohan Effendi dan
Ismed Natsir, ed., Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, cet. 6 (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2003), h. vii-viii.
41
memandang setidaknya ada tiga madzhab pemikiran yang muncul dalam konteks
untuk mencari dasar-dasar teologi baru yang memungkinkan untuk mensintesa antara
Islam dan negara terutama dari sudut pandang hubungan politiknya. Beberapa tokoh
yang menjadi pionir aliran ini adalah Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
pembaharuan politik yang bertujuan untuk menjembatani hubungan antara Islam dan
sosial-ekonomi dan politik masyarakat bawah, baik yang di desa maupun di kota.
Beberapa tokoh yang menjadi tulang punggung aliran ini di antaranya adalah Sudjoko
Prasodjo, Tawang Alun, Adi Sasono, dan M. Dawam Rahardjo sendiri. Berkat kerja
keras gerakan ketiga aliran tersebut, pada akhir dasawarsa 1980-an kecurigaan
menipis dan akomodasi negara atas sejumlah aspirasi (umat) Islam terlaksana.45
besar terhadap dua golongan pertama. Terlebih pada aliran pemikiran golongan
45
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xiv-xv.
42
di pedesaan ataupun perkotaan. 46 Dalam hal ini, pada tahun 1970-an Dawam yang
aktif di LP3ES bersama rekan kerjanya, Tawang Alun, serta seorang aktivis
saat itu Departemen Agama dipimpin oleh Mukti Ali, mentor sekaligus
Al-Qu’ran merupakan kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat muslim.
Sumber agama adalah al-Qur’an dan begitu pula umat bersumber dari al-Qur’an. Al-
adanya hubungan antara segitiga tersebut, al-Qur’an memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap pembentukan semangat dan sifat kebudayaan dan peradaban umat
muslim. Oleh karena itu, masa depan Islam terletak pada inspirasi al-Qur’an. Sebagai
46
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xv.
47
Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, h. xvi.
43
al-Qur'an
agama umat
dalam Islam, maka ia akan menyusun sebuah tafsir al-Qur’annya sendiri.48 Namun,
“tentu tidak dapat diartikan bahwa setiap penyusun buku tafsir itu adalah seorang
pembaharu,” tulis Dawam dalam Tafsjr al-Qur’an: Cakupan Sosial Budaya. Ia lalu
menyebut segelintir nama tokoh yang sekaligus pembaharu yang menyusun buku
tafsir semisal Muhammad Abduh, Basyiruddin Mahmud Ahmad, Maulana Ali, dan
Ayatullah Taba’tabai. Bagi Dawam, hari depan kaum muslim bisa diraih melalui
tafsir al-Qur’an yang senantiasa baru.49 Ia meyakini bahwa meskipun al-Qur’an tidak
akan pernah berubah atau direvisi oleh kaum muslim, kitab suci tersebut tidak akan
lekang oleh zaman. Al-Qur’an akan tetap berlaku sepanjang waktu karena seluruh
isinya bersifat perenial50. Isi kandungan al-Qur’an akan tetap abadi karena sejalan
Berkaitan dengan hal tersebut, Dawam berdalih bahwa al-Qur’an berupa kata-
kata yang mana kata adalah simbol. Gambaran orang atas simbol selalu mengalami
48
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2002), h. 3-4.
49
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 4-5..
50
‘Kekal’ atau ‘abadi’. Pius Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:
Arkola, t.t.), h. 594.
51
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 12.
44
qalam dalam surat al-‘Alaq. Persepsi orang dulu dan sekarang atas “qalam” pasti
berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa lafadz al-Qur’an beserta esensi maknanya
tetap namun interpretasinya yang berubah. Oleh karena itu, maklum bila perbedaan
penafsiran akan timbul. Tidak hanya itu, perbedaan interpretasi terhadap al-Qur’an
akan menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat terkait tafsir mana yang benar.
Dalam situasi seperti inilah maka akan lahir proses rekonsiliasi 52 yang akan
a. Penafsiran akan mengacu pada makna kata demi kata dengan perkembangan
suatu bahasa.
dalam al-Qur’an, karena bagian al-Qur’an yang satu akan menjelaskan bagian
Singkatnya, penafsiran baru atas al-Qur’an bisa terjadi karena dua hal: pertama
adalah karena istilah dalam al-Qur’an itu sendiri menimbulkan gambaran yang
52
‘Pemufakatan’; ‘perdamaian’; rujuk kembali. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, h. 671.
53
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 13.
54
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 14.
55
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 14.
45
Berdalil Q.S. al-Baqarah (2): 185, Dawam melihat ada tiga konsep mengenai
al-Qur’an. Pertama, al-Qur’an adalah kitab yang berisi hudâ alias petunjuk, pedoman
atau pimpinan. Kedua, selain berisi petunjuk, al-Qur’an juga menjelaskan atau bayân
merupakan kriteria atau tolak ukur untuk menilai segala sesuatu, terutama untuk
membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang
indah dan yang seronok. 56 Berdasarkan tiga konsep tersebut, Dawam memahami
bahwa:
a. untuk mendapatkan petunjuk dari Allah, maka seseorang perlu membaca al-
pedoman moral.57
bahasa al-Qur’an secara mendalam. Namun, pengetahuan bahasa saja tidak cukup.
56
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xvii.
57
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xviii.
58
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xix.
46
bahwa ayat-ayatnya dapat dipahami oleh manusia dari berbagai tingkat berpikir. Oleh
karenanya, ia menyatakan bahwa orang yang memiliki tingkat berpikir lebih cerdas
atau lebih berkembang maka ia akan memperoleh makna yang lebih mendalam.59
Selain itu, salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah seseorang bisa menyusun
sendiri. Menurutnya, salah satu cara membaca dan memahami al-Qur’an bagi orang
awam bahasa Arab adalah melalui terjemahan. Hasil pembacaan dan pemahaman
tersebut bisa saja sangat mendalam dengan menggunakan metode tafsir al-Qur’an dan
melakukan analisis. 60
(tematik). Menurutnya, sebuah buku tafsir tidak perlu mencakup seluruh isi al-
Qur’an. Tafsir bisa berupa tema-tema tertentu saja. Tafsir tematik lebih memudahkan
“Sampaikan dari aku (kepada orang lain) walau satu ayat pun!” Oleh karenanya,
Dawam berharap agar al-Qur’an dapat disiarkan dan dibudayakan oleh banyak orang
dari sudut keahlian yang berbeda-beda61 dengan mengambil salah satu dari tiga titik
tolak: pertama, bertolak dari konsep ilmu-ilmu sosial dan budaya atau filsafat sosial;
59
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xix.
60
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xix.
61
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 15.
47
kedua, bertolak dari istilah-istilah dalam al-Qur’an; dan ketiga, bertolak dari istilah-
digunakan dalam tiga hal, yaitu: sebagai media penjelas, media pengkayaan dan bisa
dipinjam sebagai media untuk penurunan ajaran agama yang semula normatif ke level
sosial atau fungsional. Ilmu-ilmu sosial dijadikan perangkat untuk membaca realitas
sosial. Menurut pandangan ini, ilmu bersifat netral. Selama teori yang dibangun tidak
berdasar pada golongan atau kepentingan tertentu, maka kebenaran akan dicapai.
obyektif-empiris.63
menyebutnya sebagai “sebuah tafsir al-Qur’an”. Namun karena banyak orang yang
Meski tidak mengklaim diri telah memenuhi syarat seorang mufassir, Dawam
62
Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, h. 10-11.
63
Kusmana, “Dimensi Sosial Pemahaman al-Qur’an M. Dawam Rahardjo”, Mimbar: Jurnal
Agama & Budaya, v. 23, no. 1, (2006): h. 42-43. Kusmana berpendapat, untuk menelusuri pemikiran
Dawam, maka peneliti harus berangkat dari dua wilayah yang menjadi minatnya, yaitu: wilayah
empirisisme ilmu sosial dan wilayah normatif kajian Islam. Lihat: Kusmana, “Dimensi Sosial
Pemahaman al-Qur’an”, h. 44.
64
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
48
pendidikan dari madrasah diniyah. Ia pernah belajar bahasa Arab termasuk nahwu-
sarf, balâghah, dan tajwîd serta mempelajari ilmu tafsir al-Qur’an. Ia juga belajar
bahasa Arab secara otodidak dari beberapa buku yang ia beli. Dengan pengalaman
tersebut, Dawam mengaku merasa cukup akrab dengan al-Qur’an dan memiliki
65
kemampuan untuk memahaminya. Ia lantas membeberkan bahwa kunci
“rahasia”nya adalah doa untuk memohon petunjuk dan rahmat serta berusaha
menafsirkan ayat sebagai tamsil atau simbol (Q.S. al-Zumar/39.27), yang sarat
makna. Tetapi makna itu harus digali dari kandungan al-Qur’an sendiri, yang
djielaskan berulang-ulang, yang satu berhubungan dengan yang lain sebagai sebuah
struktur atau sistem makna seperti sebuah bangunan yang terdiri dari makna-makna
penafsiran yang ia pahami itu. Ia beralaskan penulisan artikel yang terlalu panjang
sebagai gurunya. Menurutnya, selain pandai berbahasa Arab, Rifai juga menguasai
65
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
66
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
67
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
68
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xx.
49
69
soal-soal bahasa dan muatan al-Qur’an. Selain Rifai, Dawam juga menyebut
ayahnya yang menurut penilaiannya adalah ahli tafsir al-Qur’an. Ayahnya pernah
belajar di Madrasah Mamba’ul Ulum dan Pesantren Jamsaren, Solo, hingga tamat.
Sebagai pecinta al-Qur’an, ayahnya tak pernah bosan menanamkan kecintaan pada al-
Qur’an padanya. 70
menangkap makna ayat yang dikutip secara mendalam pada ayat-ayat lain yang
istilah al-Qur’an. 72
terlalu sulit dipahami seperti anggapan orang terhadap Ulumul Quran. Ia ingin
menyebarkan minat dan kecintaan terhadap al-Qur’an dan berharap dengan kehadiran
bukunya bisa memperingan beban berat atas bacaan Ulumul Quran tersebut. Hal ini
maklum karena objek buku tersebut ia tujukan pada pemula yang baru berkenalan
69
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxii.
70
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxiii.
71
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxiii.
72
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxiv.
73
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. xxiv.
50
muslim bertanggung jawab dalam melaksanakan seruan Allah Swt untuk mengkaji al-
Qur’an sesuai dengan keahlian mereka. Pada Q.S. Shâd (38): 29, Allah menyeru
kaum yang berpikir (ulil albâb) agar mentadabburi al-Qur’an dan mengambil
pelajaran darinya. Pada kenyataannya, tidak semua ahli pikir mau dan mampu
yang diajukan dalam ilmu tafsir. Menurutnya, masalah ini harus dicari solusinya
dengan cara mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempermudah umat
muslim (terutama para cendekiawan) agar dapat megambil manfaat dari al-Qur’an. Ia
menjelaskan:
memasyarakatkan al-Qur’an. Hal ini tidak terlepas dari kecintaannya pada kitab suci
tersebut sebagai pedoman hidupnya dan rasa tanggung jawab sosialnya pada
74
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 16.
51
Kata dzikr merupakan salah satu dari beberapa kata yang sering disebut dalam
al-Qur’an. Buktinya, dzikr dalam berbagai bentuk dan macam derivasinya terulang
sebanyak 274 kali.1 Kata dzikr dalam bentuk masdar-nya sendiri terulang sebanyak
76 kali. 2 Lebih dari itu, menurut Quraish Shihab, kata dzikr dalam berbagai
bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an tidak kurang dari 280 kali. 3 Fakta ini
menunjukkan bahwa dzikr termasuk salah satu topik pembahasan yang diperhatikan
dalam Islam, apalagi al-Qur’an sendiri oleh Allah diberi nama al-Dzikr.4 Oleh sebab
itu, banyak sekali para pengkaji ilmu yang meneliti pembahasan dzikr tersebut sejak
dulu sampai sekarang. Namun pada sub-bab ini, penulis hanya menampilkan
gambaran umum terkait topik dzikr untuk mengulas kembali konsep dzikr yang telah
dirumuskan oleh para pengkajinya. Pembahasan ini mencakup makna dzikir, istilah,
1. Pengertian Dzikr
Lafadz dzikr ditinjau dari aspek etimologi pada mulanya digunakan oleh
pengguna bahasa Arab dalam arti antonim lupa. Ada pula sebagian pakar yang
1
Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:
Dâr al-Hadîts, 2007), h. 332.
2
Khoirul Umam, “Konsep Zikir Menurut al-Marâghî (Penafsiran terhadap QS. 2: 152, 13: 28,
39: 23, 89: 27-30, 10: 57, 26: 80, 41: 44, 17: 82),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 22.
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, cet. 3 (Ciputat: Lentera Hati,
2008),, h. 11.
4
Q.S. al-Hijr (15): 9.
52
53
berpendapat bahwa kata tersebut berarti ‘mengucapkan dengan lidah’ atau ‘menyebut
menyebutnya.5 Ada pula yang berpendapat kata dzikr mulanya digunakan untuk dua
fungsi, yaitu: pertama, kondisi kejiwaan tertentu yang dengannya seorang manusia
bisa menjaga ilmu dan pengetahuan yang telah diperoleh; kedua, hadirnya sesuatu
Mayoritas ulama ahli bahasa Arab tidak berbeda pendapat mengenai makna
dzikr. Lafadz dzikr dalam bahasa Arab terdiri dari tiga huruf, yakni dzal ( ) ذ, kaf () ك,
dan ra’ ( ) ر. Gabungan tiga huruf ini dalam bentuk asal fi’il madî dibaca dzakara
sesuatu setelah lupa’. Jika disandingkan dengan lafadz Allah ()هللا, dzikr bermakna
‘memuji-Nya’. Sedangkan bila bersanding dengan lafadz al-ni’mah ()النِ ْع َمة, dzikr
5
Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, h. 11. Tampaknya Quraish Shihab
mengutip pendapat Ibnu Fâris ibn Zakariyyâ. Lihat: Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ al-
Râzî (w. 395 H), Mujmal al-Lughghah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h.269 . Lihat juga: Abû al-Husain
Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ al-Râzî (w. 395 H), Maqâyîs fî al-Lughghah, cet. 1 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1994), h.388
6
Abu Fatiah Al-Adnani, Zikir Akhir Zaman (Surakarta: Granada Mediatama, 2016), h. 401.
7
Majd al-Dîn Abû Tâhir Muhammad ibn Ya’qûb al-Fayrûzâbâdî (w. 817 H), al-Qâmûs al-
Muhît, cet. 2 (Beirut: Muassisat al-Risâlah li al-Tâbâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî’, 2005), h. 396.
8
Majma’ al-Lughghah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, cet. 5 (Jeddah: Maktabah Kunûz al-
Ma’rifah, 2011), h. 324.
9
al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, , h.325. Lihat juga: al-Fayrûzâbâdî, al-Qâmûs al-Muhît, h.
396.
54
Menurut Ibn Manzûr, dzakara berarti ‘menjaga sesuatu dengan menyebut atau
juga bermakna ‘kehormatan’ atau ‘kemuliaan’, ‘nama baik’, ‘al-kitab yang isinya
menjelaskan agama’, ‘salat’, dan ‘doa’ serta ‘pujian atas-Nya’.10 Sedangkan menurut
(reminder/admonition).11
Sementara itu, dzikr dalam bahasa Indonesia telah diserap menjadi kata
‘dzikir’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dzikir (zikir, dalam ejaan baru)
berarti (1) pujian-pujian kepada Allah yang diucapkan berulang-ulang; (2) doa atau
mengucapkan zikir. 12 Pengertian ini lebih menjurus pada arti terminologi dzikr
lisan. Dzikr melibatkan aktifitas akal dalam mengingat dan lisan untuk menyebut apa
yang diingat. Jadi, seseorang dianggap berdzikir bila ia menyebut sesuatu dan
berdzikir. Begitu pula bila hanya mengingat tanpa menyebutnya, ia tidak sedang
10
Abû Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr al-Afriqî al-Misrî, Lisân al-
‘Arab, cet. 1 (Beirut: Dâr Sâdir, 1990), v.4, h.308.
11
‘Abdullâh ‘Abbâs al-Nadwî, Qamûs Alfâz al-Qur’ân al-Karîm ‘Arabî-Injilîsî, cet. 2 (Chicago:
Muassisah Iqra’ al-Tsaqâfiyyah al-‘Âlamiyyah, 1986), h. 200.
12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 1571.
55
2. Term Dzikr
bentuk dan macam derivasinya terulang sebanyak 280 kali dalam al-Qur’an. Masing-
penyebutannya, dzikr dalam al-Qur’an kurang lebih memiliki duapuluh dua makna:14
Di antara beberapa makna dzikr tersebut adalah dzikir (mengingat Allah) lisan, dzikir
hati, nasihat, kitab-kitab suci (Zabur, Taurat, Injil, atau al-Qur’an), al-sunnah, lauh
al-mahfûz, risalah nabi dan rasul, pelajaran dari peristiwa masa lalu, dll.15
keseluruhan ayat tersebut, paling tidak ada dua makna dzikr, yaitu: pertama sebagai
dinamika internal yang berpusat dalam diri manusia yang bersifat eksoteris; 16 dan
kedua sebagai peringatan untuk manusia dalam mengendalikan tindakan yang kasat
mata dan bersifat esoteris. 17 Oleh karenanya, aktualisasi dzikir sebagai salah satu
Orientasi term dzikr biasanya tidak terlepas dari arti “mengingat Allah” atau
13
Dalam ilmu sarraf, yang dimaksud musytaq adalah kata jadian yang berasal dari fi’l mâdî
atau masdar.
14
Al-Adnani, Zikir Akhir Zaman, h. 404.
15
Al-Adnani, Zikir Akhir Zaman, h. 404. Untuk uraian lebih mendalam lihat: Khoirul Umam,
“Konsep Zikir Menurut al-Marâghî (Penafsiran terhadap QS. 2: 152, 13: 28, 39: 23, 89: 27-30, 10: 57,
26: 80, 41: 44, 17: 82)”, h. 23-29.
16
Diambil dari kata “eksoterik” yang berarti “ilmu yang dapat diketahui oleh setiap orang”.
Pius Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.t.), h. 141.
17
Bersifat rahasia; hanya diketahui dan dimengerti oleh orang-orang tertentu saja. Pius Partanto
& M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.t.), h. 166.
18
Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, cet. 1 (T.tp.: Amzah, 2005),
h. 39. Di dalam buku tersebut, hanya disebut kata “eksoteris". Penulis menduga telah terjadi salah
pengetikan sehingga menimbulkan kerancuan dalam memahaminya. Oleh karenanya, penulis
memunculkan lawan kata eksoteris, yakni esoteris.
56
peningkatan kualitas keimanan seseorang atau amal salehnya. Selain itu, penyebutan
Eksistensi ini muncul karena ketika seseorang berdzikir, ia selalu menyadari siapa
dirinya dan merasa berhadapan dengan tuhannya sehingga ia pun sadar akan
Sementara itu, bila ditinjau dalam al-sunnah,20 dzikr lebih merujuk pada lafal-
lafal pujian kepada Allah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Contoh lafal-lafal
pujian yang diajarkan Nabi Saw adalah seperti lafal tasbîh (subhânallâh), hamdalah
billâh), dsb. Mengenai hal ini, Ibn Atsîr al-Jazârî berkata, “Kata dzikr telah berulang
generasi pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Jadi, bisa diklaim bahwa
perkembangan makna dzikr yang semula secara etimologis berarti ‘mengingat sesuatu
dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Kemudian, setelah mengalami seperti apa
19
Totok, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 39.
20
Yang dimaksud dengan al-sunnah di sini adalah hadis Nabi Saw.
21
Abû al-Sa’âdât al-Mubârak ibn Muhammad al-Jazarî, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-
Atsar (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1979), ed. Tâhir Ahmad al-Zâwî & Mahmûd Muhammad al-
Tanâhî, v. 2, h.410.
Ada banyak hadis yang menerangkan dzikir ini. Salah satunya dalam Sahîh al-Bukhârî, Kitâb
al-Salâh. Di sana al-Bukhârî memberi nama sebuah bab tentang dzikir setelah salat dengan judul: Bâb
al-Dzikr Ba’da al-Salâh. Hadis dalam bab tersebut menceritakan tentang mengeraskan suara saat
dzikir setelah salat fardlu. Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah al-Bukhârî, al-Jâmi’
al-Sahîh, cet. 1 (Kairo: Dâr al-Syi’bi, 1987), j. 1, h. 213.
57
berdasarkan latar belakang keilmuan masing-masing. Namun, satu hal yang perlu
diperhatikan adalah dari sekian banyak pendapat yang ada bisa ditarik kesimpulan
bahwa dzikr merupakan aktifitas mengingat Allah. Oleh karenanya dzikr yang
Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam Bâb Fadl Dzikr Allâh ‘Azza wa Jalla
ilâha illallâh dan bacaan yang termasuk dalam kelompoknya, seperti hauqalah,
kebaikan di dunia dan akhirat. Lafal dzikrullâh terkadang juga disebutkan dengan
sunnah.”23
Doa bahwa menurut para ulama yang berkecimpung dalam bidang olah jiwa secara
besar ada dua macam pengertian dzikir, yakni pengertian sempit dan pengertian luas.
Dzikir dalam pengertian sempit adalah dzikir yang dilakukan dengan lidah saja
22
Muhammad Âbid al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah Dirâsât wa Munâqasyât, cet. 1 (Beirut:
Markaz Dirâsât al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1991), h. 22.
23
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar Abû al-Fadl al-‘Asqalânî al-Syâfi’î, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-
Bukhârî (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379), v.11, h. 209. Lihat pula: M. Iqbal Dawami, Kamus Istilah
Populer Islam: Kata-kata yang Paling Sering Digunakan di Dunia Islam, cet. 18, (Jakarta: Erlangga,
2013), h. 246.
58
mengucapkan tasbîh, tahmîd, tahlîl, hauqalah, dan lain-lain. Selain lidah, dzikir
dalam pengertian sempit ini juga bisa berarti pengucapan lidah disertai dengan
kehadiran kalbu, yakni membaca pujian-pujian pada Allah dengan kesadaran hati
tentang kebesaran Allah yang terkandung dalam makna kata yang disebut. 24
Sedangkan dzikir dalam pengertian luas adalah kesadaran tentang kehadiran Allah di
mana dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk;
kebersamaan dalam artian pengetahuan-Nya terhadap apa pun di alam raya ini serta
menjadi tiga macam. Pertama, dzikir yang dilakukan oleh hati disebut dzikr khâfî
(dzikir yang samar) atau dzikr bi al-qalb (dzikir dengan hati). Kedua, dzikir yang
dilakukan dengan ucapan yang disebut dzikr bi al-lisân (dzikir dengan lidah). Ketiga
adalah dzikir yang berupa gerakan anggota badan atau panca indera dengan
berperilaku baik dan berakhlak terpuji yang disebut dzikr bi al-jawârih (dzikir dengan
24
Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, h. 14.
25
Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, h. 16.
26
“Dzikir berarti ingat kepada Allah dengan menghayati kehadiran-Nya, kemahasucian-Nya,
kemahaterpujian-Nya, dan kemahabesaran-Nya. Dzikir merupakan sikap batin yang biasanya
diungkapkan melalui ucapan tahlil (la ilaha illa ‘llah, artinya tidak ada Tuhan kecuali Allah), tasbih
(subhana ‘llah, artinya Maha Suci Allah), tahmid (al-hamdu li ‘llah, artinya segala puji bagi Allah),
dan takbir (Allahu Akbar, artinya Allah Maha Besar.” T.n.p., Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta:
PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), h. 436.
