Anda di halaman 1dari 258

I

EDIRSU
BA
Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia
dari Hermeneutika, Wacana hingga Ideologi

Oleh: Islah Gusmian


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
All Right Reserved

Edisi ketiga 2021 diterbitkan oleh Pustaka Salwa. Pada edisi ketiga disertakan
sejumlah revisi dan penambahan suplemen tentang peta dan sejarah tafsir
Al-Qur’an di Indonesia

ISBN 13: 978-623-90268-3-7


Penyunting: Ummi Sava
Perupa Sampul: mitraabadi

Diterbitkan oleh Pustaka Salwa


Kompleks Museum Diponegoro
Jln. HOS Cokroaminoto, Tegalrejo, TR III/376 Yogyakarta 55244 telp: (0274)
622911, WA: 081326958733
Email: yayasansalwa@gmail.com
KATA PENGANTAR PENULIS
EDISI KETIGA

Dengan memuji kepada Allah, Zat Yang Maha Alim dan bersalawat kepada
Nabi Muhammad saw, manusia mulia di mana firman-firman Tuhan diwahyukan
kepadanya, saya mengawali niat penerbitan ulang buku Khazanah Tafsir Al-
Qur’an Indonesia ini, agar memperoleh kemuliaan dan jalan yang lempang.
Penerbitan ulang buku ini akhirnya saya putuskan, meski dalam rentang waktu
yang panjang. Keputusan ini saya lakukan setelah dalam berbagai kesempatan,
saya sering ditanya oleh para mahasiswa, kolega, dan dosen perihal keberadaan
buku ini. Pertanyaan itu datang tidak sekali, tetapi bertubi-tubi. “Kok tidak
dicetak ulang lagi?”. Demikian pertanyaan yang disampaikan kepada saya.
Mereka ini kesulitan menemukan buku ini di toko dan gerai buku.
Pada mulanya saya abaikan pertanyaan-pertanyaan itu, sebab buku
Khazanah Tafsir Al-Qur’an Indonesia tersebut telah dijual di berbagai lapak
online dengan harga yang murah. Dan seperti kita tahu, buku Khazanah
Tafsir Indonesia yang dijual di lapak-lapak itu adalah bajakan. Sejumlah
mahasiswa dan kolega yang membeli lewat lapak digital ini mengungkapkan
kekecewaannya kepada saya: "Cetakan buku bajakan tersebut kualitas fisiknya
buruk, pengemasan serta ukurannya pun tidak standar. Kurang berkah juga,
Pak. Tapi apa boleh buat, kita membutuhkannya."
Dalam suatu kesempatan, seorang mahasiswa yang sedang mengambil
program doktor di Malaysia mencari buku ini untuk bahan referensi. Oleh dosen
pembimbingnya, ia bahkan diminta menemui saya di Surakarta. Singkat cerita,
pertemuan pun terjadi. Ia berkisah tentang buku ini yang masih digunakan di
kampusnya di Malaysia. Dalam kesempatan yang lain, ada seorang dosen di
Turki yang menghubungi saya juga terkait dengan buku ini. Ia menyatakan telah
mengambil manfaat dari buku ini dalam rangka penelitian yang ia lakukan. Ia
juga meminta kepada saya untuk dikirimi sejumlah tafsir yang ditulis oleh para
ulama dan cendekiawan di Indonesia.
Pada awal 2021, saya menelisik data di akun google scholar saya terkait
buku ini. Sampai awal Februari 2021, buku Khazanah Tafsir Indonesia ternyata
telah disitasi 112 kali (untuk cetakan penerbit Teraju Jakarta) dan 527 kali
(untuk cetakan penerbit LKiS Yogyakarta). Dari data ini, saya sadar bahwa

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ iii


buku ini bukan hanya telah dibaca oleh kalangan mahasiswa dan akademisi,
tetapi juga telah dijadikan rujukan dalam penulisan paper, karya ilmiah, skripsi,
tesis, maupun disertasi. Dan dari buku ini pula sejumlah gagasan dan inspirasi
muncul yang kemudian melahirkan karya tesis dan disertasi.
Karena permintaan kolega dan mahasiswa yang datang bertubi-
tubi tersebut, saya bergeming. Akhirnya keputusan saya ambil: buku ini
laik diterbitkan kembali. Edisi ketiga ini, setelah dari penerbit Teraju dan
LKiS, diterbitkan oleh penerbit Pustaka Salwa Yogyakarta—penerbit yang
menerbitkan buku saya: Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia:
Peneguhan, Kontestasi, dan Pertarungan Wacana. Pada edisi ini, gagasan utama
buku ini tetap saya pertahankan, tapi ada beberapa data yang ditambahkan dan
perbaikan aspek tata bahasa. Hal ini saya lakukan semata-mata agar pembaca
tetap menemukan konteks dan sejarah penulisan buku ini serta dinamika
pemikiran dan sejarah gagasan yang ada di dalamnya.
Untuk memberikan perspektif yang lebih kontekstual dan kaya dengan
unsur-unsur keragaman tradisi yang hidup dalam tafsir Al-Qur’an di Indonesia,
pada edisi ketiga ini saya sertakan suplemen khusus. Suplemen ini berisi
tentang peta sejarah, metode, tradisi, dan basis sosial-budaya tafsir Al-Qur’an di
Indonesia. Suplemen ini bagi saya penting, karena berisi pendedahan beragam
tafsir Al-Qur’an di Indonesia dengan keragaman bahasa dan aksara yang dipakai
para penulis tafsir di nusantara sejak abad 17 M hingga era awal abad 21 M.
Aspek ini ditekankan dalam rangka untuk melengkapi buku Khazanah Tafsir al-
Qur’an Indonesia ini yang secara spesifik dibatasi pada kajian tafsir-tafsir yang
ditulis dengan bahasa Indonesia dan aksara Latin dalam era 1990-an.
Bagi para pembaca yang ingin menyelami tambahan perspektif dan
analisis yang saya lakukan dalam mengkaji tafsir Al-Qur’an di Indonesia,
silakan membaca buku Tafsir al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia, Peneguhan,
Kontestasi dan Pertarungan Wacana (Pustaka Salwa, 2020), juga sejumlah
artikel yang secara khusus telah saya tulis yang berkaitan dengan tafsir-tafsir
al-Qur’an di Indonesia. Kepada para mahasiswa, kolega, dosen, serta semua
pembaca, terima kasih atas dukungannya. Semoga buku ini menjadi jariah saya.
Selamat menikmati.[]

Tegalrejo, 12 Februari 2021

iv _ Islah Gusmian
KATA PENGANTAR PENULIS
EDISI KEDUA

Buku Popular Indonesian Literature of the Qur’an yang ditulis Howard


M. Federspiel, merupakan satu penelitian yang komprehensif tentang kajian
Al-Qur’an di Indonesia pada dekade 1990-an. Dari segi objek, penelitian
Federspiel ini mencakup keseluruhan literatur yang berbicara tentang Al-
Qur’an: tafsir, ilmu tafsir, terjemah Al-Qur’an, indeks Al-Qur’an, dan buku-buku
yang bicara seputar Al-Qur’an, yang melibatkan 58 judul buku. Itulah sebabnya,
penelitiannya ini sangat kaya dari sisi literatur yang dijadikan objek kajian.
Namun, ditilik dari sisi metodologi tafsir, penelitian Federspiel tidak
memberikan kontribusi yang signifikan. Hal ini terjadi, karena perspektif
yang digunakan mengacu pada kepopuleran literatur, bukan pada aspek
metodologinya. Dengan analisis yang mengacu pada aspek teknis maupun
metodologis-kritis pada tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an, buku yang
ada di tangan Anda ini, merupakan ikhtiar mengisi kekosongan tersebut dan
diharapkan mampu memberikan kontribusi metodologis terhadap kajian tafsir
Al-Qur'an di Indonesia.
Buku ini berasal dari tesis yang saya tulis di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2002. Pada 2003 tesis tersebut diterbitkan oleh penerbit
Teraju Jakarta dengan judul Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika
hingga Ideologi. Oleh para mahasiswa dan dosen di UIN/IAIN/STAIN, khususnya
di Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, buku ini dijadikan salah satu rujukan untuk mata
kuliah Sejarah Tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Di program Magister Studi Al-
Qur'an Pascasarjana UIN Yogyakarta, buku ini juga dijadikan salah satu bahan
acuan dalam kajian-kajian tentang tafsir Al-Qur’an di Indonesia.
Di balik kebutuhan tersebut, buku ini sulit ditemukan di pasaran, karena
penerbit Teraju, yang pertama kali menerbitkan buku ini, tidak lagi mencetaknya.
Untuk memenuhi permintaan dari beberapa teman dosen dan mahasiwa, pada
2013 buku ini diterbitkan kembali oleh penerbit LKiS Yogyakarta. Untuk edisi
yang diterbitkan LKiS ini, beberapa data dari versi tesis, yang tidak ada pada
edisi pertama yang diterbitkan Teraju, saya sertakan kembali. Saya berharap,
semoga buku ini memberikan inspirasi bagi para peminat kajian Al-Qur’an

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ v


di Indonesia untuk melakukan kajian-kajian yang intens terhadap warisan
intelektual Muslim Indonesia.f
Dalam kesempatan ini, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada
Drs. Akh. Minhaji MA., Ph.D., pembimbing tesis ini yang dengan lantang
menantang saya: “Anda bisa menyelesaikan tesis ini berapa tahun?” dan Bapak
Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, sebagai dosen penguji, yang dengan kritis telah
memberikan komentar yang bersifat metodologis. Terima kasih juga untuk Mas
Fikri AF, direktur penerbit LKiS, yang bersedia menerbitkan ulang buku ini.
Dan tidak lupa keluarga besar saya, khususnya anak dan istri saya, terima kasih
atas ruang kebersamaan dan cintanya. Semoga buku ini menjadi jariah saya.[]

Tompeyan, Juli 2014

vi _ Islah Gusmian
KATA PENGANTAR
ARAH BARU METODE PENELITIAN
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah


Guru Besar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Dalam tradisi pemikiran Islam, Al-Qur'an telah melahirkan sederetan


teks turunan yang demikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu
merupakan teks kedua—bila Al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama—yang
menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Teks kedua ini lalu dikenal sebagai literatur tafsir Al-Qur’an; ditulis oleh para
ulama dengan kecenderungan dan karakteristik masing-masing, dalam berjilid-
jilid kitab tafsir.
Dibandingkan dengan Kitab Suci (agama) lain, tentu ini merupakan suatu
fenomena yang unik. Sebab, kitab-kitab tafsir sebagai teks kedua itu, seperti
dapat kita lihat dalam khazanah literatur Islam, tidak sekadar jumlahnya
yang banyak, tetapi juga corak dan model metode yang dipakai beragam dan
berbeda-beda. Kita mengenal, misalnya, tafsir al-Durr al-Mantsūr fī al-Tafsīr bi
al-Ma’tsūr karya Jalāluddīn al-Suyūṭī (849-911 H.), Jāmi` al-Bayān `an Ta’wīl
Āyah al-Qur’ān karya Abū Ja`far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī (224-310 H.),
dan Tafsīr al-Qur’ān al-`Aẓīm karya `Imāduddīn Abū al-Fidā’ al-Quraysyī al-
Dimisyqī ibn Katsīr (700-774 H.) yang sangat kuat dalam merujuk pada data-
data riwayat dalam proses pengungkapan makna-makna teks Al-Qur’an. Ini
sebagai bentuk representasi metode tafsīr bil ma’tsūr.
Pada karya tafsir yang lain, kita bisa melihat misalnya al-Jawāhir fī Tafsīr
al-Qur’ān al-Karīm karya Ṭanṭawī Jawharī (w. 876 H.) yang banyak mengadopsi
disiplin ilmu pengetahuan alam, al-Kasysyāf `an Ḥaqīqāt al-Tanzīl wa `Uyūn
al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl karya Abū Qāsim Jārullah Maḥmūd ibn `Umar al-
Khwarizmī al-Zamakhsyarī (476-538 H.) yang sangat mengagumi rasionalitas,
Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm (Tafsīr al-Manār) karya Rasyīd Ridlā (1282-1354
H.) yang mengorientasikan dirinya sebagai petunjuk dalam tata kehidupan
sosial-kemasyarakatan, Aḥkām al-Qur’ān karya Abū Bakr al-Jaṣṣaṣ (w. 981 H),

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ vii


al-Jāmi` li Aḥkām al-Qur’ān karya Abū `Abdillāh al-Qurṭubī (w. 1272 H.) yang
memfokuskan pada tema-tema fiqh, dan masih banyak lagi kitab tafsir yang lain.
Keragaman karya tafsir di atas tentu tidak lepas dari masalah metode den
pendekatan yang digunakan. Terkait dengan ini, dalam tradisi studi teks Al-
Qur’an, telah terjadi perbedaan pengertian antara terma tafsīr dan ta’wīl. Yang
pertama, biasanya diterjemahkan menjadi penjelasan atau komentar (exegesis
atau commentary), dan yang kedua diterjemahkan menjadi interpretasi. Ada
beberapa intelektual Muslim yang memandang bahwa tidak ada perbedaan
antara tafsīr dan ta’wīl, sementara yang lain mengatakan sebaliknya. Bagi
kelompok terakhir ini, tafsīr adalah penjelasan yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman tentang Al-Qur’an, menjelaskan makna-maknanya,
mengambil aturan-aturan hukumnya dan memahami alasan-alasan yang
mendasarinya.
Sederhananya, tafsīr menjelaskan “yang luar” (ẓāhir) dari Al-Qur’an.
Adapun ta`wīl merujuk pada penjelasan makna-dalam dan tersembunyi dari
Al-Qur’an. Menurut Abū Zayd (lahir 1943 M.), dalam proses tafsīr seorang
penafsir (mufasir, exegete) menggunakan linguistik dalam pengertiannya
yang tradisional, yaitu merujuk pada riwāyah. Artinya, peran penafsir dalam
melakukan penafsiran hanya dalam kerangka mengenal signal-signal. Sedangkan
dalam ta’wīl (interpretasi), interpreter lebih dari sekadar menerapkan dua
bidang ilmu yang dipergunakan dalam tafsīr di atas. Ta’wīl dalam pengertian
yang baru menggunakan perangkat keilmuan lain dalam ilmu-ilmu kemanusiaan
dan sosial untuk menguak makna teks yang lebih dalam.1 Singkat kata, ta’wīl
lebih mendalam dalam penguakan makna yang tidak dapat dilakukan oleh
tafsīr, serta dalam ta’wīl peran subjek (“pembaca”) dalam penguakan makna
teks lebih signifikan daripada tafsīr.
Sebenarnya, tafsir (exegesis) maupun interpretasi (ta’wīl) dalam tradisi
studi teks Al-Qur’an telah muncul dan berkembang. Tafsir isyāri yang secara
metodologis didasarkan pada pengalaman batin penafsir atau pada teori
tasawuf, dan tafsir rasional yang didasarkan pada proses intelektualisasi
(ijtihād) misalnya, sebetulnya adalah salah satu representasi dari praktik ta‘wīl.
Hanya saja dalam tradisi khazanah keilmuan Islam, istilah ta’wīl dalam disiplin
keilmuan Al-Qur’an jarang dipakai dan terlanjur cenderung dibebani dengan
makna-makna yang negatif. Itulah sebabnya, masyarakat Muslim lebih akrab
menyebut “kitab tafsir Al-Qur’an” daripada “kitab ta’wil Al-Qur’an”.
Dalam konteks analisis teks, persoalannya sekarang lebih terletak pada
bagaimana bentuk hermeneutik Al-Qur’an disusun, yakni bangunan metode dan

1
Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirūt: al-Markaz al-
Tsaqafī al-‘Arabī, 1994), hlm. 252-67. Bandingkan juga dengan uraian al-Suyūṭī tentang
perbedaan pandangan para ulama tentang tafsīr dan ta’wīl dalam al-Itqān fī `Ulūm al-
Qur’ān (Beirūt: Muassasah al-Kutub al-Tsaqāfiyyah, 1996), IV: 460.

viii _ Islah Gusmian


pendekatan dalam menafsirkan teks Al-Qur’an. Sebab, mesti disadari bahwa
karakter tafsir, sebagai produk yang dihasilkan dari proses interaksi dengan
teks Al-Qur’an, sangatlah tergantung pada bagaimana suatu episteme dibangun
dalam proses tafsir itu dan ke mana akan diarahkan. Langkah ini tentu berkaitan
dengan domain hermeneutika.
Dari ranah hermeneutika ini, misalnya, kita bisa mengidentifikasi bahwa
karya tafsir tradisional, secara metodologis, sebenarnya masih terbatas mengacu
pada data-data riwayat dan linguistik (dalam pengertian yang tradisional). Hal
ini akan berbeda bila menggunakan hermeneutika Al-Qur’an kontemporer,
misalnya yang dicatat oleh Ichwan,2 di mana episteme historis modernitas telah
menjadi salah satu faktor yang menggerakkannya dari arah tekstual menuju ke
arah rasional dan kontekstual. Di sini, makna tidak lagi dianggap sebagai suatu
yang statis, melainkan dinamis dan historis yang dikembangkan sebagai hasil
dari perubahan waktu dan tempat. Kesadaran akan historisitas makna semacam
ini posisinya sangat sentral dalam hermeneutika Al-Qur’an kontemporer.
Dalam soal ini, kita bisa melihat beberapa contoh. Riffat Hassan, misalnya,
membangun hermeneutika Al-Qur’an feminis dengan menyusun tiga prinsip
interpretasi: 1) linguistic accuracy, yaitu melihat terma dengan merujuk pada
semua leksikon klasik untuk memperoleh apa yang dimaksud dengan kata
itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan; 2) criterion of philosophical
consistency, yaitu melihat penggunaan kata-kata dalam Al-Qur’an itu secara
filosofis konsisten dan tidak saling bertentangan; dan 3) ethical criterion, yakni
bahwa praktik etis sesungguhnya harus terefleksikan dalam Al-Qur’an.3
Pada sisi lain, Amīn al-Khūlī (w. 1966 M.) ketika berhadapan dengan teks
Al-Qur’an, membangun wilayah hermeneutika teks dari unthinkable menjadi
thinkable. Ia memperlakukan teks sakral (Al-Qur’an) sebagai kitab sastra Arab
terbesar (Kitāb al-`Arabiyyah al-akbar), sehingga analisis linguistik-filologis
atas teks merupakan langkah niscaya untuk menangkap pesan moral Al-Qur’an.
Dalam usahanya ini, Al-Khūlī sama sekali tidak bermaksud menyejajarkan status
Al-Qur’an dengan teks sastra kemanusiaan, tetapi ia bermaksud menemukan
angan-angan sosial kebudayaan Al-Qur’an dan hidayah yang terkandung dalam
komposisinya sebagaimana telah ditangkap oleh Nabi Muhammad SAW.4

2
Moch. Nur Ichwan, “A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics Nasr Hamid Abu
Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic Scholarship”, Thesis MA di Universitas Leiden,
1999.
3
Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.),
Women and Islam in Muslim Society. (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), hlm.
116.
4
Selengkapnya lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern
Egypt. Leiden: E.J.Brill, 1974. Edisi Indonesia, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj.
Hairussalim dan Syarif Hidayatullah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ ix


Berbeda dengan Riffat Hassan dan Al-Khūlī (w. 1966 M.), Ḥassan Ḥanafī
(lahir 1935 M.) mengintrodusir sebuah hermeneutika Al-Qur’an yang diacu
pada hal-hal spesifik, temporal, dan realistik. Menurutnya, hermeneutika Al-
Qur’an harus dibangun atas pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan
dimulai dengan kajian atas problem manusia. Interpretasi harus dimulai
dari realitas dan problem-problem manusia, lalu kembali kepada Al-Qur’an
untuk mendapatkan sebuah jawaban teoretis. Dan jawaban teoretis ini mesti
diaplikasikan dalam ruang praksis. Teori Ḥanafī ini didasarkan pada konsep
asbāb al-nuzūl yang memberikan makna bahwa realitas selalu mendahului
wahyu.5 Dalam hermeneutika Al-Qur’an semacam ini, ilmu-ilmu sosial
kemanusiaan serta unsur triadik (teks, penafsir dan audiens sasaran teks)
posisinya signifikan. Suatu proses penafsiran tidak lagi hanya berpusat pada
teks, tetapi juga penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain.
Kajian yang bersifat metodologis kaitannya dengan interpretasi teks Al-
Qur’an di atas merupakan langkah penting, di tengah arus umum tradisi tafsir
(exegesis), baik tafsīr bil ma’tsūr, tafsīr bil ra’yi maupun tafsīr isyārī. Sebab,
persoalan yang terakhir ini yang akan menentukan bagaimana suatu tafsir
diproduksi serta bagaimana implikasi sosial-praksisnya bagi kehidupan umat
manusia.
Di samping terkait dengan hermeneutika, merujuk pada pembagian Alford
T. Welch, studi Al-Qur’an juga bisa mengarah pada tiga bidang, yaitu: 1) exegesis
(studi teks Al-Qur’an itu sendiri); 2) sejarah interpretasinya; dan 3) peran Al-
Qur’an dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam.6 Studi pada permasalahan
kedua dan ketiga ini belum menjadi arus umum dalam tradisi keilmuan yang
berkembang di kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia. Kajian-kajian
yang bersifat sosiologis, antropologis, dan politis terhadap Al-Qur’an, maupun
kajian dari aspek ideologis terhadap sejarah tafsir Al-Qur'an dengan ruang-
ruang sosialnya belum banyak kita temukan dalam khazanah intelektual Islam
di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Islah Gusmian dalam buku ini merupakan usaha-
usaha akademis yang mencoba mengawali penelitian atas karya-karya tafsir
Al-Qur'an di Indonesia secara metodologis-kritis dengan mempertimbangkan
aspek sosio-historis. Di sini, Islah sedang membedah sejarah interpretasi
dalam konteks ruang-ruang sosial di mana suatu tafsir muncul dan berada
serta bagaimana pergumulan penulisnya dengan konteks sosial, budaya,
politik dan agama di mana mereka berada. Secara paradigmatik, ia juga
menempatkan karya tafsir sebagai produk sosial dan karya manusiawi biasa,
tidak sakral dan tidak kedap kritik. oleh karena itu, dengan kerangka teori yang

5
Ḥassan Ḥanafī, Dirasāt Islāmiyyah (Kairo: Maktabat al-Anjilu al-Miṣriyyah, 1981),
hlm. 69.
6
Alford T. Welch, “Studies in Qur’an and Tafsir” JAAR., Vol 47, 1979, hlm. 630.

x _ Islah Gusmian
diarahkan pada dua wilayah utama (aspek teknis penulisan tafsir dan aspek
hermeneutikanya), ia tidak hanya melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang
baru yang keluar dari mainstream studi tafsir, tetapi sekaligus juga menjadi satu
bentuk kritik terhadap metodologi yang sejauh ini dibangun oleh para peminat
studi Al-Qur’an di Indonesia. Harifuddin Cawidu, M. Quraish Shihab, Nashruddin
Baidan sebagaimana terrepresentasi dari bangunan metodologi kajian tafsir
yang mereka susun, dilihatnya tak lebih sebagai bentuk penerapan rumusan al-
Farmāwī. Padahal, menurutnya, metodologi al-Farmāwī tidak mampu dijadikan
alat teropong yang kritis dalam mengkaji karya tafsir Al-Qur'an.
Metode analisis wacana kritis yang ia gunakan dalam penelitiannya ini
juga telah melahirkan suatu simpulan yang tidak hanya baru, tetapi juga
mencengangkan: bahwa konstruksi nalar karya tafsir mempunyai kaitan
erat dengan episteme dan nalar yang ada dalam diri penafsir. Dari arah ini, ia
dengan tajam memperlihatkan simpulan-simpulan penting: ada karya tafsir
yang membangun visi perlawanan terhadap rezim Orba, yang berselingkuh dan
mendukungnya, membangun sensitivitas gender dan yang sebaliknya, serta
yang terjebak dalam komunalisme agama.
Dari kesimpulan-kesimpulan itu, Islah tidak sekadar menunjukkan aspek-
aspek teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan seorang penafsir,
lebih jauh ia juga berhasil menyingkap episteme dan ideologi yang tersembunyi
di balik suatu karya tafsir dan relasinya dengan konstruk sosial-politik di mana
karya itu diproduksi.
Secara metodologis, dalam konteks Indonesia, buku ini merupakan satu
kajian yang baru. Sebelumnya, Howard M. Federspiel, melalui buku Popular
Indonesian Literature of the Qur’an7 telah melakukan penelitian yang mengacu
pada sejumlah karya yang berkaitan dengan Al-Qur’an, tetapi penelitian Howard
ini lebih umum: mencakup keseluruhan literatur yang berbicara tentang Al-
Qur’an, seperti literatur tafsir, ilmu tafsir, terjemah Al-Qur’an, dan indeks
Al-Qur’an. Secara metodologis, sebagaimana dikritik oleh Islah, penelitian
Federspiel ini tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kajian
tafsir, karena kerangka teori yang dibangun Federspiel didasarkan pada aspek
kepopuleran literatur, bukan aspek metodologi dan episteme yang ada di
dalamnya.
Buku yang ditulis Islah ini merupakan salah satu usaha membuka pintu
dalam proses pembangunan model penelitian tafsir secara kritis. Sejauh ini,
seperti dapat kita lihat dalam berbagai penelitian yang berkembang di jurusan
Tafsir Hadis UIN/IAIN/STAIN di Indonesia, baik yang berbentuk skripsi, tesis
mapun disertasi, secara umum didominasi oleh penelitian yang fokusnya
pada interpretasi teks (Al-Qur’an) dengan model tematik (mauḍū`ī), bukan
7
Buku ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kajian
Al-Qur’an di Indonesia, oleh Drs. Tadjul Arifin, MA (Mizan: Bandung, 1996).

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ xi


membangun rumusan hermeneutiknya. Penelitian atas karya tafsir juga
demikian, yaitu terbatas pada pengungkapan wawasan-wawasan tertentu
secara spesifik yang ada dalam karya tafsir, bukan menyingkapkan bangunan
hermeneutikanya serta keterpengaruhan yang terjadi dengan episteme sosial-
budaya di mana tafsir itu muncul.
Usaha-usaha seperti yang dilakukan dalam buku ini perlu ditradisikan di
lingkungan akademik (UIN/IAIN/STAIN). Kajian interpretasi atas teks Al-Qur’an
memang tetap penting, tetapi langkah ini akan kehilangan relevansinya ketika
tidak dibangun suatu rumusan hermeneutika yang kukuh, yang melibatkan
wilayah sosial kemanusiaan dengan unsur triadiknya. Demikian juga, kajian
atas karya tafsir akan kehilangan signifikansi kritisnya ketika hanya menangkap
pesan-pesan dan kesimpulan yang disampaikan oleh penafsir, tanpa berani
mencoba mendedah episteme dan kepentingan-kepentingan yang ada di
dalamnya.
Munculnya mata kuliah Tafsir Indonesia di jurusan Tafsir Hadis IAIN
seluruh Indonesia saat ini tentu merupakan suatu usaha yang baik dalam upaya
mengapresiasi khazanah tafsir di Indonesia. Namun, satu hal yang menjadi
persoalan mendasar adalah menyangkut pokok-pokok materi kajian, metode
dan pendekatan yang digunakan, dan ke arah mana studi ini dikembangkan.
Perlu ditegaskan di sini bahwa kajian kritis atas tafsir Al-Qur'an di Indonesia
tidaklah cukup dibangun hanya secara vertikal-historis yang bersifat linier
dengan menunjuk pada tahun, sosok penafsir dan tema-tema yang dikaji. Lebih
dari itu, kajian yang bersifat horizontal-hermeneutis dengan mengungkap
keterpengaruhan-keterpengaruhan yang terjadi, baik dari segi metodologi
maupun episteme yang dibangun di dalamnya, merupakan suatu langkah
signifikan dalam studi-studi yang bersifat sosio-historis.
Buku ini telah mengawali upaya-upaya kritis di atas. Secara metodologis,
buku ini layak dijadikan sebagai salah satu model penelitian tafsir, oleh
mahasiswa Tafsir Hadis di lingkungan UIN/IAIN/STAIN, dan juga oleh kalangan
pesantren dan Perguruan Tinggi Umum, organisasi sosial-keagamaan Islam
dan peminat kajian keislaman pada umumnya. Melalui buku ini, Islah telah
menampilkan cara baru dalam merawat dan melestarikan warisan intelektual
Islam.
Sejauh ini, dalam tradisi penelitian di Indonesia, tafsir dan karya-karya
yang lain—sebagai warisan intelektual masa lalu—hampir-hampir selalu
ditempatkan sebagai warisan sakral, bahkan dianggap kedap kritik, sehingga,
seperti barang antik, warisan intelektual itu hanya dielus-elus. Di sinilah, buku
ini menawarkan satu perspektif baru bahwa cara merawat warisan intelektual
Islam tidak sekadar dengan mengelus-elusnya, tetapi diposisikan secara kritis.
Dengan langkah-langkah semacam itu, diharapkan akan melahirkan inovasi-
inovasi yang bermanfaat bagi dinamika intelektual Islam. Pesantren serta

xii _ Islah Gusmian


Perguruan Tinggi pada umumnya, sebagai salah satu lembaga tafaqquh fī al-dīn,
dengan kekayaan khazanah tradisional yang dimilikinya, layak menjadi aktor
dalam melakukan proyek intelektual ini, sejauh lembaga-lembaga keilmuan
itu mempunyai kesediaan untuk melakukan “perkawinan intelektual” dengan
khazanah pemikiran Islam kontemporer. Dan buku ini lahir dari tangan seorang
yang sadar dan bersedia melakukan perkawinan intelektual itu.[]

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ xiii


SUPLEMEN
MENELUSURI SEJARAH DAN DINAMIKA
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Kajian tentang tafsir Al-Qur’an Indonesia telah dilakukan oleh para sarjana
dengan berbagai sudut pandang serta pilihan subjek yang berbeda-beda. Ada
kajian yang secara khusus mengungkapkan karakteristik tafsir, keterpengaruhan,
serta proses adopsi yang terjadi. Model semacam ini, misalnya dilakukan oleh
Anthony H. John dalam “The Qur’an in the Malay World: Reflection on ‘Abd al-
Ra’uf of Singkel (1615-1693)” yang dipublikasikan di Journal of Islamic Studies,
9:2 (1998).1 Selain A.H.John, dua sarjana indonesianis lain, yaitu Peter G. Riddell
dan Howard M.Federspiel, melakukan kajian dengan mengacu pada pengaruh
dinamika keilmuan Islam di Timur Tengah dalam tafsir Al-Qur’an Indonesia
dalam bentuk respons dan transmisi.2

1
Artikel-artikelnya yang lain, yaitu “Quranic Exegesis in the Malay World: in
Search of a Profile”, menjadi salah satu artikel dalam buku yang diedit oleh Andrew
Rippin berjudul Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an yang
diterbitkan oleh Oxford University Press pada 1988. Dalam buku Islam in Asia: Volume
II Southeast Asia and East Asia (Boulder: Westview, 1984) yang diedit oleh R. Israeli dan
dirinya sendiri, A.H. Johns menulis satu artikel berjudul “Islam in the Malay World: an
Explanatory Survey with Some Reference to Qur’anic Exegesis”. Dalam buku Approaches
to the Qur’an in Contemporary Indonesia (New York: Oxford University Press, 2006) yang
diedit oleh Abdullah Saeed, A.H. Johns menulis satu artikel berjudul “Qur’anic Exegesis
in the Malay-Indonesian World: an Introduction Survey”. Dari sejumlah tulisannya itu,
kajian A.H. Johns secara umum bertumpu pada tafsir Al-Qur’an di Indonesia pada abad
17 M (yang dikaji adalah tafsir Tarjumān al-Mustafīd) dan abad 19 M (yang dikaji adalah
tafsir Marāh Labīd) dengan menunjukkan metode penafsiran dan keterpengaruhannya
dengan karya tafsir klasik serta proses arabisasi pemakaian istilah dalam konteks bahasa
di Indonesia.
2
Selengkapnya Lihat Peter G. Riddell, Islam and The Malay-Indonesian World:
Transmission and Responses (Honolulu: University of Hawaii Press, 2001). Pada bab IX
dan XII di buku Islam and The Malay-Indonesian World karya Riddell, juga dia tulis dalam
artikel khusus, yaitu “Earliest Qur’anic Exegetical Activity in Malay-Speaking State”,
Archipel, 38 (1989), hlm. 107-124.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ xv


Dalam artikel “The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an in the Early
Islamic Period in South and Southeast Asia: a Report on Work Process”,3 Riddell
secara spesifik menganalisis penggunaan tafsir berbahasa Arab di kawasan
Asia Selatan dan Asia Tenggara pada masa-masa awal, dan dalam artikel
“Controversy in Qur’anic Exegesis and Its Relevance to the Malay-Indonesia
World”4 ia mengungkapkan pengaruh perkembangan dunia tafsir Al-Qur’an di
dunia Muslim dalam dinamika Islam dan Muslim di Nusantara. Adapun Howard
M. Federspiel kajiannya lebih fokus pada karakteristik terjemahan dan tafsir
Al-Qur’an di Asia Tenggara5 serta kepopuleran sebuah tafsir Al-Qur’an.6 Dari
sisi sumber, kajian Federspiel ini mengabaikan karya-karya tafsir Al-Qur’an
berbahasa lokal, seperti tafsir berbahasa Jawa, Sunda, dan Bugis.
Masih terkait dengan sejarah tafsir Al-Qur’an Indonesia, Yunan Yusuf
menulis dua artikel, yaitu “Perkembangan Metode Tafsir di Indonesia”7 dan
“Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20”.8 Pada artikel pertama,
Yunan mengulas aspek-aspek metodologi tafsir dan perkembangannya, adapun
pada artikel yang kedua, secara spesifik ia memilih periode tertentu dan
mengulas karakteristik tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Mirip seperti yang terjadi
pada kajian Federspiel, kajian Yunan juga belum menyentuh tafsir-tafsir Al-
Qur’an berbahasa dan beraksara lokal, seperti Al-Ibrīz karya K.H. Bisri Mustafa,
Al-Iklīl karya K.H. Misbah Zainul Mustafa, dan Faiḍ al-Raḥmān karya K.H. Saleh
Darat yang ditulis memakai aksara Pegon Jawa, Rauḍah al-‘Irfān karya K.H.
Ahmad Sanusi yang ditulis dengan aksara Pegon Sunda, dan Tafsir Al-Huda
karya Bakri Syahid yang ditulis dengan aksara Roman dan bahasa Jawa.
Kajian-kajian di atas adalah contoh bahwa konteks-konteks keindonesiaan,
dari sudut sosial, budaya, dan politik belum banyak ditampilkan secara memadai
oleh para sarjana di bidang tafsir Al-Quran di Indonesia. Menjelaskan sejarah
tafsir Al-Qur’an di Indonesia dengan tidak semata-mata berkaitan dengan tahun
penulisan dan publikasinya, tetapi juga menyangkut basis sosial-politik penulis
tafsir, ruang sosial dan audiens ketika tafsir ditulis, bahasa dan aksara yang

3
Peter G. Riddell, “The Use of Arabic Commentaries on the Qur’an in the Early
Islamic Period in South and Southeast Asia: a Report on Work Process”, Indonesia Circle
Journal, Vol. LI (1990).
4
Peter G. Riddell, “Controversy in Qur’anic Exegesis and Its Relevance to the Malay-
Indonesia World”, dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse
in Southeast Asia (Calyton: Monas Paper on Southeast Asia, 1993), hlm. 27-61.
5
Howard M. Federspiel, “An Introduction to Qur’anic Commentaries in
Contemporary Southeast Asia”, dalam The Muslim World, Vol. LXXXI, No. 2, 1991, hlm.
149-161.
6
Lihat Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, terj. Tadjul Arifin
(Mizan: Bandung, 1996).
7
Lihat Jurnal Pesantren, No. I, Vol.VIII, Tahun 1991, hlm. 34.
8
Lihat Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, Tahun 1992, hlm. 50.

xvi _ Islah Gusmian


digunakan, serta tujuan penulisan tafsir merupakan salah satu kajian penting.
Unsur-unsur tersebut, secara umum akan dibahas dalam tulisan ini dan dengan
bertumpu pada aspek sosial dan budaya sebagai ruang dialektika.

B. Basis Sosial-Budaya Penulisan Tafsir Al-Qur’an Indonesia


Tafsir Al-Qur’an di Indonesia lahir dari ruang sosial-budaya yang beragam.
Sejak era ‘Abd ar-Rauf As-Sinkili (1615-1693 M) pada abad 17 M hingga era M.
Quraish Shihab pada awal abad 21 M. Pada rentang waktu lebih empat abad
itu, tafsir Al-Qur’an Indonesia lahir dari tangan para intelektual Muslim dengan
basis sosial yang beragam. Mereka ini juga yang memainkan peran sosial yang
beragam pula, seperti sebagai penasihat pemerintah (mufti), guru, atau kiai di
pesantren, surau, atau madrasah. Peran-peran ini mencerminkan basis sosial di
mana mereka mendedikasikan hidupnya untuk agama dan masyarakat.
Pertama, di Indonesia terdapat tafsir Al-Qur’an yang ditulis dalam ruang
basis politik kekuasaan atau negara. Konteks yang demikian tampak pada
Tarjumān al-Mustafīd, karya ‘Abd ar-Rauf as-Sinkilī, tafsir Al-Qur’an lengkap 30
juz pertama di Nusantara. Tafsir ini ditulis ketika ‘Abd ar-Rauf al-Sinkili menjadi
penasihat di kerajaan Aceh. Al-Sinkilī hidup dalam enam periode kesultanan
Aceh, yakni periode (1) Sultan Iskandar Muda (1607-1636); (2) Sultan Iskandar
Tsani (1636-1640); (3) Sultanah Taj al-‘Alam Safiyat al-Din Syah (1641-1675);
(4) Sri Sultan Nur Alam Nakiyat al-Din Syah (1675-1678), (5) Sultanah Inayat
Syah Zakiyat al-Din Syah (1678-1688); dan (6) Sultanah Kamalat Syah (1688-
1699). Empat penguasa yang terakhir ini adalah sultanah perempuan, yang di
dalam kesultanannya, Al-Sinkili menjadi mufti. Bila dikatakan bahwa Tarjumān
al-Mustafīd merupakan karya al-Sinkilī yang ditulis pada 1675 M, maka berarti
karya tersebut ditulis pada akhir kekuasaan Sultanah al-Alam dan atau awal
kekuasaan Sri Sultan Nur al-Alam.
Basis ruang sosial politik semacam ini juga tampak pada Tafsīr al-Qur’ān
al-‘Ażīm yang ditulis oleh Raden Pengulu Tafsir Anom V. Pengulu Tafsir
Anom V adalah Pengulu Ageng ke-18 dalam dinasti keraton Kartasura. Nama
aslinya adalah Raden Muhammad Qamar. Dia dilahirkan pada Rabu, 11 Rabi’ul
Awwal Tahun Jimakir 1786 Jawa (1854 M) di Kompleks Pengulon, Surakarta
Hadiningrat, sebagai anak ke-6 dari Raden Pengulu Tafsir Anom IV. Garis
keturunannya bersambung sampai Sultan Trenggana, penguasa terakhir
Kerajaan Islam Demak.9 Ia dilantik sebagai Pengulu ketika berusia 30 tahun,
tepatnya pada Kamis Wage, 3 Sapar tahun Dal 1815, oleh Sri Susuhunan
Pakubuwana IX menggantikan ayahnya yang wafat.

9
Abdul Basith Adnan, Prof. K.H.R. Muhammad Adnan: untuk Islam dan Indonesia
(Yayasan Mardikintaka: Surakarta, 2003), hlm. 13.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ xvii


Basis ruang sosial politik kekuasaan semacam itu juga ditemukan pada
tafsir-tafsir yang lahir pada era abad 21 M. Misalnya,Tafsir Al-Mishbah karya
M. Quraish Shihab ditulis ketika ia menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di
Mesir. Contoh yang lebih kongkrit pada era ini adalah Al-Qur’an dan Tafsirnya
yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian
Agama dan Tafsir Tematik yang dikeluarkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an Kementerian Agama Republik Indonesia.10
Kedua, tafsir-tafsir yang ditulis di lingkungan dan basis sosial pesantren.11
Secara sosial, setidaknya ada dua jenis pesantren, yaitu pesantren yang ada di
lingkungan kraton, seperti pesantren Manbaul Ulum Solo dan pesantren di luar
kraton. Tafsir Al-Qur’an yang lahir dari rahim pesantren di lingkungan kraton
misalnya Kitab Al-Qur’an Tarjamah Bahasa Jawi. Tafsir ini ditulis dengan aksara
pegon Jawa, diterbitkan pada 1924 oleh perkumpulan Mardikintoko di Surakarta
di bawah prakarsa Raden Muhammad Adnan (1889-1969 M). Tafsir ini pertama
kali terbit pada 1924 M. dengan membahas sūrah-sūrah dalam Al-Qur’an secara
terpisah. Berdasarkan karya ini pula sejak 1953 Raden Muhammad Adnan
menulis kembali terjemah Al-Qur’an dalam edisi bahasa Jawa aksara Pegon, dan
pada 1969 M naskahnya yang masih tersebar di berbagai tempat dikumpulkan

10
Sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor BD/28/2008
tanggal 14 Februari 2008, Menteri Agama membentuk tim pelaksana kegiatan
penyusunan tafsir tematik. Hal ini sebagai wujud pelaksanaan rekomendasi Musyawarah
Kerja Ulama Al-Qur’an tanggal 8-10 Mei 2006 di Yogyakarta dan 14 -16 Desember
2006 di Ciloto. Terkait keterangan ini, lihat Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI dalam Tafsir Tematik, Pembangunan Ekonomi Umat (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama
RI, 2009), hlm. xiv-v
11
Pesantren merupakan dunia dan tradisi yang khas dan unik di tengah masyarakat.
Secara teknis arsitektural, dalam kompleks pesantren umumnya dikelilingi dengan pagar
sebagai pembatas yang memisahkan dengan masyarakat di sekelilingnya. Di dalamnya
terdapat beberapa bangunan. Pertama, bangunan pemondokan, dalam tradisi pesantren
disebut pondok. Fungsinya sebagai asrama di mana para santri tinggal bersama dan
belajar di bawah bimbingan seorang kiai. Kedua, bangunan surau atau masjid. Dalam
struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren,
karena merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan memberikan pelajaran
kepada para santri, khususnya terkait tata cara ibadah. Ketiga, di dekat masjid biasanya
terdapat rumah di mana kiai bermukim. Selengkapnya, lihat Abdurrahman Wahid,
Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 3. Ada dua
versi mengenai sejarah asal-usul pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren sebagai
kultur yang berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Berdasarkan
fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk
kegiatan tarekat. Kedua, pesantren merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren
yang diselenggarakan orang-orang Hindu di Nusantara. Selengkapnya, lihat Hasan Muarif
Ambary et al., Ensiklopedi Islam, jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm.
103.

xviii _ Islah Gusmian


oleh anaknya, Abdul Basith Adnan. Usaha kodifikasi ini selesai pada akhir 1970-
an.12 Pada edisi cetaknya, tafsir ini ditulis dengan bahasa Jawa, aksara Latin.13
Dari rahim pesantren Manbaul Ulum Surakarta, Kiai Imam Ghazali, salah
seorang guru di pesantren tersebut, pada 1936 M menulis Tafsir Al-Balagh.
Penerbitannya dibuat secara serial, seperti edisi majalah: ada tahun dan nomor.
Untuk edisi Th. 1 dan nomor 1, cetakan kedua diterbitkan pada 13 Juli 1938/15
Jumadil Awal 1357 oleh penerbit Toko Buku Al-Makmuriyah Sorosejan
Surakarta. Pada edisi Th. 2 dan nomor 2, dicetak pada 7 Safar 1356/19 April
1937.14 Selain Tafsir Al-Balagh, terdapat naskah anonim terjemah Al-Qur’an
ditulis dengan aksara Pegon Jawa. Naskah ini, sejak tahun 1927M. dipakai bahan
pengajaran di Pesantren Manba’ul Ulum Surakarta.15
Adapun tafsir-tafsir yang lahir dari rahim pesantren di luar kraton bisa
dilihat, misalnya Rauḍat al-‘Irfān fī ma’rifah al-Qur’ān dan Tamsyiyatul Muslimīn
fī Tafsīr Kalām Rabb al-‘Ālamīn16 karya KH. Ahmad Sanoesi (1888-1950 M.), Al-
Ibrīz li Ma‘rifati Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz (1960) karya K.H. Bisri Mustofa (1915-
1977), Al-Iklīl fī Ma‘āni at-Tanzīl (1980) dan Tāj al-Muslimīn karya K.H. Misbah
ibn Zainul Mustofa (1916-1994), dan Jāmi’ al-Bayān karya KH. Muhammad bin
Sulaiman.
KH. Ahmad Sanoesi adalah ulama asal Sukabumi. Ia adalah pengasuh
Pesantren Kedung Puyuh, Sukabumi. Pada 1931 M. ia mendirikan Ittihadijatoel

12
Lihat, Abdul Basith Adnan, “Purwaka” dalam Muhammad Adnan, Tafsir Al-Qur’an
Suci Basa Jawi (Bandung: Al-Maarif, t.th), hlm. 6. Pengantar ini ditulis pada 21 Nopember
1977. Berdasarkan informasi ini, berarti tafsir karya Muhammad Adnan telah dicetak
pada akhir tahun 1970-an. Namun, dalam Kata Pembuka yang ditulis Muhammad Adnan
dalam tafsir ini, ditulis pada 11 Juli 1965. Hal ini artinya bahwa ia telah menyelesaikan
penulisan tafsir ini pada pertengahan tahun 1960-an.
13
Tidak ada informasi yang memadai perihal mengapa kemudian dipakai aksara
Latin. Patut diduga agar tafsir ini mudah dibaca oleh lebih banyak masyarakat muslim,
tidak hanya orang-orang yang menguasai aksara pegon.
14
Saya tidak menemukan tafsir ini untuk edisi cetakan pertama Tahun I dan nomor
pertama, sehingga tidak bisa memberikan kepastian terkait tahun terbit untuk pertama
kalinya.
15
Kesimpulan ini didasarkan pada informasi yang terdapat pada halaman lima
dalam naskah ini yang ditempeli kertas putih bertuliskan: “Kagungan ndalem hing
pamulangan Manba’ul Ulum, 1346 H: 1858 Q: 1927 M.” Tulisan ini diketik—bukan tulisan
tangan—dengan rapi.
16
Selain dua tafsir ini, terdapat tafsir-tafsir lain yang ditulis KH. Ahmad Sanoesi,
yaitu: Tafrīj al-Qulūb al-Mu’min fī Tafsīr Kalimat Sūrat al-Yāsīn, Kasyfu as-sa’ādah fi Tafsīr
Sūrat al-Wāqi’ah, Tanbīh al-Hairan fī Tafsīr Sūrat ad-Dukhān, Yāsīn Waqi’ah Digantoeng
Loegat dan Keterangannya, Kanz al-Raḥmat wa al-Luth fī Tafsīr Sūrat Al-Kahfi, Hidāyah
al- Qulūb fī Fadli Sūrat Tabārak al-Mulk min Al-Qur’ān, Kasyful Auham wa al-Dzunūn fī
Bayān Qaul Ta’ālā Lā Yamassuhu illā al-Muṭahharūn, Maljā’ al-Ṭālibīn fī Tafsīr al-Kalām
al-Rabb al-‘Ālamīn.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ xix


Islamijjah (AII),17 sebuah organisasi masyarakat yang bertujuan mewujudkan
kebahagiaan umat melalui mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Ia juga ikut
berperan dalam pembentukan Peta (Pembela Tanah Air) di Bogor pada
1943 M. Menjelang kemerdekaan RI, ia ikut berperan dalam Badan Pekerja
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bertugas merumuskan negara Indonesia
merdeka. Dalam suatu rapat BPUPKI dan PPKI, ia pernah mengusulkan konsep
imamah sebagai dasar negara Indonesia merdeka—meskipun demikian, ia
menolak bergabung dengan DI (Darul Islam) yang didirikan Kartosuwiryo pada
1949, karena menurut dia dasar DI banyak yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam.18
Tafsir Rauḍat al-‘Irfān fī ma’rifah al-Qur’ān dan Tamsyiyatul Muslimīn fī
Tafsīr Kalām Rabb al-‘Ālamīn19 merupakan dua karya tafsir monumental yang
dia tulis. Tafsir yang pertama merupakan tafsir lengkap 30 juz yang ditulis
memakai aksara Pegon Sunda, terdiri dari dua jilid. Tafsir ini ditulis secara
ringkas, dan diterbitkan oleh Penerbit Pesantren Kedung Puyuh, Sukabumi.
Adapun tafsir yang kedua, merupakan tafsir berbahasa Indonesia aksara
Latin. Ditulis pada Oktober 1934, sebulan setelah ia kembali ke Sukabumi dari
pengasingannya di Batavia.20 Tafsir ini diterbitkan seperti bentuk majalah setiap
satu bulan sampai 53 edisi, mulai juz 1 hingga juz 8.21 Edisi pertama diterbitkan
oleh Tup Masduki, Tarikolot 3 Soekaboemi, dan sejak edisi kedua diterbitkan
oleh Druk Al-Ittihad Soekaboemi. Pada edisi kedua dan selanjutnya ini, Ahmad

17
Di era zaman Jepang organisasi ini berganti nama Persatoen Oemat Islam
Indonesia (POII). Lihat, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka,
1990), 14: 400.
18
Sulasman, KH. Ahmad Sanoesi, dari Pesantren ke Parlemen (Bandung: PW PUI
Jawa Barat, 2007), hlm. 89.
19
Selain karya-karya yang berkaitan dengan bidang tafsir, KH. Ahmad Sanoesi juga
menulis buku yang berkaitan dengan bidang ilmu yang lain, seperti fiqh. Penguasaannya
atas berbagai bidang ilmu dapat kita lihat dalam karya-karya tersebut, termasuk juga
dalam kitab tafsirnya. Misalnya, dalam tafsir Tamsyiyatul Muslimīn kita suguhi diskusi
mendalam tentang aspek-aspek fiqih berkaitan dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an.
Karya-karya tafsirnya tersebut memiliki konteks yang beragam dan ditulis dengan aksara
dan bahasa yang berbeda-beda pula.
20
Sejak 1928 ia diasingkan oleh Belanda dengan alasan karena keterlibatannya
dengan SI (Serikat Islam) ketika itu, tetapi alasan yang sesungguhnya adalah karena
fatwa-fatwanya yang kontroversial, misalnya tentang slametan dan zakat fitrah, bisa
merongrong wibawa Penghulu dan Patih Sukabumi yang ketika itu merupakan kaki
tangan Belanda. Lihat Dadang Darmawan, “Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama terhadap
Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi” Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009, hlm. 65.
21
Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada
Press, 1986), hlm. 443.

xx _ Islah Gusmian
Sanusi menyertakan transliterasi ayat Al-Qur’an yang kemudian melahirkan
kontroversi di kalangan ulama Jawa Barat.22 Tafsir ini tampaknya didedikasikan
bukan hanya untuk kalangan para santri, melainkan juga untuk masyarakat
awam yang lebih luas. Hal ini diperkuat dengan penjelasan dalam Tamsyiyat
al-Muslimīn volume pertama pada halaman “tambihat”, bahwa tafsir ini ditulis
untuk menerangkan agama Islam dan mazhab Ahlussunnah Wal Jama’ah
kepada masyarakat.
Selanjutnya, tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz karya KH.
Bisri Mustofa (1925-1977). Tafsir ini selesai ditulis menjelang subuh pada
Kamis, 29 Rajab 1376 H / 28 Januari 1960 M.23 Ditulis dengan bahasa sederhana
agar mudah dipahami oleh masyarakat secara luas, khususnya para santri
yang memulai belajar ilmu di bidang tafsir. Dengan rendah hati, Kiai Bisri
mengatakan bahwa yang dilakukannya itu hanya membahasajawakan dan
menukil kitab-kitab tafsir pendahulunya, seperti tafsir Baiḍāwi, tafsir Khāzin,
dan tafsir Jalālain.24
Sama halnya dengan Al-Ibrīz, tafsir Al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl karya K.H.
Misbah Zainul Mustafa ditulis dengan aksara Pegon Jawa. Ia adalah pengasuh
pesantran Al-Balagh di Bangilan, Tuban. Di masyarakat pesantren, tafsir ini
sangat terkenal dan telah dicetak berkali-kali oleh penerbit buku Ihsan Surabaya
pada era 1980-an. Selain Al-Iklīl, ia juga menulis tafsir berjudul Tāj al-Muslimīn.
Sayang, baru sampai jilid empat, beliau wafat.
Di Makassar, Anre Gurutta25 H.M. As’ad (w. 1952) seorang kiai pesantren
menulis Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma. Judul untuk tafsir ini sengaja
ditulis dalam tiga bahasa: Arab, Bugis, dan Indonesia. Terdapat pula edisi
Indonesia yang dialihbahasakan oleh Sjamsoeddin Sengkang, salah seorang
murid Anre Gurutta H.M. As’ad. 26 Edisi Indonesia ini diterbitkan di Sengkang.
Namun, tidak terdapat keterangan yang pasti perihal tahun penerbitan dan
nama penerbit. Meskipun demikian, M. Rafii Yunus Martan—dengan menyebut

22
Mengenai kontroversi ini lebih lanjut, lihat Dadang Darmawan, “Ortodoksi Tafsir:
Respon Ulama terhadap Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin karya KH. Ahmad Sanoesi”
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
23
Bisri Mustofa, Al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz (Kudus: Menara Kudus,
t.th.) jilid III, hlm. 2270.
24
Ibid., Jilid 1, hlm. 3.
25
Gurutta adalah sebutan atau gelar bagi ulama di Sulawesi Selatan, seperti gelar
Kiai di Jawa, namun ada pembedaan antara yang senior dan yunior. Gelar untuk ulama
senior adalah Anre Gurutta, sedangkan yang yunior Gurutta.
26
Lihat, M. Rafii Yunus Martan, “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas:
Tafsir Al-Qur’an Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an
Vol. I No. 3 Tahun 2006, hlm. 522.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ xxi


(mumtaz ma`a martabāt al-syaraf al-awlā). Ia menjadi orang pertama di Asia
Tenggara yang meraih gelar doktor di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas
Al-Azhar. Latar belakang pendidikannya inilah yang kelak membentuk dan
memantapkan komitmennya pada bidang kajian ilmu Al-Qur'an.189
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish ditugaskan di Fakultas
Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain
itu, di luar kampus, ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan,
antara lain menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984),
Anggota Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama (sejak
1989), dan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989).
Ia juga banyak terlibat dalam berbagai organisasi profesional, antara lain:
Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu
Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), serta pernah menjabat Menteri
Agama di Kabinet Pembangunan VII tahun 1998, sebelum kemudian presiden
Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 oleh gerakan reformasi yang diusung para
mahasiswa.
Di sela-sela berbagai kesibukannya, ia masih bisa membagi untuk terlibat
dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri, dan aktif dalam
kegiatan tulis-menulis. Beberapa buku yang telah dihasilkannya, di antaranya
adalah Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN
Alauddin, 1984), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987),
Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988),
Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 1992), Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung:
Mizan, 1994), Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), Hidangan Ilahi Ayat-
ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997), Yang Tersembunyi (Jakarta: Lentera
Hati, 1999), Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2000) dan beberapa buku yang lain.

9. Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997) Karya


Dr. M. Quraish Shihab, MA.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan berbagai tema yang sebelumnya
diceramahkan oleh M. Quraish Shihab190 dalam beberapa acara. Materi ceramah
tersebut pernah disampaikan dalam acara tahlilan yang dilaksanakan di
kediaman presiden Soeharto dalam rangka mendoakan Hj. Fatimah Siti Hartinah

Lihat, lembar suplemen rubrik profil yang ditulis oleh Arief Subhan dengan judul
189

“Menyatukan Kembali Al-Qur’an dan Ummat, Menguak Pemikiran M. Quraish Shihab”,


Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV Th. 1993, hlm. 11.
Tentang Quraish, lihat pada uraian sebelumnya.
190

64 _ Islah Gusmian
Soeharto yang wafat pada 1996.191 Di bagian awal buku ini, terdapat dua tulisan
yang berasal dari bahan ceramah yang disampaikan dalam acara peringatan 40
hari wafatnya Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto dan ceramah peringatan 100
hari wafatnya Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto.192 Setelah dua tulisan tersebut,
disusul dengan penafsiran atas sūrah-sūrah tertentu yang biasa dibaca dalam
ritual tradisi tahlilan, yaitu: sūrah al-Fātiḥah, sūrah al-Baqarah [2]: 1-5, ayat
Kursi (sūrah al-Baqarah [2]: 255), sūrah al-Ikhlāṣ, sūrah al-Falaq, dan sūrah
al-Nās.
Dengan mengikuti konteks yang melatari buku ini, tema-tema yang
ditafsirkan oleh Quraish dalam buku ini tidak bisa dilepaskan dari tema
kematian dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Namun demikian, karena sifat
awalnya adalah ceramah, maka penulisan dan pembahasan tema-tema tersebut
sangat lentur dan dengan melibatkan situasi kebatinan para audiens yang hadir
dalam acara tersebut.

10. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan


Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) Karya
Dr. M. Quraish Shihab, MA.
Buku ini beredar luas di masyarakat, dalam bentuk buku, setelah buku
Wawasan Al-Qur’an.193 Namun, sebetulnya sebagian uraian-uraian dalam
buku ini telah selesai penulisannya jauh sebelum buku Wawasan Al-Qur’an
diterbitkan. Bahkan, bagian-bagian dari materi buku telah dipublikasikan
secara serial di majalah Amanah dalam rubrik “Tafsir Al-Amanah”. Oleh karena
itu, dalam konteks sejarah materi buku ini lebih awal ditulis ketimbang materi-
materi yang ada dalam Wawasan Al-Qur'an.
Tafsir ini ditulis dengan teknik dan metode yang berbeda dengan metode
yang dipakai di Wawasan Al-Qur’an. Di Wawasan Al-Qur’an dipakai metode
tematik untuk menjelaskan pesan-pesan Allah, sedangkan dalam Tafsir Al-
Qur'an Al-Karim ditulis dengan mengacu pada urutan turunnya wahyu dan
dengan mengacu pada sūrah-sūrah pendek. Pemilihan teknik yang demikian itu,
memiliki kelebihan tertentu, yaitu pembaca akan lebih mudah dalam melihat
dan memahami runtutan petunjuk dan pesan Allah yang diberikan melalui Nabi
Muhammad saw.

M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera, 1997), hlm.
191

vii.
Lihat, ibid., hlm. xi dan xxi.
192

Tentang Quraish, lihat pada uraian sebelumnya.


193

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 65


11. Memahami Surat Yaa Siin (Jakarta: Golden Terayon Press, 1998)
Karya Radiks Purba
Buku ini pertama kali beredar di masyarakat pada 1998, dan pada 2001 ia
telah mengalami cetak ulang yang ketiga. Tidak terdapat keterangan yang akurat
mengenai jumlah eksemplar dalam setiap kali cetak tersebut. Namun, dari sisi
frekuensi edisi cetaknya itu memperlihatkan bahwa buku ini termasuk buku
memperoleh respons yang baik di masyarakat.
Dari sisi kontens dan teknis penulisan, meskipun di tahun 2001 telah
mengalami cetakan ketiga, buku ini tidak disunting dengan baik, terutama
dalam hal penulisan ayat Al-Qur’an. Setidaknya ada tujuh penulisan ayat Al-
Qur’an yang pemenggalannya tidak sesuai dengan kaidah imlā'iyah, yaitu: kata
‫الرحمن‬ditulis terpenggal: ‫الر‬dan ‫ ;حمن‬194 ‫ بثالث‬ditulis terpenggal: ‫بثا‬dan ‫; لث‬
195
‫لنرجمنكم‬ditulis terpenggal: ‫ لنر‬dan ‫ ; جمنكم‬196 ‫ أيديهم‬terpenggal: ‫ أيد‬dan ‫ ; يهم‬197
‫ كانوا‬ditulis terpenggal: ‫ كا‬dan ‫; نوا‬198 ‫ تجزون‬ditulis terpenggal: ‫ تجزو‬dan ‫;ن‬199 ‫يسرون‬
ditulis terpenggal: ‫ يسرو‬dan ‫; ن‬200 dan bahkan ada dua kalimat yang tidak muncul
dalam rentetan ayat ke 68 di sūrah Yāsī�n.201
Di halaman akhir buku ini disertakan terjemahan sūrah Yāsī�n dalam dua
bahasa: Inggris dan Belanda. Sayangnya, sebagai penulis tafsir ini, Radiks Purba
tidak menjelaskan apakah terjemahan tersebut merupakan hasil dari pekerjaan
dia sendiri atau mengutip dari terjemahan Al-Qur’an edisi dua bahasa yang
dilakukan oleh orang lain. Pertanyakan ini penting dikemukakan di sini, karena
dalam bagian ini terdapat beberapa terjemahan yang berbeda. Misalnya, dalam
edisi bahasa Inggris kata: ‫ يس‬tidak diterjemahkan, sedangkan dalam edisi
terjemahan bahasa Belanda diterjemahkan dengan kalimat: “O mens”.202
Adapun perihal latar belakang intelektual dan aktivitas penulis buku ini
tidak terdapat data yang lengkap yang bisa diacu. Tidak seperti kelaziman suatu
publikasi buku, dalam tafsir ini tidak disertakan penjelasan mengenai biografi
penulis. Hal ini menyebabkan kita sulit memberikan pemetakan di mana posisi
tafsir ini secara sosial maupun politik. Namun demikian, dilihat dari berbagai
literatur yang dirujuk, tidak ada satu pun literatur pokok, dan bahkan tidak

Radiks Purba, Memahami Surat Yaa Siin (Jakarta: Golden Terayon Press, 1998),
194

hlm. 27.
Ibid., hlm. 41.
195

Ibid., hlm. 54.


196

Ibid., hlm. 124.


197

Ibid., hlm. 168.


198

Ibid., hlm. 187.


199

Ibid., hlm. 244.


200

Ibid., hlm. 216.


201

Lihat, ibid., hlm. 273 dan 280.


202

66 _ Islah Gusmian
satu pun literatur tafsir berbahasa Arab yang dirujuk. Fakta ini setidaknya
mencerminkan suatu posisi dan keilmuwan penulisnya.

12. Ayat Suci dalam Renungan 1-30 juz (Bandung: Pustaka, 1988), Karya
Moh. E. Hasim
Buku ini merupakan tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz yang ditulis oleh M.
E. Hasim dengan runtut sesuai urutan dalam mushaf Utsmānī. Setiap volume
disesuaikan dengan pembagian juz yang ada dalam mushaf. Dengan demikian,
buku ini terdiri dari 30 jilid. Buku ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari
Ayat Suci Lenyepaneun yang ditulis dengan bahasa Sunda. Penerjemahan ini
dilakukan oleh Hasim sendiri dan ditulis dengan gaya bahasa populer dan
bersahaja.
Sebelum masuk dalam kajian inti (tafsir Al-Qur’an), Hasim menguraikan
tentang beberapa huruf yang mempunyai makhraj spesifik lidah Arab, seperti:
, ‫ ط‬, ‫ ض‬, ‫ ص‬, ‫ ش‬,‫ ذ‬, ‫ خ‬,‫ث‬dan‫ ظ‬. Diuraikan juga tentang beberapa huruf Arab yang
biasanya ditulis latin dengan huruf “a” namun bersuara “o”, penjelasan tentang
tiga huruf yang tidak dapat ditulis dengan huruf latin kecuali bila ditambah
ḥarakah (tanda suara), tentang huruf ta’ marbūṭah, serta bentuk-bentuk huruf
yang berbeda-beda ketika ditulis posisinya di tengah, di awal, dan di akhir.203
Menurut Miftah Faridl, khususnya yang edisi bahasa Sunda, tafsir yang
ditulis Hasim ini merupakan tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda terbesar dan
terlengkap dan telah dipakai oleh masyarakat muslim di Jawa Barat.204 Dengan
adanya dua edisi: bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, menunjukkan bahwa
tafsir ini memperoleh respons dan apresiasi yang baik dan luas dari masyarakat
Islam, di luar dari masyarakat Sunda.
Dilihat dari sisi tahun publikasi, di Indonesia era tahun 1990-an, tafsir yang
ditulis Hasim ini merupakan tafsir kedua dalam kategori tafsir lengkap 30 juz:
sebelumnya adalah Al-Qur’an dan Tafsirnya yang ditulis oleh Tim Badan Wakaf
UII sebagai revisi atas tafsir yang disusun oleh Tim Departemen Agama RI.
Moh. E Hasim atau Mohammad Emon Hasim lahir pada 15 Agustus 1916.
Ayahnya seorang Kepala Desa dan petani kelapa di Kampung Bangbayung
Kidul, Desa Cieurih, Kecamatan Cipaku, Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Ia dikenal
sebagai guru dan penulis. Sejumlah bahasa dia kuasai, yaitu bahasa Arab,
Inggris, Jepang, dan Belanda. Sejumlah jenjang pendidikan formal ia tempuh:
dimulai dari Sekolah Desa selama 3 tahun, Schakelschool Muhammadiyah, dan
HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Bandung.

Lihat, Moh. E. Hasim, Ayat Suci dalam Renungan Jilid I (Bandung: Pustaka, 1998),
203

hlm. xiii-xix.
Lihat, “Kata Pengantar” Miftah Faridl dalam ibid., hlm. x.
204

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 67


Hasim pernah mengajar SMP PARKI dan merangkap sebagai sekretaris
Non-Kooperator dan memimpin Kantor Urusan Demobilisan Pelajar. Karena
kemahirannya dalam bahasa Inggris, ia diminta menjadi pengajar bahasa
Inggris di SLTP, SLTA, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung
dan SAKTA yang diselenggarakan Djawatan Kereta Api (DKA/PT. KAI sekarang),
Akademi Sekretaris, dan Akademi Industri.
Setelah pensiun, ia menulis buku-buku agama berbahasa Sunda, yaitu
Grammer and Exercise Elementary Grande, Kamus Istilah Islam (Bandung:
Pustaka, 1987), Rupa-rupa Upacara Adat Sunda Jaman Ayeuna (Bandung:
Pustaka, 1996), Hadis Penting Papadang Ati (Bandung: Pustaka, 1997), Hadis
Penting Pelita Hati, Buku Pelajaran, Bahasa Inggris Tingkat Dasar Menengah dan
Lanjutan, Ayat Suci Lenyepaneun 30 Jilid (Bandung: Pustaka, 1984), Ayat Suci
dalam Renungan 30 Jilid (Bandung: Pustaka, 1998), Iqra (Bacaan dan Tulisan),
dan Khatbah Shalat Jum’ah (Bandung: Pustaka, 2006).
Berkat karya-karyanya ini, pada 10 April 1994 ia memperoleh penghargaan
dari Lembaga Kebudayaan UNPAS. Dan puncaknya adalah penghargaan
dari Sastra Rancage dalam kategori karya berbahasa Sunda pada 31 Januari
2001. Penghargaan lain yang ia peroleh adalah Pengembangan Persyarikatan
Muhammadiyah di Bandung oleh PP Muhammadiyah. Moh. E Hasim wafat pada
Minggu, 3 Mei 2009 di RS. Hasan Sadikin karena penyakit komplikasi yang dia
derita. Dan jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Sirnaraga Bandung.

13. Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina, 1998)


Dr. Muhammad Ghalib M.
Istilah Ahl al-Kitāb yang dikaji dalam buku ini dipilih oleh Muhammad
Ghalib M karena ia melihat bahwa pengertian Ahl al-Kitāb, dalam tradisi
pemikiran Islam, seringkali dipahami sebagai istilah untuk menyebut umat
Yahudi dan Nasrani. Di sisi yang lain, ada sebagian ulama yang memperluas
cakupan maknanya, yaitu meliputi juga semua pemeluk agama yang memiliki
Kitab Suci, dan Kitab Suci tersebut diduga kuat berasal atau bersumber dari
wahyu Allah. Pembahasan mengenai cakupan makna Ahl al-Kitāb berikut
implikasi hukum yang ditimbulkannya dalam kehidupan sosial, masih menjadi
perdebatan ulama, baik ulama tafsir maupun fiqh. Dalam konteks masalah di
atas, Ghalib kemudian menelusuri pengertian dan cakupan terma Ahl al-Kitāb
secara komprehensif dengan mengacu pada teks Al-Qur’an dan sejarah sosial
politik di mana istilah ini gunakan.
Buku ini bersumber dari naskah disertasi yang ditulis Ghalib di Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disertasi tersebut berjudul Wawasan al-Qur’an
tentang Ahl al-Kitāb dan diujikan pada 1997.205 Mengacu pada fokus kajian dan

Lihat, halaman “Tentang Penulis” dalam Muhammad Ghalib M., Ahl al-Kitab,
205

Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 6

68 _ Islah Gusmian
metode yang digunakan, disertasi ini merepresentasikan tren di dalam kajian
Al-Qur'an yang berkembang di Perguruan Tinggi Agama Islam era 1990-an.
Pengaruh M. Quraish tampak kuat dalam penulisan tema ini, terutama dalam
hala penggunaan metode tematik menjadi arus umum dalam kajian Al-Qur'an
pada masa itu.
Muhammad Ghalib Mattalo, lahir pada 1 Oktober 1959 di Banyorang,
Bantaeng, Sulawesi Selatan, dari pasangan H. Mattola dan Siti Hafsah. Pendidikan
formalnya dimulai dari jenjang Sekolah Dasar di tanah kelahirannya. Pada 1971,
ia lulus SDN, dan pada 1974, ia lulus dari Madrasah Ma’arif 6 tahun. Pada tahun
yang sama, ia juga lulus dari SMP Negeri. Selanjutnya, ia meneruskan jenjang
pendidikannya di Pendidikan Guru Agama, selama 4 tahun di Bulukumba, lulus
pada 1975 dan PGA, 6 dan lulus pada 1977.206
Setahun kemudian, tepatnya tahun 1978, ia masuk perguruan tinggi pada
Fakultas Dakwah IAIN Alauddin di Bulukumba, dan pada 1981 ia meraih ijazah
Sarjana Muda. Pada 1990, ia melanjutkan ke jenjang magister (S2) di IAIN
Alauddin Ujungpandang, lulus pada 1993. Tanpa menunggu jeda lama, ia kuliah
di jenjang doktor (S3) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lulus pada 1997
dengan menulis disertasi berjudul: Wawasan Al-Qur’an tentang Ahl Kitab.207
Sejak tahun 1987, ia menjadi pengajar tetap di almamaternya, IAIN Alauddin
Ujungpandang, Fakultas Ushuluddin, khusus mata kuliah tafsir Al-Qur’an. Di
luar dari kampus IAIN, ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta,
seperti Universitas Muslim Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar,
dan Sekolah Tinggi Agama Islam al-Furqan, ketiganya di Ujungpandang.

14. Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an (Jakarta:


Paramadina, 1999) Karya Dr. Nasaruddin Umar, MA.
Buku Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an ini merupakan edisi
publikasi dalam bentuk buku dari disertasi yang ditulis oleh Nasaruddin Umar.
Ketika dalam naskah disertasi, berjudul Perspektif Jender dalam Al-Qur’an.
Dalam rangka penulisan disertasi ini, ia menghabiskan waktu 6 tahun. Rentang
waktu yang panjang ini dipakai untuk menelusuri berbagai sumber di 27 negara.
Bahan-bahan yang ditelusuri bukan hanya sumber-sumber berbahasa Arab dan
Inggris, tapi juga Ibrani. Adalah hal wajar, jika tabloid Tekad menyebut riset
yang dilakukan Nasaruddin ini cukup eksklusif.208 Menurut Azyumardi Azra,
buku ini merupakan kontribusi penting ke arah rekonstruksi dan reformulasi
perspektif gender dalam wacana Islam kontemporer.209

206
Ibid.
207
Ibid.
Tabloid Tekad, No. 24 Tahun 1. April 1999, sebagaimana dikutip pada cover
208

belakang di buku Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an ini.


Ibid.
209

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 69


Kesetaraan gender dalam perspektif Al-Qur’an merupakan tema yang
aktual pada era ketika buku ini ditulis. Perbedaan laki-laki dan perempuan
masih menjadi isu penting untuk dikaji, sebab masih menyimpan sejumlah
masalah, baik dari sisi substansi bagaimana manusia (laki-laki dan perempuan)
diciptakan maupun peran-peran mereka di tengah masyarakat. Perbedaan
anatomi biologis laki-laki dan perempuan memang sudah jelas, tetapi efek
yang muncul akibat perbedaan itu menimbulkan silang pendapat. Sebab,
pada kenyataannya perbedaan jenis kelamin, secara biologis telah melahirkan
seperangkat konsep budaya yang berbeda pula. Dan bagaimana kemudian
persoalan ini dikaitkan dengan Al-Qur’an, yang kita tahu bahwa misi pokoknya
adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan
penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, dan ikatan-
primordial lain.210 Masalah inilah yang menjadi dasar kegelisahan akademik
Nasaruddin, yang kemudian mendorong dirinya untuk melakukan penelitian
tentang kesetaraan gender dengan mengulik prinsip-prinsip Al-Qur’an.
Nasaruddin Umar, lahir di Ujung-Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959
dari pasangan H. Andi Muhammad Umar dan H. Andi Bunga Tungke. Pak Nasar,
demikian para mahasiswa memanggilnya, lahir dari keluarga yang mempunyai
perhatian besar terhadap agama. Pendidikan formalnya ditempuh mulai dari
Sekolah Dasar Negeri 6 tahun di Ujung-Bone, lulus pada 1970. Melanjutkan
Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, di Pesantren As`adiyah Sengkang lulus pada 1971,
Pendidikan Guru Agama 4 tahun, di pesantren yang sama, lulus pada 1974, dan
pendidikan Guru Agama 6 tahun, juga di tempat yang sama, lulus pada 1976.
Jenjang Sarjana Muda dia tempuh di Fakultas Syariah IAIN Alauddin Ujung
Pandang, lulus pada 1980, jenjang Sarjana Lengkap ditempuh di kampus yang
sama, lulus pada 1984. Selanjutnya, untuk jenjang magister (S2) dan doktor (S3)
dia tempuh di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, masing-masing lulus pada 1992
dan 1999.211 Di jenjang doktor ia menulis disertasi berjudul Perspektif Jender
dalam Al-Qur’an­, di bawah bimbingan Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab,MA., dan
Dr. H. Johan Hendrik Meuleman.212
Sebelumnya, ia menjadi Visiting Student di Mc.Gill University Kanada,
tahun 1993-1994, Visiting Student di Leiden University, tahun 1994-1995, dan
mengikuti Sandwich Program di Paris University, tahun 1995. Ia juga pernah
melakukan penelitian kepustakaan di beberapa perguruan tinggi di negara-

Lihat, ibid., khususnya bagian pendahuluan.


210

Lihat, Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Al-Qur’an, Pidato


211

Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta,
12 Januari 2002, hlm. 65.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an (Jakarta:
212

Paramadina, 1999), hlm. viii.

70 _ Islah Gusmian
negara Eropa, dalam rentang tahun 1993-1996. Kini ia menjadi pengajar di IAIN
Syarif Hidayatullah dan program Pascasarjana Universitas Paramadinamulya.213
Beberapa artikel yang ia tulis telah tersiar di berbagai media massa, jurnal,
serta telah diterbitkan dalam buku antologi. Misalnya Pengantar Ulumul Qur’an
(Jakarta: Baitul Qur’an, 1996), “Poligami” dalam Bunga Rampai Pemikiran
Ali Syari’ati (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), “Perbandingan antar Aliran:
Perbuatan Manusia” dalam Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas (eds.), dan
Sejarah Pemikiran dalam Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1996).214

15. Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Karya Dr. Nashruddin Baidan
Buku ini mengkaji isu-isu tentang perempuan dengan memasuki ceruk
Al-Qur’an. Ditulis oleh Nashruddin Baidan, guru besar di bidang tafsir. Seperti
diakuinya sendiri, lewat buku ini ia melakukan upaya perumusan secara
komprehensif dan utuh tentang pandangan Al-Qur’an terhadap persoalan
yang dihadapi perempuan. Ia merasa ada suatu pandangan yang tidak fair
atas perempuan yang selama ini terjadi di kalangan umat Islam. Bahkan,
menurutnya, ada yang atas nama Al-Qur’an, memojokkan perempuan ke
pinggiran peradaban.215
Kasus yang seringkali ditampilkan oleh sebagian orang untuk memberikan
penilaian pejoratif terhadap perempuan adalah terusirnya Adam dari surga
dikarenakan tergoda oleh rayuan Hawa yang dipengaruhi Iblis. Kisah ini
seringkali diklaim sebagai contoh bahwa perempuan adalah sosok penyebab
kerusakan dan kesesatan manusia. Selain itu, ada pandangan di kalangan
sebagian Muslim bahwa perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki (Adam).
Oleh karena itu mereka harus patuh dan tunduk pada laki-laki karena mereka
adalah hak milik dari si laki-laki itu.
Buku yang ditulis Nashruddin ini mengulik masalah-masalah di atas
dengan terbuka. Meskipun buku ini ditulis bukan untuk kepentingan meraih
gelar akademik di jenjang pendidikan formal, seperti beberapa karya yang telah
dijelaskan sebelumnya, buku ini ditulis dari sisi teknis dan metodik dengan
memakai tradisi akademik yang hidup di perguruan tinggi. Dengan semangat
keterbukaan dan kritis, buku ini ditulis dengan semangat akademik dan ilmiah,

Mengenai berbagai aktivitas Nasaruddin secara lengkap bisa dilihat dalam


213

riwayat hidupnya yang ditulis dalam, Bias Jender dalam Penafsiran Al-Qur’an, Pidato
Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta,
12 Januari 2002, hlm. 79.
Ibid. dan Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an
214

pada halaman sampul belakang.


Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam
215

Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. vi dan 3.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 71


sehingga konsepsi tentang perempuan dalam Al-Qur’an bisa dipetik dengan
baik dan utuh.
Nashruddin Baidan adalah Guru Besar Madya Ilmu Tafsir di STAIN
Surakarta. Dalam pengukuhan Guru Besar atas dirinya di hadapan Rapat senat
terbuka STAIN Surakarta, Sabtu 4 Desember 1999, ia menulis makalah setebal
87, berjudul Rekonstruksi Ilmu Tafsir.216 Ia lahir di Lintau, Sumatera Barat, pada
5 Mei 1951.217 Pada 1977, ia lulus dari jurusan sastra Arab Fakultas Adab IAIN
Imam Bonjol, Padang. Pada 24 Juni 1981, dia diangkat menjadi dosen Bahasa
Arab pada Fakultas Tarbiyah IAIN Susqa Pekanbaru. Tiga tahun berselang,
tepatnya tahun 1984, ia melanjutkan studi pada Program Magister di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Adapun jenjang doktor ia raih di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada 1990 dengan menulis disertasi berjudul Metode Penafsiran Ayat-
ayat yang Beredaksi Mirip di dalam Al-Qur’an.218
Sebelum hijrah ke Jakarta pada 1984 untuk meneruskan kuliah ke jenjang
Magister di IAIN Syarif Hidayatullah, ia pernah menjadi Wakil Ketua LPTQ
Propinsi Riau (1983-1985), Ketua bidang kajian klasik ICMI wilayah Riau
(1992-1994). Setelah menyelesaikan jenjang program magister, ia diminta
hijrah ke Surakarta untuk mengajar di STAIN Surakarta. 219 Di samping menjadi
Guru Besar di bidang ilmu tafsir di STAIN Surakarta, pada 2002, ia mengajar
mata kuliah tafsir di beberapa tempat, yaitu di Pascasarjana IAIN Yogyakarta
dan di pesantren Sobron UMS.
Selain Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qura’an,
ada beberapa buku lain yang ia tulis, di antaranya Metodologi Penafsiran Al-
Qur’an (Yogyakarta: Nashruddin Baidan, 1998) dan Rekonstruksi Ilmu Tafsir
Pidato Pengukuhan Guru Besar di STAIN Surakarta (1999).

16. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir (Yogyakarta: LKiS,
1999), karya Dr. Hj. Zaitunah Subhan
Buku ini merupakan publikasi secara luas dari naskah disertasi yang ditulis
oleh Zaitunah Subhan. Judul pada naskah disertasi adalah Kemitrasejajaran
Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam. Namun, ketika dipublikasikan dalam
bentuk buku judulnya diganti dengan narasi yang lugas dan memberikan
cita rasa gugatan: "tafsir kebencian". Penggantian judul ini, selain untuk

Lihat pada naskah pidato pengukuhan Guru Besar Nashruddin Baidan,


216

Rekonstruksi Ilmu Tafsir (Surakarta: STAIN Surakarta, 1999).


Lihat pada halaman “Biodata” dalam Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya
217

Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an, hlm. 193.


Disertasi ini telah diterbitkan oleh Penerbit Fajar Harapan, Pekanbaru, 1992.
218

Lihat pada halaman “Biodata” dalam Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya
219

Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an, hlm. 193; naskah pidato Nashruddin Baidan,
Rekonstruksi Ilmu Tafsir, hlm. 88-89.

72 _ Islah Gusmian
kepentingan ceruk pasar penjualan buku, saya kira juga untuk kepentingan
menggugah kesadaran masyarakat muslim dalam memahami tentang
keberadaan perempuan. Judul ini mengisyaratkan tentang gugatan atas realitas
di mana masih terjadi suatu tafsir atas eksistensi perempuan, yang digali
atau disandarkan dari Al-Qur'an, dengan perspektif 'kebencian' dan kurang
menghargai kemanusiaan perempuan.
Disertasi di atas ditulis di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di bawah
bimbingan Prof. Dr. Zakiyah Darajat dan Dr. Komaruddin Hidayat.220 Kegelisaan
akademik yang dibangun oleh Zaitunah dalam buku ini mirip dengan yang terjadi
dalam disertasi yang ditulis oleh Nasaruddin Umar dan Nashruddin Baidan,
yang telah dipaparkan sebelumnya. Salah satu hal yang membedakan antara
keduanya adalah Zaitunah mengarahkan fokus kajiannya pada konteks historis
Indonesia dan mengacu pada tafsir-tafsir yang ditulis oleh ulama Indonesia. Dua
variabel ini yang dijadikan sebagai pijakan untuk melihat realitas bagaimana
eksistensi perempuan dinarasikan dan aspek ini yang tidak ditemukan dalam
kajian Nasaruddin dan Nashruddin.
Zaitunah mengarahkan kajiannya dengan mengacu pada tiga kriteria, yaitu
tafsir yang ditulis oleh mufasir Indonesia, mufasir klasik, dan para feminis
Muslim. Untuk kasus mufasir Indonesia, ia mengkhususkan pada tiga tafsir,
yaitu: Al-Qur’an dan Tafsirnya yang ditulis dan diterbitkan dibawah pengawasan
Departemen Agama, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Mahmud Yunus, dan Tafsir
Al-Azhar karya Hamka.221
Zaitunah Subhan merupakan pemikir dan aktivis perempuan. Ia dilahirkan
di Gresik, pada 10 Oktober 1950. Latar belakang pendidikan formal ia lalui
secara linier: diawali dari SRN 6 tahun, Ibtidaiyah sampai Tsanawiyah 3 tahun
di Pesantren Maskumambang Gresik, dan Aliyah 2 tahun di Pesantren Ihya
al-Ulum Gresik. Pada 1967 ia melanjutkan studi di Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Jenjang sarjana (S1) ini ia lalui dengan baik dan gelar
Sarjana Muda ia raih pada 1970. Empat tahun berselang ia lulus untuk jenjang
Sarjana Lengkap, di jurusan Perbandingan Agama.
Sebelum diwisuda Zaitunah memperoleh beasiswa untuk kuliah di
Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Di kampus tua ini, ia mengambil jenjang

220
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an
(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. x.
Tiga tafsir karya ulama Indonesia ini dipilih dengan beberapa alasan yang
221

diacu pada pendapat Howard H. Federspiel, yaitu: 1) tafsir yang ditulis Mahmud Yunus
dipandang sebagai tafsir generasi kedua dan representatif mewakili tafsir-tafsir generasi
kedua; 2) tafsir yang ditulis Hamka merupakan salah satu tafsir yang dipandang mewakili
tafsir generasi ketiga, yang mempunyai kelebihan dalam membicarakan sejarah dan
berbagai peristiwa kontemporer; dan 3) tafsir yang disusun oleh tim Departemen Agama
Republik Indonesia adalah merupakan suatu fakta tentang keterlibatan negara dalam
penyebarluasan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Lihat ibid., hlm. 11-13.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 73


Dirasat al-Ulya (tingkat Magister) Kulliyat al-Banat sampai tahun 1978. Sepulang
dari Mesir, ia kembali aktif di almamaternya sebagai dosen tetap pada Fakultas
Ushuluddin. Beberapa dekade berselang, pada 1996 ia melanjutkan studi di
jenjang doktor dengan mengikuti Program Doktor Bebas Terkendali angkatan
pertama tahun 1996/1997. Dia berhasil menyelesaikan program doktor ini
setelah menjalani ujian promosi pada 29 Desember 1998.222
Di samping berkarir di dunia pendidikan formal, Zaitunah juga aktif dalam
beberapa kegiatan non formal, misalnya mengikuti Intensif Course (Women
and Development kerja sama INIS dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) tahun
1989; mengikuti Konferensi International (6th International Interdisciplinary
Congress on Women) di Adelaide Australia 1996; International Women:
Conference Women in Indonesia Society; dan Acces, Empowerment and
Opportunity, di Jakarta 1997.223
Berbagai ragam aktivitas, khususnya yang berkaitan dengan dunia
perempuan, dia jalani dalam kerangka membangun kesadaran mengenai posisi,
martabat, dan hak kaum perempuan dan kesetaraan gender. Peran aktif Zaitunah
di dunia perempuan dapat dilihat dari berbagai amanah yang diembannya.
Misalnya, ia pernah menjadi Ketua KPSW (Kelompok Pengembangan Studi
Wanita) IAIN Sunan Ampel Surabaya, periode 1991-1995; Ketuas PSW (Pusat
Studi Wanita) IAIN Sunan Ampel periode 1995-1999; Ketua Devisi Hubungan
Antar Organisasi Wanita ICMI Orwil Jawa Timur tahun 1995-2000; Pembina
Kelompok Pengajian Agama Islam di Instansi pemerintah dan BUMN; serta
menjadi anggota Pokja P2W Pemda Jawa Timur.224

17. Tafsir Sufi Surat Al-Fatihah (Bandung: Rosdakarya, 1999) Karya


Jalaluddin Rakhmat
Di dalam Kata Pengantar buku ini, Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan
perasaannya.225 Ia mengaku bahwa dirinya dipenuhi rasa “ketakutan”, karena
tafsir yang ia tulis bertajuk Tafsir Sufi. Adjektif “sufi”, kata Jalal, seringkali oleh
sebagian orang telah dipadankan dengan 'kesesatan'. Ia melanjutkan rasa yang
gemuruh dalam batinnya bahwa banyak buku telah ditulis, baik oleh orang
awam maupun ulama, yang membahas kesesatan apa saja yang dinisbahkan
kepada “sufi”: pemikiran sufi, praktik-praktik sufi, pengobatan sufi, dan tafsir
sufi. Jalal teringat sejarah, ketika Abū `Abd al-Raḥmān al-Sulāmī, seorang sufi,
menulis tafsir Al-Qur’an berjudul Ḥaqā’iq al-Tafsīr, “dihajar” oleh banyak

Lihat, “Biodata Penulis” dalam ibid., halaman akhir buku ini.


222

Ibid.
223

Ibid.
224

Tentang biografi Jalaluddin Rakhmat, lihat uraian sebelumnya.


225

74 _ Islah Gusmian
ulama. Ibnu Ṣālah, misalnya, mengatakan, “...barangsiapa menyakini tulisan itu
(Ḥaqā’iq al-Tafsīr—pen), ia sesungguhnya telah kufur.”226
Dengan nada merendah Jalal pun mengatakan, “bagaimana bila ini
dilakukan oleh seorang semacam Jalal?” Tapi, itulah ciri khas Jalal. Setelah
mengikuti berbagai riwayat hidup para mufasir terkenal, seperti Muḥammad
`Abduh, Muḥammad Rasyīd Riḍā, dan Sayyid al-Ṭabāṭabā’ī, ia berketetapan
menulis tafsir sufi ini. Namun, seperti diakuinya sendiri, sejatinya dia tidak
menulis tafsir, tetapi hanya menuliskan tafsir. Ia hanya sebagai “broker” yang
menjual informasi kepada para pembaca. Ibarat sebuah cerek kecil yang
menampung air dari berbagai sumber kemudian mengalirkannya kepada siapa
pun yang kehausan.227
Ketika menulis Tafsir Sufi Al-Fatihah ini, ia kebetulan kedatangan tamu,
Syekh Muḥammad Taqī Baqīr, sekretaris umum redaksi Majalah Al-Muslimūn
al-Ḥurr. Waktu itu, Jalal menceritakan dirinya yang sedang menyusun tafsir
sufi. Tamunya itu menarik napas panjang, sambil menatap matanya, ia berujar,
“Ya Akhi, Anda sedang melakukan tugas berat dan berbahaya. Bahaya pertama
datang dari Anda. Kalau perjalanan Anda tanggung, belum selesai, Anda sendiri
akan menjadi sopir yang menarik banyak orang ke dalam jurang. Bahaya
kedua, datang dari murid-murid Anda atau pembaca. Mereka tidak mengerti
apa yang Anda sampaikan, lalu berusaha membentuk pengertian sendiri. Atau
mereka memahaminya dengan keliru. Kekeliruan pemahaman awam ini akan
dinisbahkan kepada Anda.”228
Mendapat nasihat dari Syaikh Muḥammad Taqī Baqīr itu, Jalal dengan jujur
mengatakan akan lebih berhati-hati dalam penyusunan tafsir sufi ini. Sambil
mengutip QS. Al-`Ādiyāt [100]: 1-5, kepada tamunya itu, ia minta didoakan.229
Dan akhirnya, pada 1999 lahirlah buku Tafsir Sufi Al-Fatihah ini.

18. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ (Jakarta: Logos,
2000) Karya KH Didin Hafidhuddin
Tafsir Al-Hijri ini merupakan tafsir yang naskah awalnya berasal dari
materi tafsir yang diceramahkan dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Pengajian itu
diampu oleh Didin Hafidhuddin di Masjid Al-Hijri, Universitas Ibn Khaldun
(UIK) Bogor secara berkala, setiap Ahad yang berlangsung sejak 1993. Jika ia
berhalangan hadir, kegiatan pengajian itu diganti oleh dua sejawatnya: Drs. H.E.
Syamsuddin, staf pengajar TPAI-IPB dan Drs. Ibdalsyah MA., pimpinan harian
Pesantren Ulil Albab Bogor, dan juga dosen Fakultas Agama Islam UIKA Bogor.

Lihat “Tafsir Sufi: Menyesatkan atau Diperlukan?” Pengantar Jalaluddin Rakhmat


226

dalam Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah (Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm. vii-viii.
Ibid., hlm. xiii.
227

Dialog Jalal dengan Muhammad Taqi Baqir ini dituturkan Jalal sendiri dalam ibid.
228

Ibid., hlm. xv.


