Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PEMIKIRAN AL IRSYAD

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah : Pemikiran Islam Kontemporer

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Ida Zahara Adibah, M.S.I.

Disusun Oleh:

Agus Ardiyanto

NIM. 15610028

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC CENTRE

SUDIRMAN GUPPI UNGARAN

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT.


yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya serta Taufik dan Hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Pemikiran Islam
Kontemporer ini dengan baik.
Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah dan zaman tidak
berakhlaq kepada zaman yang berilmu pengetahuan dan berakhlaq mulia seperti
yang kita rasakan pada saat sekarang ini.
Pada makalah ini, kami akan menguraikan tentang Pemikiran Al Irsyad.
Semoga dengan adanya makalah ini para pembaca dapat mengambil ilmu serta
menjadikan makalah ini sebagai rujukan atau referensi, khususnya mengenai hal-
hal yang bersangkutan dengan Pemikiran Al Irsyad.
Akhir kata kami selaku penulis menyadari penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat kami harapkan.

Semarang, 21 Desember

PENULIS

ii
Daftar Isi

MAKALAH.......................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................2
C.    Tujuan Masalah......................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
A. Sejarah Berdiri dan Pemikiran Al Irsyad..........................................................3
B. Pendiri-pendiri Al-Irsyad...........................................................................................6
C. Perkembangan Al-Irsyad...........................................................................................6
D. Peranan Al-Irsyad dalam Memajukan Peradaban Islam di Indonesia......................10
BAB III............................................................................................................................11
A.    Kesimpulan..........................................................................................................11
B.    Saran.....................................................................................................................13
REFERENSI....................................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia, awal abad ke-20 adalah periode
yang sering dikenal dengan zaman “pergerakan nasional”. Pada masa ini muncul
berbagai organisasi perjuangan, baik bersifat sosial maupun politik yang dapat
dikategorikan modern, misalnya, Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah,
Indische Partij, Jamiat Khair, Al-Irsyad, dan Nahdatul Ulama.
Gerakan pembaharuan Islam, tidak bisa dilepaskan dari peran Muhammad
bin Abdul Wahhab (1703-1787M) di Arab Saudi dan Muhammad Abduh (1849-
1905M) di Mesir. Abdul Wahhab berdakwah secara otentik, sebuah pola dakwah
model Islam pada zaman Nabi dan sahabatnya. Kala itu kaum muslimin hidup
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadits, tanpa intervensi akal atau ijtihad
terhadap Al-Qur’an. Mereka inilah yang disebut kaum salafi.
Lain Abdul Wahhab, lain pula Muhammad Abduh. Menurut Abduh,
kembali ke ajaran Salafi-kembali ke al-Qur’an dan As-Sunah saja tidak cukup.
Ajaran Islam, menurut Abduh, harus dikembalikan kepada aslinya dengan
interpretasi yang disesuaikan dengan keadaan modern. Karena itu, dalam
pandangan Abduh, pintu ijtihad perlu dibuka, taklid buta pada pendapat ulama
mesti dihindari.
Al-Qur’an dalam pandangan Abduh, berbicara kepada akal, bukan kepada
hati manusia. Dan, akal itu bisa diasah serta ditumbuh kembangkan melalui sistem
pendidikan. Karena itu, gerakan pembaharuan Abduh, yang dilanjutkan seorang
muridnya, Rasyid Ridha (1865-1935) adalah dengan memperbaiki kurikulum
pendidikan. Dengan cara itu, umat Islam akan mengalami kemajuan berarti dalam
pergaulan global.
Semangat Abdul Wahhab dan Abduh diwarisi oleh generasi sesudahnya.
Implementasinya bisa beragam bentuk. Mulai dari kancah ilmiah, pendidikan,

1
dakwah bil-lisan dan bil hal, sampai politik praktis. Semua dengan semangat
tunggal: menegakkan syiar Islam di bumi Allah ini.
Hal ini juga yang diharapkan dengan berdirinya Al-Irsyad oleh para
pendirinya, yaitu untuk mensiarkan pengetahuan alam sesuai Islam dan
menyebarkan kebudayaan Arab yang sesuai dengan ajaran Allah (Al-Qur’an dan
Sunah).
Maka dari itu penulis menyusun makalah ini yang membahas tentang
pemikiran Al-Irsyad dengan segala kontribusinya dalam dunia islam guna
mengkaji dan menggali lenih dalam pemikiran Al-Irsyad yang merupakan salah
satu peradaban islam yang kontemporer.

