Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

KAJIAN TOKOH PEMBAHARUAN ISLAM


RIFA’AH BADAWI RAFI’ AL-THAHTAWI DAN JAMALUDDIN AL-
AFGHANI

Dosen Pengampu :
H. Mubarak, S.Pd.I. M.Pd. I
Di Susun Oleh :
Kelompok II
Fajar Maysyaroh (180511532)
Liska Meiveni Handayani (180511530)
Putri Miftahul Huda (180511510)
Siti Qori’ah (180511521)

UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA


FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TENGGARONG
2021 M/ 1442 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya kita semua masih diberikan kesempatan dalam menjalankan
aktifitas kita sehari-hari. Salawat serta salam semoga senantiasa kita panjatkan
kepada baginda kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan umatnya yang
senatiasa istiqomah hingga akhir zaman nanti.
Pada kesempatan ini tak lupa kami ucapkan terima kasih atas bimbingan
dosen kami yaitu : Bapak. H. Mubarak, S.Pd.I, M.Pd.I yang telah membimbing
kami dalam penulisan makalah yang bertema “Kajian Tokoh Pembaharuan Islam
(Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi Dan Jamaluddin Al-Afghani” sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan dan
kesalahan, hal itu dikarenakan kurangnya wawasan dan referensi yang kami
miliki,oleh karana itu kami mengharapkan sekali kritik dan saran baik dari dosen
mata kuliah Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam maupun dari
rekan-rekan seperjuangan.
Demikian sebagian pengantar dari kami sebagai pemakalah dan mudah-mudahan
yang terdapat dalam makalahini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Tenggarong, 18 Maret 2021

Kelompok II

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 4

A. Latar Belakang........................................................................... 4
B. Rumusan Masalah...................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan........................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 6

A. Biografi Tokoh........................................................................... 6
1. Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi................................ 6
2. Jamaluddin Al-Afghani.................................................. 7
B. Pemikiran Pembaharuan Para Tokoh (Pandangan Pada
Masyarakat, Pemikiran, Gerakan Dakwahnya, Hambatan dan
Strategi Menanggulanginya)...................................................... 8
1. Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi................................ 8
2. Jamaluddin Al-Afghani.................................................. 28

BAB III PENUTUP....................................................................................... 40

A. Kesimpulan................................................................................................. 40
B. Saran .......................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 41

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal


Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan
ilmu yang harus diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak
diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh barat yang pada masa
lalu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses
pembaharuan Islam. Pertama faktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis
umat Islam yang sangat memerlukan satu system yang betul – betul bisa dijadikan
rujukan dalam rangka mencetak manusia – manusia muslim yang berkualitas,
bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua faktor eksternal adanya kontak Islam
dengan barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak
ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan phragmatik umat Islam
untuk belajar secara terus menerus kepada barat, sehingga ketertinggalan yang
selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.
Dengan demikian pada makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran tokoh
pembaharuan Islam yaitu Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi dan Jamaluddin Al-
Afghani

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana terkait biografi Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi
dan Jamaluddin Al-Afghani?
2. Bagaimana Pemikiran Pembaharuan Tokoh Rifa’ah Badawi
Rafi’ Al-Thahtawi dan Jamaluddin Al-Afghani mengenai pandangannya pada

4
masyarakat, pemikirannya, gerakan dakwahnya, hambatan dakwahnya dan
strategi mengatasinya?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui suatu pengetahuan
mengenai biografi dan pemikiran tokoh pembaharuan islam yaitu Rifa’ah Badawi
Rafi’ Al-Thahtawi dan Jamaluddin Al-Afgani yang telah dirumusakan pada
rumusan masalah.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Tokoh
1. Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi
Latar belakang ekonomi keluarganya menengah ke bawah tetapi agama
keluarganya yang kuat menjadikan Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi rajin dan
tekun mempelajari Al-Qur’an sejak kecil. Ketika beranjak remaja pada waktu
umur 16 tahun beliau berangkat merantau ke Kairo, Mesir untuk belajar di Al-
Azhar, dalam pengawasan dan bimbingan Syekh Hassan Al-Attar dan Rifa’ah
Badawi Rafi’ Al-Thahtawi menjadi murid kesayangan. Dalam lima tahun Rifa’ah
Badawi Rafi’ Al-Thahtawi menyelesaikan studinya di Al-Azhar (1822 M), setelah
itu Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi di percaya untuk mengajar di Universitas
tersebut selama 2 tahun, kemudian pada tahun 1824 M mendapat gelar “Master”
pada Egyptian Army di Mesir serta diangkat menjadi imam bagi mahasiswa-
mahasiswa yang dikirim oleh Muhammad Ali ke Jormard di Paris.
Selama bertugas di Paris, ia kursus bahasa Perancis dan dalam kurun waktu 5
tahun dapat menerjemahkan sekitar 12 buku dan risalahnya, diantaranya buku-
buku mengenai ilmu bumi, akhlaq dan adat istiadat berbagai bangsa, risalah
tentang sejarah Alexander Macedonia dan lain sebagainya. Tahun 1832 M ia
kembali ke Mesir lalu diangkat menjadi penerjemah dan sebagai guru besar pada
sekolah kedokteran Perancis di Kairo. Dua tahun kemudian ia pindah ke sekolah
Artelery sebagai direktur penerjemah buku-buku ilmu teknik dan kemiliteran.
Tahun 1836 M menjadi direktur dan penanggung jawab harian sekolah penerjemah

6
bahasa-bahasa asing. Tahun 1848 M ia dikirim ke Sudan sebagai kepala sekolah di
Kartoum oleh Abbas sebagai pengganti Muhammad Ali yang telah wafat. 6 tahun
kemudian Rifa’ah kembali ke Mesir dan diangkat menjadi direktur Sekolah Militer
atas perintah Said Pasya pengganti Abbas yang wafat pada tahun 1854 M.

2. Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani lahir pada tahun 1838. Ayahnya Sayyid Shand
bergelar Shafdar al-Hussaini, ia seorang bangsawan yang memiliki garis
keturunan dengan Hussein ibn Ali ibn Abi Thalib, sehingga di beri gelar Sayyid.
Tempat lahir Sayyid Jamaluddin Al-Afghani ada dua versi yaitu di As’adabad,
Kabul, Afghanistan ada pula yang menyebut di Mazandaran, Persia. Ada yang
menyebutkan tempat lahirnya di Afghanistan, karena didasarkan seperti yang
dinyatakan namanya yaitu, Al-Afghani, namun ada yang menyebut
tempat lahirnya di Persia karena, tulisan dan ceramahnya banyak ditaburi
filsafat Islam, khususnya pemikiran-pemikiran Ibn Sina dan pada waktu itu
lembaga pendidikan Syi’ah jauh lebih banyak dibanding lembaga pendidikan
Sunni sehingga disinyalir Sayyid Jamaluddin Al-Afghani merupakan orang
yang beraliran Syi’ah. Pengetahuannya sangat luas tentang syi’ah dan sunni. Ia
belajar filsafat Islam, tasawuf, dan ilmu syariah serta berbagai
cabangnya, selain itu juga mempelajari pengantar bahasa Arab.
Salah satu pemikir dan pembaharu Islam Sayyid Jamaluddin Al-Afghani,ia
pemimpin pembaharuan dan pemimpin politik di dunia Islam
(RusliRis’an,2014:82). Sayyid Jamaluddin Al-Afghani merupakan tokoh yang
pertama kali menyatakan kembali tradisi muslim melalui cara yang sesuai
dengan berbagai problem penting yang muncul akibat pengaruh barat
yang semakin sering mengusik dunia Islam. Ia menekankan kualitas yang
diperlukan di dunia modern seperti penggunaan akal dan aktivitas politik, karena
dengan nilai-nilai tersebut di dalam Islam, dirinya mampu mempengaruhi
kaum muslim dengan mudah.

7
Sebagai modernis Islam pertama, ia memicu kecenderungan menolak
tradisionalisme murni dan westernisasi murni. Menurutnya umat Islam telah
meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran yang
datang dari luar, itu sebabnya Islam menjadi mundur. Hal ini merupakan
tantangan bagi Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Islam adalah agama yang
dinamis baginya, karena ia sebagai seorang yang berpikir rasionalis namun
masih terikat oleh nilai Islam. Ide-idenya yang ia lontarkan untuk
meluruskan salah pengertian dalam paham keagamaan, sistem pemerintahan
dan pan-Islamisasi.

B. Pemikiran Pembaharuan Para Tokoh (Pandangan Pada Masyarakat,


Pemikiran, Gerakan Dakwahnya, Hambatan dan Strategi
Menanggulanginya)

1. Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi


a. Universalisasi dan Generalisasi Pendidikan Bagi Seluruh Umat Islam
Pendidikan Islam dalam pandangan al-Tahtawi, haruslah merata dan
mencakup segenap anak bangsa, baik anak rakyat jelata, anak para ulama’,
maupun keturunan para penguasa, bahwa pendidikan Islam yang bersifat
universal dan generalisasi pada dasarnya lebih menitik beratkan agar
memberi peluang kepada kaumperempuan untuk berpartisipasi dalam
mengenyam pendidikan sekaligus sebagai praktisi dalam mendidik.
Pola pendidikan yang ditawarkan al-Tahtawi ditujukan kepada semua
lapisan masyarakat tanpa adanya sekat atau membedakan umur dan
gender.Edukasi yang ditujukan untuk memajukan perempuan agar mampu
menggali dan memfungsikan perannya secara maksimal, apakah selaku istri,
ibu bagi anak-anaknya, maupun sebagai bagian dari masyarakat, tentu
dengan tidak melupakan kodratnya menjadi perempuan.Pendidikan bagi
anak pastinya tidak dapat dimaksudkan hanya dari jenis kelamin laki-laki
saja, melainkan laki-laki dan perempuan.

