Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I.)
Oleh
Muhammad Khotib
NIM : 101034021951
1
PENAFSIRAN KISAH-KISAH AL-QUR’ÂN;
Telaah Terhadap Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullâh
Dalam al Fann al-Qasasiy fi al-Qur’ân al-Karîm
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)
Oleh
Muhammad Khotib
NIM : 101094021951
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Ttd Ttd
Sidang Munaqasyah
ttd ttd
Anggota
ttd
ttd
Dra. Lili Ummi Kultsum, MA Drs. H. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA
NIP. 150 290 935 NIP. 150 282 120
ttd ttd
Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA Eva Nugraha, MA
NIP. 150 311 252 NIP. 150 289 433
3
Surat Pernyataan
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Muhammad Khotib
NIM : 101034021951
Jurusan : Tafsir Hadis
Muhammad Khotib
4
Abstrak
5
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa tercurahkan kepada Allah swt. yang
telah memberikan berbagai nikmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Andaikan
penanya, maka tidak akan mungkin cukup untuk menghitung segala nikmat yang
telah Allah swt. berikan. Atas segala nikmat dan karunia-Nya itu juga penulis
seorang insan yang paling utama dan semoga kita semua mendapat syafaatnya di
sesama, penulis merasa perlu menggelar parade terima kasih untuk pihak-pihak
yang telah membantu perampungan skripsi ini. Tentu, tak semuanya bakal
tersebut dalam paparan berikut. Karenanya, terima kasih pertama justru saya
Terima kasih selanjutnya tertuju pada kedua orang tua penulis Asmat dan
Zuhriyah, dengan penuh kesabaran dan keteguhan hati, telah mengasuh dan
mendidik penulis sejak kecil, berkat doa, cinta kasih dan dorongannya pula
6
penulis sampai dan mampu menyelesaikan pendidikan ini. Doa tulus penulis
menyanyangiku sejak kecil”, serta untuk semua keluarga besar penulis tercinta.
Hidayat, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
Berkat taufik dan hidayah dari Allah swt. beliau dapat melaksanakan amanat berat
untuk menjalankan jalannya perkuliahan di kampus tercinta ini. Terima kasih juga
tertuju pada jajaran dekanat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Bapak Dr. Amin
Nurdin, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta para
Pembantu Dekan I, II, dan III.. serta Bapak Drs. Bustamin, M.B.A. selaku Ketua
Jurusan Tafsir Hadis dan Bapak Edwin Syarif, M.A. selaku Sekretaris Jurusan
Tafsir Hadis. Tak terkecuali segenap dosen dan karyawan yang tak kalah
semangat pengabdiaannya. Begitu pula ucapan terima kasih saya tujukan kepada
Samiun Jazuli, M.A dan Eva Nugraha, M.A. sebagai dosen pembimbing yang
mengarahkan pembuatan dan penulisan skripsi ini serta Ibu Dra. Lili Ummi
Penguji II.
7
Selama belajar di jurusan Tafsir Hadis, penulis telah mendapat banyak
angkatan 2000 dan 2001, terutama TH/E dan TH/A serta sahabat-sahabat penulis,
Asep Ali, Maya, Adhlan, Zainuddin, Jauhar Azizi, Miftahul Jannah, kemudian
ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis tujukan kepada Kang Jaya yang
membantu penulis dalam proses perampungan skripsi ini serta semua sahabat-
sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga kita
Tak kalah besarnya, terima kasih kepada seluruh teman seperjuangan yang
tak terlupakan dari komunitas ini. Bersama mereka pula saya menjadi lebih
Nabila Fairuzza, nama yang tidak akan luput dari ingatan, terimakasih
kualitas diri.
Juga, yang tak boleh terlewatkan terima kasih kepada para Guru dan
enam tahun (1994-2000) telah menjadi tempat yang nyaman dalam bergaul dan
penuh dengan pelajaran agama. Kesederhanaan dan keikhlasan para Guru dalam
8
mendidik para santri menjadi contoh terbaik dan bekal paling berharga bagi
pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini, penulis hanya bisa
memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk membalas segala kebaikan mereka.
Mudah-mudahan Allah swt memberikan balasan yang setimpal atas segala amal
baiknya.
Akhirnya hanya kepada Allah swt. penulis berserah diri dan bertawakkal
Meskipun demikian, penulis berharap karya tulis kecil ini dapat bermanfaat
Penulis
Muhammad Khotib
9
PEDOMAN TRANSLITERASI
ﺃ ﻁ t
ﺏ b ﻅ z
ﺕ t ﻉ ‘
ﺙ ts ﻍ gh
ﺝ j ﻑ f
ﺡ h ﻕ q
ﺥ kh ﻙ k
ﺩ d ﻝ l
ﺫ dz ﻡ m
ﺭ r ﻥ n
ﺯ z ﻭ w
ﺱ s ﻩ h
ﺵ sy ﺀ ‘
ﺹ s ﻱ y
ﺽ d
Kasrah :i ﺍ :î
Dammah :u ﺍﹸ :û
10
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
11
a. Penafsiran Kisah-kisah al-Qur’ân Menurut
Muhammad Ahmad Khalafullâh .................................40
b. Kontekstualitas Kisah al- Qur’ân: Antara Pesan
Moral dan Fakta Sejarah ............................................43
c. Analisa Terhadap Pemahaman Kisah Menurut
Muhammad Ahmad Khalafullâh .................................45
BAB V PENUTUP
a. Kesimpulan .................................................................54
b. Saran-saran ..................................................................55
12
BAB I
PENDAHULUAN
Rasulullâh saw. selama dua puluh tiga tahun. Penurunan wahyu kepada Nabi
turun dalam ruang hampa. Artinya, al-Qur’an turun sebagai respon terhadap
objeknya. Hal ini bertujuan agar al-Qur’an dapat dipahami dan dapat diambil
1
Nasr Hamid Abu Zaid-cendekiawan Muslim kontemporer-banyak memberikan komentar
tentang hal ini, diantaranya sebagai berikut; bahwasannya alasan diturunkannya al-Qur’an
secara bertahap oleh karena Rasulullah saw, adalah seorang yang ummi, tidak dapat baca tulis,
maka wahyu diturunkan secara bertahap kepadanya agar mudah baginya untuk menghafal. Ini
berbeda dari nabi-nabi lainnya sebab mereka dapat menulis dan membaca sehingga dimungkinkan
bagi mereka untuk menghafalkan semuanya apabila diturunkan sekaligus. Dan lebih dari itu sebab
apabila wahyu muncul dalam setiap peristiwa , ini akan lebih memantapkan hati dan lebih
memberikan perhatian terhadap rasul. Dan ini tentunya mengharuskan malaikat sering turun
kepadanya dan memperbarui pertemuan dengannya dengan membawa misi dari sisi Yang Maha
Mulia. Dari sini, muncullah kegembiraan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Lihat
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj.Khoiron
Nahdiyin (Yogyakarta: LKiS,2005), cet ke IV, h. 117.
13
Allah swt. berfirman dalam sûrah al-Baqarah/2: 2 sebagai berikut:
atau redaksi ayat yang beragam. Salah satu bentuk ayat-ayat al-Qur’an yang dapat
menggugah hati dan kesadaran manusia adalah ayat-ayat tentang kisah. Allah
dapat diambil hikmahnya. Allah berfirman dalam sûrah Yûsuf/12: 111 berikut:
lokal yang terikat pada satu waktu tertentu, melainkan juga menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang terpisah dari kesatuan gejala kehidupan yang lebih besar.
Selain itu, kisah juga merupakan bagian dari gelombang sejarah kehidupan umat
manusia.
merekam kisah dalam al-Qur’an. Buku dan majalah yang khusus membahas
tentang kisah dalam al-Qur’an telah banyak disusun. Banyak penceramah atau
2
Seluruh terjemah al-Qur’an dalam penelitian ini mengacu kepada al-Qur’an Terjemah
Departemen Agama RI tahun 2002.
14
para pendakwah yang seringkali menyampaikan kisah dalam setiap isi pidato yang
menayangkan kisah dalam al-Qur’an atau tayangan kisah yang terinspirasi dari
kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an, terutama kisah para nabi dan kisah teladan
sinetron atau sinema elektronik yang memuat kisah berada pada jam tayang yang
mahal (prime time) dan menempati rating tertinggi karena banyak peminatnya.
