Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN TAFSIR DARI MASA KE

MASA

TAFSIR PADA MASA PERTENGAHAN ( 1250 M – 1800 M )

Dosen Pengampu :

Ustadz Rumba Triana, S.Th.I., M.Pd.I

Disusun Oleh :

1. Hana A. Nursabur (202031014)


2. Ulfa Muallifah (202031029)

KELAS B

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

STAI AL HIDAYAH BOGOR

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah ‫ﷻ‬,


yang telah memberikan dan melimpahkan rahmat, hidayat dan inayahnya kepada
penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Mengingat kurangnya kemampuan dan keterbatasan penulis dalam


menyelesaikan makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat
terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Atas bimbingan
dan bantuan tersebut tiada yang dapat penulis ucapan salain ucapan terima kasih,
kepada :

1. Allah ‫ ﷻ‬yang telah memberikan nikmat, sehat dan segala keberkahan


yang bisa kita rasakan sampai saat ini.

2. Dosen Pembimbing.

Demikian penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga makalah ini dapat kita
ambil manfaatnya bersama, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para
pembaca.

Bogor, 26 November 2022

Penulis,

Hana & Ulfa

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................2

A. Sejarah Perkembangan Tafsir............................................................2


B. Karakteristik Tafsir............................................................................3
C. Tokoh-Tokoh Mufassir......................................................................5
D. Corak dan Contoh Penafsiran............................................................7

BAB III PENUTUP......................................................................................14

A. Kesimpulan........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan mukjizat Islam yang abadi, dimana semakin maju
ilmu pengetahuan, semakin jelas kemukjizatannya. Allah ‫ ﷻ‬menurunkannya
kepada nabi Muhammad ‫ ﷺ‬demi membebaskan manusia dari berbagai
kegelapan hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka kejalan yang
lurus. Rasulullah ‫ ﷺ‬menyampaikannya kepada para penduduk asli Arab yang
sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang
kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka
langsung menanyakan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬.
Dalam ilmu tafsir Al-Qur’an, banyak sekali ulama yang mencoba
menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Dalam penafsirannya, para
mufassirin menggunakan sumber, metode, dan corak yang berbeda. Pada
pembahasan kali ini akan membahas tentang sejarah pemikiran tafsir pada
masa pertengahan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Tafsir Pada Masa Pertengahan ?
2. Bagaimana Karakteristik Penafsiran Pada Masa Pertengahan ?
3. Siapa Saja Tokoh-Tokoh Mufassir Pada Masa Pertengahan ?
4. Bagaimana Corak dan Contoh Tafsir Pada Masa Pertengahan ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Sejarah Perkembangan Tafsir Pada Masa Pertengahan.
2. Mengetahui Karakteristik Penafsiran Pada Masa Pertengahan.
3. Mengetahui Tokoh-Tokoh Mufassir Pada Masa Pertengahan.
4. Mengetahui Corak dan Contoh Tafsir Pada Masa Pertengahan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Tafsir Pada Masa Pertengahan


Setelah masa tabiin berlalu yang menumbuhkan terbentuknya tiga aliran
tafsir, masuklah kedalam masa tabiut-tabiin. Tabiut-tabiin adalah orang yang
hidup dan mati dalam keadaan Muslim dan bertemu dengan para tabiin. Pada
masa ini, perkembangan tafsir sudah berubah dari aliran tafsir menjadi masa
pembukuan atau kodifikasi tafsir yang ditandai dengan penulisan tafsir dalam
bentuk buku.1
Periode pertengahan dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Tahun 1250-1500 Masehi yang disebut sebagai masa kemunduran dengan
ditandai serangan Jengis Khan dan keturunannya dari Mongolia, jatuhnya
pemerintahan Islam di Andalusia
2. Tahun 1500-1700 Masehi yang disebut sebagai masa kejayaan Islam
Kembali dengan adanya kekhilafahan Utsmani, Safawi di Persia, dan
Moghul di India
3. Tahun 1700-1800 Masehi yang disebut sebagai masa kemunduran dengan
runtuhnya ketiga kerajaan tersebut 2.