27
Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 34; Harun Nasution, dkk.,
Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 1008.
59
designed to render God’s presence throughout one’s being. The method employed
concentration. Artinya, ‘ingatan atau suatu latihan spiritual yang bertujuan untuk
dalam artian khusus dzikir merupakan latihan rohani untuk ingat kepada Allah Swt
yang dilakukan dengan membaca kalimat tauhid/tahlîl (lâ ilâha illallâh) atau jalâlah
(Allâh) atau nama-nama Allah lainnya seperti al-asmâ’ al-husnâ. Kata “ingat” berarti
hadirnya Allah Swt dalam hati atau menghadirkan Allah dalam hati sehingga
segala perbuatannya. Pengertian seperti ini terdapat dalam dunia tasawuf dengan
praktik tertentu. Di kalangan ahli tasawuf, dzikir merupakan metode spiritual dalam
pendekatan diri kepada Allah, penyebutan nama-nama Allah atau beberapa formula
kalimat suci, di bawah bimbingan guru tarîqat yang memiliki silsilah autentik.29
28
Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 35.
29
Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 35.
60
pembacaan hizb-hizb tertentu telah menjadi tradisi yang merakyat. 30 Faktanya, ada
banyak sekali majelis dzikir baik tingkat kampung, desa, kecamatan, hingga lintas
daerah. 31 Sampai sekarang majelis dzikir semacam ini kian marak di masyarakat.
Maka tidak heran bila kita saksikan kegiatan dzikir bersama pun semakin sering
dilakukan.32
pemahaman dan penghayatan. Dzikr inilah yang kemudian banyak dipahami oleh
sebagian masyarakat.33 Menurut penulis, inilah yang menyebabkan kata “zikir” dalam
praktik dzikir di Indonesia, terlepas dari apakah mereka menghayati “dzikiran” yang
diucapkan atau tidak, setidaknya mereka telah mempraktikkan dzikir seperti yang
telah diajarkan oleh Rasulullah Saw walau hanya sebatas zahirnya saja.34
aktifitas mengingat Allah yang sangat luas dan menyeluruh. Ia tidak terbatas hanya
pada pelafalan tasbîh, tahmîd, takbîr, istighfâr, dll. saja, namun dzikr juga bisa
meliputi segala amal ibadah baik hati, lisan, pikiran, atau anggota badan.
30
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, cet. 5 (Jakarta: LP3ES, 2015), h. 63.
31
Sofia Rosdanila Andri, “Penafsiran Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî terhadap Ayat-ayat
al-Qur’an tentang Dzikir dalam karyanya Rememberance of Allah and Praising The Prophet,” (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 6. Sofia
menyebut beberapa majelis dzikir yang terkenal semisal: majelis dzikir al-Dzikrâ yang dipimpin oleh
Arifin Ilham, majelis dzikir pimpinan Haryono yang identik dengan pengobatan dan penyembuhan
melalui media dzikir, dan majelis dzikir dan salawat Nurul Mustafâ yang dipimpin oleh Habib Hasan
bin Ja’far Assegaf.
32
Seperti yang umum diketahui, masyarakat mempunyai tradisi tahlilan, yasinan, diba’an, dll.
Beberapa kegiatan dzikir bersama tersebut masih dilakukan sampai sekarang. Penulis sendiri melihat
langsung dan turut serta melakoni kegiatan tersebut.
33
Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, h. 7.
34
Lihat pengertian dzikr dalam al-Sunnah di awal sub-bab ini.
61
Manusia diciptakan tidak lain hanya untuk menyembah Allah Swt. Salah satu
perlu diketahui bahwa Allah juga menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya.
Oleh sebab itu, adalah wajar bila akal menempati kedudukan yang sangat tinggi
dalam agama Islam. Terbukti di dalam banyak sekali ayat al-Qur’an, Allah Swt
menyuruh manusia agar menggunakan akalnya. Sebagai makhluk terbaik yang telah
dikaruniai akal, maka manusia wajib melaksanakan perintah tersebut. Bila ada yang
penggunaan akal ini. Ayat-ayat tersebut sering menyebut kata afalâ ta’qilûn, afalâ
muncul benang merah antara dzikir dan pikir yang mana kedua sifat tersebut dimiliki
Secara etimologis, ulil Albâb merupakan gabungan dua kata dari ulû (punya)37
dan albâb (akal).38 Gabungan dua kata ini seringkali diartikan ‘yang memiliki akal’.
Albâb adalah bentuk jam’ al-taktsîr dari lubb ( ) لبyang bisa bermakna ‘saripati
35
Ahmad M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi cet.III (Bandung:
Mizan, 1991), h. 32.
36
Menurut Harun Nasution, kata-kata yang dipergunakan oleh al-Qur’an untuk
menggambarkan sifat berpikir adalah lafadz nadzara, tafakkara, fahima, tadzakkara, tadabbara,
faqiha, ‘aqala. Selain itu, al-Qur’an juga menggambarkan sifat-sifat berpikir bagi seorang muslim
dengan sebuatan ulul ‘ilmi (orang yang mempunyai ilmu), ulul absâr (orang yang mempuyai
pandangan), ulun nuhâ (orang yang bijaksana). Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. 2
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 48.
37
al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, h. 23.
38
al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît, h. 842.
62
sesuatu’, ‘akal’, dan ‘racun’.39 Pada dasarnya, gabungan huruf lâm dan ba’ ( ) لب
kebaikan’. 40 Namun, dalam pemaknaan ulil albâb, makna lubb pertama (saripati)
yang digunakan. Sebagai contoh, dalam Tafsir al-Mishbah Quraish Shibab memberi
permisalan kacang. Kacang memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang inilah
yang dinamai lubb.41 Pemaknaan lubb sebagai saripati sesuatu mengindikasikan ulil
‘intelek’. 42 Ulil albâb berarti seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari orang
lain, baik karena kecerdasan maupun intensitasnya. Maka dari itu, ulil albâb bisa
berpikir mendalam.43
Namun, makna ‘akal’ pada lubb tidak sama seperti makna ‘akal’ lafadz ‘aql.
Perbedaan antara al-lubb dan al-‘aql adalah al-lubb berarti sesuatu yang murni dari
sifat-sifat barang yang disifatinya sedangkan al-‘aql berarti sesuatu yang meliputi apa
yang telah diketahui dari sesuatu yang disifatinya.45 Lubb adalah akal yang murni dari
39
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
40
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), v. 1, h. 369.
42
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
43
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, cet. 4 (Bandung:
Penerbit Mizan, 1999), h. 76.
44
al-Râzî, Maqâyîs fî al-Lughghah, h.934
45
Abû Hilâl al-Hasan ibn ‘Abdillah ibn Sahl ibn Sa’îd ibn Yahyâ ibn Mihrân al-‘Askarî (w. 395
H), Mu’jam al-Furûq al-Lughghawiyyah, Baytullah Bayât, ed., cet. 1 (Qum: Muassisah al-Nasyr al-
Islâmî al-Tâbi’ah li Jamâ’ah al-Mudarrisîn, 1412 H), h. 461.
63
cacat-cacat atau akal yang cerdas.46 Oleh karenanya, setiap lubb adalah akal tapi tidak
Di antara kalangan mufassir yang memaknai lubb dengan al-‘aql adalah al-
Tabarî 48 , al-Qurtubî 49 , Ibnu Katsîr 50 , dan Ibnu ‘Âsyûr 51 . Ibnu Katsîr menjelaskan
bahwa albâb adalah akal sempurna yang cerdas yang mengetahui sesuatu berdasarkan
kenyataan sebenarnya (haqâiqihâ). Oleh karena itu, ulul albâb bukanlah seperti
orang-orang tuli nan buta yang Allah gambarkan dalam firman-Nya, “Dan berapa
banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui,
namun mereka berpaling darinya. Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada
Sebelum Ibnu Katsîr, al-Qurtubî telah mengemukakan hal yang tidak jauh
berbeda. Di dalam penafsiran Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190, ia menjelaskan, “Ulil albâb
46
Hasan ‘Alî K., al-Mu’jam al-Mufassir li Alfâzi al-Qur’ân al-Karîm (T.t.: Dâr al-I’tisâm.
1986), h. 119.
47
Jamî’ al-Huqûq Mahfûzah, al-Munjid fî al-Lughghah, cet. 12 (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977),
h. 709. Berdasarkan makna ini, Allah mengaitkan hukum-hukum yang hanya bisa diketahui oleh akal
cerdas dengan sebutan ulil albâb. Contoh: Q.S. al-Baqarah (2): 269; Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7; Q.S. al-
Ra’d (13): 19; Q.S. Ibrâhîm (14): 52; Q.S. Sâd (38): 29; dll. al-Husaiin bin Muhammad bin al-
Mufadḏal, Mu’jam Mufradât Alfâz al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), h. 500.
48
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî Abu Ja’far, al-Tabarî, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân (Muassasah al-Risâlah, 2000), j. 5, h. 580.
49
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansârî al-Khazrajî Syams
al-Dîn al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), penahqiq:
Ahmad al-Bardûnî & Ibrâhîm Atfîsy, j. 15, h. 240.
50
Abu al-Fidâ’ Ismâil bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm
(Dâr Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1999), v.7, h. 89.
51
Muhammad al-Tâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Tâhir bin ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-
Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 1984), j. 23, h. 348.
52
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, v. 2, h. 184.
64
diberikan oleh Allah.”53 Ini berarti ulil albâb adalah mereka yang berpikir karena akal
orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh ‘kulit’, yakni
kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. 54 Dengan akal tersebut
kebinatangan atau dikuasai oleh ajakan unsur debu tanahnya. 56 Mereka adalah siapa
saja yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan dan atau hati, dan dalam
Mudhary, ulil albâb adalah orang-orang yang beriman yang selalu didampingi oleh
dari segi etimologinya, keduanya memiliki makna yang sama. Di dalam Kamus Besar
53
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansârî al-Khazrajî Syams
al-Dîn al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), penahqiq:
Ahmad al-Bardûnî & Ibrâhîm Atfîsy, v. 4, h. 310.
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), v. 1, h. 369.
55
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 1, h. 543.
56
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 1, h. 407.
57
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 2, h. 292-293.
58
Bahaudin Mudhary, Menjelajah Angkasa Luar (Analisa Metafisika al-Mi’raj), cet. 5
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1989), h. 36. Penulis mengaitkan pandangan Quraish Shihab dan
Bahaudin Mudhary dengan asumsi bahwa malaikat senantiasa berada di dekat orang yang berdzikir.
65
sesuatu”. Kata tersebut berasal dari kata “cendekia” yang antara lain berarti “cepat
mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar”.59 Sedangkan dalam Kamus Ilmiah
padanan katanya dalam kamus Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
“cendekia” dapat berarti “bernas, brilian, cemerlang, cerdas, cerdik, encer, genial,
genius, intelek, inteligen, lantip, pandai, pintar, ringan kepala, tajam, terang akal”
orang yang unggul dalam daya pikirnya sama seperti pengertian ulil albâb yang telah
beberapa karakteristik khusus sebagai ciri-ciri ulil albâb. Ini menandakan bahwa
makna “cendekiawan” saja tidak cukup mewakili esensi ulil albâb. Oleh karena itu,
antaranya terdapat dalam ayat Makkîyyah dan tujuh sisanya berupa Madanîyyah.62
59
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. 1
(Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 258
60
Pius Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.t.), h. 94.
61
Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cet. 1
(Bandung: MIzan, 2009), h. 123. Berdasarkan pengertian ini, ulil albâb adalah cendekiawan.
62
Yusuf Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim & Sochimien, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 30.
66
Rinciannya adalah: Q.S.al-Baqarah (2): 179, 197, dan 269; Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7 dan
190; Q.S. al-Mâidah (5): 100; Q.S. Yusuf (12): 111; Q.S. al-Ra’d (13): 19; Q.S.
Ibrâhîm (14): 52; Q.S. Sâd (38): 29 dan 43; Q.S. al-Zumar (39): 9, 18, dan 21; Q.S.
beberapa ayat ada yang serupa, namun mayoritas berbeda. Melalui konteks ini, kita
63
Shahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, v. 1, h. 191.
64
Identifikasi karakteristik ulil albâb ini merupakan hasil pengamatan penulis langsung
berdasarkan ayat-ayat ulil albâb dalam al-Qur’an. Berhubung ada beberapa ayat yang merupakan
sambungan ayat sebelumnya, atau masih berkaitan dengan ayat setelahnya, maka penulis turut
memasukkan beberapa karakteristik dari lanjutan ayat tersebut. Hasil pembacaan karakteristik ulil
albâb ini tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil pembacaan peneliti lain. Lihat: Sri Susanti, “Kajian
Kritis terhadap Konsepsi ‘Ulil Albab’ dalam al-Qur’an”, Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, h. 4.
Ditinjau dari kesimpulannya, tampaknya Sri hanya mengutip dan sedikit menambahkan
pendapat Jalaluddin Rahmat yang menyebut lima ciri ulil albâb. Adapun kelima ciri tersebut yaitu:
pertama, bersungguh-sungguh mencari ilmu (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 7 & 190); kedua, mampu
memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun harus menentang orang
banyak (Q.S. al-Mâidah [5]: 100); ketiga, kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai
menimbang-nimbang ucapan, teori, dan dalil yang dikemukakan orang lain (Q.S. al-Zumar [39]: 18);
keempat, menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki masyarakatnya, memberi peringatan, serta
membela mereka saat terjadi ketidakadilan (Q.S. Ibrâhîm [14]: 52. Q.S. al-Ra’d [13]: 19-22); kelima,
tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah (Q.S. al-Baqarah [2]: 197, Q.S. al-Mâidah [5] 179,
Q.S. al-Talâq [65]: 10).
Selain ciri-ciri umum di atas, Jalaluddin Rahmat memberikan ciri-ciri khusus ulil albâb yang
hanya dimiliki oleh ulil albâb dan yang membuatnya berbeda dengan ilmuwan atau intelektual, yakni:
rajin beribadah, bangun malam untuk bersujud dan ruku’ di hadapan Allah serta memohon ampunan-
Nya (Q.S.al-Zumar [39]; 9). Tanda khas lainnya adalah senantiasa mengingat-Nya sepanjang waktu
(Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 191). Oleh karena tanda khusus ini, Jalaluddin Rahmat menyimpulkan bahwa ulil
albâb adalah ilmuwan atau intelektual yang saleh dan bertaqwa. Lihat: Jalaluddin Rahmat, Islam
Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, cet. 5 (Bandung: Mizan, 1993), h. 213-215.
67
Bila diperhatikan secara saksama, dari keseluruhan ciri-ciri yang ada dapat diambil
kesimpulan bahwa ulil albâb adalah seorang muslim yang beriman, bertaqwa, taat
dan rajin beribadah, senantiasa berdzikir kepada Allah, berilmu dan berpengetahuan
luas, serta mampu mengambil pelajaran terhadap fenomena yang ada di sekelilingnya
68
“yatadzakkaru” atau “yadzdzakkaru” yang sering muncul ketika lafadz “ulil albâb”
disebut dalam ayat.66 Kedua lafadz tersebut berasal dari akar kata yang sama dengan
dzikr, yakni: dzakara. Oleh karenanya, penting kiranya mengetahui lebih jauh terkait
Ulil albâb dikenal sebagai sosok ahli pikir dan dzikir.67 Hal ini tidak terlepas
dari penjelasan al-Qur’an menyangkut dirinya. Ayat yang paling jelas menyebut ciri-
ciri tersebut adalah Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191. Selain itu, tercatat ada 10 dari 16
ayat dalam al-Qur’an yang menyebut ulil albâb dan menyifatinya dengan padanan
lafadz dzikr. Artinya, secara keseluruhan ada sebelas ayat yang menyebut ulil albâb
dan dzikr secara bersamaan. Kesebelas ayat itu adalah: Q.S. al-Baqarah (2): 269, Q.S.
Âli ‘Imrân (3): 7 & 191, Q.S. al-Ra’d (13): 19, Q.S. Ibrâhîm (14): 52, Q.S. Sâd (38):
29 & 43, Q.S. al-Zumar (39): 9 & 21, Q.S. Ghâfir (40): 53-54, dan Q.S. al-Talâq (65):
10.68
65
Penulis mengutip dan menambahkan pendapat Sri Susanti. Sri Susanti, “Kajian Kritis
terhadap Konsepsi ‘Ulil Albab’ dalam al-Qur’an”, h. 11. Susanti tampaknya sepakat dengan apa yang
dikemukakan oleh M. Dawam Rahardjo. Lihat: M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 557.
66
Yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 269, Q.S. Âlî ‘Imrân (3): 7, Q.S. al-Ra’d (13): 19, Q.S. Ibrâhîm
(14): 52, Q.S. Sâd (38): 29, Q.S. Sâd (38): 43, Q.S. al-Zumar (39): 9.
67
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. 2 (Bandung:
Mizan Media Utama, 2008), h. 296.
68
Ayat dan terjemah terlampir dalam lampiran.
69
digunakan dalam penggambaran sosok ulil albâb dalam al-Qur’an adalah lafadz:
yadzkurûna, yadzdzakkaru, yatadzakkaru, dzikr, dan dzikrâ. Setiap ayat yang berisi
Menilik tabel di atas, di antara beberapa lafadz dzikr serta bentuk derivasinya,
hanya Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 (yadzkurûna) yang objeknya adalah Allah. Adapun
ayat-ayat lain menunjuk pada objek yang bermacam-macam dan bukan pada Allah.
Artinya, secara zahir, hanya ada satu ayat yang makna dzikr-nya berorientasi pada
term dzikr yang digunakan oleh kalangan tasawuf. Sementara makna dzikr pada ayat
lain berkaitan dengan pelajaran atau peringatan dari objek yang disebutkannya.
Apabila kedua bentuk dzikr ini sama-sama dilakukan oleh ulil albâb, pertanyaan yang
patut dimunculkan di sini adalah: apakah kedua macam dzikr tersebut merupakan
70
suatu pekerjaan yang sama atau berbeda? Untuk menjawab pertanyaan ini, pada sub-
bab berikut penulis memaparkan penafsiran para mufassir mengenai hal itu.
Berikut ini adalah tafsiran ayat-ayat ulil albâb berdasarkan kelompok lafadz derivasi
dzikr-nya.
a. Yadzkurûna
wâwu jamak dari fi’il mâdi “dzakara” yang berarti “mengingat” atau “menyebut”.69
Lafadz tersebut berupa tsulâtsî mujarrad dan merupakan fi’il muta’addi yang
membutuhkan objek. Objek yang dibutuhkan hanya berjumlah satu saja, tidak lebih.70
Di antara sekian banyak ayat ulil albâb, lafadz ini hanya tersebut pada Q.S. Âli
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan
kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka.” 71
Menilik sabab al-nuzûl-nya, ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang
menceritakan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi Muhammad Saw sedang mendirikan
salat malam. Bilâl kemudian datang menemuinya untuk mengabari bahwa waktu salat
69
Fi’l mâdi adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti lampau. Sedangkan
fi’l mudâri’ adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti sekarang atau akan datang.
Muhammad Ma’sum bin Ali, al-Muyassarah al-Imdâriyyah fî Syarh al-Amtsilah al-Tasrîfiyyah
(Jombang: T.pn, t.t.), h. 2. Di dalam ilmu balâghah, penggunaan fi’l mudâri’ menunjukkan
kelanggengan suatu pekerjaan. Artinya, ketika –misalnya- zaid yadzkuru yang berarti “Zaid
mengingat”, itu berarti dia senantiasa melakukan hal itu.
70
Ma’sum bin Ali, al-Muyassarah al-Imdâriyyah, h. 16.
71
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 75.
71
akan segera tiba. 72 Saat itu, Bilâl melihat Rasulullah Saw sedang menangis. Ia
bertanya, “Wahai utusan Allah! Apakah engkau sedang menangis sementara Allah
sungguh telah mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?
Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Bilâl! Apakah aku tidak mau menjadi hamba
yang bersyukur sementara Allah Swt telah menurukan padaku pada malam ini ayat
‘inna fî khalq al-samâwâti wa al-ard wa ikhtilâf al-lail wa al-nahâr la-âyât li-ulî al-
albâb’” Kemudian beliau bersabda, “Celakah bagi orang yang membacanya dan tidak
memikirkannya!”73
72
Perlu diketahui, Nabi Saw memiliki dua muadzdzin, yaitu: Bilâl bin Râbah dan ‘Abdullâh bin
Umm Maktûm. Khusus pagi hari, Bilal melakukan adzan sesaat sebelum fajar sebagai tanda bahwa
waktu subuh akan segera tiba, sedangkan Ibn Umm Maktûm beradzan ketika terbitnya fajar sebagai
tanda bahwa waktu subuh telah tiba. Dalam riwayat ini, Bilâl mendatangi Rasulullah Saw untuk
mengabarinya bahwa subuh akan segera tiba. Lihat: Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-
Mughîrah al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh, cet. 1 (Kairo: Dâr al-Syi’bi, 1987), j. 1, h. 160.
73
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansârî al-Khazrajî Syams
al-Dîn al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), penahqiq:
Ahmad al-Bardûnî & Ibrâhîm Atfîsy, v. 4, h. 310. Dalam riwayat Ibnu Hibbân, diceritakan bahwa
‘Atâ’ dan ‘Ubaid bin ‘Umair datang ke ‘Aisyah Ra. ‘Umair kemudian bertanya pada ‘Aisyah Ra
tentang hal apa yang paling menakjubkan dari Rasulullah Saw yang pernah dilihat olehnya. ‘Aisyah Ra
diam sejenak lalu berkata, “Suatu malam di antara malam-malamku, Rasulullah Saw bersabda, ‘Wahai
‘Aisyah, biarkan aku malam ini beribadah pada tuhanku.’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, aku paling
suka di dekatmu dan apa yang membahagiakanmu!’ Maka kemudian Rasulullah Saw bangun dan
bersesuci. Beliau lalu salat dan tidak berhenti menangis sampai (air matanya) membasahi lekuk
matanya. Beliau terus menangis sampai jenggotnnya basah. Beliau menangis sampai lantai basah.”
Setelah itu, Bilâl datang menemui beliau. Selebihnya, sama dengan riwayat di atas. Lihat: Muhammad
bin Hibbân bin Ahmad bin Hibbân bin Mu’âdz bin Ma’bad al-Tamîmî, Sahîh Ibn Hibbân bi-Tartîb Ibn
Bulbân (T.tp.: Muassisah al-Risâlah, t.t.), j. 2, h. 387.
Di riwayat lain, diceritakan bahwa Ibn ‘Abbâs menginap di rumah bibinya, Maimunah Ra.
Malam itu, Rasulullah Saw berbincang dengan keluarganya sekian lama. Beliau kemudian beristirahat.
Ketika tiba sepertiga malam terakhir, Nabi Saw bangun dan memandang ke langit. Beliau kemudian
membaca ayat “innâ fî khalq…” Beliau lalu berdiri, lantas mengambil wudu dan menyikati giginya,
Kemudian beliau salat sebelas rakaat. Bilâl lalu adzan. Nabi Saw lantas salat dua rakaat kemudian
keluar untuk melaksanakan salat subuh. Lihat: al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh, j. 6, h. 51 & j. 8, h. 59.
