EDIRSU
BA
Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia
dari Hermeneutika, Wacana hingga Ideologi
Edisi ketiga 2021 diterbitkan oleh Pustaka Salwa. Pada edisi ketiga disertakan
sejumlah revisi dan penambahan suplemen tentang peta dan sejarah tafsir
Al-Qur’an di Indonesia
Dengan memuji kepada Allah, Zat Yang Maha Alim dan bersalawat kepada
Nabi Muhammad saw, manusia mulia di mana firman-firman Tuhan diwahyukan
kepadanya, saya mengawali niat penerbitan ulang buku Khazanah Tafsir Al-
Qur’an Indonesia ini, agar memperoleh kemuliaan dan jalan yang lempang.
Penerbitan ulang buku ini akhirnya saya putuskan, meski dalam rentang waktu
yang panjang. Keputusan ini saya lakukan setelah dalam berbagai kesempatan,
saya sering ditanya oleh para mahasiswa, kolega, dan dosen perihal keberadaan
buku ini. Pertanyaan itu datang tidak sekali, tetapi bertubi-tubi. “Kok tidak
dicetak ulang lagi?”. Demikian pertanyaan yang disampaikan kepada saya.
Mereka ini kesulitan menemukan buku ini di toko dan gerai buku.
Pada mulanya saya abaikan pertanyaan-pertanyaan itu, sebab buku
Khazanah Tafsir Al-Qur’an Indonesia tersebut telah dijual di berbagai lapak
online dengan harga yang murah. Dan seperti kita tahu, buku Khazanah
Tafsir Indonesia yang dijual di lapak-lapak itu adalah bajakan. Sejumlah
mahasiswa dan kolega yang membeli lewat lapak digital ini mengungkapkan
kekecewaannya kepada saya: "Cetakan buku bajakan tersebut kualitas fisiknya
buruk, pengemasan serta ukurannya pun tidak standar. Kurang berkah juga,
Pak. Tapi apa boleh buat, kita membutuhkannya."
Dalam suatu kesempatan, seorang mahasiswa yang sedang mengambil
program doktor di Malaysia mencari buku ini untuk bahan referensi. Oleh dosen
pembimbingnya, ia bahkan diminta menemui saya di Surakarta. Singkat cerita,
pertemuan pun terjadi. Ia berkisah tentang buku ini yang masih digunakan di
kampusnya di Malaysia. Dalam kesempatan yang lain, ada seorang dosen di
Turki yang menghubungi saya juga terkait dengan buku ini. Ia menyatakan telah
mengambil manfaat dari buku ini dalam rangka penelitian yang ia lakukan. Ia
juga meminta kepada saya untuk dikirimi sejumlah tafsir yang ditulis oleh para
ulama dan cendekiawan di Indonesia.
Pada awal 2021, saya menelisik data di akun google scholar saya terkait
buku ini. Sampai awal Februari 2021, buku Khazanah Tafsir Indonesia ternyata
telah disitasi 112 kali (untuk cetakan penerbit Teraju Jakarta) dan 527 kali
(untuk cetakan penerbit LKiS Yogyakarta). Dari data ini, saya sadar bahwa
iv _ Islah Gusmian
KATA PENGANTAR PENULIS
EDISI KEDUA
vi _ Islah Gusmian
KATA PENGANTAR
ARAH BARU METODE PENELITIAN
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
1
Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirūt: al-Markaz al-
Tsaqafī al-‘Arabī, 1994), hlm. 252-67. Bandingkan juga dengan uraian al-Suyūṭī tentang
perbedaan pandangan para ulama tentang tafsīr dan ta’wīl dalam al-Itqān fī `Ulūm al-
Qur’ān (Beirūt: Muassasah al-Kutub al-Tsaqāfiyyah, 1996), IV: 460.
2
Moch. Nur Ichwan, “A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics Nasr Hamid Abu
Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic Scholarship”, Thesis MA di Universitas Leiden,
1999.
3
Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.),
Women and Islam in Muslim Society. (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), hlm.
116.
4
Selengkapnya lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern
Egypt. Leiden: E.J.Brill, 1974. Edisi Indonesia, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj.
Hairussalim dan Syarif Hidayatullah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
5
Ḥassan Ḥanafī, Dirasāt Islāmiyyah (Kairo: Maktabat al-Anjilu al-Miṣriyyah, 1981),
hlm. 69.
6
Alford T. Welch, “Studies in Qur’an and Tafsir” JAAR., Vol 47, 1979, hlm. 630.
x _ Islah Gusmian
diarahkan pada dua wilayah utama (aspek teknis penulisan tafsir dan aspek
hermeneutikanya), ia tidak hanya melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang
baru yang keluar dari mainstream studi tafsir, tetapi sekaligus juga menjadi satu
bentuk kritik terhadap metodologi yang sejauh ini dibangun oleh para peminat
studi Al-Qur’an di Indonesia. Harifuddin Cawidu, M. Quraish Shihab, Nashruddin
Baidan sebagaimana terrepresentasi dari bangunan metodologi kajian tafsir
yang mereka susun, dilihatnya tak lebih sebagai bentuk penerapan rumusan al-
Farmāwī. Padahal, menurutnya, metodologi al-Farmāwī tidak mampu dijadikan
alat teropong yang kritis dalam mengkaji karya tafsir Al-Qur'an.
Metode analisis wacana kritis yang ia gunakan dalam penelitiannya ini
juga telah melahirkan suatu simpulan yang tidak hanya baru, tetapi juga
mencengangkan: bahwa konstruksi nalar karya tafsir mempunyai kaitan
erat dengan episteme dan nalar yang ada dalam diri penafsir. Dari arah ini, ia
dengan tajam memperlihatkan simpulan-simpulan penting: ada karya tafsir
yang membangun visi perlawanan terhadap rezim Orba, yang berselingkuh dan
mendukungnya, membangun sensitivitas gender dan yang sebaliknya, serta
yang terjebak dalam komunalisme agama.
Dari kesimpulan-kesimpulan itu, Islah tidak sekadar menunjukkan aspek-
aspek teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan seorang penafsir,
lebih jauh ia juga berhasil menyingkap episteme dan ideologi yang tersembunyi
di balik suatu karya tafsir dan relasinya dengan konstruk sosial-politik di mana
karya itu diproduksi.
Secara metodologis, dalam konteks Indonesia, buku ini merupakan satu
kajian yang baru. Sebelumnya, Howard M. Federspiel, melalui buku Popular
Indonesian Literature of the Qur’an7 telah melakukan penelitian yang mengacu
pada sejumlah karya yang berkaitan dengan Al-Qur’an, tetapi penelitian Howard
ini lebih umum: mencakup keseluruhan literatur yang berbicara tentang Al-
Qur’an, seperti literatur tafsir, ilmu tafsir, terjemah Al-Qur’an, dan indeks
Al-Qur’an. Secara metodologis, sebagaimana dikritik oleh Islah, penelitian
Federspiel ini tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kajian
tafsir, karena kerangka teori yang dibangun Federspiel didasarkan pada aspek
kepopuleran literatur, bukan aspek metodologi dan episteme yang ada di
dalamnya.
Buku yang ditulis Islah ini merupakan salah satu usaha membuka pintu
dalam proses pembangunan model penelitian tafsir secara kritis. Sejauh ini,
seperti dapat kita lihat dalam berbagai penelitian yang berkembang di jurusan
Tafsir Hadis UIN/IAIN/STAIN di Indonesia, baik yang berbentuk skripsi, tesis
mapun disertasi, secara umum didominasi oleh penelitian yang fokusnya
pada interpretasi teks (Al-Qur’an) dengan model tematik (mauḍū`ī), bukan
7
Buku ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kajian
Al-Qur’an di Indonesia, oleh Drs. Tadjul Arifin, MA (Mizan: Bandung, 1996).
A. Pendahuluan
Kajian tentang tafsir Al-Qur’an Indonesia telah dilakukan oleh para sarjana
dengan berbagai sudut pandang serta pilihan subjek yang berbeda-beda. Ada
kajian yang secara khusus mengungkapkan karakteristik tafsir, keterpengaruhan,
serta proses adopsi yang terjadi. Model semacam ini, misalnya dilakukan oleh
Anthony H. John dalam “The Qur’an in the Malay World: Reflection on ‘Abd al-
Ra’uf of Singkel (1615-1693)” yang dipublikasikan di Journal of Islamic Studies,
9:2 (1998).1 Selain A.H.John, dua sarjana indonesianis lain, yaitu Peter G. Riddell
dan Howard M.Federspiel, melakukan kajian dengan mengacu pada pengaruh
dinamika keilmuan Islam di Timur Tengah dalam tafsir Al-Qur’an Indonesia
dalam bentuk respons dan transmisi.2
1
Artikel-artikelnya yang lain, yaitu “Quranic Exegesis in the Malay World: in
Search of a Profile”, menjadi salah satu artikel dalam buku yang diedit oleh Andrew
Rippin berjudul Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an yang
diterbitkan oleh Oxford University Press pada 1988. Dalam buku Islam in Asia: Volume
II Southeast Asia and East Asia (Boulder: Westview, 1984) yang diedit oleh R. Israeli dan
dirinya sendiri, A.H. Johns menulis satu artikel berjudul “Islam in the Malay World: an
Explanatory Survey with Some Reference to Qur’anic Exegesis”. Dalam buku Approaches
to the Qur’an in Contemporary Indonesia (New York: Oxford University Press, 2006) yang
diedit oleh Abdullah Saeed, A.H. Johns menulis satu artikel berjudul “Qur’anic Exegesis
in the Malay-Indonesian World: an Introduction Survey”. Dari sejumlah tulisannya itu,
kajian A.H. Johns secara umum bertumpu pada tafsir Al-Qur’an di Indonesia pada abad
17 M (yang dikaji adalah tafsir Tarjumān al-Mustafīd) dan abad 19 M (yang dikaji adalah
tafsir Marāh Labīd) dengan menunjukkan metode penafsiran dan keterpengaruhannya
dengan karya tafsir klasik serta proses arabisasi pemakaian istilah dalam konteks bahasa
di Indonesia.
2
Selengkapnya Lihat Peter G. Riddell, Islam and The Malay-Indonesian World:
Transmission and Responses (Honolulu: University of Hawaii Press, 2001). Pada bab IX
dan XII di buku Islam and The Malay-Indonesian World karya Riddell, juga dia tulis dalam
artikel khusus, yaitu “Earliest Qur’anic Exegetical Activity in Malay-Speaking State”,
Archipel, 38 (1989), hlm. 107-124.
3
Peter G. Riddell, “The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an in the Early
Islamic Period in South and Southeast Asia: a Report on Work Process”, Indonesia Circle
Journal, Vol. LI (1990).
4
Peter G. Riddell, “Controversy in Qur’anic Exegesis and Its Relevance to the Malay-
Indonesia World”, dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse
in Southeast Asia (Calyton: Monas Paper on Southeast Asia, 1993), hlm. 27-61.
5
Howard M. Federspiel, “An Introduction to Qur’anic Commentaries in
Contemporary Southeast Asia”, dalam The Muslim World, Vol. LXXXI, No. 2, 1991, hlm.
149-161.
6
Lihat Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, terj. Tadjul Arifin
(Mizan: Bandung, 1996).
7
Lihat Jurnal Pesantren, No. I, Vol.VIII, Tahun 1991, hlm. 34.
8
Lihat Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, Tahun 1992, hlm. 50.
9
Abdul Basith Adnan, Prof. K.H.R. Muhammad Adnan: untuk Islam dan Indonesia
(Yayasan Mardikintaka: Surakarta, 2003), hlm. 13.
10
Sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor BD/28/2008
tanggal 14 Februari 2008, Menteri Agama membentuk tim pelaksana kegiatan
penyusunan tafsir tematik. Hal ini sebagai wujud pelaksanaan rekomendasi Musyawarah
Kerja Ulama Al-Qur’an tanggal 8-10 Mei 2006 di Yogyakarta dan 14 -16 Desember
2006 di Ciloto. Terkait keterangan ini, lihat Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI dalam Tafsir Tematik, Pembangunan Ekonomi Umat (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama
RI, 2009), hlm. xiv-v
11
Pesantren merupakan dunia dan tradisi yang khas dan unik di tengah masyarakat.
Secara teknis arsitektural, dalam kompleks pesantren umumnya dikelilingi dengan pagar
sebagai pembatas yang memisahkan dengan masyarakat di sekelilingnya. Di dalamnya
terdapat beberapa bangunan. Pertama, bangunan pemondokan, dalam tradisi pesantren
disebut pondok. Fungsinya sebagai asrama di mana para santri tinggal bersama dan
belajar di bawah bimbingan seorang kiai. Kedua, bangunan surau atau masjid. Dalam
struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren,
karena merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan memberikan pelajaran
kepada para santri, khususnya terkait tata cara ibadah. Ketiga, di dekat masjid biasanya
terdapat rumah di mana kiai bermukim. Selengkapnya, lihat Abdurrahman Wahid,
Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 3. Ada dua
versi mengenai sejarah asal-usul pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren sebagai
kultur yang berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Berdasarkan
fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk
kegiatan tarekat. Kedua, pesantren merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren
yang diselenggarakan orang-orang Hindu di Nusantara. Selengkapnya, lihat Hasan Muarif
Ambary et al., Ensiklopedi Islam, jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm.
103.
12
Lihat, Abdul Basith Adnan, “Purwaka” dalam Muhammad Adnan, Tafsir Al-Qur’an
Suci Basa Jawi (Bandung: Al-Maarif, t.th), hlm. 6. Pengantar ini ditulis pada 21 Nopember
1977. Berdasarkan informasi ini, berarti tafsir karya Muhammad Adnan telah dicetak
pada akhir tahun 1970-an. Namun, dalam Kata Pembuka yang ditulis Muhammad Adnan
dalam tafsir ini, ditulis pada 11 Juli 1965. Hal ini artinya bahwa ia telah menyelesaikan
penulisan tafsir ini pada pertengahan tahun 1960-an.
13
Tidak ada informasi yang memadai perihal mengapa kemudian dipakai aksara
Latin. Patut diduga agar tafsir ini mudah dibaca oleh lebih banyak masyarakat muslim,
tidak hanya orang-orang yang menguasai aksara pegon.
14
Saya tidak menemukan tafsir ini untuk edisi cetakan pertama Tahun I dan nomor
pertama, sehingga tidak bisa memberikan kepastian terkait tahun terbit untuk pertama
kalinya.
15
Kesimpulan ini didasarkan pada informasi yang terdapat pada halaman lima
dalam naskah ini yang ditempeli kertas putih bertuliskan: “Kagungan ndalem hing
pamulangan Manba’ul Ulum, 1346 H: 1858 Q: 1927 M.” Tulisan ini diketik—bukan tulisan
tangan—dengan rapi.
16
Selain dua tafsir ini, terdapat tafsir-tafsir lain yang ditulis KH. Ahmad Sanoesi,
yaitu: Tafrīj al-Qulūb al-Mu’min fī Tafsīr Kalimat Sūrat al-Yāsīn, Kasyfu as-sa’ādah fi Tafsīr
Sūrat al-Wāqi’ah, Tanbīh al-Hairan fī Tafsīr Sūrat ad-Dukhān, Yāsīn Waqi’ah Digantoeng
Loegat dan Keterangannya, Kanz al-Raḥmat wa al-Luth fī Tafsīr Sūrat Al-Kahfi, Hidāyah
al- Qulūb fī Fadli Sūrat Tabārak al-Mulk min Al-Qur’ān, Kasyful Auham wa al-Dzunūn fī
Bayān Qaul Ta’ālā Lā Yamassuhu illā al-Muṭahharūn, Maljā’ al-Ṭālibīn fī Tafsīr al-Kalām
al-Rabb al-‘Ālamīn.
