Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH AGAMA

"Muhammad Rasyid Rida (1865-1935 M.)"

Disusun Oleh :
1. Selvie Rincin Arifin
2. Nayla Riska Hidayah

Kelas XI MIPA I

SMA NEGERI 2 TANJUNG SELOR


KABUPATEN BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Sejarah pemikir Islam modern,Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


merupakan tokoh pembaharu Islam yang hidup pada kondisi zaman dalam
kekacauan dan keterpurukan lantaran kebanyakan mereka telah meninggalkan
petunjuk-petunjuk al Qur’an. Melalui Tafsirnya,yaitu al-Manar Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha berupaya mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan masyarakat
dan kehidupan serta menegaskan bahwa islam adalah agama universal dan
abadi,yg selalu sesuai dengan kebutuhan manusia disegala waktu dan
tempat.Sayyid Muhammad Rasyid Ridha memiliki visi bahwasannya umat Islam
harus menjadi umat yg merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat yang
maju sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat
diberbagai bidang kehidupan,seperti politik,ekonomi,sosial,ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha juga berusaha meneruskan cita-cita
al-Urwah al-wutsqa majalah yang memuat ide-ide pemikiran Syekh Jamal al-Din
al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh yaitu memberantas
bid’ah,khurafat,takhayul,kepercayaan jabar,dan fatalis,paham-paham yg keliru
tentang qada dan qadar,praktek-praktek bid’ah dalam tarekat sufi,meningkatkan
mutu pendidikan Islam.Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha melalui majalah al-Manar dan Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau lebih
populer dengan nama Tafsir al-Manar mempublikasikan banyak ide pembaruan
Jamal al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sendiri
yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan pembaruan dari para gurunya, Jamal
al-Din al-Afgani dan Muhammad Abduh.

1.2 Tujuan Penulisan

a. Mengetahui secara jelas riwayat hidup Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


b. Pemikiran dan karya-karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Umat Pada Masa Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


Sayyid Muhammad Rasyid Ridha hidup pada kurun waktu antara sepertiga
akhir abad ke 19 dan sepertiga awal abad ke 20. Kurun waktu tersebut merupakan
kurun waktu yang paling kelabu dalam sejarah arab modern jika dibandingkan
dengan kurun waktu sebelumnya. Sebab, saat itu kaum imperialis barat telah
bersekutu dengan kaun zionis international untuk memecah belah umat islam,
membagi negeri-negeri mereka dan merampas harta kekayaan mereka. Pada kurun
waktu tersebut, kerajaan turki Usmani yang pernah menjadi kerajaan adikuasa dan
menguasai wilayah yang sangat luas, meliputi Asia kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz
dan Yaman di Asia ; Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Maroko, dan Al Jazair di Afrika;
Bulgaria, Hungaria, Yugoslavia, Rumania, Albania, dan Yunani di Eropa Timur telah
mengalami kemunduran. Sejak abad ke -18 Turki Usmani selalu mengalami
kekalahan dalam peperangan dengan Eropa. Sewaktu terjadi perang dunia I pada
tahun 1914, Turki Usmani ikut bergabung dengan Jerman dalam menghadapi
negara-negara sekutu namun mengalami kekalahan. Satu persatu negeri-negeri
islam yang berada dalam kekuasaanya jatuh kedalam negara-negara Eropa.
Tepatnya tanggal 3 Maret 1924 Kerajaan Turki Usmani sendiri telah diubah menjadi
Negara Republik Turki yang beraliran sekuler.
Sejak kehancuran Kerajaan Turki Usmani keadaan Umat Islam semakin
menyedihkan jika dilihat dari aspek agama, sosial, dan budaya. Menurut Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha sendiri, pada masanya kondisi umat islam sudah begitu
buruknya. Disamping pemerintahan mereka sudah runtuh dan bangsa-bangsa
mereka sudah hancur, mereka sendiri selaku umat islam tidak dapat lagi
mengetahui hakikat ajaran-ajaran agama mereka dan tidak pula mampu
mengetahui ajaran-ajaran islam yang dapat membawa mereka pada kemajuan dan
kehidupan yang baik di dunia. Pada kurun itu agama sudah hilang ruhnya dan islam
hanya menjadi simbol-simbol lahir yang tidak menyentuh dan tidak dapat
membangkitkan etos kerja dan semangat. Sebaliknya Khurafat dan takhayul
semakin mendominasi dan berkembang, paham nasionalisme, sekularisme,
sosialisme, kapitalisme, dan komunisme sudah mulai memasuki pemikiran
sementara umat islam. Umat Islam juga jauh terbelakang dari umat kristen dibidang
ilmu pengetahuan.