B.     Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah
1.   Bagaimana sejarah berdirinya Al Irsyad?
2.   Bagaimana pemikiran Al Irsyad tentang gerakan pembaharuan islam?

C.    Tujuan Masalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.    Untuk mengetahui sejarah berdirinya Al Irsyad.
2.    Untuk mengetahui pemikiran Al Irsyad tentang gerakan pembaharuan
islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdiri dan Pemikiran Al Irsyad

Latar belakang Lahirnya organisasi Al-Irsyad diprakarsai orang-orang


Arab non-sayyid yang tidak puas dengan Jamiat Khair. Ketidakpuasan itu dilatar
belakangi perbedaan pandangan tentang stratifikasi social dalam masyarakat Arab
di Indonesia, diantaranya dalam permasalahan:
a) Kafa’ah (kesetaraan dalam perkawinan)
Tidak diperbolehkan untuk menikahkan wanita sayyid dengan non-sayyid,
walaupun ia menyetujuinya dan mengesampingkan hak kesejajarannya bahkan
dengan persetujuan wali. Hak kesejajaran didasari harga diri.
b) Taqbil (mencium tangan sayyid bila bersalaman)
Orang bukan sayyid diwajibkan mencium tangan kalangan Arab yang
menyandang gelar sayyid. (Asrohah Hanun; 1992; Hal: 25)
Patut garis bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya,
Al-Irsyad lebih memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan.
Ini biasa dilihat dari pembukaan sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-
pemuka arab.Terutama Syaikh Umar Manggus,yang saat itu menjabat sebagai
Kapten Arab.Tokoh ini yang memberi saran agar didirikan suatu perkumpulan
untuk menunjang sekolah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati tersebut.
Atas dukungan itu,berdirilah sekolah ”Jam’iyyah Al Ishlah Wa Al Irsyad Al
Islamiyyah”. Agar kehadirannya tidak terkesan hanya diperuntukkan bagi orang
arab, maka beberapa waktu kemudian namanya di ubah menjadi ”Jam’iyyah Al-
Irsyad Al-Islamiyyah”. Yang selanjutnya dikenal dengan nama Al-Irsyad, Al-
Irsyad beranggotakan semua orang Islam yang berumur 18 tahun atau yang telah
beristri dan tingggal diwilayah Indonesia.

Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang


ketauhidan, di antaranya:

3
Pertama, Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang
sebenarnya memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits. Namun
mereka menjadikan pendapat seseorang sebagai dalil agama, Sukarti menyatakan
adapun taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalil agama tidak
diperbolehkan oleh Allah dan Rosull-Nya,para sahabat maupun para ulama
terdahulu,dan merupakan bid’ah yang sesat. (Azra, Azyumardi; 1999; hlm. 25)

 Kedua, meminta syafa”at. Ia mengatakan kepada orang yang sudah minta


dan bertawasul denga Mereka,Surkati menyatakansebagai perbuatan yang munkar
dan bid’ah, :”meminta syafa”at kepada orang yang mati atau bertawasul kepada
mereka adalah perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh
Rasulullah saw,al Khulafa’al Rasyidan ataupun oleh para Mujtahid,baik
bertawasul dengan Rasul sendiri atau dengan yang lain. Selain itu,hal tersebut
merupakan sesuatu yang diada-adakan dalam ruang lingkup al Din. Setiap yang
baru dalam agama adalah bid’ah,setiap bid ah adalah sesat ,dan setiap yang sesat
akan masuk neraka’’.

Ketiga, dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan


kepada orang lain untuk mengganti shalat dan puasa yang ditinggalkan oleh salah
seorang anggota keluarganya, ketika menyampaikan fidyah seseorang
berkata ;’’terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan”.
Kemudian si penerima menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’. Bagi Surkarti,
perbuatan ini dilarang karena tidak didasarkan atas dasar dalil agama, dan
merupakan perbuatan bid’ah.