Sementara itu, riwayat lain Ibnu ‘Abbâs dalam Sahîh Muslim disebutkan bahwa Ibn ‘Abbâs
tidur di sisi Rasulullah Saw. Nabi kemudian bangun lalu bersiwak dan berwudu lalu berkata “inna fî
khalq…” Beliau membaca ayat tersebut sampai akhir surat. Setelah itu, beliau salat dua rakaat dan
memanjangkan salatnya. Setelah itu, beliau kembali ke tempat tidur dan beristirahat sampai suara
nafasnya terdengar. Beliau melakukan hal tersebut (bangun, bersiwak, berwudu, membaca ayat-ayat
akhir surat Âli ‘Imrân) tiga kali secara berulang sehingga terhitung enam rakaat. Beliau lalu salat witir
tiga rakaat.Kemudian muadzin adzan. Rasulullah Saw pun keluar untuk salat subuh seraya berdoa,
“Allahumma ‘j’al fî qalbî nûran wa fî lisânî nûran wa ‘j’al fî sam’î nûran wa ‘j’al fî basarî nûran wa
72
maksud ayat yang diturunkan. Rasulullah Saw tidak memberikan keterangan apapun
menggambarkan kondisi dan situasi saat Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190 ini turun, yakni:
pada tengah malam ketika Nabi Muhammad Saw sedang mendirikan salat malam
sehingga beliau menangis. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau memandang
langit seraya membaca ayat tersebut, setelah itu beliau beribadah. Berdasarkan
konteks ini, secara implisit dapat dipahami bahwa Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-191
berbicara mengenai tadabbur yang mencakup olah pikir dan dzikir. 74 Konteks ini
pula yang turut memengaruhi penafsiran beberapa ulama terkait tafsir lafadz
saat tasyahud dan selain salat, dan tidur. Ini berlandaskan sebuah riwayat dari Ibnu
‘j’al min khalfî nûran wa min amâmî nûran wa ‘j’al min fauqî nûran wa min tahtî nûran. Allahumma
a’tinî nûran.” Lihat: Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Naisâbûrî, al-
Jâmi’ al-Sâhîh (Beirut: Dâr al-Jail & Dâr al-Afâq al-Jadîdah, t.t.), j. 2, h. 182. Riwayat lain yang
serupa bisa dirujuk dalam: Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’at al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud (Beirut:
Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, t.t.), j. 1, h. 21; Ahmad bin Syu’aib Abû ‘Abd al-Rahmân al-Nasâî, al-
Mujatabâ min al-Sunan (Halb: Maktab al-Matbû’ât al-Islâmiyyah, 1986), j. 3, h. 237; Ahmad bin
Hanbal Abû ‘Abdillah al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassisah Qurtubah,
t.t.), j. 1, h. 275, 350, & 373.
Terakhir, ada pula riwayat lain yang diragukan keabsahannya. Menurut riwayat ini, suatu ketika
kaum musyrik meminta bukti kenabian Rasulullah Saw dan menantangnya dengan menghadirkan
mukjizat seperti Nabi Musa As atau Nabi Isa As. Mereka menyuruh Nabi Muhammad Saw meminta
kepada Allah Swt agar mengubah bukit Safâ menjadi emas. Allah lalu menurunkan ayat ini (Q.S.
3:190). Lihat: Ahmad bin ‘Alî bin Hajar Abû al-Fadl al-‘Asqalânî al-Syâfi’î, Fath al-Bârî Syarh Sahîh
al-Bukhârî (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H), j. 8, h. 235.
74
Menurut al-Nawawî, sunnah ini dianjurkan ketika terjaga pada malam hari karena keutamaan
tadabbur. Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf bin Mirrî al-Nawawî, al-Minhâj Syarh Sahîh Muslim bin
al-Hajjâj, cet. 2 (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, 1392 H), j. 3, h. 145.
73
Juraij, “Firman Allah: alladzîna yadzkurûna-llâha … Dzikr (di sini) adalah dalam
mengingat Allah dalam salat dan selain salat, dan baca al-Qur’an.”75 Al-Tabarî juga
menjelaskan bahwa Allah menyifati orang-orang yang berdzikir dan berpikir dengan
ulil albâb karena apabila melihat perkara-perkara yang dilarang, mereka akan
mengingat Allah.76
Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 sebagai dalil bahwa manusia wajib mengingat Allah dalam
semua keadaan.77 Menurutnya, lafadz yadzkurûna bisa bermakna dzikr dengan lisan
dan bisa pula bermakna salat fardhu maupun sunnah. Berkaitan dengan ini, lafadz
kekuasaan Allah serta segala yang diciptakannya ialah termasuk ibadah, sama seperti
dzikrullah.78
dilakukan oleh ulil albâb semua tidak terlepas dari Allah. Ketika melihat sesuatu, lalu
memikirkannya, hasil pikiran mereka tidak luput dari-Nya. Apapun yang mereka
lafadz yadzkurûna dengan mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî,
“Salatlah dengan berdiri! Bila kalian tidak mampu, maka dengan duduk. Bila tidak
75
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân (Muassasah al-Risâlah, 2000), j. 7, h. 474.
76
Al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 7, h. 476.
77
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, v. 4, h. 310.
78
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, h. 313.
74
terputus dalam semua keadaan, batin, perasaan, dan lisan ûlûl albâb.80 M. Quraish
pandangan ini, ulil albâb adalah mereka yang selalu berzikir di mana pun dan kapan
pembenaran dengan hati, peneguhan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota
badan. Pada ayat ini, lafadz yadzkurûna Allah ditafsirkan sebagai penghambaan lisan;
hati, pikiran, dan ruh. 82 Penjelasan al-Râzî ini tampaknya lebih umum dibanding
langsung ia telah memerinci aktifitas zikir ulil albâb. Pengklasifikasiannya atas tiga
menganggap dzikr di sini bukan khusus salat, tapi dzikir hati, yakni menghadirkan
79
al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh, v. 2, h. 60.
80
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.2, h. 184.
81
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 2, h. 292.
82
al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 9, h. 140.
75
Mengacu pada ayat sebelumnya (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 190), menurutnya, ayat ilahi di
langit dan bumi tidak akan tampak kecuali bagi ahli dzikir. Dzikir kepada Allah Swt
tidak cukup dengan mengambil pelajaran sekaligus petunjuk pada ayat-ayat, tapi
diisyaratkan adanya tafakur di dalamnya. Maka tidak boleh tidak menjamak dzikir
dan pikir. Karena ada orang yang berdzikir saja bahwa Allah tuhannya tapi tidak
berpikir mendalam, tapi tidak ingat (dzikr) kepada Allah. Fikr tidak berfaedah tanpa
adanya dzikr. Sebaliknya, dzikr meski berfaedah di dunia dan akhirat, tidak sempurna
tanpa fikr. 83Lebih jauh lagi, Ibnu ‘Âsyûr bahkan berpandangan dzikr bila dikerjakan
dengan lisan atau hati, keduanya adalah tafakur.84 Selaras dengan pendapat ini, al-
Marâghî menjelaskan bahwa yang dimaksud dzikr pada ayat ini adalah yandzurûna,
Allah dan mengambil pelajaran dari hikmah-Nya). Adapun dzikir kepada Allah harus
klasik. Menurut hemat penulis, intinya secara tidak langsung mereka bersepakat
bahwa yang dimaksud dzikr pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 adalah senantiasa
mengingat Allah Swt dalam semua keadaan dan dalam bentuk apa saja. Terkait ulil
albâb, aktifitas pikir mereka juga termasuk dzikr karena tidak terlepas dari ingatan
83
Muhammad Rasyîd ‘Alî Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr) (al-Hai’ah al-
Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1990), j. 4, h. 245.
84
Muhammad al-Tâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Tâhir bin ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-
Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 1984), j. 4, h. 196.
85
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, cet. 1 (Mesir: Syirkah Maktabah wa
Matba;ah Mustâfâ al-Bâbî al-Halbî wa Aulâduhu, 1946), v. 4, h. 162.
76
dalam seluruh situasi dan kondisi saat bekerja atau istirahat, sambil berdiri atau
penciptaan alam.86 Dalam hal ini, objek dzikir adalah Allah. Dzikir didahulukan atas
pikir karena dengan dzikir hati menjadi tenang. Dengan ketenangan pikiran menjadi
cerah, bahkan siap untuk memperoleh limpahan ilham dan bimbingan ilahi.87
Lafadz yadzdzakkaru merupakan bentuk fi’il mudâri’ dari fi’il mâdi “tadzakkara”.
Pada asalnya, lafadz yadzdzakkaru berupa yatadzakkaru. Huruf ta’ diganti dzal
yadzdzakkaru.88 Lafadz tersebut berupa tsulâtsî mazîd khumâsî dan merupakan fi’il
penggunaannya, bentuk kata ini berfaedah untuk menjadikan objeknya sebagai objek
asal kata kerjanya yang asli.89 Dalam hal ini, tadzakkara berasal dari lafadz dzakara
menjadikan sesuatu sebagai pengingat. Di antara sekian 16 ayat ulul albâb, lafadz
86
Shihab, Tafsir al-Mishbah, j. 2, h. 372.
87
Shihab, Tafsir al-Mishbah, j. 2, h. 373.
88
Abû al-Baqâ’ ‘Abdullâh ibn al-Husain ibn ‘Abdullah al-‘Akbarî (w. 616 H), al-Tibyân fî
I’râb al-Qur’ân (T.tp.: ‘Îsâ al-Bâbî al-Halbî wa Syurkâhu, t.t.), penahqiq: ‘Alî Muhammad al-Bajâwî,
v. 1, h. 220.
89
Tadzakkara mengikuti wazan “tafa’’ala” yang salah satu fungsinya adalah li-ittikhâdz al-fâ’il
asla al-fi’l maf’ûl. Contoh: tabannaitu yûsuf artinya ittakhadztu ibn, saya menjadikan Yusuf sebagai
anak. Jadi, tadzakkara berarti ittakhadza dzikr, menjadikan sesuatu sebagai ingatan (pengingat).
Ma’sum bin Ali, al-Muyassarah al-Imdâriyyah, h. 53.
77
beberapa literatur tafsir, penulis mendapati bahwa lafadz tersebut ditafsirkan dengan
beberapa makna seperti yatta’izu dan ya’tabiru yang umumnya berarti “mengambil
khusus hanya bisa dilakukan oleh ulil albâb adalah berupa perenungan yang
Tadzakkur berbeda dengan tafakkur yang disebut dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3):
memiliki ciri tertentu. Selain tadzakkur, aktifitas berpikir lain yang memiliki ciri
khusus adalah tadabbur. Namun, antara tadzakkur dan tadabbur juga tidaklah sama.
90
Yatadzakkaru: Q.S. al-Ra’d (13): 19, Q.S. Sad (38): 29, dan Q.S. al-Zumar (39): 9.
Yadzdzakkaru: Q.S. al-Baqarah (2): 269, Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7, dan Q.S. Ibrâhîm (14): 52.
91
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 5, h. 580; al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v.
3, h. 42; al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 9, h. 40; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1 (Ciputat: Lentera Hati, 2000), v. 1, h. 543.
92
“Aktifitas berpikir dan merenung yang mengantarkan pelakunya sampai pada pengetahuan
yang dimaksud oleh beberapa makna. Ini terjadi dalam perkataan yang sedikit lafadznya namun
banyak makna yang tersimpan di dalamnya, sekiranya setiap kali apa yang ditadabburinya bertambah,
78
membedakan kegiatan tadzakkur adalah pengaktifan akal saat berpikir atas apa yang
diketahui. Merujuk beberapa ayat yang menerangkan “innamâ yatadzakkaru ulû al-
albâb”, bahwa tadzakkur hanya bisa dilakukan oleh ulil albâb, maka bisa dimaklumi
jika kegiatan berpikir tersebut hanya disandangkan pada ulil albâb yang dicirikan
sebagai orang yang berakal. Mereka tidak hanya merenung tanpa hasil, tapi mampu
Aktifitas tadzakkur yang dilakukan ulil albâb tentunya tidak akan ada tanpa
adanya suatu objek. Melalui sebuah objek, ulil albâb mampu ber-tadzakkur. Hasil
pikiran dari pengamatan objek itulah yang kemudian menjadi pelajaran bagi mereka.
Terkait hal ini, al-Qur’an telah memberikan contoh beberapa objek yang patut
Q.S. (2) al-Baqarah: 269, misalnya. Ayat ini berbicara tentang hikmah.94 Al-
Râzî dalam Mafâtîh al-Ghaib menjelaskan bahwa ketika manusia melihat al-hikam95
maka tersingkaplah makna-makna yang tidak akan tampak secara kasat mata.” Lihat: Ibnu ‘Âsyûr al-
Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 252.
93
“Penghadiran akal atas apa yang diketahuinya seraya jujur dengan menghadirkan apa saja
yang terlupa dan apa saja yang seharusnya tidak dilupakan. berupa pengetahuan.” Lihat: Ibnu ‘Âsyûr
al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 252.
94
Al-Qurtubî menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai lafadz hikmah. Al-Siddî
berpendapat hikmah adalah nubuwwah (kenabian). Ibn ‘Abbâs menafsirkannya sebagai “pengetahuan
yang berkaitan dengan al-Qur’an: fiqh-nya, nas-nya, muhkam-nya, mutasyâbih-nya, gharîb-nya,
permulaan dan penutupnya”. Sedangkan menurut Mujâhid dan Qatâdah, hikmah adalah fiqh
(pemahaman) dalam al-Qur’an. Mujâhid berkata bahwa hikmah adalah “ketepatan/kebenaran dalam
ucapan dan perbuatan”. Ibnu Zaid berkata, “hikmah adalah akal dalam agama.” Mâlik bin Anas
berpendapat, “hikmah adalah mengetahui agama Allah dan memahaminya serta mengamalkannya.”
79
tidak akan didapatkan kecuali berkat anugerah dan kemudahan dari Allah Swt, maka
ia termasuk golongan ulil albâb karena ia tidak berhenti pada al-musabbibât (yang
yang dimaksud dengan al-tadzakkur yang tidak akan berhasil kecuali bagi ûlûl
kehadiran dan kuatnya lubb tersebut. Artinya, hikmah dapat dimengerti apabila ulil
Tidak hanya itu, menurut al-Marâghi, dengan tadzakkur seorang ulil albâb
dituntut untuk mengamalkan pengetahuannya atas hikmah dengan cara berbuat hal-
hal yang bermanfaat bagi kehidupan pun juga kesejahteraannya. Artinya, kegiatan
berpikir yang dilakukan ulil albâb pada akhirnya tidak hanya berupa pemikiran saja,
Menurut al-Qurtubî, beberapa pengertian tentang hikmah tersebut hampir sama –kecuali pendapat al-
Siddî-. Intinya, hikmah berasal dari ahkâm yang berarti al-itqân fî qaul au fi’l (kemantapan dalam
berucap dan berbuat). Asal makna hikmah adalah “segala sesuatu yang mencegah kebodohan”. Oleh
karenanya, ilmu disebut hikmah. al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 330.
95
Al-hikam adalah jam’ al-taktsîr dari lafadz al-hikmah. Kata tersebut sama seperti yang
disebut dalam ayat yang sedang dibahas. Sebelum membahas ulûl albâb, al-Râzî membahas secara
rinci pengertian al-hikmah. Mengutip riwayat dari Muqâtil, kata al-hikmah dalam al-Qur’an memiliki
empat penafsiran, yaitu: 1) nasihat al-Qur’an; 2) pemahaman, pengetahuan; 3) kenabian; 4) al-Qur’an
dengan segala keajaiban dan rahasianya. Muhammad al-Râzî Fakhr al-dîn ibn al-‘Allâmah Diyâ’ al-
Dîn ‘Umar, Mafâtîh al-Ghayb, cet. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), v. 7, h. 73.
96
al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 7, h. 74, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar Ibnu Katsîr al-Qurasyî
al-Dimasyqî (700-774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm (T.tp.: Dâr Taybah li al-Nasyr wa al-Tawzî’,
1999M/1420H), v. 1, h. 701.
97
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 3, h. 64.
98
al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 3, h. 42.
80
Pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7, yang menjadi objek tadzakkur adalah ayat-ayat
muhkam dan mutasyâbih. Sebagaimana diketahui, ayat muhkam adalah ayat yang
hanya diketahui oleh Allah saja. 99 Setelah melakukan tadzakkur, ulil albâb pasti
mutasyâbihât.100 Hal itu mereka lakukan karena mereka memahami, mengerti, dan
dan mutasyâbihât). 101 Mereka tahu apa yang zahirnya sesuai dengan petunjuk-
petunjuk akal adalah muhkam dan yang zahirnya menyalahi petunjuk-petunjuk akal
kebenaran absolut yang hanya dimiliki Allah.102 Atas kesadarannya tersebut, mereka
Pada ayat 52 surat Ibrâhîm, yang menjadi objek tadzakkur adalah al-Qur’an.
Ayat ini merupakan penutup surat Ibrâhîm. Isinya berbicara mengenai salah satu
fungsi al-Qur’an, yakni sebagai al-hudâ (petunjuk) yang berisi al-balâgh (penjelasan)
bagi umat manusia. Dengan tadzakkur al-Qur’an, seorang ulil albâb tahu keesaan
99
Mannâ’ Khalîl al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, cet. 10 (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2007), h. 305.
100
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 4, h. 19.
101
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.2, h. 12.
102
al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 7, h. 193, Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, v. 2, h. 16. Menurut al-Marâghî, ulil albâb dapat memikirkan dan memahami
hikmah keberadaan ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih. Dengan me-tadabbur-i dan me-tafakkur-i ayat-
ayat muhkam yang merupakan usûl (ajaran yang pokok), sehingga ketika dihadapkan pada ayat-ayat
mutasyâbih mereka dapat mengingat-ingat ayat muhkam dan mengembalikan masalah mutasyâbih
tersebut padanya. Mereka kemudian mengakui bahwa masalah mutasyâbih tidak pantas bagi dipelajari
oleh orang yang berakal. al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 3, h. 98
103
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 3, h. 169.
81
Allah. 104 Adapun menurut Ibnu ‘Âsyûr, tadzakkur dalam ayat ini adalah dengan
melihat ada beberapa tahapan sifat berurutan yang ingin ditunjukkan oleh ayat
tersebut, yaitu: pertama, sifat tablîgh (balâgh) yang berarti menyampaikan; kedua,
sifat indzâr (li-yundzarû) yang berarti memperingatkan; ketiga, sifat ‘ilm (li-ya’lamû)
yang berarti mengetahui; dan keempat, sifat tadzkîr (li-yadzdzakkara) yang berarti
mengambil pelajaran. Keempat sifat tersebut saling berhubungan dan terjadi secara
al-Qur’an. 106 Artinya, seorang ulil albâb tidak hanya berpikir dan merenung saja,
namun juga mengamalkan apa yang dipikirkan dan direnungkannya dari al-Qur’an.
Selain itu, menilik pendapat al-Râzi, dengan tadzakkur apa yang dilakukan ulil albâb
104
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 17, h. 57.
105
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 13, h. 255.
106
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 7, h. 84.
107
Dalam penafsiran ayat ini, al-Râzî lebih mengaitkannya dengan nafsu. Ia menjelaskan bahwa
nafsu manusiawi (al-nafs al-insâniyyah) ada dua macam. Pertama, daya nalar dan segenap
kesempurnaannya dalam mengenali segala yang ada dengan bagian-bagian, jenis-jenis, dan macam-
macamnya hingga nafsu itu menjadi layaknya cermin yang tampak di dalamnya sucinya kekuasaan dan
tampak pula di dalamnya agungnya ketuhanan. Adapun pokok pengetahuan ini adalah tauhid pada
Allah baik dalam segi dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Kedua, daya praktik dan segenap
dorongannya untuk (al-sa’âdah) menyifati akhlak-akhlak terpuji yang menjadi landasan munculnya
perbuatan-perbuatan sempurna. Adapun pokok dorongan-dorongan daya ini adalah taat dan khidmat
pada Allah Swt.
Selanjutnya, dalam menafsirkan lafadz liya’lamû al-Râzî menjelaskan bahwa lafadz tersebut
merupakan isyarat pada sesuatu yang berkaitan dengan kesempurnaan daya nalar. Sedangkan lafadz
liyadzdzakkara merupakan isyarat pada sesuatu yang berkaitan dengan kesempurnaan daya praktik,
karena faedah al-tadzakkur (mengingat-ingat) dalam konteks ayat ini adalah pemalingan amal-amal
82
Selaras dengan ayat di atas, pada Q.S. al-Ra’d (13): 19 yang menjadi objek
perhatian ulil albâb adalah kebenaran al-Qur’an. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah
antara yang benar dan yang batil,109 lalu menginformasikan tentang ganjaran orang
yang patuh dan yang membangkang-Nya. 110 Ulil albâb tentu mampu mengambil
pelajaran dari ayat-ayat tersebut dan membuktikan dengan pengetahuannya bahwa al-
Qur’an adalah benar. Mereka bukanlah seperti kaum musyrikin yang tidak berakal
karena menyia-nyiakan fungsi akal mereka. 111 Ulil albâb bisa mengambil manfaat
batil pada amal-amal saleh. Menurutnya, ayat ini menunjukkan bahwa sejatinya manusia tidak
memiliki keutamaan dan kebaikan kecuali karena akalnya. Allah menurunkan kitab-kitab dan
mengutus para rasul untuk mengingatkan ulil albâb. Andai bukan karena kemuliaan agung dan
kedudukan tinggi bagi mereka, maka hal tersebut tidak akan pernah terjadi. al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb,
v. 19, h. 153-154.
108
Q.S. al-Ra’du (13): 16. Artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah Tuhan langit dan
bumi?’ Katakanlah, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selalin
Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya
sendiri?’ Katakanlah, ‘Samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat? Atau samakah yang
gelap dengan yang terang? Apakah mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?’
Katakanlah, ‘Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia Tuhan Yang Maha Esa, Mahaperkasa.”
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 251.
109
Q.S. al-Ra’du (13): 17. Artinya, “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka
mengalirlah ia (air) di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang
mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-
alat, ada (pula) buihnya seperti (buih arus) itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang
yang benar dan yang batil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi
yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.”
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 251.
110
Q.S. al-Ra’du (13): 18. Artinya, “Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan, mereka
(disediakan) balasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya mereka
memiliki semua yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka akan menebus
dirinya dengan itu. Orang-orang itu mendapat hisab (perhitungan) yang buruk dan tempat kediaman
mereka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.”
111
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 13, h. 123. Berdasarkan penjelasan ini,
penulis memahami bahwa dalam pandangan Ibnu ‘Âsyûr tadzakkur merupakan aktifitas akal aktif.
Oleh karenanya, yang bisa melakukan tadzakkur adalah ulil albâb yang senantiasa mengaktifkan
akalnya. Berbeda dengan kaum musyrikin yang meski mempunyai akal namun tidak mengaktifkan
fungsi akalnya sehingga mereka tidak mencapai pengetahuan ulil albâb.
83
makna gambaran. Mereka lalu mengambil intisari dari setiap kulit dan menerangkan
Objek yang sama terdapat pada Q.S. Sad (38): 29. Ayat ini berada di sela-sela
cerita Nabi Daud As. Sebagaimana ayat sebelumnya, konten ayat ini masih
bertemakan fungsi al-Qur’an bagi manusia. Pola pengungkapannya pun relatif sama.
Pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang sia-sia
dalam penciptaan langit dan bumi.113 Dia lalu mengingkari adanya persamaan antara
orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dengan orang kafir dan yang
melakukan kerusakan di bumi serta antara orang yang bertakwa dengan yang jahat. 114
Pada ayat ini, Allah Swt memberitahu bahwa al-Qur’an merupakan sebuah
kitab yang penuh berkah bagi siapa saja yang merenungkan dan memikirkannya.