8
Pandangan al-Tahtawi tentang memaknakan pendidikan, yaitu
mengembangkan organ sensorik seorang anak sejak awal kelahiran hingga
mencapai kematangan jiwa, dengan cara memiliki pengetahuan
(ilmu)kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, menurutnya pendidikan
itu terbagi menjadi dua macam, Tarbiyah al Jasad dan Tarbiyah al Ruh.
Sedangkan, “makanan” yang diberikan kepada anak adalah pertama,
memberikan asi (makanan jasmani). Kedua, membimbing mereka dengan
memberikan pelajaran akhlak dan adab (makanan untuk rohani).Ketiga,
memberikan asupan pelengkap yakni pengetahuan tentang kecerdesan
intelektualnya. Dengan demikian edukasi terhadap anak tidak hanya
memberikan mereka porsi besar dalam memperhatikan pendidikan pada
jasmani saja, namun yang tak kalah penting adalah Tarbiyah al-
Ma’nawiyah , yaitu mendidik kejiwaan para peserta didik. Dan juga
memperhatikan asupan yang dikonsumsi para peserta didik baik dari segi
jasmani dan maknawinya.
Selain faktor jasmani dan maknawi, keharusan merata atau bersifat
umum dalam dunia pendidikan juga berlandaskan pada pertimbangan
historis. Nabi SAW., para sahabat, dan ulama’ terkenal pada masa lampau
yang mempunyai kapasitas keilmuwan sangat kompleksitas, tak satu pun
dari mereka yang mengabaikan diri dengan mendidik siswanya tanpa
membedakan satu sama lain. Al-Tahtawi mencontohkan, diantaranya
Rasulullah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada semua golongan yang ada
baik.Muhajirin maupun Ansar, begitu pula pada kaum wanita -seperti
Aishah- beliau mendidiknya bagaikan seorang siswa. Demikian pula dengan
apa yang dilakukan Abu Aswad al-Dualy dan Hamran al-Ja’dy terhadap
istri-istri mereka, mentauladani Rasulullah SAW, yaitu memberikan
pembelajaran dan pendidikan agar dapat bekerja sama dalam membangun
peradaban Islam yang mereka mulai dari keluarga mereka masing-masing.

9
Al-Tahtawi juga menandaskan, bahwa dalam pendidikan tidak
diperlukan kecerdasan dan kecemerlangan otak seorang anak. Melainkan
perihal tersebut adalah naluri yang natural, kemudian akan berkembang daya
pikirnya seiring dengan proses pendidikan tersebut berjalan. Hal ini dapat
saja terjadi, disebabkan sifat bawaan dari seorang anak yang sudah
dipersiapkan sejak dini.Dan absolutnya harus berada pada seorang pendidik
yang mempunyai karakter yang berpengaruh, serta kepiawaian dalam
mendidik.
Alasan lain keharusan mengombinasikan pendidikan pada anak laki-
laki dan perempuan, didasarkan pada fakta sosiologis. Bahwa dengan
memberikan pengajaran membaca, menulis, berhitung, dan
sebagainya.Dapat membantu mereka dalam menambah pengetahuan tentang
metode beretiket, juga bisa menciptakan perbaikan interaksi para istri
dengan kaum pria (suami), maksudnya agar mereka dapat berurun rembuk
atau berpartisipasi untuk menyumbangkan ide-idenya secara rasional.
Paparan di atas menunjukkan adanya relasi penting antara konsumsi
pendidikan pada jasmani dan rohani peserta didik, pendidikan untuk semua
golongan, dan perlunya mengikut sertakan wanita dalam
pendidikan.Generalisasi dan universalisasi pendidikan merupakan prinsip
mendasar kualitas kehidupan beragama dan bermasyarakat di antara umat
Islam, maupun dengan komunitas lainnya.Pada konteks teologis, Muslim
moderat adalah mereka yang selalu berpegang teguh pada suri tauladannya
untuk selalu meninggikan Islam.

Diskursus universalisasi dan generalisasi pendidikan inilah yang


secara par-excellence membedakan narasi universalisasi dan generalisasi
pendidikan Islam Rifa’ah al-Tahtawi dengan pendapat kalangan Islam
tradisionalis.Dalam hal mana, pandangan Rifa’ah al-Tahtawi mewakili
pemikiran Islam modernis yang meletakkan pendidikan sebagai bagian

10
penting dalam mereformasi atau memperbaharui peradaban Islam, dan
sebaliknya menjauhkan hal-hal yang berbau khurafat juga bid’ah yang dapat
menutup akal sehat, sehingga membuat Islam semakin tertinggal dan
terpuruk. Disamping itu, menurutnya bahwa masyarakat yang terdidik akan
lebih mudah dibina, serta sekaligus mampu membentengi dirinya dari
pengaruh negatif.dalamdunia pendidikan Islam, oleh karena itu entitasnya
tak perlu diragukan lagi. Dalam konteks sosiologis, pendidikan yang merata
dapat meningkatkan.

b. Urgensi Pendidikan Bagi Kaum Perempuan


Rifa’ah al-Tahtawi melihat, bahwa perempuan adalah ciptaan Allah
SWT yang sangat sarat artistik dan keindahan, dalam penciptaannya ia
ditentukan sebagai pasangan hidup laki-laki, selain itu wanita juga mitra bagi
pria dalam kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan
pendidikan sebagai sebuah media untuk menyempurnakan sifat-sifatnya.
Dengan pendidikan akan mengangkat derajat kaum perempuan, pula
kecerobohan, kelemahan akal dengan sendirinya akan terkikis akibat adanya
pendidikan. Diskursus tentang pendidikan terhadap perempuan sejatinya
adalah sebuah aplikasi praktis dari generalisasi. Sebelumnya proses
memberikan pendidikan pada wanita tidaklah mudah, karena para oposan
mereposisi masalah edukasi terhadap perempuan yang seharusnya berhak
mendapat ilmu dan pengetahuan dengan cara berpikir Jahiliyah dan
kebiasaan para penguasa di kala itu. Maka menjadi sangat tidak masuk
diakal jika ingin mengadakan pembaharuan ataupun reformasi, tetapi masih
ada setengah dari masyarakat -seperti perempuan- yang masih saja buta
huruf maupun tertinggal.
Bagi Rifa’ah al-Tahtawi, perempuan berhak mengenyam pendidikan
sebagaimana laki-laki, salah satu cara yang perlu ditempuh dalam
menyukseskan seruannya ini adalah dengan menambah batas usia menikah

11
bagi para wanita. Dengan ini kaum perempuan mampu sepenuhnya fokus
mengeksplorasi khazanah keilmuwan, dan siap sedia dalam mendidik anak
generasi bangsa. Menariknya, di balik semangatnya yang berkobar-kobar
dalam menyuarakan urgensitas pendidikan bagi kaum perempuan, al-
Tahtawi tak lalai untuk mengingatkan bahwa perempuan harus tetap
mempunyai sifat atau atribut kewanitaan seperti rasa malu, segan, serta
takut, asalkan mereka tetap memiliki tekad yang kuat untuk senantiasa
menimba ilmu.
Sebenarnya mengajarkan baca-tulis pada perempuan, termasuk
pembelajaran yang lainnya kepada mereka, bukanlah perkara atau
permasalahan yang baru menurut al-Tahtawi. Namun, tetap saja ada estimasi
bahwa mengajari wanita baca-tulis akan memberikan mereka sarana untuk
melangkah kepada hal-hal yang membawa kepada bencana atau menyalah
gunakannya, bahkan ada yang juga bertanya apakah hal tersebut
diperbolehkan oleh agama. Al-Tahtawi berusaha menyanggah dengan
menyampaikan, sesungguhnya mengajarkan para kaum perempuan baca-
tulis atau memberikan pendidikan pada mereka tidak membawa pada
kerusakan (darar). Ia juga menambahkan, bahwa di zaman Rasulullah
mengajarkan baca-tulis kepada kaum wanita pernah terjadi, seperti Umm al-
Mu’minin Aishah dan Hafsah, kemudian Hafsah turut mengajarkan pada
Shifa’ bint Abdillah (Ummu Sulaiman), dan hal ini mendapatkan
pembenaran dari beliau SAW. Hal ini berarti, pengintepretasian terhadap
pendidikan para kaum perempuan harus menggunakan pendekatan yang
lebih menyeluruh (holistic).
Memang di waktu itu, wanita dalam pandangan umum masyarakat
Mesir diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang lemah, kekuatan akal dan
pemahamannya lebih rendah dari pada pria.Oleh sebab itu, perempuan tidak
diberi kesempatan agar mendapat pendidikan, kecuali pendidikan yang
menyangkut dengan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.Padahal, pandangan