Keempat,dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur


Surkarti melihatnya sebagai pembuatan yang tidak bedasarkan tuntunan al Qur’an
dan Hadits juga tidak ada petunjuk dari para sahabat. (Azra, Azyumardi; 1999;
hlm. 25)

Kelima, perbuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid


Nabi Muhammad saw, bagi Surkarti bukan perbuatan agama, namun demikian
apa bila perbuatan tersebut di pandang sebagai perbuatan agama, atau termasuk

4
dalam ruang lingkup agama, maka pembuatan tersebut tetap di anggap sebagai
perbuatan bid’ah.

 Keenam, pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah


perbuatan bid’dah. Alasannya,melafalkan niat demikian dipadang sebagai
tambahan dalam melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam
hati. Menurut Sukarti pula, ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan
tersebut pernah dirawikan orang dari Nabi Muhammad, atau dari para sahabat,
walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat. Dari berbagai sumber
rujukan dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak
beralasan lagi ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat
tersebut. Itu berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.

Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang
baru ditimpah musibah kematian menurut Sukarti, merupakan perbuatan Bid’ah
dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Sukarti menilai parbuatan tersebut
sebagai perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena musibah.Dan
perbuatan terpuji yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah
penyediakan makanan, sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal
dunia.”Buatlah makanan bagi keluarga Jafar, sebab mereka telah ditimpa
sesuatu yang membuat mereka lupa makan”.

Kedelapan,adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib


lima waktu menurut Surkarti, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan
dengan sunnah Rasul. Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang
mengada-ada dan menambah-nambah karena Rasulallah selesai sholat wajib lima
waktu, langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau ada
yang akan dia sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat
Muslim. (Azra, Azyumardi; 1999; hlm. 25)

Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa


”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi
lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk
memperbaiki pemahaman keberagaman muslim Indonesia. Deliar Noor

5
menyatakan, seperti halnya seperti Modernis muslim Indonesia yang lain.
Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang dipelopori oleh
Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut
secara intensif memasuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak
personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di
Timur Tengah, juga melalui penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-
Manar dan lain-lainnya.

B. Pendiri-pendiri Al-Irsyad
Para pendirinya sebagian besar pedagang atau pengusaha dan ulama
keturunan suku Arab. Pendiri-pendiri al-Irsyad diantaranya adalah :
a) Syeikh Ahmad Soorkati
Beliau mempunyai nama lengkap Ahmad Muhammad Soorkati al-Ansari. Lahir di
desa Udfu, Jazirah Arqo, Dongula, Sudan, tahun 1875 M. Ayahnya, Muhammad
al-Ansari adlah seorang ulama tamatan Al-Azhar Kairo, Mesir. Dalam bahasa
Sudan, Soorkati, berasal dari kata ‘sur’ yang berarti kitab, dan ‘katti’ yang berarti
banyak, jadi Soorkati punya arti ‘banyak kitab’.
b) Syeikh Umar bin Manggus
c) Saleh bin Ubaid Abdat
d) Said bin Salim Masyhabi
e) Salim bin Umar Balfas
f) Abdullah Harharah, dan
g) Umar bin Saleh bin Nahdi
Diantara para pendiri tersebut, Syeikh Ahmad soorkati adalah tokoh yang
dilihat sebagai tempat meminta fatwa. (Asrohah Hanun; 1992; Hal: 32)
Para pendiri memberi nama organisasi ini al-Irsyad, menurut Majlis
Dakwah Al-Irsyad, nama ‘Irsyad’ mengacu pada nama Jam’iyat al-Da’wah wa Al-
Irsyad yang didirikan Rasyid Ridha di Mesir. Organisasi ini bergerak dalam
bidang pendidikan dan sosial keagamaan.