Islam Indonesia bagi para Ibu yang sedang hamil dibacakan sûrah Yûsuf atau
sûrah Maryam. Ritual yang sudah menjadi tradisi ini biasa disebut “Tujuh
Bulanan”. Ritual Tujuh Bulanan ini sangat dianjurkan ketika usia kandungan ibu
mencapai tujuh bulan atau ada juga yang empat bulan, dengan harapan agar si
jabang bayi kelak menjadi anak yang soleh dan solehah seperti Nabi Yûsuf dan
Siti Maryam. Sebagaimana yang telah dikisahkan dalam surah Yûsuf dan
Maryam.
kemudian adalah apakah umat sudah bisa atau sudah menangkap pesan yang
justru menjadi misi utama sebuah kisah dalam al-Qur’an? Apakah umat sudah
memetik ‘ibrah atau pelajaran yang secara eksplisit tertuang dalam kisah-kisah al-
15
arah yang lebih baik seiring banyaknya penyampaian kisah yang secara masif
langsung kondisi umat saat ini. Menurut hemat penulis terjadi ketidak-sinkronan
dalam diri umat antara banyaknya penyampaian kisah dengan perubahan ke arah
yang lebih baik yang justru menjadi pesan atau misi utama sebuah kisah. Siapa
kisahnya yang harus diperbaiki atau pemahaman dan cara pandang umat terhadap
Kisah sebagai bagian integral dari al-Qur’an tentunya tidak akan pernah
salah, karena kebenaran sebuah kisah sudah mendapat jaminan dari Allah swt.
al-Qur’an. Allah berfirman dalam surah Âli ‘Imrân/3: 62 dan surah Yûsuf/12: 111
berikut:
merupakan sebuah jaminan dari Allah swt. Bila terjadi kesalahan dalam
pengungkapan kisah, hal itu merupakan kesalahan umat dalam memahami kisah
16
al-Qur’an. Salah pemahaman inilah yang menyebabkan terjadinya ketidak-
sinkronan antara banyaknya sajian kisah dengan hasil yang menjadi tujuan kisah.3
Menurut penulis, ada hal yang kurang atau kurang tepat dalam menyikapi
kisah dalam al-Qur’an. Diperlukan pendekatan baru yang lebih segar dalam
memahami kisah-kisah dalam al-Qur’an. Pendekatan baru itu tidak cukup hanya
menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan misi utama al-Qur’an. Karena
Kajian yang serius dan mendalam terhadap kisah dalam al-Qur’an perlu
dilakukan dalam konteks sosial kekinian. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat
(kejahatan). Dengan pemahaman yang mendalam dan benar tentang kisah dalam
al-Qur’an diharapkan berbagai penyakit sosial dalam tubuh umat dapat diperbaiki.
ada tiga hal lain yang menjadikan kisah dalam al-Qur’an menarik untuk
rakyat dan lain sebagainya. Kedua, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an
tersebar hampir di setiap juz. Ketiga, kisah-kisah tentang para rasul banyak
3
Muhammad Ahmad Khalafullâh, al- Fann al- Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm (Beirut:
Sîna li al-Nasyr,1999), h. 6.
17
terdapat dalam juz ke-12.4 Tujuan diceritakannya kisah-kisah tersebut secara
eksplisit dinyatakan dalam juz ini.5 Inilah yang menjadikan penelitian terhadap
kisah para nabi dan rasul terdahulu sebanyak 1600 ayat. Jumlah ini dengan tidak
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang hukum yang berjumlah 330
ayat, maka akan terlihat betapa besar perhatian al-Qur’an terhadap kisah-kisah
itu.6
hanya berupa aspek seni yang tersendiri dalam topik dan alur ceritanya, namun
terikat dalam tujuan agama yaitu menunjukkan dasar dakwah atau menyeru
4
A. Mudjab Mahalli, Spiritualitas al-Qur’ân dalam Membangun Kearifan Umat
(Yogjakarta: LPPAI UII, 1999), h. 307.
5
ﰱﹺ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻘﹶﺪﻬﹺﻢﺼﺓﹲ ﻗﹶﺼﺮﺒﱃﹺ ﻋﺄﹸﻭﺎﺏﹺ ﻟﺍﻟﹾﺄﹶﻟﹾﺒ
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai
akal.” (QS. Yusuf: 111)
ﻛﹸﻼ ﻭﻘﹸﺺ ﻧﻚﻠﹶﻴ ﻋﻦﺂﺀِ ﻣﻞﹺ ﺃﹶﻧﺒﺳ ﺍﻟﺮﺖﺜﹶﺒﺎﻧ ﻣ ﺑﹺﻪﻙﺍﺩﻓﹸﺆ
“Dan semua kisah-kisah Rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) agar dengan
kisah itu Kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud: 120)
6
Ahmad Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka
al Husna, 1984), h. 22.
7
Ahmad Bahjat, Sejarah Nabi-nabi Allâh (Jakarta: Lentera, 2001), cet. Ke 1, h. 25.
18
Dalam redaksinya, kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak disusun berdasarkan
dan keadaan jiwa Nabi Muhammad saw. ketika beliau menerima wahyu.
Berkenaan dengan hal ini, Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa al-Qur’an tidak
secara kronologis.8
Seperti penulis ungkap sebelumnya bahwa harus ada cara baru dalam
yang membahas kisah dalam al-Qur’an secara lebih mendalam, menawarkan suatu
dan signifikansinya.
Aspek terpenting dalam suatu kisah adalah isi yang dikandung di dalamnya, yaitu
8
Muhammad Rasyîd Rida, Tafsîr al-Manâr (Kairo: Matba’ah Hijazi, 1959), jilid I, h.
327.
9
Muhammad Ahmad Khalafullâh, h. 22.
19
para ulama sebelumnya yang menggunakan pendekatan sejarah dalam memahami
kisah-kisah al-Qur’an.
kebuntuan. Hal ini terjadi karena memang kisah al-Qur’an tidak secara detail
dengan kisah al-Qur’an tidak dapat dihindarkan. Itulah beberapa hal yang
dengan membandingkan dengan pendapat para ulama tafsir lainnya. Maka skripsi
Muhammad Ahmad Khalafullâh dalam al- Fann al- Qasasî fî al-Qur’ân al-
Karîm.
10
Muhammad Ahmad Khalafullâh, h. 16.
20
Terutama dalam proses pemahaman yang terdiri dari pengumpulan teks,
sistematisasi historis atas teks, interpretasi teks, pembagian dan penyusunan bab,
orisinalitas dan taklid. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi
C. Langkah-langkah Penelitian
mengumpulkan dan menelaah sejumlah buku, tulisan, dan sumber bacaan yang
Hal ini penting dilakukan untuk mendapatkan data, kerangka teori, dan
deskriptif analitis. Secara deskriptif yaitu menuturkan dan menafsirkan data yang
berkenaan dengan fakta keadaan, variabel dan fenomena yang terjadi saat
11
M. Subana, dan Sudarajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah (Bandung : Pustaka Setia,
2001), h. 89.
21
Analitis sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi mengenai fenomena
Qur’an.
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan oleh
CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
2007.
D. Kajian Pustaka
Bedasarkan kajian pustaka yang telah penulis lakukan ada beberapa karya
berupa skripsi12, 3 buah berupa Tesis13 dan 1 buah artikel dalam Jurnal Mimbar
12
Kisah dalam al-Qur’an: Studi kasus atas kisah nabi Yunus A.S dalam Q.S Al-anbiya:
87-88 menurut at-tabari & Ar-Râzi (Wihdan Dana Mauludi) 2004, Kisah dalam al-Qur’an telaah
analisis Ashabul Khasm dalam tafsir al-Alusi (Abdul Majid Hefzi) 2004, Kisah Fir’aun dalam al-
Qur’an: Kajian Tematik (Abdul Latief), Qisah Isa bin Maryam fi surah Ali Imrân min al-Qur’ân
al-karîm wama fîha min al-anâsir al-adabiyyah (Marfu’ah) 2004, Kisah Nabi Ibrahim A.S mencari
Tuhan dalam al-Qur’an: Kajian Terhadap Tafsir al-Misbah surat al-An’âm 74-79 (Chaerunnisa)
2004, Kisah perjalanan nabi Musa dengan Abdun Saleh dalam surat al-Kahfi ayat 66-78 (Rasul
Karim) 2007, Kisah Talut dalam al-Qur’an kajian atas tafsir at-tahrir wat tanwir (Endoy
Diyaddin) 2005, Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam A.S (Habibillah) 2008,
Kajian statistika atas penafsiran kisah Musa & Khidir A.S: studi kebahasaan terhadap pemaparan
kisah al-Qur’an (Achmad Hidayat) 2002, Menyingkap tabir kisah Isra’ & Mi’raj: telaah
penafsiran Q.S. Al-Isra 1 & Q.S. An-Najm 1-8 (Achmad Firmansyah) 2002, Hikmah pengulangan
kisah-kisah dalam al-Qur’an: studi analitis terhadap kisah nabi Adam A.S. (Ahmad Nuaim) 2005,
Banjir dalam al-Qur’an studi atas kisah banji nabi Nuh A.S (Taofikurrahman) 2005, Pesan-pesan
moral yang terkandung dalam kisah penyembelihan putra Ibrahim: studi atas tafsir surat al-Saffat
ayat 102 (Nurlatifah) 2007, Konsep kepemimpinan dalam a-Qur’an: studi atas kepemimpinan
dalam kisah-kisah al-Quran. (Akmal Mundiri) 2008, Analisis framing kisah-kisah sufi karya
22
Agama dan Budaya yang ditulis oleh Dr. Yusuf Rahman14, MA. Diantara karya
penelitian yang penulis lakukan, kesamaan tersebut terdapat pada beberapa hal
sekian banyak jumlah karya tulis, tidak terdapat sebuah karya yang membahas
kisah-kisah dalam al-Qur’an yang ditinjau dari satu tokoh tertentu serta
bagaimana cara (metodologi) ulama atau tokoh tersebut dalam memahami kisah
khusus kisah-kisah al-Qur’an dalam perspektif seorang tokoh, dalam hal ini
adalah Khalafullâh. Hal ini penulis lakukan dengan tujuan agar dapat melihat
Khalafullâh. Inilah letak perbedaan yang terdapat antara penelitian yang penulis
lakukan dibanding dengan beberapa karya yang telah ada. Meskipun penulis
Jalaluddin Rumi. (Bunga Alkautsar) 2008, Nilai-nilai pendidikan akhlak bagi anak-anak pra-
sekolah usia 3-5 tahun melali kisah Lukman A.S. dalam al-Qur’an (Mahfuz Suzadi) 2003.