12
yang radikal seperti ini sangat bertentangan dengan fakta historis yang
terjadi.Maka pendidikan pada perempuan walaupun hanya sebatas membaca
dan menulis saja, tetapi telah memberikan kontribusi bagi kesejahteraannya,
dan kesejahteraan tersebut didedikasikan untuk keluarganya, terlebih secara
umum kepada masyarakat luas.
Berdasarkan fakta pada data statistik, pengetahuan membaca dan
menulis pada kaum wanita mempunyai konsekuensi yang sangat signifikan.
Diantaranya, untuk menghambat terjadinya kematian pada anak-anak di
bawah usia lima tahun, serta termasuk juga memberantas terjadinya buta
aksara. Hal ini sepenuhnya sesuai dengan bukti yang ada di saat ini, dan
berkembang seiring dengan pendidikan yang diberikan kepada para
wanita.Dengan kapasitasnya, secara efektif perempuan mempunyai pertalian
yang sangat relevan dengan kemajuan, juga untuk menopang kesejahteraan
sosial-masyarakat (spesifiknya demi kelangsungan hidup anak-anak).
Dua catatan penting paling tidak dapat digali melalui aksioma yang
disampaikan oleh Rifa’ah al-Tahtawi.Pertama, pendidikan bagi kaum wanita
tentu saja menjadi bagian dari peradaban masyarakat Muslim sejak zaman
Rasulullah yang harus dipertahankan kelanjutannya. Hal ini berarti menolak
terhadap klaim Muslim tradisionalis -di abad pertengahan (18-19)- atas
pendidikan bagi perempuan sebagai salah satu manifestasi pemikiran barat.
Kedua, implementasi pendidikan terhadap perempuan di kalangan Muslim
Mesir justru dipandang telah berpindah dari substansinya, bahkan telah
bergeser segi kemaslahatannya, dari untuk menunjang kehidupan yang
modern menjadi disalah gunakan bagi kemudaratan.
Sejatinya, berbicara tentang kebesaran nilai-nilai Islam bagi kaum
perempuan terjadi banyak sekali penyimpangan pada prakteknya, dan sangat
sedikit sekali, karena pada faktanya dalam masyarakat Muslim menyerukan
kesedihan dan kesusahan. Problematis yang terjadi kemudian, bahwa wanita
tak diberikan haknya, sebagaimana Allah memberikannya kepada mereka,

13
dan hal tersebut sama saja dengan tak menjalankan ketentuan dari-Nya.
Sedangkan yang menyebabkan determinasi tersebut tak terlaksanakan,
yaituadanya legitimasi atau validasi berbentuk taqlid pada masyarakat
Muslim secara turun-temurun.
Al-Tahtawi juga menyampaikan beberapa faedah bagi perempuan
yang mengenyam pendidikan dengan baik, selain sebagai perbendaharaan
ilmu untuk mengatasi permasalahan rumah tangganya. Perempuan pun dapat
bekerja sebagai usaha membantu meringankan beban perekonomian
keluarga sebatas kemampuannya, sebab jika mereka tidak memiliki
kesibukan atau berkarya, lalu yang mereka lakukan untuk mengisi
kekosongan mereka adalah menggunjing, bahkan hati mereka akan penuh
dengan hawa nafsu belaka. Dari sini, hanya saja pendidikan bagi perempuan
tak berkutat pada ranah membenahi sudut pandang mereka, melainkan turut
menuntut mereka agar berkarya dan memerangi kemunkaran, sebagai entitas
dari sebuah kebangkitan.

Sebenarnya pendidikan terhadap anak-anak gadis, dan keterlibatan


mereka dalam bekerja termasuk konstruksi dari kebangkitan umat di kala itu.
Dan gagasan ini diadopsinya saat ia memperhatikan peran wanita-wanita
Prancis terhadap bangsa mereka, sehingga memotivasinya untuk merubah
kembali adat di masyarakat Islam pada era itu. Tentunya dengan tetap
memperhatikan syari’at agama Islam, agar tidak menimbulkan respon yang
sebaliknya.

c. Kurikulum Pendidikan Islam dalam Upaya Memperhatikan Preferensi Siswa

Sebagai konsekuensi dari entiti sebuah pendidikan, al-Tahtawi


mengajukan kurikulum dalam pendidikan Islam menjadi tiga rumusan
pokok, yakni al-Ibtidaiyah, al-Thanawiyah, dan al-‘Aliyah.Munculnya
rumusan mengenai jenjang pendidikan tersebut menjadi indikasi bahwa

14
dalam belajar dan prakteknya harus mengikuti aturan mainnya yang cukup
ketat.Siswa yang mengaku sudah tingkat Thanawiyah misalkan, maka sudah
semestinya telah selesai menempuh pembelajaran di jenjangIbtidaiyah, serta
prosedur yang berlaku umum pada tradisi pendidikan saat itu.
Pada tingkat al-Ibtidaiyah semua lapisan masyarakat memiliki hak dan
pelayanan yang sama, baik anak pejabat, kaya, miskin. Di mana diajarkan
pada jenjang ini baca-tulis yang bersumber dari al-Qur’an, dasar-dasar ilmu
hitung dan tehnik, fiqh, serta ilmu Nahwu.Dalam hal ini dipertegas oleh al-
Tahtawi begitu urgennya pada jenjang pemula untuk belajar ilmu-ilmu dasar
tersebut, sebab semua disiplin ilmu itu banyak dibutuhkan manusia pada
umumnya.
Sementara untuk tingkatan al-Thanawiyah, jenjangnya yang lebih
tinggi dari pada tingkat sebelumnya, pada umum ghalib-nya tak menarik
minat atau atensi dari para orang tua untuk menyekolahkan anaknya, dengan
pertimbangan dari segi perekonomian, maka sangat wajar jika siswa yang
banyak menuntut ilmu pada tingkat ini adalah dari kalangan menengah dan
berada saja. Menurut al-Tahtawi, sudah semestinya dari pihak pemerintah
saat itu agar memberi motivasi atau penyuluhan kepada para wali murid
mengenai pentingnya mencerdaskan anak-anak bangsa demi sebuah
urbanisasi yang ingin dicapai. Pada tingkat ini diajarkan berbagai bidang
ilmu, seperti: ilmu matematika bersama cabangnya, ilmu geografi, sejarah,
biologi, fisika, mantiq, kimia, tata negara, ilmu pertanian, peradaban, dan
bahasa asing.
Sedangkan pada strata al-‘Aliyah diajarakan kepada para peserta
didiknya ilmu-ilmu khusus yang mereka kuasai, tetapi hal ini akan dilakukan
setelah menguasai ilmu-ilmu dasar.Diantaranya adalah ilmu fiqh,
kedokteran, astronomi (falaky), geografi, dan sejarah.Lebih tepatnya bisa
dikatakan sekolah pada strata yang lebih tinggi ini, sebagai sekolah kejuruan.
Dengan harapan para siswa alumnusnya mampu menjadi seorang mujtahid,

15
yang dapat berkonversi, sehingga akhirnya menjadi para mujtahid sekaligus
mujaddid(pembaharu).
Dari kurikulum di atas, secara tersirat bahwa al-Tahtawi ketika
kembali ke Mesir sudah memikirkan tentang arti pentingnya kapabilitas
untuk peserta didik, sehingga ia memuat materi-materi pelajaran kejuruan.
Di sisi lain, terlihat jelas al-Tahtawi sangat memperhatikan kebutuhan
masyarakat pada saat itu perkembangan kebudayaan bangsa Mesir yang
masih jauh tertinggal dari negara lain, sehingga perlu di kala itu untuk
mengangkat martabat bangsanya dengan membuat kurikulum pendidikan
yang menghasilkan anak didik yang dapat bermanfaat bagi publik pada
waktu itu.Dalam hal ini, dapat diterka sebenarnya al-Tahtawi telah
menguasai ilmu pengembangan kurikulum, diantaranya contoh dalam
mengembangkan kurikulum yang dilakukan adalah memperhatikan
kepentingan masyarakat di sekitar tempat institusi pendidikan tersebut
berada, dengan memberikan materi yang senada, misalkan ilmu pertanian,
dan lain sebagainya.
Dalam menerapkan ilmu yang sudah mereka dapatkan, al-Tahtawi
menyarankan agar para orang tua memperhatikan apa yang menjadi minat
dan bakat anaknya. Selain itu, pihak orang tua diharapkan membantu untuk
mengembangkan bakatanya atau mencarikan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan serta hobinya. Jika mereka menyukai kesenian, sudah
semestinya keluarga atau orang tuanya mengarahkan kemampuannya pada
bidang tersebut, karena seandainya pihak orang tua berbuat sebaliknya, tidak
akan bermanfaat bagi anak tersebut, disamping itu juga akan mengarahkan
kepada hal-hal yang negatif. Ini berarti al-Tahtawi telah berusaha untuk tidak
menjadi orang tua yang hanya ingin dituruti saja keinginannya, juga menjadi
seorang pakar pendidikan yang mencoba mengerti apa yang diinginkan
peserta didik dan masyarakatnya demi kemajuan peradaban tanah airnya.

16
Pada sumber yang lain, al-Tahtawi berusaha meyakinkan apa yang
telah ia sampaikan berdasarkan hadis Nabi SAW., yang artinya kurang lebih:
“Apabila seorang anak Adam telah meninggal dunia, seluruh amalnya akan
terputus kecuali dari tiga perkara: sadaqh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan
anak saleh yang mendoakannya”. Dari hadis ini, al-Tahtawi menggali dan
mengintepretasikan dua elemen dasar bagi sebuah pertumbuhan
jugaperkembangan peradaban Islam, yaitu: kerja sama domestik dalam
perbaikan ekonomi umum, serta ilmu pengetahuan terapan (teknologi).
Masih pada sumber yang sama, al-Tahtawi menyatakan, bahwa ia
menyadari sepenuhnya betapa pentingnya pendidikan pada materi-materi
seperti seni dan teknik atau pelajaran umum, yang diungkapkannya dengan
istilah “al-Funun wa al-Sina’at”. Sesungguhnya seni dan teknologi adalah
poros bagi keteraturan sebuah kekuasaan dan keindahan hidup bangsa-
bangsa, serta individu-individu, sehingga menurutnya hal ini ialah perkara
yang dikategorikan “Fardu Kifayah”. Dapat dikatakan, apa yang
disampaikan di atas adalah lompatan besar di dalam kebudayaan Arab-Islam
pada paruh awal abad ke-19, Mesir hampir tidak pernah memiliki pendidikan
yang berhubungan dengan teknologi dan ilmu-ilmu terapan. Ilmu
pengetahuan seolah-olah hanya terkait dengan teori saja.Adapun ilmu
praksis bisa diperoleh dengan pengalaman dan meniru, baik didapatkan di
rumah ataupun tempat bekerja.Akan tetapi, hal ini tidak serta merta
menafikan perhatian al-Tahtawi terhadap ilmu-ilmu agama.Al-Tahtawi
justru menempatkan ilmu agama di tingkatan pertama atas seluruh ilmu
pengetahuan yang ada, pasalnya, agama adalah penjaga umat dari
ketergelinciran ke jurang kesesatan. Al-Tahtawi menjelaskan,
“Tidak mungkin akan diketemukan perkara shar’i kecuali dengan ilmu
yang datang dengannya (al-Qur’an), dan tidak akan diperoleh sebuah
ilmu melainkan dengan mengamalkannya (al-Qur’an), serta
bersungguh-s unguh dalam mempelajarinya. Mencakup -us}ul, furu>’-
nya, barang siapa yang mengaplikasikanya, maka dia telah meng-

