Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH PENGENALAN TOKOH TAFSIR DAN

KITABNYA

TAFSIR AL-MANAR (RASYID RIDHA)

Dosen Pengampu :

Budi Setiawan, S.Ud., M.Ag

Disusun Oleh :

1. Fitri Raya Sari (202031011)


2. Ulfa Muallifah (202031029)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

STAI AL HIDAYAH BOGOR

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah ‫ﷻ‬, yang
telah memberikan dan melimpahkan rahmat, hidayat dan inayahnya kepada penulis
sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Mengingat kurangnya kemampuan dan keterbatasan penulis dalam


menyelesaikan makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat
terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Atas bimbingan
dan bantuan tersebut tiada yang dapat penulis ucapan salain ucapan terima kasih,
kepada :

1. Allah ‫ ﷻ‬yang telah memberikan nikmat, sehat dan segala keberkahan


yang bisa kita rasakan sampai saat ini.

2. Dosen Pembimbing.

Demikian penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga makalah ini dapat kita ambil
manfaatnya bersama, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Bogor, 17 Desember 2022

Penulis,

Raya & Ulfa

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
C. Tujuan Pembahasan .......................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 4

A. Biografi Singkat Rasyid Ridha.......................................................... 4


B. Metode, Corak Penafsiran dan Contoh Penafsiran ........................... 14
C. Perbedaan Penafsiran Muhammad Abduh Dengan Rasyid Ridha .... 21
D. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Al-Manar ..................................... 22

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 29

A. Kesimpulan ....................................................................................... 29
B. Saran.................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus menerus merosot,
terbelakang dan banyak negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan
asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Jamaluddin
Al- Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan Muslimin.
Muridnya yang pertama yang mengikuti jejaknya ialah Muhammad Abduh. Dia
yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia
menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan
membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban,
kehidupan serta apa yang bernama kemajuan.
Muhammad Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh yang mencatat dan
menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-Manar. Hal itu
sebagai langkah pertama. Langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah
penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama tafsir al-
Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan
perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran Qur’an
dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah
agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala
keadaan, waktu dan tempat.
Tafsir al-Manar yang berjumlah 12 jilid yang diterbitkan oleh Dar al- Manar
di Kairo pada tahun 1346H. Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad
Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar,
yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rasyid Ridha
dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Kemudian kitab ini lebih popular
dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan
periodik.
Al-Manar terbit pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17
Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk
menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya

1
dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad
Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata
mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab
sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.
Tafsir Al-Manar yang bernama Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim
memperkenalkan dirinya sebagai Kitab Tafsir satu-satunya yang menghimpun
riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan
hikmah syariah, serta Sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap
manusia, dan menjelaskan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh
manusia, di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya
dengan keadaan kaum Muslimin pada masa diterbitkannya yang berpaling dari
petunjuk itu, serta membandingkan dengan keadaan para salaf yang berpegang
teguh dengan tali hidayah itu.
Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari
istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam,
tetapi dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan). Tafsir al-Manar
pada dasarnya merupakan hasil karya 3 (tiga) orang Tokoh Islam, yaitu:
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Dalam makalah ini, kami membahas dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu
Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari Muhammad
Abduh bahwa gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu dicerna,
diterima dan diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an
dan dari Muhammad Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang
disampaikan sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.
Adapun pembahasan lebih menitik beratkan pada tokoh Tafsir Muhammad
Rasyid Ridha.

2
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Singkat Rasyid Ridha
2. Metode, Corak Penafsiran dan Contoh Penafsiran
3. Perbedaan Penafsiran Muhammad Abduh Dengan Rasyid Ridha
4. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Al-Manar
5. Penilaian Para Ulama Terhadap Tafsir Al-Manar

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Biografi Rasyid Ridha
2. Untuk Mengetahui Metode, Corak Penafsiran dan Contoh Penafsiran
3. Untuk Mengetahui Perbedaan Penafsiran Muhammad Abduh Dengan
Rasyid Ridha
4. Untuk Mengetahui Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Al-Manar
5. Untuk Mengetahui Penilaian Para Ulama Terhadap Tafsir Al-Manar

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Rasyid Ridha


1. Biografi Singkat dan Latar Pendidikan
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Rasyid Rida Ibn Ali
Muhammad Syamsuddin Ibn Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah. Lahir
pada tahun 1282 H/1865 Mdi Qalamun, sebuah wilayah dari pemerintahan
Tarablus Syam (satu wilayah yang kini meliputi Libanon, Palestina, dan
Suriah). Lebih spesifik Qalamun adalah sebuah desa yang terletak di pantai
Laut Tengah, sekitar tiga mil dari kota Libanon, yang waktu itu merupakan
bagian dari wilayah kerajaan Turki Utsmani.1 Perlu diketahui, waktu itu
masih merupakan Daulah Islamiyah besar dan menjadi salah satu
pemerintahan adikuasa di dunia.
Rasyid Rida berasal dari keluarga terhormat yang berhijrah dari Baghdad
yang kemudian menetap di Qalamaun. Rasyid Rida lahir tepatpada 18
Oktober 1865, di ssebuah daerah dengan tradisi Islam Sunni yang kuat. 2
Tempat tarekat-tarekat penting.3 Kondisi sosil kultural inilah yang kelak
juga akan berpengaruh pada dasar keagamaan seorang Rasyid Rida.
Gelar “Sayyid” diterima Rasyid Rida dari ayah dan ibunya. Keduanya
berasal dari keturunan al-Husayn, putra Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah,
Putri Rasulullah. Itulah sebabnya, ia juga kerap menyebut tokoh-tokoh ahl
al-bayt seperti Ali bin Abi Thalib, al-Husain, dan Ja’far al-Shadiq dengan
Jadduna (nenek moyang kami).4 Selain mungkin karena ayah Rasyîd Rida
bernama al-Sayyid Ali- Rida adalah seorang Sunni bermadzhab Syafi’i. 5

1 A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar (Cet. I: Jakarta: Penerbit Erlangga,

2006), h. 26.
2 Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh Muhammad Yasar, LC dan

Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h.1.
3 Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis diterjemahkan oleh Ade Alimah, dengan judul Sufi dan Anti-sufi,

(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h.146.


4 Fahd al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir, (Beirut: Mu’assasah al–Risalah, 1981

M) h.172.
5 Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih (Cet. I Riyadh: Jami’ah al-Imam

Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah, 1933), h. 18.

4
Rida kecil hidup di daerah dengan tradisi keislaman Sunni yang kuat.
Sejak usia tujuh tahun, ia dimasukkan orang tuanya ke madrasah tradisional
di Qalamun. Ia belajar di taman-taman Pendidikan yang disebut al-Kuttab.
Di sana ia belajar membaca Al-Quran, menulis, dan berhitung. Ia belajar
dari banyak guru. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rida kecil dikenal
memang rajin dan banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan
membaca, selain memang memiliki kecerdasan yang tinggi. Selesai di al-
Kuttab di desanya, Rida lalu dikirim orang tuanya ke Tripoli (Libanon)
untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah dan mengajarkan ilmu nahwu, Sharaf,
akidah, fiqih, berhitung, hingga ilmu bumi. Ia belajar itu semua
menggunakan Bahasa Turki, sebab madrasah tempat ia belajar adalah
sekolah yang sengaja dipersiapkan untuk mencetak para pegawai
pemerintah Turki Utsmani.6 Rasyîd Rida, oleh karena itu, setelah
mengetahui itu semua setahun kemudia memutuskan untuk pindah ke
sekolah Islam Negeri Madrasah Wathaniyah Islamiyah yang merupakan
sekolah terbaik waktu itu. Selain menggunakan bahasa Arab, sekolah ini
juga mengajarkan Rasyi Rida bahasa Turki dan Prancis.7
Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh
Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan
pemikiran Rida sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun
kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh Husain al-
Jisr pula, Rasyîd Rida kelak mendapat kesempatan untuk menulis di
beberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah
al-Manar.
Selain Syaikh Husain al-Jisr, Sayyid Muhammad Rasyîd Rida juga
belajar dari Syaikh Mahmud Nasybah, seorang ulama ahli hadits.8 Darinya,
Rida banyak belajar hadits, dan oleh karenanya ia kemudian digelari

6
Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid, (Kairo: al-Muassasah Mishiyyah al-
Ammah,t.th), h.19.
7
A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 25.
8
Lihat lebih lanjut mengenai Syekh Muhammad Nasabah dalam Nurjannah Ismail, Perempuan
dalam Pasungan (Cet. I: Yogyakarta: LKIS, 2013), h. 131.