Allah Swt menyandangkan kedua pekerjaan tersebut pada ulil albâb. Merekalah yang
112
al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 9, h. 40.
113
Q.S. Sâd (38): 27. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 455.
114
Q.S. Sâd (38): 28. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 455.
115
Ada dua hal menarik untuk diperhatikan. Pertama, di awal surah, lafadz dzikr telah
disebutkan dan merepresentasikan al-Qur’an. Allah berfirman, “Sâd wa al-Qur’ân dzi al-dzikr” yang
berarti “Sâd, demi al-Qur’an yang mengandung peringatan.” Al-Qur’an memang bersifat al-dzikr. Ada
banyak sekali ayat yang menyebutnya seperti itu. Oleh karena al-Qur’an berisi dzikr, maka orang yang
mengetahui dan mengambil peringatan tersebut dinamakan mutadzakkir/mudzdzakkir dan aktifitas
mereka disebut tadzakkur. Ayat ini jelas berhubungan dengan ayat lainnya yang menyatakan innamâ
yatadzakkaru ulû al-albâb. Jika diteliti, ayat-ayat tersebut bukan hanya berkaitan dengan kitab suci,
namun juga fenomena alam. Bila demikian, maka sifat al-dzikr senyatanya tidak hanya disandang oleh
al-Qur’an, tapi juga oleh makhluk ciptaan tuhan. Oleh karena itu, ayat-ayat yang diberikan oleh Allah
bukan hanya berupa ayat-ayat dalam kitab suci saja, namun juga tersebar ke seluruh penjuru alam.
Bagi ulil albâb, ayat-ayat tersebut mampu menyadarkan mereka akan sebuah kebenaran.
Kedua, penggunaan damîr pada lafadz li-yatadabbarû (jamak) dan li-yatadzakkara (tunggal).
Andai subjek dari kedua kata kerja tersebut sama, maka kemungkinan besar bentuk damîr pun harus
sama. Awalnya, menurut penulis, hal ini mengindikasikan sifat khusus yang dimiliki oleh ulil albâb
adalah tadzakkur karena dialah subjek dari kata kerja yatadzakkara. Namun, setelah diteliti lagi,
ternyata subjek dari kedua kata kerja itu sama, yakni ulil albâb. Lihat: Muhyi al-Dîn bin Ahmad
84
taufik itu, mereka dapat mengerti tentang rahasia-rahasia ajaib yang disebutkan dalam
Terakhir, dalam Q.S. al-Zumar (39): 9, ada dua permisalan yang dijadikan
bahan tadzakkur bagi ulil albâb, yaitu perbandingan antara orang musyrik dan ahli
ibadah dan antara orang tahu dan tidak tahu. Sebelum ayat ini, beberapa ayat
Allah, 119 bukti-bukti keesaan-Nya berupa jagat raya dan penciptaan manusia. 120
Bukti-bukti yang tercantum dalam ayat-ayat tersebut dapat pula menjadi objek
tadzakkur.
adalah orang-orang yang berakal dari golongan mukmin. 121 Mereka memiliki
mereka dapat mengetahui hikmah perbedaan banyak hal yang bertentangan. 122
Termasuk dalam hal ini, seorang ulil albâb pasti dapat membedakan mana yang baik
Mustafâ Darwîsy, I’râb al-Qur’ân wa Bayânihi, cet. 4 (Suriah: Dâr al-Irsyâd li al-Syuûn al-
Jâmi’iyyah, t.t.), j. 8, h. 355.
116
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 26, h. 203.
117
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 21, h. 191.
118
Q.S. al-Zumar (39): 1-2. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 458.
119
Q.S. al-Zumar (39): 3-4. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 458.
120
Q.S. al-Zumar (39): 5-7. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 458.
121
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 15, h. 240.
122
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.7, h. 89.
85
dan mana yang buruk, mana contoh yang dapat diteladani dan mana yang tidak patut
ditiru.123
pernyataan untuk mengingkari adanya persamaan antara orang yang tahu dan tidak
tahu. Ungkapan ini menunjukkan keutamaan orang yang tahu dan pengetahuan itu
sendiri. Ungkapan tersebut juga menetapkan tadzakkur hanya dilakukan oleh ‘âlamîn
(manusia dan jin) dan bukan selain mereka. Hal ini dikarenakan tadzakkur berupa al-
Ibnu ‘Âsyûr juga menjelaskan bahwa akal dan ilmu merupakan dua kata yang
semakna. Jika ulil albâb adalah orang yang berakal, maka mereka merupakan orang
yang berilmu. Dengan ilmu yang dimilikinya, ulil albâb mengetahui hakikat segala
sesuatu dan bertindak sesuai dengan keilmuan mereka.125 Maka dari itu, bila ahli ilmu
adalah ahli tadzakkur, maka mereka dapat mengambil hikmah dari perbedaan antara
orang yang tahu dan tidak tahu. 126 Dengan ber-tadzakkur, ulil albâb mampu
123
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 26, h. 251.
124
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 351.Penulis memaknai ‘âlamîn
berdasarkan konteks pembicaraan yang berkaitan dengan akal. Sebagaimana dikutip al-Qurtubî, Ibnu
‘Abbâs memaknai ‘âlamîn sebagai manusia dan jin. Sementara itu, Abû ‘Ubaidah berpendapat bahwa
‘âlam adalah ibarat makhluk yang berakal. Alasannya, ‘âlamîn merupakan isim jam’ man ya’qul khâs.
Mereka ada empat, yaitu: manusia, jin, malaikat, dan syaitan. Lihat: al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qur’ân, j. 1, h. 138.
125
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 348.
126
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 351.
127
Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 12, h. 197.
86
c. Dzikr128
Kata ini hanya disebut dalam Q.S. al-Talâq (65): 10. Pada ayat tersebut ulil
albâb adalah orang-orang yang beriman pada Allah dan para utusan-Nya yang telah
Allah turunkan pada mereka dzikran. Pada ayat selanjutnya disebut lafadz rasûl.129
Ulama berbeda pendapat mengenai makna dzikr dan rasûl tersebut. Ada yang
menafsirkan dzikr adalah al-Qur’an130 sedangkan rasûl adalah Nabi Muhammad Saw
dan ada pula yang mengatakan dzikr bermakna rasul. Berdasarkan keterangan al-
Râzî, Rasul disebut dzikr karena ia bertugas mengingatkan manusia pada agama.131
Sedangkan menurut al-Tabarî, lafadz al-rasûl adalah penafsiran dari dzikr. Artinya,
Allah telah mengutus seorang rasul untuk mengingatkan ulil albâb untuk beriman
kepada Allah dan mengamalkan ketaan pada-Nya. 132 Penulis lebih condong pada
Menilik ayat ini, diketahui bahwa ulil albâb adalah orang-orang yang
bertakwa, yakni mereka yang beriman pada Allah dan pada para utusan-Nya yang
telah menerima kitab suci. Menurut Ibnu ‘Âsyûr, panggilan ulil albâb bagi orang
mukmin merupakan tanda bahwa akal yang sempurna (al-‘uqûl al-râjihah) mengajak
untuk takwa pada Allah Swt. Hal ini dikarenakan akal tersebut merupakan
128
Penjelasan dzikr berdasarkan tinjauan bahasa bisa dirujuk ke pembahasan awal bab ini.
129
Q.S. al-Talâq (65): 10.
130
Sebagaimana dianut oleh al-Qurtubî, Ibnu Katsîr, Ibnu ‘Âsyûr, dan al-Marâghî. Lihat: al-
Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 18, h. 173; Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.8, h.
155; Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 28, h. 337; al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v.
28, h. 148 & 150. M. Quraish Shihab mungkin termasuk dalam golongan ini meski dia mengartikan
dzikran dengan arti “peringatan”. Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
v. 14, h. 306.
131
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 30, h. 38.
132
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 23, h. 467-468.
87
manusia dapat terhindar dari kerugian dunia dan akhirat.133 Artinya, seorang mukmin
yang menggunakan akalnya seharusnya mengikuti petunjuk para rasul serta kitab suci
Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat bahwa dzikr pada Q.S. al-Talâq
(65): 10 adalah pengingat yang secara tidak langsung menghubungkan pikiran ulil
albâb pada Allah Swt. Allah memberikan peringatan tersebut pada ulil albâb tidak
lain agar mereka senantiasa mengingat-Nya kala lupa. Oleh karena itu, dzikr di sini,
baik berupa al-Qur’an maupun rasul, merupakan salah satu objek aktifitas berpikir
d. Dzikrâ
Sama seperti lafadz dzikr, dzikrâ merupakan isim masdar dari dzakara yang
berarti mengingat. Jadi, selain dzikr, lafadz dzakara mempunyai beberapa isim
masdar, yaitu: dzukr, dzikrâ, dan tidzkâr. Semuanya bermakna hafiza. 135 Oleh
karenanya, pemaknaan dzikrâ dalam konteks ayat ulil albâb tidak jauh berbeda
dengan pemaknaan dzikr yang telah penulis uraikan sebelumnya, yakni sebagai objek
Tidak seperti lafadz dzikr yang hanya disebut dalam satu ayat, penyebutan
lafadz dzikrâ terdapat dalam tiga ayat, yaitu:Q.S. Sad (38): 43, Q.S. al-Zumar (39):
133
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 28, h. 336.
134
Pada pembahasan yatadzakkaru, penulis menguraikan beberapa objek tadzakkur ulil albâb.
Menariknya, penulis melihat ada korelasi antara penggunaan kalimat fi’l (yatadzakkaru) sebagai kata
kerja dengan ism masdar (dzikr) sebagai kata benda. Hubungan di antara keduanya seakan
menunjukkan adanya hubungan sintagmatis dalam sebuah kalimat dengan ulil albâb sebagai
subjeknya. Kasarnya, penulis melihat adanya keterkaitan dari beberapa ayat-ayat dzikr yang menyebut
ulil albâb, yakni: beberapa ayat menerangkan aktifitasnya dengan menggunakan kata kerja
yadzkuru/yatadzakkaru/yadzdzakkaru dan objek aktifitas dengan kata benda dzikr.
135
Majma’ al-Lughghah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasît (Jeddah: Maktabah Kunûz al-
Ma’rifah, 2011), cet. ke-5, h. 324.
88
21, dan Q.S. Ghâfir (40): 53-54. Dari ketiga ayat tersebut diketahui bahwa Q.S. Sad
(38): 43 berbicara tentang sejarah; Q.S. al-Zumar (39): 21 tentang fenomena alam
Di dalam Q.S. Sad (38): 43, Allah Swt berfirman yang artinya:
kisah Nabi Ayyub As. Ketika membaca ayat-ayat tersebut, ulil albâb menggunakan
akalnya untuk memahami dan mengambil pelajaran dari kisah Nabi Ayyub As.138
Salah satu pelajaran yang bisa dipetik adalah, mereka tahu bahwa buah sabar adalah
kelapangan, jalan keluar, dan kelegaan. 139 Mereka juga tahu bahwa orang-orang yang
sabar pasti tidak akan merugi dan akan memperoleh buah kesabarannya.140
ahli pikir dan yang pandai menarik kesimpulan. Dalam konteks ayat ini, ulil albâb
dapat menarik kesimpulan dari kisah Nabi Ayyûb As bahwa kesabarannya dapat
dijadikan teladan bagi siapa saja yang sedang berada dalam kesulitan dan menunggu
jalan keluar.141
136
Fakta ini semakin meyakinkan asumsi penulis bahwa yang menjadi peringatan (dzikr) bagi
ulil albâb bukan hanya kitab suci, namun juga alam semesta. Lihat catatan kaki nomor 115.
137
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 456.
138
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j. 21, h. 211, al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 23,
h. 126; Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 12, h. 151.
139
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.7, h. 75.
140
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 26, h. 215.
141
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 272.
89
sebagai orang yang berakal sehingga mereka mengetahui kebesaran dan kekuasaan
Allah Swt. 144 Berbekal akal yang unggul, mereka memikirkan fenomena alam
tersebut lantas mengambil pelajaran bahwa dunia begini adanya: hijau indah nan elok
Terakhir, dalam Q.S. Ghâfir (40): 53-54 Allah Swt berfirman, yang artinya:
kepada para utusannya, yaitu sebagai hudâ (petunjuk) dan dzikrâ (peringatan).
Kandungan ayat tersebut sama seperti pada ayat sebelumnya, Q.S. Sad [38]: 29, yang
142
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 460.
143
Al-Râzî menafsirkan lafadz dzikrâ sebagai al-’ilm dan al-tadzakkur, yakni pelajaran. al-Râzî,
Mafâtîh al-Ghayb, v. 26, h. 264. Sedangkan Al-Marâghî dan M. Quraish Shihab mengartikan hanya
“pelajaran” saja. al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 23, h. 158; Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an, v. 12, h. 213. Sementara itu, Ibnu ‘Âsyûr berpendapat bahwa lafadz dzikrâ
menunjuk pada sesuatu yang telah dilupakan yang dibingungkan oleh orang berakal. Ibnu ‘Âsyûr al-
Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 23, h. 338.
144
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 21, h. 277.
145
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, v.7, h. 93.
146
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 473.
90
Bedanya, pada ayat ini al-Qur’an menunjukkan objek dari tadabbur dan tadzakkur itu
dan secara gamblang disebutkan bahwa fungsi kitab suci sebagai pedoman hidup
‘peringatan’.147 Namun, al-Râzî membedakan antara lafadz dzikrâ dan hudâ. Al-hudâ
adalah yang menjadi dalil atas sesuatu dan tidak disyaratkan menyebut sesuatu yang
karenanya, kitab-kitab para Nabi Allah terdiri dari dua macam ini: sebagian dijadikan
dalil bagi diri mereka dan satunya lagi dijadikan pengingat tentang apa yang datang
Senada dengan keterangan di atas, Ibnu ‘Âsyûr memandang bahwa huda dan
149
dzikrâ merupakan dua sifat kitab suci. Artinya, kitab suci berfungsi sebagai
petunjuk bagi Bani Israil dan peringatan bagi mereka. Di dalam kitab tersebut
terdapat pengetahuan yang tidak dapat diketahui meski oleh mereka yang
diketahui oleh ahli ilmu. Peringatan tersebut mencakup istinbât al-ahkâm (perumusan
hukum-hukum) dari nas-nas kitab. Dzikrâ inilah yang khusus dapat dilakukan oleh
‘ulamâ’ yaitu para nabi, para qâdî, dan orang-orang saleh. Mereka itulah ulil albâb
147
al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, j. 21, h. 403; al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, j. 15, h. 323; al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, v. 24, h. 82; Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, v. 12, h. 339.
148
Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, v. 27, h. 78.
149
Ibnu ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, j. 24, h. 170.
91
dzikr pada ayat-ayat ulil albâb, penulis melihat ada sebuah benang merah terkait
penggunaan lafadz dzikr dan derivasinya dalam menggambarkan aktifitas akal yang
dilakukan oleh ulil albâb. Benang merah tersebut penulis rasakan setelah mencermati
dzikr, dan dzikrâ.150 Bila setiap penggunaan lafadz tersebut dipetakan menjadi satu
kesatuan yang utuh disertai keterangan jenis lafadz dan objek pembahasannya, maka
Suatu kegiatan
berpikir transendental
yadzkuru Fi’il (kata kerja) Allah
yang dilakukan oleh
ulil albâb151
Menggambarkan
Yatadzakkaru/ Kitab Suci proses berpikir ulil
Fi’il
yadzdzakkaru Makhluk albab yang objeknya
adalah selain Allah152
150
Lihat catatan kaki nomor 115 dan 134.
151
Rujuk pembahasan tafsir lafadz yadzkurûna.
152
Rujuk pembahasan tafsir lafadz yatadzakkaru/yadzdzakkaru.
153
Rujuk pembahasan tafsir lafadz dzikr dan dzikrâ.
92
Allah
Ulil albâ b
Pada gambar ini tampak bahwa aktifitas akalnya mengarah ke atas, ke arah
transendental. Di sini, ulil albâb hanya mengingat saja tanpa memikirkannya. Hal ini
sesuai dengan perintah Allah Swt agar manusia memikirkan makhluk-Nya dan tidak
memikirkan-Nya.
Kitab suci
Ulil
albâ b
Makhluk
Pada gambar ini tampak arah berpikir ulil albâb menyamping. Di sini, mereka
mulai mengaktifkan akal mereka. Mereka mulai mengamati objek-objek berupa kitab
suci dan makhluk untuk dipelajari dan diambil manfaatnya. Selain itu, mereka juga
ini juga cocok untuk menggambarkan aktifitas berpikir yatafakkarûna pada Q.S. Âli
154
Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191.
155
Q.S. al-Baqarah (2): 269; Q.S. Âli ‘Imrân (3): 7; Q.S. Ibrâhîm (14): 52; Q.S. al-Ra’d (13):
19; Q.S. Sâd (38): 29; Q.S. al-Zumar (39): 9.
93
Allah
Dzikr
Gambar ini menjelaskan bahwa dzikr sebagai objek tadzakkur ulil albâb
ternyata menjadikan para pengamatnya (ulil albâb) ingat kepada Allah. Oleh karena
itu, secara tidak langsung semua dzikr yang menjadi objek tadzakkur itu mengarah ke
Allah
gambar ini, penulis ingin menyampaikan bahwa ada sirkulasi berpikir yang terjadi
pada akal ulil albâb di mana tujuan akhirnya adalah Allah. Jika akal itu bergerak
menuju ke atas, maka ia hanya sebatas “mengingat” saja yang lumrahnya disebut
dengan istilah dzikrullâh. Sedangkan bila aktifitas akal itu bergerak menyamping ke
arah makhluk Allah, maka saat itu ia berpikir secara mendalam sehingga mendapat
156
Q.S. al-Talâq (65): 10; Q.S. Sâd (38): 43; Q.S. al-Zumar (39): 21; Q.S. Ghâfir (40): 53-54.
94
pelajaran bahwa yang dipikirkannya itu berkaitan dengan Yang Di Atas. Inilah yang
dinamakan tadzakkur, yakni proses berpikir dengan akal aktif hingga sampai pada
sesuatu Yang Hak. Adapun panah putus-putus dari Allah ke dzikr/dzikrâ adalah
Kelahiran teks tidak terlepas dari konteksnya. Begitu pula sebuah pemikiran
(termasuk penafsiran) berkaitan erat dengan situasi dan kondisi di mana ia dilahirkan.
Sehubungan dengan itu, pada akhir tahun 1980-an sampai awal 1990-an, di tengah
kesenjangan antara kubu negara dan agama, terjadi sebuah pergumulan wacana
mendiskusikan posisi dan peran agama di zaman modern. Pewacanaan tersebut tidak
mengusung masa depan bangsa di abad ke-21 yang mereka sebut sebagai “era tinggal
landas”.
perkumpulan tersebut, mereka menyuarakan ide dan pendapat serta secara masif aktif
mencari solusi untuk menjembatani masalah negara-agama atau masalah klasik antara
agama dan ilmu pengetahuan. Sejak itu, kata “cendekiawan” menjadi kata yang
1
Dalam sebuah laporan yang dimuat di Prospek, 15 Desember 1990, disebutkan bahwa wadah
cendekiawan pernah ada pada tahun 1964 dengan nama Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami)
di Mega Mendung, Bogor. Kemudian pada tahun 1968 muncul Ikatan Sarjana Islam Indonesia. Era
dekade 70-an, Indonesia kebanjiran sarjana yang mayoritas lulusan S2 dan S3 luar negeri. Mereka
membawa kepedulian yang positif dan menjadikan masjid kampus sebagai pusat kegiatannya. Banyak
doktor menjadi dai semisal Fuad Amsyari di Unair, A.M. Saefuddin di IPB, Jalaluddin Rakhmat di
95
96
cendekiawan dengan konsep ulil albâb yang ada dalam al-Qur’an. 2 Ulil albâb
Dalam konteks ini, M. Dawam Rahardjo merupakan salah seorang aktor yang
terlibat langsung dalam pergumulan wacana tersebut di atas. Tidak hanya itu, ia turut
Unpad, dan Amien Rais di UGM. Beberapa tahun berselang, sepanjang dekade 80-an mulai marak
seminar-seminar tentang pembangunan dilihat dari visi Islam. Semua kegiatan tersebut berskala
nasional dengan melibatkan para pakar. Berkat berbagai pertemuan tersebut, muncul gagasan untuk
membuat sebuah wadah cendekiawan untuk memperkuat perjuangan. Pada akhir tahun 1984, kurang
lebih 165 cendekiawan muslim berkumpul untuk mendiskusikan tema “Perspektif Islam dalam
Pembangunan Bangsa”. Pertemuan itu dilanjutkan pada tahun 1986 sekaligus membentuk Forum
Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKBI). Untuk informasi lebih lengkapnya: Abrar Muhammad,
ICMI dan Harapan Umat, cet. 1 (Jakarta: YPI Ruhama, 1991), h. 95-96.
2
Di antara beberapa tokoh yang mempopulerkan istilah ini adalah Dr. Ir. Muhammad
Imaduddin Abdurrahim (Bang Imad), K.H. Ali Yafie, Dr. Ir. Amin Aziz, Prof. M. Quraish Shihab, dan
M. Chabib Chirzin. Bahkan, sebuah pesantren pimpinan Dr. Ir. A. M. Saefuddin di Bogor juga
dinamakan Pesantren “Ulul Albab”. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, cet. pertama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 552.
3
Ada sebuah video di Youtube berjudul “Ulil Albab dan Peran Cendikiawan” yang
menayangkan M. Quraish Shihab saat mengisi ceramah di kediaman B.J. Habibie. Dalam ceramah
singkat itu, Quraish Shihab bercerita tentang perjalanan awal ICMI. Sekembali dari Malang (1990),
para pengurus ICMI langsung berkumpul di Jakarta untuk membicarakan organisasi yang baru
terbentuk itu. Salah satu yang dipertanyakan adalah manakah ayat dalam al-Qur’an yang menunjuk
fungsi ICMI? Mana ayat yang berbicara tentang cendekiawan? Setelah berpikir beberapa lama,
Quraish Shihab menjawab, “Yang menunjuk cendekiawan muslim dalam al-Qur’an adalah kalimat ulil
albâb, bukan ‘âlim, bukan orang yang memiliki pengetahuan, bukan hâkim orang yang bijaksana,
bukan juga faqîh orang yang paham, tapi ulil albâb.” Video ini dipublikasikan oleh akun Sinar Idola
pada tanggal 26 Juni 2016.
4
Menurut Dawam pribadi, peristiwa yang sangat bermakna dalam hidupnya adalah proses
pembentukan ICMI. Meski mengaku bukan sebagai penggagas ide tersebut, Dawam-lah yang
membantu kesuksesan simposium cendekiawan muslim yang melahirkan ICMI. Beberapa tahun
sebelumnya, Dawam memprakarsai sebuah organisasi serupa. Pada tahun 1983 ia mengadakan
Pertemuan Cendekiawan Muslim I, namun tidak terealisasi karena tidak mendapat izin dari Menteri
97
pemikiran Dawam tentang ulil albâb, khususnya mengenai dzikr dan fikr yang
menjadi masalah utama dalam penelitian ini, penulis menguraikan pandangannya atas
konsep ulil albâb, kecendekiawanan, serta kaitan antara dzikir dan pikir yang
kesemuanya tidak terlepas dari konteks keindonesiaan terutama dalam hal ini, ICMI.
jauh berbeda dengan konsep ulil albâb yang diutarakan oleh ulama tafsir baik klasik
maupun modern. Pembahasan Dawam menyangkut ayat-ayat ulil albâb juga relatif
dibanding para mufassir yang umumnya masih menggunakan metode tahlîlî, yang
mana konsep ulil albâb masih terpencar sesuai letak ayatnya.6 Yang menarik pada
Agama dan Ketua Majelis Ulama Indonesia waktu itu. Sebagai gantinya pada tahun 1986 ia
membentuk Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKPI). Forum inilah yang dianggap sebagai
fondasi sosiologis ICMI yang mana Dawam berperan aktif di dalamnya. Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq
Hasyim, dan J.H. Lamardy, ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. digital (Jakarta: Democracy
Project, 2012), h. 19.