6
C. Perkembangan Al-Irsyad
Berdirinya al-Irsyad tidak dapat dipisahkan dari organisasi Jamiat Khair,
karena kedatangan Syaikh Ahmad Soorkati ke Indonesia atas undangan Jamiat
Khair, sebagai guru di sekolah Jamiat Khair. Rupanya keharmonisan tidak selalu
seiring antara Ahmad Soorkati dengan Jamiat Khair, dengan adanya peristiwa
yang dikenal dengan ‘fatwa Solo’ maka pada tanggal 6 September 1914, setelah 2
tahun mengabdi di Jamiat Khair, Soorkati mengundurkan diri, karena dirinya
merasa sudah tidak lagi diperlukan.
Keluar dari Jamiat Khair, Soorkati ditampung oleh Umar Manggus,
seorang pemuka masyarakat Arab di Jakarta yang bukan keturunan ‘Alawi,
kemudian beliau diberi kepercayaan untuk memimpin madrasah yang didirikan
oleh komunitas masyarakat Arab non-‘alawi. Madrasah tersebut diberi nama al-
Irsyad al-Islamiyah wa al-Irsyad al-‘Arabiyah yang lebih dikenal dengan sebutan
al-Irsyad. (Noer Delian; 1991; hal: 24) Pada tanggal 11 Agustus 1915, al-Irsyad
mendapat status hukum dari pemerintah Belanda. Meskipun demikian, pihak al-
Irsyad mencatat hari kelahirannya pada 6 September 1914, yang bertepatan
dengan dibukanya madrasah pertama di Jati Petamburan, Jakarta.
Seiring dengan kemajuan al-Irsyad, pihak ‘Alawi cemburu berat. Lalu
mereka melakukan maneuver-manuver politik yang sifatnya fitnah. Bahkan,
mereka pun sempat mendekati konsul Inggris, agar para anggota al-Irsyad tidak
boleh memasuki wilayah jajahan Inggris. Tidak hanya itu, untuk melaksanakan
ibadah haji saja, mereka dihalang-halangi, dengan berbagai cara, antara lain
memberikan informasi yang tidak benar kepada pihak-pihak yang berwenang.
Pada tahun 1920, semua bentuk larangan dan hambatan yang dilakukan
pemerintah Inggris terhadap jamah al-Irsyad bisa dicairkan. Upaya-upaya untuk
berdamai dengan ‘Alawi pun mulai dirintis. Menyadari keadaan yang tidak juga
membaik, dan demi kerukunan antar masyarakat, Soorkati mengundurkan diri dari
al-Irsyad, tahun 1921.
Soorkati mundur dari al-Irsyad karena ia ingin perguruan yang dikelolanya
itu maju. Agar bisa maju, diperlukan beberapa persyaratan antara lain hadirnya
guru-guru yang berkualitas, sistem pendidikan dan sarana penunjang. Semua itu

7
memerlukan dana, sementara al-Irsyad sebagai ormas yang belum kuat secara
finansial, belum mampu menopang keinginan Soorkati tersebut. Maka, Soorkati
memutuskan untuk mundur sementara, lalu ia berdagang, dengan harapan hasil
upayanya itu nantinya bisa mengembangkan perguruan al-Irsyad, sebagaimana
yang ia cita-citakan.
Pada tahun 1923, Soorkati merintis lembaga pendidikan diluar stuktur
organisasi al-Irsyad. Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah namanya, didanai oleh para
dermawan yang dekat dengan Soorkati. Walhasil, madrasah yang didirikan
Soorkati berhasil dan maju pesat, sementara madrasah milik jamiah al-Irsyad,
yang ditinggalkannya mengalami kemunduran.
Semua madrasah al-Irsyad dimaksudkan untuk menampung atau
menerima semua anak-anak Muslim bukan hanya keturunan Arab. Tidak seperti
pondok pesantren yang menekankan penghafalan masalah teologi dan hukum,
sekolah al-Irsyad mencoba membekali siswanya dengan ajaran Islam yang
komprehensif. Madrasah al-Irsyad menekankan pelajaran bahasa Arab karena
merupakan basis dari ilmu pengetahuan yang berasal dari ilmuwan Muslim. Al-
Irsyad lebih memilih karya-karya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha sebagai
cara terbaik menghidupkan kembali Islam. Dengan mengikuti konsep-konsep
reformasi yang dijelaskan lebar oleh kedua orang ini, Al-Irsyad menyakini bahwa
revitalisasi Islam akan terjadi. (Maksum; 1999; hal: 32-34)
Keberhasilan al-Irsyad mendapat tempat yang dihormati oleh masyarakat
Muslim Indonesia adalah bukti ketangguhannya mencoba menjalankan kegiatan
pendidikan. Al-Irsyad berhasil mendapatkan dukungan dari dalam dan luar, yaitu
masyarakat Muslim Indonesia dan reformis Mesir. Tak lama setelah madrasah al-
Irsyad didirikan, kontak dengan gerakan Muslim modern yang lain menjadi lebih
erat, khususnya dengan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini membentuk tahap
awal pembentukan gerakan reformasi di daerah koloni. Al-Irsyad didirikan untuk
menyebarkan paham modernisme Islam, organisasi ini tidak begitu peduli dengan
membentuk sistem yang mencerminkan sifat penduduk asli, bahkan mencoba
menghilangkan kepercayaan setempat dan tindakan yang bertolak belakang
dengan ajaran aslinya. Al-Irsyad tidak mencoba menyerupai pondok pesantren