5
Voltaire9-nya kaum muslim karena kedalaman ilmu hadisnya. Rasyîd Rida
juga belajar hadis dari Syaikh Abdul Gani ar-Rafi. Kepadanya, Rasyîd Rida
belajar sebagian dari kitab hadis Nailul Authar (sebuah kitab hadis yang
dikarang Asy-Syaukani, seorang ulama bermazhab Syiah Saidiyah).10
Rasyîd Rida adalah seorang pembelajar yang tekun. Ia selalu bisa
membagi waktunya antara ilmu dan ibadah. Ibunda Rasyîd Rida bahkan
sempat bercerta, “Sejak M. Rasyîd Rida dewasa, aku tidak pernah melihat
dia tidur. Sebab, ia tidur setelah kami tidur, dan terbangun sebelum kami
terbangun”.
Dia begitu tertarik dan terkesan kepada al-Urwah al-Wusqa.11 Dan tentu
saja menemui dua orang ulama itu adalah impian seorang Rasyîd Rida.
Nahas, ia tak sempat bertemu Jamaluddin al-Afgani. Sebab, tokoh besar
pada masanya ini lebih dulu wafat. Pasca wafatnya Jamaluddin al-Afgani,
pilihannya hanya tinggal satu, ia harus menemui gurunya, Muhammad
Abduh. Rasyîd Rida tak lama akhirnya berangkat ke Mesir pada 1879 M
untuk berusaha menemui Syaikh Muhammad Abduh. 12 Kelak pertemuan ini
akan tercatat sebagai salah satu awal dari lahirnya salah satu karya penting
dari keduanya, yakni Tafsir al-Manar.

9
Voltaire adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka agama dan
masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi Prancis tahun
1789 M. Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Cet.I:
Jakarta: PT Dunia Pustaka, 1978), h. 65.
10
Syi’ah Zaidiyah dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin yang merupakan
ayahandanya termasuk sosok yang cinta kepada para sahabat seperti Abu bakar, Umar dan
Utsman. Bahkan beliau menilai kalangan yang senantiasa mencaci maki para sahabat merupakan
kalangan yang melecehkan Islam dan bukan bagian dari Islam. Pemahaman ayahnya tersebut
rupanya diikuti oleh anaknya, Zaid bin Ali. Zaid bin Ali Zainal Abidin merupakan sosok yang ‘alim,
taqwa, pemberani, senatiasa berpegang kepada Alquran dan Sunnah. Tim Penulis MUI, Mengenal
dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia (Cet I: Depok: Gema Insani, 2013), h. 33-34. 1
11
Jemaah Al-‘Urwah al-Wutsqa adalah perkumpulan yang diketuai oleh Jamaluddin al-Afghani
dengan wakilnya, Muhammad Abduh. Perkumpulan ini dibentuk dengan tujuan membangkitkan
semangat perjuangan seluruh umat Islam dalam menentang ekspansi negara-negara barat ke
dunia Islam. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menerbitkan majalah yang juga diberi
nama Al‘Urwah al-Wutsqa. Penerbitan majalah ini mengoncangkan dunia Islam dan Barat, Majalah
ini dibinasakan oleh penguasa-penguasa Inggris di dunia Timur. Penyebarannya di Mesir dan India
dilarang. Penyebaran ini hanya mungkin dilakukan dengan mengirimkannya secara gelap kepada
pihak-pihak yang berminat. Namun, larangan publikasi ini membuat majalah tersebut hanya dapat
bertahan delapan bulan, dengan delapan belas kali penerbitan
12
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 45

6
Selain itu, pertemuan antara keduanya juga akan menjadi pertemuan
murid dan guru. Hubungan Sayyid Muhammad Rasyîd Rida dan
Muhammad Abduh, bermula dari interaksi Sayyid Muhammad Rasyîd Rida
dengan majalah Al-‘Urwah Al-Wusqa’, majalah yang diterbitkan oleh
Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris. Tulisan-tulisan
kedua pembaharu tersebut memberi pengaruh besar kepada Sayyid
Muhammad Rasyîd Rida, sehingga mampu mengubahnya dari seorang
pemuda sufi menjadi menjadi pemuda yang penuh semangat. 13
Setelah keberangkatannya ke Mesir pada 1979 M., Rasyid Rida akhirnya
bertemu dengan Muhammad Abduh pada 1898 M. (Rajab 1315 H.), hampir
dua puluh tahun sejak kepergiannya. Kepada Muhammad Abduh, Rasyîd
Rida memberikan saran agar ia menulis tafsir Al-Quran dengan metode
yang sama yang ia gunakan dalam penulisan majalah al-‘Urwah al-Wustqa.
Usai dua ulama itu berdialog, Muhammad Abduh akhirnya bersedia
memberi kuliah tafsir di Jami’ al-Azhar kepada murid-muridnya.14
Pasca wafatnya Muhammad Abduh, Sayyid Muhammad Rasyid Rida
sempat kembali ke Damaskus pada 1908 M., sebelum akhirnya kembali ke
Mesir, lalu mendirikan Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad. Ia juga pernah
pergi ke Suriah dan menjadi ketua Muktamar Suriah. Namun pada 1920 M.,
Rasyîd Rida kembali ke Mesir. Beberapa tempat lain yang pernah ia
singgahi antara lain, India, Hijaz, dan Eropa, sebelum akhirnya menetap di
Mesir hingga wafat tepat pada usia 70 tahun pada Kamis, 23 Jumadil ‘Ula
1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. dan dimakamkan di
Kairo.15

2. Pemikiran Rasyid Ridha


Sayyid Muhammad Rasyîd Ridha sangat terpengaruh Ihya Ulum al-Din.
Kitab karangan Imam al-Ghazali itu sangat membantu membentuk
pandangan Rasyîd Rida, bukan hanya soal keimanan dan ketauhidan, tapi

13
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 46.
14
A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 2
15
Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2009),