Menurut Rasyid Ridha, umat islam pada masanya dapat dibagi menjadi tiga
golongan. Petama, golongan yang berpikiran jumud. Mereka ini menggangap
bahwa ilmu agama dalah ilmu yang terdapat didalam kitab-kitab yang telah disusun
oleh pemuka mzhab-mazhab dan aliran-aliran, seperti Ahlu Sunah, Syi’ah
Zaydiyyah, dan Syiah Itsna ‘Asy’ariyyah. Menurut mereka siapa saja yang tidak
mengikuti salah satu dari mazhab itu, dianggap tidak lagi dalam Islam. Kedua,
golongan yang berkiblat pada kebudayaan modern. Menurut mereka syariat islam
tidak cocok lagi diterapkan untuk masa kini,kalau ingin maju , umat Islam harus
mengikuti Eropa dalam segala hal, baik dibidang ilmu pengetahuan, hukum,
peraturan maupun moral. Ketiga, golongan yang menginginkan pembaruan Islam.
Golongan ini menyerukan kepada umat islam agar kembali kepada Al Qur’an dan
al-Sunah, namun dengan penafsiran baru yang sesuai dengan kemajuan Zaman,
karena antara Islam dan kebudayaan modern tidak ada pertentangan. Kondisi yang
dialami Umat Islam pada masa Rasyid Ridha itu tentu saja besar pengaruhnya
terhadap para pemikir yang hidup pada masa tersebut untuk mengubah dan
memperbaikinya sesuai dengan tuntutan zaman. Rasyid Ridha adalah salah
seorang tokoh ulama, penulis, dan pemikir dari golongan ketiga yang terdorong
untuk mengubah dan memperbaiki kondisi umat islam menjadi umat yang mampu
melepaskan diri dari cengkeraman kaum imperialis dan menjadi umat yang mampu
bersaing dengan umat-umat yang lain.

2.2 Kelahiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan
Tarablus Syam pada tahun 1282 H/1865 M. Dia adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali
Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhamad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah.
Keluarganya dari keturunan terhormat berhijrah dari Bagdad dan menetap di Qalmun.
Kelahirannya tepat pada 27 Jumadil Tsani tahun 1282 H/18 Oktober tahun 1865 M.
Kota kelahirannya adalah daerah dengan tradisi kesalehan Sunni yang kuat, tempat
tarekat-tarekat memainkan peranan aktifnya. Ayah dan Ibu Sayyid Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan al-Husayn putra Ali bin Abi Thalib
dengan Fatimah, Putri Rasulullah itu sebabnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
menyandangg gelar al-sayyid di depan namanya dan sering menyebut tokoh-tokoh
ahl al-bayt seperti Ali ibn Abi Thalib, al-Husyan dan Ja’far al –Shadiq dengan
Jadduna (nenek moyang kami).
2.3 Latar Belakang Pendidikan
Semasa kecilnya (usia tujuh tahun) , Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang
tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca
Alquran, belajar menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya,
Rasyid kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku
daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi
dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
memperoleh pendidikan yang lebih modern di Madrasah Ibtidaiyyah al –Rusydiyyah
di Tripoli. Di madrasah itu diajarkan ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu tauhid, ilmu fiqih,
ilmu bumi dan matematika. Bahasa pengantar adalah bahasa turki, karena madrasan
ini adalah milik pemerintah yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya
manusia yang akan menjadi pegawai pemerintahan Turki Usmani. Oleh karena
enggan menjadi pegawai pemerintah, Rasyid Ridha kemudian keluar dari madrasah
al –Rusydiyyah setelah lebih kurang satu tahun belajar di sana.