17
infaq-kan seluruh jiwa dan waktunya untuk agama. Lalu dia akan
mendapatkan dua kebaikan dunia dan akhirat yang diibaratkan dengan
ilmu penghidupan serta ilmu untuk menuju surga”. (Al-Tahtawi, 2010:
71)
Jika menggeluti ilmu-ilmu agama menuntut seseorang untuk
mendalami pekerjaan tangan atau ilmu terapan.Maka sebagai dari
konsekuensi logis, ilmu-ilmu agama tersebut juga menuntutnya agar
mendalami sejumlah disiplin ilmu lain, seperti sejarah, nahwu, saraf, dan
geografi.Berpijak dari sini, kriteria utama yang membedakan ilmu
bermanfaat -dari hadis di atas- dengan ilmu-ilmu lain adalah usaha yang
lahir dari berbagai pengetahuan dan informasi yang bermanfaat bagi
penganut agama Islam, tanah air, dan seluruh umat manusia. Untuk
memperkuat pandangannya ini, al-Tahtawi tidak hanya bersandar pada hadis
Nabi SAW yang memuat tiga perbuatan di atas (sadaqah jariyah, ilmu
bermanfaat, dan doa anak saleh). Tetapi juga pada beberapa “amalan” dan
“aplikasi”, seperti membangun masjid demi mencari rida dari Allah,
menggali sumur, mengalirkan sungai, dan mengajarkan al-Qur’an.

d. Patriotisme (Hubb al-Watan) dan Urbanisme


Sebelum masuknya ekspedisi Prancis ke Mesir, juga sebelum masa al-
Tahtawi, kawasan Timur-Tengah belum mengenal yang namanya
nasionalisme.Mereka hanya mengetahui seluruhnya umat Islam -terlepas
mereka berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda, sebagai satu kesatuan
(al-Ummah al-Islamiyah) yang terikat oleh keimanan.Al-Ummah al-
Islamiyahini tergambar jelas pada sistem ke-khilafah-an yang dipimpin oleh
seorang Khalifah.
Saat itu kemimpinan umat Islam berada di bawah regim Uthmani,
namun ketika kewibawaan Turki Uthmani sebagai simbol dari
kepemimpinan umat Islam semakin merosot, disebabkan ketidak
cemerlangan para pemimpinnya. Sehingga peradaban Islam juga mengalami

18
kemunduran yang sangat signifikan, hal ini ditandai dengan menyebarnya
praktek-praktek khurafat yang semakin banyak dilakukan dalam aktivitas
ibadah, dan pengajaran ilmu-ilmu agama menjadi statis.
Keterbelakangan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh bangsa-
bangsa yang menjadi rival bagi Daulah Uthmaniyah, untuk menguasai
negara-negara yang menjadi bagian dari kesultanan tersebut. Diawali dengan
ekspansi yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir pada 22 Juli
1798, kedatangannya ke Mesir selain mempromosikan kemajuan-kemajuan
teknologi yang telah dicapai Barat, ia juga memperkenalkan konsep-konsep
baru bagi masyarakat Mesir, salah satunya adalah ide mengenai
“kebangsaan” sebagaimana propaganda yang dilakukan Napoleon melalui
maklumatnya, bahwa Prancis adalah sebuah bangsa (nation). Ide inilah yang
nantinya diadopsi oleh al-Tahtawi, lalu dijadikan pondasi dalam usahanya
membangun Mesir lebih modern di segala aspek kehidupan.
Sedangkan urbanisasi Mesir ditandai dengan revolusi yang terjadi
pada bulan Mei 1805 M (Safar 1220 H) melawan wakil dari kerajaan Turki
Uthmani, yaitu Khurshid Pasha, lalu para ulama’ Mesir mempercayakan
kekuasaan Mesir kepada Muhammad ‘Ali Pasha.Sejak masa
pemerintahanMuhammad ‘Ali inilah Mesir mengaplikasikan sistem
urbanisasi, sehingga Mesir saat itu mengalami banyak pertumbuhan.
Patriotisme (Hubb al-Watan) dan Urbanisme ini juga menjadi
perhatian Rifa’ah al-Tahtawi, idenya tentang nasionalisme ini baru ia
kembangkan pada masa pemerintahan Khedewi Isma’il, yaitu sekitar tahun
1863. Al-Tahtawi menjelaskan makna tentang sebuah negara (al-Watan),
Negeri adalah tempat tinggal manusia, diibaratkan seperti laci, yang
isinya antara lain adalah masyarakat, keluarga, bahkan rahasia
seseorang. Negara adalah tempat dimana kita tumbuh, mengenyam
pendidikan, mendapatkan makan-minum, menghirup udaranya, dan
merasakan anginnya. Kebebasan, kemulian dan kasih sayang
seseorang tentu akan dipersembahkan kepada negaranya, begitu pula

19
dengan kerinduannya pada saudara-saudarnya yang sebangsa dan
setanah air dengannya.
Selanjutnya, al-Tahtawi memberikan makna terma “al-
Millah”(asosiasi keagamaan) menjadi formulasi teoritis, yaitu nasionalisme
(al-Qaumiyah) dan patriotisme (al-Wataniyah), yang sebelumnya belum
pernah terjadi pada pemikiran intelektual para ulama’.
Sesungguhnya al-Millah, di mata politik di ibaratkan seperti bangsa
atau golongan.Yaitu sekelompok masyarakat yang tinggal disebuah
negara, berbahasa dengan bahasa yang satu, bermoral satu,
berpendapatan dari sumber yang satu, dan patuh pada undang-undang
yang satu, serta negara yang satu.Itu semua disebut keluarga, warga
negara, bangsa, putera tanah air, maka al-Millah di sini diartikan
nasionalisme (al-Qaumiyah) dan patriotisme (al-Wataniyah).
Dari sini, dapat dicermati bahwa al-Millah yang dimaksudkan Rifa’ah
al-Tahtawi bukanlah al-Millah dengan makna ikatan keagamaan, karena al-
Millah yang dirumuskan oleh al-Tahtawi tidak memasukkan agama sebagai
salah satu unsur di dalamnya.Rabitah al-Wataniyah (asosiasi kebangsaan)
adalah ikatan yang lebih umum, sedangkan Rabitah al-Din (asosiasi
keagamaan) ialah ikatan yang lebih khusus.
Tak cukup hanya samapai di situ saja kecintaannya kepada tanah
airnya diungkapkan, ia juga berusaha menyampaikan melalui sejumlah teks
yang menguatkan fikrah nasionalismenya. Adalah sebuah peristiwa populer
tatkala Nabi SAW diusir dari Makkah yang disampaikan oleh Abdullah ibn
‘Abbas, ketika hendak meninggalkan Makkah, beliau menghadap ke arah
Ka’bah seraya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa
engkau adalah lembah terbaik yang ada di atas muka bumi dan yang paling
dicintai oleh Allah. Seandainya pendudukmu tidak mengusirku, aku pasti
tidak akan pernah pergi meninggalkanmu”.
Setelah menekankan arti pentingnya mencintai tanah air secara umum,
al-Tahtawi kemudian mencoba beralih ke ranah yang lebih spesifik, yaitu
mencintai negeri Mesir.Dalam konteks ini, al-Tahtawi tidak hanya
mengetengahkan bukti-bukti rasional logis atas kewajiban masyarakat Mesir

20
untuk mencintai tanah airnya, namun juga menguatkannya dengan landasan-
landasan dasar Islam dan tradisi Islam. Sebagaiman diriwayatkan bahwa
Abdullah ibn ‘Umar (612–692 M) pernah menyatakan, “Penduduk Mesir
adalah orang-orang A’jam (asing) paling mulia, paling toleran, paling
bagus bentuk fisiknya, dan paling dekat dengan orang Arab secara umum
dan orang Quraish secara khusus”. Hal ini disampaikan oleh Abdullah ibn
‘Umar berdasarkan pandangannya kepada kepribadian Hajar dan
Mariyah.Hajar adalah ibu Nabi Isma’il, berasal dari desa Ummu Dinar atau
Ummu Daninyang keduanya terletak di Mesir. Begitu pula dengan Mariyah,
ia ialah ibu Nabi Ibrahim, berasal dari desa di dataran sekitar Giza.
Dari sumber yang lain, al-Tahtawi pun berusaha menyebutkan
kesaksian-kesaksian Islam atas keutamaan negeri Mesir, misalkan perkataan
Nabi Yusuf yang terekam dalam al-Qur’an,“Jadikanlah aku bendaharawan
negeri (Mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga dan berpengetahuan”. Menurut sebagian Mufassir (pakar ilmu
Tafsir), ayat ini mengandung arti bahwa Mesir adalah bendaharawan seluruh
bumi dan bahwa Mesir adalah kekuasaan di bumi.
Sedangkan kewajiban utama seorang patriot menurut al-Tahtawi
adalah mematuhi hukum yang ada di negaranya, jika seseorang tidak
mematuhi hukum, maka dengan kata lain ia tidak memenuhi kewajibannya,
dan sudah sepantasnya ia akan kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.
Disamping memenuhi hukum, kewajiban seorang patriot juga membina
persatuan dan rela berkorban baik harta, maupun jiwan kepada tanah
air.Sedangkan konsekuensi seorang patriot yang telah berusaha memenuhi
kewajiban kepada tanah airnya adalah ia berhak mendapatkan haknya, hak
yang terpenting bagi patriot adalah kemerdekaan yang sempurna di tengah-
tengah masyarakatnya, sebab kebebasanlah yang mewujudkan masyarakat
sejati serta patriotisme yang kokoh.