Pada abad ke-12 hingga 14 hijriah, penafsiran semakin berkembang


ditandai dengan semakin banyaknya kitab-kitab tafsir dengan metode dan
corak yang berbeda. Beberapa kitab tafsirnya antara lain seperti:
1. Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w.538 H) dengan corak
bahasa, yang kemudian corak ini diikuti oleh Al-Baidawi (w. 691 H)
dalam kitabnya Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Akan tetapi
dia tidak lagi memasukkan pendapat mu’tazilah seperti Az-Zamakhsyari.

1
Suaidah., I. 2021. Sejarah Perkembangan Tafsir-History of Tafsir Development. Al-Asma: Journal
of Islamic Education. Hlm. 186
2
Affani., Syukron. 2019. Tafsir Al-Qur’an dalam Sejarah Perkembangannya. Kencana. Jakarta.
Hlm. 7

2
2. Tafsir Al-Jami’ li Al-Ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthubi (w. 671 H),
dan Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Ibnu Arabi (w. 543 H) dengan corak
fiqh.
3. Tafsir Al-Kasyfu Al-Bayan Al-Tafsir karya Al-Sa’labi (w. 427 H), Lubab
Al-Tanzil fi Ma’ani Al-Tanzil, dan Tafsir Al-Khazin karya Al-Baghdadi
(w. 741 H) dengan corak kisah-kisah dalam Al-Qur’an.3
Pada masa ini terjadi percampuran budaya dikarenakan ekspansi dunia
Islam yang semakin luas, hal ini menyebabkan terdapatnya perbedaan
penafsiran dengan dasar perbedaan madhab dan letak geografi atau tempat
mufassir hidup. Setiap mufassir memiliki karakteristik tersendiri dalam
penulisan tafsirnya.4
Tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat (naql atau
ma’tsur) dari hadis Nabi ‫ﷺ‬, sahabat, maupun tabi’in, dan ulama-ulama
setelahnya (tabi’ al-tabi’in) lengkap dengan sanadnya. Tak terkecuali tafsir
milik Al-Thabari yang sering menyelipkan pendapat-pendapat ulama (baik
dalam masalah gramatika Bahasa Arab, mazhab fikih ataupun aliran-aliran
ilmu kalam), yang kemudian men-tarjih-nya (mengunggulkan salah satu
pendapat), menjelaskan tata bahasa, serta menggali hukum dari ayat-ayat Al
Qur’an. Selain riwayat dari Nabi ‫ﷺ‬, sahabat, tabiin, mereka juga mengutip
tafsir dari kitab-kitab generasi sebelumnya beserta sanad yang sampai kepada
sang pengarang tafsir. Selain itu, maraknya riwayat israiliyat juga mewarnai
tafsir generasi ini.5

B. Karakteristik Penafsiran
Karakteristik penafsiran Al-Qur’an pada masa ini bersifat afirmatif
(penguatan dan penegasan paham), konservatif (pelestarian paham), sektarian
(terkungkung dalam suatu paham tertentu), dan ideologis (mengusung paham
tertentu).
1. Pemaksaan gagasan pribadi kepada Al-Qur’an
3
Suaidah., I. 2021. Sejarah Perkembangan Tafsir-History of Tafsir Development. Al-Asma: Journal
of Islamic Education. Hlm. 187
4
Kajian Tafsir di Indonesia
5
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN. Al-Qur’an Kita : Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah,
(Kediri : Lirboyo Press, 2011), hal : 213.

3
Maksudnya bahwa pada zaman ini banyak kitab tafsir dibuat untuk
kepentingan sendiri. Sehingga adanya beberapa ayat yang tidak
berhubungan dipaksakan kedalam satu konteks. Sebagai contoh,
penafsiran dari al-jashshash yang menghubungkan Qs. Yusuf: 26
(berbicara tentang pengalaman pribadi Nabi Yusuf) dengan Qs. an-Nisa:
80 (berbicara tentang harta rampasan perang).
2. Bersifat Ideologis
Maksudnya penafsiran didasarkan kepada paham, aliran atau sekte
keagamaan. Contohnya yaitu pada tafsir Mafatih al-Ghaib karangan
Fakhruddin ar-Razi tentang hak kepemimpinan umat Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad terdapat dalam Qs. Al-Fatihah ayat 6-7.
3. Bersifat Repetitif
Umumnya tafsir periode ini menganut system mushafi. Artinya,
penafsiran mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi al-
Qur’an. Ini merupakan konsekuensi dari penggunaan metode tahlili yang
memang popular pada saat itu. Contohnya dapat dilihat dalam Tafsir
Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah.
Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan
yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.
4. Bersifat Parsial
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong,
tidak komplit sehingga kurang mendapatkan informasi yang utuh dan
komprehensif ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu.
5. Banyak pengulangan penjelasan
Contoh yang dihadirkan dalam hal ini adalah sebagaimana yang
disampaikan oleh Prof. Abdul Mustaqim, terhadap kitab tafsir Mafatih al-
Gaib karya Ar-Razi yang sering mendiskusikan tentang hal-hal seputar
paham jabariah dan qadariah pada hampir setiap surat. Disana terdapat
beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat
panjang sehingga terkesan berlebihan.
6. Terpisah dengan Hadist