5
Buku ini terdiri dari kumpulan tulisan M. Dawam Rahardjo dalam rentang waktu tahun 1984-
1992. Buku ini sengaja dibuat untuk menyusun konsep “wawasan perjuangan cendekiawan muslim”
yang dalam hal ini bersangkut paut dengan ICMI. Isinya berbicara tentang pemikiran yang digeluti
cendekiawan muslim, pembaharuan pemikiran Islam, pendidikan Islam yang sedang mencari
identitasnya, hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan, persoalan-persoalan modernisasi dan
perubahan sosial, dan soal transformasi masyarakat pada umumnya. M. Dawam Rahardjo, Intelektual
Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, cet. 1 (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 7.
6
Menurut penuturan Asep Usman Ismail, dalam penulisan artikel yang menyinggung al-Qur’an
dan tafsir, M. Dawam Rahardjo biasanya dibantu oleh Pipik dan Asep sendiri. Biasanya mereka
diminta untuk mengumpulkan data-data penjelasan ayat dari kitab-kitab tafsir. Data-data tersebut
kemudian diolah oleh Dawam sesuai dengan paradigmanya pribadi dengan menambahkan referensi
dari sumber data berbahasa Inggris. Berdasarkan keterangan ini, penulis berasumsi bahwa adalah hal
98
kajian Dawam adalah konteks kemunculan bahasan konsep ulil albâb dalam ruang
lingkup keindonesiaan sebagaimana penulis sebutkan di awal pembahasan bab ini dan
berbicara mengenai konsep ulil albâb. Ada beberapa tokoh lain yang pernah
Chabib Chirzin, dan A.M. Saefuddin.8 Sejauh penelusuran yang dilakukan, penulis
belum menemukan satu pun di antara mereka yang menuliskan konsep tersebut
dengan uraian panjang seperti yang dilakukan oleh Dawam. Namun, harus diakui
bahwa secara garis besar Dawam memuat beberapa pokok pemikiran mereka dalam
mengembangkannya.
yang wajar bila pembahasan Dawam tentang ulil albâb tidak jauh berbeda dengan penafsiran para
mufassir. Wawancara Pribadi dengan Asep Usman Ismail, Ciputat, 15 Februari 2018.
Setelah membaca semua ayat ulil albâb, Dawam menyimpulkan bahwa ulil albâb adalah orang
yang mampu mengambil kesimpulan, pelajaran dan peringatan dari ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an,
gejala kemasyarakatan, peristiwa sejarah dan fenomena alam. M. Dawam Rahardjo, Intelektual
Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 76.
7
Perlu diketahui, Dawam pertama kali menulis tentang ulil albâb pada pertengahan tahun 1991.
Tulisannya yang diberi judul Kecendekiawan Adalah Amanah itu dimuat di Harian Umum Pelita pada
tanggal 21 Juli dan dikumpulkan dengan beberapa tulisannya yang lain menjadi sebuah buku berjudul
Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim yang terbit
setahun setelahnya. Di dalam tulisan yang cukup panjang tersebut –untuk pertama kalinya secara
gamblang- Dawam membahas konsep ulil albâb. Setelah itu, ia menguraikan konsep tersebut dalam
tulisan yang lebih panjang dengan judul “Ulul Albab” di rubrik “Ensiklopedi”, Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an tahun 1995 yang kemudian dimasukkan ke dalam buku Ensiklopedi al-
Qur’an dengan judul yang sama pada tahun 1996. Lihat: Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan
Perilaku Politik Bangsa, h. 76 & 487; M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku
Politik Bangsa, cet. 1 (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 487; Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h.
551.
8
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 552.
99
Di mata Dawam, ulil albâb adalah golongan elit. Dikatakan elit karena
mereka memiliki kelebihan atau keunggulan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada
umumnya. Mereka memiliki kualitas tertentu, yakni albâb alias otak yang berlapis-
lapis yang menandakan bahwa mereka memiliki otak yang tajam.9 Mereka bisa saja
Berbekal akal yang cemerlang, ulil albâb mampu mengambil pelajaran dari
apa saja yang dipikirkannya. Dalam Q.S. Ibrâhîm (14): 52 disebutkan bahwa objek
berpikir ulil albâb adalah al-Qur’an.11 Pada konteks ayat tersebut fungsi al-Qur’an
adalah sebagai sumber pengetahuan yang mana bila dipelajari mampu menunjukkan
keesaan Allah. Sedangkan di beberapa ayat yang lain, al-Qur’an juga telah
9
Dawam berargumen demikian setelah menyelidiki beberapa lafadz ûlû yang berarti
“memiliki” dalam al-Qur’an. Dari kata ûlû tersirat makna bahwa tidak semua orang memiliki. Artinya,
lafadz ûlû menunjukkan adanya suatu kelebihan atau keunggulan. Dawam kemudian meminjam kata
“elit” untuk mengalihbahasakan kondisi tersebut. Di dalam sosiologi, elit berkaitan dengan orang-
orang yang superioritas. Orang kaya, penguasa, kaum militer termasuk dalam golongan ini karena
mereka mempunyai kelebihan di antara yang lain meski keberadaan mereka sendiri minoritas.
Rahardjo. Ensiklopedi al-Qur’an, h. 556-557.
10
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 76. Sebagaimana telah
penulis singgung di Bab I, h. 7, anggapan umum pada saat itu –dan mungkin sampai saat ini- adalah
ulama (bisa jadi ustadz, kiai, atau habib) lebih dikenal sebagai orang yang tahu dan ahli ayat-ayat
Allah dalam al-Qur’an sedangkan cendekiawan (umumnya berpendidikan Barat) adalah orang yang
ahli membaca ayat-ayat Allah yang terhampar di jagad raya. Padahal, menurut Dawam, istilah ‘ulamâ’
sejatinya berasal dari kata ‘âlim yang berarti “orang yang berilmu”, ia mempunyai ‘ilm yang berarti
“ilmu”. Jadi, ‘ulamâ’ sebenarnya adalah ilmuwan. Namun ketika istilah tersebut digunakan oleh
masyarakat Indonesia dan diserap menjadi kata baku “ulama”, terjadi pergeseran bahkan penyempitan
makna dari yang awalnya “ahli ilmu”, menjadi lebih khusus “ahli ilmu agama” saja. Rahardjo,
Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 75.
11
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 77.
100
menyebutkan apa saja yang menjadi pelajaran bagi ulil albâb. Dawam merangkum
1. sejarah atau peristiwa masa lampau, terkait naik dan jatuhnya peradaban atau
peranan tokoh-tokoh sejarah (Q.S. Ibrâhîm [14]: 52, Q.S. Yusuf [12]: 111,
dan keadilan (Q.S. al-Baqarah [2]: 179) atau hubungan antara manusia dengan
mengacu kepada kebaikan (iman dan amal saleh) dengan kegiatan yang
(taqwâ) dan mana yang bersifat maksiat (Q.S. Sâd [38]: 29). Atau gejala
perilaku yang berdimensi moral, seperti buruk dan baik (Q.S. al-Mâidah [4]:
100);
5. gejala alam semesta ciptaan Allah yang memiliki hukum-hukum yang pasti
dan berproses sesuai dengan fitrah kejadiannya (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 190-
191).
Di antara lima objek tersebut, Dawam melihat gejala alam semesta menjadi objek
12
Penulis sengaja mengutip tulisan asli Dawam agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 77-78.
101
dijumpai dalam ayat-ayat ulil albâb saja, melainkan juga pada ayat-ayat yang berisi
al-Qur’an memang terdapat banyak sekali ungkapan yang menyuruh manusia untuk
kecondongan Dawam pada gejala alam semesta sebagai objek pikiran ulil albâb tidak
terlepas dari tuntutan zaman saat itu di mana masyarakat muslim dituntut untuk
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat –dalam hal ini teknologi- agar
Sehubungan dengan hal di atas, dalam Q.S. al-Zumar (39): 21, ulil albâb
pengamatan empiris tersebut, ulil albâb mampu menggali ilmu pengetahuan positif
seperti biologi, kimia, dan fisika. 14 Dengan keilmuan tersebut, mereka dikenal
sebagai ilmuwan.15 Namun, ulil albâb bukanlah ilmuwan biasa. Berdasarkan Q.S. Âli
‘Imrân (3): 7, sebagai ilmuwan mereka memiliki dua ciri utama, yaitu kecondongan
kepada kebenaran dan memiliki ilmu yang mendalam. Kedua ciri ini membantu
13
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 72-76.
14
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 78.
15
Ilmuwan yang dimaksud di sini adalah orang yang ahli atau banyak pengetahuaannya
mengenai suatu ilmu. Termasuk dalam golongan ini adalah sejarawan. Dalam Q.S. Yusuf (12): 111,
ulil albâb adalah sejarawan. Berbeda dengan sejarawan biasa, ulil albâb dapat mengambil pelajaran
dari sejarah sebagai petunjuk dan rahmat sebagai orang yang beriman kepada Kebenaran. Oleh
karenanya, tidak semua orang pandai adalah ulil albâb. Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 567.
102
mereka memilah mana yang esensial dan mana yang rinci yang mendukung dan
Di samping itu, sebagai ilmuwan yang telah dikaruniai hikmah17, ulil albâb
dituntut untuk mengamalkan ilmunya. Dawam merujuk ke Q.S. al-Ra’d (13): 19-22
“Ciri-ciri tersebut antara lain: mempunyai pengetahuan atau orang yang tahu;
yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan tidak akan ingkar dari janji
tersebut (yaitu beriman, berbuat baik dan menjauhi yang keji dan munkar),
yang menyambung apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disambung
(misalnya ikatan cinta kasih), takut kepada Tuhan (jika berbuat dosa) karena
takut kepada hasil perhitungan yang buruk, yang sabar karena ingin
mendapat keridlaan Tuhan, menegakkan salat, membelanjakan rizki yang
diperoleh untuk kemanfaatan orang lain baik secara terbuka maupun
18
tersembunyi, dan menolak kejahatan dengan kebaikan.”
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, Dawam menyimpulkan bahwa pemilikan
pengetahuan saja tidak cukup mengantar seseorang menjadi ulil albâb. Seseorang
Selain ciri-ciri di atas, ulil albâb juga mempunyai dua ciri pokok lain, yaitu
melakukan dzikr dan menjadikan segala ciptaan Allah sebagai objek berpikir (Q.S.
Âli ‘Imrân [3]: 191). Dzikr di sini adalah melakukan kontemplasi yang mengarah
kepada Allah. Dengan ber-dzikr dan berpikir ini ulil albâb dapat mengambil pelajaran
bahwa tidak ada satu pun ciptaan Allah yang sia-sia. Bahkan, ulil albâb mampu
16
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 77.
17
Q.S. al-Baqarah (2): 269. Hikmah dalam perspektif Dawam adalah kebijakan. Ulil albâb
adalah golongan elit karena mampu meraihnya di mana tidak semua orang mampu melakukannya.
Oleh karenanya, mereka memperoleh kebaikan. Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 567.
18
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 568.
19
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 568.
103
menurut Dawam, al-Qur’an tidak hanya menyuruh ulil albâb untuk berpikir ontologis
rasional saja, tetapi juga berpikir fungsional. 20 Pada titik inilah Dawam melihat
adanya tanggung jawab sosial yang diemban oleh ulil albâb, yakni mendedikasikan
itu pula, ulil albâb sebenarnya tidak menunjuk pada sebuah status atau kelas,
pemikiran Imaduddin Abdurrahim dan M. Quraish Shihab. Pada akhir dekade 1980-
an, Imaduddin memformulasikan sosok ulil albâb sebagai manusia yang memiliki
kualitas fikr dan dzikr. Sebagaimana tertera pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191, ia
mengandaikan ulil albâb sebagai perpaduan antara ahli pikir dan ahli dzikir.22 Selain
Imaduddin, pada tahun 1987 A.M. Saefuddin juga telah menyinggung konsep
Islamisasi, Saefuddin bahkan telah sampai pada kesimpulan bahwa ulil albâb dengan
daya pikir dan dzikirnya memiliki kemampuan untuk memaslahatkan umat.23 Dawam
20
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 79.
21
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 80. Dawam beralasan
bahwa ulil albâb bukanlah satu-satunya istilah yang dipergunakan untuk menamakan kelompok yang
berpikir. Beberapa istilah lain yang menunjuk golongan tersebut adalah ulil absâr (yang memiliki
pandangan tajam), ulin nuhâ (yang tertib pikirannya sehingga mampu mengambil kesimpulan), ulil
‘ilm (yang memiliki pengetahuan) atau ahl al-dzikr (yang biasa berzikir). Rahardjo, Ensiklopedi al-
Qur’an, h. 553-555. Untuk lebih jelasnya, rujuk pula hasil pengamatan penulis pada ayat-ayat yang
mencantumkan istilah-istilah tersebut di Bab I, h. 9.
22
Rahadjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 561.
23
Ahmad M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi cet.III (Bandung:
Mizan, 1991), h. 34. Bahkan, Saefuddin sampai menganjurkan agar masjid menjadi pusat penempaan
daya dzikir dan pikir. Lihat: h. 76.
104
Berlandaskan ayat yang sama, yakni Q.S. Âli ‘Imrân (3): 190-195, Quraish
Shihab melihat adanya dua tuntutan besar yang dipikul oleh ulil albâb, yaitu: pertama
raya, untuk kemudian melakukan kreasi. Quraish juga menekankan kepekaan sosial
24
dengan cara mengabdi pada masyarakat. Dalam upaya mempelajari dan
mengajarkan kitab suci serta memahami alam raya, umat muslim harus melakukan
adab al-dunya dan adab al-din secara bersamaan. Adab al-din mencakup belajar dan
M. Dawam Rahardjo, dalam hal ini, lantas mengonsepkan tiga dimensi yang
menjadi ciri-ciri ulil albâb, yaitu: ontologis, fungsional, dan aksiologis atau etis.
Dimensi ontologis terjadi ketika manusia telah mengambil jarak dari alam dan semua
yang ada, termasuk dirinya sendiri, masyarakat dan sejarah, serta menjadikannya
sebagai objek pengamatan yang rasional. Sedangkan dimensi fungsional ada dengan
asumsi bahwa segala yang diciptakan oleh Allah tidaklah sia-sia; ia diciptakan
dengan tujuan tertentu dan merupakan suatu yang haq serta berfungsi dalam
24
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. 2 (Bandung:
Mizan Media Utama, 2008), h. 295.
25
M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Bermasyarakat, cet. 1 (Bandung: Penerbit Mizan, 2014), h. 612.
105
kehidupan manusia. Terakhir, dimensi aksiologis atau etis adalah dimensi yang
melihat sesuatu dari segi baik atau buruk, benar atau salah, dengan tujuan agar
menggambarkan sosok ulil albâb sebagai golongan elit yang memiliki keunggulan
dalam taraf berpikirnya yang sadar akan eksistensi dirinya serta lingkungan
baik. Maka dari itu, tak heran bila Dawam menganggap ulil albâb sebagai sebuah
konsep penting dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan hakikat sosial keberagamaan
Islam. Berawal dari persepsi ini, ulil albâb lantas disangkutpautkan dengan
1. Konsep Cendekiawan
konkretnya. 29 Istilah tersebut mulai didiskusikan ulang baik dalam ruang lingkup
26
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, h. 80.
27
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 550.
28
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 3.
29
Dalam sebuah tulisan yang dimuat di Kompas, tertanggal 06 Desember 1990, disebutkan
bahwa kriteria kecendekiawanan menjadi bahan yang tidak ada habisnya dikupas oleh para pengkaji
intelegensia. Ada beberapa pokok yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Salah satu
kriteria umum yang disepakati adalah bahwa cendekiawan itu memiliki sikap dan visi intelektual yang
mengatasi batas-batas disiplin, yang mempunyai komitmen kuat pada kemanusiaan, harkat, nilai-nilai,
106
30
wicara maupun wacana seiring kemunculan ICMI. Banyak orang memiliki
pandangan yang berbeda terkait hal itu. Misalnya, Marwah Daud Ibrahim yang
Individualis yang ia maksud adalah seseorang yang tahu betul makna “aktualisasi
diri” dan bukan seseorang yang egois dengan memaksakan kehendaknya sendiri
tanpa menyadari akan tanggung jawab sosial dan moralnya terhadap orang lain.
Individualis adalah orang yang mampu bekerja sama dengan orang lain, namun dalam
sama. Hanya saja, penulis keberatan dengan istilah “individualis” yang digunakan
aspirasi dan hati nuraninya yang memiliki sikap kritis dan mandiri. Abrar Muhammad, ICMI dan
Harapan Umat, h. 6.
30
Yang penulis maksud dari wicara adalah pembicaraan melalui oral, sedangkan wacana adalah
pembicaraan melalui teks. Pendefinisian ulang ini terjadi atas respon masyarakat atas pendirian ICMI.
Beberapa masalah yang mereka pertentangkan adalah seperti: pantas-tidak-pantasnya cendekiawan
turun dari rumahnya yang konon di “atas angin”, wajar-tidak-wajarnya mereka berhimpun dalam satu
wadah, dll. Masalah lain yang menurut penulis tidak kalah penting adalah apakah setiap orang yang
masuk ICMI adalah pasti cendekiawan.
31
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 246.
32
Prasetya memberi contoh Nabi Muhammad Saw sebagai individualis kala menolak dengan
tegas tawaran kaum Quraisy untuk berhenti menyiarkan Islam meskipun bulan dan matahari
dihadiahkan pada beliau. Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 248-249.
107
oleh Prasetya karena bagaimanapun kata tersebut berkonotasi negatif. Alangkah lebih
baiknya bila kata “individualis” diganti dengan istilah “teguh pendirian”. Menurut
hemat penulis, pengertian cendekiawan dengan makna ini bisa dilihat pada sosok
cuma berdoa supaya wadah itu sukses. Ketuanya Habibie atau bukan, yang penting
sukses. Tapi, ya, tempat saya ndak di situ. Ndak pernah saya menangisi atau puyeng
dengan institusi. Kalau saya bisa kerja full dengan perasaan lega, gairah tinggi, kan
enak. Tidak perlu semua baris ke satu arah. Kalau saya dianggap menentang arus,
karena cendekiawan ngalor (ke utara), saya ngidul (ke selatan), Alhamdulillah.
Sebab, kalau semua ngalor, bedanya cendekiawan dengan hansip lalu apa?”33 Dalam
potret ini, Gus Dur adalah seorang yang berpendirian teguh yang menunjukkan
benar.
sejarah pemaknaan “intelektual” di Barat lalu mencari padanan katanya dalam al-
Qur’an.
33
Lihat uraian lengkapnya: “Momentum ICMI, dan Munculnya Habibie (Pendapat Beberapa
Tokoh MAsyarakat/Cendekiawan)” dalam Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 26-28.
34
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 558.
108
kali perubahan. Mengutip Jary & Jary dalam The Harper Collins Dictionary of
Sociology, kata intelektual sebagai kata benda digunakan pertama kali dalam bahasa
Inggris pada abad ke-19. Saat itu, kata tersebut muncul sebagai sebutan bagi
Perancis, oleh Saint-Simon kata ini digunakan untuk menunjuk pada suatu kelompok
positif dalam membentuk masyarakat industri di Perancis dan negeri-negeri lain. Pada
akhir abad ke-19, istilah “intelektual” dipakai seorang politikus bernama Clemenceau
sebagai sebutan para pembela Dreyfus, Yahudi yang mengalami diskriminasi politik
kaum intelektual” karena kepentingan politik dan sosialnya yang sempit sehingga
Dawam tentang intelektual. Ia melihat secara harfiah intelektual adalah orang yang
memiliki intelek yang kuat atau intelegensi yang tinggi. Intelegensi sendiri berarti
rasional atau berdasar nalar. Intelegensi tersebut diperoleh dari faktor biologis dan
dari hasil pengalaman lingkungan dan sosialisasi yang berkaitan dengan penerimaan
35
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 559-560.
36
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 560.
109
intelektual karena istilah tersebut disematkan pada seseorang atau kelompok tertentu
setidaknya ada tiga ciri utama yang menandakan keintelektualan, yaitu: pertama,
orang yang selalu mencari kebenaran dan keadilan yang universal; ketiga, orang yang
membela kebenaran. Berdasarkan ketiga ciri ini, Dawam merumuskan ada tiga unsur
Dawam kemudian mencari contoh real sosok yang memiliki ketiga unsur
tersebut dalam dunia nyata. Ia lalu menemukannya pada sosok para nabi dan filsuf.
Baik nabi maupun filsuf sama-sama memiliki pengetahuan, mencari kebenaran dan
keadilan, dan membela kebenaran. Dalam kehidupan nyata, mereka tidak hanya aktif
bergerak dalam bidang rohani saja, namun juga soal sosial dan politik. Terkait hal ini,
pewaris para nabi semisal pendeta, ‘ulamâ’, dan pastor yang kualitasnya tidak se-
mengandaikan sosok ideal seperti para nabi, yakni mereka yang tidak hanya
37
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 559.
38
Sebagai contoh cendekiawan dari kalangan filsuf, Dawam menyebut Confucious, Lao-tze,
Zoroaster, dan Shidarta Gautama. Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 560-561.
110
pandangan Dawam pada intinya adalah seorang intelektual yang berkiprah dan
Yogyakarta sebagai mahasiswa UGM dan aktivis HMI hingga menjadi aktivis LSM
cendekiawan itu. 40 Hal inilah yang turut mempengaruhi Dawam dalam memahami
istilah ulil albâb dalam al-Qur’an. Jika diperhatikan dengan cermat, ciri-ciri yang
Oleh sebab itu, wajar bila Dawam berpendapat bahwa istilah “intelektual” –
dengan pengertian yang telah dipaparkan tadi- sebanding dengan istilah ulil albâb
dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, Dawam menganggap esensi antara cendekiawan,
intelektual, dan ulil albâb dalam penggunaan nalar dan pengabdian mereka pada
masyarakat itu sama, hanya beda penyebutan saja. Namun, mengapa ada penambahan
kata “muslim” pada istilah “cendekiawan muslim” atau “intelektual muslim” yang
dikonotasikan dengan ulil albâb? Inilah yang menjadi pembahasan penulis pada sub
bab berikut.
39
Lihat uraian panjang Dawam tentang Sosiologi Cendekiawan Muslim. Rahardjo, Intelektual,
Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 24.
40
Rujuk pembahasan penulis tentang latar belakang kiprah Dawam di Bab II.
