Anda di halaman 1dari 86

MUSYAWARAH MENURUT QURAISH SHIHAB

DALAM TAFSIR AL-MISBAH

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Strata Satu (S.I) dalam Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin

Oleh

ANTIA JULYANTI

NIM: UT. 160071

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SULTAN THAHA SAIFUDDIN


JAMBI

2020
i
ii
iii
MOTTO

QS Asy-Syūrā ayat 38.

         

 

“Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan


shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang
kami anugerahkan kepada mereka.''

iv
PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirabbil‟alamin.
Pertama kalinya penulis panjatkan puja, puji dan Rasa syukur tiada
hentinya kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan ni‟mat Nya
yang sangat besar karunia dan ni‟mat itu ialah umur yang panjang
kesehatan yang baik dan kesempatan yang luang sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Selanjutnya skripsi ini penulis persembahkan kepada keluarga kecil yang


selalu memberi motivasi dan semangat terutama buat ayahanda tercinta
Jasadi dan Rusminar, yang tidak pernah bosan mendoakan, memberi
nasehat, kasih sayang, dan peras keringat membanting tulang demi
memperjuangkan masa depan anaknya. Semoga Allah Swt selalu
melimpahkan rahmat, kasih sayang, dan kucurahan karunia kesehatan,
panjang umur, diberkahi umurnya dan selalu dalam naungan Allah SWT.
Selanjutnya buat kakanda Muzarofis dan NakSabandi yang selalu
memberikan semangat dan dorongan kepada penulis mulai dari awal
hingga akhir studi ini. Buat adik-adikku tercinta Anggeri Saputra dan
Akmal Dirgi yang telah menjadi penyemangat bagi penulis.

Seluruh dosen di UIN STS Jambi yang telah memberikan pengajaran,


motivasi dan apresiai, sehingga penulis selalu bersemangat untuk terus
maju dan berkembang, semoga Allah membalas segala amal dan
menjadikannya ladang yang terus mengalir, semoga diberkahi umurnya dan
selalu dalam naungan Allah SWT untuk beliau semua.
Sahabat, teman-teman seperjuangan prodi ilmu Al-Qur‟an dan tafsir
angkatan tahun 2016, yang mendukung dan memberikan kontribusi yang
berarti bagi proses studi penulis selama ini

v
ABSTRAK
Syūrā atau sering dikenal dengan Musyawarah di dalam Al-Qur'an
dapat ditemukan QS.Ali Imran [3]: 159, dan QS Asy-Syūrā [42] 38. Dari
penafsiran kedua ayat tersebut, banyak intelektual Muslim menjadikanya
sebagai landasan bagi teori pemerintahan. Karenaya sangat beralasan jika
kajian terhadap ayat-ayat tersebut dikatakan bukan hal baru dalam kajian
Islam, bahwa ayat-ayat tersebut dari dulu hingga kini masih menuai banyak
perdebatan.
Dewasa ini, istilah Syūrā sering dikaitkan dengan sistem republik,
demokrasi, parlementer, perwakilan, senat formatur, dan berbagai konsep
yang terkait lainya dengan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library
research), adapun tipe termasuk penelitian deskriptif, yaitu dengan cara
menghimpun ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu
masalah tertentu, teknik pengumpulan data pada penelitian ini termasuk
teknik dokumentasi. Penelitian ini fokus pada pemikiran Quraish Shihab
terhadap ayat-ayat Syūrā dalam tafsir Al-Misbah
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sikap atau etika
bermusyawarah QS Ali-Imran 159 menjelaskan sikap yang diperintahkan
Allah kepada Nabi Muhammad Saw. dalam melakukan musyawarah, yaitu
Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras.
Kedua, memberi maaf. Ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah
permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, dan yang Keempat, apabila telah
bulat tekat, laksanakan dan berserah dirilah kepada Allah Swt. Dan Surat
Asy-Syūrā ayat 38 dijelaskan terkait keharusan menyelesaiakan suatu
permasalahan dengan jalan musyawarah.

Kata kunci : Al-Qur'an, Syūrā, Musyawarah

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah


memberikan kemudahan sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentunya penulis tidak
akan mampu menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda NabiMuhammad
SAW yang kita nanti-nantikan syafa‟atnya di akhirat nanti
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa fisik maupun akal
pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan Skripsi untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), dengan judul
“Musyawarah dalam Al-Qur'an (Studi Surah Ali-Imran 159 dan
Asy-Syura 38 Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah”.
Penulis menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam
penulisan, seperti penyampaian informasi sehingga tidak sama
dengan pengetahuan pembaca lain. Saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah.Tidak ada
manusia yang sempurna kecuali Allah
Dan pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Suaidi Asy‟ary, M.Ag. Ph.D. selaku Rektor Universitas


Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
2. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE.M.EI, Bapak Dr. As‟ad Isma, M.Pd,
Bapak Dr. Bahrul Ulum, S.Ag., MA, selaku Wakil Rektor I, II, dan
III Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saipuddin Jambi.
3. Bapak Dr. Halim, S.Ag., M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Studi Agama UIN STS Jambi.
4. Bapak Dr. Masiyan M.Ag selaku Wakil dekan bidang Akademik
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi

vii
5. Bapak Dr. Edy Kusnaidi, M. Fil.I selaku Wakil dekan bidang
Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
6. Bapak Dr. M.Led Al-Munir, M.Ag selaku Wakil dekan bidang
Kemahasiswaan dan bidang Kerjasama luar Fakultas Ushuluddin
dan Studi Agama UIN STS Jambi.
7. Dr. Bapak Bambang Husni Nugroho, S. Th. I.,M.H. I selaku ketua
Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
8. Bapak Drs. H. Moh. yusuf, M. Ag selaku pembimbing I yang telah
banyak memberikan kontribusi dan waktu demi terselesaikannya
Penulisan Skripsi ini.
9. Bapak Hayatul Islami, S. Th. I., M. SI selaku pembimbing II yang
telah banyak memberikan kontribusi saran, semangat dan waktunya
demi terselesaikannya Skripsi ini.
10. Ibu Ermawati MA selaku pembimbing akademik yang senantiasa
selalu memberi saran, semangat dan waktunya demi
terselesaikannya Skripsi ini.
11. Para Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama UIN STS Jambi.
12. Bapak Ibu Karyawan dan Karyawati Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi semua orang pada umumnya.Saran dan kritik
yang membangun sangat diperlukan dalam kesempurnaan skripsi
ini.

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
NOTA DINAS.............................................................................................. ii
PERSETUJUAN ......................................................................................... iii
PENGESAHAN ........................................................................................... iv
MOTTO ....................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ....................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ x
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ xii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B.Rumusan Masalah ......................................................................... 6
C Tujuan dan Kegunaan Penelitian. .................................................. 6
D.Batasan Masalah ............................................................................ 7
E.Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8
F.Metode Penelitian .......................................................................... 9
G.Sistematika Penulisan .................................................................... 12
BAB 11 BIOGRAFI TENTANG QURAISH SHIHAB
A. Biografi M.Qurasih Shihab ............................................................... 13
B. Pemikiran Dan Hasil Karya-karya Quraish Shihab .......................... 18
C. Tafsir Al-Misbah ............................................................................... 22
BAB 111 TINJAUAN UMUM TENTANG MUSYAWARAH
A. Makna musyawarah ......................................................................... 28
B. Musyawarah Dalam Lintasan Sejarah .............................................. 31
C. Ayat-ayat Musyawarah Dalam Al-Qur'an ........................................ 39
D. Ruang Lingkup Musyawarah ............................................................ 42
E. Orang-orang Yang Diajak Bermusyawarah ...................................... 45
BAB 1V ANALISIS PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG
MUSYAWARAH

ix
A. Bermusyawarah Dalam Kehidupan Rumah Tangga……………...47
B. Bermusyawarah Dalam Berbagai Urusan………………………...48
C. Memutuskan Sesuatu Dengan Musyawarah……………………...55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 65
B. Saran ............................................................................................ 66

x
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Alfabet

Arab Indonesia Arab Indonesia


‫ا‬ ‟ ‫ط‬ ṭ

‫ب‬ B ‫ظ‬ ẓ

‫ت‬ T ‫ع‬ „

‫ث‬ Th ‫غ‬ Gh

‫ج‬ J ‫ف‬ F

‫ح‬ ḥ ‫ق‬ Q

‫خ‬ Kh ‫ك‬ K

‫د‬ D ‫ل‬ L

‫ذ‬ Dz ‫م‬ M

‫ر‬ R ‫ن‬ N

‫ز‬ Z ‫ه‬ H

‫س‬ S ‫و‬ W

‫ش‬ Sh ‫ء‬ ‟

‫ص‬ ṣ ‫ي‬ Y

‫ض‬ ḍ

B. Vokal dan Harkat

Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia


‫ا‬ A ‫ﺂ‬ Ā ‫اِي‬ ȋ
ِ‫ا‬ I ‫اِي‬ ȋ ‫او‬ Aw

‫ا‬ U ‫او‬ Ū ‫اي‬ Ai


C. Tā’ marbūṭah
Transliterasi untuk Tā‟ marbūṭah ini ada dua macam
1. Tā‟ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun maka
transliterasinya adalah h.
Arab Indonesia

xi
‫حكمة‬ ḥilmah

‫جزية‬ Jaziyah

2. Tā‟ marbūṭah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah


dan dammah, maka transliterasinya adalah t.

Arab Indonesia
‫وزارة التربية‬ Wizārat al-Tarbiyah

‫مراة الزمن‬ Mir‟ātu al-zaman

3. Tā‟ marbūṭah yang berharakat tanwin makan transliterasinya


adalah tan/tin/tun.
Arab Indonesia
‫فجعة‬

xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah
kepada Rasulullah Saw sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi seluruh
manusia, agar memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia
maupun di akhirat. Kandungan Al-Qur‟an meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia, mulai dari yang global hingga yang detail. Sebagai firman Allah,
Al-Qur‟an bersifat universal, berlaku sepanjang masa, sejak awal
diturunkannya hingga akhir zaman. Bagi umat Islam, Al-Qur‟an merupakan
sumber pertama dan utama ajaran Islam. Al-Qur‟an bukan sekadar memuat
petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan (vertical relationship),
tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya
(horizontal relationship), serta mengatur hubungan manusia dengan
lingkungannya.1 Salah satu di antara hubungan sesama manusia yang diatur
dalam Al-Qur‟an adalah musyawarah untuk mencapai mufakat.
Istilah Syūrā dalam terminologi Indonesia dikenal dengan
musyawarah sementara dalam terminologi Arab kata musyawarah terambil
dari kata (Syā-wa-ra) yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu
dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang. Sehingga mencakup
segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk
pendapat).2 Musyawarah dapat juga berarti menampakkan sesuatu yang
semula tersimpan atau mengeluarkan (pendapat yang baik) kepada pihak
lain.3
Musyawarah mungkin terlihat sederhana dan menjadi suatu kegiatan
yang selalu dilakukan dalam kegiatan sehari-hari, tetapi tidak sesederhana
itu dalam bermusyawarah tidak jarang menimbulkan sesuatu ketegangan,
bahkan perdebatan sering kali muncul dalam sebuah forum yang

1
Bunyamin, ''Konsepsi Musyawarah Dalam Al-Qur'an (Analisis Fiqh Siyasah
Terhadap Qs Al-Naml/27:29-35)'' Jurnal Al-'Adl, Vol 10, No.1 (2017), 3.
2
Abdurrahman, dkk. Al-Qur'an dan Isu-isu Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2011), 68
3
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), 153

1
2

mengankibatkan permusuhan. Hal ini terjadi dikarenakan hasil dari


pemecahan masalah tidak menghasilkan sebuah keseimbangan. Seperti yang
diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan berbeda antara
satu dengan yang lain perbedaan-perbedaan tersebut harus terdapat wadah
sebagai penyatu umat Islam hal ini musyawarah adalah salah satu
musyawarah adalah salah satu kegiatan yang bisa dijadikan untuk mengatasi
segala benrtuk permasalahan.4
Adapun ayat yang sering digunakan sebagai landasan normatif Syūrā
atau musyawarah diantaranya ialah Sebagaimana perintah Allah didalam Al-
Qur'an Q.S Ali-Imran:159

             

            

       


ʻʻMaka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka, sekiranya kamu berlaku keras lagi kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekililingmu. Karena itulah maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah mereka
dengan urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada- ya . Q.S Ali-Imran:159)
Ayat ini secara redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad saw.
untuk melakukan musyawarah. Ayat ini berkaitan erat dengan dengan
petaka yang terjadi pada perang Uhud yang sudah didahului oleh
musyawarah, yang disetujui oleh mayoritas. Kendati demikian, hasilnya,
sebagaimana diketahui, adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar
seseorang untuk berkesimpulan bahwa musyawarah tidak perlu diadakan,
apalagi bagi Rasulullah saw. Pesan penting dari ayat ini, bahwa kesalahan
yang dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan
tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik
kebenaran yang diraih bersama.5 QS Asy- Syūrā 42: 38 yang berbunyi :

4
Ibid.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Al- Qur'an
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), 244
3

         

 
ʻʻDan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka . (QS. Asy-Syūrā: 38).
Menurut Quraish Shihab ayat ini turun sebagai pujian terhadap
kelompok Muslim Madinah (Ansar) yang bersedia membela Nabi Saw, dan
menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di
rumah Abu Ayyub Al-Ansari.6
Menanggapi kedua ayat tersebut, Quraish Shihab berpendapat
musyawarah merupakan petunjuk bagi umat setiap Muslim, petunjuk Al-
Qur'an menyangkut Syūrā dijelaskan dalam bentuk global (prinsip-prinsip
umum), tujuannya agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan
dan perkembangan sosial budaya masyarakat. Jika dalam surat Asy- Syūrā
ayat 38 dijelaskan terkait keharusan menyelesaiakn suatu permasalahan
dengan jalan musyawarah, maka dalam surat Ali-'Imrān ayat 159 dijelaskan
tentang sikap yang harus dilakukan agar nantinya musyawarah dapat
berjalan dengan baik dan berakhir kata mufakat. Sikap-sikap tersebut ialah
tidak diperbolehkanya keras hati, memberi maaf dan membuka lembaran
baru serta bersikap tawakkal bila pendapat kita tidak diterima.7
Penafsiran kata Syūrā selalu mengalami perkembangan dari waktu
ke waktu. Pengertian dan persepsi makna kata yang padat makna ini juga
mengalami evolusi, seperti dijelaskan oleh ulama modern terkemuka di
Indonesia, Hamka dalam tafsir Al-Azharnya, evolusi itu terjadi sesuai
dengan perkembangan pemikiran, ruang dan waktu. Istilah Syūrā sering
dikaitkan dengan sistem republik, demokrasi, parlementer, perwakilan,
senat formatur dan berbagai konsep yang terkait lainnya dengan sistem
pemerintahan dari rakyat oleh rakyat, untuk rakyat. Hal itu berkaitan dengan
masalah hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah elite,
dengan massa rakyat dengan pemerintah atau orang awam dan ahli.8

6
Ibid.
7
Ibid, 473
8
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1983), 128.
4

Menurut Taufiq As-Syawi dalam bukunya menjelaskan bahwa tidak


ada kesepakatan tentang definisi Syūrā, Syūrā artinya sesuatu yang wajib
menetapi, masyurah yang artinya memberikan pendapat, dan kemudian
istisyarah mempunyai arti meminta pendapat, yang kemudian hal ini
menjadi sebuah perselisihan dan perdebatan.9 Karena ketika kita berbicara
fitrah manusia, adalah sebagai sumber Syūrā yang merupakan wadah
solidaritas, keadaan sosial dan kedewasaan berpolitik akan menjadikan
manusia menghormati prinsip kebebasan Syūrā.10
Dalam hal ini banyak yang berpendapat bahwa Syūrā adalah bentuk
dari sebuah demokrasi karena sisitem musyawarah dalam pancasila adalah
suatu proses pengambilan keputusan melaksanakan "Sistem Musyawarah''
atau ''mufakat'' yang telah dirumuskan oleh MPRS dengan ketetapan
No.XXXVII/MPRS/1968 yang kemudian digantikan dengan ketetapan
MPR No. I/MPR/1973.11 Maskuri bahkan menyimpulkan bahwa semua
intelektual Muslim Indonesia menerima demokrasi dan bahkan
mendukungnya sebagai sistem yang harus dipraktikkan dalam masyarakat
Islam.12
Sementara di sisi lain, Zaim Saidi memandang bahwa demokrasi
hanya sebagai alat pengorganisasian masyarakat tiranik (menindas) yang
berlangsung melalui satu mesin kekuasaan modern yang dirancang dalam
struktur negara fiskal. Bahkan menurutnya, para wakil rakyat dalam
demokrasi modern bersikap accountable atas semua keputusan politiknya,
selalunya mengatasnamakan rakyat dalam setiap keputusannya untuk
menghindari tanggung jawab.13
Fazlur Rahman dalam pemikirannya pengertian al-Syūrā terkandung
gagasan demokrasi. Namun konsep ini tentunya tidak sepenuhnya sejalan
9
Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta:Gema Insan Press,1997), 15
10
Ibid.
11
Silvi Labibah, ''Paralelisme Konsep Syura Dalam Al-Qur'an Dengan
Musyawarah Dalam Sila Ke IV Pancasila'', Skripsi, (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2018), 3.
12
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, (1966-1993) (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1999), 307-308.
13
Zaim Saidi, Ilusi Demokrasi: Kritik dan Otokritik Islam, (Jakarta: Penerbit
Republika, 2007), 4.
5

dengan konsep demokrasi Barat. Begitu pula di Indonesia konsep demokrasi


dalam pancasila tidak serta merta ditelan begitu saja, tetapi diterjemahkan
dengan istilah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Penafsiran istilah Syūrā menurut Fazlur
Rahman dimaksudkan untuk menjelaskan pengertian demokrasi menurut
Islam yang di dasarkan pada Al-Qur'an14
Pro dan kontra ini masih selalu hangat dibicarakan hingga saat ini.
Perdebatan mengenai Syūrā disebabkan karena tidak ada kesepakatan
mengenai definisi syura15
Wacana musyawarah sedemikian penting dikaji ketika sebagian
orang tidak memandang demokrasi saat ini sebagai sistem pemerintahan
yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama politik, pluralisme dan
sebagainya tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep Barat yang
semakin memperburuk citra bangsa Arab dan kaum muslimin. Tidak
diakuinya demokrasi versi barat sesungguhnya tidak dapat dianggap
sebagaipenolakan terhadap demokrasi itu sendiri, tetapi pada hakikatnya,
penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang disodorkan.16
Penerimaan dan penolakan terhadap Syūrā sebagai padanan dari
sistem Negara modern menjadi pertarungan wacana dengan argument yang
kaya. Persoalan perlu atau tidak menerima Syūrā sebagai padanan
pemerintahan modern membuat kajian ini menjadi menarik dan penting jika
kajian ini menggunakan tokoh yang memiliki kualitas sebagai mufassir.
Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan Al-Qur‟an sesuai
dengan kapasitas keilmuannya masing-masing. Maka tak heran, jika satu
ayat yang sama bisa ditafsirkan dengan makna yang beda. Salah satu contoh
dalam menafsirkan ayat tentang musyawarah. Oleh sebab itu kajian ini akan
lebih spesifik membahas tentang konsep Syūrā menurut pandangan Quraish
Shihab khususnya dalam tafsir Al-Misbah. Kajian ini menjadi menarik
karena beliau adalah penafsir kontemporer yang produktif dalam