4
Sebagaimana diketahui bahwa pada periode klasik, para ulama belum
memisahkan secara spesifik keilmuan tafsir dengan keilmuan hadis,
pengkodifikasiannya pun belum ada. Pada periode tengah ini, mulai
banyak bermunculan kitab-kitab tafsir murni yang terpisah dengan
pembahasan hadis. Mereka tidak memasukkan pembahasan hadis yang
tidak berhubungan dengan tafsir mereka.
Ketiga karakteristik tersebut secara tersurat menandakan ciri
kelemahan atau sisi negatif dari karya-karya tafsir pada era pertengahan.
Hal ini perlu disebutkan, bagi penulis terutama dalam rangka mengurangi
taqlid buta yang cenderung dilakukan oleh banyak umat Muslim
setelahnya tanpa menggali lebih jauh (mengkritisi) karya-karya tersebut.
Meskipun demikian pastinya karya-karya tafsir tersebut pernah
menjadi “master piece” dalam suatu masa dalam rangkaian sejarah
pemahaman Islam dan menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan
permasalahan keagamaan baik pada ini maupun setelahnya, yang artinya
hal tersebut masih diterima dengan lapang oleh umat Muslim pada
umumnya. Disamping itu corak dan keberagaman penafsiran Al-Qur’an
pada masa ini mengisyaratkan akan kekayaan khazanah pemikiran umat
islam yang digali dari Al-Qur’an.

C. Tokoh-Tokoh Mufassir
Salah satu hal penting yang perlu diperhatiakan dalam menjelaskan tokoh-
tokoh tafsir pada priode pertengahan ini adalah sebelum para mufasir memulai
aktifitas penafsirannya terlebih dahulu mereka telah menekuni suatu disiplin
ilmu tertentu secara khusus disamping keterhubungan erat mereka dengan
paham atau madzhab tertentu. Berangkat dari hal tersebut muncullah berbagai
tokoh mufasir sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni atau madzhab yang
ia anut, diantaranya :
1. Al Farra’ misalnya, adalah seorang ahli dalam disiplin ilmu bahasa dan
guru beberapa pangeran Abbasiyah pendukung Mu’tazilah.

5
2. Ibnu Jarir ath-Thabari disamping sebagai tokoh sejarawan muslim, secara
teologis ia posisinya mirip al-Asy’ari yang cenderung mengambil jalan
tengah antara ahli hadis dan rasonalis Mu’tazilah.
3. Az-Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan sastra yang terlahir didaerah basis
kaum mu’tazilah sehingga ikatan emosionalnya dengan mu’tazilah tidak
dapat disangkal ikut berpengaruh.6
4. Fahruddin ar-Razi, seorang mutakallim Asy’ariah yang juga ahli dalam
bidang filsafat. Dari kelompok ini tampil pula al-Baidawi yang berusaha
merespon pencapaian az-Zamkhsari dan ar-Razi.
5. Al Abu Ḫasan Ilkiya al-Harrasi dari Madzhab Syafi’I (wafat 504 H) yang
melahirkan Aḫkam al-Qur’an
6. Al-Qurtubi dan Al-Qadhi Abu Bakar Ibn al–‘Arabi (wafat 543 H) dari
Madzhab Maliki
7. Al-Jashshash (wafat 370 H ) dari Madzhab Hanafi
8. Abu Ya’la al-Baghdadi al-Ḫanbali (wafat 832 H) dari kalangan Hanabilah
dengan kitabnya yang berjudul al-Tsamarat al-Yani’ah wa al-Aḫkam al-
Wadhiḫah al-Qathi’ah.
9. Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah pada akhir abad ke 8 H dan awal abad ke 9
H dari Kalangan Syi’ah dengan karyanya Kanz al-Irfa’ Fi Fiqh al-Qur’an.7
10. Fakhr al-Din al-Razi (wafat 606 H) dari kalangan ilmu rasional dan filosof
juga tampil ahli-ahli filsafat Islam yang berkepentingan untuk
menjustifikasi gagasan filsafatnya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan karyanya Mafatiḫ al-Ghaib atau nama lain Tafsir al-Kabir. Tokoh
tasawuf praktis diawali oleh al-Alusi seorang pendukung Thariqah
Naqshabandiyah.8
11. Ibnu Khazin dan al-Tsa’labi dari para ahli kisah atau ahli al-atsar.