229

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 75


Ketika ia melanjutkan studi di Madinah pada 1994, kedua orang inilah yang
menggantikannya sebagai pembicara dalam pengajian tersebut.
Pengajian Didin ini direkam dan ditulis ulang, untuk setiap kajian, oleh
Dedi Nugraha SE., santri Pesantren Ulil Albaab. Atas prakarsa Ir. M. Lukman M.
Baga, M.Sc dan M. Sjaiful Hamdi Naumin, SE dan ketekunan Dedi Nugraha SE,230
ceramah-ceramah itu bisa hadir dalam bentuk buku. Dengan latar belakang
seperti itu, narasi-narasi dalam buku ini dipenuhi dengan gaya bahasa populer
serta mudah dicerna. Tidak disertakan alasan yang jelas mengapa Didin memilih
dan memulai kajian tafsir itu pada sūrah al-Nisā’, bukan pada sūrah al-Baqarah
atau pada sūrah-sūrah yang lain.
Sejak kecil, Didin dididik ayahnya untuk menjadi seorang pendakwah.
Setiap kali pimpinan Pesantren Riyadul Jinan, Cibungbulang, Bogor, itu
berceramah, Didin selalu diajak-serta. Kalau sang ayah berhalangan, ia pula
yang menggantikannya. Untuk melatih mental, ia kemudian disuruh merantau,
menjauh dari orangtuanya dengan sekolah di Cibadak Sukabumi dan menjadi
santri di Pesantren Ad-Dakwah serta di Miftahul Huda Sukabumi. Selepas SMA,
ia tidak langsung melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, melainkan
mendalami tata bahasa Arab di Pesantren Salafi Cijambe Sukabumi, selama
tiga tahun.
Ia dikenal sebagai salah seorang ulama dan cendekiawan muslim Indonesia
yang mempunyai perhatian khusus dan serius terhadap pemberdayaan ekonomi
umat. Ia lahir di Bogor 21 Oktober 1951, anak ketiga dari sepuluh bersaudara
dari pasangan Ajengan Mamad Maturidy (wafat 1986) dan Hj. Neneng Nafsiah
(wafat 1999). Sejak tahun 1980, ia mengasuh mata kuliah Pendidikan Agama
Islam di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Tafsir Al-Qur’an di Fakultas Agama
Islam UIKA Bogor.
Beberapa jabatan pernah diamanahkan kepadanya, yaitu Dekan Fakultas
Agama Islam UIKA Bogor (sejak 1994); Ketua Program Magister Agama Islam
pada Pascasarjana UIKA Bogor; pemimpin Pesantren Mahasiswa dan sarjana
Ulil Albab, Bogor (sejak 1987); Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor
periode 1987-1991; sekretaris Majelis Pimpinan Badan Kerjasama Pondok
Pesantren Indonesia; dan pembimbing Yayasan Islam Kalimah Thayyibah,
sebuah wahana pembinaan profesional muda berakidah kuat dan berjiwa
entrepreneurship di bidang bisnis melalui pesantren profesional muda Ulil
Albab, Bogor yang didirikan pada 24 Desember 1999.
Selain beragam jabatan di atas, ia juga pernah menjadi anggota Dewan
Syariah Dompet Dhu’afa Republika; pengasuh rubrik konsultasi zakat, infak,
shadaqah (ZIS) di Harian Republika; anggota Pleno Forum Zakat (FOZ); ketua

Lihat “Kata Pengantar” Didin Hafidhuddin dalam Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir
230

Surat An-Nisa’ (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. vii.

76 _ Islah Gusmian
Dewan Syariah BPRS Amanah Ummah Leuwiliang, Bogor; anggota Dewan
Pertimbangan BAZIS DKI Jakarta; anggota Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (MUI); anggota Dewan Syariah Asuransi Takaful Indonesia;
dan anggota Dewan Syariah PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) Investment
Management.231
Pada pemilu 1999 ia didaulat oleh Partai Keadilan untuk menjadi calon
presiden Republik Indonesia. Namun, melihat kenyataan politik di Indonesia
saat itu, ia menjadi ragu untuk kembali ke gelanggang politik. Sebab,
menurutnya, seorang politikus ternyata harus pandai bersilat lidah dan bicara
berbelit-belit,232 suatu sikap yang justru ia hindari.

19. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar-umat


Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), Karya Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
Buku ini ditulis oleh tim yang secara khusus dibentuk dengan tujuan untuk
menyusun tafsir Al-Qur'an. Tim tersebut secara formal disusun dan diprakarsai
oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Namun, tidak dijelaskan secara rinci nama-nama orang yang
terlibat di dalam tim tersebut. Sebagaimana diuraikan oleh Syafii Maarif, selaku
ketua PP Muhammadiyah dalam kata sambutan di buku ini, bahwa buku yang
terbit menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta 8-11 Juli 2000
ini, mempunyai arti penting. Tidak saja ikut menyemarakkan acara muktamar
tersebut, tetapi juga membekali semua warga Muhammadiyah dalam konteks
menjalani kehidupan sosial antar-umat beragama di Indonesia.
Dari sisi intelektual, tafsir ini sebagai bentuk kepedulian lembaga
Muhammadiyah dalam kerangka memberi sumbangan pemikiran terhadap
bangsa Indonesia yang sedang menghadapi masalah besar, dan salah satu
masalah besar itu adalah situasi hubungan antar-umat beragama yang
memprihatinkan dan banyak dirundung masalah.233
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam memiliki posisi penting
di dalam organisasi Muhammadiyah. Sebagaimana dimaklumi, dari lembaga
ini persoalan-persoalan keagamaan dibicarakan dan diberikan solusi dengan
mengacu pada Al-Qur'an dan hadis. Ada dua dimensi penting yang dijelaskan
dalam buku ini terkait dengan pembahasan masalah-masalah keagamaan, yaitu
wilayah religious practical guidance (fatwa dan tuntunan keagamaan secara

Untuk uraian biografi ini lihat cover belakang di buku Didin Hafidhuddin.
231

Lihat Rubrik Tamu Kita “Kampanye Zakat Calon Presiden” Majalah Gatra No. 11
232

Tahun VIII, 2 Februari 2002. hlm. 58-59.


233
Lihat, “Kata sambutan” PP Muhammadiyah dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an
tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm.
v-vi.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 77


praktis) dan juga wilayah pemikiran keagamaan (religious thought) yang
lebih terkait dengan visi, gagasan, wawasan, diskursus, wacana, nilai-nilai
fundamental, dan sekaligus analisis akademik. Sisi pertama bersifat “mengikat”
(sebagaimana umat Islam terikat kepada aturan-aturan dan norma-norma
ibadah maḥḍah), sisi kedua tidak perlu bersifat mengikat, lebih bersifat wacana
yang tidak mesti harus didahului oleh keputusan Majelis Tarjih.234
Sebelum dipublikasikan di tengah masyarakat, tafsir yang ditulis secara
kolektif ini, materinya telah didiskusikan secara intensif di lingkungan
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, dan
bahkan telah dibahas dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-24 di Universitas
Muhammadiyah Malang, Komisi V pada 29-31 Januari 2000. Pembahasan
tersebut dalam rangka menerima masukan dan koreksi. Berbeda dengan
Himpunan Putusan Tarjih yang selalu secara formal diputuskan oleh Muktamar
atau Musyawarah Nasional Tarjih, tafsir tematik ini, sesuai sifatnya yang
ditujukan untuk membuka wacana dialog pemikiran keagamaan dan keislaman,
diputuskan sebagai wacana yang selalu terbuka untuk direspons dan tidak
mengikat secara organisatoris bagi persyarikatan Muhammadiyah.235

20. Memasuki Makna Cinta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) Karya


Abdurrasyid Ridha, S.Ag
Tafsir ini ditulis Abdurrasyid Ridha. Naskah awalnya berasal dari skripsi
yang ditulis di jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Pada edisi skripsi berjudul Konsep Cinta dalam Al-Qur’an di bawah
bimbingan Drs. H. Muzairi, MA. Dra. Sekar Ayu Aryani, MA, dan Drs. H. Chumaidy
Syarief Romas. Dan sebelum dipublikasikan, buku ini secara terbatas pernah
didiskusikan bersama teman-temannya di lingkungan Circle for Qur’anic and
Humanity Studies (CQHS).
Abdurrasyid Ridha lahir pada 6 Maret 1972 di Hulu Sungai Tengah,
Kalimantan Selatan. Jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Tsanawiyah ia
selesaikan di tanah kelahirannya. Usai lulus di jenjang Tsanawiyah ia hijrah ke
Yogyakarta dalam rangka nyantri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
dan sekaligus menempuh pendidikan formal di Madrasah Aliyah Ali Maksum.
Pada 1990 ia kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengambil jurusan
Tafsir Hadis, dan lulus pada 1996.236
Tema cinta, yang menjadi objek kajian dalam buku ini, meskipun telah
banyak kajian dilakukan, ia tetap menjadi topik yang menarik dan tidak basi.

Lihat, “Kata Pengantar” Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP


234

Muhammadiyah dalam ibid., hlm. ix.


Ibid., hlm. xviii-xix.
235

Lihat, “Halaman Biodata” dalam Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta


236

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 173.

78 _ Islah Gusmian
Tidak kurang dari bidang filsafat, psikologi, dan sosiologi, muncul para pakar
yang membahas tema ini. Di bidang psikologi misalnya, ada Erich Fromm, ahli
psikoanalisis terkenal dengan karyanya berjudul The Art of Loving, dan I. Lepp
dengan karya berjudul The Psychology of Loving; di bidang filsafat, Leone Ebreo,
dengan karyanya The Philosophy of Love; di bidang sosiologi, Pitirim A. Sorokin
melahirkan karya berjudul The Ways and Power of Love serta Altruistic Love; dan
Leo F. Buscaglia, seorang doktor pendidikan, juga mempunyai karya berjudul
Love.
Dalam konteks yang demikian, Abdurrasyid Ridha merasa bahwa kajian
tentang makna cinta dalam Al-Qur’an belum pernah dikaji dengan baik dan
komprehensif oleh umat Islam. Ia menyadari bahwa kajian cinta tentang dalam
Al-Qur'an telah dikaji oleh intelektual muslim. Maḥmūd ibn al-Syarīf, misalnya,
pernah menulis buku berjudul al-Ḥubb fī al-Qur’ān, tapi menurutnya buku
ini lebih terfokus pada dimensi cinta ilahiah. Dan dengan demikian ia tidak
mengemukakan konsep yang jelas dan utuh mengenai cinta dalam al-Qur’an
serta tidak mengaitkannya dengan persoalan-persoalan sosial yang konkret
dan dihadapi oleh umat Islam.237

21. Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Jakarta:


Gramedia, 2000) Karya Syu’bah Asa
Materi tafsir ini berasal dari artikel-artikel tafsir yang ditulis secara serius
dan mendalam oleh Syu’bah Asa di majalah mingguan Panji Masyarakat. Artikel-
artikel tersebut ditulis secara berkala setiap edisi. Mengacu pada informasi
yang disertakan di setiap akhir artikel tersebut, kita tahu bahwa artikel-artikel
tersebut ditulis dalam rentang waktu 1997-1999. Sebagai kumpulan artikel
yang ditulis dalam konteks publikasi media massa, tema-tema yang dipilih
Syu’bah bukan hanya sangat beragam tetapi juga kontekstual; sesuai dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat tafsir tersebut ditulis.
Judul “Dalam Cahaya Al-Qur’an” yang dipakai dalam buku ini diambil dari
nama rubrik yang ada di majalah Panji Masyarakat. Sejak awal, rubrik ini sengaja
disediakan bagi Syu’bah untuk menulis artikel tafsir tersebut. Sedangkan frasa
"tafsir ayat-ayat sosial politik" dipilih untuk menggambarkan tema-tema yang
ia tulis dalam artikel tersebut. Bila kita cermati, secara umum tema-tema yang
dibahas adalah berkaitan dengan isu sosial dan politik yang terjadi di Indonesia
pada saat tafsir ini ditulis.
Dalam peta intelektual Indonesia, Syu’bah Asa dikenal sebagai wartawan
dan kolomnis ketimbang sebagai ulama. Namun kepiawaiannya dalam membaca
literatur-literatur berbahasa Arab tidak ada yang meragukannya. Kenyataan
ini terlihat dengan jelas dalam buku Dalam Cahaya Al-Qur’an ini. Ia lahir di

Ibid. hlm. 7.
237

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 79


Pekalongan, pada 21 Desember 1941.238 Titi mangsa terkait kelahirannya ini,
oleh ayahnya ditulis dalam sampul kitab Zubad. Sayangnya, kata Syu'bah,
dokumen penting itu hilang di zaman clash. Begitu lahir, ia dibacai barzanji
oleh ayahnya selama 40 malam; suatu ekspresi yang mendalam tentang kasih
sayang sang ayah yang dinamainya sebagai “bentuk ikhtiar menguatkan doa”.
Ayahnya seorang pengusaha batik di lingkungan penghafal Al-Qur’an di
desa Kerandan, Pekalongan Selatan. Embah, adik embah, ayah, ibu dan paman
misannya, semuanya memiliki suara emas. Tentang ibunya, yang hanya ia ingat
suaranya, sering menyanyikan Ramona dengan lirik yang digantinya dengan
kalimat-kalimat agama.239
Sejak balita, Syu’bah digembleng pengetahuan Al-Qur’an oleh kerabatnya
sendiri di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama pada siang hari, di samping
Sekolah Rakyat di pagi hari. Sebulan di kelas lima, ayahnya mencabutnya
dan menyerahkannya ke tangan tokoh mantan komandan Hizbullah, adik
seperjuangan Adik embahnya, yang membuka madrasah Menengah Mu`allimin
Muhammadiyah. Dari tokoh ini, ia mempelajari Sirah Nabi, berkenalan dengan
cerpen karya Al-Manfaluthi, majalah kebudayaan Kristen Mesir Al-Hilal, dan
novel Cinta Pertama karya Ivan Turgenev, dalam bahasa Arab. Dari abang
misan, yang juga hafal Al-Qur’an, ia bisa membaca novel Di Bawah Lindungan
Ka’bah karya Hamka.
Karir pendidikannya kemudian berlanjut di Yogyakarta dengan mengambil
PGAA Negeri, sambil belajar kitab kuning secara privat kepada seorang kiai
bangsawan di Lempuyangan, dan sebentar nyantri kalong di Pesantren Krapyak.
Pada Desember 1960 ia masuk IAIN Sunan Kalijaga di Fakultas Ushuluddin,
jurusan Filsafat. Pada masa menjadi mahasiswa di Yogyakarta, di samping
mengajar anak-anak dan berkhutbah, ia menjadi guru pengganti untuk
Djarnawi Hadikusumo—yang ketika itu sibuk sebagai ketua umum Parmusi
dan anggota DPRD—di PGAA Negeri, bekas sekolah Syu’bah, untuk pelajaran
Ilmu Balaghah. Selama dua tahun, ia menjadi dosen muda partikelir untuk mata
kuliah ekstrakulikuler drama di dua fakultas IKIP Negeri. Di tempat inilah ia
bertemu dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya.240
Karir kepenulisannya sudah dimulai sejak sekolah di bangku SLTP. Pada
1957 karangan pertamanya dimuat di majalah Batik. Kemudian menulis novel
remaja Cerita di Pagi Cerah (Balai Pustaka: 1960). Di masa-masa selanjutnya,
ia menulis cerpen, sajak, pernah pula kritik musik dan komposisi lagu seriosa.
Di dunia teater dan sastra, ia juga sangat terkenal. Ia pernah menjadi sutradara

Lihat rubrik “Tamu Kita” dalam Kiblat No. 59 Agustus 1991, hlm. 11.
238

Lihat “Batu Bata Demi Batu Bata (Sekelumit tentang Penulis)” dalam Syu’bah Asa,
239

Dalam Cahaya Al-Qur'an, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm.
478-479.
Ibid., hlm. 477.
240

80 _ Islah Gusmian
untuk Teater Mahasiswa Islam HMI dan mengetuai Ikatan Sastrawan Muda
Islam (ISMI). Di dunia aktivis gerakan, ia pernah terlibat dalam demonstrasi
1966, sebagai orator yang berkobar-kobar.241
Aktivitas kepenulisannya berkembang dengan mengagumkan. Ia pernah
menerjemahkan syair-syair maulid, yang dimulainya pada tahun 1963, lalu
dipentaskan oleh Bengkel Teater milik Rendra. Ia ikut juga dalam proyek
puitisasi terjemahan Al-Qur’an, pada 1970, bersama Taufik Ismail dan Ali
Audah. Pada tahun itu pula, ia menjadi wartawan di majalah Ekspres, cikal bakal
Tempo, menjadi redaktur musik. Dan ketika di Tempo, ia merupakan penulis
kritik teater yang paling rajin. Lalu karena memegang prinsip, ia keluar dari
Tempo pada 1987, dan kemudian menjadi ketua sidang redaksi majalah Editor.
Di Editor ini, ia mengalami ketegangan prinsip, dan akhirnya diputuskan untuk
keluar. Tak berselang lama, ia ditarik menjadi wakil pemimpin redaksi harian
Pelita. Dan ketika majalah Panji Masyarakat ganti manajemen pada sekitar tahun
1997, ia ditarik masuk dalam dapur redaksi. Di majalah Panji Masyarakat inilah
ia menulis artikel tafsir Al-Qur’an yang diidam-idamkannya sebagai “stasiun
terakhir” dirinya. Tafsir Al-Qur’an yang ditulis untuk Majalah Panji Masyarakat
itu yang kemudian dibukukan ini.242

22. Jiwa dalam Al-Qur’an, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern


(Jakarta: Paramadina, 2000) Karya Dr. Achmad Mubarok
Tafsir ini merupakan salah satu tren yang muncul di era 1990-an.
Naskahnya berasal dari disertasi yang ditulis Achmad Mubarok dengan judul
Konsep Nafs dalam al-Qur’an untuk meraih jenjang doktor (S3) di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penulisannya, ia dibimbing oleh Prof. Dr.
H.M. Quraish Shihab, MA., dan Prof. Dr. H. Emo Kastama Abdulkodir, MP.
Pada edisi disertasi, kajian yang dilakukan Mubarok ini memakai metode
tematik; metode yang lazim digunakan pada era itu dalam kajian tentang konsep-
konsep kunci dalam Al-Qur'an. Ketika naskah disertasi tersebut dipublikasikan
secara luas dalam bentuk buku, oleh penulisnya kemudian dilengkapi dengan
kajian yang lebih luas yang berkaitan dengan kajian psikologi.243 Tambahan ini
dapat dilihat pada bab pertama dan kedua di buku ini.
Achmad Mubarok lahir di Purwokerto, pada 15 Desember 1945. Ia nyantri
di Pesantren Salafi Pesawahan, Purwokerto dan Kesugihan di daerah Cilacap.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Mu`allimin Jakarta, pada 1966. Gelar
Sarjana Muda ia raih dari Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, pada 1971, dan gelar
Sarjana Lengkap ia raih di kampus yang sama, Jurusan Perbandingan Agama,

Ibid., hlm. 478.


241

Ibid., hlm. 479.


242

Lihat, ”Kata Pengantar” penulis dalam Jiwa dalam Al-Qur’an Solusi Krisis
243

Keruhanian Manusia Modern (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. x.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 81


Fakultas Ushuluddin, pada 1976. Adapun jenjang magister ia selesaikan pada
1992 di Pascasarjana IAIN Jakarta, dan di kampus yang sama pula ia meraih
gelar doktor pada 1998 dengan menulis disertasi berjudul Konsep Nafs dalam
Al-Qur’an ini.244
Sebagai intelektual muslim, Mubarok aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah.
Misalnya, pada 1988 ia mengikuti Short Program Dakwah di Universitas al-
Azhar, Cairo; mewakili Indonesia dalam Sarasehan Guru Tarekat se-Dunia
(Multaqa’ al-Tasawwuf al-Alami) di Tripoli Libya, pada 1995; dan mengikuti
Sidang Istimewa “The World Islamic People Leadership” di Benghazi, pada
1996. Di dunia akademik, ia menjadi dosen di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan di Universitas Islam Asy-Syafi`iyyah Jakarta.
Sejumlah karya ilmiah ia tulis dan telah diterbitkan, di antaranya:
Perbandingan Agama Islam Kristen (Bandung: Pustaka Salman 1985); Untaian
Hikmah (terjemahan, 1986); Islam dan Koperasi (tim penulis, Depkop, 1989);
Materi Dakwah Terurai (Penda DKI Jaya); Kompilasi Ayat al-Qur’an dan Hadits
tentang Keluarga Sakinah (BKKBN); dan Psikologi Dakwah (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999).245

23. Tafsir Juz `Amma Disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi Par,
2000) Karya Rafi’udin, S.Ag dan Drs. KH. Edham Syifa’i
Tafsir ini ditulis oleh dua orang, yaitu: Rafi’udin dan KH. Edham Syifa’i. Dari
sisi subjek kepenulisan, buku ini termasuk yang khas di era 1990-an, yaitu ditulis
secara bersama-sama. Namun dari sisi objek yang dikaji, sebenarnya suatu
pilihan yang telah jamak dilakukan dalam tradisi penulisan tafsir. Sedangkan
dari sisi publikasi, dibandingkan buku-buku yang lain, buku Tafsir Juz `Amma
Disertai Asbabun Nuzul diterbitkan dengan mengabaikan persoalan formal dan
kelembagaan. Misalnya, buku ini dipublikasikan tanpa disertai dengan nomor
ISBN. Nomor ISBN memang tidak ada hubungan langsung dengan substansi
buku. Namun dengan nomor ISBN kita akan mudah mencari dan melacak buku
ini, karena telah teregistrasi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Pada sisi yang lain, dalam buku ini tidak disertakan penjelasan tentang
metode yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur'an serta tidak ada judul buku-
buku yang dijadikan rujukan dalam penulisan buku ini. Dengan demikian,
kita kesulitan untuk mengetahui dan sekaligus melacak jejaring keilmuan dan
perspektif yang ada dalam buku ini. Situasi sulit ini ditambah dengan ketiadaan
penjelasan tentang biografi kedua penulisnya, sehingga kita tidak mengerti
tentang latar belakang intelektual kedua penulisnya serta apa tujuan mereka
menulis tafsir ini.

Lihat pada “Halaman Biodata” dalam ibid


244

Ibid.
245

82 _ Islah Gusmian
24. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2000) Karya Dr. M. Quraish Shihab, MA.
Tafsir ini ditulis M. Quraish Shihab.246 Awal penulisannya dikerjakan di
Kairo pada 18 Juni 1999. Dari segi bentuk kemasannya, tafsir ini ditulis secara
berseri, terdiri dari beberapa volume hingga lengkap 30 juz. Model cetakannya
ada dua bentuk, yang pertama dicetak dengan bentuk softcover dan yang kedua
dengan tampilan hardcover.
Pada 1997, seperti telah diuraikan di muka, sebetulnya Quraish telah
menulis tafsir dan diterbitkan, berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Surat-
surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Tafsir ini diterbitkan
oleh Pustaka Hidayah Bandung. Ada 24 sūrah yang dihidangkan dalam buku
tersebut. Uraiannya banyak merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah dengan
menggunakan metode penyajian taḥlīlī dan analisis atas kosa kata yang menjadi
kata kunci. Dan sūrah-sūrah yang menjadi objek penafsiran didasarkan pada
urutan turunnya wahyu.
Namun, model semacam ini dikesankan oleh banyak orang kurang menarik
dan terlalu bertele-tele dalam uraian tentang kosa kata yang sangat detail.
Oleh karena itu, Quraish tidak melanjutkan upaya penafsiran dalam bentuk
tersebut. Buku Tafsīr Al-Mishbāh, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an ini
merupakan upaya Quraish untuk menghindari model kajian yang terkesan
bertele-tele tersebut dan beralih kepada model yang ringkas tetapi pembaca
bisa menangkap pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur'an.
Buku ini ditulis dalam upaya memperkenalkan Al-Qur’an secara
mendalam tetapi sekaligus mudah dicerna. Melalui buku ini, Quraish berusaha
menghidangkan suatu bahasan pada setiap sūrah pada apa yang dinamainya
tujuan sūrah atau tema pokok sūrah.247 Sebagai sebuah produk penafsiran, tafsir
ini oleh penulisnya juga dipaparkan secara serial melalui Metro TV, dan selain
dalam bentuk buku cetak, tafsir ini juga dilaunching dalam bentuk CD.[]

Tentang biografi M. Quraish Shihab, lihat uraian pada bagian sebelumnya.


246

Lihat “Sekapur Sirih” M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al-Mishbah, Pesan,
247

Kesan dan Keserasian Al-Qur’an volume I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. x-xi.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 83


BAB III
TEKNIK PENULISAN DAN METODOLOGI PENAFSIRAN
DALAM TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

A. Peta Kajian atas Tafsir Al-Qur’an


Pada bab sebelumnya telah diuraikan tentang sejarah, subjek, dan
objek dari dua puluh empat tafsir yang ditulis dengan bahasa Indonesia dan
dipublikasikan secara luas di tengah masyarakat pada era 1990-an. Sebelum
lebih jauh menganalisisnya, pada bagian ini dipaparkan tentang pemetaan
tentang metode kajian tafsir yang selama ini tumbuh dan menjadi salah
satu rujukan umum di Indonesia. Upaya ini penting dilakukan dalam rangka
memberikan lanskap yang lebih memadai tentang suatu arah kajian atas tafsir
yang tidak semata-mata terpaku pada hal-hal yang bersifat teknis, tetapi juga
aspek historis, dan metodologis, di mana tafsir itu lahir dan dipublikasikan.
Setidaknya hingga pada era 1990-an, ketika kita berbicara tentang metode
tafsir Al-Qur’an di Indonesia, secara umum, orang merujuk pada pemetaan yang
dilakukan oleh al-Farmāwī. Dalam buku al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū`ī,
sebagaimana banyak dikutip dan dirujuk para pengkaji tafsir Al-Qur'an, al-
Farmāwī memetakan metode penafsiran Al-Qur’an menjadi empat bagian,
yaitu: taḥlīlī, ijmālī, Muqāran, dan Mawḍū`ī. Pertama, metode taḥlīlī, yaitu
metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat Al-Qur’an yang
urutannya disesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushaf Al-Qur’an.
Penjelasan makna-makna ayat tersebut bisa makna kata atau penjelasan
umumnya, susunan kalimatnya, asbāb al-nuzūl-nya, serta keterangan yang
dikutip dari Nabi, Sahabat, maupun tābi`īn.1
Dalam metode taḥlīlī2 ini, oleh al-Farmāwī dibagi menjadi tujuh macam,
yaitu: 1) al-tafsīr bi al-ma’tsūr, yaitu tafsir yang bersumber pada ayat Al-Qur’an,
atau yang dinukil dari Nabi Muhammad saw, Sahabat, maupun dari Tābi`īn.

1
`Abd al-Ḥayyī al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū`ī, Dirāsah Manhajiyyah
Mawḍū`iyyah, (t.tp.: t.p, 1976), hlm. 17.
2
Muḥammad Baqir al-Ṣadr menamai tafsīr taḥlīlī ini dengan tafsīr juz’ī. Lihat,
Muḥammad Baqir al-Ṣadr, Sejarah dalam Perspektif al-Qur’an, terj. M.S. Nasrullah
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 56.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 85


Contohnya: Jāmi`al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī (w. 310 H);
2) al-tafsīr bi al-ra’yī, yaitu tafsir yang menggunakan ijtihad setelah seseorang
menguasai berbagai disiplin ilmu terkait.3 Contohnya: Mafātīḥ al-Ghayb karya
Fakhr al-Rāzī (w. 606 H); 3) al-tafsīr al-ṣūfī, yaitu tafsir yang menggunakan
analisis sufistik atau mena`wilkan ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik atau
berdasarkan isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk-nya.
Contohnya: Ḥaqā’iq al-Qur’ān karya al-Sulamī (w. 412 H); 4) al-tafsīr al-fiqhī,
yaitu tafsir yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum. Contohnya: Aḥkām al-
Qur’ān karya Jaṣṣāṣ;4 5) al-tafsīr al-falsafī, yaitu tafsir yang menggunakan
analisis disiplin ilmu-ilmu filsafat. Contohnya: Mafātīḥ al-Ghayb karya Fakhr
al-Dīn al-Rāzī;5 6) al-tafsīr al-`ilmī, yaitu penafsiran yang menggali kandungan
Al-Qur’an berdasarkan teori ilmu pengetahuan. Contohnya: Al-Qur’ān wa al-`Ilm
al-Ḥadīts karya `Abd al-Razzāq Nawfal;6 dan 7) al-tafsīr al-adabī al-ijtimā`ī, yaitu
tafsir yang menitikberatkan penjelasan atas ayat Al-Qur’an dari segi ketelitian
redaksinya kemudian menyusun kandungan ayat tersebut dengan tujuan utama
memaparkan tujuan Al-Qur’an. Contohnya: Tafsīr al-Manār karya Rasyīd Ridlā. 7
Kedua, metode ijmālī, yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna ayat secara global. Sistematikanya mengikuti
urutan sūrah Al-Qur’an, sehingga makna-maknanya saling berhubungan.
Penyajiannya menggunakan ungkapan yang diambil dari Al-Qur’an sendiri
dengan menambahkan kata atau kalimat penghubung, sehingga memudahkan
para pembaca dalam memahaminya. Dalam metode ini, penafsir juga meneliti,
mengkaji, dan menyajikan asbāb al-nuzūl ayat dengan meneliti hadis yang
berhubungan dengannya, sejarah dan atsar dari salaf al-ṣāliḥ. Contohnya adalah
Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm karya Muḥammad Farīd Wajdī.8

3
Imām al-Suyūṭī menyebut ilmu-ilmu yang terkait tersebut sebanyak 15 bidang,
yaitu: ilmu bahasa, ilmu naḥwu, ilmu taṣrīf, ilmu isytāq, ilmu ma`ānī, ilmu badī`, ilmu
qirā’at, ilmu uṣūl al-dīn, ilmu uṣūl al-fiqh, ilmu asbāb al-nuzūl, ilmu naskh mansūkh, ilmu
fiqh, ilmu ḥadīts, ilmu al-mauḥabah (ilmu yang diberikan Allah kepada mereka yang
mengamalkan apa yang diketahui). Lihat, Jalāluddīn `Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Itqān
fī `Ulūm al-Qur’ān, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1991), II: 231.
4
Munculnya tafsir ini bersamaan dengan lahirnya mazhab fiqh. Lihat, al-Żahabī,
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, II: 532.
5
Tafsir model ini muncul setelah di masa `Abbasiah terjalin hubungan antara umat
Islam dengan Persia, Yunani dan India serta diterjemahkannya berbagai buku filsafat dan
sains. Lihat, al-Farmāwī, al-Bidāyah, hlm. 26.
6
Pada awalnya, jenis tafsir ini muncul secara fragmentaris dalam kitab-kitab tafsir
al-ra’yī, khususnya ketika membahas ayat-ayat kauniah. Lihat, al-Farmāwī, al-Bidāyah,
hlm. 26-32.
7
Ibid., hlm. 33.
8
Ibid., hlm. 34-5.

86 _ Islah Gusmian
Ketiga, metode Muqāran, yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan.
Perbandingan di sini dalam tiga hal, yaitu:9 perbandingan antarayat,
perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadis, dan perbandingan penafsiran
antarpenafsir. Contoh tafsir model perbandingan antarayat, yaitu Durrah al-
Tanzīl wa Ghurrah al-Ta’wīl karya al-Iskafī, sedangkan yang menggunakan
perbandingan antarpenafsir ialah al-Jāmi` li Aḥkām al-Qur’ān karya al-Qurṭubī.
Keempat, metode mawḍū`ī, yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an secara
tematis.10 Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama, membahas satu sūrah
Al-Qur’an dengan menghubungkan maksud antarayat serta pengertiannya
secara menyeluruh. Dengan metode ini ayat tampil dalam bentuknya yang
utuh. Contohnya, al-Tafsīr al-Wāḍiḥ karya Muḥammad Maḥmūd al-Hijā’ī.
Kedua, menghimpun ayat Al-Qur’an yang mempunyai kesamaan arah dan
tema, kemudian dianalisis dan dari sini ditarik kesimpulan. Biasanya, model
ini diletakkan di bawah tema bahasan tertentu.11 Contohnya: al-Mar’ah fī al-
Qur’ān karya `Abbās Maḥmūd al-`Aqqad.
Dalam konteks metodologi, pemetaan al-Farmāwī di atas, memberikan
peta baru ketimbang pemetaan konvensional yang dibangun ulama era abad
ke-9 H hingga abad ke-13 H. yang memetakan metodologi tafsir dalam tiga
bentuk: al-tafsīr bi al-ma’tsūr, al-tafsīr bi al-ra’yī, dan tafsīr al-isyārī.12 Namun
demikian, al-Farmawi tidak memberikan pemetaan yang tegas antara wilayah
metode dan pendekatan tafsir serta teknik penulisan tafsir.

9
Ibid., hlm. 35-6.
10
Sebagai metode spesifik, menurut al-Farmāwī, metode mawḍū`ī ini diperkenalkan
oleh Aḥmad al-Sayyid al-Kūmī, ketua jurusan Tafsir di Universitas al-Azhar. Lihat, al-
Farmāwī, al-Bidāyah, hlm. 49.
11
Lihat, ibid., hlm. 36-45. Dalam metode mawḍū`ī ini al-Farmāwī memberikan
delapan langkah: 1) menentukan topik bahasan dengan batasan-batasannya; 2)
menetapkan dan menghimpun ayat yang terkait dengan tema; 3) merangkai urutan
ayat sesuai dengan masa turunnya; 4) memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam
sūrahnya masing-masing; 5) menyusun out line pembahasan; 6) melengkapi pembahasan
dengan hadis yang relevan; 7) mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan
dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang `āmm dan yang khaṣ, muṭlaq dan muqayyad, atau yang
pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan dan pemaksaan. Lihat, ibid., hlm. 49-50.
12
Al-Ṣābūnī, al-Tibyān, hlm. 67, 155, dan 171. Subḥī al-Ṣāliḥ, Mabāḥits fī `Ulūm al-
Qur’ān (Beirūt: Dār al-`Ilm al-Malāyīn, 1988), hlm. 291, 292, dan 296. Al-Qaṭṭān, Mabāḥits,
hlm. 347, 351, 356. Ṭameem Uṣama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, hlm. 5, 13, dan 24. Fahd
bin `Abd al-Raḥmān al-Rūmī, bahkan membagi menjadi dua, yaitu: al-tafsīr bi al-ma’tsūr
dan al-tafsīr bi al-ra’yī. Lihat dalam bukunya, Al-Qur’an dan Studi Kompleksitas al-Qur’an,
terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm.
199.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 87


Hal yang mirip juga dilakukan M. Quraish. Dalam Membumikan Al-Qur’an,
misalnya, ia mengategorikan al-tafsīr bi al-ma’tsūr sebagai corak tafsir, tanpa
menjelaskan apa yang ia maksud dengan istilah “corak”.13 Di beberapa tempat, ia
juga sering menyebut tentang cara, pendekatan, dan corak tafsir, namun ia tidak
memetakannya secara lebih detail, hal-hal mana yang termasuk pendekatan,
metode, dan cara dalam penafsiran.14 Pernah juga, dengan mengutip al-Farmawi,
Quraish mengklaim tafsīr bi al-ma’tsūr bagian dari “corak” tafsir taḥlīlī.15 Bahkan,
sejumlah pengkaji tafsir di Indonesia juga melakukan perujukan secara total
terhadap pemetaan yang dilakukan oleh al-Farmāwī. Misalnya yang dilakukan
Cawidu,16 Komaruddin,17 dan Tim penulisan18 buku Sejarah dan Ulum al-Qur’an
yang dieditori oleh Azyumardi Azra.19 Secara singkat lihat pada tabel III.

TABEL III
METODE KONVENSIONAL KAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN

No Pengamat Tafsir Metode Tafsir


1 M. `Alī� al-Ṣābūnī� Ma’tsūr/riwayat Ra’yu Isyārī
2 M. Basuni Faudah Ma’tsūr/riwayat Ra’yu Isyārī
3 Ṭameen Uṣama Ma’tsūr/riwayat Ra’yu Isyārī
4 Mannā` al-Qaṭṭān Ma’tsūr/riwayat Ra’yu Isyārī
5 Subḥī� al-Ṣāliḥ Ma’tsūr/riwayat Ra’yu Isyārī
6 Fahd bin `Abd al-Raḥman al-Rūmī Ma’tsūr/riwayat Ra’yu
7 `Alī� al-Ausī� Ma’tsūr/riwayat Ra’yu terdiri dari:
1. Lughawī
2. Falsafī
3. Ṣūfī
4. Bāṭinī
5. `Aqdī
6. Fiqhī

13
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm. 83.
14
Ibid., hlm. 85. Hal yang sama dialami T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Lihat bukunya,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 251-267.
15
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. v.
16
Harifuddin Cawidu, “Metode dan Aliran dalam Tafsir”, Pesantren No. 1/Vol.
VIII/1991, hlm. 3.
17
Komaruddin Hidayat tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa paparannya itu
dirujuk pada al-Farmāwī, tetapi isinya sama. Lihat, Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, hlm. 190-192.
18
Tim ini terdiri dari Prof. M. Quraish Shihab (Ketua), Prof. H. Ahmad Sukardja,
Badri Yatim, Dede Rosyada, dan Drs. Nasaruddin Umar.
19
Lihat Azyumardi Azra (ed.) Sejarah dan Ulum al-Qur’an, hlm. 172-192.

88 _ Islah Gusmian
5 `Abd al-Ḥayyī� Taḥlīlī, terdiri dari: Ijmālī Muqāran Mawḍū`ī
al-Farmāwī� 1. Ma’tsūr/Riwayat
2. Ra’yu
3. Ṣūfī
4. Fiqhī
5. `Ilmī
6. Falsafī
7. Adabī al-ijtimā`ī
6 M. Quraish Shihab Ma’tsūr/riwayat Ra’yu terdiri dari:
1. Taḥlīlī 2. Maudlū`ī
3. Ijmālī 4. Muqāran
7 Tim Penulis Sejarah dan Ulum Taḥlīlī terdiri dari: Ijmālī Muqāran Mawḍū`ī
al-Qur’an 1. Ma’tsūr
2. Ra’yu
3. Fiqhī
4. Ṣūfī
5. Falsafī
6. `Ilmī
7. Adabī al-Ijtimā’ī
8 Harifuddin Cawidu Taḥlīlī terdiri dari: Ijmālī� Muqāran Mawḍū`ī�
1. Ma’tsūr/riwayat
2. Ra’yu
3. Fiqhī
4. Ṣūfī
5. Falsafī
6. `Ilmī
7. Adabī al-Ijtimā`ī
9 Komaruddin Hidayat Taḥlīlī terdiri: Ijmālī Muqāran Mawḍū`ī

Di luar dari pemetaan konvensional di atas, di Indonesia muncul dua tokoh,


yaitu Yunan Yusuf dan Nashruddin Baidan. Kedua akademisi ini membuat
pemetaan metode tafsir dalam bentuk yang berbeda dengan yang dilakukan
Al-Farmawi. Yunan membuat istilah “karakteristik tafsir” untuk memetakan
metode tafsir, yakni sifat khas yang ada di dalam tafsir. Dalam konsepnya ini,
ia memetakan tafsir ke dalam tiga arah, yaitu: 1) metode (misalnya: metode
antarayat, ayat dengan hadis, ayat dengan kisah isrāiliyyāt); 2) teknik penyajian
(misalnya: teknik runtut dan topikal); dan 3) pendekatan (misalnya: fiqhī,
falsafī, ṣūfī, dan lain-lain). Lihat pada tabel IV.

TABEL IV
PEMETAAN KAJIAN TAFSIR MENURUT M. YUNAN YUSUF

Metode Tafsir Teknik Penyajian Tafsir Pendekatan Tafsir


1. Antar-ayat 1. Runtut 1. Fiqhī�
2. Ayat dengan hadis 2. Topikal 2. Falsafī�
3. Ayat dengan kisah isrāiliyyāt 3. Ṣūfī�
4. Dan lain-lain

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 89


Lain halnya dengan Yunan, Nashruddin Baidan memetakan tafsir ke dalam
dua bagian utama. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dua bagian: 1)
jati diri Al-Qur’an (sejarah Al-Qur’an, asbāb al-nuzūl, qirā’āt, nāsikh mansūkh,
munāsabah, dan lain-lain), dan 2) kepribadian penafsir (akidah yang benar,
ikhlas, netral, sadar dan lain-lain). Kedua, komponen internal, yaitu unsur-
unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga
unsur pembentuk, yaitu: 1) metode penafsiran (global, analitis, komparatif, dan
tematik), 2) corak penafsiran (ṣūfī, fiqhī, falsafī, dan lain-lain), dan 3) bentuk
penafsiran (ma’tsūr dan ra’yu).20 Dalam konteks kategorisasi yang dibangun
Yunan, komponen internal dalam pembagian yang dilakukan Baidan ini
menemukan relasinya, meskipun tidak sepenuhnya sama. Selengkapnya lihat
tabel V dan bandingkan dengan pemetaan yang dilakukan oleh Yunan Yusuf.

TABEL V
PEMETAAN KAJIAN TAFSIR MENURUT NASHRUDDIN BAIDAN

KOMPONEN EKSTERNAL KOMPONEN INTERNAL

Jati diri Bentuk Tafsir Metode Tafsir Corak Tafsir


Kepribadian
Al-Qur'an Mufassir
Ma'tsur Global
- Tasawuf
- Tematik - Aqidah yang - Fiqhi
Ra'yu Analitis - Falsafi
- Qiraat benar
- Nasikh-Mansukh - Ikhlas - Kombinasi
- Mukjizat - Netral Komparatif - Sosial Kemasyarakatan,
Al- Qur'an - Sadar dan lain-lain
- Munasabah - Ilmu Mauhibah
- Dan Lain-lain Tematik

Meskipun pemetaan dua pengkaji tafsir di atas mempunyai kemiripan,


tetapi dari segi kategorisasi, substansi konstruksi yang mereka bangun berbeda.
Tafsir riwayat yang oleh Baidan dikategorikan dalam “bentuk tafsir”, oleh
Yunan dikategorikan dalam “metode tafsir”. Tafsir tematik dan analitis yang
oleh Baidan dikategorikan dalam “metode tafsir” oleh Yunan dimasukkan dalam
kategori “teknik penyajian tafsir”. Dari sini terlihat bahwa yang dikategorikan
Baidan sebagai “metode tafsir”, oleh Yunan dikategorikan sebagai “teknik
penyajian tafsir”, dan yang dikategorikan Yunan sebagai “metode tafsir” oleh
Baidan dikategorikan sebagai “bentuk tafsir”. Keduanya bertemu pada titik
kesamaan hanya pada kategori “pendekatan tafsir”.

20
Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir Pidato Pengukuhan Guru Besar
Madya Ilmu Tafsir (Surakarta: STAIN Surakarta, 1999), hlm. 17-18.

90 _ Islah Gusmian
Sebagaimana terlihat pada tabel V, dalam pandangan Baidan penafsiran
dalam bentuk riwayat hanya dapat diterapkan melalui metode global dan
analitis. Hal ini terjadi, disebabkan oleh terbatasnya riwayat. Artinya sejauh
ada riwayat model penafsiran ini bisa dilakukan. Oleh karena itu, bagi Baidan
bentuk tafsir riwayat tidak dapat dijadikan tumpuan untuk dijadikan bahan
utama bagi analisis perbandingan dalam metode komparatif, sebagaimana
juga ia tidak dapat dijadikan tumpuan dalam penyelesaikan kasus tertentu.
Sebaliknya, penafsiran dalam bentuk ra’yu dapat diaplikasikan melalui salah
satu atau gabungan dari metode yang disebutkan tadi.21
Dari penjelasan di atas tampak bahwa tafsīr bi al-ma’tsūr menurut Baidan
merupakan bentuk penafsiran yang diperoleh dari Nabi melalui beberapa
riwayat. Meskipun dalam bentuk penafsiran semacam ini ada penafsiran
antarayat, namun menurut Baidan tetap harus dirujukkan pada keberadaan
riwayat. Misalnya, ‫ظلم‬dalam sūrah al-An`ām [6]: 82 ditafsirkan Rasulullah
dengan ‫ شرك‬dari sūrah Luqmān [31]: 13. Jika ada bentuk penafsiran ayat dengan
ayat, tanpa merujuk pada riwayat yang ada, menurut Baidan termasuk dalam
kategori tafsīr bi al-ra’yi. Sebab, hal itu merupakan suatu yang dikreasikan
dari semangat berijtihad. Misalnya, ‫ أنعمت عليهم‬dalam sūrah al-Fātiḥah [1]: 7
ّ ‫النبيين والص ّدقين والشهداء‬
ditafsirkan dengan ‫والصالحين‬ ّ ‫ من‬dalam sūrah al-Nisā’
ِ
[4]: 69.22

B. Arah Baru Metode Kajian atas Tafsir Al-Qur’an


Beberapa pemetaan yang disusun para pengkaji tafsir di atas merupakan
suatu perkembangan dalam dinamika kajian tafsir di Indonesia. Namun secara
paradigmatik pemetaan itu belum memberikan dasar-dasar konseptual dan
praktis mengenai suatu metode kajian atas tafsir. Dengan demikian, diperlukan
suatu rumusan konseptual yang dapat digunakan menelisik unsur-unsur
fundamental dan teknis dari tafsir Al-Qur'an, sebagai suatu produk kebudayaan.
Dalam kerangka semua itu, ada dua sisi penting yang mesti didedah ketika
kita menganalisis tafsir sebagai karya budaya. Pertama, sisi teknis di mana tafsir
ditulis dan disajikan kepada audiens/pembaca. Sisi teknis ini menyangkut
sistematika dan bentuk tekstual di mana tafsir ditulis dan disajikan, gaya bahasa
atau narasi yang digunakan, subjek kepengarangan (authorship), serta buku-
buku yang dijadikan rujukan.
Untuk melihat dua sisi ini secara detail, tafsir sebaiknya dipetakan ke
dalam beberapa bagian. Pertama, sistematika penyajian tafsir, yaitu bagaimana
tafsir secara teknis ditulis. Dalam bagian ini, setidaknya ada dua bentuk dasar
yang bisa diurai, yaitu: a) sistematika penyajian runtut sesuai dengan susunan

21
Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, hlm. 20.
22
Ibid. hlm. 38.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 91


mushaf Al-Qur’an, dan b) sistematika penyajian tematik sesuai dengan tema-
tema tertentu yang telah dipilih penafsir. Kedua, bentuk penyajian tafsir.
Dalam bagian ini, setidaknya terdiri dari dua bagian, yaitu: a) penyajian bentuk
global, dan b) penyajian bentuk rinci; Ketiga, gaya bahasa atau narasi yang
dipakai dalam penulisan tafsir. Dalam bagian ini, setidaknya bisa dipetakan
dalam beberapa bentuk gaya bahasa, yaitu: a) gaya bahasa ilmiah, b) gaya
bahasa populer, c) gaya bahasa kolom, dan d) gaya bahasa reportase. Keempat,
kepenulisan (authorship) penafsir. Dalam bagian ini meliputi: a) tafsir yang
ditulis oleh penafsir secara individual, dan b) tafsir yang ditulis secara kolektif
dan atau oleh tim yang disusun oleh lembaga tertentu untuk menulis tafsir.
Keilma, sumber-sumber atau literatur tafsir yang dijadikan rujukan dalam
penulisan tafsir. Kelima, keilmuan penafsir. Dalam bagian ini ditelisik bidang
ilmu dan basis keilmuan yang dimiliki para penulis tafsir.
Bagian kedua, hal-hal yang berkaitan dengan aspek metodologi penafsiran,
yaitu bagaimana praktik tafsir dilakukan, data-data yang digunakan, dan
kerangka berpikir yang dijadikan landasan. Semua ini berkaitan dengan konsep
hermeneutika. Oleh karena itu, praktik tafsir tidak hanya sebatas pada variabel
linguistik dan riwāyah, tetapi juga mempertimbangkan unsur triadik (teks,
penafsir, dan audiens sasaran teks). Walhasil, suatu proses penafsiran dikaji
tidak hanya terpusat pada teks, tetapi juga subjek (penafsir), audiens, dan ruang
sosial politik ketika praktik penafsiran dilakukan.
Dari sisi konseptual hermeneutika tersebut, kajian atas tafsir setidaknya
bergerak pada tiga wilayah. Pertama, metode penafsiran, yakni tata kerja
analisis yang digunakan dalam penafsiran, misalnya metode riwayat, metode
ilmiah, dan metode interteks. Kedua, nuansa penafsiran, yaitu analisis atas hal-
hal yang menjadi wacana mainstream dalam tafsir. Misalnya, nuansa fiqh, sufi,
bahasa, dan seterusnya. Ketiga, pendekatan tafsir, yaitu sisi konseptual di mana
seorang penafsir memulai praktik penafsiran dan memosisikan teks (Al-Qur'an),
konteks, dan sejarah. Pada bagian ini, misalnya bisa dilihat berbagai model
pendekatan: 1) pendekatan tekstual, yaitu praktik penafsiran yang cenderung
berpusat pada teks. Sifatnya ke bawah: dari refleksi (teks) ke praksis (konteks);
dan 2) pendekatan kontekstual, yaitu konsep penafsiran yang berpusat pada
konteks sosio-historis di mana penafsir hidup dan berada, sifatnya cenderung
ke atas: dari praksis (konteks) ke refleksi (teks).23
Dengan sejumlah sisi di atas, hubungan antara penafsir (pembicara),
pembaca (pendengar/audiens), dan teks (Al-Qur'an), serta kondisi sosial
politik di mana seseorang memahami sebuah teks (Al-Qur'an), akan bisa

23
Pemetaan ini berbeda dengan yang disusun oleh Quraish yang menempatkan al-
tafsīr bi al-ma’tsūr dalam wilayah corak tafsir, sedangkan al-tafsīr al-mawḍū`ī dimasukkan
ke dalam wilayah metode tafsir. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm.
83 dan 85.

92 _ Islah Gusmian
dianalisis secara komprehensif dan utuh.24 Dari bangunan metodologi ini pula
memungkinkan kita memperoleh keunikan dan hal-hal baru, bila ada, dalam
tafsir yang dikaji. Lebih dari itu, sebagai produk budaya, tafsir yang kita kaji,
bukan tidak mungkin, juga menyimpan sejumlah ideologi, kepentingan, dan
wacana yang mengendap dan atau sengaja dikontestasikan. Dengan model
kajian yang demikian kita bisa menangkap aspek-aspek hermeneutik-ideologis
yang tumbuh dan dikembangkan dalam tafsir. Secara ringkas penjelasan di atas
bisa dilihat pada tabel VI.

TABEL VI
ARAH BARU METODE KAJIAN ATAS TAFSIR AL-QUR’AN

TEKNIK PENULISAN TAFSIR AL-QUR’AN HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN


SISTEMATIKA PENYAJIAN TAFSIR METODE TAFSIR
1. Runtut 1. Berdasarkan urutan 1. Metode Riwayat: penafsiran Nabi
mushaf Muhammad sebagai sumber acuan
2. Berdasarkan urutan 2. Metode Ilmiah: 1. Analisis Kebahasaan
turunnya wahyu Akal sebagai 2. Analisis Historis
2. Tematik 1. Tematik 1. Tematik salah satu alat 3. Analisis Antropologis
Modern Plural penafsiran
4. Analisis Geografis
2. Tematik 5. Analisis Psikologis
Singular 6. Analisis Sains, dll
2. Tematik 1. Ayat-ayat dan 3. Metode Interteks
Klasik sūrah-sūrah
NUANSA TAFSIR
tertentu
2. Sūrah tertentu 1. Nuansa Kebahasaan
3. Juz tertentu 2. Nuansa Sosial Kemasyarakatan
BENTUK PENYAJIAN TAFSIR 3. Nuansa Teologis
1. Bentuk Penyajian Global 4. Nuansa Sufistik
2. Bentuk Penyajian Rinci 5. Nuansa Psikologis, dan lain-lain
GAYA BAHASA PENULISAN TAFSIR PENDEKATAN TAFSIR
1. Gaya Bahasa Kolom 1. Pendekatan Tekstual
2. Gaya Bahasa Reportase 2. Pendekatan Kontekstual
3. Gaya Bahasa Ilmiah
4. Gaya Bahasa Populer, dan lain-lain
BENTUK PENULISAN TAFSIR
1. Ilmiah
2. Non Ilmiah
KEPENULISAN TAFSIR
1. Individual
2. Kolektif/Tim

24
Lihat, Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997),
hlm. xi.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 93


KEILMUAN PENAFSIR
1. Disiplin Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
2. Disiplin Non Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
ASAL MULA TAFSIR
1. Akademik
2. Non Akademik
RUJUKAN
1. Tafsir-tafsir klasik, modern, serta
beragam mazhab
2. Teks-teks non tafsir

Dengan model analisis di atas, tafsir Al-Qur’an di Indonesia yang


dipublikasikan pada era 1990-an akan dianalisis. Keragaman teknis dan
metodologi yang ada di dalamnya akan dijelaskan di setiap bagian. Dengan cara
yang demikian akan ditemukan keragaman teknis penulisan tafsir, metodologi
tafsir, serta wacana-wacana yang dikembangkan di dalamnya. Tren-tren yang
berkaitan dengan isu yang berkembang juga dapat didedah dengan lebih baik.

C. Teknik Penulisan Tafsir Al-Qur’an


Teknik penulisan tafsir di sini didefinisikan sebagai kerangka teknis yang
digunakan penafsir ketika menampilkan atau menyajikan narasi tafsir. Jadi,
teknis penulisan di sini berkaitan dengan aspek teknis ketika suatu tafsir
ditulis, bukan berkaitan dengan praktik penafsiran, yang bersifat konseptual
dan hermeneutis. Sebagaimana telah jelaskan pada bagian sebelumnya, pada
bagian teknis penulisan tafsir, setidaknya meliputi delapan bagian penting.
Uraian berikut merupakan penelusuran atas bagian-bagian dalam hal teknis
penulisan tafsir tersebut di masing-masing kategori.

1. Sistematika Penyajian Tafsir Al-Qur’an


Bagian pertama dari aspek teknis penulisan tafsir adalah sistematika
penyajian tafsir. Sistematika penyajian tafsir yang dimaksud adalah rangkaian
narasi yang sistematis dalam penyajian tafsir. Tafsir secara teknis bisa disajikan
dalam sistematika yang beragam. Tafsir Al-Qur’an di Indonesia yang lahir pada
era 1990-an dilihat dari sisi sistematika penyajian, terbagi menjadi dua bagian
pokok, yaitu: sistematika penyajian runtut dan sistematika penyajian tematik.

1.1. Sistematika Penyajian Runtut


Sistematika penyajian runtut adalah model sistematika penyajian tafsir
yang mengacu pada dua hal: 1) urutan sūrah yang ada dalam mushaf Usmani,
dan atau 2) mengacu pada urutan turunnya wahyu. Model pertama ini telah
umum dipakai para penulis tafsir. Tafsir klasik, seperti Jalālayn maupun tafsir
kontemporer, seperti al-Manār, sistematika penulisannya mengacu pada model
yang pertama ini. Sedangkan model yang kedua tidak banyak digunakan oleh

94 _ Islah Gusmian
ulama tafsir. Al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur’ān al-Karīm, karya Bint al-Syāṭi`dan
Sūrah al-Raḥmān wa Sumar Qiṣār, karya Syawqī Dha`īf adalah di antara contoh
tafsir yang menggunakan penyajian tafsir model yang kedua ini.
Tafsir di Indonesia era 1990-an secara umum teknis penulisannya
memakai model yang pertama, yaitu sesuai susunan mushaf Usmani. Ada tiga
tafsir di Indonesia yang termasuk dalam kategori ini, yaitu: Ayat Suci dalam
Renungan, Tafsīr Al-Mishbāh, dan Al-Qur’an dan Tafsirnya. Tiga tafsir yang
termasuk dalam bagian ini mempunyai model teknis penyajian yang beragam.
Pada Tafsīr Al-Mishbāh, di setiap awal sūrah, diurai dengan detail masalah yang
berkaitan dengan sūrah yang dikaji. Misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema
yang menjadi pokok kajian dalam sūrah, nama-nama lain dari sūrah tersebut,
dan seterusnya.
Salah satu contoh adalah pada sūrah al-Fātiḥah. Di dalam Tafsīr Al-Mishbāh
diuraikan secara sistematis nama-nama lain dari sūrah al-Fātiḥah yang telah
diperkenalkan Nabi Muḥammad saw, seperti: Umm al-Kitāb, Umm al-Qur’ān,
dan al-Sab` al-Matsānī, dan uraian tentang dasar-dasar mengapa diberi nama-
nama yang demikian itu.25 
Kemudian dijelaskan mengapa sūrah al-Fātiḥah
diletakkan pada awal urutan mushaf. Dengan mengutip pendapat beberapa
ahli tafsir, seperti Muḥammad `Abduh, Abū Ḥasan al-Hirralī, dan al-Biqā’ī,
Quraish menjelaskan bahwa hal itu dilakukan menyangkut kandungannya
yang bersifat global, dan yang dirinci oleh ayat-ayat yang lain, sehingga ia
bagaikan mukadimah atau pengantar bagi kandungan sūrah-sūrah Al-Qur’an.
Atau juga karena sūrah al-Fātiḥah adalah induk Al-Qur’an, karena ayat Al-
Qur’an seluruhnya terperinci melalui kesimpulan yang ditemukan pada sūrah
al-Fātiḥah itu.26
Setelah menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sūrah, dalam
Tafsir Al-Mishbah Quraish memulai kajian dengan masuk pada ayat demi
ayat dalam setiap surah. Setiap ayat yang dipisah, teks arabnya ditulis lalu
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Di bawah teks terjemahan, dijelaskan
secara luas ayat-ayat yang dikaji tersebut. Lalu, ayat-ayat itu dikelompokkan
menjadi beberapa kelompok di setiap sūrah. Ini suatu hal yang lumrah dalam
teknis penulisan tafsir, seperti dilakukan Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy
Qur’an Text, Translation and Kommentary.27 Namun, dalam Tafsīr Al-Mishbah
tidak dijelaskan dasar pengelompokan itu.

25
Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lintera Hati, 2000), I: 9.
26
Ibid., hlm. 7.
27
Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary
(USA, Amana Corporation, 1989).

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 95


Kita bisa menduga bahwa pengelompokan itu didasarkan pada rub` yang
ada dalam Al-Qur’an, namun rub` itu sendiri sangat beragam.28 Lepas dari
pilihan di atas, pengelompokan semacam ini berfungsi memudahkan penafsir
dalam menampilkan maksud dari ayat yang dikaji secara runtut, sesuai urutan
yang ada dalam mushaf.
Model sistematika penyajian runtut dalam Tafsir al-Mishbah ini berbeda
dengan Ayat Suci dalam Renungan karya Hasim. Dalam Ayat Suci dalam
Renungan, langkah pertama adalah teks Arab dari setiap ayat ditulis utuh satu
ayat, disertai aksara Latin dan terjemahan bahasa Indonesia. Setelah itu, setiap
ayat ditampilkan dalam bentuk penggalan kata. Setiap penggalan kata disertai
alih aksara ke aksara Latin dan terjemahan perkata. Setelah menampilkan dua
teknis terjemahan ini, dipaparkan penjelasan terkait maksud yang terkandung
dalam ayat.
Model penyajian yang dilakukan dalam Ayat Suci dalam Renungan ini
mempunyai beberapa manfaat. Pertama, terjemahan perkata dalam satu ayat
dapat membantu pembaca mengetahui makna setiap kata yang ada dalam
keseluruhan redaksi ayat yang dikaji. Cara ini bisa menambah penguasaan
pembaca terhadap kosakata Arab. Dengan demikian, secara tidak langsung,
di samping pembaca belajar tentang makna yang terkandung di dalam Al-
Qur’an, sekaligus juga belajar setiap kosakata Arab yang dipakai Al-Qur’an.
Kedua, model terjemahan yang ditampilkan dalam bentuk redaksi utuh,
satu ayat, memudahkan pembaca menangkap maksud dari kandungan ayat.
Dalam konteks kasus ini, model yang dipakai dalam Ayat Suci dalam Renungan
mempunyai manfaat ganda.
Tafsir ketiga yang memakai sistematika penyajian runtut lengkap 30 juz
adalah Al-Qur’an dan Tafsirnya yang disusun tim Badan Wakaf Universitas
Islam Indonesia. Secara teknis, tafsir ini merupakan edisi revisi dari tafsir
yang disusun dan diterbitkan oleh tim Departemen Agama Republik Indonesia.
Mirip dengan Tafsir Al-Mishbah, tafsir ini di setiap sūrah dimulai dengan
“mukadimah”. Dalam bagian mukadimah ini, diuraikan mengenai seluk-beluk
seputar sūrah yang akan ditafsirkan. Dalam sūrah al-Fātiḥah misalnya, secara
rinci dan sistematis diuraikan nama-nama sūrah, tempat diturunkannya sūrah
serta jumlah ayatnya. Setelah itu, dilanjutkan dengan uraian singkat mengenai
pokok isi dari sūrah al-Fātiḥah.29
Model teknis penulisan yang diawali dengan bagian mukadimah di atas
dilakukan secara konsisten dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya. Setelah memaparkan
mukadimah, dilanjutkan dengan uraian ayat di setiap sūrah. Secara teknis, dalam

28
Untuk perbedaan ini bandingkan dengan Al-Qur’an Al-Karim yang dicetak oleh
penerbit Sinar Baru Bandung dan yang dicetak oleh Kerajaan Arab Saudi.
29
Lihat, Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf UII, 1995), I: 3-40.

96 _ Islah Gusmian
penyampaian uraian tafsir, berbeda dengan Tafsir Al-Mishbah. Dalam Al-Qur’an
dan Tafsirnya, diberikan batasan untuk setiap terjemahan, tafsir, dan kesimpulan
dengan judul khusus, sehingga memudahkan pembaca menemukannya.
Sedangkan dalam Tafsir Al-Mishbah tidak ada pembedaan. Seperti Tafsir
Al-Mishbāh, dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya ini dibuat pengelompokan ayat
dalam setiap sūrah yang ditafsirkan. Namun, standar yang digunakan dalam
pengelompokan itu berbeda: Al-Qur’an dan Tafsirnya kecenderungannya
pendek-pendek (dengan sedikitnya ayat yang diuraikan), sedangkan dalam
Tafsir Al-Mishbāh kecenderungannya panjang.
Model teknis penampilan pengelompokan di dua tafsir ini juga berbeda.
Dalam Tafsir Al-Mishbāh, di setiap kelompok diberi judul yang mengacu pada
ayat yang dikaji. Misalnya, “Kelompok II (Ayat 21-29). Sedangkan dalam
Al-Qur’an dan Tafsirnya, pemberian judul disesuaikan dengan tema yang
terkandung dalam ayat yang dikaji. Misalnya, “Golongan Munafik” untuk QS.
al-Baqarah [2]: 8-20, “Perintah Menyembah Tuhan” untuk QS. al-Baqarah [2]:
21-22, dan seterusnya.30
Dua model ini mempunyai kelebihan masing-masing. Untuk model yang
dipakai di Tafsir Al-Mishbāh, yang lebih menitikberatkan pada nomor ayat,
memudahkan pembaca dalam mencari penjelasan tentang ayat tertentu, sesuai
yang diinginkan pembaca. Kelemahannya, pembaca tidak mengetahui tema
pokok mengenai ayat yang diuraikan. Sebaliknya, pada model yang digunakan
dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya, pembaca lebih mudah menangkap tema
yang ada dalam ayat yang ditafsirkan, namun kita kesulitan mencari penjelasan
berdasarkan nomor ayat. Di luar dari kelemahan ini, pemberian kesimpulan di
setiap akhir pengelompokan berdasarkan tema ayat yang ditempuh Al-Qur’an
dan Terjemahnya, dapat memberikan kemudahan bagi pembaca.
Ada satu hal lagi yang membedakan dua tafsir ini, yaitu dalam memberikan
penjelasan mengenai persesuaian antarsūrah sesuai urutan mushaf. Dalam
Al-Qur’an dan Terjemahnya, persoalan ini dipaparkan dengan tegas di setiap
awal dari sūrah yang diuraikan, sedangkan pada Tafsir Al-Mishbāh tidak ada.
Misalnya, dalam mengawali tafsir sūrah al-Baqarah, Al-Qur’an dan Terjemahnya
menguraikan persesuaiannya dengan sūrah al-Fātiḥah. Ada dua hal yang
dipaparkan dalam kasus ini: 1) sūrah al-Fātiḥah merupakan titik pembahasan
yang akan diperinci dalam sūrah al-Baqarah dan sūrah-sūrah sesudahnya;
dan 2) di bagian akhir dari sūrah al-Fātiḥah disebutkan permohonan hamba
supaya diberi petunjuk oleh Allah ke jalan yang lurus. Sedangkan dalam sūrah
al-Baqarah dimulai dengan ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah
kitab yang menunjukkan jalan yang dimaksudkan itu.31

30
Lihat, ibid., hlm. 60 dan 71; bandingkan dengan M. Quraish Shihab, Al-Mishbah,
1: 117.
31
Lihat, Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, I: 49.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 97


Bentuk kedua dari model sistematika penyajian runtut adalah runtut
sesuai dengan turunnya wahyu. Model ini hanya dipakai dalam satu tafsir,
yaitu Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya M. Quraish Shihab. Tafsir ini, di samping
berkonsentrasi pada urutan turunnya wahyu, sūrah yang dikaji dikhususkan
pada sūrah-sūrah pendek. Ada 24 sūrah pendek yang dikaji, yaitu: sūrah al-
Fātiḥah, al-`Alaq, al-Muzammil, al-Muddatstsir, al-Lahab, al-Takwīr, al-A`lā,
al-Syams, al-`Aṣr, al-Dluhā, al-`Ādiyāt, al-Kawtsar, al-Takātsur, al-Mā`ūn, al-
Kāfirūn, al-Fīl, al-Ikhlāṣ, al-Falaq, al-Nās, al-Qadr, al-Tīn, al-Humazah, al-Balad,
dan al-Ṭāriq.
Teknis penulisan runtut ini dipraktikkan dengan menampilkan keseluruhan
ayat dari satu sūrah yang dikaji serta terjemahannya. Lalu, dengan mengutip
berbagai sumber riwayat ma’tsūr, dijelaskan mengenai turunnya sūrah atau
ayat yang dikaji, kaitannya dengan sūrah-sūrah yang turun sebelumnya, serta
berbagai komentar ulama tentang sūrah tersebut. Setelah memaparkan teks
ayat secara utuh disertai dengan terjemahannya, lalu dimulai praktik penafsiran.
Dalam tahapan ini, ditampilkan penggalan-penggalan ayat dalam sūrah tertentu
yang dikaji disertai terjemahannya. Di sini, secara linguistik dijelaskan kata atau
istilah kunci yang dipakai dalam ayat serta dikaitkan pula dengan ayat-ayat
pada sūrah lain yang tema pembahasannya saling berkaitan. Begitu seterusnya
hingga akhir sūrah.
Model sistematika penyajian tafsir runtut seperti ini mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu: 1) pembaca bisa melihat runtutan petunjuk Tuhan yang
diberikan kepada Nabi dan umatnya; 2) dipilihnya sūrah-sūrah pendek,
tampaknya Quraish ingin menegaskan bahwa sūrah-sūrah tersebut mengandung
uraian yang berkaitan dengan kehidupan beragama, bermasyarakat dan
berbangsa, serta banyak dibaca umat Islam.32
Dalam konteks pemaparan, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim berbeda dengan
Tafsir Al-Mishbah. Dalam tafsir yang pertama, untuk setiap sūrah, Quraish
menampilkan keseluruhan ayat dalam teks Arab utuh satu sūrah, dilengkapi
dengan terjemahannya. Setelah itu, setiap ayat ditampilkan kembali disertai
terjemahannya, dan yang terakhir adalah penafsiran setiap ayat. Sedangkan
dalam Tafsir Al-Mishbah tidak demikian. Cara yang dipakai dalam Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim ini mirip dengan yang dipakai dalam Hidangan Ilahi.
Dilengkapinya teks ayat Al-Qur’an dalam aksara Latin itu, Quraish tampaknya
mempertimbangkan kebutuhan bagi pembaca yang tidak mahir membaca
aksara Arab.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga tafsir di Indonesia
era 1990-an yang memakai model penyajian runtut sesuai dengan urutan sūrah

Lihat Pengantar M. Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Qur’an al-Karim Tafsir atas
32

Surat-surat Pendek berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah,


1997), hlm. vii.

98 _ Islah Gusmian
dalam mushaf standar, yaitu: Tafsīr Al-Mishbāh, Ayat Suci dalam Renungan, dan
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Sedangkan yang mengacu pada urutan turunnya wahyu
adalah Tafsir Al-Qur’an al-Karim.

1.2. Sistematika Penyajian Tematik


Bagian kedua dari sistematika penyajian tafsir adalah sistematika
penyajian tematik. Sistematika penyajian tematik adalah penulisan tafsir yang
struktur narasi penjelasannya diacukan pada tema tertentu atau ayat, sūrah dan
juz tertentu. Tema atau ayat, sūrah, dan juz tertentu tersebut ditentukan oleh
penafsir mengacu pada topik yang ingin dijelaskan. Dari tema-tema tersebut,
penafsir kemudian menggali pada ceruk yang terdalam pada Al-Qur’an melalui
kata kunci yang telah ditentukan.
Praktik dari model penyajian tematik ini, penafsir mengumpulkan
seluruh kata kunci yang dipakai Al-Qur’an, yang kata kunci itu dipandang
memiliki kaitan dengan tema kajian yang telah dipilih. Dari segi ayat yang
dikaji, cakupannya bersifat spesifik dan mengerucut. Itulah sebabnya, model
penyajian tematik yang sebenarnya lebih bersifat teknis ini, mempunyai
pengaruh pada proses penafsiran yang bersifat metodologis. Bila dibandingkan
dengan model penyajian runtut, sistematika penyajian tematik mempunyai
beberapa kelebihan. Salah satunya adalah arah penafsiran menjadi fokus dan
memungkinkan adanya tafsir silang antarayat secara komprehensif dan holistik.
Dalam tradisi penulisan tafsir, penyajian tematik lebih dikenal dengan
istilah mawḍū`ī. di Indonesia, istilah ini dipopulerkan oleh Quraish dengan
merujuk pada kerangka-bangun al-Farmāwī. Namun, secara konseptual saya
menempatkan istilah “tematik” di sini dalam pemaknaan yang berbeda. Jika
selama ini, istilah tematik cenderung dimaknai sebagai metode tafsir, di sini
diposisikan sebagai teknis penulisan tafsir. Sebab, meskipun penyajian tematik
ini mempunyai pengaruh penting pada aspek metodologi tafsir, tetapi pada
dasarnya ia tidak lebih sebagai teknis penulisan tafsir.
Tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an banyak menggunakan model tematik
dengan keragaman tema yang dipilih. Dari keseluruhan tafsir yang memakai
model penyajian tematik, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian pokok,
yaitu: 1) penyajian tematik klasik, dan 2) penyajian tematik modern. Tematik
klasik adalah model sistematika penyajian tafsir yang mengambil satu sūrah
tertentu dengan topik sebagaimana tercantum dalam sūrah yang dikaji. Model
semacam ini bisa juga fokus pada ayat tertentu dan juz tertentu. Istilah “klasik”
digunakan di sini untuk menunjuk pada model penyajian tematik yang umum
dipakai dalam tafsir-tafsir klasik. Sedangkan tematik modern adalah model
sistematika penyajian tafsir yang mengacu pada tema tertentu yang ditentukan
penafsir. Istilah “modern” di sini dipakai untuk menunjuk pada model penyajian
tematik yang muncul secara populer di masa kini.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 99


Tafsir-tafsir yang termasuk dalam model penyajian tematik dengan kedua
bagian tersebut bisa diperikan secara rinci. Pertama, model tematik modern, dari
24 tafsir, 14 di antaranya termasuk dalam bagian tematik modern. Dari 14 tafsir
tersebut bisa dirinci lagi dalam dua kategori, yaitu: tematik singular (tunggal)
dan tematik plural (jamak). Tematik modern singular adalah model penyajian
tematik di mana dalam satu tafsir hanya ada satu tema pokok. Misalnya, tema
tentang kufr, kebebasan manusia, cinta, dan seterusnya. Sedangkan tematik
modern plural adalah model penyajian tematik di mana di dalam satu tafsir
terdapat banyak tema penting yang menjadi objek kajian.
Dari 14 tafsir yang termasuk dalam bagian sistematika tematik modern,
10 di antaranya termasuk dalam kategori tematik singular. Pertama, Tafsir
Kebencian karya Zaitunah Subhan. Buku ini memfokuskan kajiannya pada satu
tema tentang kesetaraan laki-laki perempuan. Beberapa kata kunci dalam Al-
Qur’an yang terkait dengan tema dikaji secara mendalam, seperti kata min nafs
wāḥidah dalam Qs. al-Nisā’ [4]: 1, al-Zumar [39]: 6, kata rijāl dalam QS. al-Nisā’
[4]: 34, dan yang lain.
Dalam rangka menelusuri konsep kesetaraan tersebut, ada enam bagian
pokok yang ditampilkan dalam tafsir ini. Bagian pertama berisi kajian pustaka
dan metode penelitian yang digunakan. Bagian kedua menguraikan tentang
kodrat wanita, meliputi menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui,
serta mitos tentang kodrat wanita, meliputi mitos tentang kehamilan,
melahirkan dan menyusui. Di bagian ketiga, mengungkap pandangan inferior
terhadap wanita dan berbagai implikasinya. Dalam bagian ini, diulas asal-
usul penciptaan wanita, kemampuan akal wanita, peran-peran domistik, dan
implikasinya. Bagian keempat mengulas tentang konsep kesetaraan, dengan
analisis normatif, sosiologis, dan antropologis. Ada tiga masalah penting
dimunculkan dalam bagian ini, yaitu kepemimpinan rumah tangga, kesaksian,
dan hak warisan. Bagian kelima, merupakan analisis tentang hubungan kodrat
wanita dengan kesetaraan. Di sini, dianalisis wilayah hak dan kewajiban wanita
dalam konteks mencari rumusan kesetaraan tersebut. Sedangkan pada bagian
akhir, tafsir ini memberikan kesimpulan penting dari tema yang kaji.
Dari sini terlihat bahwa sistematika tematik dalam tafsir ini lebih
mengacu pada tema-tema pokok yang terkait dengan isu kesetaraan laki-laki
perempuan dengan berbagai problematikanya. Seperti dapat dilihat pada
keseluruhan bangunan kajiannya, tafsir ini bertujuan menyingkap persoalan
kesetaraan perempuan dengan berbagai dimensi yang menyelubunginya secara
menyeluruh. Dari seluruh rangkaian tema-tema itu, tafsir ini menyisir kembali
berbagai pemaknaan yang bias gender dengan cara merujuk pada istilah-istilah
kunci yang ada dalam Al-Qur’an.
Kedua, tafsir Jiwa dalam Al-Qur’an karya Achmad Mubarok. Buku ini
memfokuskan kajiannya pada konsep nafs dalam Al-Qur’an. Untuk mencari

100 _ Islah Gusmian


rumusan yang memadai tentang konsep nafs dalam pandangan Al-Qur’an, tafsir
ini secara tematik mengungkapkan beberapa terma kunci yang digunakan Al-
Qur’an, yaitu fiṭrah, hawā, syahwah, dan nafs. Beda dengan Tafsir Kebencian,
model tematik yang dipakai dalam Jiwa dalam Al-Qur’an cenderung difokuskan
pada istilah kunci dengan medan semantiknya, seperti dapat dilihat di bagian
ketiga tafsir ini.
Secara keseluruhan, model sistematika tematik dalam tafsir ini diletakkan
dalam tujuh bab. Bab pertama, berisi tentang ciri-ciri zaman modern, dan nasib
manusia dalam kerangkeng modernitas yang ujungnya melahirkan gangguan
kejiwaan; bab kedua, mengulas soal teori-teori psikologi dan sufisme; bab
ketiga dan keempat adalah analisis semantik terhadap terma-terma yang
terkait dengan tema nafs serta makna-makna yang dilahirkan dari terma-
terma itu dengan keragaman konteksnya masing-masing; bab kelima, bicara
soal hubungan nafs dengan tingkah laku. Di bagian ini diungkap karakteristik
tingkah laku manusia dan perubahannya; bab keenam, mengulas tentang usaha
mengubah tingkah laku manusia dengan dakwah; dan bab ketujuh, bicara
tentang wacana psikologi islami.
Mengacu pada penjelasan Mubarok dalam Kata Pengantarnya, atas usul
beberapa koleganya, dalam penerbitan naskah disertasi ini, dilengkapi beberapa
bab agar dapat memberi kontribusi pada pengembangan psikologi Islam.33
Namun, Mubarok sendiri tidak menjelaskan bab-bab mana yang merupakan
bab tambahan itu. Bila dilihat dari materi analisisnya, bab-bab tambahan itu
ada pada bab pertama, kedua, dan ketiga.
Ketiga, buku Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya Jalaluddin
Rahman. Tafsir ini mengkaji pandangan Al-Qur’an tentang perbuatan manusia.
Pertanyaan kunci yang dikemukakan adalah apakah manusia di dunia ini bebas
atau terikat dalam perbuatannya. Kata kunci yang dianalisis cukup luas, meliputi
berbagai istilah yang mempunyai kedekatan dengan istilah kasb, seperti fi`l,
`amal, sa`yu, ṣan, serta kata-kata yang dipakai Al-Qur’an dalam mengungkapkan
pengertian perbuatan dan kebebasan manusia.
Model tematik dalam tafsir ini juga mengarah pada fokus analisis istilah-
istilah kunci. Ada lima bagian dalam sistematika tematiknya. Bagian pertama,
tentang kegelisahan akademik penulis, studi pustaka, dan metodologi penelitian
yang digunakan. Bagian kedua, mengungkap istilah-istilah dalam Al-Qur’an
yang berbicara tentang perbuatan manusia dengan medan semantiknya. Bagian
ketiga, menganalisis aspek epistemologi kasb dalam perspektif Al-Qur’an. Di
bagian ini, dibahas tiga masalah penting, yaitu: alat-alat yang dipakai dalam
perbuatan manusia, peranan manusia dalam perbuatannya, dan hubungan
Tuhan dengan perbuatan manusia. Di bagian keempat, dibahas tentang aspek
33
Achmad Mubarok, “Pengantar” dalam Jiwa dalam Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,
2000), hlm. x.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 101


aksiologis kasb. Ada dua arah yang ditelusuri pada bagian ini, yaitu: tanggung
jawab manusia dan akibat-akibat dari perbuatannya. Sedangkan bagian kelima
adalah penutup. Pada bagian terakhir ini, dibubuhkan catatan dan rekomendasi
yang merupakan kesimpulan dari keseluruhan analisis. Hal yang menarik dari
model tematik dalam tafsir ini adalah di akhir analisis di setiap bab diberikan
kesimpulan-kesimpulan penting.
Keempat, buku Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
Topik utama yang dikaji dalam tafsir ini mengenai kufr dalam pandangan
Al-Qur’an. Seperti Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an, tafsir ini
juga mengungkap seluruh rangkaian istilah-istilah pokok yang dipakai Al-
Qur’an dalam menjelaskan pengertian kufr. Dengan model tematik, tafsir
ini memungkinkan kita mengungkap pengertian kufr secara sistematik dan
komprehensif dengan mengacu pada seluruh narasi yang dipakai Al-Qur’an.
Ada lima bab, dalam tafsir ini, yang dipakai untuk mengulas konsep kufr.
Bab pertama berbicara tentang kegelisahan akademik, kajian pustaka, dan
metodologi penelitian yang digunakan. Bab kedua, berisi ulasan atas bentuk-
bentuk pengungkapan Al-Qur’an tentang makna kufr. Ada tiga acuan analisis
dalam bagian ini, yaitu: analisis terhadap istilah-istilah yang secara langsung,
istilah yang tidak langsung menunjuk kekafiran, dan sebab terjadinya kekafiran.
Bab ketiga, berisi pemetaan jenis-jenis dan karakteristik kekafiran. Bab keempat
berisi paparan akibat dari kekafiran dan sikap terhadapnya. Sedangkan bab
kelima, berisi kesimpulan atas keseluruhan analisis.
Kelima, buku Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an karya Musa
Asy’arie. Topik utama tafsir ini adalah masalah kiprah manusia dalam konteks
kebudayaan. Oleh Asy'arie, masalah ini dilacak dari perspektif Al-Qur’an.
Berbagai kata kunci yang dipakai Al-Qur’an, yaitu rūḥ, insān, basyar, khalīfah,
`abd, nafs, qalb dan `aql, yang berkaitan dengan manusia dan kebudayaan,
sepenuhnya mendapat ruang analisis secara memadai dalam buku ini.
Mirip dengan yang dilakukan Cawidu dan Rahman, dalam tafsir ini
model tematiknya bertitik-tolak dengan kuat pada terma-terma kunci. Ada
enam bab yang digunakan dalam mengeksplorasi masalah manusia sebagai
pembentuk kebudayaan. Pada bab pertama, dipaparkan problematika yang
menjadi kegelisahan akademik, metodologi, dan teori yang digunakan dalam
menganalisis masalah. Bab kedua, berisi analisis struktural dan kontekstual atas
istilah-istilah pokok. Di bagian ini, diungkapkan pengertian insān dan basyar
serta kaitannya dengan istilah khalīfah dan `abd dalam Al-Qur’an. Bab ketiga,
berisi penelusuran atas pandangan Al-Qur’an tentang tahap-tahap penciptaan
manusia, dari tahap jasad, ḥayat, rūḥ, nafs dan hakikatnya dengan berbagai
problematika makna-makna dari istilah-istilah yang dianalisis. Bab keempat,
berisi ulasan atas masalah kebudayaan dalam Al-Qur’an kaitannya dengan
perilaku manusia sebagai proses budaya. Bab kelima, berisi tentang penjelasan

102 _ Islah Gusmian


strategi pembentukan kebudayaan dalam perspektif Al-Qur’an. Ada tiga masalah
yang diurai pada bagian ini, yaitu: masalah aktivitas akal manusia, perbuatan
manusia dalam konteks kebudayaan, dan tujuan pembentukan kebudayaan.
Sedangkan bab keenam berisi kesimpulan dari keseluruhan analisis.
Keenam, buku Tafsir bi al-Ra’yi karya Nashruddin Baidan. Mirip dengan
Tafsir Kebencian, fokus utama tafsir ini adalah persoalan keberadaan
perempuan yang selama ini dianggap sebagai jenis manusia kelas dua. Beberapa
kata kunci yang ada dalam Al-Qur’an yang memiliki kaitan dengan perempuan
dianalisis secara cermat. Semuanya ini dilakukan dalam rangka menemukan
citra perempuan yang dibangun Al-Qur'an secara holistik.
Model sistematika tematik dalam Tafsir bi al-Ra’yi lebih mengacu pada tema
kajian, bukan berangkat pada istilah-istilah kunci yang dipakai Al-Qur’an. Ada
enam bab dalam tafsir ini yang dipakai untuk mengungkap eksistensi perempuan
dalam pandangan Al-Qur’an. Bab pertama berisi tentang kegelisahan akademik.
Namun, tidak seperti buku yang lahir dari tugas akademik, di bab awal buku
ini tidak dijelaskan metodologi dan teori yang digunakan dalam menganalisis
masalah. Bab kedua berisi uraian tentang penciptaan dan status perempuan
dalam pandangan Al-Qur’an. Bab ketiga berisi pemetaan tentang perbedaan dan
persamaan perempuan dan laki-laki, dari segi fisik, tabiat, tugas, dan tanggung
jawab. Bab keempat berisi tentang analisis atas hak dan kewajiban perempuan
secara detail, seperti dalam hal bagian warisan, kesaksian, menentukan jodoh,
menentukan maskawin, dan memperoleh sandang dan pangan. Bab kelima
berisi kajian tentang praktik poligini dalam Islam. Bab keenam berisi penjelasan
tentang busana muslimah. Sedangkan bab ketujuh berisi tentang kesimpulan
dari keseluruhan analisis di buku ini.
Ketujuh, buku Argumen Kesetaraan Jender karya Nasaruddin Umar. Tema
utama buku ini mirip dengan Tafsir Kebencian dan Tafsir bi al-Ra’yi, yaitu
konsepsi tentang perempuan. Namun, fokusnya lebih pada isu gender. Kata-
kata kunci yang dikelompokkan dan dirumuskan sebagai satu konsekuensi
logis dari model sistematika tematik ini juga mirip dengan dua tafsir tersebut.
Namun, dari segi analisis, sebagaimana akan diuraikan pada bagian prinsip
hermeneutika tafsir, ketiganya mempunyai metode yang berbeda.
Dalam Argumen Kesetaraan Jender, model tematik dipaparkan secara
sistematis dalam enam bab. Bab pertama berisi tentang persoalan yang
dikaji serta metodologi yang digunakan. Bab kedua berisi tentang penjelasan
tentang teori gender. Ada empat hal yang diurai di bab ini, yaitu: wawasan
tentang gender; biologi, gender dan perilaku manusia; keragaman perspektif
teori gender; dan gender kaitannya dengan struktur sosial. Bab ketiga berisi
penjelasan historis tentang kondisi objektif masyarakat Arab menjelang Al-
Qur’an diwahyukan. Bab keempat berisi analisis atas istilah-istilah kunci yang
menjadi identitas gender dalam Al-Qur’an dengan problematika struktur makna

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 103


kebahasaannya. Bab kelima berisi tentang tinjauan kritis atas konsep gender
dalam Al-Qur’an. Dan bab keenam berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan
analisis.
Kedelapan, buku Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid Ridha. Tema
inti yang dikaji dalam buku ini tentang cinta dalam perspektif Al-Qur’an. Dengan
fokus pada satu tema, buku ini menganalisis secara komprehensif gagasan Al-
Qur’an tentang makna cinta. Sebagaimana halnya yang terjadi pada tafsir yang
memakai penyajian tematik, tafsir ini juga merujuk istilah-istilah kunci dalam
Al-Qur’an yang berkaitan dengan cinta. Ada empat istilah kunci yang dianalisis,
yaitu: ḥubb, wudd, raḥmah, dan rifq.
Semua analisis yang dilakukan dituangkan ke dalam enam bab. Bab
pertama berbicara tentang masalah yang dikaji serta metodologi yang dipakai
dalam menganalisis masalah. Bab kedua berisi tentang kajian atas istilah-istilah
kunci, secara etimologis dan terminologis. Bab ketiga berisi tentang penjelasan
mengenai pemakaian kata cinta dalam Al-Qur’an. Tiga istilah kunci, yaitu
ḥubb, wudd, dan raḥmah, dianalisis dari konteks penggunaan dan makna yang
terkandung di dalamnya. Bab keempat berisi tentang pengategorisasian cinta
dan prinsip-prinsip cinta dalam perspektif Al-Qur’an. Bab kelima berisi tentang
penjelasan aspek aksiologis dari cinta dan penerapannya dalam kehidupan
manusia. Bab keenam berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan analisis yang
dilakukan.
Kesembilan, buku Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin. Buku ini
mengkaji masalah kebebasan dan kekuasaan Allah. Dari sisi analisis, ia mirip
yang terjadi dalam Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya Rahman,
di mana isu perbuatan manusia menjadi objek kajian. Beberapa istilah kunci,
terutama yang berkaitan dengan penjelasan asal kejadian manusia, sikap, dan
perbuatannya di bumi, dianalisis sebagai salah satu jalan untuk menemukan
posisi dan aktivitas manusia dalam berkebudayaan di balik kekuasaan dan
kebebasan Tuhan.
Penjelasan dan analisisnya tersebut dibagi dalam tiga bagian dengan
delapan bab secara keseluruhan. Bagian pertama terdiri dari tiga bab yang
berisi penjelasan tentang manusia dan perbuatannya. Bab pertama berisi
penjelasan tentang kedudukan manusia di antara makhluk lain; bab kedua berisi
penjelasan tentang tanggung jawab manusia atas perbuatannya; dan bab ketiga
berisi penjelasan tentang petunjuk Allah terkait keberhasilan manusia. Untuk
bab keempat sampai keenam dimasukkan dalam bagian kedua yang mengulas
tentang kekuasaan Allah dan peranannya dalam perjalanan kehidupan di dunia.
Pada bab keempat, dijelaskan tentang kekuasaan Allah, bab kelima tentang
pengetahuan dan ketentuan Allah atas perjalanan kehidupan di dunia. Dan pada
bab keenam berisi tentang campur tangan Allah dalam perjalanan kehidupan di
dunia. Sedangkan untuk bagian ketiga berisi ulasan tentang realitas kehidupan.

104 _ Islah Gusmian


Dua bab terakhir, ada di bagian ini, yaitu bab ketujuh yang berisi penjelasan
tentang manusia dengan kebebasan dan keterikatannya, dan bab kedelapan
berisi penjelasan tentang resep Al-Qur’an dalam soal kebebasan dan keterikatan
manusia.
Kesepuluh, buku Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya karya Muhammad
Galib M. Fokus kajiannya adalah makna Ahlul Kitāb. Ahlul Kitāb merupakan
istilah yang dipakai Al-Qur’an dalam menggambarkan suatu komunitas tertentu.
Untuk menemukan makna Ahlul Kitāb yang digali dalam tafsir ini tidak hanya
istilah Ahl al-Kitāb, tetapi juga istilah-istilah yang mempunyai kaitan makna
dengannya, yaitu al-lażīna ātaynāhum al-kitāb, al-lażīna ūtū al-kitāb, al-lażīna
ūtū naṣīban min al-kitāb, al-lażīna yaqra’ūna al-kitāb min qablik, dan istilah yang
tidak langsung menunjuk ahl al-kitāb, yaitu banī isrā’īl, al-lażīna hādū, hūdan,
al-yahūd, al-naṣāra, dan ahl al-injīl.
Ada lima bab yang digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah di
atas. Bab pertama berisi tentang masalah pokok yang menjadi objek kajian
dan metodologi yang dipakai dalam menganalisis masalah tersebut. Bab kedua
berisi penjelasan tentang bentuk-bentuk pengungkapan dan istilah-istilah yang
mempunyai irisan makna dengan istilah ahl al-kitāb. Ada empat arah penting
yang ditelusuri dalam bab ini, yaitu makna ahl al-kitāb dan pengungkapannya
dalam Al-Qur’an, istilah-istilah yang sepadan dengan istilah ahl al-kitāb,
istilah-istilah yang tidak langsung menunjuk pada istilah ahl al-kitāb, dan
relasi antara istilah ahl al-kitāb, kāfir, dan musyrik. Bab ketiga berisi ulasan
tentang perilaku komunitas yang diklaim dengan istilah ahl al-kitāb. Ada tiga
arah utama yang ditelusuri dalam bab ini, yaitu perilaku ahl al-kitāb terhadap
ajarannya, terhadap sesamanya, dan terhadap umat Islam. Bab keempat berisi
tentang penjelasan pandangan Al-Qur’an terhadap ahl al-kitāb, meliputi seruan,
peringatan, dan sebab-sebab kecaman Al-Qur’an kepada ahl al-kitāb, serta
interaksi sosial dengannya. Sedangkan bab kelima berisi tentang kesimpulan
dari keseluruhan analisis.
Dalam konteks model penyajian atas analisis istilah-istilah kunci, kesepuluh
tafsir di atas tampil dengan beragam. Buku Tafsir Kebencian, Tafsir bi al-Ra’yi,
dan Menyelami Kebebasan Manusia, menganalis kata kunci yang menjadi medan
tafsir tidak diletakkan dalam bagian utama yang menjadi sistematika penulisan,
tetapi dimasukkan dalam medan analisis di setiap kajian. Langkah ini berbeda
dengan ketujuh tafsir tematik singular lain yang meletakkan istilah-istilah
dan kata kunci itu dalam judul pokok dalam sistematika kajian. Model yang
terakhir ini lebih memudahkan pembaca dalam mengakses kata kunci yang
telah ditentukan.
Selanjutnya, model tematik modern yang kedua adalah tematik plural.
Sistematika penyajian tematik plural ini adalah model tematik modern yang
dipakai dalam satu tafsir, tetapi di dalamnya terdapat banyak tema yang dikaji.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 105


Ada empat tafsir yang termasuk dalam kategori ini, yaitu: Wawasan Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an karya M. Dawam Rahardjo,
Dalam Cahaya Al-Qur’an karya Syu’bah Asa, dan Tafsir Tematik Al-Qur’an
tentang Hubungan Sosial Antar-umat Beragama karya tim Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah.
Dalam tafsir model tematik plural, terdapat beragam tema yang dikaji.
Pada kasus Wawasan Al-Qur’an, dikaji tujuh tema pokok, yaitu: 1) “keimanan”,
terdiri dari tema: Al-Qur’an, Tuhan, Nabi Muhammad, takdir, kematian, hari
akhirat, keadilan dan kesejahteraan;34 2) “kebutuhan pokok manusia dan
soal muamalah”, terdiri dari tema: makanan, pakaian, kesehatan, pernikahan,
syukur, halal bihalal, dan akhlak;35 3) “manusia dan masyarakat”, terdiri dari
tema: manusia, perempuan, masyarakat, umat, kebangsaan, dan ahl al-kitāb;36
4) “aktivitas manusia”, terdiri dari tema: agama, seni, ekonomi, politik, ilmu
dan teknologi, kemiskinan dan masjid;37 dan 5) “soal penting umat”, terdiri dari
tema: musyawarah, ukhuwah, jihad, puasa, lailatul qadar, dan waktu.38
Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an dipaparkan 27 entri. Keseluruhannya
dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu: 1) “dimensi spiritual-keagamaan”,
terdiri dari entri tentang: fiṭrah, ḥanīf, Ibrāhīm, dīn, Islām, taqwā, ‘abd, amānah,
raḥmah, rūḥ, nafs, syayṭān;39 dan 2) “dimensi sosial-keagamaan”, terdiri dari
entri tentang: Nabi, Madīnah, khalīfah, `adl, ẓālim, fāsiq, syūrā, ulū al-amr,
ummah, jihād, `ilm, ulū al-albāb, rizq, ribā, dan amr ma`rūf nahy munkar.40
Satu hal lain yang menarik dalam tafsir ini adalah di setiap rangkaian antar-
entri diberikan uraian singkat untuk menjembatani isi tema di setiap entri.
Upaya ini merupakan kreasi Budhy Munawar-Rachman, selaku editor buku ini,
yang mensistematisasi setiap entri yang mulanya berceceran di Jurnal Ulumul
Qur’an tiap edisi dalam rubrik “Ensiklopedi Al-Qur’an”.
Pada sisi lain, di bagian awal Ensiklopedi Al-Qur’an, dipaparkan suatu kajian
tentang perlunya suatu metodologi tafsir. Di sini, Dawam mengemukakan
gagasan tentang perlunya penyusunan ensiklopedi Al-Qur’an—sebuah gagasan
yang dimulainya lewat buku ini41—dan diakhiri dengan uraian tentang visi sosial
Al-Qur’an dan fungsi ulama. Di bagian terakhir ini diuraikan enam persoalan

34
Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm.
3-110.
35
Ibid., hlm. 137-252.
36
Ibid., hlm. 277-347.
37
Ibid., hlm. 375-459.
38
Ibid., hlm. 469-545.
39
Lihat, M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996),
hlm. 39-284.
40
Ibid., hlm. 295-638.
41
Ibid., hlm. 1-33.