14
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 1996), 9.
15
Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1997), 15.
16
Sohrah, "Konsep Syura Dan Gagasan Demokrasi" Al-Daulah Vol 4, N0.1
(2015), 198.
6

membicarakan diskursus Al-Qur'an melalui buku-buku beliau dan gagasan


beliau cukup banyak mewarnai aliran-aliran pemikiran di Indonesia.
M. Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Al-Qur'an dan
tafsir di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan
menyampaikan pesan-pesan Al-Qur'an dalam konteks kekinian, serta
mampu menyesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan dan masa post
modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul dari pada pakar Al-
Qur'an dan tafsir lainnya.
Untuk mengatasi masalah penyimpangan atas nilai-nilai mulia dari
musyawarah tersebut, diperlukan adanya usaha yang maksimal untuk
memaparkan kembali nilai-nilai musyawarah sebagaimana yang dipahami
dari Al-Qur'an.
Berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan, maka penulis
menilai kajian tentang bagaimana musyawarah menjadi hal yang menarik
untuk dikaji. Ada pun judul dari skripsi tersebut ialah ''MUSYAWARAH
MENURUT QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISBAH.
B. Rumusan Masalah
Pokok masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: bagaimana
konsep Syura menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-misbah yaitu pokok
masalah ini lebih jauh dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan
penelitian, yaitu
1. Bagaimana makna Musyawarah menurut Quraish Shihab ?
2. Bagaimana analisis penafsiran Musyawarah menurut Quraish Shihab
Dalam tafsir Al-Misbah ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai adalah
sebagai berikut
1. mengetahui makna dari Musyawarah menurut Quraish Shihab
2. mengetahui bagaimana penafsiran tentang Musyawarah dalam tafsir
Al-Misbah
D. Manfaat Penelitian
7

Adapun manfaat dari hasil penelitian ini, bisa ditinjau dari segi
teoritis dan praktis. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat
menghasilkan manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
a. mengetahui makna terhadap Musyawarah dalam Kitab
Tafsir
b. Menambah wawasan tentang konsep Musyawarah khusunya
umat Islam.
c. Menambah khazanah keilmuan Islam, khususnya dibidang
Tafsir Al-Qur'an.
2. Secara Praktis
Harapan selanjutnya dalam penelitian ini, antara lain:
a. Diharapkan implementasi dari penelitian tersebut dapat
meneguhkan kehidupan yang harmonis dengan
menghadirkan nilai-nilai musyawarah bagi masyararakat
Indonesia.
b. Mampu sebagai landasan dan menjadi kontribusi kepada
kehidupan masyarakat dan negara dalam membangun
kehidupan sosial yang menjunjung konsep bermusyawarah.
c. Secara khusus penelitian ini diharapkan mampu memberikan
stimulus dalam mendalami ilmu keagamaan bagi penulis
sendiri, orang lain, dan umat Islam secara umum dalam studi
Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
d. Sebagai tambahan referensi akademik bagi mahasiswa yang
mengambil tema yang relevan dengan penelitian
E. Batasan Masalah
Sebagaimana pemaparan diatas, maka dipandang perlunya sebuah
batasan masalah agar tidak terjadi perluasan dalam pembahasan ini. Dalam
penulisan ini, penulis membatasi kajiannya, yaitu: menjelaskan ayat
mengenai Musyawarah menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
yaitu hanya dalam surah Al-Baqarah 233, Ali Imran ayat 159 dan Asy-
syura ayat 38.
8

F. Kajian Pustaka
Setelah melalui beberapa pemeriksaan pustaka, sesuai dengan
masalah yang dirumuskan diatas, penulis menemukan beberapa buku,
skripsi, jurnal, dan sebagainya. Di antara hasil penelititian ilmiah yang
bertemakan musyawarah.
1. Ahmad Dhafir, Musyawarah dalam surah Ali Imran Ayat 159
Menurut Presfektif Mufassir. Akan tetapi pada penelitian tersebut
Ahmad Dhafir hanya mengkhususkan konsep musyawarah
penelitian pada surah Ali Imran ayat 159 saja. Diantara mufassir
yang dijadikan rujukan adalah tafsir Al- Misbah karangan Quraish
Shuhab. Metode yang digunakan adalah analisis atau tahlili, dengan
menggambarkan bagaimana model penafsiran para mufassir dalam
menafsirkan surah Ali Imran ayat 159.17
2. Anang Masduki, '' Konsep musyawarah Dalam Surat Ali-Imran 159
menurut tafsir Al-Misbah'' tahun 2000. Penelitian ini memfokuskan
diri pada analisis konsep Syūrā yang terdapat di dalam Surat Ali-
Imran 159 dalam tafsir Al-Misbah. Konsep musyawarah yang di
tawarkan Quraish Shihab dalam tafsirnya adalah konsistenya untuk
selalu mengaitkan sebuah teks Al-Qur'an dengan kondisi sosial
masyarakat.
3. Bustami Saladin, Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir berjudul, ''Prinsip
Musyawarah dalam Al-Quran'' dalam jurnal ini menjelaskan Syūrā
sebagai prinsip hukum dan politik untuk umat manusia dipahami
bahwa Islam memandang penting saling menghargai pendapat
mayoritas dari orang-orang yang berkompeten dan memiliki
integritas terpuji namun tidak dibenarkan menyalahi ketentuan Allah
SWT.18
4. Dudung Abdullah, Artikel, berjudul, ''Musyawarah Dalam Al-Quran
(Suatu Kajian Tafsir Tematik)'' dalam artikel ini menjelaskan

17
Ahmad Dhafir, ʻʻMusyawarah Dalam Surat Ali Imran 159 Menurut Prespektif
Para Mufassir‟‟, Tesis UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.
18
Bustami Saladin, ʻʻPrinsip Musyawarah Dalam Al-Qur'an‟‟, Skripsi. Mataram:
Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama UIN Mataram, 2018.
9

Musyawarah merupakan kegiatan perundingan dengan cara bertukar


pendapat dari berbagai pihak mengenai suatu masalah untuk
kemudian dipertimbangkan dan diputuskan serta diambil yang
terbaik demi kemaslahatan bersama.19
Dari telaah pustaka yang sudah ditelusuri penulis akan memiliki
perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, literatur yang sudah
disebutkan penulis lebih banyak berbicara tentang penafsiran makna konsep
Syūrā oleh para mufassir dan cendekiawan muslim membahas tema
musyawarah dalam Al-Qur'an dan berbagai perspektif. Hal ini akan sangat
berbeda dengan apa yang akan diteliti oleh penulis, karena penelitian ini
akan lebih spesifik terhadap makna Syūrā musyawarah menurut Al-Qur‟an
dalam Tafsir Al-misbah Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi terhadap pembahasan tema musyawarah yang telah ada.
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini lebih bersifat literatur, berupa data dalam bentuk
literatur, pustaka lainya yang berhubungan dengan penelitian ini maka
termasuk pada penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian
yang berusaha menghimpun data dari khazanah literatur berupa kitab-kitab,
buku-buku kepustakaan, karya-karya tulis atau data-data lain dalam bentuk
dokumentasi yang relevan dengan pokok masalah yang diteliti.
2. Sumber data dan Jenis Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah dokumentasi. Menurut
Hartinis, Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal variable yang
berupa cacatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya.20 Itu artinya dokumntasi berupa data dalam bentuk
literatur, pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. atau
literatur lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

19
Dudung Abdullah, ʻʻMusyawarah Dalam Al-Qur'an (Suatu Kajian Tematik)‟‟.
Skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar 2014.
20
Martinis Yamin, Metedeologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial Kualitatif dan
Kuantitatif, (Jakarta: Komplek Kejaksanaan Agung, Cipaayung, 2009), 219.
11

jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder.
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah sebagi berikut.
a. Sumber Pokok/Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
subjek penelitian dengan mengunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi
yang dicari. Dalam penelitian ini, sumber pokok yang diambil
adalah Kitab suci Al-Qur'an yang mana akan dipilih beberapa ayat
yang bersangkutan dengan permasalahan penulisan ini. Sumber data
primer yang penulis gunakan adalah Tafsir Al-Misbah
b. Sumber Sekunder yaitu data yang tidak langsung diperoleh oleh
peneliti dari subjek penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud
data dokumen atau tulisan yang berupa karya Ilmiah, buku, Jurnal,
artikel, makalah maupun laporan-laporan yang terkait dengan tema.
4. Pengumpulan Data
Karena penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kepustakaan,
maka untuk mendapatkan data penulis melakukan pencarian, pengumpulan
dan dokumentasi melalui kepustakaan untuk mendapatkan buku maupun
literatur yang relavan dengan pokok bahasan.21 Dengan melakukan survei
terhadap buku-buku, artikel, jurnal, bahan bacaan yang berhubungan dengan
masalah penelitian.
Pengumpulan data dokumenter dilakukan melalui penghimpunan
data tentang pokok persoalan yang akan diteliti. Data yang terkumpul
kemudian ditelaah secara literal, kemudian dideskripsikan untuk seterusnya
dianalisis.
5. Metode dan Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang telah diperoleh dari data-data literatur, atau dari
berbagai sumber lainnya yang berkaitan dengan bahasan penelitian, data-
data yang telah terkumpul dalam penelitian ini. Selanjutnya di analisis
melalui teknik atau metode analisis deskriptif yaitu suatu bentuk penelitian
yang meliputi proses pengumpulan dan penyusunan data, kemudian data

21
Ibid.
11

yang sudah terkumpul dan tersusun tersebut dianalisis sehingga diperoleh


pengertian data yang jelas, dengan kata lain memaparkan dan menganalisis
data-data yang berkaitan atau relevan dengan kajian skripsi ini.
Penelitian ini berusaha mengkaji pemikiran tokoh, maka diperlukan
langkah-langkah metodologis dalam mengumpulkan dan mengolah data
agar tujuan dari penelitian ini dapat tercapai secara optimal. Adapun
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a.) Mengumpulkam data-data yang berkaitan dengan pemikiran


Quraish Shihab mengenai Syūrā
b.) Mengumpulkan ayat tentang Syūrā dalam Tafsir Al-Misbah
c.) Menganalisis hasil penafsiran Quraish Shihab baik dari segi
metodologi maupun pokok pemikirannya.

H. Sistematika Penulisan
Untuk mensistematika dan menjawab pertanyaan dalam
penelitian ini. Maka penelitian ini merujuk pada teknik penulisan yang
disepakati pada fakultas Ushuliddin UIN STS Jambi. penelitian ini akan
dibagi beberapa bab:
1. Bab I Membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah,tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian, serta sistematika penulisan
2. Bab II. Biografi Quraish Shihab
3. Bab III. Bagaimana makna Syūrā
4. Bab IV. Bagaimana analisis penafsiran tentang Syūrā dalam Tafsir
Al-Misbah
5. Bab V. Merupakan penutup penelitian, berisikan tentang kesimpulan
dari penelitian, saran-saran dan penutup
12
BAB II
PEMBAHASAN
BIOGRAFI SINGKAT QURAISH SHIHAB
A. Biografi M. Quraish Shihab
1. Latar Belakang Keluarga Dan Pendidikan
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir di
Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Ayahnya adalah Prof.
KH. Abdurrahman Shihab keluarga keturunan Arab yang terpelajar.
Abdurahman Shihab seorang ualam besar dalam bidang tafsir dan
dipandang sebagai salah satu seorang tokoh pendidik yang memiliki
reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.22
Saudara-saudara Shihab terkenal menjadi ilmuan seperti K.H Umar
Shihab (kakanya), Alwi Shihab (adiknya). Adiknya adalah peraih dua gelar
doctor di Universitas 'Ayn Syams Mesir dan Universitas Temple, Amerika
Serikat. Intektual adiknya berbeda dengan kedua kakanya karena ia lebih
memusatkan konsentrasi pada studi mengenai agama-agama.
Kesuksesan Shihab dan saudaranya baik secara akademis
professional dibagian pendidikan maupun instansi pemerintahan adalah
berkat jerih payah dan tempaan ayahnya Abdurahman Shihab yang
merupakan salah satu guru besar dan ulama dibidangnya tafsir yang sangat
berpengaruh dan berkharismatik di Ujung Pandang. Profesi ayahnya sebagai
Wiraswata tetapi pada mudanya beliau sangat aktif denga kegiatan
berdakwah serta urusan mengajar khususnya dibidang tafsir Al-Qur'an.
Selain mendapat pendidikan dari orang tuanya, masa kecil M.
Quraish Shihab juga tidak terlepas dari pendidikan formal. Sekolah dasar
dengan nama sekolah rakyatlah yang menjadi pendidikan formal pertama
dikehidupan M.Quraish Shihab. Quraish Shihab sangat menghormati
ayahandanya. Hal ini dibuktikan dengan kemauan Shihab menuruti
permintaan untuk menimba ilmu ke salah satu pesantren Mashur di Kota
Malang, tepatnya di pondok Pondok Pesantren Dar al-Hadith al-

22
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, ( Bandung: Mizan, 1998), 6

13
14

Faqihiyyah. Pondok tersebut merupakan pondok penghafal dan pengkaji


hadis-hadis Nabi 23
Di pesantren inilah M. Quraish Shihab memperoleh pengetahuan
tentang hadist langsung dari pengasuhnya Habib Abdul Alqadir Bilfaqih.
Dari guru keduanya inilah Qurasih Shihab mendapat banyak wawasan
keagamaan yang memadai karena kearifan dan keluasan ilmu sang habib.
Pilihan pesantren ini dengan kemashuran dan keilmuan pengasuhnya bukan
asal-asalan, yang mana hal ini adalah wujud dedikasi tinggi ayahandanya
Quraish Shihab untuk mencetak sebagai generasi ulama besar dikemudian
hari.
Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan perasaan tidak selalu puas atas
apa yang telah didapat, menghantarkan untuk melakukan perjalanan ilmiah
yang kedua ke Mesir dengan masuk sekolah I'dadiyyah madrasah Aliyah
Al-Azhar. Setelah menamtkan pendidikannya di sekolah menegah atas,
dengan keseriusan dan semangatnya M. Quraish Shihab melanjutkan
pendidikannya di Universitas Al-Azhar dengan konsentrasi dibidang tafsir,
bahkan dalam penempuhanya untuk secara serius mempelajari tafsir, serta
merelakan waktunya untuk mengulang satu tahun demi terwujudnya cita-
citanya belajar di Fakultas Ushuludin pada bidang tafsir.
Setelah menamatkan kuliahnya selama empat tahun pada tahun 1967
dengan gelar Lc (License), pada tahun pada tahun 1969 gelar MA diraihnya
di Universitas yang sama dengan judul Tesis dengan berjudul al- I'jaz al-
Tasyri' Li Al-Qur'an Al-Karim.24 Perjalanan Shihab di Al-Azhar sampai
menghantarkannya hingga mendapat gelar MA ini banyak difokuskan pada
bidang hafalan sehingga banyak hadist maupun pelajaran fiqih yang ia
kuasai dan juga sebagai Madzhab ia kuasai, hal ini semakin menambah
pengetahuannya tentang berbagai ilmu-ilmu keislamanya.
Shihab tidak hanya memperoleh pengajaran di sekolah formalnya
saja, namun pendidikan non formalnya juga banyak diperoleh beliau diluar
jam kuliahnya dari guru-guru atau syaikh di lingkungan Al-Azhar. Diantara

23
M. Mahbub Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, (Solo:CV Angkasa
Solo,2011), 6
24
M.Quraish Shihab, Membumikan Kalam, ( Bandung:Mizan, 1999), 65-70.
15

guru yang berpengaruh di lingkungan universitas al-Azhar adalah syaikh


Abd Halim Mahmud.25
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali melanjutkan pendidikan
dialmamaternya Universitas al-Azhar. Dua tahun lamanya ia menempuh
gelar doktor di universitas islam tertua itu, akhirnya pada tahun 1982,
dengan disertasi yang berjudul Nazm al-Durar Li al-Biqa'I Tahqiq wa al-
Dirasah, ia berhasil meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an dengan
yudisium Summa cumlaude disertai penghargaan tingkat pertama. Quraish
Shihab adalah orang pertama di Asia Tenggara yang memperoleh gelar
tersebut.26 Namun penempuhan gelar doktoral M.Quraish Shihab ini tidak
berlangsung setelah meraih gelar MA, tepatnya ia tempuh setelah
kepulangannya ke tanah air dengan selisih 11 tahun. Selama itu ia banyak
terlibat dalam lingkungan intelektual di kampung halamannya di Ujung
Pandang.
2. Aktivitas Inteletual
Kegiatan Quraish Shihab mulai padat ketika beliau setelah mendapat
gelar MA-nya yaitu dengan mengisi jabatan-jabatan intelektual dan
akademis di IAIN Alaudin Makassar, karena kepawaiannya beliau pun
dipercaya sebagai pembantu III (bidang akademik) di IAIN Alaudin
Makassar, selain itu beliau juga mendapat tugas sebagai pembantu pimpinan
Kepolisian Indonesia bagian Timur dalam bidang pembinaan mental.
Howard menganggap Shihab sebagai orang yang unik bagi
Indonesia dan terdidik lebih baik dibandingkan dengan pengarang lainnya
yang terdalam Popular Indonesian Literature of The Qur‟an. Di mana
pendidikan tingginya itu mulai dari MA sampai Ph.D nya kebanyakan
ditempuh di Al-Azhar kairo. Karena sat itu pendidikan orang-orang di
Indonesia pada tingkat itu diselesikan di Barat.
Kemudian beliau kembali lagi ke Kairo untuk melanjutkan
pendidikannya untuk mencapai gelar doctor. Akhirnya, gelar doctor
diraihnya selama 2 tahun pada tahun 1982 di almamaternya dahulu yaitu

25
Ibid., 39.
26
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), 6.
16

Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah menyelesaikan dan meraih


gelar doctor beliau kembali ke Tanah Air untuk kedua kalinya mengajar di
IAIN Alaudin Makassar. Dua tahun beliau mengajar di kampus tersebut,
kemudian beliau dipindah tugaskan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk mengajar tafsir dan ilmu Al-Qur‟an di program S1, S2, dan S3 sampai
pada tahun 1998.
Masyarakat Jakarta menyambut baik kehadiran shihab di Jakarta
karena membawa angin segar bagi perubahan. M. Quraish Shibab karena
dengan kepandaiannya beliau menduduki jabatan sebagai Rektor di IAIN
Syarif Hidyatullah selama dua periode yaitu pada tahun 1992-1996 dan
periode kedua pada tahun 1996-1998. Dan beliau juga menjabat sebagai
ketua majelis ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 1984.
Tak lama setelah menjabat Rektor selama dua periode, beliau
dipercaya sebagai menteri agama di era pemerintahan presiden Soeharto,
namun jabatan sebagai rektor tidak berlangsung dan hanya menjabat selama
dua bulan karena pemerintahan Soeharto kala itu dituntut agar segera
lengser seiring terjadinya pergolakan politik resistensi yang kuat terhadap
dirinya. Sehingga pada bulan Mei 1998, gerakan reformasi yang dipimpin
oleh Muhammad Amien Rais, dengan para mahasiswanya berhasil
menjatuhkan rezim Soeharto yang sudah berkuasa 432 tahun lamanya. Hal
ini yang menyebabkan kabinet yang baru dibentuk harus dibubarkan
menteri agama yang dijabat oleh Shihab27
Setelah Soeharto lengser pada tahun 1998 maka kepemimpinan
Presiden Negara Republik Indonesia digantikan oleh B.J Habibie yang
merupakan mantan wakil presiden soeharto. Pada masa pemerintahan
habibie ia dipercaya untuk menjadi Duta Besar RI untuk Negara Republik
Arab Mesir, sekaligus merangkap menjadi Duta Besar untuk Negara
Somalia dan Republik Jibouti yang ada di Kairo. Pada waktu inilah shihab
memanfaatkan waktu luangnya untuk menulis Tafsir Al-Misbah beserta 30
juz yang terdiri dari 15 Jilid. Munculnya tulisannya itu semakin menguatkan

27
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2005), 363.
17

posisi Shihab sebagi mufasir yang terkemuka di Indonesia bahkan di Asia


Tenggara.
Setelah selesai menjalankan tugas sebagi Duta Besar ia kembali ke
Tanah Air dan mendirikan Pusat studi Al-Qur‟an yaitu lembaga pendidikan
yang bergerakdi bidang tafsir dimana Al-Qur‟an sebagai mercusuarnya.
Selain itu ia juga mendirikan Penerbit Lentera Hati untuk melancarkan
penerbitan karya-karnyanya. Selain itu ia juga sebagai anggota Lajnah
Pentasih Mushaf Al-Qur‟an Departemen Agama sejak tahun 1989, dan
anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional di tahun 1989.
Disamping sebagai ulama yang aktif, beliau juga banyak menulis
bebrapa buku sehingga ia dikenal penulis yang produktif. Sebagian bukunya
bersisi kajian seputar epostemologi Al-Qur‟an hingga menyentuh
permasalahan hidup dalam kehidupan sosial dalam konteks masyrakat
indonesia kontemporer. Tidak kurang ada sekitar lima puluh judul buku
yang ditulis oleh Quraish Shihab.
Sudah banyak diketahui bahwa Shihab mempunyai ilmu yang
mumpuni dan memiliki otoritas intelektual dan kapasitas yang tinggi
ditambah lagi dengan kemampuanya menyampaikan ide atau gagasan yang
cemerlang dan menggunkan bahasa yang sederhana, rasional dan moderat
sehinggah ceramah atau pun buku yang ditulis olehnya dapat dengan mudah
diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Beliau meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu Al-Qur‟an dengan
Yudisium summa caumlaude disertai penghargaan tingka pertama pada
tahun 1982 di Universitas Al-Azhar. Dengan prestasinya itu, dia tercatat
sebagai orang pertama dari Asia Tenggara pendidikan meraih gelar tersebut.
M. Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Al-Qur‟an di
Indonesia, tetapi kemampuan dia menerjemahkan dan menyampaikan
pesan-pesan Al-Qur‟an dalam konteks masa kini dan masa moden membuat
ia lebih dikenal dan lebih unggul dari pakar Al-Qur‟an lainnya. Dalam hal
penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir
Maudhu'i (tematik) yaitu dengan penafsiran dengan cara menghimpun
18

sejumlah ayat Al-Qur‟an yang tersebar dalam berbagai surah yang


membahas masalah yang sama.
kemudian menjelaskan pengertian yang menyeluruh dari ayat-ayat
tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap
masalah yang menjadi pokok pembahasan. Menurutnya dengan metode ini
dapat diungkapkan pendapat-pendapt Al-Qur'an tentang berbagai masalah
kehidupan sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat Al-Qur'an sejalan
dengan perkembangan iptek dan kemajuan perdaban masyarakat.
B. Pemikiran Dan Hasil karya-karya M. Quraish Shihab
Quraish Shihab sudah mulai aktif menyajikan sejumlah makalah
pada berbagai diskusi dan seminar sejak tahun 1970-an, dan keaktifannya
itu semakin tinggi frekuensinya sepulangnya ia dari menyelesaikan studi
doktornya di Universitas Al-Azhar, Mesir tahun 1982. Namun demikian,
baru awal tahun 1990-an tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam bentuk
buku untuk menjadikan bacaan khalayak umum.
Muhammad Quraish Shihab telah banyak menghasilkan berbagai karya
yang telah banyak diterbitkan dan dipublikasikan. Diantara karya-karya
pendidikan berkenaan dengan studi Al-Qur'an adalah:
1. Lentera Hati (1994)
Buku ini adalah kumpulan artikel beliau yang berkaitan dengan
tafsir yang pernah diterbitkan di harian rubrik pelita hati sejak tahun
1990 hingga awal 1993, buku ini juga merupakan tulisan singkat dan
ringkas tentang berbagai hikmah dalam islam, sesuai dengan
judulnya. Hingga november dan telah berhasil lima belas kali cetak.
2. Studi kritis terhadap tafsir Al-Manar
Buku ini membahas tentang kritikan Quraish Shihab terhadap tafsir
al-manar, karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid ridha. Diterbitkan
oleh pustaka hidayah, Bandung, cetakan pertama rajab 1415 Hijriah
atau Desember tahun 1994.
3. Mukjizat Al-Qur'an (1997)
Dalam buku ini Quraish Shihab menampilkan sisi
kemukjizatan Al-Qur'an dari aspek kebahasan, isyarat ilmiah, dan
19

pemberitaan ghaib Al-Qur'an. Melalui buku ini M. Quraish Shihab


ingin menolak serangan-serangan orientalis pendidikan mengatakan
bahwa Al-Qur'an merupakan karya Nabi Muhammad, bukan kalam
Allah.
4. Kaidah-Kaidah Tafsir
Buku ini berisikan penjelasan tentang syarat-syarat,
ketetapan dan aturan yang patut diketahui oleh siapa saja pendidikan
ingin memahami pesan-pesan Al-Qur'an dengan benar dan akurat,
karena pemahaman seseorang tentunya tidak terlepas dari alat-alat
bantudalam memahami suatu hal tersebut, seperti halnya buku
kaidah tafsir ini dimaksud agar pembaca dapat memahami Al-Qur'an
dengan baik.28
5. Membumikan Al-Qur'an
Buku ini memberikan inspirasi bagi penulis lain seperti
Mubaligh dan Da'i untuk memasyarakatkan Al-Qur'an dalam buku
ini. M Quraish Shihab Berbicara mengenai dua tema besar yakni
tafsir dan Quraish Shihab Berbicara mengenai dua tema besar yakni
tafsir dan ilmu tafsir serta beberapa tema pokok lainnya mengenai
ajaran-ajaran Al-Qur'an.29
6. Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhui atas pelbagai persoalan umat
(1996)
Buku ini terdiri dari beberapa bab yaitu: pokok-pokok
keimanan, kebutuhan pokok manusia dan soal-soal muamalah,
manusia, masyarakat, aspek-aspek kegiatan manusia, dan beberapa
soal penting umat.30.
7. Perempuan
8. Pengantin Al-Qur‟an
9. Tafsir Al-Misbah

28
M.Quraish Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Tanggerang:Lentera Hati, 2011),
483.
29
Muhammad Iqbal, ʻʻMetode Penafsiran Al-Qur'an M. Quraish Shihab Jurnal
Tsaqafahʼʼ, Vol. 2, (2010), 4.
30
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an , 34.
21

Tafsir Al-Mishbah diterbitkan pertama kali pada tahun 2000


dan disambut dengan baik oleh kaum muslim Indonesia umumnya
dan peminat tasir Al-Qur‟an khususnya. Tafsir Al-Mishbah wajah
baru dilengkapi dengan navigasi rujukan silang, dan dikemas dengan
bahasa yang mudah dipahami serta pengemasan yang lebih menarik.
Tafsir Al-Mishbah menghimpun lebih dari 10.000 halaman yang
memuat kajian tafsir Al-Qur‟an yang ditulis oleh M. Quraish Shihab,
ahli tafsir Al-Qur‟an alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir).
Dengan kedalaman ilmu dan kepiawaian penulisnya dalam
menjelaskan makna sebuah kosa kata dan ayat Al-Qur‟an, tafsir ini
mendapat tempat di hati khalayak.
10. Filsafat Hukum Islam, diterbitkan di Jakarta oleh Departemen
Agama tahun 1987.
11. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah Mahdah.
Diterbitkan oleh penerbit Mizan di Bandung, cetakan pertama
dicetak bulan Maret atau Zulqa‟dah tahun 1999 M/ 1419 H.
12. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Al-qur'an dan Hadis yang
diterbitkan oleh penerbit Mizan di Bandung. Dicetak pertama sekali
bulan April tahun 1999.
13. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah dan Muamalah
yang diterbitkan di Bandung oleh Penerbit Mizan, dicetak pertama
sekali bulan Juni tahun 1999.
14. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasan Agama,
diterbitkan di Bandung oleh penerbit Mizan, dicetak pertama sekali
bulan Desember / Ramadhan tahun 1999.
15. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Tafsir Alquran, diterbitkan
di Bandung oleh Mizan, dicetak pertama sekali bulan Desember
Zulhijjah tahun 2001.
16. Lentera Alquran: Kisah dan Hikmah Kehidupan, diterbitkan di
Bandung oleh Mizan, cet 1 edisi baru bulan Januari tahun 2008 21.
21

17. Sahur Bersama M. Quraish Shihab. Diterbitkan di Bandung oleh


penerbit Mizan, cetakan pertama tahun 1997. Buku ini juga pernah
di cetak lagi pada tahun 1999 oleh penerbit yang sama yaitu Mizan.
18. Haji Bersama M. Quraish Shihab: Panduan Praktis Menuju Haji
Mabrur. Diterbitkan oleh Penerbit Mizan di Bandung, dicetak
pertama kali tahun 1998.
19. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Alquran
Hadis serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini.
20. Untaian Pertama Buat Anakku: Pesan Alquran untuk Mempelai.
Diterbitkan di Bandung oleh Penerbit Al-Bayan tahun 1995.
21. Tafsir Al-Quran Al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, diterbitkan oleh Pustaka
Hidayah, Bandung, cetakan pertama Jumadil Ula 1418 H/
September 1997.
22. Logika Agama (lentera Hati:2005)
23. Yang ringan jenaka (lentera hati:2007)
24. Yang syarat dan yang bijak (lentera hati:2007)
25. Haji bersama M. Quraish Shihab (Mizan :2002)
26. Menjeput maut (lentera hati:2002)
27. Yang tersembunyi, jin, iblis, setan, dan malaikat (Lentra hati: 1999)
28. Wawasan Al-Qur'an tentang dzikir dan dosa (Lentera hati:2006)
29. Do'a harian bersama M.Quraish Shihab (Lentera hati: 2009)
30. Al-Qur'an dan maknanya (Lentera hati:2010)
31. Untaian permata buat anakku (Mizan:1998)
32. Panduan puasa bersama Quraish Shihab (Mizan:2000)
33. Fatwa-fatwa Quraish Shihab seputar ibdaha mahdah (Mizan:2009)
34. Lentera Al-Qur'an, kisah dan hikmah kehidupan (Mizan:2013).
22

C. Tafsir Al-Misbah
1. Latar Belakang Penulisan
Tafsir Al-Misbah ini merupakan maha karya yang sangat
spektakuler dikalangan mufassir, melalui tafsir inilah nama Quraish Shihab
membumbung sebagai salah satu mufassir Indonesia yang mampu menulis
tafsir Al-Qur'an 30 juz dari volume 1 sampai volume 15.
Adapun yang melatar belakangi penulisan tafsir Al-Misbah ini
adalah didorong semangat untuk menghadirkan karya tafsir Al-Qur'an
kepada masyarakat karena menurut Quraish Shihab dewasa ini, masyarakat
Islam lebih terpesona kepada lantunan bacaan Al-Qur'an, seakan-akan Al-
Qur'an diturunkan hanya untuk dibaca, tidak untuk dipahami.
Tuntunan normatif untuk memikirkan dan memahami Al-Qur'an
serta kenyataan obyektif akan berbagai kendala baik bahasa, maupun
sumber rujukan, hal inilah yang mendorong serta memotivasi Quraish
Shihab untuk menghadirkan sebuah karya tafsir Al-Qur'an yang mampu
menghidangkan dengan baik pesan-pesan Allah dalam Al-Qur'an.
Kitab tafsir ini tentunya juga memiliki kelemahan serta kelebihan,
diantara kelebihannya seperti: tafsir ini ditulis menggunakan bahasa
Indonesia yang mudah dipahami masyarakat awam, serta kaya dengan
penjelasan kebahasan tentang makna-makna kalimat yang beragam. Kitab
ini juga menekankan pentingnya aspek ilmu munasabah ayat.
Di samping itu kitab ini juga tidak luput dari kekurangan, karena
pendekatan yang beliau gunakan adalah pendekatan bil al-ra'yi sehingga
beliau jarang sekali mentarjih dari berbagai pendapat yang dikemukakan
beliau sevingkali menggantungkan dan membiarkan keadaan tersebut,
sihingga kondisi ini cukup membingungkan bagi masyarkat yang membaca
tafsir Al-Misbah ini di tambah lagi beliau sering menukil pendapat yang
tidak disebut secara jelas penukilannya, seperti beliau mengatakan
ʻʻsebagian ulama, beberapa ulama dan beberapa lafadzʼʼ, membuat pembaca
perlu mencari tau siapa ulama atau lafadz yang disebut tersebut.31

31
Afrizal Nur,ʻʻM. Quraish Shihab Dan Rasionalisasi Tafsirʼʼ, Jurnal Ushuluddin,
Vol. Xvii, No. 1, 2012, 12.
23

2. Metode Dan Corak Penafsiran M.Quraish Shihab


Setiap mufassir mempunyai metode masing-masing dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an yang berbeda dengan mufassir lainnya,
secara garis besar penafsiran Al-Qur'an dilakukan melalui empat cara
metode: Tahlili (analitis), Ijmali (global), Muqarran (perbandingan), dan
Maudhui (tematik).
Adapun metode yang digunakan oleh Quraish Shihab dalam tafsir
Al-Misbah adalah metode tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya
dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang terdapat
dalam Mushaf. Namun di sisi lain Quraish Shihab mengemukakan bahwa
metode tahlili memiliki berbagai kelemahan, karena menghidangkan
metode tahlili ini sangat luas dan beraneka ragam sajianya.32
Dalam tafsir Al-Misbah ini, Quraish Shihab berusaha
mengungkapkan kandungan Al-Qur'an dari berbagai aspek, baik dari segi
Asbabun Nuzul, munasabah ayat, menjelaskan kosa kata, dan hal-hal yang
dianggap dapat membantu memahami suatu ayat. Pemilihan metode tahlili
dalam ktab tafsir Al-Misbah didasarkan pada karya-karyanya yang lain
seperti membumikan Al-Qur'an, selain mempunyai keunggulan-keunggulan
dalam memperkenalkan tema-tema Al-Qur'an secara utuh ia juga tidak luput
pula dari kekurangan.
Yang dimaksud dengan corak penafsiran adalah kecenderungan seorang
penafsir (mufassir) dalam memahami Al-Qur‟an. Biasanya, seorang penafsir
memiliki kecenderungan bidang tertentu dalam menafsirkan Al-Qur‟an.
Corak penafsiran biasanya sesuai dengan latar belakang pendidikan atau
bidang keilmuan penafsir itu sendiri.
Corak sosial kemasyarakatan. Corak ini bermula dari ulama Mesir
modern Muhammad Abduh (1843-1905) yang mencoba menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan
kehidupan sosial masyarakat. Dalam corak ini penafsir berusaha

32
M. Quraish Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir: Syara, Ketentuan, dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur'an, (Tanggerang: Lentera Hati,
2013), 378.
24

menanggulangi penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan


petunjuk Al-Qur‟an dengan bahasa yang mudah dimengerti.33
Adapun corak yang digunakan Quraish Shihab adalah corak sosial
kemasyarakatan, karena masalah-masalah yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat, yakni corak tafsir yang berusaha memahami Nash-Nash Al-
Qur'an dengan mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur'an secara teliti,
kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud Al-Qur'an dengan
bahasa yang menarik dan indah, selanjutnya seorang mufassir berusaha
menghubungkan Nash-Nash Al-Qur'an tersebut dengan kenyataan sosial
dan sistem budaya corak yang ada.
Corak penafsiran ini berusaha mengemukakan segi keindahan
(Balaghah) bahasa, menjelaskan makna yang dituju oleh Al-Qur'an,
mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan masyarakat
yang dikandungnya, membantu memecahkan problem yang dihadapi umat
Islam dan umat manusia lainnya melalui petunjuk Al-Qur'an serta berusaha
mempertemukan Al-Qur'an dengan teori-teori ilmiah yang benar, corak
penasfsiran ini juga menekankan penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an sebagai
pembacaan terhadap realitas yang terjadi dilingkungan sehari-hari, dan
kemudian dijadikan solusi untuk menghadapi permasalahan sosial yang
terjadi dilingkungan tersebut.34
Dari generasi-generasi tentunya terdapat perbedaan dalam teknik
penulisan tafsir, karya tafsir ini mengalami dinamika yang menarik bagi dari
segi penyampaian, tema-tema panyajian serta sifat penafsir, adapun
sistematika yang diterapkan oleh Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah
adalah dengan menafsirkan seluruh ayat, dalam arti kata ayat-ayat Al-
Qur'an ditafsirkan secara keseluruhan berdasarkan mushaf Utsmani.35
3. Sistematika Penulisan

33
Muhammad Iqbal, ʻʻMetode Penafsiran Al-Qur‟an M.Quraish shihabʼʼ,
Oktober 2010, vol 6, No 2.
34
Sofyan Saha, ʻʻPerkembangan, Penulisan Tafsir Al-Qur'an Di Indonesia Era
Reformasiʼʼ, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol, 13, No. !, (2015), 5.
35
Ahmad Atabik, ʻʻPerkembangan Tafsir Modern Di Indonesiaʼʼ, Jurnal
Hermeneutika, Vol. 8, No. 2, (2014), 7.
25

Quraish Shihab merupakan generasi yang aktif dalam halnya


menulis karya-karya tafsir. Disela-sela kesibukanya, beliau selalu
menyempatkan diri untuk berkarya dalam bentuk tulisan. Bisa dikatakan
dantidak diragukan bahwa beliau sangat produktif dalam berkarya, ini
agaknya beliau menyadari bahwa karya adalah umur kedua. Ia akan dapat
bertahan hidup sepanjang masa, dan senantiasa dibaca oleh orang-orang
yang hidup di dunia. Adapun tafsir Al-Misbah ini seperti yang tertulis di
dalam muqaddimahnya, mulai di tulis pada hari Jum'at, 4 Rabi al-Awwal
1420 H/ 18 Juni 1999 M.
Dalam penuyusunan tafsir, Quraish Shihab menggunakan urutan
mushaf Utsmani yaitu dimulai dari surah Al-fatihah sampa dengan surah
An-nas pembahasan dimulai dengan memberikan pengantar dalam ayat-
ayat yang akan ditafsirkannya dalam uraian tersebut meliputi:
1) Penyebutan nama-nama surah (jika ada) serta alasan-alasan
penamaannya disertai dengan keterangan tentang ayat yang diambil
untuk dijadikan nama surah.
2) Jumlah ayat dan tempat turunnya, misalnya apakah dalam kategori
surah makiyyah atau dalam kategori madaniyyah, dan ada
pengecualian ayat tertentu juka ada.
3) Penomoran surah sesuai bedasarkan penurunan dan penulisan
mushaf, kadang juga disertai dengan nama surah sebelum atau
sesudahnya surah tersebut.
4) Menyebutkan tema pokok dan tujuan serta menyetakan pendapat
para ulama tentang tema yang dibahas.
5) Menjelaskan hubungan tentang ayat sebelumnya dan sesudahnya.
6) Menjelaskan tentang sebab-sebab turunya.
Quraish Shihab juga menyetujui dan serta mencantumkan pendapat-
pendapat ulama, di samping itu Quraish Shihab juga tidak pernah lupa
untuk menyetakan makna-makna kosa kata, serta Asbabun Nuzul. Didalam
tafsir Al-Misbah ini Quraish Shihab juga tidak luput dari pembahasan
ilmu Munasabah yang tercermin dalam enam hal, pertama keserasian kata
demi kata dalam setiap surah, kedua keserasian antar hubungan ayat
26

dengan penutup ayat, ketiga keserasian hubungan ayat dengan ayat sebelum
dan sesudahnya, keempat keserasian uraian dalam muqoddimah satu surah
dengan penutupnnya, kelima keserasian dalam penutup surah dengan
muqaddimah surah sesudahnya, dan keenam keserasian tema surah dengan
nama surah.36
4. Karateristik Tafsir Al-Misbah
Sebelum menulis karya tulis ini M. Quraish Shihab sudah banyak
menulis tafsir Al-Qur'an namun kebanyakan tafsir tematis, diantarnya
adalah membumikan Al-Qur'an, lentera hati, dan wawasan Al-Qur'an M.
Qurais Shihab juga pernah menyusun metode tahlili dengan metode nuzuli.
Yang membahas ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan urutan ayat masa
turunya surah-surah Al-Qur'an dan sempat diterbitkan oleh Pustaka Hidayah
pada tahun 1997 dengan judul tafsir Al-Qur'an Al-Karim.37 Namun
kemudian M. Quraish Shihab melihat bahwa karyanya tersebut kurang
menarik minat masyarakat, karena pembahasannya banyak bertele-tele
dalam persoalan kosa kata dan kaidah yang disajikan. Oleh karena itu beliau
tidak melanjutkan, kemudian beliau menulis dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat yang beliau beri nama tafsir Al-Misbah pesan, kesan
dan keserasian Al-Qur'an dari pemberian judul tafsir ini dapat diterima
perhatiannya yang ingin ditekankan oleh M. Quraish Shihab dalam tafsirnya
ini.
Sesuai dengan perhatian Quraish Shihab tafsir tematis, maka tafsir
Al-Misbah ini pun disusun dengan berusaha menyajikan setiap bahasan
surat pada apa yang disebut dengan tujuan surah atau dengan tema surah.
Hal ini dapat disaksikan misalnya ketika mencoba menafsirkan surah Al-
Baqarah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tema pokok surah ini
adalah ayat yang membicyarakan tentang kisah Al-Baqarah yaitu kisah Bani
Israil dengan seekor sapi, melalui kisah Al-Baqarah diemukan bukti
kebenaran petunjuk Allah Swt, meskipun pada mulanya tidak bisa

36
Atik Wartini, ʻʻCorak Penafsiran Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah,ʼʼ
Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 1, (2014), 12.
37
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, (Semarang: Pustaka Hidayah,
1997).
27

dimengerti, kisah ini juga membutikan kekuasaan Allah Swt, karena itulah
sebenarnya surah Al-Baqarah berkisar pada haq dan benarnya kitab suci Al-
Qur'an dan betapa wajar petunjuknya untuk diikuti.38
Dalam tafsir ini M. Qurasih Shihab banyak mengambil inspirasi
beberapa muafssir terdahulu, diantranya adalah Ibrahim Ibn Umar Al-Biqa'i
(w. 885H/480M), Muhammad Tantawi Al-Sha'rawi, Sayyid Qutb,
Muhammad Tahir Ashur, dan Muhammad Husayn Tabataba'

38
Lihat ayat yang membicarakan tentang Al-Qur'an itu sebagai petunjuk bagi
manusia yang tertera dalam surah Al-Baqarah.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MUSYAWARAH
A. Makna Musyawarah
Dilihat dari aspek bahasa, makna musyawarah diambil dari kata
Syūrā.39 Sebagaimana di terangkan dalam al-Mufradāt ia diambil dari
Syirtul 'asala ʻʻaku memeras maduʼʼ wa asyartuhū akhrajtuhū ʻʻ aku
memerasnya berarti mengeluarkannyaʼʼ. Maksud musyawarah adalah untuk
minta pendapat dari para peserta musyawarah, sehingga mengambil yang
terbaik dan yang benar.40
Sedangkan menurut istilah, musyawarah itu sebagai upaya
mengambil dan mempertimbangkan pendapat orang lain terhadap masalah
yang dibicarakan, implementasi musyawarah, meliputi sebagai bidang
kehidupan, individualy, sosial dan utamanya praktek politik yang
memerlukan kematangan desain dan implementasinya.41
Quraish Shihab mengemukakan bahwa kata musyawarah terambil
dari kata syāwara, yang pada mulanya mengeluarkan madu dari sarang
lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu
yang dapat diambi atau dikeluarkan dari sesuatu yang lain (termasuk
pendapat). Musyawarah juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu,
kata musyawarah pada dasarnya hanya digunkana untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasar.42
Madu dihasilkan oleh lebah, jika kemudian yang bermusyawavah
mesti bagaikan lebah, makhluk yang sangat berdisiplin, kerjasama nya yang
mengagumkan, makannya dari kembang dan hasilnya madu. Dimanapun
hinggap lebah tak pernah merusak, ia takkan menggangu kecuali diganggu.
Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Seperti itulah makna
permusyawarahan, den demikian pula sifat yang melakukanya tak heran jika
asulullah Saw, menyamakan seorang mukmin dengan lebah.

39
Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri Indonesia Arab Arab
Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), 220.
40
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur'an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an , 2011). 121.
41
Ibid.
42
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1996), 469.

28
29

Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah pada


mulannya bermakna ʻʻmengeluarkan madu dari sarang lebahʼʼ. Makna ini
kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil dan dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat karena
musyawarah pada dasarnyahanya digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasarnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
musyawarah diartikan sebagai pembahasan bersama dengan maksud
mencapaik keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Selain itu kata
musyawarah yang berarti berunding atau berembuk.43
Ibnu Arabi mengatakan bahwa ʻʻmusyawarah itu melembutkan hati
orang banyak, mengasah otak dan menjadi jalan menuju kebenaran dan
tidak ada satu pun yang bermusyawarah yang tidak mendapatkan
petunjukʼʼ.44
Kata musyawarah dalam realitanya lebih luas maknanya dari pada
demokrasi, sebab demokrasi terkadang hanya dalam bentuk parlementer,
sedangkan musyawarah adalah metode hidup dalam setiap lembaga
pemerintahan mulai dari pengguasa sampai dengan rakyat biasa.45
Dengan musyawarah, akan diketahui apakah suatu perkara itu baik
atau tidak. Sesuatu yang baik akan didapatkan karena akan menghasilkan
suatu produk pendapat yang diambil dari musyawirin dan diambil yang
terbaik, bagaikan madu yang akan menjadi obat apabila diminum. Hasil
musyawarah akan menjadi penawar juga bagi berbagai macam persoalan
yang harus diselesaikan dan meupakan solusi terbaik. Karena musyawarah
mencari kebenaran bukan kemenangan.
Selain itu musyawarah juga merupakan salah satu ciri-ciri pokok
masyarakat Islam, ciri ini terdapat dalam Al-Qur'an antara lain dalam surah
Asy-Syūrā ayat 38 merupakan perintah kepada pada pemimpin dalam
kedudukan apapun untuk menyelesaikan apa yang dipimpinya dengan cara
bermusyawarah. Perintah itu telah disebutkan juga QS Ali-Imran ayat 159

43
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 603.
44
Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 15, (Semarang: CV Toha
Putra, 1993), 94.
45
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), 52.
31

dengan kata-kata ʻʻ… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan


itu…ʼʼ perkataan ''itu'' dalam bagian ayat ini menunjukkan pada soal
kemasyarakatan, soal kehidupan sosial bagaimana caranya bermusyawarah
dalam urusan kemsyarakatan tidak disebutkan didalam Al-Qur'an
pelaksanaanya diserahkan kepada masyarakat untuk menentukannya
sendiri.46
Musyawarah merupakan bagian dari upaya yang dilakukan untuk
mengambil dan mempertimbangkan pendapat orang lain terhadap masalah
yang sedang dibicarakan. Oleh karena itu musyawarah merupakan prinsip
yang sangat penting dalam menegakkan kemaslahatan, baik yang bersifat
individual, sosial maupun pemerintahan dan implemetasi dari musyawarah
itu sendiri adalah mencakup kepada seluruh aspek kehidupan.
Dengan adanya asas musyawarah maka akan mewujudkan
perdamaian dan kedamaian, keikhlasan, kebersihan, kewibawaan dan
tanggung jawab bersama. Oleh karena itu keputusan bermusyawarah adalah
amanat yang diberikan oleh sejumlah orang untuk melaksanakan setiap
kebijakan yang dihasilkan dalam musyawarah tersebut.
Dalam masyarakat demokrasi Barat misalnya, penyelesaian soal
kemasyarakatan, termasuk urusan yang berhubungan dengan masalah
kenegaraan, setelah bermusyawarah atau berunding diputuskan dengan
pemungutan suara terbanyak mutlak atau relatif.47
Al-Qur'an dan sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan
dengan kehidupan politik, seperti al-Syūrā, keadilan, tanggung jawab,
kepastian hukum, dan hak-hak manusia, dan lain-lain kesemuanya memiliki
kaitan dengan Syūrā atau demokrasi.
Apabila kita bermaksud membandingkan Syūrā dengan demokrasi
tentunya perlu juga dijelaskan apa yang disebut dengan demokrasi, namun
untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi yang beraneka
ragam, dapat dikatakan bahwa manusia mengenal tiga cara menetapkan
keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu:

46
Muhammad Daud dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 183.
47
Ibid.
31

1. Keputusan yang ditetapkan oleh pengguasa


2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas
3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas,
dan ini biasanya menjadi ciri umum demokrasi.48 Walaupun demikian,
meskipun Syūrā dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas,
tetapi menurut sementara pakar ia tidaklah mutlak.
Dalam masyarakat Indonseia, urusan itu yang disebut dalam bagian
ayat Al-Qur'an tersebut diselesaikan dengan cara musyawarah untuk
mufakat. Penyelesaian urusan atau masalah yang dikemukakan sebagai
contoh tersbut, tergantung pada banyak faktor, terutama pada nilai dan
norma yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Merujuk pada pengertian yang sudah ada, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa musyawarah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan
saling bertukar pikiran, gagasan ataupun ide-ide yang baik dengan maksud
untuk mengambil keputusan yang terbaik atas suatu permasalahan yang
dihadapi bersama. Musyawarah juga dapat dijadikan sebagai media untuk
menyelesaikan segala problem.
B. Syūrā Dalam Lintasan Sejarah
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur‟an diturunkan Allah di
tengah-tengah masyarakat Arab dan oleh sebab itu merekalah masyarakat
pertama yang mendapat sentuhan dan bimbingan dari kitab suci ini.
Masyarakat Arab, pada saat Al-Qur'an turun, bukanlah masyarakat yang
hampa budaya melainkan masyarakat yang telah berbudaya. Oleh sebab itu
cukup banyak kita temukan ayat-ayat yang menyatakan betapa Al-Qur‟an,
dalam batas-batas tertentu, melegitimasi dan mengembangkan bentuk-
bentuk kebudayaan bangsa Arab tersebut.
Apa yang ingin dipertegas di sini adalah bahwa justru dalam
semangat loyalitas kesukuan tersebut terdapat suatu tradisi yang baik yaitu
semangat bermusyawarah, baik yang diadakan antar pemimpin-pemimpin
suku maupun antar intern suku. Tradisi bermusyawarah tersebut sudah
melembaga di kalangan masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu. Dan

48
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, 482.
32

tradisi inilah kelihatannya yang kemudian diterima dan dikembangkan oleh


Al-Qur‟an sesuai dengan petunjuk-petunjuknya. Di dalam terminologi Al-
Qur‟an kegiatan semacam ini disebut dengan Syūrā.
Di Mekkah, menurut keterangan ahli sejarah, kegiatan musyawarah
ini pernah diselenggarakan di rumah Qushay bin Kilab yang kemudian
melembaga dan terkenal dengan sebutan Dar al-nadwah, beranggotakan
para pemuka kabilah (mala‟), kalangan orang-orang berpengaruh, termasuk
orang-orang kaya yang dipandang bijak atau cendikia. Mereka
bermusyawarah tidak hanya dalam memecahkan suatu masalah bersama,
tetapi juga dalam memilih pemimpin. Inilah tradisi unik di kalangan Arab
badui dan golongan elite plutokrat.49
Kalau deskripsi di atas diterima maka dapat dikatakan bahwa Al-
Qur‟an dalam hal ini merestui dan melegitimasi sebuah tradisi yang sudah
ada dan dianggap baik yakni musyawarah dan bahkan memberinya
substansi baru yang lebih bernilai dan bermakna. Substansi dan makna baru
dimaksud adalah apa yang telah pernah dipraktekkan Rasulullah SAW.
lewat sunnahnya sebagai wujud implementasi dari ajaran Syūrā yang
terdapat dalam teks ayat-ayat Al-Qur‟an.
1. Syūrā Pada Masa Nabi
Fakta-fakta sejarah Nabi dan sunnahnya banyak yang menekankan
bahwa Rasulullah telah menjadikan musyawarah dengan para sahabat
sebagai karakternya, hal ini membuat Abu Hurairah r.a berkata : “saya tidak
pernah melihat seorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan
rekan-rekannya melebihi Rasulullah SAW”.50
Beliau telah meyakinkan prinsip Syūrā dalam segala aspek
kehidupan, artinya dalam pengertiannya yang universal yang mencakup
Syūrā bebas dan harus dipegang teguh. karena Syūrā bukan hanya tentang
kenegaraan, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan, dari kelompok
terkecil (keluarga) hingga kenegaraan.

49
M. Dawam Raharjo, ʻʻMajalah Ulum Al-Qur‟an, Ensiklopedi Al-Qur‟anʼʼ, (Pada
judul Syûra, No. 3, 1989), 28.
50
Taufiq Asy-Syawi, Fiqhusy-syura wal-istisyarat, (kairo:1992,terj.Djamaluddin),
94.
33

Ada beberapa yang membuat Nabi harus melakukan musyawarah


dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini Zhafir Al-Qasimi mengatakan
bahwa musyawarah pada masa Rasulullah dapat diklarifikasikan kepada
tiga bentuk. Pertama, musyawavah yang terjadi atas dasar permintaan
Rasulullah sendiri. Adapun contoh dari kategori ini yaitu pada saat sebelum
pecahnya perang Uhud. Karena kebimbangan antara dua pilihan, apakah
berdiam diri saja didalam kota untuk menunggu atau menghadang musuh
atau pergi keluar (mencari keberadaan mereka) dalam menghadapi musuh.
Akhirnya Rasul meminta pendapat dengan mengatakan ʻʻAsyiru 'Alayyaʼʼ,
ʻʻ berilah pandangan mu kepadakuʼʼ.
Sebelum Rasul meminta pendapat kepada para pemuka kaum
Muslim dan pemuka orang-orang munafik yang telah dikumpulkannya
beliau telah mengemukakakn pendapatnya terlebih dahulu, namun hal itu
beliau lakukan tidak lain hanyalah sebagai pemberian gambaran dan bukan
untuk mempengaruhi pemikiran mereka.
Pada kasus di atas akhirnya, sampailah pada titik kesepakatan
dengan mengambil dari suara terbanyak. Namun dalam hal ini, satu hal
yang harus diingat bahwa keputusan apapun yang didapatkan, keputusan
akhir haruslah dikemukakan oleh Nabi selaku pimpinan sidang pada saat
itu. Nabi tidak akan pernah mau untuk bertindak sendiri kecuali untuk
pemecahan masalah yang memang sudah diwahyukan tuhan kepadanya.
Kedua musyawarah yang dimulai oleh sahabat sendiri. Hal ini
terjadi pada saat perang badar. Pada saat menjelang pertempuran, rasul
memutuskan bagi untuk menepati posisi yang dekat dengan mata air.
Namun hal tersebut mengundang pertanyaan bagi salah seorang dari
kelompok Ansar yang bernama Hubah bin Mundhir ia menanyakan apakah
keputusan Nabi itu atas petunjuk Allah, sehingga beliau dan pemuka Islam
tidak boleh bergeser dari tempat itu, atau apakah keputusan itu beliau ambil
sebagai pemikiran startegis perang biasa.51
Namun pada saat itu Nabi menjawab bahwa sesungguhnya
keputusan itu beliau ambil bukanlah karena petunjuk dari Allah namun
51
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Pres, 1990) 16.
34

hanyalah perhitungan beliau sendiri. Hubab berkata, kalau demikian halnya,


wahai utusan Allah tempat ini tempat ini kurang tepat, karena menurut
Hubab alangkah lebih baiknya apabila kita lebih maju kemuka, kemata air
yang paling depan, kita bawa banyak tempat air untuk diisi dari mata air itu,
kemudian mata air itu ditutup dengan pasir. Apabila nanti kondisinya
mengharuskan pasukan Nabi untuk mundur, maka mereka masih dapat
minum dan musuh tidak. Merasa mendapat saran yang masuk akal, akhirnya
Nabi pun menerima baik saran Hubab untuk bergerak maju menuju lokasi
yang telah dikatan oleh Hubab sebelumnya.52
ketiga yaitu bentuk musyawarah yang posisinya menempati antara
kedua bentuk yang telah dikemukakan sebelumnya, dengan kata lain
Rasulullah baru akan mengambil suatu tindakan musyawarah pada saat
menjelang saat-saat pelaksanaan. Salah satu peristiwa yang dapat
digolongkan ke dalam ketegori ini adalah, pada saat Rasulullah
memutuskan untuk mengadakan perdamaian dengan kaum Gathafan ketika
perang khandaq, dalam kasus tersebut Rasul telah menjanjikan sepertiga
hasil buah-buahan dari kota Madinah kepada sekutunya dengan persyaratan
mereka akan menarik pasukannya dari perang tersebut.
Ketika janji itu sudah akan dilaksanakan, Rasul sempat
bermusyawarah dengan Sa'ad ibn Mu'az dan Sa'ad ibn 'Ubadah mengenai
usul beliau, namun kedua sahabta itu menolak dengan alasan yang cyukup
rasional di mata Rasul, akhir kata Rasul bersedia mundur dari keputusan
awalnya dan memilih untuk mendengar saran para sahabatnya..
Salah satu contoh sikap Rasulullah yang bisa dijadikan pedoman
penting wajibnya Syūrā, dalam ranah pemerintahan dan memilih penguasa,
yakni ketika menjelang wafatnya, beliau tidak mewariskan siapa yang akan
menjadi penerusnya sebagai pemimpin. Banyak yang berpendapat, sikap
beliau ini adalah untuk membiarkan umatnya bermusyawarah dan agar umat
muslim memilih sendiri siapa yang paling pantas memimpin mereka, hingga

52
Ibid.
35

pada hari saqifah terpilihlah Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemimpin


pertama pengganti Rasulullah SAW.53
Sebagai salah satu syariat Islam yang ketetapan wajibnya
berlandaskan pada Al-Qur‟an, syura merupakan metode yang berkaitan erat
dengan syariat dan akidah. Jangkauannya meliputi kehidupan pribadi
kelompok, hingga masyarakat luas. Syūrā tetap menjadi syariat dan
kewajiban, bahkan walaupun tidak ada negara. Kewajiban adanya syura
diambil dari sumber-sumber syariat Islam ilahiyah yang terpisah dari para
penguasa. Syūrā menjadi benteng dan pelindung dari kesemena-menaan
penguasa, yang mana dengan kekuasaannya mereka bisa menghapus dan
meniadakan undang-undang yang menjadi konstitusi negara.54
Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah Saw untuk
bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Dalam surat
Ali Imran dan surat Asy-Syūrā ayat 38, Allah berfirman
Dua ayat ini mencakup segala persoalan yang berkaitan dengan
penerapan mabda syura dalam Islam dari segi hakikatnya, kepentingannya,
keunikannya, keuniversalannya, dan diwajibkannya. Dari kedua nash itu
dapat kita tangkap kejelasan berikut :
1) Salah satunya turun di makah, sedangkan yang lain di
madinah. Hal ini mengisyaratkan bahwa syura bersifat
universal, harus ditegakkan baik di makkah maupun di
madinah (sesuai dengan kondisi masyarakatnya masing-
masing pada saat itu), dan tentunya harus diterapkan di
seluruh masyarakat islam di dunia.
2) Ayat yang pertama ditujukan kepada kaum muslim pada
umumnya sebagai individu dalam masyarakat dengan sifat
dan ciri khas masing-masing masyarakatnya. Adapun ciri
pada ayat perama ini adalah menekankan kepada kesatuan
akidah dan ibadah. Sedangkan pada ayat kedua bercirikan
kegotongroyongan dalam berbagai urusan mereka yang

53
Ibid., 95.
54
Ibid.
36

bersifat umum melalui musyawarah, tukar pendapat,


solidaritas dan keadilan.55
Firman yang kedua ditujukan kepada Rasul setelah beliau berhasil
membangun negaranya yang merdeka di Madinah. Secara langsung
memerintahkan kepada beliau sebagai kepala negara agar syura menjadi
dasar antara hubungan penguasa dan rakyatnya, dan individu masyarakat,
kendati penguasanya adalah seorang Nabi Allah.56
Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu
perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.
Selain itu, Rasulullah Saw pernah bermusyawarah untuk menetukana lokasi
berkemah dan beliau menerima pendapat Al-Mundzir Bin 'Amr yang
menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.
Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat
sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunggu kedatangan
musuh atau kah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas
sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau
pun menyetujuinya. Demikianlah, nabi Saw juga bermusyawarah dengan
para sahabatnya baik dalam masalah perang maupun yang lain.
2. Musyawarah Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin
Khulafa Al-Rasyidin merupakan sebaik-baik contoh penguasa yang
memperoleh kekuasaan pemerintahan dengan pilihan umat dan tidak ada
pemaksaan kekuasaan atau dalam arti pemimpin yang yang memperoleh
kekuasaan pemerintahan dengan pilihan umat dan tidak ada pemaksaan
kekuasaan atau dalam arti pemimpin yang ingin berkuasa menyusun strategi
untuk memenangkan hati rakyat agar terpilih menjadi pemimpin.
Kepemipinan mereka diserahkan langsung oleh umat, Sehingga mereka
memimpin dengan penuh rasa tanggung jawab dan takut akan berbuat salah
dan zalim. Dengan pemilihan yang bebas ini, khalifah yang mereka piliih
memproleh penyerahan umat dalam mengurusi urusan-urusannya. Mereka
dibaiat oleh ahlul halli wal „aqdi atas pilihan umat. Dan tidak satupun dari

55
Taufiq Asy-syawi, Syura Bukan Demokras, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
66.
56
Ibid.
37

mereka yang terpilih atas sebuah paksaan dari keinginan berkuasa, seperti
halnya yang tejadi pada kaum revolusioner sekarang.57
Sementara itu, pada masa Khulafa Al-Rasyidin umat mempunyai
hak dalam meluruskan penguasa dengan suatu ketetapan yang dikeluarkan
dengan Syūrā. Hal tersebut dibuktikan dengan ucapan Abu Bakar ketika
beroidato didepan umatnya: “taatlah kalian kepadaku , selagi aku masih taat
kepada Allah, dan jika aku membangkang kepda-Nya maka tidak ada
kewajiban taat atas kalian kepadaku”. dan Umar dalam pidatonya
menyampaikan : “jika aku benar, bantulah aku, dan jika aku keliru,
luruskanlah aku”. Adapun yang mempunyai wewnag mewakili rakyat dalam
meluruskan dan mengontrol ialah para ahli Syūrā yang telah memilih
mereka. Dan ketika mereka mengeluarkan ketetapan mereka Syūrā dengan
bebas, maka ketetapan tersebut menjadi ketetapan yang mulzim
menentukan . Semua itu dilakukan demi menegakkan amar ma‟ruf nahi
munkar.58
3. Musyawarah Pada Masa Dinasti Umawiyah Dan Abbasiyah
1. Dinasti Umayah
Daulah Bani Umayah (661M-750M) merupakan sebuah rezim
pemerintahan dibawah kendali keluarga Umayah. Pendirinya adalah
Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Sebelum menjabat sebagai khalifah, Muawiyah adalah seorang
Gubernur lantas setelah medirikan Dinasti Umayah, ia memindahkan ibu
kota Negara dari Madinah ke Damaskus (tempat ia berkuasa tatkala menjadi
gubernur). Meskipun menurut sebagian besar sejarah mencatat bahwa
pencapaian atas kekuasaanya diraih dengan arbitrasi yang curang dan
peperangan saudara (perang Shiffin : 657 M) tetapi ia memiliki prestasi dan
karir politik yang menakjubkan.59
Namun tradisi Musyawarah yang telah dibangun pada masa
khulafa Al-rasyidin diubah pada masa dinasti Umayah. Pada masa khulafa
Al-Rasyidin khalifah dipilih oleh rakyat yang diwakili oleh para pemuka

57
Taufiq As-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, 395- 396.
58
Ibid., 398.
59
Fadhlil Munawwar, “Pertumbuhan dan Perkembangan budaya Arab pada masa
Dinasti Umayyah” Jurnal Humaniora, Vol 15, 2003
38

dan tokoh di Madinah, kemudian di bai'at (sumpah setia). Pada masa


Umayah pemerintahan berubah menjadi menjadi sistem monarki absolut,
dimana estafet kekuasaan diserahkan secara turun menurun kepada anggoa
keluarganya. Majelis Syūrā dan dewan penasehat tidak berfungsi efektif,
trades musyawarah dan kebebasan berpolitik serta menyampaikan pendapat
dan kritik terhadap pemerintahan dilarang pada masa ini. masa ini. Tidak
hanya itu, Baitul maal yang semula berfugsi sebagai harta kekayaan rakyat,
berubah fungsi menjadi salah satu sumber harta kekayaan keluarga khalifah.
Dalam riwayat disebut bahwa yang tidak menggunakan Baitul maal sebagai
harta kekayaan khalifah Umar Bin Abdul Aziz.60
Oleh karenanya Muawiyah dianggap sebagai pendiri sistem monarki
dalam sejarah politik Islam. Tradisi demokratis yang telah dicontohkan oleh
para pendahulu bangsa arab seketika hilang dan digantikan dengan
kepemimpinan yang otokrasi dan individualis.
2. Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah bin Muhammad
Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas. Berdirinya Dinasti Abbasiyah
dipengaruhi oleh beberapa kelompok umat yang tidak mendukung sistem
pemerintahan monarki milik dinasti Umayah dimana korupsi merajalela.
Diantara kelompok pendukung revolusi Abbasiyah adalah orang-orang
syiah, khawarij, kaum mawali (orang persi yang baru masuk Islam), yang
merasa diperlakukan tidak adil dalam hal pembebanan pajak yang dinilai
terlampau tinggi.
Berbeda dengan masa Dinasti Umayyah, pemerintahan Abbasiyah
cenderung lebih demokratis dan manusiawi. Meskipun dari segi pemilihan
khalifah, tidak berbeda dengan sistem Umayah yakni secara turun temurun
akan tetapi sebagian besar sejarah menyebutkan bahwa Islam berada pada
zaman keemasan pada masa Dinasti Abasiyah. Zaman peradaban ilmu,
intelektual, ekonomi, dan sosial. Para penguasa membentuk masyarakat
dengan rasa pevsamaan, sehingga tidak ada yang merasa terdiskriminasi

60
Ibid.
39

C. Ayat-Ayat Musyawarah Dalam Al-Qur’an


Dalam Al-Qur‟an ada tiga ayat membahas masalah musyawarah dan
menyebut kata Syūrā secara eksplisit, yakni pada QS. Al-Baqarah/2 ayat

ُ ‫تَ َش‬, QS. Ali-Imran/3: 159 kata ‫شا ِور‬,


233 yang didalamnya termaktub kata ‫اوَر‬ َ
ُ . Di antara beberapa ayat
dan pada QS. Al-Syura/42: 38 terdapat kata ‫شو َرى‬
tersebut, ayat 38 surah Asy-Syūrā 42 adalah yang pertama kali diturunkan
dan termasuk kelompok ayat surat Makiyyah, sedangkan dua yang lain
termasuk Madaniyyah.
QS. Al-Baqarah/2 ayat 233

            

             

             

            

            

     


ʻʻPara ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakanʼʼ. (QS. Al-Baqarah: 2).
Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah yang menjelaskan bagaimana
seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat
mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak
mereka, seperti menyapih anak yang masih menyusu.
41

Ibnu Katsir mengatakan bahwa, didalam penyapihan anak, kedua


orang tua harus melakukan musyawarah terlebih dahulu. Tidak
diperbolehkan penyapihan atas kehendak salah satu pihak saja (ayah atau
ibu).61 Bukan hanya itu, dalam menjalani kehidupan rumah tangga (suami
isteri) dalam memutuskan segala sesuatu harus dengan jalan musyawarah,
seperti masalah pendidikan anak-anak mereka, harta benda, rencana
pengembangan masa depan, dan sebagainya
Yang kedua, QS. Ali-„Imran/3: 159.

             

            

       


ʻʻMaka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nyaʼʼ. (QS. Ali-„Imran: 3 .
Menurut Quraish Shihab, dari segi redaksi ayat diatas berisi pesan
untuk nabi Muhammad saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan
tertentu dengan para sahabat atau anggota masyarakat lainnya. Walaupun
demikian, ayat ini berlaku juga secara universal, artinya untuk seluruh umat
Islam, khususnya pemimpin agar selalu menyelesaikan urusan dengan jalan
musyawarah (Syūrā), yang merupakan salah satu pilar dari demokrasi.62
Perintah untuk musyawarah dalam ayat di atas, turun setelah
terjadinya perang Uhud. Ketika itu menjelang pertempuran Rasulullah
mengumpulkan para sahabatnya untuk memperbincangkan masalah strategi
yang akan digunakan untuk menghadapai musuh yang sedang dalam
perjalanan untuk menyerbu kota Madinah. Rasulullah Saw. Sendiri
berpendapat untuk bertahan di kota Madinah dan berperang menghadapi
61
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Tafsir Ibnu
Katsir , vol. I Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2008 , 471
62
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudu‟i Atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1996), 619.
41

musuh. Sementara itu para sahabatnya tertama dari kalangan kaum muda,
mendesak agar umat Islam keluar dari kota Madinah dan berperang
menghadapi musuh. Pendapat ini didukung oleh mayoritas sahabat,
sehingga asulullah pun menyetujuinya. Namun sayang, keputusan yang
dihasilkan secara demokratis. tersebut berakhir memilukan. Peperangan
tersebut diakhiri dengan kekalahan kaum muslimin dan gugurnya sekitar
tujuh puluh orang sahabat.63
Dengan memperhatikan Asbab al-nuzul ayat diatas jelas bahwa
QS.Ali Imran/3:159, berisi pesan kepada Rasulullah secara khusus, dan
umat Islam secara umum untuk mempertahankan dan membudayakan
musyawarah, walaupun terkadang pendapat mayoritas tidak selamanya
benar dan tepat. Namun demikian, kekeliruan mayoritas lebih dapat di
toleransi dan menjadi tanggung jawab bersama daripada kesalahan yang
bersifat individual.
Ketiga QS Asy Syūrā /42: 38.

         

 
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Ayat ini turun berkaitan dengan golongan Anshar tatkala diajak oleh
Rasulullah untuk beriman, mereka menyambut dengan baik ajakan Nabi
Saw. dan bagi mereka dijanjikan ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi
Allah swt. Orang-orang mukmin tersebut memiliki sifat-sifat antara lain
ʻʻurusan mereka diselesaikan dengan musyawarahʼʼ. Dalam ayat ini, Syūra
berjalan bersisian dengan ketiga pilar keimanan (ketaatan kepada perintah
Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat). Syūrā merupakan
kewajiban dengan dasar perintah yang sama. Ayat ini merupakan ayat
Makkiyah yang turun sebelum keberadaan Islam telah menjadi agama yang
kuat.

63
Ibid.
42

D. Ruang Lingkup Musyawarah Dalam Al-Qur’an


Di dalam Al-Qur'an surah Ali 'Imran ayat 159 menyuruh Nabi Saw,
melakukan musyawarah, menggunakan kata al-amr, ketika memerintahkan
bermusyawarah (syāwirhum fil amr) yang diterjemahkan oleh Quraish
Shihab dengan ʻʻpersoalan/urusan tertentu'', sedangkan pada Asy-Syūrā
menggunakan kata amruhum yang diterjemahkan adalah ʻʻurusan merekaʼʼ.
Sebagian pakar mufassir membatasi masalah permusyawaratan
hanya untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan agama.
Pakar yang lain memperluas hingga membenarkan adanya musyawarah di
samping utnuk urusan dunia, juga untuk sebagian masalah keagamaan.
Alasanya, karena dengan adanya perubahan sosial, sebagian masalah
keagamaan belum ditentukan peneyelesaianya di dalam Al-Qur'an maupun
sunnah Nabi Muhammad Saw.64
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah
ada ptunjuknya dari Allah secara tegas dan jelas, baik langsung maupun
melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara
beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum
ditentukan petunjuknya, serta kehidupan duniawai, baik yang petunjuknya
yang bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami
perkembangan dan perubahan.
Nabi bemusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan
masyarakat dan Negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan sosial.
Bahkan Nabi Saw pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat)
didalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga. Salah satu yang beliau
musyawarahkan adalah tentang fitnah terhadap istri beliau, yakni Aisyah
ra.beliau meminta pendapat dan bertanya kepada sekian orang sahabat
ataupun kelurganya.65
Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan ukhrawi atau urusan yang
berkaitan dengan persoalan ibadah tidak dapat dimusyawarahkan. Misalnya
tentang bagaimana kehidupan setelah kematian atau adanya surga dan

64
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 478
65
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 479
43

neraka. Bagaimana mungkin hal ini dapat dimusyawarahkan sedangkan


nalar dan pengalaman manusia tidak dan belum sampai kesana.
Maka dari itu, menurut beberapa ahli tafsir, hal-hal yang boleh
dimusyawarahkan hanya yang berkaitan dengan urusan keduniaan, bukan
urusan agama.66 Rasyid Rida dan Quraish Shihab, merupakan beberapa
tokoh yang mendukung pendapat tersebut dengan argumentasi bahwa, yang
dimaksud dengan ‫ورى‬
َ ‫ أ َْمُرىُ ْم ُش‬pada QS. Asy-Syūrā /42 ayat 38, adalah urusan-
urusan duniawi yang biasanya menjadi tanggung jawab seorang pemimpin,
bukan urusan yang berkaitan dengan ibadah, sebab bila pada urusan agama
seperti aqidah, ibadah, halal dan haram dijadikan sebagai objek
musyawarah, niscaya agama akan menjadi ketetapan manusia, padahal
agama adalah ketetapan dan otoritas Allah swt. tidak ada wilayah akal
padanya, baik ketika Nabi masih hidup atau setelah wafat.67
Untuk mendukung pendapatnya itu, Rasyid Rida mengambil contoh
musyawarah yang dilakukan oleh rasulullah saw. ketika menentukan taktik
perang pada saat perang Badar. Ketika itu, Hubbab ibn Munzir sebelum
mengutarakan pendapatnya terlebih dahulu bertanya kepada Rasulullah saw.
apakah penentuan posisi pasukan perang yang diambil oleh Nabi adalah dari
arahan wahyu atau atas inisiatif Nabi sendiri. Dari sinilah Rasyid Rida
berkesimpulan bahwa para sahabat hanya bermusyawarah pada hal-hal yang
tidak diatur oleh wahyu.68
Al-Qurtubi misalnya, berpendapat bahwa musyawarah mempunyai
peran dalam agama maupun soal-soal duniawi, namun dengan catatan
bahwa yang dimaksud dengan urusan agama adalah hanya pada perkara
yang belum ditemukan petunjuknya dengan pasti oleh dalil-dalil syar‟i.
Pelaksanaan musyawarah tersebut dengan syarat bahwa pelaku musyawarah
harus menguasai ilmu yang berkaitan dengan hal yang akan
dimusyawarahkan. Misalnya jika yang dimusyawarahkan menyangkut

66
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, 470.
67
Muhammad Rasyid Rida, ''Tafsir al-Manar'', Juz 4,170. Lihat juga, M. Quraish
Shihab, ''Tafsir Al-Mishbah'', vol. 2. 315.
68
Ibid.
44

masalah keagamaan, maka yang terlibat di dalam musyawarah tersebut


harus orang yang menguasai ilmu agama.69
Begitupun sebaliknya jika yang di musyawarahkan adalah urusan
keduniaan maka pelaku atau yang terlibat didalam musyawarah adalah
orang-orang yang menguasai ilmu tentang hal yang akan di musyawarahkan
tersebut. Oleh karenanya, ruang lingkup musyawarah dapat mencakup
urusan-urusan agama yang yang tidak ada petunjuknya dan urusan dunia
yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang dapat
mengalami perubahan dan perkembangan.70 Sehingga muncullah istilah
ijma para ulama yang merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam,
dan tidak ada yang meragukannya.
Dalam musyawarah tentu masing-masing peserta akan
mengeluarkan pendapatnya, dan tidak jarang terjadi perdebatan karena
masing-masing pihak akan mempertahankan pendapatnya. Maka dari itu,
jika terjadi silang pendapat ada beberapa metode dalam mengambil
keputusan yang diajarkan Al-Qur‟an dan sunah. Yang pertama, adalah
memilih yang terbaik (ahsan).
dalam perkara yang menjelaskan pelaksanaan suatu aktivitas. Dalam
masalah ini, keputusan dikembalikan pada pendapat mayoritas atau dapat
dilakukan dengan cara voting. Hal ini sesuai dengan praktik Rasulullah
dalam musyawarah saat perang Uhud. Voting memang bukan jalan satu-
satunya dalam musyawarah. Boleh dibilang voting itu hanya jalan keluar
(terakhir) dari sebuah deadlock musyawarah.
E. Orang-Orang Yang Diajak Bermusyawarah
Mengenai persoalan tentang apa yang dimusyawarahkan barangkali
itu merupakan hal yang pribadi, namun dengan demikian tidak menutup
kemugkinan juga bahwa hal tersebut merupakan hal yang bersifat umum.
Didalam ayat pertama tentang musyawarah di atas, Nabi Saw
diperintahkan bermusyawarah dengan ʻʻmerekaʼʼ. Mereka yang dimaksud
adalah mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw pada saat itu,yaitu yang
disebut sebagai umat atau anggota masyarakat.
69
Ibid.
70
Ibid.
45

Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang khusus


berkaitan dengan masyarakat sebagai satu unit, tetapi sebagaimana yang di
praktekkan oleh Nabi Muhammad Saw, dan para sahabatnya tidak menutup
kemungkinan memperluas jangkauan pengertiannya sehingga mencakup
persoalan inidividu sebagai anggota masyarakat.71
Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-
sifat mereka yang di ajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya, namun
demikian dari pandangan as-sunnah dan pandangan ulama, di peroleh
informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknnya yang dimiliki oleh
yang diajak bermusyawarah.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat,
praktek yang dilakukan Rasulullah Saw, cukup beragam, terkadang beliau
memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang
dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat,
bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di dalam masalah yang
dihadapi tersebut.72
Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang
yang terlibat didalamnya ketika mereka menafsirkan firman Allah dalam
Al-Qur'an yaitu surah An-Nisa' ayat 59

           

             

    


ʻʻHai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.ʼʼ QS. An-Nisa': 3).
Dalam ayat di atas terdapat kalimat ulul amr yang diperintahkan
untuk ditaati, kata amr disini berkaitan dengan kata amr yang disebutkan

71
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 479.
72
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 479.
46

dalam surah Asy-Syūrā 38. Tentunya tidak mudah melibatkan anggota


masyarakat dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat
diwujudkan orang-orang tertentu yang mewakili mereka.
Wahbah Az-Zuhaili juga menyebutkan bahwa pada masa sekarang
ini, lembaga permusyawarahan mungkin bisa dibentuk dengan kesepakatan
pemimpin dengan para tokoh dan pemuka masyarakat untuk meletakkan
sejumlah prinsip pemilihan ahlul Asy-Syūrā seperti penunjukkan sesuai
dengan spesifikasi tugas dan fungsi atau melaluipemilihan berdasarkan
berbagai kriterai yang jelas denga calon-calon yang memiliki spesialisasi,
pengalaman, keahlian, dan wawasan keilmuan yang memadai.73

73
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 8, (Jakarta , Gema Insani,
2011), 330-331.
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB
TENTANG MUSYAWARAH

A. Penafsiran Ayat-Ayat Musyawarah Dalam Tafsir Al-Mishbah


Konsep musyawarah merupakan salah satu pesan syari'at yang
sangat ditekankan dalam Al-Qur'an, keberadaannya dalam berbagai bentuk
pola kehidupan manusia, musyawarah merupakan landasan tegaknya
kesamaan hak dan kewajiban, dalam kehidupan manusia. Didalam Al-
Qur'an ada tiga tempat yang akar katanya menunjukkan musyawarah
(Syūrā). yaitu:
Dalam Al-Qur‟an ada tiga ayat membahas masalah musyawarah dan
menyebut kata Syūrā secara eksplisit, yakni pada QS. Al-Baqarah/2 ayat

ُ ‫تَ َش‬, QS. Ali-Imran/3: 159 kata ‫شا ِور‬,


233 yang didalamnya termaktub kata ‫اوَر‬ َ
ُ . Di antara beberapa ayat
dan pada QS. Al-Syura/42: 38 terdapat kata ‫شو َرى‬
tersebut, ayat 38 surah Asy-Syūrā 42 adalah yang pertama kali diturunkan
dan termasuk kelompok ayat surat Makiyyah, sedangkan dua yang lain
termasuk Madaniyyah.
1 Surah Al-Baqarah 233
2 Surah Ali Imran 159
3 Surah Asy-Syūrā 38
B. Bermusyawarah Dalam Kehidupan Rumah Tangga
(Q.S. Al-Baqarah (2):233)

           

             

             

            

47
48

           

       


ʻʻPara
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakanʼʼ. (QS. Al-Baqarah: 2).
Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah yang menjelaskan bagaimana
seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat
mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak
mereka, seperti menyapih anak yang masih menyusu.
Pada ayat ini Quraish Shihab menjelaskan, Apabila keduanya, yakni
ayah dan ibu anak itu, ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan
keduanya, bukan akibat paksaan dari siapapun, dan dengan
permusyawaratan, yakni dengan mendiskusikan serta mengambil keputusan
yang tebaik, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengurangi masa
penyusuan dua tahun itu74
Quraish Shihab menjelaskan, bagaimana seharusnya hubungan
suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga
dan anak-anak, seperti menyapih anak. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa
Al-Qur'an memberi petunjuk agar persoalan itu dan juga persoalan-
persoalan rumah tangga yang lainnya dimusyawarahkan antara suami dan
istri dengan baik.75
Dari penjelasan Quraish Shihab diatas dapat disimpulkan bahwa
pentingnya musyawarah antara suami istri dalam memutuskan persoalan-

74
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah pesan, kesan dan keserasian Al-Qur'an,
(Jakarta: Lentera hati, 2002), 611.
75
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, 618,
49

pesoalan dalam rumah tangga dan haruslah adanya kesepakatan antara


kedua belah pihak.
C. Bermusyawarah Dalam Berbagai Urusan
(Q.S Ali 'Imran (3): 159)

             

            

       


ʻʻMaka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nyaʼʼ. (QS. Ali 'Imran: 3 )
Menurut Quraish Shihab, dari segi redaksi ayat diatas berisi pesan
untuk nabi Muhammad saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan
tertentu dengan para sahabat atau anggota masyarakat lainnya. Walaupun
demikian, ayat ini berlaku juga secara universal, artinya untuk seluruh umat
Islam, khususnya pemimpin agar selalu menyelesaikan urusan dengan jalan
musyawarah (Syūrā), yang merupakan salah satu pilar dari demokrasi.76
Perintah untuk musyawarah dalam ayat di atas, turun setelah
terjadinya perang Uhud. Ketika itu menjelang pertempuran Rasulullah
mengumpulkan para sahabatnya untuk memperbincangkan masalah strategi
yang akan digunakan untuk menghadapai musuh yang sedang dalam
perjalanan untuk menyerbu kota Madinah. Rasulullah Saw. Sendiri
berpendapat untuk bertahan di kota Madinah dan berperang menghadapi
musuh. Sementara itu para sahabatnya tertama dari kalangan kaum muda,
mendesak agar umat Islam keluar dari kota Madinah dan berperang
menghadapi musuh. Pendapat ini didukung oleh mayoritas sahabat,
sehingga asulullah pun menyetujuinya. Namun sayang, keputusan yang
dihasilkan secara demokratis. tersebut berakhir memilukan. Peperangan

76
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudu‟i Atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1996), 619.
51

tersebut diakhiri dengan kekalahan kaum muslimin dan gugurnya sekitar


tujuh puluh orang sahabat.77
Dengan memperhatikan Asbab al-nuzul ayat diatas jelas bahwa
QS.Ali Imran/3:159, berisi pesan kepada Rasulullah secara khusus, dan
umat Islam secara umum untuk mempertahankan dan membudayakan
musyawarah, walaupun terkadang pendapat mayoritas tidak selamanya
benar dan tepat. Namun demikian, kekeliruan mayoritas lebih dapat di
toleransi dan menjadi tanggung jawab bersama daripada kesalahan yang
bersifat individual.
Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah membimbing dan menuntun
kaum muslimin secara umum, kini tuntunan diarahkan kepada Nabi
Muhammad Saw. Sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada
kaum muslimin khususnya mereka yang telah melakukan kesalahan dan
pelanggaran dalam perang Uhud. Sebenarnya cukup banyak hal dalam
peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk
marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan
kelemah lembutan Nabi Saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka
sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usul mayoritas merka,
walau beliau sendiri kurang berkenan, Nabi tidak memaki dan
mempermasalahkan para pemanah yang meningalkan markas mereka, tetapi
hanya mengurnya dengan halus dan lain-lain.78
Jika demikian, maka disebakan rahmat yang amat besar dari Allah,
sebagaimana dipahami dari bentuk infinitive (nakirah) dari kata rahmat,
bukan oleh suatu sebab yang lain sebagaimana dipahami dari huruf ( ‫ ) ما‬ma
yang digunakan di sini dalam konteks penetapan rahmat-Nya -disebabkan
rahmat Allah itu- engkau berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya
engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar kata lagi berhati kasar, tidak
peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu, disebabkan oleh antipati terhadapmu79

77
Ibid.
78
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 309.
79
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 310.
51

Karena perangaimu tidak seperti itu, maka maafkanlah kesalahan-


kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampun
kepada Allah bagi mereka, atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam urusan
peperngan dan urusan dunia, bukan urusan syari'at atau agama. Kemudian
apabila kamu telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkan tekat,
untuk melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakan sambil
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orrang
yang bertawakkal kepada-Nya dan, dengan demikian, dia akan membantu
dan membimbing mereka ke arah apa yang mereka harapkan.80
ِ
َ ‫ )فَبِم َر ْحة ِّم َن ﷲ ل‬Quraish Shihab
Kemudian dalam ayat ini: (‫نت ََلُ ْم‬

menjelaskan lebih lanjut bahwa ayat ini sebagai salah satu bukti bahwa
Allah Swt sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi
Muhammad Saw. Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya
pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu
Al-Qur'an, tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau
merupakan rahmat bagi seluruh alam81
Quraish menjelaskan ayat di atas mengandung makna bahwa engkau
wahai Muhammad, bukanlah seorang yang berhati keras. Ini bisa dipahami
dari kata ( ‫ ) لَو‬yang diterjemahkan sekiranya, kata ini digunakan untuk kata
mengambarkan sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat tersebut tidak dapat
terwujud. Seperti jika seseorang yang ayahnya telah meninggal kemudian
berkata ʻʻsekiranya ayah saya masih hidup, saya akan menamatkan kuliahʼʼ.
Karena ayahanya telah wafat. Kehidupan yang diandaikannya pada
hakikatnya tidak ada dan dengan demikian tamat yang diharapkannya pun
tidak mungkin wujud. Jika demikian, ketika ayat ini. menyatakan sekiranya
engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tetntulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu, itu berarti sikap keras lagi berhati kasar tidak ada

80
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 310.
81
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 311
52

wujudnya, dan karena itu tidak ada wujudnya, maka tentu saja, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, tidak pernah akan terjadi.82
berlaku keras lagi berhati kasar, ayat ini menggambarkan sisi dalam
dan sisi luar manusia, berlaku keras menunjukkan sisi luar manusia dan
berhati kasar, menunjukkan sisi dalamnya. Kedua hal itu dinafikan dari
Rasul Saw. Memang, perlu dinafikan secara bersamaan, karena boleh jadi,
ada yang berlaku keras tapi hatinya lembut atau hatinya lembut tapi tidak
mengetahui sopan santun. Karena, yang terbaik adalah menggabungkan
keindahan sisi luar dalam perilaku yang sopan, kata-kata yang indah,
sekaligus jati yang luhur, penuh kasih sayang.83 Alhasil, penggalan ayat di
atas serupa dengan (Q.S. At-Taubah [09]: 128)

         

    


ʻʻSungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang
terhadap orang-orang mukminʼʼ. (QS. At-Taubah : 09)
Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini adalah perintah
melakukan musyawarah. Ini penting karena petaka yang terjadi di Uhud
didahului oleh musyawarah serta disetujui oleh mayoritas. Kendati
demikian, hasilnya sebagaimana telah diketahui, adalah kegagalan. Hasil ini
boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa musyawarah
tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul Saw. Oleh karena itu, ayat ini
dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan yang
dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan
tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik
kebenaran yang diraih bersama.84
Kata musyawarah terambil dari akar kata ( ‫ ) شور‬yang pada mulanya
bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau

82
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,312
83
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 312
84
Ibid.
53

dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga


berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada
dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna
dasar di atas.
Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak
penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu
dicari dimanapun dan oleh siapapun. Madu dihasilkan oleh lebah, jika
demikian yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah makhluk yang sangat
berdisiplin, kerjasamanya mengagungkan, makanannya sari kembang, dan
hasilnya madu. Di manapun hinggap lebah tidak pernah merusak. Ia tak
pernah mengangu kecuali diganggu, bahkan sengatannya pun dapat menjadi
obat. Seperti itulah makna permusyawaratan, dan demikian pula sifat yang
melakukannya, tidak heran jika Nabi Saw. Tidak heran jika Nabi Saw.
menyamakan seseorang Mukmin dengan lebah85
Dalam (Q.S. Ali, Imran [3]: 159) dijelaskan ada tiga sifat dan sikap
secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
untuk beliau laksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan tiga hal itu,
dari segi konteks turunnya ayat, perang uhud. Namun, dari segi pelaksanaan
dari esensi musyawarah, ia perlu menghiasi diri Nabi Saw, dan setiap orang
yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang
harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad.
Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati
keras. Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam
posisi pemimpin, yang pertama ia harus hindari ialah tutur kata yang kasar
serta sikap keras kepala karena, jika tidak, mitra musyawarah akan
bertebaran pergi. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru.
Dalam bahasa ayat di atas ( ‫ف َع ْن ُه ْم‬
ُ ‫اع‬
ْ َ‫)ف‬. “Maaf”, secara harfiah berarti
“menghapus”. Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat
perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu karena tiada

85
Ibid.
54

musyawarah tanpa pihak lain sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir


bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.86
Disisi lain, yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk
selalu bersedia memberi maaf karena, boleh jadi, ketika melakukan
musyawarah, terjadi perbedaan pendapat atau keluar dari pihak lain kalimat
atau pendapat yang menyinggung, dan bila mampir ke hati akan
mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi
pertengkaran.
Kemudian yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa
kecerahan pikiran atau ketajaman analisis saja belum cukup. Oleh karena
itu, kita masih membutuhkan “sesuatu” bersama akal. Terserah kita namai
apa “sesuatu” itu, bisa “indra keenam”, sebagaimana filosof dan psikolog
menamainya, atau “bisikan/gerak hati” kata orang kebanyakan, atau
“Ilham hidayah, dan firasat” menurut agamawan.
Tidak jelas cara kerja “sesuatu” itu karena datangnya hanya sekejap,
sekedar untuk mencampakkan informasi yang diduga ''kebetulan'', oleh
sementara orang, kepergiannya pun tidak seijin yang dikunjungi. Biasanya
“sesuatu” itu mengunjungi orang-orang yang jiwanya dihiasi oleh kesucian
Kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah
hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal ketiga yang
harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan
ilahi ‫استَ غْ ِف ْر ََلُ ْم‬
ْ ‫ َو‬Sebagaimana ditegaskan.
87

Pesan terakhir Ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah


ِ ُّ ‫ت فَتَ َوَّك ْل َع َل اللَّ ِه إِ َّن اللَّهَ ُُِي‬
َ ‫ب الْ ُمتَ َوِّكل‬
musyawarah usai, yaitu (‫ي‬ َ ‫ ) فَِإذَا َعَزْم‬apabila telah
bulat tekat, laksanakanlah, dan berserah dirilah kepada Allah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-
Nya.88
Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan hal-hal yang selalu
dihindari oleh orang-orang yang wajar menerima memperoleh kenikmatan

86
Ibid.
87
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 313
88
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 314.
55

abadi, ayat-ayat di atas bagaikan menyatakan: dan kenikmatan abadi itu


disiapkan juga bagi orang-orang yang benar-benar memenuhi seseruan
mereka shalat secara bersinambung dan sempurna, yakni sesuai rukun serta
Ayat di atas juga mengisyaratkan tentang lapangan musyawarah, yaitu
) ‫ ) َو َشا ِوْرُه ْم ِِف ْاْل َْم ِر‬yang diterjemahkan di atas dengan dalam urusan itu. Dari

segi konteks ayat ini, dipahami bahwa urusan yang dimaksud adalah urusan
peperangan. Karena itu, ada ulama yang membatasi musyawarah yang
diperintahkan kepada Rasulullah Saw terbatas dalam urusan tersebut.
Pandangan ini tidak didukung oleh praktik Nabi Saw, bahkan tidak sejalan
dengan sekian ayat Al-Qur'an. Terdapat dua ayat lain yang menggunakan
akar kata musyawarah, yang dapat diangkat di sini, guna memahami
lapangan musyawarah.
Pertama (Q.S Al-Baqarah [2]: 233). Ayat ini membicarkan
bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan
yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak.
Pada ayat di atas, Al-Qur'an memberi petunjuk agar persoalan itu dan juga
persolan-persoalan rumah tangga yang lainnya dimusyawarahkan antara
suami dan istri dengan baik. Ayat kedua, adalah (Q.S. As-Syūrā [42]: 38),
yang menjanjikan bagi orang mukmin ganjaran yang lebih baik dan kekal di
sisi Allah.
Dalam soal amr atau urusan, dari Al-Qur'an ditemukan adanya
urusan yang hanya menjadi wewenang Allah semata-mata, bukan
wewenang manusia betapapun agungya. Ini antara lain, terlihat dalam
jawaban Allah tentang ruh (QS. Al-Isra' [17]: 85), datangnya kiamat (QS.
An-Nazi'at [79]: 42), taubat (QS. Ali-Imran [03]: 128), ketentuan syariat
agama (QS. Al-An'am [06]: 57).
Dalam konteks ketetapan Allah dan Rasul yang bersumber dari
wahyu, secara tegas Al-Qur'an menyatakan bahwa:“Tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin ddan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
56

mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh, dia telah sesat, sesat
yang nyata” (QS. Al-Ahzab [33]: 36).89
Jadi lapangan musyawarah adalah persoalan-pesoalan
kemasyarakatan, seperti yang dipahami dari ayat di atas. Para sahabat Nabi
Saw. menyadari benar hal ini sehingga mereka tidak mengajukan saran
menyangkut hal-hal yang telah mereka ketahui adanya petunjuk Ilahi.
Ketika Nabi Saw, memilih satu lokasi untuk pasukan kaum muslimin dalam
perang Badar, sahabat beliau, al-Khubbab Ibn al-Mundzir, terlebih dahulu
bertanya: “Apakah ini tempat yang diperintahkan Allah kepadamu untuk
engkau tempati, atau pilihan ini adalah pilihanmu berdasarkan strategi
perang dan tipi muslihat?” ketika abi menjawab bahwa pilihan itu adalah
pilihan berdasarkan pertimbangan beliau, barulah al-Khubbab menyarankan
lokasi lain, yang ternyata disetujui oleh Nabi Saw. Sebaliknya, dalam
perundingan Hudaibiyah, beberapa syarat yang disetujui Nabi tidak
berkenan di hati banyak sahabat beliau, ''Umar Ibn Khoththab menggerutu
dan menolak, mengapa kita harus menerima syarat-syarat ini yang
merendahkan agama kita'', Demikian kurang lebihnya ucap ''Umar, tetapi
begitu abi Saw. menyampaikan bahwa: “Aku adalah Rasul Allah”. ''Umar
dan sahabat-sahabt lainnya terdiam dan menerima putusan Rasulullah Saw
itu.90
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah
ada petunjuknya dari Allah SWT. secara tegas dan jelas, baik langsung
maupun melalui Rasul Saw, persoalan itu tidak termasuk lagi yang dapat
dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan dalam hal-hal yang belum
ditentukan petunjuknya serta soal-soal kehidupan duniawi, baik yang
petunjuknya bersifat global maupun yang tanpa petunjuk dan yang
mengalami perubahan.91
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa musyawarah
merupakan petunjuk bagi umat setiap Muslim, persoalan yang

89
Ibid. 113.
90
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, 315
91
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 316
57

dimusyawarahkan adalah perihal duniawi, dan lapangan musyawarah adalah


persoalan-pesoalan kemasyarakatan.
ِ
َ ‫ فَبِم َر ْحة ِّم َن ﷲ ل‬sesungguhnya
Menurut Musthafa Al-Maraghi ‫نت ََلُ ْم‬

memang telah ada di antara para sahabatmu orang-orang yang berhak


mendapatkan celaan dan perlakuan keras, ditinjau dari segi karakter
manusia. Sebab, mereka meninggalkan kamu ketika keadaan kritis. Bahkan,
mereka telah melakukan kesalahan yang berakibat kekalahan, sedangkan
peperangan itu dilakukan oleh semuanya. Tetapi sekalipun demikian,
engkau (Muhammad) tetap bersikap lemah lembut terhadap mereka, dan
engkau perlakukan mereka dengan baik. Semua itu berkat rahmat yang
diturunkan Allah ke dalam hatimu, dan Allah mengkhususkan hal itu hanya
untukmu. Karena, Allah telah membekalimu dengan akhlak-akhlak Al-
Qur‟an yang luhur, di samping hikmah-hikmah-Nya yang agung. Dengan
demikian, musibah-musibah yang engkau alami sangat mudah dan enteng
dirasakan.92
ِ َ ‫ت فَظًّا َغلِي‬
َ ‫ضوا ِم ْن َح ْول‬
‫ك‬ ِ ‫ظ الْ َق ْل‬
ُّ ‫ب ََلنْ َف‬ َ ْ‫ َولَ ْو ُكن‬andai kata engkau (Muhammad)
bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka (kaum
Muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan engkau dan
tidak menyukaimu, sehingga engkau tidak bisa menyampaikan hidayah dan
bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus. Hal itu, karena maksud dan
tujuan utama diutusnya para rasul ialah untuk menyampaikan syariat-syariat
Allah kepada umat manusia. Hal itu jelas tidak akan tercapai selain mereka
bersimpati kepada para Rasul. Semua itu akan terwujud jika sang Rasul
bersikp pemurah dan mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh
seseorang, serta memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasul haruslah
bersifat lemah lembut terhadap orang yang berbuat dosa, membimbingnya
ke arah kebaikan, bersikap belas kasih, lantaran ia sangat membutuhkan
bimbingan dan hidayah.93

92
Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 4, ( Semarang:CV. Toha
Putra, 1993), 112.
93
Ibid.
58

‫ َو َشا ِوْرُه ْم ِِف ْاْل َْم ِر‬tempuhlah jalan musyawarah dengan mereka, yang

seperti biasanya engkau lakukan dalam kejadian-kejadian seperti ini, dan


berpegang teguhlah kepadanya. Sebab, mereka itu, meski berpendapat salah
dalam musyawarah, memang hal itu merupakan suatu konsekuensi untuk
mendidik mereka, jangan sampai hanya menuruti pendapat satu orang
pemimpin saja, meski pendapat pemimpin itu benar dan bermanfaat pada
permulaan dan masa depan pemerintahan mereka. Selagi mereka mau
berpegang pada sistem musyawarah itu, maka mereka akan selamat dan
membawa kemaslahatan bagi semuanya.94
‫ت فَتَ َوَّك ْل َعلَى اللَّ ِه‬
َ ‫ فَِإذَا َعَزْم‬apabila hatimu telah bulat dalam mengerjakan
sesuatu, setelah hal itu dimusyawarahkan, serta dapat dipertanggung-
jawabkan kebenarannya, maka bertawakallah kepada Allah. Segala sesuatu
diserahkan kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan memiliki sarana
yang cukup untuk menjalankan sebab-sebab yang telah dijadikan oleh Allah
swt. Jangan sekali-kali kalian mengandalkan kemampuan dan kekuatan
sendiri. Juga jangan terlalu yakin
Dengan pendapat dan perlengkapan/sarana yang memadai. Oleh
karena semua itu tidak cukup untuk menunjang keberhasilan usaha, selagi
tidak dibarengi pertolongan dan taufik Allah. Sebab, hambatan-hambatan
dan rintangan-rintangan yang menjengal jalan menuju keberhasilan
sangatlah banyak dan tidak bisa diduga datangnya. Tak ada yang bisa
meliputinya selain dzat yang maha tahu mengenai masalah-masalah gaib.
Untuk itu, bertawakkal merupakan suatu keharusan, dan wajib pula
menyandarkan diri pada kekuaatan dan kemaampuan-Nya.
ِ ُّ ‫ إِ َّن اللَّهَ ُُِي‬hanya kepada Allah mereka mempercayakan segala
َ ‫ب الْ ُمتَ َوِّكل‬
‫ي‬

urusannya. Maka, Allah menolong dan membimbing mereka kepada yang


lebih baik, sesuai dengan pengertian cinta ini. Dalam ayat ini terkandung
bimbingan terhadap kaum mukallaf, disamping anjuran untuk mereka agar
bertawakkal kepada Allah dan mengembalikan segala sesuatu kepada-Nya,
serta berpaling dari semua hal selain-Nya.

94
Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz 4, 113.
59

Menurut Ibnu Katsir Meskipun dalam keadaan genting, seperti


terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum
muslimin pada peperangan Uhud, sehingga menyebabkan kaum muslimin
menderita kekalahan. Meskipun demikian beliau tetap bersikap lemah
lembut dan tidak marah terhadap yang melanggar itu, bahkan
memaafkannya, dan memohonkan untuk mereka ampunan dari Allah SWT.
Apabila Nabi Muhammad SAW bersikap keras, berhati kasar, tentulah
mereka akan menjauhkan diri dari beliau.
Selain itu Nabi Muhammad SAW selalu bermusyawarah dengan
mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu,
kaum muslim patuh melaksanakan keputusan-keputusan mereka sendiri
bersama Rasulullah. Mereka tetap berjuang dan berjihad di jalan Allah
dengan tekad yang bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang
mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak
ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.95 Dari penjelasan
tersebut menunjukkan mulianya sifat dan sikap Nabi dalam menghadapi
segala persoalan.
Buya Hamka memulai menafsirkan ayat 159 surat Ali Imran ini
dengan menggunakan kata pujian untuk menjelaskan sikap Rasulullah
dalam memimpin. Menurut beliau, Rasulullah sebagai pemimpin umat
Islam sangat menunjukkan bahwa sikap lemah lembut dalam memimpin
membuat beliau bisa menuntun dan membina umat Islam dengan baik.96
serta sikap bermusyawarah dengan umat disekelilingnya dalam menghadapi
persoalan bersama.
Lebih lanjut Buya Hamka menunjukkan bahwa tafsir utama ayat 159
surat Ali Imran ini adalah tentang Ilmu memimpin dalam Islam. 97 Ilmu
Memimpin yang beliau maksudkan adalah bahwa ayat ini mengharuskan
pemimpin dalam Islam untuk bersikap lemah lembut dalam memimpin.
Menurut beliau, pemimpin yang kasar, keras hati dan kaku sikapnya, bukan

95
Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan Dari Allah ''Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 1'', (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 73.
96
Hamka. Tafsir Al-Azhar, ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007), 129.
97
Hamka. Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007), 130.
61

saja pemimpin yang tidak sesuai dengan Al-Qur‟an tetapi juga akan dijauhi
banyak orang. Pemimpin seperti ini, menurut beliau, juga tidak akan
berhasil dalam memimpin
Namun demikian, Buya Hamka juga menggaris bawahi bahwa sikap
lemah lembut seperti yang dianjurkan oleh ayat ini bukan berarti bersikap
tidak tegas. Beliau menekankan pandangannya ini ini dengan mencontohkan
sikap tegas Rasulullah SAW dalam beberapa kasus. Misalnya, ketika
Rasulullah SAW bersikap tegas terhadap kelompok yang tidak menyepakati
hasil perjanjian Hudaibiyah; ketika beliau tegas mendiktekan apa yang
harus dicatat oleh Ali Ibn Abi Thalib; dan ketika tegas memerintahkan umat
Islam untuk mencukur rambut, membayar denda dan menanggalkan pakaian
ihram ketika umat Islam batal melaksanakan ibadah haji pada tahun itu.
Kembali pada penjelasan utama ayat 159 surat Ali Imran, Buya
Hamka memberikan contoh detail hasil kesepakatan musyawarah yang
dilakukan Rasulullah SAW dengan para sahabat. Seorang sahabat yang
bernama „Al-Habbib bin Al- Mundzir bin Al-Jumawwah mengkritik
Rasulullah SAW akan inisiatif nya untuk menghentikan pasukan perang di
tempat yang jauh dari sumber air. Asal kritikan sahabat tersebut dan
kepentingan bersama, Rasulullah SAW bergerak bersama pasukannya
menuju sumber air dan menguasai tempat tersebut sebelum musuh mereka
menguasaina terlebih dahulu.98
Buya Hamka menyebutkan inti amalan dari ayat ini adalah
musyawarah sebagai dasar politik Islam dan pemerintahan Islam. beliau
menjelaskan bahwa musyawarah adalah konsekuensi logis dari
berkelompok dan berlembaga, bahkan ketika menentukan imam shalat yang
dilakukan secara berjamaah. Umat Islam pada masa Rasulullah selalu
bermusyawarah seiring dengan meningkatnya jumlah kaum Muslimin pada
waktu itu.
D. Memutuskan Sesuatu Dengan Musyawarah.
(Q.S. Asy-Syūrā [42]: 38)

98
Hamka. Tafsir Al-Azhar, 133
61

         

 
ʻʻDan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezki yang Kami berikan kepada merekaʼʼ. (QS. As-Syura : 42)
Ayat ketiga ini turun pujian kepada kelompok Muslim Madinah
(Ansar) yang bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut
melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-
Anshari, namun demikian ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap
kelompok yang melakukan musyawarah99
Ayat ini turun berkaitan dengan golongan Anshar tatkala diajak oleh
Rasulullah untuk beriman, mereka menyambut dengan baik ajakan Nabi
Saw. dan bagi mereka dijanjikan ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi
Allah swt. Orang-orang mukmin tersebut memiliki sifat-sifat antara lain
ʻʻurusan mereka diselesaikan dengan musyawarahʼʼ. Dalam ayat ini, Syūrā
berjalan bersisian dengan ketiga pilar keimanan (ketaatan kepada perintah
Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat). Syūrā merupakan
kewajiban dengan dasar perintah yang sama. Ayat ini merupakan ayat
Makkiyah yang turun sebelum keberadaan Islam telah menjadi agama yang
kuat.100
Quraish menjelaskan, pada ayat sebelumnya menguraikan hal-hal
yang selalu dihindari oleh orang-orang wajar yang memeroleh kenikmatan
abadi, ayat-ayat di atas mengemukakan apa yang selalu menghiasi diri
mereka. Ayat di atas bagaiakan menyatakan: Dan kenikmatan abadi itu
disiapkan juga bagi orang-orang yang benar-benar memenuhi seruan
Tuhan mereka dan mereka melaksanakan sholat secara bersinambungan
dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan khusyuk
kepada Allah, dan semua urusan yang berkaitan dengan masyarakat mereka
adalah musyawarah antara mereka, yakni mereka memutuskannya selalu

99
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 177
100
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 177
62

melalui musyawarah, tidak ada diantara mereka bersifat otoriter dengan


memaksakan pendapatnya dan di samping itu mereka juga dari sebagian
rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka, baik harta maupun
selainnya, mereka senantiasa nafkahkan secara tulus serta bersinambungan
baik nafkah wajib maupun sunnah.101
Huruf (‫ )س‬sin dan (‫ )ت‬ta' pada kata Istajabu berfungsi menguatkan
istijabah/ penerimaan itu. Yakni penerimaan yang sangat tulus, tidak di
sertai oleh sedikit keraguan atau kebencian. Sementara ulama
memahaminya dalam arti penerimaan yang bersifat khusus, sebagaimana
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Al-Anshar di Madinah ketika mereka
menyambut para Muhajirin dari Mekah. Huruf lam (‫ )ل‬pada kata ( ‫)لربِّم‬
lirabbihim berfungsi menguatkan penerimaan seruan itu, Oleh karena itu,
M. Quraish Shihab menjelaskannya dalam arti “benar-benar memenuhi
seruan Tuhan mereka”.102
Kata Syūrā (‫ )شورى‬terambil dari kata (‫ )شور‬Syaur. Kata Syūrā

bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan


memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain, kata ini
terambil dari kalimat Syirtu al'asal yang bermakna: saya mengeluarkan
madu ( dari wadahnya). Ini berarti mempersamakan pendapat yang terbaik
dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana
pun dia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang
menyampaikannya.103
Kata ( ‫ ) أمرﻫم‬amruhum/urusan mereka menunjukkan bahwa yang
mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan
mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu, masalah
ibadah mahdhoh/murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah
tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dumusyawarahkan. Di sisi lain,
mereka yang tidak berwenang dalam urusan dimaksud tidaklah perlu terlibat
dalam musyawarah itu, kecuali jika diajak oleh yang berwenang karena

101
Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah, 178.
102
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misba, 511
103
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,511
63

boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar


mereka.104
Jika ditinjau lebih dalam, maka dapat diketahui bahwa pendapat
Quraish Shihab yaitu sebaiknya hanya orang-orang yang memiliki
kepentingan saja yang seharusnya berhak ikut dalam musyawarah. Tetapi
tetap saja ada pengecualian, apabila pihak yang berwenang mengajak pihak
lain untuk ikut serta, maka hal itu diperbolehkan saja.
Al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana bentuk Syūrā yang
dianjurkan. Ini untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat
menyusun bentuk Syūrā yang mereka inginkan sesuai dengan
perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu dingat bahwa ayat
itu turun pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang
memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya
Negara Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Saw. Turunnya ayat yang
menguraikan Syūrā pada periode Mekkah, menunjukan bahwa
bermusyawarah adalah anjuran Al-Qur'an dalam segala waktu dan berbagai
persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.105
Dari penjelasan Quraish Shihab di atas dapat disimpulkan bahwa
petunjuk Al-Qur'an menyangkut Syūrā dijelaskan dalam bentuk global
(prinsip-prinsip umum), tujuannya agar petunjuk itu dapat menampung
segala perubahan dan perkembangan sosial budaya masyarakat.
Menurut Musthofa Al-Maraghi ‫استجابوا لِربِّ ِه ْم‬ ِ
ْ ‫ والَّذين‬Dan orang-orang
yang memenuhi apa yang diserukan oleh Tuhan kepada mereka, seperti
mengesakan-Nya dan melepaskan diri dari menyembah sesembahan selain
Allah. ‫الصَلة‬
َّ ‫ وأقاموا‬Dan mereka mendirikan shalat yang diwajibkan tepat pada

waktunya dengan cara yang paling sempurna. Shalat di sini disebutkan


secara khusus di antara rukun-rukun agama yang lain, karena shalat
memang sangat penting dalam menjernihkan jiwa dan membersihkan hati,
serta meninggalkan perbuatan keji, baik yang nyata maupun yang tidak
nyata.

104
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 512.
105
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 512.
64

 ‫ورى بَْي نَ ُه ْم‬


َ ‫ َوأ َْمُرُه ْم ُش‬Apabila mereka menghendaki suatu urusan, maka
mereka bermusyawarah sesama mereka, agar urusan itu dibahas dan
dipelajari bersama-sama, apalagi dalam soal peperangan dan lain-lain.
Rasulullah saw, mengajak bermusyawarah kepada para sahabat
dalam banyak urusan, akan tetapi tidak mengajak mereka bermusyawarah
dalam persoalan hukum, karena hukum-hukum itu diturunkan dari Allah.
Adapun para sahabat, mereka bermusyawarah mengenai hukum-hukum dan
menyimpulkannya dari kitab dan As-Sunnah. Kasus yang pertama
dimusyawarahkan oleh para sahabat ialah tentang khilafah, karena
Rasulullah saw tidak menentukan siapa yang menjadi khilafah, dan
akhirnya Abu Bakar dinobatkan sebagai khilafah. Dan mereka juga
bermusyawarah tentang peperangan melawan orang-orang yang murtad
setelah wafatnya Rasulullah saw. Dimana yang dilaksanakan adalah
pendapat Abu Bakar untuk memerangi mereka. Ternyata perang tersebut
lebih baik bagi Islam dan kaum Muslimin. Begitu pula Umar r.a,
bermusyawarah dengan Al-Hurmuzan ketika dia datang kepadanya sebagai
Muslim.106
Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah Ta‟ala :
‫َو َشا ِوْرُه ْم ِِف ْاْل َْم ِر‬
Dan bermusyawarahlah dengan perkara dalam urusan itu. (Ali Imran: 159)
Diriwayatkan dari Al-Hasan: tidak ada satu kaum yang bermusyawarah
kecuali mendapat petunjuk pada urusan mereka yang paling baik.
Dan Ibnu Arabi mengatakan pula bahwa musyawarah itu
melembutkan hati orang banyak, mengasah otak dan menjadi jalan menuju
kebenaran. Dan tidak ada satu pun yang bermusyawarah kecuali mendapat
petunjuk.
Dalam perkara apa pun di antara urusan-urusan penting,
pemerintahan sekarang ini tidak mengambil keputusan kecuali bila telah
diajukan terlebih dahulu kepada majlis permusyawaratan, ‫اه ْم يُ ِنف ُقو َن‬ ِ
ُ َ‫ َوِمَّا َرَزقْ ن‬dan
mereka menafkahkan sebagian dari apa yang didatangkan oleh Tuhan
kepada mereka ke jalan kebaikan, dan disumbangkan kepada hal-hal yang

106
Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 15, 52.
65

bermanfaat bagi individu maupun masyarakat, serta untuk mengangkat


derajat umat dan meninggikan nasib dan kejayaannya.107
Musthafa Al Maraghi menyebutkan beberapa faedah musyawarah,
diantaranya: pertama dengan musyawarah dapat diketahui kadar akal, kadar
kecintaan dan keikhlasan terhadap kemaslakhatan umum. Kedua,
kemampuan akal itu bertingkat-tingkatdan jalan berpikirnya pun berbeda-
beda, sebab kemungkinan ada diantara mereka yang mempunyai satu
kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ketiga, semua pendapat di
dalam musyawarah diuji kebenarannya, lalu dipilih pendapat mana yang
terbaik. Keempat, dalam musyawarahakan tampak pertautan hati untuk
mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati.108
Dari penjelasan Mustafa Al-Maraghi diatas dapat disimpulkan
bahwa Rasulullah memusyawarahkan sesuatu hal yang belum ada petunjuk.
Dan mereka memutuskan urusan mereka dengan jalan musyawarah.
Menurut Ibnu Katsir Allah SWT berfirman: menyepelekan
kehidupan duniawi, bahwasanya apa yang didapat manusia di dunia ini,
berupa harta kekayaan, kesenangan dan kemakmuran semuanya itu adalah
kenikmatan sementara yang sewaktu-waktu dapat sirna dan lenyap serta
berganti dengan kesengsaraan, kemiskinan dan kesusahan.
Tetapi kenikmatan yang tersedia di sisi Allah dalam kehidupan di
akhirat itulah kenikmatan yang abadi dan kekal yang diperoleh sebagai
pahala dan balasan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman,
mengerjakan amal yang sholeh dan bertawakkal hanya kepada Tuhannya,
menjauhi dosa-dosa dan maksiat yang besar, mematuhi perintah-perintah
agama dan sunnah rasul-rasul Allah, mendirikan sholat, melakukan
musyawarah dalam segala urusan yang menyangkut kepentingan orang
banyak, menafkahkan zakat, berhati rahmat dan penuh kasih sayang dan
bila marah ia segera memberi ampun dan apabila diperlakukan sewenang-
wenang dan di zalimi, tidaklah menyerah melainkan membela diri
mempertahankan hak dan kebenaran. Mereka itulah orang-orang yang

107
Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 15, 53.
108
Ibid.
66

memperoleh kehidupan di akhirat dengan bahagia, kekal dan abadi di sisi


Tuhan pada hari kiamat.109
Menurut Buya Hamka “Dan orang-orang yang menyambut akan
(ajakan) dari Tuhan mereka”, yaitu mengerjakan segala yang diperintahkan
Allah, dan menghentikan segala larangannya. Karena iman saja, barulah
pengakuan. Belum ada artinya: “percayalah engkau kepadaku?” Tentu kita
jawab “percaya!” Lalu Allah bertanya lagi:“ sudahkah engkau sambut
ajakanku?” Apa jawaban kita? Diantara sekalian ajakan Allah itu, diayat ini
ditegaskan satu hal yaitu “Dan mereka mendirikan sholat.” Sebab sholat
ialah tanda tanda pertama dan utama dari iman. Sholat ialah masa
berhubungan dengan Allah sekurang-kuranngnya lima kali sehari semalam.
Meski seseorang itu baik dengan sesama manusia, kalau dia tidak sholat,
terbukti hubungan dengan Tuhan tidak baik. Dan ditambah lagi oleh contoh
teladan Nabi Saw, hendaklah sholat itu berjamaah, dan hendaklah pula
berjum'at. Maka sejalan dengan menguatkan hubungan dengan Allah.110
kamu rapatkan pula hubungan dengan sesama manusia khususnya
sesamamu yang beriman. Maka datanglah lanjutan ayat ini “Sedang urusan
mereka adalah dengan musyawarah diantara mereka.” Sebab sudah jelas
bahwa urusan itu ada yang urusan pribadi dan ada yang mengenai
kepentingan bersama. Maka yang mengenai kepentingan bersama itu
dimusyawarahkan bersama, supaya ringan sama dijinjing, besar sama
dipikul, itu sebabnya maka ujung ayat dipatrikan dengan “Dan sebagaian
dari rezeki yang kami anugerahkan mereka nafkahkan”. Sebab suatu
musyawarah tentang urusan bersama tidak akan mendapat hasil yang
diharapkan kalau orang tidak mau menafkahkan kepunyaan pribadinya
untuk kepentingan bersama.111
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa hasil iman seseorang itu
bukanlah semata-mata untuk diri sendiri. Iman bukan semata-mata
hubungan pribadi orang dengan Allah, tapi juga hubungan dengan urusan
bersama yang berlangsung. Dipangkali dengan sholat, sholat berjamaah dan

109
Ibid., 192
110
Hamka, Tafsir Al-Azhar, 158
111
Hamka, Tafsir Al-Azhar, 158
67

berjum'at, masyarakat bertetangga, berdusun, berdesa, berkampung, berkota


dan bernegara, sendirinya tumbuh urusan bersama dan dipikul bersama,
boleh dinamai demokrasi atau gotong royong. Dan semua menafkahkan
rezeki yang diberikan padanya untuk kepentingan bersama. Rezeki adalah
umum. Rezeki harta benda, emas perak, tenaga, pikiran, kepandaian ilmu,
keahlian, pengalaman. Semua mau menafkahkan untuk kepentingan
bersama. Jadi sholat jamaah, musyawarah dan mengurbankan rezeki dalam
satu nafas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah lalu tentang bahasan mengenai
penafsiran yang diterapkan oleh Quraish Shihab mengenai Syūrā dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut
1 Musyawarah menurut Quraish Shihab adalah mengemukakan bahwa
kata musyawarah terambil dari kata syāwara, yang pada mulanya
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil
atau dikeluarkan dari sesuatu yang lain (termasuk pendapat).
Musyawarah juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu, kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang
baik, sejalan dengan makna dasar.
2 Dalam Tafsir Quraish Shihab, beliau menafsirkan ayat tentang Syūrā
dalam surah Al-baqarah 233, surah Ali-Imran 159 dan surah As-
Syura 38 M. Qurasih Shihab menjelaskan kandungan dari
 Al-baqarah 233 Pada ayat ini Quraish Shihab menjelaskan,
Apabila keduanya, yakni ayah dan ibu anak itu, ingin
menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya,
bukan akibat paksaan dari siapapun, dan dengan
permusyawaratan, yakni dengan mendiskusikan serta
mengambil keputusan yang tebaik, maka tidak ada dosa atas
keduanya untuk mengurangi masa penyusuan dua tahun itu.
Quraish Shihab menjelaskan, bagaimana seharusnya
hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang
berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti
menyapih anak. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Al-
Qur'an memberi petunjuk agar persoalan itu dan juga
persoalan-persoalan rumah tangga yang lainnya
dimusyawarahkan antara suami dan istri dengan baik.

68
69

 Dalam surah Q.S.Ali-Imran 159 Quraish Shihab


menjelaskan, bagaimana sikap atau etika bermusyawarah,
menjelaskan sikap yang diperintahkan Allah kepada Nabi
Muhammad Saw. dalam melakukan musyawarah, yaitu
Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak
berhati keras. Kedua, memberi maaf. Ketiga yang harus
mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan
ampunan Ilahi, dan yang Keempat, apabila telah bulat tekat,
laksanakan dan berserah dirilah kepada Allah SWT.
 Dan dalam surat Asy- Syūrā ayat 38 Quraish Shihab
menjelaskan segala urusan yang berkaitan dengan
kepentingan kelompok selalu diputuskan dengan jalan
musyawarah.
B. Saran-saran
Berbicara mengenai Syūrā merupakan suatu permasalahan yang
selalu kontemporer, yang selalu aktual untuk diperbincangkan meskipun
telah dibahas berulang kali. Hingga sekarang belum ada kata sepakat
mengenai Syūrā dikalangan umat muslim. Masing-masing memberikan
argumentasi dengan dalil-dalil yang dianggapnya valid dan rasional.
Dikarenakan Syūrā merupakan persoalan yang dapat mengalami
perkembangan dan perubahan. Al-Qur‟an
hanya menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-
prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan
perkembangan sosial budaya manusia. Oleh karena itu, hasil dari penelitian
ini diharapkan mendapatkan perhatian dan koreksi dari yang lebih
berkompeten dalam bidang tafsir Al-Qur‟an, baik para ulama, cendekiawan,
dan para ahli. Agar nantinya dapat diterima oleh masyarakat umum dan
khususnya bagi para akademisi dan melakukan penelitian lanjutan untuk
menyempurnakan atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam penelitian
ini. Sebab penelitaan ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi materi
maupun penyajiannya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Karya Ilmiah
Abdillah, Masykuri. Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons
Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, 1966-
1993, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999.
Ahmad, Hasbullah. Tafsir Sosio-Kultural Dengan Sosial Kemasyarakatan
Dalam Dimensi Tafsir Sosio-Kultural Dalam Khazanah Tafsir
Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2016.
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir Al-Maraghi juz 15, Semarang: CV
Toha Putra, 1993.
Al-Farmawi, Abd. Al-Hayy. Metode Tafsir Mauwdhu'iy Suatu Pengantar
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Ar-Rifa'I, Muhammad Nasib. Kemudahan Dari Allah ''Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 1'', Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
As-Syawi, Taufiq. Syura Bukan Demokrasi, Jakarta : Gema Insani Press,
1997 .
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 8, Jakarta: Gema
Insani, 2011.
Basri, Hasan. Aktualisasi Pesan Al-Qur'an dalam bernegara. Jakarta :
Ihsan Yayasan Pancur Siwah, 2003.
Bisri, Adib dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri Indonesia Arab Arab
Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Daud, Muhammad dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Ghafur, Abdul Waryono. Tafsir Sosial : Mendialogkan Teks dengan
Konteks.Yogyakarta : eLSAQ Press, 2005.
Ilyas Yunahar. ''Kuliah Ulumul Qur'an''. Yogyakarta: IQTAN Publishing,
2013.
Junaidi, M. Mahbub. Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, Solo: CV
Angkasa Solo, 2011.
Koentjaraningrat, ''Masyarakat Desa Di Indonesia Masa Kini'',
(Jakarta:Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
1964.
Khaliq, Farid Abdul. Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005.
Muhammad, Abdullah bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Tafsir Ibnu
Katsir , vol. I Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2008.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
Nasution. Metodeologi research Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Askara,
2003.
Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2005
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedia Al-Qur‟an; Tafsir Al Qur‟an
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002.
Sjadzali, Munawir. Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah Dan
Pemikiran, Jakarta: UI Pres, 1990.

Saidi Zaim. ''Ilusi Demokrasi: Kritik dan Otokritik Islam'', Jakarta: Penerbit
Republika, 2007.

Shihab M. Quraish. Membumikan Al-Qur'an: Fungsi Dan Peran Wahyu


Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudu‟i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 1996.
Shihab M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-
Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish. Kaidah-Kaidah Tafsir: Syara, Ketentuan, dan Aturan
yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur'an,
Tanggerang: Lentera Hati, 2013
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Kenegaraan Tafsir Al-Qur'an Tematik,
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an , 2011.
Yamin Martinis. Metedeologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial Kualitatif
dan Kuantitatif''. Jakarta: Komplek Kejaksanaan Agung, Cipaayung,
2009.
B. Skripsi.
Aminullah, A. Najili. “Dinasti Abbasiyah : Politik, Peradaban Dan
Intelektual”, Tesis Pasca Sarjana IAIN Banten.

Bunyamin. Konsepsi Musyawarah Dalam Al-Qur'an (Analisis Fiqh


Siyasah Terhadap Qs Al-Naml/27:29-35)'' Jurnal Al-'Adl, 2017.
Labibah, Silvi ''Paralelisme Konsep Syura Dalam Al-Qur'an Dengan
Musyawarah Dalam Sila Ke IV Pancasila'', Skripsi, Uin Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2018
C. Jurnal

Abdullah, Dudung.ʻʻMusyawaah Dalam Al-Qur'an (Suatu Kajian


Tematik)”, Al-Daulah Vol.3 / No. 2 2014, 243.
Munawwar, Fadhlil. “Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab Pada
Masa Dinasti Umayyah” Jurnal Humaniora, Vol 15, 2003.

Wartini, Atik. ʻʻCorak Penafsiran Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-


Misbah,ʼʼ Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 1, 2014, 12.
Atabik, Ahmad. ʻʻPerkembangan Tafsir Modern Di Indonesiaʼʼ, Jurnal
Hermeneutika, Vol. 8, No. 2, 2014, 7.
Iqbal, Muhammad. ʻʻMetode Penafsiran Al-Qur'an M. Quraish Shihab
Jurnal Tsaqafahʼʼ, Vol. 2, 2010, 4.
Saha, Sofyan. ʻʻPerkembangan, Penulisan Tafsir Al-Qur'an Di Indonesia
Era Reformasiʼʼ, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol, 13, No. !, 2015, 5.
Nur, Afrizal. ʻʻM. Quraish Shihab Dan Rasionalisasi Tafsirʼʼ, Jurnal
Ushuluddin, Vol. Xvii, No. 1, 2012, 12.
Majid, Zamakhsyari Abdul.ʻʻKonsep Musyawarah Dalam Al-Qur'an‟‟,
(Dalam Kajian Tematik), Al-Marhalah Jurnal pendidikan Islam
Vol.4, No.1 (2020), 20.
CURRICULUM VITAE

Informasi Diri

Antia Julyanti dilahirkan di Desa Muara Madras, Kecamatan Jangkat,


Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi pada tanggal 16 Juli 1998, Putri dari
Ayahanda Yasadi dan Ibunda Rusminar.

Riwayat Pendidikan

 Lulusan UIN STS Jambi pada tahun 2020


 Alumni SMK N 8 Merangin Desa Muara Madras, pada Tahun 2016
 Alumni MTS Tahzibatul Islamiah Desa Muara Madras, pada Tahun
2013
 Alumni SDN 20/VI Desa Muara Madras, pada Tahun 2009

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat supaya dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

Anda mungkin juga menyukai