17
Di era zaman Jepang organisasi ini berganti nama Persatoen Oemat Islam
Indonesia (POII). Lihat, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka,
1990), 14: 400.
18
Sulasman, KH. Ahmad Sanoesi, dari Pesantren ke Parlemen (Bandung: PW PUI
Jawa Barat, 2007), hlm. 89.
19
Selain karya-karya yang berkaitan dengan bidang tafsir, KH. Ahmad Sanoesi juga
menulis buku yang berkaitan dengan bidang ilmu yang lain, seperti fiqh. Penguasaannya
atas berbagai bidang ilmu dapat kita lihat dalam karya-karya tersebut, termasuk juga
dalam kitab tafsirnya. Misalnya, dalam tafsir Tamsyiyatul Muslimīn kita suguhi diskusi
mendalam tentang aspek-aspek fiqih berkaitan dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an.
Karya-karya tafsirnya tersebut memiliki konteks yang beragam dan ditulis dengan aksara
dan bahasa yang berbeda-beda pula.
20
Sejak 1928 ia diasingkan oleh Belanda dengan alasan karena keterlibatannya
dengan SI (Serikat Islam) ketika itu, tetapi alasan yang sesungguhnya adalah karena
fatwa-fatwanya yang kontroversial, misalnya tentang slametan dan zakat fitrah, bisa
merongrong wibawa Penghulu dan Patih Sukabumi yang ketika itu merupakan kaki
tangan Belanda. Lihat Dadang Darmawan, “Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama terhadap
Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi” Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009, hlm. 65.
21
Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada
Press, 1986), hlm. 443.
xx _ Islah Gusmian
Sanusi menyertakan transliterasi ayat Al-Qur’an yang kemudian melahirkan
kontroversi di kalangan ulama Jawa Barat.22 Tafsir ini tampaknya didedikasikan
bukan hanya untuk kalangan para santri, melainkan juga untuk masyarakat
awam yang lebih luas. Hal ini diperkuat dengan penjelasan dalam Tamsyiyat
al-Muslimīn volume pertama pada halaman “tambihat”, bahwa tafsir ini ditulis
untuk menerangkan agama Islam dan mazhab Ahlussunnah Wal Jama’ah
kepada masyarakat.
Selanjutnya, tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz karya KH.
Bisri Mustofa (1925-1977). Tafsir ini selesai ditulis menjelang subuh pada
Kamis, 29 Rajab 1376 H / 28 Januari 1960 M.23 Ditulis dengan bahasa sederhana
agar mudah dipahami oleh masyarakat secara luas, khususnya para santri
yang memulai belajar ilmu di bidang tafsir. Dengan rendah hati, Kiai Bisri
mengatakan bahwa yang dilakukannya itu hanya membahasajawakan dan
menukil kitab-kitab tafsir pendahulunya, seperti tafsir Baiḍāwi, tafsir Khāzin,
dan tafsir Jalālain.24
Sama halnya dengan Al-Ibrīz, tafsir Al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl karya K.H.
Misbah Zainul Mustafa ditulis dengan aksara Pegon Jawa. Ia adalah pengasuh
pesantran Al-Balagh di Bangilan, Tuban. Di masyarakat pesantren, tafsir ini
sangat terkenal dan telah dicetak berkali-kali oleh penerbit buku Ihsan Surabaya
pada era 1980-an. Selain Al-Iklīl, ia juga menulis tafsir berjudul Tāj al-Muslimīn.
Sayang, baru sampai jilid empat, beliau wafat.
Di Makassar, Anre Gurutta25 H.M. As’ad (w. 1952) seorang kiai pesantren
menulis Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma. Judul untuk tafsir ini sengaja
ditulis dalam tiga bahasa: Arab, Bugis, dan Indonesia. Terdapat pula edisi
Indonesia yang dialihbahasakan oleh Sjamsoeddin Sengkang, salah seorang
murid Anre Gurutta H.M. As’ad. 26 Edisi Indonesia ini diterbitkan di Sengkang.
Namun, tidak terdapat keterangan yang pasti perihal tahun penerbitan dan
nama penerbit. Meskipun demikian, M. Rafii Yunus Martan—dengan menyebut
22
Mengenai kontroversi ini lebih lanjut, lihat Dadang Darmawan, “Ortodoksi Tafsir:
Respon Ulama terhadap Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi”
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
23
Bisri Mustofa, Al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz (Kudus: Menara Kudus,
t.th.) jilid III, hlm. 2270.
24
Ibid., Jilid 1, hlm. 3.
25
Gurutta adalah sebutan atau gelar bagi ulama di Sulawesi Selatan, seperti gelar
Kiai di Jawa, namun ada pembedaan antara yang senior dan yunior. Gelar untuk ulama
senior adalah Anre Gurutta, sedangkan yang yunior Gurutta.
26
Lihat, M. Rafii Yunus Martan, “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas:
Tafsir Al-Qur’an Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an
Vol. I No. 3 Tahun 2006, hlm. 522.
Lihat, lembar suplemen rubrik profil yang ditulis oleh Arief Subhan dengan judul
189
64 _ Islah Gusmian
Soeharto yang wafat pada 1996.191 Di bagian awal buku ini, terdapat dua tulisan
yang berasal dari bahan ceramah yang disampaikan dalam acara peringatan 40
hari wafatnya Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto dan ceramah peringatan 100
hari wafatnya Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto.192 Setelah dua tulisan tersebut,
disusul dengan penafsiran atas sūrah-sūrah tertentu yang biasa dibaca dalam
ritual tradisi tahlilan, yaitu: sūrah al-Fātiḥah, sūrah al-Baqarah [2]: 1-5, ayat
Kursi (sūrah al-Baqarah [2]: 255), sūrah al-Ikhlāṣ, sūrah al-Falaq, dan sūrah
al-Nās.
Dengan mengikuti konteks yang melatari buku ini, tema-tema yang
ditafsirkan oleh Quraish dalam buku ini tidak bisa dilepaskan dari tema
kematian dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Namun demikian, karena sifat
awalnya adalah ceramah, maka penulisan dan pembahasan tema-tema tersebut
sangat lentur dan dengan melibatkan situasi kebatinan para audiens yang hadir
dalam acara tersebut.
M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera, 1997), hlm.
191
vii.
Lihat, ibid., hlm. xi dan xxi.
192
Radiks Purba, Memahami Surat Yaa Siin (Jakarta: Golden Terayon Press, 1998),
194
hlm. 27.
Ibid., hlm. 41.
195
66 _ Islah Gusmian
satu pun literatur tafsir berbahasa Arab yang dirujuk. Fakta ini setidaknya
mencerminkan suatu posisi dan keilmuwan penulisnya.
12. Ayat Suci dalam Renungan 1-30 juz (Bandung: Pustaka, 1988), Karya
Moh. E. Hasim
Buku ini merupakan tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz yang ditulis oleh M.
E. Hasim dengan runtut sesuai urutan dalam mushaf Utsmānī. Setiap volume
disesuaikan dengan pembagian juz yang ada dalam mushaf. Dengan demikian,
buku ini terdiri dari 30 jilid. Buku ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari
Ayat Suci Lenyepaneun yang ditulis dengan bahasa Sunda. Penerjemahan ini
dilakukan oleh Hasim sendiri dan ditulis dengan gaya bahasa populer dan
bersahaja.
Sebelum masuk dalam kajian inti (tafsir Al-Qur’an), Hasim menguraikan
tentang beberapa huruf yang mempunyai makhraj spesifik lidah Arab, seperti:
, ط, ض, ص, ش, ذ, خ,ثdan ظ. Diuraikan juga tentang beberapa huruf Arab yang
biasanya ditulis latin dengan huruf “a” namun bersuara “o”, penjelasan tentang
tiga huruf yang tidak dapat ditulis dengan huruf latin kecuali bila ditambah
ḥarakah (tanda suara), tentang huruf ta’ marbūṭah, serta bentuk-bentuk huruf
yang berbeda-beda ketika ditulis posisinya di tengah, di awal, dan di akhir.203
Menurut Miftah Faridl, khususnya yang edisi bahasa Sunda, tafsir yang
ditulis Hasim ini merupakan tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda terbesar dan
terlengkap dan telah dipakai oleh masyarakat muslim di Jawa Barat.204 Dengan
adanya dua edisi: bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, menunjukkan bahwa
tafsir ini memperoleh respons dan apresiasi yang baik dan luas dari masyarakat
Islam, di luar dari masyarakat Sunda.
Dilihat dari sisi tahun publikasi, di Indonesia era tahun 1990-an, tafsir yang
ditulis Hasim ini merupakan tafsir kedua dalam kategori tafsir lengkap 30 juz:
sebelumnya adalah Al-Qur’an dan Tafsirnya yang ditulis oleh Tim Badan Wakaf
UII sebagai revisi atas tafsir yang disusun oleh Tim Departemen Agama RI.
Moh. E Hasim atau Mohammad Emon Hasim lahir pada 15 Agustus 1916.
Ayahnya seorang Kepala Desa dan petani kelapa di Kampung Bangbayung
Kidul, Desa Cieurih, Kecamatan Cipaku, Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Ia dikenal
sebagai guru dan penulis. Sejumlah bahasa dia kuasai, yaitu bahasa Arab,
Inggris, Jepang, dan Belanda. Sejumlah jenjang pendidikan formal ia tempuh:
dimulai dari Sekolah Desa selama 3 tahun, Schakelschool Muhammadiyah, dan
HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Bandung.
Lihat, Moh. E. Hasim, Ayat Suci dalam Renungan Jilid I (Bandung: Pustaka, 1998),
203
hlm. xiii-xix.
Lihat, “Kata Pengantar” Miftah Faridl dalam ibid., hlm. x.
204
Lihat, halaman “Tentang Penulis” dalam Muhammad Ghalib M., Ahl al-Kitab,
205
68 _ Islah Gusmian
metode yang digunakan, disertasi ini merepresentasikan tren di dalam kajian
Al-Qur'an yang berkembang di Perguruan Tinggi Agama Islam era 1990-an.
Pengaruh M. Quraish tampak kuat dalam penulisan tema ini, terutama dalam
hala penggunaan metode tematik menjadi arus umum dalam kajian Al-Qur'an
pada masa itu.
Muhammad Ghalib Mattalo, lahir pada 1 Oktober 1959 di Banyorang,
Bantaeng, Sulawesi Selatan, dari pasangan H. Mattola dan Siti Hafsah. Pendidikan
formalnya dimulai dari jenjang Sekolah Dasar di tanah kelahirannya. Pada 1971,
ia lulus SDN, dan pada 1974, ia lulus dari Madrasah Ma’arif 6 tahun. Pada tahun
yang sama, ia juga lulus dari SMP Negeri. Selanjutnya, ia meneruskan jenjang
pendidikannya di Pendidikan Guru Agama, selama 4 tahun di Bulukumba, lulus
pada 1975 dan PGA, 6 dan lulus pada 1977.206
Setahun kemudian, tepatnya tahun 1978, ia masuk perguruan tinggi pada
Fakultas Dakwah IAIN Alauddin di Bulukumba, dan pada 1981 ia meraih ijazah
Sarjana Muda. Pada 1990, ia melanjutkan ke jenjang magister (S2) di IAIN
Alauddin Ujungpandang, lulus pada 1993. Tanpa menunggu jeda lama, ia kuliah
di jenjang doktor (S3) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lulus pada 1997
dengan menulis disertasi berjudul: Wawasan Al-Qur’an tentang Ahl Kitab.207
Sejak tahun 1987, ia menjadi pengajar tetap di almamaternya, IAIN Alauddin
Ujungpandang, Fakultas Ushuluddin, khusus mata kuliah tafsir Al-Qur’an. Di
luar dari kampus IAIN, ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta,
seperti Universitas Muslim Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar,
dan Sekolah Tinggi Agama Islam al-Furqan, ketiganya di Ujungpandang.
206
Ibid.
207
Ibid.
Tabloid Tekad, No. 24 Tahun 1. April 1999, sebagaimana dikutip pada cover
208
Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta,
12 Januari 2002, hlm. 65.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an (Jakarta:
212
70 _ Islah Gusmian
negara Eropa, dalam rentang tahun 1993-1996. Kini ia menjadi pengajar di IAIN
Syarif Hidayatullah dan program Pascasarjana Universitas Paramadinamulya.213
Beberapa artikel yang ia tulis telah tersiar di berbagai media massa, jurnal,
serta telah diterbitkan dalam buku antologi. Misalnya Pengantar Ulumul Qur’an
(Jakarta: Baitul Qur’an, 1996), “Poligami” dalam Bunga Rampai Pemikiran
Ali Syari’ati (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), “Perbandingan antar Aliran:
Perbuatan Manusia” dalam Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas (eds.), dan
Sejarah Pemikiran dalam Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1996).214
riwayat hidupnya yang ditulis dalam, Bias Jender dalam Penafsiran Al-Qur’an, Pidato
Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta,
12 Januari 2002, hlm. 79.
Ibid. dan Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an
214
16. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir (Yogyakarta: LKiS,
1999), karya Dr. Hj. Zaitunah Subhan
Buku ini merupakan publikasi secara luas dari naskah disertasi yang ditulis
oleh Zaitunah Subhan. Judul pada naskah disertasi adalah Kemitrasejajaran
Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam. Namun, ketika dipublikasikan dalam
bentuk buku judulnya diganti dengan narasi yang lugas dan memberikan
cita rasa gugatan: "tafsir kebencian". Penggantian judul ini, selain untuk
Lihat pada halaman “Biodata” dalam Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya
219
Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an, hlm. 193; naskah pidato Nashruddin Baidan,
Rekonstruksi Ilmu Tafsir, hlm. 88-89.
72 _ Islah Gusmian
kepentingan ceruk pasar penjualan buku, saya kira juga untuk kepentingan
menggugah kesadaran masyarakat muslim dalam memahami tentang
keberadaan perempuan. Judul ini mengisyaratkan tentang gugatan atas realitas
di mana masih terjadi suatu tafsir atas eksistensi perempuan, yang digali
atau disandarkan dari Al-Qur'an, dengan perspektif 'kebencian' dan kurang
menghargai kemanusiaan perempuan.
Disertasi di atas ditulis di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di bawah
bimbingan Prof. Dr. Zakiyah Darajat dan Dr. Komaruddin Hidayat.220 Kegelisaan
akademik yang dibangun oleh Zaitunah dalam buku ini mirip dengan yang terjadi
dalam disertasi yang ditulis oleh Nasaruddin Umar dan Nashruddin Baidan,
yang telah dipaparkan sebelumnya. Salah satu hal yang membedakan antara
keduanya adalah Zaitunah mengarahkan fokus kajiannya pada konteks historis
Indonesia dan mengacu pada tafsir-tafsir yang ditulis oleh ulama Indonesia. Dua
variabel ini yang dijadikan sebagai pijakan untuk melihat realitas bagaimana
eksistensi perempuan dinarasikan dan aspek ini yang tidak ditemukan dalam
kajian Nasaruddin dan Nashruddin.