106 _ Islah Gusmian


penting, yaitu: 1) memahami Al-Qur’an dalam konteks sejarah, 2) Al-Qur’an dan
rangsangan berpikir historis, 3) al-Fātiḥah, sūrah yang menjelaskan Al-Qur’an,
4) misi Nabi dalam membangun masyarakat baru, 5) takwa dan pembentukan
masyarakat egalitarian, dan 6) membangun masyarakat berdasarkan tata nilai
rabbaniah.42
Tafsir ketiga yang menggunakan sistematika penyajian tematik plural
adalah Dalam Cahaya Al-Qur’an. Di dalamnya diuraikan 57 tema yang
dikelompokkan menjadi tujuh bagian. Pertama, “Kepada Bangsa-bangsa”, terdiri
dari: kepada bangsa-bangsa; kepada agama-agama; siapa saja yang selamat (di
akhirat); tentang Yahudi, juga Nasrani; yang benci dan yang cinta; biara, gereja,
sinagog, dan masjid; dan dibunuh, diculik, dianiaya.43
Kedua, “Amanat untuk Semua”, terdiri dari: amanat untuk semua; kepada
langit, bumi dan gunung-gunung; dari benteng bani Quraizhah; puasa, amanat
dan buruh; siapakah penguasa; musyawarah walaupun gagal; musyawarah
dari pangkalnya; musyawarah, monopoli, dan senjata; tentang Islam yang total;
perang untuk kemerdekaan; kepada pahlawan.44
Ketiga, “Guncangan Demi Guncangan”, terdiri dari: guncangan demi
guncangan; berjalan di antara guncangan; pemerintah yang rasialis; karunia
yang hilang; di sekitar tafsir Bung Karno; keganasan dan partai-partai; PKI dan
superioritas Allah; kerusuhan dan desas-desus; bencana yang menjalar; dan
orang yang merasa berbuat baik.45
Keempat, “Tali Allah dan Tali Manusia”, terdiri dari: tali Allah dan tali
manusia; takwa yang bagaimana; memecahkan perpecahan; persaudaraan
yang bisa kisruh; misi yang mulia dan sederhana; dakwah, juga untuk pendosa;
siapakah umat terbaik; umat terbaik dan tafsiran baru; tentang umat yang
tengah-tengah.46
Kelima, “Dari Kotoran Sejarah”, terdiri: bila Muslim melawan Muslim;
bagaimana memecah agama; persaudaraan dan pengkhianatan; dan para
sekularis pertama.47 Keenam, “Keadilan dan Kesaksian Allah”, terdiri dari:
keadilan dan kesaksian Allah; apa yang disebut Adil; keadilan atau kehancuran;
keadilan dan kebencian; keadilan dan mantan presiden; berita dari orang
fasik.48 Ketujuh, “Memasuki Konteks Baru” terdiri dari: tobat, juga untuk pejabat;
pers yang fasik dan yang berpahala; harta haram dan mafioso; para penguasa

42
Ibid., hlm. 644-679.
43
Lihat, Syu’bah Asa, Dalam cahaya Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm., 1-45.
44
Ibid., hlm. 53-130.
45
Ibid., hlm. 137-210.
46
Ibid., hlm. 219-291.
47
Ibid., hlm. 299-323.
48
Ibid., hlm. 333-376.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 107


dan para pemilih; bagaimana minoritas mengalahkan mayoritas; perempuan
dan keindahan; selamat datang, presiden baru; dikorbankan untuk menjadi
presiden; dan memasuki konteks budaya baru.49
Tafsir keempat yang menggunakan model tematik plural adalah Tafsir
Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Antarumat Beragama. Topik di atas
dibahas dalam empat bab. Bab pertama berisi tentang tentang prinsip
hubungan antar-umat beragama. Pada bagian ini terdiri dari beberapa topik,
yaitu: pengakuan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan; koeksistensi
damai dalam hubungan antarumat beragama; serta keadilan dan persamaan.50
Bab kedua berisi penjelasan tentang keharusan menjaga hubungan baik
dan kerjasama antar-umat beragama. Pada bab ini, terdiri dari beberapa topik,
yaitu: menjaga hubungan baik antar-sesama umat beragama; kerjasama antar-
sesama umat beragama.51
Bab ketiga berisi penjelasan tentang bagaimana Al-Qur’an mendeskripsikan
tentang ahl al-kitāb. Pada bab ini berisi beberapa topik, yaitu tentang: pandangan
positif terhadap ahl al- kitāb; ungkapan lain tentang ahl al-kitāb; memahami ahl
al-kitāb di zaman modern.52
Bab keempat berisi penjelasan tentang perkawinan beda agama dalam
pandangan Al-Qur’an. Bab ini berisi beberapa topik, yaitu: perkawinan dengan
wanita musyrik; perkawinan dengan wanita ahl al-kitāb; syarat wanita ahl al-
kitāb yang boleh dinikahi; perkawinan dengan pria non Muslim; dan alasan
pelarangan perkawinan beda agama.53
Secara struktural, dari sisi mekanisme penyajian, keempat tafsir di atas
berbeda-beda. Ada yang merujuk pada beberapa teks Al-Qur’an tertentu, ditulis
teks ayat dalam aksara Arab dan diterjemahkan, lalu disusul penafsirannya.
Model ini dipakai dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Antarumat
Beragama. Ada yang di setiap bab dimulai dengan mengemukakan satu ayat
yang relevan dengan topik bahasan, lalu kata-kata kunci dalam bab itu diuraikan
berdasarkan arti kata dan penafsiran kata tersebut menurut beberapa penafsir
(klasik dan modern, Sunni dan Syi`i, serta Indonesia dan non Indonesia). Model
yang demikian terdapat pada Dalam Cahaya Al-Qur’an.
Untuk kasus Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Antarumat
Beragama, mekanisme penyajiannya mirip yang dipakai dalam Wawasan Al-

49
Ibid., hlm. 385-454.
50
Lihat, Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka
SM, 2000), hlm. 1-51.
51
Ibid., hlm. 59-88.
52
Ibid., hlm. 99-152.
53
Ibid., hlm. 157-214.

108 _ Islah Gusmian


Qur’an, yaitu di setiap topik bahasan, ayat-ayat yang terkait dengan pokok
pembahasan dianalisis, dicari keterkaitan antar ayat dan dipakai untuk saling
menjelaskan. Hal serupa terjadi pada Ensiklopedi Al-Qur’an, tapi dari sisi
keragaman model, Dalam Cahaya Al-Qur’an mempunyai kekhasan, karena di
bagian awal setiap topik dalam tafsir ini selalu ditampilkan satu ayat yang
relevan dengan topik yang dikaji. Cara ini tidak terjadi dalam Wawasan Al-
Qur’an maupun Ensiklopedi Al-Qur’an.
Seperti telah diuraikan di atas, di samping jenis tematik modern dengan
dua jenisnya tersebut, ada satu bagian dari penyajian tematik, yaitu tematik
klasik. Tematik klasik adalah model penyajian penulisan tafsir di mana praktik
penafsiran dilakukan dengan mengacu pada sūrah, juz, atau ayat-ayat tertentu.
Ada enam tafsir yang termasuk dalam jenis ini. Rincian keenam tafsir tersebut
adalah: 1) mengacu pada juz tertentu (juz ke-30), yaitu Tafsir Juz `Amma karya
Rafi’udin dan Edham Syifa’i; 2) mengacu pada sūrah tertentu (sūrah al-Nisā’ dan
sūrah al-Mā’idah), yaitu Tafsir Al-Hijri karya Didin Hafidhuddin dan Memahami
Surat Yaasiin karya Radiks Purba yang fokus pada sūrah Yāsīn; 3) mengacu pada
sūrah dan ayat tertentu, yaitu Tafsir bil Ma’tsur karya Jalaluddin Rakhmat dan
Hidangan Ilahi karya M. Quraish Shihab yang mengacu pada sūrah dan ayat
yang dibaca dalam ritual tahlilan, yaitu sūrah al-Fātiḥah, sūrah al-Baqarah [2]:
1-5, ayat Kursi (QS. al-Baqarah [2]: 255), sūrah al-Ikhlāsh, sūrah al-Falaq, dan
sūrah al-Nās.
Pada Tafsir Bil Ma’tsur, analisisnya difokuskan pada ayat-ayat dan sūrah
yang telah dipilih. Pemilihan itu dilakukan, didasarkan pada ayat maupun
sūrah yang mempunyai riwayat (ma’tsūr) sebagai asbāb al-nuzūl . Sebagaimana
judul yang disematkan pada buku ini, metode tafsir bi al-ma’tsūr dipakai untuk
menemukan pesan moral Al-Qur’an sebagai inti pesan yang ingin disampaikan
melalui buku ini.
Sejumlah ayat yang dikaji dalam tafsir ini, dibagi sesuai dengan tema-tema
persoalan yang ada dalam ayat, kemudian untuk setiap tema disematkan judul
secara khusus. Ayat yang dikaji dalam setiap tema, jumlahnya bervariasi: ada
yang terdiri satu ayat, seperti al-Fātiḥah [1]: 1;54 dua ayat, seperti sūrah al-
Baqarah [2]: 19-20;55 tiga ayat, seperti al-Baqarah [2]: 75-78;56 lima ayat, seperti

54
Lihat, Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Bil Ma’tsur, Pesan Moral Al-Qur’an I (Bandung:
Rosdakarya, 1993), hlm. 9.
55
Ibid., hlm. 25.
56
Ibid., hlm. 87.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 109


al-`Ādiyāt: 1-5;57 dan enam ayat, seperti al-Maryam: 1-6.58 Ada juga yang satu
sūrah utuh, seperti sūrah al-Qadar [97]59 dan sūrah al-Takātsur.60
Beragam riwayat yang dirujuk dalam tafsir ini dinukil dari beragam kitab,
seperti al-Durr al-Mantsūr, Majma` al-Bayān, Ḥayāh al-Ṣaḥābah, Tafsīr Ibn Katsīr,
al-Ghadīr, Jāmi` al-Bayān, Syarḥ Nahj al-Balāghah, Tahdzīb, dan Ṣaḥīḥ al-Muslim.
Keseluruhan teks yang dirujuk tersebut ditampilkan di lembar akhir dalam
bentuk teks Arab disertai dengan nama kitab, nomor jilid, dan halaman kitab
di mana riwayat itu dikutip. Untuk memudahkan pembaca dalam pengecekan
tempat pemakaian riwayat-riwayat tersebut, di setiap riwayat yang dikutip
diberi nomor yang disesuaikan dengan tempat di mana riwayat itu dirujuk.
Tafsir ini—edisi pertama yang menjadi acuan kajian ini—meskipun telah
disertai halaman ralat, secara teknis di dalamnya masih terdapat kekeliruan,
misalnya dalam soal terjemahan Al-Qur’an. Misalnya, terjemahan untuk QS. al-
Naḥl [16]: 98 tertukar dengan teks ayat QS. al-Syu`arā [26]: 88-89.61 Terjemahan
untuk QS. al-Ḥasyr [59]: 23, tertulis: Yang mengetahui yang Gaib dan syahadah.
Dalam terjemah ini jelas ada redaksi yang terpenggal, yaitu: Dialah Allah yang
tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan syahadah, Dialah yang
Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.62 Pada terjemahan atas QS. Ālu `Imrān [3]:
92, ada kekurangan terjemahan di mana pangkal ayat tidak diterjemahkan.63
Kekurangan serupa terjadi juga dalam terjemahan QS. al-Nūr [24]: 27,64 al-Nisā’
[4]: 48,65 al-Baqarah [2]: 165,66 dan al-Nisā’ [4]: 69.67
Di samping kekurangan tersebut, ada serangkaian kalimat yang masuk
dalam redaksi terjemahan dari ayat, namun kalimat tersebut tidak ada kaitannya
dengan ayat yang diterjemahkan. Misalnya ketika menerjemahkan QS. al-
`Ādiyāt: 1-5, di akhir redaksi terjemahan itu terdapat pernyataan: usai salat
Nabi memberitahukan sahabat-sahabatnya bahwa pasukan Ali telah beroleh
kemenangan. Kalimat ini tidak ada kaitannya dengan ayat yang diterjemahkan.68

57
Ibid., hlm. 181.
58
Ibid., hlm. 145.
59
Ibid., hlm. 175.
60
Ibid., hlm. 185.
61
Ibid., hlm. 4.
62
Ibid., hlm. 16.
63
Ibid., hlm. hlm. 33 Kekurangan ini juga diulangi pada halaman 35.
64
Ibid., hlm. 99, 102.
65
Ibid., hlm. 120.
66
Ibid., hlm. 151.
67
Ibid., hlm. 155.
68
Ibid., hlm. 181.

110 _ Islah Gusmian


Tafsir kedua yang menggunakan penyajian tematik klasik adalah Tafsir
Al-Hijri. Dibandingkan dengan Tafsir Bil Ma’tsur, tafsir ini mempunyai model
penyajian tematik klasik yang lebih sederhana. Dalam Tafsir Al-Hijri, diberikan
tema-tema tertentu pada tiap ayat dalam ruang lingkup sūrah al-Nisā’ yang
dikaji. Pengelompokan beberapa ayat—dua atau tiga ayat—didasarkan tema-
tema tertentu. Misalnya, ayat 1-2 sūrah al-Nisā’ diberi judul: “Pembinaan
Keluarga”, ayat 3-6 sūrah al-Nisā’ diberi judul: “Pernikahan dan Masalah
Poligami”, ayat 7-10 sūrah al-Nisā’ diberi judul: “Masalah Harta dan Keluarga”,
begitu seterusnya.69 Ayat-ayat yang dikelompokkan dalam satu tema tertentu
disajikan dalam teks Arab disertai terjemahannya. Setelah itu, ayat-ayat yang
telah dikelompokkan ditafsirkan.
Tafsir ketiga yang menggunakan sistematika penyajian tematik klasik
adalah Tafsir Juz `Amma. Objek yang ditafsirkan dalam tafsir ini adalah juz 30,
yang populer dengan nama juz `Amma. Berbeda dengan model penyajian tafsir
yang terdapat pada Tafsir Al-Hijri, dalam Tafsir Juz Amma ini keseluruhan ayat
ditampilkan untuk setiap sūrah, dalam edisi teks Arab maupun Latin, disertai
dengan terjemahannya. Setelah itu, dipaparkan inti kandungan sūrah tersebut
yang disusul dengan asbāb al-nuzūl-nya, dan dilanjutkan dengan menafsirkan
setiap ayat pada sūrah tersebut. Setiap tahapan ini dibubuhkan sub judul,
sehingga memudahkan pembaca dalam pencarian hal-hal yang terkait dengan
sūrah-sūrah tersebut, yaitu: terjemahan ayat, inti kandungan sūrah, asbāb al-
nuzūl, dan tafsir perayat.
Model yang demikian juga dipakai dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya, yaitu
memberikan kesimpulan dari maksud ayat yang dikaji. Bedanya, dalam Tafsir
Juz `Amma kesimpulan diletakkan di akhir setiap sūrah, sedangkan dalam Al-
Qur’an dan Tafsirnya diletakkan pada bagian akhir setiap kelompok ayat yang
dikaji. Model yang demikian lebih memudahkan pembaca dalam meraih pesan
dan pemaknaan yang dikemukan penafsir. Demikian halnya dengan ayat yang
ditulis dalam aksara latin, dapat mempermudah pembaca yang tidak mahir
dalam membaca aksara Arab.
Tafsir keempat yang memakai sistematika penyajian tematik klasik adalah
Tafsir Sufi Al-Fatihah. Dari sisi judul, tampak bahwa buku ini memfokuskan
kajian pada sūrah al-Fātiḥah.70 Buku ini dibuka dengan penjelasan mengenai
posisi dan hukum tafsir sufi. Penjelasan ini perlu dikemukakan di awal,
karena selama ini tafsir sufi seringkali dipandang secara pejoratif dan tidak
perlu dilakukan. Selanjutnya, Jalal menguraikan pengertian tafsīr dan ta`wīl
dengan dua tujuan penting: 1) sebagian orang yang keberatan dengan ta`wīl

69
Lihat, Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa’
(Jakarta: Logos, 2000), hlm. 1,4, dan 10.
70
Tentang perspektif tawasuf ini akan dianalisis di bagian tersendiri tentang
perspektif tafsir.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 111


kadangkala tidak membedakan antara ta`wīl yang sesat dan ta`wīl yang benar.
Perlu dipahami bahwa dalam satu konteks tafsir tidak cukup, dan karenanya
dibutuhkan ta`wīl; 2) berhenti pada tafsir akan membawa kita pada kesesatan
dan keraguan, sebab praktik ta`wīl dapat menyingkap makna batiniah, tanpa
harus mengabaikan makna lahiriah, dan justru bisa mengatasi kesesatan dalam
pemahaman. Bila kita membatasi Al-Qur’an hanya pada makna lahiriah, maka
hanya akan mendangkalkan samudra ilahiah yang dalam dan luasnya tak
terhingga.71
Setelah memberikan penjelasan secara ilmiah tentang makna ta`wīl,
Jalal kemudian menguraikan hal-hal penting yang berkaitan dengan eksistensi
sūrah al-Fātiḥah, yaitu tentang nama-nama lain dari sūrah al-Fātiḥah72 dan
faḍīlah sūrah al-Fātiḥah. Dijelaskan bahwa sūrah al-Fātiḥah lebih baik dari
segala kesenangan duniawi, turun langsung dari `Arasy Tuhan, keistimewaan
bagi umat Muhammad saw, besar pahalanya bagi pembacanya, salat tidak sah
tanpa membaca al-Fātiḥah, memberikan pengampunan dan perlindungan, dan
memberikan kesembuhan untuk berbagai penyakit.73
Sebelum menggali pesan-pesan yang terkandung dalam sūrah al-Fātiḥah,
dalam buku ini Jalal menjelaskan makna dan keutamaan yang terkandung
dalam isti`āżah. Di sini ia menguraikan keutamaan isti`āżah, bacaan isti`āżah,
rukun isti`āżah yang terdiri dari lima hal dan isti`āżah para Nabi saw.74 Di sela-
sela uraian yang disampaikan, antar-tema tersebut diberi suplemen yang diberi
tajuk “kasykul”. Isi kasykul ini disesuaikan dengan tema-tema yang mengiringi.
Tafsir ini belum masuk pada penjelasan-penjelasan sufistik terhadap sūrah
al-Fātiḥah dan baru sampai pada mukadimah yang dijadikan titik tolak dalam
penafsiran.
Tafsir kelima adalah Memahami Surat Yaasiin karya Radiks Purba. Tafsir
ini mengkhususkan kajian pada sūrah Yāsīn. Teknik penyajiannya dimulai
dengan penulisan seluruh teks sūrah Yāsīn dalam aksara Arab. Setelah itu, ayat-
ayat Al-Qur’an yang dikaji, ditampilkan dengan dilengkapi edisi aksara Latin
dan terjemahannya, kemudian diuraikan pengertian dan maksud ayat-perayat.
Uraian itu dibagi dalam beberapa tema yang disesuaikan dengan kandungan
ayat.
Di dalam tafsir ini, terdapat 24 tema yang pembagiannya diacukan pada
beberapa ayat sesuai dengan makna yang dikandungnya, yaitu: “Muhammad
Rasulullah” (ayat 1-6), “Hukuman atas Orang Kafir” (ayat 7- 10), “Ampunan
dan Pahala yang Mulia” (ayat 11-12), “Perbandingan dan Teladan” (ayat 13-
71
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah (Bandung: Rosdakarya,
1999), hlm. xvi.
72
Ibid., hlm. 43-77.
73
Ibid., hlm. 87-94.
74
Ibid., hlm. 103-169.

112 _ Islah Gusmian


17), “Peringatan Keras Allah” (ayat 18-19), “Kesaksian Seorang Tukang” (ayat
20-21), “Kesaksian yang Prima” (ayat 22-24), “Pembunuhan yang Kejam” (ayat
25), “Hukuman Bagi Kaum Durjana” (ayat 26-29), “Usaha Menumpas Tauhid”
(ayat 30), “Penting Mengenal Sejarah” (ayat 31-32), “Tanda Kekuasaan Allah
di Bumi” (ayat 33-36), “Tanda Kekuasaan Allah di Antariksa” (ayat 37-40),
“Ilmu Pengetahuan Manusia” (ayat 41-44), “Sikap Orang-orang Kafir” (ayat
45-50), “Hari Kiamat Pasti Terjadi” (ayat 51-54), “Imbalan Bagi Orang-Orang
Saleh” (ayat 55-58), “Imbalan Bagi Orang Durjana” (ayat 59-65), “Bila Allah
Menghendaki” (ayat 66-68), “Muhammad Bukan Penyair” (ayat 69-70), “Hewan
Ternak Bagi Manusia” (ayat 71-73), “Muhammad Dihibur oleh Allah” (ayat 74-
76), “Sumber Asal Manusia” (ayat 77-80), dan “Kekuasaan Mutlak Allah” (ayat
81-82).
Tafsir terakhir yang menggunakan penyajian tematik klasik adalah
Hidangan Ilahi karya Quraish. Dalam tafsir ini, ada empat sūrah Al-Qur’an utuh
yang ditafsirkan, yaitu: sūrah al-Fātiḥah, sūrah al-Ikhlāṣ, sūrah al-Falaq, dan
sūrah al-Nās. Selebihnya adalah sūrah al-Baqarah khusus pada ayat 1-5, serta
Ayat Kursi (QS. al-Baqarah [2]: 255). Dipilihnya sūrah dan ayat ini, berkaitan
dengan kegiatan tahlilan di mana sūrah dan ayat yang dipilih tersebut menjadi
bagian dari bacaan pokok dalam kegiatan tersebut.
Model paparan yang digunakan dalam Hidangan Ilahi mirip yang dipakai
pada Memahami Surat Yaasiin, yaitu memaparkan ayat dalam aksara Arab dan
Latin serta dilengkapi dengan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Setelah
itu, pengertian dan maksud dari ayat diuraikan di bawahnya. Bedanya, dalam
Hidangan Ilahi tidak dilakukan pembagian dalam tema-tema yang diselaraskan
dengan kandungan ayat.
Dari seluruh uraian di atas, dari tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an
yang menggunakan sistematika penyajian runtut empat tafsir, yaitu: tiga tafsir
berdasarkan urutan mushaf dan satu tafsir berdasarkan urutan turunnya
wahyu. Sedangkan yang menggunakan penyajian tematik terdapat pada
duapuluh tafsir. Untuk tematik modern plural, terdapat pada empat tafsir,
dan untuk tematik modern singular terdapat pada sepuluh tafsir. Sedangkan
tematik klasik, terdapat pada enam tafsir, yaitu: dua tafsir fokus pada ayat dan
sūrah tertentu, tiga tafsir pada sūrah tertentu, dan satu tafsir fokus pada juz
tertentu. Keragaman sistematika penyajian yang dipakai dalam tafsir-tafsir
tersebut, secara singkat dapat dilihat pada tabel VII.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 113


TABEL VII
SISTEMATIKA PENYAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN

RAGAM SISTEMATIKA PENYAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA ERA


NO
TAFSIR 1990-AN DAN PENAFSIRNYA
1 Runtut 1. Berdasarkan 1. Utuh 30 juz 1. Ayat Suci dalam Renungan karya Moh. E.
Urutan Hasim
Mushaf 2. Al-Qur’an dan Tafsirnya karya Tim Badan
Wakaf UII
3. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an (belum selesai)
karya M. Quraish Shihab
2. Berdasarkan 1. Konsentrasi 1. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir atas
Urutan pada sūrah- Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan
Turunnya sūrah Turunnya Wahyu karya M. Quraish Shihab
Wahyu pendek
2 Tematik 1. Tematik 1. Tematik 1. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish
Modern Plural Shihab
2. Ensiklopedi Al-Qur’an karya M. Dawam
Rahardjo
3. Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat
Sosial Politik karya Syu’bah Asa
4. Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang
Hubungan Sosial Antarumat Beragama
karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah
2. Tematik 1. Tafsir Kebencian karya Zaitunah Subhan
Singular 2. Jiwa dalam Al-Qur’an karya Achmad
Mubarok
3. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-
Qur’an karya Jalaluddin Rahman
4. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya
Harifuddin Cawidu
5. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an karya Musa Asy’arie
6. Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep
Wanita dalam Al-Qur’an karya Nashruddin
Baidan
7. Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-
Qur’an karya Nasaruddin Umar
8. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid
Ridha
9. Menyelami Kebebasan Manusia karya
Machasin
10. Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya karya
Muhammad Galib M.
2. Tematik 1. Ayat-ayat 1. Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral Al-Qur’an
Klasik dan sūrah- karya Jalaluddin Rakhmat
sūrah 2. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat Tahlil karya M.
tertentu Quraish Shihab

114 _ Islah Gusmian


2. Sūrah 1. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an
tertentu Surat An-Nisa’ Karya Didin Hafidhuddin
2. Memahami Surat Yaasiin karya Radiks
Purba
3. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya
Jalaluddin Rakhmat
3 Juz tertentu 1. Tafsir Juz `Amma karya Rafi’udin dan
Edham Syifa’i

2. Bentuk Penyajian Tafsir Al-Qur’an


Bentuk penyajian tafsir adalah struktur penjelasan atas maksud dan pesan
yang terkandung dalam Al-Qur'an yang dipakai dalam penulisan tafsir Al-
Qur'an. Dalam tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an bentuk penyajiannya
terperikan menjadi dua bentuk, yaitu: bentuk penyajian global dan bentuk
penyajian rinci. Keduanya mempunyai ciri masing-masing. Seperti halnya
bagian sebelumnya, pada bagian ini dianalisis seluruh tafsir era 1990-an dengan
memaparkan keunikan di masing-masing bentuk penyajian tersebut.

2.1. Bentuk Penyajian Global


Bentuk penyajian global adalah struktur penjelasan atas maskud dan
pesan yang terkandung dalam Al-Qur'an yang dilakukan secara singkat dan
padat. Biasanya, penjelasan yang dilakukan fokus pada inti dan maksud ayat
Al-Qur’an yang ditafsirkan. Ciri bentuk penyajian global diidentifikasi melalui
model analisis tafsir yang sebatas menampilkan bagian terjemahan ayat,
sesekali penjelasan asbāb al-nuzūl, dan inti kandungan ayat yang dikaji. Langkah
epistemologis dan analisis atas istilah-istilah penting yang menjadi kata kunci
di suatu konteks ayat, juga perdebatan dan pemaknaan atas kata kunci yang
pernah dielaborasi para ulama, dan upaya kontekstualisasi tidak dilakukan.
Bentuk penyajian global ini bermanfat bagi pembaca yang tidak memiliki
kesempatan banyak dalam memahami Al-Qur’an secara detail dan mendalam—
dari aspek tata bahasa, balagah, perubahan makna semantik dari berbagai
kata kunci yang ada dalam Al-Qur’an, serta berbagai disiplin ilmu yang terkait
dengan kajian Al-Qur’an.
Pertama, yang termasuk dalam bentuk penyajian global adalah Tafsir
Juz `Amma. Tafsir ini menggunakan bentuk penyajian global dan sistematika
tematik klasik dengan fokus pada juz `Amma. Teknisnya adalah menjelaskan
inti kandungan sūrah yang dikaji tanpa memberikan penjelasan secara detail
problem kebahasaan dan sosio-historis—meskipun di dalamnya dikutip asbāb
al-nuzūl. Di sejumlah kasus, penafsir berusaha menghindari perdebatan yang
bersifat teologis.
Model yang dipilih dalam Tafsir Juz `Amma meskipun sederhana, tetapi
secara pragmatis bermanfaat bagi pembaca yang ingin cepat meraih maksud

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 115


suatu ayat, tanpa menyelami berbagai analisis yang rumit. Misalnya, ketika
menguraikan ayat pertama dari sūrah al-Fātiḥah, dalam Tafsir Juz `Amma
dijelaskan tentang: 1) kedudukan basmallah bagi sūrah-sūrah Al-Qur’an yang
lain dengan mengutip pendapat beberapa ulama, 2) pengertian al-raḥmān dan
al-raḥīm, sebagai bagian al-asmā al-ḥusnā Allah, 3) bismillah sebagai permulaan
segala hal, merupakan pengertian tawḥīd serta disiplin terhadap Allah yang
dalam Islam diklaim sebagai prinsip pertama dan utama. Di dalam menguraikan
tiga masalah tersebut, hanya membutuhkan kurang dari dua halaman.75
Bentuk ini sangat kontras dibandingkan dengan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
yang ditulis Quraish. Dalam kasus ayat yang sama, yaitu sūrah al-Fātiḥah, dalam
tafsir yang ditulis Quraish tersebut diberikan penjelasan yang komprehensif
dan luas. Begitu luasnya, hingga membutuhkan sepuluh halaman untuk
menguraikan kata bismillāhirraḥmānirraḥīm.76
Tafsir kedua yang menggunakan bentuk penyajian global adalah Tafsir Al-
Hijri. Mirip dengan yang terjadi di Tafsir Juz `Amma, dalam Tafsir Al-Hijri inti
dari ayat yang ditafsirkan dipaparkan secara padat. Begitu padatnya, hampir
tidak pernah dijelaskan kata kunci dalam ayat Al-Qur’an serta sedikit sekali
penjelasan yang berkaitan dengan aspek sosio-historis dari ayat. Salah satu
contoh ketika Didin menjelaskan ayat 34-35 sūrah al-Nisā’.77 Dalam konteks
ini, Didin tidak menguraikan istilah kunci yang ada dalam ayat tersebut,
seperti al-rijāl, qawwām, dan ba`ḍuhum `alā ba`ḍ. Setelah memaparkan teks
ayat dan terjemahannya, dilanjutkan dengan penjelasan tentang hal-hal penting
berkaitan dengan maksud ayat, yaitu: kewajiban istri terhadap suami serta
kewajiban suami terhadap istri. Pada tafsir ini juga tidak dilihat konteks sosio-
historis ayat yang dikaji.78 Padahal, kita bisa mengeksplorasi ayat tersebut
dengan berbagai konteks, misalnya apakah pengertian laki-laki dan perempuan
yang dimaksud dalam ayat ini sebatas dalam konteks hubungan suami-istri
dalam lingkup keluarga ataukah lebih luas dari itu.
Tafsir Bil-Ma’tsur adalah tafsir ketiga yang memakai penyajian global.
Uraian-uraiannya mengacu pada riwayat ma’tsūr dan darinya Jalal kemudian
memberikan kesimpulan atas ayat-ayat yang dikaji. Dengan penjelasan yang
ringkas, ia menyampaikan pesan-pesan moral Al-Qur’an dengan bahasa
sederhana dan mudah dipahami. Dalam tafsir ini, Jalal tidak melakukan analisis
semantik atas kata-kata kunci . Sesekali, ia melakukan rujuk-silang antar ayat
yang dikaji, yang mempunyai irisan, namun sebatas sebagai afirmasi. Oleh
karena itu, pada satu topik bahasan yang melibatkan beberapa ayat, tidak

75
Rafi’udin dan Edham Syifa’i, Tafsir Juz `Amma (Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000),
hlm. 15-16.
76
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, hlm. 8-17.
77
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, hlm. 44-46.
78
Ibid.

116 _ Islah Gusmian


banyak menghabiskan halaman. Secara umum, satu topik ditulis dalam tiga
halaman.
Tafsir keempat yang memakai penyajian global adalah Memahami Surat
Yaasiin. Modelnya mirip dengan yang dipakai dalam Tafsir Juz `Amma, yaitu
memberikan penjelasan di setiap ayat secara padat serta tidak disertakan
analisis kebahasaan atas istilah-istilah penting. Kecenderungannya pada
upaya memperlihatkan pesan moral Al-Qur’an. Salah satu contoh adalah ketika
menguraikan ayat pertama dari sūrah Yāsīn, tafsir ini hanya menjelaskan bahwa
hanya Allah lah yang tahu makna “Yasin”.79
Satu hal yang menarik dari tafsir Memahami Surat Yaasiin adalah
dipakainya data observasi ilmiah sebagai salah satu variabel untuk menjelaskan
maksud ayat. Hal ini dilakukan ketika penafsir menjelaskan maksud ayat 37-40
sūrah Yāsīn yang berbicara tentang pergantian siang malam, rotasi bumi, dan
tata surya.80 Cara ini dilakukan tidak lain untuk memudahkan pembaca dalam
memahami pesan-pesan Al-Qur’an.
Tafsir kelima adalah Ayat Suci dalam Renungan. Tafsir ini merupakan
tafsir lengkap 30 juz. Di setiap ayat yang bahas disertakan terjemahan perkata,
sehingga pembaca akan mengetahui arti kata perkata yang ada dalam ayat.
Namun, ia tidak menganalisis makna kata tersebut dalam konteks teks dan
konteks sosio-kultural masyarakat Arab. Hal yang dapat dipetik dari tafsir ini,
sebagaimana kejamakan dalam model global, adalah memudahkan pembaca
dalam meraih makna dari ayat. Ketika menguraikan ayat 1 dari sūrah al-Fātiḥah,
misalnya, ia menulis:

Setiap umat Islam yang mukalaf baik pria maupun wanita diwajibkan
beribadah dalam bidang ḥablumminallāh dan ḥablumminannās. Setiap
ibadah adalah amal soleh, baik ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu
mahdhah. Dan setiap amal saleh hendaklah dimulai dengan mengucapkan
basmallah. Sabda Rasulullah berbunyi, yang artinya: Setiap pekerjaan
penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah adalah putus
(buntung) yang tidak memperoleh hasil.81

Kutipan di atas merupakan gambaran umum bahwa dalam Ayat Suci


dalam Renungan, terkait kata basmallah tidak dibahas secara mendalam.
Misalnya, bagaimana kedudukan basmallah dalam sūrah al-Fātiḥah, keutamaan-
keutamaan basmallah, serta keberadaannya dalam ibadah salat. Pendekatan
dan analisis linguistik terhadap basmallah juga tidak dilakukan.

79
Radiks Purba, Memahami Surat Yaasiin (Jakarta: PT Golden Trayon Press, 2001),
hlm. 2.
80
Ibid., hlm. 136-156.
81
Moh. E. Hasim, Ayat Suci dalam Renungan, jilid I, hlm 1.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 117


Contoh lain, ketika tafsir ini menguraikan ayat terakhir dari sūrah al-
Fātiḥah; ia tidak memberikan penjelasan, baik dari segi kebahasaan maupun
riwayat ma’tsūr, tentang arti ṣirāṭ, al-maghḍūb dan al-ḍāllīn, juga tidak mengutip
tafsir-tafsir yang ditulis ulama sebelumnya.82
Satu hal lagi yang tidak tampak dalam tafsir ini adalah tidak diperlihatkan
konteks-konteks dan sebab-sebab pada saat mana suatu ayat ataupun sūrah
diturunkan, serta makna-makna di balik penamaan suatu sūrah. Misalnya,
mengapa sūrah kedua dinamai al-Baqarah. Berbeda misalnya yang dilakukan
Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah. Dari uraian Qraish dalam tafsirnya itu
pembaca memperoleh wawasan mengenai makna di balik penamaan sūrah
dengan melihat tema-tema pokok yang terkandung dalam keseluruhan sūrah.

2.2. Bentuk Penyajian Rinci


Bagian kedua dari bentuk penyajian tafsir adalah penyajian rinci. Bentuk
penyajian rinci adalah teknik penulisan tafsir dengan cara memberikan uraian
penafsiran secara luas, detail, mendalam, dan komprehensif. Istilah-istilah kunci
di setiap ayat dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam
suatu konteks ayat. Setelah itu, penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang
ditafsirkan, yang sebelumnya ditelusuri aspek-aspek asbāb al-nuzūl disertai
kerangka analisis yang beragam, seperti analisis sosiologis, antropologis, dan
yang lain.
Tafsir yang naskah awalnya berasal dari tugas akademik, seperti naskah
tesis atau disertasi, secara umum memakai penyajian rinci. Terdapat sembilan
tafsir yang berasal dari tugas akademik, dan keseluruhannya termasuk dalam
kategori penyajian rinci. Hal ini terjadi, karena di dalamnya dipakai metodologi
penulisan yang telah dipersiapkan dengan baik. Analisis linguistik dan sosio-
historis secara umum sangat kental dalam tafsir bentuk ini. Apalagi kesembilan
tafsir tersebut menggunakan sistematika penyajian tematik singular yang
mengharuskan adanya analisis terhadap istilah-istilah kunci yang dipakai Al-
Qur’an dengan medan semantiknya dan kaitannya dengan tema yang dibahas.
Model kerincian dari sembilan tafsir tersebut beragam dan meliputi
berbagai sisi. Pertama, tafsir Memasuki Makna Cinta. Ketika menjelaskan
makna cinta dalam Al-Qur’an, dalam tafsir ini ditelusuri keseluruhan istilah
yang dipakai Al-Qur’an yang berkaitan dengan cinta. Ada empat istilah kunci
yang dianalisis, yaitu: ḥubb, wudd, rifq, dan raḥmah dengan seluruh jaringan
maknanya.83 Metode analisis yang dipakai adalah analisis semantik Toshihiko
Izutsu—dalam rangka menemukan pandangan-dunia dari Al-Qur’an—dan
metode sosial Ḥasan Ḥanafī.

82
Ibid., hlm. 21.
83
Lihat, Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, hlm. 31, 67, dan 80.

118 _ Islah Gusmian


Pada uraian awal dideskripsikan tentang cinta dalam konteks etimologi
dan terminologi. Pada bagian etimologi, kata cinta, asmara, kasih dan sayang,
ḥubb, wudd, raḥmah, rifq, dan love diuraikan dengan detail, sedangkan pada
bagian terminologi ada tiga ranah yang ditelusuri, yaitu cinta dalam ranah
psikologi, filsafat, dan tasawuf.84
Setelah dua arah tersebut ditelusuri, dalam dianalisis tiga kata kunci yang
dipakai Al-Qur’an, yaitu: ḥubb, wudd, raḥmah, secara struktural dan klasifikasi
tema penggunaan ketiga kata kunci tersebut. Analisis struktural di sini
meliputi asal-usul kata, perubahan dan formulanya, serta keberulangan kata
itu dipakai dalam Al-Qur’an. Sedangkan analisis klasifikasi tema dipakai untuk
mengungkapkan keragaman konteks penggunaan kata itu, yang melahirkan
keragaman makna. Kata ḥubb disimpulkan mempunyai 11 konteks penggunaan
yang melahirkan keragaman makna, kata wudd juga mempunyai 11 konteks
penggunaan yang melahirkan makna yang beragam, dan kata raḥmah
disimpulkan mempunyai dua konteks penggunaan dengan makna berbeda. Dari
analisis klasifikasi konteks tema itu, dalam tafsir ini disusun klasifikasi dan
prinsip dasar cinta dalam Al-Qur’an yang dilanjutkan dengan arah aksiologis
cinta. 85
Secara metodologis, model analisis struktural dan klasifikasi konteks
makna ini merupakan hasil dari pemakaian analisis semantik Izutsu. Dan arah
aksiologi cinta merupakan implikasi metodologis dari pemakaian pendekatan
sosial yang dirumuskan Ḥasan Ḥanafī,.
Tafsir kedua adalah Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya. Model kerincian
tafsir ini terlihat dari perumusan pengertian Ahl al-Kitāb dengan mengungkapkan
keseluruhan medan semantik yang berkaitan dengannya serta ranah sejarah
kemanusiaan sebagai audiens yang diajak bicara Al-Qur’an. Istilah-istilah yang
sepadan dengan istilah Ahl al-Kitāb dan yang tidak langsung menunjuk Ahl
al-Kitāb serta yang bermakna sebaliknya, seperti kāfir dan musyrik, dianalisis
secara mendalam dan utuh.86
Seperti Memasuki Makna Cinta, dalam tafsir ini tidak hanya ditelusuri
istilah-istilah kunci secara struktural, frekuensial serta menyingkap konteks-
konteksnya, tapi juga ditelisik sikap dan perilaku komunitas yang diklaim
sebagai Ahl al-Kitāb. Aspek ontologi dari istilah Ahl al-Kitāb disediakan ruang
yang cukup luas. Cara ini merupakan pilihan penting sebagai dasar membangun
pengertian secara konseptual tentang komunitas Ahl al-Kitāb.87

84
Lihat, ibid., hlm. 13-26.
85
Lihat, ibid., khususnya pada bab III, IV, dan V.
86
Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina,
1998), hlm. 38-73.
87
Ibid., terutama bab III.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 119


Tafsir ketiga adalah Menyelami Kebebasan Manusia. Di dalamnya, model
rinci ditunjukkan dengan melakukan analisis yang komprehensif atas istilah-
istilah kunci dari ayat yang dikaji. Misalnya, ketika pembahasan tentang
pengertian manusia dan asal kejadiannya. Dalam tema ini, beberapa istilah yang
menunjuk pada pengertian manusia ditelusuri asal usul dan maknanya, seperti
kata ins, basyar, mar`, imr`, imra’ah, qawm, dan ummah. Penelusuran ini disertai
dengan analisis keberulangan pemakaiannya dalam Al-Qur’an.88 Selanjutnya,
diungkap keragaman kata yang menjadi basis dari pengertian asal kejadian
manusia, seperti kata mā’ (dalam sūrah al-Furqān [25]: 54, al-Sajdah [32]: 8,
al-Mursalāt [77]: 20 al-Ṭāriq [86]: 6) dan kata rūḥ yang memberikan informasi
sebagai pembeda dalam diri manusia dengan makhluk lain.89
Dalam konteks kerincian, kekuatan tafsir ini terletak pada analisis struktur
kebahasaan yang mendalam dengan melibatkan konteks dalam teks dipakainya
suatu istilah. Dengan demikian, sejak awal, sebelum memberikan kesimpulan,
dalam tafsir ini diberikan informasi-informasi yang berharga tentang
penggunaan suatu kata dalam proses rekonstruksi makna dalam suatu ayat.
Tafsir keempat adalah Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Bentuk kerinciannya
mirip dengan yang dipraktikkan dalam Memasuki Makna Cinta. Langkah
awal yang dilakukan penafsir adalah penjelasan secara menyeluruh istilah-
istilah yang secara langsung maupun tidak langsung menunjuk pada tema
pokok kajian, yaitu kufr. Kedua bentuk istilah-istilah itu dianalisis, baik secara
struktural dalam konteks teks, maupun analisis ṣarfiah, dalam rangka melihat
perubahan-perubahan makna dari sebuah istilah tertentu.90
Analisis kebahasaan dengan berbagai problematika struktural dan
aspek ṣarfiah-nya itu, lalu dijadikan dasar untuk memetakan jenis-jenis dan
karakteristik kufr, yang dijadikan sebagai tema utama. Misalnya, jenis kufr
dalam pengertian inkār, juḥud, nifaq, syirk, ni`mah, dan riddah. Di akhir analisis,
tafsir ini menguraikan tentang dampak yang ditimbulkan dari kekafiran dan
sikap-sikap dalam berinteraksi sosial dengan orang kafir.91
Salah satu contoh adalah tentang istilah kufr yang diuraikan dari sudut
bentuknya yang beragam. Pertama, dalam bentuk kata kerja lampau, objek yang
ditunjuk istilah kufr adalah orang-orang yang telah berbuat kufr, baik umat
terdahulu (sebelum datangnya Muhammad saw) maupun yang hidup di zaman
turunnya Al-Qur’an. Bentuk kekafiran yang diungkap dalam arti pengingkaran
dan pendustaan pada Allah. Pengingkaran terhadap nikmat Tuhan, baik nikmat

88
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 20. catatan kaki nomor 1.
89
Ibid., hlm. 2-3.
90
Lihat, Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, khususnya bab II.
91
Ibid., khususnya bab IV.

120 _ Islah Gusmian


materiil maupun non materiil, adalah bentuk kufr lain yang diungkap dengan
bentuk kata kerja lampau ini.
Kedua, dalam bentuk kata kerja muḍāri`. Dalam bentuk ini, di dalamnya
tidak membawa informasi arti dan jenis kufr yang beragam, tetapi lebih
banyak mengungkapkan tentang kekafiran atas nikmat Allah. Ketiga, dalam
bentuk perintah (amr), muncul dua kali dalam Al-Qur’an, yang keduanya
bukan merupakan perintah Tuhan pada hamba-Nya untuk menjadi kafir, tetapi
perintah dari makhluk kepada sesamanya untuk menjadi kafir.
Sedangkan dalam bentuk infinitif (ism maṣdar) dalam Al-Qur'an muncul
sebanyak 41 kali. Dari sekian banyak perulangan itu, sebagian besar berisi
penegasan tentang īmān sebagai lawan kufr.92 Keragaman pemaknaan di atas
merupakan hasil dari analisis konteks teks dalam rangkaian teks yang menjadi
dasar dalam penarikan kesimpulan. Dari arah ini, yang akan memberikan
gambaran umum secara memadai dan lengkap mengenai tema yang dianalisis.
Tafsir kelima adalah Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an. Mirip
dengan Cawidu, setelah memaparkan metodologi yang dipakai, dalam tafsir ini
penulis melacak istilah-istilah kunci yang berkaitan dengan tema utama yang
dikaji, yaitu perbuatan manusia dengan segala problematika struktural dan
ṣarfiah-nya. Bedanya, dua arah analisis yang muncul dalam tafsir ini mengarah
pada proses pengungkapan istilah-istilah yang searti dengan kasb, sebagai
istilah kunci, serta menyingkap hubungan kata kasb dengan kata-kata yang lain
yang termasuk dalam medan semantik kasb.93
Selain menyingkap aspek kebahasaan dari istilah-istilah utama yang
menjadi objek kajian, dalam tafsir ini juga ditelusuri wilayah epistemologi
dan aksiologi dari tema pokok. Pada wilayah epistemologi, diungkap tiga hal
utama. Pertama, mengenai masalah alat-alat dalam konteks perbuatan manusia,
meliputi anggota tangan dan kalbu. Kedua, tentang peranan manusia. Di bagian
ini, di samping melacak model berpikir teologis yang telah berkembang di
era klasik (Muktazilah, Jabariah), ada tiga tema penting yang diungkap, yaitu
tentang peranan manusia dalam perbuatannya, hakikat, dan kualitasnya.
Ketiga, menelusuri posisi Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia.
Sedangkan pada aspek aksiologi, dianalisis dua hal penting, yaitu persoalan
tanggung jawab dan akibat-akibat dari perbuatan manusia, baik secara pribadi
maupun umum.
Tafsir keenam adalah Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an.
Bentuk kerinciannya dapat dilihat dari eksplorasi struktural yang mendalam
dalam aspek kebahasaan dengan keragaman istilah yang telah dikelompokkan
sebagai dasar acuan dari tema utama. Istilah-istilah kunci di sini diulas dengan

92
Ibid., hlm. 35-37.
93
Lihat, Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia, khususnya bab II.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 121


cermat dalam rangka menemukan konsepsi yang utuh mengenai posisi
manusia. Istilah insān, basyar, dan kaitannya dengan istilah khalīfah dan `abd
diulas dan sekaligus dijadikan dasar dalam merumuskan tentang hakikat dan
tahapan penciptaan manusia. Di bagian selanjutnya, dijelaskan tentang tahapan
penciptaan, yaitu: tahapan jasad, hayat, ruh, dan nafs diuraikan dengan merujuk
pada istilah kunci dalam Al-Qur’an dengan memperhatikan konteks-konteksnya
masing-masing.
Setelah ditemukan dua hal pokok di atas, dalam tafsir ini ditelisik masalah
kebudayaan dan strategi pembentukannya dalam perspektif Al-Qur’an. Posisi
akal dan kalbu manusia menjadi topik utama analisis di bagian ini. Sebab, dari
dua hal inilah, suatu kebudayaan dibangun. Rumusan-rumusan dari strategi
pembentukan dan tujuannya lalu ditemukan, yang meliputi tiga dimensi
penting: hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan alam.
Tafsir ketujuh adalah Jiwa dalam Al-Qur’an. Seperti halnya tafsir yang
muncul dari ruang lembaga dan kepentingan akademik, kerincian tafsir
ini melekat pada elaborasinya yang mendalam atas istilah kunci, dimensi
keberulang-ulangan, dan konteks-konteksnya. Sebagaimana bisa dilihat pada
bab tiga dalam tafsir ini, soal jiwa dirunut dari istilah nafs yang dipakai dalam
Al-Qur’an dengan aneka maknanya.94 Dalam konteks ini, istilah nafs mempunyai
dua makna pokok, yaitu: 1) menunjuk pada makna totalitas manusia, di dunia
(QS. al-Mā’idah [5]: 32) maupun di akhirat (QS. Yāsīn [36]: 54), dan 2) menunjuk
sisi dalam manusia (QS. al-Ra`d [13]: 10. Dalam kaitan dengan arah makna sisi
'dalam' ini, muncul pengertian nafs sebagai penggerak tingkah laku, dengan
kualitas dan kapasitasnya.95
Selanjutnya diuraikan juga mengenai tingkatan kualitas nafs, subsistem
nafs, dan hubungan kerja nafs dengan jasad, yang semua ini dirunut dari
deskripsi Al-Qur’an.96 Kaitannya dan praktik tingkah laku manusia, istilah nafs
diletakkan dalam domain makna penggerak tingkah laku manusia. Ada tiga
istilah kunci yang diulas pada sisi ini, yaitu: fiṭrah, hawā dan syahwah. Pada
bagian ini, diurai karakteristik dan jenis penggerak tingkah laku serta sikap dan
pengaruh penggerak tersebut terhadap tingkah laku. Dari arah ini, dirumuskan
karakteristik tingkah laku manusia dan perubahannya.97
Tafsir kedelapan adalah Argumen Kesetaraan Jender. Sebelum mengkaji
tentang identitas gender dan konsep gender dalam Al-Qur’an, dalam tafsir
ini ditelusuri wawasan gender secara umum, perspektif teoretisnya, dan

94
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, hlm. 44.
95
Ibid., hlm. 46-55.
96
Ibid., hlm., 59-134.
97
Ibid., lihat terutama bab IV dan V.

122 _ Islah Gusmian


kaitannya dengan struktur sosial. Pada bagian perspektif teoretis, diulas soal
teori psikoanalisis, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori feminis
dan teori sosio-biologis. Adapun kaitannya dengan struktur sosial, gender
dilihat dari aspek pembagian kerja secara seksual yang sangat beragam, seperti
dipraktikkan dalam masyarakat pemburu, masyarakat holtikultura, masyarakat
agraris, dan masyarakat industri. Perubahan sosial juga dianalisis dalam rangka
menunjukkan keragaman peran gender tersebut.98
Setelah wilayah teoretis dipetakan dengan berbagai aspek dan sudut
pandang tersebut, Nasaruddin menelusuri kondisi objektif masyarakat Arab
menjelang Al-Qur’an diturunkan, dalam konteks stratifikasi sosial, sistem
kekerabatan, dan relasi gender yang telah terbentuk. Penelisikan ini signifikan
untuk meletakkan rumusan-rumusan yang dibangun Al-Qur’an secara memadai
dan untuk menangkap makna kontekstual pada zamannya.99
Dari ranah itu, ia lalu menganalisis istilah-istilah kunci yang digunakan Al-
Qur’an dalam mengidentifikasi laki-laki dan perempuan. Pada bagian ini, istilah
rijāl, nisā’, dengan keragaman makna dan konteks-konteksnya serta jumlah
keberulangan pemakaiannya diulas dengan teliti dan mendalam. Gelar atau
status yang berkaitan dengan jenis kelamin, seperti al-zawj, al-zawjah, al-ab,
al-umm, al-ibn, dan al-bint, serta kata ganti yang berhubungan dengan jenis
kelamin juga dianalisis secara rinci.100
Setelah menelisik identitas gender yang dipakai Al-Qur’an, dalam tafsir
ini Nasaruddin mengungkapkan bagaimana Al-Qur’an membangun konsep
kesetaraan gender. Mula-mula dilacak tentang asal-usul manusia dan substansi
kejadiannya, meliputi manusia sebagai makhluk biologis, spesies pertama,
reproduksi manusia, dan substansinya. Selanjutnya juga digali prinsip-prinsip
kesetaraan gender dalam Al-Qur’an yang dimungkinkan bisa dirujuk. Di sini,
ada lima persoalan pokok yang diajukan, yaitu laki-laki dan perempuan sama
sebagai hamba, khalifah, menerima perjanjian primordial, Adam dan Hawa,
kedua terlibat aktif dalam drama kosmis, dan kedua berpotensi meraih
prestasi.101
Tafsir kesembilan adalah Tafsir Kebencian. Tujuan utama dari tafsir ini
adalah menyingkap kesetaraan laki-laki perempuan perspektif tafsir Al-Qur’an.
Di samping analisis yang digunakan sangat kuat dan detail pada analisis istilah
kunci dengan berbagai konteks dan arah pemaknaannya, Zaitunah dalam tafsir
ini juga menelisik mitos-mitos yang terkait dengan kodrat perempuan. Mitos

98
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Paramadina, 2000),
terutama bab II.
99
Ibid., khususnya bab III.
100
Ibid., khususnya bab IV.
101
Ibid., khususnya bab V.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 123


tentang kehamilan, melahirkan dan menyusui adalah tiga tema yang diulas
dalam bagian ini.102
Atas dasar problem-problem di atas, di dalam tafsir ini lalu dilacak
rumusan Al-Qur’an tentang relasi laki-laki perempuan selaiknya ditempatkan
pada aras konsep kesetaraan. Mula-mula dirumuskan konsep kesetaraan
secara normatif, yaitu prinsip-prinsip fundamental dalam Al-Qur’an tentang
persamaan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Pandangan utama yang
dirumuskan adalah bahwa manusia pada prinsipnya sama. Perbedaan yang
meninggikan atau merendahkan seseorang hanya dapat dinilai dari pengabdian
dan ketakwaannya kepada Tuhan. Secara fundamental, laki-laki dan perempuan
sama, meskipun secara biologis terdapat perbedaan. Perbedaan yang
dideskripsikan Al-Qur’an secara tekstual hanya merupakan arah partikular,
yaitu berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu yang bersifat kontekstual.
Wilayah ini bersifat ẓannī (tidak mutlak) yang bisa terjadi modifikasi di
dalamnya, misalnya tentang kesaksian perempuan dan bagian hak waris bagi
perempuan.103
Sedangkan secara sosiologis-antropologis, mirip Argumen Kesetaraan
Jender, di dalam tafsir ini ditelisik proses pergeseran dan perbedaan tata
hubungan laki-laki dan perempuan dalam corak masyarakat tertentu. Ada tiga
model masyarakat yang dikaji di sini, yang model itu menciptakan relasi sosial
laki-laki perempuan berbeda, yaitu 1) masyarakat nomad, di mana perempuan
berada di wilayah domestik, sedangkan laki-laki pergi berburu dan berperang
untuk mempertahankan eksistensi keluarga dan sukunya; 2) masyarakat
agraris, di mana perempuan menemukan ruang-ruang baru dalam aspek-aspek
kerja ketika secara ekonomis pekerjaan tidak lagi memerlukan otot kuat; dan
3) masyarakat modern, di mana pekerjaan telah didominasi oleh keterampilan,
bukan lagi kekuatan fisik.104
Di luar dari sembilan tafsir yang naskahnya berasal dari tugas untuk
meraih gelar akademik tersebut, terdapat sepuluh tafsir yang termasuk dalam
bagian bentuk penyajian rinci. Lima dari sepuluh tafsir tersebut naskahnya
pernah dipublikasikan, baik di majalah, jurnal, koran maupun diceramahkan
dengan audiens masyarakat muslim, dan lima tafsir lainnya, ditulis khusus
bukan untuk kepentingan publikasi media massa atau ceramah. Lima tafsir
yang naskah awalnya dipublikasikan di media massa dan atau diceramahkan,
yang termasuk dalam bentuk rinci adalah Dalam Cahaya Al-Qur’an, Hidangan
Ilahi, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Ensiklopedi Al-Qur’an, dan Wawasan Al-Qur’an.

102
Lihat, Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), terutama pada
bab II.
103
Ibid., hlm. 98-99.
104
Ibid., hlm. 100.

124 _ Islah Gusmian


Kelima tafsir ini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan
tentang istilah-istilah kunci dalam Al-Qur’an yang menjadi objek kajiannya,
baik dari segi keberulangan maupun keragaman maknanya serta konteks-
konteksnya. Tafsir Ensiklopedi Al-Qur’an misalnya, cukup kuat dalam merinci
keberulangan istilah-istilah kunci yang dipakai Al-Qur’an, letak-letaknya dalam
sūrah, serta kontekstualisasinya dalam sejarah umat manusia.105
Paparan sejarah dengan aspek sosiologisnya yang dimungkinkan
mempunyai kaitan dengan tema-tema yang dikaji, dalam Ensiklopedi Al-Qur’an
ini secara umum ditampilkan di bagian awal dari tema yang terkait. Misalnya,
ketika menelisik istilah `abd, dalam tafsir ini diulas dalam konteks masyarakat
Indonesia.106 Sedangkan ulasan atas aspek sejarah pemikiran, dimunculkan
sebagai penguat analisis dari istilah yang menjadi objek kajian. Ketika menelisik
istilah nafs dalam Al-Qur’an, misalnya, dalam tafsir Ensiklopedi Al-Qur’an ini di
bagian awal tema dijelaskan mengenai pandangan para psikolog tentang jiwa
manusia. Muncul teori libido sexualis Sigmund Freud disertai dengan kritik
Herbert Marcuse.107
Kedetailan dalam menelisik keberulangan teks atau istilah kunci, konteks,
dan keragaman makna suatu istilah kunci yang dipakai Al-Qur’an juga muncul
dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Quraish. Bahkan analisis yang bersifat
kebahasaan, dalam tafsir ini menjadi salah satu bagian utama. Salah satu
contoh, ketika Quraish menguraikan pengertian kata ṣiraṭ. Kata ini dalam Al-
Qur’an ditemukan 45 kali. Kesemuanya dalam bentuk tunggal, yaitu 32 kali
di antaranya dirangkaikan dengan kata mustaqīm, sedangkan selebihnya
bersambung dengan berbagai kata lain.108
Kerincian dalam konteks yang sama juga terdapat dalam Hidangan Ilahi
dan Wawasan Al-Qur’an. Untuk kasus Hidangan Ilahi, uraian detil dan mendalam
atas sejumlah kata kunci selalu dilakukan. Dalam batas tertentu, khusus sūrah-
sūrah yang dikenal sebagai sūrah pendek, seperti sūrah al-Fātiḥah, sūrah al-
Ikhlāṣ, sūrah al-Falaq, dan sūrah al-Nās, dalam tafsir Hidangan Ilahi model
analisisnya mirip dengan yang dilakukan Quraish dalam Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim. Dari sisi narasi redaksi, di beberapa bagian dalam tafsir ini merupakan
pengulangan dari Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, terutama pada analisis unsur-unsur
kebahasaan.109

Lebih detail, lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,


105

1996), hlm. 145.


Ibid., hlm. 170-173.
106

Ibid., hlm. 247-250.


107

Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, hlm. 52.


108

Untuk melihat pengulangan ini bandingkan misalnya dalam kasus sūrah al-
109

Fātiḥah. M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi, hlm. 3- 91 dengan M. Quraish Shihab, Tafsir

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 125


Di luar dari sejumlah kesamaan di atas, ada beberapa informasi penting
yang dijadikan rujukan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, tetapi tidak diulas dalam
Hidangan Ilahi. Misalnya, ketika Quraish menguraikan arti kata bi dan ism dalam
sūrah al-Fātiḥah, analisis `Abdul Hālim Maḥmūd, al-Marāghī, al-Ṭabāṭabā’ī, dan
Mutawallī al-Sya’rawī tidak ada dalam Hidangan Ilahi. Hal yang sebaliknya juga
terjadi, yaitu ketika kedua tafsir ini menjelaskan makna inayatullah dalam sūrah
al-Fātiḥah: 5. Dalam Hidangan Ilahi, ilustrasi yang dipakai untuk menjelaskan
istilah ini adalah keberhasilan bangsa Indonesia di bawah pimpinan Soeharto
dalam penumpasan gerakan 30 S PKI. Ilustrasi ini tidak muncul dalam Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim. Terlepas dari kasus-kasus semacam ini, dalam konteks
kedetailan analisis, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim lebih komprehensif ketimbang
dalam Hidangan Ilahi.
Tafsir Wawasan Al-Qur’an juga termasuk dalam kategori tafsir bentuk rinci.
Hal ini dapat dilihat pada bagian analisis kebahasaan. Namun, kedetailan ini
tidak sebaik yang ada dalam dua karya Quraish yang telah diulas sebelumnya.
Pemakaian teknis penyajian tematik dalam Wawasan Al-Qur’an tidak secara
keseluruhan tampil dengan bentuk analisis yang komprehensif atas istilah-istilah
kunci. Model interaksi antarayat sebagai salah satu cara dalam menjelaskan
maksud suatu ayat, memang dilakukan, tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya
didasarkan pada prinsip utama dalam perumusan istilah-istilah pokok yang
dijadikan objek. Hal ini terjadi, karena tidak diawali dengan pemilihan istilah-
istilah kunci sebagai basis analisis.
Terakhir, tafsir yang naskah awalnya dipublikasikan di media massa,
yang termasuk dalam kategori penyajian rinci adalah Dalam Cahaya Al-Qur’an.
Bentuk analisis kebahasaan dengan mengacu pada istilah kunci yang telah
dipilih menjadi bagian penting dalam tafsir ini. Secara umum, dalam tafsir ini,
penafsir memanfaatkan kitab-kitab tafsir yang ditulis para ulama sebelumnya
sebagai salah satu rujukan. Ketika menguraikan tentang pengertian “tali
Allah” dalam QS. `Ālu `Imrān [3]: 103, misalnya, Syu'bah mengutip pandangan
Al-Qurṭubī dengan memberikan makna “tali Allah” dengan jama`ah, Qatadah
dan al-Ṭabāṭabā’ī yang keduanya memberikan makna pada istilah “tali Allah”
dengan Al-Qur’an.110
Pada sisi eksplorasi, tafsir ini sangat kaya dengan analisis atas konteks-
konteks keindonesiaan. Ulasan-ulasan atas beragam tema, sering dikaitkan
dengan momentum sejarah dan problem yang terjadi di Indonesia, sehingga
tafsir ini tidak hanya kokoh dalam perumusan makna istilah-istilah kunci
dengan domain sosiologisnya, tetapi juga dalam perajutannya dengan fenomena
yang terjadi di Indonesia.

Al-Qur’an Al-Karim,, hlm. 8-71, khususnya ketika memaparkan pengertian bi dan kata
ism dalam al-Fātiḥah.
110
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 242-243.

126 _ Islah Gusmian


Adapun penyajian rinci untuk konteks tafsir yang belum dipublikasikan
dan bukan berasal dari tugas akademik, terdapat pada lima tafsir, yaitu Tafsīr
Al-Mishbāh, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Tafsir Sufi Al-Fatihah, Tafsir bi Al-Ra’yi,
dan Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama.
Bentuk rinci dari lima tafsir ini berbeda-beda. Secara umum, kerinciannya
ditunjukkan pada kekuatan analisis linguistiknya yang mendalam serta
penempatan pengertian ayat-ayat dalam konteks asbāb al-nuzūl-nya dengan
mempertimbangkan domain sejarah masyarakat di mana ayat tersebut
diturunkan. Perujukan pada kitab tafsir terdahulu juga cukup kuat dalam
kelima tafsir ini. Perkecualian untuk Al-Qur’an dan Tafsirnya, analisis yang ada
di dalamnya tidak sebaik empat tafsir lain yang sejenis. Dalam Al-Qur’an dan
Tafsirnya, kedetailan pada konteks analisis istilah-istilah kunci kurang kokoh,
dan perujukan pada pendapat penafsir terdahulu terkesan fragmentaris dan
tidak utuh di seluruh analisis yang dilakukan.
Dalam kasus Tafsīr Al-Mishbāh, Tafsir bi Al-Ra’yi, dan Tafsir Tematik Al-
Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, para penafsirnya
konsisten dalam membangun alur penafsiran. Pertama, istilah-istilah yang
ditetapkan sebagai kata kunci dalam suatu konteks ayat, diurai dengan
memanfaatkan analisis para ulama di bidang tafsir. Lalu, konteks sosiologis
masyarakat yang menjadi audiens Al-Qur’an serta asbāb al-nuzūl dimanfaatkan
sebagai bagian dari proses penyimpulan. Khusus untuk Tafsir Sufi Al-Fatihah,
kerinciannya terdapat pada pelacakan berbagai sumber riwayat ma’tsūr yang
tidak hanya diambil dari tradisi Sunni tapi juga Syi’ah.
Dari seluruh uraian di atas, kita tahu bahwa tafsir Al-Qur'an di Indonesia
yang menggunakan penyajian rinci ada 19 buah: lima tafsir yang sebelumnya
naskahnya disampaikan dalam acara tertentu dan atau dipublikasikan di
media massa, lima tafsir belum pernah dipublikasikan, dan sembilan tafsir
merupakan hasil dari tugas akademik. Sedangkan yang menggunakan bentuk
penyajian global, ada lima tafsir: tiga tafsir belum pernah dipublikasikan dan
dua tafsir lainnya pernah dipublikasikan dan atau diceramahkan. Kesemuanya
ini memiliki karakteristik masing-masing. Secara singkat pemerian di atas dapat
dilihat pada tabel VIII.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 127


TABEL VIII
BENTUK PENYAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

BENTUK PENYAJIAN
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA
NO
ERA 1990-AN DAN PENAFSIRNYA
Bentuk Sistematika Asal-Mula dan Publikasinya

1 Rinci 1. Runtut 1. Kumpulan Majalah 1. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,


tulisan; Tafsir atas Surat-surat Pendek
pernah Berdasarkan Urutan Turunnya
dipublika­ Wahyu karya M. Quraish Shihab
sikan
2. Tulisan utuh; 1. Tafsir Al-Mishbah, Pesan Kesan
sebelumnya tidak pernah dan Keserasian Al-Qur’an karya M.
dipublikasikan Quraish Shihab
2. Al-Qur’an dan Tafsirnya karya tim
Badan Wakaf UII
2. Tematik 1. Kumpulan Ceramah 1. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat Tahlil
klasik tulisan; karya M. Quraish Shihab
pernah
dipublika-
sikan
2. Tulisan utuh; 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah
sebelumnya tidak pernah karya Jalaluddin Rakhmat
dipublikasikan
3. Tematik 1. Kumpulan 1. Ceramah 1. Wawasan Al-Qur’an karya M.
Modern tulisan; Quraish Shihab
pernah 2. Jurnal 1. Ensiklopedi Al-Qur’an karya M.
dipublika- Dawam Rahardjo
sikan 3. Majalah 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir
Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
2. Tulisan utuh ; 1. Tafsir bi Al-Ra’yi, Upaya
sebelumnya tidak pernah Penggalian Konsep Wanita dalam
dipublikasikan Al-Qur’an karya Nashruddin
Baidan
2. Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang
Hubungan Sosial Antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran
Islam PP. Muhammadiyah
3. Tugas 1. Skripsi 1. Memasuki Makna Cinta karya
akademik Abdurrasyid Ridha
2. Tesis 1. Menyelami Kebebasan Manusia,
Telaah Kritis terhadap Konsepsi
Al-Qur’an karya Machasin

128 _ Islah Gusmian


3. Disertasi 1. Tafsir Kebencian karya Zaitunah
Subhan
2. Jiwa dalam Al-Qur’an karya
Achmad Mubarok
1. Konsep Perbuatan Manusia
Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
2. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an
karya Harifuddin Cawidu
3. Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Qur’an karya Musa
Asy’arie
4. Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
5. Ahl Al-Kitab Makna dan
Cakupannya karya Muhammad
Galib M.
2 Global 1. Tematik 1. Kumpulan 1. Ceramah 1. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-
klasik tulisan dan Qur’an Surat An-Nisa’ karya Didin
pernah Hafidhuddin
dipubli­ 2. Koran 1. Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral Al-
kasikan Qur’an karya Jalaluddin Rakhmat
2. Tulisan utuh; 1. Memahami Surat Yaasiin karya
sebelumnya tidak pernah Radiks Purba
dipublikasikan 2. Tafsir Juz `Amma karya Rafi’udin
dan Edham Syifa’i
2. Runtut Tulisan utuh lengkap 30 juz; 1. Ayat Suci dalam Renungan karya
sebelumnya tidak pernah Moh. E. Hasim
dipublikasikan

3. Gaya Bahasa Penulisan Tafsir Al-Qur’an


Analisis tentang bentuk gaya bahasa penulisan dalam tafsir Al-Qur'an
di sini ditujukan untuk melihat bentuk narasi bahasa yang dipakai dalam
penulisan tafsir. Kategorisasi yang dipakai dalam pemetaan ini mirip dengan
yang ada dalam dunia jurnalistik. Secara umum, tafsir di Indonesia era 1990-
an, merepresentasikan keragaman gaya bahasa yang dipakai dalam penulisan
tafsir. Secara umum, ada empat gaya bahasa penulisan yang dipakai, yaitu: gaya
bahasa kolom, reportase, ilmiah, dan populer. Pada uraian berikut ditunjukkan
keempat gaya penulisan tersebut dipakai para penulis tafsir di Indonesia.

3.1. Gaya Bahasa Penulisan Kolom


Gaya bahasa tulisan kolom adalah gaya penulisan dalam tafsir dengan
memakai kalimat yang pendek, lugas, dan tegas. Di dalamnya biasanya diksi-
diksi yang dipakai dipilih bukan hanya akurat tetapi juga padat dan mempunyai

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 129


unsur ritmis. Diksi-diksi yang dipilih tersebut menyimpan kekuatan yang secara
psikologis menghentakkan imajinasi dan ruang batin pembaca.111
Gaya bahasa penulisan tafsir semacam ini dapat ditemukan dalam tafsir
Dalam Cahaya Al-Qur’an. Berikut ini adalah salah satu contohnya:

Syahdan. Ada tiga tafsiran untuk ungkapan ‘laki-laki dan perempuan’,


sebagai asal ciptaan, dalam ayat ini. Pertama, Adam dan Hawa. Kedua,
tiap orang (Abu Haiyan, loc. cit.). Dan yang ketiga bisa ditangkap dari
keterangan Mujahid, yang berkata: “Allah menciptakan anak dari ‘air laki-
laki dan ‘air perempuan’”—lalu membaca ayat ini (Ṭabari, XXVI: 138). Itu
karena kata-kata asli ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ dalam ayat (żakar dan
untsa), meski bisa menunjuk ke pria (rajul) dan wanita (imra’ah), juga
bisa kepada kelamin mereka: “sesuatu yang laki-laki” dan “sesuatu yang
perempuan”. Dan itu berarti sperma dan telur.112

Rangkaian narasi di atas tersusun dalam kalimat yang padat dan pendek.
Begitu pendeknya, satu kalimat disusun hanya dengan satu kata: “syahdan”.
Rangkaian kalimat yang dikutip di atas, strukturnya sangat padat, lugas, dan
jelas. Dari contoh di atas pula, ada dua kata yang dipakai, yang selama ini
seringkali dianggap sama, untuk mengungkapkan hal yang berbeda, yaitu:
pria, laki-laki, dan perempuan, wanita. Dalam tafsir ini, kata “laki-laki” dan
“perempuan” dipakai lebih mengacu pada jenis kelamin, sedangkan “pria” dan
“wanita”, tidak.
Gaya bahasa kolom dengan pilihan diksi yang tepat seperti ditunjukkan
Syu'bah dalam Dalam Cahaya Al-Qur'an, tidak saja mengajarkan kita tentang
mekanisme komunikasi efektif dalam sebuah tulisan, tetapi juga memberikan
kekuatan khas yang bisa dirasakan pembaca, dan sekaligus memberikan makna
yang tegas, sesuai diksi-diksi yang dipilih.
Kita simak lagi satu contoh berikut ini:

....Umat Muslimin, yang salat menghadap Ka’bah, demikian dikatakan, bisa


dibayangkan membentuk garis-garis lingkar di bumi, yang semakin jauh
dari poros semakin melebar. Itu bisa menunjukkan “kebenaran” ini: makin
jauh dari pusat (Ka’bah), orang makin renggang. Makin dekat, mereka
makin rapat, menyatu, dan mampu menghapuskan faktor perbedaan atau
semacam itu. Ini menarik. Tetapi tidak relevan. Pertama, apa hubungan
garis yang makin rapat, yang adalah satu hal, dengan persamaan dan
perbedaan, yang adalah hal lain. Kedua, kalaupun gambaran ini mau
dipakai, mengapa garis lingkar harus makin melebar ketika menjauh

111
Tulisan gaya kolom ini bisa kita temui pada karya Muhammad Sobary di Kompas
rubrik “Asal-usul”, Gunawan Mohamad di Tempo rubrik “Catatan Pinggir”, dan beberapa
tulisan kolomnis lain.
112
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 7.

130 _ Islah Gusmian


dari pusat? Bisa saja kita bikin bulatan dengan jarak yang sama persis
antargaris. Misalnya, seperti obat nyamuk. Yang benar ialah ini:
persatuan tidak ada hubungannya dengan kesamaan. Persatuan juga
tidak selalu menunjuk pada kesatuan. Dan saling pengertian tidak ada
hubungannya dengan keseragaman.113

Paragraf terakhir dari kutipan di atas memperlihatkan ketegasan Syu’bah.


Dengan bahasa yang khas ia menulis: “Yang benar ialah ini: persatuan tidak ada
hubungannya dengan kesamaan. Persatuan juga tidak selalu menunjuk pada
kesatuan. Dan saling pengertian tidak ada hubungannya dengan keseragaman”.
Gaya bahasa penulisan kolom yang diracik Syu’bah ini telah melahirkan kesan
tegas dan menghentak ruang batin pembaca.

3.2. Gaya Bahasa Penulisan Reportase


Gaya bahasa penulisan reportase adalah bentuk penarasian dalam penulisan
tafsir dengan penggunaan kalimat yang sederhana, memakai kosa kata yang
hidup dalam komunikasi massa sehari-hari, menekankan aspek pelaporan, serta
bersifat human interest. Gaya bahasa reportase semacam ini lazim digunakan
dalam majalah dan koran yang menyajikan laporan dari berbagai peristiwa.114
Biasanya model penulisan reportase ini memikat emosi pembaca dan sekaligus
mengajaknya masuk ke dalam topik yang ditulis. Pelibatan pembaca sebagai
subjek ini, misalnya, bisa dilakukan dengan memakai kata: “kita”. Dengan
menyentuh emosi, pembaca diajak terlibat ke dalam persoalan yang dikaji,
sehingga ia bisa menikmati uraian yang disampaikan.
Gaya bahasa jenis ini dapat ditemukan dalam Tafsir bil Ma’tsur, dan
Memahami Surat Yaasiin. Dalam Tafsir bil Ma’tsur di setiap tema selalu dimulai
dengan reportase atas peristiwa yang dikutip dari riwayat-riwayat ma’tsūr.
Riwayat-riwayat itu terkait dengan tema-tema dalam ayat dan dikutip dari
kitab rujukan yang beragam. Riwayat-riwayat itu ditata dalam strukstur
gaya reportase yang memikat. Dalam gaya reportase ini, di beberapa bagian,
diberi simpulan sebagai kunci pesan moral Al-Qur’an. Misalnya, ketika Jalal
menguraikan sūrah al-Fātiḥah menulis dalam paragraf yang indah:

Satu rombongan sahabat, terdiri dari tiga puluh orang, sampai di sebuah
perkampungan Arab. Mereka menuntut hak sebagai tamu, yang sebetulnya
telah menjadi hukum dalam kehidupan padang pasir. Akan tetapi, kaum
itu menolaknya. Kebetulan pemimpin kaum itu digigit kalajengking.
Mereka meminta bantuan kepada sahabat-sahabat Nabi.

Ibid., hlm. 13-14.


113

Tentang pengertian reportase dalam media massa lihat, Djudjuk Juyoto, Jurnalistik
114

Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja Raksasa (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1985).

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 131


Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Aku bisa mengobatinya. Tetapi, aku tidak
akan melakukannya sebelum kalian memberikan sesuatu.” Mereka
berkata, “Kami beri Anda tiga puluh ekor kambing.” Abu Sa`id kemudian
membacakan al-Fātiḥah tujuh kali. Sembuhlah orang yang digigit [ular]
itu….
Kaum Muslim, yang percaya akan kesatuan alam semesta, beriman kepada
kesatuan yang gaib dengan yang syahadah. Kita percaya bahwa sedekah
menolak bencana, silaturahim memperbanyak rezeki, dan doa (yang gaib)
dapat menimbulkan efek pada kehidupan kita (yang syahadah). Sūrah al-
Fātiḥah adalah doa yang agung, Ummul Kitāb (induk segala kitab), yang
turun dari perbendaharaan di bawah `Arasy.
Karena kita percaya akan kesatuan kedua alam ini, obatilah penyakit
dengan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran mutakhir, dan bacalah
al-Fātiḥah dengan khusuk. Dengan begitu, kita menggabungkan kedua
alam yang besar itu. Dan itu lah tauhid.115

Namun dalam beberapa kasus, Jalal dalam tafsir ini tidak memberikan
kata simpul di pangkal pembahasan. Misalnya ketika ia menguraikan QS. Ālu
`Imrān [3]: 92,116 al-Mujādalah [58]: 11,117 al-A`rāf [7]: 175-176,118 al-Aḥqāf [46]:
20,119 al-Furqān [25]: 27-29,120 dan al-Baqarah [2]: 165.121 Dengan cara ini, ia
memberikan kesan bahwa pembaca dipersilakan menarik kearifan sendiri dari
uraian-uraian yang telah dikemukakan.
Tafsir kedua yang memakai gaya reportase adalah Memahami Surat
Yaasiin. Dalam menarasikan penjelasan-penjelasannya, Radiks dalam tafsir
ini memakai bahasa yang ilegan serta menyediakan ruang kepada pembaca
untuk menyelami tema-tema yang dipaparkan secara human interest. Model
narasi yang dipakai bersifat dialogis. Beberapa uraian yang berkaitan dengan
aspek sejarah, disusun dalam bentuk narasi kisah yang memikat. Misalnya,
ketika Radiks dalam tafsirnya ini menguraikan QS. Yāsīn [36] : 52, sebagaimana
kutipan berikut:

Orang yang mati merasa seperti tidur di dalam kuburan. Karena merasa
seperti tidur, maka ketika dibangkitkan pada hari berbangkit, orang-
orang yang ketika hidupnya di dunia tidak beriman kepada Allah
menjadi terkejut, lalu mengeluh, “Yā waylanā” (aduhai celaka kami).
Setelah orang-orang beriman dan non beriman bersama-sama bangkit

115
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir bil Ma’tsur, hlm. 15-17.
116
Ibid., hlm. 35.
117
Ibid., hlm. 45.
118
Ibid., hlm. 51.
119
Ibid., hlm. 69.
120
Ibid., hlm. 123.
121
Ibid., hlm. 151.

132 _ Islah Gusmian


dari kuburnya masing-masing, maka orang-orang non beriman bertanya
kepada orang-orang beriman, “Man ba`atsanā min marqadinā” (siapakah
yang membangunkan kami)? Orang-orang beriman menjawab, “Hāżā mā
wa`adarraḥmān wa ṣadaqa al-mursalūn (inilah yang dijanjikan oleh Yang
Maha Pengasih). Allah memang telah menjanjikan melalui rasul-rasul-Nya
bahwa hari berbangkit pasti terjadi. Tetapi banyak orang tidak percaya
karena mereka tidak beriman kepada Allah dan akhirat, bahkan mereka
mendustakan para Rasul Allah.122

Dengan model narasi semacam itu, Radiks melibatkan pembaca atau


audiens untuk ikut masuk dan merasakan suasana dialog antara dua golongan
yang berbeda dalam kisah yang dipaparkan. Perihal yang dituju bukan hanya
persoalan nilai moral yang bisa dipetik dari peristiwa tersebut, lebih dari itu
pembaca secara huḍuriyyah diajak merasakan langsung wacana yang terjadi
dalam peristiwa tersebut.

3.3. Gaya Bahasa Penulisan Ilmiah


Gaya bahasa penulisan ilmiah ialah gaya bahasa penulisan teks yang
diatur dengan pola yang ketat dan pilihan kosa kata baku, dan menghindari
keterlibatan audiens sebagai subjek di dalam sistem komunikasi teks. Oleh
karena itu, dalam praktik komunikasi teks terasa formal dan kering. Biasanya,
dalam model gaya bahasa semacam ini, menghindari sistem komunikasi oral,
seperti pemakaian kata: Anda, kita, dan saya. Karena karakternya yang demikian
rigid, maka gaya bahasa ilmiah ini cenderung melibatkan otak ketimbang emosi
pembaca dalam menjelajahinya. Dengan demikian, pembaca kurang dilibatkan
dalam wacana dan peristiwa yang dipaparkan.
Tafsir di Indonesia era 1990-an yang menggunakan gaya bahasa ilmiah ini
umumnya lahir dari tugas akademik di kampus. Hal ini terjadi karena tuntutan
teknis ilmiah, menjadikan tafsir tersebut tampil dengan kekhasannya tersebut.
Tujuh tafsir yang lahir dari kepentingan akademik termasuk dalam kategori
ini. Dalam Memasuki Makna Cinta misalnya, penulisnya tampak menghindari
pemakaian kata: “kita” yang merupakan salah satu mekanisme pelibatan
pembaca pada ruang komunikasi.123 Hal yang sama juga terjadi dalam Jiwa
dalam Al-Qur’an dan Konsep Kufr dalam Al-Qur’an.
Dalam beberapa kasus, melalui gaya bahasa ilmiah ini penulis tidak
menampakkan pandangannya dengan narasi yang tegas tentang suatu
persoalan. Misalnya dalam Menyelami Kebebasan Manusia, dipakai kalimat pasif
yang terkesan menyembunyikan subjek “saya”:

Lihat, Radiks Purba, Memahami Surat Yaasiin, hlm. 183-184.


122

Lihat, Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, hlm. 4.


123

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 133


Kata rūḥ sendiri mengandung banyak pengertian. Al-Qur’an memakainya
dalam pengertian yang berbeda-beda pula. Di antaranya adalah wahyu,
pembawa wahyu, yakni Jibril, dan roh yang membuat hidup badan.
Dapatkah makna yang terakhir ini yang dimaksudkan dengan rūḥ yang
ditiupkan ke dalam diri manusia itu? Nampaknya, ini kurang tepat,
karena kehidupan sudah berproses sejak bertemunya sperma dan telur.
Rūḥ ini ditiupkan Allah ke dalam diri manusia (pertama?) setelah selesai
pembentukan fisiknya.124

Kasus serupa terjadi dalam Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, ketika
Ghalib menjelaskan tentang urgensi kajian atas terma ummī ketika ia melakukan
analisis atas ahl al-kitāb,125 Nasaruddin dalam Argumen Kesetaraan Jender ketika
menjelaskan pengertian yang dimaksud identitas gender,126 dan Musa dalam
Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an ketika menguraikan tentang
hubungan insān dengan khalīfah dan basyar dengan `abd.127
Dua tafsir lain yang memakai gaya bahasa penulisan ilmiah adalah Tafsir
Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama dan Tafsir bil
Ra’yi. Dua tafsir ini, meskipun tidak lahir dari tugas dan kepentingan akademik
di lembaga kampus, penulisnya juga memakai gaya bahasa penulisan ilmiah. Ada
sejumlah faktor mengapa hal ini terjadi. Pertama, dalam kasus Tafsir bil Ra’yi
naskahnya berasal dari artikel-artikel ilmiah dan audiens yang dibayangkan
oleh penulisnya adalah masyarakat atau dunia akademik. Kedua, dalam kasus
Tafsir Tematik Al-Qur’an basisnya adalah kajian ilmiah yang dilakukan oleh
Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam mengkonstruksi wacana terkait isu
hubungan antar umat beragama.

3.4. Gaya Bahasa Penulisan Populer


Gaya bahasa penulisan populer adalah model gaya bahasa penulisan yang
dipakai dalam tafsir yang menempatkan bahasa sebagai arena komunikasi
dengan audiens secara bersahaja. Kata maupun kalimat yang digunakan dipilih
yang sederhana dan mudah dipahami bagi masyarakat umum. Berbeda dengan
gaya bahasa reportase yang secara spesifik memakai narasi kisah di masa lalu
sebagai ruang pelibatan pembaca, gaya bahasa populer lebih umum.
Membaca tafsir yang ditulis dengan gaya bahasa populer, kita merasa
enak dan ringan membacanya, serta kalimat-kalimatnya mudah dipahami oleh
masyarakat umum. Istilah yang rumit dan sulit dipahami pembaca (awam),
dicarikan padanannya yang lebih mudah, sehingga makna sosial maupun moral

Lihat, Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, hlm. 2.


124

Lihat, Muhammad Ghalib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 23 dan
125

25.
Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 143.
126

Lihat, Musa Asy`arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, hlm. 50.
127

134 _ Islah Gusmian


yang terkandung dalam Al-Qur’an mudah ditangkap, dan yang paling penting,
tidak disalahpahami pembaca. Tafsir yang menggunakan gaya bahasa populer
ini adalah: Tafsir Al-Hijri, Hidangan Ilahi, Tafsir Al-Mishbah, Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Sufi Al-Fatihah, Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir
Juz `Amma, Al-Qur’an dan Tafsirnya, dan Ayat Suci dalam Renungan.
Secara keseluruhan, gaya penulisan yang dipakai dalam tafsir di Indonesia
era 1990-an di atas beragam dan berbeda-beda, tergantung kepentingan, latar
belakang, dan audiens yang dibayangkan penulisnya. Dari sisi jumlah, bisa
dirinci: satu tafsir menggunakan gaya bahasa penulisan kolom, dua tafsir
menggunakan gaya bahasa penulisan reportase, sebelas tafsir menggunakan
gaya bahasa ilmiah, dan sepuluh tafsir menggunakan gaya bahasa penulisan
populer. Secara singkat dapat dilihat pada tabel IX.

TABEL IX
GAYA BAHASA PENYAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

GAYA BAHASA PENYAJIAN TAFSIR AL-QUR’AN DI


NO INDONESIA ERA 1990-AN
Gaya Sistematika Asal Mula dan Publikasi DAN PENAFSIRNYA
1 Kolom 1. Tematik 1. Kumpulan 1. Pernah 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an,
Plural tulisan dipublika­sikan Tafsir Ayat-ayat Sosial
Modern di Majalah Politik karya Syu’bah Asa
2 Reportase 1. Tematik 1. Kumpulan 1. Pernah 1. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan
klasik tulisan dipublika­sikan Moral Al-Qur’an karya
di Koran Jalaluddin Rakhmat

2. Tulisan 2. Belum pernah 2. Memahami Surat Yaasiin


utuh dipu­blikasikan karya Radiks Purba
3 Ilmiah 2. Tematik 1. Tulisan 1. Belum pernah 1. Tafsir bil Al-Ra’yi, Upaya
Singular utuh dipublika­sikan Penggalian Konsep Wanita
dalam Al-Qur’an karya
Nashruddin Baidan
2. Tafsir Tematik Al-Qur’an
Tentang Hubungan Sosial
Antarumat Beragama
karya Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran
Islam PP. Muhammadiyah
2. Tugas 1. Skripsi 1. Memasuki Makna Cinta
akademik karya Abdurrasyid Ridha
2. Tesis 1. Menyelami Kebebasan
Manusia, Telaah Kritis
terhadap Konsepsi Al-
Qur’an karya Machasin

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 135


3. Disertasi 1. Tafsir Kebencian karya
Zaitunah Subhan
2. Jiwa dalam Al-Qur’an karya
Achmad Mubarok
3. Konsep Perbuatan Manusia
Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
4. Konsep Kufr dalam Al-
Qur’an karya Harifuddin
Cawidu
5. Manusia Pembentuk
Kebudayaan dalam Al-
Qur’an karya Musa Asy’arie
6. Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
7. Ahl Al-Kitab Makna
dan Cakupannya karya
Muhammad Galib M.
4 Populer 1. Tematik 1. Kumpulan 1. Disampaikan 1. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir
klasik tulisan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’
pengajian karya Didin Hafidhuddin
2. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat
Tahlil karya M. Quraish
Shihab
2. Tulisan 1. Belum pernah 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah,
utuh dipublikasikan Mukadimah karya
Jalaluddin Rakhmat
2. Tafsir Juz `Amma karya
Rafi’uddin dan Edham
Syifa’i
2. Tematik 1. Kumpulan 1. Disampaikan 1. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir
Plural tulisan dalam Maudhu’i atas Pelbagai
pengajian Persoalan Umat, karya M.
Quraish Shihab
2. Ditulis di 2. Ensiklopedi Al-Qur’an karya
Jurnal Ulumul M. Dawam Rahardjo
Qur’an
3. Runtut 1. Tulisan 1. Belum pernah 1. Tafsir Al-Mishbah, Pesan,
sesuai utuh dipublikasikan Kesan dan Kaserasian Al-
mushhaf Qur’an karya M. Quraish
Shihab
2. Al-Qur’an dan Tafsirnya
karya Tim Badan Wakaf UII
3. Ayat Suci dalam Renungan
karya Moh. E Hasim
4. Runtut 1. Kumpulan 1. Dipublikasikan 1. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,
sesuai tulisan di majalah Tafsir Atas Surat-surat
turunnya Pendek Berdasarkan
ayat Urutan Turunnya Wahyu
karya M. Quraish Shihab

136 _ Islah Gusmian


4. Bentuk Penulisan Tafsir Al-Qur’an
Bentuk penulisan tafsir adalah cara penulisan teks tafsir yang berkaitan
dengan aturan teknis dalam penyusunan gagasan. Aturan teknis yang dimaksud
adalah tata cara pengutipan sumber-sumber yang dirujuk, seperti penyebutan
judul, penulis, dan penerbit buku yang dirujuk, serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan konstruksi dan narasi gagasan.
Dalam kaitan ini, ada dua hal pokok yang dianalisis, yaitu bentuk penulisan
ilmiah dan bentuk penulisan non ilmiah. Kedua bentuk penulisan ini akan
diuraikan pada bagian berikut dengan mengacu pada contoh-contoh di masing-
masing teks tafsir.