111
cendekiawan muslim karena keduanya memiliki ruh yang sama, keunggulan yang
meski cendekiawan belum tentu adalah seorang muslim. Pengkhususan nama sebagai
cendekiawan lainnya? Apakah cendekiawan muslim mempunyai visi dan misi yang
berbeda dengan yang lain? Jika iya, apa visi dan misi mereka? Jika tidak, lantas apa
Penulis melihat fenomena cendekiawan muslim ini sebagai salah satu contoh
kecil gejala islamisasi yang lumrah terjadi pada kurun waktu paruh akhir abad ke-20
“Islam” pada segala bidang semisal media Islam, musik Islam, budaya Islam, politik
41
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 150. Islamisasi semacam ini acapkali
menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat. Misalnya adalah apa yang pernah terjadi di Rumah
Sakit Islam Jakarta. Saat itu, ada salah seorang pejabat yang mengunjungi rumah sakit tersebut. Setelah
berkeliling cukup lama dan memperhatikan detail kondisi di sana, ia bertanya pada kepala rumah sakit
perihal perbedaan rumah sakit Islam dengan rumah sakit biasa. Kepala rumah sakit lalu menyebut
beberapa hal seperti: keberadaan sajadah di setiap ruangan, tulisan ayat-ayat al-Qur’an di dinding
ruangan, buku-buku Islami di pojok ruangan, serta lantunan murattal yang diperdengarkan di seantero
gedung. Terakhir, saat hendak berpisah dengan pengunjung tersebut, sang kepala rumah sakit
112
Terkait cendekiawan muslim, istilah itu sebenarnya sudah sering disebut sejak
awal 1980-an di lingkungan pergerakan Islam. Saat itu, masyarakat mulai melihat
cendekia.”43
bukan merupakan gelar yang diperoleh melalui jenjang akademis, namun berasal dari
beberapa faktor objektif yang dirasakan oleh masyarakat. Melalui faktor-faktor itu,
memberikan secarik kertas yang bertuliskan ayat yang menyatakan bahwa Allah-lah yang
menyembuhkan orang sakit. Beberapa hal itulah yang membedakan rumah sakit Islam yang
dipimpinnya dengan rumah sakit yang lain. H.M. Yunan Nasution, Islam dan Problem-problem
Kemasyarakatan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 296.
Berdasarkan kisah di atas, dapat diketahui bahwa Islamisasi tidak hanya sebatas penisbatan kata
“Islam” saja. Esensi islamisasi sebenarnya lebih tertuju pada pengamalan nilai-nilai keislaman dalam
segala segi kehidupan. Oleh karena itu, ketika ada beberapa partai yang menisbatkan atau menahbiskan
diri sebagai partai Islam namun gerak-geriknya tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman, masyarakat
sangat kecewa. Inilah yang membuat Nurcholish Madjid sampai mencetuskan slogan “Islam Yes,
Partai Islam No”. Lihat: “40 Tahun ‘Islam Yes Partai Islam No’ Diperingati”, Republika.co.id, 08
Januari 2010.
42
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 23. Gerakan intelektual
sebenarnya telah terjadi pada era 1970-an yang disebut sebagai era baru bagi kesarjanaan muslim.
Gerakan ini digawangi oleh para intelektual muslim yang pada dekade sebelumnya merupakan bibit-
bibit unggul yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Sekembalinya ke Indonesia, mereka
melakukan gerakan pembaharuan Islam yang sekaligus menandai dimulainya pengembangan
intelektual di negeri ini. Pengembangan intelektual tersebut terus berlanjut pada dekade 1980-an.
Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia: Kajian Komprehensif Atas Arah Sejarah dan Dinamika
Intelektual Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), h. 61.
43
Soetjipto menggambarkan sosok muslim yang cendekia sebagai seorang muslim yang
cendekiawan dan mengikuti arus kemajuan modern dengan tetap menjaga akidah dan akhlâq al-
karîmah. Muslim yang cendekia bertugas untuk menjadi pemandu, menjaga agar transformasi
masyarakat masih tetap terjaga dalam alur tanpa melanggar akidah dan akhlak Islam. Abrar
Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 62.
113
baru. Dawam mengklasifikasi beberapa faktor tersebut menjadi tiga, yaitu: aktifitas
pemikiran, 44 aksi nyata di masyarakat, 45 dan upaya menampilkan sosok dan peran
cendekiawan ke masyarakat.46
tidak akan terlepas dari kaitannya dengan ICMI. Merujuk Anggaran Rumah Tangga
(ART) ICMI, yang dimaksud cendekiawan muslim adalah seorang atau kelompok
44
Faktor ini muncul di awal dasawarsa 1970-an ketika lembaga formal yang mewadahi sarjana
muslim menghilang. Menurut Dawam, aktifitas gejala kecendekiawanan ini berupa aktifitas pemikiran
dan gejolak pemikiran tentang paham pembaharuan yang dicetuskan oleh kalangan muda. Rahardjo,
Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 24.
45
Faktor ini berupa aktifitas yang dilakukan oleh para perintis LSM yang langsung terjun ke
bidang pendidikan di perguruan tinggi dan bekerja sebagai profesional. Menurut Dawam, ada tiga
unsur aksi nyata yang dilakukan mereka, yaitu: pertama, melakukan analisis terhadap gejala sosial dan
pembangunan serta melakukan kritik atau pandangan kritis dengan menulis atau berbicara di seminar-
seminar atau diskusi-diskusi; kedua, tidak bersuara kritis, tapi mengembangkan pemikiran dengan
menyusun model-model pengembangan masyarakat; ketiga, menghasilkan karya-karya profesional di
berbagai bidang seperti misalnya kedokteran, kesehatan masyarakat, pendidikan, jurnalistik,
manajemen usaha, dll. dengan tanpa melunturkan warna kemusliman mereka dalam karyanya. Faktor
inilah yang lebih mencitrakan kecendekiawanan. Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku
Politik Bangsa, h. 25. Kecondongan Dawam pada faktor kedua ini merupakan bukti bahwa
cendekiawan di mata Dawam haruslah melakukan aksi nyata di masyarakat.
46
Faktor ini berbentuk suatu upaya untuk menerjemahkan dan menampilkan profil dan
pemikiran cendekiawan luar negeri seperti yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid dan M. Syafii
Maarif. Mereka memperkenalkan gagasan-gagasan tokoh-tokoh cendekiawan muslim populer seperti
Fazlur Rahman, Isma’il Faruqi, Hassan Hanafi, Murtada Mutahhari, dll. Hal ini tidak terlepas dari efek
pasca-Revolusi Islam Iran pada tahun 1980-an. Saat itu, karya-karya pemikiran ‘Ali Syari’ati yang
banyak berbicara tentang revolusi, perubahan sosial dan peranan cendekiawan muslim mulai tersebar
di Indonesia. Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 25-26.
47
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 276.
114
seorang cendekiawan muslim adalah mereka yang beragama Islam. Kedua, ungkapan
“yang terus menerus meningkatkan” mengindikasikan seorang yang giat dan gigih
pada segi pengamalannya menjalankan agama Islam. Dari ketiga tanda ini bisa
muamalahnya, yang mana dalam hal ini mereka harus berkomitmen pada ajaran
kemusliman. B.J. Habibie kemudian dipilih secara aklamasi oleh seluruh peserta
simposium yang hadir di Malang. Habibie dianggap sangat layak untuk disebut
muslim, Habibie adalah orang yang betul-betul menunaikan agama secara utuh.
48
Fuad Amsyari, Ketua Cendekiawan Muslim Al-Falah Surabaya memaparkan bahwa ciri
kemusliman tidak sekadar mempunyai KTP Islam, namun dikaitkan kepada komitmen keislaman
seseorang. Walaupun ia seorang doktor, kalau tidak mempunyai komitmen keislaman, maka ia tidak
pantas menyebut dirinya muslim. Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 33.
49
Dengan sifat taqwâ ini, cendekiawan muslim disebut ulil albâb. Lihat pembahasan sub-bab
“Sosok dan Karakteristik Ulil Albâb” di Bab III.
50
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 26. Dawam turut mengomentari sosok
Habibie. Katanya, “Soal keterlibatan Habibie dalam pembentukan ICMI, itu gejala yang menarik. Saya
115
satu sisi cendekiawan muslim turut pula mengemban amanah untuk meningkatkan
kualitas keagamaan sosialnya dengan mengabdikan diri pada masyarakat dan terjun
langsung membina umat. Di sisi lain, dengan segenap pengetahuan dan daya nalar
urusan duniawi, ia juga memperhatikan urusan ukhrawi. Sebab itu, tidak semua
yang kemudian ditemukan padanan katanya dalam al-Qur’an sebagai ulil albâb.
Bagi Dawam, kelahiran ICMI adalah keharusan sejarah. Ibarat jabang bayi, ICMI
tidak tahu, sejak kapan ia sembahyang. Namun, akhir-akhir ini, islamnya luar biasa.” Abrar
Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 32.
51
Dalam pengertian ini, penulis menyatakan bahwa beberapa kiai pesantren atau kiai di
kampung sudah termasuk cendekiawan muslim. Pasalnya, dalam beberapa hal, mereka menjadi sosok
panutan dalam hal agama dan turut serta mengayomi masyarakat dalam perekonomian umat. Namun,
penulis menyadari bahwa kiai dengan kualitas seperti ini jumlahnya tidak banyak, bahkan tergolong
sedikit.
52
ICMI adalah buah hasil pergulatan pemikiran Islam di Indonesia. Ia lahir dari pergumulan
wacana pembaharuan yang melibatkan dua aliran pemikiran, yakni modernisme dan tradisionalisme.
Corak pemikiran yang berusaha menggabungkan dua aliran tersebut disebut “neomodernisme”.
Menurut Dawam Rahardjo, neomodernisme menawarkan pluralisme, keindonesiaan, kemodernan,
universalisme yang humanis, dan aktualisasi ajaran-ajaran menuju transformasi Islam di Indonesia.
Melalui sikap ini, umat Islam dapat membebaskan diri dari belenggu yang menghambat mereka dalam
berintegrasi dengan dunia modern. Berdasarkan pengertian ini, penulis meyakini bahwa ICMI
116
bukanlah bayi prematur. Ia sebenarnya sejak lama dikandung dalam rahim pemikiran
sarjana muslim Indonesia selama bertahun-tahun lantas lahir begitu saja ketika ada
pahlawan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Bahkan, karena suatu alasan, ketika
mengemban amanah yang teramat besar, yakni masa depan bangsa Indonesia.54
Namun, harus diakui pula, di antara sekian banyak yang menyambutnya, pasti
ada yang tidak simpatik atas kelahiran ICMI. Dengan alasan tertentu, mereka
disinggung di awal sub-bab ini, salah satu alasan logis untuk meragukan kehadiran
Sayangnya, dalam pembahasan ini, penulis tidak membahas isu politik ICMI
panjang lebar. 55 Yang menjadi fokus penulis adalah keraguan atas ICMI sebagai
merupakan manifestasi dari neomodernisme. Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia, h. 53 & 84. Tokoh
yang terkenal dari golongan ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Terkait pemikiran
mereka, baca: Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999).
53
Gambaran ini penulis dapat dari penjelasan Dawam, “Seandainya ICMI dibentuk tahun 70-
an, mungkin tidak jadi. Sekarang ini ada ledakan sosiologis, keluarga muslimin memasuki sekolah-
sekolah, bahkan banyak di antara mereka yang sekolah di luar negeri dan memperoleh gelar Ph.D.
Mereka, pada awal 80-an mulai berdatangan, seperti Amien Rais, Kuntowidjojo, Yahya Muhaimin,
dan Marwah Daud.” Ia juga berkata, “Jadi, kelahiran ICMI itu tidak bisa dipaksakan. Ia lahir begitu
saja, ketika ada momentum, dan ketika ada yang menggerakkan.” Abrar Muhammad, ICMI dan
Harapan Umat, h. 31-32.
54
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 196.
55
Ada sebuah ulasan panjang yang membahas khusus politik cendekiawan muslim masa Orde
Baru. Tulisan tersebut menjelaskan hubungan antara Islam dan birokrasi melalui fenomena kehadiran
ICMI. M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 251.
117
“Intelektualitas itu pemikiran. Intelektualitas tidak bisa diwakili oleh lembaga. Dan
tidak bisa dilahirkan oleh lembaga. Saya menolak suatu sikap memutlakkan
bahwa ICMI dibentuk karena alasan praktis, yakni “…agar dapat menghimpun dan
akan tanggung jawab cendekiawan yang mengemban risalah tertentu dan bukannya
56
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 80.
57
Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 27.
58
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 41.
59
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 80.
60
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 81.
118
penciptaan dirinya. Tujuan Allah Swt menjadikan manusia sebagai khalifah di muka
bumi 61 adalah agar mereka memelihara dan memakmurkannya. 62 Untuk itu, Dia
segala sesuatu 63 dan menganugerahi mereka akal untuk berpikir. Bagi Dawam,
yang berilmu adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengemban
mengamalkan Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5 yang berisi tentang proses pembelajaran
61
Q.S. al-Baqarah (2): 30
62
Q.S. Hûd (11): 61
63
Q.S. al-Baqarah (2): 31
64
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 81.
65
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 82. Kegiatan tersebut
merupakan salah satu dari lima kegiatan utama ICMI yang tercantum dalam Anggaran Dasar (AD)
ICMI. Abrar Muhammad, ICMI dan Harapan Umat, h. 270.
119
menunaikan amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Maka dari itu, menurutnya,
rumusan misi cendekiawan muslim secara ringkas termaktub dalam Q.S. al-Nahl
(16): 125, yang artinya adalah “Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan ilmu
pengetahuan (hikmah) dan penjelasan yang baik dan berdialoglah dengan metode
yang baik.”67
pada ayat di atas. Lafadz al-hikmah oleh Dawam diartikan sebagai “ilmu
pengetahuan” sedangkan pada terjemah al-Qur’an oleh Depag RI lafadz tersebut tidak
diartikan dan hanya diberi penafsiran bahwa al-hikmah adalah “perkataan yang tegas
dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.” 68 Ini bukan
berarti terjemahan Dawam tidak benar, karena lafadz al-hikmah memang memiliki
melalui ayat tersebut Dawam lebih menekankan kepada pentingnya ilmu pengetahuan
66
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 82.
67
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 82. Pemaknaan hikmah
sebagai “ilmu pengetahuan” di sini tampaknya merupakan pemahaman Dawam Rahardjo pribadi. Al-
Tabarî dan Ibnu Katsîr memaknainya dengan al-Qur’an. Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin
Ghâlib al-Âmalî Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân (Muassasah al-Risâlah,
2000), j. 17, h. 321; Abu al-Fidâ’ Ismâil bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Adzîm (Dâr Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1999), v. 4, h. 613. Sedangkan Ibnu ‘Âsyûr
memaknainya dengan ilmu yang pasti. Muhammad al-Tâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Tâhir
bin ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 1984), j. 14,
h. 327.
68
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 281.
69
Rujuk pendapat para mufassir tentang makna al-hikmah dalam Bab III, catatan kaki no. 94.
120
manusia juga bisa mencapai jalan Tuhan. Ini sejalan dengan misi ICMI yang ingin
menjalankan berbagai kegiatan yang bersifat keilmuan yang amaliah dan amal yang
ilmiah. Menurut hemat penulis, hal ini erat kaitannya dengan konsep dzikir dan pikir
Pada Bab I, penulis telah menjelaskan bahwa yang membedakan ulil albâb
dengan selainnya adalah sifat dzikr. 70 Kemudian, pada Bab III penulis juga telah
menguraikan secara detail makna dzikr dalam tinjaun etimologi dan terminologinya
derivasinya dalam ayat-ayat ulil albâb.71 Kesimpulannya, sifat dzikr merupakan salah
satu ciri pokok ulil albâb. Tanpanya, seseorang tidak akan mungkin disebut dengan
sebutan itu.72
pembahasan yang telah lalu, baik pemahaman M. Dawam Rahardjo terhadap al-
Qur’an, metode tafsirnya, konsep ulil albâb dan dzikr secara umum maupun konsep
spekulasi M. Dawam Rahardjo atas makna dzikr yang menjadi masalah pokok
penelitian ini tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi di mana ia berada. Oleh
karena itu, spekulasi Dawam terkait “dzikr mencakup pikir atau pikir terkandung
70
Lihat Bab I, h. 9.
71
Lihat Bab III, pembahasan sub-bab A dan C.
72
Lihat skema penggunaan lafadz dzikr dalam ayat-ayat ulil albâb.
121
Pandangan Dawam tersebut muncul di jurnal Ulumul Qur’an (UQ) pada tahun
1995 di mana ICMI saat itu menjelma menjadi sebuah organisasi yang besar. Jurnal
UQ sendiri merupakan terbitan LSAF dan ICMI dan merupakan jurnal yang
bergengsi saat itu.74 Pada edisi tersebut, UQ menyoroti potret lima tahun ICMI.75 Di
tahun yang sama, M. Dawam Rahardjo diangkat menjadi salah seorang Ketua ICMI
pusat periode 1995-2000.76 Maka tidak heran bila tulisan Dawam tentang dzikr dalam
tulisan berjudul Ulul Albâb berkaitan erat dengan ICMI atau hal-hal yang berbau
ICMI.
Sehubungan dengan konteks di atas, selama ini dzikir dimaknai sebagai tanda
ketaatan seorang muslim. Orang yang tampak selalu berdzikir akan dianggap sebagai
muslim yang sejati. Aktifitas dzikir di sini bisa berupa amalan apa saja yang
mengarah pada Tuhan, misalnya salat, puasa, zakat atau ibadah lainnya. 77 Oleh
karena itu, dalam konsep cendekiawan muslim, dzikir menjadi salah satu ciri khusus
73
Pandangan Dawam mengenai dzikr tersebut termaktub dalam tulisan “Ulul Albab” di rubrik
“Ensiklopedi”, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an tahun 1995 yang kemudian dimasukkan
ke dalam buku Ensiklopedi al-Qur’an dengan judul yang sama pada tahun 1996.
74
Wawancara Pribadi dengan Asep Usman Ismail, Ciputat, 15 Februari 2018.
75
Lihat lampiran: gambar sampul depan UQ.
76
Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, dan J.H. Lamardy, ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed.
digital (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 20. Diunduh dari www.cerdasdownload.blogspot.co.id,
pada Kamis, 01 Maret 2018.
77
Lihat konsep dzikr di Bab II.
122
tersebut muncul karena aktifitas dzikir biasanya mengarah kepada Tuhan sedangkan
aktifitas pikir mengarah pada makhluk-Nya.79 Jika ada seorang ulama yang memiliki
kualitas pikir atau cendekiawan yang mempunyai kualitas dzikir, maka mereka itulah
Penulis telah menyinggung konsep dzikir dan pikir di awal bab ini. Konsep
tersebut disaripatikan dari Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191. Konsep dzikir disarikan dari
bahwa seorang ulil albâb senantiasa mengingat Allah Swt sedangkan ungkapan kedua
menyebut bahwa ulil albâb juga berpikir, yakni memikirkan penciptaan langit dan
bumi.81 Menurut Dawam, jika hanya memikirkan alam saja, maka esensi ulil albâb
sama dengan ulil absâr. Oleh karenanya, dzikir menjadi substansi utama ulil albâb
pencetus konsep dzikir-pikir. Konsep itu dipopulerkan oleh beberapa tokoh. Setelah
78
Alasan inilah yang menyebabkan pendikotomian antara ulama dan cendekiawan. Rahardjo,
Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 73.
79
Oleh karenanya, ulama dianggap sebagai ahli dalam bidang agama sedangkan ilmuwan atau
cendekiawan dianggap sebagai ahli ilmu pengetahuan. Ulama tidak mempunyai otoritas untuk
berbicara mengenai ilmu pengetahuan. dan sebaliknya, ilmuwan tidak pantas berbicara tentang agama.
80
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 561. Dari golongan ulama yang cendekiawan, Dawam
menyebutkan beberapa nama seperti Hamka, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Ali
Yafie, dll. Sedangkan dari golongan cendekiawan berkarakter ulama ia menyebutkan nama-nama
seperti Ahmad Muflih Saefuddin, M. Amin Aziz, Mohammad Natsir, dll. Rahardjo, Intelektual,
Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, h. 75.
81
Lihat pembahasan tafsir yadzkurûna di Bab III.
82
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 563.
123
ICMI lahir, barulah konsep tersebut semakin populer karena dianggap sebagai
terjemahan ayat 19 surat al-Ra’d. Jika ditinjau ulang lafadznya, “berdzikir” yang
bila dipahami dari penjelasan Dawam di awal pernyataan itu bahwa yang dimaksud
terjemahan Dawam tampak rancu karena dzikr bukanlah arti yang pas dari
yatadzakkaru, apalagi jika dzikr yang dimaksud adalah “dzikir” yang sudah
83
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 561. Sebagai catatan, mungkin yang dimaksud Dawam
adalah ayat 190 dan 191, bukan 189 dan 190 seperti tertera dalam bukunya.
84
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
85
Lihat uraian penulis di akhir pembahasan Bab III.
124
atau “mengambil peringatan”. Makna inilah yang lebih tepat karena memang
Terlepas dari kesalahan teknis, kasus ini patut diselidiki. Jika dibandingkan
dengan terjemahan Depag RI86 atau M. Quraish Shihab87, terjemahan Dawam jelas
Pada masalah ini penulis menduga ada motif lain yang diusung Dawam.
Mengingat tulisan tersebut dimuat di Ulumul Qur’an edisi khusus potret lima tahun
dalam bidang keilmuan di satu sisi dan dalam hal “kesalehan” mereka dengan
intelektual88 yang kemudian mengerucut pada konsep tentang pikir dan dzikr dalam
ayat 190 surat Âli ‘Imrân sedangkan terkait konsep dzikr ia menjelaskan ayat 191.
Paragraf yang penulis kutip tadi adalah penjelasan awal Dawam atas pemahamannya
86
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 252.
87
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 8
(Ciputat: Lentera Hati, 2007), v. 6, h. 589.
88
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 556-560.
89
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 561.
125
tentang ayat tersebut.90 Tidak heran bila Dawam mengartikan yatadzakkaru (Q.S. al-
Ra’d [13]: 19) dengan makna yadzkurûna (Q.S. Âli ‘Imrân: 191).
di Indonesia telah menjadi istilah yang baku dan telah umum diketahui berkonotasi
pada makna dzikrullâh. Dawam dengan sengaja memilih istilah itu seolah-olah ingin
ayat tersebut adalah hanya cendekiawanlah yang mampu tadzakkur, yakni mengambil
pelajaran. Dzikir itu bisa dilakukan oleh siapa saja sedangkan tadzakkur memang
hanya bisa dilakukan oleh ulil albâb. Jelas implikasi kedua makna itu berbeda.91
pelakunya untuk berdzikir tidak dapat disangkal. Pada Bab III, penulis telah
kegiatan tadzakkur sebenarnya merupakan gabungan dari kegiatan pikir dan dzikir.
Hanya saja kegiatan tadzakkur dimulai dari objek makhluk kemudian baru
berkontemplasi ke Tuhan sedangkan pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 191 kegiatan tersebut
dimulai dari pikiran transendensi kepada Tuhan baru kemudian tertuju kepada
makhluk-Nya. Gambaran inilah mungkin yang ada di benak Dawam Rahardjo ketika
memikirkan makna lafadz dzikr dan derivasinya yang ada pada ayat-ayat ulil albâb,
namun karena ingin menonjolkan sisi religius yang dimiliki oleh cendekiawan
90
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 563.
91
Rujuk kembali gambaran penulis terkait kegiatan berpikir ulil albâb di akhir Bab III.
126
yag lalu melalui analisanya terhadap susunan lafadz dzikr (yadzkurûna) pada Q.S. Âli
dengan asumsi bahwa yang disebut di awal menunjukkan makna yang lebih umum
dari pada yang disebut kemudian. Dengan begitu, Dawam menganggap aktivitas
dzikir dan pikir itu adalah satu kesatuan dan bukan dua hal yang berbeda. Sekilas
pandangan ini tampak out of the box alias tak seperti biasanya. Pasalnya, pemikir
Misalnya, menurut Rasyîd Ridâ, menjamak dzikr dan fikr itu adalah suatu
keharusan. Pikir tidak berfaedah tanpa dzikir dan dzikir tidak sempurna tanpa pikir.93
92
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564. Benda yang dimaksud di sini adalah Julien Benda
yang Dawam sebut dalam tulisannya. Menurut Benda, yang dicari oleh intelektual adalah kebenaran
dan keadilan yang universal. Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 560.