7
juga agar setiap orang mampu menyadari konsekuensi dari setiap
tindakannya. Kitab tersebut bahkan dapat memancing Rasyîd Rida untuk
memebacanya berulang kali, hingga membentuk kepribadiannya. 16 Selama
dalam pengaruh al-Ghazali itulah, Rasyîd Rida mengikuti tarekat
Naqsyabandiyyah, mengamalkan ajaran-ajarannya, dan melaksanakan
latihan-latihan ‘uzlah yang sangat berat.
Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani hidup sufi, Rasyîd
Rida menyadari bahwa ada begitu banyak praktik bidah dan khurafat dalam
ajaran laku hidup banyak orang dalam ajaran tersebut. Dan ia memutuskan
untuk meninggalkannya. Meski begitu, minat Rasyîd Rida pada laku tarekat
bukan sebatas pada mempelajari dan mengamalkannya secara pribadi.
Setelah ia sadar begitu banyak prilaku menyimpang dari orang-orang yang
mengamalkan laku sufi, Rasyîd Rida juga membantu masyarakat agar bisa
mengikuti jalannya, dengan membuka pengajian-pengajian, menebang
pohon-pohon yang menjadi sumber bidah dan khurafat, dan melarang
masyarakat untuk mencuri berkah dari kuburan-kuburan para wali dan
ulama-ulama.17
Perubahan pandangan Rasyîd Rida selama mengamalkan laku tarekat
muncul setelah ia juga tekun mempelajari kitab-kitab hadits. Perubahan itu
terutama muncul setelah ia terpengaruh oleh pandangan Syaikh Jalam al-
Din al-Afgani dan Muhammad Abduh dalam majalah al-‘Urwah al-Wutsqa.
Rida mempelajarinya sewaktu ia masih tinggal di Tripoli. Hingga ia
akhirnya berkeinginan untuk bertemu keduanya meski Jamal al-Din al-
Afgani telah lebih dulu wafat sebelum sempat ia temui.
Lama setelah ia banyak belajar dari Jamal al-Din al-Afgani dan
Muhammad Abduh, Rasyîd Rida mencoba menerapkan ide-ide
pembaharuan yang dipelajarinya. Namun usahanya mendapat penolakan
dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Utsmani. Rasyîd Rida akhirnya
memutuskan untuk pindah ke Mesir dan bisa menjumpai tokoh idolanya,
Muhammad Abduh.

16
Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid, h. 36.
17
Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih. h. 36-38

8
Di Mesir, Rasyîd Rida kelak bukan hanya menjadi murid Muhammad
Abduh, tapi juga menjadi orang yang melanjutkan konsep pemikiran kedua
pendahulunya. Selain tentu saja melahirkan karya besar yang banyak orang
hari ini mengenalnya sebagai kitab Tafsir al-Manar.
Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Sayyid Muhammad Rasyîd Rida
berupaya mengaitkan ajaran-ajaran Alquran dengan masyarakat dan
kehidupan serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan
abadi, yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia di segala waktu dan
tempat. Muhammad Rasyîd Rida memiliki visi bahwa umat Islam harus
menjadi umat yng merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat
yang maju” sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-
bangsa barat diberbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial,
ilmu pengetahuan dan teknologi. (Andi Mappiaswan, Skripsi, Pemikiran
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Pengembangan Islam, (Fakultas
Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar: 2015), h. 24.
Berikut adalah beberapa ide pembaharuan yang dipublikasikan Rasyîd
Rida:
1. Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan disebabkan
mereka tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Banyak
perilaku mereka yang menyimpang dari Islam. Misalnya, menurut
Rasyîd Rida, anggapan yang menyatakn bahwa dalam Islam terdapat
ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh
segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama,
kebahagian dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha
yang sesuai sunatullah. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 72)
2. Kemunduran umat Islam juga disebabkan budaya paham fatalis
(Jabbariyyah). Sebaliknya, salah satu sebab kemajuan bangsa Eropa
adalah kemampun untuk berpikir rasional dan keluar dari kejumudan
dalam beragama. Padahal, Islam sebenarnya berisi ajaran yang
mendorong umatnya untuk bersifat dinamis. Ajaran tersebut terkandung
dalam kata jihad, yang berarti berusaha keras dan bersungguh sungguh

9
dalam mencurahkan segenap pikiran, kekuatan, dan berkurban, baik
dengan harta benda maupun dengan jiwa raga.
3. Ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam. Dan sudah
sepantasnya umat Islam mendambakan kemajuan, dengan sungguh-
sungguh mempelajarinya. Kemajuan yang pernah dicapai umat Islam
pada zaman klasik salah satunya karena kemajuan mereka di bidang
ilmu pengtahuan. Namun, ilmu pengetahuan tersebut telah diabaikan
oleh umat Islam yang datang kemudian, dan sebaliknya dikembangkan
oleh bangsa barat. Akibatnya, Islam mengalami kemunduran sedangkan
barat mengalami kemajuan. Karena itu, jika umat Islam mempelajari
ilmu pengetahuan dari barat, mereka sebenarnya mempelajari kembali
ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki.
4. Islam itu sederhana, baik masalah ibadah maupun muamalah. Ibadah
terlihat ruwet, karena hal-hal yang sunah dan tidak wajib dijadikan hal-
hal yang wajib. Hukum-hukum fiqih yang berkenaan dengan
kemasyarakatan meski didasarkan pada Alquran dan hadis, tidak boleh
dianggap absolut dan tidak dapat diubah. Hukum-hukum itu ditetapkan
sesuai kondisi suatu struktur sosial masyarakat.
5. Kemunduran umat Islam dalam bidang ini disebabkan perpecahan. Oleh
karena itu, jika ingin maju maka umat Islam harus mewujudkan
persatuan dan kesatuan yang bukan hanya didasarkan pada bahasa, suku,
atau etnis, tapi juga pada keyakinan. Rasyîd Rida, oleh karenanya,
menyeru umat Islam agar bisa bersatu dalam satu keyakinan, sistem
moral, konsep pendidikan, yang tunduk pada sistem hukum di bawah
negara. Bukan konsep negara seperti di Barat, namun seperti pada al-
Khulafa ar-Rasyîd in. Dalam hal ini, Rasyîd Rida menganjurkan untuk
membentuk organisasi al-Jami’ah al-Islamiyah (persatuan umat Islam).
Dalam politik, keterlibatan Rasyîd Rida secara nyata juga terlihat. Ia
pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada 1920, menjadi delegasi
Palestina-Suriah di Jenewa pada 1921. Rasyîd Rida juga pernah menjadi
anggota Komite Politik di Kairo pada 1925, dan menghadiri Konferensi
Islam di Mekah pada 1926 dan Yerussalem pada 1931. (Muhammad

10
Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format
Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 87)

3. Karya dan Tafsir


Sayyid Muhammad Rasyîd Rida cukup menghasilkan banyak karya
semasa hidupnya, antara lain Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh
‘Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida’ Li Al-Jins
Al Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad
(Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad), Yusr Al-Islam
wa Usul At-Tasyri’ Al- ‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar
umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma
(Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-
Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid
An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad), dan Haquq Al-
Mar’ah As-Salihah (hakhak wanita Muslim).
Namun, di antara semua karya itu, Tafsir al-Manâr dikenal sebagai yang
paling fenomenal. Lengkapnya adalah Tafsir al-Qur’an al-Hakim.( Hasbi
Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran /Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h. 280.) Tafsir ini terdiri dari 12 jilid, dan ditulis hanya
sampai surah Yusuf ayat 53.( Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn:
Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr,
t.th), h. 664) Penulisan tafsir ini bermula dari kuliah tafsir Alquran yang
diberikan Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar, antara tahun 1899-
1905. Kuliah itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah catatan dan
diterbitkan dalam bentuk majalah al-Manâr yang kemudian dibukukan
dengan nama Tafsir alQur’an al-Hakim atau yang lebih populer Tafsir al-
Manâr. jilid 1-3 (sampai surat al-Nisâ’ ayat 125) merupakan penafsiran Al-
Quran berdasarkan catatan dari Muhammad ‘Abduh. Sedangkan jilid 4-12
(surat an-Nisa’ ayat 126 sampai dengan Yusuf ayat 110) adalah karya
Rashid Rida sendiri yang jiwa dan idenya disesuaikan dengan pendapat
gurunya. Oleh sebab itu, dalam menafsirkan Alquran, Rashid Rida banyak
mengikuti cara penafsiran Muhammad Abduh.

