Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID

Dosen pengampu: Hulaimi Al-Amin, MA

Oleh:

Sintiya Nanda Islami (200601141)

Putri Nabila (200601131)

JURUSAN ILMU TAFSIR DAN QUR’AN

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MATARAM

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT tuhan yang maha kuasa atas segala rahmat, taufik, dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupin isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai satu acuan petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam
administrasi pendidikan. Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat minim. Oleh
karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................

A. Latar Belakang...........................................................................................................................
B. Rumusan Makalah.....................................................................................................................
C. Tujuan ........................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid................................................................................................


B. Latar Belakang Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid..........................................................
C. Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid......................................................................................

BAB III PENUTUP..................................................................................................................................

A. Kesimpulan.................................................................................................................................

DAFTAR FUSTAKA...............................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang masalah

Ada dua hal yang penting dan saling berkaitan satu sama lain, untuk diperhatikandalam kerja hermeneutic Kitab
suci Al-Qur’an, yaitu memahami watak dan hakikat kitabsuci Al-Qur’an di satu sisi, dan bagaimana menafsirkannya
di sisi lain. Apabila yangpertama berkaitan dengan pandangan kita terhadap substansi kitab suci, maka yangkedua
berkaitan dengan langkah-langkah metodologis seperti apa yang dianggap tepatdan sesuai dengan hakikat kitab suci.

Memahami hakikat kitab suci mengandalkan satu hal yang berdimensi ganda. Disatu sisi ia di dalam
pemahaman sosiokultural termasuk sesuatu yang disakralkan,berasal dari alam yang berbeda, disatu sisi yang lain ia
berwujud pada fakta materil, menggunakan sarana-sarana manusiawi dalam perwujudannya. Kitab suci
dalamkonteks Al-Qur’an, merupakan kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibrilkepada Nabi Muhammad
SAW. Untuk disampaikan kepada masyarakat pada masanya.

Kalam Allah sampai pada saat diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW tidakdapat dikenal dan diketahui
bagaimana dan seperti apa kalam itu, karena belum berwujud materi yang dapat ditangkap oles siapa saja yang ada
ketika proses penyampaian tersebut berlangsung. Baru setelah disampaikan oleh Nabi kepadasahabat, kalam tersebut
berwujud, pertama dalam bentuk bahasa lisan, kemudian dalam bentuk tulisan. Kalam tersebut, sebagaimana yang
kita terima pada saat ini, telah mengalami proses perjalanan transisi yang panjang sebelum kemudian dibakukan
padazaman Kekhalifahan Utsman bin Affan yang terkenal dengan Rosam Utsmani. Karena berdimensi dua, Al-
Qur’an dapat dilihat menurut kerangka yang berbeda. Pertama, ia dilihat dari sisi asal usul keberadaannya, yaitu
Allah. Kedua, ia dilihat darifakta materilnya, yaitu berupa suara tertentu ketika dibaca dan berupa rangkaian huruf-
huruf dalam bentuk tulisannya. Yang pertama bersifat teologis, sementara yang kedua bersifat linguistic atau bahasa
sastra hasil dari budaya.Perbedaan teologis mengenai Al-Qur’an terjadi pada masa lalu, dan tetap dominan bahkan
mungkin sampai sekarang, disela sela dominasi anggapan teologis mengenai Al-Qur’an ini muncul menjelang abad
ke 20 suara-suara yang lambat laun. semakin menguat, suara-suara yang meneriakan aspek materialitas kalam Allah.
Suara-suara inilah yang mulai menarik perhatian generasi sekarang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kehidupan Nasr Hamid Abu Zayd ?


2. Apa latar belakang hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd ?
3. Bagaimana hermeneutik tekstualitas Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd?