21
Kemudian al-Tahtawi menyebutkan tentang pembagian kebebasan (al-
Hurriyah) bagi seseorang. Ia membaginya menjadi lima, yaitu kebebasan
alamiah (Hurriyah Tabi’iyah), independensi perilaku (Hurriyah
Sulukiyah),ebebasan beragama (Hurriyah Diniyyah), independensi
berperadaban (H{urriyah Madaniyyah), dan kebebasan berpolitik (Hurriyah
Siyasiyah). Menurutnya, kebebasan alamiah adalah kebebasan yang ada
bersamaan dengan penciptaannya sebagai manusia, seperti makan dan
minum. Lalu independensi perilaku dicontohkan dengan berprilaku baik
dalam kehidupannya, sehingga akan mendatangkan ketentraman bagi dirinya
maupun dalam bermuamalah dengan masyarakat. Adapun kebebasan
beragama, ia gambarkan seperti kebebasan dalam berpadangan mengenai
akidah, mengemukakan pendapat dan bermadhhab. Dengan ketentuan tidak
menyimpang atau keluar dari agama asalnya, layaknya al-Asha’irah, al-
Maturidiyah. Sedangkan independensi berperadaban ialah hak bagi para
penduduk yang ada pada sebuah kota dengan satu sama lainnya, yang
mendapatkan jaminan atas beberapa hak mereka dengan syarat tidak
melanggar undang-undang pada negara tersebut. Terakhir kebebasan
berpolitik yang juga diartikannya kebebasan internasional, yaitu jaminan
yang diberikan negara kepada setiap warga negaranya terhadap harta benda
pribadi yang dimiliki, jika ingin mengadakan transaksi antar negara.
Sementara di sisi lain al-Tahtawi mengatakan, bahwa tujuan
pendidikan haruslah untuk membentuk kepribadian, bukan hanya untuk
memberikan seperangkat pengetahuan. Edukasiharus menanamkan
pentingnya kesehatan jasmani, keluarga serta kewajibannya, persahabatan,
dan di atas semua adalah menanamkan patriotisme Hubb al-Watan atau cinta
tanah air, perihal tersebut adalah motif utama yang membuat manusia
berusaha membangun masyarakat yang beradab. Hal tersebut dapat
dipahami, bahwa arah pendidikan tak sekedar membentuk siswa yang
ceradas secara intelektual, melainkan pula cerdas dari segi emosi dan

22
spiritual. Selainitu, juga mencetak siswa yang mempunyai jiwa-jiwa
patriotisme, sebab tidak akan bermanfaat jika mempunyai pelajar yang
pandai akan tetapi berjiwa penghianat, yang nantinya sekedar mencetak
generasi-generasi penghancur bangsa, dengan hanya memanfaatkan negara
demi kepentingan pribadi.
Al-Tahtawi juga menekankan tentang pemikiran urbanismenya, bahwa
hal tersebut tidak akan muncul, kecuali dari masyarakat yang cerdik.
Sebagaimana disampaikan oleh sebuah hadith, “Cinta tanah air adalah
bagian dari keimanan”, walaupun tidak diakui akan keabsahan hadith ini.
Selain itu, Umar ibn al-Khattab pernah berkata, “Allah memakmurkan suatu
negara dengan kecintaan penduduknya kepada tanah airnya”.Demikian pula
dengan ‘Ali ibn Abi Talib menyampaikan, “Kebahagian seseorang adalah
mendapatkan rezeki di negerinya sendiri”.

Sikap Rifa’ah al-Tahtawi berkenaan dengan patriotisme dan


urbanisme, terutama patriotisme bukan berarti dimaksudkan untuk
meniadakan ikatan keagamaan (Rabitah al-Din) yang telah berkembang
subur di kalangan Muslim Arab, khususnya Mesir.Rifa’ah al-Tahtawi tetap
memandang penting peran-peran agama maupun shari’at Islam di kalangan
Muslim atau masyarakat Mesir.Salah satu peran shari’at Islam, misalnya,
memberikan latihan karakter dalam kebajikan religius, memotivasi agar
seimbang dalam mengejar kebahagian di dunia dan di akherat.Hanya saja,
keberlanjutan patriotisme dengan peran positifnya tersebut, tetap
menyertakan jaminan adanya kesesuain atau keselarasan dengan shari’at
Islam.

e. Pemahaman Rifa’ah Al-Thahtawi Tentang Ajaran Islam

Islam Kiri Versus Islam Kanan

23
Dalam konteks ke-Islam-an dewasa ini wacana tentang pemahamannya
mengalami polarisasi-polarisasi tertentu. Namun, setidaknya terdapat dua
pola yang terlihat dalam posisi berhadapan dan saling tarik-menarik. Pola
pertama, mengetengahkanakan sisi Islam yang plural dan hamper bias
dikatakan melihat berbagai dimensi keagamaan dengan prespektif realitifitas
atau dengan istilah populer Islam Liberal. Sementara pola kedua, sangat
terkungkung dengan teks-teks keagamaan dan mendakwahkan bahwa
semata-mata taat terhadap teks masih berada pada jalan yang benar atau
Islam Fundamental. Adapun sebutan Islam Liberal seperti yang diakui
Kurzman, sebelumnya pernah dipopulerkan oleh Asaf ‘Ali AsgharFyzee
(India, 1899- 1981).
Islam Rahmah li al-Aamin, sebutan itu yang sebenarnya ada dalam
Islam jika kita mau terbuka. Dengan begitu pembagian Islam menjadi
liberal, fundamental, dan lain sebagainya tak lepas dari penilaian yang
berbeda-beda serta pengaruh konstalasi sosial-politik. Lahirnya pandangan
tentang Islam liberal sebenarnya juga dipengaruhi oleh beberapa sebab,
yaitu: “keyakinan perlunya sebuah filsafat dialektik, keyakinan adanya aspek
historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan, perlunya membuka kembali
pintu ijtihad, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman, perlunya
pembaharuan pendidikan, dan pentingnya menaruh simpati pada hak-hak
perempuan dalam Islam”.
Menurut Adams, liberalisme sebenarnya sudah terkandung sejak
revolusi politik abad kedelapan belas, dan secara prinsip berkaitan dengan
isu hak-hak sipil serta konstitusi. Revolusi besar lainnya pada zaman itu,
yang bahkan lebih banyak berperan dalam menciptakan dunia modern adalah
revolusi Industri. Dari sini, gagasan-gagasan liberal memegang peran sangat
penting. Pada masyarakat modern sering liberalism dikaitkan dengan para
konseptor abad delapan belas dan Sembilan belas, padahal ini merupakan
kredoklasik kaum liberal.

24
Zuly Qodir menegaskan mengenai kaum intelektual liberal yang
dimaksudkan saat ini dan bukan terpaut pada kredoklasik saja,
Menempatkan al-Qur’an dan al-Haditsh sebagai kitab terbuka untuk
diinterpretasikan tanpa harus terpaku pada satu bentuk interpretasi yang
sifatnya hegemonic, melakukan rekonsiliasi antara keimanan dan
modernitas, bersedia mengadopsi system konstitusi dan kebudayaan dunia
modern, memiliki kebebasan dalam menginterpretasikan agama, mengikuti
pendidikan gaya modern dengan mengadopsi rasionalitas, tidak berpikir
sectarian sehingga dapat memahami perbedaan pandangan yang muncul
tanpa melakukan penghakiman atas pihak lain yang berbeda, mengakui
adanya pluralisme agama, bersikap inklusif-toleran dalam beragama.
Nampaknya tak hanya pada pengertian atau definisi tentang Islam Liberal
saja yang masih debatable, namun pada terminologi Fundamental pun
demikian. “Islam Formalis” begituterma yang dilekatkan pada suatu
kelompok Islam yang memiliki militansi dalam menyebarkan Islam. Faksi
ini oleh para mufakkir lebih direpresentasikan pada suatu golongan yang
ekstrimis, radikalis atau menurut istilah Khalid Abu al-Fadl mereka ini
disebut dengan Puritan.
Fundamentalisme lawan katanya adalah parsialisme, lain halnya
dengan Muhammad ‘Imarah dalam menyikapi pemaknaan fundamentalisme,
menurutnya tidak ditemukan dalam referensi klasik secara etimologis
maupun terminologis tentang kata fundamentalisme ini. Melainkan yang ada
akar kata “al-Asl” dengan arti bagian paling dasar dari sesuatu dan hitungan,
dan bentuk jamaknya adalah“al-Usul”. Dapat ditemukan dalam Al-Qur’an
surah al-Safat ayat 64 yang artinya: “Sesungguhnya ia adalah sebatang
pohon yang keluar dari dasar neraka jahim”. ‘Imarah menambahkan,
mengenai terminologis fundamentalisme dalam Islam sebagai bantahan
terhadap para penulis maupun pemikir Barat, sebagian penulis Barat yang
memakai terminology fundamentalisme untuk kebangkitan Islam

25
kontemporer, berbicara tentang hubungan kebangkitan ini dengan masa lalu
Islam. Mereka menjadikan sikap kebangkitan ini terhadap masa lalu dan
warisan Islam bertolak belakang dengan sikap kaum fundamentalis Barat
terhadap masa lalu dan warisan tradisi Kristen mereka. Jika pengertian Barat
tentang fundamentalisme adalah kembali kemasalalu, memusuhi kekinian
dan masa depan, tetapi kebangkitan Islam kontemporer – menurut para
penulis Barat tersebut- mengambil sikap yang berbeda dalam hubungannya
dengan masa lalu dan pandangannya terhadap masalalu itu serta
hubungannya dengan masa depan. Kebangkitan Islam ini tidak ingin
menghidupkan masa lalu dan tidak dengan cara yang dilakukan oleh aliran-
aliran statis dan konservatif, melainkan kebangkitan yang memandang masa
lalu ini untuk dijadikan petunjuk untuk masa depan. Demikian itu, menurut
para penulis Barat, menjadikan kelompok kebangkitan ini dinilai sebagai
kelompok revolusioner bukan konservatif.
Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ‘Imarah di atas, pada
fenomena yang berkembang saat ini, dengan adanya sebagia n golongan
dengan menggunakan label Islam untuk menyudutkan satu sama lain.
Kelompok ini menjurus pada sikap berhati-hati terhadap segala sesuatu yang
datangnya tidak dari wilayah Arab, dan mereka percaya bahwa pengaruh
dari non Islam misalnya sufisme atau tawassul kepada para wali itu berasal
dari bangsa seperti Persia, Turki, serta Yunani.
Dari uraian di atas, dapat memberikan gambaran betapa luas spectrum
pemikiran intelektual Muslim, baik paradigm mereka tentang liberal maupun
fundamental dari prespektif terminologis. Mungkin lewat kacamata
semacam inilah, lahir aksioma bahwa Islam itu terdiri dari Islam Liberal,
Islam Fundamental, Islam Moderat, dan lain sebagainya. Semoga melalui
penjabaran yang singkat ini, dapat memberikan cerminan atau deskripsi
mengenai wacana Islam liberal dan fundamental.

26
f. Hambatan dakwah dan cara mengatasi nya, pada masa Rifa’ah Badawi Al
Tahthawi
Al-Tahtawi sebagai pembawa ide pembaharuan pendidikan
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan modern agar dikuasai oleh para
ulama, sehingga mereka dapat menyesuaikan pengetahuan agama dengan
pengetahuan modern. Ulama dituntut berpikir maju dan rasional. Semakin
maju dunia, semakin luas wawasan yang harus dimilikinya. Dengan
wawasan yang luas, para ulama tidak akan lagi menganggap pintu ijtihad
tertutup, seperti pada masa sebelumnya. Dalam bukunya tentang ijtihad dan
taklid, Al-Tahtawi mengatakan bahwa pintu ijtihad terbuka lebar. Pada
masanya ia belum berani mengutarakan gagasannya dengan jelas dan terang-
terangan. Masyarakat Islam masih menganggap gagasan tersebut terlalu
radikal pada zamannya. Meskipun demikian, masih banyak masyarakat yang
memilih untuk tetap berijtihad.
Dalam membangun nama besarnya, Al-Tahtawi mendapat banyak
rintangan. Jatuh bangun posisi Al-Tahtawi sangat terkait dengan suhu politik
yang berkembang pada masa itu. Meski Al Tahtawi bukan politikus, tetapi
keterlibatannya dalam menentukan kebijakan pendidikan rezim tertentu,
menyebabkannya dianggap sebagai bagian dari rezim tersebut. Ketika rezim
tersebut tumbang, Al-Tahtawi juga ikut menanggung akibatnya. Al-Tahtawi
dipindah tugaskan dan diasingkan, sehingga ia tidak dapat berbuat banyak
dalam merealisasikan pemikiran pembaharuan nya secara maksimal.
Gagasan Al-Tahtawi dalam membangun dunia pendidikan sangat bergantung
pada kebijakan pemerintahan, sehingga pemikiran Al-Tahtawi belum dapat
terwujud seluruhnya pada masanya, tetapi ia telah membuat suatu terobosan
yang nantinya diikuti oleh para modernis sesudahnya. Aktifitas yang
dilakukan Al-Tahtawi bersama orang-orangnya di bidang penerjemahan
memiliki kontribusi yang cukup besar, karena dengan adanya buku-buku

27
terjemahan, kekurangan literature tentang ilmu pengetahuan baru yang
berbahasa Arab dapat dieliminir.
Al-Tahtawi telah membawa kegiatan penerjemahan di Mesir
mengalami kemajuan yang pesat. Materi pembelajaran di madrasah-
madrasah Mesir yang sebelumnya hanya berkaitan dengan materi-materi
keagamaan, dapat diperbarui dengan materi-materi baru yang diadopsi dari
Barat yang sudah diterjemahkan. Buku-buku terjemahan tersebut diajarkan
disekolah-sekolah sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka terapkan.
Dengan adanya buku-buku tersebut para pelajar dan mahasiswa dapat
dengan mudah memahami dan mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan modern
yang mereka butuhkan pada saat itu.

2. Jamaluddin Al-Afghani
a. Pelestarian Kegiatan Ijtihad
Walaupun tidak ada keputusan resmi bahwa ijtihadtelah tertutup,
namun sebagian besar ulama Islam menyatakan bahwa “Ijtihad tidak terlalu
diizinkan”(Watt, 1988: 106).Fakta sejarah menunjukkan bahwa tidak ada
mazhab baru yang resmi membukanya sesudah abad ke 9 M, kecuali hanya
sebagian dari penganut mazhab Hambali.Kemudian baru pada pertengahan
abad ke 9 M, ruh ijtihaditu ditembuskan kembali, setelah umat Islam terkejut
dari lamunan tentang masa lalunya. Mereka segera menyadari akan
kelemahannya. Faktor pendukung lahirnya kesadaran umat Islam ini adalah
tersebarnya pikiran-pikiran Jamaludin Al-Afghani ke tengah masyarakat
muslim (Madkur, 1984: 98).
Jamaludin Al-Afghanisebagai tokoh reformis, tidak hanya vokal
menyuarakan agar kembali membuka pintu ijtihad tetapi ia secara sistematis
membuat satu rencana untuk merelisasikan program ijtihadnya, yaitu
menyesuaikan pemahaman akan syari’at Islam dengan kondisi modern,
semua ini akibat pertemuan antara masyarakat muslim dengan Barat

28
(Madkur, 1984: 98). Ia menanggapi secara serius pernyataan Hakim Iyad
bahwa pintu ijtihadtelah tertutup(Madkur, 1984: 98). Menurut Jamaludin Al-
Afghani, dengan tertutupnya pintu ijtihad, menyebabkan munculnya
kelemahan dan kemunduran serta ketertinggalan umat Islam.
Thesissemacam ini telah mendorongnya untuk selalu memperjuangkan agar
semua muslim yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad. Bahkan
perubahan dan kemajuan zaman itu adalah merupakan inspirasi dan lahan
yang luas untuk berijtihad(Madkur, 1984: 100).

Pelestarian ijtihadmenurut Jamaludin Al-Afghaniadalah perenungan


kembali secara mendalam nilai-nilai Islam, dengan cara mengadakan
ijtihadterhadap al-Qur’an, menghilangkanfanatisme mazhab, menghilangkan
taqlid golongan, menyesuaikan prinsip al-Qur’an dengan kondisi kehidupan
umat, melenyapkan khurafatdan bid’ah-bid’ah dan menjadikan Islam sebagai
satu kekuatan positif untuk mengarahkan kehidupan (Nasution, 1991: 55).

b. Salafiyah
Jamaluddin Al-Afghani juga mengembangkan pemikiran (dan
gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk
dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran
Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi
pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf(pendahulu) yang saleh yaitu
Muhammad SAW yang membawa ajaran Islam yang murni. Sebenarnya
Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran
salafiyah (revivalis).
Ibnu Taymiyahtelah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula
Syeikh Mohammd Abdul Wahabpada abad ke-18. Tetapi salafiyah(baru)
dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yaitu : 1) Keyakinan bahwa
kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau
umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan meneladani

29
pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin; 2)
Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi
maupun kebudayaan; dan 3) Pengakuan terhadap keunggulan barat dalam
bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari
barat dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanyamengambil
kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan
kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat
itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. Adapun alairan-aliran
salafiyahsebelum Afghani hanya terdiri dari unsur pertama saja (Sajdzali,
1993: 124-125).

Pada intinya pemikiran dan gerakan salafiyah merupakan ajakan


kembali kepada ajaran Islam terdahulu yang masih murni.

c. Pemurnian Ajaran Islam


Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam serta
pengembalian keutuhan umat Islam, Jamaluddin Al-Afghani berusaha untuk
mencapai pembaharuan tersebut, antara lain dengan cara : 1) Rakyat harus
dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan; 2) Orang harus yakin bahwa ia
dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur; 3) Rukun iman harus betul-
betul menjadi pandangan hidup; dan 4) Setiap generasi umat harus ada
lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan kepada
manusia bodoh, memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin
(Saefuddin, 2003: 88).

Memurnikan ajaran Islam dari segala unsur tahayul, bid’ah dan


khurafat.Gerakan ini berusaha mengembalikan Islam kepada sumber aslinya
membersihkan tauhid dari syirik, membersihkan ibadah dari bid’ah,
mengajarkan hidup sederhana sebagai pengganti kemewahan hidup yang
melanda kaum muslimin saat itu. Adapun cara-cara dakwah untuk

30
mencapai tujuan dari pembaharuan pemikiran yang dimunculkan Jamaluddin
al-Afghaniadalah : 1) Dengan banyak mengunjungi negara-negara Islam; 2)
Menerapkannya di dalam kurikulum sekolah atau universitas Islam; 3)
Melalui penerjemahan buku-buku asing; 4) Melalui penerbitan berbagai
media cetak dan organisasi Islam; dan 5) Melalui berbagai penelitian yang
ditulisnya (Saefuddin, 2003: 89).

d. Bidang Politik
Menurut Jamaludin Al-Afghani, ada dua faktor politis yang
menyebabkan kemunduran Islam, yaitu faktor internal, meliputi:
Pemerintahan otokrat-absolut, kurangnya peralatan dan kekuatan militer,
termasuk kekurangan profesionalisme dalam bidang administrasi.
Kemunduran faktor ekesternal, yaitu dominasi kekuatan imprialisme Barat
modern. Misalnya di Afganistan telah terjadi konflik antara keluarga
kerajaan dengan penguasa, karena politik Inggris dan karena tipu daya
Inggris itulah ia pindah ke India.
Jamaludin Al-Afghani terus menerus mengobarkan semangat jihad
kepada umat Islam, agar mereka bangkit bersatu melawan orang-orang yang
menghinakan mereka, baik dengan tulisan maupun dengan cara-cara
lainnya.Ia menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai dasar untuk melawan
imperialisme Barat, diantaranya:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang diluar kalanganmu, (karena) mereka tidak
henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu......”. (Ali Imran: 118).
“Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah janganlah
kamu bercerai berai”. (Ali Imran: 103) (Saefuddin, 2003: 43).
Selain itu dapat pula dilihat pada surat-surat: Al-Baqarah: 57, Ali-
Imaran: 105, AnNisa’78, Al-Anfal: 46, Al-Ra’ad: 11, Al-Hajj: 46, Al-Qasas:
51, Al-An-Kabut: 2, Al-Ahzab : 62, Al-Zariyat: 55, dan Al-Mumthanah: 4.

31
Dalam dakwahnya, Jamaludin Al-Afghani selalu menyatakan bahwa
Inggris itu adalah perampas kehormatan, pelanggar hak-hak azasi manusia
dengan memaksa manusia sebagai budak.Ia juga menegaskan kepada umat
Islam bahwa agama suci ini memerintahkan untuk mengusir penjajah dari
negeri mereka, dan untuk tidak mengakui kekuasaan asing yang mengusai
negara umat Islam, bahkan penjajah-penjajah itu harus dilawan dengan
senjata (Saefuddin, 2003: 24). Keinginan akhir dari Jamaludin Al-Afghani
adalah ia berharap alQur’an menjadi pemimpin yang menguasai umat Islam
selalu ruhnya (Saefuddin, 2003: 45).
Al-Afghani adalah salah seorang pelopor pemikiran politik Islam
modern paling terkemuka yang mengilhami munculnya berbagai gerakan
sosial-politik di seluruh dunia Muslim (Azra, 2002: 247).Terkenal sebagai
orator ulung dan politikus sejati, Al-Afghani selalu mendasarkan kegiatan
agama dan politiknya pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam.Ia
adalah seorang yang anti terhadap pemerintahan otoriter.
Dalam perjuangan politiknya, Afghani kerap berpindah-pindah dari
satu negara ke negara lain, ini dilakukannya sebab seringkali pada suatu
negara ia mengalami pengusiran oleh penguasa setempat. Namun demikian
talenta politik Afghani memang telah tampak sejak awal, bahkan ia lebih
menonjol sebagai seorang aktivis gerakan politik ketimbang pemikir
keagamaan. Pendapat tersebut dipaparkan Harun Nasution yang juga ia kutip
dari berbagai pendapat dari Stoddart maupun Goldzhier. Pandangan ini
memang bukan sekadar komentar, tapi suatu pandangan yang memiliki
dasar. Jika kita amati kronologi perjalanan hidup Afghani, maka kita akan
mendapati agenda beliau dipenuhi dengan aktivitas politik. Talenta politik
ini memang sudah tampak sejak dini. Pada usia 22 tahun, ia membantu
pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan, lalu pada usia kurang lebih
25 tahun ia menjadi penasihat Sher Ali Khan, dan beberapa tahun setelah itu
Afghani diangkat sebagai perdana menteri oleh A’zam Khan.

32
Perjalanan politiknya ke berbagai negara pun patut mendapat sorotan,
semua ia lakukan untuk menggoyang posisi penguasa yang otoriter,
penguasa yang keluar dari rel amanat, dan juga untuk melawan dominasi
barat atas Negeri-negeri Muslim. Namun ia kerap kali terlibat pertentangan
dengan para pemimpin, kendati pemimpin itulah yang telah mengundangnya
masuk ke negaranya. Misalnya saja pada kasus Iran, ia diundang ke Iran
untuk urusan Iran-Rusia, namun sikap otoriter syah membuatnya menentang
syah dan berpendapat bahwa Syah harus digulingkan. Namun pendiriannya
ini membuatnya terusir dari Iran. Nasib yang lebih tragis diterimanya ketika
ia berada di turki, alih-alih menjadi penasihat sultan Hamid II, Afghani
malah berakhir sebagai tahanan kota hingga akhir hayatnya.
Adapun ide-ide pembaharuan Jamaludin Al-Afghani, dalam bidang
politik adalah sebagai berikut:
1. Pan-Islamisme
Salah satu ide Al-Afghani yang paling populer adalah Pan-
Islamisme.Ia bahkan dianggap orang yang paling bertanggung jawab
dengan ide tersebut. Dengan pemikiran ini, Al-Afghani umumnya
dipandang sebagai penganjur yang sebenarnya entitas politik Islam
universal yang pada proyek politiknya terpusat pada Pan-Islamisme atau
persatuan dan kesatuan Negara Muslim (Nasr, 1994: 3-5).
Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta
pengembalian keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan
suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah
islamiyah) atau Pan-Islamisme.Semasa hidupnya Jamaluddin Al-Afghani
memang berusaha untuk mewujudkan persatuan pan-Islamisme. Dan pa-
Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu,
melainkan mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja
sama. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting
dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila mereka berada

33
dalam kesatuan pandangan dan kembali kepada ajaran Islam yang murni,
yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasul (Asmuni, 1998 : 77).
Banyak orang sepakat bahwa dialah yang menghembuskan gerakan
Islam modern dan mengilhami pembaharuan di kalangan kaum Muslim
yang hidup ditengah-tengah kemodernan.Dia pula yang pengaruhnya
amat besar terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional
yang dilakukan dinegara-negara Islam setelah zamannya.Ia
menggabungkan ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu
pengetahuan yang diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern
(Amin, 2000: 293). Semua usahanya dicurahkan dengan menerbitkan
makalah-makalah politik yang membangkitkan semangat.
Inti Pan-Islamisme Afghani terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-
satunya ikatan kesatuan kaum Muslim. Dan jika ikatan tersebut
diperkokoh, jika menjadi sumber kehidupan dan pusat loyalitas mereka,
maka kekuatan solidaritas yang luar biasa akan memungkinkan
pembentukkan dan pemeliharaan Negara Islam yang kuat dan stabil
(Azra, 2002: 249). Semua usaha itu dicurahkan salah satunya dengan
menerbitkan makalah-makalah politik yang membangkitkan semangat.
2. Al-Hizb al-Wathani (Partai Nasional) dan Pemerintahan Republik
Gerakan politik yang dilakukan Jamaluddin Al-Afghani yaitu
menyebarkan ide PanIslamisme di dunia Islam. Untuk mencapai ide ini,
pada tahun 1879 atas usaha Afghani, terbentuklah Partai Nasional (Al-
Hizb al-Wathani) di Mesir, tujuan partai tersebut antara lain
memperjuangkan pendidikan universal, menyelenggarakan kebebasan
pers, pemasukkanunsur-unsur Mesir ke dalam posisi bidang militer dan
sebagainya. Gerakan ini pada tahun 1838M telah membangkitkan
semangat umat Islam dalam menggalang persatuan dan kesatuan dalam
menentang penjajahan bangsa Barat.

