Anda di halaman 1dari 154

EPISTEMOLOGI TAFSIR ABAD PERTENGAHAN

Studi Atas Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n Karya Al-Qurt}ubi

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister
dalam Bidang Tafsir

oleh:
A. FAUZI
21171200100086

Pembimbing:
Dr. Hamka Hasan, M.A.

KONSENTRASI TAFSIR
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443/2021
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas segala limpahan anugrah dan kasih
saying-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul
“EPISTEMOLOGI TAFSIR ABAD PERTENGAHAN (Studi Atas Tafsir Al-Ja>mi’
Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n Karya Al-Qurt}ubi)”. Tesis ini merupakan hasil penelitian
penulis untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Magister, program Pengkajian
Islam konsentrasi Tafsir di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
S}alawat serta salam dilimpahkan juga kepada baginda Nabi Muhammad Saw.
keluarga dan para Sahabat yang telah memperjuangkan dakwah Islam dan
menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan segenap
pengorbanan sehingga dengan izin Allah, seluruh manusia di penjuru dunia dapat
merasakan rahmat sekalian alam.
Penyelesaian tesis ini tidak akan terealisasi tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam
menyelesaikan tesis ini. Yaitu:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A. selaku rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Asep Saefiddin Jahar, MA. selaku Direktur SPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Hamka Hasan, LC., MA. Selaku Wakil
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA.
selaku Ketua Program Studi Doktor, Dr. Arif Zamhari, M.Ag, Ph.D. selaku
Ketua Program Studi Magister, Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Sekretaris Program
Studi Doktor, Dr. Imam Sujoko, MA. Selaku Sekretaris Program Studi
Magister, seluruh staf, pustakawan-pustakawati dan civitas akademia SPs UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Hamka Hasan, LC., MA. selaku promotor, penulis menyampaikan ribuan
terimakasih atas waktu luang yang diberikan serta kesabarannya dalam
membimbing, sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini. Juga
mengenai metode menulis yang baik sehingga bermanfaat bagi kelangsungan
penelitian ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada para dosen Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
pengetahuan dan informasi selama proses perkuliahan, Prof. Dr. Huzaemah
Tahigo Yanggo, Prof. Dr. Azyumardi Azra MA. Prof. Dr. Suwito, MA., Prof.
Dr. Atho Mudzhar, MSPD., Prof. Dr. Agil Husein al-Munawwar MA., Dr. Fuad
Jabali MA., Dr. JM. Muslimin, MA., Dr. Yusuf Rahman dan seluruh dosen di
SPs UIN Jakarta yang telah memberikan wawasan kepada penulis sehingga
penulis dapat memperkaya argumen dalam penulisan tesis ini.
3. Sang motivator sekaligus fasilitator ayahanda alm. H. Hamzah dan ibunda Hj.
Mulyati tencinta, serta mertua H. Zulkifli, M. Pd. I dan ibunda Anizar Hosein,
penulis haturkan terimakasih tak terhingga atas segala curahan kasih sayang,
dukungan, arahan dan do’a. Terlebih segenap tenaga dan pengorbanannya yang
telah membiayai pendidikan penulis hingga sampai pada jenjang S2 ini. Semoga

i
penulis senantiasa bersemangat dalam menggapai cita-cita sebagaimana
ayahanda dan ibunda harapkan. Secara khusus, terimakasih sebagai
penghormatan penulis sampaikan kepada istri terkasih Zulfa Hudiyani, MA. atas
seluruh cinta yang dicurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini
dengan jerih payah yang nikmat. Teruntuk buah hati tercinta, Ahmad Azwan
Dhiyaurrahman dan Ahmad Fannan Hadziq, yang memberikan ruang yang lebih
banyak serta pengorbanan kepada penulis sehingga dapat lebih berkonsentrasi
dalam menulis tesis dari awal.
4. Sahabat di SPS angkata 2018 yang setia menyuport penulis.

Semoga Allah Swt. memberikan balasan pahala yang terbaik bagi mereka yang
telah berkontribasi kepada penulis. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
mengaharapkan kritik dan saran konstruktif untuk perbaikan penelitian ini.
Akhirnya, kepada Allah kita memohon perlindungan dan memohon ampun dari
segala kekhilafan dalam proses mencari ilmu, semoga karya ilmiah ini berkah dan
bermanfaat.

Jakarta, 5 September 2021

Ahmad Fauzi

ii
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa epistemologi penafsiran al-Qur’an


oleh al-Qurt}ubi dan menganalisa relevansi epistemologi tersebut terhadap
perkembangan epistemologi tafsir pada abad pertengahan. Pembahasan ini penting
dikemukakan untuk memetakan posisi epistemologi tafsir al-Qurt}ubi ditengah
wacana penafsiran yang berkembang di dunia Islam pada abad pertengahan.
Agar tujuan tersebut tercapai, penulis menggunakan penelitian kualitatif
dengan menekankan kajian kepustakaan murni (Library Research). Sementara, tipe
kajian ini adalah analisis isi (analysis content) yang berusaha menganalisis
epistemologi interpretasi al-Qur’an dalam kitab al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n,
dengan mengacu pada epistemologi Islam yang dirumuskan oleh al-Jabiri, yaitu
epistemologi baya>ni, Irfa>ni, dan burha>ni. Objek penelitian kitab tafsir tersebut adalah
sumber, metode dan validitasnya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada pergesaran nalar epistemologis dalam
tafsir al-Ja>mi’ Li Ah}ka> al-Qur’a<n antara ayat hukum dan ayat mutasha>biha>t.
Epistemologi penafsiran ayat hukum yang digunakan oleh al-Qurt}ubi adalah
epistemologi baya>ni, sedangkan epistemologi penafsiran ayat mutasha>biha>t adalah
epistemologi burha>ni.
Paradigma epistemologi penafsiran abad pertengahan yang merupakan era
afirmatif yang berbasis nalar ideologis sangat terlihat dalam kitab al-Ja>mi’ li Ah}ka>m
al-Qur’a>n karya al-Qurt}ubi. Paradigma epistemologi penafsiran ayat mutasha>biha>t
berbasis pada nalar ideologis-truth claim, yang penafsiran al-Qurt{ubi yang cenderung
pada ideologi Ash’ari yang ia anut. Paradigma epistemologi penafsiran ayat hukum
berbasis pada nalar ideologis-kritis. Artinya, penafsiran al-Qurt{ubi pada ayat hukum
sangat dipengaruhi oleh maz|hab Maliki, tetapi masih mengakomodir pandangan-
pandangan dari maz|hab lain.

Kata Kunci: Epistemologi, Tafsir Abad Pertengahan, Al-Qurt{ubi

ix
ABSTRACT

This study aims to analyze the epistemology of the interpretation of the


Qur'an by al-Qurt}ubi and analyze the relevance of this epistemology to the
development of the epistemology of interpretation in the Middle Ages. This
discussion is important to put forward to map the epistemological position of al-
Qurtubi's interpretation in the midst of the discourse of interpretation that developed
in the Islamic world in the Middle Ages.
In order to achieve this goal, the author uses qualitative research by
emphasizing of library research. Meanwhile, the type of this study is analysis content
which attempts to analyze the epistemology of the interpretation of the Qur'an in the
book of al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, with reference to the epistemology of
Islam which formulated by al-Jabiri, namely the epistemology of baya>ni,
Irfa>ni, dan burha>ni. The research object of the commentary is the source,
method and validity
This study concludes that there is a shift in epistemological reasoning
in the interpretation of al-Ja>mi’ Li Ah}ka> al-Qur’a<n between the legal verse
and mutasha>biha>t verse. The epistemology of the interpretation of the legal
verse used by al-Qurt}ubi is the baya>ni epistemology, while the epistemology
of the interpretation of the mutasha>biha>t verse is the burha>ni epistemology.
The epistemological paradigm of medieval interpretation which is an
affirmative era based on ideological reasoning is very visible in the book al-Ja>mi’
Li Ah}ka>m al-Qur’a>n by al-Qurt}ubi. The epistemological paradigm of the
interpretation of the mutasha>biha>t verse is based on ideological reasoning-
truth claim, which tend the emergence of the interpretation of al-Qurt}ubi
which defends the interests of the Ash'ari ideology that he adheres to. The
epistemological paradigm of interpreting legal verses is based on ideological-
critical reasoning. That is, the interpretation of al-Qurt}ubi in the legal verse
is strongly influenced by the Maliki school, but still accommodates the views
of other schools of thought.

Keywords: Epistemology, Tafsir of Medieval Era, al-Qurt}ubi.

xi
‫مل ّخص‬

‫تهدف هذه الدراسة إلى تحليل االبيستمولوجيا (‪ )epistemologi‬لتفسير القرآن للقرطبي ‪،‬‬
‫وتحليل عالقة هذا االبيستمولوجيا بتطور االبيستمولوجيا للتفسير في العصور الوسطى‪ .‬وهذا‬
‫النقاش مهم لرسم خريطة للموقف االبيستمولوجي لتفسير القرطبي في خضم خطاب التفسير‬
‫الذي تطور في العالم اإلسالمي في العصور الوسطى‪.‬‬

‫يستخدم المؤلف البحث النوعي من خالل التأكيد على بحث المكتبة لتحقيق هذا الهدف‪.‬‬
‫وفي الوقت نفسه‪ ،‬فإن نوع هذه الدراسة هو تحليل المحتوى الذي يحاول تحليل‬
‫االبيستمولوجيا لتفسير القرآن في كتاب الجامع ألحكام القرآن‪ ،‬مع اإلشارة إلى االبيستمولوجيا‬
‫اإلسالمية التي صاغها الجابري‪ .‬وهي ابيستمولوجي البياني‪ ،‬وابيستمولوجي العرفاني‪ ،‬و‬
‫ابيستمولوجي البرهاني‪ .‬وموضوع تحليل ذلك الكتاب هو مصدر تفسيره وطريقته وصحته‪.‬‬

‫إن نتيجة هذا البحث هي أن هناك تحوالً في التفكير االبيستمولوجي في تفسير الجامع‬
‫ألحكام القرآن بين آيات األحكام وآيات المتشابهات‪ .‬إن االبيستمولوجيا في تفسير آيات‬
‫األحكام التي استخدمها القرطبي هي االبيستمولوجي البياني‪ ،‬في حين أن االبيستمولوجي في‬
‫تفسير آيات المتشابهات هي االبيستمولوجيا البرهاني‪.‬‬

‫إن نموذج (‪ )paradigma‬االبيستمولوجي للتفسير فى القرن الوسطى‪ ،‬الذي هو عصر ‪afirmatif‬‬


‫التي تقام على التفكير األيديولوجي واضح في كتاب الجامع ألحكام القرآن للقرطبي‪ .‬يرتكز‬
‫النموذج االبيستمولوجي لتفسير آيات المتشابهات على التفكير ‪ ،ideologis-truth claim‬ألن‬
‫تفسير القرطبي يميل إلى عقيدة األشاعرة التي يلتزم بها‪ .‬يعتمد النموذج االبيستمولوجي لتفسير‬
‫آيات األحكام على التفكير ‪ .ideologis-kritis‬أي أن تفسير القرطبي في آيات األحكام متأثر‬
‫بالمذهب المالكي‪ ،‬لكنه ال يزال يستوعب آراء المدارس األخرى‪.‬‬

‫الكلمات الدليلية‪ :‬نظرية المعرفة ‪ ،‬تفسير القرون الوسطى ‪ ،‬القرطبي‬

‫‪xiii‬‬
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Tesis ini menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin ALA-LC


Romanization Tables, berikut penjelasannya:
A. Daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf latin sebagai berikut:

Huruf Arab Nama Huruf Latin


‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan
‫ب‬ Ba> B
‫ت‬ Ta> T
‫ث‬ Tha> S|
‫ج‬ Ji@m J
‫ح‬ H{a> H{
‫خ‬ Kha> Kh
‫د‬ Da>l D
‫ذ‬ Dha>l Z|
‫ر‬ Ra R
‫ز‬ Zay Z
‫س‬ Si@n S
‫ش‬ Shi@n Sh
‫ص‬ S}ad S{
‫ض‬ D{a>d D{
‫ط‬ T{a> T{
‫ظ‬ Z{a> Z{
‫ع‬ ‘Ayn ‘
‫غ‬ Ghayn Gh
‫ف‬ F>a> F
‫ق‬ Qa>f Q
‫ك‬ Ka>f K
‫ل‬ La>m L
‫م‬ Mi@m M
‫ن‬ Nu>n N
‫و‬ Wa>wu W
‫ ه‬،‫ة‬ Ha, Ta> H*
marbut}ah
‫ء‬ Hamzah ’

xv
‫ي‬ Ya> Y
*Untuk huruf (‫) ة‬, ta>marbu>t{ah dalam kata benda majemuk (mud}a>f)
dilambangkan dengan huruf t.

B. Vokal

1. Vokal Tunggal
َ = a ‫كتب‬ kataba
ِ =i ‫ُسئِل‬ su’ila
ِ =u ‫ب‬ ُ ‫ي ْذه‬ yaz|habu

2. Mad atau Vokal Panjang


‫ـا‬ = a> ‫قال‬ qa>la
‫ـي‬ = i@ ‫قْيل‬ ِ qi@la
‫ـو‬ = u> ‫يـ ُق ْو ُل‬ yaqu<lu

3. Vokal Rangkap atau Diftong


‫ا ْي‬ = ay ‫كْيف‬ Kayfa
‫ا ْو‬ = aw ‫ح ْول‬ Hawla

C. Kata Sandang
‫ = الحديث‬al-H{adi@s|
‫ = الشمس‬al-Shams

xvi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... v
PENGESAHAN TIM PENGUJI .......................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................................. xv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xvii
Bab I: PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 2
B. Permasalahan ............................................................................................... 11
1. Identifikasi Masalah ............................................................................... 11
2. Perumusan Masalah ................................................................................ 11
3. Pembatasan Masalah .............................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 12
D. Signifikansi dan manfaat Penelitian ............................................................ 12
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................................................. 12
F. Metode Penelitian ....................................................................................... 15
1. Bentuk Penelitian .................................................................................. 15
2. Sumber Data .......................................................................................... 16
3. Metode Pengumpulan Data ................................................................... 16
4. Metode Analisis Data ............................................................................ 16
5. Pendekatan Penelitian ........................................................................... 17
G. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 17

BAB II: EPISTEMOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN ..................................... 19


A. Epistemologi Baya>ni ................................................................................... 19
1. Sumber Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Baya>ni ................ 20
2. Metode Penafsiran al-Qur’an dalam Epistemologi Baya>ni ................. 28
3. Validitas Penafsiran al-Qur’an dalam Epistemologi Baya>ni ............... 30
B. Epistemologi Irfa>ni ..................................................................................... 31
1. Sumber Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Irfa>ni ................... 33
2. Metode Penafsiran al-Qur’an dalam Epistemologi Irfa>ni .................... 35
3. Validitas Penafsiran al-Qur’an dalam Epistemologi Irfa>ni .................. 37
C. Epistemologi Burha>ni ................................................................................. 38
1. Sumber Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Burha>ni ............... 40
2. Metode Penafsiran al-Qur’an dalam Epistemologi Burha>ni ................ 40
3. Validitas Penafsiran al-Qur’an dalam Epistemologi Burha>ni.............. 41

xvii
BAB III: IMAM AL-QURṬUBI: PRODUK KONTEKS POLITIK, IDEOLOGIS,
DAN INTELEKTUAL ANDALUSIA .................................................................. 43
A. Kondisi Andalusia pada Masa al-Qurt}ubi ......................................................... 43
1. Dinamika sosial-politik .............................................................................. 43
2. Dinamika keilmuan dan Pengaruhnya terhadap al-Qurt{ubi ....................... 49
a. Bahasa dan Sastra ................................................................................. 51
b. Teologi .................................................................................................. 53
c. Fikih ...................................................................................................... 56
d. Qira’at dan Tafsir ................................................................................ 57
e. Hadis ..................................................................................................... 60
f. Tasawwuf.............................................................................................. 60
B. Kelahiran dan Kehidupan Intelektual Imam Al-Qurṭubi .................................. 62
1. Riwayat Hidup al-Qurtu}bi .......................................................................... 62
2. Kehidupan Intelektual Al-Qurṭubi.............................................................. 65
BAB IV: EPISTEMOLOGI TAFSIR AL-JA>MI’ LI AH{KA>M AL-QUR’A>N ........ 73
A. Analisis Ayat Mutasha>biha>t dan Ayat Hukum ................................................. 73
1. Analisis Ayat Mutasha>biha>t ...................................................................... 73
a. Ayat tentang Z{a>t Allah......................................................................... 73
1) “Wajah” bagi Allah Ta’ala ........................................................... 74
a) Surah al-Baqarah ayat 115....................................................... 74
b) Surah al-Rah{man ayat 27......................................................... 76
2) “Mata” bagi Allah Ta’ala ............................................................. 83
b. Ayat tentang Istiwa’ Allah ................................................................... 83
1) Surah al-Baqarah ayat 29.............................................................. 85
2) Surah al-A’raf ayat 54 .................................................................. 87
2. Analisis Ayat-Ayat Hukum ....................................................................... 90
a. Surah Al-Ma’idah ayat 6 ...................................................................... 90
b. Surah Al-Baqarah Ayat 173 ................................................................. 99
c. Surah al-Ma’idah ayat 4 ..................................................................... 107
B. Epistemologi Penafsiran al-Qurt}ubi ............................................................ 110
1. Epistemologi Takwil Ayat Mutasha>biha>t ............................................... 111
a. Metode Penafsiran .............................................................................. 111
1) Penyuciaan Allah sebagai barometer penggunaan kaedah
kebahasaan .................................................................................. 112
2) Makna Maja>zi ............................................................................. 114
b. Sumber Penafsiran .............................................................................. 118
c. Validitas kebenaran penafsiran .......................................................... 124
2. Epistemologi Penafsiran Ayat Hukum .................................................... 125
a. Sumber Penafsiran .............................................................................. 125
b. Metode Penafsiran .............................................................................. 133
c. Validitas Kebenaran Penafsiran ......................................................... 133
C. Epistemologi Tafsir Abad Pertengahan .......................................................... 135
BAB V: PENUTUP ............................................................................................ 137

xviii
A. Kesimpulan ................................................................................................ 137
B. Rekomendasi .............................................................................................. 137
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 139
BIODATA PENULIS ......................................................................................... 143

xix
BAB PERTAMA
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam yang harus dipahami,
diamalkan, dan memberi solusi bagi persoalan kehidupan umat Islam yang semakin
kompleks. Dalam rangka inilah penafsiran al-Qur’an1 dilakukan agar kandungan al-
Qur’an bisa dipahami secara benar oleh umat Islam sehingga al-Qur’an mampu
menjadi pedoman untuk menata kehidupan kita di dunia dan akhirat,2 hanya saja ada
ayat al-Qur’an yang tidak mudah dipahami oleh umat Islam karena kompleksitas
kandungannya dan keluasan maknanya,3 sehingga diperlukan sebuah penafsiran4,
bahkan harus dilakukan penelitian.5 Oleh karena itu, di dalam tafsirlah kita
mendapati maksud kandungan al-Qur’an dengan panjang lebar.6
Bagaimana memberi makna terhadap teks (nas}) masa lalu yang kita baca.
Apakah seorang mufassir hanya sekaedar memahaminya sebagai bentuk pengulangan
(repetitif) atas produksi makna di masa lalu (tafsir awal) ketika tafsir dimunculkan
atau mengambil posisi untuk senantiasa kreatif dan konstruktif terhadap produksi
makna yang baru sesuai dengan episteme dan kebutuhan dan tuntutan zaman
modern?
Dalam proses ini, ada dua kewajiban utama yang harus dilakukan oleh orang
yang hendak memahami ayat al-Qur’an. Pertama, mereka harus mengetahui dan

1
Menurut al-Zarkashi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan maknanya, dan menggali hukum-
hukum dan hikmah-hikmahnya. Lihat: Abdullah al-Zakarshi, Al-Burha>n fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n,
(Mesir: Darut Turats, 1984), h. 147.
2
Eko Zulfikar, Rekonstruksi Objek Penelitian Tafsir Alqur’an: Konsep Dan Aplikasi,
dalam Jurnal Tafsere, Vol. 6, No. 2, Tahun 2018, h. 103.
3
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1993) h.75.
4
Menurut Husein al-Żahabi, tafsir telah mengalami lima tahap perkembangan.
Pertama, penafsiran dengan menggunakan riwayat, tetapi belum dibukukan. Penafsiran model
dilakukan pada masa Rasulullah, sahabat, dan tabi’in. Kedua, tafsir mulai dibukukan dan
dibagi ke dalam bab-bab secara bersamaan dan menyatu dengan kodifikasi dan bab-bab hadiṡ.
Ketiga, tafsir terpisah dari hadiṡ sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri, al-Qur’an mulai
ditafsirkan mengikuti urutan ayat yang bersumber dari riwayat Rasul, sahabat dan tabi’in
(tafsi>r bi al-ma’ṡur). Keempat, penafsiran yang bersumber dari al-ma’tsur, israiliyat dan
pendapat ulama periode akhir yang mulai muncul perbedaan dan pertentangan di antara
mereka. Kelima, periode yang sumber penafsirannya berupa riwayat, israiliyat, hasil pikiran
atau rasio, dan ilmu pengetahuan sehingga pada periode ini muncul beragam metode
penafsiran. Lihat: Muhammad Husein al-Żahabi, Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2004), h.104-108.
5
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Quran, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 5.
6
M. Yunan Yusuf, Metode Penafsiran Al-Qur'an Tinjauan atas Penafsiran Al-Qur’an
secara Tematik, dalam Jurnal Syamil, Vol. 2, no. 1, 2014, h. 58.

1
meyakini bahwa ayat al-Qur’an memang benar berasal dari-Nya. Ini disebut
otentisitas. Kedua, mereka harus menetapkan makna teks. Ini bukan sekadar masalah
pemahaman dan panafsiran, tetapi juga masalah penerapannya. Sebab, kegiatan
penafsiran tidak hanya “sebuah usaha untuk memahami suatu kata atau ungkapan
yang ada di dalam sebuah teks, tetapi juga sebuah usaha untuk menerapkan makna
tersebut” yang disebut penetapan.7
Penerapan makna harus dilakukan karena suatu makna lahir melalui proses
dialektika antara teks dengan manusia sebagai objek teks, tidak semata-mata dari
teks itu sendiri,8 walaupun tingkat pemahaman mereka berbeda9, sesuai dengan
interest, kecenderungan, misi, motivasi, kedalaman dan keragaman ilmu yang
dikuasai seorang mufassir.10 Juga melalui sebuah hubungan yang dialektis antara teks
dan kebudayaan sehingga saling menguatkan, yang saling berkombinasi ketika
melahirkan wacana, pemikiran dan ideologi.11 Oleh karena itu, yang melahirkan
makna dan berbicara atas nama teks adalah akal pikiran manusia, sedangkan teks
sendiri tidak berbicara,12 sehingga makna bisa disebut produk dari proses dialektika.
Ini sejalan dengan ungkapan Ali bin Abu Ṭalib, bahwa “al-Qur’a>n bayna daftay al-
muṣḥa>f la> yanṭiq, innama> yanṭiqu bihi al-rija>l”, yakni al-Qur’an tidak akan pernah
bisa berfungsi apa-apa tanpa adanya campur tangan manusia.13
Menurut Faisol Fatawi, al-Qur’an sebagai teks merupakan korpus terbuka
yang sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa
pembacaan, penerjemahan, penafsiran, hingga pengambilannya sebagai sumber
rujukan.14 Hanya saja disadari atau tidak pembacaan, penerjemahan, dan penafsiran
dengan menggunakan corak tertentu dan mengabaikan corak lain mengurangi
kualitas penafsiran. Abdul Mustaqim menggunakan ungkapan lain dalam
menjelaskan fenomena ini. Menurutnya, al-Qur’an mengandung banyak
kemungkinan makna (yah}tamil wuju>h al-ma’na>), sehingga membatasi penafsiran

7
M Arwan Hamidi, Dinamisasi Penafsiran al-Quran: Percikan Pemikiran Legal Khaled
Abu el-Fadl, (Ponorogo: Lakpesdam NU, 2010), h. 107
8
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhu>m al-naṣṣ: Dira>sah fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 25.
9
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 79.
10
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h.
33.
11
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhu>m al-naṣṣ: Dira>sah fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 25.
12
Imam Ali ra. mengungkapkan pernyataan ini saat merespon pernyataan “ La> ḥukma
illa Alla>h” ketika terjadi konflik yang bermotif politik serta ideologi di tubuh umat Islam. Ia
menyatakan ini karena hendak menggugat otoritarianisme teks dari lawan politiknya yang
berbicara atas nama Tuhan. Lihat: aṭ-Ṭabari, Ta>ri>kh al-Rasu>l wa Mulu>k, (Kairo: Dar al-
Ma’arif, 1979), jilid 7, h. 48-49.
13
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an; Towards a Contemporary Approach, (New
York: Routledge, 2006), h. 102-103.
14
M. Faisol Fatawi, Tafsir Sosiolingustik: Memahami Huruf Muqatha’ah dalam al-
Qur’an, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), h. 3.

2
ayat dengan satu pengertian, atau satu model paradigma saja merupakan bentuk
reduksi dan distorsi terhadap keluasan kandungan interpretasi al-Qur’an itu sendiri.15
Pertanyaan utamanya adalah, bagaimana secara ilmiah kita menjelaskan,
memahami, dan memaknai teks al-Qur’an. Pertanyaan ini menyangkut aspek-aspek
metodis dan epistemologis yang dibutuhkan dalam memahami dan menafsirkan al-
Qur’an.16 Persoalan epistemologi, menurut Abdul Mustaqim, tidak hanya menjadi
problem dan objek kajian filsafat. Bahkan, menurutnya, menjadi problem seluruh
disiplin keilmuan Islam, termasuk di dalamnya adalah ilmu tafsir.17
Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga
elemen; indra (empirisme), akal (rasionalisme), dan hati (intuisionisme).18 Ketiga hal
ini dalam rumusan Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dikategorikan dengan tiga jenis
formasi epistemologi nalar Arab Islam yang disebut dengan epistemologi baya>ni,
(Explication-Indication/Rhetoric atau linguistic analysis), burha>ni (Demonstration/
Deductive Reasoning) dan ‘irfa>ni (Comprehension/Gnosticism).19 Dengan bahasa
lain, Mulyadi Kartanegara mengemukakan bahwa ketiga elemen ini dalam
praktiknya diterapkan dengan metode berbeda: indra untuk metode observasi
(baya>ni), akal untuk metode logis atau demonstratif (burha>ni), dan hati untuk metode
intuitif (‘irfa>ni). Ketiga epistemologi ini mewarnai perjalanan sejarah disiplin
keilmuan Islam seperti teologi, fikih dan tafsir dan yang lainnya.
Baya>ni adalah metode pemikiran yang didasarkan atas otoritas teks (nas}), baik
secara langsung maupun tidak langsung. Teks suci yang mempunyai otoritas penuh
untuk memberikan arah dan arti kebenaran.20 Dengan demikian, sumber pengetahuan
baya>ni adalah teks, yakni al-Qur’an dan hadis|. Oleh karena itu, menurut al-Jabiri
epistimologi baya>ni menaruh perhatian besar terhadap transmisi teks dari generasi
ke generasi.21 Sebagai sumber pengetahuan, benar tidaknya taransmisi teks
menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil.
Epistemologi ini dalam sejarah tafsir al-Qur’an muncul pada era formatif-
klasik yaitu era Nabi, para sahabat, dan tabiin yang bersifat deduktif, di mana teks
al-Qur’an menjadi dasar penafsiran dan bahasa menjadi perangkat analisisnya,

15
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis: Membaca al-Qur’an dengan Optik
Perempuan, (Yogyakarta, Logung Pustaka, t.th.), h. 19.
16
Islah Gusmian, Epistemologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, dalam Jurnal Al-
A’raf, Vol. XII, No. 2, Juli – Desember 2015, h. 22.
17
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h.
ix.
18
Mulyadi Kartanegara, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Telaah Kritis terhadap
Epistemologi Barat, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 1, No. 3, Juni-Agustus, 1999, h. 63.
19
Lilik Ummi Kaltsum, Al-Qur’an dan Epistemologi Pengetahuan: Makna Semantik
Kata Ra’a, Naz}ar dan Bas}ar dalam Al-Qur’an, dalam Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama
dan Sosial Budaya, Vol. 3, No. 1, Juni 2018, h. 37.
20
Amin Abdullah, Filsafat Islam Bukan Hanya Sejarah Pemikiran dalam Abd Haris
dkk, Epistemologi, h. 68.
21
Ahmad Khudori Soleh, M. Abed Al Jabiri: Model Epistimologi Islam dalam
Pemikiran Islam Kontemporer, (Jogjakarta: Jendela, 2003), h. 233.

3
sedangkan penggunaan rasio dan budaya kritisisme masih minim.22 Karena dominasi
ini, Nas}r Hamid Abu Zayd menilai peradaban Islam sebagai peradaban teks (h}ad}a>rah
al-nas}s}), sedangkan Muhammad Abid al-Jabiri menilai peradaban Islam adalah
peradaban fikih (h}ad}a>rah al-fiqh).
Dengan berlandaskan pada teks, epistemologi baya>ni berarti mencakup
persoalan lafaz-makna dan us}u>l-furu>’. Misalnya, apakah suatu teks dimaknai sesuai
konteksnya atau makna aslinya, bagaimana menganalogikan kata-kata atau istilah
yang tidak disinggung dalam teks suci, dan bagaimana memaknai istilah-istilah
khusus dalam al-sama’ al-shari>’ah, seperti kata salat, s}iyam dan zakat.23
Pengetahuan irfa>ni merupakan lanjutan dari baya>ni, pengetahuan irfa>ni tidak
didasarkan atas teks, tetapi pada kashf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas
oleh Tuhan. Oleh karena itu, pengetahuan irfa>ni tidak diperoleh berdasarkan analisis
teks, tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Menurut Al-Jabiri, pengalaman
kashf tidak dihasilkan melalui proses penalaran intelektual manusia yang mana
manusia dituntut aktif dan kritis, tetapi dihasilkan melalui muja>hadah dan riya>d}ah
(penempaan diri secara moral-spritual).24
Pola fikir yang dipakai oleh kalangan irfa>niyyu>n adalah kerangka dari ba>t}in
menuju yang z}a>hir dari makna menuju lafaz. Ba>t}in bagi mereka merupakan sumber
pengetahuan karena ba>t}in adalah hakikat, sedangkan z{a>hir adalah teks (al-Qur’an dan
hadis|) sebagai pelindung dan penyinar. Irfa>niyyu>n berusaha menjadikan z}a>hir nas}
sebagai ba>t}in.25
Sementara itu, epistemologi burha>ni bersumber pada realitas (al-wa>qi’), baik
realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu yang muncul dari
epistemologi burha>ni disebut ilmu al-H{us}u>li, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan
disistematisasikan hanya melalui premis-premis logika (silogiseme).26
Pendekatan burha>ni menjadikan teks dan konteks sebagai sumber kajian.27
Kedua sumber kajian ini berada dalam satu wilayah yang saling berkaitan. Teks tidak
berdiri sendiri, ia selalu berkaitan dengan konteks yang mengelilingi dan
mengadakannya, dari mana teks itu dibaca dan ditafsirkan.28

22
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2010), h.
44-45.
23
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: Lkis, 2000),
h. 39.
24
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogayakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2008), h. 69.
25
Edmud Husserl, Cartesian, Medelation, The Hague Martinus, (Hy Haff, 1960), hal
271.
26
M. Rasyid Ridho, Epistemologi Islamic Studies Kontemporer, (Jakarta: Karsa,
2006), h. 888.
27
Afifi Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Baya>ni, Irfa>ni dan Burha>ni dalam Ijtihad
Muhammadiyah”, Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1, 2012, h. 54.
28
Mehdi Haeri Yazdi, Ilmu Huduri, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat
Islam, ter. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 1994), h. 51-53.

4
Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah, baya>ni menghasilkan
pengetahuan dari analogi furu>’ kepada yang us}u>l, irfa>ni menghasilkan pengetahuan
lewat proses penyatuan ruhani dan Tuhan, burha>ni menghasilkan pengetahuan
melalui dalil-dalil logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini
kebenarannya.29 Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat, baik
yang wahyu (naqli), rasional (‘aqli) maupun empirikal (h{issi).
Sebagaimana disinyalir oleh Nashr Hamid Abū Zayd, sikap dan wacana
keagamaan terhadap ilmu-ilmu keislaman, khususnya al-Qur’an dan hadis pada masa
pertengahan adalah hanya sikap pengulangan. Hal tersebut terjadi karena banyak
diantara ulama yang berasumsi bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadis termasuk ruang
lingkup ilmu yang sudah matang dan final.30
Dalam telaah epistemologi, sumber pengetahuan atau sumber penafsiran
merupakan aspek penting dalam terbentuknya sebuah bangunan pemikiran. Seorang
pemikir atau penafsir sudah dapat dipastikan butuh akan bahan-bahan yang
digunakan dalam membangun tafsirannya mengenai al-Qur’an.31
Sumber tafsir merupakan sesuatu yang dapat dijadikan acuan dalam
memahami kandungan ayat al-Qur’an. Acuan ini digunakan sebagai penjelas,
perbendaharaan dan perbandingan dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan
menggunakan sumber penafsiran yang autentik, meskipun kebenarannya tidak
mutlak, tetapi hasil penafsiran dapat mendekati maksud yang diinginkan sebuah
ayat. Oleh karena itu, seorang mufassir harus menguasai sumber-sumber penafsiran
yang autentik dan kaidah penafsiran agar ia dapat memahami kandungan ayat al-
Qur’an dengan benar dan komprehensif.32 Oleh karena itu, keautentikan sebuah
sumber penafsiran dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana
kualitas penafsiran.33
Tafsir harus bersumber dari rujukan yang jelas serta memiliki dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik sumber itu berupa al-Qur’an, hadiṡ maupun yang
lainnya.34 Para ulama berbeda pendapat terkait sumber otoritas ini, apakah berupa
wahyu, tradisi yang mapan, hasil pembuktian empiris, atau berupa intelektualitas

29
Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam. h. 385.
30
Nas}ramid Abu Zayd, Mafhūm al-Nas}, Dirāsah fī Ulūm al-Qur’ān, (Kairo: al-Hai’ah
al-Mis}riyyah al-A>mmah li al-Kita>b), h. 13.
31
Fejrian Yazdajird Iwanebel, “Konstruksi Tafsir Muhammad al-Ghazali: Telaah
Epistemologi” (Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2013), h. 108.
32
Ali Muhsin, Sumber Autentik Dan Non-Autentik Dalam Tafsir Al-Qur’an, dalam
Jurnal Religi, No. 1, April 2014, h. 2-3.
33
Muhammad Ulinnuha, Konsep Al-Ashi>l Dan Al-Dakhi>l Dalam Tafsir Alquran,
dalam Jurnal Madania, Vol. 21, No. 2, Desember 2017, h. 128.
34
Metode al-Qur’an menjelaskan (menafsirkan) dirinya sendiri dengan cara: pertama,
tafs}i>l al-mu>jaz, (merinci yang ringkas/global); kedua, baya>n al-mujma>l (menjelaskan yang
belum jelas); ketiga, takhs}i>s} al-‘a>m (mengkhususkan yang umum); keempat, taqyi>d al-mut}laq
(membatasi yang mutlak/tidak terbatas); kelima, penjelasan dengan cara naskh
(penghapusan/penggantian); keenam, al-taufi>q bayna ma> yu>him al-ta‘a>rud}
(mengkompromikan ayat-ayat yang seakan-akan berlawanan); ketujuh, melalui qira>’a>t
(bacaan) al-Qur’an. Lihat: Muhammad Ulinnuha, Konsep Al-Ashi>l dan Al-Dakhi>l dalam
Tafsir Al-Qur’an, dalam Jurnal Madania Vol. 21, No. 2, Desember 2017, 135-136.

5
manusia. Dalam perkembangannya, keempat sumber otoritas ini saling mengisi dan
berdialektika sehingga menjadi sebuah tradisi.
Secara umum, sumber autentik penafsiran al-Qur’an berupa al-Qur’an itu
sendiri, hadiṡ ṣahih, pendapat sahabat35 dan tabiin, kaidah bahasa Arab, dan ijtiha>d
yang berlandaskan pada data, teori, argumentasi dan kaidah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.36 Meskipun sumber-sumber ini dianggap
autentik, tetapi bukan berarti tidak ada perdebatan dikalangan ulama terkait validitas
dan cara kerja penafsirannya.
Salah satu ulama yang kaya dan luas akan sumber penafsiran dan metode
mengolah sumber penafsiran adalah al-Qurṭubi.37 Ia merupakan seorang ahli tafsir,
hadiṡ, dan hukum Islam Maẓhab Maliki. Dengan keahliannya itulah ia banyak
menggunakan sumber dalam menafsirkan al-Qur’an seperti al-Qur’an itu sendiri,
hadiṡ, aspek linguistik, ragam qira’at, sejarah, pandangan mufassir atau ulama
terdahulu,38 dan sumber lainnya. Karya tafsir Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n berisi
banyak informasi yang dikutip dari karya-karya yang ditulis oleh penulis
sebelumnya.
Perlu dilakukan sebuah penelitian tentang sumber-sumber penafsiran al-
Qurṭubi. Namun, sejauh mana al-Qurṭubi mematuhinya dan sejauh mana ia bersikap
kritis terhadapnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah al-Qurt}ubi juga kritis
dalam mengkritik kredensial sumber-sumbernya yang lain sebelum memasukkan
mereka ke dalam magnum opus-nya.
Calder menganalisis bahwa sumber utama yang digunakan al-Qurṭubi dalam
tafsir Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n adalah hadiṡ.39 Kesimpulan ini dikuatkan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Ismail Lala, meneliti bahwa al-Qurṭubi mengungguli
al-Ṭabari dalam pengambilan sumber penafsiran dari Nabi saw. dan generasi
pertama. al-Qurṭubi mengutip dari Nabi saw. sebanyak 215 kutipan, sedangkan al-

35
Mengenai sumber yang menjadi pijakan bagi para sahabat dalam menafsirkan al-
Qur’an, ada 4 (empat) pedoman yang digunakan yaitu; menafsirkan al-Qur’an dengan al-
Qur’an, menafsirkan al-Qur’an berdasarkan Hadis Nabi, menafsirkan al-Qur’an dengan
ijtihad dan menafsirkan al-Qur’an berdasarkan informasi ahli kitab. Lihat, Muhammad
Husain al-Żahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jilid. 1, h. 56-66.
36
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhi>l fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, (Kairo: Matba’ah al-
Hadharah al‘Arabiyah, 1978), Juz I, h.
37
Cristin Zahra Sands, Su>fi Commentaries On The Qur1an In Classical Islam , (New
York: Routledge, 2006), h. 142.
38
Dalam Islam, posisi tradisi keagaamaan dan pendapat ulama sangat fital sebagai
justifikasi dan sekaligus pengikat komunitas keagamaan sejak dari level peribadatan hingga
bangunan keilmuan. Oleh karena itu, dari sudut pandang transedentalime hermeneutik,
kebenaran yang lebih konsisiten justru tertuang dalam teks, bukan dalam diri pengarang yang
kadangkala labil dan situasional. Lihat: Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama,
(Jakarta: Paramadina, 2001), h. 146-147.
39
Norman Calder, Jawid Mojaddedi, Andrew Rippin. Classical Islam: a sourcebook of
religious literature, translated and edited by Andrew Rippin, 1 st ed. (London, New York:
Routledge 2003), h. 97.

6
Ṭabari sebanyak 41 kutipan.40 Penafsiran al-Qurṭubi terkenal dengan sejumlah besar
hadiṡ yang ia sertakan di dalamnya, banyak di antaranya tidak ditemukan di al-
Ṭabari. Al-Ṭabari membatasi hadiṡ dari orang-orang yang secara langsung
mengomentari ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan al-Qurt}ubi memasukkan hadiṡ yang
lain yang juga terkait secara tematis dengan penafsirannya. Meskipun ia kadang-
kadang cermat dalam mengambil keaslian sumber ini, tetapi secara mengejutkan ia
sering menggunakan bahan israiliyat yang lebih kontroversial yang ditemukan dalam
karya-karya Abu Ishaq al-Tha’labi.41 Sebab, ia kurang tertarik untuk menentukan
keaslian riwayat hadiṡ yang ia gunakan.42
Oleh karena itu, ada beberapa unsur al-dakhi>l43 yang ditemukan dalam Tafsir
al-Qurṭubī. Al-dakhi>l ada yang berupa hadiṡ ḍa’i>f atau mauḍu>’ (palsu), sebagian lain
berupa riwayat Israiliyat yang bertentangan dengan nas atau akal sehat, serta hadis
lemah atau palsu yang disandarkan kepada sahabat.44
Sumber-sumber itu tidak hanya berasal dari kalangan mażhab Maliki dalam
menafsirkan ayat hukum, meskipun ia mażhab Maliki, tetapi juga banyak berasal dari
mażhab lain. Menurut penelitian Ismail Lala, diantara imam empat mazhab fikih,
Imam Malik adalah yang paling banyak dikutip oleh al-Qurṭubi sebanyak 46 kutipan,
al-Shafi'i dikutip hampir sebanyak 45 kutipan, diikuti oleh Imam Abu Hanifa 27
kutipan, dan akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal 19 kutipan.45
Ia juga tetap tidak memihak dalam penilaian fikih-nya terlepas dari kenyataan
bahwa ia termasuk dalam aliran yurisprudensi Maliki.46 Alih-alih mengikuti

40
Ismail Lala, An Analysis Of The Sources Of Intepretation In The Commentaries Of
Al-Tabari, Al-Zamakhshari, Al-Razi, Al-Qurṭubi, And Ibn Kathir, dalam jurnal Quranica,
Vol. 2, No. 1, Juni 2012, h. 40.
41
Cristin Zahra Sands, Su>fi Commentaries On The Qur1an In Classical Islam , h. 142.
42
Norman Calder, Jawid Mojaddedi and Andrew Rippin, Classical Islam A sourcebook
of religious literature, (New York: Routledge, 2003), h. 97.
43
Istilah al-dakhi>l dalam kajian tafsir yaitu suatu metode atau cara penafsiran yang
tidak memiliki asal penetapannya dalam Islam, bertentangan dengan ruh Al-Qur’an dan
bertolak belakang dengan akal sehat, sehingga memunculkan pemahaman yang tidak tepat
terhadap Al-Qur’an. Lihat: Abd al-Wahab Fayd, Ad-Dakhi>l fi>Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m,
Kairo:Maṭba’ah al- haḍramiyyah al-‘Arabiyyah, 1993), h. 3.
44
Maryam Shofa, Ad-Dakhi>l dalam Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ahka>m Al-Qur’a>n Karya Al-
Qurṭubi: Analisis Surah
Al-Baqarah, dalam Jurnal Shuhuf, Vol. 6, No. 2, 2013, h. 271.
45
Ismail Lala, An Analysis Of The Sources Of Intepretation In The Commentaries Of
Al-Tabari, Al-Zamakhshari, Al-Razi, Al-Qurṭubi, And Ibn Kathir, dalam jurnal Quranica,
Vol. 2, No. 1, Juni 2012, h. 40-41.
46
Salah satu contoh dari objektifitas ini adalah saat al- Qurṭubi menafsirkan ayat:
ُ ُ
َ ‫وَا ِق ْي ُمواَالص َلوةََواَتواَالزكَوةََو ْاركع ْواَمعََالرَ ِك ِع ْي‬
َ ٣٤َ‫ن‬
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk ,”
(QS. Al-Baqarah [2]: 43).
Dalam masalah anak kecil yang belum baligh menjadi imam shalat berjamaah. Ia
menyebutkan ulama yang tidak memperbolehkan anak yang belum baligh menjadi imam
yaitu Imam Malik dan Imam Aṡ-Ṡauri. Kemudian Imam al-Qurṭubi tidak setuju dengan

7
pandangan atau sekolah individual, betapapun hebatnya pendiri mereka, al-Qurṭubi
mengikuti argumen atau bukti yang meyakinkan,47 sehingga ia dikenal sebagai
mufassir yang membuang jauh-jauh fanatisme dan menghargai perbedaan pendapat
para ulama48, ia sering berbeda pendapat dengan imam mażhabnya sendiri,49 dengan
melakukan tarjih terhadap pendapat yang ia anggap benar.50 Menurut al-Żahabi, al-
Qurṭubi dalam tafsirnya merupakan tokoh yang tidak terikat oleh mażhab apapun,
analisisnya teliti, solutif dalam menyikapi perbedaan dan perdebatan, ia menggali
tafsirnya dari berbagai segi, dan ia cakap dalam segala bidang ilmu yang berkaitan
dengannya.51 Ia pun dikenal sebagai ulama yang independen dan objektif.
Pendekatan al-Qurṭubi terhadap al-Qur’an yang bersifat normatif juga meluas
ke “pemikiran dan praktik [teologis] yang dapat diterima”, dan meskipun ia kurang
tertarik pada masalah-masalah teologis dibandingkan al-Razi, misalnya, sejumlah
besar hal-hal yang berhubungan dengan kredo dibahas dalam Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-
Qur’a>n dan karya-karya lainnya oleh al-Qurṭubi.52 Namun, hal ini kurang
dieksploitasi padahal dapat digunakan untuk lebih memahami konteks ideologis
andalus-Muwahhidun dari mana penulis muncul.
Ia juga dikenal sebagai mufassir yang sangat kritis terhadap aliran-aliran
teologi yang dianggap menyimpang seperti Mu’tazilah, Qaramiṭah, Karamiyah53 dan

pendapat Imam Malik tersebut dengan menyebutkan hadiṡ riwayat Imam al-Bukahri tentang
Amr Ibn Salamah yang masih kecil (usianya saat itu 6 atau 7 tahun) menjadi imam shalat
bagi kaumnya. Ia juga menyebutkan sejumlah ulama yang sependapat dengannya seperti
Hasan al-Baṣri dan Ishaq Ibn Rahawaih. Lihat, Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n,
jilid 19, h. 37-39.
47
Muhammad Ashraf Ebrahim Dockrat, Al-Qurṭubi’s Tafsi>r Of Su>rah Ya>si>n (Disertasi
Universitas Rand Afrikaans University, 1995), h. 142.
48
Munculnya interpretasi Al-Ja>mi’ Li Ahka>m Al-Qur’a>n oleh Imam al-Qurṭubi di
pertengahan abad ke-7 Hijrah merupakan bentuk pembaharuan pemikiran pada unsur
keterbukaan yang mewakili suara para ulama Maliki pada era itu karena pemerintah
Muwahhidun telah mengambil sikap yang lebih demokratis dalam memberdayakan ilmu
pengetahuan, kebebasan berpikir, dan produksi fungsi-fungsi pikiran, padahal pemerintahan
sebelumnya (pemerintahan Murabiṭun) sangat panatik terhadap Mazhab Maliki. Lihat:
Muhamad Alihanafiah Norasid dan Mustaffa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir Di Andalus
Pada Era Kerajaan Muwahhidun (540H/1142M – 667H/1268M): Satu Tinjauan Awal, dalam
Jurnal Al-Tamaddun, No. 7, vol. 1, 2012, h. 55.
49
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabah Al-Safa, 2005), h. 5.
50
Fahd al-Rumi, Manhaj al-Madrah al-Andalusiyyah fi al-Tafsi>r: Syifa>tuhu wa
Khasya>`isuhu, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1997), h. 14.
51
Muhammad Husain al-Żahabi, Al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n, Jilid 2, (Kairo: Darul
Hadiṡ, 2005 ), h. 407.
52
Cristin Zahra Sands, Su>fi Commentaries On The Qur’an In Classical Islam, h 143.
53
Sekte Karamiyah berpendapat bahwa iman cuku dengan lisan, meskipun tidak
meyakini dengan hati. Al-Qurṭubi membatah pendapat tersebut saat menafsirkan ayat:
ْ ُ ْ ْ ُ ُ ْ
َ ٨ََ‫لَاَمناَ ِباللَ ِهََو ِبالي ْو ِمََالاَ ِخ ِرََوماَه َْمَ ِب ُمؤ ِم ِن ْين‬
َ ‫نَيق ْو‬
َ ‫اسََم‬
ِ ‫و ِمنََالن‬

8
Khawarij. Oleh karena itu, di bidang kontribusi ilmiah, al-Qurṭubi dikenang karena
kritik konstruktifnya.54 Menariknya, pendekatan yang dilakukan oleh al-Qurṭubi ini
sama sekali tidak mengurangi kontribusi besar yang dilakukan oleh para mufassir
terkenal, baik pendahulunya maupun orang-orang sezamannya.
Selain sumber penafsiran, menafsirkan al-Qur’an membutuhkan ṭari>qah al-
tafsi>r (metode menafsirkan al-Qur’an). Penggunaan metode yang tepat akan
menghasilkan produk tafsir yang berkualitas. Sebaliknya, penggunaan metode yang
salah akan melahirkan kesalahan dalam penafsiran.55 Metodologilah yang
menghasilkan sebuah produk penafsiran.56 Dengan demikian, betapapun teks yang
ditafsirkan adalah suci, tetapi hasil interpretasinya sudah tidak suci lagi. Sebab,
sebuah interpretasi merupakan usaha pemikiran manusia, sehingga hasilnya tidak
lagi “aṣli ila>hiyyah”, tetapi bersifat insa>niyyah. Manusia merupakan makhluk yang
terbatas dan relatif, sehingga apapun yang diproduksi oleh manusia menjadi relatif
dan terbatas.57 Menilai sebuah penafsiran hendaknya bertolak dari asumsi bahwa
tafsir merupakan sebuah pengetahuan, sehingga penilaiannya, baik metode maupun
penafsirannya, berdasarkan kedekatan sebuah teks dengan fakta empiris yang
melingkupinya, kedekatan pernyataan seorang mufassir dengan fakta yang terjadi,
dan juga berdasarkan usaha penafsiran dalam mencapai makna, hukum, serta fungsi
implikasi penafsiran.58 Oleh karena itu, karya tafsir sangat terbuka untuk diteliti agar
dapat diketahui sejauh mana ia menafsirkan al-Qur’an, sumber apa yang ia gunakan
dan metode apa yang ia gunakan dalam menelaah sumber tersebut sehingga menjadi
sebuah pemahaman atas suatu ayat.
Metode yang digunakan oleh seorang mufassir dalam menelaah sumber
penafsiran sangat penting dalam menentukan kualitas sebuah penafsiran. Metode ini
juga menjadi salah satu faktor terjadinya perbedaan penafsiran dikalangan ulama.
Langkah-langkah al-Qurthubi dalam menafsirkan al-Qur’an adalah, pertama,
ia memberikan kupasan dari segi bahasa; kedua, menyebutkan ayat lain dan hadiṡ
yang berkaitan dengan ayat yang ia tafsirkan; ketiga, mengutip pendapat ulama
untuk menjelaskan permasalahan yang sedang dibahas; keempat, mendiskusikan
pendapat para ulama beserta argumentasinya, lalu melakukan tajih dan mengambil

“Dan di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’
padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 8).
Ia menyatakan bahwa ayat ini membantah pendapat tersebut. Aliran Karamiyah,
menurut al-Qurṭubi telah mengabaikan al-Qur’an dan sunnah yang menyatakan bahwa iman
harus dengan ucapan, perbuatan, dan keyakinan hati. Lihat, Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Ahka>m
Al-Qur’a>n, jilid 1, h. 193.
54
Muhammad Ashraf Ebrahim Dockrat, Al-Qurṭubi’s Tafsi>r Of Su>rah Ya>si>n (Disertasi
Universitas Rand Afrikaans University, 1995), h. 143.
55
M. Yunan Yusuf, Metode Penafsiran Al-Qur'an Tinjauan atas Penafsiran Al-Qur’an
secara Tematik, dalam Jurnal Syamil, h. 58.
56
Wardani, Metodologi Tafsiral-Qur’An Di Indonesia, h. 11
57
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 18.
58
Muhammad Julkarnain, “Fregmentasi Tafsir Surah Al-‘Alaq Berbasis Kronologi,”
Jurnal Religia, Vol. 18, No. 4 Bulan Oktober, 2015, h. 131.

9
hujjah yang paling kuat; kelima, menolak pendapat yang tidak sesuai dengan
pemahamannya.59
Salah satu cara yang digunakan oleh al-Qurṭubi dalam mengolah sumber
penafsiran adalah dengan cara tarjih60. Hal ini terlihat saat Al-Qurṭubi menafsirkan
ayat:
ْ ُ ْ ًّ
ْ ُ
َ َ‫اَفدا ًّۤءَحتىَتضعَالحربَاوزارها‬
ْ ِ َ‫ف ِاماَمناَۢبعدَواِ م‬
“Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka
atau menerima tebusan sampai perang berakhir.” (Q.S. Muhammad [47]: 4).
Setelah menyebutkan lima pendapat terkait penafsiran ayat ini61, Imam al-
Qurṭubi menukil pendapat al-Nuhas bahwa pendapat yang ḥasan (baik) adalah ayat
ini dan ayat perintah membunuh orang kafir62 merupakan ayat yang muhkam dan
keduanya dapat diamalkan. Sebab, menurutnya, “Naskh dapat dilakukan hanya pada

59
Manna’ Khalil al-Qaṭṭan, Maba>ḥiṡ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Mansyurat al-‘Aṣr
al-Hadis, 1973), h. 380-381.
60
Dua macam ikhtilaf ini harus dilakukan tarjih. Jika ikhtilafnya berupa ikhtilaf taḍa>d,
maka tarjih berfungsi untuk menjelaskan penafsiran yang benar. Jika ikhtilfnya berupa
ikhtilaf tanawwu’, maka tarjih berfungsi menjelaskan penafsiran yang lebih utama, meskipun
penafsiran yang lain masih kandungan sebuah ayat. Sementara itu, penafsiran yang sudah
menjadi ijmak ulama, maka tidak perlu dilakukan tarjih lagi. Tarjih dilakukan dengan
mengutamakan salah satu hujjah yang lebih kuat dari yang lainnya, karena adanya
keistimewaan yang mengharuskan hujjah tersebut dipilih.
61
Menurut Al-Qurṭubi ada lima pendapat terkait penafsiran ayat ini: pertama,
pendapat Qatadah, al-Ḍahaq, al-Sudi, Ibn Juraij dan Ibn Abas. Yang dimaksud orang kafir di
ayat ini adalah penyembah berhala. Ayat ini telah dinaskh oleh ayat “ Maka bunuhlah orang-
orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, (QS: Al-Tawbah [9]: 5).” Dengan
demikian, menurut pendapat ini, orang kafir yang ditawan dalam peperangan tidak boleh
membayar fidyah ataupun ditawan; kedua, pedapat mażhab Abu Hanifah dan al-Hakam. Yang
dimaksud orang kafir di ayat ini adalah semua orang kafir. Menurut mereka ayat ini juga telah
dinaskh oleh surah al-Tawbah ayat 5; ketiga, pendapat al-Ḍahak, ayat ini menasakh surah Al-
Tawbah ayat 5. Oleh karena itu, orang musyrik tidak boleh dibunuh, tetapi membayar fidyah
atau ditawan; keempat, Sa’id Ibn Jubair berpendapat, tidak boleh meminta tebusan atau
membebaskan tawanan perang kecuali setelah musuh dapat dilumpuhkan atau diperangi,
sebagaimana firman Allah swt.: “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi, (QS. Al-Anfal [8]: 67)”. Jika setelah
itu ditawan, maka seorang pemimpin boleh memilih, antara dibunuh atau yang lainnya;
Kelima, ayat ini muhkam. Seorang pemimpin boleh memilih dalam setiap keadaan, antara
membunuh, membebaskan, atau menyuruh tawanan perang membayar fidyah. Lihat, Al-
Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Ahka>m Al-Qur’a>n, jilid 19, h. 145-147.
62
Ayat tersebut adalah firman Allah swt.:
ُ ُْ ُ ْ ْ ْ ُُ ْ
َ َ‫فاقتلواَال ُمش ِر ِك ْينَحيثَوجدت ُم ْوه ْم‬
“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka , (Q.S:
Al-Tawbah [9]: 5).”

10
ayat yang meyakinkan dan dimengerti (qa>ṭi’). Jika dua ayat dapat diamalkan
keduanya, maka tidak boleh dilakukan naskh”.63
Imam al-Qurṭubi menguatkan pendapatnya ini dengan perbuatan Nabi saw.
dan khulafaur Rasyidin yang mengamalkan kedua ayat tersebut. Nabi saw.
menghukum mati Uqbah bin Abu Mu’aiṭ dan Al-Naḍr bin Al-Hariṡ pada perang
Badar, tentara yang lainnya membayar fidyah, sedangkan Abu Urwah Al-Jamhi
dibebaskan secara Cuma-cuma.64
Berdasarkan hal ini, fokus tulisan ini adalah epistemologi penafsiran yang
diterapkan oleh al-Qurṭubi dalam kitab tafsir Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n dan
relevansinya terhadap epistemologi penafsiran pada Abad pertengahan.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada beberapa permasalahan
yang dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:
a. Urgensi mengungkap makna al-Qur’an secara objektif.
b. Wacana epistemologi tafsir al-Qur’an dalam mempengaruhi produk
tafsir.
c. Keauntentikan sumber penafsiran al-Qur’an.
d. Epistemologi penafsiran agar dapat menghasilkan sebuah penafsiran
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
e. Relevansi epistemologi penafsiran al-Qurt}ubi tersebut terhadap
perkembangan epistemologi pada abad pertengahan.
f. Prinsip, prosedur dan aplikasi epistemologi penafsiran dalam kitab Al-
Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, rumusan pokok maslah
penelitian ini adalah “bagaimana epistemologi penafsiran tafsir Al-Ja>mi’ Li
Aḥka>m Al-Qur’a>n” dan apa relevansi terhadap epistemologi tafsir abad
pertengahan.”
Rumusan masalah ini dapat dijabarkan ke dalam dua buah pertanyaan:
pertama, bagaimana epistemologi penafsiran al-Qurt}ubi dalam menafsirkan al-
Qur’an dalam kitab Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n? Kedua, apa relevansi
epistemologi penafsiran al-Qurt}ubi tersebut terhadap perkembangan
epistemologi tafsir abad pertengahan?
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini fokus pada dua
aspek: pertama, aspek pembahasan, penelitian ini hanya terbatas pada
epistemologi penafsiran al-Qurt}ubi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hukum
dan teologis65. Penulis hanya mengambil beberapa ayat yang menjadi

63
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n, jilid 19, h. 247.
64
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n, jilid 19, h. 246-247.
65
Ayat-ayat teologis yang dimaksud dalam tesis ini adalah ayat al-Qur'an yang
tergolong ayat-ayat tentang Tuhan, tercakup di dalamnya sifat dan perbuatan Tuhan; dan

11
refresentasi dari kedua tema tersebut. Kedua, aspek sumber data yang
digunakan, penelitian ini terbatas pada tafsir “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n?”
karya al-Qurt}bi, karena ini merupakan karya tafsir yang banyak menggunakan
sumber penafsiran, sehingga perlu diketahui epistemologi penafsirannya.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diformulasikan di bagian
sebelumnya, maka tujuan penulis dalam penyusunan tesis ini adalah untuk
menganalisis metodologi al-Qurt}ubi dalam menggunakan sumber dalam menafsirkan
al-Qur’an dan menganalisis epistemologi penafsiran al-Qurt}ubi dalam kitab al-Ja>mi’
li Ah{ka>m al-Qur’a>n yang merupakan tafsir abad pertengahan.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang akan diperoleh dari hasil ini, yaitu: pertama,
Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan metodologi alternatif
untuk mengolah sumber penafsiran al-Qur’an, sehingga dapat menghasilkan sebuah
produk tafsir yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kedua, Hasil riset
ini sangat penting bagi para akademisi karena riset ini akan mengungkap
epistemologi yang digunakan oleh al-Qurt}ubi dalam kitab “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-
Qur’a>n”, sehingga epistemologi ini dapat digunakan dalam upaya menafsirkan al-
Qur’an agar lemih cermat sesuai dengan perkembangan zaman.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Tafsir “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n” telah menjadi referensi dalam
memahami ayat-ayat al-Qur'an tidak hanya oleh publik, tetapi juga para sarjana
kontemporer yang telah menggunakannya sebagai bahan pengajaran. Karya yang tak
ternilai ini telah memberikan kontribusi pada pengetahuan masyarakat luas sehingga
para sarjana tertarik untuk mempelajari dan meneliti karya ini dari berbagai aspek
seperti sejarah, bahasa, pengaruh, dan status penulis.
Penelitian tentang teknik pengolahan sumber penafsiran al-Qur’an yang
dilakukan oleh al-Qurṭubi dalam tafsir “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n” tidak
penulis temukan. Sejauh pelacakan yang telah penulis lakukan terhadap kajian yang
relevan terkait tafsir “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n”, setidaknya penulis
menemukan beberapa penelitian:
Penelitian yang dilakukan oleh Ismail Lala dengan judul “An Analysis Of The
Sources Of Intepretation In The Commentaries Of Al-Ṭabari, Al-Zamakhshari, Al-
Razi, Al-Qurṭubi, And Ibn Kaṡir” di jurnal Qurania. Penelitian ini dilakukan pada
tahun 2012. Ismail Lala meneliti sumber penafsiran bil al-ma’ṡur yang digunakan
oleh Al-Ṭabari, Al-Zamakhshari, Al-Razi, Al-Qurṭubi, dan Ibn Kaṡir dalam kitab
tafsir mereka, karena mereka meyakini otoritas penafsiran al-Qur’an adalah al-
Qur’an itu sendiri, Nabi saw., sahabat dan tabi’in. Metode yang digunakan oleh sang
peneliti adalah dia memilih sampel dua puluh halaman per volume dari semua karya.

selain tentang Tuhan, misalnya 'arsh, surga, neraka, malaikat, dan al-lauḥ al-maḥfu>ẓ.
Singkatnya, ayat-ayat ini berkaitan dengan sesuatu yang berada di luar jangkauan
pengalaman manusia. Lihat, Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a
Contemporary Approach, (New York: Routledge, 2006), h. 91

12
Halaman dalam setiap volume dipilih secara acak. Hasil dari penelitian ini hanya
menunjukkan sumber teratas di setiap tafsir. Kesimpulan penelitian ini adalah,
meskipun semua mufassir ini setuju al-Qur’an harus ditafsirkan oleh Nabi saw., para
sahabatnya, dan Tabi'in, hanya Ibnu Katsir, dan pada tingkat yang lebih rendah, al-
Qurṭubi dan al-Ṭabari, yang secara sah dapat mengklaim telah benar-benar
mematuhi ini. Menarik juga untuk dicatat bahwa Nabi saw., meskipun dengan suara
bulat dipandang sebagai penafsir al-Qur’an yang definitif, memainkan peran kecil
dalam penafsiran-penafsiran ini (terlepas dari tafsir Ibnu Katsir). Ibn ‘Abbas, di sisi
lain, menegaskan posisinya sebagai “Imam al-Mufassirin” karena ia adalah Sahabat
Nabi yang paling banyak dikutip oleh para penafsir ini. Mujahid dan al-Hasan al-
Basri menonjol sebagai dua penafsir dari generasi ketiga yang paling banyak dikutip.
Penelitian yang dilakukan oleh Lukman “ Al-Qira’at dalam Tafsir al-Qurtubi
dan Kontribusinya terhadap Penetapan Hukum Fikih (Kajian tentang Ayat-ayat
Taharah)”. Penilitian ini diajukan oleh penulis untuk memperoleh gelar magister
dalam bidang tafsir di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada tahun
2014. Masalah pokok yang dikemukakan dalam tesis ini adalah masalah qira’at
dalam tafsir al-Qurṭubi dan kontribusinya terhadap penetapan hukum fikih. Hasil
dari penelitian ini adalah, corak tafsir al-Qurṭubi yang bernuansa fikih banyak
mengungkapkan ragam qira’at. Ia berusaha menjelaskan hubungan antara qira’at
dengan fikih. Adanya ragam qira’at dalam tafsirnya ini memiliki pengaruh terhadap
penetapan hukum fikih. Hal ini terlihat di beberapa penafsiran al-Qurṭubi terhadap
beberapa ayat yang memuat beragam qira’at. Di antaranya adalah, QS. al-Baqarah
ayat 222, QS. al-Nisa’ ayat 43, dan QS. al-Ma’idah/5: 6.
Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Manaf dengan judul “Studi komparatif
terhadap metode tafsir al-Jaami' li ahkaam Al-Qura>n karya Imam Al-Qurthubi
dengan tafsir ahkaam al-Qura>n karya Al-Jashshaash”. Penilitian ini diajukan oleh
penulis untuk memperoleh gelar magister dalam bidang tafsir di UIN Sunan Gunung
Djati Bandung pada tahun 2012. Penelitian ini berusaha membandingkan antara
metode tafsir al-Ja>mi' li Aḥka>m al-Qur’a>n karya al-Qurṭubi dan tafsir Aḥka>m al-
Qur’a>n karya al-Jaṣṣaṣ. Hasil penelitian ini adalah, metode kedua tafsir di atas
menggunakan metode tahlili, ciri utamanya adalah, pola penafsiran kedua tafsir ini
berdasarkan urutan surah dalam mushaf, dimulai dari al-fa>tiḥah hingga al-na>s,
meskipun tidak semua surah ditafsirkan sebagaimana dalam Aḥka>m al-Qur’a>n karya
al-Jaṣṣaṣ. Corak kedua tafsir ini adalah tafsir bercorak fikih. Oleh karena itu, tafsir
Aḥka>m al-Qur’a>n karya al-Jaṣṣaṣ hanya menafsirkan surah dan ayat yang berkaitan
dengan ayat hukum saja, sedangkan tafsir al-Ja>mi' li Aḥka>m al-Qur’a>n karya al-
Qurṭubi menafsirkan semua ayat al-Qur’an, hanya saja forsi penafsiran terhadap ayat
hukum lebih banyak dari pada ayat lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Zainal Abidin dengan judul
“Epistemologi tafsir Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n Karya al-Qurṭubi, di dalam
jurnal Kalam pada tahun 2017. Tulisan ini menemukan bahwa basis epistemologi al-
Qurṭubi adalah perpaduan antara bi al-ma’ṡu>r dan bi al-ma’qu>l, perpaduan antara
tekstual dan kontekstual. al-Qurṭubi mengemukakan banyak perspektif sebelum ia
memilih pendapat yang ia anggap benar, tanpa ada kesan ia fanatik terhadap
mażhabnya sendiri.

13
Tesis dengan judul “Manha>j Al-Qurṭubi Fi> Al-Qira>’a>t Wa Aṡa>ruha> Fi>
Tafsi>rihi” karya Jamal Abdullah Abu Salhub. Tesis ini berisi metode al-Qurṭubi
dalam menisbatkan qira’ah kepada imam qira’ah dan juga menjelaskan pengaruh
qira’ah di dalam tafsirnya. Ia menyimpulkan bahwa al-Qurṭubi dalam tafsirnya
menggunakan qira’ah yang mutawatir dan meninggalkan qira’ah yang shaż, ia
mentarjih qira’ah yang mutawatir dengan cara elegan tanpa melemahkan atau
mengurangi nilai qira’ah yang lain. Metode yang digunakan Al-Qurṭubi dalam
mentarjih perbedaan qira’ah adalah dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu
seperti nahwu, ṣaraf, balaghah, qira’ah mayoritas, dan juga melengkapinya denga
hujjah dari al-Qur’an, hadiṡ, dan shair.
Tesis dengan judul “Kisah-Kisah Isra>’i>liyya>t dalam Tafsir al-Ja>mi’ li Aḥka>m
al-Qur’a>n Karya al-Qurṭubi” ditulis oleh Suprapto di Pascasarjana IAIN
Tulungagung pada tahun 2018. Hasil penelitian tesis ini adalah, pertama, kisah-
kisah Isra>’i>liyya>t dalam Tafsir “Al-Ja>mi’ li Aḥka>m al-Qur’a>n” ada beberapa macam
yaitu: kisah Isra>’i>liyya>t yang sesuai dengan ajaran Islam; Kisah Isra>’i>liyya>t yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam; dan Kisah- Isra>’i>liyya>tt yang al-Qurṭubi diamkan,
artinya bisa benar atau salah; kedua, al-Qurṭubi menafsirkan ayat tentang kisah
terdahulu sering menukil riwayat Isra>’i>liyya>t, sehingga ia disebut juga ulama salaf.
Al-Qurṭubi terkadang mengkomentari dan terkadang membiarkan begitu saja kisah
Isra>`i>liyya>t yang ia sebutkan di dalam tafsirnya; ketiga, sebagian riwayat Isra>’i>liyya>t
ada yang bersanad sehingga menguatkan penafsiran atas sebuah ayat, dan ada juga
yang tidak memiliki sanad.
Buku yang berjudul “Al-Qurt{u>bi H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi al-Tafsi>r” karya Dr. Miftah al-Sanusi Bal’am yang terbit pada tahun
1998 di Benghazi. Penulis di dalam bukunya ini menjelaskan metode al-Qurt{ubi
dalam menyusun kitab Al-Ja>mi’ li Ahkam al-Qur>an dan juga menjelaskan metode
penafsiran Al-Qurt{ubi secara umum dan memberikan contohnya, seperti al-Qurt{ubi
menggunakan metode tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, lalu penulis memberikan
contah dari ayat al-Qur’an secara acak; al-Qurt{ubi menggunakan metode tafsir al-
Qur’an dengan hadis, lalu penulis memberikan contohnya. Penelitian metode
penafsiran al-Qurt{ubi yang dilakukan oleh Dr. Miftah Sanusi Bal’am ini masih
sangat global, ia tidak menjelaskan teknis aplikasi dari metode tersebut. Tentu
penelitian ini berbeda dengan yang penulisa teliti dalam tesis ini dari beberapa
aspek: pertama, penulis meneliti tafsir AL-Ja>mi’ Li Ahkam al-Qur’an dari tiga
aspek, yaitu sumber, metode, validitas penafsiran; kedua, penulis menjelaskan teknis
pengaplikasian metode penafsiran al-Qur’an oleh al-Qurt{bu, seperti mut{laq dan
muqayyad, ‘A>m dan kha>sh dan lain-lain; ketiga, penulis juga meneliti metode yang
al-Qurt{ubi gunakan saat ia memilih pendapat yang ia anggap benar saat terjadi
perbedaan penafsiran diantara para mufassir.
Penelitian tentang “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n” karya Imam al-Qurṭubi di
atas berbeda dengan penelitian penulis dalam tesis ini. Penelitian pertama
membahas kontribusi penafsiran dengan qira’at terhadap penetapan hukum fikih.
Penelitian kedua berusaha mengkomparasi metode tafsir antara al-Qurṭubi dengan
al-Jaṣṣaṣ. Penelitian ketiga meneliti epistemologi “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n”
karya Imam Al-Qurṭubi yang menyimpulkan bahwa epistemologi tafsir tersebut

14
adalah perpaduan antara bi al-ma’ṡu>r dan bi al-ma’qu>l. Penelitian keempat meneliti
tentang pengaruh qira’at terhadap kitab “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n”. Penelitian
kelima meneliti kisah-kisah Isra>`i>liyya>t yang ada di dalam kitab “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m
Al-Qur’a>n”. Tentu saja kelima penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan
penulis lakukan karena penelitian ini berusaha meneliti epistemologi penafsiran al-
Qurṭubi pada khususnya dan epistemologi abad pertengahan pada umumnya.
Berdasarkan penelitian dari semua riset yang telah penulis review, dapat
penulis simpulkan secara ringkas temuan-temuan dari riset tersebut:
1. Al-Ṭabari, Al-Zamakhshari, Al-Razi, Al-Qurṭubi, dan Ibn Kaṡir
memberikan forsi yang berbeda dalam penggunaan sumber penafsiran
yang berasal dari Al-Qur’am, Nabi saw., sahabat, dan Tabi’in di dalam
tafsir mereka, meskipun mereka sepakat semua itu merupakan sumber
utama penafsiran.
2. Ragam qira’at dalam tafsir “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n” memiliki
pengaruh terhadap penetapan hukum fikih.
3. Tafsir “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n”menggunakan metode tahlili dan
bercorak fikih.
4. Basis epistemologi al-Qurṭubi “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n” adalah
perpaduan antara bi al-ma’ṡu>r dan bi al-ma’qu>l, perpaduan antara tekstual
dan kontekstual.
5. al-Qurṭubi dalam tafsirnya menggunakan qira’ah yang mutawatir dan
meninggalkan qira’ah yang shaż. Metode yang digunakan Al-Qurṭubi
dalam mentarjih perbedaan qira’ah adalah dengan menggunakan berbagai
disiplin ilmu seperti nahwu, ṣaraf, balaghah, qira’ah mayoritas, dan juga
melengkapinya denga hujjah dari al-Qur’an, hadiṡ, dan shair
6. Al-Qurṭubi menafsirkan ayat tentang kisah terdahulu sering menukil
riwayat Isra>’i>liyya>t, hanya saja ada beberapa riwayat isra’iliyyat yang
tidak ia komentari statusnya.
Temuan-temuan dari hasil penelitian terhadap “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-
Qur’a>n” menunjukkan masih ada gap dalam masalah epistemologi penafsiran “Al-
Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n” yang sangat penting untuk diteliti. Sebab, epistemologi
penafsiran sangat menentukan kualitas sebuah penafsiran, bahkan sangat
menentukan sebuah penafsiran salah atau benar.
F. Metode Penelitian
Setiap penelitian ilmiah membutuhkan sebuah metode agar penelitian dapat
terlaksana dengan terarah dan rasional, sehingga hasil yang optimal dapat tercapai.66
1. Bentuk Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam tesis ini penelitian pustaka
(Library research) karena penelitian ini mengkaji pemikiran seorang tokoh yang
hidup pada masa lampau. Data dalam tesis ini diperoleh dari pengkajian
terhadap bahan kepustakaan yang terkait dengan pembahasan,67 yang terdiri dari

66
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h. 10.
67
Winarno Surakhmad, Pengantar Metode Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito,
1982), h. 132.

15
buku, jurnal, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sumber lainnya yang terkait
dengan tema penelitian.
Penulis menggunakan analisis isi (content analysis) yang bersifat
kualitatif, biasa disebut juga analisis wacana68, untuk mengolah dan
menganalisi data-data yang ada di dalam kitab “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n”.
Analisis wacana digunakan dalam penelitian ini karena untuk mencari
bagaimana sebuah produk tafsir dikatakan, bukan apa yang dikatakan oleh
sebuah produk tafsir.
2. Sumber Data
Karena penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan, maka penulis
membagi sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu:

a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-
Qur’a>n” karya Imam Al-Qurṭubi. Kitab ini dipilih karena ini merupakan kitab
tafsir karya al-Qurṭubi yang lengkap tiga puluh juz.
b. Data Sekunder
Data-data sekunder akan digali dari tiga kategori sumber berikut:
pertama, litertur tentang Al-Qurṭubi, terutama yang mengkaji pemikirannya
dalam bidang tafsir, seperti kitab “Al-Qurṭubi ḥaya>tuhu w a>ṡa>ruhu Al-
Ilmiyyah wa Manhajuhu fi Al-Tafsi>r” karya Dr. Miftah Al-Sanusi Al-
Bal’am; kedua, buku yang memuat pemikiran al-Qurt{ubi dalam menafsirkan
Al-Qur’an seperti al-Tiżka>r fi>Afḍa>l al-Ażka>r karya al- Qurṭubi. Ketiga,
Literatur lain yang relevan dengan penelitian ini, seperti sejarah islam, ilmu
bahasa, fikih dan lain-lain. Data sekunder yang dikumpulkan mencakup
beberapa aspek, yaitu, basis dan sumber otentik tafsir, problematika
pemaknaan al-Qur’an, dan pemikiran Al-Qurṭubi.
3. Metode Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka salah satu
metode pengumpulan datanya adalah metode dokumentasi.69 Metode
dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen pribadi maupun
dokumen resmi yang didapatkan dari kepustakaan.
4. Metode Analisis Data
Metode analisa yang penulis gunakan adalah metode deskriptif-analitik,
yaitu bentuk penelitian yang melakukan proses pengumpulan dan penelitian
data, lalu data yang telah dikumpulkan dan disusunan tersebut dianalisis
sehingga dapat diperoleh data yang komprehensif dan jelas. Penulis

68
Analisis wacana merupakan sebuah analisis yang berusaha mencari sebuah data
dikatakan (how), bukan apa yang dikatakan (what). Lihat: Bagon Suyanto dan Sutimin,
Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 129.
69
Penelitian kualitatif memiliki beberapa metode pengumpulan data, di antaranya
adalah metode wawancara, dokumenter, observasi, bahan visual, dan penelusuran online. Lihat
H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif ,(Jakarta: Kencana, 2012), h. 110-130.

16
menggunakan analisis deskriptif dengan metode studi tokoh70, diharapkan
penelitian ini memperoleh sebuah pemahaman yang komprehensif tentang al-
Qurṭubi, penulis mengeksplorasi tiga aspek interpretasi al-Qurt}ubi: sumber,
metode, dan validitas interpretasi.
5. Pendekatan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini menggunakan pendekatan teoritik-
filosofis. Disebut filosofis karena penelitian ini berusaha mengungkap subtansi
pemikiran seorang tokoh baik aspek ontologis, epistemologis, maupun
aksiologis.71 Penelitian ini juga disebut teoritik karena penelitian ini membahas
epistemologi penafsiran al-Qur’an yang terdiri dari sumber, metode dan
validitas penafsiran.
G. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini tersusun sistematis, maka penulis membagi penelitian ini
ke dalam lima bab yang setiap babnya saling mendukung untuk memperoleh
penelitian yang sesuai dengan tujuan dari penelitian ini:
Bab pertama, adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
permasalahan, yang terdiri dari latar identifikasi masalah, perumusan masalah, dan
pembatasan masalah; tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian,
penelitian dahulu yang relevan, metodologi penelitian yang terdiri dari bentuk
penelitian, sumber data \, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan
pendekatan penelitian; dan terakhir sistematika pembahasan.
Bab dua, di bab ini penulis akan mendiskusian problematika epistemologi ilmu
pengetahuan yang terdiri dari epistemologi baya>ni, irfa>ni, dan burha>ni., yang terdiri
dari sumber, metode, dan validitas penafsiran. Kajian ini penting untuk memetakan
epistemologi penafsiran al-Qur’an dalam dunia Islam yang dapat mempengaruhi
produk penafsiran itu sendiri.
Bab tiga, membahas tentang biografi Imam al-Qurṭubi. Sebab, tidak ada tafsir
yang dapat dipisahkan dari penulisnya. Pengarang adalah bagian dari tafsir.
Pengetahuan tentang latar belakang penulis, masa di mana ia bekerja dan
berkembang, sangat penting untuk memahami dan menganalisis aspek-aspek
tafsirnya yang lebih halus. Ini sangat penting karena mufassir menjelaskan al-Qur’an
sesuai dengan konteks pada masanya, sehingga tafsir dapat bermanfaat bagi
pembaca. Oleh karena itu, di bab ini penting untuk membahas biografi al-Qurt}ubi.
Di bab ini akan dipaparkan Qurt{ubi sebagai produk dari konteks politik, ideologis,
dan intelektual Andalus yang terdiri dari beberapa sub bab: pertama, Kondosi
Andalusia pada masa Al-Qurt}ubi yang terdiri dari dinamika sosial-politik dan
dinamika keilmuan serta pengaruhnya terhadap al-Qurt{ubi. Kedua, Kelahiran dan
Kehidupan Intelektual Imam Al-Qurt}ubi, yang terdiri dari riwayat hidup Al-Qurt{ubi
dan Kehupan Intelektual Al-Qurt}ubi

70
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Quran dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press.
2015), h. 27.
71
Rob Fisher, Pendekatan Filosofis, dalam Aneka Pendekatan Studi Agama, (Lkis:
Yogyakata, 2006), h. 173-176.

17
Bab empat, penulis akan meneliti epistemologi tafsir al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-
Qur’a>n. Bab ini bertujuan untuk melihat bagaimana epistemologi yang digunakan al-
Qurt}ubi dalam menafsirkan al-Qur’an. Penulis akan meneliti epistemologi al-Qurt}ubi
dalam menafsirkan beberapa ayat yang berkaitan dengan teologi (ayat mutasha>biha>t)
dan hukum Islam karena kedua tema ini menjadi perhatian besar al-Qurt}ubi dalam
tafsirnya, sehingga diharapkan penulis dapat memetakan apakah ada perbedaan
epistemologi yang ia gunakan dalam menafsirkan kedua tema ini, serta relevansinya
terhadap perkembangan epistemologi abad pertengahan.
Bab Lima, berupa penutup yang terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.
Dibagian ini penulis akan menyajikan kesimpulan dari kajian penulis terhadap
metodologi penggunaan sumber penafsiran oleh al-Qurt}ubi dan relevansinya
terhadap wacana tafsir secara umum. Penelitian ini tentu banyak memiliki
kekurangan dan tidak mencakup semua aspek. Atas dasar itu, bagian ini dilengkapi
dengan rekomendasi, agar bisa dilanjutkan oleh para peneliti berikutnya.

18
BAB DUA
EPISTEMOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Epistemologi secara umum merupakan cara dalam memperoleh suatu


pengetahuan. Runes mendefinisikan “Epistemolgy is the branch of philosophy which
investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge.”
(epistemologi merupakan cabang filsafat yang menelusuri asal usul, susunan metode
dan validitas ilmu).1
Abid al-Jabiri dengan proyek nalar Arab-Islamnya, mengkategorikan
epistemologi Islam dalam tiga bentuk, yaitu baya>ni, ‘irfa>ni dan burha>ni. Ketiganya
memiliki karakteristik tersendiri. Baya>ni> sangat terkait dan terikat pada teks, irfa>ni>
bersifat intuitif dan lebih mengutamakan tanggapan rasa (z|auq), sementara burha>ni
menggunakan pendekatan demonstratif.
Sebenarnya ketiga kluster sistem epistemologi Islam ini masih berada dalam
satu rumpun, tetapi dalam praktiknya hampir tidak pernah akur. Bahkan, tidak jarang
saling kafir-mengafirkan, murtad-memurtadkan dan sekuler-mensekulerkan antar
masing-amsing penganut tradisi epistemologi ini.2
Namun, dalam perjalanan sejarah, ketiga struktur epistimologi tersebut
bersinggungan dan saling mempengaruhi pemikiran Arab-Islam. Ada yang mencoba
menggabungkan antara tradisi baya>ni>- irfa>ni>, baya>ni- burha>ni, dan burha>ni - irfa>ni>.
Tujuan pembahasan ini adalah untuk mendeskripsikan epistimologi baya>ni, irfa>ni>,
dan burha>ni ilmu tafsir. Di sub bagian ini penulis akan menguraikan beberapa aspek
epistemologi tafsir, yang meliputi sumber penafsiran, metode, dan validitas
penafsiran, sebagaimana yang dijelaskan oleh Runes.
A. EPISTEMOLOGI BAYA>NI
Epistemologi baya>ni merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak,
sedangkan akal hanya menempati kedudukan sekunder, yang bertugas menjelaskan
dan membela teks yang ada.3 Jenis pengetahuan jenis ini biasa disebut al-‘ilmu al-
tauqi>fi.4
Karena nalar epistemologi baya>ni hanya digunakan sebagai pengukuh
kebenaran otoritas teks, maka menurut Amin Abdullah, tradisi nalar baya>ni ini lemah
ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur,
bangsa atau masyarakat yang beragama lain. Sikap yang diambil oleh

1
Dagobert D. Runes, Dictionary of philosophy, (Totowa & New Jersey: Little
Field, 1971), h. 94.
2
M. Amin Abdullah, At-Takwil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran
Kitab Suci, dalam Jurnal Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Vol. 39, No. 2, Juli-
Desember, 2001, h. 372.
3
Muhammad Shofan, Jalan Pemikiran Islam, (Gresik: Universitas Muhamadiyah
Gresik Press, 2006), h. 370.
4
M. Amin Abdullah, At-Takwil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran
Kitab Suci, dalam Jurnal Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, h. 373.

19
nalar baya>ni ketika berhadapan dengan komunitas agama lain biasanya bersifat
dogmatik, defensif, apologis, dan polemis, dengan semboyan “right or wrong my
country”.5
1. Sumber Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Baya>ni
Epistemologi baya>ni menjadikan nas} sebagai sumber pengetahuan, yang selalu
berpijak pada as}l (pokok) yang berupa teks (nas}), baik secara langsung maupun tidak
langsung,6 dan pada riwayat (naql).7 Yang menonjol dalam epistemologi baya>ni
adalah memahami dan memperjelas teks,8 dengan berpegang pada teks zahir
(tekstualisme). Oleh karena itu, penafsiran al-Qur’an dalam nalar epistemologi
baya>ni bersumber pada al-Qur’an itu sendiri, ijtihad Nabi, Qira’at, ijtihad ulama
terdahulu (sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya), isra’iliyat dan shair-shair
jahiliyah.9
a. Al-Qur’an sebagai sumber penafsiran
Para ulama telah sepakat menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pertama
dan utama penafsiran al-Qur’an. Fungsi al-Qur’an sebagai penjelas bagi
dirinya sendiri terlihat dari beberapa ayat misalnya, Q.S. al-Baqarah [2]: 99
dan 219, Q.S. Ali ‘Imran [3]:138, Q.S. al-Qiyamah [75]: 16-19, Q.S. al-Hijr
[15]: 147, Q.S. al-Hadid [57]: 17, dan Q.S. al-Ma’idah [5]: 15.
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa tafsir al-Qur’an dengan bersumber
dari al-Qur’an sendiri merupakan cara menafsirkan al-Qur’an yang paling
baik dan paling benar. Dengan asumsi, ayat yang global di satu tempat,
dijelaskan oleh ayat yang lain yang lebih spesifik di tempat yang lain; ayat
yang ringkas di satu tempat, dijabarkan oleh ayat lain di tempat yang lain.10
Oleh karena itu, orang yang hendak menafsirkan ayat al-Qur’an harus
melihat ke al-Qur’an terlebih dahulu.11 Al-Kumi juga menyatakan bahwa

5
M. Amin Abdullah, At-Takwil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran
Kitab Suci, dalam Jurnal Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, h. 373.
6
Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikanya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini
tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus
bersandar pada teks. Dalam baya>ni, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan
kecuali disandarkan pada teks. Lihat, Fathul Mufid, “Perkembangan Paradigma Epistemologi
dalam Filsafat Islam”, dalam jurnal Ulumuna, Vol 17 No. 1 VI/2013, hal. 237.
7
Sari Nur Saseibah, Epistemologi dalam Sayid Husen Nasr dan Oliver Leaman, Edt. History
of Philosophy, London New York, Routledge, 1996, II, h. 826-827.
8
Muhammad Abid Al Jabiri, Bunyah Al-Aql Al-‘Arabi, (Beirut: Al-Markaz Al-S|aqafi Al-
Arabi, 1993), h. 38.
9
M. Jamil, Pergeseran Epistemologi dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an, Jurnal
Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4, No. 1, Juni 2011, h. 47.
10
Ibnu Taymiyah, Muqaddimah Fi> Us}u>l al-Tafsi>r, (Kuwait: Da>r al-Qur’a>n al-Karim,
1972), h. 93.
11
Al-Z|ahabi, ‘Ilm Al-Tafsi>r, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1997), h. 20.

20
penafsiran yang paling s{ah{i>h} adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Sebab, Allah yang paling tahu maksud kandungan sebuah ayat al-Qur’an.12
Menurut Quraish Shihab, penafsiran ayat dengan ayat yang dimaksud
menduduki peringkat pertama itu adalah penafsiran yang memang dapat
diduga keras bahwa ayat tersebutlah yang menafsirkan berdasar indikator
yang ada.13 Indikator ini dapat diketahui melalui dua metode: Pertama,
berdasarkan penjelasan wahyu, yaitu penjelasan tegas dari al-Qur’an sendiri
dan penjelasan dari Nabi saw. Kedua, berdasarkan ijtihad sang mufasir.14
Kedua hal ini perlu didudukkan karena sekian banyak penafsiran yang
dianggap sebagai tafsir ayat dengan ayat, ternyata ia adalah penafsiran ulama
melalui pengamatan sendiri terhadap ayat tersebut dengan
membandingkannya dengan ayat yang lain.15
Berangkat dari pembagian ini, kategori pertama jika hadisnya s}ah}i>h},
maka tafsir al-Qur’an menggunakan al-Qur’an harus diterima, sedangkan
untuk kategori kedua (ijtihad sang mufasir), masih ada ruang untuk kajian
lebih lanjut yang akhirnya mengantarkan pada kesimpulan diterima atau
ditolak.16 Sebab, dalam pandangan konvensional, selain Nabi dan sahabat,
penafsir seperti apapun tetap relatif statusnya. Jika status tertinggi tafsīr al-
Qur’a>n bi al-Qur’a>n ditentukan oleh subjek yang statusnya relatif, maka
kualitas tafsīr al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n kategori kedua juga relatif.17 Oleh
karena itu, tidak semua orang yang mengklaim menafsirkan tafsi>r al-Qur’a>n
bi al-Qur’a>n sudah pasti bisa diterima. Bahkan masih sangat mungkin
ditolak, kecuali jika yang melakukan penafsiran tersebut adalah Nabi saw.
Jika yang melakukan penafsiran adalah sahabat atau tabi‘in, ada
kemungkinan diterima dan ada kemungkinan juga ditolak, tergantung
riwayatnya memenuhi syarat atau tidak.18 Dengan demikian, tidak semua
klaim menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an yang disampaikan seorang
mufasir secara otomatis bisa diterima, meskipun klaim tersebut tetap bisa
dikatakan sebagai tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.19

12
Al-Kumi, Buh}u>s| Fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu, h. 71.
13
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur'an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 351.
14
Aḥmad al-Baridi, Tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n; Dira>sah Ta’ṣi>liyah, dalam Majallah
Ma‘had al-Ima>m al-Shaṭ}ibī li al-Dira>sa>t al-Qur’a>niyyah, II, Zulhijah 1427 H., h. 20-21.
15
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur'an, h. 351.
16
Aḥmad al-Baridi, Tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n; Dira>sah Ta’ṣi>liyah, dalam Majallah
Ma‘had al-Ima>m al-Shaṭ}ibī li al-Dira>sa>t al-Qur’a>niyyah, II, Zulhijah 1427 H., h. 19.
17
Syukron Affani, Diskursus Munāsabah: Problema Tafsīr al-Qur’ān bi ’l-Qur’ān,
dalam Jurnal Theologia, Vol. 28, No. 2, Desember 2017, h. 402.
18
Aḥmad al-Baridi, Tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n; Dira>sah Ta’ṣi>liyah, h. 22-23.
19
Apakah klaim atau ijtihad dari mufasir dalam konteks ini termasuk kategori atau
model tafsīr bi al-ma’ṡūr atau tafsīr bi ar-ra’y? Menurut al-Baridi, bisa masuk ke dalam dua
kategori tersebut; jika dilihat dari aspek yang ditafsirkan (al-Qur'an ditafsirkan dengan al-
Qur'an) dan cara sampainya kepada pembaca, maka bisa masuk kategori tafsīr bi al-ma’ṡūr.
Jika dilihat dari aspek proses pemahaman dan ijtihad mufasir, jelas bahwa ini termasuk

21
Pertanyaannya kemudian, bagaimana metode al-Qur’an menjelaskan
(menafsirkan) dirinya sendiri. Diantara caranya, yaitu: pertama, baya>n al-
mujma>l (menjelaskan yang belum jelas)20; kedua, takhs}i>s} al-‘a>m
(mengkhususkan yang umum)21; ketiga, tafs}i>l al-mu>jaz (merinci yang ringkas
atau global); keempat, taqyi>d al-mut{la>q (membatasi yang tidak terbatas);
kelima, penjelasan dengan cara naskh (penghapusan atau penggantian);22

kategori tafsīr bi ar-ra’y. Lihat, Ahmad al-Baridi, Tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n; Dira>sah
Ta’ṣi>liyah, h. 21.
20
Mujmal adalah ayat (kalimat atau kata) yang maknanya belum jelas. Mubayyan
adalah kalimat atau ayat yang maknanya sudah jelas. Ada beberapa hal yang menyebabkan
suatu ayat atau kalimat menjadi mujmal, yaitu: pertama, ishtira>k (kata atau kalimat memiliki
makna lebih dari satu), seperti kata quru>’ (QS. Al-Baqarah ayat 228) yang memiki arti suci
dan haid; kedua, al-h}azf (perbedaan pada lafaz yang terbuang) seperti ayat “ wa targhabu>na
an tankih}u>nna” (QS. Al-Nisa’ ayat 127), ada dua kemungkinan huruf yang terbuang, yaitu
huruf “fi>” dan “’an”; ketiga, perbedaan tempat kembalinya d{ami>r; keempat, perbedaan
kemungkinan ‘at}f (kata sambung) dan istis|na>f (permulaan kalimat); kelima, kata-kata asing
(gha>rib); keenam, kata-kata yang jarang digunakan; ketujuh, perbedaan taqdi>m dan ta’khi>r.
Penjelasan (tabyi>n) terhadap ayat yang mujmal adakalnya muttas}il (penjelasan masih
dalam rangkaian satu ayat dengan kalimat atau kata yang mujmal) dan adakalanya munfas}il
(antara kata atau kalimay yang menjelaskan terpisah dengan kata atau kalimat yang
dijelaskan karena keduanya tidak dalam rangkaian satu ayat). Contoh tabyi>n muttas}il adalah
kalimat “min al-fajr” yang merupakan penjelas terhadap kalimat “al-khait} al-abyad}u min al-
khait} al-aswadu” masih dalam satu ayat yaitu surah al-Baqarah ayat 187. Contoh tabyi>n
munfas}il adalah ayat “fa’in t}allaqaha> fala> tah}illu lahu> min ba’du h}atta tankih}a zauj ghairah ”
(Q.S. Al-Baqarah ayat 230) yang merupakan penjelas ayat sebelumnya yang berbunyi “al-
t}ala>qu marratain” (Q.S. Al-Baqarah ayat 129). Lihat, al-Suyut}i, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
(Beirut: Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 2018), h. 235 -236.
21
A>m adalah lafaz (kata) yang meliputi semua kandungan yang terdapat dalam kata
tersebut, tanpa ada batasan. Kha>s} adalah kata khusus yang tidak meliputi semua kandungan
yang terdapat dalam kata tersebut yang tidak terbatas. Takhs}i>s} adalah mengeluarkan sebagian
kandungan makna yang dicakup oleh lafaz umum. Mukhas}is} (kata yang mengkhususkan)
terbagi menjadi dua: pertama, muttas}il yang berupa istis|na>’ (pengecualian) seperti dalam
surah al-Nu>r ayat 4 dan 5, al-was}fu (sifat) seperti dalam surah al-Nisa>’ ayat 23, al-shart{u
(sharat) seperti surah al-Baqarah ayat 187, al-Gha>yah (tujuan/batas) seperti surah al-Baqarah
ayat 222, badl al-ba’d} min al-kul (pengganti) seperti dalam surah Ali ‘Imra>n ayat 97. Kedua,
Munfasil (terpisah) adakalanya kata atau kalimat yang mengkhususkan berupa ayat lain yang
terdapat di tempat lain, hadis, ijma>’, atau qiyas. Contoh takhs}i>s} al-Qur’an dengan al-Qur’an
adalah surah al-Baqarah ayat 228 ditakhs}i>s} oleh surah al-Ahzab ayat 49. Contoh takhs}i>s} al-
Qur’an dengan hadis adalah ayat waris yang ditakhs}i>s} oleh hadis yang menjelaskan pembunuh
dan orang kafir tidak mendapatkan warisan. Contoh al-Qur’an yang ditakhs}i>s} oleh ijma’
adalah ayat waris yang ditakhs}i>s} oleh ijma’ yang mengatakan budak tidak mendapat warisan.
Contoh takhs}i>s} al-Qur’an dengan qiyas adalah ayat tentang zina yang terdapat dalam surah
al-Nur ayat 2, dikeculaikan (di-takhs}i>s}) dari ayat ini adalah ‘abd (budak laki-laki) yang
diqiyaskan pada amat (budak wanita) yang ditetapkan dalam surah al-Nisa’ ayat 25. Lihat:
al-Suyut}i, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 331-334. Lihat juga: Manna’ al-Qat}t}an, Maba>his|
Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 217-220.
22
Seorang mufasir hendaknya mengetahui Makkiy dan Madaniy agar ia mengetahui
ayat yang me-naskh dan ayat yang di-naskh. Sebab, pada umumnya ayat yang me-naskh

22
keenam, al-taufi>q baina ma> yu>him al-ta‘a>rud{ (mengkompromikan ayat-ayat
yang seakan-akan kontradiksi); ketujuh, melalui qira>’a>t (bacaan) al-Qur’an.
Dengan menggunakan tujuh model rumusan inilah, mufasir dapat
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Meskipun para ulama telah sepakat rumusan ini dapat digunakan untuk
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, tetapi dalam praktiknya mereka
berbeda pendapat dalam mengklasifikan ayat-ayat ke dalam klasifikasi di
atas, karena pengklasifikasian ini masuk dalam ranah ijtihad ulama, sehingga
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an masih menimbulkan perbedaan hasil
penafsiran oleh para ulama.
b. Sunnah sebagai sumber penafsiran al-Qur’an
Sunnah merupakan sumber penafsiran kedua. Jika penafsiran suatu ayat
al-Qur’an tidak ditemukan di al-Qur’an itu sendiri, maka penafsiran al-
Qur’an dilakukan dengan menggunakan sunnah Nabi saw.23,24 sehingga
fungsi sunnah Nabi saw. terhadap al-Qur’an sangat penting, yaitu sebagai
penguat dan penjelas firman Allah dalam al-Qur’an. Dengan dengan
demikian, sunnah dapat membantu seorang mufassir untuk mengetahui
maksud kandungan al-Qur’an.25 Begitu pentingnya kedudukan sunnah dalam
penafsiran al-Qur’an, seorang mufassir harus waspada dan teliti terhadap
hadis yang d}a’if dan maud}u>’ tentang tafsir.26
Karena banyaknya hadis palsu dan dha’if sekitar tafsir, Imam Ahmad
pun berkata, “Tiga hal yang tidak memiliki dasar yaitu tafsir, al-mala>h}im
(cerita peperangan bangsa Arab), dan al-magha>zi (cerita peperangan Nabi
saw.).” Para ahli dari mazhab Hanbali mengomentari pernyataan Imam
Ahmad ini, “yang dimaksud adalah umumnya kitab-kitab tafsir tidak
memiliki sanad yang s}ah{i>h{ dan muttas}il, selain itu banyak juga yang s}ahih.”27
Dengan demikian, menjadikan pernyataan Imam Ahmad di atas untuk
meragukan hadis-hadis tafsir secara keseluruhan adalah tidak benar, karena
terbantahkan banyaknya hadis-hadis tafsir yang s}ah}i>h}.28
Problematika penggunaan hadis sebagai sumber penafsiran semakin
rumit karena banyaknya mufassir yang meriwayatkan tafsir melalui mufasir
sebelumnya tanpa menyebutkan nama mufassir yang disebutkan. Atau,

adalah ayat madaniy, sedangkan ayat yang di-naskh adalah ayat Makkiy. Lihat, Al-Qurt}ubi,
al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 39.
23
Al-Auza‘i meriwayatkan dari Hasan Ibn At{iyyah, ia berkata: “ Wahyu diturunkan
kepada Nabi saw. dan Jibril kemudian menyiapkan sunnah sebagai penafsirnya.” Hal senada
juga dikatakan Makhul bahwa al-Qur’an sangat butuh kepada sunah. Lihat, Al-Qurt}ubi, Al-
Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’an, jilid 1, h. 67.
24
Ibnu Taymiyah, Muqaddimah Fi> Us}u>l al-Tafsi>r, h. 94.
25
Al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 39.
26
Al-Zarkashi, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, jilid 3, (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>s|,
1984), h. 156.
27
Al-Zarkashi, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, jilid 3, h. 156.
28
Mus}t}afa al-Siba’i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam , pent.
Nurcholish Majid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 195.

23
penghilangan sanad-sanad hadis, dan hanya menyantumkan matan hadis,
sehingga akurasi dan kebenaran sebuah tafsir sulit untuk diidentifikasi.29
Inilah yang menjadi keritikan al-Qurt}ubi yang melihat banyaknya hadis yang
tidak jelas dalam kitab fikih dan tafsir karena tidak diketahui orang yang
meriwayatkan hadis, kecuali jika orang yang membaca kitab fikih dan tafsir
menelitinya ke kitab-kitab hadis, sehingga orang yang tidak memiliki
pengetahuan tentang hadis akan menjadi bimbang, ia tidak mengetahui mana
hadis yang s}ahih dan mana hadis yang cacat, padahal mengetahui hal tersebut
sangatlah penting. Oleh karena itu, menurutnya, hadis semacam itu tidak
dapat digunakan sebagai hujjah dan sumber dalil, hingga hadis tersebut dapat
dinisbatkan kepada para ulama s|iqqah yang terkenal. Berdasarkan hal inilah
al-Qurt}ubi dalam karya-karyanya, tidak terkecuali kitab al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m
al-Qur’a>n, selalu menyandarkan setiap pendapat kepada pengucapnya dan
hadis kepada para perwainya.30
Berdasarkan hal ini, sorang mufasir hendaknya mempertimbangkan
validitas dan etico-legal sebuah hadis. 31 Sebab, problem serius akan muncul
jika seorang mufassir tidak kritis dalam menggunakan sebuah hadis dalam
penafsiran al-Qur’an, yaitu kekeliruan dalam penafsirannya karena validitas
sumber penafsirannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c. Pendapat sahabat sebagai sumber penafsiran
Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa tafsir sahabat bisa digolongkan
sebagai sumber autentik penafsiran al-Qur’an apabila validitasnya bisa
dipertanggungjawabkan (al-naql al-s}ah}i>h}). Terkait kualitas riwayat
(pendapat) sahabat dalam bidang tafsir, diklasifikasikan menjadi tiga hal.
Pertama, riwayat tentang hal-hal yang tidak dapat diintervensi akal (ma>
la> maja>la li al-ra’y fi>h), seperti riwayat mengenai asbabun nuzul, muh}ka>m-
mutasha>bih, dan na>sikh-mansu>kh. Dalam hal ini, riwayat sahabat dapat
digolongkan menjadi riwayat yang sanadnya shah}i>h} atau d}a‘i>f. Jika sanadnya
shah}i>h,} riwayat tersebut dapat digunakan sebagai sumber penafsiran al-
Qur’an karena berstatus sebagai hadis marfu>‘.32 Jika sanadnya lemah,
riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai sumber penafsiran, kecuali
jika didukung oleh salah satu dari dua hal yaitu: ada riwayat dari sahabat lain
yang mendukungnya atau riwayat tersebut berasal dari sahabat senior yang
kredibilitasnya dikenal luas.
Kedua, riwayat mengenai hal-hal yang dapat diintervensi akal (ma> ka>na
li al-ra’y fi>hi maja>l). Dalam konteks ini, riwayat yang dapat dijadikan sumber
penafsiran hanya yang disepakati (mujma‘ ‘alaih) saja, sedangkan riwayat

29
Muhammad Husain Al-Z|ahabi, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penulisan Al-
Quran, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 8.
30
Al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 8.
31
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an Toward Contem porary Aproach,
(London: Routledge, 2006), h. 129-130.
32
Al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, jilid 2, (Kairo: Isa al-Ba>b al-
H}alabi, 1943), h. 13.

24
yang terjadi perbedaan (mukhtala>f fi>h) tidak dapat digunakan sebagai sumber
penafsiran al-Qur’an yang otentik.
Jika dikalangan sahabat terjadi perbedaan penafsiran, maka menurut al-
Suyut}i, sedapat mungkin perbedaan pendapat tersebut dikompromikan (al-
jam‘). Namun, jika tidak memungkinkan untuk dikompromikan, dapat di
tarjih dengan melihat misalnya sisi kualitas, senioritas dan kredibilitasnya,33
lalu kita pilih pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Sebab, perbedaan
penafsiran tersebut menunjukkan mereka menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
ijtihad mereka sendiri, sedangkan pendapat manusia tidak terbebas dari
kesalahan, meskipun itu seorang sahabat Nabi saw.34
Ketiga, riwayat tentang cerita isra’iliyat. Cerita isra’iliyat yang
diriwayatkan oleh sahabat harus diteliti kualitas ke-s{ah}i>h}an-nya. Jika mata
rantai sanadnya muttas}il dan tepercaya, bisa jadi riwayat tersebut benar dan
bisa digunakan sebagai sumber penafsiran.
d. Tabi’in sebagai sumber penafsiran
Jika tidak ada ayat al-Qur’an sendiri, hadis, atau tafsir sahabat yang
menjelaskan ayat yang hendak ditafsirkan, menurut mayoritas ulama
penafsiran tabi’in dapat dijadikan sebagai rujukan resmi dalam menafsirkan
al-Qur’an.35 Kemudian para ulama mengklasifikasi tafsir dari tabi’in yang
dapat dijadikan sebagai sumber penafsiran. Menurut Ibnu Taimiyah,
penafsiran tabi’in dapat dijadikan hujjah jika penafsiran tersebut ijma’
mereka, sedangkan jika mereka berbeda pendapat, penafsiran mereka tidak
dapat dijadikan hujjah.36 Sementara itu, al-Z|ahabi berpendapat tafsir dari
tabi’in yang wajib dijadikan rujukan hanyalah penafsiran yang tidak
memiliki peluang untuk penalaran (‘aql) dan tidak ada keraguan sedikit pun;
penafsiran yang masih diragukan, seperti penafsiran tabi’in yang berasal dari
Ahli kitab, maka tidak wajib dijadikan rujukan, bahkan harus ditinggalkan;
sedangkan penafsiran yang telah menjadi ijma>’ tabi’in melalui penalaran
(‘aql), maka wajib untuk digunakan.37 Kriteria tabi’in yang penafsirannya
dapat dijadikan sebagai sumber autentik tafsir al-Qur’an adalah tabi’in yang
tidak dikenal sering meriwayatkan kisah Isra’iliyyat.38
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir tabi’in
dapat dijadikan sebagai sumber otentik penafsiran al-Qur’an jika memenuhi
beberapa syarat berikut ini: pertama, penafsiran yang telah menjadi ijma’
tabi’in. Kedua, penafsiran bukan berasal dari tabi’in yang dikenal suka
meriwayatkan kisah Isra’iliyyat. Jika kedua syarat ini terpenuhi, penafsiran

33
Al-Suyut}i, Al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 573.
34
Yusuf Al-Qard}awi, Kaifa Nata’a>mal Ma’a al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Kairo: Da>r al-
Shuru>q, 2000), h. 231.
35
Ibnu Taymiyah, Muqaddimah Fi> Us}u>l al-Tafsi>r, h. 102.
36
Ibnu Taymiyah, Muqaddimah Fi> Us}u>l al-Tafsi>r, h. 105.
37
Muh}ammad H{usain al-Zahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, jilid. I, h. 96.
38
Jum’ah ‘Ali ‘Abd al-Qadir, al-Dakhi>l baina al-Dira>sah al-Manha>jiyyah wa al-
Nama>dhij al-Tat}bi>qiyyah, (Kairo: al-Azhar University, 2006), h. 108.

25
mereka dapat diterima. Namun, jika tidak memenuhi kedua syarat ini,
pendapat mereka tidak dapat dijadikan sumber penafsiran yang otentik dan
tidak wajib diikuti.
e. Isra’iliyyat
Ibn al-Arabi berpendapat, kisah dari ahl al-kita>b yang boleh
diriwayatkan hanya cerita mereka yang menyangkut keadaan diri mereka,
yang termasuk ke dalam kriteria “min ba>b al-iqra>r al-mar’i ‘ala> nafsih aw
qaumih”, sedangkan riwayat mereka tentang yang lainnya, harus butuh
penelitian yang cermat.39
Ibn Kas|ir mengklasifikasikan kisah-kisah isra’iliyyat menjadi tiga.
Pertama, kisah isra’i>liyyat yang sesuai dengan shari’at Islam, dalam hal ini
al-Qur’an cukup yang menjadi pedoman. Kedua, kisah isra’iliyyat yang
bertentangan dengan shari’at Islam, maka kisah isra>’i>liyya>t semacam ini
tidak boleh digunakan atau diriwayatkan. Ketiga, kisah isra’iliyyat yang
tidak termasuk ke dalam kriteria pertama dan kedua, kisah isra’iliyyat
semacam ini boleh diriwayatkan dengan catatan tidak harus menjadi acuan,
tetapi hanya untuk isti’na>s (sebatas diketahui).40
f. Bahasa Arab
Sumber otentik penafsiran selanjutnya adalah bahasa Arab.41 Apabila
jalur naqli (periwayatan) tidak dapat dilakukan untuk menafsirkan suatu
ayat, maka penafsiran dapat dilakukan dengan pendekatan bahasa dan sastra
oleh setiap mufassir. Amin al-Khuli menyatakan bahwa al-Qur’an adalah
kitab sastra Arab paling agung (kita>b alara>biyyah al-akbar). Al-Qur’an harus
diberi kesempatan untuk mengungkapkan pesan-pesan Allah swt. yang
dikandungnya melalui bahasa al-Qur’an, yaitu bahasa Arab.42 Al-Qur’an
sendiri jua menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan
bahasa Arab, (Q.S. Yûsuf [12]: 2; Q.S. An-Nahl [16]:103; Q.S. al-Dukhan
[44]: 58; Q.S. as-Syu‘ara’ [26]: 192-195). Menurut Quraish Shihab, ini
menunjukkan bahwa syarat mutlak untuk menarik makna dari pesan-pesan
al-Qur’an adalah pengetahuan tentang bahasa Arab.43 Sebab, orang yang

39
Ibn al-Arabi, Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, (Mesir: al-Ba>b al-H{ala>bi, 1977), h. 23.
40
Ahmad Khalil, Dira>sah fi> al-Qur’a>n, (Mesir: Da>r al-Ma’rifah, 1973), h.150.
41
Setelah para ulama menyadari betapa banyak riwayat tafsir yang tidak s{ah}i>h{, mereka
menempuh cara baru dengan lebih banyak mengandalkan nalar dan bahasa, dan ini melahirkan
tafsi>r bi al-ra'y dengan berbagai coraknya, sesuai kecenderungan para penafsir. Menurut
Malik Ibn Nabi upaya ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode tah}lili dan penekanan
pada aspek-aspek kebahasaan lahir dari kebutuhan masyarakat terhadap pemahaman sisi
kemukjizatan al-Qur'an. Di sisi lain, rendahnya kemampuan berbahasa Arab masyarakat
setelah meluasnya Islam di kalangan non-Arab, bahkan melemahnya kemampuan tersebut di
kalangan orang Arab sendiri, menjadikan keperluan akan pemahaman al-Qur'an dengan
tinjauan kebahasaan semakin penting, Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir dan Pemasyatakatan
Al-Qur'an, dalam Jurnal Suhuf, Vol.1, No.1, tahun 2008, h. 5.
42
Amin al-Khuli, Mana>hij Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al--Adab,
(Kairo: al-Hay’ah al-Mia}riyyah al-‘Ab,2003), 229.
43
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h.35.

26
menafsirkan al-Qur’an tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang
kaidah dan aturan bahasa Arab, maka ia akan berpotensi besar melakukan
penyimpangan dalam penafsirannya dan memberikan arti etimologis suatu
lafaz dalam al-Qur’an dengan arti yang tidak sesuai, baik dalam arti hakiki
maupun dalam arti kiasan.44
Yang dimaksud merujuk kepada bahasa Arab adalah merujuk kepada
syair, puisi, prosa, surat menyurat dan dialek Arab.45 Cara ini dilakukan oleh
para sahabat Rasulullah saw. dan tabi’in, mereka mengurai ayat al-Qur’an
yang ghari>b (asing) dan sulit dengan berhujjah pada bahasa dan sha’ir.46 Al-
Qurt}ubi meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Jika kalian bertanya
kepadaku tentang ayat al-Qur’an yang ghari>b, maka temukanlah di dalam
shair, karena shair adalah Diwa>n Arab.”47 Selain itu, penafsir juga harus
merujuk kepada kaidah dan rahasia-rahasia bahasa Arab.48
Hanya saja, analisis kebahasaan saja (mujarrad al-tah}li>l al-lug}awi>) tidak
cukup untuk memahami atau menafsirkan al-Qur’an secara baik, sebab di
sana ada perangkat metodologi lain yang mesti dipertimbangkan, seperti
aspek asba>b nuzu>l, na>sikh mansu>kh, al-makki>-al-madani> dan bahkan konteks
sosio-kultural Arab ketika itu.49
Seorang mufassir yang terburu-buru menafsirkan ayat al-Qur’an yang
ghari>b secara zahir teks tanpa bantuan dalil naql, dan meng-istinba>t} makna
lafaz yang mubham, mubdal, ikhtis}a>r, haz|f, id}ma>r, taqdi>m dan ta’khi>r hanya
dengan memahi zahir teksnya, maka ia akan banyak melakukan kesalan dan
termasuk orang yang menafsirkan ayat al-Qur’an dengan opini semata.50

44
Muhammad Husain al-Z|ahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, h. 47.
45
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhi>l fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, jilid I, (Kairo:
Matba’ah al-Had|arah al-‘Arabiyah, 1978), h. 74-75.
46
Diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala:

َ ٤٣َ‫اهر َِة‬ ْ ُ
ِ ‫ف ِاذاَه َمَ ِبالس‬
“Maka seketika itu mereka hidup kembali di bumi (yang baru) , (QS. Al-Nazi’at [79]:
14)
Ibnu Abbas berkata: “Bumi (al-ard}).” Kemudian Ibnu Abbas berkata: Umayyah Ibn
Abu al-S}alt berkata:
‫عندهم لحم بحر ولحم ساهرة‬
“Mereka memiliki daging laut (ikan laut) dan daging bumi (sa>hirah) .”
Lihat: Al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 33.
47
Al-Qurt}ubi, al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 44.
48
Yang dimaksud kaidah dan rahasia bahasa Arab adalah makna kosa kata, diksi,
penjelasan kalimat, gaya bahasa yang meliputi; keindashan (badî‘), ketepatan (ma‘ânî),
kejelasan (bayân) dan semantik (dalâlah) serta berbagai aturan main lainnya yang ditetapkan
para ahli gramatikal dan sastra Arab. Lihat, Abdul Wahhab Fayed , al-Dakhîl fî Tafsîr al-
Qur’ân al-Karîm, Jilid I, h. 74-75.
49
H. 3
50
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’an, jilid 1, h. 59.

27
Oleh karena itu, seorang mufasir harus menafsirkan al-Qur’an berdasarkan
kaedah-kaedah ilmu pengetahuan seperti nahwu, bahasa, dan us|u>l fiqh.51
Secara genealogis tafsir linguistik (al-tafsi>r al-lug}awi>) pada
perkembangan awal sejarahnya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori,
yaitu: Pertama, al-tafsi>r al-lugawi> yang dimotori oleh kelompok lug}awiyu>n
(para linguis) yang tertarik untuk menafsirkan al-Qur’an. Seperti al-Kisa>’i
(w. 183 H.) dan al-Farra’ (w. 207 H.). Pada kelompok pertama ini,
kecenderungan tafsir linguistik adalah ingin menjadikan tafsir untuk
membangun teori linguistik, atau menjustifikasi teori linguistik berdasarkan
al-Qur’an. Kedua, al-tafsi>r al-lugawi> yang dimotori oleh kelompok teolog
Mu’tazilah, seperti Abu Bakar Abdurrahman ibn Kaysan al-Assamm (w.
206H) dan Yusuf ibn Abdullah al-Syahham (w. 233 H). Pada kelompok
kedua inilah yang kemudian tafsir linguistik sering dijadikan legitimasi
untuk melakukan takwil ideologi untuk membela kepentingan madzab
mereka (li nus}rah al-mazhab), terutama ketika terjadi perbedaan penafsiran
ayat yang terkait dengan dasar-dasar teologi Mu’tazilah. Inilah yang oleh
penulis sebut dengan istilah nalar ideologis dalam penafsiran al-Qur’an, yang
marak terjadi pada abad pertengahan.52
2. Metode penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Baya>ni
Epistemologi baya>ni berkaitan erat dengan teks, yang menempatkan teks
sebagai subjek dan penafsir sebagai objek, nas{ menjadi dasar penafsiran dan bahasa
menjadi tool of analysis-nya. Pembahasan utamanya adalah masalah lafaz-makna dan
as}l-far’u.53
a. Lafaz dan makna (Signifier and Signified)
Teks dalam nalar epistemologi baya>ni menjadi sumber pengetahuan.
Untuk memperoleh pengetahuan dari teks tersebut, nalar baya>ni berpegang
pada lafaz dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan
sharaf, sebagai alat analisa.54 Oleh karena itu, kekuatan pendekatan ini
terletak pada bahasa baik pada dataran gramatikal (nawu), struktur (s}araf)
maupun sastra. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya sebagai alat
komunikasi, tetapi sebagai rujukan asasi nalar epistemologi baya>ni, salah
satu implikasinya adalah kedudukan lafaz dan makna, sangat penting,
terutama dalam diskursus us}ul fikih.55
Secara epistimologis dari seluruh bab yang terdapat dalam kajian us}ul
fikih dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya merupakan kajian tentang

51
Ibn At}iyyah, al-Muh}arrar al-Waji>z fi Tafsi>r al-Kita>b al-‘Azi>z, (Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2001), h. 41.
52
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), h.
45-46
53
Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, h. 60.
54
Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, pent. Imam Khoiri,
(Yogyakarta:IRCiSoD, 2003), h. 64
55
Muhammad Shofan, Jalan Pemikiran Islam, (Gresik: Universitas Muhamadiyah
Gresik Press, 2006), h. 370.

28
dala>lah, baik dala>lah al-nas} maupun dala>lah ma’qu>l al-nas}. Dala>lah al-nas}
merupakan penelitian yang luas terhadap berbagai hubungan yang terjadi
antara lafaz dan makna dalam wacana baya>ni yang ditujukan untuk
membentuk kaidah lafz}iyyah. Dengan kaidah ini, penafsiran ayat al-Qur’an
harus memperhatikan hal-hal berikut ini: Pertama, perspektif kedudukan
lafaz (al-wad}’). Metode analisis ini sesuai bentuk dan cakupan maknanya,
seperti analisis lafaz amr dan nahy, mut{laq dan muqayyad, lafaz mushtarak,
serta ’a>m dan kha>s}. Kedua, perspektif penggunaan lafaz (al-isti’ma>l). Metode
analisis ini berdasarkan maksud suatu ungkapan, seperti memperhatikan
penggunaan kaidah analisis haqi>qi dan maja>zi, s}ari>h, dan kina>yah. Ketiga,
perspektif derajat kejelasan suatu lafaz (dara>jah al-wud}u>h{), seperti
menganalisis lafaz yang mujmal dan mufassar, muh{kam dan mutasha>bih,
wa>d{ih} dan mubham, z}ahir, dan kha>fi. Keempat, perspektif dala>lah
(kandungan makna) suatu lafaz, seperti menganalisis dengan melihat konteks
suatu ayat.56 Sebab, aktifitas utama ahli us{ul fikih adalah mengidentifikasi
hubungan antara teks dan hukum atau antara dalil dan hukum syar’i. Dengan
kata lain, mereka berusaha mengidentifikasi hubungan antara lafaz dan
makna dalam wacana shar’i (al-khit{a>b al-shar’iy).57
Dalam ilmu kalam juga terjadi hal serupa, lafaz dan makna menjadi
kajian utamanya. Takwil yang dilakukan oleh ahli kalam terhadap ayat
mutasha>bihat tidak lepas dari aturan-aturan bahasa yang sangat ketat. Oleh
karena itu, takwil dalam hal ini tetap dalam tataran baya>ni. Metode dalam
ilmu kalam ini disebut istidla>l bil al-sha>h}id ‘ala al-gha>’ib sebagai argumen
antologi tentang ketuhanan, yaitu penalaran yang berangkat dari yang nyata
(dunia ri’il) untuk mengukuhkan yang gha>’ib (masalah ketuhanan).58
Menurut al-Jabiri, persoalan lafaz dan makna mengandung dua aspek,
yaitu teoritis (naz}ariyyah) dan praktis (tat}biqiyyah). Aspek teoritis
mengandung tiga masalah pokok
1. Makna suatu kata, apakah makna suatu kata berdasarkan atas
makna aslinya (tauqi>fi) atau makna konteksnya (is{tis{la>h}i).
2. Analogi bahasa. Ini berkaitan dengan boleh atau tidaknya
melakukan qiyas dalam bahasa. Ulama sepakat bahwa qiyas
dalam bahasa diperbolehkan hanya dari sisi logika bahasanya,
bukan dari sisi lafaz atau redaksinya. Sebab, masing-masing
bahasa memiliki istilahnya sendiri yang kedalaman maknanya
berbeda-beda, sehingga jika dianalogikan akan bisa merusak
bahasa.

56
Afifi Fauzi Abbas, Integrasi Pendekatan Baya>ni, Burha>ni, dan ‘Irfa>ni dalam Ijtihad
Muhammadiyah, dalam Jurnal Ahkam, Vol. XII, No.1, Januari 2012, h. 53.
57
Muhammad Abid Al Jabiri, Bunyah Al-Aql Al-Arabi (Beirut: Al -Markaz Al -Tsaqafi Al -
Arabi, 1993), h. 53.
58
Muhammad Abid Al Jabiri, Bunyah Al-Aql Al-Arabi, (Beirut: al-Markaz al-S|aqafi al-
Arabi, 1993), h. 130-131.

29
3. Pemaknaan al-asma>’ al-shar’iyah.59 Hubungan lafaz dan makna
dalam aspel praktis berkaitan dengan masalah penafsiran atas
wacana shara’. Ulama fikih banyak mengembangkan masalah ini,
baik dari segi makna yang ditunjuknya, penggunaannya, tingkat
kejelasan maknanya maupun dari segi pola dala>lah-nya.
Sementara itu. dala>lah ma’qu>l al-nas}, disebut juga sebagai makna
wacana (ma’na al-khit{a>b) berkisar pada satu dialog utama, yaitu qiyas,60
yang pembahasannya masuk ke dalam masalah as}ul dan furu>’.
b. Us}u>l dan al-furu>’
Menurut al-Jabiri, maksud us{u>l di sini bukan dasar-dasar hukum fikih,
seperti al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas, tetapi merupakan asas dari proses
penggalian pengetahuan. Oleh karena itu, aktifitas intelektual nalar baya>ni
dalam kaitan hubungan antara as}l dan far’ tidak terlepas dari tiga ranah ini,
yaitu:
1. Aktifitas intelektual yang bertitik-tolak dari al-as}l, sering disebut
dengan al-istinba>t{ (penggalian pengetahuan dari teks);
2. Aktifitas intelektual yang bermuara pada al-as}l, sering disebut
dengan al-qiya>s (analogisasi cabang pada pokok, atau hal meta-
empiris pada hal empiris); dan
3. Aktifitas intelektual dengan ‘pengarahan’ dari al-as}l, yaitu
prososes pembentukan pengetahuan dengan menggunakan kaidah
us}ul fikih.61
Dari sini bisa disimpulkan, aktifitas intelektual dalam nalar baya>ni
senantiasa terkungkung oleh sul|t}a>n al-as}l (hegemoni al-as}l).62
3. Validitas Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Baya>ni
Epistemologi baya>ni menuntut sebuah teks untuk berposisi sebagai subjek
dan penafsir sebagai objek, nas} menjadi dasar penafsiran dan bahasa menjadi tool of
analysis-nya. Oleh karena itu, validitas penafsiran al-Qur’an dalam epistemologi
baya>ni bergantung pada s}ah}i>h} atau tidaknya sanad dan matan riwayat, serta
bergantung pada kesesuaian antara hasil penafsiran dengan kaedah-kaedah
kebahasaan dan riwayat hadis.63
Otentisitas tafsir al-Qur’an sangat bergantung kepada validitas data dan
sumber yang digunakan mufasir. Penafsiran yang berlandaskan kepada data-data

59
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, h. 249.
60
Muhammad Abid Al Jabiri, Bunyah Al-Aql Al-Arabi h. 56.
61
Muhammad Abid Al Jabiri, Bunyah Al-Aql Al-‘Arabi, h. 112-116.
62
Mahmud Arif, Pertautan Epistemologi Baya>ni dan Pendidikan Islam Masa
Keemasan, dalam jurnal Al-Ja>mi’ah,Vol. 40, No. 1, Januari – Juni 2002, h. 133.
63
M. Jamil, Pergeseran Epistemologi dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an, dalam
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4, No. 1, Juni 2011, h. 464.

30
yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dapat dikategorikan
sebagai penafsir yang objektif.64
Benar atau tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya hasil
penafsiran. Jika transmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut
benar dan dapat dijadikan sebagai sumber penafsiran. Sebaliknya, jika transmisi teks
masih diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan itu
berarti ia tidak bisa dijadikan sebagai sumber penafsiran.
Agar validitas penafsiran dapat terjaga, Husain al-Z|ahab menekankan agar
seorang mufassir menghindari sumber-sumber riwayat yang bermasalah sebagai
sumber penafsirannya. Ia menyebut tiga faktor kelemahan sumber ma’s|ūr penafsiran
al-Qur’an: Pertama, banyak riwayat tafsir populer yang tidak kredibel. Kedua,
masuknya kisah isra’iliyat dalam riwayat-riwayat yang digunakan dalam tafsir al-
Qur’an. Ketiga, Riwayat hadis tanpa sanad. Riwayat-riwayat tanpa sanad banyak
digunakan dalam kitab-kitab tafsir, mungkin karena pertimbangan praktis. Namun,
tidak disebutkannya mata rantai sanad riwayat-riwayat tersebut berdampak pada
tidak ada pertanggungjawaban sumber penafsiran, sehingga sulit untuk
memverifikasi sumber riwayat tersebut. Padahal, bisa jadi riwayat yang ada di dalam
suatu kitab tafsir sejatinya palsu karena tidak memenuhi syarat legitimasi berupa
sanad.
B. EPISTEMOLOGI IRFA>NI
Epistemologi Irfa>ni dalam sebuah kajian tafsir identik dengan model dan corak
tafsir sufistik. Isu sentral epistemologi irfa>ni adalah eksoteris (z{a>hir) dan esoteris
(ba>t{in). Konsep kategorisasi makna al-Qur’an ini merupakan konsep yang mendasar
dalam tafsir sufistik. Namun, dimensi batin merupakan prioritas paling utama,
karena tanpanya, dimensi z}a>hir masih mengandung unsur politeis terselubung (al-
shirk al-khafiyy).65
Pembagian makna menjadi eksoteris (z{a>hir) dan esoteris (ba>t{in) tidak secara
eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi ditegaskan oleh beberapa hadis dan
perkataan para sahabat. Di antara hadis yang berbicara terkait hal tersebut adalah
hadis Ibn Mas’ud berikut ini:
‫ لِ ُك ِل آي ٍة ِمْنـها ظ ْهٌر وبطْ ٌن‬،‫ف‬
ٍ ‫أُنْ ِزل الْ ُقرآ ُن على سبـع ِة أحر‬
ُْ ْ ْ
“Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, setiap ayatnya darinya memiliki
makna eksoteris (zahir) dan esoteris (batin),” (HR. Ibn Hibban).66
Dan juga hadis:
‫ ولِ ُك ِل ح ٍد مطَّل ٌع‬،ٌّ‫ف حد‬
ٍ ‫ ولِ ُك ِل حر‬،‫ف ِمْنـها ظهر وبطْن‬
ْ ٌ ٌْ
ٍ ‫ لِ ُك ِل حر‬،‫ف‬
ْ
ٍ ‫أُنْ ِزل القرآ ُن على سبـع ِة أحر‬
ُْ ْ

64
Muhammad Ulinnuha, Konsep al-Ashi>l dan al-Dakhi>l dalam Tafsir al-Quran, di
dalam Jurnal Madania, Vol. 21, No. 2, Desember 2017, h. 130.
65
Muhammad Abid AlJabiri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-
Wahdah al-‘Arabiyya, 2002), h. 281.
66
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. Hadis 75. Menurut Shu’aib al-Arnaut,
sanad hadis ini hasan. Lihat: Ala’uddin Ali Ibn Balban al-Farisi, Al-Ih{sa>n fi Taqri>b S{ah{i>h{ Ibn
Hibban, jilid 1, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1988), h. 276.

31
"Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, setiap huruf darinya memiliki
(makna) eksoteris (z{ahir) dan esoteris (ba>t}in), setiap huruf memiliki batasan
(h}ad), dan setiap huruf memiliki tempat timbulnya (mat}la’),”67
Kedua hadis ini menjadi landasan penafsiran sufistik terhadap al-Qur’an. Para
ulama pun berusaha memberikan penjelasan tentang makna z{a>hir, ba>t}in, h}ad, dan
mat}la’. Diantaranya adalah Haris al-Muhasibi, ia menjelaskan, maksud makna ẓāhir
adalah bacaan al-Qur’an (tila>wah), maksud makna ba>ṭin adalah pemahaman yang
mendalam terhadap al-Qur’an (ta’wīl). Makna z{a>hir dan ba>t{in ini belum bisa sampai
pada level h}add (the limit of intrepretation). Orang yang bisa mencapai atau
menembus batas penafsiran sampai level ḥadd hanyalah al-Siddiqūn. Mereka
memahami ayat al-Qur’an seperti pemahaman yang Allah berikan kepadanya.
Pemaknaan ini merupakan peralihan dari penafsiran manusia kepada pemahaman
Tuhan. Dalam pandangan sufi, langkah ini diambil ketika seseorang telah mencapai
titik transedensi (mat{la’).68
Berdasarkan asumsi ini, tak sedikit kalangan yang menolak tafsir isha>ri,
terutama ahli hadis dan ahli fikih. Penolakan mereka dilatarbelakangi oleh dugaan
bahwa penafsiran model ini sangat subyektif dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga
kurang memperhatikan aspek legal-formal al-Qur’an, seperti tidak mendasarkan
penafsirannya terhadap sumber-sumber otoritatif, seperti teks al-Qur’an itu sendiri,
hadis Nabi, dan prinsip-prinsip ‘Ulu>m al-Qur’a>n, sehingga terkadang penafsiran
model ini bertolak belakang dengan makna zahir (eksoterik) al-Qur’an.
Hussein Abdul-Raof menyimpulkan bahwa interpretasi sufistik merupakan
jenis ta’wi>l yang tidak otoritatif. Hal ini karena dalam pandangan mereka, ta’wi>l
sufistik hanya bertumpu pada refleksi subjektif seorang sufi, yang tiada lain
merupakan pemikiran dan perenungan spekulatif, tanpa mempertimbangkan
intertekstualitas konten al-Qur’an, al-Sunnah, dan transmisi historis dari para
Sahabat dan Tabiin
Frithjof Schuon menegaskan, interpretasi sufistik mereduksi setiap ayat al-
Qur’an menjadi ungkapan mistis, yang sayangnya tidak hanya bertentangan dengan
makna tekstual, namun juga sangat rancu dari segi koherensi kontennya.69
Kaum sufi sendiri menolak jika pendekatan penafsiran mereka dikategorikan
sebagai penafsiran bebas yang tak terikat lagi oleh ketentuan-ketentuan bahasa dan
tradisi Nabi.70 Ibn ‘Arabi (w. 1240 M.), yang dikenal sebagai sufi falsafi sekali pun,
dalam al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah dengan tegas menyatakan, “jika terdapat ayat al-
Qur’an ataupun hadis dengan suatu lafal bahasa tertentu, maka prinsip utama (dalam
menafsirkan-nya) adalah pemaknaan apa adanya menurut kaidah bahasa Arab.
Namun ketika Tuhan menggunakan lafal ini bukan dalam pengertian bahasanya,

67
Menurut Shu’aib al-Arnaut, hadis ini mursal dan sanadnya dha’if. Lihat: al-
Baghawi, Sharh{ al-Sunnah, jlid 1, (al-Maktab al-Islami, 1983), h. 214.
68
Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: el-Saq, 2010), h. 49.
69
Frithjof Schuon, Sufism: Veil and Quintessence (Indiana: World Wisdom, 2006), h.
65.
70
Mohammad Anwar Syarifuddin, “Measuring the H>{aqa>’iq al-Tafsi>r: From its
Contentious Nature to the Formation of Sunnite Sufism”, dalam Journal of Qur’a>n and H{adi>th
Studies, Vol. 2, No. 2, 2013, h. 234.

32
(melainkan sebagai istilah-istilah syariat) seperti kata salat, wudu, haji, dan zakat,
maka yang menjadi landasan adalah apa yang dikonsepsikan dan ditetapkan Tuhan
sebagai Sha>ri‘ (pembuat hukum).71
Mengenai tafsir isha>ri> yang merupakan bagian integral dari tasawuf, Husain
al-Z|ahabi berkesimpulan bahwa pendekatan isha>ri> dalam interpretasi al-Qur’an
dikenal sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi. Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan
model ini dan Rasullulah pun menetapkannya, sehingga menjadi tradisi yang diikuti
dan dipraktikan oleh para sahabat.72
Berdasarkan keterangan di atas, pro kontra terhadap tafsi>r Isha>ri yang masuk
ke dalam epistemologi irfa>ni masih terjadi, baik di kalangan outsider maupun insider
umat Islam. Kesalahpahaman terhadap tafsi>r Isha>ri ini disebabkan oleh kurang
mendalamnya pehamahan kalangan yang tidak menyetujuinya. Oleh karena itu, perlu
penjelasan lebih mendetail terkait epistemologi irfa>ni yang menjadi pijakan tafsi>r
Isha>ri ini.
1. Sumber Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Irfa>ni
Sumber pengetahuan epistemologi irfa>ni adalah intuisi, atau disebut z|auq atau
wijda>n.73 Pengetahuan intuitif ini dapat digunakan sebagai hipotesis bagi analisis
selanjutnya untuk menentukan kebenaran sebuah pernyataan. Oleh karena itu,
kegiatan intuitif dan analitik dapat saling membantu dalam menemukan kebenaran.74
Bergson mengatakan bahwa intuisi sebenarnya besifat intelektual dan sekaligus
supra-intelektual, dimana pengetahuan supra-intelektual tersebut akan dapat
mencapai pengetahuan dan kesadaran diri pada hal-hal yang paling vital.
Pengetahuan ini tidak diperoleh melalui analisa teks atau keruntutan logika,
tetapi melalui pengetahuan langsung dari Allah ketika qalb (hati) telah siap untuk
menerimanya, yaitu setelah melalui proses penyucian qalb (hati) hingga bersih dan
jernih, yang berfungsi untuk mempertajam pandangan rasio, sehingga kegelapan
yang ada dalam rasio tersucikan dan hati manusia terilhami,75 maka ia akan mampu
menangkap fenomena yang ada (muka>shafah). Oleh karenanya, kashf
(tersingkapnya suatu ilmu) menjadi satu-satunya jalan dalam memperoleh
pengetahuan. Pengetahuan dalam perspektif sufi merupakan limpahan ilahiyah (al-
fayḍ al-Ilahiyyah) yang bersifat transendental, diturunkan kepada jiwa manusia
sesuai dengan tingkatan dan kesiapan jiwa mereka.76
Menurut perspektif epistemologi ‘irfa>nī, pengetahuan dapat diperoleh
melalui tiga tahapan, yaitu persiapan (takhalli), penerimaan (taḥalli) dan
pengungkapan dengan lisan atau tulisan (tajalli).

71
Ibn Arabi, al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah, jilid 4, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s| al-‘Arabi>,
2010), h. 106.
72
H{usayn Al-Z|ahabi>, al-Tafsir wa al-Mufasirūn, jilid 2, h. 352- 353.
73
Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risa>lah al-Qushairiyah, (Kairo: Da>r al-Sha’b, 1989
M/1409 H), h.. 139.
74
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), h. 53.
75
Murtad}a Mut}ahari, Pengantar Epistemologi Islam, h. 107-108.
76
Louis Massignon, al-Taṣawwuf, (Beirut: Dār al-Kitab al-Lubnani, 1984), h. 55.

33
Pertama, persiapan untuk bisa menerima limpahan pengetahuan dari Tuhan
yang berupa (kashf), seseorang harus menempuh jenjang kehidupan spiritual.
Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani mulai dari bawah hingga menuju
puncak: pertama, Taubat, kembali pada Allah dan menyesali perbuatannya dengan
sungguh; kedua, Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat; ketiga,
Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia; keempat, Faqir,
mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan dan tidak menghendaki
apapun kecuali dari Allah swt.; kelima, Sabar, menerima segala bencana dengan
laku sopan dan rela; keenam, Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan-
Nya; ketujuh, Ridha, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang
tersisa hanya gembira dan suka cita.77
Tahap kedua, tahap penerimaan. Jika hati seseorang telah mencapai derajat
kejernihan tertentu dalam sufisme, maka ia akan mendapatkan pengetahuan
langsung dari Allah secara ishra>qi (illuminatif) atau kashf (penyingkapan
spiritual).78 Jadi dalam perspektif epistemologis, pengetahuan irfa>ni tidak diperoleh
melalui teks atau panca indra.
Tahap Ketiga, pengungkapan pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain melalui tulisan atau ucapan.79
Dalam konteks penafsiran al-Qur’an, menurut Massignon, sumber utama
tafsir sufi adalah riya>d}ah dan laku spiritual.80 Oleh karena itu, tafsir isha>ri dibangun
berdasar atas riya>d}ah ru>hiyyah (aktifitas spiritual) yang dilakukan oleh seorang sufi
hingga ia mencapai derajat muka>shafah, kemudian ia mendapat isyarat tentang
makna ayat al-Qur’an dari Allah swt. dan makna-makna ayat al-Qur’an yang gha>’ib
(samar) akan terbuka baginya.81
Menurut Edmud Husserl, bat}in merupakan sumber pengetahuan karena bat}i>n
adalah hakikat, sedangkan z}ahir adalah teks (al-Qur’an dan hadis|) sebagai pelindung
dan penyinar. Oleh karena itu, ‘irfa>niyyu>n berusaha menjadikan z}ahir nas} sebagai
ba>t}in.82 Dalam hal ini, Ibn Arabi, sebagaimana dikutip Abbas Amir, menyatakan
bahwa makna berpusat dalam hati, kemudian tersingkap bagi pembaca sedikit demi
sedikit, sesuai dengan tingkat perjuangan spiritual-nya. Namun tersingkapnya
makna tersebut terealisasi melalui pelantara teks.83 Dengan demikian, epistemologi
irfa>ni berangkat dari makna menuju teks, dari ba>t}in menuju z}a>hir. Berbeda halnya
dengan epistemologi baya>ni yang berangkat dari teks menuju makna, z}a>hir menuju
ba>t}in.

77
Al-Qushairi, al-Risa>lah, (Beirut: Dar al-Khair, tt), h 89-350.
78
Mehdi Ha’iri Yazdi, Epistemologi Illuminasionis dalam Filsafat Islam , (Bandung:
Mizan, 2003), 51.
79
Murtad{a Mut{t{ahari, Menapak Jalan Spiritual, (Bandung: Pustaka Hidayah,1997), h.
120-155.
80
Louis Massignon, al-Taṣawwuf, h. 55.
81
Al-Zahabi, al-Tasi>r wa al-Mufassiru>n, jilid II, h. 261.
82
Edmud Husserl, Cartesian Medelation (London: Nijhoff Publisher, 1960),, h. 171
83
Abba>s Ami>r, al-Ma‘na> al-Qur’ani> bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l: Dira>sah Tah}li>liyyah
fi>-al-Nas}s} al-Qur’a>ni,> (Beirut: Mu’assasah al-Intisha>r al-‘Arabi>, 2008), 62.

34
2. Metode Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Irfa>ni
Epistemologi irfānī secara umum menggunakan kashf (tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Allah) dan ilha>m sebagai metode memperoleh
pengetahuan,84 yang didukung oleh sistem epistemologi yang didasarkan pada
perbedaan antara yang “z{a>hir” (eksoteris) dan “ba>t{in” (esoteris). Menurut mufassir
dari kalangan sufi isha>ri, tafsir al-Qur’an memiliki makna esoteris dan juga makna
eksoteris yang merupakan makna awal penafsiran,85 dan kedua makna ini saling
mendukung, bukan saling menegasikan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-
Ghazali bahwa makna yang dimiliki oleh al-Qur’an adalah ba>t{in-nya, bukan z{ahir-
nya. Agar hakikat dapat disingkap, makna harus dijadikan asal, sedangkan lafaz
mengakuinya.86
Selain itu, bagi kalangan sufi, ayat-ayat al-Qur’an dapat dimaknai dari empat
sudut yaitu secara z}a>hir, ba>t}in, h}add dan mat}la’. Pengertian zahir merujuk kepada
pembacaan lafaz-lafaz al-Quran, pengertian ba>t}in merujuk kepada pemahaman
mengenai makna-makna al-Qur’an berasaskan kepada instrumen bahasa Arab dan
melalui kaedah-kaedah ilmu us}u>l tafsi>r, pengertian h}add merujuk kepada penjelasan
mengenai apa yang halal dan apa yang haram dalam ayat al-Qur’an, sedangkan
pengertian ma{tla’ merujuk kepada keadaan hati yang telah tersingkap (kashf)
sehingga memungkinkannya memahami makna-makna yang tersirat dalam al-
Qur’an dan ini merupakan anugerah dari Allah SWT. 87
Model interpretasi epistemologi irfa>ni adalah isha>rah, yaitu, sebagaimana
yang dijelaskan oleh al-Zarqani, usaha menafsirkan makna al-Qur’an tidak
berdasarkan lafaz yang zahir dan yang biasa difahami menurut bahasa arab, tetapi
berdasarkan isharat-isharat yang tersirat (isha>rah kha>fiyah) yang Allah tunjukkan
kepada seorang sufi, dimana penafsirannya tersebut masih bisa dikompromikan
dengan makna zahirnya.88 Dengan demikian, isha>rah adalah model penafsiran al-
Qur’an yang tidak berdasarkan pada makna yang zahir, nyata dan “tersurat”, atau
dengan kata lain, tidak berdasarkan apa yang dapat difahami secara literal melalui
instrumen bahasa Arab yang standar atau kaedah tafsir, tetapi berdasarkan
petunjuk-petunjuk yang tersirat dan tersembunyi, yang disingkapkan oleh Allah
kepada para sufi.
Pengalaman dan pengetahuan spiritual tersebut disampaikan melalui
beberapa cara. Pertama, diungkapkan melalui i’tiba>r atau qiya>s irfa>ni, yakni analogi
pengetahuan spiritual dengan pengetahuan z{a>hir, atau analogi makna ba>ti} n yang
diperoleh melalui kashf kepada makna z{a>hir yang ada dalam teks.89

84
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, (Bairut: Markaz Dirāsāt al-
Waḥdah al-‘Arabiyyah, 2009), h. 251.
85
Al-Zahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, jilid II, h. 261.
86
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 200.
87
Al-Zarqani, Mana>hil al-Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, jilid 2 (Kairo: Mat}ba’ah Isa al-ba>biy
al-h}alabiy wa Shirkahu, 1995), h. 80.
88
Al-Zarqani, Mana>hil al-Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 78
89
M. Abid Al Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, h. 295-296.

35
Contoh qiya>s irfa>ni aalah penafsiran al-Qushairi atas surah al-Rahman ayat 19-
22.90 Menurutnya, dalam hati ini ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan raja>’
(harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni ah}wa>l al-s}u>fiyah dan lat}a>’if
al-mutawaliyah. Di antara keduanya ada batas yang tak terlampaui, yakni
pengawasan Allah swt. atas ini dan itu. Artinya, pengalaman dan pengetahuan irfa>n
tentang khauf dan raja>’ dinisbatkan pada kata ‘bah}rain’ (dua lautan), sedang ah}wa>l
dan lat}a>’if dinisbatkan pada mutiara dan marjan.91
Berdasarkan proses qiya>s irfa>ni di atas, qiya>s irfa>ni tidak sama dengan qiya>s
baya>ni (silogisme). Qiya>s irfa>ni berusaha menyesuaikan pengalaman atau
pengetahuan yang diperoleh lewat kashf dengan teks, sehingga yang terjadi adalah
qiya>s al-gha>’ib ’ala al-sha>hid, bukan qiya>s al-far’ ala> al-ash\}l sebagaimana yang
dilakukan dalam qiyas baya>ni. Dengan kata lain, z}a>hir teks dijadikan furu>’ (cabang)
sedang pengalaman atau pengetahuan spiritual yang dihasilkan dalam kashf sebagai
ashl (pokok). Oleh karena itu, qiya>s irfa>ni tidak membutuhkan illat atau pertalian
antara lafaz dan makna (qari>nah lafz|iyah ‘an ma`nawiyah) sebagaimana yang ada
dalam qiya>s baya>ni, tetapi qiya>s irfa>ni hanya berpedoman pada isha>rat (petunjuk
batin).92
Kedua, pengetahuan irfa>ni diungkapkan melalui simbol-simbol. Menurut
Taftazani, metode kedua ini banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh dari kalangan sufi
falsafi, dan mereka menurut Taftazani mempunyai kelebihan dalam hal ini, yaitu
kemampuan menjelaskan pengalaman spiritualnya lewat simbol-simbol sehingga
menjadi sangat multi-interpretasi.93
Ketiga, pengetahuan irfa>ni diungkapkan melalui shat}aha>t. Ini berbeda dengan
qiya>s irfa>ni yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks, shat}aha>t sama
sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut. Shat}aha>t merupakan ungkapan lisan
tentang perasaan karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan
dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan “Subh{a>na Ana>” (Maha Besar Aku)
dari Abu Yazid Bustami, atau “Ana> al-Haqq” (Aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj.94
Namun keterbatasan metode irfa>ni adalah ia hanya dapat dinikmati oleh
segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf penyucian diri yang tinggi.
Disamping itu, epistemologi irfa>ni sangat subjektif karena penafsirannya berdasar

90
Allah swt. berfirman:
ُُُْ ْ ُ ْ ُ ُ ٌ ْ ْ ْ ْ
َ‫َيخ ُرج َِمن ُهماَاللؤلؤ‬٠٤َ‫َف ِبايَالا ِۤءَر ِبكماَتك ِذب ِن‬٠٢َِۚ‫َبين ُهماَب ْرزخَلاَي ْب ِغي ِن‬٤١َِۙ‫مرجَالبحر ْي ِنَيلت ِقي ِن‬
ِ
ُ ْ
َ ٠٠َِۚ‫والم ْرجان‬
“Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu, di antara
keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan ,” (Q.S.
Al-Rahman [55]: 19-22).
91
Al-Qushairi, Lat}a>’if al-Isha>ra>t, (Kairo, al-Haiah al-Misriah, 1981), h. 507.
92
Muhammad Abid AlJabiri, Bunyah al-Aql al-A’rabi, h. 274.
93
Abu al-Wafa Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, (Bandung, Pustaka, 1985), h.
193.
94
Al-Ghazali, Ihya>’ Ulu>m al-Di>n, jilid I, (Kairo, Ba>b al-Halabi, 1334 H), h. 288.

36
pada pengalaman individu manusia.95
3. Validitas Kebenaran Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Irfa>ni
Status keabsahan epistemologi irfa>ni yang bersumber pada intuisi, bukan pada
teks, dipertanyakan oleh tradisi berpikir baya>ni dan burha>ni. Epistemologi baya>ni
mempertanyakannya karena epistemologi irfa>ni tidak mengikuti pedoman yang
ditentukan oleh teks, sehingga dianggap terlalu liberal. Sementara itu, epistemologi
burha>ni mempertanyakan keabsahan nalar epistemologi irfa>ni karena menggapnya
tidak mengikuti analisis dan aturan yang berdasarkan logika.96
Karena ada beberapa tafsir sufi dinilai mengalami “penyimpangan”
penafsiran, maka para ulama ahli syari’at memberikan rambu-rambu sebagai tolok
ukur kebenaran tafsir sufi. Al-Z|ahabi mengemukakan beberapa syarat tafsir isha>ri
agar bisa diterima, yaitu:
 Penafsiran isha>ri sesuai dengan makna zahir yang ditetapkan dalam bahasa
Arab, yaitu penafsirannya sesuai dengan maksud bahasanya, dan tidak
melebih-lebihkan makna z}a>hir.
 Penafsiran isha>ri disertai bukti shar’i yang dapat menguatkannya.
 Penafsiran isha>ri tidak menimbulkan kontradiksi, baik secara shar’i
maupun ‘aqli.
 Penafsiran isha>ri harus mengakui makna z}a>hir ayat dan tidak menjadikan
makna ba>t}in sebagai satu-satunya makna yang berlaku, sehingga menafikan
makna lahir.97
Ibn Qayyim al-Jauziyyah misalnya, mensyaratkan tiga hal untuk menerima
tafsir sufi: pertama, penafsiran tersebut tidak bertentangan dengan makna z}a>hir ayat;
kedua, makna atau penafsiran tersebut benar secara inherent; ketiga, antara
penafsiran dan lafaz yang ditafsirkan memang ada hubungan semantik yang logis.98
Selain syarat yang telah ditetapkan oleh Ibn Qayyim tersebut, ulama yang lain
menambahkan rambu-rambu sebagai tolok ukur kebenaran tafsir sufi, yakni keempat,
makna batin tersebut tidak boleh diklaim sebagai satu-satunya makna yang
dikehendaki oleh Allah sehingga menafikan makna zhahir; kelima, penafsiran
tersebut tidak boleh bertentangan dengan akal dan shari’at; keenam, penafsiran
tersebut harus didukung oleh dalil atau sha>hid secara shar’i.99
Berdasarkan syarat yang dikemukakan oleh al-Z|ahabi ini, maka komposisi
eksoterik al-Qur’an merupakan barometer inti yang digunakan untuk mengukur
validitas pemaknaan spiritual,100 sehingga interpretasi isha>ri tidak bertentangan

95
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistimologi Islam, h.
130.
96
M. Amin Abdullah, At-Takwil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran
Kitab Suci, dalam Jurnal Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Vol. 39, No. 2, Juli-
Desember, 2001, h. 375.
97
Muhammad Husein al-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid II, h. 330
98
Manna’ al-Qat}t}an, Maba>his| fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, h. 307-308
99
Khalid Abdurrahman al-‘Akk, Us}ul> al-Tafsi>r wa Qawa>’iduhu, (Beirut: Dar
anNafa‘is, 1986), h. 208.
100
Sansan Ziaul Haq, Eksoterisme Tafsir Isha>ri>: Telaah Epistemologi Tafsir Al-Ji>la>ni>,
dalam Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies – Vol. 5, No. 1, 2016, h. 22.

37
dengan prinsip tektualitas penafsiran al-Qur’an. Makna spiritual yang didapatkan
oleh sufi dari pengalaman mistik pribadinya selalu ditimbang dengan makna literal
nas}, sehingga tidak akan terjadi kontradiksi di antara keduanya.
C. EPISTEMOLOGI BURHA>NI
Al-Burha>n (demonstrative), secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu
aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qad{iyyah) melalui
pendekatan deduktif (al-istinta>j) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (bad{i>hi).101
Dengan demikian, secara terminologi, nalar burha>ni adalah paradigma (kerangka)
berfikir yang sesuai dengan model metodologi berpikir secara rasio, logika, dan
silogisme102 pada proposisi-proposisinya untuk mencapai kebenaran.103 Jadi, sumber
pengetahuan burha>ni adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio, dengan dalil-dalil
logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang
masuk lewat indera, yang dikenal dengan istilah tas{awwur dan tas{di>q.104 Bahkan,
dalil-dalil agama hanya bisa diterima jika ia sesuai dengan logika rasional.
Dalam pandangan al-Jabiri, Epistemologi burha>ni merupakan cara berpikir
masyarakat Arab yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman
empiris dan penilaian akal, dalam mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu.
Sebuah pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat.
Dalam ilmu tafsir, istilah burha>n digunakan dalam pengertian tafsir bi al-
ra’yi. Maksudnya sumber penafsiran suatu ayat bukan didasarkan pada riwayat dan
105

sanad yang sampai ke shahabat atau Rasulullah SAW, melainkan penjelasannya


datang dari diri sang mufasir sendiri.106
Para Ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan tafsi>r bi al-ra’yi atau tafsi>r
bi al-ra’yi. Sebagian diantaranya melarang, ada pula yang membolehkan. kelompok
ulama yang menolak tafsir bi al-ra’yi, mendasarkan argumennya pada hadis yang
mengharamkan penafsiran al-Qur’an dengan akal (ra’yu). Rasulullah saw. bersabda:
‫من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ‬
101
Wardani, Filsafat Ilsam: Pengertian, Sejarah Pembagian, dan tema-tema Pokok,
dalam Jurnal An-Nur, vol. 5, 2006, h. 383.
102
Silogisme pada dasarnya terdiri dari beberapa proposisi yang disebut dengan premis
mayor, premis minor dan konklusi. Ini berarti bahwa penyimpulan yang bersifat konklusif
tidak bisa terjadi apabila hanya terdiri dari satu premis. Di samping itu dua premis tersebut
harus mengandung satu term yang sama, yang disebut term tengah (middle term). Misalnya,
setiap manusia mati (premis mayor). Socrates adalah manusia (premis minor), maka dengan
term tengah (manusia), konklusinya adalah Socrates akan mati. Lihat, Muhammad Agus
Najib, Nalar Burhani DalamHukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal), Hermenia, Vol.2, No.2
Juli-Desember 2003, h. 223.
103
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahmud Wijaya, Pengembangan Paradigma Keilmuan
Perspektif Epistemologi Islam, (Jakarta: Kencana, 2019), h. 218.
104
Mehdi Haeri Yazdi, Ilmu Huduri, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat
Islam, 53.
105
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahmud Wijaya, Pengembangan Paradigma Keilmuan
Perspektif Epistemologi Islam, h. 220.
106
Ahmad Sarwat, Tafsir Bir Ra’yi, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, t.t.), h. 7.

38
“Barang siapa yang berbicara tentang al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, lalu
pendapatnya benar, sejatinya ia telah melakukan kesalahan ,” (HR. Al-Tirmiz|i).107
Para ulama pendukung tafsi>r bi al-ra’yi membantah penolakan tafsi>r bi al-ra’yi
dengan menggunakan hadis di atas. Menurut mereka, larangan itu dimaksudkan bagi
orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan kecenderungan dan hawa nafsunya saja,
tanpa dalil. Larangan itu juga dimaksudkan khusus bagi ayat atau lafaz dalam al-
Qur’an yang mengandung mushkila>t dan mutasha>biha>t yang hanya bisa dipahami
dengan penjelasan dari Nabi saw. Sedangkan bagi ayat-ayat yang tidak mengandung
mushkila>t dan mutasha>biha>t, tentu saja tidak ada larangan menafsirkannya dengan
dasar ijtihad. Terlepas dari problema di atas, al-Zahabi dan al-As{fahani berpendapat
bahwa tafsi>r bi al-ra’yi dibolehkan selama sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah serta
menjaga syarat-syarat tafsir.108
Oleh karena itu, tafsi>r bi al-ra’yi ini terbagi menjadi dua, yaitu: Tafsi>r al-
Mah}mu>d, yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan shari’at, jauh dari kebodohan dan
kesesatan, sejalan dengan kaidah bahasa arab, bersandar pada tata bahasa arab dalam
memahami teks-teksnya. 109 Menurut al-Qurt}ubi, tafsi>r bi al-ra’yi al-mah}mu>d adalah
ikhtiar untuk menemukan pemahaman al-Qur’an dengan menggunakan berbagai
pengatahuan, seperti ilmu bahasa arab atau ilmu-ilmu yang lain.110
Tafsi>r bi al-ra’yi al-Maz|mu>m adalah tafsir yang menafsirikan al-Qur’an tanpa
ilmu, inilah yang disebut dengan tafsir “menurut selera penafsir sendiri” jauh dari
tuntunan syara’, jauh dari kaedah bahasa arab, mengikuti hawa nafsu, atau membawa
Firman Allah kepada Mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid’ah
d|ala>lah, atau mendalami Firman Allah swt dengan ilmunya tanpa mengetahui kaidah
bahasa Arab.111
Meskipun tafsi>r bi al-ra’yi diperbolehkan, tetapi tidak serta merta menjadikan
al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan bebas sebebas-bebasnya. Namun, terdapat
beberapa persyaratan yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar oleh seorang
Mufassir. Dalam menerimanya pun, para ulama ada yang memberikan syarat yang
ketat dan juga ada yang longgar. Diantara persyaratan yang ketat adalah
sebagaimana yang disebutkan oleh al-Zarkashi, yaitu: 1). Wajib merujuk kepada
hadis Nabi saw. dan menghindari riwayat yang d}a’i>f dan maud}u>’; 2). Wajib
mengikuti pendapat para sahabat karena mereka berstatus marfu>’, khususnya dalam
hal asba>b al-nuzu>l dan hal lainnya yang tidak bisa dilakukan dengan opini; 3). Wajib
merujuk kepada makna bahasa, serta menghindari memalngkan makna bahasa yang
jauh dari makna yang dimaksud oleh orang Arab; 4). Wajib mengambil apa yang
dikendaki oleh sebuah ungkapan dan dimaksudkan oleh ketetapan syari’at.112

107
Al-Tirmiz|i menganggap hadis ini d{‘i>f. Lihat: al-Tirmiz|i, Sunan al-Tirmi>z|i, jilid 3,
(Kairo: Dar al-Quds, 2009), h. 5.
108
Al-Zahabi, Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n, h. 269-270
109
Al-Z|ahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, h. 188.
110
Al-Qurtubi, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 34.
111
Al-Z|ahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, h. 188.
112
Al-Zarkashi, al-Burha>n fi> ‘Ulum> al-Qur’a>n, jilid 2, (Kairo: Da>r al-Tura>s|, 1984), h.
157-160.

39
Jika kita lihat syarat yang telah ditetapkan oleh al-Zarkashi ini, peluang opini
atau ra’yu seorang mufassir sangatlah sempit, bahkan hampir tidak ada bedanya
dengan tafsir bi al-ma’s|ur atau tafsir dalam nalar epistemologi baya>ni.
1. Sumber Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Burha>ni
Epistemologi burha>ni bersumber pada realitas atau wa>qi’ baik realitas alam,
sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu yang muncul dari tardisi burha>ni disebut
al-‘ilmu al-h{us{u>li yaitu, ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan lewat
premis-premis logik (mant{iq), bukan lewat otoritas teks atau ulama salaf dan juga
bukan lewat otoritas intuisi.113
Pendekatan burha>ni menjadikan teks dan konteks sebagai sumber kajian.114
Kedua sumber kajian ini berada dalam satu wilayah yang saling berkaitan. Teks tidak
berdiri sendiri, ia selalu berkaitan dengan konteks yang mengelilingi dan
mengadakannya, dari mana teks itu dibaca dan ditafsirkan.115 Artinya, lafaz tidak
cukup hanya dipahami berdasarkan arti kebahasaannya, tetapi juga dilihat dalam
perspektif sosio-historisnya.116
Meskipun penafsiran dengan nalar epistemologi burha>ni menjadikan realitas
sebagai sumber penafsiran, tetapi seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an
dengan nalar ini harus memperhatikan beberapa hal di bawah ini untuk juga dijadikan
sebagai sumber penafsiran. agar penafsirannya tidak tergolong tafsir yang tercela (al-
maz|mu>m). Sumber-sumber tersebut adalah: 1). merujuk pada al-Qur’an; 2). Riwayat-
riwayat dari Nabi dengan mengesampingkan hadis yang d}a’i>f dan maud}u>’; 3).
Menukil ucapan para sahabat, khususnya terkait asba>b al-nuzu>l dan sejenisnya yang
tidak ada peluang bagi penalaran, karena menurut sebagian pendapat, ucapan sahabat
setara hadis marfu>’; 4). Merujuk kepada makna asli dari bahasa Arab, serta
menjauhkan diri dari memalingkan makna ayat kecuali ayat yang maknanya tidak
ditunjukkan oleh ungkapan Arab; 5). Menafsirkan al-Qur’a>n sesuai dengan tuntutan
susunan kalimat dan prinsip-prinsip syariat.117
Berdasarkan hal ini, sumber penafsiran nalar epistemologi burha>ni adalah dalil
naql, ijtihad (ra’yu), dan realitas.
2. Metode Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Burha>ni
Terkait dengan kebolehan tafsi>r bi al-ra’y, Muhammad Husen al-Z|ahabi
menyebutkan bahwa langkah yang harus dilakukan dalam menafsirkan al-Qur’an
dengan Ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Menyingkap dan mengungkap makna yang logis.

113
M. Amin Abdullah, At-Takwil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran
Kitab Suci, dalam Jurnal Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Vol. 39, No. 2, Juli-
Desember, 2001, h. 378.
114
Afifi Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Baya>ni, Irfa>ni dan Burha>ni dalam Ijtihad
Muhammadiyah”, Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1, 2012, h. 54.
115
Mehdi Haeri Yazdi, Ilmu Huduri, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat
Islam, ter. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 1994), h. 51-53.
116
Afifi Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Baya>ni, Irfa>ni dan Burha>ni dalam Ijtihad
Muhammadiyah”, Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1, 2012, h. 54.
117
Al-Zarqani, Mana>hil al-ʽIrfa>n, jilid 2, (Isa al-Ba>b al-Halabi, 1943), h. 49-50.

40
b. Mengungkap rahasia yang terdapat dalam al-Qur’an.
c. Mengungkap maksud ayat al-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
d. Menerangkan kebesaran al-Qur’an dalam kemukjizatan bahasanya.
e. Tafsir dilakukan sesuai dengan apa yang ditafsirkan.
f. Teliti dan jeli dalam melihat makna hakiki dan majazi
g. Menyebut Asba>bun Nuzu>l ayat.
h. Menyebutkan muna>sbah (hubungan) antar ayat.
i. Hendaknya mufassir menghindari penjelasan yang pajang dan
pengulangan.118
Sementara itu, menurut al-Zarqani langkah kerja yang harus ditempuh oleh
mufassir yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan tafsi>r bi al-ra’y yaitu:
a. Mencari maknanya dari al-Qur’an, jika tidak ada dalam al-Qur’an, maka
dari hadis, lalu perkataan sahabat.
b. Jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an, hadis, dan perkataan sahabat,
maka mesti berijtihad dengan langkah:
1. Dimulai dari pembahasan terkait lafaz mufrad, yang meliputi bahsa,
s}arf dan ishtiqa>q dengan memperhatikan makna yang berlaku saat al-
Qur’an diturunkan.
2. Mencari makna kalam sesuai susunannya yang terkait dengan i’ra>b
dan bala>ghah.
3. Mendahulukan makna h}aqi>qi dari pada maja>zi. Menggunakan makna
maja>zi hanya jika sulit menggunakan makna hakiki.
4. Memperhatikan asba>b al-nuzu>l.
5. Menjaga maksud dari siya>q al-kala>m.
6. Memperhatikan sa>biq dan la>h}iq, baik dalam satu ayat, maupun antar
ayat.
7. Menyesuaikan antara tafsir dengan yang ditafsirkan, tanpa ada
pengurangan atau penambahan.
8. Menyesuaikannya dengan ilmu-ilmu lain yang terkenal, seperti ilmu
alam, sosial, sejarah umat manusia secara umum, dan sejarah bangsa
Arab khususnya pada saat al-Qur’an diturunkan.
9. Menyesuaikannya dengan sejarah Nabi
10. Mampu menjelaskan makna dan meng-istinba>t-kan hukum darinya
sesuai dengan ketentuan kaidah bahasa, syariat dan ilmu alam.
11. Memerhatikan aturan-aturan tarjih ketika ada berbagai kemungkinan
penafsiran. 119
3. Validitas Kebenaran Penafsiran Al-Qur’an dalam Epistemologi Burha>ni
Terkait dengan validitas penafsiran, hal itu dapat diukur dengan tiga teori
kebenaran, yakni teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme.
Pertama, teori koherensi. Teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dianggap
benar apabila ia sesuai dengan proposisi-proposisi sebelumnya dan konsisten
menerapkan metodologi yang dibangun oleh setiap mufassir. Dengan kata lain, jika

118
Al-Z|ahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, h.197-199.
119
Al-Zarqani, Mana>hil al-ʽIrfa>n, jilid 2, h. 60.

41
dalam sebuah penafsiran terdapat konsistensi berpikir secara filosofis maka
penafsiran tersebut bisa dikatakan benar secara koherensi.
Kedua, teori korespondensi. Menurut teori ini, sebuah penafsiran dikatakan
benar apabila ia berkorespondensi, cocok, dan sesuai dengan fakta ilmiah yang ada
di lapangan. Teori ini dapat dipakai untuk mengukur kebenaran tafsir ilmi. Penafsiran
yang terkait dengan ayat-ayat kauniyyah dikatakan benar apabla ia sesuai dengan
hasil penemuan teori ilmiah yang sudah “mapan”.
Ketiga, teori pragmatisme. Teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran
dikatakan benar apabila ia secara praktis mampu memberikan solusi praksis bagi
problem sosial yang muncul. Dengan kata lain, penafsiran itu tidak diukur dengan
teori atau penafsiran lain, tetapi diukur dari sejauh mana ia dapat memberikan solusi
atas problem yang dihadapi manusia sekarang ini.120
Berikut ini syarat-syarat diterimanya Tafsi>r bi al-ra’yi al-mah}mud: 1).
Memiliki kutipan dari Rasulullah SAW. yang terjaga dari riwayat d}a’if dan mawd}u>’;
2). Berpegang pada pendapat sahabat karena pendapat tersebut berkedudukan
marfu>’, terlebih lagi yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat; 3). Berpegang pada
kemutlakan bahasa; 4). Berpegang pada petunjuk yang diisyaratkan oleh strukutur
kalam121
Tetapi menurut Adz-Dzahaby, para ulama telah menetapkan syarat-syarat
diterimanya tafsir al-ra’yi yaitu, bahwa penafsirnya: 1) Benar-benar menguasai
bahasa Arab dengan segala seluk beluknya, 2) Mengetahui asbabun nuzul, nasikh-
mansukh, ilmu qiraat dan syarat-syarat keilmuan lain, 3) Tidak menginterpretasikan
hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, 4) Ttidak menafsirkan
ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, 5) Tidak menafsirkan ayat
berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap
paham tersebut, 6) Tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang
dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti dan berpegang pada hal-hal
yang ditunjukkan oleh syariat.122
Selama mufasir bi al-ra’yi memenuhi syarat-syarat dan menjauhi hal-hal yang telah
disebutkan di atas yang disertai dengan niat yang ihlas semata-mata karena Allah,
maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika
tidak demikian, berarti mufassir menyimpang dari cara yang dibenarkan sehingga
penafsirannya ditolak.

120
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), h.
83.
121
Ahmad Sarwat, Tafsir Bir Ra’yi, h. 12.
122
Al Dzahabi, Tafsi>r Wa al Mufassiru>n, jilid 4, h. 42.

42
BAB TIGA
IMAM AL-QURT{UBI
PRODUK KONTEKS POLITIK, IDEOLOGIS, DAN INTELEKTUAL
ANDALUSIA

Pembahasan kondisi politik, ideologi, dan intelektual di Andalusia penting


untuk dikemukakan di sini karena untuk mengetahui sejauh mana pengaruhnya
terhadap intelektualitas al-Qurt}ubi, yang nantinya akan memberikan warna terhadap
karya-karya al-Qurt}ubi khususnya “Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n”., baik dari segi
penggunaan sumber penafsiran maupun metodologi penafsiran. Pembahsan ini
didasari oleh hipotesis yang diungkapkan oleh Islah Gusmian yang menyatakan
bahwa tafsir merupakan produk budaya yang mengandung unsur-unsur yang saling
terkait dan saling mempengaruhi, seperti asal-usul dan geneologi keilmuan seorang
penafsir, ruang sosial, budaya, dan politik saat tafsir ditulis, basis sosial dan ideologi
audien tafsir, serta peran sosial-politik yang dimainkan penafsir pada saat tafsir
ditulis.1

A. Kondisi Andalusia pada Masa Al-Qurt}ubi


1. Dinamika sosial-politik
Abad ke-6 dan ke-7 hijriah merupakan abad kelam bagi sejarah Islam di
Andalusia, pada abad ini terjadi perselisihan antara kaum muslimin dan kaum
Nashrani, serta perselisihan antara sesama muslim sehingga sering terjadi
pertempuran sengit di antara mereka. Mereka saling meminta pertolongan kepada
negara kafir untuk menyerang satu sama lain, mereka bukannya menyusun barisan
untuk mendeklarasikan jihad melawan negara-negara kafir. 2 Pada masa inilah al-

1
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Jakarta: Teraju, 2003), h. 30.
2
Al-Qurt}ubi mengaitkan kejadian ini dengan ayat:
ًّ ُ ْ ُ ُ ْ ْ ْ ْ ُ ْ ْ ًّ ُ ْ ْ ُ ْ ُ
َ‫تَا ْرج ِلك ْمََا ْوََيل ِبسك َْمَ ِشيعا‬
َ ِ ‫نَتح‬ َ ‫ثَعل ْيك َْمَعذاباَ ِمنََفو ِقكمََاوََ ِم‬
َ ‫نَي ْبع‬
َ ‫َقلََه َوَالق ِاد ُرََع َلىَا‬
ْ ُ
ْ ْ ُ َ ُ ُُْ ْ ْ
َ ٥٦َ‫ن‬َ ‫تَلعل ُه ْمََيفق ُه ْو‬
َ ِ ‫رَك ْيفََنص ِرفََالاََي‬
َْ ‫ضَانظ‬َ ‫سَبع‬ َ ‫و ُي ِذ ْيقََبعضك ْمََبأ‬
“Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari
atas atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan
(yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian
yang lain.’ Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda
(kekuasaan Kami) agar mereka memahami(nya).” (al-An’a>m [6]: 65).
Setelah menyebutkan bahwa ayat ini ditujukan kepada Kaum muslimin dan orang-
orang kafir, ia menyatakan bahwa hal ini telah ia saksikan, musuh telah hidup bersama kami
di rumah kami dan mereka menguasai jiwa dan harta kami, sedangkan fitnah terjadi diantara
kami, kami saling membunuh satu sama lain dan saling menghalalkan harta satu sama lain.
Lihat: Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 8, (Kairo: Maktabah Al-Safa, 2005),
h. 414-415.

43
Qurt}ubi hidup, tepatnya ia hidup di akhir masa Dinasti Muwahhidun3. Oleh karena
itu, ia banyak mengungkapkan perasaan sedih melihat kondisi tersebut di dalam kitab
“al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>an” dan kitab “al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa
Umu>r al-A>khirah.”4
Pada tahun 591 H. terjadi perang al-Arak (Alarcos) yang diceritakan oleh al-
Qurt}ubi dalam kitabnya, Al-Taz|kirah, bahwa kaum muslimin memperoleh
kenikmatan dan kebahagiaan karena memperoleh kemenangan.5 Perang ini terjadi
antara kerajaan Muwahidun (Almohad) pimpinan Khalifah Abu Yusuf Ya’qub Al-
Mansur bersama pasukan kavaleri Kastilia di bawah pimpinan Pedro Fernández De
Castro melawan Raja Kastilia Alfonso VIII. Perang ini terjadi di dekat Alarcos (Al-
Arak). Dalam pertempuran ini, pasukan Ya’qub Al-Mansur berhasil mengalahkan
Alfonso III, sedangkan pasukan Kastilia berhasil dihancurkan. Setelah itu, Al-
Mans{ur kembali ke Marrakesh pada tahun 594 H. (1198 M.). Kemenangan Al-
Muwahhidun ini merupakan kemenangan terakhir pasukan muslim terhadap Kristen
di Spanyol, karena setelah itu mereka selalu mengalami kekalahan.
Setahun setelah kembali ke Marrakesh, al-Mans}ur wafat, lalu digantikan oleh
putranya, Abu Abdillah Muhammad yang bergelar al-Nas}ir Lidinillah. Pada masanya
ini terjadi perang Al-Iqab yang diceritakan oleh al-Qurt}ubi dalam kitabnya, Al-
Taz|kirah, bahwa umat Islam dalam peperangan ini mengalami kekalahan dan
akhirnya melarikan diri.6 Peperangan ini terjadi antara Al-Nas}ir melawan Alfonso
VIII di benteng al-Iqab pada tahun 609 H. Ia membawa pasukan Salib dari berbagai
negara di Eropa yang dipimpin oleh Innocent III. Peperangan ini berakhir dengan
kekalahan pasukan al-Nas}ir sehingga ia harus kembali ke Marakesh, lalu wafat di

3
Kerajaan Muwahhidun mewarisi kerajaan Murabit}un di Al-Maghrib (Al-Jazair dan
Maroko) dan Andalusia setelah berhasil menaklukkannya. Pada mulanya Muwahhidun
merupakan gerakan dakwah yang diprakarsai oleh Ibn Tumart. Al-Muhad dari Al-
Muwahhidun artinya orang-orang yang mengesakan Allah, secara intelektual mewakili protes
terhadap mazhab Maliki yang kaku, konservatif dan legalistik, yang dominan di Afrika Utara.
Lihat: G. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties oleh
Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), h. 52.
Pada tahun 1117 M. gerakan keagamaan ini berubah menjadi gerakan politik, para
pengikutnya menyebut Ibn Tumart sebagai Imam Mahdi. Setelah Ibn Tumart wafat pada
tahun 524 H., Abdul Mu’min, seorang ahli strategi dan ahli militer, menggantikannya dalam
memerangi kerajaan Murabit}un, akhirnya orang-orang Muwahhidun berhasil menaklukkan
kota Fez pada tahun 540 H. dan Kota Marrakesh pada tahun berikutnya, lalu ia
menjadikannya sebagai Ibu Kota Kerajaan Muwahhidun lihat: Abdurrahman Ali al-Hiji, Al-
Ta>ri>kh Al-Andalusiy Min Al-Fath} Al-Islamiy H}atta Suqu>t} Gharna>t}ah, (Beirut: Da>r Al-Qalam,
1981), h. 457.
Di bawah pimpinan putranya Abu Ya’kub Yusuf ibn Mu’min ibn Ali (580 H/1184 M)
Al-Muwahhidun berhasil menguasai Andalusia yang dikuasai orang Kristen.
4
Miftah al-Sanusi Bal’am, Al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wan
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, (Banghazi, Ja>mi’ah Qanyu>nis, 1998), h. 17.
5
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, (Riyad}:
Maktabah Da>r al-Minha>j, 1425 H), h. 1222.
6
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, , h. 1222.

44
sana pada tahun 610 H. (1213 M.).7 Setelah kekalahan dalam perang Al-Iqab ini,
kerajaan Muwahhidun tidak mempunyai kekuatan lagi, sehingga lambat laun
kerajaan ini runtuh oleh berbagai serangan dari musuh.8
Pasukan gabungan dari kerajaan Aragon (rajanya bernama Raja Jaime I),
Francis, dan Italia berhasil menaklukkan Mallorca, pulau terbesar di Timur
Andalusia, pada hari Senin tanggal 14 S}afar 627 H./ Januari 1230 M.9 Setelah
Mallorca berhasil ditaklukkan, mereka menahan 24.000 penduduknya lalu mereka
membunuhnya, sedangkan gubernurnya, Ibn Yahya, ditahan dan disiksa hingga
mati.10 Salah satu yang mati dari peristiwa ini adalah Abu Marwan Abdul Malik Ibn
Ibrahim Ibn Harun Al-Abdari, seorang ahli qira’ah dan khat}ib di masjid jami’
Mallorca selama 20 tahun, dan Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah al-Bakri,
seorang penyair yang luar biasa.
Fernando III berhasil menaklukkan Kordoba setelah melakukan berkali-kali
penyerangan11 pada tanggal 23 Shawwal 633 H./ 29 Juni 1236 M. 12 Setelah itu
mereka merubah masjid-masjid Jami’ menjadi gereja, baik langsung menjadikannya
gereja maupun dihancurkan terlebih dahulu lalu gereja dibangun di atas puing-puing
masjid tersebut, padahal pada saat itu ada sekitar dua ribu masjid di Kordoba.13
Selanjutnya Chaime I sang penakluk, raja Aragon, berhasil menguasai Vallencia, Ibu
Kota Spanyol Timur, pada bulan Shafar 636 H./September 1238 M.14
Serangan demi serangan yang dilancarkan oleh pasukan musuh tersebut
mengakibatkan wilayah-wilayah di Andalusia Timur dan Tengah takluk di tangan
Spanyol-Nasrani sebelum pertengahan abad ke-7 Hijriah (abad ke-13 masehi).15
Serangan-serangan itu pun mengakibatkan banyak kaum muslim yang terbunuh,
ditawan dan siksa, terusir dari rumah mereka, sehingga mereka berbondong-bondong
meninggalkan Andalusia ke berbagai wilyah yang aman bagi mereka. Al-Qurt}ubi
termasuk orang yang melarikan diri saat berada di benteng Mans|ur ketika musuh
memasuki kota Kordoba. Ia lewat di hadapan musuh untuk melarikan diri, padahal

Abdurrahman Ali Al-Haji, Al-Ta>ri>kh Al-Andalusiy Min Al-Fath} Al-Isla>miy H}atta


7

Suqu>t} Gharna>t}ah, h. 464,


8
Fathi Zaghrut, Bencana-Bencana Besar Dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar),
h. 506.
9
Abdurrahman Ali Al-Haji, Al-Ta>ri>kh Al-Anda>lusiy Min Al-Fath} Al-Isla>miy H}atta
Suqu>t} Gharnat}ah, h. 469.
10
Al-Tilmisani, Nafkh Al-T}i>b Min Ghas}ni Al-Andalus Al-Rat}i>b, jilid 4, (Beirut: Da>r
S}a>dir, 1968), h. 471.
11
Imam al-Qurt}ubi menceritakan salah satu penyerangan yang dilakukan oleh pasukan
musuh ke Kordoba. Ia menceritakan pasukan musuh menyerang Kordoba secara tiba-tiba
pada pagi hari tanggal 3 Ramad}an 627 H, sedangkan pada saat itu orang-orang masih berada
di dalam rumah mereka, sehingga mereka banyak yang terbunuh dan ditawan, salah seorang
yang terbunuh adalah ayah al-Qurt}ubi. Lihat: Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid
5, (Beirut: Mu’assasah Al-Risa>lah, 2006), h. 412-413.
12
Annan, Niha>yah Al-Andalus, h. 34.
13
Annan, Al-As|a>r Al-Andalusiyyah, h. 10.
14
Miftah al-Sanusi Bal’am, Al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|ruhu al-‘Ilmiyyah wan
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 14-15.
15
Annan, Niha>yah Al-Andalus, h. 20-21.

45
saat itu pasukan invantri mencari al-Qurt{ubi, sedangkan al-Qurt}ubi duduk di tanah
lapang sambil membaca surah Ya>sin dan surah lainnya16 tanpa ada yang menutupinya

16
Al-Qurt}ubi membaca surah Ya>sin ayat 1-9. Ada kemungkinan surah lain yang
dibaca olehnya adalah surah al-Isra>’ ayat 45, surah al-Kahfi ayat 57, surah al-Nahl ayat 108,
dan surah al-Ja>s|iyah ayat 33.
Semua surah yang dibaca oleh al-Qurt}ubi sebagai perlindungan dari musuh ini pernah
dilakukan oleh Nabi saw. Al-Qurt}ubi menyebutkannya di dalam kitab tafsirnya, al-Ja>mi Li
Ah}ka>m al-Qur’a>n:
Pertama, pembacaan surah Yasin ayat 1-9 berdasarkan hadis| yang diriwayatkan oleh
Imam Ali Ibn Abu T}alib: “Rasulullah saw. keluar (dari rumah), lalu beliau mengambil
segenggam debu di tangannya, dan Allah Azza wa Jalla pun menghalangi penglihatan mereka
dari beliau, sehingga mereka tidak melihat beliau. Kemudian debu tersebut bertaburan di
kepala mereka, sedangkan Nabi saw. membaca beberapa ayat di surah Yasin:
ْ ْ ُ ْ ْ ُْ
ْ
ََِۙ‫زَالر ِحي ِم‬ ْ
َِ ‫ز‬ ‫لَالَع ِ ي‬ ْ ْ ْ ْ ْ ُ ْ
َ ‫َتن ِزي‬٣ََ‫َعلَىَ ِصراطََمست ِقيم‬٤ََِۙ‫َ ِانكََل ِمنََالمرس ِلين‬٠َِۙ‫َوالق ْراَ ِنََالح ِكي َِم‬٤َََِۚۚ‫س‬
ۤ َ‫ي‬

٦
Hingga firman Allah:

َ ١ََ‫ص ُر ْون‬ ْ ‫نَخ ْلفه ْمََس ًّداَفا ْغش ْينَ ُه َْمَف ُه َْمَلاَ ُي‬
‫ب‬ َ ْ ‫نَۢب ْينََا ْيد ْيه َْمَس ًّداَوم‬
َ ْ ‫وجع ْلناَم‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Hingga Rasululla saw. menyelesaikan bacaan ayat ini, dan tidak ada seorangpun dari
mereka melainkan di kepala mereka ada debu tersebut, kemudian Rasulullah saw. pergi ke
tempat yang ingin beliau tuju.”
Kedua, pembacaan surah al-Baqarah ayat 45 berdasarkan hadis| yang diriwayatkan oleh
Asma’ binti Abu Bakar yang berkata: “Ketika surah ‘ tabbat yada> abi> lahab’ turun, al-Aura’
Ummu Jamil binti Harb –dia memiliki suara yang memekik dan tangannya memegang batu”
datang seraya berkata ‘kami mengabaikan orang yang tercela, kami sangat tidak menyukai
agamanya, dan kami mendurhakai perintahnya’, sedangkan Nabi saw. sedang duduk di masjid
bersama Abu Bakar. Ketika Abu Bakar melihat wanita itu, Abu Bakar berkata, ‘ Wahai
Rasulullah, Ummu Jamil datang, aku takut dia melihatmu .’ Rasulullah saw. berkata: ‘ Dia
tidak akan melihatku’. Rasulullah saw. membaca al-Qur’an, lalu beliau terlindungi
sebagaimana sabda beliau. Rasulullah saw. membaca:
ُْ ْ
ًّ ْ ُ ْ ًّ ْ ْ ُ ُْ ْ ْ ْ ْ ْ
َ ٣٦َِۙ‫نَال ِذينََلاَيؤ ِمنونََ ِبالاَ ِخر َِةَ ِحجاباَمست َورَا‬
َ ‫ك َو ب ي‬
َ ‫واِ ذاَقرأتََالقرَانََجعلناَبين‬
“Dan apabila engkau (Muhammad) membaca Al-Qur'an, Kami adakan suatu dinding
yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada
kehidupan akhirat.” (Q.S. Al-Isra>’ [17]: 45)
Kemudian Ummu Jamil berdiri di hadapan Abu Bakar tanpa melihat Rasulullah saw,
lalu dia berkata: ‘Wahai Abu Bakar, ceritakan kepadaku bahwa sahabatmu telah
menyindirku.’ Abu Bakar berkata: ‘Tidak, demi Tuhan Baitullah ini, dia tidak menyindirmu.’
Kemudian dia berpaling seraya berkata: “Kaum Quraish telah mengetahui bahwa aku anak
perempuan pemimpin mereka.”
Ketiga, Ka’ab meriwayatkan: Nabi saw. tertutup dari pandangan orang-orang mushrik
karena tiga ayat:
- Surah al-Ka>fi ayat 57:
ْ ْ ْ ًّ ُُ ْ
َ ََ‫نَيفق ُه ْو َُهَو ِف َْيَاَذ ِان ِه ْمََوق ًّرا‬
َ ‫ِاناَجعلناَع َلىَقل ْو ِب ِه ْمََا ِكنةََا‬

46
dari pasukan tersebut, lantas pasukan tersebut kembali lagi.17 Selain al-Qurt}ubi, Abu
al-Abbas Ahmad Ibn Umar al-Qurt}ubi, pengarang kitab “al-Mufhim fi Sharh}
Muslim”18 dan juga salah seorang guru al-Qurt}ubi saat di Mesir, juga meninggalkan
Kordoba ke Kinanah.19
Dalam pelarian ini, orang laki-laki berusaha melindungi para wanita agar tidak
jatuh ke tangan musuh. Abu al-Qasim (saudara guru al-Qurt}ubi yang bernama Abu
al-Abbas Ahmad Ibn Umar) –sebagaimana yang diceritakan oleh al-Qurt}ubi–
mengikat sekitar lima puluh wanita secara paralel dalam satu tali karena khawatir
para wanita tersebut tertangkap musuh saat lari dari Kordoba.20
Tidak hanya mengusir dan membunuh kaum muslim, pasukan Spanyol-
Nashrani pun membakar kitab-kitab karya ulama muslim dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang mereka tinggalkan di Andalusia. Filosof Arnest Rennan
menyebutkan bahwa di salah satu perpustakaan Andalusia yang dibakar terdapat
kitab tafsir al-Qur’an yang berjumlah tiga ratus jilid,21 sehingga Arnold Toynbee
menyatakan bahwa “kejatuhan Andalusia oleh pasukan Kristen dengan tumbangnya
Kordoba berdampak pada bidang budaya yang dampaknya sama seperti tumbangnya
Baghdad..”22

“Sungguh, Kami telah menjadikan hati mereka tertutup, (sehingga mereka tidak)
memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka.”
- Surah al-Nahl ayat 108:
َ ُُ ُ ْ ُ
َ ََ‫الل َهَع َلىَقل ْو ِب ِه َْمَوس ْم ِع ِه ْمََوا ْبص ِار ِه ْم‬
َ ََ‫كَال ِذينََطبع‬
َ ‫اولَ َِى‬
“Mereka itulah orang yang hati, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci
oleh Allah. Mereka itulah orang yang lalai,”
- Surah al-Ja>s|iyah ayat 23:
ْ ْ ُ ُ ُ
ََ‫ىه َواضل َه َاللَ َه َعلَى َ ِعلمَ َوخت َم َعلَى َس ْم ِعهَ َوقل ِب َه َوجعل‬ َ ِ ‫افرء ْيتَ َم‬
َ َ‫ن َاتخذَ َ ِالَه َه َهو‬
ًّ َ
َ َ‫علَىَبص ِرهََ ِغشَو َة‬
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah
telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas
penglihatannya?”
Lihat: 16 Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 13, (Kairo: Maktabah
Al-Safa, 2005), h. 92 – 93.
17
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 13, (Kairo: Maktabah Al-Safa,
2005), h. 94.
18
Ahmad Ibn Muhammad al-Muqri mengatakan bahwa kitab ini termasuk kitab yang
paling mulia. Kemuliaan ini dapat diakui karena Imam al-Nawawi menjadikannya sebagai
pedoman di banyak bagian di dalam kitabnya. Lihat: Ahmad Ibn Muhammad al-Muqri, Nafh}
al-T}aib min al-Ghas}ni al-Andalus al-Rat}i>b, jilid 2, (Beirut: Da>r S}a>dir, 1968), h. 615.
19
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi, h. 148.
20
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 639.
21
Al-Rafi’i, I’ja>z Al-Qur’a>n, h. 140.
22
Arnold Toynbee, Mankind and Mother Earth: A Narative History of the World ,
(New York and London: Oxford University Press, 1976),

47
Dalam kondisi politik seperti inilah Imam al-Qurt}ubi hidup, sehingga ia
banyak mengungkapkan kejadian-kejadian tersebut di dalam karyanya, tidak
terkecuali dalam kitab Al-Ja>mi’. Ia mengungkapkan kegelisahannya atas
kemunduran kaum muslimin di Andalusia karena kebodohan mereka, dominasi
shahwat atas mereka,23 mereka mengikuti hawa nafsu, mengejar kekuasaan, berlebih-
lebihan terhadap dunia,24 perilaku yang tercela, niat yang tidak benar, dan ketakwaan
yang telah memudar sehingga kaum musuh dapat mencerai-beraikan kaum muslimin
yang banyak,25 musuh pun akhirnya berhasil masuk ke rumah-rumah mereka dan
menguasai diri serta harta mereka. Fitnahpun terjadi diantara mereka, sehingga
mereka saling membunuh dan saling menghalalkan harta satu sama lain.26
Ia juga mengidentifikasi penyebab Andalusia bisa takluk di tangan pasukan
Spanyol-Nas}rani. Menurutnya, runtuhnya Dinasti Muwahhidun di Andalusia karena
pemerintahan tidak dijalankan oleh pemimpin dan tidak membuat ibukota di
Andalusia,27 sultan-sultan hanya berkuasa di Afrika Utara (Marakkesh), kaum
muslimin telah meninggalkan jihad, menjauhi peperangan, lebih banyak melarikan
diri,28 perbuatan yang rusak, orang-orang lemah yang dibiarkan, kesabaran yang
sedikit, bergantung kepada Allah sangat lemah, dan takwa yang telah hilang.29
Al-Qurt}ubi senantiasa melihat fenomena dari waktu ke waktu hingga
fenomena yang terjadi di masanya untuk mengkontekstualisasikannya di dalam
karya-karyanya, seperti di dalam al-Ja>mi, al-Taz|kirah dan al-Tiz|ka>r.30 Oleh karena
itu, para pembaca tafsir al-Qurt}ubi akan menemukan sejumlah berita tentang
Andalusia seperti di atas di dalam kitab tafsir tersebut.31 Ini menunjukkan bahwa ia
sangat peka dan responsif terhadap kodisi lingkungannya.
Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kritik sosial atas kondisi masyarakat pada
saat itu yang menurutnya jauh dari ajaran Islam sehingga mereka mudah dikalahkan
oleh musuh. Dalam rangka ini, ia mencoba mengkontekstualisasikan ayat al-Qur’an
dengan kondisi Andalusia pada saat itu, seperti penafsirannya terhadap ayat:
ْ ُ ُ ْ
ْ ْ ًّ
َ ‫قَبعضك َْمَبأ‬
َ ََ‫سَبعض‬ َ ‫ا َْوَيل ِبسك َْمَ ِشيعاَو ُي ِذ ْي‬

23
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 17, (Kairo: Maktabah Al-Safa,
2005), h. 61.
24
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 648.
25
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 4, (Kairo: Maktabah Al-Safa,
2005), h. 245.
26
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 8, (Kairo: Maktabah Al-Safa,
2005), h. 415.
27
D. Al-Ilm, Atlas Sejarah Islam: Sejak Masa Permulaan hingga Kejayaan Islam ,
(Jakarta: Kaysa Media, 2013), h. 141.
28
Miftah al-Sanusi Bal’am, Al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manha>juhu fi> al-Tafsi>r, h. 17.
29
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 4, h. 245.
30
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi, 171
31
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy al-Mufassir: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi,
h. 159

48
“atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling
bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang
lain.” (QS. Al-An’a>m [6]: 65).
Ia menyebutkan perbedaan pendapat terkait siapa yang dimaksud dalam ayat
ini, apakah berlaku umum untuk kaum kafir dan umat Islam ataukah hanya khusus
untuk kaum kafir? Lantas al-Qurt}ubi sepakat dengan pendapat Hasan al-Bas|ri yang
berpendapat ayat ini ditujukan kepada Ahli shalat, karena apa yang disampaikan ayat
ini ia saksikan sendiri di Kordoba. Pada saat itu musuh telah menguasai jiwa dan
harta mereka, sedangkan mereka saling bunuh membunuh dan saling menghalalkan
harta mereka.32

2. Dinamika keilmuan dan Pengaruhnya terhadap al-Qurt{ubi


Zaman keemasan keilmuan Andalusia berlangsung sekitar abad ke-11 dan 12
Masehi (abad ke-5 dan ke-6 Hijriah).33 Masa keemasan ini tercapai karena kerajaan
Muwahhidun sangat terbuka dan bersikap lebih demokratik dalam mengembangkan
berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga membuka dimensi baru dalam
perkembangan intelektual di Andalusia yang terlepas dari fanatisme pada salah satu
mazhab pemikiran, sehingga kegiatan keilmuan di berbagai sektor kehidupan
berkembang subur pada masa tersebut seprti ilmu kalam, tasawwuf, sains Islam,
aktivitas penerjemahan ke dalam berbagai bahasa, berkembangnya mazhab Z}ahiri,
dan sebagainya.34 Berbanding dengan kerajaan Murabit}un yang berkuasa sebelumnya
yang berpaham antromorfisme35 dan berparadigma fikih al-Maliki36 sehingga kurang

32
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n, jilid 8, h. 414-415.
33
Phillip K. Hitti, Islam: A Way of Life, (London: University of Minnesota Press,
1970), h. 112.
34
Muhammad Abd al-Hamid Isa, Ta>ri>kh al-Ta’li>m Fi Al-Andalu>s, (Beirut: Da>r al-Fikr
al-`Arabi, 1982), h. 198-199.
35
Ris'an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya, h. 131.
36
Mazhab Maliki telah berkembang sejak masa dinasti Umayyah. Ada dua pendapat
terkait faktor tersebarnya Mazhab Maliki di Andalusia. Pertama, Yahya Ibn Yahya al-Lais|iy
dan Isa Ibn Dinar yang berperan penting dalam menyebarkan Mazhab Maliki di Andalusia
setelah keduanya mendapat restu dari Khalifah Dinasti Umayyah, Hisham Ibn Abdurrahman
(788-796 H.) dan Al-Hakam I (796-822 H.), yang kemudian menjadikannya sebagai mazhab
resmi Dinasti Umayyah. Kedua, tersebarnya Mazhab Maliki di Andalusia terjadi secara
alamiah yang merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat Andalusia yang telah masuk ke
dalam masa yang damai, yang sebelumnya, masa Khalifah Abdurrahman al-Dakhil, selalu
mengalami kesulitan dan peperangan, sehingga mereka membutuhkan formulasi fikih dan
shariat yang sesuai dengan mereka dan telah tersusun secara sistematis. Lihat, Muhammad
Abd al-Hamid Isa, Ta>ri>kh al-Ta’li>m Fi Al-Andalu>s, h. 82-85.

49
memperhatikan perkembangan aliran lain37, bahkan menentang masuknya ilmu
kalam di sana. 38
Sikap kerajaan Muwahhidun ini tidak lepas dari pendirinya, Ibn Tumart, yang
merupakan salah seorang pemikir Islam, sedangkan penggantinya, Abdul Mu’min
beserta keturunannya, menaruh perhatian besar terhadap ilmu dan seni, sehingga
mereka memberikan kebebasan berpikir dan penelitian.39 Hal ini dapat terlihat karena
pemerintah saat itu mensuportnya dengan membangun berbagai institusi pendidikan
dan mengumpulkan para cendekiawan dari seluruh dunia untuk menjadi tenaga
pengajar di berbagai universitas yang mereka dirikan,40 sehingga lembaga-lembaga
pendidikan tersebut penuh oleh para cendekiawan. Mereka juga menggaji tenaga
pengajar dari kalangan khatib, qari al-Qur’an, imam, dan ulama’.
Di sana juga banyak sekali buku dan perpustakaan. Sebab, para penguasa
kerajaan Muwahhidun dan juga kerajaan sebelumnya (Bani Umayyah) sangat suka
mengoleksi buku.41 Juga banyak kajian ilmiah dilakukan di dekat istana dan di
masjid-masjid yang menjadi pusat pendidikan.42 Merebaknya majelis-majelis ilmu
karena penduduk Andalusia sangat mencintai ilmu dan ulama, sehingga meskipun
pada masa tersebut penuh gejolak, mereka tetap berlomba dalam ilmu pengetahuan
dan kemajuan.
Iklim yang kondusif seperti ini memicu tumbuh dan merekahnya berbagai
cabang ilmu pengetahuan, baik fikih, teologi, sastra, tasawwuf maupun sains Islam,
sehingga pada masa tersebut lahirlah tokoh-tokoh sarjana Islam dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan di Andalusia, seperti Ibn Zuhr 43 (w. 595 H.) sebagai ahli

37
Kerajaan Murabit}un tidak memberikan kebebasan berpikir bagi para Filusuf.
Penguasa pada saat itu menyerang para Filusuf dan ahli kalam, serta membakar kitab-kitab
dan karya-karya mereka, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap karya Imam Al-Ghazali
(w. 513 H. / 1119 M.). Setelah Imam al-Ghazali menyelesaikan penulisan “Ih}ya>’ ‘Ulu>mi Al-
Di>n”, penguasa Murabit}un meminta agar semua lembaga pendidikan di Andalusia dan
Maghrib memfatwakan bahwa kitab tersebut mengandung pendapat-pendapat yang
menyimpang, lalu mereka melarang membacanya dan membakar kitab tersebut. Lihat:
Ashbakh, Ta>ri>kh Al-Andalus, jilid 2, h. 239.
38
Muhammad Ali Hanafiah Norasid dan Mustaffa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir di
Andalus Pada Era Kerajaan Muwahhidun (540 H./1142 M. – 667 H./1268 M.): Satu Tinjauan
Awal, dalam Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 7(1), 2012, h. 38.
39
Annan, Niha>yah Al-Andalus, h. 436 – 437.
40
Salmah Omar, Andalus; Semarak Tamadun Eropah, (Shah Alam: Karisma
Publication, 2009), h. 21
41
Ahmad Ibn Muhammad al-Muqri, Nafh} al-T}aib min al-Ghas}ni al-Andalus al-Rat}i>b,
jilid 1, h. 462.
42
Muhammad Abd al-Hamid Isa, Ta>ri>kh al-Ta’li>m Fi Al-Andalu>s, h. 207.
43
Ibn Zuhr merupakan tokoh pengobatan yang terkenal di Andalusia. Ia telah
menghasilkan enam karya tentang pengobatan, diantara karyanya yang paling utama adalah
al-Taysi>r fi al-Murawah al-Tadbi>r. Karya ini membahas tentang penyakit telinga, penyakit
kudis, kemih,batu saluran dan sebagainya. Lihat: Salmah Omar, Andalus; Semarak Tamadun
Eropah, h. 160-161.

50
pengobatan Islam, Ibn T}ufail (w. 581 H.) dan Ibn Rushd44 (w. 594 H.) sebagai ahli
filsafat Islam, Ibn Asfur (w. 669 H.) sebagai ahli bahasa, Ibn Arabi (w. 638 H.) dan
Ibn Sab’in 22 (w. 669 H.) sebagai ahli tasawwuf, Ibn Bassal sebagai pakar botani,
Ibrahim Ibn Sahl (w. 649 H.) sebagai sastrawan, al-Qurt}ubi (w. 671 H.) dan Ibn
Atiyyah (w. 542 H) sebagai ahli tafsir, dan lain-lain.45
Pada saat itu Andalusia pun telah menjadi pusat ilmu pengetahun sehingga
para pelajar di sana tidak perlu lagi menempuh pendidikan ke Timur,46 salah satunya
adalah Al-Qurt}ubi. Ia tercatat tidak pernah melakukan perjalanan ilmiah untuk
menuntut ilmu ke luar Andalusia, kecuali setelah Kordoba ditaklukkan. Oleh karena
itu, pembentukan keilmuan al-Qurt}ubi diperoleh di Andalusia, baik ilmu fikih
mazhab Maliki, kaidah bahasa, maupun sastra. Diantara ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat dan mempengaruhi pengetahuan al-Qurt}ubi adalah:
a. Bahasa dan Sastra
Pendidikan bahasa Arab di Andalusia sudah dimulai sejak kekuasaan Bani
Umayyah II, karena para ulama di Andalusia melakukan perjalanan menuntut ilmu
ke dunia Islam bagian timur dan membawa kitab-kitab induk dari sana ke Andalusia.
Pembelajaran bahasa Arab mengalami perkembangan yang pesat dengan datangnya
ulama dari Timur dan kembalinya para pelajar Andalusia dari Timur.47
Mereka mengajarkan anak-anak mereka shair, kaidah bahasa Arab48 dengan
menghafalkannya, dan teknik menulis Arab sejak dini sehingga mereka sangat mahir
bahasa Arab melebihi orang Arab itu sendiri.49 Bahkan mereka rela menomorduakan
bahasa asli mereka. Pada akhirnya, bahasa Arab mampu menggantikan posisi bahasa
lokal. Bahasa Arab mampu diterima oleh penduduk Andalusia dikarenakan bahasa
Arab telah menjadi bahasa ilmu pengetahuan, budaya, pemikiran,50 bahasa resmi dan
bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Andalusia.51 Selanjutnya, banyak
karya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti agama, kedokteran,

44
Ibn Rushd adalah salah seorang filsuf Muslim dari Andalusia (1120-1198 M.). Ia
merupakan penjelas filsafat Aristoteles paling senior, sehingga para pemikir Barat
menjulukinya “The Great Commentator”. Ibn Rushd sangat berpengaruh di Eropa, darinya
muncul gerakan Averroisme (Ibn Rushd-isme) yang menuntut kebebasan berpikir di Eropa,
sehingga melahirkan reformasi di Barat pada abad ke-16 M. dan rasionalisme pada abad ke-
17 M. Lihat: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 109.
45
Lutfi Abd al-Badi’, Al-Isla>m fi Asba>nia, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah,
1969), h. 71-74.
46
Muhammad Abd al-Hamid Isa, Ta>ri>kh al-Ta’li>m Fi Al-Andalu>s, h. 312.
47
Muhammad Abd al-Hamid Isa, Ta>ri>kh al-Ta’li>m Fi Al-Andalu>s, h. 311.
48
Orang-orang Andalusia mengajarkan anak mereka di tingkat pendidikan menengah
kitab-kitab Nahwu yang sedang dan ringkas, sedangkan kitab-kitab Nahwu yang besar
diajarkan di tingkat pendidikan selanjutnya. Lihat: Muhammad Abd al-Hamid Isa, Ta>ri>kh al-
Ta’li>m Fi Al-Andalu>s, h. 216.
49
Ibn Khaldun, Muqaddumah Ibn Khaldu>n, (Kairo: Al-Mat}ba’ah Al-Azhariyyah, 1331
H.), h. 344.
50
Philip K. Hitti, History of the Arab, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.
138.
51
Philip K. Hitti, History of the Arab, h. 138.

51
astronomi, sejarah, geografi dan lain sebagainya di Andalusia ditulis menggunakan
bahasa Arab.
Pada masa ini juga banyak dihiasi oleh tokoh-tokoh yang ahli bahasa Arab,
diantaranya: Ibnu Sayyidih al-Mursi (1006-1066 M.) yang merupakan seorang
sastrawan dengan karyanya yang berjudul “Al-Muh}kam wa Al-Muh}i<t} Al-A’z}am”,
Abu Ali Al-Ishbili atau dikenal juga al-Shalubin (w. 645 H.) adalah bapak para ahli
Nahwu, Muhammad Ibn Abdullah Ibn Malik al-T}a’i al-Andalusi (1202-1274 M) yang
merupakan pengarang Alfiyah tentang tata bahasa Arab, Abu al-Hasan Ibn Us}fur al-
Ishbili (1200-1270 M.) yang merupakan pengarang kitab “Al-Muqri>b Fi Al-Nah}w”
dan “Al-Mumti’ Fi Al-Tas}ri>f ”, Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Khuruf
al-Ishbili (1130-1212 M.) yang merupakan pensharah Kitab Sibawaih.
Sastra juga berkembang pesat di Andalusia. Karya sastra tumbuh dan
berkembang signifikan pada akhir abad kesepuluh dan kesebelas masehi, meskipun
pada saat itu merupakan periode disintegrasi politik dan stabilitas, tetapi puisi
(sastra) tidak segera naik dan turun dengan setiap fluktuasi ruang politik.52 pada
periode ini banyak bermunculan sastrawan, seperti Ibn Abd Rabbih (860-940 M.) dari
Kordoba dengan karya “Al-‘Iqd al-Fari>d” dan “Agha>nī”, ‘Ali Ibn Ḥazm (994-1064
M.) yang bukan hanya seorang ahli hukum maz|hab Ẓa>hiri (literalis) dan ahli teologi,
tetapi juga seorang sastrawan besar, karyanya dalam bidang sastra adalah S|awuq Al-
Ḥama>mah, Abu Walud Ahmad Ibn Zayd (1003-1071 M.) yang dianggap penyair
terbesar Andalusia, Walladah binti Al-Mustakfi (w. 1087 M.),53 Al-Fath Ibn Khaqan
al-Ishbili (1087-1134 M.) yang shair-shairnya terangkum dalam karyanya yang
berjudul “Qala>’id al-'Uqyan”, Ibnu Bassam al-Shantirini (1058-1147 M.) dengan
karyanya yang berjudul Al-Z|akhi>rah fi> Mah}a>sin Ahl Al-Jazi>rah yang menjadi rujukan
dalam bidang sastra dan sejarah di Andalusia, dan dan lain-lain.
Perkembangan bahasa Arab dan sastra yang sangat pesat ini membuat al-
Qur’t}ubi mudah mengakses dan mempelajari literatur-literatur dalam bidang ini,
sehingga al-Qurt{|ubi bisa mudah menguasainya dengan mendalam, meskipun dalam
proses pendidikannya ia tidak meninggalkan Andalusia. Kemampuannya ini ia
gunakan untuk menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan linguistik.
Di dalam kitab tafsirnya kita akan mendapati al-Qurt}ubi banyak
mendiskusikan aspek kebahasaan dari berbagai aspeknya, seperti kata derivasi,
perbedaan makna setiap kata, dan penjelasan aliran-aliran Nahwu, baik yang berasal
dari Timur Tengah maupun dari Maghrib. Untuk menguatkan penjelasannya terkait
aspek ini, ia banyak mengutip ungkapan-ungkapan Arab yang berupa shair, nas|r
(prosa), dialek kabilah-kabilah Arab, dan mas|al (pribahasa) Arab, baik yang berasal
dari masa Jahiliyah, permulaan Islam, Bani Umayyah, maupun Bani Abbas.54
Hal ini terlihat saat ia menafsirkan ayat “istawa> ‘ala al-‘arsh” di surah al-A’raf
ayat 54. Ia mencoba menganalisis ayat ini melalui aspek kebahasaan. Ia

52
Imam al-Ghazali Said, The Heritage of Al-Andalus and the Formation of Spanish
History and Identity, dalam Jurnal International Journal of History and Cultural Studies
(IJHCS), Vol., Issue. 1, 2017, h. 68.
53
Philip K. Hitti, History of the Arab, h. 557-566.
54
Miftah al-Sanusi Bal’am, Al-Qurt}u>bi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 173.

52
mengemukakan berbagai perbedaan makna “istiwa>’” berpendapat maknanya adalah
“al-‘Uluw” dan “irtifa>’ ” dengan menyebutkan shair yang menunjukkan makna
tersebut, kemudian ia mengaitkannya dengan Allah swt. dengan mengatakan bahwa
keagungan (‘uluw) Allah merupakan ungkapan tentang keagungan kemuliaan, sifat,
dan kekuasaan Allah, yang tidak ada yang lebih tinggi atau bahkan menyamai
keagungan-Nya. Setelah itu, ia menyebutkan berbagai macam makna “al-‘Arsh”, lalu
ia mengemukakan bahwa “al-‘arsh” di takwil dengan makna “al-mulk” (kekuasaan),
yaitu “ma> istawa> al-mulku ulla> lahu jalla wa ‘azza”.55 Hanya saja ia tidak berbicara
lebar tentang masalah ini di ayat tersebut, tetapi ia mengarahkan pembaca tafsirnya
agar membaca permasalahan ini di kitabnya yang berjudul “al-asna> fi> Sharh}i asma>’
Alla>h al-H}usna wa s}ifa>tihi al-‘ula>”, di dalam kitabnya ia menyebutkan empat belas
pendapat tentang masalah ini.
b. Teologi
Aliran Ash’ariyah berkembang di Andalusia pada era kerajaan Muwahhidun
yang dibawa oleh pendirinya, Ibn Tumart56, yang sangat terpengaruh oleh al-
Ghazali57. Secara tidak langsung, inilah bibit-bibit aliran ilmu kalam mulai masuk ke
Andalusia , lalu aliran ini mendapat tempat di masyarakat dan para intelektual.58
Tersebarnya akidah Ash’ariyah di Andalusia ini mempengaruhi mufassir
Andalusia seprti Ibn At}iyyah, al-Qurt}ubi dan Ibn Juzi.59 Mufassir-mufassir Andalusia
ini sering mengkritik dan membantah pendapat-pendapat Mu’tazilah, Rafid}ah,
Qadariyah, Khawarij dan Karamiyah,60 baik dalam masalah us}u>l maupun dalam
masalah furu>’. Umumnya mereka tidak mengemukakan pendapat ketiga mazhab ini
di dalam tafsir mereka, kecuali untuk tujuan menolak dan membatalkan
pendapatnya.61

55
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n, jilid 9, h. 239 -240.
56
Pada permulaan abad ke-6 Hijriah, Ibn Tumart melakukan perjalanan ke Negeri
Islam bagian Timur, lalu ia belajar ke sejumlah ulama, diantaranya al-Ghazali. Lihat:
Abdurrahman Ali al-Hiji, Al-Ta>ri>kh Al-Andalusiy Min Al-Fath} Al-Islamiy H}atta Suqu>t}
Gharna>t}ah, (Beirut: Da>r Al-Qalam, 1981), h. 456.
57
Setelah al-Juwaini wafat, al-Ghazali melanjutkan pengembangan ajaran Ash’ariyah
di Perguruan Tinggi Niz}amiyah, Baghdad. Al-Ghazali membuat teologi Ash’ariyah menjadi
sangat populer sehingga menjadi teologi umat Islam pada umumnya hingga saat ini. Sebagian
besar teologi Ash’ariyah diwarnai oleh pemikiran al-Ghazali, bahkan Islam yang
digambarkan oleh mayoritas orang adalah Islam yang bercorak pemikiran al-Ghazali. Lihat,
Ris'an Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya, (Jakarta:
Kencana, 2015), h. 130.
58
Adnan Fa’iq Anbatawi, Hikaya>tuna> fi> al-Andalus, (Beirut: al-Mu’assasah al-
‘Arabiyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nas}r, 1989), h. 103
59
Fahd Ibn Abdurrahman Ibn Sulaiman Al-Rumi, Manhaj Al-Madrasah Al-Andalusiah
Fi> Al-Tafsi>r: S}ifa>tuhu wa Khas}a>’isuhu, h. 26.
60
Fahd Ibn Abdurrahman Ibn Sulaiman Al-Rumi, Manhaj Al-Madrasah Al-Andalusiah
Fi> Al-Tafsi>r: S}ifa>tuhu wa Khas}a>’isuhu, h. 23-25.
61
Fahd Ibn Abdurrahman Ibn Sulaiman Al-Rumi, Manhaj Al-Madrasah Al-Andalusiah
Fi> Al-Tafsi>r: S}ifa>tuhu wa Khas}a>’isuhu, (Riyad}: Maktabah Al-Taubah, 1997), h. 34.

53
Bantahan Ibnu At}iyyah terhadap pemahaman Shi’ah terlihat saat ia
menafsirkan surah Al-Nahl:
ْ ًّ ًّ ْ ُ ُ ُ ْ
ََ‫ت َبلَى َوعدا َعل ْي ِهَ َحقا َوَل ِكنَ َاكثر‬
َ ‫ن َي ُم ْو‬
َ ْ َ‫الل َه َم‬
َ َ َ‫واقس ُم ْوا َ ِباللَ َِه َج ْهدَ َا ْيم ِان ِه ْمََِۙلا َي ْبعث‬
ْ
َ ‫اسَلاَيعل ُم ْو‬
َ ٤٨َِۙ‫ن‬ َ ِ ‫الن‬
“Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah yang sungguh-
sungguh, “Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” Tidak demikian
(pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari-
Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Nah}l [16]: 36).
Menurut sebagian mazhab Shi’ah, ayat ini ditunjukkan kepada Ali Ibn Abu
T}alib bahwa Ali akan dibangkitkan di dunia. Kemudian Ibnu At}iyyah mengatakan
bahwa pendapat ini merupakan faham raj’ah (faham yang mempercayai orang yang
mati bisa kembali lagi ke dunia), pendapat mereka ini batil (tidak memiliki dasar
yang s}ahih), mendustakan Allah, dan dusta yang dibantah oleh Ibn Abbas dan
lainnya.62 Hanya saja, Ibn At}iyah tidak mengemukakan argumen baik melalui dalil
‘aqli maupun dalil naqli’ dalam membantah pendapat tersebut, seandainya ia
membantahnya dengan berbagai argumen, tentu lebih bagus.
Al-Qurt}ubi juga menunjukkan afiliasi teologis terhadap sunni-Ash’ariyah
dengan melakukan pembelaan terhadap akidah sunni serta berpolemik dengan aliran
teologis lainnya seperti Mu’tazilah, Syi’ah Rafid}ah, Qadariyah maupun golongan
lain termasuk pandangan para sufi yang ekstrem dan para filosof.63 Diantara keritikan
dan bantahannya adalah bantahannya terhadap pendapat Mu’tazilah tentang orang
mukmin yang melakukan dosa tidak mendapatkan shafaat dari Rasulullah saw.
karena ia kekal di neraka. Mu’tazilah berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an yang
membantah hadis-hadis tentang Nabi saw. memberi shafaat kepada orang mukmin
yang melakukan dosa, diantara dalil-dalil yang diajukan oleh Mu’tazilah adalah:
Pertama, firman Allah swt.:
ُ ُ
َ ْ ‫ماَ ِللظَ ِل ِم ْينََ ِم‬
َ ٤٨ََ‫نَح ِم ْيمََولاَش ِف ْيعََيطاع‬
“Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada
baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” (Q.S. Ghafir [40]:
18).
Kedua, firman Allah swt.:
ًّ ُ ْ ْ ْ ُ ْ ْ ْ
َ ٤٠٤َ‫نَاللَ َِهَولِ ياَولاَن ِص ْي ًّرا‬
َ ِ ‫نَد ْو‬ َ ‫لَ ُس َْوۤ ًّءاَيجزََ ِب َهَِۙولاَ ِيج‬
َ ‫دَلهََ ِم‬ َ ‫نَيعم‬
َ‫م‬
“Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan
kejahatan itu, dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain
Allah,” (Q.S. Al-Nisa’ [4]: 123).
Ketiga, firman Allah swt.:

Ibn At}iyyah, Al-Muh}arrar Al-Waji>z fi Tafsi>r Al-Kita>b Al-‘Aji>z, (Beirut: Da>r Al-
62

Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2001), jilid 3, h. 393.


63
Ainul Mardhiyah, Melacak Penafsiran Kontemporer di Belahan Barat Dunia Islam,
dalam jurnal Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, h. 246.

54
ٌ ْ ُ ْ
َ َ‫ولاَ ُيقبلََ ِمنهاَشفاع َة‬
“Sedangkan syafaat dan tebusan apa pun darinya tidak diterima,” (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 48).
Kemudian al-Qurt}ubi membantah pendapat tersebut dengan beberapa
argumen diantaranya:
Pertama, kata “z|a>lim” di surah Ghafir ayat 18 tidak bermakna umum (setiap
orang yang melakukan kejelekan), tetapi maksudnya adalah orang kafir, bukan orang
mukmin, karena banyak hadis yang menjelaskan hal itu.64
Kedua, Allah menetapkan shafaat dapat diberikan kepada seseorang,
sedangkan yang lain tidak diberikan. Kemudia al-Qurt{ubi menyebutkan beberapa
ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal itu, diantaranya:
Firman Allah swt.:
ُ ُ ْ
َ ٣٨ََ‫فماَتنفع ُه َْمَشفاعةََالشَ ِف ِع ْين‬
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari orang-orang
yang memberikan syafaat,” (Q.S. Al-Mudas|ir [74]: 48).
Firman Allah swt.:
ُ ْ
َ ِ ‫ولاَيشفع ْونََِۙ ِالاَ ِلم‬
َ َ‫نَ ْارتضَى‬
“dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai
(Allah),” (Q.S. Al-Anbiya>’ [21]: 28).
Firman Allah swt.:
ْ ُ ْ
َ ْ ‫ولاَتنف ُعََالشفاع َةَ ِعندهََ ِالاَ ِلم‬
َ َََۚ‫نَا ِذنََله‬
“Dan syafaat (pertolongan) di sisi-Nya hanya berguna bagi orang yang telah
diizinkan-Nya (memperoleh syafaat itu,” (Q.S. Saba’ [34]: 23).
Berdasarkan ayat-ayat ini, menurutnya, shafaat bermanfaat bagi orang-orang
mukmin dan tidak diberikan kepada orang lain.
Ketiga, ahli tafsir telah sepakat bahwa kata “nafs” dalam ayat ini adalah orang
kafir, bukan semua nafs.
Kemudian al-Qurt}ubi juga membantah pendapat Mu’tazilah tentang orang
mukmin yang melakukan dosa besar akan kekal di neraka. ia berpendapat bahwa
pelaku maksiat tidak kekal di neraka dengan dalil:
ُ ْ
َ ْ ‫كَ ِلم‬
َ ََِۚۚ‫نَيشاۤ َُء‬ َ ‫رَماَد ْونََ َذ ِل‬
َُ ‫ويغ ِف‬
“dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia
kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah,” (Q.S. Al-Nisa>’ [4]: 48).
Dan firman Allah swt.:
ْ ْ
َ ََ‫حَاللَ َِهَ ِالاَالق ْو َُمَالكَ ِف ُر ْون‬ َ ْ ‫ِانهََلاَياَ ْيـَ ُسََ ِم‬
َ ِ ‫نَر ْو‬

64
Sayangnya al-Qurt}ubi tidak menyebutkan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa
kata z}a>lim maksudnya adalah orang kafir.

55
“Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang
yang kafir.” (Q.S. Yusu>f [12]: 87).
Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan al-Qurt}ubi terhadap Mu’tazilah di
dalam Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n.65
c. Fikih
Dalam bidang fikih, Andalusia dikenal sebagai panganut mazhab Maliki.
Mazhab ini diperkenalkan oleh Ziyad bin Abd al-Rahman bin Shibtun (w. 199 H./804
M.) dan al-Ghazi bin Qais (w. 209 H./ 814 M.). Perkembangan selanjutnya ditentukan
oleh faktor Yahya bin Yahya al-Lais| yang menjadi qad}i pada masa Hisham bin ‘Abd
al-Rahman yang memiliki semangat untuk menyebarkan mazhab tersebut.66 Dari
masa ke masa mazhab ini selalu menjadi mazhab resmi Negara. Pada abad ke-5
Hijriah, kerajaan Murabit}un menjadikan mazhab Maliki sebagai mazhab resmi
kerajaan, mereka kurang terbuka terhadap mazhab lain.67 Puncaknya, khalifah Ali bin
Yusuf bin Tāshifīn (1106-1143 M.) memasukkan karya-karya al-Ghazali ke dalam
daftar hitam, bahkan ia membakarnya karena ia menganggap beberapa pandangan al-
Ghazali menghina para ahli fikih maz|hab Maliki yang merupakan mazhab resmi
pemerintah Murabit}un.68
Pengaruh mazhab Maliki yang begitu luas di Andalusia mempengaruhi
pandangan mayoritas mufassir Andalusia, sehingga mereka sering mengutip mazhab
Maliki ketika mengulas ayat-ayat hukum.69
Selepas kerajaan Muwahhidun mengambil alih kekuasaan dari kerajaan
Murabit}un pada abad ke-6 hingga abad ke-7 Hijriah, masyarakat Andalusia mulai
memperlihatkan keterbukaan terhadap maz|hab lain. Sebab, pemerintah Muwahhidun
membuka pintu lebar-lebar terhadap berbagai aliran pemikiran. Bahkan, untuk
mendukung kebijakannya, khalifah al-Hakam Ya’qub (khalifah ke-4 kerajaan
Muwahhidun dari tahun 1184-1199 M.) mengeluarkan perintah supaya membakar
kitab-kitab fikih mazhab Maliki,70 ia juga menjatuhkan hukuman keras bagi siapa
saja yang fanatik yang berlebihan terhadap mazhab Maliki,71 sehingga pengaruh

65
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n, jilid 2, h. 72 -78.
66
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. cet. 11
102-103.
67
Muhammad Abd al-Hamid Isa, Ta>ri>kh al-Ta’li>m Fi Al-Andalu>s, h. 174.
68
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi
Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2006), h. 690.
69
Muhamad Alihanafiah Norasid dan Mustaffa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir di
Andalus Pada Era Kerajaan Muwahhidun (540 H/1142 M – 667 H/1268 M): Satu Tinjauan
Awal, dalam Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 7(1), 2012, h. 49.
70
Fahd Ibn Abdurrahman Ibn Sulaiman Al-Rumi, Manhaj Al-Madrasah Al-Andalusiah
Fi> Al-Tafsi>r: S}ifa>tuhu wa Khas}a>’isuhu, h. 197.
71
Sikap keras Abu Yusuf Ya’qub hanya kepada orang-orang yang fanatik pada mazhab
Maliki tanpa mengindahkan pandangan mazhab lain, buktinya adalah ia tidak menghukum
Ibn Rushd yang merupakan tokoh besar mazhab Maliki karena Ibn Rushd sangat terbuka
terhadap ide filsafat, ia juga mendukung perkembangan mazhab Z}ahiri. Lihat: Muhamad
Alihanafiah Norasid dan Mustaffa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir Di Andalus Pada Era

56
ulama Maliki mulai berkurang. Kemunculan Imam Al-Qurt}ubi yang telah
menghasilkan karya tafsir “al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n” mencerminkan fenomena
pada era tersebut karena ia tidak bersikap fanatik kepada mazhab Maliki, bahkan
adakalanya beliau mentarjih pandangan mazhab lain meskipun ia seorang pakar fikih
Maliki dan pentafsiran beliau beraliran fikih al-Maliki.72
Ketika al-Qurṭubī menafsirkan ayat tentang pokok masalah apapun, ia justru
sering keluar dari jalur mazhab Maliki jika pendapat maz}hab Maliki ia anggap salah,
lalu ia memilih mazhab lainnya yang menurutnya lebih benar (ṣaḥīḥ).73
d. Qira’at dan Tafsir
Ilmu qira’at memiliki peranan penting dalam kajian tafsir di Andalusia karena
para mufassir di Andalusia sangat menaruh perhatian pada aspek perbedaan qira’at.
Perhatian mereka terhadap qira’at tidak lepas sistem pembelajaran al-Qur’an di sana,
umumnya orang-orang Andalusia menjadikan pembelajaran al-Qur’an dan
menuliskannya sebagai pondasi utama dalam mendidik anak-anak mereka.74 Setelah
itu mereka mempelajari ilmu qira’at.75
Sementara itu, dalam bidang tafsir, pada abad ketiga hingga keenam Hijriah,
perkembangan aliran tafsir di Andalusia lebih menjurus pada aliran Tafsir Fikih
Maliki dan aliran Tafsir al-As|ari. Setelah kerajaan Muwahhidun berhasil menguasai
Andalusia dari tangan kerajaan Murabut}un pada abad ke-6 Hijriah, perkembangan
intelektual begitu pesat di Andalusia karena kerajaan Muwahhidun bersikap terbuka
dan toleran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga membuka dimensi
baru terhadap pertumbuhan aliran tafsir dalam mengadaptasikan kebebasan akal
tanpa mengabaikan pendekatan naql, lalu melahirkan satu corak baru dalam aliran
tafsir yaitu aliran Tafsir al-Falsafi dan aliran tafsir al-Sufi, sedangkan perkembangan
aliran Tafsir al-Fiqhi tetap berjalan dengan baik,76 hanya saja fanatisme terhadap
mazhab Maliki dalam penafsiran ayat hukum mulai memudar. Pada akhir-akhir
pemerintahan kerajaan Muwahhidun hingga masa-masa awal pemerintahan kerajaan

Kerajaan Muwahhidun (540 H./1142 M. – 667 H./1268 M.): Satu Tinjauan Awal, dalam
Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 7(1), 2012, h. 38.
72
Fahd Ibn Abdurrahman Ibn Sulaiman Al-Rumi, Manhaj Al-Madrasah Al-Andalusiah
Fi> Al-Tafsi>r: S}ifa>tuhu wa Khas}a>’isuhu, h. 200.
73
Al-Qaṣabī Maḥmūd Zalaṭ, Al-Qurṭubī wa Manhajuhu fī Tafsīr, h. 344.
74
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldu>n, (Kairo: Al-Mat}ba’ah Al-Azhariyyah, 1331
H.), h. 344.
75
Ahli qira’at banyak bermunculan di Andalusia dengan berbagai karyanya,
diantaranya: Abu Amr Us|man Ibn Sa’id Al-Dani (371 - 444 H.) dengan karyanya “At-Taysi>r
Fi> Qira>’a>t As-Sab’”, Imam Abu al-Abbas Ahmad Ibn Ammar Ibn Abu al-Abbas al-Mahdawi
(w. 430 H.) dengan karyanya “Kita>b Al-Hida>yah Fi> Al-Qira>’a>t Al-Sab’”, Imam Abu Al-
Qasim Yusuf Ibn Ali Al-Huz|ali al-Maghribi (w. 465 H.) dengan karyanya “ Kita>b Al-Ka>mil
Fi Al-Qira>’a>t Al-‘Ashr”, Abu Abdullah Muhammad Ibn Shuraih Ibn Ahmad Ibn Muhammad
Ibn Shuraih al-Ru’aini al-Ishbili (w. 476 H.) dengan karyanya “Kita>b Al-Ka>fi> Fi> Al-Qira>’a>t
Al-Sab’”, setelah itu muncul Imam Al-Shat}ibi (538 – 590 H.) dengan karyanya “H}irz Al-
Ma>ni”, dan lain-lain. Lihat: Miftah al-Sanusi Bal’am, Al-Qurt}u>bi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-
‘Ilmiyyah wan Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, (Banghazi, Ja>mi’ah Qanyu>nis, 1998), h. 24.
76
Muhammad Abd al-Hamid Isa, Ta>ri>kh al-Ta’li>m Fi Al-Andalu>s, h. 178.

57
Nas}riyyah di Kordoba (pertengahan abad ke-7 Hijriah), muncul penafsiran bercorak
lughawi.77
Aliran tafsir yang becorak Fikih diwakili oleh tafsir Ah}ka>m Al-Qur’a>n karya
Abu Bakar Ibn al-Arabi78 (w. 543 H.), seorang ahli tafsir yang fanatik terhadap
mazhab Maliki, fanatismenya ini ia tuangkan dalam tafsirnya tersebut, sehingga Al-
Qurt}ubi pernah mengeritik dan mencela sikap fanatiknya ini. 79 Al-Muh}arrar al-Waji>z
karya Ibn At}iyyah80 (w. 541 H.) mencerminkan tafsir bi al-ma’s|u>r81, ia merangkum
semua tafsir bi al-ma’s|u>r, lalu ia menelitinya untuk menghasilkan riwayat yang
paling mendekati kebenaran,82 sehingga karyanya ini telah menjadi rujukan tafsir bi
al-Ma’s|ur yang paling utama dalam kajian tafsir pada masanya,83 diantara ahli tafsir
yang menjadikan kitabnya sebagai rujukan adalah al-Qurt}ubi yang mengikuti metode
Ibn At}iyyah dan menjadikannya sebagai salah satu rujukan utama di dalam tafsir Al-
Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m.84 Karya Muhyiddin Ibn Arabi
(w. 638 H.) mencerminkan aliran Tafsir al-Sufi. Imam al-Qurt}ubi (w. 671 H.) turut
menyumbang perkembangan kajian tafsir al-Qur’an di Andalusia dengan karyanya
yang berjudul Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m Al-Qur’a>n. Ada juga tokoh yang menampakkan
aliran pemikiran mereka dengan menukil ayat al-Qur’an di dalam karya mereka,

77
Muhamad Ali Hanafiah Norasid dan Mustaffa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir Di
Andalus Pada Era Kerajaan Muwahhidun (540 H/1142 M – 667 H/1268 M): Satu Tinjauan
Awal, dalam Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 7(1), 2012, h. 55.
78
Nama aslinya adalah Muhammad Ibn Abdullah Al-Ma’arifiy Al-Andalusiy Al-
Ishbiliy, lebih dikenal dengan nama Ibn Al-Arabi Al-Maliki. Ia lahir di Sevilla tahun 468 H.
dan wafat pada tahun 543 H. Karyanya dalam bidang tafsir adalah Ah}ka>m Al-Qur’a>n dan Al-
Qa>nu>n Fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-‘Azi>z. Ah}ka>m Al-Qur’a>n dianggap sebagai salah satu sumber
rujukan tafsir bercorak fikih mazhab Maliki. Ia banyak menggunakan hadis yang s}ahih
sebagai dalil atas suatu hukum dari sebuah ayat al-Qur’an, hanya saja terkadang ia
menampakkan fanatismenya terhadap mazhab Maliki dalam menafsirkan ayat hukum. Lihat:
Must}afa Ibrahim Al-Mashini, Madrasah Al-Tafsi>r Fi> Al-Anda>lus, (Beirut: Mu’assasah Al-
Risa>lah, 1986), h. 90-91.
79
Hanya saja fanatismenya terhadap mazhab Maliki tidak sampai menerima begitu
saja setiap pendapat ulama-ulama maz|hab Mailiki, tetapi ia menyampaikan pendapat mereka,
lalu terkadang ia mendukungnya dan terkadang pula menyangkalnya, dan terkadang
menguatkan pendapat mazhab lain. Lihat: Fahd Ibn Abdurrahman Ibn Sulaiman Al-Rumi,
Manhaj Al-Madrasah Al-Andalusiah Fi> Al-Tafsi>r: S}ifa>tuhu wa Khas}a>’isuhu, (Riyad}:
Maktabah Al-Taubah, 1997), h. 30-31.
80
Nama aslinya adalah Al-Qa>d}i Abdul Haq Ibn Ghalib Ibn At}iyyah Al-Andalusiy Al-
Gharnat}iy Al-Malikiy, dilahirkan di Granada pada tahun 480 H. Karya tafsir Ibn At}iyyah
adalah “Al-Muh}arrar Al-Waji>z Fi> Tafsi>r Al-Kita>b Al-‘Azi>z”. Metode penafsiran yang ia
gunakan adalah tafsir bi al-Mas|u>r.
81
yaitu metode tafsir yang menjadikan Al-Qur’an, hadis| dan as|ar sebagai sumber
penafsiran ayat al-Qur’an.
82
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldu>n, h. 348.
83
Muhammad Hussein al-Z|ahabi, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufassiru>n, (Beirut: Dar al-Yusuf,
2000), h. 412.
84
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldu>n, h. 348.

58
seperti Ibn Rushd85 (w. 594 H. / 1058-1126 M.) yang menunjukkan aliran tafsir bi al-
Ra’yi al-Falsafi di dalam karyanya yang berjudul Al-Fas}l al-Maqa>l. Berbagai corak
penafsiran ini menunjukkan adanya kebebasan dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai
dengan latar belakang sang penafsir.
Pengaruh mazhab Maliki yang sangat luas dalam bidang fikih di Andalusia
telah mempengaruhi mayoritas mufassir di sana, sehingga mereka sering
mengemukakan pandangan yang dipetik dari mazhab Maliki ketika mengulas ayat-
ayat hukum,86 karena mereka hidup dilingkungan mazhab Maliki dan belajar kepada
ulama-ulama mazhab Maliki. Meskipun demikian, mereka melakukannya bukan
semata-mata murni taklid, tetapi berdasarkan ilmu. Sebab, terkadang mereka lebih
condong dan lebih menguatkan pendapat tiga mazhab lain (Hanafi, Shafi’i, dan
Hanbali), dengan mengemukakan pendapat dan dalil selain mazhab Maliki, lalu
mereka mendiskusikannya dan melakukan terjih diantara pendapat tersebut,87 ini
seperti yang dilakukan oleh Al-Qurt}ubi dalam tafsir “Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n”
yang melakukan tarjih terhadap berbagai pendapat ulama lintas mazhab, terkadang
ia menguatkan pendapat mazhab Maliki dan terkadang pula ia menguatkan pendapat
dari selain mazhab Maliki. Sikap Al-Qurt}ubi ini membuktikan adanya keterbukaan
pemikiran yang mewakili suara ulama-ulama tafsir mazhab Maliki pada abad ke
tujuh hijriah.88
Keterbukaan ulama tafsir ini pada umumnya hanya terhadap tiga mazhab fikih
saja, selain Maliki (Hanafi, Shafi’i, Hanbali), sedangkan terhadap mazhab yang
menyimpang dalam masalah us}u>l seperti Rafid}ah, Abadiyah} dan Khawarij, mereka
tidak mengikutinya dalam masalah furu>’.89 Ibn Juzi mengatakan bahwa pendapat
Rafid}ah tidak perlu diperhatikan. Ibn At}iyyah menganggap mereka sebagai golongan
orang bodoh. Al-Qurt}ubi menganggap Rafid}ah telah jauh pemahamannya dari al-
Qur’an dan sunnah dan telah berpaling dari pendapat ulama salaf saat menafsirkan
surah Al-Nisa’ ayat 3 tentang jumlah wanita yang boleh dinikahi. Sebab, menurut
mereka boleh menikahi sembilan orang wanita berdasarkan ayat tersebut, karena
“wawu” di ayat tersebut bermakna “ja>mi’ah” dan Nabi saw. menikah dengan
sembilan orang wanita.90

85
Ibn Rushd merupakan sorang filsuf besar yang hidup pada masa kerajaan
Muwahhidun, ia seorang penganut mazhab Maliki dalam bidang fikih, salah satu karyanya
dalam bidang fikih komparatif yang monumental adalah “ Bida>yah Al-Mujtahid Wa Niha>yah
Al-Muqtas}id”.
86
Muhamad Ali Hanafiah Norasid dan Mustaffa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir Di
Andalus Pada Era Kerajaan Muwahhidun (540h/1142m – 667h/1268m): Satu Tinjauan Awal,
dalam Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 7(1), 2012, h. 38
87
Fahd Ibn Abdurrahman Ibn Sulaiman Al-Rumi, Manhaj Al-Madrasah Al-Andalusiah
Fi> Al-Tafsi>r: S}ifa>tuhu wa Khas}a>’isuhu, h. 31.
88
Must}afa Ibrahim Al-Mashini, Madrasah Al-Tafsi>r Fi> Al-Anda>lus, (Beirut:
Mu’assasah Al-Risa>lah, 1986), h. 508.
89
Fahd Ibn Abdurrahman Ibn Sulaiman al-Rumi, Manhaj Al-Madrasah Al-Andalusiah
Fi> Al-Tafsi>r: S}ifa>tuhu wa Khas}a>’isuhu, h. 33.
90
Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 6, h. 33

59
e. Hadis
Diantara tokoh hadis yang terkenal di Andalusia adalah Abu Abdullah
Muhammad Ibn Abu Nas}r Futuh Ibn Abdullah Al-Humaidi Al-Mayurqi (418 - 491
H.), pengarang kitab “Al-Ja>mi’ Baina Al-S}ah}i>h}ain Al-Bukha>ri wa Muslim”. Kitab
ini merupakan salah satu kitab rujukan Imam Al-Qurt}ubi dalam “Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m
Al-Qur’a>n”.91
Al-Qurt}ubi dikenal sebagai seorang kritikus hadis, ia banyak meneliti hadis-
hadis yang ia cantumkan di dalam karyanya, ia menampilkan sumber pengambilan
setiap kutipan baik yang berkaitan dengan hadis maupun pandangan perorangan.
Penyebutan sumber referensi oleh al-Qurt}ubi ini dilatarbelakangi oleh banyaknya
hadis hukum dalam berbagai tafsir tanpa menyebutkan identitas perawi. Padahal bagi
al-Qurt}ubi, kelengkapan informasi tentang hadis hukum ataupun hadis tentang tema
lainnya merupakan keniscayaan yang dituntut dalam deduksi hukum, karena dapat
memberikan informasi yang sangat diperlukan bagi pengkaji hadis untuk
mengidentifikasi status riwayat hadis tersebut, khususnya bagi orang awam agar
tidak menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman.92
Diantara hadis yang ia teliti di dalam kitabnya adalah hadis yang ia peroleh
dari gurunya, Imam Abu Al-Abbas Ahmad Ibn Umar al-Qurt}ubi, yang diriwayatkan
dari saudara gurunya, Abu Ja’far Ahmad Ibn Muhammad al-Qurt}ubi, di Kordoba.
Abu Ja’far dalam riwayatnya ini menyebutkan bahwa ia menulis sendiri dalam Kitab
al-Tirmiz|i dan al-Nasa’i sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya setan akan mendatangi
salah seorang dari kalian menjelang ajal kalian, lalu setan berkata: ‘Matilah engkau
dalam keadaan Yahudi, matilah engkau dalam keadaan Nas}rani’.” Kemudian Al-
Qurt}ubi menjelaskan kekeliruannya bahwa ia tidak menemukan hadis ini di dalam
kitab karya At-Tirmiz|i karena ia telah menyimak semua isi kitabnya, dan ia juga
tidak menemukannya di dalam kitab al-Nasa’i. Meskipun begitu, al-Qurt}ubi
menunjukkan kerendahan hatinya dengan mengungkapkan bahwa mungkin saja haids
itu ada di naskah lain.93
Meskipun begitu, ia masih memasukkan hadis-hadis yang d}a’if ke dalam kita
Al-Ja>mi’ dan karya-karya lainnya, tetapi ia tetap menganjurkan kaum muslimin
menggunakan hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis yang s}ah{i>h{ karena itu
lebih baik baginya.94\
f. Tasawwuf
Keterbukaan pada masa dinasti Muwahhidun juga berimplikasi pada
perkembangan tasawuf di Andalusia, diantaranya adalah tasawuf falsafi. Tasawuf
model ini mendominasi pemikiran tasawuf di Andalusia, seperti Ibn Thufail dalam
cerita allegorisnya “H}ayy Ibn Yaqz}an” dan Ibn Bajjah dalam “Tadbi>r al-
Mutawah}hi} d”, mereka dianggap sebagai embrio lahirnya tasawuf falsafi di

91
Miftah al-Sanusi Bal’am, Al-Qurt}u>bi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wan
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 27.
92
Al-Z|ahabi, Al-Tasi>r Wa Al-Mufassiru>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 458-459.
93
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 34.
94
Miftah al-Sanusi Bal’am, Al-Qurt}u>bi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 122.

60
Andalusia. Pemikiran tasawuf falsafi di Andalusia mencapai puncaknya di tangan
seorang filsuf sekaligus seorang sufi besar Ibn Arabi (1164-1240 M.), ia dipandang
sebagai tokoh mazhab illuminasi atau tawauf neo-platonistik, pemikirannya ini
bermuara pada penyatuan manusia dan Tuhan (wah}dah al-wuju>d),95 sehingga ia
dikenal sebagai tokoh pantaisme dalam Islam.96 Selain itu, ia juga dianggap sebagai
ahli tafsir. Penafsiran al-Qur’an yang dilakukannya berlandaskan metode Tafsir al-
Sufi al-Nazari97 dan juga ada unsur-unsur penafsiran al-Sufi al-Isha>ri98 dalam karya
tafsirnya.99
Karya tafsir Ibn Arabi adalah Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, ini merupakan tafsir
lengkap 30 juz dan ‘Aja>’ib al-‘Irfa>n fi al-Tafsi>r Ija>z al-Baya>n fi al-Tarjamah’an al-
Qur’a>n, yang merupakan kitab tafsir dari surah al-Fatih}a>h> hingga surah al-Baqarah.
Pemikir tasawuf lain dari Andalusia adalah Ibn Sab’in (1217-1260 M.), ia
merupakan tokoh tasawuf falsafi penerus Ibn Arabi. Ibn Sab’in dijuluki sebagai Qut}b
al-Di>n, karena jawabannya tentang berbagai persoalan agama, tasawuf dan filsafat\
yang dirangkum dalam karyanya yang berjudul “Al-Ajwibah ‘an al-As’ilah al-
Siqilliyyah”. Karyanya ini merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan dari kaisar
Sicillia yang beragama Kristen. Inilah yang membuat Kaisar Sicillia mengundang
Ibn Sab’in untuk berbincang dengannya secara pribadi. Karya Ibn Sab'in yang lain
tentang filsafat illuminasi adalah “Asra>r al-H}ikmah al-Mashriqiyyah”.100
Hanya saja, pada masa ini banyak t}ariqah yang z}ahirnya bertentangan dengan
shariat Islam, sehingga banyak yang mengkritiknya, diantara yang mengkritik ajaran
tasawuf yang menyimpang adalah al-Qurt}ubi.101
Al-Qurt}ubi mengkritik aliran Bat}iniyyah yang menganggap hukum syariat
hanya untuk orang awam, sedangkan para auliya’ tidak membutuhkan itu. Ia
menganggap ungkapan itu adalah zindiq dan kufur, sehingga pelakunya layak

95
Pemikirannya itu dikenal dengan konsep wah}dah al-wuju>d yang lahir dari
perenungannya yang mendalam terhadap esensi yang ada di diri manusia dan Tuhan.
Menurutnya, yang absolut (mutlak) hanya esensi Tuhan, sedangkan manusia hanya aksidensi
yang selalu membutuhkan esensi-Nya, sehingga manusia tidak dapat dipandang sebagai
esensi. Oleh karena itu, esensi yang sebenarnya hanya Tuhan karena esensi Tuhan mutlak.
inilah prinsip wah}dah al-wuju>d Ibn Arabi. Lihat: M. Hadi Masruri, Membaca Geliat
Pendidikan dan Keilmuan di Spanyol Islam (Tahun: 756-1494 M.), dalam Jurnal Pendidikan
Agama Islam, Vol. 4 No. 1, Juli-Desember 2017, h. 77.
96
M. Hadi Masruri, Membaca Geliat Pendidikan dan Keilmuan di Spanyol Islam
(Tahun: 756-1494 M.), dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 4 No. 1, Juli-Desember
2017, h. 77.
97
Tafsir al-S}u>fiy al-Naz}ariy adalah penafsiran yang berdasarkan pada penyelidikan
teori dan ilmu filsafat.
98
Tafsir al-S}u>fiy al-Isha>riy adalah penakwilan ayat al-Qur’an dengan melihat makna
yang ada dibalik ayat al-Qur’an dengan mengikuti kehendak isharat-isharat tersembunyi,
penafsiran yang dilakukan harus ada keterkaitannya dengan ayat secara zahir.
99
Al-Z|ahabi, Al-Tasi>r Wa Al-Mufassiru>n, jilid 2, h. 477.
100
Philip K. Hitti, History of the Arab, h. 749.
101
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi, (Maroko:
Markaz Dira>sa>t Wa al-Abh}a>s| Wa Ih}ya>’i al-Tura>s|, 2010), h. 166.

61
dihukum mati dan tidak disuruh bertaubat karena mereka mengingkari ajaran syariat
Islam.102
Demikianlah, Imam al-Qurt}ubi hidup di masa ilmu pengetahuan mencapai
masa keemasannya, sehingga banyak mempengaruhi perkembangan
intelektualitasnya dan memberikan subangan berharga dalam menyusun karya-
karyanya yang sebagian besar di tulis pada masa dinasti Mamluk (Mamalik).

B. Kelahiran dan Kehidupan Intelektual Imam Al-Qurṭubi


1. Riwayat hidup al-Qurtu}bi
Nama lengkap al-Qurt}ubi adalah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn
Farh al-Ans}ari al-Khazraji103 al-Maliki al-Qurt}ubi104.105 Kunyahnya adalah Abu
Abdillah. Ada beberapa ulama yang menjulukinya (laqab) Shamsuddin, tetapi
kemungkinan besar ulama yang lain tidak menyukai laqab ini karena al-Qurt{ubi
dikenal tawad}u’, sehingga ia khawatir termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala:106
ُ ُْ ْ ُ ُ
ْ
َ ََ‫فلاَتزكواَانفسكم‬
"Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci,” (Q.S. Al-Najm [53]: 32).
Al-Qurt}ubi dilahirkan di Kordoba,107 tetapi berbagai sumber sejarah tidak ada
yang menyebutkan masa kelahiran al-Qurt{ubi. Hanya saja ada beberapa sejarawan
yang berusaha meneliti tahun kelahirannya, diantaranya Dr. S}adiq Ibn Muhammad
Ibn Ibrahim, muhaqqiq kitab “al-Taz|kirah” karya al-Qurt}ubi. Ia menyatakan bahwa
kelahiran al-Qurt{ubi diperkirakan antara tahun 604 H. hingga tahun 610 H.
Pendapatnya ini berdasarkan pada kisah al-Qurt{ubi meminta fatwa kepada tiga orang
gurunya terkait status kematian ayahnya yang terbunuh saat Kordoba diserang
musuh pada tahun 627 H.108 Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu al-Qurt{ubi

102
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 13, h. 358.
103
Al-Khazraji merupakan nisbah kepada kabilah Khazraj, salah satu kabilah Ans}ar.
Lihat: Mashhur Hasan Mahmud Salman, al-Ima>m al-Qut}u>bi Shaikh A’immah al-Tafsi>r,
(Damaskus: Da>r al-Qalam, 1993), h. 13.
104
Al-Qurt}ubi merupakan nisbah pada kota Kordoba, salah satu kota terbesar di
Andalusia (sekarang Spanyol). Lihat: Mashhur Hasan Mahmud Salman, al-Ima>m al-Qurt}u>bi
Shaikh A’immah al-Tafsi>r, (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1993), h. 14.
105
Namanya ini disebutkan sendiri oleh al-Qurt{ubi di dalam “Kita>b al-Taz|kirah Bi
Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah”.
106
Mashhur Hasan Mahmud Salman, al-Ima>m al-Qurt}u>bi Shaikh A’immah al-Tafsi>r,
(Damaskus: Da>r al-Qalam, 1993), h. 13.
107
Muhammad S}afa’ Shaikh Ibrahim Haqqi, ‘Ulu>m Al-Qur’a>n Min Khila>li
Muqaddima>t Al-Tafa>si>r, jilid 1 (Beirut: Mu’assasah Al-Risa>lah, 2004), h. 408.
108
Terkait kisah ini, Al-Qurt}ubi membahas hukum orang yang terbunuh di rumahnya
saat terjadi penyerangan oleh musuh ke negerinya, sedangkan orang tersebut tidak
mengetahui jika akan terjadi penyerangan, apakah ia termasuk orang yang mati dalam
peperangan atau ia mati pada umumnya? Pertanyaan ini muncul karena peristiwa
penyerangan pasukan musuh ke Cordoba pada pagi hari tanggal 3 Ramad}an 627 H , salah satu
yang terbunuh adalah ayah al-Qurt}ubi. Lantas ia menanyakan status kematian ayahnya
tersebut kepada tiga orang gurunya. Al-Qurt}ubi bertanya kepada Abu Ja’far Ahmad yang

62
masih muda dan sedang menuntut ilmu, diperkirakan umurnya antara 17 – 23 tahun.
Oleh karena itu, jika ayahnya wafat pada tahun 627 H, maka diperkirakan al-Qurt}ubi
lahir antara tahun 604 -610 H.109 Mashhur Hasan Mahmud Salman juga berpendapat,
Al-Qurt{ubi diperkirakan lahir antara tahun 600 – 610 H. Pada masa ini, Kordoba
dikuasai oleh Kerajaan Muwahhidun dengan rajanya bernama Abu Abdullah
Muhammad (Nas}ir) Ibn Abu Yusuf Ya’qub Ibn Yusuf Ibn Abd al-Mu’min (al-
Mans}ur), yang berkuasa dari tahun 595 – 610 H.110
Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang kurang mampu111 dan bukan dari
keluarga yang berpendidikan tinggi. Sebab, orang tuanya hanyalah seorang petani.112
Bahkan Imam Al-Qurt}ubi sendiri sejak masa muda telah bekerja sebagai pengangkut
tanah dengan menggunakan hewan yang dikirim ke pembuat batu bata untuk
rumah.113 Kondisinya ini tidak menyurutkan al-Qurt}ubi untuk menuntut ilmu, sejak
muda ia merupakan dikenal sebagai seorang pemikir dan peneliti, yang tidak puas
terhadap jawaban orang lain hingga ia sendiri yang berhasil menemukan jawaban atas
suatu permasalahan, karena kecintaannya kepada ilmu pengetahuan dan
kecintaannya untuk memperoleh dalil suatu permasalahan secara terperinci.
Sikapnya ini terlihat saat al-Qurt}ubi meminta fatwa kepada tiga orang gurunya
terkait status kematian bapaknya yang dibunuh oleh pasukan Nashrani, lalu ia juga
mencari jawabannya sendiri ke berbagai kitab.
Ia tinggal di Kordoba hingga Kordoba takluk di tangan bangsa Eropa pada
tahun 633 H., lalu dia pindah ke Mesir dan menetap di sana,114 karena perjanjian
penyerahan melibatkan evakuasi populasi Muslim dari kota Kordoba. Namun, tidak

dikenal dengan panggilan Abu Hujjah, lalu Abu Hujjah menjawab: “Mandikan dan
s}alatkanlah ia. Sebab, ayahmu tidak terbunuh di medan perang diantara barisan pasukan.”
Kemudian al-Qurt}ubi bertanya kepada gurunya yang bernama Rabi’ Ibn Abdurrahman Ibn
Ahmad Ibn Rabi’ Ibn Ubay, lalu gurunya itu menjawab: “Hukumnya adalah hukum orang
yang terbunuh di medan perang.” Lantas ia bertanya lagi kepada gurunya yang lain yang
bernama Qad}i al-Jama>’ah Abu al-Hasan Ali Ibn Qut}ral (Ibn Qut}ral) dan disekelilinya ada
sekelompok ahli fikih, lalu mereka menjawab: “Mandikan, Kafani, dan s}alatilah ia.” Setelah
itu ia tetap mencari penjelasan masalahnya itu di kitab “Al-Tabs}irah” karya Abu al-Hasan al-
Lakhmi dan di dalam kitab lainnya, meskipun sebelumnya ia tidak memandikan ayahnya dan
memakamkannya beserta pakaiannya yang berlumuran darah. Lihat: Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li
Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 5, (Beirut: Mu’assasah Al-Risa>lah, 2006), h. 412-413.
109
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, (Riyad}:
Maktabah Da>r al-Minha>j, 1425 H), h. 27.
110
Manshur Hasan Mahmud Salman, al-Ima>m al-Qut}u>bi Shaikh A’immah al-Tafsi>r,
(Damaskus: Da>r al-Qalam, 1993), h. 20.
111
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi, h. 141.
112
Miftah al-Sanusi Bal’am, Al-Qurt}u>bi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 120.
113
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 168.
Produksi tembikar merupakan industri yang tersebar di Kordoba, karena tanah yang
khusus untuk industri ini melimpah di gunung Kordoba.
114
Mashhur Hasan Mahmud Salman, al-Ima>m al-Qut}u>bi Shaikh A’immah al-Tafsi>r,
(Damaskus: Da>r al-Qalam, 1993), h.17, lihat pula: Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l
al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 30.

63
diketahui al-Qurt}ubi meninggalkan Kordoba sendirian atau bersama keluarganya
karena ia tidak menceritakannya dan tidak ada sumber sejarah yang
menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui apakah ia telah menikah atau
apakah ia telah mempunyai anak115 saat di Korboba.116
Al-Qurt}ubi sampai di Mesir pada masa akhir pemerintahan daulah
Ayyubiyyah. Kemungkinan besar al-Qurt}ubi sampai di Mesir jauh sebelum hari
Jum’at tanggal 13 Rajab 647 H. Sebab, pada tanggal tersebut ia belajar kepada al-
Imam al-H}afiz} al-Musnid Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Muhammad Ibn Amr al-Bakri al-Taimi di kota Mansoura, Mesir.117
Diakhir-akhir kehidupannya, ia pindah ke Minya Bani Khas{ib (sekarang
bernama El Minya) hingga ia wafat dan dimakamkan di sana. Ada dua kemungkinan
al-Qurt}ubi pindah ke sana: pertama, karena gurunya yang bernama Abu al-Hasan Ali
Ibn Hibbatullah al-Shafi’i tinggal di Minya. Kedua, al-Qurt{ubi ingin menghabiskan
sisa umurnya jauh dari hiruk pikuk perkotaan untuk fokus beribadah kepada Allah,118
mengarang dan merevisi kitabnya. Oleh karena itu, ia memilih kota Minya yang
merupakan dataran tinggi Mesir, sedangkan mayoritas penduduknya adalah petani,
sehingga kondisi kehidupan semacam ini mirip Kordoba dan seperti kehidupan zuhud
yang ia senangi.119
Al-Qurt}ubi wafat pada malam Senin, 9 Shawwal tahun 671 H.120/1272 M.,
pada masa pemerintahan al-Malik al-Zahir Ruknuddin Baibars al-Bunduqdari, raja
daulah Mamalik (w. 676 H.). Ia dimakamkan di Minya Bani Khashib.121
Berdasarkan hal ini, semasa hidupnya, al-Qurt}ubi menyaksikan keruntuhan
kekuasaan-kekuasaan Islam, baik di Timur maupun di Barat. Keruntuhan Khilafah
Islamiyah di Baghdad di tangan pasukan Tatar pada tahun 656 H.122
Ia tumbuh di masa-masa sulit kerajaan-kerajaan Islam, baik yang ada di Timur
maupun Barat. Pasukan Tatar menghancurkan kerajaan-kerajaan Islam di Timur,
pada Tahun 656 H., mereka berhasil masuk dan menguasai Baghdad. Sementara itu,
pasukan Ramawi berhasil menaklukan sebagian besar negara dan kota-kota di

115
Al-Qurt}bi mempunyai dua orang anak, yaitu: Abdullah, putra terbesar dan juga
yang menjadi kunyah al-Qurt}ubi, dan Shihabuddin Ahmad, ia belajar kepada ayahnya hingga
mendapatkan ijazah darinya. Lihat: Manshur Hasan Mahmud Salman, al-Ima>m al-Qut}u>bi
Shaikh A’immah al-Tafsi>r, (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1993), h. 14.
116
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi, h. 148.
117
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 31.
118
Sebab al-Qurt}ubi merupakan seorang yang s}alih, ulama yang arif, wara’, dan zuhud
terhadap dunia. Ia lebih sibuk terhadap perkara akhirat yang ia isi dengan bertawajjuh, ibadah,
dan mengarang. Lihat: Ibn Farhun, Al-Di>ba>j al-Mużhab fi> Ma’rifah A’ya>n ‘Ulama>’ al-
Mażhab, (Kairo: Da>r al-Tura>s|, 1997), h. 308.
119
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 32.
120
Al-Dawudi, T>>}abaqa>t al-Mufassiri>n, (Beitut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), h. 70.
121
Ibn Farhun, Al-Di>ba>j al-Mużhab fi> Ma’rifah A’ya>n ‘Ulama>’ al-Mażhab, (Kairo: Da>r
al-Tura>s|, 1997), h. 309.
122
Ibn Kas|ir, Al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah, jilid 17, (Saudi: Da>r Al-Hijr, 1997), h.
356.

64
Andalusia, diantaranya adalah Kordoba yang berhasil ditaklukkan pada tahun 633
H.123
2. Kehidupan Intelektual Al-Qurṭubi
Al-Qurt}ubi merupakan seorang ulama yang dalam dan luas pengetahuannya,
ia memiliki sejumlah karya bermanfaat yang menunjukkan luasnya pengetahun dan
keutamaannya.124 Hal ini tidak mengherankan karena sejak muda al-Qurt}ubi dikenal
sebagai orang yang sangat menaruh perhatian terhadap ilmu agama. Ini terlihat dari
kisah dirinya yang menanyakan status kematian ayahnya kepada beberapa ulama
terkemuka di Kordoba. Bahkan lebih dari itu, ia juga meneliti permasalahannya di
kitab al-Tabs}irah karya al-Lakhami dan kitab lainnya.125 Oleh karena itu, kita akan
mendapati di dalam karya-karya al-Qurt}ubi ungkapan “aku mendengar guru kami....”
(sami’tu Shaikhuna>....) dan “(shekh kami) mengabarkan kepada kami dengan bacaan
dariku” (akhbarana> qira>’atan minni? ‘alaihi),126 padahal al-Qurt}ubi masih dalam
masa pendidikan di Kordoba.127
Selain itu, ia juga mempelajari dan meneliti kitab secara otodidak. Beberapa
gurunya mengijazahkan sebagian kitab yang dibacanya secara otodidak kepadanya.
Oleh karena itu, kita akan mendapati di dalam karya al-Qurt}ubi berbagai ungkapan
yang menunjukkan hal tersebut, seperti perkataan al-Qurt}ubi “aku telah membuka
lembaran-lembaran kitab al-Tirmiz}i Abu Isa, dan aku telah mengetahui semua isinya,
tetapi aku tidak menemukan hadis| ini di dalam kitab tersebut.128 mungkin saja hadis}
ini ada di naskah kitab al-Tirmizi| yang lain, walla>hu a’lam. Aku juga telah
mencarinya di kitab al-Nasa’i, tetapi aku tidak menemukannya. Mungkin hadis
tersebut ada di naskah al-Nasa’i yang lain, Walla>hu a’lam.”129
Ungkapan al-Qurt}ubi ini menunjukkan adab seorang yang berilmu agar tidak
mudah menyalahkan orang lain karena ada kemungkinan apa yang dikatakan orang
lain benar. Apa yang dilakukan al-Qurt}ubi juga menunjukkan pentingnya melakukan

123
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi, (Maroko:
Markaz Dira>sa>t Wa al-Abh}a>s| Wa Ih}ya>’i al-Tura>s|, 2010), h. 139.
124
Al-Z|ahabi, Ta>ri>kh al-Isla>m wa wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A’la>m, jilid 50, (Beirut:
Da>r al-Kita>b al’Arabiy, 1999), h. 45.
125
Manshur Hasan Mahmud Salman, al-Ima>m al-Qut}u>bi Shaikh A’immah al-Tafsi>r, h.
16.
126
Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 5, h. 412
127
Manshur Hasan Mahmud Salman, al-Ima>m al-Qut}u>bi Shaikh A’immah al-Tafsi>r, h.
32
128
Al-Qurt}ubi meneliti sabda Nabi saw.:
‫ مت يهوديا مت نصرانيا‬:‫ فيقول‬،‫إن الشيطان يأتي أحدكم عند موته‬
“Sesungguhnya shait}an mendatangi salah seorang dari kalian menjelang ajalnya, lalu
shait}an berkata, ‘matilah dalam keadaan Yahudi, matilah dalam keadaan Nasrani ’.”
Hadis| ini diperoleh al-Qurt|ubi dari gurunya, Imam Abu al-Abbas Ahmad Ibn Umar al-
Qurt}ubi. Sang guru menyebutkan bahwa hadis ini terdapat di dalam kitab al-Tirmiz}i dan al-
Nasa’i. Kemudian al-Qurt}ubi meneliti hadis| tersebut di dalam kedua kitab tersebut, tetapi ia
tidak menemukannya.
129
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 187.

65
tahkik terhadap manuskrip-manuskrip Islam, melakukan perbandingan terhadap
manuskrip-manuskri tersebut, dan menetapkan perbedaannya di fotenoot.
Al-Qurt}ubi belajar kepada banyak ulama, terkadang ia menyebutkan tempat ia
belajar kepada gurunya atau tempat di mana ia menerima riwayat dari gurunya.130
Inilah salah satu kelebihan riwayat hadis} atau pendapat yang diriwayatkan olehnya,
sehingga pembaca karyanya akan mudah mengetahui nama gurunya dan tempat
tinggal gurunya, seperti ucapan al-Qurt}ubi: “aku mendengar shekhku Imam Abu al-
Abbas Ahmad Ibn Umar al-Qurt}ubi di Iskandaria (Alexandria, sebuah kota di Mesir)
berkata.....”.131 atau ia menyebutkan tempat di mana ia membaca sebuah karya,
seperti perkataannya, “Saat di Andalusia, aku membaca banyak karya al-Muqri’ al-
Fad}il Abu Amr Us|man Ibn Sa’id Ibn Us|man yang wafat pada tahun 444 H.....”132
Al-Qurt}ubi belajar kepada ulama-ulama besar dalam ilmu agama, bahasa dan
sastra. Guru-gurunya inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran al-Qurt}ubi dalam
karya-karyanya, khususnya dalam kitab “Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qura>’an”. Diantara
guru-guru al-Qurt}ubi yang banyak mempengaruhi pemikirannya adalah:
Pertama, Shekh Abu Ja’far Ahmad Ibn Abu Hujjah, ia lahir di Kordoba pada
tahun 562 H. Saat Kordoba takluk di tangan pasukan Spanyol-Nas}rani, ia melarikan
ke Sevilla, lalu pasukan musuh mengejarnya ke sana, sehingga ia melarikan diri lagi
ke Ceuta, sedangkan keluarganya ditawan, lantas is disiksa dan meninggal di
Mallorca pada tahun 643 H. akibat siksaan tersebut.133
Ibn Abu Hujjah merupakan seorang tokoh ahli qiraat, ahli hadis yang h}a>fiz}|,
ahli nahwu, dan ahli tajwid. Ia mempunyai sejumlah karya dalam bidang qira’at,
nahwu dan hadis|. Diantara karyanya adalah Mukhtas}ar Al-Tabs}irah karya al-Makki
dalam bidang Qira’at, Minha>j Al-‘Iba>b yang berisi hadis-hadis hukum yang
disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, Tafhi>m Al-Qulu>b Bi’a>ya>t ‘Alla>m Al-Ghuyu>b
dan Tasdi>d Al-Lisa>n Liz|ikri Anwa>’ Al- Baya>n dalam bidang Nahwu, dan Al-Jam’
Baina Al-S}ah}i>h}ain.134
Al-Qurt}ubi belajar kepadanya saat berusia tujuh tahun,135 salah satu yang
dipelajarinya adalah qira’ah sab’ah.136 Al-Qurt{ubi banyak menukil pendapat gurunya
ini di dalam karya-karyanya, seperti saat ia menafsirkan ayat:

َ ٤٠٤ََۚ‫وعصَىََاَد ُمََربهََفغوَى‬

130
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy al-Mufassir: Si>ratuhu Min
Tafsi>rihi, h. 150.
131
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 187.
132
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 854..
133
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 109.
134
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 108-109.
135
Al-Marakishi, Al-Z|ail Wa al-Takmilah Li Kita>baiy al-Maus}u>l Wa al-S}ilah, jilid 3,
(Tunis: Da>r al-Garb al-Isla>mi, 2012), h. 495.
136
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 120.

66
“dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya, dan sesatlah dia,” (Q.S. T}aha
[20]: 121).
Al-Qurt}ubi berkata, “Aku mendengar guru kami, al-Ustaz| al-Muqri’ Abu
Ja’far al-Qurt}ubi berkata, ‘Faghawa>’ artinya: kehidupan Nabi Adam a.s. menjadi
buruk (fasad) karena turun ke dunia’.” Al-Qurt}ubi mendukung pendapat gurunya ini,
ia menganggap takwil gurunya baik dan lebih utama dari takwil ulama yang
mengatakan makna “faghawa>” adalah “d}allun” (sesat).137 Sementara itu, kemenag
menerjemahkan “faghawa>” dengan “sesat”.138 Ia berargumen bahwa haknya semua
nabi dan rasul tidak boleh sesat, karena mereka tidak sesat dan tidak pula
menyesatkan. Sebab, Allah ta’ala menjaga mereka dari kesalahan dan kesesatan,
menjaga mereka dari setiap perkara yang tercela dan cacat, dan menjadikan mereka
kalangan yang luar biasa serta suci dan menyucikan untuk menyampaikan risalah
Tuhan mereka dan mengajak manusia untuk menyembah-Nya dan mengakui bahwa
Dia dalah Tuhan Yang Esa, sehingga mereka berkata berdasarkan hawa nafsu,
melainkan berdasarkan wahyu dan diwahyukan kepadanya.139
Berdasarkan hal ini, ada kemungkinan al-Qurt}ubi mencatat setiap penjelasan
Ibn Hujjah di dalam buku catatannya, dan buku catatan ini pun ia bawa ketika ia
meninggalkan Kordoba.140
Kedua, Shekh Abu Amir Yahya Ibn Rabi’ al-Qurt}ubi. Ia mengajar fikih, us}ul
fikih, dan ilmu kalam di Sevilla, Malaga, dan Granada. Ia dikenal sebagai tokoh ahli
kalam pada masa itu yang memusuhi Ibn Rushd dan banyak membantah karya-
karyanya. Diantaranya keika ia membahas asba>b al-nuzu>l ayat:
ُ ًّ ًّ ْ ًّ ًّ ُ ْ ْ
ََ‫ض ِعف َه َله َاضعافا َك ِث ْير َة َۚواللَه‬
َ ‫ض َاللَهَ َق ْرضا َحسنا َف ُي‬َ ‫ي َ ُيق ِر‬ َْ ‫م‬
َ ‫ن َذا َال ِذ‬
ُ ُ ُ ُ ْ ُ ْ
َ ‫صطََواِ ل ْي ِهََت ْرجع ْو‬
َ ٠٣٦َ‫ن‬ َ ‫ضَويب‬ َ ‫يق ِب‬
“Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah
melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 245).
Al-Qurt}ubi mengatakan bahwa saat ayat ini turun, Abu al-Dah}dah} bersegera
menyedekahkan hartanya untuk memperoleh pahala dari Allah. Lantas, al-Qurt}ubi
menyebutkan riwayatnya secara lengkap dengan mengatakan, Shekh al-Faqih al-
Imam al-Muhaddis| al-Qa>d}i Abu Amir Yahya Ibn Ahmad Ibn Rabi’ al-Ash’ari baik
nasab maupun maz|habnya di Kordoba pada bulan Rabi’ul Akhir 628 H. dengan
membacakannya kepadaku –lengkap dengan sanadnya– Abdullah Ibn Mas’ud
berkata, “Ketika ayat (man z|al la|zi> yuqrid}ulla>ha> qard{a h}asana fayudha>’ifahu lahu>) ini
turun, terdapat seorang sahabat yang bernama Abud Dahdah dari kalangan sahabat

Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 14, h. 155.


137
138
Kemenag, Qur’an dan Terjemahannya.
139
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 90.
140
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 112.

67
Anshar menghadap Rasulullah SAW. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh Allah
telah menghendaki kita agar mengutangi-Nya?’ Rasulullah SAW. menjawab, ‘Benar,
wahai Abu Dahdah.’ Abu Dahdah berkata, ‘Perlihatkan tangan Anda, Wahai
Rasulullah!’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Lalu tangan Rasulullah diraih.’ Abu Dahdah
berkata, “Aku mengutangkan tembokku kepada Tuhanku.’ Ia melanjutkan, ‘Tembok
itu terdiri atas 600 pohon kurma yang Ummu Dahdah beserta keluarganya tinggal di
dalamnya.’ Lalu Abu Dahdah memanggil istrinya, ‘Wahai Ummu Dahdah!’ Sang
istri menjawab, ‘Saya, suamiku.’ Abu Dahdah berkata, ‘Keluarlah kamu! Aku telah
mengambil janji mengutangkan 600 pohon kurma kepada Tuhan-ku Yang Maha
Mulia lagi Maha Agung,’” 141
Ketiga, Abu al-Abbas al-Qurt}ubi. Nama aslinya adalah Ahmad Ibn Umar Ibn
Ibrahim Ibn Umar al-Ans}ari. Imam al-Qurt}ubi belajar kepadanya saat di
Alexandria.142 Ia merupakan seorang ulama mazhab Maliki, ahli fikih dan ahli hadis.
Ia dilahirkan di Kordoba pada tahun 578 H. Setelah Kordoba ditaklukan, ia pindah
ke Maroko, lalu ke Mesir, dan wafat di Alexanderia pada tanggal 14 Z|ul Qa’dah 656
H. di usia 76 tahun.143
Abu al-Abbas al-Qurt}ubi memiliki beberapa karya, diantaranya “al-Mufhim Li
Sharh} Ikhtis}a>r Kita>b Muslim”, al-Qurt}ubi mempelajari sebagian sharah kitab ini
kepadanya saat di Alexandria. Mukhtas}ar S}ah}i>h}ain, dan Kashfu al-Qina>’ ‘An al-
Wajdi wa al-Sima>’.144
Abu al-Abbas al-Qurt}ubi berpengaruh besar terhadap al-Qurt}ubi dalam
masalah fikih dan juga dalam bidang hadis dalam karya-karyanya. Jika kita teliti
kitab “Al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m Al-Qur’a>n”, akan terlihat jelas pengaruh tersebut. Sebab,
ia banyak menukil pendapat Abu al-Abbas al-Qurt}ubi dalam karyanya tersebut,
bahkan dalam masalah fikih terkadang ia lebih memilih pendapat Abu al-Abbas
daripada pendapat Imam Malik Ibn Anas, sebagaimana dalam masalah hukum
membaca al-Fatihah bagi makmum. Imam Malik berpendapat tidak wajib membaca
al-Fatihah bagi makmum, sedangkan al-Qurt}ubi mengikuti pendapat Abu al-Abbas
yang mewajibkan makmum membaca al-Fatihah dalam s}alat.145
Dalam bidang pemikiran pun al-Qurt}ubi sangat terpengaruh oleh gurunya
tersebut. Abu al-Abbas termasuk orang yang gigih menyerang pemikiran filusuf yang
menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kecendrungan mazhab
filsafatnya. Ketika menafsirkan ayat:
ًّ ْ ْ ْ ْ ُْ ْ ْ ْ ْ ُْ
ْ
َ ٨٠ََࣖ‫وماَفعلتهََعنََام ِريََذَ ِلكََتأ ِويلََماَلمََتس ِط َعَعلي َِهَصبرَا‬

141
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 4, h. 220.
142
Al-Zail wa al-takmilah, jilid w, h. 545.
143
Ahmad Ibn Muhammad al-Muqri, Nafh} al-T}aib min al-Ghas}ni al-Andalus al-Rat}i>b,
jilid 2, h. 615.
144
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 100.
145
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 106.

68
“Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan
perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.” (Q.S. Al-Kahfi
[18]: 82).
Al-Qurt}ubi membahas pendapat golongan zindik bat}iniyah yang mengatakan
bahwa –dengan menukil pendapat gurunya tersebut– hukum shariat yang global
ditetapkan kepada orang-orang bodoh dan awam, sedangkan para wali dan orang
khusus tidak membutuhkan nas} tersebut, tetapi berdasarkan dorongan yang ada di
dalam hati mereka dan hukum ditetapkan berdasarkan khawa>t}ir mereka karena hati
mereka bersih dari kotoran sehingga ilmu ketuhanan tampak bagi mereka. Dengan
demikian, mereka mengetahui hukum-hukum yang bersifat parsial dan tidak
membutuhkan hukum-hukum yang bersifat global, sebagaimana Nabi Khidir.
Setelah itu, al-Qurt}ubi menukil pendapat gurunya tersebut yang mengatakan bahwa
pendapat golongan zindik bat}iniyah itu adalah perkataan yang zindik dan kufur,
sehingga pelakunya dihukum mati dan tidak disuruh bertaubat karena mereka telah
mengingkari cara mengetahui shariat Islam.146
Keempat, Abdul Wahhab Ibn Z}afir Ibn al-Rawwaj (554 H. – 648 H.). Ia
seorang ahli hadis dan ahli fikih mazhab Maliki di Alexandria. 147 Al-Qurt}ubi belajar
kepadanya setelah ia meninggalkan Andalusia ke Alexandria karena Kordoba telah
ditaklukan oleh pasukan Nasrani-Spanyol. Al-Qurt}ubi banyak meriwayatkan hadis|
darinya, terkadang al-Qurt}ubi menyebutkan tempat ia menerima riwayat dari
gurunya,148 seperti ia mengatakan: “Shekh al-Ra>wiyah Abu Muhammad Abdul
Wahab mengabarkan kepada kami saat belajar kepadanya di sebuah tempat di
Alexandria.”149
Guru-guru Al-Qurt}ubi yang lain adalah:150
- Abu Muhammad Abd al-Wahab Ibn Z|afir Ibn Ali Ibn Futuh Ibn Abu al-
Hasan al-Qurshi (554 – 649 H), dikenal dengan Ibn Rawwaj. Ia merupakan
seorang ahli hadis} dan ahli fikih maz|hab Maliki di Alexandria.
- Abu Muhammad Abd al-Mu’t}i Ibn Muhammad Ibn Abd al-Mu’t}i al-
Lakhami al-Askandaraniy. Ia memiliki Riba>t} yang terkenal di Alexandria.
Ada kemungkinan al-Qurt}ubi ke tempat ini di awal kedatangannya di
Alexandria. Hal ini berdasarkan waktu wafatnya Abd al-Mu’ti tahun 638
H. sehingga al-Qurt}ubi sampai di Alexandria sebelum tahun ini.151\
- Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Amruk al-Bakri.
- Abu al-QasimAbdullah Ibn Khalaf Ibn Ma’zuz al-Kumiy al-Tilmisani.
- Abu al-Hasan Ibn Hibbatullah al-Shafi’i.

146
Al-Qurṭubi, Al-Ja>mi’ Li Aḥka>m Al-Qur’a>n, jilid 14, h. 358-359.
147
Al-S}afadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, jilid 19, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s| al-‘Arabiy,
2000), h. 202.
148
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy al-Mufassir: Si>ratuhu Min
Tafsi>rihi, h. 150.
149
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 631.
150
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy al-Mufassir: Si>ratuhu Min
Tafsi>rihi, h. 150.
151
Al-Munz|iri, al-Takmilah, jilid 3, h. 566.

69
Dalam menukil pendapat gurunya itu, Al-Qurt}ubi menggunakan berbagai
ungkapan, seperti: “Sami’tu Shaikhana> al-Ima>m Aba> al-‘Abba>s Ahmad Ibn ‘Umar
al-Qurt}ubi (Aku mendengar guru kami, Imam Abu al-Abbas Ahmad Ibn Umar al-
Qurt}ubi)”, “Anba’ana> al-Shaikh al-Faqi>h al-Ima>m al-Muh}addis| Abu al-Abbas
Ah}mad Ibn Umar al-Ans}a>riy al-Qurt}ubiy Bi S|aghri al-Iskandariyyah”, atau dengan
ungkapan, “Qa>la Shaikhuna> al-Ima>m Abu> al-‘Abba>s Ah}mad Ibn Umar al-Qurt}u>biy
Fi> Kita>b al-Mufhim Lahu”.
Ilmu yang diperoleh oleh Al-Qurt}ubi tidak terbatas hanya belajar langsung
kepada para ulama, tetapi ia juga dengan membaca buku dan menelitinya. Buku yang
telah dibacanya ini kemudian diijazahkan oleh beberapa gurunya kepadanya. Oleh
karena itu, kita akan mendapati di dalam keryanya ungkapan: “Kami
meriwayatkannya dengan ijazah”.
Al-Qurt}ubi banyak mengikuti pendapat guru-gurunya bukan berdasarkan
emosi semata, tetapi berdasarkan pemikiran dalam menetapkan kebenaran dalil
shara’, sehingga ia tidak mendukung atau memuji pendapat gurunya hanya
berdasarkan mereka adalah gurunya, tetapi karena adanya dalil shara’ yang
menunjukkan kebenarannya.152
Adapun karya-karya al-Qurt}ubi adalah:
a. Ja>mi’ Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-Mubayyin lima> Tad}ammanahu min al-
Sunnah wa A>yyi al-Furqa>n>. Judul ini mengisyaratkan keinginan al-
Qurt}ubi untuk menjadikan karyanya ini sebagai kompilasi hukum Islam di
dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, banyak peneliti yang memasukkannya
ke dalam genre tafsir fiqhi.153 Meskipun demikian, kitab ini juga
membahas panjang lebar tentang teologi dan tasawwuf. Penafsirannya
menggunakan berbagai perangkat metode seperti linguistik, riwayat-
riwayat dan as|ar, persoalan qira’at, serta kutipan-kutipan syair Arab.
b. Kita>b al-Tażkirah bi Ah}wa>l al-Mauta wa Umu>r al-A>khirah. Penamaan
kitabnya ini sebagaimana yanh ia sebutkan di dalam muqaddimahnya.154
Al-Qurt}bi menyusun kitab ini mengikuti metode penyusunan kitab al-
Tibya>n karya Imam al-Nawawi, tetapi menurut Ibn Farhun, penyusunan
al-Qurt}ubi lebih sempurna dari penyusunan Imam al-Nawawi karena
pengetahuan yang diuraikan olehnya lebih banyak dan luas.155
Di dalam kitab al-Ja>mi’ dan al-Taz|kirah inilah al-Qurt}ubi menyebutkan
ulama-ulama Andalusia seprti Abu Bakar Ibn al-Arabi, Abu Muhammad

152
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 110.
153
Al-Z|ahabi mengklasifikasikan tafsir al-Qurt}ubi ini sebagai kitab berjenis tafsir
fiqhi, selain karya al-Jas}s}aṣ, al-Kiya al-Harrasi, dan Ibn al-‘Arabi. Lihat Al-Z|ahabi, Al-Tafsīr
wa al-Mufassirūn, vol. 2, h. 336-342.
154
Al-Qurt}ubi, Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah, h. 110.
155
Ibn Farhun, Al-Di>ba>j al-Mużhab fi> Ma’rifah A’ya>n ‘Ulama>’ al-Mażhab, (Kairo: Da>r
al-Tura>s|, 1997), h. 309.

70
Ibn At}iyyah, Abu al-Kit}ab Ibn Dahiyyah, Abu Bakar al-T}urt}usi, Abu
Abdullah al-Maziri dan lain-lain.156
c. Al-Asna> fi> Asma>’ Alla>h al-H}usna.> Kitab ini membahas tentang iman
kepada Allah, sifat dan nama-Nya. Ia selalu mengaitkan pembahasan
tentang masalah ini di dalam “Al-Ja>mi’” dan “Al-Tiz|kar” dengan kitab Al-
Asna, seperti saat membahas suatu ayat, al-Qurt}ubi mengungkapkan “saya
telah membahasnya di dalam kitab Al-Asna, lihatlah ke kitab tersebut”.157
d. Qam’u al-H}irs} bi al-Zuhd wa al-Qana>’ah wa żulli al-Su’a>l bi al-Kutub wa
al-Shafa>’ah. Menurt Ibn Farhun, kitab ini merupakan karya terbaik dalam
bidangnya, dan menghimpun shair yang berisi nama-nama Nabi
Muhammad saw.158 Kitab ini membahas tentang hukum Islam dalam
mengajak umat Islam untuk bekerja secara halal untuk memperoleh
rezeki, tetapi ini bukanlah tujuan utama seorang muslim di dunia,
melainkan hanya perantara untuk memperoleh tujuan yang lebih tinggi
yang termanifestasikan kesungguhan dalam bekerja dan senantiasa
mengamalkan hukum Islam.159
e. Al-Tiżka>r fi> Afd>}al al-Ażka>r. Kitab ini terkait secara langsung dengan kitab
al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n. Menurut kitab ini, z|ikir yang paling utama
adalah al-Qur’an. Oleh karena itu, seluruh fasal di dalam kitab ini
berhungan dengan ilmu al-Qur’an, keutamaan al-Qur’an, dan adab
membaca al-Qur’an.160
f. Sharh} al-Taqas}s}i.
g. Al-I’la>m bima> fi> di>ni al-Nas}a>ra> wa Iz}ha>r Mah}a>sini Di>n al-Isla>m>.161 Di
dalam kitab ini al-Qurt}ubi membahas kerusakan akidah Nasrani dan
menetapkan kebenaran akidah Islam.
h. Al-Inhiya>z Fi> Qura>’ Ahl Al-Ku>fah Wa Al-Bas}rah Wa Al-Sham Wa Ahl
Al-Hija>z.
Karya-karya al-Qurt}ubi ini menunjukkan bahwa ia merupakan seorang pakar ilmu
al-Qur’an, ahli hadis, ahli qira’at dan ahli Bahasa Arab.

156
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy al-Mufassir: Si>ratuhu Mi Tafsi>rihi,
h. 158.
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
157

Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 143.


158
Ibn Farhun, Al-Di>ba>j al-Mużhab fi> Ma’rifah A’ya>n ‘Ulama>’ al-Mażhab, (Kairo: Da>r
al-Tura>s|, 1997), h. 309.
159
Miftah al-Sanusi Bal’am, al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|a>ruhu al-‘Ilmiyyah wa
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r, h. 141.
160
Muhammad Ibn Sharifah, Al-Ima>m al-Qurt}u>biy: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi, h. 169.
161
Isma’il Basha al-Baghdadi, Hadiyyah al-‘A>rifi>n Asma>’ al-Mu’allifi>n wa As|a>r al-
Mus}annifi>n, (Mu’assasah al-Ta>ri>kh al-‘Arabi, 2017), h. 129.

71
72
BAB EMPAT
EPISTEMOLOGI TAFSIR AL-JA>MI’ LI AH{KA>M AL-QUR’A>N

Di bagian ini, penulis menganalisis epistemologi penafsiran Al-Qurt{ubi dalam


kitab al-Ja>mi’ li Ah{ka>m al-Qur’a>n guna melihat signifikansi pemikiran al-Qurt{bi
dalam mengungkap kandungan al-Qur’an, serta melihat sumber dan metode
penafsiran yang ia gunakan, agar penulis dapat memetakan posisi epistemologi
penafsiran al-Qurt}ubi dalam wacan tafsir abad pertengahan.
Guna menganalisis epistemologi penafsiran al-Qurt{ubi ini, penulis
mengklasifikasikan objek kajian di bab empat ini ke dalam dua kategori: pertama,
ayat-ayat teologis. Ayat al-Qur'an yang tergolong dalam jenis ini setidaknya bisa
dibagi menjadi dua bagian: 1. Ayat-ayat tentang Tuhan, Ibn Taymiyah menjelaskan,
bahwa yang menjadi pokok pembahasan aqidah islamiyyah adalah masalah ke-
ulu>hiyah-an Allah. Pembahasan tersebut berkisar pada tiga hal yaitu; pembahasan
tentang Z|a>t Allah; pembahasan tentang sifat Allah pembahasan tentang perbuatan
Allah. Menurutnya pembahasan tentang ketiga aspek tersebut adalah perkara yang
tidak mudah dalam masalah aqidah. Sebab, selain berpatokan pada lafaz} z}a>hir,
seorang ulama dituntut mengungkap makna yang sesuai dengan maksud lafaz}
tersebut, dengan tanpa ta’wi>l;1 2. Selain tentang Tuhan, misalnya 'arsh, surga,
neraka, malaikat, dan al-lauh} al-mahfu>z}. Singkatnya, ayat-ayat ini berkaitan dengan
sesuatu yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia.2 Kedua, ayat-ayat
hukum, yaitu ayat-ayat yang berkaitan dengan syariat Islam.

A. Analisis Penafsiran Ayat Mutasyabihat dan Ayat Hukum


1. Analisis Ayat Mutasha>biha>t
a. Ayat tentang Z{a>t Allah
Di dalam al-Qur'an banyak terdapat ungkapan yang digunakan sebagai
sinyalemen atau isyarat tentang Z|a>t Allah SWT. Salah satu pembahasan aqidah yang
paling sering disalahpahami adalah soal ayat-ayat yang sepintas mengisyaratkan
bahwa Allah punya anggota tubuh sehingga dalam benak sebagian orang terbayang
seolah Dzat Allah adalah jism (sosok tiga dimensi) yang tersusun dari organ-organ
tubuh tertentu. Di sisi lain, ada banyak ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan
berbuat sesuatu melalui kosa kata yang juga diperuntukkan bagi manusia. Oleh
karena itu, sebagian ulama meminta kita untuk tidak menggambarkan Tuhan dalam
wujud manusia (tajsi>m atau penggambaran fisik). Di antara ungkapan-ungkapan
yang menjelaskan tentang Z|a>t Allah SWT. adalah wajhulla>h, yad, istiwa> dan lain-
lain. Lantas, bagaimana al-Qurt}ubi menafsirkan ayat tersebut dan bagaiman metode
yang ia gunakan?

Ibn Taimiyah, Daqa>’iq al-Tafsi>r, (Beiru>t: Da>r al-Qiblah al-Isla>miyyah, 1986), 45.
1

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach , (New


2

York: Routledge, 2006), h. 91

73
Penulis mendapati kata “wajh” yang terkait dengan Allah di sebutkan di
beberapa ayat, yaitu surah al-Baqarah ayat 115, surah al-Insa>n ayat 9, surah al-
Rahma>n ayat 27, dan surah al-Lail ayat 20. Al-Qurt}ubi menyebutkan bahwa para
ulama berbeda pendapat dalam menakwil kata “wajh” yang disematkan kepada Allah
Ta’ala.
1) “Wajah” bagi Allah Ta’ala
a) Surah al-Baqarah ayat 115
Allah Ta’ala berfirman:
ُ ُ
ٌ ُ ْ ْ ْ ْ ُ ْ ْ
ٌ ْ
َ ‫بَفا ْينماَتولواَفثمََوج َهَاللَ َِهََۚ ِانََاللَ َهَو ِاسعََع ِلي َم‬
َ ُ ‫قَوالمغ ِر‬
َ ‫و ِللَ ِهََالمش ِر‬
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah
wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”
Pertama, Ibnu Abbas, al-Haz|aq, Ibnu Faurak, Ibnu At{iyyah berpendapat
maksud “wajhulla>h” di ayat ini adalah wujud (eksistensi) Allah. Al-Haz|aq
menyatakan bahwa “wajh” di ayat tersebut berarti “eksistensi Allah”, penggunaan
kata “al-wajhu” termasuk maja>z karena “wajh” merupakan anggota tubuh yang
paling nampak dan kedudukannya paling mulia. Pendapat ini senada dengan
pendapat Ibn Faurak yang berpendapat bahwa “wajhulla>h” merupakan ungkapan
tentang “pemilik ‘wajh’”, yakni “al-Wujud” (eksistensi Allah). Ia berargumen bahwa
menyebutkan sifat sesuatu terkadang yang dimaksud adalah sesuatu yang disifati
tersebut, untuk menggambarkan keseluruhan. Ia mencontohkan sebuah ungkapan
Arab: “ra’aitu ‘ilma fula>n al-yaum”, maksudnya adalah “ra’aitu al-‘a>lima”. Ibnu
Abbas juga berpendapat bahwa “al-wajh” merupakan ungkapan tentang Allah Azza
wa Jalla. Ibnu At}iyyah juga berpendapat maksud “wajh” adalah wujud Allah.3
Kedua, Mujahid dan Imam al-Shafi’i berpendapat yang dimaksud “wajh”
adalah kiblat, sebagaimana firman Allah. Pendapat Imam al-Shafi’i ini berdasarkan
riwayat dari Imam al-Muzani yang menyatakan bahwa Imam al-Shafi’i menafsirkan
surah al-baqarah ayat 115 ini dengan, “Di sanalah wajh (kiblat) yang wajah kalian
hadapkan kepadanya”. Mujahid menyatakan, maksud wajh adalah arah yang kita
hadapkan saat kita menghadap kepada Allah, yaitu kiblat, maka dimanapun engkau
berada, baik di barat maupun di timur, maka engkau harus menghadap ke kiblat. 4
Oleh karena itu, menurut Mujahid, ayat ini adalah muhkam.5

3
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 87-88.
4
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh} al-Asma>’ al-H}usna>, jilid 2, (Tanta, Da>r al-S{ah}a>bah li al-
Tura>s}, 1995), h. 85.
5
Al-Qurt{ubi menyebutkan sepuluh pendapat ulama terkait ayat ini, diantaranya adalah
pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa ayat ini dinaskh oleh ayat:
ْ ْ ًّ ْ ُ ْ ُ ْ
َ‫ر‬
َ َ‫ك َشــط‬ ْ
َ ‫ة َترضــَىها ََۚفو ِلَ َوجه‬
َ ‫د َنرَى َتقلبَ َوج ِهكَ َ ِفى َالســماۤ َِءَِۚفلنو ِلينكَ َ ِقبل‬
َ‫ق‬
ُ
ْ ُ ُ ُْ ُ ُ ْ ْ ْ
َ ََۚ‫امََۚوحيثََماَكنت ْمََفول ْواَ ُوج ْوهك ْمََشطره‬ َِ ‫دَالحر‬ َِ ‫الم ْس ِج‬
“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka
akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka
74
Ketiga, Ada yang berpendapat maksud “wajh” adalah “al-qas{du”. Pendapat ini
berargumen dengan sebuah shair:6
‫رب العباد إليه الوجه والعمل‬ ‫استغفر الله ذنبا لست محصيه‬
“Aku memohon Ampun kepada Allah atas dosa yang tidak bisa kuhitung
Tuhan para hamba, kepada-Nya lah tujuan dan amal”
Keempat, Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah di sana rida Allah dan
pahala dari-Nya,7 sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ُ ُ ُ ْ ُ ُ ْ ُ ُْ
َ ‫دَ ِمنك َْمَجزاۤ ًَّءَولاَشك ْو ًّرا‬
َ ‫ِانماَنط ِع ُمك َْمَ ِلوج َِهَاللَ َِهَلاَن ِر ْي‬

hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau


berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 144).
jika berdasarkan pendapat ini, seakan-akan sebelum surah al-Baqarah ayat 144
ini menask surah al-Baqara ayat 115, umat Islam boleh shalat ke arah mana saja yang
mereka inginkan. Lihat: Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, 87.
6
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 89.
7
Pendapat ini mengemukakan beberapa dalil, diantaranya firman Allah SWT.:
ُ ُ ُ ْ ُ ُ ْ ُ ُْ
َ ‫دَ ِمنك َْمَجزاۤ ًَّءَولاَشك ْو ًّرا‬
َ ‫ِانماَنط ِع ُمك َْمَ ِلوج َِهَاللَ َِهَلاَن ِر ْي‬
“(sambil berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena
mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari
kamu.” (QS. Al-Insa>n [76]: 9).
Yakni, mengharap rida-Nya dan mengharap pahala dari-Nya. Lihat: al-Qurt{ubi, al-
Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 89.
Dan juga dengan dua buah hadis, Rasulullah saw. bersabda:
ِ‫م ن بـ ن ى م س ِج ًد ا يـ بـ ت غِ ي بِ هِ وج ه ال لَّ هِ بـ ن ى ال لَّ ه ل ه مِ ثـْ ل ه فِ ي ا لْ ج نَّة‬
ْ ُ ُ ُ ْ ْ ْ ْ
“Siapa yang membangun masjid karena Allah dengan maksud mencari ‘wajah’ Allah,
niscaya Allah membuatkan yang serupa di surga untuknya,” (H.R. Al-Bukhari no.
Hadis 450).
Rasulullah saw. bersabda:
،‫ ألْ ُقوا هذا واقْـبـلُوا هذا‬:‫ول عَّز وج َّل لِمالئِكتِ ِه‬
ُ ‫ب بـْين يد ِي اللَّ ِه تـعالى فـيـ ُق‬ُّ ‫ف ُمختَّم ٍة فـتُص‬ ٍ ‫يجاء يـوم الْ ِقيام ِة بِصح‬
ُُ ْ ُ ُ
َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ إ َّن هذا كان لغْير و ْجهي وال أقْـب ُل من الْعمل إال ما كان‬:‫ول‬ ِ ُ ‫ فـيـ ُق‬،‫ وُهو أ ْعل ُم‬،‫ وعَّزتك يا ربـَّنا ما رأيْـنا إال خْيـًرا‬:ُ‫ول الْمالئِكة‬
َِّ ِ ِ ُ ‫فـتـ ُق‬
.‫ابْـتُغِي بِه و ْج ِهي‬
ِ
“Pada hari Kiamat kelak akan didatangkan lembaran-lembaran yang telah ditutup, lalu
ditegakkan di hadapan Allah Ta’ala, kemudian Allah 'Azza wa Jalla berfirman kepada
para malaikat-Nya: ‘Gugurkanlah yang ini dan terimalah yang ini.’ Lalu malaikat
berkata: 'Demi Kemuliaan-Mu, wahai Tuhan kami, tidak ada yang kami lihat kecuali
kebaikan.’ Dan Dia lebih mengetahui, Allah berfirman: ‘Ini adalah untuk selain
‘wajah’ (diri)-Ku. Dan hari ini Aku tidak menerima amal kecuali yang dimaksudkan
karena ‘wajahkKu’ (ikhlas karena-Ku’.” (HR. Al-Daruqut{ni).
Al-Qurt{ubi menafsirkan “Wajh” di hadis ini dengan, ikhlas karena-Ku. Lihat, al-
Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 89.

75
“(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu
hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan
dan terima kasih dari kamu.” (QS. Al-Insa>n [76]: 9).
Pendapat ini berargumen dengan sabda Nabi saw.:
ِ‫منْ بنى مسْجِدﺍً يبْتغِي بِ ِه ﻭجْه ﺍللهِ بنى ﺍللهُ لهُ مِثْلهُ فِي ﺍلْجنة‬
“Barangsiapa membangun masjid karena mengharap wajh (rida) Allah, maka
Allah akan membangunkan untuknya yang semisalnya di dalam syurg, (H.R.
al-Bukhari).8”
Dan sabda Nabi saw.:
ُ ‫ فـيـ ُق‬،‫ب بـْين يد ِي اللَّ ِه عَّز وج َّل‬
‫ول اللَّهُ عَّز وج َّل‬ ٍ ٍ ‫يجاء يـوم الْ ِقيام ِة ب‬
ُ ‫ص ُحف ُم ْختمة فـتُـْنص‬ ُُ ْ ُ ُ
:‫ول وُهو أ ْعل ُم‬ ُ ‫ فـيـ ُق‬،‫ و ِعَّزتِك ما رأيْـنا إَِّال خْيـًرا‬:ُ‫ول الْمالئِكة‬ُ ‫ فـتـ ُق‬،‫ ألْ ُقوا هذا واقْـبـلُوا هذا‬:‫لِمالئِكتِ ِه‬
.)‫ وال أقْـب ُل الْيـ ْوم ِمن الْعم ِل إَِّال ما كان ابْـتُغِي بِِه و ْج ِهي (رواه الدارقطني‬،‫إِ َّن هذا كان لِغْي ِري‬
“(Bani Adam) akan didatangkan pada hari Kiamat dengan memmbawa
lembaran-lembaran yang disetempel, lalu dihadapkan kepada Allah Azza Wa
Jalla. Allah Azza Wa Jalla berfirman kepada Malaikat, ‘Campakkanlah ini dan
terimalah ini’. Malaikat berkata, ‘Demi kemuliaan-Mu, Kami hanya melihat
kebaikan.’ Allah yang lebih mengetahui berfirman, ‘Sesungguhnya ini bukan
karena Aku, dan Aku tidak menerima suatu amal kecuali amal yang dilakukan
semata-mata ikhlas (wajh) karena-Ku’. (H.R. al-Daruqut{ni).9”
Kelima, Imam al-Kalabi, al-Qutabi dan Muktazilah berpendapat “wajh” adalah
s{illah, sebagaimana firman Allah: “wa huwa ma’akum”. Dengan demikian, maksud
“fa s|amma wajhulla>h” adalah, fa s|amma Alla>h. 10
b) Surah al-Rah{man ayat 27:
ْ ْ ْ ُ ُ ْ
َ ِۚ‫ام‬ َ ِ ‫وي ْبقَىَوجهََر ِبكََذوَالجَل‬
َِ ‫لَوال ِاكر‬
“Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.”
Al-Qurt}ubi menafsirkan kalimat “wa yabqa wajhu rabbika” di ayat ini, “wa
yabqa alla>hu”,11 yaitu eksistensi Allah dan z}at-Nya. ia berargumen dengan ungkapan
arab “haz}a> wajh al-amr, wa wajh al-s{awa>b, ‘ainu s{awab” dan juga sebuah shair dari
Abu al-Atahiyyah:
‫فكل شيئ سواه فاني‬ ‫قضى على خلقه المنايا‬
“Allah menakdirkan kematian pada makhluk-Nya
Maka segala sesuatu selain-Nya dapat binasa”

8
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath{ al-Ba>ru, jilid 1, (Beirut: Al-Maktabah al-Salafiyyah,
1997), h. 544
9
Al-Bani mend{‘ifkan hadis ini. Lihat, al-Bani, Silsilah al-Ah{a>di>s| al-D{a’i>fah, jilid 11,
(Riyad{: Maktabah al-Ma’a>rif, 2002), h. 255.
10
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 89.
11
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 17, h. 164.

76
Di dalam kitab al-Ja>mi’ li Ah{ka>m al-Qur’a>n, al-Qurt{ubi tidak mengemukakan
korelasi antara shair ini dengan takwil sifat “wajh” sebagai eksistensi Allah, tetapi
korelasi ini akan kita dapati di kitabnya yang berjudul “al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-
H{usna>” yang diungkapkan oleh Abu al-Ma’ali, kata wajh yang disifati dengan sifat
baqa>’ (kekal) ketika disandingkan dengan makhluk yang disifati fana>’ adalah wujud
Allah Yang Maha Pencipta.12 Di ayat ini Allah mengemukakan Z}at-Nya kekal,
sedangkan di ayat sebelumnya Allah menyatakan bahwa segala sesuatu yang berada
di bumi akan binasa, sehingga maksud “wajh” di ayat ini adalah eksistensi (Z{at)
Allah.
Pendapatnya ini, menurut al-Qurt{ubi merupakan pendapat al-Haz{aq, Ibnu
Abbas, Abu al-Ma’ali13, Ibnu Faurak dan ulama yang lainnya. Untuk menguatkan
klaimnya ini, ia pun menyebutkan pendapat mereka ini.14 Imam al-Sayut{i juga
menakwil kata wajh di ayat ini dengan “Z{at Allah”. Menurutnya, Kata wajh yang
bermakna Dzat Allah termasuk maja>z yang berkategori “It{la>q ism al-Juz’i ‘ala al-
kul” (penyebutan nama suatu bagian untuk menunjukkan keseluruhan). 15
Al-Qurt{ubi juga menakwil kata “wajh” di surah al-Insa>n ayat 9 dengan “ wujud
Allah (Z{at Allah)”:16
ُ ُ ُ ْ ُ ُ ْ ُ ُْ
َ ‫دَ ِمنك َْمَجزاۤ ًَّءَولاَشك ْو ًّرا‬
َ ‫ِانماَنط ِع ُمك َْمَ ِلوج َِهَاللَ َِهَلاَن ِر ْي‬
“(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu
hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan
dan terima kasih dari kamu.”

12
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-H{usna>, (Tanta: Da>r al-S{ah{a>bah li al-Tura>s|,
1996), h. 83.
13
Abu al-Ma’ali dikenal dengan nama Iman al-Juwaini dan Imam al-Haramaeni,
mempunyai nama lengkap Abu al-Ma'aliy Abd al-Malik Ibn Abu Muhammad Abdullah Ibn
Yusuf Ibn Abdullah Ibn Yusuf Ibn Muhammad Ibn Hayyuyah al-Juwaini. Seorang ahli us{ul
dan fikih, beliau bermaz|hab Shafi'i dalam bidang fikih, sedangkan dalam bidang Teologi, ia
mengikuti maz}hab Ash’ari. Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419 H.
Perkembangan kedua dalam teologi al-Asy’ariyah berada di tangan Imam al-Haramain
al-Juwaini, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa metode yang dipakai oleh al-Baqillani sangat
baik, namun dalam hal penetapan dalil belum sistematis, maka melalui al-Juawaini yang
tertuang dalam kitabnya "al-Syamil" dan "al-Irsyad", menetapkan bentuk dalil yang telah
tersusun secara sistematis dengan mengklarifikasi antar ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu
logika serta menjadikan metode berpikir logika sebagai standar untuk menetapkan kebenaran
suatu dalil.
14
Ibnu Abbas mengungkapkan bahwa sifat “wajh” merupakan ungkapan tentang Z{at
Allah. Abu al-Ma’ali menyatakan, maksud “al-wajh” adalah eksistensi (wuju>d) Allah Yang
Maha Pencipta. Menurutnya penakwilan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Abu al-
Ma’ali berargumen, kata wajh yang disifati dengan sifat baqa>’ (kekal) ketika disandingkan
dengan makhluk yang disifati fana>’ maka maksudnya adalah wujud Allah Yang Maha
Pencipta. Lihat, Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 17, h. 164.
15
Al-Sayut{i, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2018),
h. 362.
16
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-H{usna>, 83.

77
Dengan demikian, arti ayat tersebut adalah, “kami memberi makan kalian
karena Allah (filla>hi) karena takut pada siksa-Nya dan mengharap pahala dari-
Nya.”17
Kecenderungan al-Qurt{ubi untuk menakwil “wajh” dengan eksistensi dan z}at
Allah, juga terlihat saat ia menafsirkan surah al-Qas}as ayat 88. Allah berfirman:
ْ ُْ ُ ْ ٌ ُُ ُ ُ ْ
َ‫ك َ ِالا َوجههَ َۚ َل َه َالحك ُمَ َواِ ل ْي َِه‬
َ ‫ل َش ْيءَ َها ِل‬ َ ‫ولا َتدعَ َم َع َاللَ َِه َ ِالَ ًّها َاَخ‬
َ ‫ر َلاَ َ ِالَ َه َ ِالا َهوَ َك‬
ُ ُ
َ ََࣖ‫ت ْرجع ْون‬
“Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada
tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali
Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya
kamu dikembalikan.”
Al-Qurt{ubi menyebutkan beberapa penakwilan ulama terkait maksud “wajh”
di ayat ini. Mujahid menakwilnya z}at Allah, al-S}adiq menakwilnya dengan agama
Allah, Abu al-Aliyah dan Sufyan menakwilnya dengan sesuatu yang menjadi tujuan
dalam taqarrub, dan Abu Ubaidah menakwilnya dengan kedudukan (ja>h),
sebagaimana perkataan seseorang “li fula>n wajh fi al-na>s” (Fulan memiliki
kedudukan di masyarakat).18 Di ayat ini ia tidak secara tegas memilih salah satu
pendapat di atas, hanya saja jika menggunakan kaidah “sesuatu yang disifati dengan
sifat baqa>’ (kekal) ketika disandingkan dengan makhluk yang disifati fana>’ adalah
wujud Allah Yang Maha Pencipta”19, maka pendapat yang tepat adalah pendapat
yang pertama kali ia sebut, yaitu pendapat Mujahid yang menakwilnya dengan Z{at
Allah.
Selain menakwil “wajh” dengan eksistensi, ia juga menakwil dengan
penakwilan lain, sebagaimana saat ia menafsirkan surah al-Lail ayat 20:
ْ ْ ْ
َ َِۚ‫ِالاَ ْاب ِتغاۤ َءَوج ِهََر ِب َِهَالاعلَى‬
“tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya
Yang Mahatinggi.”
Al-Qurt}ubi menakwil ayat ini dengan karena mencari rida Allah dan sesuatu
yang dapat mendekatkan kepada-Nya.20
Dan surah al-An’a>m ayat 52, ia menakwil “wajh” dengan taat kepada Allah
Ta’ala:
ْ ُ ْ ْ ُ ُ ْ ْ ْ
َ‫ك َ ِم ْنَ َ ِحسَ ِاب ِه َْم‬
َ ‫وة َوالع ِش َيَ ُي ِر ْيد ْونَ َوجههَ َۚما َعل ْي‬
َِ َ‫ن َربه َْمَ ِبالغد‬ َ ‫ولا َتط ُر ِدَ َال ِذينَ َيدع ْو‬
ِ
ُ ُ ْ
َ َ‫نَالظَ ِل ِم ْين‬
َ ‫نَش ْي َءَفتط ُرده ْمََفتك ْونََ ِم‬ َ ْ ‫كَعل ْي ِه َْمَ ِم‬َ ‫نَش ْي َءَوماَ ِم ْنََ ِحَس ِاب‬
َ ْ ‫ِم‬
“Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi
dan petang hari, mereka mengharapkan wajah (keridaan)-Nya. Engkau tidak

17
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 19, h. 113.
18
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 13, h. 286.
19
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-H{usna>, h. 83.
20
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 20, h. 80.

78
memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka
tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang
menyebabkan engkau (berhak) mengusir mereka, sehingga engkau termasuk
orang-orang yang zalim.”
Al-Qurt{ubi menakwil kalimat “yuri>du>na wajhah” dengan ketaatan kepada-
Nya dengan ikhlas, yakni mereka ikhlas beribadah kepada Allah.21 Dengan demikian,
maksud ayat ini adalah, “dan janganlah engkau (Muhammad) mengusir orang-orang
yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari yang mereka beribadah dan
beramal kepada-Nya dengan ikhlas.” Penakwilan ini juga sama saat ia menafasirkan
surah al-Kahfi ayat 28:22
ْ ُ ْ ْ ُ ْ ْ ُ ُ ْ ْ ْ ْ
ََ‫وة َوالع ِش َي َ ُي ِر ْيد ْونَ َوجه َه َولا َتعدَ َعينَك‬َِ َ‫ن َيدع ْونَ َربه َْم َ ِبالغد‬
َ ‫واص ِب َْر َنفسكَ َمعَ َال ِذي‬
ِ
ًّ ُ ُ ُ ْ ُ ْ ْ ْ ْ ُ ُْ ْ ُ ُ ْ
َ ‫ىهَوكانََامرهََفرطا‬ َ َ‫نَ ِذك ِرناَواتبعََهو‬ َ ْ ‫وةَالدنياََِۚولاَت ِط ْعََم ْنََاغفلناَقلبهََع‬ َ ‫عن ُه َْمَِۚت ِر ْي‬
َِ َ‫دَ ِز ْينةََالحَي‬
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru
Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti
keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.”
Kesamaan penakwilan kedua ayat ini karena asba>b al-nuzu>l kedua ayat ini
sama. Al-Qurt{ubi menyebutkan bahwa asba>b al-nuzu>l kedua ayat ini adalah karena,23

Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 6, h. 406.


21

Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 10, h. 364.


22
23
Hadis asba>b al-nuzu>l kedua ayat ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Khabbab tentang firman Allah “ Dan janganlah kamu mengusir
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari” hingga firman-Nya, “sehingga
kamu termasuk orang-orang yang zalim”, (QS. Al-An’a<m: 52). Khabbab berkata, “Al-Aqra'
Ibn Habis Al-Tamimi dan Uyainah Ibn His}n Al-Fazari datang, keduanya mendapati
Rasulullah saw. sedang duduk bersama dengan S{uhaib, Bilal, Ammar dan Khabbab dari
kalangan orang-orang mukmin yang d}u’afa>’. Ketika keduanya melihat mereka berada di
sekeliling Nabi saw., keduanya mendatangi beliau seraya mencela beliau, mereka berkata,
‘Sesungguhnya kami ingin agar engkau membuat majelis khusus untuk kami agar orang-
orang Arab tahu keutamaan kami, karena delegasi Arab akan datang kepadamu, dan kami
malu jika orang-orang Arab tahu kami satu majelis dengan hamba sahaya. Oleh karena itu,
jika kami datang kepadamu, halaulah mereka darimu. Jika kami telah selesai, barulah engkau
duduk bersama mereka sekehendakmu.’ Beliau menjawab: ‘Ya.’ Mereka berkata, ‘Tulislah
perjanjian terhadap kami atas kamu’.”
Perawi (Khabbab) berkata, “Kemudian beliau meminta lembaran kertas dan menyuruh
Ali agar menulisnya, sedangkan kami duduk di pojok masjid. Kemudian Jibril a.s. datang dan
menyampaikan firman Allah: ‘Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridlaan-Nya, kamu tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu
(berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).’ (Q.S. Al-

79
orang-orang musyrik menyuruh Rasulullah saw. agar beliau mengusir Salman,
S}uhaiba, Bilal, dan Khabab dari majelis beliau, dan orang-orang musyrik tersebut
juga menyuruh Rasulullah saw. agar beliau menulis surat kepada mereka perihal
pengusiran tersebut, lalu Rasulullah saw. memerintahkan Ali Ibn Abu T}alib menulis
surat tersebut, lantas turunlah ayat ini yang melarang Rasulullah mengusir mereka
dan agar beliau tetap bersama mereka.24
Berdasarkan hal di atas, ada tiga penafsiran kata “wajh” yang digunakan oleh
al-Qurt{ubi dalam menafsirkan ayat al-Qur’an tentang mutasha>biha>t. Perbedaan
makna ini disebabkan oleh perbedaan konteks setiap ayat (siya>q al-kala>m) tersebut.
Yaitu:
Pertama, “wajh” bermakna Z|at atau eksistensi Allah di surah al-Insa>n ayat 9,
surah al-Qas{as{ ayat 88 dan surah al-Rahman ayat 27.
Kedua, kata “wajh” bermakna rida Allah di surah al-Lail ayat 20.َ Makna ini
berdasarkan konteks ayat 17-21 surah al-Lail.25 Ayat 17-19 membicarakan orang

An’a>m: 52). Kemudian Jibril menyebutkan Al-Aqra’ Ibn Habis dan Uyainah Ibn His{n, Jibril
menyampaikan firman Allah: ‘(Dan Demikianlah Telah kami uji sebahagian mereka (orang-
orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya
itu) berkata: ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada
mereka?’ (Allah berfirman): ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang
bersyukur (kepada-Nya)?’.” (Q.S. Al-An’a>m: 63). Jibril juga menyampaikan firman Allah:
‘Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami itu datang kepadamu, Maka
Katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya kasih saying. '
(Q.S. Al-An’a>m:54).”
Khabab berkata, “Setelah itu kami mendekati beliau sehingga lutut kami dengan lutut
beliau saling bersentuhan, sedangkan saat itu Rasulullah saw. duduk bersama kami, ketika
beliau hendak berdiri dan meninggalkan kami, maka Allah Azza wa Jalla menurunkan: ‘Dan
bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja
hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(QS. Al-Kahfi: 28). Yakni, janganlah engkau bermajelis dengan orang-orang kaya. ‘(karena)
mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, ' (QS. Al-Kahfi: 28), yaitu Uyainah dan
Al-Aqra'. ‘serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas. ’ (Q.S. Al
Kahfi: 28).” Yaitu kebinasaan.
Khabbab berkata, “Sungguh buruk perkara Uyainah dan Al-Aqra'. Kemudian Allah
membuat sebuah permisalan bagi mereka atas dua orang tersebut, kehidupan dunia dan
akhirat.” Khabbab berkata, “Maka kami duduk bersama Nabi saw. Ketika telah sampai
waktunya beliau berdiri, kami pun berdiri meninggalkan beliau, sebelum beliau berdiri.”
Lihat: Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 6, h. 405-407.
24
Rasulullah saw. menuruti permintaan Al-Aqra’ dan Uyainah karena beliau sangat
menginginkan keislaman mereka dan kaum mereka. Beliau juga mempercayai sikap beliau ini
tidak akan membuat para sahabat beliau kehilangan apapun dan juga tidak akan mengurangi
kedudukan mereka. Lihat: Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 6, h. 406.
25
Allah ta’ala berfirman:
ْ ُ
ْ ‫َال‬٤١َِۙ‫َتجزى‬ ْ ْ ُْ ْ ْ ْ
َ‫اَاب ِتغاۤء‬ ِ ‫اَلاحد َِعنده َِم ْن َِنعمة‬ ُ ُ
ِ ‫َوم‬٤٨َِۚ‫َال ِذيَي ِؤت ْيَمالهَيتزكى‬٤١َِۙ‫وسيجنبهاَالاتقى‬
ْ ْ ْ
َ ٠٤ََࣖ‫َولس ْوفَي ْرضى‬٠٢َِۚ‫وج ِهَر ِب ِهَالاعلى‬

80
yang akan dijauhkan dari neraka adalah orang yang paling bertakwa (Abu Bakar)
yang menyedekahkan hartanya untuk menyucikan dirinya di sisi Allah Ta’ala, bukan
karena balas budi terhadap orang yang telah memberikan nikmat kepadanya. Karena
konteks ketiga ayat ini tentang keikhlasan berinfak, maka al-Qurt{ubi menakwil kata
“wajh rabbihi” di ayat berikutnya (ayat 20) dengan rida Tuhan-nya., sehingga makna
ayat 17-20 adalah, ia berinfak semata-mata ikhlas karena Allah Ta’ala untuk mencari
rida-Nya.
Pemaknaan ini sangat tepat jika dilihat dari asbabun Nuzul ayat ini, yaitu
tentang Abu Bakar yang memerdekan Bilal dari Umayyah dan Ubay bin Khalaf.
Sebab, Abu Bakar dikalangan sahabat sangat dikenal sebagai orang yang dermawan
yang tidak segan-segan untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala. Hal ini
tergambar dari ungkapan Umar Ibn Khat{ab saat ia hendak bersedakah untuk perang
Tabuk, \ “Saat ini aku memiliki harta. Jika suatu saat aku dapat melebih Abu Bakar,
maka inilah saatnya”. Namun, ternyata Ia tidak mampu mengalahkan Abu Bakar,
karena ia hanya menyedekahkan setengah dari hartanya dan setengahnya untuk
keluarganya, sedangkan Abu Bakar hanya menyisakan Allah dan Rasul-Nya untuk
keluarganya. Ini artinya Abu Bakar menyedekahkan seluruh hartanya ikhlas karena
Allah.
Ketiga, bermakna “taat kepada Allah” di surah al-An’a>m ayat 52 dan surah al-
Kahfi ayat 28. Kedua ayat ini berbicara tentang para sahabat yang fakir yang
senantiasa menyeru Allah Ta’ala26 pada pagi dan senja hari.27 Dalam konteks inilah,
al-Qurt{ubi menakwil kata “wajhah” di kedua ayat tersebut dengan “taat kepada Allah
dengan ikhlas”. Dengan demikian, makna kedua ayat ini adalah, mereka menyeru
kepada Allah Ta’ala pada pagi dan senja hari dengan ikhlas beribadah dan beramal
kepada-Nya.
Karena keikhlasan mereka dalam beribadah, meskipun mereka fakir, Allah
swt. melarang Rasulullah saw. mengusir mereka dari majelis beliau saat Uyainah Ibn
His{n dan al-Aqra’ Ibn Habis menyuruh Rasulullah saw. mengusir mereka dari majelis
beliau saat mereka berdua datang ke majelis beliau.
Sayangnya, Al-Qurt{ubi di dalam kitab tafsirnya sama sekali tidak
mengemukakan hadis-hadis yang menyebutkan sifat “wajh” pada Allah, tetapi dalam

“Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa, yang
menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), dan tidak ada
seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia
memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.
Dan niscaya kelak dia akan mendapat kesenangan (yang sempurna) ,” (Q.S. Al-Lail
[92]: 17-21).
26
Al-Qurt{ubi menyebutkan beberapa pendapat tentang maksud “menyeru Tuhannya”.
Menurut Ibnu Abbas, Mujadi dan al-hasan, yang dimaksud menyeru adalah menjaga shalat
jamaah lima waktu; ada juga yang berpendapat maksudnya zikir dan membaca al-Qur’an;
menurut al-Qurt{ubi bisa jadi maksudnya berdoa pada awal dan penghujung hari, karena
mereka membuka hari mereka dengan berdoa agar mendapat taufiq, dan menutup hari mereka
dengan berdoa memohon pengampunan.
27
Kedua ayat ini hanya menyebutkan “pagi dan senja hari” karena umumnya kedua
waktu ini merupakan waktu yang sibuk untuk bekerja. Oleh karena itu, orang yang di waktu
sibuk beribadah, maka ia akan lebih giat beramalam di waktu senggang.

81
karyanya “al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-H{usna>”, ia menyebutkan beberapa hadis
yang terkait dengan hal ini, dan ia pun melakukan takwil terhadap hadis tersebut.
Diantaranya adalah, sabda Nabi saw.:
‫ إن الله أمركم بالصالة فإن‬:‫ ثم قال‬،‫إن الله أوحى إلى زكريا عليه السالم فقام فحمد الله وأثنى عليه‬
‫ فال يصرف وجهه عنه حتى يكون العبد هو الذي يصرف وجهه عنه‬،‫العبد إذا قام يصلي استقبله الله بوجهه‬
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada Zakariya a.s., kemudian ia
berdiri, memuji Allah, lalu menyanjung-Nya. Kemudian Zakariya berkata,
‘Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian s{alat. Sebab, seorang hamba yang
berdiri untuk melaksanakan s{alat, Allah akan menghadap kepadanya dengan
‘wajah-Nya’. Dia tidak memalingkan wajah-Nya darinya hingga seorang
hamba memalingkan wajahnya dari-Nya.”
Menurutnya, makna “wajh” di hadis ini adalah Allah menghadap orang yang
s{alat dengan rahmat-Nya. al-Qurt{ubi menggunakan beberapa pendekatan dalam
melakukan takwil terhadap hadis ini: pertama, pendekatan linguistik, Menghadapkan
dan memalingkan rahmat diungkapkan dengan ungkapan menghadapkan dan
memalingkan wajah sudah berlaku umum di ungkapan masyarakat, seperti ungkapan
“al-ami>ru muqbil ‘ala fula>n” maksud ungkapan mereka ini adalah “pemimpin
menghadap ke Fulan dengan kebaikannya”. Atau ungkapan “mu’rid{ ‘an fula>n”
maksudnya, tidak berbuat baik kepadanya.
Kedua, pendekatan logika. Menurut al-Qurt{ubi, menghadap ataupun berpaling
tidak ada dalam sifat Z{at Allah, tetapi adanya pada sifat perbuatan Allah.
Ketiga, menjelaskan hadis dengan hadis lain. Kata “wajh” yang ditakwil
menjadi “rahmat” menurut al-Qurt{ubi dijelaskan dalam sabda Nabi saw.,
‫إذا قام أحدكم إلى الصالة فال يمسح الحصا فإن الرحمة تواجهه‬
“Jika salah seorang dari kalian melaksanakan s{alat, maka jangan mengusap
kerikil, karena rahmat berhadapan dengan kalian,” (H.R. Al-Tirmiz|i).28
Menurutnya, mengusap kerikil dalam shalat termasuk perbuatan berpaling.
Dengan demikian, orang yang berpaling dalam s{alatnya, maka rahmat Allah pun akan
pergi.
Berdasarkan ketiga pendekatan yang al-Qurt{ubi gunakan dalam menjelaskan
makna kata “wajh” yang disematkan kepada Allah, maka dapat dipastikan bahwa
epistemologi penafsirannya merupakan penggabungan antara epistemologi baya>ni

28
Menurut Imam al-Tirmiz|i, hadis ini Hasan. Lihat: Al-Tirmiz|i, Sunan al-Tirmiz|i,
jilid 1, h. 169.
Adapun hadis redaksi Abu Dawud:
‫إذا قام أحدكم إلى الصالة فإن الرحمة تواجهه فال يمسح الحصا‬
“Jika salah seorang dari kalian melaksanakan s{alat, maka rahmat berhadapan dengan
kalian maka jangan mengusap kerikil.”
Menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ibnu Hajar hadis ini s{ahih, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Shu’aib al-Arnaut}. Lihat: Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2,
(Beirut: Da>r al-Risa>lah al-‘A>lamiyyah, 2009), h. 204.

82
dan burha>ni. Epistemologi baya>ni berupa pendekatan kebahasaan dan riwayat yang
ia gunakan, sedangkan epistemologi burha>ni berupa pendekatan logika (rasio).
Sikap yang ditunjukkan oleh al-Qurt}ubi ini, menurut penulis, menunjukkan
bahwa ia seorang ulama yang berpegang teguh pada metode takwil dalam
menafsirkan ayat yang terkait dengan sifaz z}at Allah, tanpa memberikan ruang
terhadap metode tafwi>d} dan is|ba>t dalam memahami ayat tersebut.
2) “Mata” bagi Allah Ta’ala
Allah swt. berfirman:
ُ ْ ُ ُ ْ ُ ْ ُ ْ ْ ُْ ْ
َ ‫اط ْب ِن ْيََ ِفىَال ِذينََظل ُم ْواَِۚۚ ِانه َْمَمغر َق ْو‬
َ ٤١َ‫ن‬ ِ ‫خ‬‫ت‬ َ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫و‬ َ‫ا‬ ‫ن‬‫ي‬ِ ‫ح‬ ‫و‬ ‫و‬ َ ‫ا‬ ‫ن‬‫ن‬ِ ِ ‫واصن ِ َعَالفل‬
‫ي‬‫ع‬ ‫ا‬ ‫ب‬ َ َ
‫ك‬
“Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan
janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan,” (Q.S. Hud [11]: 37).
Al-Qurt{ubi menegaskan bahwa semua lafaz “’ain” (mata) yang disematkan
kepada Allah merupakan ungkapan tentang pengetahuan dan penjagaan Allah Ta’ala
karena Allah Maha Syci dari panca indra, keserupaan dengan makhluk, dan
pengilustrasian Allah dengan makhluk. Berdasarkan prinsip ini, Al-Qurt{ubi
menafsirkan lafaz “bi a’yunina>” di ayat di atas dengan melakukan takwil. Maknanya
adalah “dengan pandangan dari Kami dimana Kami melihat engkau”. Al-Qurt{ubi
juga mengemukakan beberapa penakwilan ayat ini diantaranya: al-Rabi’ Ibnu Anas
menakwil lafaz tersebut “dengan perlindungan dari Kami”; Ibn Abbas menakwilnya
“dengan penjagaan dari Kami”; ada juga yang menakwilnya “dengan pengawasan
malaikat yang telah telah Kami ciptakan mata untuk mereka agar mereka menjaga
dan membantu mereka”; Imam Muqatil manakwil “dengan ilmu Kami”.
Al-Qurt{ubi juga melakukan penakwilan yang sama saat menafsirkan lafaz
“’aini>” dalam surah T{a>ha>:
ٌ ُ ٌ ُ ْ ُ ْ ُ ْ ُْْ ْ ْ ْ َ ‫ن َ ْاقذف ْي َه َفى َالت ُاب ْو‬
َ‫ل َيأخذ ُهَ َعَد َو َِل َْي َوعدوَ َل َه‬َ ِ ‫اح‬
ِ ‫الس‬ ‫ب‬ِ َ ‫م‬
َ ‫ي‬‫ال‬ َ َ
‫ه‬ِ ‫ق‬ِ ‫ل‬ ‫ي‬‫ل‬ ‫ف‬َ ‫م‬
َ ِ َ ‫ت َفاق ِذ ِفي َِه َ ِفى‬
‫ي‬‫ال‬ ِ ِ ِ ِ ِ َِ ‫ا‬
ْ ُ ًّ ُ ْ ْ
َ ٤١َََۚ‫تَعل ْيكََمحبةََ ِم ِن َْيَەََِۚو ِلتصنعََعلىَع ْي ِن ْي‬
َ ‫ۚوالقي‬
“(yaitu), letakkanlah dia (Musa) di dalam peti, kemudian hanyutkanlah dia ke
sungai (Nil), maka biarlah (arus) sungai itu membawanya ke tepi, dia akan
diambil oleh (Fir‘aun) musuh-Ku dan musuhnya. Aku telah melimpahkan
kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan agar engkau diasuh di bawah
pengawasan-Ku,” (Q.S. T{a>ha> [20]: 39).
b. Ayat tentang Istiwa’ Allah
Banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan tentang perbuatan Allah SWT.,
diantaranya adalah Allah istiwa>’ ‘ala al-Arsh. Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat
Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya dalam tujuh ayat Al-Quran,
yaitu surah Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-
Hadid: 4, semuanya dengan lafaz:
ْ ُ
َ ِ ‫ثمََ ْاستوَىَعلىَالع ْر‬
َ َ‫ش‬
“lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”

83
Dan surah T{aha dengan redaksi:
ْ ْ
َ ٦َ‫شَ ْاستوَى‬ َ ُ َ‫الرحم‬
َ ِ ‫نَعلىَالع ْر‬
“ (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy.”
Dan surah al-Baqarah ayat 29 dengan redaksi:
ُ
َ‫ثمََ ْاستوَىَ ِالىَالسماۤ ِء‬
“kemudian Dia menuju (istawa>) ke langit.”
Ayat tentang “Istiwa>’” –mengutip pernyataan Imam Abu Hasan al-Ash’ari–
termasuk pembahasan yang problematis dalam al-Qur’an yang penakwilannya tidak
diketahui secara pasti.29 Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam
memahami hal ini, al-Qurt{ubi menyebutkan di dalam kitab “al-Asna> fi> Sharh} al-
Asma>’ al-H{usna” sepuluh pendapat tentang makna istiwa>’ ‘ala al-Arsh, tetapi dalam
kitab tafsirnya, ia tidak menyinggung ketujuh belas pendapat ini, ia hanya
menyebutkan tiga pemahaman tentang istiwa>’ ‘ala al-Arsh.
Pertama, mayoritas ulama mutaqaddimi>n dan muta’akhirin mewajibkan
menyucikan Allah dari arah dan tempat, Allah tidak berada di arah atas. Jika Allah
dikhususkan berada di suatu arah, maka Allah berada di suatu tempat. Jika Allah
berada di suatu tempat, maka mengharuskan Allah bergerak dan diam di tempat.
Kedua, ulama yang menafsirkannya sesuai dengan kandungan makna z{ahir
bahasa. Ini merupakan pendapat Mushabbihah.30
Ketiga, ulama salaf generasi pertama tidak menafikan arah bagi Allah dan juga
tidak menetapkannya. Mereka tidak mengingkari Allah istiwa>’ di Arsh secara hakiki,
tetapi mereka tidak mengetahui bagaiman istiwa>’-Nya.31 Diantara ulama yang
berpendapat demikian adalah, Abu Hasan al-Ash’ari yang menyatakan bahwa Allah
istiwa>’ di Arsh tanpa dapat didefisikan dan tidak diketahui keadaannya, sebagaimana
istiwa>’-nya makhluk.32 Imam Malik berkata, “Istiwa>’ diketahui –secara bahasa–,
keadaannya tidak diketahui, bertanya tentangnya bid’ah.”33 Inilah yang dinamakan
tafwi>d{. Menurut al-Qurt{ubi, pemahaman semacam ini sudah mencukupi. Namun, jika
ingin pemahaman yang lebih, maka harus merujuk ke kitab-kitab para ulama. Lantas,
bagaimana al-Qurt{ubi menetapkan makna istiwa>’? dan bagaimana mana metode
yang ia tempuh dalam menafsirkan ayat-ayat tentang istiwa>’?
Sebelum membahas penafsiran Al-Qurt{ubi terhadap makna istiwa>’, ia
menyebutkan beberapa makna istiwa>’ yang berlaku dalam bahasa Arab.
Pertama, istiwa>’ bermakna al-istiqra>r (menetap).
Kedua, istawa>’ bermakna al-‘ala> dan irtafa’a (tinggi).

29
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-H{usna>, jilid 2, h. 122.
30
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 253.
31
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 7, h.197-199.
32
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 11, h. 158.
33
Al-Qurt{ubi juga menyebutkan pernyataan Imam Malik dalam riwayat lain, “Makna
kata istawa>’, semua orang mengetahuinya. Bagaimana Allah beristiwa’ tidak ada yang
mengetahui. Mengimaninya wajib, mempersoalkannya adalah bid’ah”. Lihat, Al-Qurt{ubi, al-
Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 253.

84
Ketiga, istawa>’ bermakna istaula> (menguasai) dan z{ahara. Makna ini
sebagaimana diungkapkan oleh sebuah shair:
34
‫من غير سيف ودم مهراق‬ ‫قد استوى بشر على العراق‬
“Bishr telah menguasai Irak
tanpa menggunakan pedang dan tanpa pertumpahan darah”
Keempat, istawa>’ bermakna intaha> (sempurna), sebagaimana ungkapan
“istawa> al-rajulu” maksudnya “intaha> shaba>buhu”.
Kelima, istawa> bermakna “i’tadala” (lurus), sebagaimana ungkapan istawa> al-
rajulu ‘an i’wija>j.
Keenam, istiwa>’ bermakna al-Qas{du dan aqbala ila> aw ‘ala> (menuju).
Berdasarkan hal ini, menurut al-Qurt{ubi, “istiwa>’ ila> ” dan “istiwa>’ ‘ala> ” bermakna
sama, yaitu “menuju”.
Ketujuh, istawa> bermakna “s{a’ida” (naik), ini merupakan pendapat Ibnu Abbas
berdasarkan riwayat al-Kalabi dalam kitab tafsirnya. Namun, menurut al-Qurt{ubi, al-
Kalabi merupakan orang yang d{a’i>f.
Inilah makna kata “istiwa>’” dalam bahasa Arab yang disebutkan oleh al-
Qurt{ubi. Al-Qurt{ubi menyebutkan berbagai macam arti istiwa>’ ini untuk
menunjukkan bahwa kata istiwa>’ memiliki banyak arti. Ia menafsirkan makna istawa>
‘ berdasarkan makna-makna tersebut sesuai konteks ayat yang ia tafsirkan, serta
berdasarkan kaidah memahami ayat istiwa>’ adalah “Menghindari gerak dan pindah
(bagi Allah).”35Berdasarkan hal ini, penulis mencatat ada dua makna istiwa>’ yang
ditafsirkan oleh al-Qurt{ubi yang termaktub di dalam dua ayat yang berbeda.
1) Surah al-Baqarah ayat 29.
Allah swt. berfirman:
ََ‫ن َس ْبع‬ ُ َ‫ق َل ُك ْمَ َما َفى َ ْالا ْرضَ َجم ْي ًّعا َ ُثمَ َ ْاستوَى َالى َالسماۤءَ َفسو‬
َ ‫ىه‬ َ ‫ي َخل‬
ُ
َ ْ ‫هوَ َال ِذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ُ
َ ٠١ََࣖ‫سَمَوَتَََۚوهوََ ِبك ِلََش ْي َءَع ِل ْي ٌَم‬
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu
kemudian Dia menuju (istawa>) ke langit, lalu Dia menyempurnakannya
menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu,” (QS. Al-
Baqarah [2]: 29).
Al-Qurt{ubi menggunakan Kaidah “man’ al-h}ara>kah wa al-naqlah” (mencegah
adanya pergerakan dan perpindahan bagi Allah). Oleh karena itu, ia menfasirkan
istiwa>’ ila di ayat ini dengan “menuju untuk menciptakan langit”. Kata “istawa>’ ila>”
di ayat ini bermakna “aqbala ila”, karena menurutnya, sebagaimana pernyataan al-
Baihaqi yang ia kutif, karena iqba>l (menuju) adalah menuju (al-qas{du) untuk
menciptakan langit, sedangkan al-qas{du adalah al-ira>dah, dan hal ini boleh bagi sifat
Allah. sementara itu, kata “s|umma” berkaitan dengan penciptaan, bukan berkaitan
dengan “ira>dah”.

34
Ini merupakan shair gubahan al-Akht{al, orang Nas{rani. Ia menyenandungkan shair
ini untuk Bishr Ibn Marwan.
35
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 257.

85
Penfasiran al-Qurt{ubi ini berdasarkan siya>q (konteks) ayat tersebut. Konteks
ayat ini dan ayat sebelumnya (Q.S. Al-Baqarah ayat 28) tentang penciptaan makhluk
hidup. Allah swt. menjelaskan di surah Al-Baqarah ayat 28 bahwa manusia berasal
dari tidak ada (mati), lalu Dia menciptakannya (menghidupkannya), lalu Dia
mematikannya ketika ajalnya telah habis, kemudian Dia menghidupkannya pada hari
Kiamat. Allah swt. berfirman:
ُ ُ ُ ُ ُْ ُ ُ ُْ ُ ُ ْ ًّ ُْ ُ ُْ
ََ‫ك ْيفََتكف ُر ْونََ ِباللَ َِهَوكنت ْمََا ْمواتاَفاحياك ْمََِۚثمََ ُي ِميتك َْمَثمََيح ِي َْيك ْمََث َمَ ِال ْي َِهَت ْرجع ْون‬

َ ٠٨
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia
menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan
kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan,” (Q.S. Al-
Baqarah ayat 28).
Ayat selanjutnya, surah Al-Baqarah ayat 29, sebelum Allah menyebutkan
istiwa>’-Nya ke langit, Allah menjelaskan bahwa Dia-lah yang telah menciptakan
segala yang ada di Bumi, Allah swt. berfirman
ًّ ْ ُ ُ
‫قَلك ْمََماَ ِفىَالا ْر ِضََج ِم ْيعا‬ َ ْ ‫هوََال ِذ‬
َ ‫يَ خ ل‬
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu”,
(QS. Al-Baqarah ayat 29).
Setelah menyebutkan tentang istiwa>’, Allah menyebutkan bahwa Dia
menyempurnakan langit menjadi tujuh. Allah swt. berfirman:
ُ َ‫فسو‬
َََۚ‫ىهنََس ْبعََسمَوَت‬
“lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit,” (Q.S. Al-Baqarah ayat
29).
Sebagai penguat konteks ayat 28 dan 29 surah al-Baqah ini tentang
penciptaan, al-Qurt{ubi menafsirkan penghujung ayat 29 ini, Allah Maha Mengetahui
segala hal yang Dia Ciptakan. Allah swt. berfirman:
ُ ُ
٠١ََࣖ‫وهوََ ِبك ِلََش ْيءََع ِل ْي ٌَم‬
“Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 29).”
Dalam hal ini, al-Qurt{ubi menggunakan pendekatan siyāq lughawī (konteks
bahasa), yaitu siya>q yang didasarkan pada rangkaian kalimat. Setelah ia melihat
konteks ayat sebelum dan setelah lafaz istawa>’ ‘ala al-arsh, ia menetapkan kata
“istawa>’ ila>” bermakna aqbala ila.36 ”, maksudnya “aqbala (qas{ada) ila> khalq al-
sama>’i” (menuju menciptakan langit), karena konteks ayat penciptaan manusia dan
bumi. Dengan demikian, makna ayat 28-29 surah al-Baqarah ini adalah, Z|at yang
kuasa menghidupkan kalian, menciptakan kalian, dan menciptakan bumi dan langit
juga kuasa untuk mengulanginya lagi.37 Bedasarkan ayat ini, menurutnya, Allah
menciptakan bumi sebelum menciptakan langit.

36
Ibn Manz|ur, Lisa>n al-‘Arab, jilid 14, (Beirut: Da>r al-S{a>dir, 2010), h. 414.
37
Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 251.

86
Memaknai kata “istawa>’ ila>” dengan aqbala ila merupakan proses takwil
terhadap makna istiwa>’. Sebab, makna leksikal dari kata istiwa>’ adalah i’tadala.38
Takwil yang dilakukan al-Qurt{ubi ini tidak terlepas dari konteks ayat tersebut.
Sebab, melakukan takwil terhadap suatu kata atau kalimat tidak bebas dan berdiri
sendiri, tetapi harus memperhatikan konteks suatu kata atau kalimat.39 Konteks yang
memperhatikan hakikat makna suatu lafaz yang paling utama adalah kesesuaian
makna lafaz dengan ungkapan sebelumnya, keserasiannya dengan keseluruhan
makna, dan kesesuaiannya dengan tujuan al-Qur’an secara umum.40 Oleh karena,
karena konteks ayat ini adalah proses penciptaan apa yang di bumi, maka tepatlah
kata istawa> di ayat ini dimaknai “menuju mencitakan”.
2) Surah al-A’raf ayat 54
Allah swt. berfirman:
ْ ُ ْ ُ ُ
ََ‫تَوالا ْرضََ ِف ْيََ ِست َِةَايامََثمََ ْاستوَىَعلىَالع ْر ِش‬
َ ِ َ‫يَخلقََالسمَو‬ َ ْ ‫ِانََربك ُمََاللَهََال ِذ‬
ُْ ْ ُ ُ ُ ْ ًّ ُ ْ ْ
ََ‫ُيغ ِش َىَال ْيلََالنهارََيطل ُبهََح ِث ْيثاََِۙوالش ْمسََوالقمرََوالنج ْومََ ُمسخرَتَۢ ِبا ْم ِر َهَِۙالاَلهََالخلق‬
ْ ُ ُ ْ
َ ٦٣ََ‫بَالعَل ِم ْين‬ َ ‫رَتبَركََاللَ َهَر‬ َُ ‫وَالا ْم‬
“Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia istiwa>’ di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada
siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan
bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan
urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam,” (QS. Al-
A’raf [7]: 54).
Al-Qurt{ubi menafsirkan kalimat “istawa> ‘ala al-arsh” dengan “’ala dan
irtafa’a”. Dengan demikian, menurutnya, ketinggian Allah (‘ululla>h wa irtifa>’uhu)
merupakan ungkapan ketinggian keagungan, sifat-sifat, dan kekuasaan Allah. Tidak
ada apapun yang memiliki makna kemuliaan melebihi-Nya dan tidak ada yang
menyamai ketinggian-Nya karena Allah Maha Tinggi (al’aliy) secara mutlak.41
Pemaknaan ini berdasarkan konteks ayat ini, karena ayat ini menetapkan
keesaan Allah swt. yang Maha Kuasa menciptakan langit, bumi beserta isinya
selama enam hari, dan Dia Maha Kuasa mengatur segala urusan.42 Allah menetapkan
keesaan-Nya di ayat ini untuk menunjukkan kekuasaannya kepada para penghuni
Neraka yang menyaksikan kebenaran al-Qur’an di Neraka yang dulu ketika di Dunia
mereka ragukan dan dustakan, sehingga mereka mengharapkan pemberi syafaat yang
dapat menolong mereka dari api Neraka atau yang dapat mengembalikan mereka ke

38
Ibn Manz|ur, Lisa>n al-‘Arab, jilid 14, h. 412.
39
Muhammad Iqbal Urawi, Duwar al-Siyaq fi al-Tarji>h} baina al-Aqa>wil al-
Tafsi>riyyah, (Kuwait: Wiza>rah Auqa>f wal al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, 2007), h. 25.
40
Rashid Rid{a, Tafsi>r al-Mana>r, jilid 1, (Kairo: Da>r al-Mana>r: 1947), h. 22.
41
42
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsi>r al-Muni>r, jilid 4, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2010), h. 597-
598.

87
dunia agar mereka dapat beramal dengan amal yang berbeda dari yang pernah mereka
lakukan.
Allah swt. menceritakan perihal tempat kembali manusia, seperti percakapan
penghuni neraka, percakapan penghuni surga, serta kondisi di akhirat biasanya juga
menyebutkan dalil-dalil keesaan, kesempurnaan kekuasaan, dan pengetahuan-Nya
agar menjadi dalil (bukti) ke-Tuhan-annya dan kebenaran tempat kembali manusia.43
Pendapat inilah yang ia pilih. Meskipun demikian, ia mengakui pendapat yang
lebih kuat (az{har) adalah pendapat yang menyatakan bahwa Allah di atas Arsh tanpa
kaifiyyah, terpisah dari semua makhluk-Nya, karena telah diterangkan dalam al-
Qur’an serta hadis dan merupakan pendapat ulama salaf yang telah diriwayatkan oleh
orang-orang yang tepercaya.44
Dari sekian banyak makna bahasa kata istawa> dalam bahasa Arab, ia memilih
makna ‘ululla>hu fi majdihi wa s{ifa>tihi wa malaku>tihi karena sesuai dengan kesucian
Allah dari arah, tempat dan juga dari keserupaan dengan makhluk. Sementara itu,
makna istawa> yang lain, meskipun ia mengakui makna-makna tersebut ada dalam
bahasa Arab, tetapi makna-makna tersebut tidak memenuhi syarat penyucian Allah
dari keserupaan dengan makhluk. Ia pun mengeritik dan membantah penakwilan
dengan makna-makna tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab “al-Asna>
fi Sharh{i Alla>hi al-H{usna>”, ia menginventarisir empat belas pendapat ulama terkait
makna istawa>, lalu dari sekian pendapat tersebut, ia membantah sembilan pendapat
yang menurutnya tidak sesuai dengan ke-Mahasucia-an Allah swt.
Diantara keritikan al-Qurt{ubi tersebut adalah, pendapat yang menyatakan
istawa> bermakna al-Qahru. Artinya, Allah swt. menguasai Arsh atas keagungan dan
kemuliaannya. Ia menyandarkan pendapat ini kepada Abu Al-Ma’ali. Al-Qurt{ubi pun
mengeritik dan membantah pendapat ini, menurutnya, jika firman Allah “s|umma
istawa ‘ala al-‘Arsh” dimaknai al-Qahru (penguasaan), maka bermakna “mulai
berkuasa dari sebelumnya tidak berkuasa”, sedangkan Allah swt. senantiasa Maha
Kuasa. maka pendapat ini, menurutnya, tidak benar, meskipun arti istawa> ini dari
segi kebahasaan dibenarkan. Begitu pula pendapat yang menyatakan “al-Arsh”
bermakna “al-mulku” (kerajaan) dan “istawa>” bermakna “qahara” (menguasai).
Sebab, Allah swt. senantiasa Maha Menguasai kerajaan langit dan bumi.45
Ia juga mengeritik pendapat “istawa>” bermakna “istaqarra” yang dinisbatkan
kepada Ibnu Abbas. Makna ini diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Marwan46 dari al-
Kalabi47 atau dari Abu S{alih dari Ibnu Abbas. Al-Qurt{ubi mengeritiknya dari segi
perawinya tersebut. Menurutnya, ahli hadis| meninggalkan riwayat dari mereka
semua (matru>k) dan riwayat mereka tidak dijadikan hujjah.48 Jika “istiwa>’ a’la al-

43
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsi>r al-Muni>r, jilid 4, 597.
44
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-H{usna>, jilid 2, h. 132.
45
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-H{usna>, jilid 2, h. 129.
46
Imam al-Bukhari mengomentari tentang Muhammad Ibn Marwan bahwa ia
didiamkan oleh para ahli hadis dan hadisnya tidak ditulis sama sekali.
47
Habib Ibn Abu S|abit menilai Abu Shalih sebagai seorang pendusta.
48
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh{ al-Asma>’ al-H{usna>, jilid 2, h. 129-130.

88
arsh”diartikan secara zahir (istaqarra), maka akan terjadi kontradiksi (tana>qud{)
dengan ayat “wa huwa ma’akum” dalam surah al-Hadid ayat 4:
ْ
ْ
َ‫َاستوىَعلىَالع ْر ِشَِۚيعل ُمَما‬ ْ ‫ُهوَالذ ْيَخلقَالسموتَو ْالا ْرضَف ْيَستةَايام َُثم‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ُ ُ ْ ُ ْ ْ ُ ْ ْ ُ
َ‫ي ِلج َِفىَالا ْر ِضَوماَيخ ُرج َِمنهاَوماَين ِزل َِمنَالسما ِۤءَوماَيع ُرج َِف ْيهاَوهوَمعك ْمَا ْينَمَا‬
ُ ْ ُ ُْ ُ
َ ٣َ‫كنت ْمَواللَه َِبماَتعمل ْونَب ِص ْي ٌر‬

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi
dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang
naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Hadi>d [57]: 4).
Hal ini menunjukkan keharusan menakwil kata “istiwa>’”. Sebab, menolak
takwil sama saja menerima kontradiksi ini.49
Konsistensi al-Qurt{ubi dalam menyucikan Allah dari tempat dan arah tidak
hanya pada ayat istiwa>’ saja, tetapi juga ayat yang mengindikasikan Allah bertempat,
sebagaimana dalam surah al-Mulk ayat 16:
ْ ُ ْ ْ ُْ
َ ٤٥َِۙ‫نَيخ ِسفََ ِبك َُمَالا ْرضََف ِاذاَ ِهيََت ُم ْو َُر‬ َ ْ ‫ءا ِمنت َْمَم‬
َ ‫نَ ِفىَالسماۤ َِءَا‬

“Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat
kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?”, (QS. al-Mulk [67]: 16).
Menurutnya, kemungkinan arti ayat ini adalah “Apakah kalian merasa aman
dari Sang Pencipta penduduk langit yang dapat menjungkirbalikkan bumi
sebagaimana Ia menjungkirbalikkannya pada Qarun hingga bumi itu bergoncang?”.50

Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 17, h. 230.


49
50
Al-Qurt{ubi juga menyebutkan pendapat ulama ahli tahqiq terkait ayat ini, mereka
mengatakan bahwa maknanya “Apakah kalian merasa aman dari Yang di atas langit” seperti
dalam firman Allah:
ْ ْ ُ
َ ‫ضَا ْربع َةَاش ُه‬
َ َ‫ر‬ َ ِ ‫ف ِس ْيح ْواَ ِفىَالا ْر‬
“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di bumi selama empat,” (QS. Al-
Taubah [9]: 2). Maksudnya adalah di atas bumi.
Namun, Allah di atas Langit tidak dengan cara menyentuh dan membatasi dalam arah
tertentu, melainkan dengan kekuasaan dan perawatan.
Ada ulama yang berkata: Maksudnya adalah “Apakah engkau merasa aman dari yang
di atas langit” seperti dalam firman Allah:
ْ ُ ُ ُ ُ
َ ِ ‫ولاص ِلبنك َْمَ ِف ْيََجذ ْو‬
َ ََ‫عَالنخ ِل‬
“Akan aku salib kamu pada pangkal pohon kurma,” (QS. T{aha [20]: 71).
Maksudnya adalah di atas pohon kurma. Makna surah al-Mulk ayat 16 adalah Allah
yang mengurus dan memiliki langit, seperti ungkapan “Fula>n ‘ala> al-Ira>q wa al-hija>z (Fulan

89
Adapun penyifatan Allah dengan ketinggian dan keagungan bukanlah dalam
makna tempat, arah dan batasan karena hal itu adalah sifat bagi Jisim (susunan
materi). Sesungguhnya tangan diangkat ke arah langit waktu berdoa tidak lain karena
langit adalah tempat turunnya wahyu dan hujan, tempat kesucian, tempatnya para
malaikat yang suci dan ke langit itulah amal manusia diangkat. Di atasnya ada Arash
Allah dan surga-Nya. [Mengangkat tangan ke langit itu] sama seperti Allah
menjadikan Ka'bah sebagai kiblat bagi doa dan shalat. Juga sebab Allah adalah
pencipta dari semua tempat sedangkan Dia sendiri tidak butuh pada tempat. Allah
telah ada pada masa yang tidak ada awal mulanya sebelum Ia menciptakan tempat
dan waktu. Saat itu tiada tempat dan tiada waktu sedangkan Allah saat ini tetap
seperti apa adanya saat itu.”51
Al-Qurt{ubi menafsirkan ayat ini menggunakan pendekatan linguistik dan
logika. Maksudnya, ia memilih makna kebahasaan kata istawa>’ yang sesuai dengan
konteks ayat dan juga yang sesuai dengan kesucian Allah dari keserupaan dengan
makhluk.
2. Analisis Ayat-Ayat Hukum
a. Surah Al-Ma’idah ayat 6
Surah Al-Ma’idah ayat 6:
ْ ُ ُ ُ ْ
ُ
َ‫ق َو ْامَسح ْوا‬
ُ
َ ِ ‫وة َفاغ ِسل ْوا َُوج ْوهك ْم َوا ْي ِديك ْم َِالىَالمر ِاف‬ ْ ُ ْ ُ ُْ ْ ُ
ِ ‫يايها َال ِذين َامنوا َِاذا َقمتم َِالىَالصل‬
ْ ُ ُ ُ
ْ
َ َ‫ِب ُر ُء ْو ِسك ْمَوا ْرجلك ْم َِالىَالكعب ْي ِن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat,
maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki,” (Q.S. Al-Ma’idah [5]:
6).
1) Maksud Amr di ayat ini
Al-Qurt{ubi dalam menafsirkan ayat ini menggunakan pendekatan muqa>ranah
(studi banding) dan tarji>h}. Al-Qurt{ubi menjelaskan perbedaan pendapat para ulama
terkait maksud perintah berwudu di ayat ini: pertama, lafaz ini berlaku umum di
setiap melaksakan shalat, baik orang yang hendak melaksanakan shalat dalam
kondisi suci maupun berhadas, sehingga orang yang hendak melaksanakan shalat
hendaknya berwudu.
Kedua, objek ayat ini khusus untuk Nabi saw. Pendapat ini berdasarkan sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Hanz{alah Ibn Abu Amir al-Ghasil yang
mengatakan: “Nabi saw. dipertah untuk berwudu setiap hendak melaksanakan shalat.
Kemudian hal tersebut memberatkankan beliau, lalu beliau diperintah untuk
bersiwak, beliau diperintahkan berwudu hanya saat beliau hadas.”

di atas Irak dan Hijaz)”, maksudnya adalah menguasai dan memimpinnya. Lihat: Al-Qurt}ubi,
Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 18, h. 201.
51
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 18, h. 201.

90
Ketiga, maksud ayat ini adalah berwudu setiap kali hendak shalat karena
mencari keutamaan. Perintah di ayat ini bermakna sunnah, karena banyak para
sahabat yang berwudu setiap hendak shalat karena mencari keutamaan.
Keempat, wajib wudu setiap hendak melaksanakan shalat, lalu perintah ini di-
naskh pada saat Fath Makkah.
Kelima, ayat ini ditakwil, maksudnya, orang yang bangun tidur hendak
melaksanakan shalat diperintahkan untuk berwudu. Berdasarkan pendapat ini, ayat
ini mengandung taqdi>m dan ta’khi>r. Takwil ayat ini adalah: “ya> ayyuha> al-laz|i<na
a>manu> iz|a> qumtum ila> al-s{ala>ti min al-naumi au ja>’a ah{ad minkum min al-g{ha>it{i au
la>mastum al-nisa>’a faghsilu>”. Ini hukum bagi orang yang berhadas kecil. Sementara
itu, “in kuntum junuban fat}t}ahharu>” hukum yang lain. Dan ayat “wa in kuntum mard}a>
au ‘ala> safar.......” berlaku bagi orang yang tidak ada air. Ini merupakan pendapat al-
Sudi, Zaid Ibn Aslam, dan Muhammad Ibn Maslamah yang merupakan murid Imam
Malik.
Keenam, makna ayat ini adalah “jika kalian hendak melaksanakan shalat
sedangkan kalian dalam keadaan hadas”. Lafaz “Ya> ayyuha> al-laz|i>na” hingga
“fat{t{aharu>” ketetapan yang berlaku bagi orang yang mendapati air, sedagkan lafaz
sedangkan “in kuntum junuban fat}t}ahharu>” berlaku bagi orang yang tidak ada air
untuk bersuci. Ini merupakan penakwilan mazhab Shafi’i dan yang lainnya.
Berdasarkan pendapat ini, “in kuntum junuban fat}t}ahharu>” berlaku bagi orang yang
ada air dan juga tidak ada air untuk bersuci.
Dari perbedaan pendapat para ulama ini, al-Qurt{ubi melakukan tarjih terhadap
pendapat-pendapat tersebut. Perangkat tarjih yang ia gunakan dalam hal ini berbeda-
beda sesuai dengan disiplin ilmu yang digunakan oleh para ulama di atas. Al-Qurt{ubi
tidak mengomentari pendapat nomor satu dan dua, sikap diam yang diperlihatkannya
ini, pada umumnya karena pendapat tersebut menurutnya tidak menyimpang jauh
dari maksud yang dikendaki oleh ayat yang bersangkutan karena adanya dalil
penguatnya.
Al-Qurt{ubi mengkritisi pendapat nomor tiga yang menyatakan amr di ayat
tersebut bermakna sunnah dengan pendekatan us{ul fikih, ia mengatakan bahwa amr
pada dasarnya menunjukkan makna wajib, tidak terkecuali bagi para sahabat. Oleh
karena itu, pendapat ketiga ini, menurutnya, tidak tepat.
Al-Qurt{ubi mengkritisi pendapat nomor empat dengan menggunakan
pendekatan ilmu hadis. Menurutnya, pendapat tersebut tidak benar karena
terbantahkan oleh beberapa hadis berikut ini: pertama, hadis yang diriwayatkan Anas
bahwa Nabi saw. berwudu untuk setiap kali shalat, sedangkan para sahabat pernah
berwudu untuk lebih dari satu shalat.52 Kedua, hadis yang diriwayatkan oleh Suwaid

52
Bunyi hadis ini adalah:
ِ ‫اهرا أو غيـر ط‬
‫اه ٍر قال‬ ِ ٍ ِ َّ ‫س أ َّن النَّبِي صلَّى اللَّه علي ِه وسلَّم كان يـتـو‬ٍ ‫ع ْن ُحمْي ٍد ع ْن أن‬
ْ ْ ً ‫ضأُ ل ُك ِل صالة ط‬ ْ ُ َّ
ِ ‫ضأُ وضوءا و‬
‫اح ًدا‬ ً ُ ُ َّ ‫صنـ ُعون أنْـتُ ْم قال ُكنَّا نـتـو‬ ٍ ‫ت ِألن‬
ْ ‫س فكْيف ُكْنـتُ ْم ت‬ ُ ‫قُـ ْل‬
Diriwayatkan dari Humaid dari Anas, ia berkata; “Nabi saw. selalu berwudhu ketika
akan shalat, baik dalam keadaan suci maupun tidak suci.” Humaid berkata; “Aku berkata

91
Ibn al-Nu’man yang menyatakan Nabi saw. shalat As{ar dan Maghrib di S}ahba’
dengan satu kali wudu saat perang Khaibar.53 Menurut al-Qurt{ubi, Perang Khaibar
terjadi pada tahun 6 H (menurut suatu pendapat terjadi pada tahun 7 H.), sedangkan
Fathu Mekah terjadi pada tahun 8 H. Adapun status kedua hadis ini, menurutnya
s{ahih. Berdasarkan kedua hadis ini, wudu sebelum Fathu Mekah tidak diwajibkan di
setiap kali hendak melaksanakan shalat.54
ُ ُ
2) Kalimat “‫” ِإذاَق ْمت َْمَ ِإلىَالصل َِاة‬
Lafaz “qumtum” merupakan fi’il ma>d}i “qa>ma”, makna asalnya menunjukkan
arti lampau. Al-Qurt{ubi menafsirkan lafaz ini dengan “iz|a> aradtum” (jika kalian
hendak) dengan menggunakan dua pendekatan: pertama, riwayat. Makna ayat ini
semakna dengan ayat 98 surah al-Nah{l:
ْ ْ ْ
َ ١٨َ‫نَالر ِج ْي َِم‬
َ ِ َ‫ذَ ِباللَ َِهَ ِمنََالش ْيط‬ ْ ‫فاذاَقرأتََال ُق ْرَانََف‬
َ ‫است ِع‬ ِ
“Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca al-Qur'an, mohonlah
perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk,” (QS. Al-Nah{l [16]: 98).
Kedua, logika. Ia berargumen bahwa tidak mungkin berwudu dalam kondisi
shalat, sehingga maksud ayat di atas adalah jika kalian hendak melaksanakan shalat,
maka berwudulah.
3) Kalimat ‫فاغ ِسلوا‬
ُْ ْ

Al-Qurt{bi menfasirkan term ini menggunakan pendekatan lingustik, terkait


makan al-ghusl. Ia membahas term ini panjang lebar karena makna term ini
berimplikasi terhadap tata cara membasuh anggota wudu. Menurutnya “al-Ghusl”
adalah menjalankan tangan disertai air ke anggota badan. Orang Arab, menurutnya,
membedakan penggunaan term “ghasala, inghamas, dan afa>d{a”. Perbedaan

kepada Anas; ‘Lalu bagaimana dengan kalian, apa yang kalian lakukan?’ Ia menjawab, ‘Kami
hanya berwudhu sekali’.”
Imam Al-Tirmiz|i menghukumi hadis ini sebagai hadis yang Hasan Gharib. Lihat: Al-
Tirmiz|i, Sunan Al-Tirmiz|i>, jilid 1, (Kairo: Da>r Al-Quds, 2009), h. 33.
53
Bunyi hadis ini adalah:
‫الص ْهب ِاء‬
َّ ِ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّهُ علْي ِه وسلَّم عام خْيـبـر حتَّى إِذا ُكنَّا ب‬
ِ ‫ خرجنا مع رس‬:‫ان‬
ُ ْ
ِ ‫قال سوي ُد بن النـُّعم‬
ْ ُْ ْ ُ
َّ ِ‫صر فـل َّما صلَّى دعا بِ ْاألطْعِم ِة فـل ْم يـُ ْؤت إَِّال ب‬
‫الس ِو ِيق فأك ْلنا‬ ِ ِ ُ ‫صلَّى لنا رس‬
ْ ‫ول اللَّه صلَّى اللَّهُ علْيه وسلَّم الْع‬ ُ
ْ‫ضأ‬ ِ َّ
َّ ‫ضمض ثَُّم صلى لنا الْم ْغرب ول ْم يـتـو‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫وش ِربْـنا ثَُّم قام النَّب ُّي صلى اللهُ علْيه وسلم إلى الْم ْغرب فم‬
ِ َّ َّ َّ
“Suwaid Ibn An Nu'man berkata, ‘Kami pernah keluar bersama Rasulullah saw. pada
tahun penaklukan Khaibar, hingga ketika kami sampai di suatu tempat bernama Shahba',
beliau mengimami kami shalat As{ar. Selesai shalat, beliau minta disajikan makanan, tetapi
tidak ada kecuali makanan yang terbuat dari kurma dan gandum, lalu kami makan dan minum.
Nabi saw. beranjak untuk melaksanakan shalat Maghrib, beliau berkumur lalu memimpin
kami melaksanakan shalat maghrib tanpa berwudlu lagi ’, (HR. Al-Bukhari )”
Al-Bukhari, S{ah{i>h{ Al-Bukha>ri, jilid 1, (Beirut: Dar Ibn Kas|ir, 2002), h. 64.
54
Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m Al-Qur’a>n, jilid 6, h. 86.

92
penggunaan term ini, berimplikasi pada tata cara bersuci yang menggunakan term
“ghasala”.
Berdasarkan definisi “al-ghusl” ini, menurut mazhab Maliki, orang yang mandi
besar atau berwudu dengan cara mengalirkan air ke anggota badan yang wajib
dibasuh atau menyilam tanpa menggosokkan tangannya, maka bersucinya tidak
memenuhi syarat, karena Allah memerintahkan orang yang junub dengan redaksi “al-
ightisa>l” dan memerintah orang yang berwudu dengan redaksi “ghasl al-wajh dan
ghasl al-yadd”, sedangkan mengalirkan air atau menyilam tanpa menggosokkan
tanggannya tidak isa disebut orang yang “gha>sil”, tetapi disebut orang yang
mengalirkan air (sha>b al-ma>’) atau disebut orang yang menyilam (munghamis).55
ُ ْ ُ
4) Kalimat ‫ُوجوهك َْم‬
Al-Qurt{ubi menafsirkan kalimat ini dengan pendekatan linguistik. Kata
“wajh” (wajah) secara etimologi berasal dari kata “al-muwa>jahah” yang artinya
berhadapan muka. Batasan wajah menurut al-Qurt{ubi adalah, panjangnya mulai dari
awal bagian atas kening hingga ujung dagu, sedangkan batasan lebarnya adalah dari
kuping bagian kiri hingga kuping bagian kanan. Dan membasuh wajah harus
memindahkan air serta menggosokkan tangan ke wajah, sebagaimana definisi “al-
ghusl” di atas.
Berdasarkan makna etimologi dan terminologi ini, al-Qurt{ubi mendiskusikan
status hukum membasuh perkara-perkara yang ada di wajah, diantaranya adalah
jenggot yang tebal. Ia menyebutkan dua pendapat terkait hal ini. Pertama, sunnah.
Menurut Ibnu Khuwaiz Mandad –sebagaimana yang dikutip oleh al-Qurt{ubi– ini
merupakan kesepakatan para ahli fikih. Kedua, wajib menurut pendapat Ibnu Abd
Al-Hakim. Menyikapi perbedaan pendapat ini, al-Qurt{ubi melakukan tarjih dengan
menggunakan pendekatan linguistik, us{ul fikih dan ilmu hadis.
Pertama, pendekatan linguistik. “al-wajh” berasal dari kata “al-muwa>jahah”,
sehingga jenggot termasuk bagian dari wajah. Kewajiban membasuh jenggot
berdasarkan makna tekstual al-Qur’an yang memerintahkan membasuh wajah secara
mutlak, baik bagi orang yang berjenggot maupun tidak karena jenggot sebagai
pengganti kulit, pendekatan ini ia kutip dari pendapat Abu Amr.
Kedua, us{ul fikih. Al-Qurt{ubi menggunakan metode qiya>s. Menurutnya
kewajiban membasuh kulit dagu berpindak ke membasuh jenggot yang tebal,
diqiyaskan dengan membasuh rambut kepala.
Ketiga, ilmu hadis|. Al-Qurt{ubi menyampaikan hadis tentang Rasulullah saw.
membasuh jenggot beliau saat berwudu, diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh
Us|man Ibn Affan:
ِ ِ ِ
ُ‫أ َّن النَّبِ َّي صلَّى اللَّهُ علْيه وسلَّم كان يُخل ُل ل ْحيـته‬
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyela-nyela jenggotnya,” (HR. Al-
Tirmiz|i).56

55
Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m Al-Qur’a>n, jilid 5, hlm. 211.
56
Al-Tirmiz|i menghukumi hadis ini sebagai hadis H{asan S{ah{i>h{. lihat: al-Tirmiz|i,
Sunan Al-Tirmiz|i>, jilid 1, h. 22.

93
Para ulama berbeda pendapat tentang status hadis ini, menurut Ibn Amr –
sebagaimana yang dikutip oleh al-Qurt{ubi– semua hadis yang menerangkan Nabi
saw. menyela-nyelai rambutnya saat berwudu berstatus d{a'i>f, Imam Ahmad, Abu
Zur’ah, Ibnu Ma’in dan Uqaili juga menganggap hadis di atas d{a’i>f. Sementara itu,
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Daruqut{ni, al-Hakim, Ibnu S{alah, dan al-Tirmiz|i
menganggap hadis ini s{ah{i>h{. posisi al-Qurt{ubi dalam masalah statsu hadis ini
mengikuti pendapat al-Tirmiz|i dan ulama lainnya yang men-s{ah{i>h-{kan hadis
tersebut.
Berdasarkan ketiga pendekatan yang digunakan al-Qurt{ubi dalam masalah
membasuh jenggot yang tebal saat berwudu, ia berpendapat wajib membasuh jenggot
yang tebal.
ْ ُ
5) Kalimat ‫ق‬ َ ِ ‫وا ْي ِديك ْم َِالىَالمر ِاف‬
Al-Qurt{ubi menafsirkan kalimat ini dengan mendiskusikan siku (mara>fiq,
mufradnya mirfaq) termasuk bagian yang wajib dibasuh atau tidak. Pendapat
pertama menyatakan bahwa siku termasuk bagian yang wajib dibasuh. Pendapat
kedua menyatakan siku tidak termasuk bagian yang dibasuh. Kedua pendapat ini
menurut Al-Qurt{ubi diriwayatkan dari Imam Malik. Diantara dua pendapat ini, Al-
Qurt{ubi berpendapat bahwa pendapat pertama yang merupakan pendapat mayoritas
ulama adalah yang benar (s{ah{i>h{). Ia menguatkan pendapatnya ini
Suatu lafaz yang terletak setelah “ila>” jika termasuk jenis dari lafaz sebelum
“ila>”, maka ia termasuk bagiannya, maksudnya jika suatu perkara (lafaz) terletak
setelah lafaz “ila>” termasuk jenis dari perkara setelah “ila>”, maka hukumnya berlaku
seperti hukum perkara sebelum “ila>”. Dalam hal ini “ila>” bermakna “al-Gha>yah”.57 Ia
mencohtohkan dengan ungkapan Arab, “ishtaraitu minka ha>z|ihi al-shajarah ila> haz|ihi
al-shajarah”,58 maka shajarah (pohon) yang terletak setelah “ila>” termasuk yang
dibeli karena sejenis dengan lafaz sebelum “ila>”, sama-sama pohon. Begitu juga
dengan lafaz “almara>fiq” (siku) yang terletak sebelum “ila>” sejenis dengan lafaz
“aidiy” (tangan), sehingga hukum kewajiban membasuh tangan berlaku juga pada
siku.
Ia juga berargumen dengan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir Ibn Abdullah,
ia berkata:
.‫كان النَّبِ ُّي صلَّى اللهُ علْي ِه وسلَّم إِذا تـوضَّأ أدار الْماء على ِم ْرفـقْي ِه‬
“Nabi saw. saat berwudu mengalirkan air pada kedua sikunya,” (HR. Al-
Daruqut{ni).59

57
Al-Qurt{ubi membantah pendapat yang menyatakan “ ila>” di sini bermakna “ma’a”.
Menurutnya tidak tepat dan tidak ada gunanya jika “ ila>” bermakna “ma’a” karena tangan
menurut orang Arab adalah mulai dari ujung jari hingga tulang bahu, sehingga siku
merupakan bagian ndari tangan. Lihat: Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m Al-Qur’a>n, jilid 6, h.
91.
58
Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m Al-Qur’a>n, jilid 2, h. 328.
59
Al-Daruqut{ni, Sunan Al-Da>ruqut{ni, jilid 1, (Beirut: Da>r Al-Ma’rifah, 2001), h.
215.

94
Hanya saja, status hadis ini d{a’i>f menurut Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Imam
Al-Nawawi, Al-Munz|iri, dan Ibnu S{alah, karena dalam sanadnya ada perawi yang
bernama Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Aqil yang matru>k dan d{a’i>f,60 Al-Daruqut{ni
berpendapat Ibnu Aqil perawi yang tidak kuat.61
ُ ْ ُ ْ
6) Kalimat َ‫اَب ُر ُء ْو ِسك ْم‬
ِ ‫وامسحو‬
Al-Qurt{ubi membagi kalimat ini menjadi dua pembahasan. Pertama, kalimat
“wamsah{u>”, ia menafsirkan kalimat ini dengan pendekatan linguistik. Ia membahas
arti kata Al-mash{u yang merupakan kata homonim (mushtarak), diantara artinya
yang ia sebutkan adalah al-jima>’ (hubungan seksual), memotong, berjalan. Namun,
menurut al-Qurt{ubi yang dimaksud al-mash{u di ayat ini adalah jarr al-yadd ‘ala al-
mamsu>h{ (mengusapkan tangan ke bagian yang diusap). Jika pengusapan dengan
suatu alat, maka kata al-mas{hu merupakan suatu ungkapan tentang memindahkan
alat ke tangan, dan mengusapkannya ke bagian yang diusap.62
Kedua, kalimat “ru’u>s” (mufradnya adalah ra’s), kepala. Kepala merupakan
sebuah ungkapan tentang anggota tubuh yang telah diketahui oleh manusia secara
d{aru>riy (pengetahuan atas sesuatu secara langsung tanpa butuh proses berfikir lama).
Diantara bagian kepala adalah wajah.63 Berdasarkan hal ini, yang dimaksud kepala
menurut al-Qurt{ubi adalah bagian tubuh yang ada di atas kepala.
Setelah al-Qurt{ubi mejelaskan pengertian kepala, al-Qurt{ubi membahas
masalah fikih terkait mengusap kepala. diantara yang ia bahas adalah tentang bagian
kepala yang harus diusap. Menurutnya, dan juga pendapat Imam Malik, seluruh
bagian kepala, selain wajah, harus diusap, karena wajah dalam wudu telah
disebutkan harus dibasuh, maka seluruh bagian kepala selain wajah harus diusap.
Seandainya saja wajah tidak disebutkan harus dibasuh, maka seluruh kepala
termasuk wajah harus diusap, karena wajah bagian dari kepala. Ia megemukakan
beberapa argumen kewajiban mengusap seluruh kepala selain wajah ini.
Pertama, melalui qiya>s. Al-Qurt{ubi mengqiya>skan mengusap seluruh kepala
dengan membasuh wajah. Dalil qiyas ini ia kutip dari Imam Malik saat ditanya
tentang orang yang tidak mengusap sebagian kepalanya saat berwudu. Kemudian
Imam Malik menjawab dengan balik mengajukan sebuah pertanyaan sebagai bentuk
ia mengharuskan mengusap seluruh kepala, “Bagaimana pendapatmu tentang orang
yang hanya membasuh sebagian wajahnya, apakah mencukupi?”
Bentuk pertanyaan ini merupakan pertanyaan pengingkaran terhadap praktek
mengusap sebagian kepala saat berwudu dengan mengqiya>skannya dengan kewajiban
membasuh wajah. Sebab, para ulama telah sepakat wajib membasuh seluruh wajah.
Imam Malik mengqiya>skan mengusap kepala dengan membasuh wajah,
menunjukkan bahwa ia berpendapat wajib mengusap seluruh bagian kepala selain
wajah.

60
Al-S}an’ani, Subul Al-Sala>m Sharh> Bulu>gh Al-Mara>m, jilid 1, (Kairo: Da>r Al-H{adi<s,|
2004), h. 73.
61
Al-Daruqut{ni, Sunan Al-Da>ruqut{ni, jilid 1, h. 215.
62
Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m Al-Qur’a>n, jilid 6, h. 395.
63
Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m Al-Qur’a>n, jilid 6, h. 92.

95
Kedua, lingustik. Menurut al-Qurt{ubi huruf “ba’” pada kata “bi ru’u>sikum”
adalah ba’ za>’idah yang berfungsi sebagai ta’ki>d, bukan ba’ li al-tab’i>d{. Dengan
demikian, maknanya adalah “wam sah{u> ru’u>sakum” (usaplah kepala kalian).
Implikasi dari makna ba’ ini adalah kewajiban mengusap seluruh kepala. Dalil ba’ di
ayat ini meruapakan ba’ za>’idah adalah hadis dari Yahya Ibn Umarah tentang tata
cara wudu Nabi saw., ia menceritakan:
ِ ‫ش ِه ْدت عمرو بن أبِي حس ٍن سأل عبد اللَّ ِه بن زي ٍد عن وض‬
‫وء النَّبِ ِي صلَّى اللَّهُ علْي ِه وسلَّم فدعا بِتـ ْوٍر‬ ُُْ ْ ْ ْ ْ ْ ُ
ِ ِ ِ ِ ِ
‫ضوء النَّبِ ِي صلَّى اللَّهُ علْيه وسلَّم فأ ْكفأ على يده م ْن التـ َّْوِر فـغسل يديْه ثالثًا ثَُّم أ ْدخل‬ ٍ ِ
ُ ‫م ْن ماء فـتـوضَّأ ل ُه ْم ُو‬
‫ات ثَُّم أ ْدخل يدهُ فـغسل و ْجههُ ثالثًا ثَُّم غسل يديْ ِه‬ ٍ ‫ضمض واستـْنشق واستـْنـثـر ثالث غرف‬ ِ
ْ ْ ْ ‫يدهُ في التـ َّْوِر فم‬
.‫احدةً ثَُّم غسل ِر ْجلْي ِه إِلى الْك ْعبـْي ِن‬
ِ ‫مَّرتـي ِن إِلى الْ ِمرفـقي ِن ثَُّم أ ْدخل يده فمسح رأْسه فأقْـبل بِ ِهما وأ ْدبـر مَّرةً و‬
ُ ُ ْ ْ ْ
“Aku pernah menyaksikan 'Amru bin Abu Hasan bertanya kepada 'Abdullah
bin Zaid tentang wudunya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu ia minta
diambilkan satu gayung air, kemudian ia memperlihatkan kepada mereka cara
wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia menuangkan air dari gayung ke
telapak tangannya lalu mencucinya tiga kali, kemudian memasukkan
tangannya ke dalam gayung, lalu berkumur-kumur, lalu memasukkan air ke
hidung lalu mengeluarkannya kembali dengan tiga kali cidukan, kemudian
memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu membasuh mukanya tiga kali,
kemudian membasuh kedua tangannya dua kali sampai ke siku. Kemudian
memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu mengusap kepalanya dengan
tangan; mulai dari bagian depan ke belakang dan menariknya kembali
sebanyak satu kali, lalu membasuh kedua kakinya hingga mata kaki, (H.R. al-
Bukhari).”64
Menurut al-Qurt{ubi, hadis ini menjadi dalil ba’ dalam surah al-Ma>’idah ayat 6
merupakan ba’ za>’idah, karena hadis ini menggunakan redaksi “fa masah{a ra’sahu”
(tanpa ba’ sebelum kata ra’sahu), tidak menggunakan redaksi “bi ra’sihi”, dengan
tambahan ba’ sebelum kara ra’sihi, sebagaimana dalam surah al-Ma’idah ayat 6 di
atas.
Al-Qurt{bi meyebutkan pendapat Imam Shafi’i yang berpendapat kebolehan
mengusap sebagian kepala dengan dalil sebuah hadis –sebagai penguat makna ba’ li
tab’i>d{– yang menerangkan bahwa Nabi saw. mengusap kening bagian atas beliau saat
berwudu. Al-Qurt{ubi mengutip pendapat Imam Shafi’i ini bertujuan untuk
menguatkan pendapatnya sendiri karena pendapat Imam Shafi’i ini ia bantah. Ia
membantah dalil yang diajukan oleh Imam Shafi’i ini dari beberapa aspek. Aspek
konteks hadis tersebut, menurutnya, konteks hadis tersebut adalah Nabi saw. dalam
kondisi perjalanan sehingga Nabi saw. mengusap bagian atas kening dan sorban
beliau karena uz|ur perjalanan, sedangkan perjalanan merupakan habitat uz|ur dan
keringanan. Dari aspek kaidah fiqhiyyah, ia berargumen bahwa banyak kewajiban
menjadi gugur karena mashaqqah. Ini senada dengan kaidah fikih, “al-mashaqqah

64
Al-Bukhari, S{ah{i>h al-Bukha<ri, (Beirut: Da>r Ibnu Kas|i<r, 2002), h. 59.

96
tajlib al-taisi>r”.65 Ia juga melengkapi argumennya secara logika, Nabi saw. tidak
hanya mengusap kening bagian atas beliau, tetapi beliau juga mengusap sorbannya,
menurutnya, ini menunjukkan wajib mengusap seluruh kepala karena seandanya
mengusap seluruh kepala tidak wajib, maka beliau tidak mengusap sorbannya.66
Dalam hal ini, al-Qurt{ubi menganggap mengusap sorban sebagai pengganti dari
mengusap seluruh kepala.
Dari pemaparan Al-Qurt{ubi di atas, kita bisa lihat perbedaan sudut pandang
terhadap ayat al-Qur’an dan hadis}, meskipun ayat al-Qur’an dan hadis yang
digunakan sama, berimplikasi terhadap produk hukum yang dihasilkan.
ْ ُ
7) Term ‫ن‬
ْ ْ ُ
َِ ‫وا ْرجلك ْم َِالىَالكعبي‬
Al-Qurt{ubi membahas perbedaan qiraat lafaz “wa arjulakum”. Ia
mengemukakan tiga perbedaan qiraat terhadap lafaz tersebut. Pertama, dibaca nas{ab
yang meruapak qira’ahnya Imam Nafi’, Ibnu Amir, dan Kisa’i. Kedua, dibaca rafa’
yang merupakan qira’ahnya al-Hasan dan al-A’mas Sulaiman. Ketiga, dibaca jar
yang merupakan qira’ahnya Imam Ibnu Kas|ir, Abu Amr, dan Hamzah.
Berdasarkan perbedaan qira’at ini, sebagaimana yang diungkapkan al-Qurt{ubi,
para ulama berbeda pendapat terkait kewajiban membasuh atau mengusap kaki. Ia
mengungkapkan beberapa pendapat ulama: pertama, menurut mayoritas ulama,
wajib membasuh kedua kaki karena kalimat “arjulakum” dibaca nas{ab sebagai at{f
“wuju>hakum”. Kedua, menurut Anas Ibn Malik, Ikrimah, dan Amir al-Sha’bi, wajib
mengusap kedua kaki, karena kalimat “arjulikum” dibaca jar sebagai at{af ke “Bi
ru’u>sikum”. Ketiga, menurut al-T{abari diperbolehkan memilih membasuh atau
mengusap kaki, menurutnya, dua qira’ah seperti dua riwayat. Keempat, menurut al-
Nuhas, wajib mengusap dan membasuh kaki. Membasuh kaki wajib bagi orang yang
membaca nas{ab, sedangkan orang yang membaca jar wajib mengusap kaki.
Menurutnya, kedua qira’ah ini berkedudukan sebagai dua ayat.
Setelah mengemukakan pendapat para ulama, al-Qurt{ubi melakukan tarjih
dengan menggunakan beberapa pendekatan: pertama, linguistik. Menurutnya, kata
“al-mash{u” merupakan kata homonim (mushtarak) yang biasa digunakan oleh orang
Arab dengan arti mengusap (al-mash{u) dan juga membasuh (al-ghusl). Ini juga –
dengan mengutip dari Ibn At{yyah– yang menjadi pendapat ulama yang membaca jar,
bahwa maksud “al-mashu” adalah “al-ghusl”. Dengan demikian, menurutnya,
pendapat para ulama ini menguatkan pendapat ulama yang membaca nas{b yang
berpendapat wajib membasuh kaki, karena bacaan nas{b tidak memberikan
kemungkinan hukum lain selain wajib membasuh kaki.
Selain itu, orang arab terkadang meng-at{af-kan suatu lafaz ke lafaz lain yang
masing-masing lafaz tersebut berbeda perbuatannya. Ia mencontohkan dengan
sebuah shair:
‫علفتها تبنا وماء باردا‬
Maksudnya adalah:

65
Al-Suyut{i, Al-Ashba>h Al-Naz{a>’ir Fi Al-Furu>’, (Surabaya: Da>r Al-Ih{ya>’ Al-Kutub
Al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 55.
66
Al-Qurt{ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m Al-Qur’a>n, jilid 6, h. 94.

97
‫علفتها تبنا وسقيتها ماء باردا‬
“Aku memberinya makan jerami dan memberinya menum air yang dingin.”

Dan juga sebuah shair:


‫متقلدا سيفا ورمحا‬ ‫ورأيت زوجك في الوغى‬
“Dan aku melihat istrimu dalam peperangan
Dengan menyandang pedang dan memegang tombak”
Berdasarkan hal, seandainya kalimat “wa arjulikum” di baca jar sebagi ma’t{u>f
kepada “bi ru’u>sikum”, maka makna makssudnya adalah membasuh kaki.
Kedua, pendekatan riwayat. Al-Qurt{bi menyatakan bahwa banyak hadis yang
menerangkan bahwa Nabi saw. membasuh kaki beliau saat wudu, diantara hadisnya
adalah
‫ صلى الله عليه وسلم‬،‫وء النَّبِ ِي‬ ِ ‫عن أبِيه ش ِه ْدت عمرو بن أبِي حس ٍن سأل عبد اللَّ ِه بن زي ٍد عن وض‬
ُُ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ُ ْ
ِ ِ
‫ فـغسل يديْ ِه‬،‫ضوء النَّبِ ِي صلى الله عليه وسلم فأ ْكفأ على يده ِمن التـ َّْوِر‬ ٍ ِ
ُ ‫ فـتـوضَّأ ل ُه ْم ُو‬،‫فدعا بِتـ ْوٍر م ْن ماء‬
ٍ ‫ضمض واستـْنشق واستـْنـثـر ثالث غرف‬ ِ
،‫ ثَُّم أ ْدخل يدهُ فـغسل و ْجههُ ثالثًا‬،‫ات‬ ْ ْ ْ ‫ فم‬،‫ ثَُّم أ ْدخل يدهُ في التـ َّْوِر‬،‫ثالثًا‬
‫ فأقْـبل بِ ِهما‬،ُ‫ ثَُّم أ ْدخل يدهُ فمسح رأْسه‬،‫ثَُّم أ ْدخل يدهُ فـغسل يديِْه مَّرتـْي ِن إِلى الْ ِم ْرفـقْي ِن مَّرتـْي ِن‬
“Diriwayatkan dari Bapaknya (Amr Ibn Yahya) berkata: ‘Aku pernah
menyaksikan Amru bin Abu Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang
wudunya Nabi saw.. Abdullah lalu minta diambilkan bejana berisi air, lalu ia
memperlihatkan kepada mereka cara wudu Nabi saw.. Lalu ia memulai dengan
menuangkan air dari bejana ke telapak tangannya, lalu mencucinya tiga kali.
Kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana, lalu berkumur-kumur,
lalu memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya kembali dengan tiga kali
cidukan. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana dan membasuh
mukanya tiga kali, kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana dan
membasuh kedua tangannya sampai ke siku dua kali dua kali. Kemudian ia
memasukkan tangannya ke dalam bejana dan mengusap kepalanya dengan
tangan, ia mulai dari bagian depan ke belakang lalu mengembalikannya lagi
(ke arah depan), kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana dan
membasuh kedua kakinya hingga kedua mata kaki.”67
dan hadis yang mengancam orang yang tidak membasuh kakiknya saat wudu.
Diantara hadis yang ia kemukakan adalah sabda Nabi saw.:
‫ون ْاألقْد ِام ِم ْن النَّا ِر‬
ِ ُ‫اب وبط‬
ِ ِ
ُ ‫ويْ ٌل ل ْْل ْعق‬
“Celakalah tumit-tumit dan telapak kaki bagian dalam (yang tidak terkena air
wudlu) dari api neraka,” (H.R. Al-Tirmiz|i).
Hadis ini dijadikan oleh al-Qurt{ubi sebagai dalil larangan mengusap kedua
kaki, senada dengan al-Tirmiz|i yang berpendapat tidak boleh mengusap telapak kaki
jika tidak menggunakan khuf atau kaus kaki berdasarkan hadis ini.68

67
Al-Bukhari, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri, (Damaskus: Da>r Ibn Kas|i>r, 2002), h. 59.
68
Al-Tirmiz|i, Sunan Al-Tirmiz|i>, jilid 1, h. 26.

98
Ketiga, Ijma’. Menurut al-Qurt{ubi para ulama telah sepakat bahwa orang yang
membasuh kakinya telah melaksanakan kewajibannya, sedangkan para ulama
berbeda pendapat terkait orang yang mengusap kedua kakinya. Sementara itu,
menurutnya, keyakinan adalah sesuatu yang telah disepakati para ulama, bukan
sesuatu yang diperselisihkan oleh mereka. Oleh karena itu, perkara yang sudah
yakinlah yang harus menjadi pegangan.
ْ
ْ ْ
8) Terma َ‫ِالىَالكعبي ِن‬
Al-Qurtubi menafsirkan term ini dimulai dengan mendiskusikan makna “al-
ka’b” menurut para ulama. Mendiskusikan term ini sangat penting karena
menentukan batasan kaki yang wajib dibasuh saat berwudu. Setidaknya ada dua
pendapat. Pertama, menurut mayoritas ulama, “al-ka’b” adalah dua tulang yang
menonjol di kedua sisi kaki. Kedua, menurut al-As{ma’i, “al-ka’b” adalah bagian atas
telapak kaki.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, Al-Qurt{ubi berpendapat yang benar
adalah pendapat pertama berdasarkan aspek linguistik dan riwayat (sunnah). Dari
aspek linguistik, menurutnya, “al-ka’b” dalam bahasa Arab berasal dari kata “al-
‘uluw” (tinggi), sebagaimana ungkapan Arab: “ka’abat al-mar’atu” “iz|a> falaka
s|adyuha>” (seorang wanita yang montok, jika buah dadanya bulat).
Adapun dalil dari sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Nu’man Ibn
Bashir bahwa sabda Nabi saw.:
‫ص ُفوف ُك ْم أ ْو ليُخالِف َّن اللَّهُ بـْين قُـلُوبِ ُك ْم‬ ِ ِ
ُ ‫واللَّه لتُق‬
ُ ‫يم َّن‬
“Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan shaf shaf kalian, atau
Allah benar--benar akan membuat hati kalian saling berselisih.”
Al-Nu'man berkata:
‫احبِ ِه وك ْعبهُ بِك ْعبِ ِه‬
ِ ‫احبِ ِه ورْكبـته بِرْكب ِة ص‬
ُ ُ ُ
ِ ‫بص‬
ِ ‫الر ُجل يـ ْلز ُق مْن ِكبهُ بِمْن ِك‬
َّ ‫ت‬ُ ْ‫قال فـرأي‬
“Maka aku melihat seseorang melekatkan (merapatkan) pundaknya dengan
pundak temannya (orang di sampingnya), antara lututnya dengan lutut
temannya, dan antara mata kakinya dengan mata kaki temannya,” (HR. Abu
Dawud).69
b. Surah Al-Baqarah Ayat 173
Allah swt. berfirman:
ُ ْ ُ ْ ْ ْ ْ ْ ُ ْ
ََ‫رَغ ْير‬
َ ‫نَاضط‬َ ِ ‫لَ ِب َهَ ِلغ ْي َِرَاللَ َِهََِۚۚفم‬
َ ‫الخن ِزيْ ِرََوماَا ِه‬
ِ ََ‫ِانماَحرمََعليك ُمََالميتةََوالدمََولحم‬
ُ ْ
َ ٤١٤ََ‫باغََولاَعادََفلَاَ ِاثمََعل ْي َِهََۚ ِانََاللَ َهَغف ْو ٌَرَر ِح ْي ٌم‬

69
Menurut Shu’aib al-Arnaut hadis ini S{ah{i>h{. hanya saja, redaksi “wa rukbatahu bi
rukbatihi” hanya Abu Qasim al-Jadali (Husain Ibn al-Haris|) saja yang meriwayatkan dengan
redaksi ini. Lihat: Abu Dawud, Sunan Abi> Da>wud, jilid 2, (Beirut: Da>r Al-Risa>la Al-
‘Ilmiyyah, 2009), h. 5.

99
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging
babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,” (QS. Al-
Baqarah [2]: 173).

1) Cakupan perkara haram dalam lafaz “‫” ِانما‬


Al-Qurt{ubi menjelaskan cakupan perkara haram dalam surah al-Baqarah ayat
73 dengan menggunakan pendekatan linguistik (kebahasaan) dan juga muna>sabah al-
a>yat. Pertama, pendekatan lingustik: term “innama>” dalam surah al-Baqarah ayat 173
bermakna al-has{r (pembatasan makna), yaitu menegaskan kandungan makna pada
kalimat sesudahnya sekaligus menegasikan selain makna yang tidak dikandung oleh
lafaz setelahnya. Oleh karena itu, ayat ini menegaskan hal-hal yang dicakup oleh ayat
ini dan menegasikan hal-hal yang tidak dicakup olehnya.
Kedua, pendekatan muna>sabah antara ayat: term “innama>” yang bermakna al-
has{r ini terletak setelah ayat yang menjelaskan kebolehan memakan makanan yang
baik secara mutlak (surah al-Baqarah ayat 17270).
Berdasarkan kedua pendekatan ini, maka, menurut al-Qurt{ubi, cakupan
makanan yang diharamkan dalam surah al-baqarah ayat 73 ini hanya berlaku pada
perkara yang terkandung di ayat tersebut, tidak selain perkara yang tidak dikandung
oleh ayat tersebut.71
Dari segi perbedaan qira’ah lafaz “al-maitah”, ayat “innama> h{arrama ‘alaikum
al-maitata......” dengan dibaca nas{ab term al-maitata adalah tidak ada yang
diharamkan bagi kalian kecuali bangkai (dan lainnya dalam surah al-Baqarah ayat
173).72 Makna ini –sebagaimana menurut mayoritas ulama– sama maknanya dengan
term “al-maitatu” dengan dibaca rafa’. Al-Qurt{ubi menjelaskan bahwa menurut
qira>’ah Ibn Abu Abalah, lafaz “ma>” di lafaz “innama”> bermakan “al-laz|i>”, sedangkan
“al-maitah” dibaca”\ rafa’.73 Dengan demikian, kedua qira>’ah tersebut memiliki
makna yang sama.
ْ ْ
2) Tern َ‫الميتة‬
Al-Qurt{ubi menjelaskan bahwa al-maitah (bangkai) adalah hewan yang boleh
disembelih (boleh dimakan) yang mati tanpa proses penyembelihan dan sembelihan
hewan yang tidak boleh dimakan.74 Berdasarkan hal ini, ada dua macam bangkai

70
Surah al-Baqarah ayat 172:
ُ ْ ُْ ُ ْ ُ ْ ُ ْ ُُْ ُْ ْ ُ
َ ٤١٠َ‫اَم ْنَط ِيب ِتَماَرزقنك ْمَواشك ُر ْواَ ِلل ِه َِانَكنت ْم َِاي ُاهَتع ُبد ْون‬
ِ ‫يايهاَال ِذَينَامنواَكلو‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan
kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”
71
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 222.
72
Al-Sayut{i, Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, h. 382-383.
73
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 223.
74
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 223.

100
menurut al-Qurt{ubi: pertama, hewan yang halal dimakan yang mati tanpa proses
penyembelihan; kedua, hewan yang haram dimakan, baik matinya melalui proses
penyembelihan maupun tidak.
Ayat ini menjelaskan keharaman bangkai secara umum, semua jenis bangkai
hewan, baik bangkai hewan darat maupun hewan air, dan semua jenis
pemanfaatannya, baik untuk dikonsumsi maupun untuk selain konsumsi.
Karena keumamn ayat ini, al-Qurt{ubi mendiskusikan berbagai hukum yang
ada kaitannya dengan bangkai.
pertama, apakah semua bangkai haram dimakan. Terkait hal ini, al-Qurt{ubi
berpendapat bahwa ayat ini ‘a>m yang di-takhs{i>s{ oleh surah al-Ma’idah ayat 96:
ُ ًّ ْ ْ ُ ُ ُ
َ ََِۚۚ‫رَوطع ُام َهَمتاعاَلك ْمََو ِللسيار ِة‬
َِ ‫ا ِحلََلك ْمََص ْيدََالبح‬
“Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut
sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan,” (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 96).
Dan juga di-takhs{is{ oleh hadis Nabi saw.:
ِ ‫ان فالْكبِ ُد و‬
‫الطحال‬ ِ ‫ان فالْحوت والْجراد وأ َّما الدَّم‬
ِ ‫ان فأ َّما الْميـتـت‬ ِ ‫أ ُِحلَّت لنا ميـتـت‬
ِ ‫ان ودم‬
ُ ُ ُ ْ ْ ْ
“Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu
adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa,” (HR. Al-
Daruqut{ni).
Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Abu Aufa:
ٍ ‫ سبع غزو‬-‫ﷺ‬- ‫ول اللَّ ِه‬
‫ات نأْ ُك ُل الْجراد‬ ِ ‫غزونا مع رس‬
ْ ُ ْ
“Kami berperang bersama Rasulullah Saw dalam tujuh peperangan dengan
mengonsumsi belalang,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hal ini, maka keharaman bangkai tidak berlaku umum, tetapi ada
beberpa pengecualin sebagaimana dalam ayat dan hadis di atas, yaitu ikan dan
belalang.
Dengan demikian, dalam hal ini al-Qurt{ubi menggunakan pendekatan takhs{i>s{
al-Qur’an bi al-Qur’an dan juga takhs{i>s{ al-Qur’an bi al-hadi>s|. Al-Qurt{ubi
menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan al-Qur’an di-
takhs{i>s{ oleh hadis. Ditengah perbedaan pendapat tersebut, para ulama sepakat al-
Qur’an tidak boleh di-takhs{i>s{ oleh hadis d{a’i>f. Sayangnya al-Qurt{ubi tidak secara
tegas mengemukakan pandangannya tentang kebolehan al-Qur’an di-takhs{i>s{ oleh
hadis, tetapi secara tersirat dapat kita pahami bahwa ia memperbolehkan al-Qur’an
di-takhs{i>s{ oleh hadis karena ia menggunakannya dalam men-takhs{i>s{ teram al-maitah
dengan hadis, sebagaimana di atas.
Kedua, apakah bagian-bagian tubuh bangkai boleh dimanfaatkan untuk selain
konsumsi. Al-Qurt{ubi menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait hal
ini, bahkan Imam Malik sebagaimana yang ia kemukakan mempunyai dua pendapat
tentang hal ini. Pendapat pertama, Imam malik berpendapat boleh memanfaat
bangkai karena Nabi saw. pernah melewati kambing milik Maimunah yang telah
mati, lalu beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak mengambil kulit bangkai tersebut”.

101
Pendapat kedua, Imam Malik berpendapat secara umum haram memanfaatkan
bangkai, apapun bentuk pemanfaatannya. Ia berdalil dengan tekstual surah al-
Ma’idah ayat 3 yang mengharamkan bangkai. Menurutnya ayat ini tidak di-takhs{i>s{
sama sekali. Pendapat Imam Malik yang kedua ini, menurut pemaparan al-Qurt{ubi
merupakan pendapat yang Imam Malik tulis di dalam kitabnya sebulan sebelum ia
wafat.75
Dua pendapat Imam Malik yang al-Qurt{ubi nukil ini sangat umum, baik
pendapat yang memperbolehkan maupun yang melarang pemanfaatan bangkai.
Kemudian al-Qurt{ubi menjelaskan hukum pemanfaatan bangkai lebih mendetail saat
menafsirkan surah al-Nah{l ayat 80. Ia memerinci hukum pemanfaatan bagian tubuh
bangkai untuk selain konsumsi menjadi dua kategori. 1). Bagian tubuh hewan yang
al-Qur’an dan hadis memperbolehkan untuk dimanfaatkan . 2). Bagian tubuh hewan
yang al-Qur’an dan hadis tidak menyinggung sama sekali akan kebolehan
pemanfaatannya.
Kategori pertama, al-Qurt{ubi dan shaha>b Malikiyyah berpendapat bulu dan
rambut bangkai hukumnya suci dan boleh dimanfaatkan, dengan dicuci terlebih
dahulu karena khawatir ada kotoran yang menempel. Ia berargumen dengan dalil al-
Qur’an, hadis dan al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah. Dalil al-Qur’an yang jadikan dalil adalah
firman Allah swt.:
ُ ًّ ْ ْ ُ ُ ْ ْ ُ ًّ ُ ُ ُ
ََ‫ام َ ُب ُي ْوتا َت ْستَ ِخف ْونها َي ْوم‬
َِ ‫ن َجل ْو َِد َالانع‬
َ ‫ن َ ُب ُي ْوتِك ْمَ َسكنا َوجعلَ َلكمَ َ ِم‬
ۢ ْ ‫والل َه َجعلَ َلك ْمَ َ ِم‬
ًّ ًّ ْ ْ ْ ُ ُ ْ
َ ‫نَاصو ِافهاَوا ْوب ِارهاَواشع ِارهاََاثاثاَومتاعاَ ِالىَ ِح ْي‬
َ ٨٢َ‫ن‬ َ ‫ظع ِنك َْمَوي ْو َمَ ِاقام ِتك َْمََِۚۙو ِم‬

“Dan Allah menjadikan rumah-rumah bagimu sebagai tempat tinggal dan Dia
menjadikan bagimu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit hewan ternak
yang kamu merasa ringan (membawa)nya pada waktu kamu bepergian dan
pada waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu
unta, dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan kesenangan sampai waktu
(tertentu),” (Q.S. Al-Nahl [16]: 80).
Menurut al-Qurt{ubi, lafaz “wa min as{wa>fiha>” bermakna umum, tidak di-
takhs{i>s{ untuk bulu hewan yang disembelih. Oleh karena itu, ayat ini berlaku umum,
kecuali ada dalil yang melarang bulu bangkai.
Hadis yang ia jadikan dalil adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ummu
Salamah, sabda Nabi saw.:

‫ص ْوفِها وش ْع ِرها إِذا غُ ِسل‬ ِ ِ ِ ِِ


ُ ‫ال بأْس بم ْسك الْمْيـتة إِذا ُدبغ و‬
“Tidak masalah dengan kulit bangkai jika disamak, dan bulu serta rambut
bangkai jika dicuci,” (H.R. al-Daruqut{ni).76

Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 224-225.


75
76
Dalam sanad hadis ini ada perwai yang bernama Yusuf Ibn al-Safat, menurut Al-
Daruqut{ni, ia perawi yang matru>k. Lihat, al-Daruqut{ni, Sunan al-Da>ruqut{ni, (Beirut: Da>r Ibn
Hazm, 2011), h. 40

102
Kedua dalil ini menurut al-Qurt{ubi men-takhs}i>s} lafaz al-maitah di surah al-
Baqarah ayat 173 dan juga surah al-Ma’idah ayat tiga:
ُ ْ ْ ُ ْ ُ
َ َ‫تَعل ْيك ُمََالميت َة‬
َ ‫ح ِرم‬
َ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,” (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 3).


Dengan demikian, dalam hal ini al-Qurt{ubi menggunakan metode takhs{i>s{ al-
Qur’a>n bi al-Qur’a>n dan takhs{i>s{ al-Qur’a>n bi al-H{adi>s|. Takhs{i>s{ yang dilakukan al-
Qurt{ubi bertentangan denga pendapat Imam Malik yang berpendapat surah al-
Ma’idah ayat 3 ini tidak di-takhs}i>s} sama sekali. Sebab, menurut Imam Malik ayat ini
bukan ayat yang mujmal karena ayat yang mujamal adalah ayat yang secara tekstual
tidak dapat dipahami maksudnya, sedangkan ayat ini diketahui maksudnya oleh
orang Arab.77
Perbedaan kebolehan takhs{i>s} pada ayat tersebut berimplikasi pada intinba>t
hukum oleh keduanya, Imam Malik berdasarkan keumuman ayat tersebut
berpendapat tidak boleh memanfaatkan bangkai sama sekali, sedangkan al-Qurt{ubi
berdasarkan takhs}i>si ayat tersebut berpendapat, tidak semua bagian bangkai tidak
boleh dimanfaatkan, tetapi ada bagian bangkai yang boleh dimanfaatkan yaitu bulu
berdasarkan ayat lain dan hadis Nabi saw. yang men-takhs}i>s} surah al-Ma’idah ayat
3.
Selain menggunakan kedua metode tersebut, al-Qurt{ubi juga menggunakan al-
Qawa>’id al-Fiqhiyyah. Menurutnya, sesuai dengan konsesus ulama bahwa hukum
asal bulu hewan suci semasa hewan itu hidup, sehingga berubahnya hukum bulu
hewan menjadi najis setelah menjadi bangkai, maka harus membutuhkan dalil.
Kategori kedua, Bagian tubuh hewan yang al-Qur’an dan hadis tidak
menyinggung sama sekali akan kebolehan pemanfaatannya. Dalam hal ini, menurut
al-Qurt{ubi –juga menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki– gigi,
tulang, dan tanduk bangkai hukumnya najis seperti daging bangkai. Hal ini berbeda
dengan pendapat mazhab Hanafi yang berpendapat tulang, gigi, dan tanduk
hukumnya suci diqiyaskan pada rambut.78 Al-Qurt{ubi menguatkan pendapatnya
tersebut dan sebagai bantahan terhadap pendapat mazhab Hanafi dengan
mengemukakan beberapa dalil, diantaranya:
Sabda Nabi saw.:

‫ال تـْنـت ِفعُ ْوا ِمن الْمْيـت ِة بِشْي ٍئ‬


“Janganlah kalian semua memanfaatkan sesuatu apapu dari bangkai.”79
Menurut al-Qurt{ubi, hadis ini belaku umum untuk bangkai dan setiap bagian
dari bangkai, kecuali ada dalil yang memperbolehkannya.

77
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 225.
78
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 10, h. 141.
79
Menurut Albani, hadis ini S{ah{i>h{ li Ghairihi. Lihat, Albani, al-Silsilah al-S{ah{i>h{ah,
jilid 7, (Riyad{: Maktabah al-Ma’arif, 1992), h. 36.

103
Dalil qat’i dari beberapa ayat al-Qur’an: firman Allah swt.:
ْ ْ ُ
َ ١٨َ‫قالََم ْنََيحيََال ِعظامََو ِهيََر ِم ْي ٌَم‬
ِ
“Dia berkata, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah
hancur luluh?’,” (Q.S. Yasin [36]: 78).
Firman Allah swt.:
ًّ ْ ْ ُ ُْ ْ
َ ََ‫امَك ْيفَنن ِش ُزهاَثمَنك ُس ْوهاَلحما‬ ْ ُْ
ِ ‫وانظر َِالىَال ِعظ‬
“Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya
kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 259).
Firman Allah swt.:
ًّ ْ ْ
َ َ‫فكس ْوناَال ِعظمَلحما‬

“lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging,” (Q.S. al-Mu’minun
[23]: 14).
Firman Allah swt.:
ًّ ُ
َ ٤ ََۚ‫ءَ ِاذاَكناَ ِعظ ًّاماَنِخر َة‬

“Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kita telah menjadi tulang belulang
yang hancur?” (Q.S. al-Nazi’at [79]: 11).
Berdasarkan ayat-ayat ini, menurut al-Qurt{ubi, dasar kehidupan adalah tulang.
Ruh dan kehidupan di dalam tulang, sebagaimana juga di dalam daging dan kulit.80
Oleh karena itu, menurut penulis, al-Qurt}ubi mengqiyaskan tulang pada daging lebih
tepat daripada mazhab Hanafi yang mengqiyaskan tulang dengan rambut.

3) Kalimat ‫الدم‬
Al-Qurt}ubi menafsirkan lafaz “al-dam” dengan mengutip pendapat mayoritas
ulama yang telah sepakat bahwa darah hukumnya haram dan najis, sehingga tidak
boleh dimakan dan tidak boleh dimanfaatkan.
Setelah itu, ia menjelaskan kriteria darah yang diharamkan oleh ayat ini. Darah
(al-dam) di ayat ini, menurut al-Qurt{ubi, mut{laq, lalu di taqyi>d oleh surah al-An’am
ayat 145:
ًّ ْ ُ ْ ْ ًّ ُ ُ ُ ْ ُ
َ‫ن َيك ْونَ َميت َة َاَ َْو َد ًّما‬
َ ‫اعمَ َيطع ُمه َ ِالاَ َا‬ ْ
ِ ‫د َ ِف َْي َما َاو ِحيَ َ ِاليَ َمحرما َعلَى َط‬
َ ‫ل َلاَ َا ِج‬
َ‫ق‬
ًّ ُ
َ َ‫م ْسف ْوحا‬

80
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 10, h. 141.