C. Tujuan

1. Mengetahui kehidupan Nasr Hamid Abu Zayd?


2. Mengetahui latar belakang hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd?
3. Mengetahui metode hermeneutik tekstualitas Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd?
BAB II

PEMBAHASAN

A.Biografi Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh yang sangat terkenal ini tidak hanya dikenal didepan para pengkaji
pemikir islam kontemporer di Indonesia, akan tetapi juga dimanca Negara, Eropa dan Amerika. Karena
kekritisannya, Abu Zayd bisa dimasukkan dalam kategori pemikir pemberontak. Maksud penulis memberikan
makna pemberontak, bukan berartipada hal negative, akan tetapi ditujukan untuk menamai sebagian pemikir Islam
yang yangmemiliki pemikiran terobosan dan cenderung melakukan reformasi terhadap pemikiran Islam.Abu Zayd
dilahirkan pada 1 Juli 1943 disebuah desa yang bernama Thantha, Ibu kotaPropinsi Al-Gharbiyah, Mesir. Orang
tuanya member nama Nasr dengan harapan agar diaselalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat
kelahirannya bertepatan dengan Perang Dunia II. Pada 1952, Mesir dilanda krisis kepemimpinan yang melahirkan
Revolusi Juli, yakni pada 26 Juli 1952, sekaligus peralihan status dari kerajaan menjadi republic, dari tangan Raja
Faruq ke tangan Jamal Abd Nasr. Situasi Perang Duinia II, RevolusiJuli, dan kehidupan keluarganya telah
membentuk kepribadiannya menjadi seorang yangkritis, penuh tantangan, dan bertanggung jawab. Pada usia empat
belas tahun setelaha yahnya wafat pada oktober 1957, dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya, untuk menjaga
seluruh keluarganya.1

Dalam sejarah pertumbuhannya tercatat bahwa gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimin berkembang pesat
didaerah tempat Abu Zayd tumbuh dan dibesarkan. Bahkan, cabang Al-Ikhwanul Muslimin di kampungnya
termasuk yang paling aktif di Mesir. Sebgaiamana anak-anak lainnya di daerah tersebut, Abu Zayd sangat aktif
dalam gerakan Al-Ikhwanul Muslimin. Dan dia keluar dari Ikhwanul Muslimin pada tahun 1964. Pendidikannya
dimulai sebagai guru mengaji, seperti layaknya anak-anak di Mesir. Pada Usia 8 tahun dia telah hafal Al-Qur’an di
Madrasah Ibtidaiyah, harapan melanjutkan keMadrasah Menengah Umum dengan bisa melanjutkan ke perturuan
tinggi terhambat olehkeinginan ayahnya yang menghendaki dia melanjutkan ke sekolah menengah
kejuruanteknologi agar dia bisa mendapatkan pekerjaan dalam waktu yang singkat. Pada 1960 dia telah meraih gelar
diploma teknik pada tahun 1961. Dia mulai bekerja sebagai teknisi didinas perhubungan. Keinginan dia untuk
melanjutkan ke sekolah menengah umum masih menggebu hingga akhirnya lulus ujian akhir persamaan. 2

Pada tahun 1968, dia kemudian melanjutkan studi ke Fakultas Adab Jurusan Bahasa Arab Universitas
Kairo. Tahun 1972 dialulus dengan predikat Cumlaude, hingga dia diangkat sebagai dosen tidak tetap
dialmamaternya. Sejak saat itulah wataknya beralih dari watak teknisi 1961-1972 menjadiwatak akademisi. Menurut
pengakuannya, daya analisis dan kritisnya tumbuh ketika diastudi di perguruan tinggi.