6
Fauzan Naif. ‘Al-Kasyaf karya Al-Zamakhsyari” dalam M.Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta
: TH Prees, 2004).
7
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN. Al-Qur’an Kita : Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah,
(Kediri : Lirboyo Press, 2011), hal : 214.
8
Ibid..,215.

6
12. Demikian pula yang ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddîn Al-Mahalli,
Al-Nisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar dan masih banyak lagi Mufassir yang
memiliki disiplin ilmu tertentu.9

D. Corak Penafsiran Dan Contohnya


Pada periode pertengahan, terjadi perkembangan keilmuan. Pada masa ini
muncul berbagai macam corak penafsiran sesuai dengan keahlian mufassir
tersebut. Misalnya, jika seorang mufassir ahli dalam bahasa, maka dia akan
menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan analisa kebahasaan, atau corak
lughawi. Atau jika dia ahli dalam bidang sains, maka akan menggunakan
corak ilmi. Akan tetapi, hal tersebut bukan menjadi satu hal pemahaman
bahwa mufassir hanya memiliki satu keahlian ilmu saja, karena dalam
menafsirkan Al-Qur’an dibutuhkan banyak keilmuan.10
Corak tafsir secara bahasa berasal dari kata laun yang bermakna warna,
sedangkan secara istilah ciri kekhususan suatu penafsiran yang merupakan
kecenderungan seorang mufassir dalam menjelaskan maksud ayat-ayat Al-
Qur’an. Corak tafsir dibagi kedalam lima bagian, yaitu:
1. Corak lughawi atau bahasa
Corak kebahasaan merupakan kecenderungan terhadap kebahasaan
dalam menafsirkan Alquran, untuk memahami kosakata, akarnya juga
syakal suatu lafaz dipadukan dengan ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf
dan Qira’at. Mufassir al-Lughawi menjadikan bahasa sebagai alat pertama
dan utama dalam menafsirkan dalam memunculkan makna ayat, membuat
perumpamaan lalu menjelaskannya dengan aturan kebahasaan,
menjelaskan suatu mufradat dari segi majaz serta gharabah-nya dan
kemudian merujuk pemaknaannya sesuai dengan perkembangannya (Iyazi
Ali: (1), 60).
Dalam menafsirkan QS. Al-Nisa: 164, Al-Zamakhshari menulis
sebagai berikut:

9
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2012),
7:429-430.
10
Huda., N. N. Analisis Sistematis Corak-Corak Tafsir Periode Pertengahan antara Masa Klasik dan
Modern-Kontemporer. UIN Guung Djati. Bandung. Hlm 143

7
‫ك َو َكلَّ َم اللّهُ ُم ْو َسى تَكْلِْي ًما‬
َ ‫ص ُه ْم َعلَْي‬
ْ‫ص‬
ِ َ ‫ورساًل قَ ْد قَصصنَاهم علَي‬
ُ ‫ك م ْن َقْب ُل َو ُر ُساًل مَلْ َن ْق‬ َْ ُْ ْ َ ُ َُ

“Dan ada beberapa Rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu
sebelumnya dan ada beberapa Rasul lain yang tidak Kami kisahkan
mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung”
Al-Zamakhshari memberikan penafsiran sebagai berikut:

‫وجرح اللّه موسى بأظفار احملن وخمالب الفنت‬


ّ ‫ وأن معناه‬، ‫ومن بدع التفاسري أنه من الكلم‬

“Salah satu penafsiran yang aneh dari kelompokku adalah bahwa makna
ayat tersebut bahwa Allah melukai Nabi Musa melalui berbagai macam
cobaan dan ujian (Zamakhshari, 1407: (1), 590).”
Munculnya penafsiran tersebut lebih disebabkan karena subjektivitas
dan fanatisme yang berlebihan terhadap Muktazilah yang tidak meyakini
adanya sifat-sifat bagi Allah. Atas dasar itu, kemudian si penafsir
memalingkan makna asal kata kallama (berbicara) menjadi jarraha
(melukai) (Ulinnuha Muhammad, 2019: 155). Dari deskripsi penafsiran di
atas, terlihat jelas bahwa pemaknaan ayat disesuaikan dengan kepentingan
idelogi kelompok yang dianutnya.11
2. Corak fiqh
Corak fikih merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang
mufassir untuk memproduksi hukum dari ayat-ayat Alquran yang
berkaitan dengan hukum yang lima. Mufassir al-Faqih berusaha untuk
membuat hukum ‘amaliyyah yang pada umumnya bersifat global. Dia
menggunakan hadist sebagai alat bantu untuk memproduksi hukum
‘amaliyyah selain ayat-ayat Alquran yang sesuai dengan maksud si
penafsir juga berdasarkan kaidah dan ushul (Iyazi Ali:(1), 116-117).
Bagi generasi ini, pendapat imam dan tokoh besar dalam madzhab
fikih, seringkali menjadi pijakan penafsiran teks Al-quran yang seolah-
olah tidak pernah salah, bahkan diposisikan setara dengan posisi teks itu

11
Muhamad Erpian Maulana. Corak Tafsir Periode Pertengahan. Bayani : Jurnal Studi Islam. Vol.
1, No. 2, September 2021. Journal Homepage:
https://ejournal.umbandung.ac.id/index.php/bayani

8
sendiri. Sebagai contoh, pendapat al-Jasas yang mengkritik pendapat
Imam as-Syafi’i. Berikut pendapatnya:
“Firman Allah SWT : faghsilu wujuhakum …dijadikan dalil untuk
membatalkan pendapat kelompok yang mewajibkan tertib dalam berwudu.
Sejatinya, seorang yang hendak berwudu boleh untuk mendahulukan
anggota tubuh lain tanpa harus berurutan, sesuai dengan keinginannya.
Pendapat ini merupakan pendapat kelompok kami, Imam Malik, Thauri,
Laith, dan al-Auza’i. Imam al-Sha’fii berpendapat bahwa tidak cukup bagi
seseorang yang hendak wudu membasuh kedua tangannya sebelum wajah,
dan juga tidak cukup membasuh kedua kaki sebelum membasuh kedua
tangannya. Menurut Imam al-Shafi’i, pendapat ini dari ijmak ulama salaf
dan para ahli fikih. Sedangkan dari sisi yang lain, diriwayatkan dari ‘Ali,
Abdullah dan Abu Hurairah; aku tidak begitu memperdulikan anggota
badan mana yang harus didahulukan, yang terpenting adalah aku
membasuhnya secara sempurna. Kami tidak menemukan satu pun riwayat
yang senada dengan pendapat Imam al-Sha’fii, baik dari ulama salaf
maupun khalaf (Al-Jasas, 1405 H: (3), 368).”
Dalam pandangan al-Jashas, Imam al-Shafi’i merupakan seorang ahli
fikih yang pemikirannya tidak bisa dijadikan suatu dalil. Bahkan, suatu
ijmak baru bisa disepakati kebenarannya jika tidak menyertakan Imam al-
Sya’fi (Al-Dhahabi Husein, 1990: (2), 326).
Sebagai contoh lain, apa yang disampaikan oleh al-Karakhi salah satu
pendukung madzhab Imam Abu Hanifah (Mustaqim Abdul, 2020). Berikut
beberapa pendapat yang disampaikan oleh al-Karakhi:
“Batasan minimal jahr adalah dapat didengar olehnya dan orang di
sekitarnya, dan tidak ada ukuran pasti untuk batasan maksimalnya.”
Pendapat ini disampaikan juga oleh pengikut Hanafi diantaranya oleh al-
Karakhi dan Abu Bakr al-Balkhi (Wizarah al-Auqaf, 1404 H: (16), 180).
Al-Karakhi menyatakan bahwa setiap ayat atau hadis yang berbeda dengan
golongan kami, maka pendapat itu ditangguhkan atau dihapus (Sabiq
Sayyid, 1977: (1), 13)”. Dari pernyataan al-Karakhi di atas menunjukan
bahwa sikap fanatisme mewarnai dialog pemikiran pada periode tersebut.

9
Sikap intoleran ditunjukan olehnya dengan menyatakan bahwa pendapat
yang tidak senada dengan kelompoknya adalah ditangguhkan bahkan
dihapus.
3. Corak falsafi
Salah satu tokohnya adalah Al-Farabi.
Tafsir Falsafi adalah penafsiran Alquran berdasarkan pendekatan
logika atau pemikiran filsafat yang liberal dan radikal (Izzan Ahmad,
2014: 201). Dalam kitabnya al-tafsir wa al-mufassirun, Al-Dhahabi
mengutip penafsiran al-Farabi. Dia menulis sebagai berikut:

‫والظاهر والباطن َلوجود اكمل من وجوده فً ل خفاء به من نقص الوجود فهو يف ذاته‬

‫ظاهر ولشدة ظهوره باطن وبه يظهر كل ظاهر كالشمس تظهر كل خفي وتستبطن َل‬

‫عن خفاء هو باطن َلنه شديد الظهور غلب ظهوره على اَلدراك فخفي وهو ظاهر من‬

‫حيث ان اَلثار تنسب اىل صفاته وجتب عن ذاته فتصدق هبا‬

“wa al-zahir wa al-batin, maksudnya adalah tidak ada satu wujud pun
yang lebih absolut dari pada wujud Allah. Allah tidak samar sekali, karena
tidak absolutnya wujud Allah. Allah itu sangat nampak pada zat-Nya.
Karena Allah SWT. sangat nampak, maka Allah itu batin. Karena Allah,
menjadi nampak semua yang nampak. Seperti matahari yang menampakan
segala sesuatu yang tidak terlihat namun dia sendiri tidak terlihat. Allah itu
tersembunyi, karena Allah sangat nampak. Nampaknya Allah
mengalahkan penglihatan, sehingga Allah menjadi samar, Padahal Allah
itu nampak, dari segi semua makhluk dinisbatkan kepada sifat-sifat Allah.
Menjadi wajib adanya Allah dan membenarkan adanya sifat-sifat Allah
(Al-Dhahabi Husein, 1990: (2), 310).”

Al-Dhahabi menyatakan bahwa al-Farabi adalah filsuf islam, yang


pemikirannya dipengaruhi oleh beberapa filsuf, salah satu diantaranya
adalah Plato (Al-Dhahabi Husein, 1990: (2), 310). Dalam periode ini pula,
terjadi perdebatan antara akademisi ilmu bawaan umat islam dengan
akademisi ilmu filsafat. Contoh paling populer adalah perdebatan yang

10
terjadi di hadapan Wazir al-Fadl Ibnu Ja’far Ibn Furat tahun 326 H, antara
Abu Sa’id al-Sirafi ahli gramatikal bahasa Arab dengan ahli logika
Yunani, Abu Bishr Matta’ Yunus al-Mantiqi.

Kata al-Shirafi, logika itu disusun oleh orang Yunani berdasarkan


bahasa dan istilah mereka sendiri, sehingga itu hanya berlaku untuk orang
Yunani sendiri. Demikian pula dengan logika yang ditekuni Matta’, ia
merupakan gramatika bahasa Yunani. Kalau begitu, kata al-Shirafi, nahwu
yang merupakan notabene bahasa Arab juga merupakan logika (Mustaqim
Abdul, 2020: 43). Dari sini, dapat dilihat bahwa pada masa periode
pertengahan selain ditemukan penafsiran yang berwarna filsafat, juga
terjadi dialog dengan kelompok yang basis keilmuannya berbeda.

4. Corak i’tiqadi atau teologi


Corak Teologi adalah salah satu bentuk penafsiran Alquran yang tidak
hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh
ia merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang
sebuah aliran telogis (Izzan Ahmad, 2014 : 204).
Dalam menafsirkan QS. Al-‘Araf: 178, al-Qadi Abdul Jabbar menulis
sebagai berikut:
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk: dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka merekalah
orang-orang yang merugi. Bukankah itu menunjukkan bahwa manusia
dapat menciptakan hidayah dan kesesatan (Al-Qadi Abdul Jabbar: 153).”
Terkait penafsiran di atas, al-Dhahabi memberikan komentar:
“Tidak diragukan bahwa al-Qadi Abdul Jabbar tidak menolak terhadap
penafsiran yang menyimpang ini, karena sejatinya dia dan semua penganut
Mu’tazilah beranggapan bahwa Allah tidak menciptakan petunjuk dan
juga kesesatan. ( Al-Qadi Al-Jabbar : 153 ).”
Menurut mereka, keduanya merupakan salah satu perbuatan yang
diciptakan manusia. Ini merupakan keyakinan yang rusak. Pemikiran ini
bertolak belakang dengan firman Allah bahwa Allah menciptakan segala
sesuatu (al-Dhahabi Husein, 1986: 51-52). Dari penjelasan di atas, dapat

11
dilihat bahwa Mutazilah mengedepankan pemahamannya juga sekaligus
membantah pemahaman yang bersebrangan dengan mereka. seperti
akidah, hukum, dan moral. Salah satu tokohnya adalah Imam Al-Qadhi
Abdul Jabar dalam kitab tafsirnya Tafasir Al-Mu’tazilah
5. Corak sufistik
Salah satu tokohnya adalah Abduh Karim Ibu Hawazan Ibnu Malik
Ibnu Thalhah Ibnu Muhammad Al-Qusyairi. Corak sufistik adalah
kecenderungan penafsiran yang dimiliki oleh seorang sufi berdasarkan
perasaan emosionalnya, setelah menenggelamkan diri dalam al-Riyadah
al-Ruhhiyah. Jika makna zahir ayat menguatkan pendapatnya, maka
seorang sufi akan mengambilnya. Sebaliknya jika makna zahirnya
berlainan, maka ia akan meninggalkan makna zahir tersebut (Iyazi Ali: (1),
82- 83).
Ada yang mengatakan bahwa corak ini hanyalah sebagai pembenaran
sufi terhadap pemikirannya, lalu ia sebarkan dalam kitab tafsirnya. Tidak
mungkin dapat diterima penafsirannya, jika tidak sesuai dengan kaidah
bahasa dan konteks. Juga tidak diperkuat oleh naql yang sahih. Penafsiran
dengan warna seperti ini hanya menggunakan pengalaman pribadi sebagai
penafsir (Iyazi Ali: (1), 83).
Berikut contoh legitimasi penafsiran corak sufi:
“Man adalah isim syarat, dhalla berasal dari kata al-dhull yang berarti
tunduk, dhi adalah isyarat kepada hawa nafsu, yashfa berasal dari kata al-
shifa ia merupakan jawab syarat yang berarti sembuh, ‘u adalah fiil amar
dari kata al-wa’yu yang berarti kesadaran (Suyuti Jalaluddin: (4), 224)”
Berdasarkan penggalan kata demi kata tersebut, maka ayat di atas
dipahami oleh sebagian sufi bahwa “barangsiapa yang menundukan hawa
nafsunya, maka dia berhak mendapatkan syafaat dari Allah atas
kesembuhan dan kesadaran jiwa.” Tentu pemahaman seperti ini jauh dari
konteks dan kaidah bahasa Arab yang berlaku. Fayed mensinyalir
penafsiran tersebut muncul karena kejahilan mereka terhadap kaidah
bahasa dan sastra Arab (Ulinnuha Muhammad, 2019: 156-157).

12
Pernyataan di atas menunjukan bahwa ayat Alquran benar-benar
‘dibongkar pasang’ sesuai selera demi membenarkan gagasan si penafsir.

6. Corak ilmi
Salah satu tokohnya adalah Al-Razi. 12

Contoh penafsirannya dapat dilihat ketika Al-Qurthubi menafsirkan lafadz


“Alhamdulillah”.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Fatihah. Disebutkan oleh Al-Qurthubi, sebenarnya
seluruh Imam qira’at yang tujuh secara ijma’ setuju bahwa lafadz
“Alhamdulillah” dibaca demikian. Namun, beberapa riwayat ada yang
menyebutkan bacaan yang berbeda dari bacaan imam-imam qira’at tersebut,
diantaranya, “Alhamdulillah, yakni merofa’kan huruf dal dalam kata ( ‫) الحمد‬.
Adapun maknanya jika dibaca demikian, Al-Qurthubi menukil pendapat Imam
Sibawaih, menurutnya maknanya seperti seseorang yang mengatakan “Aku
memuji Allah dengan sebenar-benarnya pujian”. “Alhamdalillah, yakni
menasobkan huruf dal dalam kata ( ‫) الحمد‬. Model bacaan ini diriwayatkan
oleh Sufyan bin ‘Uyainah dan Ru’bah bin Al-A’jaaz. Adapun maknanya jika
dibaca demikian, Al-Qurthubi juga menukil pendapat Imam Sibawaih,
menurutnya maknanya sama saja dengan bacaan Alhamdulillah. Hanya saja
ada perbedaanya, yakni bacaan Alhamdulillah itu menunjukkan bahwa pujian
itu dari orang yang memuji diikuti seluruh makhluk Allah. Sedangkan
Alhamdalillah, hanya menunjukkan orang yang memuji saja.
“Alhamdulullah, yakni merofa’kan huruf dal dalam kata ( ‫ ) الحمد‬dan dalam
huruf lam dalam kata bacaan ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Abalah,
menurutnya dibaca demikian karena bacaan lafadz kedua mengikuti bacaan
lafadz pertama untuk menunjukkan tajanas lafadz (menyamakan bacaan
lafadz).

12
Huda., N. N. Analisis Sistematis Corak-Corak Tafsir Periode Pertengahan antara Masa Klasik dan
Modern-Kontemporer. UIN Guung Djati. Bandung. Hlm 145-147

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah masa tabiin berlalu yang menumbuhkan terbentuknya tiga aliran
tafsir, masuklah kedalam masa tabiut-tabiin. Periode pertengahan dibagi
menjadi tiga periode, yaitu: tahun 1250-1500 Masehi, tahun 1500-1700, 1700-
1800 Masehi.
Karakteristik penafsiran Al-Qur’an pada masa ini bersifat afirmatif
(penguatan dan penegasan paham), konservatif (pelestarian paham), sektarian
(terkungkung dalam suatu paham tertentu), dan ideologis (mengusung paham
tertentu).
Salah satu hal penting yang perlu diperhatiakan dalam menjelaskan tokoh-
tokoh tafsir pada priode pertengahan ini adalah sebelum para mufasir memulai
aktifitas penafsirannya terlebih dahulu mereka telah menekuni suatu disiplin
ilmu tertentu secara khusus disamping keterhubungan erat mereka dengan
paham atau madzhab tertentu.
Pada periode pertengahan, terjadi perkembangan keilmuan. Pada masa ini
muncul berbagai macam corak penafsiran sesuai dengan keahlian mufassir
tersebut. Misalnya, jika seorang mufassir ahli dalam bahasa, maka dia akan
menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan analisa kebahasaan, atau corak
lughawi. Atau jika dia ahli dalam bidang sains, maka akan menggunakan
corak ilmi. Akan tetapi, hal tersebut bukan menjadi satu hal pemahaman
bahwa mufassir hanya memiliki satu keahlian ilmu saja, karena dalam
menafsirkan Al-Qur’an dibutuhkan banyak keilmuan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Suaidah., I. 2021. Sejarah Perkembangan Tafsir-History of Tafsir


Development. Al-Asma: Journal of Islamic Education. Makassar

Affani., Syukron. 2019. Tafsir Al-Qur’an dalam Sejarah Perkembangannya.


Kencana. Jakarta

Huda., N. N. Analisis Sistematis Corak-Corak Tafsir Periode Pertengahan


antara Masa Klasik dan Modern-Kontemporer. UIN Guung Djati. Bandung.

Kajian Tafsir di Indonesia

Muhamad Erpian Maulana. 2021. Corak Tafsir Periode Pertengahan. Bayani :


Jurnal Studi Islam. Vol. 1, No. 2.

15

Anda mungkin juga menyukai