4.1. Bentuk Penulisan Ilmiah


Bentuk penulisan tafsir yang pertama adalah bentuk penulisan ilmiah.
Bentuk penulisan ilmiah dalam tafsir adalah cara penulisan tafsir yang diatur
secara ketat dalam penyusunan narasi dan gagasan. Di sini, kalimat maupun
gagasan atau pengertian yang diperoleh atau diacukan pada teks-teks lain
disertai catatan kaki (footnote) ataupun catatan tubuh (bodynote). Cara ini
untuk menunjukkan kepada pembaca perihal sumber-sumber yang dirujuk.
Judul buku, penulis, tempat, tahun, penerbit, serta nomor halaman buku menjadi
aspek penting untuk dituturkan dalam narasi kalimat.
Bentuk penulisan ilmiah ini secara umum dipakai dalam tafsir-tafsir yang
ditulis dan tumbuh di dunia akademik dan kepentingan akademik. Unsur-unsur
dari bentuk penulisan ilmiah secara umum bisa dilihat dari dua hal pokok
sebagaimana disebutkan di atas. Pertama, penggunaan catatan kaki (footnote)
sebagai mekanisme dalam menjelaskan detail literatur yang dirujuk. Tafsir Al-
Qur'an di Indonesia era 1990-an yang termasuk dalam bagian ini adalah Jiwa
dalam Al-Qur’an, Tafsir Kebencian, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, Argumen
Kesetaraan Jender, Tafsir Sufi Al-Fatihah, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Qur’an, dan Konsep Kufr dalam Al-Qur’an.
Kedua, penyertaan catatan akhir (endnote) sebagai cara dalam menjelaskan
detail sumber-sumber yang dirujuk dalam penulisan tafsir. Tafsir Al-Qur'an di
Indonesia era 1990-an yang termasuk dalam jenis ini adalah Memasuki Makna
Cinta, Menyelami Kebebasan Manusia, dan Konsep Perbuatan Manusia Menurut
Al-Qur’an.
Model penulisan tafsir semacam ini secara umum terkait dengan basis dan
asal-usul penulisannya, yaitu naskah awalnya berasal dari tugas akademik yang
diharuskan memenuhi standar penulisan ilmiah. Namun demikian, ada pula
tafsir-tafsir yang model penulisannya termasuk dalam jenis ini, tetapi tidak
tumbuh dari tugas akademik di lembaga akademik. Pertama, Dalam Cahaya
Al-Qur’an. Naskah awal tafsir ini merupakan kumpulan tulisan yang ditulis
Syu’bah di majalah Panji Masyarakat dalam rubrik “Dalam Cahaya Al-Qur’an”

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 137


untuk setiap edisi. Dalam tafsir ini Syu'bah banyak mengutip pandangan para
penafsir lain, baik penafsir yang berasal dari Indonesia (seperti Hamka, Mahmud
Yunus, K.H. Bisri Mustofa, dan A. Hassan) maupun penafsir yang berasal dari
luar Indonesia (seperti Sayyid Qutb, al-Zamakhsyarī, al-Ṭabarī, al-Ṭabāṭabā’ī,
al-Ṭūsī, Rasyīd Ridlā, al-Qurṭūbī, al-Qāsimī dan yang lain).
Dalam proses pengutipan pandangan para penafsir tersebut, dalam tafsir
ini Syu'bah memakai teknik penulisan ilmiah, meskipun tidak secara kaku,
yaitu dengan membuat catatan tubuh (bodynote) untuk semua pernyataan atau
pendapat ulama yang dikutip. Informasi yang diberikan dalam catatan tubuh
meliputi: nama penafsir, nomor jilid, dan nomor halaman tafsir. Kutipan berikut
ini merupakan salah satu contoh bentuk tulisan ilmiah yang dipakai dalam
Syu'bah dalam tafsir .

Sebab, kebanyakan mufasir memang mengartikan silm dalam ayat ini


sebagai Islam (Razi, V: 224). Al-'Aufi juga meriwayatkan pendapat lain
dari Ibn Abbas, di samping dari Mujahid, Thawus, Adh-Dhahhak, Ikrimah,
Qatadah, As-Suddi, dan Ibn Zaid, r.a., bahwa silm di situ adalah Islam (Ibn
Katsir, I: 247). Adapun mengenai yang tidak, kita berikan dua contoh.
Pertama, penyerahan diri (Pickthall, 51). Kedua, keselamatan (A. Hassan,
62).128

Oleh karena itu, meskipun tafsir ini penulisannya dikemas dalam model
gaya bahasa kolom, tetapi tampil dengan bentuk penulisan ilmiah. Dengan
demikian, kita bisa menemukan dua hal penting dalam tafsir ini, yaitu: 1)
tafsir-tafsir serta penulisnya yang dirujuk, dan 2) kita bisa membedakan antara
pendapat penulis dengan pendapat para tokoh atau mufasir yang dirujuk.
Kedua, Ensiklopedi Al-Qur’an. Sama dengan Dalam Cahaya Al-Qur’an,
dalam tafsir ini juga digunakan bentuk penulisan ilmiah. Bentuknya dengan
memberikan catatan tubuh (bodynote) di setiap pernyataan dan pendapat tokoh
atau penafsir yang dirujuk. Bedanya, model catatan tubuh yang dipakai lebih
sederhana, yaitu menyebut nama pengarang dan hanya sesekali menampilkan
judul buku yang dirujuk dan tahun penerbitan buku tersebut.129
Dalam beberapa kasus, penggunaan bentuk penulisan ilmiah Ensiklopedi
Al-Qur’an ini tidak konsisten. Sebab, dalam suatu kasus pengutipan pendapat
seorang tokoh maupun penafsir, tidak disertai dengan catatan rujukan,
setidaknya judul buku yang dirujuk. Ini bisa dilihat, misalnya ketika Dawam
berbicara tentang makna fiṭrah.130

Selangkapnya, lihat Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 112.


128

Contohnya, lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, hlm. 245.


129

Lihat, ibid., hlm. 47. Kasus yang sama dapat dilihat, pada halaman 78, 80, 108,
130

109, 136, 155, 164, 167 dan masih banyak lagi.

138 _ Islah Gusmian


Ketiga Tafsir bil Ma’tsur. Tafsir ini, meskipun ilegan dalam penggunaan
redaksi, tetapi di dalamnya dipakai catatan rujukan terhadap beberapa riwayat
yang dikutip di setiap penjelasan terkait suatu hal. Model pemberian catatan
yang digunakan pada tafsir yang ditulis Jalal ini ada dua, yaitu: 1) mirip yang
dilakukan Syu'bah dalam Dalam Cahaya Al-Qur’an, yaitu model catatan tubuh
dengan menginformasikan judul buku, nomor jilid, dan nomor halaman buku;
2) penarasian riwayat yang telah diterjemahkannya dalam bahasa Indonesia
untuk menguraikan sebuah ayat, diberi catatan dengan nomor urut yang
diletakkan di sisi kiri teks. Sedangkan teks aslinya diletakkan di lembar akhir
buku.
Keempat, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat
Beragama. Setiap kali merujuk pada pendapat para ulama tafsir maupun dalam
memberikan pemaknaan atas kosa kata Arab yang dirujuk dari kamus, dalam
tafsir ini selalu diberikan catatan rujukan. Model catatan rujukan yang dipakai
adalah catatan akhir (endnote).
Kelima, Tafsir bi al-Ra’y. Bentuk penulisan ilmiah dalam tafsir ini mirip yang
dipakai dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat
Beragama, yakni memakai catatan rujukan dengan catatan akhir (endnote).
Sedangkan tafsir keenam yang termasuk dalam bentuk penulisan ilmiah ini
adalah Tafsir Sufi Al-Fatihah. yang memakai catatan rujukan dengan model
catatan kaki (footnote).

4.2. Bentuk Penulisan Non Ilmiah


Bagian kedua dari bentuk penulisan tafsir adalah penulisan non ilmiah.
Istilah non ilmiah digunakan di sini untuk menunjuk pada bentuk penulisan
teks tafsir yang tidak memakai kaidah penulisan ilmiah yang di dalamnya
mensyaratkan adanya footnote, endnote, atau bodynote, dalam memberikan
penjelasan atas sumber-sumber yang dirujuk. Meskipun tidak memakai bentuk
penulisan ilmiah, bukan berarti tafsir tersebut, dari sisi isi, dikategorikan tidak
ilmiah. Kategori bentuk ilmiah di sini tidak ada kaitannya dengan produk
penafsiran atau gagasan yang dikemukakan. Kategorisasi ini digunakan dalam
konteks pemetaan bentuk teknis penulisan bukan produk penafsiran.
Secara keseluruhan, tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an yang memakai
bentuk penulisan non ilmiah berjumlah tujuh, yaitu: Tafsir Al-Mishbah, Ayat
Suci dalam Renungan, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Wawasan Al-Qur’an, Memahami
Surat Yaasiin, Tafsir Juz `Amma, Hidangan Ilahi, Al-Qur’an dan Tafsirnya, dan
Tafsir Al-Hijri. Secara keseluruhan, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
lima belas tafsir memakai bentuk penulisan ilmiah dan sembilan di antaranya
lahir dari tugas lembaga akademik, enam tafsir lahir dari luar tugas akademik.
Sedangkan tafsir yang memakai penulisan non ilmiah terdapat sembilan tafsir.
Pemerian ini secara singkat dapat dilihat pada tabel X.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 139


TABEL X
BENTUK PENULISAN TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

NO BENTUK PENULISAN TAFSIR AL-QUR’AN DI


INDONESIA ERA 1990-AN
Bentuk Penulisan Sistematika Asal Mula Tafsir DAN PENAFSIRNYA
1 Ilmiah 1. Catatan 1. Tematik 1. Kumpulan 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an,
perut Modern tulisan; pernah Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik
dipublikasikan di karya Syu’bah Asa
majalah/ jurnal 2. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir
Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci karya M. Dawam
Rahardjo
2. End­note 1. Tematik 1. Kumpulan 1. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan Moral
klasik tulisan; pernah Al-Qur’an karya Jalaluddin
dipublikasikan di Rakhmat
koran
2. Tematik 1. Tulisan utuh; 1. Tafsir Tematik Al-Qur’an
modern sebelumnya tentang Hubungan Sosial
tidak pernah Antarumat Beragama
dipublikasikan karya Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran
Islam PP. Muhammadiyah
2. Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya
Penggalian Konsep Wanita
dalam Al-Qur’an karya
Nashruddin Baidan
2. Skripsi 1. Memasuki Makna Cinta karya
Abdurrasyid Ridha
3. Tesis 1. Menyelami Kebebasan
Manusia, Telaah Kritis
terhadap Konsepsi Al-Qur’an
karya Machasin
2. Disertasi 1. Konsep Perbuatan Manusia
Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
3. Footnote 1. Tematik 1. Tulisan utuh; 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah,
klasik sebelumnya Mukadimah karya Jalaluddin
tidak pernah Rakhmat
dipublikasikan

140 _ Islah Gusmian


2. Tematik 1. Disertasi 1. Tafsir Kebencian karya
modern Zaitunah Subhan
2. Jiwa dalam Al-Qur’an karya
Achmad Mubarok
3. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an
karya Harifuddin Cawidu
4. Manusia Pembentuk
Kebudayaan dalam Al-Qur’an
karya Musa Asy’arie
5. Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
6. Ahl Al-Kitab Makna
dan Cakupannya karya
Muhammad Galib M.
2 Non _ 1. Runtut 1. Tulisan utuh; 1. Tafsir Al-Mishbah, Pesan
Ilmiah sesuai sebelumnya Kesan dan Keserasian Al-
mushḥaf tidak pernah Qur’an karya M. Quraish
dipublikasikan Shihab
1. Ayat Suci dalam Renungan
karya Moh. E. Hasim
2. Al-Qur’an dan Tafsirnya karya
Tim Badan Wakaf UII
2. Runtut 2. Dipublikasikan di 1. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,
sesuai majalah Amanah Tafsir atas Surat-surat Pendek
turunnya Berdasarkan Quraish Shihab
wahyu
3. Tematik 1. Kumpulan makalah; 1. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir
modern pernah sampaikan Maudhu’i atas Pelbagai
dalam acara Persoalan Umat, karya M.
pengajian Quraish Shihab
4. Tematik 1. Kumpulan 1. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat
klasik tulisan; pernah Tahlil karya M. Quraish
diceramahkan Shihab
dalam acara 2. Tafsir Al-Hijri , Kajian Tafsir
pengajian Al-Qur’an Surat An-Nisa’
karya Didin Hafidhuddin
2. Sebelumnya 1. Memahami Surat Yaasiin
belum pernah karya Radiks Purba
dipublikasikan 2. Tafsir Juz `Amma karya
Rafi’uddin dan Edham Syifa’i

5. Kepenulisan Tafsir Al-Qur’an


Secara teknis, praktik penulisan (authorship) tafsir Al-Qur'an bisa dilakukan
oleh satu orang atau lebih dan bahkan dengan membentuk tim atau panitia
khusus. Dalam konteks kepenulisan tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an
secara umum terperikan menjadi dua, yaitu kepenulisan tafsir individual dan
kepenulisan tafsir kolektif atau tim.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 141


5.1. Kepenulisan Individual
Istilah kepenulisan individual digunakan di sini untuk menunjuk pada
tafsir Al-Qur'an yang ditulis oleh satu orang. Dalam tradisi dan sejarah tafsir
Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an, kepenulisan individual secara umum
terdapat pada tafsir yang tumbuh dari tugas akademik. Terdapat sembilan tafsir
yang ditulis oleh satu penulis dan berasal dari kepentingan akademik: tujuh
di antaranya berasal dari disertasi, dan dua tafsir lainnya masing-masing dari
skripsi dan tesis. Tafsir-tafsir yang berasal dari skripsi adalah Memasuki Makna
Cinta; yang berasal dari tesis adalah Menyelami Kebebasan Manusia; dan yang
berasal dari disertasi adalah Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an,
Tafsir Kebencian, Jiwa dalam Al-Qur’an, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Argumen Kesetaraan Jender, dan Ahl
Al-Kitab Makna dan Cakupannya.
Sedangkan tafsir yang ditulis secara individual yang berasal dari luar dunia
akademik jumlahnya enam tafsir. Jumlah ini terdiri dari tafsir yang asal-usulnya
beragam, yaitu: bahan-bahannya pernah diceramahkan, dipublikasikan di media
massa (koran, majalah maupun jurnal), serta bahan kajian utuh yang ditulis
secara khusus. Kategori tafsir yang pernah diceramahkan adalah Hidangan
Ilahi, Tafsir Al-Hijri; yang ditulis di media massa adalah Tafsir bil Ma’tsur, Dalam
Cahaya Al-Qur’an, dan Ensiklopedi Al-Qur’an. Adapun tafsir yang ditulis dengan
bahan kajian secara utuh serta secara khusus ada dua, yaitu Tafsir bi al-Ra’yi,
dan Memahami Surat Yaa siin.

5.2. Kepenulisan Kolektif


Kategori kepenulisan tafsir yang kedua adalah kepenulisan kolektif.
Kepenulisan kolektif adalah kepenulisan tafsir Al-Qur'an yang dilakukan
oleh lebih satu orang. Dalam kategori ini, terdiri dari dua bagian, yaitu: 1)
kepenulisan tafsir kolektif resmi, dan 2) kepenulisan tafsir kolektif tidak resmi.
Kepenulisan tafsir kolektif resmi adalah kepenulisan tafsir yang dibentuk secara
resmi oleh lembaga pemerintah atau non pemerintah dalam bentuk tim atau
panitia khusus, dalam rangka menulis tafsir. Ada dua tafsir yang termasuk
dalam jenis ini. Pertama, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial
Antarumat Beragama. Tafsir ini disusun oleh tim yang dibentuk oleh Majelis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Namun, tidak diuraikan dengan jelas, nama-nama yang terlibat dalam proyek
penyusunan tafsir yang menggunakan model penyajian tematik ini. Kedua, Al-
Qur’an dan Tafsirnya. Tafsir ini disusun oleh tim yang secara khusus dibentuk
oleh Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Tafsir Al-Qur’an dan Tafsirnya ini merupakan edisi revisi dari Al-Qur’an dan
Tafsirnya yang disusun oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Dijelaskan
pada jilid 1 tafsir ini, edisi revisi ini mempunyai tim khusus, terdiri dari: Prof.
H. Zaini Dahlan, MA., Drs. H. Zuhad Abdurrahman, Drs. H. Kamal Muchtar, Ir.

142 _ Islah Gusmian


RHA. Sahirul Alim, M.Sc., Hifni Muchtar, L.ph., MA., Drs. H. Muhadi Zainuddin,
L.Th., Drs. H. Hasan Kharomen, dan Drs. H. Darwin Harsono. Adapun sekretaris
tim adalam Drs. H.AF. Djunaidi, Drs. Azharuddin Sahil, dan Hisyam Azwardi, BA.
Tafsir ini ditaṣḥih oleh tim pentashihan Departemen Agama Republik Indonesia,
terdiri dari: Drs. HA. Hafizh Dasuki, MA., Drs. H. Alhumam Mz., Drs. E. Badri
Yunardi, Drs. M. Syatibi AH., Drs. M. Shohib Tohar, Drs. Mazmur Sya`roni, dan
Drs. H. Bunyamin Surur.131
Selanjutnya, bentuk kepenulisan tafsir kolektif yang disusun tidak oleh
lembaga formal dan terdiri dari dua orang penulis tafsir. Dalam kategori ini,
ada satu tafsir, yaitu Tafsir Juz `Amma yang ditulis oleh Rafi’uddin dan Edham
Syifa’i. Pada Tabel XI kita bisa melihat penjelasan di atas secara singkat.

TABEL XI
KEPENULISAN TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

KEPENULISAN TAFSIR
TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA ERA
NO Asal Mula Tafsir dan
Penafsir 1990-AN DAN PENAFSIRNYA
Ragam Bentuknya
1 Indi­ 1. Karya 1. Skripsi 1. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid
vidual akademik Ridha
2. Tesis 1. Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah
Kritis terhadap Konsepsi Al-Qur’an karya
Machasin
3. Disertasi 1. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-
Qur’an karya Jalaluddin Rahman
2. Tafsir Kebencian karya Zaitunah Subhan
3. Jiwa dalam Al-Qur’an karya Achmad
Mubarok
4. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya
Harifuddin Cawidu
5. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an karya Musa Asy’arie
6. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-
Qur’an karya Nasaruddin Umar
7. Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya karya
Muhammad Galib M.
2. Karya non 1. Tematik 1. Kumpulan 1. Hidangan Ilahi, Ayat-
akademik klasik ceramah ayat Tahlil karya M.
Quraish Shihab
2. Tafsir Al-Hijri, Kajian
Tafsir Al-Qur’an Surat
An-Nisa’ karya Didin
Hafidhuddin

Lihat, Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, 1: v.


131

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 143


2. Dipubli­kasi­ 1. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan
kan di koran Moral Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rakhmat
3. Tulisan utuh; 1. Memahami Surat Yaa
sebelumnya siin karya Radiks Purba
tidak dipubli­ 2. Tafsir Sufi Al-Fatihah
kasikan 1 karya Jalaluddin
Rakhmat
2. Tematik 1. Tulisan utuh 1. Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya
modern sebelumnya Penggalian Konsep
tidak dipubli­ Wanita dalam Al-Qur’an
kasikan karya Nashruddin
Baidan
2. Dipublikasi­ 2. Dalam Cahaya Al-
kan di majalah Qur’an, Tafsir Ayat-ayat
Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
3. Wawasan Al-Qur’an
Karya M. Quraish
Shihab
3. Dipublikasi­ 1. Ensiklopedi Al-
kan di Jurnal Qur’an, Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci karya M.
Dawam Rahardjo
3. Runtut 1. Tafsir Al-Quran Al-
Karim, Tafsir atas
Surat-surat Pendek
Berdasarkan Turunnya
Wahyu karya M.
Quraish Shihab
2. Ayat Suci dalam
Renungan karya Moh.
E. Hasim
3. Tafsir Al-Mishbah karya
M. Quraish Shihab
2 Kolektif 1. Tim 1. Tematik 1. Sebelumnya 1. Tafsir Tematik Al-
disusun modern tak dipubli­ Qur’an Tentang
khusus & kasi­kan Hubungan Sosial
resmi Antarumat Beragama
karya Majelis Tarjih
dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP.
Muhammadiyah
2. Runtut 1. Sebelumnya 1. Al-Qur’an dan Tafsirnya
sesuai tak dipubli­ karya Tim Badan
mushaf kasikan Wakaf UII
2. Kolektif/ 1. Tematik 1. Tulisan utuh; 1. Tafsir Juz `Amma karya
tidak klasik sebelumnya Rafi’uddin dan Edham
resmi tak diterbit­ Syifa’i
kan

144 _ Islah Gusmian


6. Basis Keilmuan Penafsir Al-Qur’an
Penulisan tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an, secara umum lahir
dari rahim dunia akademik (perguruan tinggi), demikian juga penulis tafsir.
Dari sembilan belas penulis tafsir Al-Qur'an—ini belum termasuk penulis
dalam tim yang dibentuk secara formal—dua belas orang di antaranya adalah
lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN): sembilan orang adalah doktor dari
IAIN Jakarta dan tiga orang lainnya dari IAIN Yogyakarta: satu orang lulusan
magister (S2) ketika tafsirnya diterbitkan, dan dua orang yang lain lulusan
sarjana (S1). Gelar yang disebut di sini secara umum diperoleh setelah tafsirnya
selesai ditulis. Hal ini terjadi karena tafsir mereka ini disusun dalam rangka
memperoleh gelar akademik di lembaga akademik. Perkecualian bagi penulis
yang karya tafsirnya disusun bukan dalam rangka memperoleh gelar akademik.
Mereka yang berasal dari IAIN ini, secara umum menggeluti bidang kajian
keislaman, tetapi mempunyai spesialisasi ilmu yang beragam. Musa Asy`arie,
yang jenjang sarjananya diselesaikan di IAIN Yogyakarta dan jenjang doktor
juga di IAIN yang sama, adalah dosen di bidang filsafat Islam. Syu`bah Asa, juga
lulusan IAIN Yogyakarta. Pada mulanya ia dikenal sebagai seorang wartawan,
kolomnis dan analis masalah kesusastraan, film, serta teater. Namun, karena
latar belakang santri yang melekat pada dirinya, ia piawai dalam menguraikan
makna dan pesan Tuhan dalam Al-Qur’an. Machasin, lulusan IAIN Yogyakarta,
adalah ahli di bidang Ilmu Kalam, bahasa dan sastra Arab. Muhammad Galib M,
Harifuddin Cawidu, Jalaluddin Rahman, Nashruddin Baidan, Didin Hafidhuddin
(kelimanya lulusan pascasarjana IAIN Jakarta), dan Abdurrasyid Ridha sarjana
dari IAIN Yogyakarta, dikenal sebagai intelektual yang menseriusi pada kajian
Al-Qur’an. Sedangkan Zaitunah Subhan dan Nasaruddin Umar, keduanya lulusan
IAIN Jakarta, dikenal sebagai intelektual yang menggeluti kajian kesetaraan
gender dan perempuan dalam perspektif Islam. Sedangkan Achmad Mubarok,
juga lulusan S3 IAIN Jakarta, dikenal sebagai intelektual yang menggeluti
masalah psikologi Islam dan tasawuf.
Di luar dari dua belas penulis tafsir di atas, ada dua penulis tafsir lain, yang
bila dilihat dari gelar yang dimilikinya mereka pernah belajar di IAIN, yaitu
Rafi’uddin dan Edham Syifa’i. Namun, tidak ada data yang bisa dirujuk yang
dapat memberikan informasi secara akurat di IAIN mana mereka berdua ini
pernah menimba ilmu.
Di luar dari nama-nama di atas terdapat lima penulis tafsir yang secara
akademik mereka bukanlah alumni IAIN. Pertama, seorang penulis dengan
latar belakang disiplin ilmu tafsir, yaitu M. Quraish Shihab—mahaguru tafsir Al-
Qur'an di Indonesia. Ia adalah doktor lulusan Universitas Al-Azhar Mesir dalam
bidang tafsir. Kedua, Jalaluddin Rakhmat, lulusan Iowa State University, Ames,
Iowa. Jalal adalah pakar di bidang ilmu komunikasi yang menseriusi kajian
sosial keislaman, khususnya masalah Islam Syiah, tasawuf, dan tafsir Al-Qur’an.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 145


Jalal sangat mahir dalam mengakses berbagai literatur asing, tidak hanya yang
berbahasa Arab dan Inggris, tapi juga Persia. Ketiga, seorang penulis tafsir
dengan latar belakang keilmuan di bidang ilmu ekonomi. Dia adalah M. Dawam
Rahardjo, lulusan jurusan ekonomi UGM. Ia lebih dikenal sebagai ekonom dan
analisis masalah sosial, ketimbang islamolog apalagi di bidang tafsir Al-Qur'an.
Sedangkan dua penulis tafsir lainnya tidak terdapat data terkait dengan bidang
ilmu yang mereka ditekuni. Mereka adalah Radiks Purba dan Moh. E. Hasim.
Terkait dua penulis ini, tidak tersedia data mengenai asal usul pendidikannya,
maupun konsern serta disiplin keilmuannya. Hasim dikenal sebagai seorang
otodidak yang menguasai banyak bahasa dan konsern dengan kajian-kajian
keislaman.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar belakang keilmuan
para penulis tafsir di Indonesia era 1990-an sangatlah beragam. Namun, secara
umum mereka itu dibesarkan dalam tradisi pendidikan formal di lembaga
pendidikan akademik. Bila pada generasi 1970-an, tafsir Al-Qur’an pernah
tumbuh dari tangan seorang otodidak, seperti Hamka, pada generasi 1990-
an tafsir Al-Qur’an lahir dari para akademisi yang tumbuh di lembaga formal,
khususnya lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam.
Satu hal menarik yang juga perlu dicatat bahwa pada era 1990-an di
Indonesia telah tumbuh beragam latar belakang penulis tafsir. Intelektual
muslim yang tidak mempunyai latar belakang keilmuan di bidang Al-Qur’an,
seperti Dawam Rahardjo, iku ambil peran di dalam penulisan tafsir Al-Qur'an.
Meskipun Ensiklopedi Al-Qur’an yang dia tulis itu oleh sebagian orang tidak
sependapat bila disebut tafsir, namun dengan percaya diri Dawam menyebutnya
sebagai tafsir. Dalam kasus ini, Quraish lebih suka menyebut buku yang ditulis
Dawam itu sebagai pemahaman atas Al-Qur’an dari seorang ahli ilmu-ilmu
sosial.132 Penjelasan tentang latar belakang keilmuan penafsir di atas, secara
padat bisa dilihat pada tabel XII.

TABEL XII
BASIS KEILMUAN PENAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

TAFSIR AL-QUR’AN
DI INDONESIA
NO PENAFSIR KEILMUAN PENAFSIR
ERA 1990-AN DAN
PENAFSIRNYA
1 Abdurrasyid Ridha Sarjana bidang Tafsir Hadis Fakultas 1. Memasuki Makna
Ushuluddin IAIN Yogyakarta Cinta

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, hlm. xx.


132

146 _ Islah Gusmian


2 Achmad Mubarok Sarjana bidang Perbandingan Agama 1. Jiwa dalam Al-
Fakultas Ushuluddin Pascasarjana IAIN Qur’an
Jakarta
3 Didin Hafidhuddin Tafsir dan Pendidikan Islam. Konsern 1. Tafsir al-Hijri, Kajian
dalam kajian pemberdayaan ekonomi Tafsir Al-Qur’an
umat. Lulusan Pascasarjana IAIN Jakarta Surat an- Nisa’
4 Edham Syifa`i Tidak terdapat data terkait dengan 1. Tafsir Juz Amma
keilmuannya; mengacu pada gelar Drs dan disertai Asbabun
K.H. patut diduga ia pernah kuliah di IAIN Nuzul
dan atau nyantri di pesantren
5 Harifuddin Cawidu Konsern dalam kajian tafsir; sarjana 1. Konsep Kufr dalam
Akidah Filsafat IAIN Ujungpandang dan Al-Qur’an
Pascasarjana IAIN Jakarta
6 Jalaluddin Rahman Konsern dalam kajian Qur’an; lulusan 1. Konsep Perbuatan
Pascasarjana IAIN Jakarta Manusia Menurut Al-
Qur’an
7 Jalaluddin Rakhmat Pakar ilmu komunikasi lulusan Iowa State 1. Tafsir Sufi Al-
University, Ames, Iowa; juga menseriusi Fatihah, Mukadimah
kajian sosial keislaman, khususnya bidang 2. Tafsir bil Ma’tsur,
tasawuf dan Al-Qur’an Pesan Moral Al-
Qur’an
8 Machasin Konsern dalam kajian Kalam dan 1. Menyelami
bahasa Arab. Lulusan Pascasarjana IAIN Kebebasan Manusia,
Yogyakarta Telaah Kritis
terhadap Konsepsi
Al-Qur’an
9 M. Dawam Sarjana ekonomi UGM Yogyakarta; aktif 1. Ensiklopedi Al-
Rahardjo dalam kajian sosial; memberanikan diri Qur’an Tafsir Sosial
dalam kajian Al-Qur’an Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci
10 M. Quraish Shihab Pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an; lulusan 1. Tafsir Al-Qur’an
Universitas Al-Azhar Kairo jurusan tafsir Al-Karim, Tafsir
atas Surat-surat
Pendek Berdasarkan
Turunnya Wahyu
2. Tafsir Al-Mishbah,
Pesan Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an
3. Hidangan Ilahi, Ayat-
ayat Tahlil
4. Wawasan Al-Qur’an,
tafsir Maudlu`i atas
Pelbagai Persoalan
Umat
11 Muhammad Galib Konsern dalam kajian tafsir Al-Qur’an; 1. Ahl Al-Kitab Makna
M lulusan Pascasarjana IAIN Jakarta dan Cakupannya
12 Musa Asy`arie Ahli di bidang filsafat Islam; lulusan 1. Manusia Pembentuk
Pascasarjana IAIN Jakarta Kebudayaan dalam
Al-Qur’an
13 Moh. E. Hasim Otodidak. Dalam beberapa sumber 1. Ayat Suci dalam
disebutkan sebagai penulis di bidang sosial Renungan
keagamaan

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 147


14 Nasaruddin Umar Konsern dalam kajian gender dalam 1. Argumen Kesetaraan
perspektif Islam. Lulusan Pascasarjana Jender Perspektif Al-
IAIN Jakarta, Guru Besar bidang Tafsir di Qur’an
IAIN Jakarta
15 Nashruddin Baidan Ahli di bidang ilmu tafsir; doktor lulusan 1. Tafsir bi al-Ra`yi,
Pascasarjana IAIN Jakarta bidang Tafsir; Upaya Penggalian
Guru Besar bidang Tafsir Konsep Wanita
dalam Al-Qur’an
16 Radiks Purba Tidak terdapat data 1. Memahami Surat
Yaasiin
17 Rafiuddin Tidak terdapat data; mengacu pada gelar 1. Tafsir Juz Amma
S.Ag Patut diduga ia lulusan PTKI disertai Asbabun
Nuzul
18 Syu’bah Asa Sastrawan dan teaterawan yang 1. Dalam Cahaya al-
menggemari kajian sosial, politik dan Qur’an Tafsir Ayat-
keislaman. Lulusan IAIN Yogyakarta ayat Sosial Politik
19 Zaitunah Subhan Konsern dalam kajian tentang perempuan; 1. Tafsir Kebencian
Doktor lulusan Pascasarjana IAIN Jakarta

7. Asal Mula Tafsir Al-Qur'an


Tafsir Al-Qur’an di Indonesia yang dipublikasikan pada era 1990-an, dari
sisi asal usulnya, terdiri dari dua bentuk. Pertama, tafsir yang asal mulanya
ditulis untuk kepentingan akademik di Perguruan Tinggi, seperti skripsi, tesis,
dan disertasi. Kedua, tafsir yang ditulis bukan untuk memenuhi tugas akademik
di perguruan tinggi. Untuk kategori yang kedua ini penulisan tafsir sebagai salah
satu ekspresi umat Islam dalam memahami pesan-pesan yang terkandung di
dalam Al-Qur'an.

7.1. Tugas Akademik di Lembaga Akademik


Perguruan tinggi agama Islam merupakan ruang di mana praktik
penafsiran tumbuh. Pertumbuhannya ini sebagai salah satu bagian kewajiban
yang ditunaikan oleh mahasiswa untuk meraih gelar akademik. Tafsir-tafsir
yang awal mulanya lahir dari tugas akademik ini, ditulis dengan komprehensif,
baik dari segi isi, model penulisan, dan bahasa yang digunakan. Hal ini terjadi,
karena dalam dunia akademik, beberapa persyaratan, baik dari segi bentuk
penulisan, bahasa, serta analisis yang digunakan, menjadi prasyarat utama
yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa. Oleh sebab itu, tafsir-tafsir di
Indonesia yang berasal dari tugas akademik mempunyai beberapa kelebihan,
yaitu dari segi bentuk penulisan, teori, dan analisis yang digunakan.
Tafsir-tafsir yang termasuk dalam kategori ini terbagi dalam beberapa
bagian. Pertama, tafsir yang berasal dari naskah skripsi, yaitu Memasuki Makna
Cinta. Tafsir ini adalah skripsi yang ditulis Abdurrasyid Ridha di jurusan Tafsir
Hadis IAIN Sunan Kalijaga dan dimunaqosahkan pada 1996. Empat tahun
berselang, naskah skripsi ini dipublikasikan secara umum oleh penerbit Pustaka

148 _ Islah Gusmian


Pelajar Yogyakarta, dan disunting oleh Kamdani, seorang alumnus fakultas
Ushuluddin yang bekerja sebagai editor di penerbit Pustaka Pelajar.
Kedua, tafsir yang berasal dari naskah tesis, yaitu Menyelami Kebebasan
Manusia. Tafsir ini adalah tesis yang ditulis Machasin di Program Magister IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Naskah tesis ini ditulis selama 3 tahun, selesai pada
1988. Delapan tahun berselang, yaitu pada 1996, ia diterbitkan oleh penerbit
Pustaka Pelajar Yogyakarta, disunting oleh Kuswaidy Syafi`ie, yang ketika
itu masih sebagai mahasiswa di fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Ketiga, tafsir yang berasal dari naskah disertasi. Pada bagian ini, ada tujuh
tafsir, yaitu: 1) Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Tafsir ini berasal dari naskah
disertasi yang ditulis Cawidu di IAIN Jakarta dan diujikan di depan dewan penguji
pada 1989. Dua tahun berselang, yaitu tahun 1991, naskah itu diterbitkan
oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta; 2) Konsep Perbuatan Manusia Menurut
Al-Qur’an. Tafsir ini berasal dari naskah disertasi yang ditulis oleh Jalaluddin
Rahman di IAIN Jakarta. Naskah disertasi tersebut selesai ditulis dan diujikan
pada 1988. Dua tahun berselang, yaitu pada 1992, naskahnya diterbitkan oleh
penerbit Bulan Bintang Jakarta; 3) Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-
Qur’an. Tafsir ini berasal dari naskah disertasi yang ditulis oleh Musa Asy’arie
di IAIN Yogyakarta. Naskah disertasi ini diujikan pada 1991. Setahun berselang,
ia diterbitkan oleh penerbit Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI) Yogyakarta;
4) Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya. Tafsir ini berasal dari naskah disertasi
yang ditulis oleh Muhammad Galib M di IAIN Jakarta dan diujikan pada 1997.
Pada akhir 1998 naskahnya diterbitkan oleh penerbit Paramadina Jakarta;
5) Jiwa dalam Al-Qur’an. Tafsir ini berasal dari naskah disertasi yang ditulis
Mubarok di IAIN Jakarta, diujikan pada 1998. Dua tahun berselang, yaitu tahun
2000, diterbitkan oleh Penerbit Paramadina Jakarta; 6) Tafsir Kebencian. Tafsir
ini berasal dari naskah disertasi yang ditulis oleh Zaitunah Subhan di IAIN
Jakarta dan diujikan pada 1998. Setahun berselang, dengan disunting M. Imam
Aziz, naskah ini diterbitkan oleh penerbit LKiS Yogyakarta; dan 7) Argumen
Kesetaraan. Tafsir ini berasal dari naskah disertasi yang ditulis oleh Nasaruddin
Umar di IAIN Jakarta dan diujikan pada 1999. Pada tahun yang sama naskahnya
diterbitkan oleh penerbit Paramadina Jakarta, dan diberi Kata Pengantar oleh
M. Quraish Shihab.
Dari keseluruhan tafsir yang berasal dari tugas akademik untuk memperoleh
gelar akademik tersebut secara umum memakai model penyajian tafsir tematik.
Tiga di antaranya berasal dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dan selebihnya dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7.2. Ruang Non Akademik


Kategori kedua terkait asal mula tafsir di Indonesia adalah tafsir yang ditulis
di luar dari kepentingan atau tugas akademik untuk meraih gelar akademik.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 149


Meskipun ditulis bukan dalam konteks kepentingan akademik tersebut, tafsir-
tafsir yang termasuk dalam kategori ini bukan berarti tidak ilmiah, baik dari sisi
bentuk penulisan, bahasa maupun analisis yang digunakan. Sebab, tafsir-tafsir
dalam kategori ini, secara substansial juga merupakan karya ilmiah dan ditulis
dengan nalar ilmiah.
Ada tiga kategori asal mula dari tafsir-tafsir yang non akademik ini.
Pertama, tafsir yang berasal dari tulisan yang sebelum dipublikasikan dalam
bentuk buku pernah dipublikasikan, yaitu: 1) di koran, yaitu Tafsir bil Ma’tsur
dipublikasikan di harian Republika rubrik “Marhaban Ya Ramadlan”; 2)
di majalah, yaitu Dalam Cahaya Al-Qur’an dipublikasikan di Majalah Panji
Masyarakat, dalam rubrik “Dalam Cahaya Al-Qur’an”, dan Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim dipublikasikan di Majalah Amanah dalam rubrik “Tafsir Al-Amanah”; dan
3) di Jurnal, yaitu Ensiklopedi Al-Qur’an dipublikasikan di Jurnal Ulumul Qur’an
dalam rubrik “Ensiklopedi Al-Qur’an”.
Kedua, tafsir-tafsir yang ditulis oleh tim yang disusun oleh suatu lembaga
tertentu. Tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah: 1) Tafsir Tematik Al-
Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat beragama ditulis oleh tim Majelis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tafsir ini sebagai salah satu bentuk kepedulian lembaga Muhammadiyah dalam
memberikan sumbangan pikiran terhadap bangsa Indonesia yang sedang
dibelit persoalan hubungan antarumat beragama yang memprihatinkan, dan
2) Al-Qur’an dan Tafsirnya ditulis oleh tim yang dibentuk secara khusus oleh
Badan Wakaf Universitas Islam Yogyakarta.
Ketiga, tafsir yang berasal dari naskah-naskah ceramah yang disampaikan
pada khalayak. Tafsir yang termasuk dalam bagian ini adalah: 1) Hidangan
Ilahi karya Quraish. Bahan-bahan dalam buku ini pada mulanya diceramahkan
dalam acara tahlilan atas kematian Ibu Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto di
kediaman Presiden Soeharto; 2) Tafsir Al-Hijri karya Didin Hafidhuddin. Tafsir
ini bermula dari naskah-naskah yang diceramahkan Didin di depan jama’ah
masjid Al-Hijri Universitas Ibn Khaldun Bogor, setiap Ahad pagi. Ceramahnya ini
direkam dan ditulis-ulang oleh Dedi Nugraha SE., santri pesantren Ulil Albaab,
serta disunting oleh Didin Saefuddin Buchori, MA.; dan 3) Wawasan Al-Qur’an
karya Quraish. Materi tafsir ini secara tematik sebelum diterbitkan disampaikan
Quraish dalam Pengajian Istiqlal untuk para eksekutif.
Keempat, tafsir yang ditulis—secara individual maupun kolektif—bukan
atas inisiatif suatu lembaga, atau demi kepentingan publikasi di media massa,
maupun untuk diceramahkan. Tafsir yang termasuk dalam bagian ini adalah
Ayat Suci dalam Renungan, Tafsīr Al-Mishbāh, Memahami Surat Yaasiin, Tafsir
Sufi Surat Al-Fatihah, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Juz `Amma.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kategori asal mula
tafsir non akademik terdiri dari satu tafsir berasal dari artikel di koran harian,

150 _ Islah Gusmian


dua tafsir berasal dari artikel di majalah, satu tafsir berasal dari artikel di jurnal,
dua tafsir ditulis demi kepentingan kelembagaan, tiga tafsir materinya pernah
diceramahkan di hadapan audiens umat Islam, dan enam tafsir yang sejak awal
ditulis dalam bentuk buku. Secara ringkas hal tersebut bisa dilihat pada tabel
XIII.

TABEL XIII
ASAL-MULA TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

ASAL-MULA TAFSIR AL- TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA ERA 1990-AN DAN


NO
QUR’AN PENAFSIRNYA
1 Tugas 1. Skripsi 1. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid Ridha
Akademik 2. Tesis 1. Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis terhadap
Konsepsi Al-Qur’an karya Machasin
3. Disertasi 1. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
2. Tafsir Kebencian karya Zaitunah Subhan
3. Jiwa dalam Al-Qur’an karya Achmad Mubarok
4. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
5. Manusia Pembentuk Kebudayaan da-lam Al-Qur’an karya
Musa Asy’arie
6. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
7. Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya karya Muhammad Galib
M.
2 Non 1. Artikel di 1. Republika rubrik 1. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan Moral
akademik koran “Marhaban Ya Al-Qur’an karya Jalaluddin
Ramadlan” Rakhmat
2. Artikel di 1. Panji Masyarakat Rubrik 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir
Majalah “Dalam Cahaya Al- Ayat-ayat Sosial Politik karya
Qur’an” Syu’bah Asa
2. Amanah dalam rubrik 2. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,
“Tafsir Al-Amanah” Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Turunnya Wahyu
karya M. Quraish Shihab
3. Artikel di 1. Ulumul Qur’an Rubrik 1. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir
Jurnal “Ensiklopedi Al-Qur’an“ Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci karya M. Dawam
Rahardjo
4. Ditulis atas 1. Majelis Tarjih dan 1. Tafsir Tematik Al-Qur’an
kepentingan Pengembangan tentang Hubungan Sosial
kelembagaan Pemikiran Islam PP. Antarumat beragama, karya
Muhammadiyah Tim Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran
Islam PP. Muhammadiyah
2. Kampus UII Yogyakarta 2. Al-Qur’an dan Tafsirnya karya
Tim Badan Wakaf UII

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 151


5. Diceramah­ 1. Acara tahlilan atas 1. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat Tahlil
kan di depan kematian Ibu Hj. karya M. Quraish Shihab
khalayak Fatimah Siti Hartinah
Soeharto di kediaman
Presiden Soeharto
2. Jama’ah masjid Al-Hijri 1. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir
Universitas Ibn Khaldun Al-Qur’an Surat An-Nisa’ karya
Bogor Didin Hafidhuddin
3. Pengajian Istiqlal untuk 1. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir
para eksekutif Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat karya M.
Quraish Shihab
6. Ditulis 1. Individual 1. Runtut 1. Ayat Suci dalam Renungan
sebagai Mushaf karya Moh. E. Hasim
buku utuh/ 2. Tafsir Al-Mishbah, Kesan Pesan
sebelumnya dan Keserasian Al-Qur’an
tidak karya. M. Quraish Shihab
dipublika­ 2. Tematik 1. Memahami Surat Yaasiin karya
sikan klasik Radiks Purba
2. Tafsir Sufi Surat Al-Fatihah,
Mukadimah karya Jalaluddin
Rakhmat
3. Tematik 1. Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya
modern Penggalian Konsep Wanita
singular dalam Al-Qur’an karya
Nashruddin Baidan
2. Kolektif 2. Tafsir Juz `Amma karya
Rafi’uddin dan Edham Syifa’i

8. Sumber-Sumber Rujukan
Tafsir-tafsir yang digunakan sebagai rujukan oleh penulis tafsir di Indonesia
era 1990-an , sangat beragam, baik dari sisi bahasa maupun generasi dan aliran
tafsir. Pada konteks ini, tafsir berbahasa Arab yang banyak dirujuk adalah,
pertama, Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm (Tafsīr Al-Manār) karya Rasyīd Riḍā. Tafsir
ini dirujuk oleh empat belas tafsir Al-Qur’an di Indonesia.
Kedua, Jāmi` al-Bayān karya al-Ṭabarī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān karya
al-Ṭabāṭabā’ī, al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Qur’ān al-`Aẓīm karya
Ibn Katsīr, dan Tafsīr al-Marāghī karya al-Marāghī. Masing-masing tafsir ini
dirujuk oleh sebelas tafsir. Ketiga, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, karya Sayyid Quṭb, dan Jāmi’
li Aḥkām al-Qur’ān karya al-Qurṭūbī, masing-masing dirujuk oleh sepuluh tafsir.
Keempat, al-Tafsīr al-Kabīr karya al-Rāzī dirujuk oleh sembilan tafsir.
Kelima, Rūḥ al-Ma`ānī karya al-Alūsī, dirujuk oleh enam tafsir. Keenam, Anwār
al-Tanzīl karya al-Bayḍāwī, dan Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm karya Syalṭūṭ. Masing-
masing dirujuk oleh lima tafsir.

152 _ Islah Gusmian


Ketujuh, Rawā’i` al-Bayān karya al-Ṣābūnī, Majma` al-Bayān karya al-
Ṭabarsī, dan Tafsīr Rūḥ al-Bayān karya al-Burusawi. Masing-masing dirujuk
oleh empat tafsir.
Kedelapan, Tafsīr al-Jalālayn karya al-Suyūṭī dan al-Maḥallī, al-Durr al-
Mantsūr karya al-Suyūṭī, Tafsīr Fatḥ al-Qadīr karya al-Syawkanī, Naẓm al-Durar
karya al-Biqā’ī, Maḥāsin al-Ta’wīl karya al-Qāsimī, dan Tafsīr al-Baḥr al-Muḥīṭ
karya Yūsuf al-Garnaṭi al-Andalusī, Tafsīr Abī al-Su`ūd karya al-Saud, dan Tafsīr
al-Qur’ān al-Karīm Juz `Amma karya Muḥammad `Abduh. Masing-masing dirujuk
oleh tiga tafsir.
Sembilan, al-Tafsīr al-Munīr karya Waḥbah Zuhayli, Aḥkām al-Qur’ān karya
Ibn `Arabī, Gharā’ib al-Qur’ān karya al-Naysabūrī, al-Tibyān fī Tafsīr al-Qur’ān
karya al-Ṭūsī, Tafsīr Sūrāt al-Mā`ūn al-Kawtsar al-Kāfirūn karya Muḥammad
Mutawallī al-Sya`rawī, Al-Jawāhir karya Ṭanṭawī Jauharī, Maqāl fī al-Insān,
karya `Aisyah bint al-Syāṭi`, Marah Labīd karya Nawawī al-Jāwī, dan Ṣafwah
al-Tafāsīr karya al-Ṣābūnī. Masing-masing dirujuk oleh dua tafsir.
Kesepuluh, Tafsīr al-Mawardī karya al-Mawardī, Lubāb al-Ta’wīl karya al-
Khāzin, Maḥāsin al-Ta’wīl karya al-Qāsimī, Madārik al-Tanzīl karya al-Nasafī,
Tafsīr Fātiḥah al-Kitāb wa Juz `Amma karya Aḥmad Ḥusain, Tafsīr al-Farīd karya
`Abdul Mun`īm al-Jamāl, Fatḥ al-Bayān karya Ṣadīq Ḥasan Khan, Al-Qur’ān fī
Syarḥ al-Qur’ān karya `Abdul Ḥalīm Maḥmūd, Tafsīr al-Fātiḥah karya M. Rasyīd
Ridlā, Tafsīr Āyāt al-Aḥkām karya Muḥammad `Alī al-Sais, al-Wasīṭ karya al-
Wāḥidī, Tafsīr al-Baghawī karya al-Baghawī, Tafsīr Sūrah al-Fātiḥah karya
Sayyid Ja`far Murtadlā Amilī, Tafsīr al-Muḥīṭ al-`Aẓam karya Sayyid Haidar
Amulī, Tafsīr Adabī wa `Irfānī Qur’ān-e Majid karya Khajah `Abdullah Anṣārī,
I`jāz al-Qur’ān fī Ta`wīl ‘Umm al-Qur’ān karya Ṣadruddīn al-Qunawī, al-Furqān
fī Tafsīr al-Qur’ān karya Muḥammad Ṣādiqī, Tafsīr min Fātiḥah al-Kitāb karya
Muḥammad Yazdi, Tafsīr al-Baḥr al-Muḥīṭ karya Abū Ḥaiyān, Aḥkām al-Qur’ān
karya Abū Bakr al-Jaṣṣāṣ, dan al-Shabr fī al-Qur’ān al-`Azhīm karya Yūsuf
Qardlawī. Masing-masing dirujuk oleh satu tafsir.
Bagian kedua, tafsir-tafsir yang dirujuk berbahasa Inggris. Ada enam tafsir
yang dirujuk dalam bagian ini, yaitu: 1) Major Themes of the Qur’an karya Fazlur
Rahman, dirujuk oleh tujuh tafsir; 2) Ethico-Religious Concepts in the Qur’an
karya Toshihiko Izutsu, dirujuk oleh empat tafsir; 3) The Glorious Kuran: Text,
Translation and Commentary karya Abdullah Yusuf Ali, dirujuk oleh tiga tafsir;
(4) God and Man in the Koran karya Toshihiko Izutsu, dirujuk oleh dua tafsir;
5) The Glorious Koran karya Mohammed Marmaduke Pickthall, dan 6) Qur’an,
Liberation and Pluralism karya Farid Esack, masing-masing dirujuk oleh satu
tafsir.
Bagian ketiga, tafsir-tafsir yang dirujuk berbahasa Indonesia yang ditulis
oleh para penulis yang berasal dari Indonesia. Pada bagian ini terdapat tiga
belas tafsir yang dijadikan rujukan, yaitu: 1) Wawasan Al-Qur’an karya Quraish,

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 153


dirujuk oleh empat tafsir, 2) Al-Azhar karya Hamka, dirujuk oleh tiga tafsir,
3) Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Mahmud Yunus, dirujuk oleh dua tafsir, 4)
Tafsir al-Qur’an al-Majid An-Nur, 5) Tafsir al-Bayan keduanya karya T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, 6) Al-Qur’an al-Hakim Beserta Terjemah dan tafsirnya karya
M. Kasim Bakry, Imam M. Nur Idris, A. Dt., Madjoindo, 7) Ayat-ayat Hukum
Tafsir dan Uraian Perintah-perintah dalam Al-Qur’an karya H.M.D. Dahlan, 8)
Tafsir Umm al-Qur’an karya M. Abdul Hakim Malik, 9) Tafsir Qur’an al-Furqan
karya A. Hassan, 10) Tafsir Yaasien karya Zainal Abidin Ahmad, 11) Al-Qur’an
dengan Terjemah dan Tafsir Singkat karya Panitia Penterjemah Tafsir Al-Qur’an
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 12) Tafsir al-Qur’an al-Karim Paulma karya
Zubair Usman, dkk., dan 13) Al-Qur’an dan Tafsirnya karya tim Badan Wakaf
UII Yogyakarta, masing-masing dirujuk oleh satu tafsir.
Bagian keempat adalah tafsir-tafsir yang dirujuk yang ditulis penulis dari
Indonesia dengan memakai bahasa Jawa. Dalam bagian ini, ada tiga tafsir,
yaitu: 1) Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi karya KHR. Muhammad Adnan, dirujuk
oleh dua tafsir, 2) al-Ibrīz, fī Ma`rifah Tafsīr al-Qur’ān al-`Azīz karya K.H. Bisri
Mustofa, dan 3) Quran Suci Jarwa Jawi dalah Tafsiripun karya R.Ng Djajasugita
dan Mufti Sharif. Masing-masing dirujuk oleh satu tafsir. Secara singkat dan jelas
lihat perihal tersebut dapat dilihat pada tabel XIV.

TABEL XIV
KERAGAMAN TAFSIR RUJUKAN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

TAFSIR YANG DIRUJUK


TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA ERA 1990-AN DAN
TAFSIR AL-QUR’AN DI
PENAFSIRNYA
INDONESIA
TAFSIR BERBAHASA ARAB
1. Tafsīr Jalālayn, karya 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
Jalāluddī� n al-Suyūṭī� dan 2. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ karya
Jalāluddī�n al-Maḥallī� Didin Hafidhuddin
3. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,

154 _ Islah Gusmian


2. Jāmi` al-Bayān `an Ta’wīl 1. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
Āyah al-Qur’ān karya Abū 2. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ja`far Muḥammad ibn Jarī�r Ghalib M.
al-Ṭabarī� 3. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
4. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
5. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ karya
Didin Hafidhuddin
6. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
7. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,
8. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
9. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
10. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
11. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab.
3. al-Durr al-Mantsūr fī al- 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Tafsīr bi al-Ma’tsūr karya Ghalib M.
Jalāluddī�n al-Suyūṭī� 2. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan Moral Al-Qur’an karya Jalaluddin
Rakhmat
3. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
4. Tafsīr Fatḥ al-Qadīr, al-Jāmi` 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
bayna Fann al-Riwāyah wa Ghalib M.
al-Dirāyah min al-`Ilm al- 2. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Tafsīr karya Muḥammad Syu’bah Asa
ibn `Alī� ibn Muḥammad al- 3. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
Syawkānī�
5. Tafsīr al-Nasafī karya al- 1. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Nasafī� Jalaluddin Rahman
6. Maḥāsin al-Ta’wīl (Tafsīr al- 1. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Qāsimī) karya Muḥammad Jalaluddin Rahman
Jamāluddī�n al-Qāsimī� 2. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
3. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab.
7. Majma` al-Bayān `an Ta’wīl 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
al-Qur’ān karya al-Fadhl al- Ghalib M.
Ḥasan al-Ṭabarsī� 2. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
3. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan Moral Al-Qur’an karya Jalaluddin
Rakhmat
4. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
8. Tafsīr al-Mawardī karya al- 1. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Mawardī� Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
9. Lubab al-Ta’wīl fī Mā `an al- 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Tanzīl karya al-Khāzin Syu’bah Asa

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 155


10. Al-Kasysyāf `an Ḥaqīqāt al- 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
Tanzīl wa `Uyūn al-Aqāwīl fī 2. Tafsir al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
Wujūh al-Ta’wīl, karya Abū Qur’an karya Nashruddin Baidan
Qāsim Jārullah Maḥmūd 3. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
ibn `Umar al-Khwarizmī� al-
4. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Zamakhsyarī�
Ghalib M.
5. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
6. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
7. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,
8. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
9. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
10. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
11. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab.
11. Tafsīr al-Qur’ān al-`Azhīm 1. Tafsir al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
karya `Imāduddī�n Abū al- Qur’an karya Nashruddin Baidan
Fidā al-Quraysyī� al-Dimisyqī� 2. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
ibn Katsī�r Ghalib M.
3. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
4. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
5. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ karya
Didin Hafidhuddin
6. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
7. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan Moral Al-Qur’an karya Jalaluddin
Rakhmat
8. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,
9. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
10. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab.
11. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab
12. Rūḥ al-Ma`ānī fī Tafsīr al- 1. Tafsir al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
Qur’ān al-`Azhīm wa Sab` al- Qur’an karya Nashruddin Baidan
Matsānī karya Syihābuddī�n 2. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
Sayyid Maḥmūd al-Alūsī� 3. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
4. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
5. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
6. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab.

156 _ Islah Gusmian


13. Anwār al-Tanzīl wa Asrār 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
al-Ta’wīl karya Nāshiruddī�n 2. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Abū al-Khayr `Abdullāh ibn Ghalib M.
`Umar al-Baydlāwī� 3. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
4. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
5. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab.
14. Gharā’ib al-Qur’ān wa 1. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid Ridla
Raghā’ib al-Furqān karya 2. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
Nizhāmuddī�n al-Ḥusaynī� al-
Qummī� al-Naysabūrī�
15. Al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātiḥ 1. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid Ridla
al-Ghayb karya Muḥammad 2. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Fakhruddī�n ibn Dhiā’uddī�n Ghalib M.
`Umar al-Rāzī� 3. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
4. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
5. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
6. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,
7. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
8. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
9. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab.
16. Tafsīr al-Baḥr al-Muḥīṭ karya 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Muḥammad ibn Yūsuf al- Ghalib M.
Garnaṭi al-Andalūsī� 2. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,
3. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
17. Aḥkām al-Qur’ān karya Ibn 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
`Arabī� Ghalib M.
2. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
18. Tafsīr Rūḥ al-Bayān karya 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ismā`ī�l Ḥaqqī� al-Burusawī� Ghalib M.
2. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
3. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
4. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
19. Maḥāsin al-Ta’wīl karya 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Muḥammad Jamāluddī�n al- Syu’bah Asa
Qāsimī�
20. Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
al-Ta’wīl karya Abū Barakat Syu’bah Asa
`Abdullāh ibn Aḥmad ibn
Maḥmūd al-Nasafī�

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 157


21. Al-Tibyān fī Tafsīr al-Qur’ān 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
karya Abū Ja`far Muḥammad Syu’bah Asa
ibn al-Ḥasan al-Ṭūsī� 2. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
22. Nazhm al-Durar karya 1. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
Ibrāhī�m ibn `Umar al-Biqā’ī� 2. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab.
3. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab
23. Tafsūr Sūrah al-Mā`ūn al- 1. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
Kawtsar al-Kāfirūn karya 2. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an
Muḥammad Mutawallī� al- karya M. Quraish Shihab
Sya`rawī�
24. Al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
al-Karīm karya Ṭanṭawī� Syu’bah Asa
Jawharī� 2. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab
25. Tafsīr Fātiḥah al-Kitāb wa 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Juz `Amma karya Aḥmad Ghalib M.
Ḥusayn
26. Tafsīr al-Farīd li al-Qur’ān al- 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Majīd karya `Abdul Mun`ī�m Ghalib M.
al-Jamāl
27. Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al- 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Qur’ān karya Ṣādiq Ḥasan Ghalib M.
Khan
28. Al-Qur’ān fī Syahr al-Qur’ān 1. Jiwa dalam Al-Qur’an karya Achmad Mubarok
karya `Abdul Ḥalī�m Maḥmūd
29. Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān 1. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
karya Abū `Abdullāh 2. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Muḥammad ibn Aḥmad al- Ghalib M.
Anṣārī� Al-Qurṭubī� 3. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
4. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ karya
Didin Hafidhuddin
5. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
6. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,
7. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
8. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
9. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
10. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab
30. Maqāl fī al-Insān, Dirāsah 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
Qur’āniyyah, karya `Aisyah 2. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an karya
bint al-Syāṭī�` Musa Asy’arie

158 _ Islah Gusmian


31. Tafsīr Al-Marāghī karya 1. Tafsir al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
Aḥmad Musṭāfā al-Marāghī� Qur’an karya Nashruddin Baidan
2. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
3. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
4. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
5. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
6. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
konsep Kunci karya Prof. M. Dawam Rahardjo/edisi terjemah
Indonesia
7. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ karya
Didin Hafidhuddin
8. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
9. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
10. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
11. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab
32. Tafsīr Abī al-Su`ūd karya al- 1. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
Saud 2. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
3. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
33. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
karya Maḥmūd Syalṭūṭ 2. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
3. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman (edisi terjemah Indonesia)
4. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
konsep Kunci karya Prof. M. Dawam Rahardjo (edisi terjemah
Indonesia)
5. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 159


34. Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
(Tafsīr Al-Manār) karya 2. Tafsir al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
Rasyī�d Ridlā Qur’an karya Nashruddin Baidan
3. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid Ridla
4. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
5. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
6. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
7. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
8. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
9. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
10. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
11. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
12. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
13. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
14. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab.
35. Tafsīr al-Fātiḥah karya M. 1. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
Rasyī�d Ridlā konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo/edisi terjemah
Indonesia
36. Tafsīr Āyāt al-Aḥkām karya 1. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
Muḥammad Alī� al-Sais
37. Al-Wasīṭ fī Tafsīr al-Qur’ān 1. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
al-Majīd karya al-Wāḥidī� Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
38. Tafsīr al-Baghawī karya al- 1. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Baghawī� Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
39. Tafsīr Sūrah al-Fātiḥah karya 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
Sayyid Ja`far Murtadlā Amilī�
40. Tafsīr al-Muḥīṭ al-`Azhām wa 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
al-Baḥr al-Khidham fī Ta’wīl
Kitāb Allāh al-`Azīz al-Ḥakīm
karya Sayyid Haidar Amulī�
41. Tafsīr Adabī wa `Irfānī 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
Qur’an-e Majīd karya Khajah
`Abdullāh Anṣārī�
42. I`jāz al-Qur’ān fī Ta`wīl ‘Umm 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
al-Qur’ān karya Ṣadruddī�n
al-Qunawī�
43. Al-Furqān fī Tafsīr al-Qur’ān 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
karya Muḥammad Ṣadiqī�
44. Tafsīr min Fātiḥāt al-Kitāb 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
karya Muḥammad Yazdī�

160 _ Islah Gusmian


44. Fī Dzilāl al-Qur’ān, karya 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
Sayyid Quṭb 2. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an karya
Musa Asy’arie
3. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
4. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
5. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
6. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo/edisi terjemah
Indonesia
7. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
8. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
9. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab.
10. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Kesera-sian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab
45. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm Juz 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
`Amma karya Muḥammad Ghalib M.
`Abduh 2. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
3. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Keserasian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab
46. Tafsīr al-Baḥr al-Muḥīṭ karya 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Abū Ḥaiyān Syu’bah Asa
47. Aḥkām al-Qur’ān Abū Bakr 1. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
al-Jaṣṣaṣ Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
48. Marah Labīd, al-Tafsīr al- 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Munīr lī Ma`ālim al-Tanzīl Syu’bah Asa
karya Muḥammad Nawawī� 2. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
al-Jāwī� Nasaruddin Umar
50. Rawā’ī` al-Bayān Tafsīr Āyāt 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
al-Aḥkām min al-Qur’ān Ghalib M.
karya al-Ṣābūnī� 2. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ karya
Didin Hafidhuddin
3. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,
4. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
51. Ṣafwah al-Tafāsir karya al- 1. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
Ṣābūnī� 2. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa’ karya
Didin Hafidhuddin

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 161


52. Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur’ān 1. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid Ridla
karya al-Sayyid Muḥammad 2. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
Ḥusayn al-Ṭabāṭabā’ī� 3. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
4. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
5. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
6. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab
7. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar,
8. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
9. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
10. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu karya M. Quraish
Shihab.
11. Tafsir al-Mishbah, Kesan Pesan dan Kesera-sian Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab.
53. Al-Tafsīr al-Munīr fī al- 1. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
`Aqīdah wa al-Syarī’ah wa Ghalib M.
al-Manhaj karya Waḥbah 2. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat
Zuhaylī�
54. Al-Ṣabr fī al-Qur’ān al-`Azhīm 1. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
karya Yūsuf Qardlawī� Jalaluddin Rahman
TAFSIR AL-QUR’AN BERBAHASA INGGRIS
1. The Glorious Koran karya 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Mohammed Marmaduke Syu’bah Asa
Pickthall
2. Major Themes of the Qur’an, 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
karya Fazlur Rahman 2. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an karya
Musa Asy’arie
3. Ahl al-Kitab, Makna dan cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
4. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
5. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
6. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
7. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
3. Qur’an, Liberation and 1. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Pluralism karya Farid Esack Beragama karya Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
4. God and Man in the Koran, 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
karya Toshihiko Izutsu 2. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an karya
Musa Asy’arie

162 _ Islah Gusmian


5. Ethico-Religious Concepts in 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
the Qur’an, karya Toshihiko 2. Memasuki Makna Cinta karya Abdurrasyid Ridla/ edisi
Izutsu Indonesia
3. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
4. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu
6. The Glorious Kuran: 1. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
Translation and Commentary 2. Jiwa dalam Al-Qur’an karya Achmad Mubarok,
karya Abdullah Yusuf Ali 3. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
TAFSIR AL-QUR’AN BERBAHASA INDONESIA
1. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim 1. Tafsir al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
karya Mahmud Yunus Qur’an karya Nashruddin Baidan
2. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
2. Tafsir al-Qur’an al-Majid An- 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Nur, karya T.M. Hasbi Ash- Syu’bah Asa
Shidddieqy
3. Tafsir al-Bayan karya T.M. 1. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
Hasbi Ash-Shiddieqy konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
4. Al-Qur’an al-Hakim Beserta 1. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
Terjemah dan tafsirnya karya konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
M. Kasim Bakry, Imam M.
Nur Idris, A. Dt., Madjoindo
5. Ayat-ayat Hukum Tafsir dan 1. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
Uraian Perintah-perintah konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
dalam Al-Qur’an karya
H.M.D. Dahlan
6. Tafsir Umm al-Qur’an karya 1. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
M. Abdul Hakim Malik konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
7. Al-Azhar karya Hamka 1. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
2. Menyelami Kebebasan Manusia karya Machasin
3. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Syu’bah Asa
8. Tafsir Qur’an al-Furqan 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
karya A. Hassan Syu’bah Asa
9. Wawasan Al-Qur’an karya 1. Tafsir al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
M. Quraish Shihab Qur’an karya Nashruddin Baidan
2. Tafsir Kebencian, karya Zaitunah Subhan
3. Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya karya Muhammad
Ghalib M.
4. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an karya
Jalaluddin Rahman
10. Tafsir Yaasien karya Zainal 1. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
Abidin Ahmad konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
11. Al-Qur’an dengan Terjemah 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
dan Tafsir Singkat karya Syu’bah Asa
Pa n i t i a Pe n t e r j e m a h
Tafsir Al-Qur’an Jemaat
Ahmadiyah Indonesia
12. Al-Qur’an dan Tafsirnya 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
karya Tim Badan Wakaf UII Syu’bah Asa

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 163


13. Tafsir al-Qur’an al-Karim 1. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
Paulma karya Zubair Usman, konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
dkk.
TAFSIR AL-QUR’AN BERBAHASA JAWA
1. Tafsir Al-Qur’an Suci Basa 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
Jawi karya KHR. Muhammad Syu’bah Asa
Adnan 2. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasar-kan Konsep-
konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo
2. Al-Ibriz, Fi Ma`rifah Tafsir 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
al-Qur’an al-`Aziz karya Bisri Syu’bah Asa
Mustofa
3. Quran Suci Jarwa Jawi 1. Dalam Cahaya Al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya
dalah Tafsiripun karya R.Ng Syu’bah Asa
Djajasugita dan Mufti Sharif

Dari tabel XIV terlihat bahwa secara umum, dari segi bahasa, ada empat
model tafsir yang dirujuk dalam penyusunan tafsir Al-Qur’an di Indonesia:
sebanyak lima puluh empat tafsir berbahasa Arab, enam tafsir berbahasa
Inggris, tiga belas tafsir berbahasa Indonesia, dan tiga tafsir berbahasa Jawa.
Untuk tafsir rujukan yang berbahasa Arab, secara umum menjadi rujukan
utama dalam penulisan tafsir di Indonesia, kecuali Ensiklopedi Al-Qur’an karya
Dawam yang banyak menggunakan rujukan edisi terjemahan bahasa Indonesia.
Untuk kasus tafsir berbahasa Inggris, banyak dipakai sebagai rujukan dalam
tafsir yang berasal sebagai tugas akademik. Di luar itu, hanya ada dua tafsir,
yaitu: Dalam Cahaya Al-Qur’an dan Ensiklopedi Al-Qur’an yang merujuk pada
tafsir berbahasa Inggris.
Terkait tafsir rujukan yang berbahasa Indonesia, secara umum mendapat
posisi stategis dalam tafsir di Indonesia, baik tafsir yang lahir dari kepentingan
akademik maupun non akademik. Dari dua puluh empat tafsir di Indonesia
era 1990-an, terdapat empat tafsir yang muncul dari kepentingan akademik
(Tafsir Kebencian, Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, Menyelami Kebebasan
Manusia, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an) dan tiga dari tafsir non
akademik (Dalam Cahaya Al-Qur’an, Ensiklopedi Al-Qur’an, dan Tafsir bi al-Ra’yi)
yang merujuk pada tiga belas tafsir berbahasa Indonesia.
Sedangkan tiga tafsir yang dijadikan rujukan yang berbahasa Jawa hanya
dirujuk dalam dua tafsir, yaitu Dalam Cahaya Al-Qur’an dan Ensiklopedi Al-
Qur’an. Sedikitnya tafsir ini dijadikan rujukan tersebut dan juga sedikitnya tafsir
yang merujuknya, karena di Indonesia tafsir yang ditulis dalam bahasa daerah
jumlahnya tidak banyak dan secara umum aspek bahasa justri menjadikannya
tidak mudah diakses oleh banyak kalangan.
Dari sisi kategori corak tafsir, tafsir berbahasa Arab yang dijadikan
rujukan cukup beragam. Dari tabel XIV di atas terlihat tafsir-tafsir yang dirujuk
tersebut memiliki beragam corak, yaitu: 1) fiqh, misalnya Jāmi’ li Aḥkām al-
Qur’ān karya al-Qurṭūbī, Rawā’i` al-Bayān karya al-Ṣābūnī, Aḥkām al-Qur’ān

164 _ Islah Gusmian


karya Ibn `Arabī, al-Tafsīr al-Munīr karya Waḥbah Zuhaylī, Tafsīr Āyāt al-Aḥkām
karya Muḥammad `Alī al-Sais, dan Aḥkām al-Qur’ān karya al-Jaṣṣāṣ; 2) teologis,
misalnya Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur’ān karya al-Ṭabāṭabā’ī (cenderung membela
teologi Syi’ah), Al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyarī (cenderung membela teologi
Muktazilah), dan 3) sosial-kemasyarakatan, misalnya Fī Ẓilāl al-Qur’ān karya
Sayyid Quṭb, Tafsīr al-Fātiḥah karya M. Rasyīd Riḍā, al-Ṣabr fī al-Qur’ān al-`Aẓīm
karya Yūsuf Qardlawī.
Dari segi metode tafsir, tafsir-tafsir yang dirujuk tersebut juga beragam,
yaitu 1) menggunakan metode ma’tsūr. Ini terlihat misalnya pada Jāmi` al-
Bayān karya al-Ṭabarī, al-Durr al-Mantsūr karya al-Suyūṭī, dan Tafsīr al-Qur’ān
al-`Azhīm karya Ibn Katsīr; dan 2) menggunakan metode ilmiah-rasional. Ini
terlihat misalnya pada al-Jawāhir karya Ṭanṭawī Jauharī.
Terdapat juga tafsir-tafsir dirujuk tersebut ditulis oleh ulama Syiah,
misalnya Al-Furqān fī Tafsīr al-Qur’ān karya Muḥammad Ṣādiqī, Tafsīr min
Fātiḥah al-Kitāb karya Muḥammad Yazdi, Tafsīr Sūrah al-Fātiḥah karya Sayyid
Ja`far Murtadlā Amilī, Tafsīr Adabī wa `Irfānī Qur’ān-e Majid karya Khajah
`Abdullah Anṣārī, dan I`jāz al-Qur’ān fī Ta`wīl ‘Umm al-Qur’ān karya Ṣadruddīn
al-Qunawī. Untuk kasus yang terakhir ini, banyak dipakai sebagai rujukan oleh
Jalal, intelektual Muslim Indonesia, yang sangat respek dengan ajaran-ajaran
Syi’ah.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa tafsir rujukan para penulis tafsir di
Indonesia era 1990-an tidak hanya terbatas pada tafsir yang berorientasi fiqh
dan karya tokoh-tokoh Sunni, melainkan mereka telah melakukan lompatan
dengan merujuk pada tafsir-tafsir yang ditulis oleh ulama yang berlatar
belakang beragam. Syu'bah, Quraish, dan Jalal adalah di antara penulis tafsir di
Indonesia yang merujuk karya-karya tafsir lintas mazhab dan teologi, sejauh
pendapat mereka memiliki pijakan ilmiah.

D. Hermeneutika Tafsir Al-Qur’an di Indonesia


Setelah menjelaskan aspek-aspek teknis penulisan tafsir Al-Qur'an di
Indonesia era 1990-an di atas, pada bagian berikut ini dijelaskan tentang
aspek hermeneutika. Uraian berikut merupakan langkah paradigmatik untuk
menguak bangunan hermeneutika tafsir Al-Qur'an di Indonesia.
Dalam sejarah hermeneutika tafsir Al-Qur’an, secara umum terbagi
menjadi dua, yaitu: 1) hermeneutika Al-Qur’an tradisional, dan 2) hermeneutika
Al-Qur’an kontemporer. Dalam hermeneutika Al-Qur’an tradisional, perangkat
metode yang digunakan fokusnya pada aspek linguistik dan riwāyah.133 Di
dalamnya belum mempertimbangkan kerangka sistemik antara teks, penafsir
dan audiens (sebagai sasaran/objek teks), meskipun unsur triadik ini telah

Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ, hlm. 267.


133

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 165


hidup di dalamnya. Adapun hermeneutika Al-Qur’an kontemporer unsur-unsur
triadik tersebut menjadi basis dibangunnya kerangka penafsiran. Di dalamnya,
proses penafsiran tidak hanya berpusat pada teks, tetapi penafsir di satu sisi
dan audiens di sisi yang lain, secara metodik merupakan unsur-unsur yang tidak
terpisahkan.
Dalam rangka penggalian dimensi hermeneutika ini, dalam bagian ini
diacukan pada tiga variabel utama, yaitu: 1) metode penafsiran, 2) nuansa
penafsiran, dan 3) pendekatan tafsir. Dengan tiga variabel tersebut, pada bagian
ini tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an dianalisis untuk menemukan
bangunan hermeneutikanya.

1. Metode Penafsiran Al-Qur'an


Metode pentafsiran adalah tata kerja dengan seperangkat unsur-unsurnya
yang digunakan dalam praktik penafsiran Al-Qur’an. Secara teoretik, perangkat
kerja ini berkaitan dua aspek utama. Pertama, aspek teks dengan problem
semiotik dan semantik yang ada di dalamnya. Kedua, aspek konteks di dalam
teks yang berkaitan dengan ruang sosial, budaya, politik, dan antropologi di
mana teks tersebut diproduksi. Selain dua aspek ini, sebagaimana yang terjadi
dalam hermeneutika Al-Qur’an tradisional, riwāyah juga merupakan variabel
penting yang digunakan untuk menjelaskan makna teks.
Metode penafsiran yang digunakan tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-
an, seperti yang ditunjukkan berikut ini, sangat beragam dan berbeda-beda.
Oleh karena itu, analisis berikut diorientasikan pada kecenderungan umum
yang terjadi. Dari kecenderungan umum tersebut, keragaman cara analisis
dalam penafsiran Al-Qur’an dijabarkan sesuai dengan konteks dan wilayahnya
masing-masing.
Terdapat dua arah utama yang secara metodologis dapat dipetakan dalam
melihat kerangka metodologi yang dipakai, yaitu tafsir yang berbasis pada
riwāyah dan tafsir yang berbasis pada analisis ilmiah. Dari dua arah ini, akan
dilihat perkembangan selanjutnya, terutama pada bagian metode penafsiran
dengan analisis ilmiah.

1.1. Metode Tafsir Riwayat: Pemahaman Nabi Muhammad saw.sebagai


Acuan
Dalam tradisi kajian Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber
penting di dalam pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad saw.
diposisikan sebagai penafsir pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini,
dikenal istilah metode tafsir riwayat. Pengertian metode riwayat dalam sejarah
hermeneutika Al-Qur’an klasik merupakan proses penafsiran Al-Qur’an yang
menggunakan riwayat dari Nabi saw. dan atau sahabat, sebagai variabel utama
dalam penafsiran Al-Qur’an. Di dalam metode tafsir ini suatu ayat dijelaskan

166 _ Islah Gusmian


dengan mengacu pada penjelasan Nabi dan atau Sahabat yang termaktub dalam
riwayat. Model metode ini dapat ditemukan dalam beberapa tafsir klasik,
misalnya dalam Tafsīr al-Ṭabarī karya al-Ṭabarī dan Tafsīr al-Qur’ān al-`Aẓīm
karya Ibn Katsīr.
Di kalangan ulama tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir
riwayat. Al-Zarqānī mendefinisikannya sebagai tafsir yang diberikan oleh
ayat Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan para Sahabat.134 Dalam definisi ini ia tidak
memasukkan penafsiran yang dilakukan para tābi`īn. Ulama lain, seperti al-
Żahabī, memasukkan tafsir tābi’īn dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun
mereka tidak menerima tafsir secara langsung dari Nabi Muḥammad saw. Pada
kenyataannya, tafsir-tafsir yang dikategorikan sebagai tafsir yang memakai
metode riwayat memuat penafsiran tābi`īn, seperti Tafsīr al-Ṭabarī.135
Al-Ṣābūnī memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya
tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan
atau perkataan Sahabat.136 Definisi al-Ṣābūnī ini lebih terfokus pada material
tafsir bukan metodenya. Berbeda dengan al-Ṣābūnī, ulama Syi`ah berpandangan
bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam ahl
al-bayt. Hal-hal yang dikutip dari para Sahabat dan Tābi`īn, menurut mereka
tidak bisa dipakai sebagai ḥujjah.137
Dari segi material, menafsirkan Al-Qur’an bisa dilakukan dengan cara
menafsirkan antarayat, ayat dengan hadis Nabi, dan atau perkataan Sahabat.
Namun, secara metodologis, bila kita menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat
lain dan atau dengan hadis, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber
dari penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan
hasil intelektualisasi penafsir yang bersifat ilmiah dan rasional. Oleh karena itu,
meskipun data materialnya dari ayat dan atau hadis Nabi dalam menafsirkan
Al-Qur’an, hal tersebut secara metodologis tidak sepenuhnya disebut sebagai
metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang diberikan ulama di bidang ilmu
tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini didefinisikan sebagai
metode penafsiran yang data-data materialnya mengacu pada hasil penafsiran
Nabi Muḥammad saw. yang termaktub dalam riwayat dan atau dalam asbāb al-
nuzūl sebagai sumber data otoritatif. Sebagai salah satu metode, model metode
riwayat dalam pengertian yang terakhir ini bersifat statis, karena tergantung

Muḥammad `Abd al-`Aẓīm al-Zarqānī, Manāhīl al-`Irfān, II: 12.


134

Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadītsah, 1961), I:


135

152.
Muḥammad `Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān, hlm. 67.
136

Lihat, `Alī al-Awsī, al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhājuh fī Tafsīrih al-Mīzān, (Teheran: Al-


137

Jumhūriyyah al-Islāmiyyah fī Īrān, 1975), hlm. 103.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 167


pada data penafsiran Nabi yang terbatas dan mesti dipahami pula bahwa tidak
setiap ayat mempunyai asbāb al-nuzūl.
Di dalam tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an, secara umum
pemakaian metode riwayat dalam pengertian yang terakhir ini, tetapi bukan
satu-satunya metode yang dipakai. Dari dua puluh empat tafsir, yang paling
menonjol memakai metode riwayat adalah Tafsir bil Ma’tsur, yang ditulis
Jalaluddin Rakhmat. Dari sisi metode yang digunakan, secara umum tafsir ini
menggunakan data riwayat sebagai variabel utama dalam menjelaskan maksud
suatu ayat. Dari 32 entri yang terhimpun dalam tafsir ini, seluruhnya mengacu
pada data yang berasal dari riwayat. Uniknya, riwayat-riwayat itu secara umum
merupakan gambaran mengenai sebab turunnya dari ayat yang dikutip dan
menjadi objek penafsiran. Oleh karena itu, kesan yang muncul dari tafsir ini
adalah pengemasan atau reformulasi asbāb al-nuzūl dalam bentuk narasi tafsir.
Proses pengemasan ini terlihat misalnya ketika dalam tafsir ini Jalal
menguraikan QS. al-Layl [92]: 5-7. Dalam kasus ini, diuraikan satu peristiwa,
di mana ada seorang kaya di Madinah memiliki sebatang kurma yang
kebetulan pohonnya condong ke rumah orang miskin yang banyak anaknya.
Sebagian buahnya berjatuhan di halaman si miskin. Anak-anaknya yang
lapar memungutnya dan memakannya. Ketika menyaksikan hal itu, pemilik
kurma bergegas turun. Ia pungut butir kurma yang jatuh. Ia rebut butir-
butir kurma yang masih dipegang anak-anak itu. Kalau anak-anak itu telah
memulai memakannya, ia masukkan jari-jarinya ke mulut mereka. Ia berusaha
menyelamatkan setiap butir kurma yang ada.
Si miskin mengadukan peristiwa itu pada Nabi. Nabi pun segera menemui
pemilik pohon kurma itu.
“Berikan padaku pohon kurma yang condong ke rumah Fulan. Nanti Allah
akan mengganti kamu dengan pohon di surga,” rayu Nabi.
“Aku punya banyak pohon kurma, tapi yang paling menakjubkan buahnya
adalah pohon yang satu ini.” Setelah itu ia pergi, tidak setuju dengan permintaan
Nabi.
Abū Dahdah, salah seorang sahabat Nabi, mendengar peristiwa itu. Ia
bertanya kepada Nabi, apakah bila dirinya mengambil pohon kurma itu untuk si
miskin, akan mendapatkan pohon kurma di surga. Nabi pun mengangguk. Lalu,
oleh Abū Dahdah, kurma itu dibeli dan diserahkan pada Nabi untuk diberikan
kepada si miskin tadi. Pada hari itu turunlah sūrah al-Layl [92]. Allah memuji
Abū Dahdah dan mengecam pemilik kurma yang rakus.
Tentang Abū Dahdah, Allah berfirman: “Sebab itu, siapa yang memberi dan
bertakwa. Dan percaya akan berita gembira. Kami akan memudahkan kepadanya
jalan kemudahan” (QS. al-Layl [92]: 5-7). Tentang pemilik kurma, Allah
berfirman: “Tetapi orang yang kikir dan merasa serba ada. Dan mendustakan

168 _ Islah Gusmian


berita gembira. Kami akan memudahkan kepadanya jalan kesulitan. Kekayaannya
tiada guna, ketika ia jatuh dalam bencana” (QS. al-Layl [92]: 8-11).138
Pada bagian lain, banyak terlihat juga bagaimana tafsir ini mengeksplorasi
maksud suatu ayat yang dikutip dari penjelasan Nabi. Salah satu contoh adalah
ketika menguraikan QS. al-Baqarah [2]: 3. Dalam konteks masalah ini diuraikan
penjelasan Nabi mengenai orang-orang yang beriman kepadanya padahal ia
tidak pernah melihat Nabi. Orang-orang yang beriman kepada yang gaib, yang
dituturkan dalam ayat ketiga dari sūrah al-Baqarah tersebut, adalah orang-
orang yang diklaim Nabi sebagai yang beriman kepadanya, tetapi tidak pernah
melihatnya. Dalam sebuah riwayat, mereka ini mendapat pahala 70 kali lebih
besar dari pahala para Sahabat.139
Dengan metode yang mengacu pada riwayat di atas, Tafsir bil Ma’tsur yang
ditulis Jalal ini mereformulasi data-data riwayat untuk menyampaikan pesan
terdalam dari ayat Al-Qur'an. Data-data riwayat itu digali dari tafsir-tafsir
klasik, seperti al-Durr al-Mantsūr, Majma`al-Bayān, tafsīr Ibn Katsīr, Fakhr
al-Rāzī, Ḥayāh al-Ṣaḥabah, Syarḥ Nahj al-Balaghah, Tahżīb, Ṣaḥīḥ Muslim dan
beberapa tafsir yang lain.
Hal serupa terjadi pada Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul karya
Rafi’udin dan Edham Syifa’i. Penulis tafsir ini mereformulasi data riwayat
sebagai bagian penting dalam penggalian pesan dari suatu ayat. Di setiap sūrah
yang diuraikan, dalam tafsir ini selalu dirujukkan pada asbāb al-nuzūl, bagi ayat
memilikinya. Dari data asbāb al-nuzūl itu, Rafi’udin dalam tafsir ini menarik
kesimpulan tentang kandungan di setiap sūrah yang diuraikan. Bedanya, untuk
kasus tafsir yang kedua ini, dilengkapi dengan penjelasan singkat yang berkaitan
dengan tema-tema dalam ayat, tetapi tidak disertakan nama tafsir atau penafsir
yang dirujuk. Meski demikian, secara metodik keduanya mempunyai semangat
yang sama.
Selain dua tafsir di atas, secara umum tafsir Al-Qur'an di Indonesia era
1990-an memanfaatkan riwayat sebagai salah satu sumber data penting dalam
menjelaskan pengertian suatu ayat dan mereka melengkapi dengan sumber
data yang lain. Dalam Tafsir Al-Mishbāh dan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim misalnya,
Quraish memakai berbagai data riwayat untuk menjelaskan pesan suatu ayat.
Tidak seperti dua tafsir sebelumnya, dua tafsir yang ditulis Quraish ini selain
memakai data riwayat untuk menjelaskan ayat, dalam beberapa kasus juga
menganalisisnya dan memakai data-data yang lain.
Salah satu contoh, ketika Quraish menjelaskan makna al-ḍāllīn pada QS.
al-Fātiḥah [1]: 7. Mengutip dari sebuah hadis Nabi, Quraish menjelaskan bahwa
yang dimaksud al-ḍāllīn (orang-orang yang sesat) adalah orang Nasrani. Tanpa

Lihat, Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Bil Ma`tsur, hlm. 172.


138

Ibid., hlm. 22.


139

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 169


menolak pemaknaan yang diberikan oleh Nabi tentang istilah ini, Quraish
menegaskan bahwa apa yang dikemukakan Nabi itu sekadar contoh tentang
orang-orang yang dinilai sesat dan yang oleh Nabi dirujuk pada kenyataan
masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu, arti dari kata al-ḍāllīn menurutnya
dapat dirumuskan setelah melihat konteks pengunaan kata tersebut di dalam
Al-Qur’an.140
Sekali lagi, secara umum data riwayat dipakai para penulis tafsir
di Indonesia. Namun, tidak seperti yang terjadi dalam Tafsir bil Ma’tsur,
penggunaannya lebih diorientasikan sebagai salah satu data dalam rangka
membangun pengertian secara konseptual dan komprehensif dari sebuah
istilah yang dikaji di dalam Al-Qur'an.

1.2. Metode Penafsiran Ilmiah: Pengetahuan Sebagai Dasar Penafsiran


Al-Qaṭṭān141 mencatat bahwa sejak berakhirnya era masa Salaf, sekitar
abad ke-3 H, peradaban Islam semakin berkembang dan dibarengi oleh lahirnya
berbagai mazhab pemikiran di kalangan umat Islam. Masing-masing mazhab
ini memberikan penjelasan atas hal-hal yang diyakini dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Teks Al-Qur’an kemudian ditafsirkan dalam beragam kerangka kepentingan dan
mazhab tersebut. Dalam konteks ini, dari lanskap sejarah tafsir Al-Qur'an kita
mengetahui dinamika dan perkembangan berbagai corak penafsiran. Misalnya
Tafsīr al-Rāzī karya Fakhr al-Rāzī, memiliki kecenderungan pada corak filsafat,
al-Kasysyāf karya al-Zamakhsyarī memiliki kecenderungan corak Muktazilah,
dan Tafsīr al-Manār karya Muḥammad Rasyīd Ridlā memiliki kecenderungan
pada aspek sosial kemasyarakatan.
Penggunaan istilah metode penafsiran ilmiah dalam bagian ini
dimaksudkan bukan sebagaimana yang diuraikan oleh al-Qaṭtān di atas.
Maksud dari metode penafsiran ilmiah di sini adalah penafsiran Al-Qur’an yang
didasarkan pada kaidah ilmu pengetahuan. Dengan kaidah ilmu pengetahuan,
Al-Qur’an diselami isinya secara utuh dan menyeluruh. Dalam konteks analisis
bahasa, ayat Al-Qur'an tidak bisa dilepaskan dari wilayah budaya dan sejarah, di
samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari budaya. Dalam metode
penafsiran ilmiah, penafsir berusaha menjelaskan pengertian dan maksud
suatu ayat berdasarkan hasil dari praktik ilmu pengetahuan dengan langkah
epistemologis yang mempunyai dasar-pijak pada teks dengan konteks-konteks
yang dimilikinya.
Praktiknya bersifat ijtihadi. Bisa berupa penafsiran teks Al-Qur’an dalam
konteks internalnya dan atau meletakkan teks Al-Qur’an dalam konteks
sosio-kulturalnya. Untuk kepentingan ini, diperlukan suatu kajian atas medan

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, hlm. 66; M. Quraish Shihab, Tafsir
140

Al-Mishbah, 1: 74.
Mannā’ al-Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥits, hlm. 342.
141

170 _ Islah Gusmian


bahasa dalam konteks semiotik dan semantiknya yang membawa ide-ide dalam
historisitas masyarakatnya sebagai audiens. Teks Al-Qur’an dengan wacana yang
dikembangkan di dalamnya, juga dikaji sebagai bagian penting dalam proses
perumusan dan penarikan kesimpulan dari gagasan-gagasan yang disampaikan
Al-Qur’an. Dan teks Al-Qur’an dengan historisitasnya mengharuskan adanya
analisis terhadap bangunan budaya yang ada pada saat teks itu muncul.
Hal pokok yang dibangun dalam metode penafsiran ilmiah adalah aspek
teoretis penafsiran bahwa memahami Al-Qur’an, tidak terlepas dari kesadaran
pengetahuan ilmiah untuk meletakkannya pada strukturnya sebagai bahasa
yang mempunyai struktur historis dengan wacana-wacana yang dipakai dan
budaya masyarakat yang menjadi audiensnya. Dengan demikian, teks Al-Qur’an
dalam konteks bahasa, merupakan bentuk representasi dan keterwakilan
budaya masyarakat di mana teks diproduksi. Proses pergeseran makna dari
satu istilah dalam bahasa (Arab) juga harus dipahami dalam konteks budaya
masyarakat di mana sebuah istilah dipakai. Dengan demikian, memahami teks
Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari persoalan budaya, wilayah geografi, dan
psikologi masyarakat di mana Al-Qur’an diturunkan dan berdialog dengannya.
Dengan cara berpikir yang demikian, bukan hanya bahasa dengan
strukturnya yang menentukan sebuah pemahaman atas gagasan yang ada dalam
teks Al-Qur’an. Lebih dari itu, struktur wacana dan budaya yang melingkupi
kemunculan teks juga menjadi medan analisis yang penting ditelusuri. Dari sini,
seperti ditegaskan Abū Zayd, kita akan mampu mengungkap hal-hal implisit
dan yang tak terkatakan (maskūt `anhu) dari teks Al-Qur’an. Dan dari situ
pula gagasan yang disampaikan Al-Qur’an dapat ditemukan secara baik dan
komprehensif. Jadi, inti dari metode tafsir ilmiah ini terletak pada bangunan
epistemologi tafsir yang didasarkan bukan semata-mata pada riwayat, tetapi
juga pada proses pengetahuan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara
rasional.
Dalam metode penafsiran ilmiah, ada dua bagian utama yang dijadikan
titik tolak. Pertama, variabel sosio-kultural di mana teks Al-Qur’an muncul
dan diarahkan pertama kali. Dalam bagian ini, meliputi persoalan geografis,
psikologis, budaya dan tradisi masyarakat yang menjadi audiens pertama dari
teks Al-Qur’an. Kedua, adalah struktur linguistik teks. Pada bagian ini, meliputi
analisis semantik dan semiotik. Selanjutnya dipaparkan juga jenis metode
penafsiran Al-Qur'an yang memanfaatkan data-data sains. Data-data sains ini
digunakan untuk mengukuhkan Al-Qur’an.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 171


a. Analisis Sosio-Kultural: Memahami Al-Qur’an dalam Medan Sosial
dan Budaya
Dipahami bersama bahwa teks Al-Qur’an lahir dan diturunkan Tuhan bukan
dalam ruang hampa, tetapi dalam sejarah manusia (masyarakat Arab).142 Atas
dasar itu, Fazlur Rahman menyebutnya sebagai “respon Ilahi melalui pikiran
Muhammad saw. terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis masyarakat
Arab abad ke-7 M.”143 Dalam pengertian ini, budaya dan sejarah masyarakat
Arab diposisikan sebagai audiens Al-Qur’an dan menjadi objek yang harus dikaji
dalam rangka menggali gagasan pokok Al-Qur’an.
Analisis yang dilakukan tidak hanya tergantung pada data riwayat
atau asbāb al-nuzūl. Sebab, dengan hanya asbāb al-nuzūl kita tidak mampu
merekonstruksi secara komprehensif aspek sosio-historis masyarakat (Arab)
yang menjadi audiens ketika Al-Qur'an diwahyukan. Di samping itu, pada
kenyataannya, tidak semua ayat mempunyai asbāb al-nuzūl. Langkah yang
demikian penting dilakukan, karena dengan berbagai unsur tersebut, secara
sosiologis Al-Qur’an diwahyukan, dan dalam konteks itu pula konsepsi-konsepsi
yang dibangunnya harus dipahami. Abū Zayd memberikan rumusan teoretik
terkait dengan level-level teks Al-Qur’an, yaitu konteks sosio-kultural ini—yang
terdiri dari aturan sosial dan kultural dengan semua konvensi, adat istiadat,
dan tradisinya yang terekspresikan dalam bahasa teks—merupakan otoritas
epistemologis (marjā`iyyah ma`rifiyyah). Sebab, bahasa pada hakikatnya
mengandung aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada
kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat
yang mempunyai kebudayaannya sendiri, konsepsi-konsepsi mental dan
kepercayaan kulturalnya sendiri pula.144
Analisis sosio-kultural terhadap teks Al-Qur'an menjadi penting dalam
kerangka memberikan pemahaman yang lebih sesuai. Konsepsi yang terbangun
dalam teks Al-Qur’an, dengan demikian menjadi bangunan yang sangat
historis dan kultural. Usaha untuk menemukan konsepsi-konsepsi itu, mesti
diletakkan dalam medan kesejarahan. Ada banyak hal yang mesti dilibatkan
dalam analisis sosio-historis ini, yaitu wilayah geografis di mana masyarakat
yang menjadi audiens pertama Al-Qur’an berada, aspek psikologis, dan tradisi
yang berkembang di dalamnya. Dalam hermeneutika Al-Qur’an kontemporer,
keterkaitan antara struktur triadik, yaitu teks, penafsir, dan audiens sasaran
teks, menjadi hal penting yang harus diambil sebagai perangkat analisis. Hal

Kenneth Cragg, The Event of the Qur’an: Islam and its Scripture (London: George
142

Allen and Unwin Ltd., 1971), hlm. 17.


Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka,
143

1985), hlm. 10.


Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, al-Naṣṣ, al-Sulṭah, al-Haqīqah, hlm. 96-98.
144

172 _ Islah Gusmian


yang terakhir ini, bisa menemukan signifikansinya bila variabel kultur dan
sejarah dalam maknanya yang luas, dianalisis secara komprehensif.
Dalam konteks tafsir Al-Qur’an di Indonesia era 1990-an, pada kadar
tertentu terdapat tafsir yang telah menggunakan analisis sosio-historis. Misalnya
yang dilakukan Nasaruddin Umar dalam Kesetaraan Jender. Di dalam tafsir ini
dikaji secara kritis mengenai anggapan yang sudah baku mengenai supremasi
laki-laki atas perempuan, dan hal itu disandarkan pada dalil-dalil keagamaan. Ia
melakukan “imajinasi sosio-historis” mengenai kondisi masyarakat Arab pada
abad ke-6 M., ketika Al-Qur’an diwahyukan.
Metode sosio-kultural ini diperlukan dengan asumsi dasar bahwa
gagasan Tuhan yang bersifat azali, universal, dan trans-historis itu, ketika
dikomunikasikan kepada manusia yang hidup menyejarah, maka kandungan
dasar Al-Qur’an tentunya (harus) beradaptasi dengan karakter bahasa dan
budaya Arab yang merupakan realitas historis saat itu. Misi Al-Qur’an dengan
demikian hanya dapat dipahami secara utuh setelah memahami kondisi
sosial-budaya masyarakat Arab sebagai audiensnya. Teks-teks Al-Qur’an
yang berkaitan dengan gender, yang menjadi objek kajian tafsir ini, dapat
disalahpahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat
Arab tersebut.145 Dalam kaitan ini, Nasaruddin dalam tafsir ini menelisik aspek-
aspek penting di dalam masyarakat Arab, yaitu yang berkaitan dengan kondisi
geografis, psikologis, dan antropologis.
Dari sisi kondisi geografis, jazirah Arab adalah padang pasir. Sebagian
besar mata pencaharian penduduknya adalah beternak bagi mereka yang hidup
di kawasan yang tandus dan bercocok tanam bagi mereka yang berdiam di lahan
subur. Kelangsungan hidup mereka sangat tergantung pada alam. Pembagian
peran dalam masyarakat juga sangat tergantung pada alam geografis. Laki-
laki menjalankan peran publik, seperti mencari nafkah dan mempertahankan
keutuhan dan kehormatan kabilah, sementara perempuan menjalankan peran
domestik, seperti mengasuh anak dan mengatur urusan rumah tangga.146
Dalam kondisi demikian, mengutip Lapidus, Nasaruddin dalam tafsirnya ini
menunjukkan terjadinya kontinuitas budaya pra-Islam ke Islam dalam berbagai
segi, seperti struktur keluarga dan ideologi patriarki. Tatanan masyarakat
pertanian, masyarakat pendatang, ekonomi pasar, beberapa unsur ajaran
monoteis, masih tetap diakomodir dalam tradisi Islam.147
Masyarakat bangsa Arab, seperti kawasan di Timur Tengah ketika itu,
menganut sistem patriarki. Otoritas bapak (suami) menempati posisi yang
dominan dan perannya sangat penting di dalam keluarga. Bapak (suami)

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 105.


145

Ibid., hlm. 106.


146

Ibid., hlm. 108.


147

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 173


lah yang bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan
kelangsungan keluarga. Ibu (istri) hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga
dalam suatu rumah tangga. Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya
mendapatkan beberapa hak istimewa sebagai konsekuensi tanggung jawab
mereka yang demikian besar dibanding pihak istri atau perempuan secara
umum. Pembagian peran sudah demikian jelas: laki-laki mencari nafkah dan
melindungi keluarga, dan bergerak di bidang publik, sedangkan perempuan
berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak dan menyiapkan
makanan untuk seluruh anggota keluarga di dalam rumah atau kemah-kemah
(domestik).148
Dalam tafsir ini, Nasaruddin kemudian menggambarkan bahwa relasi
gender dalam dunia Arab saat-saat menjelang Islam datang dengan nyata
memberikan peran dominan pada laki-laki dalam berbagai bidang di wilayah
publik, sedangkan perempuan hanya menempati pada wilayah domestik.
Dengan penjelasan ini, yang ingin ditunjukkan adalah mengenai proses
penarikan kesimpulan dari suatu gagasan Al-Qur’an, seperti dipraktikkan
Nasaruddin tersebut, sangat terkait dengan banyak aspek budaya, alam, dan
psikologis. Dalam konteks masalah kesetaraan gender dalam perspektif Al-
Qur’an yang menjadi objek kajian, analisis di atas menjadi signifikan untuk
menangkap weltanschauung Al-Qur’an yang secara historis tidak bisa dilepaskan
dari budaya masyarakat pada era Al-Qur’an diturunkan.
Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, Dawam juga memosisikan pentingnya
menelisik struktur sosial dan budaya dalam sejarah masyarakat Arab ketika
Al-Qur’an diwahyukan. Dalam konteks masalah ini, Dawam menyorongkan
perlunya metode sejarah. Ia pun merekomendasikan perlunya penelaahan atas
buku-buku sejarah, seperti Muhammad at Mecca dan Muhammad at Madina,
yang ditulis oleh Montgomery Watt serta The Venture of Islam karya Marshall
G.S. Hodgson.149 Namun, Dawam tidak menguraikan lebih jauh apa aspek-aspek
penting di dalam sejarah itu. Dalam sebuah ruang sejarah di mana Al-Qur’an
diwahyukan, banyak dimensi yang harus dianalisis, yaitu dimensi sosiologis,
antropologis, kultural, psikologis, dan yang lain. Dengan demikian, mengkaji
aspek sejarah kaitannya dengan Al-Qur’an tidak akan menemukan konsepsi
yang utuh jika tidak menelusuri berbagai dimensi yang ada di dalamnya.
Namun, dalam tafsirnya itu, Dawam tidak sepenuhnya mempraktikkan apa
yang ia usulkan itu. Meskipun dalam judul tafsir itu ada frasa “Tafsir Sosial”
tetapi secara umum, ia tidak mengulas teks Al-Qur’an dalam kerangka sosiologis
di mana teks Al-Qur’an muncul dengan komprehensif. Kerangka analisis sosio-

Konsepsi ini dibangun Nasaruddin dengan merujuk pada Judith E. Tucher (ed.)
148

Arab Women (Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 1993). Lihat, ibid.,
hlm. 128.
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, hlm. 644-650.
149

174 _ Islah Gusmian


kultural yang dipakainya cenderung bersifat pragmentaris, tidak menyeluruh.
Memang banyak latar historis dia bentangkan, tapi seringkali hal itu tidak
menunjuk pada sosio-kultural masyarakat pra Al-Qur’an yang menjadi audiens
Al-Qur’an.
Sejumlah kasus bisa kita lihat di beberapa entri yang dia kaji. Dalam
menguraikan entri `abd150 misalnya, dia tidak mengulas perkembangan
struktur sosio-kultural di mana istilah ini dipakai. Padahal, kita tahu bahwa
`abd merupakan bahasa Arab, yang sebelum Al-Qur’an datang sudah dipakai
di masyarakat Arab. Bapak Nabi Muhammad saw. bernama `Abdullah, dan
kakeknya bernama `Abdul Muṭalib. Fakta ini menunjukkan bahwa sebelum Al-
Qur’an hadir, kata `abd telah dipakai oleh masyarakat Arab. Tentu saja dalam
kasus ini, bahasa sebagai salah satu bagian budaya, juga merepresentasikan ide-
ide dari kebudayaan yang sedang berkembang pada saat di mana sebuah terma
diproduksi. Persoalan yang mestinya dianalisis adalah pemakaian satu istilah
itu dalam dua ruang (masyarakat Arab dan Al-Qur’an), apakah mempunyai
struktur ide yang berbeda. Dan dalam konteks pengertian `abd bagaimana
situasi sosio-kultural masyarakat yang menjadi audiensnya?
Hal serupa terjadi ketika Dawam menganalisis masalah ribā.151 Di sini
Dawam cukup baik mengulas sejarah tentang ribā dalam konteks masyarakat
Abad Pertengahan, masyarakat Yunani, serta Yahudi. Tetapi dia justru
meninggalkan ruang sejarah masyarakat Arab pra Islam yang menjadi audiens
Al-Qur’an. Akibatnya, dalam analisisnya itu Dawam tidak membuat rajutan
atas konteks sosial dalam masalah yang dibicarakan ini dengan peristiwa yang
terjadi di dalam masyarakat Arab. Di sinilah terjadi rangkaian sejarah yang
meloncat dan terputus.
Pelacakan atas aspek budaya dan sejarah dalam pengertiannya yang luas di
atas sangatlah penting, mengingat suatu istilah yang sama namun berada dalam
domain sosio-kultural yang berbeda, seringkali mempunyai pengertian yang
berbeda pula karena mewakili suatu budaya dan gagasan yang berbeda. Dari
perspektif semiotik, proses penandaan dengan suatu istilah punya kaitan dan
sistem budaya masyarakat di mana istilah itu dipakai. Sebuah gagasan, melalui
bahasa, dibangun dan meletakkan dirinya pada akar sejarah masyarakatnya
sendiri.
Penggunaan analisis sosial sejarah ini juga terjadi pada Tafsir Tematik Al-
Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama. Salah satu contoh ketika
menjelaskan QS. Ālu `Imrān [3]: 28, al-Nisā’ [4]: 139. Dua ayat ini berbicara
tentang larangan bagi orang beriman mengambil orang kafir sebagai walī
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Kata kunci yang menggambarkan

Ibid., hlm. 170-189.


150

Ibid., hlm. 594-614.


151

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 175


tema pokok ayat ini adalah al-wilāyah (kolaborasi dan persekutuan). Di samping
mengutip berbagai pendapat para penafsir tentang maksud ayat ini, di dalamnya
ditegaskan pengertian ayat tersebut dalam konteks sosio-historis, yaitu
dinamika hubungan Nabi dan umat Islam era awal di satu pihak dengan umat
non-Muslim di pihak lain. Ayat ini, dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an dijelaskan
sebagai respons yang diberikan Al-Qur’an terhadap sikap yang ditunjukkan
golongan non Muslim pada masa itu terhadap Rasulullah.152
Atas dasar kenyataan itu, lalu disimpulkan bahwa ayat yang melarang
melakukan hubungan persahabatan dengan non Muslim itu tidak
menggambarkan “hubungan permanen”. Prinsip hubungan dengan non muslim
adalah pengakuan eksistensi umat beragama lain, perdamaian yang abadi, dan
bersikap adil. Kenyataan ini secara historis telah dibuktikan oleh Nabi saw.
ketika pertama datang di Madinah, di mana sikap pertama yang ia lakukan
adalah membentuk persaudaraan (antara kaum Muhajirin dan Anshar) dan
membentuk persatuan dengan golongan non Muslim yang ada di Madinah,
terutama orang Yahudi yang banyak tinggal di kota tersebut.153
Memperkuat analisisnya itu, penulis Tafsir Tematik Al-Qur’an mengutip
pasal 25 dari Piagam Madinah: “Bahwa orang-orang Yahudi Bani `Awf adalah
satu umat bersama orang-orang Mukmin; bagi orang-orang Yahudi itu agama
mereka dan bagi orang-orang Mukmin agama mereka. (Ketentuan ini berlaku
bagi) klien-klien dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berlaku zalim
dan bertindak salah, maka ia tidak lain hanya membawa keburukan atas dirinya
dan keluarganya.”154
Atas dasar itu, lalu disimpulkan bahwa dengan mengamati berbagai ayat
Al-Qur’an, hubungan persahabatan (wilāyah) dilarang dilakukan terhadap: 1)
orang-orang yang menghina dan memperolok agama (QS. al-Mā’idah [5]: 57);
2) orang-orang kafir yang mengingkari kebenaran (misalnya: QS. al-Nisā’ [4]:
89); dan 3) orang-orang yang melakukan penindasan dengan cara memerangi
dan mengusir kaum muslim. Selama alasan itu tidak ada, menurut penulis tafsir
ini, tidak dilarang untuk berhubungan baik dengan orang lain agama (QS. al-
Mumtaḥanah [60]: 9). Bahkan, Al-Qur’an melarang orang-orang beriman untuk
melakukan pelanggaran dan bertindak melampaui batas, karena kebencian
mereka terhadap golongan yang pernah mengganggu kebebasan beragama
mereka (QS. al-Mā’idah [5]:2). Sebaliknya, mereka diperintahkan untuk
melakukan kerjasama dalam kebaikan dan takwa serta dilarang melakukan
kerja sama dalam berbuat dosa dan kejahatan.155

152
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antarumat Beragama, hlm. 93.
Ibid., hlm. 93-94.
153

Ibid., hlm. 27.


154

Ibid., hlm. 97-98.


155

176 _ Islah Gusmian


Selain dua tafsir di atas, model analisis sosio-historis juga dipakai dalam
Tafsir Al-Mishbah. Salah satu contoh ketika dalam tafsir ini Quraish menguraikan
QS. al-Nisā’ [4]: 3. Dalam konteks ayat ini, ia menelisik tradisi pernikahan di
Arab pra Islam untuk mendudukkan tentang ayat yang sering dipandang banyak
orang sebagai anjuran poligini dalam Islam bila memang mampu berlaku
adil.156 Dalam kasus yang sama, Tafsir bi al-Ra’yi melakukan hal serupa. Dalam
tafsir ini, Baidan menelusuri tradisi poligini sebelum Islam. Dengan mengutip
informasi dari al-Sibā’ī, ia menjelaskan bahwa poligini sudah ada di kalangan
bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba, pada bangsa Yunani, China, India,
Babylonia, Assyria, Mesir, dan lain-lain. Pada saat itu, poligini tidak terbatas,
sehingga bisa mencapai 130 istri bagi seorang suami. Bahkan ada seorang raja
China yang mempunyai istri 30.000 orang.157
Dari penelusuran yang ia lakukan, Baidan meletakkan teks Al-Qur’an yang
berbicara tentang poligini dalam medan sejarahnya. Namun, penyimpulan yang
dilakukan Quraish dan Baidan berbeda. Quraish menggaris-bawahi bahwa
yang terpenting dalam kasus poligini ini bukan boleh atau tidaknya. Sebab, Al-
Qur’an dalam hal ini tidak sedang berbicara dan mengatur tentang poligini.
Namun, bagaimana sistem kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan itu
bisa ditegakkan bersama dengan melihat aspek fundamentalnya dalam proses
pernikahan itu, misalnya keturunan, kesehatan, kehormatan, dan kebutuhan
biologis.158 Sedangkan Baidan menyimpulkan bahwa poligini dalam ayat di atas
sebagai bentuk regulasi yang dilakukan oleh Islam.159
Buku Dalam Cahaya Al-Qur’an juga memosisikan analisis sosio-historis
sebagai satu aspek penting dalam praktik penafsiran. Tanpa harus terpaku pada
sumber asbāb al-nuzūl, sebagai satu-satunya rujukan, tafsir ini mengajak kita
memasuki berbagai kondisi masyarakat di mana teks Al-Qur'an diwahyukan.
Tetapi berbeda dengan yang dilakukan Quraish, Nasaruddin, maupun
Nashruddin, yang secara terbuka melakukan penelisikan sejarah dan budaya
masyarakat Arab untuk meletakkan sebuah makna yang sesuai suatu ayat,
Syu’bah dalam tafsirnya itu tidaklah demikian. Uraian-uraian yang disajikan
Syu’bah sangat pendek. Mungkin ini salah satu konsekuensi tafsir yang naskah
awalnya ditulis di media massa mingguan: penulisannya dikejar deadline dan
dibatasi dengan jumlah halaman, sehingga ia kurang leluasa memberikan
jabaran secara luas.
Di atas semua itu, secara umum tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-
an yang ditulis dengan penyajian tematik, dan lebih khusus yang lahir dari
kepentingan akademik, menempatkan analisis sosial dan sejarah menjadi salah

Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 32-237.


156

Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 95.


157

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 237.


158

Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 99.


159

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 177


satu aspek penting dalam praktik penafsiran. Adapun tafsir yang ditulis dengan
penyajian runtut yang kuat mengeksplorasi aspek sosial sejarah terlihat pada
Tafsir Al-Mishbah.

b. Analisis Semiotik: Melalui Bahasa Menangkap Makna


Menurut Abū Zayd, bahasa mengandung aturan-aturan konvensional
kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan
ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai kebudayaannya sendiri,
konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan kulturalnya sendiri. Konteks
percakapan (siyaq al-takhātub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa
(bunyah lughawiyyah) berkaitan dengan hubungan antara pembicara dan
partner bicara, yang mendefinisikan karakteristik teks pada satu sisi dan
otoritas tafsir pada sisi yang lain.160
Dalam konteks ini, makna-makna dari suatu bahasa yang telah
tertekstualisasi mengarahkan kita tentang perlunya menganalisis makna
dari kata. Dalam perspektif semiotik, bahasa adalah penanda (signified) yang
terkait dengan yang ditandai (signifier). Bagi Ferdinand de Saussure, seorang
ahli linguistik, bahasa sebagai sistem tanda (sign) itu hanya dapat dikatakan
sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa, bila mengekspresikan atau
menyampaikan ide-ide atau pengertian-pengertian tertentu.161
Oleh karena itu, bahasa bagi Saussure bukanlah sekadar nomenklatur.
Tinanda-tinandanya bukanlah konsep yang sudah ada lebih dulu, tetapi
konsep-konsep yang dapat berubah-ubah mengikuti perubahan kondisi ke
kondisi yang lain. Tinanda dengan demikian tidaklah mandiri dan otonom yang
masing-masing memiliki esensi atau inti yang menentukannya. Ketinandaan
dan kepenandaan ditentukan oleh “hubungan-hubungannya”. Dalam hubungan-
hubungan ini, Saussure lalu membaginya menjadi dua. Pertama, hubungan
associative atau yang biasa dikenal dengan istilah paradigmatik, dan kedua
hubungan syintagmatic. Hubungan ini terdapat dalam kata sebagai rangkaian
bunyi maupun sebagai konsep.162
Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya
dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam
sebuah kalimat, atau juga bisa antardua kata, di mana kata pertama muncul
sebagai subjek bagi kata yang kedua. Selanjutnya saat menuturkan sesuatu,
seseorang pada dasarnya juga memilih suatu kata dari perbendaharaan kata
yang ia ketahui dan disimpan dalam ingatan. Sebagian kata yang tidak kita pilih

Abū Zayd, al-Naṣṣ, al-Sulṭah, al-Ḥaqīqah, hlm. 96-98.


160

Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra


161

(Yogyakarta: Galangpress, 2001), hlm. 36. Lebih lengkap dapat dilihat, Ferdinand de
Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996).
Ibid., hlm. 37.
162

178 _ Islah Gusmian


yang ada dalam ingatan itu memiliki hubungan asosiatif dengan kata yang kita
ucapkan. Hubungan inilah yang disebut sebagai rangkaian paradigmatik.163
Teks Al-Qur’an, dalam konteks linguistik juga merupakan sistem tanda
yang merepresentasikan ide-ide sebagai tinandanya. Unsur-unsur kalimat
yang ada di dalamnya juga mengharuskan dipahami dalam konteks hubungan
sintagmatik dan asosiatif itu. Sebab, dengan cara demikian, makna dari sebuah
kata akan ditemukan yang sesuai dengan konteks kalimat, sehingga kata yang
sama, dalam hubungan sintagmatik yang berbeda, bisa jadi akan mengungkap
makna yang berbeda, dan makna yang berbeda mengantarkan suatu gagasan
yang berbeda. Bahkan, bila kita mengacu pada pendapat Jakobson yang
menganggap bahwa ‘kata’ tidak lagi dianggap sebagai satuan linguistik yang
paling elementer, tapi unsur yang paling dasar adalah bunyi (fonem), maka
kita juga akan menemukan analisis mendasar dari kata sebagai penanda yang
memberikan makna berbeda.
Mencermati tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an dalam kerangka teori
di atas, secara umum menempatkan analisis semiotik, sebagai kerangka dasar
yang cukup penting di dalam merumuskan gagasan yang ingin disampaikan
oleh Al-Qur’an. Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim yang ditulis Quraish, termasuk
yang cukup baik dalam konteks analisis semiotik ini. Beberapa contoh bisa
diperlihatkan di sini. Ketika menguraikan tentang arti kata yawm dan al-dīn
dalam QS. al-Fātiḥah [1]: 4, Quraish memperlihatkan relasi sintagmatis menjadi
begitu penting dalam proses pembentukan makna. Dalam komunikasi sehari-
hari, kata yawm diterjemahkan dengan ‘hari’. Kata ini terulang di dalam Al-
Qur’an sebanyak hari-hari dalam setahun (365 kali). Namun, menurut Quraish
tidak semua kata tersebut mengandung arti yang sama dengan hari yang kita
kenal dalam kehidupan dunia ini. Al-Qur’an, menurut Quraish, menggunakan
kata yawm dalam arti “waktu” atau “periode” yang terkadang sangat panjang
menurut ukuran kita. Alam raya diciptakan dalam enam hari. Enam hari di
sini tentu bukan dalam arti 6 X 24 jam. Kelahiran Isa a.s. juga dinamai “hari
kelahiran”. Ini tentu hanya berlangsung beberapa saat.164
Kata yawm di atas kemudian membentuk relasi sintagmatis yang
menentukan kata selanjutnya, yaitu al-dīn. Kata al-dīn, bahkan semua kata yang
terdiri dari huruf yang sama, meskipun dengan bunyi harakat yang berbeda,
seperti dīn (agama), atau dayn (utang), dan yadīn (menghukum), semuanya
menggambarkan hubungan dua pihak di mana pihak pertama mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan pihak kedua. Kata al-dīn
dalam konteks ayat di atas, oleh Quraish dimaknai sebagai “pembalasan” atau
“perhitungan”, karena pada “hari” itu, terjadi perhitungan dan pembalasan dari

Ibid., hlm. 48.


163

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, hlm. 27.


164

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 179


Allah. Ketika itu, semua makhluk tanpa kecuali menampakkan ketaatannya
kepada Allah dalam bentuk yang sangat nyata.
Dari sini, Quraish memperlihatkan relasi sintagmatis kata yawm dan al-dīn
yang telah membentuk kedua kata itu dalam maknanya yang berbeda seperti
yang kita kenal sehari-hari.165 Relasi sintagmatis antarkedua kata itu sangat
menentukan makna-makna yang dibawanya, sebagai tinandanya (signified).
Dan dari sini, weltanschauung Al-Qur’an bisa dideskripsikan secara utuh. Di
akhir uraiannya, Quraish menggarisbawahi bahwa kita tidak bisa tahu persis
tentang berapa lama berlangsungnya “hari” dalam konteks yawm al-dīn. Dan
inilah gagasan yang disampaikan Al-Qur’an, melalui dua kata itu: tentang Hari
Pembalasan.
Nasaruddin dalam tafsir Argumen Kesetaraan Jender, meskipun tidak
secara tegas menyebut analisis yang dipakainya sebagai analisis semiotik,
juga menyuguhkan bagaimana sebuah kata maknanya sangat ditentukan oleh
relasi-relasinya dengan konteks kata-kata yang lain. Salah satu contoh ketika
ia menguraikan kata rajul dalam Al-Qur’an yang maknanya sangat variatif.
Pertama, dalam makna gender laki-laki, dalam QS. al-Baqarah [2]: 282.166 Dalam
ayat ini, kata rijāl (jamak dari kata rajul) maknanya ditekankan pada aspek
gender, bukan aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-
laki. Meskipun, Nasaruddin tidak menjelaskan relasi kata rijāl dengan kata
sebelumnya, yakni wasytasyhidū, yang relasi itu menentukan pembentukan
makna, namun dilihat dari kesimpulan makna yang diambil menunjukkan
bahwa kata rijāl telah bergeser maknanya dari makna dasarnya.167
Nasaruddin memberikan bukti-bukti rasional dan historis atas
kesimpulannya itu dengan satu konsepsi bahwa tidak semua yang berjenis
kelamin laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang sama. Anak laki-laki di
bawah umur, laki-laki hamba, dan laki-laki yang tidak normal akalnya tidak
termasuk di dalam kualifikasi saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut, karena
laki-laki tersebut tidak memenuhi syarat sebagai saksi dalam hukum Islam.168
Secara historis, pengertian ini masuk akal, mengingat situasi masyarakat Arab
ketika ayat ini turun, perempuan tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi
saksi, karena dianggap tidak representatif, akibat struktur budaya patriarkal.
Makna kedua, dari kata al-rajul dalam arti orang, baik laki-laki maupun
perempuan. Makna ini diacukan pada QS. al-A`rāf [7]: 46; al-Aḥzāb [33]: 23;
ketiga dalam arti Nabi dan rasul, terjadi pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 7, Sabā’ [34]:
7, al-A`rāf [7]: 63, 69, Yūnūs [10]: 2, al-Mu`minūn [23]: 25; keempat dalam

Ibid.
165

Makna yang sama terjadi pada QS. al-Baqarah [2]: 228; al-Nisā’ [4]: 32 dan 34.
166

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 148-149.


167

Ibid.
168

180 _ Islah Gusmian


arti tokoh masyarakat (Q.S. Yāsīn [36]: 20, al-A`rāf [7]: 48; dan kelima dalam
arti budak (Q.S. al-Zumar [39]: 29, al-Nisā’ [4]: 1, al-Naml [27]: 55.169 Semua
perubahan dan pergeseran makna itu terjadi, karena adanya relasi sintagmatis
di dalam rangkaian kalimat. Nasaruddin telah menunjukkan dan sekaligus
memverifikasinya dengan cukup baik perubahan makna yang terjadi di dalam
Al-Qur’an itu.
Setelah Argumen Kesetaraan Jender kita beralih ke Ensiklopedi Al-Qur’an.
Tafsir yang ditulis Dawam ini diarahkan untuk menemukan suatu makna
dari terma-terma kunci yang diacu pada Al-Qur’an. Di beberapa tempat,
ia menampilkan satu istilah yang dipakai Al-Qur’an dengan ragam variasi,
frekuensi, dan letaknya. Ia juga menunjukkan hubungan asosiatif (paradigmatik)
dari sebuah kata yang menjadi pusat acuan penentuan terma kunci. Misalnya,
ketika menganalisis terma khalīfah, Dawam menunjukkan bahwa kata itu
diulang sebanyak 127 kali, dalam 12 kata jadian. Maknanya, berkisar antara kata
kerja menggantikan, meninggalkan, atau kata benda, pengganti atau pewaris,
tetapi ada juga yang artinya telah “menyimpang”, seperti berselisih, menyalahi
janji, atau beraneka ragam.170 Salah satu contoh yang ia tampilkan adalah QS.
al-A`rāf [7]: 17, di mana kata khalf dimaknainya ‘belakang’; QS. al-A`rāf [7]: 69,
di mana kata khalīfah dimaknai ‘pengganti’, yakni generasi yang menggantikan
generasi sebelumnya, dan pada QS. al-A`rāf [7]: 74, 132, dan 169.
Dalam konteks untuk menemukan rumusan pengertian khilāfah dalam Al-
Qur’an, Dawam memusatkan kajiannya pada QS. al-Baqarah [2]: 40, al-An`ām
[6]: 125, Yūnūs [10]: 13-14, 73, dan Ṣād [38]: 26. Untuk konteks tiga sūrah ini,
ia membangun pemaknaan yang dari segi semiotik jelas disebabkan adanya
relasi sintagmatik. Untuk QS. al-Baqarah [2]: 40, maknanya menurutnya adalah
Allah menciptakan khalifah di bumi, yaitu Adam; pada QS. al-An`ām [6]: 125,
dengan mengutip pendapat Muhammad Ali dalam The Holy Qur’an, maknanya
‘penguasa di bumi’; pada QS. Yūnūs [10]: 13-14 diberinya pengertian ‘penguasa-
penguasa di antara manusia di muka bumi’, dan untuk ayat ke-73 dimaknainya
dengan penguasa dalam konteks sejarah Nabi Nuh a.s. Sedangkan untuk kasus
QS. Ṣād [38]: 26, diberi makna penguasa spesifik untuk Nabi Dawud a.s.171
Uraian Dawam ini cukup baik dan lengkap dalam menjelaskan bagaimana
sebuah makna kata begitu dinamis, bergerak, dan sekaligus berubah-ubah
tergantung pada konteks relasinya. Namun, tidak seperti yang dilakukan Quraish
dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, dalam kasus ini Dawam tidak menunjukkan
secara komprehensif relasi-relasi sintagmatis yang menyebabkan adanya
perubahan makna tersebut.

Ibid., hlm. 144-159.


169

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, hlm. 350.


170

Ibid., hlm. 353-356.


171

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 181


Beberapa tafsir lain, yaitu Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, Konsep Perbuatan
Manusi Menurut Qur’an, Ahl Al-Kitab, Makna dan Cakupannya, Dalam cahaya
Al-Qur’an, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Menyelami
Kebebasan Manusia, Memasuki Makna Cinta, dan Jiwa dalam Al-Qur’an, juga
merepresentasikan analisis semiotik semacam ini. Di dalam delapan tafsir
yang terakhir ini analisis semiotik dipakai untuk mendapatkan pengertian yang
sesuai dari suatu kata dalam konteks kalimat tertentu. Di dalam Ahl Kitab Makna
dan Cakupannya misalnya, ketika menganalisis istilah Ahl al-Kitāb. Istilah ini
berasal dari dua kata: ahl dan kitāb. Kata ahl dalam konteks relasi asosiatif
(paradigmatik) mempunyai arti ‘ramah’, ‘senang’, atau ‘suka’. Juga berarti orang
yang tinggal bersama dalam suatu tempat tertentu, dan bisa berarti masyarakat
atau komunitas tertentu. Dalam perkembangannya, kata itu dipakai untuk
menunjuk hubungan yang sangat dekat. Dalam Al-Qur’an, menurut Galib, kata
ahl yang terulang 125 kali itu, ditemukan penggunaannya secara bervariasi,
namun secara umum makna yang terkandung dapat dikembalikan pada
pengertian bahasa.172
Sedangkan kata kitāb mempunyai pengertian menghimpun sesuatu
dengan sesuatu yang lain, lalu juga diartikan tulisan. Dalam konteks Al-Qur’an,
kemudian mempunyai makna yang bervariasi, yaitu meliputi pengertian
‘tulisan’, ‘kitab’, ‘ketentuan’, dan ‘kewajiban’. Lalu menunjuk juga pada Kitab
Suci yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, dengan penggunaannya yang
bersifat umum: sebelum Muhammad atau pun yang diturunkan kepada
Muhammad sendiri. Ketika dua kata ini disatukan menjadi satu istilah, lalu
memberikan makna baru, yaitu menunjuk pada komunitas Yahudi dan Nasrani
(QS. Ālu `Imrān [3]: 64, khusus untuk menunjuk pada kaum Yahudi (QS. al-
Baqarah [2]: 105), khusus menunjuk kaum Nasrani (QS. al-Nisā’ [4]: 171, dan
QS. al-Mā’idah [2]: 77.173 Perubahan-perubahan di atas terjadi karena relasi
sintagmatis tersebut.
Model analisis di atas bisa kita temukan pula dalam Konsep Kufr dalam
Al-Qur’an. Salah satu contoh ketika Cawidu dalam tafsir ini menguraikan
istilah ẓulm. Istilah ini dengan derivasinya terulang sebanyak 289 kali dalam
Al-Qur’an, dan mempunyai arti yang bervariasi, yaitu aniaya, kejahatan, dosa,
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan seterusnya. Pergeseran makna ini
bisa terjadi tergantung pada relasi sintagmatisnya. Dari konteks pergeseran
ini, Cawidu menganalisis kaitannya dengan perilaku kufr. Dan sejauh proses
berubahan makna tersebut, ia menggarisbawahi bahwa makna dalam konteks
relasi asosiatif itu bisa dirujukkan pada arti dasarnya, yaitu: “menempatkan
sesuatu bukan pada tempat yang semestinya”.174

Ibid., hlm. 20-21.


172

Ibid., hlm. 22-25.


173

Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 62-63.


174

182 _ Islah Gusmian


Dalam kasus istilah yang berbeda, dibahas Jalaluddin dalam Konsep
Perbuatan Manusia Menurut Qur’an. Ia menganalisis istilah `amal dalam Al-
Qur’an. Kata ini dipakai Al-Qur’an dalam berbagai bentuk. Menurut Jalaluddin,
subjek dari `amal bisa Tuhan, malaikat, jin, dan manusia. Di dalam Al-Qur’an,
dari 319 ayat dijumpai 312 ayat yang melibatkan pelakunya adalah manusia.
Dalam konteks makna perbuatan, di sini mencakup perbuatan baik atau buruk.
Lebih spesifik, kata `amal dengan berbagai derivasinya berkaitan dengan
masalah-masalah eskatologis.175
Tafsir Menyelami Kebebasan Manusia juga menunjukkan hal sama. Di
dalam tafsir ini, Machasin menunjukkan bahwa sebuah kata mengalami
berubahan makna karena adanya relasi sintagmatis. Di antaranya, ketika ia
menjelaskan tentang pengertian kata hudā. Dengan merujuk pada al-Hamazānī
dalam Mutasyābih al-Qur’ān, Machasin menjelaskan bahwa kata ini dalam Al-
Qur’an mempunyai empat pengertian: 1) petunjuk atau penjelasan, misalnya
ketika dipakai untuk bicara tentang fungsi Al-Qur’an sebagai hudā bagi manusia
(QS. al-Baqarah [2]: 185, al-A`rāf [7]: 203, Yūsūf [12]: 111, al-Naḥl [16]: 64); 2)
penambahan petunjuk, yang berlaku kepada orang-orang yang telah beriman
dan mendapatkan petunjuk (QS. al-Kahfi [18]: 13, Maryam [109]: 76); 3) balasan
baik, berlaku pada orang yang beriman (QS. Muḥammad [47]: 4-5, Yūnūs [10]:
9 ); dan 4) bimbingan bagi mukminin ke jalan keselamatan (QS. al-Fātiḥah [1]:
6, al-Nisā’ [4]: 168-9, al-Ṣaffāt [37]: 23).176
Berbeda dengan Menyelami Kebebasan Manusia yang kurang sistematis
cara menganalisis istilah-istilah kunci, pada Memasuki Makna Cinta tampak
penulisnya lebih sistematis dan detail dalam menganalisis istilah-istilah yang
terkait dengan objek yang dikaji. Hal ini terlihat ketika menganalisis kata ḥubb.
Kata ḥubb, dibandingkan dengan jenis isim, jenis fi`l lebih sering dipakai dalam
Al-Qur’an, khususnya fi`l muḍāri`. Kata yuḥibbu yang paling sering dipakai Al-
Qur’an untuk menunjukkan suatu pengertian cinta yang memiliki orientasi
kekinian atau akan datang serta sifat-sifat fleksibel sesuai dengan tuntutan
keadaan. Al-Qur’an senantiasa pula menyebutkan kata yuḥibbu dengan subjek
Allah, kecuali dalam satu ayat, yaitu QS. Ḥujurāt [49]: 12. Dari sini terlihat bahwa
pengertian cinta yang dominan telah diisi dengan sifat-sifat Allah. Pengertian
awal cinta yang hanya bersifat emosional-personal semata telah bergeser
menjadi cinta yang berorientasi kekinian, gerakan dan tindakan, penegakan
nilai-nilai luhur, bersifat sosial, dan fleksibel.177
Dalam Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an digunakan cara
yang sama dalam menganalisis kata insān. Dalam Al-Qur’an, kata al-insān dan
kata al-ins keduanya dapat berasal dari satu kata anisa. Namun dalam Al-Qur’an

Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, hlm. 47-49.


175

Machasin, Menelusuri Kebebasan Manusia, hlm. 93.


176

Ibid., hlm. 33-4.


177

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 183


kata al-ins selamanya dipakai dalam kaitan dengan al-jinn, sehingga kata al-
jinn dapat diartikan sebagai lawan kata jinak, yaitu buas.178 Dari uraian ini,
lalu disimpulkan bahwa kata insān merujuk dari berbagai derivasi dari asal
usulnya, dalam Al-Qur’an mempunyai makna yang terkait dengan sikap yang
lahir dari kesadaran penalaran. Manusia pada dasarnya adalah jinak dan dapat
menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia
menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan dia tidak liar, baik secara sosial
maupun alamiah.179
Tafsir terakhir adalah Jiwa dalam Al-Qur’an. Di salah satu bagian, penulisnya
menganalisis istilah nafs. Dengan mengutip Ibnu Manzūr, Mubarak menjelaskan
bahwa kata nafs mempunyai keragaman arti, yaitu: roh, diri manusia, hakikat
sesuatu, darah, saudara, kepunyaan, kegaiban, ukuran samakan kulit, jasad,
kedekatan zat, mata, kebesaran dan perhatian.180
Dalam sastra Arab kuno, kata nafs digunakan untuk menyebut diri
seseorang, sementara kata rūḥ digunakan untuk menyebut napas dan angin.
Pada masa turunnya Al-Qur’an, kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau
sisi-dalam manusia (QS. al-Naḥl [16]: 102, al-Ma`ārij [70]: 4, al-Naba’ [78]: 38,
al-Qadr [97]: 4), sementara rūḥ digunakan untuk menyebut malaikat Jibril atau
anugerah ketuhanan yang istimewa (QS. al-Mujadilah [58]: 22, al-Syūrā [42]:
52, al-Syu`arā [26]: 193, al-Naḥl [16]: 102, al-Ma`ārīj [70]: 4, al-Naba’ [78]: 38,
al-Qadr [97]: 4).181
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa telah terjadi proses pergeseran
makna dari satu kata karena relasi sintagmatisnya, tapi juga ketika kata itu telah
diadopsi oleh Al-Qur’an, makna yang muncul menjadi khas Al-Qur’an. Lebih
jauh, tafsir ini menguraikan keragaman makna nafs dalam Al-Qur’an dilihat
dari konteks relasi sintagmatisnya. Ada tujuh makna dari nafs yang berubah-
ubah yang berhasil ditunjukkan buku ini, yaitu: 1) dalam pengertian diri atau
seseorang (QS. Ālu `Imrān [3]: 61); 2) sebagai diri Tuhan (QS. al-An`ām [6]:
12, 54; 3) sebagai person sesuatu (QS. al-Furqān [25]: 3, al-An`ām [6]: 130);
4) sebagai roh (QS. al-An`ām [6]: 93); 5) sebagai jiwa (QS. al-Syams [91]: 7; 6)
sebagai totalitas manusia (QS. al-Mā’idah [5]: 32); dan 7) sebagai sisi dalam
manusia yang melahirkan tingkah laku (QS. al-Ra`d [13]: 11, al-Anfāl [8]: 53.182
Secara umum, tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an memandang analisis
semiotik ini, dengan dua relasinya (sintagmatis dan paradigmatis), merupakan
salah satu analisis penting. Perubahan dan pergeseran makna kata dalam

Musa Asy`arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan, hlm. 19-20.


178

Ibid.
179

Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, hlm. 43.


180

Ibid.
181

Ibid., hlm. 44.


182

184 _ Islah Gusmian


struktur kalimat, dengan model analisis ini, akan diketahui dengan baik.
Model ini banyak ditempuh oleh para penulis tafsir yang menulis tafsir dengan
penyajian tematik singular, khususnya yang lahir dari tugas akademik di
perguruan tinggi.

c. Metode Semantik: Menangkap Pandangan-Dunia Al-Qur’an


Gagasan tentang analisis semantik dalam konteks Al-Qur’an pada mulanya
dipopulerkan oleh Toshihiko Izutsu. Dalam pengertian etimologis, semantik
merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian
yang lebih luas dari kata. Begitu luas, sehingga hal-hal yang mungkin dianggap
memiliki makna merupakan objek semantik. Dan ‘makna’ dalam pengertian
dewasa ini dilengkapi persoalan-persoalan penting para pemikir yang bekerja
dalam berbagai bidang kajian, khususnya seperti linguistik itu sendiri, sosiologi,
antropologi, psikologi, dan seterusnya.183
Bagi Izutsu, kajian semantik merupakan kajian analitis terhadap istilah-
istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada
pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan-dunia masyarakat yang
menggunakan bahasa itu. Tidak hanya sebagai alat berbicara dan berpikir,
tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepsian dan penafsiran dunia yang
melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini, bagi Izutsu merupakan kajian
tentang sifat dan struktur pandangan-dunia sebuah bangsa saat sekarang atau
pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis
metodologis terhadap konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri
dan telah mengkristal ke dalam kata kunci bahasa itu.184
Analisis semantik tidak hanya berkaitan dengan elemen-elemen suatu
kalimat, atau korelasi antarkalimat, atau berkaitan dengan perluasan figuratif
dalam arti bentuk gramatikal dan style, seperti yang terjadi dalam analisis
semiotik, tetapi menyangkut weltanschauung Al-Qur’an, yaitu suatu gagasan
dan pandangan-dunia Al-Qur’an yang bisa diperoleh dengan membongkar
signifikansi yang implisit atau yang oleh Abū Zayd disebut sebagai al-maskūt
`anhu di dalam struktur wacana teks. Dan dengan demikian analisis teks, melalui
tanda linguistik, haruslah mengungkap yang tak terkatakan itu.185
Analisis semantik semacam ini juga merepresentasikan kepentingan dalam
merangkum gagasan Al-Qur’an yang terpecah-pecah. Artinya, konteks internal
Al-Qur’an, juga berkaitan dengan “ketakintegralan” struktur teks Al-Qur’an dan
pluralitas wacananya. Ketakintegralan ini terjadi karena adanya perbedaan

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic
183

Weltanschauung (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964),
hlm. 12.
Ibid.
184

Ibid., hlm. 109.


185

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 185


antara urutan teks (tartīb al-ajzā’) dan urutan pewahyuan (tartīb al-nuzūl), di
samping memang, teks Al-Qur’an hakikatnya bersifat plural dan tidak mungkin
memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level spesifiknya. Level
spesifik ini berkaitan dengan konteks pewahyuan yang didasarkan pada fakta-
fakta yang masing-masing bagian mempunyai konteks dan bahasanya sendiri,
karena audiensnya berbeda-beda.
Dalam tafsir di Indonesia era 1990-an, metode semantik ini menjadi
salah satu metode yang dipakai, terutama dalam proses perkembangan di
mana model penyajian tematik cukup dominan. Ini terjadi disebabkan metode
semantik yang pada dasarnya hendak menangkap weltanschauung Al-Qur’an
searah dengan tujuan model penyajian tematik yang hendak merumuskan
pandangan Al-Qur’an dalam suatu masalah tertentu secara komprehensif.
Analisis semantik pada awalnya mengandaikan adanya keharusan kajian
kebahasaan secara umum, baik dalam konteks bagaimana sebuah kata dipakai
menjadi istilah kunci dalam Al-Qur’an, ataupun proses perkembangan dan
perluasan medan semantiknya yang menjadi bangunan dasar dalam perumusan
pandangan-dunia Al-Qur’an. Pada era 1990-an metode penafsiran semacam ini
digemari oleh para sarjana di bidang kajian Al-Qur’an di Indonesia. Beberapa
tafsir yang lahir dalam kepentingan akademik, secara umum memanfaatkan
metode ini. Namun, sejauh sebagai sistem analisis, metode semantik merupakan
salah satu metode yang dilakukan dalam model teknis tafsir runtut.
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Quraish merupakan salah satu tafsir—
meskipun tidak ditulis dengan model penyajian tematik—yang cukup kuat
dalam menelisik pandangan-dunia Al-Qur’an dengan memulai dari pengertian
dasar istilah yang dipakai Al-Qur’an. Misalnya, ketika ia menjelaskan arti
anzalnā dengan nazzalnā biasanya diterjemahkan: “kami telah turunkan”. Kata
yang pertama mempunyai arti “menurunkan sedikit demi sedikit”, sedangkan
kata yang kedua mempunyai arti “menurunkan secara sekaligus”.186
Pemaknaan ini terkait dengan persoalan diturunkannya wahyu oleh Tuhan
kepada Nabi saw. Artinya bahwa bahasa yang secara kultural maknanya telah
biasa dipakai oleh masyarakat pra Al-Qur’an, ketika Al-Qur’an hadir, digunakan
dalam konteks makna yang berbeda. Di sinilah Quraish menunjukkan kepada
kita bahwa Al-Qur’an membangun pandangan-dunianya secara khusus. Namun,
penggunaan analisis semantik dapat lebih mendalam dalam tafsir tematik,
sebab dibarengi dengan metode rujuk silang antarteks, sehingga menemukan
makna yang komprehensif dan holistik. Argumen Kesetaraan Jender karya
Nasaruddin Umar, misalnya, dengan analisis semantik dalam model tafsir
tematik mampu merekonstruksi atas ketimpangan gender yang terjadi dalam
masyarakat patriarkal.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, hlm. 716.


186

186 _ Islah Gusmian


Untuk menemukan pandangan-dunia Al-Qur’an tentang relasi laki-laki
perempuan secara utuh, di dalam Argumen Kesetaraan Jender tidak cukup
dianalisis kata rajul dalam konteks bahasa, tetapi juga istilah-istilah yang
mengungkapkan makna tentang identitas gender yang dipakai Al-Qur’an
dengan medan semantiknya. Dalam konteks ini, dibahas kata al-nisā’, al-żakar,
dan al-untsā sebagai identitas gender lain dalam Al-Qur’an187 serta kata al-zawj,
al-zawjah, al-ab, dan al-umm sebagai gelar status yang berhubungan dengan
jenis kelamin.188 Oleh karena itu, setiap perumusan terhadap konsep atau
tema tertentu dalam Al-Qur’an, selalu berkaitan dengan kata kunci dan medan
semantik yang harus dianalisis.
Langkah serupa terjadi dalam Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an. Ketika Asy'arie, dalam tafsir ini, menggali peran manusia dalam
pembentukan kebudayaan, ia menjelaskan unsur-unsur semantik tentang
makna kata insān dan basyar, serta kata `abd dan khalīfah yang digunakan
dalam Al-Qur’an. Kata insān memiliki makna dasar “jinak”, dalam konteks Al-
Qur’an menurut Asy'arie memberikan pengertian adanya kaitan sikap yang
lahir dari kesadaran penalaran. Sebab, pada dasarnya manusia adalah jinak
dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan.
Adapun basyar, makna dasarnya adalah permukaan kulit kepala, wajah, dan
tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Dengan mengutip Ibn Manẓūr
dan bint al-Syāṭi`, Asy'arie menjelaskan bahwa istilah ini digunakan Al-Qur’an
untuk menyebut pada semua makhluk yang mempunyai pengertian adanya
persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Manusia dengan penyebutan
basyar ini pengertiannya adalah yang tergantung dengan alam dan menempati
ruang dan waktu.189
Hal serupa terdapat dalam Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Cawidu dalam
tafsirnya ini menelusuri istilah-istilah yang secara langsung menunjuk pada
konsep kekafiran dengan berbagai variasi makna dan konteksnya, yaitu: juḥūd,
inkār dan nakr, ilḥād, syirk, serta istilah-istilah yang secara tidak langsung
menunjuk pada kekafiran, yaitu: fusūq, ẓulm, ijrām, `isyan, ḍalāl, ghayy, isrāf,
I`tidā’, fasād, ghaflat, kiżb, istikbār dan takabbur.190
Tiga tafsir lain juga melakukan langkah-langkah serupa. Pertama, Konsep
Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an. Di dalamnya Jalaluddin menelusuri
istilah-istilah yang dipakai Al-Qur’an kaitannya dengan masalah perbuatan
manusia. Ada enam kata kunci yang dianalisis, yaitu al-fi`l (kerja), al-`amal
(perbuatan), al-sa`yu (berusaha), al-ṣan` (berbuat), al-iqtirāf (mengerjakan),
dan al-jarah (pekerjaan). Kata-kata ini menurutnya merupakan kata-kata yang

Ibid., hlm. 159-160.


187

Ibid., hlm. 173-191.


188

Lihat, Musa Asy`arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan, hlm. 19-22, dan 35-38.
189

Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 54-85.


190

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 187


searti dengan kata kasb. Diungkap juga hubungan antara kata kasb dengan
kata yang lain tersebut,191 kemudian ia menguraikan peranan manusia dalam
perbuatannya melalui empat terma, yaitu: al-irādah (kehendak), al-masyi`ah
(keinginan-keputusan), al-qudrah (kekuasaan atau daya), dan al-istiṭā`ah
(kemampuan).192
Kedua, Memasuki Makna Cinta. Di dalam tafsir ini dianalisis tiga kata
kunci, yaitu: ḥubb, wudd, dan raḥmah. Ketiganya secara struktural dianalisis
dari sisi gramatikal dan dikategorisasikan penggunaannya dalam tema dan
makna tertentu. Kata ḥubb, kategorisasi penggunaannya ada 11 tema, yaitu:
cinta kepada kehidupan dunia, cinta kepada harta benda, cinta kekafiran, cinta
dan relativitas baik-buruk, cinta asmara, cinta keluarga, cinta hidayah dan
keimanan, cinta terhadap pertolongan Allah, cinta pengorbanan dan ketulusan,
cinta manusia terhadap Tuhan, cinta Tuhan kepada hamba-Nya.193
Kata wudd dikategorisasikan dalam 11 makna, yaitu keinginan jahat orang
kafir, keinginan jahat orang Islam untuk merebut harta orang kafir, keinginan
utopis orang kafir di akhirat, keinginan hidup lama dan riya, cinta semu
penyembah berhala, cinta seksual, cinta antara keluarga, cinta semu orang Islam
terhadap musuh-musuh mereka, cinta orang Nasrani terhadap orang Islam,
cinta sebagai nama Tuhan, cinta keimanan dan amal salih.194
Sedangkan raḥmah dikategorisasikan dalam dua makna. Pertama kasih
sayang dalam konteks Tuhan, terdiri dari pemeliharaan alam semesta,
pemberian rizki, pemberian anak, diutusnya rasul beserta kitabnya, keselamatan
dari musibah di dunia dan akhirat. Kedua, kasih sayang dalam konteks manusia,
terdiri dari: kasih sayang antarkeluarga, kasih sayang antarorang beriman,
kasih sayang antarsesama manusia, kasih sayang orang-orang Nasrani, dan
sebagai jabatan atau kedudukan di dunia.195
Ketiga, Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya. Dalam tafsir ini dianalisis
pandangan Al-Qur’an tentang Ahlul Kitāb. Di sini diuraikan istilah-istilah yang
mengarah ke pemahaman tentang Ahlul Kitāb dengan merajut seluruh medan
semantiknya, baik istilah-istilah yang sepadan maupun yang tidak langsung
menunjuk tentang Ahlul Kitāb. Ada empat istilah yang sepadan dengan istilah
Ahlul Kitāb, yaitu al-lażīna ātaynāhum al-Kitāb, al-lażīna ūtu al-Kitāb, al-lażīna
ūtu naṣīban min al-Kitāb, dan al-lażīna yaqra’ūna al-Kitāb min Qablik.196

Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, hlm. 41-58.


191

Ibid., hlm. 91-98.


192

Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, hlm. 31-65.


193

Ibid., hlm. 67-79.


194

Ibid., hlm. 89-99.


195

Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya, hlm. 38-45.
196

188 _ Islah Gusmian


Untuk kasus istilah-istilah yang tidak langsung menunjuk pada Ahl al-Kitāb
terdiri dari Bani Isra’il (dengan variasinya dipakai dalam Al-Qur’an sebanyak
161 kali. Kata banī disebutkan 49 kali, 41 di antaranya dikaitkan dengan kata
isrā’īl); al-lażīna Hādu (dengan berbagai variasinya disebutkan 30 kali dalam Al-
Qur’an, 11 kali diungkapkan dalam bentuk fi`l māḍi, 10 kali dalam bentuk maṣdar
dan ism `alam hud, serta dalam bentuk ism `ālam yahūd sebanyak delapan kali);
Hudan (disebutkan dalam Al-Qur’an 10 kali; tujuh kali di antaranya menunjuk
kepada nama salah seorang Nabi dan Rasul Allah, yaitu Nabi Hud as., sedangkan
tiga ayat lainnya menunjuk pada orang-orang Yahudi); al-Yahūd (diungkapkan
9 kali dalam Al-Qur’an, semuanya diungkapkan dengan nada sumbang dan
menunjukkan kecaman kepada mereka); al-Naṣāra (disebutkan 15 kali dalam
Al-Qur’an dan diungkapan lebih banyak bernada sumbang); dan Ahl al-Injīl
(istilah ini disebutkan di satu tempat QS. al-Mā`idah [5]: 47).197
Dalam analisis semantik ini meniscayakan pula adanya pola kajian
antarayat. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa susunan teks Al-Qur’an
tidaklah bersifat tematis. Dengan ketidaktematisan itu, analisis antarayat
menjadi sangat penting. Sebab, dalam satu persoalan tertentu, penjelasannya
bisa menyebar di berbagai tempat. Dalam konteks ini, teknis sistematika
penyajian tematik menjadi sangat penting kaitannya dengan upaya menggali
pandangan-dunia Al-Qur’an secara utuh tentang suatu konsep tertentu.
Dalam Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya misalnya, sebelum mengambil
kesimpulan siapakah atau kelompok manakah yang dimaksud oleh Al-Qur’an
dengan klaim Ahl al-Kitāb, terlebih dahulu dilakukan rujuk-silang antarayat
yang di dalamnya digunakan istilah yang berdekatan dengan Ahl al-Kitāb. Dari
empat istilah yang berkaitan langsung dan enam istilah yang tidak berkaitan
langsung dengan istilah Ahl al-Kitāb, lalu dianalisis makna-makna dari istilah-
istilah tersebut dalam konteksnya masin-masing.198
Hal serupa dilakukan dalam Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Istilah kufr
seringkali dipahami sebagai sikap seseorang yang tidak percaya adanya Allah.199
Bahkan, di Indonesia istilah ini digunakan untuk menyebut komunitas agama
di luar Islam.200 Dengan metode penafsiran antarayat yang dilakukan dalam
tafsir ini memperlihatkan bahwa pengertian kata kafir atau kufr yang selama

197
Ibid., hlm. 47-60.
198
Ibid., hlm. 38-60.
Lihat, Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka
199

Amani, t.th), hlm. 157; Mas’ud Khasan Abdul Qohar dkk., Kamus Istilah Pengetahuan
Populer (t.tk.: CV. Bintang Pelajar, t.th), hlm. 120.
Konflik antar-umat beragama di Maluku dan beberapa kota di Indonesia, pada
200

akhir 1990-an membuktikan di mana istilah kafir telah dipakai untuk mengklaim orang
Kristen. Dari sini muncul pengertian baru, yaitu non muslim diidentikkan dengan orang
kafir.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 189


ini hidup dalam komunikasi sehari-hari tidaklah sepenuhnya tepat. Sebab,
pengertian kufr dalam Al-Qur’an meliputi banyak hal, di antaranya mengacu
pada sikap dan perilaku umat Islam yang tidak bersyukur.201
Selanjutnya, Argumen Kesetaraan Jender juga mempertegas perlunya
metode analisis antarayat tersebut. Suatu rumusan yang hanya didasarkan
pada pengertian satu atau dua ayat, sementara rumusan tersebut istilah-
istilahnya mempunyai medan semantik yang luas merupakan simplifikasi.
Kata rijāl, yang diseringkali dipahami dalam pengertian jenis kelamin, dalam
Al-Qur’an mengandung makna yang tidak tunggal, yaitu gender laki-laki, orang,
Nabi atau Rasul, tokoh masyarakat, dan budak.202 Pengertian yang beragam
dan tidak tunggal dalam kata rijāl yang berada di berbagai tempat dalam Al-
Qur’an itu haruslah dirujuk silang untuk menemukan makna konseptualnya.
Dari langkah-langkah itu, ditemukan rumusan konseptual dengan menyatukan
seluruh istilah-istilah yang terkait dengan masalah yang dikaji dalam medan
semantik yang dimilikinya.

d. Metode Tafsir Sains: Relevansi Al-Qur’an dengan Perkembangan Sains


dan Teknologi
Metode tafsir sains di sini mengandung dua pengertian. Pertama, praktik
penafsiran Al-Qur'an dengan memakai temuan-temuan penelitian sains-ilmiah
(tafsīr bi al-'ilm). Kedua, praktik penafsiran dengan memakai metode ilmiah
positivistik: memakai kerangka pikir rasional dan menguji secara empiris (tafsīr
al-'ilm)
Di dalam pembahasan ini, secara umum tafsir Al-Qur'an di Indonesia era
1990-an memakai model yang pertama, yaitu menjelaskan makna-makna ayat
Al-Qur’an dengan memanfaatkan hasil-hasil observasi dan temuan saintifik.
Dalam sejarah penulisan tafsir, cara yang demikian bukanlah hal baru.
Ṭanṭāwī Jawharī, dalam tafsir al-Jawāhir, misalnya, merupakan penafsir yang
menggunakan temuan-temuan sains sebagai data untuk menjelaskan pesan-
pesan Al-Qur'an. Usaha menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hasil-hasil
temuan sains ini seringkali didasarkan pada asumsi bahwa dalam Al-Qur’an
terdapat dorongan-dorongan ilmiah, sehingga cara yang demikian bukan
sebagai langkah yang menyimpang.
Satu pertanyaan krusial kemudian mengemuka adalah bila temuan sains
dijustifikasi dengan Al-Qur’an bagaimana nasib Al-Qur'an bila temuan sains itu
mengalami falsifikasi dan anomali? Kasus semacam ini tentu akan mendegradasi
Al-Qur'an. Langkah yang rasional adalah bagaimana pesan-pesan Al-Qur’an,
meski bersifat implisit, didayagunakan untuk mendorong riset ilmiah dan

Lihat, Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 103-164.


201

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 144-159.


202

190 _ Islah Gusmian


saintifik. Penting dipahami bahwa meski Al-Qur'an bukan kitab sains, tetapi di
dalamnya terdapat inspirasi-inspirasi saintifik.
Terlepas dari problem di atas, sejumlah penulis tafsir di Indonesia era
1990-an memakai sejumlah temuan sains untuk menjelaskan pesan-pesan Al-
Qur'an. Misalnya dalam Memahami Surat Yaasiin, ketika menjelaskan Q.S. Yāsīn
[23]: 37-38 tentang peristiwa pergantian siang dan malam, Radiks mengutip
hasil observasi pakar antariksa:

... yang memberikan kesimpulan bahwa bumi beredar mengelilingi


matahari melalui garis edar berbentuk ellips dengan jarak rata-rata
149,6 juta kilometer dari matahari. Gerakan bumi mengelilingi matahari
ini disebut revolusi dengan kecepatan rata-rata 18 mil/detik (30 km/
detik). Selain berevolusi, bumi juga berputar pada sumbunya (rotasi)
dengan kecepatan sekitar 1.000 mil/jam. Rotasi bumi pada sumbunya
membentuk sudut 23,5° dengan garis tegak lurus pada bidang edar bumi.
Bumi berputar pada sumbunya sambil mengelilingi matahari. Maka secara
bergantian permukaan bumi menghadap ke matahari. Permukaan bumi
yang menghadap matahari menjadi terang disinari oleh cahaya matahari,
sedangkan permukaan bumi yang membelakangi matahari menjadi gelap
karena tidak mendapat cahaya matahari….203

Pada contoh di atas temuan sains dipakai untuk menjelaskan maksud dari
suatu ayat. Model tafsir semacam ini secara implisit setidaknya memuat dua
hal. Pertama, Al-Qur’an telah memberikan isyarat mengenai ilmu alam, sains,
teknologi, dan ilmu-ilmu kealaman lain. Kedua, penemuan sains dimanfaatkan
sebagai penjelas bahwa Al-Qur’an selaras dengan sains. Dalam kasus ini, seperti
telah dikemukakan tadi, problem yang muncul adalah jika simpulan dalam sains
itu berubah karena terjadi pergeseran paradigma, falsifikasi, dan anomali.
Betapapun harus disadari bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab sains. Sejak
semula, Abū Zayd mengingatkan kita, Al-Qur’an bukanlah dimaksudkan untuk
menjawab semua problem manusia. Banyak hal yang dapat diperoleh cara
penyelesaiannya di luar Al-Qur’an. Oleh karena itu, menafsirkan Al-Qur’an
bukanlah untuk memenuhi kebutuhan aktual dan teknik,204 melainkan berupaya
berdialog dengannya untuk melihat bagaimana pandangan-pandangannya.

1.3. Metode Interteks


Di dalam teks selalu ada teks-teks lain. Oleh karena itu, setiap teks secara
niscaya merupakan sebuah interteks, dan tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an
mengalami hal yang demikian. Tafsir-tafsir tersebut mengalami interteks pada

Radiks Purba, Memahami Surat Yaasiin, hlm. 137-165.


203

Lihat, Moch. Nur Ichwan, “Pahamilah al-Qur’an Sesuai Konteks Narasinya”, Ummat
204

No. 1, tahun IV, 13 Juli 1998, hlm. 62-63.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 191


tafsir-tafsir lain yang hadir sebelumnya. Dalam praktik penafsiran, hampir tidak
bisa dilepaskan dari tafsir-tafsir lain.
Dalam konteks tafsir di Indonesia, proses interteks ini tampil dalam dua
bentuk. Pertama, teks-teks lain yang ada di dalam teks tersebut diposisikan
sebagai acuan dalam penafsiran, sehingga fungsinya sebagai penguat. Kedua,
teks-teks di dalam teks tersebut diposisikan sebagai pembanding atau
bahkan sebagai objek kritik untuk memberikan suatu pembacaan baru, yang
menurutnya lebih sesuai dengan dasar dan prinsip epistemologis yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Model yang terakhir ini bisa dilihat misalnya pada Al-Qur’an al-Karim
karya Quraish. Dalam tafsir ini kita temukan teks `Abduh, Abū Ḥayyan, al-Alūsy,
dan Bint al-Syāṭi` ketika menjelaskan kata kallā dalam ayat 6 dari sūrah al-
`Alaq. Dalam kasus ini, tafsir-tafsir yang dirujuk tidak sebagai penguat, tetapi
justru sebagai objek kritik. Sebelumnya, Quraish membagi empat arti dari
kata kallā dalam Al-Qur’an, yaitu: 1) ancaman, apabila dalam konteks ayatnya
terdapat seseorang atau kelompok yang wajar mendapat ancaman. Kata ini,
sering diartikan dengan “hati-hatilah” (QS. al-Takātsur [102]: 3); 2) menafikan
pembicaraan sebelumnya, biasanya diartikan “bukan demikian” (QS. al-Syu`arā’
[26]: 61); 3) membenarkan pembicaraan sebelumnya, khususnya bila berkaitan
dengan sumpah, dalam hal ini diartikan: “benar” (QS. al-Mudatstsir [74]: 32);
dan 4) sebagai pembuka pembicaraan, biasanya diterjemahkan: “ketahuilah”.205
Usai memaparkan ragam makna dari kata kallā menurut konteksnya,
Quraish lalu mengutip pendapat Abū Ḥayyan dan Al-Alūsy yang mengatakan
bahwa kata kallā pada ayat keenam ini merupakan ancaman atas dasar bahwa
dalam kandungannya tersirat ancaman bagi manusia yang melampaui batas.
Namun, bagi Quraish, pendapat kedua pakar ini kurang beralasan, karena
ayat tersebut menguraikan salah satu potensi negatif manusia. Pembicaraan
ini serasi dengan pembicaraan ayat sebelumnya, yakni tentang manusia dari
segi asal kejadiannya, potensi positif, serta jati dirinya sebagai makhluk sosial.
Dengan mengutip Bint al-Syāṭi`, Quraish menegaskan bahwa “semua kata al-
insān (dalam bentuk ma’rifah/definite) yang termaktub di dalam Al-Qur’an
bermakna seluruh manusia, terlepas apakah pada mulanya ia turun ditujukan
kepada orang atau kelompok tertentu atau tidak.206
Di tiga bukunya yang lain—Tafsir al-Mishbah, Hidangan Ilahi, dan Wawasan
Al-Qur’an—Quraish juga memakai metode interteks. Pada satu kasus, ia banyak
mengutip pandangan Ibrāhīm ibn `Umar Al-Biqā’ī (809H-889 H) lewat Nazm
al-Durar. Al-Biqā’ī adalah seorang ahli tafsir yang melalui karya tafsirnya itu

Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, hlm. 104.


205

Ibid. Hal serupa dapat ditemukan pada buku yang sama, hlm. 110-112.
206

192 _ Islah Gusmian


dijadikan objek kajian Quraish ketika ia menulis disertasi,207 yang dalam konteks
masyarakat Indonesia era 1990-an tidak banyak dirujuk oleh para penulis tafsir.
Tafsir-tafsir lain yang ditulis dengan metode tematik secara umum juga
memakai metode interteks. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an
berinterteks dengan al-Ṭabāṭabā’ī ketika menguraikan tentang makna habiṭa
(kesia-siaan) yang disebut 16 kali di dalam Al-Qur’an, tentang keragaman
makna shinā’ah mengutip al-Zamakhsyārī dan al-Qāsimī, tentang makna iqtirāf
(apa yang diperbuat) mengutip al-Alūsī, tentang penyamaan makna kasb dan
jarh, dalam kasus QS. al-An`ām [6]: 60 mengutip al-Zamakhsyarī dan al-Ṭabarī,
dan demikian seterusnya.208
Hal serupa terjadi dalam Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Tafsir ini berinterteks
dengan al-Ṭabāṭabā’ī ketika menjelaskan istilah allażīna kafarū, tentang
pengertian syukur kepada Allah mengutip al-Bayḍāwī, tentang ungkapan
yakfurūn dalam QS. Ālu `Imrān [3]: 31 mengutip Ibn Katsīr dan Muḥammad
Rasyīd Riḍā, dan dalam soal-soal yang lain.209
Selanjutnya dalam Argumen Kesetaraan Jender, ketika Nasaruddin
menjelaskan makna rijāl dalam QS. al-Baqarah [2]: 228 berinterteks dengan
Jalāluddīn al-Suyūṭī dalam Tafsir al-Jalālayn, makna kata al-rijāl dalam QS. al-
A`raf [7]: 46 mengutip ibn Katsīr dan Muḥammad Rasyīd Riḍā, tentang makna
rijāl dalam QS. al-Zumar [39]: 29 yang pengertiannya adalah hamba yang
dimiliki (`abd mamlūk) mengutip al-Maraghī, Ibn Katsīr, dan al-Qāsimī. 210
Penulis Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama, ketika menjelaskan kata kull (masing-masing) dalam QS. al-Baqarah
[2]: 148 yang mempunyai pengertian “masing-masing umat beragama atau
masing-masing komunitas agama” merujuk penafsiran al-Ṭabarī, al-Mawardī,
al-Zamakhsyārī, dan al-Qurṭubī; tentang arti kata al-silm dalam QS. al-Baqarah
[2]: 208 satu akar dengan kata Islam yang berarti perdamaian, merujuk pada
al-Qurṭubī, dan demikian seterusnya.211
Adapun Tafsir Al-Hijri, yang meskipun tidak sebaik tafsir yang telah
diuraikan di atas, dalam perujukan atas teks-teks lain juga tidak lepas dari
praktik interteks. Misalnya ketika menguraikan QS. al-A`rāf [7]: 17 tentang
empat sasaran manusia yang digoda setan dan tentang maksud perlakuan adil

207
M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi, hlm. 120; Wawasan Al-Qur’an, hlm. 81,82, 157,
185, 227, 299; dan Tafsir al-Qur’an al-Karim, hlm. 112.
208
Lihat, Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an, hlm. 48,
66, 68, dan 69.
209
Lihat, Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 31, 33, dan 35.
210
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 145, 153, dan 157.
211
Tim Majelis Tarjih, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antarumat
Beragama, hlm. 5 dan 40.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 193


Nabi terhadap istri-istrinya, Didin mengutip pendapat al-Ṭabarī dan tentang
masalah poligini mengutip pendapat al-Ṣābūnī.212
Adapun dua tafsir lain, yaitu Memahami Surat Yaasiin dan Tafsir Juz
`Amma, tidak eksplisit dalam melakukan perujukan terhadap teks-teks tafsir
lain. Bahkan, pada Tafsir Juz `Amma tidak disertakan penjelasan secara khusus
tentang tafsir-tafsir yang dirujuk.
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui bahwa metode interteks merupakan
hal yang umum dipakai dalam tafsir di Indonesia era 1990-an. Sejauh sebagai
langkah perumusan konsep-konsep yang bisa dipertanggungjawabkan dan
tidak sebatas sebagai langkah penulisan ulang suatu gagasan, metode interteks
ini menjadi langkah penting dalam penafsiran.

2. Nuansa Tafsir Al-Qur’an


Nuansa tafsir adalah aspek-aspek yang dominan dan sudut pandang yang
dipilih dalam tafsir Al-Qur'an. Misalnya aspek kebahasaan, teologi, hukum,
sosial-kemasyarakatan, psikologis, dan yang lain. Uraian berikut adalah
pemetaan atas tafsir Al-Qur'an di Indonesia yang di dalamnya terdapat aspek-
aspek yang dominan dan atau suatu sudut pandang tertentu yang digunakan.
Cara ini dilakukan di samping untuk memperlihatkan keragaman nuansa tafsir,
juga untuk memperlihatkan beragam kecenderungan yang dipilih oleh seorang
penafsir.

2.1. Nuansa Kebahasaan


Sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika Al-Qur’an diwahyukan dan
dibaca oleh Nabi saw, ia sesungguhnya telah tertransformasi dari sebuah
teks ilahi (naṣṣ ilāhī) menjadi sebuah konsep (mafhūm) atau teks manusiawi
(naṣṣ insānī). Sebab, secara langsung berubah dari wahyu (tanzīl) menjadi
interpretasi (ta’wīl).213 Dari sini, makna-makna yang dikonsepsikan harus
dilihat dari konteks bahasa di mana bahasa tersebut dipakai, yaitu Arab. Dalam
konteks ini, analisis bahasa menjadi signifikan.
Dalam hermeneutika Al-Qur’an kontemporer cara-cara semacam ini
merupakan bagian pokok dari kerja interpretasi. Dalam suatu kasus, bisa
jadi satu tafsir memilih langkah analisis kebahasaan ini sebagai variabel
utama. Dalam konteks ini, nuansa kebahasaan dimaksudkan sebagai praktik
interpretasi dalam tafsir yang dominan digunakan adalah analisis kebahasaan.
Secara umum, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian metode tafsir,
tafsir-tafsir di Indonesia menggunakan analisis kebahasaan sebagai salah satu
cara dalam interpretasi. Hanya lima tafsir yang kurang kokoh dalam penggunaan
variabel ini, yaitu Memahami Surat Yaa Siin, Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun

Lihat, Didin Hafiduddin Tafsir Al-Hijri, hlm. 139, 154, dan 155.
212

Abū Zayd, Naqd al-Khitāb al-Dīnī, hlm. 126.


213

194 _ Islah Gusmian


Nuzul, Tafsir Bil Ma’tsur, Ayat Suci dalam Renungan, dan Tafsir Al-Hijri. Di balik
arus umum digunakannya bahasa sebagai salah satu jalan interpretasi tersebut,
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Quraish merupakan salah satu tafsir yang kokoh
dan dominan nuansa kebahasaan ini.
Setiap kata kunci dalam Al-Qur’an oleh Quraish dalam tafsirnya ini dianalisis
dari segi kebahasaan: diuraikan asal usul, perubahan, keragaman makna, serta
bangunan semantik kata tersebut dengan kata-kata yang lain. Contohnya, ketika
Quraish menguraikan ayat 1 sūrah Al-Fātiḥah. Seluruh rangkaian kata diuraikan
secara detail. Dimulai dari bi ( ‫ ) ِب‬yang diterjemahkan dengan kata “dengan”,
menurutnya menyimpan suatu kata yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas
di dalam benak ketika mengucapkan bismillah, yaitu kata “memulai”. Sehingga
bismillah berarti “saya atau kami memulai dengan nama Allah”. Dengan demikian,
kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap.214
Setelah itu, ia menguraikan kata ism ( ‫) إسم‬, yang menurutnya terambil dari
ّ
kata al-sumuww ( ‫السمو‬ ) yang berarti “tinggi” atau al-simah ( ‫ ) السمة‬yang berarti
“tanda”. Kata ini bisa diterjemahkan dengan “nama”. Nama disebut ism, karena
ia seharusnya dijunjung tinggi atau karena ia menjadi tanda bagi sesuatu. Ada
yang berpendapat bahwa nama adalah hakikat sesuatu yang dinamai itu. Jadi,
kalau di sini dikatakan “dengan nama Allah”, maka itu berarti “dengan Allah”.215
Kata Allāh sebagai rangkaian kata ketiga, di dalam Al-Qur’an diulang
sebanyak 2698 kali. Quraish mengurai kata Allāh ini dalam beberapa pandangan.
Ada yang menganggap kata ini berakar dari kata walaha ( ‫ ) وله‬yang berarti
“mengherankan”, atau “menakjubkan”. Jadi, Tuhan dinamai Allāh karena segala
perbuatan-Nya akan mengherankan si pembahas sendiri, dalam arti hakikat zat-
Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata aliha-
ya`lahu ( ‫ يأله‬- ‫ ) أله‬dalam arti “menuju” dan “bermohon”. Tuhan dinamai Allāh
karena seluruh makhluk menuju serta bermohon kepada-Nya dalam memenuhi
kebutuhannya. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tersebut pada mulanya
berarti “menyembah” atau “mengabdi” sehingga Allāh adalah “Zat yang berhak
disembah dan kepada-Nya tertuju segala pengabdian”.216
Masih dalam persoalan ini, Quraish mengungkapkan tentang perbedaan
antara kata Allah ( ‫ ) هللا‬dan ilāh (‫) اله‬, misalnya dalam ucapan kita lā ilāha
illallāh. Dengan mengutip pandangan al-Maraghī�, ia menjelaskan bahwa ilāh
(yang biasa diterjemahkan “tuhan”) adalah “segala sesuatu yang disembah”, baik
penyembahan itu yang tidak dibenarkan ajaran Islam, seperti penyembahan
terhadap matahari, bulan, binatang, hawa nafsu, maupun terhadap yang
diperintahkan Islam, yakni Allah swt.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, hlm. 8.


214

Ibid.
215

Ibid. hlm. 12.


216

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 195


Dengan demikian, kata ilāh mencakup semua objek sesembahan atau
semua yang dianggap sebagai yang menguasai hidup dan mati segala sesuatu.
Sedangkan apabila zat yang disembah itu merupakan zat yang wajib wujud-Nya,
layak dan wajib untuk disembah, maka Dia-lah yang oleh Al-Qur’an dinamai
Allāh. Ketika seorang muslim berkata lā ilāha illallāh, maka pada hakikatnya ia
menyatakan bahwa “tidak ada sesuatu yang wajib dan wajar disembah kecuali
Allah” atau “tiada yang menguasai hidup dan mati kecuali Zat yang bernama
Allah itu”.217
Kata selanjutnya yang diurai Quraish dalam tafsir ini adalah al-raḥmān
(‫ )الرحمن‬dan al-raḥīm (‫)الرحيم‬. Keduanya dari akar kata yang sama, yaitu kata
raḥm (‫ )رحم‬yang mempunyai arti peranakan atau kandungan. Dengan kata
al-raḥmān digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan rahmat-Nya, sedangkan
dengan al-raḥīm dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat raḥmah yang melekat
pada diri-Nya.
Ada juga ulama yang memahami kata al-raḥmān sebagai sifat Allah yang
mencurahkan rahmat, tetapi yang bersifat sementara di dunia. Sedangkan al-
raḥīm adalah rahmat-Nya yang kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara
itu meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara
mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat,
tempat kehidupan yang kekal, yang hanya dinikmati oleh makhluk-makhluk
yang mengabdi kepada-Nya. Perbedaan makna yang demikian, menurut Quraish
ditarik dari perbedaan pola kata. Pola kata, seperti raḥmān (‫)رحمان‬, tab`ān
(‫)تبعان‬, `aṭsyān (‫ )عطشان‬dan sebagainya, mengandung makna “kesementaraan”.
Berbeda dengan pola kata raḥīm ( ‫)رحيم‬, karīm ( ‫)كريم‬, aẓīm ( ‫ )عظيم‬dan
seterusnya, semuanya memberi kesan kelanggengan.218
Model uraian yang demikian, dilakukan Quraish secara konsisten di
setiap ayat pada sūrah-sūrah yang dikajinya di tafsirnya tersebut. Ia sangat
memperhatikan arti kosakata atau ungkapan Al-Qur’an dengan merujuk
pada pandangan para pakar bahasa, memperhatikan bagaimana kosakata itu
digunakan Al-Qur’an, dan memahami arti ayat atas dasar digunakannya kata
tersebut oleh Al-Qur’an. Langkah ini penting mengingat bahwa Al-Qur’an, tidak
jarang mengubah pengertian semantik dari satu kata yang digunakan oleh
masyarakat Arab yang ditemuinya, kemudian memberi muatan makna yang
berbeda pada kata tersebut. Misalnya, kata karīm dipahami masyarakat Arab
sebagai seseorang yang memiliki garis keturunan bangsawan, tetapi Al-Qur’an
mengembangkan maknanya, yaitu mencakup segala sesuatu yang baik pada
objek yang disifati oleh kata itu.

Ibid.
217

Ibid., hlm. 14.


218

196 _ Islah Gusmian


Dalam konteks mengetahui makna-makna kosakata di setiap ayat yang
ditempuh Quraish dalam tafsir ini cukup baik. Secara ekspresif ia menampilkan
aspek-aspek kebahasaan dengan detail. Namun kita perlu menyadari bahwa
penekanan pada analisis bahasa seperti yang dilakukan Quraish ini mengandung
satu konsekuensi, yaitu butuh proses yang panjang bagi pembaca dalam
memahami pesan-pesan Al-Qur’an.219
Pada konteks tafsir-tafsir yang lain, secara umum analisis bahasa juga
dipakai sebagai bagian untuk menemukan pesan utama Al-Qur'an. Namun,
analisis bahasa tersebut dijadikan sebagai dasar dalam membangun konsepsi-
konsepsi yang ditarik dari ayat yang dikaji. Biasanya model semacam ini
digunakan dalam sistematika penyajian tematik, khususnya tematik singular.
Sebab, dalam sistematika penyajian tematik ini, untuk menemukan suatu
konstruksi konsepstual yang komprehensif, analisis atas makna kata serta
medan semantiknya yang berkaitan dengan tema pokok yang dikaji menjadi
suatu keharusan.
Di tengah arus umum pemakaian analisis kebahasaan di atas, baik dalam
konteks pilihan Quraish dengan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, maupun tafsir-
tafsir lain, belum melibatkan analisis atas struktur wacana teks Al-Qur’an yang
melahirkan beragam stilistika narasi Al-Qur’an. Padahal, level struktur wacana
dalam narasi tafsir Al-Qur’an beragam dan berbeda-beda. Misalnya, terdapat
narasi yang membangun wacana pujian, ancaman, keakraban, dan wacana-
wacana yang lain. Wacana-wacana ini mempunyai makna-maknanya tersendiri
yang tersembunyi yang selaiknya didedah.

2.2. Nuansa Sosial-Kemasyarakatan


Muḥammad `Abduh pernah mengatakan bahwa pada Hari Akhir nanti,
manusia tidak ditanya Allah mengenai pendapat para penafsir, bagaimana
mereka memahami Al-Qur’an. Tetapi Allah akan menanyakan kepada manusia
tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur
manusia.220 Terhadap pernyataan Abduh ini, J.J. G. Jansen menyimpulkan bahwa
`Abduh ingin menjelaskan Al-Qur’an kepada masyarakat luas dengan maknanya
yang praktis, bukan hanya untuk ulama profesional. `Abduh menginginkan
pembacanya, masyarakat awam maupun ulama, menyadari relevansi terbatas
yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan
terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Ia ingin
meyakinkan pada para ulama bahwa mereka seharusnya membiarkan Al-
Qur’an berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan

Hal ini sepenuhnya disadari oleh Quraish. Atas dasar itulah kemudian ia menulis
219

buku Tafsir Al-Mishbah. Lihat “Sekapur Sirih” dalam Tafsir Al-Mishbah, vol 1, hlm. viii.
Muḥammad `Abduh, Tafsīr al-Manār, I: 26.
220

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 197


penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.221 Di sinilah
aspek sosial kemasyarakatan sedang digerakkan oleh Abduh.
Nuansa sosial kemasyarakatan adalah tafsir yang menitikberatkan
penjelasan ayat Al-Qur’an dari sisi ketelitian redaksinya; menyusun kandungan
ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan
tujuan-tujuan Al-Qur’an; aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang
diuraikan Al-Qur’an; dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dikaitkan dengan
sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.222
Sebagaimana halnya yang dilakukan `Abduh, nuansa tafsir sosial
kemasyarakatan menghindari dari kesan cara penafsiran yang menjadikan
Al-Qur’an terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu
ataupun sebagai kelompok atau masyarakat. Akibatnya, tujuan utama Al-
Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia justru terabaikan dari praktik
penafsiran.
Tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an yang memiliki nuansa sosial
kemasyarakatan menyebar dalam berbagai metode tafsir. Tafsir bil Ma’tsur yang
ditulis Jalal dengan metode riwayat, nuansa sosial kemasyarakatan ditampilkan
sangat ekspresif dan memikat. Melalui tafsir ini, Jalal menjelaskan pesan-pesan
yang dibawa Al-Qur’an dengan gaya bahasa yang memikat. Tanpa terjebak pada
kerumitan dan perdebatan pendapat di kalangan ulama, yang kadang justru
menyulitkan pembaca, di setiap bagian yang dipaparkan menyuguhkan pesan-
pesan moral Al-Qur’an.
Beberapa contoh bisa dikemukakan di sini. Ketika menguraikan sūrah
al-Fātiḥah, tanpa harus terjebak pada analisis kebahasaan yang rumit, Jalal
menampilkan pesan moral Al-Qur’an dalam al-Fātiḥah. Dengan lugas ia
mengatakan bahwa pentingnya melakukan segala sesuatu atas dasar atau
dengan nama “Allah”. Mengurus orangtua, menghindari maksiat, mengelola
upah buruh, dan membaca buku adalah hal-hal biasa. Tapi semuanya akan
mendatangkan kemuliaan apabila dilakukan dengan Nama Allah. Ini adalah
pesan moral yang ada dalam sūrah al-Fātiḥah yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia.223
Hal serupa terjadi di empat tafsir lain yang menggunakan sistematika
penyajian tematik klasik, yaitu Tafsir Al-Hijri, Memahami Surat Yaa Siin, Tafsir
Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul, dan Hidangan Ilahi. Kecuali Hidangan Ilahi,
ketiga tafsir ini menggunakan bentuk penyajian global dan menghindari uraian

J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif
221

Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 28-29.


M. Quraish Shihab, “Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada sastra,
222

Budaya dan Kemasyarakatan”, Makalah, 1984. hlm. 1.


Jalaluddin Rahmat, Tafsir Bil Ma’tsur, hlm. 12.
223

198 _ Islah Gusmian


yang rumit. Para penulisnya tidak ingin uraian yang dipaparkan tidak menjadi
petunjuk atau bahkan membuat para pembaca (masyarakat awam) bingung.
Dalam Tafsir Al-Hijri, nuansa sosial kemasyarakatan dapat ditemukan
misalnya melalui prinsip dasar yang dirumuskan dari tema pokok. Persoalan
memelihara anak yatim, hukum qiṣaṣ, keluhuran pernikahan, dan soal-soal
yang lain, misalnya,224 ditampilkan pada dasar-dasar filosofis dari persoalan
itu, tanpa dikacaukan dengan analisis kebahasaan yang rumit. Cara ini cocok
untuk masyarakat awam yang ingin dengan mudah memetik pesan moral Al-
Qur’an secara praktis.
Selanjutnya ada tiga tafsir dengan penyajian runtut sesuai urutan sūrah
yang selalu menekankan bagaimana nilai-nilai Al-Qur’an tersosialisasi di
tengah kehidupan sosial masyarakat, yaitu Al-Qur’an dan Tafsirnya, Tafsir Al-
Mishbah, dan Ayat Suci dalam Renungan. Model yang dipilih dalam Tafsir Al-
Mishbah adalah menghidangkan bahasan setiap sūrah pada apa yang dinamai
tujuan sūrah, atau tema pokok sūrah, demikian juga dalam Al-Qur’an dan
Tafsirnya yang setia memberikan kesimpulan di setiap akhir kelompok sūrah
yang dikaji. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu cara agar tujuan Al-Qur’an
bisa dipahami secara mudah oleh umat Islam. Ketika Quraish dalam Tafsir Al-
Mishbah memperkenalkan tema pokok sūrah, maka secara umum dari langkah
itu, orang dapat diperkenalkan dengan pesan utama dari setiap sūrah, dan
dengan memperkenalkan 114 sūrah, Al-Qur'an akan dikenal lebih dekat dan
mudah bagi masyarakat.225
Yang terakhir, terdapat sembilan tafsir, memakai sistematika tematik,
yang termasuk dalam nuansa sosial kemasyarakatan, dengan pilihan tema
yang beragam. Pertama, tafsir Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya dan Tafsir
Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama adalah dua
tafsir yang memfokuskan pembicaraannya pada masalah pola relasi antarumat
beragama. Dalam tafsir pertama, pembicaraannya difokuskan pada masalah ahl
al-Kitāb. Setelah mengeksplorasi teks Al-Qur’an dengan analisis kebahasaan
serta medan semantik dari istilah-istilah yang dianalisis, dalam tafsir ini
diberikan kesimpulan yang tegas dan suatu pendasaran penting mengenai
hubungan umat Islam dengan non Muslim.
Dari kesimpulan tersebut diketahui bahwa Ahl al-Kitāb adalah istilah yang
dipakai Al-Qur’an untuk menunjuk dua komunitas pemeluk agama samawi
sebelum Islam, yaitu Yahudi dan Nasrani. Penggunakan istilah Ahl al-Kitāb
dalam Al-Qur’an, menurutnya lebih bernuansa teologis bukan etis.226 Ghalib
menggarisbawahi pula bahwa pembicaraan Al-Qur’an tentang Ahl al-Kitāb

Lihat, Didin Hafiduddin, Tafsir Al-Hijri, hlm. 31, 49, 98.


224

Lihat penjelasan Quraish, “Sekapur Sirih” dalam Tafsir Al-Mishbah, 1: ix, dan
225

uraian-uraiannya di setiap awal sūrah dalam bukunya tersebut.


Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 187.
226

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 199


sangat bersahabat, seperti tampak dari ajakan untuk hidup berdampingan
secara damai. Permusuhan yang ditunjukkan oleh Ahl al-Kitāb, terutama dari
kalangan Yahudi, pada dasarnya bukan disebabkan faktor agama, melainkan
lebih banyak disebabkan faktor kepentingan ekonomi dan politik, serta
kedengkian mereka karena ternyata Nabi saw yang dibangkitkan itu bukan
dari kalangan Bani Isra’il.
Simpulan-simpulan Galib tersebut memberikan rumusan etis bahwa
Al-Qur’an tidak menjadikan perbedaan agama untuk tidak berbuat baik dan
menjalin interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu,
berbuat baik dan berlaku adil serta hidup berdampingan secara damai dengan
Ahl al-Kitāb dan pemeluk agama lainnya dianjurkan al-Qur’an, selama tidak
menimbulkan kerancuan akidah dan mereka tidak memperlihatkan permusuhan
terhadap umat Islam. Bahkan, secara khusus Al-Qur’an mengizinkan umat Islam
untuk memakan sembelihan Ahl al-Kitāb dan menikahi perempuan mereka
yang baik, tetapi hal tersebut bukan merupakan anjuran.227
Kesimpulan serupa muncul dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang
Hubungan Sosial antarumat Beragama. Dalam empat tema besar yang dianalisis
dalam buku ini, ditunjukkan bahwa koeksistensi damai dalam hubungan
antarumat beragama menjadi inti dari kajian ini. Bahkan dalam memahami
konsep Ahl al-Kitāb dalam konteks zaman kekinian, dalam tafsir ini ditegaskan
bahwa istilah Ahl al-Kitāb dalam Al-Qur’an, sebagaimana dipahami oleh para
pemikir muslim, tidak hanya Yahudi dan Nasrani, tetapi juga para pemeluk
agama-agama lain.228
Kedua, tiga tafsir yang berbicara tentang relasi sosial antarlaki-laki
perempuan, yaitu Tafsir bi al-ra’yi, Tafsir Kebencian, dan Argumen Kesetaraan
Jender. Nuansa sosial kemasyarakatan dari tiga tafsir ini dibangun dengan
metode analisis kebahasaan, sosio-historis teks, serta interteks. Ketiganya
menjadi variabel utama. Nasaruddin, Nashruddin Baidan, dan Zaitunah di
masing-masing tafsirnya ini, memperlihatkan di mana tiga metode tersebut
digerakkan untuk mengungkapkan nilai-nilai yang dibangun Al-Qur’an.
Nasaruddin Umar misalnya, melucuti teks Al-Qur’an dengan membongkar
bongkahan struktur sosial masyarakat Arab pra Islam (pra-Al-Qur’an).
Ia menemukan data bahwa masyarakat Arab, sebagai audiens Al-Qur’an,
merupakan masyarakat patriarkal.229 Menurutnya, setelah mengkaji ayat-ayat
gender, Al-Qur’an cenderung mempersilahkan kepada kecerdasan manusia
di dalam menata pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, dengan
pertimbangan saling menguntungkan. Al-Qur’an tidak menafikan adanya
227
Ibid., hlm. 189.
228
Lihat, Tim Majelis Tarjih, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial
Antarumat Beragama, hlm. 151.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 91-134.
229

200 _ Islah Gusmian


perbedaan anatomi biologis, tetapi perbedaan ini tidak dijadikan dasar untuk
mengistimewakan jenis kelamin yang satu dengan yang lainnya. Dasar utama
hubungan laki-laki dan perempuan, khususnya pasangan suami istri, adalah
kedamaian yang penuh rahmat.230
Nasaruddin menyimpulkan bahwa ayat-ayat gender memberikan panduan
secara umum bagaimana mencapai kualitas individu dan masyarakat yang
harmonis. Al-Qur’an tidak memberikan beban gender secara mutlak kepada
seseorang, tetapi bagaimana agar beban gender itu dapat memudahkan manusia
memperoleh tujuan hidup yang mulia, di dunia dan di akhirat. Keterbelakangan
sekelompok manusia dari kelompok manusia yang lain menurut Al-Qur’an, tidak
disebabkan oleh faktor pemberian (given) dari Tuhan, namun disebabkan oleh
pilihan (ikhtiyār) manusia itu sendiri. Jadi, nasib baik dan nasib buruk manusia
tidak terkait dengan faktor jenis kelamin.231 Kesimpulan Nasaruddin ini dengan
cukup tegas memberikan suatu kerangka baru bahwa Al-Qur’an sesungguhnya
membangun tata sosial relasi laki-laki dan perempuan yang berkeadilan dan
berkesetaraan.
Zaitunah dalam Tafsir Kebencian, ketika mengkaji ulang tentang kesetaraan
laki-laki perempuan, juga menggunakan kerangka analisis yang mirip dengan
yang digunakan Nasaruddin.232 Konsepsi kesetaraan laki-laki perempuan dalam
tafsir ini tidak hanya memberikan pemahaman baru bagi masyarakat muslim
Indonesia, tapi juga akan semakin menggugah ketidaksadaran sebagian muslim
yang selama ini masih menganggap bahwa adanya garis demarkasi yang jelas
antara laki-laki perempuan dari sudut biologis: sesuatu yang dengan tegas sejak
awal ditolak oleh Islam.
Nashrudin Baidan juga melakukan analisis serupa ketika mendedah
isu kesetaraan perempuan dalam Al-Qur’an. Masalah penciptaan dan
status perempuan juga memperoleh tempat khusus dalam kajian Baidan,
dan kesimpulan-kesimpulan yang disajikan juga sama dengan kesimpulan
Zaitunah.233 Dari seluruh analisis yang dibangun, Baidan menegaskan bahwa
Islam sejak awal telah memperlakukan kaum perempuan sama dengan pria,
dalam arti mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan pria,
meskipun bidang dan porsinya berbeda-beda. Perempuan diberi kebebasan
untuk beraktualisasi di ruang publik sebagai bagian dari kebutuhan dirinya.234
Bagian ketiga adalah dua tafsir dengan sistematika penyajian tematik
plural yang tema kajiannya beragam, yaitu Ensiklopedi Al-Qur’an dan Wawasan

Ibid., hlm. 305.


230

Ibid., hlm. 304.


231

Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 23.


232

Nashrudin Baidan, Tafsir bi al-Ra`yi, hlm. 6-11.


233

Ibid., hlm. 135-138.


234

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 201


Al-Qur’an. Banyak tema yang ditulis di dua tafsir ini, yaitu keadilan, zalim, fasiq,
syura, dan tema-tema yang lain. Beberapa kata kunci yang menjadi landasan
konseptual yang ingin dibangun dari pesan Al-Qur’an dianalisis secara rinci.235
Berbeda dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Quraish di tafsir ini tidak larut dalam
kerumitan analisis kebahasaan. Semua analisis kebahasaan ia gerakkan tidak
lebih sebagai pijakan untuk membangun pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an,
sehingga pesan moral Al-Qur’an bisa disampaikan secara lugas.
Bagian keempat, satu tafsir dengan penyajian tematik singular yang
mengulas masalah cinta, yaitu Memasuki Makna Cinta. Istilah cinta yang diselami
tafsir ini menemukan suatu konstruksi yang utuh, yaitu cinta merupakan
suatu kesadaran fitrah kemanusiaan. Cinta dalam konteks ini menyakup cinta
terhadap diri sendiri, antarsesama manusia, cinta dalam rumah tangga yang
meliputi antara suami dan istri, orangtua dan anak, serta antarkerabat.236 Semua
klasifikasi cinta ini didasarkan pada prinsip ketauhidan, ketakwaan, kebaikan,
keadilan dan tawakal.237
Cinta di sini dirumuskan sebagai suatu yang mesti diwujudkan dalam
tindakan, bukan hanya pasif dalam hubungan antar makhluk dengan Khalik
melalui usaha-usaha asketis. Intinya, cinta merupakan suatu kekuatan untuk
melahirkan keadilan dan kemanusiaan untuk mencapai kedamaian dan
keselamatan di dunia dan di akhirat.238
Bagian kelima, satu tafsir dengan penyajian tematik plural dengan nuansa
sosial politik, yaitu Dalam Cahaya Al-Qur’an. Nuansa sosial politik dalam tafsir
ini dirancang dengan memberikan konteks sosial politik di Indonesia. Satu
contoh ketika terjadi penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan para aktivis
pada 1998 oleh rezim Orde Baru di hari-hari menjelang reformasi, ayat tentang
pembunuhan dan penganiayaan (QS. al-Mā’idah [5]: 32),239 diuraikan sesuai
dengan konteks masalah yang sedang terjadi. Terhadap ayat ini: “membunuh
satu nyawa manusia seperti membunuh seluruh manusia”, Syu’bah menegaskan
bahwa kaitannya dengan penekanan hukum moral, membunuh satu jiwa
seakan sama membunuh seluruh manusia. Dalam konteks kasus penculikan
di hari-hari menjelang reformasi 1998 itu, Syu’bah mengkritik dengan tajam:
“...tetapi, memang konsep mengenai nyawa pada para pembunuh itu tidaklah
sama dengan Al-Qur’an. Pada mereka, masalahnya selalu: nyawa siapa. Nyawa

Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 113-114; M. Dawam Rahardjo,


235

Ensiklopedi Al-Qur’an, hlm. 366-388.


Abdurrasyid Ridha, Menyelami Makna Cinta, hlm. 106-110.
236

Ibid., hlm. 112-130.


237

Ibid., hlm. 159-161.


238

Tema ini ditulis Syu’bah pada 18 Mei 1998 di majalah Panji Masyarakat ketika
239

reformasi di Indonesia sedang bergolak kuat.

202 _ Islah Gusmian


“kita”, atau nyawa “mereka”. Mereka tidak mengenal nyawa manusia. Seperti
mereka sendiri bukan manusia.”240

2.3. Nuansa Teologis


Dalam sejarah penafsiran Al-Qur'an munculnya metode ilmiah yang
bersifat rasional telah melahirkan berbagai nuansa tafsir dan semakin solid
berbarengan dengan berkembangnya paham-paham di dalam umat Islam.
Sejumlah praktik penafsiran kemudian diletakkan pada usaha pembelaan
terhadap suatu paham tertentu yang berkembang. Pengikut paham Mu’tazilah,
misalnya, menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan prinsip pokok yang
mereka yakini. Demikian juga dengan paham-paham yang lain.241 Dalam konteks
paham Muktazilah, beberapa ulama telah menulis tafsir dengan nuansa paham
Mu’tazilah. Misalnya al-Zamakhsyārī menulis al-Kasysyaf yang pengaruhnya
sampai kini masih terasa. Sedangkan dalam paham Asy’ariah, al-Fakhrur
Rāzī menulis Mafātiḥ al-Gayb, dan hal serupa juga terjadi di kalangan Syi’ah
Imāmiyah.242
Nuansa tafsir teologis yang dimaksud di sini, pengertiannya berbeda
dengan apa yang terjadi sebagaimana dalam sejarah teologi klasik di atas, di
mana berbagai paham teologi menjadi variabel penting di dalam menafsirkan
Al-Qur’an.243 Dalam konteks ini, konsep teologi yang secara harfiah berarti studi
tentang Tuhan, dimaksudkan sebagai nuansa atau corak yang menempatkan
sistem keyakinan ketuhanan di dalam Islam sebagai variabel penting dalam
bangunan tafsir.244 Pengertian teologi di sini jauh lebih sekadar keyakinan
ketuhanan, tetapi dipandang sebagai suatu disiplin kajian yang membicarakan
tentang persoalan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Langkah-langkah dalam nuansa teologis ini adalah mengungkapkan
pandangan Al-Qur’an secara komprehensif tentang keyakinan dan sistem
teologi. Dan proses yang dilakukan bukan dalam rangka pemihakan terhadap
kelompok tertentu yang sudah terbangun mapan dalam sejarah, tetapi lebih
pada upaya menggali secara komprehensif bagaimana Al-Qur’an berbicara
dalam soal-soal teologis itu dengan melacak istilah-istilah pokok, serta konteks-
konteks di mana istilah itu dipakai Al-Qur’an.

Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 46.


240

‘Alī al-Awsī, al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhajuh fī Tafsīrih al-Mīzān, hlm. 109.


241

‘Alī Syami’ al-Nasyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafī fī al-Islām, I:265, sebagaimana


242

dikutip ‘Alī al-Awsī, al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhajuh fī Tafsīrih al-Mīzān, hlm. 109.


Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, hlm. 12.
243

Bandingkan dengan pengertian yang dielaborasi di dalam kajian filsafat. Lihat


244

Harold H. Titus, et al., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasyidi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), hlm. 520. Tentang pemakaian istilah teologi di dalam Islam dan kaitannya
dengan istilah kalam, lihat A. Hanafi, M.A., Pengantar Theologi Islam (Jakarta: Penerbit
Pustaka al-Husna, t.th.), hlm. 12.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 203


Ada empat tafsir yang menelaah tema terkait dengan teologi, yaitu
Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an,
Menyelami Kebebasan Manusia, dan Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an. Keempat tafsir ini mempunyai titik tekan yang berbeda-beda. Uraian
berikut memberikan gambaran mengenai nuansa yang dominan di empat tafsir
tersebut.
Machasin dalam Menyelami Kebebasan Manusia mencoba ke luar dari
jebakan konsepsi yang telah hidup dalam berbagai aliran teologi, yang terkadang
lebih bersifat politis, dengan cara membangun konsep teologis secara mandiri
yang dilandaskan pada teks Al-Qur’an secara integral. Dalam tafsir ini, masalah
yang dikaji adalah konsepsi Al-Qur’an tentang hubungan kebebasan manusia
dengan kekuasaan Allah. Dari masalah ini, muncul masalah turunannya, seperti
soal manusia dengan kebebasan perbuatannya, balasan perbuatan manusia,
syafa’at, kepastian ketentuan Allah, serta janji dan ancaman Allah.
Dengan menghindari jebakan perdebatan teologis yang telah lama terjadi
dalam sekte-sekte dalam Islam, Machasin menarik kesimpulan bahwa manusia,
dengan ruh dari Allah yang ditiupkan-Nya ke dalam dirinya, memiliki cara
berada yang unik di antara makhluk lain. Ia mempunyai kebebasan untuk
memilih sendiri perbuatannya dan karenanya harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu di hadapan Allah. Kebebasan manusia ini bukan tidak
terbatas. Manusia hanya bebas dalam melakukan perbuatan yang bersifat
ikhtiyāriyah, yakni di dalamnya ia mempunyai pilihan untuk melakukan atau
tidak melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya bertanggung jawab
dalam hal-hal yang benar-benar ia tidak terpaksa dalam melakukan atau tidak
melakukannya.245
Tema yang mirip diulas Jalaluddin Rahman dalam Konsep Perbuatan
Manusia Menurut Al-Qur’an. Tafsir ini juga bergerak keluar dari jebakan
pemahaman yang telah hidup dalam beragam aliran teologi Islam. Usaha yang
dilakukannya adalah dengan merujuk pada bagaimana Al-Qur’an berbicara
tentang perbuatan manusia. Di dalam tafsir ini Jalaluddin menyimpulkan
bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam perbuatannya. Namun, ia tidak
memetakan kebebasan itu dalam konteks etik-praktis, sedangkan dalam
konteks ontologis terbatas, seperti yang dibangun Machasin. Jalaluddin hanya
menegaskan bahwa dari pelacakannya terhadap istilah-istilah dalam Al-Qur’an
yang terkait dengan perbuatan manusia, bisa disimpulkan bahwa Al-Qur’an
menghendaki manusia produktif-kreatif. Sebab, manusia diberi persyaratan
untuk itu, yaitu anggota badan, akal, pikiran, putusan, daya, dan kemampuan.246

Lihat, Menyelami Kebebasan Manusia, hlm. 143.


245

Ibid. hlm. 168, bandingkan dengan Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, hlm.
246

144.

204 _ Islah Gusmian


Musa dalam Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an juga
menganalisis manusia dalam konteks posisi keterciptaannya di dunia dan
hubungannya dengan Tuhan di satu sisi dan perannya di dunia dalam
pembentukan kebudayaan. Tema ini ia angkat, karena kesatuan kesadaran
manusia yang membentuk pusat kepribadiannya tidak pernah dengan sungguh-
sungguh menjadi perhatian di dalam sejarah Islam.
Posisi manusia yang monodualis, menurutnya membawa manusia pada
situasi ketegangan, antara kebebasan dan tanggung jawab atau keterikatan
etik. Manusia sebagai khalīfah yang bekerja dengan akalnya pada dasarnya
adalah bebas. Sedangkan manusia sebagai `abd yang bawaan kodratnya
adalah tunduk dan patuh, pada dasarnya adalah terikat sepenuhnya dengan
sunnah Allah, terikat pada tanggung jawab etik. Sebagai khalīfah, manusia
pada hakikatnya adalah pembentuk kebudayaan dan kebudayaan sebagai
proses eksistensi khalīfah adalah amal. Oleh karena itu, menurut Musa, hakikat
manusia ditentukan oleh amalnya. Amal sebagai kesatuan pikiran dan kalbu
dalam realitas perbuatan kreatif.247

2.4. Nuansa Sufistik


Dalam sejarah tafsir Al-Qur’an klasik, tafsir dengan nalar sufistik
didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-
ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat
yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk-nya. Tafsir yang menggunakan
pembacaan jenis ini ada dua macam, yaitu: 1) didasarkan pada tasawuf naẓarī
(teoretis) yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan teori atau paham tasawuf
yang kadangkala berbeda dengan makna lahir ayat dan atau menyimpang dari
pengertian bahasa, dan 2) didasarkan pada tasawuf ‘amalī (praktis), yaitu
mena’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang
diterima para sufi dalam suluk-nya.248
Jenis tafsir sufi yang kedua ini—oleh para ahli tafsir disebut juga
tafsir isyārī—menurut para ahli tafsir bisa diterima dengan syarat: 1) tidak
bertentangan dengan makna lahir (makna bahasa) ayat; 2) mempunyai dasar
rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguatnya; 3)
tidak bertentangan dengan ajaran pokok agama Islam dan akal; dan 4) tidak
menganggap penafsiran yang demikian itu sebagai yang paling benar dan yang
dikehendaki Tuhan.249
Salah satu contoh penafsir dalam kategori ini menurut ‘Alī� al-Awsī� adalah
Muḥyiddī�n Ibn `Arabī� (w. 638 H). Hal ini bisa dilihat ketika Ibn ‘Arabī� menafsirkan
َ َ َْ َْ ْ َ ْ َ َ َ
firman Allah QS. al-Raḥmān [55]: 19, ‫ان‬ ِ ‫( مرج البحري ِن يلت ِقي‬Dia membiarkan dua
Ibid., hlm. 151.
247

Al-Farmāwī, al-Bidāyah fī Tafsīr al-Mawḍū`ī, hlm. 29.


248

Al-Żahabī, al-Tasfīr wa al-Mufassirūn, II: 377.


249

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 205


lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu). Ibn `Arabī� mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan dua lautan dalam ayat tersebut ialah lautan
substansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan
segar, yang keduanya saling bertemu di dalam wujud manusia.250
Metode tafsir sufi ini sangat terkait dengan ta’wīl. Seperti dijelaskan Abū
Zayd, ta’wīl berkaitan dengan proses penguakan dan penemuan yang tidak
dapat dicapai melalui jalan tafsīr. Sebab, ta’wīl di sini melakukan penjelasan
atas makna-dalam dan yang tersembunyi dari Al-Qur’an, sedangkan tafsīr
menjelaskan makna ‘yang luar’ dari Al-Qur’an.251 Dengan merujuk kepada
al-Suyūṭī, Jalal membedakan dua makna ta’wīl yang membedakannya dari
tafsir. Pertama, ta’wīl adalah bentuk pengalihan makna yang meragukan atau
membingungkan pada makna yang meyakinkan dan menentramkan. Ta’wīl di
sini hanya berhubungan dengan ayat mutasyābihāt. Kedua, ta’wīl adalah makna
kedua atau makna batiniah, di samping makna pertama atau makna lahiriah.
Ta’wīl dalam arti ini berhubungan dengan semua ayat Al-Qur’an. Inilah yang
lazim dipergunakan dalam tafsir sufi.252
Dalam konteks tafsir di Indonesia, nuansa tafsir sufi terdapat pada
penafsiran yang dilakukan Jalal dalam Tafsir Sufi Al-Fatihah. Sebenarnya ia
belum memulai praktik penafsiran secara menyeluruh, karena di tafsir ini ia
baru memberikan pengantar tentang tafsir sufi yang diproyeksikannya itu.
Pada bagian awal, ia juga mengulas tentang kesan negatif terhadap tafsir sufi
yang selama ini terjadi. Adjektif “sufi” di sebagian umat Islam telah terlanjur
dipadankan dengan kesesatan. Tafsir sufi pun demikian.
Di balik keberanian Jalal dalam upaya menampilkan tafsir sufi ini, ia ingin
menghapus kesan negatif terhadap tafsir sufi yang terjadi selama ini. Di samping
itu, dengan mengutip Sayyid Ḥaydar al-Amulī, ia ingin menegaskan bahwa ayat-
ayat mutasyāhibāt bagaimanapun butuh ta’wīl. Tanpa ta’wīl, kita hanya akan
terjerumus kepada keyakinan yang sesat.
Dalam soal keterjerumusan itu, ia mencontohkan kasus dalam QS. al-
َ ْ َ ُ َ ُْ َْ
ٍ ‫“ )َيوم يكشف عن س‬Pada hari betis disingkapkan dan mereka
Qalam [68]: 42, ( ‫اق‬
dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak mampu”.253 Kata sāq dalam ayat ini
bila diterjemahkan sebagai betis, segera kita kebingungan. Apa yang dimaksud
dengan betis? Mengapa Tuhan menyingkapkan betis-Nya? Jika kita menerima
makna ini, kita harus percaya bahwa Tuhan punya betis dan Dia menyingkapkan
betis-Nya untuk memanggil manusia agar bersujud. Kepercayaan seperti ini
tentu bertentangan dengan akidah Islam yang menyatakan bahwa tidak ada

Tafsir Ibn ‘Arabī, II: 280, dikutip `Alī al-Awsī, al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhājuh, hlm. 107.
250

Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ, hlm. 252-267.


251

Jalaluddin Rahmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah, hlm. 13.


252

Ibid., hlm. 15.


253

206 _ Islah Gusmian


satu pun yang menyerupai Allah. Jika tidak mau menerima adanya betis Allah,
kita berarti menolak ayat Al-Qur’an.254
Untuk mengatasi problem semacam itu, Jalal memberikan makna lain pada
kata sāq dalam pengertian kesulitan atau situasi krisis yang membuat orang
panik seperti dalam kalimat: ‫“قامت الحرب بنا على ساق‬peperangan telah mencapai
tingkat yang kritis”. Berdasarkan makna terakhir ini, betis disingkapkan berarti
suasana Hari Kiamat yang dipenuhi kesulitan dan ketakutan yang membuat
orang-orang panik. Dengan cara inilah, menurutnya justru keraguan dapat
dihilangkan dalam memahami ayat Al-Qur’an.255

2.5. Nuansa Psikologis


Al-Qur’an bicara banyak hal, meskipun bukan semua hal dibicarakan.
Psikologi atau kejiwaan manusia termasuk perihal yang dibicarakan Al-Qur’an.
Dalam bagian ini, pengertian nuansa tafsir psikologis adalah nuansa tafsir yang
dalam praktik penafsirannya menekankan aspek dan dimensi psikologi. Tafsir
Al-Qur’an di Indonesia era 1990-an yang termasuk dalam kategori nuansa tafsir
psikologis adalah Jiwa dalam Al-Qur’an.
Tafsir ini bermula dari kajian tentang terma nafs dalam Al-Qur’an dengan
berbagai variasi dan medan semantik yang dimilikinya. Dalam bahasa Arab,
kata nafs mempunyai banyak arti, misalnya untuk menyebut ruh, diri manusia,
hakikat sesuatu, darah, saudara, kepunyaan kegaiban, jasad, kedekatan, zat,
kebesaran, dan lain-lain.256 Tetapi, yang menjadi objek kajian dalam tafsir yang
ditulis Mubarak ini adalah konsep nafs yang dimaksud dalam Al-Qur’an.257
Mubarok menggarisbawahi bahwa dalam konteks manusia, istilah nafs oleh
Al-Qur’an digunakan untuk menunjuk manusia dalam kerangka totalitasnya,
baik manusia sebagai makhluk yang hidup di dunia maupun manusia yang
hidup di akhirat. Pada QS. al-Mā'idah [5]: 32, misalnya menggunakan kata nafs
untuk menyebut totalitas manusia di dunia, yakni manusia hidup yang bisa
dibunuh, tapi pada QS. Yāsīn [36]: 54, kata nafs digunakan untuk menyebut
manusia di alam akhirat.258
Pengertian yang kedua yang dirumuskan dalam tafsir ini adalah nafs sebagai
sisi-dalam manusia. Pada QS. al-Ra`d [13]: 10 diisyaratkan bahwa manusia
memiliki sisi-dalam dan sisi-luar. Al-Qur’an juga menyebut hubungan antara
sisi-dalam dan sisi-luarnya. Jika sisi-luar manusia dapat dilihat pada perbuatan
lahirnya, maka sisi-dalam menurut Al-Qur’an berfungsi sebagai penggeraknya.
Pada QS. al-Syams [91]: 7 secara tegas Allah menyebut nafs sebagai jiwa. Jadi,

Ibid., hlm. 15.


254

Ibid.
255

Ibn Manẓūr, Lisān al-`Arab (t.tp.: Dār al-Ma`ārif, t.th.), VI: 4500-4501.
256

Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, hlm. 43.


257

Ibid., hlm. 46.


258

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 207


sisi-dalam manusia adalah jiwanya. Dalam konteks nafs sebagai jiwa inilah
diurai mengenai fungsi-fungsinya, yaitu penggerak tingkah laku, kualitasnya,
dan kapasitasnya.259
Dari keseluruhan analisis, Mubarak memberikan kesimpulan bahwa
bila ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi, yaitu fisik-
biologi, kejiwaan, dan sosio-kultural, maka ruang lingkup psikologi islami di
samping tiga hal tersebut juga menyakup dimensi kerohanian dan dimensi
spiritual. Suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh psikologi Barat, karena
perbedaan pijakan. Di sini, psikologi akan bertemu dengan tasawuf.260

3. Pendekatan Tafsir Al-Qur’an


Pendekatan tafsir Al-Qur'an adalah visi paradigmatik yang menjadi dasar
praktik penafsiran Al-Qur'an dari hulu sampai hilir yang dilakukan secara
sistematis dan rasional. Secara umum, ada dua pendekatan tafsir yang dipakai
dalam tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an. Pertama, tafsir yang dimulai
dan berorientasi pertama pada teks (Al-Qur'an). Cara ini disebut pendekatan
tekstual: teks menjadi pusat. Kedua, berorientasi pada konteks pembaca
(penafsir), yaitu penafsiran yang dimulai dari realitas dan problematika
kemanusiaan. Cara ini disebut pendekatan kontekstual.

3.1. Pendekatan Tekstual


Dalam pendekatan tekstual, penafsiran dimulai dan berorientasi pada teks
(Al-Qur'an). Kontekstualitas suatu teks dilihat sebagai posisi suatu wacana
dalam konteks internalnya atau intra-teks. Pandangan yang lebih maju dalam
konteks ini adalah bahwa dalam memahami suatu wacana/teks, seseorang
harus melacak konteks penggunaannya pada masa di mana teks itu muncul.
Ahsin Muhammad misalnya, menegaskan bahwa kontekstualisasi pemahaman
Al-Qur’an merupakan upaya penafsir dalam memahami ayat Al-Qur’an bukan
melalui makna harfiah teks, tapi dari konteks (siyaq) dengan melihat faktor-
faktor lain, seperti situasi dan kondisi di mana ayat Al-Qur’an diturunkan.
Dengan demikian, penafsir harus mempunyai cakrawala pemikiran yang luas,
misalnya mengetahui sejarah hukum Islam secara detail, mengetahui situasi
dan kondisi pada waktu hukum itu ditetapkan, mengetahui `illah dari suatu
hukum, dan seterusnya.261
Dengan demikian, pengertian kontekstualitas dalam pendekatan tekstual
masih bersifat kearaban, karena teks Al-Qur’an turun pada masyarakat Arab.

259
Ibid., hlm. 53-58.
260
Achmad Mubarak, Jiwa dalam Al-Qur’an, hlm. 270.
Ahsin Muhammad’ “Asbab al-Nuzul dan Kontekstualisasi Al-Qur’an”, makalah
261

disampaikan dalam Stadium General HMJ Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 10 Oktober 1992, hlm. 7.

208 _ Islah Gusmian


Ini artinya, masyarakat Arab sebagai audiensnya. Suatu praktik penafsiran yang
menggunakan pendekatan tekstual, analisis yang dipakai cenderung bergerak
dari refleksi (teks Al-Qur'an) ke praksis (konteks realitas). Itu pun, praksis yang
menjadi muaranya adalah lebih bersifat kearaban tadi, sehingga pengalaman
lokal (sejarah dan budaya) di mana penafsir dengan audiensnya berada tidak
berada pada posisi yang signifikan, atau bahkan sama sekali tidak memiliki
fungsi.
Tafsir Al-Qur'an di Indonesia era 1990-an, secara umum menggunakan
perspektif tekstual-reflektif di atas, yaitu gerakan tafsirnya berangkat dari
refleksi ke praksis. Hal seperti ini terlihat pada Tafsir Al-Mishbah, Al-Qur’an
dan Tafsinya, dan Ayat Suci dalam Renungan sarat dengan pendekatan tekstual.
Di dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish juga tidak menampilkan berbagai problem
sosial politik di Indonesia sebagai salah data yang penting untuk dikontestasikan
ketika menjelaskan suatu makna dari ayat Al-Qur'an. Kita tahu bahwa Tafsir Al-
Mishbah mulai ditulis sekitar Juni 1999 di Kairo. Pada era itu, Indonesia sedang
mengalami krisis sosial politik, karena perubahan politik dengan tumbangnya
rezim Orde Baru, dan juga dinamika pemikiran keagamaan Islam. Misalnya,
maraknya kajian tentang kesetaraan gender, hubungan sosial antarumat
beragama, Hak asasi manusia, dan yang lain. Namun, masalah-masalah ini tidak
dikontestasikan secara terbuka dalam dua tafsir tersebut.
Selanjutnya, tafsir Ensiklopedi Al-Qur’an. Tafsir ini disusun dengan
sistematika tematis. Oleh penulisnya ia diklaim sebagai tafsir sosial, tetapi
di dalamnya juga belum secara kokoh mendasarkan praktik penafsiran pada
medan sosial politik Indonesia. Dalam beberapa tema, Dawam merujuk pada
ruang sosial-historis Indonesia, di mana ia berada, namun sebatas pada konteks
yang berkaitan dengan penjelasan kebahasaan. Misalnya, berkaitan dengan
keragaman makna dari suatu istilah yang ada dalam Al-Qur’an. Kata `abd yang
dipakai dalam Al-Qur’an, mengalami transformasi ke dalam bahasa Indonesia.
Dikenallah kemudian di Indonesia, istilah abdi bangsa, abdi negara, dan
seterusnya. Analisis semacam ini bukan sebagai bagian hermeneutika. Sejauh
penjelasan mengenai istilah-istilah yang mengalami transformasi tersebut,
Dawam tidak mengarahkan gerakan hermeneutikanya pada konsepsi sosial
dan struktur budaya yang ada di Indonesia dalam menyusun kesimpulan.

3.2. Pendekatan Kontekstual


Pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang berorientasi pada konteks
pembaca (penafsir) ketika tafsir ditulis dan dipublikasikan. Model pendekatan
ini disebut pendekatan kontekstual. Dalam pendekatan ini, kontekstualitas
dalam pendekatan tekstual, yaitu latar belakang sosial historis di mana teks
muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun dari semuanya itu,
dan ini yang lebih penting, harus ditarik ke dalam konteks pembaca (penafsir)
di mana ia hidup dan beraktivitas, dengan pengalaman budaya, sejarah, dan

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 209


sosialnya. Oleh karena itu, sifat gerakan penafsiran di sini dari bawah ke atas:
dari praksis (konteks) realitas sosial di mana penafsir berada menuju refleksi di
mana teks Al-Qur'an menyimpan pandangan dan gagasan moral dan sosialnya.
Dalam tradisi hermeneutika Al-Qur’an kontemporer, model semacam ini
dapat kita lihat pada praktik penafsiran Farid Esack. Penafsiran Al-Qur’an, oleh
Esack ditempatkan dalam ruang sosial di mana ia berada, sehingga sifatnya
bukan lagi kearaban yang bersifat umum.262 Ia adalah di antara sarjana Muslim
yang merumuskan hermeneutika Al-Qur’an yang berporos pada pembebasan
dan persamaan dengan mempertimbangkan aspek kontekstual (sosial sejarah)
di mana ia hidup dan berada. Bagi Esack, tak ada tafsir dan ta`wil yang ‘bebas
nilai’. Penafsiran mengenai Al-Qur’an, bagaimana pun, adalah eisegesis—
memasukkan wacana asing ke dalam Al-Qur’an (reading into)—sebelum
exegesis—mengeluarkan wacana dari Al-Qur’an (reading out).263
Tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an, tidak banyak yang memilih
metode yang demikian ini. Hal yang dominan adalah ketika berbicara
tentang kontekstualitas teks lebih sering merujuk dan berhenti pada konteks
kearaban yang melahirkan teks, atau mengkonstruksi nilai secara umum, bukan
mengerucut pada ruang sosial budaya di mana penafsir berada.
Tafsir-tafsir yang ditulis dengan menggunakan penyajian tematik, di
antaranya muncul sebagai bentuk refleksi dari realitas sosial, meskipun tidak
menjadikan realitas sosial budaya sebagai basis dalam praktik kontekstualisasi.
Hal ini terjadi, misalnya pada Tafsir Kebencian, Argumen Kesetaraan Jender,
Tafsir Bil Ra’yi, dan Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial
Antarumat beragama. Tiga tafsir yang pertama merepresentasikan aspek sosial
budaya yang berkaitan dengan pola relasi gender yang timpang di masyarakat
Indonesia.
Selanjutnya, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Antarumat
Beragama, dalam batas tertentu, termasuk model pendekatan kontekstual.
Seperti dijelaskan Syafii Ma’arif, atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
bahwa tafsir ini merupakan bagian dari kegelisahan sekaligus sumbangan
pemikiran bagi bangsa Indonesia yang dalam hal hubungan antarumat
agama mengalami carut marut.264 Secara epistemologis, para penulis tafsir ini

Louis Brenner, “Introduction” dalam Louis Brenner (ed.) Muslim Identity and
262

Social Change in Sub-Saharian Africa (London: Hurs and Company, 1993), hlm. 5-6.
Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The
263

Emergence of Qur’anic Hermeneutical Nations”, dalam ICMR., Vol. 2, no. 2, Desember


1991. Secara teoretik dan praktik, lihat Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism:
an Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity Againt Oppression (Oxford: Oneworld,
1997), hlm. 49-77.
Tim Majlis Tarjih, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat
264

Beragama, hlm. vi.

210 _ Islah Gusmian


menyadari bahwa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Perbedaan
dan keragaman agama adalah suatu kenyataan dan keniscayaan yang mesti
diterima. Sikap yang laik dibangun adalah kesadaran dari setiap pemeluk
masing-masing agama untuk merefleksikan dan memahami kembali dengan
baik ajaran moral kitab sucinya. Tafsir ini merupakan refleksi atas kenyataan
yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia; suatu upaya agar ajaran Al-Qur'an
mampu menaburkan cinta dan kedamaian di bumi, bukan justru dimanfaatkan
sebagai alat legitimasi untuk mensahkan tindakan kekerasan dan anarki.
Kontekstualisasi yang demikian juga terdapat Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik.
Di dalam tafsir ini, ayat-ayat dibahas dan digerakkan dalam ranah peristiwa,
waktu, dan tempat di mana penafsir berada, sebagai respons atas peristiwa
yang terjadi.265 Setiap ayat merupakan cahaya yang menyoroti kejadian-
kejadian yang sedang terjadi dalam ruang sosial Indonesia. Syu’bah adalah
salah seorang intelektual muslim yang berusaha membaca gerak zamannya
dari sudut pandang Al-Qur’an. Oleh karena itu, dalam Kata Pengantar buku ini,
Kuntowijoyo menyebut tafsir yang ditulis Syu'bah sesuai dengan jiwa-zaman
(zeitgeist).266
Tafsir ini ditulis di tengah eforia politik menjelang dan pasca reformasi
1998, di mana muncul berbagai tuntutan agar bangsa Indonesia berbenah
secara total. Dalam konteks politik yang demikian, pendekatan kontekstual
dipilih Syu’bah: ia memosisikan Al-Qur’an sebagai kritik sosial dan politik.
Praktik penafsirannya bergerak dari praksis ke refleksi: dari bawah (realitas
sosial) ke atas (teks Al-Qur'an). Oleh karena itu, membaca tafsir dengan
pendekatan kontekstual ini, kita harus prigel dan jeli mencari hal-hal yang
umum dari pernyataan-pernyataan yang khusus, yang abstrak dari pernyataan-
pernyataan yang konkret. Beberapa contoh yang ada dalam tafsir ini, misalnya
kejahatan KKN dalam rezim Soeharto menjadi kejahatan kekuasaan secara
umum, keserakahan Soeharto menjadi keserakahan penguasa, kezaliman rezim
Orba menjadi kezaliman pada umumnya, dan demikian seterusnya.
Melihat sifatnya yang kontekstual dan praksis, bisa jadi orang akan mudah
menuduh bahwa tafsir dengan pendekatan kontekstual ini merupakan satu
bentuk politisasi Al-Qur’an. Tanpa harus terjebak pada tuduhan semacam
ini, hal mendasar yang harus disadari adalah bila setiap kritik sosial yang
didasarkan pada ajaran agama (Al-Qur’an) diklaim sebagai politisasi, Al-Qur’an
tentu hanya akan menjadi dokumen yang mati dan simbol literal yang tidak
ada hubungannya dengan perilaku manusia secara konkret. Justru dengan

265
Kuntowijoyo dalam kata pengantarnya atas buku Syu’bah ini menyebutnya
sebagai tafsir yang menggunakan pendekatan historis, yaitu menyatu dengan waktu dan
tempat. Lihat, Kuntowijoyo, “Pengantar” dalam Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an,
hlm. ix.
266
Lihat, ibid., hlm. x.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 211


pendekatan kontekstual ini, kekuatan Al-Qur’an akan lebih mudah dirasakan,
karena menjadi variabel penting dalam kritik sosial.
Penjelasan di atas memberikan peta yang terang tentang keragaman
metode, nuansa, dan pendekatan tafsir yang tumbuh dalam tafsir Al-Qur'an di
Indonesia era 1990-an. Dua tafsir memakai metode riwayat dengan kekuatan
rujukan riwayat yang berbeda-beda dan dua puluh dua tafsir memakai metode
ilmiah-rasional. Keseluruhannya menggunakan metode interteks. Dalam
metode ilmiah, analisis yang digunakan sangat beragam. Secara umum, tafsir
pada bagian ini menggunakan analisis sosio-kultural, semiotik, dan semantik.
Selebihnya, satu tafsir yang di dalamnya data-data sains dipakai untuk
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an.
Pada bagian nuansa tafsir, terdapat dua tafsir, masing-masing di dalamnya
nuansa sufistik dan psikologis menjadi arus utama, empat tafsir dengan nuansa
teologis, satu tafsir dengan nuansa kebahasaan, dan selebihnya nuansa sosial
kemasyarakatan. Dalam nuansa sosial kemasyarakatan ini, terdapat tafsir yang
fokusnya pada isu relasi laki-laki perempuan, relasi sosial antarumat beragama,
dan isu sosial-politik. Sedangkan dalam hal pendekatan tafsir, terdapat dua
tafsir yang secara mencolok menggunakan pendekatan kontekstual. Selebihnya
secara umum, tafsir tersebut memakai pendekatan tekstual. Secara singkat kita
dapat menemukan pemerian tersebut pada tabel XV.

TABEL XV
METODE, NUANSA, DAN PENDEKATAN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN DI
INDONESIA

TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA ERA


NO METODE NUANSA PENDEKATAN
1990-AN DAN PENAFSIRNYA
1 Inter­teks 1. Sosial Tekstual 1. Tafsir Bil Ma’tsur, Pesan Moral Al-
Kemasya­ Qur’an, karya Jalaluddin Rakhmat
rakatan 2. Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun
Riwa­yat

Nuzul karya Rafi’udin dan K.H.


Edham Syifa’i.
2 1. Kebahasaan 1. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir atas
Surat-surat Pendek Berdasarkan
Ilmiah

Turunnya Wahyu karya M. Quraish


Shihab

212 _ Islah Gusmian


2. Teologis 1. Menyelami Kebebasan Manusia,
Telaah Kritis terhadap Konsepsi Al-
Qur’an karya Machasin
2. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an karya
Harifuddin Cawidu
3. Konsep Perbuatan Manusia Menurut
Al-Qur’an karya Jalaluddin Rahman
4. Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Qur’an karya Musa Asy’arie
3. Psikologis 1. Jiwa dalam Al-Qur’an karya Achmad
Mubarak
1. Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya
Relasi Sosial antar-
karya Muhammad Galib M.
umat Agama

Kontekstual 1. Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang


Hubungan Sosial Antarumat
Beragama karya Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP.
Muhammadiyah
Tekstual 1. Memasuki Makna Cinta karya
4. Sosial kemasyarakatan

Abdurrasyid Ridha
2. Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
karya M. Dawam Rahardjo
3. Tafsi Al-Misbah, Pesan Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an karya M.
Quraish Shihab
4. Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish
Shihab
5. Ayat Suci dalam Renungan karya
Moh. E Hasim
6. Al-Qur’an dan Tafsirnya karya Tim
Badan Wakaf UII
7. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat Tahlil karya
M. Quraish Shihab
8. Tafsir al-Hijri, Kajian Tafsir Surat an-
Nisa’ karya Didin Hafidhuddin
9. Memahami Surat Yaasiin karya
Radiks Purba
Kontekstual 1. Tafsir bil Ra’yi, Upaya Penggalian
Relasi Antar Laki-laki

Konsep Wanita dalam Al-Qur’an karya


Perempuan

Nashruddin Baidan
2. Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an karya
Nasaruddin Umar
3. Tafsir Kebencian karya Zaitunah
Subhan
5. Sufistik Tekstual 1. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah
karya Jalaluddin Rakhmat
6. Sosial Poltik Kontekstual 1. Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir Ayat-
ayat Sosial Politik karya Syu’bah Asa

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 213


E. Menuju Hermemeutika Al-Qur’an Indonesia
Adalah Muḥammad `Abduh, salah seorang sarjana muslim yang
mengembangkan metode penafsiran yang basis orientasinya untuk masyarakat
umum dan mengaitkan tafsir dengan kehidupan sehari-hari. Bagi dia, Al-Qur’an
haruslah dipahami dan diinterpretasikan atas materi-materi Al-Qur’an itu sendiri
dan untuk kemaslahatan umat manusia secara kongkrit.267 Pada akhir 1980-an,
Riffat Hassan menawarkan hermeneutika Al-Qur’an feminis yang menyokong
nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan.268 Sepuluh tahun kemudian, Farid
Esack menawarkan hermeneutika Al-Qur’an tentang pluralisme religius dan
pembebasan manusia. Cara ini tumbuh didasarkan pada pengalaman sosial
yang ia alami di masyarakat Afrika Selatan di tengah rezim politik aparteid yang
melahirkan ketidakadilan dan penindasan. Ia menekankan tentang perlunya
Al-Qur’an dipahami dalam konteks lokalitas suatu masyarakat dengan berbagai
problematikanya. Oleh karena itu, bagi dia interpretasi haruslah dimulai dari
konteks spesifik, di mana teks Al-Qur’an diterima dan ‘dihidupi’, bukannya
konteks universal.269
Dalam sejarah hermeneutika Al-Qur’an kontemporer, sejumlah pemikir
muslim lain juga telah menawarkan rumusan-rumusan baru bagaimana Al-
Qur’an selaiknya ditafsirkan. Sejumlah tokoh di atas disajikan sekadar untuk
menunjukkan tentang terjadinya perkembangan metodologis dalam penafsiran
Al-Qur’an. Hal penting untuk dibahas berkaitan dengan ini adalah bagaimana
yang terjadi di Indonesia era 1990-an. Dilihat dari aspek metode, penafsiran
Al-Qur'an di Indonesia telah tumbuh dan melahirkan perubahan-perubahan
penting. Peristiwa ini tidak terlepas dari perkembangan hermeneutika Al-
Qur’an kontemporer di atas.270

267
lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden:
E.J.Brill, 1974) terutama bab dua.
Ada tiga prinsip hermeneutik yang dibangun Riffat. Pertama, tentang akurasi
268

linguistik (lingustic accuracy), yaitu melihat sebuah terma atau konsep dalam rangka
mendapatkan suatu pengertian yang utuh dengan cara merujuk pada semua leksikon
klasik apa yang dimaksud dengan dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia
dipergunakan. Kedua, kriteria konsistensi filosofis (criterian of philosophical consistency),
yaitu untuk melihat bagaimana berbagai penggunaan kata-kata dalam Al-Qur’an itu
secara filosofis konsisten dan tidak bertentangan. Ketiga, kriteria etis (ethical criterian),
misalnya apabila kriteria etis bahwa Tuhan itu adil, keadilan itu haruslah terefleksikan
dalam Al-Qur’an. Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen
(ed.), Women and Islam in Muslim Society (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994),
hlm. 116.
Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism (Oxford: Oneworld, 1997), hlm. 49-
269

77.
Menurut Andrew Rippin, interpretasi Al-Qur’an modern secara umum dilandasi
270

oleh tiga prinsip yang saling terkait, yaitu: 1) menginterpretasikan Al-Qur’an dalam
sinaran akal dan metodologi ilmiah; 2) pemanfaatan interpretasi untuk membebaskan

214 _ Islah Gusmian


Terdapat sejumlah tafsir di Indonesia era 1990-an yang meneguhkan
pentingnya ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam interpretasi Al-Qur’an.
Tafsir Argumen Kesetaraan Jender, misalnya, di dalamnya telah melakukan
peneguhan pentingnya ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan tersebut dalam
praktik interpretasi.271 Di atas semua itu, pendekatan kontekstual menjadi
arah baru dalam tradisi penafsiran Al-Qur'an di Indonesia. Bila situasi di
Afrika Selatan dengan rezim apartheid-nya melahirkan Al-Qur’an, Liberation
and Pluralism yang ditulis Farid Esack, maka di Indonesia melahirkan sejumlah
tafsir yang mendasarkan pada pentingnya aspek sosial kemanusiaan. Hal yang
demikian tampak pada Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya Syu’bah Asa dan
Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama karya
tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah.
Dalam konteks yang demikian, ke depan diperlukan usaha-usaha yang
bersifat metodologis dalam penafsiran Al-Qur’an dengan selalu mawas pada
problem sosial dan keindonesiaan. Di sinilah, hermeneutika Qur’an dibangun
dengan bertitik tolak tidak hanya pada problem sosial kemasyarakatan di mana
teks Al-Qur’an diwahyukan, tetapi juga problem sosial dan kemasyarakatan di
Indonesia, di mana penafsir hidup dan berinteraksi bersama umat Islam sebagai
audiensnya.[]

Al-Qur’an dari segala sifat kelegendaan, cerita fantastis, magis, fabel dan superstisi
(khurāfah), di sini interpretasi simbolik adalah alat utama untuk pemecahan masalah
semacam ini; 3) merasionalisasi doktrin sebagaimana yang diperoleh dalam, atau
sebagaimana dijustifikasi oleh perujukan pada Al-Qur’an. Lihat Andrew Rippin, Muslim:
Their Religious Beliefs and Practices, Volume 2: the Contemporary Period (London and
New York, 1993), hlm. 86.
Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, terutama bab II dan bab III.
271

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 215


BAB IV
HORIZON BARU TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang keragaman metode


penafsiran Al-Qur'an yang tumbuh di Indonesia serta nuansa tafsir yang ada di
dalamnya. Di dalam pertumbuhan tersebut terjadi akselerasi pada beberapa
bagian dan menjadi mainstream; sesuatu yang sebelumnya tidak terjadi dalam
sejarah tafsir di Indonesia. Fenomena ini menjadi suatu horizon baru. Ada
empat ranah utama di mana horizon baru tersebut tumbuh, yaitu: aspek metode
penafsiran, kepekaan tafsir, keilmuan penafsir, dan orientasi penulisan tafsir.

A. Horizon Baru dalam Metode Tafsir Al-Qur'an


Kajian tentang metode penulisan dan penafsiran yang didedah pada bab
tiga memperlihatkan bahwa pada era 1990-an, penulisan tafsir Al-Qur'an di
Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dan beragam. Perkembangan
ini membentuk suatu karakteristik tersendiri. Pada bagian ini, akan ditelusuri
karakteristik tersebut yang diacukan pada empat wilayah utama, yaitu: teknis
penyajian tafsir, metode penafsiran, pendekatan penafsiran, dan gaya bahasa
penulisan tafsir.

1. Penyajian Tematik: Suatu Kebutuhan Pragmatis


Di antara hal-hal baru yang tumbuh dalam tradisi tafsir Al-Qur’an di
Indonesia era 1990-an adalah maraknya pemakaian sistematika penyajian
tafsir tematik. Pemakaian model ini sebenarnya bukanlah fenomena baru, tetapi
menemukan momentumnya pada era 1990-an. Pada abad ke-19 M. sistematika
penyajian tematik telah dilakukan oleh penulis tafsir di nusantara, meskipun
dalam bentuknya yang sangat sederhana. Misalnya, karya tafsir anonim, Farā’id
al-Qur’ān, dalam Ismā`īl bin `Abd al-Muthallib al-Asī (ed.), Jam` al-Jawāmi` al-
Muṣannafāt: Majmū` Beberapa Kitab Karangan Beberapa Ulama Eceh. Pada awal
dekade 1930-an, model semacam ini dapat dilihat pada Zedeleer uit den Qor’an
(Etika Qur’an) karya Syaikh Ahmad Soerkatie (Groningen, Den Haag, Batavia:
J.B. Wolters’, 1932) ditulis memakai bahasa Belanda, Rangkaian Tjerita dalam
Al-Qur’an karya Bey Arifin (Bandung: Pelajar cetakan pertama tahun 1963),

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 217


Al-Qur’an tentang Wanita karya M. Said, (Bandung: Pelajar, 1969), dan tafsir-
tafsir yang lain.
Namun demikian, dari segi metode tafsir, tafsir-tafsir di atas belum
menampilkan rumusan metodis secara komprehensif, seperti yang terjadi pada
era 1990-an. Pada era ini, tafsir-tafsir yang memakai penyajian tematik singular,
sembilan dari sepuluh tafsir, muncul dari kepentingan dan tugas akademik di
lembaga akademik. Latar yang demikian, menjadikan sembilan tafsir tersebut
memiliki metode penafsiran yang komprehensif, dan karenanya memiliki
kelebihan di beberapa aspek, yaitu memakai analisis kebahasaan dengan medan
semantiknya dan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan dan sejarah dipakai untuk
memberikan makna yang selaras pada teks Al-Qur’an. Hal seperti dapat dilihat
pada Tafsir Kebencian, Argumen Kesetaraan Jender, dan Ahl al-Kitab Makna dan
Cakupannya.
Penggunaan perangkat metode tafsir dalam penyajian tematik semacam
itu belum dilakukan secara baik pada tafsir-tafsir generasi sebelumnya.
Penggunaan metode tafsir semacam itu, didasarkan pada satu tujuan, yaitu
untuk membangun konsepsi yang utuh dan komprehensif tentang isu tertentu.
Di sini, diperlukan kajian yang fokus, kejelasan objek masalah, serta analisis
yang komprehensif. Langkah-langkah yang dilakukan Nasaruddin Umar dan
Zaitunah Subhan dalam merekonstruksi konsepsi Al-Qur’an tentang kesetaraan
gender misalnya, merupakan contoh yang baik dalam kasus ini. Ibarat masakan,
di tangan mereka, model penyajian tematik menjadi cara menyajikan menu
masakan yang telah diracik secara lengkap, sehingga kita dapat menikmatinya
dengan baik dan nyaman.
Model sistematika penyajian tematik, terutama tematik singular, dalam
tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an merupakan suatu fenomena umum yang
diminati para peminat kajian Al-Qur’an. Di dunia akademik, untuk kepentingan
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi, pemakaian penyajian tematik singular
merupakan hal yang banyak dipilih oleh mahasiswa. Setidaknya ini bisa dilihat
dari proses perkembangan penulisan skripsi dan tesis di beberapa perguruan
tinggi keagamaan Islam di Indonesia. Semua itu terjadi, tidak terlepas dari
kepentingan pragmatis umat Islam, yaitu untuk memudahkan masyarakat
menangkap nilai-nilai dasar dari Al-Qur’an tentang suatu masalah. Melalui
sistematika penyajian tematik yang dilengkapi dengan metode tafsir yang
komprehensif, tujuan pragmatis tersebut bisa dipenuhi secara baik.

2. Metode Tafsir Ilmiah: Membangun Progresivitas Tafsir


Ada pendapat yang mengatakan bahwa metode tafsir riwayat adalah
metode yang paling valid di antara metode yang lain untuk menemukan

218 _ Islah Gusmian


makna-makna dari teks Al-Qur’an.1 Pandangan yang demikian ini melahirkan
kecenderungan tertentu pada sebagian umat Islam, yaitu kekurangpedulian
terhadap tafsir yang tidak sepenuhnya merujuk pada data-data riwayat. Bila kita
konsisten dengan pandangan ini, maka diam-diam kita sedang “mematikan” Al-
Qur’an sendiri. Selaiknya kita paham bahwa jumlah riwayat sangatlah terbatas
dan tidak semua ayat memiliki data dukung dari riwayat (asbāb al-nuzūl). Bila
penafsiran Al-Qur'an hanya tergantung dan mengandalkan semata-mata pada
data-data riwayat, berarti kita telah menghentikan aktivitas tafsir.
Dalam konteks ini, metode tafsir ilmiah dalam pengertian sebagai metode
penafsiran yang memanfaatkan pengetahuan rasional dan sistematis sebagai
cara untuk menggerakkan praktik penafsiran, dalam tafsir di Indonesia
menemukan tempatnya yang strategis. Pada bab tiga kita melihat fenomena di
mana ilmu sosial-kemanusiaan dan sejarah dipakai dalam tafsir di Indonesia
era 1990-an untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang terkandung dalam
Al-Qur’an.
Usaha-usaha semacam ini tidak terlepas dari dinamika pemikiran umat
Islam secara umum yang terjadi di berbagai belahan dunia. Analisis linguistik
terhadap Al-Qur’an yang dikembangkan oleh Bint al-Syāthi’ dan Amīn al-Khūlī2
misalnya, mulai dipakai meskipun tidak secara eksplisit, oleh beberapa penafsir
di Indonesia, seperti Quraish Shihab.3 Metode gerak ganda (double movement)
yang dibangun Fazlur Rahman, di Indonesia dipopulerkan oleh Taufik Adnan
Amal dan Syamsu Rizal Panggabean.4 Sebelumnya, kerangka ideal moral yang
menjadi sasaran pokok dari setiap pemikiran Rahman juga telah mewarnai
beberapa pemikiran muslim Indonesia, seperti dalam pemikiran Nurcholish
Madjid dan A. Syafii Maarif. Hermeneutika feminis yang dikembangkan oleh
Amina Wahdud-Muhsin, Riffat Hassan, dan Fatima Mernissi, secara metodologis
juga berpengaruh dalam horizon tafsir di Indonesia. Tafsir Kebencian yang
ditulis oleh Zaitunah Subhan, di dalamnya mengalami keterpengaruhan itu.5
Tidak hanya pemikir-pemikir Muslim yang memengaruhi dinamika
tersebut, tapi juga pemikir dan islamolog. Metode semantik yang dikembangkan

1
Muhammad `Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān fī `Ulūm al-Qur’ān (Beirūt: `Ālam al-Kutub,
1985), hlm. 69-70.
2
Tentang metode Bint al-Syāṭi’ dan Amīn al-Khūlī ini lihat, J.J.G. Jansen, Diskursus
tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), terutama pada bab 4.
3
Lihat beberapa buku M. Quraish Shihab, misalnya Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,
Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1997).
4
Lihat, Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual:
Sebuah Kerangka Kontekstual (Bandung: Mizan, 1992).
5
Lihat, Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), khususnya
pada bagian 3.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 219


Toshihiko Izutsu, islamolog asal Jepang yang sangat simpatik pandangan-
pandangannya terhadap Al-Qur’an, juga mempunyai peran dalam dinamika
tafsir di Indonesia era 1990-an. Beberapa tafsir yang muncul dari kepentingan
akademik, meskipun tidak seluruhnya, secara eksplisit mengadopsi metode
semantik Izutsu. Hal ini dapat dilihat misalnya pada Argumen Kesetaraan
Jender, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, dan Konsep Perbuatan
Manusia Menurut Al-Qur’an. Penafsirkan yang memanfaatkan analisis
antropologis, sosiologis, geografis dan psikologis juga tumbuh di era ini. Hal
ini dapat dilihat pada Argumen Kesetaraan Jender yang ditulis oleh Nasaruddin
Umar.6
Metode tafsir ilmiah ini dalam studi Al-Qur’an kontemporer adalah
merupakan suatu usaha penafsiran yang membuka ranah baru yang lebih
komprehensif dan produktif di dalam memahami teks Al-Qur’an. Salah satu
prinsip utama dalam metode ilmiah adalah teks Al-Qur’an, sebagai bagian
dari proses fenomena bahasa dan budaya meminjam analisis Abū Zayd,7 tidak
bisa dilepaskan dari audiens dan ruang-ruang sosial di mana teks tersebut
diwahyukan dan dikomunikasikan. Hal ini berarti bahwa suatu analisis teks
yang mempertimbangkan konteks sosio-historis dan antropologis di mana teks
itu muncul menjadi suatu keharusan.

3. Pendekatan Kontekstual: Menuju Tafsir Pragmatis-Keindonesiaan


Sebagaimana telah dijelaskan pada bab tiga bahwa dalam penafsiran ada
dua konteks. Pertama, konteks teks, yaitu konteks yang berkaitan dengan
pembentukan teks Al-Qur’an, dalam hal ini adalah aspek sosio-historis dan
antropologis masyarakat (sebagai audiens) di mana Al-Qur’an diturunkan.
Kedua, konteks penafsir, yaitu konteks yang melingkupi pembaca atau penafsir
ketika praktik penafsiran dilakukan. Pengertian “pembaca” yang dimaksud di
sini bukanlah sebagai audiens pertama dari munculnya teks, tetapi pembaca
yang melakukan interpretasi dan berada di luar dari medan audiens teks Al-
Qur'an dan karenanya ia jauh dari masa munculnya teks. Dengan demikian,
ada perbedaan pengertian antara dua konteks tersebut, yang disebabkan oleh
rentang waktu dan latar sosio-historis masyarakat yang berbeda.
Penafsiran yang mempertimbangkan konteks pembaca ini, memahami
dua konteks sekaligus, yaitu memahami dinamika sosial di masa lalu ketika
teks Al-Qur'an diwahyukan dan masa kini ketika teks Al-Qur'an ditafsirkan.
Menurut Ḥanafī, hermeneutika tidak hanya sebuah seni interpretasi dan teori
pemahaman, tetapi juga merupakan ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu

6
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Paramadina, 1999),
terutama pada bab 2 dan 3.
7
Abū Zayd, “The Textuality of the Koran” dalam Islam and Europe in Past and
Present, Leiden: NIAS, 1997, hlm. 45-46.

220 _ Islah Gusmian


dari tingkat kata ke tingkat realitas, dari logos ke praksis.8 Di sini, ia kemudian
mengusulkan hermeneutika Al-Qur’an yang spesifik (juz’ī) dan realistik (waqi`ī),
yang berdasarkan pada pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan berada,
dan dimulai dengan kajian atas problem dan realitas yang dihadapi manusia
di masa kini.9 Bagi Ḥanafī, interpretasi harus mengambil pijakan di dalam
realitas dan problem-problem manusia, kemudian kembali pada wahyu (Al-
Qur’an) untuk mendapatkan jawaban teoretis. Jawaban teoretis itu haruslah
dimungkinkan diterapkan dalam praksis kehidupan.10
Model penafsiran Al-Qur’an yang diletakkan pada konteks pembaca ini,
merupakan suatu hal yang baru dalam tradisi tafsir di Indonesia era 1990-an.
Meskipun secara umum tafsir-tafsir di Indonesia pada masa ini memilih pada
model yang pertama, yang lebih bersifat kearaban, namun di sisi lain terdapat
dua tafsir yang dengan tegas mempertimbangkan aspek konteks kehidupan di
mana penafsir berada bersama konteks sosio-historisnya. Dua tafsir tersebut
adalah Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama
dan Dalam Cahaya Al-Qur’an.
Di setiap entri pada Dalam Cahaya Al-Qur’an, Syu’bah selalu memulai
penafsiran dari problem terkini yang terjadi di Indonesia. Tema-tema yang
dikaji juga bersifat spesifik keindonesiaan. Misalnya, tema tentang bagaimana
keadilan mesti ditegakkan meskipun terhadap mantan presiden (Soeharto),
tema pembunuhan atas nyawa manusia ketika terjadi berbagai penculikan
aktivis prodemokrasi saat menjelang reformasi 1997, dan beberapa tema
yang lain.11 Dari sisi topik, hal yang dilakukan Syu’bah ini memberikan horizon
baru dalam tradisi tafsir di Indonesia. Pada batas tertentu, Tafsir Tematik Al-
Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama juga melakukan hal
serupa, karena tafsir ini berangkat dari problem relasi antarumat beragama di
Indonesia yang masih menyimpan banyak masalah.
Model-model penafsiran semacam ini tidak gampang ditemukan di
Indonesia pada era sebelumnya. Meskipun dalam konteks hermeneutika, kedua
tafsir di atas tidak secara eksplisit menjelaskan rumusan paradigma tafsir yang
digunakan, tetapi keduanya telah membuka jalan mengenai suatu tafsir yang
spesifik keindonesiaan. Hal yang terjadi pada dua tafsir di atas, secara subtansial
memiliki semangat yang serupa dengan Ḥanafī dalam konteks masyarakat

8
Ḥasan Ḥanafī, Dirāsah Islāmiyyah (Kairo: Maktabat al-Anjilū al-Miṣriyyah, 1981),
hlm. 69.
9
Ḥasan Ḥanafī, “Manāhij al-Tafsīr wa Maṣālih al-Ummah”, dalam al-Dīn wa al-
Tsawrah III (Kairo: Maktabah al-Madbūlī, 1989), hlm. 102-11.
10
Lihat, Ḥasan Ḥanafī, “Mādzā Ta`nī Asbāb al-Nuzūl”, dalam al-Dīn wa al-Tsawrah
III (Kairo: Maktabah al-Madbūlī, 1989), hlm. 74.
11
Lihat, Syu`bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2000).

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 221


Muslim Mesir, Farid Esack dalam konteks masyarakat Muslim Afrika Selatan,
dan Maḥmūd Mohammed Thahā dalam konteks masyarakat Muslim Sudan.

4. Gaya Bahasa Tafsir: Mendekatkan Pembaca ke dalam Ceruk Al-


Qur’an
Keragaman gaya bahasa penulisan tafsir yang tumbuh dalam tafsir di
Indonesia era 1990-an merupakan hal baru. Fenomena ini terkait dengan
sejarah dan latar belakang penulis tafsir dan asal mula penulisan tafsir. Tafsir-
tafsir yang tumbuh dari dunia akademik dan untuk kepentingan akademik
(perguruan tinggi keagamaan Islam), secara umum memakai gaya bahasa
ilmiah. Tuntutan kedisiplinan dan tugas ilmiah di dunia akademik menjadi salah
satu dasar pemilihan gaya bahasa ilmiah.
Selain perguruan tinggi keagamaan Islam, media massa (koran, majalah,
jurnal) juga menjadi arena penting bagi terciptanya beragam gaya bahasa tafsir.
Tafsir-tafsir yang memakai gaya bahasa kolom, populer, dan reportase, secara
umum naskahnya pernah dipublikasikan di media massa dan atau diceramahkan
di depan audiens umat Islam. Tafsir bil Ma’tsur, Wawasan Al-Qur’an, dan Dalam
Cahaya Al-Qur’an merupakan contoh tafsir dalam kategori ini.
Di atas semua itu, latar belakang munculnya keragaman pemakaian gaya
bahasa tafsir tersebut juga disebabkan oleh pertimbangan kepentingan audiens
dan latar belakang penulis tafsir. Tafsir-tafsir yang pada mulanya diceramahkan
dan atau dipublikasikan di media massa, secara umum menggunakan gaya
bahasa populer, reportase, dan kolom. Dengan ketiga gaya bahasa ini, tafsir
menjadi lebih mudah dinikmati pembaca yang beragam latar belakangnya.
Fenomena ini tentu berbeda dengan tafsir-tafsir yang berasal dari tugas
akademik yang ditulis dalam rangka memperoleh gelar akademik. Dalam kasus
yang terakhir ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, gaya bahasa ilmiah
menjadi pilihan, karena diasumsikan pembacanya adalah masyarakat akademis
di perguruan tinggi.
Sedangkan pengaruh dari latar belakang penulis dalam pemilihan gaya
bahasa tafsir terjadi pada Dalam Cahaya Al-Qur’an karya Syu'bah Asa dan Tafsir
bil Ma’tsur karya Jalaluddin Rakhmat. Pilihan Syu’bah terhadap gaya bahasa
kolom, patut diduga, karena keberadaannya sebagai wartawan dan kolomnis.
Sejak era 1980-an, ia telah dikenal sebagai seorang budayawan dan wartawan
yang rajin menulis kritik sastra di majalah Tempo dan Editor. Adapun Jalal,
dengan disiplin ilmu komunikasi yang dimilikinya, telah membentuk karakter
tulisan-tulisannya yang sangat memikat dan bernas. Dan latar ini berpengaruh
kuat ketika keduanya menulis tafsir.
Dari sisi teknis penulisan, tafsir-tafsir yang lahir dari tugas akademik
cenderung menggunakan bentuk penulisan ilmiah, yang di dalamnya dicirikan
dengan adanya catatan tubuh (bodynote), catatan kaki (footnote), dan atau

222 _ Islah Gusmian


catatan akhir (endnote). Fenomena ini memperlihatkan adanya dua konsekuensi
penting. Pertama, penggunaan model penulisan ilmiah memberikan kemudahan
bagi pembaca dalam mengakses sumber-sumber rujukan yang dipakai serta
dapat membedakan dengan jelas antara pernyataan penulis tafsir dengan
pernyataan-pernyataan tokoh yang dirujuk.
Kedua, muncul kesan tentang hirarki pembaca dan penulis tafsir. Tafsir
yang ditulis dengan bentuk penulisan ilmiah, terkesan elitis, baik dari segi
penulis maupun pembacanya, ketimbang tafsir yang ditulis dengan bentuk
penulisan non ilmiah. Namun, kesan semacam ini tidak sepenuhnya benar,
karena penggunaan bentuk penulisan ilmiah tidak hanya terjadi pada tafsir-
tafsir yang lahir dari dunia akademis, tetapi juga telah menjadi kelaziman dalam
tradisi penulisan beragam buku di Indonesia.

B. Ragam Kepekaan dalam Tafsir Al-Qur’an di Indonesia


Teks-teks yang lahir dari proses intelektualitas manusia, tidak terlepas
dari subjek dan konteks di mana teks-teks itu disusun dan hidup. Demikian
pula halnya dengan teks tafsir Al-Qur'an. Jika teks Al-Qur’an pada awalnya
mempunyai konteks sendiri pada masyarakat Arab sebagai audiensnya, teks
tafsir pun juga demikian halnya. Oleh karena itu, tema-tema yang tumbuh dalam
tafsir di Indonesia memperlihatkan suatu kepekaan dan keterpengaruhan dari
berbagai wacana dan problematika yang sedang menyeruak di Indonesia. Pada
uraian berikut ini ditunjukkan dan sekaligus dipetakan tentang ragam kepekaan
yang tumbuh dalam tafsir Al-Qur’an di Indonesia terhadap berbagai persoalan
yang dihadapi masyarakat Muslim Indonesia .

1. Teologi Rasional dan Hegemoni Teologi Asy`ariah


Berbicara tentang teologi rasional di Indonesia, ingatan kita akan diarahkan
pada seorang intelektual muslim yang berpengaruh pada masanya, yaitu Harun
Nasution.12 Dalam wacana kajian Islam di Indonesia, ia dikenal sebagai seorang
neo-Muktazilah dan Abduhis. Dalam gerakan kaum pembaru Islam di Indonesia,
di tahun 1970-an ia berperan penting dalam meletakkan dasar-dasar berpikir
Islam rasional dan analisis yang dimulai dari memelopori kajian teologi Islam
rasional (Muktazilah) di IAIN Jakarta.

12
Budhy Munawar-Rachman pernah membuat peta pemikiran pembaru Islam
di Indonesia, khususnya pada kurun 1970-1990-an. Dalam pemetaan itu Budhy
menunjukkan ada tiga model program riset teologi kaum pembaru Islam di Indonesia,
yaitu: 1) teologi rasional yang dikembangkan, terutama, oleh Harun Nasution, 2) teologi
hermeneutik yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid, dan 3) teologi emansipatoris
yang dikembangkan oleh M. Dawam Rahardjo. Ketiga orang ini, hanya contoh dari tiga
jenis program riset kaum pembaru tersebut. Lihat Budhy Munawar-Rachman, “Puisi-
puisi Perenial Emha Ainun Nadjib dan Pemikiran Islam Indonesia”, Horison 07/XXIX/
Juli 1994, hlm. 7.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 223


Menurut Nurcholish Madjid, obsesi Harun pada Muktazilah ini mempunyai
relevansi atas dua hal. Pertama, etos rasional yang mempunyai efek pembebasan
Islam dari kejumudan. Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia yang menganut
paham Qadariah, percaya pada free will dan free act pada manusia, relevan
untuk membongkar kejumudan umat Islam.13 Menurut Harun, jika umat Islam
hendak mengubah nasib, mereka harus mengembangkan teologi Islam yang
berwatak free will, rasional, serta mandiri.14
Pandangan teologi rasionalistik dan teologi free will yang dikembangkan
Harun ini dipengaruhi oleh gagasan pembaruan Abduh di Mesir. Pengaruh
ini setidaknya bisa dilacak dari disertasi yang dia tulis.15 Dari gagasan Harun
tersebut, teologi rasional di Indonesia tumbuh dan mulai mapan serta
menemukan akselerasinya setelah masuk dalam sistem berpikir generasi
muslim selanjutnya. Proses pencarian makna kebebasan manusia dalam
perkembangannya tidak semata-mata disebabkan oleh pengaruh teologi
Muktazilah, tetapi juga sebagai usaha pencarian gagasan pokok Al-Qur’an
tentang persoalan kebebasan manusia yang telah lama menjadi objek
perdebatan di kalangan umat Islam.
Setidaknya ada dua tafsir di Indonesia era 1990-an yang melakukan praktik
penafsiran di bidang ini, yaitu Konsep Perbuatan Manusia dan Menyelami
Kebebasan Manusia. Pada tafsir pertama yang ditulis Jalaluddin Rahman,
mulanya ingin melakukan kajian tentang makna kasb dalam tiga tafsir, yaitu:
Tafsīr al-Bayḍāwī (Ahlussunnah), Tafsīr al-Kasysyāf (Muktazilah), dan Tafsīr
al-Manār (pembaru). Sebelumnya, ia mengkaji buku al-Iqtiṣād fī al-I`tiqād
karya Imam al-Ghazālī, yang di dalamnya memberikan penjelasan bahwa
kasb (perbuatan) manusia dilakukan dan diciptakan Allah. Namun, atas saran
Quraish, dosen di bidang tafsir di IAIN Jakarta waktu itu, ia kemudian meneliti
ke sumbernya langsung, yaitu Al-Qur’an.16
Tafsir kedua, Menyelami Kebebasan Manusia, yang ditulis Machasin, dimulai
oleh kegelisahan tentang dua kelompok ekstrim yang hidup dalam sejarah
umat Islam, yaitu: Qadariah dan Jabariah. Pandangan-pandangan keduanya
saling bertolak belakang dan menakwilkan Al-Qur’an untuk memperkuat
pandangannya itu dan sekaligus menolak pandangan yang berbeda. Misalnya,

13
Lihat Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun Nasution” dalam Refleksi
Pembaruan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF, 1990), hlm. 103.
14
Tentang gagasan Harun ini, lihat Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung:
Mizan, 1995).
15
Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan
(Jakarta: UIP, 1978) dan Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu`tazilah (Jakarta: UIP, 1987).
16
Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. v.

224 _ Islah Gusmian


Abū al-Ḥasan al-Asy`ārī, tokoh Asy`ariah yang sangat dekat dengan paham
Jabariah, mengutip ayat: “… Allah telah menciptakan kamu semua dan apa
yang kamu kerjakan,” (QS. al-Ṣaffāt [37]: 96) sebagai dasar untuk pendapatnya
tentang kasb manusia telah diciptakan Allah.17 Sebaliknya, al-Qādlī `Abd al-
Jabbār, tokoh Muktazilah, mengatakan bahwa kata mā ta`malūn (apa yang
kamu kerjakan) dalam ayat itu menunjuk kepada pengertian asnām (patung-
patung) yang dipahat oleh orang-orang kafir. Patung itu memang ciptaan Allah,
jika dilihat dari bahannya, sedangkan perbuatan mereka adalah pemahatan dan
penghalusannya.18
Penafsiran yang dilakukan `Abd al-Jabbār itu, oleh Asy`ari dianggap salah,
karena patung-patung seperti itu pada hakikatnya dipahat oleh mereka sehingga
menjadi patung. Jadi, patung itulah yang dimaksud oleh Allah, bukan kayu yang
menjadi bahannya.19 Dalam kajiannya ini, Machasin tidak ingin terjebak dalam
konflik semacam itu, dan kemudian ia menggali pandangan Al-Qur’an tentang
perbuatan manusia kaitannya dengan kekuasaan Allah.20
Tema yang dipilih dalam dua tafsir ini merupakan salah satu respons
terhadap tema teologis tentang peran manusia di dalam kehidupan. Secara
epistemologis, analisis yang digunakan dalam dua tafsir ini tidak didasarkan
pada konsepsi-konsepsi yang telah dibangun oleh kedua aliran teologi tersebut,
melainkan dengan cara masuk ke dalam keseluruhan narasi Al-Qur’an yang
berbicara tentang kebebasan manusia.
Dari dua tafsir ini kita tahu bahwa wacana dan diskusi tentang teologi
kebebasan manusia yang marak pada era 1970-an di Indonesia dan
anggapan atas kungkungan nalar determinisme dari teologi Asy’ariah, telah
dikontestasikan dalam penulisan tafsir. Upaya yang dilakukan oleh dua penulis
tafsir tersebut merupakan bagian dari respons, kepekaan, dan ekspresi atas
wacana teologi yang tumbuh di Indonesia dan sekaligus bentuk usaha menggali
gagasan Al-Qur’an tentang kebebasan manusia.

2. Hubungan Sosial Antarumat Beragama: Melalui Al-Qur’an Merangkai


Kedamaian Manusia
Sebagai bangsa, Indonesia memiliki identitas budaya dan agama yang
berbeda-beda. Keragaman agama di Indonesia merupakan kenyataan sejarah
yang mesti diterima. Secara konstitusional, masing-masing pemeluk agama

17
Abū al-Ḥasan `Alī ibn Ismā’īl al-Asy`arī, Kitāb al-Luma` fī al-Radd `alā Ahl al-Zayq
wa al-Bida` (Beirūt: al-Maktabah al-Kāsūlīkiyyah, 1952), hlm. 37.
18
`Imād al-Dīn Abū al-Ḥasan `Abd al-Jabbār, Tanzīh al-Qur’ān al-Maṭā`in (Beirūt:
Dār al-Nahdlah al-Ḥadītsah, t.th.), hlm. 354.
19
Al-Asy`arī, Kitāb al-Lumā` fi al-Radd `ala Ahl al-Zayq wa al-Bida`, hlm. 37.
20
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. xvi.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 225


diberi jaminan untuk melaksanakan ajaran agama mereka sesuai dengan
prinsip yang mereka yakini. Namun, pluralitas agama ini merupakan persoalan
yang tidak pernah basi untuk dibicarakan, karena berbagai ketegangan dan
perseteruan atas nama agama masih sering terjadi.
Pada masa kolonial, hubungan antarumat beragama di Indonesia diwarnai
dengan campur tangan pemerintah kolonial Belanda yang mementingkan
rust en orde. Dalam konteks kolonial, persaingan antarumat beragama terjadi
khususnya pada tingkat pusat masing-masing kegiatan misioner dari agama-
agama tersebut. Sedangkan pada tingkat kehidupan keagamaan di masyarakat,
pemerintah kolonial Belanda bersikap sangat hati-hati dengan berbagai
penjagaan yang ketat. Corak persaingan terjadi pada tingkat lembaga-lembaga
yang muncul dari keyakinan doktriner dari agama-agama tersebut.21 Bahkan
menurut catatan beberapa sarjana Islam Indonesia, seperti M. Natsir dan
Zamakhsyari Dhofier, pemerintah kolonial Belanda di Nusantara melakukan
langkah-langkah yang menyokong organisasi misi Kristen.22
Hubungan antarumat beragama memasuki era baru sejak Orde Baru,
di mana toleransi merupakan salah satu program negara. Bagi rezim Orba,
upaya ini sangat penting untuk menciptakan stabilitas sosial-politik, sehingga
pembangunan bisa berjalan dengan lancar. Sebab, pada era 1960-an ketegangan
antarumat beragama—terutama Islam-Kristen—telah menjadi salah satu faktor
penyebab tersendatnya proses pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Penyebaran agama (dakwah, zending, misi) saat itu telah menjadi penyebab
lahirnya perseteruan antar umat beragama.23
Berangkat dari pengalaman sejarah tersebut, pada 1967 muncul upaya
membangun dialog antarumat agama yang diprakarsai oleh pemerintah
dengan melibatkan para pemuka agama. Dengan upaya ini, diharapkan tercipta
toleransi antarumat agama yang kokoh dan bisa saling menjunjung kepentingan
nasional. Tiga tahun berselang, kesadaran dialog mendapatkan konteks baru,
bukan hanya konteks toleransi dalam pelayanan dan misi agama, tetapi pada
konteks modernisasi (pembangunan). Di sini, agama ditempatkan tidak lagi
berhadap-hadapan dalam memerebutkan pengikut, tapi hal yang jauh lebih

21
Th. Sumartana dkk.,”Pengantar: Menuju Dialog Antar Iman” dalam Dialog: Kritik
dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian-Interfidei, t.th,), hlm. ix-x.
22
Lihat, M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (Bandung: Penerbit Pelajar dan
Bulan Sabit, 1969); Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm.
10.
23
Th. Sumartana dkk.,”Pengantar: Menuju Dialog Antar Iman” dalam Dialog: Kritik
dan Identitas Agama, hlm. ix-x.

226 _ Islah Gusmian


penting adalah secara bersama-sama bertanggung jawab menghadapi dan
menangani persoalan kemanusiaan dalam proses perubahan masyarakat.24
Sejak saat itu, berbagai upaya mempertemukan para pemuka agama untuk
membicarakan pentingnya dialog mulai diadakan. Berbagai lembaga telah
berdiri untuk mensosialisasikan gagasan tersebut. Persoalan pluralitas agama
dan hubungan antarumat beragama di Indonesia ini lalu menjadi wacana yang
berkembang dan dikembangkan secara intens di beberapa perguruan tinggi.
M. Mukti Ali, ketika menjabat sebagai Menteri Agama RI, mensponsori
terbentuknya jurusan Perbandingan Agama di IAIN Yogyakarta. Jurusan
ini diorientasikan untuk mengkaji doktrin ajaran agama-agama yang ada di
Indonesia. Dengan demikian, umat Islam akan mengetahui dengan lebih baik
tradisi agama-agama lain, sehingga dimungkinkan dapat menumbuhkan
pola kesadaran toleransi di kalangan umat Islam. Bahkan, pada akhir tahun
1990-an di Pascasarjana IAIN Yogyakarta telah dibuka Konsentrasi Hubungan
Antaragama. Dalam perkembangannya, wacana pluralitas agama tidak lagi
hanya berkutat di dalam kampus, tetapi juga menjadi perhatian kalangan
intelektual dan LSM.
Kajian tentang pluralitas agama ini kemudian merembes ke dalam studi
Al-Qur’an. Berbagai analisis tentang pandangan Al-Qur’an terhadap agama-
agama lain serta bagaimana etika-sosial antar umat beragama mesti dibangun,
mulai dilakukan oleh beberapa intelektual muslim di Indonesia. Usaha-usaha
ini adalah wajar, karena dalam sistem keimanan umat Islam Al-Qur'an adalah
kitab petunjuk bagi kehidupan umat manusia.
Dalam konteks ini, ada dua tafsir Al-Qur'an di Indonesia yang secara khusus
mengkaji perihal hubungan antarumat beragama, yaitu Ahl al-Kitab Makna dan
Cakupannya dan Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat
Beragama.
Selain pada dua tafsir ini, tema-tema tentang keragaman agama dan
hubungan sosial antarumat beragama juga dibahas dalam tafsir-tafsir yang
menggunakan penyajian tematik plural. Misalnya dalam Wawasan Al-Qur’an
dan Dalam Cahaya Al-Qur’an. Dalam Wawasan Al-Qur’an, Quraish misalnya
menjelaskan secara mendalam makna Ahl al-Kitāb,25 sedangkan Syu`bah Asa,
menguraikan tema hubungan antarumat beragama dalam Dalam Cahaya Al-
Qur’an, setidaknya dalam empat entri, yaitu: “Kepada Agama-agama”,26 “Siapa

24
Islah Gusmian, “Melahirkan Kembali Nilai Humanitas Agama”, Surabaya Post 29
Agustus 1997.
25
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 347-371.
26
Syu`bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 9-14.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 227


Saja yang Selamat di Akhirat”,27 “Tentang Yahudi, Juga Nasrani”,28 dan “Biara,
Gereja, Sinagog, dan Masjid”.29
Perhatian para penulis tafsir di Indonesia terhadap tema pluralitas agama
dan hubungan sosial antarumat beragama di atas memperlihatkan betapa tema
ini telah menjadi salah satu tema penting dalam wacana keislaman di Indonesia.
Dan dipilihnya tema tersebut sebagai objek kajian dalam penulisan tafsir
menunjukkan bahwa tafsir-tafsir di Indonesia dipengaruhi, memiliki kepekaan,
dan sekaligus berdialektika dengan wacana-wacana yang berkembang di tengah
masyarakat.

3. Kesetaraan Gender: Membongkar Dominasi Kuasa Laki-laki


Pada akhir dekade 1980-an wacana tentang peran perempuan dalam
kehidupan sosial masyarakat di Indonesia mulai didiskusikan oleh sejumlah
kalangan. Hal ini tampak dari berbagai kajian yang dilakukan oleh para
pengamat dengan berbagai perspektif terhadap peran-peran perempuan.30
Pada 1989, misalnya, majalah Pesantren menurunkan laporan utama dengan
tema “Perempuan, antara Martabat dan Kodrat”. Laporan ini menjelajahi kajian
perempuan dalam perspektif Islam yang dipertautkan dengan kesadaran
gender.31 Dua tahun berselang, LKPSM NU DIY menyelenggarakan diskusi
bulanan dengan tema “Wanita dalam Perspektif Agama-agama”.32
Masih pada tahun yang sama, Indonesian-Netherlands Cooperation in
Islamic Studies (INIS) di pusat kebudayaan Belanda “Erasmushuis” di Jakarta,
2–5 Desember 1991 menyelenggarakan seminar dengan tema “Wanita Islam
Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual.33 Pendekatan tekstual dan
kontekstual yang dimaksud di dalam seminar itu adalah pendekatan yang tidak
sekadar melihat gambaran perempuan Islam Indonesia dari sisi pandangan
idealnya, sebagaimana ajaran Islam menempatkan perempuan, akan tetapi juga

27
Ibid., hlm. 14-22.
28
Ibid., hlm. 23-23.
29
Ibid., hlm. 37-44.
30
Sekadar contoh, lihat Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah
Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita dalam Masyarakat (Jakarta: Gramedia,
1981); T.O. Ihromi (peny.), Kajian wanita dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor,
1995), Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996).
31
Lihat, Majalah Pesantren No. 2/Vol. VI/1989.
32
Lihat, M. Masyhur Amin, dkk. (ed.), Wanita dalam Percakapan Antar Agama,
Aktualisasinya dalam Pembangunan (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1992).
33
Dalam seminar ini ada 29 makalah yang disajikan, baik sebagai pemakalah utama
maupun pembanding, dan sebagian besar telah dibukukan. Lihat, Lies M. Marcoes-
Natsir dan Johan Meuleman, (ed.), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan
Kontekstual (Jakarta: INIS, 1993).

228 _ Islah Gusmian


melihat bagaimana gambaran mereka dalam kenyataan. Kajian ini tidak semata-
mata sekadar untuk melihat bagaimana teks diartikulasikan menurut konteks
tertentu, tidak pula untuk mengkaji bagaimana teks dipertentangkan dengan
kenyataan, tetapi yang terpenting justru mengamati dinamika masyarakat yang
diakibatkan oleh adanya interaksi antara teks dan konteks.34
Selain kajian-kajian di atas, kita temukan juga beberapa jurnal dan majalah
yang secara khusus mengangkat tema perempuan sebagai laporan utama,35
berbagai seminar tentang perempuan digelar, dan hasil-hasil dari berbagai
kajian itu telah dibukukan.36 Kajian-kajian akademik di atas memperlihatkan
bahwa eksistensi perempuan telah menjadi salah satu topik penting yang dikaji
oleh kalangan muslim di Indonesia pada era 1990-an.
Kesemarakan pembahasan tentang perempuan tersebut merembes juga
ke dalam wilayah tafsir Al-Qur'an. Kenyataan ini merupakan hal yang wajar,
karena kajian tentang perempuan dalam perspektif Islam, satu variabel
penting yang tidak bisa diabaikan adalah analisis terhadap teks Al-Qur'an.
Dalam konteks tafsir di Indonesia era 1990-an, terdapat tiga tafsir yang secara
khusus mengkaji tema perempuan, yaitu Argumen Kesetaraan Jender, Tafsir
bi al-Ra’yi, dan Tafsir Kebencian. Selain tiga tafsir ini, tafsir-tafsir yang ditulis
dengan penyajian tematik plural juga membahas tema tentang perempuan. Dari
empat tafsir yang menggunakan penyajian tematik plural, dua di antaranya
mengkaji tema perempuan, yaitu Wawasan Al-Qur’an37 dan Dalam Cahaya Al-
Qur’an.38 Hanya Ensiklopedi Al-Qur’an yang di dalamnya tidak ada pembahasan
tentang isu perempuan, dan satu tafsir dengan penyajian tematik klasik, yang
mengkaji isu-isu perempuan, yaitu Tafsir Al-Hijri.39

4. Perspektif Tafsir Sufi: Antara Penolakan dan Kebutuhan


Salah satu nuansa tafsir yang tumbuh dalam tafsir di Indonesia era 1990-
an adalah nuansa tasawuf. Dari dua puluh empat tafsir yang lahir pada era
ini, hanya Tafsir Sufi Al-Fatihah yang ditulis Jalaluddin Rakhmat, yang dengan

34
Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Meuleman, “Pengantar” dalam ibid., hlm. xiv.
35
Lihat, Majalah Pesantren No. 2/Vol. VI/1989; edisi khusus 5 tahun Ulumul Qur’an
No. 5 dan 6 , Vol. V tahun 1994; Majalah Pesantren No. 2/Vol. VI/1989.
36
Lihat, M. Hajar Dewantoro dan Asmawi (ed.), Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam
Peradaban Masyarakat Modern (Yogyakarta: Ababil, 1996). Naskah buku ini berasal dari
seminar nasional “Konstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern”
yang diadakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia; Masdar Farid Mas`udi,
Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqih Pemberdayaan (Bandung: Mizan,
1997); dan yang lain.
37
Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 296-318.
38
Lihat, Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, hlm. 430-437.
39
Tidak dikemukakan alasan yang jelas terkait pilihan Didin terhadap sūrah al-
Nisā’. Seri kedua dari tafsir ini telah terbit, yaitu kajian tafsir terhadap sūrah al-Mā’idah.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 229


tegas mengklaim diri sebagai tafsir sufi. Secara terbuka, Jalal mengaku hanya
seorang broker yang menjual informasi kepada pembaca. Ia tidak lebih seperti
sebuah cerek kecil yang menampung air dari berbagai sumber, kemudian
mengalirkannya kepada siapa pun yang kehausan. Oleh karena itu, ia mengaku
tidak ada yang orisinal dalam karyanya itu. Seperti pelukis, ia hanya menyampur
berbagai warna dan mengkombinasikan garis dan bentuk yang sudah ada.40
Terlepas dari pengakuan Jalal yang penuh kerendahan hati itu, usaha
penulisan tafsir bernuansa sufistik tidak banyak dilakukan oleh sarjana muslim
di Indonesia, dan pada era 1990-an pilihan ini merupakan ikhtiar baru. Pilihan
ini bukan hanya butuh keberanian tetapi juga keteguhan, karena pandangan
umum umat Islam di Indonesia pada era itu terhadap tafsir sufistik masih
kurang positif, bahkan sebagian dari mereka ada yang menolaknya.41
Pilihan Jalal di atas, di samping merupakan rintisan bagi terbukanya
persepsi yang positif di kalangan umat Islam terhadap tafsir sufistik, dilihat
dari konteks waktu, searah dengan momentum maraknya kajian-kajian tasawuf
di kota-kota besar ketika itu, seperti di Jakarta. Sejak pertengahan dasarwarsa
akhir 1990-an, berbagai lembaga di Indonesia tumbuh yang di dalamnya secara
khusus memberikan kajian tasawuf, seperti IIMAN, Yayasan Tazkiyah Sejati,42
as-Syafy Pusat Pengembangan Tasawuf Positif dan Klinik Spiritualitas Islam di
Universitas Paramadina, dan beberapa lembaga yang lain. Berbarengan dengan
itu, berbagai acara di televisi juga memberikan paket sajian tasawuf, seperti
yang dilakukan oleh ANTV. Di media cetak pun juga demikian, misalnya muncul
majalah Sufi.43
Dalam perkembangan ini, Jalal memiliki peran penting, di antaranya ia
sebagai salah satu tokoh di lembaga Tazkiyah Sejati dan mempunyai perhatian
khusus terhadap kajian tasawuf yang mulai marak di kota-kota besar tersebut.44
Semuanya ini menggambarkan bahwa kajian tentang dunia spiritual telah

40
Lihat, Laporan dari acara peluncuran buku Tafsir Sufi Al-Fatihah, “Tafsir Sufi:
Menyesatkan atau diperlukan” Republika, 1 Oktober 1999.
41
Lihat, Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah (Bandung: Rosdakarya, 1999),
hlm. viii-ix.
42
Yayasan Tazkiyah Sejati didirikan oleh mantan Wapres Sudharmono pada
1998. Yayasan ini mengkhususkan diri pada kajian tasawuf. Mulanya dari kelompok
pengajian ibu-ibu, kemudian meluas ke semua lapisan, termasuk kaum selebritis. Di
Tazkiyah diselenggarakan kuliah tasawuf, antara lain menghadirkan kelas-kelas atau
paket tazkiyah al-nafs, mengenal tarekat, dan maqamat. Lihat Laporan Republika “Pusat
Kajian Tasawuf”, Republika 01 Oktober 1999.
43
Majalah ini diterbitkan oleh Al-ghozali Network. Dalam struktur keredaksiannya
melibatkan banyak pakar, seperti KH. A. Mustofa Bisri, Prof. Dr. Said Aqiel Siradj, Dr. M.
Fudoli Zaini, dan beberapa tokoh yang lain.
44
Informasi tentang keterlibatan Jalaluddin Rakhmat dalam Tazkiyah Sejati ini,
lihat “Pusat Kajian Tasawuf”, dalam Suplemen Republika 1 Oktober 1999.

230 _ Islah Gusmian


menjadi salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat muslim Indonesia,
terutama di perkotaan.