13
Aspek pengulangan kisah Adam A.S dalam al-Qur’an al-Karim: kajian strukturalisme
semiotik (Dwi Mawati) 2004, Kandungan moral al-Qur’an dalam kisah ‘Ad dan Tsamud serta
relevansinya dengan kehidupan kontemporer (Wisnawati Loeis) 2004, Repetisi kisah nabi Musa
dalam al-Qur’an; Kajian Strukturalisme Semiotika (Ahmad Hasan Hashona) 2008.
14
Yusuf Rahman, al-Tafsîr al-Adabî fî al-Qur’ân: A Study of Amîn al-Khûlli’s and
Muhammad Ahmad Khalafullâh’s Literary Aproach to the Qur’ân (Jurnal Mimbar Agama dan
Budaya, Vol.xix, no. 2, 2002. (Desember 2002), h. 139
23
E. Tujuan Penelitian
memperoleh gelar sarjana program strata satu (S-1) pada jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan
menurut Khalafullâh agar dapat diambil atau dipetik pelajaran dari penyajian
kisah-kisah al-Qur’an.
F. Sistematika Penulisan
penulisan.
dalam kajian ‘Ulum al-Qur’an. Bab ini meliputi definisi kisah, hikmah dan tujuan
serta kasus yang berkaitan dengan karya besarnya yaitu al- Qur’an Bukan Kitab
24
Khalafullâh dan kontekstualitas kisah al-Qur’an: antara pesan moral dan fakta
sejarah selanjutnya bab ini diakhiri dengan analisa terhadap pemahaman kisah
menurut Khalafullâh.
25
BAB II
Kisah–kisah al-Qur’an
A. Definisi Kisah
Kisah atau qissah merupakan salah satu bentuk seni sastra yang memiliki
berbagai kejadian dan peristiwa dalam kehidupan nyata ataupun imajinatif. Kisah
sudah dikenal manusia sejak dahulu ketika manusia mulai berkisah tentang
seni tertua karena sangat berhubungan erat dengan tabiat manusia yang cenderung
suka kepada khayalan, rasa ingin tahu (curiosity) dan ingin mendengar berita dari
orang lain.
al-Munawwir kata al-qissah (ﺔﹸﺼ )ﺍﹶﻟﹾﻘadalah bentuk mufrad atau tunggal, jamaknya
(ﺺﺼ)ﻗ yang berarti cerita atau hikayat16. Sementara Ibn Manzûr menjelaskan
bahwa kata ini berasal dari kata ﺍﹶﻟﹾﻘﹶﺺ atau ﺺ ﺍﹶﻟﹾﻘﹶﺼbentuk masdar yang diambil
15
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 443-444
16
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
1126.
26
dari akar kata ﻗﹶﺺ- ﻘﹸﺺﻳ- ﺎﻗﹶﺼ- ﺎﺼﻗﹶﺼ ﻭyang berarti potongan, benda yang diikuti,
pelacak jejak, urusan dan perkara.17
Bila kata kerja ﻗﹶﺺ dihubungkan dengan al-Hadîts atau al-Khabar akan
ﻦﺤ ﻧﻘﹸﺺ ﻧﻚﻠﹶﻴ ﻋﻦﺴﺺﹺ ﺃﹶﺣﺂ ﺍﻟﹾﻘﹶﺼﺂ ﺑﹺﻤﻨﻴﺣ ﺃﹶﻭﻚﺬﹶﺍ ﺇﹺﻟﹶﻴﺀَﺍﻥﹶ ﻫﺇﹺﻥ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ ﻭﻦ ﻛﹸﻨﺖ ﻣﻪﻠ ﻗﹶﺒﻦﻟﹶﻤ
ﲔﻠﺎﻓﺍﻟﹾﻐ
“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling
baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepada mu, dan sesungguhnya
engkau sebelum (Kami mewahyukannya) termasuk orang yang belum
mengetahui”.
meliputi satu peristiwa (hadîtsah) atau lebih yang mempunyai hubungan runtun
dan dilengkapi dengan pendahuluan dan penutup.19 Kedua, dalam bahasa arab,
17
Ibn Manzûr, Lisân al-'Arab (Beirut: Dâr al Shadîr,1994), jilid VII, h. 74-75.
18
Louis Ma’luf, al-Munjîd fî al-Lughah (Jakarta: Mutiara, 1997), h. 631.
19
Muhammad Kamil Hasan, al-Qur’ân wa al-Qisasah al-Hadîtsah (Beirut: Dâr al-
Buhûts al-‘Ilmiyah, 1970), h. 9.
27
kisah disebut dengan qissah, ia merupakan turunan dari kata qassa-yaqussu yang
“kami beritakan kepada kamu kisah terbaik” (2) mengikuti jejak, seperti
“ketika ibu Musa berkata pada saudara perempuan Musa ikutilah jejaknya”
.20 Ketiga, Abd. al-Qudus Abû Sâlih juga mendefinisikan kisah sebagai “kisah
bahasan yang lebih luas al-Sibâ’î al-Bajûmi seperti dikutip oleh Ahmad Hanafi23
ﺍﺩﺮ ﻳﺔﺼﺮﹺ ﰱﹺ ﺑﹺﺎﻟﹾﻘﺼﺮﹺ ﺍﻟﹾﻌ ﻛﹸﻞﱡ ﺍﳊﹶﺎﺿﺔﺎﺑﺘ ﻛﺔﺑﹺﻴ ﺍﹶﺩﺔ ﻓﹶﻨﹺﻴﺭﺪﺼ ﺗﻦﺐﹴ ﻋﺍ ﻛﹶﺎﺗﻭﺪ ﺣﺪﺮﹺ ﺑﹺﻘﹶﺼﻮﹺﻳﺼﺗ
ﺎﻟﹶﺔ ﺣﺔﻨﻴﻌﺦﹺ ﰱﹺ( ﻣﺎﺭﹺﻳﻼﹶﻕﹺ ﺍﻟﺘﺎﻉﹺ ﺍﹶﻭﹺ ﺍﹶﻭﹺﺍﻻﹶﺧﺿ ﺍﻻﹶﻭﺎ ﺍﹶﻭﺮﹺﻫﺍ )ﻏﹶﻴﺮﻮﹺﻳﺼ ﺗﻉﺮﺘ ﻳﻪﻴﺐﹺ ﻓ ﺍﻟﹾﻜﹶﺎﺗﻦﻋ
ﺭﹺﻩﻮﻌ ﺷ ﺍﳋﹶﺎﺹﺮﹺﻩﻴﻔﹾﻜﺗ ﻭﺊﺎﺷ ﺍﻟﻨﻦﺬﹶﺍ ﻋﺭﹺ ﻫﻮﻌ ﺍﻟﺸﻪﺟﺍﻟﹾﻮﻯ ﻭ ﺍﻟﱠﺬﺠﹺﻪﺘ ﻳﺍﻪ ﻟﹶﻴﺃﹾﻳﺭﻠﹶﻰ ﻪﺐﹺ ﻋﺴﺎ ﺣﻣ
20
Manna Khalil al-Qattan, Mabâhits fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: al-Asr al-Hadits, tt), h.
305.
21
Abd. al-Qudus abû Sâlih, al-Balâghah Wa al-Naqd (Saudia: Imâm Sa’ûd University,
1114 H), h.175.
22
Abd. al-Aziz Muhammad Faishal, al-Adab al-'Araby wa Tarikhuhu (Saudi :
Departemen Pendidikan Tinggi, 1114 H), h. 28.
23
Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’ân, h. 14.
28
ﺮﻌ ﺷﻓﹶﻜﱠﺮﺚﹸ ﻭﻴﺜﱠﻞﹸ ﺑﹺﺤﻤﺘ ﺗﺘﻴﺼﺨﺷ ﰱﹺ ﻪﺮﹺ ﺬﹶﺍﻫﻮﹺﻳﺼﺜﱡﻼﹰ ﺍﻟﺘﻤ ﺗﻕﻔﹾﺮ ﻳﻪﻨﻴ ﺑﻦﻴﺑ ﻭﺮﹺﻩ ﻏﹶﻴﻦﻤﺍ ﻣﻮﺒﻛﹶﺘ
ﺎﻤﻴ ﻓﺐﻛﹶﺘ.