Zaitunah mengarahkan kajiannya dengan mengacu pada tiga kriteria, yaitu
tafsir yang ditulis oleh mufasir Indonesia, mufasir klasik, dan para feminis
Muslim. Untuk kasus mufasir Indonesia, ia mengkhususkan pada tiga tafsir,
yaitu: Al-Qur’an dan Tafsirnya yang ditulis dan diterbitkan dibawah pengawasan
Departemen Agama, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Mahmud Yunus, dan Tafsir
Al-Azhar karya Hamka.221
Zaitunah Subhan merupakan pemikir dan aktivis perempuan. Ia dilahirkan
di Gresik, pada 10 Oktober 1950. Latar belakang pendidikan formal ia lalui
secara linier: diawali dari SRN 6 tahun, Ibtidaiyah sampai Tsanawiyah 3 tahun
di Pesantren Maskumambang Gresik, dan Aliyah 2 tahun di Pesantren Ihya
al-Ulum Gresik. Pada 1967 ia melanjutkan studi di Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Jenjang sarjana (S1) ini ia lalui dengan baik dan gelar
Sarjana Muda ia raih pada 1970. Empat tahun berselang ia lulus untuk jenjang
Sarjana Lengkap, di jurusan Perbandingan Agama.
Sebelum diwisuda Zaitunah memperoleh beasiswa untuk kuliah di
Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Di kampus tua ini, ia mengambil jenjang
220
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an
(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. x.
Tiga tafsir karya ulama Indonesia ini dipilih dengan beberapa alasan yang
221
diacu pada pendapat Howard H. Federspiel, yaitu: 1) tafsir yang ditulis Mahmud Yunus
dipandang sebagai tafsir generasi kedua dan representatif mewakili tafsir-tafsir generasi
kedua; 2) tafsir yang ditulis Hamka merupakan salah satu tafsir yang dipandang mewakili
tafsir generasi ketiga, yang mempunyai kelebihan dalam membicarakan sejarah dan
berbagai peristiwa kontemporer; dan 3) tafsir yang disusun oleh tim Departemen Agama
Republik Indonesia adalah merupakan suatu fakta tentang keterlibatan negara dalam
penyebarluasan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Lihat ibid., hlm. 11-13.
Ibid.
223
Ibid.
224
74 _ Islah Gusmian
ulama. Ibnu Ṣālah, misalnya, mengatakan, “...barangsiapa menyakini tulisan itu
(Ḥaqā’iq al-Tafsīr—pen), ia sesungguhnya telah kufur.”226
Dengan nada merendah Jalal pun mengatakan, “bagaimana bila ini
dilakukan oleh seorang semacam Jalal?” Tapi, itulah ciri khas Jalal. Setelah
mengikuti berbagai riwayat hidup para mufasir terkenal, seperti Muḥammad
`Abduh, Muḥammad Rasyīd Riḍā, dan Sayyid al-Ṭabāṭabā’ī, ia berketetapan
menulis tafsir sufi ini. Namun, seperti diakuinya sendiri, sejatinya dia tidak
menulis tafsir, tetapi hanya menuliskan tafsir. Ia hanya sebagai “broker” yang
menjual informasi kepada para pembaca. Ibarat sebuah cerek kecil yang
menampung air dari berbagai sumber kemudian mengalirkannya kepada siapa
pun yang kehausan.227
Ketika menulis Tafsir Sufi Al-Fatihah ini, ia kebetulan kedatangan tamu,
Syekh Muḥammad Taqī Baqīr, sekretaris umum redaksi Majalah Al-Muslimūn
al-Ḥurr. Waktu itu, Jalal menceritakan dirinya yang sedang menyusun tafsir
sufi. Tamunya itu menarik napas panjang, sambil menatap matanya, ia berujar,
“Ya Akhi, Anda sedang melakukan tugas berat dan berbahaya. Bahaya pertama
datang dari Anda. Kalau perjalanan Anda tanggung, belum selesai, Anda sendiri
akan menjadi sopir yang menarik banyak orang ke dalam jurang. Bahaya
kedua, datang dari murid-murid Anda atau pembaca. Mereka tidak mengerti
apa yang Anda sampaikan, lalu berusaha membentuk pengertian sendiri. Atau
mereka memahaminya dengan keliru. Kekeliruan pemahaman awam ini akan
dinisbahkan kepada Anda.”228
Mendapat nasihat dari Syaikh Muḥammad Taqī Baqīr itu, Jalal dengan jujur
mengatakan akan lebih berhati-hati dalam penyusunan tafsir sufi ini. Sambil
mengutip QS. Al-`Ādiyāt [100]: 1-5, kepada tamunya itu, ia minta didoakan.229
Dan akhirnya, pada 1999 lahirlah buku Tafsir Sufi Al-Fatihah ini.
18. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ (Jakarta: Logos,
2000) Karya KH Didin Hafidhuddin
Tafsir Al-Hijri ini merupakan tafsir yang naskah awalnya berasal dari
materi tafsir yang diceramahkan dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Pengajian itu
diampu oleh Didin Hafidhuddin di Masjid Al-Hijri, Universitas Ibn Khaldun
(UIK) Bogor secara berkala, setiap Ahad yang berlangsung sejak 1993. Jika ia
berhalangan hadir, kegiatan pengajian itu diganti oleh dua sejawatnya: Drs. H.E.
Syamsuddin, staf pengajar TPAI-IPB dan Drs. Ibdalsyah MA., pimpinan harian
Pesantren Ulil Albab Bogor, dan juga dosen Fakultas Agama Islam UIKA Bogor.
dalam Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah (Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm. vii-viii.
Ibid., hlm. xiii.
227
Dialog Jalal dengan Muhammad Taqi Baqir ini dituturkan Jalal sendiri dalam ibid.
228
Lihat “Kata Pengantar” Didin Hafidhuddin dalam Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir
230
76 _ Islah Gusmian
Dewan Syariah BPRS Amanah Ummah Leuwiliang, Bogor; anggota Dewan
Pertimbangan BAZIS DKI Jakarta; anggota Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (MUI); anggota Dewan Syariah Asuransi Takaful Indonesia;
dan anggota Dewan Syariah PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) Investment
Management.231
Pada pemilu 1999 ia didaulat oleh Partai Keadilan untuk menjadi calon
presiden Republik Indonesia. Namun, melihat kenyataan politik di Indonesia
saat itu, ia menjadi ragu untuk kembali ke gelanggang politik. Sebab,
menurutnya, seorang politikus ternyata harus pandai bersilat lidah dan bicara
berbelit-belit,232 suatu sikap yang justru ia hindari.
Untuk uraian biografi ini lihat cover belakang di buku Didin Hafidhuddin.
231
Lihat Rubrik Tamu Kita “Kampanye Zakat Calon Presiden” Majalah Gatra No. 11
232
78 _ Islah Gusmian
Tidak kurang dari bidang filsafat, psikologi, dan sosiologi, muncul para pakar
yang membahas tema ini. Di bidang psikologi misalnya, ada Erich Fromm, ahli
psikoanalisis terkenal dengan karyanya berjudul The Art of Loving, dan I. Lepp
dengan karya berjudul The Psychology of Loving; di bidang filsafat, Leone Ebreo,
dengan karyanya The Philosophy of Love; di bidang sosiologi, Pitirim A. Sorokin
melahirkan karya berjudul The Ways and Power of Love serta Altruistic Love; dan
Leo F. Buscaglia, seorang doktor pendidikan, juga mempunyai karya berjudul
Love.
Dalam konteks yang demikian, Abdurrasyid Ridha merasa bahwa kajian
tentang makna cinta dalam Al-Qur’an belum pernah dikaji dengan baik dan
komprehensif oleh umat Islam. Ia menyadari bahwa kajian cinta tentang dalam
Al-Qur'an telah dikaji oleh intelektual muslim. Maḥmūd ibn al-Syarīf, misalnya,
pernah menulis buku berjudul al-Ḥubb fī al-Qur’ān, tapi menurutnya buku
ini lebih terfokus pada dimensi cinta ilahiah. Dan dengan demikian ia tidak
mengemukakan konsep yang jelas dan utuh mengenai cinta dalam al-Qur’an
serta tidak mengaitkannya dengan persoalan-persoalan sosial yang konkret
dan dihadapi oleh umat Islam.237
Ibid. hlm. 7.
237
Lihat rubrik “Tamu Kita” dalam Kiblat No. 59 Agustus 1991, hlm. 11.
238
Lihat “Batu Bata Demi Batu Bata (Sekelumit tentang Penulis)” dalam Syu’bah Asa,
239
Dalam Cahaya Al-Qur'an, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm.
478-479.
Ibid., hlm. 477.
240
80 _ Islah Gusmian
untuk Teater Mahasiswa Islam HMI dan mengetuai Ikatan Sastrawan Muda
Islam (ISMI). Di dunia aktivis gerakan, ia pernah terlibat dalam demonstrasi
1966, sebagai orator yang berkobar-kobar.241
Aktivitas kepenulisannya berkembang dengan mengagumkan. Ia pernah
menerjemahkan syair-syair maulid, yang dimulainya pada tahun 1963, lalu
dipentaskan oleh Bengkel Teater milik Rendra. Ia ikut juga dalam proyek
puitisasi terjemahan Al-Qur’an, pada 1970, bersama Taufik Ismail dan Ali
Audah. Pada tahun itu pula, ia menjadi wartawan di majalah Ekspres, cikal bakal
Tempo, menjadi redaktur musik. Dan ketika di Tempo, ia merupakan penulis
kritik teater yang paling rajin. Lalu karena memegang prinsip, ia keluar dari
Tempo pada 1987, dan kemudian menjadi ketua sidang redaksi majalah Editor.
Di Editor ini, ia mengalami ketegangan prinsip, dan akhirnya diputuskan untuk
keluar. Tak berselang lama, ia ditarik menjadi wakil pemimpin redaksi harian
Pelita. Dan ketika majalah Panji Masyarakat ganti manajemen pada sekitar tahun
1997, ia ditarik masuk dalam dapur redaksi. Di majalah Panji Masyarakat inilah
ia menulis artikel tafsir Al-Qur’an yang diidam-idamkannya sebagai “stasiun
terakhir” dirinya. Tafsir Al-Qur’an yang ditulis untuk Majalah Panji Masyarakat
itu yang kemudian dibukukan ini.242
Lihat, ”Kata Pengantar” penulis dalam Jiwa dalam Al-Qur’an Solusi Krisis
243
23. Tafsir Juz `Amma Disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi Par,
2000) Karya Rafi’udin, S.Ag dan Drs. KH. Edham Syifa’i
Tafsir ini ditulis oleh dua orang, yaitu: Rafi’udin dan KH. Edham Syifa’i. Dari
sisi subjek kepenulisan, buku ini termasuk yang khas di era 1990-an, yaitu ditulis
secara bersama-sama. Namun dari sisi objek yang dikaji, sebenarnya suatu
pilihan yang telah jamak dilakukan dalam tradisi penulisan tafsir. Sedangkan
dari sisi publikasi, dibandingkan buku-buku yang lain, buku Tafsir Juz `Amma
Disertai Asbabun Nuzul diterbitkan dengan mengabaikan persoalan formal dan
kelembagaan. Misalnya, buku ini dipublikasikan tanpa disertai dengan nomor
ISBN. Nomor ISBN memang tidak ada hubungan langsung dengan substansi
buku. Namun dengan nomor ISBN kita akan mudah mencari dan melacak buku
ini, karena telah teregistrasi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Pada sisi yang lain, dalam buku ini tidak disertakan penjelasan tentang
metode yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur'an serta tidak ada judul buku-
buku yang dijadikan rujukan dalam penulisan buku ini. Dengan demikian,
kita kesulitan untuk mengetahui dan sekaligus melacak jejaring keilmuan dan
perspektif yang ada dalam buku ini. Situasi sulit ini ditambah dengan ketiadaan
penjelasan tentang biografi kedua penulisnya, sehingga kita tidak mengerti
tentang latar belakang intelektual kedua penulisnya serta apa tujuan mereka
menulis tafsir ini.
Ibid.
245
82 _ Islah Gusmian
24. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2000) Karya Dr. M. Quraish Shihab, MA.
Tafsir ini ditulis M. Quraish Shihab.246 Awal penulisannya dikerjakan di
Kairo pada 18 Juni 1999. Dari segi bentuk kemasannya, tafsir ini ditulis secara
berseri, terdiri dari beberapa volume hingga lengkap 30 juz. Model cetakannya
ada dua bentuk, yang pertama dicetak dengan bentuk softcover dan yang kedua
dengan tampilan hardcover.
Pada 1997, seperti telah diuraikan di muka, sebetulnya Quraish telah
menulis tafsir dan diterbitkan, berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Surat-
surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Tafsir ini diterbitkan
oleh Pustaka Hidayah Bandung. Ada 24 sūrah yang dihidangkan dalam buku
tersebut. Uraiannya banyak merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah dengan
menggunakan metode penyajian taḥlīlī dan analisis atas kosa kata yang menjadi
kata kunci. Dan sūrah-sūrah yang menjadi objek penafsiran didasarkan pada
urutan turunnya wahyu.
Namun, model semacam ini dikesankan oleh banyak orang kurang menarik
dan terlalu bertele-tele dalam uraian tentang kosa kata yang sangat detail.
Oleh karena itu, Quraish tidak melanjutkan upaya penafsiran dalam bentuk
tersebut. Buku Tafsīr Al-Mishbāh, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an ini
merupakan upaya Quraish untuk menghindari model kajian yang terkesan
bertele-tele tersebut dan beralih kepada model yang ringkas tetapi pembaca
bisa menangkap pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur'an.
Buku ini ditulis dalam upaya memperkenalkan Al-Qur’an secara
mendalam tetapi sekaligus mudah dicerna. Melalui buku ini, Quraish berusaha
menghidangkan suatu bahasan pada setiap sūrah pada apa yang dinamainya
tujuan sūrah atau tema pokok sūrah.247 Sebagai sebuah produk penafsiran, tafsir
ini oleh penulisnya juga dipaparkan secara serial melalui Metro TV, dan selain
dalam bentuk buku cetak, tafsir ini juga dilaunching dalam bentuk CD.[]
Lihat “Sekapur Sirih” M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al-Mishbah, Pesan,
247
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an volume I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. x-xi.
1
`Abd al-Ḥayyī al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū`ī, Dirāsah Manhajiyyah
Mawḍū`iyyah, (t.tp.: t.p, 1976), hlm. 17.
2
Muḥammad Baqir al-Ṣadr menamai tafsīr taḥlīlī ini dengan tafsīr juz’ī. Lihat,
Muḥammad Baqir al-Ṣadr, Sejarah dalam Perspektif al-Qur’an, terj. M.S. Nasrullah
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 56.
3
Imām al-Suyūṭī menyebut ilmu-ilmu yang terkait tersebut sebanyak 15 bidang,
yaitu: ilmu bahasa, ilmu naḥwu, ilmu taṣrīf, ilmu isytāq, ilmu ma`ānī, ilmu badī`, ilmu
qirā’at, ilmu uṣūl al-dīn, ilmu uṣūl al-fiqh, ilmu asbāb al-nuzūl, ilmu naskh mansūkh, ilmu
fiqh, ilmu ḥadīts, ilmu al-mauḥabah (ilmu yang diberikan Allah kepada mereka yang
mengamalkan apa yang diketahui). Lihat, Jalāluddīn `Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Itqān
fī `Ulūm al-Qur’ān, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1991), II: 231.
4
Munculnya tafsir ini bersamaan dengan lahirnya mazhab fiqh. Lihat, al-Żahabī,
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, II: 532.
5
Tafsir model ini muncul setelah di masa `Abbasiah terjalin hubungan antara umat
Islam dengan Persia, Yunani dan India serta diterjemahkannya berbagai buku filsafat dan
sains. Lihat, al-Farmāwī, al-Bidāyah, hlm. 26.
6
Pada awalnya, jenis tafsir ini muncul secara fragmentaris dalam kitab-kitab tafsir
al-ra’yī, khususnya ketika membahas ayat-ayat kauniah. Lihat, al-Farmāwī, al-Bidāyah,
hlm. 26-32.
7
Ibid., hlm. 33.
8
Ibid., hlm. 34-5.
86 _ Islah Gusmian
Ketiga, metode Muqāran, yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan.
Perbandingan di sini dalam tiga hal, yaitu:9 perbandingan antarayat,
perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadis, dan perbandingan penafsiran
antarpenafsir. Contoh tafsir model perbandingan antarayat, yaitu Durrah al-
Tanzīl wa Ghurrah al-Ta’wīl karya al-Iskafī, sedangkan yang menggunakan
perbandingan antarpenafsir ialah al-Jāmi` li Aḥkām al-Qur’ān karya al-Qurṭubī.
Keempat, metode mawḍū`ī, yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an secara
tematis.10 Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama, membahas satu sūrah
Al-Qur’an dengan menghubungkan maksud antarayat serta pengertiannya
secara menyeluruh. Dengan metode ini ayat tampil dalam bentuknya yang
utuh. Contohnya, al-Tafsīr al-Wāḍiḥ karya Muḥammad Maḥmūd al-Hijā’ī.
Kedua, menghimpun ayat Al-Qur’an yang mempunyai kesamaan arah dan
tema, kemudian dianalisis dan dari sini ditarik kesimpulan. Biasanya, model
ini diletakkan di bawah tema bahasan tertentu.11 Contohnya: al-Mar’ah fī al-
Qur’ān karya `Abbās Maḥmūd al-`Aqqad.
Dalam konteks metodologi, pemetaan al-Farmāwī di atas, memberikan
peta baru ketimbang pemetaan konvensional yang dibangun ulama era abad
ke-9 H hingga abad ke-13 H. yang memetakan metodologi tafsir dalam tiga
bentuk: al-tafsīr bi al-ma’tsūr, al-tafsīr bi al-ra’yī, dan tafsīr al-isyārī.12 Namun
demikian, al-Farmawi tidak memberikan pemetaan yang tegas antara wilayah
metode dan pendekatan tafsir serta teknik penulisan tafsir.
9
Ibid., hlm. 35-6.
10
Sebagai metode spesifik, menurut al-Farmāwī, metode mawḍū`ī ini diperkenalkan
oleh Aḥmad al-Sayyid al-Kūmī, ketua jurusan Tafsir di Universitas al-Azhar. Lihat, al-
Farmāwī, al-Bidāyah, hlm. 49.
11
Lihat, ibid., hlm. 36-45. Dalam metode mawḍū`ī ini al-Farmāwī memberikan
delapan langkah: 1) menentukan topik bahasan dengan batasan-batasannya; 2)
menetapkan dan menghimpun ayat yang terkait dengan tema; 3) merangkai urutan
ayat sesuai dengan masa turunnya; 4) memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam
sūrahnya masing-masing; 5) menyusun out line pembahasan; 6) melengkapi pembahasan
dengan hadis yang relevan; 7) mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan
dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang `āmm dan yang khaṣ, muṭlaq dan muqayyad, atau yang
pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan dan pemaksaan. Lihat, ibid., hlm. 49-50.
12
Al-Ṣābūnī, al-Tibyān, hlm. 67, 155, dan 171. Subḥī al-Ṣāliḥ, Mabāḥits fī `Ulūm al-
Qur’ān (Beirūt: Dār al-`Ilm al-Malāyīn, 1988), hlm. 291, 292, dan 296. Al-Qaṭṭān, Mabāḥits,
hlm. 347, 351, 356. Ṭameem Uṣama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, hlm. 5, 13, dan 24. Fahd
bin `Abd al-Raḥmān al-Rūmī, bahkan membagi menjadi dua, yaitu: al-tafsīr bi al-ma’tsūr
dan al-tafsīr bi al-ra’yī. Lihat dalam bukunya, Al-Qur’an dan Studi Kompleksitas al-Qur’an,
terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm.
199.
TABEL III
METODE KONVENSIONAL KAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN
13
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm. 83.
14
Ibid., hlm. 85. Hal yang sama dialami T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Lihat bukunya,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 251-267.
15
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. v.
16
Harifuddin Cawidu, “Metode dan Aliran dalam Tafsir”, Pesantren No. 1/Vol.
VIII/1991, hlm. 3.
17
Komaruddin Hidayat tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa paparannya itu
dirujuk pada al-Farmāwī, tetapi isinya sama. Lihat, Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, hlm. 190-192.
18
Tim ini terdiri dari Prof. M. Quraish Shihab (Ketua), Prof. H. Ahmad Sukardja,
Badri Yatim, Dede Rosyada, dan Drs. Nasaruddin Umar.
19
Lihat Azyumardi Azra (ed.) Sejarah dan Ulum al-Qur’an, hlm. 172-192.
88 _ Islah Gusmian
5 `Abd al-Ḥayyī� Taḥlīlī, terdiri dari: Ijmālī Muqāran Mawḍū`ī
al-Farmāwī� 1. Ma’tsūr/Riwayat
2. Ra’yu
3. Ṣūfī
4. Fiqhī
5. `Ilmī
6. Falsafī
7. Adabī al-ijtimā`ī
6 M. Quraish Shihab Ma’tsūr/riwayat Ra’yu terdiri dari:
1. Taḥlīlī 2. Maudlū`ī
3. Ijmālī 4. Muqāran
7 Tim Penulis Sejarah dan Ulum Taḥlīlī terdiri dari: Ijmālī Muqāran Mawḍū`ī
al-Qur’an 1. Ma’tsūr
2. Ra’yu
3. Fiqhī
4. Ṣūfī
5. Falsafī
6. `Ilmī
7. Adabī al-Ijtimā’ī
8 Harifuddin Cawidu Taḥlīlī terdiri dari: Ijmālī� Muqāran Mawḍū`ī�
1. Ma’tsūr/riwayat
2. Ra’yu
3. Fiqhī
4. Ṣūfī
5. Falsafī
6. `Ilmī
7. Adabī al-Ijtimā`ī
9 Komaruddin Hidayat Taḥlīlī terdiri: Ijmālī Muqāran Mawḍū`ī
TABEL IV
PEMETAAN KAJIAN TAFSIR MENURUT M. YUNAN YUSUF
TABEL V
PEMETAAN KAJIAN TAFSIR MENURUT NASHRUDDIN BAIDAN
20
Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir Pidato Pengukuhan Guru Besar
Madya Ilmu Tafsir (Surakarta: STAIN Surakarta, 1999), hlm. 17-18.
90 _ Islah Gusmian
Sebagaimana terlihat pada tabel V, dalam pandangan Baidan penafsiran
dalam bentuk riwayat hanya dapat diterapkan melalui metode global dan
analitis. Hal ini terjadi, disebabkan oleh terbatasnya riwayat. Artinya sejauh
ada riwayat model penafsiran ini bisa dilakukan. Oleh karena itu, bagi Baidan
bentuk tafsir riwayat tidak dapat dijadikan tumpuan untuk dijadikan bahan
utama bagi analisis perbandingan dalam metode komparatif, sebagaimana
juga ia tidak dapat dijadikan tumpuan dalam penyelesaikan kasus tertentu.
Sebaliknya, penafsiran dalam bentuk ra’yu dapat diaplikasikan melalui salah
satu atau gabungan dari metode yang disebutkan tadi.21
Dari penjelasan di atas tampak bahwa tafsīr bi al-ma’tsūr menurut Baidan
merupakan bentuk penafsiran yang diperoleh dari Nabi melalui beberapa
riwayat. Meskipun dalam bentuk penafsiran semacam ini ada penafsiran
antarayat, namun menurut Baidan tetap harus dirujukkan pada keberadaan
riwayat. Misalnya, ظلمdalam sūrah al-An`ām [6]: 82 ditafsirkan Rasulullah
dengan شركdari sūrah Luqmān [31]: 13. Jika ada bentuk penafsiran ayat dengan
ayat, tanpa merujuk pada riwayat yang ada, menurut Baidan termasuk dalam
kategori tafsīr bi al-ra’yi. Sebab, hal itu merupakan suatu yang dikreasikan
dari semangat berijtihad. Misalnya, أنعمت عليهمdalam sūrah al-Fātiḥah [1]: 7
ّ النبيين والص ّدقين والشهداء
ditafsirkan dengan والصالحين ّ منdalam sūrah al-Nisā’
ِ
[4]: 69.22
21
Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, hlm. 20.
22
Ibid. hlm. 38.
23
Pemetaan ini berbeda dengan yang disusun oleh Quraish yang menempatkan al-
tafsīr bi al-ma’tsūr dalam wilayah corak tafsir, sedangkan al-tafsīr al-mawḍū`ī dimasukkan
ke dalam wilayah metode tafsir. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm.
83 dan 85.
92 _ Islah Gusmian
dianalisis secara komprehensif dan utuh.24 Dari bangunan metodologi ini pula
memungkinkan kita memperoleh keunikan dan hal-hal baru, bila ada, dalam
tafsir yang dikaji. Lebih dari itu, sebagai produk budaya, tafsir yang kita kaji,
bukan tidak mungkin, juga menyimpan sejumlah ideologi, kepentingan, dan
wacana yang mengendap dan atau sengaja dikontestasikan. Dengan model
kajian yang demikian kita bisa menangkap aspek-aspek hermeneutik-ideologis
yang tumbuh dan dikembangkan dalam tafsir. Secara ringkas penjelasan di atas
bisa dilihat pada tabel VI.
TABEL VI
ARAH BARU METODE KAJIAN ATAS TAFSIR AL-QUR’AN
24
Lihat, Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997),
hlm. xi.
94 _ Islah Gusmian
ulama tafsir. Al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur’ān al-Karīm, karya Bint al-Syāṭi`dan
Sūrah al-Raḥmān wa Sumar Qiṣār, karya Syawqī Dha`īf adalah di antara contoh
tafsir yang menggunakan penyajian tafsir model yang kedua ini.
Tafsir di Indonesia era 1990-an secara umum teknis penulisannya
memakai model yang pertama, yaitu sesuai susunan mushaf Usmani. Ada tiga
tafsir di Indonesia yang termasuk dalam kategori ini, yaitu: Ayat Suci dalam
Renungan, Tafsīr Al-Mishbāh, dan Al-Qur’an dan Tafsirnya. Tiga tafsir yang
termasuk dalam bagian ini mempunyai model teknis penyajian yang beragam.
Pada Tafsīr Al-Mishbāh, di setiap awal sūrah, diurai dengan detail masalah yang
berkaitan dengan sūrah yang dikaji. Misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema
yang menjadi pokok kajian dalam sūrah, nama-nama lain dari sūrah tersebut,
dan seterusnya.
Salah satu contoh adalah pada sūrah al-Fātiḥah. Di dalam Tafsīr Al-Mishbāh
diuraikan secara sistematis nama-nama lain dari sūrah al-Fātiḥah yang telah
diperkenalkan Nabi Muḥammad saw, seperti: Umm al-Kitāb, Umm al-Qur’ān,
dan al-Sab` al-Matsānī, dan uraian tentang dasar-dasar mengapa diberi nama-
nama yang demikian itu.25
Kemudian dijelaskan mengapa sūrah al-Fātiḥah
diletakkan pada awal urutan mushaf. Dengan mengutip pendapat beberapa
ahli tafsir, seperti Muḥammad `Abduh, Abū Ḥasan al-Hirralī, dan al-Biqā’ī,
Quraish menjelaskan bahwa hal itu dilakukan menyangkut kandungannya
yang bersifat global, dan yang dirinci oleh ayat-ayat yang lain, sehingga ia
bagaikan mukadimah atau pengantar bagi kandungan sūrah-sūrah Al-Qur’an.
Atau juga karena sūrah al-Fātiḥah adalah induk Al-Qur’an, karena ayat Al-
Qur’an seluruhnya terperinci melalui kesimpulan yang ditemukan pada sūrah
al-Fātiḥah itu.26
Setelah menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sūrah, dalam
Tafsir Al-Mishbah Quraish memulai kajian dengan masuk pada ayat demi
ayat dalam setiap surah. Setiap ayat yang dipisah, teks arabnya ditulis lalu
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Di bawah teks terjemahan, dijelaskan
secara luas ayat-ayat yang dikaji tersebut. Lalu, ayat-ayat itu dikelompokkan
menjadi beberapa kelompok di setiap sūrah. Ini suatu hal yang lumrah dalam
teknis penulisan tafsir, seperti dilakukan Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy
Qur’an Text, Translation and Kommentary.27 Namun, dalam Tafsīr Al-Mishbah
tidak dijelaskan dasar pengelompokan itu.
25
Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lintera Hati, 2000), I: 9.
26
Ibid., hlm. 7.
27
Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary
(USA, Amana Corporation, 1989).
28
Untuk perbedaan ini bandingkan dengan Al-Qur’an Al-Karim yang dicetak oleh
penerbit Sinar Baru Bandung dan yang dicetak oleh Kerajaan Arab Saudi.
29
Lihat, Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf UII, 1995), I: 3-40.
96 _ Islah Gusmian
penyampaian uraian tafsir, berbeda dengan Tafsir Al-Mishbah. Dalam Al-Qur’an
dan Tafsirnya, diberikan batasan untuk setiap terjemahan, tafsir, dan kesimpulan
dengan judul khusus, sehingga memudahkan pembaca menemukannya.
Sedangkan dalam Tafsir Al-Mishbah tidak ada pembedaan. Seperti Tafsir
Al-Mishbāh, dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya ini dibuat pengelompokan ayat
dalam setiap sūrah yang ditafsirkan. Namun, standar yang digunakan dalam
pengelompokan itu berbeda: Al-Qur’an dan Tafsirnya kecenderungannya
pendek-pendek (dengan sedikitnya ayat yang diuraikan), sedangkan dalam
Tafsir Al-Mishbāh kecenderungannya panjang.
Model teknis penampilan pengelompokan di dua tafsir ini juga berbeda.
Dalam Tafsir Al-Mishbāh, di setiap kelompok diberi judul yang mengacu pada
ayat yang dikaji. Misalnya, “Kelompok II (Ayat 21-29). Sedangkan dalam
Al-Qur’an dan Tafsirnya, pemberian judul disesuaikan dengan tema yang
terkandung dalam ayat yang dikaji. Misalnya, “Golongan Munafik” untuk QS.
al-Baqarah [2]: 8-20, “Perintah Menyembah Tuhan” untuk QS. al-Baqarah [2]:
21-22, dan seterusnya.30
Dua model ini mempunyai kelebihan masing-masing. Untuk model yang
dipakai di Tafsir Al-Mishbāh, yang lebih menitikberatkan pada nomor ayat,
memudahkan pembaca dalam mencari penjelasan tentang ayat tertentu, sesuai
yang diinginkan pembaca. Kelemahannya, pembaca tidak mengetahui tema
pokok mengenai ayat yang diuraikan. Sebaliknya, pada model yang digunakan
dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya, pembaca lebih mudah menangkap tema
yang ada dalam ayat yang ditafsirkan, namun kita kesulitan mencari penjelasan
berdasarkan nomor ayat. Di luar dari kelemahan ini, pemberian kesimpulan di
setiap akhir pengelompokan berdasarkan tema ayat yang ditempuh Al-Qur’an
dan Terjemahnya, dapat memberikan kemudahan bagi pembaca.
Ada satu hal lagi yang membedakan dua tafsir ini, yaitu dalam memberikan
penjelasan mengenai persesuaian antarsūrah sesuai urutan mushaf. Dalam
Al-Qur’an dan Terjemahnya, persoalan ini dipaparkan dengan tegas di setiap
awal dari sūrah yang diuraikan, sedangkan pada Tafsir Al-Mishbāh tidak ada.
Misalnya, dalam mengawali tafsir sūrah al-Baqarah, Al-Qur’an dan Terjemahnya
menguraikan persesuaiannya dengan sūrah al-Fātiḥah. Ada dua hal yang
dipaparkan dalam kasus ini: 1) sūrah al-Fātiḥah merupakan titik pembahasan
yang akan diperinci dalam sūrah al-Baqarah dan sūrah-sūrah sesudahnya;
dan 2) di bagian akhir dari sūrah al-Fātiḥah disebutkan permohonan hamba
supaya diberi petunjuk oleh Allah ke jalan yang lurus. Sedangkan dalam sūrah
al-Baqarah dimulai dengan ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah
kitab yang menunjukkan jalan yang dimaksudkan itu.31
30
Lihat, ibid., hlm. 60 dan 71; bandingkan dengan M. Quraish Shihab, Al-Mishbah,
1: 117.
31
Lihat, Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, I: 49.
Lihat Pengantar M. Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Qur’an al-Karim Tafsir atas
32
98 _ Islah Gusmian
dalam mushaf standar, yaitu: Tafsīr Al-Mishbāh, Ayat Suci dalam Renungan, dan
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Sedangkan yang mengacu pada urutan turunnya wahyu
adalah Tafsir Al-Qur’an al-Karim.
34
Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm.
3-110.
35
Ibid., hlm. 137-252.
36
Ibid., hlm. 277-347.
37
Ibid., hlm. 375-459.
38
Ibid., hlm. 469-545.
39
Lihat, M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996),
hlm. 39-284.
40
Ibid., hlm. 295-638.
41
Ibid., hlm. 1-33.
42
Ibid., hlm. 644-679.
43
Lihat, Syu’bah Asa, Dalam cahaya Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm., 1-45.
44
Ibid., hlm. 53-130.
45
Ibid., hlm. 137-210.
46
Ibid., hlm. 219-291.
47
Ibid., hlm. 299-323.
48
Ibid., hlm. 333-376.
49
Ibid., hlm. 385-454.
50
Lihat, Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka
SM, 2000), hlm. 1-51.
51
Ibid., hlm. 59-88.
52
Ibid., hlm. 99-152.
53
Ibid., hlm. 157-214.
54
Lihat, Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Bil Ma’tsur, Pesan Moral Al-Qur’an I (Bandung:
Rosdakarya, 1993), hlm. 9.
55
Ibid., hlm. 25.
56
Ibid., hlm. 87.
57
Ibid., hlm. 181.
58
Ibid., hlm. 145.
59
Ibid., hlm. 175.
60
Ibid., hlm. 185.
61
Ibid., hlm. 4.
62
Ibid., hlm. 16.
63
Ibid., hlm. hlm. 33 Kekurangan ini juga diulangi pada halaman 35.
64
Ibid., hlm. 99, 102.
65
Ibid., hlm. 120.
66
Ibid., hlm. 151.
67
Ibid., hlm. 155.
68
Ibid., hlm. 181.
69
Lihat, Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa’
(Jakarta: Logos, 2000), hlm. 1,4, dan 10.
70
Tentang perspektif tawasuf ini akan dianalisis di bagian tersendiri tentang
perspektif tafsir.
75
Rafi’udin dan Edham Syifa’i, Tafsir Juz `Amma (Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000),
hlm. 15-16.
76
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, hlm. 8-17.
77
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, hlm. 44-46.
78
Ibid.
Setiap umat Islam yang mukalaf baik pria maupun wanita diwajibkan
beribadah dalam bidang ḥablumminallāh dan ḥablumminannās. Setiap
ibadah adalah amal soleh, baik ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu
mahdhah. Dan setiap amal saleh hendaklah dimulai dengan mengucapkan
basmallah. Sabda Rasulullah berbunyi, yang artinya: Setiap pekerjaan
penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah adalah putus
(buntung) yang tidak memperoleh hasil.81
79
Radiks Purba, Memahami Surat Yaasiin (Jakarta: PT Golden Trayon Press, 2001),
hlm. 2.
80
Ibid., hlm. 136-156.
81
Moh. E. Hasim, Ayat Suci dalam Renungan, jilid I, hlm 1.
82
Ibid., hlm. 21.
83
Lihat, Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, hlm. 31, 67, dan 80.
84
Lihat, ibid., hlm. 13-26.
85
Lihat, ibid., khususnya pada bab III, IV, dan V.
86
Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina,
1998), hlm. 38-73.
87
Ibid., terutama bab III.
88
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 20. catatan kaki nomor 1.
89
Ibid., hlm. 2-3.
90
Lihat, Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, khususnya bab II.
91
Ibid., khususnya bab IV.
92
Ibid., hlm. 35-37.
93
Lihat, Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia, khususnya bab II.
94
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, hlm. 44.
95
Ibid., hlm. 46-55.
96
Ibid., hlm., 59-134.
97
Ibid., lihat terutama bab IV dan V.
98
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Paramadina, 2000),
terutama bab II.
99
Ibid., khususnya bab III.
100
Ibid., khususnya bab IV.
101
Ibid., khususnya bab V.
102
Lihat, Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), terutama pada
bab II.
103
Ibid., hlm. 98-99.
104
Ibid., hlm. 100.
Untuk melihat pengulangan ini bandingkan misalnya dalam kasus sūrah al-
109
Fātiḥah. M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi, hlm. 3- 91 dengan M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim,, hlm. 8-71, khususnya ketika memaparkan pengertian bi dan kata
ism dalam al-Fātiḥah.
110
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 242-243.
BENTUK PENYAJIAN
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
NO
ERA 1990-AN DAN PENAFSIRNYA
Bentuk Sistematika Asal-Mula dan Publikasinya
Rangkaian narasi di atas tersusun dalam kalimat yang padat dan pendek.
Begitu pendeknya, satu kalimat disusun hanya dengan satu kata: “syahdan”.
Rangkaian kalimat yang dikutip di atas, strukturnya sangat padat, lugas, dan
jelas. Dari contoh di atas pula, ada dua kata yang dipakai, yang selama ini
seringkali dianggap sama, untuk mengungkapkan hal yang berbeda, yaitu:
pria, laki-laki, dan perempuan, wanita. Dalam tafsir ini, kata “laki-laki” dan
“perempuan” dipakai lebih mengacu pada jenis kelamin, sedangkan “pria” dan
“wanita”, tidak.
Gaya bahasa kolom dengan pilihan diksi yang tepat seperti ditunjukkan
Syu'bah dalam Dalam Cahaya Al-Qur'an, tidak saja mengajarkan kita tentang
mekanisme komunikasi efektif dalam sebuah tulisan, tetapi juga memberikan
kekuatan khas yang bisa dirasakan pembaca, dan sekaligus memberikan makna
yang tegas, sesuai diksi-diksi yang dipilih.
Kita simak lagi satu contoh berikut ini:
111
Tulisan gaya kolom ini bisa kita temui pada karya Muhammad Sobary di Kompas
rubrik “Asal-usul”, Gunawan Mohamad di Tempo rubrik “Catatan Pinggir”, dan beberapa
tulisan kolomnis lain.
112
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 7.
Satu rombongan sahabat, terdiri dari tiga puluh orang, sampai di sebuah
perkampungan Arab. Mereka menuntut hak sebagai tamu, yang sebetulnya
telah menjadi hukum dalam kehidupan padang pasir. Akan tetapi, kaum
itu menolaknya. Kebetulan pemimpin kaum itu digigit kalajengking.
Mereka meminta bantuan kepada sahabat-sahabat Nabi.
Tentang pengertian reportase dalam media massa lihat, Djudjuk Juyoto, Jurnalistik
114
Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja Raksasa (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1985).
Namun dalam beberapa kasus, Jalal dalam tafsir ini tidak memberikan
kata simpul di pangkal pembahasan. Misalnya ketika ia menguraikan QS. Ālu
`Imrān [3]: 92,116 al-Mujādalah [58]: 11,117 al-A`rāf [7]: 175-176,118 al-Aḥqāf [46]:
20,119 al-Furqān [25]: 27-29,120 dan al-Baqarah [2]: 165.121 Dengan cara ini, ia
memberikan kesan bahwa pembaca dipersilakan menarik kearifan sendiri dari
uraian-uraian yang telah dikemukakan.
Tafsir kedua yang memakai gaya reportase adalah Memahami Surat
Yaasiin. Dalam menarasikan penjelasan-penjelasannya, Radiks dalam tafsir
ini memakai bahasa yang ilegan serta menyediakan ruang kepada pembaca
untuk menyelami tema-tema yang dipaparkan secara human interest. Model
narasi yang dipakai bersifat dialogis. Beberapa uraian yang berkaitan dengan
aspek sejarah, disusun dalam bentuk narasi kisah yang memikat. Misalnya,
ketika Radiks dalam tafsirnya ini menguraikan QS. Yāsīn [36] : 52, sebagaimana
kutipan berikut:
Orang yang mati merasa seperti tidur di dalam kuburan. Karena merasa
seperti tidur, maka ketika dibangkitkan pada hari berbangkit, orang-
orang yang ketika hidupnya di dunia tidak beriman kepada Allah
menjadi terkejut, lalu mengeluh, “Yā waylanā” (aduhai celaka kami).
Setelah orang-orang beriman dan non beriman bersama-sama bangkit
115
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir bil Ma’tsur, hlm. 15-17.
116
Ibid., hlm. 35.
117
Ibid., hlm. 45.
118
Ibid., hlm. 51.
119
Ibid., hlm. 69.
120
Ibid., hlm. 123.
121
Ibid., hlm. 151.
Kasus serupa terjadi dalam Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, ketika
Ghalib menjelaskan tentang urgensi kajian atas terma ummī ketika ia melakukan
analisis atas ahl al-kitāb,125 Nasaruddin dalam Argumen Kesetaraan Jender ketika
menjelaskan pengertian yang dimaksud identitas gender,126 dan Musa dalam
Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an ketika menguraikan tentang
hubungan insān dengan khalīfah dan basyar dengan `abd.127
Dua tafsir lain yang memakai gaya bahasa penulisan ilmiah adalah Tafsir
Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama dan Tafsir bil
Ra’yi. Dua tafsir ini, meskipun tidak lahir dari tugas dan kepentingan akademik
di lembaga kampus, penulisnya juga memakai gaya bahasa penulisan ilmiah. Ada
sejumlah faktor mengapa hal ini terjadi. Pertama, dalam kasus Tafsir bil Ra’yi
naskahnya berasal dari artikel-artikel ilmiah dan audiens yang dibayangkan
oleh penulisnya adalah masyarakat atau dunia akademik. Kedua, dalam kasus
Tafsir Tematik Al-Qur’an basisnya adalah kajian ilmiah yang dilakukan oleh
Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam mengkonstruksi wacana terkait isu
hubungan antar umat beragama.
Lihat, Muhammad Ghalib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 23 dan
125
25.
Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 143.
126
Lihat, Musa Asy`arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, hlm. 50.
127
TABEL IX
GAYA BAHASA PENYAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
Oleh karena itu, meskipun tafsir ini penulisannya dikemas dalam model
gaya bahasa kolom, tetapi tampil dengan bentuk penulisan ilmiah. Dengan
demikian, kita bisa menemukan dua hal penting dalam tafsir ini, yaitu: 1)
tafsir-tafsir serta penulisnya yang dirujuk, dan 2) kita bisa membedakan antara
pendapat penulis dengan pendapat para tokoh atau mufasir yang dirujuk.
Kedua, Ensiklopedi Al-Qur’an. Sama dengan Dalam Cahaya Al-Qur’an,
dalam tafsir ini juga digunakan bentuk penulisan ilmiah. Bentuknya dengan
memberikan catatan tubuh (bodynote) di setiap pernyataan dan pendapat tokoh
atau penafsir yang dirujuk. Bedanya, model catatan tubuh yang dipakai lebih
sederhana, yaitu menyebut nama pengarang dan hanya sesekali menampilkan
judul buku yang dirujuk dan tahun penerbitan buku tersebut.129
Dalam beberapa kasus, penggunaan bentuk penulisan ilmiah Ensiklopedi
Al-Qur’an ini tidak konsisten. Sebab, dalam suatu kasus pengutipan pendapat
seorang tokoh maupun penafsir, tidak disertai dengan catatan rujukan,
setidaknya judul buku yang dirujuk. Ini bisa dilihat, misalnya ketika Dawam
berbicara tentang makna fiṭrah.130
Lihat, ibid., hlm. 47. Kasus yang sama dapat dilihat, pada halaman 78, 80, 108,
130
TABEL XI
KEPENULISAN TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
KEPENULISAN TAFSIR
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA ERA
NO Asal Mula Tafsir dan
Penafsir 1990-AN DAN PENAFSIRNYA
Ragam Bentuknya
1 Indi 1. Karya 1. Skripsi 1. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid
vidual akademik Ridha
2. Tesis 1. Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah
Kritis terhadap Konsepsi Al-Qur’an karya
Machasin
3. Disertasi 1. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-
Qur’an karya Jalaluddin Rahman
2. Tafsir Kebencian karya Zaitunah Subhan
3. Jiwa dalam Al-Qur’an karya Achmad
Mubarok
4. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya
Harifuddin Cawidu
5. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an karya Musa Asy’arie
6. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-
Qur’an karya Nasaruddin Umar
7. Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya karya
Muhammad Galib M.
2. Karya non 1. Tematik 1. Kumpulan 1. Hidangan Ilahi, Ayat-
akademik klasik ceramah ayat Tahlil karya M.
Quraish Shihab
2. Tafsir Al-Hijri, Kajian
Tafsir Al-Qur’an Surat
An-Nisa’ karya Didin
Hafidhuddin
TABEL XII
BASIS KEILMUAN PENAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
TAFSIR AL-QUR’AN
DI INDONESIA
NO PENAFSIR KEILMUAN PENAFSIR
ERA 1990-AN DAN
PENAFSIRNYA
1 Abdurrasyid Ridha Sarjana bidang Tafsir Hadis Fakultas 1. Memasuki Makna
Ushuluddin IAIN Yogyakarta Cinta
TABEL XIII
ASAL-MULA TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
8. Sumber-Sumber Rujukan
Tafsir-tafsir yang digunakan sebagai rujukan oleh penulis tafsir di Indonesia
era 1990-an , sangat beragam, baik dari sisi bahasa maupun generasi dan aliran
tafsir. Pada konteks ini, tafsir berbahasa Arab yang banyak dirujuk adalah,
pertama, Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm (Tafsīr Al-Manār) karya Rasyīd Riḍā. Tafsir
ini dirujuk oleh empat belas tafsir Al-Qur’an di Indonesia.
Kedua, Jāmi` al-Bayān karya al-Ṭabarī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān karya
al-Ṭabāṭabā’ī, al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Qur’ān al-`Aẓīm karya
Ibn Katsīr, dan Tafsīr al-Marāghī karya al-Marāghī. Masing-masing tafsir ini
dirujuk oleh sebelas tafsir. Ketiga, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, karya Sayyid Quṭb, dan Jāmi’
li Aḥkām al-Qur’ān karya al-Qurṭūbī, masing-masing dirujuk oleh sepuluh tafsir.
Keempat, al-Tafsīr al-Kabīr karya al-Rāzī dirujuk oleh sembilan tafsir.
Kelima, Rūḥ al-Ma`ānī karya al-Alūsī, dirujuk oleh enam tafsir. Keenam, Anwār
al-Tanzīl karya al-Bayḍāwī, dan Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm karya Syalṭūṭ. Masing-
masing dirujuk oleh lima tafsir.
TABEL XIV
KERAGAMAN TAFSIR RUJUKAN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
Dari tabel XIV terlihat bahwa secara umum, dari segi bahasa, ada empat
model tafsir yang dirujuk dalam penyusunan tafsir Al-Qur’an di Indonesia:
sebanyak lima puluh empat tafsir berbahasa Arab, enam tafsir berbahasa
Inggris, tiga belas tafsir berbahasa Indonesia, dan tiga tafsir berbahasa Jawa.
Untuk tafsir rujukan yang berbahasa Arab, secara umum menjadi rujukan
utama dalam penulisan tafsir di Indonesia, kecuali Ensiklopedi Al-Qur’an karya
Dawam yang banyak menggunakan rujukan edisi terjemahan bahasa Indonesia.
Untuk kasus tafsir berbahasa Inggris, banyak dipakai sebagai rujukan dalam
tafsir yang berasal sebagai tugas akademik. Di luar itu, hanya ada dua tafsir,
yaitu: Dalam Cahaya Al-Qur’an dan Ensiklopedi Al-Qur’an yang merujuk pada
tafsir berbahasa Inggris.
Terkait tafsir rujukan yang berbahasa Indonesia, secara umum mendapat
posisi stategis dalam tafsir di Indonesia, baik tafsir yang lahir dari kepentingan
akademik maupun non akademik. Dari dua puluh empat tafsir di Indonesia
era 1990-an, terdapat empat tafsir yang muncul dari kepentingan akademik
(Tafsir Kebencian, Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, Menyelami Kebebasan
Manusia, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an) dan tiga dari tafsir non
akademik (Dalam Cahaya Al-Qur’an, Ensiklopedi Al-Qur’an, dan Tafsir bi al-Ra’yi)
yang merujuk pada tiga belas tafsir berbahasa Indonesia.
Sedangkan tiga tafsir yang dijadikan rujukan yang berbahasa Jawa hanya
dirujuk dalam dua tafsir, yaitu Dalam Cahaya Al-Qur’an dan Ensiklopedi Al-
Qur’an. Sedikitnya tafsir ini dijadikan rujukan tersebut dan juga sedikitnya tafsir
yang merujuknya, karena di Indonesia tafsir yang ditulis dalam bahasa daerah
jumlahnya tidak banyak dan secara umum aspek bahasa justri menjadikannya
tidak mudah diakses oleh banyak kalangan.
Dari sisi kategori corak tafsir, tafsir berbahasa Arab yang dijadikan
rujukan cukup beragam. Dari tabel XIV di atas terlihat tafsir-tafsir yang dirujuk
tersebut memiliki beragam corak, yaitu: 1) fiqh, misalnya Jāmi’ li Aḥkām al-
Qur’ān karya al-Qurṭūbī, Rawā’i` al-Bayān karya al-Ṣābūnī, Aḥkām al-Qur’ān
152.
Muḥammad `Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān, hlm. 67.
136
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, hlm. 66; M. Quraish Shihab, Tafsir
140
Al-Mishbah, 1: 74.
Mannā’ al-Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥits, hlm. 342.
141
Kenneth Cragg, The Event of the Qur’an: Islam and its Scripture (London: George
142
Konsepsi ini dibangun Nasaruddin dengan merujuk pada Judith E. Tucher (ed.)
148
Arab Women (Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 1993). Lihat, ibid.,
hlm. 128.
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, hlm. 644-650.
149
152
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antarumat Beragama, hlm. 93.
Ibid., hlm. 93-94.
153
(Yogyakarta: Galangpress, 2001), hlm. 36. Lebih lengkap dapat dilihat, Ferdinand de
Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996).
Ibid., hlm. 37.
162
Ibid.
165
Makna yang sama terjadi pada QS. al-Baqarah [2]: 228; al-Nisā’ [4]: 32 dan 34.
166
Ibid.
168
Ibid.
179
Ibid.
181
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic
183
Weltanschauung (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964),
hlm. 12.
Ibid.
184
Lihat, Musa Asy`arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan, hlm. 19-22, dan 35-38.
189
Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya, hlm. 38-45.
196
197
Ibid., hlm. 47-60.
198
Ibid., hlm. 38-60.
Lihat, Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka
199
Amani, t.th), hlm. 157; Mas’ud Khasan Abdul Qohar dkk., Kamus Istilah Pengetahuan
Populer (t.tk.: CV. Bintang Pelajar, t.th), hlm. 120.
Konflik antar-umat beragama di Maluku dan beberapa kota di Indonesia, pada
200
akhir 1990-an membuktikan di mana istilah kafir telah dipakai untuk mengklaim orang
Kristen. Dari sini muncul pengertian baru, yaitu non muslim diidentikkan dengan orang
kafir.
Pada contoh di atas temuan sains dipakai untuk menjelaskan maksud dari
suatu ayat. Model tafsir semacam ini secara implisit setidaknya memuat dua
hal. Pertama, Al-Qur’an telah memberikan isyarat mengenai ilmu alam, sains,
teknologi, dan ilmu-ilmu kealaman lain. Kedua, penemuan sains dimanfaatkan
sebagai penjelas bahwa Al-Qur’an selaras dengan sains. Dalam kasus ini, seperti
telah dikemukakan tadi, problem yang muncul adalah jika simpulan dalam sains
itu berubah karena terjadi pergeseran paradigma, falsifikasi, dan anomali.
Betapapun harus disadari bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab sains. Sejak
semula, Abū Zayd mengingatkan kita, Al-Qur’an bukanlah dimaksudkan untuk
menjawab semua problem manusia. Banyak hal yang dapat diperoleh cara
penyelesaiannya di luar Al-Qur’an. Oleh karena itu, menafsirkan Al-Qur’an
bukanlah untuk memenuhi kebutuhan aktual dan teknik,204 melainkan berupaya
berdialog dengannya untuk melihat bagaimana pandangan-pandangannya.
Lihat, Moch. Nur Ichwan, “Pahamilah al-Qur’an Sesuai Konteks Narasinya”, Ummat
204
Ibid. Hal serupa dapat ditemukan pada buku yang sama, hlm. 110-112.
206
207
M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi, hlm. 120; Wawasan Al-Qur’an, hlm. 81,82, 157,
185, 227, 299; dan Tafsir al-Qur’an al-Karim, hlm. 112.
208
Lihat, Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an, hlm. 48,
66, 68, dan 69.
209
Lihat, Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 31, 33, dan 35.
210
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 145, 153, dan 157.
211
Tim Majelis Tarjih, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama, hlm. 5 dan 40.
Lihat, Didin Hafiduddin Tafsir Al-Hijri, hlm. 139, 154, dan 155.
212
Ibid.
215
Ibid.
217
Hal ini sepenuhnya disadari oleh Quraish. Atas dasar itulah kemudian ia menulis
219
buku Tafsir Al-Mishbah. Lihat “Sekapur Sirih” dalam Tafsir Al-Mishbah, vol 1, hlm. viii.
Muḥammad `Abduh, Tafsīr al-Manār, I: 26.
220
J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif
221
Lihat penjelasan Quraish, “Sekapur Sirih” dalam Tafsir Al-Mishbah, 1: ix, dan
225
Tema ini ditulis Syu’bah pada 18 Mei 1998 di majalah Panji Masyarakat ketika
239
Harold H. Titus, et al., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasyidi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), hlm. 520. Tentang pemakaian istilah teologi di dalam Islam dan kaitannya
dengan istilah kalam, lihat A. Hanafi, M.A., Pengantar Theologi Islam (Jakarta: Penerbit
Pustaka al-Husna, t.th.), hlm. 12.
Ibid. hlm. 168, bandingkan dengan Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, hlm.
246
144.
Tafsir Ibn ‘Arabī, II: 280, dikutip `Alī al-Awsī, al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhājuh, hlm. 107.
250
Ibid.
255
Ibn Manẓūr, Lisān al-`Arab (t.tp.: Dār al-Ma`ārif, t.th.), VI: 4500-4501.
256
259
Ibid., hlm. 53-58.
260
Achmad Mubarak, Jiwa dalam Al-Qur’an, hlm. 270.
Ahsin Muhammad’ “Asbab al-Nuzul dan Kontekstualisasi Al-Qur’an”, makalah
261
disampaikan dalam Stadium General HMJ Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 10 Oktober 1992, hlm. 7.
Louis Brenner, “Introduction” dalam Louis Brenner (ed.) Muslim Identity and
262
Social Change in Sub-Saharian Africa (London: Hurs and Company, 1993), hlm. 5-6.
Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The
263
265
Kuntowijoyo dalam kata pengantarnya atas buku Syu’bah ini menyebutnya
sebagai tafsir yang menggunakan pendekatan historis, yaitu menyatu dengan waktu dan
tempat. Lihat, Kuntowijoyo, “Pengantar” dalam Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an,
hlm. ix.
266
Lihat, ibid., hlm. x.
TABEL XV
METODE, NUANSA, DAN PENDEKATAN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN DI
INDONESIA
Abdurrasyid Ridha
2. Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
karya M. Dawam Rahardjo
3. Tafsi Al-Misbah, Pesan Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an karya M.
Quraish Shihab
4. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish
Shihab
5. Ayat Suci dalam Renungan karya
Moh. E Hasim
6. Al-Qur’an dan Tafsirnya karya Tim
Badan Wakaf UII
7. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat Tahlil karya
M. Quraish Shihab
8. Tafsir al-Hijri, Kajian Tafsir Surat an-
Nisa’ karya Didin Hafidhuddin
9. Memahami Surat Yaasiin karya
Radiks Purba
Kontekstual 1. Tafsir bil Ra’yi, Upaya Penggalian
Relasi Antar Laki-laki
Nashruddin Baidan
2. Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
3. Tafsir Kebencian karya Zaitunah
Subhan
5. Sufistik Tekstual 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah
karya Jalaluddin Rakhmat
6. Sosial Poltik Kontekstual 1. Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir Ayat-
ayat Sosial Politik karya Syu’bah Asa
267
lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden:
E.J.Brill, 1974) terutama bab dua.
Ada tiga prinsip hermeneutik yang dibangun Riffat. Pertama, tentang akurasi
268
linguistik (lingustic accuracy), yaitu melihat sebuah terma atau konsep dalam rangka
mendapatkan suatu pengertian yang utuh dengan cara merujuk pada semua leksikon
klasik apa yang dimaksud dengan dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia
dipergunakan. Kedua, kriteria konsistensi filosofis (criterian of philosophical consistency),
yaitu untuk melihat bagaimana berbagai penggunaan kata-kata dalam Al-Qur’an itu
secara filosofis konsisten dan tidak bertentangan. Ketiga, kriteria etis (ethical criterian),
misalnya apabila kriteria etis bahwa Tuhan itu adil, keadilan itu haruslah terefleksikan
dalam Al-Qur’an. Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen
(ed.), Women and Islam in Muslim Society (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994),
hlm. 116.
Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997), hlm. 49-
269
77.
Menurut Andrew Rippin, interpretasi Al-Qur’an modern secara umum dilandasi
270
oleh tiga prinsip yang saling terkait, yaitu: 1) menginterpretasikan Al-Qur’an dalam
sinaran akal dan metodologi ilmiah; 2) pemanfaatan interpretasi untuk membebaskan
Al-Qur’an dari segala sifat kelegendaan, cerita fantastis, magis, fabel dan superstisi
(khurāfah), di sini interpretasi simbolik adalah alat utama untuk pemecahan masalah
semacam ini; 3) merasionalisasi doktrin sebagaimana yang diperoleh dalam, atau
sebagaimana dijustifikasi oleh perujukan pada Al-Qur’an. Lihat Andrew Rippin, Muslim:
Their Religious Beliefs and Practices, Volume 2: the Contemporary Period (London and
New York, 1993), hlm. 86.
Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, terutama bab II dan bab III.
271
1
Muhammad `Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān fī `Ulūm al-Qur’ān (Beirūt: `Ālam al-Kutub,
1985), hlm. 69-70.
2
Tentang metode Bint al-Syāṭi’ dan Amīn al-Khūlī ini lihat, J.J.G. Jansen, Diskursus
tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), terutama pada bab 4.
3
Lihat beberapa buku M. Quraish Shihab, misalnya Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,
Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1997).
4
Lihat, Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual:
Sebuah Kerangka Kontekstual (Bandung: Mizan, 1992).
5
Lihat, Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), khususnya
pada bagian 3.
6
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Paramadina, 1999),
terutama pada bab 2 dan 3.
7
Abū Zayd, “The Textuality of the Koran” dalam Islam and Europe in Past and
Present, Leiden: NIAS, 1997, hlm. 45-46.
8
Ḥasan Ḥanafī, Dirāsah Islāmiyyah (Kairo: Maktabat al-Anjilū al-Miṣriyyah, 1981),
hlm. 69.
9
Ḥasan Ḥanafī, “Manāhij al-Tafsīr wa Maṣālih al-Ummah”, dalam al-Dīn wa al-
Tsawrah III (Kairo: Maktabah al-Madbūlī, 1989), hlm. 102-11.
10
Lihat, Ḥasan Ḥanafī, “Mādzā Ta`nī Asbāb al-Nuzūl”, dalam al-Dīn wa al-Tsawrah
III (Kairo: Maktabah al-Madbūlī, 1989), hlm. 74.
11
Lihat, Syu`bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2000).
12
Budhy Munawar-Rachman pernah membuat peta pemikiran pembaru Islam
di Indonesia, khususnya pada kurun 1970-1990-an. Dalam pemetaan itu Budhy
menunjukkan ada tiga model program riset teologi kaum pembaru Islam di Indonesia,
yaitu: 1) teologi rasional yang dikembangkan, terutama, oleh Harun Nasution, 2) teologi
hermeneutik yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid, dan 3) teologi emansipatoris
yang dikembangkan oleh M. Dawam Rahardjo. Ketiga orang ini, hanya contoh dari tiga
jenis program riset kaum pembaru tersebut. Lihat Budhy Munawar-Rachman, “Puisi-
puisi Perenial Emha Ainun Nadjib dan Pemikiran Islam Indonesia”, Horison 07/XXIX/
Juli 1994, hlm. 7.
13
Lihat Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun Nasution” dalam Refleksi
Pembaruan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF, 1990), hlm. 103.
14
Tentang gagasan Harun ini, lihat Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung:
Mizan, 1995).
15
Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan
(Jakarta: UIP, 1978) dan Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu`tazilah (Jakarta: UIP, 1987).
16
Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. v.
17
Abū al-Ḥasan `Alī ibn Ismā’īl al-Asy`arī, Kitāb al-Luma` fī al-Radd `alā Ahl al-Zayq
wa al-Bida` (Beirūt: al-Maktabah al-Kāsūlīkiyyah, 1952), hlm. 37.
18
`Imād al-Dīn Abū al-Ḥasan `Abd al-Jabbār, Tanzīh al-Qur’ān al-Maṭā`in (Beirūt:
Dār al-Nahdlah al-Ḥadītsah, t.th.), hlm. 354.
19
Al-Asy`arī, Kitāb al-Lumā` fi al-Radd `ala Ahl al-Zayq wa al-Bida`, hlm. 37.
20
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. xvi.
21
Th. Sumartana dkk.,”Pengantar: Menuju Dialog Antar Iman” dalam Dialog: Kritik
dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian-Interfidei, t.th,), hlm. ix-x.
22
Lihat, M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (Bandung: Penerbit Pelajar dan
Bulan Sabit, 1969); Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm.
10.
23
Th. Sumartana dkk.,”Pengantar: Menuju Dialog Antar Iman” dalam Dialog: Kritik
dan Identitas Agama, hlm. ix-x.
24
Islah Gusmian, “Melahirkan Kembali Nilai Humanitas Agama”, Surabaya Post 29
Agustus 1997.
25
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 347-371.
26
Syu`bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 9-14.
27
Ibid., hlm. 14-22.
28
Ibid., hlm. 23-23.
29
Ibid., hlm. 37-44.
30
Sekadar contoh, lihat Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah
Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita dalam Masyarakat (Jakarta: Gramedia,
1981); T.O. Ihromi (peny.), Kajian wanita dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor,
1995), Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996).
31
Lihat, Majalah Pesantren No. 2/Vol. VI/1989.
32
Lihat, M. Masyhur Amin, dkk. (ed.), Wanita dalam Percakapan Antar Agama,
Aktualisasinya dalam Pembangunan (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1992).
33
Dalam seminar ini ada 29 makalah yang disajikan, baik sebagai pemakalah utama
maupun pembanding, dan sebagian besar telah dibukukan. Lihat, Lies M. Marcoes-
Natsir dan Johan Meuleman, (ed.), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan
Kontekstual (Jakarta: INIS, 1993).
34
Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Meuleman, “Pengantar” dalam ibid., hlm. xiv.
35
Lihat, Majalah Pesantren No. 2/Vol. VI/1989; edisi khusus 5 tahun Ulumul Qur’an
No. 5 dan 6 , Vol. V tahun 1994; Majalah Pesantren No. 2/Vol. VI/1989.
36
Lihat, M. Hajar Dewantoro dan Asmawi (ed.), Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam
Peradaban Masyarakat Modern (Yogyakarta: Ababil, 1996). Naskah buku ini berasal dari
seminar nasional “Konstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern”
yang diadakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia; Masdar Farid Mas`udi,
Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqih Pemberdayaan (Bandung: Mizan,
1997); dan yang lain.
37
Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 296-318.
38
Lihat, Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 430-437.
39
Tidak dikemukakan alasan yang jelas terkait pilihan Didin terhadap sūrah al-
Nisā’. Seri kedua dari tafsir ini telah terbit, yaitu kajian tafsir terhadap sūrah al-Mā’idah.
40
Lihat, Laporan dari acara peluncuran buku Tafsir Sufi Al-Fatihah, “Tafsir Sufi:
Menyesatkan atau diperlukan” Republika, 1 Oktober 1999.
41
Lihat, Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah (Bandung: Rosdakarya, 1999),
hlm. viii-ix.
42
Yayasan Tazkiyah Sejati didirikan oleh mantan Wapres Sudharmono pada
1998. Yayasan ini mengkhususkan diri pada kajian tasawuf. Mulanya dari kelompok
pengajian ibu-ibu, kemudian meluas ke semua lapisan, termasuk kaum selebritis. Di
Tazkiyah diselenggarakan kuliah tasawuf, antara lain menghadirkan kelas-kelas atau
paket tazkiyah al-nafs, mengenal tarekat, dan maqamat. Lihat Laporan Republika “Pusat
Kajian Tasawuf”, Republika 01 Oktober 1999.
43
Majalah ini diterbitkan oleh Al-ghozali Network. Dalam struktur keredaksiannya
melibatkan banyak pakar, seperti KH. A. Mustofa Bisri, Prof. Dr. Said Aqiel Siradj, Dr. M.
Fudoli Zaini, dan beberapa tokoh yang lain.
44
Informasi tentang keterlibatan Jalaluddin Rakhmat dalam Tazkiyah Sejati ini,
lihat “Pusat Kajian Tasawuf”, dalam Suplemen Republika 1 Oktober 1999.
45
Kelimabelas disipilin keilmuan tersebut, yaitu: ilmu bahasa, ilmu naḥwu, ilmu
taṣrīf, ilmu isytāq, ilmu ma`ānī, ilmu badī`, ilmu qirā’at, ilmu uṣūl al-dīn, ilmu uṣūl al-fiqh,
ilmu asbāb al-nuzūl, ilmu naskh mansūkh, ilmu fiqh, ilmu ḥadīts, ilmu al-mauḥibah (ilmu
yang diberikan Allah kepada mereka yang mengamalkan apa yang diketahui). Lihat,
Jalāluddīn `Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, Al-Itqān fī `Ulūm al-Qur’ān, (Beirūt: Dār al-Fikr,
1991), II: 231.
46
Diantara buku yang ditulis Hamka adalah Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Tao”,
Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Dari Lembah Cita-cita, Kenang-
kenangan Hidup, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Tafsir Al-Azhar, dan masih banyak lagi.
47
H.B. Jassin, Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia (Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942,
1982) cetakan ke- 2.
48
Buku Bacaan Mulia telah mendapat sambutan dan kritikan dari berbagai pihak.
Lihat, Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemahan Al-Qur’anulkarim Bacaan Mulia H.B. Jassin
(Pandang Panjang: Pustaka Saadiyah, 1978); Oemar Bakry Dt. Besar, Polemik Jakarta:
Mutiara, 1979).
49
Lihat, M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996),
hlm. 8-14.
50
Hal ini bisa kita lihat pada beberapa tulisan mereka. Lihat Kenneth Cragg, The
Event of the Qur’an (London: George Allen dan Unwin Ltd, 1971); Toshihiko Isutzu, God
and Man in the Quran (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Language Studies, 1964);
dan W.C. Smith, “True Meaning of Scripture: an Empirical Historians Non-reductionisst
Interpretation of the Qur’an” dalam IJMES, Vol. 2 No. 4, Juli 1980.
1
Detail kritiknya ini bisa dibaca misalnya dalam al-Imām al-Syāfi`ī wa Ta’sīs al-
Idiyūlujiyyā al-Waṣīṭiyyah (Kairo, 1992), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Khoiran Nahdiyyin, Imam Syafi`i: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme (Yogyakarta: LKiS,
1997), Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kairo: Sīnā li al-Naṣr, 1992).
2
Lihat wawancara Nur Ichwan dengan Abū Zayd, pada 2 Juni 1999 dalam M.
Moch. Nur Ichwan, “A New Horizon in Qur'anic Hermeneutics Nasr Hamid Abu Zayd’s
Contribution to Critical Qur’anic Scholarship”, Thesis MA di Universitas Leiden, 1999..
3
Abū Zayd, al-Naṣṣ al-Sulṭah al-Ḥaqīqah, (Beirūt: al-Markaz al-Tsaqafī al-`Arabī,
1995), hlm. 99.
4
Tentang uraian ini lebih lengkap, lihat Moch. Nur Ichwan, “A New Horizon
in Qur'anic Hermeneutics Nasr Hamid Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic
Scholarship”, Thesis MA di Universitas Leiden, 1999.
5
Lihat, `Abd al-Karīm al-Syahrastanī, al-Milal wa al-Niḥal. `Abd al-`Azīz Muḥammad
al-Wakil (ed.) (Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.).
6
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 126-127.
7
Ibid. Lihat, catatan kaki nomor 15.
8
Ibid., hlm. 127.
9
Ibid., hlm. 128.
10
Ibid., hlm. 136.
11
Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. 168.
12
Ibid.
13
Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia, hlm. 168.
14
Selengkapnya, lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanat (Yogyakarta:
Bentang, 2001), 207-208.
15
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
hlm. 230.
16
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 160-161.
17
Lihat, Abū Bakr Jabīr al-Jazā’irī, Minhāj al-Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), hlm.
535.
18
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairussalim HS dan Imam
Baehaqi (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 88-89.
19
Diskusi soal ini, lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. 226-228.
20
Lihat, Riffat Hasan dan Fatima Mernissi, Setara di Hadapan Allah, terj. tim LSPPA
(Yogyakarta: LSPPA, 1994), hlm. 44-50.
21
Lihat, Tafsīr al-Qurṭubī, I: 448; al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, IV: 135; Tafsīr Ibn
Katsīr, I: 448; Tafsīr Rūḥ al-Bayān, II:159; Tafsīr al-Kasysyāf, I: 492; Tafsīr al-Jāmi` al-
Bayān, III: 224-225, dan Tafsīr al-Marāghī, II: 175.
22
Lihat misalnya dalam Ibn Katsīr, Tafsīr ibn Katsīr, I: 449.
23
Lihat, al-Rāzī, Tafsīr al-Rāzī, III: 478
24
Muḥammad Rasyīd Ridlā, Tafsīr al-Manār, IV: 223-230.
25
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 51-52.
26
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 241.
27
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 8-10.
Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang
rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita
selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan laki-laki.
Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan
antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi surat al-Ḥujurāt di atas, dan
sebagaimana penegasan-Nya, “Sebagian kamu dari sebagian yang lain”
(QS. Ālu `Imrān [3]: 195. Laki-laki lahir dari pasangan pria dan wanita,
begitu juga wanita. Karena itu tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan
antara keduanya. Kekuatan laki-laki dibutuhkan oleh wanita dan
28
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 241-42.
29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 314-5.
Berbeda dengan sikap Quraish dalam Al-Mishbah yang kurang lugas di atas,
penulis Al-Qur’an dan Tafsirnya dengan tegas memahami kata nafs wāḥidah
dalam arti Adam. Dalam tafsir ini juga dijelaskan—atas nama mayoritas
mufasir—bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah. Dari
diri Adam diciptakan pasangannya, Hawa.31 Sikap serupa juga dilakukan Didin
Hafiduddin dalam Tafsir al-Hijri.32 Namun, dia tidak memberikan penjelasan
lebih detail mengenai penciptaan Hawa dari Adam tersebut: apakah dari tulang
rusuk Adam atau dari unsur yang sejenis dengannya.
Dari keseluruhan uraian tersebut tampaklah bahwa tafsir-tafsir di
Indonesia dalam kasus di atas merepresentasikan kecenderungan yang
berbeda-beda. Para penulis Tafsir Kebencian, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Argumen
Kesetaraan Jender, dengan tegas menolak pendapat bahwa perempuan (Hawa)
diciptakan dari Adam. Dilihat dari rujukan dan episteme yang dipakai, dalam
tiga tafsir ini tidak secara tegas membangun proposisi hermeneutika feminis
yang dicanangkan para feminis Muslim, seperti Fatima Marnissi, Riffat Hassan,
dan Amina Wadun Muhsin, tetapi ketiganya memahami rasionalitas baik di
dalam teks maupun di luar struktur teks. Secara epistemologis, ketiga tafsir
ini bertitik-tolak pada istilah kunci yang dipakai Al-Qur’an kemudian menarik
signifikansi pokok, dan dari signifikansi itulah mereka merumuskan visi Al-
Qur’an yang tidak terkatakan dalam teks.
Adapun Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah dan Wawasan Al-Qur’an, Didin
dalam Tafsir al-Hijri, dan tim Badan Wakaf UII dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya,
tidak mengusung proposisi tafsir feminis Muslim. Secara epistemologis keempat
tafsir ini menegaskan perihal yang sebaliknya. Didin dan tim Badan Wakaf
UII dengan tegas berpihak pada pendapat pertama, tetapi keduanya secara
epistemologis tidak memberikan penjelasan mengapa mereka berpendapat
semacam itu. Hanya Quraish—yang tidak menolak model pendapat pertama—
dengan memberikan logika penafsirannya. Baginya, pendapat itu dia ambil
karena tuntutan konteks narasi ayat bahwa nafs wāḥidah dalam QS. al-Nisā’ [4]:
1 lebih sesuai dimaknai sebagai Adam. Namun, dengan model metode interteks,
dalam dua tafsir tersebut, Quraish tidak bersikap lugas.
30
Ibid., II: 316.
31
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I (Yogyakarta: Badang Wakaf
UII, 1995), hlm. 116.
32
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an atas Surat an-Nisa’ (Jakarta:
Logos, 2000), hlm. 2.
33
Ibid., II: 316.
34
Selengkapnya lihat, ibid., hlm. 247-263.
35
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 28-44.
36
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 390-310.
37
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, II: 169.
38
Lihat, Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, I: 404.
39
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 150.
40
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, II: 169; Didin Hafidhuddin, Tafsir
Al-Hijri, hlm. 44.
41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 404.
42
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 105.
43
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 150.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 405-8.
45
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 311.
46
Moh. E Hasim, Ayat Suci dalam Renungan (Bandung: Pustaka, 1998), I: 38-40.
47
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 104.
48
Ibid., hlm. 108.
49
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 314-4.
50
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, II: 124-135.
51
Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri,, hlm. 23.
52
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 64-65.
53
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 353.
54
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 127-8.
55
Ibid., hlm. 129.
56
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 351.
57
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 129.
63
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 201.
64
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, II: 324-325.
65
Ariel Heryanto, Perlawanan dalam Kepatuhan (Bandung: Mizan, 2000); juga,
Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (editor), Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di
Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996).
66
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hlm. 151.
67
Ibid., hlm. 161.
68
Ibid., hlm. 152.
69
Ibid. Konsepsinya ini didasarkan pada pernyataan `Alī ibn Abī Ṭālib, “Bila
kelembutan hanya akan mendatangkan kekerasan, maka kekerasan itu sendiri adalah
kelembutan.” Selengkapnya, lihat `Alī ibn Abī Ṭālib, Nahj al-Balaghah, terj. Muhammad
al-Baqir (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 124.
70
Pembahasan tentang ini lihat Michel Foucault dalam The Archeology of Knowledge.
Sedangkan contoh-contohnya dalam konteks Indonesia, lihat Eriyanto, Analisis Wacana
(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 65-75.
Dan berapa, sebenarnya, jumlah para pemuda yang tidak pernah lagi
pulang ke rumah, setelah peristiwa Priok, demonstrasi besar kalangan
Islam yang menolak pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal, yang
banyak terdiri dari para buruh dan jelata, yang begitu saja diguyur peluru
71
Ibid., hlm. 7.
Berapa pula jumlah pemuda yang sebenarnya diculik, disiksa dan sebagian
mungkin dibunuh, di hari-hari menjelang reformasi Mei 1998 ini, tanpa
kemampuan aparat keamanan menjelaskan pihak mana sebenarnya
pelaku tindak biadab yang menurut Komite Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) terorganisasi dengan rapi itu? Berapa pula yang di-dor
begitu saja, dengan tuduhan preman dan pencoleng, dalam “operasi
petrus” (penembak misterius) untuk membersihkan, tanpa peradilan,
sebelum itu?….72
Secara historis, cara yang dipakai Syu'bah dalam menyusun narasi tafsir
ini tidak terlepas dari konteks di mana tafsir ini ditulis. Entri yang berjudul,
Dibunuh, Diculik dan Dianiaya, yang bicara tentang pembunuhan nyawa
manusia, misalnya, ditulis pada 18 Mei 1998, tiga hari menjelang lengsernya
Soeharto dari kursi kepresidenan. Waktu itu, suara kritis yang menghendaki
Soeharto turun dari kekuasaan terjadi di berbagai penjuru. Atas kepeloporan
mahasiswa, semua orang lalu menjadi berani bersuara dan mengritik Soeharto.73
Di lihat dari konteks zaman, keterbukaan Syu`bah dalam menyusun narasi tafsir
tersebut, mempunyai signifikansi yang kuat. Apalagi, seperti kita tahu, sebelum
dibukukan, tafsir ini disajikan dalam bentuk artikel di majalah Panji Masyarakat.
Pada bagian lain, ketika menguraikan QS. al-Anfāl [8]: 53 tentang “karunia
Tuhan yang hilang”, Syu`bah dengan fulgar mengarahkan eksplorasi tafsir pada
konteks politik Indonesia di bawah kendali rezim Orde Baru. Sebelumnya, dia
menjelaskan bahwa ayat ini bukanlah berbicara tentang kasus krisis ekonomi.
Mengutip al-Syawkānī, dia menegaskan bahwa adat Allah mengenai para
hamba-Nya ialah tidak adanya pengubahan segala karunia yang telah diberikan-
Nya kepada mereka, sampai mereka mengubah yang ada pada diri mereka, yaitu
situasi-situasi dan moralitas.74
Dengan cara berpikir yang demikian, dia menyimpulkan bahwa perubahan
terjadi karena tangan-tangan manusia sendiri yang mengubah situasi-situasi
dan moralitas. Dalam konteks sosial politik Indonesia, Syu'bah menuding
72
Syu`bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik (Jakarta:
Gramedia, 2000), hlm. 46.
73
Ibid., hlm. 45-51. Tentang rekaman peristiwa reformasi dan lengsernya Soeharto,
lihat misalnya Diro Aritonang, Runtuhnya Rezim daripada Soeharto, Rekaman Perjuangan
Mahasiswa Indonesia 1998 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).
74
Ibid., hlm. 160.
75
Ibid., hlm. 160-161.
76
Ibid., hlm. 162-163.
77
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an , hlm. 110-129.
78
Ibid., hlm. 127-9
79
Ibid., hlm. 129-133.
80
H. Ahmad Ghozali, “Sambutan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan
Urusan Haji” dalam Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. xvii.
81
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.
405-6.
82
Soal model analisis wacana kritis semacam ini, lihat Eriyanto, Analisis Wacana,
Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 173.
83
Tentang asumsi-asumsi ini, lihat Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan
Pluralisme Keagamaan, (Yogyakarta: Galangpress, 2001), hlm. 97-110.
84
M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Ilahi,
1997), hlm. 41.
85
Ibid., hlm. 45.
86
Ibid., hlm. 3-12.
87
Fenomena semacam ini digambarkan dengan cukup dramatis oleh K.H. Mustofa
Bisri dalam sebuah puisi berjudul Sajak Atasnama. Puisi ini ditulis pada Agustus 1997
dan oleh K.H. Mustofa Bisri dibacakan dalam Festival Puisi Internasional Indonesia.
Lihat, Majalah Horison edisi khusus April 2002. hlm. 44.
....Kita bisa marah atau jengkel terhadap orang yang berbuat kesalahan
kepada kita. Seringkali sulit bagi kita untuk memaafkannya. Misalnya
rasa marah kita kepada Dr. Subandrio yang pada waktu menjadi Wakil
Perdana Menteri, memainkan politik revolusioner terhadap sesama
bangsa, mengikuti PKI. Demikian pula terhadap novelis Pramudya Ananta
Toer yang ikut melakukan teror terhadap para pekerja kreatif yang tidak
sealiran, yakni aliran realisme sosialis. Sampai sekarang, banyak orang
yang tidak bisa memaafkan mereka. Tetapi presiden Soeharto, baru-baru
ini memutuskan untuk mengabulkan permohonan grasi mereka bertiga,
bersama Oemar Dhani dan Soetarto. Ini menunjukkan bahwa Pak Harto
masih menyimpan rasa kasih kepada sesama manusia, termasuk manusia
yang telah membuat kesalahan atau mungkin dosa besar. Hanya rasa
raḥim-lah yang memungkinkan Pak Harto memberikan maaf.89
Dalam narasi di atas, terlepas dari apakah benar Oemar Dhani, Pram dan
kawan-kawannya bersalah dan terlibat dalam tragedi gerakan 30 September
1965, seperti kita tahu, sejarah tentang keterlibatan PKI dalam kasus ini adalah
beragam. Termasuk juga terlibatan tokoh-tokoh yang disebutkan Dawam di
atas. Bahkan dalam satu versi, ada yang penjelasan bahwa Soeharto terlibat
dalam kasus yang penuh dengan kegelapan dan berlumuran darah itu.90
Namun, bukan di sini persoalannya. Klaim Dawam yang mentahbiskan sikap
pengampunan dan pemaafan Soeharto terhadap mereka yang dituduh terlibat
tindakan makar itulah pokoknya. Benarkah Soeharto dengan rezim Orba, dalam
konteks ini adalah seorang pemaaf dan mengapa mesti kasus grasi dari presiden
Soeharto yang dijadikan contoh?
Dalam kasus ini, Dawam melakukan pengidentifikasian terhadap sosok
Soeharto dengan citra yang baik, yaitu pemaaf. Dalam struktur wacana, Dawam
88
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, hlm. 211-217
89
Ibid., hlm. 218.
90
Dalam soal ini lihat misalnya, M.R. Siregar, Naiknya Para Jendral (Medan: SHRWN,
2000) dan Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu (Jakarta: KPG, 2000).
1. Makna Ahl al Kitāb: dari Yahudi, Nasrani, hingga Agama Non Semitis
Istilah ahl al-kitāb telah melahirkan beragam pemaknaan. Kata yang
secara tekstual banyak diulang-ulang oleh Al-Qur’an ini telah menjadi bahan
diskusi para ahli tafsir. Tafsir-tafsir di Indonesia dalam kasus ini, secara metodis
melakukan interteks dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Kita menemukan banyak
rumusan tentang subjek yang dimaksud dengan ahl al-kitāb oleh Al-Qur’an.
Keragaman itu terperikan dalam empat sudut pandang, yaitu 1) komunitas
yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci samawī; 2) komunitas
Yahudi dan Nasrani keturunan Isrā’īl, seperti dipersepsikan oleh Imām Syāfi`ī,
atau tanpa membedakan dari mana asal keturunannya; 3) selain komunitas
Yahudi dan Nasrani, juga kaum Majūsī, seperti yang dipahami oleh Ibn Ḥazm
(w. 456 H); dan 4) pendapat yang memasukkan Hinduisme, Buddhisme, Kong
Fu Tse, Sinto dan yang sejenis dalam kategori ahl al-kitāb. Pandangan ini
dikemukakan oleh Maulana Muḥammad `Alī dan Rasyīd Riḍā.
Penjelasan tentang keragaman pemaknaan tentang istilah ahl al-kitāb di
atas secara umum disajikan dalam tafsir-tafsir di Indonesia. Uraian yang rinci
terdapat dalam Wawasan Al-Qur’an, Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya dan
Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama.91
91
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an, khususnya bab III bagian pertama; Muhammad Galib M, Ahl
.... bahwa ahl al-kitāb itu terdiri dari Yahudi, Kristen, Majūsī dan Sabi’ūn,
bahkan bisa diperluas sampai Konfusionis, Hindu, dan Buddha. Di zaman
modern seperti ini, mencari makna baru atas konsep ahl al-kitāb yang
begitu terbuka itu harus selalu dilakukan oleh para sarjana muslim
untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Upaya ke arah itu harus
dilakukan berdasarkan Al-Qur’an yang ṣāliḥ fī kull zamān wa makān....
Mendeskriditkan komunitas agama tertentu menurut pemahaman
penulis sangat bertentangan dengan semangat Al-Qur’an. Al-Qur’an
justru memperkenalkan ajaran toleransi dalam berhubungan antara satu
komunitas agama dengan yang lain.94
al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 28-37; dan M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an,
hlm. 366-7.
92
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 368.
93
Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 187.
94
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an, hlm. 151-2.
95
Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 189.
96
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, I: 551-552. Lihat juga ketika tafsir
ini menguraikan QS. al-Nisā’ [4]: 331.
97
Ibid., hlm. 460-461.
Jika kita punya kesempatan untuk memilih pemimpin, dalam level apa
pun, maka pilihlah orang yang beriman, orang yang muslim, mereka yang
salat dan membayar zakat, dan mereka yang cinta kepada Islam dan kaum
muslim. Bukan semata-mata keahlian, tetapi lebih pada kesamaan akidah
98
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, hlm. 89.
99
Ibid., 90.
100
Ibid. hlm. 96.
101
M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, III: 116-117. Lihat juga ketika Quraish
menguraikan QS. al-Nisā’ [4]: 139, 144, dalam ibid, II: 595-603.
102
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah, hlm. 100;
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Nisa’, hlm. 189.
103
M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, III: 115-116.
Dari kutipan di atas kerang berpikir yang dibangun Didin bersifat teologis
dan Islam sebagai lembaga dipakai kerangka dasar dalam pemilihan kepemim
pinan. Dengan demikian, dalam memilih pemimpin, keahlian bukanlah faktor
utama, tetapi keislaman seseorang yang menjadi ukuran utama. Ukuran
formalisme agama, dalam hal ini Islam, kaitannya dengan bersikap dalam ruang
sosial politik di Indonesia ini, akan melahirkan persoalan sosial. Sebab, seperti
kita tahu, Indonesia bukan negara agama (Islam) dan dalam kenyataannya
Indonesia merupakan negara yang memiliki takdir keragaman agama-agama.
Keragaman pandangan yang tumbuh dalam tafsir-tafsir di atas, dalam batas
tertentu, betapapun tidak bisa dilepaskan dari ruang sosial dan milieu penulis
tafsir. Di atas semua itu, fenomena menarik adalah praktik wacana tentang
hubungan sosial antarumat beragama oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah. Dalam sejarah, Muhammadiyah tidak
mempunyai tradisi yang kuat dalam hal relasi sosial dengan komunitas non
muslim. Kajian yang dilakukan Alwi Shihab menunjukkan bahwa salah satu
variabel yang menjadi dasar lahirnya Muhammadiyah adalah pembendungan
arus kristenisasi di Jawa.105 Oleh karena itu, wacana ini merupakan terobosan
baru yang diambil oleh tim Majlis Tarjih di dalam membangun peradaban sosial
keagamaan di Indonesia.
Di dalam perkembangannya, wacana-wacana yang dikembangan oleh
tim Majelis Tarjih itu, sejak tafsir ini diterbitkan, memperoleh reaksi keras
dan kurang baik dari sebagian warga Muhammadiyah. Pandangan-pandangan
yang dikemukakan dalam tafsir ini ditentang dan dipandang kontroversal bagi
warga Muhammadiyah. Secara kelembagaan, pandangan yang dikemukakan
dalam tafsir ini dipandang bukan representasi organisasi Muhammadiyah.
Reaksi itu bisa kita pahami, sebab tafsir ini bukan termasuk pada wilayah
religious practical guidance (fatwa dan tuntunan keagamaan secara praktis)
tetapi wilayah pemikiran keagamaan (religious thought) yang tidak bersifat
mengikat.106
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah, hlm. 100;
104
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Nisa’, hlm. 192-93.
Tentang soal ini, lihat Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Cendekiawan
105
Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi
(Bandung: Mizan, 1998).
“Kata Pengantar” Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP
106
Lihat uraian Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm.
107
167-173.
Ibid., hlm. 173-175.
108
110
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 199.
111
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an, hlm. 219.
3. Kamus
Ali, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka
Amani, t.th.
Manzhūr, Ibn. Lisān al-`Arab. t.tp.: Dār al-Ma`ārif, t.th.
Qohar, Mas’ud Khasan Abdul dkk. Kamus Istilah Pengetahuan Populer. t.tk.: CV.
Bintang Pelajar, t.th.
B F
Bachtiar Surin 27, 38, 46 Fachruddin HS 6, 282
Bahroem Rangkuti 35, 44 Federspiel, Howard M. xxxvi
I M
IAIN v, xi, xii, xxiv, xxix, xxxiii, xxxiv, Machasin xxxiii, 2, 47, 60, 61, 104,
xxxvii, xliii, 4, 15, 19, 20, 21, 22, 114, 120, 128, 134, 135, 140, 143,
24, 34, 35, 42, 48, 49, 51, 52, 53, 145, 147, 149, 151, 154, 156, 157,
60, 61, 62, 63, 64, 68, 69, 70, 71, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 183,
72, 73, 74, 78, 80, 81, 82, 145, 204, 213, 224, 225, 239, 240, 242,
146, 147, 148, 149, 208, 223, 224, 281, 284
227, 259, 261, 266, 283, 284, 289, Madjid, Nurcholish 289
290, 335 makna gandul 40
Ibn Katsīr 2, 18, 21, 22, 23, 24, 110, M. Bashori Alwi 41
152, 165, 167, 169, 193, 246, 283 M. Dawam Rahardjo xxvi, 47, 58, 59,
ICMI 59, 64, 72, 74, 266, 267 106, 114, 125, 128, 136, 138, 140,
Ijmālī 89 144, 146, 147, 151, 159, 160, 161,
Islam Jawa xxviii, 12 162, 163, 164, 174, 181, 202, 213,
Isyārī 88 223, 232, 233, 266, 280
Mernissi, Fatima 284, 290
J Metode tafsir ilmiah 220
Jalaluddin Rahman xxvi, xxxii, xxxiii, M. Quraish Shihab xi, xvii, xviii, xxv,
46, 49, 50, 60, 101, 114, 121, 129, xxvi, xxvii, xxx, 7, 21, 22, 23, 24,
136, 140, 143, 145, 147, 149, 151, 40, 47, 48, 49, 59, 61, 62, 63, 64,
155, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 65, 70, 81, 83, 88, 89, 92, 95, 97,
163, 183, 188, 193, 204, 213, 224, 98, 106, 109, 114, 116, 125, 128,
240, 241, 242 136, 141, 143, 144, 145, 147, 149,
Jalaluddin Rakhmat xxv, xxvi, 47, 53, 151, 152, 155, 156, 157, 158, 159,
54, 55, 56, 74, 75, 109, 112, 114, 160, 161, 162, 170, 177, 179, 186,
115, 128, 129, 132, 135, 136, 140, 193, 195, 198, 202, 212, 213, 219,
R
Radiks Purba 47, 66, 109, 112, 115,
117, 129, 133, 135, 141, 144, 146,
148, 152, 191, 213
Rahardjo, M. Dawam 285, 290
Rahman, Jalaluddin 282, 285
Ridha, Abdurrasyid 285
S
Sayyid Quṭb 21, 24, 152, 161, 165