C. Intelektualitas Penafsir: Semua Muslim Berhak Menafsirkan Al-


Qur’an?
Menulis atau tepatnya menafsirkan Al-Qur’an merupakan salah satu
aktivitas intelektual yang membutuhkan seperangkat disiplin keilmuan khusus.
Al-Suyūthī menyebutkan bahwa setidaknya ada 15 ilmu terkait yang harus
dikuasai dalam aktivitas penafsiran Al-Qur’an.45 Seperangkat disiplin ilmu
tersebut diperlukan dalam rangka menemukan pemahaman yang baik dan
akurat.
Dalam sejarah penulisan tafsir di Indonesia, penulisan tafsir secara umum
dilakukan oleh para cendekiawan atau ulama yang memiliki keilmuan yang
baik, khususnya di bidang tafsir atau ilmu Al-Qur'an. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Mahmud Yunus, dan A. Hassan, misalnya adalah di antara para mufasir Indonesia
era 1950-an yang menguasai disiplin keilmuan Al-Qur’an dengan baik. Mereka
ini dikenal sebagai penulis buku tentang berbagai disiplin keilmuan Islam,
seperti ilmu hadis, ushul fiqh, ilmu tafsir, dan beberapa buku fiqh.
Selanjutnya muncul Hamka, seorang ulama yang juga produktif di dalam
menulis buku. Ia tidak hanya mempunyai perhatian khusus terhadap ilmu-ilmu
keislaman, tetapi juga pada bidang sastra dan humaniora.46 Tafsir Al-Azhar yang
dia tulis adalah tafsir yang menandai bagi sejarah dan dinamika tafsir pada
masanya. Pada era itu, di dunia pesantren juga muncul sejumlah penulis tafsir
dengan keilmuan yang mapan yang dimiliki, di antaranya KH. Bisri Mustafa, KH.
Misbah Zainal Mustafa, KH. R. Muhammad Adnan, KH. Yasin Asmuni, Oemar
Bakri, dan yang lain.
Oleh karena itu, bila aktivitas penafsiran Al-Qur’an dilakukan oleh seorang
yang dari sisi keilmuan dianggap tidak memiliki kapasitas untuk melakukan
penafsiran Al-Qur'an, tentu akan dipersoalkan oleh umat Islam. Usaha yang

45
Kelimabelas disipilin keilmuan tersebut, yaitu: ilmu bahasa, ilmu naḥwu, ilmu
taṣrīf, ilmu isytāq, ilmu ma`ānī, ilmu badī`, ilmu qirā’at, ilmu uṣūl al-dīn, ilmu uṣūl al-fiqh,
ilmu asbāb al-nuzūl, ilmu naskh mansūkh, ilmu fiqh, ilmu ḥadīts, ilmu al-mauḥibah (ilmu
yang diberikan Allah kepada mereka yang mengamalkan apa yang diketahui). Lihat,
Jalāluddīn `Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, Al-Itqān fī `Ulūm al-Qur’ān, (Beirūt: Dār al-Fikr,
1991), II: 231.
46
Diantara buku yang ditulis Hamka adalah Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Tao”,
Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Dari Lembah Cita-cita, Kenang-
kenangan Hidup, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Tafsir Al-Azhar, dan masih banyak lagi.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 231


dilakukan HB. Jassin melalui Bacaan Mulia,47 misalnya, yang hanya melakukan
penerjemahan ayat Al-Qur’an secara puitis, sempat menjadi polemik keras di
kalangan umat Islam. Dalam kasus ini, persoalannya sebetulnya tidak sekadar
puitisasi terjemah Al-Qur’an yang dilakukan Jassin, tetapi karena ia dianggap
tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu lain yang terkait dengan bidang
penafsiran Al-Qur'an.48
Sejarah penulisan tafsir Al-Qur’an di Indonesia era 1990-an secara umum
digerakkan oleh para sarjana muslim yang mempunyai keragaman disiplin
ilmu, di samping para sarjana yang menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan
baik. Namun, di antara mereka terdapat penulis tafsir yang tidak memiliki basis
dan latar belakang ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan baik dan mapan. Mereka ini
memberanikan diri menulis tafsir karena memiliki pandangan bahwa setiap
orang berpeluang untuk memahami Al-Qur'an sejauh dengan niat dan tujuan
yang baik dan benar. Kasus ini dapat kita lihat pada sosok M. Dawam Rahardjo.
Dia adalah seorang ekonom dan pengamat bidang ilmu-ilmu sosial, bukan
sarjana di bidang ilmu Al-Qur’an. Dawam memasuki disiplin ilmu Al-Qur'an
sebagai dunia baru. Dan ini ia mulai dengan menulis artikel tafsir yang ditulis
secara ensiklopedis di Jurnal Ulumul Qur’an, setiap edisi. Teknik yang dia pakai
adalah mengambil kata kunci tertentu secara tematis dan kemudian dianalisis
dengan lintas ayat yang memiliki keterkaitan tema.
Dari sisi rujukan, tafsir yang ditulis Dawam mencerminkan
kekurangkokohaan dalam mengakses beragam tafsir, baik klasik maupun
modern. Dari 237 sumber rujukan yang dia pakai dalam menulis Ensiklopedi
Al-Qur’an, 13 di antaranya adalah tafsir: terdiri dari satu tafsir berbahasa Jawa,
dua tafsir berbahasa Inggris, empat tafsir berbahasa Arab, dan selebihnya tafsir
berbahasa Indonesia. Dari empat tafsir berbahasa Arab yang ia rujuk tersebut—
Tafsīr al-Maraghī karya Muṣṭafā al-Maraghī, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān karya Sayyid
Quthb, Tafsīr al-Fātiḥah karya Rasyīd Riḍā, dan Tafsīr Al-Qur’ān al-Karīm karya
Maḥmūd Syaltūt—diambil dari edisi terjemahan berbahasa Indonesia.
Hal ini terjadi, patut diduga, karena Dawam tidak menguasai bahasa Arab
dengan baik. Keputusan yang ia ambil dalam menulis tafsir tersebut didorong
oleh keinginan untuk menyelami pesan-pesan Al-Qur'an. Secara terbuka ia
mengatakan bahwa dirinya menulis tafsir tersebut karena ia berhak untuk
memahami Al-Qur’an. Bagi dia, dalam penafsiran tidak hanya sekadar persoalan
metodologi: penguasaan disiplin ilmu yang berkaitan dengan mekanisme

47
H.B. Jassin, Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia (Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942,
1982) cetakan ke- 2.
48
Buku Bacaan Mulia telah mendapat sambutan dan kritikan dari berbagai pihak.
Lihat, Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemahan Al-Qur’anulkarim Bacaan Mulia H.B. Jassin
(Pandang Panjang: Pustaka Saadiyah, 1978); Oemar Bakry Dt. Besar, Polemik Jakarta:
Mutiara, 1979).

232 _ Islah Gusmian


penafsiran, tetapi juga sikap “hati” dalam usaha memahami Al-Qur’an.
Memperkuat pendapatnya itu, ia mengemukakan kasus yang terjadi di kalangan
orientalis; meskipun mereka menguasai metodologi, tapi sikap hatinya sudah
menolak Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad saw., maka penafsiran mereka
seringkali meleset.49
Dalam konteks ilmiah, pandangan Dawam ini laik dipertanyaan. Sebab,
terlepas dari akar subjektivitas Dawam, domain hati secara epistemologis dalam
penafsiran merupakan wilayah yang tidak memiliki ukuran yang jelas dan secara
metodologis tidak memiliki hubungan dengan ilmu Al-Qur'an. Bila keberadaan
sikap hati diletakkan sebagai hal yang pertama yang bisa mengantarkan dan
menemukan kebenaran, lalu apa standar epistemologisnya kebenaran yang
peroleh dari hati tersebut; dan bila yang menentukan kebenaran dalam
praktik penafsiran adalah hati, bukan metode, lalu apa gunanya para ulama
merumuskan sekian banyak disiplin ilmu dalam praktik penafsiran Al-Qur'an.
Pandangan Dawam ini, pada titik tertentu akan memberikan kesimpulan bahwa
kebenaran tafsir bersifat tunggal dan itu tidak bersifat metodologis dan tidak
ilmiah.
Cara pandang ini merupakan kerancuan, karena tidak membedakan antara
wilayah keimanan dan keilmuan. Wilayah keilmuan adalah wilayah kognitif-
murni (purely cognitive). Dalam wilayah keilmuan, siapa pun (muslim maupun
non muslim) bisa bertemu dan bersepakat secara ilmiah, berdasarkan pada
ukuran metodologi dan ilmu. Para islamolog, seperti Toshihiko Izutsu, Kenneth
Cragg, W.C. Smith dan yang lain, tanpa harus melakukan konversi ke dalam
Islam, mereka memiliki pandangan dan pemahaman yang simpatik terhadap
Al-Qur’an.50
Al-Qur'an merupakan kitab petunjuk bagi umat manusia. Setiap muslim
memiliki hak untuk memahami teks-teksnya dan di tangan mereka ia akan
menjadi bermakna. Namun bukan berarti setiap orang memiliki perangkat
dan kemampuan dalam memahami dan menafsiran Al-Qur'an. Prinsip umum
yang mesti disepakati bahwa segala bidang ilmu memiliki metode, demikian
juga halnya dengan penafsiran Al-Qur’an. Dan ada sejumlah perangkat yang
diperlukan dalam memahami Al-Qur’an, di antaranya ilmu tata bahasa Arab,
sejarah, sosial, dan ilmu-ilmu yang lain. Semua ini diperlukan agar tujuan yang
mulia tidak salah arah dan keliru jalan.

49
Lihat, M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996),
hlm. 8-14.
50
Hal ini bisa kita lihat pada beberapa tulisan mereka. Lihat Kenneth Cragg, The
Event of the Qur’an (London: George Allen dan Unwin Ltd, 1971); Toshihiko Isutzu, God
and Man in the Quran (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Language Studies, 1964);
dan W.C. Smith, “True Meaning of Scripture: an Empirical Historians Non-reductionisst
Interpretation of the Qur’an” dalam IJMES, Vol. 2 No. 4, Juli 1980.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 233


Terlepas dari kasus di atas, para penulis tafsir Al-Qur'an di Indonesia era
1990-an secara umum didominasi oleh kaum laki-laki. Dari sembilan belas
penulis tafsir, hanya satu penulis tafsir dari kaum perempuan, yaitu Zaitunah
Subhan. Fenomena ini memperlihatkan betapa perempuan di Indonesia pada
era itu, belum mengambil prakarsa dan tidak memperoleh peran yang utama
di dalam penulisan tafsir Al-Qur'an.

D. Orientasi Penulisan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia


Dalam kajian Al-Qur’an setidaknya ada dua orientasi penting. Pertama,
orientasi keimanan. Di sini basis yang dibangun adalah keimanan atas Al-Qur’an
sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk pada umat manusia (al-ittijāh al-
hidā’i). Kedua, orientasi kajian ilmiah terhadap Al-Qur’an (al-ittijāh al-`ilmiyyah).
Pada konteks orientasi Al-Qur'an sebagai petunjuk, landasan utamanya adalah
keimanan yang bersifat subjektif dan eksklusif. Praktik penafsiran atau kajian
atas Al-Qur'an yang dimulai dari kesadaran semacam ini cenderung kurang
mendalam dan beku terhadap Al-Qur'an. Karena orientasi semacam ini, maka
penafsir akan melihat teks Al-Qur’an sebatas pada kesakralannya dan terlepas
dari ruang sosial dan sejarah. Padahal, keberadaaan Al-Qur’an secara faktual
tidak bisa dilepaskan dari sejarah kehidupan masyarakat Arab ketika Al-Qur'an
untuk pertama kali diwahyukan.
Orientasi yang kedua adalah melihat dan berinteraksi dengan Al-Qur'an
secara metodologis dan pendekatan ilmiah. Dalam konteks ini, seperti
dikatakan Abū Zayd, analisis sosial budaya terhadap masyarakat ketika Al-
Qur’an diwahyukan, merupakan suatu keniscayaan. Praktik kajian-kajian ilmiah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penafsiran Al-Qur'an. Dengan
cara ini, pandangan-dunia Al-Qur’an dan nilai-nilai yang dikandungnya secara
komprehensif akan ditemukan.
Dalam konteks menemukan pandangan-dunia Al-Qur’an di atas, penulisan
tafsir di Indonesia era 1990-an bergerak dalam dua kekuatan. Pertama,
kekuatan hermeneutika. Pada bagian ini, hermeneutika kontemporer menjadi
bagian utama. Tafsir-tafsir yang lahir dari kepentingan akademik, secara umum
menempatkan praktik hermeneutika kontemporer sebagai pilihan. Ia menjadi
fenomena di mana tafsir tumbuh dan diinisiasi sebagai bagian kerja dan produk
ilmiah yang bisa dibaca dan dipahami hasilnya secara ilmiah, bukan hanya oleh
umat Islam, tetapi juga umat agama yang lain.
Kedua, penulisan tafsir diletakkan sebagai gerakan sosial-kemasyarakatan.
Di sini, pembangunan konsepsi Al-Qur’an sebagai nilai fundamental dalam
memberikan spirit sosial-kemanusiaan dalam kehidupan umat. Tumbuhnya
pendekatan tafsir keindonesiaan yang bersifat spesifik, sesungguhnya
merupakan suatu bentuk analisis sosial di mana spirit dan gagasan Al-Qur'an
didayagunakan dalam praksis sosial.

234 _ Islah Gusmian


Berkaitan dengan aspek orientasi di atas, pemakaian bahasa Indonesia
sebagai media penyampaian tafsir juga memiliki tujuan tertentu. Dalam
sejarah penulisan tafsir di Indonesia, terdapat aneka ragam bahasa yang
dipakai dalam penulisan tafsir. Di samping bahasa Arab dan beberapa bahasa
daerah, umumnya tafsir-tafsir di Indonesia ditulis memakai bahasa Indonesia.
Dua puluh empat tafsir yang menjadi objek kajian ini menunjukkan bahwa
bahasa Indonesia telah dipilih sebagai media penting untuk menyampaikan
pesan-pesan Al-Qur'an. Pilihan ini, di samping karena faktor keberadaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa, juga karena faktor asal mula tafsir
serta pertimbangan audiens di mana tafsir tersebut ditulis dan dipublikasikan.[]

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 235


BAB V
IDEOLOGI TAFSIR: MENYINGKAP KEPENTINGAN
DI BALIK PENULISAN TAFSIR AL-QUR’AN DI INDONESIA

A. Penafsiran dan Kepentingan


Tafsir Al-Qur'an adalah produk budaya. Bedanya dengan ilmu-ilmu sosial
budaya yang lain, objek yang dikaji adalah kitab suci yang diyakini sebagai
petunjuk hidup dan yang mengantarkan manusia menuju keselamatan dunia
dan akhirat. Oleh karena itu, secara spiritual tafsir Al-Qur'an memiliki satu
dimensi yang tidak ada pada ilmu budaya yang lain. Sebagai bagian dari praktik
pemahaman atas teks, tafsir Al-Qur'an tidak bisa dilepaskan dari ruang sosial,
budaya, dan politik di mana dan oleh siapa tafsir itu ditulis. Ruang sosial, budaya,
dan politik tersebut, dengan keragaman problem dan dinamika yang ada di
dalamnya, disadari atau tidak, selalu akan mewarnai dalam praktik penafsiran.
Di situ terjadi pula kontestasi dan representasi sejumlah kepentingan dan
ideologi.
Abū Zayd pernah mengkritik keras terhadap bentuk tafsir ideologis.1
Ideologi yang dia maksud pengertiannya beragam. Pada satu kesempatan,
dia gunakan dalam pengertian yang ketat, yaitu kesadaran kelompok untuk
melindungi kepentingan mereka berhadapan dengan kelompok lain dalam suatu
masyarakat. Terkadang istilah ini dia gunakan dalam pengertian manipulasi
politis terhadap makna teks.2 Terlepas dari keragaman pemaknaan tersebut,
secara umum istilah ideologi yang dia pakai tersebut merujuk pada bias,
kepentingan, orientasi, dan tujuan-tujuan politis pragmatis serta keagamaan
dalam praktik penafsiran yang justru keluar dari maksud utama teks Al-Qur'an.

1
Detail kritiknya ini bisa dibaca misalnya dalam al-Imām al-Syāfi`ī wa Ta’sīs al-
Idiyūlujiyyā al-Waṣīṭiyyah (Kairo, 1992), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Khoiran Nahdiyyin, Imam Syafi`i: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme (Yogyakarta: LKiS,
1997), Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī (Kairo: Sīnā li al-Naṣr, 1992).
2
Lihat wawancara Nur Ichwan dengan Abū Zayd, pada 2 Juni 1999 dalam M.
Moch. Nur Ichwan, “A New Horizon in Qur'anic Hermeneutics Nasr Hamid Abu Zayd’s
Contribution to Critical Qur’anic Scholarship”, Thesis MA di Universitas Leiden, 1999..

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 237


Oleh karena itu, dalam masalah ini Abū Zayd tidak mengkonfrontasikan
objektivitas dengan subjektivitas, tetapi mengkonfrontasikan objektivitas
dengan kecenderungan ideologis.Pengertian ideologi, oleh Abū Zayd diletakkan
sebagai masalah epistemologis yang terkait dengan level kebenaran yang
meyakinkan (al-ḥaqā’iq al-yaqīniyyah) pada suatu masa di dalam kebudayaan
tertentu. Kebenaran di sini, menurut dia, secara absolut bersifat relatif dan bisa
berubah disebabkan oleh perubahan yang terjadi di dalam kesadaran manusia.
Epistemologi dalam pengertian kultural, merujuk pada kesadaran sosial
bersama, meskipun terdapat keragaman manusia.3 Intinya dia tidak sepakat
dengan model penafsiran yang secara epistemologis tidak mempunyai dasar
kebahasaan dan konteks sejarah pada teks Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam analisis ini, istilah ideologis dipakai di samping dalam pengertian
menunjuk tafsir yang secara epistemologis tidak mempunyai pijakan pada
teks Al-Qur’an, juga dalam pengertian gerakan dan orientasi aksiologis tafsir.
Pengertian yang terakhir ini menyangkut sisi audiens dan konteks-konteks
praktik penafsiran, berupa rezim penguasa, komunitas, wacana, dan yang
lain. Konteks-konteks ini berpengaruh pada bagaimana teks tafsir ditulis dan
wacana-wacana yang dikembangkan di dalamnya. Karakteristik audiens dan
konteks-konteks sosial, budaya, dan politik ini juga berperan dalam membentuk
narasi dan cara berpikir yang dibangun dalam tafsir.
Uraian berikut ini akan menyingkap gagasan, narasi, dan cara berpikir
yang secara diam-diam tumbuh dalam tafsir di Indonesia era 1990-an.
Untuk menemukan semua itu, secara epistemologis analisis pada bagian
ini memanfaatkan mekanisme analisis Abū Zayd, yang membedakan antara
wilayah makna, signifikansi, ruang yang tak terkatakan dalam teks, serta
aspek ideologis.4 Di samping itu, digunakan analisis wacana kritis untuk
membongkar kepentingan-kepentingan yang tersembunyi di balik narasi
tafsir. Pembongkaran ini melalui model narasi tafsir, baik pada aspek gaya
bahasa dengan berbagai citraan yang dibangun maupun contoh-contoh yang
ditampilkan.

B. Tafsir Al-Qur’an di Tengah Arus Utama Teologi Islam Klasik


Pertentangan yang terjadi di kalangan umat Islam pada generasi pasca
Nabi Muhammad saw, telah melahirkan banyak aliran teologi dalam tubuh
umat Islam. Al-Syahrastānī, dalam al-Milal wa al-Niḥal, dengan cukup baik

3
Abū Zayd, al-Naṣṣ al-Sulṭah al-Ḥaqīqah, (Beirūt: al-Markaz al-Tsaqafī al-`Arabī,
1995), hlm. 99.
4
Tentang uraian ini lebih lengkap, lihat Moch. Nur Ichwan, “A New Horizon
in Qur'anic Hermeneutics Nasr Hamid Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic
Scholarship”, Thesis MA di Universitas Leiden, 1999.

238 _ Islah Gusmian


telah merekam sejarah perpecahan sekaligus pertentangan itu.5 Hingga kini,
perdebatan teologis tersebut masih menjadi bahan diskusi di kalangan intelektual
muslim. Dua corak teologi Islam, yaitu Jabariah dan Qadariah merupakan salah
satu diskursus penting dalam teologi Islam klasik yang menyeruak di dalam
pemikiran umat Islam Indonesia. Bahkan, paham Jabariah—diduga karena
pengaruh teori kasb al-Asy`ari—sering dituduh sebagai paham yang dominan di
sebagian umat Islam Indonesia, meskipun tuduhan ini tidak sepenuhnya benar.
Klaim-klaim teologis yang berkembang pada era pemikiran Islam klasik
tersebut masih dibicarakan di kalangan muslim Indonesia. Demikian juga
halnya dalam tradisi penulisan tafsir Al-Qur'an. Pada era 1990-an, terdapat
tiga tafsir yang secara khusus menelisik tema-tema utama dalam teologi Islam
klasik tersebut, yaitu Menyelami Kebebasan Manusia, Konsep Perbuatan Manusia
Menurut Al-Qur’an dan Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Pada bagian ini, kita akan
melihat dua tema utama yang selama ini menjadi diskursus penting dalam
teologi Islam, yaitu kebebasan manusia dan klaim kufr.

1. Makna Kebebasan Manusia


Dalam prinsip Islam, Allah diimani bersifat Maha Kuasa dan mempunyai
kehendak mutlak. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: bagaimana posisi
manusia sebagai ciptaan Tuhan di tengah kekuasaan-Nya yang Maha Mutlak
itu? Apakah manusia mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam mengatur
hidupnya, ataukah seluruhnya tergantung pada kekuasaan-Nya yang mutlak?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan tema-tema diskusi dalam teologi Islam
klasik.
Machasin dan Cawidu dalam kedua tafsirnya, memahami manusia sebagai
khalifah Allah di bumi. Secara semantik, dilihat dari narasi Al-Qur'an, manusia
mempunyai kewenangan dan kebebasan dalam melakukan aktivitas kehidupan
di dunia. Namun, pada sisi yang lain, harus disadari bahwa manusia pada
kenyataannya terikat pada tanggung jawab etik. Sebab, secara personal ia juga
sebagai `abd di muka bumi.
Dalam konsepsi yang demikian, Machasin kemudian mengkritik
ekstrimisme yang muncul dalam dua paham di atas. Ekstremisme Jabariah,
menurutnya akan menimbulkan sifat pasif dan hilangnya rasa tanggung jawab
manusia atas perbuatannya, karena meyakini semua yang akan terjadi pada
manusia sudah ditentukan oleh Allah sejak azali. Dengan demikian, hukum dan
norma-norma menjadi tak lagi berguna dan keberadaan manusia pun menjadi
terancam.6

5
Lihat, `Abd al-Karīm al-Syahrastanī, al-Milal wa al-Niḥal. `Abd al-`Azīz Muḥammad
al-Wakil (ed.) (Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.).
6
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 126-127.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 239


Sikap seperti ini, ujungnya membuat potensi manusia tidak dapat
berkembang, dan fungsinya sebagai saksi kebenaran tidak dapat diwujudkan
secara baik. Machasin menunjukkan bukti-bukti sejarah dalam kasus ini.
Misalnya, di antara khalifah Bani Umayah ada yang memanfaatkan paham
Jabariah sebagai pembenar bagi tindakan-tindakan mereka atas umat Islam.
Ini bisa dilihat, ketika Sa`īd ibn `Utsmān ibn `Affān menuntut Muawiyah agar
dirinya dijadikan penggantinya, bukan Yazīd ibn Mu`āwiyah. Tapi, dengan
mengatasnamakan Tuhan, Muawiyah menjawabnya bahwa kekhalifahannya itu
merupakan kekuasaan yang diberikan Allah kepada siapapun yang dikehendaki-
Nya.7
Di lain pihak, ekstremisme paham Qadariah, menurutnya juga akan
menimbulkan kesulitan serius. Dengan kepercayaan yang besar pada
kemampuan manusia untuk mengatur sendiri nasibnya, ia akan terjerumus
dalam kesombongan. Lahirnya gagasan Übermensch, tak lain disebabkan oleh
kesombongan manusia yang ujungnya Tuhan dianggap sudah mati.8 Paham ini,
juga akan menyebabkan pemujaan yang berlebihan terhadap penalaran.
Machasin mengakui bahwa akal-pikiran mempunyai peran yang cukup
penting di dalam kehidupan. Namun, tidak semua aspek kehidupan dapat
dikuasai dan diselesaikan oleh akal. Hal-hal kebetulan yang seringkali
mengejutkan perhitungan, merupakan contoh yang jelas. Memperkuat jalan
pikirannya di atas, Machasin lalu mengutip kearifan orang Jawa: Kesandung ing
arata, kejentus ing awang-awang (tersandung di jalan yang rata dan terbentur
di udara lapang).9
Terhadap problem ekstremitas dua paham di atas, Machasin
menggarisbawahi bahwa pada dasarnya manusia secara ontologis
keberadaannya tergantung pada Allah. Manusia tak pernah mengerti mengapa
ia muncul sebagai manusia, mengapa ia lahir sebagai diri di suatu tempat yang
berbeda dengan individu yang lain. Banyak hal yang terjadi di sekitar kita,
namun kita tidak dapat menguasainya, dan itu berpengaruh pada diri kita, di
samping hal-hal yang dapat ditundukkan oleh kemauan dan kekuasaan kita.
Tanggung jawab manusia, dalam konteks kasus ini, bagi Machasin hanya
dikenakan atas perbuatan yang berada di wilayah yang kedua. Balasan Allah
pun hanya berkenaan dengan perbuatan manusia di wilayah ini.10
Bila Machasin mencari jalan tengah di antara dua titik ekstrem di atas,
Jalaluddin Rahman secara eskplisit justru mengusung proposisi kebebasan

7
Ibid. Lihat, catatan kaki nomor 15.
8
Ibid., hlm. 127.
9
Ibid., hlm. 128.
10
Ibid., hlm. 136.

240 _ Islah Gusmian


manusia—dalam batas-batas tertentu atas nama Al-Qur’an—untuk mendukung
paham Muktazilah. Kutipan berikut secara tegas membuktikan itu:

Konsep perbuatan manusia menurut Qur’an mempunyai kecenderungan


kepada konsep perbuatan menurut Muktazilah dan Muhammad Abduh.
Al-Qur’an menghendaki manusia produktif-kreatif sehingga diberi
peran sangat penting. Ia diberi tugas, dan tugas itu diwujudkan dalam
berbagai bentuk perbuatan. Tugas terwujud karena ia diberi persyaratan-
persyaratan untuk itu, misalnya anggota badan, akal, pilihan, putusan,
daya, dan kemampuan. Jadi, manusia memiliki kesanggupan untuk
berbuat dan benar hal itu terwujud. Muktazilah memberi pula peran
penting kepada manusia. Ia dapat berbuat karena ia memiliki potensi dan
daya. Perbuatannya terjadi atas pilihan-putusannya.... Memang Al-Qur’an
tidak menyebutnya sebagai pelaku yang sebenarnya, tetapi peran dan
tugas serta berbagai persyaratan (misalnya akal, daya, pilihan, anggota)
memberi kelaikan manusia sebagai pelaku yang sesungguhnya.11

Konsepsi tentang perbuatan manusia yang dirumuskannya itu lalu dia


gunakan untuk mengkritik konsep kasb Asy`ariah yang menurutnya tidak
produktif-kreatif. Secara lugas ia menulis:

Konsep perbuatan manusia menurut Al-Qur’an yang produktif–kreatif


berbeda jauh dengan konsep kasb Asy’ariah. Al-Asy`ari (wafat 330 H)
berpendapat bahwa kasb terjadi karena daya yang diciptakan setiap
diri berbuat. Pelaku kasb sesungguhnya adalah Tuhan, bahkan kasb
itu diciptakan Tuhan. Al-Ghazali (wafat 1111H) sependapat dengan al-
Asy`ari. Ditambahkan bahwa daya manusia lemah dan daya Tuhan lebih
dominan dalam perwujudan perbuatan manusia. Dengan demikian, kedua
tokoh Asy`ariah tersebut tidak memberi peran penting dan melemahkan
daya manusia. Kalau perbuatannya diciptakan Tuhan, maka bagaimana
mungkin ia produktif-kreatif. Akibat lanjutnya adalah bahwa tanggung
jawab yang diakui pula oleh kaum Asy`ariah tidak laik bagi manusia.
Kepadanya dimintakan pertanggungjawaban terhadap apa yang dilakukan
dan diciptakan Tuhan, bukan oleh diri manusia. Karena itu, teori tanggung
jawabnya tidak logis.12

Kritik Rahman di atas dalam konteks tertentu bisa dipahami. Namun,


semangatnya yang menggebu dalam mengkritik konsep kasb Asy`ariah yang
dia lakukan di satu sisi, sembari membela logika Muktazilah pada sisi lain,
menyebabkan dirinya kehilangan sikap kritis terhadap pandangan Muktazilah.

11
Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. 168.
12
Ibid.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 241


Bahkan secara eksplisit, seperti bisa disimak pada kutipan di atas, kajian yang
ia lakukan itu sebagai bentuk legitimasi terhadap pokok pikiran Muktazilah.
Padahal, seperti kritik Machasin, kebebasan manusia yang dipopulerkan
Muktazilah, pada titik ekstremnya juga berbahaya, yaitu dapat melahirkan
sikap sombong dan bisa meniadakan peran Tuhan, seperti dalam gagasan
Übermensch.
Dilihat dari sisi epistemologis dan ruang sosial, tafsir yang ditulis Jalaluddin
Rahman ini kental dengan episteme free will dan free act yang dipopulerkan
Harun Nasution di berbagai ruang akademik. Sebagaimana kita tahu, Harun
dikenal sebagai intelektual muslim Indonesia yang memopulerkan gagasan
Muktazilah serta mengkritik teologi Asy`ariah yang menurutnya cenderung
jumud. Harun, dalam konteks tafsir yang ditulis Jalaluddin ini, adalah dosen
pembimbing ketika disertasi tersebut ditulis Jalaluddin—sebagai asal mula
tafsir ini. Sebagai pembimbing, Harun telah ikut mewarnai bangunan dan cara
berpikir yang ada dalam tafsir ini. Kesimpulan-kesimpulan Jalaluddin yang
dengan menggebu membela gagasan Muktazilah dalam hal kebebasan manusia
dan pada saat yang sama mengkritik teori kasb Asy’ariah adalah merupakan
wujud dari pengaruh tersebut.
Dari narasi yang dikonstruksi, kaitannya dengan tema perbuatan manusia,
tafsir yang ditulis Jalaluddin Rahman ini membentuk satu wacana di mana Al-
Qur’an dikesankan sesuai dan mempunyai kecenderungan pada pandangan
Muktazilah dan Muhammad Abduh. Bagi dia, Al-Qur’an menghendaki manusia
produktif-kreatif, sehingga diberi peran sangat penting. Ia diberi tugas, dan
tugas itu diwujudkan dalam berbagai bentuk perbuatan.13
Narasi di atas memberikan kesan bahwa yang menjadi acuan
mengkonstruksi tema kebebasan perbuatan manusia dalam kajiannya itu adalah
pandangan Muktazilah dan Muhammad Abduh. Secara implisit, Jalaluddin ingin
menjustifikasi pemahaman Muktazilah tentang kebebasan perbuatan manusia,
dengan praktik penafsiran Al-Qur’an yang ia lakukan.
Terlepas dari wacana semacam itu, Jalaluddin tidak memberikan unsur-
unsur penting yang menjadi ukuran dan pijakan di mana kesimpulan dibangun.
Dalam berbagai tempat, ia menjelaskan tentang adanya unsur-unsur daya
dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai salah satu
alasan penyimpulan tersebut. Namun, ia tidak menjelaskan ruang-ruang
kebebasan yang dimaksud oleh Al-Qur’an dan dalam pandangan Muktazilah
yang menurutnya selaras. Ketiadaan penjelasan ini yang kemudian memberikan
kesan bahwa praktik penafsiran yang ia lakukan justru cenderung sebagai
pembelaan teologis atas nalar Muktazilah.

13
Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia, hlm. 168.

242 _ Islah Gusmian


2. Nomenklatur Kafir: dari Ketidakberimanan hingga Praktik
Penindasan
Dalam komunikasi sehari-hari, istilah kafir telah dipakai dalam berbagai
ragam makna. Negara Amerika Serikat, oleh sebagian masyarakat muslim di
Indonesia, dilabeli dengan nama "negara kafir". Alasannya, negara itu dipimpin
oleh orang non muslim serta kebijakan politiknya (dianggap) merugikan umat
Islam. Kasus penyerangan Amerika ke Afganistan, klaim teroris yang mereka
kemukakan kepada kelompok Islam, adalah beberapa kasus yang dipakai acuan
untuk memberikan label "kafir" tersebut.
Di Indonesia, pada era 1920-an, pertentangan antarumat Islam, karena
sekadar persoalan furu`iyyah, orang dengan gampang memberikan label "kafir"
kepada kelompok yang berbeda pandangannya. Perseteruan kelompok Majelis
Ahli Sunnah dan Persis di Bandung dengan Al-Ittihadul Islamiyyah yang terjadi
pada 1927.14 menjadi salah satu kasus yang pernah melahirkan pelabelan
semacam itu.
Istilah kufr atau kafir, dalam sejarah komunikasi di Indonesia akhirnya
sarat dengan beban makna yang berbeda-beda dan menakutkan—cenderung
ideologis dan politis. Hal-hal semacam ini selaiknya diselesaikan secara
akademik dan rasional, di antaranya dengan menggali makna kafir dalam Al-
Qur'an secara komprehensif. Dan cara ini yang dilakukan Cawidu dalam tafsir
Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Dengan analisis linguistik, ia menelisik istilah-
istilah kunci dalam Al-Qur’an yang secara semantik memiliki hubungan dengan
konsep kufr. Medan semantik kufr ia telusuri secara cermat dan ditemukan
tujuh jenis kufr, yang masing-masing mempunyai karakteristik berbeda-beda,
yaitu inkar, juḥud, nifaq, syirk, ni`am, riddah dan ahl al-kitāb. Semua istilah ini
secara umum bisa dikembalikan pada makna kebahasaan, yaitu menutup (al-
satr wa al-taghtiyyāt). Dalam kasus ini, dia kemudian memberikan kesimpulan
secara konseptual.

Orang kafir adalah mereka yang menutup-nutupi kebenaran. Kebenaran


yang dimaksud meliputi: Tuhan sebagai kebenaran mutlak dan sumber
segala kebenaran; semua yang berasal dari Tuhan dalam bentuk
ciptaan-ciptaan-Nya yang berhikmah; semua ajaran yang berasal dari-
Nya dan disampaikan oleh rasul-rasul-Nya; kebenaran sebagai lawan
dari kebatilan, kepalsuan dan ketidakhakikian. Jadi, orang-orang kafir
adalah mereka yang menolak, mendustakan, mengingkari, dan bahkan
anti kebenaran-kebenaran yang dimaksud. Bila dikaitkan dengan kufr
nikmat, maka orang-orang kafir adalah mereka yang menutup-nutupi
nikmat-nikmat Tuhan, dalam arti, menyembunyikan nikmat-nikmat itu,

14
Selengkapnya, lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanat (Yogyakarta:
Bentang, 2001), 207-208.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 243


menempatkannya bukan pada tempatnya, dan menggunakannya bukan
pada hal-hal yang diridlai oleh Tuhan sebagai pemberi nikmat.15

Kesimpulan Cawidu di atas memberikan pemahaman bahwa istilah kufr,


secara etik dipakai tidak hanya dilekatkan pada non muslim, tetapi juga orang-
orang Islam. Perilaku kufr nikmat dan juḥud (menolak hal-hal yang bersifat
gaib) misalnya, bisa terjadi pada individu-individu muslim. Hal ini berarti
bahwa makna kafir yang dibangun Al-Qur'an domainnya bukan hanya persoalan
keimanan, tetapi juga pada konteks etika sosial, yang dasarnya adalah perilaku
yang merugikan manusia. Oleh karena itu, Cawidu merumuskan bahwa sikap
moral menginkari nikmat Tuhan, menolak hal-hal yang gaib, hedonistis,
munafik, dan tiranik, merupakan bagian dari perilaku yang termasuk dalam
kategori kufr.
Lebih jauh, Cawidu menjelaskan bahwa kufr juga memiliki klaster yang
bertingkat, seperti halnya syirk. Klasifikasi ini dia lakukan berkaitan dengan
klaim kufr riddah yang secara kelembagaan menyebabkan seseorang keluar dari
Islam. Setelah mengutip pendapat beberapa ulama, dia membagi pengertian
kufr ke dalam dua bagian. Pertama, kekafiran yang menyebabkan pelakunya
tidak lagi berhak disebut muslim. Termasuk dalam kategori ini adalah kufr
syirk, kufr inkār, kufr juḥud, kufr nifaq, dan kufur riddah. Kedua, mencakup
semua perbuatan maksiat, dalam arti menyalahi perintah Allah dan melakukan
larangan-larangan-Nya. Secara umum, klaster ini disebut kufr ni’mat. Pelaku
dari jenis kufr yang kedua ini, menurut Cawidu tidak keluar dari Islam, tetapi
subjek yang bersangkutan akan menjalani hukuman Tuhan.16
Pembagian Cawidu di atas menarik, apalagi bila dikaitkan dengan implikasi
hukumnya. Dalam konteks fiqh, seperti juga dikutip Cawidu, selama ini individu
yang diklaim sebagai murtad, darah dan jiwanya menjadi halal, harta bendanya
disita negara, mayatnya tidak dimandikan dan tidak dikuburkan di pekuburan
Islam.17 Dari sisi etika sosial, kita bisa mempertanyakan hukuman semacam ini:
mengapa klaster kufr yang non riddah tidak dikenai sangsi hukum yang berat
dalam bentuk sangsi sosial semacam itu. Padahal, perilaku kufr pada klaster
yang kedua juga melahirkan keburukan dalam sistem sosial kemasyarakatan
yang merugikan banyak orang. Bila kita percaya bahwa dasar dirumuskannya
suatu hukuman sebagai bentuk penghentian kejahatan, mengapa orang yang
melanggar moralitas agama di atas tidak dikenai sangsi yang keras. Padahal,
perilaku mereka juga melahirkan akibat buruk dalam kehidupan sosial
kemanusiaan.

15
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
hlm. 230.
16
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, hlm. 160-161.
17
Lihat, Abū Bakr Jabīr al-Jazā’irī, Minhāj al-Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), hlm.
535.

244 _ Islah Gusmian


Terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, kajian yang dilakukan Cawidu
ini cenderung bersifat abstrak. Dia tidak secara kokoh memperluas makna
terma kufr, yang asal mulanya bersifat teologis ke arah etika sosial yang bersifat
praktis dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diuraikan di muka, dia
dengan baik telah merinci istilah kufr dalam beragam makna, termasuk dalam
etika sosial, tetapi arah penafsirannya bersifat abstrak dan tidak praksis. Semua
ini terjadi karena kerangka analisi yang digunakan tidak memakai kerangka
hermeneutika sosial.
Sebagai suatu konsep etika sosial, kufr selaiknya dimaknai juga sebagai
sikap yang membuka jalan penindasan. Seperti yang dilakukan Asghar Ali
Engineer, suatu istilah yang diacu dalam Al-Qur’an, tidak bisa hanya dibatasi
pada makna keagamaannya, tetapi juga harus dilihat dalam perspektif sosial,
budaya, dan ekonomi. Makna yang terakhir ini menjadi penggerak bagi gerakan
pembebasan sosial kemanusiaan. Bila dalam teologi tradisional terma kafir
dimaknai sebagai ketidakpercayaan religius, menurut Asghar hal yang demikian
juga harus diletakkan sebagai sikap aktif dalam menentang usaha-usaha
yang tidak jujur dalam membentuk masyarakat yang adil dan berkeadaban.
Ini artinya, kafir tidak hanya ditentukan oleh penolakan seseorang terhadap
keberimanan kepada Allah, tetapi ditentukan pula oleh sikap-sikap yang
melahirkan ketidakadilan dan penindasan dalam struktur sosial masyarakat.18

C. Tafsir Al-Qur’an dan Kampanye Kesetaraan Gender


Penelisikan pada bagian ini diarahkan pada tema-tema pokok yang
berkaitan dengan diskursus perempuan yang pada era 1990-an diperbincangan
dalam tafsir Al-Qur'an di Indonesia. Ada empat isu utama yang dianalisis pada
bagian ini, yaitu tentang keterciptaan perempuan, peran dan ruang gerak
perempuan, bagian warisan bagi perempuan, dan poligini. Keempat isu ini
merepresentasikan bagaimana wacana kesetaraan perempuan dikampanyekan
melalui tafsir Al-Qur'an

1. Pemihakan pada Perempuan: dari Problem Teks hingga Tantangan


Sosial Budaya
Berbicara tentang isu perempuan di Indonesia, salah satu hal yang harus
dimengerti adalah pandangan Al-Qur’an tentang asal kejadian perempuan.
Mengacu pada kasus ini klaim tentang perempuan tumbuh, baik yang
bernada positif dan atau negatif. Secara kronologis, asal kejadian manusia
tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Cerita penciptaan manusia, banyak diketahui
melalui hadis Nabi, kisah isra’iliyat, dan riwayat yang bersumber dari kitab

18
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairussalim HS dan Imam
Baehaqi (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 88-89.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 245


Taurat, Injil dan Talmud.19 Substansi asal-usul kejadian Adam dan Hawa juga
tidak dibedakan secara tegas. Sejumlah sumber memberikan isyarat bahwa
Adam diciptakan dari tanah kemudian dari tulang rusuk Adam ini diciptakan
Hawa, namun isyarat ini diperoleh dari hadis. Kata Hawa yang selama ini
dipersepsikan sebagai perempuan yang menjadi istri Adam, sama sekali tidak
disinggung dalam Al-Qur’an secara lugas. Bahkan klaim bahwa Adam sebagai
manusia pertama dan berjenis kelamin laki-laki masih dipertanyakan oleh
beberapa kalangan.20
Satu-satunya ayat yang mengisyaratkaan tentang soal ini adalah QS. al-
Nisā’ [4]: 1. Kata kunci yang menjadi sumber analisis dalam ayat ini—yang
kemudian melahirkan perdebatan—adalah kalimat: 1) nafs wāḥidah (diri yang
satu), 2) objek yang ditunjuk dengan kata ganti: minhā (darinya), dan 3) apa
yang dimaksud dengan kata: zawjahā (pasangan). Memahami ayat ini, para
mufasir berbeda pendapat. Setidaknya ada dua model pemahaman. Kelompok
pertama, terdiri dari Tafsīr al-Qurṭubī, Tafsīr Ibn Katsīr, Tafsīr Rūḥ al-Bayān,
Tafsīr al-Kasysyāf, Tafsīr al-Jāmi` al-Bayān, dan Tafsīr al-Marāghī,21 menafsirkan
kata nafs wāḥidah dengan “Adam”. Kata ganti minhā dimaknai dengan “dari
bagian tubuh Adam”, dan kata zawjahā dimaknai dengan “Hawa”. Alasan mereka
adalah karena terdapat hadis Nabi saw yang mengisyaratkan bahwa perempuan
(Hawa) diciptakan dari Adam, yaitu “Sesungguhnya perempuan diciptakan dari
tulang rusuk yang bengkok, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah.
Tetapi jika kalian membiarkannya, maka kalian akan menikmatinya dengan
tetap dalam keadaan bengkok”.22
Kelompok kedua berpendapat bahwa asal-usul kejadian perempuan
bukan dari tulang rusuk Adam, tapi dari jenis (jins) Adam. Al-Rāzī termasuk
dalam kelompok ini. Dengan mengutip pendapat Abū Muslim al-Ishfāhānī, dia
mengatakan bahwa kata ganti hā, pada kata minhā dalam ayat di atas, bukan
bagian tubuh Adam, tetapi “dari jenis” Adam. Dia membandingkan pendapatnya
ini dengan menganalisis kata nafs yang digunakan dalam QS. al-Naḥl [16]: 78,
Ālu `Imrān [3]: 164, dan al-Tawbah [9]: 128.23
Dengan logika yang berbeda, Muhammad Abduh termasuk dalam kelompok
kedua ini. Dalam tafsir al-Manār, dia mengemukakan beberapa alasan. Pertama,

19
Diskusi soal ini, lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. 226-228.
20
Lihat, Riffat Hasan dan Fatima Mernissi, Setara di Hadapan Allah, terj. tim LSPPA
(Yogyakarta: LSPPA, 1994), hlm. 44-50.
21
Lihat, Tafsīr al-Qurṭubī, I: 448; al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, IV: 135; Tafsīr Ibn
Katsīr, I: 448; Tafsīr Rūḥ al-Bayān, II:159; Tafsīr al-Kasysyāf, I: 492; Tafsīr al-Jāmi` al-
Bayān, III: 224-225, dan Tafsīr al-Marāghī, II: 175.
22
Lihat misalnya dalam Ibn Katsīr, Tafsīr ibn Katsīr, I: 449.
23
Lihat, al-Rāzī, Tafsīr al-Rāzī, III: 478

246 _ Islah Gusmian


ayat itu diawali kata yā ayyuha al-nās (wahai sekalian manusia). Seruan ini
berarti ditujukan kepada seluruh manusia. Bagaimana mungkin itu dikatakan
Adam, sementara Adam tidak populer dan tidak diakui keberadaannya oleh
semua umat manusia sebagai manusia pertama. Oleh karena itu, menurutnya,
pengertian min nafs wāḥidah dalam ayat ini mestinya yang dapat diakui secara
universal.
Kedua, bila memang yang dimaksud adalah Adam, mengapa menggunakan
bentuk nakirah pada kata rijāl, bukan bentuk ma`rifah: al-rijāl wa al-nisā’. Dengan
mengutip pendapat para filosof, `Abduh memahami kata nafs mempunyai arti
yang sama dengan kata rūḥ, yaitu sesuatu yang bersifat non materi. Artinya,
kata nafs tidak bisa diartikan Adam yang berkonotasi materi.24
Dua pendapat di atas mewarnai tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an.
Penulis Tafsir Kebencian dan Argumen Kesetaraan Jender termasuk yang sangat
tegas menolak pendapat pertama. Dengan mengutip Riffat Hassan dan Fatima
Mernissi, Zaitunah mengklaim bahwa pendapat kedualah yang rasional. Alasan
dia, kata Adam dalam istilah bahasa Ibrani berarti ‘tanah’—berasal dari kata
Adamah—sebagian besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia,
bukan menyangkut jenis kelamin. Memperkuat pendapatnya ini, dia kemudian
mengutip QS. al-Isrā’ [17]: 70 dan al-Tīn [95]: 4.25 Artinya, secara tidak langsung,
Zaitunah menolak pandangan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang
rusuk Adam.
Nasaruddin dalam Argumen Kesetaraan Jender lebih kritis lagi memberikan
analisis. Dengan analisis linguistik, dia menjelaskan bahwa kata nafs, yang
terulang 295 kali dalam Al-Qur’an, dengan berbagai bentuknya, tidak satu pun
yang dengan tegas menunjuk kepada pengertian Adam. Kata nafs, dalam Al-
Qur’an kadangkala berarti jiwa (QS. al-Mā’idah [5]: 32), nafsu (QS. al-Fajr [89]:
27), nyawa/roh (QS. al-`Ankabūt [29]: 57), dan asal-usul binatang (QS. Syūrā
[42]: 11).26 Analisis semacam ini juga dilakukan Baidan dalam Tafsir bi al-Ra’yi.
Dengan bahasa yang lugas, di ujung analisisnya, dia menyimpulkan bahwa
perempuan menurut Al-Qur’an bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam,
melainkan dari unsur yang sama dengan Adam, yaitu tanah.27
Alasan kedua yang diberikan Nasaruddin Umar adalah bahwa kata nafs
wāḥidah dalam konteks ayat di atas memakai bentuk nakirah/indefinite, bukan
bentuk ma`rifah yang menunjukkan kekhususan, dan diperkuat lagi dengan
kata wāḥidah. Semua ini, bagi Nasaruddin, menunjukkan pada substansi utama

24
Muḥammad Rasyīd Ridlā, Tafsīr al-Manār, IV: 223-230.
25
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 51-52.
26
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 241.
27
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 8-10.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 247


(the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri
sebagai substansi kedua.28
Pandangan yang beda dikemukakan Quraish. Dalam kasus ini, dia sangat
baik dalam mengemukakan dua pandangan para ahli tafsir di atas, tapi dia
tidak mengemukakan pandangannya sendiri secara tegas dan luas. Bahkan,
dalam Tafsir Al-Mishbah, ketika menjelaskan ayat pertama sūrah al-Nisā’ ini,
dia menulis:

Ayat [dalam] al-Ḥujurāt memang berbicara tentang asal kejadian manusia


yang sama dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum/indung
telur ibu. Tetapi, tekanannya pada persamaan hakikat kemanusiaan orang
perorang, karena setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya,
tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama..... Adapun ayat al-Nisā’ ini,
maka walaupun ia menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang perorang
dari segi hakikat kemanusiaan, tetapi konteksnya untuk menjelaskan
banyak dan berkembangbiakannya mereka dari seorang ayah, yakni
Adam, dan seorang Ibu, yakni Hawa. Ini dipahami dari pernyataan:
Allah memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan. Ini
tentunya baru sesuai jika kata nafs wāḥidah dipahami dalam arti ayah
manusia seluruhnya (Adam as) dan pasangannya (Hawa) lahir darinya
laki-laki dan perempuan yang banyak.29

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Quraish cenderung memaknai


kata nafs wāḥidah dalam arti ayah manusia seluruhnya, yakni Adam dan
pasangannya, Hawa. Dari situlah menurut Quraish perkembangbiakkan
manusia, laki-laki dan perempuan, dimulai. Pemaknaannya itu dia dasarkan
pada kesesuaian makna dalam konteks wacana yang dibicarakan di dalam ayat
tersebut. Bahkan, ia memandang paham soal asal-usul kejadian perempuan dari
tulang rusuk Adam ini bukan sebagai sebab yang sering melahirkan bias gender.
Ketika mengutip kritik Rasyīd Riḍā atas ide keterciptaan Hawa dari tulang rusuk
Adam yang diklaim sebagai pengaruh dari Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22),
lebih lanjut Quraish menulis:

Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang
rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita
selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan laki-laki.
Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan
antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi surat al-Ḥujurāt di atas, dan
sebagaimana penegasan-Nya, “Sebagian kamu dari sebagian yang lain”
(QS. Ālu `Imrān [3]: 195. Laki-laki lahir dari pasangan pria dan wanita,
begitu juga wanita. Karena itu tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan
antara keduanya. Kekuatan laki-laki dibutuhkan oleh wanita dan

28
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 241-42.
29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 314-5.

248 _ Islah Gusmian


kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat
dari kain, dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak
akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan,
akan tercipta pakaian indah, serasi dan nyaman.30

Berbeda dengan sikap Quraish dalam Al-Mishbah yang kurang lugas di atas,
penulis Al-Qur’an dan Tafsirnya dengan tegas memahami kata nafs wāḥidah
dalam arti Adam. Dalam tafsir ini juga dijelaskan—atas nama mayoritas
mufasir—bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah. Dari
diri Adam diciptakan pasangannya, Hawa.31 Sikap serupa juga dilakukan Didin
Hafiduddin dalam Tafsir al-Hijri.32 Namun, dia tidak memberikan penjelasan
lebih detail mengenai penciptaan Hawa dari Adam tersebut: apakah dari tulang
rusuk Adam atau dari unsur yang sejenis dengannya.
Dari keseluruhan uraian tersebut tampaklah bahwa tafsir-tafsir di
Indonesia dalam kasus di atas merepresentasikan kecenderungan yang
berbeda-beda. Para penulis Tafsir Kebencian, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Argumen
Kesetaraan Jender, dengan tegas menolak pendapat bahwa perempuan (Hawa)
diciptakan dari Adam. Dilihat dari rujukan dan episteme yang dipakai, dalam
tiga tafsir ini tidak secara tegas membangun proposisi hermeneutika feminis
yang dicanangkan para feminis Muslim, seperti Fatima Marnissi, Riffat Hassan,
dan Amina Wadun Muhsin, tetapi ketiganya memahami rasionalitas baik di
dalam teks maupun di luar struktur teks. Secara epistemologis, ketiga tafsir
ini bertitik-tolak pada istilah kunci yang dipakai Al-Qur’an kemudian menarik
signifikansi pokok, dan dari signifikansi itulah mereka merumuskan visi Al-
Qur’an yang tidak terkatakan dalam teks.
Adapun Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah dan Wawasan Al-Qur’an, Didin
dalam Tafsir al-Hijri, dan tim Badan Wakaf UII dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya,
tidak mengusung proposisi tafsir feminis Muslim. Secara epistemologis keempat
tafsir ini menegaskan perihal yang sebaliknya. Didin dan tim Badan Wakaf
UII dengan tegas berpihak pada pendapat pertama, tetapi keduanya secara
epistemologis tidak memberikan penjelasan mengapa mereka berpendapat
semacam itu. Hanya Quraish—yang tidak menolak model pendapat pertama—
dengan memberikan logika penafsirannya. Baginya, pendapat itu dia ambil
karena tuntutan konteks narasi ayat bahwa nafs wāḥidah dalam QS. al-Nisā’ [4]:
1 lebih sesuai dimaknai sebagai Adam. Namun, dengan model metode interteks,
dalam dua tafsir tersebut, Quraish tidak bersikap lugas.

30
Ibid., II: 316.
31
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I (Yogyakarta: Badang Wakaf
UII, 1995), hlm. 116.
32
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an atas Surat an-Nisa’ (Jakarta:
Logos, 2000), hlm. 2.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 249


Kecondongan Quraish pada pendapat yang pertama, setidaknya didasarkan
atas dua alasan pokok. Pertama, pasangan Adam yang diciptakan dari tulang
rusuknya, bagi Quraish bukan berarti bahwa kedudukan wanita selain Hawa,
lebih rendah ketimbang laki-laki. Semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir
dari gabungan antara pria dan wanita. Karena itu, tidak ada perbedaan dari
segi kemanusiaan antara keduanya. Kedua, kekuatan laki-laki menurut Quraish
dibutuhkan oleh wanita dan kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria.
Dengan metafor antara jarum dan kain, ia menjelaskan bahwa jarum harus lebih
kuat dari kain, dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak
akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit.33
Melalui dua alasan tersebut, Quraish sedang melakukan pewacanaan yang
menyembunyikan problem-problem pokok dari relasi laki-laki dan perempuan.
Pada alasan pertama, Quraish tidak melihat aspek psikologis dari konstruksi
nalar tentang kisah keterciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Memang,
seperti logika yang dia pakai, kita akan mengakui bahwa generasi anak cucu
Adam (baik laki-laki maupun perempuan) lahir dari hasil perkawinan dua
jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Namun, pokok persoalannya tidaklah
berhenti pada kesadaran semacam itu. Sebab, kisah keterciptaan Hawa dari
tulang rusuk Adam, secara psikologis telah mengkonstruksi nalar dan bahkan
menjadikan suatu pandangan dunia bahwa perempuan adalah jenis manusia
kelas dua, karena asal-usul keterciptaan Hawa tersebut.
Pada alasan kedua, Quraish telah memberikan pencitraan bias gender.
Kelembutan perempuan yang dia gambarkan seperti kain, dan kekuatan
laki-laki yang dia gambarkan seperti jarum, yang saling membutuhkan, jelas
merupakan soal gender. Sebab, kekuatan dan kelembutan bukanlah dua hal
yang bersifat kodrati, tetapi lebih sebagai suatu potensi dari hasil konstruksi
pencitraan dalam wilayah sosial-budaya. Oleh karena itu, secara seksual, jarum
tidaklah identik dengan jenis kelamin laki-laki, dan kain pun juga tidak identik
dengan jenis kelamin perempuan.
Semua analisis di atas memberikan pemahaman bahwa eksistensi, ruang
sosial penafsir, konteks dan zaman di mana tafsir ditulis, sangat memengaruhi
pandangan dan orientasi dari praktik penafsiran. Zaitunah dan Nasaruddin
Umar—keduanya banyak bergumul dengan proposisi hermeneutika feminis—
membangun episteme tafsir yang khas fenimis. Sebagai sosok perempuan,
secara ideologis Zaitunah membangun episteme feminis, untuk menemukan
visi kesetaraan sebagai nilai dasar Al-Qur’an. Dengan jelas dan lugas dia
memaparkan dasar-dasar epistemologis dari konsepsi yang dia bangun. Sikap
dan pilihan ini berbeda dengan yang terjadi pada Quraish, Didin, dan bahkan
tim Badan Wakaf UII.

33
Ibid., II: 316.

250 _ Islah Gusmian


2. Aktivitas Perempuan: dari Ruang Domestik hingga Ruang Publik
Dalam Argumen Kesetaraan Jender, Nasaruddin Umar dengan baik telah
memberikan kesimpulan bahwa terjadinya ketimpangan relasi laki-laki
perempuan adalah akibat persoalan budaya. Secara konseptual, dia mencatat
lima hal penting kaitannya dengan prinsip kesetaraan gender, yaitu: 1)
persamaan dalam posisinya sebagai hamba, 2) menjadi khalifah di bumi, 3)
sama-sama menerima perjanjian primordial, 4) terlibat secara aktif dalam
drama kosmis (Adam dan Hawa), dan 5) sama-sama secara aktif berpotensi
memperoleh prestasi.34 Nashruddin Baidan dalam Tafsir bi al-ra’yi merumuskan
prinsip kesetaraan itu dari segi domain praktik relasi sosial, yaitu tanggung
jawab, memperoleh pendidikan, mendapat pekerjaan, dan mengeluarkan
pendapat.35
Namun, prinsip-prinsip yang dia sampaikan ini secara tekstual dalam
konteks Al-Qur’an menyisakan masalah. Misalnya, masalah peran-peran
perempuan dalam ruang publik, seperti menjadi pemimpin—perdebatan
klasik yang tidak pernah mengerucut pada satu rumusan. Apalagi bila hal ini
dikaitkan dengan kepemimpinan politik dalam sebuah negara, tidak sedikit
orang menganggap bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin.
Problem ini biasanya berpangkal pada ayat al-rijālu qawwāmūna `alā al-
nisā’ (QS. al-Nisā’ [4]: 34. Kata kunci yang menjadi sumber perdebatan dalam
kasus ayat ini adalah rijāl dan qawwām. Dalam Wawasan Al-Qur’an, Quraish
memahami kata rijāl—jamak dari kata rajul—dalam arti ‘para suami’.36
Pertimbangannya, karena konsideran pernyataan ayat selanjutnya bicara dalam
konteks suami-istri. Pendapat serupa juga dikemukakan pada Al-Qur’an dan
Tafsirnya.37 Namun, dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish meralat pendapatnya di
atas. Menurutnya, setelah dia membaca tulisan Muḥammad Thāhir ibn Asyūr—
sayang Quraish tidak menyebut judul tafsir yang dia baca ini—kata rijāl di sini
bukan dalam arti ‘suami’. Sebab, dalam bahasa Al-Qur’an kata rijāl, tidak pernah
dipakai dalam pengertian suami.38 Bahkan, Nasaruddin Umar dan Zaitunah lebih
tegas, dalam kasus ini, memaknainya dalam pengertian kualitas.39
Di luar dari perbedaan arti di atas, ayat ini seringkali dijadikan legitimasi
untuk menolak perempuan menjadi pemimpin, di ruang domestik maupun
publik. Pangkal soalnya ternyata bukan hanya pada kata rijāl, tetapi qawwām,
yang seringkali diartikan ‘pemimpin’. Al-Qur’an dan Tafsirnya dan Tafsir Al-Hijri

34
Selengkapnya lihat, ibid., hlm. 247-263.
35
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 28-44.
36
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 390-310.
37
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, II: 169.
38
Lihat, Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, I: 404.
39
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 150.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 251


misalnya, memberi arti ‘pemimpin’ dalam kasus ayat ini.40 Dengan uraian lebih
luas, di dalam Tafsir Al-Mishbah Quraish meletakkan arti ‘pemimpin’ dalam
pengertian ‘pemenuhan kebutuhaan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan
pembinaan’,41 mirip yang dipersepsikan oleh Zaitunah dalam Tafsir Kebencian.42
Sedangkan dalam Argumen Kesetaraan Jender, dengan mengutip pendapat
`Abdullāh Yūsuf `Āli dalam The Holy Quran, Nasaruddin memberikan arti
‘pelindung’ (protector, maintainers) untuk kata qawwām.43
Kenapa sosok laki-laki demikian laik untuk diusulkan menjadi pemimpin?
Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah menunjukkan dua masalah pokok. Pertama,
karena keistimewaan laki-laki, baik secara fisik maupun psikologis, yang lebih
menunjang dalam tugas kepemimpinan. Dalam soal ini, dia mengutip Murtadha
Muthahhari dan pakar psikolog, Cleo Dalon dan Reek, untuk mengukuhkan
pendapatnya itu.
Kedua, karena laki-laki telah membelanjakan hartanya untuk kepentingan
perempuan. Dengan merujuk pada kata anfaqū yang memakai bentuk lampau,
Quraish menyimpulkan bahwa fenomena itu sebagai suatu kelaziman yang
masih berlaku hingga kini.44 Oleh karena itu, dalam Wawasan Al-Qur’an, dia
mengatakan bahwa walau dalam kenyataan diakui terdapat perempuan
yang memiliki kemampuan berpikir dan materi yang melebihi laki-laki,
dia menganggap itu hanyalah kasus yang tidak bisa dijadikan dasar untuk
menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum.45
Dalam Ayat Suci dalam Renungan, dengan tanpa terpaku dalam konteks
ayat, Hasim berpendapat sama. Menurutnya, laki-laki lebih tajam akalnya
dan lebih kuat fisiknya.46 Dua alasan yang bersifat fisikal dan intelektual itu,
menjadi dasar dia memahami laki-laki lebih layak sebagai pemimpin. Namun,
Hasim tidak menjelaskan lebih jauh makna kepemimpinan itu dan juga tidak
menjelaskan konteks wilayahnya.
Dua alasan Quraish yang dirujuk dari narasi ayat tersebut, dilihat dengan
kerangka berpikir Zaitunah, kental dengan bias laki-laki. Dalam beberapa
kasus, Zaitunah bahkan mengungkap bahwa pengertian ‘kelebihan’ sebagai
salah satu alasan yang dirujuk pada konteks ayat tersebut, seringkali dipahami
oleh sebagian sarjana karena laki-laki mempunyai kecerdasan lebih dan

40
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, II: 169; Didin Hafidhuddin, Tafsir
Al-Hijri, hlm. 44.
41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 404.
42
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 105.
43
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 150.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 405-8.
45
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 311.
46
Moh. E Hasim, Ayat Suci dalam Renungan (Bandung: Pustaka, 1998), I: 38-40.

252 _ Islah Gusmian


kesempurnaan akal. Dengan mengutip Ali Asghar Engineer, dia melihat kasus
pada ayat ini dari konteks sosial ketika ayat ini diwahyukan kepada Nabi saw, di
mana struktur masyarakat masih patriarkat, sehingga belum menerima prinsip
kesetaraan laki-laki dan perempuan. oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa
keunggulan laki-laki dalam konteks ayat ini, bukan keunggulan “jenis kelamin”,
tetapi keunggulan “fungsional”.47 Dan dengan demikian, menurut dia ayat di atas
bukanlah bersifat normatif, tetapi kontekstual.48
Kembali kepada uraian Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah. Dua alasan yang
dia kemukakan yang memberikan citra pembedaan laki-laki dan perempuan:
secara fisik dan psikologis, meski kata rijāl dimaknainya bukan dalam
pengertian ‘suami’, masih belum beranjak pada soal kepemimpinan dalam
konteks domestik, bukan publik. Namun, dalam Wawasan Al-Qur’an, tafsir
yang dia tulis lebih awal, Quraish menegaskan bahwa tidak ada halangan bagi
perempuan untuk berkiprah dalam ruang politik. Tidak ada ketentuan agama
yang membatasi bidang tersebut hanya untuk laki-laki. Dengan mengutip QS. al-
Tawbah [9]: 71 dia memperkuat pendapatnya tersebut. Dan ia juga memberikan
makna kontekstual atas hadis Nabi saw., “Tidak beruntung satu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” Hadis ini diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhārī, Aḥmad, al-Nasā’ī, dan al-Tirmīżī. Menurut Quraish, konteks
hadis ini bersifat spesifik, yaitu konteks masyarakat Persia pada masa Nabi
saw.49 Oleh karena itu, tidak bisa dipahami dan diberlakukan pada konteks di
masa kini.
Dalam cara berpikir di atas, setidaknya ada dua hal yang mengandung
kerancuan logika. Pertama, dalam struktur rumah tangga, laki-laki (suami)
menjadi pemimpin, karena kelebihan-kelebihannya (fisik dan psikologi).
Meskipun dalam suatu kasus ada perempuan (istri) yang mempunyai kelebihan
dibanding suaminya, ini menurut Quraish tidak bisa dijadikan kaidah umum,
karena bersifat kasuistik. Kedua, persepsi bahwa tidak ada halangan—dengan
kemampuan yang dimilikinya—bagi perempuan untuk berperan di ruang
publik. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bila dalam ruang publik tidak
ada halangan bagi perempuan untuk berkiprah menjadi pemimpin, mengapa
justru dalam rumah tangga, sebagai ruang domistik, justru dihindari meski
memiliki kelebihan.
Dari analisis di atas terlihat bahwa kerangka berpikir atau hermeneutika
feminis telah melahirkan kesimpulan-kesimpulan berbeda. Pengakuan Quraish
tentang kelebihan laki-laki atas perempuan, baik secara fisik maupun psikologi
dan intelektual, misalnya, dalam kasus ini bertolak belakang dengan cara
berpikir feminis yang dikembangkan Zaitunah. Dua hal yang menjadi dasar

47
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 104.
48
Ibid., hlm. 108.
49
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 314-4.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 253


pijakan Quraish, menurut Zaitunah tidak lebih sebagai persoalan konstruksi
sosial, yang bisa berubah dan diubah. Eksistensi seseorang di satu sisi, dengan
pergumulan wacana dalam ruang sosialnya di sisi yang lain berpengaruh pada
kerangka metodologis penafsiran Al-Qur'an. Di dalamnya terjadi bukan hanya
memahami teks, tetapi juga memahami konteks yang hidup dalam latar sejarah,
sosial, dan politik. Di dalamnya terjadi kontestasi dan dialektika dengan berbagai
unsur dan bersifat dinamis. Praktik semacam ini yang kemudian menghasilkan
buah tafsir yang berbeda-beda.

3. Eksistensi Perempuan: dari sebagai Objek hingga Kesadaran


Kesetaraan
Perihal lain yang seringkali diperbincangkan para sarjana muslim
kaitannya dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah praktik
pembagian harta warisan. Dalam masalah ini, Al-Qur’an secara tekstual
menentukan bahwa ukuran bagian warisan bagi perempuan adalah setengah
dari bagian laki-laki—liż-żakar mitsl haẓẓ al-untsayayn (al-Nisā’ [4]: 11).
Terhadap masalah ini, beragam tanggapan muncul dari para penulis
tafsir di Indonesia era 1990-an. Dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya, ayat di atas
dipahami sebagai suatu aturan yang pasti.50 Dalam Tafsir Al-Hijri, Didin bahkan
menyebutnya sebagai ketetapan Allah.51 Adapun dalam Tafsir Al-Mishbah dan
Tafsir bi al-Ra’yi, masalah ini diletakkan dalam konteks sosiologis. Quraish
dan Baidan melihatnya sebagai prinsip keadilan yang diberikan Islam. Sebab
sebelum Islam datang, sebagai subjek, perempuan tidak pernah memperoleh
bagian harta warisan dari keluarganya; ia justru menjadi objek yang diwariskan
oleh dan kepada keluarganya.
Dalam Tafsir bi al-Ray’i Baidan memandang aturan pembagian harta
warisan ini tidak didasarkan pada status seseorang, melainkan atas dasar tugas
dan tanggung jawab yang melekat pada seseorang. Laki-laki mendapat bagian
warisan lebih besar daripada perempuan, karena dia memiliki beban lebih berat
daripada perempuan.52 Logika yang sama disampaikan Quraish dalam Tafsir
Al-Mishbah. Pembagian warisan semacam itu, dalam tafsirnya ini, diletakkan
dalam konteks kebutuhan. Pertimbangan kebutuhan ini yang menjadikan
bagian perempuan separuh lebih kecil dari bagian laki-laki. Sebab, kebutuhan
laki-laki terhadap harta lebih besar, seperti tuntutan memberi nafkah kepada
anak dan istri.53

50
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, II: 124-135.
51
Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri,, hlm. 23.
52
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 64-65.
53
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 353.

254 _ Islah Gusmian


Cara berpikir yang demikian berbeda dengan yang dipakai Zaitunah
dalam Tafsir Kebencian. Dalam tafsir ini, dia justru mempertanyakan aspek
keadilan dalam pembagian warisan yang secara tekstual dirumuskan Al-
Qur’an. Mengutip pandangan Masdar F. Mas’udi, Zaitunah berpandangan bahwa
pembagian semacam itu sebagai bentuk batasan kuantitatif yang diberikan
setelah minus, yang pada dasarnya bukan merupakan nilai maksimal. Hal yang
digariskan Allah, menurutnya bukanlah angkanya tetapi semangat keadilan
dan kemitraannya sebagai subjek yang sama-sama memiliki hak mewarisi,
setelah sebelumnya diperlakukan hanya sebagai objek yang diwariskan.54 Oleh
karena itu, bagi dia tidak ada halangan untuk melakukan modifikasi terhadap
ketentuan hukum pembagian harta warisan ini.55 Namun, usulan semacam ini
oleh Quraish, dalam Tafsir Al-Mishbah, ditentang.56
Cara berpikir yang dilakukan Zaitunah dalam Tafsir Kebencian tersebut,
dalam perspektif hermeneutika, merupakan usaha yang mendalam dalam
rangka mencari apa yang disebut Abū Zayd sebagai signifikansi teks dan makna-
makna yang tersembunyi di balik teks. Aspek sosial, budaya dan ekonomi,
dalam kasus ini dia bongkar dan menghasilkan suatu rumusan mendasar bahwa
prinsip dasar dalam hal pembagian harta warisan ini, terletak pada prinsip
kesetaraan laki-laki dan perempuan, bukan pada legislasi tekstualnya.57 Dari
sini terlihat bahwa Zaitunah telah melakukan lompatan dari medan teks Al-
Qur'an untuk menemukan yang tidak terkatakan, yang dia yakini sebagai dasar
moral Al-Qur’an.
Keberanian dan cara yang ditempuh Zaitunah dalam Tafsir Kebencian ini
tidak kita temukan dalam Tafsir Al-Mishbah karya Quraish maupun Tafsir bi
al-Ra’yi karya Nashruddin. Terlepas dari sepakat atau tidak atas kesimpulan
yang dia kemukakan, eksistensi Zaitunah sebagai penafsir perempuan dengan
kerangka penafsiran feminis yang dia gunakan telah menumbuhkan warna baru
dalam sejarah dan dinamika penafsiran Al-Qur'an di Indonesia.

4. Poligini: Melindungi Perempuan atau Pelampiasan Libido Laki-laki?


Masih berkaitan dengan topik perempuan, satu hal yang menarik dan
banyak dibicarakan oleh para sarjana muslim Indonesia adalah perihal praktik
poligini (laki-laki memiliki pasangan lebih dari satu). Dalam tafsir Al-Qur’an,
diskusi masalah ini secara umum diacukan pada sūrah al-Nisā’ [4]: 3. Para
penulis tafsir di Indonesia era 1990-an memahami isu ini secara historis dan
yuridis. Sejak sebelum Islam datang dan Allah mewahyukan Al-Qur'an, praktik

54
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 127-8.
55
Ibid., hlm. 129.
56
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, II: 351.
57
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm. 129.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 255


poligini sudah terjadi di masyarakat Arab.58 Baidan dalam Tafsir bi al-Ra’yi
melihat ayat di atas sebagai bentuk aturan Islam agar perempuan tidak dibuat
permainan oleh laki-laki.59 Alasannya, terkait pada soal penyaluran kepentingan
biologis laki-laki dan perlindungan atas keberadaan perempuan.60
Alasan Baidan ini merupakan bagian dari sikap masyarakat patriarkat
yang menempatkan perempuan sebagai subordinat atas laki-laki. Dalam
konteks hubungan biologis-seksual, ia diposisikan menjadi objek pemuasan
libido seksual laki-laki. Lebih dari itu, logika semacam ini secara diam-diam
akan melahirkan pemahaman bahwa pernikahan sebatas sebagai institusi
penyaluran libido laki-laki. Padahal, prinsip dasar dalam Islam, tujuan
pernikahan tidak hanya bersifat rekreatif .
Cara berpikir yang demikian tidak sensitif gender. Bila alasan yang
dibangun dalam praktik poligini adalah kebutuhan dalam penyaluran libido
seksual yang besar, laik dipahami pula bahwa dalam hal yang sama perempuan
juga mempunyai potensi dan hak yang sama. Bila demikian keadaannya, apakah
dengan alasan serupa perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama dan
secara normatif dibolehkan untuk melakukan penyaluran libido seksualnya?
Cara berpikir dan logika yang dibangun Baidan di atas secara epistemologis
tidak kokoh dan tidak mempunyai pijakan pada teks Al-Qur'an . Sebab, dalam
kasus ini, konteks pewahyuan ayat di atas, bukan terkait dengan persoalan
penyaluran hasrat libido laki-laki, tapi ayat tersebut berkaitan dengan
realitas banyaknya janda dan yatim, di masa itu, yang ditinggal mati suaminya
karena perang. Dua alasan yang dibangun Baidan di atas, dalam konteks
pembentukan wacana, justru memperkuat dominasi dan suprioritas laki-laki
serta menempatkan lembaga pernikahan sebatas sebagai mekanisme di mana
laki-laki memiliki kebebasan menyalurkan hasrat seksualnya.
Simpulan-simpulan yang tidak jauh beda juga terjadi dalam Tafsir Al-Hijri
karya Didin. Menurut Didin, praktik poligini merupakan aturan (syarī`ah)
Islam. Dalam konteks pensyariatan poligini, ada tiga hikmah yang rumuskan
Didin. Pertama, mendidik umat untuk bisa berbagi rasa dan merealisasikan
nilai-nilai solidaritas dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.
Kedua, mewujudkan sikap ta`āwun dalam kebaikan. Seorang istri salihah yang
mempunyai suami salih dan bertanggung jawab, memiliki kemampuan fisik
dan materi yang baik, kemudian mendorong dan mengikhlaskan suaminya
untuk menyelamatkan seorang janda muslimah dan anak-anak yatim yang
membutuhkan perlindungan, menurut Didin merupakan satu kemuliaan
yang besar dan diridai Allah. Ketiga, menghindari penyimpangan seksual
58
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, hlm. 5; Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi,
hlm. 99; dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, II: 324.
59
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, hlm. 99.
60
Ibid., hlm. 100.

256 _ Islah Gusmian


dan menghindari efeks psikologis yang berat bagi perempuan yang belum
menikah dalam kondisi timpangnya rasio populasi umat antara laki-laki dan
perempuan.61
Tiga alasan yang dikemukaan Didin di atas, terutama pada bagian pertama
dan kedua, sejauh tidak berkaitan dengan kemadaratan patut dipertanyakan.
Sebab, perlindungan kepada janda dan anak yatim, bisa dilakukan tanpa harus
membangun lembaga pernikahan. Perlindungan dan advokasi, baik secara
moral-psikologis maupun material, bisa dilakukan oleh kaum perempuan atau
bahkan oleh lembaga sosial yang didirikan untuk menangani soal-soal semacam
ini.
Mengikuti alur logika Didin ini, tampak ada mekanisme yang bergerak
tanpa sadar melakukan pencitraan buruk terhadap perempuan. “Solidaritas
dalam rumah tangga” dan “istri salihah” adalah salah satu istilah yang dipakai
sebagai bentuk pencitraan terhadap perempuan yang bersedia menjalankan
praktik poligini. Bila dibaca dengan logika secara terbalik, akan memberikan
pengertian bahwa perempuan yang tidak sepakat dengan poligini termasuk
yang tidak mempunyai solidaritas dalam rumah tangga dan tidak menjadi istri
salihah.
Selanjutnya terkait narasi tentang “kemampuan fisik dan materi laki-laki”
sebagai alasan kebolehan dibalik praktik poligini. Dari narasi ini, secara implisit
Didin mengkonstruksi wacana bahwa lembaga pernikahan dalam Islam seakan
terbatas sebagai lembaga untuk pelepasan kepentingan biologis semata. Hal
ini tentu suatu pencitraan buruk terhadap lembaga pernikahan yang dalam
Al-Qur’an disebut sebagai mitsāq al-galīẓā (perjanjian agung).
Cara pandang dan analisis yang berbeda dikemukakan Quraish dalam
Tafsīr al-Mishbāh. Dia tidak melihat ayat di atas dalam konteks pengaturan
praktik poligini. Sejumlah alasan diajukan Quraish. Pertama, sebelum Islam
telah ada praktik poligini. Maka, ia bukanlah syariat baru yang dibawa Islam.
Kedua, ayat ini juga bukan berbicara tentang anjuran poligini bagi umat Islam,
tetapi hanya sebatas pada kebolehan poligini. Itu pun, merupakan pintu kecil
yang hanya dapat dilalui oleh mereka yang amat membutuhkan dengan syarat
yang amat berat.
Dari penjelasan di atas, Quraish memahami praktik poligini bukan dari
segi ideal atau baik buruknya, tetapi dari sudut penetapan hukum dalam aneka
kondisi yang mungkin terjadi.62 Dalam konteks apa yang disebutnya “aneka
kondisi” itulah kita bisa menemukan beberapa alasan sebagaimana halnya
yang diajukan oleh Didin dalam Tafsir Al-Hijri di atas. Kesimpulan Quraish

Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, hlm. 8.


61

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Mishbāh, II: 324-325; M. Quraish Shihab, Wawasan


62

Al-Qur’an, hlm. 200.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 257


ini didasarkan pada QS. al-Nisā’ [4]: 129—yang bicara tentang penegasan
Tuhan tentang ketidakmampuan berbuat adil kepada para istri-istri (secara
imaterial)—yang menurutnya tidak tepat dijadikan dalil untuk menutup pintu
dengan rapat atas praktik poligini,63 dan ia pun tidak sepakat bila pintu praktik
poligini dikunci secara permanen.
Dari penjelasan di atas kita mengerti bahwa tafsir-tafsir di Indonesia era
1990-an secara umum cenderung mengakui dan bahkan menegaskan bahwa
praktik poligini bagian dari syariat Islam. Perkecualian terjadi pada tafsir Tafsīr
Al-Mishbāh karya Quraish. Dalam tafsirnya ini Quraish secara tegas menolak
terhadap pandangan yang memahami poligini sebagai bagian dari syariat
Islam.64 Poligini bagi dia adalah bentuk pintu darurat yang tidak setiap saat
bisa dibuka. Dengan demikian secara implisit ia ingin mengatakan bahwa yang
ideal dalam pernikahan adalah monogami.

D. Tafsir Al-Qur’an di Tengah Kuasa Rezim Orde Baru


Pada dasawarsa 1990-an, Indonesia berada dalam kuasa rezim Orde
Baru (Orba), di bawah kendali presiden Soeharto. Pada era ini, kekuasaannya
sangat kuat, hegemonik, dan otoriter. Berbagai sistem budaya dan kehidupan
masyarakat ditundukkan. Ariel Heryanto, dengan cukup baik merekam
sejarah perjalanan rezim Orba ini. Menurut Ariel, rezim Orba tidak saja telah
membangun politik kekerasan (fisik) untuk menemukan kepatuhan, tetapi juga
telah mengkonstruksi wacana kepatuhan dan harmoni secara massal dalam
struktur budaya masyarakat Indonesia.65
Dalam situasi di mana kekuasaan Soeharto sangat dominan ini, praktik
penafsiran Al-Qur'an berlangsung dengan berbagai latar belakang, konteks,
audiens, dan kepentingan. Sebagai produk zaman, tidak semua tafsir memiliki
kepekaan sosial-politik dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan
yang lahir dari perilaku penguasa. Pada bagian ini, akan disingkap tafsir-tafsir
yang melakukan gerakan kritis terhadap penguasa, tafsir yang diam terhadap
kebijakan penguasa yang melahirkan ketidakadilan, dan tafsir yang secara
terbuka memberikan dukungan atas kebijakan rezim Orba. Sikap-sikap yang
beragam ini merupakan representasi dari cara pandang dan dialektika yang
tumbuh dalam tafsir atas berbagai masalah dan wacana. Analisis yang digunakan
dalam bagian ini diacukan pada konstruksi wacana yang dikembangkan para
penulis tafsir. Dari konstruksi wacana itu bisa ditunjukkan berbagai dialektika
dan kontestasi yang dilakukan penulis tafsir.

63
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 201.
64
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, II: 324-325.
65
Ariel Heryanto, Perlawanan dalam Kepatuhan (Bandung: Mizan, 2000); juga,
Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (editor), Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di
Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996).

258 _ Islah Gusmian


1. Tafsir dan Kritik terhadap Rezim Orde Baru
Terdapat dua tafsir Al-Qur'an yang dari segi topik kajian mempunyai
hubungan dengan problem sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Dua tafsir
itu adalah Dalam Cahaya Al-Qur’an dan Memasuki Makna Cinta. Memasuki
Makna Cinta ditulis Abdurrasyid Ridha. Naskahnya berasal dari skripsi di
IAIN Yogyakarta. Topik utama yang dianalisis adalah konsepsi cinta dalam
Al-Qur’an dengan memanfaatkan metode sosial Ḥasan Ḥanafī. Cinta dalam
Al-Qur’an, menurutnya mengandung sifat-sifat etis-ideal yang merupakan
pengejawantahan dari sifat-sifat Tuhan. Mencintai berarti menginternalisasikan
sifat-sifat Tuhan dalam diri, lalu mewujudkannya dalam berinteraksi, baik
terhadap diri sendiri, orang lain, maupun realitas kehidupan masyarakat. Untuk
menegakkan sifat-sifat tersebut, tidak cukup hanya dengan sikap pasif, tetapi
mesti dengan tindakan nyata.66
Menurut dia, cinta merupakan sesuatu yang terkait dengan realitas.
Ia bukan semata-mata suatu sikap pasif ketika berhadapan dengan realitas.
Visi dasar cinta yang proses penegakannya memerlukan sikap aktif itu,
mengisyaratkan tentang perlunya suatu gerakan perlawanan terhadap sikap-
sikap yang tidak merepresentasikan nilai dari sifat-sifat Tuhan. Dengan bahasa
yang lugas Abdurrasyid menulis:

Gambaran cinta paling dominan dalam Al-Qur’an adalah cinta yang


bernuansa sosial, tidak personal, dan tidak semata berbentuk perasaan.
Dari gambaran itulah, cinta sering dikaitkan oleh Al-Qur’an dengan
tema-tema seperti keadilan, kebaikan, kezaliman, dan kesucian. Dengan
demikian adalah hal yang niscaya untuk mewujudkan cinta dalam
tindakan yang nyata agar keadilan sosial bisa tercapai serta kezaliman
bisa hilang.67

Dengan cara berpikir yang demikian, Abdurrasyid kemudian mengarahkan


orientasi tafsirnya dalam konteks situasi rezim yang menindas—meskipun dia
tidak secara eksplisit menunjuk pada rezim Orde Baru sebagai rezim penindas
pada saat ia menulis tafsirnya itu. Bagi dia, cinta bisa dijadikan sebagai suatu
elan vital bagi tumbuhnya gerakan dan perubahan dalam realitas sosial yang
timpang. Lebih lanjut ia menulis:

Ketika berhadapan dengan kekuasaan yang korup dan tiranik (secara


implisit dia mengarahkan eksplorasinya ini pada rezim Orba yang
otoriter—pen), cinta yang sesungguhnya mengobarkan perlawanan
terhadapnya. Dan perlawanan itu justru demi cinta terhadap para
penguasa-penguasa yang korup dan tiranik tersebut. Mengapa demikian?

66
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hlm. 151.
67
Ibid., hlm. 161.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 259


Karena cinta berarti menyadarkan mereka agar kembali kepada sifat-
sifat ideal yang seharusnya dimiliki mereka sebagai penguasa. Di sisi
lain, bila rakyat membiarkan mereka tetap dalam status quo yang penuh
dengan ketidakadilan dan penindasan, maka berarti membiarkan para
penguasa menghancurkan kemanusiaan mereka dan keselamatan bangsa
mereka sendiri. Dengan demikian, rakyat tidak mencintai para penguasa
tersebut. Karena cinta sesungguhnya berarti menyelamatkan orang lain
dari kehancuran.68

Bagi Abdurrasyid, cinta dalam konsepsi Al-Qur’an bukan sama sekali


non-violence. Bila kekerasan menjadi satu-satunya cara untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran pada konteks yang lebih luas, yaitu masyarakat dan
negara, maka cinta pun menjadi keras dan tegas.69 Dengan demikian, dia telah
mengusung topik cinta menjadi kekuatan kritik dan perlawanan terhadap rezim
yang menindas dan otoriter, yang dalam konteks Indonesia pada masa itu telah
melahirkan berbagai anomali, kekerasan, dan ketidakadilan. Tanpa kehilangan
pijakan epistemologis pada konteks Al-Qur'an, sebagai kerangka kerja suatu
penafsiran, dia turun ke wilayah praksis melakukan kritik terhadap realitas
politik di Indonesia yang dia saksikan pada saat tafsir ini dia tulis.
Arah gerakan tafsir ini tidak lain sebagai salah satu bentuk kritik dan
perlawanan terhadap rezim Orba yang otoriter di bawah kendali Soeharto.
Meskipun dia tidak mengatakan secara terbuka, namun dengan melihat
dari narasi yang digunakan, sebagaimana tampak dalam kutipan di atas, ia
melakukan kritik dengan keras. Misalnya, “kekuasaan yang korup dan tiranik”,
“status quo yang penuh dengan ketidakadilan” dan berbagai narasi yang lain,
semua itu merupakan identitas dan ekspresi historis atas kenyataan politik
yang dia hadapi ketika tafsir ini dia tulis. Identitas subjek kekuasaan yang korup
itu, sengaja ia sembunyikan, karena di samping sudah lazim pada masa itu, juga
karena situasi politik yang tidak ramah terhadap kritik.
Dari cara berpikir yang dibangun Abdurrasyid di atas menjadi petunjuk bagi
kita bahwa ia telah berhasil keluar dari, apa yang disebut Michel Foucault sebagai
nalar struktur diskursif politik pada saat itu.70 Kita tahu bahwa pada 1996, ketika
tafsir ini ditulis, realitas politik telah dipagari oleh struktur diskursif politik
yang segalanya ditentukan oleh wacana dominan hasil kerja rezim Orde Baru.

68
Ibid., hlm. 152.
69
Ibid. Konsepsinya ini didasarkan pada pernyataan `Alī ibn Abī Ṭālib, “Bila
kelembutan hanya akan mendatangkan kekerasan, maka kekerasan itu sendiri adalah
kelembutan.” Selengkapnya, lihat `Alī ibn Abī Ṭālib, Nahj al-Balaghah, terj. Muhammad
al-Baqir (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 124.
70
Pembahasan tentang ini lihat Michel Foucault dalam The Archeology of Knowledge.
Sedangkan contoh-contohnya dalam konteks Indonesia, lihat Eriyanto, Analisis Wacana
(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 65-75.

260 _ Islah Gusmian


Semua individu diseragamkan dalam satu wacana, yaitu mengukuhkan rezim
Orba sebagai rezim yang baik, tidak korup, tidak hegemonik, dan seterusnya.
Wacana yang dominan dan hegemonik itu telah memagari pandangan setiap
individu dari pandangan yang berbeda, dan Abdurrasyid meloncatinya. Dia
menampilkan wacana yang pada saat itu terpinggirkan dan dipinggirkan oleh
rezim. Sikap yang dia lakukan itu disebutnya sebagai kritik atas nama cinta.
Semua ini terjadi, setidaknya karena dua hal. Pertama, tafsir ini ditulis
dengan kerangka analisis metode sosial Ḥasan Ḥanafī. Metode ini mengarahkan
konsep cinta ke arah wilayah praksis dan terkait langsung dengan masalah
sosial dan politik yang nyata.71 Kedua, kesadaran eksistensial yang melekat pada
diri penulisnya. Abdurrasyid, ketika tafsir ini ditulis, adalah seorang mahasiswa
di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Waktu itu, di tahun
1990-an, kampus ini merupakan arena bagi mahasiswa untuk mengekspresikan
sikap kritis dan independen dalam melakukan kritik terhadap rezim yang
otoriter dan sekaligus pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas.
Berbagai advokasi yang dilakukan, misalnya terhadap penduduk kedung
Ombo, pengungkapan kekayaan keluarga Cendana, melalui majalah kampus
Arena—yang kemudian dibredel oleh penguasa—adalah di antara sikap kritis
mahasiswa IAIN Yogyakarta yang tumbuh pada masa itu. Situasi kampus yang
demikian membentuk mode of thought Abdurrasyid ketika memahami tema
cinta dalam Al-Qur’an. Dan realitas politik rezim Orba yang otoriter telah
membangun suatu bentuk hermeneutika perlawanan yang direpresentasikan
Abdurrasyid melalui tafsirnya ini.
Tafsir yang kedua adalah Dalam Cahaya Al-Qur’an. Dari segi tema dan
bahasa yang digunakan, tafsir ini ditulis secara lebih lugas dan tegas dalam
melakukan kritik terhadap situasi ketidakadilan dan kezaliman. Hal ini terjadi,
karena sejak awal, penulisnya merancang tafsir ini dengan pendekatan
kontekstual, di mana realitas dan ruang sejarah dan sosial, menjadi salah satu
arena dan sekaligus objek dalam penulisan tafsir.
Ketika menguraikan tentang tindakan kekerasan dan pembunuhan tanpa
dasar hukum sebagaiman termaktub dalam QS. al-Mā’idah [5]: 32, Syu`bah
menarik konteks pembicaraan ayat ini ke dalam realitas politik rezim Orde
Baru. Dengan lugas, dia mengkritik penguasa dengan menampilkan narasi
tentang penculikan dan pembantaian yang dilakukan penguasa. Dengan bahasa
yang lugas Syu’bah menulis:

Dan berapa, sebenarnya, jumlah para pemuda yang tidak pernah lagi
pulang ke rumah, setelah peristiwa Priok, demonstrasi besar kalangan
Islam yang menolak pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal, yang
banyak terdiri dari para buruh dan jelata, yang begitu saja diguyur peluru

71
Ibid., hlm. 7.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 261


dan “diangkut”? Berapa jumlah korban bentrokan di Timor Timur, juga
peristiwa 27 Juli 1996, perebutan yang dibekingi aparat keamanan
terhadap kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati
oleh para “anggota” PDI Suryadi yang direstui pemerintah? Atau yang
lain?

Berapa pula jumlah pemuda yang sebenarnya diculik, disiksa dan sebagian
mungkin dibunuh, di hari-hari menjelang reformasi Mei 1998 ini, tanpa
kemampuan aparat keamanan menjelaskan pihak mana sebenarnya
pelaku tindak biadab yang menurut Komite Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) terorganisasi dengan rapi itu? Berapa pula yang di-dor
begitu saja, dengan tuduhan preman dan pencoleng, dalam “operasi
petrus” (penembak misterius) untuk membersihkan, tanpa peradilan,
sebelum itu?….72

Secara historis, cara yang dipakai Syu'bah dalam menyusun narasi tafsir
ini tidak terlepas dari konteks di mana tafsir ini ditulis. Entri yang berjudul,
Dibunuh, Diculik dan Dianiaya, yang bicara tentang pembunuhan nyawa
manusia, misalnya, ditulis pada 18 Mei 1998, tiga hari menjelang lengsernya
Soeharto dari kursi kepresidenan. Waktu itu, suara kritis yang menghendaki
Soeharto turun dari kekuasaan terjadi di berbagai penjuru. Atas kepeloporan
mahasiswa, semua orang lalu menjadi berani bersuara dan mengritik Soeharto.73
Di lihat dari konteks zaman, keterbukaan Syu`bah dalam menyusun narasi tafsir
tersebut, mempunyai signifikansi yang kuat. Apalagi, seperti kita tahu, sebelum
dibukukan, tafsir ini disajikan dalam bentuk artikel di majalah Panji Masyarakat.
Pada bagian lain, ketika menguraikan QS. al-Anfāl [8]: 53 tentang “karunia
Tuhan yang hilang”, Syu`bah dengan fulgar mengarahkan eksplorasi tafsir pada
konteks politik Indonesia di bawah kendali rezim Orde Baru. Sebelumnya, dia
menjelaskan bahwa ayat ini bukanlah berbicara tentang kasus krisis ekonomi.
Mengutip al-Syawkānī, dia menegaskan bahwa adat Allah mengenai para
hamba-Nya ialah tidak adanya pengubahan segala karunia yang telah diberikan-
Nya kepada mereka, sampai mereka mengubah yang ada pada diri mereka, yaitu
situasi-situasi dan moralitas.74
Dengan cara berpikir yang demikian, dia menyimpulkan bahwa perubahan
terjadi karena tangan-tangan manusia sendiri yang mengubah situasi-situasi
dan moralitas. Dalam konteks sosial politik Indonesia, Syu'bah menuding

72
Syu`bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik (Jakarta:
Gramedia, 2000), hlm. 46.
73
Ibid., hlm. 45-51. Tentang rekaman peristiwa reformasi dan lengsernya Soeharto,
lihat misalnya Diro Aritonang, Runtuhnya Rezim daripada Soeharto, Rekaman Perjuangan
Mahasiswa Indonesia 1998 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).
74
Ibid., hlm. 160.