104
“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali
daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir’,” (QS. Al-An’a>m [6]:
145).
Berdasarkan hal ini, menurutnya, yang dimaksud darah di surah al-Baqarah
adalah darah yang mengalir karena darah yang menempel di dagis berdasarkan ijmak
ulama hukumnya tidak haram.81
Selain menggunakan metode tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, taqyi>d mut{la>q
al-Qur’an> bi al-Qur’a>n, ia juga menafsirkan kata “al-dam” dengan pendekatan qaul
ulama untuk memperjelas kriteria darah yang diharamkan. Ia mengutip pendapat Ibn
Khuwaiz al-Mindad yang menyatakan bahwa darah yang diharamkan adalah darah
yang tidak ‘umu>m al-balwa> , yaitu secara bahasa berarti shumu>l al-imtih{a>n aw al-
ikhtiba>r (cobaan ujian yang sudah menyebar dan melingkupi). Secara istilah, ‘umu>m
al-balwa> adalah “Umumnya suatu cobaan (cobaan dalam bentuk kesusahan) dengan
perkiraan sulit untuk menghindarinya kecuali dengan usaha yang maksimal.”82
Sementara itu, darah yang ‘umu>m al-balwa> hukumnya di-ma’fu, seperti darah yang
ada di daging, urat, dan darah yag sedikit di badan dan pakaian yang digunakan untuk
shalat. Imam Ibn Khuwaiz Mandad berdalil dengan metakhs{i>s} surah al-Ma’idah oleh
surah al-An’am ayat 145. Ia juga berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Aishah yang berkata:
‫الص ْفرةُ ِمن الدَِّم فـنأْ ُك ُل‬ ِ ‫ُكنَّا نطْب ُخ الْبـرمة على عه ِد رس‬
ُّ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّهُ علْي ِه وسلَّم تـ ْعلُوها‬ ُ ْ ُْ ُ
ِ
ُ‫وال نـُْنكُره‬
“Kami pernah memasak daging dalam kuali, di masa Nabi saw, kuali itu
mendidih kekuning-kuningan dari warna darah, kemudian kami memakannya
dan kami tidak mengingkarinya.”
Menurutnya, menjaga dari darah di daging sangat berat sehingga dalam hal
ini mengandung mashaqqah.83
ْ ُ
4) Kalimat ‫رَاللَ َِه‬
َِ ‫وماَا ِهلََ ِبهََ ِلغي‬
Al-Qurt{bi menafsirkan ayat ini dengan pendekatan linguistik, Ijma>’ ulama,
dan riwayat hadis. Pertama, pendekatan linguistik, makna “ihla>l”, mas{dar “ahalla”,
adalah raf’u al-s{aut (mengangkat suara berteriak), sebagaimana ungkapan seorang
penyair:
‫كما يهل الراكب المعتمر‬ ‫يهل بالفرقد ركبانها‬
“Para penunggang berteriak karena (melihat bintang)
Seperti para penunggang yang sedang umrah (saat talbiyah)”
Lafaz “ahalla” digunakan untuk menunjukkan makna menyembelih karena
bangsa Arab sudah terbiasa menggunakannya untuk makna menyembelih.

81
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 228-229.
82
Al-Mausu>’ah al-Fiqhiyah, jilid 31, (Kuwait: Isda>r Waza>rah al-Auwqa>f, 1994), h. 6-
7.
83
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 228-229.

105
Kedua, ijma>’ ulama. Pendekatan ini al-Qurt{ubi gunakan untuk menentukan
hukum hewan yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah. Ia menyatakan
tidak ada perbedaan pendapat terkait larangan memakan sembelihan orang Majusi
dan penyembah berhala yang diperuntukkan bagi tuhan mereka.
Ketiga, larangan memakan hewan sembelihan non muslim berdasarkan
riwayat hadis. Ia menukil sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qabus yang berkata:
‫ وتسألها أية صالة‬،‫أرسل أبي امرأة إلى عائشة رضي الله عنها وأمرها أن تقرأ عليها السالم منه‬
‫ كان يصلي قبل الظهر‬:‫ قالت‬. ‫كانت أعجب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يدوم عليها‬
‫ صحيحا وال مريضا‬،‫ فأما ما لم يدع قط‬،‫أربع ركعات يطيل فيهن القيام ويحسن الركوع والسجود‬
‫ إن لنا‬،‫ يا أم المؤمنين‬:‫ قالت امرأة عند ذلك من الناس‬.‫ ركعتين قبل صالة الغداة‬،‫وال شاهدا‬
‫ أما ما ذبح‬:‫ أفنأكل منه شيئا؟ قالت‬،‫أظآرا من العجم ال يزال يكون لهم عيد فيهدون لنا منه‬
.‫لذلك اليوم فال تأكلوا ولكن كلوا من أشجارهم‬
“Ayahku mengutus seorang wanita kepada Aisyah r.a., beliau
memerintahkannya agar menyampaikan salamnya kepada Aishah, dan
bertanya kepadanya tentang shalat yang paling dikagumi Rasulullah saw. dan
istiqamah dilakukan oleh beliau. Aishah menjawab, ‘Beliau shalat empat
rakaat sebelum shalat Z}uhur dengan memperlama berdiri serta memperbagus
rukuk dan sujud. Beliau tidak meninggalkannya sama sekali, baik dalam
kondisi sehat, sakit maupun berada di manapun, dan beliau juga shalat dua
rakaat sebelum shubuh.’ Ada seorang perempuan bertanya kepada Sayidah
Aisyah seraya berkata, ‘Sesungguhnya kami memiliki hewan dari orang
Majusi. Hewan tersebut dijadikan perayaan di raya mereka namun mereka
memberikannya kepada kami.’ Sayidah Aisyah menjawab, ‘Adapun hewan
yang disembelih pada hari raya tersebut, maka kalian jangan memakannya.
Akan tetapi, makanlah makanan dari pohon mereka.”
ُ ْ
5) Term َ‫طر‬َ ‫نَاض‬َ ِ ‫فم‬
Al-Qurt{ubi menafsirkan term ini dengan menjelaskan maksud “terpaksa”
(id}t}ira>r) dengan mengutip tiga pendapat terkait hal ini. Menurut mayoritas ulama,
makna term ini adalah orang yang fakir dan lapar. Menurut sebuah pendapat,
sayangnya al-Qurt}ubi tidak menyebutkan nama tokohnya, maknanya adalah orang
yang dipaksa memakan makanan yang diharamkan. Menurut Mujahid, orang yang
dipaksa untuk makan makanan yang haram atau melakukan maksiat kepada Allah.
Setelah mengutip ketiga pendapat ini, ia mengompromikan ketiga pendapat
tersebut sehingga menurutnya, keterpaksaan itu adakalanya karena dipaksa oleh
orang yang zalim atau terpaksa karena lapar. Dalam hal ini, ia menjadikan pendapat
ulama terdahulu sebagai sumber penafsiran, lalu ia menggunakan metode al-jam’u
baina al-aqwa>l (mengomprimakan berbagai pendapat) untuk menmpung ketiga
pendapat tersebut. Sebab, keterpaksaan di ayat tersebut bersifat umum sehingga
ketiga pendapat tersebut masih bisa ditampung ke dalam makna keterpaksaan di ayat
tersebut.

106
c. Surah Al-Ma’idah ayat 4
Allah swt. berfirman:
ُ ُ ْ
ْ
َََِۚۚ‫النسا ِۤءََمثنىَ َوثلثََو ُربع‬ َ ‫ن‬
َ ‫م‬ َ ْ ‫نَخ ْف ُت ْمََالاَ ُت ْقس ُط ْواَفىَاليتمىَفانْك ُح ْواَماَطابََلك‬
‫م‬
َ
ْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ِ‫وا‬
ُ ُ ْ ُ ُ ْ ًّ ْ ‫نَخ ْف ُت ْمََالاَت ْعد ُل‬ ْ
َ ٤ََ‫تَا ْيمانك ْمَََۚذ ِلكََادنىَالاَتع ْول ْوا‬
َ ‫احد َةَا َْوَماَملك‬
ِ ‫و‬‫ف‬َ ‫ا‬ ‫و‬ ِ ِ َ ‫ف ِا‬
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir
tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba
sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu
tidak berbuat zalim,” (Q.S. An-Nisa [4]: 3).
Al-Qurt{ubi menjelaskan bahwa ayat ini menjelaskan seorang laki-laki tidak
mampu berbuat adil dalam memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yatim,
maka nikahilah wanita lain. Ayat ini menurutnya me-naskh adat masyarakat Arab
pada masa Jahiliyah dan pada masa awal Islam yang menikah dengan lebih dari empat
wanita, lalu ayat ini membatasi laki-laki hanya boleh menikah maksimal empat
wanita.84
Setelah itu ia mendiskusikan beberapa tema terkait ayat ini, diantaranya:
ُ ْ
1) Term ‫ِخفت َْم‬
Al-Qurt{ubi menjelaskan makna “khiftum (khawatir)”, apakah kekhawatiran
ini harus yakin tidak mampu adil atau hanya dugaan kuat tidak mampu adil? Menurut
Abu Qatadah, maknanya jika kalian yakin tidak mampu adil, sedangkan menurut al-
Haz|aq, maknanya jika kalian menduga kuat tidak mampu adil. Hanya saja al-Qurt{ubi
tidak menegaskan sikapnya terkait perbedaan dua pendapat ini.

ْ
2) Term ‫ِفىَاليتمى‬
Al-Qurt{ubi mendiskusikan hukum menikahi wanita yatim yang belum baligh.
Ia mengutip perbedaan pendapat ulama terkait hal ini: pertama, menurut Abu
Hanifah ayat ini menjadi dalil kebolehan menika wanita yatim yang belum baligh.
Abu Hanifa berargumen bahwa “yati>mah” diperuntukkan untuk menunjukkan wanita
yang belum baligh, sedangkan wanita yang sudah baligh biasa disebut “imra’ah
mut{allaqah” karena seandainya maksud wanita di ayat ini wanita yatim yang sudah
baligh, maka tentu ayat ini tidak melarang menurunkan jumlah mahar mis|li bagi
wanita yatim karena wanita dewasa beloh memilih berapa mahar mis}li untuk dirinya.
Kedua, menurut Imam Mali, Imam Syafi’i, dan mayoritas ulama berpendapat
tidak boleh menikahi wanita yatim yang belum baligh, karena berdasarkan firman
Allah Ta’ala:

84
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 5, h. 19-20.

107
َ َ‫النسا ِۤء‬ ُْ ْ ْ
ِ َ‫ويستفتونكََ ِفى‬
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan,” (Q.S. An-Nisa’
[4]: 127).
Menurut pendapat ini, “al-nisa>’” diperuntukkan wanita dewasa, sebagaimana
“al-rija>l” yang diperuntukkan laki-laki dewasa. Lafaz “al-rija>l” tidak diperuntukkan
anak kecil, begitujuga “al-nisa>’” tidak diperuntukkan perempuan kecil.
Al-Qurt{ubi pun membantah pendapat Abu Hanifah dengan mengemukakan
sebuah hadis:

‫روى نافع أن عبد الله بن عمر رضي الله عنه تزوج بنت خاله عثمان بن مظعون فذهبت أمها إلى رسول‬
‫ إن ابنتي تكره ذلك فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفارقها‬:‫الله صلى الله عليه وسلم وقالت‬
‫ "ال تنكحوا اليتامى حتى تستأمروهن فإن سكتن فهو إذنهن" فتزوجت بعد عبد الله بن المغيرة بن‬:‫وقال‬
‫شعبة‬
“Nafi’ meriwayatkan bahwa Abdullah Ibn Umar r.a. menikahi anak wanita
pamannya, Us|man Ibn Maz{‘un. Kemudian Ibu si wanita itu menemui
Rasulullah saw. Ia berkata, ‘Putriku tidak senang menikah dengannya’.
Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan Ibnu Umar menyeraikannya.
Beliau bersabda, ‘Janganlah kalian menikahi wanita yatim hingga baligh. Jika
dia diam, maka itu merupakan izin darinya’.”
Menurut al-Qurt{ubi, seandainya wanita tersebut sudah baligh, maka tidak
butuh wali berdasarkan wali tidak disyaratkan dalam shanya nikah.85

ُ ْ ُ ْ
3) term ‫النسا َِۤء‬ ْ
ِ ََ‫فان ِكحواَماَطابََلك َمَ ِمن‬
Al-Qurt{ubi mejelaskan alasan lafaz “ma>” di ayat ini menunjukkan untuk
manusia, padahal “ma>” pada dasarnya diperuntukkan untuk sesuatu yang tidak
berakal? Ia mengemukakan lima alasan: pertama, lafaz “man” dan “ma>” terkadang
berganti posisi peruntukannya, sebagaimana yang terjadi dalam firman Allah Ta’ala:

َ ٦ََ‫والسما َِۤءَوماَبنىها‬

“demi langit serta pembinaannya (yang menakjubkan),” (Q.S. al-Shasm [91]:


5).
Menurut al-Qurt{ubi, “ma>” di ayat ini maksudnya “man”.
Dan firman Allah Ta’ala:
ْ ْ ْ
َ ‫نَِۚو ِمن ُه َْمَم ْنََي ْم ِش َْيَعلىَا ْرب َع‬
َِ ‫و ِمن ُه َْمَم ْنََي ْم ِش َْيَعلىَ ِرجل ْي‬

85
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 5, h.

108
“dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan
dengan empat kaki,” (Q.S. al-Nur [24]: 45).
Lafaz “man” di ayat ini menunjukkan sesuatu yang tidak berakal.
Kedua, menurut ulama Bas{rah, “ma>” diperuntukkan untuk sifat sebagaimana
diberlakukan untuk sesuatu yang tidak berakal, sebagaimana ungkapan, “ma>
‘indaka?” dijawab, “kari>m (orang yang mulia)”. Dengan demikian, maksud ayat ini
adalah, “fankihu> al-t{ayyib min al-nisa>’ (nikahilah wanita yang baik)”.
Ketiga, lafaz “ma>” di ayat ini adalah “ma> z{arfiyyah”, sehingga maksud ayat
ini adalah, selama kalian menganggap nikah baik. Namun, menurut Ibnu At{iyya,
pendapat ini lemah.
Keempat, al-Qurt{ubi mengutip pendapat al-Farra’, “ma>” di ayat ini adalah ma>
mas{dar. Namun, menurut al-Nuhas, pendapat ini sangat jauh dari maksud ayat
tersebut, tidak boleh mengartikan “fankih{u> al-t{ayyibah”.
Kelima, maksud lafaz “ma>” di ayat ini adalah akad, sehingga maksud ayat ini
adalah, nikahilah dengan nikah yang baik.
Diantara kelima pendapat ini, al-Qurt{ubi berpendapat qira’ah Ibnu Abu Ablah
membantah tiga pendapat terkahir. 86
ُ ْ
4) Term َ‫مثنىَوثلثََو ُربع‬
Dalam hal ini, al-Qurt{ubi mendiskusikan jumlah wanita yang boleh dinikahi
oleh seorang laki-laki. Ia mengutip beberapa pendapat terkait hal ini: pertama,
pendapat Shi’ah Rafid{ah dan sebagian ulama tekstualis. Mereka berpendapat ayat ini
merupakan dalil diperbolehkan menikahi sembilan wanita. Mereka berargumen
bahwa lafaz “mas|na” artinya “is|naini” (dua), “s|ula>sa” artinya “s|ala>sun” (tiga), dan
“ruba>’” artinya “arba’un” (empat), sedangkan huruf “wawu” adalah “wawu ja>mi’ah”.
Dengan demikian, jumlahnya adalah sembilan, sehingga berdasarkan hal ini, laki-laki
boleh menikah sembilan wanita.
Kedua, pendapat ulama tekstualis lainnya. Mereka berpendapat laki-laki boleh
menikahi delapan belas wanita. Sebab, lafaz “mas|na”, “s|ula>sa”, dan “ruba>’”
bermakna al-tikra>r, sedangkan wawu berfungsi al-Ja>mi.
Al-Qurt{ubi mengeritik pendapat kedua pendapat ini, menurutnya, pemahaman
mereka jauh daru al-Qur’an dan sunnah, serta telah berpaling dari kebiasaan ulama
salaf. sebab, Para sahabat dan Tabi’in tidak menikahi wanita lebih dari empat
wanita. Adapun argumen yang ia kemukakan dalam membantah pendapat tersebut
adalah:
Pertama, hadis. Al-Qurt{ubi menguti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-
Nasa’i bahwa Nabi saw. berkata kapada Ghailan Ibn Umayyah al-S|aqafi yang saat

86
Al-Qurt{ubi, al-ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 5, h. 19.

109
masuk Islam beristri sepuluh wanita: “Pilihlah empat wanita dari mereka, dan
ceraikanlah sisanya.” (HR. Al-Tirmiz|i).87
Kedua, kebiasaan bangsa Arab dalam menggunakan bilangan. Ia menuturkan
bahwa Bangsa Arab tidak menyebutkan sembilan dengan mengemukakan is|naini,
s|ala>s|ah, dan arba’ah. Juga tidak menyebutkan delapan belas dengan mengemukakan
arba’ah, sittah, s|ama>niyah.
Ketiga, gramatikal Arab. Wawi di ayat ini merupakan wawu badal. Dengan
demikian maksud ayat ini adalah, nikahilah tiga wanita sebagai pengganti dua
wanita, dan empat sebagai pengganti tiga. Inilah kenapa at{af di ayat ini
menggunakan wawu, bukan aw.

5) Term َ‫احدة‬
ًّ ُْ ْ ْ ُ ْ ْ
ِ ‫نَ ِخفت َمَالاَتع ِدلواَفو‬
َ ‫ف ِا‬
Al-Qurt{ubi mengutip mengutp pendapat al-D{ahaq dan lainnya, maksud ayat
ini adalah, khawatirtidak adil dalam hal kecenderungan, cinta, berhubungan suami
istri, pergaulan, pembagian antara para istri. Oleh karena itu, jika tida bisa berlaku
adil dalam hal tersebut, maka dilarang menikahi lebih dari satu wanita. Larangan ini
menurut al-Qurt{ubi bersifat wajib.88
B. Epistemologi Penafsiran Al-Qurt{ubi
Persoalan epistemologi, menurut Abdul Mustaqim, tidak hanya menjadi
problem dan objek kajian filsafat. Bahkan, menurutnya, menjadi problem seluruh
disiplin keilmuan Islam, termasuk di dalamnya adalah ilmu tafsir.89
Abdul Mustaqim dalam penelitian disertasinya yang berjudul Epistemologi
Tafsir Kontemporer (Stud Komparatif antara Fazlur Rahman dan Muhammad
Syahrur), ia menggunakan teori the history of idea, di sana dikatakan bahwa telah
terjadi pergeseran epistemologi beriringan dengan perkembangan zaman.
Abdul Mustaqim membagi pergeseran epistemology tafsir menjadi tiga masa,
yakni: pertama, masa era formatif dengan nalar quasi kritis; kedua, era afirmatif
dengan nalar ideologis; ketiga, era reformatif dengan nalar kritis. 90
Pakar tafsir seperti al-Aṣfahānī menyebut beberapa persoalan epistemologi
tafsir tersebut sebagai logika tafsir (manṭiq al-tafsīr). Logika tafsir (mant}iq al-tafsīr)
adalah metode-metode dan kriteria-kriteria yang digunakan oleh seorang mufassir,
untuk mencegah kesalahan penafsiran. Logika tafsir (mant}iq al-tafsīr), dalam
pandangan al-Aṣfahani, terdiri dari beberapa cabang ilmu tafsir seperti uṣūl al-tafsīr,
qawa>’id al-tafsi>r, mana>hij al-tafsi>r, ittijaha>t al-tafsi>r dan manhaj al-baḥs| dalam tafsir
dan Ulumul Qur’an.91

87
Hadis ini s{ahih. Al-Tirmiz|i menurutkan bahwa Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan
Imam Ishaq mengamalkan hadis ini. Lihat: Al-Tirmiz|i, Sunan al-Tirmi>z|i, jilid 1, h. 458.
88
26
89
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h.
ix.
90
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 33-34.
91
Al-Aṣfahani, Mana>hij al-Tafsi>r wa al-Ittija>tuhu>: Dira>sah Muqa>ranah fī Mana>hij
Tafsi>r al-Qur’a>n, (Beirut: Markaz al-Ḥaḍārah li Tanmiyah al-Fikr al-Islāmī, 2011), h. 10.

110
1. Epistemologi Takwil Ayat Mutasha>biha>t
Pada abad pertengahan berbagai corak ideologi penafsiran muncul, terutama
masa akhir Dinasti Bani Umayyah (133 H.) dan awal Dinasti Bani Abbas. Dalam
sejarah peta pemikiran Islam, periode ini dikenal sebagai zaman keemasan (the
golden age atau al-ashr az-dzahabî).92 Kemunculan corak ideologi dalam penafsiran
al-Qur’an pada abad pertengahan ini menjadi titik awal munculnya stigma tafsir
ideologis dalam berbagai bentuk dan corak. Produk-produk tafsir bernuansa ideologi
keagamaan tertentu dikembangkan untuk membela kepentingan mazhab-mazhab
tertentu yang bersifat sektarian.
Tafsir aliran merupakan salah satu bentuk subjektifitas dan kecenderungan
mufasir dalam sejarah penafsiran al-Qur’an. Produk tafsir tidak bisa terlepas dari
unsur dominasi keilmuannya dan pada gilirannya muncullah aliran tafsir. Lahirnya
aliran-aliran tafsir merupakan sebuah keniscayaan sejarah, karena setiap generasi
ingin selalu “mengkonsumsi” dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup,
bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan prilakunya.93
Potret dan gambaran karya-karya tafsir sulit untuk memisahkan dari paham
keagamaan mufasirnya, termasuk karya-karya tafsir di Andalusia. Paham keagamaan
ideologis pengarangnya, baik secara langsung maupun tidak, masuk dalam narasi
produk tafsirnya. Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa penafsiran al-
Qurt}ubi terhadap ayat teologis menggunakan pendekatan kebahasaan dan
kontekstual. Kedua pendekatan yang ia gunakan ini dipengaruhi oleh latar belakang
ideologinya, sehingga ia menggunakan kedua pendekatan ini untuk mempertahankan
dan membangun argumen untuk mendukung ideologi yang ia yakini.
a. Metode Penafsiran
Wahyu (teks) ketika digunakan sebagai sumber pengetahuan untuk
memahami Islam sebagai system of religion (hubungan manusia dengan
Tuhannya—aqidah dan ibadah) telah melahirkan, misalnya, Ilmu Kalam dan
Ilmu Fikih. Secara umum, metode yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan dari wahyu adalah transmisi (naqli>). Dalam praktik pada era
emas peradaban Islam, metode transmisi digunakan untuk mencari makna
wahyu dari lafaznya melalui penjelasan ayat al-Qur’an dan/atau nas Hadis.
Karena wahyu berbahasa Arab dan sebagian ada konteksnya, maka makna
dari lafaz dicari juga melalui alat bantu ilmu-ilmu kebahasaan dan asba>b
al-nuzu>l (sebab-sebab turun ayat). Dari sini, metode transmisi (naqli)
memperoleh sebutan lain, metode baya>ni>. Hanya saja, seiring perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia Islam, metode transmisi (naqli) tidak mendominasi
cara memahami al-Qur’an, karena makna al-Qur’an juga dicari dari lafaz
melalui metode analisis dan pemahaman (‘aqli>). Dalam hal ini, al-Qurt{ubi
menakwil ayat-ayat mutasha>bihat dengan menggunakan kaedah kebahasaan.
Adapun barometer penggunaan kaedah kebahasaan ini adalah:

92
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, h. 61.
93
Rohimin, Tafsir Aliran Ideologis Di Indonesia: Studi Pendahuluan Tafsir Aliran
Ideologi Sunni Dalam Tafsir Kementerian Agama, dalam Jurnal Madania, Vol. 20, No. 2,
Desember 2016, h. 171.

111
1) Penyuciaan Allah sebagai barometer penggunaan kaedah kebahasaan
Salah satu kaidah takwil adalah setiap hasil penakwilan tidak boleh
bertentangan dengan tujuan syariat yang telah digariskan oleh Allah dan
rasul-Nya. Apabila penakwilannya berlawanan dengan tujuan shariat,
maka tidak bisa diterima.94 Tujuan shariat dalam ayat mutasha>biha>t
adalah penyucian Allah dari keserupaan dengan makhluk. Al-Qurt{ubi
memilih makna majaz bagi ayat mutasha>biha>t yang mengelakkan Allah
diserupakan dengan makhluk. Ayat yang menjadi rujukan al-Qurt{ubi
adalah firman Allah:
ْ ُ ْ ْ
َ ٤ ََ‫ليسََك ِمث ِلهََش ْي ٌَءَِۚۚوهوََالس ِم ْي ُعََالب ِص ْي ُر‬
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang
Maha Mendengar, Maha Melihat, (Q.S. Ash-Shura’ [42]: 11).
Berdasarkan ayat ini, seluruh perdebatan tentang ayat
mutasha>biha>t adalah mengenai kesempurnaan Allah Ta’ala. Perdebatan
apakah Allah memiliki wajah tidak di konten ayat al-Qur’an, tetapi tepat
berada di jantung kesempurnaan Allah Ta’ala.
Ayat inilah yang menjadi prinsip dan pedoman dalam memahami
ayat-ayat mutasha>biha>t, sehingga para ulama berupaya menghindari
penyerupaan Allah dengan makhluk saat memahami ayat-ayat tersebut,
baik dengan cara tafwid{95 maupun takwil.
Poin penting yang diutarakan al-Qurt{ubi dalam masalah ini, yang
kemudian menjadi prinsip dasar penafsirannya adalah, Allah tidak
menyerupai makhluk, begitu juga sebaliknya, makhluk tidak menyerupai-
Nya. sementara itu, Sifat-sifat yang disematkan kepada Allah dan
makhluk yang disebutkan oleh nas{ tidak ada keserupaan sama sekali
secara makna hakiki. Sebab, sifat Allah dan sifat mahkluk berbeda karena
sifat makhluk tidak terlepas dari ghara>d{ (tujuan) dan accident, sedangkan
Allah Mahasuci dari keduanya.96
Mengenai konsep keesaan Allah ini, ia juga menukil ungkapan
ulama muhaqiqi>n, Tauhid adalah menetapkan Z|a>t Allah tidak sama
dengan z|at yang selain-Nya dan juga tidak menganulir sifat-sifat-Nya. Ia
juga mengutip pendapat al-Wasit{i yang menyatakan, “Z|at-Nya tidak
serupa dengan z|a>t selain-Nya, Nama-Nya tidak serupa dengan nama
selain-Nya, Perbuatan-Nya tidak serupa dengan perbuatan selain-Nya,

94
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Quran, h. 225.
95
Tafwi>d{ adalah menyerahkan makna sesungguhnya kepada Allah SWT. tanpa
menafsirkan lebih jauh disertai keyakinan bahwa makna zahir ayat tidak dimaksudkan oleh
Allah dan rasul-Nya. tafwid{ terbagi menjadi dua: pertama, tafwi>d{ lughawi, yaitu
menyerahkan makna asli ayat mutasha>bihat kepada Allah yang disertai mengimani ayatnya.
Kedua, tafwi>d{ kaifiyyah, yaitu menetapkan maknanya sesuai dengan teks, tetapi rinciannya
diserahkan kepada Allah. tafwi>d{ kaifiyya biasa juga disebut dengan is|ba>t. Diantara dua
macam tafwi>d| ini, menurut para ulama yang dibenarkan adalah tafwi>d} lughawi.
96
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 16, h. 10.

112
sifat-Nya tidak serupa dengan sifat selain-Nya. kesamaannya hanya dari
segi lafaz saja. Z|at yang qadi>m suci dari memiliki sifat yang baru, begitu
juga sebaliknya, z|a>t yang baru mustahil memiliki sifat yang qadi>m.”
Inilah menurutnya, maz|hab Ahlu al-H{aq dan Ahl al-Sunnah wa al-
Jama>’ah.97
Pandangan inilah yang mendasari penafsiran al-Qurt{ubi terhadap
ayat-ayat mutasha>biha>t, yang tergolong ayat mutasha>biha>t.98 Untuk
merealisasikan pandangannya ini, ia pun menawarkan dua pendekatan
dalam menghadapi ayat semacam ini, yaitu dengan takwil99 dan tafwi>d}

97
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 16, h. 10.
98
Para ulama al-Ash‘ariyah dari kelompok salaf dan khalaf berbeda metode dalam
menyikapi ayat mutasha>biha>t yang berkaitan dengan sifat Allah. Kedua kelompok yang
berbeda generasi tersebut sejatinya menggunakan takwil. Kelompok salaf dari Ahl as-Sunnah
wa al-Jamā’ah yang dikenal dengan “Maz|hab as-Salaf” atau “Ṭarīq as-Salaf” berijtihad
melakukan takwil secara global yang disebut dengan istilah “Takwil Ijma>l”. Pemberlakuan
takwil ini dengan cara menggunakan nas} secara zahirnya, namun meyerahkan makna yang
dimaksudkan kepada Allah (metode tafwi>ḍ). Sedangkan, ulama al-Ash‘ariyah dari kelompok
khalaf menjelaskan makna yang dimaksud oleh al-Qur’an dan Hadis yang samar (mutasha>bih)
tersebut, sehingga jelas maksudnya dan tidak menyerupakan Allah dengan makhluk.
Penjelasan makna ini dengan cara memalingkan makna zahir (makna hakikat) kepada makna
lain yang lebih sesuai dengan keagungan-Nya. Pemalingan makna ini disebut dengan istilah
“Ta’wīl Tafs}i>liī”.
Lihat: Abdullah Al-Ḥarari, Ash-Sharh{ al-Qawi>m fi H{alli Alfa>z{ as{-S{ira>t| al-Mustaqi>m,
(Beirut: Dar al-Mutasyayi‘ li at-Tiba‘ah, 2004), 195-196.
99
Ta’wīl menurut ulama khalaf adalah memalingkan sebuah makna lafaz| yang unggul,
ke makna lafaz} yang tidak unggul dikarenakan ada indikatornya (dalil) yang mendukung.
Dengan demikian, Menakwilk ayat-ayat al-Qur’an berarti “membelokkan“ atau
“memalingkan” lafaz atau ayat al-Qur’an dari maknanya yang tersurat kepada yang tersirat
dengan maksud mencari makna yang sesuai dengan ruh al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
Sasaran takwil umumnya terkait ayat Mutasha>biha>t atau ayat-ayat yang mempunyai
sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya.
Definisi takwil semacam ini timbul karena dipengaruhi oleh perkembangan berbagai
cabang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kalam dan ilmu tasawuf. Berkebangnya konsep
Allah yang bersifat Idea pada abad pertengahan mengharuskan menakwil makna-makna ayat
yang bersifat antropomorfis. Lihat, Munzir Hitami, Pengantar Studi al-Qur’an: Teori dan
Pendekatan, (Yogyakarta, LkiS, 2012), h. 38.

113
(dikembalikan kepada Allah)100, meskipun ia lebih memilih takwil,101 agar
terhindar dari paham tashbi>h (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya).
Lebih jauh lagi, agar seorang muslim terhindar dari tashbi>h, al-
Qurt{ubi melarang menyebutkan sifat-sifat Allah seperti tangan, kaki, jari,
arah, turun (nuzu>l) jika dirinya sendiri yang memulai membicarakannya,
kecuali saat ia membaca al-Qur’an atau hadis. Bahkan, lebih keras lagi, ia
mengutip perkataan Imam Malik bin Anas, “Barangsiapa yang
menggambarkan sifat Allah seperti saat ia membaca ayat, ‘Dan orang-
orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu’,’ dengan memberi
isyarat tangannya ke lehernya, maka hukumannya potong tangan, karena
ia telah menyerupakan Allah dengan dirinya sendiri, begitu juga dalam
masalah pendengaran dan penglihatan.”102
2) Makna Maja>zi
Secara umum teks merupakan bagian dari bahasa, yaitu bahasa
tulisan, yang menunjukkan pada suatu makna.103 Kalangan Ash’ariyah
berpendapat bahwa makna lafaz itu berdasarkan tauqifi. Pandangan
Ash’ariyah ini kemudian berkonsekuensi, makna yang dimaksud dari teks
itu perlu dijaga, sehingga muncullah ilmu bahasa untuk menjaga makna
tersebut. Dalam konteks al-Qur’an, agar ayat al-Qur’an dapat dipahami
maknanya maka dibutuhkan serangkain metode untuk dapat mengungkap
makna yang terkandung. Salah satunya adalah melalui ilmu balaghah, di
dalamnya terdapat ilmu baya>n,104 yang salah satu pembahasannya adalah
majas.

100
al-Ash’ari (dan generasi salaf) bersikap tafwīḍ dengan menyerahkan urusan ayat
mutasha>biha>t kepada Allah swt. tanpa memberikan penakwilan secara terperinci, karena
menghindari sikap salah paham tentang penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Hanya saja, menurut ulama al-Ash‘ariyah (generasi khalaf) apabila terdapat ayat-ayat
mutasha>biha>t ketika dipahami dengan makna zahir yang literal justru berimplikasi pada
penyerupaan Allah dengan makhluk atau pada pengertian yang tidak dapat dipahami tujuan
dan sasarannya, maka memberikan makna bahasa lain (menakwilkan) dengan makna yang
pantas bagi Z|a>t Allah tentu lebih baik. Salah satu ulama al-Ash’ariyah yang berpendapat
seperti ini adalah al-Qurt{ubi.
Lihat: Muhammad Abū Zahrah, Ta>ri>kh al-Maz}a>hib al-Isla>miyyah fi> as-Siya>sah wa al-
‘Aqa>’id, wa Ta>ri>kh\ al-Maz|a>hib al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-Fikr al- ‘Arabī, tth.). 234.
101
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 7, h. 199.
102
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 11, h. 243-252.
103
Studi tentang bahasa dibagi berdasarkan dua taraf: pertama, semantik, dan kedua,
semiotik. Semantik berurusan dengan makna, sementara semiotika berurusan dengan tanda.
Dalam semantik, tingkat pertama mempelajari tentang kata, yaitu dalam ilmu morfologi,
tingkatan kedua mempelajari tentang struktur kalimat, yaitu dalam ilmu sintaksis, sementara
tingkat ketiga mempelajari tentang konteks kalimat, yaitu dalam ilmu retorika ( balaghah).
104
Dalam ilmu balaghah, terdapat sub-disiplin ilmu yang biasanya dibagi menjadi tiga:
pertama, ilmu ma’ani yang berurusan dengan ketepatan berwicara tergantung konteks (baik
objek, waktu, maupun tempat); kedua, ilmu bayan yang berurusan dengan makna lain dari
apa yang tertuang (tertulis); ketiga, ilmu badi’ yang berurusan dengan keindahan berwicara.
Salah satu inspirasi ketiga ilmu ini adalah kalam ilahi berupa al-Qur’an. Berhadapan dengan

114
Penggunaan makna di luar makna lahir suatu lafaz ditemukan
secara mapan dalam tradisi Arab, merujuk pada pembagian lafaz menjadi
hakikat dan majaz. Para ahli bahasa mengakui adanya majaz dalam al-
Quran, bahkan majaz merupakan unsur penting dari keindahan al-Qur’an.
Diantara ahli bahasa yang menggunakan majaz adalah Imam Sibawaih, ia
berhujjah dengan firman Allah Ta’ala:
ُ ْ ْ ْ ُ ْ
َ ٨٠ََ‫و ْسـَ ِلََالق ْريةََال ِت َْيَكناَ ِف ْيهاَوال ِع ْيرََال ِت ْيََاقبلناَ ِف ْيهاََواِ ناَلصَ ِدق ْون‬
“Dan tanyalah (penduduk) negeri tempat kami berada, dan kafilah
yang datang bersama kami. Dan kami adalah orang yang benar,”
(QS. Yusuf [12]: 82).
Menurut Sibawaih, maksudnya adalah penduduk negeri.105
Pengaplikasian majaz oleh Sibawaih sebagaimana di atas
membuktikan majas adalah kaedah yang dirintis dan diaplikasikan oleh
ahli bahasa, bukan dirintis oleh ahli kalam seperti Asha’irah dan
Mu’tazilah. Hal ini menjelaskan bahwa kekayaan leksikal Bahasa Arab di
dalam al-Quran digali oleh ahli bahasa, bukan ahli dari bidang yang lain.
Penjelasan ini juga menunjukkan usaha Asha’irah untuk menghidupkan
kembali metode ahli bahasa dalam menangani problem ayat al-
mutasha>biha>t, juga menafikan Asha’irah terpengaruh oleh metodologi
penakwilan Mu‘tazilah.
Konsekuensi adanya makna majas dalam al-Quran adalah ada ayat
yang boleh dimaknai selain makna lahir teks. Jika ada makna selain
makna lahir teks, ada kemungkinan dilakukan takwil.106 Logika yang
dipakai untuk menilai ungkapan majasi adalah logika yang dibangun
berdasarkan realitas indrawi, sedangkan logika yang dipakai dalam
ungkapan takwili adalah logika metafisis, yaitu logika yang tidak bisa
dirujuk ke kenyataan riil. Ibn Rusyd mengakui bahwa takwil ada
kaitannya dengan majas. Namun, menurutnya kaitan ini adalah kaitan
antara pembuat dan penafsir. Al-Quran memang kalam ilahi, tetapi ia
tidak terlepas dari dunia profan. Tanpa sisi keprofanan al-Quran, yaitu
sisi kaidah bahasa, mustahil al-Quran bisa dipahami. Ibn Rusyd sendiri
memaknai takwil sebagai “mengeluarkan makna kata dari makna hakiki

teks suci yang maha-indah tersebut, para ahli bahasa terpukau betapa tidak biasanya
keindahan al-Quran. Mereka mempelajari keindahan al-Quran dan mengakui keindahannya
bukan lantaran ideologi: bahwa mereka orang Islam, atau lebih-lebih bahwa mereka memeluk
akidah A atau B. Bahasa melintasi perbedaan ideologis dan menembus batas-batasnya.
105
Sibawaih, al-kitab, jilid, 1, (t.tp: a’lam al-kutub, 1988), h. 211.
106
Perbedaan majaz dan takwil. Pertama, majaz dinaungi oleh ilmu linguistik,
sedangkan takwil dinaungi oleh ilmu tafsir. Kedua, majaz dalam naungan ilmu bahasa adalah
bebas nilai, sementara takwil dalam naungan ilmu tafsir adalah sarat nilai atau kepentingan.
Seorang ahli bahasa tidak peduli dari mana asal teks yang menjadi contoh suatu majaz, tidak
peduli kesakralan dan keprofanannya. Sedangkan seorang ahli tafsir senantiasa dalam
ketegangan antara mengakui adanya takwil atau tidak, dan domain mana yang mesti
ditakwilkan dan mana yang tidak.

115
ke makna majasi.” Bukan mengeluarkan kata dari makna majasi ke makna
hakiki, lantaran bagi Ibn Rusyd makna hakiki adalah makna yang indrawi,
yakni makna yang pertama kali hadir ketika mendengar atau membaca
teks, sedangkan makna majasi adalah makna yang hadir belakangan
melalui perantara akal sesuai dengan kebiasaan penutur bahasa—jika itu
al-Quran maka sesuai dengan kebiasaan penutur Arab.
Majaz inilah yang menjadi panduan penakwilan oleh al-Qurt{ubi.
Pengaplikasian majaz oleh al-Qurt{ubi seperti yang diaplikasikan oleh ahli
bahasa dalam linguistik. Bedanya, al-Qurt{ubi makna majaz di ayat
mutasha>biha>t merujuk kepada ayat al-muh{kama>t dan hadis mutawa>tir,
sedangkan ahli bahasa hanya terhenti pada makna ‘urfiyy .
Al-Qurt{ubi mencari makna secara bahasa ayat mutasha>biha>t
dengan merujuk kepada ahli bahasa dalam menentukan makna majazi
ayat tersebut. Hal ini terlihat saat ia membahas makan istiwa>’ Allah
Ta’ala, ia menyebutkan berbagai macam makna istiwa>’ dengan merujuk
pada kamus al-S{iha>h karya al-Jauhari, selain menyebutkan penafsiran
para ulama. Pemaknaan ayat ini bergantung pada aspek kebahasaaan.
Oleh karena itu, dari berbagai makna ayat-ayat mutasha>biha>t yang
didapat dari bahasa, para ulama berbeda pendapat dan berdebat tentang
makna yang layak disematkan kepada Allah dan makna yang tidak layak.
Pencarian makna kebahasaan ini sesuai yang disepakati oleh
mayoritas ulama, seperti Imam al-Shafi’i dan al-T{abari, wajib difahami
menurut kaidah-kaidah kebahasaan secara Shar’i (makna istilah yang
dipakai syara'), ‘urfi (tradisi pemakaian orang Arab atas kata tersebut)
dan lughawi (arti linguistik murni) karena al-Qur’an seluruhnya
berbahasa Arab.107
Ini juga senada dengan yang diungkapkan oleh Ibn Hajar al-
‘Asqalani, dengan mengutip pendapat Ibn Daqiq al-‘Id, sifat-sifat
problematik (mushkilah) bagi Allah yang dijelaskan di dalam al-Qur’an
dan hadis tidak diperbolehkan ditakwil dengan serampangan dan jauh dari
makna yang dipakai di dalam bahasa Arab karena karena sifat-sifat yang
disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis| adalah hakikat (al-haqi>qah) dan
benar sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh Allah.108 Selain itu, al-
Qurt{bi juga menjelaskan bahwa penafsiran terhadap ayat yang ghari>b dan
problematik (mushkil), seperti ayat mutasha>biha>t, dengan pendekatan
bahasa dan shair juga dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.109
Berdasarkan hal ini, apa yang dilakukan al-Qurt{ubi dalam mencari
makna secara bahasa ini sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Hanya
saja, mencari makna istiwa>’ secara bahasa tidak cukup karena istiwa’ dan
ayat mutasha>biha>t yang lainnya terkait dengan Z|at Allah, sehingga

107
Al-Banani, Hashiyah 'ala Sharh}i Matni Jam’ al-Jawa>mi', jilid I, (Beirut: Da>r al-Fikr,
t.t.), h. 261-263.
108
3Ibn Hajar, Fath al-Ba>ri>, jilid I (Kairo: Da>r al-Fikr, 1383 H.), h. 477.
109
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 33.

116
berbagai makna ini harus sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian
Allah. Oleh karena itu, memilih makna yang cocok dengan kesempurnaan
Allah dan jauh dari tshbi>h dan tajsi>m. Hal ini senada dengan yang
diungkapkan oleh Ibn Kas|ir, Ketika mereka (para ulama) ditanya arti
istiwa’, mereka menjawab bahwa Allah ber-istiwa’ sesuai dengan makna
yang layak bagi Allah tanpa ta’til dan tajsim. Namun, ketika dalam
kondisi tertentu, para ulama mentakwil istiwa’ dengan makna yang sesuai
petunjuk bahasa Arab, di mana makna tersebut cocok dengan keagungan
dan kesempurnaan Allah dan jauh dari tashbi>h dan tajsi>m.110
Kata wajh dalam al-Qur’an memiliki banyak makna sebagaimana
yang diungkapkan oleh Imam Raghib al-As{fahani diantara maknanya
adalah, wajah sebagai anggota badan, awal segala sesuatu, Z{at
(eksistensi), menghadap kepada Allah dengan amal saleh, ikhlas
beribadah kepada Allah.111 Semua makna “wajh” ini biasa digunakan oleh
bangsa Arab, sehingga penggunaan salah satu makna ini tidak merusak
pemakaian linguistik orang Arab.112 Hanya saja, jika kata “wajh”
dilekatkan kepada Allah, maka harus sesuai dengan kesempurnaan Allah
Ta’ala. Dari semua makna ini, maka dipilihlah makna yang
mencerminkan kesempurnaan Allah sesuai dengan konteks113 ayat oleh
al-Qurt{ubi.
Ada tiga makna yang al-Qurt{ubi gunakan untuk memaknai “wajah”
Allah yang sesuai dengan kesempurnaan Allah dan konteks ayat, yaitu
bermakna “taat kepada Allah” di surah al-An’a>m ayat 52 dan surah al-
Kahfi ayat 28; bermakna Z{at atau eksistensi Allah di surah al-Insa>n ayat
9, surah al-Qas{as{ ayat 88 dan surah al-Rahman ayat 27; dan bermakna
rida Allah di surah al-Lail ayat 20.

110
Ibnu Kathir, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, jilid. 6 (Beirut: Mu’assasah Qurtubah,
2000), h. 319.
111
Al-Raghib al-As}fahani, al-Mufrada>t fi Ghari>b al-Qur’a>n, jilid 1, (Riyad{: Nazar
Must{afa al-Ba>z, t.t.), h. 666.
112
Penggunakan pendekatan lingustik dalam menafsirkan al-Qur’an ini dibenarkan
oleh al-Qurt}ubi, ia mengutip pendapat Ibnu At}iyyah yang menyatakan bahwa menafsirkan al-
Qur’an harus berdasarkan pendapat ulama dan kaidah-kaidah keilmuan seperti nahwu, agar
ia tidak terjebak ke dalam sabda Nabi saw.:
‫من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ‬
“Barang siapa yang berbicara tentang al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, lalu
pendapatnya benar, sejatinya ia telah melakukan kesalahan.”
Lihat: Al-Qurt{ubi, al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 41.
113
Al-Izz Ibnu Abdissalam (w. 660 H), Siyaq itu mengarahkan kita untuk menjelaskan
ayat yang mujmal, melakukan tarjih terhadap arti-arti yang menunjukkan banyak
kemungkinan, serta mampu menetapkan maksud ayat-ayat yang sudah jelas. Dari uraian
Izzuddin dapat disimpulkan tiga fungsi konteks, yaitu: pertama, memperjelas hal yang masih
global; kedua, menetapkan salah satu makna di antara berbagai kemungkinan makna; ketiga,
menguatkan hal yang sudah jelas. Lihat: Al-Zarkasi, Al-Bah{r al-Muh{i>t}, jilid 8 hal. 55

117
Penakwilan kata “wajh” dalam surah al-Rahman ayat 27 dengan
Z{at Allah termasuk maja>z dalam al-Qur’an, maja<z semacam ini
dinamakan it{la>q ism al-juz’ ‘ala al-kul (penyebutan nama sebagian untuk
keseluruhan).114
Sementara itu, penakwilan kata “istiwa>’” oleh al-Qurt{ubi merujuk
kepada arti kata “istiwa’” dalam kamus al-Shih{a>h yaitu: ‘ala> wa istaqarra,
qas{ada, istaula> wa z{ahara, i’tadala, dan intaha>. Dari makna kebahasaan
ini, al-Qurt{ubi juga memilih makan yang sesuai dengan kesempurnaan
Allah Ta’ala dan sesuai dengan konteks ayatnya, yaitu: pertama, Al-
Qurt{ubi menafsirkan kalimat “istawa> ‘ala al-arsh” dengan “’ala dan
irtafa’a”. Dengan demikian, menurutnya, ketinggian Allah (‘ululla>h wa
irtifa>’uhu) merupakan ungkapan ketinggian keagungan, sifat-sifat, dan
kekuasaan Allah.
Untuk menjaga kesempurnaan Allah ini, ia membantah pendapat
yang menakwil istiwa>’ dengan qahr dan ghalabah (menaklukkan),
menurutnya, jika ayat “s|ummas|tawa> ‘ala al-‘arsh” (kemudian Allah
istiwa (menaklukkan) bermakna menaklukkan, maka menuntut adanya
penaklukan terlebih dahulu yang sebelumnya tidak ditaklukkan, dan hal
ini, menurutnya, pendapat tersebut batal, karena Allah Maha Berkuasa.115
b. Sumber Penafsiran
Al-Qurt{ubi menelaskan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa al-Qur’an
adalah sumber utama, hadis Nabi saw. sebagai penjelas, dan istinba>t{ ulama
setelah Nabi saw. juga sebagai penjelas al-Qur’an.116 Dengan demikian,
sumber naqli penafsiran al-Qurt{ubi adalah al-Qur’an, hadis, para ulama. Yang
dimaksud ulama oleh al-Qurtubi adalah para sahabat, ulama salaf, dan ulama
khalaf yang mengikuti ulama salaf. Terkait pendapat ulama sebagai sumber
penafsirannya ini, ia lebih menegaskan lagi sikapnya ini dengan menguti
pendapat Abu Bakar al-Anbari dan Ibnu At{iyyah bahwa orang yang
menafsirkan al-Qur’an tanpa merujuk kepada pendapat para sahabat, tabi’in,
dan ulama salaf maka meskipun penafsirannya benar, tetap tetap dianggap
salah, karena ia menetapkan makna al-Qur’an tanpa diketahui dasarnya dan
tidak mengetahui mazhab ahli As|ar dan tanpa menukilnya.117 Selain itu,
penisbatan suatu pendapat kepada penggagasnya atau hadis kepada perawinya
merupakan hal yang disyaratkan oleh al-Qurt{ubi
Berdasarkan hal ini, otoritas penafsiran al-Qurtubi haruslah Nabi saw.,
para Sahabatnya, Tabi’in, ulama salaf, dan ulama yang mengikuti ulama salaf.
Apa yang ingin dilakukan dalam sub bab ini adalah menetapkan seberapa jauh
al-Qurt{ubi menganutnya saat menafsirkan ayat-ayat mutasha>biha>t. Dalam
kajian ini, penulis mengambil sample dari ayat tentang istiwa>’ dan “wajh”

114
Al-Sayut{i, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>nh. 326.
115
Al-Qurt{ubi, al-Asna> fi Sharh} al-Asma>’ al-H}usna>, jilid 2, h. 127.
116
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 12.
117
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 40-41.

118
Allah Ta’ala. Setelah penulis melakukan penelitian terhadap ayat ini, ulama-
ulama yang menjadi rujukan al-Qurt{ubi adalah:
1. Abdullah Ibn Abbas (3 SH – 68 H.), generasi Sahabat, 3 kali
disebutkan.118
2. Abu Ubaidah Ibn Jarrah (w. 48 H.), generasi sahabat, 3 kali
disebutkan.119
3. Ibn At{iyyah (481 H. – 541 H), 3 kali disebutkan.120
4. Abu Al-Ma’ali (419 H. – 478 H.), 2 kali disebutkan.121
5. Ibnu Faurak (w. 406 H.), 2 kali disebutkan.122

118
Abdullah Ibn Abbas Ibn Abdul Mut}t}alib Ibn Hashim Ibn Abdi Manaf al-Quraishi
al-Hashimi, beliau dilahirkan di kota Mekkah tepatnya di Syi‟ib, tiga tahun sebelum
hijrahnya kaum muslimin ke kota Madinah. Dalam banyak kitab tafsir sering disebut
periwayatan yang datang dari Ibnu Abbas, hal ini membutikan pribadi beliau yang s|iqqah
(dapat dipercaya) sehinga ke-s}ahih-an periwayatannya tidak diragukan lagi. Di akhir masa
hidupnya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha’if hingga wafat pada
tahun 68 H. di usia 71 tahun.
119
Nama lengkap Abu Ubaidah Ibn Jarrah r.a. yaitu Amir Ibn Abdullah Ibn Jarrah Al-
Quraishi al-Fihri al-Makki. Ia termasuk salah satu dari al-Sabiqun al-Awwalu>n (orang-orang
pertama masuk Islam). Ia memeluk agama Islam melalui Abu Bakar Al-S}iddiq r.a. Abu
Ubaidah al-Jarrah meninggal dunia pada tahun 48 H. akibat wabah t}a’un yang sedang
melanda Amwas, sebuah daerah di Yaman.
120
Abu Muhammad Abd al-Haqq Ibn Galib Ibn Abdurrahman Ibn Ghalib Ibn Abd al-
Rauf Ibn Tamam Ibn Abdullah Ibn Tamam Ibn At}iyyah Ibn Khalid Ibn At{iyyah al-Muharibi
al-Dakhil. Ibnu At}iyyah dilahirkan pada tahun 481 H./1088 M. di Granada, Andalusia. Kota-
kota besar dan maju di kawasan Andalusia yang pernah dikunjungi oleh Ibnu At}iyyah dalam
menuntut ilmu, antara lain adalah: Cordova (Qurt}ubah), Sevile (Isybīliyyah), Murcia (al-
Mursiyah), Valencia (Balansiyah) dan Jiyān.
Karya tulis Ibnu At}iyyah tidak banyak, karena, di samping berjuang dengan pena, dia
juga secara langsung turut berjuang dengan menggunakan pedang dalam peperangan melawan
musuh. Karya monumentalnya adalah al-Muh}arrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-'Azīz. Ia
meninggal saat perjalanan menuju Lorca pada tanggal 15 Ramadhān 541 H./1146 M.
Lihat: Abd al-Wahhab Fayed, Manhaj Ibni 'Athiyyah fī Tafsīr al-Qur'ān al-Karīm,
(Kairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu'ūn al-Mas|ābi' al-Amīriyyah, 1973), h. 30.
121
Abu al-Ma’ali Abdul Malik Ibn Abdullah yang lebih dikenal dengan nama Imam
al-Haramain. Ia putra dari Imam al-Juwaini. Ia lahir pada tahun 419 H. di kota Juwain di
Naisabur dan wafat tahun 478 H. Dia pergi ke Baghdad, ke Mekah selama empat tahun, ke
Madinah, kemudian ia kembali ke Naisabur. Sekembalinya ke Naisabur, Wazir Niz{amul Mulk
membangunkannya Madrasah Niz{amiyyah di sana, tempat ulama terkemuka belajar. Ia
merupakan tokoh mazhab Shafi’i dalam fikih, dan tokoh mazhab Ash’ari dalam teologi.
Lihat: Abdullah Mu’allim Abd, al-Budu>r al-Za>hirah Fi> T{abaqa>t al-Asha>’irah, h. 158-
159.
122
Abu Bakar Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Faurak al-Is{bahani. Ia seorang sastrawan,
ahli Kalam, ahli Us{ul, dan ahli Nahwu. Ia tinggal di Iraq dan belajar Mazhab Ash’ari, lalu ia
ke kota Ray. Karya-karya Ibnu Faurak dalam bidah Us{uluddin, Us{ul fikih dan Ma’ani al-
Qur’an mencapai seratus karya, diantaranya: “Mushkil al-H}adi>s| wa Ghari>bihi”, al-Niz{a>mi, al-
Tafsi>r wa H{il al-A>ya>t al-Mutasha>biha>t, Ghari>b al-Qur’a>n, dan Risa>lah fi> Ilm al-Tauh{i>d. Ia
wafat pada tahun 406 H. di Hirah.

119
6. Malik Ibn Anas (93 H. – 179 H), 2 kali disebutkan.123
7. Sufyan Ibnu Uyainah (107 H. – 198 H.).124
8. Abu Aliyyah (w. 90 H.), dua kali disebut.125
9. Ummu Salamah (w. 58 H), disebut sekali.126

Pandangan akidahnya seperti yang ia ungkapkan, “Allah Maha Suci dari segala bentuk
kekurangan dan cacat. Dia Maha Luhur dari disifati dengan organ tubuh, bergerak dan diam.
Dia tidak dilekati oleh batasan dan akhir, wujud tanpa ada batasan, disifati tanpa diketahui
hakikatnya, disebut tanpa menyebutkan dimana, disembah tanpa diserupakan.” Ia juga
menafsirkan ayat “as{a>bi’ al-Rahman” dengan kekuasaan.
Lihat: Abdullah Mu’allim Abd, al-Budu>r al-Za>hirah Fi> T{abaqa>t al-Asha>’irah, h. 111-
113.
123
Abu Abdullah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir Ibn Haris Ibn
Gaiman Ibn Kutail Ibn Amr Ibn Haris al-Asbahi al-Humairi. Imam Malik dilahirkan di Z{ul
Marwah, 192 KM. dari kota Madinah, pada tahun 93 H. ia lahir pada masa Khalifah al-Walid
Ibn Abdul Malik dan sezaman dengan Aishah binti Sa’d Ibn Abu Waqqas{, sehingga ia
termasuk kalangan Tabi’it Tabi’in. Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada era Bani
Abbas, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Rashid.
Imam Malik Ibn Anas tumbuh dan berkembang di kota Madinah diantara sahabat,
tabi’in, kaum Anshar, ulama dan fuqaha. Imam Malik Ibn Anas hidup sezaman dengan Imam
besar lainnya, seperti Imam Ja’far Al-Shadiq, Imam al-Layts ibn Sa’ad (Mesir), dan Imam
Abu Hanifah. Imam Malik pernah bertemu dengan Abu Hanifah saat Abu Hanifah ke
Madinah. Menurut A. Djazuli usia Abu Hanifah 13 tahun lebih tua dari Malik Ibn Anas.
Lihat: A. Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum ,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 57.
124
Nama lengkapnya ialah Sufyan Ibn Uyainah Ibn Abu Imran Maimun al-Hilali al-
Kufi. Ia lahir pada tahun 107 H. dan wafat bulan Rajab tahun 198 H. Imam Sufyan Ibn
Uyainah merupakan ulama besar di Kota Mekkah. Ia orang yang sangat alim dan mahir dalam
ilmu hadis, bahkan ia orang yang amat ahli dalam ilmu tafsir dan fikih sehingga menjadi
seorang pendiri mazhab di Kota Mekkah. Mazhab Imam Sufyan dikenali sebagai Mazhab
Ibnu Uyainah.
125
Rufai' Ibn Mihran Al-Riyahi Al-Bashri. Ia dilahirkan pada zaman Nabi saw. namun
tidak pernah bertemu beliau. Ia menginjak usia remaja dan masuk Islam pada masa khalifah
Abu Bakar Al-Shiddiq r.a. Hal itu karena status dirinya sebagai seorang budak milik seorang
wanita Bani Tamim dan baru dimerdekakan pada zaman khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq r.a.
Setelah dimerdekakan oleh tuannya, ia langsung mempergunakan waktunya untuk menimba
ilmu dari para sahabat senior. Ia hafal Al-Qur'an dan menyetorkan hafalannya kepada ulama
qira'ah sahabat seperti Umar Ibn Khat}ab, Ubay Ibn Ka'ab, Zaid Ibn S|abit dan Abdullah Ibn
Abbas.
Dengan ketekunan belajarnya kepada para ulama senior dari kalangan sahabat, tidak
heran apabila Abu al-Aliyah Al-Riyahi segera menjadi sosok ulama besar tabi'in di bidang
tafsir, hadis dan fikih. Sejarawan Islam dan ulama hadis, imam Al-Z|ahabi menulis tentang
dirinya, “Al-Imam (sang ulama), al-muqri' (guru pengajar qira'ah dan hafalan al-Qur'an), al-
hafiz} (ulama hadis yang hafal puluhan ribu hadis), al-mufassir (ulama tafsir), Abu al-Aliyah
Al-Riyahi al-Bashri, seorang tokoh ulama besar."
Hindun Ibn Abu Umayyah Ibn al-Mughirah. Ia termasuk orang yang awal masuk
126

Islam. Kehidupan Ummu Salamah sebagai istri Nabi, memberikan sejumlah keistimewaan
baginya dalam hal turunnnya al-Qur’an. Beberapa ayat turun untuk menjawab protes dari
Ummu Salamah seperti surah al-Nisa’ ayat 32, surah Ali Imran ayat 195, dan zurah al-Ah}zab

120
10. Mujahid, (21 H. – 104 H.), disebut sekali.127
11. Al-Qusyairi (376 H. - 465 H.), disebut sekali.128
12. Al-Qutba (213 H. - 276 H.), disebut sekali.129

ayat 35. Di rumah Ummu Salamah juga menjadi tempat turunnya beberapa ayat seperti surah
al-Ah}za>b 33 dan surah al-Tawbah ayat 118 .
127
Beliau adalah Abu al-H{ajjaj Mujahid Ibn Jabar al-Makki al-Makhzumi al-Muqri’.
Selain terkenal sebagai seorang mufassir, Mujahid juga dikenal sebagai muh}addis (ahli hadis),
h}afi>z} (penghafal al-Qur’an), faqi>h (ahli fiqih) dan muqri’ (ahli qira’at) serta ahli dalam
beberapa disiplin ilmu yang digelutinya. Ia dilahirkan di Mekkah pada tahun 21 H. pada masa
kekhalifahan Umar Ibn al-Khat}t}ab. Ia wafat pada tahun 104 H . di kota Mekkah pada usia 83
tahun dalam keadaan bersujud.
Mujahid dikategorikan sebagai salah seorang mufassir tabi’in, sekurangnya dapat
dilihat dari dua aspek. Pertama, dari segi zaman hidupnya, ia merupakan generasi setelah
sahabat Nabi yang lazim disebut dengan tabi’in. Kedua, dari segi karya tafsirnya, ketika ia
menjelaskan ayat al-Qur’an, ia masih identik dengan pemikiran gurunya – Ibn Abbas dan
tidak menutup kemungkinan menggunakan ijtihad pemikirannya. Mujahid adalah murid Ibn
Abbas yang paling s|iqqah, sehingga penafsirannya banyak dirujuk oleh imam Shafi’i, imam
al-Bukhari dan para ulama lainnya sebagai referensi dalam hal tafsir. Mujahid memang tidak
menulis kitab tafsir yang utuh sebagaimana para tabi’in lainnya, tetapi penafsiran dari
generasi tabi’in ini – termasuk penafsiran Mujahid – banyak dinukil ulama setelahnya dalam
bentuk periwayatan.
Lihat: Eko Zulfikar, Manahij Tafsir Tabi’in Mujahid Ibn Jabar dan Penafsirannya,
dalam Jurnal Al-Dzikra, Volume 13, No. 1, Juni Tahun 2019, h. 4-5.
128
Abu al-Qasim Abdul Karim Ibn Hawazin Ibn Abd al-Malik al-Qushairi dilahirkan
pada tahun 376 H. dan wafat tahun 465 H. di Naisabur. Ia seorang Ahli fikih, ahli us{ul, ahli
kalam, mufassir, ahli nahwu, sastrawan, penyair dan seorang sufi. Fikihnya menganut mazhab
Shafi’i dan teologinya menganut mazhab Ash’ari, diantara gurunya adalah Ibnu Faurak,
seorang teolog Ash’ari. Diantara karya-karyanya adalah al-Taisi>r fi al-Tasi>r (al-Tafsi>r al-
Kabi>r), Lat{a>’if al-Isha>ra>t fi al-Tafsi>r, dan al-Risa>lah al-Qushairiyyah. Diantara ungkapannya
adalah, “Allah Ta’ala Z|a>t yang wujud dan Qadim, tidak ada makhluk yang serupa dengan-
Nya. Allah Ta’ala bukan Jism, Jauhar dan juga bukan ‘Ard{. Sifat-Nya bukan ard{. Dia tidak
tergambarkan dalam benak dan juga tidak terlintas di pikiran. Dia tidak berarah dan juga
tidak bertempat. Dia tidak diliputi oleh waktu dan masa”.
Lihat: Abdullah Mu’allim Abd, al-Budu>r al-Za>hirah Fi> T{abaqa>t al-Asha>’irah, h. 150-
151.
129
Menurut Dr. Hashim Ismail Ibrahim, yang dimaksud al-Qutba adalah Ibnu Qutaibah
pengarang kitab "Mushkil al-Qur’a>n" dan “Ghari>b al-Qur’a>n”.
Lihat: Hashim Ismail Ibrahim, al-Ima>m al-Khit{abi wa Manhajuhu fi Ma’a>lim al-
Sunan, Majallah al-Shari>’ah wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, (T.th, 2010).
Nama lengkap Ibnu Qutaibah adalah ‘Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah al-Dainuri
al-Marwazi. Dalam beberapa literatur, ia terkadang dikenal dengan sebutan al-Qutba atau al-
Qutaiba yang merupakan bentuk tas}ghi>r (memiliki arti kecil) dari kata Qutbah dan bentuk
tunggal dari kata aqta>b yang mempunyai arti jeroan binatang ternak. Ibnu Qutaibah
dilahirkan pada tahun 213 H. / 828 M. di Baghdad. Ppada usia 63 tahun bulan Rajab tahun
276 H. / 889 M. beliau dipanggil oleh Allah swt.
Di antara karya-karya Ibnu Qutaibah adalah Adab al-Qa>d{i>, I’ra>b al-Qur'a>n, Al-Ra>d ‘ala
Man Yaqu>lu bi Khalq al-Qur'a>n, Al-Mushtabih min al-Hadi>s| wa al-Qur'a>n, Ghari>b al-Qur'a>n,
dan lain-lain.

121
13. Al-T{abari (224 H. – 310 H), disebut sekali.130
14. Al-Baihaqi (383 H. – 458 H.), disebutkan sekali.131
15. Al-Kalabi (w. 146 H.), disebutkan sekali.132
16. Imam al-Farra (144 H.- 207 H.), disebutkan sekali.133
17. Al-Jauhari (w. 393 H.), disebut sekali.134
18. Abu Hasan al-Ash’ari (260 H. – 324 H.), disebutkan sekali.135

Lihat: ‘Abd al-Qadir Ahmad ‘At}a, Muqaddimah al-T{ab’ah al-U>la>, dalam ‘Abdullah
Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, (Beirut: Mu’assasah al-Kutub al-
S|aqa>fi’ah, 1988), h. 8
130
Nama lengkap Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-T{abari. Lahir di Amul,
T{abaristan yang terletak di pantai selatan laut T}abaristan (laut Qazwayn) pada tahun 224
H./837 M. dan meninggal di Baghdad pada tahun 310 H./923 M. Ia adalah seorang sejarawan
besar, ensiklopedis, ahli tafsir, ahli qira’at, ahli hadis, dan ahli fikih.
131
Nama lengkapnya Abu Bakar Ahmad Ibn Husain al-Hafiz} al-Baihaqi. Ia dilahirkan
pada tahun 383 H. di Khasrujard, Baihaq, yaitu di Naysabur di Persia, dan wafat pada tahun
458 H. Ia seorang ahli fikih mazhab Shafi’i, ahli hadis dan ahli us{ul. Ia mempelajari ilmu
Kalam mazhab Ash’ari. Pandangan akidahnya nampak saat ia menjelaskan hadis “Engkaulah
Yang Zahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin,
maka tidak ada yang samar dari-Mu.” Ia mengatakan, “Sebagian kawan kami beristidlal dari
hadis ini tentang menganulir tempat bagi Allah Ta’ala. Jika tidak ada sesuatu di atas Allah
dan juga tidak ada sesuatu di bawah Allah, maka Allah tidak berada di suatu tempat.”
Lihat: Abdullah Mu’allim Abd, al-Budu>r al-Za>hirah Fi> T{abaqa>t al-Asha>’irah, h. 146.
132
Muhammad Ibn al-Sa’ib Ibn Bishr al-Kalabi. Dinatara karya-karyanya adalah
Tafsi>r al-A>y al-Laz|i Nuzila Fi> Aqwa>l Bi A’ma>lihim, Na>sikh al-Qur’a>n wa Mansu>khu>hu”, dan
lain-lain. Ibnu Imad mengatakan, “Para ulama sepakat meninggalkannya. Ia dicap sebagai
sorang pendusta dan Rafid{ah.” Al-Z{ahabi menyatakan, “Ia pemuka dalam nasab, hanya saja
ia orang Shi’ah yang hadisnya ditinggalkan.” Ia wafat pada tahun 146 H.
Lihat: Ibn Taimiyah, Tafsi>r A>ya>t Ashkalat Ala Kas|i>r al-Ulama>’, (Riyadh: Maktabah
al-Rushd, 1996), h. 367.
133
Abu Zakariyya Yahya ibn Ziyad al-Farra’. Ia lahir di Kufah pada tahun 144 H. Salah
satu karyanya adalah “Ma’a>ni al-Qur’a>n” yang dinilai oleh para ulama sebagai kitab tafsir
pertama yang dikodifikasikan. Karya “Ma’a>ni> al-Qur’a>n” juga dinilai sebagai magnum opus
dan menjadi rujukan yang otoritatif untuk ilmu nahwu mazab Kufah. Di dalamnya terdapat
persoalan khilafiyah antara nahwu Kufah dan Basrah. Di samping itu, karya tersebut dinilai
para ulama sebagai kitab tentang kajian linguistik terhadap al-Qur’an, sehingga Abu Abbas
Sa’lab –sebagai mana dikutip Ibrahim Abdullah– pernah menyatakan: kitab yang tidak ada
padanannya, yang pernah dikerjakan atau ditulis, baik oleh orang sebelum maupun sesudah
al-Farra’, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu mengunggulinya.
134
Abu Nas}r Ismail Ibn Hammad al-Jauhari. Ia berasal dari Farab, salah satu kota di
Turki. Ia seorang ulama dibidang bahasa Arab dan nahwu. Salah satu karyanya adalah “ al-
S{ih}a<h}”. Al-Jauhari wafat pada tahun 393 H.
135
Imam Abu Hasan Ali Ibn Isma’il al-Ash’ari merupakan keturunan dari Abu Hasan
al-Ash’ari, salah seorang sahabat Nabi saw. yang berasal dari Yaman. Menurut mayoritas
ulama, ia dilahirkan pada tahun 260 H. di Bashrah, lalu tinggal di Baghdad. Ia menganut
mazhab Shafi’i dalam bidang fikih. Diantara gurunya dalam bidang fikih adalah Imam
Zakariyya Ibn Yahya al-Saji yang belajar fikih kepada al-Rabi dan al-Muzani, keduanya
belajar fikih kepada Imam al-Shafi’i; Abu al-Abbas al-Suraij yang belajar fikih kepada al-
Za’farani yang belajar fikih kepada Imam al-Shafi’i, Ibn Suraij juga belajar fikih kepada Abu

122
19. Ibn Abdul Barr (368 H. – 463 H.), disebutkan sekali.136
20. Ibn Kaysan (w. 299 H), disebut sekali.137
Tafsir Al-Qurtubi, terlepas dari kesetiaannya pada interpretasi bi la-
ma’s|u>r, penulis mendapati beberapa statistik yang menarik terkait sumber
penafsiran ayat mutasha>biha>t: pertama, pendapat ulama Ash’ari mendominasi
sumber penafsiran yang berjumlah tujuh (35%), yaitu: Abu Hasan al-Ash’ari
(w. 324 H.), Ibn Abdul Barr (463 H.), al-Baihaqi (458 H.), Ibnu At{iyyah (541
H.), Al-Qushairi (465 H.), Ibnu Faurak (406 H.), Abu al-Ma’ali (478 H.).
Sumber dari sahabat Nabi saw. berjumlah tiga (15%) yaitu Abu Ubaidah
(48 H.), Ibnu Abbas (68 H), Ummu Salamah (59 H). Sumber Tabi’in sebanyak
dua (10%), yaitu Mujahid (104 H.) dan Abu Aliyah al-Rayyahi (w. 90 H.).
Sumber Tabi’it Tabi’in sebanyak dua (10%), yaitu Malik Ibn Anas (w. 179 H.)
dan Sufyan Ibn Uyainah (198 H.). Sumber ulama yang hidup antara masa
setelah Tabi’it Tabi’in dan Abu Hasan al-Ash’ari (20%) adalah al-T{abari (224
H), Ibn Kaysan (w. 299 H), Imam al-Farra (207 H), Al-Qutba (276 H.). Sumber
Shi’ah satu (5%), yaitu Al-Kalabi (w. 146 H.).
Persentase sumber penafsiran al-Qurt{ubi ini menunjukkan kesetiaannya
pada mazhab Ash’ari yang persentasenya 35%, sedangkan sumber-sumber
lainnya tidak digolongkan ke dalam mazhab Ash’ari karena mereka hidup
sebelum Imam al-Ash’ari. Meskipun demikian, pendapat-pendapat dari

al-Qasim Ibn Bashar al-Anmat{i yang belajar fikih kepada al-Muzani dan al-Rabi’; dan kepada
Abu Ishaq al-Maruzi yang belajar fikih kepada Abu al-Abbas Ibn Suraij.
Dalam teologi, ia pernah menganut paham Mu’tazilah kemudian berpindah ke mazhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu mazhab para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
Kepadanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dinisbatkan, karena ia dianggap sebagai orang yang
memperjuangkan, menyebarkan, dan menyusun dalil-dalil mazhab Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Menurut Ibn Hazm, Abu Hasan al-Ash’ari mengarang 55 karya tulis. Abu Hasan al-
Ash’ari wafat pada tahun 324 H. di Baghdad.
136
Abu Umar Yusuf Ibn Abdullah Ibn Muhammad Ibn Abdul Bar al-Qurt{ubi al-Faqih
al-Maliki dilahirkan di Kordoba pada tahun 368 H. dan wafat tahun 463 H. 136 Seorang ahli
fikih Mazhab Maliki, Hafiz{ hadis, sejarawan, sastrawan dan sangat menguasai Qira’at. Ia
Menganut teologi Ash’ari yang berfaham Tafwi>d{, saat mengomentari surah al-Fajr ayat 22,
ia berkata: “Kedatangan Allah bukan gerakan, pergeseran dan juga buka perpindahan karena
itu semua merupakan perbuatan jism (materi) atau jauhar (substansi dari sebuah wujud yang
dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa bantuan wujud lain, seperti badan, pohon, batu, dan
lain sebagainya)”, sedangkan telah ditetapkan bahwa Allah bukan Jism dan bukan Jauhar
yang tidak mengharuskan kedatangan Allah berupa gerak dan pindah. Dengan demikian,
dalam masalah ini dan masalah yang serupa, ia mengimani dan membenarkan apa yang
disampaikan oleh Nabi saw. tanpa menentukan batasan dan hakikatnya sama sekali.
137
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Muhammad Ibn Ahmad (Kaysan) Ibn
Ibrahin al-Nahwi al-Baghdadi. Kitab-kitab sejarah tidak ada yang menyebutkan tahun
kelahiran Ibnu Kaysan, tetapi kemungkinan besar ia lahir di sepertiga awal abad ke-3 H. Para
ulama juga berbeda pendapat terkait tahun wafat Ibnu Kaysan, ada yang berpendapat ia wafat
pada tahun 310 H. dan ada yang berpendapat ia wafat pada tahun 299 H.
Lihat: Muhammad Mahmud Muhammad Bas}ri al-Junnah dalam, Ibnu Kaysan, Ma’a>ni
al-Qur’a>n wa I’ra>buh, (Kairo: Maktabah al-Ima>m al-Bukha>ri, 2013), h. 31.

123
sumber tersebut mirip dengan pendapat mazhab Ash’ari (Tafwi>d{ atau takwil)
sehingga al-Qurt{ubi mengutip pendapat mereka.
Ada satu sumber yang terindikasi Shi’ah dan pendusta yang digunakan
al-Qurt{ubi yaitu al-Kalabi. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah al-
Qurtubi teliti dalam mengkritik kredensial sumber-sumbernya yang lain
sebelum memasukkan mereka ke dalam magnum opusnya. Dalam karya
tafsirnya, al-Qurt{ubi tidak melakukan penilaian terhadap al-Kalabi, tetapi
penilaian al-Qurt{ubi terhadapnya terdapat di dalam kitab “al-As|na fi> Sharh{ al-
Asma>’ al-H{usna>”, ia menilainya sebagai perawi yang pendusta dan riwayatnya
ditinggalkan oleh ahli Hadis. Selain itu, pendapatnya pun tidak ia pilih, ia
hanya menyebutkan pendapatnya sebagai salah satu makna “wajh”.
Sumber-sumber di atas mengindikasikan bahwa al-Qurt{ubi menjadikan
pendapat para ulama setelah generasi ketiga (setelah Tabi’it Tabi’in), selain
sahabat, tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in, sebagai sumber penafsirannya. Hal ini
menunjukkan komitmennya untuk menjadikan pendapat para ulama salaf dan
ulama yang mengikutinya sebagai sumber penafsiram dengan menyebutkan
nama ulamanya, meskipun di beberapa tempat ia tidak menyebutkan nama
ulama yang ia nukil, seperti ia hanya menggunakan redaksi “qi>la”. Dalam hal
ini, penafsiran ayat mutasha>biha>t bisa digolongkan ke dalam aliran tafsir bi al-
ra’yi karena ia mendasarkan penjelasan makna al-Qur’an pada opini atau
pendapat siapa saja yang memiliki perangkat keilmuan yang diperlukan untuk
itu, tidak terbatas sampai sahabat atau tabi’in senior saja, tetapi dapat
dilakukan siapa saja.138
c. Validitas kebenaran penafsiran
Dalam tafsir al-Ja>mi’ Li Ah{ka>m al-Qur’an, setidaknya ada tiga prinsip
dasar (utama) yang bisa dijadikan landasan untuk mengukur validitas
penakwilan al-Qurt}ubi terhadap ayat mutasha>biha>t, diantaranya: pertama,
aspek linguistik. Sebagaimana penjelasan di atas, al-Qurt}ubi menjelaskan
berbagai makna ayat antromorfis (yadd dan wajh) yang berlaku di kalangan
bangsa Arab. Ini merupakan syarat pertama dalam melakukan takwil,
mengembalikan makna suatu ayat kepada makna yang berlaku di kalangan
bangsa Arab. Kedua, penetapan makna yang sesuai dengan kesucian Allah dari
keserupaan dengan makhluk. Setelah al-Qurt{ubi menjelaskan berbagai makna
tersebut, ia memilih makna yang sesuai dengan kesucian Allah dari keserupaan
dengan makhluk. Hal ini merupakan landasan utama dan tujuan utama dalam
melakukan takwil ayat antromorfis. Ini dilandaskan pada firman Allah Ta’ala:
ْ ُ ْ ْ
َ ٤ ََ‫ليسََك ِمث ِل َهَش ْي ٌَءَِۚۚوهوََالس ِم ْي ُعََالب ِص ْي ُر‬
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha
Mendengar, Maha Melihat,” (Q.S. Al-Syura [42]: 11).
Ketiga, Meklarifikasi penakwilan pada pendapat ulama salaf.
Menyandarkan suatu penafsiran kepada ulama salaf merupakan salah satu ciri

138
Munzir Haitami, Pengantar Studi al-Qur’an: Teori dan Pendekatan, (Yogyakarta,
LkiS, 2012), h. 39.

124
utama metode penafsiran al-Qurt{ubi, khusunya ulama dari kalangan mazhab
Ash-‘Ariyyah atau yang sepaham dengan mereka. Cara ini juga ia lakukan
dalam menafsirkan ayat mutasha>biha>t, ia menukil berbagai penakwilan ulama
terhadap ayat ini, lalu ia memilih penakwilan yang sesuai dengan makna
kebahasaan dan juga kesucian Allah Ta’ala.
Berdasarkan hal ini, struktur dasar epistemologi penafsiran ayat
mutasha>biha>t adalah:
Validitas
No. Sumber Penafsiran Metode Penafsiran
Penafsiran
1. Akal (ijtihad) Bi al-ra’yi, Tahlili, deduktif Kesesuaian
penafsiran dengan
Teori keilmuan yang Menggunakan analisis
2. makna kebahasaan,
ditekuni mufassir kebahasaan
kesucian Allah,
Pendapat ulama Cenderung mencocokkan dan juga mazhab
3.
mazhab Ash’ariyyah dengan mazhab Ash’ariyyah Ash’ariyyah

2. Epistemologi Penafsiran Ayat Hukum


a. Sumber Penafsiran
Dalam telaah epistemologi penafsiran al-Qura’an, sumber penafsiran
merupakan aspek penting dalam terbentuknya sebuah bangunan pemikiran.
Seorang penafsir sudah dapat dipastikan butuh pada bahan-bahan yang
digunakan dalam membangun tafsirannya mengenai al-Qur’an. Al-Qurt{ubi telah
menjelaskan dalam muqaddimah tafsirnya, sumber penafsiran yang ia gunakan
dalam kitabnya adalah, al-Qur’an sebagai dasar, sunnah sebagai penjelas, dan
instiba>t} ulama sebagai pengklarifikasi (tibya>n):
1) Al-Qur’an
Al-Qurt{ubi –sebagaimana mufassir lainnya– tidak meninggalkan al-
Qur’an sebagai rujukan tafsir. Penafsiran yang menggunakan ayat lainnya
sebagai rujukan dan penjelasan kandungan suatu ayat bisa dikategorikan
sebagai manhaj al-tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n. Metode tafsir ini dianggap
oleh sebagian besar pakar tafsir sebagai metode tafsir yang paling utama
dan terbaik untuk menfasirkan al-Qur’an; sebuah metode yang
diteladankan oleh Nabi saw, sahabat dan tabi’in.
Berdasarkan penelitian ayat hukum di bab empat, al-Qurt{ubi
melakukan interpretasi al-Qur’an dengan al-Qur’an ini berpedoman ulu>m
al-Qur’a>n, diantara kaidah ulu>m al-Qur’a>n yang ia gunakan dalam dalam
penafsirannya ini adalah:
a) Kaidah mut}laq dan muqayyad
Mutlaq adalah lafaz kha>s yang menunjukkan kepada
maknakeseluruhan dan tidak dibatasi dengan suatu sifat dari

125
beberapa sifat.139 Jika lafaz yang mut}laq ini di taqyi>d, maka lafaz
mut}laq tidak terpakai. Misalnya firman Allah dalam surah al-
Baqarah ayat 173 tentang keharaman “al-dam”, yang menurut al-
Qurt{ubi merupakan lafaz mut}laq yang di taqyi>d oleh ayat “au dam
masfuh}”, sehingga maksud “al-dam” dalam surah al-Baqarah ayat
173 adalah darah yang mengalir, bukan darah secara mutlak.
Implikasi istinba>t| hukum dari hal ini adalah darah yang tidak
mengalir seperti darah yang bercampur dengan daging tidak haram,
sehingga darah yang ada di dalam sebuah daging tidak perlu
dibersihkan sebelum dimasak.
b) Muna>saba>h ayat
Munāsabah al-Qur'an merupakan ilmu bantu penafsiran al-Qur'an
secara ma’tsu>r pada hirarki tertinggi, yaitu tafsîr al-Qur'a>n bi al-
Qur'a>n.140 Teknik kerjanya yang tegas diakui oleh Quraish Shihab,
“sangat mengandalkan pemikiran bahkan imajinasi.” Oleh karena
itu, berada dalam suatu kemungkinan yang terbuka luas bila ada
banyak ragam munāsabah yang dikemukakan oleh para mufassir.
Bahkan seorang mufassir dapat mengemukakan dua dan tiga
hubungan pada suatu ayat.141
Diantara munasabah yang ia gunakan adalah saat ia menafsirkan
surah al-Baqarah ayat 173. Poin muna>sabah ayat 173 dengan ayat
172 adalah, ayat 172 menghalalkan makanan yang baik secara
mutlak, tanpa kecuali, lalu ayat 173 mengharamkan beberapa jenis
makanan yang ayatnya dimulai denga kata “innama>” yang
bermakna “al-has}r”. Implikasinya adalah, makanan yang
diharamkan hanya terbatas pada makanan yang tercakup di ayat
173 ini, selain yang tidak dicakup olehnya, maka hukumnya halal.
2) Hadis Nabi saw.
Penggunaan hadis sebagai sumber penafsiran ayat al-Qur’an biasa
disebut sebagai aplikasi metode tafsir dengan riwayat (manhaj al-tafsīr bi
mas|ūr/bi al-sunnah). Al-Qurt{ubi menjelaskan fungsi hadis bagi al-Qur’an:
menjelaskan ayat al-Qur’an yang global (mujmal), menafsirkan ayat yang
masih problematik (mushkil), dan menetapkan ayat yang memiliki beragam
kemungkinan arti.142
Dalam kitabnya ini, al-Qurt{ubi banyak menggunakan hadis yang
menjadi dalil hukum dan turunnya ayat yang ia bahas, dengan disertai
menyebutkan perawi yang meriwayatkannya. Sebab, menurutnya,

139
Abdul Wahbah al-Zuhaili, Al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1999),
h.206.
140
Al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘`Arabi,
1995), h. 11.
141
M Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur'an, h. 245.
142
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 12.

126
berhujjah dan ber-istidla>l dengan hadis yang tidak menyebutkan perawi
yang meriwayatkannya tidak boleh diterima hingga hadis yang dinukil
disertai penyebutan perawi yang s|iqqah.
Ia pun mengkritik hadis yang terdapat di kitab-kitab fikih dan tafsir
tidak jelas, karena perawinya tidak diketahui, sehingga hadis tersebut tidak
dapat diketahui status s{ahih atau d{a’ifnya, kecuali jika diteliti ke kitab-
kitab hadis. Padahal, mengetahui status hadis merupakan ilmu yang
penting. Sebab, tafsir dengan hadis memiliki persoalan terkait kes{ahihan
hadis karena para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mentakhs{i>s{ al-
Qur’an dengan hadis yang d{‘i>f.
Pernyataan al-Qurt{ubi dalam muqaddimahnya ini mengisyaratkan
komitmennya untuk meriwayatkan hadis di dalam kitabnya ini disertai
dengan perawi hadisnya. Berdasarkan penelitian di bab empat, ada
beberapa cara yang dilakukan oleh al-Qurt{ubi dalam meriwayatkan hadis
di dalam kitabnya ini:
a) Periwayatan hadis secara lafz{i disertai perawinya dan juga
status kes{ahihannya, sebagaimana hadis yang men-takhs}i>s}
keharaman bangkai. Ia menjelaskan, ayat keumuman haramnya
bangakai di- takhs}i>s oleh hadis s{ah}i>h} oleh Imam Muslim dari
hadis Abdullah Ibn Abu Aufa yang berkata:
‫غزونا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم سبع غزوات كنا نأكل الجراد معه‬
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah saw. sebanya tujuh
kali peperangan, dulu kami memakan belalang bersama beliau.”
b) Periwayatan hadis secara lengkap disertai perawinya, tanpa ada
penjelasan status kes{ahihannya, sebagaimana hadis yang men-
takhs}i>s} keharaman bangkai yang diriwayatkan al-Daruqut}ni:
ِ ‫ فالْجراد والْحوت وأ َّما الدَّم‬:‫ان‬
:‫ان‬ ِ ‫ فأ َّما الْميـتـت‬.‫ان‬ ِ ‫ِحلَّت لنا ميـتـت‬
ِ ‫ان ودم‬
ُ ُ ُ ْ ْ ْ
‫ال والْكبِ ُد‬ ِ ‫ف‬
ُ ‫الطح‬
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam
darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan,
sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung.”
c) Menyebutkan perwai hadis, tetapi matan hadis tidak
diriwayatkan secara lengkap
Ini terlihat ketika al-Qurt{ubi meriwayatkan hadis tentang
makna “al-ka’bu” adalah mata kaki. Ia menukil hadis yang
diriwayatkan dari al-Nu’man:
ِ ِ ِ
‫الر ُجل‬
َّ ‫ت‬ُ ْ‫ص ُفوف ُك ْم أ ْو ليُخالف َّن اللَّهُ بـْين قُـلُوبِ ُك ْم قال فـرأي‬ ُ ‫واللَّه لتُق‬
ُ ‫يم َّن‬
‫احبِ ِه وك ْعبهُ بِك ْعبِ ِه‬
ِ ‫احبِ ِه ورْكبـته بِرْكب ِة ص‬
ُ ُ ُ
ِ ‫بص‬ ِ ‫يـ ْلز ُق مْن ِكبهُ بِمْن ِك‬
“Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan shaf
shaf kalian, atau Allah benar--benar akan membuat hati kalian
saling berselisih." Kata Nu'man; Maka saya melihat seseorang
melekatkan (merapatkan) pundaknya dengan pundak temannya

127
(orang di sampingnya), demikian pula antara lutut dan mata
kakinya dengan lutut dan mata kaki temannya.”
Hadis terpotong dibagian awalnya, yaitu tentang kondisi
Rasulullah saw. saat menyampaikan hadis ini dan juga perintah
beliau untuk meluruskan shaf. Hadis secara lengkapnya adalah:
ُ ‫ت النـ ُّْعمان بْن ب ِشي ٍر يـ ُق‬ ِ ِ ِ
‫ول‬ُ ‫ول أقْـبل ر ُس‬ ُ ‫ع ْن أبِي الْقاس ِم الْ ُجدل ِي قال سم ْع‬
‫ص ُفوف ُك ْم ثالثًا واللَِّه‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫اللَّ ِه صلَّى اللَّه علي ِه وسلَّم على الن‬
ُ ‫يموا‬ ُ ‫َّاس بو ْجهه فـقال أق‬ ْ ُ
ِ ِ ِ
ُ‫الر ُجل يـ ْلز ُق مْنكبه‬ َّ ‫ت‬ ُ ْ‫ص ُفوف ُك ْم أ ْو ليُخالف َّن اللَّهُ بـْين قُـلُوبِ ُك ْم قال فـرأي‬
ُ ‫يم َّن‬
ُ ‫لتُق‬
143
.)‫احبِ ِه وك ْعبهُ بِك ْعبِ ِه (رواه أبو داود‬ ِ ‫احبِ ِه ورْكبـته بِرْكب ِة ص‬
ُ ُ ُ
ِ ‫بص‬ ِ ‫بِمْن ِك‬
d) Periwayatan hadis tanpa disertai penyebutan perawinya dan
juga tanpa ada keterangan status ke-s}ah{ih-an hadis.
Ini sebagaimana hadis Nabi saw. yang menjadi dalil wajib
membasuh kedua kaki saat wudu. Rasulullah saw. bersabda:
‫ون ْاألقْد ِام ِم ْن النَّا ِر‬
ِ ُ‫اب وبط‬
ِ ِ
ُ ‫ويْ ٌل ل ْْل ْعق‬
“Celakalah tumit-tumit dan telapak kaki bagian dalam (yang
tidak terkena air wudlu) dari api neraka,” (HR. Al-Tirmiz|i).
Al-Qurt{ubi menyebutkan hadis ini tanpa menjelaskan perawi
yang meriwayatkannya, padahal telah di jelaskan di
muqaddimah tafsirnya bahwa ia menyebutkan sebuah hadis
beserta perawi yang meriwayatkannya agar dapat diketahui
status kualitas hadis tersebut. Bahkan ia sendiri
mengungkapkan bahwa hadis yang dinukil tanpa menyebutkan
perawinya tidak dapat dijadikan dalil.
Jika kita telusuri, hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmiz|i
dari Abu Hurairah.144
Hal ini menunjukkan ketidak konsistenan al-Qurt{ubi dalam
pernyataan di muqaddimahnya yang mengharuskan meriwayatkan hadis
dalam sebuah kitab disertai dengan perawinya.
Diantara metode penafsiran al-Qur’an dengan hadis yang ia gunakan
adalah men-takhs{i>s{ keumuman ayat al-Qur’an dengan hadis Nabi saw.
Salah satu tugas pokok seorang mufassir adalah memahami teks (nash),
baik memahami makna sebuah lafaz, wilayah, obyeknya, dan bagaimana
cara penunjukkan lafaz atas makna serta jenis dan derajat dila>lah-nya. Para
ahli ushu>l fikih membagi tema ini ke dalam dua bagian, yaitu penunjukkan
(dila>lah) teks atas sebuah makna dan penunjukkan (dila>lah) teks atas
hukum syara‘ secara langsung. Penunjukkan (dila>lah) teks atas sebuah
makna ini meliputi kajian ‘a>m dan kha>sh. Dalam kajian ini, berlaku
mentakhs}is{ lafaz yang ‘a>m dengan lafaz yang kha>s}.

143
Abu Dawud, Sunan Abi> Da>wud, jilid 2, (Beirut: Da>r Al-Risa>la Al-‘Ilmiyyah, 2009),
h. 5.
144
Al-Tirmiz|i, Sunan Al-Tirmiz|i>, jilid 1, hlm. 26.

128
Takhs}i>s} adalah Membatasi lafaz umum atas sebagian obyeknya.145
Berdasarkan definisi ini, dapat dipahami bahwa dalil ‘a>m itu tetap berlaku
bagi satuan-satuan yang masih ada sesudah dikeluarkan satuan tertentu
yang ditunjuk oleh mukha>s}is}, sebagaimana kaidah us}u>l:
‫العام بعد التخصيص حجة في الباقى‬
“lafaz ‘a>m setelah di takhs}i>s} yang menjadi hujjah adalah yang
tersisa.”
Salah satu macam takhs}i>s} yang diimplementasikan al-Qurt{ubi adalah
takhs}i>s} ayat al-Qur’an dengan hadis Nabi saw. Menurutnya, ayat al-Qur’an
yang bermakna umum boleh di-takhs}i>s} oleh hadis yang s{ah}i>h, tetapi tidak
boleh di-takhs}i>s} dengan hadis d}a’i>f. Diantara implementasi implementasi
takhs}i>s} al-Qur’an dengan hadis s}ah}i>h} adalah tentang keumuman term
larangan memakan “al-maitah” (bangkai) hewan di surah al-Baqarah
dengan hadis Nabis saw.:
ِ ‫ان فالْحوت والْجراد وأ َّما الدَّم‬
‫ان فالْكبِ ُد‬ ِ ‫ان فأ َّما الْميـتـت‬ ِ ‫أ ُِحلَّت لنا ميـتـت‬
ِ ‫ان ودم‬
ُ ُ ُ ْ ْ ْ
‫الطحال‬ِ ‫و‬
“Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua
bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan
limpa,” (HR. Al-Daruqut{ni).
Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Abu Aufa:
ٍ ‫ سبع غزو‬-‫ﷺ‬- ‫ول اللَّ ِه‬
‫ات نأْ ُك ُل الْجراد‬ ِ ‫غزونا مع رس‬
ْ ُ ْ
“Kami berperang bersama Rasulullah Saw dalam tujuh peperangan
dengan mengonsumsi belalang,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
3) Pendapat ulama salaf dan ulama yang mengikutinya.
Pendapat ulama salaf menjadi salah satu sumber penafsiran al-
Qurt{ubi. Pendapatnya ini mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu
seperti Abu Bakar Al-Anbari yang menyatakan, “Barang siapa yang
menafsirkan problematika al-Qur’an dengan pendapat yang tidak diketahui
berasal dari mazhab awal seperti sahabat dan tabi’in, maka ia akan
mendapatkan kemurkaan Allah,” meskipun penafsirannya benar, tetapi ia
tetap melakukan kesalahan karena penafsirannya tidak diketahui dasarnya
dan tidak berdasarkan mazhab Ahlu As|ar.146
Sumber ini banyak ia gunakan dalam penafsirannya, khususnya saat
menafsirkan ayat hukum. Ia banyak mengutip pendapat ulama-ulama dari
berbagai mazhab fikih saat menafsirkan ayat hukum beserta problematika
hukum fikih yang terkait dengan ayat hukum. Dalam hal ini, ia melakukan
studi mazhab fikih(muqara>n). Setidaknya ada dua cara yang ia lakukan

145
Al- Shaukani, Irsha>d al-Fuh}u>l, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), h. 142.
146
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 40-41.

129
dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama terkait penafsiran ayat hukum
beserta problematika hukum fikihnya:
a) Metode tarjih.
Ada beberapa cara yang ia lakukan dalam melakukan tarjih
terhadap perbedaan pendapat ulama:
1) Mentarjih dengan melihat kualitas dalil.
Metode tarjih semacam ini ia gunakan saat membahas
hukum memakan bangkai ikan. Dalam hal ini, ada dua
pendapat, Imam Malik berpendapat tidak boleh, begitu
juga Imam al-Hasan dan Jabir yang memakruhkannya.
Pendapat ini berdasarkan keumuman ayat “h}urrimat
‘alaikum al-maitah” dan juga hadis yang diriwayatkan oleh
Jabir Ibn Abdullah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
‫كلوا ما حسر عن البحر وما ألقاه وما وجدتموه ميتا أو طافيا فوق‬
.‫الماء فال تأكلوه‬
Terkait hadis ini, al-Qurt}ubi menyebutkan beberapa sanad
periwayatan hadis ini dan mentakhrijnya:
Pertama, periwayatan melalui jalur Jabir Ibnu Abdullah.
Al-Qurt{ubi menukil pendapat al-Daruqut}ni yang
menganggap salah seorang perawi dari jalur ini yang
bernama Abdul Aziz Ibn Abdulullah sebagai perawi yang
d}a’i>f yang tidak boleh dijadikan hujjah.
Kedua, jalur riwayat Sufyan al-S|auri dari Abu Zubair dari
Jabir. Al-Qurt}ubi juga mengutip pendapat al-Daruqut}ni
yang menghukumi hadis ini mauqu>f.
Ketiga, jalur riwayat Abu Ayub al-Sikhtiyani, Ubaidillah
Ibnu Amr dan yang lainnya yang meriwayatkan dari Abu
al-Zubar. Al-Qurt}ubi menghukumi sanad ini mauqu>f.
Keempat, jalur sanad Ibn Abu Z|i’b dari Abu al-Zubair dari
Jabir dari Nabi saw., al-Qurt}ubi menukil pendapat Abu
Dawud yang menghukumi hadis dengan sanad ini
hukumnya d}a’i>f.
Setelah menjelaskan kelemahan dalil yang digunakan oleh
pendapat pertama ini, al-Qurt}ubi lalu berpendapat bahwa
hadis yang paling s}ah}i<h} terkait masalah ini adalah hadis
yang mentakhis{i>s{ ayat keharaman bangkai yang bersifat
umum, yaitu hadis:
‫هو الطهور ماؤه الحل ميتته‬
“Itu (laut) suci airnya, halal bangkainya”.

130
2) Metode tarjih dengan menggunakan pendekatan
kebahasaan dan hadis.
Metode tarjih dengan aspek kebahasaan dan hadis
digunakan oleh al-Qurt{ubi saat ini mentarjih perbedaan
pendapat ulama tentang makna “al-ka’bain” di surah al-
Ma’idah ayat 6. Pendapat pertama mengatakan “al-
Ka’bain” adalah bagian atas telapak kaki. Pendapat kedua,
pendapat mayoritas ulama, mengatakan “al-Ka’bain”
adalah dua tulang yang menonjol di kedua sisi kaki.
Berdasarkan kedua pendapat ini, al-Qurt{ubi membenarkan
pendapat kedua, ia melakukan tarjih dengan menggunakan
pendekatan kebahasaan dan riwayat hadis:
Pertama, aspek kebahasaan (linguistik), ia menjelaskan
makna etimologi “al-ka’b” yang diambil dari kata “al-
‘uluw” (tinggi atau menonjol) sebagaimana ungkapan
“ka’abat al-mar’atu iz|a> falaka s|adyuha>”. Al-Qurt{ubi
menjelaskan makna etimologi ini untuk menunjukkan
bahwa pengertian “al-ka’bu” secara fikih –pendapat
mayoritas ulama–tidak dibuat secara asal-asalan, tapi
pondasinya adalah makna etimologi karena makna dalam
terminologi fikihnya adalah pengembangan dari makna
etimologi, yaitu dua tulang yang menonjol di kedua sisi
kaki. Kita tahu bahwa bagian kaki yang terlihat menonjol
yang sepadan dengan makna etimologi al-ka’bu adalah
bagian dua tulang yang ada di sisi kiri dan kanan kaki, yaitu
mata kaki. Berbeda halnya dengan pendapat pertama yang
mengatakan maksud al-ka’bu adalah bagian atas telapak
kaki karena jauh dari makna al-ka’bu secara etimologi.
Kedua, kedua pendekatan riwayat hadis. Al-Qurtubi
menukil sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Nu’man
Ibn Basyir, Rasulullah saw. bersabda:
ِ ِ ِ
‫الر ُجل‬
َّ ‫ت‬ُ ْ‫ص ُفوف ُك ْم أ ْو ليُخالف َّن اللَّهُ بـْين قُـلُوبِ ُك ْم قال فـرأي‬ ُ ‫واللَّه لتُق‬
ُ ‫يم َّن‬
‫احبِ ِه وك ْعبهُ بِك ْعبِ ِه‬
ِ ‫احبِ ِه ورْكبـته بِرْكب ِة ص‬
ُ ُ ُ
ِ ‫بص‬ ِ ‫يـ ْلز ُق مْن ِكبهُ بِمْن ِك‬
“Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan
shaf shaf kalian, atau Allah benar--benar akan membuat
hati kalian saling berselisih." Kata Nu'man; Maka saya
melihat seseorang melekatkan (merapatkan) pundaknya
dengan pundak temannya (orang di sampingnya), demikian
pula antara lutut dan mata kakinya dengan lutut dan mata
kaki temannya.”
b) Metode al-Jam’u baina al-aqwa>l
Metode ini al-Qurt{ubi gunakan saat beliau menjelaskan
makna “id{t{ira>r” di surah al-Baqarah ayat 173. Ia menukil tiga

131
pendapat ulama tentang maksud kata tersebut. Ketiga pendapat ini
saling melengkapi antara satu dengan yang lain dan juga tercakup
dalam makna “id{t{ira>r”, sehingga al-Qurt{bi menggunakan ketiga
pendapat tersebut sebagai makna “id{t{ira>r”, yaitu keterpaksaan itu
adakalanya karena dipaksa oleh orang yang zalim atau terpaksa
karena lapar.
4) Bahasa Arab
Al-Qurt{ubi menaruh perhatian besar terhadap bahasa Arab sebagai
sumber penafsiran ayat hukum. Sebab, di beberapa tempat, ia membangun
argumen penadapat hukum fikihnya melalu aspek kebahasaan. Ada beberapa
langkah yang ia gunakan dalam menggunakan bahasa sebagai sumber
penafsirannya:
a) Menjelaskan makna kata secara etimologi dan implikasi hukum
fikihnya
Al-Qurt{ubi menaruh perhatian besar terhadap cakupan suatu kata
yang memiliki konsekuensi terhadap penetapan suatu hukum,
seperti ia menjelaskan cakupan makna di surah al-Ma’idah ayat 6
diantaranya: kata “al-mash}u”, “al-ghaslu”, dan “ru’u>sakum”.
b) Kaidah kebahasaan
Penggunaan kaidah kebahasaan ini terliat saat al-Qurt{ubi
menafsirkan kata “ila>” (huruf jar) di ayat “wa aidiyakum ila> al-
mara>fiq”. Menurutnya “ila>” di ayat ini bermakna “gha>yah”.
Implikasi dari “ila>” bermakna “ghaya>h” adalah hukum yang
terkandung di lafaz setelah “ila>” mengikuti hukum yang
terkandung sebelum lafaz “ila>”, sebagaimana kaidah jika sedua-
duanya sejenis, sebagaimana kaidah:
‫إذا كان ما بعد إلى من جنس ما قبلها داخل في حكمه‬
“Apabila lafaz yang jatuh setelah ‘ila>’ termasuk jenis dari lafaz
sebelum ‘ila>’, maka hukumnya masuk ke dalam lafaz
sebelum’ila>’.”147
Terkait hal ini, para ulama berbeda pendapat apakah hukum yang
berlaku pada lafaz sebelum “ila>” juga berlaku pada lafaz setelah
“ila>”: pertama, tidak masuk secara mutlak, karen ila> bermakna “al-
niha>yah”, yaitu sampai awal batas;148 kedua, masuk secara mutlak.
Imam Al-Subki berkata, “Jika tidak ada qari>nah yang menunjukkan
masuknya lafaz setelah ‘ila>’ dan juga tidak ada qari>nah yang
menunjukkan tidak masuknya lafaz setelah ‘ila>’, maka masuk
secara mutlak.”; ketiga, jika ada qari>nah yang menunjukkan
masuknya lafaz setelah ‘ila>’ ke dalam lafaz sebelum ‘ila>’ atau ada
qari>nah yang menunjukkan tidak masuknya lafaz setelah ‘ila>’ ke

147
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 328.
148
Ibnu Siraj, Al-Us{u>l Fi Al-Nah{wi, jilid 1, (Beirut: Mu’assasah Al-Risa>lah, 1996), h.
411.

132
dalam lafaz sebelum ‘ila>’, maka hukum yang berlaku sesuai
qari>nah-nya.149 al-Rad{i berkata, “Umumnya batasan awal dan akhir
tidak masuk ke dalam sesuatu yang dibatasi.” Contohnya,
“ishtaraitu min ha>z|a> al-maud{i’ ila z|alika al-maud{i’,” zahirnya
kedua tempat yang disebutkan tidak termasuk yang dibeli. Namun,
jika ada qari>nah yang menunjukkan kedua tempat tersebut
termasuk yang dibeli, maka berlakulah qari>nah tersebut. Keempat,
Jika lafaz setelah ila> sejenis dengan lafaz sebelum ‘ila>’, maka
hukum lafaz setelah ‘ila>’ masuk ke dalam hukum sebelum ‘ila’. Jika
tidak sejenis, maka tidak masuk.150 Manurut al-Muradi, pendapat
ini berlaku jika tidak ada qari>nah.151 Inilah pendapat yang dianut
al-Qurt{ubi dalam menafsirkan kata “ila>” di ayat di atas, implikasi
hukum fikihnya adalah, siku wajib dibasuh dalam berwudu.

b. Motode Penafsiran
Metode kitab Tafsir al-Ja>mi’ li Ah{ka>m al-Qur’a>n menggunakan –
meminjam istilah Islah Gusmian– metode deduktif-analitis yang bersifat
atomistik (tahli>li>), yakni menafsirkan ayat al-Qur’an secara parsial, kata per-
kata dan ayat per ayat, sesuai dengan urutan mushaf. Metode tah}li>li> memang
merupakan metode konvensional yang banyak dipakai oleh para mufassir klasik.
Selain metode tahli>li>, ia juga menggunkan metode muqa>ran, yaitu ia
membandingkan berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan sebuah ayat.
Kedua metode yang ia gunakan sebenarnya secara tersirat telah ia jelaskan
dalam muqaddimah Tafsir aj-Ja<mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n ini, ia mengungkapkan
bahwa tafsirnya ini berisi tafsir, bahasa (lughah), morpologi (i’rab), qira’ah,
bantahan terhadap golongan yang menyimpang dan sesat, hadis dalil hukum dan
turunnya ayat, dan pendapat ulama salaf untuk menjelaskan problematika
hukum dan turunnya ayat. Al-Qurt}ubi menghindari terlalu banyak menukil
kisah-kisah mufassir dan berita dari ahli sejarah, kecuali memang dibutuhkan
sebagai penjelasan, agar bisa lebih fokus menjelaskan ayat-ayat hukum.
c. Validitas Kebenaran Penafsiran
Jika mengacu pada teori kebenaran koherensi152, penulis melihat ada
beberapa kasus penafsiran al-Qurt{ubi yang tidak konsisten karena ada beberapa
penafsirannya tidak sesuai dengan metode penafsiran yang ia tempuh
sebagaimana yang ia jelaskan di dalam muqaddimah tafsirnya. Dintaranya, ia
149
Al-Subki, Al-Ashba>h wa Al-Naz{a>’ir, jilid 2, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyyah,
1991), h. 204.
150
Al-Subki, Al-Ashba>h wa Al-Naz{a>’ir, jilid 2, h. 411.
151
Al-Muradi, Al-Ja>n Al-Da>ni, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 385.
152
Teori ini menyatakan bahwa standar kebenaran itu tidak dibentuk oleh hubungan
antara pendapat dengan sesuatu yang lain (fakta atau realitas), tetapi dibentuk oleh hubungan
internal (internal relation) antara pendapat-pendapat atau keyakinan-keyakinan itu sendiri.
Dengan kata lain, sebuah penafsiran itu dianggap benar jika ada konsistensi logis-filosofis
dengan proposisi-proposisi yang dibangun sebelumnya. Lihat: Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 291.

133
menyampaikan bahwa pengutipan hadis disertai dengan perawinya yang
meriwayatkannya. Jika perawi hadis tidak disebutkan, maka hadis tersebut tidak
dapat dijadikan hujjah.153 Dalam hal ini, penulis melihat al-Qurt{ubi tidak
konsisten menerapkannya karena penulis mendapati ada beberapa hadis yang
tidak ia sebutkan perawinya, ia hanya menyebutkan matan-nya, seperti hadis
yang al-Qurt{ubi jadikan dalil bulu anjing tidak haram. Bisa dimanfaatkan oleh
tukang jahit, sebagaimana telah diriwayatkan dari seorang laki-laki yang
bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penjahit dengan menggunakan bulu
babi, Rasulullah bersabda: “tidak apa-apa dengan yang demikian”.154 Hal ini
juga yang menjadi perhatian al-Zahabi, ia menganggap ketiadaan sanad hadis
dalam kitab tafsir menjadi salah satu faktor kelemahan sumber penafsiran bi al-
ma’s|u>r. Sebab, tidak diketahui kualitas hadis tersebut.155
Penulis juga mendapati al-Qurt{ubi menggunakan hadis d}a’i>f, diantaranya
hadis yang ia jadikan sebagai dalil bulu bangkai hukumnya suci. Rasulullah saw.
bersabda:
‫صوفِها وش ْع ِرها وقُـُرونِها إِذا غُ ِسل بِالْم ِاء‬ ِ ِ ِ ِ ِِ
ُ ‫ وال بأْس ب‬،‫ال بأْس بم ْسك الْمْيـتة إِذا ُدبغ‬
“Tidak apa-apa (memanfaatkan) kulit binatang yang telah mati bila telah
disamak. Dan tidak apa-apa juga (memanfaatkan) bulu, rambut dan
tanduknya bila telah dicuci dengan air.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Daruqut{ni, ia menyampaikan dalam sanad
hadis ini ada perawi yang bernama Yusuf Ibn al-Safar yang merupakan seorang
yang matru>k (hadisnya ditinggalkan) dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini
selain dia.156 Wahbah al-Zuhaili menghukumi hadis ini d}a’i>f.157
Berdasarkan hal ini, struktur dasar epistemologi penafsiran ayat hukum
adalah:
Validitas
No. Sumber Penafsiran Metode Penafsiran
Penafsiran
Bi al-ra’yi, Tah}li>li>, deduktif,
1. Al-Qur’an
muqa>ran
Menggunakan analisis Kesesuaian
2. Hadis penafsiran
kebahasaan
dengan
Pendapat ulama- Cenderung mencocokkan dengan mazhab fikih
3.
ulama mazhab Fikih teori mazhab fikih al-Qurt{ubi al-Qurt{ubi
Teori keilmuan yang Mencocokkan dengan teori-teori
4.
ditekuni mufassir keilmuan

153
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1, h. 12-13.
154
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2, h. 230.
155
Al-Zahabi, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, jilid 4, h. 42.
156
Daruqut{ni, Sunan al-Da>rqut{ni, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2011), h. 125.
157
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>i wa Adillatuhu, jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr,
1985), h. 139.

134
C. Epistemologi Tafsir Abad Pertengahan
Al-Qurt{ubi merupakan ulama yang berasal dari Cordoba, Andalusia, yang
hidup pada tahun 604 - 671 H., sehingga karya tafsirnya tergolong tafsir Abad
pertengahan atau –dengan meminjam istilah Abdul Mustaqim– Afirmatif yang
berbasis pada nalar ideologis. Menurut Abdul Mustaqim, pada abad ini tradisi
penafsiran al-Qur’an lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik,
maz|hab, atau ideologi keilmuan tertentu, sehingga al-Qur’an sering kali diperlakukan
sekadar sebagai legitimasi bagi kepentingankepentingan tersebut. Para mufassir pada
era ini pada umumnya sudah diselimuti “jaket ideologi” tertentu sebelum mereka
menafsirkan al-Qur’an.158
Banyak kitab tafsir yang muncul pada masa ini, antara lain: Tafsir Ja>mi’ al-
Baya>n an Ta’wi>l A>y Al-Qur’a>n karya Ibn Jarir al-T}abari (w. 923 M.); Al-Kashsha>f
‘an Haqa>’iq Al-Qur’an karya Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhshari (w.
1144 M.); Mafa>tih} al-Ghayb karya Fakhruddîn ar-Razi (w. 1209 M.), dan Tafsir
Jala>lain karya Jalaluddin al-Mahalli (w.1459 M.) dan Jalaluddin as-Suyut}i (w.1505
M.).
Bersamaan dengan itu, muncul juga tafsir-tafsir yang bercorak Syi’i, seperti
Tafsir al-Qur’an karya ‘Ali Ibrahim al-Qummi (w. 939 M.), At-Tibya>n fi Tafsi>r Al-
Qur’a>n karya Muhammad ibn al-Hasan ath-T}usi (w.1067 M.), Majma>‘ al-Baya>n lî
‘Ulu>m Al-Qur’a>n karya Abu Ali Fadl al-T{abarsi (w. 1153 M.), dan As}-S}a>fi fi> Tafsi>r
Al-Qur’a>n karya Muhammad Murtad}a al-Ka>shi (w. 1505 M).
Muncul juga tafsir yang bercolak sufi-falsafi, seperti tafsir Ibn Arabi (abad
kelima hijriah), tafsir ‘Ara>’is al-Baya>n fi> Haqa>’iq Al-Qur’a>n karya Ibn Abu al-Nas}r
al-Buqla> al-Shairazi (w. 606 H.) dan Al-Takwila>t an-Najmiyyah karya Najmuddîn
Dayah (w. 654 H). Sayangnya, Najmudin Dayah meninggal sebelum menyelesaikan
kitab tafsirnya. Kitab tafsir tersebut kemudian disempurnakan oleh ‘Ala’ al-Dawlah
al-Samnani (w. 732 H.).159
Selanjutnya, tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’an karya al-Qurt}ubi ikut
mewarnai penafsiran pada abad pertengahan ini. Tafsi ini bercorak tafsir fiqh karena
ia lebih memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat hukum, tanpa menafikan ayat-ayat
dengan tema lain, karena ia juga menafsirkan dan membahas tema lain dengan cukup
porposional, seperti ayat mutasha>biha>t.
Berdasarkan epistemologi Islam yang diramu oleh al-Jabiri, maka ada
perbedaan epistemologi yang al-Qurt{ubi gunakan dalam menafsirkan ayat hukum
dan ayat mutasha>biha>t. Al-Qurt{ubi dalam menafsirkan ayat mutasha>biha>t lebih
menggunakan epistemologi burhani karena ia lebih menggunakan takwil kebahasaan,
dan mengesampingkan dalil naql al-Qur’an dan hadis. Sebab, ia juga melakukan
takwil terhadap hadis mutasha>biha>t. Sementara itu, ayat-ayat hukum, al-Qurt{ubi
menggunakan epistemologi bayani karena ia menggunakan sumber dan metode
dalam epistemologi,
Berdasarkan paradigma epistemologi yang diramu oleh Abdul Mustaqim,
penulis menyimpulkan bahwa ada perbedaan paradigma epistemologi penafsiran ayat

158
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 45-46.
159
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47-48.

135
mutasha>biha>t dan ayat hukum. Paradigma epistemologi penafsiran ayat
mutasha>biha>t berbasis pada nalar ideologis-truth claim, yang memang menjadi ciri
khas tafsir era afirmatif pada abad pertengahan. Hal ini memicu munculnya
penafsiran al-Qurt{ubi yang lebih cenderung pada ideologi Ash’ari yang ia anut. Oleh
karena itu, ia hanya mengakomodir metode mazhab Ash’ari, takwil dan tafwid},
dalam memahami ayat mutasha>biha>t, tanpa mengakomodir paham tajsim di dalam
tafsirnya.
Paradigma penafsiran yang berbasis pada nalar ideologis tersebut berimplikasi
pada epistemologi penafsiran al-Qur’an yang digunakan. Berdasarkan analisis di bab
empat dan lima, epistemologi penafsiran ayat mutasha>biha>t yang digunakan al-
Qurt{ubi adalah: sumber penafsiran ayat mutasha>biha>t adalah bahasa Arab dan
pendapat ulama. Al-Qurt{ubi sangat dominan menukil pendapat ulama-ulama maz|hab
Ash’ari atau sahabat Nabi saw. dan ulama selaf yang hidup sebelum Imam Abu Musa
Ash’ari yang pandangannya sama dengan maz|hab Ash’ari. dari sumber penafsiran ini
terlihat jelas keberpihakan al-Qurt{ubi terhadap maz|hab Ash’ariyah. Kemudian,
validitas kebenaran aspek kebahasaan dan pendapat ulama-ulama maz|hab Ash’ariyah
ini sebagai sumber penafsiran ini diuji dengan aspek konsep “tanzi>hulla>h ‘an al-
makhlu>k” (penyucian Allah dari keserupaan dengan makhluk). jika ada pendapat
ulama Ash’ari atau makna kebahasaan suatu ayat mutasha>biha>t masih
mengindikasikan keserupaan Allah dengan makhluk, maka ia tolak, lalu ia beralih ke
makna kebahasaan dan pendapat ulama lain dari ulama Ash’ariyah yang lain yang
benar-benar menyucikan Allah dari makhluk.
Paradigma epistemologi penafsiran ayat hukum berbasis pada nalar ideologis-
kritis. Artinya, penafsiran al-Qurt{ubi pada ayat hukum sangat dipengaruhi oleh
maz|hab Maliki, tetapi masih mengakomodir pandangan-pandangan dari maz|hab lain,
kemudian ia mengkritisi setiap pendapat, sehingga terkadang ia menolak pendapat
dalam maz|ab Maliki, dan lebih memilih pendapat di luar maz|hab Maliki, meskipun
persentasenya sangat sedikit dibandingkan pembelaannya terhadap maz|hab Maliki.
Dari paradigma tersebut, tampak jelas bahwa penafsiran al-Qur’an sangat
dipengaruhi oleh latar belakang ideologi seorang penafsir. Karena latar belakang
ideologi inilah seorang penafsir al-Quran sangat sulit untuk bersikap objektif dalam
penafsirannya, khususnya dalam masalah akidah yang tidak kompromistis terhadap
keyakinan yang tidak dianut oleh seorang penafsir. Berbeda halnya dengan
penafsiran ayat hukum, yang masih akomodatif dan kompromistis terhadap
penafsiran dari maz|hab lain.

136
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah penulisan melakukan deskripsi dan analisis terhadap epistemologi
penafsiran al-Qurt{ubi terhadap ayat mutasha>biha>t dan ayat hukum, penulis dapat
menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Epistemologi yang digunakan oleh al-Qurt{ubi dalam menafsirkan al-Qur’an
ada perbedaan antara epistemologi penafsiran ayat hukum dan ayat
mutasha>biha>t. Penafsiran ayat hukum menggunakan epistemologi baya>ni
karena ia menggunakan metode penafsiran yang berbasis baya>ni yaitu
riwayat, baik riwayat yang berasal nabi saw., sahabat, tabiin, maupun ulama
salaf, khususnya ulama maz}hab Maliki; linguistik yang ia gunakan untuk
menjelaskan makna suatu kata; qira’at yang ia gunakan untuk menjelaskan
perbedaan qira’at oleh para imam qara’at, bahkan qira’at ia gunakan untuk
menjelaskan perbedaan hukum yang diakibatkan oleh perbedaan qira’at.
Al-Qurt}ubi menafsirkan ayat mutasha>biha>t menggunakan epistemologi
burha>ni karena ia melakukan takwil dengan merujuk kepada makna
kebahasaan dan juga pendapat ulama terdahulu yang juga melakukan takwil,
sedangkan hadis, ia kesampingkan karena ia juga melakukan takwil hadis
mutasha>biha>t.
2. Epistemologi penafsiran abad pertengahan yang merupakan era afirmatif
yang berbasis nalar ideologis kurang terlihat dalam kitab al-Ja>mi’ li Ah}kam
al-Qur’an karya al-Qurt}ubi. Sebab, penafsiran al-Qurt{ubi terhadap ayat
hukum di dalam kitabnya ini akomodatif terhadap pendapat-pendapat dalam
mazhab fikih, khususnya empat mazhab fikih, sedangkan penafsiran al-
Qurt{ubi terhadap ayat mutashabihat tidak seakomodatif al-Qurt{ubi dalam
menafsirkan ayat hukum. Sebab, ia hanya mengakomodir pendapat-pendapat
yang melakukan takwil dalam memahami ayat mutashabihat yang
merupakan cara yang dibenarkan oleh kalangan Ash’ariyyah.

B. Rekomendasi
Penulis menyadari penelitian ini masih banyak kekurangan dan menyisakan
banyak ruang bagi peneliti berikutnya, terutama bagi peneliti yang tertarik dengan
kajian epistemologi penafsiran al-Qur’an. Dalam penelitian ini, penulis belum
banyak mendiskusikan epistemologi dalam kaitannya dengan tema-tema ayat yang
lain. Jika semua tema ayat al-Qur’an dalam Tafsi>r al-Ja>mi’ Li ah}ka>m al-Qur’a>
diteliti, maka akan terlihat konsistensi atau tidaknya al-Qurt}ubi dalam kajian tefsir
dari sudut epistemologi penafsiran al-Qur’an.
Selain itu, penulis juga belum banyak menyentuh teknik al-Qurt}ubi dalam
mengolah sumber penafsirannya. Padahal, hal ini sangat penting karena para penafsir
al-Qur’an menggunakan sumber yang sama, tetapi hasil penafsirannya berbeda
karena salah satu faktornya adalah perbedaan teknik pengolahan sumber penafsiran
tersebut.

137
DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud. Sunan Abi> Da>wud. Beirut. Da>r Al-Risa>la Al-Ilmiyyah. 2009.
Abu Zahrah, Muhammad. Ta>ri>kh al-Maz}a>hib al-Isla>miyyah fi> as-Siya>sah wa al-
‘Aqa>’id, wa Ta>ri>kh\ al-Maz|a>hib al-Fiqhiyyah. Kairo. Dar al-Fikr al- ‘Arabī. tt.
Ahmad ‘At}a, Abd al-Qadir. Muqaddimah al-T{ab’ah al-U>la>, dalam ‘Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts. Beirut. Mu’assasah al-
Kutub al-S|aqa>fi’ah. 1988.
Albani. Silsilah al-Ah{a>di>s| al-D{a’i>fah. Riyad{. Maktabah al-Ma’a>rif. 2002.
Albani, al-Silsilah al-S{ah{i>h{ah. Riyad{. Maktabah al-Ma’arif. 1992.
Al-Banani. Hashiyah 'ala Syarhi Matni Jam’ al-Jawa>mi'. Beirut. Da>r al-Fikr. t.t.
Al-Dawudi. T>>}abaqa>t al-Mufassiri>n. Beitut. Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah. 1983.
Al-Badi’, Lutfi `Abd. Al-Isla>m fi Asba>nia. Kairo. Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah.
1969.
Al-Ḥarari, Abdullah. Ash-Sharh{ al-Qawi>m fi H{alli Alfa>z{ as{-S{ira>t| al-Mustaqi>m.
Beirut. Dar al-Mutashayi‘ li at-T{iba>‘ah. 2004.
Al-Hiji, Abdurrahman Ali. Al-Ta>ri>kh Al-Andalusiy Min Al-Fath} Al-Islamiy H}atta
Suqu>t} Gharna>t}ah. Beirut. Da>r Al-Qalam. 1981.
Al-Aṣfahani. Mana>hij al-Tafsi>r wa al-Ittija>tuhu>: Dira>sah Muqa>ranah fī Mana>hij
Tafsi>r al-Qur’a>n. Beirut. Markaz al-Ḥaḍārah li Tanmiyah al-Fikr al-Islāmī.
2011.
Al-Asfahani, Al-Raghib. Mufrada>t Alfa>z{ Al-Qur’a>n. Maktabah Naza>r Must{afa al-
Ba>z. t.t
Al Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Jakarta. Ciputat Press. 2002.
Al-Marakishi. Al-Z|ail Wa al-Takmilah Li Kita>baiy al-Maus}u>l Wa al-S}ilah. Tunis.
Da>r al-Garb al-Isla>mi. 2012.
Al-Qurṭubi. Al-Jâmi’ Li Aḥkâm Al-Qur`ân. Kairo. Maktabah Al-Safa. 2005.
Al-Qurt}ubi. Kita>b al-Taz|kirah Bi Ah}wa>l al-Mauta> Wa Umu>r al-A>khi>rah. Riyad}.
Maktabah Da>r al-Minha>j. 1425 H.
Al-Qaṭṭan, Manna’ Khalil. Mabâḥiṡ fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut. Mansyurat al-‘Aṣr
al-Hadis. 1973.
Al-S}afadi. al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t. Beirut. Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s| al-‘Arabiy. 2000.
Al-Subki, Tajuddin, Jam’ al-Jawa>mi’ fi> Us{u>l al-Fiqh. Bairut. Da>r al-Kutub al-Ilmiah.
2003.
Al-Suyuṭi, Jalaluddin. al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Kairo. Dar al-Manar. 1999.
Al-Ṭabari. Târîkh al-Rasûl wa Mulûk. Kairo. Dar al-Ma’arif. 1979.
Al-Tilmisani. Nafkh Al-T}i>b Min Ghs}ni Al-Andalus Al-Rat}i>b. Beirut. Da>r S}a>dir.
1968.
Al-Zakarshi, Abdullah. Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân. MesiR. Dar al-Turaṡ. 1984.
Al-Żahabi, Muhammad Husein. Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Kairo. Maktabah
Wahbah. 2004.
Al-Z|ahabi. Ta>ri>kh al-Isla>m wa wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A’la>m. Beirut. Da>r al-
Kita>b al’Arabiy. 1999.
Al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>i wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr. 1985.

139
Amal, Taufik Adnan. Neomodernisme Islam Fazlur Rahman. Bandung. Mizan. 1993.
Anbatawi, Adnan Fa’iq. Hikaya>tuna> fi> al-Andalus. Beirut. al-Mu’assasah al-
‘Arabiyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nas}r. 1989.
Al-Mashini, Must}afa Ibrahim. Madrasah Al-Tafsi>r Fi> Al-Anda>lus. Beirut.
Mu’assasah Al-Risa>lah. 1986.
Al- Shaukani. Irsha>d al-Fuh}u>l. Beirut. Da>r al-Fikr. t.t.
Al-Zarqani. Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n. Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi.
1995.
al-Zuhaili, Abdul Wahbah. Al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh. Damaskus. Da>r al-Fikr. 1999.
Basha al-Baghdadi, Isma’il. Hadiyyah al-‘A>rifi>n Asma>’ al-Mu’allifi>n wa As|a>r al-
Mus}annifi>n. Mu’assasah al-Ta>ri>kh al-‘Arabi. 2017.
Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1986.
Bal’am, Miftah al-Sanusi. Al-Qurt}ubi: H}aya>tuhu wa A>s|>ruhu al-‘Ilmiyyah wan
Manhajuhu fi> al-Tafsi>r. Banghazi. Ja>mi’ah Qanyu>nis. 1998.
Daruqut{ni, Sunan al-Da>rqut{ni. Beirut. Dar al-Ma’rifah. 2011.
D. Al-Ilm. Atlas Sejarah Islam: Sejak Masa Permulaan hingga Kejayaan Islam.
Jakarta. Kaysa Media. 2013.
El Fadl, Khaled Abou. Atas Nama Tuhan. Jakarta. Serambi. 2003.
Fayed, Abdul Wahhab. al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Kairo. Matba’ah al-
Hadharah al-Arabiyah. 1978.
Fayed, Abdul Wahhab. Manhaj Ibni 'Athiyyah fī Tafsīr al-Qur'ān al-Karīm. Al-
Qāhirah. al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu'ūn al-Mathābi' al-Amīriyyah. 1973.
Fisher, Rob. Pendekatan Filosofis, dalam Aneka Pendekatan Studi Agama. Lkis.
Yogyakata. 2006.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi.
Jakarta. Teraju. 2003.
Haitami, Munzir. Pengantar Studi al-Qur’an: Teori dan Pendekatan. Yogyakarta.
LkiS. 2012.
Hosen, Nadirsyah. Tafsir Al-Qur`an di Medsos. Yogyakarta. Bunyan. 2017.
Hamidi, M Arwan. Dinamisasi Penafsiran al-Quran: Percikan Pemikiran Legal
Khaled Abu el-Fadl. Ponorogo. Lakpesdam NU. 2010.
Hitti, Philip K. History of the Arab. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta. 2008.
Ibn At}iyyah. Al-Muh}arrar Al-Waji>z fi Tafsi>r Al-Kita>b Al-‘Aji>z,. Beirut. Da>r Al-
Kutub Al-‘Ilmiyyah. 2001.
Ibn Khaldun. Muqaddumah Ibn Khaldu>n. Kairo. Al-Mat}ba’ah Al-Azhariyyah. 1331
H.
Ibn Sharifah, Muhammad. Al-Ima>m al-Qurt}u>biy: Si>ratuhu Min Tafsi>rihi. Maroko.
Markaz Dira>sa>t Wa al-Abh}a>s| Wa Ih}ya>’i al-Tura>s|. 2010.
Ibrahim Haqqi, Muhammad S}afa’ Shaikh. ‘Ulu>m Al-Qur’a>n Min Khila>li
Muqaddima>t Al-Tafa>si>r. Beirut. Mu’assasah Al-Risa>lah. 2004.
Ibn Farhun. Al-Di>ba>j al-Mużhab fi> Ma’rifah A’ya>n ‘Ulama>’ al-Mażhab. Kairo. Da>r
al-Tura>s|. 1997.
Ibn Balban al-Farisi, Ala’uddin Ali. Al-Ih{sa>n fi Taqri>b S{ah{i>h{ Ibn Hibban. Beirut.
Mu’assasah al-Risa>lah. 1988.

140
Ibnu Kaysan. Ma’a>ni al-Qur’a>n wa I’ra>buh. Kairo. Maktabah al-Ima>m al-Bukha>ri.
2013.
Ibn Kas|ir. Al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah. Saudi. Da>r Al-Hijr. 1997.
Ibnu Kas|ir. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, Beirut. Muassasah Qurtubah. 2000.
Ibn Taimiyah. Tafsi>r A>ya>t Ashkalat Ala Kas|i>r al-Ulama>’. Riyadh. Maktabah al-
Rushd. 1996.
Ismail, Sya’ban Muhammad. Al-Qirâ`ât Aḥkâmuhâ wa Maṣdaruhâ. Kairo. Dar al-
Salam. 2010.
Isa, Muhammad Abd al-Hamid. Ta>ri>kh al-Ta’li>m Fi Al-Andalu>s. Beirut. Da>r al-Fikr
al-Arabi. 1982.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm ‘Us{u<l al-Fiqh. Kuwait. Da>r al-Qalam. 1978.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
2008.
Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian al-Quran dan Tafsir. Yogyakarta. Idea Press.
2015.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta. Lkis. 2012.
Muhammad, Nabil. Ilmu Al-Qirâ’ât: Nash’atuhu, Aṭwâruhu, Aṡaruhu fî al-‘Ulûm al-
Shar’iyah. Darah al-Malik Abdul Aziz. tt.
Omar, Salmah. Andalus; Semarak Tamadun Eropah. Shah Alam. Karisma
Publication. 2009.
Rusli, Ris'an. Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya.
Jakarta. Kencana. 2015.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran, Fungsi dan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung. Mizan. 1993.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Al-Quran. Tangerang. Lentera Hati. 2013.
Shihab, M. Quraish. Logika Agama. Jakarta. Lentera Hati. 2017.
Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an; Towards a Contemporary Approach. New
York. Routledge. 2006.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Metode Penelitian Ilmiah. Bandung. Tarsito. 1982.
Suyanto, Bagon dan Sutimin. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta. Kencana. 2010.
Toynbee, Arnold. Mankind and Mother Earth: A Narative History of the World. New
York and London. Oxford University Press. 1976.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. Rajawali Press. 2000.
Zaghrut, Fathi. Bencana-Bencana Besar Dalam Sejarah Islam. Jakarta. Pustaka Al-
Kautsar. t.t

Jurnal
Gusmian, Islah. Epistemologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer. Jurnal Al-A’raf. Vol.
XII. No. 2. Juli – Desember 2015
Julkarnain, Muhammad. “Fregmentasi Tafsir Surah Al-‘Alaq Berbasis Kronologi.
Jurnal Religia. Vol. 18. No. 4. Bulan Oktober. 2015.
Ulinnuha, Muhammad. Konsep Al-Ashîl Dan Al-Dakhîl Dalam Tafsir Alquran.
dalam Jurnal Madania Vol. 21. No. 2. Desember 2017.

141
Mashhur, Hasan Mahmud Salman. al-Ima>m al-Qut}u>bi Shaikh A’immah al-Tafsi>r.
Damaskus. Da>r al-Qalam. 1993.
Masruri, M. Hadi. Membaca Geliat Pendidikan dan Keilmuan di Spanyol Islam
(Tahun: 756-1494 M.), dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol. 4 No. 1.
Juli-Desember. 2017.
Muhtador, Moh. Pergulatan Otoritas Dan Otoritarianisme Dalam Penafsiran:
Pembacaan Hermenuetis Khaled Abou El Fadl. dalam Jurnal QOF. Vol. 2. No.
1. Januari 2018.
Muhsin, Ali. Sumber Autentik Dan Non-Autentik Dalam Tafsir Al-Qur’an. dalam
Jurnal Religi. No. 1. April 2014.
Muhamad Alihanafiah Norasid dan Mustaffa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir di
Andalus Pada Era Kerajaan Muwahhidun (540 H/1142 M – 667 H/1268 M):
Satu Tinjauan Awal, dalam Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 7(1), 2012
Mardhiyah, Ainaul. Melacak Penafsiran Kontemporer di Belahan Barat Dunia Islam,
dalam jurnal Hermeunetik. Vol. 8. No. 2. Desember. 2014.
Rohimin, Tafsir Aliran Ideologis Di Indonesia: Studi Pendahuluan Tafsir Aliran
Ideologi Sunni Dalam Tafsir Kementerian Agama, dalam Jurnal MADANIA
Vol. 20. No. 2. Desember 2016
Said, Imam Ghazali. The Heritage of Al-Andalus and the Formation of Spanish
History and Identity, dalam Jurnal International Journal of History and
Cultural Studies (IJHCS), Vol. Issue. 1. 2017
Yusuf, M. Yunan. Metode Penafsiran Al-Qur'an Tinjauan atas Penafsiran Al-Qur`an
secara Tematik. dalam Jurnal Syamil. Vol. 2. no. 1. 2014.
Zulfikar, Eko. Rekonstruksi Objek Penelitian Tafsir Alqur’an: Konsep Dan Aplikasi.
dalam Jurnal Tafsere. Vol. 6. No. 2. Tahun 2018.
Zulfikar, Eko. Manahij Tafsir Tabi’in Mujahid Bin Jabar Dan Penafsirannya, dalam
Jurnal Al-Dzikra, Volume 13. No. 1. Juni Tahun 2019.

142
BIODATA PENULIS

DATA PRIBADI

Nama : Ahmad Fauzi

TTL : Bogor, 30 Desember 1986

Status : Menikah

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Kp. Bojong Gede Dalam RT/RW 02/12 Bojong Gede,


Bogor

E-Mail : fauzizulfa8.af@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL

 SDN 04 Bojong Gede Bogor (1993-2001)


 MTsN Denanyar Jombang (2000-2003)
 Madrasah Aliyah Mu’allimin Mu’allimat Mambaul Ma’arif Denanyar
Jombang (2003-2006)
 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dirasat Islamiyah (2008- 2014)

PENDIDIKAN NON FORMAL

 Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang Jawa Timur


(2000-2006)
 Kursus Bahasa Arab di Lembaga Studi Islam dan Arab (2007-2008)

143

Anda mungkin juga menyukai