Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam Sejarah pemikir Islam modern, Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha merupakan tokoh pembaharu Islam yang hidup pada kondisi zaman dalam
kekacauan dan keterpurukan lantaran kebanyakan mereka telah meninggalkan petunjuk-
petunjuk al Qur’an. Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
berupaya mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan serta
menegaskan bahwa islam adalah agama universal dan abadi, yang selalu sesuai dengan
kebutuhan manusia disegala waktu dan tempat. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
memiliki visi bahwasannya umat Islam harus menjadi umat yang merdeka dari belenggu
penjajahan dan menjadi umat yang maju sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain
dan bangsa-bangsa barat diberbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial,
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha juga berusaha
meneruskan cita-cita al-Urwah al-wutsqa majalah yang memuat ide-ide pemikiran Syekh
Jamal al-Din al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh yaitu memberantas bid’ah,
khurafat, takhayul, kepercayaan jabar, dan fatalis, paham-paham yang keliru tentang qada
dan qadar, praktek-praktek bid’ah dalam tarekat sufi, meningkatkan mutu pendidikan
Islam.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha melalui
majalah al-Manar dan Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau lebih populer dengan nama Tafsir
al-Manar mempublikasikan banyak ide pembaruan Jamal al-Afghani, Muhammad Abduh
dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sendiri. Yang pada prinsipnya tidak berbeda
dengan pembaruan dari para gurunya, Jamal al-Din al-Afgani dan Muhammad Abduh.

B.     Tujuan Penulisan
a. Mengetahui secara jelas riwayat hidup Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
b. Pemikiran dan karya-karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan
Tarablus Syam pada tahun 1282 H/1865 M. Dia adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali
Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhamad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah.
Keluarganya dari keturunan terhormat berhijrah dari Bagdad dan menetap di Qalmun.
Kelahirannya tepat pada 27 Jumadil Tsani tahun 1282 H/18 Oktober tahun 1865 M.  Kota
kelahirannya adalah daerah dengan tradisi kesalehan Sunni yang kuat, tempat tarekat-
tarekat memainkan peranan aktifnya.
Ayah dan Ibu Sayyid Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan al-
Husayn putra Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, Putri Rasulullah itu sebabnya Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha menyandangg gelar al-sayyid di depan namanya dan sering
menyebut tohoh-tokoh ahl al-bayt seperti Ali ibn Abi Thalib, al-Husyan dan Ja’far al –
Shadiq dengan Jadduna (nenek moyang kami).
Semasa kecilnya (usia tujuh tahun) , Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke
madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Alquran, belajar
menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rasyid kecil lebih sering
menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak
kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha memperoleh pendidikan yang lebih
modern di Madrasah Ibtidaiyyah al –Rusydiyyah di Tripoli. Di madrasah itu diajarkan
ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu bumi  dan matematika. Bahasa
pengantar adalah bahasa turki, karena madrasan ini adalah milik pemerintah yang
bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pegawai
pemerintahan Turki Usmani.
Oleh karena enggan menjadi pegawai  pemerintah, Rasyid Ridha kemudian keluar
dari madrasah al –Rusydiyyah setelah lebih kurang satu tahun belajar di sana.
Selanjutnya, pada tahun 1299  atau 1300 H, Rasyid Ridha memasuki Madrasah
Wathaniyyah Islamiyyah yang didirikan dan dipimpin oleh Syekh Husayn al-Jisr seorang
ulama besar Libanon yang telah dipengaruhi oleh ide-ide pembaruan yang digulirkan
oleh Sayyid Jamal al-Din al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh. Sang gurulah yang
2
telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam
diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh
adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk
mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan
metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa
Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak
disajikan pelajaran agama di dalamnya.
Namun, Rasyid Ridha tidak dapat lama belajar di sekolah ini karena sekolah tersebut
terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani.
Untuk tetap melanjutkan studinya, dia pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada
di Tripoli. Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru
utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah terus berlanjut.
Selain belajar pada syekh Husayn al-Jisr, Rasyid Ridha juga pernah belajar pada
ulama-ulama besar yang lain, seperti Syekh ‘Abdulghani al-Rafi’i, Syekh Muhammad al-
Qawaqiji, dan Syekh Mahmud Nasyabah. Kepada Syekh ‘Abdulghani al-Rafi’i, Syekh
Muhammad al-Qawaqiji Rasyid Ridha belajar ilmu-ilmu bahasa Arab beserta sastranya
dan tasawuf, sedangkan pada syekh Mahmud Nasyabah ia belajar fiqh al-Syafi’i dan
hadits. Berkat didikan syekh Mahmud Nasyabah itulah pula, Rasyid Ridha kelak menjadi
seorang pakar fiqh dan pakar hadits.

Kondisi Umat Pada Masa Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


Sayyid Muhammad Rasyid Ridha hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir
abad ke 19 dan sepertiga awal abad ke 20. Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu
yang paling kelabu dalam sejarah arab modern jika dibandingkan dengan kurun waktu
sebelumnya. Sebab, saat itu kaum imperialis barat telah bersekutu dengan kaun zionis
international untuk memecah belah umat islam, membagi negeri-negeri mereka dan
merampas harta kekayaan mereka. Pada kurun waktu tersebut, kerajaan turki Usmani
yang pernah menjadi kerajaan adikuasa dan menguasai wilayah yang sangat luas,
meliputi Asia kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz dan Yaman di Asia ; Mesir, Sudan,
Libya, Tunisia, Maroko, dan Al Jazair di Afrika; Bulgaria, Hungaria, Yugoslavia,
Rumania, Albania, dan Yunani di Eropa Timur telah mengalami kemunduran. Sejak abad
ke -18 Turki Usmani selalu mengalami kekalahan dalam peperangan dengan Eropa.
Sewaktu terjadi perang dunia I pada tahun 1914, Turki Usmani ikut bergabung dengan
Jerman dalam menghadapi negara-negara sekutu namun mengalami kekalahan. Satu
3
persatu negeri-negeri islam yang berada dalam kekuasaanya jatuh kedalam negara-negara
Eropa.Tepatnya tanggal 3 Maret 1924 Kerajaan Turki Usmani sendiri telah diubah
menjadi Negara Republik Turki yang beraliran sekuler.
Sejak kehancuran Kerajaan Turki Usmani keadaan Umat Islam semakin
menyedihkan jika dilihat dari aspek agama, sosial, dan budaya. Menurut Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha sendiri, pada masanya kondisi umat islam sudah begitu
buruknya. Disamping pemerintahan mereka sudah runtuh dan bangsa-bangsa mereka
sudah hancur, mereka sendiri selaku umat islam tidak dapat lagi mengetahui hakikat
ajaran-ajaran agama mereka dan tidak pula mampu mengetahui ajaran-ajaran islam yang
dapat membawa mereka pada kemajuan dan kehidupan yang baik di dunia.Pada kurun itu
agama sudah hilang ruhnya dan islam hanya menjadi simbol-simbol lahir yang tidak
menyentuh dan tidak dapat membangkitkan etos kerja dan semangat. Sebaliknya
Khurafat dan takhayul semakin mendominasi dan  berkembang, paham nasionalisme,
sekularisme, sosialisme, kapitalisme, dan komunisme sudah mulai memasuki pemikiran
sementara umat islam. Umat Islam juga jauh terbelakang dari umat kristen dibidang ilmu
pengetahuan.
Menurut Rasyid Ridha, umat islam pada masanya dapat dibagi menjadi tiga
golongan. Petama, golongan yang berpikiran jumud. Mereka ini menggangap bahwa
ilmu agama dalah ilmu yang terdapat didalam kitab-kitab yang telah disusun oleh
pemuka mzhab-mazhab dan aliran-aliran, seperti Ahlu Sunah, Syi’ah Zaydiyyah, dan
Syiah Itsna ‘Asy’ariyyah. Menurut mereka siapa saja yang tidak mengikuti salah satu
dari mazhab itu, dianggap tidak lagi dalam Islam. Kedua, golongan yang berkiblat pada
kebudayaan modern. Menurut mereka syariat islam tidak cocok lagi diterapkan untuk
masa kini,kalau ingin maju , umat Islam harus mengikuti Eropa dalam segala hal, baik
dibidang ilmu pengetahuan, hukum, peraturan maupun moral. Ketiga, golongan yang
menginginkan pembaruan Islam. Golongan ini menyerukan kepada umat islam agar
kembali kepada Al Qur’an dan al-Sunah, namun dengan penafsiran baru yang sesuai
dengan kemajuan Zaman, karena antara Islam dan kebudayaan modern tidak ada
pertentangan.
Kondisi yang dialami Umat Islam pada masa Rasyid Ridha itu tentu saja besar
pengaruhnya terhadap para pemikir yang hidup pada masa tersebut untuk mengubah dan
memperbaikinya sesuai dengan tuntutan zaman. Rasyid Ridha adalah salah seorang tokoh
ulama, penulis, dan pemikir dari golongan ketiga yang terdorong untuk mengubah dan
memperbaiki kondisi umat islam menjadi umat yang mampu melepaskan diri dari
4
cengkeraman kaum imperialis dan menjadi umat yang mampu bersaing dengan umat-
umat yang lain.

B.    Pemikiran dan Ide Pembaharuan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh Ihya Ulum ad Din
karya al-Gazali. Kitab Ihya Ulum ad-Din membantu membentuk pandangannya bahwa
umat muslim harus secara sadar menghayati (menginternalisasikan) keimanannya, dan
melampaui ketaatan-ketaatan lahiriyah belaka, serta harus selalu menyadari implikasi etis
dari tindakan-tindakannya. Kitab Ihya Ulum ad-Din mendorong Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha muda untuk berkonsentrasi kepada persiapan spiritual untuk kehidupan
akhirat. Kitab tersebut tidak hanya menarik minatnya untuk berulang kali membacanya,
tetapi telah menjadi gurunya yang pertama dalam membentuk kepribadiannya.Sewaktu
dalam pengaruh al-Ghazali itulah, kata Rasyid Ridha ia mengikuti tarekat
Naqsyabandiyyah, mengamalkan ajaran-ajarannya, dan melaksanakan latihan-latihan
‘uzlah yang sangat berat.
Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani kehidupan sufi dan
mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, Rasyid Ridha menyadari banyakanya bidah dan
khurafat yang terdapat dalam ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat tersebut. Karena itu,
ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Bahkan, sikapnya terhadap ajaran-ajaran tasawuf
dan tarekat, tidak hanya sampai disitu, tetapi ia membimbing masyarakatnya agar
meninggalkan ajaran-ajaran yang telah bercampur baur dengan bidah dan khurafat
tersebut.Yaitu dengan membuka pengajian untuk kaum pria dan pengajian untuk kaum
wanita, menebang pohon-pohon yang dianggap keramat dan membawa berkah, dan
melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan-kuburan para wali atau bertawasul
dengan para wali yang telah wafat.
Perubahan sikap Rasyid Ridha terhadap ajaran taswuf dan tarekat muncul setelah
ia mempelajari kitab-kitab hadits dengan tekun. Perubahan sikapnya terhadap ajaran-
ajaran tersebut semakin terlihat dengan jelas setelah ia terpengaruh oleh ide-ide
pebaharuan  Syekh Jamal al-Din al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh yang dimuat
dalam majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang mereka terbitkan di Paris, Perancis. Rasyid
Ridha mulai membaca majalah tersebut ketika ia masih belajar di Tripoli.
Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu yang
sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaharu dari
Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir. Ide-ide brilian
5
yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat
untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini
lebih dahulu meninggal dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada
akhir 1882, Rasyid Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan
Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan
semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu
keterbelakangan dan kebodohannya.
Di Lebanon, Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaruan yang
diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat tentangan dan tekanan politik dari
Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima ide-ide pembaruan yang dilontarkannya.
Akibat semakin besarnya tentangan itu, akhirnya pada  1898 M, Rasyid Ridha pindah ke
Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.
Di kota ini, Rasyid Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan
keinginannya untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Rasyid Ridha tidak hanya
menjadi  murid yang paling dekat dan setia kepada Abduh tetapi menjadi mitra,
penerjemah, dan pengulas pemikiran-pemikirannya.

1. Pembaharuan Dalam Bidang Teologi


Masalah aqidah di zaman hidupnya Rasyid Ridha masih belum tercemar unsur-unsur
tradisi maupun pemikiran filosof. Dalam masalah teologi, Rasyid Ridha banyak
dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh gerakan salafiyah. Dalam hal ini, ada beberapa
konsep pembaharuan yang dikemukakannya, yaitu masalah akal dan wahyu, sifat Tuhan,
perbuatan manusia (af’al al-Ibad) dan konsep iman.
1. Akal dan Wahyu
Menurut Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki agar urusan
keyakinan mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap
diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada
mereka yang masih ragu-ragu.
2. Sifat Tuhan
Dalam menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan
pendapat yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana

6
pandangan kaum Salaf, menerima adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang
dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsiran maupun takwil.

3. Perbuatan Manusia
Pembahasan teologi tentang perbuatan manusia bertolak dari pertanyaan apakah
manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya (freewill) atau perbuatan manusia
hanyalah diciptakan oleh Tuhan (Predistination). Perbuatan manusia menurut
Rasyid Ridha sudah dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapkan Tuhan
yang disebut Sunatullah, yang tidak mengalami perubahan.
4. Konsep Iman
Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam
disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari
ajaran Islam. Pandangan Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas
pembenaran hati (tasdiq) bukan didasarkan atas pembenaran rasional.

2. Dalam Bidang Pendidikan


Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga
pendidikan yang bernama “al-Dakwah Wal Irsyad” pada tahun 1912 di Kairo. Mula-
mula beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel terutama meminta bantuan
pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri
Islam, di antaranya Indonesia, tentang aktivitas misi Kristen di negeri-negeri mereka.
Untuk mengimbangi sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan sekolah misi Islam.
1. Muhammad Rasyid Ridha juga merasa perlu dilaksanakannya ide pembaharuan
dalam bidang pendidikan. untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke dalam
kurikulum mata-mata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu
bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan
ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga), yaitu disamping fiqh,
tafsir, hadits dan lain-lain yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional.
2. Pandangan Terhadap Ijtihad
Rasyid Ridha dalam beristimbat terlebih dahulu melihat nash, bial tidak
ditemukan di dalam nash di dalam nash, ia mencari pendapat sahabat, bila
terdapat pertentangan ia memilih pendapat yang paling dekat dengan dengan Al-
Qur’an dan Sunnah dan bila tidak ditemukan, ia berijtihad atas dasar Al-Qur’an
7
dan Sunnah.
Dalam hal ini, Rasyid Ridha melihat perlu diadakah tafsir modern dari Al-Qur’an
yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya, Muhammad
Abduh. Ia menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir
modern. Kuliah-kuliah tafsir itu dimulai pada tahun 1899 dan keterangan-
keterangan yang diberikan oleh Muhammad Abduh dalam kuliahnya inilah yang
kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar.

3. Dalam bidang Politik


Dalam bidang politik, Muhammad Rasyid Rida juga tidak ketinggalan, sewaktu
beliau masih berada di tanah airnya, ia pernah berkecimpung dalam bidang ini, demikian
pula setelah berada di Mesir, akan tetapi gurunya Muhammad ‘Abduh memberikan
nasihat agar ia menjauhi lapangan politik. Namun nasihat itu diturutinya hanya ketika
Muhammad ‘Abduh masih hidup,  dan setelah ia wafat, Muhammad Rasyid Rida aktif
kembali, terutama melalui majalah al-Manar.

C.      Karya – Karya Muhammad Rasid Ridha


Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak.
Antara lain, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh (Sejarah Hidup Imam
Syaikh Muhammad Abduh), Nida’ Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum
Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad
SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-
dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma
(Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog
antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan
Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (hak-hak wanita
Muslim). Setelah berjuang dengan segala kecerdasan dan kemampuan yang ada padanya
untuk kemajuan dan kejayaan Islam, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berpulang ke
rahmatullah dalam usia 70 tahun pada kamis, 23 Jumadil al-Ula 1354 H/ 22 Agustus
1935 M.

8
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan
Tarablus Syam pada tahun 1282 H/1865 M. Dia adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali
Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhamad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah.
Ayah dan Ibu Sayyid Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan al-Husayn
putra Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, Putri Rasulullah itu sebabnya Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha menyandangg gelar al-sayyid di depan namanya dan sering
menyebut tohoh-tokoh ahl al-bayt seperti Ali ibn Abi Thalib, al-Husyan dan Ja’far al –
Shadiq dengan Jadduna (nenek moyang kami).
Rasyid Ridha mulai menerbitkan majalah al-Manar (Mercusuar) dengan
persetujuan Muhammad Abduh. Majalah tersebut dipersiapkan untuk menjadi corong
dan media bagi gerakan pembaruan islam dalam memajukan umat Islam dan
membebaskan mereka dari belenggu penjajahan.
Beberapa ide-ide pembaruan yang dipublikasikan oleh Syekh Muhammad Rasyid
Ridha antara lain: Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan lantaran
mereka tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, Kemunduran umat
Islam juga disebabkan membudayanya paham fatalis (Jabbariyyah), Ilmu pengetahuan
modern tidak bertentangan dengan Islam sudah sepantasnya umat Islam yang
mendambakan kemajuan, siap mempelajarinya, Islam itu sederhana, baik masalah ibadah
maupun masalah muamalah. Ibadah kelihatan ruwet, karena hal-hal yang sunah dan tidak
wajib dijadikan hal-hal yang wajib,
Karya – Karya Muhammad Rasid Ridha yang paling monumental ialah Majalah
al-Manar. Selama al-Manar terbit, sebayak 34 jilid besar dan setiap jilidnya berisi 1000
halaman telah terkumpul seluruhnya, Tafsir Al-Qur’an karya Rasyid Ridha itu berjudul
Tafsir al-Qur’an al Hakim (Tafsir Al-Manar).

9
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke
berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia. Ide-ide pembaharu yang
dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaruan di berbagai wilayah dunia
Islam. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan
mengembangkan ide yang diusungnya.

DAFTAR PUSTAKA

Rasyid Ridha al –Imam al-Mujahid, (Kairo:al-Muassasah Mishiyyah al-Ammah,t.th)


Muhammad ibn ‘Abdillah al-Salman, Rasyid Ridha wa Da’wah al-Syaykh Muhammad
ibn ‘Abdulwahhab,(Kuwait : Maktabah al-Ma’la, 1409 H/1998 M)
Muhammad Ahmad al-Darniqah,  al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ’wa Ishlahatuh
al-Ijtima’iyah wa al-Diniyyah, cetakan ke -1, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1406
H/1986 M)
Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh Muhammad
Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format Peradaban Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005)
Rasyid Ridha, al-Wahy al- Muhammadi, (Kairo : Dar al- Manar, 1375 H/1995 M)
Rasyid Ridha, al-Manar, jilid ke -29, (Kairo : 1928 M)
www.suaramedia.com
www.wikipedia.co.id 

10

Anda mungkin juga menyukai