262 _ Islah Gusmian


bahwa krisis yang terjadi di Indonesia, disebabkan oleh ulah “tangan-tangan”
manusia (Indonesia) sendiri. Dengan lugas Syu'bah menulis sebagai berikut:

Sejak kekuasaan Bung Karno, bangsa Indonesia terjebak oleh budaya


kultus. Akibatnya, seluruh bangsa Indonesia mendapat hukuman:
masyarakat terbelah-belah, gejolak politik menggelora, dan muncul
makar PKI pada 1965, yang menyebabkan ratusan ribu rakyat terbantai.
Lalu inflasi melambung sampai 650 %, dan ujungnya sebuah rezim itu
ambruk.... Pada era Soeharto muncul perubahan. Namun, lagi-lagi terjadi
proses perubahan moralitas. Mula-mula ditempuh cara pengebirian
partai-partai. Ini ditindaklanjuti dengan apa yang disebut buldozering
Amir Machmud, di mana dilakukan pelindasan segala rambu yang
bisa menghalangi kemenangan Golkar. Akhirnya kekuasaan benar-
benar dapat terpusat pada diri Soeharto seorang, termasuk kekuasaan
yudikatif. Situasi itu menimbulkan masyarakat berbisik-bisik, gelisah
dan memendam rasa ketidakadilan dan kedongkolan. Lalu datanglah
gempuran demi gempuran, bencana demi bencana: krisis moneter,
keresahan umum, demonstrasi mahasiswa atas penyelewengan penguasa
yang korup, penculikan dan pembunuhan. Kerusuhan besar pun terjadi:
penjarahan, pemerkosaan, pembakaran, dan tumbanglah rezim Soeharto
yang otoriter dan totaliter. 75

Semua peristiwa yang dikemukakan Syu'bah di atas adalah nyata dan


penyebabnya tidak lain adalah ‘sesuatu yang ada dalam diri’. Seluruh rentetan
peristiwa tragis tersebut, bila dikembalikan pada suatu yang ada dalam diri
kelihatannya soal sepele, namun sangat menentukan, seperti ketidakjujuran,
kegemaran berkomplot, dan mental pengemis.76
Gaya bahasa dan kosa kata yang dipakai Syu'bah sangat ekspresif dan
lugas. Semua ini mencerminkan semangat perlawanan terhadap suatu rezim
yang diklaim zalim dan otoriter. Kata-kata: “kegemaran berkomplot”, “mental
pengemis”, “semangat aji mumpung”, “ngawur” dan yang lain, merupakan kosa
kata yang lugas. Kelugasan bahasa yang dipakai Syu’bah ini, tidak hanya sebagai
salah satu bentuk sikap kritis, tapi juga merupakan penyingkapan atas realitas
yang terjadi—yang dalam komunikasi rezim Orba seringkali diselubungi
dengan bahasa eufemestis: orang diculik dikatakan diamankan; korupsi
dikatakan kesalahan prosedur, dana pinjaman dikatakan dana sumbangan,
dan seterusnya.
Wacana dan narasi yang dikembangkan dalam dua tafsir di atas merupakan
ekspresi verbal dari sikap kritis dan sekaligus perlawanan terhadap perilaku
rezim Orde Baru yang otoriter. Sikap ini tidak terlepas dari ruang kognisi sosial
ketika tafsir itu ditulis, yaitu 1997-1999. Ruang kognisi sosial ini telah dipenuhi

75
Ibid., hlm. 160-161.
76
Ibid., hlm. 162-163.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 263


ketidakpercayaan dan kemarahan sebagian besar masyarakat terhadap
penguasa Orba. Dan gerakan reformasi moral politik yang dipelopori para
mahasiswa ketika itu telah menumbuhkan keberanian di setiap orang untuk
melakukan kritik dan perlawanan terhadap penguasa. Suara kritis yang sekian
lama dibungkam kemudian menemukan saluran, melalui media massa, orasi di
kampus, demonstrasi di jalanan, dan ruang-ruang yang lain.
Tafsir yang ditulis Syu’bah ini adalah salah satu dari sekian representasi
kognisi sosial saat itu yang disalurkan melalui media massa. Profesi dan
eksistensi Syu’bah sebagai budayawan dan wartawan menjadi jalan yang
lempang bagi proses reproduksi kognisi sosial tersebut. Dan di sinilah, tafsir
Al-Qur'an tampil sebagai media yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap
suatu rezim yang otoriter.

2. Tafsir dan Kebungkaman atas Represi Rezim Orde Baru


Selain dua tafsir di atas yang dengan tegas dan lugas memosisikan diri
sebagai arena untuk mengkritik terhadap rezim Orba yang otoriter, terdapat
pula tafsir-tafsir yang tidak merespons atas situasi politik yang tidak adil yang
mereka hadapi ini. Tafsir-tafsir tersebut, dari segi tema yang dikaji, sejatinya
mempunyai pertautan dengan tema sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia,
namun wacana dan gerakan tafsir yang dibangun tidak dalam kerangka
melakukan kritik terhadap praktik politik yang zalim dan tidak adil.
Pertama, karakter tafsir semacam ini terdapat pada Wawasan Al-Qur’an
yang ditulis Quraish. Dalam tafsir ini terdapat 33 topik yang dibahas. Di antara
topik itu berbicara tentang persoalan sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan.
Dalam tema keadilan misalnya, Quraish dengan baik menjelaskan definisi
keadilan dan macam-macam maknanya dengan mengacu pada nilai dasar
dalam Al-Qur’an. Selanjutnya, dia menjelaskan dua macam makna keadilan,
yaitu keadilan Tuhan dan keadilan sosial yang akan melahirkan kesejahteraan
sosial. Dalam keadilan sosial, menurut Quraish, prinsip utamanya adalah
memberikan ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk
melakukan aktivitasnya dalam rangka meraih prestasi.77
Rumusan kesejahteraan dan keadilan sosial semacam ini, menurut dia
sangat tergantung pada kebutuhan masyarakat serta perkembangan zaman.
Untuk masa kini, terwujud dalam kondisi yang terhindar dari rasa takut terhadap
penindasan, kelaparan, penyakit, kebodohan, dan masa depan diri serta sanak
keluarga. Dengan mengutip pandangan Sayyid Qutb, Quraish mengingatkan kita
bahwa kesejahteraan sosial di sini tidak hanya dalam bentuk material, tapi juga
secara substansial, yaitu menyangkut keseluruhan kebutuhan hidup manusia.78

77
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an , hlm. 110-129.
78
Ibid., hlm. 127-9

264 _ Islah Gusmian


Dengan merujuk pada narasi Al-Qur'an, Quraish mengemukakan langkah-
langkah yang dipakai untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, yaitu melakukan
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah; menyadari bahwa pilihan Allah
adalah yang terbaik dan mengandung hikmah (QS. al-Ḥadīd [57]: 22-3); 3)
menyucikan harta dan keluarganya dengan berderma (QS. al-Ḥasyr [59]:
9, al-Mā`ūn [107]: 1-3); memberikan peluang kepada setiap orang untuk
mendapatkan ruang-ruang aktivitas ekonomi; dan menghindari praktik-praktik
yang dapat mengganggu keserasian hubungan antarmasyarakat, seperti praktik
ribā (QS. al-Baqarah [2]: 275) dan transaksi yang bukan atas dasar kerelaan
(QS. al-Nisā’ [4]: 29).79
Selain prinsip yang pertama dan kedua, keseluruhan yang dikemukakan
ini merupakan terapi dalam dimensi praktik sosial. Namun, Quraish tidak
menjelaskan secara praktis dalam konteks ruang sosial, politik, dan ekonomi
di Indonesia di mana ketimpangan sosial ekonomi telah menjadi penyakit akut
yang dihadapi masyarakat. Ketimpangan semacam itu, dalam perspektif analisis
sosial, masalah pokoknya sebenarnya bukan hanya terletak pada kesadaran
individu, seperti yang diusulkan Quraish tersebut, tetapi juga pada sistem
ekonomi dan politik yang dibangun. Dari sisi ini terlihat bahwa Quraish dalam
Wawasan Al-Qur’an tidak mengembangkan semangat kritis terhadap kekuasaan
yang sistem ekonomi dan politiknya, seperti yang dikritik Syu’bah, menindas
dan korup.
Dalam konteks politik rezim Orba yang otoriter pada masa itu, Quraish
tidak mengkontestasikan tafsir dalam ruang politik. Dari narasi bahasa yang
dibangun, melalui tafsirnya ini, ia menarik diri dari realitas sosial politik
dengan cara membangun narasi dan gaya bahasa tafsir yang abstrak. Dari
gaya bahasa yang dipakai, Quraish melakukan nominalisasi yang mempunyai
efeks penghilangan pelaku. Ketika disebut “memberikan peluang kepada setiap
orang untuk mendapatkan ruang-ruang aktivitas ekonomi” misalnya, subjek
dari peristiwa yang dituntut sebagai syarat terjadinya keadilan sosial tersebut
tidak kelihatan. Implikasinya, sikap kritis terhadap penguasa, orang kaya, dan
kelompok yang menguasai sentra-sentra ekonomi, tidak dijadikan objek kritik
dari perlunya diberlakukan pemberian peluang yang sama tersebut.
Terdapat sejumlah asumsi yang bisa diajukan untuk menjelaskan perihal
itu terjadi. Pertama, asal-usul dan komunitas yang menjadi audiens tafsir. Secara
historis, tafsir Wawasan Al-Qur'an ini bahan naskahnya mulanya diceramahkan
di pengajian di Masjid Istiqlal Jakarta, tahun 1990-an. Secara khusus, pengajian
ini diselenggarakan oleh Departemen Agama berkerjasama dengan Masjid
Istiqlal. Pesertanya khusus, yaitu para eksekutif perusahaan, baik milik negara
maupun milik swasta, dan para pejabat tinggi negara. Kegiatan ceramah ini

79
Ibid., hlm. 129-133.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 265


bertujuan sebagai peningkatan rohani para pejabat tinggi negara dan eksekutif
muda.80
Kedua, eksistensi dan latar belakang Quraish. Sejarah intelektual Quraish
lebih banyak dibentuk dan dibesarkan di Mesir. Setelah meraih gelar doktor
ilmu tafsir di Mesir, pada 1982, dia aktif di berbagai bidang: di kampus menjadi
dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di luar kampus menjadi ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional, dan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ruang-ruang sosial semacam ini memperlihatkan betapa dia cukup dekat
dengan birokrasi kekuasaan pada saat itu. Ruang sosial semacam itu, sedikit
banyak, ikut mewarnai wacana ceramah-ceramahnya dalam pengajian elite
pada era 1990-an tersebut.
Tafsir kedua yang termasuk dalam bagian ini adalah Ensiklopedi Al-Qur’an
karya Dawam Rahardjo. Dawam menyebut tafsirnya ini sebagai tafsir yang
menggunakan analisis sosial berdasarkan pada konsep kunci. Dengan klaim
itu, dia ingin menggerakkan suatu bentuk eksplorasi tafsir dalam konteks sosial
dan politik Indonesia. Dan kita tahu, Dawam dikenal sebagai seorang ekonom
dan analis tentang tema sosial-ekonomi di Indonesia. Namun, sejauh pada tema
yang terkait dengan persoalan sosial dan politik, justru sulit ditemukan praktik
tafsirnya yang menelisik secara serius pada aspek ini.
Padahal, di era 1990-an banyak problem terjadi di Indonesia akibat sikap
otoriter rezim Orba, baik dalam wilayah sosial, politik maupun ekonomi. Untuk
mengetahui bagaimana Dawam meletakkan posisi tafsirnya dalam situasi
semacam itu, sejumlah contoh bisa kita telisik dalam praktik tafsirnya. Misalnya
ketika menjelaskan tema `adl dan ẓulm. Dawam memiliki pandangan bahwa
membongkar keburukan dan kejahatan penindas adalah boleh. Bahkan, ketika
menjelaskan QS. al-Ḥajj [22]: 39 dengan lantang dia menulis sebagai berikut:

….. Allah mengizinkan berperang bagi mereka yang tertindas untuk


melawan pihak zalim. …Karena itu penjajahan harus ditentang, demikian
pula berbagai bentuk pemerintahan yang menindas seperti despotisme,
otoritarianisme, fasisme atau diktator proletariat, yang terjadi di bekas
Uni soviet dan negara-negara Eropa Timur. Penindasan adalah salah satu
bentuk ketidakadilan atau kezaliman.81

Eksplorasi persoalan kezaliman dan keadilan yang dilakukan Dawam


di atas tidak diarahkan pada konteks realitas politik Indonesia, tetapi justru
diarahkan pada realitas yang terjadi di bekas Uni Soviet dan negara-negara

80
H. Ahmad Ghozali, “Sambutan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan
Urusan Haji” dalam Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. xvii.
81
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.
405-6.

266 _ Islah Gusmian


Eropa Timur. Hal yang demikian, secara implisit, dia ingin memberikan kesan
tentang perlunya pembentukan ingatan sosial bagi masyarakat Indonesia,
bahwa komunisme, atau lebih khusus PKI, di Indonesia adalah hal laten yang
berbahaya dan harus selalu diwaspadai, karena secara nyata telah melakukan
kezaliman.
Selain kesan semacam itu, satu hal penting yang perlu ditelusuri adalah
mengapa Dawam ketika menjelaskan fenomena kezaliman menampilkan contoh
peristiwa di negara bekas Uni Soviet dan negara Eropa Timur. Padahal, pada
era 1990-an, ketika tafsir tersebut dia tulis, rezim Orde Baru juga melakukan
praktik kezaliman dan ketidakadilan. Dalam konteks ini, meminjam analisis
wacana kritis, Dawam sedang melakukan pasivasi.82 Yakni suatu cara di mana
satu kelompok atau aktor tertentu sengaja tidak dilibatkan dalam suatu wacana.
Padahal bila kita berbicara tentang penguasa yang menindas dan zalim, dalam
konteks Indonesia, pada saat tafsir ini ditulis, sesungguhnya adalah berbicara
tentang rezim Orde Baru di satu sisi dan rakyat Indonesia pada sisi yang lain.
Penyembunyian terhadap aktor ini bertujuan untuk melindungi suatu
subjek. Dawam memang dengan tegas mengatakan bahwa penindasan dan
kezaliman penguasa harus ditentang dan dilawan. Tetapi, pengertian penguasa
yang dia maksud bukan penguasa di Indonesia, tetapi di Uni Soviet. Dari sisi
ini, tampaklah bahwa ia menghindari sikap kritis terhadap rezim Orde Baru.
Kemungkinan lain, pada saat dia menulis tafsir ini menganggap bahwa rezim
Orba bukanlah rezim penindas, sehingga tidak termasuk subjek yang harus
dikritik.
Dilihat dari perspektif analisis sosial, dalam kasus ini Dawam tidak
melakukan eksplorasi sosial dengan menarik semangat moral Al-Qur’an dalam
konteks kesejarahan, lalu menariknya ke dalam konteks kekinian di mana
penafsir berada. Realitas sosial dan politik di mana penafsir dan audiens berada,
tidak dijadikan medan hermeneutik di mana praktik tafsir dilakukan.
Terdapat sejumlah variabel, di mana kita patut menduga, mengapa hal ini
terjadi. Pertama, posisi struktural Dawam di ICMI dan di Muhammadiyah, ketika
tafsir ditulis, mempunyai peran penting dalam pembentukan gerakan dan
narasi yang ditampilkan dalam tafsirnya tersebut. Kita tahu bahwa pada awal-
awal pembentukannya, ICMI sebagai organisasi umat Islam yang melakukan
kolaborasi dengan kekuasaan Soeharto. Keterlibatan beberapa tokoh kunci
ICMI dalam struktur kekuasaan rezim Orba, setidaknya menjadi salah satu
variabel yang memunculkan kesan itu. Kedua, posisi dan aktivitasnya di dalam
ormas Muhammadiyah. Sebagaimana dianalisis Bahtiar Effendy, di era Orba
Muhammadiyah adalah ormas Islam yang dekat dengan rezim Soeharto. Dan

82
Soal model analisis wacana kritis semacam ini, lihat Eriyanto, Analisis Wacana,
Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 173.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 267


karena perihal ini, menurut Bahtiar, wacana civil society lambat atau bahkan
tidak berkembang dalam tubuh Muhammadiyah pada saat itu.83

3. Tafsir dan Pujian atas Kebijakan Politik Rezim Orde Baru


Selain dua model tafsir yang mengkontestasikan isu-isu sosial dan politik
dalam lanskap kekuasaan di Indonesia di atas, terdapat pula tafsir-tafsir yang
menarasikan dukungan dan pujian terhadap kebijakan politik rezim Orba.
Model tafsir yang ketiga ini, di antaranya terdapat dalam Hidangan Ilahi karya
Quraish. Model ini tampak ketika Quraish menjelaskan ayat kelima sūrah al-
Fātiḥah. Dalam kasus ayat ini, dia menjelaskan tentang perbedaan pengertian
sunnatullāh dan inayatullāh. Istilah yang pertama didefinisikan sebagai hukum-
hukum alam dan masyarakat, seperti hukum sebab akibat, sedangkan istilah
yang kedua merupakan pertolongan Allah yang berada di luar logika hukum
alam.84
Hal yang menarik di sini adalah ketika Quraish menjelaskan pengertian
inayatullāh. Di situ ia menampilkan keberhasilan presiden Soeharto dalam aksi
penumpasan gerakan PKI pada 30 September 1965 sebagai salah satu bentuk
inayatullāh. Hal yang menjadi persoalan dalam konteks ini bukan pada masalah
pengertian inayatullāh, tetapi pengajuan kasus penumpasan PKI yang oleh
Quraish dijadikan sebagai contoh.85 Padahal, seperti kita tahu, terdapat banyak
versi terkait dengan sejarah tentang gerakan 30 September di Indonesia. Dan
dalam beragam versi itu, tidak serta merta mengangkat Soeharto sebagai
pahlawan dalam penumpasan pemberontakan yang dituduhkan dilakukan oleh
PKI. Sebab, dalam penyelesaian kasus ini ribuan orang dieksekusi, atas tuduhan
terlibat PKI, tanpa proses pengadilan. Dan Soeharto memainkan peran penting,
atau setidak-tidaknya bertanggung jawab, sebagai pimpinan di dalam eksekusi
berdarah dan tidak berkemanusiaan tersebut. Oleh karena itu, tidak elok bila
dalam hal ini menyebutnya sebagai orang yang berjasa; dan bagaimana itu bisa
terjadi bila lewat kekuasaan yang dimilikinya justru banyak orang kehilangan
hak dan keadilan.
Masih dalam kasus tafsir yang sama. Ketika menguraikan pengertian
al-raḥmān dan al-raḥīm dalam sūrah al-Fātiḥah ayat pertama, Quraish tidak
mengeksplorasi ayat tersebut dalam konteks kemanusiaan.86 Akibatnya, tema
tentang kasih sayang dan rahmat hanya berhenti pada keagungan Tuhan, bukan

83
Tentang asumsi-asumsi ini, lihat Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan
Pluralisme Keagamaan, (Yogyakarta: Galangpress, 2001), hlm. 97-110.
84
M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Ilahi,
1997), hlm. 41.
85
Ibid., hlm. 45.
86
Ibid., hlm. 3-12.

268 _ Islah Gusmian


bagaimana keagungan itu diinternalisasikan dalam setiap kehidupan manusia,
sehingga orang bisa menabur damai dan kasih sayang di bumi.
Kesadaran untuk menaburkan kasih sayang, baik dalam konteks sosial
maupun ekonomi, merupakan satu hal yang amat penting untuk diarahkan
pada kalangan elite kekuasaan. Ketika individualisme menjadi paket umum
manusia modern, solidaritas dan kesetiakawanan sosial menjadi satu paket
moral yang sangat penting untuk disosialisasikan di kalangan elite politik.
Sebab, merekalah sesungguhnya yang mempunyai peluang besar dan leluasa
untuk mensosialisasikan dan sekaligus mempraktikkannya.
Di sepanjang sejarah Orde Baru, masyarakat kecil begitu sering diajari
tentang pentingnya pembangunan dan berdharma bakti demi negara. Tetapi,
pada saat proses pembangunan berjalan, justru masyarakat kecil yang sering
menjadi korban pembangunan. Kenyataan ini merupakan tragedi dan sekaligus
ironi: paket moral yang indah diprogramkan kepada rakyat, tapi rakyat sendiri
yang justru harus menjadi tumbal.87
Dalam tafsir Hidangan Ilahi ini, Quraish tidak menarasikan tema-tema
sosial kemanusiaan sebagai wacana dominan. Praktik pembangunan dan
kebijakan politik rezim Orba yang merugikan rakyat kecil tidak menjadi bagian
utama yang dinarasikan dalam tafsir. Dominasi wacana rezim Orba demikian
kuat menghalangi Quraish untuk melihat dan sekaligus mengemukakan realitas
politik secara bebas dan terbuka tanpa beban, sehingga wacana-wacana yang
dipinggirkan oleh penguasa tidak diperbincangkan dalam karya tafsirnya.
Kenyataan ini terjadi, bisa diidentifikasi variabelnya melalui sejumlah hal.
Pertama, asal-mula kemunculan tafsir. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, tafsir ini berasal dari ceramah dalam acara tahlilan memperingati
kematian Ibu Tien Soeharto. Pada masa-masa itu, Quraish dikenal sebagai
ulama yang memiliki kedekatan dengan keluarga Cendana. Situasi semacam
itu, membentuk kognisi sosial bagi Quraish untuk tidak membicarakan hal-hal
yang buruk dari keluarga Soeharto. Kedua, konteks acara berdoa bersama dan
suasana berkabung. Tidaklah elok membicarakan kesalahan dan keburukan
orang atau keluarga yang sedang berkabung. Hal yang justru dianjurkan oleh
Islam adalah membicarakan dan mengingat kebaikan-kebaikannya.
Hal serupa terjadi pada diri Dawam. Pada suatu kesempatan dalam
Ensiklopedi Al-Qur’an dia tidak mengkritik rezim Soeharto, seperti telah
diuraikan di muka, dalam kesempatan lain dia dengan terbuka bahkan
memujinya. Hal ini terjadi ketika dia menguraikan tema raḥmah dalam Al-
Qur’an. Dalam tema ini, dia sangat baik memberikan penjelasan pada aspek-

87
Fenomena semacam ini digambarkan dengan cukup dramatis oleh K.H. Mustofa
Bisri dalam sebuah puisi berjudul Sajak Atasnama. Puisi ini ditulis pada Agustus 1997
dan oleh K.H. Mustofa Bisri dibacakan dalam Festival Puisi Internasional Indonesia.
Lihat, Majalah Horison edisi khusus April 2002. hlm. 44.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 269


aspek linguistik, keragaman istilah-istilah yang dipakai Al-Qur’an dalam kaitan
kata raḥmah serta keberulangan pemakaiannya. Di antara konteks-konteks
makna yang dia ungkap adalah kasih sayang (raḥīm) kepada sesama manusia.
Kasih sayang semacam ini, dengan menyitir QS. Ālu `Imrān [3]: 143, menurutnya
bersumber dari kasih sayang Allah yang diberikan kepada orang-orang yang
bertakwa. 88 Hal ini menurut Dawam akan melahirkan beberapa sikap penting,
yaitu pertama, menafkahkan harta untuk orang lain yang membutuhkan,
baik di waktu lapang maupun sempit; kedua, menahan amarah; dan ketiga
memaafkan kesalahan orang lain. Dalam konteks pengertian menahan amarah
dan memaafkan kesalahan inilah Dawam memuji perilaku Soeharto. Sikapnya
yang ekspresif itu terlihat pada kutipan berikut:

....Kita bisa marah atau jengkel terhadap orang yang berbuat kesalahan
kepada kita. Seringkali sulit bagi kita untuk memaafkannya. Misalnya
rasa marah kita kepada Dr. Subandrio yang pada waktu menjadi Wakil
Perdana Menteri, memainkan politik revolusioner terhadap sesama
bangsa, mengikuti PKI. Demikian pula terhadap novelis Pramudya Ananta
Toer yang ikut melakukan teror terhadap para pekerja kreatif yang tidak
sealiran, yakni aliran realisme sosialis. Sampai sekarang, banyak orang
yang tidak bisa memaafkan mereka. Tetapi presiden Soeharto, baru-baru
ini memutuskan untuk mengabulkan permohonan grasi mereka bertiga,
bersama Oemar Dhani dan Soetarto. Ini menunjukkan bahwa Pak Harto
masih menyimpan rasa kasih kepada sesama manusia, termasuk manusia
yang telah membuat kesalahan atau mungkin dosa besar. Hanya rasa
raḥim-lah yang memungkinkan Pak Harto memberikan maaf.89

Dalam narasi di atas, terlepas dari apakah benar Oemar Dhani, Pram dan
kawan-kawannya bersalah dan terlibat dalam tragedi gerakan 30 September
1965, seperti kita tahu, sejarah tentang keterlibatan PKI dalam kasus ini adalah
beragam. Termasuk juga terlibatan tokoh-tokoh yang disebutkan Dawam di
atas. Bahkan dalam satu versi, ada yang penjelasan bahwa Soeharto terlibat
dalam kasus yang penuh dengan kegelapan dan berlumuran darah itu.90
Namun, bukan di sini persoalannya. Klaim Dawam yang mentahbiskan sikap
pengampunan dan pemaafan Soeharto terhadap mereka yang dituduh terlibat
tindakan makar itulah pokoknya. Benarkah Soeharto dengan rezim Orba, dalam
konteks ini adalah seorang pemaaf dan mengapa mesti kasus grasi dari presiden
Soeharto yang dijadikan contoh?
Dalam kasus ini, Dawam melakukan pengidentifikasian terhadap sosok
Soeharto dengan citra yang baik, yaitu pemaaf. Dalam struktur wacana, Dawam

88
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, hlm. 211-217
89
Ibid., hlm. 218.
90
Dalam soal ini lihat misalnya, M.R. Siregar, Naiknya Para Jendral (Medan: SHRWN,
2000) dan Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu (Jakarta: KPG, 2000).

270 _ Islah Gusmian


sedang mengembangkan wacana dominan pada saat itu, di mana kebanyakan
orang hanya bisa memuji dan mengagung-agungkan rezim Orba dan Soeharto.
Proses sosialisasi wacana dominan yang dilakukan Dawam ini memperlihatkan
bahwa ia mempunyai pengalaman relasi sosial yang baik dengan rezim Soeharto.
Kesan ini, bisa dilihat dari sudut pandang ruang sosial Dawam yang selama ini
ia memacu mobilitas sosial serta membangun relasi sosial-politiknya. Itulah
sebabnya, pada saat di mana orang semestinya melakukan kritik terhadap
hegemoni rezim Orba, Dawam dengan terbuka justru memuji Soeharto atas
sikap pemaafnya.

E. Tafsir Al-Qur’an di Tengah Keragaman Agama


Sebagaimana telah dijelaskan pada bab empat, dari sisi tema, tafsir-tafsir
di Indonesia era 1990-an telah melahirkan kepekaan terhadap berbagai isu dan
persoalan, di antaranya adalah isu yang berkaitan hubungan sosial antarumat
beragama. Masalah ini meliputi banyak tema yang selalu melahirkan keragaman
pandangan. Pengertian ahl al-kitāb, memberikan pewalian kepada non muslim,
dan nikah dengan non muslim, adalah di antara tema yang muncul dan menjadi
tema diskusi di kalangan umat Islam. Uraian pada bagian ini akan menelusuri
berbagai pandangan yang dikembangkan dalam tafsir yang mempunyai
kepekaan atas masalah-masalah hubungan sosial antarumat beragama tersebut.

1. Makna Ahl al Kitāb: dari Yahudi, Nasrani, hingga Agama Non Semitis
Istilah ahl al-kitāb telah melahirkan beragam pemaknaan. Kata yang
secara tekstual banyak diulang-ulang oleh Al-Qur’an ini telah menjadi bahan
diskusi para ahli tafsir. Tafsir-tafsir di Indonesia dalam kasus ini, secara metodis
melakukan interteks dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Kita menemukan banyak
rumusan tentang subjek yang dimaksud dengan ahl al-kitāb oleh Al-Qur’an.
Keragaman itu terperikan dalam empat sudut pandang, yaitu 1) komunitas
yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci samawī; 2) komunitas
Yahudi dan Nasrani keturunan Isrā’īl, seperti dipersepsikan oleh Imām Syāfi`ī,
atau tanpa membedakan dari mana asal keturunannya; 3) selain komunitas
Yahudi dan Nasrani, juga kaum Majūsī, seperti yang dipahami oleh Ibn Ḥazm
(w. 456 H); dan 4) pendapat yang memasukkan Hinduisme, Buddhisme, Kong
Fu Tse, Sinto dan yang sejenis dalam kategori ahl al-kitāb. Pandangan ini
dikemukakan oleh Maulana Muḥammad `Alī dan Rasyīd Riḍā.
Penjelasan tentang keragaman pemaknaan tentang istilah ahl al-kitāb di
atas secara umum disajikan dalam tafsir-tafsir di Indonesia. Uraian yang rinci
terdapat dalam Wawasan Al-Qur’an, Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya dan
Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama.91

91
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an, khususnya bab III bagian pertama; Muhammad Galib M, Ahl

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 271


Quraish dalam Wawasan Al-Qur’an memahami ahl al-kitāb dengan “semua
penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan dan di mana pun dan dari
keturunan siapa pun”. Pandangan Quraish ini didasarkan pada konteks di mana
istilah ahl al-kitāb digunakan Al-Qur’an sebatas pada dua komunitas tersebut.92
Kesimpulan serupa dikemukakan Galib. Menurut dia, penggunaan istilah ahl
al-kitāb dalam Al-Qur’an lebih bernuansa teologi bukan etnis. Karena itu, siapa
pun, dari etnis mana pun yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, termasuk
dalam kategori ahl al-kitāb.93
Berbeda dengan Galib dan Quraish, Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, setelah menguraikan keragaman
pemahaman ulama tentang pengertian ahl al-kitāb memberikan makna yang
lebih luas dengan memasukkan sejumlah entitas lain. Lebih jauh pandangan
itu termuat dalam kutipan berikut:

.... bahwa ahl al-kitāb itu terdiri dari Yahudi, Kristen, Majūsī dan Sabi’ūn,
bahkan bisa diperluas sampai Konfusionis, Hindu, dan Buddha. Di zaman
modern seperti ini, mencari makna baru atas konsep ahl al-kitāb yang
begitu terbuka itu harus selalu dilakukan oleh para sarjana muslim
untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Upaya ke arah itu harus
dilakukan berdasarkan Al-Qur’an yang ṣāliḥ fī kull zamān wa makān....
Mendeskriditkan komunitas agama tertentu menurut pemahaman
penulis sangat bertentangan dengan semangat Al-Qur’an. Al-Qur’an
justru memperkenalkan ajaran toleransi dalam berhubungan antara satu
komunitas agama dengan yang lain.94

Pendefinisian ahl al-kitāb yang beragam dan berbeda-beda di atas, secara


sosial dan teologis, melahirkan konsekuensi yang berbeda-beda pula. Galib
maupun Quraish mengakui bahwa Al-Qur’an pada dasarnya menekankan sikap
bersahabat dengan komunitas ahl al-kitāb. Permusuhan yang ditunjukkan ahl
al-kitāb, menurut Galib, pada dasarnya bukan disebabkan faktor agama, tetapi
lebih disebabkan oleh faktor kepentingan ekonomi dan politik, dan kedengkian
mereka karena ternyata Nabi yang dibangkitkan itu bukan dari kalangan Banī
Isrā’īl.95
Pada sisi yang lain, pengertiannya yang hanya membatasi pada dua
komunitas agama, yaitu Yahudi dan Nasrani, secara sosiologis akan berimplikasi
pada kehidupan sosial di Indonesia. Sebab, realitas keragaman agama di

al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 28-37; dan M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an,
hlm. 366-7.
92
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 368.
93
Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 187.
94
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an, hlm. 151-2.
95
Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm. 189.

272 _ Islah Gusmian


Indonesia, tidak terbatas pada dua agama Semit tersebut. Dan dua penulis
tafsir ini tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana rumusan yang memungkinkan
umat Islam dalam berinteraksi dengan non muslim, selain Yahudi dan Nasrani.
Akibatnya secara sosio-teologis terjadi penafian terhadap para pemeluk agama
selain dua agama tersebut.
Di luar dari dua tafsir di atas, tim Majelis Tarjih dengan tegas menyatakan
bahwa pengertian ahl al-kitāb diperluas selain dua agama tersebut. Sikap ini
didasarkan pada semangat menangkap perubahan zaman. Mereka menyadari
tentang perlunya mencari makna-makna baru dalam konteks pengertian ahl
al-kitāb, agar Al-Qur’an ṣāliḥ fī kull zamān wa makān. Mereka juga meyakini
bahwa Al-Qur’an secara substansial tidak mengajarkan pendeskriditan atas
komunitas agama tertentu, tetapi justru memperkenalkan ajaran toleransi
dalam hubungan antara satu komunitas agama dengan yang lain.
Paradigma berpikir seperti ini, secara sosiologis lebih memberikan peluang
terciptanya sikap toleran, karena memungkinkan tumbuhnya sikap menerima
kehadiran dan mengakui eksistensi komunitas agama lain, tidak terbatas pada
Yahudi dan Nasrani. Dan dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk,
Tafsir Tematik Al-Qur’an ini menemukan akar kognisi sosialnya.

2. Kerjasama Antarumat Beragama: Keniscayaan Sosial dan


Kemanusiaan
Keragaman agama merupakan takdir teologis. Takdir teologis ini
berimplikasi pada aspek sosiologis. Misalnya, dalam hukum pemberian
kewenangan (publik) kepada orang Yahudi dan Nasrani. Dalam tradisi tafsir,
kasus semacam ini, seringkali dirujukkan pada QS. Ālu `Imrān [3]: 28, al-Nisā’
[4]: 139, 144, dan al-Mā’idah [5]: 51).
Tafsir-tafsir di Indonesia era 1990-an dalam masalah ini memiliki
pandangan yang beragam dan berbeda-beda. Dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya,
ketika menafsirkan QS. Ālu `Imrān [3]: 28, penulisnya berpandangan bahwa
Allah melarang orang mukmin berhubungan akrab dengan orang kafir, baik
disebabkan kekerabatan, kawan lama, atau pun karena bertetangga, sejauh itu
menyebabkan kerusakan agama dan umat. Namun, bentuk persahabatan dan
persetujuan kerja sama yang dapat menjamin kemaslahatan umat Islam tidaklah
dilarang. Nabi saw. pernah mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani
Khuza`ah yang musyrik. Demi menghindari kemadaratan, dalam kasus di atas,
penulis tafsir ini membolehkan taqiyah.96 Namun, pada kesimpulannya tetap
memperingatkan agar umat Islam berhati-hati dalam berinteraksi sosial dengan
orang Yahudi dan Nasrani.97

96
Tim Badan Wakaf UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, I: 551-552. Lihat juga ketika tafsir
ini menguraikan QS. al-Nisā’ [4]: 331.
97
Ibid., hlm. 460-461.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 273


Pandangan lebih terbuka terdapat dalam Tafsir Tematik tentang Hubungan
Sosial Antarumat Beragama. Tim penulis tafsir ini menjelaskan kasus ini
secara paradigmatik dan ada dua gerak hermeneutis yang dilakukan. Pertama,
bergerak ke belakang merekonstruksi latar belakang historis (bukan sekadar
melaporkan kasus individual) dan memahami mekanisme historis serta faktor
yang melahirkan teks mengenai masalah ini untuk memahami konteks dari
pesan yang terkandung dalam ayat yang dimaksud.98
Kedua, bergerak ke depan, ke arah lokasi sosial penafsir, tetapi bukan
dengan maksud untuk memproyeksikan keinginan kontemporer kepada teks-
teks tersebut, melainkan untuk menemukan wawasan baru yang memperluas
cakrawala, sehingga mampu mengungkap pesan yang lebih dalam yang selama
ini mungkin tertutup, atau dalam bahasa Arkoun, tak terpikirkan.99
Dengan model hermeneutika di atas, disimpulkan bahwa berhubungan
sosial dengan umat agama lain pada prinsipnya diperbolehkan Islam, sejauh
mereka tidak menghina dan memperolok Islam, tidak mengingkari kebenaran,
dan tidak menindas umat Islam.100 Kesimpulan yang sama juga dikemukakan
Quraish dalam Tafsīr al-Mishbāh. Larangan menjadikan kaum non muslim
sebagai auliya yang dikemukakan ayat di atas menurut Quraish tidak bersifat
mutlak.101
Berbeda dengan tiga tafsir di atas, dalam Tafsir al-Hijri Didin mengambil
posisi yang bertolak belakang. Kata awliyā’ dalam QS. al-Mā’idah: 51-53,
oleh Didin dimaknai dengan “pemimpin”.102 Pemaknaan yang dia lakukan ini
sebetulnya bentuk penyempitan dari karakter makna yang lebih luas. Sebab,
menurut Quraish, makna dasar dari kata walī adalah “dekat”, dan dari makna
dasar ini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung,
pembela, pelindung, dan seterusnya.103 Disebabkan penyempitan pemaknaan
itu, dalam kasus ayat ini, makna yang diberikan menjadi eksklusif. Secara lugas
dan terbuka Didin menulis:

Jika kita punya kesempatan untuk memilih pemimpin, dalam level apa
pun, maka pilihlah orang yang beriman, orang yang muslim, mereka yang
salat dan membayar zakat, dan mereka yang cinta kepada Islam dan kaum
muslim. Bukan semata-mata keahlian, tetapi lebih pada kesamaan akidah

98
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, hlm. 89.
99
Ibid., 90.
100
Ibid. hlm. 96.
101
M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, III: 116-117. Lihat juga ketika Quraish
menguraikan QS. al-Nisā’ [4]: 139, 144, dalam ibid, II: 595-603.
102
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah, hlm. 100;
Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Nisa’, hlm. 189.
103
M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, III: 115-116.

274 _ Islah Gusmian


dan keyakinan….Boleh saja memilih pemimpin seorang yang asalnya
kafir, dengan syarat mereka sudah bertaubat. Tetapi taubatnya harus
sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Nisā’ [4]: 146.104

Dari kutipan di atas kerang berpikir yang dibangun Didin bersifat teologis
dan Islam sebagai lembaga dipakai kerangka dasar dalam pemilihan kepemim­
pinan. Dengan demikian, dalam memilih pemimpin, keahlian bukanlah faktor
utama, tetapi keislaman seseorang yang menjadi ukuran utama. Ukuran
formalisme agama, dalam hal ini Islam, kaitannya dengan bersikap dalam ruang
sosial politik di Indonesia ini, akan melahirkan persoalan sosial. Sebab, seperti
kita tahu, Indonesia bukan negara agama (Islam) dan dalam kenyataannya
Indonesia merupakan negara yang memiliki takdir keragaman agama-agama.
Keragaman pandangan yang tumbuh dalam tafsir-tafsir di atas, dalam batas
tertentu, betapapun tidak bisa dilepaskan dari ruang sosial dan milieu penulis
tafsir. Di atas semua itu, fenomena menarik adalah praktik wacana tentang
hubungan sosial antarumat beragama oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah. Dalam sejarah, Muhammadiyah tidak
mempunyai tradisi yang kuat dalam hal relasi sosial dengan komunitas non
muslim. Kajian yang dilakukan Alwi Shihab menunjukkan bahwa salah satu
variabel yang menjadi dasar lahirnya Muhammadiyah adalah pembendungan
arus kristenisasi di Jawa.105 Oleh karena itu, wacana ini merupakan terobosan
baru yang diambil oleh tim Majlis Tarjih di dalam membangun peradaban sosial
keagamaan di Indonesia.
Di dalam perkembangannya, wacana-wacana yang dikembangan oleh
tim Majelis Tarjih itu, sejak tafsir ini diterbitkan, memperoleh reaksi keras
dan kurang baik dari sebagian warga Muhammadiyah. Pandangan-pandangan
yang dikemukakan dalam tafsir ini ditentang dan dipandang kontroversal bagi
warga Muhammadiyah. Secara kelembagaan, pandangan yang dikemukakan
dalam tafsir ini dipandang bukan representasi organisasi Muhammadiyah.
Reaksi itu bisa kita pahami, sebab tafsir ini bukan termasuk pada wilayah
religious practical guidance (fatwa dan tuntunan keagamaan secara praktis)
tetapi wilayah pemikiran keagamaan (religious thought) yang tidak bersifat
mengikat.106

Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah, hlm. 100;
104

Didin Hafidhuddin, Tafsir Al-Hijri, Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Nisa’, hlm. 192-93.
Tentang soal ini, lihat Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Cendekiawan
105

Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi  Kristen  di Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi
(Bandung: Mizan, 1998).
“Kata Pengantar” Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP
106

Muhammadiyah dalam ibid., hlm. ix.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 275


3. Nikah Antarumat Beragama dan Ketegangan Psikologis
Pernikahan antaragama merupakan satu masalah pelik kaitannya dengan
hubungan sosial antarumat beragama. Dalam sejarah pemikiran umat Islam,
terutama dalam bidang fiqih, telah banyak pendapat yang muncul tentang
masalah ini. Ada ulama yang membolehkan dengan catatan dan ada yang tidak
membolehkan, baik yang laki-laki dari pihak Islam dan perempuan dari ahl
al-kitāb atau musyrik, dan yang sebaliknya. Persoalan semakin rumit bila kita
bawa dalam konteks masa kini, di mana komunitas agama tidak hanya Yahudi
dan Nasrani yang oleh sebagian penafsir termasuk dalam kategori ahl al-kitāb.
Salah satu tafsir di Indonesia yang secara khusus dan detail mengkaji ahl
al-kitāb adalah yang disusun Galib. Dari perbedaan pemahaman terkait istilah
ahl al-kitāb, setidaknya ada dua pemilahan pokok dalam soal ini, yaitu: 1)
pernikahan orang Islam dengan ahl al-kitāb; 2) pernikahan orang Islam dengan
selain orang Yahudi dan Nasrani. Pada bagian pertama terdapat dua pendapat.
Pertama, pendapat yang mengharamkan, seperti yang dikemukakan oleh al-
Thabarsī. Hal ini terjadi karena QS. al-Mā'idah [5]: 5 menunjuk pada perempuan
ahl al-kitāb yang sudah merdeka, dan ini diperkuat QS. al-Baqarah [2]: 221.
Kedua, pendapat yang membolehkan, seperti yang dikemukakan oleh al-
Thabāthabā’ī dan Maḥmūd Syaltūt.107 Bagian kedua, juga ada dua pendapat.
Pertama, mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Majusi,
karena tidak masuk kelompok ahl al-kitāb. Pendapat kedua, membolehkan
seperti pendapat Abū Ḥanīfah, Muḥammad Rasyīd Ridā, dan `Abdul Ḥāmid
Ḥākim.108
Dalam pemetaan pendapat ini, Galib mengkompilasikan berbagai pendapat
ulama sebelumnya. Ia tidak menyusun pandangannya sendiri. Meskipun
demikian, di akhir uraiannya ia menggarisbawahi bahwa masalah pernikahan
dengan ahl al-kitāb yang terdapat dalam Al-Qur’an hanyalah suatu kebolehan,
bukan anjuran, apalagi perintah. Hal terpenting menurutnya adalah tujuan
utama pernikahan itu, yakni tercapainya keluarga sakinah. Oleh karena itu,
pada ujungnya, dengan mengutip pendapat Quraish, ia menegaskan bahwa
pernikahan akan langgeng dan tentram jika ada kesesuaian pandangan hidup
antara suami dan istri.109
Dalam Wawasan Al-Qur’an, Quraish secara komprehensif juga memahami
terbentuknya keragaman pendapat ulama seperti dilakukan Galib tersebut.
Namun, di ujung analisisnya dia menulis suatu kesimpulan penting:

Lihat uraian Muhammad Galib M., Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya, hlm.
107

167-173.
Ibid., hlm. 173-175.
108

Ibid., hlm. 176.


109

276 _ Islah Gusmian


Kalau seorang wanita muslim dilarang kawin dengan non muslim karena
kekhawatiran akan berpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang
berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan
seorang pria muslim dengan wanita ahl al-kitāb harus pula tidak
dibenarkan jika dikawatirkan ia dan anak-anaknya akan terpengaruh oleh
nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.110

Pandangan serupa dikemukakan oleh tim Majelis Tarjih dalam Tafsir


Tematik Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama. Dasar yang menjadi
alasan adalah kemaslahatan sosial bersama. Sebab, meskipun perkawinan
dilakukan oleh pribadi-pribadi, namun ia merupakan lembaga yang berkaitan
dengan kepentingan publik. Pengaturannya juga berkaitan dengan institusi
formal agama.
Pertimbangan kedua adalah faktor psikologis. Pernikahan antar umat
agama bisa menjadi kendala bagi terwujudnya keluarga sakinah dan bahkan
bisa menimbulkan kemadaratan serta kerusakan. Dengan merujuk kaidah ushul
fiqh: dar’ al-mafāsid muqaddam `alā jalb al-maṣālih, penulis tafsir ini cenderung
memilih tidak membolehkan pernikahan antaragama.111
Dari seluruh uraian di atas, dalam soal pernikahan antar umat agama,
secara umum para penulis tafsir di Indonesia era 1990-an cenderung tidak
memperkenankannya. Pertimbangannya bukan semata-mata pada kompleksitas
teks Al-Qur’an yang memberikan keragaman tafsir, tetapi di atas semua itu,
adalah pertimbangan yang bersifat psikologis. Terlepas dari setuju atau tidak,
alasan-alasan yang dipakai di atas merupakan wajah tafsir-tafsir di Indonesia
dalam menyikapi praktik pernikahan antar umat agama.[]

110
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 199.
111
Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an, hlm. 219.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 277


BAB VI
KESIMPULAN

Tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an di Indonesia era 1990-an telah melahirkan


berbagai wacana dan paradigma tafsir yang beragam. Dan kajian ini telah
menyingkap beragam keunikan dan hal-hal baru dalam sejarah penulisan tafsir
di Indonesia, baik yang berkaitan dengan aspek teknis maupun metodologis.
Pada aspek teknis, tafsir Al-Qur'an di Indonesia tampil dengan beragam teknis
penulisan tafsir, gaya bahasa, maupun teknik penyajian tafsir.
Sumber dan asal mula naskah tafsir juga beragam: mulai dari naskah
tafsir dari kepentingan akademik di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam,
bahan ceramah, publikasi di media massa, hingga naskah tafsir yang ditulis
khusus dalam kerangka penafsiran Al-Qur'an melalui tim. Konteks publikasi ini
merupakan mata rantai dari hal-hal yang pernah terjadi pada era sebelumnya.
Bila Tafsir Al-Azhar sebelumnya pernah dipublikasikan di majalah Gema Islam,
maka Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Quraish pernah dipublikasikan di majalah
Amanah dan Dalam Cahaya Al-Qur’an karya Syu’bah dipublikasikan di majalah
Panji Masyarakat.
Tema-tema yang dibahas juga sangat kompleks, luas, dan beragam, yaitu
isu kesetaraan perempuan dan laki-laki, teologi seperti makna ahl al-kitāb,
kebebasan bertindak, peran manusia dalam pembangunan, dan dinamika sosial
politik dan kekuasaan. Tema-tema ini tumbuh di antaranya sebagai salah satu
bentuk respons dan kepekaan para penafsir atas dinamika sosial, politik dan
keagamaan yang terjadi di Indonesia era 1990-an. Di sinilah tafsir tidak hanya
membaca dan memahami teks Al-Qur'an, tetapi juga membaca teks lain berupa
realitas sosial, politik, dan budaya, serta sekaligus mendialektikakannya.
Dalam aspek paradigma penafsiran, tafsir-tafsir tersebut telah mengadopsi
dan mengadaptasikan beragam hermeneutika. Selain metode tafsir yang telah
mapan dalam bangunan ilmu-ilmu Al-Qur'an, para penulis tafsir tersebut
juga memanfaatkan dan mengkontekstualisasikan paradigma baru yang
dikembangkan oleh para ulama dan sarjana muslim di masa kini. Pendekatan
gerak ganda yang dikembangkan Fazlur Rahman, analisis kebahasaan yang

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 279


disusun oleh Aisyah bint Syati', dan analisis semantik yang dirumuskan oleh
Toshihiko Izutsu, telah merembes ke dalam tafsir-tafsir di Indonesia tersebut.
Lebih dari itu, meskipun tidak dikemukakan secara eksplisit, di antara
tafsir-tafsir tersebut, terdapat tafsir yang tampil sebagai media untuk
mengkontestasikan dan mengkritik beragam realitas politik yang dipandang
timpang. Tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah tafsir yang ditulis
oleh Syu'bah Asa, Didin Hafidhuddin, dan E Hasim. Tiga penulis tafsir ini
memanfaatkan karya tafsir sebagai arena untuk membahas dan melakukan
kritik terhadap penguasa dan realitas politik secara terbuka.
Dalam hal basis keilmuan penulis tafsir juga terjadi loncatan yang dinamis.
Tafsir-tafsir yang terbit pada era 1990-an tersebut ditulis oleh para sarjana
dengan latar belakang keilmuan yang beragam. Di antara mereka memiliki
konsern terhadap kajian Al-Qur’an, seperti M. Quraish Shihab, Nashruddin
Baidan, Harifuddin Cawidu, Zaitunah Subhan, dan Nasaruddin Umar. Namun
di sisi lain, terdapat para penulis yang disiplin keilmuannya bukan bidang ilmu
Al-Qur'an, seperti M. Dawam Rahardjo seorang ahli di bidang ilmu ekonomi,
Jalaluddin Rakhmat seorang ahli ilmu komunikasi, dan Syu’bah Asa seorang
wartawan dan budayawan.
Melalui analisis wacana kritis, kajian ini juga berhasil menyingkap berbagai
kepentingan yang dibangun dalam tafsir tersebut: ada yang mengusung
hermeneutika feminis, seperti Tafsir Kebencian karya Zaitunah Subhan dan
Argumen Kesetaraan Jender karya Nasaruddin Umar; menggerakkan tafsir ke
arah kritik sosial terhadap rezim politik, seperti Dalam Cahaya Al-Qur’an karya
Syu’bah Asa; dan ada yang mendukung rezim Soeharto, seperti Hidangan Ilahi
karya M. Quraish Shihab dan Ensiklopedi Al-Qur’an karya M. Dawam Rahardjo.
Dari keseluruhan analisis di atas, kajian ini bukan semata-mata
mengungkapkan dinamika yang terjadi dalam tradisi penulisan tafsir Al-Qur'an
di Indonesia. Lebih dari itu, kajian ini menegaskan bahwa tafsir bukan hanya
soal membaca dan memahami teks (Al-Qur'an) dengan beragam konteks yang
melingkupinya, tetapi juga membaca realitas sosial, budaya, dan politik, sebagai
teks yang hidup dan dinamis di era ketika tafsir diproduksi. Di dalamnya terjadi
bukan hanya penyampaian gagasan Al-Qur'an, tetapi juga praktik representasi
dan kepentingan yang ingin disampaikan penafsir kepada pembaca dan umat
Islam.[]

280 _ Islah Gusmian


DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmu Al-Qur’an, Kajian Al-Qur’an, dan Tafsir


Abbas, K.H. Sirajuddin. Sorotan atas Terjemahan Qur’an H.B. Jassin. Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1979.
Akasah, Badaruthanan. Index Al-Qur’an: Index Tafsir. Bandung: Badar, 1976.
Al-Alūsī. Rūḥ al-Ma`ānī fī Tafsīr al-Qur’ān al-'Aẓīm wa al-Sab` al-Ma`ānī. t.tp.:
Dār al-Fikr, t.th.
Al-Awsī, `Alī. al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhajuhu fī Tafsīrih al-Mīzān. Teheran: Al-
Jumhūriyyah al-Islāmiyyah fī Īrān, 1975.
Anas, Azwar. Al-Qur’an adalah Kebenaran Mutlak. Bukit Tinggi: Pustaka
Indonesia, 1982.
Arifin, Bey. Samudera Al-Fatihah. Surabaya, Bina Ilmu, 1978.
Arkoun, Mohammed. Berbagai Pembacaan Quran, terj. Machasin. Jakarta: INIS,
1997.
Asa, Syu’bah. Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik. Jakarta:
Gramedia, 2000.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta:
Bulan Bintang, 1980.
----------. Tafsir Al-Bayan. Bandung: Al-Ma’arif, 1971.
----------. Tafsir an-Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
----------. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang,
1954.
Asy`ari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta:
LESFI, 1992.
Asy`ari, Sukmadjaja dan Rosy Yusuf. Indeks Al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1984.
Azra, Azyumardi (ed.). Sejarah dan Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus
bekerja sama dengan Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal Taman Mini
Indonesia Indah, 2000.
Baidan, Nashruddin. Rekonstruksi Ilmu Tafsir Pidato Pengukuhan Guru Besar
Madya Ilmu Tafsir. Surakarta: STAIN Sukarta, 1999.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 281


----------. Tafsir bi al-Ra`yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Baiquni, Achmad. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Waqaf, 1994.
Bakry, Oemar. Polemik. Jakarta: Mutiara, 1979.
----------. Al-Qur’an: Mu`jizat Terbesar Kekal Abadi. Mutiara: Jakarta, 1982.
----------. Tafsir Rahmat. Jakarta: Mutiara, 1984.
Rahman, Jalaluddin. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Riḍā, Muḥammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm. Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.
Cragg, Kenneth. The Event of the Qur’an: Islam and its Scripture. London: George
Allen and Unwin Ltd., 1971.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Yayasan Penyelengara
Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1975.
----------. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Bumi Restu, 1976.
Dewantoro, M. Hajar dan Asmawi (ed.), Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam
Peradaban Masyarakat Modern. Yogyakarta: Ababil, 1996.
Dirjem Bimas Islam dan Urusan Haji. Pedoman Pembinaan Tahfizhu Qur’an.
Jakarta: Pusat Ditjen Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI, 1984.
Al-Żahabī. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadītsah, 1961.
Esack, Farid. Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of
Interrelegious Solidarity againt Oppresion. England: Oneworld Publication,
1997.
Al-Farmāwī, `Abd al-Ḥayyī. al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū`ī, Dirāsah
Manhajiyyah Mawdlū`iyyah. t.tp.: t.p, 1976.
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metodologi
Tafsir, terj. H.M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid. Bandung: Pustaka,
1987.
Faurunnama, M. Munir. Al-Qur’an dan Perkembangan Alam Raya. Surabaya: Bina
Ilmu, 1979.
Federsphiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia. terj. Drs. Tajul Arifin, M.A.
Bandung: Mizan, 1996.
Galib M., Muhammad. Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya. Jakarta: Paramadina,
1998.
Hafidhuddin, K.H. Didin. Tafsir Al-Hijri, Kajian Tafsir Surat An-Nisa’. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2000.
Hamidy, H. Zainuddin dan Fachruddin HS., Tafsir Qur’an. Jakarta: Wijaya, 1982.

282 _ Islah Gusmian


Hamka, Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Hanafi, A. M.A. Segi-segi Kesusastraan pada Kisah-kisah Al-Qur’an. Jakarta: Al-
Husna, 1984.
Ḥanafī, Ḥasan. “Mādzā Ta`nī Asbāb al-Nuzūl”, dalam al-Dīn wa al-Tsawrah III.
Kairo: Maktabah al-Madbūlī, 1989.
Hanifah, Abu. Cara Belajar dan Menulis Al-Qur’an dan Terjemah Juz `Amma.
Semarang Toha Putra, 1981.
Hasim, Moh. E. Ayat Suci dalam Renungan jilid I-8. Bandung: Pustaka, 1998.
Hassan, A. Al-Furqan: Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, 1956.
Hassan, H.A. Halim, H. Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahman Haitami. Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim. Medan: Firman Islamiyah, t.th..
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina, 1996.
Husein, M. Ali. Gizi dalam Al-Qur’an. Jakarta: Suara Baru, 1985.
Ibn `Umar, Abū al-Khayr ibn `Abdullāh. Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta`wīl.
Kairo: Mushtafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1968.
Ibn Katsīr, Imād al-Dīn Abī Fidā’ Ismā’īl. “Faḍā’il al-Qur’ān” di halaman akhir
Tafsīr Al-Qur’ān al-`Aẓīm. Semarang: Toha Putra, t.th.
----------. Ibn Katsīr. Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm. Singapura: Sulaiman Mar`i, t.th.
Ichwan, Moch. Nur. “A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics Nasr Hamid
Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic Scholarship”, Thesis MA di
Universitas Leiden, 1999. .
----------. “Hermeneutika Tafsir Al-Qur’an, Analisis Peta Perkembangan
Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer” Skripsi Jurusan Tafsir Hadis
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 1995, tidak diterbitkan.
Ilyas, Hamim. “Ahl Kitab dalam Al-Qur’an, Kritik Al-Qur’an terhadap Teologi
Yahudi dan Nashrani", Thesis Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1996, tidak
diterbitkan.
Al-`Imadī, Abū Su`ūd ibn. Tafsīr Abī Su`ūd. Riyād: Maktabah al-Riyād al-Ḥadītsah,
t.th.
Isutzu, Toshihiko. God and Man in the Quran. Tokyo: Keio Institute of Cultural
and Language Studies, 1964.
----------. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman
and Islam.
----------. Etico Religious Concept of the Qoran. Montreal:McGill University Press,
1966.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 283


Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif
Hidayatullah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Jassin, H.B. Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942,
1982.
----------. Berita Besar. Jakarta: Yayasan 13 Januari 1942, 1984.
----------. et al. Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi H.B. Jassin Penyusun. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Kasijan, Z. Tinjauan Psikologi Larangan Mendekati Zina dalam Al-Quran.
Surabaya: Bina Ilmu, 1982.
Khalil, M.S. Kunci (untuk Mencari ayat) Al-Qur’an. Surabaya: Bina Ilmu, 1985.
Khalil, Munawar. Al-Qur’an dari Masa ke Masa. Semarang: Ramadhani, 1952.
Kuntowijoyo. “Pengantar: Tafsir Kontekstual, Al-Qur’an sebagai Kritik Sosial”
dalam Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik.
Jakarta: Gramedia, 2000.
Machasin. Al-Qadi `Abd Al-Jabbar dan Ayat-ayat Mutasyabbihat Al-Qur’an.
Yogyakarta: LKiS, 2000.
----------. Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis terhadap Konsepsi Al-
Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Majma` al-Buḥūts al-Islāmiyyah. Buḥūts Qur’āniyyah. Mesir: Al-Syirkah al-
Mishriyyah, 1971.
Mernissi, Fatima dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki
dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, terj. Tim LSPPA.
Yogyakarta: LSPPA, 1995.
----------. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka, 1994.
Mubarok, Achmad. Jiwa dalam Al-Qur’an, Solusi Krisis Keruhanian Manusia
Modern. Jakarta: Paramadina, 2000.
Muhammad, Ahsin. “Asbab al-Nuzul dan Kontekstualisasi Al-Qur’an”. makalah
disampaikan dalam Stadium General HMJ Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 10 Oktober 1992.
Munawir, Imam. Salah Paham Terhadap Al-Quran. Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Musthafa, Bisri. Al-Ibrīz. Kudus: Menara, t.th.
Muthahhari, Murtadha. Memahami Al-Qur’an, terj. Tim Staf YBT. Jakarta:
Yayasan Bina Tauhid, 1986.
Nasikun, Tafsir Ayat Ahkam, tentang Beberapa Perbuatan Pidana dalam Hukum
Islam. Yogyakarta: Bina Usaha, 1984.
Permono, Hadi. Ilmu Tafsir Al-Qur’an sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam.
Surabaya: Bina Ilmu, 1975.

284 _ Islah Gusmian


PP Muhammadiyah. Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial
antarumat Beragama. Yogyakarta: Pustaka SM, 2000.
Purba, Radik. Memahami Surat Yaasiin. Jakarta: Golden Terayon Press, 2001.
Al-Qaththān, Mannā` al-Khalīl. Mabāḥits fī `Ulūm al-Qur’ān. t.tp.: Mansyūrāt al-
`Ashr al-Ḥadīts, 1973.
Al-Qurthubī. Jāmi` li al-Aḥkām al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Qalam, 1966.
Rafi’udin dan Edham Syifa’i. Tafsir Juz `Amma. Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Rahman, Jalaluddin. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an, Suatu Kajian
Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang, Mei 1992.
Rahmat, Jalaluddin. Tafsir Sufi Al-Fatihah, Mukadimah. Bandung: Rosdakarya,
1999.
----------. Tafsir Bil Ma’tsur, Pesan Moral Al-Qur’an I. Bandung: Rosdakarya, 1993.
“Al-Rāzī, Muḥ ammad. al-Tafsīr al-Kabīr. Beirūt:Dār al-Fikr, 1985.
Ridha, Abdurrasyid. Memasuki Makna Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
“Al-Rūmī, Fahd bin `Abd al-Raḥmān. Al-Qur’an dan Studi Kompleksitas al-Qur’an,
terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1997.
Saksono, Lukman dan Anharuddin. Pengantar Psikologi Al-Qur’an Dimensi
Keilmuan di Balik Mushaf Usmani. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1992.
Al-Shābūnī, Muḥammad `Alī. al-Tibyān fī `Ulūm al-Qur’ān. Bairūt: `Ālam al-
Kutub, t.tḥ .
Al-Shadr, Muḥammad Baqir. Sejarah dalam Perspektif al-Qur’an, terj. M.S.
Nasrullaḥ . Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Al-Shāliḥ, Subḥī. Mabāḥits fī `Ulūm al-Qur’ān. Beirūt: Dār al-`Ilm al-Malāyīn,
1988.
Al-Suyūthī, Jalāluddīn `Abd al-Raḥmān. Al-Itqān fī `Ulūm al-Qur’ān. Beirūt: Dār
al-Fikr, 1991.
Shaleh, Q.A. Dahlan dan M.D. Dahlan. Ayat-ayat Hukum, Tafsir dan Uraian
Perintah-perintah dalam Al-Qur’an. Bandung: Diponegoro, 1976.
Shalihah, Khadidjatus. Perkembangan Seni Baca Al-Qur’an dan Qiraat Tujuh di
Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983.
Shihab, M. Quraish. “Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada sastra,
Budaya dan Kemasyarakatan”, Makalah, 1984.
----------. Hidangan Ilahi, Ayat-ayat Tahlil. Jakarta: Lentera Hati, 1997.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 285


----------. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan dan
Masyarakat, editor Ihsan Ali Fauzi. Bandung: Mizan, 1992.
----------. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an volume I
.Jakarta: Lentera Hati, 2000.
----------. Tafsir Al-Qur’an al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
----------. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.
Sou’yb, Joesoef. Keajaiban Ayat-ayat Suci Al-Qur’an. Jakarta: Al-Husna, 1975.
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an.
Yogyakarta: LKiS, 1999.
Sumabrata, Lukman Abdul Qohar, Anharuddin dan Lukman Saksono.
Fenomenologi Al-Qur’an. Bandung: Al-Ma`arif, 1997.
Surin, Bachtiar. Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin. Bandung:
F.A. Sumatera, 1978.
Syah, H.A. Djohan. Kursus Cepat Dapat Membaca Al-Qur’an. Surabaya: Cemerlang,
1978.
Syamsu, Nazwar. Koreksi Terjemahan Al-Qur’anulkarim Bacaan Mulia H.B. Jassin.
Pandang Panjang: Pustaka Saadiyah, 1978.
Thahā, Maḥmūd Muḥammad. al-Risālah al-Tsāniyah min al-Islām. t.tp:
Omdurman, 1986.
Titus, Harold H. et al. Persoalan-persoalan Filsafat. terj. H.M. Rasyidi. Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Ushama, Thameem. Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Kajian Kritis, Objektif dan
Komprehensif, terj. Hasan Basri dan Amroeni. Jakarta: Riora Cipta, 2000.
Usman, Muhammad Ali. Makhluk Halus dalam Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang,
1977.
Usman, T. Atmadi. Tuntunan Irama Al-Qur’an. Jakarta: Bumirestu, 1981.
Wadud-Muhsin, Amina. Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti.
Bandung: Pustaka, 1994.
Watt, Montgomery. Pengantar Studi Al-Qur’an Penyempurnaan atas Karya
Richard Bell, terj. Taufik Adnan Amal. Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam, Terjemah Al-Qur’an Secara Lafdhiyah
Penuntut Bagi yang Belajar. Jakarta: Al-Hikmah, 1980.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/penafsir Al-Qur’an. Al-Qur’an dan
Tafsirnya. Jakarta, 1975.
Yunus, Mahmud. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Jakarta: P.T. Hidakarya Agung, 1973.

286 _ Islah Gusmian


Zaini, Syahminan dan Anantok Kusuma Seta. Bukti-bukti Kebenaran Al-Quran
sebagai Wahyu Allah. Malang: Karya Mulia, 1986.
Zaini, Syahminan. Isi Pokok Ajaran Al-Qur’an. Jakarta: Kalam Mulia, 1984.
----------. Kewajiban Orang Beriman terhadap Al-Quran. Surabaya: Al-Ikhlas,
1982.
Al-Zamakhsyārī, Abū al-Qāsim ibn Muḥammad. al-Kasysyaf `an Ḥaqā’iq al-Tanzīl
wa `Uyūn al-Aqāwil. Kairo: Dār al-Ma`rifah, t.th.
Al-Zarkasi. Al-Burhān fī `Ulūm Al-Qur’ān. Kairo: Isā al-Bābī al-Ḥalabī, 1957.
Al-Zarqānī, Muḥammad `Abd al-Aẓīm. Manāhil al-`Irfān fī `Ulūm al-Qur’ān. t.tp:
Isa al-Bābī al-Ḥalabī wa Syurakah, t.th.
Zayd, Nashr Ḥāmid Abū. “The Textuality of the Koran” dalam Islam and Europe
in Past and Present, Leiden: NIAS, 1997.
----------. Naqd al-Khiṭāb al-Dīnī. Kairo: Sīnā li al-Nashr, 1992.
----------. al-Naṣṣ, al-Sulṭah, al-Ḥaqīqah. Beirūt: al-Markaz al-Tsaqafī al-`Arabī,
1995.
----------. Mafhūm al-Naṣṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirūt: al-Markaz al-Tsaqafī
al-‘Arabī, 1994.
Zen, H.A. Muhaimin. Tata Cara Problematika Menghafal Al-Qur’an dan Petunjuk-
petunjuknya. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985.

2. Buku-buku Keislaman dan Umum


Amin, M. Masyhur dkk. (ed.). Wanita dalam Percakapan Antar Agama,
Aktualisasinya dalam Pembangunan. Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1992.
Ananda, Endang Basri (peny.). 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Jakarta: Harian
Umum Pelita, 1985.
Anshory, M. Nashruddin. Berjuang dari Pinggir, Potret Kewiraswastaan Musa
Asy`arie. Jakarta: LP3ES, 1995.
Arkoun, Mohammed. “Metode Kritik Akal Islam” wawancara Hashem Shaleh
dengan Moḥammed Arkoun dalam Al-Fikr al-Islām: Naqd wa Ijtihād terj.
Ulil Abshar-Abdalla, dalam Ulumul Qur’an, no. 5 dan 6 vol. 6. V Th. 1994.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Melacak Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan, 1995.
Bisri, Mustofa. “Sajak Atas Nama”, dalam Majalah Horison edisi khusus April
2002.
Brenner, Louis, “Introduction” dalam Louis Brenner (ed.) Muslim Identity and
Social Change in Sub-Saha-rian Africa. London: Hurs and Company, 1993.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 287


Budiman, Arief. Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1981.
Al-Bukhārī, Abū `Abdullāh Muḥammad ibn Ismā’īl. Matn Al-Bukhārī bi Ḥāsyiah
al-Sindī. Bandung: Ma’arif, t.th.
Cawidu, Harifuddin. “Metode dan Aliran dalam Tafsir”, Pesantren No. 1/Vol.
VIII/1991.
Esack, Farid. “Contemporary Religious Thought in South Africa and The
Emergence of Qur’anic Hermeneutical Notions”, dalam ICMR., Vol. 2, no.
2, Desember 1991.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Al-Ghazali. al-Iqtiṣād fī al-I`tiqād. Kairo: Muḥammad `Alī Shubayh, 1962.
Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1985.
Ghozali, H. Ahmad. “Sambutan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
dan Urusan Haji” dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an. Bandung:
Mizan, 1999.
Gilbert, E.. Intellectual History: It’s Aims and Methods. New York: State University
of New York, 1971.
Graaf, H.J. de. “South-east Asian Islam to the Eighteenth Century”, dalam P.M.
Holt et al. (eds). The Cambridge History of Islam. vol. 2. London: Cambridge
University Press, 1978.
Hanafi, A. M.A., Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka al-Husna,
t.th.
Ḥanafī, Ḥasan. Dirāsah Islāmiyyah. Kairo: Maktabat al-Anjilū al-Mishriyyah,
1981.
Hasan, A. Rifai. Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: PLP2M,
1987.
----------. Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah atas Karya-Karya Klasik.
Bandung: Mizan dan LSAF, 1987.
Hafidhuddin, Didin. “Tafsir Al-Munir Karya Imam Muḥammad Nawawī Tanara”,
dalam Ahmad Rifa’i Hasan (peny.). Warisan Intelektual Indonesia, Telaah
atas Karya-Karya Klasik. Bandung: Mizan, 1987.
Hassan, Riffat. “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.).
Women and Islam in Muslim Society. The Hague: Ministry of Foreign Affairs,
1994.
Ichwan, Moch. Nur. “Literatur Tafsir Qur’an Melayu-Jawi di Indonesia: Relasi
Kuasa, Pergeseran dan Kematian” dalam Visi Islam Jurnal Ilmu-ilmu
Keislaman, Volume 1, Nomor 1, Januari 2002.

288 _ Islah Gusmian


----------. “Pergumulan Kitab Suci dalam Konteks Lokal Indonesia: Menuju
Hermeneutik Qur’an Pribumi”, Makalah dalam Diskusi Panel tentang
Wacana Tafsir Pribumi, diselenggarakan BEM Jurusan Tafsir Hadis IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 22 Mei 2000.
----------. “Pahamilah al-Qur’an Sesuai Konteks Narasinya”, Ummat No. 1, tahun
IV, 13 Juli 1998.
Ifraatus, Salamah. “Metodologi Buku Butir-Butir Mutiara Al-Fatihah Karya Labib
Mz dan Maftuh Ahnan”, Skripsi Jurusan Tafsir-Hadis IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2001, tidak diterbitkan.
Ihromi, T.O. (peny.). Kajian wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yasan Obor,
1995.
Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanat. Yogyakarta: Bentang, 2001.
Al-Jābirī, Muḥammad `Ābid. Bunyah al-`Aql al-`Arabī. Beirūt: Markaz Dirasāt
Waḥdah al-`Arabiyyah, 1989.
Johns. “Quranic Exegesis in the Malay World” dalam Andrew Rippin (ed.),
Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an. Clarendon
Press, Oxford, 1988.
Johns, Anthony. “The Qur’an in the Malay World: Reflection on `Abd al-Rauf of
Sinkel (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies 9:2, 1998.
Kasdi, Aminuddin. Kepurbakalaan: Sunan Giri Sosok Akulturasi Kebudayaan
Pada Abad 15-16. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1987.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, A.E. Priyono (ed.).
Bandung: Mizan, 1994.
----------. “Pengantar” dalam Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an. Jakarta:
Gramedia, 2000.
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, “Aku, Buku dan Energi Kenangan”,
Republika, 3 Juli 1994.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Politik. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Madjid, Nurcholish. “Abduhisme Pak Harus” dalam Refleksi Pembaruan
Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta: LSAF, 1990.
----------. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1990.
­----------. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1999.
----------. Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-
Mohammad Roem. Agus Edi Santoso (peny.). Jakarta: Djambatan, 1997.
Madjid, Nurcholish. “Jangan Biarkan Tuparev Menjadi Contradora”, Tempo, 26
Juli 1986.
----------. “Abduhisme Pak Harun Nasution” dalam Refleksi Pembaruan Pemikiran
Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta: LSAF, 1990.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 289


Malik, Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia,
Pemikiran dan Aksi Politik, Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish
Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.
Marcoes-Natsir, Lies M. dan Johan Meuleman, (ed.). Wanita Islam Indonesia
dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: INIS, 1993.
Mas`udi, Masdar Farid. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqih
Pemberdayaan. Bandung: Mizan, 1997.
Maula, M Jadul. Otonomi Perempuan Menabrak Ortodoksi. Yogyakarta: LKPSM,
1999.
Mernissi, Fatima. Beyond the Veil, Seks dan Kekuasaan Dinamika Pria-Wanita
dalam Masyarakat Moderen, terj. Masyhur Abadi. Surabaya: Al-Fikr, 1997.
----------. Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj. Rahmani Astuti dan Enna Hadi.
Bandung: Mizan, 1994.
Muhammad, Ahsin. “Asbab al-Nuzul dan Kontekstualisasi Al-Qur’an”, makalah
disampaikan dalam Stadium General HMJ Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 10 Oktober 1992.
Muhammad, Ahsin. “Masalah Sosial Baru Sambil Lalu” dalam Pesantren, No. I
Vol VIII/1991.
Nasution, Harun. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995.
----------. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah. Jakarta: UIP, 1987.
----------. Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UII
Press, 1985.
An-Na`īm, `Abdullāh Aḥmed. Dekonstruksi Syari`ah, Wacana Kebebasan Sipil,
Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad
Suaedy dan Amiruddin Ar-Rani. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen dalam Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
LP3ES, 1982.
Pasya, Mushtafa Kamal dan Adabi Darban. Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam. Yogyakarta: LPPI UMY, 2001.
Pengantar Redaksi Ulumul Qur’an untuk wawancara dengan Jalaluddin
Rakhmat, “Dikotomi Sunni-Syi`ah Tidak Relevan Lagi”, Ulumul Qur’an, Vol.
VI, No. 4. 1995.
Rabi’, Ibrahim Abu. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab
Word. New York: State University of New York, 1996.
Rahardjo, M. Dawam (peny.). Insan Kamil, Konsep Manusia Menurut Islam.
Jakarta: Grafiti press, 1987.
Raḥmān, Fazlur, Cita-cita Islam. Sufyanto dan Imam Musbikin (peny.).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

290 _ Islah Gusmian


----------. Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition.
Chicago and London: University of Chicago Press, 1982.
----------. Islam dan Modernitas. Bandung: Pustaka, 1985.
----------. Islam. London: Weidenfeil and Nicolson, 1966.
----------. Neomodernisme Islam, Taufik Adnan Amal (peny.). Bandung: Mizan,
1992.
Rachman, Budhy Munawar. “Puisi-puisi Perenial Emha Ainun Nadjib dan
Pemikiran Islam Indonesia”, Horison 07/XXIX/ Juli 1994.
Rakhmat, Jalaluddin. Khutbah-khutbah di Amerika. Bandung : Rosda Karya,
1988.
----------. Catatan Kang Jalal, Visi Media, Politik dan Pendidikan. Bandung:
RosdaKarya, 1997.
----------. Islam Aktual Refleksi Sosial Seorang Seorang Cendekiawan Muslim.
Bandung: Mizan, 1993.
----------.. Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus. Bandung: Mizan, 1992.
----------. Reformasi Sufistik. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
----------. “Pengantar” dalam Yayasan Muthahhari untuk Pencerahan Pemikiran
Islam .Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993.
Ridjal, Fauzie, Lusi Margiyani dan Agus Fahri Husein (ed.), Dinamika Gerakan
Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
Ridlā, Muḥammad Rasyīd. Al-Waḥy al-Muḥammadī. Kairo: Maktabah al-Qāhirah,
1960.
Rippin, Andrew. Muslim: Their Religious Beliefs and Practices, Volume 2: the
Contemporary Period. London and New York, 1993.
Scred, Susan Starr. Priestess, Mother, Sacred Sister, religions Dominated by
Women. New York, Oxford: Oxford University Press, 1984.
Al-Syahrastanī, `Abd al-Karīm. al-Milal wa al-Niḥal. `Abd al-`Azīz Muḥammad
al-Wakil (ed.). Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.
Shihab, Alwi. Membendung Arus, Respon Cendekiawan Muhammadiyah terhadap
Penetrasi Misi  Kristen  di Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi. Bandung: Mizan,
1998.
Smith, W.C.. “True Meaning of Scripture: an Empirical Historians Non-
Reductionist Interpretation of the Qur’an” dalam IJMES, Vol. 2 No. 4, Juli
1980.
Subhan, Arief. “Menyatukan Kembali Al-Qur’an dan Ummat, Menguak Pemikiran
M. Quraish Shihab”, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.
IV Th. 1993.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 291


Sumartana, Th. dkk.”Pengantar: Menuju Dialog Antar Iman” dalam Dialog: Kritik
dan Identitas Agama. Yogyakarta: Dian-Interfidei, t.th.
Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim. Sekte-sekte Islam, diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh A. K. Kazi dan J.G. Flyinn, kemudian
diindonesiaakan oleh Karsidi Diningrat. Bandung: Pustaka, 1996.
Taimiyah, Ibnu. Al-`Aqīdah al-Wāsithiyyah, diberi penjelasan oleh Dr. Fauzan
Ibn `Abdullāh. Saudi Arabia: Jāmi`ah Li Imām Muḥammad Ibn Su`ūd al-
Islāmiyyah, 1405 H.
Tan, Mely G. (peny.), Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan?. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1991.
Tekan, Ismail. Pelajaran Tajwid. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya
Agung, 1984.
Wawancara Majalah Amanah dengan Jalaluddin Rahmat, edisi 21 September
1989.

3. Kamus
Ali, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka
Amani, t.th.
Manzhūr, Ibn. Lisān al-`Arab. t.tp.: Dār al-Ma`ārif, t.th.
Qohar, Mas’ud Khasan Abdul dkk. Kamus Istilah Pengetahuan Populer. t.tk.: CV.
Bintang Pelajar, t.th.

4. Jurnal, Majalah, dan Koran


Harian Angkatan Bersenjata, 22 Desember 1992.
Harian Media Indonesia Minggu, 29 Agustus 1993.
Harian Media Indonesia, 21 Januari 1993.
Harian Pelita, 21 Januari 1993.
Harian Republika Minggu, 24 Januari 1993.
Harian Republika, 1 Oktober 1999.
Harian Republika, 28 Januari 1993.
Harian Suara Karya, 4 Desember 1992.
Harian Surabaya Post 29 Agustus 1997.
Harian Singgalang, 21 Desember 1992.
Harian Terbit, 21 Januari 1993.
Harian Wawasan, 26 Januari 1993.
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. I, Th. 1989.

292 _ Islah Gusmian


Jurnal Pesantren, No. 2/Vol. VI/1989.
Jurnal Studi-studi Islam Al-Hikmah, No. 7, Maret-Juni 1990.
Jurnal Studi-studi Islam Al-Hikmah, No. 7, November-Desember 1992.
Jurnal Studi-studi Islam Al-Hikmah. No. 12, Januari-Maret 1994.
Yusuf, M. Yunan. “Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20, Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol. III No. 4 Th. 1992.
----------. “Perkembangan Metode Tafsir di Indonesia” Pesantren, No. I/Vol.
VIII/1991.
Majalah Gatra No. 11 Tahun VIII, 2 Februari 2002.
Majalah Kiblat No. 59 Agustus 1991.
Majalah Amanah, No. 11 Th. XI, 1996.
Majalah Amanah, No. 49, 20 Mei-2 Juni 1988.
Majalah Forum Keadilan No. 22, 18 Pebruari 1993.
Majalah Kiblat, No. 46, 28 Desember 1990-10 Januari 1991.
Majalah Panji Masyarakat No. 846, 1-15 Januari 1996.
Majalah Panji Masyarakat, No. 691, 1-10 Agustus 1991.
Majalah Panji Masyarakat, No. 742, 1-10 Januari 1993.
Tabloid Tekad, No. 24 Tahun 1. April 1999.

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 293


IndeKS

A Baidan, Nashruddin 281


Abd al-Jabbār 225 Bakri Syahid xvi, xxiv, xxvii, xxix, xxxi,
Abdoel Moerad Oesman xxvii xxxii, 40
Abdullah Thufail Saputra xxvi
Abdul Mustaqim xxxv C
Abdurrachim 56 Cawidu, Harifuddin 288
Abdurrahman Wahid xviii, 54, 290
Abdurrasyid Ridha 47, 78, 79, 104, D
114, 118, 128, 133, 135, 140, 143,
145, 146, 148, 151, 188, 202, 213, Departemen Agama RI xviii, xxiv, xxv,
259 xxx, xxxiii, xxxvii, 6, 20, 21, 22, 23,
Aceh xvii, 12, 14, 16, 31, 32 24, 38, 57, 62, 67, 282
Al-Marāghī 159 Didin Hafidhuddin xxvi, xxvii, xxviii,
Al-Qaṭṭān 87, 170 xxxi, xxxii, 47, 75, 76, 77, 109,
Al-Qurṭubī 126, 158 111, 115, 116, 129, 136, 141, 143,
Al-Shābūnī 285 145, 147, 150, 152, 154, 155, 156,
Al-Syahrastānī 238 158, 159, 161, 213, 249, 252, 254,
Analisis kebahasaan 120 256, 257, 274, 275, 280
Analisis linguistik 118, 219
Analisis semantik 185, 186 E
Analisis wacana kritis 9 Esack, Farid 282, 288

B F
Bachtiar Surin 27, 38, 46 Fachruddin HS 6, 282
Bahroem Rangkuti 35, 44 Federspiel, Howard M. xxxvi

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 295


G 144, 145, 147, 151, 152, 155, 156,
Gender xl, xli, 47, 72, 73, 228, 245, 157, 158, 160, 162, 168, 169, 203,
286, 288 212, 213, 222, 229, 230, 280, 290
Jansen, J.J.G. 284
Jaringan intelektual 5
H
Jaṣṣāṣ 86, 153, 165
Hamzah Manguluang xxii Jemaat Ahmadiyah Indonesia 154,
Harifuddin Cawidu xi, xxvi, 46, 48, 49, 163
88, 89, 102, 114, 120, 129, 136,
141, 143, 145, 147, 151, 155, 156,
K
157, 158, 159, 160, 161, 162, 163,
182, 187, 190, 193, 213, 244, 280 K.H. Bisri Mustafa xvi
Hassan, H.A. Halim 283 K.H. Misbah Zainul Mustafa xvi, xxi
Hassan, Riffat 288 KHR. Muhammad Adnan 154, 164
Hermeneutika ii, v, xl, 4, 165, 219, 283 Kuntowijoyo 211, 284, 289
H. Mhd. Romli xxix
Howard M. Federspiel v, xi, xvi, 6, 7, L
25, 26, 43 Lukman Abdul Qohar Sumabrata 29

I M
IAIN v, xi, xii, xxiv, xxix, xxxiii, xxxiv, Machasin xxxiii, 2, 47, 60, 61, 104,
xxxvii, xliii, 4, 15, 19, 20, 21, 22, 114, 120, 128, 134, 135, 140, 143,
24, 34, 35, 42, 48, 49, 51, 52, 53, 145, 147, 149, 151, 154, 156, 157,
60, 61, 62, 63, 64, 68, 69, 70, 71, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 183,
72, 73, 74, 78, 80, 81, 82, 145, 204, 213, 224, 225, 239, 240, 242,
146, 147, 148, 149, 208, 223, 224, 281, 284
227, 259, 261, 266, 283, 284, 289, Madjid, Nurcholish 289
290, 335 makna gandul 40
Ibn Katsīr 2, 18, 21, 22, 23, 24, 110, M. Bashori Alwi 41
152, 165, 167, 169, 193, 246, 283 M. Dawam Rahardjo xxvi, 47, 58, 59,
ICMI 59, 64, 72, 74, 266, 267 106, 114, 125, 128, 136, 138, 140,
Ijmālī 89 144, 146, 147, 151, 159, 160, 161,
Islam Jawa xxviii, 12 162, 163, 164, 174, 181, 202, 213,
Isyārī 88 223, 232, 233, 266, 280
Mernissi, Fatima 284, 290
J Metode tafsir ilmiah 220
Jalaluddin Rahman xxvi, xxxii, xxxiii, M. Quraish Shihab xi, xvii, xviii, xxv,
46, 49, 50, 60, 101, 114, 121, 129, xxvi, xxvii, xxx, 7, 21, 22, 23, 24,
136, 140, 143, 145, 147, 149, 151, 40, 47, 48, 49, 59, 61, 62, 63, 64,
155, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 65, 70, 81, 83, 88, 89, 92, 95, 97,
163, 183, 188, 193, 204, 213, 224, 98, 106, 109, 114, 116, 125, 128,
240, 241, 242 136, 141, 143, 144, 145, 147, 149,
Jalaluddin Rakhmat xxv, xxvi, 47, 53, 151, 152, 155, 156, 157, 158, 159,
54, 55, 56, 74, 75, 109, 112, 114, 160, 161, 162, 170, 177, 179, 186,
115, 128, 129, 132, 135, 136, 140, 193, 195, 198, 202, 212, 213, 219,

296 _ Islah Gusmian


227, 229, 248, 252, 253, 256, 257, Semiotik 178
258, 264, 268, 272, 274, 277, 280, Subhan, Zaitunah 286
288, 291 Sumatra Thawalib 14, 15
Mubarok, Achmad 284 Syiah 3, 56, 145, 165
Muhammad Abduh 45, 224, 241, 242,
246, 290 T
Muhammad, Ahsin 284, 290
Tafsir sufi 206
Muhammad Ali Usman 27
Tafsir tematik 90
Muhammad Ghalib M 47, 68, 134, 155,
Teologi Rasional xl, 223, 224, 290
156, 157, 158, 159, 160, 161, 162,
Tim Badan Wakaf UII 57, 67, 114, 136,
163
141, 143, 144, 151, 163, 213, 249,
Muhammadiyah xxiv, xxv, xxix, xxxvii,
251, 252, 254, 273
18, 19, 25, 26, 47, 52, 54, 57, 59,
67, 68, 69, 77, 78, 80, 106, 108,
114, 128, 134, 135, 140, 142, 144, U
150, 151, 155, 156, 157, 158, 160, Umar, Nasaruddin 286
161, 162, 176, 210, 213, 215, 267,
268, 271, 272, 274, 275, 277, 285, W
290, 291 Wali Sanga 15, 16
Muqāran 85, 87, 89 Watt, Montgomery 286
Musa Asy`arie 46, 51, 52, 53, 134, 145,
147, 184, 187, 287
Y
Yunus, Mahmud xxxvii, 286, 292
N
Yusuf, M. Yunan 293
Nasution, Harun 290
Z
P
Zainal Abidin Ahmad 27, 35, 46, 154,
Pesantren xii, xvi, xviii, xix, xx, xxiv, 163
xxx, xxxvi, xxxvii, 3, 4, 6, 13, 15, Zaitunah Subhan 47, 72, 73, 100, 114,
16, 17, 18, 33, 40, 41, 49, 60, 62, 124, 129, 136, 141, 143, 145, 148,
70, 73, 75, 76, 78, 80, 81, 88, 226, 149, 151, 155, 156, 158, 159, 160,
228, 229, 288, 290, 293, 336 161, 162, 163, 201, 213, 218, 219,
Peter G. Riddell xv, xvi 234, 247, 252, 253, 255, 280

R
Radiks Purba 47, 66, 109, 112, 115,
117, 129, 133, 135, 141, 144, 146,
148, 152, 191, 213
Rahardjo, M. Dawam 285, 290
Rahman, Jalaluddin 282, 285
Ridha, Abdurrasyid 285

S
Sayyid Quṭb 21, 24, 152, 161, 165

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 297


TENTANG PENULIS

Islah Gusmian. Pria kelahiran Pati, 22 Mei 1973 ini adalah


dosen di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN
Surakarta. Ia menyelesaikan Program doktoral di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 2014. Sejak kuliah S1
telah aktif menulis di berbagai media massa. Pada 1998,
oleh penerbit Mizan Bandung ia dipilih sebagai peresensi
buku terbaik. Selain mengajar mata kuliah ilmu Al-
Qur'an, filologi, dan Kajian Naskah Islam Nusantara, ia
juga pernah mendedikasikan diri menjadi Ketua Program
Studi Tafsir Hadis STAIN Surakarta (20072009),
Sekrektaris Jurusan Ushuluddin STAIN Surakarta (2009-2011), Wakil Dekan
Bagian Administrasi Umum dan Keuangan di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
IAIN Surakarta (2011-2014), tahun 2018 menjadi Ketua Progam Studi
Manajemen Pendidikan Islam (S3) IAIN Surakarta, dan sejak tahun 2019
diangkat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta
(periode 2019-2023). Di kampusnya, pada tahun 2008 ia mendirikan Pusat
Kajian Naskah dan Khazanah Islam Nusantara dan memopulerkan kajian-kajian
lokalitas yang berbasis manuskrip keagamaan dalam kajian ilmu Al-Qur'an.
Atas dasar aktivitas akademiknya, pada tahun 2006 ia dinobatkan sebagai
Peneliti Terbaik Pertama, Dosen PTAIN se Indonesia, oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Agama Islam Departeman Agama RI dan pada tahun yang sama oleh
lembaga yang sama dinobatkan sebagai Dosen Berprestasi di STAIN Surakarta.
Beberapa buku yang telah ia tulis, yaitu Pantat Bangsaku; Melawan Lupa
di Negeri Para Tersangka (Galangpress, Yogyakarta, 2003), Rindu Kami Padamu
(Nastiti, Jakarta, 2004), Ruqyah, terapi Nabi SAW Menangkal Gangguan Jin,
Sihir dan Santet (Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2005), Al-Qur’an Surat Cinta
Sang Kekasih (Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2005), Cinta Tak Segampang Pesan
Pizza (Pustaka Anggrek, Yogyakarta, 2005), Surat Cinta dari Tuhan (Mizan,
Bandung, 2005), Spirit of Loving (Nuansa, Bandung, 2006), Surat Cinta Al-
Ghazali, NasihatNasihat Pencerah Hati (Mizania, Bandung, 2006), Setiap Saat
Bersama Allah (Mizania, Bandung, 2006), “Islam dan Orde Baru; Akomodasi
atau Hegemoni?” dalam Islah Gusmian (peny.), Soeharto Sehat (Galangpress,

Khazanah Tafsir Al-Quran Indonesia _ 299


Yogyakarta, 2006), “Sejarah Melawan Lupa!” dalam Islah Gusmian (peny.),
Soeharto Sehat (Galangpress, Yogyakarta, 2006), Doa Menghadapi Kematian,
Cara Indah Meraih Khusnul Khatimah (Mizania, Bandung, 2007), Mengapa
Nabi Muhammad Berpoligami? (Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2007), “Santri
dan Pemaknaan Kitab Suci: Studi Interpretatif Simbolik terhadap Al-Qur’an di
Pesantren Mlangi Yogyakarta” dalam Dialektika Teks Suci Agama, Irwan Abdullah
dkk. (Pustaka Pelajar dan CRCS Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2008),
56 Doa Nabi Agar Dapat Rezeki Lebih Mudah, Lebih Berkah (Zaman, Jakarta,
2009), Doa Mengundang Rezeki, Sukses dalam Hidup, Berkah dalam Usaha
(Mizania, Bandung, 2009), Dua Agama Satu Kehidupan (Efude Press, Surakarta,
2012), Membaca Kalam Tuhan (Efude Press, Surakarta, 2013), Living Quran
(Efude Press, Surakarta, 2014), Khazanah Tafsir Indonesia (LKiS,Yogyakarta,
2013), Dinamika Tafsir Al-Quran Bahasa Jawa (Efude Press, Yogyakarta, 2014),
The Dinamics of Qur’anic Interpretation in Indonesia (Yayasan Salwa, Yogyakarta,
2017), Bencana Alam dalam Perspektif Filologis dan Teologis, Kajian Tematik
Manuskrip Keagamaan Wilayah Jawa Tengah (Kementerian Agama, Badan
Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen
Organisasi, Jakarta, 2018), Tafsir Al-Qur’an dan Kekuasaan di Indonesia (Pustaka
Salwa, 2020), dan Mitigasi Bencana dan Kearifan Manusia Jawa (Pustaka Salwa,
2021).
Selain mengajar, ia aktif melakukan penelitian, menjadi narasumber
di berbagai kegiatan ilmiah, serta mengumpulkan manuskrip keagamaan
di nusantara dan memperkenalkan kajian-kajian manuskrip keagamaan
di Perguruan Tinggi Agama Islam dengan pendekatan interdisipliner dan
multidisipliner.[]

300 _ Islah Gusmian

Anda mungkin juga menyukai