Ada Beberapa Kajian tentang Abu Zayd dengan focus penelitiannya pasca tragedy 1995 yang memberikan
kesimpulan gegabah, seperti cap murtad, sekuler, ateisme, sertaberagam symbol lain yang ditunjukan kepadanya.
Kasus Abu Zayd bermula dari dalam lingkungan universitas ketika dia mengajukan karya-karya ilmiah untuk
kenaikan pangkatnya sebagai guru besar. Setelah memperhatikan karyanya, salah seorang dari anggota tim penilai
karya Ilmiah Abd Al-Shabur Syahrin yang juga seorang dosen, memvonispandangan Abu Zayd tidak sesuai dengan
ajaran Islam dan disebut Abu Zayd telah Murtad.Perdebatan tersebut tidak hanya menghangatkan dalam dunia
Universitas, tetapi juga diluar Universitas. Beberapa pengacara, yang bersimpati kepada kelompok fundamentalis,
membawa gugatan cerai tanpa persetujuan atau keinginan sendiri, baik Abu Zayd maupun Istri. Mereka menengarai
bahwa perkawinan seorang murtad dengan wanita muslim adalah tidak sah, dan memohon kepada pengadilan untuk
menceraikan tali pernikahan nya.Sampai-sampai terjadi hal yang lebih parah lagi ketika Nasrh Hamid tidak
1
Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan. 2003 Mizan. Pengantar redaksi hlm.9
2
Ibid. hlm.10
mempunyai perlindungan Hukum dari Negara, sehingga dia pergi ke Belanda untuk meminta perlindungan Hukum.
Negara kincir angin itu menyetujui asalkan Abu Zayd mengabdi dan mencurahkan keilmuannya pada bidang
Akademisi.

B. Latar belakang Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

1. Tujuan Nasr Hamid Abu Zayd menggali hermeneutic

Pada suatu kesempatan, Abu Zayd mengaku dirinya telah merasakan revolusi pemikiran pada usia yang
masih relative muda. Dia sangat tertarik membaca hal-hal yang bertentangan dengan pelajaran disekolahnya. Pada
masa remaja, Abu Zayd lebih suka membaca Karya-karya sastra Prancis yang banyak diterjemahkan oleh beberapa
tokoh yang bergelut dalam dunia sastra. Sehingga dia mempunyai anggapan bahwa sastra dapat menjadi gerbang
pertama yang mampu mencerahkan pemikiran manusia.

Pencerahan ilmunya semakin meningkat disaat Abu Zayd menginjakan kakinya diUniversitas Kairo Mesir. 3
Abu Zayd memiliki keluasan wawasan, kecerdasan, dan keberanian dalam menggugat pemikiran-pemikiran Islam
yang dianggap telah mapan, dan kemudian diamengusulkan pembaruan-pembaruan. Meskipun dicerca dan dihina
Abu Zayd tetap konsisten dalam pendiriannya. Suatu ketika dia pernah berkata “Saya tetap konsistenatas hasil
penelitian-penelitian yang saya lakukan hingga saya menemukan argumentasi yang dapat membuktikan bahwa hasil
penelitian tersebut keliru”.4 Al-Qur’an adalah karya keagamaan, kitab petunjuk, seperti yang dikatakan Abduh.
Tetapi bagaimana kita bisa mencapai petunjuk itu? Bagaimana kita seharusnya memahami teks, agar petunjuk
tersebut bisa diraih?. Kita harus mentafsirkannya. Al-Qur’an adalah pesan tuhan yang memiliki kode dan saluran,
yakni berupa bahasa Arab.Untuk meretas kode yang digunakan, saya membutuhkan analisis teks yang lebih
daridisiplin filologi. Analisis ini menempatkan Al-Qur’an sebagai teks yang terstruktur. Oleh karenanya, Al-Qur’an
tidak masuk teks puisi, sebaliknya ia tetap sebgai teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi.