34
Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak
diperjuangkan oleh salafiyah di negara-negara Islam adalah pelaksanaan
ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan
badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap kekuasaan dan
kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta
pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi
politik dan sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan
dominasi Barat (Mursi, 2009: 38).
Menurut Afghani, cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas
kekuatan rakyat, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan
bahwa kalau memang ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak
ditunggu untuk diterima sebagai hadiah atau anugerah, maka kebebasan
dan kemerdekaan merupakan dua hal tersebut.
Ketika tinggal di Mesir, sejak awal Afghani menganjurkan
pembentukan “Pemerintahan Rakyat” melalui partisipasi rakyat Mesir
dalam pemerintahan konstitusional yang sejati. Ia banyak berbicara
tentang keharusan pembentukan dewan perwakilan yang disusun sesuai
dengan apa yang diinginkan rakyat, dan anggota-anggotanya terdiri dari
orangorang yang betul-betul dipilih oleh rakyat, sebab dia berkeyakinan
bahwa suatu dewan perwakilan yang dibentuk atas perintah raja atau
kepala negara, atau atas anjuran penguasa asing, maka lembaga tersebut
akan lebih merupakan alat politik bagi yang membentuknya.(Rahman,
1984: 77).
Tujuan utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua
negara-negara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah
imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan
bangsa Eropa.Ia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan
Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan

35
bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini adalah karena mereka
berpecah-belah.
3. Tidak ada Pemisahan Antara Agama dan Politik
Salah satu diantara pembaharuan pemikiran yang dimunculkan
Jamaluddin al-Afghani adalah tidak adanya pemisahan antara agama dan
politik. Hal ini dikarenakan, Afghani melihat sebab-sebab kemunduran
yang bersifat politis misalnya perpecahan yang terdapat di kalangan umat
Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada
orang yang tidak dapat dipercayai, mengabaikan masalah pertahanan
militer, menyerahkan administrasi Negara kepada orang yang tidak
berkompeten dan intervensi asing. Semua itu harus diubah dan dibatasi
oleh nilai-nilai agama.
Politik mestilah bersandar pada moral.Moral juga perlu disandarkan
dengan kepada ajaran tauhid.Jadi, politik adalah politik yang bersandar
pada ajaran tauhid.Politik yang seharusnya kita terapkan adalah politik
yang dibelenggu oleh nilai-nilai agama.Sebab itulah Islam menolak
sekularisme dan sekularisasi, yang sangat bertentangan dengan
Islam.Sekularisme memang meremehkan nilai-nilai agama dan
memandang agama sebagai masa lalu yang sudah tidak punya peranan
lagi dalam kehidupan publik.Agama juga hanya diperlukan pada
kehidupan pribadi saja.
4. Ide Tentang Modernitas
Kalau dipahami secara seksama tentang penyebab kemunduran umat
Islam selama ini adalah munculnya sikap fatalisme di kalangan umat,
yang menyebabkan terjadinya pembatasan kreativitas, sehingga ide-ide
kreatif tidak lagi muncul dari umat Islam.Semua ini mendorong terjadinya
ketertinggalan, kemiskinan dan kebodohan umat Islam itu sendiri.
Dimana membuat mereka dapat dikuasai dan dipermainkan oleh negara-
negara Barat modern, yang sangat menghargai akal dan cara berfikir

36
rasional serta prinsip hukum kualitas. Selain itu pemahaman terhadap
ajaran Islam yang kurang tepat, juga merupakan faktor penyebab
kemunduran umat Islam selama ini.

Untuk mengatasi semua persoalan ini, Jamaludin Al-Afghani


mengeluarkan kebijakan sebagai berikut: 1) Dasar modernitas umat Islam
harus bercermin pada nilai suci Al-Qur’andan hadis, sebagai doktrin asli
guna mengeliminir kekurangan internal umat Islam; 2) Melenyapkan
paham fatalis dan menggantikannya dengan paham rasionalis; dan 3)
Tehnik dan strategi penerapannya harus mengacu kepada sains dan
tehnologi Barat Modern. Kemudian mempelajari rahasia kekuatan
mereka, guna menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan
kebijaksanaan modernitas dalam Islam (Supriyadi, 2008: 103).

e. Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani

Abad ke 19 hingga abad ke 20 merupakan suatu momentum dimana


umat Islam memasuki suatu gerbang baru, gerbang pembaharuan. Fase ini
kerap disebut sebagai abad modernisme, suatu abad dimana umat
diperhadapkan dengan kenyataan bahwa Barat jauh mengungguli mereka.
Keadaan ini membuat berbagai respon bermunculan, berbagai kalangan
Islam merespon dengan cara yang berbeda berdasarkan pada corak
keislaman mereka. Ada yang merespon dengan sikap akomodatif dan
mengakui bahwa memang umat sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa
Barat agar dapat bangkit dari keterpurukan itu. Ada pula yang merespon
dengan menolak apapun yang dating dari Barat sebab mereka beranggapan
bahwa itu di luar Islam. Kalangan ini meyakini Islamlah yang terbaik dan
umat harus kembali pada dasar-dasar wahyu, kalangan ini kerap disebut
dengan kaum revivalis.

37
Sejumlah pemikir keagamaan muncul diantaranya Jamaluddin Al-
Afghani dan Muhammad Abduh yang berusaha menghidupkan kembali
kalam dan menambahkan ketertinggalan dengan menampilkan tesis baru,
serta berusaha menyelesaikan beberapa masalah yang muncul di kalangan
umat Islam yang diakibatkan oleh peradaban modern (Amin, 2000: 66).
Abad modernisme Islam yang ditandai dengan dominasi Eropa,
dimana dominasi Eropa atas dunia Islam, khususnya di bidang politik dan
pemikiran ini ditanggapi dengan beragam cara sehingga melahirkan
kalangan modernis dan fundamentalis. Modernisme cenderung akomodatif
terhadap ide Barat meskipun kemudian mengembangkan sendiri ide-ide
tersebut, sedangkan fundamentalisme menganggap apa–apa yang datang dari
Barat adalah bukan berasal dari Islam dan tak layak untuk diambil.
Fundamentalisme merupakan suatu paham yang lahir atau besar setelah
fasemodernisme.
Berbicara abad pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari seorang
tokoh yang merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam, Jamaluddin
Al-Afghani, seorang pembaharu yang memiliki keunikan, kekhasan, dan
misterinya sendiri. Berangkat dari pembagian corak keIslaman di atas,
Afghani menempati posisi yang unik dalam menanggapi dominasi Barat
terhadap Islam. Di satu sisi, Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi
ide-ide yang dating dari Barat, ini dilakukannya demi memperbaiki
kemerosotan umat. Namun di lain sisi, Afghani tampil begitu keras ketika itu
berkenaan dengan masalah kebangsaan atau mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan keIslaman. Alhasil, Afghani memijakkan kedua kakinya di
dua sisi berbeda, ia seorang modernis tapi juga fundamentalis. Nampaknya
tepat apa yang dikatakan Black bahwa Afghani adalah puncak dari kalangan
modernis dan fondasi bagi kalangan fundamentalis (Black, 2006: 550).
Tidak adanya kebersatuan di antara umat Muslim merupakan titik
strategis yang digunakan oleh kolonialisme Barat untuk menjajah dan

38
sedapat mungkin mengeruk kekayaan negara-negara Islam. Lemahnya
pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat terhadap ilmu-ilmu Islam
sendiri bahkan dan juga ilmu-ilmu lainnya menjustifikasi bahwa semangat
intelektual yang sangat diagung-agungkan oleh Islam pudar kala itu.

f. Hambatan dakwah dan cara mengatasi nya, pada masa Jamaluddin Al-
Afghani
Kalau dipahami secara seksama tentang penyebab kemunduran umat
Islam selama ini adalah munculnya sikap fatalisme di kalangan umat, yang
menyebabkan terjadinya pembatasan kreativitas, sehingga ide-ide kreatif
tidak lagi muncul dari umat Islam. Semua ini mendorong terjadinya
ketertinggalan, kemiskinan dan kebodohan umat Islam itu sendiri. Dimana
membuat mereka dapat dikuasai dan dipermainkan oleh negara-negara Barat
modern, yang sangat menghargai akal dan cara berfikir rasional serta prinsip
hukum kualitas. Selain itu pemahaman terhadap ajaran Islam yang kurang
tepat, juga merupakan faktor penyebab kemunduran umat Islam selama ini.
Untuk mengatasi semua persoalan ini, Jamaludin Al-Afghani
mengeluarkan kebijakan sebagai berikut: 1) Dasar modernitas umat Islam
harus bercermin pada nilai suci al-Qur’an Akmal Hawi Keberagaman
Komunitas Muslim dan Islam Keindonesiaan 21 dan hadis, sebagai doktrin
asli guna mengeliminir kekurangan internal umat Islam; 2) Melenyapkan
paham fatalis dan menggantikannya dengan paham rasionalis; dan 3) Tehnik
dan strategi penerapannya harus mengacu kepada sains dan tehnologi Barat
Modern. Kemudian mempelajari rahasia kekuatan mereka, guna menjadi
bahan pertimbangan dalam penentuan kebijaksanaan modernitas dalam
Islam (Supriyadi, 2008: 103).

39
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Karakteristik pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir ada  keragaman yang
menjadi  acuan serta latar belakang tokohnya. Pembaharuan di Mesir lebih banyak
berangkat dan digerakan pembaharuan pemikiran akademis baik itu dari lulusan
Al-Azhar sebagai tempat khazanah ilmu atau perguruan tinggi lainnya. Begitu pula
latar belakang kehidupan dan pengalaman seorang tokoh pembaharu akan
mewarnai gerakan pembaharuan yang dilakukannya.

Di Mesir tokoh pembaharuan berhadapan dengan keadaan pola pendidikan,


politik dan sosial keagamaan masyarakat yang sedang mengalami penjajahan dari
bangsa Barat. Sehingga segala sesuatu yang akan menghalangi tujuan tersebut
akan dilawan  dengan cara revolusioner. Sehingga berangkat dari setiap latar
belakang Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahtawi dan Jamaluddin Al-Afghani akan
sangat mempengaruhi gerakan gerakan pembaharuannya.

40
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam
bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritik, saran dan masukan dari pembaca yang dapat membangun penulisan
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Fazlurrahman. 2018. Rifa’ah Thahthawi : Sang Pembaharu Pendidikan


Islam. Surabaya: UMSurabaya Publishing (http://repository.um-
surabaya.ac.id/4468/1/buku_rifaah.pdf Diakses pkl. 15.00 WITA, 22
Maret 2021)

AkmalHawi. “PemikiranJamaluddin Al-Afghani (Jamal Ad-Din Al-Afghani) (1838 –

1897 M)”. Medina-Te, Vol. 16 No. 1, 2017, h. 12-14.

M. FazlurrahmanHadi. 2018. Rifa’ahThahthawi Sang PembaharuPendidikan Islam.


Surabaya:UMSurabaya Publishing.

Nasution, Harun. “Pembaharuan Dalam Islam". Jakarta: BulanBintang,1975

41
42

Anda mungkin juga menyukai