8
yang menjadi pusat pembelajaran Muslim tradisional. Sebaliknya, Al-Irsyad
berjalan bersama Muhammadiyah di Jawa dan mewakili usaha-usaha memerangi
ide-ide kuno dan mendidik Muslim Indonesia cara-cara hidup modern. Dari segi
pendidikan Al-Irsyad lebih memperhatikan bagaimana membekali siswa-siswanya
dengan pendidikan agama, yang akan membantu mereka berhadapan dengan ide-
ide reformasi. Adapun secara umum tujuan pendidikan pada sekolah-sekolah yang
bernaung di bawah al-Irsyad adalah pembentukan watak, pembentukan kemauan
serta latihan untuk melaksanakan kewajiban.
Dikenal sebagai cendekiawan dan intelektual Ahmad Soorkati tidak
menulis banyak buku. Tetapi beliau lebih banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang
ada hubungannya dengan pelaksanaan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari
tulisan-tulisannya tampak Ahmad soorkati menyadari kaum Muslim di Indonesia
masih sangat lemah dan ia berkeinginan menebalkan keimanan mereka. Keadaan
moral, sosial dan intelektual juga sangat rendah, ditandai dengan adanya
kebiasaan yang sangat tidak dianjurkan Islam. Melihat kondisi ini Ahmad
Soorkati menyimpulkan, bahwa jalan keluarnya adalah kembali mengajarkan
Islam sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, ia berpendapat tujuan inilah
yang terpenting dari semua tujuannya.
Tujuan-tujuan itu dipaparkan Ahmad Soorkati dalam pengantar yang
ditulisnya di al-Dhakirah :
• Memperlihatkan hadis-hadis yang palsu dan kisah-kisah yang direkayasa,
namun dipercayai sebagai ajaran Islam oleh Muslim di Indonesia.
• Untuk membuktikan bahwa argumentasi-argumentasi yang kontra-Islam
salah dengan menggunakan dalil al-Qur’an dan hadis Nabi. Ia juga berharap
dengan cara ini Muslim Indonesia akan melaksanakan rukun Islam dengan
benar
• Untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan
kebajikan, sesuai untuk segala zaman dan semua Negara
• Untuk mendorong kaum Muslim agar mengikuti kemajuan dan tidak didekte
oleh kekuasaan atau pengaruh asing. (Mughi, Syafiq A dan Hasan ; 1994;
Hal: 28)

9
D. Peranan Al-Irsyad dalam Memajukan Peradaban Islam di Indonesia
1) Prinsip-prinsip Gerakan Al-Irsyad
Gerakan Al-Irsyad yang dengan cepat berkembang, didirikan dengan
didasari lima prinsip, yang kemudian dikenal dengan konsep pembaharuan Islam
yang menjadi anutan organisasi, yaitu :
• Untuk meneguhkan doktrin persatuan dengan membersihkan sholat dan do’a
dari kontaminasi unsur politheisme (kemurnian Tauhid)
• Untuk mewujudkan kesetaraan di antara kaum muslim dan mencari dalil yang
shahih di al-Qur’an dan Sunah, serta mengikuti jalan yang salaf untuk
semua solusi masalah agama yang diperdebatkan.
• Untuk memerangi taqlid a’ma (penerimaan membabi buta) yang berkonflik
dengan dalil aqli (sesuai akal) dan dalil naqli (sesuai al-Qur’an dan Sunah).
• Untuk mensiarkan pengetahuan alam sesuai Islam dan menyebarkan
kebudayaan Arab yang sesuai dengan ajaran Allah
• Mencoba untuk menciptakan pemahaman dua arah antara muslim Indonesia
dan Arab. (Noer, Delian; 1991; Hal:20)

2) Dengan melalui media informasi, diantaranya :