Boleh dikatakan Abu Zayd memiliki perhatian yang sangat mendalam pada bidang hermeneutic dalam
Islam. Hampir semua karyanya diarahkan untuk memberikan alternative baru bagaimana cara melakukan
pembacaan atau penafsiran terhadap teksteks keislaman. Karena dengan apa yang penulis jelaskan di awal
pendahuluan, Al-Qur’an berdimensi dua, pertama dimensi teologis, dan kedua dimensi linguistic. Makna yang
berdimensi teologis dalam Al-Qur’an akan menghasilkan sifat yang absolute. Namun Al-Qur’an yang berdimensi
linguistic akan bersifat relative, karena makna-maknayang diperoleh dari fakta linguistic berasal dari hubungan
timbal balik antara struktur fakta tersebut dengan orang yang memaknai struktur tersebut, oleh penafsir
dengansegala latar belakangnya yang menyertainya. Sehingga dalam menghasilkan makna cenderung mencari
kemungkinan-kemungkinan lain sesuai dengan mekanisme hubungan teks dengan diluar teks. Sehingga dengan
memperlakukannya seperti teks, Al-Qur’an akan selalu berubah sesuai dengan relasinya dengan dunia luar. Oleh
karena itu, Hermeneutika Al-Qur’an menjadi titik sentral perhatian ilmiah Nasr Hamid.

2. Peran Hermenetika Barat dan Tokohnya dalam pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zayd sekarang menjadi guru besar untuk studi Islam di Universitas Leiden, Belanda, dan
terakhir lebih aktif menjadi Profesor pada Universitas for Humanistics di Utrecth, selain juga menjadi pembimbing
beberapa mahasiswa yang sedang menulis desertasi tentang penafsiran dalam Islam pada beberapa Universitas
diEropa, seperti Jerman, Prancis, dll. Dengan kondisi yang jauh dari Mesir pada saat itu,Abu Zayd meras nyaman
berada di Eropa karena pemikirannya terus berkembang. Sehingga Abu Zayd lebih dekat dalam mengkaji
hermeneutika barat.5

3
Ibid. hlm.12
4
Ibid.hlm.13
5
Charles Hirsckind,”heresy or Hermeneutics, the case of Nasr Hamid Abu Zaid, Sehr. Vol 5. Issu 1
Sebagai salah satu pemikir Islam kontemporer, Abu Zayd tidak silau dengan kemajuan Erkentnisstheorie
(teori pengetahuan) yang berkembang di Barat. Namun AbuZayd juga dengan dibekali Sastra dari kairo, dia
termasuk sederetan pemikir Arab yangsadar akan kekayaan Khazanah turats (budaya dari masa lalu yang
dampaknya masihterasa sampai sekarang) yang bisa dijadikan spirit pembaharuan dan pemikiran kritis.Sangat akrab
nya Abu Zayd dengan pemikiran Heidegger denga teori hermeneutiknya, Hans Gadamer dengan melalui bahasa
serta hermeneutika filosofisnya, Schleiermacher dengan lingkaran hermeneutisnya, serta Emillio Bettidengan
penempatan hermeneutic sebagai metode ilmu Humaniora. Dengan keakrabannya itu mendorongnya untuk melihat
kembali ke khazanah Turatst dengan maksud melihat elemen-elemen kritis dalam pemikiran filsafat bahasa dan
sastra. Maka dalam pemikiran hermeneutikanya, Dimensi Bahasa, Sastra dan Budaya menjadi metodologi terhadap
konsep hermeneutik Abu Zayd Abu Zayd.

C. Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

 Epistemologi Hermeneutika

Mengikuti Schleiermacher (1768-1834), Abu Zayd mengatakan bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa
yang kedudukannya sama dengan teks-teks lain, dalam kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, mengkaji Al-Qur’an
tidak memerlukan metode khusus. Pasalnya, menciptakan metode yang khusus sama artinya mencegah manusia
untuk memahami teks-teks aagama secara mandiri. 6 Abu Zayd meminjam hermeneutika dialektis Gadamer yang
bertujuan untuk pengkajian teks Al-Qur’an, dimana didalamnya dia mencoba melakukan pembacaan atau lebih
tepatnya pembacaan ulang dengan prinsip-prinsip pencarian makna historis di satu sisi dan makna struktur di sisi
lain, mendialogkan berbagai persyaratan yang diperlukan, yang ada dan yang tertinggal dalam mendiskusikan
berbagai isu keagamaan mulai dari isu pewahyuan, kebahasaan sampai isu-isu metodologis kajian AL-Qur’an.

Dia juga meminjam gagasan Hermeneutik lainnya yaitu Paul Ricouer. Dari Ricouer, Abu Zayd
mendiskusikan penafsiran Objektif dia memanfaatkan Ricouer karena membantu diauntuk mengaitkan pentingnya
metode disamping pentingnya bahasa, dimana bahasa ditempatkan sebagai bagian penting dari konsepsi
hermeneutika termasuk hermenutika Gadamer. Ricouer dapat membantu dia untuk menegaskan pentingnya metode.
Dalampengungkapan sistem makna Abu Zayd dia merujuk pada pemikir sistem lain seperti LeviStrauss. Strauss
menjelaskan bahwa makna bukan fenomena mendasar, karena maknaselalu bergeser, beda dengan dengan sistem
makna yang bersifat stabil. Kestabilanmakna dari sistem makna atau struktur bahasa atau tanda tersebutlah
yangmemungkinkan peneliti, termasuk peneliti dari luar, mampu memahami ataumenafsirkan obyek asing.

Dalam pemahaman Abu Zayd pemahaman tanda sesuai dengan pemahaman makna atau dalalah. Makna terdiri
dari dua bagian, makna historis dan makna tetap. Makna historis terkait dengan stimulus teologi masyarakat, kondisi
social, politik, ekonomi danmoralitas. Sedangkan makna tetap terkait dengan struktur dan sistem makna yang
dikandung oleh tanda. Dia berpendapat bahwa teks mempunyai dua makna, yaitu makna general dan makna
spesifik. Makna general yaitu makna dari sesuatu yang dapat diperbaharui dengan berbagai pembacaan. Makna
spesifik yaitu suatu indikasi makna yang difamahi secara langsung melalui realitas historis dan budaya yang ada
disaat memproduksi teks.

 Hermeneutika Tekstual Al-Qur’an

-. Konsep Wahyu dan Teks Al-Qur’an

Di bawah pengaruh teori hermeneutika, filsafat dan epistemology Barat, Abu Zayd meneliti hakikat konsep
teks yang menjadi problem mendasar dalam sistem hermeneutika karena wahyu Allah telah turun dengan medium
bahasa manusia, sebab jika tidak maka tentu tidak akan bisa difahami manusia. Penyebab pertama yang membuat
pemikiran Islam tertinggal dan berhenti dari peredaran sejarah, menurut AbuZayd adalah karena terpusat pada

6
Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-khithab ad-diniy.hlm.93
masalah teologis. Dia menjelaskan dengan tegasbahwa Al-Qur’an adalah perkataan Muhammad yang diriwayatkan
bahwa dia adalahWahyu Illahi.7

Menurutnya firman Allah juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia (humanisasi), sebab ketika Allah
ingin berbicara kepada manusia, maka dia harus berbicara lewat bahasa manusia. Jika tidak, maka manusia tidak
akan mengerti apa yang Allah kehendaki. Ini berujung pada kesimpulan bahwa Al-Qur’an adalah berbahasa
manusia. Menurut Nasr Hamid, teks ilahi telah berubah menjadi teks manusiawi sejak diapertama kali turun kepada
Nabi Muhammad SAW. Hal itu karena teks, menurut dia,sejak pertama kali turun dna sejak dibaca oleh Nabi SAW.
Ketika proses pewahyuan,telah berubah dari teks ilahi menjadi teks manusiawi. Masih menurut Abu
Zayd ,pemahaman Nabi atas Al-Qur’an adalah fase pertama pergerakan teks dalam interaksinya dengan akal
manusia. Teks Al-Qur’an terbentuk dalam realitas kultur dalam waktu lebih dari 20 tahun, dan oleh karena itu Al-
Qur’an adalah produk budayasebagaimana ia juga produsen budaya, karena ia sebagai teks sentral dan hegemonic
yang menjadi rujukan teks-teks lain. Abu Zayd juga mengasumsikan Al-Qur’an sebagai teks bahasa karena melihat
realitas dan kultur yang lekat dengan bahasa manusia. Realitas, kultur dan bahasa adalah fenomena historis, dan
masing-masing memiliki kondisinya yang khusus.