11
Majalah al-Manar mulai terbit pada 22 Syawal 1315 H/15 Maret 1989
M. Majalah ini terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam seminggu,
kemudian setengah bulan sekali, lalu sebulan sekali, bahkan kadang hanya
sembilan Edisi dalam setahun. Meski begitu, al-Manar masih bisa Rasyîd
Rida terbitkan hingga ia wafat 46 tahun kemudian (Rasyîd Rida wafat tepat
pada 22 Agustus 1935 M).
Secara mendetail tidak ada referensi atau penjelasan mengenai alasan
penulisan Tafsir al-Manar. Namun, beberapa pengamat menyebutkan
bahwa pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari gagasan
pemikiran dari tiga tokoh pembaharu dalam Islam yaitu Jamaluddin al-
Afgani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyîd Rida.
Meski mereka sepakat mengatakan bahwa penulis karya Tafsir al-Manar ini
adalah hasil tokoh yang ketiga. (4 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di
Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995),
Mulanya, Rasyîd Rida sempat mengusulkan agar Muhmmad Abduh
menulis kitab tafsir. Namun hingga usulan itu mendapat hingga tiga kali
penolakan oleh Muhammad Abduh, sekalipun ia menyadari pentingnya
penulis tafsir. Di samping itu, Muhammad Abduh juga memiliki alasan,
bahwa buku-buku tidak akan bermanfaat bagi orang-orang yang dibutakan
hatinya. Menurutnya, metode ceramah lebih efektif daripada penulisan.
(Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam. (Jakarta: PT
RajaGrafidoPersada, 2005), h. 2-3)
Dalam penafsirannya, Abduh tidak ingin terikat dengan pendapat
mufasir terdahulu, tetapi lebih cenderung mengombinasikan antara riwayat
sahih dan nalar rasional yang diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah
syariat serta eksistensi Alquran sebagai petunjuk manusia. (Muhammad
Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Kairo: t.p, 1954), h. 17.) Satu-
satunya kitab tafsir yang menjadi rujukan adalah Tafsîr Jalâlayn. Dalam hal
ini Rashid Rida berbeda dengan gurunya. Jika Abduh tidak banyak menukil
pendapat para mufassir terdahulu, Rida cenderung lebih akomodatif dan
banyak menukil banyak pendapat mufassir lain. Abduh mengkritik kita-
kitab tafsir yang terlalu banyak mengulas aspek bahasa dan perdebatan antar

12
kelompok yang justru akan mengesampingkan fungsi Alquran sebagai kitab
hidayah. (Dalhari, Jurnal, Karya Tafsir Modern di Timur Tengah Abad 19
dan 20 M, (Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis: 2013), Vol. 3, h. 68.)
Meski ditulis juga oleh Muhammmad Abduh, namun 12 jilid Tafsir al-
Manar lebih populer dinisbatkan pada Muhammad Rasyîd Rida. Sebab,
disamping lebih banyak yang ia tulis, pada bagian-bagian awal seperti pada
surah al-Fatihah, al-Baqarah, dan an-Nisa ditemui pula pendapat Rasyîd
Rida yang ditandai dalam kata ‫ )اقول‬saya berkata) sebelum uraian pendapat
(Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir (Jakarta:
BulanBintang, 1994), h. 34 ) meski dalam lima jilid pertama kitab ini ditulis
oleh gurunya, Muhammad Abduh dengan gagasan pembaharuannya.
Sitematikan penulisan al-Manar menggunakan metode penulisan
mushafi. Hal itu bisa dilihat, dari susunan penulisan yang dimulai dari surah
al-Fatihah dan berakhir di surah an-Nas, kemudian dilanjutkan dengan
penjelasan ayat per ayat. Penjelasan dalam kitab ini disertai dengan asbab
an-Nuzul, dan menjelaskan keutamaan pada setiap ayat.
Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan gaya menakjubkan
dan mengesankan, yang mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas,
juga mengilustrasikan banyak problematika sosial dan menuntaskannya
dengan perspektif Al-Quran. Tafsîr al-Manâr adalah salah satu kitab tafsir
yang banyak berbicara tentang sastra budaya dan kemasyarakatan (Adabul
Ijtima’). Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat
Al-Quran pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun
kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan
pada tujuan utama turunnya Al-Quran, yakni memberikan petunjuk bagi
kehidupan manusia (Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa
Manhajuhum, (Teheran: Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr, t.th), h. 669.)
dan merangkaikan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.

13
B. Metode, Corak Penafsiran dan Contoh Penafsiran
1. Metode Penafsiran
Dalam menyusun tafsir al-Manar, Rasyîd Rida menggunakan metode
penulisan tahlili (analisis). Hal itu terlihat dalam dari pola susunan
penafsirannya yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah
an-Nas sesuai susunan surah-surah dalam mushaf Utsmani.
Dengan metode penulisan ini Muhammad Abduh hendak menyoroti
ayat-ayat Al-Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan
makna yang relevan dari setiap bagian ayat. Pemaparan itu diperkuat Rida
dengan pendekatan kebahasaan dan sastra, sehingga lebih memperdalam
analisis. Abduh dan Rida juga membatasi pengambilan riwayat-riwayat
yang tidak memiliki bukti kesahihannya. (Syibromalisi, Faizah Ali dan
Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, Maret, 2012), h. 96.)
Sementara dari segi sumber penafsiran, Rasyîd Rida bisa dikatakan
mengolaborasikan antara sumber penafsiran bi al-ma’tsur (riwayat) dan bil
Ra’yi (logika). Hal itu terlihat dari bagaimana ia menjadikan ayat-ayat Al-
Quran sebagai sumber utama penafsirannya. Apalagi jika kandungan ayat
yang ditafsirkan itu berkaitan atau dirinci oleh ayat-ayat lainnya.
(Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h.) Rasyîd Rida menjadikan hadits Nabi, sebagai sumber kedua,
dengan ketentuan hadits-hadiths tersebut memiliki kulitas shahih menurut
standar ilmu hadits.
2. Corak Penafsiran
Untuk corak, setidaknya ada dua corak yang terlihat dalam model
penafsiran Rasyîd Rida, yakni corak al-Hida’i di mana dalam corak ini
dilatarbelakangi oleh pemikiran yang menjadikan hidayah atau akhlak Al-
Quran sebagai pusat dari usaha penafsiran terhadap Al-Quran. Hidayah Al-
Quran menjadi perhatian utama Rasyîd Rida dalam menafsirkan Al-uran.
Selain al-Hida’I coriak lain yang begitu terlihat yakni corak’ ilmi. Dalam
corak ini, ada kecenderungan Rasyîd Rida dan Muhammad Abduh berupaya