“Yang dimaksud dengan kisah dewasa ini ialah setiap tulisan yang bersifat
kesusasteraan dan indah serta keluar dari seorang penulis dengan maksud untuk
menggambarkan suatu keadaan tertentu (mengenai sejarah atau kesusasteraan atau
akhlak atau susunan masyarakat dan lain sebagainya) dengan suatu cara dimana
penulis melepaskan diri dari perasaan pribadinya dan pikiran yang timbul dari
perasaan tersebut dan dari arah yang dituju oleh pendapatnya itu yang sesuai
dengan perasaan dan pikirannya, sehingga pribadinya tercermin dalam
penggambaran itu yang dapat membedakannya dari orang lain yang mempunyai
tulisan yang sama”.
ﻌ ﻞﹸﺍﹶﻟﹾ ﻤﺑﹺﻲ ﺍﹾﻻﹶﺩﻮ ﻫﻯﻥﹸ ﺍﻟﱠﺬﻜﹸﻮﺔﹰ ﻳﺠﻴﺘﻞﹶ ﻧﻴﺨ ﺗﺙﹶ ﺍﻟﻘﹶﺎﺹﺍﺩﻮﺤ ﻟﺖﻗﹶﻌ ﻭﻦﻄﹶﻞﹴ ﻣ ﻻﹶ ﺑﺩﻮﺟ ﻭﻄﹶﻞﹸ ﺍﹶﻭﹺ ﻟﹶﻪﺍﻟﹾﺒ
ﻟﹶﻪﺩﻮﺟﻭ. ﻦﻟﹶﻜﺍﺙﹶ ﻭﺪﻰ ﺍﻻﹶﺣ ﺍﻟﱠﺘﺕﺍﺭ ﺩﻟﹶﻪﻮ ﰱﹺ ﺣﺔﺼ ﺍﻟﹾﻘ ﻟﹶﻢﻘﹶﻊﺗ. ﺖﻗﹶﻌﻭﻄﹶﻞﹺ ﺍﹶﻭﻠﹾﺒﻟﹶ ﻟﺎﻭﻬﻨ ﻜﺖﻈﱠﻤﰱﹺ ﻧ
ﺔﺼ ﺍﻟﻘﻠﻰﺎﺱﹴ ﻋ ﺍﹶﺳ ﻓﹶﻨﹺّﻲﻲﻼﹶﻏ ﺑﻡﺎ ﻓﹶﻘﹶﺪﻬﻀﻌ ﺑﺮﺍﹶﺧ ﻭﺮﺍﹶﺧ. ﺫﹶﻛﹶﺮﺎ ﻭﻬﻀﻌ ﺑﺬﹶﻑﺣ ﻭﺮ ﺍﹶﺧﻒﻴﺍﹸﺿﱃﹶ ﻭﺍ
ﻊﹺﺍﻗ ﺍﻟﻮﺾﻌ ﺑ ﻟﹶﻢﻘﹶﻊﻳ. ﻎﹶ ﺍﹶﻭﻟﻮﺮﹺ ﰱﹺ ﺑﻮﹺﻳﺼﱃﹶ ﺍﻟﺘ ﺍﺪ ﺍﻟﹾﺤﻯ ﺍﻟﱠﺬﺝﺮﺨﺑﹺﺎﻟ ﻳﺔﻴﺼﺨﱃﹶ ﺸ ﺍﺔﻴﺎﺭﹺﺧ ﺍﻟﺘﻦﺍﹶﻥﹾ ﻋ
ﻥﹶ ﹸﻜﻮ ﺗﻦﻖﹺ ﻣﻘﹶﺎﺋ ﺍﻟﹾﺤﺔﻳﺎﺩ ﺍﻟﹾﻌﻓﹶﺔﺍﹾﳌﹶﺄﹾﻟﹸﻮﺎ ﻭﻠﹸﻬﻌﺠﻳ ﻭﻦﺎﺹﹺ ﻣﺨ ﺍﻟﹾﺎﹶﺷﻦﻴﺎﻟﻴﺍﻟﹾﺨ.
pemaparan tertentu bahwa yang dinamakan kisah itu relatif panjang. Akan tetapi
masih terdapat perbedaan tentang materi kisah tersebut, yakni definisi pertama
24
Khalafulâh, al- Fann al-Qasasî fî al-Qur’ân al- Karîm, h. 152.
29
memasukkan peristiwa (al-hadîtsah) yang secara mudah dapat diartikan sebagai
fakta-fakta nyata kedalam materi kisah. Sedangkan definisi kedua sampai keenam
yang disebut kisah itu terdiri atas cerita yang benar-benar terjadi atau hanya
kisah seperti tersebut di atas, beberapa cerita atau khabar yang terdapat dalam
jadi masih banyak pengertian lain. Dari pemaparan definisi di atas dapat
dipastikan bahwa dari definisi saja kita tak dapat memperoleh pengertian yang
sebenarnya tentang kisah dan segala yang meliputinya. Namun penulis berharap
dari definisi yang diungkapkan di atas dapat diperoleh sedikit pemahaman tentang
sebagainya. Kisah dengan demikian merupakan salah satu teknik yang digunakan
30
dengan tujuan berkisah semata. Ahmad Badwi mengajukan beberapa tujuan
ﻚﺜﹶﻞﹸ ﺫﹶﻟﻡﹺ ﻣ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮﺍﻟﱠﺬﻦﺍ ﻳﻮﺎ ﻛﹶﺬﱠﺑﻨﺎﺗﺺﹺ ﺑﹺﺌﹶﺎﻳ ﻓﹶﺎﻗﹾﺼﺺ ﺍﻟﹾﻘﹶﺼﻢﻠﱠﻬﻥﹶ ﻟﹶﻌﻭﻔﹶﻜﱠﺮﺘﻳ
1. Menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para Nabi dan Rasul
25
Ahmad Badwi, Min Balaghah al-Qur’ân (Cairo: Dâr al-Nahdoh al-Misr, tt), h. 37
26
Khalafulâh, al-Fann al Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 229-246.
31
2. Menerangkan bahwa karena agama-agama yang dibawa para nabi adalah
mengesakan Allah.
yang disampaikan.
32
Di antara keistimewaan kisah-kisah dalam al-Qur’an antara lain adalah
sebuah kisah bukan tanpa maksud. Unsur edukatif atau pendidikan merupakan
unsur utama dalam penyampaian kisah al-Qur’an. Sebuah kisah dipaparkan dalam
sebagai sebuah pembelajaran bagi umat, kisah dalam al-Qur’an juga tidak terlalu
merinci peristiwa sebuah kejadian atau kisah. Hal ini dimaksudkan untuk
kisah, seperti waktu dan tempat kejadian. Penegasian unsur ini juga merupakan
buku sejarah tapi lebih sebagai sebuah kitab petunjuk bagi orang-orang yang
peradaban, sebesar apapun itu, jika tidak berdiri di atas nilai-nilai moral luhur
pasti akan mengalami kehancuran. Diktator, kejam dan sombong (takabur) adalah
beberapa sifat yang melekat jika membahas kisah Fir’aun. Kekejaman dan
kejahatan Fir’aun dan para pengikutnya merupakan contoh nyata bahwa materi
yang terdapat dalam kisah al-Qur’an adalah sebuah pelajaran (bersifat edukatif)
27
Manna Khâlil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 1996). Cet. Ke 3, h. 441.
28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 10, h. 341
33
dan dapat dijadikan “kompas” bagi kehidupan manusia pada masa berikutnya.
Kisah Fir’aun juga memberikan gambaran kepada kita bahwa kejahatan pasti akan
tumbang jika datang kebenaran. Allah swt. berfirman dalam sûrah al- Isrâ/17: 81
berikut :
"Dan katakanlah, “kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap.”
Sungguh yang bathil itu pasti lenyap."
34
Semua nabi selalu mendapat ujian, ujian yang dihadapi para nabi sangat
dahsyat. Tak terbayangkan bagaimana Nabi Muhammad saw. dicaci-maki bahkan
dilempari kotoran dan batu oleh kaum kafir tatkala Nabi berdakwah di Ta’if.
Memang ancaman orang-orang kafir sering melampaui batas dan anarkis.
Agaknya ancaman inilah yang membuat hati nabi dan para pengikutnya waktu itu
menjadi gundah gulana. Maka Allah berfirman dalam sûrah Yûnus/10: 94 berikut:
ﻓﹶﺈﹺﻥﻲ ﻛﹸﻨﺖ ﻓﻚﺂ ﺷﻟﹾﻨﺂﺃﹶﻧﺰّﻤ ﻣﻚﺄﹶﻝﹺ ﺇﹺﻟﹶﻴ ﻓﹶﺴﻳﻦﺀُﻭﻥﹶ ﺍﻟﱠﺬﻘﹾﺮ ﻳﺎﺏﺘﻦ ﺍﻟﹾﻜ ﻣﻚﻠ ﻗﹶﺒ ﻟﹶﻘﹶﺪﺂﺀَﻙ ﺟﻖﻦ ﺍﻟﹾﺤﻣ
ﻚﺑ ﺭﻦﻜﹸﻮﻧ ﻓﹶﻼﹶﺗﻦ ﻣﺮﹺﻳﻦﺘﻤﺍﻟﹾﻤ.