Karena alasan-alasan itulah, menurutnya, Al-Qur’an juga adalah teks historis. Historisitas teks, realitas,
kultur, dan bahasa menunjukan tanpa sedikitpun keraguan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusia.Kenyataan yang
menunjukan bahwa teks Al-Qur’an senantiasa mempunyaihubungan dialektika dengan masyarakat Arab dimasa
pewahyuan merupakan hal yangnyata yang memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks Al-Qur’an
dibentuk oleh realitas peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun disisi yang lain jugateks Al-Qur’an berperan
dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-konsep yang ditawarkan dari Al-Qur’an itu sendiri. Jadi
proses keduanya salin terkait,tidak bisa dipisahkan. Oleh karena proses inilah Abu Zayd mengatakan bahwa Al-
Qur’an merupakan produk budaya. Ide dasar tersebut berasumsi bahwa inspirasi Al-Qur’an adalah Allah, akan tetapi
ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebuttersejarahkan dan termanusiakan oleh intervensi budaya dalam
bingkai sistem bahasa.Pernyataan Abu Zayd yang menuai banyak kritik dari kalangan penentangnya
inisesungguhnya merepresentasikan sisi kognitif pengertian Al-Qur’an, yang bisa ditelusuridi antaranya melalui
paradigm semiotic. Teks dapat dikatakan sebagai fiksi ataupelembagaan wacana lisan. Sedangkan wacana dalam hal
ini adalah aktivitas sharingpendapat atau pemikiran, dalam arti wacana merupakan medium bagi proses dialog antar
berbagai individu untuk memperkaya wawasan dan pemikiran dalam rangkamencari kebenaran.

Abu Zayd telah menyalahkan penafsir para ulama Islam terhadap AL-Qur’an karena lebih mengedepankan
sisi metafisik sehingga mengalhkan sisi ilmiah dan objektif untuk mengkaji Al-Qur’an. Logika Abu Zayd
menyatakan bahwa “keimanan terhadap Wujud Metafisik Al-Qur’an akan menghalangi sebuah pemahaman ilmiah
terhadap fenomenateks Al-Qur’an Dengan mengganggapnya sebagai teks manusia, seperti teks-teks pada umumnya,
dia berharap kajian Al-Qur’an dapat dinikmati oleh siapa saja orang Islam, Kristen, bahkan atheis sekalipun.
Hermeneutika Humanistik Setelah Abu Zayd merasa perlu untuk meneruskan lebih lanjut pendekatan hermeneutic
dialektisnya dalam dimensi vertical dimana Al-Qur’an diperlakukan sebagaitempat terjadinya komunikasi antara
Allah dan manusia ke focus dalam dimensi Horizontal kajian AL-Qur’an sebagai pengalaman penyebaran pesan
melalui korpus tafsir. Abu Zayd memaknai dimensi horizontal sebagai apa yang terkandung di dalam struktur Al-
Qur’an dan yang termanifestasikan selama proses komunikasi antara Al-Qur’an dan audiensinya berlangsung.
Dimensi vertical ini merupakan dimensi tekstualitas Al-Qur’an, sementara dimensi Horizontal ialah dimensi wacana
Al-Qur’an.

Dimensi wacana ini adalah area yang hidup dan yang dinamis, merujuk pada awalnya proses pewahyuan
dikenal sebagai fenomena Al-Qur’an, wacana tertutur. Wacana Al-Qur’an mewujud dalam konteks kehidupan sehari
-hari, sehingga ia tidak hanya bertutur dengan bahasa Arab dimana wahyu itu diturunkan, tapi juga mempengaruhi
pemikirandan kebudayaan penerimanya. Sebagaimana Abu Zayd menulis “the Qur’an in every day life”. Al-Qur’an

7
Ibid.hlm.96
begitu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari umat Islam, dia melacak pengaruh tersebut dalam implementasi
rukun Islam, budaya pilantropi muslim, perhatian muslim terhadap yatim piatu, tentang makanan dan minuman, dll
Abu Zayd menyimpulkan bahwa : “Pada level bahasa lah, elemen yang membentuk pemikiran dan masyarakat,
apakah melalui media bahasa yang bersifat material, maupun audio visual, baik melalui bentuk pembacaan ataukah
seni kerajinan penulisan.”

Abu Zayd mempunyai tujuan dengan menghadirkan kembali momen historis transformative, dari
masyarakat non muslim kemasyarakat muslim. Abu Zayd melihatbahwa upaya menghadirkan kembali fenomena
yang hidup, Al-Quran sebagai wacana,walau disadari ulama terdahulu, belum pernah mampu dihadirkan oleh para
ulama. Hermeneutika Al-Quran difahami dalam konteks keragaman pengalaman keagamaan sebagai bagian dari
keragaman kemanusiaan. Al-Quran sebagai wacana kemudian meniscayakan pengkaitan makna antara makna Al-
Quran dengan makna kehidupan, dimana Al-quran dianggap sebagai hasil dialog, debat, pengembangan, penerimaan
dan penolakan.8

BAB III

PENUTUP

8
Nasr Hamid Abu Zaid, Rethinking the Qur’an,hlm.10
A. Kesimpulan
Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh yang sangat terkenal ini tidak hanya dikenal didepan para
pengkaji pemikir islam kontemporer di Indonesia, akan tetapi juga dimancaNegara, Eropa dan
Amerika. Karena kekritisannya, Abu Zayd bisa dimasukkan dalam kategori pemikir pemberontak.
Maksud penulis memberikan makna pemberontak, bukan berartipada hal negative, akan tetapi
ditujukan untuk menamai sebagian pemikir Islam yang yangmemiliki pemikiran terobosan dan
cenderung melakukan reformasi terhadap pemikiranIslam.Abu Zayd dilahirkan pada 1 Juli 1943
disebuah desa yang bernama Thantha, Ibu kotaPropinsi Al-Gharbiyah, Mesir. Orang tuanya member
nama Nasr dengan harapan agar diaselalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat
kelahirannya bertepatandengan Perang Dunia II. Pada 1952, Mesir dilanda krisis kepemimpinan yang
melahirkanRevolusi Juli, yakni pada 26 Juli 1952, sekaligus peralihan status dari kerajaan
menjadirepublic, dari tangan Raja Faruq ke tangan Jamal Abd Nasr. Situasi Perang Duinia II,
RevolusiJuli, dan kehidupan keluarganya telah membentuk kepribadiannya menjadi seorang
yangkritis, penuh tantangan, dan bertanggung jawab. Pada usia empat belas tahun setelahayahnya
wafat pada oktober 1957, dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya, untukmenjaga seluruh
keluarganya.
DAFTAR FUSTAKA

Al-Bilali, Abdul Hamid. Al-Mukhtashar Al-Mashum Min Kitab Al-Tafsir Wa Al-Mufashirun. Kuwait: Dar al-
Dakwah, 1405.

Alfian, Muhammad. Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd. Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2018

Al-wahidi, Abu al-Hasan bin Ahmad. Asbab Nuzul Al-Qur’an. 1411 H.: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, Beirut.

Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim. Manahil Al-Urfan Fi Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Gaya Media Pertama, 2001

Anda mungkin juga menyukai