93
Muhammad Rasyîd ‘Alî Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr) (al-Hai’ah al-
Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1990), j. 4, h. 245.
127
Di sini Ridâ tidak menganggap dzikir sebagai bagian dari pikir ataupun sebaliknya. Ia
melihat keduanya sebagai dua hal yang berbeda yang saling menyempurnakan.
Ibnu ‘Asyûr menyatakan bahwa dzikir bila dikerjakan dengan lisan atau hati,
keduanya adalah tafakkur. 94 Tafakkur seperti inilah yang dianggap ibadah karena
diiringi oleh dzikir.95 Namun, menurut penulis, pendapat Ibnu ‘Âsyûr ini masih bisa
dibantah dengan asumsi bahwa tidak semua orang yang berdzikir dengan lisan atau
ingin menyadarkan semua orang bahwa orang yang berpikir bisa juga sambil
berdzikir.
Dawam menjelaskan:
sejauh ini, kegiatan pikir memang bisa merupakan bagian dari dzikr, bukan
sebaliknya. Pasalnya, pikir adalah permulaan untuk sampai pada dzikr. Oleh
94
Muhammad al-Tâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Tâhir bin ‘Âsyûr al-Tûnisî, al-
Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-Tûnisiyyah li al-Nasyr, 1984), j. 4, h. 196.
95
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansârî al-Khazrajî Syams
al-Dîn al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1964), penahqiq:
Ahmad al-Bardûnî & Ibrâhîm Atfîsy, v. 4, h. 313; Muhammad al-Râzî Fakhr al-dîn ibn al-‘Allâmah
Diyâ’ al-Dîn ‘Umar, Mafâtîh al-Ghayb, cet. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), v. 9, h. 140.
96
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
128
karenanya, meskipun pikir adalah bagian dari dzikr, belum tentu pikir tersebut
dianggap sebagai dzikr. Inilah mungkin yang dimaksud oleh Dawam bahwa pikir
lagi- menyangsikan kata dzikr yang digunakan oleh Dawam. Pada penjelasan
sebelumnya, ia menggunakan kata tersebut dengan makna yang lebih dekat pada
lafadz tadzakkur. Jika yang dimaksud dengan dzikr masih demikian, jelas pengertian
tersebut tidak cocok dengan konteks pembicaraannya. Maka hemat penulis, yang
dimaksud pikir diimbangi oleh dzikr di sini adalah dzikrullâh, yakni dzikr yang
dzikr adalah aktifitas yang melebihi pikir karena ia bersifat supra-rasional atau
kecenderungan Dawam untuk meyakini bahwa dzikr merupakan kegiatan yang sangat
rasional. Hanya saja, akal tidak mampu mencernanya. Ketiga, Dawam ingin
mengatakan bahwa akal manusia terbatas. Oleh karenanya, ketika akal itu tidak
mampu lagi memikirkan sesuatu, di sanalah aktivitas dzikr mampu membantu pikir
untuk menemukan kebenaran. Hal terakhir inilah yang kemungkinan besar membuat
97
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
129
Dawam menyatakan bahwa dzikr merupakan bagian dari pikir karena ternyata dzikr
“Dari ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa seorang ûlû al-
albâb itu adalah orang yang berdzikir dan berpikir. Hanya saja, dzikr itu
merupakan bagian dari berpikir, yang tingkatannya lebih tinggi, karena
mengarah kepada transendensi. Pada ayat 21 dalam surat al-Zumar/39, lagi-
lagi disebut bahwa orang yang mampu melakukan dzikr itu hanyalah ûlû al-
98
albâb…(Q.S. al-Zumar [39]: 21)”
Sampai di sini, Dawam menyimpulkan bahwa dzikr adalah bagian dari
berpikir, namun dalam tingkatannya yang lebih tinggi. Penulis melihat pikir yang
dimaksud Dawam adalah kegiatan berpikir menyeluruh mencakup segala apa yang
bisa dipikirkan oleh akal manusia. Dzikr merupakan bagian dari kegiatan berpikir
tersebut, bahkan melebihinya karena dzikr turut menyertakan iman dalam kegiatan
sebelumnya: pikir mencakup wilayah akal rasional dan dzikr mencakup wilayah akal
beraliansi makna dengan tadzakkur. Ini memperkuat dugaan penulis bahwa Dawam –
dalam pembahasan ulil albâb ini- memang tidak membedakan antara dzikr dan
“Tadzakkur adalah salah satu tugas akal yang paling tinggi. Dan, dzakirah
‘ingatan’ adalah tempat penyimpanan pengetahuan dan informasi yang
diperoleh manusia untuk dipergunakannya pada saat dibutuhkan. Manusia
tidak dapat hidup dengan sempurna tanpa dzakirah dan tadzakkur, baik
dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dan, orang yang kehilangan
98
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 564.
130
Qardâwî menegaskan bahwa tadzakkur adalah kegiatan akal dan bukan kegiatan
kembali informasi dan pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya yang terlupa
atau terabaikan. 100 Umat muslim pasti memiliki sifat ini karena tadzakkur adalah
lawan dari sikap ghaflah yang dimiliki oleh orang kafir, munafik, dan orang-orang
Selain itu, implikasi dari sifat tadzakkur adalah menjadikan orang yang
mengerjakannya sebagai seorang yang senantiasa mengingatkan orang lain akan hal-
hal yang terlupakan. Oleh karena itu, menurut Qardâwî, salah satu tugas Rasul adalah
[88]: 21) 102 Hal inilah yang sempat disinggung oleh Dawam.
dengan arti ‘mengingat’ atau ‘mendapat peringatan’. Merujuk arti dasar ini, Dawam
99
Yusuf Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim & Sochimien, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 66.
100
Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 66.
101
Q.S. al-A’râf: (7): 179; Q.S. al-Nahl (16): 108; Q.S. al-Rûm (30): 6-7; Q.S. al-A’râf (7):
136; Q.S. al-Taubah (9): 67; Q.S. al-Hasyr (59): 19. Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan
Ilmu Pengetahuan, h. 67.
102
Q.S. Hûd (11): 12; Q.S. al-A’lâ (87): 9; Q.S. Qâf (50): 45. Qardâwî, Al-Qur’an Berbicara
tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 68.
131
menilai bahwa watak seorang yang melakukan dzikr adalah mengingatkan. Sementara
itu, tindakan mengingatkan itu hanya bisa muncul jika orang bersikap kritis. Oleh
karena itu, seorang ûlû al-albâb seharusnya bersikap kritis atau peka untuk memberi
peringatan. Ia menulis:
“Seorang yang melakukan dzikr tentu akan merespon seruan Allah untuk
membentuk kelompok yang berorientasi kepada kebajikan (al-khayr) dan
kemudian melakukan amr ma’rûf nahy al-munkar (Âlu ‘Imrân/3:103 dan
110). Dari sinilah seorang ûlû al-albâb akan bersifat kritis sebagai dasar dari
tindakan amr ma’rûf nahy al-munkar. Tetapi sikap kritis itu mengandung
juga tanggung-jawab ketika ia mengingat kepada nilai kebajikan dan amr
ma’rûf.” 103
Menanggapi paragraf yang merupakan paragraf pamungkas dalam tulisan
panjang Ûlû al-Albâb ini, penulis melihat diam-diam tampaknya Dawam ingin
menyatakan kepada khalayak umum bahwa ICMI adalah salah satu bentuk respon
umat muslim atas kondisi sosial yang ada. ICMI merupakan organisasi yang
berorientasi pada amr ma’rûf nahy al-munkar yang menjadi wacana umat di era 80-
nasional sedangkan nahy munkar terkait pencegahan segala kejahatan yang merebak
di masyarakat.104
Terlepas dari motif tersebut, Dawam telah mencoba memaknai dzikr dengan
dimensi baru, yakni berupa sikap kritis. Artinya, orang yang senantiasa berdzikir
seharusnya peka dengan kondisi alam dan sosialnya. Apalagi seorang yang berdzikir
103
Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 571.
104
Dawam sering menyinggung kalimat ini dalam beberapa tulisannya. Biasanya berkaitan
dengan respon Muhammadiyah sebagai pembaharu keagamaan di Indonesia.
132
memiliki kepekaan, sikap kritis, dan tanggung-jawab sosial dan karena itu memiliki
kajian dalam penelitian ini sedari awal sampai akhir. Dari sekian pertanyaan yang
lainnya.
Pertama, menilik penafsiran ulama atas istilah ulil albâb, sebenarnya konsep
terkesan “itu-itu saja” alias stagnan. Setelah memasuki abad modern, beberapa
muslim yang hidup di zaman modern termasuk salah seorang yang mengembangkan
memadukan kualitas dzikir dan pikir, penulis melihat ada gerakan persuasif agar
105
Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 572.
133
untuk mereka-ulang pembahasan penulis dalam Bab III sampai Bab IV dan
mengaitkannya pada konteks sejarah. Pada Bab III, konsep ulil albâb ditampilkan
sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai abad modern. Penafsiran yang stagnan itu
terdapat pada tafsir-tafsir klasik. Penafsiran itu terkesan masih normatif dan selalu
diulang oleh para mufassir meski sudah berbeda zaman. Isinya baru sekadar berupa
penjelasan dalam memahami dan mengambil hikmah ayat-ayat ulil albâb tanpa
menyinggung soal konkret keberadaan serta perannya yang nyata. Ini maklum, karena
pada masa-masa itu, ilmu pengetahuan tidak semaju sains di abad modern yang
dikembangkan oleh Barat. Oleh karenanya, ulil albâb yang dikenal sebagai
cendekiawan sebenarnya lebih tampak pada sosok ulama atau orang-orang saleh yang
memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu
Sementara itu, pada tafsir modern, pemahaman mufassir atas konsep ulil
albâb tidak terlepas dari persepsi mereka atas perkembangan ilmu pengetahuan
ilmu pengetahuan modern itu muncul karena Barat menemukan kualitas akal.
Adagium “Cogito ergo sum!” yang dicetuskan oleh Rene Descartes, seorang filsuf
ternama dari Perancis adalah bukti bahwa Barat telah menyadari potensi terbesar
manusia itu. Di zaman ini lahirlah para ilmuwan-ilmuwan ulung yang dengan
tersebut para mufassir modern hidup sehingga proyeksi mereka tentang ulil albâb
sebagai orang yang berakal mengarah pada sosok ilmuwan yang muncul di Barat.
134
mampu membaca keadaan zaman saat itu. Ia sadar bahwa seorang muslim seharusnya
ulama yang masih terbelenggu dalam dunianya yang klasik dan tidak menengok ke
arah kemajuan zaman. Di sisi yang lain, ia juga menyayangkan para intelektual atau
Indonesia mayoritas berada “di bawah kendali” para ulama, bukan para cendekiawan.
Oleh karena itu, ketika telah ditemukan istilah ulil albâb dalam al-Qur’an, ia turut
“cendekiawan muslim” yang mana merupakan gabungan dari ulama dan cendekiawan
dengan harapan agar baik ulama maupun cendekiawan mampu membawa umat
penulis ingin mengajak pembaca untuk masuk ke dalam strategi yang diusung para
mereka bukan hanya model figur, namun juga sebagai pemimpin yang bertanggung
jawab atas kemaslahatan umatnya. Di era modern, permasalahan umat tidak hanya
135
mereka pun semakin kompleks dengan masuknya teknologi dan berbagai ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, sebagai pemimpin selayaknya seorang ulama juga
banyak tahu masalah yang sedang dihadapi umat. Mau tidak mau, ulama harus
zaman modern tersebut agama –terutama al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman
ilmu modern yang sangat berbeda dengan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan
menyikapi berbagai fenomena modern agar dapat membimbing umat modern tetap
modern juga mempunyai tanggung jawab yang sama dengan ulama dalam hal
membantu kesejahteraan umat dengan ilmu dan daya nalar yang dimilikinya.
Berhubung mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang agamis, maka seorang
budaya. Di sini, mereka akan menyadari bahwa masyarakat muslim lebih manut pada
ulama karena dalam pandangan mereka, ulama lebih dekat pada Tuhan. Realitanya,
umat muslim memang lebih percaya pada ulama dibanding cendekiawan. Oleh karena
baik dari segi ibadah ataupun pengetahuan agama layaknya ulama. Dengan begitu,
umat muslim Indonesia yang agamis akan memberikan kepercayaan pada mereka.
106
Nasution, Islam dan Problem-problem Kemasyarakatan, h. 59.
136
Jika ini terjadi, bukanlah tidak mungkin penerimaan masyarakat atas kehadiran
atau bahkan perlahan mampu mengubah cara pandang masyarakat menghadapi era
modern.
Jika dua kondisi di atas tidak terjadi, sebenarnya ulama dan cendekiawan
muslim masih bisa saling bahu-membahu dalam menunaikan tugas sosial mereka.
Inilah opsi lain yang mungkin diinginkan oleh pemikir muslim, yakni kerjasama
antara ahli agama dan ahli ilmu. Adapun caranya adalah dengan sering melakukan
dialog interaktif demi tercapainya pembangunan masyarakat yang maju. Dialog ini
dianggap perlu untuk mempertemukan dua cara pandang agar tidak terjadi
konsep cendekiawan muslim yang memadukan daya dzikr-fikr adalah produk khas
Indonesia. Mengapa? Karena permasalahan di atas hanya bisa terjadi di negeri ini
atau tempat lain yang memiliki konteks serupa. Konsep cendekiawan muslim sangat
tidak mungkin muncul di negara sekuler yang memisahkan urusan agama dan non-
Namun, penulis juga menyadari bahwa mau bagaimana pun juga konsep ulil
albâb yang ada dalam al-Qur’an bukanlah produk manapun. Tidak etis sekali bila
memunculkan konsep ulil albâb pada abad ke-7 jauh sebelum penemuan konsep
cendekiawan muslim yang baru muncul empat belas abad kemudian. Oleh karena itu
137
penulis menganggap konsep cendekiawan muslim hanyalah sebuah hasil upaya para
al-Qur’an. Interpretasi dan pengamalan ini bisa saja berubah bila dilakukan oleh umat
Pada akhirnya, berdasarkan uraian sejauh ini, kita bisa mengambil pelajaran
bahwa pemahaman manusia atas al-Qur’an bisa terus berubah sesuai dengan konteks
kehidupannya. Uraian panjang penulis juga membuktikan salah satu kemukjizatan al-
Qur’an, bahwa sebagai pedoman hidup ia tak lekang oleh waktu dan tempat, ia sâlih
li-kull zamân wa makân. Dan yang terakhir, sebagai pamungkas, al-Qur’an sebagai
dzikr tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya akal yang memikirkannya. Di situlah
peran akal, membuat dzikr menjadi pikir sehingga pikir menjadi dzikir. ***
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
dimensi makna dzikr pada ayat-ayat ulil albâb dalam al-Qur’an secara umum
mengandung makna dzikrullâh dan secara khusus menunjuk pada aktivitas akal.
Adapun spekulasi M. Dawam Rahardjo akan kesatuan makna dzikr dan fikr
pada ayat-ayat ulil albâb ternyata tidak terlepas dari konteks keberagamaan umat
Dawam berusaha mengatasi masalah tersebut dengan menunjukkan bahwa dzikr juga
dapat diejawantahkan dalam bentuk pikir dan kegiatan berpikir dapat mengantarkan
seseorang untuk mencapai dzikr. Ia menganggap dzikr mencakup pikir atau pikir
terkandung dalam dzikr karena melihat konsep dzikr dari sudut pandang yang luas
dan bukan dalam pengertiannya yang sempit. Oleh karena itu, meskipun dalam ayat-
ayat ulil albâb terdapat beberapa bentuk derivasi lafadz dzikr yang berbeda, dia tetap
mengartikannya sebagai dzikr walaupun bila dilihat dari segi makna lafadznya lebih
memposisikannya sebagai tokoh pembaharu atas dimensi makna dzikr ulil albâb
sebagaimana tersebut di atas berimplikasi pada wacana ulil albâb yang berkembang
138
139
saat itu, terutama terkait amanah dalam mengayomi masyarakat. Pada makna dzikr
pertama dan kedua, Dawam menyoroti ulama sebagai representasi dari ahli dzikir
agar tidak hanya berdzikir saja dan cendekiawan sebagai representasi dari ahli pikir
agar tidak hanya berpikir saja. Dawam berharap agar mereka memadukan daya dzikir
dan pikir mereka dan menggunakannya untuk kesejahteraan umat. Tidak hanya itu,
pada makna dzikr ketiga dia juga menekankan bahwa baik ulama maupun
cendekiawan masing-masing memiliki tanggung jawab moral dan sosial yang sama
pada masyarakat. Dengan kata lain, dia hendak menyatakan bahwa ulil albâb bisa
saja berupa ulama atau cendekiawan selama mereka memiliki ketiga dimensi dzikr
tersebut.
Rahardjo dalam membuktikan bahwa isi al-Qur’an bersifat perenial, shâliḥ li-kull
sebelumnya identik dengan kegiatan spiritual kemudian dibawa oleh Dawam ke ranah
B. Saran
Sejatinya konsep dzikr dan konsep ulil albâb dalam al-Qur’an sangatlah luas.
Penulis menyadari kajian yang telah penulis lakukan mungkin hanya mampu
menyingkap secuil keterangan dari samudera kajian yang terhampar dalam al-Qur’an.
Peneliti lain bisa saja membahas ayat-ayat lain serupa dengan yang dibahas penulis.
Misalnya, kajian tentang makna lafadz tadzakkur dan dzikrâ yang ada pada ayat
140
selain ulil albâb seperti pada Q.S. ‘Abasa (80): 4 atau Q.S. al-A’lâ (86): 9-10.
Apakah ayat-ayat tersebut masih berkaitan dengan ulil albâb? Pembahasan tersebut
dalam penelitian ini penulis hanya memotret melalui lubang kecil, yakni melalui
konsep dzikir dan pikirnya saja. Kenyataannya, masih banyak area lain yang bisa
digali dari data-data dan keterangan-keterangan yang tercecer di sana-sini yang belum
penulis baru mampu menemukan satu kepingnya saja. Oleh karena itu, dengan
segenap penuh harap dan terima kasih penulis haturkan kepada siapa saja yang
Adapun beberapa hal yang menjadi kesulitan penulis selama penelitian ini
pengidentifikasian wacana, baik itu wacana lokal atau wacana global. Dalam
penelitian ini penulis masih sebatas menyinggung wacana lokal dan belum
Selain itu, penulis juga dibenturkan pada masalah keterbatasan pisau analisis
untuk menguak apa yang ada di balik wacana. Dikarenakan kajian semacam ini tidak
terlepas dari hal itu, maka penulis menyarankan kepada para pengkaji yang ingin
menindaklanjuti penelitian ini atau yang semodel dengan kajian ini untuk
yang ada dalam kajian analisa wacana. Hal ini sangat penting agar mempermudah
Terakhir, dengan segala rasa hormat, penulis mengharapkan adanya kritik atau
saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan penelitian ini dan terlepas dari
segala kekurangan yang ada, semoga penelitian ini dapat diambil manfaatnya baik
DAFTAR PUSTAKA
‘Alî K., Hasan. al-Mu’jam al-Mufassir li Alfâẕi al-Qur’ân al-Karîm. T.t.: Dâr al-
I’tisâm,1986.
al-‘Askarî, Abû Hilâl al-Hasan ibn ‘Abdillah ibn Sahl ibn Sa’îd ibn Yahyâ ibn
Mihrân. Mu’jam al-Furûq al-Lughghawiyyah. Qum: Muassisah al-Nasyr al-
Islâmî al-Tâbi’ah li Jamâ’ah al-Mudarrisîn, 1412 H.
Al-Adnani, Abu Fatiah. Zikir Akhir Zaman. Surakarta: Granada Mediatama, 2016.
Ali-Fauzi, Ihsan. dkk. ed. Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. digital. Jakarta:
Democracy Project, 2012. Diunduh dari
www.cerdasdownload.blogspot.co.id, pada Kamis, 01 Maret 2018.
Baharuddin, Elmi Bin dan Ismail, Zainab Binti. “Spiritual Intelligence Forming
Ulul Albab’s Personality.” Global Journal of Business and Social Science
Review, v. 4(1), (Oktober-Desember 2015), h. 390-400.
al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah. al-Jâmi’ al-
Sahîh. Kairo: Dâr al-Syi’bi, 1987.
Darwîsy, Muhyi al-Dîn bin Ahmad Musṯafâ. I’râb al-Qur’ân wa Bayânihi, cet. 4.
Suriah: Dâr al-Irsyâd li al-Syuûn al-Jâmi’iyyah, t.t..
Dawami, M. Iqbal. Kamus Istilah Populer Islam: Kata-kata yang Paling Sering
Digunakan di Dunia Islam, cet. 18. Jakarta: Erlangga, 2013.
al-Dimasyqî, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî. Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Aẕîm, cet. 1. Dâr Ṯaybah li al-Nasyr wa al-Tawzî’,
1999M/1420H.
al-Fayrûzâbâdî, Majd al-Dîn Abû Ṯâhir Muhammad ibn Ya’qûb. al-Qâmûs al-
Muhîṯ, cet. 2. Beirut: Muassisat al-Risâlah li al-Ṯâbâ’ah wa al-Nasyr wa al-
Tawzî’, 2005.
Effendi, Djohan dan Natsir, Ismed, ed. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan
Harian Ahmad Wahib, cet. 6. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003.
Jamî’ al-Huqûq Mahfûẕah. al-Munjid fî al-Lughghah, cet. 12. Beirut: Dâr al-
Masyriq, 1977.
Jumantoro, Totok dan Amin, Samsul Munir. Kamus Ilmu Tasawuf. T.tp.: Amzah,
2005.
al-Misrî, Abû Faḏl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manẕûr al-Afriqî.
Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr Sâdir, 1990.
Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 35. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2016.
Muhammad, Abrar. ICMI dan Harapan Umat, cet. 1. Jakarta: YPI Ruhama, 1991.
al-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî. al-
Jâmi’ al-Sâhîh. Beirut: Dâr al-Jail & Dâr al-Afâq al-Jadîdah, t.t..
145
al-Nasâî, Ahmad bin Syu’aib Abû ‘Abd al-Rahmân. al-Mujatabâ min al-Sunan.
Halb: Maktab al-Maṯbû’ât al-Islâmiyyah, 1986.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. 2. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986.
al-Nawawî, Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf bin Mirrî. al-Minhâj Syarh Sahîh
Muslim bin al-Hajjâj, cet. 2. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, 1392 H.
Qarḏâwî, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, cet. 2.
Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
al-Qaṭṭân, Mannâ’ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, cet. 10. Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2007.
Qomar, Mujamil. Fajar Baru Islam Indonesia: Kajian Komprehensif Atas Arah
Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara. Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2012.
al-Qurṯubî, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-
Ansârî al-Khazrajî Syams al-Dîn. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Kairo: Dâr
al-Kutub al-Misriyyah, 1964.
-------Islam dan Transformasi Budaya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2002.
146
al-Râzî, Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ. Maqâyîs fî al-Lughghah.
Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.
al-Râzî, Muhammad Fakhr al-dîn ibn al-‘Allâmah Ḏiyâ’ al-Dîn ‘Umar. Mafâtîh
al-Ghayb. Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.
Riḏâ, Muhammad Rasyîd ‘Alî. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr). al-
Hai’ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1990.
-------Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, cet. 3. Ciputat: Lentera Hati,
2008.
al-Sijistânî, Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’at. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dâr
al-Kitâb al-‘Arabî, t.t..
Subirin, Nor Adzimah. dkk.. “Ulul Albab Generation: Roles of Ulul Albab
Teachers in Malaysian Selected School.” International Journal of Academic
Research in Business and Social Sciences, vol.7, (2017), h. 1022-1031.
147
Susanti, Sri. “Kajian Kritis terhadap Konsepsi ‘Ulil Albab’ dalam al-Qur’an.”
Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran. Diterbitkan oleh Fkip
Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Juni 2013.
al-Syâfi’î, Ahmad bin ‘Alî bin Hajar Abû al-Faḏl al-‘Asqalânî. Fath al-Bârî Syarh
Sahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H.
al-Tamîmî, Muhammad bin Hibbân bin Ahmad bin Hibbân bin Mu’âdz bin
Ma’bad. Sahîh Ibn Hibbân bi-Tartîb Ibn bulbân. T.tp.: Muassisah al-
Risâlah, t.t..
al-Ṯabarî, Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî Abu
Ja’far. Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân. Muassasah al-Risâlah, 2000.
Ulum, Miftahul. “Konsep Ulil Albab Q.S. Ali-Imran ayat 190-195 dan
Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam.” Skripsi S1 Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo, 2011.
Internet:
Fathani, Abdul Halim. “Paradigma Pembelajaran dalam Perspektif Tarbiyah Ulul
Albab dan Multiple Intelligences.” Artikel diakses pada 09 Mei 2018 dari:
https://www.researchgate.net/publication/311873299_PARADIGMA_PEM
BELAJARAN_DALAM_PERSPEKTIF_TARBIYAH_ULUL_ALBAB_D
AN_MULTIPLE_INTELLIGENCES
“40 Tahun ‘Islam Yes Partai Islam No’ Diperingati”, Republika.co.id, 08 Januari
2010.
Video:
Video “Ulil Albab dan Peran Cendekiawan.” Dipublikasikan oleh akun Sinar
Idola pada tanggal 26 Juni 2016.
Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Asep Usman Ismail. Ciputat, 15 Februari 2018.
LAMPIRAN 1
“Dan dalam qiṣâs itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang
yang berakal, agar kamu bertaqwa.”
b. Q.S. al-Baqarah (2): 197
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa
mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia
berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan
ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya.
Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan
bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”
c. Q.S. al-Baqarah (2): 269
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa
diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan
tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang
mempunyai akal sehat.”
d. Q.S. Âlî ‘Imrân (3): 7
*
Terjemahan ayat diambil dari: Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung:
Syaamil Quran).
“Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di
antaranya ada ayat-ayat yang muḥkamât, itulah pokok-pokok Kitab (al-
Qur’an) dan yang lain mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyâbiḥât untuk mencari-
cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya
mendalam berkata, ‘Kami beriman kepadanya (al-Qur’an), semuanya dari sisi
Tuhan kami.’ Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang
berakal.”
e. Q.S. Âlî ‘Imrân (3): 190-191
“Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan
kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang
yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
i. Q.S. Ibrâhîm (14): 52
“(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat
menerima pelajaran.”
m. Q.S. al-Zumar (39): 18
***
Jurnal Ulumul Quran sebetulnya merupakan buah dari sebuah pemikiran yang
panjang. Pak Dawam adalah pribadi yang unik. Disiplin ilmunya ekonomi. Dia
dikenal sebagai ekonom lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.
Untuk tingkat kawan-kawan seangkatannya, Mas Dawam sebandinglah dengan
Pak Mubyarto yang waktu itu juga menjadi guru besar ekonomi di UGM dan
dikenal dengan orientasi kerakyatan. Dia juga yang merumuskan konsep
“ekonomi pancasila”. Bahwa Mas Dawam punya orientasi kerakyatan memahami
betul kondisi sosial yang terjadi di UGM. Sejak awal UGM lahir dalam proses
pergerakan dan lahir dari tangan-tangan para kelompok republikan Indonesia,
orang-orang yang memang sejak awal anti-kemapanan, anti-kolonialis, memihak
kepada pribumi, memihak kepada rakyat, meskipun mereka sering disebut
pemikirannya sosialis. Tapi yang paling saya pahami adalah orang-orang seperti
Pak Dawam itu lahir dan besar dalam kondisi sosial yang memang berada dalam
sebuah ikon tentang komitmen kerakyatan. Berbeda dengan UI waktu itu. UI
karena berada di Jakarta, kemudian sejak awal luluh dalam modernisasi dan juga
larut dalam kegiatan arus ekonomi global. Jadi di tahun-tahun 70-an 80-an UGM-
lah yang menjadi kiblat para intelektual -untuk masalah sosial yang mewakili
komitmen kerakyataan, pemihakan kepada masyarakat wong cilik.
Sentuhan Dawam Rahardjo dengan kalangan santri dan kalangan pemikir lewat
sebuah organisasi, HMI. HMI-lah yang menjadi jembatan yang mempertemukan
kalangan “sarungan” dengan kalangan “levis”.
Nah kalangan anak muda yang sebanding dengan dirinya adalah Nurcholis
Madjid, yang betul-betul dari pesantren, kalangan NU, tradisional, mondoknya di
Gontor, kuliah di sastra Arab. Nah inilah yang menjadi titik temu. Jadi ada
Nurcholis Madjid, ada Dawam Rahardjo, ada Djohan Effendi -yang sangat dekat
dengan kalangan Ahmadiyah. Dawam yang berasal dari kalangan basis sosialnya
UGM. Lewat itulah Dawam menjadi ikon baru untuk Indonesia. Dan ikon baru itu
sebetulnya seperti yang dikatakan Cak Nur, tahun 70-an itu panen pertama sarjana
Islam.
Tahun 70-an?
Iya 70-an. Mengapa 70-an? HMI itu lahir 05 Februari 1947 dan yang menjadi
mahasiswa pada saat itu sedikit. Paling-paling mahasiswa PT yang dari UII,
ditambah lagi sekolah-sekolah umum. Tapi pada tahun 70-an mereka sudah
menjadi sarjana. Umur mereka rata-rata kelahiran 40-an. Cak Nur lebih tua. Dia
lahir 17 Maret 1939, Dawam Rahardjo 1942, Ridwan Said itu 1942. Orang-orang
itu adalah orang-orang HMI tapi beda minat. Ada yang hanya bersentuhan dengan
Islam, dan ada dengan ikon Betawi. Kalau Dawam tidak, ke akademik. Mereka
tumbuh di zaman HMI yang menjadi ikon tumbuhnya intelektual muda yang
menyatukan dua sisi. Satu sisi yang berbasis ilmu umum dan modern seperti di
UGM yang menjadi ikon tadi dan pada sisi lain bersentuhan dengan kalangan
santri seperti Nur Cholis Majid. Oleh karena itu, Dawam Rahardjo cukup unik.
Apalagi ketika tahun 70-an dia memilih masuk LP3ES. LP3ES kan memang
lembaga riset yang betul-betul dikelola oleh kelompok muslim yang ada
sosialisnya, ada tradisionalis-nasionalisnya. Dawam Rahardjo masuk di situ dan ia
memang mumpuni dalam bidang ekonomi dan bidang sosial.
Tapi pada saat yang sama dia merekrut anak-anak IAIN Jakarta. Mengapa ia lebih
percaya ke anak IAIN Jakarta? Ada tiga alasan. Pertama,mereka mempunyai basis
intelektual yang kokoh dalam bidang keislaman. Kedua, anak-anak IAIN yang
terhimpun di PMII, HMI, ataupun IMM, terbiasa mengakses ilmu sosial. Ketiga,
isu-isu keagamaan mereka menjadi kontekstual. Isu-isu keagamaan santri kan
masih berbasis pada kajian kitab kuning. Tapi kalau mereka masuk ke isu tentang
perbankan, isu tentang modernisasi,dll.
Ada kelebihan lain yang dimiliki Mas Dawam. Dia biasa menulis. Pada saat itu,
Mas Dawam bersentuhan dengan orang-orang IAIN yang memang sejak dari awal
apalagi ketika ia pindah ke Jakarta, beberapa memang dari Yogja. Tapi karena
Yogya jauh, ia memilih orang-orang Ciputat, maka dia memilih yang lebih dekat.
dibanding almamater yang membesarkan Masa Dawam. Kegiatannya di Jakarta.
Makanya yang direkrut adalah orang-orang HMI Ciputat. Anak IMM ada, anak
PMII juga ada, tapi yang dominan adalah HMI. Mereka akrab saja, sama-sama
santri kok.
Mas Dawam tidak menutup diri. Bukan HMI-nya, bukan PMII-nya, tapi kalangan
Islam yang sudah terbiasa punya basis kajian Islam tradisional kitab kuning, tapi
juga punya kemampuan untuk mendiskusikan masalah sosial dengan mendalam.
Kemudian mereka merespon kejadian di Indonesia dengan cara berbeda respon
yang dilakukan oleh kiai sepuh. Mereka juga sangat akrab dengan dunia
jurnalistik, dunia koran-koran begitu. Nulis mereka bukan hanya di Pelita, tapi
juga Kompas. Mereka bersaing dengan orang-orang Katolik, dengan orang-orang
yang latar belakangnya sosialis. Dalam konteks inilah Mas Dawam terpikir untuk,
dulu itu ada yang namanya silaturrahim nasional (silatnas). Silatnas itu merupakan
kalangan yang menjadi cikal bakal ICMI, kalangan cendekiawan muslim. ICMI
kan gejala awal 90-an. Ini sudah ada sejak 80-an. Saya menjadi mahasiswa pada
periode 1979. Ada senior kami Azyumardi Azra angkatan 76, Fahri Ali angkatan
74, yang di IAIN Jakarta itu. Bukan hanya mereka, ada mahasiswa lain semacam
Ahmad Rifai Hasan 76. Saya 79. Ketika saya datang ke Ciputat, saya santri, saya
tidak bergabung dengan PMII. Meskipun saya NU, saya bergabung dengan HMI.
Di HMI inilah saya intensif masuk dalam poros kajian ini. Di dalam kajian inilah,
beberapa yang senior bergabung dengan LP3ES; Azyumardi, Fahri Ali, Wibisana,
Saryono, dan ada beberapa orang lain. Kalau saya tidak. Mereka bertemu dengan
Mas Dawam. Tapi kami yang waktu itu masih junior, sering diundang Mas
Dawam ke IAIN Jakarta. Di HMI apalagi. Selain mempunyai kedekatan dengan
HMI Ciputat. Lewat itulah kemudian terjadi dialog-dialog yang intensif. Saya saat
itu ada pada posisi junior pada 79-80. Tapi menjadi senior pada tahun 85-86 saat-
saat kami akan lulus. Saya lulus tahun 87.
Nah, di saat itulah lewat silatnas didirikanlah LSAF, jangan lupa LSAF berdiri
pada tahun 1983. Mas Dawam tidak lagi di LP3ES. Di sana ia hanya pada tahun-
tahun 79, 80, 81, 82. Mulai 83 Mas Dawam menjadi direktur LSAF dan PPA. Di
PPA inilah ia bertemu dengan cendekiawan-cendikiawan beda kampus. Umumnya
pada saat itu IPB. Orang IPB yang menjadi pelopor Pusat Perkembangan
Agribisnis adalah Dr. Ir. Amin Aziz.
Orang-orang yang tertarik pada kajian ilmu sosialnya di sana bekerja di PPA,
anak-anak KOHATI-nya di PPSP (Pusat Studi Perempuan). Ini bagaimana? Mas
Dawam berpikir. Kalau hanya ini, mana pemikirnya? Mereka lebih banyak
mengkaji ilmu sosial, terkait isu-isu pemberdayaan umat, penguatan umat,
pendidikan terpadu, dll. Kemudian Mas Dawam berpikir bahwa harus ada sisi lain
dong, yang betul-betul anak yang mendalami agama dan mendalami filsafat.
Maka dari itu Mas Dawam berpikir bagaimana bila mendirikan LSAF (Lembaga
Studi Agama dan Filsafat). LSAF itu tidak mendapatkan uang. Lembaga kalau
tidak betul-betul dikader, konsumtif. Tidak ada proyek yang bisa menghasilkan
uang. Itu yang mencari uang adalah orang-orang PPA. Makanya LSAF ada di
bawah naungan PPA. Jadi kami orang-orang PPA itu merasa, “Ah kalian ini
hanya pengguna, sedangkan kami pencari.”
Tetapi kita kemudian menimbulkan prodak lain. Kita punya ide yang mereka
butuhkan. Kajian tentang keislaman, kajian tentang al-Qur’an, kajian ekonomi
islam, tasawuf. Itu yang kita miliki. Makanya tantangan LSAF itu bagaimana
orang LSAF bisa mandiri secara ekonomi. Caranya luar biasa. Itu ada kursus
tasawuf dibuka, bekerjasama dengan Harian Terbit untuk menulis. Sebetulnya itu
pada sisi lain, meluaskan ide, melatih kita masuk ke dunia profesional seperti
jurnalis, dan pada sisi lain membuktikan bahwa orang-orang LSAF bukan hanya
konsumen tapi bisa juga menghasilkan. Termasuk juga kita membuktikan bahwa
pikiran kita dibutuhkan oleh umat. LSAF berdiri pada tahun 1983 baru Ulumul
Qur’an (UQ) pada tahun 1989. Jadi dinamika selama enam tahun itulah yang
melahirkan Ulumul Qur’an. Begitu.
Nah, pada saat UQ berdiri itulah kita memiliki keunggulan ternyata mendapatkan
respon yang luar biasa karena kita sudah lama ditunggu. Bagaimana dulu itu isu
kebangkitan Islam itu harus diikuti dengan kemampuan memahami tiga hal, yaitu:
satu memahami al-Qur’an dengan ilmiah, dua membuat sistematika, dan tiga
kontekstual dengan tantangan zaman pada saat itu. Nah tantangan macam itu
seperti bagaimana umat Islam bisa melahirkan islamisasi sains, bagaimana bisa
moral umat dibimbing dengan ilmu, bagaimana kemudian ilmu berbasis riset.
Semua itu di dinamakan ulil albab. Nah dalam silatnas-silatnas itu dibahas konsep
ulil albab. Antara 1983-86 itu silatnas diadakan setahun sekali.
Selalu. Nah orang-orang yang turut memikirkan itu kelak menjadi tokoh-tokoh
ICMI pada tahun 90-an.
Termasuk Imaduddin?
Di antara itu, ya maaf, ICMI itu basisnya (kebanyakan) HMI. Oleh karena itu
yang sering bicara itu adalah tokoh M. Saefuddin, ia disebut cendekiawan berasal
dari IPB. Ada Amien Rais yang dari UGM. Ada Sikhil Alim juga dari UGM. Ada
Muhbib Ali dikenal sebagai ekonom tapi juga tokoh ICMI. Ada juga dari
Universitas Brawijaya. Ada Ahmadi, dirjen Paramadina. Sekarang sudah pensiun.
Banyak tokoh yang segenarasi dengan Mas Dawam dan bawahnya. Saya berada di
generasi keberapa. Kalau di hadis bukan tingkatan shaḥâbî lagi tapi termasuk
tingkatan keempat. (tertawa)
Ketika LSAF berdiri, maka Mas Dawam memastikan bahwa ini harus orang-orang
Ciputat yang masuk. Makanya ada Hadimulyo dari Pati. Ada Ahmad Rifai Hasan,
orang HMI, Persis, kemudian ada M. Syafii Anwar, bukan orang IAIN tapi dia
dari Panji Mas, orang Kudus. Kemudian saya masuk menggantikan posisi Mas
Pipik. Kemudian ada Ihsan Ali Fauzi, dari Aqidah Filsafat, itu adik kelas.
Kemudian Budi Munawar Rachman. Anak ini cukup unik. Bukan IAIN, bukan
santri, dididik SD, SMP, kemudian sekolah di STF Diyangkara, tapi dia dekat
dengan Cak Nur sehingga ia menulis disertasinya tentang Cak Nur. Karena dekat
Cak Nur, maka dia juga masuk dalam ruang lingkup kita. (menyebut beberapa
nama orang lagi dengan berbagai keahliannya)
Nah kondisi itulah, cukup menghangatkan kajian tentang ulumul qur’an. Jadi
konsep kajian ulumul qur’an yang kita kaji berbeda dengan konsep yang dipelajari
di bangku kuliah. Ulumul qur’an yang ditawarkan Mas Dawam ada tiga:
mengetahui ontologinya, epistemologinya, dan kemudian tekanannya pada
aksiologi.
Ke aksiologi. Inilah mengapa islamisasi tidak dihadapi dengan jargon, tapi dengan
konsep. Oleh karena itu, konsep-konsep berbasis al-Qur’an yang harus disajikan
waktu itu isu yang berkembang adalah isu kebangkitan islam, ada isu islamisasi.
Kebangkitan islam merebak di masyarakat tapi hanyalah jargon.
Orang Muhammadiyah, NU, Persis, sudah lama kami tidak menganggap adanya
perbedaan. Kalau ada, tidak dianggap prinsip. … isu … moral, islamisasi sains,
…. Respon tentang perbankan syariah. Prodak bersamaan dengan itu Pak Harto
mengeluarkan kompilasi dasar-dasar hukum Islam.
Mulai merapat?
Pak Harto juga mendirikan ICMI. Sehingga ICMI dianggap sebagai merapatnya
kalangan santri perkotaan … muncul….ijo-ijo royo-royo…saya baru lulus 1986.
Saya tidak ikut waktu itu. Tapi semua orang berangkat. Saya ada masalah teknis.
Saya ada cerita. Ini sisi Mas Dawam yang menarik. … itu Kementerian Agama
mengadakan pertemuan antar mufassir. Ini Kementerian Agama, berbeda dengan
silatnas yang diadakan Mas Dawam. Ketika … mereka mengundang PTIQ, …
karena menurut mereka…yang mampu menafsirkan al-Qur’an adalah mereka
yang hâfidz al-Qur’an, yang memahami lagu, …, yang memahami nazhm, dan itu
PTIQ. Nah, PTIQ-lah yang menjadi … dalam tafsir ini. Maka diundanglah
beberapa dosen UIN yang waktu itu belum mempunyai program tafsir. Waktu itu
program tafsir adanya di Fakultas Syari’ah. Pernah dengar program tafsir bukan
di Ushuluddin tapi di Syari’ah?
Iya, Pak
Karena tafsir dianggap sebagai bagian dari penggalian sumber hukum. Sumber
hukum kan al-Qur’an dan sunnah. Nah … tidak ada program tafsir. Yang di
Ushuluddin tidak punya, yang di Syari’ah juga tidak punya. Ada beberapa yang
minat tafsir tapi tidak ada prodinya. Sampai kemudian, Ushuluddin mendirikan
Jurusan Tafsir. Jadi, tidak ada ceritanya Fakultas UIN Jakarta mempunyai
program studi tafsir.
Ketika diundang itu, Mas Dawam tanya pada saya. “Sini. Kenapa saya tidak
diundang, ya?”
Sudah. … yang namanya …. Mas Dawam itu nulis dua. Selain redaksi juga
menulis ensiklopedi. Saya menjadi penjaga gawang di rubrik “wacana”…
kajiannya sejarah, budaya, sastra. … tergantung.
“Kementerian Agama kok tidak mengundang saya?” Mas Dawam itu … tidak
dianggap oleh Kementerian Agama. Karena memang tidak memenuhi persyaratan
mufassir. Sekolahnya dari umum UGM. Disiplinnya ekonomi...ilmu sosial. Mas
Dawam itu akan diundang menjadi narasumber jika yang mengadakan acara IAIN
Jakarta atau IAIN Yogya yang basisnya …kajian tafsir yang kajiannya keluar dari
persyaratan-persyaratan yang ketat itu. Sepanjang orang itu… toh
mempertahankan syarat mufassir itu, tidak akan menganggap Dawam Rahardjo.
Tapi kalau mempertimbangkan …tanpa bahasa Arab, tanpa mengenal ‘ulumul
Qur’an , baru akan mempertimbangkan Mas Dawam. Dan itu silatnas ICMI,
silatnas HMI, dan … Jadi ada dualitas… kementerian agama….tapi mayoritas
mengikuti cara pandang NU. NU dalam pengertian ulama-ulama…pesantren
yang mempertahankan kajian…liberal, jangan bayangkan NU sekarang (tertawa).
Itu 70-80an. Kalau masa sekarang ya, jadi ulama kalau NU sekarang. Diterima
banget. Tapi tidak semua yang begitu tentu. …
Saya jawab, “Ya Mas, kita bikin aja sendiri.” Sampai begitu berulang-ulang
sampai kita makan siang. Saat itu kan ada tradisi salat Dzuhur berjamaah
kemudian makan bersama. Saat itu sambil …. Diwajibkan untuk kultum. Semua
yang punya potensi diwajibkan untuk kultum. Kemudian didiskusikan. Termasuk
saya yang junior harus kultum di … mengemukakan pikiran saya.
“Ya sudah, kamu punya bakat…” jurnal…tapi saya nulis di koran harian, Harian
Terbit, … dalam rubrik yang namanya rubrik “Syi’ar”. Dalam rubric itu ada
kolom untuk saya bernama “Kajian Kitab Kuning”….menginspirasi, kita bekerja.
Tapi Indonesia … bisa memahami orang seperti Mas Dawam karena terjadi
perluasan… jadi pengkaji tafsir. Jadi seperti itu. Ini kondisi sosial intelektualnya
yang saya gambarkan.
Mas Dawam akan meminta kita ketika sudah menyangkut … Nah kebetulan yang
biasanya diminta itu adalah senior saya, Ahmad Rifai Hasan, anak Sastra Arab…
dari pesantren Persis. Saya pesantren NU. Kemudian saya HMI. Kemudian
bergabung dengan Mas Dawam. Saya junior. Sepanjang ada Kang Pipik, dialah
yang menyiapkan bahan… biasanya menulis dua sampai lima halaman kemudian
diketik diberi ke Mas Dawam. Lalu Mas Dawam menulis ensiklopedi. Ketika
lama-lama ketika Kang Pipik…”Mas, sebenarnya saya tidak pas…Saya kan dari
Persis…Asep tuh yang orang NU.” (tertawa) “Coba…”
Setelah saya lihat, ternyata…lama-lama ketika Mas Pipik studi ke Pakistan, studi
tafsir, jadilah saya di LSAF. Tahun 1992 saya pindah ke Kementerian Agama.
Berada di sana … membagi perhatian ke LSAF dan Ulumul Qur’an. (cerita
tentang karir dan pendidikannya)
Tetapi, Mas Dawam dengan rendah hati mengajak kita berdiskusi. Setiap akan
terbit kita berdiskusi. … “Mas, …” harus memahami bagaimana lughghatan-
isthilâḥan…”
“Aku….”
Yang tentang pembahasan ulil albâb, apakah masih ingat? Atau pernah ikut
membantu penulisannya?
Kalau spekulasi?
Ya, itu Mas Dawam. Paling sama kita itu meminta tanggapan dan meminta diedit.
Karena saya posisinya menjadi staf redaksi. Pokoknya semua yang berkaitan
dengan Arab itu Asep atau Kang Pipik. Karena yang latar belakangnya sastra
Arab atau santri saya dengan Pipik. Kang Pipik santri Persis, saya santri NU.
Saya menulis banyak, tiga halaman atau lebih. Terserah Mas Dawam mau dipakai
semua atau sebagian saja. Mas Dawam posisinya sebagai teman, mentor, bos.
(tertawa)
(konsep ulil albab)…..Di situlah Mas Dawam memandang bahwa wujud kongkrit
ulil albâb adalah islamisasi sains.***