14
agar Al-Quran memiliki relevansi dengan ilmu pengetahuan. Faizah Ali
Syibromalisi dan Jauhar Azizy, dalam bukunya Membahas Kitab Tafsir
Klasik Modern (Jakarta, 2012), menjelaskan upaya Rasyîd Rida ini
dilakukan agar masyarakat dapat memahami pesan-pesan yang terkandung
dalam Al-Quran dalam menjawab tantangan dalam kehidupan sosial sehari-
hari.
Adapun yang membedakan Kitab Tafsir al-Manar dengan kitab tafsir
sebelumnya adalah terletak pada gaya analisisnya yang menitik beratkan
pada aspek ketelitian redaksinya, adapun penelitian terhadap Kitab Tafsir
al-Manar yang dilakukan oleh Syihathah, menemukan bahwa prinsip-
prinsip penafsiran al-Manar adalah :
a. Kesatuan utuh seluruh surst-surat al-Qur’an
b. Kesatuan tema dalam satu surat
c. Bertopang pada kemampuan akal
d. Tidak banyak penafsiran dengan atsar
e. Berhati-hati dengan cerita-cerita israiliyyat
f. Al-Qur’an adalah sumber utama bagi hukum
g. Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum
h. Menghindari pembicaraan panjang lebar

3. Contoh Penafsiran
Contoh Penafsiran bercorak Al-Adabiywa Ijtima’i adalah dalam QS.
An-Nisa ayat 36 :

ِ ْ ‫اًن َّوبِ ِذى الْ ُقرهب والْيَـم ههىو والْى هس ِي‬ ِ


‫ن‬ َ َ َ ْ ًٔ ‫اّللَ َوََل تُ ْش ِرُك ْوا بِهٖ َشْيـًٔا َّوِِبلْ َوالِ َديْ ِن ا ْح َس‬ ٰ‫۞ َو ْاعبُ ُدوا ه‬
ْۢ
‫ت اَْيَانُ ُي ْم ۗ اِ َّن َٰه‬
‫اّلل‬ ‫ي‬
َ ‫ل‬
َ ‫م‬ ‫ا‬‫م‬ ‫و‬ ِِۙ ‫ب واب ِن السبِي‬
ْ َ َ َ ْ َّ ْ َ َْ‫ب ِِب ْْل‬
‫ل‬ ِ ‫ن‬ ِ ‫اح‬ ِ ‫الص‬
َّ ‫ب َو‬ ْ ‫اْلَا ِر ِذى الْ ُق ْرهب َو‬
ِ ُ‫اْلَا ِر ا ْْلُن‬ ْ ‫َو‬
ِۙ
ُّ ‫ََل ُُِي‬
٦٣ ‫ب َم ْن َكا َن ُمُْمَ ًٔاَل فَ ُخ ْؤًرا‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat,
anak-anak ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh,

15
teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat
membanggakan diri.”
Setelah Allah  memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan
menunaikan hak-Nya, Allah  memerintahkan untuk menunaikan hak-hak
hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan
seterusnya.
Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh
hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim,
mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah  bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.”
(HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus .

Berdasarkan contoh lain dalam (QS.Al-Lail ayat 15-17)

٥١ ‫ َو َسيُ َجنَّـبُـ َها ْاَلَتْـ َق ِۙو‬٥٣ ‫ب َوتَـ َو هٰ ّۗل‬ ِ ِۙ ِ


َ ‫ الَّذ ْي َك َّذ‬٥١ ‫ص هل َىهآ اََّل ْاَلَ ْش َقو‬
ْ َ‫ََل ي‬

“Tidak masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang


mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).Akan dijauhkan
darinya (neraka) orang yang paling bertakwa.”

Kata al-asyqa dan al-atqa artinya celaka dan taqwa oleh Abduh
dikembangkan. Menurut Abduh siapapun yang mempunyai amalan yang
mendatangkan dosa, sekalipun orang yang melakukan berpredikat mukmin
dihukumi celaka. Sebaliknya kata al Atqa tidak hanya ditujukan kepada Abu
Bakar (mertua dan sahabat Nabi), tetapi Abduh berani menafsirkan al-
Atqa juga berlaku untuk kalangan umum.

Menurut tafsir klasik, yang dimaksud “orang-orang yang paling celaka”


tersebut adalah Abu Jahal dan Umayyah ibn Khalaf, sedangkan “orang yang
paling takwa” adalah Abu Bakar. Menurut Abduh kandungan ketiga ayat
tersebut bukan lah dimaksudkan untuk Abu Bakar atau Abu Jahal saja, tapi

16
siapa pun manusia yang memenuhi kriteria sebagai orang yang paling
celaka dan paling taqwa bisa ditujukan oleh ketiga ayat tersebut.

Prinsip itulah yang digunakan oleh Abduh bahwa Al-Quran benar-benar


berfungsi sebagai petunjuk, misi kemanusiaan universal dan berlaku abadi.
Al-Quran mengandung formula untuk mengatasi penyakit fenomena yang
terjadi ditengah-tengah masyarakat. Al- Quran juga merupakan rahmat bagi
manusia. Tetapi bukan berarti Abduh memperlakukan ayat-ayat secara
umum. Abduh tetap berpegang pada Qarinah yang memang menunjukkan
kekhususan ayat.

Penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya


mefokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan
makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman
sekarang, sehingga al-Quran bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang
memiliki sastra tinggi, namun al-Quran dapat berfungsi sebagaimana fungsi
utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk dalam
hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi
ijtimai dengan yang lainnya.

Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz Amma oleh


Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil ayat 3-4.

‫يل تَـ ْرِمي ِه ْم ِِِب َج َارة ِم ْن ِس ِٰجيل‬ِ ِ


َ ‫َوأ َْر َس َل َعلَْيه ْم طًَْْٔيا أ ََِبب‬
“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-
bondong yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang
terbakar”.

Kata ‫أِببيل‬ ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang

masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. Sedangkan yang

dimaksud dengan ‫طْيا‬ ialah hewan yang terbang di langit, baik yang

bertubuh kecil ataupun besar, tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak18.

18
Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej. Muhammad Bagir (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 320

17
“yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang

membatu”. Kata ‫ سجيل‬berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan


bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.19
Di dalam tafsir tersebut, Abduh menjelaskan bahwa lafadh ‫ طْيا‬tersebut

merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit
tertentu. Dan bahwa lafadz ‫ ِبجارة‬itu berasal dari tanah kering yang

bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki


binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh
seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan
menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh
serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat
soaial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan
ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang
dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan
adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-
hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
Berbeda halnya dengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh
beberapa ulama eraklasik ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya
penafsiran dalam Tafsir al-Qurthubi dengan corak fiqhinya, yang hanya
menafsirinya dengan memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni hanya
membahas mengenai segi kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya
pada riwayat-riwayat dari beberapa sahabat. Tanpa memaknainya dengan
mengkaitkan kehidupan sosial atau pengetahuan yang ada ketika itu dalam
masyarakat. Beliau lebih mencantumkan mengenai perbedaan dari beberapa
sahabat dengan pengertian bahwa lafadz ‫ طْيا‬berarti burung yang lebih mirip

dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana yang


diriwayatkaAisyah bahwa lafadh tersebut bermakna burung khudlur (riway

19
Ibid hlm 322

18
at Said bin Jubair), dan sebagainya. Sedangkan mengenai
lafadz ‫ بحجارة‬dalam tafsir tersebut ditafsiri dengan batu yang terbuat dari
tanah liat, yang dibakar di atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan
nama setiap orang yang berh akatasnya.20
Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam corak adabi
ijtimai mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam
penafsirannya.Yakni bahwa corak tafsir tersebut berkaitan dengan
kehidupan sosial dan perkembangan pengetahuan yang berkembang pada
masa modern.
Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan
para ahli tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an itu terus mengalami
peningkatan disebabkan minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura
balaghah tentang sinonimitas kata dalam al-Qur’an.
Hal itu sebagaimana dalam firman Allah dalam ( QS al-Baqarah ayat
143) yang berbunyi :

‫وف َرِح ٌيم‬ ِ ‫اّللَ ِِبلن‬


ٌ ُ‫َّاس لََرء‬ َّ ‫إِ َّن‬
“sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha pengasih serta
penyayang kepada semua manusia”.
Maka yang harus digaris bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh
yang menunjukkan pada dua makna yang sangat berdekatan ini adalah
menggambarkan tartib (susunan) makna yang ditunjukkan kedua lafazh
tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu memiliki
makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli
Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari
makna yang lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna
ila al-a’la).
Serta pertayaan yang terkait dengan keyakinan: Apakah para nabi itu
lebih mulia derajatnya daripada derajat para malaikat? Maka golongan
Mu’tazilah dan sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi

20
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej.DudiRosyadidanFaturrahman (Jakarta: PustakaAzzam,
2009), hal. 755-760

19
menyatakan bahwa para malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan
mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para nabi itulah yang
memiliki derajat yang lebih utama daripada malaikat. Telah terjadi
perdebatan sengit seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan
ayat 172 surat an-Nisa yang berbunyi:

‫ف َع ْن ِعبَ َادتِِه‬ ِِ
ْ ‫يح أَ ْن يَ ُيو َن َعْب ًٔدا َّّلل َوَل الْ َىالئِ َيةُ الْ ُى َقَّربُو َن َوَم ْن يَ ْسمَـنْ ِي‬ ِ ِ
ُ ‫ف الْ َىس‬
َ ‫لَ ْن يَ ْسمَـنْي‬
َِ ‫ويسمَ ْيِِب فَسيح ُشرهم إِلَي ِه‬
‫َج ًٔيعا‬ ْ ْ ُُ ْ ََ ْ ْ ََ
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak
(pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa
yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah
akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.
Pada ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa menurut tartib
ayat. Jelaslah, bahwa (QS al-Baqarah ayat 143) tidak menganut kaidah
tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu menunjukkan pada
makna “kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna
yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya.
Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab) itu
tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan
makna yang lebih karena adanya pemisah.21

4. Ciri-ciri Penafsiran Muhammad Rasyid Rida


Bahwa pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh.
Persamaannya yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi

21
Ignaz Goldziher,mazhab hal 422

20
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat

C. Perbedaan Penafsiran Muhammad Abduh Dengan Rasyid Ridha


Rasyid Ridha dalam penafsiranya memiliki sekian banyak perbedaan
dengan Syaikh Muhammad Abduh. Dibawah ini akan dikemukakan perbedaan-
perbedaan penafsiran kedua tokoh diatas, diantara perbedaanya adalah sebagai
berikut:
1. Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan
hadis-hadis Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.
Dalam menafsirkan al-Quran, ridha banyak sekali memaparkan hadis-hadis
nabi, riwayat para sahabat dan tabi’in, yang dinilainya shohih. Penilaianya
lebih ketat dari sekian banyak tokoh tafsir dan hadis, dan penilaian tersebut
tidak hanya terbatas pada isi kandungan riwayat,tetapi juga sisi transmisi
periwayatya.
2. Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang
dibutuhkan masyarakat berupa bidang hukum, bidang perbandingan agama,
bidang sunnatullah, perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Keluasan tentang penafsiran ayat dengan ayat.
Salah satu pengaruh tafsir ibnu katsir terhadap Muhammad Rasyid adalah
usahanya mengikuti jejak Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Quran dengan ayat-ayat lainya, suatu cara penafsiran yang dinilai oleh
ulama paling tepat untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.
4. Keluasan pembahasan kosa-kata dan ketellitian susunan redaksi
Dalam banyak ayat, Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-
pengertian yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang
berbeda dengan redaksi ayat yang lain yang juga berbicara tentang
persoalan yang sama.22

D. Kelebihan dan Kekurangan


Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan
dirinya sebagai ”Kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat

22
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar...Hlm. 93-108.

21
yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah
syariah serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan
menjelaskan fungsi al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap
waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan
kaum Muslim dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari
petunjuk itu.” Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha
menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh
orang awam, tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus
(cendikiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam Syaikh Muhammad
Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.
Didalam literatur yang penulis baca belum ada yang membahas tentang
kelemahan dan kelebihan tafsir al-Manar. Akan tetapi dalam makalah ini
pemakalah akan sedikit menjelasan kelebihan dan kekurangan tafsir al-Manar
sesuai dengan pemahaman dari buku yang pemakalah baca.
Ada beberapa kelebihan didalam tafsir al-Manar karya syech Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha yaitu :
1. Dalam menafsirkan sesuai dengan pemahaman akal secara luas
2. Orang awam maupun intelektual mudah memahami penafsiranya
3. Dalam menafsirkan ayat yang sekiranya aneh, dijelaskan dengan teori-teori
ilmiah dan mudah dipahami oleh orang awam
4. Penafsiranya menyesuaikan kehidupan masa kini
Adapun kekurangan kekurangan didalam tafsir al-Manar Adalah Rasyid
Ridha terlalu memperluas jangkauan penafsiran ilmiyah, sehingga terkadang
dirasakan adanya usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekaipun
yang belum mapan, dengan ayat-ayat al-Quran.
Dari keterangan diatas dapat diketahui sedikit tentang kelemahan dan
kelebihan tafsir al-Manar, yang jelas setiap karya tafsir pasti ada kelebihan dan
kekuranganya dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan pemahaman dan latar
belakang orang yang menafsirkan al-Quran.

E. Pandangan Para Ulama terkait Tafsir Al-Manar


Dengan melihat dan mencermati kandungan tafsir al-Manar, Ulama’
mengatakan bahwa tafsir itu merupakan kolaborasi antara tafsir bi al-matsur (bi

22
al-riwayat) dan tafsir bi al-Ra’yi (logika). Dalam penjelasan-penjelasannya,
ayat-ayat al-Qur’an menjadi sumber utama dalam penafsirannya. Dan hadits-
hadits Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu hadits menjadi sumber
berikutnya dan semuanya dikaitkan dengan al-Qur’an sesuai dengan problema
yang terjadi di masyarakat.
Tafsir modern tentang Al-Quran adalah usaha untuk menyesuaikan ayat-
ayat dengan tuntutan zaman, dan hal itu benar-benar terjadi suatu keharusan
sejak wafatnya Nabi Muhammad  situasinya berkembang dalam kondisi yang
berbeda dengan zaman Nabi dengan pada zaman beliau. Karena itu berbagai
pemikiran yang terkandung dalam Al-Quran segera dirasa membutuhkan
penafsiran ulang. Tuntutan ini dirasakan perlunya setelah sentuhan dengan
peradaban ekspansi asing menjadi kian intensif, justru melalui muslimin sendiri
yang berlangsung kaum kekuasaan sangat cepat.
Sesungguhnya Gerakan tafsir modern memainkan peran yang menentukan
dalam emmajukan kesadaran berpolitik menurut pandangan Islam, dan
memotivasi manusia untuk berjuang demi membela kebenaran dan keadilan.
Begitu hebat dan dahsyat perlawanan yang diberikan oleh pengikut Al-manar
terhadap penjajah, tanggung jawab para pemimpin negara-negara Islam juga
begitu besar terhadap musibah, kesengsaraan, dan negara-negara Islam oleh
penjajah.
Tafsir al-Karim atau al-Quran "Tafsir al-Manar" merupakan salah satu
dengan nama peminat dan populer dikalangan para tafsir modern studi
Islam, khususnya tentang tafsir al-Quran. Kitab tafsir al-Manar adalah satu-
satunya kitab dan shahih menghimpun riwayat-riwayat yang yang akal
yang tegas, yang menjelaskan hikmah-yang pandangan syari'ah, serta
sunnatullah (hukum Allah hikmah manusia, dan menjelaskan fungsi-
terhadao berlaku) al-Qur'an sebagai petunjuk untuk tempat, seluruh fungsi
serta dan waktu disetiap manusia, antara petunjuknya dengan keadaan
diterbitkannya) kaum membandingkan yang dewasa ini (pada masa muslimin
serta itu, petunjuk dari berpaling telah salaf para pula) dengan keadaan
(membandingkan hidayah berpegang teguh dengan ini disusun dengan
redaksi yang tall (leluhur) yang mudah Tafsir itu. dan berusaha

23
menghindari istilah-istllah ilmu sambil teknis sehingga dapat dimengerti
oleh orang tidak dapat diabaikan oleh orang-orang awam tetapi khusus
(cendekiawan). Muhammad Abduh dan semua generasi pendukung
madżhab pemikirannya di dalam tafsir, menempuh jalan yang benar.
Mereka mengambil contoh-conth budaya yang tetapi tidak meninggalkan
kaidah-kaidah aktual lama. menyelamatkan Untuk dilema timbul yang
akibat kontradiksi antara pendapat lama dan pendapat tersebut, pintu ijtihad
sangat mendesak untuk baru dibuka. Disinilah Muhammad Abduh madzhab
penafsirannya dan telah melaksanakan sempurna hal itu. Persoalan-
persoalan ijtihad yang banyak muncul dari lingkungan dan para ahli tafsir
telah banyak dipengaruhi Islam oleh pemikiran ini.
Suasana semacam itu, tafsir juga banyak Dalam diwarnai dengan arah
politik yang berlaku pada masanya dan tuntutan-tuntutan perkembangan
budaya.Penguraian Abduh atas al-Quraan dilanjutkan oleh Rasyid Ridha,
muridnya sendiri, yang Muhammad memang Orientalis, mendapat perhatian
para sepatutnya analisa yang sekali dari J. Jomier, karena terutama
ditunjukkan Ini kena dan mendalam. dilakukan cukup oleh cara mereka
mengemukakan tidak terlalu menyimpang Menurut pendapat berlaku. dari
metode yang biasa terhadap hal yang membedakan ulasan Abduh saya,
Quran adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan untuk ayatnya
memungkinkan bilamana ajaran moral itu.
Setelah kedua pengarang tafsir al-Manar tiada, banyak kaum modernis
Islam yang ingin mempelajari dan rendalami kitab tafsir tersebut. Khususnya
para Ulama Tafsir dan bagi mereka yang mendalami ilmu tafsir. Hal ini
dikarenakan tafsir tersebut mempunyai suatu corak tersendiri di dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Di nana corak tersebut dapat
memberikan suatu petunjuk dalam kehidupan masyarakat dan usaha-
usaha untuk problem-problem mereka nenanggulangi penyakit atau
berdasarkan ayat-ayat al-Quran serta bahasa indah dan menarik yang dapat
membuat pembaca terpesona kedalam kalbunya, sehingga tergugah yang serta
merasuk hatinya untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah
untuk mengetahui segala makna dan rahasia al-Quran al-Karim tersebut.

24
Kitab tafsir al-Manar sebagai salah satu tafsir modern yang muncul pada
awal abad ke-20, tersebar luas keseluruh pen juru dunia islam dan
mempunyai peranan yang besar dalam pencerahan pemikiran serta
penyuluhan Dan hal ini menberikan suatu komentar atau agama. pendapat
tersendiri bagi Ulama Tafsir terhadap tafsir al-Manar tersebut. Dalam hal ini,
para ulama ada yang memujinya dan mengkritiknya.

1. Pandangan Ulama Yang Memuji


Hamka dalam kitabnya 'Tafsir al-Azhar" denganmengatakan : "Tafsir
yang amat menarik hati penafsir ini buat dijadikan contoh ialah tafsir "al-
Manar" karangan Sayyid Rasyid Ridha, berdasar kepada ajaran tafsir
gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir beliau ini, selain dari
menguraikan ilmu yang berkenaan dengan agama, hadis dan fiqhĩ,
sejarah dan lain-lain, menyesuaikan ayat-ayat itu dengan bangan politik
dan kemasyarakatan, yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu
dikarang. Meskipun tafsir itu beliau tulis hanya 12 saja, artinya tidak
sampai separuhal-Qur'an namun dia dapat dijadikan pedoman di dalam
meneruskan penafsiran "al-Azhar" ini sampai tamat. Meskipun soal-
soal kemasyarakatan dan politik dunia Islam yang waktu itu, di zaman
sekarang ini sudah banyak berubah, karena perubahan yang terjadi dalam
negeri-negeri Islam, namun dasar penafsiran yang beliau tegakkan masih
tetap, hangat dan dapat dicontoh, dan tidak basi".
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz. 1 (Jakarta: Pembimbing Massa, 1990), h. 37.
Menurut Subhi Sholeh dalam kitabnya "Mabahis FI Ulūmil Qur'an"
mengatakan : "Adapun Kitab tafsir al-Manar karya Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha, merupakan tipe khusus dalam menta'wilkan firman Allah
Swt. yang pada galibnya tafsir tersebut ditulis berdasarkan hadis-
hadis pusaka kaum salaf, kemudian diusahakan penyesuaiannya dengan
zaman kita dewasa ini. Dalam banyak hal demikian itu berhasil,
meskipun penulisannya terasa kelewat teguh berpegang pada pendapat
yang lemah namun dibela dengan segala tampak jelas bahwa penulisnya
secara umum memiliki pengetahuan secara mendalam mengeiinal

25
metode al-Qur'an yang dipelajari sebagai Kitab Suci pembawa
hidayahdan i'jaz".
Subhi Sholeh, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, h. 297.
Manna' al-Qaththan Menurut dalam kitabnya "Mabāhis Fi Ulūmil
Qur'ān" mengatakan : "Tafsir al-Manar adalah sebuah tafsir yang penuh
dengan pendapat para pendahulu ummat ini, sahabat dan tabi'in dan
penuh pula dengan uslub-uslub bahasa Arab dan penjelasan tentang
sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan ummat Ayat-ayat al-Qur'an
ditafsirkan manusia. dengan gaya bahasa diungkapkan dengan dipahami,
berbagai menarik, redaksi makna-makna mudah dijelaskan tuduhan dan
kesalah pahaman pihakmusuh yang dilontarkan terhadap Islan dibantah
dengan tegas dan penyakit-penyakit masyarakat ditangani, diobati
dengan petunjuk qur'āni. Syaikh Rasyid Ridha menjelaskan bahwa
memahami Kitabullah sebagai sumber ajaran agama yang membimbing
ummat manusia kearah kebahagiaan yang persoalan secara tuntas, tujuan
pokok penafsirnya, ialah hidup di dunia dan hidup di akhirat".
Manna’ al-Qattan, Mabahsi Fi ulumil Qur’an (Kairo: Mansurat al-Asr al-
Hadis, t.th.), h. 372.