Selain dengan mendirikan lembaga pendidikan dengan berbagai jenjang
atau tahapan, al-Irsyad juga menyebarkan ide-idenya dengan menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan, tabligh, ceramah, kelompok studi, serta penerbitan brosur
atau bulletin berkala melalui Sharikah Tijariyah li-al-Tab wa al-Nashr ( usaha
untuk percetakan dan penerbitan) yang dibentuk di bawah naungan Sayyid
Muhammad bin Rais bin Thalib. Lembaga tersebut telah mencetak berbagai
bulletin untuk kemajuan al-Irsyad, diantaranya :
• Pada tahun 1920, telah menerbitkan majalah yang pertama dengan nama al-
Salam
• Majalah kedua, dengan nama al-Irsyad
• Pada tahun 1923, kembali menerbitkan bulletin yang diberi nama al-
Dhakhirah (peringatan), yang isinya banyak mengandung kupasan tentang

10
persoalan keagamaan dan menjawab persoalan yang diajukan para
pembacanya
• Pada tahun 1925, telah menerbitkan al-Masail al-Thalath, berisi tentang fatwa
kepada pimpinan Muhammadiyah yang mempertanyakan mengenai al-din
(agama), al-dunya (dunia) dan Ijtihad. Jawaban-jawaban Ahmad Soorkati
dalam bentuk fatwa pada Muhammadiyah ini terangkum dalam terbitan
tersebut.

11
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Organisasi Al-Irsyad diprakarsai orang-orang Arab non-sayyid yang tidak
puas dengan Jamiat Khair. Ketidakpuasan itu dilatar belakangi perbedaan
pandangan tentang stratifikasi sosial dalam masyarakat Arab di Indonesia,
diantaranya dalam permasalahan:
a) Kafa’ah (kesetaraan dalam perkawinan) 
b) Taqbil (mencium tangan sayyid bila bersalaman)

Para pendirinya sebagian besar pedagang atau pengusaha dan ulama


keturunan suku Arab. Pendiri-pendiri al-Irsyad diantaranya adalah :
a) Syeikh Ahmad Soorkati
b) Syeikh Umar bin Manggus
c) Saleh bin Ubaid Abdat
d) Said bin Salim Masyhabi
e) Salim bin Umar Balfas
f) Abdullah Harharah, dan
g) Umar bin Saleh bin Nahdi

Semua madrasah al-Irsyad dimaksudkan untuk menampung atau


menerima semua anak-anak Muslim bukan hanya keturunan Arab. Tidak seperti
pondok pesantren yang menekankan penghafalan masalah teologi dan hukum,
sekolah al-Irsyad mencoba membekali siswanya dengan ajaran Islam yang
komprehensif. Madrasah al-Irsyad menekankan pelajaran bahasa Arab karena
merupakan basis dari ilmu pengetahuan yang berasal dari ilmuwan Muslim. Al-
Irsyad lebih memilih karya-karya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha sebagai
cara terbaik menghidupkan kembali Islam. Dengan mengikuti konsep-konsep
reformasi yang dijelaskan lebar oleh kedua orang ini, Al-Irsyad menyakini bahwa
revitalisasi Islam akan terjadi.

12
Keberhasilan al-Irsyad mendapat tempat yang dihormati oleh masyarakat
Muslim Indonesia adalah bukti ketangguhannya mencoba menjalankan kegiatan
pendidikan.

Selain dengan mendirikan lembaga pendidikan dengan berbagai jenjang


atau tahapan, al-Irsyad juga menyebarkan ide-idenya dengan menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan, tabligh, ceramah, kelompok studi, serta penerbitan brosur
atau bulletin.

B.    Saran
Alangkah baiknya kita sebagai calon tenaga pendidik mata pelajaran PAI
untuk memperluas wawasan pengetahuan kita tentang Pemikiran Al Irsyad
khususnya perihal semangat dan kegigihan untuk memajukan peradaban islam.

13
REFERENSI

Asrohah Hanun, 1992. SejarahPendidikan Islam Cet : 1;  Logos Wacana Ilmu,


Jakarta.

Azra, Azyumardi,1999. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Cet.


1.,  Logos Wacana Ilmu, Jakarta.

Maksum, 1999., Madrasah Sejarah dan Perkembangannya Cet I : Logos Wacana


Ilmu, Jakarta.

Mughi, Syafiq A dan Hasan Bandung., 1994.  Pemikiran Islam Radikal Cet II.,
Bina Ilmu, Surabaya.

Noer, Delian., 1991., Gerakan Modern Islam di Indonesia., LP3ES., jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai