Anda di halaman 1dari 113

TIKRȂR AYAT DALAM AL-QURAN

(ANALISIS SURAH AL-QAMAR AYAT 17, 22, 32, 40)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S.Ag.)

Oleh:

Fradhita Sholikha
11140340000189

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1440 H
ABSTRAK

FRADHITA SHOLIKHA (11140340000189)


Tikrâr Ayat dalam Al-Qur’an (Analisis Surah Al-Qamar Ayat 17, 22, 32, dan
40).

Gaya bahasa al-Qur’an sangatlah beragam. Al-Qur’an terdapat berbagai


macam cara dalam penyampaiannya yang sering kali ditemukan dengan
menggunakan pengulangan yang juga merupakan salah satu i’jaz al-Qur’an.
Mengapa demikian? Karena dengan kemukjizatannya yang berupa pengulangan
tersebut, mampu mengungkap sebuah makna yang tersirat. Ada banyak macam-
macam pengulangan yang sering diucapkan di dalam al-Qur’an. Memuat sebuah
kandungan makna yang serasi dengan janji Allah, bahwa al-Qur’an diturunkan
sebagai pelajaran. Namun adakah yang mau mengambil sebutir kata dari al-
Qur’an tersebut?
Pertanyaan tersebut terdapat dalam firman Allah Surah Al-Qamar ayat 17,
22, 32, dan 40. Keunikan dari ayat tersebut, selain menjelaskan bahwa adanya
kemudahan bagi orang yang ingin mengambil pelajaran dari al-Qur’an,
menceritakan tentang hari kiamat, manusia diperintahkan agar selalu melakukan
perbuatan baik, karena perbuatan manusia akan dihisab di akhirat nanti selama
hidup di dunia, juga perlakuan kaum musyrikin (kaum terdahulu) yang sangat
durhaka terhadap rasul dan enggannya rasa untuk bertaubat dan memperbaiki diri
setelah melakukan perbuatan keji dan mungkar sehingga siksaan dunia akhirat
yang pedih akan menghampirinya. Dari pemaparan kisah yang mengenaskan,
apakah masih ada orang yang mau mengambil petuah dan pelajaran di dalamnya?
Pada penulisan skripsi ini, fokus terhadap keempat ayat tersebut, mencari
sebuah rahasia di dalamnya, menggunakan metode kualitatif dengan menganalisis
dan mendeskripsikan. Bentuk penelitian ini menggunakan metode kepustakaan
(library research). Menjawab permasalahan yang ada dengan merujuk pada
beberapa kitab-kitab tafsir saja yang berasal dari tafsir pada masa klasik maupun
kontemporer, buku-buku, artikel, skripsi, kamus, maupun jurnal yang berkaitan
dengan judul tersebut. Berbagai pengulangan memiliki makna dan maksud yang
berbeda sesuai dengan konteks pembicaraan. Meskipun tampak mirip, namun bila
diperhatikan dan diteliti dengan melihat maknanya, pastilah berbeda. Pada bab.
IV, penulis menafsirkan dan menganalisis ayat 17, 22, 32, dan 40 dengan
menggunakan kitab-kitab yang mendukung dan banyak pembahasan dari keempat
ayat tersebut. Setelah dianalisis, dapat disimpulkan dari hasil penelitian tersebut
mengenai satu ayat yang diulang sebanyak empat kali yaitu sebagai pelajaran dan
peringatan bagi orang-orang yang ingin mengambil sebuah pelajaran di dalam al-
Qur’an, salah satunya terhadap kisah-kisah umat terdahulu yang senantiasa
durhaka terhadap rasul-rasul-Nya. Sehingga peranan dari ayat-ayat tersebut
menjadi sebuah perenungan dan nasihat kepada manusia yang berakal.

Kata Kunci : Tikrâr, Al-Qamar, gaya bahasa.

i
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu‘alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan

kesempatan, nikmat iman, nikmat jasmani, rohani, kemudahan, kesehatan, rahmat,

kesabaran, kasih sayang-Nya Yang Maha Luas dan Maha Besar, berkat

pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik

mungkin. Shalawat dan salam tak lupa saya haturkan kepada junjungan Nabi

besar Muhammad SAW, yang telah mengubah zaman dari zaman jahiliyah

menuju zaman islamiyah, terang benderang menuju Islam yang rahmatan lil

‘alamin. Beliaulah Nabi akhir zaman yang telah memberikan cahaya di atas

cahaya, manusia paling sempurna, dan petunjuk jalan yang benar dan abadi

kepada umat Islam untuk pedoman hidup, serta do’an untuk para keluarganya,

sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillaah, berkat inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan baik. Skripsi merupakan salah satu tugas akhir yang harus dikerjakan

oleh setiap mahasiswa/wi untuk mendapatkan gelar sarjana (S-1), yang disusun

dengan berbagai sumber-sumber dari karya-karya orang yang sesuai dengan judul

skripsi tersebut. Kepada beliau-beliau semua, penulis mengucapkan terimakasih

dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Penulisan skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan, dukungan,

motivasi, dorongan, dan support dari berbagai pihak dan orang-orang terdekat

saya. Maka dari itu, pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih dan peng-

ii
apresiasi-an yang terbaik dan setinggi-tingginya kepada mereka semua yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih dan doa yang selalu

dipanjatkan untuk mereka, yaitu kepada Mamah tercinta tercinta, Hj. Ety

Mahmudah dan Ayah tercinta, H. Mahruf. Keduanya yang selalu saya rindukan

ketika saya sedang jauh dengan mereka. Dengan ketegasan, kedisiplinan, kasih

sayang, dan keuletan Ayah, penulis dapat menggunakan waktu dengan sebaik

mungkin dan disiplin. Begitupula dengan kesabaran, kelembutan, dan kasih

sayang Mamah, penulis banyak bersabar dalam menulis skripsi ini. Banyak

pelajaran hidup yang telah penulis dapati dari mereka, arahan yang baik, dan

contoh yang patut diaplikasikan. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-

dosanya, selalu mempermudah urusan dan rezeki mereka, dan selalu dalam

lindungan dan keselamatan-Nya, Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Selanjutnya, saya menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku ketua Jurusan Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin yang telah menyetujui proposal

skripsi penulis dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku

sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Serta seluruh dosen dan

staff akademik Fakultas Ushuluddin, khusunya Jurusan Ilmu al-Qur’an

iii
dan Tafsir yang telah meluangkan waktu dan tenaganya, berbagi ilmu

dan pengalaman yang bermanfaat kepada penulis. Semoga amal

kebaikan selalu mengalir kepada mereka semua. Jazakumullaah

khairan jazaa.

4. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah memberikan arahan, gambaran, saran dan penjelasan yang

sistematis dan membangun kepada penulis. Selalu meluangkan

waktunya untuk mahasiswa bimbingannya. Mohon maaf yang

sedalam-dalamnya, jika selama proses bimbingan berlangsung, banyak

kesalahan kata maupun sikap yang kurang berkenan. Semoga Bapak

senantiasa diberikan kesehatan dan kemudahan dalam setiap

langkahnya, Amiin.

5. Bapak Masykur Hakim, P.hD, MA, selaku dosen penasehat akademik

yang telah meluangkan waktunya kepada penulis terkait Kuliah Kerja

Nyata (KKN) dan konsultasi judul skripsi. Semoga Bapak senantiasa

diberikan kesehatan, Amiin.

6. Kepada adik-adik kandung tercinta dan tersayang, Alfi Zahra Aulia

dan Nadya Aghnia Mahmudah yang senantiasa memberikan

ketenangan, kesemangatan, dan keceriaan ketika penulis sudah mulai

jenuh. Semoga mereka senantiasa dimudahkan dalam menuntut ilmu

dan berguna untuk dunia akhirat, Amiin.

7. Kepada calon suami biidznillah, Kak Rosihan Anwar S.Pd, yang

senantiasa memberikan nasehat, arahan, dan dukungan kepada penulis

agar selalu fokus dan teliti dalam penulisan skripsi. Darinya dan

iv
karenanya, penulis mendapat berbagai pengalaman dan arahan selama

penulisan skripsi. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan dalam

setiap urusannya dan kesemangatan dalam setiap langkahnya, Aamiin.

8. Kepada sahabat-sahabat penulis, Nur Indah Sari, Dita Febryani,

Widiya Rihmaranti Ningrum, Saibatul Aslamiah Lubis, Siti Aisyah,

Ziana Maulida Husnia, Mulqi Yagiasa Ulfah, Siti Maimunah, Silma

Laatansa Haqqi, Fawaidul Makiyah, Mega Nur Fadhilah, Lulu Nazila

Putri, dan Zakiah.

9. Teman-teman seperjuangan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Angkatan 2014.

Mereka sudah penulis anggap seperti keluarga sendiri. Terimakasih

semuanya, semoga tetap dan selalu terjalin silaturahminya, dan semoga

Allah memberikan petunjuk di setiap urusan mereka.

10. Teman-teman Pondok Pesantren Luhur Sabilussalam angkatan 2015,

keluarga Himpunan Qari dan Qariah Mahasiswa (HIQMA) UIN

Jakarta, keluarga Pondok al-Syifa Tercinta (PST), kepada Bapak dan

Ibu H. Dedi Suherman yang sudah seperti kedua orang tua sendiri.

Semoga mereka semua selalu berada dalam lindungan-Nya, tetap

terjalin silaturahminya, dan dimudahkan dalam hidupnya, Amiin.

11. Teman-teman KKN Selapak 052 UIN Jakarta, satu bulan bersama

mereka dalam mengabdi kepada masyarakat, meski dari arah yang

berbeda. Terimakasih untuk semuanya. Semoga selalu terjalin

silaturahmi.

12. Segenap pimpinan dan karyawan perpustakaan-perpustakaan yang

telah penulis kunjungi, baik yang berada di UIN Jakarta maupun yang

v
di luar UIN yang telah melayani penulis dalam mempergunakan

referensi-referensi dari buku-buku, literatur, artikel, dan skripsi selama

penulisan skripsi berlangsung.

Ciputat, 09 September 2018

Fradhita Sholikha

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1


A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 11
C. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................................... 12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 13
E. Metode Penelitian........................................................................................... 14
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 15
G. Sistematika Penulisan .................................................................................... 18

BAB II KONSEP TIKRȂR DALAM AL-QURAN ........................................................ 20


A. Definisi Tikrâr dalam al-Qur’an .................................................................... 20
B. Tipologi Redaksi Tikrâr ................................................................................. 27
1. Tikrâr Lafazh/Kalimat .................................................................. 28
a. Kalimat Isim ............................................................................ 28
b. Kalimat Fi’il............................................................................. 29
c. Kalimat Huruf .......................................................................... 31
2. Tikrâr Makna ................................................................................ 33
3. Shibhut Tikrâr ............................................................................... 35
C. Kaidah-Kaidah Tikrâr .................................................................................... 36
1. Kaidah Pertama ............................................................................. 36
2. Kaidah Kedua ............................................................................... 37
3. Kaidah Ketiga ................................................................................ 38
4. Kaidah Keempat ............................................................................ 40
5. Kaidah Kelima ............................................................................... 40
6. Kaidah Keenam ............................................................................. 41
7. Kaidah Ketujuh.............................................................................. 48
D. Fungsi Tikrâr ................................................................................................. 49

vii
E. Kedudukan Tikrâr .......................................................................................... 52

BAB III GAMBARAN UMUM SURAH AL-QAMAR ..................................................... 55


A. Penamaan dan Penggolongan Surah al-Qamar ............................................... 55
B. Wawasan Surah al-Qamar ............................................................................. 58
C. Munasabah Surah al-Qamar dengan Surah Sebelum dan Sesudahnya ........... 64
D. Pesan-Pesan yang Terkandung pada Surah al-Qamar ..................................... 67
E. Pengulangan Ayat dalam Surah al-Qamar ....................................................... 69

BAB IV ANALISIS PENGULANGAN AYAT DALAM SURAH AL-QAMAR ............ 71


A. Penjelasan Makna Ayat secara Rinci .............................................................. 71
B. Kandungan Ayat 17 ........................................................................................ 76
C. Kandungan Ayat 22 ....................................................................................... 79
D. Kandungan Ayat 32 ........................................................................................ 80
E. Kandungan Ayat 40 ........................................................................................ 82
F. Analisis Pengulangan Ayat ............................................................................. 85

BAB V PENUTUP................................................................................................................. 90
A. Kesimpulan...................................................................................................... 90
B. Saran-Saran ..................................................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 93

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Penulisan skripsi ini berpedoman pada transliterasi dari Keputusan SK


Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017.

1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ Tidak Dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ت‬ T Te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ J Je

‫ح‬ ẖ h dengan garis di bawah

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Dz de dan zet

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z Zet

‫س‬ S Es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ S es dengan garis di bawah

‫ض‬ ḏ de dengan garis di bawah

‫ط‬ ṯ te dengan garis di bawah

‫ظ‬ ẕ zet dengan garis di bawah

‫ع‬ ʻ koma terbalik di atas hadap


kanan
‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ف‬ F Ef

ix
‫ق‬ Q Ki

‫ك‬ K Ka

‫ل‬ L El

‫م‬ M Em

‫ن‬ N En

‫و‬ W We

‫ه‬ H Ha

‫ء‬ ˋ Apostrof

‫ي‬ Y Ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vocal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


A Fatẖah
‫ﹷ‬
I Kasrah
‫ﹻ‬
U Ḏammah
‫ﹹ‬

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai


berikut:

x
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷي‬ ai a dan i

‫ﹷو‬ au a dan u

3. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ىَا‬ â a dengan topi di atas

‫ىِي‬ î i dengan topi di atas

û u dengan topi di atas


‫ىُو‬

4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf qomariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân, bukan ad-
diwân.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan


dengan sebuah tanda ( ّ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setalah kata
sandang yang diikuti oleh hurf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ‫ الضرورة‬tidak
ditulis “ad-darûrah” melainkan “al-ḏarūrah”, demikian seterusnya.

xi
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta matbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫طريقة‬ Ṯarîqah

2 ‫الجامعة اإلسالمية‬ Al-jâmi’ah al-islâmiyah

3 ‫وحدة الوجود‬ Waẖdat al-wujûd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimt, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hamîd Al-
Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan


dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (Italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.

xii
Berkaitan dengan penulisana nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara

ْ ُ‫َب األ‬
‫ستَا ُذ‬ َ ‫َذه‬ dzahaba al-ustâdzu

‫ثَبَتَ ألَ ْج ُر‬ tsabata al-ajru

ْ ‫اَ ْل َح َر َكةُ ال َع‬


‫ص ِريَّة‬ al-ẖarakah al-‘asriyyah

‫ش َه ُد أنْ ال إله إالّ هللا‬


ْ ‫ا‬ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

‫ح‬ َّ ‫َم ْوالَنَا َملِ َك ال‬


ِ ِ‫صال‬ Maulânâ Malik al-Sâlih

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak pelru
dialihaksaraka. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd, Mohamad
Roem, bukan Muẖammad Rûm, Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Raẖmân.

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam mengandung jalan hidup manusia yang universal1 dan paling

sempurna, memuat ajaran-ajaran yang menuntun umat manusia kepada

kebahagiaan dan kesejahteraan. Al-Qur‟an adalah sumber utama dan mata air

yang memancarkan ajaran Islam2. Keyakinan manusia terhadap al-Qur‟an yang

sudah pasti mengandung pengetahuan dan petunjuk telah terbukti membawa

keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Manusia mengetahui

keyakinan tersebut, namun tetap saja tidak akan ada hasilnya jika tidak dimulai

dari diri sendiri untuk mempelajari dan mengamalkan pengetahuan di dalamnya.

Oleh sebab itu, sangat bijaksana sekali jika manusia mampu merenungkan

kandungan al-Qur‟an, mengambil seluk beluk, dan mempelajarinya3.

Al-Qur‟an diturunkan oleh Allah melalui via malaikat Jibrîl kepada Nabi

Muẖammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia tanpa pandang ras,

agama, negara, jenis kelamin, dan umur. Kitab ini disajikan sebagai pembawa

rahmat bagi seluruh umat manusia, diturunkan secara berangsur-angsur karena

untuk menjaga keotentikannya secara makna dan susunan katanya yang

mendalam dan indah untuk dihafal4. Hakikat diturunkannya al-Qur‟an adalah

menjadi acuan moral secara universal bagi umat manusia untuk memecahkan

1
Universal berarti berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh dunia, KBBI, Edisi
Kelima.
2
Allamah M.H. Thabathaba‟i, Mengungkap Rahasia Al-Qur‟an, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1992), Cetakan Keempat, hlm. 21.
3
Abdul Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur‟an, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1997), Cetakan Pertama, hlm. 145.
4
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur'an: Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi al-
Qur‟an, (Jakarta: Al-Ghazali Center, 2008), Cetakan Pertama, hlm. 354.

1
2

problema sosial yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya al-

Qur‟an secara kategoris dan tematik, justru dihadirkan untuk menjawab berbagai

problema aktual yang dihadapi masyarakat sesuai dengan konteks dan dinamika

sejarahnya. Karena itu masuk akal jika para mufassir sepakat bahwa profesi

penurunan al-Qur‟an ke muka bumi, mustahil dilakukan oleh Allah secara

sekaligus, melainkan berangsur-angsur, disesuaikan dengan kapasitas intelektual

dan konteks masalah yang dihadapi umat manusia. Diturunkan secara berangsur-

angsur sudah tentu menunjukkan tingkat kearifan5 dan kebesaran Tuhan, sekaligus

membuktikan bahwa pewahyuan total pada satu waktu adalah mustahil, karena

bertentangan dengan fitrah manusia sebagai makhluk dha‟if.

Hikmah terbesar al-Qur‟an diturunkan dari waktu ke waktu, tema per

tema, bagian per bagian, adalah disamping mempertimbangkan kemampuan

manusia yang terbatas dalam menelaah dan mencerna kandungan ayat-ayat-Nya,

juga dimaksudkan agar selaras dan sejalan dengan kebutuhan objektif yang

dihadapi umat manusia6.

Beberapa keistimewaan atau kekhususan al-Qur‟an, ialah dari segi lafazh

dan makna yang datang dari Allah Swt. Dan sesungguhnya lafazh yang berbahasa

Arab itu diturunkan Allah ke dalam kalbu Rasûlullâh Saw. Dalam hal ini

Rasûlullâh hanya membacakan al-Qur‟an dan menyampaikan kepada umat

manusia. Muncullah tantangan dalam al-Qur‟an yang beraneka ragam, ia datang

dengan uslûb (gaya bahasa) yang indah dan menantang kaum Arab untuk meniru

gaya bahasa al-Qur‟an. Namun, kenyataanya tidak ada seorangpun yang mampu

5
Kearifan berarti paham, mengerti, KBBI, Edisi kelima.
6
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an, (Jakarta: Penerbit Permadani, 2008), Cetakan
kelima, hlm. 22-23.
3

menirunya. Dengan demikian, telah terbukti bahwa al-Qur‟an merupakan suatu

mukjizat7 yang tidak bisa ditiru dan dihina8.

Gaya bahasa al-Qur‟an banyak mengandung sastra, ilmu balaghah, dan

apa yang disampaikan tidak melebihi dari pemahaman manusia. Seseorang yang

awam dan baru mempelajari al-Qur‟an, akan merasa takjub dengan

keagungannya, keindahan gaya bahasanya, struktur kalimatnya, dan mudah dalam

memahaminya. Ilmu balaghahnya akan mudah dipahami, terdapat penjelasan-

penjelasan al-Qur‟an yang termaktub, baik secara tersurat maupun tersirat.

Dengan cara itu, mereka mulai berpikir, menggunakan nalar mereka untuk

memperluas wawasan mereka9.

Argumentasi yang menunjukkan bahwa al-Qur‟an adalah hujjah bagi umat

manusia, dan hukum-hukum di dalam al-Qur‟an merupakan undang-undang yang

wajib dipatuhi, ialah karena al-Qur‟an diturunkan dari Allah dengan jalan qath‟i

yang kebenarannya tidak bisa diragukan. Kemudian alasan yang menunjukkan

bahwa al-Qur‟an itu datang dari Allah ialah mukjizat al-Qur‟an yang mampu

menundukkan manusia yang tidak mungkin mampu menirunya10.

Wajar saja jika al-Qur‟an mampu menentang dan mengalahkan segala

orang yang hendak menirunya. Sebab, al-Qur‟an memiliki uslub yang indah,

mengandung khabar-khabar dan hukum-hukum agama, menerangkan segala

sesuatu yang akan terjadi. Maka, setiap yang terjadi yang dikhabarkan oleh al-

7
Mukjizat ialah kejadian atau peristiwa yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal
manusia, KBBI, Edisi Kelima.
8
Syaikh Muẖammad „Alî al-Sabuni, Al-Tibyân fî „ulûm al-Qur‟ân, terj. Muhammad
Qodirun Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), Cetakan Pertama, hlm. 140.
9
Fahd bin Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Qur‟an, terj.
Amirul Hasan dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), Cetalan Pertama,
hlm. 90-91.
10
Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Risalah,
1985), Cetakan Kedua, hlm. 23.
4

Qur‟an, timbullah suatu kemu‟jizatan11. Karena al-Qur‟an memiliki wazan yang

tinggi dan memikat, uslub yang berlainan dari para bulaga, dan melukis khabar

dari kisah-kisah Rasul terdahulu maupun yang akan terjadi12.

Ada tiga hal yang meliputi kemukjizatan al-Qur‟an. Pertama, keakuratan

isi kandungan al-Qur‟an. Kedua, kehebatan susunan bahasanya yang tidak dapat

ditiru dan dibuat oleh siapapun. Dan ketiga, sejumlah keunikan yang terdapat di

dalam al-Qur‟an, yang juga tidak tertandingi oleh siapapun13.

Di antara kemukjizatan al-Qur‟an salah satunya adalah dari segi

bahasanya, keindahan bahasa al-Qur‟an dapat dilihat dari keserasian ayat-ayat

yang saling menguatkan, kalimatnya yang spesifik, balaghah-nya di luar

kemampuan akal, kefasihannya di atas semua yang diungkapkan manusia,

lafazhnya pilihan dan sesuai dengan setiap keadaan, serta sifat-sifat lain yang

menunjukkan kesempurnaan al-Qur‟an14.

Sebagai mukjizat, al-Qur‟an mempunyai gaya bahasa khas yang tidak

dapat ditiru oleh sastrawan Arab sekalipun, karena adanya susunan yang indah

dan berlainan dengan setiap susunan yang diketahui mereka dalam bahasa Arab.

Mereka mengetahui al-Qur‟an memakai bahasa dan lafaz mereka, tetapi ia bukan

puisi, prosa atau syair dan mereka tidak mampu membuat yang seperti itu15.

Dengan demikian, al-Qur‟an mampu menimbulkan berbagai pertanyaan bagi

penelitian. Membuka ide para pakar untuk meneliti al-Qur‟an dari segi ke-

11
Teuku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan
Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang), hlm. 142.
12
Manshuri Sirojuddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Penerbit Angkasa,
2005), Cetakan Pertama, hlm. 289.
13
Abdul Chaer, Perkenalan Awal dengan Al-Quran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2014),
Cetakan Pertama, hlm. 24.
14
Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewaan-Keistimewaan Al-Quran,
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hlm. 14-15.
15
Sayyid Aqil Husin al-Munawwar dan Masykur Hakim, I‟jaz Al-Quran dan Metodologi
Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 3.
5

balaghah-an al-Qur‟an dengan uslubnya yang unik dan menarik. Sehingga

menimbulkan cabang-cabang ilmu al-Qur‟an16, karena al-Qur‟an tersusun dengan

kata dan kalimat yang sangat indah dan mampu membuat para pendengar dan

pembacanya terpukau17.

Gaya bahasa al-Qur‟an mampu menyatukan susunan-susunan kalimat dan

pilihan katanya yang sangat diyakini sebagai bagian dari iʻjâz al-Qur‟ân karena

derajatnya yang tinggi. Keunikan uslûb al-Qur‟an dapat dilihat pada sisi: 1.

Lafalnya yang menarik, terstruktur, dan menakjubkan. 2. Mampu menyentuh hati

dan akal manusia, baik yang awam maupun mereka yang sudah merasakan

keagungannya. 3. Adanya keterpautan antara kata-kata, kalimat-kalimat, dan ayat-

ayatnya18.

Kemukjizatan al-Qur‟an tidak dapat dilihat dari satu aspek saja tetapi

bersifat multidimensi19. Keunikan kemukjizatan al-Qur‟an dari segi bahasa

merupakan kemukjizatan utama dan pertama yang ditujukan kepada bangsa Arab

lima belas abad silam. Ia diturunkan di tengah-tengah lingkungan komunitas

dimana puisi dan sastra merupakan bidang keahliannya. Maka untuk

menundukkan bangsa Arab, Allah menurunkan al-Qur‟an yang mempunyai

mukjizat dalam bentuk teks bahasa dengan susunan dan ritme yang sangat indah

dan menakjubkan20.

Bahkan tidak hanya orang muslim saja yang mempelajari al-Qur‟an, tetapi

secara diam-diam orang kafir juga mempelajari al-Qur‟an, seperti tokoh


16
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:
Penerbit Pustaka Firdaus), hlm. 25.
17
Mahfudz Siddiq, “Al-Qur‟an dalam Perspektif Kebahasaan dan Kesusastraan”,
Teologia, IAIN Walisongo Semarang, Vol. 20, Januari 2009, hlm. 48.
18
Munzir Hitami, Pengantar Studi al-Qur‟an: Teori dan Pendekatan, (Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2012), Cetakan Pertama, hlm. 48.
19
Multidimensi ialah banyak berbagai segi dan kemungkinan, KBBI Edisi Kelima.
20
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 11.
6

orientalis21. Dengan cara mendengar umat muslim membaca al-Qur‟an,

menyimaknya, dan berupaya membuat karya yang di dalamnya terdapat kajian al-

Qur‟an. Mereka mengubah puisi dan prosa, kata-kata bijak digunakan dalam

redaksi-redaksi yang memukau. Sehingga al-Qur‟an mampu membuat seluruh

umat di dunia ini tunduk kepadanya dan mengagumi kandungannya22.

Walaupun bahasa terus berkembang dan memiliki nilai tinggi di hadapan

al-Qur‟an, dengan kemukjizatannya, ia menjadi partikel-partikel kecil yang

tunduk terhadap uslub al-Qur‟an. Kemukjizatannya dapat ditemukan dalam

lafazh-lafazhnya yang memiliki makna pada tempatnya23.

Salah satu gaya bahasa al-Qur‟an adalah dengan mengulang-ulang (tikrâr)

redaksi ayat-ayat atau kisah tertentu, sehingga banyak dijumpai dalam al-Qur‟an

ayat-ayat yang beredaksi mirip bahkan banyak juga pengulangan yang sama.

Fenomena ini merupakan realitas menarik yang tidak dapat dihindarkan oleh para

mufassir.

Sering ditemukan dalam al-Qur‟an bentuk kata dan kalimat yang berulang,

bahkan berulangnya bentuk ayat sekalipun. Berulang kata, kalimat dan ayat

tersebut merupakan gaya bahasa yang unik dimiliki al-Qur‟an. Gaya bahasa

seperti ini disebut uslûb al-Takrâr. Tidak salah bila dikatakan bahwa gaya bahasa

pengulangan dalam al-Qur‟an merupakan satu bentuk uraian yang mengandung

unsur iʻjâz yang menunjukkan kepada kekuasaan Allah SWT yang sudah tentunya

berbeda daripada perkataan manusia.

21
Orientalis berarti ahli bahasa, kesusastraan, dan kebudayaan bangsa-bangsa Timur
(Asia), KBBI Edisi Kelima, 2016.
22
Rosihon Anwar, Ulum al-Qur‟an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), Cetakan
Keempat, hlm. 193.
23
Syaikh Manna‟ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an, terj. Aunur Rafiq El-
Mazni, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), Cetakan Pertama, hlm. 335.
7

Adanya pengulangan beberapa ayat al-Qur‟an di surah dan tempat berbeda

yang menyisakan pertanyaan di benak para ilmuwan, sekaligus bahan perdebatan

di kalangan mereka. Hal ini bertolak belakang dari realitas metode al-Qur‟an

sendiri yang dalam penjelasannya terkesan singkat dan padat dalam

mendeskripsikan sesuatu.

Sudah menjadi hal yang maklum bahwa sesuatu yang penting sering

disebut-sebut bahkan ditegaskan berulangkali. Ini berarti setiap hal yang

mengalami pengulangan memiliki nilai tambah hingga membuatnya diperhatikan

dan terus disebut-sebut, walaupun setiap ayat yang berulang tersebut memiliki

makna dan tujuan yang berbeda.

Dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang diulang, baik itu dalam satu surat

atau pada surat yang lain. Ayat-ayat yang diulang adakalanya secara utuh sama

antara yang satu dengan yang lainnya, dan ada yang sebaliknya24.

Kesempurnaan al-Qur‟an terjalin dalam ayat-ayat yang saling menguatkan,

kalimatnya spesifik, kefasihannya di atas semua yang diungkapkan manusia,

lafazhnya adalah pilihan dan sesuai dengan setiap keadaan, serta sifat-sifat lain

yang menunjukan kesempurnaan al-Qur‟an.

Dari kalangan orientalis, John Wansbrough, dalam bukunya Quranic

Studies menebarkan kecurigaan dalam mempertanyakan keaslian al-Qur‟an

berdasarkan analisis sastranya terhadap duplikasi atau repetisi di dalam al-

Qur‟an25. Dia juga mengatakan bahwa banyak terdapat pengulangan yang

sebenarnya isinya identik. Sebagai contoh, pengulangan 31 ayat dalam surat al-

24
Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002) Cetakan Pertama, hlm. 52.
25
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Quran, terj. Taufiq Adnan Amal, (Jakarta:
Rajawali Press, 1991), hlm. 78.
8

Raẖmân. Menurut Ignaz Goldziher, adanya susunan seperti itu karena

pengumpulan dari sobekan, kulit-kulit, dan lain sebagainya yang menyebabkan

campur aduk dan tidak seimbang26.

Sementara itu bagi kalangan umat Islam sendiri, repetisi ayat atau

pengulangan redaksi memunculkan berbagai penafsiran. Menurut Nashruddin

Baidan, sebagai mufassir merasa enggan untuk memperpanjang pembahasan

terhadap ayat-ayat tersebut karena adanya kekhawatiran munculnya kesan yang

berupa pengulangan gagasan, pernyataan, atau kata yang berlebih dan tidak

diperlukan penafsiran27.

Sedangkan sebagian mufassir menganggap perlu untuk dilakukan kajian

yang lebih mendalam terhadap ayat-ayat yang diulang redaksinya, karena dengan

kajian tersebut akan diperoleh satu pemahaman yang utuh atas makna yang

terkandung dalam ayat-ayat yang diulang redaksinya tersebut. Di samping itu

kajian tersebut akan membantu mengungkap rahasia atau hikmah yang ada di

balik pengulangan ayat.

Sepintas dapat diakui bahwa pengulangan redaksi ayat dalam al-Qur‟an

terkesan bahwa Sang Pemberi firman seakan-akan kurang kata-kata dalam

menyampaikan firman kepada sang pembawa risalah. Adanya pengulangan

redaksi ayat juga terkesan sia-sia, karena akan memunculkan makna dan maksud

yang sama. Padahal kalau melihat pendapat para ulama bahwa ayat-ayat yang

diulang itu mempunyai firman, fungsi, tujuan, dan maksud yang berbeda pula,

karena di dalamnya terkandung rahasia dan hikmah yang cukup luas. Bahkan

26
Manshur Sirojudin Iqbal, Ringkasan dan Kritikan terhadap Buku Mohammadenism,
(Bandung: Sinar Baru, 1984), hlm. 33.
27
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran: Kajian Kritis terhadap Ayat-Ayat
yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 10.
9

Imam Ghazali dengan tegas mengatakan bahwa di dalam al-Qur‟an tidak ada

pengulangan makna meskipun terdapat ayat-ayat yang beredaksi mirip dan

terkesan diulang-ulang.

Pengulangan juga disebut tikrâr, merupakan salah satu metode al-Qur‟an

yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalam al-

Qur‟an melalui bentuk pengulangan-pengulangan kata, kalimat atau ayat. Adapun

pengulangan dalam al-Qur‟an mengandung unsur kisah yang tentunya memiliki

faedah dan hikmah.

Sebagaimana penjelasan Imam Qutaibah:

“Bahwa al-Qur‟an diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat, tentunya

banyak keberagaman kabilah yang ada di komunitas Arab waktu itu cukuplah

banyak, sehingga jika ada pengulangan ayat, maka bisa jadi ibrah dari berbagai

kisah tersebut hanya terbatas pada kaum tertentu saja28”. Ungkapan tersebut

menunjukkan betapa pentingnya kaidah takrâr, seakan tanpa adanya takrâr dalam

al-Qur‟an, kisah-kisah yang sarat hikmah tersebut hanya akan menjadi sekedar

kisah basa basi yang hanya bisa dikenang.

Bahkan banyak pula orang yang bukan berasal dari bangsa Arab dan tidak

mengerti apalagi memahami bahasa Arab yang beriman kepada al-Qur‟an. Hal itu

menjadi wajar sekali jika agama Islam ingin tersebar ke seluruh penjuru dunia,

maka bangsa Arab yang hidup di kawasan tempat Rasul diutus harus

menerimanya dan dari para mukmin inilah agama itu tersebar ke seluruh dunia. Di

samping itu, banyak ulama-ulama Arab yang menyebarkan ilmunya untuk

kemaslahatan bersama agar agama Islam tetap terjaga kemurniannya. Salah satu

28
Abu Muhammad „Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Ta‟wil Musykil al-Quran,
(Kairo: Maktabah Dar al-Turats, 2006), hlm. 250.
10

contohnya mengajarkan al-Qur‟an kepada umat Muslim. Allah telah menjamin

bahwasanya tidak ada kesulitan bagi orang Muslim walaupun selain bangsa Arab

yang ingin mempelajari, mengkaji, bahkan menghafal al-Qur‟an. Dalam firman

Allah QS. Al-Qamar ayat 17 berbunyi:

ِّ ِ‫ولََقدْْيَ َّسرنَاْال ُقرآ َنْْل‬


﴾٧١﴿ْ‫لذك ِْرْفَ َه ْلْ ِمنْ ُّم َّدكِر‬ َ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran,
maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

Ayat tersebut diulang sebanyak empat kali dalam Surah Al-Qamar (ayat

17, 22, 32, dan 40) yang menegaskan kepada umat Muslim, Allah telah

menurunkan Al-Qur‟an tidak hanya sebagai kitab suci umat Muslim saja,

melainkan untuk mengambil pelajaran di dalamnya. Tafsir al-Jalâlain (Dan

sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur‟an untuk pelajaran) Kami telah

memudahkannya untuk dihafal dan Kami telah mempersiapkannya untuk mudah

diingat (maka adakah orang yang mengambil pelajaran?) yang mau

mengambilnya sebagai pelajaran dan menghafalnya. Istifham di sini mengandung

makna perintah yakni, hafalkanlah al-Qur‟an itu oleh kalian dan ambillah sebagai

nasihat buat diri kalian. Sebab tidak ada orang yang lebih hafal tentang al-Qur‟an

selain daripada orang yang mengambilnya sebagai nasihat buat dirinya.

Maka dari itu, dari problema-problema al-Qur‟an yang muncul dan telah

berkembang pada saat ini sehingga banyak penafsiran-penafsiran yang berbeda

tentang pengulangan ayat tersebut. Penulis tertarik untuk meneliti dan mengambil

judul, “Tikrâr Ayat dalam al-Qur’an (Analisis Surah al- Qamar Ayat 17, 22, 32,

40).
11

ِّ ِ‫ولََقدْْيَ َّسرنَاْال ُقرآ َنْْل‬


﴾٧١﴿ْْ‫لذك ِْرْفَ َه ْلْ ِمنْ ُّم َّدكِر‬ َ
" Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka
adakah orang yang mengambil pelajaran?”

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis paparkan, berbagai problema yang

terkait dengan pengulangan ayat yang memang makna dan tujuannya selalu

berbeda. Alasan penulis memilih judul tersebut dengan menggunakan

pengulangan ayat pada Surah Al-Qamar, yaitu dari beberapa referensi dan kitab

tafsir yang telah diteliti, bahwa penafsiran dari ayat-ayat tersebut, menyangkut

tentang bagaimana al-Qur‟an diciptakan untuk dibaca, dihafal, dan digali ilmu al-

Qur‟an (al-Thabari). Kemudahan itu dengan cara menurunkan al-Qur‟an

berangsur-angsur, sejumlah ayat diturunkan langsung untuk merespon persoalan

atau peristiwa yang terjadi, dengan menggunakan bahasa Arab yaitu bahasa yang

dipakai oleh masyarakat. Sedangkan menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Ẕilâl

al-Qurˋân, Surah Al-Qamar merupakan serangan yang mencekam kepada mereka

yang ingkar dengan ayat-ayat Allah. Dalam ayat ini berupa sejumlah kisah umat

terdahulu yang mendustakan kebenaran yang dibawa oleh para Rasul sehingga

mereka mendapatkan azab. Maka dari itu, sekiranya penulis akan

mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang terkait dengan masalah di atas,

di antaranya adalah:

1. Mengungkap makna dan hikmah yang terkandung di dalam QS Al-

Qamar Ayat 17, 22, 32, dan 40.

2. Bagaimana segi kemukjizatannya yang terkandung dalam keempat

ayat tersebut?
12

3. Mengapa ayat-ayat tersebut diturunkan secara berulang-ulang?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka penulis perlu mendatangkan

pertanyaan lanjutan agar memudahkan menjawabnya dengan mengutip pendapat

para ulama tafsir sebagai mediator untuk sampai kepada jawaban yang bersifat

Qur‟ani serta melengkapinya dengan literatur sejarah yang terkait.

Pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana gambaran lengkap mengenai

tikrâr ayat dalam Surah Al-Qamar?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Secara khusus dan fundamental disini penulis memberikan batasan masalah,

yaitu hanya fokus membahas tikrâr ayat pada QS. Al Qamar Ayat 17, 22, 32 dan

40, dengan mengungkap sebuah makna, mengkaji kisah-kisahnya, dan merujuk

kepada beberapa kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer yang mana sesuai

dengan penelitian yang akan dikaji. Alasan pemilihan surah dan ayat yang diulang

tersebut yaitu karena di dalam surah al-Qamar banyak sekali pelajaran dan

peringatan yang wajib diketahui dan diperhatikan oleh setiap umat manusia.

Seperti gambaran pada hari kiamat, siksaan bagi kaum-kaum terdahulu yang

mendustakan rasul-rasul mereka, jaminan bagi orang yang akan mempelajari al-

Qur‟an dan berkeinginan dalam menghafalnya, bahwasanya Allah telah

memudahkan al-Qur‟an untuk diambil ibrah di dalamnya, dan balasan bagi orang-

orang yang bertakwa. Terdapat satu ayat yang diulang sebanyak empat kali, ayat

tersebut diletakkan setelah pemaparan kisah umat-umat tedahulu yang sangat keji

dan buruk, sebagai penutup dan nasihat bagi mereka yang ingin mempelajari al-

Qur‟an. Maksudnya, al-Qur‟an tidak hanya dibaca, namun juga diambil pelajaran
13

dan nasihat di dalamnya, salah satunya mengambil pelajaran atas kejadian-

kejadian yang menimpa kaum musyrik pada masa lalu.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu

permasalahan, yaitu: “Apa sasaran tikrâr dan hikmah yang terdapat pada Surah

Al-Qamar Ayat 17, 22, 32 dan 40?”

D. Tujuan dan Manfaat Peneltian

Tujuan utama dari penelitian skripsi ini adalah untuk menguraikan dan

menerangkan sasaran, rahasia, dan hikmah yang terkandung dalam QS Al-Qamar

Ayat 17, 22, 32 dan 40 dengan cara menganalisis dan mendeskripsikan keempat

ayat tersebut. Karena ayat tersebut sebagai penutup dari pemaparan kisah suatu

kaum yang terazab, seperti kaum Lûṯ, kaum „Ȃd, kaum Nûẖ, dan kaum Tsamûd.

Oleh karena itu, penulis ingin mencari tahu apakah ada kaitannya antara keempat

ayat-ayat tersebut dengan kisah-kisah tersebut?

Manfaat penelitian ini adalah bagi kalangan mahasiswa, penelitian ini

dapat bermanfaat untuk mengetahui dan mengungkap rahasia di balik

pengulangan ayat-ayat tersebut. Karena setiap terdapat pengulangan ayat, pasti

akan selalu memiliki maksud dan tujuan tertentu. Selain itu, dapat berguna

sebagai referensi-referensi yang dibutuhkan dalam perkuliahan, misalnya pada

matakuliah Ulumul Qur‟an, Kaidah-Kaidah Tafsir, dan sebagainya.

Bagi penulis, skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir (wajib) di

masa perkuliahan jenjang S1 ini, juga sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar S. Ag yang dibimbing oleh dosen di fakultas Ushuluddin.


14

E. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian

kepustakaan (Library Research) yaitu suatu metode dengan mengumpulkan dan

menggunakan data-data yang diperoleh dari beberapa referensi dengan cara

membaca, menelaah buku-buku, skripsi, majalah-majalah, jurnal dan literatur-

literatur lain yang tentunya berhubungan dengan pembahasan pada skripsi ini.

Dengan penelitian ini, data-data yang diperoleh berkaitan dengan hal-hal yang

mencakup penafsiran tentang ayat-ayat tersebut.

Dalam hal ini penulis merujuk kepada dua sumber, yakni sumber utama

(primary resource) dan sumber pendukung (secondary resource). Sumber utama

berasal dari kitab Al-Qur'an dan kitab-kitab tafsir. Sedangkan sumber

pendukungnya adalah buku-buku yang berkaitan dengan judul tersebut, skripsi,

jurnal, artikel, dan sumber-sumber informasi lainnya yang sangat mendukung

untuk memudahkan penulis dalam menyusun skripsi dengan mencari bahan-bahan

tersebut di perpustakaan UIN Jakarta, perpustakaan Fakultas Ushuluddin maupun

perpustakaan umum lainnya yang sangat mendukung dan membantu dalam proses

penyusunan skripsi ini untuk memperoleh sumber-sumber dari judul tersebut.

Dalam melakukan penelitian ini, terlebih dahulu penulis menganalisis

ayat-ayat tersebut dengan cara memberikan uraian mengenai makna ayatnya dan

penafsiran dari beberapa kitab-kitab tafsir. Kemudian, diberikan kesimpulan dari

penjabaran pendapat para ulama tafsir mengenai pengulangan ayat tersebut. Maka,

akan terlihat hasilnya, apa sasaran dan hikmah terhadap pengulangan satu ayat

tersebut sebanyak empat kali.


15

F. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian ini, penulis mencari sumber-sumber terkait

kajian di atas, yaitu tentang pengulangan redaksi ayat dalam al-Qur‟an. Kebetulan

ketika penulis masih semester 6 lalu, penulis mengambil matakuliah PPKI

(Praktikum Penulisan Karya Ilmiah) dan MPTH (Metodologi Penelitian Tafsir

Hadis) yang ditugaskan oleh dosen untuk memberikan judul yang akan dikaji

kepada dosen, serta setelah mengetahui judul yang akan dikaji, diperintahkan

untuk mencari bahan bacaan dan sumber-sumber yang satu tema dengan kajian

tersebut yang agak mirip (sesuai) dengan penelitian yang akan dilakukan,

sehingga bisa dijadikan sebuah gambaran atau arahan dari judul yang akan dikaji

setelah dibaca-baca kembali. Kemudian dilanjutkan untuk meresume dan

mereview kajian-kajian tersebut.

Namun sangat jarang pembahasan atau hasil karya tulis tentang tikrâr

redaksi ayat dalam al-Qur‟an. Maka dari itu, penulis sangat tertarik untuk

membahasnya setelah mendapat bimbingan dan arahan dari dosen-dosen tafsir.

Berikut ini adalah hasil penulusuran kepustakaan penulis terkait kajian

dengan tema pengulangan redaksi ayat-ayat Al-Quran dengan beberapa variabel

yang sama:

1. Buku yang berjudul, “Repetisi Redaksi Al-Quran, Memahami Ayat-Ayat

Al-Quran yang Diulang oleh Ahmad Attabik”, yang menjelaskan berbagai

macam repetisi, seperti repetisi dalam segi sastra (Arab), dalam segi

psikologi dan pengaruhnya terhadap para pembaca, dan segi pendidikan.

Namun, pada skripsi ini membahas repetisi dalam al-Quran saja, dan
16

hanya mengkaji surah Al-Qamar dengan alasan seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya.

2. Skripsi yang berjudul “Analisis Isi Surat Pengulangan Kalimat pada

Terjemahan al-Quran Surat al-Raẖmân” oleh Indri Nur Aprilingtyas di

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi ini menganalisis

terjemahan yang terdapat dalam surah al-Raẖmân tersebut dan

menjelaskan sifat-sifat Allah, seperti Sifat Maha Pengasih pada ayat 78,

sifat Allah ada (wujud), pada ayat 3, 14, dan 15, sifat berkehendak pada

ayat 1-4, sifat Allah berdiri sendiri pada ayat 6, 7, 10, dan 29, dan sifat-

sifat Allah lainnya yang tergambar dalam terjemahan surah al-Raẖmân.

Sedangkan pada skripsi ini, penulis fokus menganalisis surah al-Qamar

yang ingin mengetahui suatu sasaran dan hikmah yang terkandung, atas

dasar apa pengulangan pada ayat tersebut.

3. Linguitisitas Al-Quran dan Pendekatan Linguistik dalam Tafsir,

Repository STAIN Kudus, yang menjelaskan pengertian linguistik, al-

Qur‟an sebagai teks, pengertian pengulangan redaksi dalam sastra Arab

dan syair-syair Arab, dan penafsiran al-Qur‟an dalam pandangan Bint al-

Syâṯi. Sedangkan penulis fokus membahas tikrâr ayat dalam al-Qur‟an

beserta kaidah-kaidahnya, fungsi-fungsinya, dan tipologi tikrâr dalam

pengulangan, dengan menganalisis satu ayat yang diulang sebanyak empat

kali dalam surah al-Qamar.

4. Artikel tentang “Menelusuri Makna Pengulangan Redaksi dalam Surah Al-

Raẖmân” oleh Khoridatul Mudhiah, STAI Khozinatul Ulum Jawa Tengah

Indonesia, yang membahas pengulangan ayat dalam surah al-Raẖmân


17

beserta pokok kandungan surah al-Raẖmân, munasabahnya, menjelaskan

dari segi hukum dan keimanan, pengulangan kata “al-Mîzân”,

pengulangan redaksi tentang penciptaan manusia, dan pengulangan ayat

“Fabiayyi âlâ irabbikumâ tukadzdzibân”. Sedangkan pada skripsi ini,

penulis juga fokus dengan surah al-Qamar saja, yang memiliki satu ayat

yang diulang sebanyak empat kali dengan lafaz dan makna yang sama,

seperti pada surah al-Raẖmân. Menjelaskan sasaran tikrâr dan hikmah

yang terkandung di dalam keempat ayat tersebut.

5. Artikel Tafsir Lughawi, oleh Syafrizal, yang membahas pengertian tafsir

lughawi, kerangka operasional tafsir lughawi dalam segi nahwu, sharaf,

dan balaghah, yang di dalamnya membahas pengertian tentang uslûb al-

tikrâr yang hanya sekilas saja. Sedangkan pada skripsi ini, membahas

mengenai gaya bahasa al-Qur‟an, salah satunya al-Tikrâr dengan

mencantumkan alasan-alasan pengulangan yang terjadi di dalam al-

Qur‟an, fungsi dan kaidah-kaidahnya, dengan mengambil dan

menganalisis surah al-Qamar yang di dalamnya terdapat satu ayat yang

diulang sebanyak empat kali dan pengulangannya selalu diletakkan setelah

pemaparan kisah-kisah umat terdahulu yang mendapatkan siksaan atas

perbuatan mereka.

6. Skripsi Repetisi Frasa dalam Al-Qur‟an (Studi Komparatif Tafsir

Teologis) oleh Qurrota A‟yun (13210539), jurusan Ilmu al-Qur‟an dan

Tafsir Fakultas Ushuluddin Insititut Ilmu Al-Qur‟an tahun 2017. Pada

skripsi tersebut, menelaah pengulangan frasa Yaghfiru Liman Yasyâ wa

Yuʻadzdzibu Man Yasyâ yang terdapat di surah Al-Baqarah/2:284, Ali


18

Imran/3:129, Al-Mâidah/5:18 dan 40, Al-ʻAnkabût/29:21, dan Al-

Fatẖ/48:14. Kemudian dikomparatifkan dengan menggunakan tafsir

teologis, seperti al-Thabari, Zamakhsyari, Thabathaba‟i, dan al-Mizan.

Perbedaan dengan skripsi ini yaitu, hanya menganalisis satu ayat yang

diulang sebanyak empat kali di dalam surah al-Qamar saja dengan

memahami maknanya dengan menggunakan beberapa kitab-kitab tafsir.

7. Skripsi Tikrâr Kisah Nabi Adam AS dalam Al-Qur‟an (Tela‟ah Kisah

Nabi Adam AS dalam surah Al-Baqarah, Al-Aʻrâf, Al-Hijr, Ṯâha, dan

Sâd, oleh Dewi Iqlimah (07210299), Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas

Ushuluddin, Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta tahun 2012. Pada skripsi

tersebut, menjelaskan gambaran umum kisah tikrâr di dalam al-Qur‟an,

menerangkan dan mencantumkan ayat-ayat yang mengandung kisah Nabi

Adam yang meliputi penciptaan Adam AS, pemberian ilmu kepada Adam

AS, perintah sujud kepada Adam AS dan pembangkangan iblis,

penempatan Adam AS dan istrinya di dalam syurga, tipu daya iblis dan

akibatnya, dan taubat Adam. Sedangkan pada skripsi ini membahas

kandungan surah al-Qamar yang meliputi gambaran umum surah al-

Qamar, munasabah dengan surah sebelum dan sesudahnya, tergolong

surah makkiyah atau madaniyah, dan juga pengulangan ayat pada surah

tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran dalam penulisan skipsi ini, penulis

menyusunnya dalam 5 bab, dimana antara bab satu dengan yang lainnya

merupakan suatu rangkaian yang berhubungan.


19

Bab satu: Bab ini merupakan pendahuluan yang meliputi: latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab dua: Bab ini merupakan pemaparan dan pembahasan dari pengertian

tikrâr secara umum, tipologi tikrâr dalam Al-Qur‟an, kaidah-kaidah tikrâr, fungsi

tikrâr, dan kedudukan tikrâr.

Bab tiga: Pada bab ini, akan difokuskan mengenai gambaran umum surah

Al-Qamar. Arti dari al-Qamar, penggolongan surahnya (Makki atau Madani),

munasabah surah, pesan-pesan yang terkandung (tujuan dan maksud ayat ini

diturunkan).

Bab empat: Analisis pengulangan ayat dalam surah al-Qamar. Pada bab

ini, penulis akan menganalisis pengulangan satu ayat yang diulang sebanyak

empat kali. Bagaimana kandungan makna yang terdapat pada ayat 17, 22, 32, dan

40. Apakah ada kaitannya dengan kisah-kisah yang dipaparkan sebelum ditutup

oleh ayat-ayat tersebut atau tidak. Untuk menjawab rumusan masalah, penulis

memaparkan beberapa penafsiran dari kitab-kitab tafsir yang sesuai dan gamblang

membahas pengulangan ayat tersebut.

Bab lima: Kesimpulan dan saran. Dalam bab yang terakhir ini, akan

dipaparkan seluruh kajian atau penelitian yang merupakan jawaban dari

permasalahan yang terdapat pada latar belakang masalah dan rumusan masalah

yang disajikan secara per point. Kemudian dilanjutkan kepada permohonan saran-

saran sebagai masukan dari para pembaca untuk melengkapi penelitian dari hasil

karya penulis yang cukup terbatas dan tentunya masih banyak kekurangan.
BAB II

KONSEP TIKRȂR DALAM AL-QUR’AN

Salah satu iʻjâz1 yang terdapat dalam al-Qur‟an adalah pengulangan yang

terjadi pada ayat-ayatnya atau yang lebih dikenal dalam cabang ilmu al-Qur‟an,

yaitu al-tikrâr. Al-tikrâr dalam al-Qur‟an juga masuk dalam pembahasan

mutasyâbih2 al-Qur‟ân. Untuk lebih jauh mengetahui tentang rahasia-rahasia yang

tersembunyi dari pengulangan-pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an,

penulis akan mencoba memberikan definisi tikrâr, disertai dengan bentuk tikrâr,

fungsi tikrâr, kaidah-kaidah tikrâr, dan kedudukan tikrâr tersebut.

A. Definisi Tikrâr dalam Al-Qur’an

Pengulangan dalam bahasa Arab berarti Al-tikrâr ( ‫التكرار‬ ) adalah

mashdar dari kata kerja “ ‫ ” كرر‬yang merupakan rangkaian dari kata huruf ‫كر‬

‫ر‬. Secara etimologi adalah raddada „mengulang-ulang‟ atau aʻâda

„mengembalikan sesuatu secara berulangkali‟3. Adapun menurut istilah Al-tikrâr

berarti “‫لتقرير‬ ‫“ ” اعادة اللفظ َمَّرًة بَ ْع َد َمَّرةٍ او مرادفة‬mengulangi lafal atau yang

1
I‟jâz berarti menetapkan kelemahan atau menjadikan tidak mampu. Kelemahan menurut
pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu.
2
Secara bahasa, Mutasyâbih berasal dari kata tasyâbuh yang berarti keserupaan dan
kesamaan. Tasyâbaha dan isytabahâ berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang
lainnya. Adapun secara istilah, mutasyâbih ialah ayat-ayat yang maknanya belum jelas, samar,
dan hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Masuk ke dalam kategori mutasyabih antara lain:
mujmal (global), mu‟awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham (ambigius).
3
Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqâyis al-Lughah, Juz V (Beirut:
Ittihad al-Kitab al-„Arabi, 1423 H/2002 M) hlm. 126.

20
21

sinonimnya4 sekali atau lebih untuk menetapkan (taqrir) makna”5. Selain itu,

ada juga yang memaknai al-tikrâr dengan “ ‫فصاعدا‬ ‫” ذكر الشيء مرتني‬
menyebutkan sesuatu dua kali berturut-turut atau penunjukkan lafal terhadap

sebuah makna secara berulang6. Sedangkan yang dimaksud dengan tikrâr dalam

al-Qur‟an yaitu satu kata atau kalimat yang diulang beberapa kali karena

beberapa alasan, diantaranya dengan tujuan penegasan (taukid), penekanan,

memberi peringatan atau menggambarkan agungnya sebuah hal tertentu7.

Ibnu Atsir mendefinisikan al-tikrâr yaitu lafaz yang diucapkan secara

berulang-ulang dan menunjukkan pada makna yang berulang-ulang. Definisi lain

yaitu dari Ibnu Naqib, ia mengartikan al-tikrâr ialah suatu lafaz yang diucapkan

dari seorang pembicara kemudian mengulanginya dengan lafaz yang sama, baik

lafadz yang diulanginya tersebut semantik8 dengan lafaz yang ia keluarkan

ataupun tidak, atau ungkapan tersebut hanya sama dengan maknanya bukan

dengan lafaznya.

Sedang dalam bahasa Inggris berarti repetition, reiteration, doing or


saying again or a new, recurrence, reoccurenc, frequency, yang artinya ulangan9.
Repetisi berasal dari bahasa latin, repetitio, yang berarti, re: kembali, lagi, dan
petere: mengarahkan, gaya bahasa yang menggunakan kata kunci yang terdapat di
awal kalimat untuk mencapai efek tertentu dalam penyampaian makna ulangan10.

4
Sinonim ialah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa
lain, KBBI, Edisi Kelima.
5
Ibrâhîm Muẖammad al-Jurumi, Muʻjâm „Ulûm al-Qur‟ân, (Al-Dimasyqi: Darul
Qolam), hlm. 103.
6
Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqâyis al-Lughah, (Beirut:
Ittihad al-Kitab al-„Arabi, 1423 H/2002 M) hlm. 126.
7
Muẖammad Abû Mûsa, al-Balâghah al-Qur‟âniyah fî Tafsîr al-Zamakhsyari, hlm. 673.
8
Semantik ialah ilmu tentang makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai seluk
beluk dan pergeseran arti kata, KBBI, Edisi Kelima.
9
Rohi Baalbaki, Al-Maurid Qamus ´Arabi-Injilizi, (Beirut: Dar el-ilmi lil malayin, 2006),
hlm. 360.
10
Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1167.
22

Sehingga arti dari kata repetisi adalah pengulangan, hal mengulang kembali,

sesuatu yang diulang ‫ شيئ معاد‬,‫ تكرار‬,‫إعادة‬11.


Dalam perspektif ilmu Balaghah, para ulama Balaghah (bulagâ)

mendefinisikan takrâr, dalâlat al-lafẕî ʻalâ al-maʻnâ muraddadan (kata yang

menunjukkan makna karena adanya repetisi). Menurut ulama Balaghah,

pembahasan tentang takrâr ini erat kaitannya dengan pembahasan tentang iṯnâb

(melebih-lebihkan perkataan)12. Apakah dengan banyaknya pengulangan ini tidak

mengurangi kemu‟jizatan al-Qur‟an? Ternyata tidak, pengulangan ini senantiasa

konsisten, bahkan pengulangan ini menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk

meniru uslûb al-Qur‟an13. Dengan adanya gaya bahasa al-Qur‟an yang seperti ini,

menunjukkan keunikan yang dimiliki al-Qur‟an. Unsur tersebut bukan faktor

karena kurangnya bahasa, sehingga terlihat al-Qur‟an seolah-olah lemah, tetapi

mengungkap kelebihan dan keistimewaan bahasa Arab yang digunakan.

Bentuk pengulangan redaksi merupakan salah satu fenomena menarik

yang terdapat dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an menggunakan kalam Arab tentu dalam

unsur pengungkapannya juga menerapkan teori dan kaidah-kaidah yang ada dalam

bahasa induknya. Model dan seni pengulangan al-Qur‟an ini telah banyak

dibukukan oleh para ulama, baik dalam tema khusus maupun dalam sub tema14.

11
Ahmad Attabik, Kamus Inggris-Indonesia-Arab, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika),
Cetakan Pertama, hlm. 700.
12
Imam Akdlari, Imam Balaghah, Tarjamah Jawhar al-Maknun, terj. Moch. Anwar
(Bandung: PT al-Ma‟arif, 1993), hlm. 114.
13
Maẖmûd al-Sayyid Syaikhun, Asrâr al-Tikrâr fî Lughoh al-Qur‟ân, (Mesir: Dar Al-
Hidayat), hlm. 9.
14
Ahmad Attabik, Repetisi Redaksi Al-Quran, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
2014), Cetakan Pertama, hlm. 21-22.
23

Pembahasan tikrâr tidak sebatas pada pengulangan lafal, akan tetapi juga

mencakup pada pengulangan makna, seperti yang banyak terkandung dalam al-

Qur‟an.

Ilmu-ilmu yang mendukung perkembangan ilmu tikrâr adalah Ilmu I´jâz

al-Qur´ân. Pembahasan pada cabang ilmu ini sangat umum, karena masuk di

dalamnya Iʻjâz al-Bayânî, I`jâz al-Tasyrîʻî, Iʻjâz al-ʻIlmî dan sebagainya.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan Al-tikrâr fî Al-Qur‟ân adalah pengulangan redaksi kalimat atau ayat dalam

al-Qur‟an dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya

dengan tujuan dan alasan tertentu.

Para tokoh muslim telah banyak melahirkan karya-karya mereka dalam

persoalan khusus takrâr. Misalnya, Maḥmûd bin Hamzah bin Nasr al-Karmânî

menyusun karya khusus yang berjudul Asrâr al-Takrâr fî al-Qur‟ân (rahasia

pengulangan dalam al-Qur‟an). Karya ini memuat tema khusus tentang

pengulangan (takrâr) dalam al-Qur‟an. Sebagian ulama lain juga memasukkan

tema pengulangan dalam sub judul tertentu, misalnya al-Zarkasyî dalam karyanya

al-Burhân fî „Ulûm al-Qur´ân, ia memasukkan tema pengulangan dalam sub tema

pembahasan mengenai ilmu al-Qur‟an dengan judul pembahasan “Takrâr al-

Kalâm”15.

Ibnu Qutaibah dalam karyanya Ta´wîl Musykîl al-Qurân, ia memasukkan

pengulangan dalam sub judul kitabnya “Bâb Takrâr al-Kalâm wa al-Ziyâdah

fîhi” Sedangkan Al-Iskafi dalam karyanya “Durrat al-Tanzîl wa Gurrat al-

Ta‟wîl; fî Bayân al-Ȃyât al-Mutasyâbihât fî Kitâbillâh al-„Azîz”. Pembahasan

15
Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan Redaksi dalam Surah al-
Rahman”, vol. 8, Juni 2014, hlm. 4.
24

dalam kitab ini salah satunya membahas ayat-ayat diulang dalam suatu surat yang

ada pada al-Qur‟an. Beliau memberikan makna lugâwî dengan mengungkapkan

faedah dan keterangan jumlah ayat pengulangan tersebut16. Contoh-contoh redaksi

pengulangan, banyak terdapat di dalam kitab Muʻjâm al-Mufahras li al-Fâẕ al-

Qur‟ân karya Muhammad Fuad Abdul Baqi.

Sebagian ulama ilmu al-Qur‟an mengingkari repetisi atau pengulangan

(takrâr) merupakan bagian dari uslûb fasâẖah. Hal ini dilandasi oleh anggapan

bahwa pengulangan tidak ada gunanya sama sekali. Al-Zarkasyî membantah

anggapan itu dengan mengatakan justru pengulangan (takrâr) dapat memperindah

kalimat atau kata-kata, terutama yang saling berkaitan satu sama lainnya. Hal ini

dikuatkan oleh kebiasaan orang Arab dalam beretorika dan berkomunikasi, ketika

mereka menaruh perhatian terhadap suatu perkara agar dapat terealisasi dan

menjadi kenyataan, atau dalam retorika17 mereka mengharap sesuatu, maka

mereka selalu mengulang-ulangnya sebagai penguat18.

Al-Qur‟an turun dengan menggunakan lisan, maka retorika dan

komunikasi yang digunakan al-Qur‟an juga berlangsung di antara mereka.

Fenomena ini dapat menggunakan bukti kelemahan („ajz) mereka untuk dapat

menandingi al-Qur‟an lebih mengambil bentuk cerita-cerita, nasehat-nasehat,

janji, dan ancaman, karena manusia memiliki tabiat yang berbeda-beda dan

semuanya mengajak kepada hawa nafsu, hal itu tidak dapat terpuaskan kecuali

dengan adanya nasehat-nasehat19.

16
Ahmad Attabik, Repetisi Redaksi Al-Quran, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
2014), Cetakan Pertama, hlm. 22.
17
Retorika ialah keterampilan bahasa secara efektif, KBBI, Edisi Kelima.
18
Ahmad Attabik, Repetisi Redaksi Al-Quran, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
2014), Cetakan Pertama, hlm. 23.
19
Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan Redaksi dalam Surah al-
25

Pengulangan erat hubungannya dengan penegasan dan penetapan (ta‟kid),

sebab penegasan merupakan faktor yang mendukung bersemayam dan melekatnya

sebuah gagasan dalam jiwa seseorang. Tujuan penetapan ini dapat dicapai dengan

cara dilafalkan secara berulang-ulang dan kontinyu20. Ketika sesuatu itu diulangi

secara terus menerus, maka akan menancap dalam hati dan akan diterima lapang.

Pengulangan juga berpengaruh besar bagi nalar orang-orang yang berpikir. Hal itu

dikarenakan sesuatu yang diulang berpengaruh dalam rongga tabiat alam bawah

sadar manusia yang mendorong lahirnya perbuatan mereka21.

Al-Qur‟an menggunakan penegasan sebagai sarana untuk mengokohkan

dan menetapkan kandungan makna dalam jiwa dan sanubari pembaca dan

pendengarnya, sehingga muncullah suatu keyakinan. Berbeda dengan

pengulangan kalam Arab yang disinyalir oleh para ulama Balaghah, pengulangan

dalam al-Qur‟an ini memiliki bentuk yang spesifik22.

Dalam menjaga kemurnian dan kesempunaan al-Qur‟an guna

menghindarkan terjadinya kesalahan baca dan sebagainya yang diperbuat oleh

para sahabat, selain menempuh jalan dengan penulisan ayat-ayat al-Qur‟an,

Rasulullah mengadakan repetisi (ulangan) bacaan kepada para sahabat yang

dilangsungkan pada waktu-waktu tertentu. Dalam repetisi, mereka mendapat

bimbingan dan pengawasan langsung dari Rasulullah23.

Rahman”, vol. 8, Juni 2014, hlm. 5.


20
Kontinyu ialah berkesinambungan, berkelanjutan, terus menerus, KBBI, Edisi Kelima.
21
Ahmad Badawi, Min Balâgah al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr Naẖḏah Misr li al-Tab‟ wa al-
Nasyr), hlm. 143.
22
Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan Redaksi dalam Surah al-
Rahman”, vol. 8, Juni 2014, hlm. 6.
23
Humaidi Tatapangarsa, Al-Qur‟an yang Menakjubkan, (Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 2007), hlm. 24.
26

Tidak hanya para sahabat saja yang mendapatkan repetisi, tetapi Nabi

sendiri secara periodik mendapat repetisi dari Allah melalui malaikat Jibrîl, yaitu

sekali repetisi setiap tahun. Pada tahun beliau wafat, repetisi diadakan oleh Jibrîl

dua kali. Sewaktu repetisi itu beliau disuruh memperdengarkan bacaan al-Qur‟an

yang telah diturunkan kepadanya24.

Pengulangan-pengulangan ayat al-Qur‟an bukan merupakan cacat atau

kekurangan, karena pengulangan itu mempunyai maksud dan tujuan tersendiri,

bahkan hal itu menjadikan ayat-ayat al-Qur‟an menjadi sangat indah, puitis, dan

romantis, sehingga tidak membosankan untuk dibaca, didengar, dan dikaji makna

yang tersurat dan tersirat di dalamnya25.

Perlu diketahui, pengulangan merupakan salah satu metode yang sangat

digunakan dan sering dipraktekkan dalam dunia pendidikan karena secara luas

memberikan motivasi untuk penguasaan pelajaran dan pengajaran agar mudah

diingat.

Terdapat kaidah kebahasaan yang diadopsi oleh tafsir, dalam konteks

tersebut ditemukan kaidah yang berbunyi: “Pengulangan kata yang sama dalam

satu redaksi, bila ia berbentuk ma‟rifah, maka kata yang pertama sama

kandungan maknanya dengan kata yang kedua, sedangkan bila ia berbentuk

nakirah, maka kandungan makna kata yang kedua berbeda dengan yang

pertama”26. Hal ini bisa dilihat dalam Surah al-Insyirah/94:5-6.

﴾ٙ﴿ ً‫فَِإ َّن َم َع الْعُ ْس ِر يُ ْسراً﴿٘﴾ إِ َّن َم َع الْعُ ْس ِر يُ ْسرا‬

24
Humaidi Tatapangarsa, Al-Qur‟an yang Menakjubkan, (Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 2007), hlm. 24.
25
Hasan Bisri, “Makalah Balaghah Asrâr al-Tikrâr fī al-Qur‟ân, Pendidikan Bahasa Arab
Program Pasca Sarjana”, UIN Sunan Gunung Djati, 2008, hlm. 4.
26
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an Jilid 2, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati,
2011), hlm. 636.
27

“Karena sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan.


Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan”.

Terdapat kata al-ʻusr (kesulitan) berbentuk maʻrifah sebanyak dua kali

mengandung makna yang sama. Dan kata yusrâ yang kedudukannya nakirah

terulang dua kali. Namun, kata yusrâ yang pertama berbeda dengan kata yang

kedua. Sehingga dapat dipahami bahwa setiap ada satu kesulitan, maka dapat

ditemukan dua kemudahan.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, repetisi atau tikrâr merupakan

sebuah pengulangan yang terjadi pada kalimat atau kata yang pengucapannya

dilakukan berulang-ulang. Tikrâr juga termasuk dalam ilmu iʻjâz al-Qur‟ân. Ilmu

ini sangat penting dan berguna dalam pengucapan kata atau kalimat, karena jika

dilakukan secara berulang-ulang, maka mengandung makna yang sangat

menyentuh dan memiliki fungsinya masing-masing.

B. Tipologi Redaksi Tikrâr dalam al-Qur’an

Tikrâr dalam al-Qur‟an pada garis besarnya terbagi menjadi dua macam,

yakni tikrâr lafaz dan tikrâr maʻnâ. Tikrâr lafaz adalah pengulangan redaksi al-

Qur‟an baik dalam bentuk kata maupun jumlah (kalimat). Sedangkan tikrâr maʻnâ

ialah pengulangan suatu makna dengan lafaz yang berbeda. Namun, perlu digaris

bawahi, bahwa setiap pengulangan yang disampaikan, tidak memiliki makna atau

tujuan penyampaian yang sama pula, karena setiap yang disampaikan di dalam al-

Qur‟an memiliki hikmah masing-masing.

Di dalam al-Qur‟an ditemukan beberapa ayat yang ketika dilihat dari segi
28

lafaz dan maknanya secara berulang terdapat dalam beberapa surah, hal ini

memiliki tujuan tertentu. Sehingga disebut al-tikrâr fî al-Qur‟ân. Oleh karena itu,

al-tikrâr fî al-Qur‟ân dapat didefinisikan pengulangan redaksi kalimat atau ayat

dalam Al-Qur‟an dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya ataupun

maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu. Berikut pembagian tikrâr secara

rinci.

1. Tikrâr Kalimat

Dalam penyampaian pesan, gaya bahasa al-Qur‟an sering sekali

menggunakan kalimat yang diulang-ulang. Dari segi redaksi, contoh yang paling

mudah diingat yaitu pada surah al-Qamar sebanyak empat kali dan surah al-

Raẖmân sebanyak 31 kali.

27 ِّ ِ‫ولََق ْد يَ َّس ْرنَا الْ ُق ْرآ َن ل‬


﴾ٔٚ﴿‫لذ ْك ِر فَ َه ْل ِمن ُّم َّدكِ ٍر‬ َ
28 ِ ‫َي َآَلء ربِّ ُكما تُ َك ِّذب‬
﴾ٔٛ﴿ ‫ان‬ ِّ ‫فَبِأ‬
َ َ َ
Tikrâr kalimat dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Tikrâr Kalimat Isim

Tikrâr kalimat isim yaitu pengulangan kata benda dalam kalimat

tersebut yang memiliki faidah, terdapat dalam Surah Al-Fajr ayat 21-22:

ِ
ُ ‫َك َّّل إِ َذا ُد َّكت ْاْل َْر‬
﴾ ٕٔ﴿ ً‫ض َد ّكاً َد ّكا‬

“Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-


turut”

﴾ ٕٕ﴿ ً‫ص ّفا‬


َ ً‫ص ّفا‬
َ ‫ك‬
ُ َ‫ك َوالْ َمل‬
َ ُّ‫َو َجاء َرب‬

27
Surah Al-Qamar yang diulang sebanyak empat kali
28
Surah Al-Raẖmân yang diulang sebanyak 31 kali.
29

“dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris”

Lafadz dakkâ dan saffâ merupakan bentuk isim yang keduanya sama-

sama diulang dalam satu ayat secara berurutan. Tujuan dari repetisi pada

kedua ayat tersebut untuk memberikan pemahaman (li al-istiʻâb) yang

menunjukkan maknanya secara keseluruhan29. Kata kedua berfungsi

sebagai ẖâl (posisi iʻrâb) dari kata yang pertama30. Sehingga memiliki

makna “iẕâ dukkat al-arḏ dakkân mutatâbiʻan” (ketika bumi

digoncangkan berturut-turut)31.

b. Tikrâr Kalimat Fiʻil

Tikrâr pada kalimat fiʻil merupakan kata kerja yang terbentuk dari

fiʻil mâḏi, fiʻil muḏâriʻ, dan fi‟il amr.

1) Tikrâr Fiʻil Mâḏi

Tikrâr Fiʻil Mâḏi merupakan pengulangan yang berbentuk

kata kerja lampau. Salah satu contohnya terdapat pada surah Ali

Imrân (3): 42.

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
﴾۳﴿ ‫ني‬
َ ‫اصطََفاك َعلَى ن َساء الْ َعالَم‬ ْ َ‫َوإِ ْذ قَالَت الْ َمّلَئ َكةُ يَا َم ْرَيُ إِ َّن اللّو‬
ْ ‫اصطََفاك َوطَ َّهَرك َو‬
“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai
Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan
kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang
semasa dengan kamu)”.

29
Mohammad Luthfi Anshori, Kajian tentang Fenomena Pengulangan dalam Al-Quran,
(STAI Al-Anwar, Gonrojo-Kalipang Sarang Rembang), Artikel, hlm: 64.
30
Kedudukan dakkan yang pertama dibaca nashab merupakan mashdar mu‟akkad li
al-fi‟il, dan yang kedua juga sama dibaca nashab, tetapi kedudukannya sebagai ta‟kid untuk
mashdar yang kedua.
31
Ahmad Attabik, Repetisi Redaksi Al-Quran, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta),
Cetakan Pertama, Juni 2014, hlm. 53.
30

Pada ayat tersebut, terdapat pengulangan kata kerja masa

lampau berupa isṯafâ, keduanya sama-sama kata lampau.

Maksudnya bahwa Allah benar-benar telah memilihmu, yaitu

Maryam32.

2) Tikrâr Fiʻil Amr

Tikrâr fiʻil amr merupakan pengulangan yang berbentuk

kata kerja perintah. Contohnya terdapat pada surah al-Ṯarîq ayat 17

dan al-ʻAlaq ayat 1-3.

﴾ٔٚ﴿ً‫ين أ َْم ِه ْل ُه ْم ُرَويْدا‬ ِ


َ ‫فَ َم ِّه ِل الْ َكاف ِر‬
“Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu
beri tangguhlah mereka itu barang sebentar”.

Kedua lafazh tersebut merupakan bentuk fi‟il amr. Tikrâr

ini mengandung makna mahhil mahhil, namun terdapat

penyesuaian pada fi‟il yang kedua, amhil, sebab fi‟il itu merupakan

bentuk aslinya.

﴾ٕ﴿ ‫نسا َن ِم ْن َعلَ ٍق‬ ِ ِ َّ ِّ‫اقْ رأْ بِاس ِم رب‬


َ ‫ك الذي َخلَ َق﴿ٔ﴾ َخلَ َق ْاْل‬َ َ ْ َ
َ ُّ‫اقْ َرأْ َوَرب‬
﴾ٖ﴿‫ك ْاْلَ ْكَرُم‬
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah”

Pada ayat tersebut, terdapat kata iqra‟ yang diulang

sebanyak dua kali menunjukkan kalimat perintah. Bertujuan untuk

32
Qurrota A‟yun, NIM: 13210539, “ Repetisi Frasa Yaghfiru Liman Yasyâ‟ wa
Yuʻadzdzibu Man Yasyâ‟ dalam Al-Quran (Studi Komparatif Tafsir Teologis)”, Skripsi Program
Studi Ilmu al-Quran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, hlm. 29.
31

memberikan penegasan yang mendalam pada perintah membaca

dan mempelajari ilmu pengetahuan33.

3) Tikrâr Fiʻil Muḏâri’

Maksud daripada tikrâr ini ialah pengulangan yang terjadi

pada kata kerja yang sedang dilakukan saat ini maupun pada masa

mendatang. Contohnya pada QS. Al-Takâtsur: 6-7.

﴾ٙ﴿ ‫يم‬ ِ ْ ‫لَتَ رو َّن‬


َ ‫اْلَح‬ َُ
“niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim”

ِ ‫ني الْيَ ِق‬


﴾ٚ﴿ ‫ني‬ َ ْ ‫ُثَّ لَتَ َرُون ََّها َع‬
“dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya
dengan 'ainul yaqin”

Kata latarawunna diulang berturut-turut dimaksudkan

untuk menjelaskan betapa dahsyatnya siksaan Allah di masa yang

akan mendatang.

c. Tikrâr Kalimat Huruf

Pengulangan huruf juga banyak terjadi dan sering ditemui di dalam al-

Qur‟an. Contohnya seperti pada Surah Al-Mu‟minûn/23: 35.

ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ُّم َوُكنتُ ْم تَُراباً َوعظَاماً أَنَّ ُكم ُُّّمَْر‬
﴾۳۳﴿‫جو َن‬ ْ ‫أَيَع ُد ُك ْم أَنَّ ُك ْم إذَا مت‬
“Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu
telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu
sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)”

Pada ayat tersebut, terdapat huruf an pada lafaz annakum diulang

33
Syaikh Muẖammad „Alî al-Sâbuni, Safwatut Tafâsir, terj. Yasin, (Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2011), Jil. 5, hlm. 722.
32

dua kali, yakni pada kalimat ayaʻidukum annakum kemudian diikuti oleh

kalimat annakum mukhrojûn, yang mengandung arti bahwa mustahilnya

kebangkitan setelah kematian. Pengulangan tersebut seringkali terjadi

pada bangsa Arab untuk menyampaikan hal yang mustahil atau

kemungkinan kecil terjadi pada diri seseorang.

Contoh lain pada tikrâr ini, seperti pengulangan pada bunyi huruf

ra dan ha34.

‫اْلنْ َسا َن ِم ْن‬ِْ ‫َّى ِر ََلْ يَ ُك ْن َشْيئًا َم ْذ ُك ًورا (ٔ) إِنَّا َخلَ ْقنَا‬ ِ ‫ان ِح‬
ْ ‫ني م َن الد‬ٌ ِ ‫اْلنْ َس‬ ِْ ‫َى ْل أَتَى َعلَى‬
‫يل إِ َّما َشاكًِرا َوإِ َّما َك ُف ًورا‬ِ َّ ُ‫صريا (ٕ) إِنَّا َى َديْنَاه‬ ِ ِ ِ ِ ٍ ‫نُطْ َف ٍة أَم َش‬
َ ‫السب‬ ً َ‫اج نَْبتَليو فَ َج َع ْلنَاهُ ََس ًيعا ب‬ ْ
)ٗ( ‫ين َس َّل ِس َل َوأَ ْغ َّلًَل َو َسعِ ًريا‬ ِ ِ ِ
َ ‫)إنَّا أ َْعتَ ْدنَا ل ْل َكاف ِر‬۳(
35

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang
dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan
larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang
bersyukur dan ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami telah
menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang
kafir ”.

َّ‫ٔ) ُث‬۹( ُ‫َّره‬ ٍ ِ ٍ ِّ ‫ٔ) ِمن أ‬۷( ‫قُتِل اْلَنْسا ُن ما أَ ْك َفره‬


َ ‫ٔ) م ْن نُطْ َفة َخلَ َقوُ فَ َقد‬۸( ُ‫َي َش ْيء َخلَ َقو‬ ْ َُ َ َ َ
36
)ٕٓ( ُ‫السبِْي َل يَ َّسَره‬
َّ
“ Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari
apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya
lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya.”

Dari kedua surah di atas, menunjukkan pada akhir ayat tersebut


terdapat tikrâr huruf yang diakhiri dengan huruf ra dan ha.

34
Hasan Bisri, “Makalah Balaghah Asrâr al-Tikrâr fî al-Qur‟ân”, Pendidikan Bahasa
Arab Program Pasca Sarjana, UIN Sunan Gunung Djati, 2008, hlm. 3.
35
QS. al-Insân /76: 1-4.
36
QS. „Abasa/80: 17-20)
33

2. Tikrâr Maʻnâ

Tikrâr maʻnâ ialah pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur‟an

yang pengulangannya lebih dititikberatkan kepada makna yang berulang-

ulang. Sehingga tujuan dan maksudnya sama. Pengulangan ini tidak terjadi

dalam satu surah saja, namun terdapat pada surah lain. Pengulangan suatu

makna dalam satu surah akan berbeda lafaznya dengan surah lain, namun

memiliki makna yang sama. Dengan demikian, yang sama hanya maknanya,

bukan lafalnya37.

Contoh tikrâr maʻnâ terdapat pada surah Yûsuf/12: 2 dan surah

al-Naẖl/16: 103.

﴾ٕ﴿‫َنزلْنَاهُ قُ ْرآناً َعَربِيّاً لَّ َعلَّ ُك ْم تَ ْع ِقلُو َن‬


َ ‫إِنَّا أ‬
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur‟an
Dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yûsuf/2: 2).

‫َّه ْم يَ ُقولُو َن إََِّّنَا يُ َعلِّ ُموُ بَ َشٌر لِّ َسا ُن الَّ ِذي يُلْ ِح ُدو َن إِلَْي ِو أ َْع َج ِمي َوَى َذا لِ َسا ٌن‬
ُ ‫َولََق ْد نَ ْعلَ ُم أَن‬
﴾ٔٓ۳﴿ ‫ني‬ ٌ ِ‫َعَرِب ُّمب‬
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata:
"Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya
(Muhammad)." Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam38, sedang Al-Qur‟an adalah
dalam bahasa Arab yang terang.”

Al-Qur‟an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Hal itu


disebabkan karena Nabi Muẖammad SAW merupakan Rasûlullâh, seorang
pembawa risalah bagi umatnya, terutama umat Arab.
Contoh lain yang terdapat pada jenis tikrâr maʻnâ ini, yaitu pada
surah al-Baqarah/2: 238.

37
Ahmad Hasmi Hashoma, “Uslûb al-Tikrâr fî al-Qur‟ân al-Karîm”, Skripsi jurusan BSA
Fakultas Adab dan Humaiora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, hlm. 20.
38
Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang
tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan hanya
mengetahui sedikit-sedikit bahasa Arab.
34

﴾ٕ۳۸﴿ ‫ني‬ِِ ِ ِ ُ‫الصّلَةِ الْوسطَى وق‬ ِ َّ ‫حافِظُواْ علَى‬


َ ‫ومواْ للّو قَانت‬
ُ َ ْ ُ َّ ‫الصلَ َوات و‬ َ َ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa39. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.”

Al-Salât al-wusṯâ yang terdapat pada ayat di atas, merupakan

pengulangan makna dari kata al-salawat. Fungsi penyebutannya sebagai

bentuk penegasan atas perintah melaksanakan shalat tersebut.

“Shalawat” merupakan lafaz „am yang memiliki semua sholat. Shalat

al-Wustha adalah lafaz khash, yang mengkhususkan kepada satu macam

sholat. Dalam ayat tersebut, lafaz khash yaitu shalat al-wustha di „athf-kan

kapada lafaz „am yaitu al-shalawat. Yang pertama dinamakan ma‟thuf (yang

mengikuti) dan lafaz yang kedua dinamakan ma‟thuf „alaih (yang diikuti).

Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai pengertian shalat

pertengahan. Ada yang mengatakan yang dimaksud ialah shalat maghrib,

disebabkan waktunya antara pertengahan siang dan malam. Ada pula yang

mengatakan shalat Ashar. Namun dari beberapa pendapat tersebut, yang lebih

kuat dan telah dikatakan oleh hadis riwayat Muslim, bahwa Nabi Muhammad

menamai sholat Ashar dengan sholat wustha40.

Selain seperti contoh tikrâr di atas, bentuk tersebut biasanya terdapat

pada ayat al-Qur‟an ketika bercerita tentang kisah-kisah umat terdahulu,

menggambarkan azab, nikmat, janji, ancaman, dan lain sebagainya41.

39
Shalat wustha ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. Ada yang
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan shalat wusthaa ialah shalat Ashar. Menurut
kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-
baiknya.
40
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: PT: Qaf Media Kreativa, 2017),
Cetakan Pertama, hlm. 405.
41
Sayyid Khadar, al-Tikrâr al-Uslûb fî al-Lugah al-„Arabiyyah, (Mesir: Darel-Wafa,
2003), hlm. 147.
35

3. Shibhut Tikrâr

Jenis tikrâr yang ketiga ini merupakan tikrâr yang lafazhnya diulang

berkali-kali dan mirip. Akan tetapi setelah diteliti secara mendalam, lafazh

tersebut memiliki bentuk yang berbeda. Sehingga shibhut tikrâr ini tidak

termasuk dalam kategori tikrâr secara sempurna. Dapat disimpulkan, shibhut

tikrâr ini mirip dengan tikrâr dan tampak adanya kesamaan makna akan tetapi

maknanya berbeda42.

Salah satu contoh jenis shibhut tikrâr terdapat pada surah al-Kâfirûn
pada lafazh aʻbudu.

﴾۳﴿ ‫قُ ْل يَآاَيُّ َهاالْ َكافُِرو َن ﴿ٔ﴾ آل اَ ْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدو َن ﴿ٕ﴾ َوَآل أَنْتُم َعا بِ ُدو َن َمآ أ َْعبُ ُد‬
‫ِل ِدي ِن‬ِ ِ ِ ِ
َ ‫﴾ لَ ُك ْم دينُ ُكم َو‬۳﴿ ‫َوَآل اَنَاْ َعاب ٌد َّما َعبَ ْد ُُْت ﴿ٗ﴾ َوَآل أَنْتُم َعا ب ُدو َن َمآ أ َْعبُ ُد‬
﴾ٙ﴿
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Pada surah al-Kâfirûn, lafazh walâ antum ʻâbidûna mâ aʻbud,

seolah diulang dua kali pada ayat tiga ketiga dan kelima seolah-olah diulang

dua kali dan memiliki makna yang sama. Namun jika diteliti lebih dalam,

kenyataannya tidak seperti itu.

Pada ayat ketiga, lafaz ʻâbidûn menunjukkan pada waktu hal

(sekarang) dan lafaz aʻbud menunjukkan pada waktu mustaqbal (yang akan

datang). Maka jika diambil kesimpulannya, makna daripada ayat ketiga


42
Qurrota A‟yun, “Repetisi Frasa Yaghfiru Liman Yasyâ‟ wa Yu‟adzdzibu Man Yasyâ‟
dalam Al-Qur‟an (Studi Komparatif Tafsir Teologis)”, Skripsi Program Studi Ilmu al-Quran dan
Tafsir, Fakultas Ushuluddin, IIQ Jakarta Tahun 2017, hlm. 33.
36

tersebut ialah “Dan pada saat ini kamu sekalian bukanlah penyembah Tuhan

yang aku sembah di masa yang akan mendatang”.

Sedangkan pada ayat kelima, meskipun lafaznya sama, namun

maknanya berbeda, berkebalikan dengan ayat ketiga. Lafaz ʻâbidûn

menunjukkkan waktu mustaqbal, dan lafaz aʻbud menunjukkan waktu hal.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan ada beberapa macam-

macam tikrâr dalam al-Qur‟an, di antaranya tikrâr kalimat, tikrâr makna, dan

shibhut tikrâr. Tikrâr kalimat terbagi menjadi tiga, yaitu tikrâr kalimat isim,

tikrâr kalimat fiʻil yang terdiri dari fiʻil mâḏî, fiʻil muḏâri‟, dan fiʻil amr, dan

tikrâr kalimat huruf. Semuanya memiliki maksud dan fungsi masing-masing,

agar lebih mudah difahami dan dipelajari.

C. Kaidah-Kaidah Tikrâr

Ada beberapa kaidah-kaidah tikrâr yang terdapat di dalam al-Quran,

antara lain:

ِ ‫قَ ْد ي رُّد التِكرار لِت عد‬


‫ُّد الْ ُمتَ َعلَّ ِق‬
1. Kaidah Pertama ََ ُ َ َُ
Adakalanya sebuah pengulangan ditolak karena perbedaan dari
tempat pengaitannya43.

Dalam al-Qur‟an, terdapat beberapa ayat yang secara lahiriah terlihat

seperti pengulangan, namun sesungguhnya bukan pengulangan.

Hal itu disebabkan karena sasaran pada ayat tersebut, konteks, dan latar

belakang ayat yang terlihat terulang itu tidak sama44.

Contohnya terdapat pada surah al-Mursalât ayat 19:

43
Khalid ibn Usman, Qawa‟id Tafsir, hlm. 702.
44
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, 2017),
Cetakan Pertama, hlm. 775.
37

ٍِ
َ ِ‫َويْ ٌل يَ ْوَمئذ لِّْل ُم َك ِّذب‬
﴾ٔ۹﴿ ‫ني‬

“Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang


mendustakan.”

Ayat tersebut diulang sebanyak sepuluh kali. Dikarenakan Allah

menyebutkan kisah yang berbeda setelah ayat-ayat tersebut. Setiap kisah

tersebut diulang, menunjukan pada sebuah celaan yang ditujukan kepada

orang-orang yang berkaitan dengan kisah sebelumnya.

ِ ‫َي َآَلء ربِّ ُكما تُ َك ِّذب‬


‫ان‬ ِّ ‫فَبِأ‬
Begitu juga dengan surah al-Raẖmân, lafaz
َ َ َ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Ayat tersebut diulang sebanyak 31 kali yang memiliki maksud dan

tujuan masing-masing. Karena setiap pengulangan ayat ini, didahului

dengan penjelasan berbagai jenis nikmat yang Allah berikan kepada

hambanya. Ketika ayat tersebut diulang, maka nikmat yang dijelaskan juga

berlainan.

‫ني ُمتَ َجا ِوَرين‬ ِ ِ ِ َ‫ََل ي َقع ِِف كِت‬


2. Kaidah Kedua َ ْ َ‫اب الل تكَْر ٌار ب‬ ْ َ
Pengulangan antara dua yang berdekatan tidak mungkin terjadi
dalam kitab Allah.

Tidak ada dua kata atau kalimat yang terjadi secara berulang-ulang

dengan makna yang sama pula tanpa adanya pemisah yang berbeda

maknanya dari dua yang dipisahkan itu, ada pemisah diantara dua kata atau

kalimat tersebut.

Maksud dari kata “mutajawirain” dalam kaidah ini adalah

pengulangan suatu ayat dengan lafal dan makna tanpa fashil (pemisah)
38

diantara keduanya. Sebagai contoh lafal “basmallah” dengan surah al-

Fâtiẖah ayat 3:

﴾۳﴿‫الرِحي ِم‬
َّ ‫الر ْْح ِن‬
َّ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”

Lafaz Basmallah jika tanpa fashil dengan surah al-Fâtiẖah, maka lafaz

tersebut merupakan bagian dari surah al-Fātiḥah. Lafaz tersebut dipisah

dengan lafaz alẖamdu lillâhi rabbilʻâlamîn. Inilah yang dimaksud dengan

kaidah kedua.

ِ ‫َلَ ُُيَالِف بني اْلَل َف‬


ِ َ‫اظ إَِلَّ َِلحتِّل‬
‫ف الْ َم َع ِان‬
3. Kaidah Ketiga ْ ََ ُ
Tidak ada perbedaan lafal, kecuali adanya perbedaan makna45.

Maksudnya ialah setiap bentuk kata memiliki maknanya masing-

masing. Maka, perubahan bentuk kata pasti menunjukkan perubahan

makna pula. Contohnya terdapat dalam firman Allah surah al-Kâfirûn ayat

2-3:

﴾۳﴿ ‫ََل أ َْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدو َن ﴿ٕ﴾ َوآل أَنتُم َمآ أَعبُ ُد‬
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah”.

Kata ‫أَعبُ ُد‬ yang merupakan bentuk dari fi‟il mudhari dan ‫َعابِ ُدو َن‬
bentuk isim fa‟il, dalam ayat itu berasal dari kata dasar yang sama, yaitu

‫„ عبد‬menyembah‟. Dalam ayat ‫ َآل أ َْعبُ ُد َما تَعبُ ُدو َن‬terdapat dua kata kerja

mudhari, yaitu ‫أ َْعبُ ُد‬ dan ‫تَعبُ ُدون‬. Maka kandungan ayat itu ialah “saya

45
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, 2017),
Cetakan Pertama, hlm. 782.
39

tidak menyembah, sekarang, dan tidak akan menyembah, selamanya, apa


yang akan kalian sembah, selamanya”.

Sedangkan dalam ayat keempat, perilaku “saya” dirumuskan dalam

bentuk lain. ُّْ َ‫وََل أَنَا َعابِ ٌد َّما َعب‬.


‫دُت‬ ِ
َ Kata ‫ َعاب ٌد‬merupakan bentuk isim fa‟il
dari ‫عبد‬. Dari segi waktu, Isim fa‟il dengan fi‟il mudhori‟ sama

maknanya, yaitu sama-sama terjadi kini dan masa mendatang yang


memiliki makna yang konstan, artinya berlangsung abadi dari kini sampai
masa mendatang46.

Ungkapan kalimat nominal mengandung makna tetap, tidak berubah.

Jadi, kata ‫َعابِ ٌد‬ „penyembah‟ maksudnya ialah penyembahan dari seorang

penyembah bukan perilaku penyembahan pada waktu tertentu. Sedangkan

‫„ أ َْعبُ ُد‬saya menyembah‟ ialah penyembahan dari saya pada masa kini dan
mendatang bukan kelangsungan penyembahan secara subtantif. Dengan
demikian, ayat ini mengandung makna, “penyembahan dari pihak saya
tidak pernah dan tidak akan terjadi ada dalam kenyataan, apapun
bentuknya dan kapanpun pada masa yang akan mendatang”. Penyembahan

yang tidak pernah ada dalam kenyataan itu ditujukan terhadap ُّْ َ‫َّما َعب‬
‫دُت‬
(apa yang kalian pernah sembah) pada masa lampau. Oleh karena itu, Nabi
Muhammad menyatakan dan memberitahukan ketiadaan penyembahan
yang dilakukannya dalam bentuk apapun terhadap tuhan-tuhan yang lain
yang telah disembah kaum musyrikin Makkah kapan pun itu. Artinya, jiwa
Nabi tidak mungkin menerima dan mau adanya penyembahan itu.

Demikianlah bentuk kata ‫أ َْعبُ ُد‬ berbeda maknanya dengan bentuk kata

46
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (PT: Qaf Media Kreativa, Jakarta), Cetakan 1,
November 2017, hlm. 781.
40

‫عابِ ٌد‬.
َ Jelaslah bahwa perubahan bentuk kata mengakibatkan bentuk

makna.

ِ ‫الشي ء ِِف ا ِْلستِفه ِام‬


4. Kaidah keempat ُ‫است َبع ًادا لَو‬
ْ َ َ َ ‫ب تُ َكِّرُر‬
ُ ‫اَ َلعَر‬
Orang Arab biasa mengulang sebuah pertanyaan mengenai
sesuatu untuk maksud agar pertanyaan tersebut mustahil terjadinya hal
tersebut.

Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk membuat suatu

pertanyaan yang mustahil terjadi atau mustahil untuk dilakukan. Misalnya

pertanyaan, “Kau akan pergi perang? Kau akan pergi perang?” pertanyaan

tersebut menunjukkan kepada yang mengatakannya ingin disapa agar tidak

melakukan hal itu terjadi.

Contohnya firman Allah dalam surah al-Mu‟minûn/23:35:

ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ُّم َوُكنتُ ْم تَُراباً َوعظَاماً أَنَّ ُكم ُُّّمَْر‬
﴾۳۳﴿ ‫جو َن‬ ْ ‫أَيَع ُد ُك ْم أَنَّ ُك ْم إ َذا مت‬
“Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila
kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu
sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)47”

ُ َّ‫اَن‬
Kalimat ‫كم‬ ‫ اَيَعِ ُد ُكم‬kemudian diikuti oleh kalimat ‫اَنَّ ُكم ُّمَُْر ُجو َن‬
mengandung arti mustahilnya kebangkitan setelah kematian. Ayat ini
merupakan jawaban dari orang-orang kafir terhadap hari akhir.

5. Kaidah kelima ‫كر ُار يَ ُد ُّل َعلى ِْل ْعتِنَا ِر‬ِ


َ ‫اَلت‬

Pengulangan menunjukkan perhatian lebih.

47
Maksudnya: dikeluarkan dalam keadaan hidup sebagai waktu di dunia.
41

Suatu pengulangan memiliki nilai tambah, sehingga membuatnya

diperhatikan dan terus disebut-sebut. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi

para pembaca dan peneliti guna memenuhi tuntutan dari maksud tersebut.

Sebagai contoh kaidah kelima ini, dalam firman Allah surah al-

Naba‟ ayat 4 dan 5:

﴾۳﴿ ‫َكّلَّ َسيَعلَ ُمو َن ﴿ٗ﴾ ُثَّ َكّلَّ َسيَعلَ ُمو َن‬
“Sekali-kali tidak kelak mereka akan mengetahui. Kemudian
sekali-kali tidak kelak mereka mengetahui”

Surah tersebut bercerita tentang hari akhir. Lafaz ‫ن‬


َ ‫سيعلَمو‬ ُ َ َ َّ‫َكّل‬
diulang dua kali dengan maksud bahwa hal tersebut sudah pasti datang,

namun belum bisa diketahui tepatnya (waktu hari akhir tiba). Sebuah

peringatan dan ancaman bagi mereka yang menolak dan tidak yakin

dengan datangnya hari kiamat tersebut. Oleh karena itu lafaz tersebut juga

merupakan bentuk penegasan48.

‫ف امل ْع ِرفَِة‬ ِ ‫َّكرةُ إِ َذا تَ َكَّررت دلَّت علَى الت عد‬


ِ َ‫ُّد ِِِبّل‬ ِ ‫الن‬
6. Kaidah keenam َ َ َ ْ َ َْ َ
َ
Bila terulang, nakirah menunjukkan berbilang, sedangkan
maʻrifah sebaliknya.

Jika terdapat dua isim yang disebutkan dalam suatu ayat, maka ada

empat kemungkinan. Kedua-duanya menunjukkan nakirah, kedua-duanya

menunjukkan maʻrifah, atau isim yang pertama nakirah dan isim yang

48
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (PT: Qaf Media Kreativa, Jakarta), Cetakan 1,
November 2017, hlm. 786.
42

kedua maʻrifah, dan isim yang pertama maʻrifah, sedang yang kedua

nakirah49.

Dalam kaidah ini, ada empat macam yang harus diperhatikan,

antara lain:

a. Keduanya adalah isim al-nakirah50, maksudnya isim kedua

bukanlah yang pertama, dengan kata lain maksudnya

menunjukkan pada hal yang berbeda. Contohnya dalam firman

Allah Surah al-Rûm ayat 54:

ٍ ‫ض ْع‬ ِ ِ ٍ ‫ض ْع‬ ِ
‫ف قُ َّوًة ُثَّ َج َع َل‬ َ ‫ف ُثَّ َج َع َل من بَ ْعد‬ َ ‫اللَّوُ الَّذي َخلَ َق ُكم ِّمن‬
﴾۳ٗ﴿ ‫يم الْ َق ِد ُير‬ ِ
ُ ‫ض ْعفاً َو َشْيبَةً َُيْلُ ُق َما يَ َشاءُ َوُى َو الْ َعل‬
ٍ ِ ِ
َ ‫من بَ ْعد قُ َّوة‬

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan


lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan
lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”

Lafal ‫ضع ًفا‬


َ pada ayat di atas diulang tiga kali dalam

bentuk nakirah. Menurut kaidah ini, jika terdapat dua isim


nakirah yang terulang maka yang kedua pada hakikatnya

49
Manna‟ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa), hlm. 285.
50
Isim Nakirah secara bahasa merupakan gabungan dari kata isim dan nakirah. Isim
merupakan bentuk kata benda dari kata kerja sama-yasmu, yang artinya memberi nama, dan isim
artinya nama. Sedangkan nakirah adalah isim mashdar (bentuk kata benda) dari kata kerja nakira-
yankaru, yang artinya bodoh atau tidak memahami, belum mengetahui. Dengan demikian nakirah
dapat diartikan sebagai kebodohan atau tiadanya pemahaman, keadaan belum mengetahui. Lafaz
isim nakirah ialah kata benda yang menunjukkan suatu yang tidak tertentu, misalnya ‫اب‬ ِ
ٌ َ‫( كت‬suatu
buku) berbeda dengan kata‫اب‬ ِ
ُ َ‫( اَلْكت‬buku itu). Isim nakirah dalam al-Qur‟an itu ternyata mempunyai
kandungan makna yang bermacam-macam antara lain: mengagungkan, merendahkan, jumlah yang
banyak, jumlah sedikit, berlaku umum bila terkait nafy-nahy, syarat, dan lain-lain.
43

memiliki makna yang berbeda51. Pertama, terbentuknya


manusia dari sperma yang lemah dan hina. Kedua, keadaan
manusia yang lemah pada awal masa kelahiran. Ketiga,
keadaan lemah saat usia senja dan jompo (manipulase)52.
Dengan demikian, ketiga lafal ḏaʻîf masing-masing memiliki
makna yang berbeda.
Contoh lain terdapat dalam surah al-Insyirah/94:5-6

﴾ٙ﴿ ‫﴾ إِ َّن َم َع الْعُ ْس ِر يُ ْسًرا‬۳﴿ ‫فَِإ َّن َم َع الْعُ ْس ِر يُ ْسًرا‬


“Karena sesungguhnya bersama kesulitan, ada
kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada
kemudahan”.

Dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas: “bersama satu „usr

(kesulitan) tidak akan menandingi dua yusr (kemudahan). Hal

ini disebabkan kata “„usr” yang kedua diulangi menggunakan

al (maʻrifah). Maka ia termasuk „usr yang petama, sedang kata

yusr yang kedua bukan yusr yang pertama karena ia diulangi

tanpa al atau nakirah53.

b. Kedua-duanya isim maʻrifah54, kaidah ini merupakan kebalikan

dari kaidah pertama (isim nakirah). Bahwa yang kedua pada

hakikatnya adalah yang pertama kecuali terdapat qarinah yang

51
Muhammad Chirzin, Al-Qur‟an dan Ulumul al-Qur‟an, (Yogyakarta: PT Dana Bakti
Prima Yasa), Cetakan Kedua, April 2003, hlm. 192.
52
Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, Juz XI,
Kairo, Daar el Hadits, 2002, hlm. 369.
53
Manna‟ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, (Bogor: Pustaka Lentera Antar
Nusa), hlm. 286.
54
Isim ma‟rifah secara bahasa merupakan gabungan dari kata isim dan ma‟rifah. Isim
merupakan bentuk kata dari kata kerja sama-yasmu yang atinya memberi nama, dan isim artinya
nama. Sedangkan ma‟rifah, adalah isim mashdar (kata benda) dari kata kerja „arafa-ya‟rifu yang
artinya mengetaui menetapkan, meneliti/menganalisis. Dengan demikian, ma‟rifah dapat diartikan
sebagai pengetahuan, penetapan, atau penelitian/analisis.
44

menghendaki makna selainnya. Sebagai contoh dalam surah al-

Fâtiẖah ayat 6-7:

‫مت َعلَي ِه ْم َغ ِري‬ ِ َّ ِ ِ ِ


َ ‫َنع‬
َ ‫ين أ‬
َ ‫﴾ صَرا َط الذ‬ٙ﴿‫يم‬ َ ‫الصَرا َط املُستَق‬ِّ ‫اىدنَ ا‬
﴾۷﴿ ‫ني‬ ِ ‫غض‬
َ ِّ‫وب َعلَي ِه ْم َوَلَ الضَّال‬ ُ ‫امل‬
55
َ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) Jalan orang-
orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat56”

Lafaz yang terdapat pada ayat tersebut terulang dua kali,


sirâṯ yang pertama dalam bentuk isim al-maʻrifah yang

ditandai dengan kata sandang al ‫الصَرا َط‬


ِّ , lalu sirat yang kedua

‫ين‬ ِ َّ ِ
diikuti oleh isim iḏâfah
َ ‫صَرا َط الذ‬. Maka isim yang pertama
dengan yang kedua sama.
c. Isim al-Nakirah berada di awal dan isim al-Maʻrifah berada
setelahnya. Jenis yang ketiga ini bahwa kedua isim tersebut

memiliki arti yang sama57. Sebagai contoh pada firman Allah

surat al-Muzzammil/73:15-16.

ِ ِ
َ ‫ٔ﴾ فَ َع‬۳﴿ً‫إِنَّا أ َْر َس ْلنَا إِلَْي ُك ْم َر ُسوَلً َشاىداً َعلَْي ُك ْم َك َما أ َْر َس ْلنَا إِ َل ف ْر َع ْو َن َر ُسوَل‬
‫صى‬
﴾ٔٙ﴿ ً‫َخذاً َوبِيّل‬ ْ ‫َخ ْذنَاهُ أ‬
َ ‫ول فَأ‬
َ ‫الر ُس‬َّ ‫فِْر َع ْو ُن‬

“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai


orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi
terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu)
seorang Rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun mendurhakai

55
Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang
benar. Yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi
taufik.
56
Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua
golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
57
Muhammad Chirzin, Al-Qur‟an dan Ulumul al-Qur‟an, (Yogyakarta: PT Dana Bakti
Prima Yasa, 2003), Cetakan Kedua, hlm. 193.
45

Rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.”

Kata ‫الر ُسول‬


َ pada ayat 16 sama dengan ayat 15.

Maksudnya, bisa dilihat pada arti dari kedua ayat tersebut yang
menjelaskan bahwa kata Rasul pada penyebutan kedua adalah
sama dengan yang pertama, yaitu Nabi Musa AS. Jadi makna
nabi pada ayat 15 yang diutus kepada Firʻaun adalah juga nabi
yang diingkarinya pada ayat yang setelahnya58.
d. Isim maʻrifah berada di awal, dan isim nakirah berada

setelahnya.

Pada kaidah jenis ini, terdapat dua indikator, antara lain:

1) Menunjukkan bahwa keduanya memiliki makna yang


berbeda. Dijelaskan pada surah al-Rûm ayat 55:

ِ
َ ‫اع ٍة َك َذل‬
﴾۳۳﴿‫ك َكانُوا يُ ْؤفَ ُكو َن‬ ِ
َ ‫اعةُ يُ ْقس ُم الْ ُم ْج ِرُمو َن َما لَبِثُوا َغْي َر َس‬
َ ‫الس‬
َّ ‫وم‬
ُ ‫َويَ ْوَم تَ ُق‬

“orang-orang yang berdosa; "mereka tidak berdiam


(dalam kubur) melainkan sesaat (saja)." Seperti
demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).”

Lafaz ُ‫اعة‬
َ ‫ الس‬terulang sebanyak dua kali pada ayat tersebut,
َ
yang pertama isim maʻrifah, sedang yang kedua isim
nakirah. Dalam kasus ini, kedua lafaz tersebut berbeda,
karena lafaz yang pertama menunjukkan pada hari kiamat,
sedangkan yang kedua lebih tertuju pada waktu. Hal ini
disebabkan adanya siyâq al-kalâm (sama benar).
Kaidah ini tidak selalu demikian, namun bisa diambil

pemahaman, tidak berlaku umum tetapi mayoritas seperti

58
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, 2017),
Cetakan Pertama, hlm. 789.
46

itu59. Salah satu contoh ayat al-Qur‟an yang tidak demikian

dalam firman Allah Surah al-Zukhruf/43: 84:

ِ ْ ‫ض إِلَو وىو‬ ِ ِ َّ ‫وُىو الَّ ِذي ِِف‬


‫يم‬
ُ ‫اْلَك‬ َ ُ َ ٌ ِ ‫الس َماء إلَوٌ َوِف ْاْل َْر‬ َ َ
﴾۸ٗ﴿‫يم‬ِ‫الْعل‬
ُ َ
“Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan
(Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui”.

Pada ayat di atas kata illah terulang dua kali, yang pertama

dalam kaitannya dengan al-samâ/langit, dan yang kedua

dengan al-arḏ/bumi. Jika sesuai dengan kaidah di atas

penerapannya, maka dapat berarti Tuhan yang di langit

bereda dengan Tuhan di bumi. Sebab, salah satu yang cara

yang digunakan oleh para pakar adalah memahami kata

Ilah, dalam arti “Ketuhanan”. Sehingga ayat ini bermakna:

“Dia (Allah) yang ketuhanan-Nya terbentang di langit


dan juga di bumi”.

Namun, jika kedua bentuk tersebut berbeda, bahwa

ketuhanan-Nya di langit sangat jelas, sama sekali hampir

tidak ada satu makhluk hidup yang berdusta dan

membangkang, sedang ketuhanan-Nya di bumi tidak sejelas

di langit. Artinya banyak sekali makhluk yang

membangkang, bahkan banyak pula yang tidak mengakui

adanya Tuhan60.

59
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cetakan Pertama,
hlm. 50.
60
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cetakan Pertama,
hlm. 51.
47

Jika maʻrifah diulang maʻrifah, atau nakirah disusul

maʻrifah, maka keduanya mengandung makna yang sama.

Tetapi tidak selalu demikian, contohnya dalam Surah al-

Raẖmân/55:60.

ِ ‫ىل جزآء ا ِْلحس‬


﴾ٙٓ﴿ ‫ان إَِلَّ ا ِْل ْح َسا ُن‬ َ ْ ُ ََ ْ َ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”.

Kata al-Iẖsân terulang dua kali dalam bentuk maʻrifah.

Tetapi kata al-Iẖsân yang pertama ialah iẖsân duniawi,

sedang yang kedua merupakan jawaban atau balasannya

adalah kenikmatan ukhrawi. Jelas berbeda duniawi dengan

ukhrawi. Meski demikian, kaidah tersebut dapat digunakan

sebagai kaidah patokan umum61.

2) Indikator yang kedua menyatakan bahwa keduanya

adalah sama, Contohnya terdapat pada surah al-Zumar

ayat 27-28:

‫ٕ﴾ قُرآناً َعَربِيّاً َغْي َر‬۷﴿‫آن ِمن ُك ِّل َمثَ ٍل لَّ َعلَّ ُه ْم يَتَ َذ َّك ُرو َن‬
ِ ‫َّاس ِِف ى َذا الْ ُقر‬ ِ
ْ َ ِ ‫ضَربْنَا للن‬ َ ‫َولََق ْد‬
﴾ٕ۸﴿‫ِذي ِع َو ٍج لَّ َعلَّ ُه ْم يَتَّ ُقو َن‬

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam


Al Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka
dapat pelajaran. (Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang
tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka
bertakwa”.

61
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cetakan Pertama,,
hlm. 52.
48

Lafaz ‫ ال ُق ْرءَ ِان‬pada ayat di atas, juga terulang sebanyak dua


kali, yang pertama merupakan isim maʻrifah dan yang
kedua merupakan isim nakirah. Bisa dilihat dalam arti pada
kedua ayat tersebut, yang dimaksud dengan al-Quran pada
ayat 28, sama dengan al-Quran ayat 2762.

7. Kaidah ketujuh ‫اْلََزاءُ لَ ْفظًا َد َّل َعلَى ال َف َا َام ِة‬


ْ ‫ط َو‬ َ ‫إِذَا َّاّتَ َد‬
ُ ‫الش ْر‬

Jika terdapat persyaratan dan balasannya sama kata-katanya,


maka hal tersebut menunjukkan hebatnya peristiwa.

Maksudnya ialah kembali kepada lafal yang dimaksud, jika terjadi

pada pengulangan lafal yang sama penyebutannya. Penyebutan yang

pertama merupakan suatu ketetapan dan yang kedua merupakan bentuk

jawaban dari suatu ketetapan tersebut. Sebagai contoh surah al-Hâqqah

ayat 1-2:

﴾ٕ﴿ ُ‫اْلَاقَّة‬
ْ ‫اَْلَاقَّةُ ﴿ٔ﴾ َما‬
“Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu?”

Dari pembahasan macam-macam kaidah tikrâr di atas, dapat

disimpulkan ada tujuh macam kaidah tikrâr. Semuanya berbeda antara

kaidah yang satu dengan yang lainnya. Namun, pada dasarnya kaidah-

kaidah tersebut juga merupakan bagian dari tipologi tikrâr. Karena jika

diperhatikan seksama dari keduanya, kaidah merupakan langkah awal (asal

mulanya) dalam membedakan tipologi tikrâr.

62
Muhammad Chirzin, Al-Qur‟an dan Ulumul al-Qur‟an, (Yogyakarta: PT Dana Bakti
Prima Yasa, 2003), Cetakan Kedua, hlm. 193.
49

D. Fungsi Tikrâr dalam al-Qur’an

Tikrâr memiliki fungsi yang beraneka ragam dan ilmu ini sangat

banyakpengaruhnya bagi para peneliti yang ingin memperdalaminya. Dalam

menyikapi adanya fenomena tikrâr dalam al-Qur‟an, Ibnu Taimiyah berkata:

“Pengulangan al-Qur‟an terjadi tidak dengan sia-sia saja, namun mengandung

banyak hikmah dan makna di dalamnya”. Pernyataan tersebut tentu dapat

diterima, karena al-Qur‟an adalah kalâmullâh yang mengandung iʻjâz. Apabila

terdapat sesuatu yang lemah dari al-Qur‟an tersebut, misalnya fenomena tikrâr

yang dianggap oleh beberapa kalangan sebagai sesuatu yang sia-sia, maka

kandungan al-Qur‟an akan menjadi lemah63. Di antara fungsi-fungsi tersebut

antara lain:

a. Sebagai taqrîr

Setiap perkataan yang terulang merupakan taqrîr (ketetapan) atas

hal tersebut. Dengan mengulang-ulang sebuah kisah nabi dan umat

terdahulu, azab, nikmat, janji, dan ancaman, maka pengulangan ini

merupakan suatu ketetapan yang berlaku. Contohnya dalam firman Allah

Surah al-Anʻâm ayat 19:

ِ ‫َن مع اللّ ِو ِآِلةً أُخرى قُل َلَّ أَ ْشه ُد قُل إََِّّنَا ىو إِلَو و‬ ِ
‫اح ٌد‬ َ ٌ َُ ْ َ َْ َ َ َ َّ ‫أَئنَّ ُك ْم لَتَ ْش َه ُدو َن أ‬
﴾ٔ۹﴿ ‫َوإِن َِّن بَ ِريءٌ ِِّّمَّا تُ ْش ِرُكو َن‬
“Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain
di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)."

63
Mohammad Luthfi Anshori, “Kajian tentang Fenomena Pengulangan dalam Al-Quran”,
(STAI Al-Anwar, Gonrojo-Kalipang Sarang Rembang), hlm. 72.
50

Telah ditetapkan dalam ayat tersebut yang merupakan suatu kebenaran

mutlak, tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah, dan jika ada yang

menyembah selain-Nya, maka dia telah mempersekutukan-Nya.

b. Sebagai taʻkîd dan menuntut perhatian lebih

Suatu pembicaraan jika dilakukan secara berulang-ulang, maka akan

menimbulkan suatu unsur penegasan atau penekanan terhadap maknanya.

Hal ini dikarenakan terkadang tikrâr mengulang lafal dan makna yang

sama, sehingga penyampaian yang dimaksud lebih mengena64.

c. Pembaharuan terhadap penyampaian yang telah lalu

Jika sesuatu yang ingin disampaikan hilang atau lupa karena

penjangnya pembicaraan, maka dapat diulang untuk kedua kalinya, bahkan

berkali-kali jika diperlukan, guna menyegarkan kembali ingatan para

pendengar. Contohnya dalam Surah al-Naẖl/16: 110.

‫ك ِمن بَ ْع ِد َىا‬
َ َّ‫صبَ ُرواْ إِ َّن َرب‬
َ ‫اى ُدواْ َو‬
ِ ِ ِ
َ ‫اج ُرواْ من بَ ْعد َما فُتنُواْ ُثَّ َج‬
ِ ِ َّ‫ُثَّ إِ َّن رب‬
َ ‫ك للَّذ‬
َ ‫ين َى‬ َ َ
﴾ٔٔٓ﴿ ‫يم‬ ِ ‫لَغَ ُف‬
ٌ ‫ور َّرح‬
ٌ
“Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang
berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan
sabar. Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha
Pengampun Lagi Maha Penyayang”.

Karena terpisah dari uraian yang cukup panjang, maka ayat ini

diulang kembali pada ayat lain untuk mengingatkan kembali terhadap

penjelasan yang lebih rinci.

ِ ِ ِ ِ َّ‫ُثَّ إِ َّن رب‬


‫َصلَ ُحواْ إِ َّن‬ َ ‫السوءَ ِِبَ َهالٍَة ُثَّ تَابُواْ ِمن بَ ْعد َذل‬
ْ ‫ك َوأ‬ ُّ ْ‫ين َع ِملُوا‬
َ ‫ك للَّذ‬
َ َ
﴾ٔٔ۹﴿ ‫يم‬ ِ ‫ك ِمن ب ع ِدىا لَغَ ُف‬
ٌ ‫ور َّرح‬
ٌ َ ْ َ َ َّ‫َرب‬
64
Mohammad Luthfi Anshori, “Kajian tentang Fenomena Pengulangan dalam Al-
Qur‟an”, (STAI Al-Anwar, Gonrojo-Kalipang Sarang Rembang), hlm. 74.
51

“Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang


yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka
bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu
sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

d. Sebagai taʻẕîm (menggambarkan agung dan besarnya suatu perkara)

Salah satu fungsi tikrâr yaitu menggambarkan besarnya sesuatu

yang dimaksud. Tidak hanya terlihat pada besarnya sesuatu yang

dimaksud, namun tikrâr merupakan suatu ilmu yang dibutuhkan dan

penting untuk dipelajari, baik lafaznya maupun maknanya. Contohnya

dalam Surah al-Qâriʻah/110: 1-2.

﴾ٕ﴿ ُ‫اَلْ َقا ِر َعةُ ﴿ٔ﴾ َما الْ َقا ِر َعة‬


“Hari Kiamat, apakah hari kiamat itu?”

Pengulangan kata “al-Qâriʻah” yang berarti hari kiamat menunjukkan

rasa heran dan penasaran atas apa yang akan terjadi pada hari kiamat

nanti, sehingga rasa takut dan mencekam pasti datang pada setiap insan

yang bernyawa agar segera bersiap-siap sejak saat ini.

e. Untuk memberikan perhatian lebih

Dengan mengulang-ulang suatu pembicaraan, dapat memberikan

perhatian yang lebih sempurna karena penerimaan dari suatu pembicaraan

tersebut lebih maksimal penyampaiannya. Contohnya dalam Surah al-

Mu‟minûn/40: 38-39.

ِِ ِ ِ ِ
‫ب‬ َ ‫إِ ْن ُى َو إََِّل َر ُج ٌل افْ تَ َرى َعلَى اللَّو َكذباً َوَما ََْن ُن لَوُ ِبُْؤمن‬
ِّ ‫ٖ﴾ قَ َال َر‬۸﴿ ‫ني‬
﴾ٖ۹﴿ ‫ون‬ ِ ‫انصرِن ِِبَا َك َّذب‬
ُ ُْ
“Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah aku, aku
akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku,
52

sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara


dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal”.

Dari penjelasan fungsi tikrâr di atas, dapat disimpulkan semua fungsi

tersebut memberikan nilai positif bagi pendengarnya. Memberikan maksud

yang menarik perhatian orang, dan mengagungkan pesan yang

disampaikan. Gaya bahasa yang diterapkan lebih meyakinkan dalam hati.

Tikrâr juga merupakan salah satu metode yang mudah untuk diingat dan

dihafalkan.

E. Kedudukan Tikrâr

Ada beberapa alasan mengapa terjadi tikrâr dalam al-Qur‟an, di

antaranya adalah sebagai berikut:

1) Fenomena pengulangan ini sejalan dengan masyarakat Arab yang buta

huruf (ummi). Dengan cara pengulangan, mereka dapat mendengar,

menyimak, dan mengingat kembali apa yang telah diajarkan orang-

orang kepada mereka.

2) Al-Quran turun sebagai bukti bahwa kalam Allah dapat dipelajari

secara mudah, memberikan penjelasan kepada orang-orang yang

berakal. Dan pengulangan erat kaitannya dengan rahasia-rahasia yang

terkandung di dalamnya, berupa kejadian, ancaman, hukuman, dan

hidayah.

3) Pengulangan membawa suatu masalah yang diungkapkannya menjadi

penting. Sehingga mampu mengupas sebuah urgensi terhadap masalah

tersebut. Hal ini dapat ditemukan dalam surah al-Raẖmân yang


53

menyingkap aneka nikmat Allah dan ciptaan Allah yang berupa bumi,

darat, dan laut, dengan pengulangan ayat sebanyak 31 kali.

4) Menjelaskan kualitas al-Qur‟an yang tinggi. Salah satu keistimewaan

suatu bahasa ialah pengungkapan bentuk makna yang berbeda-beda.

Dalam pengertian tersebut, terbukti bahwa al-Qur‟an datang dari Allah

dan mempertunjukkan suatu tantangan65.

5) Menjelaskan sisi kemukjizatan al-Qur‟an. Ketika terdapat perbedaan

suatu makna, maka pendengar maupun pembacanya merasa takjub.

Oleh karenanya, tidak heran jika orang Arab tidak mampu menandingi

hal yang sama dengan al-Qur‟an, walaupun al-Qur‟an itu

menggunakan bahasa Arab66.

6) Menimbulkan segi ke-balaghah-an al-Qur‟an yang memiliki kualitas

tinggi. Dengan melihat karakteristik yang menampakkan satu makna

yang berbeda dengan makna lain, disitulah terletak segi ke-balaghah-

annya. Sehingga terhindar dari rasa jenuh bagi setiap pendengar dan

pembacanya dari setiap makna baru yang meluapkan keindahan di

dalamnya67.

Setelah diuraikan secara keseluruhan mengenai tikrâr ini, dapat

diambil kesimpulan, pada hakikatnya tikrâr merupakan suatu pengulangan

yang terjadi pada makna maupun pada lafaznya. Meski terlihat sama dan

berulang-ulang, namun jika dilihat dari maknanya, tidak seperti itu.

65
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cetakan Pertama, hlm.
82.
66
Anshori, Ulumul Qur‟an; Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2013), Cetakan Pertama, hlm. 127.
67
Anshori, Ulumul Qur‟an; Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2013), Cetakan Pertama, hlm. 127.
54

Karena adanya gaya bahasa dan pola pengulangan seperti yang telah

dijelaskan dalam tipologi tikrâr di atas. Tentu ada alasan yang menjadi

sebuah dasar dalam perbedaan tersebut.


BAB III
GAMBARAN UMUM SURAH AL-QAMAR

Salah satu penamaan surah yang berasal dari nama sebuah benda langit,

yaitu Al-Qamar yang berarti Bulan. Surah ini terletak setelah surah al-Najm dan

memiliki keterkaitan diantara kedua surah tersebut. Surah al-Qamar menjelaskan

tentang hari kiamat, kisah kaum-kaum terdahulu yang mendustakan rasul-rasul

mereka. Adanya keunikan dalam surah ini yang menggunakan gaya penyampaian

yang berbeda dengan surah lain. Setiap kali pemaparan suatu kisah umat

terdahulu, ditutup dengan ayat yang artinya “Dan sumgguh telah Kami

mudahkan al-Qur‟an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil

pelajaran?” Adakah yang ingin mengambil pelajaran di setiap kandungan ayat-

ayat-Nya? Allah telah memudahkan dan menjamin al-Qur‟an untuk hamba-

hamba-Nya yang ingin mengambil pelajaran tersebut. Hal ini dijelaskan di dalam

Surah Al-Qamar.

A. Penamaan dan Penggolongan Surah Al-Qamar

Surah Al-Qamar adalah surah ke 54 juz 27 dalam urutan Mushaf al-

Qur‟an. Dinamakan Al-Qamar yang berarti Bulan, berasal dari Al-Qamar yang

terdapat pada ayat pertama dalam surah ini. Namun, nama tersebut tidak hanya

digunakan sebagai nama pada surah saja, tetapi diterangkan pada ayat yang

terdapat dalam surah ini tentang terbelahnya bulan1 yang menurut sebagian ulama

1
Terbelahnya bulan adalah mukjizat yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad berasal
dari ayat-ayat al-Qur‟an 54: 1-2, dan disebutkan oleh tradisi Muslim seperti Asbāb al-Nuzūl,
kebanyakan komentator Muslim menafsirkan kejadian tersebut sebagai perpecahan literal di bulan,
sementara beberapa lainnya mengidentifikasi sebagai peristiwa yang akan terjadi pada hari
penghakiman.

55
56

terbelahnya bulan tersebut dipandang sebagai mukjizat Nabi Muẖammad SAW

dan sebagian ulama lagi dipahami akan terjadi terbelahnya bulan pada saat hari

kiamat2 datang. Terdiri dari 55 ayat dan pada masa Nabi Muẖammad saw, surah

ini terkenal dengan nama yang dipilih dari ayatnya yang pertama, yakni, Surah

Iqtarabat al-Sâʻah3 yang dinilai oleh mayoritas ulama sebagai surah yang turun

sebelum Nabi hijrah ke Madinah4. Semua ayat dalam surah ini diakhiri dengan

huruf ra5.

Dalam Mushaf Standar Indonesia maupun mushaf-mushaf yang berasal dari

negara-negara Islam lainnya, seperti Maroko, Arab, Libya, dan Pakistan, menurut

para mufassir seperti al-Bagâwi, al-Samarqandî, al-Tsaʻlabî, Ibnu Katsîr, al-

Syaukânî, dan al-Alûsî, surah Al-Qamar digolongkan sebagai surah Makiyah6.

“Dari Abdullah berkata bawa bulan terbelah menjadi dua bagian di zaman Rasulullah, kemudian
Rasulullah bersabda: Saksikanlah” (HR Muslim: 7249).
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa ketika kaum Kafir Makkah meminta Rasulullah untuk
memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah serta menguji kebenaran Risalah Baginda Rasulullah
dengan memintanya membelah bulan. Maka Allah Swt mengabulkan doa beliau hingga pada
malam hari tampaklah bulan terbelah menajdi dua bagian, dimana bagian lainnya berada di sisi
Gunung Safa dan bagian lainnya di sisi Gunung Qaikan dan terlihat di antaranya bukit Hira.
Adapun dasar untuk menetapkan bahwa ayat itu menerangkan suatu peristiwa yang akan terjadi,
bukan yang telah terjadi adalah pernyataan ini muncul setelah menjelaskan bahwa saat itu hampir
tiba. Sedangkan bulan terbelah dua adalah suatu kejadian yang besar, yang sekiranya memang
pernah terjadi, tentunya banyak orang yang melihat, tidak hanya orang Arab saja, dan tentulah
berupa suatu mukjizat yang tidak dapat dipungkiri.
2
Hari kiamat ialah peristiwa dimana alam semesta beserta isinya hancur luluh yang
membunuh semua makhluk di dalamnya tanpa terkecuali. Hari kiamat ditandai dengan bunyi
terompet sangkakala oleh Malaikat Israfil atas perintah dari Allah Swt. Setelah semua makhluk
yang hidup mati, maka Allah Swt akan kembali memerintahkan Malaikat Israfil untuk meniup
terompet yang kedua kalinya guna membangunkan semua orang yang telah mati untuk bangkit
kembali mulai dari manusia pertama zaman Nabi Adam hingga manusa yang terakhir saat kiamat
tiba untuk melaksanakan hari pembalasan untuk mempertanggung jawabkan semua amal
perbuatannya selama hidup di dunia.
3
M Quraish Shihab, Al-Lubâb; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-
Qur‟an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 109.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cetakan Kedua, hlm. 221.
5
Ayatullah Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nûrul Qur‟ân: Sebuah
Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), Cetakan Pertama,
hlm. 613.
6
Muchlis Muhammad Hanafi, Makkiy dan Madaniy: Periodisasi Pewahyuan Al-Quran,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2017), Cetakan Pertama, hlm. 522.
57

Surah tersebut diturunkan sesudah surah al-Ṯarîq7 dan sebelum surah Sâd,

merupakan surah ke-tiga puluh tujuh yang diterima Nabi Muẖammad dan turun

sekitar tahun kelima sebelum Hijrah8.

Alasan penggolongan surah al-Qamar ke dalam surah Makkiyah, yaitu kata

Makkî berasal dari kata Mekah, yang merupakan kota suci, kota para Nabi, dan

tempat turunnya wahyu9.

Ada beberapa pendapat yang menilai ayat 44 sampai dengan ayat 46, turun

pada saat Perang Badar bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah. Namun, pendapat

tersebut tidak mendapat banyak dukungan karena mungkin Nabi Muẖammad baru

membacanya kembali pada saat itu10.

Dari pemaparan di atas, yang dapat disimpulkan ialah surah al-Qamar

tergolong surah Makiyah, karena seperti yang telah dijelaskan bahwa surah

tersebut mengandung unsur ciri-ciri Makkiyah tersebut. Maka dari itu, jelaslah

bahwa surah tersebut tergolong Makkiyah yang diturunkan sesudah surah al-

Ṭāriq. Nama al-Qamar memiliki arti bulan, penamaan tersebut diambil dari satu

kata pada ayat pertama.

7
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: AMZAH, 2006), Cetakan Kedua,
hlm. 233.
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cetakan Kedua, hlm. 222.
9
Makkî adalah kumpulan ayat-ayat atau surat-surat al-Qur‟an yang turun sebelum
Rasûlullâh hijrah bukan turun di Mekkah, dan ayat-ayat yang sasarannya lebih ditujukan kepada
masyarakat Arab. Secara spesifik, ciri-ciri ayat-ayat Makkiyah antara lain: mengandung kisah para
nabi dan umat terdahulu, tidak terlalu panjang (pendek), biasanya diawali dengan kata “kallâ”,
gambaran tentang hari kiamat, dan orang-orang musyrikin.
Sedangkan Madaniyah, berasal dari kata Madânî, yakni tempat hijrah dan kota Rasûlullâh.
Madânî adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang turun sesudah Rasulullah hijrah dan sasarannya lebih
ditujukan kepada penduduk Madinah. Ciri-cirinya antara lain: ayat-ayatnya mengandung hukum
faraid dan had, menyingkap orang-orang munafik, ayatnya panjang-panjang, terdapat sindiran-
sindiran terhadap kaum munafik, menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud, warisan,
dan keutamaan jihad.
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cetakan Kedua, hlm. 221.
58

B. Wawasan Surah al-Qamar

Surah al-Qamar memaparkan kisah kaum „Ȃd, Tsamûd, Nûẖ, Lûṯ, dan

Firʻaun, bukti bahwa kaum tersebut ada kaitannya dalam sejarah masa lalu.

Kemudian dengan tema akidah, surah tersebut memaparkan hari akhir dan

gambaran hari akhir yang akan dikumpulkan seluruh manusia yang akan

menerima siksaan dan perbuatannya selama hidup di dunia11. Hari tersebut

menjadi hari penentuan bagi manusia selama perjalanan hidup di dunia dan akan

diperselisihkan kebenaran akidah dari setiap pemeluk agama12. Tujuan dari

pemaparan hari akhir tersebut ialah agar manusia segera bersiap-siap dalam

menghadapi hari akhir dengan cara melakukan perbuatan atau amalan-amalan

yang baik13. Ada banyak pelajaran yang terkandung di dalam surah ini,

bahwasanya apa yang telah dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan manusia

tidak bisa menghindar dari kehendaknya.

Surah ini menjelaskan tentang hari kiamat yang semakin dekat,

berakhirnya kehidupan dunia, dan tidak berfungsi lagi benda-benda langit. Allah

mengatakan apabila orang-orang kafir melihat satu tanda ke-Nabian, maka mereka

menentang dan mendustakannya, mereka tidak akan patuh terhadap rasul-rasul

tersebut14.

Tema utama pada surah ini terlihat pada kecaman dan peringatan kepada

kaum musyrikin yang sangat tidak pantas untuk ditiru karena keangkuhan dan

kedurhakaannya. Semua ayat yang terdapat pada surah itu memaparkan kejadian-
11
Abdul Chaer, Pengenalan Awal dengan al-Qur‟an, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014),
Cetakan Pertama, hlm. 162.
12
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Keniscayaan Hari Akhir: Tafsir Al-Qur‟an
Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2010), Cetakan Pertama, hlm. 47.
13
Muchlis Muhammad Hanafi, Makkiy dan Madaniy: Periodisasi Pewahyuan Al-Quran,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2017), Cetakan Pertama, hlm. 527.
14
Ahmad Attabik, Repetisi Redaksi Al-Qur‟an: Memahami Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang
Diulang, (Yogyakarta: IDEA Press), hlm. 79.
59

kejadian yang terdapat pada umat-umat terdahulu, hanya ada dua ayat terakhir

saja yang menjelaskan orang-orang yang bertakwa. Terdapat empat kaum, yaitu

Kaum Nabi Nûẖ, ʻȂd, Tsamûd, dan Lûṯ yang pembangkang. Kisah tersebut

diuraikan dalam surah ini dengan menggunakan gaya yang berbeda berupa uraian-

uraian yang dipaparkan pada surah-surah yang lain15.

Misi surah al-Qamar ialah menentukan sebuah pilihan agar manusia dapat

memilih untuk mengikuti jalan orang-orang kafir yang telah diberikan siksaan dari

Allah atau akan menjauhinya16.

Pokok-pokok isi surah al-Qamar antara lain berkaitan dengan keimanan

yang selalu memberi peringatan bahwa hari kiamat pasti terjadi dan akan datang.

Tugas manusia agar mentaati perintah Allah, percaya terhadap kehendak Allah,

dan tidak menyekutukan-Nya. Karena setiap perbuatan manusia dicatat oleh

malaikat. Selain itu, ada beberapa kisah yang dipaparkan pada surah tersebut,

kisah umat terdahulu yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, sehingga mereka

diberikan siksaan yang amat pedih. Begitupula dikumpulkannya orang-orang kafir

agar mereka sadar bahwa balasan yang Allah berikan merupakan sebuah

peringatan untuk mereka agar selalu memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an17.

Menurut Ṯâhir ibn „Ȃsyûr, surah ini bertujuan untuk menjelaskan betapa

besar kecongkakkan kaum musyrikin generasi terdahulu yang mendustakan ayat-

ayat Allah, sehingga ancaman dan hari kiamat juga mengingatkan mereka atas

nasib yang akan mereka hadapi dan temukan. Sedangkan menurut Sayyid Quṯb

dan Ṯabâṯabâʻî, menilai secara keseluruhan merupakan serangan keras dan

15
M Quraish Shihab, Al-Lubâb; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-
Qur‟an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), Cetakan Pertama, Juli, hlm. 110.
16
Amru Khalid, Khowatir Qur‟aniyah, Kunci Memahami Tujuan Surat-surat al-Quran,
(Jakarta: Al-I‟tishom, Anggota IKAPI, 2011), Cetakan Kedua, hlm.643.
17
Penerjemah/Penafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya Juz 21-30, hlm. 877.
60

ancaman bagi kaum musyrikin hingga datanganya hari kiamat, dan bagi orang-

orang mukmin lagi bertakwa, mereka mendapat ketenangan dalam hidupnya dan

memperoleh jaminan syurga yang hadir di sisi Tuhannya18.

Diriwayatkan oleh al-Tirmîdzî yang bersumber dari Anas berkata: orang-

orang musyrik meminta Nabi untuk memperlihatkan suatu kemukjizatan Allah.

Maka terbelahlah bulan dua kali di Makkah, dan turunlah surah al-Qamar ayat

pertama dan kedua. Namun, meskipun orang-orang musyrik menyaksikan

peristiwa tersebut, tetapi mereka tetap saja berpaling, seakan-akan tidak ada

sekecil keinginan untuk bertaubat19.

Pada surah ini, ayat 1-8 menjelaskan tentang orang-orang musyrikin yang

selalu mengikuti hawa nafsu mereka. Padahal mereka telah diberi peringatan

berupa cegahan dari sebuah kekafiran. Namun peringatan tersebut seakan-akan

tidak berguna bagi mereka. Sehingga mereka seperti belalang yang beterbangan 20.

Kembali pada ayat-ayat sebelumnya (akhir surah al-Najm), kiamat semakin dekat

dan bulan akan hancur menjadi kepingan kecil-kecil karena peredarannya yang

menyimpang21.

Pada ayat 9-17, menerangkan kisah kaum Nûẖ yang pada saat itu telah

dibuatkan kapal sebagai peringatan. Allah telah menurunkan hujan yang deras dan

mengeluarkan air yang memancar dari dalam tanah sehingga menimbulkan banjir.

Umat Nabi Nûẖ yang membangkang terhadap seruan-Nya, diturunkan azab

18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cetakan Kedua, November, hlm. 221-222.
19
Syaikh Muẖammad „Alî al-Sabuni, Shafwatut Tafâsir, terj. Yasin, (Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2010), Cetakan Pertama, hlm. 145.
20
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
CV Toha Putra), Juz. 27, hlm. 131.
21
Departmen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Lembaga Percetakan Al-Qur‟an
Departmen Agama), hlm. 563.
61

berupa banjir besar dan topan yang dahsyat22. Kemudian banjir tersebut

menenggelamkan kaum Nûẖ yang tidak mau (enggan) untuk naik ke bahtera Nabi

Nûẖ, termasuk anaknya. Hanya Nabi Nûẖ yang selamat dan mengendarai

bahteranya sendiri. Sementara orang-orang zalim tersebut menerima hukuman

atas perbuatannya. Allah telah menjadikan kisah tersebut sebagai pelajaran, bukan

hanya sekedar dibaca atau sejarah saja. Maka ambillah pelajaran, nasehat dari al-

Qur‟an yang lafaz nya telah dijamin mudah untuk dibaca23.

Kemudian penjelasan pada ayat 18-22, berupa kisah Kaum „Ȃd yang

merupakan kaumnya Nabi Hûd. Telah jelas bagi orang yang selalu melakukan

pendustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka akan memperoleh kebinasaan

dan kehancuran yang penyebabnya berbeda-beda. Allah telah mengirimkan angin

kencang untuk kaum „Ȃd ketika hari yang malang turun pada mereka semua.

Sehingga mereka mengalami kehancuran atas bencana yang terus menerus

menimpa mereka. Perbuatan yang sangat mengerikan ketika tubuh mereka

diterbangkan ke angkasa lalu dibalik dengan kepala di bawah sampai leher mereka

hancur dan kepala dengan tubuh berpisah24.

Terdapat kisah kaum Tsamûd yang mendustakan Nabi Sâlih dan

dijelaskan pada ayat 23-32 pada surah Al-Qamar. Berawal dari unta Nabi Sâlih

supaya memberitahukan kepada mereka bahwa air sumur akan dibagi antara unta

dengan mereka. Sehari digunakan untuk unta dan hari lain untuk kaum Tsamûd.

Namun adanya ketidakrelaan yang dilakukan oleh seorang dari kaum tersebut

22
Departmen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Lembaga Percetakan Al-Qur‟an
Departmen Agama), hlm. 571.
23
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
CV Toha Putra), Juz. 27. hlm. 149.
24
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
CV Toha Putra), Juz. 27. hlm. 151.
62

yang bernama Qudar, dia menebas kaki-kaki unta dengan pedang, sehingga unta

tersebut jatuh. Azab Allah pun datang, mereka seperti pohon kering yang sangat

kering, tidak berdaya, dan tercerai berai ketika kandang binatang dibangun. Meski

mereka hanya mendustakan Nabi Salih seorang, berarti mendustakan Allah dan

semua para rasul-Nya25.

Selanjutnya pada ayat 33-40, terdapat kisah Kaum Lûṯ yang mendustakan

ancaman-ancaman nabi-Nya. Lalu Allah menghembuskan angin yang membawa

batu-batu dan menimpa mereka kecuali keluarga Lûṯ. Perbuatan yang dilakukan

oleh Kaum Lûṯ sangatlah keji, karena mereka menggauli sesama lelaki, bukan

wanita yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di antara

seluruh alam. Azab Allah pun datang, dengan cara mengirimkan angin dan

ditimpakan batu-batu yang terbuat dari tanah kering yang menyangkut pada angin

tersebut, kecuali orang yang beriman diperintahkan keluar pada akhir malam

supaya selamat dari ancaman tersebut. Mereka sangat berdosa karena perlakuan

homoseksual yang ingn dilakukan dengan para malaikat tamu Nabi Lûṯ26.

Dijelaskan pula kisah kaum Firʻaun pada ayat 41-42, mereka mendustakan

mukjizat-mukjizat yang sudah diberikan oleh Allah. Mereka mendustakan dalil-

dalil, ayat demi ayat, dan bukti-bukti yang telah dikirim kepada Nabi Musa,

sehingga mereka mendapatkan hukuman dari apa yang telah mereka perbuat27.

Selain empat kaum (kaum Nûẖ, kaum „Ȃd, kaum Tsamûd, dan kaum Lûṯ)

yang telah dijelaskan di atas, pada surah ini juga dijelaskan kisah kaum kafir

25
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
CV Toha Putra), Juz. 27. hlm. 155.
26
Departmen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Lembaga Percetakan Al-Qur‟an
Departmen Agama), hlm. 580.
27
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
CV Toha Putra), Juz. 27. hlm. 169.
63

Quraisy ayat 43-46 yang tidak mneyadari dan tidak mau kembali dari kesesatan

mereka sendiri. Sehingga mereka ditimpa bencana seperti yang pernah menimpa

kaum pendusta sebelum mereka dan tidak akan selamat. Kaum Quraisy lebih

kejam perilakunya dalam melakukan kekafiran, kemaksiatan, kesesatan, dan

kedurhakaannya. Sehingga Allah menutup segala cara terhadap mereka,

keputusan Allah akan menimpa mereka, dan mereka akan dihanyutkan dan

mengalah apabila ketetapan Allah telah tiba. Mereka akan hidup menyendiri,

bercerai berai, bahkan mereka mendapat azab dari orang-orang musyrik di

berbagai tempat28.

Setelah Allah menyebutkan beberapa kisah umat terdahulu terhadap rasul-

rasul mereka dengan berbagai macam ancaman, kekafiran, dan pendustaan, maka

kepedihan dan penyesalan kelak di akhirat yang akan mereka terima, kekal di

dalam neraka sebagai balasan dan penistaan bagi mereka. Apabila orang-orang

takut terhadap hukuman Tuhan mereka, mereka patuh terhadap perintah-Nya dan

menjauhkan segala larangan-Nya, kemaksiatan, kedustaan terhadap Allah dan

rasul-rasul-Nya, maka Allah akan memberi pahala atas apa yang telah diperbuat

berupa syurga-syurga yang di dalamnya terdapat keindahan-keindahan yang tidak

pernah ada sedikitpun di dunia. Seperti syurga yang bawahnya mengalir sungai-

sungai, gelang dan emas yang digunakan sebagai perhiasan mereka, kasur yang

terbuat dari sutra sehingga terasa lembut, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya

yang tidak pernah terbayangkan oleh pikiran hati mereka.

Dari awal sampai akhir surat ini, merupakan serangan keras bagi orang-

orang yang mendustakan Allah dan rasul-Nya. Secara khusus, tujuan dari surah

28
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang:
CV Toha Putra), Juz. 27. Hlm. 171.
64

ini memberikan ancaman dan peringatan disertai berbagai macam fenomena pada

hari akhir yang berisi siksaan dan kehancuran29.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, di dalam surah al-Qamar ini

pada sebagian ayatnya menjelaskan tentang hari kiamat, terbelahnya bulan, kisah

umat-umat terdahulu yang mendustakan Allah dan rasul-Nya, kisah orang-orang

kafir yang enggan dalam mempelajari dan mentadabburi al-Qur‟an. oleh karena

itu, mereka mendapat siksaan atas apa yang telah mereka perbuat, dan

memberikan dampak positif bagi mereka yang bertaubat. Beberapa kaum yang

dibinasakan, antara lain: Kaum Nûẖ yang enggan untuk menerima ajakan agar

beriman sehinngga menenggelamkan mereka. Kaum „Ȃd yang beterbangan

dengan angin kencang, sehingga mereka mati bergelimpangan bagaikan pohon-

pohon kurma. Kaum Tsamûd yang mendustakan peringatan dari Nabi Sâlih,

sehingga mereka seperti batang-batang kering. Kaum Lûṯ yang dihujani dengan

batu karena mendustakan peringatan-Nya dan masih saja melakukan perbuatan

keji.

C. Munâsabah Surah Al-Qamar dengan Surah Sebelumnya dan Sesudahnya

Secara etimologis, kata “Munâsabah” berarti adanya keterkaitan terhadap

permulaan ayat dan akhirnya, menunjukkan hubungan sebab akibat antar ayat dan

surah30. Adapun secara terminologi, munasabah ialah hubungan atau keterkaitan

persesuaian al-Qur‟an antara bagian demi bagian yang tersusun dengan berbagai

bentuk. Munasabah selalu merujuk persesuaian kepada makna-makna yang erat

29
Syaikh Muẖammad „Alî al-Sabuni, Shafwatut Tafâsir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2011), Cetakan Pertama, jil. 5, hlm. 145.
30
Acep Hermawan, „Ulumul Qur‟an: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2016), Cetakan Ketiga, hlm. 138.
65

menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain. Bagian demi bagian

tersebut misalnya antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antara ayat dengan

ayat, antara awal surat dengan akhir surat, antara surat yang dengan surat yang

lain, dan begitulah seterusnya hingga al-Qur‟an menggambarkan kesatuan dan

susunan yang utuh dan menyeluruh31. Dalam munasabah antar ayat maupun antar

surat, teks merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, adanya bagian-bagian

yang saling sinkron. Oleh karena itu, para mufassir berusaha menemukan

keterkaitan antara ayat dengan ayat dan surat dengan surat 32. Jenis munasabah al-

Qur‟an sangatlah banyak. Namun, yang sering digunakan ialah munasabah antar

ayat dan antar surat. Walaupun demikian, tidak juga mengesampingkan

munasabah yang lainnya. Dalam tafsir al-Misbah, terdapat beberapa munasabah,

di antaranya adalah munasabah antar ayat dan ayat dalam satu surat, antara kata

dalam satu ayat, munasabah antar surah dengan surah sebelumnya, dan antara

awal surah dengan akhir surah33.

Hubungan surah al-Qamar dengan surah al-Raẖmân yaitu surah al-Qamar

menerangkan keadaan orang-orang kafir di neraka dan keadaan orang-orang

mukmin di syurga. Sedangkan surah al-Raẖmân, menerangkan secara luas. Surah

al-Qamar menceritakan umat-umat terdahulu yang kafir dan mendustakan rasul-

rasul-Nya beserta azab dan hukuman yang diterima. Padahal sudah benar-benar

jelas, bahwa al-Qur‟an telah ditugaskan untuk mengingatkan manusia dan

menyadarkan mereka agar senantiasa mentaati rasul-rasul mereka, namun mereka

31
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013),
Cetakan Pertama, hlm. 237.
32
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), Cetakan
Pertama, hlm. 197.
33
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah,
(Jakarta: AMZAH, 2015), Cetakan Pertama, hlm. 164.
66

mengecamnya34. Sedangkan surah al-Raẖmân menceritakan macam-macam

nikmat yang Allah berikan dan telah dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya.

Namun jarang sekali hamba-hamba-Nya yang mensyukurinya35.

Hubungan surah al-Qamar dengan surah al-Najm yaitu, surah al-Qamar

menceritakan tentang hari kiamat pada awal surah tersebut, sedangkan pada akhir

surah al-Najm, mencerikan hari akhir pula. Akhir surat al-Najm serupa dengan

surah al-Qamar.

‫تْ ْاْل ِزفَْة‬


ْْ َ‫أَ ِزف‬
“Telah dekat terjadinya hari kiamat”. (QS. Al-Najm/53:57).

Sedangkan pada surah al-Qamar ayat pertama

ْْ‫اعة‬
َ ‫الس‬ ِْ َ‫اقْ تَ َرب‬
َّ ْ‫ت‬
“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan”.

Terlihat persesuaian yang serasi pada kedua surah tersebut. Sehingga kalau

diamati hubungan antara keduanya sangat mirip dari sisi nama kedua surah

tersebut36. Kedua surah tersebut memiliki kesamaan susunan pembicaraan antara

bulan dan bintang37. Surah al-Qamar diawali dengan pemberitahuan dan

penegasan bahwa kiamat telah dekat dan Allah juga menampakkan kuasa-Nya

34
Ahmad Attabik, Repetisi Redaksi Al-Qur‟an: Memahami Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang
Diulang, (Yogyakarta: IDEA Press), hlm. 88.
35
Amru Khalid, Khowatir Qur‟aniyah, Kunci Memahami Tujuan Surat-surat al-Quran,
(Jakarta: Al-I‟tishom, Anggota IKAPI, 2011), Cetakan Kedua, hlm. 883.
36
Ahmad Attabik, Repetisi Redaksi Al-Qur‟an: Memahami Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang
Diulang, (Yogyakarta: IDEA Press), hlm. 78.
37
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2016), Cetakan Pertama, hlm. 201.
67

terhadap penduduk Makkah yang ingin melihat suatu mukjizat, yaitu terbelahnya

bulan saat kiamat semakin dekat38.

Pada surah al-Najm hanya sepintas saja menceritakan kaum-kaum

terdahulu, sedangkan pada surah al-Qamar terdapat penjelasan keadaan umat-

umat terdahulu yang tidak taat kepada para rasul39 dan mendustakan rasul-rasul

mereka, sehingga mereka mendapat kebinasaan40.

Dapat disimpulkan, adanya hubungan antara surah al-Qamar dengan surah

al-Raẖmân, dan surah al-Qamar dengan surah al-Najm. Pada ayat-ayatnya

terdapat keserasian yang dapat menghubungkan pokok kandungannya.

D. Pesan-Pesan yang Terkandung pada Surah al-Qamar

Dalam surah al-Qamar, banyak pesan yang disampaikan oleh Allah, yaitu

bahwa Allah telah menjamin bahwa al-Qur‟an mudah untuk dipahami dan diambil

pelajaran. Dalam hal ini telah dijelaskan pada surah al-

Qamar ayat 17, 22, 32, dan 40, yang diulang sebanyak empat kali.

ِّ ِ‫ولََق ْدْيَ َّس ْرنَاْالْقْْرءا َنْل‬


‫لذ ْك ِرْفَ َه ْل ِْم ْنْم َّدكِ ْر‬ َ َ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan, maka
adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”

Maksudnya ialah, Al-Qur‟an diturunkan sebagai peringatan, sebagai petunjuk,

pedoman hidup bagi siapapun yang ingin memperdalaminya, dan juga sebagai

pelajaran dan penghafalan. Adanya sebuah perintah dalam ayat tersebut yang

mengandung makna ambillah sebagai nasihat untuk setiap hamba-hamba-Nya.

38
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Tafsir Ringkas Jilid 2, Cetakan Pertama, hlm.
703.
39
Penerjemah/Penafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya Juz 21-30, hlm. 876.
40
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV Toha Putra), Juz. 27,
hlm. 129.
68

Karena selain penghafalan dalam diri manusia, tetapi juga diaplikasikan dalam

kehidupan.

Ayat tersebut menyampaikan sebuah pesan kepada manusia agar senantiasa

dapat mentadabburi al-Qur‟an, menjaga, menghafal, dan terhindar dari azab

Allah41.

Surah al-Qamar mengandung peringatan Allah berupa janji dan ancaman

terhadap umat-umat terdahulu yang durhaka terhadap rasul, agar menjadi sebuah

pelajaran dan tidak mengikuti kaum kafir, tidak lalai terhadap perintah Allah dan

rasul-Nya, juga senantiasa menjadikan al-Qur‟an sebagai petunjuk yang dapat

diamalkan42. Terdapat unsur sajak yang menjelaskan ketauhidan, keimanan,

muamalah. Jika diperhatikan makna ayat-ayatnya, terdapat sebuah pesan yang

tersirat. Adanya peringatan yang harus dilakukan oleh setiap umat di dunia,

supaya bersiap-siap dalam menghadapi hari akhir yang semakin dekat, karena

setiap amal perbuatan di dunia sudah tercatat oleh para malaikat pncatat yang

mulia, mentaati rasul-rasul-Nya, dan senantiasa bertakwa di sisi Tuhan agar kelak

mereka mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan syurga dan seisinya43.

Kesimpulannya ialah Allah telah menjamin dalam firman-Nya, bagi

mereka yang ingin mempelajari al-Qur‟an, Allah telah memudahkannya,

senantiasa selalu berpedoman pada Kalâmullâh, tidak menyekutukan-Nya,

beriman kepada hari akhir dengan cara melakukan amalan-amalan yang baik

selama hidup, karena Allah pasti akan memberikan siksaan sesuai apa yang telah

dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.

41
Amru Khalid, Khowatir Qur‟aniyah, Kunci Memahami Tujuan Surat-surat al-Quran,
(Jakarta: Al-I‟tishom, Anggota IKAPI, 2011), Cetakan Kedua, hlm. 648.
42
Penerjemah/Penafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya Juz 21-30, hlm. 883.
43
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV Toha Putra), Juz. 27.
hlm. 182.
69

E. Pengulangan Ayat dalam Surah al-Qamar

Dalam surah ini, terdapat satu ayat yang diulang sebanyak empat kali.

Setiap pengulangannya ditempatkan setelah penyampaian kisah-kisah umat

terdahulu yang disertai dengan penjelasan dari kisah-kisah tersebut. Ayat tersebut

berbunyi:

ِّ ِ‫ولََق ْدْيَ َّس ْرنَاْالق ْرءا َنْل‬


‫لذك ِرْفَ َه ْل ِْم ْنْم ّدكِر‬ َ َ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan, maka
adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Al-Qamar/54: 17, 22, 32, dan
40).

Allah swt menciptakan sebuah kitab suci untuk hamba-hamba-Nya yang

menjadi pendorong sebagai sarana dan niat yang tulus agar mereka mau

mempelajari dan mengambil pelajaran yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Tidak

ada satupun yang dapat menyaingi isi kandungannya, karena sejak dahulu hingga

kini al-Qur‟an mendapat perhatian yang sangat besar dan sangat baik, sudah

banyak ulama-ulama yang terlahir untuk mengajarkan al-Qur‟an dengan upaya

memahami dan menafsirkan jutaan jilid buku sepanjang masa. Meskipun al-

Qur‟an menggunakan bahasa Arab yang pastinya sangat asing bagi orang awam

yang masih kurang pemahamannya, namun mereka tetap berusaha mempelajari

al-Qur‟an44.

Allah mengulang-ulang firman-Nya tersebut sebanyak empat kali sebagai

kemudahan dalam membaca, menghafalkan, memahami, dan mengamalkannya45.

Inilah catatan akhir yang sengaja diulang-ulang setiap selesai pemaparan

kisah tersebut. Dengan maksud agar ayat ini mampu menggugah kalbu manusia,

44
M Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi; Al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), Cetakan Kedua, hlm. 298.
45
As-Saʻdi, Taisîr al-Karîm al-Raẖmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannan, hlm. 905.
70

menyeru dengan seruan yang tenang agar meresapinya setelah maupun sebelum

dihadapi azab yang pedih46. Meskipun al-Qur‟an membuat lemah para ahli

Balaghah untuk menciptakan al-Qur‟an, hal ini tidak menjadikan al-Qur‟an jauh

dari gaya bahasa Arab yang biasa diucapkan orang Arab sebagai kemudahan

untuk memahami al-Qur‟an berupa perintah dan larangan di dalamnya47.

Dari pemaparan mengenai pengulangan ayat tersebut, dapat disimpulkan

bahwa setiap ayat memiliki makna yang sama, yaitu Allah telah menegaskan

adanya kemudahan bagi seorang hamba yang ingin mempelajari al-Qur‟an,

banyak yang dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan al-Qur‟an, seperti

membacanya, menghafalnya, mengambil nasihat dan pelajaran di dalamnya,

mengungkap sebuah makna ayat dengan meneliti tafsirnya, dan menjadikan al-

Qur‟an sebagai pedoman hidup manusia. Selain itu, ayat yang diulang tersebut,

memiliki munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya yang menggambarkan

perlakuan kaum musyrikin pada saat itu. Alasannya, mereka selalu membangkang

dan mendustkana rasul-rasul mereka, enggannya beribadah kepada Allah,

menentang dakwah mereka, dan sifat kesombongan atas kemampuan yang mereka

miliki. Oleh karena itu, Allah membalas perbuatan mereka dengan menurunkan

azab berupa siksaan yang pedih atas perlakuan mereka semua. Inilah pelajaran

yang dapat diambil dan direnungi, bahwasanya semua yang terjadi pada masa

dahulu, al-Qur‟an telah menceritakan dan tercantum di dalamnya.

46
Sayyid Quthb, Tafsîr fî Ẕilâl al-Qur‟ân: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, (Jakarta:
Robbani Press, 2009), Cetakan Pertama, Juni, Juz XXVII, hlm. 102.
47
Khalid bin Abdul Karim Al-Lahim, Al-Quran Tak Sekedar Dibaca, terj. Agus
Suwandi, Cetakan Kedua, hlm. 49.
BAB IV

ANALISIS PENGULANGAN AYAT DALAM SURAH AL-QAMAR

Surah al-Qamar dari awal sampai akhir ayat membahas serangan keras dan

ancaman bagi kaum terdahulu yang mendustakan ayat-ayat-Nya dan peringatan

hari kiamat yang pasti akan semakin dekat datangnya. Semua diuraikan secara

jelas dan rinci sehingga dapat meluluhkan hati bagi para pembacanya yang

mampu menenteramkan kalbu. Gaya penyampaian kisah dalam surah ini

sangatlah berbeda dan memiliki kekhasan tersendiri daripada surah lain. Adanya

keunikan dalam sebuah kisah yang dipaparkan, terbentuk menjadi episode-

episode dari suatu kisah-kisah tersebut. Setiap setelah pemaparan kisah, terdapat

ayat penutup yang redaksinya diulang.

ِّ ِ‫ولََق ْدْيَ َّس ْرنَاْالْ ُق ْرآ َنْْل‬


ْْ‫لذ ْك ِْرْفَ َه ْْلْ ِمنْ ُّم َّدكِر‬ َ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur‟an untuk (menjadi)
pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?” (QS. Al-
Qamar/54:17).

A. Penjelasan Makna Ayat secara Rinci

Ayat tersebut diulang sebanyak empat kali yang bertujuan agar manusia

senantiasa memahami kalam-Nya dengan sepenuh hati tanpa mendustakannya.

Penyajian ayat-ayatnya diletakkan setiap akhir kisah-kisah umat terdahulu.

Al-Qur‟an telah Kami mudahkan untuk para hamba-Nya yang

berkeinginan kuat agar bisa memahami al-Qur‟an. Menjadikan sebuah pelajaran

yang diwahyukan oleh Allah dan memiliki banyak manfaat bagi pemeluknya.

Maka dari itu, al-Qur‟an mampu membantu bagi siapa saja yang memiliki niat

71
72

baik dalam memperoleh pelajaran di dalamnya melalui pembacaan yang serius.

Ibnu Katsîr mengatakan, “(Maksudnya) Kami sudah memudahkan

lafaznya dan maknanya bagi siapa saja yang menghendaki agar manusia dapat

mengambil pelajaran. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran dari al-

Qur‟an yang sudah Allah Azza wa Jalla mudahkan untuk dihafal dan difahami?”1.

Kemudian beliau mengutip ayat lain yang menunjukkan makna yang sama,

terdapat dalam Surah Maryam/19:97.

ِ ُ‫ِّرْبِِوْْالْمت َِّقيْْوت‬
ْ‫نذ َرْْبِِوْْقَ ْوماْْلُّ ّدْا‬ ِ ِ‫فَِإََّّنَاْي َّسرنَ ْاهْبِلِسان‬
َ َ ُ َْ‫كْْلتُبَش‬ َ َ ُ ْ َ
“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur`ân itu untuk
bahasamu agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Qur`ân itu kepada
orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya
kepada kaum yang membangkang”. (Maryam/19:97).

Kitab suci ini mudah dimengerti dan digunakan, karena Nabi

mempraktekkan bagaimana cara menjelaskan dan mencontohkan metode

membacanya. Isi kandungan al-Qur‟an selalu terkait dengan kabar gembira bagi

orang bertakwa dan balasan bagi perbuatan keji manusia yang membangkang.

Oleh karena itu, sikap manusia yang patut diterapkan ialah bertakwa, mentaati

perintah-Nya, dan tidak mengingkarinya, karena jika mereka berpaling, termasuk

orang-orang yang merugi2.

Dalam tafsir Jalâlain dikatakan, “(Dan sesungguhnya telah Kami


mudahkan al-Qur‟an untuk pelajaran) Kami telah memudahkannya untuk dihafal
dan Kami telah mempersiapkannya untuk mudah diingat (maka adakah orang
yang mengambil pelajaran?) yang mau mengambilnya sebagai pelajaran dan
menghafalnya. Istifham di sini mengandung makna perintah yakni, hafalkanlah
Alquran itu oleh kalian dan ambillah sebagai nasihat buat diri kalian. Sebab
tidak ada orang yang lebih hafal tentang al-Qur‟an selain daripada orang yang
mengambilnya sebagai nasihat buat dirinya.
1
Ibnu Katsîr, al-Qur‟ân al-„Aẕîm, juz VII, hlm. 478.
2
Departmen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Lembaga Percetakan Al-Qur‟an
Departmen Agama), hlm.. 571.
73

Ibnu Hurairah berkata, “Salah satu tipu daya setan yaitu menjerumuskan

hamba-hamba-Nya jauh dari Allah dengan cara mengganggunya ketika sedang

membaca al-Qur‟an. Karena setan mengetahui bagaimana seorang hamba

memperoleh sebuah petunjuk yang akan terwujud3.

Ayat ini diulang sebanyak empat kali dalam surah al-Qamar, yang

diartikan dalam mentalaqi al-Qur‟an, mentadabburinya, mengingatnya,

menyibukkan diri dalam memahami makna dari ayat-ayatnya dan munasabahnya,

membawa makna yang menyeluruh dan menyentuh setiap jiwa manusia terhadap

pengulangannya. Selain itu, menerangkan dalam ayat-ayat sebelumnya tentang

kisah-kisah umat terdahulu yang keji dan membangkang terhadap rasul-rasul

mereka dan pendustaannya. Di antaranya terdapat Kaum Nûẖ, „Ȃd, Tsamûd, dan

Lûṯ, atas kemungkarannya mereka diberikan dan ditimpakan azab yang sangat

pedih dan mengenaskan hingga hari kiamat tiba4.

Salah satu keistimewaan dalam sebuah pekerjaan yaitu membaca al-

Qur‟an. Membaca al-Qur‟an merupakan amalan yang paling mulia dan

mempunyai berbagai kelebihan dibandingkan membaca yang lain. Pernyataan

tersebut sesuai dengan makna al-Qur‟an, yaitu bacaan yang diturunkan untuk

dibaca oleh para umat muslim.5.

Tujuan pokok al-Qur‟an antara lain sebagai mencakup keyakinan dan

akidah yang disinyalir oleh manusia dalam keimanan dan keagungan Tuhan dalam

mempercayai adanya hari pembalasan. Oleh karena itu al-Qur‟an mampu

3
Khalid bin Abdul Karim Al-Lahim, Al-Quran Tak Sekedar Dibaca, Cetakan Kedua,
Desember 2011, hlm. 49.
4
„Abdurraẖmân Hasan Habannakah al-Maydâni, Al-Balâghah al-„Arabiyyah: Ususuhâ,
„Ulumuhâ, wa Funûnuhâ, (Beirut: Al-Dâr al-Syâmiyah), Jil. 2, hlm. 74-75.
5
Abdul Majid Khon, Praktikum Qira‟at: Keanehan Bacaan al-Qur‟an, Qiraat Ashim dan
Hafash, (Jakarta: AMZAH, 2011), Cetakan Pertama, hlm. 55.
74

menjawab semua persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hari pembalasan

agar manusia dapat mengambil sebuah pelajaran dari hal tersebut. Petunjuk

mengenai akidah dan akhlak yang bersumber dari norma-norma dan susila,

dengan kehidupan manusia yang individual dan kolektif. Sehingga manusia

mengetahui cara hidup yang baik dan positif dengan memperhatikan norma-

norma tersebut. Petunjuk mengenai syariat dan hukum agama dengan

menerangkan dasar-dasar hukum yang memiliki hubungan antara manusia dengan

Tuhannya atau sesamanya. Dengan demikian, semua ajaran-ajaran yang

menyangkut pola hidup manusia secara keseluruhan dan meluas telah termaktub

di dalam al-Qur‟an6.

Keutamaan membaca al-Qur‟an antara lain menjadi manusia yang terbaik

dan lebih utama. Orang yang belajar dan mengajarkan al-Qur‟an merupakan

profesi yang terbaik di antara sekian banyak profesi. Karena tidak ada manusia di

dunia ini yang lebih baik daripada membaca dan mengajarkan al-Qur‟an terhadap

sesama. Meski terkadang manusia sibuk dengan pekerjaan, sebagai seorang

muslim yang baik dan taat terhadap perintah-Nya, maka jangan sampai tidak

sempat untuk membaca al-Qur‟an dan mengambil pelajaran di dalamnya.

Kenikmatan yang luar biasa dapat dirasakan saat membaca al-Qur‟an, tidak

adanya rasa bosan meski membacanya sepanjang malam dan siang, seperti harta

orang saleh yang diberikan kepada orang-orang yang beriman dan membutuhkan.

Diberikan derajat yang tinggi di sisi Allah maupun di sisi manusia, seorang

mukmin yang membaca al-Qur‟an baik secara lahir batin niatnya karena Allah,

akan menjadi manusia yang baik lahir batin dalam pandangan Allah dan manusia.

6
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2013), Cetakan Pertama, hlm. 57.
75

Namun, tidak hanya sekedar membacanya saja, tetapi juga dengan memperhatikan

ilmu tajwid yang baik dan benar agar tepat dalam membacanya dan pengucapan

yang fasih. Al-Qur‟an juga sebagai syafaat kepada hamba-hamba-Nya yang

beriman di hari akhir. Dengan memikirkan dan mengkaji makna-makna yang

terungkap di dalamnya, maka memperoleh pengampunan dosa, pendekatan

dengan Tuhan, dan jiwanya akan selalu bersih dan tenang. Sebaiknya, seorang

muslim tidak lupa dengan al-Qur‟an yang menjadi pedoman hidup bagi mereka

yang bertakwa, selalu berusaha meluangkan waktu untuk membacanya dan

merenungkan maknanya meski hanya sedikit7.

Selain keutamaan dan tujuan pokok al-Qur‟an, seorang muslim juga harus

mengetahui adab sebelum membaca al-Qur‟an agar menambah nilai moral yang

tinggi di sisi Allah. Adab membaca al-Qur‟an antara lain ikhlas yang diawali dari

sebuah niat yang tulus dengan menghadirkan perasaan dalam jiwanya bahwa ia

sedang bermunajat pada Allah. Hendaknya dalam keadaan suci terlebih dahulu,

seperti membersikan mulut, pakaian, berwudhu, memperhatikan tempat yang suci,

terhindar dari kotor dan najis, dan menghadap kiblat. Memulai membacanya

dengan Taʻawudz, membiasakan membaca Basmallah pada setiap awal surah,

kecuali Surah al-Taubah, memahami ayat dan maknanya, dan tak lupa untuk

mengulang-ulang ayat tertentu untuk direnungi dalam kalbu dan pikiran8.

7
Abdul Majid Khon, Praktikum Qira‟at: Keanehan Bacaan al-Qur‟an, Qiraat Ashim dan
Hafash, (Jakarta: AMZAH, 2011), Cetakan Pertama, hlm. 56-59.
8
Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Tibyân fî Ȃdâbi Hamalatil Qur‟âni,
(Maktabah Ibnu Abbas), hlm. 67-75.
76

B. Kandungan Ayat 17

ِّ ِ‫ولََق ْدْيَ َّس ْرنَاْالْ ُق ْرآ َْنْل‬


‫لذ ْك ِْرْفَ َه ْْلْ ِمنْ ُّم َّدكِ ْر‬ َ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur‟an untuk (menjadi)


pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?” (QS. Al-
Qamar/54:17)

Al-Qur‟an dimudahkan ayat-ayatnya yang mngandung makna sebagai

suatu pelajaran agar dapat dihafal dan dicerna kembali. Sesungguhnya kalam ini

memiliki unsur-unsur kata dan makna terbaik, dan juga penjelasan yang eksplisit.

Mencakup peringatan secara universal dan global, berupa halal, haram, akidah,

perintah, larangan, hukum-hukum, nasihat, pelajaran, berita-berita, dan sebagai

pemberi syafa‟at di hari akhir9.

Allah swt telah mengemas al-Qur‟an sebagai kitab suci yang paling mudah

diekspresikan oleh kalangan umat manusia. Janji dari Sang Pencipta yang

memulai sebuah butir-butir episode sejati yang dikemukakan dalam kehidupan

manusia dengan kelembutan. Menyibak sebuah kisah umat terdahulu yang belum

diketahui hamba-hamba-Nya. Allah memberikan kemudahan dalam memahami

al-Qur‟an dengan cara berangsur-angsur menurunkan ayat-ayatnya, mengulang-

ulangi uraiannya, memberikan contoh, faedah, perumpamaan, dan asbâb al-nuzûl

nya. Mengungkap abstrak dan sastra yang kasat oleh indrawi melalui

penyelektifan kosa kata dalam bahasa yang ringan diucapkan dan dimengerti oleh

kalangan umat manusia sehingga menjadi terkenal dan terlihat menarik dalam

pikiran dan hati bagi para pendengar dan pembacanya, juga tidak diragukan

9
Syaikh ʻAbd al-Raẖmân bin Nasir al-Saʻdi, Tafîir al-Karîm al-Raẖmân fî Tafsîr Kalâm
al-Mannan, (Jakarta: Darul Haq), Cetakan Kedua, hlm. 78.
77

keserasiannya dengan nalar dan akal manusia supaya terhindar dari keraguan dan

kerancuan makna10.

Abu Ja‟far berkata: Sesungguhnya kitab suci ini telah diyakini

kemudahannya, diuraikan secara gamblang penjelasannya yang sangat mantap

agar dapat mudah diingat, diresapi, dan dihayati pelajarannya. Takwil dari ayat ini

ialah apakah masih ada orang memiliki akal sehat yang berminat mempelajari al-

Qur‟an sebagai naungan hidup baginya hingga mendapatkan ibrah darinya?

Apakah masih diperlukan bagi seorang penuntut ilmu dan pencari keberkahan

hidup yang berazam meneliti isi kandungan al-Qur‟an agar ia mendapatkan

manfaat dan syafaat darinya?11.

Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa bulan akan terbelah

ketika kiamat datang. Namun pendapat ini salah dan aneh serta tidak mendukung.

Karena ulama tafsir Ijmak bahwa tidak seperti itu. Alasannya Allah berfirman

dengan fiʻil mâḏi, ‫اقرتبت‬ , mengarahkan kepada bentuk lampau. Kisah orang-

orang kafir terdahulu telah datang dengan mendustakan para rasul. Mereka

membawa suatu nasihat dan pelajaran bagi kaum mereka agar tidak selalu dalam

kesesatan dan kekafiran, namun tetap saja tidak ampuh sedikitpun. Peringatan

tersebut tidak berguna juga meski al-Qur‟an telah diwahyukan bagi mereka

dengan berbagai nasihat-nasihat, maka berpalinglah mereka dan hanya menunggu

waktu untuk mendapatkan azab12.

10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran,
(Tangerang: Lentera Hati, 2009), Cetakan Kedua, Vol. 15, hlm. 242-243.
11
Abû Jaʻfar Muẖammad bin Jarîr Al-Tabarî, Tafsîr Al-Tabarî, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009), Cetakan Pertama, hlm. 271-272.
12
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2011), Cetakan Pertama, Jil. 5, hlm. 152.
78

Salah satunya kisah awal yang dipaparkan dalam surah tersebut dan ayat

17 sebagai penutup yang terdapat munasabah secara berkaitan dengan kisah

sebelumnya. Kaum Nûh membentak dan mencaci maki Nabi Nûh ketika

berdakwah. Mereka menganggapnya gila dan tidak puas karena Nabi Nûh

mengucapkan sesuatu yang tidak dapat direspon oleh orang yang berakal.

Sungguh, ini merupakan pendustaan yang sangat tidak baik. Mereka mendustakan

risalah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya13. Tidak ada jawaban dari kaum Nabi Nûẖ

atas hasil dakwahnya selama ratusan tahun, hanya sebagian orang saja yang masih

memiliki iman di hatinya, kezaliman dan kemungkaran yang dilakukan kaum

Nabi Nûẖ mengundang azab Allah. Sehingga Nabi Nûẖ memohon kepada Allah

agar diberikan balasan untuk mereka dan penolongan terhadap agama. Kemudian

doa Nabi Nûẖ terkabulkan. Turunlah hujan yang lebat sehingga menimbulkan

banjir bandang. Sengaja Allah menurunkan hujan lebat tersebut dengan maksud

memberikan azab kepada kaum kafir pada saat itu. Nabi Nûẖ menaiki perahu yang

terbuat dari papan kayu yang lebar, ditenggelamkannya kaum Nûẖ oleh banjir

bandang yang menjadi sebuah pelajaran bagi mereka agar mengetahui kezaliman

mereka terhadap Nabi mereka. Karena ini semua sudah menjadi rencana Allah

hanya Nabi Nûẖ dan orang-orang beriman saja yang dapat menaiki perahu

tersebut dengan pengawasan-Nya.

Maka adakah orang yang mau mengambil sebuah pelajaran dari kisah

tersebut? Dengan cara membaca al-Qur‟an dan memahami makna-maknanya,

manusia akan menggunakan akal, pikiran, dan nalarnya dalam mengambil hikmah

13
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, terj. M. Misbah, (Jakarta: Robbani Press,
2008), Cetakan Pertama, Jilid. 11, hlm. 517.
79

dari sebuah kisah-kisah14. Oleh karena itu, kisah Nabi Nûẖ ini dapat dijadikan

sebagai pelajaran, peristiwa pada masa lalu agar manusia tidak medustakan Allah

dan rasul-rasul-Nya, tidak lupa untuk beribada kepada-Nya dengan mengerjakan

sholat, membaca al-Qur‟an, taat terhadap perintah-Nya, dan menjauhi sifat

sombong, inilah hikmah dibalik peristiwa resebut, sehingga Allah tak segan-segan

untuk mmeberikan azab yang pedih bagi mereka yang melakukan perbuatan keji

dan mungkar.

C. Kandungan Ayat 22

Kisah Kaum „Ȃd dimulai dari ayat 18-22 setelah kisah kaum Nûẖ, kaum

ini memiliki fisik yang amalek, perawakannya tinggi, dan sombong, tetapi cerdas

dan tajam pikirannya. Mereka meninggikan bangunan-bangunan dan bendungan-

bendungan air, sehingga mereka menyombongkan diri dengan kemampuannya

tersebut, hidup mewah, hedonisme, zalim, mengingkari seruan dakwah, tidak

peduli dengan orang lain, dan melupakan Allah15. Kaum „Ȃd juga tak jauh berbeda

dengan kisah kaum sebelumnya yang mendustakan rasul mereka, yaitu Nabi Hûd

yang diutus untuk kaum ini. Dakwah Nabi Hûd kepada kaumnya agar mengesakan

Allah dan menjauhkan kemaksiatan. Namun, sama saja semua seruan berbuah

pelecehan dan pengingkaran dari kamu „Ȃd tersebut. Allah memberikan siksaan

yang mengenaskan dengan cara menurunkan angin dingin dan bersuara sangat

kencang. Angin yang dahsyat tersebut mampu menghancurkan mereka,

menjatuhkan mereka sehingga remuk leher mereka dan terpisah kepala dan tubuh

14
Syaikh Muẖammad „Alî al-Sâbuni, Shafwatut Tafasir, terj. Yasin, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011), Cetakan Pertama, Jil. 5, hlm. 154-155.
15
Wisnawati Loeis, “Kandungan Moral al-Qur‟an dalam Kisah „Ȃd dan Tsamûd serta
Relevansinya dengan Kehidupan Kontemporer”, Tesis Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2004, hlm. 134-135.
80

mereka. Mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang ke bawah fisik

mereka yang besar dan tumbang ke bawah tanpa kepala. Dengan demikian

bersambunglah siksaan mereka di dunia dan di akhirat. Kembali lagi pada ayat

terakhir, yang menjelaskan Allah sengaja mengulang-ulang ayat ini kembali untuk

peringatan terhadap orang-orang mukmin yang diberikan keberkahan dan karunia-

Nya dalam membaca dan merenungkan maknanya. Maka dari itu, apakah masih

ada orang yang mau mengambil nasihat, pelajaran, dan larangan-larangan dari

kalam-Nya?16. Masih adalah orang terhindar dari kemaksiatan? Adakah seorang

penuntut ilmu yang diberikan syafaat dengannya? Telah dimudahkan oleh Kami

dalam membacanya melalui lisan. Jika kemudahan tersebut tidak diberikan, maka

mana mungkin mampu berbicara dengan firman Allah17.

Allah mengulang-ulang ayat ini sebagai rahmat bagi para hamba-hamba-

Nya yang mengajak mereka menuju kebaikan dunia akhirat. Senantiasa berusaha

dan melakukan perbuatan baik, tidak melupakan Allah, karena dengan sifat yang

sombong, kikir, dapat berpaling dari-Nya. Munasabah ayat 17 ini terhadap kisah

yang telah dipaparkan sebelumnya merupakan sebuah peringatan yang bersifat

tegas dan konsisten untuk manusia agar bertakwa di jalan-Nya.

D. Kandungan Ayat 32

Ayat ini menanyakan apakah kisah yang telah dipaparkan itu masih belum

cukup untuk memberikan kesadaran kepada manusia. Apakah masih ada orang

16
Syaikh Muẖammad „Alî al-Sâbuni, Shafwatut Tafâsir, terj. Yasin, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011), Cetakan Pertama, Jil. 5, hlm. 156.
17
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, terj. Agus Ma‟mun,
(Jakarta: Darus Sunah Press, 2014), Cetakan Kedua, hlm. 203.
81

yang menerima peringatan dari al-Qur‟an yang diarahkan melalui kisah dan

peringatan yang nyata dan sangat rinci?18.

Masih terdapat kaum yang mendustakan rasul-Nya. Pada ayat 23-32

menceritakan kisah Kaum Tsamûd yang mendustakan peringatan rasul-Nya, yaitu

Nabi Saleh yang disebabkan kedengkian terhadap petuah dan kemustahilan

terciptanya salah satu manusia melebihi orang lain. Jika kaum „Ȃd mampu

membangun gedung-gedung tinggi, lain halnya dengan kaum Ṡamud yang mampu

mengubah tebing-tebing dan bebatuan besar menjadi istana-istana megah dan

indah, dan membuat tempat tinggal mereka dengan memahat bebatuan. Hal

tersebut menjadikan diri mereka ingkar dan zalim kepada Allah.

Misi Nabi Saleh sama seperti para nabi lainnya dengan cara berdakwah

untuk menyeru dan menegakkan ketauhidan Allah. Mereka ingkar terhadap

risalah dengan cara berlebihan19. Mereka mengajarkan sesuatu yang tidak sesuai

dengan ajaran sebenarnya, mengaku-ngaku bahwa wahyu diturunkan kepadanya.

Allah jelas membantahnya dengan memberikan bukti-bukti yang akurat dan nyata

dengan menampakkan sifat kenabiannya. Lantas, akan terbukti siapa pendusta

sebenarnya. Lalu Allah mengirimkan seekor unta betina yang dianugerahkan

sebagai mukjizat untuk menampakkan kebenaran dan keadilan Nabi Saleh untuk

menguji mereka, apa yang akan mereka perbuat dengan unta tersebut20. Cara yang

dilakukan yaitu dengan memanfaatkan air sumur yang digunakan untuk minum

dibagi gilirannya antara mereka dengan unta betina tersebut, setiap orang dapat

18
Ayatullah Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nurul Quran: Sebuah
Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur‟an, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), Cetakan Pertama, Jil.
17, hlm. 643.
19
Syaikh Muẖammad „Alî al-Sâbuni, Shafwatut Tafâsir, terj. Yasin, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011), Cetakan Pertama, Jil. 5, hlm. 156-157.
20
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, terj. Agus Ma‟mun,
(Jakarta: Darus Sunah Press, 2014), Cetakan Kedua, hlm. 229.
82

mengambil jatah minum jika sudah gilirannya. Alhasil, sudah terbukti langsung

ketika mereka kecewa dengan pembagian jatah air minum yang seperti itu.

Mereka membunuh seekor unta sekaligus memotongnya. Allah sangat marah atas

perlakuan kaum tersebut yang sudah durhaka. Lalu mereka mendapatkan azab

berupa suara keras yang mengguntur dan menakutkan, sehingga mereka semua

mati dengan cepat sekali seperti batang-batang kering yang layu, rapuh, dan tidak

terawat.

Hal ini menjadi pelajaran bagi mereka yang berakal dan mengambil suatu

ibrah dari setiap kejadian. Terbukti azab Allah sangat mengenaskan, mengerikan,

dan menakutkan. Maka dari itu, hendaklah bagi orang yang beriman dapat

bersungguh-sungguh dalam mengambil pelajaran dari kitab suci-Nya. Sehingga

Allah akan melimpahkan keberkahan dan membantu dalam pemahaman isinya.

Tidak ada kata sulit, bagi siapapun yang ingin meluangkan waktunya untuk

membaca al-qur‟an dan mngkaji makna-makna ayat di dalamnya.

E. Kandungan Ayat 40

Ayat ini kembali meneguhkan pernyataan penuh makna. Kaum Nabi Lûṯ

tidak mau menerima hikmah dan nasihat baik dari siksaan dan peringatan. Namun,

kembali pada masa saat ini, apakah orang-orang yang sudah terjerat melakukan

perbuatan bejat dan keji akan menyesali perbuatannya dan bertaubat kepada

Allah?21.

Allah Taʻala berfiman, mengabarkan kisah kaum Lûṯ, seperti apa

pendustaan yang dilakukan oleh rasulnya, menyelisihinya, dan perbuatan yang


21
Ayatullah Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nurul Quran: Sebuah
Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur‟an, terj. Titik Etriana, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013),
Cetakan Pertama, Jil. 17, hlm. 649.
83

dilarang dan keji, belum pernah ada satupun orang di bumi ini yang

melakukannya, yaitu perbuatan homoseksual22. Meski Nabi Lûṯ telah memberikan

peringatan yang jelas kepada kaumnya yang mendustakannya, tetap saja mereka

mengabaikan dan enggan untuk menerimanya, sehingga datanglah siksaan dan

hukuman kepada mereka. Mereka meragukan dan mendustakan ancaman terebut,

bahkan tidak mau berhenti dan bertaubat dari perbuatan dan pendustaannya,

karena mereka tidak mempercayainya23. Perbuatan yang dilakukan mereka

sangatlah tidak pantas, apa yang telah mereka lakukan seharusnya menyadarinya.

Mereka menginginkan tamu-tamu Nabi Lûṯ yaitu para malaikat agar

meyerahkannya kepada mereka untuk melakukan hubungan homoseksual dan

sodomi. Mereka hanya mau menikah dengan pasangan sesama jenis. Ketika para

malaikat bertamu kepada Nabi Lûṯ, beberapa diantara malaikat tersebut menjelma

menjadi pria tampan. Akhirnya kaum Nabi Lûṯ berdesak-desakan untuk

melakukan perbuatan mesum kepada para malaikat. Nabi Lûṯ menutup pintu dan

menghalangi mereka agar mereka tidak dapat masuk. Namun, mereka berontak

dengan menghancurkan pintunya. Jibril pun keluar dan menemui mereka, mata

mereka dipukul dengan sayapnya, sehingga mengakibatkan kebutaan dan tidak

bisa melihat selamanya. Atas perintah Allah kepada malaikat Jibril, mereka diusir

dari negeri mereka dan mengangkatnya, hingga menghujani mereka dengan batu

yang jatuh dari neraka jahannam, batu itu mengejar mereka dan melepaskannya.

Inilah siksaan dunia akhirat yang akan menjerumuskan mereka masuk ke dalam

neraka. Hanya Nabi Lûṯ dan pengikutnya saja yang selamat dari batu tersebut,

22
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, terj. Agus Ma‟mun,
(Jakarta: Darus Sunah Press, 2014), Cetakan Kedua, hlm. 231.
23
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Tafsir Ringkas Jilid 2, Cetakan Pertma, 2016,
hlm. 708.
84

mereka diselamatkan dari marabahaya yang mencekam sebelum datangnya subuh

pada waktu sahur. Sebagai nikmat dan balasan bagi orang yang beriman, mereka

dijauhkan dan terhindar dari siksaan-Nya. Maka apakah masih ada orang yang

berkeinginan mengambil suatu hikmah dan petuah darinya24.

Ditegaskan dalam pengulangan ayat yang terakhir ini, Allah

menyampaikan contoh secara meluas dan peringatan kepada setiap hamba-Nya

agar senantiasa beriman menjalankan peraturan-peraturan yang terungkap di

dalamnya supaya mereka terjamin kehidupan dunia akhiratnya25.

Dapat disimpulkan, dari beberapa kisah yang telah dijelaskan pada

hakikatnya sama. Karena perbuatan yang dilakukan kaum-kaum terdahulu

mendustakan rasul-rasul mereka pada zamannya. Padahal mereka telah

mengetahui bahwa Allah akan menurunkan siksaan dan hukuman di dunia akhirat.

Namun, tetap saja mereka enggan, tidak ada rasa sedikitpun untuk bertaubat,

memperbaiki diri, dan menghindari perbuatan maksiat. Sehingga Allah pun murka

dan marah terhadap perbuatan mereka yang keji dan tidak sewajarnya. Maka dari

itu, masih adakah orang yang mau mengambil petuah dan pelajaran dari al-

Qur‟an? Karena Allah telah memberikan kemudahan bagi siapa saja yang ingin

memperdalaminya. Tidak ada kesulitan sedikitpun bagi orang yang mau

bersungguh-sungguh mengambil ibrah di dalamnya. Dan terkait kisah-kisah umat

terdahulu yang durhaka, memang dijadikan sebagai peringatan untuk manusia

agar senantiasa mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

24
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafasir, terj. Yasin, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011), Cetakan Pertama, Jil. 5, hlm. 161-162.
25
Departmen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Lembaga Percetakan Al-Qur‟an
Departmen Agama), hlm. 580.
85

F. Analisis Pengulangan Ayat

ِّ ِ‫ولََق ْدْيَ َّس ْرنَاْالْ ُق ْرآ َْنْل‬


‫لذ ْك ِْرْفَ َه ْْلْ ِمنْ ُّم َّدكِ ْر‬ َ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur‟an untuk (menjadi)
pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?”

Ayat ini diulang sebanyak empat kali dengan redaksi yang sama

menggunakan lafaz dan makna yang sama. Penyusunannya terletak setiap setelah

pemaparan kisah tentang kehancuran umat-umat terdahulu. Bahwa al-Qur‟an telah

menjadi pelajaran yang amat berguna dan tepat agar selamat dunia akhirat dan

terhindar dari marabahaya. Pesan dari ayat ini agar manusia senantiasa berpegang

teguh dan komitmen di jalan Allah, berazam dalam menjaga, memahami

maknanya, meresapi, dan lebih baik lagi dapat menghafalnya 26. Ayat ini juga

menjelaskan bahwa lafal al-Qur‟an telah dimudahkan dalam maknanya,

setidaknya ada sedikit orang yang mau mengambil pelajaran, mengikuti petunjuk

yang tercatat di dalamnya dan meninggalkan kemaksiatan agar dapat kembali

terhindar dari kemurkaan Allah27. Ciri paling khas dalam konteks surat ini yaitu

setiap masing-masing konteks menggambarkan azab yang mengerikan,

menegangkan, dan berakhir dengan kesengsaraan. Setelah azab tersebut datang,

maka disusul dengan ayat ini yang selalu diulang-ulang kembali setelah

pemaparan dari kisah dan azab umat-umat terdahulu. Dengan tujuan sebagai

peringatan dan ketetapan kepada manusia untuk selalu merenungi ayat-ayat-Nya,

26
Amru Khalid, Khowatir Qur‟aniyah, Kunci Memahami Tujuan Surat-surat al-Quran,
(Jakarta: Al-I‟tishom, Anggota IKAPI, 2011), Cetakan Kedua, hlm. 648.
27
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2016), Cetakan Pertama, Jil. 4, hlm. 209.
86

mengajak manusia agar selalu berpikir atas azab yang sangat mengenaskan pada

masa dahulu28.

Kata depan (harf) ْ‫قَد‬ selalu ditempatkan sebelum fi‟il madhi atau fi‟il

mudhori. Jika ْ‫ قَد‬ditempatkan sebelum fi‟il madhi pada umumnya menunjukkan

makna “sesungguhnya, sebenar-benarnya”. Sedangkan ْ‫قَد‬ yang ditempatkan

sebelum fi‟il mudhori menunjukkan makna “kadang-kadang, jarang”. Pandangan

ulama bahasa dalam buku-buku nahwu mengenai kata ْ‫ قَ ْد‬masih bersifat umum,
sehingga maknanya hanya dilihat dalam kaitannya dengan kata kerja yang
bersambungan dengannya, tidak perlu melihat kaitannya dengan subjeknya

(pelaku). Begitupula pandangan ulama tafsir juga demikian, apabila ْ‫قَ ْد‬
bersambung dengan fi‟il mudhori, maka maknanya juga sama seperti itu karena
segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah tidak ada batasnya29.

ِّ ِ‫ولََق ْد ْيَ َّس ْرنَا ْالْ ُق ْرآ َْن ْل‬


ْ‫لذ ْك ِر‬
Firman Allah
َ “Dan sesungguhnya telah Kami

mudahkan al-Qur‟an untuk (menjadi) pelajaran”.


Maksudnya telah Kami mudahkan al-Qur‟an sebagai pelajaran,

kemudahan bagi orang-orang membantunya. Syafaat pasti datang bagi mereka

yang beriman dalam mentadabburi al-Qur‟an dan menghafalnya. Meski terkadang

masih banyak manusia yang kesulitan dalam mengucapkan dan melafalkan

beberapa huruf hijaiyyah ketika membaca al-Qur‟an yang disebabkan oleh faktor

suku, keturunan, atau sudah dari lahir, namun jika mereka ingin berusaha untuk

28
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, terj. M. Misbah, (Jakarta: Robbani Press,
2008), Cetakan Pertama, Jil. 11, hlm. 521.
29
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta, PT. Qaf Media Kreativa, 2017),
Cetakan Pertama, hlm. 570.
87

melatihnya dan membenarkan bacaan secara rutin, pasti akan semakin terdengar

fasih dan baik bacaannya.

Saʻid bin Jubair berkata: “Hanya al-Qur‟an yang secara lahiriah dan

keseluruhan dihafal, sementara kitab lain tidak. Hal itu membutikan bahwa al-

Qur‟an tidak ada yang dapat menandingi al-Qur‟an dan isinya, semua sudah

tersusun dengan gaya bahasa yang indah dan bermacam-macam, karena al-Qur‟an

merupakan mukjizat yang palimg mulia30.

Kemudahan yang diberikan oleh Allah untuk menghafal kitab-Nya sudah

sangat jelas, karena menjadikan isinya sebagai petuah. Maksudnya antara al-

Qur‟an yang mereka hafal dan diamalkan akan menyatu dalam diri mereka seperti

sebuah susunan31.

Firman Allah ‫ْم َّدكِ ْر‬ ِ


ُ ‫“ فَ َه ْل ْم ْن‬maka adakah orang yang (mau) mengambil

pelajaran?”. Abu Bakar Al Warraq dan Ibnu Syaudzab berkata: “ apakah ada

orang yang mencari keberkahan ilmu, niscaya syafaat akan datang dan diberikan

kepadanya?”.

Ada juga yang mengatakan, “ Pada surah ini menggambarkan peristiwa

hari kiamat, menceritakan kisah umat-umat terdahulu, dengan perbuatan mereka

terhadap para rasul dan siksaan yang mereka hadapi akibat perbuatannya. Lalu

ditutup dengan ayat tersebut yang ditujukan kepada hamba-hamba-Nya berupa

petuah bagi yang mendengarkan, sehingga kisah terdahulu dapat dijadikan

pelajaran baginya.

30
Syaikh Imam al-Quthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka AZZAM), Cetakan
Pertama, Mei 2009, 473.
31
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîṯ fî Tafsîr al-Qur‟ân al-
Majîd, (Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah, hlm. 209.
88

Kata ‫ْم َّدكِ ْر‬ ِ


ُ ‫فَ َه ْل ْم ْن‬ , kata hal menunjukkan istifham (pertanyaan), yang

dapat dijadikan sebuah pemahaman mereka yang telah tersusun pada jiwa mereka

dan dijadikan bantahan atas perbuatan mereka. Oleh karena itu, huruf lam dari hal

berfungsi sebagai lil istiʻrâḏ (pemaparan) dan huruf ha‟ sebagai lil istikhraj

(pengeluaran), sehingga jika diteliti dengan baik maknanya, adanya hubungan

sebab akibat dan pernyataan dan pertanyaan32.

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah keempat kaum tersebut yaitu

menghadirkan Allah dalam setiap perbuatan, selalu berbuat positif, beriman akan

adanya hari akhir dan mempersiapkan diri, mengikuti ajaran-ajaran para

pemimpin jika itu berlandaskan pada hukum syariat yang berlaku, harus saling

berbagi dan membantu antar sesama makhluk hidup, dan menghindarkan

perbuatan keji. Artinya, kemaksiatan bisa datang kapan dan dimana saja. Salah

satu caranya agar terhindar dari kemaksiatan tersebut yaitu berkumpul dan

berteman dengan orang-orang yang faham agama, dan memperbaiki diri agar

selalu mendekatkan diri kepada-Nya juga tidak mengundang syahwat terhadap

lawan jenis. Senantiasa bermunajat kepada Allah dalam setiap ibadahnya dan

memahami isi kandungan al-Qur‟an secara dalam. Misalnya dalam kisah Kaum

„Ȃd dan Tsamûd yang mengingkari ayat-ayat Allah terhadap Rasul mereka. Lalu

pelajaran apa yang dapat diambil dari perbuatan tersebut? Berusaha dan selalu

menghidupkan al-Qur‟an dalam setiap kehidupan, tidak melalaikannya,

menghindari sifat syirik, sombong, berdusta, tidak hidup dengan kemewahan

(sederhana), mengikuti ajaran-ajaran Allah dan mentaati-Nya.

32
Syaikh Imam al-Quthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka AZZAM, 2009),
Cetakan Pertama, hlm. 474.
89

Hikmah pengulangan ayat ini ada kaitannya dengan kisah-kisah

sebelumnya yang berisi peringatan. Mengisyaratkan bahwa setiap kemungkaran

dan kedustaan pasti ada balasan, setiap amal baik dan amal buruk pasti ada

balasannya. Sebab, Allah Maha Mengetahui dari setiap perlakuan hamba-hamba-

Nya selama hidup di dunia. Ayat ini sebagai penutup dari kisah-kisah umat

terdahulu, susunan kalimatnya sering dipakai oleh orang Arab ketika mereka

bermaksud menyalurkan perhatian secara penuh teradap suatu persoalan yang

penting33. Setiap pengulangan mampu membawa suatu hal yang bersifat positif

dan membangun. Contonya dalam Surah al-Raẖmân yang dijelaskan beberapa

kenikmatan di dalamnya, yang masing-masing kenikmatan tersebut berbeda setiap

setelah pengulangan ayat “Fa biayyi âlâ irabbikumâ tukadzdzibân”, maka barang

siapa yang berdusta dan mencela nikmat tersebut, pasti akan dicela kembali oleh

Allah34.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan mengenai pengulangan ayat-

ayat tersebut. Bahwasanya Al-Qur‟an telah hadir di kalangan umat manusia

dengan segala bentuk gaya bahasa yang mudah dipelajari, dipahami, diambil

petuah dan maknanya. Al-Qur‟an mampu menggugah kalbu manusia,

mengandung kebenaran dan keajaiban-keajaiban yang tidak pernah hilang dan

pudar, karena sudah termaktub secara permanen, tak seorangpun yang mampu

mengubahnya. Jika jiwa dapat bersahabat dengannya, maka ketenangan akan

bercampur dalam kehidupan.

33
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2016), Cetakan Pertama, Jil. 4. hlm. 210.
34
Syaikh Muẖammad „Alî al-Sâbuni, Shafwatut Tafâsir, terj. Yasin, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011), Cetakan Pertama, Jil. 5, hlm. 162.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijelaskan mengenai tikrâr ayat pada Surah

al-Qamar ayat 17, 22, 32, dan 40 yang diletakkan setelah pemaparan kisah umat-

umat terdahulu dapat diambil kesimpulan dengan menjawab rumusan masalah

yaitu “Apa sasaran tikrâr dan hikmah yang terdapat pada Surah Al-Qamar Ayat

17, 22, 32 dan 40?”

ِّ ِ‫“ ولََق ْد يَ َّس ْرنَا الْ ُق ْرءا َن ل‬Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-
‫لذ ْك ِر فَ َه ْل ِم ْن ُم َّدكِر‬ َ َ
Qur’an untuk (menjadi) pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil
pelajaran?”
Antara lain:

1. Merupakan pengulangan ayat secara makna dan lafaz karena setiap kali

ayat tersebut diulang, tidak ada perubahan makna dan lafaz, namun

memiliki pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Dalam artian, ayat

tersebut sengaja diletakkan setelah pemaparan kisah-kisah kaum terazab,

supaya para pendengar dan pembaca maknanya mampu mengungkap

rahasia-rahasia yang terkandung di dalam ayat tersebut.

2. Gaya bahasa yang diterapkan dalam ayat tersebut merupakan suatu

kemukjizatan al-Qur’an yang mengandung pengulangan secara konsisten

terhadap maksud dan tujuannya.

3. Tujuan dari ayat tersebut untuk memberikan suatu peringatan dan

pelajaran dalam memahami al-Qur’an dan menghafalnya. Allah telah

menegaskan dan mengulangnya sebanyak empat kali, agar manusia

mengetahui tidak ada kesulitan bagi orang yang mau mengambil pelajaran

90
91

dari setiap kisahnya, isinya, kandungan maknanya, dan penghafalannya,

semua sudah diberikan kemudahan oleh-Nya. Oleh karena itu, sayang

sekali jika masih banyak orang muslim yang enggan dalam meluangkan

waktu untuk membaca kitab sucinya.

4. Al-Qur’an telah dimudahkan maknanya dan lafaznya dalam setiap

penyampaiannya. Misalnya kisah umat-umat yang terdapat dalam surah

ini, merupakan suatu pelajaran bagi seorang hamba agar senantiasa tidak

melakukan perbuatan keji, tidak sesuai dengan ajaran-Nya, dan bersifat

negatif pasti akan mendapat siksaan dan balasan di dunia maupun di

akhirat. Tugas manusia yang bertakwa setidaknya bisa meluangkan waktu

di sela-sela kesibukannya agar membaca al-Qur’an dan mengambil

pelajaran di dalamnya.

B. Saran-Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, kesalahan, dan

keterbatasan ilmu dalam penulisan skripsi ini. Begitu pula dari beberapa literatur-

literatur dan referensi-referensi yang penulis temu, cukup sulit menyatukan

kajian-kajian di dalamnya. Sehingga karya ini bisa masih banyak perbaikan,

kritik, dan saran dari para pembaca dan peneliti dari berbagai kalangan demi

perbaikan karya ini. Oleh karena itu, penulis sangat mebutuhkan kritikan dan

saran-saran akademik bagi para pembaca, semoga dapat membantu dalam

penyempurnaan skripsi ini agar lebh baik dan bermanfaat bagi kalangan umat.

Akhirnya, dengan mengucap rasa syukur dan berterima kasih kepada Allah

SWT, penulis dapat menyelsaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin sesuai usaha

dan upaya (kemampuan) yang penulis miliki. Semoga karya ini mampu
92

menginspirasi teman-teman jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IQTAF)

digunakan sebagai bahan referensi dan pembelajaran bagi yang membutuhkannya,

dan memberikan kontribusi di tengah masyarakat agar dapat membahas lebih jauh

dan lebih mendalam terkait pengulangan dalam al-Qur’an. Wa Allâhu aʻlâm bi al-

sawwâb wa al-ẖamdu li Allâh rabbil ʻâlamîn.


93

DAFTAR PUSTAKA

Akdlari, Imam. 1993. Tarjamah Jawhar al-Maknun. Bandung. PT al-Maʻarif.

Anshori, 2013. Ulumul Qur’an; Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan.


Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Anwar, Rosihon. 2013. ‘Ulum al-Qur’an. Bandung. CV Pustaka Setia.

Attabik, Ahmad. Repetisi Redaksi Al-Quran. 2014. Yogyakarta. Idea Press.

---------. “Kamus Inggris-Indonesia-Arab”. Yogyakarta. Multi Karya


Grafika. Cetakan Pertama.

A‟yun, Qurrota. NIM: 13210539. “Repetisi Frasa Yaghfiru Liman Yasya‟ wa


Yu‟azdzibu Man Yasya‟ dalam Al-Quran (Studi Komparatif Tafsir
Teologis)” Skripsi Program Studi Ilmu al-Quran dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin, IIQ Jakarta.

Badawi, Ahmad. Min Balâgah al-Qur’ân. Kairo: Dâr Naẖḏah Misr li al-Tab‟ wa
al-Nasyr.

Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Quran: Kajian Kritis terhadap


Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Baalbaki, Rohi. 2006. “Al-Maurid Qamus ´Arabi-Injilizi”. Beirut. Dar el-ilmi lil
Malayin.

Bisri, Hasan. 2008. “Makalah Balaghah Asrâr al-Tikrâr fî al-Qur‟ân”. Pendidikan


Bahasa Arab Program Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati.

Chaer, Abdul. 2014. Pengenalan Awal dengan al-Qur’an. Jakarta. PT. Rineka
Cipta.

Chirzin, Muhammad. 2013. Al-Qur’an dan Ulumul al-Qur’an. Yogyakarta. PT


Dana Bakti Prima Yasa.

Dahlan, Abdul Rahman. 1997. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung.


Penerbit Mizan.

Departmen Agama RI. 1993. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta. Perpustakaan


Nasional.

Al-Hafidz, Ahsin W. 2006. “Kamus Ilmu al-Qur‟an”. Jakarta. AMZAH.


94

Hakim, Masykur dan Sayyid Aqil Husin al-Munawwar. 1994. I’jaz Al-Quran dan
Metodologi Tafsir. Semarang. Dina Utama.
Hanafi, Muchlis Muhammad. 2017. Makkiy dan Madaniy: Periodisasi
Pewahyuan Al-Qur’an. Jakarta. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an.

Harun, Salman. 2017. Kaidah-Kaidah Tafsir. Jakarta. PT: Qaf Media Kreativa.

Hashoma, Ahmad Hasmi. 2009. “Uslûb al-Tikrâr fî al-Qurân al-Karîm. Skripsi


jurusan BSA Fakultas Adab dan Humaiora UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Hitami, Munzir. 2012. Pengantar Studi al-Qur’an: Teori dan Pendekatan.


Yogyakarta. LkiS Yogyakarta.

http://www.kelasindonesia.com/2015/03/pengertian-dan-contoh-majas-repetisi
lengkap.html.

Iqbal, Mashuri Sirojuddin. 2005. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Penerbit


Angkasa).

Jurumî, Ibrâhîm Muẖammad. 2006. Mu’jam ‘Ulûm al-Qur’ân. Al-Dimasyqi.


Dâr al-Kautsar.

Khadar, Sayyid. 2003. Al-Tikâr al-Uslûb fî al-Lugah al-‘Arabiyyah. Mesir. Darel


Wafa.

Khalaf, Abdul Wahhab. 1985. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung. Penerbit


Risalah.

Khalid, Amru. 2011. Khowatir Qur’aniyah: Kunci Memahami Tujuan Surat-surat


al-Qur’an. Jakarta. Al-I‟tishom.

Khon, Abdul Majid. 2011. Praktikum Qira’at: Keanehan Bacaan al-Qur’an,


Qiraat Ashim dan Hafash. Jakarta. AMZAH.

Lahim, Khalid bin Abdul Karim. 1993. Al-Quran Tak Sekedar Dibaca.

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an. 2010. Keniscayaan Hari Akhir: Tafsir Al


Qur’an Tematik. Jakarta. Lajnah Pentashihan Musaf al-Qur‟an.

Loeis, Wisnawati. 2004. “Kandungan Moral al-Qur‟an dalam Kisah „Ȃd dan „
Tsamûd serta Relevansinya dengan Kehidupan Kontemporer”. Tesis
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi. Semarang. CV Toha Putra. Juz


27.
95

Maydâni, „Abdurraẖmân Hasan Habannakah. Al-Balâghah al-‘Arabiyyah:


Ususuhâ, ‘Ulûmuhâ, wa Funûnuhâ. Beirut. Al-Dâr al-Syâmiyah. Jil. 2.

Mudhiah, Khoridatul. “Menelusuri Makna Pengulangan Redaksi dalam Surah al-


Raẖmân.

Munawwar, Said Agil Husin. 2002. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan


Hakiki. Jakarta. Ciputat Pers.

Musa, Muhammad Abu. al-Balâghah al-Qur’âniyah fî Tafsîr al-Zamakhsyari.

Naisaburi, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi. Al-Wasîṯ fî Tafsîr al-Qur’ân
al-Majîd. Beirut. Daar al-Kutub al-„Ilmiyah.

Al-Nawawi, Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf. Al-Tibyân fî Ȃdâbi Hamalatil
Qur’âni. Maktabah Ibnu Abbas.

Qaththan, Syaikh Manna‟ Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Jakarta.
Pustaka al-Kautsar.

Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad al-Anshari. 2002. Jami’ li Ahkam al


Qur’an. Juz XI. Kairo. Daar el Hadits.

Qutaibah, Abu Muhammad „Abdullah Ibn Muslim Ibn. 2006. Ta’wil Musykil al
Quran. Kairo. Maktabah Dar al-Turats.

Quthb, Sayyid. 2009. Tafsîr fî Zilâl al-Qur’an: Di Bawah Naungan al-Qur’an.


Jakarta. Robbani Press.

Al-Saʻdi, Syaikh Abdurrahman bin Nashir. Tafsir al-Karim al-Rahman fi Tafsir


Kalam al-Mannan. Jakarta. Darul Haq.

Said, Hasani Ahmad Diskursus Munasabah al-Qur’an dalam Tafsir al-Misbah,


(Jakarta: AMZAH), Cetakan Pertama, April 2015.

Al-Shabuni, Syaikh Muhammad Ali. 2001. Al-Tibyân fî ‘ulûm al-Qur’ân. Jakarta.


Pustaka Amani.

Al-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta. Penerbit Pustaka


Firdaus.

Al-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran


dan Tafsir. Jakarta. PT. Bulan Bintang.

Shihab, Muhammad Quraish. 2006. Menabur Pesan Ilahi; Al-Qur’an dan


Dinamika Kehidupan Masyarakat. Jakarta. Lentera Hati.

--------. 2012. Al-Lubâb; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al


96

Qur’an. Tangerang. Lentera Hati.

--------. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang. Lentera Hati.

--------. 1997. Mukjizat al-Quran. Bandung. Mizan.


--------. 2009. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta. Lentera Hati.

Shihab, Umar. 2008. Kontekstualitas Al-Qur’an. Jakarta. Penerbit Permadani.

Siddiq, Mahfudz. 2009. “Al-Qur‟an dalam Perspektif Kebahasaan dan


Kesustaraan”. Teologia. Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Vol. 20.

Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta. Raja Grafindo Persada..

Al-Suyûṯi, Jalâl al-Dîn. Al-Itqân fî ‘ulûm al-Qur’ân. Juz III.

Syaikhun, Mahmud al-Sayyid, Asrâr al-Tikrâr fî Lughoh al-Qur‟ân, (Mesir: Dar


Al-Hidayat).

Syakir, Syaikh Ahmad. 2014. Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6. Jakarta. Darus
Sunah Press.

Tatapangarsa, Humaidi. 2007. Al-Qur’an yang Menakjubkan. Surabaya. PT Bina


Ilmu Offset.

Al-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. 2009. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta.
Pustaka Azzam.

Thabathaba‟i, Allamah M.H. 1992. Mengungkap Rahasia Al-Qur’an. Bandung.


Penerbit Mizan.

Tim Ulama dan Ayatullah Allamah Kamal Faqih Imani. 2013. Tafsir Nurul
Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur’an. Jakarta. Nur
al-Huda.

Watt, W. Montgomery. 1991. Pengantar Studi al-Quran. terj. Taufiq Adnan


Amal. Jakarta. Rajawali Press.

Zaid, Nasr Hamid Abu. 2016. Tekstualitas al-Qur’an. Yogyakarta. IRCiSoD.

Zakariya, Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn. 2002. Maqâyis al-Lughah, Juz V
Beirut. Ittihad al-Kitab al-„arabi.

Anda mungkin juga menyukai