2. Pandangan Ulama yang Mengkritik


Menurut M. Quraish Shihab "Studi Kritis Tafsir al-Manar"
mengatakan : dalam karyanya "Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah
mufassir yang terlalu berani dalam menggunakan teori-teori seorang
mendukung untuk 11miah penafsirannya. Sehingga terkadang dirasakan
adanya usaha menbenar-benarkan teori ilmiah, sekalipun yang belum
mapan dengan ayat-ayat al-Qur'an. menilai para mufassir, selain gurunya
Muhammad Abduh. Mufassir lain di kecam dengan anat keras dan pedas,
dan terkadang nukilannya tidak sesuai dengan maksud pendapat
mufassir yang dinukil. Seperti kecamannyaFakruddin ar-Razi yang dicap
sebagai mufassirr yang kurang pengetahuannya tentang as-aunnah,
pendapat-pendapat para sahabat, serta tokoh-tokoh salaf dibidang tafsir dan

26
hadits". M. Quriash Shihab, Tstudi Kritis afsir Al-Manar, (Cet. I;
Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 103.
Menurut M. Baqir ash-Shadr "Pedoman Tafsir Modern"
mengatakan: "Mufassir memulai aktifitas penafsirannya, dengan teratentu,
misalnya suatu ayat atau kalimat, tanpa pemikiran, kemudian membatasi
konsep al-Qur'ān yang berkaitan dengan dasar pemikiran yang telah
dirumuskannya. Juga penafsiran yang kepada masyarakat Islam. Dengan
tujuan untuk menarik pengikut dan pendukug mażbahnya. Hal ini
bersumber dari metodologi yang dipergunakan oleh si penafsir". M. Baqir
Assadr, Pedoman Tafsir Modern (Cet. 1; Jakarta: Risalah Massa, 1992),
h.
Menurut Abdul Rahman al-Baghdady dalam kitabnya "Nazharatun
Fi Tafsir al-Ashry lil Qur'ānil Karīm" mengatakan : "Dengan adanya
penonjolan teori-teori ilmiah dalam penafsirannya, makaakan
menimbulkan suatu anggapan bahwa al-Qur'än itu mencakup seluruh
ilmu pengetahuan. Dengan tujuan untuk memperkokoh teori-teori ilmu
pengetahuan modern dan untuk memastikan bahwa sebelum itu al-Qur'ān.
merupakan dikemukakan oleh sudah semuanya Pada
sebenarnya,pemahaman yang dangkal dan kebekuan berfikir. jauh lagi,
yaitu dapat kesesatan dan penyelewengan yang Maha Bahkan lebih
menimbulkan karena tidak menghiraukan kebenaran bersumber
Mengetahui semesta, tentang manusia, segala kehidupan dan Yang Maha
Pencipta dan segala pada alam sesuatu tentang yang berada di luar alam
wujud, akibat semua sikap mereka yang membuntut di belakang teori-
teori ilmu pengetahuan yang bersumber pada akal manusia yang serba
kurang, terbatas dan tidak mengetahui segala sesuatu". Abdul Rahman,
Nazaratun Fi Tafsir al-ASri Lil Qur’anil Karim (Bandung: Al-Ma’arif,
200), h. 58.
Dengan demikian, bahwa setiap kitab tafsir yang ditulisoleh para
mufassir, baik itu mufassir salaf maupun khalaf, tentunya mempunyai suatu
pujian ataupun kritik yang bersumber dari para ulama. Hal ini
dikarenakan adanya pemikiran para mufassir itu didipengaruhi oleh banyak

27
faktor, seperti latar tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, ilmu
perkembangan bahkan pendidikan, belakang pengetahuan dan kondisi
sosial masyarakatnya. Dalam telah penulis hal ini khususnya kitab tafsir
yang bahas di atas, yaitu kitab tafsir al-Manar.

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus menerus merosot,
terbelakang dan banyak negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan
asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Jamaluddin
Al- Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan Muslimin.
Muridnya yang pertama yang mengikuti jejaknya ialah Muhammad Abduh. Dia
yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia
menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan
membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban,
kehidupan serta apa yang bernama kemajuan.
Dalam menyusun tafsir al-Manar, Rasyîd Rida menggunakan metode
penulisan tahlili (analisis). Hal itu terlihat dalam dari pola susunan
penafsirannya yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-
Nas sesuai susunan surah-surah dalam mushaf Utsmani. Untuk corak,
setidaknya ada dua corak yang terlihat dalam model penafsiran Rasyîd Rida,
yakni corak al-Hida’i di mana dalam corak ini dilatarbelakangi oleh pemikiran
yang menjadikan hidayah atau akhlak Al-Quran sebagai pusat dari usaha
penafsiran terhadap Al-Quran.
Rasyid Ridha dalam penafsiranya memiliki sekian banyak perbedaan
dengan Syaikh Muhammad Abduh. Dibawah ini akan dikemukakan perbedaan-
perbedaan penafsiran kedua tokoh diatas, diantara perbedaanya adalah
Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-
hadis Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut
permasalahan yang dibutuhkan masyarakat berupa bidang hukum, bidang
perbandingan agama, bidang sunnatullah, perkembangan ilmu pengetahuan,
Keluasan tentang penafsiran ayat dengan ayat dan Keluasan pembahasan kosa-
kata dan ketellitian susunan redaksi.
Ada beberapa kelebihan didalam tafsir al-Manar karya syech Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha yaitu dalam menafsirkan sesuai dengan pemahaman

29
akal secara luas, Orang awam maupun intelektual mudah memahami
penafsiranya, dalam menafsirkan ayat yang sekiranya aneh, dijelaskan dengan
teori-teori ilmiah dan mudah dipahami oleh orang awam, penafsiranya
menyesuaikan kehidupan masa kini. Adapun kekurangan kekurangan didalam
tafsir al-Manar Adalah Rasyid Ridha terlalu memperluas jangkauan penafsiran
ilmiyah, sehingga terkadang dirasakan adanya usaha untuk membenar-benarkan
suatu teori ilmiyah sekaipun yang belum mapan, dengan ayat-ayat al-Quran.
Dengan melihat dan mencermati kandungan tafsir al-Manar, Ulama’
mengatakan bahwa tafsir itu merupakan kolaborasi antara tafsir bi al-matsur (bi
al-riwayat) dan tafsir bi al-Ra’yi (logika). Dalam penjelasan-penjelasannya,
ayat-ayat al-Qur’an menjadi sumber utama dalam penafsirannya. Dan hadits-
hadits Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu hadits menjadi sumber
berikutnya dan semuanya dikaitkan dengan al-Qur’an sesuai dengan problema
yang terjadi di masyarakat.

B. Saran
Demikianlah pokok bahasan pada makalah yang dapat kami paparkan.
Besar harapan kami makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi kami menyadari bahwa
makalah ini tentu masih banyak kekurangan. Oleh karenanya, kritik dan saran
yang membangun buna menjadikan karya tulis kami lebih baik kedepannya
sangat kami harapkan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman, Nazaratun Fi Tafsir al-ASri Lil Qur’anil Karim (Bandung:


Al-Ma’arif, 200)
Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Kairo: t.p, 1954)

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan


Gerakan, h. 72

M. Baqir Assadr, Pedoman Tafsir Modern (Cet. 1; Jakarta: Risalah Massa,


1992)
M. Quriash Shihab, Tstudi Kritis afsir Al-Manar, (Cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994)

4 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta:


Djambatan, 1995

Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam. (Jakarta: PT


RajaGrafidoPersada, 2005

Muhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC. Mencari Format


Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 87

Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, Maret,
2012)

Dalhari, Jurnal, Karya Tafsir Modern di Timur Tengah Abad 19 dan 20 M,


(Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis: 2013)

Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum,


(Teheran: Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr)

Andi Mappiaswan, Skripsi, Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


dalam Pengembangan Islam, (Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin
Makassar: 2015

31
Manna’ al-Qattan, Mabahsi Fi ulumil Qur’an (Kairo: Mansurat al-Asr al-
Hadis)

32

Anda mungkin juga menyukai