ﺪﺛﹶﺣ ﺍﻦﺣﻤ ﺎﺩ ﻦﹺﺑﺯﻳ ﺪﻋ ﻦﻋ ﻢﹴﺎﺻ ﻦﹺﺑﺑﻬﻟﹶﺪ ﻪﻋ ﻦﻣﺼ ﺐﹺﻌ ﻦﹺﺑﺳﻌ ﺪﻋﺑﹺﺍﹶ ﻦﻴﺎﻝﹶﻗﹶ ﻪ: (ﻠﹾﻗﹸ ﺖ: ﺍﻱﺭﺳﻝﹶﻮ
ﺍﹶ ﺍﷲ ﻱﺍﹶ ﺎﺱﹺﺍﻟﻨﺷ ﺪﺎﻝﹶﻗﹶ ؟ﺎﺀًﻠﹶﺑ: (ﻷَﺍﹶﺒﹺﻧﺛﹸ ﺎﺀُﻴﻷَﺍﹾ ﻢﺄﹶﺎﻟﹾﻓﹶ ﻞﹺﺜﹶﻣﻞﹸﺜﹶﻣ: ﻓﹶﻴﺒﺘﻠ ﻰﺍﻟﺮ ﻞﹸﺟﻋ ﻠﻰﺣ ﺐﹺﺴﺩﻨﹺﻳﻪ, ﻓﹶﻥﹾﺎ
ﺎﻥﹶﻛﹶ ﻯﻑﺩﻨﹺﻳ ﻪﻠﹾﺻ ﺍﺐﺍﺷﺘ ﺪﻩﻠﹶﺑ ﺎﻭ, ﻭ ﰱﹺ ﺎﻥﹶﻛﹶ ﻥﹾﺍﺩﻨﹺﻳ ﺔﹰﻗﹶﱠﺭﹺ ﻪﺍﺑ ﻱﻞﹶﺘﻗﹶ ﻯﻞﹶﻋ ﺭﹺﺪﺩﻨﹺﻳﻪ, ﻓﹶ ﺍﻢﻳﺒﺮﺍﻟﹾ ﺡﺀُﻼﹶﺒ
ﺎﻟﹾﺑﹺﻌﺒ ﺪﺣ ﻯﺖﻳﺘﻛﹶﺮ ﻪﻳ ﻯﺶﹺﻤﻋﺍﻷَ ﻠﻰ ﺽﹺﺭ ﺍﻡﻠﹶﻋﻴ ﻪﺧﻄﺌﹶﻴﺍﹶ ﻝﹶﻗﺎﹶ ) ﺔ ﻭﺏﻋﻴ ﻯﺲ: ﺍﺬﹶﻫﺣﺪﺚﹸﻳ
ﺣ ﻦﹴﺴﺻﺤﻴ) ﺢ
"Hamad bin Zaid dari ‘Ashim bin Buhdalah dari Mus’ab bin Sa’ad dari
bapaknya bercerita kepada kami, dia berkata: (Ya Rasulullah, katakan kepadaku
siapakah manusia yang paling dahsyat ujiannya? Nabi bersabda: (Para nabi
kemudian orang yang selanjutnya dan selanjutnya. Maka seseorang itu diuji sesuai
dengan kadar keagamaannya. Jika ia orang yang taat beragama ujiannya akan
berat dan jika tidak, maka ia diuji sesuai dengan kadar keagamaanya. Dan ujian
itu tidak meninggalkan seorang hamba sampai ia berjalan di atas bumi tanpa
dosa). Abu ‘Isa berkata: hadits ini hasan sahih."29
29
Abi ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr,
1994), juz IV, kitab zuhud, h. 179 hadis no. 2406.
35
Demikian beberapa karakteristik atau keistimewaan yang terdapat dalam
Secara umum kisah terbagi menjadi dua, yaitu kisah ekspositoris dan kisah
peristiwa, baik itu peristiwa yang terjadi berulang-ulang atau berlangsung hanya
sekali. Tujuan kisah ini adalah untuk memberikan informasi dan menggugah
pembaca.
diambil pelajaran darinya. Ini berarti kisah al-Qur’an berupaya untuk menyentuh
aspek emotif dari pembacanya, agar ia mau terpengaruh dengan apa yang
30
Gorys Kerap, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 135-139
36
Seperti telah diungkap sebelumnya, bahwa al-Qur’an melalui kisah-
kemungkaran.
Kisah al-Qur’an secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kisah Sejarah
Adalah kisah yang berkisar sekitar tokoh-tokoh sejarah seperti nabi dan
rasul. Dapat dikatakan bahwa kisah-kisah sejarah dalam al-Qur’an adalah kisah-
mempunyai kesan yang kuat pada jiwa dan mampu menggugah emosi.
Kisah sejarah dalam al-Qur’an adalah kisah sastra dimana deskripsi yang
satu unsur dengan unsur lainnya terpaut oleh rentang waktu yang
cukup lama.
kepada seorang tokoh kisah yang belum pernah diucapkan oleh tokoh
37
tersebut. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan
Dengan kata lain, logika sastralah yang harus digunakan dalam menelaah
sebenarnya terjadi.
sastra, artinya materi kisahnya secara umum bersumber dari realitas sejarah,
namun realitas tersebut direkonstruksi dengan gaya al-Qur’an yang khas dan
kesan dan pemaknaan baru. Sebagai contoh kisah sejarah dengan pendekatan
sastra adalah kisah-kisah al-Qur’an secara umum seperti kisah Mûsa, Ibrâhim,
2. Kisah Perumpamaan
untuk menerangkan atau menjelaskan suatu konsep. Pada kisah ini peristiwa-
31
Khalafulâh, al- Fann al- Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 153-182
32
Ibid, h. 153-182
38
peristiwa yang disebutkan, pelaku atau dialognya tidak perlu benar-benar terjadi,
namun lebih bersumber pada imajinasi dan fantasi.33 Penggunaan imajinasi dan
fantasi lebih dikarenakan keduanya merupakan salah satu cara manusia untuk
memperkuat sebuah gagasan atau pesan. Di sini, ia berperan sebagai media untuk
pembaca. Perumpamaan sengaja dipakai al-Qur’an karena cara ini juga berlaku
dan sering digunakan oleh bangsa Arab. Menurut penulis, hal ini dapat menjadi
sejalan dengan cara berpikir, logika dan kultur masyarakat yang menjadi
audiensnya.
3. Mitos
Adalah kisah yang dilandasi oleh mitos yang biasa digunakan masyarakat
Arab sebagai alat untuk menguraikan persoalan yang sulit dipahami. Unsur-unsur
mitos dalam kisah ini bukan sebagai tujuan kisah, tetapi berfungsi sebagai salah
33
Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’ân, h. 15-16
39
sedang dikisahkan dalam kisah tersebut. Penggunaan mitos dalam al-Qur’an tidak
tersebut hanyalah sebagai titik awal untuk merubah pola pikir masyarakat Arab
Khalafullah, ada dalam al-Qur’an itu sendiri.34 Dalam al-Qur’an sering ditemui
pesan-pesan yang berasal dari Allah, misalnya dalam surat al-Furqân/25: 5-6
berikut:
ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻭﲑﺎﻃ ﺃﹶﺳﲔﻟﺎ ﺍﹾﻷَﻭﻬﺒﺘ ﺍﻛﹾﺘﻠﹶﻰ ﻓﹶﻬﹺﻲﻤ ﺗﻪﻠﹶﻴﺓﹰ ﻋﻜﹾﺮﻴﻼ ﺑﺃﹶﺻ )ً ﻭ٥ ( ﻗﹸﻞﹾﻟﹶﻪﻱ ﺃﹶﻧﺰ ﺍﻟﱠﺬﻠﹶﻢﻌ ﻳﺮﺍﻟﺴ
ﻲ ﻓﺍﺕﺎﻭﻤﺽﹺ ﺍﻟﺴﺍﹾﻷَﺭ ﻭﻪﺍ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺇﹺﻧ ﻏﹶﻔﹸﻮﺭﻴﻢﺣ( ﺍﺭ٦)
“Dan mereka berkata, “(itu hanya) dongeng-dongeng orang
terdahulu yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng-
dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.” Katakan (Muhammad):
(al-Qur’an) itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit
dan di bumi, sungguh! Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
kisah-kisah yang selama ini sudah mereka kenal sebelumnya. Kisah-kisah tersebut
telah diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dan beberapa dari
kisah tersebut, seiring dengan berlalunya waktu dibumbui dengan hal-hal yang
34
Khalafulâh, al- Fann al- Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 27-28
40
Kritik orang-orang musyrik terhadap kisah-kisah al-Qur’an tersebut
muncul karena mereka hanya berpegang pada materi luar kisah tersebut dan tidak
menyentuh esensinya. Menurut al-Razi materi atau jasad kisah itulah yang
asumsi itulah mereka pun jatuh pada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kitab
mitos.35
dan Marut mengakui adanya kisah-kisah atau ayat-ayat yang bernuansa mitos.
salah dan yang benar. Di lain pihak penggunaan mitos menurut ‘Abduh untuk
Arab ketika itu yang masih didominasi oleh mitos dan legenda.36 Misalnya ketika
ﻳﻦﻥﹶ ﺍﻟﱠﺬﺄﹾﻛﹸﻠﻮﺎ ﻳﺑﻮﻥﹶ ﻻﹶ ﺍﻟﺮﻘﹸﻮﻣﺎ ﺇﹺﻻﱠ ﻳ ﻛﹶﻤﻘﹸﻮﻡﻱ ﻳ ﺍﻟﱠﺬﻄﹸﻪﺒﺨﺘﻄﹶﺎﻥﹸ ﻳﻴ ﺍﻟﺸﻦ ﻣﺲﺍﻟﹾﻤ
masuknya setan dalam diri manusia telah menjadi mitos yang diyakini orang-
35
Khalafulah, al- Fann al Qasasî fî al-Qur’ân al- Karîm, h. 200
36
Ibid,
41
orang Arab kala itu. Al-Qur’an memakai mitos tersebut untuk membuat sebuah
analogi yang menakutkan, agar orang-orang Arab tidak mau lagi melakukan
tindakan riba.
‘Abduh dan al-Razi adalah kisah Ashâb al-Kahfi serta kisah Musa dan Khidir.
mengingkari akan adanya unsur-unsur mitos dalam dirinya, yang dibantah al-
Qur’an adalah bila keberadaan mitos dijadikan bukti akan kebenaran al-Qur’an
dengan dibungkus oleh logika bahasa dan budaya mereka kala itu. Hasilnya, al-
jahiliah untuk digantikan dengan keyakinan dan nilai baru, berupa keyakinan dan
37
Khalafulah, al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah, h. 144
42
Tentang pembacaan kontekstual terhadap kisah-kisah al-Qur’an, Muh. Nur
linguistik.
metaforis; atau makna yang menyaran pada fakta historis dan dapat
4. Mencari aspek-aspek yang tak terkatakan dalam teks tersebut. Hal ini
38
Muhammad Nur Ikhwan, Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid; Meretas
Kesarjanaan Kritis al-Qur’ân (Jakarta: Teraju, 2003), h. 104
43
5. Melakukan kritik idiologis terhadap pembacaannya sendiri, sejauh
44
BAB III
Khalafullâh adalah seorang sarjana asal Mesir, dia juga merupakan murid
pertama Amîn al-Khûlî39 yang menulis disertasi dengan menerapkan metode yang
digunakan al-Khûlî dalam mengkaji al-Qur’ân. Selain Khalafullâh para sarjana
yang terpengaruh dengan metode yang digunakan al-Khûlî adalah Bint al-Syati
(istri al-Khûlî), Syukri Muhammad ‘Ayyad dan terakhir Nashr Hamîd Abû
Zaid40.
39
Amin al-Khuli lahir pada tahun 1895, ia menamatkan sekolah pada tahun 1920,
kemudian ia diangkat menjadi Imam di berbagai kedutaan yakni, di London, Paris, Washington
dan Roma. Setelah karir Imam ditiadakan lagi, kemudian ia menjadi tenaga pengajar di Universitas
Kairo, ditempat ini ia dipercayakan memangku berbagai jabatan, sebagai penangungjawab sastra
mesir, ketua jurusan Bahasa Arab sampai Wakil Dekan pada tahun 1946. ia juga mengajar di
berbagai Universitas antara lain Universitas Mesir, Alexandria, Akademi Seni Peran Arab dan
Pasca Sarjana. Dia juga ditunjuk sebagai anggota Majelis Fak Ushuluddin dan Majelis Tinggi
Darul Kutub. Pada jam tiga siang hari rabu, 9 mei 1966 beliau wafat. Keterangan lebih lanjut lihat
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir, terj. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press12004), h. 196-198
40
Nasr Hamid Abu Zaid dilahirkan di desa Qahafah, dekat kota Tanta Mesir, pada tanggal
10 Juli 1943. dengan latar belakang keluarga yang sangat religius, Abu Zaid kecil telah “kenal
dekat” dengan al-Qur’an sejak usia kanak-kanak. Terbukti dengan keberhasilannya menghafal al-
Qur’an sampai khatam, pada usia 8 tahun. Sehingga karena itulah kawan-kawan sebayanya
menggelari ia “Syekh Nasr. Dunia pendidikan formal pun tetap diikutinya, selain tetap menekuni
pendidikan agama di kuttab, sejenis lembaga pendidikan tradisional yang ada di daerahnya.
Pendidikan dasar dan menengahnya, ia selesaikan di Tanta. Ketika Abu Zaid berusia 14 tahun,
ayahnya meninggal. Tapi ia tetap meneruskan sekolahnya, meskipun sambil bekerja. Ia pun
berhasil menuntaskan studinya di Sekolah Teknik yang ada di kota kelahirannya pada tahun 1960.
setelah itu, ia bekerja di lembaga Komunikasi Nasional dan baru pada tahun 1968 ia memulai
kembali kagiatan studinya dengan mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas
Kairo.
45
Prof. Dr. Amîn al-Khûlî. Tesis yang diselesaikannya pada pada tahun 1942
berjudul “Jadal al-Qur’ân”.41
41
Yusuf Rahman, al-Tafsîr al-Adabî fî al-Qur’ân: A Study of Amîn al-Khûlli’s and
Muhammad Ahmad Khalafullâh’s Literary Aproach to the Qur’ân (Jurnal Mimbar Agama dan
Budaya, Vol.xix, no. 2, 2002. (Desember 2002), h. 139.
42
Ibid,
43
Nur Ikhwan, “Biograpi Tokoh Muslim”, artikel diakses pada tanggal 5 Januari 2005
dari http://www.salam.co.uk/knowledge/biography
44
Ikhwan, “Biograpi Tokoh Muslim.”
46
Sampai di sini penulis tidak mendapatkan data lebih lanjut mengenai
biografi intelektual dan karya-karya yang dihasilkan oleh Khalafullâh meskipun
penulis telah melakukan penelusuran dengan menggunakan searching machine.
Namun demikian karya kesarjanaan (Tesis dan Disertasi) dan beberapa artikel dan
buku yang telah dihasilkannya dapat memberikan informasi lebih lanjut
mengenai warna dan gaya pemikiran Khalafullâh terutama dalam kajian al-
Qur’ân. Selain itu, informasi lebih lanjut tentang warna dan gaya pemikiran
Khalafullâh juga dapat ditelusuri melalui jalur intelektual guru Khalafullâh.
Dalam hal ini Prof. Dr. Amîn al-Khûlî adalah sosok yang paling tepat. Seperti
diungkap dalam Islam Garda Depan bahwa pengaruh metodologi al-Khûlî bisa
dirasakan dalam tren penafsiran kontemporer yang antara lain terwakili oleh Bint
al-Syâtî, Khalafullâh, Nasr Hamid Abû Zaid di Universitas Kairo, Prof. Ibrâhîm
Khalîfah di Universitas al-Azhar, sampai ke Quraish Shihab di Indonesia.45
45
Muhammad Aunul Abied Shah dalam Islam Garda Depan; Mozaik Pemikiran Islam
Timur Tengah, (Jakarta: Mizan, 2001), h. 149
46
Charles Kurzman, ed., Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentnag
Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), h. xiii
47
nasib disertasi al-Fann al-Qisasî fi al-Qur’ân (Seni Narasi di dalam al-Qur’an)
yang ditulis oleh Khalafullâh pada tahun 1947 namun tidak jadi dipertahankan
karena beberapa anggota tim penguji sudah mencapnya tidak layak untuk diuji
karena ditengarai bertentangan dengan Islam.
pada tahun 1947. Namun sebelum diajukan dan diseminarkan, forum sidang sudah
dan bersidang. Sejak saat itu banyak studi yang mengulas tentang kasus
Khalafullâh.
al-Qur'an adalah tidak benar, bertentangan satu sama lainnya serta berasal dari
perjanjian lama dan perjanjian baru, Israiliyat, Persia dan Sastra Yunani. Lebih
jauh lagi mereka mengatakan bahwa penulis disertasi tersebut berpendapat bahwa
al-Qur'an adalah sebuah karya sastra yang telah dipengaruhi oleh emosi dan
48
al-Qur'an bukanlah wahyu ilahi tapi lebih kepada perkataan Muhammad sang
pendongeng.