Selanjutnya, pada tahun 1299 atau 1300 H, Rasyid Ridha memasuki


Madrasah Wathaniyyah Islamiyyah yang didirikan dan dipimpin oleh Syekh Husayn
al-Jisr seorang ulama besar Libanon yang telah dipengaruhi oleh ide-ide pembaruan
yang digulirkan oleh Sayyid Jamal al-Din al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh.
Sang gurulah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan
ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya
yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus
ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan
agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari
kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh
para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama di
dalamnya.
Namun, Rasyid Ridha tidak dapat lama belajar di sekolah ini karena sekolah
tersebut terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah
Kerajaan Usmani. Untuk tetap melanjutkan studinya, dia pun pindah ke salah satu
sekolah agama yang ada di Tripoli. Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan
Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah terus
berlanjut. Selain belajar pada syekh Husayn al-Jisr, Rasyid Ridha juga pernah belajar
pada ulama-ulama besar yang lain, seperti Syekh ‘Abdulghani al-Rafi’i, Syekh
Muhammad al-Qawaqiji, dan Syekh Mahmud Nasyabah. Kepada Syekh ‘Abdulghani
al-Rafi’i, Syekh Muhammad al-Qawaqiji Rasyid Ridha belajar ilmu-ilmu bahasa Arab
beserta sastranya dan tasawuf, sedangkan pada syekh Mahmud Nasyabah ia belajar
fiqh al-Syafi’i dan hadits. Berkat didikan syekh Mahmud Nasyabah itulah pula, Rasyid
Ridha kelak menjadi seorang pakar fiqh dan pakar hadits.
2.4 Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh Ihya Ulum ad Din
karya al-Gazali. Kitab Ihya Ulum ad-Din membantu membentuk pandangannya
bahwa umat muslim harus secara sadar menghayati (menginternalisasikan)
keimanannya, dan melampaui ketaatan-ketaatan lahiriyah belaka, serta harus selalu
menyadari implikasi etis dari tindakan-tindakannya. Kitab Ihya Ulum ad-Din
mendorong Sayyid Muhammad Rasyid Ridha muda untuk berkonsentrasi kepada
persiapan spiritual untuk kehidupan akhirat. Kitab tersebut tidak hanya menarik
minatnya untuk berulang kali membacanya, tetapi telah menjadi gurunya yang
pertama dalam membentuk kepribadiannya.Sewaktu dalam pengaruh al-Ghazali
itulah, kata Rasyid Ridha ia mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, mengamalkan
ajaran-ajarannya, dan melaksanakan latihan-latihan ‘uzlah yang sangat berat.
Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani kehidupan sufi dan mengamalkan
ajaran-ajaran tarekat, Rasyid Ridha menyadari banyakanya bidah dan khurafat yang
terdapat dalam ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat tersebut. Karena itu, ajaran-ajaran
tersebut ditinggalkannya. Bahkan, sikapnya terhadap ajaran-ajaran tasawuf dan
tarekat, tidak hanya sampai disitu, tetapi ia membimbing masyarakatnya agar
meninggalkan ajaran-ajaran yang telah bercampur baur dengan bidah dan khurafat
tersebut.Yaitu dengan membuka pengajian untuk kaum pria dan pengajian untuk
kaum wanita, menebang pohon-pohon yang dianggap keramat dan membawa
berkah, dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan-kuburan para wali
atau bertawasul dengan para wali yang telah wafat. Perubahan sikap Rasyid Ridha
terhadap ajaran taswuf dan tarekat muncul setelah ia mempelajari kitab-kitab hadits
dengan tekun. Perubahan sikapnya terhadap ajaran-ajaran tersebut semakin terlihat
dengan jelas setelah ia terpengaruh oleh ide-ide pebaharuan Syekh Jamal al-Din al-
Afghani dan Syekh Muhammad Abduh yang dimuat dalam majalah al-‘Urwah al-
Wutsqa yang mereka terbitkan di Paris, Perancis. Rasyid Ridha mulai membaca
majalah tersebut ketika ia masih belajar di Tripoli. Melalui surat kabar ini, Rasyid
Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu
Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaharu dari Afghanistan, dan
Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir. Ide-ide brilian yang
dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat
untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu. Keinginan untuk bertemu
dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal
dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid
Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan
dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang
dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kebodohannya.

Di Lebanon, Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaruan yang


diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat tentangan dan tekanan politik dari
Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima ide-ide pembaruan yang dilontarkannya.
Akibat semakin besarnya tentangan itu, akhirnya pada 1898 M, Rasyid Ridha pindah
ke Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.Di
kota ini, Rasyid Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan
keinginannya untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Rasyid Ridha tidak
hanya menjadi murid yang paling dekat dan setia kepada Abduh tetapi menjadi mitra,
penerjemah, dan pengulas pemikiran-pemikirannya.

2.5 Cita – Cita Besar

Beberapa bulan setelah menetap di Mesir, Rasyid Ridha mulai menerbitkan


majalah al-Manar (Mercusuar) dengan persetujuan Muhammad Abduh. Majalah
tersebut dipersiapkan untuk menjadi corong dan media bagi gerakan pembaruan islam
dalam memajukan umat Islam dan membebaskan mereka dari belenggu penjajahan.
Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berupaya
mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan serta
menegaskan bahwa islam adalah agama universal dan abadi, yang selalu sesuai
dengan kebutuhan manusia disegala waktu dan tempat. Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha memiliki visi bahwasannya umat Islam harus menjadi umat yang merdeka dari
belenggu penjajahan dan menjadi umat yang maju sehingga dapat bersaing dengan
umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat diberbagai bidang kehidupan, seperti politik,
ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Beberapa ide-ide pembaruan yang dipublikasikan oleh Syekh Muhammad


Rasyid Ridha antara lain:
1. Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan lantaran mereka
tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku mereka
juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar.
Misalnya, anggapan yang menyatakn bahwa dalam Islam terdapat ajaran
kekuatan Rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa
yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagian dunia dan
akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai sunatullah.
2. Kemunduran umat Islam juga disebabkan membudayanya paham fatalis
(Jabbariyyah). Sebaliknya salah satu sebab kemajuan bangsa Eropa dalah
sudah membudayanya paham ikhtiar (dinamis). Padahal Islam sendiri
sebenarnya berisi ajaran yang mendorong umatnya untuk bersifat dinamis.
Ajaran tersebut terkandung dalam kata jihad, yang berarti berusaha keras dan
bersungguh-sungguh dalam mencurahkan segenap pikiran, kekuatan, dan
berkurban, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa raga.
3. Ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam sudah
sepantasnya umat Islam yang mendambakan kemajuan, siap
mempelajarinya. Kemajuan yang pernah dicapai umat Islam pada zaman
klasik dalah karena kemajuan mereka dibidang ilmu pengtahuan. Namun,
ilmu pengetahuan tersebut telah diabaikan oleh umat Islam yang datang
kemudian dan sebaliknya dikembangkan oleh bangsa barat. Akibatnya
Islam mengalami kemunduran sedangkan barat mengalami kemajuan.
Karena itu jika umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan dari barat,
mereka sebenarnya mempelajari kembali ilmu pengetahuan yang pernah
dimiliki.
4. Islam itu sederhana, baik masalah ibadah maupun masalah muamalah.
Ibadah kelihatan ruwet, karena hal-hal yang sunah dan tidak wajib
dijadikan hal-hal yang wajib.Hukum-hukum fiqih yang berkenaan dengan
kemasyarakatan meski didasrkan pada al-Qur’an dan Hadits, tidak boleh
dianggap absolut dan tidak dapat diubah. Hukum-hukum itu ditetapkan sesuai
dengan suasana tempat dan zaman ia ditetapkan.

5. Dalam masalah politik, kemunduran umat Islam dalam bidang ini adalah
karena perpecahan, karena itu jika ingin maju maka harus mewujudkan
persatuan dan kesatuan yang didasarkan pada keyakinan, bukan hanya
didasarkan pada bahasa dan ethnis. Untuk itu, dia menyeru umat Islam
agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu
sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu
kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya
bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah
(kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Dia menganjurkan
pembentukan organisasi Al-jami’ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) di
bawah
naungan khalifah. Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata
dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah
pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga
pernah menjadi anggota
Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di
Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.
2.6 Karya – Karya Muhammad Rasid Ridha
Majalah al-Manar mulai terbit pada tanggal 22 Syawal 1315 H/ 15 Maret 1898
M. Pada mulanya majalah tersebut terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam
seminggu, kemudian setengah bulan sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-
kadang sembilan nomor dalam setahunnya. Majalah tersebut dapat diterbitkan
Rasyid Ridha seorang diri hingga akhir hayatnya. Apa yang telah dilakukan oleh
Rasyid Ridha adalah prestasi besar yang sulit ditandingi orang lain. Selama al-Manar
terbit, sebayak 34 jilid besar dan setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul
seluruhnya. Tafsir Al-Qur’an karya Rasyid Ridha itu berjudul Tafsir al-Qur’an al
Hakim (Tafsir Al-Manar) bagian pertamanya, yaitu surat al-Fatihah sampai dengan
surat al-Nisa ayat 125 merupakan hasil kerjasama dengan gurunya, Syekh
Muhammad Abduh. Sedangkan bagian keduanya, yaitu dari surat al-Nisa ayat 126
sampai dengan surat Yusuf ayat 110 adalah hasil karyanya secara mandiri. Karya-
karya yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain,
Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh
Muhammad Abduh), Nida’ Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-
Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr
Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum
penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan
Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum
pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi
Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).
Setelah berjuang dengan segala kecerdasan dan kemampuan yang ada padanya
untuk kemajuan dan kejayaan Islam, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berpulang ke
rahmatullah dalam usia 70 tahun pada kamis, 23 Jumadil al-Ula 1354 H/ 22 Agustus
1935M.
BAB III
PENUTUP

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan


Tarablus Syam pada tahun 1282 H/1865 M. Dia adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali
Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhamad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah.
Ayah dan Ibu Sayyid Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan al-
Husayn putra Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, Putri Rasulullah itu sebabnya
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menyandangg gelar al-sayyid di depan namanya
dan sering menyebut tohoh-tokoh ahl al-bayt seperti Ali ibn Abi Thalib, al-Husyan
dan Ja’far al –Shadiq dengan Jadduna (nenek moyang kami). Rasyid Ridha mulai
menerbitkan majalah al-Manar (Mercusuar) dengan persetujuan Muhammad Abduh.
Majalah tersebut dipersiapkan untuk menjadi corong dan media bagi gerakan
pembaruan islam dalam memajukan umat Islam dan membebaskan mereka dari
belenggu penjajahan. Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha berupaya mengaitkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan masyarakat dan
kehidupan serta menegaskan bahwa islam adalah agama universal dan abadi, yang
selalu sesuai dengan kebutuhan manusia disegala waktu dan tempat. Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha memiliki visi bahwasannya umat Islam harus menjadi
umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat yang maju
sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat
diberbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Beberapa ide-ide pembaruan yang dipublikasikan oleh Syekh Muhammad
Rasyid Ridha antara lain: Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan
lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya,
Kemunduran umat Islam juga disebabkan membudayanya paham fatalis
(Jabbariyyah), Ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam sudah
sepantasnya umat Islam yang mendambakan kemajuan, siap mempelajarinya, Islam
itu sederhana, baik masalah ibadah maupun masalah muamalah.
Ibadah kelihatan ruwet, karena hal-hal yang sunah dan tidak wajib dijadikan
hal-hal yang wajib, Hukum-hukum fiqih yang berkenaan dengan
kemasyarakatan meski didasarkan pada al-Qur’an dan Hadits, tidak boleh
dianggap absolut dan tidak dapat diubah. Hukum-hukum itu ditetapkan
sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia ditetapkan, Dalam masalah
politik, kemunduran umat Islam dalam bidang ini adalah karena perpecahan,
karena itu jika ingin maju maka harus mewujudkan persatuan dan kesatuan
yang didasarkan pada keyakinan, bukan hanya didasarkan pada bahasa dan
ethnis.
Karya – Karya Muhammad Rasid Ridha yang paling monumental ialah
Majalah al-Manar. Selama al-Manar terbit, sebayak 34 jilid besar dan setiap
jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya, Tafsir Al-Qur’an
karya Rasyid Ridha itu berjudul Tafsir al-Qur’an al Hakim (Tafsir Al-Manar).
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang
ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia. Ide-ide pembaharu
yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaruan di berbagai
wilayah dunia Islam. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca
majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya.

Anda mungkin juga menyukai