kepada Mufti Mesir, sebuah lembaga yang paling kompeten terhadap isu-isu
diputuskan serta mereka diusir dari sekolah atau universitas manapun. Lebih dari
Khalafullâh seperti tersebut di atas, yang jelas, seperti diakui al- Khûlî,
Khalafullâh telah berhasil membawa angin segar dalam kajian al-Qur'ân dari
satu langkah berani untuk menyatakan aspek-aspek lain dari kisah yang lebih
49
Yusuf Rahman, al-Tafsîr al-Adabî fî al-Qur’ân: A Study of Amîn al-Khûlli’s and
Muhammad Ahmad Khalafullâh’s Literary Aproach to the Qur’ân (Jurnal Mimbar Agama dan
Budaya, Vol.xix, no. 2, 2002. (Desember 2002), h. 139
49
BAB IV
Kisah-kisah al-Qur’an
dan bagaimana pula tradisi pemahaman umat Islam menyangkut kisah-kisah al-
Sebagai kitab suci, al-Qur’an berisi petunjuk bagi umat manusia dalam
perjuangannya mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, lahir dan batin. Dalam
memakai berbagai cara, ada yang umum dan ada yang rinci. Yang disebut pertama
cara langsung dan juga tidak langsung yang antara lain dengan kisah-kisah al-
dalam rentan waktu turunnya al-Qur’an sangat besar sekali, bahkan para
Qur’an dalam aspek kisah-kisah. Kisah-kisah itu bisa merangsang dan menembus
hati orang-orang terpelajar dan orang-orang biasa. Seorang Jurjy Zaidân50, tokoh
50
Syahrin Harahap, al-Qur’ân dan Sekulerisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran Taha
Husein ( Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 155
50
kesusasteraan Arab modern memandang kisah sebagai cara yang sebaik-baiknya
benar-benar terjadi.51
peristiwa atau sejumlah peristiwa yang mempunyai hubungan runtun dan harus
al-Qur’an adalah peristiwa yang benar-benar terjadi, terlepas dari fiksi dan
kisah-kisah itu betul-betul terjadi dalam sejarah, dengan bertitik tolak dari
51
Mannâ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
1976), h. 305
52
Muhammad Kamil Hasan, “al-Qur’ân wa al-Qissat al-Haditsah” (Beirut: Dâr
al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1970), h. 9.
53
Muhammad Bayuni Mahran, “Dirâsat al-Târikhiyyat min al-Qur’ân al-Karîm”
(Makkah: Jami’at al Imâm ibn Su’ûd al-Islâmiyyah, t’t), h. 38.
51
kisah-kisah dalam al-Qur’an itu adalah benar-benar terjadi dalam pelataran
sejarah.
menjelaskan sejarah, tapi substansi dari kisah-kisah tersebut, yaitu berisi pesan-
Khalafullâh
terhadap kisah al-Qur’an terlebih dahulu harus diketahui metode atau pendekatan
al-Qur’an adalah sebagai sebuah karya sastra. Dengan demikian dalam memahami
al-Qur’an itu memiliki tujuan metodologis yang perlu dan layak dipelajari
Pertama, pengumpulan teks (ﻊﻤﺟ ﺹﹺﻮﺼ)ﺍﻟﻨ, syarat mutlak sebuah studi teks adalah
54
Khalafullâh, al-Fann al-Qasasî fî al-Qur'ân al-Karîm, h.37
52
adanya teks itu sendiri. Oleh karena itu, langkah awal yang harus ditempuh adalah
Untuk langkah pertama ini Khalafullâh tidak menemukan kesulitan yang berarti.
Karena kisah dalam al-Qur’an sudah ada dan sudah terkumpul dan tersusun rapi
dan sistemik.55
perkembangan sejarah seni dan sastra yang dikaji baik secara internal maupun
naluri dan pemikiran penulis atau perkembangan pengalaman seni dan aktivitas
jiwa seninya. Sementara dari sisi eksternal, akan terkuak posisi teks tersebut
dalam perkembangan umum sejarah sastra dan seni dilihat dari segi hubungannya
dengan karya sastra sebelum dan sesudahnya, serta peranan yang dimainkannya
tidak sempurna, namun perlu diakui bahwa susunan atau mushaf Maliki tersebut
dengan sosio-kultural Nabi dan perkembangan dakwah Islam kala itu. Dengan
55
Ibid, h. 44
53
kisah, sedangkan mengenai perkembangan eksternal kisah, harus diketahui dahulu
kata, susunan dan bentuk kalimat serta pemahaman terhadap hubungan antar kata
sisi logika, psikologis dan seni yang dimiliki teks. Seorang penafsir juga dituntut
untuk menentukan satu konstruksi teks-teks dan interpretasi tertentu atas teks
yang ia yakini kebenarannya. Setelah itu penafsir juga perlu mengetahui apa di
balik konstruksi teks dengan interpretasi tersebut. Karena pemilik teks (sumber
teks) tidak mengutarakannya secara langsung, baik karena dia merasa sudah
paham untuk dirinya sendiri atau karena lawan bicaranya paham terhadap dirinya.
sastra ini adalah gagasan baru dalam bidang ini yang perlu dikembangkan karena
56
Ibid, h. 44
54
kisah-kisah al-Qur’an tentunya memiliki dimensi logis, psikologis, dan
sampai pada langkah ini dalam pemahaman sastra, teks-teks yang terkumpul
tema, dan tujuan.58 Dalam pandangan Khalafullâh, metode ini telah diterapkan
dalam kajian usul fiqh dan ia mengaku berhutang kepada para ulama usul fiqh.
penting bagi para pemerhati wacana ilmu pengetahuan atau seni, serta bagi
sastra dan ilmu pengetahuan. Tujuan pendekatan ini untuk mengetahui dari mana
teks itu terbentuk dan juga akan dapat diketahui bagian teks mana yang asli dari
Sejarah.
55
untuk menuntun umat manusia. Hal ini menunjukan bahwa al-Qur’an sangat
barang tentu banyak sekali hikmah yang terkadung di dalamnya. Dalam hal ini,
sekaligus absah.
masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saw. bukan lingkungan yang
sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural. Kedua, Nabi Muhammad saw.
sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan hukum secara berlawanan satu
sama lain atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda, misalnya ziarah kubur,
adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru telah diisyaratkan oleh
nash itu sendiri. Kelima, Pemahaman secara kontekstual berguna untuk mengatasi
56
problematika umat. Keenam, Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk
terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di
dalam teksnya yang terbatas itu memiliki dinamika internal yang sangat kaya,
yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat
absah dikarenakan kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an terkait erat dengan
konteks masyarakat atau budaya setempat yang menjadi setting historis kisah
tersebut.
agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap sesuai dengan perkembangan dan
perubahan sosial, sehingga tetap memiliki semangat dan ruh dalam menjawab
dari kisah adalah memetik hikmah yang terdapat dibalik kisah. Maka, menyikapi
pertanyaan apakah kisah-kisah dalam al-Qur’an itu faktual atau fiktif, tidak lagi
menjadi penting. Yang lebih penting adalah bagaimana kisah-kisah itu mampu
60
Keterangan lebih lanjut tentang argumentasi terhadap kontekstualitas al-Qur’an dapat
dilihat pada berbagai judul buku diantaranya; Syahrin Harahap, al-Qur’an dan Sekularisasi;Kajian
Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husain, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), Nasr Hamid Abu
Zaid, Tekstualitas al-Qur’an:Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj Khoirun Nahdliyin,
(Yogyakarta, LKis, 2002) dan Kusmana (editor), Pengantar Kajian al-Qur’an: Tema Pokok,
Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta, UIN Press, 2004).
57
memberikan inspirasi untuk melakukan kemaslahatan. Namun demikian
kebenaran bahwa al-Qur’an memang bukan buatan nabi Muhammad seperti yang
Khalafullâh
Bagi umat Islam, otentisitas al-Qur’an sebagai kitab suci tentu saja tidak
mendorong absennya tradisi kritis umat Islam, dan kadang terjebak dalam
penerimaan tanpa reserve atas warisan pemikiran Islam masa lalu. Padahal, semua
produk pemikiran yang berserakan dalam gugusan khazanah Islam yang amat
kaya itu pada hakikatnya tidak lebih dari produk sejarah yang hampir bisa
dikatakan mustahil bisa mengelak sepenuhnya dari tuntutan ruang dan waktu saat
pertama kali dimunculkan. Tak pernah ada jaminan bahwa “teks-teks turunan”
58
(khazanah intelektual) yang mengalir deras dan lahir dari sumber utama al-Qur’an
itu identik dan menyuarakan secara utuh apa yang seharusnya. Apalagi, semua
wacana yang terekam dalam teks-teks warisan masa lalu itu pun tidak mungkin
umat Islam.
muncul belakangan dan mencoba menghadirkan wacana lain yang belum digarap
keragaman pemikiran dan pendapat bukan saja merupakan sesuatu yang absah,
kekayaan intelektual masa lalu Islam itu sebenarnya sebuah referensi gamblang
bahwa sejak sejarahnya yang paling dini tradisi intelektual Islam memang
61
M. Nur Kholis dalam al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar menyatakan bahwa pemikiran
“liberal” dalam Islam bukanlah “anak tiri”, melainkan “anak kandung” dari sejarah Islam itu
sendiri yang harus tetap dikampanyekan. Lihat M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra
Terbesar, (Yogyakarta: el-Saq Press, 2005), h. 49
62
Dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934, Hanafi kecil, layaknya orang Mesir
lainnya, mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Pendidikan dasar dan tingginya ia tempuh di
kota kelahirannya. Sedangkan gelar doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne, Paris,
Prancis dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d'exegese (Essai tentang Metode
Penafsiran) Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan
rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaruan),
dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakan
kepanjangan dari gagasan Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad
Abduh. Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, kata
tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, kiri Islam adalah hasil nyata dari
59
Nasr Hamid Abu Zaid64 dengan “konsep teks” (Mafhûm al-Nas)-nya, -sekedar
kini banyak diperdebatkan- merupakan ragam ijtihad yang dinapasi oleh semangat
dikandung al-Qur’an. Sebuah upaya yang sebenarnya telah hadir dan menjadi
disebutkan sebelumnya.
Karya yang semula ditujukan sebagai disertasi ini memang keluar dari arus
utama metodologi tafsir yang telah diwariskan dan kemudian secara sistematis
Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.
(http://www.fatimah.org/indexkisah.htm, artikel di akses tanggal 1 Mei 2009)
63
Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair.
Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber
adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-
Arab. Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan
Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab
di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah
pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961
Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra
pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali
sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam. (Suadi Putro, Muhammad Arkoun
Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 11-13))
64
Di antara karyanya antara lain . Khusus untuk bidang studi al-Qur’an, Abu Zaid telah
menulis buku al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir;Qadiyat al-Majaz ‘Inda al-Mu’tazilah, Falsafah
al-Ta’wil;Nazariyyat Ta’wil Qur’ân ‘Inda Ibn ‘Arabi dan Mafhum al-Nas;al-Dirasah fi ‘Ulûm
al-Qur’ân. Sedangkan aspek metodologis yang berisikan pilar-pilar pemikirannya, Abu Zaid
menyuguhkannya dalam Naqd al-Khitab al-Dinî, al-Imâm al-Syâfi’Î wa al-Ta’sis Aidulujiyyah
al-Wasatiyyah, Isykailliyah al-Qira’ah wa A’liyat al-Ta’wil, al-Kitâb wa al- Ta’wil, al-al-Tafkir fi
Zamân al-Takfir; Did al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurafah dan al-Nas al-Sultah wa al-Haqiqah; al-
Fikr al-Dinî Bain Irâdah al-Ma’rifah wa Irâdah al-Haimiyyah. Beberapa karya tulias lainya yang
mengupas berbagai permasalahan sosio-politik tersebar dalam bentuk buku maupun makalah
lepas.
60
Karena, sebagai konsekuensi dari metodologi yang ia tawarkannya itu, teks-teks
Azhar mengeluarkan resolusi fatwa untuk mendesak pihak kampus agar melarang
Qur’an.65
Maka jika ada mufassir memergoki jalan buntu dalam menelisik kebenaran
fakta-fakta sejarah yang diuraikan al-Qur’an, itu tentu saja bukan tanpa penyebab
suci yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Orisinalitas al-Qur’an tidak
merekam segala peristiwa dan hal ihwal yang benar-benar pernah terjadi.
65
M. Nur Kholis Setiawan, h. 36
61
Kegagalan dalam membuktikan kesahihan sejarah tersebut karenanya harus
al-Qur'an tidak menempati posisi yang lebih penting -bukan berarti tidak penting-
ketimbang maksud dan tujuan utama dari al-Qur’an secara umum, yaitu sebagai
petunjuk dan pembawa pesan moral bagi manusia. Akan tetapi harus diakui walau
sebagai sebuah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad
saw., tentunya menyimpan banyak misteri yang harus terus digali dan diupayakan
pada gilirannya juga tidak memadainya seluruh tafsir yang menjelaskan kisah-
teks-teks kitab suci samawi dan sebangun dengan apa yang direkam teks-teks
sejarah pada umumnya, para penafsir akhirnya secara salah telah menggunakan
62
beragam tafsir yang berbaku debat seputar validitas sejarah dalam al-Qur’an dan
sejarah yang dinarasikan kitab suci tak bisa disamakan dengan "teks sejarah
pendekatan sastra juga, hiruk-pikuk yang berlangsung cukup panjang itu tak akan
Dengan titik pijak yang menyangkal dari arus utama tafsir itu, ia pun
bahwa jika metodologi sejarah yang ditempuh, maka akan muncul beberapa
karena unsur-unsur sejarah yang ada dalam kisah-kisah tersebut adalah materi
63
mengapa sebuah kisah diulang-ulang dalam versi berlainan tentang pelaku
Dari sinilah cendekiawan asal Mesir ini berhenti dalam sebuah simpul
argumen, bahwa makna-makna sejarah yang direkam al-Qur’an tak lebih sebagai
pelajaran dan contoh bagi umat Islam. Ia, karenanya, harus dikeluarkan dari
membeberkan tujuan-tujuan kisah yang sarat pesan-pesan moral, dan bebas dari
keharusan setia pada suatu tafsir tentang kebenaran kisah-kisah al-Qur’an. Dengan
diandaikan sebagai teks yang mengurai data-data sejarah yang bisa ditelisik
kisah tersebut diyakini sekadar berangkat dari keyakinan umum para audiens yang
disapanya seperti biasa dilakukan para sastrawan saat hendak meramu suatu kisah.
64
Walhasil, dengan memposisikan kisah-kisah tersebut tak lebih sebagai
kisah-kisah sastra yang tidak selamanya harus sama dan identik dengan peristiwa-
tafsir kisah-kisah yang justru lebih berhasil mengundang para pembaca untuk
mendulang hikmah dan kearifan sebagai teladan yang harus diikuti, bukan
Terlepas dari kritikan dan hujatan kalangan yang tidak meyetujui pikiran
Khalafullâh, Khalafullâh telah berhasil membawa angin segar dalam kajian al-
Qur’an dari perspektif sastra. Apa yang dilakukan Khalafullâh merupakan salah
satu langkah berani untuk menyatakan aspek-aspek lain dari kisah yang lebih
lebih berupa upaya perbaikan dan evaluasi yang dikawal dengan semangat saling
menasehati dalam kebajikan dan kesabaran. Semangat yang tertuang dalam al-
seorang muslim sudah sepantasnya bersikap terbuka dan tidak cepat memberikan
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai sebuah bentuk atau alat, kisah dalam al-Qur’an harus dilihat dengan
kumpulan firman Allah (al-Kitab), tentunya memuat kehendak Allah yang sangat
luas. Sebagai bagian dari kasih sayang-Nya, Allah memberikan cara termudah
yang dapat ditempuh oleh umat-Nya dalam upaya menggapai atau setidaknya
dari pemaparan Allah tentang kisah-kisah yang termuat dalam al-Qur’an adalah
bukan materi dari kisah, tetapi lebih kepada bagaimana sebuah kisah dapat
diambil hikmahnya dan bisa dijadikan sebagai sebuah pelajaran bagi kehidupan
66
manusia. Khalafullah juga membedakan antara materi kisah dan pesan yang
dikandung di dalamnya.
mampu membaca peristiwa apa saja yang telah dialami atau ditimpakan kepada
cerminan kepada manusia agar dapat mengambil ibrah atau hikmah darinya.
B. Saran-saran
dan para ulama tentang beda pendapat yang terjadi seputar kisah-kisah dalam al-
terlibat aktif mengikuti serta mengkritisi wacana studi tafsir kontemporer dan
klasik, mengingat adanya dinamika yang luar biasa dalam studi tafsir kontemporer
juga kecemerlangan ide dalam wacana studi tafsir klasik. Hal ini mengingat
yang lebih menukik dan luas, semisal bagaimana aplikasi pemahaman kisah al-
67
Kajian ini juga sangat terbatas yang belum sempat menyentuh persoalan-persoalan
lain yang sedang dihadapi umat Islam secara luas khususnya di Indonesia. Dengan
demikian, meski telah menunjukkan adanya upaya-upaya dari para pengkaji tafsir,
kajian ini masih melewatkan banyak pertanyaan yang tak kalah penting, dan
masih perlu muncul usaha-usaha lain untuk mengisi kekosongan tersebut. Ketiga,
masyarakat Islam secara luas, mari kita menyikapi segala bentuk perbedaan
menghormati. Serta jadikan perbedaan tersebut sebagai sebuah rahmat yang dapat
hasil dari pola fikir manusia, yang tidak luput dari berbagai macam kesalahan
sampaikan. Penelitian yang penulis lakukan ini masih belum sempurna, oleh
karenanya kritik dan saran dalam upaya menyempurnakan penelitian ini akan
68
DAFTAR PUSTAKA
Badwi, Ahmad. Min Balaghah al-Qur’an. Cairo: Dâr al- Nahdoh al-Misr, tt.
69
Hasan, Muhammad Kamil. al-Qur’ân wa al-Qisasah al-Hadîtsah. Beirut: Dâr
al-Buhûts al-‘Ilmiyah, 1970.
Ikhwan, Muhammad Nur. Teori Hermeneutika Nasr Hamîd Abû Zaid; Meretas
Kesarjanaan Kritis al-Qur’ân. Jakarta: Teraju, 2003.
Ikhwan, Nur. Biograpi Tokoh Muslim. Artikel diakses pada tanggal 5 Januari
2005 dari http://www.salam.co.uk/knowledge/biography
70
Subana, Muhammad dan Sudarajat. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung:
Pustaka Setia, 2001.
Sunan al- Tirmidzî, Juz IV, Kitab Zuhud. Cairo: Dâr al- Fikr: 1994.
71